ALAP-ALAP LIANG KUBUR
Oleh Buce L. Hadi
Cetakan pertama, 1991
Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi Baru Plaza Lt. 11 B52/69
Jl. Samanhudi No.14-16, Jakarta-Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buce L. Hadi
Serial Pendekar Kelana Sakti dalam episode: Alap-Alap Liang Kubur
SATU
Langit mendung menutupi suasana tanah pe-
kuburan. Hari itu tanah pekuburan nampak ramai.
Semua orang berdiri mematung menghadapi mayat
membujur terbungkus kain kafan. Di sebelah mayat
telah tersedia liang lahat yang cukup dalam. Hampir
seluruh mata memandangi mayat pucat pasi itu.
Hari itu seorang putri tunggal Ki Wirayuda te-
lah tewas di tangan seorang tokoh berilmu tinggi. Pa-
dahal Ki Wirayuda sendiri seorang tokoh silat yang
sangat disegani. Selain berilmu tinggi, ia juga memiliki
banyak cabang perguruan. Oleh karena itu kebanya-
kan yang menghadiri pemakaman tidak lain orang-
orang persilatan. Mereka benar-benar turut belasung-
kawa.
Istri Ki Wirayuda tidak mengikuti upacara pe-
makaman. Ia sengaja diam dalam sebuah kereta. En-
tah sudah berapa kali ia tidak sadarkan diri. Begitu ju-
ga Ki Wirayuda. Ia hampir tidak tahan saat jenasah
mulai dimasukkan ke dalam liang kubur.
Pemimpin upacara pemakaman melihat laki-
laki yang tengah dilanda duka ini meninggalkan kera-
maian. Tidak satupun dari para pelayat itu berani me-
nyapa atau mengikuti ke mana ia pergi. Mereka hanya
menunduk hormat serta memberi jalan.
Suara tanah yang mulai menguruk kembali
liang kubur menggetarkan jantung Ki Wirayuda. Ia be-
rusaha untuk tidak mendengarnya. Langkahnya se-
makin cepat menuju sebuah kereta. Istrinya sudah si-
uman dan tengah menunggu kedatangan Ki Wirayuda.
Tapi sebelum ia mendekati kereta, Ki Wirayuda
menatap langsung seorang tua telanjang dada berdiri
di bawah pohon kering memegangi sebuah cangkul
bernoda lumpur. Ki Wirayuda masih ingat akan siapa
gerangan orang tua itu. Dialah yang telah mengabdi-
kan dirinya selama berpuluh-puluh tahun di tanah
pemakaman ini. Tugasnya sebagai penggali kubur. Un-
tuk anak tunggal Ki Wirayuda, dia pula tadi yang
menggalinya.
"Terimalah ini, Ki Karantungan. Anggap saja
sebagai upah tambahan dariku." kata Ki Wirayuda
sambil memberikan beberapa keping uang logam ke
dalam tangan orang tua itu.
"Terimakasih. Tuan.... Saya berterima kasih se-
kali. Dan juga turut belasungkawa." jawab orang tua
bernama Ki Karantungan. Sambil menggenggam erat
uang pemberian Ki Wirayuda.
"Aku betul-betul merasa kehilangan anakku,
Ki..." ujar Ki Wirayuda. Pandangannya pada sebuah
kerumunan yang mengelilingi makam putra tunggal-
nya.
"Bagaimanapun aku tidak akan terima atas
perlakuan ini." katanya lagi. Ki Karantungan menelan
ludah. Lalu...
"Siapa orang yang telah berbuat keji ini? Kema-
tian putra tuan sangat mengerikan," tanya Ki Karan-
tungan.
Ki Wirayuda tidak langsung menjawab. Kema-
tian putranya masih membayang terus. Dia tidak bisa
melupakan bagaimana keadaan jasad putra tunggal-
nya saat ditemukan. Tubuh anaknya hampir putus
menjadi dua. Dalam hal ini Ki Karantungan sendiri da-
pat melihat raut wajah Ki Wirayuda diliputi oleh den-
dam.
"Ini semua perbuatan Gentara Karma! Dia ha-
rus menebus nyawa anakku!" sumpah Ki Wirayuda
dengan tubuh gemetar.
"Astaga...! Benarkah ini perbuatan Gentara
Karma?" Ki Karantungan si penggali kubur tak per-
caya.
"Sediakan saja satu liang kubur lagi. Setelah itu
kau akan tahu mayat siapa yang ku bawa nanti." ja-
wab Ki Wirayuda. Setelah itupun ia melangkah lagi
menuju kereta di mana istrinya telah menunggu.
Upacara pemakaman telah selesai, para pelayat
mulai menghambur meninggalkan gundukan tanah
yang masih baru. Semuanya mendekati ke arah di ma-
na Ki Wirayuda berdiri di samping kereta. Si Penggali
kubur Ki Karantungan masih berdiri di bawah pohon
memperhatikan mereka.
"Guru... Kita harus mencari Gentara Karma se-
karang juga. Kematian den Arimbang mesti diselesai-
kan cara persilatan." Begitu kata mereka ketika men-
dekat di hadapan Ki Wirayuda.
"Kalian bicara apa! Gentara Karma bukan tan-
dingan kalian. Mencari keparat itu sama saja mengan-
tarkan nyawa. Biar aku sendiri yang akan berhadapan
dengannya!" jawab Ki Wirayuda. Orang-orang itu yang
ternyata para muridnya tidak berani membantah.
"Kakang... Gentara Karma harus mampus hari
ini juga. Bawa mayatnya ke hadapanku." kata wanita
dalam kereta itu.
"Tenanglah, istriku. Anjing itu takkan hidup
sampai sore nanti.!" Ki Wirayuda menghibur istrinya.
Setelah berkata begitupun ia tidak memperdulikan
semua para muridnya. Ia terus melangkah menuju di
mana kudanya tadi ditambatkan.
"Kalian semua boleh pulang boleh tetap me-
nunggu di sini. Dan jangan coba-coba ada yang mem-
buntuti," kata Ki Wirayuda dengan nada dingin. Men-
dengar ucapan itupun semua muridnya tertunduk
seakan mematuhinya. Maka tanpa bicara apa-apa lagi
laki-laki setengah tua itu menaiki kudanya.
Dengan sekali helaan saja, kuda itu berlari
kencang. Semua mata memandang kepergian Ki Wi-
rayuda. Lalu setelah Ki Wirayuda tidak nampak dari
pandangan. Mereka berbalik memandang seorang pe-
rempuan dalam kereta.
Wajah perempuan itu sangat pucat. Kedua ma-
tanya membengkak akibat banyak mengeluarkan air
mata. Saat itu ia masih sesenggukan,...
"Pulang saja. Tidak perlu menunggu guru ka-
lian di sini. Dia pasti akan pulang menyeret Gentara
Karma." katanya dengan pandangan kuyu. Dua orang
penarik kereta langsung mengendalikan kuda penarik.
Yang lain berjalan membuntuti kereta itu. Dalam seke-
jap tanah pemakaman kembali sunyi.
Kepergian mereka bagaikan serombongan iring-
iringan yang semakin jauh meninggalkan tanah peku-
buran. Si penggali kubur menggeleng-gelengkan kepala
menatap kepergian mereka. Ia menghela napas me-
ninggalkan pohon kering. Cangkulnya yang bernoda
tanah basah tersandang di bahu. Langkah-langkahnya
yang tegap menginjak tanah pemakaman. Ditatapnya
pula kuburan putra tunggal Ki Wirayuda. Makam itu
menyebar bau wangi kembang segar.
Di sekitarnya nampak kuburan-kuburan lain
yang memenuhi tanah pemakaman. Patok-patok nisan
tumbuh malang melintang menghalangi jalannya. Ki
Karantungan menurunkan cangkulnya di tanah agak
lapang. Sampai di situ ia menggali lagi. Tenaga rentan-
gannya dikerahkan untuk membuat satu lubang lagi.
Benturan-benturan cangkulnya menghantam permu-
kaan tanah. Mengeruk gumpalan-gumpalan tanah me-
rah.
"Hhhh... Entah siapa yang bakal jadi penghu-
ninya nanti." gumam Ki Karantungan. Keringat mem-
banjir di sekujur tubuhnya. Manakala ia terus meng
hentakkan cangkulnya semakin kuat dan cepat. Tanpa
mengenal lelah, sekalipun matahari mencorot terik
membakar kulit hitamnya.
Sementara itu Ki Wirayuda memacu kuat-kuat
kuda tunggangannya. Saat ia mulai masuk daerah
lembah. Selama itu pula ia seperti tidak sabaran untuk
menemui Gentara Karma. Pandangannya selalu lurus
ke depan. Menerobos hutan belukar. Juga alang-alang
yang menghampar menghalangi langkah-langkah ku-
danya.
Derap kaki kuda seakan memecahkan kesu-
nyian pekatnya hutan. Apalagi teriakan-teriakan he-
laan Ki Wirayuda yang menggelegar. Burung-burung
dan para penghuni hutan seakan lari terbirit-birit
mendengarnya. Sudah pasti kedatangan laki-laki itu
menjumpai Gentara Karma tidak lain untuk membalas
dendam atas kematian putra tunggalnya. Dia sudah
membayangkan bagaimana harus memperlakukan ter-
hadap pembunuh itu. Apalagi Ki Wirayuda sudah
mencium kalau Gentara Karma salah seorang tokoh
sesat berilmu tinggi.
Sebagai seorang pentolan persilatan, ia akan
mengadu nasib untuk menghadapi Gentara Karma.
Kalau pembunuh itu telah memutus duakan tubuh
anaknya, mungkin Ki Wirayuda akan membalas den-
gan memenggal kepalanya atau mencincangnya seka-
lian!
Untuk itulah Ki Wirayuda semakin memacu
kudanya. Hutan yang begitu lebat menakutkan dilewa-
ti. Alang-alang bercampur duri telah diterjang. Tidak
perduli permukaan tanah yang berbaur dengan lum-
pur menghambat perjalanannya. Ki Wirayuda tahu be-
nar di tempat tinggal Gentara Karma. Tidak sulit untuk
mencarinya. Saat itupun sudah nampak sosok bangu-
nan runtuh berdiri usang.
Ki Wirayuda dapat melihat tiga orang berjaga-
jaga di sekitar bangunan usang tersebut. Ia tidak pe-
duli apapun yang dilihatnya. Ia terus nekad membawa
kudanya mendekati bangunan itu.
*
* *
DUA
Tiga orang menghadang saat Ki Wirayuda me-
masuki pelataran bangunan usang. Kudanya mering-
kik-ringkik saat ketiganya mencabut senjata.
"Bagus. Kau hanya mengantarkan nyawa men-
datangi tempat kami, Ki Wirayuda. Ha-ha-ha-ha... Kau
memang pantas mampus untuk menemani anakmu!"
bentak ketiga orang itu. Senjata-senjata mereka yang
berupa golok panjang sangat tajam berkilat. Tanpa
membabatkan kudanya lagi Ki Wirayuda langsung me-
lompat dari atas pelana. Dia langsung berdiri mengha-
dapi ketiga orang itu. Sorot matanya nanar serta buas.
"Suruh keluar Gentara Karma. Kalian boleh
ikut mampus nanti bersamanya!" jawab Ki Wirayuda.
Sebelah tangannya sigap menarik gagang pedang. Keti-
ga orang penghadangnya menyambut lebih dulu.
"Menghadapi kami bertiga belum tentu kau
sanggup!" Salah seorang dari mereka menyerang den-
gan babatan golok. Yang dua lagi menyerang dari posi-
si lain. Babatan golok mereka berdesing bareng menga-
rah kepala Ki Wirayuda.
Laki-laki yang sudah dipengaruhi oleh dendam
ini cepat berkelit ke bawah. Pedangnya menangkis ke-
ras sambaran-sambaran golok. Menghadapi serangan
dari tiga arah yang berlawanan, sama sekali bukan halangan. Karena dalam waktu yang sangat cepat ia su-
dah dapat menjatuh gulingkan dua orang lawan. Sam-
baran balasan pedangnya jangan dikata, sekalipun tiga
orang lawannya menggunakan jurus-jurus golok yang
sangat tangguh, Wirayuda dapat mematahkan seran-
gan lawan-lawannya.
Tidak percuma Ki Wirayuda memimpin bebera-
pa perguruan. Juga tidak sedikit tokoh sesat yang ber-
tekuk lutut atau tewas di bawah kakinya. Kiranya ia
memiliki ilmu pedang yang sangat tangguh. Setiap
sambaran pedangnya berkelebat bagai serentetan sinar
siap menumbangkan lawan.
Entah pada jurus yang keberapa, tiga orang la-
wannya bergelintingan tewas. Rata-rata tenggorokan
mereka tersayat dan menyemburkan darah. Ki Wi-
rayuda menatap mereka dengan posisi masih memen-
tang jurus pedangnya.
"Plok...! Plok...! Plok...!" Ki Wirayuda mendengar
suara tepukan tangan, cepat ia menoleh ke arah suara.
Darahnya seperti mendidih saat munculnya seseorang
bertampang menyeramkan tahu-tahu berdiri di ten-
gah-tengah pintu bangunan. Serta merta Ki Wirayuda
menudingkan pedangnya ke arah orang itu.
Gentara Karma! Kau pikir setelah membunuh
anakku kau dapat hidup tenang?... Jangan berangga-
pan begitu!" Ki Wirayuda geram. Laki-laki yang berdiri
di tengah-tengah pintu bangunan usang itu hanya ter-
senyum.
"Kematian putramu itu atas kesalahannya sen-
diri. Siapa suruh coba-coba mengusik ketenangan ka-
mi. Akupun tidak bermaksud membunuhnya saat itu.
Tapi ilmu pedangnya sangat membuat aku gusar. Cara
menghentikannya harus membunuhnya terlebih dahu-
lu. Maafkan atas kekhilafan ku ini, Ki Wirayuda,..."
Tenang sekali Gentara Karma bicara. Ki Wirayuda
tambah geram.
"Untuk itu kaupun harus tahu kalau kedatan-
ganku ini akan menagih hutang darah. Semuanya
akan ku maafkan bila kau benar-benar telah mampus
di tanganku!" Ki Wirayuda melompat maju. Serta merta
sambaran pedangnya berputar. Tapi Gentara Karma
cepat pula lompat menghindar.
"Tunggu, Ki...! Bukankah sudah cukup hutang
darah ini kau tebus dengan tiga orang anak buahku?"
sahut Gentara Karma. Lentingan tubuhnya tadi cukup
jauh menghindari sambaran pedang. Ki Wirayuda ce-
pat berbalik.
"Seratus orang macam mereka pun belum bisa
menghapuskan hutang darah ini dibanding dengan sa-
tu nyawa anjingmu, Gentara Karma!" Ki Wirayuda
mengarahkan pedangnya maju ke depan. Leretan sinar
menjurus dan hampir tidak dapat dihindari oleh orang
menyeramkan macam Gentara Karma.
"Kalau begitu, apa boleh buat. Kita memang ha-
rus bertempur mati-matian." jawab Gentara Karma.
Iapun tidak kalah hebat mulai mengeluarkan jurus-
jurus mautnya. Menghadapi serangan-serangan Ki Wi-
rayuda, Gentara Karma sengaja tidak menggunakan
senjatanya. Padahal kalau ia mau, Gentara Karma da-
pat menarik langsung gagang golok panjangnya dari
pinggang.
Ia sengaja menghadapi lawannya dengan tan-
gan kosong. Hal itu betul-betul membuat Ki Wirayuda
kehilangan muka. Karena ia tahu, Gentara Karma sa-
lah seorang ahli dalam menggunakan golok. Semua
orang persilatan tahu. Kalau Gentara Karma memiliki
jurus yang sangat ditakuti.
Begitu juga dengan Gentara Karma. Ia bukan-
nya tidak tahu kalau pentolan rimba persilatan ini
hampir merajai seluruh tanah Sungkawarang dalam
ilmu pedang. Ia harus hati-hati dalam menghadapi se-
tiap sambaran pedang. Maka nampaklah lesatan-
lesatan tubuh Gentara Karma yang begitu lincah. Ba-
batan pedang Ki Wirayuda bergerak tanpa mengenal
ampun. Sambaran pedangnya berdesing nyaring men-
gikuti ke mana gerak gerik lawannya bergeser meng-
hindar.
Sudah tentu Gentara Karma yang menghada-
pinya tanpa menggunakan senjata itu merasa kewala-
han. Api dendam yang membakar jantung Ki Wirayuda
mempengaruhinya. Sehingga setiap serangannya nam-
pak ganas dan mematikan.
Demi mempertahankan nyawanya, Gentara
Karma melesat mundur ke belakang. Dalam pada wak-
tu itupun ia cepat menarik goloknya. Terlihat bilah go-
lok yang panjang berwarna hitam namun panjang. Go-
lok itu langsung menyambut sambaran pedang Ki Wi-
rayuda. Benturanpun tak dapat dielakkan. Kedua sen-
jata itu beradu memercikkan bunga api.
Dengan menggunakan senjata goloknya, Genta-
ra Karma lebih mudah membalas serangan. Ki Wirayu-
da agak tersentak saat senjatanya beradu saling ben-
tur. Dirasakannya sambaran golok Gentara Karma dis-
ertai dengan tenaga dalam penuh. Menghadapi itu pula
Ki Wirayuda terpaksa mengerahkan tenaga dalamnya.
Setiap sambaran pedang bergerak sangat cepat.
Tidak terlihat lagi bentuk pedang di tangan Ki Wirayu-
da. Yang nampak hanya leretan-leretan sinar putih
disertai desingan angin yang bergerak menggetarkan
senjata lawan.
"Mana jurus maut mu yang sangat ditakuti
orang-orang persilatan, Gentara Karma...! Mana! Tun-
jukkan jurus Golok Pembelah Langit padaku!" bentak
Ki Wirayuda. Gentara Karma melesat ke atas. Tahu-
tahu saja ia sudah hinggap di atas reruntuhan atap
bangunan. Karuan saja Ki Wirayuda lompat menyusul.
"Menghadapi orang macam kau tidak perlu aku
susah-susah mengeluarkan jurus Golok Pembelah
Langit. Dengan jurus dasarpun kau pasti mampus!"
Ujar Gentara Karma. Sudah tentu ucapan itu memba-
kar telinga Ki Wirayuda. Maka dengan sengit ia lancar-
kan Sapuan Pedang Halilintar. Gentara Karma coba-
coba menyambut. Tapi ia tidak menyangka kalau tu-
buhnya hampir terpelanting jatuh. Bagusnya ia memi-
liki ilmu peringan tubuh yang sangat sempurna. Gen-
tara Karma tetap dapat mengendalikan dirinya berdiri
pada puncak atap.
Pertarungan di atas reruntuhan bangunan ti-
dak dapat dipastikan siapa yang bakal menang. Kedu-
anya nampak begitu sengit saling lancarkan serangan.
Babatan-babatan pedang serta sambaran golok berke-
lebat saling bentur. Teriakan-teriakan mereka seakan
meruntuhkan bangunan usang tersebut. Manakala
mereka selalu melompat-lompat dari sasaran.
"Bangsat! Rupanya kau tidak boleh dianggap
main-main, Ki Wirayuda! Rasakan ini! Hreaaaaa...!" Te-
riak Gentara Karma. Tidak tanggung-tanggung lagi ia
lepaskan juga jurus andalannya itu. Golok berwarna
kehitaman yang kini merupakan seleret sinar gelap
menyeruak menimbulkan suara yang bergemuruh.
"Yeaaaaaaa...!" Ki Wirayuda kepalang menyam-
but. Diam-diam pula ia melepaskan jurus pedang yang
bernama Kilat Menggulung Hujan. Pedangnya bergerak
zig zag, namun kelihatan begitu cepat menjurus ke se-
gala arah. Tapi yang pasti menyambut hantaman Go-
lok Pembelah Langit.
"Bledaaaaar...! Sreeet...! Craaaas...!" benturan
senjata mereka saling bentur. Kali ini benturannya le-
bih keras. Benturannya menimbulkan suara yang
amat memekakkan telinga. Tapi tak urung juga keduanya jatuh menggelinding dari reruntuhan atap ban-
gunan itu. Senjata-senjata mereka pun berpentalan
berdenting nyaring di tanah pelataran berbatu.
*
* *
TIGA
Kedua jago dari aliran yang berbeda ini berebut
bangkit. Mereka saling tatap dan mementang jurus.
Senjata-senjata mereka menyilang menancap di tanah.
Bibir Ki Wirayuda bergetar. Ia menahan sakit akibat
sabetan golok Gentara Karma yang melukai di bagian
pangkal lengannya. Sungguh parah dan nyaris putus.
Terlebih-lebih Gentara Karma. Sorot matanya
menandakan rasa sakit yang sangat hebat. Sambaran
pedang Ki Wirayuda mengakibatkan perutnya robek
dan menghamburkan darah. Namun luka itu sama se-
kali tidak dirasakannya.
"Kita sama-sama telah terluka, Ki Wirayuda.
Sebentar lagi kita berdua bakal mati. Bagiku tidak ada
untung ruginya bila tewas." Gentara Karma menyerin-
gai.
"Kau boleh mampus! Tapi aku tidak!" jawab Ki
Wirayuda menatap garang. Gentara Karma tidak per-
duli dengan usus terburai bercampur darah di perut-
nya. Sikapnya malah seperti menantang. Hal itu betul-
betul membuat Ki Wirayuda semakin murka.
Sekalipun Ki Wirayuda hampir kehilangan se-
belah lengannya, ia tidak ragu-ragu menerjang dengan
sebuah hantaman yang paling keras. Di tempat itu pu-
la lawannya tetap berdiri menyambut. Hantaman Ki
Wirayuda "dapat ditepis, lalu Gentara Karma berusaha
membalas. Tapi darah yang keluar begitu banyak
membuat dirinya semakin lemah.
Tendangan Ki Wirayuda yang bergerak cepat
tanpa bisa dihindari menghantam tenggorokannya.
Maka tak kepalang tubuh Gentara Karma mencelat
membentur dinding bangunan usang itu. Tak pelak la-
gi tubuh lelaki menyeramkan ini ambruk dengan kepa-
la remuk. Ki Wirayuda sendiri sudah kehabisan tena-
ga. Ia tidak mampu melancarkan serangan lagi. Ia
hanya menatap Gentara Karma berusaha bangkit den-
gan payah.
"He-he-he-he... Aku puas mati di tangan mu, Ki
Wirayuda. Ayo jangan tanggung-tanggung. Aku sudah
siap menerima ajal." ujar Gentara Karma. Wajahnya
sudah tidak karuan tertutup oleh darah. Katanya itu
jelas menantang.
"Kau memang pantas mampus, Keparat. Kema-
tianmu di sini tidaklah menyenangkan.
Istriku juga orang-orang persilatan harus me-
nyaksikan." kata Ki Wirayuda sambil melangkah.
Nampak sekali ia menahan sakit pada pangkal lengan-
nya.
"Lebih mengasyikkan lagi. Di sana kau boleh
sesuka hatimu. Mau penggal mau potong atau cincang,
terserah." Jawab Gentara Karma sembrono.
"Kau akan lebih parah dari apa yang kau
bayangkan!" ujar Ki Wirayuda, kuda miliknya menda-
tangi. Ia meringkik-ringkik puas melihat majikannya
telah mengakhiri pertarungan. Ki Wirayuda meraih se-
gulungan tambang yang tergantung di pelana.
"Tapi yang jelas kau bakal mampus tersiksa!"
kata Ki Wirayuda lagi. Dengan tali itu ia mengikat selu-
ruh tubuh Gentara Karma. Laki- laki ini sudah tidak
berdaya. Tapi Gentara Karma masih sempat mengelua-
rkan kata-kata yang membuat Ki Wirayuda jengkel.
"Keparat kau. Kenapa musti diikat macam mal-
ing jemuran? Aku sudah menyerahkan diri, tak bakal
aku kabur!"
"Kau boleh mengoceh apa saja, Gentara Karma.
Memaki diriku juga boleh!" ucap Ki Wirayuda tak per-
duli. Setelah selesai mengikat, tokoh sakti ilmu pedang
ini menariknya.
Kemudian mengaitkan pada kudanya. Lalu
sendiri menunggangi.
Gentara Karma tidak bergerak. Apalagi saat Ki
Wirayuda menghela kudanya kuat-kuat. Lari kuda itu
sangat cepat menyeret tubuh Gentara Karma.
"Ha-ha-ha-ha-ha-ha...!" Tubuh tak berdaya itu
tertawa terbahak-bahak. Padahal tubuhnya terasa
hancur membentur permukaan tanah berbatu. Belum
lagi ketika ia mulai terseret pada tanah berumput pe-
nuh duri. Bilur-bilur berlumur darah memenuhi seku-
jur tubuh Gentara Karma.
"Ha-ha-ha-ha... Rasanya aku tidak bakal mati.
Yang kau lakukan ini sangat ringan bagiku!" celoteh
Gentara Karma. Tubuhnya terseret makin deras. Ter-
dengar benturan benturan nyaring saat tubuh penuh
darah itu menerpa bebatuan dan batang-batang pohon
kering.
***
Langit memerah. Tapi suasana tanah pekubu-
ran kembali ramai. Orang-orang persilatan kembali
berdatangan. Ki Karantungan si penggali kubur berdiri
menatap kedatangan mereka. Sebuah lubang kubur
menganga tersedia di hadapannya. Keringat Ki Karan-
tungan belum kering. Juga nafasnya masih memburu
setelah menguras tenaganya untuk menggali lubang
itu.
Ditatapnya pula sebuah kereta berlari kencang
menuju tempat itu. Dari situ Ki Karantungan dapat
melihat seorang perempuan yang tidak lain istri Ki Wi-
rayuda duduk dalam kereta. Semua orang persilatan
seperti tidak sabaran menunggu sesuatu. Mereka se-
mua sudah berkumpul tepat pada makam Arimbang.
Perempuan itu turun dari kereta dengan terge-
sa-gesa. Ia langsung berlari mendekati Ki Karantungan
yang berdiri menghadapi sebuah lubang.
"Mana Ki Wirayuda? Mana dia...?" tanyanya
terburu-buru.
"Belum datang. E-e... benarkah ia telah mene-
waskan Gentara Karma?" Ki Karantungan balik ber-
tanya.
"Kami datang kembali ke sini karena menden-
gar kabar dari para penduduk Desa Sungkawarang.
Mereka pasti tidak bohong." jawab istri Ki Wirayuda. Si
penggali kubur manggut-manggut.
"Sukurlah... sebenarnya aku khawatir sekali
terhadap dirinya."
"Demikian pula aku, Ki.... Kalau Ki Wirayuda
tidak datang sore ini, terpaksa aku yang kan turun
tangan." ujar perempuan ini.
Ki Karantungan tersenyum. Wajah keriput ter-
makan usia itu menampakkan raut wajah yang agung.
"Kenapa berbuat senekad itu? Bukankah kau
sudah mendengar kabar dari pada penduduk? Ki Wi-
rayuda bukanlah seorang tokoh silat yang mudah di-
perdaya. Aku yakin beliau pasti akan datang ke sini."
jawab Ki Karantungan.
Tanah pekuburan semakin penuh. Dan hari
semakin gelap. Orang-orang persilatan hampir putus
asa menunggu kedatangan Ki Wirayuda. Tapi beberapa
saat kemudian semua kepala menoleh ke arah suara
derap kaki kuda yang berderak-derak kencang. Semuanya pun berlari menyusul. Langkah-langkah mereka
begitu semangat setelah melihat Ki Wirayuda adanya.
Di belakang kudanya terseret sosok tubuh ber-
lumuran darah bercampur tanah.
"Ki Wirayuda datang....' Dia betul-betul mem-
bawa si keparat Ki Gentara Karma...!" teriak mereka.
Ki Karantungan bersama istri Ki Wirayuda se-
rempak menoleh. Apa yang didengar serta dilihatnya
benar. Ki Wirayuda memenuhi janjinya. Tubuh Genta-
ra Karma sudah tidak karuan lagi. Apalagi semua
orang persilatan yang menggiringnya itu tidak henti-
henti melancarkan hantaman. Tubuhnya terus terseret
bersama larinya kuda yang mengarah pada Ki Karan-
tungan.
"Hebat, benar-benar hebat! Rupanya kau telah
menyediakan liang kubur untukku!" Ujar Gentara
Karma. Ki Wirayuda hampir tidak percaya melihat so-
sok Gentara Karma masih tetap sehat bugar. Meskipun
seluruh tubuhnya sudah membanjir darah. Dengan ge-
ram pula ia turun dari kudanya. Istrinya datang me-
nyambut.
"Kau terluka kakang? Astaga lengan mu...."
"Tidak apa-apa, Andini. Luka ini tidak bebera-
pa. Dalam waktu yang singkat pasti akan sembuh."
jawab Ki Wirayuda. Lalu ia menoleh pada Ki Karantun-
gan...
"Bagaimana, Ki... Apakah kau telah menggali
lubang untuk anjing ini?" tanyanya. Ki Karantungan
diam seperti beku. Tapi Ki Wirayuda sudah dapat me-
lihat di hadapannya sebuah lubang yang cukup dalam
dan besar.
"Bagus. Hari ini juga seperti apa yang telah aku
katakan, Gentara Karma harus mampus di hadapan
istriku. Juga seluruh orang-orang persilatan, hendak-
nya hal ini menjadi bahan pelajaran bagi kita. Setiap
musuh yang berdiri pada pihak sesat, sebaiknya kita
hancur leburkan!"
"Kau terlalu banyak bicara Ki Wirayuda. Mau
bunuh cepat bunuh! Tidak perlu khotbah macam itu!"
bentak Gentara Karma. Tubuhnya tetap terikat. Men-
dengar ucapan itupun Nyi Andini istri Ki Wirayuda
menjadi kalap. Serta merta ia menendang tubuh Gen-
tara Karma.
*
* *
EMPAT
Sekali tendang tubuh terikat Gentara Karma
mencelat sekaligus langsung masuk ke dalam lubang
yang telah disediakan. Semua orang yang memenuhi
tempat itu diam tak bersuara. Mereka begitu kagum
akan kehebatan Nyi Andini. Perempuan berilmu tinggi
ini memandang geram pada laki-laki terikat lemas da-
lam liang kubur.
"Tindakanmu yang paling kusukai, Nyi. Aku
memang ingin sekali mampus." ujar Gentara Karma. Ia
balas menatap tatapan nanar Nyi Andini.
"Nyawa anakku terlalu mahal. Kau akan mene-
rima ajalmu dengan penuh kesakitan!" bentak Nyi An-
dini.
"Kenapa tidak cepat-cepat kau lakukan, Nyi.
Aku sudah siap menerima." jawab Gentara Karma. Nyi
Andini berpaling pada Ki Karantungan.
"Kubur dia, Ki...." perintah Nyi Andini tidak
main-main.
"Tapi, Nyi... Gentara Karma masih hidup." Ki
Karantungan gugup.
"Timbun dia dengan tanah! Biar dia tahu ba-
gaimana sakitnya manusia menjelang ajal!" perintah
Nyi Andini makin keras. Ki Karantungan kikuk. Ia ti-
dak tahu apa yang mesti diperbuat. Bagaimanapun Ki
Karantungan mengenal betul siapa adanya Gentara
Karma. Sepertinya ada sesuatu rahasia yang tersimpan
di antara mereka berdua.
"Aku tidak tega, Nyi...." Ki Karantungan berala-
san.
"Lakukan saja, Ki Karantungan. Kenapa mesti
ragu-ragu." ujar Gentara Karma. Ki Karantungan ma-
kin kikuk. Mendengar itu Nyi Andini bertambah gusar.
"Manusia tidak kenal mampus. Rasakan ini...!"
Nyi Andini terpaksa menimbun lubang itu sendiri. Ke-
dua lengannya mengais-ngais menguruk dengan ta-
nah. Demi melihat itu Ki Wirayuda ikut membantu.
Begitu juga dengan orang-orang yang ada di tempat
itu.
Tertimbun tanah dalam liang itu, Gentara Kar-
ma meronta-ronta sekuat tenaga. Namun ikatan yang
begitu erat membuat dirinya tidak berkutik. Manakala
tanah semakin menimbun. Semua orang menatap nge-
ri melihat Gentara Karma tertimbun hidup-hidup. Se-
makin tertutup. Semakin lemas dan lemas. Sampai
akhirnya benar-benar teruruk tanpa sisa.
Jeritan panjang terdengar melengking meski-
pun tubuh Gentara Karma telah tertimbum. Gundu-
kan tanah yang telah membukit itu bergerak-gerak. Nyi
Andini langsung menginjak-injak gundukan tanah ber-
lumpur sampai rata dengan permukaan tanah. Nam-
pak bengis dan tanpa ampun. Ki Wirayuda sendiri me-
lihat istrinya bagai kesetanan.
Sesaat kemudian tempat itu berubah sunyi. Nyi
Andini memandang berkeliling menatap seluruh orang-
orang yang hadir menyaksikan peristiwa itu. Ki Karan
tungan diam seribu bahasa. Sebagai seorang penggali
kubur, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia belum beran-
jak dari situ saat orang-orang mulai meninggalkan
gundukan tanah satu persatu.
Ki Wirayuda menuntun Nyi Andini melangkah.
Perempuan itu langsung menuju kereta yang siap me-
nunggu. Sebelum Ki Wirayuda mendekati kudanya. Ia
menemui Ki Karantungan. Ia memberi lagi beberapa
keping uang logam. Sebenarnya Ki Karantungan eng-
gan menerimanya.
"Tenagamu cukup terkuras hari ini, Ki... Orang
macam Ki Karantungan ini tidak semestinya bekerja
keras sebagai penggali kubur." ucap Ki Wirayuda.
"Semestinya memang aku sudah beristirahat.
Tapi rasanya enggan untuk meninggalkan pekerjaan
yang telah mendarah daging ini." jawab Ki Karantun-
gan.
"Jangan terlalu memaksakan tenagamu. ujar Ki
Wirayuda.
"Sekarang hari hampir gelap. Kami harus kem-
bali ke perguruan. Mungkin besok-besok aku akan
menjengukmu." kata Ki Wirayuda lagi. Setelah itupun
ia benar-benar meninggalkan Ki Karantungan sendiri.
Sekali lompat ia sudah hinggap di atas pelana.
Maka rombongan itupun segera meninggalkan
tanah pekuburan. Ki Wirayuda berjalan membawa ku-
danya beriringan dengan kereta yang ditumpangi Nyi
Andini. Perasaan mereka sore itu benar-benar puas.
Pembunuh anaknya telah membayar dengan nyawanya
juga. Itu berarti hutang darah telah tuntas. Siapapun
adanya Gentara Karma mereka tidak perduli. Biar se-
luruh orang-orang aliran sesat membuat perhitungan
atas perlakuan ini, mereka akan tetap meladeni.
Orang-orang aliran sesat memang meski ditumpas.
Mereka pantas dimusnahkan.
Ki Karantungan berdiri mematung menghadapi
gundukan tanah dingin. Manakala hari makin gelap
gulita. Angin semilir berdesir menerpa kulit rentanya.
Tanah pekuburan kembali sunyi. Seperti mati. Orang-
orang persilatan maupun kelompok Ki Wirayuda sudah
sirna dari pandangan matanya.
Dengan lesu ia melangkah meninggalkan ma-
kam tanpa nisan itu. Ditujunya sebuah gubuk kecil
yang cuma satu-satunya berdiri di sudut tanah peku-
buran. Ki Karantungan memang tinggal di situ. Demi
melakukan tugas yang sangat membosankan dan
menguras tenaga dia menghabiskan sisa hidupnya
dengan menggali kubur. Ketika ia memasuki pintu gu-
buknya, pasukan kelelawar beterbangan menyingkir.
Bagi Ki Karantungan hal semacam itu sudah ti-
dak mengejutkan lagi. Ia sudah terbiasa dengan kea-
daan yang demikian. Malah setiap malam ia terus di-
hibur oleh suara-suara burung bantu maupun suara-
suara lain yang menakutkan. Ia sama sekali tidak ter-
pengaruh. Mungkin karena terlalu lamanya ia tinggal
di tanah pekuburan. Dan juga tugasnya sebagai penja-
ga sekaligus penggali kubur.
***
Suatu peristiwa yang tidak masuk di akal se-
hat. Semua orang yang mendengar peristiwa kematian
Gentara Karma seakan tidak percaya. Bagi orang-orang
persilatan yang telah menyaksikan dengan mata kepa-
lanya sendiri, mungkin Ya! Tapi bagi mereka yang ti-
dak sempat menghadiri peristiwa di tanah pekuburan,
tidak mungkin percaya begitu saja.
Tapi setelah melihat adanya gundukan tanah
tanpa nisan, juga diperkuat dengan cerita-cerita orang
setempat. Mereka semua jadi tidak habis pikir.
Bagaimanapun mereka sukar mempercayainya.
Gentara Karma seorang tokoh sesat yang tidak kenal
ampun. Ilmunya yang setinggi langit tidak mungkin bi-
sa dikalahkan begitu saja. Apalagi mereka mendengar
kalau Gentara Karma sampai menyerah. Bahkan sam-
pai menerima hukuman yang demikian rupa.
Sekalipun mereka tahu Ki Wirayuda memang
pentolan orang-orang persilatan. Tapi mereka bisa
mengukur akan kehebatan tokoh sakti dari aliran pu-
tih itu. Ki Wirayuda sendiri di pesanggrahannya mera-
sa tidak habis pikir. Ia seperti merasa ada kelainan
sewaktu menghadapi Gentara Karma. Rasa tidak
mungkin jika ia bisa mengalahkan begitu cepat. Seta-
hunya, Gentara Karma seorang tokoh yang sulit dija-
mah.
Sejak hari itu Ki Wirayuda selalu nampak ter-
menung. Namun ia dapat menyembunyikan perasaan
itu di hadapan istrinya. Kematian putra tunggalnya
memang suatu pukulan berat. Kedua suami istri ini
betul-betul seperti kehilangan segalanya. Bagi Nyi An-
dini, ia sudah merasa puas. Karena ia telah melakukan
apa yang dianggapnya jalan terbaik terhadap pembu-
nuh anaknya.
Den Arimbang putra tunggal mereka sebenar-
nya seorang anak muda yang tangguh dan telah men-
guasai penuh seluruh ilmu-ilmu yang diwarisi oleh Ki
Wirayuda. Sepak terjangnya dalam dunia persilatan
sangat mengagumkan. Semuda itu ia sudah dapat me-
nyingkirkan beberapa pentolan orang dari aliran sesat.
Tidak mengherankan kalau ia sering mewakili
ayahnya dalam menghadapi kerusuhan-kerusuhan da-
lam dunia persilatan. Tapi nasib buruk telah menje-
ratnya ke jalan lain. Ia harus berhadapan dengan Gen-
tara Karma. Semua orang tahu kalau Gentara Karma
sangat sukar untuk diatasi. Sudah banyak orang
orang persilatan yang ambruk di kakinya. Tidak segan-
segan pula Gentara Karma mengirim Den Arimbang ke
akherat. Tapi sekarang kedua orang tua mereka sudah
membalas atas kematiannya. Mungkin Den Arimbang
akan merasa puas dan tidak mati penasaran.
*
* *
LIMA
Untuk mencari kebenaran adanya berita kema-
tian Gentara Karma. Dua pasangan pendekar dari Bu-
kit Sinimbung diutus untuk mendatangi pemukiman
Ki Wirayuda. Pasangan pendekar yang tidak lain suami
istri itu bernama Wita Soma dan Mawarni Runi. Dua
suami istri ini cukup memiliki ilmu yang tinggi. Mereka
berdua sanggup melakukan perjalanan jauh. Segala
rintangan apa pun dapat diatasi.
Dua pendekar ini tanpa mengenal lelah mene-
robos lebatnya hutan. Mengarungi tanah perbukitan
terjal juga lembah ngarai. Manakala panas terik men-
corot menggarangi mereka. Dua kuda mereka yang di-
tunggangi melangkah lesu kelelahan.
Untunglah di hadapan sana banyak mengham-
par rerumputan hijau. Ada juga sebuah
telaga dengan airnya yang bening. Pohon-pohon
subur banyak tumbuh di sekitar tempat itu. Kedua
pendekar ini membawa kuda mereka ke sana.
Wita Soma langsung turun dari atas pelana be-
gitu sampai di tepian telaga. Ia bagaikan menemukan
sumber kehidupan ketika melihat beningnya air. Be-
lum meminumnya saja perasaannya sudah demikian
segar. Maka tidak ragu-ragu lagi Wita Soma mereguk
dengan kedua belah telapak tangannya.
"Segar... Sungguh segar, Mawarni. Kita bisa
minum sepuasnya atau bila perlu kita mandi sekalian
di sini!" teriak Wita Soma. Mawarni Runi menatap me-
lepaskan senyum terhadap suaminya. Ia juga ikut tu-
run dari atas pelana kuda. Langkahnya langsung me-
nuju ke samping Wita Soma yang nampak mengguyur
sekujur tubuhnya dengan air telaga.
"Kakang... Rasanya aku ingin mandi. Seharian
ini terasa sekali panas. Apakah kau tidak bisa merasa-
kan kalau tubuhmu sudah tujuh rupa baunya." ujar
Mawarni Runi.
"Mandilah sepuasmu. Aku masih terlalu letih.
Setelah itu kita boleh mencari tempat peristirahatan
untuk malam ini." jawab Wita Soma.
"Kakang pun harus mandi biar tidak bau." Ma-
warni Runi mulai membuka pakaiannya.
"Ya... ya... Aku pasti mandi." Wita Soma mena-
tap lekuk-lekuk tubuh istrinya. Betapa putih halus se-
luruh kulit Mawarni Runi. Setiap laki-laki pasti akan
tergiur bila melihatnya. Buah dada yang mengkal, be-
risi padat. Ditambah lagi dengan wajah yang cantik.
Rambutnya terurai sebatas pinggang saat Mawarni
Runi melepaskan ikat rambutnya.
"Byuuuur...!" lamunan Wita Soma buyar. Air te-
laga menyiprat ke wajahnya saat istrinya terjun ke te-
laga. Beberapa detik kemudian ia menyembul dari
permukaan air.
"Yang kau katakan benar, Kakang. Air di sini
begitu segar." ujar Mawarni Runi. Maka Wita Soma
langsung membuka seluruh pakaiannya. Secepatnya ia
terjun.
Keduanya menyelam. Permukaan air beriak-
riak. Mereka ke sana ke mari. Saling kejar melepaskan
senda gurau setelah seharian penuh mengarungi perja
lanan yang melelahkan. Dalam keriangan itu mereka
dikejutkan oleh suara ringkik kuda. Keduanya seren-
tak kaget. Sebagai seorang pendekar, mereka selalu
awas dan waspada.
"Cepat berpakaian. Ada seseorang yang mengin-
tai kita." Wita Soma berlari ke tepi telaga. Lalu me-
nyambar pakaiannya. Dengan tergesa-gesa ia langsung
mengenakannya.
"Anjing busuk mana yang berani mengusik ke-
tenangan kita, Kakang? Biar kuhantam matanya agar
juling." bentak Istri Wita Soma. Perempuan bugil itu-
pun mulai mengenakan pakaiannya.
"Entahlah... Tingkahnya macam setan gen-
tayangan. Menclak sana menclok sini. Dikiranya kita
tidak tahu kalau kelakuannya itu sudah terlihat," ja-
wab Wita Soma. Dia memang sudah melihat satu sosok
bayangan berkelebat dari pohon ke pohon. Namun
nyatanya sosok itu terus berlalu tanpa menunjukkan
diri. Kedua pasangan pendekar ini tidak mengejarnya.
Sengaja mengawasi sosok itu pergi menghilang.
"Dia hanya memperingatkan kita agar cepat
meninggalkan tempat ini. Huh! Perduli apa. Lagi pula
siapa yang mau berlama-lama di sini." gerutu Wita
Soma. Kedua kuda mereka melangkah mendekat.
"Kira-kira siapa, Kakang?" tanya Mawarni Runi.
Perempuan ini telah rapi berpakaian. Dia langsung
menerima seekor kuda yang diberikan oleh suaminya.
"Mungkin seperti katamu tadi. Gerak-geriknya
macam anjing busuk. Orang macam itu tidak perlu di-
pikirkan. Ayo, Mawarni. Sebentar lagi hari akan gelap.
Di sebelah sana ada bangunan usang. Kita bisa beristi-
rahat di nana." ajak Wita Soma. Dia sudah siap me-
nunggangi kudanya. Mawarni Runi tidak menyahut.
Rambutnya yang basah dibiarkan tergerai sebatas
pundak, Cepat sekali ia melesat ke atas kudanya.
"Jalan sini, setelah menembus alang-alang itu
kita akan menemukan bekas reruntuhan bangunan.
Dulu aku pernah singgah di sana. Suasananya nam-
pak bersih. Entah sekarang." ujar Wita Soma menggir-
ing kudanya. Istrinya mendampingi.
Rumput alang-alang kering tidak jauh meng-
hampar. Sebentar saja mereka sudah menerobos.
Alang-alang itu hampir setinggi perut kuda. Saat itu
hari mulai gelap. Langit kemerahan bercampur hitam
menghiasi cakrawala.
Seperti apa yang diketahui Wita Soma. Ternyata
benar. Setelah mereka menerobos alang-alang. Dari si-
tu mereka sudah dapat melihat berdirinya bekas se-
buah bangunan usang. Adapun sebenarnya bangunan
itu tempat kediaman Gentara Karma. Di tempat itulah
Ki Wirayuda menumpas tiga orang anak buah Gentara
Karma sekaligus menyeret Gentara Karma itu sendiri.
Tapi mana tahu kalau tempat itu pernah terjadi
peristiwa luar biasa. Apalagi bagi kedua pendekar ini.
Sekarang mereka memasuki pelataran reruntuhan
bangunan tersebut. Tanpa ragu-ragu pula mereka me-
nambatkan kuda-kudanya di depan bangunan.
"Bah! Tempat macam ini kau bilang nyaman.
Tidakkah kau cium bau busuk ini?" ujar Mawarni Ru-
ni. Perempuan ini sudah tahu dari mana asal bau bu-
suk itu. Karena ia dapat melihat sepasukan tikus-tikus
liar berlari meninggalkan tiga sosok kerangka manusia.
Wita Soma mengangkat bahu.
"Dulu tidak seperti ini suasananya. Mungkin di
dalam sana tidak akan seperti ini." jawab Wita Soma.
Ia melangkah masuk menjajaki anak tangga batu. Ma-
warni Runi mengikutinya.
"Apa tidak ada tempat lain lagi?" "Ada. Kau bo-
leh bermalam di dalam hutan belantara sana." gurau
Wita Soma.
"Lebih baik di sana dari pada harus terkurung
dalam bangunan ambruk yang pengap ini." Balas Ma-
warni Runi.
"Tidak, Istriku... Bila kita membuat api unggun
suasana buruk macam ini akan lain." Wita Soma me-
munguti serpihan-serpihan kayu. Mawarni Runi hanya
berpangku tangan mengawasi suaminya. Pandangan-
nya ke luar mengawasi dua ekor kuda yang tertambat
di pelataran bangunan.
Api unggun meletup-letup menerangi ruangan
pengap itu. Bau busuk seakan hilang terbius oleh
hangatnya api unggun. Pasangan pendekar ini duduk
berdampingan bersandar pada dinding batu berlumut.
Mereka menikmati suasana hangatnya malam.
Cuaca terang mendadak saja berubah hitam.
Bulan yang tadinya bersinar penuh kini mulai tertutup
awan berarak. Malam itu kian mendung menakutkan.
Kedua pendekar yang berada di dalam bangunan ter-
sentak kaget saat sambaran petir bersama datangnya
hujan menghantam permukaan tanah berbatu..
"Traaaaazs... Glalaar!"
Dua pendekar ini berjingkat bangkit. Di tatap-
nya hujan begitu deras. Begitu juga dengan hembusan
angin yang membawa masuk percikan-percikan air hu-
jan bagaikan mata jarum.
"Kakang, kuda kita di luar kehujanan. Bawa sa-
ja mereka masuk ke dalam. Tempat ini cukup luas
kok. Kasihan, mereka akan mati kedinginan." bisik
Mawarni Runi. Wita Soma mengencangkan ikat ping-
gangnya, lalu ia melompat ke luar menerobos derasnya
hujan. "Sial! Kenapa mendadak hujan begini! gerutu
Wita Soma. Keduanya meringkik-ringkik basah kuyup.
Mereka meronta-ronta menghindari derasnya hujan.
Tapi tali ikatan yang mengikat kuda-kuda itu begitu
kuat dan tak mungkin terlepas.
*
**
ENAM
Wita Soma menyeret dua ekor kudanya masuk
ke dalam ruangan hangat. Saat itu Mawarni nampak
tengah menambahi serpihan kayu bakar. Api unggun
semakin meletup-letup menggarang mereka. Tubuh
Wita Soma tak urung jadi keluncum. Pakaiannya ba-
sah kuyup.
Dia menghenyakkan pantatnya di sebelah Ma-
warni Runi. Perempuan ini merinding menyentuh tu-
buh Wita Soma yang basah dingin.
"Keringkan dulu pakaianmu, Kakang. Nanti
masuk angin," ujar Mawarni Runi seraya ia membuka
baju kuyub suaminya. Tapi Wita Soma malah me-
nyambutnya dengan menarik lengan istrinya ke dalam
pelukan. Mawarni Runi berontak.
"Buka dulu bajumu. Ini basah semua." kata is-
trinya lirih. Wita Soma menurut. seperti anak kecil
yang ditelanjangi. Istrinya pula yang menggarang selu-
ruh pakaian Wita Soma. Dan laki-laki ini seperti tidak
sabaran. Ia menarik lagi lengan Mawarni Runi. Perem-
puan ini pura-pura meronta. Tapi tak urung tubuhnya
masuk jua ke dalam dekapan Wita Soma.
Suasana ruangan makin hangat. Dua ekor ku-
da berdiri salah tingkah. Kaki-kaki mereka perlahan
menyepak-nyepak lantai. Di luar hujan bertambah de-
ras. Angin bertiup kencang. Suara geledek bersahutan
tanpa mengeluarkan petir.
Sosok hitam berdiri kaku di balik pintu Geme-
riciknya tetes air dari baju hitam yang kuyub sama se-
kali tak terdengar. Wajahnya yang menyeramkan terus
mengawasi pasangan pendekar itu saling gumul. Jelas
wajahnya yang menyeramkan itu bukanlah wajah asli.
Wajah cukup menjijikkan itu tidak lebih sebuah to-
peng.
Demi mengetahui adanya seseorang melihat
pergumulan mereka, Mawarni Runi tersentak kaget.
Hampir saja ia memekik ketakutan. Serta merta ia
mendorong tubuh Wita, Soma yang menindih kuat. Wi-
ta Soma sendiri kaget bukan kepalang.
"Ada apa, Mawarni...?" tanya Wita Soma kehe-
ranan.
"Aku melihat hantu menyeramkan. Dia ada di
sana." tunjuk Mawarni Runi ke arah pintu. Tapi tidak
ada siapa-siapa di sana. Sosok hitam menyeramkan te-
lah pergi menghilang. Wita Soma jadi penasaran. Ia
berjingkat bangkit berlari ke arah pintu batu.
Di balik derasnya hujan Wita Soma meman-
dang berkeliling. Laki-laki ini mempertajam pengliha-
tannya. Jangankan hantu, seekor lalatpun tidak nam-
pak di ujung penglihatannya. Wita Soma kembali ma-
suk.
"Ah, kau ini hanya mengada-ada, Istriku. Pera-
saanmu hanya terpengaruh oleh mayat-mayat tadi."
ujarnya sambil mengelus-elus bulu lebat di leher ku-
danya. Laki-laki ini melangkah lagi mendekati istrinya.
"Kau tidak akan percaya, Kakang. Aku melihat-
nya sendiri kalau hantu itu berdiri di sana mengawasi
kita. Wajahnya...." Mawarni Runi tidak meneruskan
kata-katanya. Karena Wita Soma cepat memotong.
"Kalaupun ada hantu di sini. Pastilah dia hantu
kesepian." cetus Wita Soma tidak perduli. Dia mulai
membelai lagi tubuh istrinya. Tapi Mawarni Runi men-
gelak. Birahinya telah beku saat ia melihat wajah me-
nyeramkan tadi. Bagaimanapun perempuan itu tidak
bisa melupakan sosok menakutkan itu. Menghadapi
ini Wita Soma hanya menghela nafas panjang. Lesu
pula ia menyambar pakaiannya yang digarang di atas
api unggun.
***
Hujan deras masih terus menyiram Desa Sing-
kawarang. Banyak air yang tergenang mana-mana.
Apalagi di sekitar tanah pemakaman. Tanah mereka
makin becek bagai lumpur darah. Ada juga beberapa
makam tua yang rata dengan genangan air. Bahkan
patok-patok nisannya hampir hanyut terbawa air.
Saat itu sosok tubuh kekar berlari kencang
menerobos derasnya hujan. Tapak kakinya mengoyak
tanah pekuburan. Meski dalam keadaan gelap gulita,
masih nampak kelihatan kalau ia seorang anak muda.
Baju bulunya yang dikenakan telah keluncum basah.
Juga rambutnya yang gondrong selalu meneteskan air
bergerak-gerak kaku.
Langkah larinya semakin cepat tatkala hampir
mendekati sebuah gubuk reyot. Gubuk itu cuma ada
satu-satunya di sudut tanah pemakaman. Kerlip lam-
pu pelita menerangi ruangan gubuk itu. Sosok renta Ki
Karantungan nampak duduk di atas balai menghisap
daun kawung. Ia dapat terlindung dari derasnya hujan
meskipun berada di atas gubuk. Dari situ Ki Karan-
tungan bukannya tidak tahu kalau ada seorang anak
muda berlari ke arahnya. Ki Karantungan menyambut
berdiri ketika pemuda basah kuyup itu telah berdiri di
hadapannya.
"Maaf, Ki... Aku. tidak sempat mencari tempat
berteduh. Tidak disangka pula hujan demikian deras-
nya. Kalau boleh saya akan menumpang berteduh."
ujar pemuda itu yang tidak lain Pendekar Kelana Sakti
adanya.
"Oh silahkan... Silahkan, Den." sambut Ki Ka-
rantungan sambil menggigit lintingan daun kawung. Ia
membuka pintu gubuk. Mempersilahkan masuk.
"Ah aku cuma tamu tak diundang. Juga bukan
orang ningrat. Mana pantas aki memanggil dengan se-
butan aden. Panggil saja aku Wintara." Pemuda ini me-
langkah masuk mengikuti Ki Karantungan.
"Lalu apa artinya aki yang miskin ini. Hhh...
Maaf, tempatnya kotor sekali. Sudah beberapa hari ini
aki tidak mengurusnya. Silahkan... Silahkan duduk.
Yang ada hanya balai reyot ini." kata Ki Karantungan
ramah. Wintara tersenyum mengangguk. Laki-laki ren-
ta ini sibuk menuangkan air kendi.
"Den Wintara dari mana?" tanya Ki Karantun-
gan sambil meletakkan gelas bambu di samping Winta-
ra. Pemuda ini menyeka air di sekitar wajah dengan
lengan.
"Aku baru saja dari Desa Curing Kencana.
Sampai di sini mendadak hujan." jawab Wintara.
"Baru saja? Kau berolok-olok, Den Wintara. De-
sa Guring Kencana sangat jauh dari sini. Menuju ke
sana akan memakan waktu dua sampai tiga hari." Ki
Karantungan mengawasi pemuda itu. Melihat dari ben-
tuk tubuhnya yang kekar serta pakaiannya yang san-
gat aneh, pastilah anak muda ini bukan orang semba-
rangan. Tidak mungkin pula kalau pemuda ini manu-
sia biasa berani menempuh perjalanan yang sangat
jauh. Dari keyakinannya itu Ki Karantungan sudah ta-
hu kalau Wintara adalah seorang pendekar berilmu
tinggi.
"Kenapa nampak heran begitu, Ki. Perjalanan
menuju ke mari memang kutempuh selama tiga hari
penuh. Rasanya pun aku sudah lelah betul." Wintara
berbohong. Padahal ia harus menempuhnya hanya da-
lam satu harian saja. Itupun dia harus menggunakan
kecepatan larinya.
"Jangan membohongi dirimu sendiri, Den.!
Pendekar-pendekar berilmu tinggi memang selalu tidak
menonjolkan diri. Jarang kutemui seorang pendekar
muda yang rendah hati." ujar Ki Karantungan. Kedua
lengannya
bermaksud menutupi pintu gubuk. Agar udara
tidak terlampau dingin. Tapi tanpa diketahui oleh Win-
tara, lelaki renta ini membelalakkan matanya. Ia Me-
mandang ke luar setengah tidak percaya. Dalam kege-
lapan malam dan derasnya hujan, mata rentanya me-
lihat jelas kuburan tanpa nisan seperti bergetar hebat.
Takut dilihat pula oleh Wintara, ia cepat-cepat menu-
tup pintu gubuk. Lalu berusaha menutupi sikapnya
yang agak kikuk. Wintara betul-betul tidak menyada-
rinya.
"Aki bicara apa? Aku ini bukan seorang pende-
kar juga bukan apa-apa. Apalagi sampai memiliki ilmu
setinggi langit. Rasanya tidak mungkin bagiku. Kalau
hanya untuk sekedar membela diri memang aku cu-
kup menguasai. Makanya aku bisa sampai dengan se-
lamat di sini." ucap Wintara makin akrab. Rasa gugup
Ki Karantungan tidak nampak selama ia menemani
Wintara, Namun kedua bola matanya yang jujur selalu
melirik ke arah pintu. Pandangannya seakan ingin
menerobos ke balik pintu melihat kejadian pada kubu-
ran tanpa nisan yang baru saja dilihatnya bergetar.
Di luar sana di balik derasnya hujan. Kuburan
tanpa nisan bergetar hebat. "Ztraaaaas... Glaaar...'."
Bersamaan dengan sambaran kilat gundukan tanah
retak seperti terjadi gempa. Di luar dugaan pula gun-
dukan tanah itu terkuak lebar. Dari dalamnya muncul
sosok tubuh Gentara Karma bercampur lumpur tanah.
Ke dua tangannya mengais membersihkan kotoran-
kotoran tanah. Lalu bangkit sebagaimana layaknya
orang yang bangun dari tidur.
*
* *
TUJUH
Cicit burung-burung yang memenuhi atap ban-
gunan tua menghiasi suasana pagi berkabut. Sinar
matahari menerobos melalui celah-celah daun dari pe-
pohonan yang banyak tumbuh di sekitar bangunan tua
itu. Membuyarkan semua kabut putih yang merambat
di sekitar anak tangga batu.
Semalaman suntuk pasangan pendekar ini ti-
dak dapat memejamkan mata. Mawarni Runi masih
membayangkan wajah seram menakutkan. Keduanya
saling duduk diam menghadapi api unggun yang sebe-
narnya sudah padam. Bau busuk ketiga mayat yang
tergeletak di pelataran bangunan tercium lagi.
Mawarni Runi mendengus mengusir bau busuk
itu.
"Masih mau berdiam di sini terus?" ujar Ma-
warni Runi bangkit dari duduknya.
"Terserah kau." jawab Wita Soma mengangkat
bahu.
"Tapi aku pikir hari. masih terlalu pagi. Segan
rasanya melangkah ke tanah yang becek ini." kata Wita
Soma lagi. Mawarni Runi nampak kesal. Ia melangkah
keras mendekati kudanya.
"Kalau kau tidak mau berangkat sekarang, biar
aku sendiri yang meneruskan perjalanan!" Kesal
menggerutu.
"E-e-e... Tunggu dulu! Mana bisa aku biarkan
kau pergi sendiri?" Wita Soma bangkit menyusul. Iste-
rinya sudah siap di atas pelana. Ia juga langsung mele
sat menunggangi kuda satunya lagi. Mawarni Runi te-
tap cemberut.
"Apa nanti kata Ki Wirayuda kalau kau hanya
sendirian sampai di sana?" ujarnya lagi.
"Bagus kalau masih punya rasa tahu diri." tu-
kas isterinya. Cemberut begitu Mawarni Runi tambah
cantik. Dua kuda mereka menerobos bergantian mele-
wati pintu bangunan. Wita Soma berusaha membawa
kudanya berdampingan. Tanpa menoleh mereka mele-
wati tiga sosok mayat berbau busuk. Mereka terus me-
ninggalkan bangunan yang hampir runtuh.
Terasa lega nafas mereka setelah berada jauh.
Saat itupun mereka harus menerobos hutan belukar.
Udara masih sangat dingin. Sekitar tanah yang mereka
lalui masih becek tergenang air bekas hujan semalam.
Perlahan kabut mulai sirna terbawa angin pagi. Meski
rawan, hutan belukar nampak lebih indah dalam sua-
sana pagi. Namun ketenangan langkah kuda mereka
mendadak goyah. Kuda-kuda mereka meringkik-
ringkik. Sukar sekali kedua pendekar ini menjinak-
kannya. Kuda-kuda mereka bagai liar tak mengenal
tuannya lagi.
Barulah tahu apa yang menyebabkan mereka
terguncang-guncang demikian. ternyata sosok tubuh
bercampur lumpur telah menghadang. Raut wajah
penghadang itu bersih dari noda-noda lumpur. Hanya
darah kering yang masih menghiasi sekitar wajahnya.
Kedua pendekar ini melompat dari pelana. Membiar-
kan kuda-kuda mereka menyingkir.
"Diakah hantu yang mengganggu ketenangan
kita semalam?" bisik Wita Soma mengernyitkan alis.
"Bukan. Keadaannya memang hampir sama bu-
ruk, tapi jelas bukan dia." jawab Mawarni Runi dengan
berbisik pula. Wita Soma melangkah maju menatap
sosok baju berlapis lumpur.
"Ki Sanak, Ilmu apa yang kau gunakan sehing-
ga kuda kami lari terbirit-birit, jelas kemunculan ki
Sanak membawa alamat yang kurang baik." Menden-
gar ucapan itu, penghadang ini menyeringai seperti
mengejek.
"Kau ini sungguh pikun, Kakang. Tidakkah kau
kenali kalau kutu busuk ini tidak lain si Keparat Gen-
tara Karma?" Mawarni Runi melangkah mendampingi
Wita Soma.
"Kalaupun aku percaya dia Gentara Karma,
pastilah mahluk jelek ini setan gentayangannya." tukas
Wita Soma.
"Kalian boleh menganggap aku setan gentayan-
gan, iblis atau siluman, ... Terserah Yang jelas, berha-
dapan denganku kalian bakal mampus. Asal tahu saja.
Aku memang Gentara Karma." Sosok penuh lumpur
menuding pasangan pendekar ini.
"Berita apa sebenarnya yang kita dengar ini ka-
kang? Bukankah Gentara Karma sudah mampus? Ke-
napa sekarang kunyuk ini ada di hadapan kita?"
"Siapapun dia, apa susahnya menyingkirkan
penghalang! Minggir...!" Wita Soma nyeruduk. Serta
merta ia melepaskan hantaman. Sosok penuh lumpur
yang ternyata Gentara Karma menyingkir bagai angin.
Gerakannya langsung menyambut hantaman Mawarni
Runi yang datang dari arah belakang. Serangan-
serangan isteri Wita Soma lebih gencar. Namun selalu
saja Gentara Karma dapat menghindar dengan kecepa-
tan geraknya.
"Siapa bilang Gentara Karma mati! Orang yang
mengatakan itu yang bakal mati nanti!" bentak Genta-
ra Karma. Ketika ia menyambut hantaman Isteri Wita
Soma, Perempuan ini memekik. Tulang lengannya te-
rasa patah. Karuan saja tubuhnya terhuyung mundur.
Melihat itupun Wita Soma merangsak main. Serangannya lebih gencar. Pendekar dari Bukit Sinim-
bung ini tidak tanggung-tanggung melepaskan puku-
lan. Dan nampaknya pula Gentara Karma agak kewa-
lahan menghadapi hantaman yang beruntun. Dua
hantaman sekaligus menghantam dadanya.
Wita Soma terkejut sekali dua hantamannya
tadi bagai menyentuh benda kenyal. Padahal ia yakin
bila lawannya tidak akan sanggup bertahan. Ia sudah
membayangkan kalau tadi Gentara Karma bakal jatuh
ambruk dengan menyembur darah. Tapi yang ia lihat
sama sekali di luar dugaannya. Gentara Karma tidak
bergeming sedikitpun. Hantaman itu seakan tidak be-
rarti.
Kini kedua pendekar dari bukit Sinimbung ini
menyerang serempak. Hantaman-hantaman mereka
bergulung-gulung merencah sosok penuh lumpur. Tapi
saat Gentara Karma membalas serangan, kedua pa-
sangan pendekar ini terhuyung mundur. Bersamaan
dengan itu pula Gentara Karma melepaskan tendangan
memutar.
"Deees!"
Jelas tendangan itu masuk ke perut Mawarni
Runi. Tak urung perempuan ini terjungkal ambruk.
Wita Soma cepat berlari melindungi. Tapi ia pun men-
galami nasib yang sama.
"DEEEER!"
Pukulan Gentara Karma menghantam pung-
gung serta lehernya.
Darah menyembur dari mulut Wita Soma. Hal
itu tidak membuatnya jera. Dia bangkit lagi memen-
tang jurus. Mawarni Runi sudah siaga kembali. Ter-
jangannya melesat bagai terbang.
Menghadapi dua serangan dari pendekar-
pendekar tangguh, Gentara Karma tidak gentar. Setiap
perguruan atau pendekar lain yang bercokol di tanah
Sungkawarang pasti tahu akan kehebatan mereka. Se-
lain itu mereka tahu kalau pasangan pendekar ini
memiliki satu pukulan yang sangat dahsyat. Jurus itu
bernama Tinju Karang. Jurus ini pula yang merupakan
jurus andalan pasangan pendekar ini.
Sekarang mereka diam-diam tengah menyusun
tenaga inti untuk melepaskan ilmu andalan mereka.
Selama itu pula mereka terus mencecar Gentara Kar-
ma. Sosok penuh lumpur ini terus menyambut mema-
paki serangan-serangan mereka. Dan pada satu ke-
sempatan,
"Deees...! Blaaaaar...!"
Pasangan pendekar dari bukit Sinimbung mele-
paskan Tinju Karang berbarengan. Pukulan itu meng-
hantam dahsyat Gentara Karma. Tubuhnya yang kotor
penuh lumpur jatuh bergulingan. Untuk sesaat diam
tak berkutik.
Wita Soma menghantam bagian dadanya. Pasti-
lah seluruh tulang iga Gentara Karma rontok. Mawarni
Runi menghantam bagian perut dan yakin sekali kalau
lambung Gentara Karma pasti pecah. Seperti yang su-
dah-sudah memang demikian. Setiap lawannya tidak
akan dapat bangkit setelah mendapat hantaman Tinju
Karang. Tapi mendadak saja mereka membelalakan
mata sambil saling pandang. Perlahan Gentara Karma
dapat bangkit tanpa kurang satu apapun.
"He-he-he-he... Inikah ilmu dahsyat orang-
orang bukit Sinimbung? Kalau hanya sebegini kenapa
setiap orang-orang aliran sesat merasa takut." ujar
Gentara Karma melangkah maju. Wita Soma maupun
Mawarni Runi merasa heran. Mereka bermaksud me-
lancarkan pukulan lagi. Hantaman-hantaman Tinju
Karang bergulung-gulung menderu. Gentara Karma te-
tap menyambut dengan terjangan yang disertai samba-
ran kedua tangannya.
"Bleeedar!"
Hantaman mereka beradu dahsyat. Gentara
Karma berjumpalitan di udara. Tapi dua pendekar dari
bukit Sinimbung mencelat tidak kepalang tanggung.
Mereka jatuh tepat di bawah kaki kuda mereka yang
sedari tadi meringkik-ringkik.
Wita Soma merasa tidak akan sanggup meng-
hadapi Gentara Karma. Maka meskipun seluruh tu-
buhnya terasa hancur ia berusaha melompat ke atas
pelana.
*
* *
DELAPAN
"Mawarni....! Tinggalkan bangsat itu. Dia bukan
tandingan kita!" teriak Wita Soma. Ia membawa ku-
danya mendekati Mawarni Runi. Perempuan ini tidak
sempat meraih kudanya. Karena ia sibuk menghadapi
serangan-serangan Gentara Karma.
Sudah tentu menghadapi Gentara Karma akan
sia-sia. Mawarni Runi hanya menghindar dan mencari-
cari kesempatan agar bisa melompat ke atas kudanya
untuk kemudian lari. Tapi serangan Gentara Karma
sangatlah gencar dan bertubi-tubi.
Wita Soma tidak sempat untuk turun lagi. Ia
menyambar tubuh istrinya dari serangan-serangan
Gentara Karma. Mengetahui adanya Wita Soma sudah
menunggangi kudanya. Mawarni melesat ke atas. Tapi
saat tubuh ramping itu masih berada di udara. Genta-
ra Karma melepaskan hantaman...
"Des!"
Mawarni Runi memekik. Darah menyembur.
Sebelum jatuh ke tanah, Wita Soma dapat menyambar.
Sayang cengkeraman Wita Soma tidak begitu kuat. Ia
hanya dapat menarik rambut panjang isterinya.
Meskipun begitu Mawarni Runi dapat ditarik naik ke
atas kuda.
Tapi sebelum itu rupanya Gentara Karma lan-
carkan satu sabetan pukulan karate. Hantaman itu te-
pat mengenai tulang leher. Wita Soma memekik ngeri.
Yang dapat ia raih bukan tubuh isterinya. Tapi hanya
kepala buntung Mawarni Runi yang bergelimang da-
rah. Tubuh ramping isterinya tanpa kepala kelojotan di
tanah. Pada batas potongan leher menyembur darah
bagai air mancur. Wajah Wita Soma pucat pasi. Mana-
kala Tawa Gentara Karma kian mengekeh mena-
kutkan.
"Jahanam...! Kau harus menebus nyawa isteri-
ku...!" teriak Wita Soma lantang. Ia serta kudanya me-
nerjang maju ke arah Gentara Karma. Laki-laki penuh
lumpur ini tidak menyingkir selangkahpun. Ia malah
menghadapi dengan gerakan-gerakan yang sangat
aneh.
"Kau boleh bandingkan pukulan Tinju Pasir
dengan pukulan Tinju Guntur Geledek....Hraaaa!" ser-
ta merta Gentara Karma menghempaskan tinjunya ke
depan.
Akibatnya sangat luar biasa sekali. Kuda yang
ditunggangi Wita Soma mendadak terdorong dan jatuh
terguling di tanah. Wita Soma sendiri mencelat mem-
bentur batang pohon besar. Lalu berdegum di tanah.
Tulang punggung Wita Soma remuk. Karuan saja ia ti-
dak dapat bangkit lagi. Pendekar dari bukit Sinimbung
ini mengerang-ngerang tanpa daya.
"Kau telah mati, Wita Soma. Tanpa ku bunuh-
pun kau bakal mati dengan sendirinya." ujar Gentara
Karma. Ia meninggalkan tubuh Wita Soma tergeletak di
bawah pohon. Langkah lelaki penuh lumpur mendekati
sosok tubuh ramping tanpa kepala. Ia menatap kagum
tubuh ramping Mawarni Runi yang telah kaku. Tanpa
ragu pula Gentara Karma memreteli semua baju pe-
rempuan itu. Maka dalam sekejap tubuh perempuan
tanpa kepala telah bugil polos.
Wita Soma seakan ingin menjerit sekuat-
kuatnya. Bahkan kalau sanggup berdiri ia akan mela-
brak Gentara Karma. Bagaimana tidak? Dilihatnya tu-
buh penuh lumpur itu menindih rakus tubuh bugil is-
terinya. Nafsu binatangnya dilampiaskan pada tubuh
kaku tanpa kepala itu. Demi melihatnya, Wita Soma
memejamkan matanya erat-erat. Rahangnya terkatup
bergemeretak. Serta dengan tubuh yang bergetar.
***
Ketika Wintara bangun, Ki Karantungan sudah
tidak ada di dalam gubuknya. Ruangan itu telah rapi
bersih. Tidak seperti keadaan semalam. Matanya ma-
sih terasa sepat, tapi masih bisa dilihat tanah pekubu-
ran itu becek berlumpur.
Pendekar Kelana Sakti ini berjingkat bangkit
manakala dilihatnya sosok Ki Karantungan nampak
berdiri pada sebuah gundukan tanah yang lebih mirip
sebuah kuburan tanpa nisan. Apalagi letaknya di anta-
ra kuburan-kuburan lain. Lama berdiri memandangi
sosok renta itu, kepala Wintara teras agak pusing.
Dalam hal ini Ki Karantungan sengaja membu-
buhkan semacam obat bius ke dalam air minum Win-
tara. Itulah sebabnya Wintara sampai tertidur pulas
dan bangun kesiangan Hal itu guna menyembunyikan
kejadian semalam. Saat Ki Karantungan melihat ku-
buran Gentara Karma Retak di balik hujan geledek.
Maka pagi-pagi sekali Ki Karantungan bangun
tanpa diketahui oleh Wintara. Iapun dapat bebas
membetulkan kuburan yang terbongkar itu. Dan sece-
pat itu pula ia membereskan kuburan tanpa nisan se-
perti sedia kala.
Rasa pening di kepala Wintara mulai berang-
sur-angsur menghilang. Ia kertakan seluruh tulang-
tulang sendinya. Perlahan ia keluar untuk menemui Ki
Karantungan. Si penggali kubur dapat mengetahui dari
pintu gubuk yang berderit terbuka. Sebelum Wintara
mendekat, Ki Karantungan menyambut lebih dahulu.
"Apa yang kau kerjakan sepagi ini, Ki..." tegur
Wintara.
"Akibat hujan deras semalam beberapa kubu-
ran longsor. Yah jadi terpaksa harus diperbaiki." jawab
Ki Karantungan berbohong. Padahal ia hanya membe-
tulkan kuburan Gentara Karma. Dan sekarangpun si
penggali kubur ini yakin sekali kalau di dalam liang
kubur telah kosong tanpa jenasah.
"Merepotkan sekali? Kiranya untuk orang tua
semacam Ki Karantungan sudah tidak pantas menan-
gani tugas ini." Wintara kembali masuk ke dalam gu-
buk mengikuti langkah Ki Karantungan.
"Seharusnya memang demikian. Tapi sampai
saat ini belum ada pengganti untuk tugas yang mele-
lahkan ini."
"Ajukan saja keluhan aki pada kepala desa."
"Sudah, beliau tengah mencari beberapa orang
untuk menggantikan tugasku sebagai penggali kubur."
jawab Ki Karantungan cepat.
"Setelah bebas tugas, aki bagaimana?" Wintara
berhenti melangkah, karena Ki Karantungan berdiri
diam di depan pintu gubuk. Lelaki renta ini seperti
menarik nafas panjang.
"Itulah yang aki pikirkan. Di desa Sungkawa-
rang ini aki tidak punya sanak saudara. Aki tidak tahu
harus pergi ke mana setelah bebas tugas. Mari silah-
kan masuk... Maaf kalau aki belum sempat menyedia-
kan makanan."
"Ah... Tidak perlu, Ki. Aku cukup prihatin atas
kehidupan Ki Karantungan. Pagi ini aku menemuimu
untuk mohon pamit." Wintara tersenyum.
"Kenapa harus terburu-buru, Den Wintara."
sergah Ki Karantungan.
"Justru suasana pagi seperti ini membuat kita
sehat. Apalagi kalau berjalan kaki." jawab Wintara. Ki
Karantungan tidak bisa menghalangi. Dan memang
sebenarnya Ki Karantungan menginginkan agar Winta-
ra segera cepat-cepat meninggalkan tempatnya.
Hebatnya, rasa ketidaksukaan Ki Karangtugan
tidak nampak.
"Selamat tinggal, Ki. Jagalah dirimu baik-
baik..." Wintara memberi salam. Tanpa menjawab Ki
Karantungan melepaskan kepergian Wintara. Selama
meninggalkan tanah pekuburan itu Wintara tidak me-
noleh. Yang ia rasakan hanya kesejukan pagi itu.
Kicau burung mengiringi setiap langkahnya. Je-
jaknya menapak jelas di sepanjang jalan tanah merah.
Wintara melenggang semakin cepat melalui pohon-
pohon besar yang tumbuh di kedua sisi jalan. Dedau-
nan yang rimbun masih nampak basah bekas hujan
semalam. Sesekali pula Wintara harus melompati ge-
nangan air yang menghalangi jalannya.
Sampai ditikungan jalan. Wintara tidak mene-
mukan jalan lagi. Buntu. Di hadapannya menghadang
hutan belukar. Bercampur semak-semak setinggi dua
meter lebih. Sebagai seorang pengelana, Wintara tidak
perduli dengan aral melintang. Langkahnya terus me-
nerobos. Semakin jauh masuk ke dalam belukar, ke-
tinggian semak agak berkurang. Juga tanah sekitar
hutan belukar agak jarang ditumbuhi pohon-pohon
besar, Wintara bisa leluasa meneruskan perjalanan.
Di dalam lebatnya belukar itu nampak bebera-
pa gubuk terpencil. Kehadirannya
yang berjalan lenggang itu menjadi perhatian
para penduduk setempat. Keadaan Wintara nampak
lebih buruk dibanding dengan orang-orang kampung.
Pakaian bulunya yang nampak begitu usang serta ce-
lananya yang telah koyak pada ujung kakinya mem-
buat orang-orang yang dilaluinya tidak perlu meng-
hormat. Wintara sama acuhnya. Dia sendiri malah
yang cengengesan bila berpapasan pada penduduk gu-
buk terpencil itu. Langkahnya pun semakin jauh me-
ninggalkan mereka.
Saat matahari mulai tinggi di ufuk Timur, Win-
tara baru keluar dari hutan semak. Bukit tinggi mem-
bentang dihiasi langit biru.
*
* *
SEMBILAN
Mendadak saja Wintara dikejutkan oleh suara
benturan senjata. Juga suara teriakan seorang wanita
penuh semangat melepaskan hantaman-hantaman.
Saat itu seorang perempuan bersenjatakan pedang
tengah menghadapi empat orang lawan. Wintara men-
gernyitkan alis mengawasi pertarungan itu.
Tergerak pula jiwa satrianya untuk turun
membela perempuan itu. Padahal ia tahu benar kalau
perempuan itu memiliki ilmu pedang yang sangat ting-
gi. Dan nampaknya pula keempat lawannya mulai ke-
teter. Namun dilihatnya pertarungan itu tidaklah
seimbang, empat lawan satu. Maka tanpa kompromi
lagi pendekar Kelana Sakti segera melesat. Kehadiran-
nya yang tabu-tahu saja berada diantara mereka
membuat semua terkejut. Apalagi Wintara langsung
menggebrak dengan sebuah jurus.
Empat orang laki-laki bersenjatakan tombak
bercagak dua mundur serempak. Masing-masing men-
dapat satu pukulan di dada. perempuan yang menda-
pat pertolongannya diam keheranan. Tapi begitu empat
lelaki ini mengira bala bantuan itu dari pihak si jago
pedang. Lalu salah seorang dari lelaki ini segera mem-
beri aba-aba. Serentak pula semua nya berjingkat lari.
"Anak muda. Kau telah menggagalkan kami.
Kau akan tahu rasa nanti!" bentak mereka semakin
jauh berlari. Mendengar itu Wintara hanya balas me-
natap. Tapi ia sendiri mendadak terkejut. Karena sesu-
atu benda runcing menyentuh lehernya. Wintara tidak
bergerak. Ia hanya melirik perempuan cantik namun
setengah tua menudingkan pedangnya. Penampilan
perempuan ini yang serba bagus nampak bagai seo-
rang gadis remaja.
"Nona... Apa-apaan ini. Aku baru saja mengusir
keempat manusia usil itu. Jelas aku berada dipihak-
mu, Nona. Kenapa kau bertindak begini?" sapa Winta-
ra.
"Kau memang usil, Pemuda sialan! Tanpa ke-
hadiranmu keempat orang itu pasti sudah jadi mayat!"
jawab perempuan itu sengit.
"Ah, jauhkan dulu mata pedangmu ini nona.
Baru kita bicara baik-baik." ujar Wintara. Tangannya
bermaksud menyingkirkan pedang yang menuding di
lehernya, tapi....
"Tidak bisa! Perlu kau ketahui kedatangan ku
ke tanah Sungkawarang memang tengah berurusan
dengan orang-orang Ki Wirayuda. Tapi kau malah ber-
tindak tolol! Sebagai gantinya, kau harus mampus!"
Perempuan ini geram. Wintara tak bisa berkutik, ber-
gerak sedikit saja pasti lehernya akan robek. Nampak-
nya pula perempuan cantik ini tidak main-main.
"Nona... Tidak bisakah kita bicara sebentar?"
"Sudah kukatakan tidak bisa!"
"Kalau begitu, kenapa bersikap begini terus.
Kalau mau bunuh, coba kalau berani!" Wintara nyolot.
Karuan saja perempuan ini menghentakan pedangnya.
Tapi sebelum itu Wintara menepis gagang pedang den-
gan dibarengi gerakannya. Dengan begitu ia terhindar
dari sambaran pedang. Sedangkan pendekar Kelana
Sakti bergerak cepat ke belakang.
"Bocah tengik! Di hadapan Srikaton Munggel
berani jual lagak? Benar-benar cari penyakit!" sumbar
perempuan yang mengaku dirinya Srikaton Munggel.
Seraya ia memutar balikkan pedangnya menyambar ke
depan. Wintara melompat ke samping. Tapi sambaran
pedang terus mencecar.
"Empat orang-orang Ki Wirayuda boleh lari me-
lihat kebolehan mu, tapi aku putri sakti dari Gunung
Tunggul jangan di samakan!" Pedang di tangannya
berputar sangat cepat, sehingga nampak seleretan si-
nar yang bergulung-gulung siap membawa maut. Se-
tengah mati Wintara mengelak.
Perempuan ini boleh dikata lihai dalam ilmu
pedang. Setiap gerakannyapun selalu nyaris mengena.
Namun bagi pendekar Kelana Sakti serangan-serangan
itu masih dapat dielakan. Bahkan sudah sampai pada
jurus yang kedelapan pun Srikaton Munggel belum
dapat menjatuhkan lawannya. Hal ini membuat Srika-
ton Munggel makin gigih lancarkan serangan.
"Ayo keluarkan semua ilmu yang kau dapat da-
ri Gunung Tunggul! Aku gembel busuk sekaligus bo-
cah tengik ingin tahu sampai mana kebolehanmu!"
Wintara mengejek. Gerakan-gerakannya licin. Tubuh
nya meliuk-liuk ke sana ke mari menghindari setiap
sambaran pedang. Mendengar ucapan itu pula Srika-
ton Munggel makin gusar. Serangannya makin nafsu.
Hal ini mengakibatkan ia kehilangan keseimbangan.
Selama itu pula Wintara belum membalas serangan.
"Kalau belum cukup ilmu, jangan turun gu-
nung. Bantu saja emakmu di dapur!" oceh Wintara La-
gi. Kali ini sambaran pedang Srikaton Munggel tidak
main-main. Sekali hentakan kaki, tubuhnya melesat
bersama tikaman pedang yang tajam mengarah.
"Hreaaaaa...!" Wintara menyambut dengan pu-
kulan Bayu Menghempas Tebing. Srikaton Munggel
memekik. Pedangnya bergetar sampai ke pangkal len-
gan. Dan ia sendiri ambbruk tanpa bisa mengimbangi.
"Soal urusanmu dengan orang-orang Ki Wi-
rayuda, aku tak ambil pusing. Tapi sikap mu itu yang
memuakkan, Srikaton!" Wintara memandangi perem-
puan dari Gunung Tunggul bangkit berdiri.
"Pergilah dari hadapanku! Kau boleh urus diri-
mu terhadap orang-orang Ki Wirayuda. Tak ada un-
tungnya mencampuri urusan kalian!" ujar Wintara. Di-
apun segan berhadapan dengan Srikaton lagi. Maka
dengan tidak perduli ia membalikkan tubuh sambil
melangkah. Tentunya perempuan ahli dalam ilmu pe-
dang ini, tidak akan terima diperlakukan begitu.
"Bocah sialan. Jangan merat. Kau pikir puku-
lan tahi kerbaumu itu dapat membuatku jera? Kau bo-
leh hindari ini!" Wintara benar-benar tak peduli, ma-
nakala Srikaton Munggel menerjang dari arah bela-
kang. Pedangnya menyambar-nyambar bagai kilat.
Bersama desiran angin yang mengarah deras. Wintara
membalikkan tubuh. Serta merta ia lepaskan hanta-
man Tinju Bayu Delapan Penjuru.
"Trlaaak....! Aaaikht...!"
Pedang Srikaton Munggel terlepas. Srikaton
Munggel sendiri terbanting hebat. Dadanya terasa se-
sak. Wintara balik nyengir. "Dasar perempuan tidak
baik. Begitukah gurumu mengajari main bokong?"
Wintara tahan amarah.
"Jangan sebut-sebut guruku! Kalau beliau ta-
hu, tubuhmu akan hancur lebur!" tukas Srikaton
Munggel sambil mengusap tetesan darah dari sela bi-
birnya.
"Sekali-sekali boleh juga kau bawa guru mu un-
tuk menghadapi aku. Asal tahu saja, aku Pendekar Ke-
lana Sakti tak bakal mundur barang selangkah pun!"
Mendengar siapa adanya pemuda itu Wajah
Srikaton berubah kecut. Kiranya inilah sosok pendekar
urakan maha sakti itu. Tidak menyangka pula kalau ia
harus berhadapan secara kebetulan. Baru tahu pula
kalau kepandaian Pendekar Kelana Sakti jauh berada
di atasnya. Nama besar pendekar sial ini memang bu-
kan nama kosong, pikir Srikaton Munggel, ia bangkit
menudingkan pedang. Tanpa mengelak Wintara tetap
berdiri di hadapannya.
"Ingat bocah pendekar! Mengingat kita tidak
pernah berurusan maupun tidak saling kenal, aku
mengalah hari ini. Tapi bila suatu saat kita bertemu
tahu sendiri. Aku tidak segan-segan lagi untuk men-
cincangmu!" sumbar Srikaton Munggel. Sambil mena-
han malu.
Ia menyarungkan pedangnya ke pinggang, lain
berjingkat merat. Wintara hanya memandangi keper-
gian Srikaton Munggel. Ia hanya menggelengkan kepa-
la mengartikan ucapan Srikaton Munggel yang cuma
gertak sambal.
Dari mana asal perempuan hebat itu, Wintara
tak ambil pusing. Di mana letak Gunung Tunggul pun
ia tidak tahu. Yang jelas ia tidak boleh bertindak sem-
barangan. Mengenai Srikaton Munggel maupun orang
orang Ki Wirayuda sama sekali asing. Pertemuan yang
hanya sekilas itu cukup membuat dirinya bisa mem-
pertimbangkan. Srikaton Munggel jelas seorang tokoh
sesat. Tapi belum bisa dipastikan.
Apa latar belakangnya sampai-sampai tokoh
ahli dalam ilmu pedang macam Srikaton Munggel be-
rani datang ke tanah Sungkawarang ini. Dalam hal ini
Wintara tahu kalau empat orang tadi adalah para pen-
gikut Ki Wirayuda. Jelas Ki Wirayuda bercokol di desa
ini. Begitu seriusnya empat orang pengikut Ki Wirayu-
da mati-matian menghadapi Srikaton Munggel ketika
dilihatnya tadi. Kalau saja Wintara tidak keburu da-
tang, pastilah ke-empat orang itu sudah celaka.
*
* *
SEPULUH
Masih dalam berpikir, tiba-tiba saja Wintara di-
kejutkan oleh derap kaki kuda yang begitu cepat.
Spontan ia menoleh ke arah suara itu. Dilihatnya see-
kor kuda lari tunggang langgang dengan seorang pe-
nunggang yang nampaknya tengah terluka.
Lebih terkejut lagi ketika Wintara dapat melihat
jelas penunggang kuda itu membawa sesuatu. Pe-
nunggang kuda itu sendiri seperti terombang ambing
di atas pelana. Semakin dekat semakin jelas apa yang
dibawanya itu. Wintara hampir tidak percaya. Bulu
kuduknya berdiri.
Penunggang kuda itu menggenggam sebuah ku-
tungan kepala seorang perempuan. Darah menetes di
setiap langkah kuda. Wintara melompat minggir saat
kuda itu berlari cepat melaluinya. Kiranya sosok penunggang kuda tidak lain dari pendekar dari bukit Si-
nimbung. Wita Soma. Dia sudah setengah pingsan ter-
bawa oleh kudanya kemana lari.
Tergerak pula dalam keinginan Wintara untuk
mengikuti kuda itu. Maka dengan kecepatan larinya,
Wintara berusaha mengimbangi. Tak urung ia harus
mengikuti lari kuda yang tak terkendali. Menelusuri
sebuah jalan becek. Lari Wintara bagai terbang.
Di sebuah persimpangan tajam, Wita Soma ti-
dak kuat lagi duduk di atas pelana. Tubuhnya ambruk
bersama menggelindingnya kutungan kepala Mawarni
Runi. Kudanya ikut berhenti, seakan menunggu maji-
kannya bangkit kembali. Wintara menahan nafas
memperhatikan raut wajah pucat Wita Soma.
Tubuh pingsan itu penuh luka memar. Sekitar
pinggangnya mengembar darah. Pastilah tulang ping-
gangnya telah remuk, pikir Wintara. Tapi ia yakin ka-
lau orang ini cuma pingsan. Tanpa ragu Wintara me-
meriksa seluruh tubuh penuh luka. Pertolongan per-
tama Pendekar Kelana Sakti menotoki tiap-tiap jalan
darah.
"Terlambat saja barang sedikit, orang ini tak
akan tertolong lagi." desah Wintara. Hati-hati ia mere-
bahkan Wita Soma di tanah berumput. Ia melirik pula
kutungan kepala seorang perempuan tergeletak di ta-
nah.
"Manusia mana yang telah bertindak sekeji ini?
Begitu banyakkah orang-orang jahat di Sungkawa-
rang? Benar-benar edan." Wintara tak habis pikir. Ia
tidak tahu apa yang mesti diperbuat. Pemukiman ter-
pencil begitu jauh. Lagi pula mana mungkin ia harus
membawa Wita Soma kesana. Tentunya para pendu-
duk terpencil itu akan ketakutan.
Kembali ke gubuk Ki Karantungan? Rasanya ti-
dak mungkin. Biar saja tunggu sampai siuman. Ingin
tahu pula kutungan kepala siapa yang dibawanya ini.
Juga apa yang membuat dia begitu parah. Wintara
memotes selembar pelepah daun pisang. Ditutupinya
kutungan kepala itu. Lalu kembali duduk di pinggiran
jalan menunggui Wita Soma.
Sebentar kemudian Wita Soma mulai siuman.
Tubuhnya menggeliat-geliat tapi setelah dirasakan be-
tapa sekujur tubuhnya sangat sakit, Wita Soma men-
gerang hebat, Wintara bangkit menotok lagi. Kali ini di
bagian belakang tulang leher. Akibatnya Wita Soma
seperti tidak merasakan sakit.
"A.. Akh...Di-dimana ini...? Ma-mana is.. istri-
ku...?" Wita Soma bergerak bangkit. Tapi sekujur tu-
buhnya kaku.
"Tenang... Tenang, Sobat. Apa sebenarnya yang
terjadi denganmu...?" tanya Wintara memegangi tubuh
Wita Soma. Pendekar dari bukit Sinimbung ini balas
menatap. "Jangan takut. Aku menemukan anda da
lam keadaan begini. Perbuatan siapa ini?" Win-
tara membuka pelepah daun. Kutungan kepala seo-
rang perempuan menghadap ke arah Wita Soma, ma-
ka...
"Mawarni.... Mawarni...!" Wita Soma berteriak
histeris.
"Diakah istrimu?" Wintara menutup kembali.
"Gentara Karma... Ini perbuatan Gentara Kar-
ma. Orang-orang bukit Sinimbung harus tahu. Genta-
ra Karma harus mendapat balasan atas kematian istri-
ku...! Sobat... Tolong bebaskan aku dari totokan ini.
Aku harus menemui Ki Wirayuda." Wita Soma men-
cengkeram lengan Wintara kuat-kuat berusaha bang-
kit.
"Ki Wirayuda?" ulang Wintara. Ia berpikir se-
bentar. Lalu... "Sebaiknya aku antar kau ke Sana. Lu-
ka-lukamu sangat parah. Di manakah pemukiman Ki
Wirayuda itu?" Wintara membawa bangkit tubuh Wita
Soma.
"Siapakah kau ini, terhadap Ki Wirayuda saja
tidak kenal. Beliau salah seorang tokoh aliran lurus
yang sangat ditakuti. Tolong naikan aku ke atas kuda
dan juga kepala istriku itu." Pinta Wita Soma. Wintara
menghela nafas. Berniat memenuhi permintaan pen-
dekar bukit Sinimbung. Hal itu tentunya ia harus
membebaskan totokannya. Tapi, akan sanggupkah Wi-
ta Soma menahan rasa sakit setelah terbebas dari to-
tokannya? Wintara jadi serba salah. Belum habis ber-
pikir, Tiba-tiba saja...
"Itu dia orangnya...! Kebetulan sekali kita bisa
menjumpainya di sini!" Terdengar sebuah teriakan.
Wintara jadi terkejut. Tahu-tahu saja ia telah terku-
rung oleh belasan orang.
"Astaga! Rupanya ia baru saja melukai sobat ki-
ta Pendekar Bukit Sinimbung!" teriak mereka. Wintara
makin tidak habis pikir. Ia memandang berkeliling pa-
da dua belas orang yang mengurungnya. Diantara
orang-orang itu ada empat orang yang tadi berhadapan
dengan Srikaton Munggel.
"Hm... Orang-orang Ki Wirayuda rupanya." kata
Wintara dalam hati. Belasan orang itu serentak men-
cabut senjata.
"Biar Srikaton Munggel lolos dari kita! Tapi kita
telah mendapat satu orang perusuh ini!" bentak mere-
ka lagi siap menyerang.
"Kalian apa-apaan...!" bentak Wita Soma. Ia te-
tap terbaring di atas tanah berumput.
"Kalian bermaksud hendak mencelakai kami?
Bukankah kalian para pengikut Ki Wirayuda?" kata
Wita Soma Geram. Ia melindungi kutungan kepala is-
terinya. Setiap orang memandang jijik.
"Tujuan kami bukanlah untuk menyakiti anda,
Pendekar Wita Soma. Tapi terhadap cecurut kecil ini.
Seluruh orang-orang persilatan tahu kalau orang-
orang aliran sesat telah menerobos ke desa ini." jawab
mereka. Yang lain siap menyerang. Wintara tenang-
tenang saja.
"Sungguh bodoh kalian semua! Justru pemuda
ini yang telah menolongku!" bela Wita Soma.
"Tidak mungkin. Kami melihat sendiri kalau
anak muda itu bersekutu dengan Srikaton Munggel!"
"Kalau dia ingin, bermaksud jahat. Dia sudah
dari tadi membunuhku!" Jawaban Wita Soma sangat
tepat. Ucapan itu membuat mereka serentak diam.
"Benar! Apa yang diucapkan pendekar bukit Si-
nimbung memang benar!" Tiba-tiba saja terdengar sua-
ra teriakan menggema. Suara itu parau namun masih
jelas kedengaran. Semua mata mencari-cari sumber
suara itu.
"Kalian secepatnya membawa pendekar Wita
Soma untuk menemui Ki Wirayuda! Suara itu meng-
gema lagi. Namun sosok orang berteriak itu belum juga
menunjukkan diri.
Wintara menatap ke atas. Sebelah telapak tan-
gannya memungut batu kerikil. Dengan cepat pula ia
melempar ke atas. Ke arah rimbunnya dedaunan. Batu
kerikil meluncur deras bak peluru.
"Bocah hebat! Jangan menyerang! Baik aku
akan menampakkan diri!" Rimbunan daun itu ber-
goyang-goyang. Dari situ melesat sosok berbaju serba
hitam. Sebelum menginjak tanah tubuhnya berjumpa-
litan.
Dan begitu ia hinggap di hadapan mereka.
Orang-orang Ki Wirayuda, Pendekar Wita Soma mau-
pun Wintara sangat terkejut. Mengapa tidak. Sosok
serba hitam itu berwajah buruk mirip hantu gentayan-
gan. Tapi cepatnya mereka tahu kalau wajah buruk itu
hanyalah sebuah topeng.
Para pengikut Ki Wirayuda ini berbalik mengu-
rung sosok menyeramkan.
"Tunggu dulu, tiada maksud jahat atas peng-
hadanganku ini. Sama sekali tiada maksud apa-apa."
Sosok menyeramkan itu melangkah tenang. Lalu ia
berkata lagi.... "Kecuali untuk mengingat pada segenap
orang-orang persilatan agar berhati-hati di tanah
Sungkawarang. Juga perlu kalian sampaikan pada Ki
Wirayuda. Bahwa ia telah membuat kesalahan besar."
Setelah berkata begitupun sosok menyeramkan itu me-
lesat lagi kemudian menghilang. Mereka tidak menge-
jar. Karena sosok menyeramkan cepat lenyap.
*
* *
SEBELAS
Bulan penuh menerangi pelataran bangunan
usang. Sekelilingnya tumbuh pohon-pohon besar bagai
sepasukan raksasa. Tanah merah yang tergenang air
berkilat bagai perak. Bangunan usang itu berdiri tegar
menyeramkan. Saat itu sosok hitam berlompatan dari
pohon ke pohon. Gerakannya sangat lincah. Jelas tu-
juan sosok hitam itu menuju bangunan usang terse-
but.
Tanpa ragu sosok hitam itu menjajaki anak
tangga yang membawa tubuhnya memasuki ruangan
gelap. Barulah kita tahu kalau sosok hitam itu tidak
lain sosok berwajah menyeramkan. Sosok yang pernah
mengintai pasangan pendekar dari bukit Sinambung,
juga pernah berhadapan dengan orang-orang Ki Wi-
rayuda bersama pendekar Kelana Sakti di persimpan
gan jalan.
Di dalam ruangan pengap itu telah menunggu
seseorang. Meskipun dalam suasana remang, kita da-
pat melihat seseorang itu berpakaian penuh lumpur
kering. Dialah sosok Gentara Karma. Sosok wajah me-
nyeramkan masuk ke dalam ruangan menemui Genta-
ra Karma.
"Ha-ha... Sobat Siluman Muka Buruk, akhirnya
kita bertemu lagi." sambut Gentara Karma. Terhadap
sosok berwajah menyeramkan ini Gentara Karma me-
nyebut Siluman Muka Buruk.
"Senang rasanya bertemu orang seperti eng-
kau!" kata Gentara Karma lagi. Siluman Muka Buruk
hanya diam. Sepertinya ia tidak suka dengan perte-
muan gelap itu.
"Di antara kita memang saling kenal. Kedatan-
ganku ke sini bukan untuk bergabung. Tidak lebih un-
tuk menengokmu saja." jawab Siluman Muka Buruk
dingin.
"Apa maksudmu?" tanya Gentara Karma. Lalu
ia meneruskan kata-katanya...
"Di Sungkawarang ini hanya kita berdua yang
memiliki Ilmu Mati Pamungkas. Kau jangan berlagak
alim, Siluman Muka Buruk. Kita ditakdirkan harus
bergabung untuk menguasai dunia persilatan."
"Benar. Tapi sudah lama pikiranku telah beru-
bah. Kita berdua sebenarnya telah mati, Gentara Kar-
ma. Kau harus ingat itu." Ujar Siluman Muka Buruk.
Gentara Karma tertawa mengekeh.
"Kita berdua telah mengalami nasib yang sama.
Lahir dari liang kubur. Tapi apakah kau rasakan kalau
diri kita ini sudah mati? Kita masih bisa bicara, masih
bisa melakukan apa saja sekehendak hati. Kurang
apa? Itukah yang disebut mati?"
"Kita berdua sudah mati. Jantungmu tidak ber
denyut! Hatimu tidak lagi memiliki perasaan, dan juga
tidak bernafas dengan udara. Kau tidak bisa menyang-
kal lagi kalau kita sudah mati."
"Itulah kehebatan Ilmu Mati Pamungkas. Sela-
ma kita hidup dari kematian, kita tidak pernah akan
mati lagi." jawab Gentara Karma. "Dan yang harus kau
ingat...."
"Kita berdua berdiri pada pihak aliran sesat."
Bicara Gentara Karma bernada murka.
"Sekarang tidak lagi. Aku tidak berdiri di pihak
manapun. Dunia persilatan hanya membuat diri ku
semakin jenuh." ujar Siluman Muka Buruk.
"Katakan saja kau takut!" bentak Gentara Kar-
ma.
"Bukan takut atau tidak memanfaatkan Ilmu
Mati Pamungkas. Kau pikir memiliki ilmu itu cukup
enak? Bayangkan saja, kita semakin lama-semakin
tua. Apa jadinya kalau kita tidak pernah mati?" kata
Siluman Muka Buruk.
"Kalau begitu sebaiknya kita bertempur sampai
di antara kita berdua ada yang betul-betul mampus!"
Murka Gentara Karma.
"Percuma. Di antara kita tidak akan ada yang
mati."
Mendengar itu Gentara Karma menghantam
tinjunya ke tembok. Tembok dinding yang setebal satu
jengkal ambrol berlubang. Apa yang dikatakan Silu-
man Muka Buruk benar. Sebenarnya pula Siluman
Muka Buruk tidak gentar melihat kemarahan Gentara
Karma. Maka setelah ia melihat Gentara Karma cukup
tenang. Sosok berwajah buruk melangkah mundur...
"Kau boleh melakukan apa saja kemauanmu.
Yang jelas aku tidak ingin terlibat." Siluman Muka Bu-
ruk melesat ke luar. Dalam sekejap sosok hitam itu le-
nyap dalam kepekatan malam.
Gentara Karma melangkah ke luar. Ia tidak
perduli ke mana Siluman Muka Buruk pergi. Pandan-
gannya hanya menatap terangnya bulan purnama.
"Manusia dungu...! Manusia bodoh...! Tidak ta-
hu arti Ilmu Mati Pamungkas. Tidak tahu ribuan mu-
suh membentang di depan mata! Dasar tolol....!" Teria-
kan Gentara Karma nyaring memecah suasana malam.
***
Ki Wirayuda tidak percaya dengan penuturan
Wita Soma yang terbaring penuh dengan balutan. Ter-
lebih-lebih Nyi Andini. Kedatangan pendekar dari bukit
Sinimbung ini benar-benar merepotkan. Wintara yang
juga berada di tempat itu jadi serba salah. Ia selalu di-
curigai oleh orang-orang Ki Wirayuda. Tindakan itu
memang wajar, karena Wintara orang asing.
Apalagi empat pengikut Ki Wirayuda mengata-
kan kalau Wintara bersekutu dengan Srikaton Mung-
gel. Juga membantu Srikaton Munggel ketika mereka
hendak meringkusnya. Sekalipun tindakan Wintara itu
hanya terjadi karena salah paham, hal itu cukup
membuat Ki Wirayuda menyesali. Mungkin juga tidak
ada lagi kesempatan untuk menemui Srikaton Mung-
gel.
"Ki Wirayuda... Sobat Wintara tidak bersalah.
Dia hanya pendatang asing yang belum mengenai se-
luk beluk tanah Sungkawarang." ujar Wita Soma. Lu-
kanya agak membaik. Ia sudah bisa bersandar pada
dinding kamar. Hari itu mereka baru saja selesai men-
guburkan kutungan kepala Mawarni Runi.
"Aku memang memakluminya, Pendekar Wita
Soma. Cuma harus juga ku sesali. Srikaton Munggel
seorang tokoh sesat yang mendampingi Gentara Kar-
ma. Sangat disayangkan ia lolos." Tak ada kata lain
yang diucapkan Ki Wirayuda.
"Siapa sobat Wintara mu ini? Tentulah bukan
manusia sembarangan. Empat orang-orangku saja lari
terbirit-birit dibuatnya." ujar Nyi Andini yang sebenar-
nya nada ucapan itu mengandung sindiran.
"Kiranya hal itu tidak lagi dipersoalkan. Lebih
baik kita membicarakan perihal kemunculan Gentara
Karma. Bukankah begitu saudara Pendekar Wita So-
ma?" kata Wintara
"Benar. Gentara Karma harus menerima hu-
kuman yang setimpal. Aku harus menyerahkan bang-
sat itu ke bukit Sinimbung." sumpah Wita Soma. Ki
Wirayuda dan Nyi Andini saling pandang.
"Ucapanmu sangat ngelantur, Pendekar Wita
Soma. Mungkin saja kau salah lihat. Tidak mungkin
orang itu Gentara Karma. Sebab Gentara Karma seka-
rang telah menjadi makanan cacing di liang kubur."
ucap Ki Wirayuda.
Wintara keheranan. Wita Soma merasa seperti
tidak ditanggapi. Bagaimanapun Wita Soma yakin sia-
pa gerangan orang yang telah membunuh istrinya
maupun membuat dirinya jadi terluka parah seperti
ini. Terhadap Gentara Karma, Wita Soma sangat men-
genalinya. Dia sendiri jadi bingung setelah mendengar
pengakuan Ki Wirayuda.
"Semua orang-orang tanah Sungkawarang me-
nyaksikan bagaimana Gentara Karma menerima ajal-
nya di dalam liang kubur. Mereka ikut menguruknya
hidup-hidup!" Nyi Andini meyakinkan.
"Mana ada orang lain yang memiliki pukulan
Tinju Guntur Geledek, selain Gentara Karma." tukas
Wita Soma.
"Jelas ia bukan hantu gentayangan seperti yang
kalian kira. Dia mengaku dirinya belum mati. Bahkan
ia telah membuat aku mati kutu. Ilmunya makin sempurna. Belum tentu sepuluh orang seperti kita sang-
gup menghadapinya."
Ki Wirayuda maupun Nyi Andini menelan lu-
dah. Bagaimana mereka harus mempercayai ucapan
Wita Soma? Dendamnya saja selama ini belum terha-
pus. Lagi pula Gentara Karma memang telah dikubur-
nya hidup-hidup. Mereka berdua bersama orang-orang
persilatan melihat betapa Gentara Karma tewas men-
derita. Untuk sementara keluarga Ki Wirayuda terpak-
sa mengalah.
"Baiklah... Aku mempercayai penuturan mu itu,
Pendekar Wita Soma. Kita lihat saja perkembangannya.
Nanti setelah sembuh kita boleh mencari orang yang
memiliki pukulan Tinju Guntur Geledek." ujar Nyi An-
dini jadi tenang melihat percakapan tegang itu beru-
bah dingin.
*
* *
DUA BELAS
Kemunculan laki-laki yang memiliki ilmu Tinju
Guntur Geledek, ternyata bukan isapan jempol belaka.
Juga bukan cerita ngawur Pendekar dari bukit Sinim-
bung. Banyak orang mengatakan hantu Gentara Kar-
ma kini gentayangan, Baik siang maupun malam sela-
lu saja ada korban.
Penduduk Tanah Sungkawarang benar-benar
resah. Gentara Karma tidak segan-segan membunuh
siapa saja orang yang tidak disukainya. Apalagi orang-
orang persilatan. Di sana sini telah banyak bergelim-
pangan mayat mereka. Yang dadanya bolong, yang ke-
hilangan lengannya, yang buntung kakinya, juga yang
terbaring tanpa kepala.
Darah membercak di mana-mana. Setiap lang-
kah Gentara Karma selalu mengundang maut. Di su-
dut desa banyak para penduduk
yang kehilangan anak gadisnya. Setiap malam
hampir setiap anak gadis mereka tewas secara menge-
rikan. Setiap korban perempuan selalu terdapat luka
di tenggorokan yang nyaris putus. Setelah tewas, Gen-
tara Karma sempat pula memperkosa mereka. Suatu
kelebihan super maniak.
Peristiwa itu cepat tersebar membuat semua
penduduk Sungkawarang semakin gelisah. Hal itu bu-
kannya tidak diketahui oleh Ki Wirayuda. Tapi ia be-
lum percaya kalau ia belum menyaksikan dengan mata
kepalanya sendiri. Untuk itu ia tetap merahasiakan
pada Pendekar dari bukit Sinimbung. Meskipun demi-
kian Nyi Andini tetap menyebarkan orang-orangnya
untuk mencari kebenaran berita itu secara diam-diam.
Telah satu minggu Wintara berada di dalam
pemukiman Ki Wirayuda. Dirinya merasa seperti ter-
kurung. Sehingga ia tidak mengetahui apa yang tengah
terjadi di luar.
Satu-satu tempat yang cukup tenang adalah le-
reng bukit Tunggul. Lereng itu memang tidak berpen-
duduk. Hutan-hutan-nya yang lebat tak terurus, juga
banyak binatang buas yang berkeliaran. Tidak pernah
ada seorang pendatang atau orang-orang yang ber-
maksud membuat tempat tinggal di sana. Bagi orang
yang tahu, mereka mengenal adanya seorang tokoh tua
bersama seorang perempuan cantik tinggal di sana. Il-
munya sangat luar biasa.
Yang membuat orang-orang itu takut adalah
karena dua tokoh berilmu tinggi itu tidak suka dengan
adanya pendatang yang mengusik ketenangan Gunung
Tunggul. Guru serta murid sakti itu tidak segan-segan
membantai para pendatang. Mereka adalah Srikaton
Munggel bersama gurunya Nilasari Grewek. Guru dan
murid ini sama-sama telengasnya menjaga Gunung
Tunggul.
Saat itu Srikaton Munggel kembali ke puncak
Gunung Tunggul. Ia membatalkan niatnya untuk ber-
temu Ki Wirayuda. Dan sekarang ia telah menemui sa-
tu persoalan yang amat berat. Persoalan yang sama
sekali tidak dapat dimengerti. Hal itu harus cepat dibe-
ritahukan pada sang guru, Nilasari Grewek. Maka ke-
tika ia menjajaki puncak gunung itu langkahnya se-
makin cepat.
Kediaman Nilasari Grewek nampak tenang. Me-
rupakan sebuah bangunan batu. Nampak pula bangu-
nan itu mirip bekas sebuah candi. Hampir seluruh
dindingnya banyak di tumbuhi tumbuhan merambat
sampai ke atas genting. Di depan pelatarannya tum-
buh alang-alang menghijau sebatas pinggang. Srikaton
menerobos menerjang hamparan alang-alang.
"Murid centil. Mengapa kembali begitu cepat?
Apakah kau sudah mencari tahu berita itu?" Terdengar
suara sambutan dari dalam bangunan. Jelas itu suara
Sang guru. Srikaton Munggel tidak menjawab. Lang-
kahnya cepat masuk ke dalam bangunan. Nilasari
Grewek nampak duduk bersemedi di sudut ruangan.
Rambut putih berubah terjuntai sampai ke lantai. Ba-
junya yang serba merah membuat dirinya nampak ke-
kar meskipun usianya hampir mencapai tiga perempat
abad.
"Gentara Karma tidak mati seperti apa kata
orang. Guru. Dia masih malang melintang dalam dunia
persilatan." kata Srikaton Munggel sambil menghe-
nyakkan dirinya pada sebuah tumpukan jerami kering.
"Bagus. Berarti masih ada harapan untuk me-
lanjutkan pertunanganmu dengan Gentara Karma.
Hik-hik-hik-hik...." jawab Nilasari Grewek sambil ter-
tawa mengikik.
"Lebih baik batalkan saja pertunangan itu. Aku
sudah muak melihat tingkah Kakang Gentara Karma.
Gara-gara ulahnya, orang-orang Ki Wirayuda mengeta-
hui kehadiranku di tanah Sungkawarang." gerutu Sri-
katon Munggel. Tingkahnya bagaikan gadis remaja
yang manja.
"Hik-hik-hik-hik... Mana mungkin orang-orang
Ki Wirayuda berani mengusikmu, Cah Ayu...." Nilasari
Grewek bangkit, lalu berjalan ke arah Srikaton. Pe-
rempuan muda ini mendadak nangis tersenguk-
senguk.
"Siapa bilang! Mereka hampir saja membunuh-
ku." tukas Srikaton Munggel disertai deraian air mata.
"Astaga... Sampai sejauh itu mereka berani
mengusik?... Tapi aku tidak percaya, Srikaton. Aku be-
rani bertaruh. Ki Wirayuda sendiri pun tidak akan
sanggup menghadapimu. Ilmu pedang mereka jauh di
bawah kemampuan kita. Mana bisa terjadi begitu?"
"Seseorang telah membuat aku malu di hada-
pan orang-orang Ki Wirayuda. Dia berilmu tinggi. Ilmu
pedangku tidak ada artinya." Srikaton Munggel me-
nyeka air matanya.
"Siapa dia? Pasti bukan Ki Wirayuda?" Nilasari
Grewek seperti marah.
"Memang bukan. Dia mengaku seorang pende-
kar." ujar Srikaton.
"Pendekar? Pendekar apa? Aku banyak tahu
tentang ratusan pendekar yang ada muka bumi ini."
ujar Nilasari Grewek dengar nada kesal. Terhadap Sri-
katon Munggel murid semata wayang ini. Sang Guru
teramat menyayanginya. Tentu saja ia jadi murka
mendengar murid tunggalnya dihina orang.
"Dia mengaku dirinya Pendekar Kelana Sakti."
"Pendekar Kelana Sakti?..." Nilasari Grewek
berpikir sebentar, lalu....
"Hik-hik-hik-hik-hik... Apa hebatnya pendekar
yang tidak punya arah tujuan itu? Berani betul ia
membuat malu muridku di hadapan orang-orang Ki
Wirayuda. Ia belum tahu siapa kita, Cah Ayu." gerutu
sang guru. Rambut putihnya tergerai sampai sebatas
pinggang bergerak-gerak.
"Ilmu pedang tingkat tinggi yang kumiliki masih
bisa diatasi, bahkan ia sempat memaki dan menantang
kita berdua!" Srikaton Munggel membakar.
"Bangsat...! Pendekar tak tahu penyakit! Di
mana dia sekarang? Hah?" Nilasari Grewek terbakar
emosi.
"Di mana lagi kalau bukan di tanah Sungkawa-
rang!"
"Cepat berbenah. Kita cari pendekar sialan itu
sampai dapat. Sekalian kita obrak abrik aki-aki kepa-
rat Wirayuda sampai mampus!" Sang Guru berjingkat.
Srikaton Munggel mengencangkan ikat pinggangnya.
Pedangnya berkilat terserong di pinggang.
"Kita tidak perlu lagi mencari Kakang Gentara
Karma, Guru. Guru akan menyesal bila menjum-
painya. Tindakannya sangat jorok. Suka memperkosa
mayat-mayat perempuan. Itu yang membuat aku tidak
suka lagi padanya."
"Itu berkat kesalahanmu sendiri, Srikaton.
Orang macam Gentara Karma mana bisa menyimpan
birahi. Kalau ia suka memperkosa mayat, itu tandanya
Gentara memiliki suatu kelebihan. Kau akan berun-
tung memiliki suami macam dia. Ayo berangkat." ajak
Nilasari Grewek. Saat ia menerobos alang-alang yang
menghampar di pelataran bangunan batu, rambut ser-
ta bajunya bergerak-gerak tertiup angin. Srikaton
Munggel bermalas-malasan melangkah.
"Cepat, Cah Ayu... Setelah kita membereskan
pendekar sial itu, Gentara Karma akan kuseret untuk
hidup bersamamu menguasai Gunung Tunggul." Nila-
sari menunggu Srikaton Munggel. Murid tunggalnya
itu agak segan mendengar ucapan gurunya.
Mereka memang berdiri pada aliran sesat. Soal
membunuh jangan ditanya. Tanpa berkedippun ia bisa
membunuh. Sama mudahnya membalik telapak tan-
gan. Tapi kalau harus bertunangan dengan seorang le-
laki yang gemar meniduri mayat perempuan, amit-amit
dah, pikir Srikaton Munggel. Lebih baik ia jadi pera-
wan tua. Atau sebaliknya. Srikaton, terpaksa harus
mencuri para pemuda gagah untuk kebutuhan naf-
sunya. Dia bebas memilih juga bebas membunuhnya,
toh itu lebih baik dari pada harus tidur bersama seo-
rang lelaki menjijikkan seperti Gentara Karma.
*
* *
TIGA BELAS
Kian lama keadaan Wita Soma berangsur mem-
baik. Pendekar dari bukit Sinimbung ini sudah dapat
berdiri. Bahkan ia kini nampak bergerak-gerak meng-
kertakkan seluruh tulang-tulang sendinya. Terdengar
gemeretak. Kalau ia bisa sembuh begitu cepat, itu ber-
kat bantuan Wintara yang senantiasa ikut terkurung
dalam kamar.
Tanpa sepengetahuan Ki Wirayuda maupun Nyi
Andini, setiap hari Wintara menyalurkan tenaga inti
pada Wita Soma. Itulah sebabnya kalau hari ini Wita
Soma sudah merasa tidak kurang suatu apa. Pendekar
dari bukit Sinimbung ini benar-benar berterima kasih
sekali. Meskipun sekarang ia harus kehilangan is-
trinya.
Seperti biasa Ki Wirayuda bersama Nyi Andini
menengok keadaan mereka. Mereka masih tetap curiga
terhadap Wintara. Tapi Wintara bersikap biasa-biasa
saja. Ia juga berharap agar Wita Soma cepat sembuh,
agar ia bisa selekasnya keluar dari pemukiman Ki Wi-
rayuda.
"Nampaknya anda telah sehat betul, Pendekar
Wita Soma." tegur Ki Wirayuda. Kehadirannya diiringi
oleh Nyi Andini.
"Rasanya memang demikian, Ki... Lebih bagus
bukan? Karena sekarang aku bisa mencari si keparat
Gentara Karma." Wita Soma mengenakan pakaiannya.
"Bukankah kau juga akan meringkus orang
yang memiliki ilmu Tinju Guntur Geledek? Dengan
bantuan sobat Wintara, Gentara Karma tidak akan lo-
los."
Mendengar itu Ki Wirayuda terkesiap. Selama
ini perasaannya selalu dihantui oleh kemunculan Gen-
tara Karma yang sepak terjangnya lebih brutal dan
menantang. Tapi sampai saat ini baik Ki Wirayuda
maupun Nyi Andini belum pernah melihat Gentara
Karma dengan mata kepalanya sendiri.
"Kalau boleh, aku bersama Pendekar Wita So-
ma akan meninggalkan pemukiman ini sekarang." tu-
kas Wintara.
"Bukan aku melarang, aku masih khawatir
akan keadaan Pendekar Wita Soma yang belum sem-
buh betul." ujar Nyi Andini. Sikap Nyi Andini agak lain.
Garis mukanya menampakkan tengah dilanda ketaku-
tan.
"Kita akan sama-sama mencari Gentara Karma.
Kita-kita pula yang akan mengadilinya." kata Ki Wi-
rayuda. Wita Soma tidak bisa berkata lain.
"Tidak ada waktu untuk menunda-nunda, Ki.
Orang semacam Gentara Karma tidak perlu diberi ke-
sempatan luang. Kau boleh tidak mempercayai menge-
nai adanya sosok Gentara Karma. Kau boleh percaya
pada keyakinanmu kalau kalian pernah mengubur
Gentara Karma hidup-hidup. Sebaiknya kita mencari
jalan masing-masing menurut pengalaman sendiri."
Wita Soma bicara tegas. Sejak lama ucapan Wita Soma
selalu tidak diabaikan.
Tapi sekarang setelah mendengar ucapan pen-
dekar Wita Soma, Ki Wirayuda bagaikan tertikam belati
di ulu hatinya.
Sementara itu keadaan di luar sangat gaduh.
Orang-orang yang berada di dalam ini mendadak terke-
jut. Nyi Andini langsung berlari ke luar diikuti Ki Wi-
rayuda, begitu juga dengan dua pendekar ini. Semua-
nya berlari ke depan pelataran.
Mereka dapat melihat langsung belasan para
pengikut Ki Wirayuda mengurung seseorang. Seseo-
rang ini tidak lain dari sosok hitam berwajah menye-
ramkan. Siapa lagi kalau bukan Siluman Muka Buruk.
Melihat itu, Wintara maupun pendekar dari bukit Si-
nimbung sudah tidak asing lagi.
Siluman Muka Buruk melangkah maju ber-
maksud mendekati majikan mereka, tapi belasan
orang itu menghalangi dengan hunusan senjata mere-
ka. Dari golok, pedang, sampai tongkat dengan mata
pisau bercagak dua. Namun semua itu tidak digubris.
Dia hanya bergerak memutar lengan kanan serta ki-
rinya, maka beberapa penghadang bergulingan am-
bruk. Melihat inipun Nyi Andini serta Ki Wirayuda ber-
tambah murka.
"Monyet busuk! Sungguh lancang berani me-
masuki tempat ini serampangan!" bentak Ki Wirayuda
seraya maju.
"Sudah, Kakang. Jelas maksud kedatangannya
akan mengacau. Belah saja kepalanya...!" gertak Nyi
Andini.
"Sabar tuan dan nyonya...! Kedatanganku ini
demi keselamatan kalian. Suruh menyingkir semua
anak buah kalian." ujar Siluman Muka Buruk semakin
maju. Ia menjatuhkan lagi dua orang penghalang. Pu-
kulan-pukulan yang dilancarkan tidak berarti sama
sekali. Hanya membuat para pengikut Ki Wirayuda
terpelanting tanpa luka. Wintara dapat melihat itu.
"Keselamatan apa? Berani betul kau meremeh-
kan kami!" hardik Nyi Andini. Ki Wirayuda bersiap me-
lepaskan hantaman.
"Sebaiknya kalian menyingkir semua dari tem-
pat ini. Kalau tidak kalian bakal tewas di tangan Gen-
tara Karma." kata Siluman Muka Buruk.
"Apa katamu? Gentara Karma akan datang ke
mari? Bagus secepatnya suruh ia ke mari! Kepalanya
mestinya kupenggal untuk kujadikan Tumbal!" Pende-
kar Wita Soma sengit. Iapun melompat ke depan
menghadapi Siluman Muka Buruk.
"Pendekar Wita Soma syukurlah kau nampak
sehat-sehat saja. Sebaiknya kaupun kembali ke bukit
Sinimbung. Percuma menghadapi Gentara Karma." ka-
ta Siluman Muka Buruk. Saat itu Ki Wirayuda sudah
melepaskan sebuah hantaman. Sosok hitam menye-
ramkan ini cepat menangkis.
"Bangsat rendah!" hardik Wita Soma. "Kaupun
akan sama mampusnya dengan Gentara Karma!
Hreaaaaa...!" Wita Soma bergerak maju. Hantamannya
menyilang mendera. Melihat itupun Nyi Andini tidak
tinggal diam. Serta merta ia menerjang dengan babat
pedang. Wintara tenang-tenang saja di depan pintu.
Melihat para pentolan persilatan berdatangan meng-
gempur Siluman Muka Buruk, para pengikut Ki Wi
rayuda berjingkat mundur.
"Tuan-tuan pendekar, hendaklah mengerti akan
maksudku. Saat sekarang Gentara Karma amat berba-
haya. Aku hanya memperingati kalian." ujar Siluman
Muka Buruk lantang. Seraya ia menyambut sekaligus
serangan-serangan itu. Sosok hitam nampak lincah. Ia
bergerak kian ke mari memapaki tiap serangan. Ki Wi-
rayuda sengit. Hantamannya selalu tidak mengena. Wi-
ta Soma yang melancarkan pukulan Tinju Karangnya
selalu saja dapat ditangkis. Nyi Andini yang bersenja-
takan pedang melepaskan babatan-babatan pedang.
Sinar putih menyilaukan bergulung-gulung menyam-
bar. Namun hanya dengan sekali gerakan, tangan Si-
luman Muka Buruk menghantam ke depan.... "Bug!"
Nyi Andini memekik. Tubuhnya terhuyung ke
belakang. Punggungnya serasa berdenyut.
"Kalian betul-betul tidak bisa dikasihani! Jan-
gan keras kepala dan cepat tinggalkan tempat ini!"
hardik Siluman Muka Buruk. Melihat tiga pendekar ini
mengepung kembali. Wintara menghentakkan kakinya,
maka secepat angin tubuhnya langsung hinggap di ha-
dapan sosok menyeramkan. Terhadap Pendekar Kelana
Sakti ini, Siluman Muka Buruk masih memandang
muka.
"Pendekar muda. Hanya kau yang bisa menga-
tasi kebodohan ini. Bujuk mereka agar mengetahui
adanya malapetaka!" ujar Siluman Muka Buruk.
"Pendekar sakti. Mohon anda memberikan pen-
jelasan yang jelas. Kami semua benar-benar tidak
mengerti." kata Wintara.
"Bagaimana aku bisa menjelaskan. Kalau
orang-orang tidak kenal takut ini selalu menyerang-
ku?" Siluman Muka Buruk balik bicara. Wintara meno-
leh ke arah tiga pendekar yang berdiri di belakangnya.
Mereka sudah bersiap-siap menyerang lagi.
"Berapa orang yang kau utus untuk mencari
Gentara Karma, Ki Wirayuda?... Apakah mereka sudah
kembali? Ayo jawab." tanya Siluman Muka Buruk. Ki
Wirayuda menggeram tidak menjawab. Harus pula so-
sok menyeramkan ini terpaksa menjawab sendiri.
"Kesepuluh orang utusan itu telah tewas di
tangan Gentara Karma. Kau tidak perlu menyembu-
nyikan perasaanmu, Ki. Itu suatu pukulan untukmu.
Dan juga kematian mereka termasuk sepak terjang
Gentara Sukma yang selama ini meresahkan orang-
orang persilatan maupun penduduk Sungkawarang,
adalah akibat tindakanmu terhadap Gentara Sukma."
Suara Siluman Muka Buruk lantang. Ki Wirayuda ti-
dak berani menyahut. Kesepuluh orang utusannya
memang belum kembali. Selama ini Ki Wirayuda me-
rahasiakannya. Mungkin sekarang telah menjadi tu-
lang belulang tanpa kubur.
Dalam keterbisuan itu, mendadak terdengar
suara tawa yang melengking, "Hik-hik-hik-hik-hik-
hik...!" Tawa yang melengking itu disertai dengan tena-
ga dalam yang sempurna.
*
* *
EMPAT BELAS
Serempak semuanya menoleh ke arah suara
itu, maka mereka melihat sosok Nilasari Grewek ber-
sama murid tunggalnya, Srikaton Munggel. Sang Guru
terus melepaskan suara tawa yang amat menusuk
gendang telinga. Cepat Siluman Muka Buruk menepuk
kedua telapak tangannya. Suara tawa itu mendadak
berhenti. Dua pendekar perempuan ini melangkah terburu-buru mendekati mereka.
"Hik-hik-hik.... Ki Wirayuda.... Hik-hik-hik....
Sebenarnya aku tidak akan turun gunung kalau saja
murid tunggalku ini tidak dihina oleh para pengikut-
mu." ujarnya mengekeh. Ia mengelus-elus rambut ha-
lus Srikaton Munggel.
"Guru, pendekar sial yang menantang kita ke-
betulan ada di sini." bisik Srikaton Munggel sambil
memoncongkan bibirnya ke arah Wintara. Wintara su-
dah mengerti apa yang dimaksudkan perempuan itu.
"Sabar, Muridku... sabar. Jangan terburu, bu-
ru.... Toh mereka bakal mampus semua. Hik-bik-hik-
hik...."
"Bagus, guru dan murid sudah menampakkan
diri. Semua orang-orang aliran sesat mesti dihukum.
Celakanya, kalian berhadapan denganku, Tua bangka
keriput!" bentak Ki Wirayuda. Nyi Andini bersiap-siap
menghadapi Srikaton Munggel.
"Nilasari Grewek. Urusanmu hanya mencari
Gentara Karma untuk maksud tertentu. Jangan coba-
coba mengusik orang-orang ini. Pergilah! Aku segan
berhadapan dengan] orang pikun macam kau." ujar Si-
luman Muka Buruk.
"Sialan kau manusia jelek! Aku jijik melihat ru-
pamu yang busuk itu. Rupanya kau yang terlebih da-
hulu mesti dikirim ke akherat. Jiaaaa...!" Serta merta
Nilasari Grewek lepaskan satu hantaman dahsyat. Pu-
kulan itu serasa bagai angin taufan. Siluman Muka
Buruk memapakinya dengan pukulan Tirai Tebing.
Kedua tangannya bergerak menyilang.
"Mumpung ada di depan mata. Kenapa kita di-
am saja!" bentak Nyi Andini menerjang Srikaton. Pe-
rempuan dari Gunung Tunggul ini tidak gentar me-
nyambut. Melihat istrinya sudah bertindak, Ki Wirayu-
da datang membantu.
Wintara tidak tinggal diam. Sekali lesatan tu-
buhnya ia sudah menyambar melepaskan pukulan ke
punggung Srikaton. Perempuan ini memekik mundur.
"Ki Wirayuda.... Nyi Andini.... Menyingkirlah!
Biar olehku manusia-manusia sesat ini ku lumpuh-
kan." Wintara lepaskan pukulan Bayu Menghantam
Karang. Jurus yang teramat dahsyat. Ki Wirayuda
maupun Nyi Andini sampai terhuyung terkena samba-
ran anginnya.
"Pendekar sialan! Lagi-lagi kau ikut campur
urusanku! Mampuslah!" Srikaton Munggel sengit. Ia
sudah tahu kalau berhadapan dengan Pendekar Kela-
na Sakti tidak bakal mampu. Maka ia menghadapinya
sambil bergeser ke samping gurunya.
Saat itu Nilasari Grewek sudah melepaskan ku-
rang lebih sembilan jurus. Selama itu pula Siluman
Muka Buruk selalu menyambutnya. Keduanya sama-
sama melancarkan serangan gencar. Dalam hal ini
nampak Nilasari sudah berada di atas angin. Di luar
dugaan Nilasari Grewek lepaskan pukulan Jari Tom-
bak. Tanpa bisa menghindar Siluman Muka Buruk ter-
tembus jari-ari runcing Nilasari ke dadanya. Sosok
menyeramkan itu menghadapi tanpa memekik. Mana-
kala Jari Tombak semakin menembus ke jantung.
Dan saat Nilasari menarik kembali tangannya.
Segumpal jantung ikut terbawa, bercampur dengan da-
rah kehitaman berbau busuk. Siluman Muka Buruk
berdiri tegar tanpa merasakan sakit. Malah di luar du-
gaan ia membalas serangan. Hantamannya keras me-
nyampok pelipis Nilasari Grewek. Nenek keriput itu
tersungkur kelojotan. Namun ia masih dapat bangkit
dengan cepat.
"Manusia jelek! Aku ingin tahu sampai di mana
batas kekuatanmu tanpa jantung! Hreaaa...!" Pendekar
Sakti Bukit Tunggul ini menerjang deras. Siluman Muka Buruk menyambut dengan pukulan menyilang.
"Dueeeees!"
Kembali Nilasari Grewek memekik, kali ini ia
menyemburkan darah. Tubuhnya terhuyung mundur.
Sebagai majikan tanah Sungkawarang, tidak
mungkin Ki Wirayuda dan Nyi Andini tinggal diam. Ke-
duanya maju serempak lancarkan serangan pada Sri-
katon Munggel yang saat itu sibuk menghadapi gem-
puran Wintara. Sambaran pedang Nyi Andini hampir
menghantam putus leher murid tunggal Nilasari Gre-
wek. Pukulan disertai tenaga dalam Ki Wirayuda me-
nyerempet perut. Tapi saat Srikaton membalas seran-
gan. Dua majikan tanah Sungkawarang ini terlempar
jauh. Melihat itupun Wintara tidak tanggung-tanggung
lepaskan Tinju Bayu Delapan Penjuru. Pukulan itu
sangat menyesakkan dadanya. Mata Srikaton Munggel
merem melek menahan sakit. Tubuhnya berguling ke
arah Pendekar Wita Soma yang masih menyaksikan
pertarungan seru itu.
Pendekar Wita Soma nampaknya tidak menyia-
nyiakan kesempatan. Saat tubuh Srikaton masih ber-
gulingan. Ia lancarkan sebuah tendangan ke bawah.
Maka tak pelak tendangan itu menghantam perut.
"Jreess!"
Srikaton Munggel makin kelojotan, tapi saat itu
Nilasari Grewek sempat meninggalkan Siluman Muka
Buruk. Ia langsung menyambar tubuh murid tunggal-
nya. Pendekar Wita Soma terkejut pula mendapat han-
taman dari Nilasari Grewek.
Dua murid dan guru ini benar-benar telah kehi-
langan muka. Kehadirannya di pemukiman Ki Wirayu-
da hanya menjadi bulan-bulanan mereka. Apalagi Si-
luman Muka Buruk terus mencecar tanpa berhenti.
Malah serangannya sekarang ini bagaikan banteng
tengah mengamuk. Serangan-serangan balasan Nilasa
ri tidak diperdulikannya. Meski repot macam itu, Nila-
sari Grewek sempat menyambar tenggorokan Siluman
Muka Buruk dengan Jari Tombak.
"Jraaaas...!"
Darah hitam menyembur dari kulit tenggorokan
yang robek berlubang.
Suatu pemandangan yang mengerikan. Silu-
man Muka Buruk mendapat deraan-deraan dari Nila-
sari Grewek. Pukulan-pukulan, Jari Tombak seakan
mencabik-cabik seluruh tubuhnya. Namun tanpa per-
duli apa-apa Siluman Muka Buruk terus bertahan
sambil membalas serangan-serangan itu.
Wintara tidak sampai hati melihat Siluman
Muka Buruk terluka parah demikian. Serta merta ia
melompat sambil melepaskan hantaman Tinju Bayu
Delapan Penjuru. Pukulan itu tidak kepalang tanggung
menghantam. Nilasari Grewek tidak sanggup bertahan.
Ia beserta murid tunggalnya terlempar beberapa meter.
Begitu juga dengan Siluman Muka Buruk. Ia terpelant-
ing berkali-kali.
Merasakan hebatnya pukulan itu, Nilasari Gre-
wek cepat menarik tubuh Srikaton Munggel yang tan-
pa daya. Sikapnya seperti orang yang akan melarikan
diri. Wintara tidak menyangka kalau Siluman Muka
Buruk masih bisa berdiri tanpa kurang suatu apa. Tu-
buhnya seperti hancur penuh luka-luka sayatan. Na-
mun tidak banyak darah yang keluar. Kecuali bercak-
bercak darah yang menghitam berbau busuk.
"Pendekar sial. Siapa gurumu sampai-sampai
aku yang telah banyak makan asam garam dunia per-
silatan ini dibuat tidak berdaya." Nilasari Grewek men-
gatur nafasnya. Sebelah tangannya memegangi tubuh
Srikaton Munggel.
"Soal guruku, tidak perlu kau ketahui. Nama
besar guruku pantang disebut di hadapan orang-orang
sesat macam kalian."
"Pendekar muda...! Jangan biarkan dia lolos!
Bangsat renta itu sangat licik!" bentak Siluman Muka
Buruk. Dilihat dari nada ucapannya sosok menyeram-
kan ini mulai berpihak pada Wintara.
Tapi sebelum Wintara melepaskan hantaman
lagi. Guru dan murid dari Gunung Tunggul ini terlan-
jur melarikan diri. Hanya dalam sekejap keduanya su-
dah melesat jauh. Serta merta Nilasari terus mengge-
rutu.
"Pendekar sial...! Moga-moga jangan bertemu
lagi!" teriakan itu hilang bersama lenyapnya dua pen-
dekar wanita dari Gunung Tunggul. Siluman Muka
Buruk melangkah ke samping Wintara.
"Pendekar muda.... Kenapa kau biarkan dua
cecunguk itu melarikan diri? Kau bisa menumpas me-
reka tadi." ujarnya.
"Dua perempuan sesat itu tidak berarti, Ki Sa-
nak. Lagi pula persoalan yang sebenarnya bukan men-
gurusi orang-orang Gunung
Tunggul!" jawab Wintara tenang.
"Maksudmu kalian akan nekad berhadapan
dengan Gentara Karma? Betul-betul tidak tahu penya-
kit." kata Siluman Muka Buruk.
"Sudah tahu kami tidak takut penyakit kau
masih juga menghalangi. Pergilah dari hadapan kami
Siluman Muka Buruk!" Bentak Ki Wirayuda. Tanpa
menyahut Siluman Muka Buruk melangkah mundur.
Lalu ia melesat pergi jauh. Semua pendekar itu me-
mandang aneh terhadap Siluman Muka Buruk. Jelas
jantungnya sudah terkorek ke luar. Juga tubuhnya
penuh luka, bagaimana ia tidak mati?
*
* *
LIMA BELAS
Siang itu juga tanah pemakaman Sungkawa-
rang penuh sesak oleh orang-orang yang datang ber-
duyun-duyun. Saat itu rombongan Ki Wirayuda tengah
membongkar sebuah kuburan. Ki Wirayuda sendiri
bersama Nyi Andini berdiri menatap anak buahnya
menggali tanpa berkedip. Di sebelah sana Wintara ber-
sama Pendekar Wita Soma, berdiri pula menatap te-
gang. Semakin lama lubang semakin dalam tergali.
"Ke mana Ki Karantungan? Kenapa ia tidak ada
di pemakaman ini?" tanya Nyi Andini. Ki Wirayuda ce-
pat menjawab.
"Entahlah. Di gubuknya aku tidak menemui
dia." Ki Wirayuda terus menatap para pengikutnya
mengucurkan keringat menggali tanah di mana mereka
pernah menanam tubuh Gentara Karma hidup-hidup
di situ. Wajah Ki Wirayuda makin tegang pula. Sema-
kin dalam mereka menggali, mereka tidak menemukan
apa-apa.
"Cukup!" bentak Ki Wirayuda. "Kalian telah
menggali lebih dari kedalaman semula. Kita tidak me-
nemukan tanda adanya mayat keparat itu." Ki Wirayu-
da berkata geram.
"Hal ini kita perlu tanyakan pada Ki Karantun-
gan, Kakang."
"Justru diapun telah lenyap dari tempat ini."
Wintara dan Pendekar Wita Soma saling pan-
dang. Wintara juga bukannya tidak pernah ke pema-
kaman ini. Juga ia telah mengenal Ki Karantungan si
penggali kubur. Mungkinkah ia bersekongkol menge-
luarkan Gentara Karma dari liang kubur? Semuanya
tidak habis pikir.
Dalam pada itu Ki Karantungan melangkah
sendiri. Ia meninggalkan rombongan itu. Langkahnya
sangat cepat. Melihat itupun Nyi Andini cepat mengi-
kuti. Keduanya sama-sama melesat dengan kecepatan
larinya.
Wintara dan Pendekar Wita Soma turut menge-
jar. Seluruh orang-orang yang berada di situ berubah
keheranan. Para pengikut Ki Wirayuda tetap tinggal di
situ, membiarkan kedua majikannya pergi.
"Kakang.... Kau hendak ke mana?" seru Nyi
Andini menyusul. Tanpa menjawab Ki
Wirayuda terus memacu larinya. Wintara dan
Wita Soma menyusul di belakang. Mereka menerobos
hutan belukar. Empat orang berilmu tinggi berlari sal-
ing kejar. Dalam beberapa saat mereka telah menem-
bus hutan tersebut. Di hadapan mereka kini meng-
hampar alang-alang. Dari kejauhan mereka dapat me-
lihat sebuah bangunan batu yang telah usang. Bangu-
nan itu dikelilingi dengan pohon-pohon besar.
Wita Soma baru menyadari. Kalau ia pernah
singgah di situ bersama istrinya. Maka ia mempercepat
mengejar langkah larinya. Keempatnya terus berlari
menerobos alang-alang. Tapi mereka di kejutkan oleh
suara teriakan.
"Pendekar-pendekar tolol! Kalian hanya men-
gantarkan nyawa dengan percuma! Kembali! Dan ting-
galkan tanah Sungkawarang!" teriakan itu menggema.
Tapi mereka masih mengenali suara itu.
"Siluman Muka Buruk, kau selalu menguntit
kami. Sebaiknya kau yang buru-buru merat dari
Sungkawarang!" hardik Ki Wirayuda. Sosok Siluman
Muka Buruk tidak menampakkan diri. Ki Wirayuda ti-
dak perduli. Ia sudah menjajaki tangga batu yang me-
nuju masuk ke dalam bangunan. Tiga pendekar yang
berlari di belakangnya cepat mengiringi Ki Wirayuda.
Empat pendekar berilmu tinggi ini membelalak-
kan matanya. Mengapa tidak. Keempatnya serentak
melihat sosok Gentara Karma tengah menggeluti sosok
mayat perempuan bugil. Gentara Karma seakan tidak
perduli dengan kehadiran empat orang ini. Ia malah
semakin bernafsu merengkuh mayat perempuan itu.
Nyi Andini hampir muntah melihat pemandangan jorok
seperti itu.
Sosok mayat perempuan memang bertubuh
mulus tanpa cela. Namun kedua rongga matanya
nampak berlubang mengembar darah. Sedangkan dua
biji matanya berserakan di lantai berdebu.
Serta merta Ki Wirayuda melepaskan sebuah
tendangan menghantam pinggang Gentara Karma. La-
ki-laki tengah menindih mayat perempuan mencelat
membentur tembok. "Manusia laknat! Pandai juga kau
meloloskan diri dari liang kubur. Tapi sekarang mana
bisa lari lagi!" Bentak Ki Wirayuda siap lancarkan se-
rangan. Gentara karma bangkit menggeliat. Giginya
gemeretak menahan amarah. Berdiri menantang.
"Satu.... Dua.... Tiga.... Empat! Bagus hari ini
empat nyawa akan melayang sekaligus. Kebetulan pula
kau datang bersama Nyi Andini, Ki Wirayuda! Kau ta-
hu benar seleraku!" ujar Gentara Karma. Nyi Andini
betul-betul terhina. Pendekar Wita Soma sudah tidak
sabaran. Ia menerjang lebih dulu. Tinju Karang bergu-
lung menderu-deru menghantam Gentara Karma. Tapi
laki-laki berbaju penuh lumpur kering ini tidak berges-
er menyambut hantaman itu.
"Rupanya belum jera juga merasakan hanta-
man Tinju Guntur Geledek! Sambut ini.... Hraaaaa...!"
Sekonyong-konyong Gentara Karma melepaskan se-
buah hantaman.
"Blaaaar...!"
Wita Soma memekik hebat tubuhnya terbanting
membentur dinding batu. Kepala hampir remuk.
Nyi Andini bersama Ki Wirayuda merangsak
maju. Pedang Nyi Andini bergerak sukar dihindari. Pu-
kulan-pukulan Ki Wirayuda mencecar bagian dada.
Dengan gesit Gentara Karma berkelit.
"Anak muda, kenapa tidak maju sekalian. Apa-
kah kau takut mati?" ejek Gentara Karma, sebelah len-
gannya memapaki serangan Ki Wirayuda. Tapi tusu-
kan tajam pedang Nyi Andini tidak bisa dielakan. Pe-
dang itu menembus di perut Gentara Karma. Lalu di
tariknya pedang itu kuat-kuat ke samping.
"Breeeet...!"
Perut Gentara Karma robek semakin lebar.
Ususnya terburai. Namun laki-laki penuh lumpur ker-
ing ini tetap berdiri tegar, seolah-olah luka yang dah-
syat itu tidak dirasakan sama sekali. Ki Wirayuda jadi
terkejut. Dalam pada itu Gentara Karma melepaskan
Tinju Guntur Geledek ke arah mereka berdua.
"Blaaaar...!"
Hantaman itu deras menerjang. Ki Wirayuda
dan istrinya sampai terlempar ke luar bangunan. Ke-
duanya menyemburkan darah. Gentara tertawa terke-
keh-kekeh.
"Kini giliranmu, Pendekar ingusan! Hraaaat...!"
Gentara Karma lepaskan lagi sebuah hantaman. Win-
tara bergerak cepat menyingkir. Melihat betapa mu-
dahnya Wintara menghindar, Gentara Karma makin
gigih lancarkan serangan berikut. Tinju Bayu Delapan
Penjuru Wintara cepat bertindak. Maka.... "Ble-
daaaar...!"
Hantaman mereka saling bentur. Keduanya
sama-sama terlempar. Membentur dinding tembok,
"Hebat-hebat...! Baru kali ini Tinju Guntur Ge-
ledek ku mendapat saingan." kata Gentara Karma ter-
gelak-gelak. Ususnya yang terburai bergerak-gerak
menjijikkan.
"Sambut lagi ini, anak muda!" Gentara karma
murka. Wintara tetap menyambut, sekalipun ia masih
merasakan sakit ketika hantaman mereka tadi saling
bentur. Tak urung Wintara juga menyemburkan darah.
Apalagi saat Gentara Karma lepaskan sebuah tendan-
gan. Tubuh Wintara bergulingan ke luar. Empat pen-
dekar berusaha bangkit. Tubuh mereka seperti berge-
tar. Menatap Gentara Karma yang melangkah ke luar.
Tinju Guntur Geledek memang tidak boleh dianggap
ringan. Pantas Pendekar Wita Soma hampir mati di-
buatnya.
"Sudah kukatakan kalian bukan tandingan
Gentara Karma!" Terdengar teriakan menggema Silu-
man Muka Buruk. Sekarang sosok menyeramkan ini
menampakkan diri. Lesatan tubuhnya sangat ringan.
Berjumpalitan di udara kemudian hinggap di hadapan
empat pendekar yang siap-siap menghadapi Gentara
Karma.
"Siluman Muka Buruk, menyingkirlah. Kau ti-
dak perlu menakut-nakuti kami!" bentak Ki Wirayuda
seraya menerjang. Begitu juga dengan Nyi Andini. Ba-
batan pedang bergerak cepat bagai kilatan angin. Wita
Soma tidak ketinggalan melancarkan jurus Tinju Ka-
rang, warisan dari bukit Sinimbung. Siluman Muka
Buruk tidak bisa menghalangi mereka.
Mendapat serangan dari tiga orang itu, Gentara
Karma malah maju menerjang. Kedua lengannya ber-
putar. Menghantam Ki Wirayuda dan Wita Soma tanpa
ampun mereka berdua terguling ambruk dengan tu-
lang iga yang remuk. Nyi Andini yang bersenjatakan
pedang, murka melancarkan babatan pedang lebih
dahsyat.
"Crak...! Crak...! Crak!" Tanpa ampun pedang
Nyi Andini menebas berkali-kali di tubuh Gentara
Karma. Laki-laki penuh lumpur kering ini tetap berdiri
tanpa kesakitan, Nyi Andini benar-benar terkejut. Ia
bisa melihat jelas luka-luka babatan pedangnya begitu
dalam merobek bagian dada. Bahkan sebuah sabetan
pedangnya sempat menembus sampai ke jantung. Ia
mulai gentar. Di luar dugaan Gentara Karma lepaskan
Tinju Guntur Geledek. Tak kepalang Nyi Andini mence-
lat bersama pedangnya yang entah ke mana.
*
* *
ENAM BELAS
Begitu tubuhnya ambruk ke tanah. Darah me-
nyembur banyak dari mulutnya. Sedangkan tubuhnya
tidak berkutik lagi. Karena seluruh tulang dadanya
rontok. Melihat itu pun Ki Wirayuda cepat berlari ke
arah istrinya. Didapati tubuh istrinya telah lemas tan-
pa nyawa.
Siluman Muka Buruk belum beranjak dari
tempatnya. Ia saling pandang dengan Wintara. Pende-
kar Wita Soma hampir tidak dapat berdiri. Nafasnya
tersengal-sengal karena tulang iganya patah.
"Siluman Muka Buruk, kenapa kau berada di
sini? Bukankah kau tidak akan mencampuri urusan-
ku?" ujar Gentara Karma. Tubuh tanpa luka itu tidak
mengeluarkan darah sama sekali. Hanya Siluman Mu-
ka Buruk yang tahu mengapa demikian.
"Sekarang terpaksa aku harus mencampuri
urusanmu, Gentara Karma. Mulai saat ini tidak ada
lagi korban tangan jail mu. Karena kita akan mati ber-
sama-sama." ucap Siluman Muka Buruk.
"Chis! Sampai leburpun kita tidak bakalan mati. Menyingkirlah jangan halangi aku!" Gentara Karma
menerjang Jelas terjangannya itu mengarah pada so-
sok Ki Wirayuda. Tapi sebelum Gentara Karma dapat
melepaskan hantaman, Siluman Muka Buruk mengha-
langi dengan sebuah pukulan. Begitu juga dengan
Wintara yang sejak tadi sudah mengatur pernafasan-
nya. Pendekar Kelana Sakti tidak segan-segan lancar-
kan Bayu Menghempas Tebing. Jurus ini cukup dah-
syat. Gentara Karma terhempas mundur ke belakang.
Hantaman Wintara tidak berhenti sampai di si-
tu. Siluman Muka Buruk juga terus lancarkan seran-
gan-serangan yang sebenarnya tak berarti bagi Genta-
ra Karma.
Sepak terjang ketiga orang ini mengoyak per-
mukaan tanah. Setiap serangan serta hantaman mere-
ka beradu nyaring. Gentara Karma pantang mundur
menghadapi mereka berdua.
"Anak muda, kau membuang-buang tenaga
percuma. Sebaiknya bawa pergi mereka dari sini." kata
Siluman Muka Buruk menyerang Gentara Karma den-
gan pukulan-pukulan beruntun.
"Tidak, Ki Sanak. Kau yang harus menyingkir
dari sini. Tidak kau lihatkah luka-lukamu yang demi-
kian parah?" jawab Wintara melepaskan tendangan.
Gentara Karma terhuyung ke belakang. Namun masih
dapat maju membalas.
"Kau tidak akan mengerti, Anak muda." Silu-
man Muka Buruk menepis hantaman Gentara Karma.
"Banyak mulut! Seharusnya kau berpihak ke-
padaku, manusia jelek!" bentak Gentara Karma. Ia
menyambut serangan mereka dengan Tinju Guntur
Geledek yang dilancarkan secara berturut-turut. Se-
tengah mati Wintara menghindarinya. Secepatnya ia
menyusun kekuatan dengan Menyibak Tirai Bayu. Ma-
ka hantaman-hantaman Gentara Karma berderak
derak melenceng. Siluman Muka Buruk cukup tercen-
gang melihat kebolehan Pendekar Kelana Sakti.
Dan pada jurus yang kesebelas, Wintara meng-
gebrak dengan Tinju Bayu Delapan Penjuru.
"Duaaaar...!"
Tubuh Gentara Karma mencelat ke belakang.
Selama tubuhnya melayang di udara Gentara Karma
menjerit-jerit. Tapi tak lama ia hinggap kembali di ta-
nah sambil menyeringai. Wintara bergidik melihatnya.
Kalau manusia biasa, pastilah sudah tewas terkena
hantaman tadi. Sekarang ia hampir kehabisan tenaga.
Untunglah saat itu Siluman Muka Buruk mengganti-
kan posisi Wintara. Perkelahian mereka malah nampak
lebih seru. Selain jurus-jurus mereka begitu dahsyat.
Juga setiap terjangan mereka bagaikan harimau lapar
yang saling mematikan.
Dalam pertarungan itu tampak Gentara Karma
sudah berada di atas angin. Hantaman-hantamannya
selalu mengena telak di tubuh Siluman Muka Buruk.
Namun sekeras apapun pukulan Gentara Karma sama
sekali tidak dirasakan. Bahkan ketika Gentara Karma
lancarkan pukulan karate. Tak terduga hantaman itu
memukul putus pangkal lengan Siluman Muka Buruk.
Jelas kutungan tangan itu terbanting jatuh di tanah.
Tapi Siluman Muka Buruk tetap seperti tidak merasa-
kan sakit.
Barulah Wintara mempunyai satu kesimpulan.
Kalau mereka berdua memiliki ilmu kebal rasa. Jalan
satu-satunya mungkin harus memenggal kepalanya.
Maka dengan gerakan yang sangat cepat, Wintara me-
nyambar pedang Nyi Andini yang tergeletak di tanah.
Lalu diteruskan terjangannya mengarah pada perta-
rungan.
Teriakan Wintara menggelegar saat pedang di
tangannya berkelebat menyambar putus kepala Genta
ra Karma. Kepala itu menggelinding di tanah. Siluman
Muka Buruk melangkah mundur. Apalagi Wintara. Ia
masih terkejut melihat tubuh Gentara Karma tetap
berdiri meski tanpa kepala. Yang lebih menakutkan la-
gi. Kutungan kepada itu masih bisa bicara.
"Ha-ha-ha-ha-ha...! Baru tahu sekarang, bu-
kan. Gentara Karma bukan orang yang gampang mati."
"Anak muda, pergi! Bawa mereka jauh-jauh!"
perintah Siluman Muka Buruk. Wintara masih berpikir
keheranan. Manakala tubuh tanpa kepala itu bergerak
maju menyerang Wintara. Tapi Wintara bisa menghin-
darinya, karena hantaman-hantaman yang dilancar-
kan itu membabi buta tanpa arah. Sepertinya pula se-
rangan-serangan itu dikendalikan oleh kepala yang
tergeletak di tanah.
Maka dengan reflek Wintara menendang ku-
tungan kepala. Sekali sambar kutungan kepala itu
mencelat.
"Des!"
Hinggap tepat di antara cabang pohon. Saat itu
juga.
"Waaaarght...!" Kutungan kepala itu menjerit-
jerit. Terjepit erat di antara cabang pohon dan tidak
mungkin terlepas. Bau busuk menyebar menusuk hi-
dung. Bersamaan dengan itu perubahan pada kutun-
gan kepala terjadi. Kutungan kepala Gentara Karma
berubah hitam seperti arang. Lalu jeritan itu berhenti.
Siluman Muka Buruk mendadak berjingkat menghin-
dari serangan tubuh Gentara Karma. Tanpa kepala se-
rangan Gentara Karma tidak menentu arah. Gerakan-
nya bagaikan orang buta. Hal itu memudahkan Silu-
man Muka Buruk menyerangkan hantaman-
hantamannya. Namun tak urung juga Siluman Muka
Buruk terkena hantaman nyasar.
Serta merta Wintara datang membantu. Tubuh
mencelat Siluman Muka Buruk dapat ditangkap. Sete-
lah itupun Wintara melompat maju menghadapi tubuh
Gentara Karma yang terus melancarkan Tinju Guntur
Geledek. Tanpa ambil resiko Wintara menghadapi han-
taman-hantaman itu. Dia juga melepaskan pukulan
maut Tinju Bayu Delapan Penjuru.
"Bledaaaar...!"
Hantaman mereka beradu. Tubuh Gentara
Karma mencelat. Wintara jatuh duduk. Tapi ia terus
lancarkan Tinju Bayu Delapan Penjuru disambung lagi
dengan Bayu Menghantam Karang. Tak urung tubuh
Gentara Karma terus didera dengan hantaman-
hantaman maut Pendekar Kelana Sakti.
Tubuh itu terus melayang tersangkut pada ca-
bang pohon juga. Tubuh itu seperti kelojotan berontak.
Namun tubuh yang bergerak-gerak itu membuat di-
rinya semakin terjepit di sela-sela cabang pohon.
Seperti yang telah terjadi dengan kutungan ke-
pala Gentara Karma. Tubuh itupun mnyebarkan bau
busuk. Tubuh itu tidak meronta-ronta lagi. Kulitnya
yang penuh luka seperti hangus menjadi arang. Winta-
ra memandangi perubahan itu dengan perasaan jijik.
Siluman Muka Buruk melangkah ke samping Wintara.
"Kau telah memecahkan kelemahan Ilmu Mati
Pamungkas, Anak muda. Aku bersama Gentara Karma
memang telah menguasai ilmu itu. Tapi sampai saat
ini aku tidak mengetahui kelemahannya. Sungguh he-
bat." ujar Siluman Muka Buruk. Lengannya tinggal se-
belah.
"Kau...?" Wintara balas menatap. Pantas ia ti-
dak merasakan rasa sakit. Kiranya mereka memiliki
Ilmu Mati Pemungkas, pikir Wintara. Saat itu Pendekar
Wita Soma bangkit berdiri. Dengan perlahan ia me-
langkah pula. Ki Wirayuda masih memeluki mayat is-
trinya. Ia hanya memandangi para pendekar itu.
"Sebenarnya pula, jasad ku telah mati dua pu-
luh tahun yang lalu. Aku dapat hidup kembali dari
liang kubur karena memiliki ilmu tersebut. Selama hi-
dup di atas kematian. Orang-orang yang memiliki ilmu
itu tidak akan mati lagi. Tapi sekarang ilmu Mati Pa-
mungkas telah terpecahkan." kata Siluman Muka Bu-
ruk tertunduk.
"Ki Sanak, kau sangat berbeda dengan Gentara
karma. Padahal sudah menguasai ilmu Mati Pamung-
kas. Tapi kau tetap berada di jalan yang benar."
"Benar. Semula aku berdiri pada aliran sesat.
Tapi setelah hidup kembali, aku masih merasakan be-
tapa sakitnya manusia menerima kematian. Untuk itu
pikiranku jadi berubah."
"Manusia gagah siapakah sebenarnya anda.
Mengapa selalu menutupi wajah dengan topeng yang
sangat menakutkan itu?" tanya Pendekar Wita Soma.
"Hanya untuk penyamaran. Banyak orang yang
masih mengenali aku. Tapi kalian akan tahu seka-
rang." ujar Siluman Muka Buruk. Sebelah lengannya
menarik kulit tipis menyeramkan yang menutupi wa-
jahnya.
Sekejap itu pula tiga pendekar yang berada di
situ terkejut bukan kepalang. Di hadapan mereka ti-
dak lain sosok Ki Karantungan, si penggali kubur.
"Ki Karantungan?" Serempak mereka heran.
"Ya, memang aku." katanya datar.
"Kami betul-betul tidak menyangka...." kata
Wintara tak berkedip. Ki Karantungan hanya terse-
nyum.
"Ilmu Mati Pamungkas sudah tidak ada artinya.
Pendekar Kelana Sakti telah memecahkan rahasia ke-
lemahan ilmu tersebut. Tanpa menyentuh tanah, pen-
ganut ilmu itu akan mati menjadi kerak tanah." kata
Ki Karantungan sambil menunjuk ke arah sosok tubuh
menghitam tersangkut di celah cabang pohon.
"Hidupku tidak ubahnya bagai mayat hidup.
Hampa tak punya selera. Kenikmatan hidup bisa dira-
sakan dari yang mati. Sungguh menjijikkan, bukan?"
ujar Ki Karantungan melangkah mundur.
"Ki Karantungan, apa yang hendak kau laku-
kan?" Wintara berusaha menyusul.
"Tetapi diamlah di situ, Pendekar Kelana Sakti.
Aku telah menemukan jalan yang ku anggap paling
baik untuk diriku." Ki Karantungan menghalangi den-
gan sebelah lengannya.
Di luar dugaan tubuh Ki Karantungan melesat
ke atas. Sebelah tangannya meraih cabang tertinggi.
Membiarkan dirinya tergantung demikian rupa. Maka
kejadian seperti Gentara Karma terjadi pada Ki Karan-
tungan.
Wintara tidak menatap ke atas. Bau busuk me-
nyebar luas. Pendekar dari bukit Sinimbung bersama
Ki Wirayuda menyaksikan sampai tuntas proses peru-
bahan tubuh Ki Karantungan yang berangsur-angsur
menjadi arang. Lalu jatuh ke bawah, pecah berkeping-
keping bagai kaca.
Kedua orang penganut Ilmu Mati Pamungkas
telah lenyap. Tapi bukan berarti cerita ini berakhir be-
gitu saja. Selama orang-orang yang berpihak pada ali-
ran sesat belum tuntas. Pendekar Kelana Sakti belum
bisa meninggalkan tanah Sungkawarang. Apalagi dua
perempuan sesat dari Gunung Tunggul! masih berke-
liaran. Suatu waktu Srikaton Munggel bersama gu-
runya akan muncul kembali untuk membuat perhi-
tungan. Jelas dua perempuan itu berilmu sangat ting-
gi. Ki Wirayuda bersama pendekar dari Bukit Sinim-
bung belum tentu mampu menghadapinya.
Nab, untuk itu para pembaca sekalian bisa
mengikuti kisah selanjutnya dalam:
"Dewi Jalang Dari Gunung Tunggul"
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar