Cerita ini adalah fiktif.
Persamaan nama, tempat dan ide
hanya kebetulan belaka
DURJANA PEMENGGAL KEPALA
Oleh Buce L. Hadi
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi Baru Plaza, lantai 2-B69
H. Samanhudi No. l4, Jakarta-Pusat
Cover oleh: David G.
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama
Hak Cipta ada pada Penerbit
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit.
SATU
Bangunan yang satu-satunya berdiri di atas
bukit itu nampak menyeramkan. Apalagi dalam sua-
sana malam seperti ini. Bulan yang bulat penuh men-
gembang di balik bukit membuat bangunan itu makin
angker.
Suara-suara binatang malam pun mengelilingi
penuh suasana bukit. Diselingi dengan suara mengeri-
kan belasan burung hantu yang bertengger pada po-
hon kering yang ada di samping bangunan. Belasan
pasang mata mereka menyala bagai bara yang mene-
rangi tiap-tiap cabang pohon kering.
Bangunan itu sendiri rupanya sudah tidak ke-
ruan. Meskipun besar sepertinya sudah tidak terurus
lagi. Sekelilingnya semrawut bekas puing-puing. Tatka-
la angin berdesir, maka bau busuk menyengat meme-
nuhi bukit itu.
Di depan pintu bangunan berderet tangga batu
yang memanjang menurun ke bawah. Di sepanjang
kedua sisi tangga batu banyak berdiri tonggak-tonggak
kayu. Sinar bulan dapat menerangi dengan jelas apa
yang tertancap pada tiap-tiap kayu tonggak itu.
Mengerikan sekali. Kutungan bukit tersebut
menyebar bau busuk.
Dari kejauhan semuanya nampak dingin dan
menyeramkan. Terdengar juga daun jendela yang ber-
derak-derak tertiup angin, juga kepak-kepak sayap ke-
lelawar yang berterbangan keluar dari bangunan itu.
Namun semua pemandangan yang cukup
membangunkan bulu roma itu tidaklah membuat ta-
kut bagi kedua orang yang nampak menjajaki tangga
batu. Keduanya berjalan saling susul tanpa menoleh.
Langkah-langkah mereka sempoyongan. Orang yang
berjalan di belakang entah sudah berapa kali jatuh
bangun. Terkadang pula ia harus memanggil-manggil
orang yang berjalan mendahului.
"Kang... Aduuuuh, tunggu dulu, Kang.
Hoeeeek!" rintihnya sambil mengeluarkan muntah.
Pasti karena bau busuk itu.
"Rasanya aku hampir tidak sanggup berjalan
lagi. Aku tidak tahan dengan bau busuk begini." ka-
tanya lagi. Orang yang berjalan di depan tidak menya-
hut.
Mereka adalah kakak beradik yang akan menu-
ju bangunan itu. Entah ada maksud apa mereka sam-
pai berani mendatangi tempat semacam itu. Sebelum-
nya mereka sama sekali tidak mengetahui adanya se-
buah bangunan di atas bukit. Meskipun mereka seka-
rang tahu betapa seramnya. Tidak kepalang mereka
nekad mendatangi juga.
"Itukah tempatnya, Kang?... Rasanya aku tidak
berani masuk. Kau sajalah yang menemui Eyang Tum-
bal Segara. Biar aku tunggu di luar." kata sang adik
sambil menutup kedua lobang hidungnya dengan jari.
Ketika mereka tiba di depan pintu bangunan, mereka
berdiri berdampingan. Di tempat setinggi itu rupa me-
reka kelihatan jelas.
"Kita harus masuk bersama, Ambali Songka.
Jelas tujuan kita sama. Jadi kita tidak perlu takut apa
pun yang harus kita hadapi." jawab lelaki itu menatap
adiknya. Nampak wajah penuh berlumuran darah. Se-
belah kelopak matanya pecah. Untunglah tidak me-
nembus sampai ke bola mata.
Keadaan Ambali Songka lebih parah lagi. Selain
tubuhnya bersimbah darah. Telinga serta mulutnya
sapat seperti kena babatan pedang. Tentu saja sakit
kalau ia bicara.
"Tapi aku tidak tahan dengan suasana yang be-
gini, Kakang Basu Dewa. Keadaan di sini benar-benar
menjijikkan." kata Ambali Songka bergidik. Basu Dewa
memandang geram.
"Kita sudah sampai pada tempat tujuan. Mau
apa lagi? Mau coba-coba balik? Itu sama saja kita bu-
nuh diri. Bagi Eyang Tumbal Segara pantang gagal ke-
datangan tamu! Ayo masuk!" Basu Dewa menarik len-
gan Ambali Songka yang menutupi lobang hidungnya.
Keduanya serentak masuk melalui pintu. Sekali
dorong daun pintu itu berderak menguak. Tanpa ragu-
ragu Basu Dewa menuntun adiknya. Cukup terang
ruangan itu. Karena sinar bulan dapat langsung ma-
suk dari pintu dan jendela yang terbuka lebar.
Dan di dalam ruangan bangunan itu tidak ada
apa-apa. Dalam bangunan begitu lapang bagai sebuah
gudang. Lantainya dari susunan batu marmer. Di ten-
gah-tengah ruangan itu pula terdapat sebuah kolam
dengan airnya yang hitam keruh.
Hati-hati sekali kakak beradik itu masuk sema-
kin ke dalam. Mereka berhenti sampai terhalang oleh
kolam. Keduanya celingukan seperti mencari-cari se-
seorang.
"Eyang... Eyang Tumbal Segara? Di mana kau?
Kami datang untuk memohon petunjukmu." kata Basu
Dewa. Suaranya bergema dalam ruangan itu. Ambali
Songka berpegangan erat ketakutan.
"Tidak ada siapa pun di sini. Pasti kita telah sa-
lah alamat." ujar Ambali Songka.
"Di sini tidak lebih seperti tempat pejagalan."
katanya lagi. Basu Dewa tidak perduli dengan ucapan
Ambali Songka. Ia terus memanggil-manggil. Matanya
memandang berkeliling.
"Eyang Tumbal Segara...."
Mendadak saja air kolam yang hitam keruh itu
menggelegak. Buih-buih muncul bergelombang di ha-
dapan mereka. Ambali Songka hampir loncat karena
terkejut. Tapi Basu Dewa cukup tenang. Air kolam
makin bergelombang. Dari buih-buih muncul asap ke-
biruan mengepul, lalu terdengar juga suara parau ber-
bicara....
"Selamat datang, Cucuku... Selamat datang...
Tempat ini memang selalu terbuka untuk siapa saja."
Tidak ada siapa pun di situ selain mereka berdua. Tapi
jelas mereka dapat mendengar suara itu. Dan yang le-
bih yakin lagi kalau sumber suara itu berasal dari da-
sar kolam.
"E-E-Eyang... Kaukah itu?" Mata Basu Dewa
membelalak menatap yang tidak nampak ke arah ko-
lam.
"Ha ha ha ha...!" Terdengar suara tawa yang
menggelegar menggetarkan jantung mereka. Bersa-
maan dengan itu pula air kolam muncrat ke atas bagai
air mancur, kemudian...
"Siapa lagi yang mendiami tempat ini selain
aku, si Tumbal Segara... Hak hak hak hak..." Suara
parau menggema nyaring.
"Eyang..." Basu Dewa hampir-hampir tidak per-
caya mendengar suara parau itu dari dasar kolam.
"Kakang Basu Dewa... Aku takut." bisik Ambali
Songka.
"Hak hak hak hak hak... Kalau merasa takut
kenapa jauh-jauh nekad datang ke sini? Heh? Kalian
tahu bukan, aku selalu memenuhi apa pun permin-
taan kalian."
"Be-Benar, Eyang... Kami memang ingin me-
minta sesuatu pada Eyang..." jawab Basu Dewa mem
beranikan diri. Kedua matanya tidak berkedip menatap
air hitam yang mancur ke atas.
"Tidak usah kau sebutkan pun aku sudah tahu
maksud tujuanmu, Cucuku. Bagus-bagus... Tidakkah
kalian menyesal bersekutu denganku?" Suara Eyang
Tumbal Segara terdengar lebih menyeramkan.
"Ti-Tid-tidak, Eyang. Kami sudah berpikir pan-
jang lebar. Bagaimana pun kami harus membalas sakit
hati ini terhadap Amarsa Rawut. Dia pula yang mem-
buat aku terluka parah begini." tutur Basu Dewa.
"Hal itu mudah. Kau bisa melakukannya nanti.
Tapi sudahkah kalian tahu apa syarat-syaratnya.
"Apa pun yang Eyang minta pasti aku penuhi."
jawab Basu Dewa.
"Betul, Eyang Tumbal Segara harus membantu
kami. Tidakkah Eyang lihat sendiri rupa kami? Aku
yang tolol harus kehilangan telinga dan mulutku pun
hampir tidak ada bibirnya. Sedangkan Kakang Basu
Dewa nyaris kehilangan sebelah matanya." Ambali
Songka mulai berani buka suara. Air kolam itu bergo-
lak lagi....
"Setelah kalian bersekutu denganku, ka rupa
kalian akan kembali seperti semula. Juga tidak segan-
segan aku menurunkan ilmu paling dahsyat pada ka-
lian. Bukankah itu yang kalian pinta?"
"Be-Betul, Eyang. Kami memang berniat balas
dendam terhadap si keparat Amarsa Rawut!" jawab
Basu Dewa penuh semangat.
"Itu mudah saja. Asalkan kalian menyetujui
persyaratannya."
Dua kakak beradik ini diam. Mereka saling
pandang mendengar penuturan Eyang Tumbal Segara
yang berdiam di dasar kolam.
"Kalian harus mengirim kepala orang-orang berilmu tinggi setiap tujuh hari sekali. Sanggup?"
"Sanggup!" jawab Basu Dewa cepat.
"Sebenarnya masih ada kesempatan untuk ka-
lian berubah pikiran. Sebab dalam jangka waktu tujuh
hari tanpa menyerahkan sebuah kepala, maka kepala
kalian yang akan menjadi gantinya."
"Apapun resikonya akan kami sanggupi,
Eyang." jawab mereka bareng. Bersamaan dengan itu
pula air kolam membuih hebat. Asap kebiruan berbau
busuk mengepul lebih banyak. Terdengar juga suara
tawa parau yang menggelak-gelak...
"Hak hak hak hak hak hak hak hak hak hak...
Kalau begitu mulai sekarang kalian telah menjadi se-
kutu ku. Nah bukalah semua pakaian kalian, lalu ber-
sila di hadapan kolam ini. Kalian akan menerima pe-
nyucian diri." Mendengar perintah Eyang Tumbal Se-
gara, Basu Dewa dan Ambali Songka langsung menu-
ruti. Dalam waktu yang singkat, mereka sudah duduk
bersila telanjang bulat menghadap ke kolam.
Keduanya tidak berani membuka mata selama
bersila. Yang mereka rasakan hanyalah bau busuk
menyengat hidung. Mereka tak tahu kalau asap kebi-
ruan itu mulai menyelubungi tubuh mereka berdua.
Terasa pula air kolam begitu dingin begitu menyiprat
ke arah mereka. Air kolam seakan menyiram mereka
berkali-kali.
Tanpa sepengetahuan mereka pula sesuatu
muncul dari permukaan kolam yang menggolak. Sosok
tubuh berjubah hitam. Wajahnya tidak begitu jelas,
karena jubah itu langsung menutupinya. Ketika sosok
itu menyembul dan berdiri di atas permukaan air. Ma-
ka terlihatlah sosok menyeramkan. Kedua belah tan-
gannya erat menggenggam dua buah kapak berkilat.
Kedua lengan itu terangkat ke atas saat ia tertawa
menggelegak.
"Hak hak hak hak..." Suara tawa itu mengusir
asap kebiruan dan masuk kembali ke dasar kolam.
Tempat itu menjadi terang dengan seketika. Sinar me-
nyilaukan memancar memenuhi seluruh ruangan. Dua
sosok telanjang bulat menggigil. Ketika mereka mem-
buka mata. Terlihatlah sosok tubuh berjubah hitam
berdiri di atas permukaan air.
"Beginilah rupa Eyang Tumbal Segara, cucu-
ku... Dan kalian tidak perlu takut."
Sosok itu masih mengangkat kedua lengannya.
Terlihat dua buah kapak berkilat sangat tajam.
"Kalian telah ku sempurnakan sebagaimana
seutuhnya manusia." Mendengar ucapan itu, kedua-
nya langsung memperhatikan tubuh mereka sendiri. Di
tubuh mereka tidak nampak lagi bekas-bekas lumuran
darah maupun luka. Ambali Songka tidak percaya saat
ia memegang luka-lukanya. Mulut serta daun telin-
ganya yang semula sipat, kini telah utuh kembali. Be-
gitu juga dengan Basu Dewa. Kelopak matanya yang
pecah telah sembuh tanpa bekas. Mereka tidak lebih
seperti bayi yang baru lahir. "Terima kasih, Eyang...
Terima kasih." "Hak hak hak hak hak... Mana pernah
Eyang Tumbal Segara kepalang tanggung dalam meno-
long orang!" kata sosok berjubah hitam. Lalu tawanya
membahana lagi....
"Hak hak hak hak hak..." Suara tawa itu sam-
pai terdengar keluar bangunan. Burung-burung hantu
yang banyak bertengger di atas cabang pohon kering
beterbangan menyingkir. Juga kutungan-kutungan
kepala yang menancap pada tiap-tiap tonggak yang
berderet di sepanjang tangga batu bergetar hebat. An-
gin menderu-deru menimbulkan suara yang mena-
kutkan.
Bercampur aduk dengan suara tawa yang
menggelegak lantang. Sedangkan di kejauhan bangu-
nan itu tetap tegar berdiri seolah-olah tidak terjadi
apa-apa. Entah apa yang akan dilakukan Eyang Tum-
bal Segara terhadap dua kakak beradik di dalam ban-
gunan itu. Yang jelas setelah suara tawa maupun an-
gin berhenti, tempat itu kembali sunyi dan menyeram-
kan begitu dingin.
*
* *
DUA
Dua kakak beradik itu sebenarnya murid-murid
dari Perguruan 'Bukit Sampar'. Mereka telah diusir
mentah-mentah dalam keadaan luka parah begitu oleh
guru besarnya sendiri. Liung Sanca guru besarnya me-
rasa dipermalukan oleh perbuatan kedua muridnya
itu.
Bagaimana tidak. Mereka kedapatan menga-
niaya dan memperkosa salah seorang murid perem-
puan dari Perguruan 'Guci Perak'. Untung saja kedua
perguruan itu berhubungan sangat baik. Kalau tidak,
sudah pasti orang-orang 'Guci Perak' tidak memberi
ampun terhadap dua pendekar cabul itu. Bagus pula
Nalantili belum terlanjur diperkosa. Meskipun begitu,
Amarsa Rawut sebagai murid tertua perguruan 'Guci
Perak' tidak kepalang tanggung memberi hajaran ter-
hadap mereka.
Liung Sanca sendiri tidak bisa bertindak apa-
apa melihat dua orang muridnya menerima hukuman
itu di depan mata. Terlebih lebih Amarsa Rawut meng
hajarnya dalam lingkungan Perguruan 'Bukit Sampar'.
Hal itu Liung Sanca sendiri yang meminta, karena su-
dah banyak kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh
Basu Dewa dan Ambili Songka. Tentunya perbuatan
mereka telah mencoreng nama besar Perguruan 'Bukit
Sampar'. Itulah sebabnya Liung Sanca mengusir mere-
ka mentah-mentah. Dan juga tetap merahasiakan
keaiban itu.
Tiap hari Liung Sanca mendatangi Perguruan
'Guci Perak' untuk sekedar meminta maaf dan membe-
ri pengobatan terhadap gadis Nalantili. Atas dasar hu-
bungan mereka yang sangat erat, Ki Raka Banjaran
serta putranya Amarsa Rawut masih mau memandang
muka. Dan menganggapnya seolah-olah peristiwa itu
hanyalah kejadian kecil. Bagaimana pun Liung Sanca
merasa kikuk bila menghadapi para pentolan 'Guci Pe-
rak'.
"Luka-luka Nalantili tidak begitu parah, Liung
Sanca. Jangan terlalu dipikirkan. Biar saja ini menjadi
urusan kami." ujar Raka Banjaran setelah melihat
Liung Sanca memeriksa sekaligus mengobati gadis Na-
lantili.
"Mana bisa begitu... Kalau tidak ulah dua mu-
rid cabul itu. Nalantili tidak mungkin begini. Sudah
sewajarnya kalau aku sebagai guru mereka bertang-
gungjawab," tukas
Liung Sanca. Mereka berjalan beriringan menu-
ju ruang tamu. Amarsa Rawut putra tunggal majikan
Perguruan 'Guci Perak' berada di situ.
"Sebenarnya aku merasa malu. Khususnya di-
hadapanmu, Ki... Sudah sewajarnya kalau Amarsa
Rawut anakmu menghajar mereka. Aku pun telah
mengusirnya." kata Liung Sanca lagi. Ki Raka Banjaran
tersenyum.
"Kenapa harus demikian, seharusnya mereka
tidak perlu kau usir... Aku rasa sikap buruk mereka
masih bisa diatasi..." kata Ki Raka Banjaran. Ia mem-
persilahkan Liung Sanca duduk. Beberapa bantalan
empuk berlapis kain sutra sudah tersedia di ruangan
itu.
"Paman Liung Sanca, maafkan atas kekasaran
yang telah kuperbuat terhadap Basu Dewa dan Ambali
Songka. Aku betul-betul sudah lupa daratan waktu
itu..." sapa Amarsa Rawut.
"Tidak! Tidak ada yang perlu disesalkan untuk
kedua murid cabul itu, Amarsa. Tindakanmu sangat
tepat. Kenapa tidak sekalian kau habisi saja keduanya.
Aku pun sudah merasa sangat dipermalukan oleh ulah
mereka " jawab Liung Sanca.
"Ah, mana boleh bertindak sampai sejauh itu."
tukas Amarsa Rawut. "Aku pun harus menjaga hu-
bungan erat perguruan kita. Kalau pada hari itu sam-
pai ada korban nyawa, apa kata rekan-rekan yang
lain?" sambung Amarsa Rawut lagi.
Liung Sanca terdiam mendengar ucapan putra
tunggal Ki Raka Banjaran. Pendapat itu memang be-
nar. Peristiwa aib yang hampir menghancurkan kedua
perguruan itu tidak ada satu pun yang tahu. Dari ke-
dua belah pihak sengaja merahasiakannya.
"Aku cukup bangga dengan putra tunggalmu
ini, Ki Raka Banjaran. Kau telah berhasil mendidiknya
jadi manusia yang berguna. Menyesal aku tidak memi-
liki anak seorang pun. Sekalinya punya dua murid an-
dalan, malah melumuri mukaku dengan tahi." tutur
Liung Sanca. Ucapan itu membuat Ki Raka Banjaran
ngakak.
"Ha ha ha ha... Itu salahmu sendiri, kenapa se-
jak kematian istrimu kau tidak cepat-cepat kawin lagi.
Sekarang baru menyesalinya. Tapi jangan kau pikir
mengurus anak itu gampang. Satu orang macam
Amarsa Rawut saja aku sudah kewalahan." gurau Ki
Raka Banjaran menimpali.
Merasa disinggung-singgung. Amarsa Rawut
menjadi salah tingkah. Ingin sebenarnya ia meninggal-
kan ruangan itu. Tapi ia tidak punya satu alasan pun.
Malah ia ikut terlibat dalam pembicaraan itu.
"Tentunya Perguruan 'Guci Perak' sudah punya
satu andalan. Dan bila terjadi sesuatu kau tidak perlu
turun tangan, ki Raka Banjaran." Liung Sanca memuji.
"Tidak juga, Paman." sela Amarsa Rawut.
"Ayah selalu merasa khawatir dan menganggap
aku masih bau kencur." Amarsa Rawut menggerutu.
"Masa anak sebesar ini masih belum dipercaya
untuk berdiri sendiri. Bukankah ayahmu sudah meli-
hat bagaimana hebatnya kau sewaktu menghajar dua
muridku itu. Padahal ayahmu sendiri tahu, Basu Dewa
dan Ambali Songka cukup menguasai ilmu perguruan
'Bukit Sampar'. Aku sendiri pun hampir tidak percaya
akan kehebatanmu." Kata-kata Liung Sanca ditujukan
pada Amarsa Rawut. Ki Raka Banjaran mencibir.
"Jangan terlalu dipuji. Nanti tambah besar ke-
pala. Baru memiliki ilmu seujung kuku sudah mau be-
rontak dari pengawasan ku,"
"Tuh, Paman dengar sendirikan?" ujar Amarsa
Rawut seraya bangkit dari bantalan empuk. Ayahnya
membiarkan anaknya melangkah meninggalkan ruan-
gan. Tapi langkah-langkah Amarsa Rawut maupun
pembicaraan dua orang tua ini jadi terhenti mendadak.
Nalantili sudah keluar dari kamarnya dan san-
gat kebetulan sekali menemui mereka. Semuanya
nampak diam menatap gadis itu. Sebenarnya Nalantili
gadis yang cantik, namun dalam keadaan babak belur
begitu kecantikannya seakan hilang. Sudah lama pula
secara diam-diam Amarsa Rawut memperhatikannya.
Saat itu pun ia tidak lepas memandangi Nalantili. Ga-
dis itu sendiri memandang penuh rasa dendam.
"Bagaimana perasaanmu, Nalantili. Aku tidak
bisa membayangkan betapa besar maluku." ucapan itu
tulus keluar dari mulut Liung Sanca. Ia lebih terpukul
lagi karena Nalantili tidak menjawab. Ki Raka Banjaran
cepat mengatasi situasi bisu itu...
"Duduklah, Nalantili... Kau tidak boleh menya-
lahkan Liung Sanca. Jelas itu perbuatan Basu Dewa
dan Ambali Songka. Mereka sudah dihajar habis oleh
Amarsa Rawut. Dan aku rasa itu sudah lebih dari cu-
kup." tegas Ki Raka Banjaran.
Setelah memberi hormat pada sang guru, gadis
itu duduk menggantikan posisi Amarsa Rawut. Putra
tunggal Ki Raka Banjaran tidak jadi keluar ruangan. Ia
menatap terus sosok gadis yang babak belur.
"Guru serta Paman Liung Sanca harus menger-
ti. Tidak mungkin bisa melupakan kejadian itu begitu
saja. Ingin rasanya aku sendiri turun tangan untuk
menghajar kekurangajaran mereka." ucap Nalantili
menunduk. Ki Raka Banjaran menghela nafas.
"Tidak perlu lagi diperpanjang. Liung Sanca su-
dah menyadari akan kesalahannya. Dan juga ia sudah
banyak membantu dalam mengobati luka-lukamu."
"Aku tidak memikirkan diriku, Guru. Semuanya
sudah terlanjur... Hanya aku khawatir kalau-kalau
perbuatannya akan terulang lagi terhadap gadis-gadis
lain, atau mungkin juga sudah ada yang menjadi kor-
ban nafsu binatang mereka." kata Nalantili hampir
menangis. Ucapan itu cukup menggedor jantung Liung
Sanca sebagai gurunya selalu menutupi tindak tanduk
mereka. Tapi kali ini....
"Terserah pada pendirianmu, Nalantili. Aku se-
bagai gurunya telah menghapus nama mereka di per-
guruan. Setelah kau sembuh betul, kau boleh mem-
buat perhitungan dengan mereka. Aku sudah lepas
tangan. Mereka bukan tanggung jawab perguruan la-
gi." jawab Liung Sanca.
"Kalau begitu mereka akan kuhabisi!" Tiba-tiba
saja Nalantili menggeram. Ki Raka Banjaran sampai
terkejut.
"Nalantili, keadaanmu masih belum pulih. Se-
baiknya kembalilah ke kamar atau keluar menghirup
udara segar. Jangan memperuncing suasana. Aku ti-
dak ingin pembicaraanku dengan Liung Sanca ter-
ganggu." Ki Raka Banjaran berkata tegas. Dengan le-
mah pula Nalantili bangkit. Melihat itu pun Amarsa
Rawut mendapat kesempatan membantu gadis itu me-
langkah. Jalan yang ditujunya ke luar.
Di luar pekarangan itu pula banyak berkumpul
murid-murid Perguruan 'Guci Perak'. Mereka semua
memperhatikan langkah-langkah Amarsa Rawut begitu
hati-hati menuntun Nalantili menyusuri teras gedung.
Sampai menghadap ke arah kebun, Amarsa Rawut
menarik kursi kayu untuk Nalantili. Dengan hati-hati
pula laki-laki itu menuntun duduk. Dirasakan kesaba-
ran Amarsa Rawut terhadap Nalantili. Gadis itu bu-
kannya tidak tahu kalau putra tunggal gurunya ini su-
dah lama diam-diam memperhatikannya. Dan ia seper-
ti bergetar setiap pandangan mereka bertemu. Apalagi
dalam keadaan seperti ini, sudah dua hari Amarsa Ra-
wut mendampinginya. Pantas saja kalau putra tunggal
majikan Perguruan 'Guci Perak' itu sampai kalap turun
tangan menghajar dua laki-laki hidung belang yang
menganiaya Nalantili. Sementara itu di dalam ruangan,
Ki Raka Banjaran masih duduk menghadap Liung
Sanca.
"Maafkan kami, Liung Sanca. Semua murid-
muridku memang keras kepala.. ujar Ki Raka Banjaran
mengusik kebisuaan mereka.
"Ah. Itu hak mereka. Aku pikir itu bukan keras
kepala namanya. Sudah sewajarnya kalau ia mengelu-
arkan isi hati di luar kesadarannya sendiri. Meskipun
dengan kata-kata itu aku sebenarnya terpukul. Mau
dibilang apa? Toh, aku hanya mengangkat bahu."
Liung Sanca mengeluarkan pendapat. Ki Raka Banja-
ran manggut-manggut.
"Untuk itulah kau jangan mengambil hati."
Liung Sanca tidak menjawab kecuali mengge-
leng mengumbar senyum. Pembicaraan mereka makin
hangat dan akrab. Memang begitulah sikap kedua pen-
tolan perguruan itu. Baik Ki Raka Banjaran maupun
Liung Sanca selalu menjaga nama baik perguruan
yang mereka pimpin.
Hubungan erat dua perguruan itu sudah men-
jadi buah bibir dari perguruan-perguruan lain. Sudah
tentu hal ini membuat perguruan lain semakin iri. Ti-
dak sedikit perguruan lain yang masuk untuk mempe-
rerat hubungan. Untuk itu pun Ki Raka Banjaran sela-
lu menyambut dengan tangan terbuka. Dengan demi-
kian persatuan rimba persilatan semakin kuat terjalin.
Dalam hal ini pun Perguruan 'Bukit Sampar'
ternyata lebih cocok berhubungan baik dengan orang-
orang 'Guci Perak'. Mereka saling bahu membahu me-
nangani tugas. Antara murid-murid mereka pun semu-
la berlangsung sangat baik. Seperti gadis Nalantili, se-
belumnya memang akrab dengan Basu Dewa dan Am-
bali Songka. Dua andalan Perguruan 'Bukit Sampar'
ini selain berilmu tinggi juga memiliki wajah yang san-
gat tampan. Itulah sebabnya kalau dulu Nalantili sela
lu menghindar dari Amarsa Rawut putra tunggal gu-
runya.
Tidak jarang Amarsa Rawut merasa cemburu
setiap Nalantili kedatangan dua orang murid dari Per-
guruan 'Bukit Sampai Tapi sekarang Amarsa Rawut
seperti mendapat kesempatan untuk lebih. dekat
menggiring Nalantili.
Gadis itu sendiri seperti sudah kehilangan pe-
gangan. Ia tidak menyangka kalau dua kakak beradik
itu sampai tega menganiaya bahkan nekad bermaksud
memperkosanya. Keakraban itu seolah-olah sirna ter-
makan api dendam.
"Aku telah salah menilai mu, Kakang Amarsa
Rawut. Tapi secepat ini pula bisa dirobah. Dua bajin-
gan itu tidak akan lepas dari tanganku..." Nalantili
memandang ke arah kebun. Pandangannya kosong.
Amarsa Rawut tetap berdiri di sampingnya.
"Dua cecunguk itu bukan apa-apa dibanding
kita, Nalantili. Kau bisa melepaskan dendammu. Tapi
ayah menghendaki lain. Kalau mau bertindak, bertin-
daklah tanpa sepengetahuan ayahku... Percayalah aku
akan membantu." kata Amarsa Rawut memberi se-
mangat.
"Kakang lihat saja nanti. Hukuman yang pantas
untuk mereka adalah dikebiri!" Mata Nalantili berapi-
api.
*
* *
TIGA
Bulan bersinar penuh menerangi pelataran Perguruan 'Guci Perak'. Murid-murid perguruan itu berke-
lompok-kelompok pada tiap-tiap ruang tidur mereka
yang menghadap halaman. Ada juga yang duduk-
duduk di depan teras membicarakan sesuatu. Tiga
orang nampak sedang membakar sampah di sudut pa-
gar.
Ketiga orang ini tidak henti-henti melirik ke
samping teras. Terkadang pula mereka saling bisik.
Seorang lagi nampak tertawa cekikikkan. Bagaimana
tidak? Sejak tadi mereka mengintip dua muda mudi
yang duduk berdampingan menghadap kebun. Mereka
tidak lain Amarsa Rawut bersama Nalantili. Hari itu
luka-luka memar di tubuh gadis itu mulai hilang... Itu
berkat pengobatan rutin dari Liung Sanca. Guru besar
dari Perguruan 'Bukit Sampar' ini hampir tiap hari
berkunjung.
Kalau tidak untuk sekedar membicarakan soal
pendapat, paling-paling mereka mengisi kekosongan
dengan bermain catur jawa. Tidak ada yang berani
mengusik ketenangan mereka berdua. Apalagi kedua-
nya berdiam pada tempat pribadi Ki Raka Banjaran.
Amarsa Rawut sendiri putra tunggalnya tidak berani
mengusik kalau tidak terpaksa betul.
"Ah, salah...! Salah besar. Tidak semestinya aku
menjalankan mentri." pekik Liung Sanca menghadapi
papan catur. Ia mengepal tinjunya sendiri.
"Salah sendiri. Kenapa kurang hati-hati dalam
melangkah. Kalau begini rajamu terpaksa mati oleh
seorang prajurit." tukas Ki Raka Banjaran sambil mele-
takkan buah catur. Liung Sanca menarik nafas.
"Cukup saja sampai di sini permainan kita, Ki.
Aku merasa bukan tandinganmu lagi. Beberapa hari
ini kau selalu unggul." Liung Sanca memberesi semua
buah catur yang berantakan.
"Itu karena kau kurang teliti. Sebenarnya lang-
kah-langkahmu sudah bagus." jawab Ki Raka Banja-
ran.
"Tapi nyatanya kau selalu unggul, bukan?"
Liung Sanca tertawa mengekeh. Ia cepat bangkit. La-
lu....
"Tidak terasa hari telah larut. Mengurusi per-
mainan catur sampai lupa pada urusan perguruan."
"Ah, kenapa mesti terburu-buru. Kita bisa main
sekali lagi."
"Percuma. Aku tidak bakal mampu menandingi
mu." jawab Liung Sanca. Terpaksa pula Ki Raka Banja-
ran mengantar sampai ke pintu ruangan. Sampai di si-
tu Liung Sanca berjalan sendiri menerobos pekaran-
gan. Setelah Liung Sanca betul-betul lenyap dari pan-
dangan mata, barulah Ki Raka Banjaran kembali ma-
suk ke dalam kamar pribadinya. Maka tempat itu
kembali sunyi. Para murid yang tadi nampak duduk-
duduk di teras maupun di pekarangan sudah tidak
ada sama sekali. Begitu juga dengan Amarsa Rawut
serta Nalantili. Mereka sudah kembali ke kamarnya
masing-masing. Yang terdengar hanyalah letup-letup
api bakaran sampah.
Saat itu dalam keremangan sinar bulan, dua
sosok tubuh gesit melompati pagar halaman yang se-
tinggi hampir tiga meter. Dua sosok itu langsung me-
nyelinap pada bagian-bagian, paling gelap. Kedua mata
mereka memandang mengitari tiap-tiap kamar yang di
terangi dengan sebuah pelita. Suara merik binatang
malam tidak diperdulikannya. Keduanya menyusup
mengendap-endap semakin berani.
Tubuh mereka merapat ke tembok, tujuannya
sebuah kamar yang nampak lebih bagus dan terang
dari kamar lainnya. Dengan langkah-langkah yang halus mereka terus menyusuri teras mencapai ruangan
terang itu. Di pinggang mereka terselip masing-masing
sebilah kapak berkilat. Jelaslah kalau mereka berdua
tidak lain Basu Dewa dan Ambali Songka.
"Biar aku yang memenggal kepala si keparat
Amarsa Rawut, Kakang." bisik Ambali Songka. Seperti
biasa Basu Dewa jarang sekali bicara. Namun begitu ia
selalu memenuhi permintaan adiknya.
"Yang mana kamarnya? Di sini terlalu banyak
kamar. Sukar sekali kita menentukan adanya Amarsa
Rawut." Ambali Songka selalu banyak bicara. Basu
Dewa memperhatikan ruangan terang yang sudah be-
rada depannya.
"Pasti ini kamarnya. Aku yakin betul." Sambil
berkata demikian, Basu Dewa melesat ke atas. Seben-
tar saja ia sudah berada di atas genting. Saat itu pun
Ambali Songka mengikuti. Ketika Ambali Songka bera-
da di dekat kakaknya, Basu Dewa sudah membuka
beberapa genting. Maka dengan mudah pula ia dapat
masuk melalui atap. Tanpa mengeluarkan suara kedu-
anya tahu-tahu sudah berada dalam ruangan itu.
Ki Raka Banjaran terkejut bukan main. Belum
sempat ia memejamkan mata. Dia sudah melihat dua
orang tamu tak diundang. Apalagi kedatangannya itu
dengan cara yang tidak masuk diakal. Dua kakak be-
radik ini sendiri seperti tersentak. Mereka tidak mengi-
ra kalau di ruangan itu ada Ki Raka Banjaran. Sudah
tentu mereka telah salah masuk. Dan Ki Raka Banja-
ran sudah terlanjur memergokinya.
"Tidak kusangka dua cecunguk keparat berani
datang ke sini. Apakah kalian sudah bosan hidup?"
hardik Ki Raka Banjaran. Basu Dewa maupun Ambali
Songka menyeringai. Dalam kesempatan itu majikan
Perguruan 'Guci Perak' menggertak pura-pura meraih
pedangnya.
"Tua bangka keparat. Mulai detik ini umurmu
sudah tamat. Dan bakal menyusul pula anakmu
Amarsa Rawut." Kedua anak muda ini malah menarik
gagang kapak. Keduanya bersikap mulai menyerang.
Darah dalam dada Ki Raka Banjaran tersirat. Ia
seperti mengernyitkan alls. Ada sesuatu yang lain ter-
hadap dua anak muda kakak beradik ini. Ki Raka Ban-
jaran masih ingat betul bagaimana Amarsa Rawut
menghajar mereka. Dalam ingatannya masih jelas saat
pedang anaknya menghantam putus telinga serta me-
robek mulut Ambali Songka. Basu Dewa pun demikian,
kelopak matanya sebelah hampir pecah nyaris buta.
Tapi sekarang yang dilihatnya seperti mimpi.
Tidak ada tanda-tanda bekas luka di bagian muka me-
reka. Ambali Songka tetap memiliki sepasang telinga
serta bibir yang masih mulus. Basu Dewa tetap dengan
sorot mata yang tajam tanpa cacat, mustahil sekali.
Bagaimana ini bisa terjadi? Ki Raka Banjaran melihat
sendiri Liung Sanca yang mengamuk menghajar mere-
ka.
"Tidak usah heran, Ki. Kami berdua memang
arwah-arwah gentayangan." kata Ambali Songka tidak
kalah gertak.
"Kalau begitu kalian akan kukirim kembali ke
Akherat. Karena di sanalah tempat manusia-manusia
terkutuk macam kalian!" bentak Ki Raka Banjaran.
Lengannya cepat menyambar pedang. Maka sambaran
pedangnya langsung diarahkan pada posisi berdiri me-
reka...
"Bweeet!" Desiran anginnya menderu nyaring.
Kedua kakak beradik ini cepat melompat ke atas
menghindari sambaran pedang laksana kilat.
Lalu secara berbarengan pula mereka menyam
but dengan hantaman kapaknya Gerakan itu sangat
cepat. Sukar sekali bagi Ki Raka Banjaran untuk
menghindar, maka... "Craaas!" Sebelah lengannya ter-
sambar kapak Basu Dewa. Untung hanya tergores. Ta-
pi ia cepat-cepat berbalik untuk menghadapi serangan
berikutnya.
Ketika sambaran kapak Ambali Songka melun-
cur deras dari arah belakang. Ki Raka Banjaran memu-
tar pedangnya ke belakang. Namun tangkisan dengan
pedang itu percuma. Saat senjata mereka beradu di be-
lakang Ki Raka Banjaran. Benturan itu terdengar nyar-
ing... "Traak!" Ki Raka Banjaran memekik, karena pe-
dang dalam genggamannya patah dua, bahkan kutun-
gan pedangnya melukai punggungnya sendiri.
"Ha ha ha ha...! Sudah kubilang malam ini
nyawa rentamu akan berakhir!" kata Basu Dewa me-
nyeringai. Kapaknya berkelebat lagi.
Ki Raka Banjaran cepat merunduk... "Weees!"
Hampir saja kepalanya putus. Hanya dalam beberapa
gebrakan saja majikan Perguruan 'Guci Perak' sudah
kewalahan. Ki Raka Banjaran sendiri benar-benar ti-
dak mengerti. Kenapa mereka berdua tiba-tiba saja
mendadak hebat. Tiap serangan mereka selalu nyaris
merenggut nyawanya. Padahal Ki Raka Banjaran tahu
kepandaian Basu Dewa dan Ambali Songka jauh di-
bandingkan dengan anaknya. Kenapa malam ini justru
Ki Raka Banjaran yang bakal terpojok oleh babatan-
babatan sepasang kapak maut.
Tentu saja dalam menghadapi dua kakak bera-
dik yang sudah nekad ini, Ki Raka Banjaran harus
mengerahkan tenaganya. Tiap kali ia membalas seran-
gan seakan sangat mudah dapat dielakkan. Ilmu pe-
dang 'Guci Perak' seakan-akan tidak ada artinya sama
sekali. Basu Dewa makin gigih menyambarkan kapak
nya ke arah kepala. Apalagi Ambali Songka. Serangan-
nya menggebu-gebu berputar di sekitar tubuh Ki Raka
Banjaran.
Meskipun pedang dalam genggaman Ki Raka
Banjaran telah buntung, ia tetap mempertahankan se-
lembar nyawanya. Serangan-serangan mereka tidak
main-main lagi. Tiap babatan kapak mereka hampir
menyerupai sinar biru. Berkali-kali Ki Raka Banjaran
menyambut babatan-babatan kapak. Maka detik itu
juga pedangnya habis termakan.
Gerakan-gerakan Ki Raka Banjaran sendiri su-
dah bagaikan sebuah bola yang bergerak ke sana ke
mari berkelit menghindar setiap sambaran kapak. Dan
ia betul-betul sukar untuk membalas serangan. Mana-
kala serangan kakak beradik ini tidak pernah ada ha-
bisnya.
Sampai pada akhirnya tubuh Ki Raka Banjaran
terbanting keras membentur meja hingga berantakan.
Tubuh tua itu langsung kelojotan tanpa menjerit. En-
tah kapan kepala Ki Raka Banjaran menggelinding di
lantai. Tahu-tahu saja kedua kapak di tangan Basu
Dewa maupun Ambali Songka sudah bersimbah darah.
Begitu pun lantai di mana tubuh tanpa kepala Ki Raka
Banjaran berkelojotan. Lantai batu itu memerah banjir
dengan darah.
Sebentar saja tubuh tanpa kepala itu kaku tak
berkutik. Dua kakak beradik yang masih menggeng-
gam kapak seperti tertawa menyeringai. Basu Dewa
cepat menyambar kutungan kepala. Tanpa dibungkus
dengan kain atau apa mereka membawa pergi kutun-
gan kepala Ki Raka Banjaran. Tentunya mereka mele-
wati atap yang telah berlubang.
*
* *
EMPAT
Masih pada malam yang sama, Liung Sanca be-
lum juga dapat memejamkan mata. Mungkin karena
terlalu pusing akibat bermain Catur sambil minum
arak bersama Ki Raka Banjaran tadi. Sebentar-
sebentar ia mengeluh. Tenggorokannya pun terasa ker-
ing. Maka ia segera melangkah pada meja air yang ada
di sebelah pembaringannya.
Begitu jernih air yang jatuh ke dalam gelas, ia
sudah membayangkan akan begitu nikmat tenggoro-
kannya yang kering tersiram air. Namun ketika ia
mengangkat gelas, tanpa sengaja pegangannya terle-
pas... "Trraaang!" Liung Sanca sendiri terkejut. Keluh-
nya semakin panjang. Tanpa memberesi pecahan bel-
ing ia mengganti dengan gelas yang lain.
Sementara itu pekarangan Perguruan 'Bukit
Sampar' betul-betul telah sepi. Semua penghuninya
sudah terlelap tidur. Pintu gerbang terkunci rapat.
Bangunan yang semuanya didirikan dengan kayu itu
dikelilingi dengan pagar bambu setinggi dua meteran.
Hanya beberapa lampu pelita yang menerangi peka-
rangan perguruan.
Bulan yang tadi bersinar penuh mendadak ge-
lap tertutup awan tebal. Sekalipun dalam keadaan ge-
lap, masih kelihatan dua sosok melompati pagar. Lesa-
tan tubuh mereka begitu halus. Dan hampir-hampir
tidak mengeluarkan suara saat kaki mereka menyen-
tuh tanah. Dengan sekali lesatan lagi pembicaraannya
itu. Siapa lagi orang yang berdiri dibalik pintu kalau
bukan Basu Dewa dan Ambali Songka. Bagaimana pun
Liung Sanca masih dapat mengenali suara itu.
"Kalian bukan lagi muridku. Untuk apa datang
di tengah malam buta begini. Pergi saja kalian. Orang-
orang 'Guci Perak' tidak akan memberi ampun lagi bila
menemukan mu." bentak Liung Sanca sengit.
"Kataku buka pintu! Ada yang ingin ku per-
sembahkan padamu!" jelas itu suara Ambali Songka.
"Keparat! Berani bicara sekasar itu padaku?
Lebih baik kalian kubikin mampus saja!" Liung Sanca
makin geram. Sebelum membuka pintu langkahnya
menuju pada senjata trisula yang tergantung di dind-
ing.
Namun sebelum Liung Sanca meraih senja-
tanya. Pintu kamar hancur berderak. Basu Dewa tidak
kepalang tanggung mendobrak pintu kamar dengan
kampaknya.
Setelah menyambar trisulanya, Liung Sanca
cepat berbalik. Saat itu pun Basu Dewa melemparkan
sesuatu ke arah mantan gurunya. Diperlakukan demi-
kian Liung Sanca cepat menyambut. Trisulanya men-
jurus ke depan. Sesuatu yang dilemparkan Basu Dewa
menembus tepat di ujung Trisula. Tapi setelah ia dapat
melihat ujung trisulanya, Liung Sanca memekik nyar-
ing. Setengah jijik dan setengah tidak percaya kalau
kutungan kepala Ki Raka Banjaran telah berada di
ujung senjatanya masih bersimbah darah.
"Dasar terkutuk. Kalian apakan Ki Raka Banja-
ran ini!" Liung Sanca menghardik. Ia sendiri tidak be-
rani menyentuh kutungan kepala itu. Tubuhnya berge-
tar menahan amarah. Basu Dewa dan Ambali Songka
hanya tertawa melihat sikap Liung Sanca.
"Dia meminta agar mampus bersama dengan-
mu, Liung Sanca! Hanya itu pesannya." Suara Ambali
Songka datar. Kapaknya yang berkilat tajam siap men-
garah.
"Bagaimana pun ini bukan perbuatan kalian.
Kalian tidak mungkin dapat melakukan ini. Majulah
manusia-manusia terkutuk! Rupanya kalian harus
mampus oleh tanganku sendiri!" Liung Sanca menarik
Trisulanya, maka kutungan kepala menjijikkan itu ja-
tuh dengan sendirinya.
"Sebenarnya aku hanya membutuhkan kepa-
lamu, Liung Sanca! Lain dari itu tidak!" kata Basu De-
wa. Tubuhnya bergeser ke samping. Begitu juga den-
gan Ambali Songka. Keduanya sama-sama menyingkir
menghindari terjangan Liung Sanca yang bagaikan
banteng.
Senjata trisula berputar terus mengarah ber-
gantian pada Basu Dewa dan Ambali Songka. Dua
anak muda itu dengan mudah dapat menghindar wa-
lau serangan Liung Sanca segencar apa pun. Hal itu
membuat mantan guru mereka jadi tercengang. Diam-
diam Liung Sanca mengakui akan keganjilan kedua
bekas muridnya ini.
Setan apa gerangan yang menyanding di dalam
tubuh mereka. Sampai-sampai serangan Liung Sanca
yang paling dahsyat sekalipun dapat dihindari. Malah
kedua kakak beradik ini dengan tenang menyambut
setiap serangan. Terkejut pula pada satu kesempatan
Liung Sanca melihat sebelah telinga Ambali Songka
masih tetap utuh.
Sambil menyerang Liung Sanca masih teringat
di mana ia menguburkan kutungan sebelah telinga
Ambali Songka. Bagaimana mungkin sekarang bisa
utuh kembali. Masih dalam keterheranannya, menda-
dak sebuah hantaman bersarang telak di punggung
Liung Sanca. Ia dapat melihat siapa yang baru saja
melepaskan hantaman dahsyat itu. Basu Dewa.
Cepat Liung Sanca membalas serangan Trisu-
lanya menyambar.
"Traang!"
Ambali Songka menyambut dengan sabetan
kapak. Terasa benturan senjata itu sampai berdenyut
di lengan Liung Sanca. Belum hilang getaran itu me-
nyusul lagi sambaran kapak mengarah pada batang
leher... "Bweeet!" Sambaran itu luput karena Liung
Sanca cepat merunduk. Namun ia tidak dapat menge-
lakkan tendangan dari Basu Dewa. Tak pelak lagi tu-
buh Liung Sanca berguling.
"Cepat, Kakang! Kita sudah tidak punya waktu
lagi!" teriak Ambali Songka. Maka dalam keadaan ter-
guling itu Liung Sanca mendapat serangan lagi. Lere-
tan sinar biru yang berasal dari kapak Basu Dewa
mengarah deras. Liung Sanca dapat melihat betapa
cepat kapak itu tanpa berkedip. Tanpa merasakan apa-
apa pula saat kapak itu menyambar putus leher Liung
Sanca.
Kepala kutung Liung Sanca langsung berdegum
di lantai. Hanya dengan sekali hentakkan kaki Basu
Dewa, kutungan kepala itu mencelat lagi ke atas. Maka
dengan mudah Ambali Songka menyambut dengan
tangkapan lengan kirinya.
Pada akhirnya mereka berdua bergegas ke luar
membawa dua kutungan kepala sekaligus. Satu kepala
Ki Raka Banjaran satu lagi kepala Liung Sanca. Na-
mun langkah-langkah mereka mendadak terhenti. Me-
reka terhalang oleh belasan murid Liung Sanca yang
berdatangan setelah mendengar suara ribut-ribut di
dalam kamar sang guru.
Kedapatan pula Basu Dewa dan Ambali Sangka
yang bermaksud meninggalkan ruangan itu. Sudah
tentu semua murid-murid Liung Sanca dapat melihat
apa yang di bawa oleh kedua kakak beradik ini. Ka-
ruan saja mereka langsung mengurung.
"Sungguh keterlaluan tindakan kalian. Mana
bisa kami membiarkan kejadian ini.
Kami semua murid atas nama Perguruan 'Bukit
Sampar', terpaksa akan membuat perhitungan." ben-
tak salah seorang murid Liung Sanca.
"Heh! Tidak lihatkah kalau kepala guru mu
yang sombong ini sudah berada di tanganku?" jawab
Basu Dewa sambil menunjukkan kutungan kepala
Liung Sanca ke arah mereka. Semuanya bergidik me-
natap kutungan kepala dengan mata melotot.
"Itu tandanya kalian tidak ada artinya sama se-
kali bagi kami. Ayo majulah, sudah semestinya kalian
berbakti pada Liung Sanca." sambut Ambali Songka.
"Keparat! Kalian bukan lagi orang-orang 'Bukit
Sampar' apa yang perlu ditakuti? Serang!"
Maka tidak kepalang orang-orang itu langsung
mengepung. Malah sudah ada yang menyerang mem-
babatkan pedang. Namun nasib mereka begitu buruk.
Mereka terlalu memandang remeh dan bernafsu. Tidak
menyangka kalau sambaran kapak Basu Dewa mem-
bawa maut. Sekali sabet menyilang. Tiga orang tergul-
ing kelojotan dengan isi perut menghambur ke luar.
Ambali Songka tidak tinggal diam. Tanpa ragu
ia maju menghadapi kepungan yang sebenarnya bekas
saudara-saudara seperguruannya. Sambaran-
sambaran kapaknya bergerak mengeluarkan sinar biru
mencabut nyawa tanpa ampun. Setiap sambaran ka-
paknya itu selalu dibarengi dengan jerit kesakitan yang
menyayat. Bagai srigala-srigala lapar dua kakak bera-
dik ini buas mencabik-cabik setiap tubuh para penge-
pung.
"Kepala-kepala kalian tidak cukup berharga ba-
gi kami. Tapi bukan berarti kami segan untuk mengi-
rim kalian ke akherat menyusul Liung Sanca.
Hreaaaaaaat!" teriak Basu Dewa, tindakannya lebih
sadis. Setiap sambaran kapaknya mampu mengguling-
kan lima orang sekaligus. Korbannya rata-rata tewas
dengan tenggorokan yang menyemburkan darah.
Melihat itu pun Ambali Songka makin berse-
mangat. Ia melancarkan serangan lebih gencar. Hasil-
nya membuat para murid Liung Sanca merasa kewala-
han. Hanya dalam tempo yang sangat singkat mereka
tinggal empat orang, Tentu saja keempat orang ini
menjadi gentar. Apalagi melihat semua saudara seper-
guruannya telah tewas bergelimpangan bersimbah da-
rah.
"Mulai besok tidak ada lagi nama besar Pergu-
ruan 'Bukit Sampar'. Sebab..." Basu Dewa tidak melan-
jutkan kata-katanya. Ia sengaja melemparkan kapak-
nya. Seperti bumerang kapak itu melayang. Menyam-
bari kepala empat orang yang masih berusaha menye-
rang.
"Guru dan semua murid-muridnya sudah habis
tanpa sisa!" Basu Dewa melanjutkan ucapannya. Saat
itu kapaknya telah kembali dalam genggaman. Bersa-
maan dengan itu pula empat orang tanpa kepala jatuh
kelojotan. Ambali Songka sudah berdiri tenang meme-
gangi kapaknya yang berlumuran darah.
"Dua pentolan rimba persilatan sudah kita
singkirkan, Kakang. Kita bakal merajai dunia. Seluruh
orang-orang persilatan dari empat penjuru akan berte-
kuk lutut." kata Ambali Songka.
"Hm... Mereka semua akan menyerahkan kepa-
lanya!" sahut Basu Dewa. Ia memungut kembali ku-
tungan kepala Ki Raka Banjaran. Ambali Songka men-
gambil kepala Liung Sanca. Tanpa bicara lagi keduanya pergi.
*
* *
Ketika matahari mulai nampak dari balik bukit,
orang-orang Perguruan 'Guci Perak' pating serabut
menuju ke sebuah ruangan. Mereka semua terkejut
mendengar teriakan Nalantili yang bermaksud akan
mengantarkan teh hangat untuk Ki Raka Banjaran.
Mendengar itu pun Amarsa Rawut langsung
berlari. Dilihatnya ruangan pribadi sang ayah telah
penuh. Di pintu kamar telah penuh sesak. Ketika
Amarsa Rawut muncul orang-orang itu sengaja mem-
beri jalan. Anak muda itu pun langsung mendapatkan
Nalantili duduk menangisi tubuh Ki Raka Banjaran.
Amarsa Rawut hampir berteriak menatap tubuh sang
ayah terbujur bersimbah darah kering tanpa kepala.
"Ayah...." pekik Amarsa Rawut tertahan. Selu-
ruh ruangan itu telah berantakan, papan serta buah
catur berserakan.
"Pastilah ini perbuatan Liung Sanca. Bukankah
semalam ia berada di sini, perginya pun tidak keta-
huan lagi." kata Nalantili.
"Betul, Tuan Muda. Selama ini Liung Sanca lah
yang sering menjumpai guru. Siapa lagi kalau bukan
dia. Kita harus menuntut balas!" Orang-orang itu mu-
lai masuk memenuhi ruangan.
"Ini pasti menyangkut persoalan Nalantili.
Liung Sanca sengaja balas dendam atas perlakuan
Tuan muda Amarsa Rawut terhadap kedua muridnya."
Yang lain menimpali. Seketika itu juga Amarsa Rawut
menggeram. Dengan penuh amarah ia bangkit.
"Sebagian orang mengurus di sini. Sebagian lagi
ikut aku. Kita akan menagih hutang darah ini seka-
rang juga." Nada suara Amarsa Rawut datar mengua
sai dirinya.
"Apa maksudnya ia membawa kepala Ayahku.
Betul-betul suatu penghinaan!" Langkahnya cepat ke-
luar. Nalantili ikut menyusul. Sedangkan di belakang-
nya hampir semua murid Perguruan 'Guci Perak' men-
gikuti mereka.
Pedang Amarsa Rawut sudah terselip di ping-
gang. Nalantili malah sudah bersiap-siap dengan pe-
dang terhunus di tangan. Orang-orang yang mengiringi
juga begitu. Masing-masing terselip senjata di pinggang
mereka. Dari golok sampai pedang bahkan tombak.
Keberangkatan mereka menuju Perguruan
'Bukit Sampar' sangat menyolok. Sudah tentu menjadi
bahan perhatian orang-orang sedesanya. Tanpa berani
pula orang-orang kampung berani menegur atau
menghalangi langkah-langkah mereka.
Orang-orang Perguruan 'Guci Perak' sangatlah
disegani di desa itu. Sepak terjangnya selalu melin-
dungi rakyat. Membela keadilan sampai tuntas. Kalau
hari ini orang-orang kampung melihat mereka terburu-
buru dengan senjata di tangan, mereka sudah mengira
pastilah ada persoalan yang teramat besar. Belum per-
nah orang-orang kampung melihat semua orang Per-
guruan 'Guci Perak' sebanyak itu dalam menghadapi
satu urusan.
Dari kejauhan mereka sudah melihat Pergu-
ruan 'Bukit Sampar' berdiri tenang. Pintu gerbangnya
masih tertutup rapat. Langkah-langkah mereka diper-
cepat.
*
* *
LIMA
"Dar...! Dar...! Dar...! Amarsa Rawut menggedor
pintu gerbang kuat-kuat. Pintu tidak mau terbuka.
Kesal sekali ia menendangi pintu. Nalantili yang sudah
terlanjur dendam mendapat jalan pintas. Tubuh ram-
pingnya melesat ke atas melompati pagar. Melihat cara
Nalantili yang lain mengikuti. Saat itu pun Amarsa
Rawut sudah dapat mendobrak pintu.
Sampai di pekarangan mereka langsung me-
nyerbu ke arah bangunan. Mereka tidak berani menye-
rang sebelum mendapat perintah dari Amarsa Rawut.
Nalantili dan Amarsa Rawut berjalan ke depan mena-
tap bangunan yang nampak begitu sunyi. Mereka me-
natap pintu seperti dirusak orang. Kedua daun pin-
tunya sudah menggeletak di tanah topang tindih. Me-
reka jadi penasaran.
Amarsa Rawut memberanikan diri masuk ke
dalam. Pedangnya siap dilancarkan pada siapa saja
yang ditemuinya. Namun nyatanya ruangan itu betul-
betul sepi. Tidak satupun orang-orang 'Bukit Sampar'
yang mereka dapati. Nalantili langsung mengobrak-
abrik seluruh ruangan itu.
Yang lain mengikuti langkah-langkah Amarsa
Rawut. Ketika mereka sampai pada ruangan paling da-
lam. Mereka menghentikan langkah. Semua mata me-
mandang ke arah pada belasan mayat yang bergelim-
pangan mengerikan. Karuan saja mereka semua melu-
ruk ke arah itu.
Kemarahan mereka tiba-tiba saja sirna saat
melihat sosok tubuh tanpa kepala. Meskipun tubuh itu
tanpa kepala, mereka masih bisa mengenalinya. Siapa
lagi selain Liung Sanca.
"Astaga... Paman Liung Sanca." Amarsa Rawut
mendekati sosok itu. "Paman pun mengalami nasib
yang sama seperti ayah."
"Tuan muda... Kepalanya pun hilang. Siapa
orang yang tega berbuat seperti ini. Dan yang lebih
mengerikan lagi semua anak buah Liung Sanca tewas
semua. Beberapa orang kehilangan kepala. Tapi masih
utuh berada di sini, kecuali kepala Liung Sanca. Pem-
bunuh itu sengaja membawanya."
Nalantili memasukkan kembali pedangnya ke
dalam sarung. Ia melangkah pelan mendekati keru-
munan itu.
"Mungkinkah ini perbuatan dua murid terkutuk
itu?" sela Nalantili. Sorot mata Amarsa Rawut menga-
takan tidak.
"Pembunuhan ini seperti sengaja telah di ren-
canakan. Dalam satu malam ia bisa mengalahkan ayah
serta Liung Sanca. Pastilah pembunuh itu memiliki il-
mu yang sangat tangguh." kata Nalantili lagi.
"Setangguh apapun dia, kita harus dapat men-
carinya. Ini satu pukulan berat bagi orang-orang rimba
persilatan. Sebaiknya kita beri kabar seluruh penjuru.
Biar kita mengurusi mayat-mayat ini."
Orang-orang Perguruan 'Guci Perak' mulai
memberesi tempat itu. Satu demi satu mayat-mayat itu
dikeluarkan. Amarsa Rawut melangkah ke luar dengan
lemas. Dendamnya semakin bertumpuk.
"Nalantili... Untuk sementara perguruan kita
tutup dulu. Sebelum kita tahu di mana adanya si Pe-
menggal kepala itu berada aku tak akan kembali."
"Kau mau pergi, Kakang? Di mana tanggung
jawabmu terhadap perguruan?" balas Nalantili.
"Tetap diam di perguruan bukan berarti mele-
paskan tanggung jawab, Nalantili. Justru kalau aku
bertanggung jawab atas kematian ayah dan perguruan
harus pergi mencari pembunuh ayahku."
"Kalau begitu aku ikut." tukas Nalantili. "Jan-
gan. Bukankah kau sendiri punya urusan dengan Ba-
su Dewa dan Ambali Soka?"
"Tapi soal perguruan lebih penting."
"Saat ini pikiranku sedang kalut, Nalantili. Jan-
gan membantah perintahku. Kau harus tetap mengu-
rus perguruan."
"Kakang, kau..." Amarsa Rawut tidak perduli. Ia
terus melangkah meninggalkan Nalantili berdiri sendi-
rian. Dipandanginya Amarsa Rawut pergi semakin
jauh.
*
* *
Di puncak bukit, reruntuhan bangunan batu
menyeramkan itu bergetar. Juga pohon kering yang
tumbuh di samping bangunan seakan berderak-derak.
Terdengar suara tawa yang menggema dari dalam ban-
gunan tua itu. Bau busuk masih menyengat. Tangga
batu yang berliku memanjang ke bawah tetap diiringi
dengan tonggak-tonggak kayu. Di mana setiap tong-
gaknya menancap sebuah kutungan kepala.
"Hak hak hak hak...." Gema suara tawa itu sea-
kan menggetarkan jantung. Namun bagi Basu Dewa
dan Ambali Songka tidaklah membuat takut atau pun
ngeri. Ia tetap berdiri di dalam ruangan gelap mengha-
dap sebuah kolam. Di bawah kaki mereka menggeletak
kutungan kepala masih meneteskan darah.
"Hak hak hak hak...! Bagus, Cucuku... bagus...!
Kalian telah menepati janji. Baru saja enam hari kalian
sudah mengantarkan dua kepala sekaligus.... Hak hak
hak...!" Suara itu bersumber dari dasar kolam. Saat itu
pun permukaan air kolam menggolak. Dua kakak be-
radik ini tetap diam memandangi permukaan air mem-
buih. Dari situ pula muncul sosok berjubah hitam.
"Maaf, Eyang Tumbal Segara.... Harap Eyang
sudi menerima persembahan ini." Basu Dewa mengha-
turkan sembah. Ambali Songka mengikuti gerakan ka-
kaknya.
"Saat ini kami belum bisa membawa kepala
Amarsa Rawut. Tapi kami cukup puas dengan ilmu
serta kapak yang eyang titipkan pada kami. Kedahsya-
tannya melebihi tanpa batas. Kami tidak menyangka
kalau kami dapat membawa kepala mereka ini." kata
Basu Dewa menunjuk ke bawah kakinya.
"Hak hak hak hak...! Setelah kau memiliki ilmu
dariku, Amarsa Rawut tidak berarti lagi bagi kalian.
Dia tidak lebih penting. Masih banyak orang-orang
yang berilmu tinggi di seluruh penjuru angin. Justru
kepala mereka yang ku inginkan." Suara Eyang Tum-
bal Segara menggema.
"Memang demikian tujuan kami, Eyang. Kami
berdua bermaksud akan merajai dunia persilatan. Tin-
dakan kami tidak akan kepalang tanggung." jawab Ba-
su Dewa.
"Bagus...! Bagus...! Orang-orang seperti kalian-
lah yang pantas bersekutu dengan ku!! tapi ingat...
perjanjiannya setiap tujuh hari sekali kalian harus
menyerahkan sebuah kepala padaku. Kalau sampai
gagal...."
"Kami paham, Eyang... Eyang Tumbal Segara
tidak perlu khawatir. Kami pasti akan menepati janji."
Basu Dewa memotong pembicaraan Eyang Tumbal Se-
gara. Seketika itu juga tawa Eyang Tumbal Segara
menggelegak lagi. Permukaan air kolam membuih lebih
deras.
"Tancapkan dua kepala itu pada tonggak yang
sudah kusediakan, Cucuku.... Di sana masih banyak
tonggak-tonggak yang kosong menunggu." Sosok hitam
itu menunjuk ke luar. Pandangan Basu Dewa dan Am-
bali Songka mengikuti. Mereka menatap puluhan tong-
gak berderet mengikuti liku-liku tangga batu yang me-
nurun ke bawah.
"Sebentar lagi tonggak-tonggak itu akan penuh
dengan kepala-kepala manusia Eyang.... Kami telah
berjanji akan bersekutu denganmu sungguh-sungguh."
Basu Dewa menatap tajam ke arah Eyang Tumbal Se-
gara.
Ambali Songka melangkah ke luar membawa
kutungan kepala. Ia menuruni anak tangga batu. Di-
lewatinya tonggak-tonggak
kayu yang telah menancap kutungan-kutungan
kepala membusuk. Bahkan ada juga yang telah tinggal
tulang tengkorak. Sampai pada tonggak-tonggak yang
kosong, Ambali Songka menancapkan kepala-kepala
yang dibawanya.
"Huak hak hak hak...! Aku merestui kalian me-
rajai dunia persilatan, Cucuku.... Asal kalian pun me-
nepati janji.... Hak hak hak hak...!"
*
* *
Pemuda yang mengenakan baju kulit binatang
ini sejak tadi duduk di bawah pohon rindang. Ia meng-
geleng-gelengkan kepala mengumbar senyum. Sudah
dua hari ini ia melihat para penduduk Desa Babaleng-
ka mengemasi barang-barangnya. Hari ini lebih ramai
lagi. Hampir semua penduduk mengumpulkan barang
barang di atas pedati.
Pemuda yang tidak lain Pendekar Kelana Sakti
ini jadi tidak habis pikir. Dan sudah menduga kalau
penduduk itu hendak mengungsi. Kenapa mereka se-
mua harus meninggalkan desa yang subur ini? Dipan-
danginya semua kesibukan para penduduk. Juga seke-
liling desa. Di sebelah sana memang ada sebuah gu-
nung berapi, tapi tidak ada tanda-tanda mau meletus.
Apa yang menyebabkan mereka begitu ketakutan?
Tanya Wintara dalam hati.
Beberapa pedati sudah pergi meninggalkan de-
sa. Wintara merasakan kalau kepergian mereka san-
gatlah buru-buru. Ia tersenyum pula saat beberapa
anak kecil melambai-lambaikan tangannya di atas
tumpukan barang. Pedati-pedati itu bergerak berbaris
menuju ke satu arah.
Paling terakhir Wintara melihat satu keluarga
kaya yang mengemasi barang-barangnya. Di depan
rumahnya yang cukup bagus telah menunggu empat
buah pedati yang lebih besar dari pedati-pedati tetang-
ganya. Tergerak pula hati Wintara untuk mendekati
orang kaya itu.
Anak istrinya telah duduk memegang barang-
barang di atas pedati. Dua orang pelayannya memban-
tu majikannya memuat barang. Orang kaya itu lang-
sung menoleh saat Wintara sudah berdiri di samping-
nya. Wintara sendiri mendadak terkejut, orang kaya itu
pucat pasi seketika. Dua orang pelayannya langsung
berdiri bersikap melindungi majikannya.
"Paman, apa sebenarnya yang terjadi pada
kampung ini? Kenapa semua penduduknya pergi men-
gungsi?" tanya Wintara seramah mungkin. Melihat si-
kap baik Wintara, orang kaya itu mengernyitkan alis.
Ia memberi aba-aba pada dua pelayannya agar meneruskan memuati barang-barangnya.
"Anak muda.... Sebaiknya kau pun harus ce-
pat-cepat menyingkir dari sini. Desa ini sudah teran-
cam oleh perampok yang menamakan dirinya Durjana
Pemenggal Kepala." Keterangan orang kaya ini mem-
buat Wintara tercengang.
"Durjana Pemenggal Kepala?" desah Wintara
seakan tak percaya.
"Hm... Durjana-durjana itu buas bagai serigala
yang selalu memenggali kepala korban-korbannya." ka-
ta orang kaya itu lagi. Dua pelayannya menghampi-
rinya.
"Tuan, semua sudah beres. Kita bisa berangkat
sekarang." Orang kaya itu tidak menyahut, ia malah
meneruskan pembicaraannya dengan Wintara.
"Kau lihat sendiri. Kampung ini telah kosong.
Kami tidak ingin tinggal di sini sendirian!"
Wintara mengawasi sekeliling kampung. Me-
mang telah sunyi. Kecuali pedati-pedati milik orang
kaya ini yang penuh dengan barang-barang. Anak is-
trinya sudah menunggu di atas tumpukan barang. Se-
pertinya mereka sudah tidak sabaran untuk segera
meninggalkan desa.
"Maaf anak muda, kami harus pergi sekarang.
Kalau pun kau mau ikut, silahkan. Pedati-pedati mi-
likku masih bisa kau tumpangi." ujar orang kaya itu
seraya melangkah menuju ke arah pedati paling depan,
di mana anak istrinya menunggu. Wintara baru saja
mau melangkah, tapi tiba-tiba sajak kuda-kuda pena-
rik pedati itu meringkik-ringkik seakan berontak. Su-
sah payah orang kaya itu membujuk.
Ternyata di hadapan mereka telah menghadang
tiga orang bertampang menyeramkan. Tiga orang itu
menunggangi kuda dan mengatur langkah-langkah
kudanya menghampiri mereka. Wintara memandang
tanpa berkedip.
"Bagus, kami belum datang terlambat, Raden.
Di kampung ini cuma kau satu-satunya orang terkaya.
Sasaran kami cuma kau." kata salah seorang yang mu-
lai turun dari kuda. Nampaklah sebilah golok selebar
telapak tangan terselip di pinggang. Orang kaya itu
mendadak mundur, anak istrinya ketakutan di atas
pedati.
"Kami menginginkan barang-barangmu, Dan
kau boleh berbaris di sana untuk ku penggal satu demi
satu." Dua orang menyeramkan turun mengikuti sa-
habatnya. Mereka sudah mencabut golok. Dua pelayan
orang kaya itu berdiri gemetar melihat majikannya te-
rancam.
"Sabar, Tuan-tuan...." sela Wintara, tapi ia ti-
dak meneruskan kata-katanya, karena dua orang itu
langsung memberi tatapan yang sangar.
"Rupamu lebih buruk daripada pelayan itu,
Anak muda. Bahkan nyawamu lebih murah. Kami utu-
san-utusan Durjana Pemenggal Kepala tidak sampai
hati menghirup darah segarmu, menyingkirlah!" Sam-
bil berkata begitu, ia mendorong Wintara.
*
* *
ENAM
Wintara hanya mundur selangkah saat orang
yang mengaku utusan Durjana Pemenggal Kepala
mendorong. Pendekar Kelana Sakti ini malah nyengir.
"Masih ada juga seorang durjana yang bermu
rah hati. Mujur benar nasibku hari ini." kata Wintara
yang sebenarnya mengejek.
"Kau terlalu banyak mulut, Anak muda! Ru-
panya kau ingin mampus lebih dulu!" Goloknya berke-
lebat cepat menghantam tenggorokan. Namun sebelum
golok itu menyentuh, Wintara menepis dengan sebelah
tangannya. Orang itu memekik hebat, goloknya terle-
pas dari pergelangan tangan. Lalu Wintara menam-
bahkan dengan tendangan memutar... "Des!" Kontan
terpental menimbun kedua temannya yang masih ber-
diri keheranan.
Wintara menarik orang kaya itu ke belakang-
nya. Tiga orang utusan Durjana
Pemenggal Kepala siap menyerang serempak.
Wintara tenang menghadapi mereka. Ketiganya lang-
sung melancarkan babatan golok. Tanpa bergeser Win-
tara memutar kedua lengannya.... "Splak...! Bug...!
Bug...!" Dua orang terjungkal sambil memeganggi da-
da, seorang lagi seloyongan menjerit-jerit dengan len-
gan yang patah.
"Aku jadi heran, kemampuan kalian sebenar-
nya cuma untuk menakut-nakuti anjing. Kenapa orang
sekampung ini pada takut terhadap kalian?" Wintara
bertolak pinggang memandangi mereka bangkit.
"Kau boleh tertawa, Anak muda. Kelak kau
akan tahu rasa akibatnya Durjana Pemenggal Kepala
tidak akan mengampuni mu!" Mereka mengancam. Ke-
tiganya menaiki kudanya lagi.
"Begitu bodohkah majikan kalian? Mana pantas
kalian jadi utusan-utusannya." ejek Wintara lagi.
"Kau akan lari terbirit-birit bila berhadapan
dengan majikan kami, Anak muda! Kepalamu bakal
menggelinding ke tanah!" Seseorang menggertak. Win-
tara nyengir....
"Mendengar namanya jantungku memang ham-
pir copot, tapi justru aku makin penasaran untuk me-
lihat rupa si durjana." Wintara menantang. Ketiga
orang itu tidak menyahut, mereka sudah menghela
kuda-kudanya.
Sebentar saja kuda-kuda itu telah menggelind-
ing meninggalkan mulut desa. Yang nampak hanyalah
kepulan-kepulan asap debu di bawah derap kaki-kaki
kuda mereka. Orang kaya ini memandang kagum pada
Wintara yang berdiri di hadapannya. Ia tidak me-
nyangka akan kehebatan serta keberanian pemuda
yang baru ditemuinya ini. "Anak muda, menyingkirlah
dari sini! Durjana Pemenggal Kepala pasti akan datang
ke sini untuk menemuimu. Kau tak bakal mampu
mengalahkannya. Menurut kabar sudah banyak orang-
orang persilatan macam kau yang tewas di tangannya."
Wintara menghargai kekhawatiran orang kaya itu...
"Sebaiknya kau ikut kami, mungkin itu akan
lebih baik daripada bakal berhadapan dengan si Dur-
jana Pemenggal Kepala. Orang kaya itu mulai naik ke
atas pedati di samping anak istrinya. Dua pelayannya
menaiki pedati dengan gemetar.
"Terima kasih, Paman. Aku sudah terlanjur un-
tuk menemui si Durjana Pemenggal Kepala. Kalaupun
nanti aku tewas di tangannya, mungkin sudah menjadi
takdir ku." jawab Wintara.
"Aku sudah cukup menasehati mu. Aku tidak
akan memaksa atau menunggu lagi Karena kami ha-
rus pergi mengungsi secepatnya."
"Selamat jalan, Paman. Aku doakan selamat da-
lam perjalanan."
Tanpa berkata apa-apa lagi ke empat pedati te-
risi penuh dengan muatan barang-barang melaju. Pe-
dati-pedati itu menyusul iring-iringan pedati lainnya
yang sudah pergi menjauh. Nampak seperti kereta
yang berderet menyusuri sepanjang jalan.
Wintara belum beranjak dari tempatnya. Kedua
matanya terus memandangi kesibukan-kesibukan
orang kampung mengendalikan pedati-pedati. Hanya
dalam beberapa saat kampung itu menjadi sepi, ko-
song melompong. Wintara berdiri bagai patung di ten-
gah-tengah pelataran desa.
Sampai sejauh mana kekejaman Durjana Pe-
menggal Kepala itu, sehingga seluruh penduduk kam-
pung ini rela meninggalkan tanah kelahirannya. Kalau
cuma nama kosong belaka tidak mungkin semua pen-
duduk mengungsi. Yang jelas ini suatu cengkraman
kekejaman di luar batas. Seperti apa kehebatan Durja-
na Pemenggal Kepala sehingga orang-orang dari rimba
persilatan tidak ada yang sanggup mengatasinya?
Mustahil pula kalau orang-orang persilatan te-
tap berpangku tangan. Toh dengan munculnya tokoh
sesat ini sudah barang tentu menjadi persoalan yang
tidak sepele. Wintara jadi kalut sendiri.
Ia melangkah menuju pada sebuah balai di de-
pan teras gubug. Santai pula ia duduk bersandar. Di-
rasakannya kampung itu seperti mati. Tidak ada sege-
lintir manusia pun yang nampak selain dirinya. Sung-
guh beda dengan beberapa hari yang lalu. Ketika per-
tama kali ia menginjakkan kakinya di sini. Meski da-
lam suasana ketakutan, ia masih bisa melihat kera-
maian kampung itu yang subur.
Setengah harian penuh ia berada di kampung
yang sunyi. Belum juga ada tanda tanda pasukan Dur-
jana Pemenggal Kepala menampakkan diri. Kalau me-
reka sekelompok durjana yang disegani, pastilah me-
reka akan datang memenuhi tantangan Wintara
Mata Wintara sendiri sebentar-sebentar menelusuri jalan-jalan kecil yang menghubungkan ke desa
itu. Cukup berdebar juga ia menunggu tokoh sesat
yang menamakan dirinya Durjana Pemenggal Kepala.
Mendadak saja ia bangkit berdiri. Ketika dari kejauhan
ia melihat sosok tegap menuju kampung itu. Tanpa
menunggangi kuda, juga tanpa pengawal. Sebilah pe-
dang berkilat menyilaukan tertimpa sinar matahari.
Langkah-langkah lelaki itu sangat cepat. Winta-
ra kembali duduk berusaha tetap tenang. Ia sudah ya-
kin Durjana Pemenggal Kepala telah datang memenuhi
tantangannya. Kali ini ia datang sendiri.
Ketika laki-laki itu memasuki kampung, ia su-
dah melihat Wintara duduk sambil balas menatap. Le-
laki yang baru datang itu sesungguhnya tidak lain
dari Amarsa Rawut. Sebelum ia mendekati Wintara, di
pandangi suasana kampung yang sepi bagai mati. Lalu
ia melangkah lagi. Wintara berdiri menanti kedatangan
Amarsa Rawut.
"Sobat, cuma kaukah satu-satunya penduduk
kampung ini?" tanya Amarsa Rawut. Pandangannya
berkeliling mengawasi sekitar tempat itu. Wintara ce-
pat menjawab....
"Aku bukan penduduk kampung, aku sendiri
tidak mengerti kenapa semua penduduk lari ketakutan
dengan seorang tokoh bernama Durjana Pemenggal
Kepala?"
"Pemenggal Kepala?" Amarsa Rawut balik ber-
tanya. Ia seperti tersentak mendengar ucapan Wintara.
"Kenapa? Bukankah kau sendiri yang menyan-
dang gelar itu?" kata Wintara lagi sambil memalingkan
muka. Lalu meneruskan kata-katanya lagi...
"Aku merasa terpanggil untuk menumpas tokoh
sesat itu. Kalau kau benar adanya si Durjana Pemeng-
gal Kepala, sebaiknya jangan sungkan-sungkan untuk
memenuhi tantanganku." Nada suara Wintara tenang.
"Ngawur! Justru aku datang sampai ke sini un-
tuk mencari tahu di mana adanya si durjana itu. Bebe-
rapa perguruan telah hancur oleh perbuatannya. Ter-
masuk ayahku. Kalau kau tahu di mana dia berada
katakanlah...." Perkataan Amarsa Rawut seperti me-
nuntut.
"Mana aku tahu. Aku sendiri belum pernah me-
lihat batang hidungnya. Tapi aku yakin dia pasti da-
tang untuk memenuhi tantanganku." Wintara membela
diri.
"Namaku Amarsa Rawut dari Perguruan 'Guci
Perak'. Mati hidup si durjana itu harus berada di tan-
ganku."
"Ah, sobat Amarsa Rawut.... Aku yang hina ini
hanya seorang pengelana biasa bernama Wintara. Dur-
jana Pemenggal Kepala adalah seorang tokoh sesat.
Siapa pun berhak menumpasnya. Di tanganku mau-
pun tanganmu sama saja. Yang jelas tujuan kita sama.
Alangkah baiknya kalau kita saling bahu-membahu."
"Terima kasih.... Tentunya anda seorang penge-
lana yang sangat hebat, Saudara Wintara. Menerima
bantuan seorang hebat seperti anda, tentunya aku ti-
dak akan menolak."
"Belum apa-apa sudah memuji.... Siapa tahu
kita berdua hanya mengantarkan nyawa di sini." Win-
tara bergumam.
Keduanya duduk di balai. Wintara tidak kese-
pian lagi setelah kedatangan seorang pendekar dari
Perguruan 'Guci Perak' ini, Pembicaraan mereka tidak
lepas dari Durjana Pemenggal Kepala. Namun demi-
kian keduanya sama-sama menaruh rasa curiga.
Amarsa Rawut sengaja membeberkan peristiwa yang
melanda Perguruan 'Guci Perak' maupun 'Bukit Sampar'. Dari cerita itu Wintara sudah menafsirkan betapa
besar rasa dendam terhadap Durjana, Pemenggal Ke-
pala. Dari situ pula Wintara bisa mengukur kehebatan
durjana itu.
Tapi kenyataan yang ia hadapi tadi ketika me-
nolong seorang kaya di kampung ini, sepertinya ada
yang lain. Tidak mungkin tokoh sesat itu mengutus
anak buahnya yang begitu mudah dilumpuhkan oleh
Wintara. Dan juga ada rasa menyesal membiarkan ke-
tiga utusan Durjana Pemenggal Kepala melarikan diri.
"Keparat itu rupanya sudah menguasai seluruh
wilayah ini. Sungguh hebat. Sepak terjangnya sama
sekali tidak memperdulikan orang-orang rimba persila-
tan." selak Wintara.
"Itu karena dua guru besar dari Perguruan
"Guci Perak" dan "Bukit Sampar" telah tewas. Orang-
orang rimba persilatan seperti telah kehilangan pegan-
gan. Mereka pun semakin merajalela melancarkan tan-
gan jahatnya." Amarsa Rawut menimpali.
"Dan juga...." ucapan Amarsa Rawut terhenti.
Keduanya mendadak bangkit dari balai. Mereka men-
dengar derap kaki kuda yang begitu banyak. Mata me-
reka langsung mengarah pada kepulan asap debu yang
bergulung-gulung memasuki kampung. Dari situ me-
reka bisa melihat belasan ekor kuda berikut penung-
gangnya yang mengacung-ngacungkan senjata.
"Mereka datang!" bisik Wintara.
"Siapa?" tanya Amarsa Rawut tidak lepas me-
mandang kuda-kuda itu. Seluruh penunggangnya ber-
wajah garang. Wintara masih mengenali ketiga orang
yang tadi di biarkannya melarikan diri.
"Siapa lagi kalau bukan kelompok Durjana Pe-
menggal Kepala."
Darah Amarsa Rawut langsung tersirap men
dengar penjelasan Wintara. Dia langsung melompat
menyambut pasukan berkuda itu. Wintara menghen-
takkan kakinya, tahu-tahu saja dia sudah beriring dan
dengan Amarsa Rawut. Pasukan berkuda itu berhenti.
Para penunggangnya yang seram-seram menyeringai
menakutkan. Semuanya serempak turun dari kuda.
Kecuali seseorang yang berperawakan gemuk
dan berkepala botak. Wajahnya yang tanpa alis namun
membawa kesan menyeramkan itu tetap duduk di atas
kudanya memandang remeh terhadap Wintara mau
pun Amarsa Rawut. Dua bilah golok besar terserong di
punggungnya. Ia mengatur langkah kudanya mende-
kati dua pemuda itu.
"Cuih! Segala dua cecoro sawah berani menan-
tang. Kalian tidak lebih bagai dua orang jembel yang
tidak pantas kurampok dan kupenggal. Menghadapi
kalian sama saja membuang tenaga."
"Kaukah Durjana Pemenggal Kepala?" tanya
Amarsa Rawut sekaligus membentak.
"Hua ha ha ha....." Si Botak gemuk itu tertawa.
Dadanya sampai naik turun. Lalu...
"Sudah tahu begitu kenapa masih berani berdi-
ri di hadapanku? Ayo cepat berlutut dan jangan coba-
coba menantang!"
"Chis, siapa yang sudi menyembah segala ma-
cam babi kurapan! Turun dari kuda mu, Babi Gem-
brot! Kau harus menebus kematian Ki Raka Banjaran
dengan kepala mu!" Amarsa Rawut menarik gagang
pedang.
"Apa? Ki Raka Banjaran?... Oh, ya ya... nasib-
nya memang malang harus mampus di tanganku." Da-
ri atas pelana manusia gemuk botak itu melesat ke
atas berjumpalitan di udara. Kemudian hinggap tepat
berhadapan dengan Amarsa Rawut. Belasan anak
buahnya sudah mengurung. Wintara sejak tadi sudah
bersiap-siap. Paling tidak ia akan bertindak duluan ka-
lau belasan orang itu menyerang.
"Hari ini kita akan berhitungan atas hutang da-
rah Ki Raka Banjaran...!" Pedang Amarsa Rawut berke-
lebat menyambar.
*
* *
TUJUH
Serta merta manusia gemuk botak menarik dua
gagang goloknya sekaligus dari punggung...
"Ztraaaang!"
Sambaran pedang Amarsa Rawut bergetar. Su-
dah barang tentu belasan anak buahnya tidak tinggal
diam Serentak mereka menerjang menyerang Amarsa
Rawut. Namun tiba-tiba saja tiga orang bergulingan.
Wintara berlari setengah memutar. Kedua lengannya
sibuk melancarkan serangan. Jatuh lagi dua orang.
Kali ini mereka kena tendangan. Kelima orang itu ma-
sih dapat bangkit, bahkan maju menyerang dengan gi-
gih.
Amarsa Rawut kertakan rahang saat ia merun-
duk menghindari sambaran golok yang datang bertu-
rut-turut menghantam kepala. Pedangnya bergerak ke
atas menangkis menimbulkan suara yang mengilukan.
Sesekali pula ia harus melepaskan pukulan ke samp-
ing mengarah pada dua orang yang bermaksud mem-
bokong.
Sementara itu tubuh Wintara berlompatan kian
ke mari menghindari babatan-babatan senjata. Lenturan-lenturan tubuhnya gesit berkelit. Serangan-
serangan itu tidak pernah putus berdatangan. Dalam
hal ini terpaksa pula Wintara harus mengeluarkan
hantaman 'Bayu Menghempas Gelombang'... "Deeer!"
Kontan lima orang penyerangnya ambruk dengan me-
nyemburkan darah.
Putra tunggal Ki Raka Banjaran ini sempat me-
lirik saat Wintara melancarkan pukulan aneh. Diam-
diam ia merasa kagum akan kehebatan sahabat ba-
runya itu. Bagaimana tidak, tanpa menggunakan sen-
jata ia dapat mengecoh lawan yang berjumlah belasan.
"Kedua golok bututmu cocok untuk mencincang
babi! Tidak cukup tajam untuk tenggorokanku!" ejek
Amarsa Rawut seraya membersitkan pedangnya ke
muka. Serangan itu membuat manusia botak ini me-
narik tubuhnya ke belakang.
"Pantas kalian berani menghadapi aku si Dur-
jana Pemenggal Kepala. Rupanya dua anjing kesrek ini
cukup tinggi juga ilmunya!" balas Durjana Pemenggal
Kepala tak kurang membabatkan kedua golok besar-
nya. Setelah ia melancarkan serangan, ia sangat terke-
jut. Karena dua orang anak buahnya jatuh hampir
menimpa tubuhnya.
Saking kesalnya ia malah menginjak salah seo-
rang sampai menyemburkan darah. Bagai air mancur
darah itu muncrat ke mukanya sendiri.
"Kalian benar-benar cari mampus!" hardik Dur-
jana Pemenggal Kepala. Kemarahannya meledak. Se-
rangan dua golok besarnya lebih cepat membersit.
Amarsa Rawut menangkis dengan menggenggamkan
kedua telapak tangan pada gagang pedang. Benturan
senjata mereka beradu keras. Amarsa Rawut sampai
terhuyung.
"Otak bebal! Keluarkan semua tenaga mu!
Hayo!" bentak Amarsa Rawut, padahal dia sendiri su-
dah mundur-mundur menghadapi setiap babatan dua
golok besar yang datang berturut-turut.
"Manusia yang mau mampus biasanya banyak
mulut! Aku sudah tidak heran lagi! Hreaaaaa...!" Baba-
tan kali ini disertai tenaga penuh. Amarsa Rawut me-
nangkis dengan sekuat tenaga. Tak urung malah ia
ikut terlempar bersama pedangnya.
Terpaksa pula Amarsa Rawut bergulingan
menghindari serangan-serangan Durjana Pemenggal
Kepala yang berusaha mencecar dan tidak memberi
kesempatan lawannya bangkit.
Wintara menghentakkan kedua telapak tan-
gannya ke depan... "Hreaaa!" Menghantam telak dua
orang penghadang sampai mencelat beberapa meter ke
belakang.
Entah sudah berapa orang yang ambruk tak
berkutik oleh amukan Wintara. Sebenarnya pula ia ti-
dak sampai hati membunuh mereka. Setiap hantaman
Wintara cukup membuat mereka semaput.
Dalam keadaan bergulingan Amarsa Rawut te-
rus mementang mata. Pandangannya tidak lepas dari
dua golok besar yang mengarah ke tubuhnya. Namun
hanya dengan sekali sentakan, tubuh Amarsa Rawut
sudah melesat ke atas. Sambaran golok Durjana Pe-
menggal Kepala luput, kecuali mengenai batang pohon
besar.
Wintara merasa lega melihat Amarsa Rawut da-
pat mengatasi serangan lawannya. Dia sendiri sudah
tidak perlu repot menghadapi lawannya yang tinggal
empat orang.
Dan nampaknya pula Wintara tidak memberi
hati. Dengan gerakan yang sukar diikuti pandangan
mata, Pendekar Kelana Sakti ini menerjang kedua len
gannya berputar menimbulkan suara angin yang ber-
gemuruh. Babatan-babatan senjata lawannya sama
sekali tidak ada yang masuk. Saat itu Wintara mele-
paskan tendangan serta pukulan bagai geledek.
"Splaaak...! Des...! Des...!" Dua orang langsung
ambruk celentang, dua orang lagi mencelat menabrak
masuk ke dalam gubug. Setelah itu dipandanginya be-
lasan orang bergelimpangan tak sadarkan diri. Di su-
dut sana Amarsa Rawut masih sibuk menghadapi se-
rangan-serangan Durjana Pemenggal Kepala.
"Sobat Amarsa Rawut! Boleh aku datang mem-
bantu?" teriak Wintara, tangannya sudah gatal ingin
menguji kebolehan manusia berjuluk Durjana Pe-
menggal Kepala.
"Tidak perlu, Sobat Wintara. Kerbau dungu ini
bukan apa-apa bagiku! Kau boleh berdiri di situ ba-
gaimana aku mencabut nyawa babi gembrot ini!" jawab
Amarsa Rawut.
"Kau boleh dapat menghabiskan semua anak
buahku. Tapi terhadap Durjana Pemenggal kepala jan-
gan harap bisa!" tukas manusia gemuk botak beringas.
Babatan" dua golok besarnya gencar mematikan.
Amarsa Rawut cepat melompat mundur.
"Setan keparat yang membunuh ayahku kukira
berilmu tinggi, ternyata sepak terjangnya melebihi
bencong! Bagaimana mungkin ia bisa membunuh Ki
Raka Banjaran?" Sambil berkata begitu Amarsa Rawut
melepaskan tendangan. Begitu terkejut manusia botak
melihat sebelah senjatanya mental terkena sambaran
tendangan. Durjana Pemenggal Kepala mendengus
sengit.
"Kalau tahu kematian Ki Raka Banjaran, maka
akan terulang lagi terhadap diri kalian." Dengan sebe-
lah goloknya lagi ia lancarkan ke bagian muka.
"Bweeet...!" Amarsa Rawut keburu nunduk. Dalam
keadaan merunduk itu ia melepaskan dua tinjunya se-
kaligus.... "Deeeer! Tepat menghantam tenggorokan.
Durjana Pemenggal Kepala memekik.
Mendapat hantaman seperti itu, manusia ge-
muk hanya terdorong dua langkah ke belakang. Amar-
sa Rawut sendiri merasakan kedua tinjunya menghan-
tam benda yang sangat keras. Nampak manusia ge-
muk itu menyusun kekuatannya lagi dengan mengatur
nafas.
Amarsa Rawut yang sudah kepalang tanggung
melancarkan serangan, tidak memberi kesempatan la-
gi. Saat Durjana Pemenggal Kepala menyilangkan ke-
dua lengannya di atas dada. Amarsa Rawut menerjang
dengan sebuah tendangan dahsyat.... "Hraaaat....
Deeeer!" Tubuh Durjana Pemenggal Kepala jatuh ber-
degum menyemburkan darah. Begitu juga dengan
Amarsa Rawut.
Tubuh gemuk itu menggapai-gapai seperti ingin
menyampaikan sesuatu lewat mulutnya. Tapi sua-
ranya tidak keluar. Kecuali darah terus menyembur.
Dalam pada itu Amarsa Rawut meraih golok besar
yang tergeletak di tanah.
Wintara yang menyaksikan pertarungan itu su-
dah dapat menduga apa yang akan dilakukan Amarsa
Rawut. Maka saat Amarsa Rawut mengangkat golok itu
ke atas mengarah ke batang leher manusia gemuk,
Wintara memejamkan matanya.
"Craaak...!" Terdengar suara golok besar itu
menghantam sesuatu dengan keras. Wintara membuka
matanya lagi. Ia melihat tubuh gemuk tanpa kepala ke-
lojotan. Dari tenggorokannya yang kutung menyembur
darah bagai air mancur. Kutungan kepala itu sudah
berada di bawah kaki Amarsa Rawut. Laki-laki itu ter
senyum memandang Wintara.
"Hutang darah ini sudah lunas, Sobat Wintara.
Aku puas pembunuh ayahku dapat tewas oleh tangan-
ku...." Suara Amarsa Rawut parau penuh semangat.
Wintara balas tersenyum.
"Dengan tewasnya setan Durjana Pemenggal
Kepala, baik setiap perguruan maupun para pendu-
duk kampung tidak akan resah lagi. Kau hebat, Sobat
Amarsa Rawut." Wintara memuji. Ia bergidik saat me-
lihat Amarsa Rawut memungut kutungan kepala itu,
kemudian membungkusnya dengan selembar kain
yang diperoleh dari seorang anak buah Durjana Pe-
menggal Kepala.
"Kutungan kepala ini untuk kujadikan peringa-
tan bagi setiap tokoh sesat yang merecoki dunia persi-
latan." kata Amarsa Rawut selesai membungkus.
"Ada baiknya juga!" jawab Wintara.
*
* *
Hujan deras bukan halangan bagi Basu Dewa
maupun Ambali Songka yang menelusuri jalan berba-
tu. Tubuhnya sudah basah kuyub. Sorot mata mereka
jalang memandang lurus ke arah sebuah bangunan
yang dikelilingi pagar bambu setinggi tiga meter.
Saat mereka mendekati bangunan itu, mereka
menarik kapak dari pinggangnya. Langkahnya diperce-
pat. Maka dengan sebentar saja mereka sudah berdiri
di depan pintu gerbang. Di atas pintu itu tergantung
selembar papan yang bertuliskan "Perguruan Penjuru
Angin'. Setelah membaca tulisan itu Basu Dewa mem-
buang ludah.
Seperti biasa Basu Dewa selalu membuka pintu
dengan hantaman kapak mautnya. Sekali sabet pintu
gerbang terbelah dua menjadi lebar. Maka keduanya
dapat masuk dengan langkah-langkah yang menapak
pada tanah becek. Hujan bertambah deras saat mereka
mendekati bangunan yang nampak sunyi.
Ambali Songka maupun Basu Dewa membela-
lakkan mata. Di depan teras bangunan telah bergelim-
pangan mayat-mayat hampir membusuk. Keadaan se-
kitar situ tidak ubahnya seperti medan pertempuran.
Jendela serta pintu telah hancur berserakan.
Keduanya melangkah masuk. Kapak mereka
bergerak menyibakkan puing-puing berserakan yang
menghalangi langkah mereka. Ruangan itu pun telah
penuh dengan mayat-mayat bergelimpangan. Bau bu-
suk sangat santer di sekitar tempat itu. Namun mereka
seakan tidak perduli. Langkah-langkah mereka sema-
kin masuk ke dalam.
Di sudut ruangan yang agak rapi mereka me-
nemukan sosok tubuh tanpa kepala menggeletak ter-
lentang. Kira-kira jarak dua meter kutungan kepala
yang telah membiru tergeletak pula. Pada dinding
ruangan itu tertera tulisan berwarna merah darah...
"Durjana Pemenggal Kepala...." Seketika itu juga Basu
Dewa mengamuk. Ia menendangi apa saja yang ada di
ruangan itu. Kapaknya juga berkelebat menghancur-
kan perabotan hingga hancur berkeping-keping. Amba-
li Songka repot mengatasi amukan kakaknya ini.
"Siapa yang berani mengaku dirinya Durjana
Pemenggal Kepala! Siapa...!" Kapak Basu Dewa terus
menghancurkan.
"Kakang... tahan. Tidak guna mengamuk seper-
ti itu...!" Ambali Songka menghantamkan kapaknya.
Benturan itu sangat dahsyat. Sampai menimbulkan
suara yang membledar. Ketika itu pula Basu Dewa ter
sadar dengan nafas yang kian memburu....
"Kita telah kehilangan sasaran, Ambali Songka!
Seseorang sudah mendahului kita!" kata Basu Dewa
setengah membentak.
"Perjanjian kita tinggal dua hari lagi terhadap
Eyang Tumbal Segara. Kau pun
tahu akibatnya bila kita sampai terlambat me-
nyerahkan sebuah kepala untuknya." kata Basu Dewa
lagi.
"Kenapa mesti grabak grubuk begini. Kita bisa
mencari korban lainnya. Kita cari saja si Amarsa Ra-
wut keparat!" Ambali Songka mengeluarkan pendapat.
"Soal korban mudah kita cari. Siapa pun kita
dapat mencarinya hari ini. Yang tak habis pikir adanya
seseorang menggunakan nama Durjana Pemenggal Ke-
pala. Siapa dia sebenarnya? Apakah dia juga orang
persekutuan Eyang Tumbal Segara." jawab Basu Dewa.
Matanya tetap jalang penuh kekesalan.
"Hal itu mudah kita tanyakan nanti pada Eyang
Tumbal Segara. Mengingat waktu perjanjian kita yang
sudah mendesak ini, sebaiknya kita datangi Perguruan
"Guci Perak". Serahkan saja kepala Amarsa Rawut pa-
da Eyang Tumbal Segara. Maka semuanya akan berja-
lan lancar." Ambali Songka menenangkan hati Basu
Dewa.
*
* *
DELAPAN
Sejak kepergian Amarsa Rawut, gadis Nalantili
jadi kelimpungan sendiri di perguruan. Ia merasa khawatir sekali akan sesuatu yang terjadi pada diri Amar-
sa Rawut. Murid-murid yang lain jarang melakukan
kegiatan latihan. Mereka hanya berjaga-jaga melin-
dungi perguruan dari tangan jahil. Kalau saja Amarsa
Rawut tidak berpesan agar Nalantili mengurus pergu-
ruan, mungkin gadis itu sudah nekad menyusul.
Selama peristiwa itu pula banyak guru-guru
besar dari perguruan lain menyambangi. Juga untuk
mendengar berita terjadinya peristiwa yang melanda
Perguruan 'Guci Perak'. Seperti halnya dari Partai
'Gunung Kembar' dan Pendekar 'Gelugut Sutra'. Mere-
ka sengaja menetap di situ guna menyelidiki kejadian
tersebut.
Dalam hal ini Nalantili mendapat dampratan
yang tidak dapat dielakkan. Mereka menyalahkan ga-
dis itu membiarkan Amarsa Rawut pergi sendiri.
"Amarsa Rawut adalah pewaris tunggal Pergu-
ruan 'Guci Perak'. Dia hanya mengantarkan nyawa bila
nekad bertemu dengan si Durjana itu. Ki Raka Banja-
ran dan Liung Sanca saja tidak mampu mempertahan-
kan selembar nyawanya. Seharusnya kau menahannya
waktu anak tolol itu pergi." kata Pendekar Gelugut Su-
tra. Nalantili yang duduk di hadapan dua pendekar itu
tidak menjawab.
"Tidak tahukah kau, selain Guci Perak dan Bu-
kit Sampar, Perguruan 'Pedang Penjuru Angin' di Sela-
tan sana sudah hancur pula. Entah siapa lagi yang
akan dihancurkannya." sambut Pendekar dari Gunung
Kembar.
"Kalau sudah begini, ke mana harus kita cari
anak tolol itu? Menunggunya pulang? Paling-paling ki-
ta akan menemuinya nanti setelah berada di neraka."
kata Pendekar Gelugut Sutra sengit.
"Paman... aku sudah berusaha menahannya.
Tapi Kakang Amarsa Rawut sukar dibendung. Mati hi-
dupnya untuk mencari Durjana Pemenggal Kepala."
Nalantili membela diri.
Jawaban Nalantili tepat. Dia hanya seorang
murid seperti yang lainnya. Mana berani ia memban-
tah keinginan Amarsa Rawut. Apalagi dalam keadaan
seperti pada waktu itu. Pendekar dari Gunung Kembar
dan Pendekar Gelugut Sutra tidak bisa menyalahkan-
nya terus.
"Dengan adanya paman berdua di sini, tidak
akan menyelesaikan persoalan. Kenapa paman berdua
tidak mencari durjana itu saja. Toh dia pula yang se-
benarnya yang menjadi masalah."
"Dengar, Nalantili. Kami berdua tidak memiliki
perguruan apa pun. Tidak ada yang perlu kami jaga
selain diri kami. Kalau kami berdua berada di sini, bu-
kan berarti kami bersembunyi dari ancaman Durjana
Pemenggal Kepala. Tapi justru akan menjaga keutuhan
perguruan ini."
"Terima kasih atas budi baik paman selama ini.
Menurut hematku, kita memang tidak perlu berdiam
diri. Sekarang kita sudah bergabung. Alangkah baik-
nya jika kita bersama-sama mencari Amarsa Rawut.
Mustahil jika mati hidupnya tidak kita temukan."
"Kau benar, Nalantili. Kita-kita memang sudah
sepantasnya memikul tugas ini, Amarsa Rawut perlu
kita cari. Sukur-sukur kalau dalam pencarian kita ber-
temu dengan Durjana Pemenggal Kepala. Kita bisa
membuat perhitungan." kata Pendekar Gunung Kem-
bar penuh semangat.
"Suruh semua murid-murid Perguruan 'Guci
Perak' bersiap-siap. Kita akan berangkat hari ini juga,
karena...." ucapan Pendekar Gelugut Sutra terputus.
"Duaaar...!" Mendadak pintu gerbang di dobrak
orang. Ketiga orang ini segera menoleh ke arah suara
keributan itu. Mereka melihat orang-orang Perguruan
Guci Perak' berlarian menuju pintu gerbang yang su-
dah terbuka lebar.
Mata Nalantili membelalak lebar. Sosok Basu
Dewa dan Ambali Songka berdiri angkuh di tengah-
tengah pintu. Murid-murid Perguruan 'Guci Perak'
yang berjumlah kurang lebih dua puluh orang itu
menghadang. Lebih terkejut lagi saat dua kakak bera-
dik itu langsung mengamuk menggunakan kapak-
kapaknya.
Leretan-leretan sinar biru membersit menghan-
tami setiap tubuh orang-orang 'Guci Perak'. Saat itu
pula Nalantili berlari ke luar disusul oleh Pendekar
'Gunung Kembar' dan Pendekar Gelugut Sutra. Ketika
mereka sudah berada di luar. Murid-murid Perguruan
Guci Perak banyak yang bergelimpangan bersimbah
darah.
"Suruh keluar tuan muda kalian si Amarsa Ra-
wut! Jangan bersembunyi macam anjing tumang!" te-
riak Ambali Songka, sabetan kapaknya tidak pernah
berhenti.
Melihat kemunculan Basu Dewa dan Ambali
Songka di depan mata Nalantili, gadis itu merasa ter-
bakar oleh api yang paling panas. Serta merta ia mena-
rik gagang pedangnya. Dua pendekar yang berdiri di
sampingnya tidak bisa menahan.
Hanya dengan sekali lesatan ia sudah berhada-
pan dengan kedua orang yang pernah menyakitinya.
Bahkan tanpa banyak bicara lagi pedangnya berkele-
bat menyambar tanpa ampun.
"Kalian minggir semua. Keparat-keparat ini biar
mampus menembus di pedang ku!" perintah itu ditu-
jukan para orang-orang Guci Perak. Sambaran pedang
Nalantili ditepis dengan hantaman kapak Basu Dewa...
"Traanng...!" Tubuh Nalantili terhuyung, seperti ada
getaran tenaga dalam mendorongnya.
"Perempuan laknat! Kami sudah tidak tertarik
lagi dengan tubuh molekmu, Nalantili. Aku hanya ter-
tarik dengan kepalamu! bentak Basu Dewa mele-
paskan babatan kapak tanpa ampun ke arah Nalantili.
Kalau ia tidak cepat berguling di tanah, kepalanya su-
dah copot.
"Tapi kami ke mari hanya untuk memenggal
kepala Amarsa Rawut!" Babatan kapaknya kali ini le-
bih dahsyat, sampai menimbulkan suara angin yang
menderu. Nalantili jatuh bangun menghindarinya.
Melihat itu pun pendekar dari Gunung Kembar
dan Pendekar Gelugut Sutra tidak tinggal diam. Kedu-
anya serempak menerjang menghalangi serangan Basu
Dewa. Mendapat bantuan dari dua pendekar ini, Na-
lantili mendapat kesempatan untuk segera bangkit
kembali.
Hantaman kedua pendekar itu bergulung-
gulung mematahkan serangan Basu Dewa. Manusia
persekutuan Eyang Tumbal Segara ini tidak kalah ge-
sit. Basu Dewa menyambut serangan-serangan mereka
dengan babatan kapak... "Bweet!" Maka sinar kebiruan
membersit. Dua pendekar sakti ini sampai blingsatan
melompat mundur. Nalantili menerjang lagi dengan
pedangnya.
"Kalau Kakang Amarsa Rawut tahu, kalian tak-
kan diberi ampun!" bentak Nalantili mendorong pe-
dangnya ke depan.
"Suruh dia ke luar!" jawab Basu Dewa, kapak-
nya menangkis tusukan pedang. Kembali Nalantili ter-
huyung.
Sementara itu Ambali Songka gencar mele
paskan serangan. Orang-orang Perguruan 'Guci Perak'
tidak ada yang sanggup menahan, apalagi membalas
serangan. Sebagian mereka sudah bergelimpangan
tanpa nyawa. Keadaan mereka sangat mengerikan. Pe-
rut dan tenggorokan mereka robek mengucurkan da-
rah. Ada juga yang kepalanya terbelah dua.
Nalantili dan dua pendekar ini menjadi serba
salah. Mereka bertiga saja hampir tidak sanggup
menghadapi Basu Dewa. Niat mereka malah ingin
membantu murid-murid "Guci Perak". Sudah tentu
murid-murid dari Perguruan 'Guci Perak' tidak akan
mampu menghadapi amukan Ambali Songka. Akhirnya
ketiga jago ini serempak melesat meninggalkan Basu
Dewa.
Mereka langsung menggempur Ambali Songka.
Tanpa gentar pula Ambali Songka menghadap mereka.
"Kalian menyingkir dari sini. Biar dua cecunguk
ini menjadi urusan kami!" perintah Pendekar Gunung
Kembar. Maka murid-murid 'Guci Perak' segera me-
nyingkir dari pertempuran. Terjadi pertarungan dua
lawan tiga.
Pukulan Pendekar Gelugut Sutra bergulung-
gulung mencecar. Dari hantaman-hantaman itu seperti
keluar serat-serat keputihan menjerat. Namun meng-
hadapi babatan-babatan kapak Ambali Songka, serat-
serat itu sama sekali tiada artinya. Malah... "Craas!
Wuuaaaa...!" Pendekar Gelugut Sutra menjerit keras.
Babatan kapak Ambali Songka menyambar putus ke-
dua lengannya. Tubuh Pendekar Gelugut Sutra meng-
gelepar-gelepar di tanah.
Pendekar Gunung Kembar dan Nalantili masih
mempertahankan serangannya. Basu Dewa tertawa
menggelak-gelak melihat mereka keteter. Entah sudah
berapa jurus yang dikeluarkan Nalantili maupun Pendekar Gunung Kembar. Hal itu membuat gadis Nalan-
tili menjadi bingung. Kemampuan Basu Dewa dan Am-
bali Songka sungguh berbeda dengan dulu.
Pendekar Gunung Kembar yang terkenal
tangguh merasa tak berkutik. Serangan-
serangan kapak Basu Dewa gencar bagaikan kitiran
angin. Nalantili sendiri repot menghadapi Ambali
Songka. Gadis itu merasa di permainkan.
Yang lebih celaka lagi, Pendekar Gunung Kem-
bar mulai jatuh bangun menghindari serangan Basu
Dewa. Lelaki cukup umur itu tidak menyangka akan
kehebatan pemuda-pemuda itu. Sampai-sampai ia
sendiri tidak berdaya menghindari sambaran kapak
menghantam perutnya... "Bresss!" Pendekar Gunung
Kembar tewas seketika. Isi perutnya menghambur ke
luar.
Nalantili memekik, ia terjatuh kena sambaran
angin kapak Ambali Songka.
"Hua ha ha ha.... Apakah si Amarsa Rawut te-
lah menjadi seorang pengecut? Mana dia? Kenapa
hanya gundiknya dan orang-orang tolol ini yang harus
menghadapi kami si Durjana Pemenggal Kepala! Hua
ha ha ha...!" Ambali Songka berdiri mengangkang. Na-
lantili terlentang pasrah. Tulang-tulangnya terasa re-
muk.
"Kalau si keparat Amarsa Rawut tidak muncul,
penggal saja kepala perempuan sialan itu!" perintah
Basu Dewa.
Baru tahulah sekarang Nalantili. Siapa sebe-
narnya Durjana Pemenggal Kepala. Kehebatan Basu
Dewa dan Ambali Songka tidak diragukan lagi. Terbuk-
ti mereka dapat mengalahkan Pendekar Gunung Kem-
bar dan Pendekar Gelugut Sutra. Dari mana dua ce-
cunguk itu mendapat ilmu yang demikian dahsyat.
Dan lagi kapak-kapaknya itu yang membuat mereka
tak berdaya sama sekali.
Basu Dewa mengangkat kapaknya, Nalantili
memejamkan mata. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Ka-
pak putih berkilat itu mengarah menyilaukan pada
tenggorokan gadis yang terlentang di bawah kangkan-
gan Ambali Songka. Basu Dewa menyeringai menatap
dengan kedua sorot mata yang jalang.
"Basu Dewa...!" Terdengar bentakan yang
menggema. Suasana hening. Basu Dewa menghentikan
niatnya. Mereka serentak menoleh ke arah suara. Di
tengah-tengah pintu gerbang berdiri Amarsa Rawut
bersama Wintara. Lengan kekar Amarsa Rawut men-
jinjing bungkusan kain berlendir.
"Bagus akhirnya kau muncul juga, Amarsa Ra-
wut! Memang kaulah yang kami cari!" ujar Basu Dewa.
"Sudah memiliki kepandaian tinggi rupanya ka-
lian, sehingga berani datang mengusik ketenangan
Perguruan 'Guci Perak'." jawab Amarsa Rawut tak ka-
lah lantangnya la dapat melihat bagaimana Pendekar
Gunung Kembar tewas mengerikan dan Pendekar Ge-
lugut Sutra masih kelojotan kehilangan dua belah tan-
gannya.
"Kepandaian kami sebenarnya tidak berubah,
Amarsa Rawut. Cuma bedanya sekarang kami telah
mendapat gelar dari kalangan rimba persilatan. Mereka
sudah menyebut kami sebagai Durjana Pemenggal Ke-
pala!" jawab Basu Dewa. Mendengar itu Amarsa Rawut
melotot.
"Kenapa? Takut mendengar julukan kami?" ujar
Ambali Songka.
"Segala kutu busuk macam kalian apanya yang
perlu ditakuti? Juga berani-beranian kalian pasang
nama Durjana Pemenggal Kepala. Durjana itu sudah
pindah ke akherat! Kalian lihat ini!" Amarsa Rawut me-
lemparkan bungkusan kain berlendir ke hadapan Basu
Dewa dan Ambali Songka. Tanpa menyambutnya
bungkusan itu berhenti dan terbuka di hadapan kakak
beradik ini. Terlihatlah kutungan kepala botak menge-
rikan.
"Hua ha ha ha...!" Basu Dewa malah tertawa
ngakak, lalu...
"Kalau tikus botak ini mengaku Durjana Pe-
menggal Kepala, kalian boleh menyebut kami biang
Durjana Pemenggal Kepala." Basu Dewa menggedor-
gedor dadanya sendiri dengan kapak.
*
* *
SEMBILAN
"Si botak ini hanya perampok picisan! Kepan-
daiannya hanya mampu untuk menakut-nakuti
orang-orang kampung. Mana mungkin dia bisa mene-
waskan Ki Raka Banjaran maupun Liung Sanca?"
sumbar Ambali Songka.
"Kalau begitu...." Amarsa Rawut menarik ga-
gang pedang. Wintara yang berdiri di sebelahnya me-
nahan.
"Sobat Amarsa Rawut, kendalikan emosi mu.
Mereka bukan orang-orang sembarangan." bisik Winta-
ra. Pendekar Kelana Sakti ini sudah dapat melihat ge-
lagat. Amarsa Rawut sendiri menatap kedua kakak be-
radik ini penuh rasa keheranan. Bagaimana tidak? Ia
masih ingat betul ketika ia menghajar Basu Dewa dan
Ambali Songka di hadapan Liung Sanca dan ayahnya.
Ambali Songka telah kehilangan sebelah telinga dan
bibir yang hampir sapat. Juga
Basu Dewa. Sebelah kelopak matanya hampir
pecah. Tapi yang dilihatnya sekarang, benar-benar
mustahil. Tiada bekas-bekas mereka cacad.
"Sekarang sudah jelas persoalannya. Aku me-
mang telah terkecoh dengan si botak ini. Tapi paling
tidak aku sudah menumpas seorang tokoh sesat yang
merugikan masyarakat. Sekarang giliran kalian yang
mesti dibumihanguskan!" gertak Amarsa Rawut. Ia ti-
dak perduli lagi dengan Wintara. Gerakannya cepat
maju ke depan dengan babatan pedangnya.
"Tolol. Justru kami datang ke sini untuk men-
gambil kepalamu!" tukas Basu Dewa. Serta merta ia
melemparkan kapaknya. Kapak itu menyambari ke
arah Amarsa Rawut juga Wintara. Dua pendekar ini
blingsatan menghadapi sambaran kapak.
Dapat kembali pula kapak itu ke dalam geng-
gaman Basu Dewa. Hal itu bagaikan pertunjukan yang
sangat luar biasa bagi Wintara. Amarsa Rawut tidak
tahu kapan datangnya kapak Basu Dewa datang. Ta-
hu-tahu saja kapak Basu Dewa menyambar lagi ke
arah mukanya.
Gesit Amarsa Rawut menangkis dengan baba-
tan pedang... "Traaang...! Pletaaak!" Benturan itu
membuat Amarsa Rawut terhuyung ke belakang den-
gan pedang yang patah. Saat itu datang pula Ambali
Songka melepaskan sambaran kapak yang tidak kepa-
lang.... "Breeet!" Dalam keadaan yang terhuyung begitu
lengan Amarsa Rawut tergores.
Melihat itu pun Wintara langsung melompat
menyambar tubuh Amarsa Rawut. Gerakannya bagai-
kan rajawali menyambar mangsa. Dua babatan kapak
menyusul deras. Namun tetap nihil. Wintara dapat
membawa jauh tubuh Amarsa Rawut. Pada kesempa-
tan itu Nalantili dapat berlari menghindar. Basu Dewa
dan Ambali Songka menatap sengit. M
"Pendekar Gembel! Rupanya kau ingin cepat-
cepat mampus berani menghalangi kami!" Dua kakak
beradik ini menyerang serempak. Babatan-babatan
kapak bergulung-gulung menghantam. Sinar-sinar bi-
ru membersit kian ke mari. Sebelum Wintara mengha-
dapi serangan-serangan itu. Terlebih dahulu ia me-
lancarkan pukulan ringan. Dan sengaja pula diarah-
kan pada Amarsa Rawut. Hal itu bertujuan agar Amar-
sa Rawut dan Nalantili segera menjauh.
Menghadapi sendirian begitu, Wintara agak ter-
sentak. Dua sambaran kapak hampir saja menebas
kepala serta merobek perutnya. Selama mundur itu
pula Basu Dewa gencar melepaskan babatan kapak.
Sinar kebiruan terus bergulung mencecar. Ambali
Songka lebih sengit lagi, terkadang ia harus melompat-
lompat menyambar kepala. Wintara baru menyadari
kedahsyatan serangan-serangan mereka.
Melihat Wintara keteter macam itu, Amarsa
Rawut datang membantu. Terjangannya bagai orang
yang kesetanan. Ia tidak memikirkan resiko yang san-
gat besar.
"Sobat Wintara...! Cecunguk-cecunguk ini ba-
gianku!" Nekad pula Amarsa Rawut menyerang tanpa
senjata.
"Akulah lawanmu, Amarsa Rawut! Kau memang
harus menyusul ayahmu!" bentak Ambali Songka. Ia
bergeser menghadapi Amarsa Rawut. Belum apa-apa
Amarsa Rawut sudah jatuh ke banting.
Wintara cepat menepis sambaran kapak Basu
Dewa. Pemuda itu bergetar tatkala hantaman Wintara
mengenai pergelangan tangannya. Wintara mundur tiga langkah lalu menggabung kedua telapak tangannya.
Dengan teriakan yang lantang ia melancarkan pukulan
'Tinju Bayu Delapan Penjuru'. Hantaman itu diarahkan
pada Ambali Songka yang gencar mengarah tenggoro-
kan Amarsa Rawut..... "Daarr...!" Mendadak tubuh
Ambali Songka terbanting ambruk. Namun hanya den-
gan sekali sentakan ia dapat bangkit lagi. Dengan ge-
ram ia membalas serangan itu pada Wintara.
Kembali Wintara menghadapi dua kakak bera-
dik. Keduanya beringas mencecar. Leretan-leretan si-
nar biru yang berasal dari kapak-kapak mereka me-
nyelubungi tubuh Wintara. Amarsa Rawut sudah
membayangkan perasaan ngeri. Wintara terus berke-
lit. Sungguh dahsyat! Babatan-babatan kapak yang
mengganas sama sekali tidak dapat mengenai saat
Wintara berkelit.
Malah dalam kesempatan itu Wintara sempat
melepaskan hantaman 'Bayu Menghempas Gelom-
bang'. Tak urung kedua kakak beradik itu terhuyung
oleh suatu tenaga dalam paling dahsyat.
Belum pernah dua kakak beradik ini menda-
patkan lawan yang dapat menggoyang diri mereka.
Maka dengan kemurkaan yang tak terbendung, kedu-
anya serempak melemparkan kapak-kapak mereka.
Senjata-senjata yang berputar bagai bumerang. Winta-
ra melesat ke atas.
Namun kedua kapak yang masih mencari
mangsa itu terus meluncur menyilang. Tak terduga pu-
la oleh Amarsa Rawut. Tiba-tiba senjata-senjata itu
mengarah padanya. Maka ia pun mundur sambil me-
lompat, tapi... "Aaaaaargt!" Salah satu kapak itu
menghantam putus kedua kaki Amarsa Rawut. Winta-
ra membelalak. Saat kapak-kapak itu mengarah lagi
menghantam tenggorokan Amarsa Rawut. Pendekar
Kelana Sakti ini bergerak bagai angin. Kakinya menen-
dang keras salah satu kapak itu.
"Bweeett...!" Amarsa Rawut selamat. Kapak itu
berbalik sangat cepat pada Ambali Songka....
"Jbreeeet!" Saking cepatnya Ambali Songka tidak dapat
menangkap
Kapak miliknya terus meluncur menghantam
putus kepalanya sendiri. Tubuh itu pun langsung kelo-
jotan bagai ayam disembelih.
Kutungan kepalanya menggelinding di bawah
kaki Basu Dewa. Laki-laki ini menatap dengan mata
yang membelalak. Ia tidak percaya melihat kutungan
kepala adiknya berada di bawah kakinya....
"Kakang Basu Dewa.... Toloooong...." Kutungan
kepala Ambali Songka masih bisa mengeluarkan suara
meskipun pelan.
Saat itu Wintara memapah tubuh Amarsa Ra-
wut. Putra tunggal majikan Perguruan 'Guci Perak' itu
mengerang-erang menahan sakit. Tubuhnya banjir
dengan keringat. Selama Pendekar Kelana Sakti ini me-
langkah, kedua matanya tidak lepas mengawasi Basu
Dewa yang seperti bergetar menahan marah.
"Kakang... aduuuuh sakitnya...." kutungan ke-
pala Ambali Songka merintih-rintih.
"Hraaaaa...!" Tiba-tiba saja Basu Dewa berteriak
melengking. Tangannya menyambar kapak bersimbah
darah. Dengan kedua kapak itu Basu Dewa menerjang.
Tahu gelagat begitu Wintara menghentakkan kedua
kakinya melesat mundur.
"Pemuda hebat! Kau boleh menebus nyawa
adikku dengan kepalamu!" Dua kapak Basu Dewa ber-
gerak menyilang. Sambil memapah tubuh Amarsa Ra-
wut, Wintara sedikit kewalahan menghadapi serangan
itu. Ia tidak bisa membalas kecuali bergeser ke sana kemari.
"Craasss...!" Sambaran kapak Basu Dewa me-
rontokkan beberapa lembar rambut Wintara yang me-
runduk. Saat itu pun sebelah kaki Wintara mele-
paskan tendangan..... "Deeer!" Telak menghantam pe-
rut Basu Dewa mencelat ke belakang. Menyemburkan
darah. Namun ia masih tetap berdiri menggenggam
erat kedua kapak.
Merasa akan mendapat serangan lagi, terpaksa
Wintara membaringkan tubuh Amarsa Rawut di teras
bangunan. Ketika ia membalik. Basu Dewa sudah me-
nerjang lagi. Kali ini disertai teriakan yang menggele-
gar.
Wintara sudah bersiap menyambut dengan
hantaman 'Tinju Bayu Delapan Penjuru'.
"Blaaarr...!" Tak ampun tubuh Basu Dewa men-
celat ambruk. Tubuhnya bergulingan menyemburkan
darah. Berhenti tepat menghadap kutungan kepala
Ambali Songka.
"Kakang.....Aduuuuh.... Aduuuuuh....
"Bruuush..... Mendadak dari kutungan kepala
Ambali Songka mengepul asap hitam. Asap itu bergu-
lung-gulung bagai kabut. Terlintas dalam benak Basu
Dewa untuk melarikan diri.
Wintara dan yang lainnya tidak dapat melihat
dengan jelas. Asap hitam demikian tebal menutupi
pandangan mereka. Namun mereka tetap berhati-hati.
Nalantili menjaga
Amarsa Rawut. Wintara pentang mata. Di sebe-
lah sana Pendekar Gelugut Sutra sudah tidak sadar-
kan diri.
Perlahan-lahan asap hitam kian menipis. Pan-
dangan mereka berangsur-angsur mulai jelas. Wintara
mengernyitkan alisnya. Pandangannya dipertajam. Ke
tika asap hitam benar-benar lenyap. Sosok Basu Dewa
sudah tidak ada lagi di situ. Begitu juga dengan ku-
tungan kepala Ambali Songka. Keduanya raib menghi-
lang entah ke mana. Kecuali tubuh tanpa kepala Am-
bali Songka.
"Basu Dewa melarikan diri...! Keparat, aku ti-
dak tahu ke mana perginya!" sergah Wintara. Dia sen-
diri kurang yakin. Makanya ia segera berlari ke luar.
Basu Dewa benar-benar telah lenyap.
"Bangsat itu hampir saja membantai kita. He-
bat. Baru kali ini aku melihat anak muda yang memili-
ki ilmu setinggi gunung. Sepak terjangnya bagai iblis
haus membunuh!" Wintara masuk lagi ke dalam. Ia
melihat Nalantili memapah tubuh Amarsa Rawut.
Orang-orang Guci Perak sudah membawa masuk Pen-
dekar Gelugut Sutra yang tidak sadarkan diri.
Pendekar Kelana Sakti ini melangkah lesu me-
masuki perguruan. Nalantili repot menyediakan obat-
obatan. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Wintara.
Amarsa Rawut kehilangan kedua kakinya sampai seba-
tas lutut. Juga Pendekar Gelugut Sutra, entah bagai-
mana kalau ia sudah sembuh dalam keadaan tanpa
kedua lengan.
Kalau cuma luka-luka dalam Wintara bisa
membantu. Itulah sebabnya Amarsa Rawut bisa berta-
han dari rasa sakitnya. Dan sekarang Wintara berusa-
ha menyadarkan Pendekar Gelugut Sutra.
*
* *
Langkah Basu Dewa semakin cepat tatkala ia
hampir mencapai puncak bukit. Tujuannya sebuah
bangunan rusak. Kedua tangannya erat menggenggam
dua buah kapak. Matanya memandang beringas. Tidak
bisa dibayangkan kemarahannya itu. Ilmu yang dida-
pati dari Eyang Tumbal Segara ternyata masih juga
ada yang mengalahkannya. Bahkan Ambali Songka ki-
ni telah tewas.
Masih membayangkan pula saat kutungan ke-
pala adiknya mengepul mengeluarkan asap hitam. Ia
tidak percaya saat asap mengepul, kepala adiknya hi-
lang. Merasa tidak akan sanggup mengatasi Pendekar
Kelana Sakti, Basu Dewa sengaja melarikan diri. Tu-
juannya langsung menemukan Eyang Tumbal Segara.
Sekarang Basu Dewa tengah menjajaki anak
tangga batu yang menyusur ke atas sampai pada ban-
gunan. Di kedua sisi tangga batu itu masih banyak
tonggak-tonggak kayu tanpa kutungan kepala. Namun
lebih banyak kutungan-kutungan kepala mengisi pada
tonggak-tonggak yang berderet memanjang sampai ke
pintu bangunan.
Bau busuk menyengat hidung. Basu Dewa ti-
dak perduli. Ia sudah terbiasa dengan aroma yang de-
mikian. Maka langkahnya terus menuju ke atas. Dila-
luinya kutungan-kutungan kepala menjijikkan. Pintu
bangunan menganga lebar. Di sekitarnya tetap berse-
rakan puing-puing. Beberapa meter lagi Basu Dewa
mencapai bangunan tersebut, mendadak saja....
"Kakang Basu Dewa.... Kakang....." Basu Dewa
mendengar suara rintihan. Jelas sekali kalau itu suara
Ambali Songka, adiknya. Maka sebelum ia memasuki
bangunan, pandangannya berputar mencari-cari
sumber rintihan adiknya.
"Ambali Songka.... Di mana kau!" Basu Dewa
tidak menemukan siapa-siapa. Matanya terus berkelil-
ing.
"Kakang.... Aku di sini...." Rintihan itu bercampur dengan desiran angin. Basu Dewa makin panik
mencari.
*
* *
SEPULUH
Mata Basu Dewa membelalak. Yang menjadi
perhatiannya sebuah kutungan kepala yang menancap
pada tonggak paling ujung. Setengah berlari ia kembali
turun. Kutungan kepala itu bergerak-gerak seperti
menyambut kedatangan Basu Dewa.
"Ambali Songka.... Astaga!" Basu Dewa meme-
kik. Ia tidak percaya kutungan kepala adiknya sudah
menancap mengisi tonggak yang kosong.
"Siapa yang membawamu ke mari, Ambali
Songka! Siapa...!"
"Eyang Tumbal Segara.... Beliau yang memba-
waku,... Aduh kakang.... Aku tidak tahan sakitnya...."
Melihat itu Basu Dewa melangkah mundur. Kedua ma-
tanya tertuju pada bangunan lagi.
"Kakang...." Kutungan kepala Ambali Songka
menatap kepergian Basu Dewa memasuki bangunan.
Ruangan dalam bangunan itu tidak pernah be-
rubah. Air kolam dalam bangunan itu tetap hitam ke-
ruh. Saat Basu Dewa memasuki bangunan itu air ko-
lam langsung bergolak membuih. Itu bertanda Eyang
Tumbal Segara sudah mengetahui kedatangan Basu
Dewa.
"Eyang, ternyata selama kami bersekutu den-
ganmu hanya sia-sia belaka. Ilmu yang eyang turun-
kan hanya mencelakakan diri sendiri...." kata Basu
Dewa ia seperti menatap geram pada air kolam yang
bergolak.
"Huak hak hak hak...." Terdengar suara yang
parau. Air kolam menyembur ke atas bagai air mancur.
"Kenapa musti aku yang kau salahkan? Justru
kau yang mengulur-ulur waktu. Niatmu selama ini in-
gin membunuh Amarsa Rawut selalu kalian tunda. Pa-
dahal kalau kalian melaksanakan niat itu, tentunya
kalian sudah sempurna mewarisi ilmu dariku." Suara
Eyang Tumbal Segara menggema.
"Apa maksud eyang...?" tanya Basu Dewa.
"Hak hak hak hak hak.... Ilmu yang kau miliki
sekarang baru separuh dari ilmu yang kumiliki. Pantas
saja kalian masih bisa di kalahkan oleh seorang pen-
dekar muda itu. Kepadanyalah kalau kau ingin men-
gumbar kemarahan. Bukankah adikmu tewas di tan-
gannya?"
“Kenapa Eyang Tumbal Segara setengah-
setengah menurunkan ilmu pada kami. Bukankah
kami sudah bertekad akan mengantarkan sebuah ke-
pala setiap tujuh hari sekali?" tukas Basu Dewa.
"Sudah kukatakan! Seharusnya kau memberesi
Amarsa Rawut dahulu!" jawab Eyang Tumbal Segara
cepat. Kali ini ia menampakkan diri. Sedikit demi sedi-
kit sosok Eyang Tumbal Segara yang mengenakan ju-
bah hitam muncul dari permukaan air.
"Ada lagi yang akan kutanyakan, Eyang Tumbal
Segara."
"Silahkan, Cucuku...." Sosok Eyang Tumbal Se-
gara berdiri mengambang di permukaan air. "
"Adakah orang lain yang bersekutu dengan
Eyang selain diriku? Sebab aku menemukan orang lain
yang mengaku sebagai Durjana Pemenggal Kepala."
"Hak hak hak hak...." Eyang Tumbal Segara tertawa ngakak. Lalu....
"Saat sekarang ini hanya kalian berdua yang
setia bersekutu denganku. Kalaupun ada orang lain
yang mengaku dirinya sebagai Durjana Pemenggal Ke-
pala. Orang itu, hanya menggunakan kesempatan. Ta-
pi tak mengapa. Toh, dia sudah mendapat ganjaran!"
Basu Dewa terdiam. Basu Dewa terdiam. Terin-
gat akan kutungan kepala botak yang ditunjukkan
oleh Amarsa Rawut. Mungkin si botak itu pula yang
menghabisi seluruh Perguruan 'Pedang Penjuru Angin'.
Sehingga ia telah kedahuluan. Pastilah itu perbuatan
si botak dengan mengambinghitamkan nama angker
Durjana Pemenggal Kepala.
"Jangan khawatir, Cucuku. Untuk mencapai
kesuksesan sudah semestinya memerlukan pengorba-
nan. Bagiku pengorbanan Ambali Songka sudah lebih
dari cukup. Aku akan menggenapi seluruh ilmu yang
kumiliki. Dengan demikian kau bisa membalaskan
dendam terhadap pendekar muda itu. Namun hanya
satu pesanku yang selalu kau ingat!"
"Aku akan selalu patuh, Eyang.... Tonggak-
tonggak kayu itu akan kupenuhi dengan kutungan-
kutungan kepala!" jawab Basu Dewa mantap.
"Nah bersiaplah untuk menerima ilmu ku. Se-
lain kau menguasai penuh, kau juga dapat memang-
gilku bila menemui kesulitan. Bukalah bajumu dan
bersila menghadap kolam." Wajah Eyang Tumbal Sega-
ra yang gelap tertutup jubah seolah-olah menatap pe-
muda yang menuruti perintahnya. Kembali ruangan
itu jadi hening. Asap kebiruan keluar dari permukaan
kolam. Peristiwa itu terjadi lagi sama seperti ketika ia
bersama adiknya Ambali Songka datang pertama kali.
Bedanya pikiran Basu Dewa sekarang kalut bercampur
dendam.
"Kakang.... Akhiri saja persekutuan dengan
Eyang Tumbal Segara.... Kau pun akan mengalami na-
sib yang sama dengan ku...." Sayup-sayup terdengar
suara rintihan Ambali Songka. Basu Dewa sebenarnya
dapat mendengar. Tapi ia tetap acuh.
"Kakang, kau, kau akan menyesal!" Suara itu
seakan membisik di telinga Basu Dewa. Saat itu sinar
kebiruan seperti kabut telah menyelubungi tubuh te-
lanjang bersila. Tawa Eyang Tumbal Segara terus men-
gumandang menggetarkan mengoyak seluruh isi ruan-
gan.
*
* *
"Aaaaaarrrght.... Aaaah.... Aah... Hhh...!" Pen-
dekar Gelugut Sutra menjerit-jerit saat melihat dua
lengannya sebatas sikut buntung terbalut. Wintara
dan gadis Nalantili berusaha menenangkannya. Dari
rontaan-rontaan itu, lukanya mengeluarkan darah lagi.
"Paman Gelugut Sutra tenanglah.... Jangan ter-
lalu banyak bergerak." Amarsa Rawut juga ikut me-
nyadarkan. Meskipun kini tubuhnya hanya bersandar
di atas pembaringan. Sakit di kedua kakinya yang
buntung agak berkurang. Namun masih tetap nampak
membengkak.
"Tanganku...! Tanganku...!" Pendekar Gelugut
Sutra menjerit-jerit. Ia menatap kedua tangannya sen-
diri. Darah merembes ke luar.
"Paman lihatlah aku. Kedua kakiku pun bun-
tung. Berterima kasihlah pada sobat Wintara yang te-
lah menyelamatkan kita. Entah bagaimana kalau tidak
ada dia di sini." ujar Amarsa Rawut.
Pendekar Gelugut Sutra memandang ke arah
dua muda mudi yang memegangi tubuhnya. Nalantili
tersenyum, Wintara juga. Pastilah pemuda ini yang
dimaksud Amarsa Rawut, pikir Pendekar Gelugut Su-
tra.
"Lebih baik mati daripada terhina macam ini!"
tukas Pendekar Gelugut Sutra.
"Pikiran paman terlalu pendek. Tidak pernah-
kah terpikir oleh paman, bahwa kita semua dituntut
agar melenyapkan Durjana Pemenggal Kepala?" Nalan-
tili memberikan nasehat.
"Benar, Paman. Ini semua sudah takdir. Tanpa
kedua telapak tangan pun, paman bisa melatih ilmu
Gelugut Sutra." Wintara memberikan semangat. Pen-
dekar Kelana Sakti ini seolah-olah mengetahui keheba-
tan Pendekar Gelugut Sutra.
"Jangan putus asa. Aku pun akan belajar berja-
lan setelah kedua kakiku sembuh. Seorang pendekar
pantang berkecil hati dan putus harapan!" Amarsa
Rawut mengeluarkan pendapat.
Pendekar Gelugut Sutra nampak dapat tenang
setelah mendengar ucapan-ucapan mereka. Sebentar
kemudian ia nyengir.
"Sebelum luka-luka kita sembuh, Durjana Pe-
menggal Kepala sudah membantai kita. Dia pasti akan
datang lagi." Pendekar Gelugut Sutra menatap Winta-
ra.
"Soal Durjana Pemenggal Kepala, kita serahkan
saja pada sobat Wintara. Aku dapat melihatnya sendiri
bagaimana pendekar muda ini menghadapi Basu De-
wa. Aku yakin hanya sobat Wintara yang dapat menga-
tasinya. Bukankah begitu Kakang Amarsa Rawut?" ka-
ta Nalantili.
"Hm, aku sudah menduga sebelumnya, kalau
sobat Wintara adalah seorang pendekar sakti." Amarsa
Rawut memuji.
"Sayang aku keburu pingsan waktu itu, sehing-
ga tidak dapat menyaksikan bagaimana hebatnya di-
rimu, Wintara." sela Pendekar Gelugut Sutra. Ia mulai
hanyut dalam pembicaraan.
"Ah, kalian terlalu berlebihan." tukas Wintara,
lalu dia melanjutkan ucapannya.
"Sepertinya kalian sudah mengenal dua durja-
na itu sebelumnya."
"Memang. Bukankah aku sudah menceritakan-
nya ketika kita pertama kali bertemu? Pasti kau masih
ingat." jawab Amarsa Rawut.
"Tapi kau tidak menceritakan akan kehebatan
dua kakak beradik itu. Aku sendiri hampir tewas. Ilmu
mereka sangat tinggi. Juga kedua senjata kapak mere-
ka sangat dahsyat."
"Sebelumnya tidak demikian, Sobat Wintara.
Mereka bukan apa-apa dibanding dengan Kakang
Amarsa Rawut. Mereka pernah dihajar habis-habisan."
Wintara dan Pendekar Gelugut Sutra mendengar penu-
turan gadis Nalantili.
"Aku sendiri tidak habis pikir. Bagaimana
mungkin telinga serta mulut Ambali Songka bisa utuh
kembali. Dan juga masih terlihat jelas olehku, Basu
Dewa menghilang bersama kutungan kepala saat asap
hitam bergulung-gulung menyelubungi mereka."
Amarsa Rawut meneruskan kata-kata Nalantili. Pende-
kar Gelugut Sutra seperti tersentak.
"Benarkah apa yang kalian ceritakan ini?" Pen-
dekar Gelugut Sutra balik bertanya. Amarsa Rawut te-
nang menjawab....
"Semua orang pun mengetahuinya. Keadaan ki-
ta berdua yang telah begini merupakan suatu bukti
akan kehebatan mereka. Bagaimana pendapat paman."
"Mereka telah bersekutu dengan penganut se-
tan!" Cepat pula Pendekar Gelugut Sutra menjawab.
Ketiganya jadi diam. Kata-kata yang diucapkan pende-
kar itu sangat mengejutkan.
"Tentu saja kalian tidak mengerti. Banyak
orang mencapai keberhasilan dengan jalan sesat. Begi-
tu juga dengan dua durjana itu. Untuk melampiaskan
dendamnya, mereka menjerumuskan diri pada aliran
ilmu setan."
"Maksud paman, mereka memuja ilmu kedig-
jayaan?" tanya Wintara.
"Tepat. Mana mungkin telinga serta mulut Am-
bali Songka dapat utuh kembali, kalau bukan mereka
bersekutu dengan setan! Dalam waktu yang sangat
singkat mereka memiliki ilmu yang sangat dahsyat.
Dan mereka membayar dengan kepala-kepala korban-
nya. Kepala-kepala itu diserahkan pada yang dipu-
janya seperti kita membayar upeti." tutur Pendekar Ge-
lugut Sutra.
"Tapi nyatanya mereka masih dapat di kalah-
kan oleh sobat Wintara. Mereka belum bisa dikatakan
tak terkalahkan." kata Nalantili.
"Mungkin ada yang kurang beres di antara me-
reka." jawab Pendekar Gelugut Sutra.
"Dalam hal ini, kita semua berharap agar sobat
Wintara bersedia membantu kami." tukas Amarsa Ra-
wut.
"Apakah paman tahu di mana tempat pemujaan
itu?" tanya Wintara. Pendekar* Gelugut Sutra nampak
mengkerutkan alis.
"Sayang sekali aku tidak tahu. Jelasnya kita
semua harus tetap waspada. Juga untuk Wintara, aku
berharap seperti Amarsa Rawut. Tinggallah di sini
sampai kami sembuh betul."
Wintara tidak menjawab. Ia hanya mengumbar
senyum. Setelah menatap Pendekar Gelugut Sutra,
pandangannya beralih ke luar. Orang-orang Perguruan
'Guci Perak' sibuk membetulkan pintu gerbang yang
rusak. Ceceran-ceceran darah di sekitar halaman telah
bersih. Tempat itu tetap rapi seperti semula.
Nalantili segera mengganti balutan pada perge-
langan tangan Pendekar Gelugut Sutra. Setelah itu
pun ia melayani Amarsa Rawut menuangkan ramuan
obat. Hati-hati sekali gadis itu merawat putra tunggal
Ki Raka Banjaran. Nalantili merasa berkewajiban men-
gurusi Amarsa Rawut. Mungkin dikarenakan ia pernah
diperhatikan oleh Amarsa Rawut saat ia terluka.
Tapi saat ini ketulusan gadis ini benar-benar
terasa oleh Amarsa Rawut. Lewat sentuhan tangannya
yang lentik, juga bagaimana Nalantili merawatnya pe-
nuh kasih. Hal itu dapat terlihat pula oleh Wintara
maupun Pendekar Gelugut Sutra.
Untuk menutupi perasaannya. Ia menyamara-
takan dalam merawat dua orang yang terluka itu. Na-
lantili selalu berada di antara mereka.
*
* *
SEBELAS
Ketika hari merambat gelap seluruh murid-
murid Perguruan 'Guci Perak' berjaga-jaga. Dari pintu
gerbang sampai ke depan teras selalu dijaga ketat. Ti-
dak seperti biasanya halaman perguruan malam itu te-
rang benderang. Hampir sekeliling pelataran di terangi
dengan lampu pelita.
Di teras yang menghadap kebun, beberapa
orang nampak terlibat dengan pembicaraan yang se-
rius. Mereka adalah Wintara dan Nalantili yang mene-
mani Amarsa Rawut serta Pendekar Gelugut Sutra.
Mereka sengaja membawa kedua orang yang terluka
itu ke luar. Selama beberapa hari ini mereka selalu
mendekam di dalam kamar. Tentu saja mereka tidak
akan kerasan.
Tapi setelah berada di teras itu mereka betul-
betul merasa nyaman. Apalagi Amarsa Rawut. Gadis
Nalantili selalu berada di sampingnya. Setia merawat-
nya.
"Kakang Amarsa Rawut, apakah tidak sebaik-
nya kalau hal ini kita bicarakan pada perguruan-
perguruan lain? Mereka belum mendapat kabar dari
kita." kata Nalantili, kata-kata itu sebenarnya dituju-
kan pada siapa saja yang berada di situ, maka Pende-
kar Gelugut Sutra langsung menjawab....
"Sebaiknya jangan dulu, sebelum persoalan
menjadi jernih kita tidak perlu mengabarkan pada me-
reka. Aku khawatir mereka akan bertambah resah!"
"Apa yang dikatakan Pendekar Gelugut Sutra
adalah benar. Kalau semua perguruan tahu kemuncu-
lan durjana itu mereka pasti akan berdatangan ke sini.
Dan durjana itu tentunya tidak menampakkan diri. Ki-
ta tidak bisa lagi membuat perhitungan." ujar Wintara.
"Dalam keadaan seperti ini, mudah-mudahan
saja Durjana Pemenggal Kepala tidak datang ke sini.
Pasti Basu Dewa tengah terluka juga setelah terkena
hantaman-hantaman sobat Wintara." Amarsa Rawut
ikut bicara.
"Aku rasa tidak. Hantaman-hantaman ku tidak
ada artinya bagi Basu Dewa. Kalau waktu itu Basu
Dewa melarikan diri, itu karena ia telah kehilangan
adiknya." jawab Wintara.
"Paman.... minumlah, teh ini telah menjadi din-
gin." Nalantili menyulangi gelas berisi air hangat pada
Pendekar Gelugut Sutra.
"Bukan melarikan diri, tapi Basu Dewa merasa
terpanggil untuk kembali ke tempat pemujaannya." ka-
ta Pendekar Gelugut Sutra sambil menerima gelas dari
gadis Nalantili.
"Mungkin juga ia akan datang kembali dengan
ilmu yang lebih dahsyat. Yaaah.... Pokoknya kita harus
tetap waspada saja." kata pendekar itu lagi.
"Semoga saja sobat Wintara mampu mengha-
dapi bila durjana itu datang... Nalantili, kau pun ru-
panya harus istirahat. Tidakkah kau merasa lelah se-
tiap hari mengurusi kami. Biarlah kami di sini bersa-
ma Wintara. Dan juga suruh murid-murid jaga bergan-
tian. Tidak perlu mereka semua pentang mata. Situasi
sekarang ini cukup aman." kata Amarsa Rawut. Gadis
itu pun tidak membantah. Ia segera meninggalkan me-
reka. Menemui murid-murid Perguruan 'Guci Perak'
untuk menyampaikan perintah.
"Kalian pun mestinya sudah beristirahat. Angin
di luar kurang baik." Wintara menyelimuti Pendekar
Gelugut Sutra. Amarsa Rawut dapat menyelimuti tu-
buhnya sendiri.
"Aku belum bisa tidur, Wintara. Malam ini pe-
rasaanku agak lain. Biarlah aku di sini sendirian,
mungkin Amarsa Rawut yang semestinya beristirahat."
tukas Pendekar Gelugut Sutra.
"Ah, Paman hanya terbawa perasaan saja. Ba-
gaimana dengan Amarsa Rawut? Apakah sudah lelah
betul?" tanya Wintara.
"Ngantuk sih belum. Tapi aku ingin berbaring."
Wintara tidak menunggu lagi. Ia langsung memapah tubuh Amarsa Rawut. Membawanya masuk ke
dalam perguruan. Kaki Amarsa Rawut belum kering
betul. Makanya saat Wintara mengangkat tubuhnya ia
hampir menjerit.
Ruang kamar Amarsa Rawut telah rapi. Juga
tercium aroma yang sedap. Pastilah Nalantili yang
memberesi semua ini. Wintara melangkah menuju
pembaringan. Diletakkannya hati-hati tubuh Amarsa
Rawut. Tubuh tanpa kaki itu terhenyak di atas kasur
empuk.
Wintara menutupi semua jendela kamar yang
terbuka. Dari situ dapat terlihat Pendekar Gelugut Su-
tra duduk menyendiri. Sebagian murid-murid Pergu-
ruan 'Guci Perak' siap berjaga-jaga. Wintara menghela
nafas saat semua jendela tertutup rapat.
Tapi melalui jendela itu pula Wintara mendadak
tersentak kaget. Dari situ dapat terlihat dua buah si-
nar kebiruan melayang-layang di udara. Jelas sekali
kedua sinar itu menuju ke arah perguruan.
"Astaga!" Wintara memekik. "Ada apa, Sobat
Wintara?" tanya Amarsa Rawut keheranan.
"Entahlah.... kau diam saja di sini." tukas Win-
tara seraya ia berlari ke luar. Kedua sinar itu masih
melayang-layang di udara. Bukan hanya Wintara saja
yang dapat melihat. Pendekar Gelugut Sutra pun su-
dah berdiri di pelataran menyaksikan benda-benda
terbang itu.
Saat kedua sinar kebiruan itu mendekati per-
guruan, semua murid-murid Perguruan 'Guci Perak'
berlari mundur. Wintara menemui Pendekar Gelugut
Sutra berdiri keheranan.
"Paman, benda apa itu yang menjurus ke mari?
Nampaknya seperti Braja." Pandangannya terus men-
gawasi kedua benda bersinar menjurus turun. ,
"Ini pasti perbuatan Basu Dewa. Sudah kuka-
takan dia pasti datang ke mari lagi. Caranya saja se-
perti cara iblis." jawab Pendekar Gelugut Sutra. Lalu
keduanya diam. Kedua benda bersinar itu lenyap.
"Hati-hati, Paman. Dia sudah menyelinap ke
mari." Mendadak.... "Bruaaak!" Pintu gerbang yang ter-
tutup rapat berderak hancur berkeping-keping. Dari si-
tu muncul lagi dua buah sinar kebiruan. Sinar-sinar
itu langsung menjurus ke arah Wintara dan Pendekar
Gelugut Sutra. Wintara yang tetap waspada segera me-
lindungi Pendekar Gelugut Sutra. Gerakannya yang
sangat cepat melesat jauh menghindari serangan itu.
Kedua sinar itu menghantam tanah. Menimbulkan su-
ara ledakan yang nyaring.
Barulah kedua pendekar itu tahu. Dua buah
sinar itu sebenarnya dua buah kapak yang tajam ber-
kilat. Melihat itu pun Wintara terus membawa tubuh
Pendekar Gelugut Sutra menjauh dari tempat ledakan.
"Paman berlindung saja. Akan ku coba sekali
lagi menghadapi Basu Dewa." sergah Wintara.
"Tidak Wintara. Aku masih bisa menggunakan
kedua kakiku." jawab pendekar tua itu. Wintara tidak
bisa menolak.
Tanpa terduga pula kedua kapak itu bagai ter-
kendali menerjang deras. Berdesing nyaring mengarah.
Wintara sudah menyadari kalau dirinya kini
menjadi sasaran. Maka saat kapak-kapak itu mendera
Wintara melesat mundur. Dalam pada itu pun ia mele-
paskan hantaman. 'Bayu Menghantam Gelombang'....
"Hreaaaaa...! Bledaaar!" Hantaman itu tepat
mengenai kedua kapak hingga mencelat. Kapak-kapak
itu terus berputar-putar di udara. Wintara bersiap-siap
lagi dengan hantaman seperti tadi. Namun kapak-
kapak itu seakan mundur teratur. Kedua senjata itu
menjauh.
Di atas pintu gerbang Basu Dewa sudah me-
nanti kedua kapaknya kembali. Tangkas pula ia me-
nangkapi satu demi satu kedua senjata itu. Lalu ia tu-
run dengan berjumpalitan.
"Kau boleh unjuk gigi di hadapanku, Pendekar!
Nah sambutlah ini.... "Hiaaaa...!" Basu Dewa melem-
parkan kapaknya lagi. Sedangkan ia sendiri menerjang
ke arah Wintara. Melihat itu pun Pendekar Gelugut
Sutra langsung mundur.
Menghadapi sambaran kapak yang terbang
sendiri saja Wintara merasa kewalahan. Apalagi Basu
Dewa menyerang dengan babatan-babatan kapak.
Pendekar Kelana Sakti ini betul-betul harus berkelit
mati-matian. Tidak jarang ia melancarkan pukulan
'Bayu Menghempas Gelombang', namun ternyata han-
taman-hantaman itu seperti tidak berarti bagi Basu
Dewa. Ia malah makin gencar melancarkan babatan
kapak.
Yang lebih dahsyat lagi kapak yang terbang
dengan sendirinya. Wintara lebih sulit menghadapinya
daripada menghindari serangan-serangan Basu Dewa,
sekarang Wintara merasa betul-betul hampir tidak
mampu menghadapi serangan-serangan itu.
"Kali ini semua orang-orang persilatan akan
bergelimpangan tanpa kepala!" Basu Dewa sengit me-
lancarkan babatan kapak. Saat itu sebelah kapaknya
yang terbang sendiri telah kembali.
"Boleh saja. Asalkan kau memenggal kepalaku
lebih dulu." jawab Wintara. Ia cepat menunduk. Kedua
tangannya siap menghantam. Namun saat Wintara me-
lancarkan hantamannya lagi, gagal. Dengan gesit Basu
Dewa bisa menghindarinya. Malah sekarang
kedua kapaknya bergulung-gulung mengeluarkan si
nar kebiruan. Berkelebat ke sana ke mari.
Amarsa Rawut bisa melihat dari atas pembarin-
gan melalui jendela. Betapa ia merasa ngeri melihat
sambaran-sambaran kapak nyaris menghantam putus
leher Wintara. Kalau saja kakinya masih utuh seperti
dulu, mungkin ia sudah datang membantu.
Mendengar suara-suara ribut Nalantili bergegas
ke luar. Dia pun tidak tinggal diam melihat Wintara di-
gempur macam itu. Maka tubuh ramping itu melesat
dengan pedang terhunus.
Wintara sendiri terkejut tahu-tahu gadis Nalan-
tili sudah berada di situ melancarkan serangan. Baba-
tan-babatan pedangnya dapat mengurangi serangan
Basu Dewa. Bukan main marahnya Basu Dewa ini.
Sekali ia menghentakkan kapaknya sinar kebiruan
membersit berdesing. Nalantili gesit menangkis. Na-
mun sambaran angin yang keluar dari kapak itu mem-
buat gadis Nalantili terhuyung ke belakang.
"Perempuan sial! Kau pun bakal mampus!" Ba-
su Dewa melemparkan kapaknya. Kembali kapak Basu
Dewa terbang menyambar. Tentu saja Wintara tidak
membiarkan kapak itu menghantam Nalantili. Kecepa-
tan larinya melebihi kecepatan angin. Tangkas pula
Wintara menghantamkan kapak itu dengan pukulan
'Tinju Bayu Delapan Penjuru'...."Bledaar!" Benturan itu
sangat nyaring menghantam kapak Basu Dewa. Saat
itu pun Nalantili menyampok dengan pedangnya.
Kapak tajam berkilat berbalik menyerang Basu
Dewa. Durjana Pemenggal Kepala ini tidak sempat
menghindar. Tapi ia masih tetap waspada. Dengan se-
gala kekuatannya ia menangkis dengan sebelah ka-
paknya lagi. Maka....
"Jledaaar!" Terjadi ledakan yang paling dahsyat.
Dari ledakan itu mengeluarkan sinar yang amat terang. Lengan Basu Dewa, berdenyut hebat. Ia betul-
betul terperanjat saat melihat kedua kapaknya hancur
menjadi kepingan-kepingan logam di tangannya.
"Kalian keparat semua! Kalian telah menghan-
curkan dua senjata mautku! Kalian akan rasakan aki-
batnya..... "Hraaaat!"
Basu Dewa murka. Ia menerjang Wintara den-
gan telapak tangan yang membara.
"Nalantili, munduuuur...!" bentak Wintara. Ia
sudah mengira kalau serangan Basu Dewa sekarang
bakal repot untuk dihadapi. Maka Wintara tidak se-
gan-segan melancarkan pukulan 'Bayu Menghempas
Gelombang'. "Duaaar!" Saat itu pun Basu Dewa melan-
carkan hantamannya. Bahkan tepat mengenai dada.
Maka Wintara jatuh bergulingan dengan mulut me-
nyembur darah. Basu Dewa tetap berdiri meskipun
sudah terkena hantaman dari Wintara.
Pendekar Kelana Sakti ini cepat bangkit, na-
mun baru saja ia dapat berdiri Basu Dewa sudah me-
lancarkan sebuah hantaman mengenai kepala....
"Deeer!" Kembali tubuh Wintara bergulingan. Basu
Dewa menatap menyeringai, Kedua lengannya siap
menghantam lagi.
Gadis Nalantili menghalangi dengan babatan
pedang. Basu Dewa menyambut dengan kibasan tan-
gannya.... "Bweeeet! Plaaaak!" Tak ampun Nalantili
mencelat dan hampir menimpa tubuh Pendekar Gelu-
gut Sutra, dengan gesit pula pendekar setengah umur
ini dapat menangkap tubuh ramping Nalantili. Ia dapat
menjaganya meskipun tanpa kedua telapak tangan.
Di luar dugaan tubuh Basu Dewa membara.
Sekujur tubuhnya mengeluarkan hawa panas. Saat itu
Wintara duduk bersila menghimpun tenaga inti bayu.
*
**
DUA BELAS
"Kau memang lawanku, Sobat Pendekar. Hada-
pilah jurus terakhir dariku ini. Mati pun aku merasa
puas bila kau benar-benar sanggup menahannya." Ba-
su Dewa pentang jurus. Kedua tangannya yang mem-
bara bergerak-gerak sangat cepat. Bahkan berputar-
bagai kitiran angin sampai mengeluarkan percikan-
percikan api.
Wintara tidak punya pilihan. Ia harus terpaksa
pula mengeluarkan jurus yang paling dahsyat. Jurus
'Selaksa Bayu Penjerat Nadi'. Sebenarnya pantang se-
kali bagi Wintara menggunakan jurus tersebut. Kalau
tidak terpaksa sekali. Karena untuk melepaskan han-
taman itu ia harus menguras habis tenaga intinya. Ka-
lau saja lawannya masih bisa bertahan, maka ia sendi-
ri akan celaka.
"Kita memang harus mati bersama, Basu Dewa.
Biarlah aku mengorbankan nyawa demi kebenaran."
kata Wintara tenang yang diam-diam siap menyambut.
Maka pada detik itu juga...
"Hreaaaa...!"
"Hraaaaat...!"
Keduanya sama-sama melesat ke atas.... Sama-
sama melancarkan hantaman terakhir.
"Bledaaar...!" Baik Wintara maupun Basu Dewa
mencelat bergulingan. Sesaat kemudian Wintara masih
bisa duduk bersila kembali. Basu Dewa bangkit berdi-
ri, tapi ketika ia hendak melangkah. Sekujur tubuhnya
mendadak kaku. Tubuhnya yang merah membara
lambat laun berubah hitam. Bersamaan dengan itu pu-
la Basu Dewa menjerit-jerit...
"Waaaarght! .... Waaaaarght...!" Tubuh hitam
kaku Basu Dewa berderak retak. Pembuluh-pembuluh
darah menonjol ke luar seakan hendak copot dari da-
gingnya. Mendadak saja kepala Basu Dewa mengge-
linding ke tanah. Darah mengucur deras bagai air
mancur dari kutungan kepala di lehernya.
Nalantili bersama Pendekar Gelugut Sutra da-
pat melihat kengerian itu. Wintara nampak duduk ber-
sila kehabisan tenaga. Ia juga menyaksikan kejadian
itu. Amarsa Rawut yang berada di kamarnya ingin ber-
teriak kegirangan melihat menggelinding hangus di ta-
nah.
Pendekar Gelugut Sutra berlari mendekati Win-
tara, Nalantili mengikuti dari belakang. Ketika mereka
berada di samping Wintara. Semuanya terbelalak. Me-
reka hampir tidak percaya menyaksikan tubuh Basu
Dewa yang tetap berdiri mengeluarkan asap hitam ber-
gulung-gulung.
Asap itu keluar melalui kutungan leher yang
masih mengucurkan darah. Mereka tidak percaya pula
saat asap hitam itu mulai membentuk sosok tubuh.
Setelah sosok itu benar-benar tampak. Barulah tubuh
Basu Dewa ambruk ke tanah.
Sosok berjubah hitam itu makin jelas terlihat.
Wajahnya yang gelap tertutup jubah seakan menatap
mereka penuh kemarahan.
"Manusia-manusia hebat! Kalian boleh bangga
atas kemenangan terhadap orang-orang persekutuan
ku. Akulah Eyang Tumbal Segara yang tidak bakal
mengampuni kalian! Huak hak hak hak hak...!" Jel-
maan asap hitam yang tak lain sosok Eyang Tumbal
Segara tertawa mengakak.
Tawanya yang mengerikan dapat mengguncang
sekitar tempat itu. Suara tawa yang parau menggema.
Nalantili dan Pendekar Gelugut Sutra tidak sabaran
melihat kemunculan Eyang Tumbal Segara yang ba-
nyak tingkah itu, maka keduanya serempak mener-
jang.
Nalantili sigap membabatkan pedangnya berka-
li-kali. Pendekar Gelugut Sutra nekad mengeluarkan
jurus mautnya. Ia lupa kalau kedua telapak tangannya
telah buntung. Namun tanpa disadarinya pula dari ku-
tungan pergelangan tangannya masih dapat mengelua-
rkan serat-serat sutra yang bergulung-gulung merejam
ke arah Eyang Tumbal Segara.
Pendekar Gelugut Sutra ini semakin yakin ka-
lau dirinya masih mampu mengeluarkan jurus-jurus
ampuhnya. Nalantili gencar membabati setiap bagian
tubuh Eyang Tumbal Segara, namun....
"Huak hak hak hak hak...! Ayo kerahkan semua
tenaga kalian sampai ludes! Hayo keluarkan jurus-
jurus ampuh kalian!" Dengan lapang Eyang Tumbal
Segara menerima serangan-serangan itu. Setiap baba-
tan pedang Nalantili dan hantaman Pendekar Gelugut
Sutra seperti menembus di tubuh Eyang Tumbal Sega-
ra. Sosok hitam itu sukar untuk disentuh. Tubuhnya
bagaikan sebuah bayangan.
Namun saat Eyang Tumbal Segara membalas
serangan mereka dengan hempasan kedua tangan.
Dua orang ini mencelat tidak kepalang tanggung. Ke-
duanya menyemburkan darah dan tidak dapat bangkit
lagi.
"Huak hak hak hak hak...! Kalian cuma cacing-
cacing busuk penghuni tanah! Mampus saja kalian!"
Eyang Tumbal Segara berniat melancarkan serangan
lagi terhadap mereka yang tergeletak pingsan.
Saat itu pun Wintara berusaha sekuat tenaga
menghalangi. Serangannya lemah bagai tak bertenaga.
Ia terkejut sekali saat tinjunya menembus mengenai
angin. Padahal jelas-jelas hantamannya itu masuk
mengenai dada Eyang Tumbal Segara.
"Huak hak hak hak hak...! Sebenarnya kaulah
yang mesti kulumatkan, Pendekar ingusan! Kau yang
selalu merintangi dua orang persekutuanku....
Hreaaat!" Dengan telengas Eyang Tumbal Segara mele-
paskan hantaman. Maka akibatnya sangat fatal. Kea-
daan Wintara yang sangat lemas tak bertenaga itu
mencelat membentur pagar. Hantaman Eyang Tumbal
Segara membuat nafasnya sesak. Ia baru menyadari
kalau lawannya itu hanyalah sebuah mahkluk halus.
Dalam keadaan seperti itu tidak mungkin Wintara bisa
melepaskan hantaman-hantaman yang merupakan
andalan dari Eyang Buana Penangsang, gurunya.
Maka terlintas ingatannya ketika ia pernah ber-
jumpa dengan seorang perempuan sakti yang mena-
makan dirinya: Nyi Dayang Kunti Naga. (baca: Pemikat
Nyi Sekar Dayang Kunti). Perempuan itu tergolong
makhluk halus pula. Dia pernah berjanji akan mem-
bantu bila Wintara dalam keadaan kesulitan. Mung-
kin sekaranglah saatnya Wintara meminta pertolongan
pada Nyi Dayang Kunti Naga.
Pandangan Wintara nanar menatap Eyang
Tumbal Segara yang datang perlahan tanpa melang-
kah. Sosok berjubah hitam itu seakan terbang di atas
permukaan tanah mendekati Wintara.
"Nyi Dayang Kunti Naga.... Kalau kau memang
selalu menyertai dalam pengembaraanku, datanglah ke
sini. Aku butuh pertolonganmu... Nyi Dayang Kunti...
Nyi Dayang Kunti Naga.... Nyi Dayang Kunti Naga...."
Wintara seperti berbisik. Pikirannya terpusat pada satu
titik. Serta kedua matanya terpejam.
Eyang Tumbal Segara tidak jadi melepaskan
hantaman. Karena dengan tiba-tiba saja angin bertiup
kencang. Di langit yang gelap itu muncul sinar terang
berwarna kekuningan menyilaukan mata.
Sinar kuning itu turun langsung yang ternyata
seorang perempuan cantik bertubuh molek. Namun
masih jelas kelihatan buah dada serta auratnya yang
merangsang. Perempuan itu langsung turun mengin-
jakkan kakinya ke tanah...
"Siapa yang berani mengusik cucuku ini, hah?
Sampai-sampai aku harus turun tangan!" Suara parau
Nyi Dayang Kunti Naga meraung bagai serentetan hali-
lintar. Pandangannya menatap tajam ke arah Eyang
Tumbal Segara.
"Perempuan jalang apa hakmu mencampuri
urusanku!" bentak Eyang Tumbal Segara.
"Kau tidak berhak untuk melukai cucuku, Apa-
lagi sampai membunuhnya. Maka sebelum kau menu-
runi tangan jahatmu, hadapi dulu aku!" sahut Nyi
Dayang Kunti Naga.
"Kalau begitu kita boleh bertarung. Siapa yang
kalah akan menempati neraka paling dasar!" jawab
Eyang Tumbal Segara.
"Huh. Apa susahnya menghadapi setan yang
haus akan kepala! Biarlah cucuku sendiri yang akan
menghadapimu!" Setelah berkata begitu tubuh molek
Nyi Dayang Kunti Naga raib. Ia menjelma menjadi si-
nar kuning lagi. Sinar itu terbang berputar-putar di
udara.
Wintara dapat melihat meski dengan pandan-
gan yang suram. Ia tetap diam saat sinar kuning itu
menjurus ke arahnya. Tidak dapat dielakkan lagi saat
sinar kuning itu masuk ke dalam mulut Wintara.
Saat itu pun Wintara tersentak bangun. Kedua
matanya tetap terpejam. Tubuh Pendekar Kelana Sakti
ini berdiri tegap seperti telah mendapatkan tenaga ba-
ru.
"Mari tua bangka! Aku ingin tahu siapa yang
bakal mendekam dalam kerak neraka." Jelas suara itu
keluar dari mulut Wintara, tapi yang terdengar suara
perempuan.
"Perempuan jalang sok alim! Aku tidak segan-
segan lagi padamu!" Eyang Tumbal Segara menyapu
dengan kedua tangannya.... "Wuuuus!" Wintara cepat
menyilangkan kedua lengannya di dada. Jelas sekali
hembusan angin menghempas. Tubuh pingsan
Nalantili dan Pendekar Gelugut Sutra beterban-
gan bagai segumpal kapas yang terhembus angin.
Kecuali Wintara yang masih bertahan. Dengan
mata yang tetap terpejam Wintara menghentakkan ke-
dua telapak tangannya ke depan, maka...
"Wuuuus.... Bledaaar!" Eyang Tumbal Segara
terjerembab ke belakang. Wintara terseret mundur oleh
hantaman yang sangat dahsyat itu.
Tapak kaki Wintara sampai menggores pada
permukaan tanah. Dalam pada itu pun Wintara tidak
berhenti melepaskan serangan. Kali ini pukulan jarak
jauhnya, "Weesss...! Deeeeerrr...!" Dua kali berturut-
turut Eyang Tumbal Segara mendapat hantaman. Dua
kali pula tubuh berjubah hitam itu jumpalitan.
"Hi hi hi hi hi.... Terhadap cucuku saja kau ti-
dak mampu menghadapinya. Bagaimana bisa mengua-
sai alam fana ini?" ejek Nyi Dayang Kunti Naga. Eyang
Tumbal Segara menggeram....
"Keluar kau dari raga anak muda itu, Perem-
puan jalang!" Serta merta ia melepaskan hantaman.
Entah pukulan apa. Dari hantaman-hantaman itu
membersit dua buah sinar menjurus ke arah Wintara.
Tenang Nyi Dayang Kunti Naga mengendalikan
tubuh Wintara bergeser ke samping. Di luar dugaan
tubuh Wintara melesat ke atas. Eyang Tumbal Segara
menyambuti dengan lesatan tubuhnya pula. Keduanya
saling mendera melepaskan hantaman-hantaman.
Berkali-kali hantaman Eyang Tumbal Segara melanda
tubuh Wintara. Pendekar Kelana Sakti ini seperti tidak
merasakannya. Padahal darah menyembur ke luar dari
mulutnya.
"Tua bangka keparat! Kau hampir membuat cu-
cuku mati! Rasakan ini.... Hreaaa!" Saat itu tubuh
Wintara melintir bagai gasing. Tendangannya mencuat
berturut-turut.
"Des...! Des...! Des...!" Eyang Tumbal Segara
memekik. Tubuhnya jatuh terbanting. Saat itu pun
Wintara menukik ke bawah.... mengarah pada Eyang
Tumbal Segara.
"Hadapi pukulan 'Tujuh Warna' ku ini....
Hiaaaa...!" Selama Wintara menukik ke bawah mem-
bias sinar sebanyak tujuh warna bagai pelangi. Eyang
Tumbal Segara sangat terperangah. Ia tidak dapat me-
lihat serangan itu. Karena tujuh warna telah melapisi
tubuh Wintara. Tahu-tahu saja hantaman itu sudah
mendera di tubuh Eyang Tumbal Segara....
"Waaaarrght!" Tak pelak lagi Eyang Tumbal Segara
bergelintingan menjerit-jerit.
"Tobaaatt...! Tobaaaat...!" Tubuh Eyang| Tum-
bal Segara mengkerut bagai lilin. Menyebarkan bau
yang sangat busuk. Jeritannya makin lama makin hi-
lang bersamaan dengan mencairnya tubuh Eyang
Tumbal Segara.
Wintara berdiri mementang jurus yang sangat
aneh. Kedua matanya tertutup rapat. Saat itu pun tubuhnya tergetar hebat. Keringat sebesar-besar butir ja-
gung mengalir di sekujur tubuh.
Tiba-tiba saja mulutnya menganga lebar. Dari
situ keluar lagi seberkas sinar kuning. Sinar itu men-
gapung di atas cairan berbau busuk.
"Iblis yang tidak pernah tobat, beginilah akhir
hidupmu! Rasakan! Tinggallah bersama kerak neraka!"
Sinar kuning itu menjelma lagi menjadi sosok molek
Nyi Dayang Kunti Naga. Perempuan itu mengibaskan
tangannya.... "Weeees...!" Maka cairan busuk itu seper-
ti lenyap tanpa bekas. Perempuan itu melangkah ter-
senyum ke arah Wintara.
"Wintara.... Sekali lagi aku ikut bersamamu da-
lam menumpas kesesatan iblis. Lain kali jika kau me-
merlukan bantuanku, aku tidak segan-segan datang
membantu."
Wintara perlahan membuka matanya. Tubuh-
nya mulai terhuyung. Lalu jatuh lagi dalam keadaan
berlutut.
"Terima kasih, Nyi... Tanpa bantuanmu, entah
apa jadinya." Suara asli Wintara bergetar.
"Justru melalui tanganmu itu aku bisa bertin-
dak. Tanpa kau semua ilmu yang ku miliki tiada ar-
tinya." sahut Nyi Dayang Kunti Naga.
Wintara sudah tidak mendengar lagi. Ia betul-
betul telah menguras tenaganya. Ia hanya dapat meli-
hat bagaimana tubuh Nyi Dayang Kunti Naga perlahan
sirna meninggalkannya.
"Selamat jalan, Wintara. Semoga kita akan ber-
satu lagi...." Sosok itu berubah lagi menjadi sinar kun-
ing, lalu terbang menembus langit gelap.
Angin berdesir semilir menerpa permukaan ta-
nah pelataran Perguruan 'Guci Perak'. Wintara duduk
seakan tidak dapat bangkit. Matanya memandang ber
keliling menatapi tubuh-tubuh bergelimpangan.
Nalantili bersama Pendekar Gelugut Sutra be-
lum juga sadarkan diri. Di sebelah sana terlentang tu-
buh hangus tanpa kepala Basu Dewa. Amarsa Rawut
yang sejak tadi menyaksikan peristiwa itu di balik jen-
dela berteriak-teriak....
"Sobat Wintara...! Kau tidak apa-apa...?"
"Aku tidak kurang satu apa pun, Amarsa Ra-
wut. Hanya saja sekarang kedua kakiku seperti lum-
puh. Tapi tak mengapa sebentar lagi juga membaik!"
jawab Wintara sambil tidak kalah berteriak.
Ketika suasana telah tenang kembali, barulah
orang-orang 'Guci Perak' berdatangan. Mereka saling
berbicara kagum akan peristiwa yang mereka lihat ta-
di.
Mereka memapah tubuh pingsan Nalantili dan
Pendekar Gelugut Sutra. Wintara pun harus dibantu
untuk berdiri. Tapi ia masih bisa melangkah masuk ke
dalam perguruan sambil melemparkan senyum ke arah
orang yang berdiri di balik jendela.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar