..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 07 Februari 2025

PENDEKAR KELANA SAKTI EPISODE DURJANA PEMENGGAL KEPALA

Durjana Pemenggal Kepala

 

Cerita ini adalah fiktif.
Persamaan nama, tempat dan ide 
hanya kebetulan belaka

DURJANA PEMENGGAL KEPALA
Oleh Buce L. Hadi
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi Baru Plaza, lantai 2-B69
H. Samanhudi No. l4, Jakarta-Pusat
Cover oleh: David G.
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama
Hak Cipta ada pada Penerbit 
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau 
seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit.

SATU

Bangunan yang satu-satunya berdiri di atas 
bukit itu nampak menyeramkan. Apalagi dalam sua-
sana malam seperti ini. Bulan yang bulat penuh men-
gembang di balik bukit membuat bangunan itu makin 
angker.
Suara-suara binatang malam pun mengelilingi 
penuh suasana bukit. Diselingi dengan suara mengeri-
kan belasan burung hantu yang bertengger pada po-
hon kering yang ada di samping bangunan. Belasan 
pasang mata mereka menyala bagai bara yang mene-
rangi tiap-tiap cabang pohon kering.
Bangunan itu sendiri rupanya sudah tidak ke-
ruan. Meskipun besar sepertinya sudah tidak terurus 
lagi. Sekelilingnya semrawut bekas puing-puing. Tatka-
la angin berdesir, maka bau busuk menyengat meme-
nuhi bukit itu.
Di depan pintu bangunan berderet tangga batu 
yang memanjang menurun ke bawah. Di sepanjang 
kedua sisi tangga batu banyak berdiri tonggak-tonggak 
kayu. Sinar bulan dapat menerangi dengan jelas apa 
yang tertancap pada tiap-tiap kayu tonggak itu.
Mengerikan sekali. Kutungan bukit tersebut 
menyebar bau busuk.
Dari kejauhan semuanya nampak dingin dan 
menyeramkan. Terdengar juga daun jendela yang ber-
derak-derak tertiup angin, juga kepak-kepak sayap ke-
lelawar yang berterbangan keluar dari bangunan itu.
Namun semua pemandangan yang cukup 
membangunkan bulu roma itu tidaklah membuat ta-
kut bagi kedua orang yang nampak menjajaki tangga 
batu. Keduanya berjalan saling susul tanpa menoleh.

Langkah-langkah mereka sempoyongan. Orang yang 
berjalan di belakang entah sudah berapa kali jatuh 
bangun. Terkadang pula ia harus memanggil-manggil 
orang yang berjalan mendahului.
"Kang... Aduuuuh, tunggu dulu, Kang. 
Hoeeeek!" rintihnya sambil mengeluarkan muntah. 
Pasti karena bau busuk itu.
"Rasanya aku hampir tidak sanggup berjalan 
lagi. Aku tidak tahan dengan bau busuk begini." ka-
tanya lagi. Orang yang berjalan di depan tidak menya-
hut.
Mereka adalah kakak beradik yang akan menu-
ju bangunan itu. Entah ada maksud apa mereka sam-
pai berani mendatangi tempat semacam itu. Sebelum-
nya mereka sama sekali tidak mengetahui adanya se-
buah bangunan di atas bukit. Meskipun mereka seka-
rang tahu betapa seramnya. Tidak kepalang mereka 
nekad mendatangi juga.
"Itukah tempatnya, Kang?... Rasanya aku tidak 
berani masuk. Kau sajalah yang menemui Eyang Tum-
bal Segara. Biar aku tunggu di luar." kata sang adik 
sambil menutup kedua lobang hidungnya dengan jari. 
Ketika mereka tiba di depan pintu bangunan, mereka 
berdiri berdampingan. Di tempat setinggi itu rupa me-
reka kelihatan jelas.
"Kita harus masuk bersama, Ambali Songka. 
Jelas tujuan kita sama. Jadi kita tidak perlu takut apa 
pun yang harus kita hadapi." jawab lelaki itu menatap 
adiknya. Nampak wajah penuh berlumuran darah. Se-
belah kelopak matanya pecah. Untunglah tidak me-
nembus sampai ke bola mata.
Keadaan Ambali Songka lebih parah lagi. Selain 
tubuhnya bersimbah darah. Telinga serta mulutnya 
sapat seperti kena babatan pedang. Tentu saja sakit

kalau ia bicara.
"Tapi aku tidak tahan dengan suasana yang be-
gini, Kakang Basu Dewa. Keadaan di sini benar-benar 
menjijikkan." kata Ambali Songka bergidik. Basu Dewa 
memandang geram.
"Kita sudah sampai pada tempat tujuan. Mau 
apa lagi? Mau coba-coba balik? Itu sama saja kita bu-
nuh diri. Bagi Eyang Tumbal Segara pantang gagal ke-
datangan tamu! Ayo masuk!" Basu Dewa menarik len-
gan Ambali Songka yang menutupi lobang hidungnya.
Keduanya serentak masuk melalui pintu. Sekali 
dorong daun pintu itu berderak menguak. Tanpa ragu-
ragu Basu Dewa menuntun adiknya. Cukup terang 
ruangan itu. Karena sinar bulan dapat langsung ma-
suk dari pintu dan jendela yang terbuka lebar.
Dan di dalam ruangan bangunan itu tidak ada 
apa-apa. Dalam bangunan begitu lapang bagai sebuah 
gudang. Lantainya dari susunan batu marmer. Di ten-
gah-tengah ruangan itu pula terdapat sebuah kolam 
dengan airnya yang hitam keruh.
Hati-hati sekali kakak beradik itu masuk sema-
kin ke dalam. Mereka berhenti sampai terhalang oleh 
kolam. Keduanya celingukan seperti mencari-cari se-
seorang.
"Eyang... Eyang Tumbal Segara? Di mana kau? 
Kami datang untuk memohon petunjukmu." kata Basu 
Dewa. Suaranya bergema dalam ruangan itu. Ambali 
Songka berpegangan erat ketakutan.
"Tidak ada siapa pun di sini. Pasti kita telah sa-
lah alamat." ujar Ambali Songka.
"Di sini tidak lebih seperti tempat pejagalan." 
katanya lagi. Basu Dewa tidak perduli dengan ucapan 
Ambali Songka. Ia terus memanggil-manggil. Matanya 
memandang berkeliling.

"Eyang Tumbal Segara...."
Mendadak saja air kolam yang hitam keruh itu 
menggelegak. Buih-buih muncul bergelombang di ha-
dapan mereka. Ambali Songka hampir loncat karena 
terkejut. Tapi Basu Dewa cukup tenang. Air kolam 
makin bergelombang. Dari buih-buih muncul asap ke-
biruan mengepul, lalu terdengar juga suara parau ber-
bicara....
"Selamat datang, Cucuku... Selamat datang... 
Tempat ini memang selalu terbuka untuk siapa saja." 
Tidak ada siapa pun di situ selain mereka berdua. Tapi 
jelas mereka dapat mendengar suara itu. Dan yang le-
bih yakin lagi kalau sumber suara itu berasal dari da-
sar kolam.
"E-E-Eyang... Kaukah itu?" Mata Basu Dewa 
membelalak menatap yang tidak nampak ke arah ko-
lam.
"Ha ha ha ha...!" Terdengar suara tawa yang 
menggelegar menggetarkan jantung mereka. Bersa-
maan dengan itu pula air kolam muncrat ke atas bagai 
air mancur, kemudian...
"Siapa lagi yang mendiami tempat ini selain 
aku, si Tumbal Segara... Hak hak hak hak..." Suara 
parau menggema nyaring.
"Eyang..." Basu Dewa hampir-hampir tidak per-
caya mendengar suara parau itu dari dasar kolam.
"Kakang Basu Dewa... Aku takut." bisik Ambali 
Songka.
"Hak hak hak hak hak... Kalau merasa takut 
kenapa jauh-jauh nekad datang ke sini? Heh? Kalian 
tahu bukan, aku selalu memenuhi apa pun permin-
taan kalian."
"Be-Benar, Eyang... Kami memang ingin me-
minta sesuatu pada Eyang..." jawab Basu Dewa mem

beranikan diri. Kedua matanya tidak berkedip menatap 
air hitam yang mancur ke atas.
"Tidak usah kau sebutkan pun aku sudah tahu 
maksud tujuanmu, Cucuku. Bagus-bagus... Tidakkah 
kalian menyesal bersekutu denganku?" Suara Eyang 
Tumbal Segara terdengar lebih menyeramkan.
"Ti-Tid-tidak, Eyang. Kami sudah berpikir pan-
jang lebar. Bagaimana pun kami harus membalas sakit 
hati ini terhadap Amarsa Rawut. Dia pula yang mem-
buat aku terluka parah begini." tutur Basu Dewa.
"Hal itu mudah. Kau bisa melakukannya nanti. 
Tapi sudahkah kalian tahu apa syarat-syaratnya.
"Apa pun yang Eyang minta pasti aku penuhi." 
jawab Basu Dewa.
"Betul, Eyang Tumbal Segara harus membantu 
kami. Tidakkah Eyang lihat sendiri rupa kami? Aku 
yang tolol harus kehilangan telinga dan mulutku pun 
hampir tidak ada bibirnya. Sedangkan Kakang Basu 
Dewa nyaris kehilangan sebelah matanya." Ambali 
Songka mulai berani buka suara. Air kolam itu bergo-
lak lagi....
"Setelah kalian bersekutu denganku, ka rupa 
kalian akan kembali seperti semula. Juga tidak segan-
segan aku menurunkan ilmu paling dahsyat pada ka-
lian. Bukankah itu yang kalian pinta?"
"Be-Betul, Eyang. Kami memang berniat balas 
dendam terhadap si keparat Amarsa Rawut!" jawab 
Basu Dewa penuh semangat.
"Itu mudah saja. Asalkan kalian menyetujui 
persyaratannya."
Dua kakak beradik ini diam. Mereka saling 
pandang mendengar penuturan Eyang Tumbal Segara 
yang berdiam di dasar kolam.
"Kalian harus mengirim kepala orang-orang berilmu tinggi setiap tujuh hari sekali. Sanggup?"
"Sanggup!" jawab Basu Dewa cepat.
"Sebenarnya masih ada kesempatan untuk ka-
lian berubah pikiran. Sebab dalam jangka waktu tujuh 
hari tanpa menyerahkan sebuah kepala, maka kepala 
kalian yang akan menjadi gantinya."
"Apapun resikonya akan kami sanggupi, 
Eyang." jawab mereka bareng. Bersamaan dengan itu 
pula air kolam membuih hebat. Asap kebiruan berbau 
busuk mengepul lebih banyak. Terdengar juga suara 
tawa parau yang menggelak-gelak...
"Hak hak hak hak hak hak hak hak hak hak... 
Kalau begitu mulai sekarang kalian telah menjadi se-
kutu ku. Nah bukalah semua pakaian kalian, lalu ber-
sila di hadapan kolam ini. Kalian akan menerima pe-
nyucian diri." Mendengar perintah Eyang Tumbal Se-
gara, Basu Dewa dan Ambali Songka langsung menu-
ruti. Dalam waktu yang singkat, mereka sudah duduk 
bersila telanjang bulat menghadap ke kolam.
Keduanya tidak berani membuka mata selama 
bersila. Yang mereka rasakan hanyalah bau busuk 
menyengat hidung. Mereka tak tahu kalau asap kebi-
ruan itu mulai menyelubungi tubuh mereka berdua. 
Terasa pula air kolam begitu dingin begitu menyiprat 
ke arah mereka. Air kolam seakan menyiram mereka 
berkali-kali.
Tanpa sepengetahuan mereka pula sesuatu 
muncul dari permukaan kolam yang menggolak. Sosok 
tubuh berjubah hitam. Wajahnya tidak begitu jelas, 
karena jubah itu langsung menutupinya. Ketika sosok 
itu menyembul dan berdiri di atas permukaan air. Ma-
ka terlihatlah sosok menyeramkan. Kedua belah tan-
gannya erat menggenggam dua buah kapak berkilat. 
Kedua lengan itu terangkat ke atas saat ia tertawa


menggelegak.
"Hak hak hak hak..." Suara tawa itu mengusir 
asap kebiruan dan masuk kembali ke dasar kolam. 
Tempat itu menjadi terang dengan seketika. Sinar me-
nyilaukan memancar memenuhi seluruh ruangan. Dua 
sosok telanjang bulat menggigil. Ketika mereka mem-
buka mata. Terlihatlah sosok tubuh berjubah hitam 
berdiri di atas permukaan air.
"Beginilah rupa Eyang Tumbal Segara, cucu-
ku... Dan kalian tidak perlu takut."
Sosok itu masih mengangkat kedua lengannya. 
Terlihat dua buah kapak berkilat sangat tajam.
"Kalian telah ku sempurnakan sebagaimana 
seutuhnya manusia." Mendengar ucapan itu, kedua-
nya langsung memperhatikan tubuh mereka sendiri. Di 
tubuh mereka tidak nampak lagi bekas-bekas lumuran 
darah maupun luka. Ambali Songka tidak percaya saat 
ia memegang luka-lukanya. Mulut serta daun telin-
ganya yang semula sipat, kini telah utuh kembali. Be-
gitu juga dengan Basu Dewa. Kelopak matanya yang 
pecah telah sembuh tanpa bekas. Mereka tidak lebih 
seperti bayi yang baru lahir. "Terima kasih, Eyang... 
Terima kasih." "Hak hak hak hak hak... Mana pernah 
Eyang Tumbal Segara kepalang tanggung dalam meno-
long orang!" kata sosok berjubah hitam. Lalu tawanya 
membahana lagi....
"Hak hak hak hak hak..." Suara tawa itu sam-
pai terdengar keluar bangunan. Burung-burung hantu 
yang banyak bertengger di atas cabang pohon kering 
beterbangan menyingkir. Juga kutungan-kutungan 
kepala yang menancap pada tiap-tiap tonggak yang 
berderet di sepanjang tangga batu bergetar hebat. An-
gin menderu-deru menimbulkan suara yang mena-
kutkan.

Bercampur aduk dengan suara tawa yang 
menggelegak lantang. Sedangkan di kejauhan bangu-
nan itu tetap tegar berdiri seolah-olah tidak terjadi 
apa-apa. Entah apa yang akan dilakukan Eyang Tum-
bal Segara terhadap dua kakak beradik di dalam ban-
gunan itu. Yang jelas setelah suara tawa maupun an-
gin berhenti, tempat itu kembali sunyi dan menyeram-
kan begitu dingin.
*
* *
DUA


Dua kakak beradik itu sebenarnya murid-murid 
dari Perguruan 'Bukit Sampar'. Mereka telah diusir 
mentah-mentah dalam keadaan luka parah begitu oleh 
guru besarnya sendiri. Liung Sanca guru besarnya me-
rasa dipermalukan oleh perbuatan kedua muridnya 
itu.
Bagaimana tidak. Mereka kedapatan menga-
niaya dan memperkosa salah seorang murid perem-
puan dari Perguruan 'Guci Perak'. Untung saja kedua 
perguruan itu berhubungan sangat baik. Kalau tidak, 
sudah pasti orang-orang 'Guci Perak' tidak memberi 
ampun terhadap dua pendekar cabul itu. Bagus pula 
Nalantili belum terlanjur diperkosa. Meskipun begitu, 
Amarsa Rawut sebagai murid tertua perguruan 'Guci 
Perak' tidak kepalang tanggung memberi hajaran ter-
hadap mereka.
Liung Sanca sendiri tidak bisa bertindak apa-
apa melihat dua orang muridnya menerima hukuman 
itu di depan mata. Terlebih lebih Amarsa Rawut meng

hajarnya dalam lingkungan Perguruan 'Bukit Sampar'. 
Hal itu Liung Sanca sendiri yang meminta, karena su-
dah banyak kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh 
Basu Dewa dan Ambili Songka. Tentunya perbuatan 
mereka telah mencoreng nama besar Perguruan 'Bukit 
Sampar'. Itulah sebabnya Liung Sanca mengusir mere-
ka mentah-mentah. Dan juga tetap merahasiakan 
keaiban itu.
Tiap hari Liung Sanca mendatangi Perguruan 
'Guci Perak' untuk sekedar meminta maaf dan membe-
ri pengobatan terhadap gadis Nalantili. Atas dasar hu-
bungan mereka yang sangat erat, Ki Raka Banjaran 
serta putranya Amarsa Rawut masih mau memandang 
muka. Dan menganggapnya seolah-olah peristiwa itu 
hanyalah kejadian kecil. Bagaimana pun Liung Sanca 
merasa kikuk bila menghadapi para pentolan 'Guci Pe-
rak'.
"Luka-luka Nalantili tidak begitu parah, Liung 
Sanca. Jangan terlalu dipikirkan. Biar saja ini menjadi 
urusan kami." ujar Raka Banjaran setelah melihat 
Liung Sanca memeriksa sekaligus mengobati gadis Na-
lantili.
"Mana bisa begitu... Kalau tidak ulah dua mu-
rid cabul itu. Nalantili tidak mungkin begini. Sudah 
sewajarnya kalau aku sebagai guru mereka bertang-
gungjawab," tukas
Liung Sanca. Mereka berjalan beriringan menu-
ju ruang tamu. Amarsa Rawut putra tunggal majikan 
Perguruan 'Guci Perak' berada di situ.
"Sebenarnya aku merasa malu. Khususnya di-
hadapanmu, Ki... Sudah sewajarnya kalau Amarsa 
Rawut anakmu menghajar mereka. Aku pun telah 
mengusirnya." kata Liung Sanca lagi. Ki Raka Banjaran 
tersenyum.

"Kenapa harus demikian, seharusnya mereka 
tidak perlu kau usir... Aku rasa sikap buruk mereka 
masih bisa diatasi..." kata Ki Raka Banjaran. Ia mem-
persilahkan Liung Sanca duduk. Beberapa bantalan 
empuk berlapis kain sutra sudah tersedia di ruangan 
itu.
"Paman Liung Sanca, maafkan atas kekasaran 
yang telah kuperbuat terhadap Basu Dewa dan Ambali 
Songka. Aku betul-betul sudah lupa daratan waktu 
itu..." sapa Amarsa Rawut.
"Tidak! Tidak ada yang perlu disesalkan untuk 
kedua murid cabul itu, Amarsa. Tindakanmu sangat 
tepat. Kenapa tidak sekalian kau habisi saja keduanya. 
Aku pun sudah merasa sangat dipermalukan oleh ulah 
mereka " jawab Liung Sanca.
"Ah, mana boleh bertindak sampai sejauh itu." 
tukas Amarsa Rawut. "Aku pun harus menjaga hu-
bungan erat perguruan kita. Kalau pada hari itu sam-
pai ada korban nyawa, apa kata rekan-rekan yang 
lain?" sambung Amarsa Rawut lagi.
Liung Sanca terdiam mendengar ucapan putra 
tunggal Ki Raka Banjaran. Pendapat itu memang be-
nar. Peristiwa aib yang hampir menghancurkan kedua 
perguruan itu tidak ada satu pun yang tahu. Dari ke-
dua belah pihak sengaja merahasiakannya.
"Aku cukup bangga dengan putra tunggalmu 
ini, Ki Raka Banjaran. Kau telah berhasil mendidiknya 
jadi manusia yang berguna. Menyesal aku tidak memi-
liki anak seorang pun. Sekalinya punya dua murid an-
dalan, malah melumuri mukaku dengan tahi." tutur 
Liung Sanca. Ucapan itu membuat Ki Raka Banjaran 
ngakak.
"Ha ha ha ha... Itu salahmu sendiri, kenapa se-
jak kematian istrimu kau tidak cepat-cepat kawin lagi.

Sekarang baru menyesalinya. Tapi jangan kau pikir 
mengurus anak itu gampang. Satu orang macam 
Amarsa Rawut saja aku sudah kewalahan." gurau Ki 
Raka Banjaran menimpali.
Merasa disinggung-singgung. Amarsa Rawut 
menjadi salah tingkah. Ingin sebenarnya ia meninggal-
kan ruangan itu. Tapi ia tidak punya satu alasan pun. 
Malah ia ikut terlibat dalam pembicaraan itu.
"Tentunya Perguruan 'Guci Perak' sudah punya 
satu andalan. Dan bila terjadi sesuatu kau tidak perlu 
turun tangan, ki Raka Banjaran." Liung Sanca memuji.
"Tidak juga, Paman." sela Amarsa Rawut.
"Ayah selalu merasa khawatir dan menganggap 
aku masih bau kencur." Amarsa Rawut menggerutu.
"Masa anak sebesar ini masih belum dipercaya 
untuk berdiri sendiri. Bukankah ayahmu sudah meli-
hat bagaimana hebatnya kau sewaktu menghajar dua 
muridku itu. Padahal ayahmu sendiri tahu, Basu Dewa 
dan Ambali Songka cukup menguasai ilmu perguruan
'Bukit Sampar'. Aku sendiri pun hampir tidak percaya 
akan kehebatanmu." Kata-kata Liung Sanca ditujukan 
pada Amarsa Rawut. Ki Raka Banjaran mencibir.
"Jangan terlalu dipuji. Nanti tambah besar ke-
pala. Baru memiliki ilmu seujung kuku sudah mau be-
rontak dari pengawasan ku,"
"Tuh, Paman dengar sendirikan?" ujar Amarsa 
Rawut seraya bangkit dari bantalan empuk. Ayahnya 
membiarkan anaknya melangkah meninggalkan ruan-
gan. Tapi langkah-langkah Amarsa Rawut maupun 
pembicaraan dua orang tua ini jadi terhenti mendadak.
Nalantili sudah keluar dari kamarnya dan san-
gat kebetulan sekali menemui mereka. Semuanya 
nampak diam menatap gadis itu. Sebenarnya Nalantili 
gadis yang cantik, namun dalam keadaan babak belur

begitu kecantikannya seakan hilang. Sudah lama pula 
secara diam-diam Amarsa Rawut memperhatikannya. 
Saat itu pun ia tidak lepas memandangi Nalantili. Ga-
dis itu sendiri memandang penuh rasa dendam.
"Bagaimana perasaanmu, Nalantili. Aku tidak 
bisa membayangkan betapa besar maluku." ucapan itu 
tulus keluar dari mulut Liung Sanca. Ia lebih terpukul 
lagi karena Nalantili tidak menjawab. Ki Raka Banjaran 
cepat mengatasi situasi bisu itu...
"Duduklah, Nalantili... Kau tidak boleh menya-
lahkan Liung Sanca. Jelas itu perbuatan Basu Dewa 
dan Ambali Songka. Mereka sudah dihajar habis oleh 
Amarsa Rawut. Dan aku rasa itu sudah lebih dari cu-
kup." tegas Ki Raka Banjaran.
Setelah memberi hormat pada sang guru, gadis 
itu duduk menggantikan posisi Amarsa Rawut. Putra 
tunggal Ki Raka Banjaran tidak jadi keluar ruangan. Ia 
menatap terus sosok gadis yang babak belur.
"Guru serta Paman Liung Sanca harus menger-
ti. Tidak mungkin bisa melupakan kejadian itu begitu 
saja. Ingin rasanya aku sendiri turun tangan untuk 
menghajar kekurangajaran mereka." ucap Nalantili 
menunduk. Ki Raka Banjaran menghela nafas.
"Tidak perlu lagi diperpanjang. Liung Sanca su-
dah menyadari akan kesalahannya. Dan juga ia sudah 
banyak membantu dalam mengobati luka-lukamu."
"Aku tidak memikirkan diriku, Guru. Semuanya 
sudah terlanjur... Hanya aku khawatir kalau-kalau 
perbuatannya akan terulang lagi terhadap gadis-gadis 
lain, atau mungkin juga sudah ada yang menjadi kor-
ban nafsu binatang mereka." kata Nalantili hampir 
menangis. Ucapan itu cukup menggedor jantung Liung 
Sanca sebagai gurunya selalu menutupi tindak tanduk 
mereka. Tapi kali ini....

"Terserah pada pendirianmu, Nalantili. Aku se-
bagai gurunya telah menghapus nama mereka di per-
guruan. Setelah kau sembuh betul, kau boleh mem-
buat perhitungan dengan mereka. Aku sudah lepas 
tangan. Mereka bukan tanggung jawab perguruan la-
gi." jawab Liung Sanca.
"Kalau begitu mereka akan kuhabisi!" Tiba-tiba 
saja Nalantili menggeram. Ki Raka Banjaran sampai 
terkejut.
"Nalantili, keadaanmu masih belum pulih. Se-
baiknya kembalilah ke kamar atau keluar menghirup 
udara segar. Jangan memperuncing suasana. Aku ti-
dak ingin pembicaraanku dengan Liung Sanca ter-
ganggu." Ki Raka Banjaran berkata tegas. Dengan le-
mah pula Nalantili bangkit. Melihat itu pun Amarsa 
Rawut mendapat kesempatan membantu gadis itu me-
langkah. Jalan yang ditujunya ke luar.
Di luar pekarangan itu pula banyak berkumpul 
murid-murid Perguruan 'Guci Perak'. Mereka semua 
memperhatikan langkah-langkah Amarsa Rawut begitu 
hati-hati menuntun Nalantili menyusuri teras gedung. 
Sampai menghadap ke arah kebun, Amarsa Rawut 
menarik kursi kayu untuk Nalantili. Dengan hati-hati 
pula laki-laki itu menuntun duduk. Dirasakan kesaba-
ran Amarsa Rawut terhadap Nalantili. Gadis itu bu-
kannya tidak tahu kalau putra tunggal gurunya ini su-
dah lama diam-diam memperhatikannya. Dan ia seper-
ti bergetar setiap pandangan mereka bertemu. Apalagi 
dalam keadaan seperti ini, sudah dua hari Amarsa Ra-
wut mendampinginya. Pantas saja kalau putra tunggal 
majikan Perguruan 'Guci Perak' itu sampai kalap turun 
tangan menghajar dua laki-laki hidung belang yang 
menganiaya Nalantili. Sementara itu di dalam ruangan, 
Ki Raka Banjaran masih duduk menghadap Liung

Sanca.
"Maafkan kami, Liung Sanca. Semua murid-
muridku memang keras kepala.. ujar Ki Raka Banjaran 
mengusik kebisuaan mereka.
"Ah. Itu hak mereka. Aku pikir itu bukan keras 
kepala namanya. Sudah sewajarnya kalau ia mengelu-
arkan isi hati di luar kesadarannya sendiri. Meskipun 
dengan kata-kata itu aku sebenarnya terpukul. Mau 
dibilang apa? Toh, aku hanya mengangkat bahu." 
Liung Sanca mengeluarkan pendapat. Ki Raka Banja-
ran manggut-manggut.
"Untuk itulah kau jangan mengambil hati."
Liung Sanca tidak menjawab kecuali mengge-
leng mengumbar senyum. Pembicaraan mereka makin 
hangat dan akrab. Memang begitulah sikap kedua pen-
tolan perguruan itu. Baik Ki Raka Banjaran maupun 
Liung Sanca selalu menjaga nama baik perguruan 
yang mereka pimpin.
Hubungan erat dua perguruan itu sudah men-
jadi buah bibir dari perguruan-perguruan lain. Sudah 
tentu hal ini membuat perguruan lain semakin iri. Ti-
dak sedikit perguruan lain yang masuk untuk mempe-
rerat hubungan. Untuk itu pun Ki Raka Banjaran sela-
lu menyambut dengan tangan terbuka. Dengan demi-
kian persatuan rimba persilatan semakin kuat terjalin.
Dalam hal ini pun Perguruan 'Bukit Sampar' 
ternyata lebih cocok berhubungan baik dengan orang-
orang 'Guci Perak'. Mereka saling bahu membahu me-
nangani tugas. Antara murid-murid mereka pun semu-
la berlangsung sangat baik. Seperti gadis Nalantili, se-
belumnya memang akrab dengan Basu Dewa dan Am-
bali Songka. Dua andalan Perguruan 'Bukit Sampar' 
ini selain berilmu tinggi juga memiliki wajah yang san-
gat tampan. Itulah sebabnya kalau dulu Nalantili sela

lu menghindar dari Amarsa Rawut putra tunggal gu-
runya.
Tidak jarang Amarsa Rawut merasa cemburu 
setiap Nalantili kedatangan dua orang murid dari Per-
guruan 'Bukit Sampai Tapi sekarang Amarsa Rawut 
seperti mendapat kesempatan untuk lebih. dekat 
menggiring Nalantili.
Gadis itu sendiri seperti sudah kehilangan pe-
gangan. Ia tidak menyangka kalau dua kakak beradik 
itu sampai tega menganiaya bahkan nekad bermaksud 
memperkosanya. Keakraban itu seolah-olah sirna ter-
makan api dendam.
"Aku telah salah menilai mu, Kakang Amarsa 
Rawut. Tapi secepat ini pula bisa dirobah. Dua bajin-
gan itu tidak akan lepas dari tanganku..." Nalantili 
memandang ke arah kebun. Pandangannya kosong. 
Amarsa Rawut tetap berdiri di sampingnya.
"Dua cecunguk itu bukan apa-apa dibanding 
kita, Nalantili. Kau bisa melepaskan dendammu. Tapi 
ayah menghendaki lain. Kalau mau bertindak, bertin-
daklah tanpa sepengetahuan ayahku... Percayalah aku 
akan membantu." kata Amarsa Rawut memberi se-
mangat.
"Kakang lihat saja nanti. Hukuman yang pantas 
untuk mereka adalah dikebiri!" Mata Nalantili berapi-
api.
*
* *
TIGA


Bulan bersinar penuh menerangi pelataran Perguruan 'Guci Perak'. Murid-murid perguruan itu berke-
lompok-kelompok pada tiap-tiap ruang tidur mereka 
yang menghadap halaman. Ada juga yang duduk-
duduk di depan teras membicarakan sesuatu. Tiga 
orang nampak sedang membakar sampah di sudut pa-
gar.
Ketiga orang ini tidak henti-henti melirik ke 
samping teras. Terkadang pula mereka saling bisik. 
Seorang lagi nampak tertawa cekikikkan. Bagaimana 
tidak? Sejak tadi mereka mengintip dua muda mudi 
yang duduk berdampingan menghadap kebun. Mereka 
tidak lain Amarsa Rawut bersama Nalantili. Hari itu 
luka-luka memar di tubuh gadis itu mulai hilang... Itu 
berkat pengobatan rutin dari Liung Sanca. Guru besar 
dari Perguruan 'Bukit Sampar' ini hampir tiap hari 
berkunjung.
Kalau tidak untuk sekedar membicarakan soal 
pendapat, paling-paling mereka mengisi kekosongan 
dengan bermain catur jawa. Tidak ada yang berani 
mengusik ketenangan mereka berdua. Apalagi kedua-
nya berdiam pada tempat pribadi Ki Raka Banjaran. 
Amarsa Rawut sendiri putra tunggalnya tidak berani 
mengusik kalau tidak terpaksa betul.
"Ah, salah...! Salah besar. Tidak semestinya aku 
menjalankan mentri." pekik Liung Sanca menghadapi 
papan catur. Ia mengepal tinjunya sendiri.
"Salah sendiri. Kenapa kurang hati-hati dalam 
melangkah. Kalau begini rajamu terpaksa mati oleh 
seorang prajurit." tukas Ki Raka Banjaran sambil mele-
takkan buah catur. Liung Sanca menarik nafas.
"Cukup saja sampai di sini permainan kita, Ki. 
Aku merasa bukan tandinganmu lagi. Beberapa hari 
ini kau selalu unggul." Liung Sanca memberesi semua 
buah catur yang berantakan.

"Itu karena kau kurang teliti. Sebenarnya lang-
kah-langkahmu sudah bagus." jawab Ki Raka Banja-
ran.
"Tapi nyatanya kau selalu unggul, bukan?" 
Liung Sanca tertawa mengekeh. Ia cepat bangkit. La-
lu....
"Tidak terasa hari telah larut. Mengurusi per-
mainan catur sampai lupa pada urusan perguruan."
"Ah, kenapa mesti terburu-buru. Kita bisa main 
sekali lagi."
"Percuma. Aku tidak bakal mampu menandingi
mu." jawab Liung Sanca. Terpaksa pula Ki Raka Banja-
ran mengantar sampai ke pintu ruangan. Sampai di si-
tu Liung Sanca berjalan sendiri menerobos pekaran-
gan. Setelah Liung Sanca betul-betul lenyap dari pan-
dangan mata, barulah Ki Raka Banjaran kembali ma-
suk ke dalam kamar pribadinya. Maka tempat itu 
kembali sunyi. Para murid yang tadi nampak duduk-
duduk di teras maupun di pekarangan sudah tidak 
ada sama sekali. Begitu juga dengan Amarsa Rawut 
serta Nalantili. Mereka sudah kembali ke kamarnya 
masing-masing. Yang terdengar hanyalah letup-letup 
api bakaran sampah.
Saat itu dalam keremangan sinar bulan, dua 
sosok tubuh gesit melompati pagar halaman yang se-
tinggi hampir tiga meter. Dua sosok itu langsung me-
nyelinap pada bagian-bagian, paling gelap. Kedua mata 
mereka memandang mengitari tiap-tiap kamar yang di 
terangi dengan sebuah pelita. Suara merik binatang 
malam tidak diperdulikannya. Keduanya menyusup 
mengendap-endap semakin berani.
Tubuh mereka merapat ke tembok, tujuannya 
sebuah kamar yang nampak lebih bagus dan terang 
dari kamar lainnya. Dengan langkah-langkah yang halus mereka terus menyusuri teras mencapai ruangan 
terang itu. Di pinggang mereka terselip masing-masing
sebilah kapak berkilat. Jelaslah kalau mereka berdua 
tidak lain Basu Dewa dan Ambali Songka.
"Biar aku yang memenggal kepala si keparat 
Amarsa Rawut, Kakang." bisik Ambali Songka. Seperti 
biasa Basu Dewa jarang sekali bicara. Namun begitu ia 
selalu memenuhi permintaan adiknya.
"Yang mana kamarnya? Di sini terlalu banyak 
kamar. Sukar sekali kita menentukan adanya Amarsa 
Rawut." Ambali Songka selalu banyak bicara. Basu 
Dewa memperhatikan ruangan terang yang sudah be-
rada depannya.
"Pasti ini kamarnya. Aku yakin betul." Sambil 
berkata demikian, Basu Dewa melesat ke atas. Seben-
tar saja ia sudah berada di atas genting. Saat itu pun 
Ambali Songka mengikuti. Ketika Ambali Songka bera-
da di dekat kakaknya, Basu Dewa sudah membuka 
beberapa genting. Maka dengan mudah pula ia dapat 
masuk melalui atap. Tanpa mengeluarkan suara kedu-
anya tahu-tahu sudah berada dalam ruangan itu.
Ki Raka Banjaran terkejut bukan main. Belum 
sempat ia memejamkan mata. Dia sudah melihat dua 
orang tamu tak diundang. Apalagi kedatangannya itu 
dengan cara yang tidak masuk diakal. Dua kakak be-
radik ini sendiri seperti tersentak. Mereka tidak mengi-
ra kalau di ruangan itu ada Ki Raka Banjaran. Sudah 
tentu mereka telah salah masuk. Dan Ki Raka Banja-
ran sudah terlanjur memergokinya.
"Tidak kusangka dua cecunguk keparat berani 
datang ke sini. Apakah kalian sudah bosan hidup?" 
hardik Ki Raka Banjaran. Basu Dewa maupun Ambali 
Songka menyeringai. Dalam kesempatan itu majikan 
Perguruan 'Guci Perak' menggertak pura-pura meraih

pedangnya.
"Tua bangka keparat. Mulai detik ini umurmu 
sudah tamat. Dan bakal menyusul pula anakmu 
Amarsa Rawut." Kedua anak muda ini malah menarik 
gagang kapak. Keduanya bersikap mulai menyerang.
Darah dalam dada Ki Raka Banjaran tersirat. Ia 
seperti mengernyitkan alls. Ada sesuatu yang lain ter-
hadap dua anak muda kakak beradik ini. Ki Raka Ban-
jaran masih ingat betul bagaimana Amarsa Rawut 
menghajar mereka. Dalam ingatannya masih jelas saat 
pedang anaknya menghantam putus telinga serta me-
robek mulut Ambali Songka. Basu Dewa pun demikian, 
kelopak matanya sebelah hampir pecah nyaris buta.
Tapi sekarang yang dilihatnya seperti mimpi. 
Tidak ada tanda-tanda bekas luka di bagian muka me-
reka. Ambali Songka tetap memiliki sepasang telinga 
serta bibir yang masih mulus. Basu Dewa tetap dengan 
sorot mata yang tajam tanpa cacat, mustahil sekali. 
Bagaimana ini bisa terjadi? Ki Raka Banjaran melihat 
sendiri Liung Sanca yang mengamuk menghajar mere-
ka.
"Tidak usah heran, Ki. Kami berdua memang 
arwah-arwah gentayangan." kata Ambali Songka tidak 
kalah gertak.
"Kalau begitu kalian akan kukirim kembali ke 
Akherat. Karena di sanalah tempat manusia-manusia 
terkutuk macam kalian!" bentak Ki Raka Banjaran. 
Lengannya cepat menyambar pedang. Maka sambaran 
pedangnya langsung diarahkan pada posisi berdiri me-
reka...
"Bweeet!" Desiran anginnya menderu nyaring. 
Kedua kakak beradik ini cepat melompat ke atas 
menghindari sambaran pedang laksana kilat.
Lalu secara berbarengan pula mereka menyam

but dengan hantaman kapaknya Gerakan itu sangat 
cepat. Sukar sekali bagi Ki Raka Banjaran untuk 
menghindar, maka... "Craaas!" Sebelah lengannya ter-
sambar kapak Basu Dewa. Untung hanya tergores. Ta-
pi ia cepat-cepat berbalik untuk menghadapi serangan 
berikutnya.
Ketika sambaran kapak Ambali Songka melun-
cur deras dari arah belakang. Ki Raka Banjaran memu-
tar pedangnya ke belakang. Namun tangkisan dengan 
pedang itu percuma. Saat senjata mereka beradu di be-
lakang Ki Raka Banjaran. Benturan itu terdengar nyar-
ing... "Traak!" Ki Raka Banjaran memekik, karena pe-
dang dalam genggamannya patah dua, bahkan kutun-
gan pedangnya melukai punggungnya sendiri.
"Ha ha ha ha...! Sudah kubilang malam ini 
nyawa rentamu akan berakhir!" kata Basu Dewa me-
nyeringai. Kapaknya berkelebat lagi.
Ki Raka Banjaran cepat merunduk... "Weees!" 
Hampir saja kepalanya putus. Hanya dalam beberapa 
gebrakan saja majikan Perguruan 'Guci Perak' sudah 
kewalahan. Ki Raka Banjaran sendiri benar-benar ti-
dak mengerti. Kenapa mereka berdua tiba-tiba saja 
mendadak hebat. Tiap serangan mereka selalu nyaris 
merenggut nyawanya. Padahal Ki Raka Banjaran tahu 
kepandaian Basu Dewa dan Ambali Songka jauh di-
bandingkan dengan anaknya. Kenapa malam ini justru 
Ki Raka Banjaran yang bakal terpojok oleh babatan-
babatan sepasang kapak maut.
Tentu saja dalam menghadapi dua kakak bera-
dik yang sudah nekad ini, Ki Raka Banjaran harus 
mengerahkan tenaganya. Tiap kali ia membalas seran-
gan seakan sangat mudah dapat dielakkan. Ilmu pe-
dang 'Guci Perak' seakan-akan tidak ada artinya sama 
sekali. Basu Dewa makin gigih menyambarkan kapak

nya ke arah kepala. Apalagi Ambali Songka. Serangan-
nya menggebu-gebu berputar di sekitar tubuh Ki Raka 
Banjaran.
Meskipun pedang dalam genggaman Ki Raka 
Banjaran telah buntung, ia tetap mempertahankan se-
lembar nyawanya. Serangan-serangan mereka tidak 
main-main lagi. Tiap babatan kapak mereka hampir 
menyerupai sinar biru. Berkali-kali Ki Raka Banjaran
menyambut babatan-babatan kapak. Maka detik itu 
juga pedangnya habis termakan.
Gerakan-gerakan Ki Raka Banjaran sendiri su-
dah bagaikan sebuah bola yang bergerak ke sana ke 
mari berkelit menghindar setiap sambaran kapak. Dan 
ia betul-betul sukar untuk membalas serangan. Mana-
kala serangan kakak beradik ini tidak pernah ada ha-
bisnya.
Sampai pada akhirnya tubuh Ki Raka Banjaran 
terbanting keras membentur meja hingga berantakan. 
Tubuh tua itu langsung kelojotan tanpa menjerit. En-
tah kapan kepala Ki Raka Banjaran menggelinding di 
lantai. Tahu-tahu saja kedua kapak di tangan Basu 
Dewa maupun Ambali Songka sudah bersimbah darah. 
Begitu pun lantai di mana tubuh tanpa kepala Ki Raka 
Banjaran berkelojotan. Lantai batu itu memerah banjir 
dengan darah.
Sebentar saja tubuh tanpa kepala itu kaku tak 
berkutik. Dua kakak beradik yang masih menggeng-
gam kapak seperti tertawa menyeringai. Basu Dewa 
cepat menyambar kutungan kepala. Tanpa dibungkus 
dengan kain atau apa mereka membawa pergi kutun-
gan kepala Ki Raka Banjaran. Tentunya mereka mele-
wati atap yang telah berlubang.
*
* *

EMPAT

Masih pada malam yang sama, Liung Sanca be-
lum juga dapat memejamkan mata. Mungkin karena 
terlalu pusing akibat bermain Catur sambil minum 
arak bersama Ki Raka Banjaran tadi. Sebentar-
sebentar ia mengeluh. Tenggorokannya pun terasa ker-
ing. Maka ia segera melangkah pada meja air yang ada 
di sebelah pembaringannya.
Begitu jernih air yang jatuh ke dalam gelas, ia 
sudah membayangkan akan begitu nikmat tenggoro-
kannya yang kering tersiram air. Namun ketika ia 
mengangkat gelas, tanpa sengaja pegangannya terle-
pas... "Trraaang!" Liung Sanca sendiri terkejut. Keluh-
nya semakin panjang. Tanpa memberesi pecahan bel-
ing ia mengganti dengan gelas yang lain.
Sementara itu pekarangan Perguruan 'Bukit 
Sampar' betul-betul telah sepi. Semua penghuninya 
sudah terlelap tidur. Pintu gerbang terkunci rapat. 
Bangunan yang semuanya didirikan dengan kayu itu 
dikelilingi dengan pagar bambu setinggi dua meteran. 
Hanya beberapa lampu pelita yang menerangi peka-
rangan perguruan.
Bulan yang tadi bersinar penuh mendadak ge-
lap tertutup awan tebal. Sekalipun dalam keadaan ge-
lap, masih kelihatan dua sosok melompati pagar. Lesa-
tan tubuh mereka begitu halus. Dan hampir-hampir 
tidak mengeluarkan suara saat kaki mereka menyen-
tuh tanah. Dengan sekali lesatan lagi pembicaraannya 
itu. Siapa lagi orang yang berdiri dibalik pintu kalau 
bukan Basu Dewa dan Ambali Songka. Bagaimana pun 
Liung Sanca masih dapat mengenali suara itu.
"Kalian bukan lagi muridku. Untuk apa datang

di tengah malam buta begini. Pergi saja kalian. Orang-
orang 'Guci Perak' tidak akan memberi ampun lagi bila 
menemukan mu." bentak Liung Sanca sengit.
"Kataku buka pintu! Ada yang ingin ku per-
sembahkan padamu!" jelas itu suara Ambali Songka.
"Keparat! Berani bicara sekasar itu padaku? 
Lebih baik kalian kubikin mampus saja!" Liung Sanca 
makin geram. Sebelum membuka pintu langkahnya 
menuju pada senjata trisula yang tergantung di dind-
ing.
Namun sebelum Liung Sanca meraih senja-
tanya. Pintu kamar hancur berderak. Basu Dewa tidak 
kepalang tanggung mendobrak pintu kamar dengan 
kampaknya.
Setelah menyambar trisulanya, Liung Sanca 
cepat berbalik. Saat itu pun Basu Dewa melemparkan 
sesuatu ke arah mantan gurunya. Diperlakukan demi-
kian Liung Sanca cepat menyambut. Trisulanya men-
jurus ke depan. Sesuatu yang dilemparkan Basu Dewa 
menembus tepat di ujung Trisula. Tapi setelah ia dapat 
melihat ujung trisulanya, Liung Sanca memekik nyar-
ing. Setengah jijik dan setengah tidak percaya kalau 
kutungan kepala Ki Raka Banjaran telah berada di 
ujung senjatanya masih bersimbah darah.
"Dasar terkutuk. Kalian apakan Ki Raka Banja-
ran ini!" Liung Sanca menghardik. Ia sendiri tidak be-
rani menyentuh kutungan kepala itu. Tubuhnya berge-
tar menahan amarah. Basu Dewa dan Ambali Songka 
hanya tertawa melihat sikap Liung Sanca.
"Dia meminta agar mampus bersama dengan-
mu, Liung Sanca! Hanya itu pesannya." Suara Ambali 
Songka datar. Kapaknya yang berkilat tajam siap men-
garah.
"Bagaimana pun ini bukan perbuatan kalian.

Kalian tidak mungkin dapat melakukan ini. Majulah 
manusia-manusia terkutuk! Rupanya kalian harus 
mampus oleh tanganku sendiri!" Liung Sanca menarik 
Trisulanya, maka kutungan kepala menjijikkan itu ja-
tuh dengan sendirinya.
"Sebenarnya aku hanya membutuhkan kepa-
lamu, Liung Sanca! Lain dari itu tidak!" kata Basu De-
wa. Tubuhnya bergeser ke samping. Begitu juga den-
gan Ambali Songka. Keduanya sama-sama menyingkir 
menghindari terjangan Liung Sanca yang bagaikan 
banteng.
Senjata trisula berputar terus mengarah ber-
gantian pada Basu Dewa dan Ambali Songka. Dua 
anak muda itu dengan mudah dapat menghindar wa-
lau serangan Liung Sanca segencar apa pun. Hal itu 
membuat mantan guru mereka jadi tercengang. Diam-
diam Liung Sanca mengakui akan keganjilan kedua 
bekas muridnya ini.
Setan apa gerangan yang menyanding di dalam 
tubuh mereka. Sampai-sampai serangan Liung Sanca 
yang paling dahsyat sekalipun dapat dihindari. Malah 
kedua kakak beradik ini dengan tenang menyambut 
setiap serangan. Terkejut pula pada satu kesempatan 
Liung Sanca melihat sebelah telinga Ambali Songka 
masih tetap utuh.
Sambil menyerang Liung Sanca masih teringat 
di mana ia menguburkan kutungan sebelah telinga 
Ambali Songka. Bagaimana mungkin sekarang bisa 
utuh kembali. Masih dalam keterheranannya, menda-
dak sebuah hantaman bersarang telak di punggung 
Liung Sanca. Ia dapat melihat siapa yang baru saja 
melepaskan hantaman dahsyat itu. Basu Dewa.
Cepat Liung Sanca membalas serangan Trisu-
lanya menyambar.
"Traang!"
Ambali Songka menyambut dengan sabetan 
kapak. Terasa benturan senjata itu sampai berdenyut 
di lengan Liung Sanca. Belum hilang getaran itu me-
nyusul lagi sambaran kapak mengarah pada batang 
leher... "Bweeet!" Sambaran itu luput karena Liung 
Sanca cepat merunduk. Namun ia tidak dapat menge-
lakkan tendangan dari Basu Dewa. Tak pelak lagi tu-
buh Liung Sanca berguling.
"Cepat, Kakang! Kita sudah tidak punya waktu 
lagi!" teriak Ambali Songka. Maka dalam keadaan ter-
guling itu Liung Sanca mendapat serangan lagi. Lere-
tan sinar biru yang berasal dari kapak Basu Dewa 
mengarah deras. Liung Sanca dapat melihat betapa 
cepat kapak itu tanpa berkedip. Tanpa merasakan apa-
apa pula saat kapak itu menyambar putus leher Liung 
Sanca.
Kepala kutung Liung Sanca langsung berdegum 
di lantai. Hanya dengan sekali hentakkan kaki Basu 
Dewa, kutungan kepala itu mencelat lagi ke atas. Maka 
dengan mudah Ambali Songka menyambut dengan 
tangkapan lengan kirinya.
Pada akhirnya mereka berdua bergegas ke luar 
membawa dua kutungan kepala sekaligus. Satu kepala 
Ki Raka Banjaran satu lagi kepala Liung Sanca. Na-
mun langkah-langkah mereka mendadak terhenti. Me-
reka terhalang oleh belasan murid Liung Sanca yang 
berdatangan setelah mendengar suara ribut-ribut di 
dalam kamar sang guru.
Kedapatan pula Basu Dewa dan Ambali Sangka 
yang bermaksud meninggalkan ruangan itu. Sudah 
tentu semua murid-murid Liung Sanca dapat melihat 
apa yang di bawa oleh kedua kakak beradik ini. Ka-
ruan saja mereka langsung mengurung.

"Sungguh keterlaluan tindakan kalian. Mana 
bisa kami membiarkan kejadian ini.
Kami semua murid atas nama Perguruan 'Bukit 
Sampar', terpaksa akan membuat perhitungan." ben-
tak salah seorang murid Liung Sanca.
"Heh! Tidak lihatkah kalau kepala guru mu 
yang sombong ini sudah berada di tanganku?" jawab 
Basu Dewa sambil menunjukkan kutungan kepala 
Liung Sanca ke arah mereka. Semuanya bergidik me-
natap kutungan kepala dengan mata melotot.
"Itu tandanya kalian tidak ada artinya sama se-
kali bagi kami. Ayo majulah, sudah semestinya kalian 
berbakti pada Liung Sanca." sambut Ambali Songka.
"Keparat! Kalian bukan lagi orang-orang 'Bukit 
Sampar' apa yang perlu ditakuti? Serang!"
Maka tidak kepalang orang-orang itu langsung 
mengepung. Malah sudah ada yang menyerang mem-
babatkan pedang. Namun nasib mereka begitu buruk. 
Mereka terlalu memandang remeh dan bernafsu. Tidak 
menyangka kalau sambaran kapak Basu Dewa mem-
bawa maut. Sekali sabet menyilang. Tiga orang tergul-
ing kelojotan dengan isi perut menghambur ke luar.
Ambali Songka tidak tinggal diam. Tanpa ragu 
ia maju menghadapi kepungan yang sebenarnya bekas 
saudara-saudara seperguruannya. Sambaran-
sambaran kapaknya bergerak mengeluarkan sinar biru 
mencabut nyawa tanpa ampun. Setiap sambaran ka-
paknya itu selalu dibarengi dengan jerit kesakitan yang 
menyayat. Bagai srigala-srigala lapar dua kakak bera-
dik ini buas mencabik-cabik setiap tubuh para penge-
pung.
"Kepala-kepala kalian tidak cukup berharga ba-
gi kami. Tapi bukan berarti kami segan untuk mengi-
rim kalian ke akherat menyusul Liung Sanca.

Hreaaaaaaat!" teriak Basu Dewa, tindakannya lebih 
sadis. Setiap sambaran kapaknya mampu mengguling-
kan lima orang sekaligus. Korbannya rata-rata tewas 
dengan tenggorokan yang menyemburkan darah.
Melihat itu pun Ambali Songka makin berse-
mangat. Ia melancarkan serangan lebih gencar. Hasil-
nya membuat para murid Liung Sanca merasa kewala-
han. Hanya dalam tempo yang sangat singkat mereka 
tinggal empat orang, Tentu saja keempat orang ini 
menjadi gentar. Apalagi melihat semua saudara seper-
guruannya telah tewas bergelimpangan bersimbah da-
rah.
"Mulai besok tidak ada lagi nama besar Pergu-
ruan 'Bukit Sampar'. Sebab..." Basu Dewa tidak melan-
jutkan kata-katanya. Ia sengaja melemparkan kapak-
nya. Seperti bumerang kapak itu melayang. Menyam-
bari kepala empat orang yang masih berusaha menye-
rang.
"Guru dan semua murid-muridnya sudah habis 
tanpa sisa!" Basu Dewa melanjutkan ucapannya. Saat 
itu kapaknya telah kembali dalam genggaman. Bersa-
maan dengan itu pula empat orang tanpa kepala jatuh 
kelojotan. Ambali Songka sudah berdiri tenang meme-
gangi kapaknya yang berlumuran darah.
"Dua pentolan rimba persilatan sudah kita 
singkirkan, Kakang. Kita bakal merajai dunia. Seluruh 
orang-orang persilatan dari empat penjuru akan berte-
kuk lutut." kata Ambali Songka.
"Hm... Mereka semua akan menyerahkan kepa-
lanya!" sahut Basu Dewa. Ia memungut kembali ku-
tungan kepala Ki Raka Banjaran. Ambali Songka men-
gambil kepala Liung Sanca. Tanpa bicara lagi keduanya pergi.


*
* *
Ketika matahari mulai nampak dari balik bukit, 
orang-orang Perguruan 'Guci Perak' pating serabut 
menuju ke sebuah ruangan. Mereka semua terkejut 
mendengar teriakan Nalantili yang bermaksud akan 
mengantarkan teh hangat untuk Ki Raka Banjaran.
Mendengar itu pun Amarsa Rawut langsung 
berlari. Dilihatnya ruangan pribadi sang ayah telah 
penuh. Di pintu kamar telah penuh sesak. Ketika 
Amarsa Rawut muncul orang-orang itu sengaja mem-
beri jalan. Anak muda itu pun langsung mendapatkan 
Nalantili duduk menangisi tubuh Ki Raka Banjaran. 
Amarsa Rawut hampir berteriak menatap tubuh sang 
ayah terbujur bersimbah darah kering tanpa kepala.
"Ayah...." pekik Amarsa Rawut tertahan. Selu-
ruh ruangan itu telah berantakan, papan serta buah 
catur berserakan.
"Pastilah ini perbuatan Liung Sanca. Bukankah 
semalam ia berada di sini, perginya pun tidak keta-
huan lagi." kata Nalantili.
"Betul, Tuan Muda. Selama ini Liung Sanca lah 
yang sering menjumpai guru. Siapa lagi kalau bukan 
dia. Kita harus menuntut balas!" Orang-orang itu mu-
lai masuk memenuhi ruangan.
"Ini pasti menyangkut persoalan Nalantili. 
Liung Sanca sengaja balas dendam atas perlakuan
Tuan muda Amarsa Rawut terhadap kedua muridnya." 
Yang lain menimpali. Seketika itu juga Amarsa Rawut 
menggeram. Dengan penuh amarah ia bangkit.
"Sebagian orang mengurus di sini. Sebagian lagi 
ikut aku. Kita akan menagih hutang darah ini seka-
rang juga." Nada suara Amarsa Rawut datar mengua

sai dirinya.
"Apa maksudnya ia membawa kepala Ayahku. 
Betul-betul suatu penghinaan!" Langkahnya cepat ke-
luar. Nalantili ikut menyusul. Sedangkan di belakang-
nya hampir semua murid Perguruan 'Guci Perak' men-
gikuti mereka.
Pedang Amarsa Rawut sudah terselip di ping-
gang. Nalantili malah sudah bersiap-siap dengan pe-
dang terhunus di tangan. Orang-orang yang mengiringi 
juga begitu. Masing-masing terselip senjata di pinggang 
mereka. Dari golok sampai pedang bahkan tombak.
Keberangkatan mereka menuju Perguruan 
'Bukit Sampar' sangat menyolok. Sudah tentu menjadi 
bahan perhatian orang-orang sedesanya. Tanpa berani 
pula orang-orang kampung berani menegur atau 
menghalangi langkah-langkah mereka.
Orang-orang Perguruan 'Guci Perak' sangatlah 
disegani di desa itu. Sepak terjangnya selalu melin-
dungi rakyat. Membela keadilan sampai tuntas. Kalau 
hari ini orang-orang kampung melihat mereka terburu-
buru dengan senjata di tangan, mereka sudah mengira 
pastilah ada persoalan yang teramat besar. Belum per-
nah orang-orang kampung melihat semua orang Per-
guruan 'Guci Perak' sebanyak itu dalam menghadapi 
satu urusan.
Dari kejauhan mereka sudah melihat Pergu-
ruan 'Bukit Sampar' berdiri tenang. Pintu gerbangnya 
masih tertutup rapat. Langkah-langkah mereka diper-
cepat.
*
* *

LIMA

"Dar...! Dar...! Dar...! Amarsa Rawut menggedor 
pintu gerbang kuat-kuat. Pintu tidak mau terbuka. 
Kesal sekali ia menendangi pintu. Nalantili yang sudah 
terlanjur dendam mendapat jalan pintas. Tubuh ram-
pingnya melesat ke atas melompati pagar. Melihat cara 
Nalantili yang lain mengikuti. Saat itu pun Amarsa 
Rawut sudah dapat mendobrak pintu.
Sampai di pekarangan mereka langsung me-
nyerbu ke arah bangunan. Mereka tidak berani menye-
rang sebelum mendapat perintah dari Amarsa Rawut. 
Nalantili dan Amarsa Rawut berjalan ke depan mena-
tap bangunan yang nampak begitu sunyi. Mereka me-
natap pintu seperti dirusak orang. Kedua daun pin-
tunya sudah menggeletak di tanah topang tindih. Me-
reka jadi penasaran.
Amarsa Rawut memberanikan diri masuk ke 
dalam. Pedangnya siap dilancarkan pada siapa saja 
yang ditemuinya. Namun nyatanya ruangan itu betul-
betul sepi. Tidak satupun orang-orang 'Bukit Sampar' 
yang mereka dapati. Nalantili langsung mengobrak-
abrik seluruh ruangan itu.
Yang lain mengikuti langkah-langkah Amarsa 
Rawut. Ketika mereka sampai pada ruangan paling da-
lam. Mereka menghentikan langkah. Semua mata me-
mandang ke arah pada belasan mayat yang bergelim-
pangan mengerikan. Karuan saja mereka semua melu-
ruk ke arah itu.
Kemarahan mereka tiba-tiba saja sirna saat 
melihat sosok tubuh tanpa kepala. Meskipun tubuh itu 
tanpa kepala, mereka masih bisa mengenalinya. Siapa 
lagi selain Liung Sanca.

"Astaga... Paman Liung Sanca." Amarsa Rawut 
mendekati sosok itu. "Paman pun mengalami nasib 
yang sama seperti ayah."
"Tuan muda... Kepalanya pun hilang. Siapa 
orang yang tega berbuat seperti ini. Dan yang lebih 
mengerikan lagi semua anak buah Liung Sanca tewas 
semua. Beberapa orang kehilangan kepala. Tapi masih 
utuh berada di sini, kecuali kepala Liung Sanca. Pem-
bunuh itu sengaja membawanya."
Nalantili memasukkan kembali pedangnya ke 
dalam sarung. Ia melangkah pelan mendekati keru-
munan itu.
"Mungkinkah ini perbuatan dua murid terkutuk 
itu?" sela Nalantili. Sorot mata Amarsa Rawut menga-
takan tidak.
"Pembunuhan ini seperti sengaja telah di ren-
canakan. Dalam satu malam ia bisa mengalahkan ayah 
serta Liung Sanca. Pastilah pembunuh itu memiliki il-
mu yang sangat tangguh." kata Nalantili lagi.
"Setangguh apapun dia, kita harus dapat men-
carinya. Ini satu pukulan berat bagi orang-orang rimba 
persilatan. Sebaiknya kita beri kabar seluruh penjuru. 
Biar kita mengurusi mayat-mayat ini."
Orang-orang Perguruan 'Guci Perak' mulai 
memberesi tempat itu. Satu demi satu mayat-mayat itu 
dikeluarkan. Amarsa Rawut melangkah ke luar dengan 
lemas. Dendamnya semakin bertumpuk.
"Nalantili... Untuk sementara perguruan kita 
tutup dulu. Sebelum kita tahu di mana adanya si Pe-
menggal kepala itu berada aku tak akan kembali."
"Kau mau pergi, Kakang? Di mana tanggung 
jawabmu terhadap perguruan?" balas Nalantili.
"Tetap diam di perguruan bukan berarti mele-
paskan tanggung jawab, Nalantili. Justru kalau aku

bertanggung jawab atas kematian ayah dan perguruan 
harus pergi mencari pembunuh ayahku."
"Kalau begitu aku ikut." tukas Nalantili. "Jan-
gan. Bukankah kau sendiri punya urusan dengan Ba-
su Dewa dan Ambali Soka?"
"Tapi soal perguruan lebih penting."
"Saat ini pikiranku sedang kalut, Nalantili. Jan-
gan membantah perintahku. Kau harus tetap mengu-
rus perguruan."
"Kakang, kau..." Amarsa Rawut tidak perduli. Ia 
terus melangkah meninggalkan Nalantili berdiri sendi-
rian. Dipandanginya Amarsa Rawut pergi semakin 
jauh.
*
* *
Di puncak bukit, reruntuhan bangunan batu 
menyeramkan itu bergetar. Juga pohon kering yang 
tumbuh di samping bangunan seakan berderak-derak. 
Terdengar suara tawa yang menggema dari dalam ban-
gunan tua itu. Bau busuk masih menyengat. Tangga
batu yang berliku memanjang ke bawah tetap diiringi 
dengan tonggak-tonggak kayu. Di mana setiap tong-
gaknya menancap sebuah kutungan kepala.
"Hak hak hak hak...." Gema suara tawa itu sea-
kan menggetarkan jantung. Namun bagi Basu Dewa 
dan Ambali Songka tidaklah membuat takut atau pun 
ngeri. Ia tetap berdiri di dalam ruangan gelap mengha-
dap sebuah kolam. Di bawah kaki mereka menggeletak
kutungan kepala masih meneteskan darah.
"Hak hak hak hak...! Bagus, Cucuku... bagus...! 
Kalian telah menepati janji. Baru saja enam hari kalian 
sudah mengantarkan dua kepala sekaligus.... Hak hak

hak...!" Suara itu bersumber dari dasar kolam. Saat itu 
pun permukaan air kolam menggolak. Dua kakak be-
radik ini tetap diam memandangi permukaan air mem-
buih. Dari situ pula muncul sosok berjubah hitam.
"Maaf, Eyang Tumbal Segara.... Harap Eyang 
sudi menerima persembahan ini." Basu Dewa mengha-
turkan sembah. Ambali Songka mengikuti gerakan ka-
kaknya.
"Saat ini kami belum bisa membawa kepala 
Amarsa Rawut. Tapi kami cukup puas dengan ilmu 
serta kapak yang eyang titipkan pada kami. Kedahsya-
tannya melebihi tanpa batas. Kami tidak menyangka 
kalau kami dapat membawa kepala mereka ini." kata 
Basu Dewa menunjuk ke bawah kakinya.
"Hak hak hak hak...! Setelah kau memiliki ilmu 
dariku, Amarsa Rawut tidak berarti lagi bagi kalian. 
Dia tidak lebih penting. Masih banyak orang-orang 
yang berilmu tinggi di seluruh penjuru angin. Justru 
kepala mereka yang ku inginkan." Suara Eyang Tum-
bal Segara menggema.
"Memang demikian tujuan kami, Eyang. Kami 
berdua bermaksud akan merajai dunia persilatan. Tin-
dakan kami tidak akan kepalang tanggung." jawab Ba-
su Dewa.
"Bagus...! Bagus...! Orang-orang seperti kalian-
lah yang pantas bersekutu dengan ku!! tapi ingat... 
perjanjiannya setiap tujuh hari sekali kalian harus 
menyerahkan sebuah kepala padaku. Kalau sampai 
gagal...."
"Kami paham, Eyang... Eyang Tumbal Segara 
tidak perlu khawatir. Kami pasti akan menepati janji." 
Basu Dewa memotong pembicaraan Eyang Tumbal Se-
gara. Seketika itu juga tawa Eyang Tumbal Segara 
menggelegak lagi. Permukaan air kolam membuih lebih

deras.
"Tancapkan dua kepala itu pada tonggak yang 
sudah kusediakan, Cucuku.... Di sana masih banyak 
tonggak-tonggak yang kosong menunggu." Sosok hitam 
itu menunjuk ke luar. Pandangan Basu Dewa dan Am-
bali Songka mengikuti. Mereka menatap puluhan tong-
gak berderet mengikuti liku-liku tangga batu yang me-
nurun ke bawah.
"Sebentar lagi tonggak-tonggak itu akan penuh 
dengan kepala-kepala manusia Eyang.... Kami telah 
berjanji akan bersekutu denganmu sungguh-sungguh." 
Basu Dewa menatap tajam ke arah Eyang Tumbal Se-
gara.
Ambali Songka melangkah ke luar membawa 
kutungan kepala. Ia menuruni anak tangga batu. Di-
lewatinya tonggak-tonggak
kayu yang telah menancap kutungan-kutungan 
kepala membusuk. Bahkan ada juga yang telah tinggal 
tulang tengkorak. Sampai pada tonggak-tonggak yang 
kosong, Ambali Songka menancapkan kepala-kepala 
yang dibawanya.
"Huak hak hak hak...! Aku merestui kalian me-
rajai dunia persilatan, Cucuku.... Asal kalian pun me-
nepati janji.... Hak hak hak hak...!"
*
* *
Pemuda yang mengenakan baju kulit binatang 
ini sejak tadi duduk di bawah pohon rindang. Ia meng-
geleng-gelengkan kepala mengumbar senyum. Sudah 
dua hari ini ia melihat para penduduk Desa Babaleng-
ka mengemasi barang-barangnya. Hari ini lebih ramai 
lagi. Hampir semua penduduk mengumpulkan barang

barang di atas pedati.
Pemuda yang tidak lain Pendekar Kelana Sakti 
ini jadi tidak habis pikir. Dan sudah menduga kalau 
penduduk itu hendak mengungsi. Kenapa mereka se-
mua harus meninggalkan desa yang subur ini? Dipan-
danginya semua kesibukan para penduduk. Juga seke-
liling desa. Di sebelah sana memang ada sebuah gu-
nung berapi, tapi tidak ada tanda-tanda mau meletus. 
Apa yang menyebabkan mereka begitu ketakutan? 
Tanya Wintara dalam hati.
Beberapa pedati sudah pergi meninggalkan de-
sa. Wintara merasakan kalau kepergian mereka san-
gatlah buru-buru. Ia tersenyum pula saat beberapa 
anak kecil melambai-lambaikan tangannya di atas 
tumpukan barang. Pedati-pedati itu bergerak berbaris 
menuju ke satu arah.
Paling terakhir Wintara melihat satu keluarga 
kaya yang mengemasi barang-barangnya. Di depan 
rumahnya yang cukup bagus telah menunggu empat 
buah pedati yang lebih besar dari pedati-pedati tetang-
ganya. Tergerak pula hati Wintara untuk mendekati 
orang kaya itu.
Anak istrinya telah duduk memegang barang-
barang di atas pedati. Dua orang pelayannya memban-
tu majikannya memuat barang. Orang kaya itu lang-
sung menoleh saat Wintara sudah berdiri di samping-
nya. Wintara sendiri mendadak terkejut, orang kaya itu 
pucat pasi seketika. Dua orang pelayannya langsung 
berdiri bersikap melindungi majikannya.
"Paman, apa sebenarnya yang terjadi pada 
kampung ini? Kenapa semua penduduknya pergi men-
gungsi?" tanya Wintara seramah mungkin. Melihat si-
kap baik Wintara, orang kaya itu mengernyitkan alis. 
Ia memberi aba-aba pada dua pelayannya agar meneruskan memuati barang-barangnya.
"Anak muda.... Sebaiknya kau pun harus ce-
pat-cepat menyingkir dari sini. Desa ini sudah teran-
cam oleh perampok yang menamakan dirinya Durjana 
Pemenggal Kepala." Keterangan orang kaya ini mem-
buat Wintara tercengang.
"Durjana Pemenggal Kepala?" desah Wintara 
seakan tak percaya.
"Hm... Durjana-durjana itu buas bagai serigala 
yang selalu memenggali kepala korban-korbannya." ka-
ta orang kaya itu lagi. Dua pelayannya menghampi-
rinya.
"Tuan, semua sudah beres. Kita bisa berangkat 
sekarang." Orang kaya itu tidak menyahut, ia malah 
meneruskan pembicaraannya dengan Wintara.
"Kau lihat sendiri. Kampung ini telah kosong. 
Kami tidak ingin tinggal di sini sendirian!"
Wintara mengawasi sekeliling kampung. Me-
mang telah sunyi. Kecuali pedati-pedati milik orang 
kaya ini yang penuh dengan barang-barang. Anak is-
trinya sudah menunggu di atas tumpukan barang. Se-
pertinya mereka sudah tidak sabaran untuk segera 
meninggalkan desa.
"Maaf anak muda, kami harus pergi sekarang. 
Kalau pun kau mau ikut, silahkan. Pedati-pedati mi-
likku masih bisa kau tumpangi." ujar orang kaya itu 
seraya melangkah menuju ke arah pedati paling depan,
di mana anak istrinya menunggu. Wintara baru saja 
mau melangkah, tapi tiba-tiba sajak kuda-kuda pena-
rik pedati itu meringkik-ringkik seakan berontak. Su-
sah payah orang kaya itu membujuk.
Ternyata di hadapan mereka telah menghadang 
tiga orang bertampang menyeramkan. Tiga orang itu 
menunggangi kuda dan mengatur langkah-langkah

kudanya menghampiri mereka. Wintara memandang 
tanpa berkedip.
"Bagus, kami belum datang terlambat, Raden. 
Di kampung ini cuma kau satu-satunya orang terkaya. 
Sasaran kami cuma kau." kata salah seorang yang mu-
lai turun dari kuda. Nampaklah sebilah golok selebar 
telapak tangan terselip di pinggang. Orang kaya itu 
mendadak mundur, anak istrinya ketakutan di atas 
pedati.
"Kami menginginkan barang-barangmu, Dan 
kau boleh berbaris di sana untuk ku penggal satu demi 
satu." Dua orang menyeramkan turun mengikuti sa-
habatnya. Mereka sudah mencabut golok. Dua pelayan 
orang kaya itu berdiri gemetar melihat majikannya te-
rancam.
"Sabar, Tuan-tuan...." sela Wintara, tapi ia ti-
dak meneruskan kata-katanya, karena dua orang itu 
langsung memberi tatapan yang sangar.
"Rupamu lebih buruk daripada pelayan itu, 
Anak muda. Bahkan nyawamu lebih murah. Kami utu-
san-utusan Durjana Pemenggal Kepala tidak sampai 
hati menghirup darah segarmu, menyingkirlah!" Sam-
bil berkata begitu, ia mendorong Wintara.
*
* *
ENAM


Wintara hanya mundur selangkah saat orang 
yang mengaku utusan Durjana Pemenggal Kepala 
mendorong. Pendekar Kelana Sakti ini malah nyengir.
"Masih ada juga seorang durjana yang bermu


rah hati. Mujur benar nasibku hari ini." kata Wintara 
yang sebenarnya mengejek.
"Kau terlalu banyak mulut, Anak muda! Ru-
panya kau ingin mampus lebih dulu!" Goloknya berke-
lebat cepat menghantam tenggorokan. Namun sebelum 
golok itu menyentuh, Wintara menepis dengan sebelah 
tangannya. Orang itu memekik hebat, goloknya terle-
pas dari pergelangan tangan. Lalu Wintara menam-
bahkan dengan tendangan memutar... "Des!" Kontan 
terpental menimbun kedua temannya yang masih ber-
diri keheranan.
Wintara menarik orang kaya itu ke belakang-
nya. Tiga orang utusan Durjana
Pemenggal Kepala siap menyerang serempak. 
Wintara tenang menghadapi mereka. Ketiganya lang-
sung melancarkan babatan golok. Tanpa bergeser Win-
tara memutar kedua lengannya.... "Splak...! Bug...! 
Bug...!" Dua orang terjungkal sambil memeganggi da-
da, seorang lagi seloyongan menjerit-jerit dengan len-
gan yang patah.
"Aku jadi heran, kemampuan kalian sebenar-
nya cuma untuk menakut-nakuti anjing. Kenapa orang 
sekampung ini pada takut terhadap kalian?" Wintara 
bertolak pinggang memandangi mereka bangkit.
"Kau boleh tertawa, Anak muda. Kelak kau 
akan tahu rasa akibatnya Durjana Pemenggal Kepala 
tidak akan mengampuni mu!" Mereka mengancam. Ke-
tiganya menaiki kudanya lagi.
"Begitu bodohkah majikan kalian? Mana pantas 
kalian jadi utusan-utusannya." ejek Wintara lagi.
"Kau akan lari terbirit-birit bila berhadapan 
dengan majikan kami, Anak muda! Kepalamu bakal 
menggelinding ke tanah!" Seseorang menggertak. Win-
tara nyengir....

"Mendengar namanya jantungku memang ham-
pir copot, tapi justru aku makin penasaran untuk me-
lihat rupa si durjana." Wintara menantang. Ketiga 
orang itu tidak menyahut, mereka sudah menghela 
kuda-kudanya.
Sebentar saja kuda-kuda itu telah menggelind-
ing meninggalkan mulut desa. Yang nampak hanyalah 
kepulan-kepulan asap debu di bawah derap kaki-kaki 
kuda mereka. Orang kaya ini memandang kagum pada 
Wintara yang berdiri di hadapannya. Ia tidak me-
nyangka akan kehebatan serta keberanian pemuda 
yang baru ditemuinya ini. "Anak muda, menyingkirlah 
dari sini! Durjana Pemenggal Kepala pasti akan datang 
ke sini untuk menemuimu. Kau tak bakal mampu 
mengalahkannya. Menurut kabar sudah banyak orang-
orang persilatan macam kau yang tewas di tangannya." 
Wintara menghargai kekhawatiran orang kaya itu...
"Sebaiknya kau ikut kami, mungkin itu akan 
lebih baik daripada bakal berhadapan dengan si Dur-
jana Pemenggal Kepala. Orang kaya itu mulai naik ke 
atas pedati di samping anak istrinya. Dua pelayannya 
menaiki pedati dengan gemetar.
"Terima kasih, Paman. Aku sudah terlanjur un-
tuk menemui si Durjana Pemenggal Kepala. Kalaupun 
nanti aku tewas di tangannya, mungkin sudah menjadi 
takdir ku." jawab Wintara.
"Aku sudah cukup menasehati mu. Aku tidak 
akan memaksa atau menunggu lagi Karena kami ha-
rus pergi mengungsi secepatnya."
"Selamat jalan, Paman. Aku doakan selamat da-
lam perjalanan."
Tanpa berkata apa-apa lagi ke empat pedati te-
risi penuh dengan muatan barang-barang melaju. Pe-
dati-pedati itu menyusul iring-iringan pedati lainnya

yang sudah pergi menjauh. Nampak seperti kereta 
yang berderet menyusuri sepanjang jalan.
Wintara belum beranjak dari tempatnya. Kedua 
matanya terus memandangi kesibukan-kesibukan 
orang kampung mengendalikan pedati-pedati. Hanya 
dalam beberapa saat kampung itu menjadi sepi, ko-
song melompong. Wintara berdiri bagai patung di ten-
gah-tengah pelataran desa.
Sampai sejauh mana kekejaman Durjana Pe-
menggal Kepala itu, sehingga seluruh penduduk kam-
pung ini rela meninggalkan tanah kelahirannya. Kalau 
cuma nama kosong belaka tidak mungkin semua pen-
duduk mengungsi. Yang jelas ini suatu cengkraman 
kekejaman di luar batas. Seperti apa kehebatan Durja-
na Pemenggal Kepala sehingga orang-orang dari rimba 
persilatan tidak ada yang sanggup mengatasinya?
Mustahil pula kalau orang-orang persilatan te-
tap berpangku tangan. Toh dengan munculnya tokoh 
sesat ini sudah barang tentu menjadi persoalan yang 
tidak sepele. Wintara jadi kalut sendiri.
Ia melangkah menuju pada sebuah balai di de-
pan teras gubug. Santai pula ia duduk bersandar. Di-
rasakannya kampung itu seperti mati. Tidak ada sege-
lintir manusia pun yang nampak selain dirinya. Sung-
guh beda dengan beberapa hari yang lalu. Ketika per-
tama kali ia menginjakkan kakinya di sini. Meski da-
lam suasana ketakutan, ia masih bisa melihat kera-
maian kampung itu yang subur.
Setengah harian penuh ia berada di kampung 
yang sunyi. Belum juga ada tanda tanda pasukan Dur-
jana Pemenggal Kepala menampakkan diri. Kalau me-
reka sekelompok durjana yang disegani, pastilah me-
reka akan datang memenuhi tantangan Wintara
Mata Wintara sendiri sebentar-sebentar menelusuri jalan-jalan kecil yang menghubungkan ke desa 
itu. Cukup berdebar juga ia menunggu tokoh sesat 
yang menamakan dirinya Durjana Pemenggal Kepala. 
Mendadak saja ia bangkit berdiri. Ketika dari kejauhan 
ia melihat sosok tegap menuju kampung itu. Tanpa 
menunggangi kuda, juga tanpa pengawal. Sebilah pe-
dang berkilat menyilaukan tertimpa sinar matahari.
Langkah-langkah lelaki itu sangat cepat. Winta-
ra kembali duduk berusaha tetap tenang. Ia sudah ya-
kin Durjana Pemenggal Kepala telah datang memenuhi 
tantangannya. Kali ini ia datang sendiri.
Ketika laki-laki itu memasuki kampung, ia su-
dah melihat Wintara duduk sambil balas menatap. Le-
laki yang baru datang itu sesungguhnya tidak lain 
dari Amarsa Rawut. Sebelum ia mendekati Wintara, di 
pandangi suasana kampung yang sepi bagai mati. Lalu 
ia melangkah lagi. Wintara berdiri menanti kedatangan 
Amarsa Rawut.
"Sobat, cuma kaukah satu-satunya penduduk 
kampung ini?" tanya Amarsa Rawut. Pandangannya 
berkeliling mengawasi sekitar tempat itu. Wintara ce-
pat menjawab....
"Aku bukan penduduk kampung, aku sendiri 
tidak mengerti kenapa semua penduduk lari ketakutan 
dengan seorang tokoh bernama Durjana Pemenggal 
Kepala?"
"Pemenggal Kepala?" Amarsa Rawut balik ber-
tanya. Ia seperti tersentak mendengar ucapan Wintara.
"Kenapa? Bukankah kau sendiri yang menyan-
dang gelar itu?" kata Wintara lagi sambil memalingkan 
muka. Lalu meneruskan kata-katanya lagi...
"Aku merasa terpanggil untuk menumpas tokoh 
sesat itu. Kalau kau benar adanya si Durjana Pemeng-
gal Kepala, sebaiknya jangan sungkan-sungkan untuk

memenuhi tantanganku." Nada suara Wintara tenang.
"Ngawur! Justru aku datang sampai ke sini un-
tuk mencari tahu di mana adanya si durjana itu. Bebe-
rapa perguruan telah hancur oleh perbuatannya. Ter-
masuk ayahku. Kalau kau tahu di mana dia berada 
katakanlah...." Perkataan Amarsa Rawut seperti me-
nuntut.
"Mana aku tahu. Aku sendiri belum pernah me-
lihat batang hidungnya. Tapi aku yakin dia pasti da-
tang untuk memenuhi tantanganku." Wintara membela 
diri.
"Namaku Amarsa Rawut dari Perguruan 'Guci 
Perak'. Mati hidup si durjana itu harus berada di tan-
ganku."
"Ah, sobat Amarsa Rawut.... Aku yang hina ini 
hanya seorang pengelana biasa bernama Wintara. Dur-
jana Pemenggal Kepala adalah seorang tokoh sesat. 
Siapa pun berhak menumpasnya. Di tanganku mau-
pun tanganmu sama saja. Yang jelas tujuan kita sama. 
Alangkah baiknya kalau kita saling bahu-membahu."
"Terima kasih.... Tentunya anda seorang penge-
lana yang sangat hebat, Saudara Wintara. Menerima 
bantuan seorang hebat seperti anda, tentunya aku ti-
dak akan menolak."
"Belum apa-apa sudah memuji.... Siapa tahu 
kita berdua hanya mengantarkan nyawa di sini." Win-
tara bergumam.
Keduanya duduk di balai. Wintara tidak kese-
pian lagi setelah kedatangan seorang pendekar dari 
Perguruan 'Guci Perak' ini, Pembicaraan mereka tidak 
lepas dari Durjana Pemenggal Kepala. Namun demi-
kian keduanya sama-sama menaruh rasa curiga. 
Amarsa Rawut sengaja membeberkan peristiwa yang
melanda Perguruan 'Guci Perak' maupun 'Bukit Sampar'. Dari cerita itu Wintara sudah menafsirkan betapa 
besar rasa dendam terhadap Durjana, Pemenggal Ke-
pala. Dari situ pula Wintara bisa mengukur kehebatan 
durjana itu.
Tapi kenyataan yang ia hadapi tadi ketika me-
nolong seorang kaya di kampung ini, sepertinya ada 
yang lain. Tidak mungkin tokoh sesat itu mengutus 
anak buahnya yang begitu mudah dilumpuhkan oleh 
Wintara. Dan juga ada rasa menyesal membiarkan ke-
tiga utusan Durjana Pemenggal Kepala melarikan diri.
"Keparat itu rupanya sudah menguasai seluruh 
wilayah ini. Sungguh hebat. Sepak terjangnya sama 
sekali tidak memperdulikan orang-orang rimba persila-
tan." selak Wintara.
"Itu karena dua guru besar dari Perguruan 
"Guci Perak" dan "Bukit Sampar" telah tewas. Orang-
orang rimba persilatan seperti telah kehilangan pegan-
gan. Mereka pun semakin merajalela melancarkan tan-
gan jahatnya." Amarsa Rawut menimpali.
"Dan juga...." ucapan Amarsa Rawut terhenti. 
Keduanya mendadak bangkit dari balai. Mereka men-
dengar derap kaki kuda yang begitu banyak. Mata me-
reka langsung mengarah pada kepulan asap debu yang 
bergulung-gulung memasuki kampung. Dari situ me-
reka bisa melihat belasan ekor kuda berikut penung-
gangnya yang mengacung-ngacungkan senjata.
"Mereka datang!" bisik Wintara.
"Siapa?" tanya Amarsa Rawut tidak lepas me-
mandang kuda-kuda itu. Seluruh penunggangnya ber-
wajah garang. Wintara masih mengenali ketiga orang 
yang tadi di biarkannya melarikan diri.
"Siapa lagi kalau bukan kelompok Durjana Pe-
menggal Kepala."
Darah Amarsa Rawut langsung tersirap men

dengar penjelasan Wintara. Dia langsung melompat 
menyambut pasukan berkuda itu. Wintara menghen-
takkan kakinya, tahu-tahu saja dia sudah beriring dan 
dengan Amarsa Rawut. Pasukan berkuda itu berhenti. 
Para penunggangnya yang seram-seram menyeringai 
menakutkan. Semuanya serempak turun dari kuda.
Kecuali seseorang yang berperawakan gemuk 
dan berkepala botak. Wajahnya yang tanpa alis namun 
membawa kesan menyeramkan itu tetap duduk di atas 
kudanya memandang remeh terhadap Wintara mau 
pun Amarsa Rawut. Dua bilah golok besar terserong di 
punggungnya. Ia mengatur langkah kudanya mende-
kati dua pemuda itu.
"Cuih! Segala dua cecoro sawah berani menan-
tang. Kalian tidak lebih bagai dua orang jembel yang 
tidak pantas kurampok dan kupenggal. Menghadapi 
kalian sama saja membuang tenaga."
"Kaukah Durjana Pemenggal Kepala?" tanya 
Amarsa Rawut sekaligus membentak.
"Hua ha ha ha....." Si Botak gemuk itu tertawa. 
Dadanya sampai naik turun. Lalu...
"Sudah tahu begitu kenapa masih berani berdi-
ri di hadapanku? Ayo cepat berlutut dan jangan coba-
coba menantang!"
"Chis, siapa yang sudi menyembah segala ma-
cam babi kurapan! Turun dari kuda mu, Babi Gem-
brot! Kau harus menebus kematian Ki Raka Banjaran 
dengan kepala mu!" Amarsa Rawut menarik gagang 
pedang.
"Apa? Ki Raka Banjaran?... Oh, ya ya... nasib-
nya memang malang harus mampus di tanganku." Da-
ri atas pelana manusia gemuk botak itu melesat ke 
atas berjumpalitan di udara. Kemudian hinggap tepat 
berhadapan dengan Amarsa Rawut. Belasan anak

buahnya sudah mengurung. Wintara sejak tadi sudah 
bersiap-siap. Paling tidak ia akan bertindak duluan ka-
lau belasan orang itu menyerang.
"Hari ini kita akan berhitungan atas hutang da-
rah Ki Raka Banjaran...!" Pedang Amarsa Rawut berke-
lebat menyambar.
*
* *
TUJUH


Serta merta manusia gemuk botak menarik dua 
gagang goloknya sekaligus dari punggung... 
"Ztraaaang!" 
Sambaran pedang Amarsa Rawut bergetar. Su-
dah barang tentu belasan anak buahnya tidak tinggal 
diam Serentak mereka menerjang menyerang Amarsa 
Rawut. Namun tiba-tiba saja tiga orang bergulingan. 
Wintara berlari setengah memutar. Kedua lengannya
sibuk melancarkan serangan. Jatuh lagi dua orang. 
Kali ini mereka kena tendangan. Kelima orang itu ma-
sih dapat bangkit, bahkan maju menyerang dengan gi-
gih.
Amarsa Rawut kertakan rahang saat ia merun-
duk menghindari sambaran golok yang datang bertu-
rut-turut menghantam kepala. Pedangnya bergerak ke 
atas menangkis menimbulkan suara yang mengilukan. 
Sesekali pula ia harus melepaskan pukulan ke samp-
ing mengarah pada dua orang yang bermaksud mem-
bokong.
Sementara itu tubuh Wintara berlompatan kian 
ke mari menghindari babatan-babatan senjata. Lenturan-lenturan tubuhnya gesit berkelit. Serangan-
serangan itu tidak pernah putus berdatangan. Dalam 
hal ini terpaksa pula Wintara harus mengeluarkan 
hantaman 'Bayu Menghempas Gelombang'... "Deeer!" 
Kontan lima orang penyerangnya ambruk dengan me-
nyemburkan darah.
Putra tunggal Ki Raka Banjaran ini sempat me-
lirik saat Wintara melancarkan pukulan aneh. Diam-
diam ia merasa kagum akan kehebatan sahabat ba-
runya itu. Bagaimana tidak, tanpa menggunakan sen-
jata ia dapat mengecoh lawan yang berjumlah belasan.
"Kedua golok bututmu cocok untuk mencincang 
babi! Tidak cukup tajam untuk tenggorokanku!" ejek 
Amarsa Rawut seraya membersitkan pedangnya ke 
muka. Serangan itu membuat manusia botak ini me-
narik tubuhnya ke belakang.
"Pantas kalian berani menghadapi aku si Dur-
jana Pemenggal Kepala. Rupanya dua anjing kesrek ini 
cukup tinggi juga ilmunya!" balas Durjana Pemenggal 
Kepala tak kurang membabatkan kedua golok besar-
nya. Setelah ia melancarkan serangan, ia sangat terke-
jut. Karena dua orang anak buahnya jatuh hampir 
menimpa tubuhnya.
Saking kesalnya ia malah menginjak salah seo-
rang sampai menyemburkan darah. Bagai air mancur 
darah itu muncrat ke mukanya sendiri.
"Kalian benar-benar cari mampus!" hardik Dur-
jana Pemenggal Kepala. Kemarahannya meledak. Se-
rangan dua golok besarnya lebih cepat membersit. 
Amarsa Rawut menangkis dengan menggenggamkan 
kedua telapak tangan pada gagang pedang. Benturan 
senjata mereka beradu keras. Amarsa Rawut sampai 
terhuyung.
"Otak bebal! Keluarkan semua tenaga mu!

Hayo!" bentak Amarsa Rawut, padahal dia sendiri su-
dah mundur-mundur menghadapi setiap babatan dua 
golok besar yang datang berturut-turut.
"Manusia yang mau mampus biasanya banyak 
mulut! Aku sudah tidak heran lagi! Hreaaaaa...!" Baba-
tan kali ini disertai tenaga penuh. Amarsa Rawut me-
nangkis dengan sekuat tenaga. Tak urung malah ia 
ikut terlempar bersama pedangnya.
Terpaksa pula Amarsa Rawut bergulingan 
menghindari serangan-serangan Durjana Pemenggal 
Kepala yang berusaha mencecar dan tidak memberi 
kesempatan lawannya bangkit.
Wintara menghentakkan kedua telapak tan-
gannya ke depan... "Hreaaa!" Menghantam telak dua 
orang penghadang sampai mencelat beberapa meter ke 
belakang.
Entah sudah berapa orang yang ambruk tak 
berkutik oleh amukan Wintara. Sebenarnya pula ia ti-
dak sampai hati membunuh mereka. Setiap hantaman 
Wintara cukup membuat mereka semaput.
Dalam keadaan bergulingan Amarsa Rawut te-
rus mementang mata. Pandangannya tidak lepas dari 
dua golok besar yang mengarah ke tubuhnya. Namun 
hanya dengan sekali sentakan, tubuh Amarsa Rawut 
sudah melesat ke atas. Sambaran golok Durjana Pe-
menggal Kepala luput, kecuali mengenai batang pohon 
besar.
Wintara merasa lega melihat Amarsa Rawut da-
pat mengatasi serangan lawannya. Dia sendiri sudah 
tidak perlu repot menghadapi lawannya yang tinggal 
empat orang.
Dan nampaknya pula Wintara tidak memberi 
hati. Dengan gerakan yang sukar diikuti pandangan 
mata, Pendekar Kelana Sakti ini menerjang kedua len

gannya berputar menimbulkan suara angin yang ber-
gemuruh. Babatan-babatan senjata lawannya sama 
sekali tidak ada yang masuk. Saat itu Wintara mele-
paskan tendangan serta pukulan bagai geledek.
"Splaaak...! Des...! Des...!" Dua orang langsung 
ambruk celentang, dua orang lagi mencelat menabrak 
masuk ke dalam gubug. Setelah itu dipandanginya be-
lasan orang bergelimpangan tak sadarkan diri. Di su-
dut sana Amarsa Rawut masih sibuk menghadapi se-
rangan-serangan Durjana Pemenggal Kepala.
"Sobat Amarsa Rawut! Boleh aku datang mem-
bantu?" teriak Wintara, tangannya sudah gatal ingin 
menguji kebolehan manusia berjuluk Durjana Pe-
menggal Kepala.
"Tidak perlu, Sobat Wintara. Kerbau dungu ini 
bukan apa-apa bagiku! Kau boleh berdiri di situ ba-
gaimana aku mencabut nyawa babi gembrot ini!" jawab 
Amarsa Rawut.
"Kau boleh dapat menghabiskan semua anak 
buahku. Tapi terhadap Durjana Pemenggal kepala jan-
gan harap bisa!" tukas manusia gemuk botak beringas. 
Babatan" dua golok besarnya gencar mematikan. 
Amarsa Rawut cepat melompat mundur.
"Setan keparat yang membunuh ayahku kukira 
berilmu tinggi, ternyata sepak terjangnya melebihi 
bencong! Bagaimana mungkin ia bisa membunuh Ki 
Raka Banjaran?" Sambil berkata begitu Amarsa Rawut 
melepaskan tendangan. Begitu terkejut manusia botak 
melihat sebelah senjatanya mental terkena sambaran 
tendangan. Durjana Pemenggal Kepala mendengus 
sengit.
"Kalau tahu kematian Ki Raka Banjaran, maka 
akan terulang lagi terhadap diri kalian." Dengan sebe-
lah goloknya lagi ia lancarkan ke bagian muka.

"Bweeet...!" Amarsa Rawut keburu nunduk. Dalam 
keadaan merunduk itu ia melepaskan dua tinjunya se-
kaligus.... "Deeeer! Tepat menghantam tenggorokan. 
Durjana Pemenggal Kepala memekik.
Mendapat hantaman seperti itu, manusia ge-
muk hanya terdorong dua langkah ke belakang. Amar-
sa Rawut sendiri merasakan kedua tinjunya menghan-
tam benda yang sangat keras. Nampak manusia ge-
muk itu menyusun kekuatannya lagi dengan mengatur 
nafas.
Amarsa Rawut yang sudah kepalang tanggung 
melancarkan serangan, tidak memberi kesempatan la-
gi. Saat Durjana Pemenggal Kepala menyilangkan ke-
dua lengannya di atas dada. Amarsa Rawut menerjang 
dengan sebuah tendangan dahsyat.... "Hraaaat.... 
Deeeer!" Tubuh Durjana Pemenggal Kepala jatuh ber-
degum menyemburkan darah. Begitu juga dengan 
Amarsa Rawut.
Tubuh gemuk itu menggapai-gapai seperti ingin 
menyampaikan sesuatu lewat mulutnya. Tapi sua-
ranya tidak keluar. Kecuali darah terus menyembur. 
Dalam pada itu Amarsa Rawut meraih golok besar 
yang tergeletak di tanah.
Wintara yang menyaksikan pertarungan itu su-
dah dapat menduga apa yang akan dilakukan Amarsa 
Rawut. Maka saat Amarsa Rawut mengangkat golok itu 
ke atas mengarah ke batang leher manusia gemuk, 
Wintara memejamkan matanya.
"Craaak...!" Terdengar suara golok besar itu 
menghantam sesuatu dengan keras. Wintara membuka 
matanya lagi. Ia melihat tubuh gemuk tanpa kepala ke-
lojotan. Dari tenggorokannya yang kutung menyembur 
darah bagai air mancur. Kutungan kepala itu sudah 
berada di bawah kaki Amarsa Rawut. Laki-laki itu ter

senyum memandang Wintara.
"Hutang darah ini sudah lunas, Sobat Wintara. 
Aku puas pembunuh ayahku dapat tewas oleh tangan-
ku...." Suara Amarsa Rawut parau penuh semangat. 
Wintara balas tersenyum.
"Dengan tewasnya setan Durjana Pemenggal 
Kepala, baik setiap perguruan maupun para pendu-
duk kampung tidak akan resah lagi. Kau hebat, Sobat 
Amarsa Rawut." Wintara memuji. Ia bergidik saat me-
lihat Amarsa Rawut memungut kutungan kepala itu, 
kemudian membungkusnya dengan selembar kain 
yang diperoleh dari seorang anak buah Durjana Pe-
menggal Kepala.
"Kutungan kepala ini untuk kujadikan peringa-
tan bagi setiap tokoh sesat yang merecoki dunia persi-
latan." kata Amarsa Rawut selesai membungkus.
"Ada baiknya juga!" jawab Wintara.
*
* *
Hujan deras bukan halangan bagi Basu Dewa 
maupun Ambali Songka yang menelusuri jalan berba-
tu. Tubuhnya sudah basah kuyub. Sorot mata mereka 
jalang memandang lurus ke arah sebuah bangunan 
yang dikelilingi pagar bambu setinggi tiga meter.
Saat mereka mendekati bangunan itu, mereka 
menarik kapak dari pinggangnya. Langkahnya diperce-
pat. Maka dengan sebentar saja mereka sudah berdiri 
di depan pintu gerbang. Di atas pintu itu tergantung 
selembar papan yang bertuliskan "Perguruan Penjuru 
Angin'. Setelah membaca tulisan itu Basu Dewa mem-
buang ludah.
Seperti biasa Basu Dewa selalu membuka pintu

dengan hantaman kapak mautnya. Sekali sabet pintu 
gerbang terbelah dua menjadi lebar. Maka keduanya 
dapat masuk dengan langkah-langkah yang menapak 
pada tanah becek. Hujan bertambah deras saat mereka 
mendekati bangunan yang nampak sunyi.
Ambali Songka maupun Basu Dewa membela-
lakkan mata. Di depan teras bangunan telah bergelim-
pangan mayat-mayat hampir membusuk. Keadaan se-
kitar situ tidak ubahnya seperti medan pertempuran. 
Jendela serta pintu telah hancur berserakan.
Keduanya melangkah masuk. Kapak mereka 
bergerak menyibakkan puing-puing berserakan yang 
menghalangi langkah mereka. Ruangan itu pun telah 
penuh dengan mayat-mayat bergelimpangan. Bau bu-
suk sangat santer di sekitar tempat itu. Namun mereka 
seakan tidak perduli. Langkah-langkah mereka sema-
kin masuk ke dalam.
Di sudut ruangan yang agak rapi mereka me-
nemukan sosok tubuh tanpa kepala menggeletak ter-
lentang. Kira-kira jarak dua meter kutungan kepala 
yang telah membiru tergeletak pula. Pada dinding 
ruangan itu tertera tulisan berwarna merah darah... 
"Durjana Pemenggal Kepala...." Seketika itu juga Basu 
Dewa mengamuk. Ia menendangi apa saja yang ada di 
ruangan itu. Kapaknya juga berkelebat menghancur-
kan perabotan hingga hancur berkeping-keping. Amba-
li Songka repot mengatasi amukan kakaknya ini.
"Siapa yang berani mengaku dirinya Durjana 
Pemenggal Kepala! Siapa...!" Kapak Basu Dewa terus 
menghancurkan.
"Kakang... tahan. Tidak guna mengamuk seper-
ti itu...!" Ambali Songka menghantamkan kapaknya. 
Benturan itu sangat dahsyat. Sampai menimbulkan 
suara yang membledar. Ketika itu pula Basu Dewa ter

sadar dengan nafas yang kian memburu....
"Kita telah kehilangan sasaran, Ambali Songka! 
Seseorang sudah mendahului kita!" kata Basu Dewa 
setengah membentak.
"Perjanjian kita tinggal dua hari lagi terhadap 
Eyang Tumbal Segara. Kau pun
tahu akibatnya bila kita sampai terlambat me-
nyerahkan sebuah kepala untuknya." kata Basu Dewa 
lagi.
"Kenapa mesti grabak grubuk begini. Kita bisa 
mencari korban lainnya. Kita cari saja si Amarsa Ra-
wut keparat!" Ambali Songka mengeluarkan pendapat.
"Soal korban mudah kita cari. Siapa pun kita 
dapat mencarinya hari ini. Yang tak habis pikir adanya 
seseorang menggunakan nama Durjana Pemenggal Ke-
pala. Siapa dia sebenarnya? Apakah dia juga orang 
persekutuan Eyang Tumbal Segara." jawab Basu Dewa. 
Matanya tetap jalang penuh kekesalan.
"Hal itu mudah kita tanyakan nanti pada Eyang 
Tumbal Segara. Mengingat waktu perjanjian kita yang 
sudah mendesak ini, sebaiknya kita datangi Perguruan 
"Guci Perak". Serahkan saja kepala Amarsa Rawut pa-
da Eyang Tumbal Segara. Maka semuanya akan berja-
lan lancar." Ambali Songka menenangkan hati Basu 
Dewa.
*
* *
DELAPAN


Sejak kepergian Amarsa Rawut, gadis Nalantili 
jadi kelimpungan sendiri di perguruan. Ia merasa khawatir sekali akan sesuatu yang terjadi pada diri Amar-
sa Rawut. Murid-murid yang lain jarang melakukan 
kegiatan latihan. Mereka hanya berjaga-jaga melin-
dungi perguruan dari tangan jahil. Kalau saja Amarsa 
Rawut tidak berpesan agar Nalantili mengurus pergu-
ruan, mungkin gadis itu sudah nekad menyusul.
Selama peristiwa itu pula banyak guru-guru 
besar dari perguruan lain menyambangi. Juga untuk 
mendengar berita terjadinya peristiwa yang melanda 
Perguruan 'Guci Perak'. Seperti halnya dari Partai 
'Gunung Kembar' dan Pendekar 'Gelugut Sutra'. Mere-
ka sengaja menetap di situ guna menyelidiki kejadian 
tersebut.
Dalam hal ini Nalantili mendapat dampratan 
yang tidak dapat dielakkan. Mereka menyalahkan ga-
dis itu membiarkan Amarsa Rawut pergi sendiri.
"Amarsa Rawut adalah pewaris tunggal Pergu-
ruan 'Guci Perak'. Dia hanya mengantarkan nyawa bila 
nekad bertemu dengan si Durjana itu. Ki Raka Banja-
ran dan Liung Sanca saja tidak mampu mempertahan-
kan selembar nyawanya. Seharusnya kau menahannya 
waktu anak tolol itu pergi." kata Pendekar Gelugut Su-
tra. Nalantili yang duduk di hadapan dua pendekar itu 
tidak menjawab.
"Tidak tahukah kau, selain Guci Perak dan Bu-
kit Sampar, Perguruan 'Pedang Penjuru Angin' di Sela-
tan sana sudah hancur pula. Entah siapa lagi yang 
akan dihancurkannya." sambut Pendekar dari Gunung 
Kembar.
"Kalau sudah begini, ke mana harus kita cari 
anak tolol itu? Menunggunya pulang? Paling-paling ki-
ta akan menemuinya nanti setelah berada di neraka." 
kata Pendekar Gelugut Sutra sengit.
"Paman... aku sudah berusaha menahannya.

Tapi Kakang Amarsa Rawut sukar dibendung. Mati hi-
dupnya untuk mencari Durjana Pemenggal Kepala." 
Nalantili membela diri.
Jawaban Nalantili tepat. Dia hanya seorang 
murid seperti yang lainnya. Mana berani ia memban-
tah keinginan Amarsa Rawut. Apalagi dalam keadaan 
seperti pada waktu itu. Pendekar dari Gunung Kembar 
dan Pendekar Gelugut Sutra tidak bisa menyalahkan-
nya terus.
"Dengan adanya paman berdua di sini, tidak 
akan menyelesaikan persoalan. Kenapa paman berdua 
tidak mencari durjana itu saja. Toh dia pula yang se-
benarnya yang menjadi masalah."
"Dengar, Nalantili. Kami berdua tidak memiliki 
perguruan apa pun. Tidak ada yang perlu kami jaga 
selain diri kami. Kalau kami berdua berada di sini, bu-
kan berarti kami bersembunyi dari ancaman Durjana 
Pemenggal Kepala. Tapi justru akan menjaga keutuhan 
perguruan ini."
"Terima kasih atas budi baik paman selama ini. 
Menurut hematku, kita memang tidak perlu berdiam 
diri. Sekarang kita sudah bergabung. Alangkah baik-
nya jika kita bersama-sama mencari Amarsa Rawut. 
Mustahil jika mati hidupnya tidak kita temukan."
"Kau benar, Nalantili. Kita-kita memang sudah 
sepantasnya memikul tugas ini, Amarsa Rawut perlu 
kita cari. Sukur-sukur kalau dalam pencarian kita ber-
temu dengan Durjana Pemenggal Kepala. Kita bisa 
membuat perhitungan." kata Pendekar Gunung Kem-
bar penuh semangat.
"Suruh semua murid-murid Perguruan 'Guci 
Perak' bersiap-siap. Kita akan berangkat hari ini juga, 
karena...." ucapan Pendekar Gelugut Sutra terputus.
"Duaaar...!" Mendadak pintu gerbang di dobrak

orang. Ketiga orang ini segera menoleh ke arah suara 
keributan itu. Mereka melihat orang-orang Perguruan 
Guci Perak' berlarian menuju pintu gerbang yang su-
dah terbuka lebar.
Mata Nalantili membelalak lebar. Sosok Basu 
Dewa dan Ambali Songka berdiri angkuh di tengah-
tengah pintu. Murid-murid Perguruan 'Guci Perak' 
yang berjumlah kurang lebih dua puluh orang itu 
menghadang. Lebih terkejut lagi saat dua kakak bera-
dik itu langsung mengamuk menggunakan kapak-
kapaknya.
Leretan-leretan sinar biru membersit menghan-
tami setiap tubuh orang-orang 'Guci Perak'. Saat itu 
pula Nalantili berlari ke luar disusul oleh Pendekar 
'Gunung Kembar' dan Pendekar Gelugut Sutra. Ketika 
mereka sudah berada di luar. Murid-murid Perguruan 
Guci Perak banyak yang bergelimpangan bersimbah 
darah.
"Suruh keluar tuan muda kalian si Amarsa Ra-
wut! Jangan bersembunyi macam anjing tumang!" te-
riak Ambali Songka, sabetan kapaknya tidak pernah 
berhenti.
Melihat kemunculan Basu Dewa dan Ambali 
Songka di depan mata Nalantili, gadis itu merasa ter-
bakar oleh api yang paling panas. Serta merta ia mena-
rik gagang pedangnya. Dua pendekar yang berdiri di 
sampingnya tidak bisa menahan.
Hanya dengan sekali lesatan ia sudah berhada-
pan dengan kedua orang yang pernah menyakitinya. 
Bahkan tanpa banyak bicara lagi pedangnya berkele-
bat menyambar tanpa ampun.
"Kalian minggir semua. Keparat-keparat ini biar 
mampus menembus di pedang ku!" perintah itu ditu-
jukan para orang-orang Guci Perak. Sambaran pedang

Nalantili ditepis dengan hantaman kapak Basu Dewa... 
"Traanng...!" Tubuh Nalantili terhuyung, seperti ada 
getaran tenaga dalam mendorongnya.
"Perempuan laknat! Kami sudah tidak tertarik 
lagi dengan tubuh molekmu, Nalantili. Aku hanya ter-
tarik dengan kepalamu! bentak Basu Dewa mele-
paskan babatan kapak tanpa ampun ke arah Nalantili. 
Kalau ia tidak cepat berguling di tanah, kepalanya su-
dah copot.
"Tapi kami ke mari hanya untuk memenggal 
kepala Amarsa Rawut!" Babatan kapaknya kali ini le-
bih dahsyat, sampai menimbulkan suara angin yang 
menderu. Nalantili jatuh bangun menghindarinya.
Melihat itu pun pendekar dari Gunung Kembar 
dan Pendekar Gelugut Sutra tidak tinggal diam. Kedu-
anya serempak menerjang menghalangi serangan Basu 
Dewa. Mendapat bantuan dari dua pendekar ini, Na-
lantili mendapat kesempatan untuk segera bangkit 
kembali.
Hantaman kedua pendekar itu bergulung-
gulung mematahkan serangan Basu Dewa. Manusia 
persekutuan Eyang Tumbal Segara ini tidak kalah ge-
sit. Basu Dewa menyambut serangan-serangan mereka 
dengan babatan kapak... "Bweet!" Maka sinar kebiruan 
membersit. Dua pendekar sakti ini sampai blingsatan 
melompat mundur. Nalantili menerjang lagi dengan 
pedangnya.
"Kalau Kakang Amarsa Rawut tahu, kalian tak-
kan diberi ampun!" bentak Nalantili mendorong pe-
dangnya ke depan.
"Suruh dia ke luar!" jawab Basu Dewa, kapak-
nya menangkis tusukan pedang. Kembali Nalantili ter-
huyung.
Sementara itu Ambali Songka gencar mele

paskan serangan. Orang-orang Perguruan 'Guci Perak' 
tidak ada yang sanggup menahan, apalagi membalas 
serangan. Sebagian mereka sudah bergelimpangan 
tanpa nyawa. Keadaan mereka sangat mengerikan. Pe-
rut dan tenggorokan mereka robek mengucurkan da-
rah. Ada juga yang kepalanya terbelah dua.
Nalantili dan dua pendekar ini menjadi serba 
salah. Mereka bertiga saja hampir tidak sanggup 
menghadapi Basu Dewa. Niat mereka malah ingin 
membantu murid-murid "Guci Perak". Sudah tentu 
murid-murid dari Perguruan 'Guci Perak' tidak akan 
mampu menghadapi amukan Ambali Songka. Akhirnya 
ketiga jago ini serempak melesat meninggalkan Basu 
Dewa.
Mereka langsung menggempur Ambali Songka. 
Tanpa gentar pula Ambali Songka menghadap mereka.
"Kalian menyingkir dari sini. Biar dua cecunguk 
ini menjadi urusan kami!" perintah Pendekar Gunung 
Kembar. Maka murid-murid 'Guci Perak' segera me-
nyingkir dari pertempuran. Terjadi pertarungan dua 
lawan tiga.
Pukulan Pendekar Gelugut Sutra bergulung-
gulung mencecar. Dari hantaman-hantaman itu seperti 
keluar serat-serat keputihan menjerat. Namun meng-
hadapi babatan-babatan kapak Ambali Songka, serat-
serat itu sama sekali tiada artinya. Malah... "Craas! 
Wuuaaaa...!" Pendekar Gelugut Sutra menjerit keras. 
Babatan kapak Ambali Songka menyambar putus ke-
dua lengannya. Tubuh Pendekar Gelugut Sutra meng-
gelepar-gelepar di tanah.
Pendekar Gunung Kembar dan Nalantili masih 
mempertahankan serangannya. Basu Dewa tertawa 
menggelak-gelak melihat mereka keteter. Entah sudah 
berapa jurus yang dikeluarkan Nalantili maupun Pendekar Gunung Kembar. Hal itu membuat gadis Nalan-
tili menjadi bingung. Kemampuan Basu Dewa dan Am-
bali Songka sungguh berbeda dengan dulu.
Pendekar Gunung Kembar yang terkenal
tangguh merasa tak berkutik. Serangan-
serangan kapak Basu Dewa gencar bagaikan kitiran 
angin. Nalantili sendiri repot menghadapi Ambali 
Songka. Gadis itu merasa di permainkan.
Yang lebih celaka lagi, Pendekar Gunung Kem-
bar mulai jatuh bangun menghindari serangan Basu 
Dewa. Lelaki cukup umur itu tidak menyangka akan 
kehebatan pemuda-pemuda itu. Sampai-sampai ia 
sendiri tidak berdaya menghindari sambaran kapak 
menghantam perutnya... "Bresss!" Pendekar Gunung 
Kembar tewas seketika. Isi perutnya menghambur ke 
luar.
Nalantili memekik, ia terjatuh kena sambaran 
angin kapak Ambali Songka.
"Hua ha ha ha.... Apakah si Amarsa Rawut te-
lah menjadi seorang pengecut? Mana dia? Kenapa 
hanya gundiknya dan orang-orang tolol ini yang harus 
menghadapi kami si Durjana Pemenggal Kepala! Hua 
ha ha ha...!" Ambali Songka berdiri mengangkang. Na-
lantili terlentang pasrah. Tulang-tulangnya terasa re-
muk.
"Kalau si keparat Amarsa Rawut tidak muncul, 
penggal saja kepala perempuan sialan itu!" perintah 
Basu Dewa.
Baru tahulah sekarang Nalantili. Siapa sebe-
narnya Durjana Pemenggal Kepala. Kehebatan Basu 
Dewa dan Ambali Songka tidak diragukan lagi. Terbuk-
ti mereka dapat mengalahkan Pendekar Gunung Kem-
bar dan Pendekar Gelugut Sutra. Dari mana dua ce-
cunguk itu mendapat ilmu yang demikian dahsyat.

Dan lagi kapak-kapaknya itu yang membuat mereka 
tak berdaya sama sekali.
Basu Dewa mengangkat kapaknya, Nalantili 
memejamkan mata. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Ka-
pak putih berkilat itu mengarah menyilaukan pada 
tenggorokan gadis yang terlentang di bawah kangkan-
gan Ambali Songka. Basu Dewa menyeringai menatap 
dengan kedua sorot mata yang jalang.
"Basu Dewa...!" Terdengar bentakan yang 
menggema. Suasana hening. Basu Dewa menghentikan 
niatnya. Mereka serentak menoleh ke arah suara. Di 
tengah-tengah pintu gerbang berdiri Amarsa Rawut 
bersama Wintara. Lengan kekar Amarsa Rawut men-
jinjing bungkusan kain berlendir.
"Bagus akhirnya kau muncul juga, Amarsa Ra-
wut! Memang kaulah yang kami cari!" ujar Basu Dewa.
"Sudah memiliki kepandaian tinggi rupanya ka-
lian, sehingga berani datang mengusik ketenangan 
Perguruan 'Guci Perak'." jawab Amarsa Rawut tak ka-
lah lantangnya la dapat melihat bagaimana Pendekar 
Gunung Kembar tewas mengerikan dan Pendekar Ge-
lugut Sutra masih kelojotan kehilangan dua belah tan-
gannya.
"Kepandaian kami sebenarnya tidak berubah, 
Amarsa Rawut. Cuma bedanya sekarang kami telah 
mendapat gelar dari kalangan rimba persilatan. Mereka 
sudah menyebut kami sebagai Durjana Pemenggal Ke-
pala!" jawab Basu Dewa. Mendengar itu Amarsa Rawut 
melotot.
"Kenapa? Takut mendengar julukan kami?" ujar 
Ambali Songka.
"Segala kutu busuk macam kalian apanya yang 
perlu ditakuti? Juga berani-beranian kalian pasang 
nama Durjana Pemenggal Kepala. Durjana itu sudah

pindah ke akherat! Kalian lihat ini!" Amarsa Rawut me-
lemparkan bungkusan kain berlendir ke hadapan Basu 
Dewa dan Ambali Songka. Tanpa menyambutnya 
bungkusan itu berhenti dan terbuka di hadapan kakak 
beradik ini. Terlihatlah kutungan kepala botak menge-
rikan.
"Hua ha ha ha...!" Basu Dewa malah tertawa 
ngakak, lalu...
"Kalau tikus botak ini mengaku Durjana Pe-
menggal Kepala, kalian boleh menyebut kami biang 
Durjana Pemenggal Kepala." Basu Dewa menggedor-
gedor dadanya sendiri dengan kapak.
*
* *
SEMBILAN


"Si botak ini hanya perampok picisan! Kepan-
daiannya hanya mampu untuk menakut-nakuti 
orang-orang kampung. Mana mungkin dia bisa mene-
waskan Ki Raka Banjaran maupun Liung Sanca?" 
sumbar Ambali Songka.
"Kalau begitu...." Amarsa Rawut menarik ga-
gang pedang. Wintara yang berdiri di sebelahnya me-
nahan.
"Sobat Amarsa Rawut, kendalikan emosi mu. 
Mereka bukan orang-orang sembarangan." bisik Winta-
ra. Pendekar Kelana Sakti ini sudah dapat melihat ge-
lagat. Amarsa Rawut sendiri menatap kedua kakak be-
radik ini penuh rasa keheranan. Bagaimana tidak? Ia 
masih ingat betul ketika ia menghajar Basu Dewa dan 
Ambali Songka di hadapan Liung Sanca dan ayahnya.

Ambali Songka telah kehilangan sebelah telinga dan 
bibir yang hampir sapat. Juga
Basu Dewa. Sebelah kelopak matanya hampir 
pecah. Tapi yang dilihatnya sekarang, benar-benar 
mustahil. Tiada bekas-bekas mereka cacad.
"Sekarang sudah jelas persoalannya. Aku me-
mang telah terkecoh dengan si botak ini. Tapi paling 
tidak aku sudah menumpas seorang tokoh sesat yang 
merugikan masyarakat. Sekarang giliran kalian yang 
mesti dibumihanguskan!" gertak Amarsa Rawut. Ia ti-
dak perduli lagi dengan Wintara. Gerakannya cepat 
maju ke depan dengan babatan pedangnya.
"Tolol. Justru kami datang ke sini untuk men-
gambil kepalamu!" tukas Basu Dewa. Serta merta ia 
melemparkan kapaknya. Kapak itu menyambari ke 
arah Amarsa Rawut juga Wintara. Dua pendekar ini 
blingsatan menghadapi sambaran kapak.
Dapat kembali pula kapak itu ke dalam geng-
gaman Basu Dewa. Hal itu bagaikan pertunjukan yang 
sangat luar biasa bagi Wintara. Amarsa Rawut tidak 
tahu kapan datangnya kapak Basu Dewa datang. Ta-
hu-tahu saja kapak Basu Dewa menyambar lagi ke 
arah mukanya.
Gesit Amarsa Rawut menangkis dengan baba-
tan pedang... "Traaang...! Pletaaak!" Benturan itu 
membuat Amarsa Rawut terhuyung ke belakang den-
gan pedang yang patah. Saat itu datang pula Ambali 
Songka melepaskan sambaran kapak yang tidak kepa-
lang.... "Breeet!" Dalam keadaan yang terhuyung begitu 
lengan Amarsa Rawut tergores.
Melihat itu pun Wintara langsung melompat 
menyambar tubuh Amarsa Rawut. Gerakannya bagai-
kan rajawali menyambar mangsa. Dua babatan kapak 
menyusul deras. Namun tetap nihil. Wintara dapat

membawa jauh tubuh Amarsa Rawut. Pada kesempa-
tan itu Nalantili dapat berlari menghindar. Basu Dewa 
dan Ambali Songka menatap sengit. M
"Pendekar Gembel! Rupanya kau ingin cepat-
cepat mampus berani menghalangi kami!" Dua kakak 
beradik ini menyerang serempak. Babatan-babatan 
kapak bergulung-gulung menghantam. Sinar-sinar bi-
ru membersit kian ke mari. Sebelum Wintara mengha-
dapi serangan-serangan itu. Terlebih dahulu ia me-
lancarkan pukulan ringan. Dan sengaja pula diarah-
kan pada Amarsa Rawut. Hal itu bertujuan agar Amar-
sa Rawut dan Nalantili segera menjauh.
Menghadapi sendirian begitu, Wintara agak ter-
sentak. Dua sambaran kapak hampir saja menebas 
kepala serta merobek perutnya. Selama mundur itu 
pula Basu Dewa gencar melepaskan babatan kapak. 
Sinar kebiruan terus bergulung mencecar. Ambali 
Songka lebih sengit lagi, terkadang ia harus melompat-
lompat menyambar kepala. Wintara baru menyadari 
kedahsyatan serangan-serangan mereka.
Melihat Wintara keteter macam itu, Amarsa 
Rawut datang membantu. Terjangannya bagai orang 
yang kesetanan. Ia tidak memikirkan resiko yang san-
gat besar.
"Sobat Wintara...! Cecunguk-cecunguk ini ba-
gianku!" Nekad pula Amarsa Rawut menyerang tanpa 
senjata.
"Akulah lawanmu, Amarsa Rawut! Kau memang 
harus menyusul ayahmu!" bentak Ambali Songka. Ia 
bergeser menghadapi Amarsa Rawut. Belum apa-apa 
Amarsa Rawut sudah jatuh ke banting.
Wintara cepat menepis sambaran kapak Basu 
Dewa. Pemuda itu bergetar tatkala hantaman Wintara 
mengenai pergelangan tangannya. Wintara mundur tiga langkah lalu menggabung kedua telapak tangannya. 
Dengan teriakan yang lantang ia melancarkan pukulan 
'Tinju Bayu Delapan Penjuru'. Hantaman itu diarahkan 
pada Ambali Songka yang gencar mengarah tenggoro-
kan Amarsa Rawut..... "Daarr...!" Mendadak tubuh 
Ambali Songka terbanting ambruk. Namun hanya den-
gan sekali sentakan ia dapat bangkit lagi. Dengan ge-
ram ia membalas serangan itu pada Wintara.
Kembali Wintara menghadapi dua kakak bera-
dik. Keduanya beringas mencecar. Leretan-leretan si-
nar biru yang berasal dari kapak-kapak mereka me-
nyelubungi tubuh Wintara. Amarsa Rawut sudah 
membayangkan perasaan ngeri. Wintara terus berke-
lit. Sungguh dahsyat! Babatan-babatan kapak yang 
mengganas sama sekali tidak dapat mengenai saat 
Wintara berkelit.
Malah dalam kesempatan itu Wintara sempat 
melepaskan hantaman 'Bayu Menghempas Gelom-
bang'. Tak urung kedua kakak beradik itu terhuyung 
oleh suatu tenaga dalam paling dahsyat.
Belum pernah dua kakak beradik ini menda-
patkan lawan yang dapat menggoyang diri mereka. 
Maka dengan kemurkaan yang tak terbendung, kedu-
anya serempak melemparkan kapak-kapak mereka. 
Senjata-senjata yang berputar bagai bumerang. Winta-
ra melesat ke atas.
Namun kedua kapak yang masih mencari 
mangsa itu terus meluncur menyilang. Tak terduga pu-
la oleh Amarsa Rawut. Tiba-tiba senjata-senjata itu 
mengarah padanya. Maka ia pun mundur sambil me-
lompat, tapi... "Aaaaaargt!" Salah satu kapak itu 
menghantam putus kedua kaki Amarsa Rawut. Winta-
ra membelalak. Saat kapak-kapak itu mengarah lagi 
menghantam tenggorokan Amarsa Rawut. Pendekar

Kelana Sakti ini bergerak bagai angin. Kakinya menen-
dang keras salah satu kapak itu.
"Bweeett...!" Amarsa Rawut selamat. Kapak itu 
berbalik sangat cepat pada Ambali Songka.... 
"Jbreeeet!" Saking cepatnya Ambali Songka tidak dapat 
menangkap
Kapak miliknya terus meluncur menghantam 
putus kepalanya sendiri. Tubuh itu pun langsung kelo-
jotan bagai ayam disembelih.
Kutungan kepalanya menggelinding di bawah 
kaki Basu Dewa. Laki-laki ini menatap dengan mata 
yang membelalak. Ia tidak percaya melihat kutungan 
kepala adiknya berada di bawah kakinya....
"Kakang Basu Dewa.... Toloooong...." Kutungan 
kepala Ambali Songka masih bisa mengeluarkan suara 
meskipun pelan.
Saat itu Wintara memapah tubuh Amarsa Ra-
wut. Putra tunggal majikan Perguruan 'Guci Perak' itu 
mengerang-erang menahan sakit. Tubuhnya banjir 
dengan keringat. Selama Pendekar Kelana Sakti ini me-
langkah, kedua matanya tidak lepas mengawasi Basu 
Dewa yang seperti bergetar menahan marah.
"Kakang... aduuuuh sakitnya...." kutungan ke-
pala Ambali Songka merintih-rintih.
"Hraaaaa...!" Tiba-tiba saja Basu Dewa berteriak 
melengking. Tangannya menyambar kapak bersimbah 
darah. Dengan kedua kapak itu Basu Dewa menerjang. 
Tahu gelagat begitu Wintara menghentakkan kedua 
kakinya melesat mundur.
"Pemuda hebat! Kau boleh menebus nyawa 
adikku dengan kepalamu!" Dua kapak Basu Dewa ber-
gerak menyilang. Sambil memapah tubuh Amarsa Ra-
wut, Wintara sedikit kewalahan menghadapi serangan 
itu. Ia tidak bisa membalas kecuali bergeser ke sana kemari.
"Craasss...!" Sambaran kapak Basu Dewa me-
rontokkan beberapa lembar rambut Wintara yang me-
runduk. Saat itu pun sebelah kaki Wintara mele-
paskan tendangan..... "Deeer!" Telak menghantam pe-
rut Basu Dewa mencelat ke belakang. Menyemburkan 
darah. Namun ia masih tetap berdiri menggenggam 
erat kedua kapak.
Merasa akan mendapat serangan lagi, terpaksa 
Wintara membaringkan tubuh Amarsa Rawut di teras 
bangunan. Ketika ia membalik. Basu Dewa sudah me-
nerjang lagi. Kali ini disertai teriakan yang menggele-
gar.
Wintara sudah bersiap menyambut dengan 
hantaman 'Tinju Bayu Delapan Penjuru'.
"Blaaarr...!" Tak ampun tubuh Basu Dewa men-
celat ambruk. Tubuhnya bergulingan menyemburkan 
darah. Berhenti tepat menghadap kutungan kepala 
Ambali Songka.
"Kakang.....Aduuuuh.... Aduuuuuh....
"Bruuush..... Mendadak dari kutungan kepala 
Ambali Songka mengepul asap hitam. Asap itu bergu-
lung-gulung bagai kabut. Terlintas dalam benak Basu 
Dewa untuk melarikan diri.
Wintara dan yang lainnya tidak dapat melihat
dengan jelas. Asap hitam demikian tebal menutupi 
pandangan mereka. Namun mereka tetap berhati-hati. 
Nalantili menjaga 
Amarsa Rawut. Wintara pentang mata. Di sebe-
lah sana Pendekar Gelugut Sutra sudah tidak sadar-
kan diri.
Perlahan-lahan asap hitam kian menipis. Pan-
dangan mereka berangsur-angsur mulai jelas. Wintara 
mengernyitkan alisnya. Pandangannya dipertajam. Ke


tika asap hitam benar-benar lenyap. Sosok Basu Dewa 
sudah tidak ada lagi di situ. Begitu juga dengan ku-
tungan kepala Ambali Songka. Keduanya raib menghi-
lang entah ke mana. Kecuali tubuh tanpa kepala Am-
bali Songka.
"Basu Dewa melarikan diri...! Keparat, aku ti-
dak tahu ke mana perginya!" sergah Wintara. Dia sen-
diri kurang yakin. Makanya ia segera berlari ke luar. 
Basu Dewa benar-benar telah lenyap.
"Bangsat itu hampir saja membantai kita. He-
bat. Baru kali ini aku melihat anak muda yang memili-
ki ilmu setinggi gunung. Sepak terjangnya bagai iblis 
haus membunuh!" Wintara masuk lagi ke dalam. Ia 
melihat Nalantili memapah tubuh Amarsa Rawut. 
Orang-orang Guci Perak sudah membawa masuk Pen-
dekar Gelugut Sutra yang tidak sadarkan diri.
Pendekar Kelana Sakti ini melangkah lesu me-
masuki perguruan. Nalantili repot menyediakan obat-
obatan. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Wintara. 
Amarsa Rawut kehilangan kedua kakinya sampai seba-
tas lutut. Juga Pendekar Gelugut Sutra, entah bagai-
mana kalau ia sudah sembuh dalam keadaan tanpa 
kedua lengan.
Kalau cuma luka-luka dalam Wintara bisa 
membantu. Itulah sebabnya Amarsa Rawut bisa berta-
han dari rasa sakitnya. Dan sekarang Wintara berusa-
ha menyadarkan Pendekar Gelugut Sutra.
*
* *
Langkah Basu Dewa semakin cepat tatkala ia 
hampir mencapai puncak bukit. Tujuannya sebuah 
bangunan rusak. Kedua tangannya erat menggenggam

dua buah kapak. Matanya memandang beringas. Tidak 
bisa dibayangkan kemarahannya itu. Ilmu yang dida-
pati dari Eyang Tumbal Segara ternyata masih juga 
ada yang mengalahkannya. Bahkan Ambali Songka ki-
ni telah tewas.
Masih membayangkan pula saat kutungan ke-
pala adiknya mengepul mengeluarkan asap hitam. Ia 
tidak percaya saat asap mengepul, kepala adiknya hi-
lang. Merasa tidak akan sanggup mengatasi Pendekar 
Kelana Sakti, Basu Dewa sengaja melarikan diri. Tu-
juannya langsung menemukan Eyang Tumbal Segara.
Sekarang Basu Dewa tengah menjajaki anak 
tangga batu yang menyusur ke atas sampai pada ban-
gunan. Di kedua sisi tangga batu itu masih banyak 
tonggak-tonggak kayu tanpa kutungan kepala. Namun 
lebih banyak kutungan-kutungan kepala mengisi pada 
tonggak-tonggak yang berderet memanjang sampai ke 
pintu bangunan.
Bau busuk menyengat hidung. Basu Dewa ti-
dak perduli. Ia sudah terbiasa dengan aroma yang de-
mikian. Maka langkahnya terus menuju ke atas. Dila-
luinya kutungan-kutungan kepala menjijikkan. Pintu 
bangunan menganga lebar. Di sekitarnya tetap berse-
rakan puing-puing. Beberapa meter lagi Basu Dewa 
mencapai bangunan tersebut, mendadak saja....
"Kakang Basu Dewa.... Kakang....." Basu Dewa 
mendengar suara rintihan. Jelas sekali kalau itu suara 
Ambali Songka, adiknya. Maka sebelum ia memasuki 
bangunan, pandangannya berputar mencari-cari 
sumber rintihan adiknya.
"Ambali Songka.... Di mana kau!" Basu Dewa 
tidak menemukan siapa-siapa. Matanya terus berkelil-
ing.
"Kakang.... Aku di sini...." Rintihan itu bercampur dengan desiran angin. Basu Dewa makin panik 
mencari.
*
* *
SEPULUH


Mata Basu Dewa membelalak. Yang menjadi 
perhatiannya sebuah kutungan kepala yang menancap 
pada tonggak paling ujung. Setengah berlari ia kembali 
turun. Kutungan kepala itu bergerak-gerak seperti 
menyambut kedatangan Basu Dewa.
"Ambali Songka.... Astaga!" Basu Dewa meme-
kik. Ia tidak percaya kutungan kepala adiknya sudah 
menancap mengisi tonggak yang kosong.
"Siapa yang membawamu ke mari, Ambali 
Songka! Siapa...!"
"Eyang Tumbal Segara.... Beliau yang memba-
waku,... Aduh kakang.... Aku tidak tahan sakitnya...." 
Melihat itu Basu Dewa melangkah mundur. Kedua ma-
tanya tertuju pada bangunan lagi.
"Kakang...." Kutungan kepala Ambali Songka 
menatap kepergian Basu Dewa memasuki bangunan.
Ruangan dalam bangunan itu tidak pernah be-
rubah. Air kolam dalam bangunan itu tetap hitam ke-
ruh. Saat Basu Dewa memasuki bangunan itu air ko-
lam langsung bergolak membuih. Itu bertanda Eyang 
Tumbal Segara sudah mengetahui kedatangan Basu 
Dewa.
"Eyang, ternyata selama kami bersekutu den-
ganmu hanya sia-sia belaka. Ilmu yang eyang turun-
kan hanya mencelakakan diri sendiri...." kata Basu

Dewa ia seperti menatap geram pada air kolam yang 
bergolak.
"Huak hak hak hak...." Terdengar suara yang 
parau. Air kolam menyembur ke atas bagai air mancur.
"Kenapa musti aku yang kau salahkan? Justru 
kau yang mengulur-ulur waktu. Niatmu selama ini in-
gin membunuh Amarsa Rawut selalu kalian tunda. Pa-
dahal kalau kalian melaksanakan niat itu, tentunya 
kalian sudah sempurna mewarisi ilmu dariku." Suara 
Eyang Tumbal Segara menggema.
"Apa maksud eyang...?" tanya Basu Dewa.
"Hak hak hak hak hak.... Ilmu yang kau miliki 
sekarang baru separuh dari ilmu yang kumiliki. Pantas 
saja kalian masih bisa di kalahkan oleh seorang pen-
dekar muda itu. Kepadanyalah kalau kau ingin men-
gumbar kemarahan. Bukankah adikmu tewas di tan-
gannya?"
“Kenapa Eyang Tumbal Segara setengah-
setengah menurunkan ilmu pada kami. Bukankah 
kami sudah bertekad akan mengantarkan sebuah ke-
pala setiap tujuh hari sekali?" tukas Basu Dewa.
"Sudah kukatakan! Seharusnya kau memberesi 
Amarsa Rawut dahulu!" jawab Eyang Tumbal Segara 
cepat. Kali ini ia menampakkan diri. Sedikit demi sedi-
kit sosok Eyang Tumbal Segara yang mengenakan ju-
bah hitam muncul dari permukaan air.
"Ada lagi yang akan kutanyakan, Eyang Tumbal 
Segara."
"Silahkan, Cucuku...." Sosok Eyang Tumbal Se-
gara berdiri mengambang di permukaan air. "
"Adakah orang lain yang bersekutu dengan 
Eyang selain diriku? Sebab aku menemukan orang lain 
yang mengaku sebagai Durjana Pemenggal Kepala."
"Hak hak hak hak...." Eyang Tumbal Segara tertawa ngakak. Lalu....
"Saat sekarang ini hanya kalian berdua yang 
setia bersekutu denganku. Kalaupun ada orang lain 
yang mengaku dirinya sebagai Durjana Pemenggal Ke-
pala. Orang itu, hanya menggunakan kesempatan. Ta-
pi tak mengapa. Toh, dia sudah mendapat ganjaran!"
Basu Dewa terdiam. Basu Dewa terdiam. Terin-
gat akan kutungan kepala botak yang ditunjukkan 
oleh Amarsa Rawut. Mungkin si botak itu pula yang 
menghabisi seluruh Perguruan 'Pedang Penjuru Angin'. 
Sehingga ia telah kedahuluan. Pastilah itu perbuatan 
si botak dengan mengambinghitamkan nama angker 
Durjana Pemenggal Kepala.
"Jangan khawatir, Cucuku. Untuk mencapai 
kesuksesan sudah semestinya memerlukan pengorba-
nan. Bagiku pengorbanan Ambali Songka sudah lebih 
dari cukup. Aku akan menggenapi seluruh ilmu yang 
kumiliki. Dengan demikian kau bisa membalaskan 
dendam terhadap pendekar muda itu. Namun hanya 
satu pesanku yang selalu kau ingat!"
"Aku akan selalu patuh, Eyang.... Tonggak-
tonggak kayu itu akan kupenuhi dengan kutungan-
kutungan kepala!" jawab Basu Dewa mantap.
"Nah bersiaplah untuk menerima ilmu ku. Se-
lain kau menguasai penuh, kau juga dapat memang-
gilku bila menemui kesulitan. Bukalah bajumu dan 
bersila menghadap kolam." Wajah Eyang Tumbal Sega-
ra yang gelap tertutup jubah seolah-olah menatap pe-
muda yang menuruti perintahnya. Kembali ruangan 
itu jadi hening. Asap kebiruan keluar dari permukaan 
kolam. Peristiwa itu terjadi lagi sama seperti ketika ia 
bersama adiknya Ambali Songka datang pertama kali. 
Bedanya pikiran Basu Dewa sekarang kalut bercampur 
dendam.

"Kakang.... Akhiri saja persekutuan dengan 
Eyang Tumbal Segara.... Kau pun akan mengalami na-
sib yang sama dengan ku...." Sayup-sayup terdengar 
suara rintihan Ambali Songka. Basu Dewa sebenarnya 
dapat mendengar. Tapi ia tetap acuh.
"Kakang, kau, kau akan menyesal!" Suara itu 
seakan membisik di telinga Basu Dewa. Saat itu sinar 
kebiruan seperti kabut telah menyelubungi tubuh te-
lanjang bersila. Tawa Eyang Tumbal Segara terus men-
gumandang menggetarkan mengoyak seluruh isi ruan-
gan.
*
* *
"Aaaaaarrrght.... Aaaah.... Aah... Hhh...!" Pen-
dekar Gelugut Sutra menjerit-jerit saat melihat dua 
lengannya sebatas sikut buntung terbalut. Wintara 
dan gadis Nalantili berusaha menenangkannya. Dari 
rontaan-rontaan itu, lukanya mengeluarkan darah lagi.
"Paman Gelugut Sutra tenanglah.... Jangan ter-
lalu banyak bergerak." Amarsa Rawut juga ikut me-
nyadarkan. Meskipun kini tubuhnya hanya bersandar 
di atas pembaringan. Sakit di kedua kakinya yang 
buntung agak berkurang. Namun masih tetap nampak 
membengkak.
"Tanganku...! Tanganku...!" Pendekar Gelugut 
Sutra menjerit-jerit. Ia menatap kedua tangannya sen-
diri. Darah merembes ke luar.
"Paman lihatlah aku. Kedua kakiku pun bun-
tung. Berterima kasihlah pada sobat Wintara yang te-
lah menyelamatkan kita. Entah bagaimana kalau tidak 
ada dia di sini." ujar Amarsa Rawut.
Pendekar Gelugut Sutra memandang ke arah

dua muda mudi yang memegangi tubuhnya. Nalantili 
tersenyum, Wintara juga. Pastilah pemuda ini yang 
dimaksud Amarsa Rawut, pikir Pendekar Gelugut Su-
tra.
"Lebih baik mati daripada terhina macam ini!" 
tukas Pendekar Gelugut Sutra.
"Pikiran paman terlalu pendek. Tidak pernah-
kah terpikir oleh paman, bahwa kita semua dituntut 
agar melenyapkan Durjana Pemenggal Kepala?" Nalan-
tili memberikan nasehat.
"Benar, Paman. Ini semua sudah takdir. Tanpa 
kedua telapak tangan pun, paman bisa melatih ilmu 
Gelugut Sutra." Wintara memberikan semangat. Pen-
dekar Kelana Sakti ini seolah-olah mengetahui keheba-
tan Pendekar Gelugut Sutra.
"Jangan putus asa. Aku pun akan belajar berja-
lan setelah kedua kakiku sembuh. Seorang pendekar 
pantang berkecil hati dan putus harapan!" Amarsa 
Rawut mengeluarkan pendapat.
Pendekar Gelugut Sutra nampak dapat tenang 
setelah mendengar ucapan-ucapan mereka. Sebentar 
kemudian ia nyengir.
"Sebelum luka-luka kita sembuh, Durjana Pe-
menggal Kepala sudah membantai kita. Dia pasti akan 
datang lagi." Pendekar Gelugut Sutra menatap Winta-
ra.
"Soal Durjana Pemenggal Kepala, kita serahkan 
saja pada sobat Wintara. Aku dapat melihatnya sendiri 
bagaimana pendekar muda ini menghadapi Basu De-
wa. Aku yakin hanya sobat Wintara yang dapat menga-
tasinya. Bukankah begitu Kakang Amarsa Rawut?" ka-
ta Nalantili.
"Hm, aku sudah menduga sebelumnya, kalau 
sobat Wintara adalah seorang pendekar sakti." Amarsa

Rawut memuji.
"Sayang aku keburu pingsan waktu itu, sehing-
ga tidak dapat menyaksikan bagaimana hebatnya di-
rimu, Wintara." sela Pendekar Gelugut Sutra. Ia mulai 
hanyut dalam pembicaraan.
"Ah, kalian terlalu berlebihan." tukas Wintara, 
lalu dia melanjutkan ucapannya.
"Sepertinya kalian sudah mengenal dua durja-
na itu sebelumnya."
"Memang. Bukankah aku sudah menceritakan-
nya ketika kita pertama kali bertemu? Pasti kau masih 
ingat." jawab Amarsa Rawut.
"Tapi kau tidak menceritakan akan kehebatan 
dua kakak beradik itu. Aku sendiri hampir tewas. Ilmu 
mereka sangat tinggi. Juga kedua senjata kapak mere-
ka sangat dahsyat."
"Sebelumnya tidak demikian, Sobat Wintara. 
Mereka bukan apa-apa dibanding dengan Kakang 
Amarsa Rawut. Mereka pernah dihajar habis-habisan." 
Wintara dan Pendekar Gelugut Sutra mendengar penu-
turan gadis Nalantili.
"Aku sendiri tidak habis pikir. Bagaimana 
mungkin telinga serta mulut Ambali Songka bisa utuh 
kembali. Dan juga masih terlihat jelas olehku, Basu 
Dewa menghilang bersama kutungan kepala saat asap 
hitam bergulung-gulung menyelubungi mereka." 
Amarsa Rawut meneruskan kata-kata Nalantili. Pende-
kar Gelugut Sutra seperti tersentak.
"Benarkah apa yang kalian ceritakan ini?" Pen-
dekar Gelugut Sutra balik bertanya. Amarsa Rawut te-
nang menjawab....
"Semua orang pun mengetahuinya. Keadaan ki-
ta berdua yang telah begini merupakan suatu bukti 
akan kehebatan mereka. Bagaimana pendapat paman."

"Mereka telah bersekutu dengan penganut se-
tan!" Cepat pula Pendekar Gelugut Sutra menjawab. 
Ketiganya jadi diam. Kata-kata yang diucapkan pende-
kar itu sangat mengejutkan.
"Tentu saja kalian tidak mengerti. Banyak 
orang mencapai keberhasilan dengan jalan sesat. Begi-
tu juga dengan dua durjana itu. Untuk melampiaskan 
dendamnya, mereka menjerumuskan diri pada aliran 
ilmu setan."
"Maksud paman, mereka memuja ilmu kedig-
jayaan?" tanya Wintara.
"Tepat. Mana mungkin telinga serta mulut Am-
bali Songka dapat utuh kembali, kalau bukan mereka 
bersekutu dengan setan! Dalam waktu yang sangat 
singkat mereka memiliki ilmu yang sangat dahsyat. 
Dan mereka membayar dengan kepala-kepala korban-
nya. Kepala-kepala itu diserahkan pada yang dipu-
janya seperti kita membayar upeti." tutur Pendekar Ge-
lugut Sutra.
"Tapi nyatanya mereka masih dapat di kalah-
kan oleh sobat Wintara. Mereka belum bisa dikatakan 
tak terkalahkan." kata Nalantili.
"Mungkin ada yang kurang beres di antara me-
reka." jawab Pendekar Gelugut Sutra.
"Dalam hal ini, kita semua berharap agar sobat 
Wintara bersedia membantu kami." tukas Amarsa Ra-
wut.
"Apakah paman tahu di mana tempat pemujaan 
itu?" tanya Wintara. Pendekar* Gelugut Sutra nampak 
mengkerutkan alis.
"Sayang sekali aku tidak tahu. Jelasnya kita 
semua harus tetap waspada. Juga untuk Wintara, aku 
berharap seperti Amarsa Rawut. Tinggallah di sini 
sampai kami sembuh betul."

Wintara tidak menjawab. Ia hanya mengumbar 
senyum. Setelah menatap Pendekar Gelugut Sutra, 
pandangannya beralih ke luar. Orang-orang Perguruan 
'Guci Perak' sibuk membetulkan pintu gerbang yang 
rusak. Ceceran-ceceran darah di sekitar halaman telah 
bersih. Tempat itu tetap rapi seperti semula.
Nalantili segera mengganti balutan pada perge-
langan tangan Pendekar Gelugut Sutra. Setelah itu 
pun ia melayani Amarsa Rawut menuangkan ramuan 
obat. Hati-hati sekali gadis itu merawat putra tunggal 
Ki Raka Banjaran. Nalantili merasa berkewajiban men-
gurusi Amarsa Rawut. Mungkin dikarenakan ia pernah 
diperhatikan oleh Amarsa Rawut saat ia terluka.
Tapi saat ini ketulusan gadis ini benar-benar 
terasa oleh Amarsa Rawut. Lewat sentuhan tangannya 
yang lentik, juga bagaimana Nalantili merawatnya pe-
nuh kasih. Hal itu dapat terlihat pula oleh Wintara 
maupun Pendekar Gelugut Sutra.
Untuk menutupi perasaannya. Ia menyamara-
takan dalam merawat dua orang yang terluka itu. Na-
lantili selalu berada di antara mereka.
*
* *
SEBELAS


Ketika hari merambat gelap seluruh murid-
murid Perguruan 'Guci Perak' berjaga-jaga. Dari pintu 
gerbang sampai ke depan teras selalu dijaga ketat. Ti-
dak seperti biasanya halaman perguruan malam itu te-
rang benderang. Hampir sekeliling pelataran di terangi 
dengan lampu pelita.

Di teras yang menghadap kebun, beberapa 
orang nampak terlibat dengan pembicaraan yang se-
rius. Mereka adalah Wintara dan Nalantili yang mene-
mani Amarsa Rawut serta Pendekar Gelugut Sutra. 
Mereka sengaja membawa kedua orang yang terluka 
itu ke luar. Selama beberapa hari ini mereka selalu 
mendekam di dalam kamar. Tentu saja mereka tidak 
akan kerasan.
Tapi setelah berada di teras itu mereka betul-
betul merasa nyaman. Apalagi Amarsa Rawut. Gadis 
Nalantili selalu berada di sampingnya. Setia merawat-
nya.
"Kakang Amarsa Rawut, apakah tidak sebaik-
nya kalau hal ini kita bicarakan pada perguruan-
perguruan lain? Mereka belum mendapat kabar dari 
kita." kata Nalantili, kata-kata itu sebenarnya dituju-
kan pada siapa saja yang berada di situ, maka Pende-
kar Gelugut Sutra langsung menjawab....
"Sebaiknya jangan dulu, sebelum persoalan 
menjadi jernih kita tidak perlu mengabarkan pada me-
reka. Aku khawatir mereka akan bertambah resah!"
"Apa yang dikatakan Pendekar Gelugut Sutra 
adalah benar. Kalau semua perguruan tahu kemuncu-
lan durjana itu mereka pasti akan berdatangan ke sini. 
Dan durjana itu tentunya tidak menampakkan diri. Ki-
ta tidak bisa lagi membuat perhitungan." ujar Wintara.
"Dalam keadaan seperti ini, mudah-mudahan 
saja Durjana Pemenggal Kepala tidak datang ke sini. 
Pasti Basu Dewa tengah terluka juga setelah terkena 
hantaman-hantaman sobat Wintara." Amarsa Rawut 
ikut bicara.
"Aku rasa tidak. Hantaman-hantaman ku tidak 
ada artinya bagi Basu Dewa. Kalau waktu itu Basu 
Dewa melarikan diri, itu karena ia telah kehilangan

adiknya." jawab Wintara.
"Paman.... minumlah, teh ini telah menjadi din-
gin." Nalantili menyulangi gelas berisi air hangat pada 
Pendekar Gelugut Sutra.
"Bukan melarikan diri, tapi Basu Dewa merasa 
terpanggil untuk kembali ke tempat pemujaannya." ka-
ta Pendekar Gelugut Sutra sambil menerima gelas dari 
gadis Nalantili.
"Mungkin juga ia akan datang kembali dengan 
ilmu yang lebih dahsyat. Yaaah.... Pokoknya kita harus 
tetap waspada saja." kata pendekar itu lagi.
"Semoga saja sobat Wintara mampu mengha-
dapi bila durjana itu datang... Nalantili, kau pun ru-
panya harus istirahat. Tidakkah kau merasa lelah se-
tiap hari mengurusi kami. Biarlah kami di sini bersa-
ma Wintara. Dan juga suruh murid-murid jaga bergan-
tian. Tidak perlu mereka semua pentang mata. Situasi 
sekarang ini cukup aman." kata Amarsa Rawut. Gadis 
itu pun tidak membantah. Ia segera meninggalkan me-
reka. Menemui murid-murid Perguruan 'Guci Perak' 
untuk menyampaikan perintah.
"Kalian pun mestinya sudah beristirahat. Angin 
di luar kurang baik." Wintara menyelimuti Pendekar 
Gelugut Sutra. Amarsa Rawut dapat menyelimuti tu-
buhnya sendiri.
"Aku belum bisa tidur, Wintara. Malam ini pe-
rasaanku agak lain. Biarlah aku di sini sendirian, 
mungkin Amarsa Rawut yang semestinya beristirahat." 
tukas Pendekar Gelugut Sutra.
"Ah, Paman hanya terbawa perasaan saja. Ba-
gaimana dengan Amarsa Rawut? Apakah sudah lelah 
betul?" tanya Wintara.
"Ngantuk sih belum. Tapi aku ingin berbaring."
Wintara tidak menunggu lagi. Ia langsung memapah tubuh Amarsa Rawut. Membawanya masuk ke 
dalam perguruan. Kaki Amarsa Rawut belum kering 
betul. Makanya saat Wintara mengangkat tubuhnya ia 
hampir menjerit.
Ruang kamar Amarsa Rawut telah rapi. Juga 
tercium aroma yang sedap. Pastilah Nalantili yang 
memberesi semua ini. Wintara melangkah menuju 
pembaringan. Diletakkannya hati-hati tubuh Amarsa 
Rawut. Tubuh tanpa kaki itu terhenyak di atas kasur 
empuk.
Wintara menutupi semua jendela kamar yang 
terbuka. Dari situ dapat terlihat Pendekar Gelugut Su-
tra duduk menyendiri. Sebagian murid-murid Pergu-
ruan 'Guci Perak' siap berjaga-jaga. Wintara menghela 
nafas saat semua jendela tertutup rapat.
Tapi melalui jendela itu pula Wintara mendadak 
tersentak kaget. Dari situ dapat terlihat dua buah si-
nar kebiruan melayang-layang di udara. Jelas sekali 
kedua sinar itu menuju ke arah perguruan.
"Astaga!" Wintara memekik. "Ada apa, Sobat 
Wintara?" tanya Amarsa Rawut keheranan.
"Entahlah.... kau diam saja di sini." tukas Win-
tara seraya ia berlari ke luar. Kedua sinar itu masih 
melayang-layang di udara. Bukan hanya Wintara saja 
yang dapat melihat. Pendekar Gelugut Sutra pun su-
dah berdiri di pelataran menyaksikan benda-benda 
terbang itu.
Saat kedua sinar kebiruan itu mendekati per-
guruan, semua murid-murid Perguruan 'Guci Perak' 
berlari mundur. Wintara menemui Pendekar Gelugut 
Sutra berdiri keheranan.
"Paman, benda apa itu yang menjurus ke mari? 
Nampaknya seperti Braja." Pandangannya terus men-
gawasi kedua benda bersinar menjurus turun. ,


"Ini pasti perbuatan Basu Dewa. Sudah kuka-
takan dia pasti datang ke mari lagi. Caranya saja se-
perti cara iblis." jawab Pendekar Gelugut Sutra. Lalu 
keduanya diam. Kedua benda bersinar itu lenyap.
"Hati-hati, Paman. Dia sudah menyelinap ke 
mari." Mendadak.... "Bruaaak!" Pintu gerbang yang ter-
tutup rapat berderak hancur berkeping-keping. Dari si-
tu muncul lagi dua buah sinar kebiruan. Sinar-sinar 
itu langsung menjurus ke arah Wintara dan Pendekar 
Gelugut Sutra. Wintara yang tetap waspada segera me-
lindungi Pendekar Gelugut Sutra. Gerakannya yang 
sangat cepat melesat jauh menghindari serangan itu. 
Kedua sinar itu menghantam tanah. Menimbulkan su-
ara ledakan yang nyaring.
Barulah kedua pendekar itu tahu. Dua buah 
sinar itu sebenarnya dua buah kapak yang tajam ber-
kilat. Melihat itu pun Wintara terus membawa tubuh 
Pendekar Gelugut Sutra menjauh dari tempat ledakan.
"Paman berlindung saja. Akan ku coba sekali 
lagi menghadapi Basu Dewa." sergah Wintara.
"Tidak Wintara. Aku masih bisa menggunakan 
kedua kakiku." jawab pendekar tua itu. Wintara tidak 
bisa menolak.
Tanpa terduga pula kedua kapak itu bagai ter-
kendali menerjang deras. Berdesing nyaring mengarah.
Wintara sudah menyadari kalau dirinya kini 
menjadi sasaran. Maka saat kapak-kapak itu mendera 
Wintara melesat mundur. Dalam pada itu pun ia mele-
paskan hantaman. 'Bayu Menghantam Gelombang'....
"Hreaaaaa...! Bledaaar!" Hantaman itu tepat 
mengenai kedua kapak hingga mencelat. Kapak-kapak 
itu terus berputar-putar di udara. Wintara bersiap-siap 
lagi dengan hantaman seperti tadi. Namun kapak-
kapak itu seakan mundur teratur. Kedua senjata itu

menjauh.
Di atas pintu gerbang Basu Dewa sudah me-
nanti kedua kapaknya kembali. Tangkas pula ia me-
nangkapi satu demi satu kedua senjata itu. Lalu ia tu-
run dengan berjumpalitan.
"Kau boleh unjuk gigi di hadapanku, Pendekar! 
Nah sambutlah ini.... "Hiaaaa...!" Basu Dewa melem-
parkan kapaknya lagi. Sedangkan ia sendiri menerjang 
ke arah Wintara. Melihat itu pun Pendekar Gelugut 
Sutra langsung mundur.
Menghadapi sambaran kapak yang terbang 
sendiri saja Wintara merasa kewalahan. Apalagi Basu 
Dewa menyerang dengan babatan-babatan kapak. 
Pendekar Kelana Sakti ini betul-betul harus berkelit 
mati-matian. Tidak jarang ia melancarkan pukulan 
'Bayu Menghempas Gelombang', namun ternyata han-
taman-hantaman itu seperti tidak berarti bagi Basu 
Dewa. Ia malah makin gencar melancarkan babatan 
kapak.
Yang lebih dahsyat lagi kapak yang terbang 
dengan sendirinya. Wintara lebih sulit menghadapinya 
daripada menghindari serangan-serangan Basu Dewa, 
sekarang Wintara merasa betul-betul hampir tidak 
mampu menghadapi serangan-serangan itu.
"Kali ini semua orang-orang persilatan akan 
bergelimpangan tanpa kepala!" Basu Dewa sengit me-
lancarkan babatan kapak. Saat itu sebelah kapaknya 
yang terbang sendiri telah kembali.
"Boleh saja. Asalkan kau memenggal kepalaku 
lebih dulu." jawab Wintara. Ia cepat menunduk. Kedua 
tangannya siap menghantam. Namun saat Wintara me-
lancarkan hantamannya lagi, gagal. Dengan gesit Basu
Dewa bisa menghindarinya. Malah sekarang 
kedua kapaknya bergulung-gulung mengeluarkan si

nar kebiruan. Berkelebat ke sana ke mari.
Amarsa Rawut bisa melihat dari atas pembarin-
gan melalui jendela. Betapa ia merasa ngeri melihat 
sambaran-sambaran kapak nyaris menghantam putus 
leher Wintara. Kalau saja kakinya masih utuh seperti 
dulu, mungkin ia sudah datang membantu.
Mendengar suara-suara ribut Nalantili bergegas 
ke luar. Dia pun tidak tinggal diam melihat Wintara di-
gempur macam itu. Maka tubuh ramping itu melesat 
dengan pedang terhunus.
Wintara sendiri terkejut tahu-tahu gadis Nalan-
tili sudah berada di situ melancarkan serangan. Baba-
tan-babatan pedangnya dapat mengurangi serangan 
Basu Dewa. Bukan main marahnya Basu Dewa ini. 
Sekali ia menghentakkan kapaknya sinar kebiruan 
membersit berdesing. Nalantili gesit menangkis. Na-
mun sambaran angin yang keluar dari kapak itu mem-
buat gadis Nalantili terhuyung ke belakang.
"Perempuan sial! Kau pun bakal mampus!" Ba-
su Dewa melemparkan kapaknya. Kembali kapak Basu 
Dewa terbang menyambar. Tentu saja Wintara tidak 
membiarkan kapak itu menghantam Nalantili. Kecepa-
tan larinya melebihi kecepatan angin. Tangkas pula 
Wintara menghantamkan kapak itu dengan pukulan 
'Tinju Bayu Delapan Penjuru'...."Bledaar!" Benturan itu 
sangat nyaring menghantam kapak Basu Dewa. Saat 
itu pun Nalantili menyampok dengan pedangnya.
Kapak tajam berkilat berbalik menyerang Basu 
Dewa. Durjana Pemenggal Kepala ini tidak sempat 
menghindar. Tapi ia masih tetap waspada. Dengan se-
gala kekuatannya ia menangkis dengan sebelah ka-
paknya lagi. Maka....
"Jledaaar!" Terjadi ledakan yang paling dahsyat. 
Dari ledakan itu mengeluarkan sinar yang amat terang. Lengan Basu Dewa, berdenyut hebat. Ia betul-
betul terperanjat saat melihat kedua kapaknya hancur 
menjadi kepingan-kepingan logam di tangannya.
"Kalian keparat semua! Kalian telah menghan-
curkan dua senjata mautku! Kalian akan rasakan aki-
batnya..... "Hraaaat!"
Basu Dewa murka. Ia menerjang Wintara den-
gan telapak tangan yang membara.
"Nalantili, munduuuur...!" bentak Wintara. Ia 
sudah mengira kalau serangan Basu Dewa sekarang 
bakal repot untuk dihadapi. Maka Wintara tidak se-
gan-segan melancarkan pukulan 'Bayu Menghempas 
Gelombang'. "Duaaar!" Saat itu pun Basu Dewa melan-
carkan hantamannya. Bahkan tepat mengenai dada. 
Maka Wintara jatuh bergulingan dengan mulut me-
nyembur darah. Basu Dewa tetap berdiri meskipun 
sudah terkena hantaman dari Wintara.
Pendekar Kelana Sakti ini cepat bangkit, na-
mun baru saja ia dapat berdiri Basu Dewa sudah me-
lancarkan sebuah hantaman mengenai kepala.... 
"Deeer!" Kembali tubuh Wintara bergulingan. Basu 
Dewa menatap menyeringai, Kedua lengannya siap 
menghantam lagi.
Gadis Nalantili menghalangi dengan babatan 
pedang. Basu Dewa menyambut dengan kibasan tan-
gannya.... "Bweeeet! Plaaaak!" Tak ampun Nalantili 
mencelat dan hampir menimpa tubuh Pendekar Gelu-
gut Sutra, dengan gesit pula pendekar setengah umur 
ini dapat menangkap tubuh ramping Nalantili. Ia dapat 
menjaganya meskipun tanpa kedua telapak tangan.
Di luar dugaan tubuh Basu Dewa membara. 
Sekujur tubuhnya mengeluarkan hawa panas. Saat itu 
Wintara duduk bersila menghimpun tenaga inti bayu.

*
**
DUA BELAS

"Kau memang lawanku, Sobat Pendekar. Hada-
pilah jurus terakhir dariku ini. Mati pun aku merasa 
puas bila kau benar-benar sanggup menahannya." Ba-
su Dewa pentang jurus. Kedua tangannya yang mem-
bara bergerak-gerak sangat cepat. Bahkan berputar-
bagai kitiran angin sampai mengeluarkan percikan-
percikan api.
Wintara tidak punya pilihan. Ia harus terpaksa 
pula mengeluarkan jurus yang paling dahsyat. Jurus 
'Selaksa Bayu Penjerat Nadi'. Sebenarnya pantang se-
kali bagi Wintara menggunakan jurus tersebut. Kalau 
tidak terpaksa sekali. Karena untuk melepaskan han-
taman itu ia harus menguras habis tenaga intinya. Ka-
lau saja lawannya masih bisa bertahan, maka ia sendi-
ri akan celaka.
"Kita memang harus mati bersama, Basu Dewa. 
Biarlah aku mengorbankan nyawa demi kebenaran." 
kata Wintara tenang yang diam-diam siap menyambut. 
Maka pada detik itu juga...
"Hreaaaa...!"
"Hraaaaat...!"
Keduanya sama-sama melesat ke atas.... Sama-
sama melancarkan hantaman terakhir.
"Bledaaar...!" Baik Wintara maupun Basu Dewa 
mencelat bergulingan. Sesaat kemudian Wintara masih 
bisa duduk bersila kembali. Basu Dewa bangkit berdi-
ri, tapi ketika ia hendak melangkah. Sekujur tubuhnya 
mendadak kaku. Tubuhnya yang merah membara

lambat laun berubah hitam. Bersamaan dengan itu pu-
la Basu Dewa menjerit-jerit...
"Waaaarght! .... Waaaaarght...!" Tubuh hitam 
kaku Basu Dewa berderak retak. Pembuluh-pembuluh 
darah menonjol ke luar seakan hendak copot dari da-
gingnya. Mendadak saja kepala Basu Dewa mengge-
linding ke tanah. Darah mengucur deras bagai air 
mancur dari kutungan kepala di lehernya.
Nalantili bersama Pendekar Gelugut Sutra da-
pat melihat kengerian itu. Wintara nampak duduk ber-
sila kehabisan tenaga. Ia juga menyaksikan kejadian 
itu. Amarsa Rawut yang berada di kamarnya ingin ber-
teriak kegirangan melihat menggelinding hangus di ta-
nah.
Pendekar Gelugut Sutra berlari mendekati Win-
tara, Nalantili mengikuti dari belakang. Ketika mereka 
berada di samping Wintara. Semuanya terbelalak. Me-
reka hampir tidak percaya menyaksikan tubuh Basu 
Dewa yang tetap berdiri mengeluarkan asap hitam ber-
gulung-gulung.
Asap itu keluar melalui kutungan leher yang 
masih mengucurkan darah. Mereka tidak percaya pula 
saat asap hitam itu mulai membentuk sosok tubuh. 
Setelah sosok itu benar-benar tampak. Barulah tubuh 
Basu Dewa ambruk ke tanah.
Sosok berjubah hitam itu makin jelas terlihat. 
Wajahnya yang gelap tertutup jubah seakan menatap 
mereka penuh kemarahan.
"Manusia-manusia hebat! Kalian boleh bangga 
atas kemenangan terhadap orang-orang persekutuan
ku. Akulah Eyang Tumbal Segara yang tidak bakal 
mengampuni kalian! Huak hak hak hak hak...!" Jel-
maan asap hitam yang tak lain sosok Eyang Tumbal 
Segara tertawa mengakak.

Tawanya yang mengerikan dapat mengguncang 
sekitar tempat itu. Suara tawa yang parau menggema. 
Nalantili dan Pendekar Gelugut Sutra tidak sabaran 
melihat kemunculan Eyang Tumbal Segara yang ba-
nyak tingkah itu, maka keduanya serempak mener-
jang.
Nalantili sigap membabatkan pedangnya berka-
li-kali. Pendekar Gelugut Sutra nekad mengeluarkan 
jurus mautnya. Ia lupa kalau kedua telapak tangannya 
telah buntung. Namun tanpa disadarinya pula dari ku-
tungan pergelangan tangannya masih dapat mengelua-
rkan serat-serat sutra yang bergulung-gulung merejam 
ke arah Eyang Tumbal Segara.
Pendekar Gelugut Sutra ini semakin yakin ka-
lau dirinya masih mampu mengeluarkan jurus-jurus 
ampuhnya. Nalantili gencar membabati setiap bagian 
tubuh Eyang Tumbal Segara, namun....
"Huak hak hak hak hak...! Ayo kerahkan semua 
tenaga kalian sampai ludes! Hayo keluarkan jurus-
jurus ampuh kalian!" Dengan lapang Eyang Tumbal 
Segara menerima serangan-serangan itu. Setiap baba-
tan pedang Nalantili dan hantaman Pendekar Gelugut 
Sutra seperti menembus di tubuh Eyang Tumbal Sega-
ra. Sosok hitam itu sukar untuk disentuh. Tubuhnya 
bagaikan sebuah bayangan.
Namun saat Eyang Tumbal Segara membalas 
serangan mereka dengan hempasan kedua tangan. 
Dua orang ini mencelat tidak kepalang tanggung. Ke-
duanya menyemburkan darah dan tidak dapat bangkit 
lagi.
"Huak hak hak hak hak...! Kalian cuma cacing-
cacing busuk penghuni tanah! Mampus saja kalian!" 
Eyang Tumbal Segara berniat melancarkan serangan 
lagi terhadap mereka yang tergeletak pingsan.

Saat itu pun Wintara berusaha sekuat tenaga 
menghalangi. Serangannya lemah bagai tak bertenaga. 
Ia terkejut sekali saat tinjunya menembus mengenai 
angin. Padahal jelas-jelas hantamannya itu masuk 
mengenai dada Eyang Tumbal Segara.
"Huak hak hak hak hak...! Sebenarnya kaulah 
yang mesti kulumatkan, Pendekar ingusan! Kau yang 
selalu merintangi dua orang persekutuanku.... 
Hreaaat!" Dengan telengas Eyang Tumbal Segara mele-
paskan hantaman. Maka akibatnya sangat fatal. Kea-
daan Wintara yang sangat lemas tak bertenaga itu 
mencelat membentur pagar. Hantaman Eyang Tumbal 
Segara membuat nafasnya sesak. Ia baru menyadari 
kalau lawannya itu hanyalah sebuah mahkluk halus. 
Dalam keadaan seperti itu tidak mungkin Wintara bisa 
melepaskan hantaman-hantaman yang merupakan 
andalan dari Eyang Buana Penangsang, gurunya.
Maka terlintas ingatannya ketika ia pernah ber-
jumpa dengan seorang perempuan sakti yang mena-
makan dirinya: Nyi Dayang Kunti Naga. (baca: Pemikat 
Nyi Sekar Dayang Kunti). Perempuan itu tergolong 
makhluk halus pula. Dia pernah berjanji akan mem-
bantu bila Wintara dalam keadaan kesulitan. Mung-
kin sekaranglah saatnya Wintara meminta pertolongan 
pada Nyi Dayang Kunti Naga.
Pandangan Wintara nanar menatap Eyang 
Tumbal Segara yang datang perlahan tanpa melang-
kah. Sosok berjubah hitam itu seakan terbang di atas 
permukaan tanah mendekati Wintara.
"Nyi Dayang Kunti Naga.... Kalau kau memang 
selalu menyertai dalam pengembaraanku, datanglah ke 
sini. Aku butuh pertolonganmu... Nyi Dayang Kunti... 
Nyi Dayang Kunti Naga.... Nyi Dayang Kunti Naga...." 
Wintara seperti berbisik. Pikirannya terpusat pada satu

titik. Serta kedua matanya terpejam.
Eyang Tumbal Segara tidak jadi melepaskan 
hantaman. Karena dengan tiba-tiba saja angin bertiup 
kencang. Di langit yang gelap itu muncul sinar terang 
berwarna kekuningan menyilaukan mata.
Sinar kuning itu turun langsung yang ternyata 
seorang perempuan cantik bertubuh molek. Namun 
masih jelas kelihatan buah dada serta auratnya yang 
merangsang. Perempuan itu langsung turun mengin-
jakkan kakinya ke tanah...
"Siapa yang berani mengusik cucuku ini, hah? 
Sampai-sampai aku harus turun tangan!" Suara parau 
Nyi Dayang Kunti Naga meraung bagai serentetan hali-
lintar. Pandangannya menatap tajam ke arah Eyang 
Tumbal Segara.
"Perempuan jalang apa hakmu mencampuri 
urusanku!" bentak Eyang Tumbal Segara.
"Kau tidak berhak untuk melukai cucuku, Apa-
lagi sampai membunuhnya. Maka sebelum kau menu-
runi tangan jahatmu, hadapi dulu aku!" sahut Nyi 
Dayang Kunti Naga.
"Kalau begitu kita boleh bertarung. Siapa yang 
kalah akan menempati neraka paling dasar!" jawab 
Eyang Tumbal Segara.
"Huh. Apa susahnya menghadapi setan yang 
haus akan kepala! Biarlah cucuku sendiri yang akan 
menghadapimu!" Setelah berkata begitu tubuh molek 
Nyi Dayang Kunti Naga raib. Ia menjelma menjadi si-
nar kuning lagi. Sinar itu terbang berputar-putar di 
udara.
Wintara dapat melihat meski dengan pandan-
gan yang suram. Ia tetap diam saat sinar kuning itu 
menjurus ke arahnya. Tidak dapat dielakkan lagi saat 
sinar kuning itu masuk ke dalam mulut Wintara.

Saat itu pun Wintara tersentak bangun. Kedua 
matanya tetap terpejam. Tubuh Pendekar Kelana Sakti 
ini berdiri tegap seperti telah mendapatkan tenaga ba-
ru.
"Mari tua bangka! Aku ingin tahu siapa yang 
bakal mendekam dalam kerak neraka." Jelas suara itu 
keluar dari mulut Wintara, tapi yang terdengar suara 
perempuan.
"Perempuan jalang sok alim! Aku tidak segan-
segan lagi padamu!" Eyang Tumbal Segara menyapu 
dengan kedua tangannya.... "Wuuuus!" Wintara cepat 
menyilangkan kedua lengannya di dada. Jelas sekali 
hembusan angin menghempas. Tubuh pingsan
Nalantili dan Pendekar Gelugut Sutra beterban-
gan bagai segumpal kapas yang terhembus angin.
Kecuali Wintara yang masih bertahan. Dengan 
mata yang tetap terpejam Wintara menghentakkan ke-
dua telapak tangannya ke depan, maka...
"Wuuuus.... Bledaaar!" Eyang Tumbal Segara 
terjerembab ke belakang. Wintara terseret mundur oleh 
hantaman yang sangat dahsyat itu.
Tapak kaki Wintara sampai menggores pada 
permukaan tanah. Dalam pada itu pun Wintara tidak 
berhenti melepaskan serangan. Kali ini pukulan jarak 
jauhnya, "Weesss...! Deeeeerrr...!" Dua kali berturut-
turut Eyang Tumbal Segara mendapat hantaman. Dua 
kali pula tubuh berjubah hitam itu jumpalitan.
"Hi hi hi hi hi.... Terhadap cucuku saja kau ti-
dak mampu menghadapinya. Bagaimana bisa mengua-
sai alam fana ini?" ejek Nyi Dayang Kunti Naga. Eyang 
Tumbal Segara menggeram....
"Keluar kau dari raga anak muda itu, Perem-
puan jalang!" Serta merta ia melepaskan hantaman. 
Entah pukulan apa. Dari hantaman-hantaman itu

membersit dua buah sinar menjurus ke arah Wintara.
Tenang Nyi Dayang Kunti Naga mengendalikan 
tubuh Wintara bergeser ke samping. Di luar dugaan 
tubuh Wintara melesat ke atas. Eyang Tumbal Segara 
menyambuti dengan lesatan tubuhnya pula. Keduanya 
saling mendera melepaskan hantaman-hantaman. 
Berkali-kali hantaman Eyang Tumbal Segara melanda 
tubuh Wintara. Pendekar Kelana Sakti ini seperti tidak 
merasakannya. Padahal darah menyembur ke luar dari 
mulutnya.
"Tua bangka keparat! Kau hampir membuat cu-
cuku mati! Rasakan ini.... Hreaaa!" Saat itu tubuh 
Wintara melintir bagai gasing. Tendangannya mencuat 
berturut-turut.
"Des...! Des...! Des...!" Eyang Tumbal Segara 
memekik. Tubuhnya jatuh terbanting. Saat itu pun 
Wintara menukik ke bawah.... mengarah pada Eyang 
Tumbal Segara.
"Hadapi pukulan 'Tujuh Warna' ku ini.... 
Hiaaaa...!" Selama Wintara menukik ke bawah mem-
bias sinar sebanyak tujuh warna bagai pelangi. Eyang 
Tumbal Segara sangat terperangah. Ia tidak dapat me-
lihat serangan itu. Karena tujuh warna telah melapisi 
tubuh Wintara. Tahu-tahu saja hantaman itu sudah 
mendera di tubuh Eyang Tumbal Segara.... 
"Waaaarrght!" Tak pelak lagi Eyang Tumbal Segara 
bergelintingan menjerit-jerit.
"Tobaaatt...! Tobaaaat...!" Tubuh Eyang| Tum-
bal Segara mengkerut bagai lilin. Menyebarkan bau 
yang sangat busuk. Jeritannya makin lama makin hi-
lang bersamaan dengan mencairnya tubuh Eyang 
Tumbal Segara.
Wintara berdiri mementang jurus yang sangat 
aneh. Kedua matanya tertutup rapat. Saat itu pun tubuhnya tergetar hebat. Keringat sebesar-besar butir ja-
gung mengalir di sekujur tubuh.
Tiba-tiba saja mulutnya menganga lebar. Dari 
situ keluar lagi seberkas sinar kuning. Sinar itu men-
gapung di atas cairan berbau busuk.
"Iblis yang tidak pernah tobat, beginilah akhir
hidupmu! Rasakan! Tinggallah bersama kerak neraka!" 
Sinar kuning itu menjelma lagi menjadi sosok molek 
Nyi Dayang Kunti Naga. Perempuan itu mengibaskan 
tangannya.... "Weeees...!" Maka cairan busuk itu seper-
ti lenyap tanpa bekas. Perempuan itu melangkah ter-
senyum ke arah Wintara.
"Wintara.... Sekali lagi aku ikut bersamamu da-
lam menumpas kesesatan iblis. Lain kali jika kau me-
merlukan bantuanku, aku tidak segan-segan datang 
membantu."
Wintara perlahan membuka matanya. Tubuh-
nya mulai terhuyung. Lalu jatuh lagi dalam keadaan 
berlutut.
"Terima kasih, Nyi... Tanpa bantuanmu, entah 
apa jadinya." Suara asli Wintara bergetar.
"Justru melalui tanganmu itu aku bisa bertin-
dak. Tanpa kau semua ilmu yang ku miliki tiada ar-
tinya." sahut Nyi Dayang Kunti Naga.
Wintara sudah tidak mendengar lagi. Ia betul-
betul telah menguras tenaganya. Ia hanya dapat meli-
hat bagaimana tubuh Nyi Dayang Kunti Naga perlahan 
sirna meninggalkannya.
"Selamat jalan, Wintara. Semoga kita akan ber-
satu lagi...." Sosok itu berubah lagi menjadi sinar kun-
ing, lalu terbang menembus langit gelap.
Angin berdesir semilir menerpa permukaan ta-
nah pelataran Perguruan 'Guci Perak'. Wintara duduk 
seakan tidak dapat bangkit. Matanya memandang ber

keliling menatapi tubuh-tubuh bergelimpangan.
Nalantili bersama Pendekar Gelugut Sutra be-
lum juga sadarkan diri. Di sebelah sana terlentang tu-
buh hangus tanpa kepala Basu Dewa. Amarsa Rawut 
yang sejak tadi menyaksikan peristiwa itu di balik jen-
dela berteriak-teriak....
"Sobat Wintara...! Kau tidak apa-apa...?"
"Aku tidak kurang satu apa pun, Amarsa Ra-
wut. Hanya saja sekarang kedua kakiku seperti lum-
puh. Tapi tak mengapa sebentar lagi juga membaik!" 
jawab Wintara sambil tidak kalah berteriak.
Ketika suasana telah tenang kembali, barulah 
orang-orang 'Guci Perak' berdatangan. Mereka saling 
berbicara kagum akan peristiwa yang mereka lihat ta-
di.
Mereka memapah tubuh pingsan Nalantili dan 
Pendekar Gelugut Sutra. Wintara pun harus dibantu 
untuk berdiri. Tapi ia masih bisa melangkah masuk ke 
dalam perguruan sambil melemparkan senyum ke arah 
orang yang berdiri di balik jendela.


                              TAMAT






















Share:

0 comments:

Posting Komentar