..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 12 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE MISTERI DESA SILUMAN

matjenuh

 

MISTERI DESA SILUMAN 
Oleh T. Hldayat 
Cetakan pertama Penerbft Cintamedia, Jakarta 
Penyunting : Tarech R. 
Gambar sampul oleh Henky 
Hak cipta pada Penerbit 
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau 
seluruh isi buku ini 
tanpa izin tertulis dari penerbit 
T. Hdayat 
Serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode: 
Misteri Desa Siluman 
128 hal ; 12 x 18 cm

SATU

Hari sudah menjelang sore. Matahari telah bergeser jauh ke 
ufuk Barat. Cahaya kemerahan memburat menghias cakrawala. 
Hembusan angin yang lembut mengiringi sang mentari bergulir 
ke peraduannya. 
Dalam keremangan cuaca saat itu, tampak dua sosok tubuh 
bergerak menyusuri jalan. Langkah mereka terlihat agak 
bergegas. Sepertinya kedua sosok tubuh itu hendak berpacu 
dengan waktu. 
"Bagaimana kalau di sebelah depan sana kita tidak 
menemukan desa untuk bermalam, Kakang...?" tanya sosok 
tubuh ramping yang berada di sebelah kiri teman 
seperjalanannya. 
"Yahhh..., terpaksa kita bermalam di hutan, seperri blasanya. 
Apakah kau keberatan...?" ujar sosok tubuh sedang yang 
terlihat padat berisi. Nada suaranya terdengar tenang dan 
lembut, pertanda ia seorang penyabar. 
"Bukan begitu, Kakang. Tapi, selama ini kita rasanya sudah 
terlalu sering bermalam di dalam hutan. Jadi, apa salahnya 
kalau sekali-sekali kita bermalam di tempat yang lebih tenang 
dan aman," elak sosok lubuh ramping berpakaian serba hijau 
itu. Lalu, kepalanya menoleh seraya melemparkan senyum 
manis. Seolah-olah sosok ramping, yang ternyata seorang gadis 
muda, berparas jelita itu ingin menunjukkan kalau dugaan 
kawannya sama sekali tidak benar. 
Sosok berjubah putih itu menoleh sekilas ke arah si gadis 
berpakaian serba hijau. Terdengar hela napasnya yang lembut 
dan berkepanjangan. Kemudian, kembali matanya menatap 
lurus ke depan dengan wajah yang tetap tenang.

"Keinginan itu sama sekali tidak salah, Kenanga. Aku 
sebenarnya tidak ingin menyusahkanmu. Tapi sepertinya kau 
telah melupakan satu hal...," desis sosok berjubah pufih itu 
sambil memperlambat ayunan langkahnya. Siapa lagi sosok 
berjubah putih itu kalau bukan Panji atau Pendekar Naga Putih. 
Kenanga, gadis jelita berpakaian serba hijau itu ikut 
memperlambat langkah seraya mengulurkan tangannya, dan 
menggenggam jemari pemuda itu. Lalu kepalanya disandarkan 
pada pangkal lengan kekasihnya. 
"Apa itu, Kakang...?" tanya Kenanga dengan nada 
penasaran. 
"Seperti kau ketahui, kita ini adalah petualang-petualang 
yang tidak mempunyai tempat tinggal. Dimana langit dijunjung, 
di situlah rumah kita. Jadi, kalau kita selama ini selalu 
melewatkan malam di dalam hutan, atau tempat-tempat sunyi 
lainnya, ya wajar saja. Sebab, itulah risiko yang harus kita 
terima. Kau sadar akan hal itu bukan?" jelas Panji sambil 
melingkarkan tangannya ke pinggang ramping gadis jelita itu. 
"Aku menyadari hal itu, Kakang. Kalau memang perkataanku 
tadi salah, harap kau maafkan...," sahut Kenanga dengan nada 
seperti menyesali ucapannya. Kemudian, ia pun melingkarkan 
lengannya ke pinggang Panji. 
"Tidak, Kenanga. Perkataanmu sama sekali tidak salah. Kau 
tak perlu menyesalinya. Sebaiknya kita mempercepat 
perjalanan. Siapa tahu, sebelum malam jatuh, kita telah 
menemukan sebuah desa untuk menginap. Ayolah...," setelah 
melepaskan pelukannya, Panji segera melesat, mempergunakan 
ilmu larinya untuk mempersingkat waktu. 
Kenanga sendiri tidak mau membuang-buang waktu lagi. 
Sekali kakinya menghentak ke tanah, tubuh gadis jelita itu pun 
melesat dengan kecepatan yang mengagumkan. Kemudian,

menjejeri langkah Panji, yang memang sengaja tidak 
mengerahkan ilmu lari. Sehingga, keduanya dapat berlari 
berjajar. 
*** 
Keremangan malam mulai turun perlahan menyelimuti bumi. 
Sedangkan rembulan tampak menghiasi langit dengan 
pancaran cahayanya yang redup. Bintang-bintang pun 
bertebaran mewarnai cakrawala dengan kerlap-kerlipnya yang 
menawan. Sepertinya malam itu cuaca sangat cerah dan 
menyenangkan, meskipun wajah bulan tidak muncul utuh. 
Saat itu, Panji dan Kenanga telah memasuki perbatasan 
sebuah desa kecil. Tampak cahaya lampu pelita menghiasi 
rumah penduduk, sehingga membuat wajah keduanya berseri. 
Karena, harapan untuk melewatkan malam di tempat yang 
tenang dan aman sudah terbayang di benaknya. 
Kemudian, keduanya bergerak memasuki mulut desa. Mata 
mereka melihat ada enam orang penjaga yang berkumpul di 
gardu, Panji pun bergerak mendekat. 
"Maaf, Kisanak. Kami adalah dua orang pengembara yang 
kemalaman di jalan. Dapatkah kalian menunjukkan sebuah 
penginapan yang juga menyediakan makanan?" tanya Panji 
dengan nada lembut dan sopan. 
Enam orang penjaga yang tengah mengitari api unggun itu 
serentak menoleh ke arah Panji. Sehingga, kening pemuda itu 
sempat berkerut ketika melihat wajah-wajah mereka yang 
pucat seperti mayat. Bahkan wajah-wajah itu tidak 
mencerminkan sikap bersahabat sama sekali, dingin dan beku!.

Melihat keanehan sikap dan wajah keenam orang penjaga 
itu, Panji menyipitkan matanya dan mengamati wajah para 
penjaga itu dengan sikap curiga. 
Namun, seperti telah dapat membaca kecurigaai Panji, para 
penjaga itu mencoba melontarkan senyum ramah. Sayang, 
mereka tidak berhasil karena senyum yang mengembang pada 
wajahnya lebih mirip sebuah seringai yang menakutkan! 
"Tentu saja kami bisa menunjukkannya. Mari aku antarkan 
ke tempat yang kau maksudkan, Kisanak...," ujar salah seorang 
dari mereka. Meskipun orang itu ingin memperlihatkan 
keramahannya, namun nada suaranya terdengar datar dan 
agak kaku. 
Panji yang sudah telanjur curiga dengan penampilan keenam 
orang penjaga itu, berusaha bersikap wajar. Setelah 
berpamitan dengan empat orang lainnya, pemuda itu 
melangkah mengikuti dua orang penjaga yang hendak 
mengantarkannya. 
"Kakang, sikap mereka sangat aneh, dan menimbulkan 
perasaan seram di hatiku. Apakah kau tidak merasakannya...?" 
bisik Kenanga pelan, sambil merapatkan tubuhnya kepada 
pemuda itu. 
"Ah, kau terlalu mengada-ada, Kenanga. Mungkin mereka 
hanya merasa curiga saja kepada kita. Dan, mungkin juga 
mereka selalu mencurigai orang-orang asing yang singgah di 
desa ini...," Panji menghentikan sejenak penjelasannya. 
Sedangkan mata Kenanga memandangi wajah kekasihnya. 
"Barangkali mereka mempunyai pengalaman yang pahit 
dengan orang-orang asing yang singgah di desa ini. Karena itu, 
bersikaplah ramah, dan tunjukkan bahwa kita berbeda dengan 
orang-orang asing yang pernah meninggalkan kesan buruk bagi 
mereka," jelas Panji tidak ingin hati kekasihnya menjadi resah.

Sepertinya pemuda itu ingin menyimpan rasa curigannya 
sendiri, tanpa harus memusingkan kekasihnya yang memang 
terlihat lelah itu. 
"Kisanak, apakah nama desa ini...?" Kenanga yang tidak bisa 
menghilangkan rasa seramnya, mencoba mengusir dengan 
bertanya sambil lalu kepada salah seorang pengantar. 
"Desa Siluman...," sahut salah seorang yang bertubuh kurus 
dengan nada dingin dan tanpa menoleh. 
Deg...! 
Dada gadis jelita itu berdebar keras ketika mendengar nama 
desa itu. 
"Desa Siluman...?" desis Kenanga dengan bulu tengkuk 
meremang. Menilik dari perubahan wajahnya, jelas nama desa 
itu semakin menambah rasa seram di hatinya. 
Dengan perasaan yang semakin galau, Kenanga meremas 
lengan Panji dan mencekal erat-erat. Jelas, ia sangat 
terpengaruh dengan nama desa itu. Ditambah lagi suasana 
desa yang menebarkan hawa aneh, dan semakin menambah 
keangkeran. Memang cocok sekali kalau desa terpencil itu 
dinamakan Desa Siluman. 
Panji sendiri sempat tergetar ketika mendengar nama desa 
itu. Namun, untuk menenangkan perasaan hati kekasihnya, 
pemuda itu tetap bersikap acuh. Seolah-olah keadaan maupun 
nama desa itu sama sekali tidak menimbulkan perasaan apa-
apa baginya. 
"Jangan biarkan perasaanmu terpengaruh oleh nama dan 
sikap penduduknya. Menurutku, selama kita masih berada di 
jalan yang benar, tidak ada yang perlu kita takutkan. Lagi pula 
kita sama sekali tidak berbuat ulah terhadap mereka. Jadi, tidak 
ada alasan bagi mereka untuk mencelakai kita," hibur Panji lagi

sambil mendekap erat tubuh gadis jelita itu. Seolah-olah 
dengan berbuat demikian, ia ingin memberikan ketabahan 
kepada kekasihnya. 
Apa yang dilakukan Panji sepertinya tidak sia-sia. Terlihat 
dari wajah gadis itu kembali tenang ketika merasakan 
hangatnya pelukan pemuda itu. 
'Terima kasih, Kakang...," desah Kenanga sambil 
menyandarkan kepalanya dengan sikap manja. 
Mendengar jawaban itu, Panji mengulum senyum. Lalu, ia 
membelai rambut gadis jelita itu dengan penuh kasih. 
Dirapatkannya tubuh Kenanga dengan mengetatkan pelukan. 
"Inilah tempat yang kau maksud, Kisanak. Beruntung hari ini 
tidak banyak pendatang yang singgah. Jadi, kau bisa 
mendapatkan kamar yang bersih dan nyaman untuk 
beristirahat. Maaf, kami tidak bisa mengantarmu sampai ke 
dalam. Selamat beristirahat," ujar lelaki kurus, salah seorang 
dari penjaga itu. 
"Terima kasih atas kebaikan kalian...," ucap Panji dengan 
tubuh sedikit membungkuk. 
Kedua penjaga itu menganggukkan kepala sambil 
membalikkan tubuhnya, dan melangkah menuju mulut desa. 
Panji dan Kenanga belum bergerak dari tempatnya. Mereka 
berdiri tegak, seraya matanya menatap kepergian kedua orang 
penjaga perbatasan itu. 
"Langkah kaki mereka terlihat tidak wajar, Kakang. Entah 
mengapa gerakan mereka lambat dan kaku. Hihhh..., mereka 
seperti mayat-mayat berjalan saja...," desah Kenanga setelah 
bayangan kedua orang itu lenyap ditelan kegelapan malam.

"Hm..., mungkin udara yang kurang baik di desa ini yang 
membuat penduduk bersikap demikian aneh. Sudahlah. Untuk 
apa memikirkan keanehan-keanehan itu. Yang penting, mereka 
tidak mengganggu kita" sahut Panji sambil mengajak gadis 
jelita itu menuju rumah penginapan. 
"Kakang, menurutmu, apa pekerjaan para penduduk Desa 
Siluman ini? Apa kau juga melihat kalau di sekitar desa ini tidak 
mempunyai persawahan. Jelas penduduk Desa Siluman ini 
bukan petani. Entah apa yang mereka kerjakan untuk 
kehidupan sehari-hari...?" Kenanga yang sepertinya belum juga 
dapat menghilangkan kecurigaan hatinya, dan kembali meminta 
pendapat Panji. 
"Entahlah. Mungkin mereka bekerja sebagai pemburu, dan 
hasilnya dijual ke tempat lain. Atau, bisa juga hasil buruan itu 
yang menunjang kehidupan penduduk Desa Siluman ini. 
Mengapa kau bertanya demikian? Apakah kau mempunyai 
dugaan lain...?" ujar Panji balik bertanya sambil memandangi 
wajah Kenanga. 
"Aku hanya merasa seram dengan suasana dan sikap 
keenam orang penjaga tadi. Sepertinya kita bukan berada di 
sebuah desa. Tapi di...," Kenanga tidak melanjutkan 
ucapannya. Gadis itu malah menoleh ke kanan dan ke kiri 
dengan sikap penuh curiga. Bahkan dalam nada ucapannya 
terkandung rasa cemas yang berusaha disembunyikan. 
"Mengapa kau tidak melanjutkan ucapanmu itu, Kenanga. 
Apa sebenarnya yang ingin kau katakan...?" tanya Panji 
meminta penjelasan. 
"Kau tidak merasa aneh atau seram, Kakang...?" ujar 
Kenanga tanpa mempedulikan pertanyaan kekasihnya. 
"Kau ini bagaimana, Kenanga. Sebagai seorang pendekar, 
sejak kecil kita telah digembleng dengan be'rbagai macam ilmu

silat, dan juga wejangan dari guru kita. Bahkan, selama dalam 
pengembaraan pun, sudah banyak hal-hal aneh dan 
mengerikan yang kita temui. Jadi, kalaupun dugaanmu itu 
benar, apa yang mesti kita takutkan?" sahut Panji. 
Kenanga diam saja. Hanya matanya yang menatap lekat-
lekat wajah Panji. 
"Jika memang di desa ini terdapat keanehan, maka menjadi 
kewajiban kita untuk menyelidiki dan membereskannya. Apa 
yang kau rasakan itu adalah hal yang wajar, dan tidak perlu 
terlalu dipikirkan," Panji menambahkan penjelasannya sambil 
membelai lembut rambut gadis jelita itu. 
"Tapi, aku merasa seperti berada di daerah pekuburan tua 
yang menyeramkan, Kakang. Dan, sulit sekali bagiku untuk 
melenyapkan pikiran itu," Kenanga masih mencoba 
membantah, dan menjelaskan perasaannya kepada Panji. 
"Jangan bohongi aku, Kakang. Katakanlah, apakah kau juga 
merasakan seperti apa yang kurasakan...?" 
Panji tersenyum melihat wajah Kenanga yang meminta 
ketegasan. Perlahan pemuda tampan itu menundukkan 
wajahnya. Dikecupnya kening dara jelita itu lembut. 
"Sudahlah, Kenanga. Terus terang aku pun merasa curiga 
semenjak melihat wajah dan penampilan keenam orang 
penjaga tadi. Tapi, untuk apa kita memikirkannya. Mungkin saja 
mereka hanya merasa tidak suka terhadap orang-orang asing, 
seperti yang kukatakan padamu tadi. Nah, apakah kau belum 
puas?' ujar Panji dengan nada lembut, dan penuh perasaan 
kasih. 
"Kata-kata itulah yang sejak tadi kutunggu, Kakang. Tapi kau 
seperti sengaja menyembunyikannya. Ada apa sebenarnya, 
Kakang?" rajuk gadis jelita itu sambil melepaskan pelukan Panji

dan melangkah lebih dulu menuju rumah penginapan yang 
nampak remang-remang itu. 
Panji hanya tersenyum melihat kekasihnya merajuk seperti 
itu. Kakinya melangkah pelan-pelan menyusul Kenanga. Tapi, 
ketika ia melihat Kenanga yang telah memasuki penginapan 
dan kembali bergegas keluar dengan langkah setengah berlari, 
Panji segera melompat menyambutnya. Kening pemuda 
tampan itu sempat berkerut tatkala melihat wajah kekasihnya 
pucat. Bahkan, desah napasnya pun terdengar tak teratur. 
"Ada apa, Kenanga? Mengapa kau seperti orang yang 
ketakutan?" tanya Panji setelah merengkuh tubuh gadis jelita 
itu ke dalam pelukannya. 
"Pemilik kedai itu..., pelayan..., dan beberapa orang di 
dalamnya tengah berkumpul, sama..., seperti para penjaga 
tadi, Kakang. Mereka..., mereka menatapku, seperti hendak 
menelanku hidup-hidup. Aku..., ngeri, Kakang...," ujar Kenanga 
dengan nada terputus-putus. 
"Ah..., mungkin mereka hanya terpesona dengan kecantikan 
wajahmu, Kenanga. Dan hal itu wajar saja. Karena 
kecantikanmu memang sangat menyolok, dan mengundang 
perhatian orang," hibur Panji berusaha menghilangkan 
ketegangan di hati kekasihnya. 
"Kau..., kau tidak tahu, Kakang. Rasanya aku bukan melihat 
manusia, tapi mayat-mayat hidup yang kelaparan Lebih baik 
kita pergi saja dari desa ini," bantah Kenanga, tetap 
mempertahankan pendapatnya. 
"Hm..., mengapa kau tiba-tiba menjadi lemah seperti itu, 
Kenanga. Kalaupun mereka memang benar mayat-mayat yang 
bangkit dari dalam kubur, untuk apa kita harus takut? Justru 
kenyataan itu mendorong kita untuk menyelidikinya. Aneh, ke 
mana perginya gadis pendekar gagah berani yang kukenal

selama ini?" gumam Panji mencoba mengingatkan Kenanga 
tentang siapa diri mereka sebenarnya. 
Dan usaha Panji ternyata tidak sia-sia. Setelah mendengar 
ucapan itu, Kenanga segera melepaskan pelukan kekasihnya. 
Wajah Kenanga yang semula agak pucat, kembali bersinar. 
Bahkan sepasang matanya telah memancarkan keberanian, 
yang sempat lenyap karena suasana dan penampilan penduduk 
Desa Siluman. 
"Kau benar, Kakang. Aneh, mengapa hatiku menjadi lemah 
begini? Padahal, selama ini aku tidak pernah merasa takut 
terhadap lawan yang bagaimanapun seramnya. Kau bisa 
memberikan jawaban atas pertanyaanku itu, Kakang?" tanya 
Kenanga sambil menarik napas berulang-ulang, guna 
menenteramkan hatinya. Jelas, gadis jelita itu merasa curiga 
dengan kenyataan yang dihadapinya. 
"Hm..., aku pun memang merasakan adanya keanehan, 
sejak memasuki desa ini. Sepertinya suatu pengaruh aneh yang 
selalu menimbulkan perasaan berdebar dan ngeri di hati kita. 
Aku pun merasakan semua itu. Tapi, demi untuk menenangkan 
perasaanmu, aku menyembunyikannya," jawab Panji sambil 
mengelus rambut gadis jelita itu. 
"Jadi, memang ada hawa aneh di desa ini yang 
mempengaruhi perasaan kita? Begitukah menurutmu, Kakang?" 
ujar Kenanga meminta ketegasan kekasihnya. 
"Benar. Justru itulah, mengapa aku bersikeras untuk tetap 
melewatkan malam ini di Desa Siluman. Sebab, aku merasa ada 
sesuatu yang tidak wajar menyelimuti desa terpencil ini. Dan 
hal itu sudah menjadi kewajiban kita untuk mengungkap 
keanehan itu," jelas Panji dengan suara agak bergetar. Karena 
pada saat berkata, ia merasa ada hembusan angin dingin yang

menebar dan menyergap sekujur tubuhnya. Sehingga, Panji 
sempat menggigil karenanya. 
"Hihhh...," Kenanga yang juga sempat merasakan hembusan 
angin dingin yang menusuk tulang itu, melipat kedua 
tangannya ke dada. Pertanda gadis jelita itu pun merasakan 
seperti apa yang dirasakan Panji. 
"Angin apa ini, ini, Kakang? Nampaknya tidak wajar...," 
desah Kenanga berbisik lirih sambil merapatkan tubuhnya 
kepada Panji. 
"Entahlah. Yang jelas, kita harus berhati-hati. Kita tidak tahu, 
apa yang tengah terjadi di desa ini. Sebaiknya kita kembali ke 
tempat penginapan yang menyediakan makanan itu. Ayolah," 
ajak Panji seraya menarik lengan kekasihnya, dan melangkah 
menuju rumah penginapan yang juga merupakan kedai makan 
itu.

DUA

Panji dan Kenanga berdiri tegak di ambang pintu rumah 
penginapan itu. Keduanya memandang berkeliling. Namun, 
kedai makan itu terlihat sunyi, tanpa ada seorang pun di 
dalamnya. 
"Eh, ke mana perginya orang-orang yang kulihat tadi? 
Apakah pandanganku yang salah...?" gumam Kenanga dengan 
kening berkerut. 
"Hm..., mengapa harus dipikirkan? Mungkin saja mereka 
telah kembali ke kamarnya masing-masing," Panji yang sadar 
bahwa kekasihnya tengah dilanda kebingungan, segera saja 
menyahuti. Ia berharap ucapannya itu dapat membuat gadis ini 
kembali menjadi tenang. 
Kenanga yang hendak membantah ucapan Panji, segera 
menelan kata-katanya kembali. Karena sepasang matanya 
menangkap seorang pelayan menghampiri mereka. 
"Hm..., kalian memerlukan kamar, atau hidangan...?" tanya 
pelayan setengah baya itu dengan sikap kaku, dan sama sekali 
tidak ramah. 
"Terima kasih, Paman," Panji buru-buru menyahuti. "Kami 
memerlukan sebuah kamar yang cukup untuk kami berdua." 
"Hm..., rupanya sepasang suami istri muda yang 
kemalaman," gumam pelayan setengah baya itu dengan nada 
suara tak jelas. Sedangkan sepasang matanya memandang 
penuh selidik. 
"Betul, Paman. Kami adalah suami istri muda yang 
kemalaman. Mmm..., apakah kamar yang ku maksudkan itu 
ada, Paman...?" tanya Panji mengiyakan perkataan pelayan itu.

Tanpa berkata-kata lagi, pelayan setengah baya itu segera 
membalikkan tubuhnya. Kemudian melangkah, dan menaiki 
anak tangga menuju ke atas. Agaknya kamar-kamar 
penginapan itu berada di sebelah atas rumah ini. 
Kenanga semula merasa terkejut ketika mendengar Panji 
memesan sebuah kamar untuk mereka berdua. Padahal, 
biasanya pemuda itu selalu meminta dua kamar, bila mereka 
kebetulan menginap di rumah-rumah penginapan. Tapi, gadis 
jelita itu sama sekali tidak membantah. Boleh jadi pemuda itu 
mempunyai rencana sehubungan dengan keanehan yang 
menyelimuti Desa Siluman, maupun para penduduknya. 
Pikiran itulah yang membuat Kenanga tidak membantah 
ketika mereka berdua dipersilakan memasuki sebuah kamar 
dengan dua pembaringan. 
"Kalian tidak memerlukan apa-apa lagi...?" tanya pelayan 
setengah baya itu, sebelum meninggalkan Panji dan Kenanga. 
"Mmm..., rasanya tidak, Paman. Terima kasih...," sahut Panji 
cepat. Meskipun semula mereka memang berniat untuk 
memesan hidangan, namun selera makan mereka lenyap 
dengan penampilan pelayan setengah baya itu. Sehingga Panji 
memutuskan untuk menahan rasa laparnya. 
"Hhh..., sebenarnya aku sudah lapar sekali. Tapi melihat dan 
merasakan udara di desa ini, selera makanku lenyap seketika. 
Bahkan, untuk mencicipi hidangan di desa ini pun, aku curiga, 
Kakang. Jangan-jangan mereka membubuhi racun ganas di 
dalamnya," ujar Kenanga sepeninggal pelayan yang 
mengantarkan mereka. 
"Dugaanmu bisa saja benar, Kenanga. Apalagi melihat sikap 
orang-orang yang kita temui di desa ini. Mereka rata-rata 
menunjukkan sikap kaku dan tidak bersahabat. Aku sepertinya 
merasakan ada pengaruh nneh yang menguasai penduduk di

Desa Siluman ini. Tapi, aku belum dapat memastikannya. Yang 
jelas, malam ini kita tidak bisa beristirahat. Bukan tidak 
mungkin ada sesuatu yang akan terjadi malam ini...," ujar Panji 
yang duduk di sebuah kursi di samping pembaringan 
kekasihnya. 
"Yahhh..., mungkin nasibku yang jelek, Kakang. Untuk 
beristirahat yang tenang pun, aku tidak dapat menikmatinya...," 
gumam Kenanga yang sudah merebahkan tubuhnya sambil 
menghela napas panjang. 
"Hm...," Panji bergumam tak jelas sambil membalikkan 
tubuh ke arah jendela kamar. Dipandanginya pelita yang 
berada di atas meja. Meskipun pemuda itu terlihat seperti 
tengah termenung, namun indera pendengarannya bekerja 
dengan baik. Dan bila ada sesuatu yang mencurigakan, maka 
telinga pemuda tampan itu pasti akan menangkapnya. Karena, 
tingkat kepandaian yang dimiliki Panji, sudah semakin 
meningkat. Sehingga tidak heran kalau pendengarannya makin 
tajam dan gerakan-gerakannya lmeah dan mantap. Bahkan hal 
itu hampir mencapai titik kesempurnaan. 
*** 
Malam semakin bertambah larut. Rembulan yang semula 
setia menemani sang malam, nampak disaput awan hitam. 
Bintang pun satu persatu lenyap. Sehingga, tidak secercah pun 
sinar yang menerangi kepekatan alam. 
Hembusan angin malam yang sesekali mengeras itu, 
menimbulkan suara-suara menyeramkan. Ditambah lagi, suara 
batang-batang pohon bambu yang saling bergesekan karena


hembusan angin. Semua itu makin menambah suasana seram 
di Desa Siluman. 
Panji yang saat itu telah merebahkan tubuhnya di atas 
pembaringan, kembali tersadar. Telinganya menangkap 
langkah-langkah kaki seperti menaiki anak tangga. Kemudian, 
langkah itu menuju ke arah kamarnya. Tentu saja hal itu 
membuatnya termenung sejenak. Karena, suara langkah yang 
menuju kamarnya itu jelas tidak disembunyikan pemiliknya 
sama sekali. 
Kecungaan Panji lenyap setelah berpikir tidak mungkin 
seseorang yang akan berbuat jahat, tanpa menyembunyikan 
suara langkahnya. Tapi, ketika suara langkah kaki itu terdengar 
semakin bertambah hnnyak, karuan saja hati Panji menjadi 
curiga. Ia pun langsung melompat bangkit dari pembaringan. 
Ditatapinya pintu kamar, dengan sikap waspada. 
Tepat suara langkah itu berhenti di depan pintu kamar, 
Kenanga bangkit dari atas pembaringan, dan menimbulkan 
suara berderit. Untunglah Panji bertindak cepat dengan 
memberikan isyarat, meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya. 
Sehingga, Kenanga membatalkan pertanyaan yang semula siap 
terlontar dari mulutnya. 
Dengan gerakan ringan, tanpa menimbulkan suara berarti, 
Kenanga melompat dari atas pembaringan, dan mendekati 
kekasihnya. Wajah gadis itu terlihat tegang, ketika mendengar 
suara langkah itu seperti berkumpul di depan pintu kamar. 
"Ada apa, Kakang...? Siapa mereka...?" tanya Kenanga 
melalui gerakan bibirnya, tanpa menimbulkan suara yang bisa 
didengar orang lain. Jelas, pertanyaan gadis itu dilontarkan 
dengan menggunakan 'Ilmu Mengirim Suara dari Jauh'. 
Sehingga, hanya kepada orang yang dituju saja suara itu 
terdengar.

"Entahlah. Aku belum dapat menduga, apa maksud mereka 
berkumpul di depan pintu kamar kita? Yang pasti, mereka tidak 
beritikad baik..." sahut Panji, juga menggunakan ilmu yang 
sama, menjawab pertanyaan kekasihnya. 
"Eeeaaargh...!" 
Saat keduanya tengah menanti dengan hati dipenuhi 
bermacam pertanyaan, tiba-tiba terdengar suara raungan parau 
yang sangat keras. Belum lagi Panji dan Kenanga dapat 
menebak makhluk apa yang mengeluarkan raungan 
mengerikan itu, tiba-tiba pintu kamar penginapan itu jebol 
dengan menimbulkan suara hiruk-pikuk yang ramai. 
Namun, Pendekar Naga Putih dan kekasihnya bukanlah 
orang bodoh. Cepat tubuh keduanya melesat hampir 
bersamaan, ke arah kiri dan kanan pintu kamar itu. Serpihan-
serpihan pintu, membuat tubuh keduanya cukup terhalang dari 
pandangan sosok-sosok tubuh kaku yang bergerak memasuki 
kamar. 
Panji yang telah mengerahkan tenaga pada pandangan 
matanya, menjadi terkejut ketika melihat segerombolan sosok 
tubuh itu melangkah kaku. Apalagi di antara gerombolan itu 
terdapat enam penjaga gerbang desa, dan pelayan rumah 
penginapan yang mengantarkannya ke kamar. Namun, suara-
suara erangan aneh dari mulut sosok-sosok tubuh itu membuat 
Panji tidak menegurnya. Malah, ia segera menarik tangan 
Kenanga, dan diajaknya ke luar. 
Pada saat Panji dan Kenanga melesat keluar kamar, rupanya 
beberapa sosok tubuh itu sempat menangkap bayangan 
mereka. Terbukti, empat di antara sosok-sosok tubuh kaku itu 
berbalik dengan tatapan mata mencorong tajam dan bersinar 
kehijauan. 
"Eaaakh...!"

Panji dan Kenanga sempat menoleh ketika mendengar suara 
erangan parau yang mengandung kekuatan aneh. Dan ketika 
keduanya menoleh, empat sosok kaku itu tengah melesat 
dengan tangan terulur membentuk cengkeraman-cengkeraman 
maut! Melihat cara keempat sosok tubuh kaku itu menyerang, 
jelas kalau mereka menginginkan kematian Panji dan Kenanga. 
Semula Kenanga tidak menanggapi sama sekali 
cengkeraman-cengkeraman yang dilakukan sosok tubuh itu. 
Karena gerakan mereka terlihat kaku. Sehingga, ia tidak begitu 
mempedulikan serangan mereka. 
Panji segera menilai keempat orang itu, karena ia telah 
bertindak penuh perhitungan, dan tidak mau meremehkan 
segala sesuatu yang masih asing baginya. Dan, betapa terkejut 
hati Pendekar Naga Putih ketika merasakan adanya getaran 
hawa aneh yang terkandung dalam serangan keempat orang 
itu. Kenyataan itu membuat Panji segera mengerahkan 'Tenaga 
Sakti Gerhana Bulan'nya guna menjaga segala kemungkinan. 
Begitu dua dari empat penyerang memilihnya sebagai 
sasaran, cepat-cepat Panji menggeser kaki kirinya ke samping. 
Gerakan itu masih dibarengi dengan putaran tubuhnya, dan 
sekaligus menyampok empat lengan yang menginc tubuhnya. 
Wukkk! 
"Aaakh...!" 
Terdengar erangan parau bersamaan dengan terpentalnya 
tubuh dua orang penyerang Panji. Namun bagai orang yang 
tidak mengenal rasa sakit, keduanya kembali melompat 
bangkit, sambil meraung sebagai tanda kegusaran mereka. 
Panji sendiri sempat kaget ketika merasakan getaran aneh, 
sewaktu lengannya berbenturan dengan keempat lengan lawan. 
Dan yang membuat pemuda itu tidak habis mengerti, adanya

rasa ngilu yang menjalar dari kedua lengannya. Karuan saja 
kenyataan itu membuat Panji menjadi lebih berhati-hati. 
Pendekar Naga Putih yang sudah bersiap menghadapi kedua 
orang lawannya, terkejut ketika mendengar teriakan kaget yang 
berasal dari samping kiri. Tepat pada saat kepalanya menoleh, 
ia melihat tubuh kekasihnya terjajar mundur sampai hampir 
satu tombak jauhnya. 
"Kenanga...!'' 
Sambil berseru keras, Panji yang mengkhawatirkan 
keselamatan kekasihnya, bergerak cepat menyambut tubuh 
gadis jelita itu. Pemuda itu segera mengerti penyebab 
kekasihnya terdorong mundur adalah akibat berbenturan 
dengan dua orang manusia aneh itu. 
"Aku tidak apa-apa, Kakang. Hanya saja aku merasa terkejut 
dengan adanya tenaga aneh, yang berasal dari tangan-tangan 
mereka. Jelas ini tidak wajar, Kakang. Sepertinya mereka tidak 
merasakan apa-apa akibat tangkisanku tadi. Padahal, tenaga 
yang kukerahkan tidak sedikit dan rasanya cukup untuk 
membuat mereka jera. Kenyataannya, justru akulah yang kaget 
oleh kekuatan yang mereka miliki. Benar-benar aneh...?" ujar 
Kenanga dengan wajah berkerut-kerut. Jelas gadis jelita itu 
tidak dapat menerima kenyataan yang baru saja dialaminya. 
"Aku juga merasakannya. Karena itu, kita harus segera 
meninggalkan penginapan ini, untuk mencari tahu keanehan 
yang terjadi di Desa Siluman ini," ucap Panji yang segera 
mengambil keputusan. Semua itu dilakukannya demi untuk 
mencari tahu apa penyebab dari keanehan penduduk desa ini. 
Dan tanpa menunggu jawaban dari kekasihnya, Panji segera 
melesat sambil menggenggam tangan Kenanga. Sehingga 
dalam waktu singkat, keduanya telah berada di luar rumah 
penginapan itu.

Meskipun telah berada di luar, ternyata bahaya masih tetap 
menginc mereka. Dan, apa yang disaksikan Panji dan Kenanga, 
memang sangat mengejutkan. 
"Ahhh...!?" 
Kenanga menahan jeritannya ketika menyaksi apa yang ada 
di luar rumah 
penginapan itu. 
Sehingga tanpa 
sadar, gadis 
jelita yang 
biasanya tidak 
mengenal rasa 
takut itu, 
bergerak 
mundur sambil 
menutup 
mulutnya 
dengan telapak 
tangan. Hanya 
sepasang 
matanya saja 
yang terbelalak 
seperti tak 
percaya dengan 
apa yang 
disaksikannya. 
Panji sendiri bukan tidak terkejut melihat puluh sosok tubuh 
bergerak maju, begitu mereka muncul dari dalam rumah 
penginapan. Sikap puluhan sosok tubuh itu mencerminkan 
ancaman terhadap mereka. Sehingga, hati Pendekar Naga Putih 
sempat geram dibuatnya.

"Siapa kalian...? Dan apa yang kalian inginkan dari kami 
berdua?" cetus Panji geram, sambil menahan rasa marah yang 
mulai bangkit ketika menyaksi puluhan orang itu telah 
mengurung mereka berdua. 
"Mereka tidak mengenal kompromi lagi, Kakang. Gerakan 
mereka demikian kaku, seperti mayat-mayat yang baru bangkir 
dari kubur," desis Kenanga tergetar hatinya, melihat 
penampilan puluhan sosok tubuh itu. 
"Hm… aneh…!" gumam Panji pula setelah mengamati sosok-
sosok tubuh yang berjalan kaku itu. 
Pertanyaan Panji tidak mendapat tanggapan sama sekali. 
Bahkan puluhan sosok tubuh itu bergerak terus, bagaikan 
mayat-mayat yang bangkit dari kuburnya. Wajah-wajah mereka 
pun terlihat pucat, dingin dan beku, tanpa menyiratkan 
perasaan sedikit pun. Seolah-olah puluhan sosok tubuh itu 
mengenakan topeng untuk menyembunyikan wajah asli 
mereka. 
"Sepertinya mereka tidak mengenal kompromi lagi, Kakang. 
Dan, gerakan mereka demikian kaku. Persis seperti mayat-
mayat yang baru bangkit kubur," desis Kenanga yang menjadi 
tergetar hatinya ketika melihat penampilan puluhan sosok 
tubuh itu. 
"Hm..., aneh...!" gumam Panji setelah mengamati beberapa 
sosok tubuh yang tengah melangkah mendekatinya. 
Kening pemuda tampan itu berkerut dalam. Sepasang 
matanya mencorong tajam seperti hendak menembus hati 
pengepungnya. Jelas sekali kalau pemuda itu tengah berpikir 
keras untuk memecahkan misteri yang dihadapinya. 
Sebelum Panji dan Kenanga bergerak dari tempatnya berdiri, 
tiba-tiba dari dalam rumah penginapan itu telah bermunculan

sosok-sosok tubuh dan mengejar mereka. Cepat-cepat 
sepasang muda-mudi bergerak ke tempat aman. 
"Hm..., sepertinya pertempuran tidak mungkin bisa dihindari 
lagi...," gumam Panji dengan wajah duka. Dari nada 
ucapannya, Pendekar Naga Putih tidak menginginkan hal itu 
terjadi. Karena, penyebab puluhan orang itu hendak mencelakai 
mereka, belum diketahui. 
Menyadari kalau puluhan sosok tubuh itu barangkali tidak 
berdosa, Panji bersikap menghindari pertempuran. Karena ia 
tahu kekuatan sosok-sosok tubuh itu, sehingga bukan tidak 
mungkin akan menjadi korban. Hal itulah yang ingin dihindari 
Panji. 
"Benar, Kakang. Setelah merasakan kekuatan yang mereka 
miliki, rasanya sulit untuk lolos tanpa melukai atau membunuh 
beberapa di antara mereka. Hihh..., apa yang sebenarnya 
mereka inginkan dari kita...?" desah Kenanga yang menyadari 
keadaan benar-benar terjepit 
"Kreaaagh...!" 
Tiba-tiba, sebelum Panji memutuskan apa yang harus 
dilakukan, terdengar raungan parau yang sepertinya 
merupakan sebuah perintah. Hal itu terbukti dengan semakin 
cepatnya sosok-sosok tubuh kaku itu bergerak maju. Bahkan 
beberapa di antara mereka sudah melompat menerjang! 
"Kita coba untuk lolos dari kepungan tanpa harus mencelakai 
mereka. Sebab, menurut penglihatanku, orang-orang ini seperti 
tidak sadar dengan apa yang dilakukannya. Pasti ada biang 
keladi dari semua kujadian ini...!" ujar Panji mengingatkan 
kekasihnya agar tidak sembarangan melepaskan pukulan. 
"Aku akan berusaha sebisanya, Kakang...," sahut Kenanga 
sambil bersiap memasang kuda-kuda.

Belum habis gema suara gadis itu, tiba-tiba dari depan 
empat sosok tubuh kaku itu telah menerkam Kenanga. Bahkan, 
pada saat yang bersamaan, para pengejarnya yang berada di 
belakang ikut pula menyerbu. Sehingga kedudukan gadis jelita 
itu menjadi terjepit. 
Menyadari untuk menghadapi para pengeroyoknya harus 
menggunakan kelmeahan, maka Kenanga mulai menggeser 
tubuhnya dengan gerakan ringan. Sehingga untuk beberapa 
saat lamanya, para pengroyok itu kehilangan buruannya. 
"Haiiit..!" 
Disertai sebuah seruan nyaring, Kenanga melesat sambil 
melontarkan pukulan guna mengurangi tekanan lawan. Karena 
gerakan gadis jelita itu hampir menyerupai bayang-bayang 
yang sukar untuk dijamah, maka dalam beberapa gerakan saja, 
beberapa orang pengeroyoknya terjungkal akibat hantaman 
telapak tangan gadis jelita itu. 
Tapi kekuatan para pengeroyok itu benar-benar 
menakjubkan! Sehingga Kenanga sendiri hampir tidak 
mempercayai penglihatannya. Bahkan sampai-sampai ia mulai 
meragukan kekuatan tenaga saktinya. Karena setiap kali tubuh 
pengeroyoknya terjungkal keras mereka selalu bangkit seketika 
tanpa merintih kesakitan sedikit pun! 
Padahal, Kenanga tahu kalau pukulan yang dilontarkannya 
itu bisa menewaskan lawan yang tidak memiliki kekuatan 
tenaga dalam. Tapi, para pengeroyoknya itu seperti tidak 
merasakan kerasnya pukulan gadis jelita itu. 
"Gila! Mereka pasti bukan manusia...!" umpat Kenanga yang 
terpaksa terus menggunakan kelmeahannya sambil sesekali 
melontarkan pukulan dan tendangan.

Sadar kalau lama-kelamaan ia bisa kehabisan tenaga, bila 
selalu melontarkan pukulan dan tendangan, maka serangan 
balasannya pun mulai dikurangi. Sehingga, Kenanga lebih 
banyak menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk 
menghadapi keroyokan makhluk-makhluk aneh yang sangat 
kuat itu. 
Demikian pula halnya dengan Panji. Beberapa orang 
pengeroyoknya yang terkena pukulan keras, segera bangkit, 
membuat pemuda itu menjadi heran. Padahal, tenaga pukulan 
maupun tamparannya, dapat menghancurkan sebuah batu 
besar. Tapi, semua itu seperti tidak berarti apa-apa bagi para 
pengeroyoknya. Kenyataan itu membuat Panji terpaksa 
menggunakan ilmu meringankan tubuh guna menekan desakan 
pengeroyoknya. 
Kenyataan yang dialami Panji kali ini benar-benar membuat 
pemuda itu hampir tak percaya. Ketika ia menggunakan 
kelincahannya untuk mengurangi tekanan lawan, mendadak 
beberapa di antara para pengeroyoknya melesat dengan 
kecepatan kilat sambil melontarkan pukulan-pukulan maut yang 
menebarkan hawa aneh! 
"Aihhhh...!" 
Panji berseru tertahan ketika empat sosok tubuh yang 
muncul dari barisan pengeroyoknya, bergerak bagai kilat 
dengan posisi tubuh menelungkup. Tubuh-tubuh keempat 
orang itu tak ubahnya seperti terbang, menerjang Panji dengan 
cengkeraman-cengkeraman maut. 
Begitu berhasil menghindari serangan empat orang yang 
ternyata dapat bergerak cepat itu, Panji segera melanjutkan 
dengan lompatan dan berputar di udara. 
"Hm..., hal ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut..," gumam 
Pendekar Naga Putih yang segera menyiapkan 'Tenaga Sakti

Inti Panas Bumi'. Kesadaran untuk menggunakan tenaga 
mukjizat jelman Pedang Naga Langit itu, segera muncul setelah 
melihat gerakan empat orang lawannya yang jelas-jelas sangat 
berbahaya. Selain itu, 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' 
merupakan suatu kekuatan ajaib yang mampu mengusir atau 
melenyapkan pengaruh-pengaruh aneh bagi lawan-lawannya. 
Beberapa pemikiran itulah yang membuat Panji memutuskan 
untuk menggunakan tenaga ajaibnya.

TIGA

"Hmh...." 
Seiring geraman lirih yang keluar dari mulut Panji, terciptalah 
lapisan sinar kuning keemasan yang menyelimuti sekujur 
tubuhnya. 
Namun, pada saat Panji telah siap melontarkan pukulan-
pukulan, terdengar jerit kesakitan. Pendekar Naga Putih tahu 
suara itu berasal dari Kenanga. Maka, ketika itu juga tubuh 
Panji segera melesat untuk menyambut tubuh gadis jelita yang 
tengah melayang, dan mungkin akan terbanting bila Panji tidak 
segera menyambutnya. 
"Uhhh..., mereka pasti bukan manusia, Kakang," rintih 
Kenanga dengan suara lirih. Dari sela-sela bibirnya terlihat 
cairan merah merembes keluar. Jelas, gadis jelita itu telah 
terkena pukulan dari salah seorang lawan. 
"Hmh...," Panji menggeram gusar ketika melihat gadis jelita 
yang dikasihinya itu telah mendapat luka. Wajahnya yang 
semula tenang, berubah kemerahan. Jelas Pendekar Naga Putih 
telah terbangkit kemarahannya. 
"Kita harus meloloskan diri dari kepungan mereka, Kakang. 
Tubuh mereka kebal terhadap pukul pukulan kita...," ujar 
Kenanga yang sudah bisa menguasai rasa sakitnya. Meskipun 
demikian, wajah itu telihat agak meringis sambil meremas 
lambungnya. Rupanya pukulan salah seorang pengeroyok 
mengenai lambungnya. 
Sosok-sosok tubuh kaku yang tak ubahnya seperti mayat-
mayat hidup itu terus bergerak mendekati mereka. Bahkan 
enam orang dari makhluk-makhluk aneh itu telah melesat 
bagaikan terbang dengan cengkeraman-cengkeraman mautnya!

Keenam sosok tubuh itu jelas pimpinan makhluk aneh itu. 
Terbukti dari kepandaian mereka yang melebihi puluhan sosok 
lainnya. 
"Yang mengenakan pakaian coklat itulah yang melukaiku, 
Kakang...," desah Kenanga yang telah bersiap kembali 
menghadapi segala kemungkinan. 
"Hm..., sepertinya keenam orang itu pimpinan mereka. 
Kepandaian mereka jauh lebih tinggi dan berbahaya daripada 
yang lainnya. Biar aku akan mencoba untuk melumpuhkan 
mereka terlebih dahulu...," ucap Panji sambil melipat kedua 
tangannya di depan dada. Sepasang tangan pemuda itu 
kemudian bergerak membuka, dan siap melontarkan pukulan 
hebat. 
"Haittt...!" 
Begitu keenam sosok tubuh itu makin dekat. Panji berseru 
nyaring sambil mendorongkan kedua telapak tanganya ke 
depan. 
Whusss...! 
Serangkum cahaya kekuningan berpendar, dan meluncur 
memapaki keenam sosok tubuh yang tengah melayang di udara 
itu. Dan.... 
Bresssh...! 
Terdengar dentuman keras yang kemudian disusul dengan 
memecahnya sinar kuning keemasan ke segala arah. Jelas 
dorongan telapak tangan Panji telah mengenai sasaran 
Apa yang dilakukan Pendekar Naga Putih, ternyata telah 
membawa hasil baik. Terbukti dua dari enam sosok tubuh yang 
tengah melayang itu, langsung terjerembab jatuh ke atas

tanah. Tubuh kedua sosok itu tidak lagi bangkit seperti semula. 
Keduanya diam tak berkutik, seperti telah menjadi mayat. 
'Tewaskah mereka, Kakang...?" tanya Kenanga telah melihat 
kedua sosok tubuh itu tidak lagi bergerak akibat pukulan 
kekasihnya. 
"Entahlah. Tapi, kalau melihat adanya sinar keemasan yang 
menyelubungi mereka, jelas mereka belum tewas. Kalau sinar 
itu masih menyelimuti tubuh korban, berarti orang yang 
menjadi sasaran pukulan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' masih 
menyimpan racun atau luka dalam tubuhnya. Dan, boleh jadi 
pengaruh sihir yang tengah dilenyapkan oleh tenaga mukjizat 
itu," jelas Panji. 
Kenanga mengangguk-angguk puas. 
Robohnya dua orang pengeroyok itu, ternyata menimbulkan 
pengaruh besar bagi sosok-sosok tubuh kaku lainnya. Terbukti 
mereka tidak lagi bergerak maju. Bahkan keempat orang yang 
memiliki kepandaian mengerikan itu, tertegun sambil menatapi 
tubuh kedua kawannya. 
Kesunyian itu berlangsung cukup lama. Sehingga baik Panji 
maupun Kenanga ikut terdiam, seperti menanti kelanjutan dari 
sosok-sosok tubuh kaku itu. 
"Mengapa tidak kita tinggalkan saja tempat mengerikan ini, 
Kakang...?" tanya Kenanga yang sepertinya tidak mau menyia-
nyiakan kesempatan baik itu. 
"Sebentar. Aku ingin melihat tindakan mereka selanjutnya, 
setelah dua kawan mereka kupukul roboh," sahut Panji yang 
sepertinya tidak lagi merasa khawatir. Karena, telah 
menemukan cara untuk menundukkan para pengeroyoknya. 
Tidak setujunya Panji dengan usul yang diajukan Kenanga 
itu, karena ia mengira kalau para pengeroyoknya akan menjadi

jera. Dengan begitu, Panji berharap dapat menyingkap misteri 
yang menyelimuti Desa Siluman. 
Tapi, apa yang diharapkan Panji ternyata tidak menjadi 
kenyataan. Karena sosok-sosok tubuh itu kembali bergerak 
mendekati mereka, ketika hembusan angin dingin bertiup 
keras. Sehingga, pepohonan di sekitarnya berderak ribut. 
Karuan saja keadaan itu sempat membuat Panji terperangah. 
"Mereka..., mulai lagi, Kakang...," desis Kenanga yang juga 
menjadi kaget. 
Tapi bukan gerakan sosok-sosok tubuh kaku itu yang 
membuat Panji terperangah. Ada kejadian lain yang membuat 
Pendekar Naga Putih semakin tidak mengerti, sampai-sampai ia 
tertegun bagai tak mempercayai penglihatannya. 
Dua di antara empat pemimpin sosok-sosok tubuh kaku itu, 
terlihat merunduk, lalu menempelkan telapak tangannya ke 
dada dua orang yang tadi terkapar akibat hantaman Panji. 
Tampak kepulan uap putih keluar dari telapak tangan kedua 
sosok tubuh itu. 
Seiring dengan erangan parau yang panjang dan mendirikan 
bulu roma, dua sosok tubuh yang tengah terkapat itu 
mendadak bangkit dengan tubuh tegak bagaikan sebatang 
tonggak. Kejadian itulah yang membuat Pendekar Naga Putih 
terperangah. 
"Gila! Ilmu iblis apa yang mereka pergunakan itu...?" desis 
Panji dengan perasaan takjub. Kendati pengalamannya selama 
ini telah cukup banyak, tapi ilmu yang disaksikannya itu belum 
pernah dilihatnya sama sekali. Wajar kalau pemuda itu terkejut. 
"Jelas mereka memiliki ilmu sesat yang sangat tinggi, 
Kakang," ujar Kenanga yang juga terbelalak takjub melihat 
bangkitnya dua sosok tubuh yang tadi dirobohkan kekasihnya.

'Tidak ada jalan lain, kita harus meninggalkan tempat celaka 
ini...," ujar Panji sambil menghimpun 'Tenaga Sakti Inti Panas 
Bumi'nya kembali, "Bersiaplah untuk lepas dari kepungan 
mereka, Kenanga...." 
"Baik, Kakang...." 
"Ikuti gerak langkah kakiku...!" perintah Panji sambil 
menggeser langkahnya ke samping kanan. Kemudian 
melontarkan hantaman telapak tangan susul-menyusul. Hal itu 
dilakukan Pendekar Naga Putih untuk mengacaukan kepungan 
lawan. 
Whusss...! 
Gumpalan sinar kuning keemasan berpendar dan memecah 
menjadi tiga bagian. Masing-masing dari gumpalan sinar itu 
menerjang belasan orang pengepung yang bergerak mendekat. 
Dan.... 
Blasss.... Bresssh...! 
Letupan keras terdengar saling bersusulan, yang diiringi 
terjungkalnya sosok-sosok tubuh para pengepung ke segala 
arah, Kemudian jatuh terkapar tanpa dapat bangkit lagi. 
Tapi, lagi-lagi Pendekar Naga Putih dan Kenanga harus 
menyaksikan pemandangan yang membuat dada mereka 
berdebar tegang. Belasan sosok tubuh yang terkapar tak 
bergerak itu, kembali bangkit setelah kawan-kawannya yang 
lain mengusapkan telapak tangan pada bagian dada tubuh 
kawannya yang tergeletak. Hebatnya sosok-sosok tubuh itu 
kembali bangkit seperti tidak merasakan hantaman Pendekar 
Naga Putih. 
Tapi, semua itu tidak sempat terpikirkan oleh Panji maupun 
Kenanga. Sebab, enam orang pimpinan rombongan manusia 
aneh itu telah melayang dengan cengkeraman-cengkeraman

mautnya. Sehingga, Panji kembali melontarkan pukulan 
dahsyatnya ke arah mereka. 
Blarrr...! 
"Aaakh...!" 
"Hugkh...!" 
Terdengar jerit kesakitan ketika lontaran pukulan Panji telak 
mengenai empat orang terdepan. Akibatnya, keempat sosok 
tubuh itu terpental bagaikan sehelai daun kering yang 
diterbangkan angin. Sedangkan dua orang lainnya sudah 
mendekati dan mengancam pemuda itu. 
Bettt...! Bettt...! 
Cepat-cepat Panji memutar tubuhnya sebanyak dua kali 
guna menghindari cengkeraman maut kedua lawannya. 
Kemudian dengan sebuah gerakan yang lincah, Panji 
melepaskan tendangan kilat yang sama kali tidak diduga 
lawannya. 
Untuk kesekian kalinya, Pendekar Naga Putih mengeluarkan 
suara pujian terhadap kedua lawannya. Karena serangan 
balasan yang dilontarkannya itu ternyata dapat dihindari lawan 
dengan menarik tubuh ke belakang dalam keadaan kuda-kuda 
rendah, dan doyong ke belakang. 
Panji bukanlah pendekar kemarin sore yang tidak memiliki 
pengalaman bertempur. Sebaliknya malah sudah banyak sekali 
pengalaman-pengalaman hebat yang dialaminya. Dan, semua 
pengalaman itu telah membuatnya mampu membaca gerakan 
lawan. Sehingga, ketika tendangannya luput, tubuh Panji 
bergerak membungkuk dengan kuda-kuda rendah. Bersamaan 
dengan itu, sepasang tangannya bergerak bagai kilat 
menggedor dada lawan.

Blagggh...! Bukkk...! 
Bukan main hebatnya akibat hantaman sepasang telapak 
tangan Pendekar Naga Putih. Tanpa dapat dicegah lagi, 
hantaman telak yang mengenal dada kedua orang lawannya, 
membuat keduanya terlempar sejauh dua batang tombak ke 
belakang. 
Kedua sosok tubuh yang menjadi sasaran kegeraman 
Pendekar Naga Putih terkapar di atas tanah dengan rintihan 
parau. 
"Huagkh...!" 
Setelah memuntahkan darah segar dari mulut masing-
masing, tubuh kedua korban hantaman telapak tangan Panji itu 
pun rebah dan tidak bergerak lagi. Jelas, mereka tewas akibat 
hantaman dahsyat Pendekar Naga Putih. 
"Terpaksa aku melakukannya, Kenanga.... Semula aku 
berniat untuk menyembuhkan mereka, bila dugaanku benar 
bahwa mereka tengah dipengaruhi suatu kekuatan aneh. Tapi, 
desakan mereka telah membuatku khilaf...," desah Panji 
dengan nada penuh sesal. Jelas, hal itu memang di luar 
perhitungannya. 
"Jadi pukulan-pukulan Kakang yang membuat mereka roboh 
sebelumnya, hanya untuk mengusir pengaruh aneh pada diri 
mereka...?" tanya Kenanga dengan wajah heran. Gadis ini 
memang tidak mengetahui rencana apa di benak kekasihnya. 
Tapi, untuk menjelaskan semua itu memang tidak ada waktu 
lagi. 
"Benar. Itulah sebabnya mengapa mereka dapat bangkit 
kembali, tanpa mengalami luka ataupun memuntahkan darah. 
Tapi, dua orang itu tidak mungkin dapat bangkit lagi. Sebab, 
pukulanku bukan untuk melenyapkan mereka dari pengaruh
aneh, tentu saja kalau dugaanku itu betul...," sahut Panji sambil 
menghela napas berat berkepanjangan. 
"Sudahlah, Kakang. Tidak perlu menyesali apa yang sudah 
terjadi. Sebaiknya kita segera meninggalkan desa ini, sebelum 
korban lain berjatuhan," usul Kenanga yang membuat Panji 
tersadar. 
"Ayolah...," sahut Panji yang segera mengajak Kenanga 
meninggalkan tempat itu, selagi para pengeroyoknya sibuk 
mengurusi tubuh-tubuh kawannya yang bergeletakan akibat 
pukulan Panji. 
Hanya dalam sekejapan mata saja, sosok Panji dan Kenanga 
lenyap ditelan kegelapan malam. Keduanya terus melesat 
menuju perbatasan Desa Siluman. Sepertinya sepasang 
pendekar muda itu telah bertekad untuk menjauhi desa yang 
penuh misteri itu. 
Panji membuka kelopak matanya ketika cahaya matahari 
pagi menerobos celah dedaunan. Sambil menggosok kedua 
matanya, pemuda itu bangkit dan mengedarkan pandangan 
berkeliling. 
"Ah, rupanya harum daging bakar itulah yang membuat 
perutku sudah keroncongan sepagi ini," ujar Panji. 
Sambil berkata demikian, bibir pemuda tampan itu 
menyunggingkan senyum manis ketika melihat dua ekor kelinci 
panggang sudah tersedia di dekatnya. 
"Eit, nanti dulu, Tuan Besar...," cegah Kenanga tersenyum 
sambil menangkap tangan Panji yang tengah terulur hendak 
mengambil seekor kelinci bakar itu. "Bersihkan dulu tubuhmu, 
mana bisa begitu bangun tidur langsung makan...." 
Mendengar ucapan itu, Panji segera bangkit dari duduknya. 
Setelah melontarkan senyum kepada gadis itu, Panji pun

bergegas menuju aliran sungai yang gemericik airnya terdengar 
dari tempat itu. 
Tidak berapa lama kemudian, Panji sudah kembali dengan 
rambut yang basah dan wajah segar. Pemuda tampan itu 
langsung saja menjatuhkan pantatnya di samping Kenanga. 
"Hm..., kelinci hutan ini pasti sedap. Dari mana kau 
memperolehnya, Kenanga?" tanya Panji yang segera 
menyambar kelinci bakar itu. 
"Kebetulan aku temukan kelinci itu di dekat semak belukar di 
tepi sungai. Tentu saja santapan lezat itu tidak kulewatkan," 
sahut Kenanga yang juga telah menyambar seekor daging 
kelinci bakar. 
"Syukurlah. Dengan demikian, aku tidak perlu bersusah-
payah lagi untuk mencari pengisi perut..," ujar Panji seraya 
tersenyum. 
Kemudian, tanpa banyak cakap lagi, keduanya segera 
menyantap habis daging kelinci itu. Sayang, kenikmatan 
mereka agak terganggu dengan suara derap kuda, yang 
sepertinya tengah melintas ke arah mereka. Sehingga, untuk 
beberapa saat mereka saling berpandangan dengan sikap 
waspada. 
Tak lama kemudian, kira-kira enam tombak lebih dari tempat 
keduanya duduk, melintas lima ekor kuda. Melihat dari buntalan 
cukup besar di punggung kuda itu, jelas rombongan kecil itu 
merupakan pedagang-pedagang keliling, yang akan menjajakan 
barang dagangannya ke pelosok-pelosok desa. 
"Kita harus mencegah mereka, Kakang. Sepertinya 
rombongan pedagang keliling itu hendak menuju Desa 
Siluman," ucap Kenanga yang menjadi cemas ketika melihat

rombongan pedagang itu tengah menuju Desa Siluman yang 
penuh misteri. 
Panji menganggukkan kepala, kemudian bangkit dan 
bergerak menghampiri rombongan kecil itu. Sedangkan 
Kenanga hanya mengikutinya dari belakang. 
"Kisanak, berhenti sebentar...!" cegah Panji sambil 
melambaikan tangannya dari jarak dua tombak. Sehingga, para 
pedagang itu menoleh dengan kening berkerut. Menilik dari 
cara mereka menatap Panji dan Kenanga, jelas lima orang itu 
mencurigai keduanya. 
Baik Panji maupun Kenanga sama sekali tidak mempedulikan 
tatapan mereka yang penuh curiga itu. Keduanya segera 
bergerak mendekati para pedagang keliling, yang masih 
melanjutkan langkahnya dengan agak lambat Bahkan beberapa 
di antaranya ada yang meraba gagang pedang. Sepertinya 
mereka mengira kedua orang muda itu adalah perampok-
perampok tunggal. 
"Hm.., ada keperluan apa kalian berdua menghadang 
perjalanan kami...?" tanya salah seorang dari lima orang 
pedagang itu dengan wajah tak sedap. Bahkan nada suaranya 
terdengar mengandung kecurigaan yang tidak disembunyikan. 
"Maaf, kalau boleh aku tahu, hendak ke manakah Kisanak 
sekalian...?" tanya Panji setelah membungkuk hormat. Wajah 
dan nada suara pemuda itu tetap lembut dan sopan. 
Melihat sikap maupun cara berbicara Panji yang ramah dan 
sopan, kelima pedagang keliling itu sejenak saling 
berpandangan. Seolah-olah dengan saling berpandangan itu, 
mereka hendak meminta pendapat satu sama lain mengenai 
sikap pemuda tampan itu.

"Mmm..., melihat sikap dan wajahnya, jelas pemuda itu 
bukan orang jahat. Mungkin ia memang hendak mengetahui 
tujuan perjalanan kita," ucap salah seorang pedagang dengan 
suara berbisik lirih. 
"Tapi, kita jangan percaya dulu dengan penampilan luar 
seseorang. Apalagi di tempat sunyi seperti ini, bisa jadi sikap 
ramah dan sopannya itu hanya tipuan belaka. Setelah kita 
lengah, maka habislah barang-barang kita dibawanya lari," 
dengus salah seorang pedagang yang tetap mencurigai Panji 
dan Kenanga. 
Walaupun perdebatan itu dilakukan dengan berbalik, tapi 
bagi orang seperti Pendekar Naga Putih, tentu saja dapat 
menangkap pembicaraan mereka dengan baik. Pemuda itu 
tersenyum sabar. Kemudian kakinya melangkah lebih dekat. 
"Paman sekalian," ujar Panji lagi, tetap sopan. Kecurigaan 
yang kalian tunjukkan itu sama sekali tidak salah. Sikap seperti 
itu memang perlu, apalagi bila berjumpa dengan seseorang 
yang tidak dikenal sama sekali di tempat sunyi. Tapi, 
percayalah kami berdua tidak berniat jahat terhadap kalian. 
Kami hanya ingin mengingatkan, desa di depan itu tidak baik 
bagi pedagang-pedagang seperti kalian. Lebih baik carilah desa 
lain, selain Desa Siluman itu," ujar Panji, mengutarakan 
kekhawatirannya terhadap pedagang-pedagang itu. Semua itu 
dijelaskan Panji untuk menghilangkan kecurigaan para 
pedagang itu. 
Ketika mendengar keterangan Panji, para pedagang keliling 
itu hampir meledak tawanya. Mereka meremehkan apa yang 
dikatakan pemuda tampan itu. 
"Ha ha ha...," karena tidak tahan mendengar keterangan 
Panji, salah seorang yang bertubuh kecil kurus, tertawa 
tergelak, meskipun berusaha ditahan. "Lalu, apa yang kau

inginkan, Kisanak? Keteranganmu itu hanya pantas untuk 
seorang anak kecil. Dan kalau memang kau ingin merampas 
barang dagangan kami, pergunakanlah kepandaianmu, 
mengapa harus bersiasat seperti itu?" ejek pedagang kurus itu 
melecehkan. 
"Benar, Anak Muda. Jangan coba-coba menakut-nakuti kami. 
Sebab hal itu akan percuma saja. Nah kalau mau merampas 
tidak perlu menggunakan siasat seperti itu," sambut yang 
lainnya seraya tertawa bergelak-gelak. 
"Hei, manusia tidak tahu diuntung!" teriak Kenanga yang 
merasa tersinggung mendengar ucapan yang mengejek 
kekasihnya. Kemarahannya pun makin meluap. "Kalau kalian 
memang hendak singgah di Desa Siluman, silakan ke sana! 
Dan, jangan menyesal kalau kalian akan terbujur menjadi 
mayat!" 
"Hm..., dari mana kalian mengenal desa itu sebagai Desa 
Siluman? Setahu kami, nama desa itu adalah Kalianyar. Jelas, 
kalau kalian berdua bermaksud menipu kami," sambut salah 
seorang pedagang itu yang juga merasa tersinggung dengan 
bentakan Kenanga. 
"Desa Kalianyar...? Tapi, malam tadi kami baru saja singgah 
untuk bermalam di sana. Menurut keterangan salah seorang 
keamanan, desa itu bernama Desa Siluman. Mana mungkin 
kami salah dengar?" bantah Panji yang merasa heran ketika 
pedagang itu itu menyebut nama desa itu sebagai Desa 
Kalianyar. Jelas, menurutnya telah terjadi kekeliruan di antara 
mereka. 
"Huh! Sudahlah, Kakang. Untuk apa mengingatkan orang-
orang keras kepala yang konyol itu. Lebih baik kita lihat saja, 
semoga mereka tidak menjadi arwah penasaran!" geram 
Kenanga yang segera mengajak Panji meninggalkan

rombongan pedagang itu. Sebab, kalau lama-lama berdebat 
dengan orang-orang itu, Kenanga khawatir kemarahannya bisa 
meledak, tanpa dapat ditahan. 
Panji mengerti mengapa Kenanga mengajaknya 
meninggalkan rombongan pedagang keliling itu, dan ia sama 
sekali tidak berusaha untuk membantah. Pemuda itu menurut 
saja ketika tangannya ditarik oleh gadis jelita itu. 
Para pedagang keliling itu menggelengkan kepala setelah 
kedua orang muda itu semakin jauh. Kemudian, tanpa 
mempedulikan peringatan Panji dan Kenanga, rombongan 
pedagang itu pun kembali bergerak menuju Desa Kalianyar.

EMPAT

Kita tidak bisa berdiam diri saja, apabila terjadi apa-apa 
dengan mereka, Kenanga. Lebih baik kita ikuti saja, dan baru 
turun tangan, bila terjadi sesuatu," usul Panji yang sudah 
berhenti melangkah, menyandarkan tubuhnya pada sebatang 
pohon. 
"Untuk apa, Kakang? Bukankah kita sudah memberikan 
peringatan? Kalau memang nanti mereka mendapat celaka, itu 
sudah menjadi risiko mereka. Biar saja risiko itu mereka 
tanggung sendiri," Kenanga yang masih belum lenyap 
kekesalannya, tidak dapat menerima usul kekasihnya. 
"Hm..., jangan bersikap seperti itu, Kenanga. Biar 
bagaimanapun mereka adalah orang-orang yang tidak berdosa. 
Lagi pula, mungkin saja desa itu bernama Kalianyar seperti 
yang dikatakan salah seorang pedagang tadi. Karena, ia sangat 
yakin dan mantap sekali mengucapkan nama desa itu," bujuk 
Panji yang mencoba melunakkan hati kekasihnya. 
"Tapi kejadian yang baru kita alami semalam, Kakang. Jelas 
sekali mereka menyebut nama desa itu sebagai Desa Siluman 
ketika aku bertanya kepada salah seorang yang mengantarkan 
kita ke penginapan. Apakah mungkin pendengaranku kurang 
beres?" Kenanga masih tetap membantah dengan nada agak 
jengkel. 
"Ya, aku pun mendengar jawaban itu. Tapi, sebaiknya kita 
selidiki dulu kebenaran kata-kata pedagang keliling itu. Ayolah, 
tidak baik kau mendendam hanya karena persoalan sepele 
seperti ini," ajak Panji yang segera melangkah dan 
mengulurkan tangannya membelai rambut gadis jelita yang 
tengah jengkel itu.

Kenanga tidak segera menyambut ajakan Panji. Gadis jelita 
itu bungkam dengan wajah muram. Baru setelah Panji 
memeluk tubuhnya, gadis jelita itu mendongak. Ditatapnya 
wajah Panji dengan sepasang mata beningnya. 
"Baiklah, Kakang. Kita memang berniat menyelidiki desa 
penuh misteri itu. Jadi, kedatangan kita ke sana bukan cuma 
karena hendak menyelamatkan para pedagang sombong itu. 
Tapi, penduduk desa itulah yang harus kita selamatkan," 
akhirnya Kenanga menyetujui juga usul Panji, meskipun dengan 
alasan yang berbeda. 
"Begitupun boleh," sahut Panji yang segera mengecup 
lembut rambut Kenanga. 
Tak lama kemudian, mereka pun kembali melangkah menuju 
Desa Siluman. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut 
keduanya. Sepanjang perjalanan, mereka terbawa oleh arus 
pikirannya masing-masing. 
Saat matahari mulai bergerak naik, sepasang pendekar itu 
pun tiba di mulut Desa Siluman. Dan apa yang mereka 
saksikan, benar-benar sulit dipercaya! Tampak mulut desa itu 
ramai oleh para pedagang. 
Panji dan Kenanga mengedarkan pandangan ke sekitar 
keramaian pasar itu. Kening keduanya berkerut menyaksikan 
wajah-wajah yang sama sekali jauh berbeda dengan apa yang 
mereka saksikan semalam. Tak satu pun dari orang-orang di 
pasar itu berwajah pucat dan bergerak kaku. Kenyataan itu 
tentu saja menimbulkan tanda tanya besar dalam hati mereka. 
"Paman, kalau boleh kutahu, apakah nama desa ini...?" 
Kenanga tidak sabar lagi, langsung dihampirinya seorang 
pedagang kulit binatang, dan langsung menanyakan nama desa 
itu.

"Apakah Nisanak baru pertama kali datang ke desa ini?" 
pedagang yang ditanya itu malah balik bertanya, hingga 
Kenanga terpaksa menelan rasa kedongkolan dalam hatinya. 
"Benar, Paman. Dan aku belum tahu nama desa ini," sahut 
Kenanga cepat-cepat. 
"Kalau begitu, sering-seringlah singgah di Kalianyar ini. 
Setiap pekan, desa kecil ini selalu ramai dikunjungi para 
pendatang yang ingin membeli kulit binatang hasil tangkapan 
penduduk asli. Kulit dari jenis binatang apa pun, mudah 
diperoleh di sini hanya dengan beberapa keping uang," jelas 
lelaki itu sambil menawarkan barang dagangannya. 
'Terima kasih. Saat ini aku belum membutuhkannya," sahut 
Kenanga yang segera berlalu meninggalkan pedagang itu. 
Kenanga yang jelas-jelas merasa tidak puas dengan jawaban 
pedagang kulit binatang itu, segera mengajak Panji menjauhi 
keramaian pasar. 
"Jelas apa yang kita alami semalam sekadar mimpi. Dan, aku 
semakin penasaran untuk mengungkap misteri yang 
menyelimuti desa terpencil ini," gumam Panji yang rupanya 
mendapat keterangan yang sama dengan kekasihnya. 
Sehingga, hati pemuda itu kian bertambah penasaran. 
"Sekarang marilah kita datangi rumah penginapan yang 
semalam kita tempati," usul Kenanga yang juga kian penasaran 
dengan semua keterangan dan apa yang dilihatnya pagi ini. 
Gadis jelita itu merasa kalau ia dan kekasihnya telah 
dipermainkan oleh orang-orang yang sama sekali tidak 
diketahui. 
Ketika keduanya hampir tiba di dekat rumah penginapan 
yang juga menyediakan kedai makan itu, mendadak langkah

Kenanga terhenti. Ia melihat di depan kedai itu ada lima ekor 
kuda yang tengah ditambatkan. 
"Ada apa...?" tanya Panji ketika melihat Kenanga 
menghentikan langkahnya tiba-tiba. 
"Pedagang-pedagang sombong itu ada di dalam kedai, 
Kakang. Lebih baik kita menghindar saja, daripada membuat 
keributan di dalam kedai makan itu." ujar Kenanga dengan 
wajah muram. Jelas sekali kalau gadis jelita itu tengah dilanda 
kemarahan. 
Mendengar ucapan kekasihnya, Panji mengerti mengapa 
Kenanga mengurungkan niatnya untuk mendatangi kedai 
tempat mereka menginap semalam. Sebab, lima ekor kuda itu 
adalah milik pedagang-pedagang keliling yang sempat mereka 
nasihati. Pemuda itu pun tahu, bila ia memaksa untuk 
memasuki kedai, sudah pasti para pedagang keliling itu akan 
mencemoohkan mereka. 
"Kalau begitu, kita cari kedai lain saja...," ajak Panji sambil 
melangkah meninggalkan kedai, yang hanya tinggal beberapa 
tombak di depan mereka. 
Setelah keduanya agak lama mengitari desa ternyata mereka 
tidak menemukan adanya kedai lain. Kedai makan, tempat 
mereka menginap semalam merupakan satu-satunya 
penginapan dan sekaligus kedai makan di Desa Kalianyar itu. 
Memang hal itu wajar. Karena Desa Kalianyar merupakan desa 
kecil yang hanya dihuni beberapa puluh orang penduduk. 
"Kurang ajar! Apa yang harus kita perbuat sekarang, 
Kakang?" geram Kenanga yang merasa jengkel dengan 
keadaan itu. 
"Hm..., lebih baik kita terus saja keluar perbatas desa 
sebelah Timur. Dari sana mungkin kita bisa menyelidiki, kalau

kalau ada sesuatu yang dapat dijadikan sebagai pegangan," 
usul Panji yang segera disetujui Kenanga. 
Pasangan pendekar yang tengah dilanda tanda tanya besar 
itu melangkah perlahan menuju batas desa sebelah Timur. 
Setelah jalan yang mereka lalui agak sepi, barulah keduanya 
menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk mengitari Desa 
Kalianyar. 
 
*** 
Matahari sudah semakin naik tinggi ketika Panji dan Kenanga 
memasuki sebuah daerah perbukitan tandus. Keduanya 
mengernyitkan hidung ketika mencium sesuatu yang tidak 
sedap. 
"Uh, bau apa ini, Kakang..?" desis Kenanga sambil memijit 
hidungnya ketika bau yang tak sedap menyergapnya. 
"Seperti bau busuk yang berasal dari tubuh mayat. 
Sebaiknya kita selidiki lebih ke dalam," sahut Panji yang segera 
melanjutkan langkahnya sambil menahan rasa mual. 
"Uhhh...," Kenanga kembali mengeluh dan jengkel. 
Dilepaskannya sabuk hijau yang melingkari pinggangnya. 
Kemudian dilekatkan ke kepalanya hingga menutupi hidung. 
Setelah itu, baru bergerak menyusul Panji. 
Bau busuk yang memenuhi sekitar perbukitan itu terasa 
makin keras, ketika keduanya tiba di sebuah tempat yang agak 
rendah. Sewaktu Panji memaksakan diri melihat ke bawah, 
cepat pemuda itu melompat mundur.

"Ada apa, Kakang...?" tanya Kenanga dengan wajah 
berubah. Jelas, gerakan Panji yang tiba-tiba itu telah 
membuatnya terkejut. 
"Bau busuk itu pasti berasal dari bawah sana," ujar Panji 
yang rupanya ketika menjenguk ke bawah ada hawa busuk 
yang sangat keras menyambar. Sehingga, pemuda itu 
terlompat ke belakang. 
"Hm..., apa yang kalian cari di tempat sunyi ini." 
Tiba-tiba terdengar teguran dengan suara parau dan napas 
agak terengah. Disusul munculnya seorang laki-laki tua berusia 
sekitar tujuh puluh tahun, yang menggendong ranting kering di 
pundaknya. Hal itu menandakan kalau ia adalah seorang 
pencari kayu. 
Baik Panji maupun Kenanga menoleh serentak ketika 
mendengar suara teguran yang mengejutkan itu. Keduanya 
menatap dengan kening berkerut ketika melihat seorang laki-
laki tua menghampiri mereka. 
"Siapakah Kakek? Dan mengapa muncul tiba-tiba. Anehnya, 
kami sama sekali tidak mendengar langkah kaki Kakek?" tanya 
Kenanga yang merasa curiga melihat kemunculan laki-laki tua 
itu yang demikian tiba-tiba. 
"Ah..., benar-benar aneh sekali kau ini, Nisanak. 
Pertanyaanku belum lagi kau jawab, eh...! Sudah menanyakan 
orang. Aih..., benar-benar dunia sudah terbalik. Lagi pula mana 
bisa orang mendengar langkah kaki orang lain? Apakah kalian 
berdua ini malaikat sampai-sampai suara langkah kaki orang 
pun kalian pedulikan," omel laki-laki tua itu seperti tidak senang 
dengan sikap Kenanga. Namun, sorot matanya tanpa rasa 
tersinggung sedikit pun.

Melihat suasana yang kurang enak itu, Panji bergegas 
melangkah melewati Kenanga. Dengan sikap hormat, pemuda 
itu membungkukkan tubuhnya. 
"Maaf, Kek. Kami adalah dua orang pengembara yang 
tersesat. Karena tertarik dengan adanya bau busuk di sekitar 
tempat ini, maka kami mencoba mencarinya. Sepertinya, kami 
sudah menemukan sumber bau tak sedap itu di kaki bukit 
sebelah Barat. Karena terlalu bernafsu, kami sampai tidak 
memperhatikan keadaan di sekeliling. Sehingga, kehadiran 
Kakek sempat mengejutkan kami berdua," ucap Panji dengan 
nada sopan. 
"Hm..., anak baik.., anak baik. Nada bicara dan sikapmu 
sangat sopan sekali. Tentu kau orang kota yang kaya dan 
terpelajar. Apakah dugaanku salah?" ujar laki-laki tua itu, 
mengakhiri kalimatnya dengan pertanyaan, yang bernmada 
menyelidik. 
Panji bukanlah orang bodoh. Meskipun laki-laki tua itu 
mengatakan tidak mengerti ilmu silat, dengan mengibaratkan 
orang yang mendengar langkah kaki manusia lain sebagai 
malaikat, namun gerak-gerik laki-laki tua itu tidak luput dari 
pengamatan matanya yang tajam. Dari gerak langkah maupun 
potongan tubuh laki-laki tua itu, jelas ia bukan orang lemah. 
Panji menduga paling tidak laki-laki tua itu memiliki atau 
pernah mempelajari ilmu silat. Tapi entah mengapa hal itu 
seperti hendak disembunyikannya. Hal itu membuat Pendekar 
Naga Putih mengambil keputusan untuk berpura-pura bodoh, 
dan tidak mengetahui. 
Sedangkan laki-laki tua itu sudah melangkah mengitari tubuh 
Panji. Menilik dari sikapnya, jelas hendak menilai Pendekar 
Naga Putih

"Hm..., untuk apa kalian merepotkan diri, hanya untuk 
mencari sumber bangkai binatang hutan ini. Semua penduduk 
Desa Kalianyar sudah tahu, di kaki bukit sebelah Barat itu 
tempat pembuangan bangkai-bangkai binatang yang tidak 
disukai dagingnya. Jadi hanya kulitnya yang mereka bawa 
pulang. Apakah kau tidak tahu kalau penduduk desa itu 
bermata pencaharian sebagai pemburu?" tanya laki-laki tua itu 
lagi sambil menghentikan langkah kakinya dan berdiri di depan 
Panji. 
"Ah! Jadi tak jauh dari sini ada pemukim penduduk? Kalau 
begitu, kebetulan sekali. Kami memang hendak mencari tempat 
untuk beristirahat beberapa malam. Maklumlah kami telah 
melakukan perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan," aku 
Panji berbohong. Karena, ia mencurigai laki-laki tua itu. 
"Hm..., kalian berdua tentunya sepasang suami istri muda 
yang tengah pesiar. Kusarankan agar kali mencari desa lain 
saja untuk bermalam. Sebab, Desa Kalianyar sangat terpencil 
dan jauh letaknya dari desa-desa lain. Suasananya tentu tidak 
menyenangkan bagi kalian berdua, bukan?" jawab laki-laki tua 
itu, menasihati. 
"Kalau memang begitu nasihat Kakek, baiklah. Kami berdua 
akan mencari tempat lain yang lebih menyenangkan," ujar Panji 
sambil merengkuh bahu Kenanga. Seolah-olah dengan berbuat 
demikian, dia ingin meyakinkan laki-laki tua itu bahwa mereka 
memang sepasang suami istri. 
"Bagus, kalau kalian mengerti...," puji laki-laki tua itu dengan 
wajah gembira. "Nah! Aku pamit dulu, hendak membawa kayu 
bakar ini pulang. Istriku di rumah sangat cerewet Telat sedikit 
saja, bisa-bisa aku kena marah."

Setelah berkata demikian, laki-laki tua itu pun melangkah 
tertatih-tatih meninggalkan Kenanga dan Panji, yang 
melepasnya dengan pandangan penuh perhatian. 
"Kau yakin kalau kakek itu tidak mengerti tentang ilmu silat, 
Kakang?" tanya Kenanga setelah bayangan laki-laki tua itu 
lenyap di balik pepohonan hutan. 
"Entahlah. Yang jelas, aku sangat mencurigainya. Meskipun 
ia berusaha menyembunyikan, namun aku sempat melihat 
sorot mata aneh dari sepasang mata tuanya itu," jawab Panji 
sambil tetap menatap tempat di mana laki-laki tua tadi lenyap. 
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang, Kakang?" 
Kenanga sepertinya belum dapat memutuskan kelanjutan dari 
penyelidikan mereka. 
"Hm..., aku masih merasa khawatir kalau kakek itu tidak 
pergi jauh dari tempat ini. Sebaiknya, kita berpura-pura 
meninggalkan tempat ini. Setelah agak aman, baru kita kembali 
untuk menyelidiki bangkai apa sebenarnya yang menimbulkan 
bau menusuk hidung itu," sahut Panji menjelaskan rencananya. 
Mendengar rencana itu, Kenanga hanya mengangguk 
menyetujui. Kemudian, tanpa berkata apa-apa lagi keduanya 
bergegas meninggalkan daerah perbukitan itu. Cukup lama juga 
pasangan pendekar itu berputar-putar, hanya untuk 
menghilangkan kecurigaan laki-laki tua, yang mungkin saja 
tengah mengintai mereka. 
"Kita kembali sekarang, dengan mengambil jalan memutar," 
ujar Panji yang saat itu telah menghentikan larinya. Lalu, ia 
memutar langkah dan kembali menuju ke sebelah Barat 
perbukitan. Tujuannya jelas, ingin menyelidiki sumber bau yang 
menusuk hidung itu.

Setelah tiba di tempat yang dituju, keduanya bergegas 
menuruni daerah yang mirip sebuah lembah kecil itu. 
Pepohonan yang tumbuh tak beraturan menolong mereka dari 
penglihatan orang-orang yang berada di atas. Sehingga, 
keduanya lebih leluasa melakukan penyelidikan. 
Dengan wajah sebagian tertutup sabuk, keduanya bergerak 
terus meneliti setiap jengkal tanah di dataran rendah itu. Bau 
bangkai yang semakin keras itu membawa langkah mereka 
hingga ke dinding bukit. Panji menatap dengan kening berkerut 
ketika melihat sebuah mulut gua yang cukup lebar. 
"Hm..., sepertinya dari dalam gua itulah asal bau busuk yang 
menusuk hidung," gumam Panji sambil menoleh ke arah 
kekasihnya. Kemudian, kakinya kembali melangkah dengan 
sikap yang lebih hati-hati. 
"Apakah gua ini berpenghuni, Kakang...?" bisik Kenanga di 
telinga Panji. 
"Entahlah. Yang jelas, kita harus tetap waspada," sahut Panji 
mengingatkan. 
Panji mulai merasa yakin kalau gua itu tidak berpenghuni. 
Itu terlihat ketika mereka telah berada di mulut gua, tak satu 
gerakan pun terdengar dari dalam. Dan dengan pengerahan 
'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' untuk menerangi bagian dalam 
gua, Panji bergerak masuk. 
Sementara itu, Kenanga hanya mengikuti dari belakang 
kekasihnya. Gadis jelita itu sudah meraba gagang senjatanya, 
seolah-olah siap menghadapi segala kemungkinan yang akan 
terjadi.

LIMA


Matahari sudah semakin tergelincir ke sebelah Barat. Saat itu 
Panji dan Kenanga telah berada dalam gua. Hati keduanya 
semakin bertambah penasaran ketika mereka menemukan 
tumpukan tulang tengkorak manusia. Jelas, bau busuk itu 
bukan berasal dari bangkai binatang, seperti yang mereka 
dengar dari laki-laki tua pencari kayu bakar. 
"Gua ini seperti tempat penjagalan manusia, Kakang...," 
desis Kenanga yang mulai merasa mual menyaksikan 
pemandangan yang mengerikan itu. 
Panji sama sekali tidak menyahuti ucapan kekasihnya. 
Karena, saat itu ia telah menemukan sesuatu yang cukup 
mengejutkan. 
"Semuanya sudah jelas sekarang," gumam Panji ketika 
menemukan lima kepala wanita muda yang tampak 
membengkak. 
"Ihhh...!" Kenanga memekik perlahan ketika melihat 
pemandangan yang membuat bulu tengkuknya berdiri. Tanpa 
mempedulikan Panji lagi, gadis jelita itu bergegas membalikkan 
tubuhnya, dan berlari menuju mulut gua. Jelas kalau Kenanga 
tidak sanggup melihat pemandangan yang disaksikannya itu. 
Setelah meneliti dan memastikan semua mayat itu belum 
lama terjadi, Panji bergegas menyusul Kenanga. Belum lagi 
langkah pemuda itu sampai di mulut gua, tiba-tiba terdengar 
suara gemuruh yang disusul dengan gelapnya suasana di dalam 
gua itu. 
"Kakang...!"

Bagaikan kilat, Panji melesat ke depan ketika mendengar 
suara jeritan kekasihnya. Namun, meski telah tiba di mulut gua, 
ia tidak menemukan sama kali tempat ke luar. Dinding gua 
telah tertutup oleh batu besar. Sehingga, Panji terkurung di 
dalamnya. 
"Kenanga...!" Panji berteriak ketika tidak menemukan 
Kenanga di dalam gua itu. Hatinya bertambah cemas ketika 
lamat-lamat didengarnya pertempuran yang terjadi di luar gua. 
Jelas Kenanga telah hertarung melawan orang yang diketahui 
Panji. 
Sadar dirinya telah dijebak secara licik, Panji menjadi gusar. 
Rasa cepat ingin menyelamatkan kekasihnya, membuat 
pemuda itu tidak mau membuang-buang waktu lagi. Dengan 
diiringi sebuah geraman lirih, Panji menghimpun kekuatan 
tenaga saktinya, dan menyalurkan ke kedua belah tangannya. 
"Heaaat..!" 
Dengan sebuah teriakan membahana, Panji mendorongkan 
sepasang telapak tangannya ke depan. 
Whusss...! 
Serangkum angin dahsyat berhawa dingin menusuk tulang, 
meluncur dengan kecepatan kilat, dan langsung menghantam 
batu besar yang menyumbat mulut gua itu. Dan.... 
Blarrr...! 
Hebat sekali akibat pukulan jarak jauh yang dilontarkan 
Panji. Debu tebal mengepul, diiringi sebuah ledakan keras 
seperti akan meruntuhkan bukit itu. 
Seluruh isi gua bergetar akibat pukulan dahsyat pemuda itu. 
Bahkan langit-langit gua berderak, dan batu-batu kecil 
berjatuhan, bagai hujan kerikil.

Bagi Panji sendiri, hal itu tidak terlalu dipusingkannya 
Setelah melontarkan pukulan, tubuh pemuda itu langsung 
melesat menerobos kepulan debu tebal yang bergulung-gulung 
menutupi mulut gua. 
"Haiiit..!" 
Bagaikan bayangan hantu, tubuh Pendekar Naga Putih 
berkelebat dan berjumpalitan dengan gerakan yang indah. 
Begitu tiba di luar gua, Panji menjejakkan kedua kakinya di 
tempat yang aman. 
Panji segera mengedarkan pandangan matanya sekeliling 
tempat itu. Ketika melihat Kenanga dikeroyok belasan orang 
berpakaian hijau tua, cepat-cepat tubuh pemuda itu melesat ke 
arena pertempuran. 
"Heaaah...!" 
Panji langsung melontarkan dua buah pukulan keras, begitu 
tiba di tengah arena pertempuran. Sekali bergerak, pemuda itu 
telah dapat menyelamatkan kekasihnya dari incaran dua orang 
pengeroyoknya. 
Desss! Desss! 
Terdengar jerit kesakitan ketika dua orang pengeroyok 
Kenanga terpental bagai dilemparkan tangan-tangan raksasa. 
Kemudian jatuh ke atas tanah berbatu dengan menimbulkan 
suara berdebuk nyaring. 
"Kakang..., tubuh mereka kebal terhadap senjata...," ujar 
Kenanga yang merasa lega ketika melihat Panji telah berada di 
dekatnya. Kecemasan gadis itu lenyap seketika begitu melihat 
kekasihnya selamat. 
Mendengar ucapan Kenanga, Panji menoleh ke arah dua 
orang yang terkena pukulannya tadi. Keningnya sempat

berkerut ketika melihat dua orang itu telah bangkit kembali 
tanpa terlihat seringai kesakitan di wajahnya. 
"Hm..., aneh! Mengapa orang-orang yang kita temui dalam 
beberapa kali pertarungan selalu kebal terhadap pukulanku? 
Ilmu apa sebenarnya yang mereka miliki?" gumam Panji heran 
dengan suara perlahan. 
Namun, kedua orang itu tidak berpikir lebih lama. Belasan 
orang berpakaian hijau tua itu telah bergerak ke arah mereka 
dengan senjata di tangan. 
"Hm...." 
Panji menggeram dengan hati gusar. Beberapa kali ia 
diserang tanpa sebab oleh orang-orang aneh, yang belum 
pernah dijumpainya. Sehingga kemarahan pemuda itu bangkit. 
Tubuhnya berdiri tegak menanti datangnya serangan lawan. 
Ketika serangan empat orang terdepan mengancam tubuh 
Panji, pemuda itu sama sekali berusaha mengelak. Dengan 
kedua tangan terangkat ke atas, Panji siap memapaki serangan 
empat orang pengeroyoknya. 
"Heaaahhh...!" 
Dengan sebuah bentakan keras, Panji mendorongkan kedua 
tangannya ke depan menyambut serangan pengeroyoknya. 
Bresssh...! 
Terdengar suara ledakan keras ketika gumpalan sinar putih 
berhawa dingin itu membentur tubuh empat orang lawannya. 
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh keempat orang pengeroyok itu 
langsung terpental ke segala arah. 
Tubuh keempat orang itu terbanting dengan menimbulkan 
suara berdebuk nyaring. Melihat cairan merah yang keluar dari

sela-sela bibir mereka, tentu saja pukulan Panji telah 
menimbulkan luka dalam yang parah. 
"Matikah mereka, Kakang...?" tanya Kenanga yang merasa 
terkejut melihat akibat pukulan kekasihnya. 
'Tidak. Mereka hanya terluka parah. Aku sengaja tidak 
membunuh mereka, agar dapat mengorek keterangan tentang 
sebab pengeroyokan ini," sahut Panji menjelaskan rencananya 
kepada Kenanga. 
*** 
Gertakan Panji rupanya cukup membuat lawan-lawannya 
tertegun. Terlihat sisa orang-orang berpakaian serba hijau itu 
berdiri dengan wajah kaku. Tampak mereka mulai merasa ragu 
untuk bergebrak dengan Pendekar Naga Putih, yang belum 
mereka kenal itu. 
"Hm..., mengapa kalian hanya berdiri bagai patung? Ayo, 
majulah! Bukankah kalian menghendaki kematian kami 
berdua...?" tantang Panji dengan suara berat dan mengandung 
pengaruh yang menggetarkan. 
Kawanan lelaki berpakaian serba hijau itu terlihat ragu. 
Sepertinya perbuatan Panji yang sekali pukul dan merobohkan 
empat orang kawannya, membuat mereka menjadi hati-hati. 
Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, kedua belah pihak 
hanya saling pandang dengan tatapan tajam. 
Merasa mendapat kesempatan untuk berbicara, Panji 
bergerak maju beberapa langkah. Dirayapinya wajah-wajah 
pucat kehijauan itu dengan pandangan menyelidik.

"Hm..., siapakah sebenarnya kalian? Mengapa kalian 
memusuhi kami berdua? Seingatku, di antara kita belum pernah 
bertemu, apalagi bermusuhan," ujar Panji meminta penjelasan 
dari gerombolan lelaki berpakaian serba hijau itu. 
Barisan lelaki berpakaian serba hijau itu sama kali tidak 
menyahut. Bahkan mereka bergerak mundur ketika Panji 
kembali melangkah maju. Kelakuan orang-orang aneh yang 
penuh misteri itu tentu saja membuat Panji menjadi dongkol. 
"Hm..., rupanya kalian lebih suka kalau aku menggunakan 
kekerasan. Baiklah kalau memang itu yang kalian inginkan," 
ujar Panji dengan sorot mata tajam yang menggiriskan. 
Lelaki terdepan, yang mengenakan ikat kepala hijau dengan 
bulatan merah di tengah ikat kepalanya, bergerak mundur 
sambil mengacungkan senjatanya. Sepertinya ia telah dapat 
meraba apa yang akan dilakukan pemuda tampan berjubah 
putih itu. 
"Bunuh mereka berdua...!" 
Sambil menudingkan senjatanya ke arah Panji dan Kenanga, 
lelaki yang sepertinya pimpinan belasan orang itu 
memerintahkan dengan suara parau. Setelah berkata demikian, 
tubuhnya melesat disertai dengai putaran pedangnya yang 
mengaum tajam. 
Majunya sang Pemimpin, ternyata membuat yang lainnya 
segera ikut ambil bagian. Sehingga, Panji dan Kenanga kembali 
terkurung dalam lingkaran sebelas lelaki berpakaian serba hijau 
itu. 
"Heaaa...!" 
Diiringi teriakan parau, lelaki pimpinan kelompok orang 
berpakaian hijau itu membabatkan pedangnya dengan 
mendatar. Meskipun gerakannya terlihat kaku namun jelas

mengandung kekuatan yang tidak rendah. Semua itu dapat 
ditebak oleh Panji melalui desingan senjata lawan. 
Tapi, Panji tidak berniat main-main lagi. Begitu tebasan 
pedang lawannya berkelebat, pemuda itu menggeser tubuhnya 
ke samping, dan terus bergerak ke depan sambil melontarkan 
sebuah tendangan miring. 
Zebbb! 
Tendangan yang cepat dan kuat itu dielakkan lawannya 
dengan cara memutar tubuh sehingga kedudukannya berada di 
belakang Panji. Berbarengan dengan itu, pedang di tangannya 
kembali berkeredep dengan gerakan lurus. Dan yang menjadi 
tujuannya adalah punggung lawan. 
Belum lagi serangan lawan yang pertama itu tiba, senjata-
senjata lawan dari tiga penjuru, mengancam tubuh pemuda 
tampan itu. Sehingga, kedudukan Panji menjadi terjepit. 
Sialnya, yang dihadapi kelompok orang-orang berpakaian 
serba hijau yang misterius itu adalah Pendekar Naga Putih. 
Seorang pendekar besar yang sempat membuat dunia kaum 
sesat terjungkir balik karena sepak terjangnya. Sehingga, 
meskipun dalam keadaan terjepit oleh kelebatan senjata-
senjata lawannya, pemuda itu sama sekali tidak menunjukkan 
kepanikan. Ia tetap berdiri tenang. 
Empat batang senjata yang datang mengancam itu disambut 
Panji dengan kibasan kedua tangannya secara berbarengan. 
Dengan pengerahan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan', pemuda itu 
menyambut senjata-senjata lawannya. 
Kenanga yang saat itu tengah menghadapi keroyokan enam 
orang lainnya, sempat terbelalak ketika melihat kekasihnya 
memapaki senjata lawan dengan tangan telanjang. Karena baru

pertama kali melihat Panji melakukannya, tentu saja Kenanga 
menjadi khawatir. 
Sedangkan Panji sendiri tentu saja merasa yakin akan 
keampuhan tenaga mukjizatnya. Dan semua ini dilakukannya 
dengan penuh perhitungan. Karena ia telah mengetahui 
kekuatan lawannya, maka Panji berani memapaki senjata lawan 
dengan kedua tangan telanjang. 
"Heaaah...!" 
Berbarengan dengan hentakan keras yang keluar dari 
mulutnya, Panji memukul balik empat batang senjata yang 
mengancam tubuhnya itu. Apa yang dilakukan Panji ternyata 
tidak sampai di situ saja. Begitu senjata keempat lawannya 
terpukul balik, tubuh pemuda tampan itu telah berputar bagai 
baling-baling. Tangan dan kakinya mencuat bergantian, 
mengirimkan serangan-serangan balasan yang tidak kalah 
berbahaya dengan senjata lawan. 
Terdengar suara mengaduh susul-menyusul, tatkala tiga 
orang pengeroyok itu terlanggar pukulan dan tendangan 
Pendekar Naga Putih. Tubuh mereka terjengkang tanpa ampun 
akibat kerasnya serangan balasan pemuda itu. 
Sedangkan lelaki yang terdapat tanda bulatan merah di 
tengah ikat kepalanya, berhasil menarik mundur tubuhnya. 
Sehingga, jotosan Panji yang mengancam dadanya, dapat 
dihindari. 
Luputnya serangan yang dilancarkan Panji, sama sekali tidak 
membuat pemuda itu kecewa. Dengan sebuah lesatan manis, 
tubuh pemuda itu meluruk ke arah pimpinan para pengeroyok. 
Sepasang tangannya yang menebarkan udara dingin, 
berputaran mengacaukan pandangan mata lawan. Sehingga, 
ketika lengan kiri pemuda itu meluncur dengan sebuah pukulan 
keras, lawan pun tidak sempat menghindarinya. Dan....

Wuttt! Buggg...! 
"Huagkh...!" 
Lelaki gemuk itu langsung memuntahkan darah segar ketika 
kepalan Panji menghajar telak dada kirinya. Tanpa dapat 
dicegah lagi, tubuh orang itu pun terjungkal menyusul kawan-
kawannya yang lain. 
Selesai merobohkan keempat orang pengeroyoknya, ternyata 
Panji belum bisa berpangku tangan. Kawanan lelaki berpakaian 
serba hijau yang lainnya, telah menerjang pemuda itu dengan 
kelebatan-kelebatan senjatanya yang menyilaukan mata. 
"Hm...." 
Sambil bergumam tidak jelas, Panji menarik mundur 
tubuhnya dengan kedudukan kuda-kuda belakang. Sambil 
memutar kembali tubuhnya dengan menggunakan tenaga 
pinggang, pemuda itu langsung mengirimkan tendangan ke 
arah lawan, yang tengah menusuk dari samping kanan. 
Tendangan Panji yang cepat dan kuat itu menghajar telak 
perut lawannya. Sehingga orang yang itu memuntahkan darah 
segar, dan langsung roboh. Pingsan! Kemudian, tanpa menoleh 
lagi, Panji langsung menjejak tanah dengan kedua kakinya. 
Saat itu juga, tubuh Pendekar Naga Putih melambung ke atas 
dan langsung mengirimkan tendangan dengan berputar. 
Terdengar teriakan susul-menyusul ketika tendangan 
Pendekar Naga Putih yang bagaikan baling-baling itu, 
menghajar telak rahang para pengeroyoknya. Karuan saja 
lawan-lawannya terjungkal dan roboh pingsan seketika. Karena 
tenaga yang dikerahkan Panji sangat hebat. 
Setelah menyelesaikan lawan-lawannya, Panji menoleh ke 
arah Kenanga yang menghadapi enam orang lawan. Pemuda

itu sengaja tidak membantu karena tahu kalau Kenanga 
mampu menundukkan lawan-lawannya. 
Benar saja! Tak lama setelah Panji merobohkan lawan-
lawannya, terdengar teriakan kesakitan yang berasal dari tiga 
orang pengeroyok gadis jelita itu. Tubuh-tubuh lelaki misterius 
itu langsung bertumbangan dengan darah segar mengucur dari 
luka yang menganga di tubuh mereka. 
Tiga orang lawan lainnya bergerak mundur ketika melihat 
kawannya roboh mandi darah. Mata mereka yang kehijauan itu 
terbelalak bagai tak percaya dengan apa yang dilihatnya. 
Kenanga sendiri sempat tertegun menyaksikan para 
pengeroyoknya dapat dilukai. Padahal, semenjak bertarung 
tadi, senjatanya telah berkali-kali mengenai lubuh lawan. Tapi, 
baru saja saat ia mengerahkan kekuatan tenaga sakti 
sepenuhnya, baru lawannya luka dan roboh. Kenyataan itu 
tentu saja membuatnya wmakin bersemangat. 
"Haiiit..!" 
Dibarengi teriakan nyaring dan panjang, Kenanga melesat 
sambil membabatkan senjatanya berkali-kali. Tapi, apa yang 
terjadi kemudian, kembali membuat gadis itu terbelalak kaget. 
Ketiga orang lawannya itu serta-merta lenyap, dan berubah 
menjadi gulungan asap hijau yang berbau busuk. 
"Hai! Ke mana mereka...?!" seru gadis jelita itu dengan 
wajah berubah agak pucat. 
"Kenanga! Awas...!" 
Panji yang semula sempat terkejut melihat lenyapnya ketiga 
orang lawan kekasihnya, berseru keras ketika melihat mereka 
tiba-tiba muncul dari belakang kekasihnya dengan satu tangan 
saling berpegangan. Sedangkan tangan lainnya meluncur ke 
arah punggung gadis itu dengan telapak terbuka.

Menyadari kekasihnya dalam bahaya maut, Panji segera 
melesat dengan seluruh kekuatan ilmu meringankan tubuhnya. 
Hebat sekali gerakan yang dilakukan pemuda itu. Tubuhnya 
melayang seperti seekor burung besar dengan kedua tangan 
mendorong ke depan. Angin dingin menderu keras mengiringi 
meluncurnya tubuh Pendekar Naga Putih. 
Kenanga segera menyadari adanya bahaya ketika 
mendengar seruan Panji, cepat menjatuhkan tubuh begitu 
melihat kekasihnya meluncur dengan kecepatan menggiriskan. 
Blarrr...! 
Hebat dan mengerikan sekali akibat terjangan Panji dalam 
menyelamatkan kekasihnya. Ledakan dahsyat seperti akan 
meruntuhkan bukit, menggelegar memekakkan telinga. 
Tubuh ketiga orang berpakaian serba hijau terpental balik 
dalam keadaan terpisah. Lalu, mereka jatuh berserakan dengan 
percikan darah yang membasahi tanah di sekitarnya. 
Panji berdiri tegak dengan tarikan napas panjang. Ditatapnya 
kepingan tubuh lawan yang berserakan sekitar tempat itu. 
Rupanya dalam kecemasannya tadi, Panji telah mengerahkan 
seluruh kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya yang maha 
dahsyat hingga, akibat yang ditimbulkannya pun sangat 
mengerikan. 
Wajah Kenanga sendiri pucat ketika melihat tubuh ketiga 
orang lawannya hancur berkeping-keping akibat terjangan 
kekasihnya. Selama pengembaraannya bersama Panji, gadis 
jelita itu belum pernah sama sekali melihat kekuatan dahsyat 
yang dimiliki kekasihnya. Tak mengherankan kalau ia terkejut 
menyaksikan akibat pukulan Panji.

"Mengapa..., mereka tadi tiba-tiba lenyap, Kakang...?" 
setelah menenangkan hatinya, barulah gadis jelita itu dapat 
mengeluarkan suara. 
"Mereka telah menggunakan ilmu sihir yang aneh. 
Sepertinya, selain kebal dan memiliki sihir aneh, orang-orang 
misterius ini pun memiliki sejenis racun aneh yang bisa 
merubah warna kulit mereka," jelas Panji perlahan. 
Semua itu diduga Pendekar Naga Putih dengan cara melihat 
wajah-wajah orang misterius itu yang rata-rata berwarna 
kehijauan. 
Setelah berkata demikian, Panji melangkah menghampiri 
tubuh-tubuh lainnya yang tadi tergeletak pingsan. Namun, apa 
yang didapatkan pemuda itu benar-benar membuatnya 
terkejut. Lawan-lawannya yang tadi hanya dirobohkan, ternyata 
telah tewas dengan tubuh mengejang. 
"Jangan sentuh...," cegah Panji ketika melihat Kenanga 
hendak menyentuh salah satu dari mayat-mayat itu. "Mereka 
telah menelan racun ganas yang kerjanya sangat cepat," jelas 
Panji ketika melihat tatapan mata Kenanga. 
"Mengapa mereka bunuh diri, Kakang...?" 
"Entahlah. Yang jelas, hal ini tidak aneh bagi kalangan kaum 
sesat. Apabila gagal dalam menunaikan tugas, mereka lebih 
memilih mati ketimbang memberi keterangan kepada kita. 
Sudahlah, lebih baik kita kembali ke Desa Kalianyar," ajak Panji 
yang segera melangkah meninggalkan tempat itu.

ENAM

"Kakang, ini bukan jalan menuju Desa Kalianyar! Apakah 
Kakang sudah lupa, atau memang sengaja?" tanya Kenanga 
yang merasa heran melihat kekasihnya mengambil jalan lain. 
Seingatnya, jalan itu memang ke luar desa, dan bukan ke Desa 
Kalianyar, seperti yang mereka rencanakan semula. 
"Memang bukan. Aku sengaja merubah rencana. Mengingat 
banyaknya tengkorak manusia di dalam gua itu, aku menjadi 
berpikir lain," sahut Panji sambil tetap melanjutkan langkahnya. 
"Rencana apa, Kakang? Apakah aku boleh mengetahuinya?" 
sambil bertanya demikian, Kenanga memegang lengan 
kekasihnya dengan mata menatap penuh tuntutan. 
"Hm..., aku akan berusaha mencari keterangan dari desa-
desa di sekitar daerah ini. Bukan tidak mungkin kalau 
keanehan-keanehan yang kita temui, dapat kita peroleh 
keterangan dari penduduk desa lainnya. Dengan demikian, 
akan memudahkan kita untuk mengungkap misteri yang 
menyelimuti Desa Kalianyar," jelas panji mengemukakan 
pemikiran, yang baru didapatinya di perjalanan. Itulah 
sebabnya mengapa Panji merubah rencananya, yang semula 
hendak kembali ke Desa Kalianyar. 
"Ah! Mengapa kita tidak memikirkannya semula, Kakang. 
Kalau memang di Desa Kalianyar terjadi keanehan seperti yang 
kita lihat semalam bukan tidak mungkin orang lain pun pernah 
menyaksikan atau mengalaminya. Dan, barangkali saja 
penduduk desa lain pernah melihat atau mendengar tentang 
berita itu. Boleh jadi mereka juga pernah mengalaminya," ujar 
Kenanga yang pikirannya mulai terbuka ketika mendengar 
penuturan Panji.

"Yahhh..., mudah-mudahan saja dugaan kita tidak meleset 
jauh," desah Panji penuh harap. Setelah berkata demikian, 
pemuda itu mengajak Kenanga untuk mempercepat 
langkahnya. 
Sesaat kemudian, terlihatlah dua sosok bayangan hijau dan 
putih berkelebatan di antara pepohonan dan semak belukar. 
Jelas, mereka sengaja memilih jalan pintas untuk dapat tiba 
lebih cepat di desa-desa yang mereka maksudkan. 
Sepasang pendekar yang merasa mempunyai kewajiban 
untuk mengungkap misteri Desa Siluman terus melesat bagai 
dua bayangan hantu yang tengah berkejar-kejaran. Sepertinya 
mereka menemukan semangat baru untuk segera 
mengungkapkan keanehan-keanehan yang mereka temukan di 
desa terpencil itu. 
*** 
 
Hari sudah mulai beranjak sore, ketika Kenanga dan Panji 
menyusuri jalanan. Di sepanjang jalan lebar yang 
menghubungkan satu desa ke lain desa, mereka sesekali 
bertemu dengan para petani yang baru kembali dari sawah. 
Dan lari keduanya mulai diperlambat ketika jalanan yang 
dilewati semakin ramai dilalui para petani. 
"Mengapa kita tidak bertanya kepada salah seorang dari 
petani itu, Kakang? Siapa tahu dari mereka kita bisa 
memperoleh keterangan," tanya Kenanga yang merasa heran 
melihat kekasihnya tidak berusaha mencari keterangan dari 
salah seorang petani yang mereka temui. 
"Aku sengaja hanya menyapa mereka sekadar basa-basi 
orang asing. Menurutku, lebih baik kita menemui langsung

kepala desanya. Dengan demikian, kita tidak membuat resah 
hati para petani itu, tentu saja kalau mereka tidak 
mengetahuinya sama sekali. Lain halnya kalau orang yang kita 
tanya, memang telah melihat atau mengalaminya. Mungkin kita 
akan mendapatkan sedikit keterangan, dan mungkin juga 
dilebih-lebihkan. Tapi, kalau petani yang kita mintai keterangan 
sama sekali tidak mengetahuinya. Bukankah hal itu justru akan 
meresahkan mereka? Jadi, menurutku, lebih mudah mencari 
keterangan dari penguasa desa. Mereka tentu akan 
memberikan keterangan sebagaimana yang mereka ketahui, 
tanpa ditambahi bumbu-bumbu penyedap cerita," jawab Panji, 
mengemukakan alasan mengapa ia tidak mecari keterangan 
dari para petani yang mereka temui di jalan. 
Mendengar penjelasan kekasihnya, Kenanga hanya 
mengangguk-anggukkan kepala. Sepertinya gadis jelita itu telah 
mengerti dan menyadari kekeliruannya. Alasan yang 
dikemukakan Panji memang sangat tepat sekali. Sehingga, ia 
menerimanya tanpa membantah lagi. 
Sepasang pendekar yang kini tidak lagi berlari dalam 
melanjutkan perjalanannya itu, sejenak mengerutkan kening. 
Tampak, di mulut desa yang hanya tinggal lima atau enam 
tombak lagi, dijaga ketat oleh beberapa orang keamanan desa. 
Dugaan bahwa orang-orang itu adalah penjaga keamanan 
desa, mudah diketahui dari pakaian mereka yang rata-rata 
serupa satu sama lainnya. Sehingga orang-orang luar yang 
baru pertama kali singgah di desa itu pun langsung dapat 
menebaknya. Demikian pula halnya dengan Panji dan Kenanga. 
"Sepertinya desa itu dijaga ketat, Kakang. Menilik dari raut 
wajah para keamanan desa itu, mudah diduga kalau mereka 
pasti akan menahan kita. Lalu mereka akan melontarkan 
berbagai macam pertanyaan," bisik Kenanga sambil terus 
melangkah di samping kekasihnya.

"Hm..., melihat dari ketatnya desa itu terjaga, ada 
kemungkinan mereka tengah menghadapi sesuatu yang 
mengancam keselamatan penduduknya. Mudah-mudahan saja 
apa yang mereka takuti, mempunyai hubungan dengan apa 
yang ingin kita cari," sahut Panji berharap. 
"Sahabat, harap berhenti sebentar...!" 
Ketika sepasang pendekar itu tiba di mulut desa, salah 
seorang dari penjaga itu berseru sambil mengangkat tangan 
kanannya ke atas. Kemudian, ia bergerak maju dengan 
ditemani empat penjaga lainnya yang mengapit lelaki pertama 
itu. 
Lelaki bertubuh kekar yang sepertinya merupakan pimpinan 
para penjaga itu, menatap Panji dan Kenanga dengan penuh 
selidik. Kumisnya yang tebal dan hitam itu tampak bergerak-
gerak ketika menatap raut wajah dara jelita berpakaian hijau 
itu. Terlihat lelaki itu agak salah tingkah ketika Kenanga 
membalas tatapannya dengan tidak kalah tajam. Sehingga, 
lelaki itu mengalihkan pandangannya ke wajah Panji. Jelas, 
lelaki itu tidak sanggup menentang tatapan mata yang indah 
dari gadis jelita itu. 
"Kalian pasti bukan penduduk Desa Pawetan ini? Kalau aku 
boleh tahu, siapakah kalian berdua? Dan apa tujuan kalian 
singgah di desa ini? Harap dijawab dengan jujur, agar kalian 
tidak mengalami kesulitan," tanya lelaki kasar berkumis tebal 
itu, yang mengakhiri pertanyaannya dengan sebuah ancaman. 
"Maaf, Paman," sahut Panji sambil membungkukkan 
tubuhnya sedikit sebagai tanda hormat kepada lelaki berusia 
sekitar empat puluh tahun itu. "Kami berdua datang ke desa ini 
dengan tujuan hendak menemui Kepala Desa Pawetan. 
Sedangkan kepentingan kami, terpaksa tidak bisa kami 
sampaikan kepada Paman. Tapi percayalah, kedatangan kami

tidak bermaksud jahat. Harap Paman suka mengabarkannya 
kepada kepala desa...," jawab Panji tetap dengan nada sopan, 
dan bibir terhias senyum. 
"Ingin menemui kepala desa...?" tegas lelaki berkumis lebat 
itu dengan kening berkerut. Sepasang matanya tampak 
menyipit merayapi wajah Panji. Jelas, ada nada tidak senang 
dalam kata-katanya. 
"Benar, Paman. Ada suatu hal penting yang harus kami 
sampaikan kepada Kepala Desa Pawetan ini," jelas Panji lagi. 
"Hm..., kalian adalah orang-orang asing, yang sama sekali 
tidak kami kenal. Kalau memang ada urusan, katakanlah 
kepadaku, biar nanti aku yang akan menyampaikan kepada 
kepala desa. Nah, sekarang katakanlah," tegas lelaki berkumis 
lebat itu dengan nada memaksa. 
"Sekali lagi aku mohon maaf, Paman. Persoalan yang akan 
kami sampaikan ini sangatlah penting. Kami khawatir kalau 
berita ini akan meresahkan Paman, atau bahkan seluruh 
penduduk desa ini. Jadi, harap Paman mengerti," Panji tetap 
tidak mengatakan kepentingannya, dan bersikeras ingin 
menyampaikannya sendiri kepada Kepala Desa Pawetan. 
Sikap Panji itu tentu saja dianggap bantahan yang membuat 
kepala keamanan desa itu tersinggung. Ditatapnya pemuda 
tampan itu dengan sorot mata tajam. Nyata sekali kalau ia 
sangat gusar dengan penolakan Panji. 
"Hm..., kalau memang begitu keinginanmu, lebih baik tidak 
usah kau sampaikan kepentinganmu. Dan, silakan 
meninggalkan desa ini. Sikapmu sangat menjengkelkan!" ujar 
lelaki berkumis lebat itu dengan wajah gelap. Sambil berkata 
demikian, tangannya terulur ke depan dengan sikap mengusir. 
Jelas, keputusan lelaki itu tidak bisa dirubah.

Kenanga yang sejak tadi hanya diam mendengarkan 
perdebatan itu, tentu saja menjadi dongkol melihat sikap kasar 
lelaki itu. Dengan sorot mata yang tajam, gadis jelita itu 
melangkah melewati Panji, dan berdiri bertolak pinggang di 
hadapan kepala keamanan desa itu. 
"Dengarlah, Kisanak!" ujar Kenanga ketus. "Apa yang akan 
disampaikan kawanku ini, menyangkut keselamatan seluruh 
penduduk Desa Pawetan, bahkan mungkin seluruh penduduk 
desa di sekitar daerah ini. Dan kalau kau bersikeras tidak 
mengizinkan kami menghadap kepala desa, itu sama artinya 
kau ingin mencelakakan seluruh penduduk desa di sekitar 
daerah ini! Camkan itu...!" 
"Apa..., apa maksudmu...?" cetus lelaki berkumis lebat itu 
dengan wajah semakin berubah. Dalam ucapannya terkesan 
rasa heran dan penasaran dalam. 
"Tidak perlu kau mengetahui maksud ucapanku! Yang 
penting sekarang, bawalah kami menghadap kepala desa, titik!" 
tukas Kenanga tanpa mempedulikan sikap lelaki itu yang 
nampak mulai kebingungan. 
Sedangkan empat orang yang berada di kiri kanan kepala 
keamanan desa itu, saling pandang dengan wajah berubah. 
Jelas kalau ucapan Kenanga telah menimbulkan pengaruh 
kepada mereka. 
"Tidak bisa!" ujar lelaki berkumis lebat itu membentak 
jengkel. Sebagai kepala keamanan desa, tentu saja ia tidak 
ingin wibawanya turun di mata anak buahnya. Sehingga, 
meskipun hatinya mulai ragu, ia tetap mempertahankan 
keputusannya. 
"Kalau begitu, aku terpaksa menggunakan kekerasan untuk 
dapat menemui kepala desa!" bentak Kenanga tak mau kalah. 
Bahkan gadis jelita itu siap bertempur.

"Terserah, kalau itu keinginanmu! Kami tetap tidak 
mengizinkan kalian masuk ke desa ini!" sambil berkata 
demikian, kepala keamanan desa itu melangkah mundur dua 
tindak, dan bersiap menghadapi serangan. Melihat pedang 
yang tergantung di pinggang gadis itu, ia pun sadar kalau yang 
dihadapinya bukanlah wanita lemah. 
Panji yang memang tidak menghendaki kekerasan, segera 
menyentuh lengan kekasihnya. Sehingga, gadis jelita yang 
sudah siap menerjang itu tarpaksa menahan gerakannya. Lalu, 
kepalanya menoleh ke arah Panji dengan pandangan menuntut 
jawaban atas sikap pemuda itu. 
"Biarlah kita mengalah, Kenanga. Kekerasan hanya akan 
menimbulkan persoalan baru, dan membuat suasana menjadi 
keruh. Sebaiknya kita turuti saja apa kemauan mereka," bujuk 
Panji dengan wajah tetap tenang. 
"Tapi, Kakang...." 
"Sudahlah. Persoalan yang satu belum lagi terungkap, 
sekarang kau hendak membuat persoalan baru?" ucap Panji 
lagi dengan nada lembut, sambil mengerdipkan sebelah 
matanya. Jelas sekali kalau pemuda itu mempunyai rencana 
lain yang mungkin baru didapatnya. 
"Hm.., baiklah kalau memang begitu," ujar Kenanga yang 
mengerti isyarat kerdipan mata kekasihnya. 
"Kami permisi dulu, Paman...," pamit Panji sambil menggamit 
lengan kekasihnya. Kemudian, mereka pergi meninggalkan para 
keamanan desa itu, yang melepas kepergian keduanya dengan 
tatapan lega. Nampaknya mereka tidak begitu suka bertarung. 
Semua itu nyata dari pandangan maupun helaan napas lega 
beberapa orang dari mereka.

"Entah apa yang ingin mereka sampaikan kepada kepala 
desa. Nampaknya begitu penting...," gumam salah seorang dari 
penjaga keamanan desa itu, dengan wajah penasaran. 
"Sudahlah, tidak perlu dipusingkan. Yang penting, kita telah 
menjalankan tugas dengan baik, seperti yang dipesankan Ki 
Wirjasana," tukas lelaki berkumis tebal itu yang sepertinya 
merasa tidak senang dengan ucapan salah seorang anak 
buahnya. Kemudian, tanpa banyak bicara lagi kakinya pun 
kembali melangkah ke gardu. 
*** 
"Mengapa Kakang mencegahku? Orang kasar seperti mereka 
memang sepatutnya diberi pelajaran, biar mereka tahu siapa 
kita," Kenanga yang sepertinya merasa tak puas dengan sikap 
Panji tadi, mengungkapkan rasa ketidakpuasannya ketika 
keduanya menyusuri jalan yang menuju ke luar desa. 
"Tidak baik mencari keributan tanpa sebab yang jelas. 
Mereka tidak bersalah sama sekali, dan mungkin mereka hanya 
menuruti perintah atasan saja. Jadi, sebaiknya kita menemui 
kepala desa itu tanpa perantara mereka," jawab Panji 
tersenyum melihat wajah Kenanga yang masih jengkel. 
Kemudian dibelainya rambut gadis itu dengan penuh kasih. 
"Maksud Kakang...?" tanya Kenanga meminta ketegasan. 
"Kita terpaksa masuk ke desa itu secara diam-diam, dan 
langsung menemui kepala desa, guna menyampaikan dugaan-
dugaan kita," jelas Panji lagi sambil merapatkan tubuh 
kekasihnya, dan memeluk tubuh gadis jelita itu erat-erat.

"Kalau begitu, tunggu apa lagi, Kakang? Malam nanti kita 
harus sudah berada di Desa Kalianyar. Aku masih penasaran 
dengan misteri yang kita temui semalam," ujar Kenanga 
mengingatkan. 
"Hm..., baiklah. Kita terpaksa harus menggunakan 
kepandaian, agar dapat bertemu dengan Kepala Desa Pawetan 
itu," sahut Panji setelah mendengar ucapan kekasihnya, yang 
mengingatkan tentang niat mereka untuk kembali ke Desa 
Kalianyar malam hari nanti. 
Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, keduanya bergegas 
mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Sehingga dalam 
sekejap mata saja, sepasang pendekar itu telah lenyap. Yang 
tampak hanya dua sosok bayangan yang berkelebatan di antara 
pepohonan. 
Tidak berapa lama kemudian, keduanya mulai memasuki 
desa melalui perkebunan penduduk. Terus berlompatan di atas 
atap-atap rumah penduduk. Untunglah saat itu hari telah 
menjelang malam. Sehingga, mereka tidak perlu merasa 
khawatir akan dipergoki penduduk. Hanya satu dua orang yang 
masih terlihat di jalan-jalan. Itu pun adalah petani-petani yang 
terlambat pulang. 
Setelah melewati belasan rumah penduduk, sepasang 
pendekar itu tiba di atas atap balai desa. Tidak sulit bagi 
keduanya untuk mencari rumah Kepala Desa Pawetan. Karena 
rumah penguasa desa itu paling besar di antara rumah 
penduduk. Dan untuk menandakannya pun tidak sulit. Adanya 
beberapa orang penjaga di depan halaman, menunjukkan 
rumah itu pastilah milik kepala desa. 
Ketika keduanya telah berada di dalam lingkungan rumah 
Kepala Desa Pawetan, Panji mengisyaratkan kepada kekasihnya

untuk melayang turun, dan merapat ke dinding rumah. 
Kemudian, mereka terus menyelinap ke pekarangan depan. 
Tok, tok, tok..! 
Karena tidak ingin menimbulkan kegemparan dengan cara 
masuk sembunyi-sembunyi, Panji segera mengetuk pintu tebal 
yang menghubungkan ke ruangan depan rumah besar itu. 
Pemuda itu menunggu beberapa saat, untuk memastikan 
bahwa orang yang ada di dalam rumah itu mendengar 
ketukannya. 
Tidak berapa lama kemudian, terdengar langkah kaki menuju 
ke pintu. Panji dan Kenanga mundur dua tindak, ketika pintu 
berderit terbuka. 
Seorang lelaki kurus berusia sekitar lima puluh tahun, berdiri 
di ambang pintu menatap pasangan pendekar muda itu. 
Sejenak mata tuanya tampak menyipit, seolah-olah ingin 
mengenali kedua orang tamunya itu. 
"Ada perlu apa...?" tanya lelaki setengah baya itu tanpa 
mempersilakan kedua tamunya masuk. 
"Kami ingin bertemu dengan Kepala Desa Pawetan yang 
bernama Ki...," sengaja Panji menggantung kata-katanya 
seperti ingin memancing tanggapan lelaki setengah baya itu. 
"Ki Wirjasana...," sambut lelaki yang dari penampilannya 
jelas seorang pelayan. 
"Benar, Ki Wirjasana," tegas Panji seraya tersenyum. Karena 
pancingannya membawa hasil yang baik. "Kami berdua adalah 
kerabatnya yang datang dari jauh. Dan, kami berdua ingin 
berjumpa dengannya. Tolong sampaikan kepada Paman kami 
itu," jelas Panji berbohong untuk memudahkan mereka 
bertemu dengan Ki Wirjasana.

"Ohhh, baik-baik.... Saya akan sampaikan. Silakan..., silakan 
masuk...," sambut pelayan setengah baya itu yang karuan saja 
bersikap ramah ketika mendengar pemuda tampan itu 
menyebut majikannya sebagai 'paman'. 
"Hi hi hi..., tak kusangka, Pendekar Naga Putih bisa juga 
berbohong...," Kenanga tertawa lirih karena tak menduga 
kekasihnya akan menggunakan kecerdikan untuk berjumpa 
dengan Kepala Desa Pawetan. Tentu saja ucapan itu 
dikeluarkan setelah pelayan setengah baya itu meninggalkan 
mereka untuk memberi tahu majikannya. 
Tidak berapa lama, setelah keduanya duduk di ruangan 
depan, terdengar suara langkah kaki berat mendatangi mereka. 
Serentak pasangan pendekar itu berdiri, ketika seorang lelaki 
berusia sekitar lima puluh tahun, berdiri tegak merayapi wajah 
mereka dengan kening berkerut. 
"Siapakah kalian berdua? Rasanya aku belum pernah melihat 
kalian sebelumnya...," ujar lelaki gagah yang wajahnya bersih 
tanpa jenggot maupun kumis itu. Meskipun demikian, 
penampilannya tampak berwibawa. Sehingga, baik Panji 
maupun Kenanga langsung bisa menduga kalau lelaki itu 
adalah Kepala Desa Pawetan yang bernama Ki Wirjasana. 
"Maaf, kami terpaksa berbohong, karena ada suatu hal yang 
penting akan kami bicarakan...," Panji langsung saja 
menyambut Kepala Desa Pawetan itu sambil membungkukkan 
tubuh. Kemudian memperkenalkan diri kepada lelaki setengah 
baya itu. 
"Hm..., demikian pentingkah berita yang akan kalian 
sampaikan kepadaku?" tukas Ki Wirjasana setelah kedua 
tamunya memperkenalkan diri. 
"Bagi kami sebenarnya tidak terlalu penting. Tapi, karena 
persoalan ini menyangkut kepentingan orang banyak, maka

kami terpaksa memberanikan diri untuk berjumpa dengan Ki 
Wirjasana. Kami membutuhkan beberapa keterangan, yang 
mungkin bisa kami peroleh dari Aki...," jelas Panji membuka 
percakapan, ketika ketiganya telah duduk saling berhadapan. 
Ki Wirjasana tidak segera menanggapi ucapan Panji. Lelaki 
gagah itu termenung baberapa saat, sambil melepaskan 
pandangannya ke luar jendela yang terbuka lebar. Terdengar 
helaan napasnya yang berkepanjangan.

TUJUH


Panji memandangi wajah Ki Wirjasana yang seperti tengah 
memikirkan apa yang dimaksud dengan kedua tamunya itu. 
Beberapa saat kemudian, orang tua itu baru mengalihkan 
pandangannya kepada Panji. 
"Hm.... Maaf, aku tidak bisa menduga sebenarnya apa yang 
kalian maksudkan. Kuharap kalian mau menceritakannya 
kepadaku...," pinta Ki Wirjasana setelah tidak dapat menduga 
persoalan yang ingin disampaikan pasangan muda itu 
kepadanya. 
Untuk beberapa saat lamanya, Panji terdiam. Seolah-olah 
Pendekar Naga Putih ingin mencari kata kata yang tepat untuk 
memulai ceritanya. Setelah itu, baru ia menceritakan maksud-
maksud kedatangannya menjumpai kepala desa itu. 
Ki Wirjasana sama sekali tidak menyela cerita pemuda itu. 
Semua yang diceritakan Panji sepertinya didengar dengan 
penuh perhattan. Beberapa kali terlihat kening lelaki setengah 
baya itu berkerut, dengan wajah berubah kelam. Bahkan lelaki 
itu sempat terlompat dari kursinya ketika Panji menceritakan 
tentang orang-orang berpakaian serba hijau yang 
mengeroyoknya. 
"Begitulah, Ki. Kami merasa curiga ketika melihat kepala 
beberapa orang wanita, yang menurutku berumur sekitar 
delapan belas sampai dua puluh tahun. Sayang, wajah mereka 
telah membengkak, sehingga sulit dikenali. Sedangkan 
keperluan kami datang ke sini, ingin menanyakan kalau-kalau 
ada warga Desa Pawetan ini yang lenyap tanpa jejak," ujar 
Panji menutup ceritanya. Kemudian menatap Ki Wirjasana 
dengan penuh harap.

"Desa Siluman...?" desis Kepala Desa Pawetan itu. "Rasanya 
aku belum pernah mendengar tentang nama itu. Setahuku, di 
sekitar daerah ini tidak ada nama desa yang menimbulkan 
kesan seram seperti itu. Juga, selama ini aku tidak pernah 
kehilangan warga desa. Apalagi berupa gadis-gadis muda. 
Hhh..., sebenarnya ingin sekali aku bisa membantu kalian. Tapi, 
sayangnya aku tidak tahu apa-apa. Apalagi beberapa hari ini 
aku masih dipusingkan oleh perampok yang muncul dan 
menghilang setelah merampas harta beberapa penduduk di 
desa ini. Itulah sebabnya, mengapa para penjaga keamanan 
desa mencurigai dan tidak memperbolehkan kalian memasuki 
desa ini. Kuharap kalian berdua dapat memaklumi sikap 
mereka," ujar Ki Wijasana menjelaskan keadaan desanya 
dengan wajah agak menyesal. Sepertinya orang tua itu merasa 
tidak enak karena tidak bisa memberikan keterangan, seperti 
yang diterapkan Panji dan Kenanga. 
"Aneh...?" desis Panji yang merasa heran karena kepala desa 
itu belum pernah mendengar sama sekali tentang Desa 
Siluman. Bahkan orang tua itu berani memastikan kalau nama 
itu tidak ada di sekitai daerahnya. 
"Maaf, kalau aku telah mengecewakan harapan kalian. Tapi, 
kalau memang kalian memerlukan bantuan, jangan ragu-ragu. 
Aku akan membantu sekuat tenagaku. Sayang, aku tidak 
mempunyai keterangan yang dapat menjadi pegangan kalian 
untuk menyingkap misteri itu," sesal Ki Wirjasana seraya 
menghela napas panjang. 
"Lalu, bagaimana dengan para perampok itu, Ki. Apakah 
mereka masih suka mengganggu?" tanya Kenanga tiba-tiba. 
Meskipun gadis jelita itu berusaha untuk bersikap wajar, tapi 
tak urung Ki Wirjasana dapat menangkap nada selidik dalam 
ucapan tamunya.

"Dua hari yang lalu, mereka kembali datang menjarah desa 
ini. Tapi, sebelumnya kami memang telah bersiap, maka para 
perampok itu dapat dipukul mundur, dan pergi tanpa hasil. 
Entah, mereka masih berani kembali atau tidak. Namun, kami 
tetap waspada dan akan mempertahankan desa ini dengan 
taruhan nyawa," jawab Ki Wirjasana seraya tersenyum. 
Sepertinya Kepala Desa Pawetan ini sama sekali tidak 
tersinggung dengan kecurigaan gadis jelita itu. 
"Baiklah, Ki. Kalau begitu kami mohon pamit. Maaf, kalau 
kedatangan kami telah mengganggumu," ujar Panji yang 
segera pamit, karena tidak ada yang diharapkan dari Kepala 
Desa Pawetan itu. 
"Silakan, Kisanak. Dan, jangan ragu-ragu untuk meminta 
bantuanku, kalau memang diperlukan," kembali Ki Wirjasana 
menawarkan jasa baiknya, sebelum kedua tamunya pergi. 
"Terima kasih. Kami akan selalu ingat kebaikan Ki 
Wirjasana," sahut Panji seraya tersenyum. Kemudian, pasangan 
pendekar itu melangkah meninggalkan tempat kediaman Ki 
Wirjasana, dengan diiringi tatapan mata lelaki tua itu. 
Panji tidak peduli sama sekali ketika para penjaga yang 
berada di depan rumah besar itu menatap mereka dengan rasa 
heran. Sepertinya mereka terus berpikir, mengapa tahu-tahu 
saja ada dua orang tamu yang meninggalkan rumah Ki 
Wirjasana. Padahal, mereka tahu kalau tidak ada seorang pun 
yang memasuki rumah besar itu, selama mereka berdiri di 
depan gardu. 
Tanpa mempedulikan tatapan yang mengandung pertanyaan 
dari para penjaga itu, Panji mengangguk pamit kepada mereka. 
Dan, terus saja melangkah meski para penjaga itu tidak segera 
membalasnya, karena masih diliputi rasa heran.

*** 
"Hhh..., semuanya masih serba gelap. Tak satu petunjuk pun 
yang dapat kita jadikan pegangan untuk mengungkap misteri 
Desa Siluman itu. Apakah kita memang telah salah lihat, 
Kakang," ungkap Kenanga ketika keduanya tengah menyusuri 
jalan utama Desa Pawetan. Kali ini mereka tidak lagi bergerak 
secara sembunyi-sembunyi. Keduanya terus melangkah menuju 
mulut desa. 
"Apa yang kita hadapi kali ini memang sangat aneh dan 
membuat hati penasaran. Hal itulah yang membuatku semakin 
bersemangat untuk mengungkapnya. Apa boleh buat, kita 
terpaksa harus kembali ke Desa Kalianyar. Karena dari desa 
itulah kita pertama kali menemukannya," sahut Panji yang 
meskipun persoalannya masih gelap, tapi tidak menyerah 
begitu saja. 
"Kejadian waktu itu kalau tidak salah, tepat tengah malam. 
Berarti kita harus sudah berada di Desa Kalianyar tepat pada 
waktu yang sama," gumam Kenanga seolah berkata pada 
dirinya sendiri. 
"Benar. Sekarang hari sudah gelap. Sebaiknya kita 
mengerahkan ilmu meringankan tubuh untuk sampai tepat 
tengah malam, atau kalau bisa sebelum tengah malam," ucap 
Panji yang sempat mendengar ucapan kekasihnya. 
Tak berapa lama kemudian, pasangan pendekar muda itu 
melesat bagaikan kilat. Mereka tidak peduli sama sekali, 
meskipun saat itu tengah melintasi jalan utama Desa Pawetan. 
Sehingga, pada saat keduanya melewati gardu penjagaan di 
mulut desa itu, terdengar teriakan-teriakan terkejut dari

beberapa penjaga keamanan desa yang melihat bayangan 
mereka. 
Tapi, baik Panji maupun Kenanga, sama sekali tidak 
mempedulikan hal itu, keduanya malah semakin menambah 
kecepatan. Ketika telah melewati batas Desa Pawetan. 
Sehingga dalam waktu singkat, keduanya telah jauh 
meninggalkan desa itu. 
*** 
Malam tampak semakin bertambah kelam. Udara dingin yang 
menusuk tulang berhembus keras tiada henti-hentinya. 
Lolongan anjing hutan yang saling bersahutan. makin 
menambah keseraman malam. Apalagi saat itu bulan tengah 
purnama. Semakin lengkaplah keseraman menyelimuti suasana 
sang malam. 
Kenanga dan Panji telah tiba di mulut Desa Kalianyar, ketika 
malam sudah semakin larut. Suasana desa yang sunyi, 
membuat keduanya mengerutkan kening. Karena di mulut desa 
itu tidak terlihat seorang pun yang berjaga-jaga.. 
"Aneh. Apalagi yang harus kita hadapi kali ini..?" desis 
Kenanga mengusap kuduknya yang terasa meremang. 
Panji sama sekali tidak menanggapi ucapan kekasihnya itu, 
ia hanya memberi isyarat agar Kenanga mengikutinya. 
Kemudian, keduanya bergerak menuju Selatan desa. Mereka 
sengaja tidak memasuki desa itu melalui tempat yang 
semestinya. Karena Panji merasa curiga dengan kesunyian 
yang menyelimuti desa itu Sehingga, diputuskannya untuk 
mengambil jalan berputar dan tidak melalui jalan utama desa 
itu.

"Gila! Kemana perginya penduduk desa ini...?" desis Panji 
heran ketika ia tidak menemukan seorang pun di desa itu. 
Beberapa rumah yang didatangi secara sembunyi-sembunyi, 
ternyata kosong dan tidak berpenghuni. 
Rasa heran pemuda itu berubah menjadi rasa penasaran dan 
kegemasan. Setelah hampir seluruh rumah di desa itu 
diperiksanya, tidak seorang pun yang dijumpainya. Aneh! 
Seluruh penduduk desa kecil itu sepertinya telah pergi atau 
lenyap ditelan bumi. 
"Mungkin ini suatu jebakan, Kakang...?" desis Kenanga yang 
merasa tegang ketika mengetahui desa itu sama sekali tidak 
berpenghuni. Padahal, pagi tadi ia melihat desa itu sangat 
ramai, dan sama sekali tidak terdapat tanda-tanda yang 
mencurigakan. Kenyataan itu tentu saja membuatnya gemas. 
"Aku rasa tidak," sahut Panji pelan. "Sebab, kalau memang 
mereka menjebak kita, tidak semestinya desa ini dikosongkan 
seluruhnya. Kau lihat sendiri, jangankan laki-laki dewasa, 
bahkan wanita dan anak-anak pun, sama sekali tidak ada. 
Entah apa yang telah menimpa desa ini sepeninggal kita tadi," 
desah Panji semakin bertambah penasaran. 
"Aneh, ke mana mereka pergi...?" desah Kenanga tanpa 
menuntut jawaban. Sepertinya gadis jelita itu berbicara hanya 
untuk melenyapkan perasaan tegang di hatinya. 
Kenanga melipat tangannya ketika hembusan angin dingin 
bertiup keras menerpa tubuhnya. Giginya bergemeletukan 
karena hawa yang terasa dingin menusuk tulang. 
Dikejauhan terdengar lolongan anjing hutan saling 
bersahutan. Suasana desa itu pun semakin mencekam. Apalagi 
ketika hembusan angin semakin keras berhembus, sehingga 
pepohonan berderak ribut.

Namun, meskipun suasana demikian seram dan mendirikan 
bulu roma, Panji sama sekali tidak terpengaruh. Pemuda yang 
semenjak kecil telah menerima gemblengan dari seorang tokoh 
sakti itu, tetap tenang dan bersiaga penuh. 
Kenanga sendiri sebenarnya seorang gadis pendekar yang 
tak pernah mengenal rasa takut itu, sempat juga bulu 
kuduknya berdiri. Hanya karena ada Panji di sampingnya, yang 
membuat hati gadis jelita itu menjadi tenang. 
"Hm..., desa ini tidak mungkin ditinggalkan begitu saja oleh 
penghuninya. Pasti ada sesuatu yang memaksa mereka pergi 
dari sini," gumam Panji sambil berpikir keras untuk menemukan 
jawaban atas pertanyaannya. 
Panji terus berpikir sambil melangkah perlahan menyusuri 
jalan utama desa itu. Untunglah suasana yang pekat itu agak 
berkurang. Karena bias sinar rembulan yang penuh itu, cukup 
menerangi jalan yang dilalui pasangan pendekar itu. 
"Bulan pumama...," tiba-tiba saja Panji mendongak dengan 
kening berkerut. Sejenak dipandanginya sang dewi malam 
sambil menduga-duga sesuatu. Kemudian, dihubungkannya 
semua pengalaman beberapa hari itu dengan kemunculan sang 
dewi malam. 
"Apa yang kau pikirkan, Kakang...?" Kenanga bertanya 
karena merasa heran melihat kekasihnya menatapi rembulan, 
dan terlihat tengah berusaha mengingat sesuatu. Gadis jelita 
itu pun ikut menatapi sang dewi malam, tanpa tahu apa yang 
harus dicarinya. 
"Wajah-wajah pucat seperti mayat hidup, kepala-kepala 
tanpa tubuh, dan sikap-sikap aneh...," kembali Panji 
menggumam, membuat Kenanga semakin bertambah heran.

"Kakang...," panggil gadis jelita itu sambil mencekal lengan 
Panji. Bukan hanya suara gadis itu yang bergetar, bahkan 
wajahnya pun terlihat tegang. 
"Mari ikut aku...," ujar Panji setelah menduga kemana 
perginya orang-orang desa itu. 
Tanpa banyak cakap lagi, Kenanga pun melesat mengikuti 
Panji. Meskipun belum mengerti apa yang akan dilakukan 
pemuda itu, namun Kenanga yakin kekasihnya telah 
menemukan sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk. Itulah 
sebabnya, ia tidak banyak bertanya lagi. 
Benak Kenanga semakin dipenuhi bermacam pertanyaan, 
ketika menyadari bahwa mereka tengah melangkah menuju 
daerah perbukitan yang letaknya di luar Desa Kalianyar. Tapi, 
gadis itu tetap bungkam dan hanya mengikuti ke mana pemuda 
itu berlari. 
"Kau dengar suara-suara aneh itu...?" tanya Panji sambil 
memperlambat larinya. Sehingga, Kenanga dapat menjajarinya. 
"Ya, aku mendengarnya, Kakang. Suara-suara aneh yang 
menimbulkan kesan menyeramkan," desis Kenanga sambil 
mengusap kuduknya yang terasa meremang. 
Tidak berapa lama kemudian, pasangan pendekar itu pun 
tiba di bibir lembah, tempat di mana mereka mencium bau 
bangkai siang tadi. 
"Lihat..," bisik Panji sambil menudingkan jari telunjuknya ke 
satu arah. Tempat yang ditunjuk pemuda itu, tampak merah 
menyala dengan gumpalan asap yang kian menebal, "Kalau 
dugaanku tidak keliru, mungkin di tempat itu mereka tengah 
melakukan sebuah upacara. Barangkali ada yang akan dijadikan 
korban dalam upacara itu," lanjut Panji perlahan.

"Lalu, apa yang harus kita lakukan? Kalau menilik dari suara-
suara aneh yang bergaung menyeramkan itu, jelas jumlah 
mereka sangat banyak, Kakang…" desah Kenanga yang mulai 
menduga, apa yang bakal mereka hadapi di tempat itu. 
"Hm..., apa pun yang akan terjadi, kita harus mencegahnya," 
desis Panji seraya mengepalkan jemari tangannya keras-keras 
sambil menggertakkan giginya. 
"Tapi...." 
"Sudahlah. Mari kita lihat, apa yang sebenarnya tengah 
terjadi di tempat itu...," tukas Panji yang membuat kekasihnya 
tidak sempat berpikir lebih jauh. Pemuda itu langsung meluncur 
turun sambil menggenggam jemari Kenanga. 
Ketika pasangan pendekar itu semakin dekat, tampak rona 
kemerahan yang mereka lihat itu semakin jelas dan mulai 
terlihat pijaran lidah-lidah api. Meskipun demikian, keduanya 
terus melangkah maju untuk memastikan dugaannya. 
Apa yang mereka lihat kemudian, memang tidak meleset dari 
dugaan Panji. Kira-kira belasan tombak jaraknya di depan 
mereka, terlihat sebuah pemandangan yang menyeramkan. 
Puluhan wanita-wanita setengah telanjang, tengah menari-nari 
seperti orang kerasukan setan. 
Sementara di belakang para penari itu, ratusan orang 
menggerak-gerakkan tangan dan tubuhnya dalam keadaan 
duduk bersila. Jelas, kalau orang-orang itu tengah mengadakan 
sebuah upacara penyembahan terhadap sesuatu yang 
didewakannya. 
"Kakang, lihat itu...!" desis Kenanga sambil menunjuk di 
sebelah depan para penari yang bergerak kian cepat dan liar. 
Panji mengarahkan pandangannya ke arah yang dltunjuk 
Kenanga. Sepasang mata pemuda itu menyipit, ketika melihat

tiga sosok tubuh berambut panjang itu terikat pada sebuah 
tonggak kayu. Pemuda itu langsung saja menduga, kalau tiga 
sosok tubuh yang tengah terikat itu adalah wanita-wanita yang 
akan dijadikan persembahan. 
Sambil menggertakkan gigi penuh kegeraman, Panji terus 
merayapi sekeliling tempat itu. Dengan mengerahkan kekuatan 
pada sepasang matanya, pemuda itu melihat sesosok tubuh 
tinggi kurus dan agak bungkuk melangkah ke sebuah tempat 
yang lebih tinggi. 
"Kakek pencari kayu bakar...!" desis Panji kaget ketika 
mengenali sosok tinggi kurus dan agak bungkuk itu. Rasa 
kagetnya makin menjadi-jadi, tatkala mengenali salah satu dari 
empat orang pendamping laki-laki tua itu. 
"Mengapa, Kakang...?" tanya Kenanga yang merasa terkejut 
ketika mendengar kekasihnya menggeram perlahan. 
"Hm..., pantas saja Ki Wirjasana tidak mengetahui apa yang 
terjadi di Desa Kalianyar. Rupanya ia juga termasuk pengikut 
kakek iblis itu...," Panji merasa geram. Karena Ki Wirjasana, 
sang Kepala Desa Pawetan, juga menjadi pengikut manusia-
manusia sesat itu. 
"Apa yang hendak kau lakukan, Kakang...?" tanya Kenanga 
ketika melihat Panji akan melompat keluar dari 
persembunyiannya. 
"Tidak ada jalan lain, kita harus mencegah mereka...," sahut 
Panji tegas. 
"Tapi jumlah mereka banyak sekali, Kakang. Kalaupun kita 
dapat merobohkan sebagian dari mereka, kita bisa kehabisan 
tenaga," cegah Kenanga yang merasa khawatir melihat 
banyaknya jumlah musuh.

"Tidak perlu cemas, Kenanga. Mudah-mudahan saja orang-
orang desa yang tak berdosa itu masih bisa disadarkan. Dengan 
demikian, kita hanya menghadapi dedengkot-dedengkotnya 
saja," jawab Panji yang telah memperhitungkan tindakannya. 
Setelah berkata demikian, tubuh pemuda itu segera melesat 
keluar dari tempat persembunyiannya. Sehingga, mau tak mau 
Kenanga pun harus mengikutinya. 
"Tunggu...!" 
Teriakan Panji yang lantang dengan pengerahan tenaga 
dalam tinggi itu, menggelegar dan memenuhi daerah sekitar 
perbukitan. Perbuatan pemuda itu tentu saja membuat upacara 
itu terhenti sejenak, dan hampir semua menoleh ke arah Panji 
dan Kenanga. 
"Hm..., rupanya kita kedatangan tamu istimewa malam ini," 
terdengar suara berat yang mengaung memenuhi lembah kecil 
itu. "Pendekar Naga Putih! Apakah kau datang untuk 
mengantarkan gadis itu...?" suara yang meluncur dari mulut 
laki-laki tua bungkuk itu kembali menggelegar. 
"Hai, saudara-saudaraku para penduduk desa! Sadarlah 
bahwa kalian telah dibodohi oleh kakek iblis itu! Dan, aku yakin 
gadis-gadis putri kalian itu, pasti akan dijadikan pemuas nafsu 
sebelum dibunuh secara keji!" Panji berseru nyaring tanpa 
mempedulikan ucapan laki-laki tua itu. 
"He he he.... Kau hanya membuang-buang tenaga, Pendekar 
Naga Putih! Mereka semua adalah pengikut-pengikut setiaku. 
Jadi, percuma kalau kau punya niat menyadarkan mereka. 
Penduduk dari tiga desa di sekitar wilayah ini, telah kujejali 
racun perampas ingatan. Sehingga, pada tiap-tiap malam 
mereka akan berubah menjadi mayat-mayat hidup yang buas 
dan tak mengenal ampun. Sedangkan di siang hari, mereka 
akan kembali bersikap wajar. Dan, mereka tidak akan

menyadari apa-apa yang mereka lakukan tiap malam," teriak 
laki-laki tua itu dengan suara yang keras. 
Sementara Panji dan Kenanga berdiri menatap tajam wajah 
laki-laki tua itu. 
"Tapi, kalau kau ingin bergabung denganku, tentu saja ada 
kekecualian. Kau berdua dengan gadismu yang molek itu, akan 
kujadikan pembantu-pembantu utama, yang sekaligus 
merupakan wakilku. Bagaimana? Bukankah tawaranku cukup 
menarik..?" tanya laki-laki tua itu seraya tersenyum. 
"Iblis keji! Aku datang bukan untuk bergabung denganmu. 
Justru aku akan mengakhiri kebiadabanmu!" ucap Panji yang 
sempat terkejut mendengai ucapan laki-laki tua itu. 
Pendekar Naga Putih sadar kalau dirinya telah telanjur, dan 
tidak mungkin untuk mundur kembali. Meskipun dirinya 
mungkin akan berhadapan dengan ratusan orang-orang tak 
berdosa. 
"He he he.... Selama ini belum pernah ada seorang pun yang 
berani membantah keinginan Datuk Harimau Hitam! Dan, kau 
bocah bau kencur! Jangan kau kira nama besarmu akan 
membuat aku gentar. Huh!" ujar laki-laki tua yang mengaku 
berjuluk Datuk Harimau Hitam itu seraya menudingkan tongkat 
kayu hitam di tangannya ke arah Panji dan Kenanga. 
Gerakan tongkat yang rupanya sebuah perintah itu, langsung 
saja membuat ratusan orang-orang yang semula diam 
mematung, serentak bangkit. Dan mereka bergerak perlahan ke 
arah Kenanga dan Panji.

DELAPAN


Melihat ratusan orang-orang berwajah pucat itu berloncatan 
mengurung mereka, Panji dan Kenanga bergerak cepat saling 
melindungi. Panji menyadari lawan-lawannya tengah 
dipengaruhi suatu obat, sehingga kekasihnya diperingatkannya 
agar jangan melontarkan pukulan yang mematikan. 
"Ingat, Kenanga. Mereka adalah orang-orang tak berdosa. 
Kalau bisa, buat mereka pingsan dengan totokan," bisik Panji 
menegaskan. 
"Tapi, kita pasti membutuhkan banyak tenaga untuk 
merobohkan mereka satu persatu, Kakang. Juga perlu Kakang 
ingat, mereka memiliki kekebalan tubuh yang aneh," ucap 
Kenanga tanpa membantah ucapan kekasihnya, tapi ia 
mencoba mengingatkan Panji bahwa yang mereka hadapi kali 
ini bukanlah manusia-manusia wajar. Dan, mereka berdua telah 
mengetahui kekebalan tubuh orang-orang itu. Maka, wajar 
kalau gadis jelita itu merasa agak cemas. 
"Kita coba saja. Dan, aku akan berusaha untuk mendekati 
biang keladi semua ini," bisik Panji lagi sambil tetap menatap 
para pengepung yang telah siap merejam mereka. 
"Keakhhh...!" 
"Hiakhhh...!" 
Kenanga tidak sempat lagi menyahuti ucapan kekasihnya. 
Karena saat itu beberapa pengepungnya sudah berlompatan 
menerjang dengan disertai pekikan-pekikan serak, bagai 
raungan binatang.

"Kita jangan sampai berpisah...," ujar Panji mengingatkan 
kekasihnya, sebelum bergerak menyambut terjangan enam 
orang lawan yang sudah meluncur dengan cengkeraman maut! 
"Baik...," sahut Kenanga yang segera memutar tubuhnya dan 
saling bertukar lawan dengan Panji. 
Delapan orang lawan yang semula menerjang Kenanga, kini 
harus berhadapan dengan Panji. Dengan gerakan secepat kilat, 
pemuda itu telah bertukar tempat dengan kekasihnya. 
"Heaaahhh...!" 
Sambil mengeluarkan bentakan nyaring yang mengejutkan, 
Panji merendahkan tubuhnya dengan kuda-kuda harimau. 
Seiring dengan itu, tangan kanannya mengibas dengan 
menggunakan kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya yang 
ampuh. 
Terdengar suara berdebuk nyaring susul-menyusul, ketika 
lengan kanan pemuda itu menghantam tubuh empat orang 
lawannya dengan kecepatan menggetarkan! Empat korban 
pukulannya langsung terjungkal hingga satu tombak lebih. Dan, 
jatuh berdebuk di atas tanah. 
Bettt! Whuttt! 
Panji melempar tubuhnya ke belakang ketika serangan 
pengeroyok yang lain datang susul-menyusul mengancam 
tubuhnya. Sambil berputar, pemuda itu mengirimkan 
tendangan berantai. Tak ayal lagi tiga orang pengeroyok yang 
terdekat langsung roboh! 
Setelah merobohkan tiga orang lawan, tubuh Pendekar Naga 
Putih kembali bergulir ke arah Kenanga. Beberapa orang 
pengeroyok yang mengancam kekasihnya dengan cengkeraman 
dan pukulan, segera dicegah Panji dengan dorongan kedua 
tangannya.

Whusss...! 
Serangkum hawa dingin menusuk tulang berhembus 
menerjang para pengeroyok Kenanga. Tanpa dapat dicegah 
lagi, belasan orang pengeroyok itu langsung terjungkal ke 
segala arah. Untunglah Panji tidak berniat menewaskan 
mereka. Sehingga, belasan orang lawan itu kembali bangkit 
dengan raut wajah menyeringai nyeri. Jelas, dorongan telapak 
tangan pemuda itu cukup menyakitkan mereka. 
Namun, meskipun mereka berhasil merobohkan belasan 
orang pengeroyok, tetap saja lawan tidak berkurang. Orang-
orang yang terkena pukulan pasangan pendekar itu, bangkit 
dan bergerak membantu teman-temannya yang lain. 
"He he he.... Ayo, habiskanlah tenaga kalian! Mereka akan 
tetap bangkit, kecuali kalian menggunakan pukulan maut yang 
mematikan. Semua pengikutku telah kurendam di dalam sumur 
yang kuberi ramuan. Sehingga, mereka kebal terhadap pukulan 
maupun senjata tajam," terdengar suara Datuk Harimau Hitam 
memanas-manasi pasangan pendekar itu. Tawanya yang serak 
terdengar berkepanjangan. Jelas kalau ia merasa gembira 
dengan pertunjukan itu. 
"Celaka, Kakang! Kalau kita tidak membunuh mereka, pasti 
kita sendiri yang akan celaka di tangan orang-orang ini," desis 
Kenanga yang rupanya tidak sabar lagi ketika melihat korban 
pukulannya selalu bangkit, dan bergabung kembali 
mengeroyoknya. 
"Gunakan totokan pelumpuh untuk merobohkan mereka...," 
kembali Panji mengingatkan kekasihnya, sambil merobohkan 
tiga orang pengeroyok dengan jari tangannya. Sehingga, 
korban totokannya itu dan pingsan seketika. 
"Tapi kita bisa kehabisan tenaga!" Kenanga bantah ucapan 
Panji


Alasan yang diajukan Kenanga memang tidak dibantah 
kekasihnya. Apalagi pemuda itu melihat sekujur tubuh 
kekasihnya tampak dibanjiri peluh. Jelas, Kenanga telah 
berjuang keras untuk merobohkan lawan-lawannya seperti 
yang diperintahkan Panji. 
Perintah yang diberikan Panji memang mudah diucapkan, 
tapi untuk melaksanakannya tidak semudah mengatakan. 
Karena untuk merobohkan lawan yang bertubuh kebal, mereka 
banyak mengeluarkan tenaga. Kalau tidak, lawan tidak akan 
roboh dengan totokan mereka. Itulah sebabnya mengapa 
Kenanga tidak setuju dengan ucapan Panji. 
Panji sendiri pun bukan tidak tahu akan hal itu, tapi ia masih 
tidak tega membunuh orang-orang yang tak berdosa itu. Maka, 
sambil tetap melontarkan totokan-totokan ampuh, otaknya 
bekerja keras mencari jalan keluar yang lebih baik, dan tidak 
terlalu banyak menguras tenaga. 
"Aaakhhh...!" 
Pendekar Naga Putih yang tengah merobohkan lawan-
lawannya itu menoleh ketika mendengar teriakan-teriakan 
kekasihnya. Segera pemuda itu melesat menyambar tubuh 
Kenanga yang tengah terhuyung dan hampir roboh. 
"Heaaahhh...!" 
Panji yang tengah memeluk tubuh Kenanga, bergerak cepat 
menghindari sebuah terjangan maut yang mengancam 
keselamatan mereka berdua. 
Bettt! 
Sebuah pukulan yang jelas mengandung kekuatan tidak 
rendah itu, lewat di samping tubuh Panji. Pemuda itu baru 
mengerti setelah melihat jelas penyerangnya.

"Ki Wirjasana...!?" desis Panji geram. "Jadi orang tua inilah 
yang telah memukul Kenanga. Pantas kalau begitu...," gumam 
pemuda itu, yang semakin sadar kalau kedudukannya benar-
benar berbahaya. 
Serangan Ki Wirjasana yang juga telah dipengaruhi ramuan 
obat itu kembali terlontar susul-menyusul. Bahkan dua orang 
lelaki gagah lainnya yang berwajah pucat, ikut menyerbu Panji. 
Sehingga, untuk beberapa saat Panji menjadi repot 
mengelakkan serangan ketiga orang pengeroyoknya. 
"Heeeahhh...!" 
Dalam kemarahannya, Panji mengibaskan lengan kiri dengan 
menggunakan seluruh kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana 
Bulan'nya. Dan, kedahsyatan pukulannya tak diragukan lagi. 
Tanpa ampun lagi, lelaki berpakaian coklat yang berada di 
sebelah kanan Panji, langsung terpental diiringi jeritan ngeri. 
Kemudian, tubuhnya jatuh berdebuk dengan cairan merah 
muncrat dari mulutnya. Jelas, kalau orang itu mengalami luka 
parah akibat gempuran Pendekar Naga Putih. 
Tapi, apa yang kemudian disaksikan Panji, benar-benar 
membuatnya terbelalak! Pukulannya yang mampu 
menghancurkan bongkahan batu sebesar rumah itu, ternyata 
tidak mampu menewaskan lawannya. Bahkan lawan itu kembali 
bangkit, meskipun tubuhnya agak terhuyung. Jelas lelaki gagah 
berjubah coklat itu seperti tidak mengalami luka yang berarti 
akibat pukulan dahsyatnya tadi. 
"Gila! Bagaimana mungkin tubuh mereka sekuat itu...!?" 
gumam Panji yang sangat terkejut melihat korban pukulannya 
dapat bangkit kembali. Dan, telah maju kembali untuk ikut 
mengeroyoknya. Kenyataan itu benar-benar membuat Panji 
hampir tidak mempercayainya.

Keterpakuan Pendekar Naga Putih yang hanya sesaat itu, 
ternyata berakibat cukup fatal! Dua buah pukulan yang datang 
mengancamnya, masih sempat dielakkan. Tapi, hantaman 
keras dari Ki Wirjasana dan seorang lawan lainnya, membuat 
tubuh pemuda itu terhuyung beberapa langkah ke belakang. 
"Heaaahhh...!" 
Belum lagi Panji sempat memperbaiki kedudukannya, sebuah 
tendangan keras, telak menggedor dada kirinya. 
"Hugkhhh...!" 
Karuan saja tubuh pendekar muda itu terpelanting ke 
belakang. Walaupun begitu, Panji tidak mau melepaskan tubuh 
Kenanga dari pelukannya. Sehingga, keduanya bergulingan di 
atas tanah berbatu itu. 
Luka yang dialami Panji akibat pukulan keras dari Ki 
Wirjasana dan lelaki bercambang bauk itu, menyadarkan 
pemuda itu akan kelupaannya dalam menghadapi keadaan ini. 
Karena 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' yang mengendap di 
dalam tubuhnya, langsung saja bergolak mendorong keluar 
hawa aneh yang merasuk ke dalam tubuhnya. 
"Heaaahhh...!" 
Panji yang tubuhnya kini terlapisi sinar kuning keemasan, 
langsung melompat bangkit disertai kibasan tangannya ke kiri-
kanan. 
Breshhh.... Breshhh...! 
Kibasan telapak tangan Panji mengejutkan lawan-lawannya 
yang tengah meluruk menyerbu. Tubuh mereka kontan 
beterbangan bagaikan kapas tertiup angin! Meskipun pukulan 
itu tidak mengakibatkan luka parah atau kematian, tapi cukup

membuat Panji menarik napas lega. Karena para pengepungnya 
terkejut dan bergerak mundur. 
Kenanga yang sudah bangkit dan berdiri tegak di samping 
kekasihnya, telah pula siap menghadapi lawan-lawannya. 
Meskipun pada sudut bibir gadis jelita itu terlihat adanya cairan 
merah yang menetes. Tapi luka yang dideritanya tak terlalu 
parah. 
"Maaf, Kakang. Aku terpaksa menggunakan senjata untuk 
menghadapi mereka...," bisik gadis jelita itu sambil 
mengeluarkan Pedang Sinar Rembulannya. 
"Tenanglah, Kenanga. Rasanya aku sudah menemukan cara 
ampuh untuk melumpuhkan mereka," sahut Panji yang saat itu 
juga teringat akan mukjizat Pedang Naga Langitnya. 
Kenanga yang melirik ke arah Panji, sempat menarik napas 
lega ketika tahu-tahu sebilah pedang bersinar kuning keemasan 
telah tergenggam di tangan pemuda itu. 
"Pedang Naga Langit..," desis Kenanga yang masih merasa 
takjub, meskipun sering menyaksikan kekasihnya mewujudkan 
pedang yang telah menyatu di dalam tubuh pemuda itu. 
"Benar. Dan kali ini aku pasti berhasil melumpuhkan para 
pengepung kita, tanpa harus melukai atau membunuhnya," ujar 
Panji yang segera mengerahkan tenaga batinnya, dan 
menyatukannya dengan pedang mukjizat itu. 
"Naga Langit..!" 
Dibarengi sebuah bentakan yang menggelegar, Panji 
melontarkan pedang di tangannya ke atas. 
Glarrr...!

Saat itu juga, terdengar ledakan petir yang disambung 
sambaran kilat susul-menyusul. Suasana itu masih pula diiringi 
dengan hembusan angin keras bagaikan tengah mengamuk. 
"Kreaaakkk...!" 
Bersamaan dengan pekik bergemuruh seperti akan 
merobohkan bukit itu, terciptalah seekor makhluk yang 
mengerikan berupa seekor naga raksasa. Sekujur tubuh 
makhluk itu yang mengeluarkan sinar kuning keemasan, 
membuat suasana pekat seketika terang benderang. 
*** 
"Sihir...!?" 
Laki-laki tua yang berjuluk Datuk Harimau Hitam itu tidak 
kalah terkejutnya. Sebagai seorang ahli sihir, tentu saja ia 
cukup tergetar dengan penampilan serta cara Pendekar Naga 
Putih mewujudkan binatang mengerikan itu. 
Namun, kemunculan Naga Langit yang diciptakan Panji, 
ternyata tidak hanya mengejutkan! Tapi, sinar keemasan yang 
terpancar dari tubuhnya, juga mempunyai pengaruh yang luar 
biasa. 
Ratusan penduduk desa yang berada di bawah pengaruh 
obat dan sihir Datuk Harimau Hitam, memekik kesakitan! 
Tubuh mereka mengejang, ketika pancaran sinar kuning 
keemasan merasuk ke dalam tubuh mereka. Sehingga, dalam 
waktu singkat, ratusan penduduk desa yang semula menjadi 
makhluk mengerikan itu, jatuh bergeletakan. Kemudian, diam 
tak bergerak setelah berkelojotan
Pancaran sinar Naga Langit yang telah meresap ke dalam 
tubuh mereka, langsung menghancurkan racun-racun yang 
mengeram di dalam tubuh para penduduk itu. Tidak terkecuali 
Ki Wirjasana dan dua orang lelaki gagah lainnya. 
"Gila...!? Ilmu sihir macam apa ini...?!" teriak Datuk Harimau 
Hitam yang tidak menyangka sama sekali, kemunculan 
binatang raksasa itu telah membuat para pengikutnya 
bergeletakan pingsan. 
"Aaakhhh...!" 
Datuk Harimau Hitam terkejut mendengar suara lengking 
yang mengerikan dari delapan orang berpakaian serba hijau. 
Mereka berjatuhan dengan diiringi mata laki-laki tua yang tak 
percaya dengan apa yang disaksikannya. 
"Bangsat…!" 
Bukan main murkanya Datuk Harimau Hitam ketika 
menyaksikan tubuh delapan orang murid-muridnya 
berkelojotan, dan tewas dengan tubuh melepuh. Jelas, 
pengaruh sinar keemasan dari tubuh Naga Langit telah 
mengakibatkan murid-muridnya tewas. Mereka berbeda sama 
sekali dengan para penduduk desa yang dikuasainya itu. 
Sambil menggeram murka, Datuk Harimau Hitam berpaling 
ke arah Naga Langit yang masih mengapung di udara. 
"Heaahhh...!" 
Dibarengi bentakan keras, laki-laki tua itu mendorongkan 
sepasang lengannya dengan pukulan jarak jauh. Melihat dari 
tatapan matanya yang mencorong kehijauan, jelas laki-laki tua 
itu ingin melenyapkan naga raksasa yang menurutnya 
permainan ilmu sihir dari Pendekar Naga Putih. 
"Kreeeaghk..!"

Blarrr...! 
Terdengar suara benturan dahsyat yang menggelegar, ketika 
naga raksasa itu mengibaskan ekornya memapaki pukulan 
Datuk Harimau Hitam. Sehingga, bukannya naga itu yang 
lenyap, malah tubuh laki-laki tua itu sendiri yang terjungkal 
hingga satu tombak lebih. 
"Gila! Mana mungkin...?!" 
Datuk Harimau Hitam mengumpat tak percaya dengan apa 
yang dialaminya. Karena naga raksasa yang diduganya hasil 
ciptaan ilmu sihir lawan, ternyata malah mampu memapaki 
pukulan pemunah sihirnya. Laki-laki tua itu tentu saja tidak 
mengerti. 
Panji yang tadi memejamkan kedua matanya, kini perlahan 
membuka. Menyaksikan tubuh para pengeroyoknya telah 
bergeletakan di atas tanah, sadarlah pemuda itu kalau 
usahanya berhasil baik. 
"Naga Langit, kembali...," terdengar desis menggetarkan 
yang keluar dari mulut Panji. Sepertinya untuk menundukkan 
Datuk Harimau Hitam, pemuda itu tidak perlu mengandalkan 
kemukjizatan senjatanya. 
Untuk kesekian kalinya, Datuk Harimau Hitam kembali 
melongo. Makhluk raksasa yang dikiranya sebagai permainan 
sihir lawan, lenyap tanpa bekas. Laki-laki tua itu sempat melirik, 
terlihat sebilah pedang bersinar kuning keemasan kembali 
tergenggam di tangan lawannya. 
"Tidak kusangka kalau pemuda seusia kau telah memiliki 
ilmu sihir yang dahsyat, Pendekar Naga Putih. Aku benar-benar 
kagum kepadamu," ujar Datuk Harimau Hitam tanpa malu-malu 
lagi, memuji kehe-batan ilmu lawannya.

"Hm..., kau keliru, Datuk Harimau Hitam. Aku sama sekali 
tidak memiliki ilmu sihir. Tidak perlu kujelaskan kepadamu. 
Yang paling penting, aku akan menghancurkan niat busukmu 
yang mungkin kelak akan kau ulangi lagi," sahut Panji yang 
langsung saja melayang ke arah lawan. 
"Bedebah! Kau kira setelah dapat menundukkan dan 
membunuh pengikut-pengikutku, lalu kau bisa berbuat 
sesombong itu? 
Hmh! Marilah 
kita tentukan. 
Apakah kau 
memang pantas 
untuk 
menghukumku 
atau 
sebaliknya," 
teriak Datuk 
Harimau Hitam 
yang menerima 
tantangan Panji. 
"Gila !? Ilmu 
sihir macam apa 
ini...?!" teriak 
Datuk Harimau 
Hitam kaget 
melihat 
kemunculan naga raksasa yang membuat para pengikutnya 
jatuh pingsan. Kemunculan Naga Langit, dan sinar 
keemasannya yang terpancar dari tubuhnya, memang 
mempunyai pengaruh yang luar biasa! 
"Heaaattt..!"

Begitu panji menjejakkan kakinya beberapa langkah di 
hadapan lawan, laki-laki tua itu langsung melesat dengan 
disertai teriakannya yang keras. 
Bett...! 
Sekali menerjang, Datuk Harimau Hitam langsung 
melontarkan serangkaian pukulan maut yang mematikan! 
Tampaknya laki-laki tua itu memang benar-benar ingin 
membinasakan Pendekar Naga Putih. 
Panji yang sudah menyimpan senjatanya, segera bergerak 
ke kiri. Kemudian, kakinya melangkah pendek-pendek untuk 
menghindari gempuran lawan. Sesekali pemuda itu 
melontarkan serangan balasan secara mengejutkan. Sehingga, 
Datuk Harimau Hitam terpaksa lebih berhati-hati dalam 
menghadapi lawannya. 
"Yeaaahhh...!" 
Begitu merasakan serangan lawan mulai mengendur, Parrji 
segera melancarkan serangan balasan beruntun dengan 
menggunakan jurus 'Ilmu Silat Naga Sakti'nya. 
Wettt! Wettt..! 
Diiringi sambaran hawa dingin menusuk tulang, sepasang 
cakar naga Panji berkelebatan mengincar tubuh lawan. 
Sehingga, Datuk Harimau Hitam sempat terdesak. 
Pertarungan berlangsung semakin cepat dan seru, ketika 
menginjak jurus yang kedelapan puluh tujuh. Keduanya yang 
sama-sama menggunakan ilmu-ilmu silat tinggi, sama-sama 
saling desak, dan berusaha untuk menjatuhkan lawan. Namun, 
sampai sedemikian jauh belum tampak tanda-tanda siapa yang 
akan keluar sebagai pemenang.

Panji sendiri diam-diam merasa kagum dengan kekuatan 
laki-laki tua itu. Meskipun usianya telah demikian tua, ternyata 
masih mampu bergerak cepat. Bahkan pemuda itu beberapa 
kali kehilangan lawannya, karena gerakan lawan memang 
seperti bayangan hantu yang nyaris tidak kelihatan. 
"Yeaaattt...!" 
"Heaaa...!" 
Ketika pertarungan memasuki jurus yang keseratus dua 
puluh, mendadak Datuk Harimau Hitam berseru nyaring sambil 
menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Saat itu juga, 
tercium bau amis menyengat yang disertai perubahan sepasang 
lengan laki-laki tua itu menjadi kehitam-hitaman. 
Whusss...! 
Dorongan sepasang telapak tangan Datuk Harimau Hiram 
yang menyemburkan uap kehitaman membuat Panji sadar 
kalau lawannya telah mengeluarkan ilmu pukulan beracun yang 
sangat berbahaya. 
Cepat-cepat Pendekar Naga Putih mendorong sepasang 
lengannya ke depan dengan menggunakan 'Tenaga Sakti 
Gerhana Bulan' sepenuhnya. 
Serangkum angin dingin yang berhembus keras bagaikan 
badai salju, meluncur memapaki pukulan beracun lawannya. 
Dan... 
Blarrr...! 
Mengerikan sekali akibat benturan dua gelombang tenaga 
sakti yang berlainan sifat itu! Bunga api berpijaran menandakan 
betapa kuatnya benturan yang terjadi. Sampai-sampai 
beberapa pohon yang dekat dengan mereka, daun-daunnya 
berguguran. Sebagian hangus terbakar. Sedang sebagian


lainnya tampak diselimuti salju tipis. Jelas, pukulan yang 
dikerahkan kedua tokoh sakti itu sangat dahsyat. 
Akibat benturan itu, tidaklah terlalu merugikan bagi Panji. 
Pemuda yang semenjak kecil dididik dengan berbagai macam 
latihan kuda-kuda itu, hanya bergeser mundur dengan 
meninggalkan bekas sepatunya yang cukup dalam di atas 
permukaan tanah. Sedangkan tubuhnya tetap tegak dan kokoh. 
Lain halnya dengan Datuk Harimau Hitam. Akibat benturan 
dengan tenaga mukjizat lawan, tubuhnya terlempar hingga tiga 
tombak. Meskipun ketika terjatuh ia dapat menyelamatkan 
tubuhnya dengan kedua kaki menjejak tanah, tapi gumpalan 
darah kehitaman keluar dari mulutnya, menandakan laki-laki 
tua itu telah terluka dalam oleh racunnya sendiri. 
"Huagkhhh...!" 
Untuk kesekian kalinya darah segar kembali muncrat dari 
mulut laki-laki tua itu. Bahkan wajahnya yang semula putih 
bagai wajah mayat itu, mulai nampak kehitaman. Karena racun 
pukulannya telah berbalik menggerogoti dirinya. 
Merasa ajalnya sudah dekat, sambil mendekap dada yang 
terasa remuk, Datuk Harimau Hitam mengedarkan pandangan 
berkeliling. Dan, terhenti pada sosok ramping berpakaian hijau, 
yang berada di samping kanannya dalam jarak dua tombak. 
"Kau harus menyertai kematianku, Gadis Cantik...!" desis 
laki-laki tua itu dengan sorot mata mengancam. 
Belum lagi sosok berpakaian hijau itu sempat berpikir, tiba-
tiba tubuh Datuk Harimau Hitam sudah mencelat ke arahnya. 
Panji yang sejak tadi memperhatikan tingkah lawannya, 
tentu saja tidak membiarkan kekasihnya terancam maut. Maka, 
dengan dibarengi sebuah pekikan bagai naga murka, tubuh

pemuda itu melesat secepat sambaran kilat, dan langsung 
memotong jalan luncuran tubuh Datuk Harimau Hitam. 
"Yeaaat...!" 
Blarrr...! 
Untuk kesekian kalinya, kembali terdengar ledakan dahsyat 
yang mengguncangkan sekitar daerah perbukitan itu. Disusul 
dengan terlemparnya tubuh Datuk Harimau Hitam akibat 
gedoran sepasang telapak tangan Panji yang memang sulit 
dihindari. 
Dalam usaha menyelamatkan nyawa kekasihnya, Panjl telah 
menggunakan jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi', yang 
merupakan jurus terampuh dari 'Ilmu Silat Naga Sakti'nya. 
Sehingga akibatnya pun sangat mengerikan. 
Pendekar Naga Putih dan Kenanga berpelukan menyaksikan 
mayat Datuk Harimau Hitam yang sekujur tubuhnya remuk. 
Napas laki-laki tua itu telah terhenti. Karena tubuhnya telah 
menghantam sebuah batu besar, yang juga hancur akibat 
benturan keras itu. 
"Mudah-mudahan para penduduk yang tak berdosa itu 
selamat semuanya...," harap Panji yang sudah menjatuhkan 
tubuhnya bersandar pada sebatang pohon. Pertarungan dengan 
Datuk Harimau Hitam benar-benar telah menguras tenaganya. 
"Kita tunggu di sini sampai pagi, Kakang...," ujar Kenanga 
yang juga menjatuhkan tubuhnya di samping Panji. 
*** 
Matahari pagi memancarkan sinarnya menerangi permukaan 
bumi. Saat itu Panji dan Kenanga sudah berkumpul bersama

penduduk tiga desa. Melihat dari cerahnya wajah-wajah 
mereka, jelas pengaruh obat yang dijejalkan Datuk Harimau 
Hitam telah lenyap berkat kekuatan mukjizat Pedang Naga 
Langit. 
"Apa sebenarnya yang diinginkan Datuk Harimau Hitam 
dengan menguasai desa-desa terpencil ini?" tanya Panji yang 
duduk berhadapan dengan Ki Wirjasana, Kepala Desa Pawetan, 
Ki Bamagala, Kepala Desa Kalianyar, dan lelaki gagah 
berpakaian biru yang merupakan Kepala Desa Pagar Batu. 
"Kami tidak tahu secara pasti, Pendekar Naga Putih," sahut 
Ki Wirjasana yang memang telah mengenal Panji sebelumnya. 
"Tapi, pertama kali mereka datang, banyak gadis-gadis dari 
desa-desa sekitar daerah ini yang lenyap tanpa jejak. Bahkan 
beberapa dari gadis-gadis itu, dibunuh setelah terlebih dahulu 
diambil darahnya," Ki Wirjasana menutup ceritanya. Karena 
sepertinya orang tua itu tidak tahu terlalu banyak. 
"Sebenarnya kami sempat merasa curiga dengan keinginan 
mereka, yang katanya bisa membuat orang-orang desa menjadi 
sakti dan kuat. Dengan demikian, warga kami yang memang 
terdiri dari para pemburu itu tidak perlu takut lagi terhadap 
binatang buas. Sehingga, hasil buruan bisa berlipat-lipat, 
Demikian, iblis itu membujuk kami pertama kalinya. Dan, me-
mang mulanya kami percaya. Karena hal itu telah terbukti pada 
beberapa warga Desa Kalianyar. Tapi, rupanya obat-obat yang 
diberikan kepada kami itu mempunyai pengaruh lain di waktu 
malam. Itu baru aku ketahui belakangan...," Ki Bamalaga 
menghentikan ceritanya sejenak untuk menghela napas. 
"Sayangnya, sudah hampir seluruh warga Desa Kalianyar 
yang meminum ramuan obat itu," sambung Ki Bamagala. 
"Sehingga, aku tidak bisa berbuat apa-apa, ketika dia 
memaksaku untuk meminum obat itu. Karena orang tua itu 
sangat sakti, dan aku tidak berdaya menghadapinya. Sejak saat

itulah tanpa kami sadari, gadis-gadis di desa kami satu persatu 
lenyap tanpa jejak" 
Kepala Desa Kalianyar itu, yang sepertinya tahu lebih 
banyak, menghentikan ceritanya sejenak. Kemudian terdiam 
beberapa saat, seolah-olah ingin mengingat kembali peristiwa 
yang telah cukup lama terjadi Panji, Kenanga, dan yang lainnya 
hanya menunggu, tanpa berniat untuk mengganggu Ki 
Barnalaga, yang tengah berusaha mengingat-ingat awal 
malapetaka yang menimpa desanya. 
"Pendekar Naga Putih, dapatkah kau menerangkan kepada 
kami, apa sebenarnya maksud iblis itu menculik dan 
membunuhi gadis-gadis desa?" tanya Ki Barnalaga yang 
sepertinya merasa penasaran karena belum mengetahui 
kegunaan gadis-gadis desanya yang diculik itu. 
"Hm..., setelah mendengar cerita kalian, dan juga apa yang 
sebelumnya kami temukan, jelas gadis-gadis desa yang mereka 
culik mempunyai dua manfaat bagi Datuk Harimau Hitam dan 
para pengikutnya. Pertama, gadis itu digunakan sebagai 
pemuas nafsu mereka. Kedua, darah-darah perawan yang 
mereka rasakan cocok untuk digunakan mendalami ilmu-ilmu 
sesat mereka. Dan, aku yakin ramuan-ramuan yang diberikan 
kepada penduduk, juga bercampur dengan darah perawan. 
Itulah yang membuat kalian kebal terhadap pukulan dan juga 
senjata tajam. Sayang, orang setua Datuk Harimau Hitam 
masih serakah terhadap ilmu kepandaian," desah Panji 
mengakhiri keterangannya yang membuat semua orang di 
tempat itu mengangguk-anggukkan kepalanya. 
"Tidak aneh, Kakang. Tokoh-tokoh persilatan baik hitam 
maupun putih tidak pernah mengenal rasa puas dalam 
menambah ilmu. Jadi, tidak mengherankan untuk 
memperdalam ilmu sesatnya. Datuk Harimau Hitam sampai 
demikian kejam mengorbankan darah-darah perawan suci,"

Kenanga yang mendengar desahan kekasihnya segera 
menyahuti. 
"Kau benar, Kenanga. Nah, karena persoalan di sini sudah 
selesai, kami mohon pamit..." pinta Panji sambil beranjak 
bangkit, diikuti Kenanga dan yang lainnya. 
"Dengan hati berat, kami terpaksa melepasmu, Pendekar 
Naga Putih. Mungkin saja tugas-tugas lain sudah menanti kalian 
berdua...," ucap Ki Wirjasana sambil menjabat erat jemari 
tangan pemuda tampan itu. 
"Terima kasih, Ki...," ujar Panji yang segera melangkah 
bersama Kenanga meninggalkan perbukitan itu. 
Sedangkan para penduduk dari tiga desa itu masih terus 
melambaikan tangannya, hingga bayangan kedua pendekar itu lenyap di kejauhan. 



                              SELESAI 



Share:

0 comments:

Posting Komentar