MISTERI DESA SILUMAN
Oleh T. Hldayat
Cetakan pertama Penerbft Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tarech R.
Gambar sampul oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hdayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Misteri Desa Siluman
128 hal ; 12 x 18 cm
SATU
Hari sudah menjelang sore. Matahari telah bergeser jauh ke
ufuk Barat. Cahaya kemerahan memburat menghias cakrawala.
Hembusan angin yang lembut mengiringi sang mentari bergulir
ke peraduannya.
Dalam keremangan cuaca saat itu, tampak dua sosok tubuh
bergerak menyusuri jalan. Langkah mereka terlihat agak
bergegas. Sepertinya kedua sosok tubuh itu hendak berpacu
dengan waktu.
"Bagaimana kalau di sebelah depan sana kita tidak
menemukan desa untuk bermalam, Kakang...?" tanya sosok
tubuh ramping yang berada di sebelah kiri teman
seperjalanannya.
"Yahhh..., terpaksa kita bermalam di hutan, seperri blasanya.
Apakah kau keberatan...?" ujar sosok tubuh sedang yang
terlihat padat berisi. Nada suaranya terdengar tenang dan
lembut, pertanda ia seorang penyabar.
"Bukan begitu, Kakang. Tapi, selama ini kita rasanya sudah
terlalu sering bermalam di dalam hutan. Jadi, apa salahnya
kalau sekali-sekali kita bermalam di tempat yang lebih tenang
dan aman," elak sosok lubuh ramping berpakaian serba hijau
itu. Lalu, kepalanya menoleh seraya melemparkan senyum
manis. Seolah-olah sosok ramping, yang ternyata seorang gadis
muda, berparas jelita itu ingin menunjukkan kalau dugaan
kawannya sama sekali tidak benar.
Sosok berjubah putih itu menoleh sekilas ke arah si gadis
berpakaian serba hijau. Terdengar hela napasnya yang lembut
dan berkepanjangan. Kemudian, kembali matanya menatap
lurus ke depan dengan wajah yang tetap tenang.
"Keinginan itu sama sekali tidak salah, Kenanga. Aku
sebenarnya tidak ingin menyusahkanmu. Tapi sepertinya kau
telah melupakan satu hal...," desis sosok berjubah pufih itu
sambil memperlambat ayunan langkahnya. Siapa lagi sosok
berjubah putih itu kalau bukan Panji atau Pendekar Naga Putih.
Kenanga, gadis jelita berpakaian serba hijau itu ikut
memperlambat langkah seraya mengulurkan tangannya, dan
menggenggam jemari pemuda itu. Lalu kepalanya disandarkan
pada pangkal lengan kekasihnya.
"Apa itu, Kakang...?" tanya Kenanga dengan nada
penasaran.
"Seperti kau ketahui, kita ini adalah petualang-petualang
yang tidak mempunyai tempat tinggal. Dimana langit dijunjung,
di situlah rumah kita. Jadi, kalau kita selama ini selalu
melewatkan malam di dalam hutan, atau tempat-tempat sunyi
lainnya, ya wajar saja. Sebab, itulah risiko yang harus kita
terima. Kau sadar akan hal itu bukan?" jelas Panji sambil
melingkarkan tangannya ke pinggang ramping gadis jelita itu.
"Aku menyadari hal itu, Kakang. Kalau memang perkataanku
tadi salah, harap kau maafkan...," sahut Kenanga dengan nada
seperti menyesali ucapannya. Kemudian, ia pun melingkarkan
lengannya ke pinggang Panji.
"Tidak, Kenanga. Perkataanmu sama sekali tidak salah. Kau
tak perlu menyesalinya. Sebaiknya kita mempercepat
perjalanan. Siapa tahu, sebelum malam jatuh, kita telah
menemukan sebuah desa untuk menginap. Ayolah...," setelah
melepaskan pelukannya, Panji segera melesat, mempergunakan
ilmu larinya untuk mempersingkat waktu.
Kenanga sendiri tidak mau membuang-buang waktu lagi.
Sekali kakinya menghentak ke tanah, tubuh gadis jelita itu pun
melesat dengan kecepatan yang mengagumkan. Kemudian,
menjejeri langkah Panji, yang memang sengaja tidak
mengerahkan ilmu lari. Sehingga, keduanya dapat berlari
berjajar.
***
Keremangan malam mulai turun perlahan menyelimuti bumi.
Sedangkan rembulan tampak menghiasi langit dengan
pancaran cahayanya yang redup. Bintang-bintang pun
bertebaran mewarnai cakrawala dengan kerlap-kerlipnya yang
menawan. Sepertinya malam itu cuaca sangat cerah dan
menyenangkan, meskipun wajah bulan tidak muncul utuh.
Saat itu, Panji dan Kenanga telah memasuki perbatasan
sebuah desa kecil. Tampak cahaya lampu pelita menghiasi
rumah penduduk, sehingga membuat wajah keduanya berseri.
Karena, harapan untuk melewatkan malam di tempat yang
tenang dan aman sudah terbayang di benaknya.
Kemudian, keduanya bergerak memasuki mulut desa. Mata
mereka melihat ada enam orang penjaga yang berkumpul di
gardu, Panji pun bergerak mendekat.
"Maaf, Kisanak. Kami adalah dua orang pengembara yang
kemalaman di jalan. Dapatkah kalian menunjukkan sebuah
penginapan yang juga menyediakan makanan?" tanya Panji
dengan nada lembut dan sopan.
Enam orang penjaga yang tengah mengitari api unggun itu
serentak menoleh ke arah Panji. Sehingga, kening pemuda itu
sempat berkerut ketika melihat wajah-wajah mereka yang
pucat seperti mayat. Bahkan wajah-wajah itu tidak
mencerminkan sikap bersahabat sama sekali, dingin dan beku!.
Melihat keanehan sikap dan wajah keenam orang penjaga
itu, Panji menyipitkan matanya dan mengamati wajah para
penjaga itu dengan sikap curiga.
Namun, seperti telah dapat membaca kecurigaai Panji, para
penjaga itu mencoba melontarkan senyum ramah. Sayang,
mereka tidak berhasil karena senyum yang mengembang pada
wajahnya lebih mirip sebuah seringai yang menakutkan!
"Tentu saja kami bisa menunjukkannya. Mari aku antarkan
ke tempat yang kau maksudkan, Kisanak...," ujar salah seorang
dari mereka. Meskipun orang itu ingin memperlihatkan
keramahannya, namun nada suaranya terdengar datar dan
agak kaku.
Panji yang sudah telanjur curiga dengan penampilan keenam
orang penjaga itu, berusaha bersikap wajar. Setelah
berpamitan dengan empat orang lainnya, pemuda itu
melangkah mengikuti dua orang penjaga yang hendak
mengantarkannya.
"Kakang, sikap mereka sangat aneh, dan menimbulkan
perasaan seram di hatiku. Apakah kau tidak merasakannya...?"
bisik Kenanga pelan, sambil merapatkan tubuhnya kepada
pemuda itu.
"Ah, kau terlalu mengada-ada, Kenanga. Mungkin mereka
hanya merasa curiga saja kepada kita. Dan, mungkin juga
mereka selalu mencurigai orang-orang asing yang singgah di
desa ini...," Panji menghentikan sejenak penjelasannya.
Sedangkan mata Kenanga memandangi wajah kekasihnya.
"Barangkali mereka mempunyai pengalaman yang pahit
dengan orang-orang asing yang singgah di desa ini. Karena itu,
bersikaplah ramah, dan tunjukkan bahwa kita berbeda dengan
orang-orang asing yang pernah meninggalkan kesan buruk bagi
mereka," jelas Panji tidak ingin hati kekasihnya menjadi resah.
Sepertinya pemuda itu ingin menyimpan rasa curigannya
sendiri, tanpa harus memusingkan kekasihnya yang memang
terlihat lelah itu.
"Kisanak, apakah nama desa ini...?" Kenanga yang tidak bisa
menghilangkan rasa seramnya, mencoba mengusir dengan
bertanya sambil lalu kepada salah seorang pengantar.
"Desa Siluman...," sahut salah seorang yang bertubuh kurus
dengan nada dingin dan tanpa menoleh.
Deg...!
Dada gadis jelita itu berdebar keras ketika mendengar nama
desa itu.
"Desa Siluman...?" desis Kenanga dengan bulu tengkuk
meremang. Menilik dari perubahan wajahnya, jelas nama desa
itu semakin menambah rasa seram di hatinya.
Dengan perasaan yang semakin galau, Kenanga meremas
lengan Panji dan mencekal erat-erat. Jelas, ia sangat
terpengaruh dengan nama desa itu. Ditambah lagi suasana
desa yang menebarkan hawa aneh, dan semakin menambah
keangkeran. Memang cocok sekali kalau desa terpencil itu
dinamakan Desa Siluman.
Panji sendiri sempat tergetar ketika mendengar nama desa
itu. Namun, untuk menenangkan perasaan hati kekasihnya,
pemuda itu tetap bersikap acuh. Seolah-olah keadaan maupun
nama desa itu sama sekali tidak menimbulkan perasaan apa-
apa baginya.
"Jangan biarkan perasaanmu terpengaruh oleh nama dan
sikap penduduknya. Menurutku, selama kita masih berada di
jalan yang benar, tidak ada yang perlu kita takutkan. Lagi pula
kita sama sekali tidak berbuat ulah terhadap mereka. Jadi, tidak
ada alasan bagi mereka untuk mencelakai kita," hibur Panji lagi
sambil mendekap erat tubuh gadis jelita itu. Seolah-olah
dengan berbuat demikian, ia ingin memberikan ketabahan
kepada kekasihnya.
Apa yang dilakukan Panji sepertinya tidak sia-sia. Terlihat
dari wajah gadis itu kembali tenang ketika merasakan
hangatnya pelukan pemuda itu.
'Terima kasih, Kakang...," desah Kenanga sambil
menyandarkan kepalanya dengan sikap manja.
Mendengar jawaban itu, Panji mengulum senyum. Lalu, ia
membelai rambut gadis jelita itu dengan penuh kasih.
Dirapatkannya tubuh Kenanga dengan mengetatkan pelukan.
"Inilah tempat yang kau maksud, Kisanak. Beruntung hari ini
tidak banyak pendatang yang singgah. Jadi, kau bisa
mendapatkan kamar yang bersih dan nyaman untuk
beristirahat. Maaf, kami tidak bisa mengantarmu sampai ke
dalam. Selamat beristirahat," ujar lelaki kurus, salah seorang
dari penjaga itu.
"Terima kasih atas kebaikan kalian...," ucap Panji dengan
tubuh sedikit membungkuk.
Kedua penjaga itu menganggukkan kepala sambil
membalikkan tubuhnya, dan melangkah menuju mulut desa.
Panji dan Kenanga belum bergerak dari tempatnya. Mereka
berdiri tegak, seraya matanya menatap kepergian kedua orang
penjaga perbatasan itu.
"Langkah kaki mereka terlihat tidak wajar, Kakang. Entah
mengapa gerakan mereka lambat dan kaku. Hihhh..., mereka
seperti mayat-mayat berjalan saja...," desah Kenanga setelah
bayangan kedua orang itu lenyap ditelan kegelapan malam.
"Hm..., mungkin udara yang kurang baik di desa ini yang
membuat penduduk bersikap demikian aneh. Sudahlah. Untuk
apa memikirkan keanehan-keanehan itu. Yang penting, mereka
tidak mengganggu kita" sahut Panji sambil mengajak gadis
jelita itu menuju rumah penginapan.
"Kakang, menurutmu, apa pekerjaan para penduduk Desa
Siluman ini? Apa kau juga melihat kalau di sekitar desa ini tidak
mempunyai persawahan. Jelas penduduk Desa Siluman ini
bukan petani. Entah apa yang mereka kerjakan untuk
kehidupan sehari-hari...?" Kenanga yang sepertinya belum juga
dapat menghilangkan kecurigaan hatinya, dan kembali meminta
pendapat Panji.
"Entahlah. Mungkin mereka bekerja sebagai pemburu, dan
hasilnya dijual ke tempat lain. Atau, bisa juga hasil buruan itu
yang menunjang kehidupan penduduk Desa Siluman ini.
Mengapa kau bertanya demikian? Apakah kau mempunyai
dugaan lain...?" ujar Panji balik bertanya sambil memandangi
wajah Kenanga.
"Aku hanya merasa seram dengan suasana dan sikap
keenam orang penjaga tadi. Sepertinya kita bukan berada di
sebuah desa. Tapi di...," Kenanga tidak melanjutkan
ucapannya. Gadis itu malah menoleh ke kanan dan ke kiri
dengan sikap penuh curiga. Bahkan dalam nada ucapannya
terkandung rasa cemas yang berusaha disembunyikan.
"Mengapa kau tidak melanjutkan ucapanmu itu, Kenanga.
Apa sebenarnya yang ingin kau katakan...?" tanya Panji
meminta penjelasan.
"Kau tidak merasa aneh atau seram, Kakang...?" ujar
Kenanga tanpa mempedulikan pertanyaan kekasihnya.
"Kau ini bagaimana, Kenanga. Sebagai seorang pendekar,
sejak kecil kita telah digembleng dengan be'rbagai macam ilmu
silat, dan juga wejangan dari guru kita. Bahkan, selama dalam
pengembaraan pun, sudah banyak hal-hal aneh dan
mengerikan yang kita temui. Jadi, kalaupun dugaanmu itu
benar, apa yang mesti kita takutkan?" sahut Panji.
Kenanga diam saja. Hanya matanya yang menatap lekat-
lekat wajah Panji.
"Jika memang di desa ini terdapat keanehan, maka menjadi
kewajiban kita untuk menyelidiki dan membereskannya. Apa
yang kau rasakan itu adalah hal yang wajar, dan tidak perlu
terlalu dipikirkan," Panji menambahkan penjelasannya sambil
membelai lembut rambut gadis jelita itu.
"Tapi, aku merasa seperti berada di daerah pekuburan tua
yang menyeramkan, Kakang. Dan, sulit sekali bagiku untuk
melenyapkan pikiran itu," Kenanga masih mencoba
membantah, dan menjelaskan perasaannya kepada Panji.
"Jangan bohongi aku, Kakang. Katakanlah, apakah kau juga
merasakan seperti apa yang kurasakan...?"
Panji tersenyum melihat wajah Kenanga yang meminta
ketegasan. Perlahan pemuda tampan itu menundukkan
wajahnya. Dikecupnya kening dara jelita itu lembut.
"Sudahlah, Kenanga. Terus terang aku pun merasa curiga
semenjak melihat wajah dan penampilan keenam orang
penjaga tadi. Tapi, untuk apa kita memikirkannya. Mungkin saja
mereka hanya merasa tidak suka terhadap orang-orang asing,
seperti yang kukatakan padamu tadi. Nah, apakah kau belum
puas?' ujar Panji dengan nada lembut, dan penuh perasaan
kasih.
"Kata-kata itulah yang sejak tadi kutunggu, Kakang. Tapi kau
seperti sengaja menyembunyikannya. Ada apa sebenarnya,
Kakang?" rajuk gadis jelita itu sambil melepaskan pelukan Panji
dan melangkah lebih dulu menuju rumah penginapan yang
nampak remang-remang itu.
Panji hanya tersenyum melihat kekasihnya merajuk seperti
itu. Kakinya melangkah pelan-pelan menyusul Kenanga. Tapi,
ketika ia melihat Kenanga yang telah memasuki penginapan
dan kembali bergegas keluar dengan langkah setengah berlari,
Panji segera melompat menyambutnya. Kening pemuda
tampan itu sempat berkerut tatkala melihat wajah kekasihnya
pucat. Bahkan, desah napasnya pun terdengar tak teratur.
"Ada apa, Kenanga? Mengapa kau seperti orang yang
ketakutan?" tanya Panji setelah merengkuh tubuh gadis jelita
itu ke dalam pelukannya.
"Pemilik kedai itu..., pelayan..., dan beberapa orang di
dalamnya tengah berkumpul, sama..., seperti para penjaga
tadi, Kakang. Mereka..., mereka menatapku, seperti hendak
menelanku hidup-hidup. Aku..., ngeri, Kakang...," ujar Kenanga
dengan nada terputus-putus.
"Ah..., mungkin mereka hanya terpesona dengan kecantikan
wajahmu, Kenanga. Dan hal itu wajar saja. Karena
kecantikanmu memang sangat menyolok, dan mengundang
perhatian orang," hibur Panji berusaha menghilangkan
ketegangan di hati kekasihnya.
"Kau..., kau tidak tahu, Kakang. Rasanya aku bukan melihat
manusia, tapi mayat-mayat hidup yang kelaparan Lebih baik
kita pergi saja dari desa ini," bantah Kenanga, tetap
mempertahankan pendapatnya.
"Hm..., mengapa kau tiba-tiba menjadi lemah seperti itu,
Kenanga. Kalaupun mereka memang benar mayat-mayat yang
bangkit dari dalam kubur, untuk apa kita harus takut? Justru
kenyataan itu mendorong kita untuk menyelidikinya. Aneh, ke
mana perginya gadis pendekar gagah berani yang kukenal
selama ini?" gumam Panji mencoba mengingatkan Kenanga
tentang siapa diri mereka sebenarnya.
Dan usaha Panji ternyata tidak sia-sia. Setelah mendengar
ucapan itu, Kenanga segera melepaskan pelukan kekasihnya.
Wajah Kenanga yang semula agak pucat, kembali bersinar.
Bahkan sepasang matanya telah memancarkan keberanian,
yang sempat lenyap karena suasana dan penampilan penduduk
Desa Siluman.
"Kau benar, Kakang. Aneh, mengapa hatiku menjadi lemah
begini? Padahal, selama ini aku tidak pernah merasa takut
terhadap lawan yang bagaimanapun seramnya. Kau bisa
memberikan jawaban atas pertanyaanku itu, Kakang?" tanya
Kenanga sambil menarik napas berulang-ulang, guna
menenteramkan hatinya. Jelas, gadis jelita itu merasa curiga
dengan kenyataan yang dihadapinya.
"Hm..., aku pun memang merasakan adanya keanehan,
sejak memasuki desa ini. Sepertinya suatu pengaruh aneh yang
selalu menimbulkan perasaan berdebar dan ngeri di hati kita.
Aku pun merasakan semua itu. Tapi, demi untuk menenangkan
perasaanmu, aku menyembunyikannya," jawab Panji sambil
mengelus rambut gadis jelita itu.
"Jadi, memang ada hawa aneh di desa ini yang
mempengaruhi perasaan kita? Begitukah menurutmu, Kakang?"
ujar Kenanga meminta ketegasan kekasihnya.
"Benar. Justru itulah, mengapa aku bersikeras untuk tetap
melewatkan malam ini di Desa Siluman. Sebab, aku merasa ada
sesuatu yang tidak wajar menyelimuti desa terpencil ini. Dan
hal itu sudah menjadi kewajiban kita untuk mengungkap
keanehan itu," jelas Panji dengan suara agak bergetar. Karena
pada saat berkata, ia merasa ada hembusan angin dingin yang
menebar dan menyergap sekujur tubuhnya. Sehingga, Panji
sempat menggigil karenanya.
"Hihhh...," Kenanga yang juga sempat merasakan hembusan
angin dingin yang menusuk tulang itu, melipat kedua
tangannya ke dada. Pertanda gadis jelita itu pun merasakan
seperti apa yang dirasakan Panji.
"Angin apa ini, ini, Kakang? Nampaknya tidak wajar...,"
desah Kenanga berbisik lirih sambil merapatkan tubuhnya
kepada Panji.
"Entahlah. Yang jelas, kita harus berhati-hati. Kita tidak tahu,
apa yang tengah terjadi di desa ini. Sebaiknya kita kembali ke
tempat penginapan yang menyediakan makanan itu. Ayolah,"
ajak Panji seraya menarik lengan kekasihnya, dan melangkah
menuju rumah penginapan yang juga merupakan kedai makan
itu.
DUA
Panji dan Kenanga berdiri tegak di ambang pintu rumah
penginapan itu. Keduanya memandang berkeliling. Namun,
kedai makan itu terlihat sunyi, tanpa ada seorang pun di
dalamnya.
"Eh, ke mana perginya orang-orang yang kulihat tadi?
Apakah pandanganku yang salah...?" gumam Kenanga dengan
kening berkerut.
"Hm..., mengapa harus dipikirkan? Mungkin saja mereka
telah kembali ke kamarnya masing-masing," Panji yang sadar
bahwa kekasihnya tengah dilanda kebingungan, segera saja
menyahuti. Ia berharap ucapannya itu dapat membuat gadis ini
kembali menjadi tenang.
Kenanga yang hendak membantah ucapan Panji, segera
menelan kata-katanya kembali. Karena sepasang matanya
menangkap seorang pelayan menghampiri mereka.
"Hm..., kalian memerlukan kamar, atau hidangan...?" tanya
pelayan setengah baya itu dengan sikap kaku, dan sama sekali
tidak ramah.
"Terima kasih, Paman," Panji buru-buru menyahuti. "Kami
memerlukan sebuah kamar yang cukup untuk kami berdua."
"Hm..., rupanya sepasang suami istri muda yang
kemalaman," gumam pelayan setengah baya itu dengan nada
suara tak jelas. Sedangkan sepasang matanya memandang
penuh selidik.
"Betul, Paman. Kami adalah suami istri muda yang
kemalaman. Mmm..., apakah kamar yang ku maksudkan itu
ada, Paman...?" tanya Panji mengiyakan perkataan pelayan itu.
Tanpa berkata-kata lagi, pelayan setengah baya itu segera
membalikkan tubuhnya. Kemudian melangkah, dan menaiki
anak tangga menuju ke atas. Agaknya kamar-kamar
penginapan itu berada di sebelah atas rumah ini.
Kenanga semula merasa terkejut ketika mendengar Panji
memesan sebuah kamar untuk mereka berdua. Padahal,
biasanya pemuda itu selalu meminta dua kamar, bila mereka
kebetulan menginap di rumah-rumah penginapan. Tapi, gadis
jelita itu sama sekali tidak membantah. Boleh jadi pemuda itu
mempunyai rencana sehubungan dengan keanehan yang
menyelimuti Desa Siluman, maupun para penduduknya.
Pikiran itulah yang membuat Kenanga tidak membantah
ketika mereka berdua dipersilakan memasuki sebuah kamar
dengan dua pembaringan.
"Kalian tidak memerlukan apa-apa lagi...?" tanya pelayan
setengah baya itu, sebelum meninggalkan Panji dan Kenanga.
"Mmm..., rasanya tidak, Paman. Terima kasih...," sahut Panji
cepat. Meskipun semula mereka memang berniat untuk
memesan hidangan, namun selera makan mereka lenyap
dengan penampilan pelayan setengah baya itu. Sehingga Panji
memutuskan untuk menahan rasa laparnya.
"Hhh..., sebenarnya aku sudah lapar sekali. Tapi melihat dan
merasakan udara di desa ini, selera makanku lenyap seketika.
Bahkan, untuk mencicipi hidangan di desa ini pun, aku curiga,
Kakang. Jangan-jangan mereka membubuhi racun ganas di
dalamnya," ujar Kenanga sepeninggal pelayan yang
mengantarkan mereka.
"Dugaanmu bisa saja benar, Kenanga. Apalagi melihat sikap
orang-orang yang kita temui di desa ini. Mereka rata-rata
menunjukkan sikap kaku dan tidak bersahabat. Aku sepertinya
merasakan ada pengaruh nneh yang menguasai penduduk di
Desa Siluman ini. Tapi, aku belum dapat memastikannya. Yang
jelas, malam ini kita tidak bisa beristirahat. Bukan tidak
mungkin ada sesuatu yang akan terjadi malam ini...," ujar Panji
yang duduk di sebuah kursi di samping pembaringan
kekasihnya.
"Yahhh..., mungkin nasibku yang jelek, Kakang. Untuk
beristirahat yang tenang pun, aku tidak dapat menikmatinya...,"
gumam Kenanga yang sudah merebahkan tubuhnya sambil
menghela napas panjang.
"Hm...," Panji bergumam tak jelas sambil membalikkan
tubuh ke arah jendela kamar. Dipandanginya pelita yang
berada di atas meja. Meskipun pemuda itu terlihat seperti
tengah termenung, namun indera pendengarannya bekerja
dengan baik. Dan bila ada sesuatu yang mencurigakan, maka
telinga pemuda tampan itu pasti akan menangkapnya. Karena,
tingkat kepandaian yang dimiliki Panji, sudah semakin
meningkat. Sehingga tidak heran kalau pendengarannya makin
tajam dan gerakan-gerakannya lmeah dan mantap. Bahkan hal
itu hampir mencapai titik kesempurnaan.
***
Malam semakin bertambah larut. Rembulan yang semula
setia menemani sang malam, nampak disaput awan hitam.
Bintang pun satu persatu lenyap. Sehingga, tidak secercah pun
sinar yang menerangi kepekatan alam.
Hembusan angin malam yang sesekali mengeras itu,
menimbulkan suara-suara menyeramkan. Ditambah lagi, suara
batang-batang pohon bambu yang saling bergesekan karena
hembusan angin. Semua itu makin menambah suasana seram
di Desa Siluman.
Panji yang saat itu telah merebahkan tubuhnya di atas
pembaringan, kembali tersadar. Telinganya menangkap
langkah-langkah kaki seperti menaiki anak tangga. Kemudian,
langkah itu menuju ke arah kamarnya. Tentu saja hal itu
membuatnya termenung sejenak. Karena, suara langkah yang
menuju kamarnya itu jelas tidak disembunyikan pemiliknya
sama sekali.
Kecungaan Panji lenyap setelah berpikir tidak mungkin
seseorang yang akan berbuat jahat, tanpa menyembunyikan
suara langkahnya. Tapi, ketika suara langkah kaki itu terdengar
semakin bertambah hnnyak, karuan saja hati Panji menjadi
curiga. Ia pun langsung melompat bangkit dari pembaringan.
Ditatapinya pintu kamar, dengan sikap waspada.
Tepat suara langkah itu berhenti di depan pintu kamar,
Kenanga bangkit dari atas pembaringan, dan menimbulkan
suara berderit. Untunglah Panji bertindak cepat dengan
memberikan isyarat, meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya.
Sehingga, Kenanga membatalkan pertanyaan yang semula siap
terlontar dari mulutnya.
Dengan gerakan ringan, tanpa menimbulkan suara berarti,
Kenanga melompat dari atas pembaringan, dan mendekati
kekasihnya. Wajah gadis itu terlihat tegang, ketika mendengar
suara langkah itu seperti berkumpul di depan pintu kamar.
"Ada apa, Kakang...? Siapa mereka...?" tanya Kenanga
melalui gerakan bibirnya, tanpa menimbulkan suara yang bisa
didengar orang lain. Jelas, pertanyaan gadis itu dilontarkan
dengan menggunakan 'Ilmu Mengirim Suara dari Jauh'.
Sehingga, hanya kepada orang yang dituju saja suara itu
terdengar.
"Entahlah. Aku belum dapat menduga, apa maksud mereka
berkumpul di depan pintu kamar kita? Yang pasti, mereka tidak
beritikad baik..." sahut Panji, juga menggunakan ilmu yang
sama, menjawab pertanyaan kekasihnya.
"Eeeaaargh...!"
Saat keduanya tengah menanti dengan hati dipenuhi
bermacam pertanyaan, tiba-tiba terdengar suara raungan parau
yang sangat keras. Belum lagi Panji dan Kenanga dapat
menebak makhluk apa yang mengeluarkan raungan
mengerikan itu, tiba-tiba pintu kamar penginapan itu jebol
dengan menimbulkan suara hiruk-pikuk yang ramai.
Namun, Pendekar Naga Putih dan kekasihnya bukanlah
orang bodoh. Cepat tubuh keduanya melesat hampir
bersamaan, ke arah kiri dan kanan pintu kamar itu. Serpihan-
serpihan pintu, membuat tubuh keduanya cukup terhalang dari
pandangan sosok-sosok tubuh kaku yang bergerak memasuki
kamar.
Panji yang telah mengerahkan tenaga pada pandangan
matanya, menjadi terkejut ketika melihat segerombolan sosok
tubuh itu melangkah kaku. Apalagi di antara gerombolan itu
terdapat enam penjaga gerbang desa, dan pelayan rumah
penginapan yang mengantarkannya ke kamar. Namun, suara-
suara erangan aneh dari mulut sosok-sosok tubuh itu membuat
Panji tidak menegurnya. Malah, ia segera menarik tangan
Kenanga, dan diajaknya ke luar.
Pada saat Panji dan Kenanga melesat keluar kamar, rupanya
beberapa sosok tubuh itu sempat menangkap bayangan
mereka. Terbukti, empat di antara sosok-sosok tubuh kaku itu
berbalik dengan tatapan mata mencorong tajam dan bersinar
kehijauan.
"Eaaakh...!"
Panji dan Kenanga sempat menoleh ketika mendengar suara
erangan parau yang mengandung kekuatan aneh. Dan ketika
keduanya menoleh, empat sosok kaku itu tengah melesat
dengan tangan terulur membentuk cengkeraman-cengkeraman
maut! Melihat cara keempat sosok tubuh kaku itu menyerang,
jelas kalau mereka menginginkan kematian Panji dan Kenanga.
Semula Kenanga tidak menanggapi sama sekali
cengkeraman-cengkeraman yang dilakukan sosok tubuh itu.
Karena gerakan mereka terlihat kaku. Sehingga, ia tidak begitu
mempedulikan serangan mereka.
Panji segera menilai keempat orang itu, karena ia telah
bertindak penuh perhitungan, dan tidak mau meremehkan
segala sesuatu yang masih asing baginya. Dan, betapa terkejut
hati Pendekar Naga Putih ketika merasakan adanya getaran
hawa aneh yang terkandung dalam serangan keempat orang
itu. Kenyataan itu membuat Panji segera mengerahkan 'Tenaga
Sakti Gerhana Bulan'nya guna menjaga segala kemungkinan.
Begitu dua dari empat penyerang memilihnya sebagai
sasaran, cepat-cepat Panji menggeser kaki kirinya ke samping.
Gerakan itu masih dibarengi dengan putaran tubuhnya, dan
sekaligus menyampok empat lengan yang menginc tubuhnya.
Wukkk!
"Aaakh...!"
Terdengar erangan parau bersamaan dengan terpentalnya
tubuh dua orang penyerang Panji. Namun bagai orang yang
tidak mengenal rasa sakit, keduanya kembali melompat
bangkit, sambil meraung sebagai tanda kegusaran mereka.
Panji sendiri sempat kaget ketika merasakan getaran aneh,
sewaktu lengannya berbenturan dengan keempat lengan lawan.
Dan yang membuat pemuda itu tidak habis mengerti, adanya
rasa ngilu yang menjalar dari kedua lengannya. Karuan saja
kenyataan itu membuat Panji menjadi lebih berhati-hati.
Pendekar Naga Putih yang sudah bersiap menghadapi kedua
orang lawannya, terkejut ketika mendengar teriakan kaget yang
berasal dari samping kiri. Tepat pada saat kepalanya menoleh,
ia melihat tubuh kekasihnya terjajar mundur sampai hampir
satu tombak jauhnya.
"Kenanga...!''
Sambil berseru keras, Panji yang mengkhawatirkan
keselamatan kekasihnya, bergerak cepat menyambut tubuh
gadis jelita itu. Pemuda itu segera mengerti penyebab
kekasihnya terdorong mundur adalah akibat berbenturan
dengan dua orang manusia aneh itu.
"Aku tidak apa-apa, Kakang. Hanya saja aku merasa terkejut
dengan adanya tenaga aneh, yang berasal dari tangan-tangan
mereka. Jelas ini tidak wajar, Kakang. Sepertinya mereka tidak
merasakan apa-apa akibat tangkisanku tadi. Padahal, tenaga
yang kukerahkan tidak sedikit dan rasanya cukup untuk
membuat mereka jera. Kenyataannya, justru akulah yang kaget
oleh kekuatan yang mereka miliki. Benar-benar aneh...?" ujar
Kenanga dengan wajah berkerut-kerut. Jelas gadis jelita itu
tidak dapat menerima kenyataan yang baru saja dialaminya.
"Aku juga merasakannya. Karena itu, kita harus segera
meninggalkan penginapan ini, untuk mencari tahu keanehan
yang terjadi di Desa Siluman ini," ucap Panji yang segera
mengambil keputusan. Semua itu dilakukannya demi untuk
mencari tahu apa penyebab dari keanehan penduduk desa ini.
Dan tanpa menunggu jawaban dari kekasihnya, Panji segera
melesat sambil menggenggam tangan Kenanga. Sehingga
dalam waktu singkat, keduanya telah berada di luar rumah
penginapan itu.
Meskipun telah berada di luar, ternyata bahaya masih tetap
menginc mereka. Dan, apa yang disaksikan Panji dan Kenanga,
memang sangat mengejutkan.
"Ahhh...!?"
Kenanga menahan jeritannya ketika menyaksi apa yang ada
di luar rumah
penginapan itu.
Sehingga tanpa
sadar, gadis
jelita yang
biasanya tidak
mengenal rasa
takut itu,
bergerak
mundur sambil
menutup
mulutnya
dengan telapak
tangan. Hanya
sepasang
matanya saja
yang terbelalak
seperti tak
percaya dengan
apa yang
disaksikannya.
Panji sendiri bukan tidak terkejut melihat puluh sosok tubuh
bergerak maju, begitu mereka muncul dari dalam rumah
penginapan. Sikap puluhan sosok tubuh itu mencerminkan
ancaman terhadap mereka. Sehingga, hati Pendekar Naga Putih
sempat geram dibuatnya.
"Siapa kalian...? Dan apa yang kalian inginkan dari kami
berdua?" cetus Panji geram, sambil menahan rasa marah yang
mulai bangkit ketika menyaksi puluhan orang itu telah
mengurung mereka berdua.
"Mereka tidak mengenal kompromi lagi, Kakang. Gerakan
mereka demikian kaku, seperti mayat-mayat yang baru bangkir
dari kubur," desis Kenanga tergetar hatinya, melihat
penampilan puluhan sosok tubuh itu.
"Hm… aneh…!" gumam Panji pula setelah mengamati sosok-
sosok tubuh yang berjalan kaku itu.
Pertanyaan Panji tidak mendapat tanggapan sama sekali.
Bahkan puluhan sosok tubuh itu bergerak terus, bagaikan
mayat-mayat yang bangkit dari kuburnya. Wajah-wajah mereka
pun terlihat pucat, dingin dan beku, tanpa menyiratkan
perasaan sedikit pun. Seolah-olah puluhan sosok tubuh itu
mengenakan topeng untuk menyembunyikan wajah asli
mereka.
"Sepertinya mereka tidak mengenal kompromi lagi, Kakang.
Dan, gerakan mereka demikian kaku. Persis seperti mayat-
mayat yang baru bangkit kubur," desis Kenanga yang menjadi
tergetar hatinya ketika melihat penampilan puluhan sosok
tubuh itu.
"Hm..., aneh...!" gumam Panji setelah mengamati beberapa
sosok tubuh yang tengah melangkah mendekatinya.
Kening pemuda tampan itu berkerut dalam. Sepasang
matanya mencorong tajam seperti hendak menembus hati
pengepungnya. Jelas sekali kalau pemuda itu tengah berpikir
keras untuk memecahkan misteri yang dihadapinya.
Sebelum Panji dan Kenanga bergerak dari tempatnya berdiri,
tiba-tiba dari dalam rumah penginapan itu telah bermunculan
sosok-sosok tubuh dan mengejar mereka. Cepat-cepat
sepasang muda-mudi bergerak ke tempat aman.
"Hm..., sepertinya pertempuran tidak mungkin bisa dihindari
lagi...," gumam Panji dengan wajah duka. Dari nada
ucapannya, Pendekar Naga Putih tidak menginginkan hal itu
terjadi. Karena, penyebab puluhan orang itu hendak mencelakai
mereka, belum diketahui.
Menyadari kalau puluhan sosok tubuh itu barangkali tidak
berdosa, Panji bersikap menghindari pertempuran. Karena ia
tahu kekuatan sosok-sosok tubuh itu, sehingga bukan tidak
mungkin akan menjadi korban. Hal itulah yang ingin dihindari
Panji.
"Benar, Kakang. Setelah merasakan kekuatan yang mereka
miliki, rasanya sulit untuk lolos tanpa melukai atau membunuh
beberapa di antara mereka. Hihh..., apa yang sebenarnya
mereka inginkan dari kita...?" desah Kenanga yang menyadari
keadaan benar-benar terjepit
"Kreaaagh...!"
Tiba-tiba, sebelum Panji memutuskan apa yang harus
dilakukan, terdengar raungan parau yang sepertinya
merupakan sebuah perintah. Hal itu terbukti dengan semakin
cepatnya sosok-sosok tubuh kaku itu bergerak maju. Bahkan
beberapa di antara mereka sudah melompat menerjang!
"Kita coba untuk lolos dari kepungan tanpa harus mencelakai
mereka. Sebab, menurut penglihatanku, orang-orang ini seperti
tidak sadar dengan apa yang dilakukannya. Pasti ada biang
keladi dari semua kujadian ini...!" ujar Panji mengingatkan
kekasihnya agar tidak sembarangan melepaskan pukulan.
"Aku akan berusaha sebisanya, Kakang...," sahut Kenanga
sambil bersiap memasang kuda-kuda.
Belum habis gema suara gadis itu, tiba-tiba dari depan
empat sosok tubuh kaku itu telah menerkam Kenanga. Bahkan,
pada saat yang bersamaan, para pengejarnya yang berada di
belakang ikut pula menyerbu. Sehingga kedudukan gadis jelita
itu menjadi terjepit.
Menyadari untuk menghadapi para pengeroyoknya harus
menggunakan kelmeahan, maka Kenanga mulai menggeser
tubuhnya dengan gerakan ringan. Sehingga untuk beberapa
saat lamanya, para pengroyok itu kehilangan buruannya.
"Haiiit..!"
Disertai sebuah seruan nyaring, Kenanga melesat sambil
melontarkan pukulan guna mengurangi tekanan lawan. Karena
gerakan gadis jelita itu hampir menyerupai bayang-bayang
yang sukar untuk dijamah, maka dalam beberapa gerakan saja,
beberapa orang pengeroyoknya terjungkal akibat hantaman
telapak tangan gadis jelita itu.
Tapi kekuatan para pengeroyok itu benar-benar
menakjubkan! Sehingga Kenanga sendiri hampir tidak
mempercayai penglihatannya. Bahkan sampai-sampai ia mulai
meragukan kekuatan tenaga saktinya. Karena setiap kali tubuh
pengeroyoknya terjungkal keras mereka selalu bangkit seketika
tanpa merintih kesakitan sedikit pun!
Padahal, Kenanga tahu kalau pukulan yang dilontarkannya
itu bisa menewaskan lawan yang tidak memiliki kekuatan
tenaga dalam. Tapi, para pengeroyoknya itu seperti tidak
merasakan kerasnya pukulan gadis jelita itu.
"Gila! Mereka pasti bukan manusia...!" umpat Kenanga yang
terpaksa terus menggunakan kelmeahannya sambil sesekali
melontarkan pukulan dan tendangan.
Sadar kalau lama-kelamaan ia bisa kehabisan tenaga, bila
selalu melontarkan pukulan dan tendangan, maka serangan
balasannya pun mulai dikurangi. Sehingga, Kenanga lebih
banyak menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk
menghadapi keroyokan makhluk-makhluk aneh yang sangat
kuat itu.
Demikian pula halnya dengan Panji. Beberapa orang
pengeroyoknya yang terkena pukulan keras, segera bangkit,
membuat pemuda itu menjadi heran. Padahal, tenaga pukulan
maupun tamparannya, dapat menghancurkan sebuah batu
besar. Tapi, semua itu seperti tidak berarti apa-apa bagi para
pengeroyoknya. Kenyataan itu membuat Panji terpaksa
menggunakan ilmu meringankan tubuh guna menekan desakan
pengeroyoknya.
Kenyataan yang dialami Panji kali ini benar-benar membuat
pemuda itu hampir tak percaya. Ketika ia menggunakan
kelincahannya untuk mengurangi tekanan lawan, mendadak
beberapa di antara para pengeroyoknya melesat dengan
kecepatan kilat sambil melontarkan pukulan-pukulan maut yang
menebarkan hawa aneh!
"Aihhhh...!"
Panji berseru tertahan ketika empat sosok tubuh yang
muncul dari barisan pengeroyoknya, bergerak bagai kilat
dengan posisi tubuh menelungkup. Tubuh-tubuh keempat
orang itu tak ubahnya seperti terbang, menerjang Panji dengan
cengkeraman-cengkeraman maut.
Begitu berhasil menghindari serangan empat orang yang
ternyata dapat bergerak cepat itu, Panji segera melanjutkan
dengan lompatan dan berputar di udara.
"Hm..., hal ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut..," gumam
Pendekar Naga Putih yang segera menyiapkan 'Tenaga Sakti
Inti Panas Bumi'. Kesadaran untuk menggunakan tenaga
mukjizat jelman Pedang Naga Langit itu, segera muncul setelah
melihat gerakan empat orang lawannya yang jelas-jelas sangat
berbahaya. Selain itu, 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'
merupakan suatu kekuatan ajaib yang mampu mengusir atau
melenyapkan pengaruh-pengaruh aneh bagi lawan-lawannya.
Beberapa pemikiran itulah yang membuat Panji memutuskan
untuk menggunakan tenaga ajaibnya.
TIGA
"Hmh...."
Seiring geraman lirih yang keluar dari mulut Panji, terciptalah
lapisan sinar kuning keemasan yang menyelimuti sekujur
tubuhnya.
Namun, pada saat Panji telah siap melontarkan pukulan-
pukulan, terdengar jerit kesakitan. Pendekar Naga Putih tahu
suara itu berasal dari Kenanga. Maka, ketika itu juga tubuh
Panji segera melesat untuk menyambut tubuh gadis jelita yang
tengah melayang, dan mungkin akan terbanting bila Panji tidak
segera menyambutnya.
"Uhhh..., mereka pasti bukan manusia, Kakang," rintih
Kenanga dengan suara lirih. Dari sela-sela bibirnya terlihat
cairan merah merembes keluar. Jelas, gadis jelita itu telah
terkena pukulan dari salah seorang lawan.
"Hmh...," Panji menggeram gusar ketika melihat gadis jelita
yang dikasihinya itu telah mendapat luka. Wajahnya yang
semula tenang, berubah kemerahan. Jelas Pendekar Naga Putih
telah terbangkit kemarahannya.
"Kita harus meloloskan diri dari kepungan mereka, Kakang.
Tubuh mereka kebal terhadap pukul pukulan kita...," ujar
Kenanga yang sudah bisa menguasai rasa sakitnya. Meskipun
demikian, wajah itu telihat agak meringis sambil meremas
lambungnya. Rupanya pukulan salah seorang pengeroyok
mengenai lambungnya.
Sosok-sosok tubuh kaku yang tak ubahnya seperti mayat-
mayat hidup itu terus bergerak mendekati mereka. Bahkan
enam orang dari makhluk-makhluk aneh itu telah melesat
bagaikan terbang dengan cengkeraman-cengkeraman mautnya!
Keenam sosok tubuh itu jelas pimpinan makhluk aneh itu.
Terbukti dari kepandaian mereka yang melebihi puluhan sosok
lainnya.
"Yang mengenakan pakaian coklat itulah yang melukaiku,
Kakang...," desah Kenanga yang telah bersiap kembali
menghadapi segala kemungkinan.
"Hm..., sepertinya keenam orang itu pimpinan mereka.
Kepandaian mereka jauh lebih tinggi dan berbahaya daripada
yang lainnya. Biar aku akan mencoba untuk melumpuhkan
mereka terlebih dahulu...," ucap Panji sambil melipat kedua
tangannya di depan dada. Sepasang tangan pemuda itu
kemudian bergerak membuka, dan siap melontarkan pukulan
hebat.
"Haittt...!"
Begitu keenam sosok tubuh itu makin dekat. Panji berseru
nyaring sambil mendorongkan kedua telapak tanganya ke
depan.
Whusss...!
Serangkum cahaya kekuningan berpendar, dan meluncur
memapaki keenam sosok tubuh yang tengah melayang di udara
itu. Dan....
Bresssh...!
Terdengar dentuman keras yang kemudian disusul dengan
memecahnya sinar kuning keemasan ke segala arah. Jelas
dorongan telapak tangan Panji telah mengenai sasaran
Apa yang dilakukan Pendekar Naga Putih, ternyata telah
membawa hasil baik. Terbukti dua dari enam sosok tubuh yang
tengah melayang itu, langsung terjerembab jatuh ke atas
tanah. Tubuh kedua sosok itu tidak lagi bangkit seperti semula.
Keduanya diam tak berkutik, seperti telah menjadi mayat.
'Tewaskah mereka, Kakang...?" tanya Kenanga telah melihat
kedua sosok tubuh itu tidak lagi bergerak akibat pukulan
kekasihnya.
"Entahlah. Tapi, kalau melihat adanya sinar keemasan yang
menyelubungi mereka, jelas mereka belum tewas. Kalau sinar
itu masih menyelimuti tubuh korban, berarti orang yang
menjadi sasaran pukulan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' masih
menyimpan racun atau luka dalam tubuhnya. Dan, boleh jadi
pengaruh sihir yang tengah dilenyapkan oleh tenaga mukjizat
itu," jelas Panji.
Kenanga mengangguk-angguk puas.
Robohnya dua orang pengeroyok itu, ternyata menimbulkan
pengaruh besar bagi sosok-sosok tubuh kaku lainnya. Terbukti
mereka tidak lagi bergerak maju. Bahkan keempat orang yang
memiliki kepandaian mengerikan itu, tertegun sambil menatapi
tubuh kedua kawannya.
Kesunyian itu berlangsung cukup lama. Sehingga baik Panji
maupun Kenanga ikut terdiam, seperti menanti kelanjutan dari
sosok-sosok tubuh kaku itu.
"Mengapa tidak kita tinggalkan saja tempat mengerikan ini,
Kakang...?" tanya Kenanga yang sepertinya tidak mau menyia-
nyiakan kesempatan baik itu.
"Sebentar. Aku ingin melihat tindakan mereka selanjutnya,
setelah dua kawan mereka kupukul roboh," sahut Panji yang
sepertinya tidak lagi merasa khawatir. Karena, telah
menemukan cara untuk menundukkan para pengeroyoknya.
Tidak setujunya Panji dengan usul yang diajukan Kenanga
itu, karena ia mengira kalau para pengeroyoknya akan menjadi
jera. Dengan begitu, Panji berharap dapat menyingkap misteri
yang menyelimuti Desa Siluman.
Tapi, apa yang diharapkan Panji ternyata tidak menjadi
kenyataan. Karena sosok-sosok tubuh itu kembali bergerak
mendekati mereka, ketika hembusan angin dingin bertiup
keras. Sehingga, pepohonan di sekitarnya berderak ribut.
Karuan saja keadaan itu sempat membuat Panji terperangah.
"Mereka..., mulai lagi, Kakang...," desis Kenanga yang juga
menjadi kaget.
Tapi bukan gerakan sosok-sosok tubuh kaku itu yang
membuat Panji terperangah. Ada kejadian lain yang membuat
Pendekar Naga Putih semakin tidak mengerti, sampai-sampai ia
tertegun bagai tak mempercayai penglihatannya.
Dua di antara empat pemimpin sosok-sosok tubuh kaku itu,
terlihat merunduk, lalu menempelkan telapak tangannya ke
dada dua orang yang tadi terkapar akibat hantaman Panji.
Tampak kepulan uap putih keluar dari telapak tangan kedua
sosok tubuh itu.
Seiring dengan erangan parau yang panjang dan mendirikan
bulu roma, dua sosok tubuh yang tengah terkapat itu
mendadak bangkit dengan tubuh tegak bagaikan sebatang
tonggak. Kejadian itulah yang membuat Pendekar Naga Putih
terperangah.
"Gila! Ilmu iblis apa yang mereka pergunakan itu...?" desis
Panji dengan perasaan takjub. Kendati pengalamannya selama
ini telah cukup banyak, tapi ilmu yang disaksikannya itu belum
pernah dilihatnya sama sekali. Wajar kalau pemuda itu terkejut.
"Jelas mereka memiliki ilmu sesat yang sangat tinggi,
Kakang," ujar Kenanga yang juga terbelalak takjub melihat
bangkitnya dua sosok tubuh yang tadi dirobohkan kekasihnya.
'Tidak ada jalan lain, kita harus meninggalkan tempat celaka
ini...," ujar Panji sambil menghimpun 'Tenaga Sakti Inti Panas
Bumi'nya kembali, "Bersiaplah untuk lepas dari kepungan
mereka, Kenanga...."
"Baik, Kakang...."
"Ikuti gerak langkah kakiku...!" perintah Panji sambil
menggeser langkahnya ke samping kanan. Kemudian
melontarkan hantaman telapak tangan susul-menyusul. Hal itu
dilakukan Pendekar Naga Putih untuk mengacaukan kepungan
lawan.
Whusss...!
Gumpalan sinar kuning keemasan berpendar dan memecah
menjadi tiga bagian. Masing-masing dari gumpalan sinar itu
menerjang belasan orang pengepung yang bergerak mendekat.
Dan....
Blasss.... Bresssh...!
Letupan keras terdengar saling bersusulan, yang diiringi
terjungkalnya sosok-sosok tubuh para pengepung ke segala
arah, Kemudian jatuh terkapar tanpa dapat bangkit lagi.
Tapi, lagi-lagi Pendekar Naga Putih dan Kenanga harus
menyaksikan pemandangan yang membuat dada mereka
berdebar tegang. Belasan sosok tubuh yang terkapar tak
bergerak itu, kembali bangkit setelah kawan-kawannya yang
lain mengusapkan telapak tangan pada bagian dada tubuh
kawannya yang tergeletak. Hebatnya sosok-sosok tubuh itu
kembali bangkit seperti tidak merasakan hantaman Pendekar
Naga Putih.
Tapi, semua itu tidak sempat terpikirkan oleh Panji maupun
Kenanga. Sebab, enam orang pimpinan rombongan manusia
aneh itu telah melayang dengan cengkeraman-cengkeraman
mautnya. Sehingga, Panji kembali melontarkan pukulan
dahsyatnya ke arah mereka.
Blarrr...!
"Aaakh...!"
"Hugkh...!"
Terdengar jerit kesakitan ketika lontaran pukulan Panji telak
mengenai empat orang terdepan. Akibatnya, keempat sosok
tubuh itu terpental bagaikan sehelai daun kering yang
diterbangkan angin. Sedangkan dua orang lainnya sudah
mendekati dan mengancam pemuda itu.
Bettt...! Bettt...!
Cepat-cepat Panji memutar tubuhnya sebanyak dua kali
guna menghindari cengkeraman maut kedua lawannya.
Kemudian dengan sebuah gerakan yang lincah, Panji
melepaskan tendangan kilat yang sama kali tidak diduga
lawannya.
Untuk kesekian kalinya, Pendekar Naga Putih mengeluarkan
suara pujian terhadap kedua lawannya. Karena serangan
balasan yang dilontarkannya itu ternyata dapat dihindari lawan
dengan menarik tubuh ke belakang dalam keadaan kuda-kuda
rendah, dan doyong ke belakang.
Panji bukanlah pendekar kemarin sore yang tidak memiliki
pengalaman bertempur. Sebaliknya malah sudah banyak sekali
pengalaman-pengalaman hebat yang dialaminya. Dan, semua
pengalaman itu telah membuatnya mampu membaca gerakan
lawan. Sehingga, ketika tendangannya luput, tubuh Panji
bergerak membungkuk dengan kuda-kuda rendah. Bersamaan
dengan itu, sepasang tangannya bergerak bagai kilat
menggedor dada lawan.
Blagggh...! Bukkk...!
Bukan main hebatnya akibat hantaman sepasang telapak
tangan Pendekar Naga Putih. Tanpa dapat dicegah lagi,
hantaman telak yang mengenal dada kedua orang lawannya,
membuat keduanya terlempar sejauh dua batang tombak ke
belakang.
Kedua sosok tubuh yang menjadi sasaran kegeraman
Pendekar Naga Putih terkapar di atas tanah dengan rintihan
parau.
"Huagkh...!"
Setelah memuntahkan darah segar dari mulut masing-
masing, tubuh kedua korban hantaman telapak tangan Panji itu
pun rebah dan tidak bergerak lagi. Jelas, mereka tewas akibat
hantaman dahsyat Pendekar Naga Putih.
"Terpaksa aku melakukannya, Kenanga.... Semula aku
berniat untuk menyembuhkan mereka, bila dugaanku benar
bahwa mereka tengah dipengaruhi suatu kekuatan aneh. Tapi,
desakan mereka telah membuatku khilaf...," desah Panji
dengan nada penuh sesal. Jelas, hal itu memang di luar
perhitungannya.
"Jadi pukulan-pukulan Kakang yang membuat mereka roboh
sebelumnya, hanya untuk mengusir pengaruh aneh pada diri
mereka...?" tanya Kenanga dengan wajah heran. Gadis ini
memang tidak mengetahui rencana apa di benak kekasihnya.
Tapi, untuk menjelaskan semua itu memang tidak ada waktu
lagi.
"Benar. Itulah sebabnya mengapa mereka dapat bangkit
kembali, tanpa mengalami luka ataupun memuntahkan darah.
Tapi, dua orang itu tidak mungkin dapat bangkit lagi. Sebab,
pukulanku bukan untuk melenyapkan mereka dari pengaruh
aneh, tentu saja kalau dugaanku itu betul...," sahut Panji sambil
menghela napas berat berkepanjangan.
"Sudahlah, Kakang. Tidak perlu menyesali apa yang sudah
terjadi. Sebaiknya kita segera meninggalkan desa ini, sebelum
korban lain berjatuhan," usul Kenanga yang membuat Panji
tersadar.
"Ayolah...," sahut Panji yang segera mengajak Kenanga
meninggalkan tempat itu, selagi para pengeroyoknya sibuk
mengurusi tubuh-tubuh kawannya yang bergeletakan akibat
pukulan Panji.
Hanya dalam sekejapan mata saja, sosok Panji dan Kenanga
lenyap ditelan kegelapan malam. Keduanya terus melesat
menuju perbatasan Desa Siluman. Sepertinya sepasang
pendekar muda itu telah bertekad untuk menjauhi desa yang
penuh misteri itu.
Panji membuka kelopak matanya ketika cahaya matahari
pagi menerobos celah dedaunan. Sambil menggosok kedua
matanya, pemuda itu bangkit dan mengedarkan pandangan
berkeliling.
"Ah, rupanya harum daging bakar itulah yang membuat
perutku sudah keroncongan sepagi ini," ujar Panji.
Sambil berkata demikian, bibir pemuda tampan itu
menyunggingkan senyum manis ketika melihat dua ekor kelinci
panggang sudah tersedia di dekatnya.
"Eit, nanti dulu, Tuan Besar...," cegah Kenanga tersenyum
sambil menangkap tangan Panji yang tengah terulur hendak
mengambil seekor kelinci bakar itu. "Bersihkan dulu tubuhmu,
mana bisa begitu bangun tidur langsung makan...."
Mendengar ucapan itu, Panji segera bangkit dari duduknya.
Setelah melontarkan senyum kepada gadis itu, Panji pun
bergegas menuju aliran sungai yang gemericik airnya terdengar
dari tempat itu.
Tidak berapa lama kemudian, Panji sudah kembali dengan
rambut yang basah dan wajah segar. Pemuda tampan itu
langsung saja menjatuhkan pantatnya di samping Kenanga.
"Hm..., kelinci hutan ini pasti sedap. Dari mana kau
memperolehnya, Kenanga?" tanya Panji yang segera
menyambar kelinci bakar itu.
"Kebetulan aku temukan kelinci itu di dekat semak belukar di
tepi sungai. Tentu saja santapan lezat itu tidak kulewatkan,"
sahut Kenanga yang juga telah menyambar seekor daging
kelinci bakar.
"Syukurlah. Dengan demikian, aku tidak perlu bersusah-
payah lagi untuk mencari pengisi perut..," ujar Panji seraya
tersenyum.
Kemudian, tanpa banyak cakap lagi, keduanya segera
menyantap habis daging kelinci itu. Sayang, kenikmatan
mereka agak terganggu dengan suara derap kuda, yang
sepertinya tengah melintas ke arah mereka. Sehingga, untuk
beberapa saat mereka saling berpandangan dengan sikap
waspada.
Tak lama kemudian, kira-kira enam tombak lebih dari tempat
keduanya duduk, melintas lima ekor kuda. Melihat dari buntalan
cukup besar di punggung kuda itu, jelas rombongan kecil itu
merupakan pedagang-pedagang keliling, yang akan menjajakan
barang dagangannya ke pelosok-pelosok desa.
"Kita harus mencegah mereka, Kakang. Sepertinya
rombongan pedagang keliling itu hendak menuju Desa
Siluman," ucap Kenanga yang menjadi cemas ketika melihat
rombongan pedagang itu tengah menuju Desa Siluman yang
penuh misteri.
Panji menganggukkan kepala, kemudian bangkit dan
bergerak menghampiri rombongan kecil itu. Sedangkan
Kenanga hanya mengikutinya dari belakang.
"Kisanak, berhenti sebentar...!" cegah Panji sambil
melambaikan tangannya dari jarak dua tombak. Sehingga, para
pedagang itu menoleh dengan kening berkerut. Menilik dari
cara mereka menatap Panji dan Kenanga, jelas lima orang itu
mencurigai keduanya.
Baik Panji maupun Kenanga sama sekali tidak mempedulikan
tatapan mereka yang penuh curiga itu. Keduanya segera
bergerak mendekati para pedagang keliling, yang masih
melanjutkan langkahnya dengan agak lambat Bahkan beberapa
di antaranya ada yang meraba gagang pedang. Sepertinya
mereka mengira kedua orang muda itu adalah perampok-
perampok tunggal.
"Hm.., ada keperluan apa kalian berdua menghadang
perjalanan kami...?" tanya salah seorang dari lima orang
pedagang itu dengan wajah tak sedap. Bahkan nada suaranya
terdengar mengandung kecurigaan yang tidak disembunyikan.
"Maaf, kalau boleh aku tahu, hendak ke manakah Kisanak
sekalian...?" tanya Panji setelah membungkuk hormat. Wajah
dan nada suara pemuda itu tetap lembut dan sopan.
Melihat sikap maupun cara berbicara Panji yang ramah dan
sopan, kelima pedagang keliling itu sejenak saling
berpandangan. Seolah-olah dengan saling berpandangan itu,
mereka hendak meminta pendapat satu sama lain mengenai
sikap pemuda tampan itu.
"Mmm..., melihat sikap dan wajahnya, jelas pemuda itu
bukan orang jahat. Mungkin ia memang hendak mengetahui
tujuan perjalanan kita," ucap salah seorang pedagang dengan
suara berbisik lirih.
"Tapi, kita jangan percaya dulu dengan penampilan luar
seseorang. Apalagi di tempat sunyi seperti ini, bisa jadi sikap
ramah dan sopannya itu hanya tipuan belaka. Setelah kita
lengah, maka habislah barang-barang kita dibawanya lari,"
dengus salah seorang pedagang yang tetap mencurigai Panji
dan Kenanga.
Walaupun perdebatan itu dilakukan dengan berbalik, tapi
bagi orang seperti Pendekar Naga Putih, tentu saja dapat
menangkap pembicaraan mereka dengan baik. Pemuda itu
tersenyum sabar. Kemudian kakinya melangkah lebih dekat.
"Paman sekalian," ujar Panji lagi, tetap sopan. Kecurigaan
yang kalian tunjukkan itu sama sekali tidak salah. Sikap seperti
itu memang perlu, apalagi bila berjumpa dengan seseorang
yang tidak dikenal sama sekali di tempat sunyi. Tapi,
percayalah kami berdua tidak berniat jahat terhadap kalian.
Kami hanya ingin mengingatkan, desa di depan itu tidak baik
bagi pedagang-pedagang seperti kalian. Lebih baik carilah desa
lain, selain Desa Siluman itu," ujar Panji, mengutarakan
kekhawatirannya terhadap pedagang-pedagang itu. Semua itu
dijelaskan Panji untuk menghilangkan kecurigaan para
pedagang itu.
Ketika mendengar keterangan Panji, para pedagang keliling
itu hampir meledak tawanya. Mereka meremehkan apa yang
dikatakan pemuda tampan itu.
"Ha ha ha...," karena tidak tahan mendengar keterangan
Panji, salah seorang yang bertubuh kecil kurus, tertawa
tergelak, meskipun berusaha ditahan. "Lalu, apa yang kau
inginkan, Kisanak? Keteranganmu itu hanya pantas untuk
seorang anak kecil. Dan kalau memang kau ingin merampas
barang dagangan kami, pergunakanlah kepandaianmu,
mengapa harus bersiasat seperti itu?" ejek pedagang kurus itu
melecehkan.
"Benar, Anak Muda. Jangan coba-coba menakut-nakuti kami.
Sebab hal itu akan percuma saja. Nah kalau mau merampas
tidak perlu menggunakan siasat seperti itu," sambut yang
lainnya seraya tertawa bergelak-gelak.
"Hei, manusia tidak tahu diuntung!" teriak Kenanga yang
merasa tersinggung mendengar ucapan yang mengejek
kekasihnya. Kemarahannya pun makin meluap. "Kalau kalian
memang hendak singgah di Desa Siluman, silakan ke sana!
Dan, jangan menyesal kalau kalian akan terbujur menjadi
mayat!"
"Hm..., dari mana kalian mengenal desa itu sebagai Desa
Siluman? Setahu kami, nama desa itu adalah Kalianyar. Jelas,
kalau kalian berdua bermaksud menipu kami," sambut salah
seorang pedagang itu yang juga merasa tersinggung dengan
bentakan Kenanga.
"Desa Kalianyar...? Tapi, malam tadi kami baru saja singgah
untuk bermalam di sana. Menurut keterangan salah seorang
keamanan, desa itu bernama Desa Siluman. Mana mungkin
kami salah dengar?" bantah Panji yang merasa heran ketika
pedagang itu itu menyebut nama desa itu sebagai Desa
Kalianyar. Jelas, menurutnya telah terjadi kekeliruan di antara
mereka.
"Huh! Sudahlah, Kakang. Untuk apa mengingatkan orang-
orang keras kepala yang konyol itu. Lebih baik kita lihat saja,
semoga mereka tidak menjadi arwah penasaran!" geram
Kenanga yang segera mengajak Panji meninggalkan
rombongan pedagang itu. Sebab, kalau lama-lama berdebat
dengan orang-orang itu, Kenanga khawatir kemarahannya bisa
meledak, tanpa dapat ditahan.
Panji mengerti mengapa Kenanga mengajaknya
meninggalkan rombongan pedagang keliling itu, dan ia sama
sekali tidak berusaha untuk membantah. Pemuda itu menurut
saja ketika tangannya ditarik oleh gadis jelita itu.
Para pedagang keliling itu menggelengkan kepala setelah
kedua orang muda itu semakin jauh. Kemudian, tanpa
mempedulikan peringatan Panji dan Kenanga, rombongan
pedagang itu pun kembali bergerak menuju Desa Kalianyar.
EMPAT
Kita tidak bisa berdiam diri saja, apabila terjadi apa-apa
dengan mereka, Kenanga. Lebih baik kita ikuti saja, dan baru
turun tangan, bila terjadi sesuatu," usul Panji yang sudah
berhenti melangkah, menyandarkan tubuhnya pada sebatang
pohon.
"Untuk apa, Kakang? Bukankah kita sudah memberikan
peringatan? Kalau memang nanti mereka mendapat celaka, itu
sudah menjadi risiko mereka. Biar saja risiko itu mereka
tanggung sendiri," Kenanga yang masih belum lenyap
kekesalannya, tidak dapat menerima usul kekasihnya.
"Hm..., jangan bersikap seperti itu, Kenanga. Biar
bagaimanapun mereka adalah orang-orang yang tidak berdosa.
Lagi pula, mungkin saja desa itu bernama Kalianyar seperti
yang dikatakan salah seorang pedagang tadi. Karena, ia sangat
yakin dan mantap sekali mengucapkan nama desa itu," bujuk
Panji yang mencoba melunakkan hati kekasihnya.
"Tapi kejadian yang baru kita alami semalam, Kakang. Jelas
sekali mereka menyebut nama desa itu sebagai Desa Siluman
ketika aku bertanya kepada salah seorang yang mengantarkan
kita ke penginapan. Apakah mungkin pendengaranku kurang
beres?" Kenanga masih tetap membantah dengan nada agak
jengkel.
"Ya, aku pun mendengar jawaban itu. Tapi, sebaiknya kita
selidiki dulu kebenaran kata-kata pedagang keliling itu. Ayolah,
tidak baik kau mendendam hanya karena persoalan sepele
seperti ini," ajak Panji yang segera melangkah dan
mengulurkan tangannya membelai rambut gadis jelita yang
tengah jengkel itu.
Kenanga tidak segera menyambut ajakan Panji. Gadis jelita
itu bungkam dengan wajah muram. Baru setelah Panji
memeluk tubuhnya, gadis jelita itu mendongak. Ditatapnya
wajah Panji dengan sepasang mata beningnya.
"Baiklah, Kakang. Kita memang berniat menyelidiki desa
penuh misteri itu. Jadi, kedatangan kita ke sana bukan cuma
karena hendak menyelamatkan para pedagang sombong itu.
Tapi, penduduk desa itulah yang harus kita selamatkan,"
akhirnya Kenanga menyetujui juga usul Panji, meskipun dengan
alasan yang berbeda.
"Begitupun boleh," sahut Panji yang segera mengecup
lembut rambut Kenanga.
Tak lama kemudian, mereka pun kembali melangkah menuju
Desa Siluman. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut
keduanya. Sepanjang perjalanan, mereka terbawa oleh arus
pikirannya masing-masing.
Saat matahari mulai bergerak naik, sepasang pendekar itu
pun tiba di mulut Desa Siluman. Dan apa yang mereka
saksikan, benar-benar sulit dipercaya! Tampak mulut desa itu
ramai oleh para pedagang.
Panji dan Kenanga mengedarkan pandangan ke sekitar
keramaian pasar itu. Kening keduanya berkerut menyaksikan
wajah-wajah yang sama sekali jauh berbeda dengan apa yang
mereka saksikan semalam. Tak satu pun dari orang-orang di
pasar itu berwajah pucat dan bergerak kaku. Kenyataan itu
tentu saja menimbulkan tanda tanya besar dalam hati mereka.
"Paman, kalau boleh kutahu, apakah nama desa ini...?"
Kenanga tidak sabar lagi, langsung dihampirinya seorang
pedagang kulit binatang, dan langsung menanyakan nama desa
itu.
"Apakah Nisanak baru pertama kali datang ke desa ini?"
pedagang yang ditanya itu malah balik bertanya, hingga
Kenanga terpaksa menelan rasa kedongkolan dalam hatinya.
"Benar, Paman. Dan aku belum tahu nama desa ini," sahut
Kenanga cepat-cepat.
"Kalau begitu, sering-seringlah singgah di Kalianyar ini.
Setiap pekan, desa kecil ini selalu ramai dikunjungi para
pendatang yang ingin membeli kulit binatang hasil tangkapan
penduduk asli. Kulit dari jenis binatang apa pun, mudah
diperoleh di sini hanya dengan beberapa keping uang," jelas
lelaki itu sambil menawarkan barang dagangannya.
'Terima kasih. Saat ini aku belum membutuhkannya," sahut
Kenanga yang segera berlalu meninggalkan pedagang itu.
Kenanga yang jelas-jelas merasa tidak puas dengan jawaban
pedagang kulit binatang itu, segera mengajak Panji menjauhi
keramaian pasar.
"Jelas apa yang kita alami semalam sekadar mimpi. Dan, aku
semakin penasaran untuk mengungkap misteri yang
menyelimuti desa terpencil ini," gumam Panji yang rupanya
mendapat keterangan yang sama dengan kekasihnya.
Sehingga, hati pemuda itu kian bertambah penasaran.
"Sekarang marilah kita datangi rumah penginapan yang
semalam kita tempati," usul Kenanga yang juga kian penasaran
dengan semua keterangan dan apa yang dilihatnya pagi ini.
Gadis jelita itu merasa kalau ia dan kekasihnya telah
dipermainkan oleh orang-orang yang sama sekali tidak
diketahui.
Ketika keduanya hampir tiba di dekat rumah penginapan
yang juga menyediakan kedai makan itu, mendadak langkah
Kenanga terhenti. Ia melihat di depan kedai itu ada lima ekor
kuda yang tengah ditambatkan.
"Ada apa...?" tanya Panji ketika melihat Kenanga
menghentikan langkahnya tiba-tiba.
"Pedagang-pedagang sombong itu ada di dalam kedai,
Kakang. Lebih baik kita menghindar saja, daripada membuat
keributan di dalam kedai makan itu." ujar Kenanga dengan
wajah muram. Jelas sekali kalau gadis jelita itu tengah dilanda
kemarahan.
Mendengar ucapan kekasihnya, Panji mengerti mengapa
Kenanga mengurungkan niatnya untuk mendatangi kedai
tempat mereka menginap semalam. Sebab, lima ekor kuda itu
adalah milik pedagang-pedagang keliling yang sempat mereka
nasihati. Pemuda itu pun tahu, bila ia memaksa untuk
memasuki kedai, sudah pasti para pedagang keliling itu akan
mencemoohkan mereka.
"Kalau begitu, kita cari kedai lain saja...," ajak Panji sambil
melangkah meninggalkan kedai, yang hanya tinggal beberapa
tombak di depan mereka.
Setelah keduanya agak lama mengitari desa ternyata mereka
tidak menemukan adanya kedai lain. Kedai makan, tempat
mereka menginap semalam merupakan satu-satunya
penginapan dan sekaligus kedai makan di Desa Kalianyar itu.
Memang hal itu wajar. Karena Desa Kalianyar merupakan desa
kecil yang hanya dihuni beberapa puluh orang penduduk.
"Kurang ajar! Apa yang harus kita perbuat sekarang,
Kakang?" geram Kenanga yang merasa jengkel dengan
keadaan itu.
"Hm..., lebih baik kita terus saja keluar perbatas desa
sebelah Timur. Dari sana mungkin kita bisa menyelidiki, kalau
kalau ada sesuatu yang dapat dijadikan sebagai pegangan,"
usul Panji yang segera disetujui Kenanga.
Pasangan pendekar yang tengah dilanda tanda tanya besar
itu melangkah perlahan menuju batas desa sebelah Timur.
Setelah jalan yang mereka lalui agak sepi, barulah keduanya
menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk mengitari Desa
Kalianyar.
***
Matahari sudah semakin naik tinggi ketika Panji dan Kenanga
memasuki sebuah daerah perbukitan tandus. Keduanya
mengernyitkan hidung ketika mencium sesuatu yang tidak
sedap.
"Uh, bau apa ini, Kakang..?" desis Kenanga sambil memijit
hidungnya ketika bau yang tak sedap menyergapnya.
"Seperti bau busuk yang berasal dari tubuh mayat.
Sebaiknya kita selidiki lebih ke dalam," sahut Panji yang segera
melanjutkan langkahnya sambil menahan rasa mual.
"Uhhh...," Kenanga kembali mengeluh dan jengkel.
Dilepaskannya sabuk hijau yang melingkari pinggangnya.
Kemudian dilekatkan ke kepalanya hingga menutupi hidung.
Setelah itu, baru bergerak menyusul Panji.
Bau busuk yang memenuhi sekitar perbukitan itu terasa
makin keras, ketika keduanya tiba di sebuah tempat yang agak
rendah. Sewaktu Panji memaksakan diri melihat ke bawah,
cepat pemuda itu melompat mundur.
"Ada apa, Kakang...?" tanya Kenanga dengan wajah
berubah. Jelas, gerakan Panji yang tiba-tiba itu telah
membuatnya terkejut.
"Bau busuk itu pasti berasal dari bawah sana," ujar Panji
yang rupanya ketika menjenguk ke bawah ada hawa busuk
yang sangat keras menyambar. Sehingga, pemuda itu
terlompat ke belakang.
"Hm..., apa yang kalian cari di tempat sunyi ini."
Tiba-tiba terdengar teguran dengan suara parau dan napas
agak terengah. Disusul munculnya seorang laki-laki tua berusia
sekitar tujuh puluh tahun, yang menggendong ranting kering di
pundaknya. Hal itu menandakan kalau ia adalah seorang
pencari kayu.
Baik Panji maupun Kenanga menoleh serentak ketika
mendengar suara teguran yang mengejutkan itu. Keduanya
menatap dengan kening berkerut ketika melihat seorang laki-
laki tua menghampiri mereka.
"Siapakah Kakek? Dan mengapa muncul tiba-tiba. Anehnya,
kami sama sekali tidak mendengar langkah kaki Kakek?" tanya
Kenanga yang merasa curiga melihat kemunculan laki-laki tua
itu yang demikian tiba-tiba.
"Ah..., benar-benar aneh sekali kau ini, Nisanak.
Pertanyaanku belum lagi kau jawab, eh...! Sudah menanyakan
orang. Aih..., benar-benar dunia sudah terbalik. Lagi pula mana
bisa orang mendengar langkah kaki orang lain? Apakah kalian
berdua ini malaikat sampai-sampai suara langkah kaki orang
pun kalian pedulikan," omel laki-laki tua itu seperti tidak senang
dengan sikap Kenanga. Namun, sorot matanya tanpa rasa
tersinggung sedikit pun.
Melihat suasana yang kurang enak itu, Panji bergegas
melangkah melewati Kenanga. Dengan sikap hormat, pemuda
itu membungkukkan tubuhnya.
"Maaf, Kek. Kami adalah dua orang pengembara yang
tersesat. Karena tertarik dengan adanya bau busuk di sekitar
tempat ini, maka kami mencoba mencarinya. Sepertinya, kami
sudah menemukan sumber bau tak sedap itu di kaki bukit
sebelah Barat. Karena terlalu bernafsu, kami sampai tidak
memperhatikan keadaan di sekeliling. Sehingga, kehadiran
Kakek sempat mengejutkan kami berdua," ucap Panji dengan
nada sopan.
"Hm..., anak baik.., anak baik. Nada bicara dan sikapmu
sangat sopan sekali. Tentu kau orang kota yang kaya dan
terpelajar. Apakah dugaanku salah?" ujar laki-laki tua itu,
mengakhiri kalimatnya dengan pertanyaan, yang bernmada
menyelidik.
Panji bukanlah orang bodoh. Meskipun laki-laki tua itu
mengatakan tidak mengerti ilmu silat, dengan mengibaratkan
orang yang mendengar langkah kaki manusia lain sebagai
malaikat, namun gerak-gerik laki-laki tua itu tidak luput dari
pengamatan matanya yang tajam. Dari gerak langkah maupun
potongan tubuh laki-laki tua itu, jelas ia bukan orang lemah.
Panji menduga paling tidak laki-laki tua itu memiliki atau
pernah mempelajari ilmu silat. Tapi entah mengapa hal itu
seperti hendak disembunyikannya. Hal itu membuat Pendekar
Naga Putih mengambil keputusan untuk berpura-pura bodoh,
dan tidak mengetahui.
Sedangkan laki-laki tua itu sudah melangkah mengitari tubuh
Panji. Menilik dari sikapnya, jelas hendak menilai Pendekar
Naga Putih
"Hm..., untuk apa kalian merepotkan diri, hanya untuk
mencari sumber bangkai binatang hutan ini. Semua penduduk
Desa Kalianyar sudah tahu, di kaki bukit sebelah Barat itu
tempat pembuangan bangkai-bangkai binatang yang tidak
disukai dagingnya. Jadi hanya kulitnya yang mereka bawa
pulang. Apakah kau tidak tahu kalau penduduk desa itu
bermata pencaharian sebagai pemburu?" tanya laki-laki tua itu
lagi sambil menghentikan langkah kakinya dan berdiri di depan
Panji.
"Ah! Jadi tak jauh dari sini ada pemukim penduduk? Kalau
begitu, kebetulan sekali. Kami memang hendak mencari tempat
untuk beristirahat beberapa malam. Maklumlah kami telah
melakukan perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan," aku
Panji berbohong. Karena, ia mencurigai laki-laki tua itu.
"Hm..., kalian berdua tentunya sepasang suami istri muda
yang tengah pesiar. Kusarankan agar kali mencari desa lain
saja untuk bermalam. Sebab, Desa Kalianyar sangat terpencil
dan jauh letaknya dari desa-desa lain. Suasananya tentu tidak
menyenangkan bagi kalian berdua, bukan?" jawab laki-laki tua
itu, menasihati.
"Kalau memang begitu nasihat Kakek, baiklah. Kami berdua
akan mencari tempat lain yang lebih menyenangkan," ujar Panji
sambil merengkuh bahu Kenanga. Seolah-olah dengan berbuat
demikian, dia ingin meyakinkan laki-laki tua itu bahwa mereka
memang sepasang suami istri.
"Bagus, kalau kalian mengerti...," puji laki-laki tua itu dengan
wajah gembira. "Nah! Aku pamit dulu, hendak membawa kayu
bakar ini pulang. Istriku di rumah sangat cerewet Telat sedikit
saja, bisa-bisa aku kena marah."
Setelah berkata demikian, laki-laki tua itu pun melangkah
tertatih-tatih meninggalkan Kenanga dan Panji, yang
melepasnya dengan pandangan penuh perhatian.
"Kau yakin kalau kakek itu tidak mengerti tentang ilmu silat,
Kakang?" tanya Kenanga setelah bayangan laki-laki tua itu
lenyap di balik pepohonan hutan.
"Entahlah. Yang jelas, aku sangat mencurigainya. Meskipun
ia berusaha menyembunyikan, namun aku sempat melihat
sorot mata aneh dari sepasang mata tuanya itu," jawab Panji
sambil tetap menatap tempat di mana laki-laki tua tadi lenyap.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang, Kakang?"
Kenanga sepertinya belum dapat memutuskan kelanjutan dari
penyelidikan mereka.
"Hm..., aku masih merasa khawatir kalau kakek itu tidak
pergi jauh dari tempat ini. Sebaiknya, kita berpura-pura
meninggalkan tempat ini. Setelah agak aman, baru kita kembali
untuk menyelidiki bangkai apa sebenarnya yang menimbulkan
bau menusuk hidung itu," sahut Panji menjelaskan rencananya.
Mendengar rencana itu, Kenanga hanya mengangguk
menyetujui. Kemudian, tanpa berkata apa-apa lagi keduanya
bergegas meninggalkan daerah perbukitan itu. Cukup lama juga
pasangan pendekar itu berputar-putar, hanya untuk
menghilangkan kecurigaan laki-laki tua, yang mungkin saja
tengah mengintai mereka.
"Kita kembali sekarang, dengan mengambil jalan memutar,"
ujar Panji yang saat itu telah menghentikan larinya. Lalu, ia
memutar langkah dan kembali menuju ke sebelah Barat
perbukitan. Tujuannya jelas, ingin menyelidiki sumber bau yang
menusuk hidung itu.
Setelah tiba di tempat yang dituju, keduanya bergegas
menuruni daerah yang mirip sebuah lembah kecil itu.
Pepohonan yang tumbuh tak beraturan menolong mereka dari
penglihatan orang-orang yang berada di atas. Sehingga,
keduanya lebih leluasa melakukan penyelidikan.
Dengan wajah sebagian tertutup sabuk, keduanya bergerak
terus meneliti setiap jengkal tanah di dataran rendah itu. Bau
bangkai yang semakin keras itu membawa langkah mereka
hingga ke dinding bukit. Panji menatap dengan kening berkerut
ketika melihat sebuah mulut gua yang cukup lebar.
"Hm..., sepertinya dari dalam gua itulah asal bau busuk yang
menusuk hidung," gumam Panji sambil menoleh ke arah
kekasihnya. Kemudian, kakinya kembali melangkah dengan
sikap yang lebih hati-hati.
"Apakah gua ini berpenghuni, Kakang...?" bisik Kenanga di
telinga Panji.
"Entahlah. Yang jelas, kita harus tetap waspada," sahut Panji
mengingatkan.
Panji mulai merasa yakin kalau gua itu tidak berpenghuni.
Itu terlihat ketika mereka telah berada di mulut gua, tak satu
gerakan pun terdengar dari dalam. Dan dengan pengerahan
'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' untuk menerangi bagian dalam
gua, Panji bergerak masuk.
Sementara itu, Kenanga hanya mengikuti dari belakang
kekasihnya. Gadis jelita itu sudah meraba gagang senjatanya,
seolah-olah siap menghadapi segala kemungkinan yang akan
terjadi.
LIMA
Matahari sudah semakin tergelincir ke sebelah Barat. Saat itu
Panji dan Kenanga telah berada dalam gua. Hati keduanya
semakin bertambah penasaran ketika mereka menemukan
tumpukan tulang tengkorak manusia. Jelas, bau busuk itu
bukan berasal dari bangkai binatang, seperti yang mereka
dengar dari laki-laki tua pencari kayu bakar.
"Gua ini seperti tempat penjagalan manusia, Kakang...,"
desis Kenanga yang mulai merasa mual menyaksikan
pemandangan yang mengerikan itu.
Panji sama sekali tidak menyahuti ucapan kekasihnya.
Karena, saat itu ia telah menemukan sesuatu yang cukup
mengejutkan.
"Semuanya sudah jelas sekarang," gumam Panji ketika
menemukan lima kepala wanita muda yang tampak
membengkak.
"Ihhh...!" Kenanga memekik perlahan ketika melihat
pemandangan yang membuat bulu tengkuknya berdiri. Tanpa
mempedulikan Panji lagi, gadis jelita itu bergegas membalikkan
tubuhnya, dan berlari menuju mulut gua. Jelas kalau Kenanga
tidak sanggup melihat pemandangan yang disaksikannya itu.
Setelah meneliti dan memastikan semua mayat itu belum
lama terjadi, Panji bergegas menyusul Kenanga. Belum lagi
langkah pemuda itu sampai di mulut gua, tiba-tiba terdengar
suara gemuruh yang disusul dengan gelapnya suasana di dalam
gua itu.
"Kakang...!"
Bagaikan kilat, Panji melesat ke depan ketika mendengar
suara jeritan kekasihnya. Namun, meski telah tiba di mulut gua,
ia tidak menemukan sama kali tempat ke luar. Dinding gua
telah tertutup oleh batu besar. Sehingga, Panji terkurung di
dalamnya.
"Kenanga...!" Panji berteriak ketika tidak menemukan
Kenanga di dalam gua itu. Hatinya bertambah cemas ketika
lamat-lamat didengarnya pertempuran yang terjadi di luar gua.
Jelas Kenanga telah hertarung melawan orang yang diketahui
Panji.
Sadar dirinya telah dijebak secara licik, Panji menjadi gusar.
Rasa cepat ingin menyelamatkan kekasihnya, membuat
pemuda itu tidak mau membuang-buang waktu lagi. Dengan
diiringi sebuah geraman lirih, Panji menghimpun kekuatan
tenaga saktinya, dan menyalurkan ke kedua belah tangannya.
"Heaaat..!"
Dengan sebuah teriakan membahana, Panji mendorongkan
sepasang telapak tangannya ke depan.
Whusss...!
Serangkum angin dahsyat berhawa dingin menusuk tulang,
meluncur dengan kecepatan kilat, dan langsung menghantam
batu besar yang menyumbat mulut gua itu. Dan....
Blarrr...!
Hebat sekali akibat pukulan jarak jauh yang dilontarkan
Panji. Debu tebal mengepul, diiringi sebuah ledakan keras
seperti akan meruntuhkan bukit itu.
Seluruh isi gua bergetar akibat pukulan dahsyat pemuda itu.
Bahkan langit-langit gua berderak, dan batu-batu kecil
berjatuhan, bagai hujan kerikil.
Bagi Panji sendiri, hal itu tidak terlalu dipusingkannya
Setelah melontarkan pukulan, tubuh pemuda itu langsung
melesat menerobos kepulan debu tebal yang bergulung-gulung
menutupi mulut gua.
"Haiiit..!"
Bagaikan bayangan hantu, tubuh Pendekar Naga Putih
berkelebat dan berjumpalitan dengan gerakan yang indah.
Begitu tiba di luar gua, Panji menjejakkan kedua kakinya di
tempat yang aman.
Panji segera mengedarkan pandangan matanya sekeliling
tempat itu. Ketika melihat Kenanga dikeroyok belasan orang
berpakaian hijau tua, cepat-cepat tubuh pemuda itu melesat ke
arena pertempuran.
"Heaaah...!"
Panji langsung melontarkan dua buah pukulan keras, begitu
tiba di tengah arena pertempuran. Sekali bergerak, pemuda itu
telah dapat menyelamatkan kekasihnya dari incaran dua orang
pengeroyoknya.
Desss! Desss!
Terdengar jerit kesakitan ketika dua orang pengeroyok
Kenanga terpental bagai dilemparkan tangan-tangan raksasa.
Kemudian jatuh ke atas tanah berbatu dengan menimbulkan
suara berdebuk nyaring.
"Kakang..., tubuh mereka kebal terhadap senjata...," ujar
Kenanga yang merasa lega ketika melihat Panji telah berada di
dekatnya. Kecemasan gadis itu lenyap seketika begitu melihat
kekasihnya selamat.
Mendengar ucapan Kenanga, Panji menoleh ke arah dua
orang yang terkena pukulannya tadi. Keningnya sempat
berkerut ketika melihat dua orang itu telah bangkit kembali
tanpa terlihat seringai kesakitan di wajahnya.
"Hm..., aneh! Mengapa orang-orang yang kita temui dalam
beberapa kali pertarungan selalu kebal terhadap pukulanku?
Ilmu apa sebenarnya yang mereka miliki?" gumam Panji heran
dengan suara perlahan.
Namun, kedua orang itu tidak berpikir lebih lama. Belasan
orang berpakaian hijau tua itu telah bergerak ke arah mereka
dengan senjata di tangan.
"Hm...."
Panji menggeram dengan hati gusar. Beberapa kali ia
diserang tanpa sebab oleh orang-orang aneh, yang belum
pernah dijumpainya. Sehingga kemarahan pemuda itu bangkit.
Tubuhnya berdiri tegak menanti datangnya serangan lawan.
Ketika serangan empat orang terdepan mengancam tubuh
Panji, pemuda itu sama sekali berusaha mengelak. Dengan
kedua tangan terangkat ke atas, Panji siap memapaki serangan
empat orang pengeroyoknya.
"Heaaahhh...!"
Dengan sebuah bentakan keras, Panji mendorongkan kedua
tangannya ke depan menyambut serangan pengeroyoknya.
Bresssh...!
Terdengar suara ledakan keras ketika gumpalan sinar putih
berhawa dingin itu membentur tubuh empat orang lawannya.
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh keempat orang pengeroyok itu
langsung terpental ke segala arah.
Tubuh keempat orang itu terbanting dengan menimbulkan
suara berdebuk nyaring. Melihat cairan merah yang keluar dari
sela-sela bibir mereka, tentu saja pukulan Panji telah
menimbulkan luka dalam yang parah.
"Matikah mereka, Kakang...?" tanya Kenanga yang merasa
terkejut melihat akibat pukulan kekasihnya.
'Tidak. Mereka hanya terluka parah. Aku sengaja tidak
membunuh mereka, agar dapat mengorek keterangan tentang
sebab pengeroyokan ini," sahut Panji menjelaskan rencananya
kepada Kenanga.
***
Gertakan Panji rupanya cukup membuat lawan-lawannya
tertegun. Terlihat sisa orang-orang berpakaian serba hijau itu
berdiri dengan wajah kaku. Tampak mereka mulai merasa ragu
untuk bergebrak dengan Pendekar Naga Putih, yang belum
mereka kenal itu.
"Hm..., mengapa kalian hanya berdiri bagai patung? Ayo,
majulah! Bukankah kalian menghendaki kematian kami
berdua...?" tantang Panji dengan suara berat dan mengandung
pengaruh yang menggetarkan.
Kawanan lelaki berpakaian serba hijau itu terlihat ragu.
Sepertinya perbuatan Panji yang sekali pukul dan merobohkan
empat orang kawannya, membuat mereka menjadi hati-hati.
Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, kedua belah pihak
hanya saling pandang dengan tatapan tajam.
Merasa mendapat kesempatan untuk berbicara, Panji
bergerak maju beberapa langkah. Dirayapinya wajah-wajah
pucat kehijauan itu dengan pandangan menyelidik.
"Hm..., siapakah sebenarnya kalian? Mengapa kalian
memusuhi kami berdua? Seingatku, di antara kita belum pernah
bertemu, apalagi bermusuhan," ujar Panji meminta penjelasan
dari gerombolan lelaki berpakaian serba hijau itu.
Barisan lelaki berpakaian serba hijau itu sama kali tidak
menyahut. Bahkan mereka bergerak mundur ketika Panji
kembali melangkah maju. Kelakuan orang-orang aneh yang
penuh misteri itu tentu saja membuat Panji menjadi dongkol.
"Hm..., rupanya kalian lebih suka kalau aku menggunakan
kekerasan. Baiklah kalau memang itu yang kalian inginkan,"
ujar Panji dengan sorot mata tajam yang menggiriskan.
Lelaki terdepan, yang mengenakan ikat kepala hijau dengan
bulatan merah di tengah ikat kepalanya, bergerak mundur
sambil mengacungkan senjatanya. Sepertinya ia telah dapat
meraba apa yang akan dilakukan pemuda tampan berjubah
putih itu.
"Bunuh mereka berdua...!"
Sambil menudingkan senjatanya ke arah Panji dan Kenanga,
lelaki yang sepertinya pimpinan belasan orang itu
memerintahkan dengan suara parau. Setelah berkata demikian,
tubuhnya melesat disertai dengai putaran pedangnya yang
mengaum tajam.
Majunya sang Pemimpin, ternyata membuat yang lainnya
segera ikut ambil bagian. Sehingga, Panji dan Kenanga kembali
terkurung dalam lingkaran sebelas lelaki berpakaian serba hijau
itu.
"Heaaa...!"
Diiringi teriakan parau, lelaki pimpinan kelompok orang
berpakaian hijau itu membabatkan pedangnya dengan
mendatar. Meskipun gerakannya terlihat kaku namun jelas
mengandung kekuatan yang tidak rendah. Semua itu dapat
ditebak oleh Panji melalui desingan senjata lawan.
Tapi, Panji tidak berniat main-main lagi. Begitu tebasan
pedang lawannya berkelebat, pemuda itu menggeser tubuhnya
ke samping, dan terus bergerak ke depan sambil melontarkan
sebuah tendangan miring.
Zebbb!
Tendangan yang cepat dan kuat itu dielakkan lawannya
dengan cara memutar tubuh sehingga kedudukannya berada di
belakang Panji. Berbarengan dengan itu, pedang di tangannya
kembali berkeredep dengan gerakan lurus. Dan yang menjadi
tujuannya adalah punggung lawan.
Belum lagi serangan lawan yang pertama itu tiba, senjata-
senjata lawan dari tiga penjuru, mengancam tubuh pemuda
tampan itu. Sehingga, kedudukan Panji menjadi terjepit.
Sialnya, yang dihadapi kelompok orang-orang berpakaian
serba hijau yang misterius itu adalah Pendekar Naga Putih.
Seorang pendekar besar yang sempat membuat dunia kaum
sesat terjungkir balik karena sepak terjangnya. Sehingga,
meskipun dalam keadaan terjepit oleh kelebatan senjata-
senjata lawannya, pemuda itu sama sekali tidak menunjukkan
kepanikan. Ia tetap berdiri tenang.
Empat batang senjata yang datang mengancam itu disambut
Panji dengan kibasan kedua tangannya secara berbarengan.
Dengan pengerahan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan', pemuda itu
menyambut senjata-senjata lawannya.
Kenanga yang saat itu tengah menghadapi keroyokan enam
orang lainnya, sempat terbelalak ketika melihat kekasihnya
memapaki senjata lawan dengan tangan telanjang. Karena baru
pertama kali melihat Panji melakukannya, tentu saja Kenanga
menjadi khawatir.
Sedangkan Panji sendiri tentu saja merasa yakin akan
keampuhan tenaga mukjizatnya. Dan semua ini dilakukannya
dengan penuh perhitungan. Karena ia telah mengetahui
kekuatan lawannya, maka Panji berani memapaki senjata lawan
dengan kedua tangan telanjang.
"Heaaah...!"
Berbarengan dengan hentakan keras yang keluar dari
mulutnya, Panji memukul balik empat batang senjata yang
mengancam tubuhnya itu. Apa yang dilakukan Panji ternyata
tidak sampai di situ saja. Begitu senjata keempat lawannya
terpukul balik, tubuh pemuda tampan itu telah berputar bagai
baling-baling. Tangan dan kakinya mencuat bergantian,
mengirimkan serangan-serangan balasan yang tidak kalah
berbahaya dengan senjata lawan.
Terdengar suara mengaduh susul-menyusul, tatkala tiga
orang pengeroyok itu terlanggar pukulan dan tendangan
Pendekar Naga Putih. Tubuh mereka terjengkang tanpa ampun
akibat kerasnya serangan balasan pemuda itu.
Sedangkan lelaki yang terdapat tanda bulatan merah di
tengah ikat kepalanya, berhasil menarik mundur tubuhnya.
Sehingga, jotosan Panji yang mengancam dadanya, dapat
dihindari.
Luputnya serangan yang dilancarkan Panji, sama sekali tidak
membuat pemuda itu kecewa. Dengan sebuah lesatan manis,
tubuh pemuda itu meluruk ke arah pimpinan para pengeroyok.
Sepasang tangannya yang menebarkan udara dingin,
berputaran mengacaukan pandangan mata lawan. Sehingga,
ketika lengan kiri pemuda itu meluncur dengan sebuah pukulan
keras, lawan pun tidak sempat menghindarinya. Dan....
Wuttt! Buggg...!
"Huagkh...!"
Lelaki gemuk itu langsung memuntahkan darah segar ketika
kepalan Panji menghajar telak dada kirinya. Tanpa dapat
dicegah lagi, tubuh orang itu pun terjungkal menyusul kawan-
kawannya yang lain.
Selesai merobohkan keempat orang pengeroyoknya, ternyata
Panji belum bisa berpangku tangan. Kawanan lelaki berpakaian
serba hijau yang lainnya, telah menerjang pemuda itu dengan
kelebatan-kelebatan senjatanya yang menyilaukan mata.
"Hm...."
Sambil bergumam tidak jelas, Panji menarik mundur
tubuhnya dengan kedudukan kuda-kuda belakang. Sambil
memutar kembali tubuhnya dengan menggunakan tenaga
pinggang, pemuda itu langsung mengirimkan tendangan ke
arah lawan, yang tengah menusuk dari samping kanan.
Tendangan Panji yang cepat dan kuat itu menghajar telak
perut lawannya. Sehingga orang yang itu memuntahkan darah
segar, dan langsung roboh. Pingsan! Kemudian, tanpa menoleh
lagi, Panji langsung menjejak tanah dengan kedua kakinya.
Saat itu juga, tubuh Pendekar Naga Putih melambung ke atas
dan langsung mengirimkan tendangan dengan berputar.
Terdengar teriakan susul-menyusul ketika tendangan
Pendekar Naga Putih yang bagaikan baling-baling itu,
menghajar telak rahang para pengeroyoknya. Karuan saja
lawan-lawannya terjungkal dan roboh pingsan seketika. Karena
tenaga yang dikerahkan Panji sangat hebat.
Setelah menyelesaikan lawan-lawannya, Panji menoleh ke
arah Kenanga yang menghadapi enam orang lawan. Pemuda
itu sengaja tidak membantu karena tahu kalau Kenanga
mampu menundukkan lawan-lawannya.
Benar saja! Tak lama setelah Panji merobohkan lawan-
lawannya, terdengar teriakan kesakitan yang berasal dari tiga
orang pengeroyok gadis jelita itu. Tubuh-tubuh lelaki misterius
itu langsung bertumbangan dengan darah segar mengucur dari
luka yang menganga di tubuh mereka.
Tiga orang lawan lainnya bergerak mundur ketika melihat
kawannya roboh mandi darah. Mata mereka yang kehijauan itu
terbelalak bagai tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Kenanga sendiri sempat tertegun menyaksikan para
pengeroyoknya dapat dilukai. Padahal, semenjak bertarung
tadi, senjatanya telah berkali-kali mengenai lubuh lawan. Tapi,
baru saja saat ia mengerahkan kekuatan tenaga sakti
sepenuhnya, baru lawannya luka dan roboh. Kenyataan itu
tentu saja membuatnya wmakin bersemangat.
"Haiiit..!"
Dibarengi teriakan nyaring dan panjang, Kenanga melesat
sambil membabatkan senjatanya berkali-kali. Tapi, apa yang
terjadi kemudian, kembali membuat gadis itu terbelalak kaget.
Ketiga orang lawannya itu serta-merta lenyap, dan berubah
menjadi gulungan asap hijau yang berbau busuk.
"Hai! Ke mana mereka...?!" seru gadis jelita itu dengan
wajah berubah agak pucat.
"Kenanga! Awas...!"
Panji yang semula sempat terkejut melihat lenyapnya ketiga
orang lawan kekasihnya, berseru keras ketika melihat mereka
tiba-tiba muncul dari belakang kekasihnya dengan satu tangan
saling berpegangan. Sedangkan tangan lainnya meluncur ke
arah punggung gadis itu dengan telapak terbuka.
Menyadari kekasihnya dalam bahaya maut, Panji segera
melesat dengan seluruh kekuatan ilmu meringankan tubuhnya.
Hebat sekali gerakan yang dilakukan pemuda itu. Tubuhnya
melayang seperti seekor burung besar dengan kedua tangan
mendorong ke depan. Angin dingin menderu keras mengiringi
meluncurnya tubuh Pendekar Naga Putih.
Kenanga segera menyadari adanya bahaya ketika
mendengar seruan Panji, cepat menjatuhkan tubuh begitu
melihat kekasihnya meluncur dengan kecepatan menggiriskan.
Blarrr...!
Hebat dan mengerikan sekali akibat terjangan Panji dalam
menyelamatkan kekasihnya. Ledakan dahsyat seperti akan
meruntuhkan bukit, menggelegar memekakkan telinga.
Tubuh ketiga orang berpakaian serba hijau terpental balik
dalam keadaan terpisah. Lalu, mereka jatuh berserakan dengan
percikan darah yang membasahi tanah di sekitarnya.
Panji berdiri tegak dengan tarikan napas panjang. Ditatapnya
kepingan tubuh lawan yang berserakan sekitar tempat itu.
Rupanya dalam kecemasannya tadi, Panji telah mengerahkan
seluruh kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya yang maha
dahsyat hingga, akibat yang ditimbulkannya pun sangat
mengerikan.
Wajah Kenanga sendiri pucat ketika melihat tubuh ketiga
orang lawannya hancur berkeping-keping akibat terjangan
kekasihnya. Selama pengembaraannya bersama Panji, gadis
jelita itu belum pernah sama sekali melihat kekuatan dahsyat
yang dimiliki kekasihnya. Tak mengherankan kalau ia terkejut
menyaksikan akibat pukulan Panji.
"Mengapa..., mereka tadi tiba-tiba lenyap, Kakang...?"
setelah menenangkan hatinya, barulah gadis jelita itu dapat
mengeluarkan suara.
"Mereka telah menggunakan ilmu sihir yang aneh.
Sepertinya, selain kebal dan memiliki sihir aneh, orang-orang
misterius ini pun memiliki sejenis racun aneh yang bisa
merubah warna kulit mereka," jelas Panji perlahan.
Semua itu diduga Pendekar Naga Putih dengan cara melihat
wajah-wajah orang misterius itu yang rata-rata berwarna
kehijauan.
Setelah berkata demikian, Panji melangkah menghampiri
tubuh-tubuh lainnya yang tadi tergeletak pingsan. Namun, apa
yang didapatkan pemuda itu benar-benar membuatnya
terkejut. Lawan-lawannya yang tadi hanya dirobohkan, ternyata
telah tewas dengan tubuh mengejang.
"Jangan sentuh...," cegah Panji ketika melihat Kenanga
hendak menyentuh salah satu dari mayat-mayat itu. "Mereka
telah menelan racun ganas yang kerjanya sangat cepat," jelas
Panji ketika melihat tatapan mata Kenanga.
"Mengapa mereka bunuh diri, Kakang...?"
"Entahlah. Yang jelas, hal ini tidak aneh bagi kalangan kaum
sesat. Apabila gagal dalam menunaikan tugas, mereka lebih
memilih mati ketimbang memberi keterangan kepada kita.
Sudahlah, lebih baik kita kembali ke Desa Kalianyar," ajak Panji
yang segera melangkah meninggalkan tempat itu.
ENAM
"Kakang, ini bukan jalan menuju Desa Kalianyar! Apakah
Kakang sudah lupa, atau memang sengaja?" tanya Kenanga
yang merasa heran melihat kekasihnya mengambil jalan lain.
Seingatnya, jalan itu memang ke luar desa, dan bukan ke Desa
Kalianyar, seperti yang mereka rencanakan semula.
"Memang bukan. Aku sengaja merubah rencana. Mengingat
banyaknya tengkorak manusia di dalam gua itu, aku menjadi
berpikir lain," sahut Panji sambil tetap melanjutkan langkahnya.
"Rencana apa, Kakang? Apakah aku boleh mengetahuinya?"
sambil bertanya demikian, Kenanga memegang lengan
kekasihnya dengan mata menatap penuh tuntutan.
"Hm..., aku akan berusaha mencari keterangan dari desa-
desa di sekitar daerah ini. Bukan tidak mungkin kalau
keanehan-keanehan yang kita temui, dapat kita peroleh
keterangan dari penduduk desa lainnya. Dengan demikian,
akan memudahkan kita untuk mengungkap misteri yang
menyelimuti Desa Kalianyar," jelas panji mengemukakan
pemikiran, yang baru didapatinya di perjalanan. Itulah
sebabnya mengapa Panji merubah rencananya, yang semula
hendak kembali ke Desa Kalianyar.
"Ah! Mengapa kita tidak memikirkannya semula, Kakang.
Kalau memang di Desa Kalianyar terjadi keanehan seperti yang
kita lihat semalam bukan tidak mungkin orang lain pun pernah
menyaksikan atau mengalaminya. Dan, barangkali saja
penduduk desa lain pernah melihat atau mendengar tentang
berita itu. Boleh jadi mereka juga pernah mengalaminya," ujar
Kenanga yang pikirannya mulai terbuka ketika mendengar
penuturan Panji.
"Yahhh..., mudah-mudahan saja dugaan kita tidak meleset
jauh," desah Panji penuh harap. Setelah berkata demikian,
pemuda itu mengajak Kenanga untuk mempercepat
langkahnya.
Sesaat kemudian, terlihatlah dua sosok bayangan hijau dan
putih berkelebatan di antara pepohonan dan semak belukar.
Jelas, mereka sengaja memilih jalan pintas untuk dapat tiba
lebih cepat di desa-desa yang mereka maksudkan.
Sepasang pendekar yang merasa mempunyai kewajiban
untuk mengungkap misteri Desa Siluman terus melesat bagai
dua bayangan hantu yang tengah berkejar-kejaran. Sepertinya
mereka menemukan semangat baru untuk segera
mengungkapkan keanehan-keanehan yang mereka temukan di
desa terpencil itu.
***
Hari sudah mulai beranjak sore, ketika Kenanga dan Panji
menyusuri jalanan. Di sepanjang jalan lebar yang
menghubungkan satu desa ke lain desa, mereka sesekali
bertemu dengan para petani yang baru kembali dari sawah.
Dan lari keduanya mulai diperlambat ketika jalanan yang
dilewati semakin ramai dilalui para petani.
"Mengapa kita tidak bertanya kepada salah seorang dari
petani itu, Kakang? Siapa tahu dari mereka kita bisa
memperoleh keterangan," tanya Kenanga yang merasa heran
melihat kekasihnya tidak berusaha mencari keterangan dari
salah seorang petani yang mereka temui.
"Aku sengaja hanya menyapa mereka sekadar basa-basi
orang asing. Menurutku, lebih baik kita menemui langsung
kepala desanya. Dengan demikian, kita tidak membuat resah
hati para petani itu, tentu saja kalau mereka tidak
mengetahuinya sama sekali. Lain halnya kalau orang yang kita
tanya, memang telah melihat atau mengalaminya. Mungkin kita
akan mendapatkan sedikit keterangan, dan mungkin juga
dilebih-lebihkan. Tapi, kalau petani yang kita mintai keterangan
sama sekali tidak mengetahuinya. Bukankah hal itu justru akan
meresahkan mereka? Jadi, menurutku, lebih mudah mencari
keterangan dari penguasa desa. Mereka tentu akan
memberikan keterangan sebagaimana yang mereka ketahui,
tanpa ditambahi bumbu-bumbu penyedap cerita," jawab Panji,
mengemukakan alasan mengapa ia tidak mecari keterangan
dari para petani yang mereka temui di jalan.
Mendengar penjelasan kekasihnya, Kenanga hanya
mengangguk-anggukkan kepala. Sepertinya gadis jelita itu telah
mengerti dan menyadari kekeliruannya. Alasan yang
dikemukakan Panji memang sangat tepat sekali. Sehingga, ia
menerimanya tanpa membantah lagi.
Sepasang pendekar yang kini tidak lagi berlari dalam
melanjutkan perjalanannya itu, sejenak mengerutkan kening.
Tampak, di mulut desa yang hanya tinggal lima atau enam
tombak lagi, dijaga ketat oleh beberapa orang keamanan desa.
Dugaan bahwa orang-orang itu adalah penjaga keamanan
desa, mudah diketahui dari pakaian mereka yang rata-rata
serupa satu sama lainnya. Sehingga orang-orang luar yang
baru pertama kali singgah di desa itu pun langsung dapat
menebaknya. Demikian pula halnya dengan Panji dan Kenanga.
"Sepertinya desa itu dijaga ketat, Kakang. Menilik dari raut
wajah para keamanan desa itu, mudah diduga kalau mereka
pasti akan menahan kita. Lalu mereka akan melontarkan
berbagai macam pertanyaan," bisik Kenanga sambil terus
melangkah di samping kekasihnya.
"Hm..., melihat dari ketatnya desa itu terjaga, ada
kemungkinan mereka tengah menghadapi sesuatu yang
mengancam keselamatan penduduknya. Mudah-mudahan saja
apa yang mereka takuti, mempunyai hubungan dengan apa
yang ingin kita cari," sahut Panji berharap.
"Sahabat, harap berhenti sebentar...!"
Ketika sepasang pendekar itu tiba di mulut desa, salah
seorang dari penjaga itu berseru sambil mengangkat tangan
kanannya ke atas. Kemudian, ia bergerak maju dengan
ditemani empat penjaga lainnya yang mengapit lelaki pertama
itu.
Lelaki bertubuh kekar yang sepertinya merupakan pimpinan
para penjaga itu, menatap Panji dan Kenanga dengan penuh
selidik. Kumisnya yang tebal dan hitam itu tampak bergerak-
gerak ketika menatap raut wajah dara jelita berpakaian hijau
itu. Terlihat lelaki itu agak salah tingkah ketika Kenanga
membalas tatapannya dengan tidak kalah tajam. Sehingga,
lelaki itu mengalihkan pandangannya ke wajah Panji. Jelas,
lelaki itu tidak sanggup menentang tatapan mata yang indah
dari gadis jelita itu.
"Kalian pasti bukan penduduk Desa Pawetan ini? Kalau aku
boleh tahu, siapakah kalian berdua? Dan apa tujuan kalian
singgah di desa ini? Harap dijawab dengan jujur, agar kalian
tidak mengalami kesulitan," tanya lelaki kasar berkumis tebal
itu, yang mengakhiri pertanyaannya dengan sebuah ancaman.
"Maaf, Paman," sahut Panji sambil membungkukkan
tubuhnya sedikit sebagai tanda hormat kepada lelaki berusia
sekitar empat puluh tahun itu. "Kami berdua datang ke desa ini
dengan tujuan hendak menemui Kepala Desa Pawetan.
Sedangkan kepentingan kami, terpaksa tidak bisa kami
sampaikan kepada Paman. Tapi percayalah, kedatangan kami
tidak bermaksud jahat. Harap Paman suka mengabarkannya
kepada kepala desa...," jawab Panji tetap dengan nada sopan,
dan bibir terhias senyum.
"Ingin menemui kepala desa...?" tegas lelaki berkumis lebat
itu dengan kening berkerut. Sepasang matanya tampak
menyipit merayapi wajah Panji. Jelas, ada nada tidak senang
dalam kata-katanya.
"Benar, Paman. Ada suatu hal penting yang harus kami
sampaikan kepada Kepala Desa Pawetan ini," jelas Panji lagi.
"Hm..., kalian adalah orang-orang asing, yang sama sekali
tidak kami kenal. Kalau memang ada urusan, katakanlah
kepadaku, biar nanti aku yang akan menyampaikan kepada
kepala desa. Nah, sekarang katakanlah," tegas lelaki berkumis
lebat itu dengan nada memaksa.
"Sekali lagi aku mohon maaf, Paman. Persoalan yang akan
kami sampaikan ini sangatlah penting. Kami khawatir kalau
berita ini akan meresahkan Paman, atau bahkan seluruh
penduduk desa ini. Jadi, harap Paman mengerti," Panji tetap
tidak mengatakan kepentingannya, dan bersikeras ingin
menyampaikannya sendiri kepada Kepala Desa Pawetan.
Sikap Panji itu tentu saja dianggap bantahan yang membuat
kepala keamanan desa itu tersinggung. Ditatapnya pemuda
tampan itu dengan sorot mata tajam. Nyata sekali kalau ia
sangat gusar dengan penolakan Panji.
"Hm..., kalau memang begitu keinginanmu, lebih baik tidak
usah kau sampaikan kepentinganmu. Dan, silakan
meninggalkan desa ini. Sikapmu sangat menjengkelkan!" ujar
lelaki berkumis lebat itu dengan wajah gelap. Sambil berkata
demikian, tangannya terulur ke depan dengan sikap mengusir.
Jelas, keputusan lelaki itu tidak bisa dirubah.
Kenanga yang sejak tadi hanya diam mendengarkan
perdebatan itu, tentu saja menjadi dongkol melihat sikap kasar
lelaki itu. Dengan sorot mata yang tajam, gadis jelita itu
melangkah melewati Panji, dan berdiri bertolak pinggang di
hadapan kepala keamanan desa itu.
"Dengarlah, Kisanak!" ujar Kenanga ketus. "Apa yang akan
disampaikan kawanku ini, menyangkut keselamatan seluruh
penduduk Desa Pawetan, bahkan mungkin seluruh penduduk
desa di sekitar daerah ini. Dan kalau kau bersikeras tidak
mengizinkan kami menghadap kepala desa, itu sama artinya
kau ingin mencelakakan seluruh penduduk desa di sekitar
daerah ini! Camkan itu...!"
"Apa..., apa maksudmu...?" cetus lelaki berkumis lebat itu
dengan wajah semakin berubah. Dalam ucapannya terkesan
rasa heran dan penasaran dalam.
"Tidak perlu kau mengetahui maksud ucapanku! Yang
penting sekarang, bawalah kami menghadap kepala desa, titik!"
tukas Kenanga tanpa mempedulikan sikap lelaki itu yang
nampak mulai kebingungan.
Sedangkan empat orang yang berada di kiri kanan kepala
keamanan desa itu, saling pandang dengan wajah berubah.
Jelas kalau ucapan Kenanga telah menimbulkan pengaruh
kepada mereka.
"Tidak bisa!" ujar lelaki berkumis lebat itu membentak
jengkel. Sebagai kepala keamanan desa, tentu saja ia tidak
ingin wibawanya turun di mata anak buahnya. Sehingga,
meskipun hatinya mulai ragu, ia tetap mempertahankan
keputusannya.
"Kalau begitu, aku terpaksa menggunakan kekerasan untuk
dapat menemui kepala desa!" bentak Kenanga tak mau kalah.
Bahkan gadis jelita itu siap bertempur.
"Terserah, kalau itu keinginanmu! Kami tetap tidak
mengizinkan kalian masuk ke desa ini!" sambil berkata
demikian, kepala keamanan desa itu melangkah mundur dua
tindak, dan bersiap menghadapi serangan. Melihat pedang
yang tergantung di pinggang gadis itu, ia pun sadar kalau yang
dihadapinya bukanlah wanita lemah.
Panji yang memang tidak menghendaki kekerasan, segera
menyentuh lengan kekasihnya. Sehingga, gadis jelita yang
sudah siap menerjang itu tarpaksa menahan gerakannya. Lalu,
kepalanya menoleh ke arah Panji dengan pandangan menuntut
jawaban atas sikap pemuda itu.
"Biarlah kita mengalah, Kenanga. Kekerasan hanya akan
menimbulkan persoalan baru, dan membuat suasana menjadi
keruh. Sebaiknya kita turuti saja apa kemauan mereka," bujuk
Panji dengan wajah tetap tenang.
"Tapi, Kakang...."
"Sudahlah. Persoalan yang satu belum lagi terungkap,
sekarang kau hendak membuat persoalan baru?" ucap Panji
lagi dengan nada lembut, sambil mengerdipkan sebelah
matanya. Jelas sekali kalau pemuda itu mempunyai rencana
lain yang mungkin baru didapatnya.
"Hm.., baiklah kalau memang begitu," ujar Kenanga yang
mengerti isyarat kerdipan mata kekasihnya.
"Kami permisi dulu, Paman...," pamit Panji sambil menggamit
lengan kekasihnya. Kemudian, mereka pergi meninggalkan para
keamanan desa itu, yang melepas kepergian keduanya dengan
tatapan lega. Nampaknya mereka tidak begitu suka bertarung.
Semua itu nyata dari pandangan maupun helaan napas lega
beberapa orang dari mereka.
"Entah apa yang ingin mereka sampaikan kepada kepala
desa. Nampaknya begitu penting...," gumam salah seorang dari
penjaga keamanan desa itu, dengan wajah penasaran.
"Sudahlah, tidak perlu dipusingkan. Yang penting, kita telah
menjalankan tugas dengan baik, seperti yang dipesankan Ki
Wirjasana," tukas lelaki berkumis tebal itu yang sepertinya
merasa tidak senang dengan ucapan salah seorang anak
buahnya. Kemudian, tanpa banyak bicara lagi kakinya pun
kembali melangkah ke gardu.
***
"Mengapa Kakang mencegahku? Orang kasar seperti mereka
memang sepatutnya diberi pelajaran, biar mereka tahu siapa
kita," Kenanga yang sepertinya merasa tak puas dengan sikap
Panji tadi, mengungkapkan rasa ketidakpuasannya ketika
keduanya menyusuri jalan yang menuju ke luar desa.
"Tidak baik mencari keributan tanpa sebab yang jelas.
Mereka tidak bersalah sama sekali, dan mungkin mereka hanya
menuruti perintah atasan saja. Jadi, sebaiknya kita menemui
kepala desa itu tanpa perantara mereka," jawab Panji
tersenyum melihat wajah Kenanga yang masih jengkel.
Kemudian dibelainya rambut gadis itu dengan penuh kasih.
"Maksud Kakang...?" tanya Kenanga meminta ketegasan.
"Kita terpaksa masuk ke desa itu secara diam-diam, dan
langsung menemui kepala desa, guna menyampaikan dugaan-
dugaan kita," jelas Panji lagi sambil merapatkan tubuh
kekasihnya, dan memeluk tubuh gadis jelita itu erat-erat.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi, Kakang? Malam nanti kita
harus sudah berada di Desa Kalianyar. Aku masih penasaran
dengan misteri yang kita temui semalam," ujar Kenanga
mengingatkan.
"Hm..., baiklah. Kita terpaksa harus menggunakan
kepandaian, agar dapat bertemu dengan Kepala Desa Pawetan
itu," sahut Panji setelah mendengar ucapan kekasihnya, yang
mengingatkan tentang niat mereka untuk kembali ke Desa
Kalianyar malam hari nanti.
Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, keduanya bergegas
mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Sehingga dalam
sekejap mata saja, sepasang pendekar itu telah lenyap. Yang
tampak hanya dua sosok bayangan yang berkelebatan di antara
pepohonan.
Tidak berapa lama kemudian, keduanya mulai memasuki
desa melalui perkebunan penduduk. Terus berlompatan di atas
atap-atap rumah penduduk. Untunglah saat itu hari telah
menjelang malam. Sehingga, mereka tidak perlu merasa
khawatir akan dipergoki penduduk. Hanya satu dua orang yang
masih terlihat di jalan-jalan. Itu pun adalah petani-petani yang
terlambat pulang.
Setelah melewati belasan rumah penduduk, sepasang
pendekar itu tiba di atas atap balai desa. Tidak sulit bagi
keduanya untuk mencari rumah Kepala Desa Pawetan. Karena
rumah penguasa desa itu paling besar di antara rumah
penduduk. Dan untuk menandakannya pun tidak sulit. Adanya
beberapa orang penjaga di depan halaman, menunjukkan
rumah itu pastilah milik kepala desa.
Ketika keduanya telah berada di dalam lingkungan rumah
Kepala Desa Pawetan, Panji mengisyaratkan kepada kekasihnya
untuk melayang turun, dan merapat ke dinding rumah.
Kemudian, mereka terus menyelinap ke pekarangan depan.
Tok, tok, tok..!
Karena tidak ingin menimbulkan kegemparan dengan cara
masuk sembunyi-sembunyi, Panji segera mengetuk pintu tebal
yang menghubungkan ke ruangan depan rumah besar itu.
Pemuda itu menunggu beberapa saat, untuk memastikan
bahwa orang yang ada di dalam rumah itu mendengar
ketukannya.
Tidak berapa lama kemudian, terdengar langkah kaki menuju
ke pintu. Panji dan Kenanga mundur dua tindak, ketika pintu
berderit terbuka.
Seorang lelaki kurus berusia sekitar lima puluh tahun, berdiri
di ambang pintu menatap pasangan pendekar muda itu.
Sejenak mata tuanya tampak menyipit, seolah-olah ingin
mengenali kedua orang tamunya itu.
"Ada perlu apa...?" tanya lelaki setengah baya itu tanpa
mempersilakan kedua tamunya masuk.
"Kami ingin bertemu dengan Kepala Desa Pawetan yang
bernama Ki...," sengaja Panji menggantung kata-katanya
seperti ingin memancing tanggapan lelaki setengah baya itu.
"Ki Wirjasana...," sambut lelaki yang dari penampilannya
jelas seorang pelayan.
"Benar, Ki Wirjasana," tegas Panji seraya tersenyum. Karena
pancingannya membawa hasil yang baik. "Kami berdua adalah
kerabatnya yang datang dari jauh. Dan, kami berdua ingin
berjumpa dengannya. Tolong sampaikan kepada Paman kami
itu," jelas Panji berbohong untuk memudahkan mereka
bertemu dengan Ki Wirjasana.
"Ohhh, baik-baik.... Saya akan sampaikan. Silakan..., silakan
masuk...," sambut pelayan setengah baya itu yang karuan saja
bersikap ramah ketika mendengar pemuda tampan itu
menyebut majikannya sebagai 'paman'.
"Hi hi hi..., tak kusangka, Pendekar Naga Putih bisa juga
berbohong...," Kenanga tertawa lirih karena tak menduga
kekasihnya akan menggunakan kecerdikan untuk berjumpa
dengan Kepala Desa Pawetan. Tentu saja ucapan itu
dikeluarkan setelah pelayan setengah baya itu meninggalkan
mereka untuk memberi tahu majikannya.
Tidak berapa lama, setelah keduanya duduk di ruangan
depan, terdengar suara langkah kaki berat mendatangi mereka.
Serentak pasangan pendekar itu berdiri, ketika seorang lelaki
berusia sekitar lima puluh tahun, berdiri tegak merayapi wajah
mereka dengan kening berkerut.
"Siapakah kalian berdua? Rasanya aku belum pernah melihat
kalian sebelumnya...," ujar lelaki gagah yang wajahnya bersih
tanpa jenggot maupun kumis itu. Meskipun demikian,
penampilannya tampak berwibawa. Sehingga, baik Panji
maupun Kenanga langsung bisa menduga kalau lelaki itu
adalah Kepala Desa Pawetan yang bernama Ki Wirjasana.
"Maaf, kami terpaksa berbohong, karena ada suatu hal yang
penting akan kami bicarakan...," Panji langsung saja
menyambut Kepala Desa Pawetan itu sambil membungkukkan
tubuh. Kemudian memperkenalkan diri kepada lelaki setengah
baya itu.
"Hm..., demikian pentingkah berita yang akan kalian
sampaikan kepadaku?" tukas Ki Wirjasana setelah kedua
tamunya memperkenalkan diri.
"Bagi kami sebenarnya tidak terlalu penting. Tapi, karena
persoalan ini menyangkut kepentingan orang banyak, maka
kami terpaksa memberanikan diri untuk berjumpa dengan Ki
Wirjasana. Kami membutuhkan beberapa keterangan, yang
mungkin bisa kami peroleh dari Aki...," jelas Panji membuka
percakapan, ketika ketiganya telah duduk saling berhadapan.
Ki Wirjasana tidak segera menanggapi ucapan Panji. Lelaki
gagah itu termenung baberapa saat, sambil melepaskan
pandangannya ke luar jendela yang terbuka lebar. Terdengar
helaan napasnya yang berkepanjangan.
TUJUH
Panji memandangi wajah Ki Wirjasana yang seperti tengah
memikirkan apa yang dimaksud dengan kedua tamunya itu.
Beberapa saat kemudian, orang tua itu baru mengalihkan
pandangannya kepada Panji.
"Hm.... Maaf, aku tidak bisa menduga sebenarnya apa yang
kalian maksudkan. Kuharap kalian mau menceritakannya
kepadaku...," pinta Ki Wirjasana setelah tidak dapat menduga
persoalan yang ingin disampaikan pasangan muda itu
kepadanya.
Untuk beberapa saat lamanya, Panji terdiam. Seolah-olah
Pendekar Naga Putih ingin mencari kata kata yang tepat untuk
memulai ceritanya. Setelah itu, baru ia menceritakan maksud-
maksud kedatangannya menjumpai kepala desa itu.
Ki Wirjasana sama sekali tidak menyela cerita pemuda itu.
Semua yang diceritakan Panji sepertinya didengar dengan
penuh perhattan. Beberapa kali terlihat kening lelaki setengah
baya itu berkerut, dengan wajah berubah kelam. Bahkan lelaki
itu sempat terlompat dari kursinya ketika Panji menceritakan
tentang orang-orang berpakaian serba hijau yang
mengeroyoknya.
"Begitulah, Ki. Kami merasa curiga ketika melihat kepala
beberapa orang wanita, yang menurutku berumur sekitar
delapan belas sampai dua puluh tahun. Sayang, wajah mereka
telah membengkak, sehingga sulit dikenali. Sedangkan
keperluan kami datang ke sini, ingin menanyakan kalau-kalau
ada warga Desa Pawetan ini yang lenyap tanpa jejak," ujar
Panji menutup ceritanya. Kemudian menatap Ki Wirjasana
dengan penuh harap.
"Desa Siluman...?" desis Kepala Desa Pawetan itu. "Rasanya
aku belum pernah mendengar tentang nama itu. Setahuku, di
sekitar daerah ini tidak ada nama desa yang menimbulkan
kesan seram seperti itu. Juga, selama ini aku tidak pernah
kehilangan warga desa. Apalagi berupa gadis-gadis muda.
Hhh..., sebenarnya ingin sekali aku bisa membantu kalian. Tapi,
sayangnya aku tidak tahu apa-apa. Apalagi beberapa hari ini
aku masih dipusingkan oleh perampok yang muncul dan
menghilang setelah merampas harta beberapa penduduk di
desa ini. Itulah sebabnya, mengapa para penjaga keamanan
desa mencurigai dan tidak memperbolehkan kalian memasuki
desa ini. Kuharap kalian berdua dapat memaklumi sikap
mereka," ujar Ki Wijasana menjelaskan keadaan desanya
dengan wajah agak menyesal. Sepertinya orang tua itu merasa
tidak enak karena tidak bisa memberikan keterangan, seperti
yang diterapkan Panji dan Kenanga.
"Aneh...?" desis Panji yang merasa heran karena kepala desa
itu belum pernah mendengar sama sekali tentang Desa
Siluman. Bahkan orang tua itu berani memastikan kalau nama
itu tidak ada di sekitai daerahnya.
"Maaf, kalau aku telah mengecewakan harapan kalian. Tapi,
kalau memang kalian memerlukan bantuan, jangan ragu-ragu.
Aku akan membantu sekuat tenagaku. Sayang, aku tidak
mempunyai keterangan yang dapat menjadi pegangan kalian
untuk menyingkap misteri itu," sesal Ki Wirjasana seraya
menghela napas panjang.
"Lalu, bagaimana dengan para perampok itu, Ki. Apakah
mereka masih suka mengganggu?" tanya Kenanga tiba-tiba.
Meskipun gadis jelita itu berusaha untuk bersikap wajar, tapi
tak urung Ki Wirjasana dapat menangkap nada selidik dalam
ucapan tamunya.
"Dua hari yang lalu, mereka kembali datang menjarah desa
ini. Tapi, sebelumnya kami memang telah bersiap, maka para
perampok itu dapat dipukul mundur, dan pergi tanpa hasil.
Entah, mereka masih berani kembali atau tidak. Namun, kami
tetap waspada dan akan mempertahankan desa ini dengan
taruhan nyawa," jawab Ki Wirjasana seraya tersenyum.
Sepertinya Kepala Desa Pawetan ini sama sekali tidak
tersinggung dengan kecurigaan gadis jelita itu.
"Baiklah, Ki. Kalau begitu kami mohon pamit. Maaf, kalau
kedatangan kami telah mengganggumu," ujar Panji yang
segera pamit, karena tidak ada yang diharapkan dari Kepala
Desa Pawetan itu.
"Silakan, Kisanak. Dan, jangan ragu-ragu untuk meminta
bantuanku, kalau memang diperlukan," kembali Ki Wirjasana
menawarkan jasa baiknya, sebelum kedua tamunya pergi.
"Terima kasih. Kami akan selalu ingat kebaikan Ki
Wirjasana," sahut Panji seraya tersenyum. Kemudian, pasangan
pendekar itu melangkah meninggalkan tempat kediaman Ki
Wirjasana, dengan diiringi tatapan mata lelaki tua itu.
Panji tidak peduli sama sekali ketika para penjaga yang
berada di depan rumah besar itu menatap mereka dengan rasa
heran. Sepertinya mereka terus berpikir, mengapa tahu-tahu
saja ada dua orang tamu yang meninggalkan rumah Ki
Wirjasana. Padahal, mereka tahu kalau tidak ada seorang pun
yang memasuki rumah besar itu, selama mereka berdiri di
depan gardu.
Tanpa mempedulikan tatapan yang mengandung pertanyaan
dari para penjaga itu, Panji mengangguk pamit kepada mereka.
Dan, terus saja melangkah meski para penjaga itu tidak segera
membalasnya, karena masih diliputi rasa heran.
***
"Hhh..., semuanya masih serba gelap. Tak satu petunjuk pun
yang dapat kita jadikan pegangan untuk mengungkap misteri
Desa Siluman itu. Apakah kita memang telah salah lihat,
Kakang," ungkap Kenanga ketika keduanya tengah menyusuri
jalan utama Desa Pawetan. Kali ini mereka tidak lagi bergerak
secara sembunyi-sembunyi. Keduanya terus melangkah menuju
mulut desa.
"Apa yang kita hadapi kali ini memang sangat aneh dan
membuat hati penasaran. Hal itulah yang membuatku semakin
bersemangat untuk mengungkapnya. Apa boleh buat, kita
terpaksa harus kembali ke Desa Kalianyar. Karena dari desa
itulah kita pertama kali menemukannya," sahut Panji yang
meskipun persoalannya masih gelap, tapi tidak menyerah
begitu saja.
"Kejadian waktu itu kalau tidak salah, tepat tengah malam.
Berarti kita harus sudah berada di Desa Kalianyar tepat pada
waktu yang sama," gumam Kenanga seolah berkata pada
dirinya sendiri.
"Benar. Sekarang hari sudah gelap. Sebaiknya kita
mengerahkan ilmu meringankan tubuh untuk sampai tepat
tengah malam, atau kalau bisa sebelum tengah malam," ucap
Panji yang sempat mendengar ucapan kekasihnya.
Tak berapa lama kemudian, pasangan pendekar muda itu
melesat bagaikan kilat. Mereka tidak peduli sama sekali,
meskipun saat itu tengah melintasi jalan utama Desa Pawetan.
Sehingga, pada saat keduanya melewati gardu penjagaan di
mulut desa itu, terdengar teriakan-teriakan terkejut dari
beberapa penjaga keamanan desa yang melihat bayangan
mereka.
Tapi, baik Panji maupun Kenanga, sama sekali tidak
mempedulikan hal itu, keduanya malah semakin menambah
kecepatan. Ketika telah melewati batas Desa Pawetan.
Sehingga dalam waktu singkat, keduanya telah jauh
meninggalkan desa itu.
***
Malam tampak semakin bertambah kelam. Udara dingin yang
menusuk tulang berhembus keras tiada henti-hentinya.
Lolongan anjing hutan yang saling bersahutan. makin
menambah keseraman malam. Apalagi saat itu bulan tengah
purnama. Semakin lengkaplah keseraman menyelimuti suasana
sang malam.
Kenanga dan Panji telah tiba di mulut Desa Kalianyar, ketika
malam sudah semakin larut. Suasana desa yang sunyi,
membuat keduanya mengerutkan kening. Karena di mulut desa
itu tidak terlihat seorang pun yang berjaga-jaga..
"Aneh. Apalagi yang harus kita hadapi kali ini..?" desis
Kenanga mengusap kuduknya yang terasa meremang.
Panji sama sekali tidak menanggapi ucapan kekasihnya itu,
ia hanya memberi isyarat agar Kenanga mengikutinya.
Kemudian, keduanya bergerak menuju Selatan desa. Mereka
sengaja tidak memasuki desa itu melalui tempat yang
semestinya. Karena Panji merasa curiga dengan kesunyian
yang menyelimuti desa itu Sehingga, diputuskannya untuk
mengambil jalan berputar dan tidak melalui jalan utama desa
itu.
"Gila! Kemana perginya penduduk desa ini...?" desis Panji
heran ketika ia tidak menemukan seorang pun di desa itu.
Beberapa rumah yang didatangi secara sembunyi-sembunyi,
ternyata kosong dan tidak berpenghuni.
Rasa heran pemuda itu berubah menjadi rasa penasaran dan
kegemasan. Setelah hampir seluruh rumah di desa itu
diperiksanya, tidak seorang pun yang dijumpainya. Aneh!
Seluruh penduduk desa kecil itu sepertinya telah pergi atau
lenyap ditelan bumi.
"Mungkin ini suatu jebakan, Kakang...?" desis Kenanga yang
merasa tegang ketika mengetahui desa itu sama sekali tidak
berpenghuni. Padahal, pagi tadi ia melihat desa itu sangat
ramai, dan sama sekali tidak terdapat tanda-tanda yang
mencurigakan. Kenyataan itu tentu saja membuatnya gemas.
"Aku rasa tidak," sahut Panji pelan. "Sebab, kalau memang
mereka menjebak kita, tidak semestinya desa ini dikosongkan
seluruhnya. Kau lihat sendiri, jangankan laki-laki dewasa,
bahkan wanita dan anak-anak pun, sama sekali tidak ada.
Entah apa yang telah menimpa desa ini sepeninggal kita tadi,"
desah Panji semakin bertambah penasaran.
"Aneh, ke mana mereka pergi...?" desah Kenanga tanpa
menuntut jawaban. Sepertinya gadis jelita itu berbicara hanya
untuk melenyapkan perasaan tegang di hatinya.
Kenanga melipat tangannya ketika hembusan angin dingin
bertiup keras menerpa tubuhnya. Giginya bergemeletukan
karena hawa yang terasa dingin menusuk tulang.
Dikejauhan terdengar lolongan anjing hutan saling
bersahutan. Suasana desa itu pun semakin mencekam. Apalagi
ketika hembusan angin semakin keras berhembus, sehingga
pepohonan berderak ribut.
Namun, meskipun suasana demikian seram dan mendirikan
bulu roma, Panji sama sekali tidak terpengaruh. Pemuda yang
semenjak kecil telah menerima gemblengan dari seorang tokoh
sakti itu, tetap tenang dan bersiaga penuh.
Kenanga sendiri sebenarnya seorang gadis pendekar yang
tak pernah mengenal rasa takut itu, sempat juga bulu
kuduknya berdiri. Hanya karena ada Panji di sampingnya, yang
membuat hati gadis jelita itu menjadi tenang.
"Hm..., desa ini tidak mungkin ditinggalkan begitu saja oleh
penghuninya. Pasti ada sesuatu yang memaksa mereka pergi
dari sini," gumam Panji sambil berpikir keras untuk menemukan
jawaban atas pertanyaannya.
Panji terus berpikir sambil melangkah perlahan menyusuri
jalan utama desa itu. Untunglah suasana yang pekat itu agak
berkurang. Karena bias sinar rembulan yang penuh itu, cukup
menerangi jalan yang dilalui pasangan pendekar itu.
"Bulan pumama...," tiba-tiba saja Panji mendongak dengan
kening berkerut. Sejenak dipandanginya sang dewi malam
sambil menduga-duga sesuatu. Kemudian, dihubungkannya
semua pengalaman beberapa hari itu dengan kemunculan sang
dewi malam.
"Apa yang kau pikirkan, Kakang...?" Kenanga bertanya
karena merasa heran melihat kekasihnya menatapi rembulan,
dan terlihat tengah berusaha mengingat sesuatu. Gadis jelita
itu pun ikut menatapi sang dewi malam, tanpa tahu apa yang
harus dicarinya.
"Wajah-wajah pucat seperti mayat hidup, kepala-kepala
tanpa tubuh, dan sikap-sikap aneh...," kembali Panji
menggumam, membuat Kenanga semakin bertambah heran.
"Kakang...," panggil gadis jelita itu sambil mencekal lengan
Panji. Bukan hanya suara gadis itu yang bergetar, bahkan
wajahnya pun terlihat tegang.
"Mari ikut aku...," ujar Panji setelah menduga kemana
perginya orang-orang desa itu.
Tanpa banyak cakap lagi, Kenanga pun melesat mengikuti
Panji. Meskipun belum mengerti apa yang akan dilakukan
pemuda itu, namun Kenanga yakin kekasihnya telah
menemukan sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk. Itulah
sebabnya, ia tidak banyak bertanya lagi.
Benak Kenanga semakin dipenuhi bermacam pertanyaan,
ketika menyadari bahwa mereka tengah melangkah menuju
daerah perbukitan yang letaknya di luar Desa Kalianyar. Tapi,
gadis itu tetap bungkam dan hanya mengikuti ke mana pemuda
itu berlari.
"Kau dengar suara-suara aneh itu...?" tanya Panji sambil
memperlambat larinya. Sehingga, Kenanga dapat menjajarinya.
"Ya, aku mendengarnya, Kakang. Suara-suara aneh yang
menimbulkan kesan menyeramkan," desis Kenanga sambil
mengusap kuduknya yang terasa meremang.
Tidak berapa lama kemudian, pasangan pendekar itu pun
tiba di bibir lembah, tempat di mana mereka mencium bau
bangkai siang tadi.
"Lihat..," bisik Panji sambil menudingkan jari telunjuknya ke
satu arah. Tempat yang ditunjuk pemuda itu, tampak merah
menyala dengan gumpalan asap yang kian menebal, "Kalau
dugaanku tidak keliru, mungkin di tempat itu mereka tengah
melakukan sebuah upacara. Barangkali ada yang akan dijadikan
korban dalam upacara itu," lanjut Panji perlahan.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan? Kalau menilik dari suara-
suara aneh yang bergaung menyeramkan itu, jelas jumlah
mereka sangat banyak, Kakang…" desah Kenanga yang mulai
menduga, apa yang bakal mereka hadapi di tempat itu.
"Hm..., apa pun yang akan terjadi, kita harus mencegahnya,"
desis Panji seraya mengepalkan jemari tangannya keras-keras
sambil menggertakkan giginya.
"Tapi...."
"Sudahlah. Mari kita lihat, apa yang sebenarnya tengah
terjadi di tempat itu...," tukas Panji yang membuat kekasihnya
tidak sempat berpikir lebih jauh. Pemuda itu langsung meluncur
turun sambil menggenggam jemari Kenanga.
Ketika pasangan pendekar itu semakin dekat, tampak rona
kemerahan yang mereka lihat itu semakin jelas dan mulai
terlihat pijaran lidah-lidah api. Meskipun demikian, keduanya
terus melangkah maju untuk memastikan dugaannya.
Apa yang mereka lihat kemudian, memang tidak meleset dari
dugaan Panji. Kira-kira belasan tombak jaraknya di depan
mereka, terlihat sebuah pemandangan yang menyeramkan.
Puluhan wanita-wanita setengah telanjang, tengah menari-nari
seperti orang kerasukan setan.
Sementara di belakang para penari itu, ratusan orang
menggerak-gerakkan tangan dan tubuhnya dalam keadaan
duduk bersila. Jelas, kalau orang-orang itu tengah mengadakan
sebuah upacara penyembahan terhadap sesuatu yang
didewakannya.
"Kakang, lihat itu...!" desis Kenanga sambil menunjuk di
sebelah depan para penari yang bergerak kian cepat dan liar.
Panji mengarahkan pandangannya ke arah yang dltunjuk
Kenanga. Sepasang mata pemuda itu menyipit, ketika melihat
tiga sosok tubuh berambut panjang itu terikat pada sebuah
tonggak kayu. Pemuda itu langsung saja menduga, kalau tiga
sosok tubuh yang tengah terikat itu adalah wanita-wanita yang
akan dijadikan persembahan.
Sambil menggertakkan gigi penuh kegeraman, Panji terus
merayapi sekeliling tempat itu. Dengan mengerahkan kekuatan
pada sepasang matanya, pemuda itu melihat sesosok tubuh
tinggi kurus dan agak bungkuk melangkah ke sebuah tempat
yang lebih tinggi.
"Kakek pencari kayu bakar...!" desis Panji kaget ketika
mengenali sosok tinggi kurus dan agak bungkuk itu. Rasa
kagetnya makin menjadi-jadi, tatkala mengenali salah satu dari
empat orang pendamping laki-laki tua itu.
"Mengapa, Kakang...?" tanya Kenanga yang merasa terkejut
ketika mendengar kekasihnya menggeram perlahan.
"Hm..., pantas saja Ki Wirjasana tidak mengetahui apa yang
terjadi di Desa Kalianyar. Rupanya ia juga termasuk pengikut
kakek iblis itu...," Panji merasa geram. Karena Ki Wirjasana,
sang Kepala Desa Pawetan, juga menjadi pengikut manusia-
manusia sesat itu.
"Apa yang hendak kau lakukan, Kakang...?" tanya Kenanga
ketika melihat Panji akan melompat keluar dari
persembunyiannya.
"Tidak ada jalan lain, kita harus mencegah mereka...," sahut
Panji tegas.
"Tapi jumlah mereka banyak sekali, Kakang. Kalaupun kita
dapat merobohkan sebagian dari mereka, kita bisa kehabisan
tenaga," cegah Kenanga yang merasa khawatir melihat
banyaknya jumlah musuh.
"Tidak perlu cemas, Kenanga. Mudah-mudahan saja orang-
orang desa yang tak berdosa itu masih bisa disadarkan. Dengan
demikian, kita hanya menghadapi dedengkot-dedengkotnya
saja," jawab Panji yang telah memperhitungkan tindakannya.
Setelah berkata demikian, tubuh pemuda itu segera melesat
keluar dari tempat persembunyiannya. Sehingga, mau tak mau
Kenanga pun harus mengikutinya.
"Tunggu...!"
Teriakan Panji yang lantang dengan pengerahan tenaga
dalam tinggi itu, menggelegar dan memenuhi daerah sekitar
perbukitan. Perbuatan pemuda itu tentu saja membuat upacara
itu terhenti sejenak, dan hampir semua menoleh ke arah Panji
dan Kenanga.
"Hm..., rupanya kita kedatangan tamu istimewa malam ini,"
terdengar suara berat yang mengaung memenuhi lembah kecil
itu. "Pendekar Naga Putih! Apakah kau datang untuk
mengantarkan gadis itu...?" suara yang meluncur dari mulut
laki-laki tua bungkuk itu kembali menggelegar.
"Hai, saudara-saudaraku para penduduk desa! Sadarlah
bahwa kalian telah dibodohi oleh kakek iblis itu! Dan, aku yakin
gadis-gadis putri kalian itu, pasti akan dijadikan pemuas nafsu
sebelum dibunuh secara keji!" Panji berseru nyaring tanpa
mempedulikan ucapan laki-laki tua itu.
"He he he.... Kau hanya membuang-buang tenaga, Pendekar
Naga Putih! Mereka semua adalah pengikut-pengikut setiaku.
Jadi, percuma kalau kau punya niat menyadarkan mereka.
Penduduk dari tiga desa di sekitar wilayah ini, telah kujejali
racun perampas ingatan. Sehingga, pada tiap-tiap malam
mereka akan berubah menjadi mayat-mayat hidup yang buas
dan tak mengenal ampun. Sedangkan di siang hari, mereka
akan kembali bersikap wajar. Dan, mereka tidak akan
menyadari apa-apa yang mereka lakukan tiap malam," teriak
laki-laki tua itu dengan suara yang keras.
Sementara Panji dan Kenanga berdiri menatap tajam wajah
laki-laki tua itu.
"Tapi, kalau kau ingin bergabung denganku, tentu saja ada
kekecualian. Kau berdua dengan gadismu yang molek itu, akan
kujadikan pembantu-pembantu utama, yang sekaligus
merupakan wakilku. Bagaimana? Bukankah tawaranku cukup
menarik..?" tanya laki-laki tua itu seraya tersenyum.
"Iblis keji! Aku datang bukan untuk bergabung denganmu.
Justru aku akan mengakhiri kebiadabanmu!" ucap Panji yang
sempat terkejut mendengai ucapan laki-laki tua itu.
Pendekar Naga Putih sadar kalau dirinya telah telanjur, dan
tidak mungkin untuk mundur kembali. Meskipun dirinya
mungkin akan berhadapan dengan ratusan orang-orang tak
berdosa.
"He he he.... Selama ini belum pernah ada seorang pun yang
berani membantah keinginan Datuk Harimau Hitam! Dan, kau
bocah bau kencur! Jangan kau kira nama besarmu akan
membuat aku gentar. Huh!" ujar laki-laki tua yang mengaku
berjuluk Datuk Harimau Hitam itu seraya menudingkan tongkat
kayu hitam di tangannya ke arah Panji dan Kenanga.
Gerakan tongkat yang rupanya sebuah perintah itu, langsung
saja membuat ratusan orang-orang yang semula diam
mematung, serentak bangkit. Dan mereka bergerak perlahan ke
arah Kenanga dan Panji.
DELAPAN
Melihat ratusan orang-orang berwajah pucat itu berloncatan
mengurung mereka, Panji dan Kenanga bergerak cepat saling
melindungi. Panji menyadari lawan-lawannya tengah
dipengaruhi suatu obat, sehingga kekasihnya diperingatkannya
agar jangan melontarkan pukulan yang mematikan.
"Ingat, Kenanga. Mereka adalah orang-orang tak berdosa.
Kalau bisa, buat mereka pingsan dengan totokan," bisik Panji
menegaskan.
"Tapi, kita pasti membutuhkan banyak tenaga untuk
merobohkan mereka satu persatu, Kakang. Juga perlu Kakang
ingat, mereka memiliki kekebalan tubuh yang aneh," ucap
Kenanga tanpa membantah ucapan kekasihnya, tapi ia
mencoba mengingatkan Panji bahwa yang mereka hadapi kali
ini bukanlah manusia-manusia wajar. Dan, mereka berdua telah
mengetahui kekebalan tubuh orang-orang itu. Maka, wajar
kalau gadis jelita itu merasa agak cemas.
"Kita coba saja. Dan, aku akan berusaha untuk mendekati
biang keladi semua ini," bisik Panji lagi sambil tetap menatap
para pengepung yang telah siap merejam mereka.
"Keakhhh...!"
"Hiakhhh...!"
Kenanga tidak sempat lagi menyahuti ucapan kekasihnya.
Karena saat itu beberapa pengepungnya sudah berlompatan
menerjang dengan disertai pekikan-pekikan serak, bagai
raungan binatang.
"Kita jangan sampai berpisah...," ujar Panji mengingatkan
kekasihnya, sebelum bergerak menyambut terjangan enam
orang lawan yang sudah meluncur dengan cengkeraman maut!
"Baik...," sahut Kenanga yang segera memutar tubuhnya dan
saling bertukar lawan dengan Panji.
Delapan orang lawan yang semula menerjang Kenanga, kini
harus berhadapan dengan Panji. Dengan gerakan secepat kilat,
pemuda itu telah bertukar tempat dengan kekasihnya.
"Heaaahhh...!"
Sambil mengeluarkan bentakan nyaring yang mengejutkan,
Panji merendahkan tubuhnya dengan kuda-kuda harimau.
Seiring dengan itu, tangan kanannya mengibas dengan
menggunakan kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya yang
ampuh.
Terdengar suara berdebuk nyaring susul-menyusul, ketika
lengan kanan pemuda itu menghantam tubuh empat orang
lawannya dengan kecepatan menggetarkan! Empat korban
pukulannya langsung terjungkal hingga satu tombak lebih. Dan,
jatuh berdebuk di atas tanah.
Bettt! Whuttt!
Panji melempar tubuhnya ke belakang ketika serangan
pengeroyok yang lain datang susul-menyusul mengancam
tubuhnya. Sambil berputar, pemuda itu mengirimkan
tendangan berantai. Tak ayal lagi tiga orang pengeroyok yang
terdekat langsung roboh!
Setelah merobohkan tiga orang lawan, tubuh Pendekar Naga
Putih kembali bergulir ke arah Kenanga. Beberapa orang
pengeroyok yang mengancam kekasihnya dengan cengkeraman
dan pukulan, segera dicegah Panji dengan dorongan kedua
tangannya.
Whusss...!
Serangkum hawa dingin menusuk tulang berhembus
menerjang para pengeroyok Kenanga. Tanpa dapat dicegah
lagi, belasan orang pengeroyok itu langsung terjungkal ke
segala arah. Untunglah Panji tidak berniat menewaskan
mereka. Sehingga, belasan orang lawan itu kembali bangkit
dengan raut wajah menyeringai nyeri. Jelas, dorongan telapak
tangan pemuda itu cukup menyakitkan mereka.
Namun, meskipun mereka berhasil merobohkan belasan
orang pengeroyok, tetap saja lawan tidak berkurang. Orang-
orang yang terkena pukulan pasangan pendekar itu, bangkit
dan bergerak membantu teman-temannya yang lain.
"He he he.... Ayo, habiskanlah tenaga kalian! Mereka akan
tetap bangkit, kecuali kalian menggunakan pukulan maut yang
mematikan. Semua pengikutku telah kurendam di dalam sumur
yang kuberi ramuan. Sehingga, mereka kebal terhadap pukulan
maupun senjata tajam," terdengar suara Datuk Harimau Hitam
memanas-manasi pasangan pendekar itu. Tawanya yang serak
terdengar berkepanjangan. Jelas kalau ia merasa gembira
dengan pertunjukan itu.
"Celaka, Kakang! Kalau kita tidak membunuh mereka, pasti
kita sendiri yang akan celaka di tangan orang-orang ini," desis
Kenanga yang rupanya tidak sabar lagi ketika melihat korban
pukulannya selalu bangkit, dan bergabung kembali
mengeroyoknya.
"Gunakan totokan pelumpuh untuk merobohkan mereka...,"
kembali Panji mengingatkan kekasihnya, sambil merobohkan
tiga orang pengeroyok dengan jari tangannya. Sehingga,
korban totokannya itu dan pingsan seketika.
"Tapi kita bisa kehabisan tenaga!" Kenanga bantah ucapan
Panji
Alasan yang diajukan Kenanga memang tidak dibantah
kekasihnya. Apalagi pemuda itu melihat sekujur tubuh
kekasihnya tampak dibanjiri peluh. Jelas, Kenanga telah
berjuang keras untuk merobohkan lawan-lawannya seperti
yang diperintahkan Panji.
Perintah yang diberikan Panji memang mudah diucapkan,
tapi untuk melaksanakannya tidak semudah mengatakan.
Karena untuk merobohkan lawan yang bertubuh kebal, mereka
banyak mengeluarkan tenaga. Kalau tidak, lawan tidak akan
roboh dengan totokan mereka. Itulah sebabnya mengapa
Kenanga tidak setuju dengan ucapan Panji.
Panji sendiri pun bukan tidak tahu akan hal itu, tapi ia masih
tidak tega membunuh orang-orang yang tak berdosa itu. Maka,
sambil tetap melontarkan totokan-totokan ampuh, otaknya
bekerja keras mencari jalan keluar yang lebih baik, dan tidak
terlalu banyak menguras tenaga.
"Aaakhhh...!"
Pendekar Naga Putih yang tengah merobohkan lawan-
lawannya itu menoleh ketika mendengar teriakan-teriakan
kekasihnya. Segera pemuda itu melesat menyambar tubuh
Kenanga yang tengah terhuyung dan hampir roboh.
"Heaaahhh...!"
Panji yang tengah memeluk tubuh Kenanga, bergerak cepat
menghindari sebuah terjangan maut yang mengancam
keselamatan mereka berdua.
Bettt!
Sebuah pukulan yang jelas mengandung kekuatan tidak
rendah itu, lewat di samping tubuh Panji. Pemuda itu baru
mengerti setelah melihat jelas penyerangnya.
"Ki Wirjasana...!?" desis Panji geram. "Jadi orang tua inilah
yang telah memukul Kenanga. Pantas kalau begitu...," gumam
pemuda itu, yang semakin sadar kalau kedudukannya benar-
benar berbahaya.
Serangan Ki Wirjasana yang juga telah dipengaruhi ramuan
obat itu kembali terlontar susul-menyusul. Bahkan dua orang
lelaki gagah lainnya yang berwajah pucat, ikut menyerbu Panji.
Sehingga, untuk beberapa saat Panji menjadi repot
mengelakkan serangan ketiga orang pengeroyoknya.
"Heeeahhh...!"
Dalam kemarahannya, Panji mengibaskan lengan kiri dengan
menggunakan seluruh kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan'nya. Dan, kedahsyatan pukulannya tak diragukan lagi.
Tanpa ampun lagi, lelaki berpakaian coklat yang berada di
sebelah kanan Panji, langsung terpental diiringi jeritan ngeri.
Kemudian, tubuhnya jatuh berdebuk dengan cairan merah
muncrat dari mulutnya. Jelas, kalau orang itu mengalami luka
parah akibat gempuran Pendekar Naga Putih.
Tapi, apa yang kemudian disaksikan Panji, benar-benar
membuatnya terbelalak! Pukulannya yang mampu
menghancurkan bongkahan batu sebesar rumah itu, ternyata
tidak mampu menewaskan lawannya. Bahkan lawan itu kembali
bangkit, meskipun tubuhnya agak terhuyung. Jelas lelaki gagah
berjubah coklat itu seperti tidak mengalami luka yang berarti
akibat pukulan dahsyatnya tadi.
"Gila! Bagaimana mungkin tubuh mereka sekuat itu...!?"
gumam Panji yang sangat terkejut melihat korban pukulannya
dapat bangkit kembali. Dan, telah maju kembali untuk ikut
mengeroyoknya. Kenyataan itu benar-benar membuat Panji
hampir tidak mempercayainya.
Keterpakuan Pendekar Naga Putih yang hanya sesaat itu,
ternyata berakibat cukup fatal! Dua buah pukulan yang datang
mengancamnya, masih sempat dielakkan. Tapi, hantaman
keras dari Ki Wirjasana dan seorang lawan lainnya, membuat
tubuh pemuda itu terhuyung beberapa langkah ke belakang.
"Heaaahhh...!"
Belum lagi Panji sempat memperbaiki kedudukannya, sebuah
tendangan keras, telak menggedor dada kirinya.
"Hugkhhh...!"
Karuan saja tubuh pendekar muda itu terpelanting ke
belakang. Walaupun begitu, Panji tidak mau melepaskan tubuh
Kenanga dari pelukannya. Sehingga, keduanya bergulingan di
atas tanah berbatu itu.
Luka yang dialami Panji akibat pukulan keras dari Ki
Wirjasana dan lelaki bercambang bauk itu, menyadarkan
pemuda itu akan kelupaannya dalam menghadapi keadaan ini.
Karena 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' yang mengendap di
dalam tubuhnya, langsung saja bergolak mendorong keluar
hawa aneh yang merasuk ke dalam tubuhnya.
"Heaaahhh...!"
Panji yang tubuhnya kini terlapisi sinar kuning keemasan,
langsung melompat bangkit disertai kibasan tangannya ke kiri-
kanan.
Breshhh.... Breshhh...!
Kibasan telapak tangan Panji mengejutkan lawan-lawannya
yang tengah meluruk menyerbu. Tubuh mereka kontan
beterbangan bagaikan kapas tertiup angin! Meskipun pukulan
itu tidak mengakibatkan luka parah atau kematian, tapi cukup
membuat Panji menarik napas lega. Karena para pengepungnya
terkejut dan bergerak mundur.
Kenanga yang sudah bangkit dan berdiri tegak di samping
kekasihnya, telah pula siap menghadapi lawan-lawannya.
Meskipun pada sudut bibir gadis jelita itu terlihat adanya cairan
merah yang menetes. Tapi luka yang dideritanya tak terlalu
parah.
"Maaf, Kakang. Aku terpaksa menggunakan senjata untuk
menghadapi mereka...," bisik gadis jelita itu sambil
mengeluarkan Pedang Sinar Rembulannya.
"Tenanglah, Kenanga. Rasanya aku sudah menemukan cara
ampuh untuk melumpuhkan mereka," sahut Panji yang saat itu
juga teringat akan mukjizat Pedang Naga Langitnya.
Kenanga yang melirik ke arah Panji, sempat menarik napas
lega ketika tahu-tahu sebilah pedang bersinar kuning keemasan
telah tergenggam di tangan pemuda itu.
"Pedang Naga Langit..," desis Kenanga yang masih merasa
takjub, meskipun sering menyaksikan kekasihnya mewujudkan
pedang yang telah menyatu di dalam tubuh pemuda itu.
"Benar. Dan kali ini aku pasti berhasil melumpuhkan para
pengepung kita, tanpa harus melukai atau membunuhnya," ujar
Panji yang segera mengerahkan tenaga batinnya, dan
menyatukannya dengan pedang mukjizat itu.
"Naga Langit..!"
Dibarengi sebuah bentakan yang menggelegar, Panji
melontarkan pedang di tangannya ke atas.
Glarrr...!
Saat itu juga, terdengar ledakan petir yang disambung
sambaran kilat susul-menyusul. Suasana itu masih pula diiringi
dengan hembusan angin keras bagaikan tengah mengamuk.
"Kreaaakkk...!"
Bersamaan dengan pekik bergemuruh seperti akan
merobohkan bukit itu, terciptalah seekor makhluk yang
mengerikan berupa seekor naga raksasa. Sekujur tubuh
makhluk itu yang mengeluarkan sinar kuning keemasan,
membuat suasana pekat seketika terang benderang.
***
"Sihir...!?"
Laki-laki tua yang berjuluk Datuk Harimau Hitam itu tidak
kalah terkejutnya. Sebagai seorang ahli sihir, tentu saja ia
cukup tergetar dengan penampilan serta cara Pendekar Naga
Putih mewujudkan binatang mengerikan itu.
Namun, kemunculan Naga Langit yang diciptakan Panji,
ternyata tidak hanya mengejutkan! Tapi, sinar keemasan yang
terpancar dari tubuhnya, juga mempunyai pengaruh yang luar
biasa.
Ratusan penduduk desa yang berada di bawah pengaruh
obat dan sihir Datuk Harimau Hitam, memekik kesakitan!
Tubuh mereka mengejang, ketika pancaran sinar kuning
keemasan merasuk ke dalam tubuh mereka. Sehingga, dalam
waktu singkat, ratusan penduduk desa yang semula menjadi
makhluk mengerikan itu, jatuh bergeletakan. Kemudian, diam
tak bergerak setelah berkelojotan
Pancaran sinar Naga Langit yang telah meresap ke dalam
tubuh mereka, langsung menghancurkan racun-racun yang
mengeram di dalam tubuh para penduduk itu. Tidak terkecuali
Ki Wirjasana dan dua orang lelaki gagah lainnya.
"Gila...!? Ilmu sihir macam apa ini...?!" teriak Datuk Harimau
Hitam yang tidak menyangka sama sekali, kemunculan
binatang raksasa itu telah membuat para pengikutnya
bergeletakan pingsan.
"Aaakhhh...!"
Datuk Harimau Hitam terkejut mendengar suara lengking
yang mengerikan dari delapan orang berpakaian serba hijau.
Mereka berjatuhan dengan diiringi mata laki-laki tua yang tak
percaya dengan apa yang disaksikannya.
"Bangsat…!"
Bukan main murkanya Datuk Harimau Hitam ketika
menyaksikan tubuh delapan orang murid-muridnya
berkelojotan, dan tewas dengan tubuh melepuh. Jelas,
pengaruh sinar keemasan dari tubuh Naga Langit telah
mengakibatkan murid-muridnya tewas. Mereka berbeda sama
sekali dengan para penduduk desa yang dikuasainya itu.
Sambil menggeram murka, Datuk Harimau Hitam berpaling
ke arah Naga Langit yang masih mengapung di udara.
"Heaahhh...!"
Dibarengi bentakan keras, laki-laki tua itu mendorongkan
sepasang lengannya dengan pukulan jarak jauh. Melihat dari
tatapan matanya yang mencorong kehijauan, jelas laki-laki tua
itu ingin melenyapkan naga raksasa yang menurutnya
permainan ilmu sihir dari Pendekar Naga Putih.
"Kreeeaghk..!"
Blarrr...!
Terdengar suara benturan dahsyat yang menggelegar, ketika
naga raksasa itu mengibaskan ekornya memapaki pukulan
Datuk Harimau Hitam. Sehingga, bukannya naga itu yang
lenyap, malah tubuh laki-laki tua itu sendiri yang terjungkal
hingga satu tombak lebih.
"Gila! Mana mungkin...?!"
Datuk Harimau Hitam mengumpat tak percaya dengan apa
yang dialaminya. Karena naga raksasa yang diduganya hasil
ciptaan ilmu sihir lawan, ternyata malah mampu memapaki
pukulan pemunah sihirnya. Laki-laki tua itu tentu saja tidak
mengerti.
Panji yang tadi memejamkan kedua matanya, kini perlahan
membuka. Menyaksikan tubuh para pengeroyoknya telah
bergeletakan di atas tanah, sadarlah pemuda itu kalau
usahanya berhasil baik.
"Naga Langit, kembali...," terdengar desis menggetarkan
yang keluar dari mulut Panji. Sepertinya untuk menundukkan
Datuk Harimau Hitam, pemuda itu tidak perlu mengandalkan
kemukjizatan senjatanya.
Untuk kesekian kalinya, Datuk Harimau Hitam kembali
melongo. Makhluk raksasa yang dikiranya sebagai permainan
sihir lawan, lenyap tanpa bekas. Laki-laki tua itu sempat melirik,
terlihat sebilah pedang bersinar kuning keemasan kembali
tergenggam di tangan lawannya.
"Tidak kusangka kalau pemuda seusia kau telah memiliki
ilmu sihir yang dahsyat, Pendekar Naga Putih. Aku benar-benar
kagum kepadamu," ujar Datuk Harimau Hitam tanpa malu-malu
lagi, memuji kehe-batan ilmu lawannya.
"Hm..., kau keliru, Datuk Harimau Hitam. Aku sama sekali
tidak memiliki ilmu sihir. Tidak perlu kujelaskan kepadamu.
Yang paling penting, aku akan menghancurkan niat busukmu
yang mungkin kelak akan kau ulangi lagi," sahut Panji yang
langsung saja melayang ke arah lawan.
"Bedebah! Kau kira setelah dapat menundukkan dan
membunuh pengikut-pengikutku, lalu kau bisa berbuat
sesombong itu?
Hmh! Marilah
kita tentukan.
Apakah kau
memang pantas
untuk
menghukumku
atau
sebaliknya,"
teriak Datuk
Harimau Hitam
yang menerima
tantangan Panji.
"Gila !? Ilmu
sihir macam apa
ini...?!" teriak
Datuk Harimau
Hitam kaget
melihat
kemunculan naga raksasa yang membuat para pengikutnya
jatuh pingsan. Kemunculan Naga Langit, dan sinar
keemasannya yang terpancar dari tubuhnya, memang
mempunyai pengaruh yang luar biasa!
"Heaaattt..!"
Begitu panji menjejakkan kakinya beberapa langkah di
hadapan lawan, laki-laki tua itu langsung melesat dengan
disertai teriakannya yang keras.
Bett...!
Sekali menerjang, Datuk Harimau Hitam langsung
melontarkan serangkaian pukulan maut yang mematikan!
Tampaknya laki-laki tua itu memang benar-benar ingin
membinasakan Pendekar Naga Putih.
Panji yang sudah menyimpan senjatanya, segera bergerak
ke kiri. Kemudian, kakinya melangkah pendek-pendek untuk
menghindari gempuran lawan. Sesekali pemuda itu
melontarkan serangan balasan secara mengejutkan. Sehingga,
Datuk Harimau Hitam terpaksa lebih berhati-hati dalam
menghadapi lawannya.
"Yeaaahhh...!"
Begitu merasakan serangan lawan mulai mengendur, Parrji
segera melancarkan serangan balasan beruntun dengan
menggunakan jurus 'Ilmu Silat Naga Sakti'nya.
Wettt! Wettt..!
Diiringi sambaran hawa dingin menusuk tulang, sepasang
cakar naga Panji berkelebatan mengincar tubuh lawan.
Sehingga, Datuk Harimau Hitam sempat terdesak.
Pertarungan berlangsung semakin cepat dan seru, ketika
menginjak jurus yang kedelapan puluh tujuh. Keduanya yang
sama-sama menggunakan ilmu-ilmu silat tinggi, sama-sama
saling desak, dan berusaha untuk menjatuhkan lawan. Namun,
sampai sedemikian jauh belum tampak tanda-tanda siapa yang
akan keluar sebagai pemenang.
Panji sendiri diam-diam merasa kagum dengan kekuatan
laki-laki tua itu. Meskipun usianya telah demikian tua, ternyata
masih mampu bergerak cepat. Bahkan pemuda itu beberapa
kali kehilangan lawannya, karena gerakan lawan memang
seperti bayangan hantu yang nyaris tidak kelihatan.
"Yeaaattt...!"
"Heaaa...!"
Ketika pertarungan memasuki jurus yang keseratus dua
puluh, mendadak Datuk Harimau Hitam berseru nyaring sambil
menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Saat itu juga,
tercium bau amis menyengat yang disertai perubahan sepasang
lengan laki-laki tua itu menjadi kehitam-hitaman.
Whusss...!
Dorongan sepasang telapak tangan Datuk Harimau Hiram
yang menyemburkan uap kehitaman membuat Panji sadar
kalau lawannya telah mengeluarkan ilmu pukulan beracun yang
sangat berbahaya.
Cepat-cepat Pendekar Naga Putih mendorong sepasang
lengannya ke depan dengan menggunakan 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan' sepenuhnya.
Serangkum angin dingin yang berhembus keras bagaikan
badai salju, meluncur memapaki pukulan beracun lawannya.
Dan...
Blarrr...!
Mengerikan sekali akibat benturan dua gelombang tenaga
sakti yang berlainan sifat itu! Bunga api berpijaran menandakan
betapa kuatnya benturan yang terjadi. Sampai-sampai
beberapa pohon yang dekat dengan mereka, daun-daunnya
berguguran. Sebagian hangus terbakar. Sedang sebagian
lainnya tampak diselimuti salju tipis. Jelas, pukulan yang
dikerahkan kedua tokoh sakti itu sangat dahsyat.
Akibat benturan itu, tidaklah terlalu merugikan bagi Panji.
Pemuda yang semenjak kecil dididik dengan berbagai macam
latihan kuda-kuda itu, hanya bergeser mundur dengan
meninggalkan bekas sepatunya yang cukup dalam di atas
permukaan tanah. Sedangkan tubuhnya tetap tegak dan kokoh.
Lain halnya dengan Datuk Harimau Hitam. Akibat benturan
dengan tenaga mukjizat lawan, tubuhnya terlempar hingga tiga
tombak. Meskipun ketika terjatuh ia dapat menyelamatkan
tubuhnya dengan kedua kaki menjejak tanah, tapi gumpalan
darah kehitaman keluar dari mulutnya, menandakan laki-laki
tua itu telah terluka dalam oleh racunnya sendiri.
"Huagkhhh...!"
Untuk kesekian kalinya darah segar kembali muncrat dari
mulut laki-laki tua itu. Bahkan wajahnya yang semula putih
bagai wajah mayat itu, mulai nampak kehitaman. Karena racun
pukulannya telah berbalik menggerogoti dirinya.
Merasa ajalnya sudah dekat, sambil mendekap dada yang
terasa remuk, Datuk Harimau Hitam mengedarkan pandangan
berkeliling. Dan, terhenti pada sosok ramping berpakaian hijau,
yang berada di samping kanannya dalam jarak dua tombak.
"Kau harus menyertai kematianku, Gadis Cantik...!" desis
laki-laki tua itu dengan sorot mata mengancam.
Belum lagi sosok berpakaian hijau itu sempat berpikir, tiba-
tiba tubuh Datuk Harimau Hitam sudah mencelat ke arahnya.
Panji yang sejak tadi memperhatikan tingkah lawannya,
tentu saja tidak membiarkan kekasihnya terancam maut. Maka,
dengan dibarengi sebuah pekikan bagai naga murka, tubuh
pemuda itu melesat secepat sambaran kilat, dan langsung
memotong jalan luncuran tubuh Datuk Harimau Hitam.
"Yeaaat...!"
Blarrr...!
Untuk kesekian kalinya, kembali terdengar ledakan dahsyat
yang mengguncangkan sekitar daerah perbukitan itu. Disusul
dengan terlemparnya tubuh Datuk Harimau Hitam akibat
gedoran sepasang telapak tangan Panji yang memang sulit
dihindari.
Dalam usaha menyelamatkan nyawa kekasihnya, Panjl telah
menggunakan jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi', yang
merupakan jurus terampuh dari 'Ilmu Silat Naga Sakti'nya.
Sehingga akibatnya pun sangat mengerikan.
Pendekar Naga Putih dan Kenanga berpelukan menyaksikan
mayat Datuk Harimau Hitam yang sekujur tubuhnya remuk.
Napas laki-laki tua itu telah terhenti. Karena tubuhnya telah
menghantam sebuah batu besar, yang juga hancur akibat
benturan keras itu.
"Mudah-mudahan para penduduk yang tak berdosa itu
selamat semuanya...," harap Panji yang sudah menjatuhkan
tubuhnya bersandar pada sebatang pohon. Pertarungan dengan
Datuk Harimau Hitam benar-benar telah menguras tenaganya.
"Kita tunggu di sini sampai pagi, Kakang...," ujar Kenanga
yang juga menjatuhkan tubuhnya di samping Panji.
***
Matahari pagi memancarkan sinarnya menerangi permukaan
bumi. Saat itu Panji dan Kenanga sudah berkumpul bersama
penduduk tiga desa. Melihat dari cerahnya wajah-wajah
mereka, jelas pengaruh obat yang dijejalkan Datuk Harimau
Hitam telah lenyap berkat kekuatan mukjizat Pedang Naga
Langit.
"Apa sebenarnya yang diinginkan Datuk Harimau Hitam
dengan menguasai desa-desa terpencil ini?" tanya Panji yang
duduk berhadapan dengan Ki Wirjasana, Kepala Desa Pawetan,
Ki Bamagala, Kepala Desa Kalianyar, dan lelaki gagah
berpakaian biru yang merupakan Kepala Desa Pagar Batu.
"Kami tidak tahu secara pasti, Pendekar Naga Putih," sahut
Ki Wirjasana yang memang telah mengenal Panji sebelumnya.
"Tapi, pertama kali mereka datang, banyak gadis-gadis dari
desa-desa sekitar daerah ini yang lenyap tanpa jejak. Bahkan
beberapa dari gadis-gadis itu, dibunuh setelah terlebih dahulu
diambil darahnya," Ki Wirjasana menutup ceritanya. Karena
sepertinya orang tua itu tidak tahu terlalu banyak.
"Sebenarnya kami sempat merasa curiga dengan keinginan
mereka, yang katanya bisa membuat orang-orang desa menjadi
sakti dan kuat. Dengan demikian, warga kami yang memang
terdiri dari para pemburu itu tidak perlu takut lagi terhadap
binatang buas. Sehingga, hasil buruan bisa berlipat-lipat,
Demikian, iblis itu membujuk kami pertama kalinya. Dan, me-
mang mulanya kami percaya. Karena hal itu telah terbukti pada
beberapa warga Desa Kalianyar. Tapi, rupanya obat-obat yang
diberikan kepada kami itu mempunyai pengaruh lain di waktu
malam. Itu baru aku ketahui belakangan...," Ki Bamalaga
menghentikan ceritanya sejenak untuk menghela napas.
"Sayangnya, sudah hampir seluruh warga Desa Kalianyar
yang meminum ramuan obat itu," sambung Ki Bamagala.
"Sehingga, aku tidak bisa berbuat apa-apa, ketika dia
memaksaku untuk meminum obat itu. Karena orang tua itu
sangat sakti, dan aku tidak berdaya menghadapinya. Sejak saat
itulah tanpa kami sadari, gadis-gadis di desa kami satu persatu
lenyap tanpa jejak"
Kepala Desa Kalianyar itu, yang sepertinya tahu lebih
banyak, menghentikan ceritanya sejenak. Kemudian terdiam
beberapa saat, seolah-olah ingin mengingat kembali peristiwa
yang telah cukup lama terjadi Panji, Kenanga, dan yang lainnya
hanya menunggu, tanpa berniat untuk mengganggu Ki
Barnalaga, yang tengah berusaha mengingat-ingat awal
malapetaka yang menimpa desanya.
"Pendekar Naga Putih, dapatkah kau menerangkan kepada
kami, apa sebenarnya maksud iblis itu menculik dan
membunuhi gadis-gadis desa?" tanya Ki Barnalaga yang
sepertinya merasa penasaran karena belum mengetahui
kegunaan gadis-gadis desanya yang diculik itu.
"Hm..., setelah mendengar cerita kalian, dan juga apa yang
sebelumnya kami temukan, jelas gadis-gadis desa yang mereka
culik mempunyai dua manfaat bagi Datuk Harimau Hitam dan
para pengikutnya. Pertama, gadis itu digunakan sebagai
pemuas nafsu mereka. Kedua, darah-darah perawan yang
mereka rasakan cocok untuk digunakan mendalami ilmu-ilmu
sesat mereka. Dan, aku yakin ramuan-ramuan yang diberikan
kepada penduduk, juga bercampur dengan darah perawan.
Itulah yang membuat kalian kebal terhadap pukulan dan juga
senjata tajam. Sayang, orang setua Datuk Harimau Hitam
masih serakah terhadap ilmu kepandaian," desah Panji
mengakhiri keterangannya yang membuat semua orang di
tempat itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tidak aneh, Kakang. Tokoh-tokoh persilatan baik hitam
maupun putih tidak pernah mengenal rasa puas dalam
menambah ilmu. Jadi, tidak mengherankan untuk
memperdalam ilmu sesatnya. Datuk Harimau Hitam sampai
demikian kejam mengorbankan darah-darah perawan suci,"
Kenanga yang mendengar desahan kekasihnya segera
menyahuti.
"Kau benar, Kenanga. Nah, karena persoalan di sini sudah
selesai, kami mohon pamit..." pinta Panji sambil beranjak
bangkit, diikuti Kenanga dan yang lainnya.
"Dengan hati berat, kami terpaksa melepasmu, Pendekar
Naga Putih. Mungkin saja tugas-tugas lain sudah menanti kalian
berdua...," ucap Ki Wirjasana sambil menjabat erat jemari
tangan pemuda tampan itu.
"Terima kasih, Ki...," ujar Panji yang segera melangkah
bersama Kenanga meninggalkan perbukitan itu.
Sedangkan para penduduk dari tiga desa itu masih terus
melambaikan tangannya, hingga bayangan kedua pendekar itu lenyap di kejauhan.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar