Cerita ini adalah fiktif.
Persamaan nama, tempat dan ide
hanya kebetulan belaka
DUA PENDEKAR BUNTUNG
Oleh Buce L. Hadi
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi Baru Plaza, lantai 2-B69
H. Samanhudi No.l4, Jakarta-Pusat
Cover oleh: David G.
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama
Hak Cipta ada pada Penerbit Dilarang mengutip atau
mengcopy sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa ijin
tertulis dari penerbit.
SATU
Sepagi ini sudah terdengar suara-suara teria-
kan yang menggelegar. Dibarengi dengan suara gera-
kan yang menimbulkan deru angin yang bergulung-
gulung. Jelas suara angin yang menderu-deru itu di-
timbulkan oleh seseorang yang tengah melancarkan
beberapa hantaman. Pukulan-pukulan yang sengaja
diarahkan pada tempat kosong itu justru mengelua-
rkan benturan yang sangat dahsyat.
Setiap kali orang itu menggerakkan kedua tan-
gannya, seperti keluar serat-serat halus siap menjerat.
Gerakan-gerakan dari jurus itu kelihatan sangat hebat.
Dan yang aneh lagi, pendekar yang tengah mementang
jurus ini tidak memiliki telapak tangan. Pergelangan
tangannya kutung. Namun dari situlah serat-serat
yang dinamakan 'Gelugut Sutra' keluar.
Sedangkan tidak jauh dari situ, berdiri puluhan
tonggak setinggi dua meter. Di atasnya tidak kalah
seorang sedang beraksi mengeluarkan jurus-jurusnya.
Orang ini memiliki cacat yang lain. Dengan kedua kaki
yang buntung dan menggunakan dua buah tongkat
masih dapat memamerkan kepandaiannya.
Bahkan ia sanggup berdiri dengan sebuah
tongkat. Dan sebelah tongkatnya lain digunakan seba-
gai senjata. Sambaran-sambaran tongkatnya yang ber-
gerak bergantian tidak ubahnya bagai jurus-jurus pe-
dang. Lompatan-lompatannya yang selalu berpindah-
pindah dari tonggak ke tonggak tidak pernah meleset.
Gerakannya yang lincah membuat semua orang mem-
perhatikan berdecak kagum.
Meskipun cacat tanpa kedua kaki, putra tung-
gal mantan guru besar Perguruan 'Guci Perak' ini se-
karang telah menguasai penuh jurus-jurus pedang
yang sangat ampuh.
Pagi itu semua murid Perguruan 'Guci Perak'
yang berjumlah dua puluh orang berkumpul menyak-
sikan kehebatan dua orang yang tengah beraksi. Sela-
ma ini pula mereka merasa kagum.
Di depan teras perguruan, Wintara bersama
seorang gadis bernama Nalantili turut menyaksikan
juga. Telah dua bulan lewat Pendekar Kelana Sakti ini
berkecimpung dalam lingkungan Perguruan 'Guci Pe-
rak'. Berkat pendekar ini pula kedua manusia cacat ini
menempa hidupnya menjadi manusia-manusia tang-
guh tanpa putus asa.
Sekarang Wintara sudah dapat melihat, dari
kegigihan yang disertai semangat, maka jadilah mereka
Dua Pendekar Buntung.
"Paman Gelugut Sutra. Mari kita bermain-main
barang beberapa jurus. Aku ingin tahu sampai di ma-
na kemajuan paman." ujar Amarsa Rawut sambil me-
mentang jurus pedang dengan tongkatnya.
"Sudah jelas kau lebih tangguh dariku, Amarsa
Rawut. Aku yang tua ini sudah tidak bertenaga lagi,
mana bisa mengalahkan mu!" jawab Pendekar Gelugut
Sutra. Iapun tidak kalah gesit memamerkan ilmu an-
dalannya. Sekali lengannya bergerak memutar. Maka
keluarlah serat-serat dari ujung pergelangan tangan-
nya yang buntung.
"Ha-ha-ha-ha... Paman menyerangku lebih du-
lu. Baik. Jagalah ini 'Pedang Seribu Halilintar'...." Tu-
buh Amarsa Rawut melesat ke atas meninggalkan
tonggak-tonggak yang berdiri bersusun-susun. Begitu
Amarsa Rawut menginjakkan tongkatnya ke tanah, se-
belah lengannya lagi yang menyandang tongkat berpu-
tar merobek. Pendekar Gelugut Sutra beringsut nun-
duk.
"Astaga.... Amarsa Rawut! Kau hampir saja
memenggal kepalaku. Kau tidak main-main rupanya!"
hardik lelaki tangan buntu
"Makanya paman harus sungguh-sungguh. Ayo
tunjukkan kebolehan paman!" Amarsa Rawut terus
memanas-manasi pendekar yang cukup berpengala-
man ini.
Saat Pendekar Gelugut Sutra membalas dengan
mengeluarkan jurus Menjaring Bayangan, pendekar
muda berkaki buntung seperti digeluti oleh ribuan se-
rat. Diapun tidak kalah gesit menyapu hantaman itu
dengan babatan tongkatnya yang laksana pedang.
"Bweeeet...!" Ribuan serat yang semula menjar-
ing di tubuh Amarsa Rawut berpencaran. Sebenarnya
hantaman Pendekar Gelugut Sutra itu hanyalah meru-
pakan sebuah bayangan. Serat-serat yang dikeluarkan
dari kedua pergelangan tangannya yang buntung tidak
lebih dari hawa tenaga dalam yang sempurna. Bisa ju-
ga dikatakan pukulan jarak jauh. Hanya saja hawa
pukulan itu berbentuk laksana serat halus.
Maka sebelum hantaman itu mengenai tubuh
pendekar tanpa kaki ini, Amarsa Rawut selekasnya
membalas dengan Pedang Menyapu Geledek. Ilmu pe-
dang tingkat tinggi ini sengaja dikeluarkan untuk
menghadapi Pendekar Gelugut Sutra. Agar supaya
pendekar setengah umur ini tidak segan-segan men-
gimbangi dengan jurus-jurus andalannya pula.
"Mau pamer di hadapan Pendekar Kelana Sak-
ti? Boleh! Keluarkan semua ilmu pedang tingkat tinggi
mu!" Pendekar Gelugut Sutra mulai memancing emosi.
"Dalam latihan kita harus bersungguh-
sungguh, Paman. Kau boleh membunuhku kalau per-
lu!" sahut Amarsa Rawut.
Pendekar Gelugut Sutra makin gusar. Kegusa-
rannya ini masih nampak dibuat-buat. Tapi serangan-
serangan yang ia lancarkan benar-benar membawa
maut. Setiap melepaskan hantaman tanpa wujud yang
berupa serat-serat halus, Amarsa Rawut seperti kete-
ter.
Yang paling sukar dihindarkan adalah tendan-
gannya. Berkali-kali Amarsa Rawut mundur kelaba-
kan. Desiran anginnya meskipun pelan, tapi mampu
mengenai sasaran. Rupanya gerakan-gerakan itu sen-
gaja untuk mengelabui lawan.
Tak terduga saat Amarsa Rawut menghindar ke
belakang, sebuah hantaman dapat masuk menggedor
dadanya. Untung saja Amarsa Rawut telah memiliki
ilmu keseimbangan yang hampir sempurna.
Wintara bersama Nalantili yang sengaja mem-
biarkan mereka unjuk kebolehan, sempat tercengang
pula. Dalam keadaan terhuyung Amarsa Rawut dapat
melentingkan tubuhnya setengah memutar. Detik itu
juga ujung tongkatnya menusuk cepat. Pendekar Ge-
lugut Sutra yang merasa tidak mungkin lagi dapat
menghindari tusukan di kepalanya, memejamkan ma-
ta. Ia dapat membayangkan bagaimana sakitnya bila
ujung tongkat Amarsa Rawut menghantam.
Teriakan Amarsa Rawut berhenti. Pendekar Ge-
lugut Sutra membuka matanya. Pendekar kaki bun-
tung ini seperti tersenyum.
"Mana berani aku menghajar kepala paman. Je-
lek-jelek aku masih punya rasa hormat terhadap orang
yang paling tua. Sekarang sudah terbukti. Pamanlah
yang lebih hebat dariku." ujar Amarsa Rawut seraya
memberi hormat. Pendekar Gelugut Sutra tidak men-
jawab. Malah di saat-saat Amarsa Rawut lengah, ia
mengibaskan dua lengannya sekaligus. Maka pendekar
berkaki tongkat ini mencelat tanpa membalas. Hanta-
man itu tidak bermaksud melukai. Amarsa Rawut sen-
diri merasa tubuhnya seperti diangkat oleh tenaga da-
lam. Dan tahu-tahu saja ia sudah hinggap di hadapan
Wintara dan Nalantili. "Sebaiknya memang begitu jika
sudah menjadi seorang pendekar. Merendah dan per-
caya diri. Kau sudah menguasai penuh jurus-jurus pe-
dang 'Guci Perak'. Jurus Gelugut
Sutra milikku tidak ada artinya sama sekali."
kata Pendekar Gelugut Sutra melangkah menghampiri
mereka.
"Paman serta sobat Amarsa Rawut sangat he-
bat. Kalau kalian berdua bergabung, maka akan ter-
cipta jurus gabungan yang sukar di tandingi." Wintara
menyambut.
"Apakah luka di kedua kakimu sudah sembuh
betul, Kakang Amarsa Rawut!" Nalantili ikut nimbrung.
"Jangan khawatir! Aku sembuh total." jawab
Amarsa Rawut cepat.
"Ah.... Kau selalu memperhatikan dia, Nalantili.
Mentang-mentang aku sudah keriput tidak pernah ada
perhatiannya pada ku!" gurau Pendekar Gelugut Sutra.
Wajah Nalantili memerah. Amarsa Rawut juga jadi sa-
lah tingkah.
"Aku yakin di antara kalian ada 'Udang di balik
Batu'. Ha-ha-ha-ha...!" Pendekar tangan buntung itu
mengumbar tawa.
Murid-murid 'Guci Perak' yang menyaksikan
pertunjukan luar biasa tadi segera bubar. Mereka
langsung menempatkan posisi masing-masing. Seba-
gian lagi ada yang mengikuti gerakan-gerakan Amarsa
Rawut. Melihat itupun Amarsa Rawut sesumbar.
"Kelak kalian akan kuajarkan semua jurus-
jurus yang kumiliki. Kalian memang harus menguasai
semua jurus-jurus Perguruan 'Guci Perak'. Dari seka-
rang perkuat kembali jurus-jurus dasar yang selama
ini kalian pelajari.... Itulah satu-satunya kunci ilmu
'Guci Perak'...."
"Akupun sekaligus akan mengangkat kalian
semua menjadi muridku. Kelak akan tumbuh ratusan
Pendekar Gelugut Sutra!" kata lelaki setengah tua yang
tak memiliki dua telapak tangan penuh semangat. Itu
berarti Pendekar Gelugut Sutra setuju akan usul Win-
tara. Mereka berniat akan menggabungkan jurus yang
sangat berbeda. Namun memiliki kehebatan yang sama
dahsyatnya. Mulai saat itu Perguruan 'Guci Perak' se-
perti hidup kembali. Sisa murid yang tinggal dua pu-
luh orang itu giat berlatih mengulang jurus-jurus da-
sar. Mereka baru merasakan. Betapa banyak keku-
rangan-kekurangan mereka.
Apalagi ditambah dengan jurus-jurus dasar
Pendekar Gelugut Sutra. Mereka betul-betul seperti
yang buta ilmu. Dalam hal ini pula, baik Amarsa Ra-
wut maupun Pendekar Gelugut Sutra setiap malam
bertukar pikiran. Pada ruangan khusus mereka berdua
berlatih menggabungkan jurus-jurus mereka. Ten-
tunya di bawah pengawasan Pendekar Kelana Sakti.
Terhadap Wintara yang selalu mendampingi,
mereka sangat segan. Mereka bukannya tidak tahu
akan kehebatan Pendekar Kelana Sakti ini. Bisa saja
kedua pendekar Buntung meminta beberapa jurus dari
Pendekar Kelana Sakti. Namun sudah tentu mereka ti-
dak akan sanggup.
Mereka begitu yakin kalau ilmu yang dimiliki
oleh Wintara, tergolong ilmu kelas tinggi. Diam-diam
pula Pendekar Gelugut Sutra yang telah banyak me-
makan asam garam dunia persilatan merasa kagum.
Kekurangan-kekurangan dalam memperdalam ilmunya
dapat diawasi.
Murid untung-untungan Eyang Buana Penang-
sang ini memang tidak pernah menawarkan untuk
memberi pelajaran terhadap Amarsa Rawut maupun
Pendekar Gelugut Sutra. Wintara tahu betul. Untuk
mempelajari jurus-jurus warisan Eyang Buana Penangsang tidaklah mudah. Akan berakibat fatal dan
menjurus ke arah kematian bila tidak cocok. Wintara
sendiri sampai sekarang tidak bisa memecahkan mis-
teri itu.
Hari-hari berikutnya Amarsa Rawut maupun
Pendekar Gelugut Sutra melatih murid-muridnya seca-
ra bergantian. Dalam beberapa hari ini mulai nampak
kemajuan mereka. Selain nampak gigih dan penuh
semangat, mereka betul-betul ingin mengangkat nama
besar Perguruan 'Guci Perak'.
Begitu juga dengan gadis Nalantili. Gadis ini le-
bih bersemangat dalam memperdalam ilmu pedangnya.
Untuk Nalantili ada satu kekurangan. Ia tidak bisa
mendapat pelajaran ilmu gabungan. Jurus-jurus am-
puh Pendekar Gelugut Sutra hanya dapat diterima oleh
kaum lelaki. Makanya dalam mempelajari ilmu pedang
ia begitu penuh Melihat situasi yang bertambah maju,
timbul hasrat Wintara untuk segera meninggalkan me-
reka. Selama dua bulan lebih ia hampir melupakan tu-
gasnya sebagai pengembara yang siap akan menggu-
lingkan kejahatan. Khususnya dalam rimba persilatan.
Masih banyak orang-orang yang butuh pertolongan-
nya. Masih banyak orang-orang persilatan yang perlu
ditegakkan. Masih banyak pula tokoh-tokoh sesat yang
perlu ditumbangkan.
*
**
DUA
Untuk itulah Wintara tidak bisa membendung
hasratnya lagi. Dengan perasaan berat Amarsa Rawut
maupun semuanya melepaskan kepergian Pendekar
Kelana Sakti itu.
"Bukan aku tidak kerasan menetap di sini, So-
bat Amarsa Rawut. Aku dapat melihat kalian sudah
dapat berdiri sendiri. Aku bertambah yakin perguruan
ini akan bertambah maju kalau kalian berdua terus
membimbing."
"Apa yang telah kau ajarkan baik nasehat mau-
pun pendapat tetap akan kami pegang teguh. Kami
memang harus berdiri sendiri. Sayangnya kami akan
kesepian tanpa kau." jawab Amarsa Rawut.
"Itulah kehidupan. Ada pertemuan ada juga
perpisahan. Baik buruknya, kemajuan
Perguruan 'Guci Perak' dapat berdiri kembali
berkat adanya kau, Wintara." ujar Pendekar Gelugut
Sutra.
"Kalau sekarang kita harus berpisah mau dibi-
lang apa? Tidak baik menahan-nahan orang yang ma-
sih mengemban tugas." kata Amarsa Rawut mengakhi-
ri ucapan perpisahan.
Nalantili datang menghampiri mereka menun-
tun seekor kuda Cukup kuat dan gagah. Semuanya
berdiri di muka pintu gerbang.
"Tidak ada yang dapat kami bekali kecuali ini,
Sobat Wintara. Bisa diandalkan kalau menempuh per-
jalanan jauh." ujarnya saat Nalantili berada di antara
mereka. Nalantili menyerahkan tali kekang pada Win-
tara.
"Ah. Terima kasih..... Ini sudah lebih dari cu-
kup." jawab Wintara, ia langsung menungganginya.
"Selamat jalan, Wintara. Semoga saja kita dapat
bertemu kembali." Wintara hanya tersenyum. Tanpa
bicara apa-apa Pendekar Kelana Sakti ini menghela
kudanya.
Ketiga orang pentolan Perguruan 'Guci Perak'
terus berdiri di depan pintu gerbang memandang ke
pergian Wintara. Derap kaki kuda perlahan semakin
menjauh. Mereka belum juga beranjak dari tempat itu
sampai
Wintara betul-betul hilang dari pandangan ma-
ta. Pendekar Gelugut Sutra nampak menghela nafas.
Murid-murid Perguruan 'Guci Perak' masih
berdiri di belakang pintu gerbang. Mereka turut juga
menyaksikan kepergian seorang pendekar. Bagaima-
napun mereka masih ingat saat kehancuran pergu-
ruannya dari tangan Durjana Pemenggal Kepala. Tan-
pa Pendekar Kelana Sakti, belum tentu perguruan
'Guci Perak' tetap utuh.
Amarsa Rawut masih menatap jauh, meskipun
sosok Wintara sudah lenyap. Pendekar Gelugut Sutra
menepuk punggungnya dengan pergelangan tangan.
Tak urung pendekar tanpa kaki ini jadi terkesiap.
"Apa lagi yang kau pikirkan? Kepergian pende-
kar muda itu bukanlah apa-apa. Tanpa dia justru kita
harus lebih bersemangat."
"Ah, aku tidak memikirkan apa-apa. Seman-
gatku tetap ada. Hanya aku teringat betapa hebatnya
Pendekar Wintara ketika menghadapi Durjana Pe-
menggal Kepala maupun Eyang Tumbal Segara."
"Paman, aku melihat seseorang datang ke ma-
ri...." sela Nalantili. Ia mempertajam penglihatannya.
Dua Pendekar Buntung ini kompak mengikuti pandan-
gan Nalantili.
"Siapa dia? Nampaknya menunggangi kuda ju-
ga. Barangkali Wintara balik lagi!" Amarsa Rawut men-
gernyitkan alis.
"Bukan, bukan Wintara. Tapi jelas tujuannya
ke mari." Penglihatan Pendekar Gelugut Sutra lebih ta-
jam.
Ketiganya berdiri sambil melepas pandangan
yang mengarah pada seseorang menunggangi kuda.
Orang itu kian lama mendekat. Dalam jarak tiga puluh
meter barulah mereka tahu siapa orang itu.
"Rupanya seorang utusan dari Partai 'Dewa
Tenggara'. Kenapa baru sekarang mereka mengirimkan
utusan?" Amarsa Rawut bisa mengenali orang itu dari
pakaian serta pelana kuda yang menjadi ciri khas me-
reka. Masih dalam jarak cukup jauh si penunggang
kuda memberi salam dengan lambaikan tangannya.
Ketiga orang yang berdiri berderet di pintu gerbang
membalas dengan lambaian tangan pula.
Setelah agak dekat, orang itu menghentikan
kudanya. Lalu turun menuntun mendekati mereka. Di
tangannya ia menggenggam beberapa gulungan kertas.
"Aku utusan dari Partai 'Dewa Tenggara' me-
nyampaikan maaf yang sebesar-besarnya. Karena
sampai saat ini pimpinan kami Kuncoro Sona tidak
dapat menjenguk atas musibah yang terjadi di 'Guci
Perak'."
"Tidak apa-apa. Kami bisa memaklumi atas ke-
repotan-kerepotan orang-orang Tenggara. Mari silah-
kan masuk." sambut Amarsa Rawut. Orang itu terse-
nyum ramah.
"Maaf. Selain menyampaikan salam, aku ditu-
gaskan untuk menyebarkan undangan Kuncoro Sona."
Orang itu mengambil segulungan kertas dari gengga-
mannya. Lalu ia menyerahkan pada Amarsa Rawut.
"Kenapa harus terburu-buru, bukankah Ki Sa-
nak perlu istirahat sebentar?" ujar Pendekar Gelugut
Sutra. Nalantili menggeser dirinya agar kuda itu dapat
masuk.
"Sekali lagi aku mohon maaf dan pamit. masih
ada tiga undangan lagi yang harus ku sampaikan pada
perguruan-perguruan lain. Setelah itu aku ditugaskan
agar cepat kembali ke Tenggara."
"Tak apalah kalau begitu." jawab Amarsa Ra
wut.
"Permisi...." Orang itu kembali menunggangi
kudanya lalu berlalu. Amarsa Rawut membuka gulun-
gan kertas itu.
Dalam waktu dekat ini kami sengaja mengun-
dang beberapa perguruan yang menjadi andalan Tanah
Guring Kencana. Guna mempererat sesama perguruan.
Juga sekaligus untuk menangani satu masalah yang
cukup besar.
Kuncoro Sona
Begitulah isi surat itu. Selesai membaca Amar-
sa Rawut menyerahkannya pada Pendekar Gelugut Su-
tra.
"Masalah apa yang telah terjadi sampai Partai
'Dewa Tenggara' mengundang kita ke sana?" tanya
Pendekar Gelugut Sutra begitu selesai membaca isi su-
rat.
"Untuk mengetahuinya kita harus cepat segera
ke sana." jawab Amarsa Rawut. Nalantili sudah tahu
maksud isi surat itu meskipun ia tidak ikut memba-
canya.
Amarsa Rawut melangkah masuk diikuti den-
gan Pendekar Gelugut Sutra serta Nalantili. Murid-
murid Perguruan 'Guci Perak' nampak tengah latihan.
"Tentunya kalian akan pergi lagi meninggalkan
kami di sini." sergah Nalantili menyusul langkah-
langkah Amarsa Rawut.
"Tidak baik kalau kita tidak menghadiri undan-
gan Kuncoro Sona. Beliau pernah baik terhadap ayah-
ku. Lagi pula undangan ini bersifat sementara. Aku ki-
ra kepergian kami nanti tidak akan lama." jawab
Amarsa Rawut,
"Untuk apa menghadiri undangan segala pepe-
san kosong, Kakang. Mana kesetiaan mereka di saat-
saat kita mengalami musibah?
Mana? Apakah mereka mau menengok kita?"
Nalantili membarengi langkah Amarsa Rawut. Lelaki
berkaki buntung ini mengumbar senyum.
"Justru kalau kita ke sana, mereka akan berhu-
tang budi."
"Aku rasa kalian tidak perlu ke sana. Biar saja.
Toh masalah itu urusan orang-orang Tenggara. Untuk
apa?"
Pendekar Gelugut Sutra mendengus. "Untuk
menunjukkan bahwa nama besar Perguruan 'Guci Pe-
rak' masih ada. Dan mereka harus tahu, tanpa Ki Raka
Banjaran kita masih mampu membantu mereka."
ujarnya. Nalantili tidak bisa berkata apa-apa. Sampai
di sebuah ruangan Amarsa Rawut menduduki sebuah
kursi besar yang menghadap ke pelataran gedung di
mana semua murid jelas kelihatan sedang berlatih.
"Situasi sekarang sudah aman. Aku berharap
kau bisa menjaga mereka, Nalantili." kata Pendekar
Gelugut Sutra. Matanya mengarah ke pelataran ge-
dung. Sebentar kemudian ia melirik pada gadis Nalan-
tili. Nampak kecut wajah gadis itu. Pendekar Gelugut
Sutra tidak bisa menahan tawanya.
"Aku tahu apa yang sebenarnya kau pikirkan,
Nalantili. Aku sudah dapat menerka sikapmu selama
ini. Percayalah dalam waktu kurang lebih satu minggu
kami akan kembali. Aku juga tidak akan membiarkan
Amarsa Rawut kecantol gadis lain." goda lelaki seten-
gah tua ini.
"Paman...." sela Nalantili. Amarsa Rawut hanya
menunduk.
"Sudahlah, besok kami berangkat. Suruh pe-
layan mempersiapkan bekal serta kuda. Dan kau jangan berpikiran macam-macam." pesan Pendekar Gelu-
gut Sutra. Setengah berlari Nalantili menuju ke bela-
kang. Entah seperti apa rupa gadis itu setelah men-
dengar ucapan Pendekar Gelugut Sutra. Ke belakang-
pun ia tidak punya maksud apa-apa. Selain menyem-
bunyikan perasaan malu bercampur girang.
***
Terik matahari mencorot masuk menerobos le-
batnya hutan Kumbarawa. Siapapun tahu kalau hutan
tersebut sangatlah rawan dan menakutkan. Pohon-
pohon besar yang malang melintang sekitar hutan ba-
gaikan sekumpulan raksasa. Alang-alang yang hampir
setinggi manusia menghampar di sekitar hutan.
Jalan yang cuma satu-satunya menghubung-
kan ke sebuah desa nampak lengang. Tidak segelintir
orangpun yang berani melintasinya. Kalaupun ada
penduduk hutan terpencil nampak tengah mencari
kayu bakar, mereka tidak berani sampai sejauh itu.
Tapi siang itu suasana hutan itu tidak sepi se-
perti biasanya. Serombongan orang berjalan menye-
ruak lebatnya alang-alang. Lalu mereka menyusuri ja-
lan tanah. Dua orang yang berjalan paling depan
membabatkan golok-golok mereka menebas alang-
alang membuat jalan.
Di belakangnya lima ekor kuda berjalan berba-
ris. Dilihat dari cara berpakaian mereka, sudah pasti
kelima penunggang kuda itu orang-orang rimba persi-
latan. Apalagi masing-masing di pinggang mereka ter-
selip senjata. Selama dalam perjalanan itu pula orang
yang menunggangi kuda paling depan selalu menga-
wasi jalan yang mereka lalui.
Sebenarnya pula rombongan ini tidak lain dari
Perguruan 'Angin Manik'. Tujuan mereka bukan lain
untuk memenuhi undangan Kuncoro Sona. Dalam hal
ini semua pentolan 'Angin Manik' yang berjumlah lima
orang itu, turun semua.
Nama besar Perguruan 'Angin Manik' yang ber-
cokol di daerah Utara sangatlah ditakuti oleh golongan
sesat. Di samping itu guru besar mereka, Ki Geri Mo-
jang memang paling telengas terhadap tokoh-tokoh ali-
ran sesat. Meskipun usianya hampir mencapai tiga pe-
rempat abad masih nampak gagah dan tegar. Rambut
serta janggut yang memutih sebatas dada menambah
angker sosok Ki Geri Mojang.
Saat itu ia berjalan paling depan menunggangi
kudanya. Keempat muridnya yang paling tangguh
mengikuti. Mereka tahu untuk mencapai Partai 'Dewa
Tenggara' akan memakan waktu yang sangat lama. Ka-
lau mereka sekarang berusaha menembus hutan
Kumbarawa, itu berarti mereka baru melakukan sepa-
ruh perjalanannya.
"Guru, kita telah menembus alang-alang mem-
bosankan ini. Sebaiknya kita beristirahat saja di sini.
Apakah guru tidak haus atau lapar?" kata salah seo-
rang muridnya yang bernama Ageng Sura. Kuda tung-
gangannya membawa beban lebih banyak.
"Baiklah! Kita memang telah seharian penuh
belum mengisi perut. Sebaiknya di sana saja. Pohon
rindang itu cukup untuk kita berteduh." jawab Ki Geri
Mojang. Ia membawa kudanya mengarah pada seba-
tang pohon. Sebelum Ki Geri Mojang sampai, dua
orang masih memegang golok membersihkan tempat
itu.
"Satu harian lagipun kita belum tentu sampai.
Buat apa terburu-buru." ujar Tirta Amoksa yang mulai
berjalan bareng dengan Ageng Sura.
*
* *
TIGA
Lima orang pentolan Perguruan 'Angin Manik'
ini duduk berderet setengah melingkar. Ki Geri Mojang
paling tengah. Mereka melepaskan haus dan lapar di
situ.
Dua orang yang bersenjatakan golok merupa-
kan penunjuk jalan. Juga ikut bersantap. Saat itu ma-
tahari hampir condong ke Barat. Langit di atas keme-
rahan. Suara binatang malam mulai berderik nyaring.
Ki Geri Mojang nampak heran melihat dua
orang penunjuk jalannya cepat-cepat menghabiskan
makannya. Apalagi ketika kedua orang itu mengemasi
barang-barang serta menyiapkan lagi kuda-kuda me-
reka. "Ada apa, Sambang?" tanya Ki Geri Mojang tak
habis pikir.
"Kita tidak bisa bermalam di sini, Tuan. Hutan
ini sangat rawan. Kami sering mendengar di sini sering
muncul setan perempuan jahil. Sudah banyak orang-
orang yang menjadi korbannya."
"Setan perempuan?" ulang Ageng Sura. Ia telah
selesai makan.
"Betul, Den. Sebentar lagi hari akan gelap. Le-
bih baik kita beristirahat di desa sana saja. Dari sini
dua jam perjalanan." kata salah seorang penunjuk ja-
lan sewaan.
Ki Geri Mojang berpikir sejenak. Empat orang
muridnya memandang ke arah yang ditunjuk oleh dua
orang sewaan. Di sana memang ada sebuah desa. Ti-
dak ramai karena terpencil. Mereka bisa melihatnya
meski tertutup kabut. Ki Geri Mojang bangkit berdiri.
"Kalau begitu cepat kemasi semua barang-
barang. Tempat ini memang kurang baik." ujar Ki Geri
Mojang. Empat muridnya menurut. Tirta Amoksa nye
letuk.
"Aku tidak percaya dengan segala setan perem-
puan, Guru. Paling-paling mereka cuma sekelompok
perampok. Kenapa kita tidak tunggu saja mereka seka-
lian di sini. Kita bisa menumpas mereka agar hutan ini
menjadi aman."
"Betul, Guru. Apa yang dikatakan Tirta Amoksa
adalah benar. Bukankah guru paling pantang melihat
seorang tokoh sesat?" Murid paling bungsu mengelua-
rkan pendapat.
"Murid-muridku.... Kita tidak punya waktu un-
tuk menghadapi mereka. Undangan Kuncoro Sona le-
bih penting. Menghadapi setan-setan hutan Kumba
Rawa hanya membuang tenaga percuma. Mari berang-
kat." Ki Geri Mojang melompat ke atas pelana. Dua
orang penunjuk jalan itu menuntun kudanya.
Kembali rombongan itu melanjutkan perjala-
nan. Tapi baru saja mereka membawa kudanya bebe-
rapa langkah.... "Hik-hik-hik-hik-hik...!" Terdengar ta-
wa yang mengerikan. Jelas tawa itu mengambang di
atas rerimbunan daun. Tawa itu berpindah-pindah
seakan-akan memutari mereka. Ki Geri Mojang beru-
saha tetap tenang. Empat orang muridnya bersiap-siap
menarik pedang. Sedangkan dua orang sewaannya se-
bagai penunjuk jalan gemetar menahan takut.
"Orang-orang 'Angin Manik' tak tahu penyakit.
Berani-beraninya memasuki wilayah kekuasaan orang.
Apa kalian sudah punya nyawa cadangan?" Suara
yang melengking itu seperti menusuk telinga.
"Tunjukkan rupa mu, Perempuan Iblis! Jangan
cuma berkoar dan menakut-nakuti orang!" bentak Ki
Geri Mojang.
"Hik-hik-hik-hik.... Buat apa menunjukkan diri.
Tanpa berhadapan pun aku bisa membunuh kalian sa-
tu persatu!"
Keempat murid Ki Geri Mojang serempak men-
cabut pedang. Tapi dua orang sewaannya malah lari
ketakutan. Dua orang ini tidak memperdulikan maji-
kannya lagi. Larinya tunggang langgang meninggalkan
orang-orang 'Angin Manik'.
"Kalian jangan pergi...!" teriak Ki Geri Mojang.
Saat itu bercuitan nyaring benda-benda kecil
meluncur deras. Oleh Ki Geri Mojang nampak jelas
benda-benda kecil itu merupakan beberapa gelintir
senjata rahasia. Majikan 'Angin Manik' ini menghela
nafas saat senjata-senjata rahasia itu mengenai kedua
orang yang lari terbirit-birit, mereka tewas. Dari kejau-
han ia bisa melihat bekas-bekas lukanya seperti terba-
kar serta masih mengeluarkan asap.
"Racun Kuku Wesi!" desis Ki Geri Mojang den-
gan mata melotot. Ageng Sura memimpin saudara-
saudara seperguruannya turun dari kuda. Keempatnya
mengawasi sekitar Hutan Kumba Rawa dengan pedang
terhunus.
"Hik-hik-hik-hik-hik.... Cukup jeli juga mata
rentamu, Ki. Tidak percuma semua tokoh sesat berte-
kuk lutut di bawah kakimu. Kiranya di Utara banyak
bercokol pendekar-pendekar tangguh!"
"Turunlah, Nyi Awak Ceger! Belangmu sudah
ketahuan!" bentak Ki Geri Mojang.
"Baik! Tapi sebelumnya sambut dulu ini!
Hreaaaaa...." Kembali senjata-senjata rahasia bercui-
tan menghujam deras. Kali ini senjata-senjata sebesar-
besar biji jagung di keluarkan lebih banyak. Setengah
mati empat orang murid andalan Ki Geri Mojang me-
nyambut dengan pedang. Rupanya lemparan lemparan
itu disertai dengan tenaga dalam yang sangat tinggi.
Benda-benda tajam itu banyak yang menancap di pe-
dang mereka.
Ki Geri Mojang sendiri terus memutar kedua
lengannya. Iapun tidak kalah hebat mengeluarkan te-
naga dalam. Selama tangannya berputar suara angin
menderu-deru. Manakala senjata rahasia milik Nyi
Awak Ceger terus mencecar.
Senjata-senjata rahasia berpentalan saat mem-
bentur tenaga dalam putaran Ki Geri Mojang. Dua bu-
tir senjata rahasia sempat meleset. Untung cuma men-
genai lengan baju. Meskipun begitu Racun Kuku Wesi
dapat membakar.
Ki Geri Mojang tidak bisa menghadapi terus
menerus dengan cara seperti itu. Setelah ia mema-
damkan api yang membakar lengan baju. Kakek be-
rambut serta janggut memutih itu melesat tinggi dari
atas kuda.
Saat tubuhnya melesat itu Ki Geri Mojang me-
lepaskan pukulan.. Tidak kepalang menghantam de-
ras.
"Aahk!" Terdengar pekikan nyaring. Rerimbu-
nan daun di atas gemeresek. Ki Geri Mojang menam-
bahkan satu pukulan lagi ke arah itu. Namun hanta-
man yang terakhir itu seperti mengenai tempat yang
kosong. Ia jadi tidak habis pikir ketika melihat para
muridnya masih sibuk mengatasi serbuan-serbuan
senjata beracun.
"Hati-hati! Nyi Awak Ceger sangat licik! Kerah-
kan terus jurus 'Membentang Pelangi'. Aku yakin kita
telah terkepung oleh manusia-manusia laknat!" teriak
Ki Geri Mojang. Ia sendiri tidak sampai hati melihat
keempat muridnya setengah mati menghadapi seran-
gan. Maka hanya dengan sekali lompatan saja ia sudah
berada di antara keempat muridnya itu.
"Hik-hik-hik-hik.... Kalian tidak bakal sampai
ke Tenggara! Kalian akan bergelimpangan menjadi
mayat di sini!" Suara Nyi Awak Ceger menggema lagi.
Saat itu pun ia berhenti melemparkan senjata-senjata
beracun.
Di luar dugaan dari atas rerimbunan daun ber-
lompatan dua orang bertubuh kekar telanjang dada.
Keduanya bersenjatakan sebuah benda berduri. Lalu
menyusul lagi seorang perempuan cantik bertubuh
ramping. Ia hinggap di tanah tanpa mengeluarkan sua-
ra. Berpakaian sangat ketat menunjukkan bentuk tu-
buh yang padat berisi. Di wajahnya menggambarkan
seorang wanita yang sangat cantik. Meskipun nampak
kerut-kerut kulit yang menandakan telah termakan
usia. Mereka menyeringai menatap kelima orang dari
Perguruan 'Angin Manik' ini. Ki Geri Mojang balas me-
natap tajam.
"Benar kata muridku tadi. Biang kerok persila-
tan memang harus ditumpas!"
"Perkiraan ku juga demikian. Orang-orang
yang menghalangi partai sesat pun musti disingkir-
kan!" jawab Nyi Awak Ceger menunjukkan kerut alis
yang memanjang bagai putri Cina.
"Guru, kita telah terjebak. Bagaimana mungkin
mereka bisa menghadang. Pastilah Kuncoro Sona telah
mengkhianati kita!" ujar Ageng Sura.
"Sebelum kita membinasakan mereka, mana ki-
ta tahu siapa biang keroknya. Kepung!" perintah Ki Ge-
ri Mojang.
Nyi Awak Ceger bersama kedua orang penga-
walnya berdiri tenang. Ketiganya ini langsung berlom-
patan saat orang-orang 'Angin Manik' menyerang se-
rempak. Nyi Awak Ceger sengaja memilih lawan pada
Ki Geri Mojang. Sedang dua orang pengawalnya yang
bersenjatakan gada berduri menghadapi ke empat mu-
rid andalan Ki Geri Mojang.
Benturan-benturan senjata mereka berdentin-
gan saat beradu. Babatan-babatan pedang berkelebat
tanpa ampun. Namun dua orang telanjang dada ini
cukup tangguh untuk mengelakkannya. Malah kedua
gada berduri mereka membalas serangan-serangan itu.
Menghadapi Nyi Awak Ceger, majikan 'Angin
Manik' ini agak kurang sabaran. Sebentar-sebentar ia
menghardik. Karena jurus-jurus yang dikeluarkan pe-
rempuan tangguh ini bersifat sangat genit dan merayu.
Setiap hantaman Ki Geri Mojang selalu luput. Hanya
dielakkan begitu saja. Dan gerakan itu tidak lebih ba-
gaikan seorang penari yang meliuk-liuk.
Terkadang pula majikan 'Angin Manik' ini ser-
ing merasa terpengaruh oleh bentuk tubuh Nyi Awak
Ceger yang menggiurkan itu. Tentu saja kemarahan Ki
Geri Mojang terpancing dengan sendirinya. Gerakan
yang sembrono itu membuat Nyi Awak Ceger lebih mu-
dah melancarkan serangan.
Seringkali cakar-cakar besinya yang sepanjang
sepuluh senti meter nyaris merobek muka lawannya.
Hal itu membuat Ki Geri Mojang jadi kelabakan. Ia ba-
ru kali ini menghadapi tokoh sesat macam Nyi Awak
Ceger. Kiranya perempuan cabul yang selama ini dita-
kuti oleh kalangan persilatan, bukanlah cerita bohong.
Sudah banyak orang-orang dari aliran lurus
tergiur dan jatuh ke dalam pelukannya untuk kemu-
dian menjadi korban. Dengan cara itulah biasanya pe-
rempuan setan ini melumpuhkan lawan-lawannya. Ta-
pi hari ini, Nyi Awak Ceger sengaja tidak mengeluarkan
rayuan maut. Ia malah langsung menyerang bagai
orang kesurupan. Dan yang lebih aneh lagi dia bertu-
juan menghalangi orang-orang 'Angin Manik'. Dari
mana setan perempuan ini berikut dua orang penga-
walnya tahu kalau mereka akan singgah memenuhi
undangan Partai 'Dewa Tenggara'. Kalau begitu un-
dangan rahasia itu telah tersebar luas, pikir Ki Geri
Mojang.
Ia tersentak kaget saat Nyi Awak Ceger menjentikkan kesepuluh jari besinya. Maka meletiklah tahi
kuku besi bagai pasir bara. Secepat itu pula majikan
'Angin Manik' gesit merunduk. Racun Kuku Wesi me-
mang luput, tapi tahi kuku besi yang merupakan sen-
jata rahasia Nyi Awak Ceger segera terus melesat men-
genai sasaran lain.
Lebih terkejut lagi ketika mendengar teriakan
dari dua orang murid Ki Geri Mojang. Rupanya sasaran
luput senjata beracun itu mengenainya. Kontan kedua
orang itu berkelojotan tewas.
Demi melihat kedua muridnya tewas dengan
seketika, Ki Geri Mojang jadi kehilangan
kontrol. Hal itu memudahkan Nyi Awak Ceger
mudah melepaskan pukulan..., "Deees!" Jotosan itu
nampak pelan, Tapi tak urung tubuh majikan 'Angin
Manik' ini bergelintingan.
Disusul pula dengan ambruknya tubuh Ageng
Sura dan Tirta Amoksa. Kepala kedua murid Ki Geri
Mojang ini pecah dengan isi kepala berhamburan. Ten-
tu saja berkat hantaman kedua gada berduri. Kedua
pengikut Nyi Awak Ceger makin buas menghancur le-
burkan murid-murid yang sebenarnya sudah tewas
semua. Tentu saja hal ini membuat darah Ki Geri Mo-
jang tersirap. Ia hampir tidak percaya melihat keempat
muridnya tewas mengerikan.
*
* *
EMPAT
Serta merta Ki Geri Mojang melompat mener-
jang kedua laki-laki telanjang dada. Kekalapannya
membuat lupa diri. Ki Geri Mojang melancarkan beberapa hantaman. Tapi ternyata ia terjatuh lebih dahulu.
Dengan tarian mautnya, Nyi Awak Ceger me-
nyapu bagian bawah. Rupanya itu yang membuat Ki
Geri Mojang sampai terguling hebat. Bersamaan den-
gan itu pula dua orang pengikut iblis perempuan ini
geram menghantamkan gada berduri mereka.
"Bledar...! Bledaaaar...!" Ki Geri Mojang bergu-
lingan terus menghindari hantaman-hantaman itu.
Kedua orang ini seperti tidak memberi kesempatan ma-
jikan 'Angin Manik' untuk bangkit. Apalagi Nyi Awak
Ceger tidak pernah berhenti menjentik-jentikkan kese-
puluh jari besinya membuat tahi-tahi kuku besi meng-
hujam tanpa bisa dihindari.
"Wuaaaaaa...!" Seluruh pakaian Ki Geri Mojang
terbakar. Nyi Awak Ceger sengaja menyiksanya dengan
cara itu. Tubuh renta itu terbakar bergulingan oleh api
yang meletup-letup.
"Perempuan setan! Kenapa tidak kau bunuh sa-
ja aku.... Wuaaa...!" teriak Ki Geri Mojang.
"Kau ingin cepat-cepat mampus? Baik!" Nyi
Awak Ceger memberi kerlingan mata genit pada dua
pengikutnya. Maka dengan langkah-langkah yang ge-
gap kedua orang itu mendekati tubuh renta yang ma-
sih terus bergulingan.
Mendadak saja kedua orang itu menghantam
kedua kaki Ki Geri Mojang dengan gada berduri mere-
ka.... "Deeer!" Hantaman itu serempak.... "Wuaaaaaa!"
Ditambah lagi dengan hantaman yang menghancurkan
kedua lengannya.
Paling terakhir Ki Geri Mojang tidak sempat
berteriak lagi. Karena dua hantaman gada berduri se-
kaligus meremukkan kepalanya. Darah berceceran di
sekitar permukaan tanah. Dua orang pengikut Nyi
Awak Ceger nampak puas, begitu juga dengan maji-
kannya. Tawanya yang mengikik terus mengalun.
"Kalian cepat ke Tenggara. Katakan padanya
kalau kita telah membereskan tua bangkotan ini." pe-
rintah Nyi Awak Ceger. Maka tanpa berani membantah
keduanya langsung melesat meninggalkan Nyi Awak
Ceger tengah menghitung korban.
"Jangan lupa setelah itu kalian harus mene-
muiku kembali untuk menjalankan tugas yang sama!"
pesannya tak ketinggalan. Sehabis bicara begitu Nyi
Awak Ceger melangkah. Gayanya bagai gadis remaja.
Selama melangkah ia terus tertawa cekikikan.
***
Wintara bersama kudanya melangkah mema-
suki sebuah desa. Tujuannya sebuah kedai sekaligus
penginapan yang cukup ramai. Tapi ia tidak jadi ber-
henti di situ ketika dilihatnya seorang tua tengah ma-
buk berat menghadapi belasan pundi arak. Tidak sa-
tupun tamu-tamu yang lain berani mendekat.
Semuanya memilih tempat yang agak jauh. Me-
reka diam-diam menahan tawa melihat kakek pema-
buk itu mengoceh. Wintara sendiri hanya tersenyum
merasa ditatap ketika melewatinya di muka kedai.
"Wei. Anak muda!" Jelas teguran itu di arahkan
pada Wintara.
"Ke marilah! Temani aku minum. Buat apa me-
lakukan perjalanan panjang tanpa menghibur diri. Le-
bih baik kita bersenang-senang dulu di sini!" Nada su-
ara kakek itu mengambang. Sesekali pula ia sesenggu-
kan. Wintara diam memperhatikan kakek itu mengha-
biskan pundi arak yang keempat belas.
"Kenapa semua orang tidak mau menemani aku
minum? Hah? Kenapa? Aku memiliki uang yang sangat
banyak! Kalian tidak perlu takut! Aku bukan bajingan!
Bukan orang jahat! Juga bukan perampok! Melainkan
si tua keropos yang hampir mampus. Ayo minum! Jan-
gan ragu-ragu, anak muda." Nada suaranya makin me-
liuk-liuk.
Merasa mendapat kesempatan untuk beristira-
hat. Wintara terpaksa menambatkan kudanya di muka
kedai. Seorang pelayan mendekati untuk menyambut.
Saat itu pula pelayan penginapan berbisik....
"Tuan, sebaiknya jangan mengikuti ajakannya.
Kakek tua itu terkenal dengan sebutan 'Siluman Arak
Sakti'. Dia selalu minum habis-habisan di sini kalau
hendak menghadapi satu urusan dengan orang orang
persilatan." Wintara sudah terlanjur melangkah. Tidak
mungkin ia mundur kembali.
"Duduklah di sini, Anak muda. Hhhhmmm.
Siapa namamu?" Kakek itu bertanya dengan mata me-
nyipit. Wintara menggeser kursi kayu yang berhada-
pan.
"Terimakasih, Kek. Namaku Wintara. Memang
aku telah menempuh perjalanan yang sangat jauh."
jawab Wintara. Iapun duduk berhadapan. Kakek yang
disebut 'Siluman Arak Sakti' ini langsung menyodor-
kan sepundi arak.
"Minum.... Minum...." Kakek itu berusaha ra-
mah, namun dalam keadaan mabuk seperti ini tingkah
lakunya jadi sangat lucu. Wintara memandang berke-
liling. Semua tamu yang berada di meja-meja lain
nampak menertawakannya.
"Tidak bolehkah kalau aku hanya menemani
kakek di sini?" ujar Wintara menolak secara halus.
"Heh-heh-heh-hik! Tak apa... tak jadi soal. Baru
kali ini aku merasa ditemani di saat minum arak. Sia-
pa namamu tadi? Oh ya Wintara...! Hik! Yah Wintara!
Aku masih ingat betul. Hik! Kenapa kau tidak mau mi-
num? Hik!"
"Dulu beberapa tahun yang lalu, aku gemar sekali minum arak. Hampir setiap malam ku habiskan
waktuku dengan minum ark. Tapi sekarang entah ke-
napa aku mulai tidak menyukai arak." jawab Wintara
sopan dan agaknya kakek 'Siluman Arak Sakti' ini ti-
dak tersinggung. Malah...
"Hak-hak-hak-hak...." Kakek ini tertawa nga-
kak. Ujung hidungnya nampak merah. Tak tertahan
pula ingusnya meleleh dari lubang hidung. Cepat pula
ia berusaha menyeka. Lalu...
"Aku malah terbalik. Dulu. Hik!... Aku paling
anti dengan yang namanya arak. Di pesantren paling
fanatik. Tapi justru sekarang tidak boleh ketinggalan
arak! Itu berarti kita memiliki kehidupan yang berbeda.
Hik! Seperti api dengan air."
"Belum terlanjur untuk merobah semua ini,
Kek." Wintara ketelepasan bicara. Ia sadar kalau uca-
pannya kurang pantas untuk orang setua ini.
"Apa kau tidak mendengar apa yang diucapkan
oleh pelayan itu? Aku sendiri kurang suka orang-orang
persilatan menyebut diriku 'Siluman Arak Sakti'. Hik!
Tapi lama kelamaan kerasan juga aku menyandang ge-
lar itu. Hik! Arak pun seperti sebagian nyawaku." Agak
tersentak Wintara mendengar ucapan kakek pemabuk
ini.
Bagaimana tidak? Pelayan tadi hanya berbicara
dengan Wintara. itupun secara berbisik yang tidak
mungkin orang lain dengar. Tapi dalam jarak sejauh
itu kakek pemabuk ini dapat mendengar apa yang di
ucapkan pelayan itu. Pastilah kakek 'Siluman Arak
Sakti' ini benar-benar seorang berilmu tinggi.
Wintara masih terheran-heran bercampur ka-
gum. Kakek itu mengeluarkan sesuatu dari tas kan-
tong di pinggangnya. Segulungan kertas. Di hadapan
Wintara ia membuka gulungan kertas itu.
"Kalau aku sampai mabuk sedemikian rupa,
undangan Kuncoro Sona inilah penyebabnya. Jangan
heran, Anak muda. Semua orang sudah tahu perangai
ku.... Hik!"
"Tidak masuk akal. Hanya karena kertas un-
dangan, kenapa harus serius sekali?" bisik Wintara da-
lam hati.
"Perjalanan ke Tenggara sangatlah jauh. Orang-
orang yang buta sekalipun tahu kalau menempuh per-
jalanan ke sana tidak mudah. Sebagai 'Siluman Arak
Sakti' tanpa mabuk seperti ini tidak mungkin bisa
menjaga diri." jelas kakek ini. Nada suaranya sangat
pelan. Wintara mengerutkan alis demi mendengar pen-
jelasan itu.
Pada saat yang sama, dua orang telanjang dada
jalan beriringan memasuki desa. Masing-masing kedua
lengan mereka menggenggam senjata gada berduri.
Kehadiran mereka sama sekali tidak menjadi perhatian
orang-orang yang berlalu lalang. Sudah menjadi kebia-
saan bagi orang-orang persilatan selalu membawa sen-
jata. Dan setiap orang yang berlalu lalang di situ me-
mang membawa senjata. Jadi tidak ada yang perlu di-
herankan.
Keduanya melangkah terus, tujuannya pada
sebuah kedai yang sangat ramai. Tapi sebelum mereka
mencapai kedai itu, keduanya menghentikan langkah.
Pandangan mereka mengarah pada Wintara
yang duduk berhadapan dengan Kakek 'Siluman Arak
Sakti'. Sebenarnya yang membuat mereka berhenti me-
langkah tidak lain karena segulungan kertas berada
dalam tangan kakek itu.
"Pitu Langsa, kakek peyot itu juga memiliki un-
dangan Kuncoro Sona." Salah seorang telanjang dada
itu menyikut temannya.
"Menurut penglihatanku, dialah 'Siluman Arak
Sakti'. Tapi terhadap seorang pemuda yang minum
bersamanya aku tidak tahu." jawab temannya yang ti-
dak lain bernama Pitu Langsa.
"Mumpung ada di depan mata. Kita habisi saja
sekalian dua-duanya. Daripada nantinya akan mere-
potkan."
"Tanpa Nyi Awak Ceger mana bisa bertindak
sembarangan. Lagi pula kehebatan 'Siluman Arak Sak-
ti' bukan nama kosong!" ujar Pitu Langsa.
"Dia dalam keadaan mabuk, Pitu Langsa. Ini
kesempatan kita. Sekarang atau nanti nasibnya akan
sama. Mereka pasti mampus."
Baik Wintara maupun Kakek 'Siluman Arak
Sakti' masih terlibat dalam suatu percakapan. Wintara
tidak bosan-bosan menjawab atau meladeni pembica-
raan yang nglantur. Malah kakek yang sudah berjalan
sempoyongan ini terus memesan beberapa pundi arak
lagi. Melihat kakek ini kembali membawa dua buah
pundi arak, Wintara menggeleng-gelengkan kepala.
Hati-hati sekali kakek itu meletakkan pundi-
pundi arak di atas meja mereka. Wajahnya yang lucu
mengangguk-angguk seperti menghitung pundi-pundi
yang kosong berserakan. Tapi mendadak saja...
"Braaaak...! Praaaaaang!" Dua buah pundi arak yang
baru saja diambilnya hancur. Tahu-tahu saja sebuah
gada berduri menghantam meja mereka.
Para tamu yang berada di meja lain tersentak
kaget. Hampir semuanya serempak bangkit ketakutan!
Karena mereka melihat dua orang telanjang dada men-
gurung kakek serta pemuda yang sejak tadi menjadi
perhatian mereka.
"Dua lalat telah mengusik kita, Anak muda.
Mereka betul-betul tidak tahu penyakit." ujar Kakek
'Siluman Arak Sakti' tenang. Wintara sendiri seolah-
olah tidak perduli dengan kemunculan dua orang te-
lanjang dada itu.
"Kakek bonyok! Sebenarnya kami tak akan
mengusik kalau saja kalian tidak memenuhi undangan
Kuncoro Sona. Bertemu Kami, sama saja menghantar-
kan nyawa!" gertak Pitu Langsa. Sebelah lengannya
siap menghantam gada berduri.
Di luar dugaan kakek ini menyentakkan tan-
gannya ke samping. "Beg...!" Pitu Langsa memekik ter-
huyung. Dalam posisi duduk begitu ia melepaskan
tendangan. Tubuh Pitu Langsa yang tadi hanya ter-
huyung, sekarang malah mencelat sampai ke luar ke-
dai. Sudah tentu seorang temannya lagi tidak tinggal
diam. Dengan teriakan yang menakutkan. Diarahkan
gada berdurinya menghantam kepala.
Tapi cepat Kakek 'Siluman Arak Sakti' men-
gangkat meja sehingga hantaman itu luput. Dibarengi
pula dengan sebuah hantaman yang menembus per-
mukaan meja. Tak urung tinju kakek pemabuk ini
nyeplos menghantam perut. Pemilik kedai nampak be-
lingsatan. Ia merasa akan mendapat kerugian yang
sangat besar.
*
* *
LIMA
Situasi meja sudah berantakan, Wintara tetap
tenang menyaksikan kakek itu memamerkan kebole-
hannya. Pemilik kedai sudah pucat pasi.
"Tenang, Ki.... Semua kerusakan ini akan ku-
ganti. Kau tahu bukan? Aku tidak pernah cacad!"
Sambil berkata begitu, Kakek 'Siluman Arak Sakti' ber-
jumpalitan ke luar. Menyusul kedua orang telanjang
dada. Dua orang ini malah menyambut dengan babatan-babatan gada berduri.
Meskipun nampak seloyongan hantaman-
hantaman itu dapat dielakkan. Gerakan-gerakan yang
sangat licin bagai belut dan sangat aneh membuat
Wintara semakin kagum. Mungkin itu yang dinamakan
'Jurus Pemabuk Meminum Arak'. Semua gerakannya
nampak lemah dan gerakannya dapat terlihat mudah.
Namun semua itu hanyalah pancingan belaka. Justru
dari gerakan-gerakan yang lemah itu dua orang yang
tak lain para pengikut Nyi Awak Ceger tidak menyang-
ka, kalau setiap gerakannya selalu disertai tenaga da-
lam yang sangat tinggi. Sehingga dua orang lawannya
ini begitu kewalahan menghadapinya.
Diam-diam Wintara bangkit dari kursi kayu.
Dihampiri pemilik kedai. Pendekar Kelana Sakti yang
mendekati ini membuat pemilik kedai semakin ketaku-
tan.
"Ki, berikan beberapa pundi arak lagi. Jangan
khawatir. Kakek itu akan membayar semuanya." pinta
Wintara,
"Tapi tuan, persediaan arak tinggal dua pundi
lagi." jawab pemilik kedai gemetaran. "Tak apa. Beri-
kan pundi-pundi arak itu!" Setelah mendapatkan dua
buah pundi arak, Wintara melangkah ke luar. Perta-
rungan Kakek 'Siluman Arak Sakti' belum berakhir.
Kedua pengikut Nyi Awak Ceger nampak gigih memberi
hantaman-hantaman gada berduri yang mengarah
tanpa ampun. Semua orang nampak ngeri menyaksi-
kan pertarungan itu. Tak urung tempat halaman kedai
itu jadi penuh sesak.
"Kakek busuk! Kau tidak pantas menghadiri
undangan Kuncoro Sona. Sebaiknya mampus saja!" Pi-
tu Langsa memberi hantaman yang mengarah ke pe-
rut.
"Apa urusanmu, cecurut-cecurut bengek!" Kakek 'Siluman Arak Sakti' mundur ke belakang. Dari
arah belakang itu pula mengarah satu hantaman gada
berduri. Tapi tanpa melihat lagi kakek ini melepaskan
tendangan ke belakang.... "Deeer!" Pembokong itu am-
bruk berguling. Melihat itu pun Wintara yang sudah
berdiri di depan kedai berteriak....
"Kakek...! Apakah kau tidak merasa kehausan?
Terima ini!" Wintara melemparkan sebuah pundi. Ka-
kek pemabuk ini melesat menyambar pundi arak yang
melayang di udara.
"Bagus, Wintara. Nampaknya kau mulai mema-
hami jiwaku!" Kakek ini hinggap di tanah dan langsung
dalam posisi menenggak arak.
Kedua orang bersenjata ini bersiap-siap menye-
rang lagi. Dengan serempak mereka maju menerjang,
namun....
"Pruuuuuuts...!" Kakek 'Siluman Arak Sakti'
menyemburkan arak dari mulutnya. Terasa sekali ha-
wa panas menyengat pergelangan tangan Pitu Langsa
saat arak menyiram lengannya. Gada berduri sampai
terlepas dari genggamannya.
Belum habis rasa panas itu hilang. Kakek pe-
mabuk melesat ke atas seraya ia melepaskan tendan-
gan memutar di udara.
"Bug...! Bug!" Tak urung dua lawannya bergu-
lingan lagi.
Siluman Arak Sakti sendiri membiarkan dirinya
terjatuh di tanah. Kedua lawannya nampak geram me-
lihat sikap kakek pemabuk seperti berbaring meneng-
gak arak. Pitu Langsa menerjang tanpa senjatanya.
Sahabatnya mengikuti dengan hantaman gada berduri
lebih dahsyat. Tenang sekali kakek pemabuk salto me-
nyambut. Dua jotosannya diarahkan kuat-kuat.
"Jdeeer!" Keduanya mencelat tak kepalang. Mu-
lut mereka menyembur darah. Ketika Pitu Langsabangkit bermaksud menyerang lagi, sahabatnya mena-
rik.
"Tidak perlu. Kakek sialan ini bukan lawan kita!
Cepat merat."
"Tapi senjataku terjatuh di tanah!" jawab Pitu
Langsa.
"Tanpa senjatapun tak jadi soal! Daripada ha-
rus mampus di tangan kakek kunyuk itu."
Tanpa membuang waktu keduanya berlari men-
jauh. Mereka menerobos kerumunan orang yang me-
nyaksikan pertarungan tadi. Kakek 'Siluman Arak Sak-
ti' memandang dengan tubuh yang seloyongan dan
masih mementang jurus.
"Hooooy.... Pada mau lari ke mana!"
teriak si kakek. Matanya mengarah pada senja-
ta gada berduri tergeletak di tanah.
"Senjata butut kalian tertinggal! Ambil saja
buat pengusir lalat!" bentaknya sambil mengibaskan
sebelah kakinya menendang senjata itu. Gada berduri
melayang menyusul kedua orang pengikut Nyi Awak
Ceger. Dan sungguh kebetulan pula senjata itu meng-
hantam pantat Pitu Langsa.... "Waadooooo!"
Kakek 'Siluman Arak Sakti' tidak perduli orang-
orang ramai mengerumuni tempat itu. Ia melangkah
sempoyongan menghampiri Wintara. Sementara itu Pi-
tu Langsa telah memungut kembali senjatanya dengan
pantat yang bercucuran darah. Entah ke mana mereka
lari. Kakek pemabuk ini sengaja tidak mengejarnya.
"Siapa mereka itu, Kek. Kenapa mereka tidak
suka kakek memenuhi undangan Kuncoro Sona."
tanya Wintara sambil mengikuti kakek pemabuk me-
masuki kedai kembali.
"Sulit untuk mengenali siapa mereka. Tokoh-
tokoh sesat begitu banyak dalam rimba persilatan. Me-
reka tahu kalau undangan Kuncoro Sona bermaksud
mengundang para pendekar dari segala penjuru." ja-
wab si kakek. Langkahnya tertatih-tatih menuju pada
pemilik kedai.
"Untuk apa Kuncoro Sona mengundang semua
pendekar itu, Kek."
"Aku sendiri kurang jelas. Isi surat dalam un-
dangan itu tidak disebutkan." jawab si kakek sambil
merogoh tas kantong. bentar saja ia sudah mengelua-
rkan beberapa keping uang logam. Lalu ia menyerah-
kan kepada pemilik kedai yang langsung menghitung
uang tersebut.
"Apa masih kurang?" tanya si kakek sambil me-
rogoh lagi tas kantongnya.
"Ti-tidak, Kek.... Sudah lebih dari cukup. He-
he-he-he... terima kasih." jawab si pemilik kedai kegi-
rangan mendapat bayaran dua kali lipat. Wintara me-
nyerahkan satu pundi arak lagi pada Kakek Siluman
Arak Sakti.
"Gelagatnya sudah tidak beres. Aku harus ce-
pat-cepat ke Tenggara untuk memenuhi undangan
Kuncoro Sona." ujar si kakek sambil mengikat dua
buah pundi arak yang tadi diserahkan Wintara.
"Kau boleh ikut menemaniku, Wintara. Di sana
kau akan bertemu dengan pendekar-pendekar tang-
guh." ajak kakek pemabuk. Sebelum menjawab Winta-
ra tersenyum...
"Kebetulan sekali. Aku ingin tahu dunia ramai
persilatan di Tenggara. Sebaiknya kita berangkat seka-
rang. Sejak tadi kita sudah menjadi perhatian orang-
orang sini." ujar Wintara.
"Aku membawa kuda. Kita bisa menunggangi
bersama." ajak Wintara.
"Bagus.... Bagus.... Kita akan lebih cepat sam-
pai ke Tenggara." jawab si kakek sambil melangkah ke
luar. Wintara melepaskan tali hambatan. Setelah itu
pun ia langsung naik ke atas pelana. Si kakek menyu-
sul. Hanya dengan sekali lompatan saja ia sudah du-
duk di belakang Wintara.
Beberapa pelayan membereskan meja dan kursi
yang berantakan. Para tamu kembali tenang. Halaman
kedai tidak lagi ramai seperti tadi. Semuanya kembali
seperti semula.
Perkelahian antar pendekar sering terjadi di si-
tu. Penduduk desa sudah tidak merasa aneh lagi. Win-
tara dan Kakek Siluman Arak Sakti dapat pergi begitu
saja. Semudah ia melangkah membawa kudanya. Tan-
pa halangan apapun.
***
Amarsa Rawut menenggak persediaan airnya.
Ia duduk di atas kuda. Di sebelahnya Pendekar Gelu-
gut Sutra duduk pula menunggangi kuda. Kedua kuda
mereka melangkah tenang menyusuri hutan lebat. Me-
reka melewati jalan setapak. Di mana kedua sisi jalan
itu ditumbuhi oleh alang-alang setinggi kuda mereka.
Dua pendekar buntung ini berusaha menembus
hutan Kumba Rawa. Kedua mata mereka tidak henti-
hentinya mengawasi sekitar jalan yang dilaluinya. Uda-
ranya cukup sejuk. Tapi angin yang berdesir semilir
membawa aroma yang kurang sedap. Sejak tadi Pen-
dekar Gelugut Sutra mendengus-denguskan penci-
umannya.
"Bau bangkai." ujar Pendekar Gelugut Sutra.
Amarsa Rawut selesai mengikat kantong airnya.
"Di sekitar hutan ini masih banyak berkeliaran
binatang-binatang buas. Paling-paling bangkai kamb-
ing atau apa. Tapi tak lama lagi kita akan mencapai
sebuah desa. Kita bisa beristirahat di sana." jawab
Amarsa Rawut. Kudanya mengangguk-angguk menggi
giti alang-alang hijau yang menghalangi langkahnya.
Begitu juga dengan kuda Pendekar Gelugut Sutra. Me-
reka membiarkan kuda-kuda mereka mengunyah
alang-alang di sepanjang jalan. Sehingga tidak perlu re
pot-repot memberi mereka makan.
"Perjalanan ke Tenggara sangat memakan wak-
tu lama. Paling tidak kita masih harus menempuh dua
hari perjalanan lagi," kata Amarsa Rawut.
"Yang jelas kita harus segera meninggalkan hu-
tan busuk ini. Hidungku seperti mau meledak dijejali
dengan bau busuk seperti ini." tukas Pendekar Gelugut
Sutra.
Keduanya berjalan menyusuri jalan setapak
yang ada cuma satu-satunya dalam hutan Kumba Ra-
wa. Tak lama mereka pun sudah menerobos dari ham-
paran alang-alang. Dan bukan main mereka terkejut
ketika pandangan mereka langsung membentur pada
tumpukan-tumpukan mayat mengerikan.
Amarsa Rawut membawa kudanya agak cepat
ke tempat itu. Pendekar Gelugut Sutra hanya menung-
gu. Bau busuk bertambah santer. Karena dari tumpu-
kan mayat itulah sumbernya. Pendekar dari 'Guci Pe-
rak' ini membolak balikkan tumpukan mayat dengan
tongkatnya. Ia tetap duduk di atas pelana sambil
memperhatikan wajah mayat-mayat itu satu persatu.
"Mereka adalah para pendekar dari Perguruan
'Angin Manik', Paman. Mereka telah tewas mengerikan.
Siapa yang telah berbuat sekeji ini?"
Mendengar ucapan Amarsa Rawut, Pendekar
Gelugut Sutra seperti tidak percaya. Ia terpaksa turun
dari kudanya mendekati arah Amarsa Rawut, meski-
pun ia paling tidak suka dengan bau busuk. Sambil
menutup kedua lobang hidungnya ia ikut memperhati-
kan raut-raut wajah yang masih di kenalinya.
"Astaga... Ki Geri Mojang bersama empat orang
murid andalannya. Mereka penguasa daerah Utara
yang paling ditakuti. Mengapa sampai tewas mengeri-
kan di sini?"
Amarsa Rawut tidak langsung menjawab. Di-
perhatikannya tiga orang mayat termasuk Ki Geri Mo-
jang dengan kepala remuk serta isi kepala mengham-
bur dan hampir kering dikerubungi lalat. Dua orang
lagi seperti terbakar hangus. Di tubuh mereka masih
membekas luka-luka berlubang.
"Tidak salah lagi. Pasti mereka akan menghadiri
undangan Kuncoro Sona. Seseorang telah mencegat
dan membantai mereka. Kita pun harus hati-hati, Pa-
man."
*
* *
ENAM
Pintu gerbang serta pelataran sebuah gedung
telah dipasang umbul-umbul. Hal itu sengaja dipasang
untuk menandakan adanya suatu pertemuan bagi
orang-orang persilatan. Tiap-tiap umbul-umbul itu di-
kibarkan pula bendera-bendera kebesaran bagi Partai
'Dewa Tenggara'.
Selain di depan pintu gerbang, di sekeliling ge-
dung berderet para penjaga bersenjata lengkap. Mere-
ka sengaja ditugaskannya untuk menyambut para un-
dangan yang akan menghadiri pertemuan.
Di sebuah ruangan yang menghadap ke hala-
man gedung, Kuncoro Sona berkumpul bersama
orang-orang kepercayaannya. Laki-laki berumur ham-
pir lima puluh tahun itu memijit-mijit keningnya. Se-
perti tengah memikirkan sesuatu.
Beberapa orang kepercayaannya duduk berke-
liling berjumlah enam orang sejak tadi memperhati-
kannya. Mereka semua sebenarnya merasa risih sejak
tadi berdiam diri.
Kuncoro Sona sebentar-sebentar bangkit dari
tempat duduknya memandang ke luar. Dan selalu saja
disertai dengan desahan nafas yang panjang.
"Kenapa sampai hari ini mereka belum juga
berdatangan? Tidak tahukah dalam dua hari ini kita
harus segera berkumpul." desah Kuncoro Sona.
"Urusan ini berada dalam tangan Nara Subala
sebagai penyebar undangan. Apakah kau sudah betul-
betul menyerahkan undangan pertemuan?" kata seseo-
rang yang duduk di sebelah Kuncoro Sona.
Ucapan itu ditujukan pada seorang yang duduk
di tengah deretan mereka. Dia adalah Nara Subala
yang ditugaskan untuk menyebar undangan. Dia pula
yang pernah datang ke Perguruan 'Guci Perak'. Juga
menyebarkan pada perguruan-perguruan atau pende-
kar-pendekar lain.
"Semua undangan sudah ku sebar seperti apa
yang ditugaskan oleh Kuncoro Sona. Semuanya ku-
rang lebih lima belas tokoh aliran lurus. Kalau hari ini
mereka belum satupun yang muncul mungkin saja
mereka masih dalam perjalanan. Mungkin ada juga
yang halangan." jawab Nara Subala.
"Apa yang dikatakan Nara Subala adalah benar,
Kakang Kuncoro Sona. Perjalanan ke mari sangatlah
jauh dan juga sangat sulit. Paling tidak mereka harus
beristirahat selama dua kali di desa-desa terpencil."
yang lain ikut menimpali.
"Jangan khawatir, semua perguruan dari partai
manapun cukup menghormati kita. Tidak mungkin ka-
lau mereka tidak datang. Toh pertemuan nanti guna
membicarakan persekutuan aliran lurus yang selama
ini mulai terancam." sela lainnya.
"Bukan apa-apa. Aku khawatir dari Perguruan
'Guci Perak' tidak menghadiri pertemuan nanti, karena
saat mereka tertimpa musibah kita tidak bisa menjen-
guk mereka. Karena kita sendiri di sini sesungguhnya
merasa kerepotan menghadapi seorang tokoh sesat
yang mulai mengacak-ngacak partai 'Dewa Tenggara'.
Kita sudah sungsang sumbel menghadapi perempuan
setan macam Nyai Awak Ceger. Sampai mampus pun
kita tidak bakal sanggup membasmi gerombolan mere-
ka." tutur Kuncoro Sona.
"Sebenarnya kita masih sanggup menghadapi
perempuan cabul itu, Kakang Kuncoro Sona. Hanya
saja Nyi Awak Ceger licin bagai belut. Tidak mudah ki-
ta bisa menemukan mereka."
"Apakah kita tidak merasa malu? hanya meng-
hadapi seorang iblis betina saja harus mengundang
semua orang persilatan?! kata orang-orang aliran sesat
nanti? Di kiranya kita main keroyokan." ujar Nara
Subala.
"Bukan main keroyokan, Nara Subala. Kau sa-
lah berfikir. Dalam pertemuan nanti aku pun ingin ta-
hu. Sampai di mana sepak terjang Nyi Awak Ceger.
Aku tahu betul sifat rusuh betina cabul itu." kata Kun-
coro Sona. Lalu ia meneruskan lagi kata-katanya...
"Selain itu kita akan memperlihatkan sebuah
pusaka pada mereka."
"Apakah Kakang Kuncoro Sona tidak salah bi-
cara. Untuk apa Pusaka 'Dewa Tenggara' diperli-
hatkan? Hal itu akan mengundang kerusuhan saja.
Bisa-bisa Nyi Awak Ceger akan merecoki pertemuan
nanti."
Mendengar kata-kata itu Kuncoro tersenyum. Ia
menggelengkan kepala. Tatapannya terarah pada orang
yang bicara tadi.
"Sukur-sukur kalau betina cabul itu dapat
mencium maksudku. Kalau dalam pertemuan nanti
dia muncul. Kita semakin mudah meringkusnya." ja-
wabnya tegas. Barulah mereka tahu maksud undan-
gan pertemuan Kuncoro Sona.
"Tidak kusangka pikiran Kakang Kuncoro Sona
begitu jernih. Kenapa tidak dari dulu saja kalau punya
rencana seperti itu."
Mereka sudah membayangkan seandainya Nyi
Awak Ceger benar-benar terpancing dengan rencana
Kuncoro Sona. Perempuan yang sudah malang melin-
tang merecoki dunia persilatan bagian Tenggara, su-
dah tentu Akan mengalami nasib sial.
Mereka berharap pula agar semua orang-orang
persilatan dapat semua hadir. Namun di balik itu se-
mua tanpa diketahui oleh mereka, Nyi Awak Ceger le-
bih cerdik. Sebenarnya perempuan itu sendiri tidak ta-
hu maksud tujuan orang-orang 'Dewa Tenggara'. Kalau
dia bersama dua orang anak buahnya selalu menjegal
bahkan membunuhi setiap orang-orang aliran lurus
yang akan menghadiri undangan Kuncoro Sona, itu-
pun atas dasar suruhan seseorang yang bermaksud
menggagalkan pertemuan nanti.
Sayangnya, dalang semua ini belum dapat di-
pastikan siapa orangnya. Kuncoro Sona sudah merasa
curiga terhadap orang-orang kepercayaannya sendiri.
Selama ini majikan 'Dewa Tenggara' hanya menyelidiki
secara diam-diam. Bahkan sekarang ia mengatakan
bahwa dalam pertemuan nanti akan menunjukkan ba-
rang pusaka milik Partai 'Dewa Tenggara'.
***
Dua Pendekar Buntung semakin menerobos ke
luar dari hutan. Dari situ mereka sudah dapat melihat
sebuah desa terpencil. Jaraknya masih sangat jauh.
Rumah-rumah penduduk nampak bagai titik-titik yang
berwarna warni. Dibatasi dengan sederetan pohon
yang menghijau.
Demi melihat korban-korban dari Perguruan
'Angin Manik' mereka sengaja tidak berniat untuk me-
neduh di perbatasan hutan. Meskipun demikian, me-
reka selalu tetap waspada. Karena mereka yakin sekali
para pembantai itu setiap saat akan muncul.
Kekhawatiran itu pun rupanya masih mengge-
luti mereka. Setelah menembus perbatasan hutan, bau
busuk menyengat lagi Mereka bukannya tidak melihat
kalau di hadapannya telah bergelimpangan belasan
mayat. Hampir rata-rata keadaan mereka begitu men-
gerikan. Tubuh mereka penuh lubang. Dan masih
mengeluarkan darah segar. Pastilah pertempuran itu
belum lama berlangsung.
Yang lebih terkejut lagi saat mereka melihat
seorang perempuan cantik duduk di atas batu yang
menonjol. Pandangan perempuan itu tidak lepas mena-
tap kedua Pendekar Buntung. Sebelah kakinya men-
ginjak seonggok mayat penuh luka.
"Pendekar-pendekar gagah. Kalau tidak salah
lihat, kalian pastilah dari Perguruan 'Guci Perak'." kata
perempuan cantik yang tidak lain adalah Nyi Awak
Ceger. Amarsa Rawut maupun Pendekar Gelugut Sutra
balas menatap...
"Siapapun anda. Tentunya anda juga seorang
yang gagah berani, Nyi. Apa sebenarnya yang telah ter-
jadi dengan orang-orang "teratai Kencana'." tanya Ge-
lugut Sutra.
"Kenapa harus bertanya kepadaku? Tanya saja
pada mereka." jawab Nyi Awak Ceger segan sambil
menjentik-jentikkan kukunya yang runcing. Tentu saja
kedua Pendekar Buntung ini jadi saling pandang.
"Mereka telah jadi mayat. Apa maksud mu ber-
kata begitu, Nyi?"
"Hik-hik-hik-hik.... Pakai pura-pura tanya sega-
la. Mana ada manusia berbicara pada mayat. Kecuali
kalian telah menjadi mayat!" Nyi Awak Ceger menen-
dang satu mayat yang tadi diinjaknya. Kemudian ia
bangkit dengan lenggak-lenggok yang genit.
"Huh! Rupanya iblis betina yang menghalangi
orang-orang undangan Kuncoro Sona. Biadab!" hardik
Pendekar Gelugut Sutra.
"Tepatnya memang begitu. Dan kau sendiri, ke-
napa berlindung di bawah Perguruan 'Guci Perak'?
Apakah merasa takut karena kedua telapak tanganmu
buntung?" Ucapan pedas itu ditujukan pada Pendekar
Gelugut Sutra. Sudah tentu lelaki setengah tua ini jadi
naik darah.
"Selama ini aku belum pernah mengenal seo-
rang tokoh sesat perempuan jalang macam kau. Berani
pula ngaku perbuatan sendiri." Pendekar Gelugut Su-
tra melompat turun dari pelana.
"Kenapa harus takut menyimpan perbuatan
sendiri? Toh kalian juga bakal mampus sekarang!" ka-
ta Nyi Awak Ceger mementang jurus. Gerak-geriknya
bagaikan seorang penari. Jelas setiap gerakannya
membuat Pendekar Gelugut Sutra maupun Amarsa
Rawut sangat terpesona. Apalagi lekuk-lekuk tubuh
Nyi Awak Ceger begitu mempesona dan memikat. Se-
bagai laki-laki sempurna, mereka betul-betul menga-
gumi tubuh ramping Nyi Awak Ceger.
"Perempuan cabul! Jangan coba-coba menggo-
da kami! Cepat minta ampun dan menyerahkan diri!"
bentak Amarsa Rawut. Ia telah sadar dari bius asmara
yang diam-diam dilancarkan oleh Nyi Awak Ceger. Tu-
buh tanpa kaki itu melesat dari atas kuda.
"Laki-laki goblok! Tidak tahukah kalau Pende
kar Gelugut Sutra sangat tertarik padaku?" Nyi Awak
Ceger mundur. Tubuh Amarsa Rawut berjumpalitan
hinggap di tanah. Lalu ia berdiri dengan kedua tong-
katnya.
"Paman! Hati-hati terhadap perempuan ini!" te-
riak Amarsa Rawut sambil lancarkan babatan tongkat-
nya. Bagai terkesiap Pendekar Gelugut Sutra tahu-
tahu sudah melihat Amarsa Rawut menggempur Nyi
Awak Ceger. Ia pun segera datang melompat memban-
tu Amarsa Rawut.
"Bangsat! Rupanya ilmumu tidak cetek, pemu-
da ganteng. Pantas kau diundang oleh Kuncoro Sona."
tukas perempuan itu. Mendadak ia menjentikkan jari-
jarinya. Maka seperti yang sudah-sudah, tahi kuku-
tahi kuku mengandung 'Racun Kuku Wesi' menghujani
mereka.
Tidak kalah sigap Amarsa Rawut melindungi di-
ri. Tongkatnya berputar menderu-deru. Tahi kuku
yang merupakan senjata andalan Nyi Awak Ceger ber-
pentalan.
Begitu juga dengan Pendekar Gelugut Sutra.
Tanpa basa-basi ia melancarkan jurus 'Jaring Meren-
cah Kutu'. Dengan begitu semua senjata rahasia Nyi
Awak Ceger dapat dikendalikan seperti orang menjala
ikan. Bukan main terkejutnya perempuan itu. Ia tidak
menyangka akan kehebatan dua Pendekar Buntung.
Terlebih-lebih terhadap Pendekar Gelugut Sutra.
Meskipun kedua telapak tangannya telah buntung,
pendekar itu masih bisa mengeluarkan jurus-jurus
simpanan. Bahkan lebih sempurna dari sebelumnya.
Menghadapi dua orang cacat itu, Nyi Awak Ceg-
er bagai menghadapi sepasukan orang berilmu tinggi.
Bagaimana tidak? Serangannya yang selama ini selalu
mematikan bagi musuh-musuhnya, kini seakan tiada
berarti apa-apa.
Amarsa Rawut gencar memainkan tongkat pe-
dangnya. Ia tidak segan-segan mengeluarkan jurus
'Pedang Seribu Halilintar'. Jurus tersebut sangatlah
dahsyat. Dapat memapaki setiap gerakan-gerakan Nyi
Awak Ceger. Sudah tentu ia menjadi kelabakan. Apala-
gi Pendekar Gelugut Sutra tidak henti-hentinya dengan
serangkaian pukulan ' Tinju Kepompong' yang selalu
mengena. Menghadapi serangan dari dua jurusan, Nyi
Awak Ceger sangatlah terdesak. Ujung tongkat Amarsa
Rawut dapat masuk menghantam kepalanya.
*
* *
TUJUH
"Bledar...!" Batok kepala Nyi Awak Ceger men-
gucurkan darah. Ujung tongkat Amarsa Rawut berpu-
tar lagi. Tapi pada hantaman ini Nyi Awak Ceger dapat
menghindar cepat. Tubuhnya melesat jauh-jauh. Ia
meringis menahan sakit. Dalam pada itu datang pula
serentetan hantaman dari Pendekar Gelugut Sutra....
"Plakk!... Plak!... Des!" Pukulan 'Ulat Menggempur Lo-
bang' mengena telak menghantam punggung. Nyi Awak
Ceger tersungkur menyembur darah.
Tubuh ramping bergulingan. Namun secepat ki-
lat Nyi Awak Ceger bangkit. Mulutnya menyeringai
menyeramkan. Mulutnya tadi menyemburkan darah,
telah penuh dengan lumuran darah mengotori. "Hik-
hik-hik-hik.... Hebat, hebat! Pendekar Gelugut Sutra
maupun pendekar dari 'Guci Perak' memang bukan
nama kosong. Tidak mungkin aku yang berilmu ren-
dah ini dapat mengalahkan kalian." Meskipun masih
terasa sakit, Nyi Awak Ceger masih dapat mengumbar
tawa.
"Sudah tahu begitu, kenapa tidak cepat bunuh
diri di hadapan kami! Ayo lakukan perempuan cabul.
Hitung-hitung menebus dosa." ujar Amarsa Rawut.
"Sekarang pun rasanya seperti hampir mati.
Kenapa tidak kalian saja yang membunuhku?" Suara
Nyi Awak Ceger menggoda. "Kami tidak ingin mengotori
tangan kami dengan darah cabulmu!" bentak Pendekar
Gelugut Sutra.
"Hik-hik-hik-hik...! Pendekar-pendekar muna-
fik! Aku khawatir kalian akan memperkosa diriku sete-
lah aku mati!"
"Bangsat! Kepalamu memang harus di hancur-
kan!" Pendekar Gelugut Sutra mendidih. Ia menerjang
siap melancarkan hantaman. Tapi....
"Tunggu dulu.... Tunggu dulu...." Nyi Awak
Ceger mundur sambil mendorong dengan kedua tela-
pak tangan. Pendekar Gelugut Sutra mengurungkan
niatnya.
"Baiklah, aku akan bunuh diri." kata Nyi Awak
Ceger tegas.
"Cepat lakukan!" perintah Pendekar gelugut Su-
tra.
Nyi Awak Ceger mengangkat bahu. Lalu tata-
pannya berputar mengarah pada sebuah batu terjal
bagai bukit. Ia tersenyum...
"Biarlah akan ku benturkan kepalaku ke sana.
Semoga saja kalian puas menyaksikan kematianku."
katanya lirih. Setelah itu pun ia berlari ke arah batu
terjal yang berdiri tegak. Larinya semakin cepat bagai
terbang.
Kedua Pendekar Buntung menatap tanpa ber-
kedip manakala kepala Nyi Awak Ceger menjurus de-
ras. Tapi di luar dugaan mereka, perempuan itu meng-
hentakkan kedua kakinya. Lalu melesat ke atas meng
hindari benturan kepalanya.
Jelas sekali Nyi Awak Ceger terbang menghi-
lang. Kedua Pendekar Buntung ini telah ditipunya
mentah-mentah. Keduanya pun tidak sempat lagi
mengejar. Nyi Awak Ceger telah melarikan diri entah ke
mana.
"Hik-hik-hik-hik-hik.... Siapa yang sudi bunuh
diri, Pendekar-pendekar tolol!" Suara perempuan itu
menghilang di kejauhan.
"Keparat! Kita telah diperdaya!" gerutu Pende-
kar Gelugut Sutra. Amarsa Rawut tidak perduli. Ia
nampak menaiki kudanya.
"Sudahlah, Paman. Perjalanan kita masih san-
gat jauh. Nanti setelah sampai di Perguruan 'Dewa
Tenggara' kita laporkan saja pada Kuncoro Sona." ujar
Amarsa Rawut. Pendekar Gelugut Sutra tetap mengge-
rutu.
"Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Jika pe-
rempuan sial itu selalu menghadang setiap orang akan
menghadiri undangan. Permainan macam apa ini? Ke-
napa Kuncoro Sona tidak hati-hati dalam menyebar-
kan undangan?
Jangan-jangan...." Pendekar Gelugut Sutra ti-
dak meneruskan kata-katanya.
"Mengejar perempuan itu bukan berarti menye-
lesaikan persoalan. Pada pertemuan nanti iblis jalang
itu akan muncul. Pada hematnya aku yakin ada yang
mendalangi atas perbuatannya itu." kata Amarsa Ra-
wut sambil memberi aba-aba agar Pendekar gelugut
Sutra segera meninggalkan tempat itu. Lelaki seten-
gah, tua ini pun langsung menunggangi kudanya.
"Aku khawatir Kuncoro Sona sendiri yang men-
jebak semua para undangan." Pendekar Gelugut Sutra
membawa kudanya melangkah mengikuti Amarsa Ra-
wut.
"Dugaanku pun demikian. Tapi kita lihat saja
nanti." jawab Amarsa Rawut.
Keduanya meninggalkan perbatasan hutan
Kumba Rawa. Membiarkan mayat-mayat orang-orang
Perguruan Teratai Kencana' tetap bergelimpangan. Tu-
juan mereka sebuah desa terpencil. Mereka berjalan
terus menunggangi kuda. Semakin lama semakin jauh,
kemudian lenyap tersapu kabut yang mulai turun sore
itu.
***
Berlari dan terus berlari, Nyi Awak Ceger terus
memegangi luka di kepalanya. Sedangkan tubuhnya
entah seperti apa rasanya. Dia sudah membayangkan
bekas-bekas hantaman Pendekar Gelugut Sutra pasti
memar di sekujur punggungnya.
Langkahnya semakin cepat ketika ia ada di de-
pan sebuah gubuk usang. Sebelum ia memasukinya,
terlebih dahulu Nyi Awak Ceger menoleh ke belakang.
Ia khawatir sekali kalau pelariannya itu dibuntuti oleh
kedua Pendekar Buntung itu.
Setelah yakin betul-betul aman barulah ia ma-
suk. Dalam keadaan gelap seperti itu, tempat kedia-
man Nyi Awak Ceger sangatlah
menyeramkan. Hampir seluruh dinding bilik
serta atap jerami diselubungi oleh tanaman merambat.
Ruangan itu lebih mirip di sebut goa semak.
"Pendekar-pendekar sial! Belum pernah aku
menghadapi ilmu yang dimiliki oleh dua Pendekar
Buntung itu. Setahuku, jurus-jurus Perguruan 'Guci
Perak' maupun Pendekar Gelugut Sutra tidaklah demi-
kian." gerutu Nyi Awak Ceger.
Lalu duduk di atas sebuah balai berlapis bulu
domba. Sambil duduk begitu ia membuka pakaiannya.
Maka masih nampaklah tubuh ramping memikat, wa-
laupun dalam keadaan remang. Dia membiarkan tu-
buhnya telanjang bulat. Kedua tangannya membersih-
kan darah di sekitar kepalanya.
Saat itu pintu gubuk terbuka lagi. nampak dua
orang lelaki telanjang dada memasukinya. Mereka ti-
dak lain dua pengikut Nyi Awak Ceger, mereka pun
langsung dapat melihat tubuh bugil majikannya. Se-
perti sudah terbiasa, mereka malah mendekat.
"Kami sudah menyampaikan berita kematian
orang-orang 'Angin Manik' kepadanya, Nyai. Beliau
menugaskan lagi untuk menghadapi Maung Logaya.
Dan juga orang-orang dari 'Guci Perak'." kata Pitu
Langsa yang bertubuh lebih kekar.
"Kalau tidak salah, Maung Logaya sering dis-
ebut orang: Siluman Arak Sakti. Aku belum pernah
mengukur kehebatannnya. Tapi terhadap para Pende-
kar Buntung dari 'Guci Perak' kita harus waspada."
jawab Nyi Awak Ceger. Dia sudah terbiasa dalam ruan-
gan itu membugil. Membiarkan kedua pengikutnya
menatap liar sekujur tubuh mulusnya.
"Kami tahu di mana sekarang pemabuk sial itu
berada." ujar seorang lagi.
"Heh, rupanya kalian sudah berhadapan den-
gannya." kata Nyi Awak Ceger.
"Tua bangka keparat itu tidak sendirian. Dia
bersama seorang pemuda." jawab Pitu Langsa.
"Kalau begitu besok saja kita bereskan mereka."
tukas Nyi Awak Ceger. Ia membaringkan tubuhnya di
atas balai. Kedua pengikutnya tetap berdiri menatap.
"Nyi.... He-he-he-he...." Pitu Langsa nyengir, ia
menyikut lelaki di sebelahnya.
"Ada apa?" tanya Nyi Awak Ceger menggeliat.
Darah kedua laki-laki ini makin terkesiap melihat dua
buah dada yang ranum yang menyembul berguncang.
"He-he-he-he.... Malam ini giliran siapa?" Pitu
Langsa menunduk. Lelaki di sebelahnya juga. Tanpa
menoleh Nyi Awak Ceger menjawab.
"Kalian berdua boleh bermain denganku malam
ini." Nyi Awak Ceger terlentang pasrah. Kedua kakinya
langsung mengangkang.
***
Hari yang ditentukan oleh Kuncoro Sona tinggal
sehari lagi. Umbul-umbul serta hiasan sudah meme-
nuhi pelataran Perguruan 'Dewa Tenggara'. Semua
muridnya hari ini begitu banyak nampak berjaga-jaga
siap menyambut.
Kuncoro Sona bersama orang-orang andalan-
nya berkumpul di sebuah ruangan yang menghadap
pelataran. Gerak-geriknya sangat resah. Begitu juga
dengan kelima orang yang sedari tadi memandangi. Ke-
tika Kuncoro Sona melangkah ke luar menuju pelata-
ran. Kelima orang ini bangkit mengikuti. Mereka men-
giring Kuncoro Sona menuju pintu gerbang. Saat me-
reka mendekati para penjaga pintu....
"Guru.... Beberapa orang mulai berdatangan."
kata salah seorang penjaga pada Kuncoro Sona. Lapo-
ran itu membuat hati majikan 'Dewa Tenggara'. cukup
senang. Dari situ mereka memang dapat melihat tiga
ekor kuda berlari sangat cepat menuju ke arah pergu-
ruan.
"Bersiap-siaplah menyambut mereka." perintah
Kuncoro Sona. Dia tetap berdiri di depan pintu menan-
ti kedatangan tiga orang itu. Melihat kedatangan yang
sangat tergesa-gesa itu Kuncoro Sona merasa heran.
"Mereka para pentolan di Selatan dari Pergu-
ruan 'Kilat Buana'. Apa yang membuat kedatangan
mereka seperti dikejar-kejar setan?" tanya Kuncoro pada diri sendiri. perasaan itu ia simpan sampai ketiga
undangan itu turun dari kudanya.
"Selamat datang, orang-orang 'Kilat Buana'. Te-
rima kasih atas luangan waktu kalian ini." sambut
Kuncoro Sona. Para penjaga pintu gerbang juga ikut
menyambut mengantarkan kuda-kuda mereka.
"Maaf kalau kedatangan kami ini terlambat.
Sudah adakah perguruan lain yang datang?" kata ma-
jikan 'Kilat Buana' langsung melangkah mendekati
Kuncoro Sona.
"Belum, justru kalian manusia-manusia perta-
ma." jawab Kuncoro Sona. Ketiga orang 'Kilat Buana'
saling tatap.
"Tidak tahukah kalau di sana telah terjadi se-
suatu? Beberapa perguruan telah hancur dihadang
oleh seorang pembantai berilmu tinggi. Kami menemu-
kan mayat-mayat mereka bergelimpangan di sekitar
hutan Kumba Rawa. Di antaranya Perguruan 'Angin
Manik' dan 'Teratai Kencana'." Salah seorang menje-
laskan.
"Astaga...!" Kuncoro Sona seakan tidak percaya.
"Melihat keadaan mereka pastilah itu perbua-
tan Nyi Awak Ceger. Aku jelas betul melihat tanda-
tanda adanya 'Racun Kuku Wesi' pada tiap-tiap kor-
ban."
"Keparat! Lagi-lagi perempuan cabul itu yang
bikin ulah. Tidak kusangka kalau undangan perte-
muan ini akan membawa bencana. Pastilah ada yang
membocorkan rahasia pertemuan ini." gerutu Kuncoro
Sona.
Saat itu datang lagi beberapa ekor kuda. Kali
ini dari Perguruan 'Gunung Tambur'. Mereka empat
orang, perempuan semua. Mereka pun mendapat sam-
butan yang sama. "Ada apa ini? Nampaknya tegang se-
kali?" ujar seorang perempuan yang tidak lain majikan
Perguruan 'Gunung Tambur'.
"Ah, kiranya nona-nona cantik dari Gunung
Tambur. Mari silahkan masuk. Tidak baik kalau kita
bicara di sini." Kuncoro Sona menuntun mereka semua
masuk ke dalam. "Wuah rupanya kami telah keduluan
dengan orang-orang 'Kilat Buana'." celetuk salah seo-
rang perempuan itu.
*
* *
DELAPAN
"Soal kehadiran kami memang selalu nomor sa-
tu. Tapi tak usah risau, kita belum terlambat mengiku-
ti pertemuan. He-he-he-he...." ujar majikan 'Kilat Bua-
na'.
"Betul. Kalian bisa beristirahat sambil menung-
gu yang lain di sini. Kita bisa ngobrol-ngobrol untuk
pembicaraan yang serius tadi." kata Kuncoro Sona. Ia
berjalan paling dulu. Sedangkan lima orang andalan-
nya berjalan di belakang mengiringi mereka. Namun
sebelum mereka memasuki ruangan yang menghadap
ke pelataran....
"Hoooooy...! Tunggu...!" Terdengar lagi teriakan
seseorang bersama derap kaki kuda yang menderu-
deru. Semuanya serempak menoleh. Dilihatnya Pende-
kar Sapu Angin seorang diri tergesa-gesa. Ia menye-
rahkan kudanya pada penjaga pintu gerbang.
"Mentang-mentang datang sendirian, kalian ti-
dak memperdulikan aku." ujar pendekar Sapu Angin.
Senjatanya terselip di pinggang belakang. Mirip sebuah
sapu berukuran kecil, tapi semua kalangan persilatan
tahu akan keampuhan senjata itu. Sebentar saja pendekar itu dapat menyusul mereka.
"Kebetulan, kebetulan.... Ada Pendekar Sapu
Angin di sini. Kita bisa menyapu bersih semua kekeru-
han 'Partai Dewa Tenggara'." gurau majikan 'Kilat Bu-
ana'.
"Siapa yang tahu kedatangan tokoh sakti ini,
munculnya saja kayak setan." Kuncoro Sona merang-
kul pendekar itu. Lalu semuanya masuk. Dibarengi
dengan derai tawa mereka.
Di ruangan itupun mereka langsung memilih
tempat. Sengaja Kuncoro menyusun bantalan-bantalan
empuk melingkar. Sehingga mereka nampak duduk
berderet seperti lingkaran.
Nara Subala orang yang paling dipercayai Kun-
coro Sona beranjak ke dapur. Tak lama pun ia keluar
membawa nampan berisi belasan gelas bambu. Lalu ia
kembali lagi ke dapur untuk mengambil air.
"Aku sangat terpukul mendengar penjelasan
dari Saudara Kilat Buana yang mana telah menjumpai
mayat-mayat orang-orang perguruan Angin Manik
maupun Teratai Kencana." Kuncoro Sona mengawali
pembicaraan mereka.
"Ah! Bagaimana mungkin mereka bisa tewas di
daerah ini?!" Majikan Gunung Tambur yang sangat
cantik ini setengah kurang percaya.
"Apa yang kami lihat benar-benar kenyataan.
Lebih jelas lagi kalau itu perbuatan perempuan cabul
dari golongan sesat." Majikan Kilat Buana menimpali.
"Perempuan cabul?" ulang Pendekar Sapu An-
gin.
"Ya, dia tidak lain Nyi Awak Ceger. Memiliki Ra-
cun Kuku Wesi yang sangat mematikan. Dalam perte-
muan nanti kita akan membicarakan soal gerombolan
mereka." jawab Kuncoro Sona.
"Rasanya tidak masuk akal. Perempuan itu sudah lama tidak menampakkan diri. Kenapa tiba-tiba
saja dia muncul menghadangi setiap para undangan.
Maaf, Kuncoro Sona, kami yakin kalau dalam Partai
Dewa Tenggara ada seekor kutu 'Busuk' bermuka dua.
Sudah jelas maksud kutu busuk itu ingin menggagal-
kan pertemuan kita." Majikan Gunung Tambur berkata
blak-blakan. Kuncoro Sona merasa terpojok. Dia sendi-
ri bukannya tidak tahu kalau ada yang sengaja mem-
bocorkan rahasia undangan. Tapi siapa yang harus di-
tuduh? Kelima orang andalannya tidak menandakan
rasa curiga. Selama ini mereka juga ikut memikirkan
keterlambatan para undangan. Kuncoro Sona hanya
bisa menghela nafas.
"Orang-orang Angin Manik dan Teratai Kencana
merupakan dua perguruan yang sangat kuat. Kita-kita
jauh dibanding dengan mereka. Perempuan itu benar-
benar licik. Dia menggulingkan pentolan-pentolannya
dulu. Setelah itu mungkin giliran kita." ujar majikan
Kilat Buana.
"Takut apa kalau hanya menghadapi iblis beti-
na itu? Mati pun aku puas bila sudah berhadapan
dengannya." kata Pendekar Sapu Angin. Lalu ia mene-
ruskan kata-katanya lagi...
"Secepatnya kita harus bisa membongkar siapa
dalang di balik semua ini. Sebagai orang-orang persila-
tan aliran lurus, aku bersedia membantu."
"Heh! Memangnya hanya kau yang merasa dari
golongan lurus? Aku pun tidak tinggal diam kalau ma-
salah ini belum terbongkar." Perempuan-perempuan
dari Gunung Tambur tidak kalah semangat.
"Biar nanti aku yang memberi hukuman terha-
dap perempuan cabul itu!" Pendekar
Sapu Angin kertakkan rahang.
"Kita masih menunggu yang lain. Juga penda-
pat mereka nanti harus kita terima." ujar Kuncoro Sona.
"Sekarang jangan bersitegang dulu. Bukankah.
kalian masih lelah setelah beberapa hari menempuh
perjalanan? Diminum dulu-lah airnya." kata Nara
Subala yang sejak tadi sudah memenuhi gelas-gelas
bambu di hadapan mereka.
"Apakah Kakek Siluman Arak Sakti tidak kau
undang?" kata Pendekar Sapu Angin sambil meraih ge-
las berisi air.
"Mana bisa aku melupakan kakek itu. Biar dia
seorang pemabuk, pendapatnya selalu jernih dan te-
nang. Kemampuannya pun setaraf dengan majikan
Angin Manik. Jelas dia akan membantu kita. Entahlah
dengan orang-orang 'Guci Perak'. Seandainya mereka
tidak datang aku bisa memakluminya. Karena mereka
masih digeluti duka cita." Kata Kuncoro Sona.
"Memang malang nasib orang-orang 'Guci Pe-
rak'. Konon kabarnya Pendekar Gelugut Sutra juga
ikut bergabung dengan Perguruan Guci Perak. Sangat
disayangkan waktu munculnya 'Durjana Pemenggal
Kepala' mereka tidak memberi kabar. Itu kesalahan-
nya." ujar majikan kelompok Gunung Tambur.
"Tapi kita harus angkat jempol untuk mereka.
Buktinya mereka bisa menanggulangi si Durjana Pe-
menggal Kepala itu.
***
Mendengar berita telah berdatangan tokoh-
tokoh aliran lurus di pesanggrahan 'Dewa Tenggara',
Nyi Awak Ceger ini terus bermuram durja. Saat itu ia
bersama dua orang pengikutnya berada di dataran
tinggi berbatu. Dari situ mereka bisa mengawasi kea-
daan Partai 'Dewa Tenggara'. Dua orang pengikutnya
yang bersenjata gada berduri berdiri pada batu karang
paling tinggi. Mereka terus mengawasi sekitar tempat
itu. Nyi Awak Ceger diam memainkan kesepuluh kuku-
kuku runcingnya.
"Mereka mulai berdatangan, Nyai. Aku tidak
dapat jelas siapa mereka." kata Pitu Langsa sambil
mempertajam penglihatannya.
"Kita tidak ditugaskan untuk menghadang me-
reka. Berarti mereka tidak berbahaya." kata orang yang
satunya lagi. Nyi Awak Ceger bangkit, ia melangkah ke
atas. Dan ikut memandangi suasana Partai Dewa
Tenggara.
"Apakah racun yang kuberikan sudah kalian ki-
rimkan?" tanya Nyi Awak Ceger.
"Sudah, beliau sendiri yang menerimanya." ja-
wab Pitu Langsa. Nyi Awak Ceger tersenyum lebar...
"Bagus. Dalam beberapa hari ini mereka pasti
bakal tewas semua." kata perempuan itu mantap.
"Sssst.... Nyi, coba lihat di sebelah sana."
Serempak Nyi Awak Ceger dan Pitu Langsa me-
noleh ke arah lain. Nampak dua sosok menunggangi
seekor kuda melintasi jalan itu. Meski dalam jarak
jauh seperti itu Pitu Langsa dapat mengenali siapa dua
penunggang kuda tersebut.
"Ho-ho.... Mereka si kakek pemabuk itu ru-
panya." Pitu Langsa tergelak-gelak.
Kebetulan, tanpa dicari mereka datang sendiri.
Ayo suami-suamiku hadang mereka!" perintah Nyi
Awak Ceger. Keduanya menurut.
Wintara menghentikan langkah kudanya ketika
di hadapannya berlompatan dua sosok telanjang dada
mengibas-ngibaskan dua gada berduri. Wintara masih
ingat betul siapa kedua orang itu. Maka ia menoleh ke
belakang di mana Siluman Arak Sakti duduk berpe-
gangan.
"Kek, musuh-musuhmu datang lagi." bisik Win
tara. Kakek Siluman Arak Sakti tidak menyahut. Ru-
panya ia tertidur sambil berpegangan erat di pinggang
Wintara. Kudanya terus melangkah meski dua orang
bersenjata gada berduri menghadang.
"Kedua paman yang murah hati, sebaiknya
memberi jalan untuk kudaku ini. yang tidak pernah
ikut campur dalam urusan persilatan hanya bermak-
sud mengantarkan kakek ini." Wintara berusaha ra-
mah. Dua orang penghadang ini menyeringai.
"Tidak mudah untuk mencapai Partai 'Dewa
Tenggara' anak tengik. Kau harus melewati kami dulu!"
bentak Pitu Langsa.
"Aku khawatir kakek pemabuk akan menghajar
pantatmu lagi, Paman. Wataknya bengis apalagi seka-
rang ia mabuk betul." ujar Wintara.
"Ngoceh sembarangan! Suruh dia turun, biar
kepalanya kuhancurkan! Kalau perlu kau pun akan
kubuat dendeng, anak tengik!" Seorang lagi murka, ia
mengacung-ngacungkan senjatanya.
"Goblok! Kalian hanya buang-buang waktu!
Langsung saja gempur! Tidak perlu basa-basa lagi!" Je-
las itu suara Nyi Awak Ceger. Tapi perempuan itu be-
lum menampakkan diri.
Demi mendengar suara itu, kedua penghadang
ini serempak melompat sambil melepaskan hantaman
gada berduri. Sebelum hantaman itu mengena, Winta-
ra menendang salah satu hantaman itu. Kemudian ia
melompat dari kudanya. Kakek Siluman Arak Sakti te-
tap tertidur berpegangan. Kakek ini sama sekali tidak
terjaga meskipun Wintara bergerak-gerak menghadapi
dua orang lawan.
Ketika hantaman itu datang dari arah yang ber-
lawanan, Wintara merentangkan kedua tangannya.
Itulah salah satu jurus yang dinamakan 'Menyibak Ti-
rai Bayu'. Meski nampak pelan pendekar ini merentangkan kedua tangannya, tak urung dua orang la-
wannya ini terjungkal hebat. Begitu juga dengan si ka-
kek yang berpegangan erat di pinggang Wintara. Ikut
terlempar juga. Tenaga dalam yang dikerahkan Winta-
ra ini sangat luar biasa. Mengetahui Kakek Siluman
Arak Sakti terlempar, Wintara berlari ke arahnya.
"Waaah.... Benar-benar kebluk. Kakek Siluman
Arak Sakti, bangun!" teriak Wintara. Si kakek tetap
mendengkur seolah tidak terjadi apa-apa. Manakala
dua penyerang ini makin beringas melancarkan seran-
gan. Terpaksa pula Wintara menghadapi.
Dalam menghadapi dua orang lawan ini, sebe-
narnya Wintara mudah untuk melumpuhkan mereka.
Ia hanya khawatir melihat si kakek tetap tertidur. Ma-
kanya saat mereka serempak menerjang, Pendekar Ke-
lana Sakti sengaja menghadapinya. Dan berusaha
memancing agar pertempuran mereka jauh dari tempat
si kakek.
Hantaman-hantaman gada berduri buas men-
cecar kepala. Wintara berkelit ke bawah. Sambil mele-
paskan pukulan 'Tinju Bayu Delapan Penjuru'. Tanpa
bisa menghindari lagi kedua lawannya ambruk bergu-
lingan. Keduanya menyemburkan darah. Tanpa mem-
beri kesempatan mereka bangkit, Wintara menerjang
dengan hantaman-hantamannya lagi.
Saat itu dari arah lain meletik sepuluh tahi ku-
ku membara mengarah deras ke arah Pendekar Kelana
Sakti. Tapi tebaran Racun Kuku Wesi itu mendadak
berhamburan tanpa mengenai tubuh Wintara. Kakek
Siluman Arak Sakti telah menangkis dengan semburan
araknya.
Wintara sendiri sudah menyadari kalau ia telah
diselamatkan Siluman Arak Sakti. Maka ia tidak tang-
gung-tanggung lagi lanjutkan niatnya untuk menghan-
tam ke dua lawannya. Meledaklah teriakan Wintara
membahana. Kedua telapak tangannya mengarah tepat
dengan jurus 'Bayu Menghembus Tebing’. Kedua len-
gan itu nampak bergulung-gulung menimbulkan su-
ara angin yang menderu-deru.
Dan ketika kedua telapak tangan Wintara
menghantam tepat mengenai mereka, tidak ampun lagi
kedua orang telanjang dada itu mencelat membentur
dataran berbatu. Satu di antaranya tewas dengan tu-
lang dada remuk. Satu lagi tewas saat kepalanya han-
cur membentur batu. Mengenaskan. Wintara sendiri
tidak bermaksud membunuh mereka. Dia tidak yakin
hantamannya sedahsyat itu. Wintara masih terheran-
heran....
"Aku yang melancarkan pukulan jarak jauh,
Wintara." Kakek Siluman Arak Sakti bangkit dari ti-
durnya. Barulah Wintara tahu kalau kematian mereka
tadi akibat hantaman si kakek pemabuk.
"Mereka memang pantas menerima kematian.
Tidak perlu dipikirkan nyawa-nyawa anjing mereka.
Entah sudah berapa banyak korban yang bergelimpan-
gan akibat ulahnya." Kakek pemabuk tersenguk-
senguk saat melangkah ke arah Wintara. Lalu ia me-
nenggak arak lagi.
"Lawan kita belum tuntas, Kek. Bukankah tadi
kau telah menyelamatkan aku dari senjata-senjata ra-
hasia?"
"Prrrrrrts...!" Kakek Siluman Arak Sakti seperti
terselak mendengar ucapan Wintara.
Wajahnya yang merah hangus memandang
berkeliling sambil mendengus-dengus.
"Nyi Awak Ceger...! Kenapa harus sembunyi-
sembunyi! Ayo keluar! Jangan bertingkah macam kutu
busuk!" bentak kakek. Suaranya lantang menggema di
dataran itu. Wintara ikut mengawasi dengan pandan-
gan yang berkeliling. Yang nampak hanya batu-batu
besar setinggi rumah menghampar.
Dari balik batu-batu itu pula melesat ke atas
sosok ramping Nyi Awak Ceger. Ia langsung berdiri di
puncak batu sambil menatap geram ke arah mereka.
"Kalian telah membunuh dua orang pengikut
setia ku! Kalian berdua harus menebus dengan nyawa
kalian!" Nyi Awak Ceger murka.
"Wuah maling teriak maling! Siapa sebenarnya
di antara kita yang berniat membunuh? Bukankah ka-
lian yang diam-diam menghadang kami? Lihat-lihat
dulu kalau mau menghadapi orang!" ujar Kakek Silu-
man Arak Sakti.
"Keparat...!" Nyi Awak Ceger menjentikkan jari
jemarinya. Maka meletiklah Racun Kuku Wesi yang
terkenal ampuh. Benda-benda kecil namun mematikan
itu menghujan ke arah mereka. Wintara berjumpalitan
menghindar. Kakek Arak Sakti menyembur
kan arak dari mulutnya. Terlihatlah senjata-
senjata rahasia beracun itu meluruk ke bawah mem-
bakar bumi.
"Segala tahi kuku macam upil saja kau pamer-
kan! Mana lagi senjata andalanmu. Tunjukkan pada si
kakek peyot ini!" Kakek Siluman Arak Sakti malah me-
nerjang melepaskan hantaman. Tidak kalah hebat Nyi
Awak Ceger menyambut.... "Bledaaar!" Hantaman me-
reka beradu. Kakek Siluman Arak Sakti terguling ter-
kena hantamannya sendiri. Melihat itu pun Nyi Awak
Ceger terus melancarkan serangan gencar. Sudah ten-
tu Wintara tidak tinggal diam.
Dengan memberanikan diri Pendekar Kelana
Sakti. ini menggagalkan serangan Nyi Awak Ceger.
*
* *
SEMBILAN
Terhadap Pendekar Kelana Sakti Nyi Awak Ceg-
er terlalu pandang remeh. Serampangan ia melancar-
kan pukulan. Makanya saat Wintara menangkis han-
tamannya, Nyi Awak Ceger memekik hebat. Tinjunya
serasa berdenyut hebat. Dengan begitu kakek Siluman
Arak Sakti mendapat kesempatan untuk bangkit lagi.
Sempat pula Kakek Siluman Arak Sakti melihat
kegesitan Wintara. Dia hanya tersenyum kecut melihat
Nyi Awak Ceger begitu kewalahan. Apalagi saat Winta-
ra melepaskan pukulan 'Bayu Menghantam Karang'.
Bagi kakek pemabuk ini jurus itu sangat aneh. Karena
begitu hantaman itu mengena, Nyi Awak Ceger lang-
sung mundur bagai diseruduk banteng, juga menyem-
burkan darah dari mulutnya.
"Aha.... Rupanya kau memiliki kepandaian ju-
ga, Wintara. Tapi sebaiknya biarkan perempuan cabul
itu menjadi bagianku!" Kakek pemabuk tahu-tahu su-
dah berdiri di hadapan Pendekar Kelana Sakti.
"Ilmu yang kumiliki hanya untuk sekedar pen-
gusir kutu busuk! Tiada gunanya sama sekali." jawab
Wintara sambil menatap Siluman Arak Sakti memen-
tang jurus-jurusnya yang nampak lemah dan limbung.
Nyi Awak Ceger sudah bangkit dengan tatapan yang
nanar. Kuku-kukunya yang runcing meregang siap
menebarkan Racun Kuku Wesi.
"Mustahil kalau kalian tidak mampus di tan-
ganku, pendekar-pendekar dungu! Hreeaaaaa...!" Sam-
bil menerjang begitu Nyi Awak Ceger menjentik-
jentikkan jari jemarinya. Setengah mati Kakek Siluman
Arak Sakti maupun Wintara menghindari hujan Racun
Kuku Wesi. Kali ini mereka baru tahu akan kehebatan
Nyi Awak Ceger. Pantaslah kalau orang-orang Angin
Manik dan Teratai Kencana tidak sanggup menghadapi
perempuan cabul ini.
Berkali-kali kakek pemabuk menyemburkan
araknya untuk meruntuhkan hujan Racun Kuku Wesi.
Bagi Wintara cukup mengandalkan hantaman Tinju
Bayu Delapan'. Maka senjata-senjata rahasia Nyi Awak
Ceger seperti menghambur berbalik. Kakek Siluman
Arak Sakti tidak sempat melangkah mundur. Jaraknya
begitu dekat dengan Nyi Awak Ceger yang tidak pernah
berhenti melancarkan serangan. Kakek itu harus repot
menghindari hantaman-hantaman serta tahi kuku. Se-
saat setelah ia mendapat kesempatan menarik dirinya,
sempat pula ia menenggak arak.
Namun Nyi Awak Ceger lebih dulu menebarkan
Racun-racun Kuku Wesinya. Tanpa bisa dihindari lagi
kakek pemabuk memekik. Saat ia menenggak arak,
pundinya hancur bersama masuknya senjata-senjata
rahasia ke wajah Kakek Siluman Arak Sakti.
Wintara terlambat menyelamatkan. Namun ia
tetap melompat melindungi. Kakek Siluman Sakti ber-
kelojotan dalam lindungan Pendekar Kelana Sakti.
Pendekar muda ini pun harus melompat berpindah-
pindah menghindari serangan-serangan Nyi Awak Ceg-
er.
"Hi-hi-hi-hi.... Percuma kau selamatkan kakek
keropos itu, Anak muda! Dia sudah mampus!" kata Nyi
Awak Ceger mengerikan.
Bukan main marahnya Wintara saat melihat
tubuh Kakek Siluman Arak telah biru kaku. Setelah ia
melompat menghantamkan serentetan tendangan. Tu-
buh kurus yang telah tewas itu diletakkan pada per-
mukaan dataran berbatu. Gerakannya yang lincah
menyongsong hantaman-hantaman Nyi Awak Ceger.
Sedari tadi perempuan ini sudah merasa kalau
anak muda yang ia hadapi ini sangatlah berilmu tinggi.
Maka ia berusaha mengelabui dengan akal genitnya.
Jurus-jurus 'Perayu Sukma' tidak putus-putusnya
menggasak Wintara. Namun selama menghadapi pe-
rempuan ini Wintara tetap konsentrasi penuh. Nyi
Awak Ceger sengaja menonjolkan gerakan-gerakan
yang amat merangsang. Hal itu guna membuyarkan
perhatian pendekar muda ini.
Tapi semua usaha Nyi Awak Ceger tidak mem-
pan. Malah tidak segan-segan Wintara menyebarkan
serentetan pukulan 'Bayu Menghempas Gelombang'.
Terlihat dua telapak tangan Wintara menyentak-
nyentak mengeluarkan tenaga dalam yang sangat dah-
syat. Akibatnya sungguh fatal pula. Sekali saja terkena
hantaman itu Nyi Awak Ceger terpelanting jatuh ban-
gun. Di tambah lagi dengan sabetan kaki yang meng-
hantam perut. Tulang-tulangnya seperti remuk. Den-
gan lemas pula ia berusaha bangkit.
Sebelum Wintara melepaskan hantamannya,
Nyi Awak Ceger melesat ke atas puncak
bukit batu. Mengingat akan keampuhan Racun
Kuku Wesi Wintara tidak langsung menyusul. Tapi pe-
rempuan itu memancing agar Wintara mendekatinya.
Padahal ia sudah bersiap-siap menebarkan senjata
Tahi Kukunya.
"Wintara...!" Terdengar sebuah teriakan, juga
derap kaki kuda yang mengarah ke tempat itu. Nyi
Awak Geger sangat terkejut melihat siapa yang datang
itu. Mereka tidak lain Pendekar Gelugut Sutra bersama
Amarsa Rawut.
"Jangan biarkan perempuan cabul itu lolos!" te-
riak Pendekar Gelugut Sutra. Kuda-kuda mereka ber-
lari kencang mendekat. Melihat kedatangan mereka
Wintara bertambah semangat. Lalu kedua tangannya
menjurus ke depan melepaskan hantaman. Mengeta-
hui adanya 'Penyakit' Nyi Awak Ceger cepat menyingkir. Sekali ia berjumpalitan, hantaman Wintara nyeplos
menghancurkan puncak batu.
"Anak muda...! Lain kali kita boleh bertarung
lagi! Sekarang aku tidak sempat melayanimu!" teriak
Nyi Awak Ceger. Larinya bagai angin. Sebentar saja ia
sudah hilang.
Wintara tidak bermaksud mengejarnya. Ia sen-
gaja menunggu kedatangan Dua Pendekar Buntung itu
mendekati.
"Sayang kau biarkan perempuan merat, Winta-
ra. Dia telah membunuhi orang-orang persilatan. Ke-
palanya harus di penggal. Hukuman itu yang pantas
untuknya." gerutu Pendekar Gelugut Sutra.
"Kakek Siluman Arak Sakti pun telah menjadi
korbannya. Perempuan itu berkemampuan sangat
tinggi. Aku yakin betul kalau ia belum mengerahkan
seluruh kemampuannya." jawab Wintara. Bibirnya
monyong mengarah pada sosok kurus kakek pemabuk
yang terbujur kaku. Dua Pendekar Buntung ini menge-
ryitkan alis mengikuti pandangan Wintara.
"Sungguh malang nasibnya. Sepak terjangnya
dalam dunia persilatan sangat di segani. Kakek ini se-
benarnya dari golongan sesat. Sepuluh tahun yang lalu
ia bergabung dengan orang-orang aliran lurus. Gerom-
bolan aliran sesat pernah dibuat berantakan. Tapi se-
karang...." Amarsa Rawut tidak melanjutkan penjela-
sannya. Karena riwayat Kakek Siluman Arak Sakti ini
lebih banyak diketahui oleh Pendekar Gelugut Sutra.
"Apakah kalian juga akan menghadiri undan-
gan Kuncoro Sona?" tanya Wintara.
"Betul. Dan nampaknya selama dalam perjala-
nan ada yang tidak beres. Seseorang telah mendalangi
Nyi Awak Ceger untuk menghadang tiap-tiap undan-
gan. Sekarang aku malah curiga dengan Kuncoro Sona
sendiri." ujar Amarsa Rawut. "Undangan ini tidak se
perti biasanya. Aku sendiri kurang mengerti." kata
Pendekar Gelugut Sutra.
Orang-orang persilatan dari aliran lurus seperti
terperangkap." katanya lagi. "Sudah kepalang tang-
gung, Paman. Tadinya pun aku berniat akan mengha-
diri undangan itu bersama Kakek Siluman Arak Sakti."
kata Wintara.
"Kalau begitu kau bisa meneruskan perjalanan
bersama kami, sobat Wintara." kata Amarsa Rawut.
Wintara tidak menyahut. Ia langsung menaiki
kudanya. Dan melangkahkan kudanya beriringan den-
gan mereka.
"Dunia betul-betul terasa sempit. Tidak disang-
ka-sangka kita bisa berkumpul kembali. Mari kita be-
rangkat." tukas Wintara!
"Hreeeaaa...!" Amarsa Rawut menghela kudanya
kuat-kuat. Maka ketiga ekor kuda itu berlari kencang
saling susul. Derap kaki kuda mereka berderak-derak
menyentak dataran tanah berbatu. Asap debu bergu-
lung-gulung mengiringi kepergian mereka.
"Pendekar-pendekar tolol! Setibanya di sana ka-
lian akan mampus semua!" Teriak Nyi Awak Ceger
menggema. Sumbernya entah dari mana. Yang pasti
teriakan itu sertai dengan gelombang suara bertenaga
dalam. Sehingga dalam keadaan jarak yang
sangat jauh dapat terdengar jelas oleh ketiga pendekar
ini. Namun mereka tidak memperdulikan suara-suara
teriakan Nyi Awak Ceger. Mereka terus memacu ku-
danya kuat-kuat menuju pemukiman orang-orang Par-
tai Dewa Tenggara*.
"Percuma, pendekar-pendekar tolol! Mereka
semua yang ada di sana telah menjadi makanan car-
ing!" Teriakan Nyi Awak Ceger menggetarkan telinga
mereka. Teriakan itu akhirnya menghilang dengan
sendirinya. Tersapu oleh derap kaki kuda yang bertalu-talu bagai genderang perang.
*
* *
SEPULUH
Kuncoro Sona agak kecewa. Karena undangan
yang hadir hanya enam partai. itu menjadi tuntutan
pertanyaan-pertanyaan dari pihak lain. Sembilan par-
tai tidak hadir. Semuanya menjadi gusar. Apalagi me-
reka mengetahui beberapa partai perguruan tewas da-
lam perjalanan. Peristiwa itu menjadi pokok pembica-
raan dalam pertemuan hari ini.
Ruangan yang semestinya penuh dengan orang-
orang persilatan, hari itu nampak agak berkurang.
Namun begitu keadaan di luar maupun sekitar pintu
gerbang dijaga ketat oleh orang-orang Partai 'Dewa
Tenggara'. Mereka bersiap siaga kalau-kalau ada sesu-
atu yang tidak diinginkan. Sampai saat ini keadaan
masih tetap aman.
Kuncoro Sona duduk berderet bersama kelima
orang kepercayaannya. Sedang para tamu undangan
duduk bersila berhadapan. Suasana dalam ruangan
khusus itu menjadi riuh saat mereka membicarakan
pokok persoalan mengenai seorang tokoh sesat macam
Nyi Awak Ceger.
Kemunculan Nyi Awak Ceger yang seperti
membuat teror itu benar-benar membuat murka kee-
nam partai yang mengikuti pertemuan. Namun dalam
mengeluarkan pendapat, mereka tetap dengan kepala
dingin.
"Bukan kami tidak sanggup mencari di mana
adanya Nyi Awak Ceger. Perempuan sadis itu selalu
muncul di luar dugaan kami. Bahkan orang-orang
'Dewa Tenggara' sendiri sudah banyak yang menjadi
korban. Soal menghadapi kemampuannya, kami sudah
mengerahkan beberapa orang. Tapi selalu saja kami ti-
dak dapat menjumpai tokoh sadis itu." ujar Kuncoro
Sona.
"Sebelum terlambat atau merajalela. Kita sepa-
kati saja untuk meringkus setan cabul itu bersama-
sama. Perempuan itu memang licik. Kita tidak bisa
menyalahkan Kuncoro Sona." kata Pendekar Sapu An-
gin.
"Kalau kita belum bisa menemukan dia, mana
bisa kita ketahui dalang semua ini. Mana mungkin dia
sendirian berani merecoki di Tenggara. Kita semua ta-
hu. Semua tokoh sesat telah digulung mentah-mentah
oleh Kuncoro Sona." sambut Majikan Kilat Buana.
"Demikian hebatnyakah dia, sehingga orang-
orang Angin Manik dan Teratai Kencana tewas di tan-
gannya?" tukas partai lain.
"Ahh.... Sehebat apapun dia, kalau kita berge-
rak kompak, niscaya dia akan terkelupas kulitnya."
jawab perempuan cantik dari Gunung Tambur.
"Betul! Kita luangkan waktu beberapa hari
sampai kita betul-betul dapat menjerat perempuan ca-
bul itu!"
"Setuju! Kami setuju apa yang dikatakan oleh
Pendekar Guntur Kelud. Sebagai orang-orang aliran lu-
rus sudah sewajarnya membela ke langgengan dunia
persilatan." kata Partai Bukit Merak penuh semangat.
"Akuuuuuur...!" Serempak berteriak. "Terima kasih
atas niat saudara-saudara yang bermaksud akan
membantu Partai 'Dewa Tenggara'. Semoga saja kita
berhasil dalam menanggulangi iblis betina itu. Dan ju-
ga harap saudara-saudara sekalian tetap tenang." Kata
Kuncoro Sona. Ia bangkit berdiri. Dengan kedua tangan terangkat. Maka suasana riuh itu berubah senyap.
"Dalam pertemuan ini kami akan menunjukkan
sesuatu pada kalian. Harap semua tenang." kata Kun-
coro Sona lagi.
Semua undangan menatap tajam. Mereka diam
menunggu sesuatu yang akan diperlihatkan oleh maji-
kan 'Dewa Tenggara' ini. Kuncoro Sona menoleh ke
samping. Lalu ia memberi aba-aba pada Nara Subala.
Laki-laki yang telah mengerti akan aba-aba itu segera
bangkit.
Tanpa menunggu perintah lebih lanjut Nara
Subala melangkah meninggalkan ruangan itu.
"Kau sengaja membuat kami tegang, Kuncoro
Sona. Apa sebenarnya yang akan kau tunjukkan pada
kami?" tanya mereka penasaran.
"Sebenarnya bukan apa-apa. Mumpung kalian
semua berada di sini. Sekali-sekali kami ingin memper-
lihatkan barang pusaka milik Partai 'Dewa Tenggara'."
jawab Kuncoro Sona.
"Astaga! Dalam situasi yang begini kau ingin
mengeluarkan pusaka?" Pendekar Sapu Angin tidak
menduga.
"Hal ini berguna agar sesama perguruan saling
mengenal pusaka. Situasi memang sedang ricuh, tapi
apa yang mesti ditakuti? Bukankah kalian semua be-
rada di sini? Tidak mungkin segala kutu busuk berani
nyelinap merebut pusaka milik kami." jawab Kuncoro
Sona.
"Yang kami takuti justru ada musuh dalam se-
limut." tukas majikan Kilat Buana." Semua undangan
dalam ruangan itu saling pandang. Tak lamapun Nara
Subala datang kembali. Ia membawa sebuah nampan
berhias. Dalam nampan itu ada sesuatu yang terselu-
bung dengan selembar sutra emas.
Nara Subala menyerahkan nampan itu pada
Kuncoro Sona. Majikan Dewa Tenggara tidak mengam-
bilnya. Ia hanya membuka kain sutra emas sebagai
penutupnya.
Maka terlihatlah dua buah benda berkilat. Ben-
da itu mirip dua batang tongkat selebar dua jengkal.
Putih berkilat. Jelas tongkat-tongkat kecil bukan dari
logam biasa, warnanya yang seputih kaca menyala-
nyala.
"Inilah pusaka 'Dewa Tenggara' kami menama-
kannya Dua Batu Kutub Utara-Selatan. Nenek moyang
Dewa Tenggara telah menyimpannya selama beratus-
ratus tahun. Kedahsyatannya melebihi dari pedang se-
tajam apapun." jelas Kuncoro Sona. Nara Subala dipe-
rintahkan berjalan berkeliling agar semua para undan-
gan dapat melihat jelas. Semua mata memandang tan-
pa berkedip. Manakala sinar menyilaukan memancar
dari kedua benda tersebut.
"Aku berharap saudara-saudara sekalian bisa
mengenali dan juga saling menjaga. Pusaka sangat
perlu kita ketahui." ujar Kuncoro Sona.
"Melihat dari bentuknya, pastilah kedua senjata
ini sangat luar biasa." Majikan Bukit Merak berkata
kagum.
"Memang!" jawab Kuncoro Sona cepat. "Tapi
kami tidak pernah menggunakannya sama sekali."
Kata-kata itu membuat para undangan berde-
cak kagum.
Sementara itu di luar, suasana tetap sepi dan
tenang. Semua penjaga bersiap mengawasi sekitar
tempat itu. Dari pintu gerbang sampai sekeliling ban-
gunan berderet orang-orang Dewa Tenggara. Namun
suasana di luar pelataran mendadak dikejutkan oleh
beberapa orang penjaga yang tiba-tiba saja bergelintin-
gan di tanah.
Melihat kejadian itu pun para penjaga yang lain
berdatangan. Mereka mendapatkan lima orang teman-
nya kelojotan sambil memegangi perut. Dan yang lebih
aneh lagi semua orang yang berdatangan itu merasa-
kan sesuatu yang aneh dalam perut mereka. Tak la-
mapun semuanya bergelimpangan seperti menahan
sakit pada perutnya.
Begitu juga dengan para penjaga pintu gerbang.
Mereka semua mengalami hal yang sama. Satu demi
satu bergelimpangan menahan gejolak yang menga-
muk dalam perut mereka.
Jatuhnya orang-orang Dewa Tenggara itu dapat
terlihat jelas oleh para undangan. Kuncoro Sona sendi-
ri jadi terkejut. Nara Subala masih memegangi nampan
yang berisi benda pusaka. Demi keterkejutan itu mere-
ka semua bangkit. Mereka mengira seseorang yang
menyerang pemukiman Dewa Tenggara. Keadaan
ruangan jadi kacau.
Serempak mereka bermaksud berlari keluar.
Tapi baru saja beberapa langkah, beberapa orang ter-
masuk Kuncoro Sona bergulingan. Mereka mengalami
nasib yang sama seperti para penjaga di luar. Entah
mengapa mendadak perut mereka tiba-tiba seperti dis-
ayat-sayat.
Tak terduga pula semuanya ikut jatuh mena-
han sakit yang menyerang perut mereka. Ruangan itu
jadi kacau. Para pendekar mengerang-ngerang mena-
han sakit. Tak satupun yang dapat bangkit. Kecuali
Nara Subala. Ia tetap berdiri tegar memegangi nampan
berhias.
Laki-laki yang amat dipercaya oleh Kuncoro
Sona ini memandang tenang ke arah mereka. Kuncoro
Sona menggapai-gapai berusaha bangkit. Suaranya ti-
dak dapat keluar. Kedua matanya membelalak mena-
tap Nara Subala.
"Ha-ha-ha-ha-ha-ha...!" mendadak Nara Subala
tertawa terbahak-bahak. Ia meraih dua buah pusaka
'Dewa Tenggara'. Membiarkan nampan berhias ter-
banting di lantai.
"Betapa mudahnya aku menyingkirkan orang-
orang tolol ini. Selama bertahun-tahun akhirnya sam-
pai juga niatku untuk menguasai Pusaka 'Dewa Teng-
gara'...," Suara Nara Subala tajam bagai mata pedang.
Kedua tangannya erat menggenggam pusaka-pusaka
itu.
"Nara Su-Ba-la...! A-apa yang kau per-buat i-
ni...!" bentak Kuncoro Sona terputus-putus.
"Ketahuilah, selama ini minuman kalian telah
kuberi Racun Pengerat Usus. Kalian sudah tahu akan
keganasan racun ini bukan? Semakin kalian banyak
bergerak semakin cepat pula kalian menuju liang ku-
bur!" ujar Nara Subala.
"Khe-pha-rhat...!" Kuncoro Sona tidak mampu
berbuat apa-apa. Dan nampaknya semua orang dalam
ruangan itu sangat parah. Semuanya berusaha mene-
nangkan diri. Mereka berusaha menghimpun tenaga
untuk mematikan pengaruh racun.
"Aku yakin racun itu tidak ada artinya bagi ka-
lian. Kalau kalian gigih menyalurkan tenaga inti, maka
dalam dua jam kalian akan kembali normal. Tapi siapa
yang akan bertindak bodoh. Tentu saja sebelum me-
ninggalkan tempat sial ini, aku mengirim kalian ke ak-
herat terlebih dahulu. Biarlah istriku yang akan me-
nentukan nasib kalian!" kata Nara Subala sambil me-
masukkan dua benda pusaka ke dalam balik bajunya.
Lalu ia menoleh kesatu ruangan lain...
"Istriku! Keluarlah, sekarang kau perlu sem-
bunyi-sembunyi macam anjing tumang!" teriak Nara
Subala, maka dari balik pintu ruangan itu keluar seo-
rang perempuan setengah umur. Perempuan itu masih
nampak cantik dan mempesona, Apalagi pakaian sangat ketat menonjolkan tubuh yang aduhai. Semua para
undangan membelalakkan mata menatap sosok pe-
rempuan yang tidak lain Nyi Awak Ceger.
"Na-Nara Su-Suba-la khe-pharat...! Rupanya
kau yang se-sela-lu merecoki du-du-nia per-per-persi-
latan... Ahk...!" Pendekar Sapu Angin berniat bangkit
menyerang, tapi ia terguling kembali.
"Hik-hik-hik-hik-hik...! Apa yang harus kita la-
kukan terhadap para pendekar malang ini, Kakang Na-
ra Subala?" Suara Nyi Awak Ceger lirih. Nara Subala
mengangkat bahu.
"Terserah kau, Istriku. Bukankah ini semua
rencanamu?" jawab Nara Subala.
"Hik-hik-hik...! Kalau begitu, kau menyingkir-
lah, Kakang. Biar mereka jadi mangsa Tahi-tahi Kuku
Wesiku." Nyi Awak Ceger melangkah menghadapi
orang-orang itu. Kedua lengannya merentang siap
menjentikkan jari jemarinya.
"Mampus lebih cepat lebih bagus!" bentaknya.
Kali ini ia tidak main-main lagi. Sekali ia menjentikkan
kesepuluh jari jemarinya, meletiklah senjata-senjata
rahasia yang mengeram di balik kuku-kuku besi runc-
ing Nyi Awak Ceger.
Bagai serbuk-serbuk besi membara, tahi kuku
itu menghujan pada semua pendekar yang pasrah me-
nerima nasib. Namun....
"Sreeeet...! Pruuuuul...!" Mendadak serbuk-
serbuk itu meluruk ke tanah kembali. Tanpa mengenai
satu orang pun. Nyi Awak Ceger maupun Nara Subala
tersentak kaget melihat semua Racun Kuku Wesinya
terjerat oleh serat-serat halus berwarna keputihan. Se-
rat-serat itu pun sirna tatkala senjata-senjata rahasia
Nyi Awak Ceger hangus di lantai.
*
* *
SEBELAS
Di hadapan mereka berdiri sosok Pendekar Ge-
lugut Sutra mementang jurus. Kedua ujung lengannya
yang kutung mengarah ke depan siap melancarkan se-
rangan lagi. Di belakang Pendekar Gelugut Sutra ber-
diam pula dua sosok pendekar yang tak lain Amarsa
Rawut bersama Wintara.
"Pendekar buntung keparat! Berani kau meng-
halangi Racun Kuku Wesiku? Bagus... Bagus.... Ada
baiknya kalian cepat ke mari. Biar sekalian aku meng-
habisi kalian bersama yang lain!" ujar Nyi Awak Ceger.
Amarsa Rawut mendekati sosok Kuncoro Sona
yang berbanjir peluh. Majikan Partai 'Dewa Tenggara'
ini tidak menyangka kalau Pendekar-pendekar dari
'Guci Perak' bakal hadir.
"Maaf atas keterlambatan ini, Saudara Kuncoro
Sona. Anjing betina ini selalu menghalangi setiap lang-
kah kami." Amarsa Rawut menjelaskan.
"Kami semua terkena Racun Pengerat Usus.
Kami tidak dapat berbuat apa-apa." rintih Kuncoro So-
na.
"Gawat. Untunglah kami cepat datang. Aku ta-
hu bagaimana mengatasinya." Amarsa Rawut langsung
menotok peredaran darah bagian ulu hati. Dengan be-
gitu Kuncoro Sona merasa agak lebih baik. Tapi ia se-
perti tidak dapat bergerak.
"Tak apa-apa. Beberapa saat pengaruh totokan
bersama racun akan lenyap." ujar Amarsa Rawut. Lalu
ia menotoki lagi pada para pendekar lainnya. Melihat
itu pun Wintara ikut membantu. Tanpa di perintah ia
menotoki pula para korban keracunan.
Pendekar Gelugut Sutra tetap bersitegang
menghadapi Nyi Awak Ceger, Nara Subala kertakkan
rahang melihat Amarsa Rawut dan Wintara berusaha
menyelamatkan mereka. Maka dengan sengit ia mener-
jang ke arah pendekar-pendekar itu. Bersamaan pula
dengan terjangan Nyi Awak Ceger yang tidak kepalang
melancarkan serangan pada Pendekar Gelugut Sutra.
Amarsa Rawut menyambut hantaman Nara
Subala. Pendekar tanpa kaki ini dapat membuat Nara
Subala mundur dengan sabetan tongkatnya. Sekali
berkelebat, tongkat itu menyambar bagaikan sebilah
pedang. Namun dengan tangan kosong Nara Subala te-
tap gigih membalas. Terhadap musuhnya, Amarsa Ra-
wut menggempur dengan jurus 'Tendangan Seribu Ha-
lilintar'. Maka Nara Subala kewalahan memapaki den-
gan jurus 'Mengusir Badai'. Dan ternyata ilmu paduan
Amarsa Rawut dapat mematahkan serangan balasan
Nara Subala. Laki-laki memekik sambil berjingkat
mundur. Ia merasakan benturan hantaman mereka
begitu dahsyat. Apalagi setelah Amarsa Rawut memu-
tar sebelah tongkatnya.... "Wuuuuuuk!" Sambaran an-
gin itu menggetarkan rambut Nara Subala.
Sementara itu hantaman Pendekar Gelugut Su-
tra bergulung-gulung menyambut tebaran Racun Kuku
Wesi Nyi Awak Ceger. Perempuan setengah umur ini
beterbangan kian ke mari. Tidak putus ia menebarkan
racun-racun mautnya. Sesekali pula ia melepaskan
cakaran serta tendangan. Tak urung Pendekar Gelugut
Sutra menepis dengan putaran kedua lengan bun-
tungnya.
Wintara sudah selesai menotoki pendekar yang
terkena Racun Pengerat Usus. Dia hanya berdiri te-
nang menyaksikan kedua temannya bertarung satu
lawan satu. Dalam hal ini Pendekar Kelana Sakti me-
rasa khawatir akan tindakan Pendekar Gelugut Sutra.
Serangan-serangan Nyi Awak Ceger lebih berbahaya.
Serat-serat gelugut sutra memang sempat meruntuh
kan semua serbuk-serbuk membara tanpa ampun. Ta-
pi Wintara dapat melihat jelas kalau pendekar tanpa
telapak tangan ini begitu kewalahan.
Maka untuk Pendekar Kelana Sakti, ia men-
gambil langkahnya sendiri. Sekali ia melentingkan tu-
buh. Ia langsung memapak serangan Nara Subala.
Amarsa Rawut yang tengah menghadapi serangan Nara
Subala sampai terkejut.
"Maaf, Sobat Amarsa Rawut. Pendekar Gelugut
Sutra memerlukan bantuanmu." kata Wintara. Kiba-
san tangannya tidak berhenti menyambut serangan-
serangan Nara Subala. Amarsa Rawut menyadari, tan-
pa dirinya ilmu paduan antara 'Guci Perak' dan ilmu
'Gelugut Sutra' tidak bersatu. Maka setelah mele-
paskan tusukan tongkatnya pendekar tanpa kaki ini
melompat berganti arah.
"Hati-hati terhadap penghianat ini!" Tubuh
Amarsa Rawut salto mengarahkan serangan terhadap
Nyi Awak Ceger. Wintara tidak menyahut. Ia belum
membalas serangan Nara Subala.
Menghadapi dua orang lawan, Nyi Awak Ceger
bukan main sibuknya. Perempuan ini terus melancar-
kan racun-racun Kuku Wesi. Namun Amarsa Rawut
dapat merontokkan serangan tersebut dengan jurus
Pusaran Angin. Manakala hantaman Pendekar Gelugut
Sutra mendesak pertahanan Nyi Awak Ceger.
"Perempuan cabul! Kematianmu memang harus
di tangan kami! Karena dosa-dosamu telah bertum-
puk!" hardik Pendekar Gelugut Sutra. Hantamannya
tidak kepalang tanggung mendera. Tanpa bisa menge-
lak Nyi Awak Ceger memekik. Belum sempat pula ia
membalas, sambaran tongkat Amarsa Rawut meng-
hantam dadanya…. "Craaaas!" Darah menyembur dari
bagian dadanya yang ranum.
Meskipun ia telah malang melintang dalam dunia persilatan, Nyi Awak Ceger harus mengakui akan
kehebatan Dua Pendekar Buntung ini. Dia boleh mu-
dah mengalahkan pendekar-pendekar lain dengan ra-
cun-racun andalannya. Tapi terhadap pendekar-
pendekar cacat ini, sekarang dibuatnya seperti bola.
Hantaman-hantaman serat sutra membuat diri
Nyi Awak Ceger tak mampu berkutik. Dan perempuan
malang ini tidak sempat mengelak saat kedua tongkat
Amarsa Rawut bergerak menyilang menghantam Wajah
cantik itu.... "Waaaarght!" Tapak tangan bercampur
darah membekas di wajah perempuan yang bergelin-
tingan ini. Kedua pendekar buntung hanya menyaksi-
kan dengan puas saat Nyi Awak Ceger kaku meng-
hembuskan nafasnya. Demi melihat tewasnya Nyi
Awak Ceger, Nara Subala jadi kalap. serangan-
serangannya membabi buta mengarah pada Wintara.
Baik pukulan maupun tendangan selalu nyaris men-
gena. Namun setelah Wintara mengeluarkan Menyibak
Tirai Bayu, serangan-serangan Nara Subala bagai
menghantam dorongan tenaga dalam yang sangat dah-
syat. Ia sendiri hampir tak tahan memekik.
"Bocah celaka, kau tidak tahu dengan siapa
berhadapan!" gertak Nara Subala. Wintara tidak me-
nyahut. Ia tetap berdiri menghadapi. Dan bersiap-siap
menyambut serangan Nara Subala lagi. Saat itu datang
Dua Pendekar Buntung. Nara Subala melangkah mun-
dur memasang jurus baru.
"Untuk kalian, pendekar-pendekar cacad, aku
tidak segan-segan untuk menghirup darah kalian. Ma-
julah kalian bertiga. Dan cepat mampus menebus ke-
matian istri ku!" kata Nara Subala dengan gerakan-
gerakan yang sulit diikuti pandangan mata.
"Itu jurus Dewa Tenggara Murka! Kalian hati-
hati menghadapinya...!" teriak Kuncoro Sona. Majikan
Partai Dewa Tenggara ini masih duduk bersila menghimpun tenaga inti. Begitu juga dengan para pendekar
yang ada di ruangan itu. Mereka sendiri turut menyak-
sikan pertarungan.
"Kalau balas dendam soal kematian istri kepa-
ratmu itu boleh! Apakah kau sanggup menghadapi
kami bertiga." sahut Pendekar Gelugut Sutra. Pende-
kar tua ini telah siap pula mementang jurus.
"Arwah istriku tidak akan tenang sebelum ka-
lian semua mampus!" bentak Subala. Serta merta ia
melepaskan sebuah hantaman. Ketiga pendekar ini ti-
dak menyangka kalau hantaman itu dapat membuat
ketiganya belingsatan.
"Segala istri sering berbuat serong kau bela ma-
ti-matian. Pikirkan saja nasib busukmu itu!" ujar
Amarsa Rawut. Dia sendiri berjumpalitan menghindari
serangan Nara Subala. Pendekar Gelugut Sutra hampir
terpelanting. Kecuali Wintara. Setelah ia bergeser, se-
belah telapak tangannya maju menepis.... "Plaaak!"
Usaha itu cukup menggagalkan serangan kedua Nara
Subala. Lelaki ini agak tersentak ketika ia menerima
tangkisan Wintara. Maka ia lebih condong melancar-
kan serangannya lagi pada Pendekar Kelana Sakti.
Untuk menghadapi serangan-serangan selan-
jutnya, Wintara gigih memapaki sambil berkelit. Han-
taman Bayu Menghembus Tebing bergulung-gulung
mendesak Nara Subala. Manakala Dua Pendekar Bun-
tung datang lagi membantu.
Sabetan tongkat Amarsa Rawut membersit. Be-
gitu juga dengan hantaman-hantaman Gelugut Sutra
yang disebut Pukulan Tinju Kepompong. Kedua han-
taman itu mendera langsung ke tubuh Nara Subala.
Tapi entah kenapa kedua pendekar buntung itu
mencelat saat hantaman mereka mengenai perut Nara
Subala. Nara Subala sendiri terhuyung ke belakang.
Namun ia tidak merasakan kedua hantaman itu. Baru
disadari kalau benturan hantaman-hantaman mereka
berkat adanya dua buah benda pusaka di balik ba-
junya.
Sebelumnya Wintara agak terheran-heran meli-
hat Dua Pendekar Buntung mencelat terbanting di lan-
tai. Tapi rasa heran itu mendadak sirna. Karena dalam
pada itu Nara Subala mengeluarkan kedua pusaka
'Dewa Tenggara'. Terlihatlah dua buah tongkat kecil
memancarkan sinar begitu menyilaukan mata.
"Heh. Rupanya kau pun sudah berhasil mengu-
asai Pusaka Dewa Tenggara. Benar-benar busuk jan-
tungmu, Nara Subala!" bentak Pendekar Gelugut Su-
tra, Amarsa Rawut sudah bangkit. Kedua tongkatnya
siap di lancarkan.
"Sobat Amarsa Rawut, para penjaga di luar
nampaknya tengah keracunan juga. Sebaiknya kau
menolong mereka dulu." perintah Wintara. Matanya
nyalang mengawasi gerak gerik Nara Subala. Menden-
gar perintah itu Amarsa Rawut menoleh ke luar.
"Biadab. Orang-orang Partai Dewa Tenggara ju-
ga terkena racun Pengerat Usus. Kita harus cepat me-
nolong mereka Paman." ujar Amarsa Rawut. Ia lang-
sung melesat ke luar dengan diikuti oleh Pendekar Ge-
lugut Sutra.
"Hadapi dulu olehmu manusia busuk itu, Win-
tara." sahut Pendekar Gelugut Sutra. "Setelah itu kami
akan datang membantu!" Tanpa menoleh Wintara su-
dah tahu kalau Dua Pendekar Buntung itu pasti meno-
toki semua para korban yang masih bergelintingan
mengerang-ngerang menahan sakit.
Tapi tindakan kedua pendekar itu dihalangi
oleh Nara Subala. Dari situ ia membenturkan dua
buah tongkat kecil. Maka terdengarlah sebuah ledakan
dengan disertai lecutan sinar yang teramat panas. Le-
retan sinar biru mencuat mengarah.
Dua Pendekar buntung cepat berjumpalitan
mengelak. Tapi sinar kebiruan terlanjur memakan kor-
ban lainnya. Seorang Penjaga yang masih bergelintin-
gan hangus terbakar dengan seketika.
"Teruskan menotok mereka!" teriak Wintara.
Tendangannya menggagalkan Nara Subala memben-
turkan dua pusaka itu. Wintara hampir memekik saat
Nara Subala menangkis dengan benda pusaka itu.
Tendangannya seperti menghantam benda yang men-
geluarkan dorongan tenaga dalam. Kalau ia tidak bisa
mengimbangi tubuhnya, Wintara sudah jatuh bergu-
lingan.
Tapi mana mampu Wintara menghadapi lere-
tan-leretan sinar ganas. Manakala Nara Subala berka-
li-kali membenturkan dua pusaka. Sinar-sinar kebi-
ruan meleret ke sana ke mari. Bahkan beberapa orang
pendekar yang tanpa daya itu harus terkena hantaman
pusaka tersebut, tak urung mereka mengalami nasib
yang malang seperti penjaga di luar tadi. Kuncoro Sona
yang berada di situ tidak sanggup memandang dua
pendekar di sebelahnya, hangus terbakar.
Tidak ada pilihan bagi Wintara. Dia harus bisa
membawa ke luar Nara Subala. Dalam keadaan seten-
gah mati menghindari leretan-leretan sinar. Wintara
menerjang.
*
* *
DUA BELAS
Terjangan Wintara cepat bagaikan kilat. Kedua
telapak tangannya mengarah melepaskan hantaman
Tinju Bayu Delapan Penjuru'. Nara Subala tidak sempat menghindar atau membenturkan pusaka-pusaka
itu. Maka ia tersentak saat Wintara menerjang. Dan
kedua telapak tangan Pendekar Kelana Sakti ini meng-
hantam keras.
"Duaaaar!" Keduanya ambruk bersamaan. Ben-
turan itu sangat keras. Sampai dinding ruangan jebol.
Keduanya masih berguling dan berada di luar ruangan.
Dengan begitu para pendekar yang tak berdaya ini ada
kemungkinan terlindung dari leretan-leretan sinar
pembawa maut.
Wintara cepat bangkit. Nara Subala berdiri ter-
huyung. Mulutnya menyemburkan darah. Kedua len-
gannya yang menggenggam dua pusaka bergetar. Ia
masih merasakan sakit akibat hantaman Wintara tadi.
Sekali lagi Wintara melesat ke atas. Benturan
sinar menjurus menghantam permukaan tanah. Sinar-
sinar mematikan itu terus mencecar ke mana Wintara
mengelak. Dan selalu luput. Namun sinar-sinar itu
menghancurkan apa saja yang menjadi sasarannya.
"Ha-ha-ha-ha-ha.... Tamat riwayatmu pendekar
ingusan!" bentak Nara Subala. Wintara memapaki han-
taman-hantaman pusaka dengan pukulan 'Bayu
Menghempas Gelombang'. Setengah pula Nara Subala
menghindari serangan balasan Wintara. Dalam pada
waktu itu pun Wintara sempat melepaskan tendangan
memutar mengenai lengan kirinya.... "Deeees!" Sangat
keras. Sampai sebuah pusaka dalam genggamannya
terlempar.
"Kita boleh mengadu kepandaian manusia te-
lengas! Aku ingin tahu sampai di mana ilmu curian da-
ri Partai Dewa Tenggara!" Wintara menarik nafas pan-
jang. Dia masih yakin kalau sebuah pusaka lagi dalam
tangan musuhnya merupakan senjata andalan.
"Apa perduli mu! Jangan anggap remeh pusaka
ini!" jawab Nara Subala. Sambil berkata begitu ia me
nyerang. Menghantamkan pusaka ke arah Wintara.
Pendekar Kelana Sakti tidak mengelak. Ia coba me-
nangkis dengan sebelah lengannya.
"Deeer...!" Tak pelak Wintara jatuh terpelanting.
Tenaga dahsyat Pusaka Dewa Tenggara tidak boleh di-
anggap enteng. Wintara sudah merasakannya. Maka ia
cepat bangkit untuk menghadapi serangan berikutnya.
Dan terpaksa pula melepaskan hantaman 'Menyibak
Tirai Bayu'. Dari hantaman itu serasa angin berputar
kedua arah. Hantaman pusaka di tangan Nara Subala
seperti tidak terasa. Nara Subala hampir tidak percaya.
Maka ia melancarkan serangan lagi. Tendangannya de-
ras. Dibarengi pula dengan hantaman Pusaka Dewa
Tenggara.
Tanpa bergeser Wintara menghadapi dua han-
taman itu sekaligus. Nara Subala memang tokoh silat
berilmu tinggi. Wintara bisa mengukur. Hantaman-
hantaman yang dilancarkan sangat cepat. Wintara
hanya bisa menangkis atau mengelak. Untuk memba-
las serangan Pendekar Kelana Sakti belum mendapat
kesempatan.
Tapi menghadapi sebelah Pusaka Dewa Tengga-
ra agak lebih mudah. Wintara tidak perlu repot meng-
hindari leretan-leretan sinar yang dapat menghancur
leburkan apa saja. Selama itu pula Nara Subala beru-
saha meraih pusaka satunya lagi. Tapi Wintara terus
menggagalkannya.
Bahkan Wintara sempat pula menendang pu-
saka itu ke tempat yang lebih jauh. Tindakan itu
membuat Nara Subala makin murka. Kuat-kuat ia
menghantamkan Pusaka Dewa Tenggara ke bagian ke-
pala. "Bweeeet...!" Wintara cepat merunduk. Dua tin-
junya bergerak maju menghantam perut Nara Subala.
Laki-laki itu mencelat tak kepalang. Tubuhnya berde-
gum di tanah sambil menyemburkan darah.
Sekujur tubuhnya terasa remuk. Dengan sem-
poyongan Nara Subala bangkit berdiri. Wintara me-
nambahkan lagi dengan tendangan yang bagaikan
hembusan angin.... "Deeer!" Tubuh Nara Subala melin-
tir tak terkendali, kemudian jatuh telak dengan sebe-
lah lengan yang patah.
Saat itu Pendekar Gelugut Sutra maupun
Amarsa Rawut telah selesai menolong para korban ke-
racunan. Keduanya berlari ke arah pertarungan. Mere-
ka melihat Nara Subala berdiri limbung. Langkahnya
berat menerjang Wintara. Sebelah pusaka masih ter-
genggam di tangannya. Dengan pusaka itu pula ia
menghantam Wintara kuat-kuat.
Namun sebelum hantaman itu berkelebat,
Amarsa Rawut menyambut dengan jurus tongkat yang
dinamakan Pedang Menyapu Geledek. Sambaran tong-
kat Amarsa Rawut menghantam keras pergelangan
tangannya.... Praaaak! Pergelangan tangan Nara Sub-
ala hancur. Tulang-tulang jemari tangan yang meng-
genggam pusaka terasa remuk. Tak terasa mulai men-
geluarkan darah. Dengan mata terbelalak Nara Subala
melihat pusaka terjatuh dari genggamannya.
Nara Subala sendiri yang membenturkan tong-
katnya tadi menghantam pusaka mencelat tak kepa-
lang tanggung. Melihat itu pun Pendekar Gelugut Su-
tra melepaskan Gelugut Jaring Sutra, Akibatnya Nara
Subala seperti di rejam ribuan jarum. Belum lagi den-
gan serang-serangan Wintara. Pukulan Tinju Bayu De-
lapan Penjuru benar-benar meremukkan dada Nara
Subala.
Laki-laki ini dibuatnya jatuh bangun. Pandan-
gannya juga mulai suram. Namun begitu Nara Subala
masih bisa melihat tiga orang pendekar berdiri di ha-
dapannya.
"Anak muda.....Pukulan apa yang kau lancar
kan tadi? Hantaman itu benar-benar menghancurkan
tulang belulangku." kata Nara Subala.
"Pukulanku tidak seberapa dibanding dengan
hantaman Pendekar Gelugut Sutra." jawab Wintara
sambil melirik ke arah Dua Pendekar Buntung yang
berdiri di sebelahnya.
"Chis! Hantaman-hantaman manusia-manusia
buntung itu tidak ada artinya bagiku! Dalam keadaan
begini pun aku masih sanggup menghadapinya," tukas
Nara Subala.
"Keparat...! Bentak Amarsa Rawut. Ucapan Na-
ra Subala membuat telinganya panas. Pendekar Gelu-
gut Sutra sudah tidak sabaran untuk melepaskan pu-
kulan menghancurkan mulut Nara Subala. Namun
mendadak saja ia mengurungkan niatnya, karena....
"Tunggu,..!" Terdengar satu bentakan. Dari
dinding yang bobol bermunculan beberapa pendekar
melangkah mendekati. Paling depan Kuncoro Sona me-
langkah cepat. Dia pula tadi yang menggagalkan han-
taman Pendekar Gelugut Sutra.
"Syukurlah kalian telah bebas dari pengaruh
Racun Pengerat Usus." tegur Amarsa Rawut, Semua
pendekar itu memang telah segar bugar. Mereka lang-
sung berdiri mengelilingi Nara Subala.
"Kami bisa selamat berkat bantuan kalian. En-
tah bagaimana nasib kami tanpa kehadiran kalian di
sini." jawab Kuncoro Sona. Ia memunguti dua Pusaka
'Dewa Tenggara'
yang berserakan di tanah. Lalu ikut berkumpul
dengan pendekar-pendekar lainnya. "Nara Subala me-
mang pantas menerima hukuman. Biar aku sebagai
majikan Partai 'Dewa Tenggara' yang akan menentu-
kannya." ujar Kuncoro Sona. la memandang geram pa-
da laki-laki yang duduk tak mampu berdiri.
"Mati pun aku puas, Kuncoro Sona. Silahkan
kau membunuhku!" jawab Nara Subala. Ucapannya
sangat menantang. Maka tidak segan-segan lagi Kun-
coro Sona berdiri di hadapannya. Dengan mata yang
melotot, majikan Partai Dewa Tenggara menghantam
kepala Nara Subala dengan kedua pusaka itu.
Sekaligus tubuh Nara Subala ambruk dengan
kepala hancur. Pusaka dalam tangan Kuncoro Sona
bersimbah darah. Semua mata tidak berkedip menatap
tindakan itu.
"Manusia macam Nara Subala sudah sepantas-
nya hidup di akherat. Sungguh malu orang-orang Par-
tai Dewa Tenggara tidak dapat mengetahui hal ini se-
belumnya. Aku pun pantas menerima hukuman." kata
Kuncoro Sona. Semua pendekar yang berada situ me-
lihat Kuncoro Sona berniat menghancurkan kepalanya
sendiri dengan pusaka itu. Namun sebelum pusaka itu
menghantam remuk kepalanya, Wintara bertindak
menghalangi. Kedua lengannya cepat merebut Pusaka
Dewa Tenggara.
"Kenapa harus bertindak bodoh seperti ini.
Apakah semua para undangan yang datang ke sini
hanya untuk menyaksikan kematian anda?" ujar Win-
tara.
"Jauh-jauh kami datang ke sini untuk mengi-
kuti pertemuan. Tanpa kau percuma saja undangan ini
disebar." tukas Amarsa Rawut. Pendekar cacat tanpa
kaki ini merangkul Kuncoro Sona. Majikan Partai Dewa
Tenggara nampak menarik nafas.
"Apakah kami telah terlambat mengikuti perte-
muan?" tanya Pendekar Gelugut Sutra. Pendekar-
pendekar lain mengangkat bahu. Salah seorang dari
mereka ada yang menjawab.
"Bukan hanya terlambat, Saudara Pendekar
Gelugut Sutra. Justru dengan kehadiran kalian ini.
Semua titik persoalan telah selesai."
"Apa...?" Pendekar Gelugut Sutra menger-
nyitkan alis.
"Apa lagi yang perlu dimasalahkan? Nyi Awak
Ceger telah tewas juga penghianat ini telah mampus.
Untung saja kedua Pusaka Partai Dewa Tenggara tidak
jatuh ke tangan mereka." jawab pendekar perempuan
dari Gunung Tambur.
Amarsa Rawut dan Pendekar Gelugut Sutra jadi
bengong. Keduanya saling pandang mengangkat bahu.
"Tapi kedatangan kalian bertiga tidak sia-sia.
Siapa pula pendekar muda yang gagah berani ini?" ka-
ta Pendekar Sapu Angin.
Wintara tidak menyahut. Ia menyerahkan kem-
bali pusaka-pusaka milik Partai Dewa Tenggara pada
Kuncoro Sona. Laki-laki ini menerimanya dengan se-
nang hati.
"Nama besarnya lebih tinggi dari para pende-
kar-pendekar yang ada di desa ini. Kalian pasti tidak
percaya kalau kusebutkan siapa gerangan sobatku
ini...." sahut Amarsa Rawut.
"Ah, kalau beliau berada di pihak lurus, kau
dan aku tidak ada bedanya, Amarsa Rawut. Aku juga
pantas jadi sahabatnya." gurau majikan Perguruan Ki-
lat Buana. Laki-laki setengah tua ini berjalan mende-
kat ke arah Wintara. Ia berjabatan tangan.
"Kita semua harus tahu kalau pemuda itu ada-
lah Pendekar Kelana Sakti...." kata Pendekar Gelugut
Sutra.
"Astaga, sungguh lamur mata tuaku ini. Ki-
ranya anda sobat muda yang menyandang gelar Pen-
dekar Kelana Sakti. Sungguh tidak kusangka kalau
menjelang maut tadi aku diselamatkannya." gumam
pendekar Dari Gunung Kelud.
"Siapa bilang kalau kedatangan kami ini berarti
semua persoalan telah selesai?" tanya Pendekar Gelugut Sutra.
"Maksudmu?" Majikan Bukit Merak balik ber-
tanya.
"Kita harus mengurusi mayat-mayat yang ber-
gelimpangan di sana. Beberapa perguruan telah tewas
mengerikan." kata Pendekar Gelugut Sutra tegas.
"Ha-ha.... Kalau cuma itu yang ada dalam be-
nakmu. Kami semua sudah memikirkannya." jawab
mereka hampir serempak.
Dalam suasana itu hanya kelompok pendekar-
pendekar wanita dari Gunung Tambur yang nampak
muram. Karena di dalam ruangan di mana para pen-
dekar melawan pengaruh racun, nampak dua sosok
pendekar wanita tewas hangus terbakar. Mereka masih
ingat bagaimana kedua pendekar wanita itu tanpa
daya terkena hantaman Pusaka Dewa Tenggara. Itu ju-
ga sangat disesali oleh Kuncoro Sona.
Majikan dari Gunung Tambur ini hanya meng-
hela nafas. Dia sendiri sudah menyadari kalau setiap
perjuangan selalu memakan korban. Sedikitnya dia
akan merasa kehilangan dua orang murid andalannya.
Semua terasa begitu cepat. Apakah perasaan pende-
kar-pendekar lain akan sama dengan yang dialami Ma-
jikan Gunung Tambur ini? Rasanya memang tidak.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar