MANUSIA SERIGALA
karya Abdullah Harahap
Hak cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved
Lukisan cover oleh Fan Sardy
Edisi tahun 1988 '
oleh Penerbit KARYA CITRA
Dilarang mengutip atau memperbanyak isi buku ini tanpa izin dari penulis
***
SATU
TIDAK ada satu pertanda apa pun akan terjadi sebuah strategi. Tragedi mengerikan,
yang dikemudian hari kelak berbuntut panjang. Senja itu cuaca cerah. Langit pun biru
jernih dironai warna merah kekuningan sisa matahari di ufuk Barat. Suasana desa
Bojong tampak adem, tenteram. Jalan raya yang membelah dua desa itu tenang pula
tampaknya. Hanya satu dua kendaraan melaju di atas aspal yang berwarna kelabu
karena dilapisi sedikit debu. Angin senja bertiup lembut mmbawa hawa sejuk segar,
menimbulkan perasaan nyaman dan menyenanyan.
Tetapi hitam putihnya dunia telah diciptakan Tuhan bersamaan dengan terciptanya
alam semesta. Maka tak heranlah apabila masih ada segelintir manusia yang kurang
dapat menikmati keindahan suasana senja yang menaungi desa Bojong sore hari itu.
Misalnya, seorang supir bis antar kota. Ia dari tadi duduk resah di belakang kemudi
kendaraan besar yang menentukan hidup mati anak isterinya di rumah. Selepas dari
Banjar, penumpang tak lebih dari 10 orang. Tiga di antaranya turun pula di Ciamis.
Dalam lanjutan perjalanan menuju Tasikmalaya memang naik beberapa penumpang
lagi. Tetapi ternyata penumpang jarak dekat, yang waktu membayar ongkos masih
merasa perlu bertengkar dengan kernet.
Memikirkan setoran yang minim sementara hutang pada majikan kian membengkak,
supir bis itu lantas ayal-ayalan mengemudi kendaraannya. Sekedar mengendurkan
perasaan kesal, ia permainkan satu dua kendaraan yang saling berpacu dengannya.
Terakhir sebuah mobil sedan putih metalik yang berlari kencang di belakang bisnya.
Beberapa kali mobil sedan itu tidak diberi jalan, dengan cara bis melaju santai agak ke
tengah. Bunyi klakson gegap gempita dari mobil sedan itu memberitahu bahwa
pengemudinya mulai jengkel. Memasuki desa Bojong, jalan raya mulus dan memanjang
lurus dan rata. Bis tancap gas. mobil sedan di belakangnya pun ikut pula meninggikan
kecepatan. Klakson sedan meledak-ledak lagi manakala bis masih enggan memberi
jalan.
Suatu ketika, supir bis menangkap bayangan dua sosok tubuh beberapa ratus meter
di hadapannya. Dua orang perempuan, tampaknya anak beranak dengan sebuah koper
dan tas agak di tepi jalan.
"Nah. Itu penumpang jarak jauh. Kalau tak ke Jakarta, pasti ke Bandung!" bisik hati
supir bis dengan bersemangat. Ia segera melupakan mobil sedan di belakangnya. Bis
dilambatkan dan dipinggirkan sedikit sebelum tiba saatnya berhenti di dekat dua calon
penumpang itu.
Melihat ada kesempatan, mobil sedan di belakangnya langsung menyalib bis.
Klaksonnya tetap bergema, bahkan tinju terkepal supir sedang diacungkan lewat
jendela mobilnya. Tanpa mengurangi kecepatan. Mendadak, dari belokan di depan
sana, muncul sebuah mobil besar lainnya. Sebuah truk pengangkut barang yang juga
melaju dengan kecepatan tinggi. Truk menyalakan lampu jauh yang menyilaukan mata,
memberi tanda pada mobil sedan agar tidak menyalib bis.
Tetapi dalam kejengkelannya, pengemudi mobil sedan malah menambah gas dengan
harapan dapat main selip di saat kritis itu. Sambil menggas, ia banting kemudi ke arah
kiri. Bis selamat terlewati. Truk pengangkut barang pun tidak tersentuh. Namun,
pengemudi mobil yang sedang kalap itu tidak sempat menghindari sesuatu yang lain.
Yakni, dua orang perempuan di sebelah kiri jalan yang memang bermaksud akan
menyetop bis. Perempuan yang lebih muda, seorang gadis remaja, secara naluriah
melompat mundur. Malang, perempuan satunya lagi membenahi tas dan koper ketika
maut datang menjelang. Perempuan itu tidak sempat menoleh. Bahkan barangkali ia
tidak tahu apa yang sekonyong konyong menghantam.
Hanya begitu keras. Sangat keras, sehingga ia terangkat dari tanah dan terbang
melewati selokan. Hinggap di pagar bambu pekarangan sebuah rumah. Pagar itu pecah
berantakan. Sebuah di antara bambu Itu menghunjam langsung ke lambung Si
perempuan.
Jerit pekik tak usah digambarkan lagi. Yang perlu digambarkan adalah contoh watak
manusia tak bertanggung jawab detik detik berikutnya setelah kejadian mengerikan itu.
Supir bis, merasa dirinya ada sangkut paut dengan kesalahan fatal yang dibuat mobil
sedan, mengurungkan niat untuk berhenti. Ia terus saja memacu bisnya tanpa
memperdulikan suara ribut penumpang di belakangnya. Supir yang mengemudi mobil
sedan jangan dikata lagi. Ia langsung melarikan diri bagai dikejar setan. Mobilnya
berzigzag waktu membelok namun tidak terjadi kecelakaan lainnya.
Sementara sejumlah saksi mata ribut memberi pertolongan pada korban tabrak lari,
seorang pengemudi sepeda motor yang datang dari arah berlawanan secara reflek
memutar haluan. Ia dapat mengejar bis tetapi mobil sedan sudah lebih dulu tiba di
mulut kota Tasikmalaya untuk kemudian lenyap tak berbekas. Sukarelawan bersepeda
motor itu belum menyerah. Ia terus berpacu melewati jalan utama kota, terus ke batas
kota arah ke Bandung. Untung untungan. Namun yang ia cari tidak kelihatan sama
sekali. Besar kemungkinan menyelinap di banyak simpangan jalan dalam kota
Tasikmalaya, lalu bersembunyi di suatu tempat.
Tak lama kemudian polisi turun tangan. Bis tadi yang sudah memasuki terminal,
ditunda perjalanannya. Supir dimintai keterangan oleh polisi. Dan ia punya akal buat
mengelakkan sikap pengecutnya:
"Saya sengaja tidak berhenti. Maksud saya akan mengejar sedan biadab itu!"
"Terkejar?" tanya polisi setengah mencemooh.
Supir bis mengangkat bahu.
"Sayang, tidak," jawabnya lesu.
Penumpang yang duduk di kursi bersebelahan dengan supir, adalah sukarelawan
lainnya. Ia jengkel perjalanannya ke Jakarta tertunda. Namun sedikit terhibur karena
dapat menolong polisi. Dengan demikian, secara tidak langsung ia juga berjasa untuk
korban tabrak lari itu.
"Saya sempat memperhatikan mobil itu, Pak," katanya pada polisi. Lalu ia menyebut
jenis dan merk mobil, warna dan ciri penutup bagasi, lengkap dengan nomor platnya.
' Polisi yang menanyai sukarelawan sebentar kemudian bertanya serius :
"Nomor kode plat. Bung tak keliru?"
"Tidak Pak. Di Jakarta saya kerja sambilan jual beli mobil bekas. Jadi sebuah mobil,
merk apa pun dan di manapun, selalu menarik perhatian saya. terutama nomornya.
Siapa tahu, mobil yang saya perhatikan pernah saya tolong menjualkannya.."
Mau tak mau polisi menahan senyum mendengar penjelasan yang masuk akal itu.
Sementara rekan rekannya bertugas di desa Bojong, jangankan untuk tersenyum,
berbicara pun susah. Pemandangan yang mereka sakSikan di seberang selokan pinggir
jalan, selain mengerikan juga menyentuh perasaan. Tanpa memperdulikan bujukan
orang lain, Si gadis remaja merangkul dan menangisi ibunya yang terbaring diam di
genangan darahnya sendiri. Entah Siapa yang telah mencabut potongan bambu dari
lambung si korban. Entah siapa pula yang kemudian membalutkan sehelai sarung ke
lambung menganga itu untuk mencegah lebih banyak pendarahan.
Ambulan muncul dengan bunyi sirene melengking lengking. Korban diangkut ke
rumah sakit, tanpa sekalipun lepas dari pelukan si gadis remaja. Tim doker bedah
segera Sibuk di belakang pintu emergency yang tertutup rapat. Sekali pandang saja
mereka sudah tahu. Tempurung lutut korban hancur. Pahanya terpotong hampir remuk.
Tulang pinggul bergeser dan melesak menembus kulit. Lambung tembus sampai ke
punggung. Memang tidak mengganggu jantung. Namun pendarahan dengan Iuka
sedemikian hebat, untuk perempuan bertubuh keCil dan lemah itu merupakan suatu
penderitaan yang sudah melewati batas.
Ia tetap dalam keadaan koma ketika menjelang tengah malam, sang gadis remaja
yang didukung sejumlah kerabat memaksa masuk untuk melihat keadaan ibunya. Dokter
akhirnya memperkenankan, dengan syarat cukup seorang gadis itu saja yang masuk. Si
gadis didampingi seorang perawat untuk berjaga jaga terhadap segala kemungkinan
yang tak di kehendaki. Perawat itu menutup pintu dari dalam, berdiam diri di sana.
Membiarkan si gadis terus melangkah terseok-seok ke ranjang pembaringan ibunya. Ia
sedikit pun tidak tertarik pada semua peralatan medis di dalam ruangan itu, meski baru
pertama kali meLihatnya. Perhatian si gadis terpusat hanya ke wajah ibunya, yang
sungguh mengherankan tetap mulus tak luka walau segores pun jua.
Perempuan kecil di pembaringan itu tampak seakan tidur dengan sebuah mimpi yang
agaknya tidak mengenakkan hatinya. Getaran halus pada guratgurat dahi, sudut mata
maupun bibir si sakit seakan memberi tanda bahwa ia berjuang untuk tetap hidup.
Putrinya dengan air mata berlinang dan pipi sepucat kapas, menyentuh punggung
tangan ibunya yang telanjang .Ia bergerimit sebentar. Gemetar. Lalu dengan susah
payah berusaha memanggil :
"Ibu...? Ini aku. Mia..."
Rintihan lembut gadis itu menimbulkan keajaiban. Perawat yang berdiri dekat pintu,
membelalakkan mata manakala ia lihat kelopak mata si sakit bergerak terbuka, begitu
pula bibirnya. Padahal dari dokter ia sudah diberitahu tipis kemungkinan si sakit akan
sadarkan diri dari koma untuk beberapa hari berikutnya. Akan halnya si gadis remaja,
matanya memancarkan kebahagiaan manakala melihat ibunya membuka mata. Lalu
dari bibir yang pucat kebiru-biruan itu terdengar bisikan lemah :
"Mi...aaa.e..?"
Si gadis mencengkeram telapak tangan ibunya lebih kuat.
"Ibu" hanya tiga huruf ia keluarkan, meski betapa banyaknya perasaan yang ingin
diutarakan. Ia dengar ibunya membisikkan sesuatu. Karena kurang jelas, si gadis
membungkuk sedikit. Mendekatkan telinga ke bibir ibunya.
"'Yaa, Bu?" ia bertanya hati-hati.
"Mi...num...ah..."
"Ibu... ingin minum?" '
Kelopak mata si sakit mengerjap cepat. Bibirnya berbisik lebih tajam :
"Kau. Minumlah..."
"Nanti saja, Bu. Aku ...."
Gurat gurat bergetar semakin kuat di wajah si sakit. Baik puterinya maupun perawat
dekat pintu samasekali tak menyadari bahwa tangan si sakit di sebelah lainnya
perlahan-lahan bergeser, menggapai ke arah lambungnya yang terbungkus balutan
perban tebal. Lalu dengan suatu kekuatan yang sukar dibayangkan akal, tangan yang
lemah itu mendorong pembalut itu sampai terbuka. Lambungnya menganga seketika.
Darah pun memancur ke luar. Memancur deras karena didorong pula oleh gerakan
memaksa phisiknya sebelah dalam.
"Darah... darahku !"si sakit berbisik lebih keras.
Anak gadisnya mendengar bunyi sesuatu yang aneh dan samar samar. Ia berpaling.
Melihat ke arah datangnya bunyi ganjil itu. Begitu menyadari apa yang diperbuat
ibunya, si gadis tersentak berdiri. Mulutnya berteriak nyaring, ketakutan. Kemudian, ia
limbung. Dan pasti terhempas jatuh ke lantai kalau si perawat di dekat pintu tidak
keburu melompat ke depan.
Setelah membaringkan gadis itu baik baik di lantai, si perawat dengan panik
mengawasi apa yang te lah diperbuat pasien mereka. Dengan ngeri ia melihat darah
yang terus memancur dari lambung pasien itu. Setelah terkesima hampir satu detik
dengan terampil ia membetulkan letak pembalut. Tetapi tangan si sakit terus
mencengkeram pembalut, berusaha menariknya. Tarik menarik itu akhirnya
dimenangkan si perawat yang usianya lebih muda, kondisinya lebih prima. Ia kemudian
mengikat tangan yang tidak terkendali itu ke besi besi ranjang. Lantas bergegas
mengangkat telepon. Gugup, memanggil dokter.
Selesai menelepon ia kembali ke tempat tidur.
Lagi-lagi ia terkesima. Mata si sakit masih terbuka lebar. Tetapi sinar kehidupan
telah meninggalkannya. Kejadian demikian adalah hal yang wajar dan sudah terbiasa
dihadapi si perawat. Namun, kali ini mau tidak mau bulu punduknya pada merinding.
Betapa tidak. Sepasang mata perempuan yang terbaring mati di depannya, melotot
galak. Seakan mengajukan protes yang tak sempat ke luar dari mulutnya yang juga
terbuka lebar. Baik mulut dan terutama mata si mati, jelas menggambarkan kekecewaan
yang teramat sangat. Dan kekecewaan itu ditujukan pada orang yang telah menolong
membalutkan kembali perban pada luka menganga di lambungnya.
***
DARI banyak orang yang menghadiri pemakaman, ada seorang laki-laki tinggi kurus
seakan memisahkan diri dari kelompok-kelompok penziarah. ia diapit oleh dua lelaki
lain, berusia lebih muda serta tegaptegap pula. Waktu jenazah diturunkan ke liang
lahat, si tinggi kurus tampak gemetar. Lalu beranjak maju untuk mendekati kelompok
manusia di sekeliling kubur. Baru satu langkah kakinya bergerak, tangannya sudah
keburu dicekal oleh salah seorang lelaki tegap itu. Sambil berbisik tajam :
"Kita di sini saja, Pak."
Tanpa berpaling pada orang yang mencegahnya, si tinggi kurus bergumam parau :
"Ia isteriku, Sopan"
Yang disebut Sopandi menelan ludah.
"Semua orang di sini tahu yang meninggal itu isterimu, Pak," katanya lebih lunak.
"Biarkan aku melihatnya untuk terakhir kali. Aku baik-baik saja, Sopandi. Dan
sejak_di rumah aku sudah berjanji agar menahan diri,.bukan?"
Setelah berpikir sebentar, Sopandi akhirnya melepaskan cekalan pada tangan si
tinggi kurus, yang segera mendekati lalu menyeruak kerumunan penziarah dekat liang
kubur. Supandi dan orang satunya lagi mengikuti, serta berusaha sedapat mungkin
untuk tetap mengapit suami almarhumah. Si tinggi kurus mengawasi jenazah
terbungkus kain kafan yang terbaring diam di dasar liang, dengan posisi menghadap
kiblat. Bilah bilah papan kemudian ditutupkan ke jenazah itu, dalam posisi miring 90
derajat.
Sampai saat itu tidak terjadi sesuatu yang mencemaskan. Para penziarah pun masih
memaklumi. Meski sebagian memandang takut-takut pada si tinggi kurus. Lalu tiba tiba
orang itu menyambar sebuah pacul dan ikut menimbunkan tanah ke liang lahat. Dua
penggali kubur tidak memperdulikannya. Tetapi penggali kubur ke tiga, segera
menyingkir jauh-jauh. Dan beberapa orang penziarah yang tadinya berdiri dekat kubur,
buru-buru pula menyingkir. Ketakutan. Dua orang laki-laki tegap yang tadi mengapit si
tinggi kurus, bingung tak tahu harus berbuat apa.
Syukurlah tidak terjadi apa-apa sampai gundukan kubur terbentuk sempurna. Si
tinggi kurus pun meletakkan paculnya. Lalu berdiri tersengal-sengal di dekat dua orang
pengawalnya, seraya berdesah kelelahan :
"Aku tak tega melihat isteriku terpanggang matahari... Sejuknya tanah akan membuat
dia tidur lebih nyenyak ...!" Kedua pengawalnya geleng geleng kepala, sementara
penziarah sama berbisik satu sama lain dengan mata curiga mengawasi Si tinggi kurus.
Seorang polisi berpangkat Sersan Dua dari Polres Ciamis bertanya pada polisi desa
berusia tengah baya di sebelahnya :
"Mengapa ia disingkiri orang? Tampaknya, dikawal ketat pula...'
Polisi desa Bojong itu menjawab lirih :
"Ia sakit."
"Sakit? Kok...."
"Maksudku, pernah sakit. Sakit aneh. Ia mengamuk, menggigiti orang seraya
meraung raung seperti anjing"
"separah itu?"
"Benar. Ia terpaksa harus dikerangkeng keluarganya. Dilepas beberapa hari
kemudian setelah keluarganya yakin ia benar benar sudah sembuh. Namun
kesehatannya tidaklah seperti sediakala. Dulu dia itu lebih tinggi. Lebih tegap dari dua
orang yang kini mengapitnya...
Polisi yang lebih muda manggut manggut mengerti. Diam diam ia mengawasi wajah
si tinggi kurus. Wajah itu tegang. Kaku. Dengan mata menatap beku. Si polisi menghela
nafas panjang. Bersungut sungut tak senang:
"Kalau dia ikut hadir dalam pemeriksaan nanti, bakal ramai jadinya!"
***
TETAPI suami korban tabrak lari itu berhasil dibujuk supaya tetap tinggal di rumah.
Ia dijanjikan akan diberitahu hasil pertemuan dan pemeriksaan di kantor pOliS. Maka
ia merelakan puterinya bertindak sebagai wakilnya. Sekaligus sebagai saksi utama.
Gadis remaja itu berangkat ke Ciamis didampingi beberapa orang kerabat dan
beberapa orang saksi mata yang ikut melihat tragedi tabrak lari itu. Keluarga korban
telah diberitahu bahwa dinihari tadi, pengemudi sedan metalik telah menyerahkan diri
ke kantor poliSi di Bandung. 'Ia dan temannya yang ikut dalam mobil yang sama,
kemudian diboyong ke kantor polisi Ciamis.
Dan sore hari itu, terjadilah sedikit ketegangan di kantor polisi. Si pengemudi mobil
sedan serta temannya, ternyata didampingi sejumlah orang lain yang patut dihormati.
Gadis remaja itu diperkenalkan pada seorang Kapten dari kantor pusat kepoliSian
daerah Jawa Barat, dua orang pengacara ternama, seorang lagi berpakaian preman
tetapi diperkenalkan lengkap dengan pangkatnya, Kolonel 'TNI Angkatan Darat yang
katanya sedang bebas tugas. Terakhir gadis remaja itu diperkenalkan pada tersangka
dan temannya. Gadis itu mengawaSi wajah dua orang pemuda yang diperkenalkan
paling akhir.
Lalu, wajah serta tubuh gadis remaja itu berubah tegang.
Mulutnya terkatup rapat.
Dengan mata menyinarkan kewaspadaan.
Kolonel yang katanya sedang bebas tugas itu memenyampaikan pidato pendek,
ramah, berWibawa namun tetap menyenangkan. Bahwa, ia mewakili saudaranya yakni
majikan tersangka. Bahwa majikan tersangka menyatakan ikut prihatin serta mohon
maaf sebesar besarnya atas keteledoran yang diperbuat supir keluarga mereka...
dengan tidak disengaja. Kemudian salah seorang penasihat hukum itu dengan gaya
sopan dan tutur kata manis lantas menambahkan bahwa ia mewakili majikan tersangka
untuk menyampaikan sekedar uang duka pada keluarga korban.
"Sumbangan duka ini tidak seberapa jumlahnya " kata si pengacara.
"Dan sungguh tak berani dibandingkan dengan penderitaan yang dialami keluarga
Nona akibat kejadian tak disengaja ini." Ya, kembali disebut kejadian tak disengaja. Itu
boleh jadi benar, dan si gadis remaja tidak berniat meributkannya. Si pengacara
kemudian mengeluarkan sebuah amplop tebal dari tasnya yang bagus. Amplop itu
tertutup. Namun secara halus si pengacara menyebutkan juga jumlah uang duka yang
katanya 'tak seberapa' itu.
Begitu mendengar nilai uang duka, para pendamping gadis remaja itu sama
menahan nafas. Jumlah yang mereka dengar, tidak pernah berani mereka impikan
untuk dapat dimiliki sendiri. Mereka juga tahu keadaan ekonomi keluarga korban.
Jumlah itu memerlukan waktu bertahun tahun bagi suami korban untuk
mengumpulkannya. Dan pada saat yang bersamaan, puteri korban bermaksud
meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi. Dengan uang duka sejumlah itu, paman si
gadis yang seorang pengusaha di Jakarta boleh menunda janjinya membiayai studi si
gadis sampai tamat dari perguruan tinggi.
Satu satunya orang yang tidak ikut menahan nafas, hanyalah gadis remaja sendiri. ia
tetap bersikap tenang . Misterius. Dan tatap matanya, hampir tak lekang dari salah
seorang yang mengaku ikut di dalam mobil sedan metalik. Bukan si tersangka.
Melainkan, pemuda temannya. Pemuda itu berwajah tampan, berpenampilan intelek,
namun bersikap gelisah. Ia menyadari bahwa tatap mata si gadis bukanlah tatap mata
kagum akan ketampanannya sebagaimana sering ia alami selama ini. Tatap mata si
itu dalam. Menusuk ke dalam ...
"sudilah kiranya Nona menandatangani ini," terdengar suara pengacara satunya
lagi, seraya menyorongkan sehelai surat perjanjian bermaterai ke depan si gadis. Gadis
itu menoleh. Ia pandangi si pengacara, lalu kertas di atas meja. Ditatapnya dengan
pandangan tidak berminat. Bahkan amplop tebal berisi uang duka yang menggiurkan
para pendampingnya itu,tidak diliriknya sekalipun juga. Sekali lagi ia awasi
orangorang yang di hadapannya. Terakhir, pada si pengacara yang menyuruhnya
menandatangani surat perjanjian itu. Ia berkata datar:
"Apakah pengemudi mobil yang merenggut nyawa ibu saya akan dibebaskan bila
surat perjanjian ini saya setujui?"
Sepi menyentak tiba tiba. ' .
Orang orang yang hadir pada terdiam. Sukar menebak makna tersembunyi di balik
ucapan bernada datar itu. Apakah bernada persahabatan, atau sebaliknya:
permusuhan. Pengacara yang pertama segera dapat menguasai diri. Sesuai dengan
keahliannya ia berkata secara diplomatis :
"Sebaiknya Nona saya sarankan membacanya dulu. Dan nona akan lihat, bahwa
peraturan tetap kami hormati. Adapun uang duka yang diberikan oleh keluarga klien
kami, tidak ada sangkut pautnya dengan proses hukum yang semestinya harus
berLaku..."
"Jadi," sela si gadis.
"Orang yang bertanggung jawab atas kematian ibu saya tetap akan dihukum?"
"Tentu saja!"
Si gadis mengatupkan bibir sebentar Lalu perlahan lahan, terulas senyuman tipis di
bibir mungilnya yang merah tanpa polesan, merah alami. Lalu dengan gerak lambat
tetapi pasti tangan kanannya terangkat. telunjuknya kemudian menuding sembari
berkata tegas .
"Kalau begitu, kalian hukumlah dia!"
Seketika itu meledaklah ketegangan yang semenjak semula sudah mulai terasa. Sang
Kapten berseragam dinas, dan sang Kolonel berpakaian preman, saling berebut untuk
angkat suara. Begitu pula kedua orang pengacara tersangka . Sementara
petugas-petugas setempat yang berpangkat jauh lebih rendah, . dibuat kalang kabut.
Sematamata, karena gadis remaja bukan menuding pemuda berkumis yang dari tadi
menunduk diam dengan wajah murung. Yang dituding justru pemuda tampan yang
mengaku hanya ikut menumpang dalan mobil pembawa maut itu.
Pemuda tampan itu menjadi gelisah dan tiba tiba ia menguasai diri lantas berteriak
marah :
"Ini ! saya terima. Ini fitnah!"
Kedua orang pengacara lantas sibuk mendiamkan pemuda tampan yang ribut
memprotes itu. Kolonel berpakaian preman berusaha menahan amarah. Sementara
sang Kapten, mengerling dengan nada menegur pada petugas setempat yang
bertanggung jawab atas pertemuan penting itu. Yang dikerling menelan ludah beberapa
kali. Kemudian menyuruh semua orang tenang. kalau tak ingin pemeriksaan berlarut
larut nantinya. Si pemuda tampan duduk kembali dengan wajah pucat memendam
kegusaran. Ia melirik ke pemuda berkumis di sebelahnya. Kumis pemuda itu bergetar.
Wajah pemiliknya kebingungan.
Petugas setempat menunggu sampai suasana terkuasai. Lalu ia berpaling pada puteri
almarhumah. Bertanya lembut :
"Apakah kau tidak keliru, Neng Mia?"
"Kalau saya keliru, kalian boleh menembak saya!" jawab yang ditanya, ketus.
"Kau yakin?"
"Seyakin bahwa saya ini manusia, bukan binatang.
"Sabar, Neng Mia. Ucapan kasar... "
"Ucapan kasar? Bagaimana dengan binatang yang menyembunyikan ekornya karena
tahu ekornya itu mengandung borok bernanah, lalu menularkannya pada binatang
lainnya?"
"Apa maksud Nona?" salah seorang pengacara menegur tajam.
"Kalian mengerti apa yang saya maksud, " jawab gadis, teguh.
''Maaf Kalian makanlah uang duka yang menjijikkan itu. Ibu saya toh tidak akan
hidup kembali. Adapun saya serta ayah saya, tidak akan menuntut terlalu banyak. Apa
yang kami tuntut hanya agar orang yang merenggut nyawa ibu saya dihukum
sebagaimana mestinya."
" .. saya bersedia dihukum!" mendadak pemuda kumis angkat bicara. Para
pendampingnya yang hebat-hebat itu, mengangguk puas. Begitu pula pemuda satunya
lagi, tampak tidak berusaha menyembunyikan kegembiraannya.
"Saya bersedia dihukum, Nona !. Karena apa yang dengan tidak sengaja telah saya
buat..."
Si gadis memotong cepat :
"Kau tidak berbuat apa apa, Tuan!"
Berisik lagi oleh protes yang campur aduk. Petugas setempat kembali bersusah
payah menguasai situasi.
Lalu bertanya pada gadis yang tidak tergoyahkan -pendiriannya itu.
"Dapat mengemukakan alasan yang masuk akal, Neng Mia?"
Si gadis manggut. Tenang. Tenang pula ia menjelaskan alasannya. Pada saat saat
terakhir sebelum tragedi itu terjadi, ia melihat sebuah bus muncul di kejauhan dan
berkata pada ibunya bahwa waktunya suah tiba untuk berpisah. Waktu itu, ia akan
memasuki hari hari pertamanya di perguruan tinggi di Bandung atas biaya pamannya
di Jakarta. Ibunya kemudian membungkuk membenahi koper serta tas-tas yang akan
dibawa. Sementara dia sendiri mengawasi kala bis penuh sesak, ia akan menunggu bis
berikutnya saja. Pada saat itulah ia lihat sebuah mobil warna putih muncul dari
samping bis. Ia tidak melihat truk pengangkut barang yang muncul dari arah
berlawanan.
"Warna putih mobil itu begitu menyolok. Dan sangat kontras dengan warna pakaian
pengemudi merah... " katanya meyakinkan semua yang hadir
"Saya begitu terperanjat melihat kemunculan tiba tiba mobil sedan itu. Secara
naluriah saya berdoa ~ moga pengemudinya dapat mengendalikan diri. Lalu dengan
sendirinya saya sempat mengawaSi si pengemudi. Sampai saat saat paling kritis
sebelum saya menghindar, saya dapat melihat wajah pengemudi ' yang panik luar
biasa. Dan wajah yang saya lihat, adalah wajah ini!" ia menuding sekali lagi pada si
muda tampan yang mulai akan bangkit untuk menerjang si gadis.
Pemuda tampan itu terpaksa diamankan para pendampingnya. Dibawa ke ruangan
lain. Sementara petugas petugas setempat masih bingung, pemuda satunya lagi
tampak memantapkan diri. Ia pandang gadis remaja di seberang meja, lantas bergimam
lirih .
"Maafkanlah saya, Nona. Sayalah orang yang berbaju merah itu, dan..."
Sial, keterangannya lagi lagi dipotong si gadis
"Baiklah. Tetapi coba terangkan pada saya. Bagaimana kau dalam tempo beberapa
jam saja, tibatiba punya kumis setebal itu!" '
"Nona tentunya salah lihat "
***
DAN itulah hasil keputusan yang diambil para petugas. Kecuali si gadis, tidak ada
saksi mata lainnya yang dapat mengenali dua orang di dalam mobil penabrak. Dengan
lihai, dua pengacara memojokkan pula gadis itu melalui serangkaian analisa. Antara
lain, tempo sedemikian cepatnya. Dan gadis itu tentunya dalam keadaan shock. Si
pemuda berkumis maupun si tampan pada saat kejadian duduk berdampingan di kursi
depan mobil sedan. Soal kumis dan baju merah mungkin benar, tetapi si gadis tentunya
keliru 'menempatkan siapa duduk di belakang kemudi, siapa pula di sebelahnya.
Ditambah pengakuan tersangka yang tidak mau merubah keterangannya, serta
tambahan bahwa saat itu ia memang memakai baju warna merah menyala dengan
motip kembang. '
Salah seorang wartawan yang diperkenankan hadir dalam pertemuan itu mendekati
si gadis waktu akan pulang bersama para pendampingnya.
"Kebetulan saya akan ke Bandung," ia berkata.
"Barangkali saya dapat melakukan sesuatu untukmu, Neng...!" Ia mengucapkan
simpati, ikut belasungkawa, namun tidak menjelaskan bantuan apa yang akan ia
berikan.
Tetapi tiga hari kemudian ia mendatangi rumah si gadis di desa Bojong
"Dengan bantuan beberapa rekan seprofesi, saya berhasil mendapatkan sesuatu di
Bandung", katanya menerangkan.
"Keluarga pemuda tampan yang kau tuding, tentu saja menutup mulut rapat'rapat.
Tetapi salah seorang pelayan sempat terpancing. Katanya, ia bertugas menyuci dan
menyetrika pakaian semua anggota keluarga majikannya. Dan ia yakin betul, baju
merah dengan motip kembang yang kuperlihatkan dalam foto, adalah milik putera
bungsu, putera kesayangan keluarga majikan..."
Wartawan muda dan dikenal koleganya bersemangat tinggi itu lalu menggambarkan
bagaimana si pelayan berkata dengan nada mencemooh :
" Lihat! Azis terlalu kerempeng untuk baju sebesar itu. Dan ia terlalu miskin untuk
dapat membeli pakaian semahal inil" Yang dimaksud Azis adalah pemuda berkumis
yang mengaku sebagai pengemudi mobil sedan putih metalik, saat tabrak lari itu
terjadi.
"Telah saya laporkan hasil pelacakan saya ke Polres Ciamis," wartawan muda itu
menambahkan.
"Mereka berjanji akan memanggil pelayan itu sebagai salah seorang saksi."
Sukiman, wartawan muda yang penuh toleransi itu kemudian pamit dan berjanji akan
datang lagi bila memperoleh perkembangan baru. Ia memenuhi janjinya tiga hari
berikutnya.
"Azis tidak ditahan. Dengan uang jaminan!" katanya sebagai pendahuluan.
"Sedang pelayan itu, menurut kenalan saya di Polres Ciamis, gagal dipanggil
sebagai saksi. Konon pelayan itu telah dipecat majikannya dan tidak diketahui kemana
perginya..."
Setelah terbenam cukup lama dalam luapan kecewa, si gadis kemudian berkata
penuh harap :
"Ia dapat dicari, bukan?"
"Akan makan biaya dan tempo tidak sedikit," jawab Sukiman, mengeluh.
"Lagi pula, muncul pendapat baru yang sulit ditangkis Bahwa Azis boleh saja tak
mampu memiliki baju mahal. Tetapi dihadiahkan oleh anak majikan berbudi baik,
lumrah bukan?"
Hampir patah semangat, wartawan muda itu kemudian menjelaskan bahwa
pemeriksaan semua saksi sudah selesai, berkas akan segera disampaikan ke kejaksaan.
"Di pengadilan kelak kau tidak berdiri sendirian, Mia," ujarnya
"masih ada seorang manusia lain, yang percaya sepenuhnya atas kesaksianmu waktu
tragedi itu berlangsung"
"Siapa?" tanya Mia bernafsu.
"Saya," pemuda itu menjawab. Kecut.
Malam harinya, si gadis remaja menunaikan sholat tahajud sebagaimana biasa ia
melakukannya. Sebagai seorang anak yang saleh, ia memanjatkan doa semoga arwah
ibunya diterima dengan baik di sisi Tuhan. Untuk ayahnya, ia mendoakan ketabahan
dan harapan penyakit beliau tidak kambuh lagi. Adapun untuk dirinya sendiri, gadis
remaja itu terpaksa mencucurkan air mata.
"Aku begitu yakin dengan apa yang kusaksikan, ya Allah!" ia bersujud, membasahi
sajadah dengan linangan air mata.
"Tetapi mengapa semua orang menantangku? Mengapa Engkau tidak mengetuk pintu
hati mereka. Membuka mata mereka. Untuk melihat kebenaran dan keadilan yang
Engkau janjikan?"
Sekujur tubuhnya bergemetar luar biasa. Sampai daya tahan tubuhnya tidak mampu
menahan, sehingga gadis itu rebah lunglai di sajadah. Ratap tangisnya masih tetap
mengalir ke haribaan Tuhan. Ia mengeluh dengan jiwa yang teramat sakit, tiada
terperi.
"Ampunilah hambaMu ini ya Allah. Aku ini hanyalah seorang gadis lemah. Manusia
biasa, yang tak dapat lepas dari kebimbangan hati serta kegoncangan jiwa....
Tunjukilah aku keadilan yang Engkau janjikan. Agar aku tidak meragukan
kebesaranMu!"
***
DUA
SESUNGGUHNYA, Tuhan itu Maha Adil. Akan tetapi Dia memperlihatkan keadilan
itu tidak selalu sebagaimana diharapkan manusia. Sebagai contoh, dua hari sebelum
sidang pengadilan dibuka, Sukiman menemui Mia dengan selembar surat kabar terbitan
hari itu ia acung acungkan dengan wajah suka cita. Ia biarkan si gadis remaja
membaca sepuas puasnya sebuah berita kecil di halaman dua, melengkapi berita
sebelumnya yang juga telah ditulis Sukiman mengenai tragedi mengerikan itu. Selain
mengulang jalannya peristiwa secara ringkas, juga ditambahkan dalam berita itu dua
hal yang baru. Yakni mengenai putera majikan Azis yang 'berbudi baik' itu.
Diberitakan, bahwa Eddi Bratamenggala putera majikan Azis, pernah dua kali
terlibat tindak pidana. Pertama, Surat Ijin Mengemudi Eddi pernah dicabut setelah
terkena razia Operasi Gabungan dan diketahui mengemudi.mobil dalam keadaan
mabuk. Yang ke dua, Eddi pernah terlibat perkelahian dengan temannya satu kuliah
gara gara berebut pacar. Dalam perkelahian itu, lawan Eddi terkena tusukan pada
lambung serta tangannya sehingga terpaksa harus diopname dua minggu di rumah
sakit. Keluarga kedua belah pihak kemudian membuat perdamaian secara
kekeluargaan. Berkat perdamaian itu, di Pengadilan Negeri Bandung, Eddi hanya
dijatuhi hukuman 6 bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun.
"Kawan kawanku di Bandung banyak membantu," kata Sukiman riang
"Bagaimana pendapatmu, Mia?" '
"Bagus'" sahut Mia bernafsu.
"Tuduhanku padanya makin jelas terbukti. ia tidak punya SIM dan ...."
"Lupakan mengenai SIM, Mia," tukas Sukiman tenang.
"Dengan satu dan lain cara, Eddi bisa mendapatkan SIM-nya kembali. Yang penting
adalah hukuman yang pernah dijatuhkan pengadilan atas dirinya. Masa percobaan
yang ia jalani masih berlaku sekarang ini. Jadi bila ia dapat dibuktikan terlibat dalam
kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa ibumu, bayangkan apa yang akan terjadi.
Bayangkan jika imbalan yang diperoleh Azis untuk mengambil alih tanggung jawab
atas kesalahan yang diperbuat putera majikannya!"
Sebelum sidang dimulai, Sukiman menyempatkan diri bersama Mia menemui jaksa
yang ditunjuk menangani perkara tabrak lari itu.
"Saya telah membaca berita itu," sang jaksa menjelaskan dengan tenang
"Tetapi kalian tahu kedudukan saya bukan? Kedudukan yang mengharuskan saya
tidak boleh terpengaruh oleh pendapat umum!"
"Dengan bukti bukti baru ini, Bapak dapat mengajukan Eddi sebagai tertuduh ke
dua," Sukiman memberi saran.
"Tidak ada relevansinya, Bung Maman."
"Mengapa tidak?"
"SakSi yang mbngatakan melihat Eddi duduk di belakang kemudi, hanya Mia
seorang. Satu saksi tidak cukup. Dan jangan lupa, lawan Mia nanti akan membuktikan
bagaimana lemahnya kesakSian Mia. Ditambah kenyataan yang tidak boleh diabaikan
hukum, yakni pengakuan Azis yang begitu terbuka dan terus terang.."
Gadis remaja yang duduk diam diam di dekatnya, nyeletuk tiba tiba :
"Bapak berdiri di pihak siapa?"
"Di pihak hukum, Nak," jawab jaksa, sopan namun nadanya dingin.
"Hukum yang mana?"
Hampir saja petugas kejaksaan itu meledak kemarahannya. Untung Sukiman segera
membujuk si gadis, mohon maaf pada jaksa kemudian mengajak gadis itu ke luar.
Sebelum sidang dimulai mereka sempat bertengkar. Namun si gadis akhirnya dapat disa
barkan.
"Berdoalah. Semoga Pak Hakim juga telah membaca berita itu dan membuka pikiran
beliau untuk menemukan kebenaran yang sesungguhnya!" ujar Sukiman menghibur,
meski ia sendiri tidak terhibur. Benar saja. Selama berlangsungnya sidang di
Pengadilan Negeri Kabupaten Ciamis, pemuda yang dituduh si gadis sebagai
penanggung jawab atas kematian ibunya, tidak pernah menampakkan batang hidung.
Konon, oleh keluarganya di kirim ke Amerika untuk melanjutkan studi. Kesaksiannya,
hanyalah sehelai kertas yang ditulis di bawah sumpah.
"Mestinya, Azis pun dapat disumpah!" sempat ia melontarkan harapan itu ke telinga
Sukiman, wartawan muda yang setia mendampinginya. Tanpa terasa hati mereka telah
mulai bertaut satu sama lain. Semula si gadis terdorong oleh semangat tinggi pemuda
itu. Serta loyalitas si pemuda pada profesinya, untuk mengungkapkan kebenaran yang
ia yakini tanpa ragu ragu. Sungguh pas dengan apa yang tertahan dalam diri si gadis
sendiri.
"Di abad angkasa luar sekarang ini, Mia," celetuk Sukiman. getir.
"Sumpah dianggap segelintir orang sama derajatnya dengan serapah._ Hati nurani
telah lama mereka buang ke mesin cuci. Kau lihat sendiri bukan? Bagaimana si haram
jadah itu seenaknya mengangkat sumpah di atas secarik surat pengakuan, di mana ia
melemparkan tanggung jawab pada orang lain yang bersedia dianggap sebagai
keranjang sampah." _
"Tetapi si keranjang sampah itu....," si gadis berharap.
"Siapa tahu, masih punya hati nurani."
"Saya percaya ia punya, Mia. Sayangnya, hati nuraninya itu lebih banyak dipenuhi
oleh kebutuhan hidup. Demi keluarganya, demi masa depannya sendiri. Keranjang
sampah juga patut menampung uang kertas melimpah ruah, bukan?"
"Tak ada salahnya mencoba."
"Tabahkan hatimu, Mia. Seorang terdakwa tidak dapat dipaksa angkat sumpah.
Konon pula, si terdakwa mengakui terus terang semua kesalahan yang ia perbuat!"
Kenyataannya pahit itulah yang akhirnya terpaksa harus ditelan oleh si gadis
remaja, yang masa depannya sendiri boleh dikata terancam. Tragedi me ngerikan itu
tidak saja telah mencabut nyawa ibunya, menggoncangkan jiwa ayahnya yang ia yakin
maSih sakit. Dan, menunda maksudnya mengikuti perkuliahan tahun pertama. Namanya
dihapus dari daftar mahaSiswa, karena tidak memenuhi ketentuan mendaftarkan diri
setelah lulus mengikuti tes masuk.
Semua pengorbanan itu ternyata sia sia belaka. Azis memang dihukum 10 bulan
penjara. Tetapi dengan status percobaan. Penasihat-penasihat hukumnya yang
hebat-hebat itu -entah dibayar siapa -, dapat meyakinkan majelis hakim bahwa Azis
tidak sengaja melakukan perbuatannya. Terbukti dari kesedaran dirinya sendiri untuk
datang menyerah ke pihak berwajib. Ia masih muda usia, ulet dan bertanggung jawab
membantu ekonomi keluarga, belum pernah dihukum dan sebagainya.
Si terhukum tersenyum setelah vonis selesai dibacakan. 10 bulan penjara tetapi tidak
harus menjalaninya selama ia tidak melakukan suatu tindak pidana dalam jangka waktu
14 bulan. Siapa pula yang ingin masuk penjara? Ia akan berkelakuan baik, berusaha
agar tidak berurusan dengan polisi atau hakim. Dan ia bebas, untuk seterusnya
menerima hadiah hadiah menyenangkan dari orang tua sahabatnya yang kini studi di
Amerika itu.
Senyumnya baru lenyap waktu di luar ruang sidang matanya beradu dengan mata
anak gadis korban kecelakaan lalu lintas itu. Si gadis sengaja mendekatinya. Dan
berkata pelan :
"Semula aku berharap hati nuranimu terketuk. Nyatanya tidak. Maka camkanlah. Aku
kini membencimu, sampai ke ubun-ubun!"
Pemuda itu dengan wajah pucat pasi segera berlalu tanpa mengucapkan sepatah
kata. Memang ia bermaksud protes Akan tetapi, niatnya diurungkan setelah ia
menyadari sesuatu di balik sinar mata si gadis. Sesuatu, yang bukan saja berupa
kebencian. Tetapi jauh lebih hebat dari apa yang disebut kebencian. Sesuatu itu adalah
sinar tajam menakutkan. Seakan ia lihat bola mata si gadis dari warna coklat berubah
merah kehijau hijauan.
Sukiman menyeret gadis itu dari kerumunan orang. Ia berusaha menyabarkan
dengan kata kata menghibur :
"Istigfarlah, Mia. Ingatlah pada Tuhan!" .
"Tuhan?" Mia merengut.
"Tuhan ternyata tidak berbuat apa apa, bukan? Kecuali, membebaskan orang orang
yang berdosa!" .
"Mia!"
"Biarkan aku sendirian, Kang Maman!"
Dan dalam kesendiriannya, gadis itu suatu malam bersujut di sajadah.
"Kutuklah aku, ya Allah," ia berbisik. Kali ini, tanpa sebutir air mata pun jua.
"Kutuklah aku. Karena aku tiba-tiba meragukanMu ...!"
Setelah itu, sekujur tubuhnya terasa dingin membeku.
Dari kamar lain, terdengar suara raungan garang Disusul lolongan tinggi menyayat
tulang. Seseorang, sambil meraung dan melolong rupanya telah pula menendang,
membanting, mencakar apa saja yang ada di dekatnya. Gadis itu menghambur dari
sajadah. Juga dua orang kerabat yang tinggal serumah, langsung ke arah kamar ayah
Mia. Di ambang pintu, mereka sama tertegun. Tak berani masuk ke dalam.
Si lelaki tinggi kurus dan udah tua dimakan penderitaan itu, tampak
menggeram-geram di dalam kamar. Pakaian di tubuhnya retas dan robek di sana sini.
Seluruh tubuhnya, ditumbuhi oleh bulu-bulu yang sedemikian tebal dan panjang,
berwarna hitam pekat. Wajahnya berubah lonjong, mencuat ke depan. Telingnya lebar
dan panjang, selebar dan sepanjang lidahnya yang terjulur keluar bersama buih buih
membusa. Gigi-gigi taring bersembulan panjang, runcing meliuk di sudut sudut mulut
menyerupai moncong. Mata menatap garang, buas. Matanya merah ke hijau-hijauan. '
Mata yang haus darah ...!
***
CEKAMAN kesunyian membuat desa Cibiru di sebelah timur kotamadya Bandung
tampak lengang. Diam membeku. Mana cuaca malam teramat dingin pula. Menggigit.
Hal yang paling nyaman dilakukan dalam keadaan seperti itu adalah meringkuk di
bawah selimut. Tetapi sungguh sial buat Soma, seorang pegawai Dinas Kehutanan
Kabupaten. Sejak sore ia sudah sakit perut dan mencret terus. Khawatir terkena
muntaber ia telah membeli obat pada Asikin, manteri Puskesmas setempat. Mencretnya
berkurang, tetapi sakit perutnya belum hilang-hilang juga.
Malam itu,sekitar pukul sepuluh, ia merasa akan mencret lagi. Oleh karenanya Soma
bergegas pergi ke WC di belakang rumahnya yang terletak di tempat ketinggian, sedikit
di atas jalan raya. Hanya cairan encer melulu yang ke luar dari lubang duburnya. Dan
ia makin lemas saja. Terhuyung huyung ia bersijingkat ke sumur untuk cebok. Pada saat
ia akan menimba air, telinga Soma menangkap suara aneh dan mengejutkan. Terdengar
sangat dekat di telinga, namun bernada sayup-sayup. Seperti suara lolongan anjing.
Menyentak-nyentak. Lirih berirama. Disusul bunyi menyalak dan lolongan
anjing-anjing lainnya. Saling bersahut sahutan.
Soma mendongakkan kepala.
Tercekat.
Sebagai petugas lapangan yang sering menjelajah hutan hutan sampai jauh ke
pedalaman, Soma dapat membedakan suara anjing anjing tertentu maupun binatang
lainnya. Bunyi menyalak dan lolongan sahut bersahut tadi jelas suara anjing aniing
kampung. Tetapi lolongan pertama yang lirih masih dapat ia pastikan suara lolongan
serigala .pikirnya. mustahil! Mana ada serigala kesasar sampai sejauh ini. Mana
binatang jenis itu sudah langka ia temui dalam penjelajahannya ke hutan hutan
terpencil maupun pegunungan.
Selagi Soma kebingungan, ia dengar suara orang menjerit samar-samar. Soma
semakin tercekam. Lupa cebok, ia berlari-lari kecil meninggalkan sumur sambil
menarik retsluiting celana. Sayangnya, ia gagal mencari arah suara jeritan itu, karena
terdengarnya pun hanya sekejap. Dari tempat ketinggian ia meninjau kian kemari,
berusaha mengawasi tempat sekitar yang diselimuti kegelapan malam. Bersamaan
dengan lenyapnya suara jeritan tadi, lenyap pula bunyi melolong maupun suara
menyalak anjing anjing di seantero desa. Malam kembali sunyi. Menyentak.
Mau tak mau, Soma menjadi seram sendiri.
Sejenak perhatiannya masih tertarik ke sebuah mobil yang diparkir di tempat gelap,
di pinggir jalan tembus yang membelah desa Cibiru ke arah utara. Sebuah mobil sedan
jenis besar berwarna gelap. Ia tidak melihat adanya manusia maupun anjing di sekitar
mobil, dan tidak tahu mengapa mobil asing itu ada di sana. Mungkin mogok, pikirnya,
lalu ditinggalkan oleh si pengemudi atau pemiliknya. SOma berpikir sejenak. Kalau tak
salah, suara jeritan tadi datangnya dari arah yang sama. Apakah tak sebaiknya ia
periksa saja?
Tetapi, ampun!
Perutnya mengulah lagi. Melilit, sakit alang kepalang Sesuatu seperti akan
membudal ke luar. Soma berlari lari kecil lagi, kembali ke WC. Mencret dan mencret
lagi, bahkan sebelum ia sempat jongkok sehingga celananya kecipratan cairan berbau
tak sedap. Sambil mengumpat-umpat ia terus jongkok tanpa perduli lagi apakah
pantatnya tepat di atas lubang WC atau tidak. Dan sekali lagi, ia terdongak oleh bunyi
suara asing. Kali ini, bunyi gerung mesin mobil, disusul derit ban di permukaan batu
batu koral karena mobil tentunya telah diputar sambil tancap gas. Soma memanjangkan
leher lewat tepi atas dinding tepat WC. Ia lihat, mobil yang tadi ia sangka mobil tak
bertuan telah meninggalkan tempat semula. Meluncur ke arah kota.
"Jangan-jangan komplotan rampok!" desah Soma, lalu dengan cemas menunggu
munculnya suara jerit tangis korban para perampok itu.
Dan ia menunggu dengan Sia-sia. Serta perut yang kian menyiksa.
Bukan Soma seorang yang merasa sangat tersiksa malam itu. Aditya, seorang
mahasiswa jurusan teknik sipil di ITB sedang dalam perjalanan pulang dari Sumedang,
membawa dada yang sesak oleh luapan kecewa dan kepala panas oleh luapan amarah.
Pacarnya di sana telah memaki lalu mengusirnya dengan kasar, hanya karena Aditya
tergoda meraba ke balik celana dalam gadis itu. Aditya lantas disebut setan .Dan
dengan kesetanan, ia ngebut meninggalkan kota Sumedang meski malam sudah
merangkak naik. Padahal calon mertuanya sudah mengijinkan Aditya menginap satu
malam di rumah mereka.
Masih untung malam itu lalu lintas sepi sehingga Aditya dapat ngebut dengan
leluasa. Namun toh ketika melewati tanjakan berliku liku di Cadas Pangeran, sempat
terpikir olehnya untuk terjun saja ke jurang jurang yang menganga dalam. Siapa tahu
kalau ia bunuh diri, pacarnya akan menyesal setengah mati.
Haa! Setengah mati! Sedang Aditya sendiri mati sungguhan!
Tidak, Aditya tidak sudi. Ia harus tetap hidup dan menunjukkan pada pacarnya
bahwa Aditya dengan gampang akan mendapatkan sekeranjang gadis-gadis lain yang
dapat ia jinjing kian kemari, diperlakukan sesuka hati tanpa perlawanan, apalagi
mengatakan Aditya jelmaan _setan. Lalu
Aditya mengurangi kecepatan sepedamotornya dengan tiba tiba, sehingga
kendaraan itu meliuk liuk seakan mabuk, baru akhirnya berhenti. Sekilas pandang
Aditya sadar bahwa ia telah memasuki kota Bandung dan saat itu tengah menempuh
jalan bypass ' sukarno-Hatta, sekitar Gedebage. Tetap menghidupkan mesin sepeda
motornya ia berpaling ke arah semula ia datang. Dan melihat apa yang sambil ngebut
tadi sempat ia lihat. Yakni, sebuah mobil besar di. parkir dekat jembatan dan dua sosok
tubuh keluar dari dalam. Tepatnya, sosok yang satu menyeret sosok lainnya. Pada saat
Aditya berpaling, tubuh yang diseret tadi telah diangkat oleh sosok tubuh lain ke besi
jembatan. Tampaknya akan dijerumuskan ke batanqan batangan rel kereta api di
bawahnya.
"Hei!" Aditya berseru terperanjat.
Sepeda motornya diputar dengan cepat lalu tancap gas searah semula. Dari atas
kendaraan yang tengah melaju itu Aditya menjerit keras manakala ia lihat sosok tubuh
yang diseret dan diangkat itu telah lenyap di bawah jembatan. Aditya menderu semakin
dekat, lalu berhenti tak sampai satu meter dari depan mobil yang lampu lampunya
dipadamkan itu. Lupa akan keselamatan dirinya, Aditya melompat turun dari sepeda
motor.
"Kau pembunuh!" bentaknya seraya melangkah maju. Hanya satu langkah. Langkah
berikutnya, tertegun begitu saja. Di bawah Sinar rembulan dan sorotan lampu sepeda
motornya Aditya melihat sesosok tubuh ramping tetapi kekar, tegak terperanjat
memandang kearah datangnya Aditya. Mereka berhadapan satu sama lain dengan
terpaksa. Begitu dekatnya, sehingga dapat melihat cukup jelas siapa lawan yang
dihadapi. Hanya dengan satu kali pandang, salah satu dari keduanya langsung terbang
semangatnya.
Ia adalah Aditya, yang merasakan setiap lembar bulu apa pun di tubuhnya pada
tegak, merinding. Apa yang dilihatnya, seketika membunuh keberaniannya, dan
melumpuhkan hampir semua persendiannya. Makhluk yang tegak di hadapannya tidak
pernah diimpikan Aditya, meskipun dalam mimpinya yang paling buruk. Hampir sama
tinggi dengan tubuh Aditya sendiri, makhluk itu berbulu sekujur tubuhnya. Bulu bulu
tebal berwarna pirang. Lengannya panjang, dengan telapak berdaging tebal serta kuku
kuku runcing mengancam. Pangkal paha makhluk itu mencuat agak ke depan, lututnya
menekuk ke belakang. Yang membuat Aditya lebih terkesima, adalah wajah sang
makhluk. Wajah lonjong, tirus dengan moncong terbuka menjulurkan lidah basah
berbuih. Taring taringnya tampak semakin mengerikan karena merah dibasahi darah
seperti juga hampir seluruh muka, dada maupun lengan-lengan terutama kuku kuku
tangan makhluk itu.
Aditya megap megap tanpa sadar.
Syukurlah, ia maSih teringat untuk beristigfar. Setelah mana ia lantas menemukan
semangatnya ' kembali, meski hanya setipis benang.Ia meloncat ke sepeda motornya
setelah mana ia lantas ngebut lagi dengan kecepatan tinggi tanpa'memperdulikan ke
arah mana ia melarikan diri. Sungguh ajaib, bahwa Aditya kemudian masih tiba dengan
selamat sampai di rumah pondokannya. Ia menggedo gedor pintu, membuat gempar
seisi rumah. Lalu tanpa memperdulikan kegemparan yang terjadi, Aditya menyelinap ke
kamar tidur, mengunci pintu dan jendela rapat-rapat, terus naik seperti. melayang ke
tempat tidur Sekujur tubuhnya gemetar, wajahnya pucat pasi, gigi gemeletuk, dan suhu
badannya panas dingin tak menentu. Aditya sebenarnya tidak demam.
***
Lain halnya dengan seorang bocah perempuan di kampung Gedebage. Demamnya
sudah sedemikian parah, sementara orangtuanya tidak punya uang untuk membeli obat
apalagi membawanya ke rumah sakit. Setelah mendapat saran dari beberapa orang,
ayah bocah perempuan itu lewat dinihari pergi meninggalkan rumah. Tangannya yang
satu memegang lampu lentera, tangan yang lain sebilah golok panjang.
Dengan pikiran gundah, ayah muda itu berkeliaran sepanjang pematang sawah.
Matanya tajam mengawasi genangan air di antara batang batang padi yang belum
lama ditanam, mencaricari di sekitar lumpur maupun selokan. Kata orang, ia harus
mendapatkan anak belut berusia muda. Anak belut itu harus ditelan hidup-hidup oleh
bocah perempuannya. Memang, ada binatang lain yang dapat ia ari. Yakni, bayi-bayi
tikus yang masih merah sebesar kelingking. Bayi bayi tikus itu sudah didapat, selain itu
ia tak tega memaksa anaknya menelan bayi tikus hidup hidup. Makan belut, mereka
sudah terbiasa meski sudah dimasak lebih dulu. Namun belut hidup tidaklah
semenjijikkan bayi tikus. Dan mencarinya. lebih mudah.
Lebih mudah?
Itu dulu, ketika sawah sawah di sekitarnya masih subur, masih luas terhampar.
Tidak sekarang, setelah perumahan di bangun di sana sini oleh pengusaha real estate
yang tak berhasrat melestarikan alam. Belum lagi pabrik pabrik yang membuang air
limbah tanpa memperdulikan protes para pemilik sawah. Kalau protes itu makin keras,
sumpal saja mulut mereka dengan uang atau hadiah-hadiah lain yang lebih menarik.
Kalau perlu, kirim tukang tukang pukul bertampang seram, didampingi oleh
oknum-oknum berpakaian seragam. Akibatnya, panenan sawah makin menipis dan yang
paling sial, terutama malam ini, adalah ayah bocah yang demam parah itu. Belut makin
sulit dicari, apalagi belut muda.
Namun mengingat nyawa anaknya, si ayah terus berjuang melawan lumpur serta
dinginnya udara malam yang semakin menggigit. Sekali sekali goloknya terhunjam
juga, namun yang ia dapatkan hanya belut belut tua yang masih tersisa, dan seekor ular
sawah yang bernasib sial karena mata golok menghunjam salah alamat.
Sekali, si ayah yang nasibnya juga kurang beruntung itu terpeleset. Ia jatuh
terjerembab, untung pantatnya masih mendarat di tegalan dan lampu lenteranya masih
dapat ia selamatkan. Ketika ia bangkit itulah, perhatiannya tertarik pada suatu
pemandangan aneh agak jauh di depannya, di atas jembatan rel kereta. Ia melihat
sebuah mobil tiba tiba berhenti lampunya dipadamkan. Dari tempatnya duduk
terjerembab, ia tak melihat apa apa lagi. Sampai sebuah sepeda motor tampak menderu
lewat, berhenti, lalu memutar arah kembali mendekati mobil. Lamat-lamat, telinganya
menangkap suara orang meneriakkan sesuatu, seperti menjerit. Entah apa yang tengah
berlangsung di atas sana. Lalu tiba tiba saja, sepeda molor tadi menderu kembali,
hilang di bundaran arah Cileunyi. Pada detik berikutnya, mobil tadi hidup pula
lampunya lalu ngebut ke arah berlawanan.
Ayah muda itu berpikir pikir,apa gerangan yang terjadi. Kalau tak salah ia sempat
melihat gerakan gerakan dua sosok tubuh gelap di pinggir jembatan, sebelum sepeda
motor tadi muncul mengganggu. Si ayah muda kemudian teringat pada banyak kejadian
kejadian mengerikan beberapa bulan sebelumnya. Pada mayat mayat misterius yang
dibuang sepanjang jalan by pass, terutama di sekitar jembatan. Mayat mayat itu konon
dibunuh oleh kelompok orang tertentu yang tidak puas pada pelaksanaan hukum di
negeri ini. Apakah seorang penjahat lagi telah dibunuh dan barusan tadi mayatnya
dibuang ke bawah jembatan?
Karena penasaran, ia melupakan tujuannya semula keluyuran tengah malam buta di
persawahan itu. Lalu didorong ingin tahu, ia menempuh jalan setapak ke arah jalan rel,
lalu menyusuri batangan besi rel sampai ke bawah jembatan. Apa yang ia lihat,
memang sesuai dengan apa yang ia harapkan. Terlihat di salah satu batangan besi rel,
tampak sesosok tubuh tergeletak dalam keadaan paling mengerikan yang pernah dilihat
si ayah muda. Sosok tubuh itu jelas laki laki, hampir telanjang bulat, dan sekujur
tubuhnya banjir oleh darah sendiri. Leher mayat itu hampir putus sehingga kepalanya
meliuk ke belakang sementara lambungnya tampak robek menganga, seakan isinya
direnggut keluar entah diapakan oleh pembunuhnya.
Wajah si mati lebih mengerikan lagi.
Wajah itu memperlihatkan teror, sepasang mata membelalak dan mulut ternganga,
bagaikan heran karena melihat sesuatu yang luar biasa menakutkan .Mata yang
membelalak mati itu seakan memandang lurus ke mata si ayah muda yang terkesiap
dengan darah tersirap. Tak kuat menahan diri, penemu mayat itu tanpa sadar
melemparkan lampu lenterany sambil ia berlari-lari pulang. Masih untung, lentera itu
terlempar ke lumpur sawah sehingga padam seketika. Secara naluriah goloknya tetap
digenggam. Dan dengan golok teracung acung di tangan itulah, si ayah muda berlari
lari di antara rumah rumah tetangganya sambil berteriak-teriak histeris.
Tiba di rumahnya, ia jatuh terjerembab.
Pingsan di sisi pembaringan bocah perempuannya yang menggigil terserang demam.
***
TIGA
SETELAH tertegun beberapa saat lamanya, Rukmana mundur diam-diam. Menjauhi
sosok mayat -laki yang terkapar di titik pusat lampu sorot polisi. lalu mendaki jalan
setapak dengan perut mual. Menyanular limbung ke mobil paling dekat yang diparkir di
tepi jalan raya. :
Rukmana seorang polisi, itu benar. Dalam perjalanan kariernya selama 11 tahun di
Satuan Serse, sudah lebih 100 mayat manusia yang mau tidak mau harus dia urus.
Diantaranya, 23 mati oleh tangan Rukmana sendiri. Dengan tangan kosong, atau
sebutir peluru. Tetapi di sisi lain, Rukmana adalah manusia biadab juga. Manusia
dengan kelemahan masing masmg. jadi kalau tiba tiba ia merunduk lantas muntah dekat
ban mobil, maka yang muntah itu bukanlah seorang polisi melainkan seorang manusia
lemah.
Dia tak usah malu. Karena seseorang yang muncul dari balik kegelapan di bawah
jembatan, tampak berwajah pucat. Kecut. Padahal orang itu dokter kepolisian yang
terkenal bermental baja. Dokter itu menyeringai ke arah Rukmana, lantas mendengus:
"Mengerikan ! Belum pemda melihat yang seperti itu. Kapten?"
"Sudah," jawab Rukmana, suram.
"Tetapi kebanyakan karena digorok atau ditoreh dengan benda tajam. Namun yang
satu ini...."
"Aku sendiri juga bingung, Kapten. Luka-luka di tubuh mayat itu dapat kupastikan
bukan akibat benda tajam. Pisau, golok atau semacamnya. Ada semacam luka
bergerigi, tetapi aku yakin bukan karena gergaji. Yang pasti, luka lukanya disebabkan
benda benda runcing, kuat, dengan bentuk khas...."
"Khasnya?" tanya Rukmana ingin tahu, seraya matanya melirik kedua orang anak
buahnya yang tengah memeriksa sisi jembatan dengan mempergunakan lampu baterai.
Lawan bicaranya melihat pula ke arah yang sama. Kemudian mengglengkan kepala
dengan pikiran gundah.
"Itu yang membuatku semakin bingung, Kapten. Mengapa mayat itu harus diseret
lalu dijerumuskan ke bawah jembatan. Maksudku, kalau pembunuhnya adalah seekor
binatang buas".
"Apa?" Rukmana tersentak.
"Binatang buas, Kapten! Dan kalau kita simak tubuh si mati, tentunya makhluk itu
selain buas juga kuat, perkasa dan... punya otak!"
"Setiap makhluk hidup punya otak, Dokter!" Rukmana mencibir.
"Punya alasan lain yang lebih masuk akal, sehingga kau berpikir pembunuhnya
seekor binatang buas?"
"Mungkin nanti akan kudapatkan bukti lebih banyak. Setelah mayat itu diautopsi.
Untuk sementara, kusebutkan 'satu hal saja. Jantung mayat itu hilang. Tepatnya
direnggut keluar. Mungkin lantas ' jadikan sarapan pagi oleh pembunuh dengan bumbu
Saos serta selada," doktor ahli itu berbisik kemudian pamit karena katanya mayat itu
harus segera diangkut dari batangan-batangan rel sebelum dilindas oleh kereta api
pagi. '
Rukmana memperhatikan dokter itu pergi menuju ambulans. Ia tengah menganalisa
kesimpulan yang barusan ia dengar, manakala kilatan lampu blitz membuatnya hampir
berteriak. _
"Sialan! Mestinya kau kutangkap!" makinya, sesudah mengenali orang ke dua yang
mendekatinya. Seorang gadis bertubuh sintal dan tampak menyolok di balik celana jean
dan baju kaos yang serba ketat.
"Kejahatan yang kuperbuat, Kapten?" gadis itu tersenyum seraya menulis sesuatu
pada catatannya.
"Hei. Kau bisa menulis dalam gelap?"
"Itu keistimewaanku, Kapten. Keistimewaan lainnya, belum puas sebelum
memperoleh jawaban yang tepat."
"Ah, kau!" Rukmana menyeringai. Sumbang.
"Pertama, kau mengejutkan aku. Ke dua, kau memotret petugas negara tanpa izin!"
"Keberatan?"
"Tidak, kalau kau buat yang lebih pantas!"
"Oh, begitu. Bapak duduk di belakang meja, bergaya menelepon seseorang, dengan
latar belakang gambar Presiden serta wakilnya di tembok belakang? Uuh, itu terlalu
resmi. Dan pembaca bisa jemu melihat itu yang ke itu saja!"
"Sialan kau, Neng! Baiklah. Aku ada beberapa pertanyaan yang harus kau jawab...."
"Oh. Keadaan terbalik agaknya. Aku yang diwawancarai. Atau, diinterogasi?"
"Bidangmu adalah skandal," Rukmana tidak memperdulikan sindiran si gadis.
"Mengapa kau tiba-tiba tertarik pada pembunuhan?"
"Karena, Kapten. Dibalik pembunuhan yang ini, aku mencium adanya skandal,"
jawab si gadis kalem,
"Punya alasan?"
"Ia orangku!"
"orangmu?" _
"Bapak agaknya lupa, si mati itu Azis Partogi."
"Aku tahu nama korban itu Azis Partogi. Yan aku tidak tahu, Neng. Hubungannya
dengan dirimu...."
"Tak ada hubungan keluarga, kalau itu yang Bapak maksud. Hubungan kerja juga
tidak, bila diartikan hubungan kerja murni. Tetapi ia punya sangkut paut dengan
pekerjaanku. Khususnya, Azis Parto sebagai seorang Jago Tender...."
"Jago Tender?"
Terdengar hiruk pikuk tak jauh dari mereka. Rupanya mayat korban tengah diangkut
dari bawah jembatan, dan beberapa anak buah Rukmana tengah sibuk menyuruh
kerumunan orang orang yang tidak berkepentingan agar menjauh dan tidak
menghalangi pekerjaan mereka. Tertutup sehelai selimut di atas usungan, mayat itu
kemudian dimaSukkan ke dalam ambulans.
Rukmana berpaling lagi pada si gadis.
"Keistimewaan itu juga ada padaku, Neng'" ia mengingatkan
"Tidak puas, sebelum memperoleh jawaban yang jelas".
Si gadis tertawa lunak. Balik mengingatkan
"Lupa pertama_kali kita berkenalan, Kapten?"
"Terus terang, ya!"
"Oh, tentu saja. Waktu itu bapak kebetulan nimbrung di Unit Ekonomi... Sebagian
besar mengadukan Partogi sebagai seorang penipu seorang bajingan. Dari pengusaha
itulah kudengar julukan Jago Tender. Bagaimana tidak. Selain perusahaan di mana
Azis. Kesemuanya sering memperoleh proyek-proyek besar dan penting, namun
sebagian terbesar nyatanya dijual lagi pada pihak ke tiga. Tentu saja, dengan komisi
lumayan. Ditambah hak untuk mencairkan sendiri dana proyek yang dikeluarkan
bank...." _ '
"Heem... Aku ingat sekarang. Kau banyak menulis tentang dia...."
"Dia merupakan sumber skandal, Kapten."
"Dan kau lantas terus mengejar dia, bukan? Jadi, korban itulah si Jago Tender?
Yang hanya punya ijasah SMA tetapi mampu memiliki enam perusahaan? Yang menurut
tulisanmu, dalam tempo tiga tahun terakhir mampu pula mengeruk keuntungan lebih
dari" Rp. 500 juta?"
"Persis."
"Hem. Objek yang hebat, dia itu. Lima ratusjuta, wah! Ahli warisnya boleh berpesta
pora, kukira...."
"Atau seseorang lain, Kapten".
"Siapa?"
"Lima perusahaan bayangan Azis, mencantumkan lima nama direktur yang berbeda.
Tetapi tetap saja, masih ada kaitan anggota keluarga. Pengurusnya pun selalu berbeda,
juga masih ada kaitan keluarga. Kecuali satu orang, tetap dengan kedudukan yang
sama sebagai Komisaris. Dan Komisaris itu sungguh unik. Ia satu satunya orang yang
bukan anggota keluarga Azis Partogi!" '
"Kau punya banyak masukan yang dapat membantu pelacakanku, Neng'" Untuk
pertama kali sepanjang malam itu, Kapten Polisi Drs. Rukmana Soeryadiningrat boleh
tersenyum.
"Aku akan berterima kasih, kalau besok kau melangkahkan kakimu yang elok itu ke
kantorku. Siapa tahu, banyak pembicaraan yang bakal menguntungkan kedua belah
pihak. Memudahkan pekerjaan polisi, dan melariskan majalahmu!" '
"Setuju, Kapten. Jam berapa?"
"Yaaa bagaimana kalau waktu makan siang?'
"Di kantor Kapten? Makan nasi bungkus?"
"Uh, sungguh laki laki dungu kalau hanya mampu merayu dengan nasi bungkus
seorang gadis berbakat, cantik pula lagi...," Rukmana tertawa riang gembira. Perasaan
mualnya telah lenyap. Ia kembali bersemangat. Sebagai polisi. Dan, sebagai seorang
laki laki.
Si gadis pun tertawa. Memasukkan perlengkapannya ke tas yang ia sandang dan
bersiap siap untuk pergi ke mobilnya sendiri. Tetapi langkahnya dihentikan oleh ucapan
Rukmana :
"Masih ada satu pertanyaan lagi, Neng!"
"Apa?"
"Tadi, waktu seorang penduduk melaporkan penemuan mayat di bawah jembatan
Gedebage ini kebetulan tak seorang wartawan pun yang tampak batang hidungnya.
Mengapa kau tiba tiba ada di sini Dinihari pula lagi? Jawab yang betul, Neng. Jangan
bilang suatu kebetulan. Karena aku tak percaya si orang gadis cantik keluyuran tengah
malam seorang diri, ke tempat yang begini sunyi sepi...."
Si gadis berpikir sebentar. Lalu balas bertany
"Aku termasuk yang dicurigai ya?"
"Maaf, nona Sumiyati...," Kapten Rukmana ini bersikap lebih resmi.
"Tugas mengharuskan harus mencurigai setiap orang. Termasuk diriku sendiri andai
kejahatan itu kebetulan terjadi di rumahku"
"Aku mengerti," si gadis tersenyum.
"Jawabanku pendek saja, Kapten. Anda tahu bukan. Bahwa aku selalu punya banyak
sumber!"
Sumiyati kemudian berlalu sebelum Rukmana sempat mencerna kata katanya Setelah
mobil gadis itu berlalu menempuh jalan by-pass Soekarno Hatta yang diliputi
kegelapan malam, Rukmana sempat berpikir. Apakah pertanyaannya tadi, dapat
merusak rencana mereka besok untuk makan siang. Rukmana memang sudah
berkeluarga. Tetapi seorang laki laki tetap punya hak untuk makan siang dengan
seorang gadis cantik. Terlepas dari hubungan apakah makan siang itu ada kaitan
dengan tUgasnya sebagai seorang polisi! '
"Kapten?"
Rukmana berpaling. Seorang bawahannya datang menghadap.
"Ya, Sersan?"
"Kita menemukan beberapa petunjuk, Kapten," si bawahan melapor.
"Korban jelas dibunuh di tempat lain. Mayatnya kemudian diangkut lalu dibuang ke
tempat dia kita temukan."
"Diangkut. Dengan apa, Sersan?"
"Mobil, Kapten. Dari jenis besar. Dan menurut saksi mata, mobil itu berwarna
gelap..." Si bawahan memberi beberapa petunjuk lain. Setelah mana, Rukmana
kemudian membuka pintu depan mobilnya, menjangkau pesawat komunikasi di
dashboard lalu menghubungi kantor pusat. Ia memerintahkan petugas piket untuk
memberitahu para petugas patroli di semua Wilayah untuk siaga dan melacak mobil
yang dicurigai telah dilarikan pembunuh atau ditinggalkan di suatu tempat.
Selesai menghubungi kantor pusat, Rukmana tersenyum. Untuk dokter yang telah
berlalu dengan ambulans tadi, besok ia punya satu pertanyaan :
"Binatang apa kiranya yang dapat mengemudi mobil?"
***
Pukul tiga pagi, Kapten Rukmana menerima laporan bahwa mobil yang dicari telah
ditemukan di sekitar Alun alun Bandung. Mobil itu ternyata milik Aziz Partogi sendiri.
Dan di dalamnya, ada bagian bagian kursi yang robek hebat, dan darah menggenang di
sana sini. Kesimpulan sementara, korban sempat melawan sebelum dibunuh. Dan yang
pasti, ia dibunuh di dalam mobilnya sendiri.
Pada jam yang sama, Sumiyati bangkit dari bak yang dipenuhi air hangat elektris
Satu jam Iebih ia berendam, sampai pikirannya tenang dan jernih. Ia kemudian bangkit.
Masih dengan tubuh bugil, ia keluar dari kamar mandi dan pergi ke pesawat telepon. Ia
buka buku petunjuk, dan setelah menemukan nama dan nomor yang ia cari ia lalu
memutar telepon. Ia tunggu sampai dering yang ke tujuh di seberang sana, meletakkan
telepon, menunggu satu dua menit lagi, lalu memutar nomor-nomor yang sama. Pada
deringan ke dua, telepon di seberang sana telah diangkat seseorang.
Belum sempat Sumiyati mengucapkan hallo, telinganya sudah mendengar sentakan
keras :
"Makhluk apa yang tega membangunkan orang lain sepagi ini, eh?"
Mendengar pertanyaan kasar itu, Sumiyati menganggap tak perlu berbasa basi.
Maka ia langsung pada pokok pembicara :
"Ada kabar penting untukmu, Tuan Eddi Bratamenggala!"
"Sepenting apa?"
"Sepenting masa depan Tuan." .
"Hem. Kabar apa itu?" suara di seberang sana kini lebih berminat.
"Azis Partogi sudah mati!"
"Apa? Azis."
"Kuucapkan selamat, Tuan!" potong Sumiyati, datar. .
"Selamat untuk apa? Dan, eh, tunggu dulu. Dengan siapa saya berbicara?"
"Mereka menyebutku Sum Kuning," jawab Sumiyati, setelah mana ia meletakkan
telepon tanpa memperdulikan protes yang ribut dari orang yang dihubunginya.
Tubuhnya terasa dingin, dan lantai di bawah kakinya digenangi air. Astaga, ia lupa
mempergunakan handuk. Meskipun tidak ada orang melihat, Sumiyati malu sendiri.
Lantas berlari-lari kecil ke kamar mandi. Di kamar mandi, Sumiyati bukannya melap
tubuhnya yang basah dengan handuk. Melainkan menambah lebih banyak air hangat ke
dalam bak mandi. Ia nyemplung, lalu berendam sembari berpikir.
Di sebuah rumah besar dan megah di kawasan utara kota Bandung, Eddi
Bratamenggala membuang kegundahan pikirannya tentang siapa wanita yang barusan
menelepon. Ada hal lain yang lebih penting untuk dipikirkan. Dan, ada orang lain yang
harus bangun sepagi ini pula. Ia putar nomor telepon, dan menunggu sampai ada
sahutan. Ia tak perlu lama menunggu. Karena segera telepon di seberang lain sudah
diangkat segera.
"Papa?" ,
"Kau itu, Ed?"
"Benar, Pa. Apakah aku mengganggu tidurmu?"
"Aku justru tengah menekuni beberapa pekerjaan yang harus kuselesaikan pagi ini
juga. Ada apa,Ed?"
"Azis "
"Azis mana?"
"Azis Partogi."
"oh, dia!" suara di sana terdengar tak senang. Muak.
"Apa permintaannya kali ini?"
"Ia tidak akan minta apa-apa lagi dari kita, pa?"
"Maksudmu?"
"Azis sudah tamat".
"Tamat?"
Eddi Bratamenggala lalu melaporkan secara ringkas tentang telepon yang
diterimanya barusan. Lalu mengakhirinya dengan sebuah pertanyaan:
"Papa kenal dengan Sum Kuning?"
"Kenal, tidak. Pernah dengar sih, ya."
"Siapa dia, Pa?"
"Hanya ingat sedikit sedikit. Maklum, dapat baca dari suratkabar. Sum Kuning
seorang gadis penjual jamu di Jogya. Ia diperkosa oleh beberapa orang pemuda secara
bergantian. Perkaranya sempat dipetieskan karena menyangkut nama orang-orang
penting. Lalu timbul heboh, sampai perkara itu akhirnya terpaksa dibuka oleh pihak
berwenang. Tetapi, Nak! Aneh juga cerita yang kau laporkan barusan. Benarkah wanita
yang meneleponmu mengatakan namanya adalah Sum Kuning? Tak ada keterangan
lain?"
"Tidak, Pa. Ia keburu memutuskan hubungan. Lagi pula, kukira kematian Azis lebih
menarik untuk dipikirkan. Tepatnya. dirayakan..."
"Jangan berpesta dulu, Nak. Sebelum semuanya menjadi jelas!"
"Maksud Papa?"
"Kau letakkanlah teleponmu dulu. Tunggu dulu. Jangan ke mana mana. Aku akan
menghubungi orang kita di kepolisian." .
"Mau ke mana saya di pagi sedingin ini, Pa? Paling meringkuk lagi di bawah
selimut. Menantumu sudah tak sabar...," Eddi Bratamenggala tertawa nyaring,
menambahkan:
"Kami tadi lagi asyik, ketika telepon itu...."
"Teleponmu, Ed. Letakkan1" .
Suara tenang tetapi dingin dari ayahnya, membuat Eddi Bratamenggala terdiam lalu
meletakkan pesawat teleponnya dengan perasaan tak enak. Ia tahu, ayahnya bukan
tersinggung karena pembicaraannya yang nakal. Ayahnya mendadak serius. Sangat
serius. Sambil duduk merokok, Eddi berpikir keras. Kemudian teringat dengan tiba
tiba. Ayahnya benar. Mereka tidak boleh berpesta sekarang, sebelum diketahui sebab
kematian Azis. Kalau Azis mati wajar, semua beres. Tetapi kalau Azis mati tak wajar,
Jelas bakal tak beres. Karena Azis pernah mengatakan...."
"Kang Eddi? Cepat dong, sini...," ada rengekan lembut dari kamar.
Eddi diam saja.
"Kang Eddi? Aku sudah tak tahan nih!"
Kesal, Eddi Bratamenggala membentak:
"Ada bantal guling 'kan? Timpa saja'"
Rengekan dari kamar berhenti.
Eddi berpikir lagi. Tetapi kacau. Rengekan isterinya telah membuyarkan apa yang
tadi sempat teringat olehnya. Untunglah tak lama kemudian telepon berdering dan ia
dengar suara ayahnya yang tenang:
"Kau masih di situ, Ed?"
"Masih, Pa."
"Azis dibunuh""
"Oh...."
"Cuma oh? Tak kau bayangkankah apa akibat kematian Azis pada dirimu? Pada
diriku juga? Dan nama baik semua keluarga? Kariermu terancam musnah, Eddi. Dan
reputasiku bisa hancur seketika!"
"Maaf, Pa. Aku bingung."
"Kau pikir aku tidak? Kau ke sinilah secepatnya. Jadi kalau besok terjadi gempa, kita
berdua sudah siap menghadapinya. Astaga, sekarang ini aku lebih senang Azis tetap
hidup, tetap mengancam kita macam macam. Masih ada satu hal lagi, Ed. Kau ingin
tahu siapa itu Sum Kuning?"
"Siapa, Pa?" Eddi Bratamenggala ikut tegang seperti ayahnya. _
"Nama sebenarnya, Sumiyati. Ia dipanggil Sum, dan karena konon ia berkulit kuning
langsat, orang orang dekatnya lantas menyebutnya Sum Kuning. Persetan, apa pun
mereka menyebut dia. Yang mencemaskan aku, Sumiyati itu seorang wartawati!"
Selesai pembicaraan telepon, Eddi Bratamenggala berpikir keras dan kemudian
kembali ke kamar tidur. Tampak isterinya bergulung di bawah selimut. Merajuk. Pura
pura tidur. Dengan kasar Eddi menyingkapkan selimut, membiarkan isterinya
gelagapan karena mandadak bugil tanpa busana.
Perempuan itu terheran-heran sejenak, kemudian tersenyum nakal. Bisiknya, berbau
gairah:
"Kalau ingin meneruskan yang tadi, jangan main perkasa dong!" '
"Dengarkan aku, Anita!" Eddi berkata dengan nafas tersengal-sengal.
"Apakah kau pernah bercerita padaku, bahwa satu dua kali kau pernah didekati
seorang wartawati?"
"Rasanya pernah. Tetapi...." '
"Apa saja yang Ia tanya?"
"Tak banyak. Dan aku pun menjawab hanya seperlunya saja-"'
'Tentang apa?" _
"Kalau tak salah... tentang kedudukanku sebagai komisaris di berbagai perusahaan
milik Azis."
"Azis sudah mati. Dibunuh!"'
Perempuan itu terlonjak bangun.
"Apa?!"
Eddi Bratamenggala tidak menjawab. Tubuhnya terasa dingin, lemas. Lunglai ia
merangkak naik ke tempat tidur. Menyelinap ke bawah selimut, seraya mengerang:
"Peluk aku, Anita. Perbuatlah apa saja, asal aku tidak merasa takut lagi?" .
"Apa yang kau takutkan, Kang Eddi?" '
"Peluk aku, kubilang!"
"Lho, kok main paksa...."
"Kau yang tadi menginginkannya, bukan?"
"Aku mendadak kehilangan birahi, Kang.'.'
"Bangkitkan lagi!"
'Tak semudah itu, Kang"
"Hem. Apa boleh buat!" Lalu Eddi mendadak berubah seperti binatang liar. Dengan
buas ia menggagahi isterinya. Perempuan itu merasa dirinya diperkosa. Mulanya ia
hampir marah. Namun lambat laun, perkosaan itu dapat juga ia nikmati. itu suatu gaya
bercinta yang lain dan belum pernah ia alami. Dahsyat, membabi buta, kasar, biadab
tetapi gairah yang dibangkitkannya luar biasa. Meski merasakan sakit dan perih di
beberapa bagian tubuhnya, toh di puncak perkosaan itu Anita lebih dulu mencapai
orgasme ketimbang suaminya. Maka ia tak lagi memperdulikan mengapa tiba tiba
suaminya bangkit dari tempat tidur. Berganti pakaian tanpa mandi lebih dulu. Lalu
pergi meninggalkan rumah. Tanpa pamit.
***
KETIKA jenazah diturunkan ke liang lahat, Muranis Chaniago dihinggapi perasaan
aneh. Nama Azis Partogi sudah boleh ia coret dari daftar. Tetapi matinya orang itu
bukan merupakan akhir. Justru sebaliknya : suatu permulaan.
"Anis Chan!" pikirnya,
"... bersiap siaplah melaksanakan tugasmu yang sebenarnya!"
Pekerjaan pertama yang harus ia lakukan adalah, meninggalkan tempat itu
secepatnya. Tidak seorangpun yang mengharap atau memerlukan kehadiran Muranis
Chaniago di pemakaman. Ia datang atas inisiatip sendiri. Oleh karena itu, ia pun boleh
angkat kaki kapan ia suka. Mendoakan almarhum bukanlah tugasnya. Begitu hidup
seseorang berakhir, amal ibadahnya pun sudah putus seketika itu juga. Pada tingkat
berikutnya, adalah menjadi tanggung jawab orang itu sendiri, tergantung dari apa yang
ia lakukan selama hayatnya.
"Selamat jalan, Bung Azis," Muranis Chaniago berdesah. Ia baru saja akan beranjak
pergi, manakala terdengar suara seseorang menyapa :
"Anis Chan, ah. Mimpi apa yang membawa Anda berkeliaran di antara batu-batu
nisan ini?"
Muranis Chaniago berpaling dan melihat seorang laki-laki setengah umur serta
berpakaian perlente mendatanginya dengan senyuman lebar di bibir ,dia balas
tersenyum dan menjawab teguran orang perlente itu.
"cuma kebetulan lewat." ujar Muranis Chaniago, diplomatis. '
"Oh ya?" sepasang mata orang itu 'mengawasi dengan hati-hati. Tanpa berusaha
menyembunyikan kecurigaan.
"Hantu-hantu kubur memanggilmu, eh? Atau, salah satu hantu itu pernah jadi
klien?"
Sesaat, Muranis Chaniago teringat pada pesan almarhum. Bahwa hubungan
mereka_tidak boleh diketahui orang lain, selama Azis Partogi masih hidup. Perjanjian
itu telah berakhir sekarang, dan dengan perasaan lega Muranis Chaniago mengakui :
"Dugaan Anda benar sekali,-Pak Anwar."
"Azis?"
"Ya." _
Ada perubahan di wajah lelaki perlente itu, namun hanya sekilas. Ia kemudian
tertawa kaku, bergumam kecewa :
"Jadi Azis tak pernah mempercayaiku. Secara utuh, maksudku ...."
"Tak usah berkecil hati, Pak Anwar. Ada kalanya, jangankan orang lain. Pada diri
sendiri pun, kita tak percaya!" Muranis Chaniago tertawa sOpan, mengucapkan
selamat siang lantas meninggalkan temannya bicara berdiri sendirian.
Termangu-mangu.
Setengah jam kemudian Muranis Chaniago memarkir mobilnya di halaman Kantor
Pos. Ia memasuki ruangan kotak pos. Ia menghadapi sedikit kesulitan ketika berusaha
membuka kotak pos nomor 307. Kotak itu agaknya jarang dibuka-buka oleh si pemilik.
Lubang kuncinya sudah mulai berkarat. Dengan bantuan seorang petugas yang ramah
dan tak banyak bertanya, kotak akhirnya dapat dibuka. Di dalamnya, Muranis
Chaniago menemukan dua bungkusan kecil dilapisi plastik. Yang satu ditujukan untuk
Muranis Chaniago sendiri. Bungkusan yang sedikit lebih besar, ditempeli secarik kertas
dengan nota pesan :
"Harap diteruskan pada saudari Sumiyati atau Sum Kuning seorang wartawati di
Bandung
"Sum Kuning!" Muranis Chaniago berdesah
"Mengapa harus dia?"
Dengan dahi berkerut, Muranis Chaniago memasukkan dua bungkusan itu ke dalam
tas kemudian kembali meluncur dengan mobilnya menuju kantor tempatnya praktek.
Mengapa harus Sum Kuning? Bukankah ia musuh besar Azis Partogi, yang dengan ulet
melacak lalu beberapa kali memberitakan skandal usaha yang dijalan Azis Partogi?
Demikian gencar Sum Kumng menyerang Azis Partogi lewat tulisan tulisannya.
Sehingga tiap kali perusahaan Azis terancam hancur, terpaksa Azis Partogi mendirikan
perusahaan perusahaan bayangan. Anehnya, Azis Partogi tidak pernah menuntut Sum
Kuning ke pengadilan meski beberapa dari tulisannya sudah lebih bersifat sentimen
pribadi. Yang diserang tetap bertahan, lalu bargkit dan bangkit lagi diam diam lewat
perusahaan perusahaan bayangannya. Muranis Chaniago yang dengan tekun selalu
mengikuti perkembangan kliennya yang satu ini, merasa yakin ada orang kuat di
belakang Azis Partogi. Tetapi mengapa orang kuat itu pun diam pula?
"Sum Kuning tentunya menyimpan kartu truf yang mematikan!" pikir Muranis
Chaniago. KeSimpulannya itu terbukti kemudian, ketika ia tiba di kantor dan membuka
bungkusan kecil untuknya yang beriSi sebuah pita rekaman. Isi rekaman itu sekaligus
telah menjawab setumpuk pertanyaan yang sebelumnya membingungkan Muranis
Chaniago. ...... . hanya merupakan dugaan belaka. Azis Partogi telah memberinya
sebuah tugas. Dan tugas itu justru berawal dari kematian Azis. ' .
Pada saat bersamaan di rumah almarhum terjadi sedikit ketegangan.
Keluarga yang ditinggalkan sudah berkumpul di sebuah ruangan tertutup. Anwar
Sobirin dengan gayanya yang tetap perlente memasuki ruangan dengan wajah acuh tak
acuh. Ia perhatikan-sekilas wajah-wajah tegang dan tak sabar di hadapannya,
kemudian bergumam kaku :
"Beri aku tempo beberapa menit. Aku harus menelepon seseorang."
Terjadi hujan protes. Tetapi Anwar Sobirin tidak ambil perduli. Tenang-tenang saja
ia melangkah ke sebuah meja yang tersedia di ruangan itu. Ia jangkau pesawat telepon
dan memutar sejumlah nomor. Pada saat ia mulai bicara, hujan protes itu mulai reda
pula. tinggal bisikan-bisikan resah yang berisik. Itu pun segera hening, menyentak, di
kala Anwar Sobirin menyebut sebuah nama dalam percakapan telepon. Begitu
heningnya, sehingga suara orang di seberang sana telepon, dapat didengar jelas oleh
setiap yang hadir di ruangan tertutup itu.
"Pak Barman? Saya Anwar, Pak."
"Ah, kau. Begitu lama kami menunggu," terdengar suara helaan nafas berat. Lalu :
"Kuharap kau tidak gagal seperti yang lain-lainnya. Mereka itu cuma kantong
kantong nasi yang tak pernah kenyang. Tahunya meminta dan terus meminta, bahkan
mengemis. Soal kerja, payah!"
Agak memerah kulit muka Anwar Sobirin. Ia termasuk salah satu kantong nasi itu,
pikirnya. Tetapi ia lebih beruntung. Anwar Sobirin menghela natas lega, lalu dengan
tenang dan hati-hati ia berkata :
"Orangnya telah saya temukan ...."
"Siapa?"
"Muranis Chaniago. atau dikenal dengan panggilan Anis Chan ...."
"Dia?!" terdengar ucapan menyentak, lalu kesunyian yang lebih menyentak lagi.
Baru kemudian :
"Kau merasa pasti?"
Anwar Sobirin menceritakan pertemuannya dengan Muranis Chaniago di
pemakaman Azis Partogi Ketika menyebut nama almarhum, sekilas ia melirik pada
kumpulan manusia manusia yang duduk kaku memenuhi ruangan yang pepak oleh asap
rokok. Wajah wajah di hadapannya tampak datar, tanpa ekspresi. Kalau orang orang
kelaparan disuguhi makanan lezat dan berlimpah limpah, jangan kau harap di wajah
mereka akan kau temukan warna duka Cita meski di dekat mereka terbaring sesosok
mayat. Dan mayat itu, adalah saudara, suami, atau bahkan ayah kandung mereka
sendiri.
Anwar Sobirin geleng kepala sendiri. Dan meneruskan di telepon :
"Tak ada hal lain yang membawa langkah kaki Anis Chan ke pinggir liang kubur
Azis. Saya berani bertaruh untuk itu, Pak Barman."
"Mestinya kita telah lama menduga hal itu. Anis Chan, si sinting dari kaum proletar.
Astaga, siapa nyana! Dan hem. Apakah kau dapat mengatur dia Pak Anwar?" suara
berat di seberang sana telepon kini terdengar lebih bersahabat.
"Dekati dia, dan tanyakan berapa dia minta ...."
"Maaf, Pak. Saya tak dapat melakukan hal itu.'
"Tidak? Bukankah kau lebih senior dari dia?"
"Benar, Pak. Tetapi si Anis Chan ini, seperti Bapak Sendiri bilang, orangnya sedikit
sinting. Orangnya sulit diduga"
"Jadi?"
"Saya pikir, ia akan muncul sendiri. Menemui bapak, dan ..."
"Begitu. Baiklah, dia akan kutunggu. Dan bila saat itu tiba, Pak Anwar tentu punya
waktu senggang untuk mendampingiku ....!"
Anwar Sobirin menelan ludah. Berkata dengan nada menyesal :
"Pak Barman tentunya mengerti apabila saya tak dapat hadir. Ada waktunya, di
mana kita harus membiarkan rekan satu profesi untuk bergerak sendirian ...."
"Kau minta tambahan honor, Tuan Pengacara?"
Merah padamlah wajah Anwar Sobirin. Segenap rasa segan, hormat dan takut di
wajahnya lenyap. Jakunnya naik turun dengan cepat. Lalu dengan suatu sentakan
kasar, ia mendengus :
"Persetan dengan uangmu, Pak Barmar !" Dan gagang telepon ia hentakkan keras
pada tempatnya, sehingga membuat orang. orang yang berkumpul di ruangan tertutup
itu menciut di tempat duduk masing masing. Wajah mereka sama pucat manakala
Anwar Sobirin mengawasi mereka satu persatu. Matanya tampak galak, dan senyum
tipis di bibirnya berubah kejam.
"Baiklah, orang orang serakah'" Anwar Sobirin berkata tawar.
"Surat waris almarhum akan kubacakan sekarang. Tetapi ketahuilah. Aku lebih suka
andaikata kalian semua bergabung dengan almarhum di liang kuburnya'" Lantas
dengan kasar ia menyentak terbuka tas besar di atas meja. Sambil dalam hati, diam
diam mengutuk dirinya sendiri :
mengapa tidak cari makan di bidang yang lain saja!
***
GEMETAR setelah mendengar isi rekaman yang diamanatkan oleh AZIS Partogi
untuknya. Muranis Chaniago sempat gugup sebentar. Ia dihadapkan pada sebuah tugas
berat. Dan karena ia tahu manusia-manusia macam apa yang bakal berurusan
dengannya. Muranis pun menjadi gelisah. Ia tidak menyesal menerima Azis Partogi
sebagai kliennya.
"Ini sebuah perkara unik dan bagus. Sebuah kasus menarik yang tak akan terulang
dua kali," ia memutuskan.
Dengan hati hati rekaman itu ia masukkan ke laci mejanya. Dikunci. Lalu ia
mengangkat pesawat telepon. Sebelum ia melangkah lebih jauh, ia harus konsultasi
dengan seseorang. Dan orang itu, tak lain tak bukan adalah Sum Kuning sendiri.
Sumiyati yang cantik dengan senyum serta tutur katanya yang menawan, namun
terkadang menggigit. Sumiyati yan masih tetap hidup menyendiri di usia yang kini
menjelang tiga puluh tahun. Muranis pernah bertanya mengapa gadis itu belum kawin,
padahal bukan sedikit lelaki yang berminat. Jawaban Sumiyati tak pernah berkisar dari
satu kalimat :
"Belum ketemu jodoh yang sesuai."
Sambil menunggu telepon di seberang sana di angkat seseorang, Muranis Chaniago
teringat pada bekas istri dan dua orang anaknya yang hidup terpisah nun jauh di
Payakumbuh sana. Perceraian itu, pikir nya dengan gundah, terjadi karena jodoh
mereka tidak sesuai.
"Hallo?" terdengar suara menyapa di telinganya. Suara kering seorang wanita, yang
ia kenali sebagai pelayan Sumiyati. Muranis Chaniago minta bicara dengan majikan
berempuan itu. Ia mendapat jawaban, Sumiyati tengah pergi ke luar kota dan belum
tahu kapan akan kembali.
"Kalau ia sudah pulang, tolong diberitahu saya ingin bertemu secara pribadi.
Katakan, penting!" Muranis Chaniago meninggalkan pesan. Lantas duduk melamun di
kursinya. Alangkah beruntungnya lelaki yang dapat mempersunting Sum Kuning!
***
Empat
MENGANTUK tetapi tidak dapat tidur selama tiga jam lebih di perjalanan, berakibat
belakang kepala Sumiyati berdenyut denyut menyakitkan. Ia turun dari bus dengan
langkah sedikit limbung. Wajahnya semu pucat. Sebaliknya, biji matanya memerah. Ia
berdiri sejenak sampai maboknya reda. Lalu ketik ia berpaling, tiba tiba ia menyadari
ada sesuatu yang salah telah terjadi.
Ketika tadi bus berhenti, para pengemudi ojek yang bergerombol di depan sebuah
warung kopi saling menghambur memburu penumpang yang bakal turun. Cuma
seorang penumpang saja yang turun dari bus. Dan ia adalah Sumiyati. Tidak seperti
biasanya, para pengemudi ojek itu bukannya saling berebut rejeki. Mereka malah
seperti ada yang mengatur, mendadak kompak. Sama mengundurkan diri. Kembali ke
tempat duduk mereka semula, atau bergerak menjauh dengan sikap waspada dan
pandangan mata curiga. Seakan di dekat'mereka ada biang penyakit yang harus cepat
cepat disingkiri.
Sumiyati mengawasi mereka ! bertanya :
"Mana kehangatan sambutan. mengapa tidak kalian perlihatkan?" Di bawah tatap
mata Sumiyati yang justru bertambah merah karena pcrasaan tak senang, bahkan ibu
pemilik warung yang senantiasa ramah dan periang itu pun mendadak tertegun pucat,
lantas memalingkan wajah ke arah lain. Sentakan aneh membelit ulu hati Sumiyati.
Keinginan untuk menegur sahabat sahabat lamanya, ia batalkan. Sumiyati memutar
langkah dan berjalan memasuki jalan desa, melewati sepeda sepeda motor yang
diparkir sarabutan; siap tancap gas bila ada pembonceng yang mampu membayar.
Sumiyati selalu membayar lebih. Tetapi kali ini, 'uang Sumiyati agaknya tak menarik
minat mereka.
Tahu diri dan sekaligus jaga gengsi, Sumiyati terus saja melangkah. Dengan tas kecil
di tangan yang satu, dan tangan satunya lagi mengurut dadanya yang mendadak kering
dan sesak. Bukan saja ia harus menekan keinginan untuk beramah tamah. Ia juga
menekan lampiasan kemarahan, sakit hati, campur keheranan yang tidak saja
membingungkan tetapi sangat meresahkan. Di belakangnya ia dengar suara biSik bisik
orang berdebat, diseling suara ibu pemilik warung yang menyesali dengan ucapan
tajam :
"Sedikitnya, kalian harus menaruh iba!"
Kemudian ada derum mesin salah satu sepeda motor yang menyusul, lantas sebuah
wajah muda yang menyeringai sumbang di bawah kumis kasarnya. Sumiyati tetap
berlagak pilon, sampai ia dengar ajakan setengah terpaksa namun bersahabat :
"Naiklah, Mia!"
Sumiyati bimbang sejenak. Tadi ia telah diperhinakan mereka. Tetapi meneruskan
perjalanan dengan kaki kaki yang letih dan kepala pening, saat ini tidak pada
tempatnya. Ia biarkan pemuda berkumis kasar itu menyambar tas yang diletakkan di
atas tangki sepeda motor, lalu Sumiyati naik di boncengan. Setelah beberapa menit
menempuh perjalanan dan terbanting banting oleh lubang-lubang besar menganga,
barulah Sumiyati angkat bicara.
"Apa salahku, maka mendadak kalian memusuhi aku, Arman?" ia bertanya tanpa
menyembunyikan perasaan tak senang.
Pengemudi ojek batuk-batuk kecil, baru menjawab_ :
"... bukan memusuhi, Mia. Cuma yah, beberapa orang dari kami merasa takut."
Sumiyati terkejut.
"Aku? Menakutkan? Tetapi"
"Bukan kau, Mia."
"Lantas?"
"Ayahmu,_" pemuda itu setengah berteriak untuk mengatasi suara raungan mesin
motor di jalan menanjak.
"Minggu kemarin, ayahmu melarikan diri!"
***
Tiba di rumah orang tuanya, Sumiyati mendapat gambaran yang lebih jelas.
Pekarangan tampak kurang terurus. Rumah pun terkunci dari luar. Kuncinya
diperoleh Sumiyati dari tetangga sebelah yang menyambut kemunculan Sumiyati
dengan sikap gelisah. Tetangganya mengelakkan beberapa pertanyaan yang diajukan
Sumiyati, kecuali sedikit penjelasan bahwa orang orang merasa takut memasuki rumah
kosong itu.
Setelah Sumiyati ditinggal sendirian, dengan hati-hati ia membuka pintu kamar
ayahnya . pintu itu masih tetap utuh. Tetapi jendela di seberang tampak pecah
berantakan . Balok kayu besar berlapis dua di lantai tanah yang kumuh dan penuh
kotoran berbau busuk, sudah terpotong beberapa bagian. Potongan itu berserakan di
antara bekas sampah, piring mangkuk yang bergelimpangan, serta sobekan pakaian.
Salah satu potongan kayu balok itu masih terikat rantai besi, _tetapi rantai itu sendiri
sudah copot. Ujungnya dari pasak besar yang ditanamkan ke tanah di sudut kanan
kamar.
Terakhir kali ia berkunjung ke rumah ini beberapa bulan yang lalu, ayahnya ia lihat
duduk terkulai di lantai. Kedua kakinya, di bagian pergelangan terbenam di
lubang-lubang balok kayu yang terikat rantai. Ayahnya yang kurus kering dan dengan
cepat menjadi tua, mengawasi Sumiyati dengan air mata berlinang. Waktu itu, senja
telah berlabuh dan Sumiyati menekan hasrat untuk memeluk lelaki tua yang malang itu.
Ia hanya diam menunggu. Sampai mata ayahnya mulai memerah saga. Lidah lelaki itu
terjulur keluar, panjang, semakin panjang dan meneteskan busa busa kental berbuih
serta berbau menjijikkan. Kulit di seluruh permukaan tubuhnya perlahan lahan berubah
semakin hitam, lalu bulu bulu panjang itu pun mulai muncul, begitu cepat dan
mengerikan. Sumiyati ingin bertahan. Namun ketika perubahan di tubuh ayahnya kian
menjadi jadi, Sumiyati tak tahan lagi. Ia jatuh pingsan. Waktu ia bangun, Sumiyati
sudah terbaring di tempat tidur kamarnya sendiri, dan matahari pagi sudah muncul. Ia
menyesali kelemahannya, dan Sumiyati hampir terpekik manakala pundaknya dijamah
sesuatu dari belakang. Ketika ia berpaling, matanya bertemu dengan mata seorang
lelaki bertubuh kekar di usianya yang sudah setengah baya. Sepasang mata lelaki itu
mengawasi Sumiyati dengan pandangan iba.
"Mang Karta!" desah Sumiyati lega.
"Gembira melihatmu lagi, Nak !"Ujar lelaki yang ia sebut Mang Karta.
"Tadi aku baru saja pulang dari kebun, ketika kulihat kau memasuki rumah ini ...."
"Apa yang terjadi, Mang Karta?"
"Kau istirahatlah dulu, Nak. Akan kupanggilkan Bibimu, agar dapat menjamu engkau
secara pantas malam ini ...."
Dan malam itulah Sumiyati mengetahui apa yang terjadi selama beberapa waktu
terakhir. Mang Karta masih tetap bertahan dan setia menjaga Ayah Sumiyati. Akan
tetapi Mang Harlas yang sudah dua tahun menikah tetapi belum punya keturunan,
akhirnya menyerah. Istri Mang Harlas hanya mau mengandung dan melahirkan anak
mereka di rumah lain, bukan di rumah yang menakutkan ini. Suasana seram yang harus
mereka hadapi setiap saat membuat istri Mang Harlas khawatir akan berakibat kelak
pada keturunan mereka. Perempuan itu mengatakan, ia ingin melahirkan bayi yang
normal. Bukan bayi mengerikan, yang selalu menghantui mimpi mimpinya yang buruk.
"Sebenarnya si Isah tidaklah sering bermimpi buruk. Yang hidup di dekatnya dalam
alam nyata, sudah jauh lebih buruk," cerita Mang Karta dengan tutur kata dan
kalimat-kalimat yang diusahakan sedemikian rupa sehingga tidak melukai perasaan
Sumiyati.
Akhirnya Mang Karta terpaksa membiarkan suami istri muda itu pindah. Tinggal
Mang Karta sendirian yang tetap menjaga Ayah Sumiyati. Itu pun, hanya pada malam
hari. Siangnya, ia dapat meninggalkan Ayah Sumiyati sendirian di kamarnya. Dengan
kaki terpasung kuat pada balok kayu, dirantai pula. Makan dan air minum disediakan
cukup di dekat Ayah Sumiyati terpasung. Ayahnya masih tetap bersikap baik dan tidak
banyak tingkah bila ia dalam keadaan normal. Apabila di malam hari, terjadi proses
perubahan pada tubuhnya, Ayah Sumiyati pun hanya meraung dan melolong sesekali.
Orang tua yang malang itu tidak pernah memperlihatkan sikap sikap memberontak dan
membahayakan. .
"Tetapi beberapa hari yang lalu, terjadi sesuatu yang di luar kekuasaanku," tutur
Mang Karta dengan suara menyesal.
"Rupanya ada beberapa orang pemuda yang bertaruh siapa paling berani di antara
mereka. Mereka memilih waktu yang tepat. Yakni ketika aku pulang sebentar ke rumah,
untuk mengambil makan malam yang sudah disiapkan Bibimu"
Terbiasa oleh kenyataan tiada orang berani memasuki rumah keluarga Sumiyati
tanpa kehadiran Mang Karta, maka Mang Karta berbuat lalai. Pintu beberapa kali ia
biarkan tertutup dari luar, tanpa dikunci. Tiga orang pemuda masuk diam diam setelah
Mang Karta pergi. Dua dari mereka langsung ngibrit begitu terdengar suara
menggeram buas dari balik pintu kamar Ayah Sumiyati. Yang seorang, tetap bertahan.
Karena taruhannya, adalah seorang gadis yang cintanya mereka perebutkan. Agaknya
si gadis memegang peranan pula dalam peristiwa naas itu. Ia menyukai ketiga pemuda
tadi, dan yang paling gagah pemberani dari mereka akan ia terima sebagai pacar tetap,
siapa tahu kelak bisa memperistrinya pula.
Pemuda itu adalah Arman, yang tadi memboncengkan Sumiyati.
Arman seperti juga kebanyakan penduduk lain di kampung mereka yang sunyi
terpencil itu, sudah lama mendengar bahwa Ayah Sumiyati dipasung karena menderita
penyakit syaraf atau gila. Bahwa bukan suaranya saja yang berubah seperti suara
anjing hutan atau serigala. Melainkan juga, wujudnya.
Untuk membuktikan bahwa gunjingan itu benar dan sekaligus membuktikan ia paling
gagah berani dari kedua pemuda saingannya, Arman memberanikan diri memasuki
kamar Ayah Sumiyati. Ia membawa serta bungkusan plastik berisi paha domba yang
sebelumnya telah mereka beli dari pasar. Paha domba itu harus ia sodorkan untuk
direngkah oleh Ayah Sumiyati yang berubah wujud. Tidak semuanya. Harus tersisa
sebagian, sisa mana akan memperlihatkan gambaran makhluk apa yang telah
menyantap sebagian paha domba itu.
Tetapi begitu melihat wujud makhluk yang terpasung di balok kayu, Arman langsung
ngeper. Ia menjerit ketakutan. Dan seraya melemparkan bungkusan di tangannya, ia
ngibrit melarikan diri, disambut dua orang temannya yang masih menunggu di luar.
Begitu mereka bergabung, Arman langsung jadi bahan tertawaan. Ternyata ia sudah
terkencing-kencing di celana. Akibat lainnya juga segera menyusul. Kabar burung
mengenai perubahan WUjud Ayah Sumiyati kini sudah terbukti kebenarannya.
Penduduk mulai gempar. Kepala kampung memanggil para tetua kampung, disusul
aparat keamanan dikumpulkan lengkap dengan senjata masing masing.
Tetapi mereka terlambat bertindak.
Begitu menCium bau daging mentah, Ayah Sumiyati yang telah berubah wujud di
pasungannya, langsung menjadi buas. Ia berhasil menyambar bungkusan plastik, dan
menyantap paha domba yang masih segar itu.
"... dan kau sendiri tahu, Mia," desah Mang Karta lirih.
"Daging mentah dan masih berdarah. adalah pantangan Ayahmu." Ia menarik nafas
berat dan panjang. Lalu meneruskan :
"Kekuatan phiSik'Ayahmu, dengan demikian bertambah lipat ganda ."
Kayu balok tempatnya dipasung, berhasil dihancurkan Ayah Sumiyati. Pada saat
yang bersamaan, Mang Karta datang dengan hidangan makan malam. Mengetahui
bahwa Ayah Sumiyati yang dibawah pengawasannya telah lepas dari pasungannya
maka Mang Karta berusaha membujuk dan meringkusnya.
"Aku dibanting. Malah bahuku sampai terluka!" dengus Mang Karta, seraya
membuka bajunya dan memperlihatkan beberapa bekas luka cakaran pada kulit
bahunya.
"Ketika aku berusaha bangkit, Ayahmu sudah menerobos ke luar lewat jendela...."
Tak seorang pun, kecuali Mang Karta yang melihat dengan mata kepala sendiri
ketika Ayah Sumiyati melarikan diri. Tetapi apa yang sebelumnya telah disakSikan oleh
Arman, begitu pula penuturan dari istri Mang Harlas yang akhirnya membuka mulut
juga setelah didesak banyak orang, sudah cukup dimengerti oleh kepala kampung dan
orang orang kepercayaannya. Penjagaan ketat dilakukan siang maupun malam hari.
Jejak Ayah Sumiyati juga dilacak. Jejak itu berakhir di sungai, dan menghilang sampai
di sana. Air sungai malam itu sangat deras. Jadi kepala kampung memperoleh jalan
untuk bertindak bijaksana. Kepada penduduk disebarkan kabar bahwa Ayah Sumiyati
telah tenggelam dan hanyut di sungai. Jenazahnya masih dicari, tetapi penduduk
diminta untuk tetap tenang. Dan memang karena tidak terjadi apa apa setelah itu,
penduduk pun lambat laun dapat menerima keterangan kepala kampung.
"Aku tidak segera mengirim kabar padamu, karena sampai saat ini, aku dan
beberapa orang kepercayaanku masih tetap mencari Ayahmu. Tak ketemu hidup, ya
ketemu mati ...," Mang Karta mengakhiri ceritanya dengan tarikan nafas panjang.
Sumiyati menatap Pamannya, dengan tatap mata tegar.
Ia tidak menangis.
Lirih ia berbiSik :
"Mati adalah pilihan paling baik untuk Ayahku, Mang Karta."
Tetapi ketika ia masuk ke kamar tidurnya, air mata Sumiyati menetes juga. Benar,
mati adalah pilihan baik untuk Ayahnya. Tetapi tanpa Sumiyati mengantar kematian
Ayahnya, bukanlah sebuah kenyataan yang menggembirakan. Apalagi mengingat,
Ayahnya mati tanpa kubur.
Malam itu.ia tidak terpejam. Bolak-balik gelisah di ranjangnya, pikiran Sumiyati
kacau tak menentu. Bayangan bayangan menakutkan silih berganti menghantam
benaknya. Ibunya yang terpanggang pagar bambu, Ayahnya yang terpasung dan mati
tanpa kubur, Azis Partogi yang mati mengerikan. Selain membayangkan kematian demi
kematian itu, Sumiyati juga membayangkan hal hal lain, sekedar untuk menekan
keresahan iiwanya. Ia pikirkan tentang orang orang lain, terutama yang paling dekat
dengan Azis. Ia juga memikirkan Kapten PoliSI Rukmana yang telah mentraktirnya
makan siang, setelah mana Sumiyati kemudian minta diantarkan ke terminal bis antar
kota karena ingin menjenguk Ayahnya.
Makan siang yang menyenangkan. Tak sekalipun Rukmana menyinggung nyinggung
apa yang sebelumnya ia isyaratkan pada malam sebelumnya. Sebab ketika mereka
berpisah di tempat itu Sumiyati terdorong untuk bertanya
"Sebenarnya, Kapten Untuk apa Anda mengajakku makan siang?"
Rukmana tertawa renyai. Lalu menjawab diplomatis
"Makan berdua, lebih nyaman ketimbang sendirian bukan, Sum?" Dan ketika mereka
berjabat tangan perpisahan, tatap mata Rukmana tampak begitu hangat. Apalagi cara
pendekatannya yang semakin menjurus :
"Sepulang dari Ciamis, Neng. Beritahu aku, apakah kau punya waktu untuk sesekali
kuajak makan malam!"
Bukan Rukmana seorang yang pernah mengajukan tawaran seperti itu. Apabila
dirinya adalah orang lain, Sumiyati pastilah akan sangat bangga dan berbahagia.
Sadar akan dirinya sendiri, Sumiyati justru merasa teramat menderita.
Air matanya meleleh lagi, tatkala ia bergumam sedih :
"Mengapa aku tak berhak menikmati kebahagiaan itu? Apa dosaku?!"
***
SADAR akan perubahan sikap orang-orang sekitar, Sumiyati memutuskan untuk
secepat mungkin pulang ke Bandung. Pagi harinya ia batasi diri menyambut orang
orang tertentu saja : tetangga sebelah menyebelah, Mang Harlas, dan Kepala Kampung
pada siapa ia mengucapkan terima kasih atas kebijaksanaan yang ditempuh ketua
kampung itu mengenai persoalan Ayahnya. Setelah menziarahi makam Ibunya, ia
kemudian pamit pada Mang Karta dan istrinya, disertai pesan agar segera mengabari
bila ada perkembangan baru yang mereka ketahui tentang hilangnya Ayah Sumiyati.
Ucapan-ucapan bernada simpati sepanjang pagi itu ia telan begitu saja meski hal itu
tidak lagi ia butuhkan.
Ia tidak langsung pulang ke Bandung. Dengan sebuah ojek yang dicegatkan oleh
Mang Karta, Sumiyati minta diantarkan ke Ciamis. Lewat di pangkalan ojek tak terlihat
tampang Arman. Mungkin sedang mengantar penumpang, atau mungkin sengaja
menghindari pertemuan dengan Sumiyati. Setiba di Ciamis ia turun di depan sebuah
rumah kecil dan sederhana. Sudah merupakan kewajiban mutlak dalam hati Sumiyati,
setiap kali pulang kampung ia harus menyempatkan diri singgah di rumah itu dan
beranjangsana pada penghuninya.
Seorang perempuan berusia sekitar 50an tergopoh gopoh menyongsong setelah
mengetahui siapa tamu yang turun dari ojek di depan rumah, Sumiyati dirangkul
hangat, dihadiahi ciuman yang sama hangatnya di pipi kanan dan kiri. Sambil menyeret
Sumiyati masuk ke dalam, perempuan itu ribut berceloteh kian kemari. Lalu tiba tiba
menghilang. Pergi ke sebelah rumah, dari mana seorang bocah laki-laki tanggung
kemudian ngebut dengan sepeda motor ke pusat kota.
"Aku baru saja menyuruh seseorang memanggilkan Maman," ujar perempuan itu
setelah ia masuk lagi ke dalam rumah.
"Aduh, Neng Mia. Kau tambah cantik saja. Kau tentunya akan menginap barang satu
dua malam, bukan?"
Bersemu merah kulit wajah Sumiyati. Ia memang pernah melakukan hal itu sekali
dua kali bila berkunjung ke rumah ini. Karena hanya di rumah inilah, ia memperoleh
kebahagiaan, meski hanya untuk direguk sebentar saja setelah ia dipaksa harus kembali
pada kesendiriannya yang menakutkan.
"Maaf, Bu. Saya bermaksud pulang hari ini ke Bandung," jawab Sumiyati.
"Wah, Neng Mia. Kok ."
"Banyak pekerjaan menunggu, Bu."
"Lupakan itu. Dan camkan, aku akan sangat marah kalau kau pulang hari ini juga'"
Sumiyati tertam mendengar ancaman perempuan itu. Marah atau tidak, toh setiap
kali Sumiyati muncul lagi, tetap disambut hangat dan, dengan tangan terbuka lebar.
Tak usah susah susah memikirkan, apa sebabnya. Begitu mereka duduk sambil
menghadapi penganan yang dihidangkan, perempuan tua itu langsung mengeluh :
"Kau tahu berapa umur Maman sekarang, Nak?"
"Tak pernah kutanya, Bu," sahut Mia tenang.
"Seharusnya kau tanya dia. Dan kau katakan padanya, bahwa semakin tua usia
seseorang akan semakin hilanglah kesempatannya ."
Sumiyati terdiam.
Pertanyaan itu lebih pantas ditujukan pada diriku sendiri, pikirnya, lantas berdesah
disertai senyuman getir :
"Ibu menyindirku, ya?"
"Nah. Kau mengerti !" perempuan itu tersenyum puas.
"Jadi apa lagi yang kalian tunggu? Lihat Dua orang adiknya Maman, sudah pada
berumah tangga. Malah sudah menambah empat orang cucuku, sehingga semuanya kini
berjumlah 17, belum lagi tiga orang buyut. Nah, aku tak akan bertanya berapa umurmu
sekarang. Tetapi dapatkah kau bayangkan, bila di usia 40-an nanti, tiba tiba kau baru-.
menyusui bayimu?"
"Itu masih 10 tahun lagi, Bu "
"Memang. Dan pada waktu itu, Maman sudah berusia 45 tahun. Coba pikir! 4' tahun,
baru ia punya bayi. 10 tahun berikutnya, anak Maman baru kelas dua atau tiga es de
Anaknya lulus sekolah dasar, justru Maman sudah mulai payah. Loyo. Itu baru satu
anak. Bagaimana kalau dua, tiga, empat? Apa dia sanggup menghidupi mereka. Untuk
menyuapi diri sendiri pun, Maman belum tentu. Ia akan mulai renta dan"
"Itu tak perlu menunggu 10 tahun lagi. Kalau ia mau, aku bersedia kawin dengannya
jam ini juga!" terdengar suara serak dari arah pintu depan yang terbuka. Sukiman
berdiri di ambang pintu dan mengawasi Sumiyati dengan tatap mata diliputi kasih
sayang. Tanpa mengucapkan selamat datang pada tamu mereka, Sukiman lantas
menambahkan :
"Hanya kupikir, Bu. Mia menganggap cucu Ibu sudah kelewat banyak. Atau aku
salah, Mia?"
Diserang langsung, Sumiyati terjengah.
Ia merundukkan wajah, Sementara si perempuan tua menyatakan keheranan
bagaimana anak tetangga sebelah dapat menjemput Sukiman sedemikian cepatnya.
Sukiman menjelaskan bahwa ia belum bertemu dengan anak dimaksud.
"Entah mengapa, tiba tiba saja timbul hasratku pulang ke rumah. Ada tarikan gaib
yang tak dapat kucegah ," katanya, yang membuat Mia semakin merunduk.
Setelah ngobrol beberapa menit lagi, Ibu Sukiman pergi meninggalkan rumah.
Katanya mau ke pasar, setelah itu mengunjungi beberapa Orang cucunya. Sebelum
pergi, ia mengingatkan pada Sumiyati :
"Mungkin baru malam nanti aku pulang, Mia. Dan kuharap, kau masih di sini saat
itu. Banyak hal yang ingin kubicarakan dengan kalian berdua ..."
Begitu Ibunya menghilang, Sukiman lantas mendengus :
"Pasti omong kosong yang sama lagi, kukira. Bosan aku mendengarnya!"
Sumiyati menatap lurus ke mata pemuda di depannya._BerbiSik tajam :
"Bukan salah beliau, Kang Maman_"
"Bukan pula salahku'" tukas Sukiman terang terangan. '
"Kang Maman ...."
"Mengapa, Mia?" Sukiman memotong, tak sabar.
"Mengapa aku harus kau biarkan menunggu lebih lama?"
"Sudah berapa kali kukatakan, Kang Maman. Aku bukan orang yang pantas kau
tunggu."
"Aku tak berminat membicarakan gadis lain. Dan aku tak berminat pada ucapan
yang itu ke itu juga, Mia." .
"Kau tahu orang macam apa Ayahku, Kang Maman "
"Yang ingin kuperistri engkau, Mia. Bukan Ayahmu!" .
"Lalu apa kata Ibumu dan keluargamu semua, bila mereka tahu aku ini adalah
keturunan .."
"Aku tak perduli," potong Sukiman tandas.
"Harus, Kang Maman. Suatu saat kelak, toh akan terbuka juga."
"Itu urusan nanti."
"Lebih baik hancur sekarang daripada porak poranda di belakang hari Kang
Maman."
Sukiman tertegun. Wajahnya tegang dan dengan nafas tertahan ia bertanya :
"Kalau kau siap kunikahi, Mia. Aku akan bicara dengan Ibuku saat ini juga...."
Sumiyati terpojok lagi. Keluhnya :
"Mengapa harus aku, Kang Maman? MaSih banyak gadis lain, dan ."
"Berterus teranglah, Mia. Apa alasanmu yang sebenarnya? Bukan sekedar mengenai
Ayahmu, kukira ...."
"Memang tidak." '
"Jadi?"
"Maaf, Kang Maman. Tak dapat aku menceritakannya "
"Setelah sekian tahun?"
"Aku masih perlu memikirkannya untuk sekian tahun mendatang, Kang Maman. Dan
kalaupun saat itu akhirnya tiba, aku yakin jawabanku tetap sama."
Mendengar ucapan Sumiyati, wajah Sukiman berubah pucat.
"Tahukah kau, Mia," desahnya kering.
"Seringkali aku berharap dapat membencimu. Sedemikian rupa, sehingga aku sampai
pada pemikiran. Bahwa kebencian itu hanya dapat kuhapus. bila kau mati. Di
tanganku!"
Sumiyati tersenyum. Getir. Katanya :
"Selalu aku tak sanggup meninggalkan Ciamis, tanpa bertemu lebih dulu denganmu,
Kang Maman. Kau telah begitu banyak membantu aku. sejak mula pertama kita
bertemu. Kaulah yang dengan setia dan tak pernah putus asa mendorongku agar tetap
hidup. Yang selalu mengingatkan aku bahwa dengan perjuangan, aku akan dapat
membalas kesakithatian diriku, Ayah ibuku, pada mereka mereka yang telah
mendatangkan bencana pada kehidupan keluargaku, pada orang orang yang
menghancurkan masa remajaku. Sekaligas aku dapat ...."
menghancurkan musuh-musuh Sejenis dengan musuh musuh keluargamu. Musuh
banyak orang lain," Sukiman memotong, tenang. Ia menarik nafas, tersenyum kecut,
melanjutkan dengan sikap yang lebih lunak dan bersahabat :
"Kau telah memulainya, Mia. Dan tahukah kau, bahwa kau lebih sukses dalam
bidang yang kuajarkan padamu, ketimbang apa yang telah kucapai sebagai guru
pembimbingmu?"
Ucapan-ucapan Sukiman jelas mengajak Sumiyati mendinginkan suasana. Tetapi
Sumiyati tak ingin menyerah begitu saja.
"Lalu, mengapa tiap kali kita bertemu kau selalu mengajak bertengkar.Kang
Maman?"
"Sudahlah-, Mia. Lupakan "
"Tidak mungkin, Kang Maman. Ada perkembangan mengenai Ayahku. Juga diriku
sendiri!"
"Aku sudah dengar Ayahmu menghilang Mia. Aku ikut prihatin, dan ...,' Sukiman
bergidik. Lalu bertanya dengan wajah tegang.
"Apakah perubahan wujud Ayahmu akan dominan, Mia?"
Sumiyati menunduk. Pucat.
"Kukira begitu," jawabnya lirih.
"Dan aku oh, aku begitu takut, Kang Maman!"
"Apa yang kau takutkan, Mia?" ,
Sumiyati menutup mulutnya rapat rapat. Karenanya, Sukiman mengeluh :
"Seperti biasa, bukan? Aku tak boleh bertanya terlalu jauh. Kapan semua ini harus
kita akhiri, Mia?"
Sumiyati menguatkan dirinya. Bertanya tenang : '
"Sejak saat ini juga, Kang Maman."
"Maksudmu?"
"Ini adalah kunjunganku yang terakhir. Maksud ku, dalam arti kuniungan yang
sifatnya sama dengan kunjungan kunjunganku sebelum ini ...."
Sukiman tertawa. Parau.
"Kau tidak bersungguh sungguh, Mia," katanya lebih parau lagi.
"Sudah waktunya kau mengalihkan perhatianmu pada gadis lain, Kang Maman!"
Detik itu juga, habislah kesabaran si pemuda.
Tubuhnya terdorong ke depan. Kedua lengan terkembang, dan saat berikutnya
sepasang telapak tangan yang kokoh dengan kasar telah mencengkeram pundak
Sumiyati. Nafas Sukiman tersungal sengal. Matanya berubah liar dan buas, ketika ia
mendeSis :
"Ucapkan itu sekali lagi. Dan aku benar-benar akan membunuhmu!"
Sayang, desisan buas dan penuh kemarahan itu hanya terungkap di sanubari
Sukiman. Adapun mulutnya hanya mampu menggeram, mendengarkan nafas sesak tiada
tertahan. Kendali dirinya lepas, dan salah satu tangannya yang mencengkeram pundak
Sumiyati ikut lepas. Tangan itu melayang di udara, lalu dengan deras mendarat di pipi
Sumiyati, meninggalkan balur balur merah yang muncul perlahan-lahan.
Sumiyati tidak melakukan perlawanan.
Bahkan tidak mengeluh sama sekali, betapapun menyakitkan tamparan lelaki itu
pada wajahnya, pada jiwanya. Ia malah dapat tersenyum. Dan berkata dengan
perasaan lega :
"Suatu akhir yang baik buat kita berdua, Kang Maman."
Sumiyati kemudian bangkit dari kursinya
Tasnya disambar, dan berjalan dengan langkah pasti ke pintu depan. Tetapi semakin
jauh ia melangkah, semakin goyah lututnya. Di ambang pintu, ia tak sanggup lagi.
Tasnya terjatuh begitu saja. Ia memutar tubuh, menghadap ke arah Sukiman yang
berdiri memperhatikan tingkah lakunya yang begitu tolol darn dungu.
"Kang Maman!" bisik Sumiyati tergetar, lantas ia lari menghambur ke pelukan
Sukiman yang siap menyambutnya. Sumiyati tenggelam dalam dekapan lengan lengan
yang kokoh itu. Larut dalam ciuman Ciuman bibir Sukiman yang sudah lama
menyimpan dahaga. Ia biarkan dirinya diseret Sukiman masuk kamar tidur. Ia
menyerah pasrah ketika tubuhnya diangkat lalu dibaringkan lembut.
Dan ketika tubuh mereka bertemu di tempat peraduan tanpa batas, Sumiyati
menangis bahagia. Dalam tangisnya ia mengerang, seraya mengimbangi gerakan tubuh
Sukiman yang membuat Sumiyati lupa diri. Akhirnya dalam suatu sentakan yang luar
biasa menakjubkan, Sumiyati mengeluarkan keluhan lemah dan panjang. Disusul
perasaan lemah yang mengantarkannya ke suatu keheningan yang nyaman serta penuh
kedamaian. _ '
***
Satu jam kemudian Sumiyati' sudah berpakaian rapih kembali. Ia tengah
membuatkan minuman untuk mereka berdua di dapur, ketika Sukiman yang masih
bertelanjang dada mendatangi dengan selembar suratkabar pagi terbitan Bandung,
yang ia paparkan di meja dapur.
"Kau sudah membaca berita ini, Mia?" tanya Sukiman tanpa praduga apa apa.
Sumiyati melirik sekilas. .
Gambar gambar yang menyertai berita utama di halaman depan surat kabar itu
sudah mengejutkan, konon lagi judul beritanya berupa dua pertanyaan dalam huruf
huruf besar dan menyolok mata : SIAPA PEMBUNUHNYA? MANUSIA ATAU
BINATANG JADI JADIAN? Sumiyati menyimak potret potret yang jelas diambil di
kamar mayat rumah sakit, dan menyimak isi beritanya. Ia tercekat, lantas berkata lirih :
"Agaknya, Kapten Rukmana bukan saja kecolongan aku seorang."
Sukiman menoleh.
"Maksudmu, kau juga telah mengetahuinya?"
"Lebih cepat dari penulis berita itu. Aku hadir di tempat kejadian, bahkan sempat
jadi sasaran kecurigaan Pak Rukmana." Sumiyati memikirkan apa yang tanpa sadar
telah ia ucapkan barusan. Kemudian ia tertawa, lalu bertanya mengapa Sukiman
memperlihatkan berita menyeramkan itu padanya.
"Azis Partogi salah satu musuh besarmu, bukan.' jawab Sukiman.
"Selain itu, ada sesuatu yan lain ingin kuperlihatkan padamu. Tunggulah sebentar ."
Sumiyati sudah siap dengan minuman mereka di kamar tidur, ketika Sukiman muncul
lagi dengan beberapa foto hitam putih di tangannya.
"Aku yang memotretnya beberapa hari yang lalu. Dan sialnya, aku dilarang memuat
foto foto ini maupun gunjingan yang terjadi di sekitarnya. Kata polisi, untuk mencegah
kegemparan yang tidak perlu!"
Foto foto itu memperlihatkan jenazah seorang lelaki setengah umur yang keadaan
tubuhnya rusak berantakan. Bahkan wajahnya hampir tak dikenali. Tubuh itu dipenuhi
luka luka menganga dan mengerikan. Beberapa daging tubuhnya lenyap, bahkan
kepalanya terpisah beberapa meter dari tempat tubuhnya ditemukan.
"Dokter yang memeriksa jenazah ini mengatakan, korban mati akibat serangan
makhluk buas. Ia tak yakin, kalau pembunuh itu seorang manusia biasa!" Sukiman
mendecap-decapkan mulut.
"Kau lihat bukan? Ada persamaan dengan kematian Azis Partogi !"
Jantung Sumiyati berdegup kencang.
Ia berusaha setenang mungkin ketika bertanya :
"Kau tahu siapa korban pembunuhan ini, Kang Maman?"
"Pak Durasin. Drs. Durasin, pejabat penting di bagian Agraria Kabupaten Ciamis."
Dada Sumiyati semakin berdebar.
"Pak Durasin?" '
"Benar. Mengapa?"
"Ah. Hanya ingin tahu...,"
Sumiati pura pura sibuk membenahi sprei tempat tidur yang awut awutan. Seraya
berpikir cepat: Durasin adalah musuh besar ayahnya. Durasin lah yang telah
melakukan manipulasi reboisasi hutan lindung beberapa tahun yang lalu. Manipulasi
itu diketahui ayah Sumiyati. Bujukan sejumlah besar uang tak berhasil mempengaruhi
kejujuran Ayahnya yang memang semenjak kecil angat mencintai kelestarian alam
kelahiran_nenek moyangnya. Tekanan dan ancaman phisik akhirnya berhaSil
mengenyahkan ayah Sumiyati dari jabatan pengawas hutan lindung, dan membuat
ayahnya frustrasi. Buka mulut, takut keluarganya celaka. Tutup mulut, hati nuraninya
tak-mengizinkan. Dan terjadilah peristiwa mengerikan itu. Ayah Sumiyati berperilaku
aneh, dan bencana berikutnya membuat ayahnya malah berganti wujud.
Suatu sentuhan hangat menyapu pundak Sumiyati.
Ia tersentak.
"Apa yang ada dalam pikiranmu, Mia?"
Pertanyaan yang terdengar sambil lalu itu diucapkan Sukiman seraya meneguk
minuman hangat yang disediakan si gadis. Karena tak ada jawaban, Sukiman lantas
memutuskan:
"Apa yang dapat kubantu, Mia?"
"Apa yang ada dalam pikiranmu, Kang Maman?" Sumiyati mengelak dengan balik
mengemukakan pertanyaan Sukiman tadi.
"Ayahmu."
Sumiyati menelan ludah. Menunggu.
"Setelah kudengar ayahmu menghilang diam diam aku pun ikut melacak, Mia, " kata
Sukiman, hati hati.
"Satu hari setelah Pak Durasin mati terbunuh ayahmu terlihat naik ke sebuah truk
yang menuju ke Bandung...." _
"Apa?" Sumiyati ternganga
"Surprise, bukan?" Sukiman tersenyum.
"Orang sekampungmu telah berlaku bijaksana, Mia. Barangkali juga, karena nama
baik kampung mereka tidak boleh tercemar. Jadi tak seorang pun yang melaporkan
kehilangan ayahmu ke polisi. Tetapi aku punya pertimbangan lain, Mia. Aku ingin
memastikan apakah ayahmu benar-benar sudah mati atau masih hidup. Bila kepastian
sudah kuperoleh, baru aku akan mengabarimu. Jadi, demikianlah yang terjadi.
Sumberku di Polres Ciamis memberitahu bahwa orang yang kucari masih hidup.
Sayangnya. saksi mata yang melihat ayahmu naik ke truk itu di luar kota Tasikmalaya...
tidak keburu mengejar truk itu. Ia bekas kawan sekerja ayahmu sendiri dan terlalu lama
berpikir mengapa ayahmu tampak begitu cepat tua dan kurus luar biasa. Baru beberapa
lama kemudian ia teringat bahwa aku pernah mendatanginya dan meminta bantuannya
kalau kalau menemukan ayahmu atau mendengar kabar tentang ayahmu. Karena waktu
itu aku sedang ke Panjalu untuk meliput suatu berita, ia lalu melapor ke polisi yang
juga telah kupesan agar ia temui bila ia tak dapat menemui aku. Katanya, ayahmu
berubah banyak. Tetapi perubahan itu tidak mempengaruhi keyakinannya bahwa orang
yang ia lihat pastilah ayahmu..."
Sumiyati terhenyak di pinggir ranjang.
Ayahnya masih hidup.
Dan Durasin kemudian mati secara mengerikan.
Sedang Azis Partogi....
"Mia?"
Sumiyati merasakan sentuhan lembut di pipinya. Sukiman mengangkat wajahnya,
memaksa untuk bertemu pandang dengan mata pemuda itu. Ada kilatan aneh di mata
Sukiman, walau hanya sekilas. Dan kilatan samar itu membuat Sumiyati merasa takut.
"Maukah kau menceritakan yang'sebenarnya padaku, Mia?"
Sumiyati berpikir cepat.
Lalu:
"Sebelum aku menjawabnya, Kang Maman Maukah kau menciumku?" _
Meskipun sempat heran dengan permintaan itu, Sukiman mencium juga bibir
Sumiyati. Semula ia menduga itu hanya ciuman seperlunya saja. Sekedar mengurangi
ketegangan di tubuh si gadis. Siapa nyana, kalau Ciuman balasan dari Sumiyati begitu
panas berapi api. Menggebu gebu dalam suatu desakan yang penuh tuntutan. _
Tanpa sadar, Sukiman terlarut dalam kejaran birahi Sumiyati. Permainan Cinta yang
ke dua kalinya, luar biasa mempesona. Sukiman tidak ingin pesona itu dirusak oleh hal
hal yang tak perlu. Maka selesai mereka bermain cinta, ia langsung rebah terkulai di
bawah selimut. Matanya terpejam, menikmati Sisasisa pesona itu. Letih bermain cinta
dua kali dengan antara yang begitu Singkat, membuat Sukiman akhirnya tertidur lelap.
Ketika ia terbangun malam harinya, yang membangunkannya bukan Sumiyati
melainkan ibunya. Belum juga ia terjaga sepenuhnya, Sukiman sudah diserang dengan
sebuah pertanyaan sengit:
"Mengapa kau biarkan Neng Mia pergi?"
"Apa?" Sukiman membuka matanya lebar lebar.
"Astaga, anak bodoh. Jadi kau telah ditinggal pacarmu diam diam. Berpakaianlah,
bujang tua. Susul dia ke terminal!" _
Di malam selarut itu?
***
LIMA
DUGAAN Sukiman mendekati kenyataan setiba Sumiyati di Bandung. Turun dari
becak di depan rumahnya, ia lihat empat orang laki laki tengah bermain kartu di
beranda. Derit pintu pagar dibuka Sumiyati menghentikan permainan mereka. Orang
yang berseragam Hansip lantas berdiri dan menyambut senang;
"Oh. Itu dia, sudah pulang. Bawa oleh-oleh apa dari kampung, Neng?"
Sumiyati tertegun.
"Dari siapa Pak Eman tahu aku pulang kampung?" ia bertanya heran
"Bu Ijah," jawab Hansip itu.
"000. Mengapa kalian tak main di dalam saja. Di luar dingin...."
"Ah. Cuma iseng, Neng. Sambil menunggu waktu mulai meronda. Dan, karena Neng
Sumiyati sudah pulang...."
"Tak apa. Mainlah terus. Tetapi, aduh. Bagaimana ya. Aku tak bawa oleh-oleh...,"
Sumiyati kebingungan. Lantas merogoh ke dalam tasnya. Kemudian menyodorkan dua
lembar uang kertas ribuan pada Hansip itu, yang menerimanya malu-malu.
"Kalian belilah rokok atau apa... Sungguh, tak mau masuk?"
"Terima kasih, Neng. Lagi pula kini saatnya kami meronda. Selamat malam, Neng.
Jangan segan memanggil kami kalau terjadi apa apa. Cukup dengan berteriak!" Hansip
itu tersenyum dan mengajak tiga orang temannya meronda untuk' segera berlalu,
sambil tak lupa mengucapkan terima-kasih sekali lagi dan berpesan agar memeriksa
semua pintu dan jendela apakah sudah terkunci dengan aman.
Masuk ke dalam rumah, Sumiyati menangkap pandangan mata curiga di wajah
perempuan setengah baya yang membukakan pintu untuknya.
"Apa yang terjadi, Bu Ijah?"
Perempuan itu lebih dulu mengunci pintu. Mengintip sebentar keluar lewat tirai
jendela. Lantas, seolah takut didengar orang lain, ia berbisik khawatir:
"Apakah ayahmu melarikan diri, Neng?"
Sumiyati terkesiap.
"Kok ibu tahu," desahnya gemetar.
"Kemarin malam ada orang mau menyatroni rumah kita. Aku punya firasat, Neng.
Pasti dia itu ayahmu!"
"Ah...."
"Terjadinya sekitar pukul sebelas" Bu Ijah bercerita sambil mengambilkan tas
Sumiyati dan membawanya ke ruangan dalam. Ia menunda ceritanya sejenak untuk
membuatkan minuman hangat buat Sumiyati. Setelah kemudian mereka duduk lagi
berhadap hadapan, perempuan itu melanjutkan ceritanya.
Kemarin malam, sebelum acara film seri di televisi ia pergi ke kamar mandi.
"Kencing," katanya.
"Biar nontonnya tidak terganggu." Keluar dari kamar mandi, ia menangkap suara
gesekan gesekan pada daun pintu yang menghadap ke gang di samping rumah. Semula
ia menyangka Suara desau angin di pohon mangga. Tetapi kemudian gesekan itu
berubah jadi suara menggaruk-garuk.
Karena takut, ia tidak berani bergerak. Lebih lebih setelah mendengar pula suara
desah nafas berat, terputus putus. Sesekali desah nafas itu berdesing, seperti orang
menderita penyakit asma. Dalam ketakutannya, Bu Ijah sempat berpikir mungkin
seseorang memerlukan pertolongan. Maka ia bertanya hati hati:
"Siapa di luar?"
Desah nafas itu berhenti.
Sepi sebentar.
Lalu daun pintu bukan lagi digarukgaruk. Melainkan seperti didorong dari luar.
Yakin yang di luar itu memaksa mau masuk, Bu Ijah seketika menjerit minta tolong. Ia
menjerit sekeras kerasnya. Di akhir jerutannya, ia dengar suara menggeram, meraung,
lalu melolong tinggi dan nyaring. Bu Ijah semakin ketakutan. Ia masih panik ketika
tetangga sebelah menyebelah berdatangan dan menggedor gedor pintu dari luar. Lama
baru ia berani membuka pintu. Pada setiap orang yang bertanya ia menjawab ada
rampok mau menyatroni rumah. Tetangga dibantu petugas ronda malam sibuk mencari
kian kemari. Tak ada jejak ataupun petunjuk mereka peroleh. Tetapi setelah
kegemparan itu mereda, Bu Ijah mendengar suara sayup-sayup dikejauhan. Suara
lolongan tinggi melengking yang kian lama kian menghilang.
"Sampai subuh aku terus berpikir dan tiba-tiba teringat bahwa suara yang sama
pernah kudengar beberapa kali sewaktu aku masih di kampung"
setelah menarik nafas panjang. Wajahnya tampak pucat
"Setelah terbit matahari, pintu samping kuperiksa. Tampak guratan kacau dan samar
samar. Seperti daun pintu itu habis digaruk garuk kuku tajam_ dan runcing..."
Sumiyati terhenyak. Pucat.
"Sukiman benar" Bisiknya kecut.
"Apa dia bilang?" '
"Kau benar, Bu. Ayah lepas dari pasungan. Dan menurut petunjuk petunjuk yang
dikumpulkan Kang Maman, ia menduga ayah kabur ke Bandung. Tentunya untuk
menemui aku...."
"Astaga, Neng! Lalu apa yang mesti kita perbuat?" '
"Aku..., Aku belum tahu. Akan kulihat situasinya nanti," jawab Sumiyati seraya
bangkit dari duduknya.
"Ada tamu selama aku pergi?" tanyanya mengalihkan obrolan tak menyenangkan itu.
Bu Ijah memberitahu ada lima orang tamu yang menanyakan Sumiyati. Dua adalah
reporter yang seLama ini membantu tugas-tugas Sumiyati. Duaduanya meninggalkan
bahan berita untuk dipelajari. Lalu Hendro, bekas temannya satu kuliah di Fakultas
Hukum. hanya kunjungan biasa. Disusul Anton, wartawan majalah Selecta yang selama
enam bulan terakhir berusaha mendekati Sumiyati. Anton sempat ngobrol hampir dua
jam dengan Bu Ijah. Diakhiri dengan pesan halus yang maksudnya jelas: agar Bu Ijah
bersedia membujuk Sumiyati agar menerima lamaran Anton untuk menikah.
"Sia sia saja kalau aku mencobanya, bukan?" Bu Ijah mengerling.
"Ia pemuda baik," jawab Sumiyati tersenyum.
"Siapa orang satunya lagi?"
"Neng Mira."
"Mira yang mana?"_
"Jandanya Kusmin. Katanya dia setuju riwayat perkawinannya dimuat di majalah...."
kata Bu Ijah sambil menambahkan bahwa masih ada empat pucuk surat dan sejumlah
panggilan telepon untuk Sumiyati.
Selagi berendam di bak yang dipenuhi air hanga elektris, Sumiyati mencoba
membuang pikiran mengenai ayahnya. Banyak pekerjaan penting yang patut ia
perhatikan. Mira itu, misalnya. Terakhir kali suami Mira, keluar dari penjara, ia
berhasil dibujuk seorang pengusaha real estate berpredikat Haji supaya merubah cara
hidup di usia Kusmin yang menjelang senja. Kusmin diberi pekerjaan sebagai kepala
keamanan di proyek-proyek si pengusaha. Demi isteri dan anakanaknya yang sudah
meningkat dewasa .Kusmin berusaha bekerja sebaik dan seulet mungkin. Bahkan ia
rajin mengikuti pengajian bersama Mira di rumah majikannya. Keluarganya mulai
dapat hidup tentram dengan penghasilan memadai. Anak anaknyapun terlepas pula dari
frustrasi. Tetapi semua harapan yang mulai dibangun, tiba-tiba hancur berantakan
manakala berkembang aksi penembak misterius yan mengambil korban pelaku pelaku
atau bekas pelaku kriminil.
Suatu malam, Kusmin dijemput lima orang berpakaian preman. Salah seorang dari
mereka dikenali Mira bernama Pranoto, berpangkat sersan. Kusmin yang yakin dirinya
sudah bersih, menurut saja diminta ikut naik jip. Pranoto yang sersan itu memang
bilang cuma 'ingin ngobrol ngobrol di kantor mereka Pagi harinya, tubuh Kusmin
ditemukan orang terkapar di pinggir jalan by pass Soekarno-Hatta dengan tangan
terikat tambang plastik dan kepala di tembus peluru. Semenjak hari itu, Mira dan anak
anaknya......
Pintu kamar mandi diketuk dari luar. .
"Ada telepon," terdengar suara Bu Ijah.
"Interlokal. Dari Ciamis!"
"Tunggu sebentar," sahut Sumiyati dan cepat cepat menyelesaikan mandinya.
Kemudian dengan hanya handuk membungkus sebagian tubuh ia pergi ke meja kerjanya
dan mengangkat pesawat. telepon.
"Hallo? Ini Kang Maman, ya?
"Mia? Aku sudah khawatir kau tak mau menyahuti teleponku."
"Ada apa, Kang Maman?" tanya Sumiyati seraya duduk santai 'di pinggir meja. Tak
perduli tepi bawah handuk jatuh melebar, menyebabkan bagian bawah tubuh Sumiyati
terbuka menganga.
"Aku habis dicaci maki Ibu!" Sukiman tertawa sumbang di telepon.
"Kau yang bikin gara gara!"
"Tolong sampaikan permintaan maafku, Kang Maman."
"Sudah."
"Apa jawabnya?"
"Ia baru mau terima, kalau kau sudah jadi isteriku yang sah. Oh... jangan memotong
dulu, Mia. Bukan itu maksudku meneleponmu larut malam begini. Tetapi. apakah kau
baik-baik saja. Maksudku...," Sukiman menggantung kalimatnya.
Sumiyati menghela nafas. Menahan deburan jantungnya. Baru setelahnya, ia
memberitahu:
"Ia ada di dekatku, Kang Maman."
"Cukup dekat?" Sukiman bertanya khawatir.
"Aku belum tahu. Baru gambaran sekilas saja."
"Kau bisa mengatasinya?"
"Mudah mudahan. Dengan doa Kang Maman."
"Pendirianku belum berubah, Mia."
"Terima kaSih, Kang Maman. Biarlah aku sendiri yang menghadapinya. Kau sendiri
punya persoalanyang sama beratnya, bukan?"
"Aku? Persoalan apa?"
Sumiyati mencoba tersenyum. Jawabnya:
"Ibumu. Nah. Selamat tidur, Kang Maman!" Ia meletakkan gagang telepon tanpa
menanti komentar Sukiman. Ia tak ingin berpanjang cerita lagi. Karena buntut
pembicaraan jelas itu ke itu lagi: kapan Sumiyati bersedia dinikahi Sukiman. Cara
memutuskan hubungan telepon semacam itu memang agak kasar. Tetapi apa yang
dapat diperbuat Sumiyati? Ia tidak akan pernah bersedia menerima lamaran seorang
lelaki. Karena, bila itu ia lakukan juga, maka keturunannya kelak akan jatuh sebagai
korban....
Duduk gelisah di pinggir meja, mata Sumiyati terpaut keempat pucuk surat yang
disebutkan Bi Ijah. Ia mempelajarinya sekilas dengan pikiran tetap gundah, tak
menentu. Surat dari Anton ia buang ke keranjang sampah tanpa membukanya. Surat
lainnya dari penerbit terkemuka di Jakarta. Sebuah tawaran untuk menerbitkan dalam
bentuk buku saku sebuah serial kisah nyata bersambung yang ditulis Sumiyati dan telah
dimuat di majalah tempatnya bekerja. Sumiyati lantas teringat, kisah nyata yang sama
juga telah ditawar seorang produser film untuk diangkat ke layar putih. Tentunya si
penerbit buku telah mendengar kabar itu, lalu cepat-cepat memanfaatkan naluri
bisnisnya.
Dua pucuk surat lainnya ia singkirkan karena dianggap Sumiyati tidak penting. Ia
lalu mempelajari beberapa panggilan telepon yang dicatat Bu Ijah di buku nota. Satu
dari pimpinan redaksinya di Jakarta. Tanpa pesan. Kapten Rukmana tentunya menemui
sesuatu, sehingga memerlukan menelepon meski ia tahu Sumiyati pulang ke Ciamis.
Juga tanpa'pesan.
Panggilan telepon lainnya tidak menyebut. nama, kecuali catatan di kertas nota:
Pemda Jabar. Di belakangnya, tambahan pesan pendek yang ditulis Bu Ijah dalam
huruf-huruf besar tentunya atas petunjuk si penelepon. Bunyinya: INFORMASI
POSITIF. Dua panggilan telepon lainnya tidak menarik minat Sumiyati. Lalu ia
menyimak nama Muranis Chaniago, Sarjana Hukum, Advokat. Pesannya adalah:
Penting, hubungi setiap saat!
Sumiyati berpikir, urusan penting apa maka pengacara yang disegani banyak orang
karena sepak terjangnya yang tanpa pandang _bulu itu, meninggalkan pesan dengan
prioritas utama seperti itu. Ada suatu detak lembut di jantung Sumiyati, yang kemudian
mendorongnya untuk menyambar gagang telepon dan memutar nomor-nomor yang
sudah menyatu dengan benaknya. Setelah mendapatkan sambungan, ia berkata tenang:
"Bu Anis Chan? Ini Sumiyati."
Muranis Chaniago tidak bertele-tele.
"Sum? Kau ada waktu datang ke kantorku?"
"Dinihari begini?"
"Besok siang. Pukul dua, kalau bisa."
"Oke."
"Jangan terlambat!"
"Oke."
Pesawat telepon baru saja ia letakkan ketika Bu Ijah mendadak muncul dengan
wajah pucat.
"Ia datang lagi!" bisiknya tajam. Selama beberapa detik Sumiyati tidak menangkap
maksud perempuan setengah baya yang selama tiga tahun terakhir ini telah
mendampinginya dengan setia.
Setelah akhirnya otaknya mampu mencerna dengan baik, Sumiyati merinding tiba
tiba. Ia duduk tegang, mengawasi pembantunya yang tampak mulai ketakutan. Di
tengah kesunyian malam, pelan-pelan Sumiyati mendengar suara berisik di luar rumah.
Datangnya dari pekarangan samping. Ada ketukan ketukan lembut di jendela. Disertai
suara geraman lemah, lalu nafas nafas berat yang terputus putus.
Ketika bunyi ketukan itu makin keras, Sumiyati beluncur dari meja dan setengah
berlari ke ruang tengah dan kemudian bersijingkat ke dekat jendela samping yang
tirainya tertutup rapat.
"Kau itu, Ayah?" ia bertanya, parau.
Diam sesaat. Lalu terdengar lagi desah nafas berat yang sesekali berdesing. Tangan
Sumiyati terangkat. Gemetar, dengan maksud akan membuka jendela. Tetapi
maksudnya diurungkan manakala di luar rumah terdengar suara hardikan lantang :
"Berhenti! Siapa itu?""
Ada langkah langkah kaki berlari menjauh, disusul teriakan teriakan beberapa orang
yang jelas mengejar. Sekujur tubuh Sumiyati melemah, dan ia tersandar di tembok
dengan wajah pucat pasi. Bu Ijah datang memburu dan menyingkapkan tirai jendela
dan mengintip lewat kaca. Tirai kemudian ia tutupkan kembali seraya berbisik cemas:
"Itu si Eman datang..."
Butir butir air mata melelehi pipi Sumiyati sementara Bu Ijah pergi ke pintu samping
yang digedor dari luar. Sumiyati tidak berani bergerak. Cemas dan takut serta dukacita
yang dalam bergalau dalam dadanya yang terasa _sesak mengerikan. Lamat lama! Ia
dengar suara percakapan antara Bu Ijah dengan Eman dan seorang lainnya lagi.
"... kami baik baik saja," Bu Ijah rupanya menjawab pertanyaan Eman.
"Bajingan itu lolos lagi," terdengar suara Eman geram.
"Tetapi Kurdi dan Ading masih mengejarnya. Bajingan itu nanti akan lihat, bahwa
nyamuk pun tak dapat selamat dari mata golok Kurdi!"
Sumiyati menjerit. Namun tak ada suaranya yang keluar, kecuali erangan lirih dan
air mata yang kian membanjiri pipi. Jerit ketakutan hanya membuat jantungnya
melemah, dan ulu hatinya terasa melilit sakit.
"Kalian mengenali dia?" terdengar Bu Ijah bertanya, ingin tahu. _
"Tidak," jawab Eman. Dan temannya menimpali :
"Ia pakai mantel bulu. Bertopeng Lagi. Penjahat aneh dia itu...." _
"Dan larinya cepat sekali!" Lagi Eman berbicara.
"Oh ya. Apakah Neng Sumiyati sudah tidur?"
" sudah."
"Biarkan saja. Jangan bangunkan. Kasihan. Ia tentunya maSih capek. Ayo pak er-te.
Kita minta bantuan yang lain untuk ikut mengejar." Ketika Bu Ijah kembali ke ruang
tengah, ia tidak lagi melihat Sumiyati menyandar di tembok. Gadis itu sudah jatuh
terkulai di permukaan lantai. Mulutnya megap megap, dan sepasang matanya tampak
berputar putar. Liar....
***
SELAIN tidak suka bertele tele. Muranis Chaniago juga tidak suka membuang tempo
begitu ia mendapatkannya. Selesai pembicaraan singkat dengan Sumiyati, dengan
gagang telepon masih di tangan yang satu ia memutar'nomor nomor dial pesawat
telepon dengan tangan satunya lagi. Ia yakin tidak perlu menunggu terlalu lama.
Karena, di pemakaman Aziz Partogi ia telah dilihat oleh Anwar Sobirin. Muranis
Chaniago tersenyum, membayangkan rekan seniornya itu tentulah telat bertindak
sebagai perantara tanpa dibayar.
Telinganya menangkap suara berdetak lembut nafas berat, disusul suara serak:
"Hallo?"
Muranis Chaniago mengatur nafas setenang mungkin.
"Hallo. Selamat malam. Di sini Anis Chan. Dengan siapa saya berbicara?"
Nafas berat lagi. Kemudian:
"Bratamenggala. Barman Bratamenggala," terdengar sahutan parau.
"Maaf mengganggu Tuan selarut ini. Tetapi di tangan saya ada barang kecil yang
saya tidak tahu di. mana harus disimpan. Barangkali Tuan dan putera Tuan dapat
memberi saran...."
"Barangkali kami dapat menyimpannya, Bung Anis."
"Ah. Syukurlah."
"Berapa Bung Anis menjualnya?"
"Tiga puluh," Muranis Chaniago berkata tenang dan datar.
Terdengar hendusan nafas keras. Sepi sejenak Lalu:
"Dengan enam nol di belakangnya?"
"Benar, Tuan."
"Untuk barang tak berharga itu?"
"Ah. Saya percaya Tuan bermaksud sebaliknya!"
"Hem. Baiklah. Kapan kita dapat melakukan transaksi? Di mana?"
"Di kantor saya, Tuan. Pukul dua mana.. "
"Setuju. Wakil kami akan...."
"Maaf, Tuan!" Muranis Chaniago cepat memotong. Tak dapat ia bayangkan harus
berhadapan muka dengan rekan seniornya, Anwar Sobirin, untuk urusan semacam itu.
"Kehadiran perantara yang tidak berkepentingan_dapat merusak suasana. Lagi pula,
dari sudut lain transaksi itu akan sangat menguntungkan Tuan''
"Maksudnya?"
"Ada kaitan dengan jabatan Tuan yang akan datang..."
"Bung Anis banyak tahu, rupanya."
' "Ah. Tuan berlebihan!" Muranis Chaniago terbatuk batuk.
"Paling yang saya ketahui adalah, bahwa Tuan besok akan datang tepat pada
waktunya. Dan Tuan tidak membawa cheque, melainkan uang tunai!" ' ' _
"Kau cukup bersahabat, Bung Anis. Selamat malam!"
"Malam, Tuan."
Cukup baik sebagai permulaan, pikir Muranis Chaniago seraya meletakkan gagang
telepon di tempatnya. Ia memang telah memperhitungkan, Rp. 30 juta adalah harga
yang cukup memadai. ia dapat menyebut harga yang lebih tinggi. Tetapi akan timbul
keributan dan Muranis Chaniago ingin menghindarinya. Lagipula, uang sejumlah itu
biar tidak punya arti apa apa untuk Barman Bratamenggala serta puteranya, buat pihak
lain nilainya akan besar sekali.
Sambil menyulut sebatang rokok, ia menekan tombol interkom. Memanggil :
"Leo?"
Di pesawat interkom terdengar sahutan lesu:
"Saya baru saja berniat minggat, Pak Anis"
"Beri aku lima menit saja, Leo. Kau teleponkan aku tiga alamat. Nomor nomornya
nanti kuberitahu. Titipkan pesan pada alamat' alamat itu, bahwa besok kita ingin
bertemu muka dengan direkturnya masing masing. Karena aku harus menghadiri
sidang pengadilan di Bale Endah, kuharap kerelaanmu untuk menemui mereka besok
pagi. Usahakan sedemikian rupa, agar kita memperoleh kepastian bahwa mereka dapat
hadir di kantor kita sebelum pukul dua Siang. Ada beberapa berkas yang harus mereka
pelajari dan setujui. Nah. Siapkan catatanmu, Leo...."
Muranis Chaniago mendiktekan nomor-nomor yang ia inginkan. Juga bahan-bahan
pembicaraan yang perlu disampaikan. Selesai ia mendikte, pembantunya langsung
memprotes: '
"Jangan sinting, Pak!" '
Muranis Chaniago menyandar santai di kursi putarnya.
"Ada yang tidak beres, Leo?"
"Kita tidak punya dana sebanyak itu, Pak!"
"Kita punya, Leo," Muranis Chaniago tersenyum lebar.
"Kita punya!" ulangnya meyakinkan
***
DALAM kamar perpustakaan salah satu gedung mewah bertingkat dua di jalan
Ciumbulleuit yan merupakan daerah paling elit di sebelah utara kota Bandung, pada
saat bersamaan Muranis Chaniago di protes pembantunya, Barman Bratamenggala
juga mendapat protes keras dari puteranya.
"bahkan menawar pun Papa tidak!" Edd Bratamenggala setengah menjeritkan
perasaan tak senangnya. '
"Jangan berlaku tolol, Nak," jawab Barman tenang seraya menjatuhkan tubuhnya
yang berbobot 90 kg itu di kursi empuk yang dilapisi beludru warna hijau tua. Ia
meneguk sedikit whisky, menunggu aliran darahnya memacu lebih hangat, lantas
berdesah lembut:
"Aku mencium bau menyenangkan dalam transaksi kita besok siang."
"Transaksi? Itu pemerasan, Papa!"
"Tak seberapa, Nak. Dan...."
"Dan, aku tidak sudi dijadikan sapi perah!"
"Punya pendapat yang lebih baik?" .
"Ya. Banyak cara untuk memperoleh rekaman terkutuk itu. Misalnya, si pengacara
brengsek itu kita ajak ke suatu tempat. Dan di sana, terjadi sesuatu. Katakanlah,
kecelakaan lalu lintas atau semacamnya."
Walau tenang Barman Bratamenggala berubah tegang, keras. Katanya:
"Kau justru mengingatkan aku pada pangkal mula musibah ini, Ed!" _
Eddy Bratamenggala terdiam. Pucat.
"Maafkan aku, Pa...."
"Sudahlah!!"
"Pa? Aku hanya tak mau kalau kita terjebak."
"Terjebak? Oleh siapa?"
"Anis Chan sialan itu!" Eddy Bratamenggala mengepalkan tangan, perlambang isi
dadanya yang tengah bergumpal-gumpal menyesakkan.
"Ia dapat... ia menciptakan perangkap baru. Misalnya, yang kita beli besok siang
ternyata barang rongsokan. Bukan yang asli."
"Maksudmu ia akan menyimpan yang asli untuk dirinya sendiri? Yang suatu saat ia
manfaatkan untuk kembali memukul kita? Sebuah pukulan yang jauh lebih besar?"
"Nah. Papa dapat memahami aku bukan?" Eddy Bratamenggala menyeringai puas.
Seringai yang hanya sekejap cuma. Karena komentar ayahnya sungguh sangat
menyakitkan hati meski diutarakan dengan nada lembut :
"Anakku. Sebelum kau berbicara tentang watak orang lain lebih dulu pelajarilah
watakmu sendiri " Barman menambahkan whisky ke gelasnya
"Kau pulanglah. Aku tak mau menantuku menunggumu terlalu lama sehingga
menaruh kecurigaan yang tidak perlu."
Ia kemudian mengangkat telepon. Berbicara dengan seseorang, tanpa
memperhatikan puteranya beranjak ke pintu dengan kepala tertunduk lesu dan kaki kaki
melangkah gontai.
"Pak Soewito? Apakah undangan perjamuan makan malam besok sudah disepakati
Bapak Gubernur?" Wajah Barman Bratamenggala tampak cerah setelah memperoleh
jawaban. Ia kemudian membuka salah satu laci brankas, mengambil sebuah dokumen
dan mempelajarinya dengan teliti. Setengah jam berikutnya baru ia pergi tidur. Dalam
tempo dua menit ia sudah tertidur pulas. Tetapi otaknya tetap bekerja seperti komputer,
sampai angka angka yang bermain di sel sel otaknya kian simpang siur kemudian
mengabur dan semakin mengabur.
Di salah satu rumah dinas kepolisian, Rukman Hadinata pada jam yang sama justru
baru kedatangan tamu. Kepala plontos tamunya tampak bersinar sinar kemilau di
bawah jilatan lampu. Wajah si tamu, sebaliknya. Kusam dan letih. Hanya sinar
matanya saja yang tetap hidup dan bersemangat, pertanda ia telah mendapatkan
sesuatu yang sangat menarik hatinya. Mereka ngobrol dengan suara perlahan agar
anak isteri Rukmana tidak terusik dari tidur.
"... tak sabar menunggu sampai besok di kantorku, Pak Singgih?" Rukmana
mendesahkan protes .
"Sebuah kejutan tak boleh disimpan berlama-lama, Rukmana. Bisa luntur. Atau
baSi".
"Bapak tentunya letih."
"Ah. Ciamis tidak terlalu jauh, bukan?" lelaki berkepala botak licin itu tertawa
lunak
"Lagi pula, perolehanku di sana sebaiknya kau ketahui secepat mungkin."
"Jadi Pak Singgih lebih beruntung di Ciamis?"
"Ya. Keluarga Drs. Durasin sangat penasaran ingin tahu mengapa dia dibunuh dan
siapa pembunuhnya. Tidak seperti keluarganya Azis Partogi, yang menolak almarhum
diotopsi dan ingin menguburkan jenazahnya secepat cepatnya."
"Keluarga Azis Partogi sudah cukup menderita, Pak Singgih."
"Oh ya? Aku dengar, malah mereka jauh lebih berbahagia dengan matinya si malang
itu. Menyangkut harta waris, tentu. Apakah kau membiarkan mereka begitu saja,
Rukmana?"
"Orangorangku masih terus melakukan pengusutan, Pak. Cara kerja mereka tak
pernah kuragukan. Tetapi bukan itu yang akan kita obrolkan dinihari begini, toh?"
Sang tamu membuka tasnya yang lusuh. Ia keluarkan beberapa catatan, yang sama
lusuhnya. Setelah membacakan beberapa istilah kedokteran, ia kemudian berkata puas:
"Biar aku hanya punya waktu sedikit memeriksa jenazah Azis, tetapi aku berhasil
memperoleh beberapa petunjuk. Dan semua petunjuk itu, juga kutemukan bahkan lebih
lengkap, di catatan hasil otopsi jenasah Drs. Durasin dari dokter dokter sahabatku di
rumah sakit Ciamis. Kesimpulan yang dapat kutarik, Kapten Rukmana...."
"Di rumahku, tak usahlah berlaku formil, Dokter!" tegur Rukmana Hadinata, lembut.
"Sialan, jangan memotongku!" dokter kepolisian itu mendengus tak senang.
"Kesimpulanku Rukmana, cara kematian Azis dan Durasin adalah sama. Dan
pembunuh mereka, kalau bukan orang atau makhluk yang sama, tentulah..."
"Makhluk, dokter?"
"Itu dia kejutan buatmu, Rukmana!"
"oh ya?"
"Ada saksi mata yang secara kebetulan melihat sesosok tubuh melarikan diri dari
tempat ditemukannya mayat Durasun. Menurut saksi mata itu, Rukmana, sosok tubuh
itu berwarna gelap. Namun sempat melintas di bawah sinar rembulan. Sekujur
tubuhnya berbulu. Matanya memerah saga. Dan wajahnya, kalau itu dapat disebutkan
wajah.", berbentuk lancip Dengan lidah terjulur panjang, meneteskan semacam buih."
"Kau menghendaki bulu kudukku merinding. Pak Singgih?" Rukmana Hadinata
tersenyum lebar.
"Benar. Karena aku masih punya kejutan lain buatmu."
"Aduh. Jangan terlalu banyak kejutan, dokter. Nanti seisi rumahku pada terbangun
kaget!"
"Mau dengar tidak?"
"Ya, mau'"
"Nah. Menuruti amanatmu, aku sempatkan untuk berdialog dengan dua orang
pejabat kepolisian setempat. Apa yang mereka peroleh bukan untuk umum, khususnya
pihak kita . memang masih perlu dicek akurat atau tidaknya. Namun petunjuk yang
mereka peroleh, jelas mengarah ke satu alamat. Dan alamat itu,'Rukmana, adalah
alamat kampung asal gadis kita yang menarik hati itu...."
"Gadis kita', Pak Singgih?"
"Alaa!" dokter Singgih tertawa mengejek:
"Bukan kau saja yang normal sebagai laki'laki, Rukmana. kalaulah aku jauh lebih
muda, aku.akan melakukan segala cara untuk dapat tidur barang satu dua jam dengan
gadis itu!"
"Husssh!" Rukmana menempatkan jari telunjuk di bibir, seraya matanya melirik
cemas ke pintu kamar tidurnya.
"Jangan keras keras, ah. Dan eh. Kau selalu menyebut gadis, tidak menyebut
nama...."
"Kau berpura-pura!" tuduh dokter Singgih, dengan bibir mencibir. '
Mendengar tuduhan itu, benarlah apa yang tadi dikatakan tamunya. Mendadak, bulu
punduk Rukmaa Hadinata pada merinding seketika. Suaranya seperti tertelan, ketika ia
berbisik :
"Sumiyati?"
Dokter Singgih mengangguk anggukkan kepala botaknya yang tampak diteteSi
butir-butir keringat. ia memandang tuan rumah, menunggu reaksi yang lebih hebat.
Tetapi Rukmana mengalami kejutan itu sekilas saja, untuk seterusnya ia mencoba
menenangkan diri dan berkata pelan:
"Satu kampung oke. Tidak ada salahnya..."
"Ada, Rukmana."
"Mereka bahkan satu atap."
"Ia..., punya suami?"
"Senangkan dirimu, Rukmana. Sumiyati tidak berkata bohong tentang status
kegadisannya. Yang di maksud, adalah ayahnya."
"oh, oh, oh. Ini agak rumit, Dokter. Coba ceritakan lebih jelas...!" Rukmana berkata
begitu sambil di dalam hati berharap bahwa yang ia dengar adalah ringkasan sebuah
novel misteri atau permainan trick dalam sebuah film horror. Bukan suatu kenyataan,
seperti nyatanya kehadiran Sumiyati di lokasi penemuan jenazah Azis Partogi. Tiba
pada pemikiran itu, belakang kepala Rukmana berdenyut.
Denyutan itu terasa ganjil.
Tidak menyenangkan.
***
Enam
GONCANGAN yang dialami Sumiyati malam harinya mereda setelah pagi-pagi ia
dengar usaha pengejaran terhadap ayahnya tidak memperoleh hasil apaapa. Meski
masih diliputi tanda tanya, telepon pertama yang ia terima pagi hari itu cukup
menggembirakan pula. Rukmana Hadinata menanyakan apakah ia sehat-sehat saja.
Kapten polisi itu juga mengingatkan, bahwa undangannya makan malam bersama
Sumiyati masih tetap berlaku. Sebelum ditanya oleh Sumiyati. Rukmana sudah lebih
dulu menjelaskan bahwa satu hari sebelumnya ia juga menelepon ke rumah Sumiyati.
"Siapa tahu kau pulang hari itu dari Ciamis dan janji makan malam itu bisa kita
tetapkan waktunya." '
"Kau baik sekali, kapten", komentar Sumiyati setulus hati.
" Laki-laki lain akan berbuat lebih baik untuk gadis secantik engkau, Neng,"
Rukmana tertawa.
"Andai saja aku tidak terikat pada anak dan isteriku..."
"Apa kabar Ibu di rumah, Kapten?"
Setelah sedikit berbasa basi dan menyepakati untuk makan malam dua hari
berikutnya, Sumiyati kemudian sibuk dengan pekerjaannya yang rutin. Pukul 12 siang
ia telah menyelesaikan dua artikel dan satu berita. Dilengkapi dengan foto foto
ekskluSIf, artikel dan berita itu ia poskan ke alamat majalahnya di Jakarta. Dari kantor
pos ia memacu mobilnya ke rumah Mira, janda bekas reSidiVis kelas kakap itu.
Maksudnya hanya untuk menetapkan janji temu yang waktunya lebih leluasa. Ternyata
Mira mengungkapkan bahan baru untuk dipelajari oleh Sumiyati.
"Sebelum suamiku dibawa mereka, kami pernah didatangi seorang oknum," Mira
bercerita dengan bernafsu sehingga Sumiyati tak sampai hati untuk mengatakan agar
hal itu nanti saja dibicarakan.
"Suamiku mengetahui oknum itu terlibat dalam suatu tindak pidana. Ia datang untuk
mengancam suamiku agar jangan membuka rahaSia, kalau tidak..." Mira menghela
nafas panjang, yang maknanya dapat dimengerti Sumiyati.
"Suamiku tahu akan pOSisinya yang terjepit. Jadi ia memutuskan untuk tutup mulut.
Sialnya, keterlibatan oknum entah bagaimana terungkap juga. Pangkatnya diturunkan
satu tingkat dan ia juga dimutaSi ke jabatan yang kering. Kami mengetahui itu dari
surat kabar. Aku begitu cemas. Tetapi suamiku tenang tenang saja, merasa tidak
bersalah. Dan tiba tiba malam itu, muncullah mereka...."
Mira memberikan identitas lengkap oknum yang ia maksud, dan juga sejumlah
petunjuk tambahan untuk melengkapi bahan tulisan Sumiyati nantinya. Waktu berlalu
tanpa terasa, dan ketika Sumiyati me markir mobilnya-di Jalan Braga ia sudah
terlambat lima menit dari janji yang telah ia sepakati bersama Muranis Chaniago.
Bergegas Sumiyati memasuki sebuah gedung bertingkat peninggalan jaman Belanda.
Naik ke lantai tiga, ia disambut oleh Rita Suhardiman sekretaris Muranis Chaniago. '
"Kau Sudah ditunggu, Sum," sambut'Rita seraya mengantar Sumiyati ke sebuah pintu
tertutup. Pintu ia ketuk, dibuka lalu memperSilahkan :
"Masuklah."
Sebelum pintu kembali tertutup di belakangnya, Sumiyati sempat mendengar Muranis
Chaniago berpesan pada sekretarisnya agar mereka tidak diganggu selama
pembicaraan belum selesai. Sumiyati kemudian sadar, bahwa yang dimaksud "mereka"
bukan hanya ia dan SI pengacara, tetapi juga dua Orang lainnya. Yakni dua orang
tokoh yang mau tidak mau membuat Sumiyati terkeSiap. Jantungnya berdegup kencang.
Matanya sesaat menjadi liar. Terbayang sosok tubuh ibunya terlempar dari pinggir
jalan, melayang ke pagar bambu yang dengan kejam menyambut lambungnya, tembus
sampai ke punggung....
Di belakang mejanya, Muranis Chaniago, Sarjana Hukum, dengan matanya yang jeli
dan awas memperhatikan keSimpulan bahwa dua orang tamunya yang ini telah dikenal
baik oleh Sumiyati. Sebaliknya, Barman Bratamenggala tampak kebingungan dan
memperlihatkan wajah tak senang. Ada pun Eddi Bratamenggala, mengerutkan dahi
sebentar seraya menyimak Sumiyati dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Eddi
kemudian menggelengkan kepala dengan kaku. Pertanda, ia tidak dapat memastikan
Siapa gerangan Sumiyati. Ingat ingat lupa, barangkali.
Muranis Chaniago menelan ludah, lalu berujar tenang pada kedua orang tamu yang
telah datang lebih dulu :
"Maafkan, Tuan Tuan, tadi saya agak mengulur waktu. Nah. Silahkan berkenalan
dengan Sumiyati. Kalian boleh memanggilnya Neng Mia, atau Sum Kuning'"
Pancingan Muranis Chaniago langsung mengenai sasaran. ReakSi pertama datang
dari Eddi Bratamenggala, yang seketika pucat wajahnya. Bagaikan tersengat
kalajengking ia setengah terangkat dari duduknya disertai ucapan gugup :
".... Mia!"
Barman Bratamenggala sempat menatap heran melihat perubahan Sikap puteranya.
Ia kemudian mengawasi Muranis Chaniago dengan sorot mata tajam menusuk, lalu
bergumam kering :
"Sum Kuning! Jadi dia ini Bung Anis Chan. Anda sudah berjanji bahwa..."
"Tuan Barman," tugas Anis Chan, lembut.
"Tuan lupa barangkali. Dalam perjanjian kita, saya menyebut orang yang tidak
berkepentingan. Suamiyati jelas berkepentingan dan ia merupakan tokoh sentral dalam
transaksi yang akan kita lakukan."
"Tokoh sentral?" ada getaran dalam suara Barman Bratamenggala.
"Sebaiknya Tuan tanya saja putera Tuan."
Eddi Bratamenggala bagaikan duduk di atas bara api. Gelisah tak menentu, ia
membalas tatap mata ayahnya lalu menggerimitkan mulut kebingungan, sebelum
kemudian berkata dengan nafas terengah engah :
"Dia Neng Mia, Papa. Ibunya...." Kalimatnya tidak diteruskan. Dari wajah Barman
Bratamenggala yang mendadak berubah kaku, dapat ditarik kesim pulan bahwa ia tidak
memerlukan penjelasan panjang lebar.
Muranis Chaniago bangkit dari balik mejanya. Ia membimbing Sumiyati yang tampak
gontai, duduk di salah satu kursi.'Di sebelah mana Muranis sendiri ikut mengambil
tempat.
"Jadi kita sudah sama sama memahami situasi," ia berujar dengan santai lembut di
bibir namun sinar mata tetap melancarkan kewaspadaan itu pada tamu tamunya, ia
berkata :
"Di kamar asisten saya, hadir dua orang petugas berpakaian preman. Mereka jelas
tidak menyukai huru hara. Maka dengan sangat kumohon dari Tuan Tuan suatu kerja
sama. Agar transaksi kita berjalan mulus. Setuju?"
Eddi Bratamenggala diam, dan ayahnya mengomel pelan :
"Kesiapsiagaan Anda berlebihan, Bung Anis. Tetapi, baiklah. Kuanggap kita semua
setuju, bahwa kita kita ini adalah orang orang berpendidikan. Jadi sebaiknya kita mulai
saja sekarang...."
Muranis Chaniago mengucapkan terima kasih yang kedengarannya sangat tulus. Ia
mengerling sesaat pada Sumiyati, mengisyaratkan gadis itu agar tetap tenang. Lalu ia
beranjak ke meja kerjanya. Membuka laci dari mana ia mengeluarkan sebuah pita
rekaman yang terbungkus rapi. Pita mana kemudian ia masukkan ke tape, yang segera
ia setel. Semua gerakannya diikuti dengan penuh perhatian oleh tamu tamunya, yang
duduk diam dengan wajah sama sama tegang, tanpa seorang pun berani membuat
suara beriSik
DeSis pita rekaman yang berputar dalam tape dengan sendirinya terdengar begitu
jelas dan tajam. Se telah ada suara detakan lunak, terdengarlah desah nafas seseorang
disusul suara seorang lelaki memperkenalkan diri :
"Saya, AZIS Partogi, umur 39 tahun, pekerjaan."
"Cukup, Bung Anis'" Barman Bratamenggala berbisik tajam.
"Kami percaya barang yang kau jual itu asli!"
Detak keras terdengar waktu Muranis Chaniago mematikan tape recorder. Ia
bertanya hati hati' :
"Dari mana Tuan tahu keaslian rekaman ini?"
Jawab Barman datar :
"Bukankah di rekaman itu juga disebutkan, kami memiliki satu duplikdtnya?"
"Ah, maaf saya lupa," Muranis Chaniago menyeringai.
"Tetapi maafkanlah saya, kalau lebih dulu saya meminta pendapat Sumiyati..."
Barman Bratamenggala mau protes tetapi mengurungkannya setelah ia dengar
jawaban cepat dari Sumiyati :
"Sependapat!"
"Tetapi kau belum mendengar seluruhnya, Sum," Muranis Chaniago mengingatkan.
"Tak usah. Aku sudah menduga kira-kira apa yang telah direkam almarhum.Sebuah
pengakuan, tak lebih. Tanpa tekanan. Dan dengan tujuan ingin melindungi keselamatan
jiwanya. Ataukah aku keliru, Bang Anis?"
Muranis Chaniago mengangkat bahu, pertanda menyerah. Katanya :
"Lagi-lagi aku lupa. Bahwa seorang wartawan, selain penanya tajam, juga punya
naluri yang kuat!" ia tersenyum lebar dan pada dua orang tamunya yang lain ia
berdesah :
"Imbalannya, Tuan-Tuan?"
Barman Bratamenggala melirik pada putranya yang segera membuka sebuah tas
antik yang terletak di sebelah tempat duduknya. Dari dalamnya ia mengeluarkan
sebuah 'amplop besar dan tampak sangat tebal. Amplop mana, dengan tangan gemetar
dan wajah masih tetap pucat, ia letakkan di hadapan Muranis Chaniago. Pengacara
bertubuh pendek kekar itu hanya memperhatikan amplop sekilas saja, seakan tak
berminat.
"Silahkan dihitung, Tuan Pengacara," Barman Bratamenggala berkata dengan bibir
tersenyum menyindir.
Muranis Chaniago tidak menjawab hanya menyeringai sesaat pada Sumiyati yang
wajahnya berubah merah padam. Rupanya gadis itu telah memahami rencana apa yang
telah disepakati tanpa persetujuannya. Hanya karena ia tahu dan mengenal betul siapa
pengacara bertubuh pendek kekar itu, Sumiyati diam menekan umpatan kemarahan
yang sangat ingin dilontarkannya. Lega dengan reaksi diam yang diperlihatkan si
gadis, Muranis Chaiago memijit tombol interkom.
"Lea?" ia memanggil. '
"Siap, Pak", terdengar sahutan di pesawat lokal itu.
"Apakah tamu tamu kita yang terhormat sudah mempelajari berkas berkas itu?"
"Sudah, Pak." _
"Mereka setuju, saya harap." ,
"Bahkan sudah menandatanganinya, Pak." .
"Silahkan mereka masuk ke kantorku, Leo." Muranis Chaniago memutuskan
hubungan di interkom lalu cepat berpaling ke arah Barman Bratamenggala yang sudah
siap memprotes.
"Tamu-tamu berikut, Tuan Barman, juga berkepentingan."
"Aku tak suka ini semua, Tuan Pengacara!" bisik lelaki yang tinggi maupun bobot
tubuhnya itu hampir dua kali lipat tinggi dan bobot tubuh si pengacara.
Muranis Chaniago tersenyum.
"Apakah Tuan Tuan pikir saya menyukainya?" katanya mengejek.
Barman Bratamenggala terdiam. Ia menoleh cepat ketika pintu dibuka dari luar dan
masuklah dua orang laki laki setengah umur, berpakaian sederhana tetapi rapi dan
necis lengkap dengan jas serta dasi. Orang ketiga, wanita, dengan kebaya hijau lumut,
selendang batik berpola dasar hitam dan motif kembang warna biru kuning. Usianya
sekitar 60an tahun. namun tampak sehat: enerjik dan penampilannya anggun pula.
Kepada tamu-tamu terdahulu Muranis Chaniago memperkenalkan tiga orang tamu
belakangan. Masing masing mereka itu adalah pimpinan sebuah rumah sakit Islam,
sebuah yayasan penderita anak cacat, dan pimpinan wisma kaum jompo. Kepada tamu
tamu yang sama berwajah cerah itu Muranis Chaniago memperkenalkan Sumiyati
sebagai wartawati, tanpa embel-embel lain. Eddi Bratamenggala diperkenalkan dengan
jabatan lengkapnya di Badan Perencana Proyek Pemda Kabupaten Bandung dengan
tambahan penjelas
"Beliau ini merupakan calon kuat untuk jabatan Sekretaris Daerah."
Barman Bratamenggala segera mencium bau menguntungkan dari cara Muranis
Chaniago memperkenalkan mereka. Maka ia tidak memprotes apaapa waktu namanya
disebut juga jabatannya sebagai anggota dewan komisaris sebuah Bank Pemerintah,
plus embel embel yang sangat ramah dari Muranis Chaniago :
"Kita harap saja, dalam waktu dekat ini Tuan Barman Bratamenggala segera
dilantik dengan jabatannya yang baru sebagai Wakil Gubernur."
"Anak beranak yang mulia dan sangat beruntung!" desah wanita elegant yang
pimpinan wisma jompo itu.
"Peristiwa bersejarah untuk kami, dapat menemui Bapak-Bapak yang begitu
terhormat!" Sebagaimana umumnya seorang wanita, apalagi sudah ber usia lanjut,
kata-katanya seringkali meluncur deras seperti mobil ngebut di jalan raya tanpa
menyadari rem sudah blong. Ia jabat tangan Barman Bratamenggala erat erat dan
berlama lama, disertai rentetan kalimat yang menerocos tanpa kendali :
"Sumbangan Bapak untuk wisma kami, sangat besar sekali artinya Apa lagi dari Pak
Anis Chan kami dengar, setelah Bapak tak sudah resmi jadi Wakil Gubernur, Bapak
akan nyumbang lebih banyak lagi. Adalah penting sekali untuk kita semua mengetahui
."
Muranis Chaniago batuk batuk, sementara wajah . barman Bratamenggala yang
semula ramah dan cerah, mendadak berubah kaku. Pimpinan wisma jompo itu ini
mengucapkan sekeranjang pujian lagi sebelum tangannya ditarik oleh salah seorang
tamu yang memaksanya duduk dengan halus. Barman Bratamenggalapun duduk
pula._Duduk terhenyak, dengan pencaran kemarahan luar biasa di sanubarinya yang
menggelegak mengerikan. Ia mengerti sekarang. Tiga puluh juta rupiah yang diminta
oleh Muranis Chania, hanyalah merupakan sebuah permulaan belaka! 'transaksi hari
ini, benar berbau kampanye untuk pekerjaannya mendatang, juga jabatan putranya.
Tetapi secara tidak langsung, ia telah diikat untuk memberi lebih banyak. Oleh karena
dana dari Pemda untuk hal macam itu jelas sudah ditentukan batasnya, maka barman
Bratamenggala sudah dapat membayangkan kantong pribadinya kelak akan mengalami
banyak kebocoran yang harus ia tanggulangi sendiri...
"Anak jadah itu...!" ia membatin dengan mata melirik tajam ke arah Muranis
Chaniago yang berlagak pilon dengan pura pura asyik beramah tamah dengan tiga
orang tamunya yang muncul belakangan itu. Tak sampai sepuluh menit berikutnya,
ketiga orang tamu hormat itu meninggalkan kantor pengacara dengan mengantongi
masing-masing Rp 10 juta untuk yayasn mereka. Eddi Bratamenggala sudah lebih
tenang. ' juga sudah mencium keuntungan yang akan ia dan ayahnya peroleh di masa
mendatang dari transaksi itu. Sayang, ia telah mengabaikan bahwa semua itu
merupakan sebuah pemerasan halus, yang kelak di belakang hari dapat berkembang
menjadi lebih kasar.
Adapun Barman Bratamenggala, dengan wajah memerah dadu kembali mengawasi
tuan rumah dan tanpa duduk kembali ia berkata dengan suara gemetar menahan
amarah :
"Kami tidak diperlukan lagi, bukankah?!" Suatu ungkapan yang menyiratkan bahwa
ia merasa dirinya telah diperlakukan tak ubahnya sebagai sampah yang harus segera
disingkirkan jauh-jauh Untuk mengimbanginya, ia menambahkan dengan suara tajam :
"Kuharap kita lain kali dapat bertemu lagi, Tuan Pengacara. Dalam kondisi yang
berbeda tentunya." Lalu ia menggamit tangan putranya untuk bersiap siap pergi.
Muranis Chaniago mendehem lembut. Hampir tak acuh, ia bergumam :
"Ada wartawati di antara kita, kalau tak salah...." Dan pada Sumiyati ia berujar
penuh misteri :
"Atau, kau ingin memberikan komentar sebagai pribadi, Sumiyati?"
Sumiyati menahan senyum. Ia telah menangkap lelucon mengagumkan dari
pengacara bertubuh pendek itu. Maka seraya duduk santai di tempatnya, dua lantas
menciptakan lelucon baru dengan sebuah pertanyaan yang ditujukan pada anak
beranak itu
"Alangkah bahagianya, apabila almarhumah Ibuku dapat berkenalan dengan
Tuan-Tuan berdua. Akan lebih berbahagia lagi, seandainya Tuan-Tuan ini sudi
kiranya mendoakan ketenangan arwah beliau di alam kubur!"
Eddi Bratamenggala kembali bingung. Adapun ayahnya, masih terpengaruh oleh
pendaman dendam kesumat serta kemarahan tiada terperi, tampak begitu susah payah
untuk mengendalikan diri. Sadar bahwa ia telah melakukan satu lagi kesalahan
terbesar yan pernah ia perbuat sepanjang hidupnya. Berusaha selembut mungkin, ia
berkata '
"Agaknya, permintaan maaf sudah terlambat untuk kami sampaikan, Nona
sumiyati?"
Yang ditanya hanya diam dengan senyuman tipis di bibir. '
Tetap tegak dengan angkuhnya, Barman Bratamenggala langsung menyerbu :
"Berapa kau minta, Nona?"
"Boleh aku mengutarakan sesuatu?" ia bertanya, tenang dan dingin.
"Silakan." '
"Sebaiknya, duduklah Tuan Tuan. Kita rileks aja, oke?" Sumiyati menyeringai,
dengan mata sesaat tampak berubah liar. Setelah kedua orang itu menuruti
permintaannya dengan setengah terpaksa, ia memulai :
"Tuan-Tuan ini adalah manusia manusia yang sangat beruntung. Jabatan dan
kehidupan Tuan Tuan sekarang..."
"Waktu saya sangat sedikit, Nona," Barman berbisik. Tajam.
"Oke. Aku akan langsung ke inti persoalan," desah Sumiyati hambar.
"Selain sebagai anggota komisaris di bank terkemuka, Tuan Barman juga merangkap
jabatan penting di divisi pemasaran Pertamina depot jawa Barat. Tuan konon akan
melepaskan jabatan yang diperebutkan banyak orang itu, demi Cita Cita Tuan untuk
terjun ke karir politik. Berapa banyak simpanan Tuan di bank? Berapa banyak pula
yang tuan investasikan di...."
"Kau banyak tahu, Nona," tukas Barman Bratamenggala, dengan nada yang
mengandung banyak makna. Salah satu makna yang sudah lumrah diselami seorang
wartawan, adalah : orang yang banyak tahu, hidupnya tidak akan panjang. Sumiyati
tetap tenang.
Kembali mengulang pertanyaannya :
"Berapa banyak Tuan Barman?"
"Kau melampaui batas pembicaraan kita, Nona. Sebaiknya, sebutkanlah jumlah yang
kau kehendaki.
"Dalam puluhan juta?"
"Jumlah pasti, Nona!"
"Puluhan milyar?" Sumiyati tersenyum.
Bukan lagi merah dadu. Pucat bagaikan kapas sudah wajah Barman Bratamenggala
ketika ia mendesis :
"Jangan serakah, Nona!"
"Siapa yang serakah?" Sumiyati tetap tersenyum.
"Aku berbicara tentang kekayaan pribadi Tuan Barman Bratamenggala. Hanya
sebagai perbandingan. Misalkan kau punya puluhan milyar rupiah. Lalu kau
menyerahkan semuanya untukku. Apakah Tuan Barman dengan harta karunmu itu
ibuku dapat dihidupkan kembali?"
***
BARMAN BRATAMENGGALA tak mampu berkatakata. Tubuhnya yang tinggi besar
mendadak loyo tak berdaya. Ia seperti orang mimpi berjalan saja, ketika sang anak
menggamit lengannya dan tengah menyeretnya ke pintu. Anak beranak itu lalu
menghilang, bahkan tanpa pamit
Muranis Chaniago menutupkan pintu perlahan lahan, kemudian mendesah panjang.
"Pukulan luar biasa, Sum! Sehingga pukulan yang kuberikan sebelumnya tak lebih
dari gigitan nyamuk belaka!"
"Kuharap saja mereka tahu diri. Mau bersikap jantan, " ujar Sumiyati seraya ......
waktu Muranis Chaniago menawarkan rokok..... cara itu menyulut sebatang untuk
dirinya sendiri. duduk santai di hadapan Sumiyati ia berkata :
"Aku mengerti. Kau berharap agar anak beranak itu membuat pengakuan bersalah,
permintaan maaf. Tentunya tertulis dan secara terbuka. Di mass media. Benar bukan?"
"Lebih dari itu, Bang Anis. Aku juga berharap ada tindak lanjut. Mereka telah
memanfaatkan uang serta kedudukan mereka untuk menutup nutupi sejumlah tindak
pidana. Oleh karenanya mereka lantas mengundurkan diri dari jabatan jabatan mereka
yang sekarang, maupun yang akan datang. Karena merasa mereka tak pantas
mendudukinya..."
"Kau percaya mereka mau melakukannya, Sum?"
"Tidak!" Sumiyati menggelengkan kepala.
"Dan, mereka telah membawa pergi rekaman itu. Rekaman termahal yang pernah
kuketahui!" Muranis Chaniago terbatuk sebentar karena asap rokok sempat tertelan.
"Mestinya aku berterima kasih padamu, Sumiyati!"
"Terimakasih, Bang Anis? Untuk apa?"
"Kau telah menyelamatkan sebagian harta waris keluarga yang ada dibawah
tanggung jawabku. Coba lihat situasinya. Aku telah nekat berspekulasi, Sum. Si Barman
itu tidaklah kukhawatirkan benar. Uang tiga puluh juta rupiah tak ada artinya buat dia.
Yang aku khawatirkan, justru engkau..."
"Aku?"
"Heeh. Kau tahu bukan? Sebenarnya aku dapat saja melakukan transaksi itu tanpa
melibatkan dirimu. Tetapi itu tidak fair, bukan? Jadi demi setiakawan aku
mengundangnu hadir. Dengan resiko
"Apa resikonya?"
"Kau menolak transaksi itu. Mengambil rekaman untuk kau miliki sendiri. Padahal,
Sum. Di luar sudah menunggu tiga orang tamu-tamu terhormat. Yang sudah diberi
kepastian, mereka akan menerima bantuan sosial masmg masing sepuluh juta rupiah,
kontan Atau cheque, apabila uang itu keluar dari kantongku sendiri..."
Sumiyati menggeleng takjub, kemudian tertawa renyai.
"Pantaslah kau dijuluki pengacara sinting, Bang Anis, " katanya.
"Tetapi sungguh mati, aku tak pernah berpikir sejauh itu..."
"Mengapa? Bukankah kau dapat mempergunakan rekaman itu untuk menuntut
Barman dan anaknya di pengadilan?"
"Oh ya? Lalu apa yang terjadi, Bang Anis Chan? Mereka akan membeli satu tim
penasihat hukum yang hebat hebat, dan..."
"Ah. Sekeranjang sampah'"
"Oke. Sampah sampah itu pasti berusaha agar perkara klien mereka di dep, atau
dinetralisir sedemikian rupa. Sehingga anak beranak haram jadah itu akan tertawa
terbahak bahak, sementara aku mengucurkan air mata darah!"
"Mengerikan," desah Muranis Chaniago masgul. Teringat bahwa ia sendiri adalah
seorang penaSihat hukum pula.
"Tetapi kau masih punya cara lain. Rekaman itu dapat kau sebarluaskan. Di mass
media. Kau dapat mengolahnya sedemikian rupa..."
"Wah, Bang Anis. Kau agaknya lupa, sekarang ini sedang musim-musimnya budaya
telepon!"
"Betul juga!" Muranis Chaniago tersenyum getir.
"Lantas apa yang akan kau perbuat?"
"Belum tahu," Sumiyati mengangkat pundak.
"Lalu bagaimana kau tahu mengenai isi rekaman itu tanpa pernah
mendengarkannya?"
"Dengan menarik kesimpulan, Bang Anis. Dari fakta fakta yang selama ini
kukumpulkan. Ditambah kemungkinan kemungkinan yang masuk akal ..."
"Mari kita cocokkan!" desak Muranis Chaniago penasaran. _
"Oke. Azis Partogi tadinya seorang supir. Pekerjaan yang memadai, karena ijasah es
em apun tak ia miliki. Kemudian, terjadi peristiwa: Ibuku meninggal sebagai korban
tabrak lari. Pelakunya Eddy Bratamenggala, anak tunggal dan kesayangan keluarga
terhormat dan kaya_raya. Dengan setumpuk janji-janji maka Azis Partogi mengambil
alih tanggung jawab secara hukum. Dia diberi modal usaha, asap dapur keluarganya
dijamin. Tetapi apa yang dapat diperbuat seorang berpendidikan rendah, tidak
berpengalaman pula? Beberapa kali usahanya gulung tikar, sementara cukongnya
mulai bosan. Tahu gelagat, Azis Partogi menempuh jalan lain. Atas petunjuk
orang-orang tertentu, ia membuka usaha baru dengan memanfaatkan kedudukan
seorang cukong. Barman sebagai bankir, dan Eddi sebagai pejabat yang ikut
menentukan pro yek proyek di Pemda Kabupaten. Karena ia memegang kartu as,
cukong cukongnya tak dapat menolak. Hanya, secara halus dan perlahan-lahan dibuat
rencana untuk menyingkirkan Azis Partogi. Kembali ia mencium gelagat .Dan lagi lagi,
si gelandangan yang ternyata masih punya otak itu, mengambil tindakan penyelamatan.
Ia merekam sendiri apa apa yang ia ketahui. Satu rekaman itu ia kirimkan pada
cukongnya sebagai bukti ia tak dapat diremehkan. Sambil tak lupa memberitahukan
bahwa demi sekuriti dirinya, ia juga menyimpan satu rekaman lagi. Dan ia
menyimpannya di tempat yang ia anggap paling aman, serta tidak dapat diduga lawan
lawannya. Apakah penjelasanku idem dito dengan isi rekaman itu, bang Anis?"
Anis Chan batuk batuk lagi, sampai tubuh pendeknya terguncang.
"Rokok terkutuk ini!" makinya pelan. Lalu :
"Kalau dari sejak semula aku mengenalmu lebih dulu, Sumiyati...," katanya.
"Aku tak akan menggaji dua orang pensiunan polisi untuk membantuku melacak
bahan bahan yang kuperlukan untuk perkara klienku selama ini!"
"Bagaimana mulanya sampai Azis Partogi jadi klienmu, Bang Anis?" sela Sumiyati
ingin tahu.
"Sederhana saja. Suatu hari, sekitar dua tahu yang lalu, aku ditelepon AZIS Partogi.
Kami belum pernah mengetahui satu sama lain. Tahu kau apa yang ia bilang? Ia
bilang, bahwa ia telah menyelidiki banyak orang yang kira kira dapat dipercaya, baru
kemudian ia putuskan akulah yang paling dapat dipercaya...," Muranis Chaniago
tersenyum dikulum seraya memadamkan rokoknya di asbak. Meski ia sebut terkutuk toh
ia menyulut juga sebatang lagi. Kemudian:
"Aku agak keki juga mendengarnya. Jadi aku tidak langsung menerima
permintaannya sebagai klien. Kuminta ia memberikan tempo dua hari. Tempo yang
cukup untuk balas menyelidiki karakter dan kelakuannya. Selain itu, kebetulan si Rita
juga menyimpan sejumlah kliping berita berita yang kau tulis tentang dia. Nah. Baru
kunyatakan oke. Dan meski yang ia titipkan padaku hanyalah sebuah amplop berisi
kunci duplikat sebuah kotak simpanan di kantor pos, maka aku menentukan sendiri
honorarium bulananku yang harus ia bayar. Ia setuju. Dan, itu adalah salah satu kasus
paling mudah dan sederhana tetapi pembayaran paling tinggi, yang kuterima, benda
sepele yang tersimpan di kotak pos itu ternyata berbuntut perkara besar dan unik pula.
Aku bahkan tak mengetahuinya, ketika kotak pos kubuka dan..."
Muranis Chaniago tiba tiba membelalak. Seperti kaget pada sesuatu. Ia bangkit,
berjalan ke brankas lan kemudian menyodorkan sebuah bungkusan kecil pada Sumiyati.
"Hampir lupa. Ia juga menitipkan ini untukmu. Dan karena aku maSih'ingin hidup
seribu tahun lagi," Muranis Chaniago tertawa,
"kuharap saja isinya bukan dinamit!"
Setelah memandangi sejenak bungkusan di depan matanya. Sumiyati bergumam :
"Aku dapat menduga isinya, Bang ANIS. Kau benar. Bungkusan ini berisi dinamit...
ah, jangan kaget dulu. Aku maksud, isi bungkusan ini dapat kumanfaatkan sebagai
dinamit, Buat Eddy Bratamengqala!" Sambil berkata demikian, Sumiyati melepaskan
tali pengikat lalu membuka bungkusan dimaksud. Apa yang kemudian mereka lihat
adalah sehelai kemeja lelaki warna merah darah dengan motif kembang.
Muranis Chaniago tercengang. Nyeletuk heran : Apa apaan si Azis itu? Sebagai
pengakuan bersalah, ia boleh saja memberimu hadiah. Tetapi mengapa harus kemeja
lelaki? Sudah lusuh pula. Apakah...." Omelan Muranis Chaniago terputus ketika
melihat sumiyati menatap kemeja merah itu dengan wajah diliputi duka Cita serta sudut
sudut kelopak mata dilinangi butir butir air bening. Setelah hening sejenak, Muranis
Chaniago yang tidak tahu mau berkata apa lagi, lantas mengeluh :
"Aku lapar. Kau mau ikut?"
Baru saja mereka berdua keluar dari kamar kerja Muranis Chaniago, Leo Sambuaga
telah mendatangi dan memberitahukan ada serombongan tamu menunggu dari tadi di
kamar kerja asistennya itu.
"Buruh buruh perkebunan Pak," Leo menambahkan.
"Yang dari Cianjur Selatan itu?" tanya Muranis Chaniago.
"Benar, Pak. Tetapi kalau Bapak ada acara..., " ia tersenyum manis pada Sumiyati
yang sedikit pun tidak menanggapi meski kemudian Leo Sambuaga mengerlingkan mata
pada bossnya.
"Kau dapat mengaturnya, Leo?"
"Hanya pengumpulan data, Pak."
"Bagus. Kau uruslah mereka...," Muranis Chaniago menarik tangan Sumiyati menuju
tangga, lalu berhenti mendadak.
"Leo?" ia memanggil asistenny yang masih berdiri memperhatikan betis mulus
Sumiyati dengan tatap mata mengandung birahi. Pemudi itu tersentak kaget. Wajahnya
memerah. Muranis Chaniago maklum. Dan seraya tersenyum, memaafkan, ia berkata:
"Tentunya rombongan tamu kita itu lelah karena perjalanan jauh, bukan? Beri
mereka minuman, Leo. Dan nanti akan kukirimi pula nasi bungkus. Berapa orang
semuanya?"
Setelah Leo Sambuaga menyebutkan jumlahnya. Muranis Chaniago membimbing
Sumiyati menuruni tangga. Mereka memilih naik mobil Sumiyati dengan keputusan dari
rumah makan nanti si pengacara dapat pulang dengan taksi. Sambil menjalankan
mobilnya tanpa tergesa gesa, Sumiyati yang ingin membuang lamunan menyedihkan
tentang almarhumah ibunya, bertanya sambil lalu :
"Agaknya kau selalu punya uang lebih untuk klien klienmu, Bang Anis?"
Muranis Chaniago gembira dengan perubahan sikap Sumiyati. Dengan riang iapun
bicara
"mengikuti pesan almarhum Ayah, Sum."
"Apa pesannya?"
"Kalau seseorang ingin tetap berdiri tegas, sebesar apapun kedudukan serta
statusnya, orang itu harus selalu siap mendampingi orang-orang yang jauh lebih kecil.
Hidup bersama mereka, dan berusaha menyelami jiwa serta kebutuhan mereka..."
"Seorang Ayah yang mulia, Bang Anis"
"Karena dulunya beliau juga rakyat jelata, Sum," dan Muranis Chaniago bercerita
secara ringkas tentang almarhum ayahnya.
"Ayah meninggalkan keluarganya di Payakumbuh tanpa bekal modal kecuali tekad
dan keberanian. Ia merantau ke Jakarta dan memulai pekerjaan sebagai tukang cuci
piring di sebuah restoran milik orang sekampung. Dalam waktu luang, ia sempatkan
ikut membantu di dapur..."
Berkat keuletan serta rajin pula, ayah Muranis Chaniago dapat menabung
sedikit-sedikit. Selain itu, kepala koki di rumah makan Padang itu berbaik hati pula
memberi petunjuk petunjuk mengenai resep serta cara memasak makanan yang sesuai
dengan selera banyak orang.
"Tetapi ingat. Kalau semua orang memakai resep yang sama, maka akan terjadi
persaingan keras. Maka selalu camkan, bahwa kau harus membuat resep khusus, yang
saat harus kau kembangkan sejalan dengan semakin kerasnya persaingan...,"
kepala koki itu menasihatkan.
Nasihat itu selalu diingat dan kemudian dilaksanakan Ayah Muranis Chaniago ketika
pada akhirnya ia membuka usaha sendiri. Dimulai dengan sebuah kereta dorong.
Melalui perjuangan keras dan menghadapi banyak tantangan selama sekian belas
tahun, barulah ayah Muranis Chaniago dapat berdiri secara mapan.
"Ketika beliau meninggal dunia, ia meninggalkan untuk aku dan saudara _saudaraku
dua buah restoran terkemuka di Jakarta dan sembilan cabangnya di Puncak, Bandung,
Surabaya, bahkan sampai di Bali se Madura." Muranis Chaniago nyata nyata sangat
bangga pada ayahnya.
"Untuk membuatnya lebih mudah, Ayah juga meninggalkan kami perusahaan
peternakan ayam di Sindanglaya Puncak, serta sebuah peternakan sapi di Lombok."
"Bukan main!" Sumiyati berdecak kagum
"Lalu mengapa Bang Anis bersusah payah jadi pengacara? Bukankah dengan harta
warisan ayah Bang Anis, kau mdah bisa ongkang ongkang kaki?"
"Soalnya, Sum. Sewaktu ayahku masih membuka usaha kereta dorong, ia sering
dikejar kejar pihak berwajib. Padahal ia juga membayar uang retribusi, uang ireda,
pajak usaha yang kata oknum oknun yang menariknya semua resmi dan sah. Tetapi bila
dikejar-kejar, oknum oknum itu tidak pernah menampakkan batang hidung. Sekali,
ketika kereta dorong dengan segala isinya dihancurkan para petugas, Ia nekat
berperkara ke pengadilan. Hasilnya, tentu kau dapat menduga. Ia meninggalkan
pengadilan dengan status kembali jadi gelandangan. Syukurlah ia termasuk orang
yang tabah. Pantang menyerah!"
"Dan, Bang Anis beliau targetkan untuk memenuhi impiannya yang lain. Impian,
yang dari apa yang selama ini kubuktikan dengan mata kepalaku sendiri akhirnya
menjadi kenyataan!"
"Apalah aku ini, Sumiyati!" Muranis Chaniago mengelak dengan senyuman tersipu
Sipu.
Mereka makan siang di salah satu restoran milik keluarga Muranis Chaniago.
Sebelum mereka bersantap, tak lupa Muranis Chaniago berpesan pada pegawai rumah
makan agar membungkuskan 17 makanan lengkap, masmg masing 9 bungkus untuk
tamu tamunya dan 8 bungkus untuk para pegawainya.
"Kirim secepatnya ke kantorku," katanya.
Selagi makan siang, mereka berdua tidak mengobrolkan hal hal yang ada kaitan
dengan pekerjaan masing masing. Yang mereka obrolkan hanyalah hal hal sepele yang
terjadi di sekitar lingkungan mereka, terutama tentang watak watak manusia yang
mereka anggap menggelikan. Selesai makan dan istirahat sejenak seraya mencicipi
minuman dingin, Muranis Chaniago melakukan sesuatu yang mengherankan Sumiyati.
Pengacara itu meminta rekening semua pesanannya dan langsung membayar kontan.
"Marketing harus tetap berjalan, kalau tak ingin usaha kita gulung tikar," kata
pengacara bertubuh pendek itu, menjawab keheranan yang tampak di mata Sumiyati.
'Kalau ingin mengambil bagian, ambillah dari keuntungan usaha. Bukan dari
modal!"
Sebelum mereka berpisah, Sumiyati mendadak teringat bahwa masih ada hal lain
yang perlu ia utarakan pada pengacara ini.
"Abang ingat Nyonya Novianti? Ia salah seorang klien Abang. Janda pejabat Bea
Cukai yang warisannya pernah diributkan tidak saja antar keluarga, tetapi juga oleh
Pemerintah..."
"Mana aku lupa? Ia tidak saja masih muda dan cantik, tetapi dompetnya juga selalu
menganga terbuka agar uangnya mudah mengalir keluar . Ada urusan apa kau dengan
dia?"
"Bukan apa apa. Aku mendapat penawaran untuk membukukan dan juga
memvisualkan tragedi perjuangannya ke layar putih, selagi ia masih jadi isteri muda
pejabat itu, sampai ke perjuangannya sebagai seorang janda yang berhaSil lolos dari
sejumlah perangkap berbahaya. Barangkali, Bang Anis Chan. Kau dapat membantuku
membujuk ia memberi lampu hijau. Juga menentukan pembagian honorarium,"
Sumiyati tersenyum malu-malu.
"Dengarkan, Sum," pengacara pendek dan penampilannya tidak istimewa itu berkata
sungguh sungguh.
"Kau telah banyak membantu dia dengan tulisan tulisanmu dulu. Nah. Senangkan
hatimu ya .Kujamin, lampu hijau itu akan kau peroleh. Dan soal pembagian
honorarium, lupakan sajalah. Kau hanya akan membuatnya tertawa terpingkal pingkal
sampai air matanya berderai derai."
"Dan aku bertambah kaya!" Sumiyati tertawa bergelak.
"Lalu aku dapat komisi pula," Muranis Chaniago tidak mau kalah.
"Apa permintaanmu, Bang Anis?"
"Makan malam di Puncak," bisik Muranis Chaniago, dengan mata bersinar-sinar
penuh harapan.
Sumiyati tersenyum manis.
"Dan, kemudian langsung pulang?" ia balas berbiSik sembari mengerling nakal.
"Aku... aku tidak ingin memaksa. Aku...," Muranis Chaniago menjadi gugup sendiri.
Sumiyati mengulurkan sebelah tangannya dari jendela mobil, dan mengusap lembut
wajah pengacara itu.
"Tak usah bingung, Bang Anis. Aku sendiri dengan selujurnya harus mengakui,
bahwa aku senantiasa menikmati kegembiraan menginap satu dua malam denganmu di
Puncak "
"Kau membuatku hampir klenger, Sum,"
"Jangan sekarang!" Sumiyati mendelik, lantas sambil tertawa bergelak ia memacu
mobilnya di jalan raya. Juga tanpa tergesa gesa. Mira Siap menerimanya setiap waktu.
Membayangkan pembicaraan mereka mungkin akan berlangsung sepanjang sore dan
malam, Sumiyati berhenti di sebuah supermarket. Ia memborong kue kue, makanan
serta minuman kaleng yang pasti dapat menggembirakan anak anak janda residivis itu.
.
Ketika berbelanja, ia sempat tertegun beberapa detik.
Ada suatu sentakan ganjil terasa menggigit tengkuknya... '
***
HATI-HATI sekali Eddi Bratamenggala membaringkan tubuh Ayahnya yang besar
dan berat itu di tempat tidur, setelah mana ia buru buru menelepon dokter yang tinggal
berdekatan. Dokter keluarga itu menjanjikan akan datang dalam tempo lima menit.
MaSih diliputi kecemasan, nomor telepon diputarnya lagi untuk menghubungi Lioris
Club. Ia memperoleh keterangan bahwa Ibunya baru saja berangkat untuk menghadiri
pertemuan organisaSi wanita pengusaha ! bertempat di hotel Panghegar. Sesaat ia
terpikir untuk menelepon ke hotel dimaksud, tetapi niatnya kemudian dibatalkan. ibunya
tak perlu ikut panik, sebelum dokter memastikan kondiSi kesehatan Ayahnya.
Dipencetnya tombol interkom, menghubungi pos penjagaan di pintu gerbang.
"Alex? Dokter Pamudji sedang menuju kemari. Kalau ia sudah datang, antarkan ia
ke dalam!"
"Baik, Tuan Muda," terdengar sahutan di pesawat interkom.
"0h ya, Alex. Waktu kami masuk tadi, aku tidak melihat Ronggur. Ke mana dia?"
"Pergi sebentar, Tuan Muda. Membeli rokok...."
"Kalau nanti dokter Pamudji sudah pulang, suruh ia menemuiku."
"Baik, Tuan Muda."
Dengan pikiran menerawang, Eddi Bratamenggala menyelinap ke kamar
perpustakaan merangkap kamar kerja Ayahnya. Dari laci sebuah meja ia keluarkan
sepucuk pistol Colt kaliber 32. Ditimang timang sebentar, setelah mana senjata itu ia
simpan lagi di laci. Wajahnya murung dan gelap waktu ia kembali ke kamar tidur
Ayahnya dan melihat orang tua yang sangat ia kasihi itu masih terbujur kaku seperti
ketika tadi ia tinggalkan. Mulut Ayahnya menganga terbuka, mencari hawa segar,
sementara sepasang matanya menatap kosong seperti mata orang mati.
Eddi Bratamenggala merintih dalam hati :
"Kau telah berbuat banyak untukku, Pa. Kini saatnya aku berbuat sesuatu untukmu "!
Lamunannya baru buyar setelah dokter Pamudji masuk diiringkan Alex yang segera
berlalu setelah diberi isyarat oleh Tuan Muda nya.
Tanpa menanyakan apaapa, dokter yang sebaya dengan pasiennya itu langsung
bekerja. Ia memeriksa sebentar, menggumamkan sesuatu lalu mengambil alat suntik
dari tasnya. Setelah diberi suntikan penenang, perlahan-lahan kelopak mata Barman
Bratamenggala terkatup dan nafasnya pun naik turun dengan teratur. Dokter Pamudji
sekali lagi memeriksa pasiennya dengan mempergunakan stetoskop. Sambil
memasukkan perlengkapannya ke dalam tas ia bergumam pada Bratamenggala muda :
"Biarkanlah Ayahmu beristirahat tanpa terganggu, Ed."
Eddi Bratamenggala mengangguk dan mengiringkan dokter Pamudji ke luar dari
kamar tidur. Baru saja ia akan bertanya, dokter itu sudah mendahului'
"Tak usah khawatir. Ayahmu tidak apa apa. semuanya normal. Ia memang mengidap
....... namun masih dalam kadar yang tidak membahayakan. Ia hanya sedikit shock,
karena tekanan psikologis mendadak. Dari pengalaman, Ed, aku menduga ia menderita
suatu goncangan jiwa yang tidak terduga. Katakanlah, semacam perasaan bersalah" Ia
mengawasi wajah Bratamenggala muda yang tampak menyembunyikan sesuatu. Lalu
bertanya lembut:
"Kalau kau tak keberatan, Ed. Apa yang terjadi?"
Eddi Bratamenggala menelan ludah. Lantas mendengus :
"Seperti Oom bilang tadi. Tekanan psikologis ...." '
"Dalam bentuk apa?"
Bratamenggala muda menatap tajam, sebelum menjawab dengan pertanyaan yang
lebih menyerupai pernyataan :
"Perlukah aku menjelaskannya, Oom Pamudji?" ,
Dokter itu menarik nafas panjang, kemudian berkata dengan arif ;
"Aku hanya ingin melengkapi diagnosaku saja, Ed. Baiklah. Ayahmu tak perlu
dicemaskan betul. Hanya ya setelah ia sadar, Ayahmu perlu dihibur. Terserah
bagaimana caramu menghibur .."
"Aku sudah menemukan cara itu, Oom," tukas Bratamenggala muda dengan seulas
senyuman rahasia di bibir.
"Ada resep untuk Papa?"
"Aku kira tak perlu, Ed."
"Syukurlah. Dan, oh ya. Nanti rekening akan kami kirimkan."
"Lupakanlah!" dokter Pamudji melambaikan tangan dan masuk ke mobil yang
pintunya telah dibukakan supir.
Mobil sang dokter baru saja melewati pintu gerbang manakala seorang lelaki
bertubuh tinggi kekar dengan cacat bekas luka di pelipisnya, ke luar dari pos jaga dan
mengikuti Bratemenggala muda masuk ke dalam rumah. Lelaki itu menunggu dengan
tenang di ruang depan sementara Tuan Mudanya masuk ke kamar perpustakaan. Satu
menit berikutnya, putra majikannya itu telah meletakkan sepucuk senjata api di atas
meja.
Sedingin benda mengandung maut di atas meja itu, Eddi Bratamenggala berkata :
"Uruslah seseorang untukku, Ronggur!"
Lelaki dengan codet di pelipis itu seketika bersikap waspada. Ia tidak berpanjang
lebar. Langsung saja ke tujuan, ia bertanya :
"Siapa, Tuan Muda?"
"Seorang gadis!"
Mata Ronggur berkilat sedetik. Ia berdesah tajam :
"Nama dan alamatnya, Tuan Muda? Kalau bisa dengan ciri cirinya sekalian ...."
Eddi Bratamenggala memberitahukannya. Juga menginstruksikan, bahwa Ronggur
boleh mengikut sertakan teman-teman kepercayaannya.
"Kalau bisa, cukup satu orang saja. Makin sedikit saksi, makin baik. Kau tahu cara
terbaik melakukannya bukan?"
Senyuman tipis muncul di bibir tebal Ronggur. Katanya :
"Percayakan saja pada saya, Tuan Muda."
"Apa yang terbaik menurutmu, Ronggur?" bisik Bratamenggala muda ingin tahu.
"Yah katakanlah, suatu aksi perampokan yang sempurna," Ronggur melebarkan
senyum sehingga wajahnya tampak lebih Simpatik. Eddi Bratamenggala balas
tersenyum. Sama simpatiknya.
***
TUJUH
KUMANDANG adzan dari masjid mengalun sayup-sayup memberitahukan saatnya
sholat Magrib telah tiba. Mira bangkit dari duduknya seraya tak lupa mengajak
Sumiyati untuk sholat bersama sama. Ajakan itu membuat Sumiyati terkesiap, lantas
berkata buru buru :
"Maaf, Mbak. Aku lagi haid ...!"
Selagi menunggu Mira dan anak-anaknya selesai sholat, Sumiyati duduk tercenung.
Berpikir. Tuhan tahu ia tidak haid, dan bahwa ia telah berdusta. Tuhan, dengan
bantuan malaikat malaikatnya tentu sedang mencatat tambahan dosa Sumiyati di
sebuah buku besar. Pada saat bersamaan, malaikat penjaga pintu neraka menyeringai
lebar sambil merancang siksaan apa kelak yang paling patut diberikan pada Sumiyati.
"Mengapa aku ini?" Sumiyati merintih.
"Siapakah diriku sebenarnya? Apakah aku sudah tidak dapat membedakan mana
benar mana salah?" Sebaliknya, ia juga memprotes ke alamat Tuhan :
"Dulu aku mencintaiMu. Aku selalu merasa begitu dekat dengan Engkau. Lalu
mengapa ketika satu hari aku meminta keadilanMu, Engkau justru berpaling dari aku?"
Sekujur tubuh Sumiyati gemetar. Darahnya menggelegak, panas, wajahnya pucat. Ia
merasa tubuhnya terangkat, melayang ke udara tanpa batas, kosong, dan hampa. Lalu
sebelum pintu neraka terbuka, ia merasa tubuhnya diguncang guncang keras dan
namanya dipanggil-panggil malaikat Mungkar dan Nangkir.
"Sumiyati? Hei, Dik Sum! Apakah kau sakit?"
Sumiyati tersentak. Ternyata yang mengguncang pundaknya dan memanggil
namanya adalah tuan rumah.
"Ohhh ...," ia mengerang.
"Ada apa, Dik Sum?"
"Perutku mual," jawab Sumiyati, kemudian terkejut sendiri. Perutnya tak apa apa.
Nah. Ia telah berdusta lagi. Alangkah gampangnya. Astaga ...!
"Sebentar, kuambilkan minuman yang lebih hangat."
Sumiyati tidak bernafsu melarang tuan rumah. Namun ketika Mira muncul dengan
segelas minuman hangat, ia menerimanya lalu menyicipnya dengan senang hati. Tetapi
ia menolak pil penawar sakit perut yang juga disodorkan Mira.
"Terima kaSih, Mbak...," katanya lesu.
"Aku sudah lebih baik sekarang ...!"
"Sungguh?" tanya Mira, tetap memperlihatkan wajah cemas.
"Sudahlah. Mungkin aku cuma sedikit letih."
"Kalau begitu, obrolan kita ditunda saja dulu untuk lain hari. Dan He, Dik Sum. Apa
tidak akan habis baterainya?" Mira tiba tiba menunjuk tape recorder di meja. Tape
mini itu masih berputar. Lembut, tanpa bersuara.
"Wah. Aku lupa mematikannya tadi!" Sumiyati tertawa. Dijangkaunya tape recorder
tersebut. Tetapi kemudian diletakkan kembali, tanpa mematikannya. Ia mengawasi pita
kOsong masih cukup untuk sedikit wawancara lagi. Lalu sambil memperhatikan wajah
tuan rumah, ia menyeletukkan pertanyaan yang terlintas sekilas di benaknya :
"Mbak Mira. Kau percaya bahwa Tuhan itu adil?" .
"Lho. Kok nanya yang begituan, Dik Sum"
"Mbak percaya?" _
"Tentu saja. Malah yakin. Hakkul-yakin!"
"Tetapi dalam perjalanan menuju tobat, suamimu telah mati ditembak semena
mena..."
Mira terdiam,-sehingga Sumiyati merasa bersalah telah mengajukan pertanyaan
yang tidak pantas diutarakan. Sebelum Sumiyati menyatakan penyesaan, Mira sudah
berkata :
"Kau tahu kapan kau akan mati, Dik Sum?" ' '
Giliran Sumiyati yang kini terdiam. ia berpikir keras, lalu .
"... tidak!"
"Baiklah. Misalkan akhirnya ajal menjemputmu. Kematian bagaimana yang kau
dambakan, Dik Sum?"
"Yah...," Sumiyati kembali berpikir keras. Ia teringat ibunya. Teringat leluhur-leluhur
yang lebih dulu meninggalkan mereka. Ia juga teringat ayahnya, lalu dirinya sendiri.
"Aku mengingini kemtian yang wajar. Normal. Tanpa aib tanpa Siksaan rasa sakit..."
"Kau yakin kematian semacam itu yang kelak menjemputmu, Dik Sum?"
"tidak."
"Mengapa?"
"Karena perkara hidup dan mati ada di tangan Tuhan."
Mira tersenyum manis. Katanya :
"Begitu pula suamiku, Dik Sum"
Sumiyati juga tecsenyum.
"Kau menjebakku Mbak Mira," katanya.
"Jadi kau tidak pernah merasa dipalingi Tuhan
Sum. Tuhan tidak akan berpaling dari kita, selama kita tidak memalingi Dia
lebih dulu!"
Kembali Sumiyati terdiam. Ia tidak tahu mau berkata apa lagi, bahkan ia merasa
terpukul oleh jawaban Mira. Mujur, dalam keadaan Sumiyati tak berdaya itu, terdengar
pintu depan diketuk orang dan luar. Mira bangkit dari kursi, sementara Sumiyati
mematikan tape reoordernya. Sumiyati berpaling mana kala ia dengar namanya
disebut.
"Selamat malam. Apakah Sumiyati ada di sini??"
Kemudian Mira muncul lagi di ruang tengah, diiringkan oleh Kapten Polisi Rukmana
Hadinata yam mengenakan pakaian preman. Sumiyati segera bertukar sapa dengan
Rukmana, setelah mana ia berujar pada tuan rumah :
"Mbak Mira. Perkenalkan, ini Pak Rukmana .Ia adalah..."
Mira menukas, datar dan terdengar dingin:
"Po lisi. Aku sudah tahu, Dik Sum. Bahkan kami sudah saling mengenal..."
Kenyataannya, wajah tuan rumah tampak kaku memperlihatkan sikap tak senang
sementara Kapten Rukmana Hadinata sempat gugup sebentar sebelum kemudian
berdesah lirih :
"Apakah kau dan anak-anak baik baik saja, Nyonya Mira?"
"Bagaimana menurut dugaanmu, Kapten?" jawab Mira dengan seulas senyuman
mengejek di bibirnya.
Kapten polisi itu berusaha memperlihatkan sikap setenang mungkin. Katanya :
"Dulu sudah kujelaskan, Nyonya. Itu hanya suatu kesalahpahaman!"
"Aku tidak bicara tentang suamiku. Aku-bicara tentang anak buahmu itu, Kapten..." '
' ia telah dimutasi, Nyonya."
"Hanya mutasi?"
"Sebelumnya, ia juga masuk sel." ,
'Mestinya ia dipecat dari dinas. Dipenjara
"Maaf, Nyonya. Atasanlah yang menentukan, bukan aku!" jawab Rukmana Hadinata,
rupanya dia mulai tersinggung.
Menyadari gelagat tak menyenangkan itu, Sumiyati buru-buru bangkit dari kursinya
lalu bertanya :
'Ada sesuatu yang penting, Pak Rukmana? Apakah kita dapat membicarakannya di
sini?"
Sang kapten memaklumi isyarat tersembunyi di balik kalimat Sumiyati. Maka ia coba
tersenyum, mengangguk sopan pada tuan rumah seraya berkata :
"Maaf aku telah mengganggu keasyikan kalian, Nyonya. Tetapi aku terpaksa
meminjam Sumiyati sebentar. Ada yang perlu kami bicarakan ...."
Sikap kaku tuan rumah segera berubah di saat Sumiyati pamit. Ia merangkul dan
mengecup pipi gadis itu sebagai tanda bahwa ia baik-baik saja dan persahabatan
mereka hendaklah tidak menjadi rusak karena gangguan kecil yang terjadi setelah
kemunculan pihak ketiga itu.
"Kapan saja kau bermaksud datang, pintuku selalu terbuka untukmu, Dik Sum"
"Terima kasih, Mbak. Oh ya, besok aku bermaksud mewawancarai juga anak
anakmu. Itu, kalau Mbak tak keberatan"
"Kuanggap kau adalah Kakak mereka, Dik Sum. kau bebas untuk menanyakan apa
saja pada mereka. Tetapi tentunya, seperti tadi telah kau saksikan sendiri. Mereka
belakangan ini semakin pemalu. Yah, rendah diri maksudku ....." Ucapan terakhir itu ia
lontarkan dengan tersenyum dan mata tetap tertuju pada Sumiyati. Namun, Rukmana
Hadinata sempat dibuat merah mukanya, sebelum ia bergegas berjalan ke luar rumah.
Sepanjang gang yang gelap dan sempit, baik Sumiyati maupun Rukmana Hadinata
tidak berkata sepatah pun. Masing masing diliputi pemikiran tentang apa yang barusan
berlangsung di rumah yang merek tinggalkan. Tiba di jalan raya, barulah Rukmana
membuka mulut :
"Mana kunci mobilmu, Sumiyati. Kau ikut mobilku saja .."
Terheran-heran Sumiyati memberikan kunci mobilnya. Setelah mana Rukmana
kemudian memanggil anak buahnya yang berdiri menunggu di dekat mobil Rukmana.
"Sersan? Kau pindah ke mobil Nona Sumiyati. Ikut kami dari belakang ...."
"Siap, Kapten," jawab anak buahnya, sambl memberi hormat.
Setelah duduk di mobil Kapten Polisi itu, barulah Sumiyati menyatakan
keheranannya :
"Apakah aku ditangkap, Kapten?" Waktu mengajukan pertanyaan itu, darahnya
berdesir. Dingin.
Yang ditanya mencoba tertawa. Jawabnya
"Aku tak mendapat perintah untuk itu, Sum!"
"Lantas?"
"Hai. Apakah kau tidak membaca koran hari ini Neng?"
"Aduh. Aku lupa. Banyak yang harus kupikirkan dan kerjakan, sehingga '
"Astaga'! Seorang wartawan tidak membaca koran!" Rukmana tercengang.
"Ada berita apa rupanya?" Sumiati tak perdulikan sindiran itu.
Dengan sebelah tangannya sang Kapten menyambar selembar surat kabar dari
dashboard' yang di sodorkan ke belakang sambil tetap memperhatikan lalu lintas yang
gelap gulita karena terkena giliran pemadaman listrik. Sumiyati menerima koran '
tersebut, dan mendengar suara datar Rukmana yang menyuruhnya membuka halaman
satu dan membaca berita utama. Sambil tak lupa Rukmana menyalakan lampu dalam
mobil. ' Apa yang dibaca Sumiyati membuat darahnya kembali berdesir, kini lebih
cepat. Di bawah judul menyolok
"PEMBUNUH SADIS MISTERIUS KEMBALI MAKAN KORBAN",
Sumiyati membaca berita tentang terbunuh matinya seorang janda pemilik warung di
wilayah Kabupaten Bandung. Malam sebelumnya, janda itu bermaksud menutup
warung nasi milikya ketika sesosok tubuh menyerbu masuk ke dalam. janda dan
putranya yang berusia 10 tahun tertegun kaget dan ngeri melihat makhluk apa yang
memasuki warung mereka. Setelah kagetnya hilang, janda itu menjerit. Akibatnya tamu
tak diundang tadi menyerangnya sedemikian rupa sementara putranya cepat cepat
meloloskan diri. Sewaktu penduduk yang dimintai tolong si anak, berdatangan ke
warung, mereka menemukan janda tua malang itu telah meninggal secara mengerikan.
pembunuhnya sudah menghilang sementara sebagian makanan yang ada di warung itu,
menurut putra almarhumah pasti telah dicuri oleh si pembunuh. Uang dalam laci tak
diganggu gugat, demikian pula perhiasan yang dipakai almarhumah. Tidaklah
mengherankan, kalau kemudian wartawan yang meliput berita itu menambahkan
tulisannya dengan sub judul : Perbuatan biadab yang diduga telah dilakukan oleh .
makhluk kelaparan!" Belum habis berita itu dibacanya tanpa disadari koran telah
terlepas jatuh dari tangannya. Hal ini sempat tertangkap oleh Rukmana Hadinata
lewat kaca spion. Wajah si Kapten berubah murung. Ia dapat merasakan keperihan hati
si gadis, sehingga untuk beberapa saat lamanya Rukmana berdiam diri saja. Tidak
sampai hati mengusik goncangan jiwa Sumiyati.
Gadis itu sendirilah yang kemudian memulai
"Apa yang ada dalam pikiranmu, Kapten?"
Rukmana memikirkan jawaban yang paling pas dan tidak bertele-tele.
"Ayahmu," katanya tenang
Tubuh Sumiyati menjadi kaku. Ia merintih
"Jadi, Anda telah tahu .."
Rukmana Hadinata menceritakan apa yang di peroleh dokter Singgih di Ciamis.
Sebelum memutuskan cara yang terbaik menanyai Sumiyati, dan ingat pula bahwa
mereka ada janji makan malam, pada hari tadi muncullah berita itu. Rukmana lalu
mengadakan penyelidikan bersama dengan pihak kepolisian Polres Kabupaten
Bandung. Setelah itu ia baru memutuskan untuk secepat mungkin berbicara dengan
Sumiyati. Karena Sumiyati tidak ada di rumah, ia perintahkan anak buahnya melacak
seisi kota. Usaha yang sia sia, karena menurut pembantu Sumiyati di rumah. Sumiyati
sebelum pergi hanya sempat mengatakan ia akan ke kantor pos.
Barulah sore harinya, Rukmana yang datangi rumah Sumiyati untuk mencek apakah
gadis itu sudah pulang, di meja Sumiyati ia temukan catatan . jumlah nomor 'telepon. Ia
menyingkirkan satu panggilan telepon karena berasal dari dirinya sendiri. Nomor
panggilan lainnya ia hubungi satu persatu. Sedikit menemui kesulitan dikala tidak
dicantumkan nomor telepon cuma nama penelpon.
Rukmana sedikit beruntung dengan nomor Muranis Chaniago. Pengacara itu
menjelaskan ia telah makan siang dengan Sumiyati. Tetapi setelah mereka berpiah,
Muranis Chaniago tidak tahu ke mana Sumiyati kemudian pergi. Pengacara itu sempat
menanyakan keperluan seorang Kapten Polisi mencari seorang wartawati, padahal hari
sudah malam. '
"Ah. Aku hanya ingin ngobrol. Ada berita bagus, di mana kami dapat bekerjasama, "
jawab Rukmana bijaksana. . '
Setelah bingung pada siapa lagi ia bertanya dan apakah ia harus terus menunggu
sementara 'malam telah merangkak naik, mengobrol sambil lalu dengan pembantu
rumah Sumiyati. Perempuan itu tiba tiba ingat bahwa ada seorang tamu bernama Mira
mencari Sumiyati satu hari sebelumnya. Setelah memperoleh keterangan Mira mana
yang dimaksudkan pembantu tu, Rukmana langsung terbang dari rumah Sumiyati.
"Aku khawatir kehilangan kau, " kata Rukmana menjelaskan.
"Karena dari pembantumu aku mendengar, ada kalanya kau pergi ke suatu tempat
dan tidak pulang ke rumah, tanpa pemberitahuan lebih dulu. Katanya, hal itu
kaulakukan bila ada sesuatu yang penting perlu kau kejar dengan segera. Tanpa
memperdulikan waktu!" Rukmana menggelengkan kepala.
"Sungguh, kau ini wartawati paling ulet yang pernah kudengar, Sum." Ia melirik ke
kaca spion dan melihat Sumiyati tengah menyeka air matanya. Astaga, pikir Rukmana,
kecewa : jadi waktu aku ngomong, pikiran gadis itu justru ke yang lain!
Tetapi kali ini Rukmana Hadinata tidak suka membuang kesempatannya begitu saja.
Ia mendehem sebentar, lalu bertanya
"Apakah kau sependapat dengan dugaanku bahwa yang 'menyerang janda itu adalah
sama dengan penyerang Azis Partogi?"
Lambat, baru terdengar keluhan Sumiyati :
"Dugaan siapa, Kapten?"
"Siapanya tak penting bukan, Sum?"
"Lalu, apa yang Kapten inginkan?"
"Kerjasama, Sum."
"Menangkap Ayah ...?"
Rukmana hanya mengangguk, seraya menurunkan kecepatan mobil yang kemudian ia
belokkan memasuki halaman rumah Sumiyati. Mobil Sumiyati yang dikemudikan
Sersannya, ikut berhenti di belakang mereka. Anak buahnya itu diperintahkan Rukmana
berjaga jaga di luar sementara ia sendiri kemudian membimbing Sumiyati yang
melangkah gontai ke pintu yang dibukakan oleh Bu Ijah.
Melihat pembantunya tampak sangat khawatir. Sumiyati mencoba tersenyum.
Katanya :
"Ambilkan aku pil penenang, Bu Ijah. Dan buatkan minuman untuk Pak Rukmana.
Oh ya ..., antarkan juga satu untuk teman Pak Rukmana yang menunggu di luar ...."
Kerjasama antara mereka akhirnya disepakati.
Si Kapten bersikap bijaksana untuk menyetujul usul Sumiyati, bahwa biarlah ia
sendiri yang menunggu dan menghadapi kalau Ayahnya muncul. Dengan syarat,
Rukmana harus segera dihubungi.
"Aku akan siaga di kantor," katanya.
"Dan beberapa orang anak buah akan kutugaskan berpatroli di sekitar rumahmu"
"Tolong, Kapten. Agar mereka jangan terlalu dekat," pinta Sumiyati.
"Mengapa?"
"Kalau Ayah tahu ia diawasi, ia tidak akan berani masuk."
"Baiklah."
"Satu hal lagi, Kapten. Ada peronda malam di luar. Sebelum pulang nanti Bapak
akan kuperkenalkan dengan mereka. Tolong sekalian suruh mereka menjauhi rumahku.
Dengan penjelasan yang sehalus mungkin, Kapten ."
"Itu bisa kuatur." .
"Terima kasih, Kapten.""Ah, sudahlah itu,"Rukmana Hadinata tertawa lunak.
Kemudian berjanji :
"Setelah Ayahmu ada di tangan kami, ia akan kuamankan dari pihak-pihak yang
tidak berkepentingan. Akan kubuat sedemikian rupa, seolah olah apa yang ada di
tangan kami itu adalah sebuah dinamit yang sewaktu waktu bisa meledak, sehingga
setiap orang harus menyingkir jauhjauh. Kalau perlu, Sum, rekan rekanmu sesama
wartawan yang mencoba membangkang, akan kukurung dalam sel"
Air mata Sumiyati jatuh berlinang linang.
"Kau baik sekali padaku, Kapten..." ia melihat reaksi tersipu sipu Rukmana
Hadinata. Kemudian bertanya gundah.
"Dapat Anda bayangkan, Kapten? Ayah dihadapkan ke depan sidang pengadilan,
kemudian...."
Rukmana Hadinata menukas dengan mantap :
"Itu tak akan terjadi, Sumiyati. Aku berjanji."
"Mungkinkah?"
"Ayahmu, dalam wujudnya yang sekarang, merupakan sebuah kasus istimewa. Kasus
yang teramat langka. Kalau sampai terbuka untuk umum, akan timbul kegemparan dan,
ketakutan. Aku akan meminta petunjuk dari Komandan. Juga, kerja sama dari pihak
kejaksaan. Misalnya, dengan sebuah usul agar ayahmu muncul sebegitu rupa, sehingga
hanya dokter-dokter ahli dan dipercaya saja yang boleh menjamahnya..."
Sebelum Rukmana Hadinata pamit untuk pulang ke kantor, ia memperingatkan
dengan lembut :
"Jaga dirimu baik-baik, Neng. Dan, janganlah memarahi Bu Ijah. Aku telah
mengarahkan dia sedemikian, sehingga tanpa ia sadari ia telah lepas omong mengenai
apa yang ia ketahui tentang seluk beluk keluargamu. Khususnya, hal hal yang menarik
tentang ayahmu. Selamat malam. Gadis Cantik!"
"Sebentar, Kapten. Itu tuh, peronda peronda malam kebetulan lewat. Mari
kuperkenalkan."
Seperempat jam kemudian, kesunyian yang menyentak dan mengandung misteri gaib
menyelimuti rumah Sumiyati. Hanya terdengar suara suara berbisik itupun bila
dianggap perlu oleh Sumiyati dan Bi Ijah.
***
MAKLUM kalau Sumiyati merasa malu dan semakin menderita tekanan batin karena
aib keluarganya diketahui lebih banyak orang, Bi Ijah menasehatkan gadis Itu masuk
saja ke kamar tidur untuk istirahat. Mulanya Sumiyati menolak. Takut ketiduran,
katanya. Barulah setelah Ijah berjanji akan membangunkan Sumiyati pada waktunya
nanti, si gadis bersedia menuruti nasehat pembantunya yang penuh toleransi Itu.
Ijah sedikit pun tidak gentar.
Ia menunggu saat saat mendebarkan itu dengan sabar dan tabah. Ia tahu, kalau
terjadi hal hal di luar dugaan tidak ada orang yang akan melindunginya. Tetapi Ijah
tidak memerlukannya. Sumiyatilah yang lebih membutuhkan perlindungan itu. Dan Ijah
akan berbuat apa saja demi keselamatan jiwa raga bahkan juga kehormatan gadis itu.
Ijah tidak menganggap hal itu sebagai balas budi atas kebaikan yang pernah di terima
dari Sumiyati maupun keluarganya. Ini lebih menyerupai suatu kebajikan buat Ijah.
Kewajiban untuk mengembalikan harkat seorang anak manusia yang mengemban kutuk
bukan karena dosanya sendiri.
"Mia yang malang!" Ijah membatin seraya menyicip kopi kental tanpa gula, yang ia
perlukan agar tetap tenaga. ' Tidurlah yang pulas. Dan bermimpilah mengenai yang
indah indah saja. Karena hanya dalam impian, keindahan hidup ini dapat kau nikmati
...!"
Sungguh suatu kejutan menyakitkan buat gadis malang itu untuk mendengar Ayahnya
telah menciderai orang yang tidak bersalah. Hanya dengan katakata lembut Ijah
berhaSil meyakinkan gadis itu bahwa janda pemilik warung itu tak perlu mati kalau ia
tidak menjerit sehingga Ayah Sumiyati terkejut lantas menyerangnya. Ijah tahu betul,
Ayah Sumiyati tetaplah seorang lelaki pemalu, lebih lebih setelah wujudnya berubah
mengerikan.
Terbayang di pelupuk mata Ijah suatu kenangan menggelikan, yang tiap kali teringat
selalu membuat Ijah mau tidak mau harus tersenyum. Ketika Ijah berusia 15 tahun, ia
pernah tertimpa nasib sial dua kali dalam satu hari. Waktu istirahat jam pelajaran, Ijah
berlari-lari kecil ke belakang sekolahan untuk melepas hajat di selokan. Malang sekali,
Ijah belum sempat menanggalkan celana dalam, ia sudah keburu mencret. Setelah
mencuci bersih celana dalamnya, ia menjemurnya di tempat tersembunyi dengan
harapan sudah kering seusai pelajaran terakhir.
Siapa nyana ketika masuk mengikuti jam pelajaran berikutnya, hujan mendadak
turun dengan derasnya. Bubaran sekolah, hujan tinggal gerimis kecil. Ijah tidak lagi
menemukan celana dalamnya di tempat terjemur. Celana dalam itu.sudah ada di
selokan, tergenang lumpur bercampur kotoran manusia yang berserakan. Merasa jijik,
Ijah mengabaikan celana dalamnya itu kemudian pulang bersama teman temannya.
Sewaktu meniti jembatan bambu, kembali di tertimpa nasib sial. Ia terpeleset jatuh
lalu terseret sungai yang tengah meluap. Teman temannya semua pada memekik,
berlari larian ketakutan kian kemari tanpa tahu mau berbuat apa. Lain halnya,
Suharyadi Tanpa berpikir dua kali, pemuda tanggung itu langsung terjun mengarungi
sungai mengejar tubuh Ijah dan dengan susah payah berhasil juga menyeret Ijah ke
tepian.
Di saat Ijah megap megap mencari nafas, Suharyadi mendadak berpaling dengan
muka merah kemudian berlalu tanpa berkata sepatah pun jua. Keesokan harinya di
sekolah, Ijah menyempatkan diri mencari pemuda tanggung itu untuk menyatakan
terima kasihnya. Suharyadi hanya menganggukkan kepala tanpa berani memandang
wajah Ijah.
"Mengapa sih kau ini?" rungut Ijah dongkol.
"Ah, nggak ...," sahut Suharyadi sambil berlalu
Semula Ijah menyangka Suharyadi marah kepadanya. Karena sewaktu nekat turun ke
sungai, tanpa sadar Suharyadi telah melemparkan buku buku sekolahnya.
Buku-bukunya yang berharga itu jatuh dan di hanyutkan air entah ke mana. Seorang
teman sekelas Ijah kemudian menjelaskan bukan buku buku yang hilang itu penyebab
Suharyadi bertingkah laku aneh".
"Kemarin kau tidak pakai celana dalam,?" kata temannya sembari menahan ketawa.
"Itu mu terlihat oleh Suharyadi!"
Ijah terkejut, kemudian tertawa keras.
"Kok lantas dia yang malu?. "katanya geleng kepala.
"Maklumlah. Dia itu anak santri'"
Setelah peristiwa itu, Ijah tetap menjalin hubungan baik dengan Suharyadi meski
pemuda pemalu itu selalu berusaha menghindar. Setamat es-em-pe, mereka kemudian
jarang bertemu. Ijah dinikahkan dengan seorang lelaki pilihan orang tuanya.
Sementara Suharyadi yang sekolahnya tidak mampu lagi dibiayai keluarga, bekerja
sebagai pesuruh di perkebunan. Di belakang hari Ijah mendengar Suharyadi juga telah
kawin, begitu si pemuda diangkat resmi sebagai pegawai negeri dengan jabatan
sebagai kepala pengawas di lapangan.
Takdir menghendaki mereka harus menjalin hubungan kembali. Tetapi kali ini dalam
bentuk yang lain. Selain dikenal sebagai guru mengaji, suami Ijah. juga diketahui
banyak orang telah mendalami ilmu ilmu kebatinan dengan tetap berpedoman pada
kitab suci. Dengan ilmunya itu, suami Ijah sering dimintai tolong untuk menyembuhkan
orang sakit, terutama yang sakitnya akibat terkena guna guna.
Suatu hari, suami Ijah pulang ke rumah dengan wajah murung.
"Aku khawatir pasienku yang satu ini sulit disembuhkan," ia berkata pada istrinya
sewaktu mereka akan berangkat tidur.
"Penyakit yang dideritanya, jelas penyakit turunan. Aku telah bertanya pada orang
orang tua mengenai silsilah keluarganya. dan dari apa yang kudengar, penyakit yang
diderita pasienku itu memerlukan cara pengobatan mengerikan ..."
"Mengerikan?" tanya Ijah ingin tahu.
"Cara pengobatannya, Bu. Cara itu kalau kulakukan, jelas melanggar kodrat.
Bertentangan dengan agama"
"Bertentangan bagamana, Pak?"
"Yah . bagaimana tidak bertentangan tidak melanggar kodrat. Pasienku diharuskan
meminum darah Ibu kandungnya. Kesulitannya bukan itu saja. Ibunya sudah lama
meninggal dunia ...."
"Tak ada jalan keluar?"
"Ada, Bu. Tetapi justru hal itulah yang kuanggap melanggar kodrat. Dan aku,
sungguh mati, tak sanggup melakukannya "!
Apa yang dapat diperbuat suami Ijah hanyalah memberi ramu ramuan penangkal
yang lebih dulu sudah dimanterai dengan ayat ayat suci. Sekali waktu karena suaminya
harus menangani pasien lain Ijah di suruh mengantarkan ramuan baru pada pasien
yang pengobatannya harus melanggar kodrat itu. Sebelumnya Ijah telah diberitahu
suaminya mengenai keadaan Si pasien.
"Ia mengalami perubahan wujud," kata suaminya.
"Adapun ramuan yang kuberikan, hanyalah sebagai daya upaya terakhir agar
perubahan wujudnya tidak terus menerus sepanjang waktu ...."
Alangkah terkejutnya Ijah setelah mengetahui pasien dimaksud adalah Suharyadi.
Ijah mengantarkan ramuan itu pas ketika malam baru saja jatuh dimana wujud
Suharyadi tengah mengalami proses. Wajahnya yang mengerikan, sempat membuat
Ijah ketakutan Untunglah, Suharyadi dalam keadaan dipasung sehingga tidak dapat
melepaskan diri dan kemudian menyerang orang orang yang mendekatinya.
Sewaktu Ijah akhirnya memberanikan diri untu mendekat, makhluk mengerikan itu
sesaat tampak liar. Matanya yang berwarna merah kehijau hijauan mengawasi Ijah
dengan pandangan curiga .muka itu sempat menggeram, tangannya yang meliuk tajam,
siap untuk mencabik cabik apa saja yang terjangkau. Lalu, tiba tiba saja, wajah
mengerikan itu berpaling dari Ijah'. Terdengar suara lolongannya yang lirih
menyayatkan hati. sesudah di bujuk Karta, adik Suharyadi, barulah makhluk itu
menoleh. Dan pada saat itulah, Ijah menangkap ada butir-butir air bening melelehi pipi
moncong makhluk yang ditumbuhi penuh bulu itu. Makhluk malang itu, menangis .
***
IJAH tersentak ketika mendengar suara keresek keresek. Buru-buru ia menyeka air
mata yang tanpa sadar melelehi pipinya pula. Ia mengintip lewat tirai jendela. Namun
di luar rumah tak tampak apa apa, kecuali kegelapan malam yang hitam mencekam. Ia
kembali lagi ke tempat duduknya semula. Menghabiskan sisa kopi yang sudah dingin,
dan dengan sendirinya pikiran Ijah kembali menerawang jauh.
Setelah beberapa kali bentrok dengan dukun dukun penganut ilmu hitam, suami Ijah
oleh pihak pihak tertentu dituduh telah mendalami ilmu teluh dan kitab suci telah ia
kotori dengan tujuan-tujuan yang bertentangan. Hasutan yang jelas berasal dari pihak
lawan suaminya itu, termakan antara lain oleh Pak Lurah yang pernah mengalami sakit
hati karena pernah dikawinkan dengan orang dari luar desa, bukan dengan warga
sedesa, khususnya anak bungsunya yang diam diam mencintai Ijah. Anak Pak Lurah itu
beberapa kali kawin, yang selalu diakhiri perceraian. Karena tak kuat menanggung
derita, anak Pak Lurah itu bunuh diri dengan menelan racun tikus. Lalu oleh
lawan-lawan suami Ijah, anak Pak Lurah itu dikatakan telah diracun dan diguna gunai
oleh suami Ijah. Kematian kematian yang kemudian susul menyusul dengan aneh
menimpa beberapa warga desa, selalu di timpakan ke alamat suami Ijah.
Dalam situasi yang sudah semakin panas, suami Ijah kemudian memutuskan untuk
pindah ke daerah lain. Sebelum pindah ia lebih dulu ingin mengobati beberapa orang
pasien langganannya, termasuk Suharyadi. Untuk Suharyadi ia hanya mengirimkan
sejumlah besar ramuan yang tidak membutuhkan bantuan fiSik. Untuk itu Ijah disuruh
mengantarkan, sementara suaminya sibuk mengobati dua orang pasien yang datang ke
rumah mereka.
Sewaktu berada di rumah Suharyadi itulah suasana panas mengalami puncaknya dan
kebahagiaan hidup Ijah direnggut selama lamanya. Suami dan dua orang anaknya
meninggal secara mengerikan setelah beramai-ramai dikeroyok sekelompok penduduk
yang disokong oleh Pak Lurah dan saingan-saingan suami Ijah. Harlas. saudara
sepupu Suharyadi yang sebelum nya telah mencium bahaya itu buru buru pulang dan
kemudian menyeret Ijah dari rumah Suharyadi
"Mereka juga mencarimu dan akan membunuhmu .. Harlas menjelaskan sambil
membawa Ijah ke suatu tempat persembunyian di rongga bukit. Tak terperikan
perasaan Ijah setelah mengetahui suami dan anak anaknya sudah tiada. Bahkan dirinya
juga diincar musuh-musuh suaminya, dengan tujuan menumpas tuntas apa yang mereka
katakan 'keluarga pemuja setan terkutuk' yang dialamatkan pada suaminya, Ijah
sendiri, serta anak-anaknya.
Ijah pastilah sudah mati bunuh diri terjun dari bukit, kalau tak keburu dicegah
Harlas.
"Almarhum suami dan anak-anakmu tentulah kecewa kalau perbuatan hina ini kau
teruskan juga!" Harlas memperingatkan. Lalu demi keselamatan Ijah, ia kemudian...
diboyong Harlas ke Bandung dan disuruh tinggal bersama putri Suharyadi yang
sudah berdikari sebagai seorang penulis dan wartawati. Berada di dekat Sumiyati, Ijah
lambat laun dapat melupakan kesedihannya. Sumiyati memperlakukannya begitu baik
dan penuh kasih sayang dan dirinya oleh Sumiyati diangqap sebagai pengganti
almarhumah Ibunya. Ia juga kemudian mengetahui lebih dalam tentang diri Sumiyati.
Setelah mana ia sangat merasa bersyukur. Bahwa. tentulah almarhum suami dan anak
anaknya akan lebih tenang di alam baka, kalau mengetahui Ijah masnh bertahan hidup
dan berusaha untuk berbuat baik pada sesamanya. Suaminya telah gagal
mengembalikan harkat Suharyadi. '
Tetapi Ijah tidak ingin gagal.
Suharyadi pernah menyelamatkan jiwanya. Sebaliknya kini, tiba saatnya Ijah
menyelamatkan jiwa orang lain. Barangkali, Ijah tidak akan mampu menyelamatkan
jiwa Suharyadi. Namun paling tidak, ia percaya bahwa ia akan mampu menyelamatkan
jiwa Sumiyati, putri satu-satunya dari Suharyadi. Hambatan yang dihadapi Ijah hanya
satu hal saja. Yakni, apa yang pernah diucapkan suaminya dengan khawatir : cara
penyelamatan jiwa dan harakat Suharyadi. terpaksa harus melanggar kodrat .!
***
TERDENGAR lagi suara keresak-keresek. Kali ini lebih jelas. Tetapi datangnya
bukan dari pintu yang menghadap ke samping rumah. Melainkan dari langit-langit.
Suharyadikah itu? Atau hanya tikus yang berkeliaran?
Ijah tak berani bergerak dari duduknya.
Ia menunggu dengan tegang.
Sekilas teringat janjinya pada Sumiyati agar segera membangunkan gadis itu kalau
sudah ada pertanda Ayahnya akan muncul. Tetapi Ijah memutuskan, bahwa ia mampu
menghadapi persoalan itu seorang diri. Sumiyati sudah terlalu letih, sudah teramat
menderita, sehingga gadis malang itu tidak ingin ia usik dari tidurnya. Diterangi
cahaya temaram lampu duduk yang biasanya sengaja dikecilkan, tampak wa jah Ijah
berkeringat. Bayangan akan melihat makhluk mengerikan makhluk yang wujudnya telah
menetap karena memakan pantangan yakni daging serta darah segar tanpa meminum
ramuan penangkal lebih dulu, ia coba membuangnya jauh jauh. Apa yang lebih ia
khawatirkan adalah, ada pihak yang melanggar persetujuan, atau pihak yang iseng
mengintip, sehingga Sumiyati nantinya benar benar harus menerima aib yang lebih
memalukan.
Ada sesuatu yang tiba tiba pecah, berderak.
Lalu bunyi eternit jatuh berderai ke lantai di susul munculnya sosok-sosok tubuh
gelap. Bukan satu sosok tubuh, melainkan dua sosok tubuh!
Dua. Astaga!
Dan sosok-sosok tubuh itu berpakaian dan berwujud normal sebagai manusia.
Ijah segera menyadari situasi apa yang di luar kehendak mereka, telah berlangsung
begitu tiba tiba. Ia sudah siap menjerit, manakala suatu benda keras dan dingin
menempel sudah di jidatnya. Disertai dengan bisikan mengancam:
"Bersuara sedikit saja, pistol ini akan meledakkan kepalamu menjadi bubur!"
Ijah terduduk kaku.
Tak berdaya
***
DELAPAN
DALAM KEADAAN tidak berdaya itu, jalan pikiran Ijah masih dapat bekerja dengan
baik kecuali pada saat tadi ia dilanda kejutan mendadak. Ia segera mengetahui bahwa
ia berhadapan dengan dua orang pencuri, dan bukan pencuri sembarangan. Terbukti ke
dua tamu tidak diundang itu masing masing memakai topi kupluk menutupi sebagian
wajah, bersarung ta-gan, dan alas kaki sepatu karet. Tentunya mudah sekali buat
mereka naik ke atap, membuka genting, lalu terjun bebas menerobos eternit. Jatuh
dengan rigannya di lantai, tepat di depan biji mata Ijah. Tahu perbuatan mereka
dipergoki saksi mata, kedua pencuri itu sedikit pun tidak grogi. Yang seorang dengan
sigap langsung menodong pelipis Ijah, sementara yang lainnya dengan tenang dan
terampil mengikat ijah dengan seutas tali tambang plastik yang mereka bawa. Tanpa
bersusah payah, Ijah diikat erat dan kuat, langsung di kursi yang ia duduki
Sebelum mulutnya dibungkam dengan secarik rombeng, Ijah masih mampu berbiSik:
"Ambil apa yang kalian maui. Tetapi tolonglah, jangan kami didera ...." .
"Kami!" si penodong bergumam lembut.
(maaf 2 halaman hilang. halaman 148 149 tidak ada)
tus direnggut oleh gigi gigi taring yang runcing tajam disertai cakaran kuku yang
menekan serta menghunjam masuk ke lambungnya. Kemudian, tanpa meperdulikan lagi
mangsanya yang sudah sekarat itu, penyerang berpaling cepat. Matanya memandang
kearah pintu kamar tidur yang terbuka. Mata yang berkilat kilat merah, kehiiau
hijauan. Bulu bulu tebal coklat kehitaman di sekujur tubuhnya seakan pada tegak
berdiri, sementara dari moncongnya yang lancip keluar raung kemarahan.
Suara mengerikan itu membuat lelaki durjana di kamar tidur Sumiyati bangkit
dengan kaget. Wajahnya yang memerah ketika menikmati perpaduan tubuh dengan
korbannya, mendadak berubah pucat dilanda teror. Untuk satu dua detik lamanya ia
hanya terpana memandangi sosok tubuh aneh yang melompat lompat memasuki kamar.
Kemudian ia merasakan benda benda tajam menembusi batang lehernya, dadanya,
lambungnya, bahkan juga kemaluannya yan terbuka.
Di tengah cekaman teror itu, sisa akal sehatnya bekerja dengan cepat. Ia menggapai
senjatanya, menekan pelatuk, dan telunjuknya yang gemetar hebat menahan Siksaan
azab di seantero tubuh masih mampu menarik picu senjata.
Letusan membahana membangunkan Sumiyati dari mimpi paling buruk yang pernah
dialaminya. Gadis itu terlengah beberapa saat. Pandangan matanya kabur, telinganya
berdenging denging sakit. Pada saat ia berusaha mau bangkit, dua sosok tubuh besar
yang berat telah menimpa tubuhnya sumiyati kembali terlengah
***
MELALUI radio mobil Rukmana Hadinata mendapat laporan dari komandan unit
Siaga di kantornya, bahwa gembong pencurian mobil yang mereka incar telah
diringkus selagi asyik main perempuan di salah -satu kamar hotel Trio, Jalan
Gardujati. Unit Ranmor (Kendaraan Bermotor) yang menangkap tersangka menemui
sedikit kesulitan karena tiba tiba dari kamar lain muncul seseorang dengan tanda
pengenal resmi sebagai Perwira Menengah salah satu Angkatan, dan dia ini terang
terangan bermaksud melindungi si tersangka.
Rukmana memberikan beberapa petunjuk dan instruksi untuk mengatasi kesulitan itu
"Mengenai pelindung, biar aku nanti yang mengurusnya,"' ia menentramkan.
Laporan dari Unit lain baru saja masuk, ketika Rukmana mendengar sesuatu yang
membuatnya terdongak.
"Apakah kau mendengar bunyi tembakan, Eko?"
Sersannya yang sedang merokok di luar mobil, menganggukkan kepala dengan Sikap
seketika berubah siaga.
"Saya dengar, Pak. Dan cukup dekat...."
"Astaga'" Rukmana Hadinata menjangkau pesawat handie-talkie di dashboard lantas
memanggil-manggil. Karena tidak ada jawaban, ia segera memerintahkan sersannya
masuk ke mobil, setelah mana mereka kemudian keluar dari bayangan kegelapan dan
meluncur ke arah bunyi tembakan itu terdengar. Tak sampai dua menit berikutnya,
Rukmana Hadinata menyadari bahwa ia telah kecolongan!
Pintu depan rumah Sumiyati terpentang lebar. Hanya dengan sekilas pandang,
Rukmana sudah dapat mengetahui bahwa pintu itu telah didobrak secara paksa. Tetapi
didobrak dari sebelah mana? Dari luar, atau dari dalam? Pertanyaan itu terjawab
sewaktu Rukmana Hadinata yang menyerbu masuk ke dalam rumah, melihat anak
buahnya yang tadi ia panggil lewat handle-talkie, muncul dari sebelah dalam pintu
kamar tidur. Bawahannya itu tampak lucu penampilannya. Di tangan, ia masih
menggenggam si pucuk senjata api. Namun dari wajahnya yang pucat pasi dilanda
teror dapat ditarik kesimpulan bahwa ia sedikit pun tidak menyadari kalau ia
bersenjata dan senjata itu dapat melindunginya dari ancaman mara bahaya.
Meski tidak sampai mundur seperti bawahannya. Rukmana toh harus mengakui
bahwa setiap lembar bulu apa pun di tubuhnya pada merinding ketika menyaksikan
pemandangan mengerikan di kamar tidur. Darah membanjir, dan seseorang dengan
bekas luka di pelipis tampak tengah sekarat dengan luka luka mengerikan. Tetapi apa
yang membuat Rukmana Hadinata sesaat ternganga dengan sekujur tubuh terasa kaku
dan dingin, adalah sosok tubuh lainnya dengan luka tembakan yang menghancurkan
sebagian sisi kepalanya. Sosok tubuh semacam itu hanya akan muncul dalam gambaran
mimpi buruk seorang penakut. Sebelumnya Rukmana telah memperoleh gambaran
yang sama, tetapi lewat mulut orang lain .Itu akan jauh berbeda bila kita tidak saja
hanya me dengar, tetapi justru menyaksikannya dengan mata kepala sendiri....
Untunglah berkat pengalamannya Rukmana Hadinata lekas menguasai diri. Ia
menyambar tubuh ketiga, Sumiyati, yang syukur tidak Cidera apa apa. Gadis yang
tampak shock hebat itu ia seret keluar. DI serahkan pada anak buahnya yang rupanya
juga telah lebih baik keadaannya dan tampak sedang sibuk membebaskan Ijah dari
kursi tempatnya terikat.
"Amankan mereka berdua!" kata Rukmana sambil berlari menuju mobilnya di luar
rumah. Ketika berlari itu ia sempat melihat sosok tubuh lainnya terkapar di lantai
menuju pintu tembus ke garasi.'Ia menghentikan larinya. Memeriksa sosok tubuh yang
keadaannya hampir membuat Rukmana mau muntah itu, dan kemudian mengetahui
bahwa orang itu sudah mati.
Sersan Eko yang memahami apa yang sebaiknya dilakukan, tidak ikut masuk ke
dalam rumah. Ia berjaga jaga di luar dan dengan senjata di tangan ia mengusir orang
orang yang berhamburan ingin memaksa masuk ke rumah Sumiyati. Sersan itu sempat
heran setelah dengar ekor matanya ia saksikan wajah komandannya yang pucat tak
dialiri darah. Tangan komandannya tampak gemetar ketika menjangkau mic radio
mobil lewat mana si komandan mengeluarkan beberapa perintah dengan suara gugup.
Rukmana kemudian berlari-larian lagi masuk ke dalam rumah. ia memeriksa setiap
sudut untuk meyakinkan tidak ada sesuatu di rumah itu yang dapat mendatangkan
kesulitan baru. Tak sampai sepuluh menit berikutnya suasana di dalam maupun di luar
rumah Sumiyati tak ubahnya suasana di sebuah pertandingan sepakbola yang pemain
pemainnya mendadak memperlihatkan keahlian mereka lainnya sebagai petinju.
Keadaan itu sudah disadari sebelumnya oleh Rukmana. Maka pada waktu dan situasi
yang tepat, ia telah menyingkirkan Sumiyati dan pembantunya dari rumah itu ke rumah
terdekat dan di bawah penjagaan ketat. Pasukan yang ia minta datang telah ia
perintahkan agar mencegah siapa pun yang tidak berkepentingan, tidak diperkenankan
mendekati rumah Sumiyati selama Rukmana dan anak buahnya sibuk menjalankan
tugas, kerjasama dengan dokter Singgih beserta para pembantunya.
"Jangankan orang. Angin pun tak boleh lewat!" Rukmana memperingatkan.
Tetapi wartawan bukanlah angin, dan tidak mau dianggap angin. Mereka berhasil
menerobos lantas ikut sibuk, bahkan lebih sibuk dari polisi sendiri! Rukmana
Hadinata berusaha sedapat mungkin menhindari mereka. Dan ia menjawab setiap
pertanyaan dengan tanpa kompromi.
"Nanti saja di kantor!"
Salah seorang wartawan itu sempat membuat Rukmana bertambah jengkel. Ia itu
seorang pemuda tampan dan diketahui Rukmana cukup potensial di dalam bidangnya.
Ia juga bersemangat tinggi, dan yang paling sering menyulitkan adalah keberaniannya.
sementara rekan rekannya mundur teratur, wartawan muda dan tampan itu justru tak
bergerak dari hadapan Rukmana.
"Anda menyembunyikan teman kami, Kapten", ia berkata datar.
"Temanmu? Yang mana?"
"Sum Kuning."
"Tak usah khawatirkan dia, bung. Sum Kuning ada di tempat yang aman," kata
Rukmana berusaha seramah mungkin.
"Saya ingin bertemu dia, Kapten. Pribadi. Bukan sebagai wartawan."
"Aku tak melihat bedanya," jawab Rukmana mulai ketus.
"Ada, Kapten. Itu bila Kapten sudi memberitahu Sum Kuning bahwa saya, Anton...."
"Aku sudah tahu namamu, Bung'"
"Nanti dulu, Kapten. Anda belum mengerti apa yang...."
"Apakah kau juga telah mengerti, Bung Anton.? potong Rukmana,
"Bahwa kami sedang menjalankan tugas? Tanpa diganggu tikus-tikus berkeliaran
yang mungkin saja menghapus jejak yang kami harus selidiki?" .
Anton, wartawan dari majalah Selecta Group itu menyeringai. Ia berkata dengan
lembut, tetapi menusuk:
"Boleh saya mencatat kalimat Anda itu dalam tulisan saya nanti, Kapten?"
Rukmana Hadinata sedikit tersentak, lalu balas menyeringai. Jawabnya tak kalah
lembut:
"Yang itu ufde record, Bung Anton," lantas tanpa menanti reaksi si wartawan,
Rukmana masuk ke kamar tidur Sumiyati yang kemudian ditutup dan dijaga. dari
sebelah luar oleh dua anggota pasukan bersenjata. Ia' sempat melihat Letnan Handoko
menjemput sepucuk pistol Colt kaliber 32 dengan mempergunakan sehelai sapu tangan.
Oleh si letnan senjata itu dimasukan ke sebuah kantong plastik besar yang di dalamnya
juga tampak sebuah topi kupluk hitam dan sehelai celana dalam wanita.
"Singkirkan celana dalam itu, Letnan," desah Rukmana tak senang pada bawahannya
yang menatap heran.
"Itu tidak kita perlukan," tambah Rukmana kesal.
Ya, ia begitu kesalnya.
Sumiyati hampir atau mungkin telah diperkosa. Itu saja sudah membuat darah di
sekujur tubuh kapten polisi itu menggelegak menahan marah. Ia lebih marah lagi
setelah teringat kembali bahwa ia telah kecolongan. Dan akibatnya, begitu fatal.
Sejak semula Rukmana telah menekankan agar dia atau salah seorang ,anak buahnya
ikut berjagajaga di dalam rumah. Tetapi Sumiyati bersikeras menolak. Dengan alasan,
kehadiran orang tidak dikenal boleh jadi akan membuat ayahnya mengamuk dan usaha
mereka berantakan. Brengseknya, Rukmana menganggap alasan gadis itu masuk akal.
Yang lebih brengsek, adalah instruksi yang diberikan Rukmana pada Bharada Solihin.
Dari tempat persembunyiannya tidak jauh dari rumah Sumiyati, Solihin diberi
pengarahan untuk mengawasi satu sosok tubuh yang mungkin berkeliaran di sekitar
rumah Sumiyati lalu masuk ke dalam. Satu, bukan dua sosok tubuh. Diembel embeli ciri
tambahan:
"Orang itu tampaknya memakai mantel bulu dan topeng mirip anjing."
Maka Solihin tidak bercuriga apa apa ketika ada sosok tubuh lewat di dekat
tempatnya mengintai karena jumlahnya ada dua dan kedua orang itupun meski ngobrol
perlahan namun sambil tertawa-tawa Setelah kedua orang itu menyelinap ke gang di
samping rumah sasaran, Solihin berpikir tentulah mereka tetangga si gadis, atau
peronda malam. Waktu itu mereka tidak pula mengenakan topi kupluk. Namun di bawah
sinar rembulan, Solihin sempat menangkap bayangan bekas luka di pelipis salah
seorang yang kemudian ia ketahui terbaring sekarat di tempat tidur Sumiyati.
Masih ada satu hal lain, yang paling brengsek. Ada pihak ketiga yang merasa dirinya
lebih pintar lebih mengetahui dari siapa pun Juga. Di luar persetujuan yang disepakati
Rukmana bersama Sumiyati, pihak ke tiga itu lantas menyusun rencana sendiri lalu
diam-diam melaksanakannya tanpa memperhitungkan untung rugi. Sialnya, Rukmana
tidak dapat marah pada pihak ke tiga itu, Ijah, bermaksud baik pada majikannya.
Lagipula bagaimana harus marah, menudingnya sebagai kambing hitam? Karena,
memang lain yang ditunggu, lain pula yang datang. Jadi barangkali kesalahan
sepenuhnya dapat ditimpakan pada dua orang pencuri haram-jadah itu. Kesalahan
yang ternyata harus mereka tebus dengan harga yang sangat mahal....
"Kapten?" dokter Singgih mengejutkan Rukmana Hadinata dari lamunannya.
"Kami sudah siap mengangkut kedua jenazah ke rumah sakit...."
"Bagaimana dengan korban yang masih hidup, Dokter?" tanya Rukmana, sekedar
bertanya. Tanpa minat. .
"Kukira saat ini ia sudah ada di meja bedah. Tetapi aku meragukan, apakah ia tetap
tinggal hidup sebelum tiba di meja bedah...." ,
"Hem," Rukmana bergumam sambil menyulut sebatang rokok.
"Mau?" ia sodorkan sebatang untuk dokter Singgih yang menolak dengan gelengan
kepala.
Katanya,
"Isterimu bilang, kalau kau ngorok bunyi nafasmu agak lain terdengarnya, Kapten.
Jadi hati-hatilah dengan nikotin itu...," dokter itu mengusap keringat yang mengilati
kepala botaknya, lantas bergumam lirih:
"Maukah kau mendengar pengakuanku, kawan?"
"Apa itu, Dokter?"
"Bukan main, itulah yang timbul dalam pikiranku. Barang yang diinginkan sudah
tergenggam di tangan. Tetapi aku malah bingung sendiri!"
"Pengakuan yang jujur, Dokter. Apa yang membuatmu begitu gundah?"
"Barangnya, Kapten. Aku belum dapat memastikan apakah dia itu manusia atau...,
yah, binatang!"
"Anggap saja kedua duanya!" komentar Rukmana seraya menggamit lengan dokter
Singgih keluar meninggalkan kamar yang banjir darah dan otak itu.
'Kau akan menyetujui pendapatku, kalau kau ikut aku pergi menanyai seseorang!"
Lalu mereka berdua pergi ke rumah sebelah.
***
IJAH sudah mendengar jenazah Suharyadi akan diotopsi. Maka tak heran kalau
kemudian sekeranjang protes sengit ia lampiaskan ke alamat dokter Singgih yang
menurut dia bermaksud merusak kesucian jasad Suharyadi. Dokter Singgih sempat
kewalahan melayani protes perempuan setengah baya bermulut nyinyir itu, sehingga
diam diam Rukmana Hadinata menahan ketawa sembari merasa iba pada sahabatnya
itu. Dengan bijaksana Rukmana kemudian mengalihkan persoalan dan berhasil
memancing ljah untu membuka cerita tentang tokoh yang membuat dokter Singgih
begitu gundah.
"Suharyadi termasuk favorit saya di masa saya masih gadis remaja tanggung," Ijah
berkata dengan lamunan melambung. Lalu ia kisahkan kenangan manis yang pernah
dialaminya ketika sakit perutnya mengulah dan ia kehilangan celana dalam sehingga
Suharyadi dibuatnya tersipu sipu malu. Kemudian ia berkisah pula tentang apa yang ia
ketahui langsung mengenai pemuda favoritnya itu.
"... aku tak pernah melihat dia lagi selama tiga tahun terakhir," katanya.
"Tetapi aku percaya, Karta dan Harlas tetap memberinya ramu ramuan yang harus
mereka buat sesuai petunjuk yang kuberikan Sebelum aku meninggalkan kampung
secara terpaksa. Jampi jampi yang harus dibaca ia tak lupa saya beritahu. Sayang ada
durjana sehingga Suharyadi melanggar pantangan!" Waktu berkata demikian, wajah
Ijah berubah marah, seraya menjelaskan apa yang dia maksudkan. .
Tanpa terasa waktu terus berlalu dan bahan obrolan dengan sendirinya ikut pula
berkembang, melantur lebih jauh. Apalagi kalau yang diobrolkan ternyata
mengasyikkan pula. '
"Kalau kalian mau tahu, leluhur Suharyadi itu konon anak buahnya Karaeng
Galesung'" suatu saat, Ijah membuka cerita.
"Karang apa?" dokter Singgih menggaruk kepalanya yang plontos.
"Kara eng, Dokter, bukan karang'" Rukmana membetulkan, lalu kemudian berpikir
seraya bergumam bingung ;
"Karaeng Galesung. Rasanya aku pernah mendengar nama itu -entah di mana"
"Pasti waktu Pak Rukmana masih belajar di sekolah lanjutan," cetus pelayan
Sumiyati yang gembira dengan kelebihannya dari kedua orang berkedudukan terhormat
itu. Tragedi yang merenggut nyawa pemuda favoritnya itu mulai tersisihkan oleh sifat
lumrah seorang wanita tua yang mulai nyinyir bila ia sadar mengetahui sesuatu lebih
banyak dari pengetahuan orang lain.
"Karaeng Galesung" katanya bersemangat meski air mata belum kering dari pipi tua
nya,
"adalah kepala pasukan pelaut Makasar yang pernah membantu Pangeran
Trun0joyo, Raja Kediri!"
Sementara dua orang temannya ngobrol di sebuah ruang tertutup, tercengang
mendengar penuturannya, Ijah terus berceloteh tentang apa yang katanya pernah ia
dengar dari almarhum suaminya, sementara suaminya itu juga hanya mendengar dari
penuturan orang lain pula. Sebuah cerita dari mulut ke mulut yang telah berkembang
generasi demi generasi, tentang leluhur Suharyadi yang ikut mempertahankan Kediri
dari serbuan pasukan Belanda yang waktu itu disebut VOC. Kediri berhasil direbut
VOC dengan bantuan Aru Palaka dan tentara Bugis nya. Pangeran Trunojoyo serta
pasukannya yang setia kemudian melarikan diri ke bukit bukit di Gunung Kawi,
termasuk leluhur Suharyadi. Tetapi karena adanya pengkhianatan akhirnya Pangeran
Trunojoyo terkepung dan menyerah pada Jonker, seorang suku Ambon yang menjadi
Kapten pasukan VOC setelah mana kemudian Pangeran Trunojoyo ditikam oleh musuh
besarnya, Prabu Amangkurat II.
"... tetapi aku bukan mau cerita tentang raja-raja yang hebat itu," sela Ijah di tengah
ceritanya yang mau tak mau membuat asyik dua pendengarnya
"Ada cerita lain yang lebih hebat. Yakni, tentang leluhur Suharyadi, anak buah
Karaeng Galesung itu.... '
Setelah Pangeran Trunojoyo ditangkap Jonker. leluhur Suharyadi menyelinap jauh
ke dalam hutan. Di situ ia mendalami ilmu kebal yang kemudian menjurus pada ilmu
hitam. Ia harus mengawini seorang perempuan yang muncul seusai pertapaannya.
Baru belakangan ia mengetahui bahwa bila matahari digantikan rembulan, perempuan
yang ia peristri berganti wujud pula dari manusia menjadi rubah atau serigala. Karena
sudah terikat sumpah keramat, mana rubah itu kalau berwujud manusia cantik pula,
leluhur Suharyadi lama kelamaan menjadi terbiasa.
Tetapi ketika ia terpikat pada wanita lain, dan yang ini wanita yang utuh sebagai
wanita, leluhur Suharyadi mulai Mencari jalan untuk melepaskan diri dari pengaruh
istrinya. Dalam suatu kesempatan, istrinya yang sedang hamil tua itu berhasil ia bunuh
ketika sedang menjalani proses ke wujud serigala. Sebelum menghembuskan nafas,
sang istri mengutuk lelaki yang sial itu :
"Aku akan terus mengganggumu', maupun keturunan-keturunanmu ....!" '
Bekas anak buah Karaeng Galesung itu'ketakutan lalu melarikan diri dari Gunung
Kawi. Selain itu ia juga takut terhadap pasukan VOC. Maka dengan bantuan beberapa
orang kenalannya sesama pelaut Makasar ia meneruskan pelariannya ke Banten
bersana istri barunya. Di Banten, ia mengabdikan diri pada pasukan Sultan Hadji yang
dibantu oleh VOC. Setelah Sultan Hadji berhasil merebut kekuasaan dari Ayahnya,
leluhur Suharyadi itu sudah merasa jemu lari dan lari lagi. Ia lalu berbalik gagang dan
memihak pada pasukan Sultan Hadji.
Hidupnya memang lebih tenang dan bahagia,
Sampai suatu hari istrinya melahirkan anak pertama mereka. Alangkah terkejutnya
sang Ayah yang tadinya berbahagia itu, manakala bayi perempuannya yang masih
merah tiba-tiba mengeluarkan suara perempuan dewasa yang mengatakan :
"Masih ingat aku, suamiku terkutuk?"' Lalu bayi itu tertawa meringkik, disusul raung
dan lolongan serigala dari mulut yang sama.
Mengertilah leluhur Suharyadi bahwa roh istri pertamanya masih tetap mengikutinya
ke mana pun ia pergi, bahkan roh itu diam diam telah menghuni raga istrinya, lalu
anaknya. Pada saat saat tertentu, apabila roh itu ingin melampiaskan dendam
kesumatnya, raga yang ia huni akan berubah wujud menjadi serigala seperti wujudnya
semasa hidup. Sampai meninggalnya, bekas anak buah Karaeng Galesung itu tidak
pernah menemukan penangkal kutuk yang ditimpakan pada dirinya maupun keturunan
keturunan nya. Baru pada dua generasi berikutnya penangkal itu dapat ditemukan
salah seorang keturunannya. Roh Serigala yang selalu menghuni raga setiap keturunan
bekas anak buah Karaeng Galesung itu berhasil di enyahkan. Namun sisa-sisa dendam
kesumatnya tidak ikut hilang. Dendam kesumat itu menyatu dengan darah
keturunan-keturunan Suharyadi. Yang apabila terjadi sesuatu yang membangkitkan
dendam kesumat, maka pengaruh roh itu akan kembali terasa. Dan penyimpan dendam
kesumat akan berubah wujudnya menjadi serigala, selama dendam kesumatnya belum
terlampiaskan sampai tuntas.
Ketika Ijah berhenti sebentar untuk menarik nafas, kesempatan itu dipergunakan
Rukmana untuk menanyakan sesuatu yang tiba tiba mengganggu pikirannya :
"Apakah menurut Ibu, kutukan itu dapat pula menimpa diri Sumiyati?!"
Ijah baru saja akan membuka mlut, ketika gadis yang namanya disebut tahu-tahu
saja membuka pintu kamar di mana sebelumnya ia mengunci diri tanpa bersedia
didekati siapa pun juga. Shock masih terlihat di wajahnya. Tetapi sinar matanya
memandang cukup tajam ketika terarah pada pembantunya, yang seketika menjadi
gelisah.
Gadis itu berpaling pada Rukmana Hadinata, dan dengan wajah menyimpan seribu
misteri ia berujar lirih :
"Mau menolong saya, Kapten?"
"Dengan senang hati, Neng ...," jawab Rukmana tersenyum meski di dalam sanubari
ia bertanya tanya
"Tolong saya diberitahu, Kapten. Siapa orang di belakang pencuri pencuri itu ."
"Hai, Neng. Kau maksudkan ...."
Kalimat Rukmana terputus sampai di situ, karena Sumiyati telah masuk lagi ke kamar
dan sekalian mengunci pintu. semua yang hadir sama bertukar pandang. bingung.
Kecuali Ijah Waktu mereka hanya berdua saja di balik kamar tertutup itu, Ijah telah
berusaha menghibur majikannya dari penderitaan shock yang hebat ditinggal mati
Ayahnya ..., dan lebih dari itu, rahasia Ayahnya akhirnya semakin terbuka di mata lebih
banyak orang. Sesudah Sumiyati agak pulih, ia tampak memikirkan sesuatu lalu
meminta pembantunya menceritakan secara lengkap dan jelas mengenai jalannya
peristiwa tragedi di rumah mereka. Sumiyati demikian telitinya, sehingga beberapa kali
ia memotong cerita Ijah untuk menanyakan sesuatu. Gadis itu kemudian berdiam diri,
tidak bertanya apa'apa lagi setelah Ijah mengulangi apa yang sempat ia dengar dari
mulut si pencuri dengan cacat bekas luka di pelipis :
"Sikat apa yang kau mau. Gadis itu bagianku!"
SEMBILAN
EFISIENSI kerja Rukmana Hadinata tidak usah diragukan lagi. Ia kerahkan satu tim
khusus untuk melacak berbagai sasaran. Ia cukup memberi petunjuk-petunjuk yang
diperlukan, sementara ia sendiri tetap stand by di kantornya untuk menjalankan tugas
sehari hari. Hanya satu kali ia keluar dan kantor. Itu pun karena orang yang ia
butuhkan keterangannya, ia ragukan dapat dihadapi anak buahnya. Pukul 11 siang ia
kembali ke kantor, di mana laporan-laporan yang ia harapkan sudah masuk. Ia
membuat beberapa catatan, sementara otaknya terus bekerja seperti komputer. Tepat
tengah hari, ia sudah dapat menarik analis yang ia perkirakan cukup akurat, meski
hanya untuk sementara. Pukul satu siang, ia menghadap komandan untuk
mendiskusikan beberapa hal. Dan dua jam berikutnya, ia menelepon Sumiyati.
Hal pertama yang diberitahu Rukmana adalah mengenai si pencuri yang segera
dilarikan ke rumah sakit untuk menjalani perawatan darurat. Si celaka itu
menghembuskan nafas terakhir dua menit sebelum tiba di meja bedah, jadi tak dapat
diperoleh keterangan apapun dari mulutnya. Namun file tentang diriny ada di
kepolisian. Ia diketahui bernama Ronggur Pangaribuan, kelahiran Balige Sumatera
Utara dan perah aktif di ketentaraan, dengan pangkat terakhir Sersan Satu. _
Tahun 1970, Ronggur dihadapkan ke Mahkamah militer karena terbukti menyewakan
senjata dinasnya pada komplotan perampok. Ia juga dituduh melakukan sejumlah
tindakan indisipliner: Oleh Mahkamah, ia dijatuhi hukuman penjara 1 tahun 4 bulan,
dan dipecat dari dinas, Tahun 1975 ia masuk penjara untuk ke dua kalinya karena
terlibat tindak pidana perampokan, pembunuhan, perkosaan. Ronggur bebas dari
penjara tahun 1981, dan selama beberapa waktu namanya menghilang dari peredaran.
Diduga, ia 'istirahat' di kampung halamannya, Balige. Namanya muncul lagi ke
permukaan pada tahun 1983 karena terlibat perkelahian dan penganiayaan. Istri Alek
salah seorang sahabat lamanya diperkosa orang. Rong gur mencari si pemerkosa,
memancingnya untuk memulai perkelahian dan kemudian membuat orang itu babak
belur sehingga cacat seumur hidup.
Oleh lawannya, Ronggur digugat ke pengadilan. Sahabatnya, Alex, tidak mau tinggal
diam. Alex menemui majikannya, minta tolong dicarikan seorang pembela buat
Ronggur. Penasihat hukum Anwar Sobirin SH, dengan lihai membuat keadaan
sedemikian rupa sehingga penganiayaan yang dilakukan Ronggur tenggelam oleh
perkara perkosaan yang dilakukan si penggugat. Si penggugat mau tidak mau terpaksa
mencabut gugatannya. Ronggur dibebaskan dari tuntutan hukum, lalu ditawari
pekerjaan oleh majikan Alex. Resminya sebagai penjaga malam, tetapi tugas nya lebih
banyak sebagai tukang pukul. Rukmana berdecak sebentar, sebelum melanjutkan di
telepon :
"Di sinilah persoalan menjadi menarik, Neng. Pistol yang dipergunakan Ronggur
menyatroni rumahmu dan kini kami sita, memiliki surat surat izin pemilikan yang sah.
Pistol itu tercatat atas nama majikan Ronggur"
"Siapa majikan Ronggur itu, Kapten?" tanya Sumiyati tidak sabar.
"Alaaa. Tak usah bermain kura-kura dalam perahu, Neng!" Rukmana Hadinata
menyeringai. Setelah sepi beberapa saat, terdengar suara Sumiyati menahan nafas, lalu
berbisik :
"Eddi Bratamenggala?"
"Hampir."
"Barman Bratamenggala?"
"Persis, Neng."
"Oh ...." _
"Tunggu dulu, Neng. Jangan buru buru mengambil kesimpulan," Rukmana cepat
cepat menyela.
"Aku percaya bankir ini tidak terlibat dalam urusanmu .."
"Alasannya?"
Rukmana Hadinata lalu menceritakan bahwa ia sendiri yang pergi menemui Barman
Bratamenggala untuk dimintai keterangan. Ia diberitahu bahwa tukang pukulnya
terlibat tindak pidana tetapi tidak diberitahu kalau yang bersangkutan Sudah mati.
"Anak brengsek itu!" Barman langsung memaki.
"Apakah aku kurang menggajinya dan kurang memberi bonus?" Ditanya apakah
senjata miliknya maSih ada padanya, Barman mengiyakan lalu pergi ke meja kerjanya
untuk meyakinkan jawabannya pada Rukmana. Seketika ia blingsatan setelah mencari
kian kemari pistolnya tidak juga ketemu.
"Apakah yang ini?"desah Rukmana seraya memperlihatkan barang bukti sitaan yang
maSih terbungkus plastik. Barman menelti senjata itu sejenak, sambil bertanya
darimana Rukmana mendapatkannya.
"Dari pegawaimu, Ronggur," jawab Rukmana Hadinata. Dan meluaplah kemarahan
si bankir.
"Jadi anak sialan itu sudah ada di tangan kalian, ya? Ia telah mengotori kamar
kerjaku, sekaligus mendatangkan aib padaku. Kalau diperkenankan, Kapten,
perbolehkan aku menemuinya dan menembak kepalanya!"
Dalam pembicaraan telepon dengan Sumiyati, Rukmana menjelaskan hal hal lain
yang ia Simpulkan dari sikap Si bankir.
"Aku mengenal banyak watak orang dan kemudian menarik keSimpulan tentang
bankir itu. Bahwa, Neng, ia tidak sedang melakonkan sandiwara satu babak." '
"Bagaimana dengan putranya Eddi?"
"Letnan ku telah berbicara dengan dia, dan memperoleh keterangan bahwa diam
diam Ronggur. Masih sering melakukan hal hal memalukan tanpa setahu majikannya.
Eddi katanya mengetahui hal itu dari Alex, tetapi katanya ia punya alasan kuat
memberitahu ayahnya. Katanya, selain takut pada Ronggur, ia tak ingin menguak
ketentraman ayahnya selama Ronggur tidak melakukan sesuatu yang dapat merusak
nama baik ayahnya. Alex mendukung penjelasan tuan mudanya dalam suatu
pemeriksaan Silang. Tetapi kami tidak bodoh, Neng," Rukmana berdecak lagi.
"Anak buahku memperoleh informasi dari sana sini, bahwa Ronggur sudah cukup
puas'dengan pekerjaannya yang sekarang dan memutuskan untuk hidup damai bersama
anak istrinya. Selain dari majikannya, ia juga memperoleh tambahan pemasukan dari
putra majikannya untuk menangani urusan urusan tertentu. Tak .diperoleh keterangan,
urusan tertentu apa .. Nah. Apa yang ada dalam pikiranmu, Neng?"
Agak lama, baru terdengar sahutan Sumiyati .
"Dan apa yang ada dalam pikiran Anda, Kapten?"
Pertanyaan balik itu diSiratkan Rukmana Hadinata sebagai suatu pernyataan
tersembunyi serta mengandung bahaya. Maka ia lalu merendahkan tekanan suaranya.
Berkata .
"Mau menerima nasihat Gadis Cantik? Sebaiknya kau jauhi dan lupakan saja anak
beranak itu. Ada orang kuat di belakang mereka. Selain itu lebih baik kau percayakan
saja pada kami apabila salah seorang dari mereka berdua memang perlu diurus.
Jangan melakukan sesuatu, Neng, tanpa memberitahuku lebih dulu...!"
"Apa yang dapat saya lakukan, Kapten? Saya hanya seorang perempuan lemah, tak
berdaya...." suara Sumiyati lirih, lalu kemudian mengalihkan pembicaraan dengan
bijaksana :
"Bagaimana dengan janji Kapten mengenai ayah saya?"
"Tak ada yang perlu kau khawatirkan, Gadis Cantik," jawab Rukmana menghibur.
"Kecuali aku dan dokter Singgih, tak seorang pun orang luar mengetahui
hubunganmu dengan makhluk..., eh, maksudku dengan penyerang Ronggur serta
temannya yang malang itu. Yang penting aku dapat membuat laporan akurat mengenai
orang yang kami cari sehubungan dengan terbunuhnya Azis Partogi dan janda pemilik
warung di desa Buah batu itu. Oh ya, apakah kau tetap keberatan ayahmu diotopsi?"
' Dia sudah mati, Kapten..
"Jelaskan, Neng."
"Makin cepat dia dikubur, makin baik" sumiyati berujar hambar,hubungan telepon ia
putuskan begitu saja. Tinggal bunyi berdenging di telinga Rukmana yang membuat
kapten polisi itu termangu mangu beberapa saat. Ia pandangi gagang telepon di
tangannya lalu menyeringai sembari berkata kata sendirian : .
"Mengapa kau ini, Neng? Baru begitu saja kok dah merajuk. Oh, apa? Kau hanya
bersenda gurau. Syukurlah. Apakah kita jadi makan malam? Oh, jadi kau tidak enak
badan. Tak apalah, Lain kali saja kita bicarakan lagi. Selamat siang, Neng!" Gagang
telepon ia letakkan di tempatnya, disertai ucapan lembut untuk dirinya sendiri :_
"Siang, Kapten!"
Tetapi duduknya seketika menjadi resah, dengan kepala dipenuhi tanda tanya.
Misalkan dugaan Sumiyati benar. Pencurian yang dilakukan Ronggur hanya kamuflase
belaka, mematuhi perintah majikan mudanya. Lalu mengapa Eddi Bratamenggala
menganggap perlu membungkam Sumiyati? Boleh jadi wartawati itu mengetahui
sebuah rahasia penting, yang ia simpan dengan maksud maksud tertentu. Kalau itu
benar, lalu apa yang dapat diperbuat Sumiyati.
"Saya hanya seorang perempuan lemah!" terngiang ucapan gadis itu beberapa menit
barusan.
Perempuan lemah, mungkin saja. Tetapi ia dilahirkan oleh seorang ayah yang
memiliki sifat sifat buas dan mengerikan. Sifat semacam itu mungkin saja menurun pada
Sumiyati. Apalagi kalau Sumiyati menaruh kebencian mendarah daging pada
seseorang, sebagaimana terungkap dalam tulisan-tulisannya dulu mengenai Azis
Partogi. Tulisan tulisan Sumiyati seakan berbau dendam kesumat dan....
Mendadak sontak, sekUjur tubuh kapten polisi itu terasa dingin membeku. Ia teringat
pada kisah fantastis Bu Ijah mengenai salah seorang anak buah Karaeng Galesung
yang mengabdi pada Pangeran Trunojoyo di jaman kerajaan Kediri.
"Apabila mereka menyimpan dendam kesumat, maka wujud mereka akan berubah
"Dan menjadi buas!" bisik Rukmana kelu.
"Bu kan lagi sekedar makhluk lemah .!
Lalu, Azis Partogi terbunuh secara mengerikan..
Merinding bulu punduk Rukmana Hadinata ketika menyadari kemungkinan makhluk
menakutkan itu bukannya satu melainkan dua!
Tanpa sadar ia cepat menyambar telepon dan memutar nomor kantor Eddi
Bratamenggala. Sekretaris Eddi yang menerima telepon dan mengatakan Eddi
Bratamenggala baru saja keluar dan tidak memberitahu apakah akan kembali lagi ke
kantor atau langsung pulang ke rumahnya. Rukmana menanyakan nomor telepon rumah
Eddi Bratamenggala, setelah mana ia berpesan pada sekretaris itu bila Eddi muncul
harap segera menghubunginya Pesan yang sama ia tinggalkan pada istri Eddi setelah
ternyata laki laki itu juga belum muncul di rumahnya. Rukmana sempat terniat untuk
menghubungi pula Barman Bratamenggala. Tetapi ia teringat bankir itu mengalami
shock setelah mendengar tukang pukulnya melakukan aksi kejahatan, dengan
mempergunakan pistol Barman pula.
Baru setelah menyimpan telepon kembali, kapten polisi itu berpikir lebih jernih :
"Astaga. Aku telah terpengaruh omongan gila itu!" lalu ia geleng geleng kepala.
Bergumam menghibur diri :
"Kalau Tuhan menghendaki, apa yang mustahil di dunia ini? Tetapi gadis secantik
Sumiyati Ya Tuhan, katakanlah bahwa semua ini hanya omong kosong belaka!"
***
EDDI BRATAMENGGALA cukup puas dengan infomiaSi yang diperolehnya. Teman
Ronggur mati seketika. Adapun Ronggur sendiri, masih bernafas ketika dilarikan ke
rumah sakit, namun kemudian meninggal tanpa sempat bicara apa apa. Yang ia
khawatirkan hanya pistol ayahnya yang ia pinjamkan pada Ronggur. Tetapi tidak Sulit
memecahkan persoalannya. Cukup mengkambing hitamkan Ronggur telah mencuri
pistol itu dari laci meja kerja ayahnya, dan Alex mendukung pula dengan cerita isapan
jempol bahwa penyakit lama Ronggur sebagai bekas rampok, emang masih kambuh
sesewaktu.
Namun toh ia sempat Ciut juga ketika ia kembali ke kantor dan sekretarisnya
mengatakan ia dicari oleh! Kapten Polisi Rukmana Hadinata. Apakah perWira polisi
itu mencurigai sesuatu? Sedikit panik, ia mengatakan pada sekretarisnya kalau
Rukmana menelepon lagi agar dikatakan bahwa ia sudah pergi. Ia sedang
membereskan beberapa berkas secara terburu buru dengan maksud menghindar dari
kantor secepat mungkin, tatkala sekretarisnya mengatakan ada telepon. Melihat wajah
bosnya yang tampak kesal menahan amarah, sekretaris itu cepat menambahkan :
"Dari seorang gadis Dengan nama yang ganjil "
"Siapa?" tanya Eddi gelisah.
"Sum Kuning."
Eddi Bratamenggala sesaat tampak gugup. Tetapi akan menggelikan kalau
sekretarisnya mengetahui ia mendadak takut pada semua orang. Maka dengan kepala
diliputi tanda tanya, ia sambut telepon itu dan menyahuti panggilan Sumiyati.
Di luar dugaannya suara gadis itu terdengar lunak dan ramah .
"Apakah aku mengganggu kesibukanmu, Bung Eddi?"
"Nona mau apa?" tanya Eddi hati-hati.
"Bicara."
"Tentang?"
"Yah, semacam perdamaian, begitu..."
Eddi Bratamenggala menarik nafas lega. Seperti sering dikatakan ayahnya, Eddi
Bratamenggala kadang-kadang suka berlaku semorono. Saat inipun, ia agaknya
melupakan apa yang ia perintahkan pada Ronggur serta akibatnya pada Sumiyati. Yang
terbayang di pelupuk matanya, hanyalah suatu gambaran menyenangkan : bahwa pada
akhirnya, semuanya akan beres. Dan lagi lagi, pastilah uang memegang peran penting.
Tanpa berpikir panjang, Eddi Bratamenggala berbisik pelan :
"Berapa yang kau perlukan?"
"Aduh, ucapan apa itu Bung Eddi. Aku lebih suka kita membicarakannya secara
kekeluargaan ...!"
"Oke. Kapan?"
"Makin cepat makin baik, bukan?"
"Betul juga. Bagaimana kalau sore hari ini juga?"
"Sore ini aku masih Sibuk. Entah, kalau malam."
"Jam berapa?"
"Yah, antara pukul tujuh atau delapanlah. '
"Apakah aku ke rumahmu, atau ...," saat itulah Eddi Bratamenggala teringat
kejadian apa yang berlangsung malam hari kemarin di rumah si gadis. Ia sadikit gugup
setelah mendadak teringat lagi pada Ronggur. Untunglah, Sumiati cepat cepat berkata:
"Tadi malam ada keributan di rumahku, Bung Eddi. Jadi aku bermaksud menginap di
hotel untuk sementara. Saat ini pun aku telah mendaftarkan namaku . Kau tahu lokasi
hotel itu, Bung Eddi?"
"Tahu_ Sum " nada suara Eddi Bratamenggala kini lebih bersahabat.
"Kamar berapa?"
"Wah, jangan di kamar ah. Kalau ada yang tahu, payah!" Sumiyati tertawa renyai,
sedikit nakal.
"Aku akan menunggu di lobby. Begitu kau muncul, kita pergi." .
"Ke mana, Sum?"
"Terserah ke mana Bung Eddi suka. Aku sih tinggal ngikut saja. Dan, tentunya tanpa
kehadiran pihak ke tiga"
"Percayakan itu padaku, Sum!"
"Dan jangan berpikir tentang uang, Bung Eddi."
"Hem, baiklah."
Setelah pembicaraan mereka selesai, Eddi Bratamenggala duduk tercenung. Apa
yang membuat sikap gadis itu berubah begitu drastis? Shock karena peristiwa
mengerikan di rumahnya sehingga tidak lagi bergairah memusuhi orang lain? Makhluk
apa pula yang telah merenggut nyawa Ronggur dan temannya? Kalau tak salah
dengar...
"Kapten Rukmana menelepon lagi, Pak," sekretarisnya membuyarkan lamunan Eddi
Bratamenggala.
dengan ketus ia berkata :
"Kau sudah tahu jawabannya, bukan?"
Lantas Eddi Bratamenggala bergegas meninggalkan kantor. Ia harus mengumpulkan
sebanyak mungkin uang tunai, yang kalau masih kurang dapat ia tambahkan dengan
cheque. Ia merasa yakin, jawaban yang paling mengena atas perubahan sikap Sumiyati
pastilah tidak akan jauh dari itu. Kalaupun Sumiyati mengingatkan agar Eddi jangan
berpikir tentang uang, tentulah itu hanya sekedar basa basi belaka. Gengsi seorang
wartawan, hah!
Di kantor Satuan Reserse Poltabes Bandung, Kapten Polisi Rukmana'Hadinata
sangat kecewa karena gagal lagi menghubungi Eddi Bratamenggala. Ia juga merasa
cemas ketika lewat pesawat handle-talkie ia menerima laporan dari anak buahnya :
"Burung dara meninggalkan sarangnya, Kapten."
"Ikuti dan beritahu segera di mana ia hinggap Sersan," Rukmana memberikan
instruksi.
Sumiyati meninggalkan rumah dengan mempergunakan taksi yang telah ia pesan
lebih dulu. Ia tidak mau mengambil resiko diikuti. Oleh karenanya, setiba di Jalan
Dalem Kaum dengan tiba tiba ia menyuruh taksi berhenti, membayar ongkos
secukupnya dihitung tarip per dua jam. Dengan cepat ia menyelinap ke sebuah pusat
perbelanjaan yang ia ketahui selalu ramai dengan pengunjung karena selain penjual
model-model terbaru, pusat perbelanjaan itu juga memasang obral. Ia sering
berbelanja di situ, sehingga tahu betul seluk-beluknya.
Dalam waktu tiga menit ia telah keluar lewat pintu lainnya setelah menyelinap ke
gang di samping kamar kecil, dan langsung naik ke sebuah taksi yang banyak mangkal
di situ. Supir ia suruh tancap gas, baru kemudian memberitahu agar ia dibawa berputar
putar dulu. Setelah yakin tidak ada yang mengikuti, ia minta diantarkan ke hotel
"Kumala". Di buku tamu, namanya telah terdaftar sebagai Nyonya Bustaman. Soal
administrasi, gampang. Ia tinggal menjelaskan dengan nada menyesal :
"Aduh, bagaimana ya. Kartu pengenal saya terbawa oleh Bapaknya anak anak.
Nantilah,-kalau ia sudah datang menyusul Lalu berikan tip lumayan pada Si penerima
tamu dengan ekstra senyuman manis menawan dengan sedikit binal sehingga begitu ia
menerima tip besar itu, akan mengerti dengan sendirinya dan tidak akan mengajukan
pertanyaan apa pun lagi. .
Dari kamar hotelnya Sumiyati kemudian menelepon orang yang ia anggap bakal
mendukungnya tanpa reserve. Baru pada telepon yang ketiga kalinya, ia mendengar
suara serak Anton, wartawan majalah Selecta Group yang tak pernah kenal lelah
mengejar ngejarnya itu. Setelah menyatakan kebahagiaannya mendengar Sumiyati
baik-baik saja, Anton kemudian bertanya harap harap cemas :
"Apakah lamaranku sudah disampaikan Bu Ijah?"
Sumiyati terkejut, kemudian tertawa.
"Kok mesti lewat orang lain Sih?" komentarnya menggoda.
"Betul ga ya. Kalau begitu, kapan kau siap menerimaku, Kekasih?"
"Nanti. Setelah urusanku beres."
"Urusan apa, Sayangku?"
Gombal, pikir Sumiyati seraya menahan ketawa. Lalu dengan suara sungguh
sungguh dan bernada ketakutan, ia berkata :
"Aku terlibat suatu perkara yang tak dapat kuelakkan. Menyangkut berita, Anton.
Dan tanpa sadar aku masuk perangkap sumber beritaku. Terpaksa aku kini Sibuk
mencari alibi ."
"Hanya sekedar alibi, KekaSihku Sayang?" Anton setengah berseru.
"Kau suruh mengencingi si terkutuk itu pun, aku Siap demi kau!"
Mereka berbicara selama lima menit lagi, kemudian Sumiyati merebahkan diri di
tempat tidur.
Di kantornya, Rukmana Hadinata justru baru tersentak dari duduknya. Anak
buahnya melapor :
"Burung dara menghilang, Kapten"
"Dan apa saja yang kau kerjakan?!" Rukmana benar benar naik pitam.
"Mengelus elus burungmu kendiri, ya?"' '
Sialan! Benar-benar sialan!
***
TETAPI Dewi Fortuna masih mau melirik Rukmana Hadinata, meski cuma lirikan
setengah hati. Ia menyebar anak buahnya untuk melacak daerah sekitar pusat
perbelanjaan di Jalan Dalem Kaum itu, yang mempunyai jalan tembus untuk keluar di
arah berlawanan, yakni ke Jalan Kapatihan. Di pangkalan taksi mereka memperoleh
petunjuk, bahwa gadis yang ciricirinya mereka sebutkan memang terlihat menaiki salah
sebuah taksi liar di situ. SI gadis tampaknya buru buru karena taksi langsung tancap
gas_
"Bahkan si Herman sampai lupa memberi bagianku!" nyeletuk salah seorang calo
taksi pada polisi yang menanyainya.
"Herman? Diakah supir taksi dimaksud?"
"Benar, Pak. Ia sedang mujur hari ini. Belum sampai lima menit ia kembali dari
mengantarkan gadis itu, ia sudah dicari seorang langganan yang minta diantarkan ke
Sumedang.
"Sumedang? Wah. Kapan pulangnya?"
"Biasanya sih sekitar pukul tujuh malam. Itu, kalau urusan langganannya berjalan
lancar, dan lalu lintas tidak macet pula."
Herman, supir taksi dimaksud, terkejut ketika pukul setengah _delapan malam ia
kembali ke pangkalan dan langsung berhadapan dengan dua orang polisi berpakaian
preman. Ia merasa lega karena ternyata ia tidak terlibat perkara kriminil dan dengan
senang hati menceritakan bagaimana gadis yang dicari polisi itu mengajaknya berputar
putar sebentar sebelum kemudian minta diturunkan di hotel "Kumala". '
Laporan mengenai itu segera sampai ke telinga Rukmana Hadinata. Ia lalu
memutuskan untuk bertemu dan bicara secara pribadi dengan Sumiyati. Lalu ia ngebut
ke hotel "Kumala", di mana ia kemudian disambut oleh salah seorang anak buahnya
yang sudah tiba lebih dulu. _
"Burung dara kita tidak ada di tempat, Kapten," anak buahnya melaporkan.
"Resepsionis itu terpaksa saya sudutkan untuk mengorek keterangan dari mulutnya.
Dapat dipastikan, bahwa sasaran kita mendaftarkan nama di hotel ini sebagai Nyonya
Bustaman ...."
"Kau bilang, ia tak ada di kamarnya?" Rukmana mengeluh kecewa. '
"Seorang laki laki menjemputnya sekitar setengah jam yang lalu, Kapten."
"Siapa?"
"Lakilaki tak dikenal. Bertubuh tinggi kekar, tampan, perlente. Penjaga malam hotel
melihat mereka pergi menaiki sebuah mobil berwarna gelap, di duga jenis Corolla
rakitan terbaru"
Syaraf syarat tubuh Rukmana Hadinata seketika menjadi tegang. Naluri polisinya
langsung berakSi. Ia belum kenal Eddi Bratamenggala, karena yang mendatangi lelaki
itu di kantornya untuk diminta keterangan mengenai almarhum Ronggur Pangaribuan,
adalah anak buah Rukmana. Tetapi bunyi lonceng yang berdentang di otak polisinya
mengatakan bahwa lelaki yang menjemput Sumiyati pastilah Eddi Bratamenggala.
Untuk meyakinkan kebenaran dugaannya, ia meminjam telepon hotel dan
menghubungi rumah Eddi Bratamenggala. Yang menyahuti teleponnya
memperkenalkan diri dengan nama Anita, istri orang yang ia cari. Perempuan itu
memberitahu, suaminya telah meninggalkan rumah sekitar satu jam sebelumnya.
"Heran," kata Anita di telepon.
"Pesan Pak Rukmana telah saya teruskan padanya. Malah sebelum pergi, ia bilang
justru akan menemui Bapak ...!"
"Seumur hidupku, suami Nyonya belum pernah kulihat," tandas Rukmana.
"Wah, bagaimana ini. Padahal suami saya membawa sejumlah besar uang, juga
cheque ...."
Panas telinga si perwira polisi. Ia merasa dituduh, uang dan cheque itu
diperuntukkan buat dirinya. Tentulah perempuan itu berpikir bahwa suaminya ingin
agar sang Kapten menutupi sesuatu. Ha, apa yang harus ia tutupi? Dan apa pula
dibalik semua urusan yang aneh ini? Apakah Rukmana keliru, selama ini menganggap
telah mengenal Sumiyati cukup baik sehingga tak pernah percaya bahwa gadis itu
terlibat urusan pemerasan?
Dalam kebingungannya, Rukmana tiba-tiba mendengar suara si perempuan berubah
ketakutan :
"Tolonglah selamatkan suami saya, Kapten!"
"Apa maksud Anda, Nyonya?"
"Azis! Azis Partogi pernah mengalaminya! Ia membawa sejumlah besar uang. Lalu
ia ditemukan mati terbunuh!" perempuan itu setengah menjerit. Histeris.
Dingin sekujur tubuh Rukmana Hadinata. Membeku. Ia teringat peristiwa
terbunuhnya Azis Partogi. Di mobil almarhum, polisi menemukan sebuah amplop besar
dan tebal di tengah genangan darah. Isinya bundelan uang kertas senilai Rp. 5 juta.
Tampaknya baru diambil dari bank. Masih pakai label, terikat rapi dan dapat
dipastikan tidak diusik sedikit pun oleh pembunuh Azis. Jadi motifnya bukan uang.
Bukan pemerasan. Lalu apa yang dikehendaki Sumiyati? Benarkah gadis itu terlibat
dalam urusan mengerikan ini? Diam diam, Rukmana membayangkan gadis secantik
rupawan Sumiyati dalam wujud yang lain. Rukmana merinding. Dicekam kengerian, ia
bergumam tak percaya :
"Astaga, mengapa harus Sumiyati ...!"
"Sumiyati?" terdengar suara terkejut di telinga Rukmana.
"Apakah Bapak maksudkan si wartawati yang dijuluki Sum Kuning?"
"Nyonya mengenalnya?" Rukmana segera tersadar bahwa ia sedang berbicara di
telepon.
"Hanya sambil lalu. Sum Kuning pernah memancing saya untuk mengungkap
hubungan segitiga antara suami saya, mertua saya, dan Azis Partogi. Rupanya Sum
Kuning tahu banyak mengenai " istri Eddi Bratamenggala tibatiba bungkam seribu
bahasa. Mungkin kaget karena ia lepas omong.
Rukmana Hadinata tidak mau melepaskan kesempatan baik itu lewat begitu saja.
Maka ia langsung mengultimatum :
"Bagaimana kami dapat menyelamatkan nyawa suami Nyonya, kalau Nyonya sendiri
tidak mau diajak kerja sama?'"
Akhirnya rasa takut keluar sebagai pemenang. Si perempuan menyerah.
Sayang, semua itu terlambat sudah!
***
EDDI BRATAMENGGALA tertawa berderai-de rai sewaktu Sumiyati mengisahkan
peristiwa peristiwa konyol yang ia alami semasih menjadi wartawati amatiran. Lelaki
itu telah membuang pikiran pikiran buruk mengenai si gadis. Lambat laun ia semakin
santai. Sambil nenikmati hidangan makan malam di restoran 'Bale Kambang', mereka
ngobrol dengan intimnya Tak ubah dua orang bekas kekasih yang telah berpisah sekian
belas tahun dan takdir menghendaki mereka tiba tiba bertemu lagi.
Tidaklah mengherankan, apabila sekeluar dari 'Bale Kambang', Eddi Bratamenggala
langsung pasang kuda kuda :
"Malam yang indah, Sum. Bagaimana kalau sisa malam kita lewatkan di kamar
hotelmu?"
"Aduh, jangan dong!" Sumiyati tertawa malu malu.
"Kalau ada razia, 'kan gawat namanya"
"Punya usul yang lebih menarik?"
"Yaaahhh ...," Sumiyati berpikir keras, kemudian memutuskan :
"Ayo kita ke Lembang saja. Menikmati hawa sejuk. Atau barangkali kau lebih suka
mandi air panas di Ciater?"
"Ciater!" Eddi Bratamenggala berucap takjub.
"Usul yang gemilang, Sum. Mana aku bisa menolak?"
Lalu mobil ia luncurkan ke arah Lembang. Di iringi obrolan yang kian lama kian
intim jua. Seolah tanpa disengaja, obrolan mereka berkembang ke arah hal-hal yang
menyangkut birahi dan semakin menjurus ketika mereka menceritakan pengalaman
seksual masing masing. Eddi Bratamenggala yang sudah ke buru mabuk kepayang tidak
bercuriga apa apa ketika Sumiyati tiba tiba mengatakan agar mobil dihentikan
sebentar.
"Aku tak tahan nih!" kata gadis itu seraya tertawa tersipu Sipu.
Eddi Bratamenggala mengerti.
Ia memilih tempat yang ia perkirakan paling aman. Mobil dapat ia simpangkan
keluar dari jalan raya tak terlihat pengendara lain lalu menabraknya. Tempatnya tidak
terlalu gelap pula,karena disirami cahaya rembulan empat belas hari. Hanya sedikit
temaram karena udara berkabut. '
Sumiyati bergegas membuka pintu mobil lalu berlari-lari kecil ke balik semak
belukar. Eddi Bratamenggala menungguinya cukup dekat, ingin memperlihatkan diri
sebagai seorang pelindung apabila ketika sedang buang air kecil, Sumiyati mengalami
gangguan tak terduga. Sambil menunggu, lelaki itu berpikir :
"Ah. Selain elok rupawan, ternyata ia juga pemberani!"
"Ed?" terdengar panggilan lembut Sumiyati dari balik semak belukar.
"Ada apa?" .
"Rokku tersangkut duri!" '
Eddi Bratamenggala bergegas menerobos semak belukar dan dengan heran ia
kemudian menyadari bahwa gadis itu tidak buang air. Mantel si gadis terhampar di
rerumputan dan pemiliknya berbaring santai dengan pOSisi menantang birahi seorang
laki-laki. Lepas dari keheranannya, Eddi Bratamenggala kemudian tersenyum nakal.
"Kau ingin kita melakukannya di sini?"
"Lebih romantis bukan?" sahut si perempuan dengan suara tergetar.
"Sudah kubilang, kau seorang gadis dengan otak cemerlang!" rungut Eddi
Bratamenggala, ikut tergetar. Ia kemudian berjongkok di sebelah Sumiyati dan siap
untuk memeluk dan mencium bibir yang mengundang birahi itu.
Tetapi Sumiyati mengelak, lalu berkata pelan :
"Tahukah kau, Ed?"
"Apa, Sum?"
"Situasinya sedikit berbeda ...."
"Situasi apa?"
"Antara malam ini, dengan malam ketika Azis Partogi mengajakku jalan~jalan!"
"Ia apa?" Eddi Bratamenggala tercengang,
"Mengajakku jalan jalan. Menghirup udara malam ...," Sumiyati menjelaskan dengan
tekanan suara yang berubah misterius.
"Kami sama-sama memarkir mobil di tempat terpisah, di Alun-alun. Seolah tanpa
kenal satu sama lain, kami saling berpapasan di tangga masuk pertokoan Palaguna.
Azis lalu masuk lagi k mobilnya. Aku menyelinap kemudian. Lalu dengan mobilnya itu
kami meluncur ke arah Rancaekek. Waktu pergi, ia yang mengemudi. Pulangnya, ganti
aku yang mengemudi. Azis kutinggalkan di tengah jalan. Dengan mobilnya, aku kembali
ke Alun-alun di mana mobil Azis kutinggalkan dan aku pergi ke mobilku sendiri. Beres
dan lancar, bukan?"
Jantung Eddi Bratamenggala berdenyut keras.
"Apanya yang beres ..., Sum?" ia tergagap.
"Azis!" jawab Sumiyati tenang.
"Ia bukan saja membujukku untuk tutup mulut. Ia juga mencoba memperkosaku. Di
dalam mobil, Ed. Di dalam mobil! Tetapi apa bedanya dengan di tempat tidur? Seperti
ketika Ronggur _melakukannya padaku ...," wajah Sumiyati sekonyong-konyong
berubah secara aneh matanya pun ikut berubah. Merah, kehijau-hijauan dengan sorot
yang seketika memukau Eddi Brata menggala.
"Kau yang menyuruh Ronggur melakukannya bukan?" gadis itu berbisik serak desah
desah nafas memburu yang keras dan ganjil nadanya.
"Apaksi kematian Ibuku belum memuaskan hatimu. jahanam terkutuk?!" Selagi Eddi
Bratamenggala kaget dan takut Sumiyati meraung keras sembari mencopoti
pakaiannya sedemikian rupa. Dan ketika sinar rembulan menangkap tubuh
telanjangnya, tampak di kulit mulusnya muncul bulu bulu panjang pirang kecoklatan,
yang dalam tempo hanya beberapa detik telah memenuhi sekujur tubuhnya. Suatu saat,
Sumiyati meraung dalam lolongan menusuk, sembari tengadah ke arah rembulan.
Wajah cantik rupawan itu pelan tetapi pasti berubah jadi lonjong, semakin lonjong.
Telinganya melebar, bertambah panjang. Bulu bulu yang sama bermunculan di wajah
yang tah tahu telah berubah seperti kepala serigala -dengan moncong yang kecil lancip,
hitam berlendir .Moncong serigala itu membuka lebar, memperdengarkan raungan
yang dahsyat. Lidahnya terjulur panjang ke luar, merah kehitaman, berbuih buih di
antara gigi gigi taring yang mencuat runcing mengerikan.
Eddi Bratamenggala terpekik.
Ia mundur ketakutan. Kakinya tersangkut sesuatu, dan ia jatuh terjerembab di semak
belukar. Belum sempat ia bangkit untuk melarikan diri, sosok makhluk mengerikan itu
telah menerkamnya. Lalu dengan kejam dan buas merengkah lambungnya,
mengoyaknya sedemikian rupa lalu dengan suatu sentakan keras mencopot ulu hatinya.
Eddi Bratamenggala tidak sempat lagi menjerit. Namun ia masih sempat mendengar
bunyi bunyi mengerikan ketika tubuhnya dibantai dan ulu hatinya direnggut. Samar
samar, sebelum ajal meninggalkan raganya, dia pun sempat melihat bagaimana
makhluk itu mengunyah-ngunyah ulu hatinya yang dilumuri darah segar
***
SEPULUH
PERISTIWA berdarah itu berlangsung dalam tempo hanya beberapa detik saja. Puas
melampiaskan kebiadabannya, makhluk bertubuh manusia dengan wujud serigala itu
menengadah ke rembulan yang seakan tersentak diam setelah menyadari tragedi apa
yang barusan berlangsung di bawah naungannya. Makhluk itu memperdengarkan
lolongan bergetar, panjang dan lirih. Mendayu dayu. Kemudian mayat korbannya
diseret, hanya dengan sebelah tangan saja. Seakan mayat bertubuh tinggi kekar itu tak
lebih dari sekarung kapas belaka. Setelah mendudukkan mayat yang tak karuan
bentuknya itu di sebelah kemudi, sang mahluk kembali lagi ke semak belukar. Pakaian
yang berserakan ia kumpulkan dan dibungkus dengan mantel yang terhampar di
rerumputan. Ia melemparkan bungkusan itu ke jok belakang mobil, setelah mana ia lalu
duduk di belakang kemudi.
Dengan mata tetap menyala merah kehijau hijauan serta bunyi geraman di
moncongnya yang terbuka, makhluk itu dengan keterampilan seorang pengemudi
jempolan memundurkan mobil ke jalan raya dan kemudian melarikannya ke arah
Subang. Tiba di daerah tak berpenghuni dengan tikungan tikungan tajam serta
jurang-jurang menganga di kiri kanan jalan, mobil menurunkan kecepatan lantas
berhenti dengan bunyi menciut rem yang keras karena diinjak mendadak begitu
moncong mobil sudah menghadap ke jurang gelap dan dalam di pinggir jalan.
Bungkusan tadi beserta sebuah tas wanita tampak dilemparkan ke luar jendela mobil,
jatuh di rerumputan. Makhluk itu menyusul ke luar. Ia seret mayat supaya posisi
duduknya tepat di belakang kemudi. Saluran bahan bakar ke tangki bensin
dilonggarkan. Lalu dengan sebuah geraman lirih, makhluk itu mendorong bagian
belakang mobil dengan kekuatan luar biasa.
Sebelum mobil dan pemiliknya itu-benar-benar jatuh tunggang langgang ke dalam
jurang, sang makhluk telah berlari meninggalkan tempat itu dengan membawa serta tas
dan bungkusan berisi pakaiannya. Ia berlari dan terus berlari, begitu cepat dan
menakjubkan sehingga ketika terdengar bunyi ledakan keras disusul nyala api menjiLat
udara berkabut, makhluk itu sudah menyelinap sejauh ratusan meter Jauhnya. Namun
larinya tidak juga dihentikan, sampai akhirnya ia mendekati Wilayah yang dihuni
penduduk setempat. Ia turun ke bawah jalan, meraba raba dalam kegelapan. Tanah
lembab dan basah yang teraba olehnya, diraup lalu dimasukkan ke mulut, lalu
dikunyah-kunyah bersama akar akar ilalang yang ikut tercabut. Terdengar suara batuk
batuk tertahan. Batuk manusia, dari moncong serigalanya. Setelah bunyi batuknya
hilang, ia duduk terengah-engah. Menunggu. Detik demi detik berlalu sementara di
atasnya ia dengar langkah langkah berlari serta suara suara ribut menuju ke arah
jilatan api di kejauhan.
Detik detik berikutnya rasa sakit yang menyiksa itu muncul dengan cepat. Sang
makhluk meliuk liukkan tubuh menahan azab sengsara, tanpa berani mengeluarkan
suara jeritan betapapun menyakitkan nya. Ia terus meliuk, menggeliat, terkadang
merayap di tanah berumput sampai bulu-bulu pirang kecoklatan itu perlahan-lahan
sirna tak berbekas dan wajah lancipnya kembali kewujud wajah seorang gadis cantik
rupawan. Masih menahan sisa sisa rasa sakit ia buka bungkusannya tanpa membuang
tempo. Dengan mantelnya, bagian-bagian tubuh yang kotor ia bersihkan. Untunglah
darah korban yang melekat di tubuhnya tadi, secara ajaib ikut sirna bersama sirnanya
wujudnya sebagai serigala.
Satu menit kemudian, mantelnya dibuang jauh jauh dan ia naik ke jalan raya dengan
penampilan normal. Memakai blus hijau ketat, rok merah hati sepatu hak tinggi dan tas
tangan yang terbuat dari kulit. Rambutnya sedikit awut-awutan begitu pula
dandanannya. Tetapi itu bukan soal. Dengan hati hati ia menyelinap lalu bergabung
bersama penduduk setempat yang ribut hilir mudik setelah mengetahui kebakaran itu
terjadi akibat ada sebuah mobil terjerumus masuk ke dalam jurang.
Begitu melihat sebuah kendaraan penumpang mendatang dari arah Subang, ia
langsung mencegat dan naik tanpa seorang pun menaruh curiga. Lewat di tempat
kecelakaan itu terjadi, kendaraan tertahan oleh kerumunan manusia. Kondekturnya ke
luar, dan supir ribut bertanya-tanya pada orang yang terdekat dengan jendela depan
mobil. Tak lama kemudian kendaraan meluncur kembali, meneruskan perjalanan ke
Lembang.Hanya berhenti sebentar tetapi mereka ributnya bukan main. menceritakan
apa yang barusan mereka lihat atau dengar. Supir menggerutu tanpa alamat:
"Pengemudi pengemudi zaman sekarang banyak yang merasa dirinya punya nyawa
cadangan. Tak perduli di tempat ini terdapat tikungan-tikungan tajam, curam, dan
jurang-jurang yang siap menelan mangsanya yang lalai....!" '
"Ongkosnya, Neng!" kondektur menggamit lengan Sumiyati yang duduk diam
diam.,Wajahnya murung, sedikit acuh tak acuh.
Gadis itu merogo tasnya mencari uang kecil .Ialu menyerahkannya pada si kondektur
yang tiba tiba mengawasi wajahnya.Sumiyati berlagak tidak tahu ia diperhatikan. ia
baru menoleh sewaktu kondektur bertanya ingin tahu
"Mau ke mana Neng, malam malam begini. Sendirian pula lagi."
"Anakku sakit keras!" Sumiyati dengan cepat menjawab pertanyaan yang sudah ia
perkirakan akan muncul itu.
"Aku terpaksa harus ke Lembang mencari obat...."
"Wah, Neng. Mana ada toko obat atau apotek buka malam malam begini?"
"Tak apa. Pemilik toko obat di Lembang kebetulan kenalanku. Masih ada pertalian
famili," Sumiyati berkata dengan memaksakan senyum getir di bibir, dengan sengaja
memperlihatkan keberuntungannya itu tidaklah berarti apa apa mengingat anak yang
sakit di rumah.
Menjelang Lembang, penumpang penumpang lain sudah pada turun. Tinggal
Sumiyati. Supir tidak membelokkan kendaraannya ke terminal dan menawarkan untuk
mengantar Sumiyati ke toko obat atau rumah orang yang ia katakan kenalannya itu.
"Sekalian pulangnya nanti kau ikut dengan kami, Neng," kata supir yang sudah
berusia lanjut itu.
"Terima kaSih. Bapak baik sekali. Tetapi kenalanku itu punya mobil sendiri kok...,"
dan setelah mengucapkan terimakasih sekali lagi, Sumiyati turun dari kendaraan sambil
matanya Sibuk mencari kalau kalau ada toko obat terdekat. Kakinya terus pula
melangkah. Tetapi begitu kendaraan tadi membelok masuk ke terminal, Sumiyati
menghentikan langkahnya. Ia menunggu tak terlalu lama sebelum kemudian naik ke
kendaraan lain yang menuju Bandung. Ternyata kendaraan penumpang itu hanya
sampai ke Ledeng, dekat kampus IKIP. Terpaksa ia ganti kendaraan lagi. Baru setelah
tiba di terminal Kebon Kelapa ia masuk ke kamar mandi umum untuk merapikan
penampilannya. Dengan sebuah takSi ia minta diantarkan ke hotel. Sekedar penjagaan
diri, ia turun sekitar seratus meter sebelum taksi mencapai hotel.
Nyatanya, penjagaan diri itu percuma saja.
SETELAH membuka pintu kamarnya dan menyalakan lampu, Sumiyati hampir
terpekik menyadari kehadiran orang lain di kamar itu. Dari kursi berjok tebal dan
empuk yang didudukinya, Rukmana Hadinata membuka mata lebar lebar mengawasi
masuknya penghuni sah kamar hotel di mana ia telah lama menunggu dengan mata
terkantuk kantuk. Wajah perwira poliSi itu tidak memperlihatkan gambaran apa apa. Ia
tidak_ pula meminta maaf atau menjelaskan bagaimana ia dapat masuk ke kamar hotel
yang ditempati Sumiyati. Jangankan sekedar pintu kamar hotel. Apabila diperlukan dan
disertai pula surat perintah resmi, seorang petugas negara dengan mudah dapat saja
membuka lemari besi bank. Menyadari situasi mengejutkan yang dihadapinya, Sumiyati
hanya tegak termangu mangu dengan mulut setengah terbuka menyatakan
keheranannya.
Sebaliknya Rukmana Hadinata tidak kurang herannya. Bukan heran oleh kemunculan
Sumiyati. Melainkan heran oleh ketenangan dirinya sendiri, yang -berapa jam
sebelumnya begitu tegang, disusul penantian yang menjemukan, dan dibayang bayangi
oleh gambaran mengerikan wujud sesosok makhluk menakutkan. Dari Sudut lain,
penantian menjemukan itu ada hikmahnya.'Ia dapat berpikir lebih tenang dan kemudian
bertindak lebih mantap.
Maka setelah saling bertukar pandang selama satu helaan nafas, kapten poliSi itu
membuat kejutan ekstra dengan sebuah pertanyaan tak terduga:
"Kau tinggalkan di mana dia, Sumiyati?!"
Ada satu hal yang tidak pernah diherankan oleh Rukmana Hadinata. Yakni mental
baja seorang wartawan, apalagi kalau ia itu wartawati bernama julukan Sum Kuning.
Hampir tak terlihat, si gadis telah dapat menguasai dirinya kembali. Boleh saja si
perwira polisi beranggapan tidak perlu menjelaskan ke hadirannya di kamar ini. Tetapi
sebaliknya, Sumiyati juga berhak untuk memperlihatkan bahwa kehadiran Rukmana
Hadinata yang misterius itu tidak mempunyai arti penting buat dirinya.
Santai santai saja ia meletakkan tas di meja kemudian berjalan menuju kulkas untuk
mengambil minuman kaleng yang ia tawarkan satu pada tamu tak diundang itu. Meski
dari apa yang dilihatnya tadi di meja, ia tahu betul paling sedikit Rukmana telah
menghabiskan satu botol bir. Perwira poliSi itu menerima minuman yang disodorkan
tuan rumah tanpa berkata apa apa dan dengan kesabaran yang patut di beri nilai
tinggi.
Setelah mereka duduk berhadap hadapan, tenang tenang saja Sumiyati mencicipi
minumannya dulu baru menjawab dengan pertanyaan balik:
"Dia siapa, Kapten?"
"Bratamenggala muda."
"Eddi?"
"Apakah aku salah dengar Barman Bratamenggala tidak punya anak lain? Anak
haram, barangkali?"
Keketusan suara perwira polisi itu ditanggapi Sumiyati dengan seulas senyuman
manis.
"Baiklah," desahnya.
"Jadi kalian telah tahu saya dijemput Eddi Bratamenggala. Dimulai ketika dia
telepon saya tadi siang. Dia bilang, permusuhan di "antara kami sebaiknya segera
diakhiri saja. Dia sudah jemu, katanya. Setelah saya menimbahg-nimbang maka saya
pikir tawarannya itu tak ada salahnya saya setujui. Tadinya saya berharap
pembicaraan bersifat antar keluarga, secara terbuka pula. Nyatanya ia berusaha
menyuapku, lalu mengancam yang bukan bukan. Saya marah. Dia juga marah.
Seterusnya gampang saja bukan? Kami berpisah, menempuh jalan masing-masing."
"Dan, di mana dia kau tinggalkan?"
"Pertanyaannya terbalik, Kapten," Sumiyati tertawa lunak.
"Mestinya, di mana saya ia tinggalkan? Jawabnya: di tengah jalan, Kapten.
Ditinggalkan begitu saja sehingga saya harus berjalan kaki cukup jauh sebelum dapat
becak. Dan karena daerah ini bebas becak, tak jauh dari sini terpaksa saya harus jalan
kaki sekali lagi...."
"Pukul berapa?"
"Yah..., sekitar pukul sembilan, begitu." Rukmana Hadinata melirik arlojinya lantas
bersungut tajam:
"Sekarang hampir tengah malam, Neng Waktu yang cukup lama untuk kembali ke
hotel. Kau boleh saja mengatakan bahwa Eddi meninggalkanmu di luar batas kota, atau
kau mengunjungi seorang teman lebih dahulu, atau nonton, atau apa sajalah. Aku toh
dapat mencek kebenarannya. Tidak Sulit, tetapi tetap saja melelahkan dan memakan
waktu, belum lagi membuang energi tidak sedikit. Jadi, begini saja Neng. Kau kira
untuk apa aku menunggumu berjam-jam di tempat_ ini. Untuk menagih janji makan
malam? Menggelikan, kalau itulah tujuanku!"
Sumiyati diam saja. Tidak berkomentar apa apa. '
Terpaksalah Rukmana Hadinata menyimpan kedongkolan berbungkal bungkal di
dadanya. Dan kemudian menyalurkannya lewat kejutan lain:
"Sebelum kau tiba, Neng. Aku telah menelepon ke rumah Eddi Bratamenggala. Yang
menerima teleponku hanyalah seorang istri yang berkata ia telah kehilangan suaminya,
dan ia kini sangat ketakutan. Tahu kau apa yang ia takutkan? Ia takut, suaminya
mengalami nasib seperti Azis Partogi!"
Berdesir darah di sekujur tubuh Sumiyati. Tenang, tenang! Jangan gelisah. Kalau
kau salah langkah, kau akan masuk perangkap! Sumiyati menenangkan jalan darahnya,
lantas bertanya seakan sambil lalu belaka:
"Apa hubungan Azis dengan Eddi, Kapten?"
"Aduh, Neng Berhentilah main kura kura dalam perahu. Karena perahu yang kau
tumpangi, tanpa kau sadari telah bocor di sana sini." Untuk pertama kali, Rukmana
Hadinata dapat tersenyum. Lalu dengan senang hati ia berkata lagi:
"Pertanyaanmu perlu kukoreksi, Neng. Ada apa hubungan antara Azis.
Eddi dan Barman Bratamenggala? Hubungan lama, Neng. Sudah lama sekali. Istri
yang ketakutan itu mengatakan, ia tahu betul suaminya pernah terlibat sesuatu dan
kemudian selalu hidup dalam cekaman teror sesuatu itu. Azis kemudian memerasnya
sedikit demi sedikit, dan kian lama kuku kuku Azis menghunjam kian dalam. Tanpa
suami maupun mertuanya mampu berbuat apa apa. Nah. Perlukah kuceritakan pula,
apa gerangan sesuatu yang pernah terjadi lama tahun berselang? Ketika si istri
ketakutan itu masih menjadi pacar Eddi dan tinggal bersama orang tuanya di
Banjarsari? Suatu hari, ia dikunjungi pacarnya yang tampan dan kaya itu. Mereka
bertengkar, ribut. Pulang ke Bandung, si pacar dalam keadaan setengah kalap. ia
mengebut mobilnya. Dan menjelang Ciamis...."
"Cukup sampai di situ, Kapten!" Sumiyati mengerang tiba tiba.
"Katakan saja, apa yang Kapten inginkan.!"
"Suatu pengakuan yang jujur, Neng. Mengenai terbunuhnya Azis Partogi. Dan siapa
tahu, juga Eddi Bratamenggala," jawab Rukmana Hadinata datar.
"Apakah ini suatu tuduhan resmi?"
"Secara jujur harus kuakui. Tidak, Neng."
"Kalau begitu, jawaban saya adalah: Kalian telah mendapatkan Ayah saya, bukan?"
Rukmana Hadinata menekan puntung rokoknya ke asbak, dan menyulut rokok baru.
Setelah menghirup kehangatan asap rokok itu dengan kenikmatan semu , ia
menjelaskan:
"Bulu bulumu kehitam hitaman, Neng. pada kematian Azis Partogi, bulu-bulunya
berwarna rambut jagung. Ah... kau tak heran mendengarnya? Tetapi itu Toh
kenyataannya, Neng. Seorang mahasiswa bernama Aditya, membaca di surat kabar
tentang terbunuhnya Azis Partogi. Ia_ kemudian datang pada kami, dan menceritakan
apa yang dilihatnya. Sebuah cerita, yang tentu saja sempat kami tertawakan. Apalagi
menurut Aditya, ia sempat melihat kilapan kalung dan anting anting berlian di leher
dan telinga. apa yang ia katakan sebagai makhluk yang menjerumuskan mayat Azis ke
bawah jembatan...."
Sumiyati terhenyak di tempat duduknya. Seraya mengeluh:
"Omong kosong apalagi yang harus saya dengarkan, Kapten?"
"Ah! Omong kosong. benar juga. Tetapi marilah kita bicarakan suatu kebenaran
yang lain...." Rukmana Hadinata batuk batuk. Entah karena asap rokok, entah karena
apa.
"Misalnya," ia melanjutkan:
"Tentang ratusan orang penjahat yang dalam bulan bulan terakhir ini mati konyol
dan dibuang sembarangan. Mereka menjadi korban apa yang dikatakan penembak
misterius, atau sejenisnya. Pembunuh pembunuh yang secara resmi dinyatakan tidak
dikenal. Aku sebenarnya tak perlu mengungkit hal ini. Tetapi kau seorang wartawati.
Dan kita telah sama-sama tahu, bukan? Nah, kebenaran yang kumaksud adalah lepas
dari tugas resmiku, secara pribadi aku mendukung aksi mengurangi kuota para
penjahat terkutuk itu. Lalu apa bedanya seorang perampok yang ditakuti rakyat, dengan
seorang manipulator yang memutarbalikkan fakta untuk kepentingan dan nama baiknya
sendiri?"
"Manipulator, Kapten?"
"Benar. Itu kalau kau punya istilah lain untuk apa yang dilakukan oleh. tiga sekawan
yang membuat kau menjadi anak piatu. Dan apa pun namanya kalau tiga sekawan itu
mati secara pribadi pula kenyataan padamu. Aku tak rugi apa apa. Kecuali barangkali,
dipaksa harus kerja berat untuk membuat sebuah laporan yang dapat diterima semua
orang...."
"Lalu, Kapten. Untuk apa perih payah Anda menunggui kamar saya?"
"Untuk mengingatkan, Neng. Bahwa bagaimanapun juga, aku tetaplah alat negara
yang harus menjalankan tugas...."
"Kalau begitu, bantulah si istri yang ketakutan itu Kapten. Bantulah dia menemukan
suaminya!"
"Aku akan menemukannya, Neng. Aku akan menemukannya, " ujar Rukmana
Hadinata seraya membuka bungkus rokoknya yang ternyata sudah ko song. Ia
membuangnya ke tempat sampah, lalu mengancingkan jaket kulitnya. Bersiap suap
untuk pergi.
"Tadinya aku berharap, suami yang hilang itu dapat kutemukan dengan bantuanmu.
Sayang, harapanku tak lebih dari impian seorang pelamun, bukan? Kau tahu mengapa,
Neng? Karena aku meminta kerjasamamu tidak secara resmi. Melainkan secara pribadi
Karena, aku menganggap kita satu sama lain telah saling mengenal dengan baik.
Tetapi, Neng. Barangkali, mulai besok pagi aku akan menemuimu dalam pemunculan
yang semestinya," ia tersenyum, seraya bangkit dari duduknya. Bersiap siap untuk
pergi.
Di pintu, ia berhenti.
"Oh ya, Neng. Masih ada satu hal lagi. Salah seorang pembantuku telah mendatangi
sekretaris Eddi Bratamenggala. Dia bilang, yang menelepon adalah kau. Bukan Eddi.
Apa jawabmu?"
Sumiyati tersenyum untuk menyembunyikan kenyataan bahwa ia terpaksa berpikir
keras mencari jawawan yang tepat. Kalau seorang polisi pengusut ingin memancing
sesuatu, sulit diduga umpan yang digunakannya karena terkadang di luar kelaziman.
Bisa saja keterangan itu benar adanya, bisa juga dusta besar tetapi berguna sebagai
umpan. Sumiyati sedikit banyak tahu mengenai hal itu. Maka ia menjawab:
"Anda agaknya lupa, Kapten. Tadi Saya telah katakan, saya perlu menimbang
nimbang .dulu tawaran Eddi, bukan? Jadi, setelah saya membulatkan hati, barulah
telepon saya angkat. Sesuai dengan permintaan Eddi."
"Anak pintar!" Rukmana Hadinata geleng geleng kepala. Menyeringai sebentar,
kemudian berlalu.
Selama beberapa saat, Sumiyati tidak mampu bergerak di tempat duduknya. Syaraf
syaratnya tegang, otot otot tubuhnya mengencang seakan bengkak mengerikan. Namun
tidaK ada bulu bulu warna rambut jagung mendadak tumbuh di sela sela poripori
kulitnya. Lengan lengannya tidak bertambah panjang. Wajahnya pun tetap mulus, tidak
menunjukkan adanya gigi gigi taring yang mencuat haus darah....
Setelah ketegangan itu akhirnya mengendur, dia tidak pula menggeram atau
melolong. Melainkan yang terdengar tak lebih dari sebuah rintihan getir:
"Ya Tuhan. Kapan Kau menghentikan semua ini?!"
Perasaan sakit yang menyiksa kembali menggumpal di kepalanya. Siksaan yang
harus ia tahankan sampai matahari terbit besok pagi, sebagaimana pernah ia alami
pada malam terbunuhnya Azis Partogi. Untuk meringankan penderitaannya itu ia
bergegas bangkit dan masuk ke kamar mandi. Kran kombinasi merah dan biru
dibukanya lebar lebar, sehingga air hangat mengucur deras ke bakuib. Setelah bakuip
penuh, ia masuk ke dalam. Berendam tanpa ber gerak-gerak hampir selama dua jam.
Kran ia biarkan tetap terbuka supaya air tetap hangat.
Ia kemudian berusaha mengosongkan pikiran.
Tetapi selama seorang manusia masih hidup maka otak manusia itu akan tetap
bekerja. Apalagi kalau ia tidak biasa melakukan yoga. Paling yang dapat diperbuatnya
hanyalah membuang pikiran pikiran buruk di kepala. Sehingga hanya tersisa hal-hal
yang memang bermanfaat untuk dipikirkan. Salah satu di antaranya ia lakukan
pagi-pagi benar. Sumiyati keluar dari kamar. Khawatir telepon kamar disadap, ia pergi
ke telepon umum tak jauh dari hotel.
Anton agaknya masih terkantuk-kantuk ketika menerima teleponnya. Namun
sebagaimana biasa, ucapan pertamanya adalah:
"Aku bahagia kau mau meneleponku lagi, Sum. Apa yang dapat kubantu?"
"Rencana kita itu, Bang Anton. Aku membatalkannya!" kata Sumiyati
"Rencana yang mana?"
"Mengenai alibiku Tak perlu kuterangkan mengapa. Yang penting, kalau ada yang
bertanya maka kau boleh berterus terang bahwa sepanjang sore dan malam kemarin
aku selalu bersamamu."
"Aneh, Sum, tetapi baiklah. Bagaimana dengan rencana kita yang lain?"
"Kau boleh melamarku kapan kapan, Bang Anton. Tetapi sebelumnya berilah aku
tempo. Aku ingin sendirian untuk beberapa hari"
"Nah, itu lagi!"
"Jangan marah dulu, Bang" .......
Kembali ke kamar hotel Sumiyati benar benar tak dapat menikmati sarapan pagi
yang dipesannya. Bayangan Rukmana Hadinata tak lepas dari pikirannya. Sebagai
seorang pribadi, lelaki itu adalah sahabat baiknya yang sangat menyenangkan., Ia pun
tak akan menyatakan keberatan, apabila sekali waktu lelaki itu ingin mencumbunya.
Sebagaimana Sukiman dan beberapa lelaki lainnya pernah mencumbunya pula. Tetapi
sebagaimana ia katakan tadi malam, mulai pagi hari ini Rukmana Hadinata harus ia
hadapi sebagaimana mestinya seorang tersangka harus menghadapi seorang polisi.
Siksaan sakit itu muncul lagi.
Sumiyati merintih. .
***
SETELAH meninggalkan hotel 'Kumala', sisa malam itu dihabiskan Rukmana
Hadinata dengan bergadang di kantornya. Ia dihantui firasat yang kuat bahwa apa
yang telah ia ucapkan secara main main pada Anita Supardjiman akan segera menjadi
kenyataan. Rukmana tidak akan pernah mengenal Eddi Bratarnenggala, bila itu
dimaksudkan dalam keadaan hidup. Dengan pengertian lain bahwa Rukmana telah
gagal memenuhi janjinya pada wanita itu. Karena kalaupun pada akhirnya lelaki itu
mereka temukan, maka yang akan mereka antarkan pada wanita itu hanyalah mayat
suaminya saja.
Tetapi apa lagi yang dapat diperbuat Rukmana?
Ia telah berusaha sebisa bisanya. Perintah telah pula disebarkan:
"Cari dan temukan segera!" Waktulah yang kemudian akan menentukan. Yakni waktu
perintah itu dikeluarkan dan waktu yang sempat terbuang sebelumnya. Diperkirakan,
Eddi Bratamenggala meninggalkan rumah sekitar pukul tujuh malam kurang
seperempat jam. Lima belas menit berikutnya ia tampak muncul di lobby hotel "Kumala'
lalu pergi bersama Nyonya Bustaman alias Sumiyati. Informasi itu diperoleh Rukmana
Hadinata pukul delapan kurang seperempat. Berarti waktu yang terbuang sudah 45
menit, dan pada waktu itu perintah belum disebarkan. Masih diperlukan keterangan dan
data tambahan dari Anita Supardjiman untuk meyakinkan bahwa orang dan mobil yang
menjemput Sumiyati di hotel adalah benar Eddi Bratamenggala dan mobil yang ia
kemudikan sendiri ketika meninggalkan rumah.
Perintah disebarkan pukul sembilan malam. Namun masih ada waktu yang tercuri.
Yakni, waktu yang diperlukan para petugas patroli melacak orang atau mobil yang
dicari. Memang dalam tempo beberapa menit telah masuk sejumlah laporan, tetapi
sangat diragukan kebenarannya. Informasi yang paling akurat kemudian diperoleh dari
seorang pelayan wanita di restoran Bale Kambang. Si pelayan seketika mengenali dan
tidak ragu sedikit pun bahwa dua orang yang ditanyakan polisi padanya adalah dua
sejoli yang bersantap malam dan ngobrol 'begitu intim dan mesra' di meja nomor 12.
"Sayang kalian terlambat," ujar si pelayan.
"Dua sejoli itu sudah terbang ke rembulan sekitar setengah jam yang lalu...."
Keterangan_ pelayan wanita itu diperkuat pula oleh penjaga parkir restoran.
Setelahnya, jejak orang atau mobil yang dicari mendadak hilang seolah olah kedua
orang itu benar benar benar menuju rembulan yang kemudian menelan mereka begitu
saja
***
Batuk-batuk keras sampai kulit mukanya memerah akibat kebanyakan merokok,
Rukmana Hadinata lantas menghitung hitung. Waktu yang terbuang satu jam. Yang
tercuri, setengah jam. Satu setengah jam oleh orang lain boleh dianggap tidak "punya
arti apa apa. Tetapi untuk Rukmana Hadinata, waktu satu setengah jam itu dapat
berarti banyak. Satu setengah jam adalah 90 menit. Dan 90 menit adalah 5400 detik.
Sedang nyawa manusia, dapat lenyap hanya dalam tempo satu detik!
Tidak. Rukma'na tidak boleh menyesali diri telah gagal memenuhi janjinya pada
Anita Supardjiman. Sekali lagi, ia telah berusaha sebisa bisanya. Didorong naluri
polisinya yang khas, dengah tekad bulat ia menunggu Sumiyati dan menjebak gadis itu
lewat pertanyaan-pertanyaan mengejutkan. Sumiyati tak percuma seorang wartawati.
Ia dapat menghindari jebakan jebakan yang dipasang Rukmana lewat
jawaban-jawaban yang berbalik menyudutkan Rukmana sendiri. Sehingga Rukmana
Hadinata terpaksa harus mengakui secara jujur, bahwa ia menanyai gadis itu tak lebih
sebagai pribadi, sebagai seorang sahabat. Bukan sebagai petugas. Bila ia tampil
sebagai seorang petugas, ia harus dilengkapi surat perintah resmi. Tetapi bukti bukti
apa yang ia punyai untuk memperoleh surat perintah resmi? Seorang suami yang nakal
pergi meninggalkan rumah, lalu bertemu dan berkencan dengan seorang gadis cantik.
Itu saja. Oke, Rukmana Hadinata yakin kalau si suami itu sudah mati. Lalu mayatnya
mana?
Berdenyut belakang kepala Rukmana mengingat serangan balik Sumiyati:
"...bantulah si istri yang ketakutan itu, Kapten. Bantulah ia menemukan suaminya!"
Memang itulah tujuan Rukmana Hadinata. Menemukan Eddi Bratamenggala, melalui
Sumiyati. Sayang kerja sama yang ia harapkan ternyata tidak ditanggapi dengan mulus
oleh si gadis. Sumiyati mengelak dengan mudahnya:
"Saya marah. Dia juga marah. Lalu...."
Rukmana Hadinata duduk tegak di kursinya. Berpikir: Sumiyati marah. Eddi
Bratamenggala juga marah. Jadi mereka bertengkar. Begitu hebat, sehingga kata
Sumiyati ia ditinggalkan Eddi di tengah jalan. Alangkah kontras dengan keterangan si
pelayan dan penjaga parkir di restoran Bale Kambang: dua sejoli yang bersantap dan
ngobrol begitu intim dan mesra!
"Ohhh...!" Rukmana Hadinata terbenam lagi di tempat duduknya. Tidak , ia bukan
cemburu akan keberuntungan Eddi. Ia juga pernah menikmati satu dua kali
keberuntungan yang sama, dengan gadis yang sama. Intim, meski tidak mesra. Ia juga
dapat mengkonfrontir keterangan yang saling bertentangan itu. Boleh, silakan. Lalu
Sumiyati selalu akan siap dengan jawaban yang jitu. Pas. Masuk akal pula. Rukmana
akan kembali tersudut, Kecuali kalau Rukmana dibekali senjata yang ampuh: mayat
Eddi Bratamenggala.
Pesawat HT nya berdetak. Rukmana menyahutinya. Ada seorang pemerkosa gadis di
bawah umur tertangkap basah. Pemerkosa yang tidak manusiawi itu sedang dalam
perjalanan ke kantor.
"Potong saja kemaluannya!" Rukmana menggerutu marah pada si pelapor.
Kemudian_ia tercengang. Astaga, apa yang telah terjadi dengan dirinya? Mengapa
akhir akhir ini ia semakin gampang naik darah?
***
RUKMANA HADINATA pasti akan_ semakin naik darah bila ia nanti mengetahui
bahwa birokrasi telah menghambat otak jenius maupun naluri polisinya. Identitas mobil
Eddi Bratamenggala benar telah disebarluaskan. Tetapi polisi desa di wilayah Subang
memerlukan waktu untuk turun ke bawah jurang yang masih dalam keadaan terbakar
karena api telah menyebar semakin luas. Nomor plat mobil yang ringsek dan tinggal
kerangka, ia catat dalam bukunya. Ia juga mencatat bahwa mayat yang ditemukan
Di jok depan keadaannya begitu rusak mengerikan, diduga kuat karena terbakar hangus.
Polisi setempat lalu minta bantuan atasannya di Subang. Tetapi mobil derek dari PU
baru akan dioperaSikan kalau" dilengkapi surat permintaan resmi. Akhirnya yang
dipakai adalah mobil derek milik swasta. Itu pun menemui kesulitan soal pembayaran.
Administrasi keuangan memerlukan prosedur pelaksanaan yang tidak gampang selain
menjemukan.
Mobil dan jenazah di dalamnya baru berhasil diangkat dari jurang sekitar tengah
hari. Karena adanya dugaan peristiwa itu menyangkut kecelakaan lalu lintas biasa
karena kecerobohan pengemudi, polisi Subang beranggapan tak perlu tergesa gesa.
Orang yang mereka tolong toh sudah mampus, jadi pemberitahuan pada sanak
familinya boleh menyusul be lakangan saja. Konon pula, identitas korban sulit untuk
dikenali karena baik mobil itu sendiri maupun apa yang ada di dalamnya sudah hancur
atau meleleh sedemikian rupa. Pengenalan identitas korban diperkirakan akan makan
waktu tidak sedikit.
Nomor plat, rangka, dan mesin mobil itu memang diteruskan juga ke Poltabes
Bandung, karena nomor polisi mobil korban adalah nomor polisi Wilayah Bandung.
Yang menerima, seksi kecelakaan lalu lintas. Oleh seksi ini diteruskan lagi ke seksi yang
menangani data kendaraan bermotor. Kebetulan Operasi Zebra sedang ditingkatkan,
dan akibatnya pengusutan atas mobil yang tertimpa kecelakaan itu jadi terbeng kalai.
Kalaupun pada akhirnya laporan mengenai kecelakaan lalu lintas itu sampai ke meja
Rukmana malam harinya, itu pun hanya secara kebetulan. Salah seorang petugas intel
kebetulan sedang ngobrol dengan petugas di seksi kecelakaan lalu lintas, yang
menyangkut obrolan sambil lalu dan kemudian menjurus pada kegiatan Operasi Zebra.
"Kecelakaan memang dapat dikurangi. Namun toh tetap saja terjadi!" gumam
petugas seksi lalu lintas.
"Contohnya, yang di Subang itu. Padahal mobilnya konon dari jenis yang mahal dan
mewah, jenis Corona...
Teman ngobrol petugas seksi lalu lintas seketika menjadi tertarik, karena mereka
justru tengah ditugaskan mencari sebuah mobil Corolla dari jenis yang disebutkan
temannya ditemukan di dalam jurang. Datanya lalu dicocokkan, dan setengah
berlari-lari si petugas intel pergi menghadap Komandannya. Ia langsung melapor:
"Bapak benar, Kapten. Kita sudah terlambat...."
Rukmana Hadinata yang bermaksud pulang ke rumah karena ada janji nonton
bersama istri dan anak anaknya, langsung saja mengangkat telepon. Sungguh
menyedihkan. Ia lupa menelepon istrinya di rumah. Yang ia telepon adalah Anita
Supardjiman, Barman Bratamenggala, dan sebelum waktu berangkat tiba ia masih
teringat untuk memanggil juga dokter Singgih. Meski tidak diberitahu terang terangan
bahwa suaminya sudah meninggal, Anita Supardjiman langsung jatuh pingsan selagi
masih berbicara ditelepon. Dengan sendirinya, kehadiran Anita Supardjiman untuk
mengenali korban yang terbaring di kamar mayat Rumah sakit Subang, terpaksa
ditangguhkan. Barman Bratamenggala mentalnya lebih kuat, meski selama perjalanan
ia hanya_ duduk mematung dengan wajah pucat kebiru biruan. Wajah orang tua itu
semakin membiru setelah ia mengenali arloji, cincin, kalung bermedalion emas dengan
bentuk rajawali, serta luka bekas jatuh waktu bocah pada tengkorak belakang putranya.
Benar, orang tua yang malang itu masih dalam keadaan hidup dan sadar. Tetapi
penampilannya tak kalah buruk dan menakutkan dengan mayat yang ada di lantai
kamar mati. Digeletakkan begitu saja, terbungkus sehelai tikar pandan yang sudah
usang.
Akan halnya dokter Singgih, hanya bisa mengeluh:
"Ini bukan mayat. Tetapi Sisa mayat!" bisiknya di telinga Rukmana Hadinata.
"Harapan kita cuma satu, itupun tipis. Berdoa sajalah, semoga bagian dalam tubuh
mayat ini tidak ikut hancur atau terbakar...."
Barman Bratamenggala tidak ikut menunggu hasil otopsi.
Hanya ditemani sopir dan bodyguardnya yang bernama Alex, ia pulang lagi ke
Bandung tanpa mengacuhkan janji Rukmana Hadinata bahwa jenazah puteranya akan
dikirimkan segera setelah otopsi diselesaikan. Dibantu dua orang kolega yang bertugas
di rumah sakit Subang, dokter Singgih bekerja dengan kecepatan dan keterampilan
seorang ahli. Sebelum matahari terbit keesokan harinya, Rukmana Hadinata telah
menerima laporan yang ia tunggu tunggu dari sahabatnya yang berkepala botak itu.
Laporan dokter Singgih singkat saja:
"Ulu hatinya lenyap!"
***
Akan tetapi, pada waktu itu Sumiyati sedang dalam perjalanan pulang ke
kampungnya di Ciamis dengan didamping oleh Bu Ijah yang kelihatan murung dan
sangat berduka cita.Menyelang tengah malam sebelumnya, Ijah membuka pintu rumah
majikannya karena ada tamu yang ia anggap sangat penting dan kemudian ia antarkan
ke hotel tempat Sumiyati mengurung diri. Tentu saja Sumiyati sudah menduga akan
bertemu lagu dengan Barman Bratamenggala. Namun tidak ia sangka akan secepat itu.
Lebih tidak ia sangka lagi, adalah apa apa yang dituturkan oleh bankir yang calon
Gubernur Itu.
"... aku telah tiga kali menikah," demikian antara lain diceritakan oleh Barman
Bratamenggala, setelah lebih dulu menjelaskan bahwa ia barusan dari melayat jenazah
putranya. Dari Subang ia tidak langsung pulang untuk melapor pada istri ke tiganya,
dengan Siapa selama ini ia hidup tentram dan bahagia karena hanya dari istri ke
tiganya itulah ia kemudian memperoleh seorang keturunan .Selama perjalanan dari
Subang ia telah memutuskan apa yang terbaik ia lakukan. Terbaik dari sedikit hal hal
baik yang pernah ia lakukan seumur hidup, menurut Barman Bratamenggala. Dari
caranya bertutur gelas terlihat bahwa ia percaya putranya memang hanya mengalami
kecelakaan lalu lintas biasa. Tak ada tanda tanda ia mencurigai putranya telah mati
terbunuh. ............
"Jadi dapat kau bayangkan, betapa kelahiran putraku lebih bernilai dari seluruh isi
bank di mana aku menjadi anggota dewan komisaris. Bahkan lebih bernilai apabila
dikumpulkan isi bank di seluruh dunia lalu ditawarkan pula sebagai pengganti putraku
satu satunya itu, " kata Barman.
"Adalah kekeliruanku juga, kalau kemudian aku memanjakannya. Berbuat apa saja
demi kebahagiaannya. Apa pun kesalahannya, kuampuni dan kututup tutupi dari orang
lain. Kalau perlu, aku akan melindunginya meski untuk itu harus manipu banyak orang
lain termasuk menipu diriku sendiri!"
Sambil berbicara, ia duduk bergerak gerak di kursinya. Sementara Alex duduk cukup
dekat dan cukup waspada untuk berjaga jaga bila sesewaktu bantuannya diperlukan
majikan yang ia hormati itu. Suaranya terbata bata, tampak dikuatkan hatinya
sedemikian rupa, untuk memperlihatkan bahwa gerbang kehancuran yang tiba tiba
harus dimasuki tengah berusaha ia hindari. Dan itu bukanlah sesuatu yang mudah,
apalagi untuk seorang tua yang ingin melihat putra tunggal yang ia kaSihi suatu ketika
kelak akan menjadi orang yang sukses. Lebih sukses dari dia sendiri.
"Kau pikir, Sumiyati. Untuk apa aku melepaskan sebagian kesempatan memiliki
materi lebih banyak, dengan niat terjun ke karier politik? Aku tahu, tidak bakal ada
kesempatanku untuk memperoleh jabatan lebih tinggi dari seorang Wakil Gubernur.
Namun dengan jabatan itu, didukung oleh kekuatan finansial yang kumiliki, aku akan
berusaha sekeras mungkin agar karier anakku terus menanjak. Bayangan bahwa semua
itu akan mampu kucapai, sedikit pun tidak kuragukan. Hambatannya cuma satu. Eddi,
sama seperti aku, kering dari benih benih keturunan. Ia belum sempat memberikan aku
seorang cucu. Dan tiba tiba, ia telah meninggalkan aku begitu saja. Bahkan tanpa
pamit...."
Air mata menetes di pipi yang mulai keriput itu.
"Sejak Eddi lahir ke dunia, seingatku aku menangis hanya satu kali saja...," katanya
lagi.
"Yakni, saat aku pertama kali mengambilnya dari susu ibunya dan kemudian
membawanya ke pelukanku. Aku tertawa. Tetapi aku juga menangis. Aku
bersenandung... Tahu apa yang kunyanyikan? Nina bobo... Nina bobo, oh, nina bobo.
Kalau tidak bobo...," Barman Bratamenggala benar-benar menyenandungkan lagu
dimaksud, sambil mulutnya sesekali memperdengarkan tawa bahagia sementara air
matanya terus mengucur berderai-derai.
"Istriku kemudian bilang aku tak pantas menyebut Nina Bobo. Anakku lakilaki. Jadi
sejak itu, aku bernyanyi... Eddi, bobo, oh... Eddi bobo...."
Kelopak matanya mengerjap.
Lalu menyeringai, ganjil.
"Hei. Aku melentur ya?" ia merintih. Dipandanginya Sumiyati lurus lurus.
"Aku juga mendambakan anak perempuan. Seperti kau. Tetapi aku tak beruntung....
Karena itulah aku langsung menemuimu larut malam begini. Aku bermaksud... kau
tidak memanggilku dengan sebutan Tuan. Tetapi, Bapak. Hanya bapak. Memanggilku
Ayah, aku tak berani berharap. Benar, bukan?"
Sumiyati diam. Tak beraksi, meski jiwanya ikut merintih.
"Baiklah" orang tua itu meneruskan.
"Masih ada satu lagi alasanku datang menemuimu...," ia menerawang sejenak. Lalu:
"Dengan matinya ia.aku tak punya apa apa lagi.yang melindungiku Termasuk...
diriku sendiri. Aku tidak lagi memerlukan kekayaanku, walaupun cuma satu sen saja.
Karier politik? Untuk Siapa? Toh Eddi sudah mati... Jadi, kau adalah orang pertama
pada siapa aku memberitahu akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dibayangkan
orang lain. Bahkan tidak olehku sendiri... Aku akan pergi ke gedung Pengadilan. Aku
dan minta mereka memenjarakan aku. Aku akan mengakui semuanya. Termasuk, ketika
aku melindungi kejahatan putraku telah merenggut nyawa ibumu..."
Sumiyati masih dia
Tetap diam.
Sementara Alex kelihatan tercengang. Takjub. Reaksi Alex terlihat oleh Barman
Bratamenggala. Lalu ia kembali mengawasi Sumiyati:
"Hei. Mengapa kau tidak ikut takjub, Anak Cantik? Apakah kau tidak bergembira
dengan apa yang kau dengar? Mengapa kau tidak menari nari....?"
Tiba tiba saja, mulut Sumiyati terbuka.
Jawabnya:
"Pantaskah saya tertawa di atas penderitaan orang lain, Tuan Barman?!"
Jawaban itu memukul si orang tua begitu keras nya. Barman Bratamenggala
melongo, kemudian megap megap. Alex cepat berdiri dan menanyakan apakah
majikannya baik baik saja.
"Bawa aku pulang, Alex" bisik si orang tua gemetar.
Barangkali jawaban polos dan lugu tanpa maksud apa apa dari Sumiyati, adalah
penyebab Barman Bratamenggala mengakhiri hidupnya. Pantaskah seseorang" tertawa
di atas penderitaan orang lain? Berapa kali sudah Barman tertawa di atas penderitaan
banyak orang? Entahlah. Yang pasti, setengah jam setelah tamu tamunya pergi, telepon
di kamar hotel Sumiyati berdering. Alex yang menelepon di didahului makian:
"Kau harus bertanggung jawab untuk semua ini, Nona. Tuan Barman Bram
menggala, bunuh diri lima menit yang lalu!"
***
BERITA kecelakaan lalu lintas di Subang itu hanya termuat dalam kolom kecil di
halaman dua surat kabar yang terbit pagi harinya. Tetapi berita kematian Barman
Bratamenggala menjadi headline utama surat kabar yang terbit di Bandung dan dua
surat kabar lainnya di Jakarta. Dalam salah satu berita itu Sumiyati membaca alinea
berbunyi:
"Di atas meja kerja korban, terhampar sehelai surat pernyataan yang ditandatangani
korban. Ia diperbolehkan menyimpan senjata miliknya dengan status pinjaman barang
bukti kepolisian. Sungguh ironi, polisi memperbolehkan senjata itu diambil lagi oleh
pemiliknya. Karena justru senjata itulah yang kemudian dipergunakan korban untuk
menembak kepalanya sendiri!"
Sumiyati mengetahui isi surat kabar itu dalam perjalanan pulang ke Ciamis. Di
lampu merah ia sempatkan membeli surat kabar, dan sempat melihat headline-nya
sebelum lampu hijau menyala. Sementara matanya tertuju pada lalu lintas di jalan yang
mereka tempuh, ia minta Ijah membacakan berita-berita yang menyangkut punahnya
dua dari sekian generasi Bratamenggala itu.
Selesai membacakan isi surat kabar, Ijah mendesah lirih. Katanya;
"Bukan tanggung jawabmu, kalau toh pada akhirnya Tuan Barman mengambil
keputusan yang memalukan itu...."
"Aku tetap terlibat di dalamnya, Bu, " jawab Sumiyati getir.
"Lambat laun kau akan melupakannya juga tetapi Kapten Rukmana tidak akan,
bukan?"
"Apa sih yang dapat ia perbuat?"
"Kau tak tahu siapa dia, Bu. Rukmana Hadinata bukanlah orangnya yang mau
menyerah begitu saja. Seperti sudah kukatakan tadi malam, Rukmana mungkin saja
tidak dapat membuktikan keterlibatanku dengan kematian Azis Partogi serta Eddi
Bratamenggala. Apa lagi, dengan Barman. Ia tidak pula dapat memaksakan situasi di
mana aku terpaksa memperlihatkan wujudku yang lain. Tetapi Bu, ia akan terus
mengikuti setiap gerak genk maupun langkahku. Ia akan menunggu. Menunggu dengan
kesabaran seorang polisi berpengalaman. Menunggu sampai aku, disadari atau tidak,
suatu ketika akhirnya membuat kekeliruan. Ia melakukan hal itu bukan karena ia
membenci aku. Ia melakukannya. semata mata karena ia selalu menarik garis batas
dalam dirinya. Kapan ia dapat bersikap sebagai seorang sahabat, kapan pula ia
terpaksa harus bersikap sebagai orang yang mengemban tugas negara...."
"Tanpa memperdulikan apa yang selama ini kau perbuat bukanlah atas kehendak
atau kesalahanmu sendiri?" Ijah memperotes.
"Itu tidak akan merubah keadaan, Bu. Di mata hukum, tanganku tetaplah tangan
yang berlumuran darah orang lain..., " Sumiyati menggigil ketika berkata demikian.
"Semua ini harus dihentikan, Bu. Aku... aku ingin hidup... atau mati... sebagai
manusia biasa!"
"Tabahkan hatimu, Nak."
"... aku akan berusaha. Dengan bantuan Ibu."
Untuk ke sekian kalinya sejak keputusan nekad diambil majikannya, Ijah menggigit
bibir, menahan air_ matanya jangan sampai keluar. Ia tidak lagi mampu berkata apa
apa, demikian pula halnya Sumiyati. Mereka duduk diam diam dengan pikiran-pikiran
yang sama menakutkan.
Mobil Sumiyati terus meluncur.
Menuju tapal batas antara kehidupan nyata dan kehidupan gaib.
Dan, kodrat manusia membuntuti diam-diam dari belakang....
***
SEBELAS
"HIDUP ATAU MA TILAH SEBAGAI SERIGALA!"
Bunyi kutukan itu membuat Sukiman mau tidak mau bergidik seram. Baru hari ini ia
mendengar serta mengetahui segala akibat akibatnya dari mulut Sumiyati serta Ijah.
Setiba di Ciamis, Sumiyati langsung menuju rumah pemuda yang rambutnya mulai
ubanan karena terlalu banyak menekan pikiran itu. Sebelum Sumiyati membeberkan
rahasia paling dalam dari keluarganya, lebih dulu ibu Sukiman secara halus disuruh
menyingkir karena Sumiyati tidak mau aib keluarganya diketahui perempuan yang
kelak ia harapkan sebagai calon mertuanya.
Setelah lama berpikir, barulah Sukiman mengeluh :
"Apakah tidak ada jalan lain yang dapat kita tempuh?"
Ijah menggelengkan kepala dengan sedih. Sementara Sumiyati mengomentari dengan
hati-hati :
"Aku tidak ingin memaksa keikutsertaanmu, Kang Maman."
"Memaksa?" sifat pemarah Sukiman agaknya makin mudah terbangkit.
"Kapan kau mau berhenti meragukan kesetiaanku, Mia?!"
"Kita akan melangar kodrat!" Sumiyati memperingatkan.
"Kau pikir, untuk apa aku membujang terus, Mia? Karena aku impoten?"
"Kang Maman..."
"Nah. Janganlah kau meremehkan aku lagi, Mia Kalau Bu Ijah saja sudah rela
berkorban demi mengembalikan harakatmu sebagai manusia, mengapa pula aku tidak?
Bukankah aku calon suamimu?"
"Tetapi Kang Maman. Aku telah melakukan hal hal tidak terpuji dengan lelaki lelaki
lain...," Sumiyati berkata blak blakan.
"Jangan mengunci hatiku, Mia! Aku sudah kebal. Aku toh harus tahu diri. Kalau aku
dapat berbuat hal. hal tak terpuji sebagai seorang lelaki yang normal, mengapa pula
kau tidak? Itu pertanda kau juga seorang perempuan normal adanya. Entah kalau kita
nanti sudah berumah tangga, dan masih melakukannya dengan orang lain yang bukan
wanita atau bukan istri. Itu baru dapat dikatakan tidak normal!"
"Aku percaya padamu, Kang Maman," Sumiyati menyerah kalah.
"Cinta dapat melakukan apa saja, Mia," ujar Sukiman lebih lunak seraya tersenyum
menghibur hati kekaSihnya.
"Kita berangkat sekarang?"
Sumiyati menganggukkan kepalanya.
Lewat tengah hari, mereka meninggalkan mobil di Simpang jalan desa. Para
pengemudi ojek di tempat itu maSih tetap memperlihatkan Sikap tak bersahabat.
Bahkan tampak lebih ekstrim. Selain karena semakin santer desas desus penyebab
kematian Durasin yang kepala dinas kehutanan itu, juga karena kehadiran Ijah di
samping Sumiyati. Tetapi ikut sertanya Sukiman membuat mereka tak kuasa berbuat
apaapa. Mereka semua mengenal siapa Sukiman. Bahkan berkat bantuan Sukiman
pulalah pihak berwajib tidak bertindak terlalu keras setelah terbukti kebanyakan sepe
eda motor yang diojekkan itu tidak memiliki suratsurat pelengkap yang sah, malah ada
di antaranya merupakan hasil kejahatan pencurian yang mereka beli dengan harga
jauh di bawah harga pasaran resmi. Kehidupan ekonomi yang semakin sulit'dan
semakin banyaknya dropout sekolahan yang membutuhkan pekerjaan, ditampilkan
Sukiman ke permukaan sehingga pihak berwajib mengambil sikap lunak.
Para pengemudi ojek itu dengan setengah mau juga mengantarkan rombongan kecil
Sukiman menuju kampung Sumiyati, yang hanya'dapat dilalui kendaraan bermotor roda
dua. Segelintir penduduk setempat juga mengetahui jasa baik Sukiman pada warga
setempat. Mereka menaruh hormat padanya. Dan mereka memperlihatkan hormat
mereka dengan sikap merelakan kehadiran. Sumiyati serta "Ijah tanpa mengajukan
protes apa apa. Kecuali barangkali, satu dua diantaranya toh masih tetap mengintip
diam diam dari balik pintu rumah masingmasing.
Satu satunya orang yang menyambut kedatangan mereka dengan penuh haru serta
suka Cita, hanyalah Karta. Sang paman memeluk keponakannya disertai derai air mata,
apalagi setelah diberitahu apa tujuan mereka pulang ke kampung. Karta langsung
menyuruh Sumiyati tidur untuk beristirahat di kamar.
"Supaya nanti malam kau dalam keadaan sehat dan segar," katanya. Ijah juga
disarankan untuk beristirahat. Tetapi perempuan itu lebih senang mengiSi waktu
dengan menziarahi kuburan suami serta anak anaknya. Harlas segera dipanggil untuk
mendampingi dan melindunginya dari hal hal yang tidak dikehendaki.
Setelah mereka hanya tinggal berdua saja, sambil menyicipi kopi tubruk dan u
rebus yang dihidangkan istri tuan rumah, Sukiman merasa lebih leluasa mengemukakan
hal hal yang baginya masih merupakan tanda tanya. Pertanyaan pertama yang lepas
dari mulutnya adalah :
"Bukankah leluhur-leluhur Mang Karta sudah berhasil menguSir roh penghuni
Gunung KaWi itu?"
"Rohnya memang sudah, Nak Maman. Tetapi sifat sifatnya masih tetap bersisa, "
jawab Karta prihatin.
"Tak ubahnya sehelai kain yang robek. Biarpun diperbaiki oleh seorang penjahit
yang sangat terampil, bekas robekan itu tetaplah ada..."
"Tetapi mengapa bekas yang ditinggalkannya pada Pak Suharyadi begitu
mengenaskan hati?" tanya Sukiman lagi, ingin tahu.
"Malah kini juga, Mia terkena getahnya'" ia menambahkan.
"Leluhur leluhur kami tidak pernah berhenti berusaha, Nak Maman. Selain mengusir
roh itu, mereka juga telah berjuang untuk menekan akibat yang ditinggalkannya.
Leluhur yang ada tiga generasi di atas kami misalnya, berhasil menyempurnakan
penangkal kutukan itu. Sehingga yang terkena kutukan tidak lagi setiap anak yang lahir
tetapi tinggal seorang saja dari sekian anak anak yang kelak dilahirkan. Seperti halnya
sebuah baju yang robek tadi, mengikis habis kutukan itu adalah tidak mungkin. Apa
yang dapat diperbuat oleh leluhur kami hanyalah berusaha membantu meringankan
beban keturunan mereka yang kurang beruntung'itu. Ada dua cara yang bisa ditempuh.
Pertama, cara yang akan kita lakukan nanti malam...," Karta terdiam sejenak. Tampak
gelisah. Setelah menghela nafas dan menggoyangkan kepala untuk menyingkirkan
bayangan bayangan tak menyenangkan, ia melanjutkan :
"Cara lain, berusaha sekuat tenaga menghindari hal hal yang dapat mengakibatkan
timbulnya penyakit dendam kesumat. Menekannya sedemikian rupa sehingga dendam
kesumat itu dapat ditahan, tidak dilampiaskan. Caranya, Nak Maman, kedengaran
mudah saja. Tetapi kenyataannya, tak kurang sulit.." .
"Cara apa itu, Mang Karta? Dan mengapa bukan cara itu yang kita tempuh untuk
menyelamatkan Mia?" tanya Sukiman bernafsu.
"Kami telah mencobanya dengan Mia, Nak Maman. Juga dengan Suharyadi.
Caranya adalah mempertebal ketahanan rohani dengan pendalaman agama,
pendalaman iman seorang muslim. Tetapi namanya jua manusia biasa, tidak akan
terlepas dari kesalahan kesalahan. Suharyadi misalnya. Apakah Mia sudah
menceritakan padamu tentang permusuhan saudaraku yang tertua itu dengan si
Durasin?"
"Sudah, Mang. Sepintas lalu. Persoalan manipulasi yang dilakukan Pak Durasin,
bukan?"
Sebelum menjawab, Karta melirik ke pintu kamar tidur Sumiyati. Volume suaranya
tak berubah ketika mengingatkan Sukiman agar jangan membiarkan kopinya menjadi
dingin. Sukiman mengangkat gelasnya, dan mendengar suara paman Sumiyati berubah
lebih rendah. Jelas tak ingin didengar oleh keponakannya.
"Sebenarnya," bisik Karta.
"Masih ada satu persoalan lain. Hal ini tidak pernah kami beritahukan pada Mia.
Khawatir, jiwa mudanya tergoncang lalu ia berontak. Itu berbahaya. Karena si Durasin
itu punya pengaruh kuat, selain juga punya tukang tukang pukul yang tega merenggut
nyawa orang lain hanya demi imbalan sebuah jam tangan, misalnya. Juga dengan
perhitungan, demi menjaga kestabilan jiwa Mia. Dendam kesumat ayahnya, tidak boleh
mengalir ke dalam diri Sumiyati..."
"Persoalan apakah itu, Mang Karta?" Sukiman latah berbiSik pula.
"Terjadinya di zaman peperangan."
"Peperangan?"
"Benar. Perang melawan penjajah. Suharyadi pernah ditempatkan di basis
perjuangan yang paling rawan. Yakni di batas daerah yang diduduki kaum gerilya dan
daerah yang diduduki para penjajah. Kalau kau pernah bertugas di basis serawan itu,
Nak Maman, kau akan tahu membedakan mana golongan pejuang sejati. Mana pula
golongan pejuang yarg ingin mencari keuntungan dari peperangan, golongan yang
berjuang demi menyelamatkan diri sendiri, golongan yang semata mata mencari
popularitas belaka, sampai ke golongan yang diam diam menusuk kawan dari belakang
atau golongan pengkhianat.
Ketika Suharyadi diangkat sebagai pegawai negeri di perkebunan negara itu,
pimpinan dinas ke hutanan kabupaten baru saja diganti. Kepala yang baru namanya
Durasin. Nama itu pernah didengar, pernah dikenal pula orangnya oleh Suharyadi.
Tetapi Durasin yang mana? Ia baru tahu, setelah terjadi peristiwa manipulaSi itu.
Seperti kau sudah dengar, Suharyadi tidak sudi diajak kerjasama. Ia lalu disuruh
menghadap kepala dinas kehutanan. Maksud semula, Suharyadi akan ditawari kenaikan
pangkat bila ia bersedia mendukung si pelaku manipulasi itu. Mereka lalu bertemu
muka. Dan dengan seketika, Suharyadi mengenal pimpinannya itu sebagai Durasin
yang pernah ia ketahui di zaman perjuangan dulu sebagai golongan yang ingin mencari
popularitas.macam ini, Nak Maman demi mencari popularitas tak segan menjatuhkan
nama baik bahkan kalau perlu mengorbankan nyawa teman sendiri. Bedanya dengan
pergkhianat, ia melakukannya untuk diri sendiri bukan untuk musuh.
Begitu mereka saling mengetahui siapa diri masing masing, petaka pun tak dapat lagi
dihindari. Suharyadi bertengkar dengan kepala _dinas kehutanan itu. Akibatnya,
Suharyadi dipecat secara halus yakni dipaksa mengundurkan diri. Sebelumnya, ia juga
diancam dan disiksa oleh tukang tukang pukul si Durasin. Suharyadi menjadi frustrasi.
Ia tidak tahan menanggung beban berat itu, dan imannya pun goyang Selanjutnya. kau
tentu sudah mengerti..."
Sukiman manggut-manggut dengan helaan nafas panjang
"Dan Mia...," desahnya, keluh.
"Anak malang itu," lidah Karta juga mendadak terasa kelu.
"Kami telah berupaya, tetapi keadaan menghendaki lain. Mia memang mengikuti
pentidikan di sekolah umum. Tetapi mengingat kebiasaan leluhur, ia juga dimasukkan
ke pesantren. Mia anak yang baik. Rajin, tekun, disayangi banyak orang. Di lingkungan
keluarga, ia paling dekat dengan ibunya. Bahkan sampai ia duduk di sekolah lanjutan
atas, Mia masih sering memaksa tidur dengan ibunya. Maka tidaklah mengherankan
kalau Mia sangat mengasihi dan memuja kakak iparku itu secara berlebihan. Semua itu,
tiba-tiba buyar berantakan. Kebiadaban manusia-manusia yang termasuk golongan
yang kusebutkan tadi, kembali menimbulkan petaka. Ibu yang dikasihi dan dipuja Mia,
sekonyong-konyong direnggut dari sisinya. Direnggut begitu kejam dan mengerikan.
Sudah demikian, manusia-manusia yang bertanggung jawab atas kematian ibunya,
memanipulasi fakta pula sebagaimana si Durasin memanipulasi fakta fakta kejahatan
yang diperbuatnya. Mia yange lembut, Mia yang periang, tiba tiba hilang
kesabarannya. Jiwa mudanya terguncang keras. Imannya goyah. Dan apa yang pernah
terjadi pada Ayahnya, terjadi pulalah pada dirinya. Syukurlah, dengan bantuan Ijah
dan suaminya, kami masih dapat menekan akibat yang timbul pada diri Sumiyati. Siapa
menduga, di kota ia mengalami hal-hal yang lebih buas lagi. Aku telah mendengar apa
yang diperbuatnya pada Azis Partogi. Dan aku percaya sepenuhnya, Azis Partogi tidak
akan mengalami naSib buruk kalau ia tidak melakukan kekerasan atau menghinakan
Mia...."
"Andai aku punya alasan kuat dan diberi hak untuk itu," Sukiman menggeram.
"Aku sendirilah yang akan mengurus si AZIS itu. Juga Eddi Bratamenggala, serta
Ayahnya'yang hebat itu. Mestinya sebelum turun tangan terhadap Eddi, aku dipanggil
Mia untuk membantu. Yang aku heran, mengapa Mia harus merasa bersalah pula atas
kematian Barman Bratamenggala."
"Sebagai manusia yang utuh, Nak," Karta menjelaskan.
"Mia tetaplah seorang gadis berjiwa lembut!"
Ada suara erangan lemah dari kamar tidur Sumiyati. Karta menoleh, tetapi suara itu
tidak terdengar lagi
"Keponakanku yang malang." ia mengeluh prihatin.
"Mestinya semua ini tidak perlu terjadi. Dulu ia begitu terguncang karena sadar
bahwa ia akan kehilangan ibu yang begitu ia kasihi dan ia puja melebihi siapa pun di
dunia ini. Kami pun lantas tidak dapat menyalahkan mengapa ia tidak menuruti
perintah ibunya sebelum kakak iparku itu menghembuskan nafas terakhir. Agaknya
pada saat saat kritis, kakak iparku itu telah didatangi firasat bahwa masa depan putri
kesayangannya terancam bahaya. Ia lalu merahup darahnya sendiri, menyuruh Mia
meminumnya. Sayang, Mia tidak memahami maksud ibunya."
Obrolan mereka terputus ketika Ijah muncul diiringkan Harlas. Perempuan itu
membawa sebuah bungkusan kecil yang ia letakkan di atas bufet. Ia kemudian pergi ke
dapur membantu pekerjaan istri Karta. .
Waktu terus berlalu.
Di luar rumah, cuaca mulai gelap dan diselaputi mendung. Di saat Sukiman
melangkah masuk kamar mandi, ia terkejut mendengar bunyi gelegar guntur. Waktu ia
meninjau ke luar, ia tidak melihat hujan turun. Namun kilat menyambar di manamana.
Di kamarnya, Sumiyati tersentak bangun.
Sekujur tubuhnya basah. '
Berkeringat.
***
MAKAN malam berlangsung diam-diam. Tak seorang pun menghabiskan apa yang
terhidang di piring masing masing. Jerih payah istri Karta memasak hidangan itu
menjadi sia Sia. Tetapi si perempuan dapat memahaminya, dan tanpa berkata apa apa
ia kemudian membereskan meja makan dibantu oleh Ijah. Tuan rumah mengatakan ia
dapat mengerjakannya sendiri. Isyarat halus itu dimengerti Ijah, yang segera
bergabung lagi dengan yang lain, yang maSih tetap di tempat duduk masing-masing
dengan wajah sama sama tegang.
Ijah memecahkan ketegangan itu dengan bisikan kaku:
"Aku telah membawa keperluanku," katanya diarahkan pada Karta, seraya
mengerling ke bungkusan di atas bufet.
Karta menarik nafas berat dan panjang. Ia bangkit dari kursinya, menyelinap masuk
ke sebuah kamar. Tak lama kemudian ia telah meletakkan sebuah bungkusan kecil di
atas meja makan. Semua yang hadir mengawaSi tanpa berkedip selagi Karta membuka
simpul bungkusan dengan susah payah. Tampaknya, bungkusan itu jarang dibuka. Kain
pembungkusnya pun sudah lusuh saking tuanya. Detik-detik berikutnya, bahkan
bernafas pun tidak ada yang berani. Semua mata memandang tajam dan ingin tahu
pada sebuah benda berbentuk segitiga yang salah satu ujungnya runcing. Di arah
berlawanan dari bagian yang runcing, benda yang jelas terbuat dari besi itu agak
menyembul keluar dan berlubang.
"Batang tombak yang dulu sudah tidak terpakai lagi...," Karta berkata tanpa menoleh
dari benda di meja makan itu.
"Tetapi Harlas dapat menyediakan gantinya setelah pembicaraan kita nanti
selesai..." Harlas mengangguk setuju, setelah mana Karta kemudian berpaling pada
Sukiman. Ia bertanya dengan suara lunak :
"Apakah Mia sudah menceritakan tentang benda ini padamu, Nak Maman?"
SUkiman mengangguk. Sesaat lidahnya terasa kelu. Lalu bergumam tanpa
menyembunyikan kepenasaran di wajahnya:
"Apakah mata lembing ini tidak perlu diasah lebih dulu? Tampaknya sudah
berkarat...."
"Yang kau lihat itu bukan karat, Nak," jawab Karta tenang.
"Itu adalah warna bekas darah!" ia pura pura tidak menangkap rona terkejut di
wajah Sukiman, lalu menerangkan apa yang ia maksud '
"Setiap kali mata lembing ini memakan korban.Darah yang melekat tak semuanya
dapat hilang.Mata lembing entah mengapa, akan menyerap darah lalu menyatu dengan
beSi mata lembing ini. Leluhur kami menyebut benda ini dengan sebutan 'Lembing
Penebus Dosa'."
"Oh ya?" Sukiman menyeringai.
"Apakah mata lembing ini dapat menebus dosa manusia?"
"Dosa manusia, Nak," cetus Sukiman lirih.
"Hanya dapat ditebus dengan tobat dan amal perbuatan manusia itu sendiri.
Setahuku, benda ini disebut demikian karena dengan benda inilah leluhur kami berhasil
mengusir roh jahat wanita serigala penghuni Gunung Kawi itu. Dengan benda ini pula,
pengaruh yang ditinggalkan roh jahat itu dikikis habis. Terakhir kali benda ini
dipergunakan oleh ayah kami, kira-kira dua puluh tahun yang silam. Setelah ayah
mempergunakan benda ini untuk menyempurnakan kematian ibu kami, ayah kemudian
bunuh diri...." '
Sukiman kembali terkejut, begitu pula Sumiyati' yang baru sekarang mendengar
sebab musabab kematian nenek dan kakeknya. Karta mengawasi reaksi yang timbul di
wajah keponakan dan kekasih keponakannya, menarik nafas sebentar lalu berUjar
tegas:
"Perlu kami ingatkan, Nak Maman, seandainya kau terpaksa mempergunakan benda
ini terhadap Mia, kau tetap bebas menentukan pilihan. Dan terus terang, kami lebih
suka apabila kau memilih untuk tetap hidup...."
"Aku setuju" Sumiyati menyela dengan suara mantap, sembari menatap lurus ke mata
kekasihnya.
"Aku akan kecewa sekali, apabila Kang Maman berbuat konyol membunuh dirinya
sendiri!"
Sukiman memandangi mereka semua satu persatu. Ia memaksakan senyum di bibir.
Senyuman orang yang mengidap penyakit gigi yang parah.
"Siapa mengatakan aku akan mati?" katanya seraya tertawa gugup. Lal
menambahkan dengan senda gurau:
"Kalau aku mati, itu namanya aku tega membiarkan Mia menjadi Janda sebelum
nikah!"
Ia terpaksa harus tertawa sendirian oleh gurauan itu. Yang lain tetap diam. Siapa
pula yang ingin tertawa dalam Situasi seperti sekarang ini? Harlas lah yang kemudian
memecahkan kesunyian yang berlangsung beberapa saat. Ia nyeletuk, pura pura
tenang:
"Aku baru ingat. Selama ini, yang menyempurnakan kematian leluhur kami adalah
teman hidup yang berstatus suami atau istrinya. Aku jadi ingin tahu, bagaimana
hasilnya bila hal itu dilakukan oleh seseorang yang berstatus pacar sapa...."
Karta tampak tak senang mendengar ucapan adiknya. Ia bermaksud menegur ketika
Sukiman sudah nyeletuk lebih dahulu:
"Apakah hal itu membuat keadaan menjadi berbeda, Mang Harlas?"
"Tidak!" Karta yang menjawab.
"Bunyi syarat rituilnya adalah: orang yang dicintai atau mencintainya sebagai teman
hidupnya. Dan kalau tak salah ingat, hal ini pernah pula terjadi pada masa leluhur,
lima generaSi di atas kami. Dan, berhasil...."
"Oh!" Ijah menyela tiba tiba.
"Mestinya aku juga dapat menyempurnakan kematian Suharyadi. Aku pernah
mencintai dan mendambakan dia sebagai teman hidup. Sayang, keinginan itu
datangnya hanya dari pihakku seorang...." Mata perempuan setengah baya dan
membayangkan banyak derita dalam hidupnya itu tampak menerawang jauh.
Terbayang di pelupuk matanya, wajah seorang pemuda tampan tetapi pemalu yang
selalu menghindar bila ia dekati. Bayangan pemuda itu'kemudian digantikan bayangan
sosok tubuh menakutkan, terbaring dikamar mati rumah sakit atau barangkali saat saat
sekarang ini telah terbaring tempat di atas meja bedah .Dan dokter Singgih beserta
kolega-koleganya tengah sibuk saling sikut untuk mendapat prioritas pertama
merencah-rencah tubuh yang malang itu; dinafsui bayangan kemasyuran menjadi
dokter terkemuka yang telah berhasil menemukan salah satu keajaiban alam semesta. ,
Ijah menggeram. ' .
Sinar matanya diliputi kehencian.
Ia dengan sendirinya tidak mendengar jelas bagaimana Karta dan Harlas
mengajukan beberapa pertanyaan serta memberikan beberapa petunjuk lagi pada
Sukiman dan Sumiyati. Untuk ke sekian kalinya, dua sejoli itu kembali diberi saran
bahwa mereka berdua maSih dapat mengundurkan diri sebelum terlambat. '
Sumi menjawab:
"Aku sudah jemu, Paman." Sukiman lebih dulu menggenggam tangan kekasihnya,
sebelum ia menjawab pula:
"Aku bersedia menempuh resiko itu." Ia kemudian menatap penuh kasih sayang ke
mata Sumiyati, lantas bergumam lembut:
"Semuanya tergantung di tanganmu, Mia. Kau harus kuat dan tabah. Dan ingat,
setelah semua ini berlalu kita akan menikah dan hidup berbahagia....!" Sumiyati balas
menatap. Ia membuka mulut untuk mengutarakan sesuatu, tetapi terganggu oleh ucapan
Karta yang mengatakan bahwa mereka masih harus mengerjakan sesuatu dan
kemudian kedua orang paman Sumiyati itu berlalu meninggalkan rumah. Sambil
bangkit, tak lupa Harlas membawa serta mata lembing tadi. Ia pergi ke dapur mencari
golok, sementara Karta sibuk mencari pacul dan sekop. Ijah melihat mereka pergi dan
dia pun bangkit dari duduknya.
"Aku_ pun ada kerjaan penting," gumamnya sambil memaksakan senyum ke arah
Sukiman dan Sumiyati. Ijah pergi mengambil air wudhu. masuk ke kamar dan bersujud
di sejadah.
Suaranya gemetar ketika ia tiba pada saat berdoa:
"Mungkin apa yang akan kulakukan malam ini dapat melanggar kodrat, ya Allah.
Mungkin pula selama aku hidup bersama Sumiyati, aku telah gagal mengembalikannya
ke jalan yang benar. Ada sesuatu dalam dirinya, yang berada di luar kekuasaan dan
kemampuanku untuk melawannya. Aku akan mencobanya malam ini, ya Allah. Aku
harus. Demi Ayahnya, yang pernah menyelamatkan hidupku pula. Apabila yang akan
kulakukan ini salah dan tidak Engkau ridhoi, beritahukanlah padaku. Atau, hukumlah
aku!"
Air matanya kemudian menitik di sajadah.
Ia tiba tiba merasa takut. Takut pada Tuhan.
Ia juga tiba tiba teringat pada suaminya almarhum yang di masa hidupnya tak
pernah lalai menasihati istri serta anak-anaknya agar menjauhi hal-hal yang dilaknat
Tuhan.
Ijah bertambah gemetar. '
Bertambah takut.
***
BAIK SUMIYATI maupun Sukiman tidak ingat siapa yang lebih dulu menyeret diri
yang lain sehingga tahu-tahu saja mereka sudah rebah di tempat tidur dalam kamar
Sumiyati. Gelegar guntur mengejutkan gadis itu dan melarikan perasaannya ke dalam
dekapan kuat serta hangat dari kekasihnya. Ledakan petir ikut mendorong pelukan
mereka semakin erat, dan mengundang mereka pada suatu perpaduan tubuh yang
abadi.
Sumiyati tidak memprotes apa-apa sewaktu jarijemari kekasihnya menjelajahi
sekujur tubuhnya, dan pelan-pelan menanggalkan pakaiannya sampai tak tersisa
sehelai benangpun. Kelopak mata gadis itu terpejam rapat manakala tubuh Sukiman
mencari cari tubuhnya, dan pelan pelan memasukinya. Hanya satu kali gadis itu
merintih, itu pun rintihan halus dan samar-samar. Selebihnya ia diam dan hanyut
dibawa arus hayali. Ia larut dan semakin larut dalam setiap menit yang berlalu maupun
hendusan nafas yang ke luar. Dan setiba di puncak pendakian yang penuh hayali itulah,
si gadis akhirnya perintih sekali lagi..., suatu rintihan panjang dan tersendat sendat.
Guntur kembali menggelegar.
Tetapi Sumiyati tidak lagi gemetar. dan kini ia punya keberanian untuk
mengutarakan apa yang tampaknya tak lebih dari sebuah impian kosong:
"Kuharap, ini bukan terakhir kalinya kita lakukan, Kang Maman...."
Si pemuda menyelimuti kekasihnya.
Diciumnya lembut bibir yang merdu basah itu. Lalu berbisik di telinganya:
"Kita akan melakukan nya, Mia. Lagi, dan lagi. Lebih indah, lebih syahdu. Dan kita
akan punya anak anak yang lucu, atau barangkali nakal setengah mati...."
"Anak anak," Mia tersenyum.
"Apakah laki laki, Kang Maman?"
"Dan perempuan, Mia."
"Namanya?"
"Sudah tersedia. Telah sekian tahun aku memikirkannya."
"Sekian lama?"
"Ah, Mia. Apalah artinya waktu yang berlalu, apabila pada akhirnya impian kita
tercapai...."
"Kang Maman. Mimpi apa kau hari hari belakangan ini?"
"Aku tak ingat. Dan kau, Mia?"
"Ibu. Aku selalu memimpikan ibuku akhir-akhir ini. Bahkan tadi, sebelum aku
dibangunkan Bu Ijah... aku melihat Ibu datang dalam tidurku. Ia berkata...." suara
Sumiyati merendah dan diakhiri helaan nafas panjang.
"Apa kata ibumu, Mia?"
"Ia kedinginan...."
"Lalu?
"Ia bilang, ia ingin memelukku. Seperti dulu aku selalu dipeluknya setiap kali
menjelang tidur. Dan ia masih memelukku, setiap kali pula aku bangun esok paginya. Ia
lantas akan tersenyum. Dan berkata lembut: Kau mimpi tadi malam ya? Lalu kemudian
dia...."
Terdengar suara ketukan di pintu kamar.
Disusul suara Ijah memberitahu:
"Sudah hampir tengah malam, Nak Mia!"
Sumiyati tidak segera bangkit dari tidurnya. Ia mengusap pipi Sukiman. dan berbisik
lirih:
"Ciumlah aku, Kekasih."
Sukiman menciumnya.
Ciuman paling lembut, paling indah, yang pernah ia singgahkan di bibir kekasihnya.
Sampai Sumiyati menitikkan air mata dibuatnya. Dan ketika mereka meninggalkan
rumah diiringkan oleh Ijah, gadis itu masih tetap menitikkan air mata. Tak seorang pun
melihatnya. Malam begitu gelap gulita. Walaupun ada kilat menyambar, sinar kilat itu
seakan menjauhi wajah Sumiyati dengan perasaan segan.
Tidak ada hujan turun.
Dan rembulan bersembunyi pula entah di mana. Bintang-bintang sibuk mencari. Dari
tempat gelap.yang satu ke tempat gelap lainnya. Tanpa menyadari bahwa bintang
bintang ini sendiri ikut tertelan dalam kegelapan.
Kemudian tampak setitik cahaya kecil dan lemah.
Semakin mereka mendekat, cahaya itu semakin kuat. Berasal dari sebuah lampu
petromak yang diletakkan di antara batu batu nisan. Salah satu batu nisan itu tergeletak
diam di rerumputan, setengah tertutup oleh timbunan tanah galian.
Ada sebuah liang kubur menganga.
Dan di dalamnya, berbaring serangkaian tulang kerangka dan tengkorak manusia.
Kerangka maupun tengkorak itu jelas telah disusun kembali dengan susah payah sesua
dengan tempat tulang tulang atau tengkorak berlepotan tanah itu semestinya terletak.
Karta serta Harlas menyisi diam diam.
Memberi tempat pada Sumiyati untuk melihat ke dalam liang kubur yang diterangi
samar samar oleh lidah lidah cahaya lampu petromak. Gadis itu berdiri tertegun, kaku
tak bergerak, dengan mata memandang nanar, tak berkedip.
Ia sangat mendambakan ingin melihat ibunya kembali.
Tetapi bukan dalam wujud tulang belulang dan tengkorak yang demikian rupa
menyedihkan keadaannya.
"Marilah kita memulainya." Ijah berbisik gemetar.
Dia masih ketakutan. Dan ketakutan itu samakin bertambah tambah setelah ia
menangkap pandangan tersembunyi di balik sinar mata majikannya. Ia dapat
menyelami, di balik mata SI gadis tersembunyi suatu keinginan yang kuat. Teramat kuat
malah.
Apa yang dilihatnya, membuat Ijah merasa cemas.
***
IJAH membuka bungkusan yang dibawanya dan mengeluarkan sehelai kain putih
yang jelas diperuntukkan sebagai kain kafan. Karta menerima kain kafan itu lalu turun
ke liang lahat bersama Harlas. Dengan teliti dan hati hati kain kafan ditutupkan ke
penghuni liang lahat. Sedemikian rupa sehingga tak sepotong tulang pun yang tidak
tertutupi. Ijah seterusnya menyerahkan serangkai tasbih merjan berkilauan yang oleh
Karta diletakkan melingkar di salah satu bidang permukaan kain kafan. Sukiman
melihat bahwa tasbih itu diletakkan melingkari bagian di mana semestinya terdapat
jantung manusia, bila dimisalkan yang tertutup kain kafan itu adalah sosok tubuh
manusia yang utuh. Ia lalu membantu Karta dan Harlas naik ke atas. Sebelum pergi
menjauhi liang lahat Harlas melirik ke satu arah di dekat Sukiman. Pemuda itu ikut
melirik dan tahulah ia bahwa mata lembing itu telah diberi bergagang batang tombak.
Panjang batang lembing itu tak sampai setengah meter dan terbuat dari sepotong kayu.
Mungkin diambil dan cabang cabang pepohonan rendah yang banyak terdapat di
sekitar kompleks pekuburan desa itu.
Memandangi lembing dengan mata besinya yang berkilat suram dalam jilatan lampu
petromak, dada Sukiman bergetar. Ketika melihat tulang belulang dan tengkorak ibu
Sumiyati di liang kubur yang telah di gali kembali oleh paman paman gadis itu,
Sukiman tidak merasakan pengaruh apa apa. Beda halnya ketika ia melihat mata
lembing yang sudah diberi gagang itu.
Jantungnya seakan menclos begitu saja. Tak kuat menahan pengaruh gaib yang tiba
tiba menghantui dirinya. Tanpa sadar ia melirik pada gadis yang berdiri di
sebelahnya.'Sumiyati diam tak bergerak. Entah tahu atau tidak bahwa ia dilirik. Dan
yang dilirik adalah lambungnya, searah jantung. _
"Tidak! itu tidak akan terjadi!" "Sukiman menjerit dalam batinnya.
"Semoga saja tidak terjadi suatu kesalahan dalam upacara rituil dan gila gilaan ini'"
Dan bila segala sesuatunya berjalan lancar serta mulus sebagaimana mereka semua
kehendaki, Lembing Penebus Dosa itu tak perlu disentuh Sukiman. Sumiyati boleh ia
bawa pulang, dan pada ibunya Sukiman akan berseru seru riang gembira:
"Ini menantumu datang!"
Bayangan bayangan yang maSih berupa harapan, tipis pula lagi, lenyap oleh suara
kumat-kamit Ijah di antara bunyi gelegar guntur dan ledakan petir. Anehnya bunyi
menggelegar dan meledak ledak itu kian lama kian menyepi dan kemudian hilang sama
sekali. Tinggal mendung yang maSih tetap tergantung di langit kelam, seolah
mencengkeram rembulan serta bintang gumintang dalam kepekatan pelukannya yang
hitam legam. Suara kumat kamit di mulut Ijah semakin jelas terdengar, dan berakhir
dengan hentakan keras
"Datanglah roh yang abadi sempurnakanlah ragamu yang tersia sia ini!"
Sembari membentak, perempuan itu meluruskan lengan kirinya ke depan sehingga
berada di permukaan liang lahat sejajar dengan letak tasbih yang melingkar di
bawahnya. Pada saat bersamaan, tangan kanan perempuan itu terjulur pula ke depan.
Terdengar bunyi 'jres' yang lembut, ketika benda tajam, mungkin silet, yang dipegang
tangan kanan Ijah menggores dan melukai nadi lengan kirinya. Darah seketika
menyembur, jatuh berceceran di tengah lingkaran biji-biji tasbih. Mulut kembali
kumat-kamit ketika ia menarik mundur tangan tangannya. Karta dan Harlas buru-buru
mendekat. Dan sementara Ijah terus kumat-kamit seperti orang tak sadarkan diri, kedua
orang paman Sumiyati dengan cepat dan terampil membebat lengan kiri si perempuan
untuk menghentikan aliran darah yang terus menyembur-nyembur deras.
Setelah sempat terkejut oleh gerakan yang ditimbulkan kedua paman Sumiyati,
Sukiman berpaling kembali ke liang lahat di bawahnya. Dan matanya terbelalak lebar
dan makin lebar ketika menyaksikan gerakan gerakan aneh di bawah kain kafan.
Gerakan gerakan itu menyerupai gerakan sesuatu yang membesar dan membesar
sampai ke bentuk yang wajar. Di mulai dari arah tulang-tulang jari kaki, naik ke atas
sampai ke bagian kepala.
Tanpa sadar Sukiman mencari lalu mencengkeram lengan gadis yang tetap diam tak
bergerak di sebelahnya. Tak ada penolakan. Namun juga tanpa reaksi apa apa,
pertanda Sumiyati tidak terpengaruh oleh gangguan tiba-tiba dari tangan Sukiman.
Mata gadis itu tertuju lurus ke liang lahat, seakan matanya itu berusaha
menyingkapkan kain kafan dengan seketika. Dan ketika Ijah menyuruhnya turun ke
liang lahat, sinar mata Sumiyati tampak menyimpan harapan dan kebahagian
tersembunyi. Ia pasti sudah terjun ke liang lahat kalau tangannya tidak kebetulan
dicengkeram oleh Sukiman.
"Sabar, Anakku. Sabar," desah Ijah sambil mengawasi gerakgerik Sumiyati dengan
perasaan khawatir. Perempuan setengah umur itu berusaha mencaricari mata
majikannya, ingin melihat sinar mata gadis ini.
Tetapi Sumiyati telah turun ke liang lahat seolah tanpa menyadarinya. Bahkan juga
tanpa merasakan bahwa ia turun dengan dibantu hati hati oleh Sukiman, Karta,
maupun Harlas. '
"Singkapkan sekarang'" bisik Ijah lagi. Sementara Sukiman, Karta dan Harlas
memperhatikan dari pinggir liang lahat, setiap gerakan yang dibuat oleh Sumiyati.
Adapun Ijah, secara naluriah diam-diam menjangkau batang lembing dan
mendorongkannya ke tangan Sukiman yang hampir terpekik kaget dibuatnya. Sukiman
semula akan menolak. Tetapi pandangan mata memohon dan isyarat mengingatkan di
mata perempuan itu menyebabkan Sukiman tak berdaya. Lembing Penebus Dosa itu
kini tergenggam di tangan kanannya siap pakai bila diperlukan.
"Tuhanku. Jangan. Jangan sampai aku memperanakan benda terkutuk ini!" meraung
Sukiman, serunya yang Cuma di dalam hati belaka. Itu pun, hati yang kacau balau
antara ingatan pada Tuhan dan ketakutan yang hebat melanda dirinya.
Di bawah empat pasang mata yang terus mengawasinya dengan waspada, Sumiyati
menggumamkan sesuatu lalu lengan lengannya bergerak begitu ia mulai berjongkok.
Kain kafan ia sungkapkan pelan pelan mulai dari bagian kepala. Gerakannya tertegun
ketika mata gadis itu menangkap rambut rambut tebal hitam, kemudian dahi yang mulus
putih kemerahan, alis, kelopak mata yang tertutup rapat dan Wajah ibu yang ia kasihi
dan puja pula, tampak di depan biji mata Sumiyati, dalam keadaan sempurna
sebagaimana ketika ibunya maSih hidup, dan seakan tidur dalam suatu mimpi indah
tentang anak perempuan kesayangannya. Setelah tertegun sejenak dalam gejolak
perasaan yang hingar-bingar bergalau tak menentu, Sumiyati dengan perasaan tak
sabar kemudian menyingkap kain kafan itu sekaligus, setelah mana kain kafan ia
tumpukkan begitu saja di dekat kaki jenazah ibunya. Jenazah yang sungguh sempurna,
tanpa cacat cela, tampak hidup dalam kematiannya yang abadi.
Telinganya tidak menangkap suara pelan Ijah:
"Torehkan jarimu, Mia. Torehkan ke lambung ibumu. Kulitnya lunak, kau dapat
menembusnya. Darah ibumu akan menyembur, dan hiruplah sepuas-puasmu....!"
Sumiyati memang tidak mendengar semua itu. Lain halnya Karta, Harlas, terutama
Sukiman. Ketiga orang lelaki itu sama tersentak oleh suara Ijah yang seolah dentuman
meriam dalam kesunyian yang mencekam di kegelapan malam yang sudah menjelang
dinihari itu. Sukiman menggenggam batang lembing erat erat, dengan telapak tangan
dan jari-jemari basah berkeringat. Keringat dingin sejuk menusuk.
"Aku membaui udara dinihari, Mia!" suara Ijah lebih keras sekarang.
"Cepatlah lakukan sebelum terlambat. Ingat, kekasihmu menunggu dan ia akan
membawamu pulang. Mia! Ayo, Nak...."
Seruan-seruan tertahan dan bernada khawatir dari Ijah dihentikan oleh suara
gumaman lembut dan lirih dari mulut Sumiyati:
"Ibu..., wahai mengapa kau diam. Bangunlah Ibu..., peluklah anak yang mencintaimu
ini... tidurlah bersamaku, Ibu, tidurlah bersamaku peluk aku Ibu, peluk aku ibuuuuu....!"
Dan Sumiyati bukannya melakukan perintah Ijah yang akan menyelamatkan dirinya..
tiba tiba memeluk jenazah ibunya dan memanggilnya dengan penuh kasih sayang,
berbau pemUjaan yang agung dari seorang anak yang tidak mau ditinggalkan
sendirian. ia terus mengguncang-guncang tubuh ibunya. Terus memanggil-manggil.
Sementara di atas, wajah-wajah yang menyaksikan tampak ketakutan, ngeri... namun
bercampur keharuan serta duka cita yang sangat menoreh kalbu. Karta dan Harlas
sampai meneteskan air mata. Hanya Ijah yang tetap mampu menguasai diri dan
kembali'mengulangi perintahnya, yang lagi lagi tak dituruti si gadis.
"Ya Allah! Ada yang salah," Ijah mengerang.
"Allah menghukumku Sudah. Allah telah memperlihatkan kebesaranNya. Aku telah
berbuat kesalahan.... tidak menyadari betapa suci dan mulia ibunya di mata Mia...,
betapa ia mencintai dan memujanya. melebihi siapa pun juga di dunia ini... Tidak. Ia
tidak akan... tega menciderai ibunya... apalagi... menghirup darahnya!"
Mendengar itu Sukiman tiba-tiba kalap.
"Mia!" ia menjerit.
"Lakukanlah sekarang juga, Mia!"
Di liang lahat Mia pelan-pelan merebahkan diri di sisi jenazah ibunya. Pipi jenazah
itu ia usap dengan penuh kasih sayang, dan mulutnya berkata penuh cinta:
"Kita tidur, Ibu? Kita tidur yah..?"
Sukiman tidak lagi mendengar apa yang diucapkan dan tidak tahan menyaksikan apa
yang dilihatnya. Ia bukannya tergugah oleh keharuan manusiawi. Perasaan takut dan
kalap telah menguasai dirinya sedemikian rupa. Ia cemburu setengah mati, tidak
perduli kecemburuan itu ia tujukan pada seorang ibu. Dengan kemarahan
membabibuta, Sukiman terjun ke liang lahat dan sekaligus mengunjamkan mata
lembing sampai tenggelam di lambung jenazah ibu Sumiyati. '
Kelopak mata mayat itu terbuka sepersekian detik, kemudian terpejam kembali.
Sumiyati menjerit. Di atas liang lahat. tiga orang lainnya ikut menjerit.
"Tidak. Bukan tanganmu yang melakukannya!" jeritan Ijah mengandung tangis dan
kemurkaan.
"Harus tangan Mia. Kau dengar? Tangan Mia!"
Namun Sukiman sudah dirasuki setan.
Ia cabut lembing dari lambung jenazah. Dan darah pun menyembur-nyembur. Darah
berwarna hitam pekat, bukan merah! Darah yang warnanya sehitam dan sepekat jiwa
Sukiman ketika dengan kalap dan semena-mena ia menghunjamkan Lembing Penebus
Dosa. Demikian histerisnya pemuda itu sehingga matanya buta warna. Tidak dapat
membedakan darah merah segar dengan darah hitam pekat.
"Hiruplah darah ibumu, Mia!" ia memerintahkan dengan suara berang.
"Ayo. Lakukan sekarang. Kalau tidak...."
Ucapan Sukiman terputus mana kala Sumiyati pelan-pelan bangkit dari rebahnya. Ia
mengawasi Sukiman dengan sepasang mata terbuka lebar, berputarputar liar. Pelan
pelan pula ia menggeram:
"Kau membunuh ibuku!" dan sinar matanya berubah hijau kemerah-merahan.
"Celaka!" ljah memekik di atas mereka berdua.
"Akhirnya, kematian juga yang harus terjadi!"
"Sukiman!" Karta berteriak.
"Lakukan sekarang!"
"Cepat, Sukiman. Jangan sampai terlambat!" Harlas ikutikutan berteriak, sehingga
suasana yang semula hening lengang di pekuburan desa yang letaknya terpencil di atas
bukit itu, seketika berubah hiruk aikuk dan mengerikan. Mendung di langit kelam
sampai terkejut. Buyar berantakan. Dan pelan tetapi pas:i, mata rembulan membelalak
lebar lebar. Seakan tak percaya dengan apa yang ia saksikan terjadi di bawahnya....
Sukiman lebih terbelalak lagi. Mulutnya terbuka tanpa suara menyaksikan
bagaimana wajah cantik gadis di depannya meliuk-liuk aneh kemudian berubah
lonjong, kemudian lancip. Bulubulu tebal panjang berwarna pirang kecoklatan
bermunculan di kulit kulit tubuh Sumiyati yang tidak tertutup. Kemudian, pakaian yang
dikenakannya pelan-pelan mulai robek di sana-sini, retas makin lebar oleh dorongan
tenaga yang luar biasa kuat, memaksa lepas dari sebelah dalam tubuh yang wujudnya
sudah berubah penuh bulu dengan otototot ikut membesar itu.
Puncak dari perubahan wujud makhluk pembawa kutuk itu adalah sebuah lolongan
lirih dan lengking yang ditujukan pada rembulan. Ketika lolongan itu berakhir, kuku
kuku serta taring-taring runcmg tajam telah mencabik-cabuk leher dan bagian tubuh
lainnya dari Sukiman yang hanya terpana diam tak bergerak. Dalam keadaan sadar
dan tidak, Sukiman masih mendengar teriakan-teriakan kacau di atasnya, yang ia tidak
tahu apa. Namun secara naluriah, tangan kanannya yang masih menggenggam batang
lembing mundur dengan pelan ke belakang dan kemudian menerjang tiba-tiba ke depan.
Memang, justru itulah yang semestinya ia lakukan.
Sayang ia terlambat. Bila itu ia lakukan sebelum Sumiyati berubah menjadi liar,
maka kekaSihnya akan mati dalam bentuk yang utuh dan normal sebagai manusia.
Selain itu, ia sendiri akan selamat, tetap hidup sebagaimana diharapkan gadis itu.
Sayang, sayang sekali!
***
IJAH yang dinihari itu jatuh tak sadarkan diri, siuman menjelang matahari terbit. Di
dekatnya, du'duk diam diam Karta dan Harlas. Air mata masih mengalir deras di pipi
kedua orang lelaki berusia setengah baya itu. Tak seorang pun dari mereka berbicara.
Kecuali hanya menatap ke liang lahat di bawah nya, yang perlahan-lahan mulai
disinari matahari.
Di liang lahat itu tertumpuk sesosok mayat lelaki yang keadaannya mengerikan. Ia
jelas Sukiman. Tangannya maSih menggenggam batang lembing. Batang lembing itu
menembus lambung sosok tubuh lainnya. Tubuh berbulu tebal panjang, dengan wajah
serigala nya membayangkan azab sengsara di saat kematian datang merenggut.
Dan di antara kedua sosok tubuh yang berlainan rupa maupun wujud itu, tampak
berserakan tulang belulang ibu Sumiyati. Tengkorak almarhumah telah berpindah
tempat, mungkin oleh terjangan terjangan kaki dalam pergulatan hidup dan mati
dinihari sebelumnya. Tengkorak berlepotan tanah dan dibercaki darah hitam pekat itu
terpuruk di sudut liang lahat. Lubang-lubang matanya yang hitam dan hampa, menatap
ke atas. Arah tatapannya, sungguh ajaib, searah dengan tempat tiga sosok tubuh yang
diam tak bergerak gerak di salah satu sisi atas liang lahat.
Mata tengkorak itu seakan menuduh.
Ijah malah menganggapnya sebagai suatu kutukan. Sedang Karta dan Hanas, hanya
terpaku dibuatnya. Mereka berdua tidak dapat mengelakkan pandangan menuduh dari
rongga mata tengkorak kakak ipar mereka.
Karta dan Harlas mengakui itu.
Sungguh malang. Tak seorang pun dari leluhur mereka dari sekian generasi di atas
sana, tampil sebagai pembela. Bahkan bekas anak buah Karaeng Galesung memilih
tetap diam. Tidak mau ikut campur. Pangkal petaka memang bermula dari tangan
pelaut Makasar itu. '
Tetapi keputusan akhir, bukanlah terletak di tangannya. Juga tidak ditangan generasi
generasi penerusnya. Atau tangan siapa saja yang hidup dan mati dari kurun waktu
yang satu ke kurun waktu berikutnya. Kelak apabila generasi terakhir akhirnya musnah
juga, barulah mereka sadar dan menemukan sendiri kebenaran, di tangan siapa adanya
keputusan akhir itu.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar