..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 07 Februari 2025

PENDEKAR KELANA SAKTI EPISODE KERIS BUNTUNG KI SRONGOT

Keris Buntung Ki Srongot

 

Cerita ini adalah fiktif. 
Persamaan nama, tempat dan ide
hanya kebetulan belaka

KERIS BUNTUNG KI SRONGOT

Oleh Buce L. Hadi
© Penerbit Mutiara, Jakarta 
Pintu Besi Baru Plaza, lantai 2-B69 H. Samanhudi 
No.14, Jakarta-Pusat 
Setting Oleh: Trias Typesetting 
Cetakan Pertama,1991 
Hak Cipta ada pada Penerbit 
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau selu-
ruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit.
Buce L. Hadi
Serial Pendekar Kelana Sakti
dalam episode: Keris Buntung Ki Srongot

SATU

Lembah yang sunyi itu mendadak dikejutkan 
oleh suara kepak burung-burung yang semula berke-
lompok bertengger di atas pepohonan. Begitu juga den-
gan para binatang penghuni lembah tersebut. Semua-
nya saling serabut lari sembunyi. Karena saat itu se-
rombongan orang mengiring sebuah tandu melintasi 
lembah.
Empat orang nampak memikul tandu, mereka 
berjalan serempak paling dulu. Sedangkan di bela-
kangnya dua puluh orang mengikuti membentuk dua 
barisan. Mereka tidak perduli melihat para penghuni 
lembah berlarian menjauh ketika rombongan itu se-
makin masuk ke dalam lembah.
Nampak pula bekas beberapa gubuk yang telah 
usang. Gubuk-gubuk yang hampir reyot itu memang 
sudah lama tidak ditinggali. Lagi pula tidak mungkin 
bila ada penduduk yang dapat tinggal menetap di situ. 
Selain jauh dari desa lain, lembah itu nampak rawan 
dan jarang dilalui orang. Kecuali hari itu. Serombon-
gan orang melewati mengikuti ke mana arah tandu 
yang mereka iringi melaju.
Di dalam tandu itu duduk seorang lelaki beru-
sia tiga perempat abad dengan tenang. Lelaki itu nam-
pak lebih muda di banding dengan usianya, meskipun 
rambut serta janggutnya telah memutih. Dari penam-
pilannya dan cara ia duduk bersila di dalam tandu itu 
terlihat orang tua itu semakin gagah. Dia pula yang 
sebenarnya memimpin rombongan itu.
Sedangkan orang-orang yang memikul tandu 
maupun yang mengiringinya di belakang hanya para 
pengikut setia. Mereka tidak lebih anak buah Ki Tapak 
Kliwon. Kakek sakti dari Perguruan Lembah Karang

Hantu. Kakek itu duduk bersila memandang ke depan. 
Rongga matanya hampir tertutup oleh alis putih yang 
tebal memanjang bawah. Sehingga kedua bola ma-
tanya tidak kelihatan.
Empat orang yang memikul tandu berjalan 
sangat cepat. Sepertinya keempat orang itu sama seka-
li tidak membawa beban. Padahal mereka sudah me-
nempuh perjalanan sepanjang kurang lebih tiga mil. 
Bahkan selama perjalanannya itu pula mereka tidak 
pernah beristirahat. Hal itu menandakan orang-orang 
Ki Tapak Kliwon bukanlah sekelompok manusia-
manusia sembarangan.
Lagi-lagi Ki Tapak Kliwon menatap gubuk-
gubuk tak berpenghuni. Rombongan itu terus melaju 
melewati bekas sebuah perkampungan. Puing-puing 
itu seperti mau ambruk saat langkah-langkah mereka 
berderap mengisi kesunyian lembah.
Di sisi kiri mereka berdiri tebing batu terjal ber-
lumut. Pohon-pohon yang setinggi sepuluh meter, juga 
turut menghiasi di sepanjang jalan mereka. Daun-
daunnya yang rimbun membuat lembah itu makin ge-
lap menyeramkan. Terkadang pula sinar matahari da-
pat masuk menerobos melalui celah-celah daun. Saat 
itu terdengar lagi suara kepak sayap burung-burung 
dari atas dahan, mereka beterbangan menjauh seperti 
terusik oleh rombongan yang baru saja melewati sa-
rang-sarang burung di atas pepohonan. Setelah seha-
rian penuh barulah mereka dapat menembus lembah 
yang pengap itu. Ki Tapak Kliwon nampak menghem-
paskan nafasnya kuat-kuat.
Kedua matanya tidak berkedip menatap sebuah 
perkampungan kecil. Perkampungan
itu nampak seperti tidak terurus. Beberapa ge-
lintir orang kelihatan berdiri memandangi iring-iringan 
yang baru datang dan bakal melewati pemukiman ter

sebut.
Binatang-binatang peliharaan banyak yang ber-
larian saat rombongan itu mendekati. Para penduduk 
keheranan dibuatnya. Beberapa orang penduduk 
menghalau binatang-binatang peliharaan yang masuk 
pekarangan gubuk. Mereka juga seperti bergetar sete-
lah menatap rombongan itu.
Seorang anak kecil yang telah menggendong 
seekor ayam jantan berdiri di tengah-tengah jalan. Ia 
menatap rombongan itu penuh keheranan. Rambut 
serta pakaiannya yang penuh tambalan bergerak-gerak 
tertiup angin. Dan saat rombongan Ki Tapak Kliwon 
berjalan semakin dekat pada anak yang berdiri di ten-
gah-tengah jalan, mendadak ayam jantan dalam deka-
pannya itu melompat.
Anak itu pun terkejut setengah mati. Spontan 
saja ia berlari mengejar ke mana ayam jagonya lari. 
Sambil berkaok-kaok ayam jantan itu menyusup lari di 
hadapan keempat orang yang tengah memanggul tan-
du. Lalu masuk bersembunyi ke dalam semak. Tentu 
saja anak itu mengikuti langkah-langkah ayam itu. Ia 
pun bermaksud menyusup di hadapan keempat orang 
yang berjalan di depan rombongan.
Tapi belum sempat anak itu melintas di hada-
pan keempat orang itu, mendadak tubuh kecil itu ter-
lempar jauh. Dan jatuh terbanting dengan sangat ke-
ras. Setelah kelojotan sambil menyemburkan darah, 
bocah malang itu diam tak bergeming. Sedangkan Ir-
ing-iringan itu tetap berjalan terus tak perduli.
Nampak pula seorang lelaki berdiri ke arah 
anak kecil yang tewas mengerikan itu, lelaki tersebut 
seperti mau menjerit melihat anaknya telah menghem-
buskan nafas.
"Mista...! Mista...!" Tubuh kecil bergelimang da-
rah itu diguncang-guncangkan, si kecil Mista tetap di

am tidak menjawab.
"Mista...." Lelaki itu cepat memapah anaknya. 
Lalu ia berlari menyusul iring-iringan yang baru saja 
berlalu. Para penduduk perkampungan kecil itu me-
nyaksikan bagaimana peristiwa itu terjadi.
"Kalian keparat! Kalian telah membunuh anak-
ku...!" Sambil memapah anaknya lelaki itu terus berla-
ri. Bersamaan dengan itu pula iring-iringan itu men-
dadak berhenti. Maka ia dapat mengejar dan dengan 
sengit langsung memaki-maki di hadapan keempat 
orang yang memikul tandu.
"Kalian pikir kami ini sekelompok hewan Ba-
gaimanapun juga kalian harus mempertanggungja-
wabkan nyawa anak ini!" bentaknya. Keempat orang 
yang berdiri paling depan diam tak menjawab. Ki Ta-
pak Kliwon menyibakkan kain penutup tandu, maka ia 
dapat melihat seorang lelaki memapah mayat seorang 
bocah. Kakek dalam tandu itu menyeringai, kemu-
dian....
"Jangan perdulikan kunyuk ini. Jalan terus...!" 
Ki Tapak Kliwon menutup kembali penutup tandu.
Mendengar perintah itu, maka para anak buah 
Ki Tapak Kliwon melanjutkan perjalanannya lagi. Men-
dadak saja laki-laki yang berdiri menghalangi iring-
iringan itu terlempar sampai bergulingan. Seketika itu 
juga lelaki yang tengah memapah anaknya ikut tewas. 
Dari mulutnya menghambur darah. Keduanya tewas 
dalam keadaan berpelukan.
Para penduduk yang menyaksikan jadi ngeri. 
Mereka serentak berlarian memasuki gubuknya mas-
ing-masing. Rombongan itu sendiri tetap diam menga-
wasi para penduduk.
"Kau telah membunuh dua nyawa di kampung 
ini, Ki. Seorang anak kecil di seorang laki-laki yang 
mungkin ayahnya." kata salah seorang pemikul tandu

itu. Di dalam tandu Ki Tapak Kliwon menjawab.
"Biar saja! Kalau perlu kita habisi semua pen-
duduk kampung ini. Karena kampung ini daerah Ki 
Karma Sentanu." Suaranya menggekeh.
"Kalau begitu tujuan kita telah sampai." 
"Hem...."
"Apakah kau mau turun dari tandu, Ki?" 
"Buat apa.... Selama musuhku belum tampak, 
aku tidak perlu menampakkan diri." jawab Ki Tapak 
Kliwon. Lalu apa lagi rencana kita? Berdiam diri di sini 
saja?"
"Tolol! Suruh barisan belakang memporak po-
randakan seluruh perkampungan ini. Pancing agar Ki 
Karma Sentanu keluar dari persembunyiannya." perin-
tah Ki Tapak Kliwon.
Maka salah seorang pemikul tandu itu men-
gangkat pedangnya ke atas. Gerakan itu merupakan 
tanda aba-aba untuk menyerang, lalu setelah melihat 
aba-aba itu, dua barisan yang terdiri dari dua puluh 
orang langsung bubar menuju ke arah tiap-tiap gubuk. 
Senjata-senjata mereka dari pedang sampai golok siap 
terhunus.
Mulai terdengar pula derak-derak pintu pagar 
yang didobrak hancur. Para penduduk kalang kabut 
menyelamatkan diri. Perkampungan kecil itu jadi riuh 
dengan pekik-pekik ketakutan. Ada juga yang berusa-
ha lari ke luar dari gubuk, namun tindakan itu hanya 
membuang nyawa. Karena para pengikut Ki Tapak 
Kliwon telah membabatkan pedang lebih dulu. Perla-
wanan para penduduk kampung kecil itu tidak berarti 
sama sekali. Anak buah Ki Tapak Kliwon lebih berpen-
galaman dalam bertempur. Apalagi mereka rata-rata 
memiliki kepandaian di dalam memainkan senjata. Se-
tiap kali mereka melancarkan serangan selalu saja 
korban-korban berjatuhan.

Ki Tapak Kliwon tetap duduk bersilah dalam 
tandu. Dia sudah mendengar jeritan-jeritan yang me-
nyayat. Denting beradunya senjata mereka ikut serta 
membisingkan perkampungan itu. Namun tiba-tiba sa-
ja...
"Creng...! Creeeng...!" Creeeng...!"
Mendadak terdengar suara yang amat meme-
kakkan telinga. Mendengar suara itu, para pengikut Ki 
Tapak Kliwon maupun para penduduk langsung be-
lingsatan. Terasa sekali suara itu seperti memecahkan 
gendang telinga.
Para anak buah Ki Tapak Kliwon yang terkenal 
berilmu tinggi saja tidak mampu menahan suara gem-
breng yang mengandung tenaga luar biasa, apalagi 
orang-orang penduduk kampung itu. Hampir semua-
nya memekik sambil menutup telinga. Ada juga yang 
bergelintingan tak sanggup mendengar.
"Creeeng...! Creeeeng...! Creeeeng...!"
Suara gembreng itu makin nyaring menghan-
curkan gendang telinga. Diam-diam Ki Tapak Kliwon 
mengawasi dari dalam tandu. Dan dia dapat melihat 
seseorang berdiri di atas atap jerami sebuah gubuk.
Sosok telanjang dada dengan kepala botak hi-
tam berkilat. Di kedua belah tangannya ia menggeng-
gam dua buah senjata yang mirip dengan dua buah tu-
tup panci. Senjata itu tidak henti-hentinya dibentur-
kan.
"Creeeeng...! Creeeeng...! Creeeeng...!"
Ki Tapak Kliwon sempat melihat pula beberapa 
anak buahnya berkelojotan di tanah. Mata serta telin-
ganya nampak mengeluarkan darah. Maka dengan si-
gap pula ia melesat dari dalam tandu. Tubuh berpa-
kaian serba putih itu berputar-putar di udara. Keem-
pat orang pemikul tandu tetap berdiri meskipun dari 
telinga mereka telah membanjir darah merah.

Kakek berambut seputih kapas itu hinggap di 
tanah tanpa mengeluarkan suara. Kedua matanya me-
natap geram ke atas sebuah gubuk. Sebelah tangan-
nya menyambar sebuah keris dari pinggang. Terdengar 
desingan nyaring saat keris itu keluar dari sarungnya. 
Lalu dia menuding ke atas ke arah sosok yang berdiri 
membenturkan senjatanya.
"Perbuatan yang tolol, Ki Karma Sentanu! Aku 
tidak perlu repot-repot lagi membantai mereka. Men-
dengar suara senjatamu saja mereka bakal mampus 
semua," ejek Ki Tapak Kliwon. Kerisnya yang aneh ka-
rena buntung separuh tetap teracung. Ki Karma Sen-
tanu menatap ke bawah.
"Lebih baik mereka tuli dari pada harus mati di 
tangan anak buahmu, Manusia picik!" Jangan tertawa 
mengekeh begitu, kau lihat sendiri para anak buahmu 
di sana." Ki Karma Sentanu balik mengekeh. Dia sen-
gaja membenturkan dua senjatanya lebih keras.
Ki Tapak Kliwon cepat menoleh ke belakang. 
Separuh anak buahnya sudah pada bergelimpangan. 
Sebagian lagi bertahan menguasai pendengarannya 
dari suara yang bertenaga luar biasa itu.
"Ha-ha-ha-ha-ha...!" Ki Karma Sentanu tertawa 
terbahak-bahak. Gembrengan senjatanya makin nyar-
ing. Ia tidak perduli dengan orang-orang yang berada 
di bawahnya mendengar. Yang jelas mereka semua 
bakal celaka. Saat itu juga Ki Karma Sentanu mem-
benturkan senjatanya semakin cepat.
"Bangsat...! Aku ke mari justru akan mengadu 
ilmu denganmu, Manusia keparat!" bentak Ki Tapak 
Kliwon. Sebelah tangannya yang menggenggam keris 
buntung berputar. Maka saat itu juga terdengar suara 
yang sangat bergemuruh.
"Wuk...! Wuk...! Wuk...!"
Suara angin yang menderu-deru bagai angin
puyuh itu membuyarkan suara benturan senjata Ki 
Karma Sentanu. Dua tenaga dahsyat saling memben-
tur. Daun-daun hijau rontok beterbangan bersama de-
bu. Batu-batu kerikil berhamburan tersapu angin 
menghujani orang-orang yang berada di sekitar kam-
pung itu.
Suara gembreng tidak berpengaruh lagi. Namun 
hawa tenaga dalam kedua manusia sakti itu mampu 
menghempaskan puluhan orang. Banyak yang terlem-
par bagai bongkahan-bongkahan kayu lapuk.
*
* *
DUA


"Wuk...! Wuuk...! Wuuk...!"
Gemuruh putaran keris buntung milik Ki Tapak 
Kliwon menderu-deru bagaikan badai angin. Begitu ju-
ga dengan suara gembreng senjata Ki Karma Sentanu.
"Creeeeng!"
Benturan senjata itu menggetarkan jantung 
serta gendang telinga bagi orang-orang yang berpenta-
lan.
Rambut dan janggut putih Ki Tapak Kliwon ter-
gerai-gerai di terpa angin yang begitu dahsyat. Sedang-
kan Ki Karma Sentanu sendiri nampak terhuyung ter-
dorong oleh benturan tenaga dalam mereka. Dia masih 
bertahan di atas atap jerami.
Orang-orang yang berada di sekitarnya telah 
bersih. Para penduduk banyak yang bergelimpangan. 
Anak buah Ki Tapak Kliwon jauh-jauh menyingkir dari 
arena pertarungan. Mereka hanya menyaksikan dua 
jago sakti saling melancarkan tenaga dalam.

Begitu Ki Tapak Kliwon menyabetkan keris 
buntungnya ke atas, Ki Karma Sentanu buru-buru 
menggeser kedudukannya. Dia merasakan seperti ada 
suatu dorongan yang amat kencang ke arahnya. Maka 
Ki Karma Sentanu cepat terjun ke bawah. Tubuhnya 
berjumpalitan di udara.
Ki Tapak Kliwon menyambut dengan tendangan 
memutar yang mengarah pada Ki Karma Sentanu yang 
masih berjumpalitan. Tapi dengan sigap pula sosok 
kepala botak itu menepis dengan senjatanya. Saat itu 
pula Ki Tapak Kliwon terpelanting. Untunglah ia cepat 
menguasai diri. Apalagi sambaran senjata Ki Karma 
Sentanu terus menjurus ke bagian kepala. Cepat Ki 
Tapak Kliwon menyambut dengan babatan keris bun-
tungnya.
"Weeet...! Traaang!"
Senjata mereka beradu. Keduanya tak Urung 
terjungkal ke belakang. Dua-duanya sukar mengenda-
likan diri. Dan mereka terbanting di tanah.
Lengan Ki Tapak Kliwon yang menggenggam ke-
ris buntung serasa berdenyut. Ki Karma Sentanu 
bangkit berdiri. Kedua matanya membelalak melihat 
senjata gembrengnya sapat separuh. Melihat itu pun 
Tapak Kliwon tertawa terbahak-bahak.
"Senjatamu sudah terlampau tua, Karma Sen-
tanu. Sebaiknya dibuang saja ke kali. Senjata macam 
apa menghadapi keris ku yang jelek ini saja tidak 
mampu." ejek Ki Tapak Kliwon. Dia bertolak pinggang 
seakan meremehkan Ki Karma Sentanu. Sudah tentu 
laki-laki telanjang dada itu menjadi murka. Kembali ia 
menghentakkan ke dua tangannya. Membenturkan 
senjatanya,
"Creeeeng!"
Suaranya memang agak sumbang, tapi keam-
puhannya sama sekali tidak berkurang. Dalam jarak

yang sangat dekat itu, Ki Tapak Kliwon seperti dihujani 
oleh ribuan mata jarum.
"Segala keris buntung saja bisa menandingi
senjataku. Kau rasakan lagi sekarang!" Ki Karma Sen-
tanu hendak membenturkan lagi kedua senjatanya. 
Namun laki-laki berambut putih itu bertindak lebih 
dulu. Sekali hentak kedua kakinya melesat dan lang-
sung menghantam pinggang Ki Karma Sentanu.
"Laki-laki tidak becus apa-apa! Tahunya hanya 
menggunakan senjata. Itu sama mudahnya aku men-
cabut nyawamu!" sergah Ki Tapak Kliwon saat Ki Kar-
ma Sentanu bergulingan. Tapi ketika ia melihat Ki Ta-
pak
Kliwon menyerang lagi, ia melemparkan sebelah 
senjatanya. Senjata itu berdesing. Cepat pula Ki Tapak 
Kliwon merunduk. Senjata gembreng luput memisah-
kan kepalanya. Tapi beberapa lembar rambut keputi-
han rontok terbabat. Ki Tapak Kliwon bergidik.
"Kau terlalu kepala batu, Ki Tapak Kliwon. Ti-
dak kapokkah dulu ku pecundangi." bentak Ki Karma 
Sentanu. Ia telah bersiap-siap dengan sebelah senja-
tanya. Saat itu Juga Ki Tapak Kliwon mundur selang-
kah. Mulutnya menyeringai.
"Sudah kubilang. Dulu aku tidak pernah mera-
sa kalah. Aku sengaja memperpanjang umurmu," ja-
wab Ki Tapak Kliwon. Kembali ia menepis sambaran 
senjata gembreng lawannya. Terasa sekali sambaran 
anginnya begitu deras ke arah Ki Karma Sentanu.
Laki-laki telanjang dada itu sebenarnya sudah 
menyadari kalau senjata keris buntung di tangan Ki 
Tapak Kliwon, bukanlah senjata sembarangan. Dia 
sendiri sudah merasakan keampuhan senjata itu. Be-
lum pernah ada senjata yang dapat merusak senjata 
gembreng milik Ki Karma Sentanu. Sekarang ia mulai 
berhati-hati dan tidak berani menghadapi dalam jarak

dekat. Setiap kali sambaran besi mengarah kepadanya. 
Seperti ada tenaga yang amat luar biasa menghantam 
sekujur tubuhnya.
Dulu pada dua tahun yang lalu Ki Karma Sen-
tanu pernah mengalahkan Ki Tapak Kliwon. Saat itu Ki 
Tapak Kliwon tidak memiliki senjata seperti sekarang 
ini. Ki Karma Sentanu betul-betul kewalahan mengha-
dapi lawan yang pernah ia kalahkan. Dia sudah yakin 
pengaruh keris buntung yang membuat Ki Tapak Kli-
won demikian hebat.
Persoalan mereka berdua memang tidak pernah 
habis dan berakhir. Keduanya bertarung mati-matian 
lantaran sebuah dendam dari kedua orang tua mereka. 
Adapun keris buntung dan senjata gembreng merupa-
kan senjata pusaka kakek moyang mereka. Sampai se-
karang menjadi turun temurun menjadi milik keturu-
nannya.
Tanpa menggunakan senjata itu saja mereka 
sudah demikian hebat, apalagi sekarang masing-
masing memamerkan kebolehan senjata pusaka mere-
ka. Seluruh permukaan tanah perkampungan kecil itu 
bergetar. Ditambah lagi dengan suara-suara teriakan 
mereka yang menggelegar. Sesekali pula senjata mere-
ka saling bentur mengeluarkan suara yang membele-
dar bagai guntur. Beberapa gubuk sudah hancur po-
rak poranda. Bukan dikarenakan oleh amukan mere-
ka. Tapi justru oleh kehebatan tenaga dalam mereka
yang nyasar saat melancarkan serangan. Manakala 
keduanya bagai dua ekor banteng saling gempur me-
matikan. Nampak pula mereka betul-betul mengerah-
kan seluruh kemampuannya.
Keringat sudah mengucur dan membasahi di 
tubuh Ki Karma Sentanu. Sedangkan Ki Tapak Kliwon 
tetap menyambut tiap serangan-serangan Ki Karma 
Sentanu. Dia sendiri hampir kehabisan tenaga. Tapi

melihat gerakan-gerakan Ki Karma Sentanu tampak 
limbung, laki-laki tua berambut putih ini makin ber-
semangat menghadapinya. Berkali-kali pula ia sengaja
membabatkan keris buntungnya menghantam senjata 
Ki Karma Sentanu.
Maka terdengar benturan-benturan senjata me-
reka begitu memekakkan telinga. Kembang api memer-
cik berhamburan. Ternyata keris buntung Ki Tapak 
Kliwon benar-benar dahsyat. Setelah membabat bebe-
rapa kali, lawannya sempat memekik. Tubuh Ki Karma 
Sentanu mencelat beberapa meter ke belakang. Senjata 
gembreng di tangannya sudah tidak berbentuk lagi. 
Senjatanya hampir habis terkikis oleh keris buntung.
Tentu saja hal itu menjadi bahan tertawaan Ki 
Tapak Kliwon. Namun laki-laki tua berambut putih itu 
seperti tidak memberi kesempatan lawannya membalas 
serangan. Sekali ia membabatkan keris buntungnya.
Tubuh telanjang dada yang nampak berdiri 
dengan kuda-kuda yang kokoh, terhuyung ke bela-
kang. Meskipun dalam keadaan begitu, ia masih sang-
gup menangkis tendangan Ki Tapak Kliwon yang da-
tang secara tiba-tiba.
Mendadak pula keris buntung di tangan Ki Ta-
pak Kliwon berkelebat menyambar. Ki Karma Sentanu 
tidak sempat memekik. Tubuhnya yang telah banjir ke-
ringat berdiri dengan kaku. Detik itu pula kepalanya 
menggelinding ke tanah. Berhenti tepat di bawah kaki 
Ki Tapak Kliwon. Ki Tapak Kliwon menatap jijik kutun-
gan kepala itu membelalakkan mata. Maka dengan 
sengaja ia menendangnya kuat-kuat. Maka kepala itu 
mencelat membentur tubuh tanpa kepala ambruk ke 
tanah.
Ki Tapak Kliwon sendiri mulai melangkah ter-
huyung. Matanya terus memandangi mayat Ki Karma 
Sentanu. Diam-diam ia merasa akan kehebatan la

wannya. Tanpa sepengetahuannya darah mengalir dari 
kedua lubang telinga. Pendengarannya berdenging. 
Gendang telinganya hampir pecah. Semula ia mengira 
akan tuli. Tapi dalam keadaan mengalirkan darah begi-
tu ia masih dapat mendengar suara orang-orang ber-
datangan. Mereka tidak lain para anak buahnya. 
Orang-orang kampung itu tidak berani menampakkan 
diri. Mereka pergi menyelamatkan diri entah ke mana.
Pendengaran Ki Tapak Kliwon agak berkurang. 
Dia tidak langsung menjawab saat salah seorang anak 
buahnya menegur.
"Dendam kita sudah terbalas, Ki. Semua ketu-
runan Ki Karma Sentanu sudah tidak bisa yang berdiri 
di atas bumi. Hebat! Keris buntung milikmu benar-
benar hebat...." Anak buahnya merasa kagum. Ki Ta-
pak Kliwon tetap diam. Ia masih merasakan sekujur 
tubuhnya telah remuk. Pendengarannya masih ber-
denging. Mendadak saja ia menggeram. Keris buntung 
di tangannya bergetar. Lalu tanpa dihalangi lagi ia me-
lompat. Begitu hinggap di sebelah mayat Ki Karma 
Sentanu, ia menendangi tubuh tanpa kepala itu.
"Sudah, Ki...! Sudah! Bangsat ini telah sampai 
di neraka. Percuma kau mengumbar amarah padanya!" 
Para anak buahnya berusaha menenangkan Ki Tapak 
Kliwon. Namun laki-laki berambut putih ini terus ka-
lap mengamuk. Ia mencincang habis tubuh Ki Karma 
Sentanu.
Darah muncrat ke mana-mana. Rambut putih-
nya telah penuh dengan darah. Begitu juga dengan pa-
ra anak buah yang berada di dekatnya. Tidak luput 
kena cipratan darah. Sampai Ki Tapak Kliwon sendiri 
yang menghentikan amukannya. Dengan lemas pula 
berdiri. Nafasnya masih memburu. Tanpa bicara apa-
apa ia melangkah. Belasan anak buahnya yang masih 
sisa mengikuti dari belakang.

Langkahnya menuju pada sebuah tandu. Tan-
du itu sudah terbalik. Mungkin akibat badai angin 
yang menerjang saat mereka bertarung. Hanya dengan 
sekali injak saja, tandu itu kembali berdiri. Lalu Ki Ta-
pak Kliwon kembali masuk ke dalam tandu. Ia duduk 
bersila seperti semula. Tanpa sepengetahuan para 
anak buahnya Ki Tapak Kliwon memuntahkan darah. 
Darah yang keluar begitu banyak.
"Tunggu apa lagi? Ayo jalan!" bentak Tapak Kli-
won dari dalam tandu. Kontan saja keempat orang 
yang tadi memikul tandu kembali mengangkat tandu 
itu lagi.
"Terus saja lurus. Maka kalian akan mencapai 
sebuah jalan menuju ke Batang Karang." katanya lagi. 
Keempat orang itu menurut. Iring-iringan itu berjalan 
lagi meninggalkan kampung terpencil. Maka dalam se-
kejap kampung itu mendadak sepi. Yang nampak 
hanya bekas-bekas seperti sebuah pertempuran.
Seluruh gubuk nampak berantakan. Juga 
mayat-mayat bergelimpangan mana-mana. Kebanya-
kan dari korban adalah
anak-anak dan orang tua yang tak berdaya. 
Jumlahnya hampir belasan. Yang masih hidup namun 
terluka, mengerang-ngerang menahan sakit.
Saat itu mulai berdatangan para penduduk 
yang tadi menyingkir. Mereka berlarian mengerubungi 
mayat-mayat keluarganya. Maka meledaklah tangis 
mereka saat menemukan anggota keluarganya telah 
menjadi mayat.
***
Desa Batang Karang sangat jauh dari lembah. 
Di mana-mana banyak terdapat ngarai yang mengalir-
kan air bening. Seluruh permukaan tanahnya nampak

seperti karang. Namun di sana sini banyak ditumbuhi 
pepohonan yang sangat rimbun.
Setiap jalan hampir ditumbuhi oleh tanaman 
bunga yang berderet di sepanjang jalan. Rumput-
rumput halus bertebaran pada tanah-tanah lapang. 
Meskipun tanah itu berlapis karang. Desa itu hampir 
mirip dengan sebuah taman. Apalagi air ngarai itu ber-
kumpul menjadi satu pada sebuah telaga, Membuat 
Desa Batang Karang makin sejuk.
Sebenarnya tempat itu jarang dilalui orang. Ta-
pi bukan berarti tempat itu rawan. Karena dalam jum-
lah penduduk yang dikit, dan juga Desa Batang Ka-
rang sangat luas. Membuat tempat itu tidak pernah di 
ketahui oleh siapa pun.
Situasi seperti ini menjadi kesempatan bagi dua 
muda mudi yang tengah bercengkrama. Mereka duduk 
berdampingan di bawah sebuah pohon besar yang 
menghadap telaga. Sejak tadi sang gadis diam saja 
Jemari tangannya memainkan rumput yang meng-
hampar di bawahnya.
"Murtiati.... Aku khawatir hubungan kita ini 
bakal terputus. Dengan bersembunyi seperti ini akan 
membuat ayahmu makin marah." kata si pemuda. Ga-
dis itu diam saja. Memandang riak air telaga.
"Kita dari golongan yang berbeda. Meskipun 
kau putri dari aliran sesat, aku tidak pernah mengang-
gap dirimu seperti ayahmu. Beliau mana mau meneri-
ma aku menjadi menantunya."
"Kau bicara apa, Kakang Buringan?" tukas ga-
dis itu. Lalu...
"Kalau aku tidak mencintai mu, mana mungkin 
kita akan bertemu di sini. Biar saja orang tua kita pa-
da urusannya masing-masing. Aku juga menyadari ka-
lau aku anak seorang aliran sesat. Tapi pernahkah kau
lihat aku campur tangan dalam urusan ayahku?" jawab gadis itu serampangan. Buringan mengumbar se-
nyum. Kepalanya menggeleng.
"Bukan itu yang ku maksud, Murtiati. Aku su-
dah terlanjur mencintaimu. Bagaimana pun kau harus 
menjadi milikku. Hanya...." Buringan tidak mene-
ruskan kata-katanya.
"Hanya apa...?" Murtiati penasaran.
"Saat ini aliran lurus dan sesat selalu bentrok. 
Bahkan mereka selalu menentang. Jelas-jelas aliran 
sesat memang harus di tumpas. Dalam hal ini aku di-
tugaskan untuk ikut pergerakan mereka untuk...." lag-
lagi Buringan menghentikan pembicaraannya.
"Untuk menghancurkan aliran sesat?" terka 
Murtiati. Buringan tidak menjawab. Itu berarti terkaan 
Murtiati tepat.
"Bodoh sekali kau ini, Kakang Buringan. Seti-
dak-tidaknya kau harus bisa membujuk ayahmu. Ka-
lau hanya diam saja sudah pasti pertempuran orang-
orang aliran sesat dan putih tidak bisa dielakkan lagi!." 
Murtiati bangkit.
"Aku tidak bisa menghindar dari tugas. Seba-
liknya kaulah yang mesti membujuk ayahmu agar ber-
gabung dengan orang-orang aliran lurus. Hanya itu ja-
lan satu-satunya." jawab Buringan cepat.
"Terus terang, Kakang Buringan. Meskipun 
ayahku berada pada aliran sesat, aku tetap berada di-
pihaknya. Baik buruknya Sengkala Getih tetap ayah-
ku." Pembicaraan mereka menjadi panas. Buringan 
menghempaskan nafasnya. Dia seperti orang yang ke-
bingungan.
"Pikirlah olehmu, Kakang Buringan. Kalau kau 
tetap pada pendirianmu, itu berarti hubungan kita be-
rubah menjadi permusuhan." ancam Murtiati. Ia me-
langkah menjauh meninggalkan Buringan yang masih 
berdiri bersandar pada pohon besar.


"Murti.... Tunggu!" Buringan cepat melangkah 
menyusul Murtiati. Gadis itu sendiri berhenti melang-
kah. Bukan karena Buringan mengejarnya, tapi karena 
beberapa orang telah menghadang. langkahnya. Burin-
gan seperti bergetar menatap ketujuh orang yang ber-
diri bersikap menantang. Nampak Murtiati jadi salah 
tingkah. Orang yang berdiri paling tengah tidak lain 
Mandra Loka, kakak kandung Murtiati. Tentu saja ke-
munculannya bagaikan petir di siang bolong.
"Perempuan rendah. Pantas kau selalu meng-
hindar setiap saat pertemuan para aliran sesat. Ru-
panya kau telah tergila-gila dengan salah seekor anjing 
pengacau! bentak Mandra Loka.
"Kakang Mandra Loka, kau...." sela Murtiati, 
tapi sebuah tamparan telah melayang cepat ke pipinya. 
Terhadap kakaknya Murtiati tidak melawan. Tubuhnya 
terhuyung dengan pipi yang memerah.
"Kami semua telah siap bergabung dengan se-
luruh partai aliran sesat, tapi kau malah menempuh 
jalan yang salah. Kau mau coba-coba berkhianat ter-
hadap ayah?" Mandra Loka makin geram.
*
* *
TIGA


Buringan cepat menghalangi saat Mandra Loka 
akan memberi sebuah tamparan lagi. Lengannya yang 
kekar cepat menangkap pergelangan tangan Mandra 
Loka. Mendapat perlakuan seperti itu, Mandra Loka 
membalikkan serangannya.
"Des...!"
Tahu-tahu saja sebuah hantaman telah mendarat di punggung Buringan. Sengaja Buringan tidak me-
lakukan perlawanan.
Melihat itu pun Murtiati segera berlari menen-
gahi mereka. Ia mencegah Mandra Loka melancarkan 
serangan-serangan terhadap Buringan.
"Kalian jangan berkelahi.... Buringan tidak ber-
salah. Akulah yang pantas menerima ganjaran." sela 
Murtiati. Mandra Loka menggeram. 
"Perempuan tidak tahu diri! Berani pula kau 
membela musuh!" Tangan Mandra Loka melayang lagi. 
Tapi sebelum hantaman itu mengena, Buringan mene-
pis hantaman itu. Dia berdiri tenang menghadapi 
Mandra Loka.
"Murtiati tidak tahu apa-apa. Kalau kau ingin 
mengumbar amarah, limpahkan saja padaku." Burin-
gan berdiri menantang di hadapan Mandra Loka. Mur-
tiati memandang khawatir. Tindakan Buringan sung-
guh di luar perkiraannya. Gadis itu memekik saat 
Mandra Loka langsung memberi hantaman tiga kali 
berturut-turut.
Buringan sengaja menerima hantaman-
hantaman itu tanpa melawan. Sesungguhnya terasa 
sekali hantaman-hantaman itu di dadanya. Tapi ia te-
tap berdiri tegar. Buringan sendiri menatap Murtiati 
melepaskan senyum. Di hadapan Murtiati ia telah me-
nunjukkan betapa ia sangat mengorbankan jiwanya.
Pada hantaman yang keempat, Buringan cukup 
terhuyung. Mulutnya menyembur darah. Melihat itu 
pun Murtiati segera memeluk Buringan. Sebelah len-
gannya memutar menepis hantaman Mandra Loka.
"Kalau kau bunuh dia, bunuh saja kami seka-
lian, Kakang.... Biar kami mati bersama!"
Mendengar kata-kata Murtiati, Mandra Loka 
seakan mau meledak. Maka setelah ia menggeram. 
Tendangannya tidak tanggung-tanggung menghantam.

Kontan keduanya mencelat. Mereka berdua bergulin-
gan. Sebenarnya tendangan itu hanya mengenai tubuh 
Buringan, tapi karena Murtiati memeluk erat tubuh 
Buringan, gadis itu ikut terbanting.
"Apa susahnya kalau hendak mencabut nyawa 
dua anjing gudik. Menyingkirlah dari pemuda sial itu, 
Murtiati. Maka hal ini akan ku rahasiakan pada ayah." 
Mandra Loka masih memandang muka terhadap adik 
perempuannya. Kata-kata itu pula menjadi pertimban-
gan dalam benak Murtiati. Namun melihat Buringan 
bangkit berdiri sempoyongan bersimbah darah begitu, 
Murtiati makin iba.
"Aku mohon padamu, Kakang Mandra Loka. 
Biarkan Kakang Buringan pergi. Aku bersedia mening-
galkannya asalkan kau menahan amarah mu." jawab 
Murtiati. Mandra Loka tersenyum lebar. Lalu ia me-
mandang ke belakang pada enam orang pengikutnya. 
Hanya dengan kerdipan sebelah mata saja keenam 
orang itu langsung meluruk mengepung Murtiati.
"Sejak kapan orang-orang aliran sesat bersikap 
maha pengampun. Dan juga sejak
kapan kau mulai merasa cengeng seperti ini 
Adik Murtiati? Dulu kau seorang gadis yang paling ga-
rang. Sepak terjangmu tidak pernah kenal ampun. Ke-
napa terhadap Buringan yang justru musuh kita itu 
kau kasihani?"
Murtiati diam. Ia telah terkepung para pengikut 
Mandra Loka. Buringan sudah berdiri tegak. Mulutnya 
telah penuh dengan cairan kental berwarna merah. 
Menatap Buringan, Mandra Loka tertawa mengekeh.
"Kalau merasa tidak sanggup bertindak, biarlah 
aku yang mewakili mencabut nyawa anjing kekasih-
mu!" Mandra Loka melesat maju. Murtiati bermaksud 
mencegah tapi keenam orang yang mengepung meng-
halangi. Terhadap keenam orang penghalangnya Mur

tiati tidak ragu-ragu bertindak. Sekali ia membentak 
kedua lengannya berkelebat menghantam. Maka dua 
orang cepat menjerit.
Namun tindakannya itu meskipun dapat meng-
hajar keenam orang pengepungnya, sudah terlambat. 
Karena Mandra Loka sudah melancarkan hantaman 
serta tendangan ke arah Buringan yang tetap diam tak 
melawan. Serangan-serangan Mandra Loka membuat 
Buringan jatuh bangun. Sudah hampir empat kali Bu-
ringan menyemburkan darah.
Dan nampaknya Mandra Loka benar-benar 
hendak menghabiskan riwayat Buringan. Laki-laki 
yang terluka itu sebenarnya bukan berarti pasrah atau 
tidak memiliki ilmu silat. Nama dan kemampuannya 
cukup terkenal dalam dunia persilatan. Namun dalam 
menghadapi Mandra Loka, Buringan sengaja menye-
rahkan nasibnya di tangan lawan.
"Kakang Buringan...! Jangan diam saja, kau bi-
sa mati konyol!" teriak Murtiati. Gadis itu sibuk meng-
hadapi para pengepungnya.
"Biarlah aku mati, Murtiati. Mungkin ini jalan 
yang terbaik untukku." sahut Buringan. Sebuah han-
taman mendarat lagi di perut. Tubuh Buringan mun-
dur mencelat. Tapi masih tetap berdiri meski dari mu-
lutnya menghamburkan darah. Pandangannya sudah 
goyang. Manakala Mandra Loka tetap bringas melan-
carkan serangan.
"Kau tidak boleh mati, Kakang Buringan. Kalau 
kau mencintai ku kau harus tetap hidup. Hadapi Ka-
kang Mandra Loka sebagaimana kau menghadapi mu-
suh-musuh mu!" Murtiati memberi dorongan seman-
gat. Dia sudah menjatuhkan tiga orang pengepungnya.
Bagaimana Buringan bisa menghadapi Mandra 
Loka? Tubuhnya hampir hancur babak
belur. Detik itu pun tubuh penuh luka memar

terlempar jauh. Mandra Loka baru saja melancarkan 
dua tendangan berturut-turut. Begitu tubuhnya jatuh 
terbanting. Buringan sudah tidak dapat bangkit lagi. 
Melihat itu pun Mandra Loka segera melancarkan se-
rangan paling dahsyat.
"Hreaaaaa! Splaak!"
Mandra Loka memekik kaget. Hantamannya ti-
dak mengena di tubuh Buringan, tinjunya seperti 
membentur sesuatu yang sangat keras.
Mandra Loka sudah yakin kalau ada seorang 
yang datang secara tiba-tiba menghalangi serangan-
nya. Matanya cepat menangkap seorang pemuda men-
genakan baju bulu binatang berdiri tepat di mana Bu-
ringan terbaring lemas. Pemuda itu tidak perduli Man-
dra Loka menatap geram ke arahnya. Ia terus merun-
duk memeriksa luka-luka Buringan.
"Sobat, jangan mencampuri urusan persilatan 
Desa Batang Karang. Lagi pula kita tidak saling kenal. 
Maka menyingkirlah dari sini," Mandra Loka menuding
pemuda yang sesungguhnya Wintara si Pendekar Ke-
lana Sakti. Wintara tidak perduli dengan ucapan Man-
dra Loka. Ia tetap memperhatikan luka-luka Buringan.
"Kalian sebenarnya orang-orang persilatan ma-
cam apa menganiaya orang sampai demikian rupa. Ka-
lau saja dibiarkan, orang ini akan tewas." kata Winta-
ra. Ia menggeleng kagum terhadap Buringan yang da-
pat bertahan dari luka-luka yang teramat parah.
"Kalau tetap cerewet kami tidak segan-segan la-
gi bertindak, dan kau akan sama mampusnya dengan 
anak anjing itu!" selak Mandra Loka.
"Ucapanmu terlalu sadis. Belum cukup pua-
skah kau menganiayanya? Sungguh terkutuk pula kau 
membiarkan seorang wanita menghadapi enam orang 
laki-laki. Sungguh memalukan." ucap Wintara tenang.
Melihat kedatangan Wintara di tempat itu

membuat pertarungan Murtiati terhenti. Enam orang 
pengepungnya memandang garang pada Wintara. Se-
rempak pula mereka berdiri berderet di belakang Man-
dra Loka.
"Berani menghalangi Mandra Loka sama saja 
dengan bunuh diri. Serang...!" perintah Mandra Loka. 
Maka enam pengikutnya berhamburan menyerang 
Wintara. Pendekar Kelana Sakti itu sendiri sudah ber-
siap-siap sebelumnya. Tanpa menggeser duduknya ia 
menyambut enam orang penyerang yang datang se-
rempak. Tapi hanya dengan sekali mengibaskan len-
gannya...
"Des...!"
Dua orang langsung memekik celentang. Ber-
samaan dengan itu pula kakinya menyapu ke bawah. 
"Breet!"
Tiga orang jatuh lagi. Dua di antaranya tak 
berkutik, kojor. Wintara bangkit berdiri mengumbar 
senyum. Para penyerangnya masih penasaran mele-
paskan serangan. Tapi begitu ia bermaksud membalas 
serangan mereka. Mandra Loka melepas melancarkan 
hantaman yang berturut-turut.
Namun serangan itu sama sekali tidak berarti 
bagi Pendekar Kelana Sakti ini. Saat serangan itu da-
tang Wintara berputar. Sebelah lengannya menepis. 
Hantaman Mandra Loka yang bertubi-tubi itu jadi me-
lenceng. Maka pada saat yang tepat Wintara mendo-
rong kakinya ke depan. lalu....
"Des...!"
Tak urung Mandra Loka terjungkal ke bela-
kang. Tulang pinggangnya membentur permukaan ta-
nah amat keras. Ia tidak langsung bangkit.
"Hantam dia biar tahu rasa!" teriaknya. Empat 
orang yang masih sisa bergerak maju. Wintara melom-
pat mundur. Tapi tahu-tahu saja keempat pengikut

Mandra loka mendadak terpelanting semua.
Di hadapan Wintara berdiri Buringan dengan 
tubuh bersimbah luka dan darah.
"Astaga! Dalam keadaan luka parah begini ia 
masih sanggup mengerahkan tenaganya. Sungguh luar 
biasa!" pikir Wintara. Tapi saat itu juga tubuh Burin-
gan ambruk kembali ke tanah.
Merasa tinggal seorang diri, Mandra Loka sege-
ra berlari menjauh. Larinya sangat cepat dan tak 
mungkin terkejar. Wintara melesat pula mengikuti. Ta-
pi ia segera menghentikan langkahnya karena teringat 
akan seorang yang tergeletak penuh luka. Dan saat ia 
menoleh ke arah Buringan. Pemuda itu sudah lenyap 
bersama gadis itu.
*
* *
EMPAT


Dalam melarikan Buringan, Murtiati merasa 
khawatir. Nafas Buringan sendiri sudah terputus-
putus. Darah dari mulutnya tidak pernah berhenti 
mengalir. Sedangkan luka-luka memar di tubuhnya ti-
dak dapat dihitung berapa banyak. Dalam hati ia me-
runtuki kakaknya, Mandra Loka.
Tapi dalam keadaan seperti itu pun Buringan 
tetap sadar. Ia merasakan tubuhnya dipeluk erat-erat 
dan Murtiati membawanya lari sangat cepat. Menyada-
ri hendak dibawa ke mana, Buringan berontak dari 
punggung Murtiati. ....
"Murtiati.... Turunkan aku.... Hhh.... Turunkan. 
Kau hendak membawaku pulang?" Buringan berontak. 
Murtiati menghentikan langkahnya.

"Luka-lukamu harus segera diobati, Kakang 
Buringan." Murtiati merasa lelah sekali. Mengetahui 
Buringan telah sadar, ia menurunkannya. Nampak se-
kali Buringan berdiri sempoyongan.
"Kau tidak perlu mengantar sampai rumah. 
Aku dapat berjalan sendiri. Kalau ayah tahu aku sam-
pai begini, kau akan menjadi sasaran kemarahannya." 
Suara Buringan terengah-engah. Murtiati berpikir se-
jenak.
Apa yang diucapkan Buringan memang benar. 
Pada situasi gawat seperti ini tidak mungkin seorang 
dari aliran sesat menyatroni markas orang-orang go-
longan lurus. Bagaimana pun tidak ada tempat bagi 
orang-orang aliran sesat. Untuk itu Murtiati menyada-
rinya.
Sekalipun merasa keberatan, Murtiati harus ju-
ga meninggalkan Buringan berjalan sendiri. Langkah-
langkah Buringan gontai membuat Murtiati makin iba. 
Gadis itu baru melangkah cepat setelah Buringan be-
nar-benar hilang dari pandangan matanya.
Panas terik matahari begitu menyilaukan mata. 
Buringan terus melangkah meski dirasakan pandan-
gannya berputar. Dari kejauhan nampak pula seorang 
penjaga berdiri di pintu gerbang rumahnya. Empat 
orang itu segera berlari mendekat saat didapati Burin-
gan berguling ke tanah.
Ketika Buringan membuka matanya, tubuhnya 
serasa lemas tak bertulang. Ia nampak terbaring pada 
sebuah tempat tidur di kamarnya. Seluruh luka-
lukanya telah dibalut. Ia memandang sekeliling ka-
marnya telah banyak orang berkumpul. Kedua orang 
tua Buringan duduk di sisi kanan dan kiri. Ni Tambun 
Tambak sudah dua hari merasa cemas. Dan baru hari 
ini anaknya sadar dari pingsannya.
"Siapa yang melakukan ini semua Buringan?

Siapa?" tanya Ni Tambun Tambak. Buringan seperti 
membuka mulut tapi suaranya tidak keluar.
"Katakan, Buringan. Biar aku yang akan mem-
buat perhitungan dengan si manusia durjana itu." Ni 
Tambun Tambak tidak sabaran. Apalagi Buringan 
memuntahkan darah. Giri Paksi, ayahnya cepat men-
gangkat setengah bangun tubuh Buringan.
"Sabar, Ni.... Anak kita masih dalam keadaan 
terluka. Aku pun tidak akan tinggal diam kalau sudah 
kuketahui siapa yang berbuat keji seperti ini." sergah 
Giri Paksi. Ni Tambun Tambak, istrinya langsung di-
am. Lalu ia memberi perintah agar semua orang yang 
berada dalam ruangan itu keluar. Kecuali Tanjung Lo-
daya dan Rambi Somat.
Kedua pemuda yang tetap berdiri di dekat me-
reka adalah adik kandung Buringan. Mereka pun telah 
menaruh dendam terhadap orang yang menganiaya 
kakaknya, Buringan.
"Sudah pasti ini perbuatan orang-orang aliran 
sesat macam Sengkala Getih. Biar sekarang aku me-
nyatroni mereka untuk membuat perhitungan dengan 
mereka!" Tanjung Lodaya mengumbar amarah. Ia tidak 
tahan melihat Buringan penuh balutan di tubuhnya.
"Kau pun harus tenang, Tanjung Lodaya. Di 
Batang Karang terlalu banyak orang-orang yang berpi-
hak pada aliran sesat. Kita tidak bisa menuduh see-
naknya." Giri Paksi menenangkan amarah anaknya.
"Tidakkah ayah melihat keadaan kakang Burin-
gan? Kalau menunggu Kakang Buringan bicara, sudah 
pasti keparat itu buru-buru cuci tangan." Rambi So-
mat mendukung pendapat Tanjung Lodaya.
"Dia sudah siuman. Sebentar lagi Buringan 
akan mengatakannya pada kita. Untuk itu kalian ha-
rus bersabar. Juga tidak perlu khawatir. Buringan 
hanya mengalami luka-luka biasa. Hanya saja ia telah

kehabisan darah. Jadi biarkan saja dia istirahat untuk 
sementara. Aku berharap kalian tidak menggang-
gunya." Giri Paksi berkata sabar. Namun dalam ha-
tinya, ia begitu luluh melihat anaknya terbaring penuh 
luka.
Tanpa bicara lagi, Tanjung Lodaya dan Rambi 
Somat meninggalkan ruangan itu. Tinggallah Ni Tam-
bun Tambak bersama Giri Paksi mendampingi Burin-
gan. Pemuda penuh luka itu sudah membuka ma-
tanya. Ia memandangi kedua orang tuanya yang duduk 
di sisi kanan dan kiri.
"Apa sebenarnya yang terjadi denganmu Burin-
gan. Rupamu ini sudah tidak karuan lagi." sapa Giri 
Loka. Ni Tambun Tambak tersenyum menghibur.
"Kalau ada kesulitan ayah ibumu tidak akan 
tinggal diam. Siapa yang akan merasa tenang melihat 
anaknya sampai babak belur begini, Buringan." Ni 
Tambun Tambak menuang air hangat ke dalam gelas. 
Lalu ia menyodorkan pada Buringan yang sudah du-
duk bersandar pada dinding.
"Bagaimana keadaanmu? Sudah membaik bu-
kan?" Giri Paksi memperhatikan wajah Buringan yang 
pucat mengangguk perlahan.
"Aku pikir kau tidak akan merasa senang dipe-
cundangi seperti ini. Begitu hebatkah dia sehingga 
mampu melukaimu? Siapa dirinya gerangan?" Perta-
nyaan Giri Paksi bagaikan serentetan peluru yang 
menghunjam di jantung Buringan.
Sukar rasanya untuk mengatakan apa sebe-
narnya yang terjadi. Bagaimana pun Buringan merasa 
berat untuk mengatakan. Semua itu lantaran perasaan 
cintanya terlalu besar terhadap Murtiati. Sekarang ia 
tidak tahu mesti bilang apa di hadapan orang tuanya.
Sudah tentu Ni Tambun Tambak dan Giri Paksi 
terus menuntut dengan pertanyaan-pertanyaan yang

tidak dikehendakinya. Ada rasa penyesalan kenapa ia 
tidak melawan saat Mandra Loka mendera dengan se-
rangan-serangan yang mematikan. Padahal kalau Bu-
ringan mau melayaninya, Mandra Loka bukanlah apa-
apa dibanding Buringan.
"Aku tahu benar watakmu, Buringan. Kau me-
mang anakku yang selalu menjadi nomor satu. Aku 
tahu pula kalau kau mempunyai rencana untuk mem-
buat perhitungan sendiri. Bukankah begitu? Tapi 
alangkah baiknya kalau kau sebutkan siapa orang he-
bat itu?" Pertanyaan Giri Paksi sangat halus.
"Kalau ayah sudah tahu watak ku, kenapa ma-
sih terus bertanya? Tunggulah sampai aku sembuh be-
tul, akan kuseret keparat itu ke hadapan ayah." Burin-
gan tersenyum. Di wajahnya tidak nampak rasa sakit 
sedikit pun. Giri Paksi pun tidak bisa memaksa lagi. 
Mendengar ucapan Buringan saja ia sudah merasa se-
nang. Itu berarti Buringan akan sembuh total dalam 
waktu yang sangat singkat.
"Kau sudah berjanji padaku, Buringan. Kau ha-
rus menepatinya."
***
Kedatangan seorang tamu seperti Ki Tapak Kli-
won, tidak putus-putusnya Sengkala Getih menyam-
but. Selama dua hari penuh kediaman Sengkala Getih 
tidak ubahnya seperti rumah pesta. Penyambutan be-
sar-besaran Sengkala Getih semata-mata untuk me-
nyenangkan Ki Tapak Kliwon.
Saat itu pun Ki Tapak Kliwon bersama belasan 
anak buahnya tertawa tergelak-gelak. Mereka tengah 
meminum tuak sepuas-puasnya. Perempuan-
perempuan cantik mendampingi setiap orang. Untuk 
Ki Tapak Kliwon seorang wanita penghibur tidak cukup untuk melayani. Dengan duduk beralaskan banta-
lan empuk ia didampingi dengan tiga orang wanita 
cantik.
Ruangan itu cukup besar. Dapat menampung 
tiga puluh orang lebih. Mandra Loka dan Murtiati du-
duk bersila mendampingi Sengkala Getih. Sejak dua 
hari ini pula ke
dua putranya itu nampak aneh. Mandra Loka 
selalu bersikap dingin terhadap Murtiati. Apalagi Mur-
tiati sendiri. Rasanya tidak mau berpaling barang se-
menit menatap Mandra Loka.
Hanya saja Sengkala Getih tidak menyadari ka-
lau di antara mereka ada sedikit perselisihan. Apalagi 
Sengkala Getih sekarang telah mabuk tuak. Mana ia 
perhatikan dua anaknya yang duduk mendampingi. 
Melihat situasi itu Murtiati merasa amat muak. Ingin 
rasanya ia cepat-cepat keluar dari ruangan itu.
"Ha-ha-ha-ha-ha...! Kedatangan Ki Tapak Kli-
won dan bermaksud menetap di sini memang kami 
mengharapkan sekali. Dengan adanya tokoh maha 
sakti maka gabungan seluruh partai aliran sesat akan 
bertambah kuat. Aku yakin kita bisa menguasai Rimba 
Persilatan. Bukankah begitu, Ki Tapak Kliwon?" Suara 
Sengkala Getih menggelegak bercampur tawa. Ki Tapak 
Kliwon ikut tertawa tangannya mengibas seperti men-
gelakan pujian itu.
"Sudah berapa kali kau katakan ucapan yang 
itu-itu juga, Sengkala Getih? Rasanya aku hampir bo-
san mendengar pujian mu!" sela Ki Tapak Kliwon, saat 
ia bicara rambut serta janggutnya yang putih bergerak-
gerak.
"Bagi orang jago seperti anda memang perlu 
mendapat pujian. Di hadapanku kau tidak perlu me-
rendah segala, Ki Tapak Kliwon. Ha-ha-ha-ha...." tawa 
Sengkala Getih makin jadi. Mendengar Ki Tapak Kliwon orang sakti, ketiga perempuan yang mendampin-
ginya makin genit cekikikan.
"Bagaimana pendapatmu, Mandra Loka? Ten-
tunya sebagai tuan rumah kau pun merasa gembira 
dengan jago tua ini." kata Sengkala Getih. Ia menoleh 
ke samping kiri. Mandra Loka segera menjawab.
"Semua yang dikatakan ayah memang benar. 
Kita-kita memang kurang dukungan dari tokoh-tokoh 
sakti. Tapi setelah adanya Ki Tapak Kliwon di sini, aku 
sudah menjamin aliran sesat akan bertambah teguh. 
Namun dalam hal ini pula aku masih merasa sangsi. 
Karena aku khawatir kalau-kalau masih ada seorang 
pengkhianat di antara kita."
Ucapan Mandra Loka bagaikan petir yang me-
nyambar di muka Murtiati. Seketika itu juga wajahnya 
memerah. Sudah tentu ucapan itu ditujukan padanya. 
Secepat itu pula Murtiati menguasai diri. Maka ia pun 
mengeluarkan pendapat.
"Mana mungkin di antara kita ada terselip seo-
rang pengkhianat? Mungkin kalau seorang pengecut 
pasti ada." tukasnya mantap. Mandra Loka hanya 
nyengir, cepat pula ia menjawab sindiran itu.
"Terhadap orang-orang aliran lurus yang ba-
nyak tingkah, apakah kita tetap membiarkannya?" Ka-
ta-kata itu sengaja diarahkan pada laki-laki tua be-
rambut putih. Ki Tapak Kliwon sendiri justru tidak 
mengerti.
"Di antara kita tidak ada satu orang pun yang 
merasa dirinya pengecut. Kalaupun ada pasti Ki Tapak 
Kliwon yang akan menjatuhkan hukuman mati." sam-
bung Mandra Loka. Sengkala Getih menatap heran.
"Kalau begitu kaulah yang pantas menerima 
hukuman itu! Karena kaulah orangnya yang pengecut 
itu!" bentak Murtiati. Ia bergegas bangkit. Menatap ga-
rang terhadap Mandra Loka.

"Ngawur. Justru kau penghianatnya!" Mandra 
Loka balas membentak. Keduanya sudah siap bangkit, 
tapi....
"Diam!" Sengkala Getih menghardik Mandra 
Loka dan Murtiati diam saling tatap. Memamerkan 
kemarahan.
"Kenapa kalian jadi bertengkar! Kalian bukan 
pengkhianat atau pun pengecut! Kalian berada di pi-
hak yang sama! Kalau hanya mengacaukan pertemuan 
ini kalian di luar saja!" Sengkala Getih jadi naik darah. 
"Ha-ha-ha-ha-ha.... Kedua anakmu memang sungguh 
luar biasa, Sengkala Getih. Belum apa-apa sudah me-
rasa khawatir akan adanya 'duri' dalam kelompok kita. 
Pertengkarannya sudah seharusnya menjadi panutan 
kita. Aku cukup menghargai kekhawatiran mereka." Ki 
Tapak Kliwon berkata dingin. Sengkala Getih menghela 
nafas.
"Aku sendiri pun tidak mengerti apa yang me-
reka ributkan. Ah! Sudah lupakan saja pertengkaran 
ini, mari diminum lagi araknya, Ki...." Sengkala Getih 
menyulangi tuak ke dalam, gelas. Ki Tapak Kliwon 
manggut-manggut. Saat itu Murtiati bangkit lagi. Tan-
pa bicara apa-apa ia bergegas meninggalkan ruangan 
itu. Sengkala Getih bermaksud menahan. Tapi Ki Ta-
pak Kliwon malah menahan maksud Sengkala Getih 
agar membiarkan Murtiati pergi.
"Biarkan dia menenangkan pikirannya, Sengka-
la Getih. Tiap-tiap perdebatan terkadang mengumbar 
emosi. Justru aku salut akan perangai anak perem-
puanmu itu. Sikapnya tidak pernah pandang bulu."
*
* *

LIMA

Langkah-langkah Murtiati cepat. Pandangannya 
terus ke depan mengarah pada ujung jalan berbatu. 
Genangan-genangan air bekas gerimis semalam masih 
nampak. Terkadang pula kakinya dibiarkan melalui 
genangan air itu.
Udara masih terasa sejuk. Murtiati merasakan 
kelembutan angin yang menghembus di tubuhnya. 
Rambut serta bajunya berderai-derai diterpa angin. 
Langkahnya makin cepat menyusuri jalan. Dalam pada 
itu ia sempat melihat seseorang berjalan ke arah yang 
berlawanan.
Sebentar ia mengernyitkan alis, maka nampak 
jelas orang itu adalah seorang pemuda yang pernah 
menolongnya tempo hari. Yah! Pemuda itu tidak lain si 
Pendekar Kelana Sakti, Wintara. Ketika mereka berpa-
pasan, Murtiati sengaja menundukkan muka. Ia kha-
watir kalau Wintara masih mengenalinya.
Namun baru saja beberapa langkah mereka 
berlalu. Wintara segera menghentikan langkahnya dan 
kembali menyusul Murtiati yang berjalan terburu-
buru.
"Nona.... Tunggu dulu," Wintara berusaha 
mempercepat langkahnya. Maka sebentar saja ia su-
dah beriringan dengan Murtiati.
"Bukankah nona yang membawa seorang pe-
muda penuh luka pada beberapa hari yang lalu...? Ku-
rasa aku tidak salah lihat." sapa Wintara nyerocos. 
Murtiati tidak perduli.
"Bagaimana keadaannya sekarang?" Wintara te-
rus mengiringi. Murtiati menghentikan langkahnya, 
sebentar kemudian ia menatap Wintara. Lalu ia me-
langkah lagi.

"Terima kasih atas pertolonganmu tempo hari. 
Waktu itu aku sangat terburu-buru, sehingga lupa un-
tuk mengucapkan rasa terima kasih. Kakang Buringan 
tidak apa-apa. Sekali lagi kuucapkan terima kasih pa-
da mu." Suara Murtiati polos. Lalu melanjutkan lang-
kahnya. Wintara tetap berdiri menatap kepergian gadis 
itu. Ketika Wintara berniat membuntuti. Murtiati 
membentak.
"Kita sudah tidak punya urusan lagi, Sobat. Ti-
dak perlu menguntit ku..." Wintara mengangkat bahu.
"Apa perlunya aku membuntuti mu? Kalau tadi 
aku berbicara padanya, itu hanya sekedar basa basi," 
pikir Wintara. Maka Wintara pun melengos melan-
jutkan perjalanannya.
Langkah Murtiati yang selalu cepat membuat ia 
lekas sampai pada tujuannya. Ditatapnya sebuah ban-
gunan besar dikelilingi pagar setinggi tiga meter. Pada 
pintu gerbang tergantung sebuah papan nama bertu-
liskan 'Perguruan Tapak Angin'. Di pintu itu pula ber-
diri empat orang penjaga. Semuanya berseragam putih 
dengan masing-masing pedang terselip di pinggang 
mereka.
Tanpa ragu-ragu Murtiati melangkah ke sana. 
Empat orang penjaga pintu gerbang sudah melihat ke-
datangan seorang gadis. Mereka kenal betul siapa Mur-
tiati itu. Makanya setelah tahu Murtiati akan masuk ke 
dalam Perguruan Tapak Angin, mereka langsung 
menghalangi.
"Maaf, Nona. Perguruan ini melarang masuk se-
tiap orang-orang dari aliran sesat. Sebelum kami ber-
tindak sebaiknya nona menyingkir saja dari sini."
"Benar, Nona. Apa pun maksud tujuan mu, se-
baiknya urungkan saja niatmu. Saat ini ketua Giri 
Paksi tidak ingin diganggu!"
"Tapi sekarang aku harus bertemu dengan ke

tua kalian." jawab Murtiati cepat. Keempat orang pen-
jaga pintu gerbang mengurung gadis itu makin rapat.
"Berani masuk itu berarti sama juga mengan-
tarkan nyawa. Kami berempat masih memandang mu-
ka terhadap Sengkala Getih. Kalau saja kau bukan 
anaknya. Mungkin tubuhmu yang molek itu sudah 
menjadi kutungan- kutungan daging."
Murtiati menatap keempat orang itu bergan-
tian. Ia melangkah mundur. Namun di luar dugaan, 
Murtiati menghentakkan kedua kakinya. Maka tubuh-
nya yang ramping itu melesat ke atas berjumpalitan di 
udara. Hanya dengan beberapa kali ia berjumpalitan 
Murtiati dapat melompati pagar yang setinggi tiga me-
ter itu. Lalu tanpa bersuara hinggap di atas pekaran-
gan bangunan.
Kemunculan Murtiati yang mendadak menge-
jutkan orang-orang yang berada di situ. Apalagi keem-
pat orang penjaga pintu gerbang itu berlari mengejar. 
Sudah pasti yang lain berdatangan mengurung Murtia-
ti. Merasa dipagar betis Murtiati tak berkutik.
"Saudara-saudara dari Perguruan Tapak Angin. 
Harap memberi jalan agar aku bisa berhadapan den-
gan Paman Giri Paksi." hormat Murtiati. Ia meman-
dang berkeliling pada orang-orang yang mengurungnya
"Siapa yang tidak tahu dengan akal licik ketu-
runan Sengkala Getih. Sudah pasti kedatanganmu ke 
mari ini untuk merecoki urusan kami. Lagi pula siapa 
yang tidak kenal dengan tokoh setan perempuan yang 
bengis seperti kau?" Tanjung Lodaya mulai menghu-
nuskan pedang.
"Saudara Tanjung Lodaya, maksud kedatan-
ganku..."
"Tak perlu bicara panjang lebar, Perempuan se-
tan. Kau sudah lancang berani masuk ke sini. Ten-
tunya harus berani pula menanggung resiko." Rambi

Somat tidak memiliki senjata. Tapi justru ia nampak 
lebih beringas. Melihat dua majikannya itu murka. Be-
lasan orang pengikutnya ikut mencabut senjata. Mur-
tiati diam mengawasi gerak gerik mereka. Orang-orang 
Tapak Angin sudah tidak dapat diajak kompromi lagi.
Tanpa bereaksi Murtiati membiarkan orang-
orang itu mulai menyerang. Gadis itu tetap tenang 
meski babatan-babatan pedang berseliweran di sekitar 
tubuhnya. Mendadak....
"Hentikan....!" Orang-orang itu menghentikan 
serangan. Mereka sudah mengenali suara itu. Maka 
dengan serempak mereka mundur kembali.
"Biarkan gadis itu menemuiku." Suara Giri 
Paksi lantang. Ia berdiri berdampingan dengan Ni 
Tambun Tambak di tengah pintu gedung. Dengan sen-
dirinya orang-orang yang mengepung Murtiati memberi 
jalan. Gadis itu pun melangkah ke arah Giri Paksi. Da-
lam jarak dua meter ia memberi hormat.
"Maafkan atas kelancanganku ini, Paman Giri 
Paksi. Kedatanganku ini memang ingin menghadap 
paman. Untuk membicarakan persoalan Kakang Bu-
ringan." kata Murtiati menunduk.
Giri Paksi maupun Ni Tambun Tambak me-
mandang tajam Murtiati. Dalam hal ini Murtiati cukup 
berani mengatakan persoalan Buringan di hadapan Gi-
ri Paksi. Sikap ini pula membuat Giri Paksi tidak habis 
pikir.
"Silahkan masuk, Cah Ayu. Tidak baik bicara di 
luar." Giri Paksi mempersilahkan Murtiati. Sebelah 
lengannya memberi jalan. Maka Murtiati melangkah 
masuk.
"Apa yang kau ketahui mengenai Buringan 
sampai terluka parah? Adakah selentingan dengan 
siapa dia berurusan?" Ni Tambun Tambak langsung 
bertanya.

"Bibi.... Sebaiknya aku bicara dengan Kakang 
Buringan." jawab Murtiati. Ni Tambun Tambak dan Gi-
ri Paksi saling pandang.
Buringan memang ada di kamarnya. Pantaskah 
seorang anak aliran sesat menemui Buringan? Apalagi 
Murtiati seorang gadis.
"Paman.... Bibi.... Aku perlu melihat keadaan 
Kakang Buringan." Permintaan Murtiati agak memak-
sa. Kalau saja Murtiati bukan anak si Sengkala Getih, 
tentu saja Giri Paksi sudah mengijinkannya.
"Kalau paman tidak mengijinkannya tak akan 
kukatakan dengan siapa Kakang Buringan berurusan."
Giri Paksi merasa terdesak. Ni Tambun Tambak 
memberi kerlingan mata sebagai aba-aba. Lalu....
"Kenapa tidak boleh? Mari, Cah Ayu... Buringan 
masih terbaring di kamarnya!" Giri Paksi mengantar-
kan Murtiati sampai ke pintu kamar. Pintunya sudah 
terbuka sejak tadi maka Murtiati langsung masuk. Su-
dah tentu Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak mengiku-
tinya dari belakang. Selain ingin mendengar apa yang 
diucapkan Murtiati, mereka juga khawatir kalau-kalau 
gadis itu akan berbuat nekad menyakiti Buringan. Ti-
dak heran kalau mereka mengawasi terus langkah-
langkah Murtiati masuk menemui Buringan. Pemuda 
yang terbaring di pembaringan langsung bangkit saat 
melihat seorang gadis bersama kedua orang tuanya 
menjenguk.
"Murtiati.... Astaga!" Buringan tidak menyang-
ka. Gadis itu langsung duduk di samping Buringan. 
Dua pasangan tua ini tadi bingung melihat sikap 
anaknya begitu akrab.
"Kakang Buringan. Kenapa bersikap bodoh! Ke-
napa kau tidak mengatakan siapa yang melakukan ini 
pada paman atau bibi?" Murtiati seperti jengkel. Bu-
ringan tenang mengumbar senyum.

"Justru kau yang bertindak bodoh, Murtiati. 
Mereka tidak memusingkan lagi persoalan itu. Dengan 
kehadiranmu ke sini maka mereka malah jadi tahu." 
jawab Buringan.
"Jadi selama ini kau merahasiakannya?" ujar 
Giri Paksi.
"Sudah lama kami berhubungan, Ayah. Itu pun 
tanpa sepengetahuan Sengkala Getih."
"Ya-ya.... Sekarang kartu mu sudah terbongkar, 
lalu siapa yang menganiaya dirimu itu. Pastilah dia 
orang hebat. Apakah kalian bertengkar karena berebut 
Murtiati?" sergah Ni Tambun Tambak.
"Sama sekali bukan, Bibi.... Orang itu... orang 
itu...." Murtiati jadi serba salah. Tapi akhirnya....
"Kakang Buringan sendiri yang bersikap bodoh. 
Dia membiarkan dirinya habis-habisan dihajar Kakang 
Mandra Loka." Tukas Murtiati.
"Ha-ha-ha-ha-ha.... Pantas kau bertahan mera-
hasiakannya. Ternyata kau masih memiliki rasa malu. 
Makanya kalau pacar jangan sembunyi-sembunyi. Ti-
dak heran kalau calon kakak iparmu murka." tawa 
Tambun Tambak tergelak-gelak. Wajah Murtiati me-
merah.
"Kenapa tidak kau katakan dari dulu Buringan. 
Kalau tahu kau punya hubung dengan Cah Ayu Mur-
tiati aku tidak keberatan. Biar nanti urusan ini ayah 
yang akan menghadap pada Sengkala Getih." Giri Pak-
si ikut mendukung.
"Sekarang tidak perlu lagi, Paman. Maksud ke-
datanganku ini selain meminta maaf atas perbuatan 
Kakang Mandra Loka juga untuk memutuskan hubun-
gan kami." Murtiati tertunduk.
Semuanya diam. Mereka ingin mendengar per-
kataan Murtiati lebih lanjut.
"Tidak mungkin ayahku mau menerima lama

ran paman. Lagi pula kita berada pada jalan yang ber-
beda. Aku harus berada di pihak ayahku."
"Kau terlalu berperasaan, Cah Ayu! Tidak kau 
sadarikah kalau selama ini Sengkala Getih beserta 
orang-orangnya terjerumus pada jalan yang penuh re-
siko? Biarlah aku yang akan membujuk ayahmu agar
bergabung dengan kami."
Tanpa sepengetahuan mereka. Tanjung Lodaya 
dan Rambi Somat mencuri dengar pembicaraan mere-
ka dari balik pintu. Setelah mendengar pembicaraan 
itu keduanya cepat bergegas entah ke mana.
"Kuharap paman serta bibi mau merubah pen-
dirian. Ayah serta para pengikutnya bukan manusia 
yang mudah diajak damai. Permisi."
"Cah Ayu kau sangat cocok menjadi menantu-
ku." tukas Ni Tambun Tambak. Ia membuntuti Murtia-
ti melangkah ke luar.
"Kalau sempat, kau boleh datang lagi ke mari." 
katanya lagi sebagai ucapan selamat tinggal. Dengan 
pandangan lurus Murtiati melangkah meninggalkan 
Perguruan Tapak Angin.
Giri Paksi berdiri di samping Ni Tambun Tam-
bak ikut menatap kepergian Murtiati.
"Perempuan seperti itu yang ku dambakan. 
menjadi menantuku. Sikap satrianya yang membuat 
aku tertarik. gumam Giri Paksi.
"Tidak kau pikirkan kalau Murtiati anak Seng-
kala Getih?"
"Ah, aku tidak perduli! Bagaimana dengan 
kau?"
"Sama! Aku pikir Buringan memang cocok den-
gannya."
Lalu kedua pasangan tua itu kembali masuk. 
Orang-orang yang berada di pelataran bangunan me-
natap heran. Beberapa hari ini kedua majikan mereka
memang selalu nampak murung, tapi pada hari ini...?
*
* *
ENAM


Buntut dari persoalan babak belurnya Buri-
ngan ternyata menjadi panjang. Karena Tanjung Lo-
daya dan Rambi Somat yang telah mendengar penutu-
ran dari Murtiati itu, tidak tinggal diam. Tanpa sepen-
getahuan Giri Paksi, kedua pemuda itu berani menda-
tangi tempat Sengkala Getih. Mereka sudah bertekad 
akan membalas perlakuan Mandra Loka terhadap Bu-
ringan.
Maka setelah berada di depan markas Sengkala 
Getih, keduanya langsung berteriak-teriak menantang.
"Sengkala Getih! Suruh ke luar Mandra Loka 
untuk menghadapi kami!" Rambi Somat mengacung-
kan tinjunya. Mereka berteriak-teriak terus. Namun ti-
dak ada jawaban dari Sengkala Getih.
"Apakah Mandra Loka hanya seorang pengecut? 
Suruh dia ke luar!" bentak Tanjung Lodaya, sejak tadi 
pedangnya telah terhunus.
Mendengar suara teriak-teriak itu beberapa 
pengikut Sengkala Getih menghambur ke luar. Mereka 
dipimpin oleh Mandra Loka. Setelah mereka berhada-
pan, Mandra Loka mencibir.
"Cari penyakit. Berani-beraninya pentang bacot 
di sini. Apakah kalian sudah san hidup?" tukas Man-
dra Loka.
"Kalau takut mati buat apa kami datang ke sini! 
Mari Mandra Loka, tunjukkan pada kami sampai di 
mana kehebatanmu sampai bisa mempecundangi Bu

ringan!" sergah Rambi Somat.
"Oh! Kalian hendak menuntut balas rupanya. 
Boleh." Mandra Loka langsung pentang jurus. Para 
pengikutnya langsung mengurung. Tapi justru para 
pengikutnya yang menerjang lebih dulu.
Maka pertarungan tak dapat dielakkan lagi. 
Tanjung Lodaya yang sudah tidak sabaran langsung 
membabatkan pedangnya. "Breeet...!"
Hampir saja sambaran pedangnya merobek pe-
rut beberapa penyerang. Rambi Somat yang sudah ter-
lanjur emosi menghindari serangan-serangan itu. Tu-
buhnya terus melintir ke arah Mandra Loka. Ia sengaja
memilih lawannya sendiri.
Mandra Loka yang kedatangan serangan dari 
Rambi Somat secara mendadak langsung berjingkat 
mundur. Dua hantaman yang berturut-turut nyaris 
memecahkan kepalanya. Untunglah Mandra Loka ce-
pat menunduk. Namun Mandra Loka masih sempat 
membalas serangan itu dengan sodokan kaki kirinya. 
"Des...!"
Rambi Somat menangkis dengan sebelah tan-
gan.
Dari arah belakang datang tiga orang membo-
kong. Secepat kilat Rambi Somat berbalik melancarkan 
tendangan memutar, maka...
"Des...! Des...! Des...!" Ketiga penyerang gelap 
itu bergelimpangann. Melihat itu pun Mandra Loka 
menerjang gencar. Namun Rambi Somat tidak kalah 
gesit menyambut.
Saat itu pun Tanjung Lodaya tidak kalah si-
buknya. Pedangnya berkelebat terus mencari sasaran. 
Hampir tidak ada yang berani maju menyerang. Karena 
mereka tahu kehebatan ilmu pedang Tanjung Lodaya 
tidak boleh dianggap main-main. Dan lagi sudah bebe-
rapa orang yang menggeletak bersimbah darah tanpa

nyawa. Pemandangan seperti itu pula yang membuat 
nyali para pengikut Mandra Loka jadi ciut.
Seleret sinar putih berkelebat cepat. Kali ini ba-
batan pedangnya bergerak dengan disertai terjangan 
yang sangat cepat. Maka dalam gerakan yang seperti 
kilat itu, dua orang langsung kelojotan dengan kepala 
masing-masing hampir putus.
Mengetahui para pengikut Mandra Loka makin 
berkurang, Rambi Somat makin bersemangat meng-
gempur Mandra Loka. Meskipun sekali-sekali berda-
tangan beberapa penyerang lagi yang merecoki perta-
rungan, Rambi Somat selalu dapat mengatasi. Hanya 
dengan memutar kuat-kuat kedua tangannya mereka 
sudah berpentalan.
Apalagi setelah Tanjung Lodaya datang mem-
bantu. Rambi Somat tidak perlu repot-repot lagi me-
lancarkan serangan. Dengan adanya Tanjung Lodaya 
semua para penyerang yang berjumlah enam orang itu 
dapat ditumpas habis. Tinggallah Mandra Loka meng-
hadapi kakak beradik itu.
Namun demikian Mandra Loka tidak gentar se-
dikit pun. Ia masih dapat menghindari babatan pedang 
Tanjung Lodaya maupun hantaman-hantaman yang 
mematikan dari Rambi Somat.
Dalam hal ini pun Mandra Loka bukan orang 
yang tergolong rendah ilmu. Terbukti ia bisa berkelit 
menghadapi serangan-serangan yang maut sekalipun. 
Boleh dikatakan Mandra Loka bisa mengimbangi 
meskipun ia dikeroyok dua orang.
Tapi segesit-gesitnya orang berilmu. Kelenga-
han selalu ada. Saat Mandra Loka dapat menghantam 
Rambi Somat. Tanjung Lodaya membabatkan pedang-
nya kuat-kuat.
"Breeet...!"
Mandra Loka tidak dapat menghindarinya. Karuan saja ia memekik. Punggungnya mengucurkan da-
rah. Saat ia berbalik untuk membalas. Rambi Somat 
sudah bangkit melancarkan serangan.
"Desss...!"
Mandra Loka terbanting keras di tanah. Tu-
buhnya kelojotan. Kepalanya terasa hampir pecah.
Maka dalam keadaan bergelintingan itu. Tan-
jung Lodaya tidak menyia-nyiakan kesempatan. Den-
gan terjangan yang sangat keras ia melesat mengarah-
kan pedangnya pada Mandra Loka. Tapi... "Trang...!"
Pedangnya serasa bergetar, dan tubuh Tanjung 
Lodaya sendiri jatuh terhuyung. Dilihatnya pedang itu 
telah kutung separuh. Tanjung Lodaya cepat bangkit. 
Mereka berdampingan dengan Rambi Somat. Kedua-
nya memandang ke depan.
Mereka menatap sekelompok orang berderet. 
Seorang kakek berambut putih berdiri dengan keris 
buntung terhunus di tangan. Sedangkan Sengkala Ge-
tih nampak membantu Mandra Loka bangkit. Rupanya 
saat Tanjung Lodaya mengarahkan pedangnya, Ki Ta-
pak Kliwon menggagalkan serangan itu. "Bagus kalian 
semua keluar untuk menyaksikan bagaimana hebat-
nya kemarahan kami. Biarkan Mandra Loka bertarung 
denganku, Sengkala Getih! Setan kurap ini telah 
menghina kami!" bentak Rambi Somat.
Ki Tapak Kliwon berjalan mengelilingi kakak be-
radik itu. Senyumnya melebar. "Aku yang tua keriput 
ini memang rada tidak tahu diri. 
ia tidak henti-hentinya menatap kedua pemuda 
itu dari ujung kaki sampai ujung rambut. Terhadap 
kakek berambut putih ini mereka perlu berhati-hati. 
Terlebih-lebih Rambi Somat. Ia tahu bagaimana tadi 
kakek berambut putih mematahkan pedang Tanjung
Lodaya.
"Apakah Mandra Loka hanya seorang pengecut.

Baru beberapa gebrakan saja sudah berlindung di ba-
lik tubuh sang ayah?" ejek Tanjung Lodaya. Mendengar 
ejekan itu, semua pengikut Sengkala Getih maupun 
anak buah Ki Tapak Kliwon berniat meringkus kakak 
beradik ini. Tapi sebelum mereka melakukan tindakan, 
Ki Tapak Kliwon mengangkat sebelah tangannya. Maka 
serempak mereka kembali mundur.
"Anak muda. Boleh saja kau menghadapi Man-
dra Loka. Tapi sebelumnya aku harus mengukur dulu 
sampai di mana kemampuanmu." kata Ki Tapak Kli-
won. Mendadak dua kakak beradik itu tersentak.
"Sungguh tak kusangka! Apakah kalian tidak 
punya orang andalan lagi untuk menguji kami? Masa-
kah orang tua keriput yang hampir mampus ini harus 
menghadapi kami?" Rambi Somat sengaja mengejek 
memancing kemarahan mereka. Ki Tapak Kliwon ter-
senyum.
"Aku yang tua keriput ini memang rada tidak 
tahu diri. Barangkali juga sudah bosan hidup. Marilah, 
Anak muda.... Kalian boleh maju dua-duanya sekali-
gus." jawab Ki Tapak Kliwon. Ia memasukkan keris 
buntungnya ke dalam sarung yang terselip di ping-
gangnya. Lalu berdiri bersikap menantang.
Tanpa buang waktu kedua kakak beradik ini 
langsung mengurung dari arah yang berlawanan. Tan-
jung Lodaya yang bersenjatakan pedang, melancarkan 
babatan pedang. Ia tidak menyadari kalau pedangnya 
itu tinggal separuh. Begitu juga dengan Rambi Somat. 
Ia tidak perduli meski orang yang dihadapinya telah 
tua keriput. Setiap hantamannya berkelebat tanpa 
ampun.
Di luar dugaan, Ki Tapak Kliwon dapat menge-
lak bagai angin. Setiap hantaman
maupun babatan pedang dapat dihindarinya 
sangat cepat. Tubuhnya dapat berpindah-pindah bagai

sebuah bayangan. Hal itu sangat sulit untuk Tanjung 
Lodaya maupun Rambi Somat melancarkan serangan. 
Menghadapi seorang kakek berilmu tinggi, kakak bera-
dik ini segera membuka jurus-jurus baru yang meru-
pakan andalan mereka. Nampaklah segulungan sinar 
putih bagai kitiran, telapak tangan Rambi Somat ber-
gemuruh saat bergerak.
Ki Tapak Kliwon mendadak tersentak ketika 
Rambi Somat melancarkan serangan. Angin pukulan 
itu begitu deras menerpa tubuhnya. Saat itu pula sele-
ret sinar putih bergerak bagai kilat menyambar. Ram-
but putih Ki Tapak Kliwon beberapa lembar beterban-
gan kena babatan pedang. Manakala serangan Rambi 
Somat terus mendera bertubi-tubi. Kewalahan juga Ki 
Tapak Kliwon menghadapi hantaman-hantaman itu. 
Maka tubuhnya yang seringan kapas itu langsung ber-
salto mundur ke belakang. Pada lentingan yang ketiga 
kakak berambut putih menarik keris dari pinggangnya. 
Ketika dia hinggap di tanah. Ki Tapak Kliwon telah 
bersiap-siap dengan keris buntung terhunus.
Sengkala Getih bersama orang-orang yang ma-
sih berada di situ menatap tegang.
Dua kakak beradik itu serempak menerjang. 
Namun Ki Tapak Kliwon segera memutar keris bun-
tungnya ke udara. Terdengarlah suara yang amat ber-
gemuruh. Entah datangnya dari mana tiba-tiba saja 
angin bergulung bagai badai.
Ketika Ki Tapak Kliwon mengarahkan keris 
buntungnya pada Rambi Somat, mendadak sebuah te-
naga dahsyat menghantam pemuda itu. Padahal keris 
buntung Ki Tapak Kliwon belum menyentuhnya. Begi-
tu juga ketika Ki Tapak Kliwon mengarahkan keris itu 
pada Tanjung Lodaya. Dua kakak beradik itu menga-
lami nasib yang sama. Keduanya bergulingan me-
nyemburkan darah. Tubuhnya terus berguling seperti

terdorong badai angin yang maha dahsyat.
Selama keris buntung masih dalam genggaman 
Ki Tapak Kliwon, suara gemuruh itu terus menderu-
deru. Badai angin makin besar manakala kakek be-
rambut putih itu memutarnya kuat-kuat. Semua orang 
yang berada di sekitar situ beterbangan bagai gumpa-
lan-gumpalan kapas yang tertiup angin. Kecuali Seng-
kala Getih. Hanya dia satu-satunya yang dapat berta-
han dan tetap berdiri teguh. Kedua lengannya kekar 
memegangi tubuh Mandra Loka yang hampir terbawa 
oleh tenaga dahsyat keris buntung.
Sedangkan tubuh Rambi Somat dan Tanjung 
Lodaya entah apa jadinya. Keduanya terbanting ke sa-
na ke mari. Darah terus menyembur dari kedua mulut 
mereka. Demi mempersingkat waktu, Ki Tapak Kliwon 
kembali menghantamkan kerisnya ke arah mereka, 
maka.... 
"Bledaaar...!"
Seluruh permukaan tanah yang terkena han-
taman itu hancur berantakan. Rambi Somat maupun 
Tanjung Lodaya tidak nampak lagi di situ. Mereka ikut 
sirna saat asap hitam mulai lenyap perlahan.
Ki Tapak Kliwon menggeram sengit. Ia yakin 
sekali kalau hantaman keris buntungnya itu diarah-
kan tepat pada kedua lawannya. Kenapa harus meleset 
mengenai permukaan tanah. Dan juga lenyapnya ka-
kak beradik itu bukan karena hancur terkena hanta-
man keris buntung. Tapi karena adanya orang ketiga 
yang berusaha menyelamatkannya. Dan juga Ki Tapak 
Kliwon merasa hantaman keris buntungnya seperti be-
radu dengan tenaga dalam lain.
Maka bagai setan jelalatan ia memandang ber-
keliling. Ia memandang jauh seseorang membawa lari 
tubuh Rambi Somat dan Tanjung Lodaya. Semua 
orang merasa kagum saat membledarnya suara hantaman itu. Apalagi dengan tiba-tiba tubuh kedua ka-
kak beradik lenyap seketika. Sengkala Getih mengira 
mereka berdua telah hancur lebur.
Setelah angin badai mereda mereka mulai ber-
datangan berkumpul. Semuanya merasa kagum akan 
kehebatan keris buntung.
"Seseorang telah menyelamatkan mereka. Seo-
rang berilmu tinggi yang mampu menahan hantaman 
keris buntung. Siapa dia kira-kira?" kata Ki Tapak Kli-
won geram. Sengkala Getih melongo.
"Bukankah mereka telah hancur lebur?" tanya 
Sengkala Getih terheran-heran. Yang lain melongo. 
Pantas saja mereka tidak tahu, karena saat seseorang 
datang menyelamatkan kakak beradik itu, mereka si-
buk menghindari diri dari badai angin yang begitu 
dahsyat.
"Mata kalian semua buta. Mana ada kepingan-
kepingan tubuh mereka di sini?" Ki Tapak Kliwon me-
nunjuk ke permukaan tanah yang berantakan. Asap 
hitam masih mengepul di situ. Mereka semua diam. 
Kecuali Sengkala Getih.
"Kalau pun ada yang menyelamatkan mereka, 
pastilah Giri Paksi orangnya."
***
"Semua ini gara-gara Murtiati, Ayah! Dia pe-
nyebab semua ini!" Mandra Loka menuding-nuding 
Murtiati. Diperlakukan begitu sudah tentu Murtiati ti-
dak merasa senang. Apalagi di hadapan orang banyak.
"Kau pantas menerima ganjaran dari orang-
orang Perguruan Tapak Angin, Kakang Mandra Loka. 
Karena kau sendiri yang memulainya!" balas Murtiati 
sengit. Mandra Loka bangkit dengan nafas yang mem-
buru. Luka di punggungnya telah dibalut. Nampak se

kali darah masih merembes dari balutan itu.
"Coba saja ayah bayangkan. Kita semua repot 
menghadapi semua partai aliran lurus, sempat-
sempatnya dia memadu kasih dengan salah satu mu-
suh kita. Apakah dibenarkan?" Mandra Loka mengha-
dap pada
Sengkala Getih. Murtiati tidak bisa menjawab. 
Saat itu juga Sengkala Getih menggertakkan giginya.
"Tidak kusangka duri dalam badan ternyata 
anakku sendiri! Hukuman mati pun pantas untukmu!" 
Sengkala Getih murka. Telapak tangannya melayang 
menampar. Sekali tamparan itu mendarat Murtiati ter-
pelanting.
"Kenapa harus menyakiti anak sendiri, Sengka-
la Getih. Urusan anak muda memang repot kalau kita 
sebagai orang tua tidak dapat mengurusnya." Suara Ki 
Tapak Kliwon menenangkan suasana. Senyumnya me-
lebar. Namun pandangan matanya menatap jijik terha-
dap Murtiati.
"Kesabaranku sudah habis!" Sengkala Getih
menerjang lagi. Murtiati sudah pasrah. Mungkin den-
gan sekali tendang ia bakal mati. Tapi cepat pula Ki 
Tapak Kliwon menghalangi.
"Sabar, Sengkala Getih. Beri dia kesempatan, 
kalau Murtiati adalah putri mu." Ki Tapak Kliwon 
membantu bangkit.
"Apa maksudmu, Ki...?" tanya Sengkala Getih.
"Orang-orang kita banyak yang menjadi korban, 
juga Mandra Loka nyaris tewas. Masakah kita hanya 
berpangku tangan saja? Bagaimana pun ini suatu 
penghinaan. Biarkan Murtiati menebus kesalahan-
kesalahannya."
Sengkala Getih diam merenungi ucap Ki Tapak 
Kliwon. Setelah ia menatap Mandra Loka, ia berpaling 
pada Murtiati.


"Pergilah bersama Mandra Loka ke Perguruan 
Tapak Angin, aku ingin tahu berapa banyak orang-
orang si Giri Paksi kau habiskan!" bicara Sengkala Ge-
tih datar. Mendengar perintah ayahnya, Mandra Loka 
langsung bangkit menyambar bajunya.
"Dalam hal ini, biarlah kutugaskan semua pen-
gikut ku ikut membantu. Aku kurang yakin dengan 
semua anak buahmu, Sengkala Getih" Ucapan Ki Ta-
pak Kliwon cukup nyelekit. Tapi Sengkala Getih tetap 
tidak menyahut. Bukan lantaran takut. Tapi karena Ki 
Tapak Kliwon sesepuh dari seluruh partai aliran sesat. 
Itulah sebabnya Sengkala Getih tidak bisa mengelak 
perintah Ki Tapak Kliwon.
***
Darah dalam dada Ni Tambun Tambak bergejo-
lak. Telinganya panas mendengar dua orang putranya 
mengerang-ngerang kejang. Rambi Somat dan Tanjung 
Lodaya
tidak henti-hentinya menyemburkan darah. Ti-
dak ada bekas-bekas luka di tubuh mereka. Itu ber-
tanda mereka menderita luka dalam.
Giri Paksi sendiri tidak mengerti dengan keja-
dian ini. Tapi ia cukup tenang melihat seorang pemuda 
duduk bersila di antara Rambi Somat dan Tanjung Lo-
daya. Pemuda itu sibuk menotoki setiap aliran darah. 
Maka dua kakak beradik itu dapat tenang.
Rasa sakit mereka sedikit berkurang meskipun 
nafas mereka belum teratur. Namun akibat totokan 
pemuda yang menyelamatkannya, dua kakak beradik 
itu seperti kaku tak dapat bergerak. Hal itu sengaja di 
lakukan agar luka-luka dalam tersebut tidak menjalar 
ke seluruh tubuh.
"Sengkala Getih.... Seng-Sengkala.... Get-Get

Getih...." Rambi Somat mulai bicara.
"Anak muda, apa sebenarnya yang terjadi den-
gan dua putra ku ini. Benarkah ini perbuatan Sengka-
la Getih?" Pertanyaan Giri Paksi ditujukan pada pemu-
da yang masih duduk bersila.
"Aku Wintara, Paman. Aku hanya kebetulan le-
wat saat pertarungan itu terjadi. Soal siapa yang mela-
kukannya aku tidak tahu. Yang kukenal hanyalah seo-
rang tua berambut putih bersenjata keris buntung." 
jawab Wintara yang tidak lain si Pendekar Kelana Sak-
ti.
"Keris buntung...?" Giri Paksi dan Tambun 
Tambak hampir berucap bareng. Saat itu Buringan ke-
luar dari kamarnya.
"Dia pula yang menyelamatkan aku, Ayah." ujar 
Buringan. Wintara menoleh arah suara. Ia menatap 
Buringan melangkah mendekat. Luka-luka di tubuh-
nya sudah tidak nampak.
"Ah, kau rupanya, Kebetulan sekali," sahut 
Wintara.
"Menurut perkiraan ku, Adi Rambi Somat dan 
Tanjung Lodaya bermaksud menuntut balas terhadap 
Mandra Loka. Bukankah begitu...?" Buringan langsung 
mendekati dua adiknya yang tergeletak lemas.
"Siapa yang akan berpangku tangan melihat 
Kakang Buringan dihina orang. Terhadap orang-orang 
Sengkala Getih tidak perlu memberi hati. Mereka me-
mang pantas dilumatkan." jawab Tanjung Lodaya. Giri 
Paksi membentak.
"Kalian terlalu ceroboh! Jelas kesalahan berada 
di pihak kita sekarang. Sengkala Getih memang pihak 
aliran sesat. Rencana untuk menumpas aliran sesat 
bukan berada di tangan kalian. Orang-orang rimba 
persilatan sudah mengutus Buringan.... Ulah kalian 
hanya merusak rencana,"

"Tapi, Ayah... Tindakan kami semata-mata
hanya tertuju pada Mandra Loka. Lagi pula 
mana bisa Kakang Buringan mengemban tugas itu da-
lam keadaan yang masih terluka." jawab Rambi Somat. 
Buringan tersenyum mendengar ucapan itu.
"Aku merasa sudah pulih. Luka-luka ini tidak 
seberapa. Bagaimana dengan kalian?" tukas Buringan.
"Kalau saja kakek busuk bersenjata keris bun-
tung tidak muncul, Mandra Loka keparat itu sudah 
terpisah kepalanya." jawab Tanjung Lodaya. Melihat 
kedua orang yang diselamatkannya sudah bisa bicara, 
Wintara bangkit berdiri.
"Keris buntung itu memiliki kekuatan yang 
sangat luar biasa. Selain dapat menimbulkan badai 
angin, keris itu mengandung sepasukan tenaga manu-
sia." tutur Wintara.
"Keris buntung.... Yah. Pasti itu Keris Buntung 
Ki Srongot." gumam Giri Paksi. Hanya Keris Buntung 
Ki Srongot yang memiliki kekuatan seperti itu." gu-
mamnya lagi. Giri Paksi berjalan keliling. Ia seperti in-
gat sesuatu.
"Belum pernah kudengar keris memiliki kehe-
batannya demikian." Ni Tambun Tambak ikut berpikir. 
Wintara dan Buringan berdiri berdampingan menatap 
Giri Paksi.
"Hal ini mengingatkan aku pada seorang tokoh 
legendaris bernama: Eyang Buana Penangsang. Sema-
sa kecil aku paling suka mendengarkan pengemba-
raan pendekar maha sakti itu. Orang tua dulu paling 
sering menceritakan petualangan pendekar maha sakti 
itu pada cucu-cucunya. Semula aku mengira legenda 
tersebut hanya bertujuan agar setiap anak lelaki men-
jadi pendekar kesatria pembela bumi pertiwi. Tapi sete-
lah mendengar adanya Keris Buntung Ki Srongot yang 
memiliki kekuatan dahsyat. baru yakin tokoh maha sakti itu benar-benar ada." Giri Paksi berusaha men-
gingat-ingat. Kemudian Giri Paksi melanjutkan ceri-
tanya.
"Menurut legenda, Ki Srongot memang memiliki 
keris buntung. Sepak terjangnya sangat merugikan ra-
kyat-rakyat kecil. Demi menumpas kejahatan Ki Sron-
got, maka berdatanganlah seluruh jago-jago dari segala 
penjuru. Namun terhadap Ki Srongot, mereka bukan-
lah apa-apa dibanding dengan kesaktiannya. Mereka 
hanya mengantarkan nyawa dengan percuma. Kalau 
hanya menghadapi Ki Srongot mereka pasti mampu! 
Tapi karena Ki Srongot memiliki Keris Buntung yang 
sangat dahsyat itu semua orang bertekuk lutut di ba-
wah kakinya. Saat itu Ki Srongot bagaikan seorang ra-
ja. Sampai akhirnya datanglah seorang pemuda ber-
nama Buana Penangsang. Tak disangka-sangka
Ki Srongot dapat dikalahkannya. Padahal pe-
muda itu tanpa menggunakan senjata apa pun. Ber-
samaan dengan tewasnya Ki Srongot, keris buntung 
serta keluarganya lenyap entah ke mana." Giri Paksi 
menarik nafas. Wintara, Ni Tambun Tambak juga keti-
ga anaknya tertarik dengan cerita itu. Mereka diam 
menghayati penuturan Giri Paksi.
"Ada lagi yang lebih menarik dari Eyang Buana 
Penangsang. Ia memiliki enam pasang beruang gu-
nung. Dan juga selalu membawa beberapa kantong 
jamur ke mana pun ia pergi. Pernah juga ia menetap 
lama di sebuah desa. Bahkan menerima beberapa 
orang murid. Tapi tak lama kedapatan semua murid-
nya tewas. Mereka tidak sanggup menerima ilmu yang 
dimiliki Eyang Buana Penangsang. Merasa berdosa 
terhadap mereka, Eyang Buana Penangsang pergi 
mengasingkan diri. Tidak ada yang tahu ke mana dia 
menyendiri. Masih kuingat pula beberapa jurus ampuh 
yang dimiliki pendekar maha sakti itu. Di antaranya:

Bayu Menghantam Karang, Bayu Penjerat Nadi, Tinju 
Bayu Delapan Penjuru, yang paling ringan adalah ju-
rus Bayu Menghempas Gelombang. Mungkin masih 
ada lagi jurus-jurus mautnya.... Hanya itu yang ku-
dengar warisan cerita yang kudapat dari nenek moyang 
ku...." Giri Paksi menghentikan ceritanya.
Mendengar cerita Giri Paksi yang panjang lebar 
itu, Wintara hampir mati berdiri. Bagaimana pun ia 
merasa ada kesamaan mengenai latar belakang kehi-
dupannya. (Baca: Tapis Ledok Membara).
Ingatannya masih tajam ketika Wintara disela-
matkan oleh seekor induk beruang. Maka membayang 
kalau ia pernah hidup di tengah-tengah sekumpulan 
beruang. Bahkan hampir mati pula saat pertama kali 
memakan buah jamur yang tumbuh di sebuah rerun-
tuhan bangunan tua. Pada reruntuhan yang terpen-
dam itu pula ia diseret oleh induk beruang menemui 
sosok jasad renta. Bagaimana pun Wintara telah mem-
pelajari serangkaian ilmu silat yang banyak tertulis 
pada dinding-dinding ruangan bawah tanah. Siapa lagi 
kalau bukan jasad renta itu yang mewariskan ilmu si-
lat kepadanya. Dan jasad renta yang telah dianggapnya 
sebagai guru memang tidak lain Eyang Buana Penang-
sang.
Wintara memang tidak tahu nama-nama jurus 
maut yang dimilikinya. Tapi setelah mendengar cerita 
Giri Paksi, barulah Wintara mengerti dengan jurus-
jurus yang pernah dipelajari di sebuah ruang bawah 
tanah.
"Wintara.... Apa yang kau pikirkan?" Teguran 
Giri Paksi mengejutkan. Wintara tersentak. Tapi cepat 
ia menguasai diri.
"Ah. Tidak.... Tidak apa-apa, Paman. Aku hanya 
memikirkan soal Keris Buntung Ki Srongot." Gerak ge-
rik Wintara seperti salah tingkah.

"Menurutku, kau tak perlu ikut campur urusan 
kami, Wintara. Kami mengucapkan banyak-banyak te-
rima kasih atas penyelamatanmu terhadap tiga putra 
kami. Biarlah urusan ini menjadi persoalan Perguruan 
Tapak Angin." kata Ni Tambun Tambak.
"Betul, Wintara. Bukan aku meremehkanmu. 
Tapi kami tidak akan melibatkan dirimu. Perguruan 
Tapak Angin sebagian kecil dari ilmu silat Eyang Bua-
na Penangsang. Mungkin masih bisa menanggulangi 
Keris Buntung Ki Srongot." ujar Giri Paksi.
"Sekalipun aku pergi meninggalkan kalian, 
yang pasti kakek berambut putih itu tetap mencari di-
riku. Sebab dia tahu saat aku menyelamatkan Rambi 
Somat dan Tanjung Lodaya." jawab Wintara dengan 
pandangan yang mengarah pada dua sosok terbaring 
lemas.
"Biar saja Wintara berada di pihak kita, Ayah. 
Lagi pula kita semua sudah kepalang basah. Kita tidak 
perlu menggempur mereka sampai tuntas. Asalkan 
Sengkala Getih mau bertobat, itu sudah lebih dari cu-
kup." Buringan memberi pendapat.
"Biar aku terluka begini, aku masih bisa meng-
hadapi musuh. Bagaimana dengan kau, Kakang Ram-
bi Somat?" Tanjung Lodaya melirik pada Rambi Somat. 
Pemuda itu manggut. Maka Wintara melangkah ke 
arah mereka. Kemudian memberi totokan beberapa 
kali pada jalan darah mereka. Mendadak pula kakak 
beradik itu kembali menjerit. Rasa sakit yang tadi le-
nyap menyengat lagi. Mereka mengerang-erang seperti 
mau mati. "Itu tandanya kalian belum boleh bergerak 
dulu." kata Wintara sambil menotol kembali urat nadi 
mereka. Seketika itu juga mereka tenang. Namun tiba-
tiba saja.... "Arghhhht...!"
Terdengar jeritan panjang. Jeritan bersumber 
dari luar halaman gedung. Maka, serempak orang

orang yang berada ruangan itu menoleh ke luar. Giri 
Paksi terkejut melihat empat orang penjaga pintu ger-
bang bergelimpangan. terlihat pula anak buah yang 
lain menghadapi beberapa orang yang tiba-tiba saja 
datang menyerang.
*
* *
DELAPAN


Buringan tidak percaya dengan pandangan ma-
tanya sendiri. Sekejap pun ia tidak berkedip. Dari balik 
jendela ruangan itu dapat melihat Mandra Loka ber-
sama belasan pengikutnya mengobrak abrik. Hal itu 
tidak mengejutkan, tapi ketika ia memandang ke arah 
pintu gerbang, kedua biji matanya hampir lompat ke 
luar.
Nampak Murtiati gigih menggempur baris per-
tahanan Perguruan Tapak Angin. Gadis itu pun diban-
tu oleh beberapa anak buah. Demi melihat itu Buri-
ngan langsung lompat ke luar dari jendela. Begitu juga 
dengan Giri Paksi maupun Ni Tambun Tambak. Hanya 
dengan beberapa lesatan tubuh mereka sudah berada 
di depan pintu gedung.
Dua pasang jago tua itu langsung menghadapi 
orang-orang Mandra Loka. Para pengikut itu sesung-
guhnya anak buah Ki Tapak Kliwon. Makanya mereka 
tidak segan-segan lagi menghadapi tuan rumah Tapak 
Angin. Senjata mereka bermacam-macam, tapi yang je-
las senjata itu dapat merobek perut bila mereka len-
gah.
Orang-orang Tapak Angin sendiri agak kewala-
han menghadapi mereka. Meskipun mereka masing-
masing menggunakan pedang. Untung saja majikan

mereka turun tangan, Baik Mandra Loka maupun para 
pengikut Ki Tapak Kliwon masih bisa di tangani.
Benturan senjata mereka beradu berdentingan. 
Teriak-teriak penuh semangat menggelegar di sana si-
ni. Peristiwa itu tidak ubahnya seperti sebuah pertem-
puran. Dalam pertempuran ini Mandra Loka sengaja 
melampiaskan kemarahannya. Dengan senjata pe-
dangnya ia membabi buta berusaha menjatuhkan 
orang-orang Perguruan Tapak Angin.
Tentu saja Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak 
tidak akan membiarkan tindakan Mandra Loka. Seba-
gai ketua perguruan mereka tidak ingin semua anak 
muridnya jatuh di tangan musuh. Maka dengan ke-
murkaannya pula mereka berusaha menjatuhkan satu 
demi satu para pengikut Mandra Loka.
Sementara itu Buringan repot mengatasi para 
penyerang yang dipimpin oleh Murtiati. Serangan-
serangan Murtiati terhadap orang-orang perguruan 
Tapak Angin nampak aneh. Buringan dapat melihat 
sendiri kalau gadis itu setengah-setengah dalam pe-
nyerangan. Dan yang terlebih jelas lagi, Murtiati dalam 
keadaan menangis. Serangan-serangannya seperti 
ngambang tak tentu arah.
"Murtiati apa-apaan kau!" bentak Buringan. 
Hantamannya melayang menjatuhkan dua orang 
penghalang. Dua orang yang jatuh itu langsung dis-
ambut oleh orang-orang Tapak Angin. Sungguh menge-
rikan, kedua orang itu hancur bagai daging cincang.
"Kakang Buringan kau musuhku! Di antara ki-
ta harus ada yang mati!" sahut Murtiati. Air matanya 
masih deras mengalir.
"Kau sudah tidak waras, Murtiati!" Buringan 
melihat Murtiati semakin tidak menentu melancarkan 
serangan, sudah tentu orang-orang Tapak Angin se-
makin mudah mengepung dan membalas serangan

serangan gadis itu.
"Biarkan dia...! Biarkan dia...!" perintah Burin-
gan.
Mendengar perintah Buringan, orang-orang Ta-
pak Angin jadi berbalik mundur.
Mereka kembali menghadapi para pengikut 
Murtiati yang sebenarnya anak buah Tapak Kliwon.
"Jangan perdulikan Murtiati! Hantam saja yang 
lainnya." Buringan melesat atas. Dalam keadaan masih 
di udara, tangannya berputar menghantami setiap ke-
pala musuhnya sampai hancur berantakan.
Murtiati betul-betul tidak mendapatkan lawan. 
Orang-orang Tapak Angin tak ada yang meladeninya. 
Hal ini membuat Murtiati kesal. Di tengah-tengah per-
tempuran, Murtiati seperti putus asa. Ia membiarkan 
dirinya jatuh bersimpuh di atas tanah, ia tidak tahu 
mesti berbuat apa. Di hadapan Buringan yang tengah 
menghadapi musuh, Murtiati menangis mengutuki di-
rinya.
Melihat Murtiati duduk bergetar bersimpuh di 
tanah, Mandra Loka mengira gadis itu terluka. Maka 
dengan cepat ia menghindar dari serangan Giri Paksi. 
Lalu lesatan tubuhnya menjurus pada Murtiati. Giri 
Paksi tidak mengejar. Karena masih banyak para pen-
gikut Mandra Loka yang menghalangi.
Entah sudah berapa orang yang bergelimpan-
gan di tanah. Namun dari pihak perguruan Tapak An-
gin lebih banyak orang yang jatuh. Ni Tambun Tambak 
sendiri tidak tahu berapa orang yang sudah tewas di 
tangannya.
Sebentar-sebentar pula ia melirik pada gadis 
Murtiati.
Mandra Loka menjadi marah melihat Murtiati 
malah menangisi dirinya. Serta merta ia memaki.
"Kau betul-betul pengkhianat, Murtiati. Kita

sudah berhadapan dengan penghalang-penghalang 
partai kita. Kenapa masih berdiam diri! dasar perem-
puan laknat!" bentak Mandra Loka tak kepalang. Cepat 
Murtiati mengangkat wajahnya membalas tatapan 
murka Mandra Loka. Dengan nafas yang memburu 
serta geram ia meraih sebilah pedang yang tergeletak 
di tanah. Saat Murtiati menghunuskan pedang itu, 
Mandra Loka melangkah mundur. Ia mengira adik pe-
rempuannya itu akan menyerang dirinya. Tapi ternyata 
tidak. Dengan teriakan yang menggelegar gadis itu me-
lesat sambil membabatkan pedang. Murtiati membabat
satu persatu para pengikutnya sendiri.
Semua itu di luar dugaan. Para pengikut Ki Ta-
pak Kliwon tidak akan menyangka kalau akan menda-
pat serangan dari Murtiati. Bahkan banyak di antara 
mereka yang tewas secara mengerikan. Sambaran pe-
dangnya selalu menjatuhkan korban. Orang-orang 
Perguruan Tapak Angin sendiri jadi tidak mengerti. 
Saat Murtiati berada di pi
hak Tapak Angin, para penyerang dari aliran
sesat drastis berkurang dan hampir habis.
Kekuatan Perguruan Tapak Angin makin me-
ningkat. Para penyerang itu dibuat kalang kabut. Tapi 
justru sisa-sisa orang itu Murtiati yang membereskan-
nya.
"Cah Ayu.... Apa kau tidak salah tindak!" ujar 
Giri Paksi.
"Hus! Syukurlah kalau dia mulai sadar. Na-
manya juga calon mantu!" bentak Ni Tambun Tambak. 
Kedua majikan Tapak Angin sudah berdiam diri. Su-
dah tidak ada lagi musuh. Musuh yang terakhir ini 
bergelimpangan jatuh oleh sambaran pedang Murtiati.
"Ayah pasti akan menghancurkan batok kepa-
lamu, Murtiati! Kau keparat!" teriak Mandra Loka. 
Tinggal dia sendiri terkepung oleh pasukan Buringan.

Murtiati tidak peduli dengan teriakan-teriakan Mandra 
Loka, malah sekarang gadis itu nampak bersujud di 
hadapan Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak.
"Paman.... Bibi.... Sengkala Getih memang 
ayahku, tapi saat ini aku betul-betul memohon perlin-
dunganmu." sembah Murtiati.
"Kau calon menantuku. Sudah semestinya kau 
ku lindungi, Cah Ayu. Biar nanti
Sengkala Getih itu kuhajar adat!" jawab Ni 
Tambun Tambak. Dia menarik tubuh Murtiati bangkit 
berdiri. Lalu ketiganya memandang ke arah pertempu-
ran Buringan.
Para murid Tapak Angin yang masih siaga ber-
hamburan mengepung Mandra Loka. Tapi Giri Paksi 
segera memberi aba-aba, agar membiarkan Buringan 
sendiri menghadapi Mandra Loka. Anak lelaki si Seng-
kala Getih itu tidak merasa gentar walau dirinya ting-
gal sendiri. Ia nampak mulai mengeluarkan jurus-
jurus andalannya.
"Tempo hari aku masih mengampunimu, Bu-
ringan. Sekarang kau bakal mampus!" hardik Mandra 
Loka. Kedua lengannya merentang lebar. Hampir saja 
kedua lengannya menyabet kepala Buringan. Cepat ia 
menepis hantaman itu.
"Pukulanmu cukup kuat untuk mengantarku 
ke neraka!" jawab Buringan. Sebelah lengannya mem-
balas serangan. Saat itu pun Mandra Loka melancar-
kan tinju yang sangat keras, maka kedua hantaman 
mereka beradu nyaring.
Sampai pada jurus yang kelima keduanya sa-
ma-sama melesat ke atas. Tubuh Buringan melintir 
bagai gasing. Masih berada di udara Mandra Loka me-
lepaskan dua pukulan berturut-turut. Tapi mendadak 
malah Mandra Loka sendiri yang terbanting ke tanah. 
Dadanya sesak seperti remuk. Rupanya Buringan telah

melancarkan serangan lebih dulu terhadap Mandra 
Loka. Laki-laki itu cepat bangkit menyambut. Buringan 
yang sudah hinggap di tanah terpaksa menghentakkan 
kakinya lagi.
Maka saat hantaman serta tendangan datang 
memburu, Buringan terus salto ke belakang berkali-
kali. Susah payah Mandra Loka mengejar. Mengetahui 
penyerangnya sudah kehabisan nafas. Buringan sen-
gaja berdiri menghadapi hantaman-hantaman Mandra 
Loka. Dia sudah memperhitungkan kalau semua pu-
kulan Mandra Loka sudah tidak bertenaga penuh lagi. 
"Des...! Des...! Des...!" Tiga kali berturut-turut hanta-
man Mandra Loka mendarat di dada Buringan. namun 
pemuda Buringan tetap tegar menerima tanpa menge-
lak. Tapi sekali Buringan melepaskan hantaman yang 
sama berturut sebanyak tiga kali.
"Des...! Des...! Des...!" Mandra Loka mental ti-
dak kepalang. Mulutnya menyembur darah.
"Itu balasan atas perlakuanmu tempo hari!" 
Buringan menatap Mandra Loka bangkit, langkahnya 
sudah sempoyongan. Namun ia tetap memaksakan diri 
menerjang Buringan.
"Lebih baik mati daripada kau hina seperti ini! 
Heaaaa!"
"Keras kepala...!" bentak Buringan. Terjangan 
Mandra Loka makin deras mengarah. Tenang sekali 
Buringan melepaskan tendangan ke bagian perut. 
Langkah Mandra Loka terhenti. Mulutnya menyembur 
darah lagi. Kedua matanya mendelik menakutkan.
"Aku sudah berjanji pada ayahku untuk me-
nyeretmu ke bawah telapak kakinya, Mandra Loka." 
Sambil berkata demikian Buringan melancarkan ten-
dangan memutar.
"Deeeer...!"
Tepat sekali menghantam muka. Kontan Man

dra Loka terpelanting bergulingan. Tubuhnya berhenti 
tepat di hadapan Giri Paksi yang sejak tadi menyaksi-
kan pertarungan mereka.
"Kakang...!" Murtiati memekik. Gadis itu mera-
sa tidak tega melihat Mandra Loka berlumuran darah. 
Saat Murtiati memeluknya, Mandra Loka mengelak. Ia 
mendorong Murtiati seraya bangkit meskipun seloyon-
gan. Ia memandang jijik terhadap Giri Paksi dan Ni 
Tambun Tambak. Kedua orang itu tersenyum ramah.
"Sadarlah, Mandra Loka. Partai kami selalu ter-
buka bagi orang-orang tersesat." kata Giri Paksi. Tapi
Mandra Loka seakan tidak perduli dengan nasehat itu. 
Merasa tidak mampu melancarkan serangan, Mandra 
Loka menggertak.
"Nyawa orang-orang Perguruan Tapak Angin 
sebentar lagi akan pindah ke akherat! Siapa yang sudi 
bergabung dengan kalian? Kalian pikir orang-orang ali-
ran lurus cukup hebat?" Mandra Loka berdiri lunglai. 
Sikapnya menantang, lalu....
"Aku sudah berada di hadapanmu, Paksi. Kalau 
mau bunuh, silahkan turun tangan!" Mandra Loka 
menatap tajam majikan Tapak Angin. Giri Paksi men-
gumbar senyum sambil menggeleng.
"Pantang bagi kami menyakiti lawan yang su-
dah tak berdaya, Mandra Loka. Pulanglah.... Dan ka-
takan pada Sengkala Getih ayahmu, aku akan datang 
bebesanan!" Mendengar ucapan Giri Paksi, Murtiati 
tertunduk.
Bagi Mandra Loka ucapan Giri Paksi adalah 
suatu penghinaan. Maka setelah buang ludah ke tanah 
ia berbalik menyingkir. Langkah-langkahnya lunglai. 
Baru saja berjalan kurang lebih sepuluh meter, tubuh-
nya ambruk lagi lalu bangun meneruskan kepergian-
nya.
"Bagaimana aliran sesat dapat bertahan? Kalau

berjalan saja harus merayap seperti anjing!" gurau Bu-
ringan. Bukan main gusarnya Mandra Loka. Namun 
apa daya, keadaannya sudah tidak memungkinkan da-
lam mengumbar amarahnya. Mandra Loka hanya 
menggerutu dalam hati berlapiskan dendam yang san-
gat dalam.
Saat itu Wintara memandangi mereka dari balik 
jendela. Di sampingnya telah berdiri Rambi Somat dan 
Tanjung Lodaya. Mereka juga memandangi orang-
orang Tapak Angin mulai bangkit memegangi luka-
luka mereka. Beberapa di antaranya ada yang harus 
terpaksa dibantu berdiri karena mengalami luka-luka 
berat. Untung saja tidak ada korban nyawa.
Belasan pengikut dari aliran sesat bergelimpan-
gan mengerikan tanpa nyawa. Darah berceceran di se-
kitar halaman gedung. Nampak Giri Paksi dan Ni Tam-
bun Tambak menggiring Murtiati masuk ke dalam ge-
dung. Wintara terpaksa memapah dua kakak beradik 
itu untuk menyambut mereka.
*
* *
SEMBILAN


Ki Tapak Kliwon dan Sengkala Getih berlari ke 
luar gedung ketika melihat Mandra Loka berjalan ter-
saruk-saruk menemui mereka. Pakaiannya telah pe-
nuh darah, serta mukanya biru memar. Tentu saja ke-
datangannya yang mengejutkan itu sangat mengece-
wakan dua tokoh aliran sesat ini. lebih-lebih Ki Tapak 
Kliwon. Ia memandang tajam saat Mandra Loka jatuh 
bangun di hadapan mereka.
Mereka sudah menduga kalau Mandra Loka telah gagal menyerang Perguruan Tapak Angin. Makanya 
Ki Tapak Kliwon cepat menghardik. Karena belasan 
anak buahnya tidak kembali bersama Mandra Loka. 
Sengkala Getih menarik anaknya bangkit.
"Perguruan Tapak Angin salah satu perguruan 
yang tidak boleh dianggap enteng,
Ki Tapak Kliwon. Mereka musuh kita yang pal-
ing kuat." kata Sengkala Getih. Kata-katanya itu ber-
maksud agar laki-laki tua berambut putih menyadari 
kekuatan musuh dan tidak menyalahkan Mandra Lo-
ka.
"Sama sekali bukan, Ayah. Semua di luar du-
gaanku. Tiba-tiba saja Murtiati memihak pada mereka. 
Semua anak buah Ki Tapak Kliwon malah habis diban-
tai oleh pengkhianat jalang itu!" tutur Mandra Loka. 
Suaranya lantang. Ki Tapak Kliwon maupun Sengkala 
Getih membelalakkan mata demi mendengar penjela-
san Mandra Loka.
"Keparat!" Ki Tapak Kliwon menggeram. Ia tidak 
bisa menguasai diri. Reflek pula ia mencengkeram ke-
rah baju Mandra Loka. Sengkala Getih tidak berani 
menghalangi.
"Kenapa kau biarkan hidup perempuan bangsat 
itu! Hah!" Tanpa bisa dielakkan, Ki Tapak Kliwon me-
lempar tubuh Mandra loka. Sudah tentu Sengkala Ge-
tih tidak akan membiarkan anaknya terluka lagi. Maka 
ia pun segera menyambar sebelum Mandra Loka ter-
banting ke tanah.
"Kenapa harus mengumbar amarah pada Man-
dra Loka, Ki Tapak Kliwon? Bukankah itu salahmu 
sendiri? Dia terluka parah begini justru karena bertin-
dak sendirian. Kalau mau menjatuhkan hukuman ter-
hadap putri ku, silahkan. Aku rela kehilangan seorang 
anak!" Sengkala Getih membela diri. Ki Tapak Kliwon 
tidak dapat mengatasi kemarahannya.

"Kau memang tidak becus mengurus anak, 
Sengkala Getih. Sia-sia usahamu selama ini. Kalau bi-
sanya cuma mendidik seekor anjing pengecut dan 
pengkhianat. Apapula diri ayahnya yang sebenarnya?"
"Ki Tapak Kliwon, jangan bicara yang bukan-
bukan!" bantah Sengkala Getih. "Akupun sama mur-
kanya seperti kau terhadap orang-orang Perguruan 
Tapak Angin. Di hadapanmu aku berjanji akan meng-
hancur leburkan perguruan itu!" Sengkala Getih berdi-
ri di hadapan Mandra Loka.
"Percuma! Kau pikir aku tak dapat bertindak 
sendiri? Minggirlah, Sengkala Getih. Aku pantang me-
lihat seorang pengecut!" Tapak Kliwon bersiap-siap me-
lancarkan serangan. Yang pasti serangan itu diarah-
kan pada Mandra Loka.
"Tidak, Ki. Kau tidak boleh membunuhnya. 
Mandra Loka sudah bertindak semampunya." jawab 
Sengkala Getih.
"Kalau begitu kali ini aku harus membunuh 
dua orang pengecut sekaligus!" hardik Ki Tapak Kli-
won.
Mengetahui situasi yang runcing itu, semua 
anak buah Sengkala Getih yang
berjumlah dua belas orang langsung berdatan-
gan. Mereka berjaga-jaga dan siap pula melindungi 
majikannya. Namun Sengkala Getih segera memberi 
aba-aba agar mereka semua mundur. Tapi bagi Ki Ta-
pak Kliwon, ia tidak perduli dengan dua belas orang 
anak buah Sengkala Getih.
Tanpa perduli pula Ki Tapak Kliwon mulai 
mengeluarkan kembang-kembang jurus yang sangat 
aneh. Dua lengannya bergulung-gulung seperti meng-
himpun tenaga. Melihat itu pun diam-diam Sengkala 
Getih bersiap-siap pula. Kedua matanya terus menga-
wasi gerak gerik Ki Tapak Kliwon.

Dan saat kedua lengan Ki Tapak Kliwon meng-
hantam, Sengkala Getih membarengi dengan hanta-
mannya. Maka dua hantaman dahsyat beradu nyaring. 
Tenaga yang dilancarkan oleh mereka tidak tanggung-
tanggung. Sengkala Getih sengaja mengerahkan selu-
ruh tenaga dalamnya. Karena ia tahu Ki Tapak Kliwon 
memiliki kehebatan yang jauh beberapa tingkat da-
rinya.
Maka ketika hantaman mereka membentur, 
Sengkala Getih terdorong mundur seloyongan bersama 
tubuh Mandra Loka. Sedangkan Ki Tapak Kliwon 
hanya mundur tiga langkah ke belakang. Dan siap me-
lancarkan serangan lagi. Saat itu pun semua anak 
buah Sengkala Getih yang tadi mundur, kini berdatan-
gan lagi mengurung.
Hanya dengan kibasan sebelah lengannya saja 
tiga orang anak buah Sengkala Getih terjungkal tak 
berkutik. Yang lain tidak gentar menghadapi Ki Tapak 
Kliwon. Mereka setia melindungi majikannya. Meski-
pun harus tewas di tangan laki-laki berambut putih.
Hantaman-hantaman Ki Tapak Kliwon memang 
selalu tepat menjatuhkan para penghalangnya, namun 
Sengkala Getih sendiri tidak tinggal diam melihat anak 
buahnya jatuh satu demi satu. Setelah membawa 
Mandra Loka ke tempat yang aman, Sengkala Getih 
datang menggempur Ki Tapak Kliwon. Hantamannya 
langsung diarahkan kuat-kuat.
Bagi Ki Tapak Kliwon yang sangat tangguh itu 
sama sekali bukan masalah. Hantaman-hantaman 
Sengkala Getih dapat di hindari begitu saja. Hal itu pu-
la membuat Sengkala Getih makin penasaran. Maka ia 
terus melepaskan serangan lebih gencar. Menghadapi 
amukan itu Ki Tapak Kliwon mulai kelabakan. Sudah 
repot menangkis hantaman-hantaman itu. Dari arah 
belakang anak buah Sengkala Getih serempak mem

babatkan pedang. Sudah tentu serangan-serangan itu 
amat sulit dihindari. Makanya laki-laki tua berambut 
putih itu cepat mendorong kedua tinjunya ke depan. 
Menghadapi hantaman yang sangat mendadak Sengka-
la Getih agak tersentak. Ia hanya sempat menepis sa-
lah satu tinju Ki Tapak Kliwon, sedangkan tinju lain-
nya masuk mengenai tenggorokan Sengkala Getih.
Setelah itu pula Ki Tapak Kliwon salto ke depan 
menghindari babatan-babatan pedang.
Para anak buah Sengkala Getih terus mencecar 
gerakan-gerakan laki-laki berambut putih itu.
Tapi mendadak saja mereka berpentalan bagai 
sebuah gunung meletus. Mereka terbanting bergulin-
gan, semuanya menyemburkan darah dari mulut. Ada 
yang langsung tewas seketika karena terlempar mem-
bentur batang pohon. Rupanya saat Ki Tapak Kliwon 
bersalto, ia sempat menarik keris buntung dari ping-
gangnya dan langsung memutar. Maka muncullah ba-
dai angin yang sangat dahsyat.
Sengkala Getih sendiri setengah mati mengha-
dapinya. Kalau hanya badai angin Sengkala Getih ma-
sih sanggup bertahan. Dalam keadaan itu pula Seng-
kala Getih melihat tubuh Mandra Loka ikut terhempas 
bagai segumpal kapas. Apalagi saat Ki Tapak Kliwon 
memutar kerisnya kuat-kuat. Apa pun yang ada di se-
kitarnya berderak hancur beterbangan.
Kalau Sengkala Getih kurang konsentrasi da-
lam menghadapi badai angin tersebut, mungkin di-
rinya pun mengalami nasib yang sama seperti dengan 
para pengikutnya. Sekarang pun ia merasakan seluruh 
rambut serta pakaiannya hendak lepas dari tubuhnya. 
Ki Tapak Kliwon tertawa menggelegak melihat Sengkala 
Getih mulai terdorong sedikit demi sedikit.
"Ha-ha-ha-ha-ha.... Pantas kau berani mengha-
dapiku. Ternyata diam-diam pun kau memiliki ilmu

Penangkal Badai Angin!" bentak Ki Tapak Kliwon me-
mutar keris buntungnya. Para anak buah Sengkala 
Getih entah ke mana mencelatnya.
"Ki Tapak Kliwon! Kita masih bisa berdamai! Ti-
dak semestinya kau bertindak seperti ini!" jawab Seng-
kala Getih, ia mulai menyadari kalau dirinya tidak 
mungkin bisa menghadapi amukan keris buntung.
"Anjing! Mau coba-coba menjilat? Mana pantas 
sikap demikian dapat berdiri pada pihak aliran sesat. 
Sebaiknya cepat saja merat ke akherat!" hardik Ki Ta-
pak Kliwon. Lengannya yang menggenggam keris bun-
tung berkelebat menghantam.
"Bweeet...!"
Maka....
"Deeeerr...!"
Dari ujung keris buntung itu seperti
keluar sinar biru menjurus. Sinar itu tepat 
menghantam ke tubuh Sengkala Getih yang masih 
berdiri bertahan dari badai angin. Karuan saja Sengka-
la Getih tidak dapat menghindar. Hantaman itu men-
dera di tubuhnya bagai gempuran sepasukan prajurit. 
Tak urung tubuh Sengkala Getih mencelat. Mulut serta 
hidungnya mengucurkan darah.
Tapi ia masih bisa mengendalikan keseimban-
gan tubuhnya. Dalam keadaan mencelat itu nampak 
Sengkala Getih seperti hanya terhuyung. Sengkala Ge-
tih sengaja mengatur agar tubuhnya mendarat tepat di 
samping Mandra Loka. Anaknya itu sudah lemas tak 
berkutik.
"Bagus berdirilah berdampingan. Maka dengan 
sekali bantam kalian akan mati bersama sekaligus!" 
ujar Ki Tapak Kliwon. Sengkala Getih menatap tidak 
berkedip, ia menghapus darah yang menghambur di 
sekitar mulut dan hidung dengan lengannya.
Nampak Ki Tapak Kliwon memutar kerisnya la

gi. Maka datang lagi badai angin dengan disertai tawa 
Ki Tapak Kliwon membahana. Sengkala Getih cepat 
memegangi tubuh Mandra Loka. Dilihatnya pula laki-
laki berambut putih itu siap mengarahkan keris bun-
tung. Mengetahui kedahsyatan hantaman keris bun-
tung, maka sebelum hantaman itu mendarat ke arah-
nya, Sengkala Getih cepat melesat membawa tubuh 
Mandra Loka.
Dengan begitu melesetlah hantaman tenaga 
dahsyat keris buntung. Ki Tapak Kliwon menggeram 
marah. Sengkala Getih dan Mandra Loka telah jauh 
melarikan diri. Dengan mengandalkan kesaktian keris 
buntung Ki Tapak Kliwon berlari mengejar mereka.
Hantaman-hantaman keris buntung terus men-
cecar ke mana pun Sengkala Getih bersama putranya 
melarikan diri. Hantaman-hantaman itu selalu meleset 
dan membledar di atas permukaan jalan yang dilalui 
buruannya. Sengkala Getih sendiri harus mengerah-
kan kecepatan larinya dari serangan Ki Tapak Kliwon 
yang membuntuti mereka di belakang.
***
Hamparan karang yang luas ditumbuhi pohon-
pohon besar nampak sunyi sepi. Jauh dari situ berdiri 
sebuah Perguruan Tapak Angin. Pintu gerbang pergu-
ruan itu tertutup rapat tidak seperti biasanya. Tidak 
terdengar suara-suara teriak penuh semangat latihan 
murid-murid Perguruan Tapak Angin.
Semua penghuninya pergi meninggalkan tem-
pat itu. Mereka tahu orang-orang Sengkala Getih ber-
sama seorang tokoh yang memiliki keris buntung bakal 
datang menyerang. Demi menyelamatkan semua mu-
rid-muridnya, Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak me-
merintahkan mereka agar menyingkir untuk sementa

ra.
Tentunya Rambi Somat dan Tanjung Lodaya 
yang masih dalam keadaan terluka itu juga turut men-
gungsi. Dua putra Giri Paksi itu belum cukup kuat un-
tuk menghadapi serangan orang-orang Sengkala Getih. 
Sehingga dalam menghadapi serangan-serangan itu 
nanti terpaksa Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak yang 
turun tangan.
Selain Buringan, Wintara dan Murtiati ikut 
membantu pertahanan majikan Tapak Angin. Kini me-
reka semua berada di balik rimbunnya dedaunan. Dari 
atas pohon itu mereka bisa melihat situasi dengan le-
luasa. Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak bersembunyi 
pada pohon yang lain. Keduanya mengawasi terus se-
panjang jalan satu-satu yang pasti dilalui bila ada pe-
nyerangan.
Sedangkan Wintara, Buringan dan Murtiati be-
rada di atas pohon yang bersebrangan dengan di mana 
Giri Paksi bersembunyi. Ke lima orang itu bertekad 
akan menghadang. Mereka sengaja memilih arena per-
tarungan agak jauh dari perguruan. Sebab bagaimana 
pun orang yang memiliki Keris buntung Ki Srongot 
pasti datang pula menyerang, pikir mereka.
Ketika mendengar suara yang nyaring memble-
dar berkali-kali, kelima orang itu saling pandang. Ke-
mudian mereka mempertajam penglihatan mereka ke 
ujung jalan di bawahnya. Suara benturan-benturan 
yang bagaikan menghancurkan permukaan dataran 
karang itu menggema makin dekat.
Dalam pada itu mereka dapat melihat sosok ke-
cil menggondol tubuh tak berdaya. Dari kejauhan so-
sok itu pontang panting berlari menghindar dari keja-
ran seseorang yang membuntuti di belakangnya, Terli-
hat pula saat orang di belakangnya itu menggerakkan 
lengannya selalu terdengar ledakan

Dalam jarak yang masih sangat jauh itu Mur-
tiati dapat meyakinkan kalau sosok yang lari pontang 
panting itu tidak lain Sengkala Getih membawa tubuh 
Mandra Loka. Memang benar, ketika mereka berlari 
hampir mendekati tempat persembunyian mereka, ba-
ru terlihat jelas.
Sengkala Getih setengah mati membawa tubuh 
Mandra Loka menghindari setiap sambaran keris bun-
tung.
*
* *
SEPULUH


Melihat itu pun Murtiati hampir memekik. Su-
dah pasti ayahnya, Sengkala Getih bersama Mandra 
Loka bakal tewas di tangan Ki Tapak Kliwon. Buringan 
berusaha agar Murtiati tetap tenang.
Di seberang sana di atas pohon yang lain Giri 
Paksi dan Ni Tambun Tambak bukannya tidak menge-
nali pengejar yang selalu mengacung-ngacungkan keris 
buntung. Berdasarkan pengalaman yang sangat luas 
dalam dunia persilatan, kedua tokoh sakti majikan Ta-
pak Angin cukup kenal dengan tokoh sesat yang satu 
ini.
Siapa yang tidak kenal dengan Ki Tapak Kliwon 
yang kerap kali malang melintang merecoki dunia per-
silatan. Dengan adanya Keris Buntung Ki Srongot di 
tangannya, pastilah Ki Tapak Kliwon salah satu ketu-
runan Ki Srongot.
"Apa urusannya Ki Tapak Kliwon mengejar 
membabi buta begitu terhadap Sengkala Getih? Bu-
kankah mereka berdiri dipihak yang sama?" balas Ni 
Tambun Tambak.

"Yang pasti mereka sedang kacau! begitulah 
orang-orang aliran sesat menyelesaikan persoalan. Da-
lam hal ini pun aku yakin mungkin juga dikarenakan 
Murtiati sekarang memihak kita." jawab Giri Paksi se-
tengah berbisik.
"Kalau begitu kita harus menolong Sengkala 
Getih. Bagaimana kita bisa besanan kalau Sengkala 
Getih sampai tewas?" kata Ni Tambun Tambak lagi. 
Paksi tidak menjawab, ia mencibir ke arah istrinya.
Saat itu Sengkala Getih sudah berada di bawah
mereka. Ia jatuh berguling bersama tubuh Mandra Lo-
ka. Dalam hal ini Mandra Loka masih sadar, hanya sa-
ja ia sudah terlalu parah. Sama beratnya dengan luka-
luka sang ayah. Kedapatan Sengkala Getih terjatuh, Ki 
Tapak Kliwon tidak lagi berlari mengejar. Dengan me-
langkah pelan ia terus melangkah mendekati kedua 
orang ini. Keris buntungnya bergetar siap menghan-
tam.
"Manusia tolol! Apa gunanya melarikan diri. 
Siapa pun tidak ada yang akan membantumu. Kalau-
pun ada, tentunya orang itu orang dungu." Ki Tapak 
Kliwon berkata sambil melangkah. Tangannya siap 
mengarahkan keris buntung.
"Nah! Mampuslah kalian sekarang.... Heaaaa!" 
Keris itu bergerak cepat. Sedetik sebelum keris bun-
tung menghantam mengeluarkan sinar kebiruan, me-
lesat dua sosok tubuh dari atas pohon. Dua sosok tu-
buh itu langsung menyambar masing-masing tubuh 
Sengkala Getih dan Mandra Loka.
Dua sosok itu berhasil menyelamatkan mereka 
dari maut. Hantaman dahsyat keris buntung nyasar 
mengenai permukaan tanah yang hancur bagai gu-
nung meledak. Benturan itu sangat nyaring. Kedua so-
sok penyelamat sampai merasakan getarannya.
Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak tersenyum

mengangguk. Mereka melihat betapa hebatnya Wintara 
dan Buringan menyelamatkan Sengkala Getih dan 
Mandra Loka. Lain dengan Ki Tapak Kliwon. Begitu sa-
dar ada yang menyelamatkan buruannya, ia menghar-
dik.
"Bangsat! Berani ikut campur tangan dengan-
ku, berarti kalian cari mampus, Cecurut-cecurut bu-
suk!" Ki Tapak Kliwon mendelik. Ia menatap garang 
pada Wintara maupun Buringan yang masih meme-
gangi tubuh orang yang baru saja diselamatkannya.
"Dalam aliran sesat aku tidak pernah mengenali 
orang-orang semacam kalian! Pastilah kalian pentolan-
pentolan Perguruan Tapak Angin, Bagus! Cukup ku-
hargai keberanian kalian ini." Ki Tapak Kliwon mele-
takkan keris buntung tepat di antara matanya. Sebe-
lah lengannya lagi merapat di atas dada. Nampaknya 
laki-laki berambut putih itu tengah membuka jurus. 
Saat itu pula orang-orang dari atas pohon berlompatan 
ke bawah. Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak langsung 
menempatkan diri di antara Wintara dan Buringan. 
Murtiati menyingkirkan Sengkala Getih dari tempat 
itu. Buringan mengikuti langkah Murtiati membawa 
tubuh Mandra Loka. Menatap kelima orang itu. Ki Ta-
pak Kliwon menyeringai. Kemudian mengangkat keris 
buntung ke atas mengacung ke langit.
"Yang kudengar selentingan, bahwa seluruh 
perguruan aliran lurus akan menumpas semua partai 
aliran sesat. Mana lagi yang lain? Biarlah aku sendiri 
yang mewakili semua partai aliran sesat menghadapi 
kalian. Kalau kalian hanya berlima, percayalah kalian 
hanya mengantarkan nyawa!" ujar Ki Tapak Kliwon. 
Giri Paksi cepat menjawab:
"Belum waktunya, Ki Tapak Kliwon! Kami dari 
Perguruan Tapak Angin memang merasa sulit meng-
hadapi partai-partai aliran sesat. Tapi berhubung sekarang kepalang berhadapan denganmu, apa salahnya 
jika kami terpaksa coba-coba mengukur kepandaian 
serta kehebatan keris buntung yang kau miliki itu?"
Ha-ha-ha-ha-ha...!" Ki Tapak Kliwon malah ter-
tawa mendengar ucapan Giri Paksi. Janggut serta 
rambutnya yang putih sampai tergerak-gerak. Lalu...
"Boleh... boleh...! Hitung-hitung aku ingin tahu 
juga kehebatan majikan Tapak Angin yang kesohor 
ini!" Setelah berkata begitu mulutnya terkatup rapat. 
Sesaat kemudian Ki Tapak Kliwon memutar kerisnya di 
udara..
"Wuk...! Wuk...! Wuk...!" Seperti yang sudah-
sudah kita ketahui. Maka datanglah badai angin. Sua-
ranya menderu-deru bergemuruh. Kerikil-kerikil ka-
rang beterbangan bagai tak punya bobot. Giri Paksi 
dan istrinya menghentakkan kedua kaki berbarengan. 
Maka keduanya dapat berdiri teguh menghadapi badai 
angin.
Wintara berdiri tenang dalam hempasan badai. 
Hanya rambut panjangnya yang berderai-derai. Ia 
sempat pula melirik ke belakang. Buringan yang tidak 
tahu datangnya badai angin itu mendadak terlempar. 
Begitu juga dengan Murtiati. Dengan keadaan meng-
gondol ayahnya ia terlempar bergulingan. Di luar du-
gaan pula malah Sengkala Getih yang menguasai Mur-
tiati dari hempasan badai.
Buringan menabrak sebatang pohon besar. Da-
lam kesempatan itu ia dapat berpegangan pada sebuah 
cabang yang terjuntai. Sebelah lengannya masih me-
megangi tangan Mandra Loka. Tubuh itu terombang-
ambing dalam hempasan angin yang sangat dahsyat.
"Wuk...! Wuk...! Wuk...!"
Suara angin bergemuruh bersama derai men-
gekeh dari tokoh sakti berambut putih. Daun-daun 
yang masih hijau rontok berhamburan. Tubuh Giri

Paksi dan Ni Tambun Tambak bergetar hebat mengua-
sai dirinya. Matanya terus tertuju pada keris buntung. 
Mereka khawatir kalau-kalau Ki Tapak Kliwon menge-
rahkan hantaman yang paling mereka takuti.
Wintara yang berada di samping mereka. Tetap 
tenang. Hal itu pula membuat dua pasangan tokoh da-
ri Tapak Angin mengernyitkan alls. Tentu saja mereka 
merasa heran. Mereka saja berdua hampir tidak mam-
pu menghadapi hempasan badai, tapi Wintara yang 
masih terbilang sangat muda belia mampu berdiri te-
nang. Tidak nampak tanda-tanda pada Wintara kalau 
berusaha keras seperti kedua majikan Tapak Angin ini.
"Bet...! Beeet...! Beeeet...!"
Mendadak kedua telapak tangan Wintara men-
gepak-ngepak ke depan. Lalu dengan sekuat tenaga ia 
mendorong.
"Blaaaar...!"
Terdengar seperti benturan nyaring. Ki Tapak 
Kliwon tersentak. Tubuhnya terdorong beberapa lang-
kah ke belakang. Ia merasakan dorongan tenaga dalam 
yang sangat keras. Genggaman keris buntung bergetar 
hebat.
Mungkin ini yang dinamakan jurus 'Bayu 
Menghempas Gelombang' pikir Wintara. Hantaman itu 
sangat ampuh. Mampu menghentikan angin badai 
yang begitu dahsyatnya. Merasa diremehkan oleh seo-
rang pemuda yang masih bau kencur. Ki Tapak Kliwon 
memutar keris buntungnya lebih cepat.
"Wuuuk...!" Kedahsyatan badai angin itu berli-
pat ganda. Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak sampai 
bergeser ke belakang. Bekas tapak kaki mereka meng-
gores pada permukaan tanah berkarang. Namun....
"Bledaaar...!" Kembali Wintara melancarkan 
hantaman yang sama. Dua-duanya baik Ki Tapak Kli-
won maupun Wintara sampai terlempar berlawanan.

Seketika itu juga badai angin perlahan mereda. Giri 
Paksi dan istrinya tidak percaya dengan apa yang di-
perbuat Wintara. Ki Tapak Kliwon sendiri terkesiap 
murka. Maka sasaran utamanya adalah Wintara 
yang kini sudah bersiap dengan pukulan 'Bayu Meng-
hantam Karang'. Sebab ia tahu pasti lawannya akan 
menghantam menggunakan keris buntungnya.
Dugaan Wintara sangat tepat. Ki Tapak Kliwon 
mengibaskan sambaran keris buntung. Saat itu Winta-
ra belum sempat membuka jurusnya. Tanpa bisa di-
hindari lagi, sinar kebiruan menderu di tubuh Wintara. 
Ni Tambun Tambak memekik melihat tubuh Wintara 
terlontar dalam keadaan berdiri dan menyemburkan 
darah.
Pendekar Kelana Sakti itu sendiri duduk ber-
simpuh seperti kehabisan tenaga.
Wintara mencoba mengeluarkan jurus lain yang 
disebut jurus 'Selaksa Bayu Penjerat Nadi'.
Tepat sewaktu Ki Tapak Kliwon menggerakkan 
keris buntungnya, Wintara mengeluarkan jurus 
'Selaksa Bayu Penjerat Nadi'.
Jurus itu tepat menghantam tubuh Ki Tapak 
Kliwon dan mengakibatkan tubuhnya diam beberapa 
saat.
Tidak ada yang tahu kalau pengaruh jurus 
'Selaksa Bayu Penjerat Nadi' hanya dapat menghenti-
kan gerak seseorang beberapa saat. Setelah pengaruh 
itu benar-benar habis, nampak Ki Tapak Kliwon berge-
rak hebat. Ia telah menyadari kalau keris buntungnya 
sudah terlepas dari genggaman. Maka setelah laki-laki 
tua berambut putih itu telah terbebas dari pengaruh 
pukulan 'Selaksa Bayu Penjerat Nadi' ia menggeram 
hebat.
Di luar dugaan kedua lengannya mengepal erat. 
Dengan disertai teriakan yang menggelegar kedua tinjunya_ melayang mengarah pada batok kepala Wintara 
yang masih duduk mengatur pernafasan. Dalam ke-
sempatan yang hanya satu detik itu, Sengkala Getih 
menepis hantaman Ki Tapak Kliwon.... Benturan itu 
membledar di atas kepala Wintara.
Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak datang pula. 
Mereka bermaksud akan menyingkirkan Wintara dari 
situ. Namun tendangan Ki Tapak Kliwon menghalangi 
langkah mereka. Seketika itu juga terdengar bentakan 
nyaring yang keluar dari mulut Wintara. Keadaan yang 
masih terduduk itu,
Wintara memutar lengannya. Nampak jelas len-
gan itu bergulung-gulung. Lalu dengan gerakan yang 
sangat cepat kedua telapak tangannya menghantam. 
"Deeeer...!"
Ki Tapak Kliwon memekik nyaring. Tubuhnya 
langsung ambruk celentang di tanah. Wintara sendiri 
tidak tahu, entah jurus apa yang barusan ia kelua-
rkan. Yang dia lakukan hanyalah melepaskan jurus te-
rakhir yang dia miliki. Mungkin juga itu jurus 'Tinju 
Bayu Delapan Penjuru'. Sebutan jurus andalan yang 
pernah dikuasai oleh tokoh maha sakti Eyang Buana 
Penangsang. Dari hantaman itu terlihat pula kedah-
syatan jurus tersebut. Ki Tapak Kliwon tewas seketika 
dengan seluruh urat-urat daging menonjol ke luar. 
Wintara tetap duduk menghimpun tenaganya lagi. Ke-
ringatnya mengucur deras di sekujur tubuhnya. Seng-
kala Getih menatap tubuh Ki Tapak Kliwon yang ter-
kapar mengerikan.
"Wintara.... Rupamu sudah tidak karuan begini. 
Perlukah aku salurkan tenaga hawa murni untuk me-
mulihkan kembali tenagamu?" sapa Giri Paksi. Wintara 
tidak menyahut. Saat Giri Paksi menyentuh punggung 
Wintara, terasa sekali hawa dingin menyelubungi selu-
ruh tubuh pemuda ini. Ni Tambun Tambak dapat me

lihat keterkejutan suaminya.
"Aku tidak apa-apa, Paman. Sebentar lagi juga 
akan pulih dengan sendirinya. Bantu saja yang lain. 
Aku khawatir anak si Sengkala Getih itu tidak dapat 
bertahan." Tujuan kata-kata Wintara bermaksud pada 
Mandra Loka.
Giri Paksi maupun Ni Tambun Tambak terse-
nyum kecut memandang Mandra Loka berdiri lemas. 
Melirik pula mereka pada Buringan dan Murtiati berdi-
ri berdampingan mulai melangkah mendekat ke arah 
mereka. Tapi ketika kedua majikan Perguruan Tapak 
Angin ini menoleh pada Sengkala Getih.
Dipandang seperti itu Sengkala Getih melang-
kah mundur gerak geriknya seperti membuka jurus. 
Wintara yang sudah berdiri itu juga mengira kalau Giri 
Paksi dan Ni Tambun Tambak akan melancarkan se-
rangan. Maka ia cepat melangkah berdiri di antara me-
reka.
"Kita masih punya urusan yang sangat penting, 
Sengkala Getih. Dan kita tidak bisa menunda-nunda 
lagi." kata Giri Paksi.
"Antara kita memang selalu berurusan. Tidak 
heran kalau aliran sesat dan lurus selalu bentrok. 
Tunggu apalagi?" Sengkala Getih bersiap-siap dengan 
jurusnya. Kedua majikan Perguruan Tapak Angin ini 
berbalik senyum.
"Tidak usah pentang jurus begitu, Sengkala Ge-
tih. Kalau mau menjatuhkan dirimu dari tadi aku su-
dah melakukannya. Apalagi sekarang kau sudah terlu-
ka parah. Kau tidak lebih seperti seekor lalat sekarat." 
Sahut Ni Tambun Tambak. Mendengar ucapan Wintara 
ingin tertawa. Karena ia sudah mengetahui maksud 
pembicaraan mereka.
"Lalu urusan apa yang akan kau katakan pa-
daku?" Sengkala Getih makin bingung. Ia memandang

bergantian pada mereka.
"Tidak baik bicara panjang lebar dalam kea-
daan seperti ini. Undang saja Paman Sengkala Getih ke 
perguruan. Di sana kalian akan leluasa saling tukar 
pikiran." ujar Wintara yang sudah dapat menangkap 
maksud kedua majikan Perguruan Tapak Angin. "Ti-
dak! Tidak bisa! Sebelum aku mengetahui rencana ka-
lian, mana mungkin aku bisa ikut begitu saja terhadap 
kalian." jawab Sengkala Getih. Ni Tambun Tambak ber-
tolak pinggang, lalu ia menunjuk ke arah Buringan 
dan Murtiati yang sejak tadi memandangi mereka.
"Tidakkah kau lihat anakmu itu? Tanpa sepen-
getahuan kita mereka berani memadu kasih. Kalau 
aku tidak pernah merasa muda mungkin sudah kuha-
jar si Buringan." Ni Tambun Tambak menggertak.
"Kau juga jadi tua bangka sangat bertele-tele. 
Katakan saja dengan singkat kalau kita akan melamar 
anaknya." sergah Giri Paksi.
Spontan Sengkala Getih menoleh pada Murtiati 
yang berdampingan berdiri. Murtiati cepat menunduk 
saat Sengkala Getih menatap. Nafas Sengkala Getih 
jadi lega. Ia tidak mengatakan, Ya atau Tidak. Kecuali 
diam.
"Setuju atau tidak, aku tetap membawa Murtia-
ti untuk kujadikan menantuku." Ni Tambun Tambak 
bersikap galak. Lalu...
"Buringan! Bawa Murtiati ke perguruan. Biar 
aku yang mencarikan penghulu." Buringan menuruti 
perintah Ni Tambun Tambak. Keduanya melangkah ja-
lan. Mandra Loka mengikuti dari belakang. Langkah-
nya yang lunglai selalu jatuh bangun tanpa ada yang 
membantu.
Kemudian Giri Paksi dan Ni Tambun Tambak 
berlalu meninggalkan Sengkala Getih yang masih ber-
diri mematung. Kedua majikan Perguruan Tapak Angin

itu menyusul langkah-langkah Buringan.
Wintara tidak sampai hati meninggalkan Seng-
kala Getih sendirian. Lalu ia pun menarik lengan laki-
laki itu untuk mengikuti mereka kembali ke pergu-
ruan.
Pesta pernikahan berlangsung meriah. Seluruh 
partai perguruan aliran lurus datang menghadiri. Me-
reka berdatangan memberi salam pada kedua mem-
pelai, Buringan dan Murtiati. Pendek kata Perguruan 
Tapak Angin hampir penuh sesak oleh pentolan-
pentolan dari rimba persilatan.
Ni Tambun Tambak nampak menggiring semua 
tamu perempuan. Dia sengaja mengajak tamu-
tamunya ke ruangan lain, sedangkan Giri Paksi tetap 
menghadapi golongan laki-laki. Giri Paksi didampingi 
oleh Sengkala Getih yang selalu mengumbar senyum 
salah tingkah.
Dalam pertemuan itu mereka ramai membica-
rakan tokoh sakti macam Ki Tapak Kliwon. Tidak pu-
tus-putusnya Sengkala Getih menjawab pertanyaan-
pertanyaan mengenai kehebatan Keris Buntung Ki 
Srongot.
"Demi menjaga keamanan, keris tersebut kami 
hancurkan. Itu pun melalui tangan si pemuda hebat, 
Wintara." sumbar Giri Paksi matanya mengarah ke su-
dut ruangan di mana tadi Wintara dan Mandra Loka 
berada. Namun saat itu juga dilihatnya hanya Mandra 
Loka yang nampak. Wintara sudah tidak ada di situ.
"Ah, sungguh sayang kalau pusaka begitu he-
bat dipunahkan. Kenapa tidak di urus saja olehmu, Gi-
ri Paksi?" ujar orang yang mengerubungi Giri Paksi. 
Laki-laki itu tidak menjawab, matanya terus mencari-
cari seorang pemuda yang tadi bersama Mandra Loka. 
Tetap nihil.
"Kalau keris buntung berada di tangan Giri

Paksi, sudah pasti kita-kita yang akan menjadi mu-
suhnya." Sengkala Getih terpaksa menjawab. Karena 
dilihatnya tuan rumah sibuk mencari-cari seseorang.
"Aku sendiri sudah kapok. Giri Paksi tidak bo-
leh dianggap remeh." sambung Sengkala Getih.
Mendengar ucapan tokoh sesat yang mulai to-
bat ini semua orang jadi tertawa lebar. Mereka sudah 
merasakan kalau Sengkala Getih sekarang berada di 
pihak orang-orang aliran lurus. Demi mempererat hu-
bungan itu pula Sengkala Getih harus 'dikerjai'. Dia 
harus mengulangi arak pada setiap gelas-gelas mereka 
kosong.
Saat itu Giri Paksi beranjak dari kursinya. Ma-
tanya terus memandang berkeliling mencari Wintara. 
Pemuda yang dicarinya itu tetap tidak ditemui. Sekali-
pun ia sudah berjalan ke luar. Musik gending menga-
lun mengisi keramaian pesta itu. Giri Paksi kembali ke 
dalam untuk menemui para tamunya. Sepanjang ja-
lannya itu ia terus menggerutu.
"Pemuda hebat. Ia cepat merat saat aku menge-
tahui siapa sebenarnya. Dari mana ilmu yang sangat 
dahsyat itu kalau bukan Eyang Buana Penangsang 
mewarisi kepada Wintara. Rupanya dongeng yang ku-
ceritakan pada anak-anakku menjadi kenyataan juga...."


                                TAMAT









Share:

0 comments:

Posting Komentar