BUNGA ABADI DI
GUNUNG KEMBARAN
Oleh T. Hidayat
Cetakan Pertama,
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Widarto
Hak Cipta Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
Dalam Episode 010 :
Bunga Abadi Di Gunung Kembaran
SATU
"Kakang Panji...!"
Panji yang baru saja hendak memasuki
mulut Hutan Randu Apus menghentikan
langkahnya sejenak. Seketika urat-urat
wajahnya menegang ketika mendengar suara
panggilan yang amat dikenalnya. Jantung
pemuda itu berdebar keras karena telah
mengetahui secara pasti pemilik suara
yang merdu dan lembut itu.
"Adik Kenanga...!" desis pemuda itu
begitu melihat seorang gadis berpakaian
serba hijau tengah berlari
mendatanginya. Pemuda itu terpaksa
berhenti sejenak, menunggu kedatangan
gadis itu.
Gadis cantik berpakaian hijau terus
beriari menghampiri Panji. Rambutnya
yang panjang bergoyang mengikuti
gerakannya. Anak rambutnya tampak
berkibaran dipermainkan angin. Namun
pemandangan itu justru semakin menambah
daya tarik tersendiri pada diri gadis
jelita yang laksana bidadari itu.
"Kakang...," desis Kenanga. Gadis
berpakaian hijau itu segera menjatuhkan
kepalanya ke dada Panji. Dua butir air
bening bergulir dari sepasang bola mata
indah melukiskan kebahagiaan dan
keharuan hatinya.
"Adik Kenanga, maafkan aku...,"
desah Panji serak. Pemuda itu pun hampir
tak sanggup menahan keharuan yang
menyeruak dalam rongga dadanya.
Rambut gadis itu diusapnya mesra.
Sesaat kemudian didorongnya tubuh gadis
jelita itu perlahan. Lalu dipandanginya
wajah Kenanga yang terlihat agak pucat.
"Ah, kau semakin kurus dan agak
pucat, Adikku. Hhh... betapa berdosanya
aku telah membuatmu menderita," ujar
Panji. Hatinya terenyuh ketika melihat
keadaan kekasihnya yang terlihat agak
tak terurus.
"Kakang, mengapa kau begitu tega
meninggalkan aku tanpa pesan? Apakah
Kakang sudah tidak mencintaiku lagi?"
tanya Kenanga sambil menengadahkan
kepalanya. Suaranya terdengar begitu
lembut hingga menimbulkan rasa iba yang
semakin besar di hati Panji.
"Maafkan aku, Adikku. Bukan
maksudku membuatmu susah. Tapi keadaanku
inilah yang membuatku harus mengambil
keputusan demi kebahagiaanmu. Usiaku
mungkin tinggal delapan bulan lagi. Oleh
karena itulah aku terpaksa
meninggalkanmu dengan harapan agar kau
dapat melupakanku," ujar Panji
mengajukan alasan mengapa meninggalkan
gadis itu begitu saja tanpa pamit ataupun
pesan. (Baca serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: "Penjagal Alam Akherat").
"Aku mengerti keadaanmu, Kang. Dan
aku pun tahu alasanmu pergi
meninggalkanku. Itu semua karena kau
telah mendengar ucapan paman guruku,
bukan? Hhh... kau hanya tahu itu saja
tapi tidak tahu yang lainnya," sahut
Kenanga.
Melihat cibiran kekasihnya, Panji
tak sanggup lagi menatap pesona yang
perlahan-lahan mulai menjeratnya.
Wajahnya ditundukkan. Lalu dikecupnya
bibir yang merekah itu dengan lembut
Sesaat Kenanga terkejut karena sama
sekali tidak menyangka kalau Panji akan
mengecupnya. Tubuh gadis itu bergetar
dalam dekapan Panji sambil mengeluarkan
rintihan halus dari kerongkongannya.
Sesaat kemudian, Kenanga pun membalas
kecupan kekasihnya tak kalah hangat
"Cukup.... Adikku... cukup...,"
ujar Panji dengan napas terengah-engah
seraya melepaskan pelukan gadis itu.
"Bisa-bisa kita terperosok nanti. Aku
takut gara-gara daya pesona mu, hubungan
kita melangkah terlalu jauh. Padahal
kita belum resmi suami istri," desis
Panji berusaha mengusai dirinya dari
cengkeraman nafsu darah mudanya.
Kenanga tersipu malu mendengar
ucapan tulus kekasihnya. Gadis itu sadar
seandainya mereka telah terseret oleh
kenikmatan tadi, bukan tidak mungkin
keduanya tidak dapat menguasai diri
lagi.
"Kakang, jangan tinggalkan aku
lagi. Aku akan menemanimu ke manapun kau
pergi," ujar Kenanga lirih.
Panji hanya mengangguk mendengar
ucapan kekasihnya. Diam-diam hati
Pendekar Naga Putih merasa bangga karena
Kenanga bukan cantik lahiriah saja, tapi
juga punya kesetiaan yang sukar ditemui
pada gadis-gadis lain.
"Adikku, apa maksud ucapanmu yang
mengatakan kalau aku hanya tahu satu hal
saja tapi tidak tahu lainnya?" tanya
Panji ketika teringat ucapan gadis itu
ladi kepadanya.
"Hm... mengenai penyakitmu, Kang.
Paman Guruku mengatakan kalau masih ada
seorang ahli pengobatan yang mungkin
dapat menyembuhkan penyakit, Kakang,"
jelas Kenanga menceritakan apa yang
pemah dikatakan paman gurunya mengenai
penyakit Panji Penyakit yang diderita
Pendekar Naga Putih disebabkan tenaga
dalamnya yang liar dan sulit
dikendalikan, akibat merasuknya 'Inti
Tenaga Gerhana Bulan'. Dan hal ini sangat
membahayakan keselamatan Panji, bila
tidak ditemukan penangkal untuk tenaga
liarnya! (Untuk mengetahui lebih jelas
tentang penyakit yang diderita Panji,
silakan ikuti serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: "Raja Iblis dari Utara").
"Hm.... Siapa orang itu dan di mana
tinggalnya?" tanya Panji yang rupanya
mulai tertarik mendengar keterangan
kekasihnya.
"Mmm... namanya, Raja Obat Tapi aku
tidak tahu tempat tinggal beliau.
Menurut paman guruku, tabib itu tidak
punya tempat tinggal tetap. Dia selalu
bepergian dan menolong orang-orang yang
tengah mengalami kesulitan dalam
perjalanannya," sahut Kenanga agak
menyesal karena tidak mengetahui tempat
tinggal Raja Obat itu.
"Wah, lalu ke mana kita harus
mencarinya kalau kita sendiri tidak tahu
tempat tinggalnya?" desah Panji lesu.
Harapannya lenyap seketika begitu
mendengar kalau Raja Obat itu tidak punya
tempat tinggal tetap.
“Tapi kita bisa telusuri jejak tabib
itu dan bertanya kepada siapa saja yang
kita temui di perjalanan. Dan bukan tidak
mungkin kalau suatu saat kita menjumpai
orang yang tahu di mana Raja Obat
berada," hibur Kenanga. Gadis itu
mencoba membangkitkan semangat Panji
agar tetap tabah.
"Ya! Tapi bagaimana kalau sampai
batas usiaku, kita belum menemukan tabib
itu?" ujar Panji agak putus asa.
"Lalu apa rencana Kakang sekarang?"
akhirnya Kenanga menyerah.
"Kalau kau ingin ikut bersamaku,
marilah kita pergi ke Bukit Gua Harimau.
Aku telah memutuskan untuk menghabiskan
sisa-sisa umurku di sana. Apakah kau
bersedia, Adik Kenanga?" tanya Panji
tersenyum.
"Aku bersedia ikut ke manapun,
Kakang. Tapi kau harus berjanji tidak
akan meninggalkan aku lagi!" sahut
Kenanga mantap.
"Baik, aku berjanji!" ujar Panji tak
kalah mantap.
Lalu keduanya pun tertawa bahagia.
Kini kedua muda-mudi itu berjalan
berdampingan dan mulai merambah Hutan
Randu Apus yang merupakan jalan
satu-satunya menuju Bukit Gua Harimau.
***
Hari masih pagi ketika sesosok tubuh
mendaki Bukit Gua Harimau dengan langkah
tertatih-tatih. Meskipun langkahnya
lamban, namun tubuhnya bergerak cepat
sehingga dalam waktu singkat sosok itu
telah mencapai puncak bukit
"Hoiii..., Tirta Yasa, apakah kau
masih hidup?" teriak sosok itu lantang
setibanya di depan sebuah pondok
sederhana yang terbuat dari susunan
batang-batang kayu bulat.
Panji dan Kenanga yang tengah berada
dekat makam Eyang Tirta Yasa menjadi
terkejut mendengar teriakan yang
mengandurig kekuatan tenaga sakti tinggi
itu. Sejenak keduanya saling
berpandangan. Sesaat kemudian tubuh
kedua muda-mudi itu melesat untuk
menemui orang yang baru datang.
Kedua orang pendekar muda tertegun
menatap seorang kakek tua yang mungkin
usianya sudah mencapai sembilan puluh
tahun. Namun, yang membuat Panji terpana
adalah tatapan kakek itu. Sinar matanya
demikian lembut dan menyejukkan. Siapa
saja yang memandangnya akan betah
berlama-lama berhadapan dengan orang tua
itu.
"Siapakah Eyang? Dan ada keperluan
apa Eyang mencari guruku?" tanya Panji
halus dan sopan. Melihat sorot matanya,
Panji yakin kalau kakek itu tidak
bermaksud jahat
"Hm... kau murid Tirta Yasa?
Bagus... bagus... siapa namamu, Anak
Muda?" kakek itu balik bertanya kepada
Panji, seolah-olah tidak didengarnya
pertanyaan pemuda itu.
"Namaku Panji, Eyang," jawab Panji
tanpa berusaha untuk memperkenalkan
Kenanga kepada orang tua itu. Panji pun
tidak lagi menanyakan keperluan kakek
itu datang ke tempatnya. Pemuda itu hanya
diam menunggu pertanyaan selanjutnya.
Tapi meskipun telah menanti cukup
lama, pertanyaan yang dinanti Panji tak
kunjung keluar dari muhit kakek itu.
Sebaliknya laki-laki tua renta itu malah
menatapnya sungguh-sungguh. Sepasang
matanya menyipit, seolah tengah
memperhatikan dan memastikan sesuatu.
"He he he... bodoh sekali si Tirta
Yasa! Apakah dia tidak tahu, kalau kau
salah menghimpun tenaga dalam?" desah si
kakek sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Hei, siapa namamu tadi, Anak
Muda? Hm... ya, Panji. Apakah kau
benar-benar murid Tirta Yasa yang
berjuluk Malaikat Petir?"
"Benar, Kek! Mengapa kakek
meragukannya." kali ini giliran Kenanga
yang menyahut Sepasang alis gadis jelita
itu berkerut, seolah-olah tengah
berusaha mengingat sesuatu. Dan ketika
mendengar desahan kakek itu, barulah
Kenanga teringat siapa sebenamya
laki-laki yang berdiri di hadapannya.
"Benarkah kakek yang tersohor
dengan julukan Raja Obat?" tanya Kenanga
tiba-tiba. Sebelumnya ia pernah diberi
tahu paman gurunya tentang ciri-ciri
orang tua yang berjuluk Raja Obat Itulah
sebabnya mengapa sejak tadi gadis itu
hanya terdiam sambil terus menatap wajah
kakek itu.
"He he he... siapa kau, Wanita Muda?
Dari mana kau tahu, namaku?" ujar kakek
tua itu terkekeh mendengar ucapan gadis
jelita yang telah mengetahui siapa dia.
"Aku Kenanga, murid mendiang Raja
Pedang Pemutus Urat!" jawab Kenanga
cepat hati Kenanga diliputi rasa tidak
menentu dan tegang karena berhadapan
dengan tokoh yang dicari-carinya selama
ini.
Ingin rasanya gadis itu segera
berlutut di depan orang tua itu untuk
memohon kesediaan Raja Obat mengobati
Panji.
"Mendiang? Jadi gurumu telah
tiada?" tanya kakek tua itu dengan kening
berkerut
"Ya! Guruku telah lama tiada
sebagaimana juga Eyang Tirta Yasa,"
jelas Kenanga.
"Eh, benarkah demikian.
Jangan-jangan kalian hanya
mempermainkan aku saja!" ucap Raja Obat
sambil tertawa terkekeh. Tabib sakti ini
belum sepenuhnya mempercayai ucapan
Kenanga.
"Kalau kakek tidak percaya, marilah
kutunjukkan makam beliaul" ajak Kenanga
yang merasa tersinggung ketika kakek itu
tidak mempercayai ucapannya.
"Hm... tidak perlu! Kalau hanya
sekadar makam, akupun bisa membuatnya,"
ujar Raja Obat yang mau tidak mau membuat
Kenanga menjadi panas hatinya.
"Hm... sekarang begini saja! Kalian
boleh menyerangku sebanyak tiga jurus.
Tapi ingat kalian harus memainkan
jurus-jurus andalan kalian! Nah, dari
jurus-jurus kalian baru aku tahu kalau
kalian memang betul murid mereka atau
bukan. Bagaimana?" tantang Raja Obat
sambil tersenyum gembira.
"Bagaimana, Kakang?" Kenanga tidak
segera mengambil keputusan. Gadis Hu
meminta pendapat kekasihnya.
"Sebenarnya aku tidak terialu
berminat ikut permainanmu, Eyang. Kalau
Eyang mau percaya, silakan! Tapi kalau
tidak percaya, itu hak Eyang," tegas
Panji yang tidak berminat meributkan
soal itu. Meskipun pemuda itu sadar kalau
hanya kakek inilah yang dapat
menyelamatkan hidupnya, tapi dia sudah
tidak peduli.
Mendengar perkataan Panji, Raja
Obat tertegun sesaat Tapi tak lama
kemudian terdengar kembali tawanya.
"He he he... kau benar-benar
mewarisi sifat-sifat gurumu, Anak Muda!
Begitulah sifat Tirta Yasa waktu muda.
Keras tapi tegas! He he he...," ujar Raja
Obat Itu seraya terus tertawa senang.
Pandangannya dialihkan pada Kenanga
"Sudahlah! Ayo, kita mulai Kau
setuju kan?"
"Baik, Kek! Aku sudah siap!" sahut
Kenanga sambil mencabut pedang hitamnya.
Tiba-tiba gadis itu telah melesat ke arah
Raja Obat sambil berteriak nyaring,
"Lihat pedang!"
Singngng!
"Hmm...."
Pedang hitam Kenanga meluncur cepat
ke arah tenggorokan. Tapi aneh meskipun
si Raja Obat sama sekali tak kelihatan
mengelak atau menangkis, serangan gadis
itu mengenai tempat kosong! Demikian
pula dengan dua serangan berikutnya.
Kedua serangan itu pun kembali mengenai
tempat kosong, meskipun Raja Obat itu
sama sekali tidak bergeser dari tempat
dia berdiri. Tentu saja kejadian itu
membuat Kenanga terkejut!
"Serangan kedua!" teriak Kenanga
sambil menyi-langkan pedang hitamnya di
depan dada Sesaat kemudian tubuhnya
sudah berputar cepat seraya mengirimkan
bacokan pedang yang hebat dan
mengejutkan!
"Hmm... ilmu pedang hebat!" puji
Raja Obat tulus. Ilmu pedang yang
dimainkan gadis itu memang benar-benar
hebat dan amat berbahaya!
Kali ini si kakek tidak berani
menganggap enteng jurus-jurus pedang
Kenanga. Tubuh si Raja Obat itu bergerak
ke kiri menghindari sabetan pedang hitam
yang menimbulkan hawa mengerikan.
Terdengar deru angin keras begitu pedang
Kenanga mencecar Raja Obat
Wuttt! Wuttt!
Kembali dua kali tebasan pedang
hitam berhasil dielakkan si Raja Obat
meskipun agak kewalahan. Sampai pada
jurus yang kedua itu pun, temyata Kenanga
masih harus mengakui kehebatan si Raja
Obat
"Hmm... dua kali seranganku gagal,
Kek! Tapi pada jurus ketiga ini aku mohon
kakek tidak hanya mengelak, tapi harus
membalas, bagaimana?" usul Kenanga yang
merasa tidak enak karena harus menyerang
terus-menerus tanpa sekali pun mendapat
balasan.
"He he he... kalau memang itu maumu,
baiklah!" sahut Raja Obat itu terkekeh
kegirangan. Rupanya sebagai seorang ahli
obat Raja Obat pun tak terlepas dari
penyakit suka akan ilmu silat Dan
meskipun usianya sudah lanjut, tapi
semangat bertempurnya masih tetap
menyala.
"Lihat serangan!" sentak Kenanga
sambil melompat dan memutar pedangnya
hingga membentuk sebuah sinar kehitaman
yang bergulung-gulung. Kali ini gadis
itu benar-benar mengerahkan jurus-jurus
puncak ilmu pedang hitam yang paling
tinggi, sehingga akibat yang dltimbulkan
pun sangat dahsyat! Tubuh Kenanga telah
menghilang di balik gulungan sinar
pedang hitamnya yang bergerak cepat
"Bagus...! Bagus...!" puji Raja
Obat setiap kali mengelak serangan
Kenanga yang membuat jubahnya berkibaran
tersambar angin pedang gadis itu.
"Haiiittt..!"
Suatu ketika Kenanga berteriak
nyaring dan langsung merubah gerakan
pedang hitamnya. Dan tiba-tiba tubuh
gadis itu telah melambung, seraya
mengirimkan tusukan pedang hitam dengan
kecepatan yang menggetarkan!
Singngng!
Brettt!
"Aaai...!"
Hebat sekali akibat tusukan pedang
gadis itu! Nyaris tubuh Raja Obat dirobek
ujung pedang hitam, kalau saja dia tidak
segera menggeser tubuhnya. Meskipun
begitu kakek ini kelabakan juga melihat
bajunya sedikit robek dekat lambung.
"He he he... cukup... cukup...! Kau
benar-benar murid Raja Pedang Pemutus
Urat!" sent Raja Obat sambil mundur
kemudian mengatur pemapasannya.
"Haihhh, ternyata gerakanku sudah
tidak selincah dulu lagi!"
"Kakek benar-benar tadinya hebat
aku hampir tak percaya kalau orang setua
kakek dapat bergerak segesit tadi.
Bahkan melebihi kecepatan gerakku yang
masih muda ini," puji Kenanga
bersungguh-sungguh, seraya
membungkukkan tubuhnya memberi hormat
kepada Raja Obat
"He he he... kau pintar sekali
memuji, Cucuku! Sudahlah, jangan kau
teruskan! Bisa-bisa kepalaku besar
jadinya!" ujar Raja Obat itu terkekeh
dengan wajah berseri-seri tanpa
mempedulikan napasnya yang masih
tersengal-sengal selesai uji tarung
dengan Kenanga.
"Nah, sekarang giliranmu, Anak
Muda! Apakah kau sudah dap menyerangku
barang tiga jurus saja?" pinta Raja Obat
kepada Panji yang kelihatan masih
ragu-ragu.
Panji tidak segera menjawab
pennintaan kakek itu. Pemuda itu malah
termenung memikirkan tantangan Raja Obat
atau tidak. Tiba-tiba saja temgiang
kembali ucapan gurunya, Eyang Tirta
Yasa.
"Panji, Cucuku. Kau tidak perlu
heran kalau kau menemui tokoh-tokoh tua
yang tanpa sebab-sebab yang jelas
tahu-tahu menantang bertarung.
Kebanyakkan tokoh-tokoh tua senang
menguji pendekar-pendekar muda yang
tangguh. Karena pertempuran dengan
jago-jago muda, dapat menghidupkan
kembali semangat hidup mereka dan seolah
merasa muda kembali," demikian salah
satu wejangan si Malaikat Petir.
Teringat pada ucapan gurunya, Panji
menatap Raja Obat itu yang berdiri lima
tombak di depannya dengan kening
berkerut Dan Panji melihat betapa
berserinya wajah Raja Obat setelah
melakukan sedikit pertarungan dengan
gadis jelita murid Raja Pedang Pemutus
Urat
"Baiklah, Kek! Aku bersedia!"
akhirnya Panji menuruti juga permintaan
Raja Obat
“Tapi perlu kuingatkan, kalau saat
ini aku sedang mengidap penyakit aneh
akibat terlalu banyak tenaga liar yang
tersimpan di tubuhku," tutur Panji
mengingatkan, karena biar bagaimanapun
dia tidak ingin kakek itu menjadi korban.
Panji sadar setinggi apa pun tenaga dalam
Raja Obat masih sepuluh kali lipat di
bawah tenaganya. Dan tenaga dalam di
tubuhnya tak dapat dikendalikan, dan
berbahaya bila dipancing tenaga orang
lain. Itulah yang dkemaskannya selama
ini.
"Hmm...," Raja Obat hanya bergumam
tak jelas. Meskipun telah menduga kalau
Panji menderita keracunan akibat
tenaganya sendiri, namun kakek itu sama
sekali tidak menyangka kalau tenaga liar
itu justru datang dari sumber yang
sesungguhnya. Dari gerhana bulan yang
dahsyat itu. Sayang Raja Obat itu tidak
sempat memeriksanya terlebih dahulu.
"Jurus pertama...!" teriak Panji
sambil melangkah maju dan langsung
melancarkan serangkaian jurus cakar naga
andalannya sesuai dengan permintaan Raja
Obat
Wuttt! Wuttt!
Dua kali sambaran cakar naga Panji
berhasil dielakkan dengan melakukan
lompatan jauh ke belakang. Hal itu
dilakukan Raja Obat karena ingin
menghindari sambaran angin dingin
dahsyat yang menyertai serangan pemuda
itu.
“Tunggu dulu, Anak Muda! Kau...
kau.... Pendekar Naga Putih...?" tanya
Raja Obat terperanjat dan minta berhenti
sebentar. Rupa-rupanya Raja Obat itu
tertarik dengan sambaran cakar naga
Panji yang selalu di iringi dengan
sambaran angin dingin yang menusuk
tulang.
"Benar, Kek! Orang-orang persilatan
menjulukiku Pendekar Naga Putih!" jawab
Panji polos tanpa merasa bangga sedikit
pun dengan julukan yang diberikan orang
kepadanya.
"He he he... ini baru namanya jodoh!
Sudah berbulan-bulan aku berkeliling
mencari Pendekar Naga Putih. Eh, tak
tahunya malah bertemu di sinl Bukankah
ini namanya jodoh!" ujar Raja Obat
terkekeh senang.
"Apa... apa maksud Kakek
mencariku?" tanya Panji berdebar. Dalam
hati kecilnya berharap kalau kakek sakti
itu mencarinya karena sudah mengetahui
penyakitnya.
"Namamu telah mengguncangkan dunia
persilatan, dan jadi buah bibir di
mana-mana. Bahkan orang setuaku ini
dibuatnya jadi penasaran ingin menjajal
sampai di mana kepandaian .pendekar muda
yang tersohor itu! He he he... akhimya
kita ketemu juga!" tandas Raja Obat itu
tanpa mempedulikan perasaan Panji.
"Baiklah! Sekarang bersiap-siaplah
melayani serangan keduaku!" ujar Panji
sudah tidak mau lagi meladeni ucapan
kakek itu yang sepertinya memang sangat
keranjingan ilmu silat.
"He he he... silakan... silakan,
Anak Muda! Kali ini aku memang harus
lebih berhan-hati karena yang kuhadapi
bukanlah tokoh sembarangan, melainkan
seorang pendekar muda yang kesohor!"
ujar Raja Obat terkekeh seperti mengejek
Panji.
"Baiklah, Kek! Jagalah seranganku
yang kedua Ini!" ujar Panji sambil
merendahkan kuda-kudanya.
***
DUA
"Hiiiaaat..!"
Tubuh Panji melesat cepat dan
langsung melancarkan beberapa sambaran
bertubi-tubi. Sepasang tangannya
membentuk cakar naga menyambar dahsyat
disertai desiran hawa dingin yang mampu
membekukan pembuluh darah.
Bettt! Bettt! Bettt!
"Aiiih...!"
Raja Obat berseru tertahan ketika
tiga kali sambaran cakar naga mencecar
tubuhnya. Kali ini Raja Obat benar-benar
terkejut bukan main. Kecepatan tangan
pemuda itu sungguh luar biasa sekali.
Kalau saja dia tidak cepat mengelak,
pastilah salah satu cakar pendekar muda
itu telah merenggut nyawanya. Bergegas
kakek sakti itu melompat lima tombak ke
belakang dengan wajah berubah pucat
Gerakan Panji pun tidak kalah cepat
Dikejarnya tubuh Raja Obat yang masih
melambung ke belakang.
Wuttt! Wuttt!
Dua kali sambaran cakar naga
menyambar cepat hingga menimbulkan suara
mencicit tajam.
Bukan main! Raja Obat berdecak kagum
menyaksikan kedahsyatan sambaran cakar
naga yang kecepatannya laksana kilat.
Sadar kalau tidak mungkin menghindar,
Raja Obat segera menjulurkan kedua belah
tangannya. Kini seluruh urat-urat
syarafnya menegang, menanti tibanya
sambaran cakar naga Panji.
"Hiaaah...!"
Piakkk! Plakkk!
"Uhhh...!"
Tangan-tangan kokoh dua pendekar
sakti itu beradu di udara hingga
menimbulkan suara menggelegar yang
memekakkan telinga!
Tubuh Raja Obat terpental keras
seketika! Tangan kakek itu kalah kuat
dengan tangan kekar Pendekar Naga Putih.
Tubuh renta itu terpelanting di tanah
berumput disertai keluhan pendek. Darah
segar pun merembes dari sela-sela bibir
Raja Obat yang memucat.
"Eyang..!"
"Kakek..!"
Panji dan Kenanga berteriak
serempak Keduanya segera memburu tubuh
Raja Obat yang terduduk lemas sambil
mendekap dadanya. Kedua pendekar muda
itu langsung bersimpuh di depan kakek
yang amat mereka segani.
"Eyang... maafkan aku! Aku... aku
telah bertindak terlalu kasar kepada
Eyang," ujar Panji terbata-bata penuh
sesal.
"He he he... tidak ada yang perlu
kumaafkan, Cucuku. Aku tidak apa-apa,
cuma dadaku terasa sedikit sesak Tidak
kusangka, tenaga dalammu sangat hebat
sekali Cucuku. Rasa-rasanya sepuluh
orang setingkat aku pun masih sulit
menandingi kekuatan tenaga dalammu,"
sahut Raja Obat tersenyum puas meskipun
ada sedikit rasa heran mengusik
benaknya.
"Yah, tapi tenaga dahsyat itu
pulalah yang akan membawaku kepada
kematian, Eyang" ucap Panji menunduk
sedih.
"Eh, mengapa begitu?" tanya Raja
Obat seraya mengamati wajah Panji penuh
selidik. Dia sudah tidak merasakan lagi
rasa sesak di dadanya.
"Meskipun sudah bisa kufihat dari
wajah dan sinar matamu, namun aku tidak
menduga kalau kekuatan yang meracuni
tubuhmu itu sampai sedemikian dahsyat!
Dapatkan kau ceritakan penyebabnya,
Cucuku?" pinta Raja Obat dengan
lemah-lembut seperti layaknya seorang
kakek kepada cucunya.
Pengalaman adu tanding dengan Panji
telah menarik perhatian kakek sakti itu.
Kekuatan tenaga dalam pemuda itu
benar-benar di luar dugaannya. Kejadian
langka inilah yang membuat Raja Obat
penasaran ingin mengetahui bagaimana
Pendekar Naga Putih sampai
mendapatkannya. Selama berpuluh-puluh
tahun mengembara, baru kali inilah Raja
Obat bertemu dengan manusia yang
memiliki tenaga dalam sehebat pemuda
ini.
"Ceritanya cukup panjang, Eyang
Sebaiknya kita masuk ke pondok dulu.
Nanti setelah Eyang sudah agak pulih,
baru akan kuceritakan," jawab Panji
seraya memapah Raja Obat masuk ke pondok
***
"Jadi tenaga liar yang mengeram di
tubuhmu adalah kekuatan alam dari tenaga
'Inti Gerhana Bulan'? Hmm... sebenarnya
tenaga liar itu tidak akan berakibat
buruk seandainya saat itu keadaanmu
tidak sedang terluka. Inti kekuatan
gerhana bulan yang merasuk ke dalam
tubuhmu menjadi tidak terkendali hingga
melebihi daya tahan manusia biasa
meskipun sudah beriatih selama seratus
tahun," ulas Raja Obat seusai mendengar
penuturan Panji tentang asal mula
mengendapnya tenaga liar dalam tubuhnya.
"Apakah akibat buruk kekuatan liar
ini bisa disembuhkan, Eyang?" tanya
Kenanga menyelak tak sabar.
"He he he.... Tuhan maha adil,
Cucuku. Setiap penyakit pasti ada
obatnya. Dan kita sebagai manusia harus
berusaha untuk mencari obat itu," jawab
Raja Obat itu sambil tersenyum.
Sebelumnya Raja Obat juga sudah diberi
tahu kalau antara muda-mudi itu terjalin
hubungan batin yang erat.
“Tapi, ke mana kira harus mencari
obatnya, Eyang?" sergah Panji balik
bertanya. Di wajah pemuda tampan itu
tersirat suatu kebulatan tekad untuk
mencari obat yang dapat menyembuhkan
penyakitnya. (Baca Pendekar Naga Putih
dalam episode: "Raja Iblis dari Utara").
"Hm.... Beberapa puluh tahun yang
silam, Guru Eyang pernah bercerita
tentang adanya tumbuhan mukjizat yang
amat banyak sekali khasiatnya. Tumbuhan
itu dapat menyembuhkan berbagai macam
penyakit Memperpanjang usia, dan juga
dapat melipat gandakan kekuatan tenaga
dalam. Tumbuhan itu berbunga sekali
dalam setiap seratus tahun. Nah, kalau
tidak salah pada bulan ketujuh hari kedua
nanti, tumbuhan itu akan kembali
berbunga. Itulah satu-satunya
kesempatanmu, Cucuku," kata Raja Obat
menutup ceritanya.
"Katakanlah tempat tumbuhan itu
berada Eyang. Di manapun tumbuhan itu
berada, aku akan mencarinya sampai
dapat!" desah Panji tidak sabar lagi.
"Hmm... tempat itu sangat jauh dan
berbahaya. Aku khawatir di saat tumbuhan
itu berbunga, berbondong-bondong tokoh
persilatan berdatangan ke sana, dan
belum lagi gangguan binatang-binatang
buas yang banyak berkeliaran. Kurasa kau
tidak akan sanggup menghadapi
rintangan-rintangan itu Cucuku." ujar
Raja Obat dengan sorot mata menerawang
jauh.
"Betapapun sulit dan berbahanya
tempat itu, aku akan tetap ke sana,
Eyang!" tandas Panji mantap.
"Baiklah, Cucuku!" sahut Raja Obat
itu setelah menghela napas panjang. Lalu
dijelaskannya tempat tumbuhan itu
berada.
"Kalau begitu, aku akan berangkat
sekarang juga, Eyang. Biarlah Adik
Kenanga menemani Eyang di sini selama aku
pergi," ucap Panji setelah mendapat
petunjuk tempat terdapatnya tumbuhan
itu.
Hari itu juga Panji segera
mempersiapkan segala keperiuannya
selama dalam perjalanan.
"Aku mau ikut, Kang...," pinta
Kenanga serak karena keharuan yang
memenuhi rongga dadanya. Air mata bening
bergulir perlahan membasahi pipi Kenanga
yang putih halus.
"Jangan, Adikku. Percayalah, aku
mampu menjaga diri. Dan begitu mendapat
bunga itu, aku akan kembali secepatnya.
Kau di sini saja menemani Eyang," ujar
Panji berusaha menahan keharuan.
Sebenamya dia pun tidak mau berpisah
dengan wanita yang dicintainya ini. Tapi
karena merasa lebih leluasa sendiri,
Panji terpaksa meneguhkan keputusannya.
Setelah mengecup lembut kening
kekasihnya, Panji pun bergegas
meninggalkan Bukit Gua Harimau.
***
Gunung Kembaran berdiri kokoh
dengan angkernya di kejauhan. Puncaknya
yang tinggi selalu diselimuti kabut
tebal. Lereng-lerengnya yang licin dan
curam membuat Gunung Kembaran
hampir-hampir tidak pernah didatangi
manusia.
Namun di pagi itu, tampak belasan
sosok mulai berlarian mendekati ke sana.
Rata-rata mereka berilmu tinggi. Ini
terlihat dari gerakan tubuh mereka yang
melenting ringan dan gesit merayapi
lereng gunung.
Setibanya di tepi sebuah sungai yang
mengalir dikaki gunung, orang terdepan
menghentikan larinya. Sepasang matanya
yang tajam mengamati daerah sekitarnya
penuh waspada.
"Hm... tampaknya kitalah orang
pertama yang tiba di tempat ini, Adi
Badil," ucap orang itu kepada kawannya
yang berdiri di sebelahnya.
"Kurasa juga begitu, Kang!" jawab
orang yang dipanggil Badil. Sementara
sepasang matanya pun ikut diedarkan
berkeliling mengawasi sekitarnya.
Dua betas orang yang termasuk dalam
rombongan itu ikut pula menghentikan
larinya. Mereka berdiri berjajar di
belakang dua laki-laki yang sepertirrya
menjadi pemimpin mereka.
"Kawan kawan! Kita istirahat di sini
sebentar sambil menunggu kedatangan
guru!" kata orang yang pertama itu
memberitahukan kepada dua belas
kawannya.
"Baik, Kakang Kanjawa!" jawab
mereka serempak.
“Badil! Bawa dua kawanmu dan periksa
sekitar tempat ini!" orang yang bemama
Kanjawa kembali memberi perintah.
Sepertinya belum merasa yakin kalau
keadaan di sekitar tempat itu aman.
"Baik, Kakang!" jawab Badil cepat.
Sesaat kemudian Badil segera pergi
menyelidiki sekitar daerah itu bersama
dua orang kawannya.
Setelah ketiga orang itu pergi,
Kanjawa melangkahkan kaki menuruni
tepian sungai. Seluruh wajahnya dibasuh
dengan air sungai yang sejuk dan jernih
itu. Ketika Kanjawa bergerak hendak naik
kembali, tibatiba dikejutkan oleh suara
jeritan yang membuat jantungnya berdebar
hebat. Secepat kilat Kanjawa melambung.
Alangkah kagetnya dia, begitu
mendapatkan sepuluh rekannya telah rebah
bermandi darah!
"Bangsat! Siapa yang telah berbuat
sekejam ini! Hayo keluar! Tunjukkan
dirimu!" teriak Kanjawa murka. Dengan
pedang terhunus, matanya beredar liar
merayapi seluruh pelosok tempat itu.
Namun tak satupun makhluk yang
dilihatnya. Apalagi menjawab
tantangannya.
Setelah beberapa saat menanti,
akhimya Kanjawa bergegas mendekati
kesepuluh mayat kawannya Wajah pemuda
itu mendadak pucat menyaksikan sekujur
kulit para korban berwama kehitaman. Dan
yang lebih mengherankan lagi, tak satu
pun tampak luka senjata-senjata di tubuh
mereka.
Kanjawa yang semula hendak
menyentuh tubuh salah seorang kawannya,
cepat menarik tangannya ketika melihat
kulit kawannya semakin menghitam.
"Racun..!" desis Kanjawa. Seketika
itu juga tubuhnya mencelat bangkit dan
bergegas menjauhi mayat kawannya.
Mengerikan! Tiba-tiba saja mayat-mayat
itu menciut. Makin lama makin mengecil
dengan diiringi suara mendesis aneh.
"Kkk... kelabang... penghisap...
darah...!" seru Kanjawa terbata-bata.
Tanpa sadar kedua kakinya mundur
beberapa langkah. Keringat dingin mulai
membasahi seluruh tubuhnya.
Berbarengan dengan ucapan yang
keluar dari mulut Kanjawa. Binatang yang
disebutnya tadi mulai bersembulan dari
dalam mayat kawan-kawannya.
Binatang-binatang menjijikkan itu
keluar dari lubang-lubang yang memenuhi
sekujur daging mayat-mayat itu.
Puluhan binatang berwarna merah
darah itu meninggalkan tubuh korbannya
dengan menimbulkan suara gemerisik
ribut. Rupanya binatang-binatang itu
sudah puas dengan pestanya di hari ini.
"He he he... kalian sudah puas,
anak-anak manis," mendadak terdengar
suara parau dan mendirikan bulu roma.
Seiring dengan lenyapnya suara tadi,
tahu-tahu sesosok tubuh melangkah
perlahan mendatangi tempat itu.
"Kelabang Merah...!" desis Kanjawa
sambil menji-lati bibirnya yang kering
Wajahnya semakin pucat ba-gai tak
dialiri darah. Sepasang matanya
membelalak ke arah sosok asing yang baru
datang.
Sosok yang dijuluki Kelabang Merah
itu benar-benar menyeramkan! Sekujur
kulitnya berwarna kemerahan mirip
binatang-binatang peliharaannya.
Kepalanya gundul pelontos, berperawakan
gemuk bulat dan hanya mengenakan cawat
hitam sebagai penutup auratnya. Di kiri
kanan pinggangnya tersampir sebuah
bumbung bambu tempat menyimpan
kelabang-kelabang berbisa
peliharaannya.
"He he he... yang mampus itu
saudara-saudaramu, ya?" ucap Kelabang
Merah tanpa rasa berdosa sedikit pun!
Kanjawa diam membisu. Dia hanya
mampu mengangguk di hadapan Kelabang
Merah itu. Rasa kagetnya masih belum
hilang seluruhnya.
"Hei! Apakah kau tuli? Aku tanya
apakah mereka saudara seperguruanmu?"
teriak Kelabang Merah mengulang
pertanyaannya. Rupanya lelaki berkepala
pelontos ini tak melihat anggukan kepala
Kanjawa.
"Bbb... benar!" dengan susah payah
akhimya Kanjawa dapat juga mengeluarkan
suaranya.
"He he he... anak-anakku tadi lapar
sekali. Sengaja kulepaskan mereka, biar
mencari makan sendiri. Kau tentunya
tidak keberatan, bukan?" tanya orang Itu
seenaknya.
"Eh, ya... ya...! Aku tidak
keberatan!" sahut Kanjawa seperti
membeo.
"He he he... sudah kuduga kalau kau
pasti orang baik! Eh... tapi,
anak-anakku yang lain masih belum dapat
bagian, apakah kau mau memberi mereka
makan?" tanya Kelabang Merah lembut
Meskipun begitu, suaranya tetap
terdengar kasar dan menyeramkan.
Mendengar permintaan Kelabang
Merah, wajah Kanjawa semakin pucat dan
gemetar ketakutan. Ia memang pernah
mendengar dari gurunya, tentang seorang
datuk sesat yang berjuluk Kelabang
Merah. Meskipun tergolong tokoh sesat
tetapi memiliki sifat yang berlawanan
dengan penampilannya. Tokoh ini selalu
bersikap lemah-Iembut kepada
orang-orang yang ditemuinya. Dan yang
lebih aneh lagi, laki-laki berkulit
merah ini sama sekali tidak menganggap
membunuh manusia untuk memberi makan
binatang-binatang peliharaan sebagai
perbuatan keji.
"Ah, tidak! Jangan! Aku... aku tidak
mau!" ujar Kanjawa tersentak dari
lamunannya sambil melangkah mundur
begitu mendengar permintaan aneh
Kelabang Merah. Karena yang dimaksud
memberi makan oleh Kelabang Merah adalah
merelakan dirinya dimangsa
kelabang-kelabang merah penghisap
darah. Karuan saja Kanjawa ketakutan.
"Eh, mengapa kau tidak mau? Kau
senang ya kalau melihat anak-anakku mati
kelaparan? Mengapa kau pelit sekali?"
bentak Kelabang Merah gara-gara
permintaannya ditolak Tokoh aneh ini
menuduh Kanjawa pelit karena dia tidak
bersedia dimangsa binatang piaraannya.
Rasa-rasanya hanya orang bosan hidup
saja yang mau menuruti permintaan gila si
Kelabang Merah.
Selagi kedua orang itu bersikeras
hendak memaksakan keingjnannya
masing-masing, mendadak tiga sosok tubuh
beriari mendatangi mereka. Ketiga orang
yang tidak lain adalah Badil dan dua
orang kawannya menjadi terkejut
mendapatkan teman-temannya telah
menjadi mayat Dan mereka semakin
terkejut melihat Kanjawa mundur
ketakutan dihampiri orang berkepala
botak yang hanya mengenakan cawat hitam
saja.
"Kakang Kanjawa...!" teriak Badil
sambil berlari menghampiri Kanjawa.
Orang yang bernama Badil itu semakin
terkejut ketika melihat wajah kakak
seperguruannya pucat pasi bagai tak
dialiri darah.
"Siapa... siapa orang itu, Kakang?"
tanya Badil terheran-heran bercampur
kaget melihat Kanjawa ketakutan
berhadapan dengan orang berkulit
kemerahan yang hanya memakai cawat
hitam.
"Dia... Kelabang Merah...," sahut
Kanjawa. Rupa-rupanya kedatangan Badil
dan dua orang kawannya membuat
keberanian Kanjawa timbul kembali.
"He he he... rupanya anak-anakku
sedang bernasib mujur hari ini," ujar
Kelabang Merah begitu melihat kedatangan
tiga orang lagi. "Hayo, anak-anak,
makanan kalian sudah tersedia."
Sambil berkata demikian, Kelabang
Merah segera membuka tutup bumbung yang
tergantung di pinggang kirinya.
"Hahhh!"
Badil dan dua orang kawannya
serentak melompat mundur dengan wajah
memucat. Sekilas saja mereka pun tahu
kalau binatang-binatang itu pastilah
sangat beracun. Kini mereka mulai dapat
menduga penyebab kematian kawan-kawan
mereka dan mengapa Kanjawa demikian
ketakutan kepada laki-laki gemuk
berkepala botak ini.
"Keparat! Jadi rupanya kau yang
telah membunuh saudara-saudara kami,
hah? Kubunuh kau, Bangsat Gundul!"
bentak Badil marah. Sekejap saja
pedangnya telah teihunus di tangan.
"Hiaaat..!"
Tanpa mengenai rasa takut Badil yang
tidak mengenai tokoh berkepala gundul
itu langsung saja membabatkan pedangnya
ke arah Kelabang Merah.
Dua orang lainnya pun bergegas
mencabut senjata maang-masing. Dan tanpa
dikomando lagi, keduanya segera membantu
Badil. Pedang di tangan mereka menderu
tajam, mencecar titik kematian laki-laki
bercawat hitam itu.
"Adi, jangan...!" Kanjawa yang
mengetahui kalau tokoh itu bukan
tandingan mereka berteriak mencegah.
Namun sayang, teriakan Kanjawa
terlambat! Pada seat itu juga
makhluk-makhluk sebesar ibu jari yang
berwarna merah sudah melesat dari
bumbung bambu yang dipegang laki-laki
berkulit kemerahan.
Sent! Sent! Sent!
Puluhan kelabang merah meluncur
deras menuju tiga orang adik seperguruan
Kanjawa yang tengah melesat menerjang.
Gerakan puluhan binatang menjijikkan itu
demikian cepat sehingga Badil dan kedua
orang lainnya tak sempat lagi
menghindar. Maka....
Crabbb! Crabbb!
"Aaa...!"
Sekejap saja puluhan kelabang merah
telah lenyap ke dalam tubuh tiga
laki-laki itu. Cairan merah memercik ke
mana-mana diiringi dengan robohnya tubuh
mereka. Badil dan dua orang lainnya
berkelojotan meregang nyawa!
Gemetar seluruh tubuh Kanjawa
melihat ketika kawannya yang tengah
sekarat itu. Rasa gentar dan kemarahan
bercampur menjadi satu. Terdengar
keluhan lirih dari kerongkongan Kanjawa.
Sesaat kemudian, wajahnya merah padam!
Sepasang matanya berputar liar bagai
orang hilang pikiran.
"Iblis laknat! Kubunuh kau...!"
rasa takut yang semula menguasai hati
Kanjawa lenyap seketika. Disertai
bentakan menggeledek, tubuhnya mencelat
sambil menyabetkan pedangnya ke leher
Kelabang Merah.
Wukkk! Wukkk!
Dua buah serangan beruntun yang
dilancarkan Kanjawa dengan mudah
dielakkan Kelabang Merah. Dan saat itu
juga tangan lawan terulur ke arah
perutnya.
Brettt!
"Uhhh...!"
Jari-jari tangan datuk sesat yang
berkuku panjang dan runcing itu tidak
mengenai sasaran ketika Kanjawa menarik
kakinya mundur. Tapi tak urung bajunya
sempat tercabik kuku-kuku runcing itu.
"He he he... mengapa tergesa-gesa,
Anak Muda? Tunggulah sebentar! Setelah
anak-anakku selesai mengeringkan darah
kawanmu, kau pun akan kebagian giliran!"
ujar Kelabang Merah terkekeh kegirangan.
Kanjawa yang kemarahannya sudah
mencapai ubun-ubun, tak mampu menjawab
ejekan lawannya. Bagaikan banteng
teriuka, lawannya kembali diteriang.
Kelabang Merah hanya tertawa cekakakan
menantikan datangnya serangan Kanjawa.
***
TIGA
"Yiiaaat…"
Wukkk!
Tubuh Kelabang Merah yang bulat
gemuk berlompatan lincah menghindari
sabetan pedang Kanjawa. Sambil terus
berloncatan, lelaki berkulit kemerahan
ini sengaja memperdengarkan tawanya
untuk membuat Kanjawa tak mampu
memusatkan perhatian pada permainan
jurus-jurus pedangnya.
Memasuki jurus kesepuluh, dengan
penuh perhitungan tangan kanan Kelabang
Merah dijulurkan ke atas. Datuk sesat itu
bermaksud memapak tusukan pedang lawan.
Pada saat yang bersamaan, tangan kirinya
menusuk dengan jari-jari terbuka
mengarah ulu hati Kanjawa.
Plakkk! Crebbb!
"Aaakh...!"
Pedang di tangan Kanjawa terpental
ketika lengan-nya tertangkis lengan
Kelabang Merah yang keras bagaikan baja.
Dan pada saat yang bersamaan, jari-jari
yang berkuku runcing menembus perut.
Tubuh Kanjawa terhuyung ke
belakang! Darah segar menyembur dari
luka menganga di perutnya. Dan dengan
mata membelalak, Kanjawa mendekap luka
yang terus menyemburkan darah segar.
Sesaat kemudian tubuhnya pun roboh dan
berkelojotan untuk kemudian diam tak
bergerak-gerak lagi. Sekujur kulit
Kanjawa perlahan menghitam ketika racun
yang berada pada kuku-kuku jari lawannya
mulai bekerja.
"He he he.... Ayo, Anak-anak. Kita
pergi dari tempat ini!" ucap Kelabang
Merah sambil terkekeh seram.
Beberapa saat kemudian, dari mayat
Badil dan dua orang kawannya mulai
bermunculan puluhan kelabang yang masih
berlumuran darah! Dan bagai anak-anak
yang penurut, puluhan kelabang itu pun
melesat ke dalam bumbung bambu yang telah
diletakkan di atas tanah oleh
majikannya.
Sambil terus mengeluarkan tawanya
yang seram, Kelabang Merah menutup
bumbung dan menggantungkan kembali di
pinggangnya. Dan tanpa menoleh lagi,
laki-laki berkulit kemerahan itu
berlenggang begitu saja. Seolah-olah
tidak ada kejadian apa-apa di tempat itu.
"Berhenti!"
Kelabang Merah menahan langkah
kakinya ketika mendengar bentakan yang
ditujukan kepadanya. Sesaat kemudian,
laki-laki aneh itu kembali meneruskan
langkahnya tanpa mempedulikan teriakan
itu.
Belum lagi kakinya melangkah jauh,
sesosok bayangan yang berambut
riap-riapan berkelebat melewati
kepalanya. Dan dengan sebuah putaran
yang indah, sosok itu mendaratkan
beberapa tombak di depan Kelabang Merah.
"He he he... mau apa kau menyuruhku
berhenti? Apakah kau pun mau ikut-ikutan
menyumbang darah?" ujar Kelabang Merah
terkekeh menyebalkan.
"Hm... apakah binatang-binatang
peliharaanmu yang menjijikkan itu suka
dengan darah orang setua aku?" sahut
orang berambut riap-riapan mengejek
Meskipun nada bicaranya terdengar
lembut, namun sepasang mata laki-laki
itu berkilat-kilat. Jelas sekali kalau
laki-laki yang berusia kurang lebih
sekitar enam puluh lima tahun itu tengah
menahan luapan amarahnya.
"He he he... sebenarnya sih tidak
suka. Apalagi dagingmu sudah alot dan
berbau busuk! Tapi kalau memang kau mau
memberi anak-anakku makan, aku pun tak
keberatan," sahut Kelabang Merah sambil
tetap tertawa terkekeh.
"Benar-benar rakus sekali
binatang-binatang peliharaanmu.
Sampai-sampai darah empat belas orang
muridku pun masih belum cukup membuat
mereka kenyang!" ucap laki-laki berambut
riap-riapan dengan nada yang semakin
meninggi.
"Eh, jadi mereka murid-muridmu!
Wah... sungguh beruntung sekali kau,
Kisanak. Murid-muridmu itu baik sekali
Mereka berlomba-lomba menyumbangkan
darahnya pada anak-anakku!" Laki-laki
aneh itu sama sekali tidak merasa
terkejut ataupun ketakutan. meskipun
tahu kalau yang menghadangnya itu adalah
guru dari orang-orang yang telah
dibunuhnya. Malah dia tertawa-tawa
kegirangan. Seolah-olah sama sekali
tidak merasa bersalah kepada orang tua di
hadapannya.
"Tentu saja aku sangat beruntung,
Iblis Gundul! Eh, omong-omong aku merasa
lapar sekali sekarang! Sudikah kau
berikan peliharaanmu untuk kujadikan
pengisi perut?" sadar kalau si gundul
otaknya sudah tidak waras akibat
racun-racun yang dipelajarinya, maka
kakek berambut riap-riapan itu pun
mencoba mengimbanginya.
"Apa? Kau ingjn menyantap
anak-anakku? Tidakkah kau sadar, Orang
Tua Gila! Dengar baik-baik! Permintaan
gilamu itu sudah cukup menjadi alasanku
untuk membunuhmu!" bentak Kelabang Merah
yang menjadi marah mendengar permintaan
lawan bicaranya.
"Hm... apakah kau pun sadar gundul
gila? Dengan memberikan darah-darah
muridku kepada binatang jelekmu telah
membuatku ingin membunuhmu? Nah sekarang
kau boleh pilih! Serahkan binatang
jelekmu atau kepalamu kuremukkan dengan
tongkat ini!" ancam kakek berambut
riap-riapan dengan emosi yang
meledak-ledak.
"Eh, oh... mengapa begitu? Tidak!
Kedua-duanya aku tidak mau!" teriak
Kelabang Merah membentak marah.
"Kalau kau tidak mau, aku akan
memaksanya! Hmh!" sambil mendengus
kasar, kakek berambut riap-riapan
mengulurkan tangannya mencengkeram
batok kepala Kelabang Merah yang
pelontos.
Wuttt!
"Eit, tidak kena!" ejek Kelabang
Merah sambil menarik tubuhnya ke
belakang.
"Huh! Jangan takabur dulu, Gundul!
Coba kau tahan ini! Heaaat...!" Disertai
teriakan nyaring, kakek berambut
riap-riapan memutar tongkat baja
hitamnya hingga menimbulkan angin
menderu-deru.
Werrr! Werrr!
"Eh!"
Kelabang Merah berseru kaget ketika
tahu-tahu saja ujung tongkat lawan telah
mencecar tenggorokan-nya! Cepat
laki-laki berkulit merah itu melesat ke
belakang. Setelah bersalto beberapa kali
di udara, sesaat kemudian kakinya sudah
mendaratkan beberapa tombak di depan
kakek berambut riap-riapan itu.
"Siapa kau sebenarnya, Orang Tua
Gila! Sepertinya aku pemah mengenai
jurus-jurus tongkatmu?" tanya Kelabang
Merah agak terkejut. Rupanya mata si
gundul baru teibuka begitu melihat
kehebatan jurus-jurus tongkat baja
lawan.
"Buka matamu lebar-Iebar, Gundul
Tengikj Ketahuilah! Saat ini kau
berhadapan dengan Tongkat Pencabut
Nyawa! Sekarang bersiaplah kau menerima
kematian!" bentak orang tua berambut
riap-riapan.
"He he he... jangan takabur Tongkat
Pemukul Anjing! Apa kau kira aku takut
melihat tongkat bututmu? Ayo majulah!"
seru Kelabang Merah berusaha menutupi
rasa terkejutnya.
Setelah berkata demikian, laki-laki
aneh itu pun segera melepaskan tutup
bumbung bambu yang menggantung di
pinggang kirinya. Dari sini saja sudah
dapat ditebak kalau kali ini Kelabang
Merah bukanlah tokoh sembarangan.
"Hm... kalau begitu tahanlah
tongkat pemukul anjingku ini, Anjing
Gundul!" Begitu ucapannya selesai, orang
tua yang berjuluk Tongkat Pencabut Nyawa
segera melejit ke udara. Tongkatnya
berputaran di atas kepala, sehingga
membuat daerah sekitar tempat itu bagai
dilanda angin topan dahsyat.
Puluhan kelabang penghisap darah
yang dilepaskan si gundul buyar tersapu
angin putaran tongkat baja hitam!
Melihat binatang peliharaannya tak mampu
menembus dinding angin yang diciptakan
Tongkat Pencabut Nyawa. Kelabang Merah
segera berseru nyaring seraya
melontarkan pukulan beracunnya
bertubi-tubi.
Pertempuran pun semakin seru dan
ramai! Dua tokoh sakti dari aliran yang
bertolak belakang itu saling terjang
dengan ganasnya. Keduanya sudah
mengeluarkan ilmu andalan
masing-masing. Maka dapat dibayangkan
kedahsyatan pertempuran kedua tokoh
sakti itu!
Sampai lima puluh jurus, keduanya
masih terlihat imbang Namun memasuki
jurus kelima puluh dua, Tongkat Pencabut
Nyawa semakin memperhebat serangannya.
Batu-batu kerikil ikut beterbangan
terbawa putaran angin dahsyat yang
diciptakan tongkat bajanya.
Wuttt!
"Aaaih...!"
Kelabang Merah melompat ketika
tongkat baja hitam membabat pinggangnya.
Sabetan tongkat lawan memang berhasil
dielakkan. Namun pada saat tubuh
Kelabang Merah masih mengambang di
udara, tahu-tahu Tongkat Pencabut Nyawa
melompat sambil melakukan dua kali
tendangan dengan menggunakan tongkatnya
sebagai penunjang!
Desss! Desss!
"Huaaakh!"
Darah segar kontan bermuncratan
dari mulut laki-laki berkulit kemerahan
hingga memercik ke pakaian lawannya.
Datuk aneh itu terpental jauh ketika dua
tendangan beruntun Tongkat Pencabut
Nyawa bersarang telak di dada! Tubuh
tambun itu mencium bumi hingga
menimbulkan suara berdebuk keras!
"Ha ha ha... bersiaplah kau menerima
kematianmu, Kelabang Busuk!" bentak
laki-laki berambut meriap terbahak.
Sesaat kemudian tongkat baja hitamnya
terayun deras ke arah kepala gundul yang
tengah tertunduk itu.
Wuttt!
Dapatlah dipastikan kalau sebentar
lagi kepala gundul itu pastilah akan
pecah berhamburan terhantam tongkat baja
yang berat itu. Namun pada saat yang
menegangkan, secepat kilat tangan kanan
Kelabang Merah berkelebat melemparkan
bumbung bambu dari pinggang kanannya.
Berbarengan dengan itu, laki-laki
berkulit kemerahan segera bergulingan
menghindari ancaman maut.
Tongkat Pencabut Nyawa sempat
terkejut melihat benda yang dilemparkan
Kelabang Merah. Sekilas dilihatnya kalau
benda yang dilempar lawan adalah bumbung
kelabang merah. Kakek berambut
riap-riapan tidak berani mengambil
risiko Apabila bumbung bambu itu pecah
berantakan akibat hantaman tongkatnya,
bukan tidak mungkin akan ada beberapa
kelabang penghisap darah yang terlontar
ke tubuhnya.
Bumram!
Debu mengepul tinggi ketika tongkat
baja hitam menghantam batu sebesar
kepala gajah yang berada di samping kiri
Kelabang Merah. Sedangkan bumbung bambu
yang tadi dilemparkan oleh Kelabang
Merah, tergeletak di atas rerumputan
dalam keadaan masih tertutup rapat
Tongkat Pencabut Nyawa menoleh ke
arah lawannya bergulingan. Namun temyata
di tempat itu sudah tak terlihat bayangan
Kelabang Merah lagi.
"Keparat gundul! Sampai ke ujung
langit pun kau akan kukejar!" teriak
Tongkat Pencabut Nyawa ketika menyadari
kalau lawan telah melarikan diri.
Tongkat Pencabut Nyawa memungut
bumbung bambu tempat penyimpanan
kelabang penghisap darah. Lalu
diletakkan ke atas batu yang
permukaannya datar.
"Hm... binatang pembawa celaka ini
harus dimusnahkan agar tidak meminta
korban lagi," ujar Tongkat Pencabut
Nyawa geram. Diambilnya batu sebesar
kepala kerbau dan ditimpakan tepat di
atas bumbung. Dan....
Prakkk..!
"Mampuslah kau binatang celaka!"
ucapnya tersenyum puas. Setelah
memusnahkan kelabang berbisa, Tongkat
Pencabut Nyawa pun bergegas meninggalkan
tempat itu menuju Puncak Gunung
Kembaran.
"Hm... kau berbicara dengan siapa,
Kisanak?" tiba-tiba terdengar teguran
yang membuat Tongkat Pencabut Nyawa
menghentikan langkahnya. Dan sebehim
gema teguran itu lenyap, dari kejauhan
tampak sesosok tubuh berlari mendatangi.
"Ah, rupanya Ki Bagasti yang
datang!" seru Tongkat Pencabut Nyawa
dengan wajah berseri.
"Eh, bukankah itu mayat
murid-muridmu, Jiwana?" tanya orang yang
baru datang agak terkejut
"Benar, Ki!" sahut Tongkat Pencabut
Nyawa yang temyata bemama Ki Jiwana.
Dengan singkat, kakek berambut
riap-riapan menceritakan semua
peristiwa yang baru saja terjadi.
"Hhh... setelah bertahun-tahun
menghilang, ternyata dia mulai
menebarkan bencana lagi. Tapi syukurlah
kau telah membunuh semua binatang-bi-
natang peliharaannya. Kalau tidak,
bisa-bisa lebih ramai lagi keadaan di
sana," ujar Ki Bagasti menimpali ucapan
Ki Jiwana.
"Ha ha ha... jadi kedatanganku
kemari juga karena dongeng itu?" tanya Ki
Jiwana tersenyum.
"Hm.... Bunga Abadi bukan hanya
sekadar dongeng, Jiwana. Menurut guruku
dulu bunga itu benar-benar memang ada.
Kurasa, gurumu pun pasti sudah
menceritakannya padamu. Kalau tidak,
mengapa kau berada di sini juga?" tebak
Ki Bagasti.
"Yah, seperti juga kau, aku pun
ingin melihat seperti apa sebenamya
tumbuhan itu?" sahut Ki Jiwana tertawa
tergelak.
"Eh, jadi niatmu ke sini hanya
sekadar ingin melihat tumbuhan itu? Apa
kau tak berniat memilikinya, Jiwana?
Ingat, khasiat tumbuhan mukjizat itu
bukan hanya dapat menyembuhkan berbagai
penyakit ataupun sekadar penawar racun
saja, apa kau tidak tahu?" desak Ki
Bagasti yang merasa heran ketika
mendengar Ki Jiwana hanya ingin melihat
tumbuhan yang pada masa itu telah membuat
geger kaum persilatan.
"Aku tidak pernah bermimpi untuk
mendapatkannya, Ki? Lagi pula
kepandaianku kalah jauh jika
dibandingkan dengan ilmumu?" ujar Ki
Jiwana merendah.
"Hm... kau terlalu merendah,
Jiwana. Tak seorang pun tokoh persilatan
yang tidak gentar mendengar kehebatan
Tongkat Pencabut Nyawa. Dan siapa pula
yang tidak pernah mendengar berapa
banyak tokoh persilatan yang bertekuk
lutut di bawah kesaktianmu," ucap Ki
Bagasti sambil mengulap-ulapkan tangan
bagaikan orang yang tengah bersajak.
"Ha ha ha... katakanlah apa yang kau
ucapkan itu benar. Tapi sehebat-hebatnya
Tongkat Pencabut Nyawa, mana mungkin
dapat mengatasi kepandaian Ki Bagasti!"
Ki Jiwana balas memuji sambil tertawa
lepas.
"Aaah sudahlah! Apakah kau tidak
ingin cepat sampai ke tempat itu?" ucap
Ki Bagasti sambil mengibaskan tangannya
pertanda tak ingin meneruskan
pembicaraan itu.
"Ayolah!" sahut Ki Jiwana sambil
mengjkuti langkah sahabatnya. Lalu kedua
tokoh sakti itu pun melangkah beriringan
menyeberangi sungai yang memisahkan
Gunung Kembaran dengan dunia luar.
***
Hembusan angin bersilir lembut
mengiringi lang-kah seorang gadis muda
berwajah cantik. Gadis itu melangkah
hang sambil menoleh ke kiri-kanan jalan
yang dilaluinya. Sepertinya dia begitu
menikmati pemandangan di sekelilingnya.
Rambutnya yang ikal berhiaskan pita
biru muda pada bagjan tengah kepalanya.
Kalau melihat dari pakaian yang
dikenakannya yang berwana biru muda itu,
sudah pasti kalau gadis cantik itu
Ayuninglah adanya. (Untuk jelasnya
mengenai keberadaan gadis Ini silakan
baca serial Pendekar Naga Putih dalam
episode: "Mencari Jejak Pembunuh").
Baru saja gadis itu hendak memasuki
hutan kecil di sebelah Timur Lereng
Gunung Kembaran, tiba-tiba terdengar
bentakan keras yang membuat langkahnya
terhenti. Seketika bergegas Ayuning
bersembunyi di batik semak-semak
terdekat
"He he he... rupanya hari ini kita
benar-benar mujur. Lihat, Kang! Ada
bidadari cantik menghampiri kita," ujar
seorang lelaki bermuka hitam seraya
tertawa terkekeh hingga memperlihatkan
giginya yang kotor. Sepasang matanya
jelalatan melahap sekujur tubuh Ayuning
mulai dari ujung rambut hingga ke ujung
kaki.
"Hm... hati-hati, Adi! Saat ini,
banyak orang sakti melintasi hutan ini.
Kurasa gadis cantik ini bukan mangsa
empuk," bisik kawannya memperingatkan
"Ayo, lebih baik kita kembali ke
tempat guru. Siapa tahu beliau
mencari-cari kita," lanjut kawannya
lagi.
"Ah, Kakang, mengapa tergesa-gesa.
Bukanka guru sedang beristirahat Kupikir
tak ada salahnya kalau kita mencari
hiburan barang sejenak," ucap si muka
hitam membandel.
"Jangan gegabah, Adi! Bukankah tadi
sudah ku katakan kalau di tempat ini
banyak berkumpul tokoh tokoh sakti
berkepandaian tinggi. Lagi pula guru pur
pernah berpesan agar kita harus
membatasi semua tindakan agar tidak
terjadi kesalahpahaman," kawannya yang
lebih tua masih berusaha mengingatkan
kalau tindakannya si muka hitam bisa
merugikan mereka sendiri.
“Tapi, Kakang. Alangkah sayangnya
kalau gadis secantik itu dibiarkan lewat
begitu saja?" si muka hitam masih mencoba
membantah.
"Ayolah!" ujar kawannya jengkel.
Ditariknya lengan si muka hitam untuk
segera melupakan nafsu bejatnya.
Ayuning hanya mengawasi tingkah
kedua orang itu tanpa beranjak dari
persembunyiannya. Gadis berpakaian biru
muda itu sempat mencuri dengar
sedikit-sedikit apa yang sedang
diributkan kedua laki-laki itu.
"Hm... sepertnya di sini telah
berkumpul tokoh-tokoh persilatan yang
rupanya juga berminat pada tumbuhan
mukjizat Wah kalau begini bisa ramai
nih!" gumam gadis itu sambil tersenyum
membayangkan seandainya dia bertemu
dengan tokoh-tokoh persilatan yang
memburu tumbuhan mukjizat itu.
Berpikir demikian, gadis itu pun
bergegas mempercepat langkahnya menuju
Gunung Kembaran. Karena menurut
selentingan yang gurunya pernah dengar,
konon di Gunung Kembaran itulah adanya
tumbuhan mukjizat Tumbuhan Ajaib yang
memiliki berbagai keistimewaan. Itulah
sebabnya mengapa guru Ayuning menyuruh
gadis ini menyelidiki kebenaran berita
itu. Sekaligus juga, menimba pengalaman
dalam dunia persilatan.
"Hm... mengapa kelihatannya
sepi-sepi saja? Apakah para tokoh itu
belum datang?" gumam Ayuning keheranan
tatkala mendapati hutan itu masih sepi.
Menurut perhitungan gurunya, saat ini
tokoh-tokoh persilatan pasti sudah
berkumpul di sana, tapi temyata tak
seorang pun terlihat.
"Ah, mungkin karena waktunya masih
dua hari lagi? Atau mungkin mereka masih
dalam perialanan?" gumam Ayuning
menghibur dirinya sendiri.
Baru saja Ayuning hendak beranjak
dari persembunyiannya, tiba-tiba
terdengar siulan panjang yang melengking
tinggi. Belum lagi gema siulan itu
lenyap, mendadak berkelebat beberapa
sosok bayangan menuruni lembah di bawah
tempat persembunyian Ayuning.
Ayuning menajamkan pandangannya
mengamatj keempat sosok berseragam hijau
yang akhirnya berhenti tepat di
bawahnya. Jarak dataran yang memisahkan
mereka sekitar enam atau tujuh tombak
tingginya
Ayuning menarik napas lega ketika
orang-orang itu tidak menyadari
kehadirannya di tempat itu.
"Hm... kalian sudah temukan tempat
itu?" tanya sebuah suara yang sepertinya
berasal dari mulut seorang nenek tua.
"Sudah, Guru! Gua itu ada di lereng
sebelah Selatan. Dan, ada beberapa tokoh
yang sudah berdatangan ke sana," lapor
salah seorang di antara sosok berpakaian
serba hijau singkat Suaranya bening,
mirip suara seorang gadis remaja.
Merasa penasaran, Ayuning
menjulurkan kepalanya, untuk memastikan
kalau mereka itu terdiri dari para
wanita. Baru saja gadis itu menjengukkan
kepalanya sedikit, tiba-tiba dikejutkan
oleh suara nenek berbaju hijau hingga
terpaksa menarik kepalanya.
"Mari, kita pergi!" seru nenek yang
juga berpakaian serba hijau. Hanya saja
pakaiannya terbuat dari bahan yang bagus
dan mahal. Setelah berkata demikian,
nenek itu pun segera melesat.
Nenek itu kemudian meneruskan
perjalanan dikawal empat orang gadis
manis berpakaian hijau. Perempuan tua
ini temyata guru mereka.
"Guru, mengapa Guru berkata terlalu
keras? Bukankah pembicaraan kita bisa
didengar saingan-saingan kita?" ujar
salah seorang gadis berpakaian hijau
mengingatkan gurunya agar tidak
berbicara terlalu keras.
"Hm... dengar, Murid Bodoh! Kita
memang telah menemukan gua itu. Tapi
apakah kau tahu apa yang ada di
dalamnya?" sang Guru balas bertanya
sambil menatap wajah muridnya tajam.
"Tidak, Guru. Kami belum memeriksa
isi dalam gua," jawab gadis berpakaian
hijau itu gugup.
"Bodoh! Tentu saja aku tidak segila
itu menyuruh kalian masuk ke gua!" sahut
gurunya ketus sambil terus berlari
mendaki Lereng Gunung Kembaran. Meskipun
Lereng Gunung Kembaran rata-rata curam
dan licin, namun sepertinya semua itu
bukan rintangan yang berarti bagi kelima
wanita tadi. Dari sini saja sudah dapat
diketahui betapa hebamya kepandaian
wanita-wanita berpakaian hijau itu.
***
EMPAT
"Maaf Guru, kami masih belum paham
maksud Guru?" tanya seorang murid
lainnya karena memang belum mengerti
maksud ucapan gurunya.
Meskipun kata-katanya terdengar
ketus dan galak, namun sesungguhnya
nenek itu sangat menyayangi keempat
muridnya. Dan ketika mendengar
pertanyaan muridnya, sang Guru menoleh
sambil tersenyum memandang mereka
bergantian.
Wanita tua berpakaian serba hijau
segera berhenti beriari. Keempat
muridnya pun melakukan hal yang sama
sambil memandang wajah gurunya penuh
tanda tanya.
"Dengarlah, Murid-Murid Bodoh!"
ujar nenek itu dengan nada suara yang
lebih lunak. "Kalau aku menyuruh kalian
memasuki gua itu, sama artinya aku
membunuh kalian. Kalian tahu, di dalam
gua itu banyak binatang-binatang
berbisa."
Setelah berkata demikian, sang Guru
pun kembali meneruskan larinya,
mendengar penjelasan sang Guru wajah
keempat wanita itu berubah pucat.
Untunglah tempo hari mereka hanya
menyelidiki di luar gua. Kalau saja waktu
itu mereka nekat masuk, pastilah mereka
tidak akan kembali.
Setelah saling pandang sejenak,
keempat wanita berpakaian serba hijau
menyusul guru mereka yang sudah melesat
beberapa tombak di depan.
"Sekarang aku baru tahu alasan guru
berseru keras tadi," ujar seorang wanita
yang usianya paling tua di antara mereka
berempat
"Mengapa?" tanya salah seorang
temannya masih belum mengerti.
"Ah, bodoh kau!" sahut yang lainnya
menimpali. "Guru ingin memancing orang
yang mendengar pembicaraan kita. Kalau
guru tidak salah perhitungan, orang yang
mendengar pembicaraan kita pasti akan
mengikuti kita."
"Lalu guru akan membiarkan orang
lain lebih dahulu masuk ke gua. Nah,
kalau cerita tentang binatang-binatang
berbisa itu benar, kita tahu binatang
macam apa yang ada di dalam itu dan sampai
di mana kekuatan bisanya," ujar yang
seorang lagi ikut menerangkan.
"Ahhh, benar-benar cerdik sekali
guru kita," sahut wanita yang bertanya
tadi tersenyum malu. Kini dia baru
mengerti maksud guru mereka sebenarnya.
"Ayo, cepat kita susul guru! Kalau
sampai terlam-at bisa-bisa kita kena
damprat!" ucap wanita yang paling tua
mengajak teman-temannya segera pergi.
"Hm... di sanakah tempatnya?" tanya
sang Guru sambil menunjuk tempat yang
dimaksud begitu keempat muridnya
berhasil menyusul.
"Benar, Guru!" jawab murid tertua.
"Ayo, kita cari tempat berlindung,
biar kita intai dari jauh," ujar sang Gum
sambil mengedarkan pandangan mencari
tempat berlindung.
Setelah beberapa saat mengintai di
tempat persembunyian. Akhimya muncul
tiga sosok manusia mendekati lubang gua.
Dari gerakan ketiga pendatang itu, bisa
ditebak kalau mereka bukan tokoh
sembarangan. Gerakan mereka rata-rata
begitu lincah dan ringan.
"Hm... tampaknya sudah ada yang
kemari," kata nenek berpakaian hijau
kepada keempat muridnya.
"Siapakah ketiga orang itu, Guru?"
tanya murid termuda sekaligus paling
cantik di antara saudara-saudara
seperguruannya.
"Entahlah! Tapi yang jelas
kepandaian mereka tidak di bawah
kepandaian kalian. Bahkan mungkin orang
yang paling depan itu jauh lebih lihai,"
jawab sang Guru menerangkan.
Setibanya di depan gua, ketiga
laki-laki itu menghentikan langkahnya
sejenak. Ketiganya memandang sekeliling
seolah ingin memastikan kalau di sekitar
gua hanya ada mereka bertiga.
''Kakang, rasanya suasana di sini
mencurigakan?" ujar orang termuda dari
ketiga laki-laki itu. Sorot matanya yang
tajam berkeliling waspada. Nalurinya
yang tajam membaui sesuatu yang
mencurigakan.
"Hm... apa alasanmu berpikiran
demikian, Adi Tantra?" tanya salah
seorang berwajah bulat dan cacat mata
kirinya.
"Sekarang coba kau pikir, Kakang!
Masakan kita yang belum lama mendengar
selentingan tentang Bunga Abadi dapat
menemukan tempat ini. Ke mana
tokoh-tokoh yang memang sudah mengincar
sejak dulu?" ucap orang termuda
mengemukakan alasan kecurigaannya.
"Alasanmu cukup masuk akal, Adi
Tantra. Tapi bukankah tumbuhan ajaib itu
baru akan berbunga dua hari lagi? Bukan
tidak mungkin orang-orang itu baru
datang pada hari yang tepat." Kali ini
orang tertua yang angkat bicara.
Wajahnya yang penuh otot-otot, mengejang
ketika mengutarakan pendapatnya. Di
tangan kanannya yang buntung terpasang
kaitan dari baja putih yang ujungnya
runcing. Selain berfungsi sebagai
pengganti tangan kanan, kaitan baja itu
sekaligus menjadi senjata andalannya.
"Nah! Rasanya aku lebih setuju
dengan alasan, Kakang!" sahut orang
kedua sambil mengacungkan jempolnya
dengan senyum terkembang.
"Ya! Tapi itu bukan berarti kita
bisa berbuat seenaknya," ujar laki-laki
termuda yang rupanya masih tetap
mempertahankan kecurigaannya.
“Tentu saja! Aku sendiri berharap
kita bertiga tetap waspada. Kurasa
alasan Kakang Banjaran tepat" tukas
orang yang kedua tetap tak mau kalah.
"Sudahlah! Tidak usah ribut-ribut!"
sergah orang tertua yang bemama Banjaran
sambil mengibaskan tangan. Rupanya
laki-laki itu agak kesal melihat kedua
temannya bertengkar. "Yang penting kita
harus masuk ke gua ini sebelum orang lain
melihat kita!"
Setelah berkata demikian, Banjaran
menggerakkan tangannya agar kedua
kawannya mengikuti langkahnya.
Namun baru beberapa tombak mereka
melangkah, tiba-tiba melesat beberapa
sosok bayangan yang langsung menghadang
di mulut gua.
Banjaran memandang dengan mata
melotot kepada lima laki-laki yang
menghadang di mulut gua. Gigi-giginya
bergemeletuk menahan kegeraman yang
sudah naik ke ubun-ubun.
"Hmh! Lima Siluman Bukit Setan! Apa
maksud kalian menghadang kami? Apakah
kalian sudah bosan hidup?" bentak
Banjaran dengan wajah merah padam
menahan amarah. Banjaran memang
pemberang. Laki-laki berlengan buntung
itu mudah menurunkan tangan kejam
meskipun hanya karena soal sepele.
"He he he.... Tiga Bajak Sungai
Gandir! Apakah kalian pikir Bunga Abadi
itu milik nenek moyang kalian?" bentak
orang tertua dari Lima Siluman Bukit
Setan tak kalah gertak. Rata-rata mereka
bertopeng buruk Sehingga suaranya
terdengar agak bergema. Tak seorang pun
tokoh-tokoh persilatan yang pernah
melihat wajah asli Penguasa Bukit Setan
itu.
"Hm... kalau begitu, tahanlah
senjataku ini! Hiaaah!" Banjaran yang
sudah meledak-ledak kemarahannya segera
membentak sambil menyabetkan kait
bajanya.
"Nah! Ini baru namanya laki-laki!
Jangan hanya pintar mengumbar bacot
saja!" sahut orang tertua dari Siluman
Bukit Setan seraya meloloskan cambuk
yang melilit pinggangnya.
Ctarrr! Ctarrr!
Ujung cambuk di tangan salah satu
kawanan tokoh sesat itu meledak-ledak di
angkasa hingga menimbulkan suara
memekakkan telinga.
Wuttt!
Kaitan baja Banjaran nyaris
menyambar leher. Tentu saja lawannya pun
tidak tinggal diam. Lecutan ujung
cambuknya mematuk-matuk dahsyat ke
berbagai titik kematian laki-laki
berlengan buntung itu. Banjaran yang
semula maju menyerang, terpaksa
menghindar ke samping. Sambaran ujung
cambuk yang disertai kepulan asap hanya
mengenai tempat kosong!
Banjaran temyata cukup cerdik!
Laki-laki berlengan buntung itu segera
memutar badannya disertai sambaran
kaitan baja yang mengancam lambung la-
wan. Suara kaitan itu berdesing tajam
menandakan kuatnya tenaga dalam yang
mendorong serangan.
Wuttt!
"Hai, luput!" ejek Siluman Bukit
Setan yang segera melompat mundur begitu
sambaran kait baja Banjaran hampir
menyerempet perutnya. Hati Banjaran
makin panas, sambaran-sambaran kait
bajanya makin diperhebat
Perang tanding kedua tokoh itu
berlangsung sengit! Keduanya saling
serang menggunakan jurus-jurus maut
untuk saling menjatuhkan secepat
mungkin. Namun, sampai dua puluh tujuh
jurus pertarungan masih berlangsung
imbang!
Sementara itu, empat kawanan
Siluman Bukit Setan lain sudah
mengeroyok dua adik seperguruan
Banjaran. Tentu saja pertempuran menjadi
berat sebelah. Pertarungan dua lawan
empat itu segera dikuasai empat kawanan
Siluman Bukit Setan!
Di tengah ramainya pertarungan itu,
mendadak muncul seorang kakek berusia
sekitar enam puluh lima tahun yang
dikawal dua orang pengikutnya.
"He he he... lihatlah, Guru! Delapan
anjing buduk sedang bertempur
memperebutkan sepotong tulang!" ujar
pengiring si laki-laki tua mengejek
Orang itu adalah laki-laki si bermuka
hitam yang pernah berniat mengganggu
Ayuning.
Mendengar ejekan yang menyakitkan
itu, oran orang yang tengah bertempur
segera menghentikan serangan. Kedelapan
orang itu serentak menoleh ke arah orang
yang melontarkan hinaan tadi.
Kakek itu tersentak kaget! Sungguh
tak disangka kalau muridnya lancang
menghina orang yang sedang bertarung
Sayang, semuanya sudah telanjur. Kini
mau tak mau dia harus ikut
mempertanggungjawabkan kata-kata
muridnya.
"Ah, kau keterlaluan, Adi. Nah,
sekarang kau lihat akibat kecerobohanmu.
Mereka mengecam kita!" bentak kawannya
yang merasa kesal dengan kecerobohan si
muka hitam.
"Ah, mengapa kita harus takut?
Habisi saja tikus-tikus itu!" sahut
orang si bermuka hitam seenaknya.
Kawannya hanya dapat mengurut dada dan
tak mau melayani lagi.
"Kukira orang yang berani
menghinaku itu raja iblis yang memiliki
dua belas tangan! Tak tahunya hanya kutu
busuk yang berteriak-teriak karena
mukanya terbakar!" geram Banjaran sambil
menatap si muka hitam dengan sikap
menghina.
"He he he... kau benar, Kisanak!
Rasanya kakiku sudah gatal ingin
meremukkan kepala kutu busuk kurang ajar
itu!" ancam orang tertua dari Lima
Siluman Bukit Setan tak kalah geram. Dan
begitu ucapannya selesai, siluman
bertopeng itu pun segera menerjang
sambil mengirimkan dua tendangan ke arah
kepala si muka hitam. Tampaknya Siluman
Bukit Setan ingin membuktikan
ancamannya.
Namun sebelum tendangan siluman
bertopeng mengenai sasaran, mendadak
berkelebat sesosok bayangan memapak
sambaran kaki itu dengan kekuatan tenaga
dalam dahsyat!
Tahan...!"
Plakkk! Plakkk!
"Heiit..!"
Disertai teriakan keras kedua
telapak tangan bayangan itu dua kali
berturut-turut menepis tangan orang
bertopeng buruk Siluman Bukit Setan
memekik tertahan. Penguasa Bukit Setan
ini sama sekali tidak menduga kalau
serangan balik lawan demikian cepat.
Tubuh bayangan itu tergetar mundur
akibat berbenturan dengan tendangan
orang bertopeng ini. Sejenak dia terdiam
untuk mengatur napasnya yang agak
memburu. Kedua lengannya terasa
kesemutan sehabis menangkis tendangan
yang hampir saja merenggut nyawa si muka
hitam. Sedangkan orang pertama dari Lima
Siluman Bukit Setan juga tersentak ke
belakang akibat tangkisan bayangan itu,
namun dengan sekali berkelebat, orang
bertopeng buruk ini sudah mendarat empuk
di dekat keempat kawannya.
"Hm... rupanya kau, Setan Jari
Seribu. Kau mau membela kutu busuk itu?"
tegur orang tertua dari Lima Siluman
Bukit Setan.
"He he he... Siluman Bukit Setan!
Bagaimana aku bisa berpangku tangan
melihat muridku dalam bahaya?" jawab
sosok yang temyata berjuluk Setan Jari
Seribu tetap tenang meskipun tahu kalau
lawan yang dihadapi bukanlah orang
sembarangan. Tokoh sakti ini sengaja
memamerkan kehebatannya agar tidak
dipandang rendah Lima Siluman Bukit
Setan.
"Ha ha ha... pantas saja si muka
pantat kuali berani kurang ajar! Tak
tahunya si muka gosong murid maling tua
hina dina ini!" ujar Banjaran tertawa
terbahak-bahak.
Mendengar perkataan Banjaran, yang
lainnya pun ikut tertawa bergelak sambil
memegang perut saking mulesnya.
"Diam!" bentak Setan Jari Seribu
menggelegar. Wajahnya berubah semerah
udang rebus karena darahnya benar-benar
sudah sampai ke ubun-ubun.
"Hei! Kau menghinaku maling hina
dina, tapi kau tak sadar siapa kau
sebenarnya? Kau tak lebih dari buaya
buruk pemakan bangkai!" teriak Setan
Jari Seribu membalas hinaan Banjaran
yang juga menjadi Kepala Bajak Sungai
Gandir.
"Hm... lalu apa maumu, Maling Tua?"
tantang Tantra orang termuda dari tiga
Bajak Sungai Gandir sambil melangkah
maju.
"He he he... kau tanya aku mau apa?
Dengariah! Aku ingin menggaruk mukamu
yang seperti serabi sampai rata! Ha ha
ha..." balas Setan Jari Seribu. Selesai
berkata demikian kakek itu dan dua orang
muridnya tertawa terpingkal-pingkal
sampai terbungkuk-bungkuk memegang
perutnya.
"Bangsat! Kau makanlah golokku ini!
Hiaaat...!" Tantra yang sudah terbakar
amarahnya segera melompat maju sambil
mengayunkan golok ke arah lambung Setan
Jari Seribu yang masih
terpingkal-pingkal.
Wuttt!
"Eit! Luput, Muka Serabi. Ha ha
ha...!" sambil terus tertawa, Setan Jari
Seribu berkelit menghindari bacokan
golok Tantra hingga mengenai tempat
kosong!
Tentu saja Tantra yang terns diejek
semakin mendidih darahnya. Dengan kalap
orang termuda dari Penguasa Sungai
Gandir memperhebat sambaran-sambaran
goloknya.
Setan Jari Seribu yang sudah
mendengar kelihaian Bajak Sungai Gandir
tidak berani gegabah. Tubuhnya bergerak
lincah menghindari sambaran mata golok
sambil sesekali tangannya berkelebat
bergantian melakukan serangan balasan.
Bettt! Bettt!
"Uhhh...!"
Terdengar keluh tertahan ketika
tubuh Tantra nyaris tersambar dua
pukulan Setan Jari Seribu. Cepat-cepat
pemuda itu melompat mundur sambil
melintangkan goloknya dengan sikap
waspada menjaga serangan susulan lawan.
Tapi orang termuda dari Tiga Bajak Sungai
Gandir ini kecele.Ternyata Setan Jari
Seribu hanya berdiri memandangnya penuh
ejekan.
"Guru...!"
Setan Jari Seribu tersentak kaget
mendengar teriakan muridnya. Laki-laki
tua itu bertambah kaget lagi melihat dua
muridnya tengah berusaha mati-matian
meloloskan diri dari keroyokan Empat
Siluman Bukit Setan.
Brettt!
Crakkk!
"Aaakh...!"
Terlambat! Saat itu juga dua golok
pengeroyok menembus perut kedua murid
Setan Jari Seribu yang bernasib sial.
Keduanya langsung roboh bermandi darah!
Sesaat keduanya masih sempat mengerang
sambil berkelojotan menahan rasa sakit
Namun akhirnya terkapar di tanah. Tewas!
"Biadab kau Lima Siluman Bukit
Setan! Kalian harus menebus nyawa kedua
muridku! Aku belum puas kalau tidak
menghirup darah kalian!" Setan Jari
Seribu berteriak-teriak penuh
kemarahan. Sesekali dia mendengus dan
menggeram. Rupanya orang tua itu
benar-benar terpukul atas kematian dua
murid kesayangannya.
"Heaaa...!"
Wuttt! Wukkk!
Entah dari mana asalnya tahu-tahu
dua bilah belati sudah tergenggam di
tangan kanan dan kiri Setan Jari Seribu.
Senjata tajam itu berkilat-kilat
menyambar kerongkongan dua tokoh sesat
yang tadi telah membunuh kedua muridnya,
menyadari kedahsyatan sambaran kakek
yang sudah kalap itu, keduanya segera
bergulingan menjauh sambil melemparkan
beberapa buah jarum beracun. Dan....
Trang! Trang!
Jarum-jarum beracun rontok
tersampok sepasang belati Setan Jari
Seribu. Sesaat kemudian kakek yang sudah
kalap itu kembali mengejar dua Siluman
Bukit Setan yang sudah kembali berdiri
tegak Dan, secara tiba-tiba, orang tua
itu merendahkan kuda kudanya sambil
menggerakkan sepasang senjatanya secara
bersilangan.
Brettt! Brettt!
"Aaah...!"
Luar biasa kecepatan serangan Setan
Jari Seribu Dua buah serangan yang sudah
diperhitungkan masak itu tidak sia-sia.
Mata belatinya berlumuran cairan darah
milik korbannya.
Dua orang Siluman Bukit Setan
terperangah kaget Celana mereka robek di
bagian bawah hingga menggores kulit.
Meskipun tidak terlalu dalam, namun
goresan luka terasa sangat perih.
"Ha ha ha... sebentar lagi kalian
akan menggelepar seperti ayam
disembelih, kalian telah terkena racun
ganas dari mata belatiku! Tertawalah
sepuas kalian sebelum ajal datang
menjemput! Ha ha ha!" Setan Jari Seribu
tertawa bergelak sambil menengadahkan
kepalanya karena telah berhasil menebus
kematian muridnya yang terbunuh oleh
kedua orang itu.
"Bangsat kau, Maling Tua! Cepat
serahkan obat penawarnya! Kalau tidak,
tubuhmu akan kucincang dan kujadikan
santapan anjing hutan!" bentak orang
tertua dari Lima Siluman Bukit Setan yang
mengkhawatirkan keselamatan kawannya.
"He he he... kalian jangan bermimpi
untuk mendapatkan obat penawar! Aku akan
menghancurkan obat penawar ini!" sahut
Setan Jari Seribu sambil menunjukkan
botol sebesar ibu jari kaki orang dewasa
yang digenggam tangan kanannya.
Tiba-tiba Setan Jari Seribu membanting
botol itu ke tanah dan menginjak-nya
kuat-kuat.
Krakkk!
Seketika botol sebesar ibu jari itu
hancur berantakan tak berbentuk lagi.
Tiga Siluman Bukit Setan yang masih segar
bugar menjadi kalap. Dengan penuh
kemarahan meluap, serentak tiga
laki-laki bertopeng itu melompat sambil
mengayunkan senjata.
Ctarrr! Ctarrr!
Cambuk kulit binatang milik orang
pertama Penguasa Bukit Setan dilecutkan
ke udara. Suaranya meledak-ledak
memekakkan telinga disertai asap tipis
yang mengepul setiap kali terdengar
lecutan keras!
Dua orang kawannya tidak mau
ketinggalan. Pedang yang sejak tadi
sudah diloloskan dari sarungnya
berkelebat mancecar titik kelemahan
lawan. Rupa-rupanya Tiga Siluman Bukit
Setan ini benar-benar ingin membuktikan
ucapannya untuk mencincang Setan Jari
Seribu yang telah melukai dua orang
saudara mereka dengan senjata beracua
Sehingga kedua orang saudaranya tewas
dengan tubuh menghitam. Mengerikan!
Tentu saja Setan Jari Seribu maklum
kalau ancaman itu bukanlah sekadar
gertak kosong belaka. Kakek sakti ini
memang sudah sering mendengar kekejaman
Kelima Siluman Bukit Setan yang tak
pernah berkedip jika membunuh
musuh-musuhnya.
Di tengah sibuknya Setan Jari Seribu
menghindarkan senjata ketiga lawan,
tiba-tiba terdengar jerit kematian
merobek udara.
"Aaa...!"
Berbarengan dengan teriakan itu,
sesosok tubuh muncul dari mulut gua
dengan berlumur darah! Berpuluh-puluh
lubang besar kecil menghiasi sekujur
tubuhnya.
"Hah...! Ke... kenapa kau?" seru
keempat orang yang melihat tubuh orang
tertua dari Tiga Bajak Sungai Gandir
berkelojotan dari mulut gua, serentak
orang yang tengah bertarung menghentikan
gerakan mereka masing-masing. Wajah
keempat orang tokoh itu berubah pucat
ketika akhirnya Banjaran terbunuh oleh
binatang beracun penghuni gua. Rupanya
tiga Bajak Sungai Gandir yang sudah tidak
sabar, mencuri kesempatan masuk ke dalam
gua ketika ketiga Siluman Bukit Setan
bentrok dengan Setan Jari Seribu. Dan
inilah akibatnya!
“Gila!" teriak orang tertua dari
ketiga Lima Siluman Bukit Setan sambil
melompat mundur dengan wajah pucat Jauhi
tubuh mayat itu! Bau tubuhnya bisa
membuat kalian keracunan!" teriaknya.
memberi peringatan kepada kedua
saudaranya.
Terlambat! Ketiga orang lainnya
terhuyung mundur dengan kedua kaki
goyah! Wajah-wajah mereka teriihat pucat
bagai tak dialiri darah!
"Huaaak...!"
Keempat tokoh persilatan golongan
hitam itu memuntahkan isi perutnya yang
terasa diaduk-aduk oleh bau busuk luar
biasa. Napas mereka pun mulai mem-buru.
"Celaka! Kita keracunan!" teriak
Setan Jari Seribu dengan wajah pucat
ketika menyadari kalau dirinya telah
menghirup racun maut itu. Wajahnya yang
pucat mulai berubah kehijauan seperti
halnya kulit mayat Banjaran. Beberapa
saat kemudian, tubuh Setan Jari Seribu
pun tewas. Seluruh kulit tubuhnya
berubah kehijauan.
"Aaah...!" Tiga orang Siluman Bukit
Setan sangat terkejut melihat perubahan
kulit tubuh Setan Jari Seribu Mereka
dicekam ketakutan. Tapi mereka agak
keheranan ketika dirasakan dirinya
temyata tidak mengalami apa-apa.
"Hm... aku tahu sekarang. Kita tidak
separah Setan Jari Seribu karena kita
memakai topeng karet. Racun yang kita
hirup lebih sedikit, jika dibandingkan
dengan racun yang tersedot oleh Setan
Jari Seribu!" ujar orang tertua di antara
mereka dengan perasaan lega.
"Hiiih... ayo kita tinggalkan
tempat celaka ini! Bisa-bisa kita jadi
bangkai di sini!" ujar orang tertua dari
Siluman Bukit Setan lagi sambil
berjalan.
“Tapi bagaimana dengan mayat dua
teman kita?" tanya satunya sambil
memandang mayat dua orang saudara mereka
yang telah keracunan.
“Tinggalkan! Tubuh merekapun telah
keracunan.” Jawab orang tertua sambil
terus melangkah meninggalkan tempat itu.
***
LIMA
Angin pegunungan bersilir lembut
menyejukkan tubuh. Pagi itu, seorang
pemuda berjubah putih berdiri tegak
menatap Puncak Gunung Kembaran yang
menjulang di hadapannya. Pemuda tampan
itu adalah Panji alias Pendekar Naga
Putih yang baru saja tiba di Kaki Gunung
Kembaran.
Tanpa mempedulikan keadaan di
sekeliling, Panji terus menatap puncak
gunung yang selalu diselimuti kabut
tebal. Pemuda berjubah putih ini berdiri
tegak di atas batu besar di tepi sungai
yang memisahkan gunung itu dengan dunia
luar.
"Hm... inilah Gunung Kembaran yang
dimaksud Raja Obat Menurut beliau, Bunga
Abadi ada di gua sebelah Selatan lereng
gunung. Mudah-mudahan kedatanganku
belum terlambat! Karena menurut Raja
Obat, sebentar lagi pasti banyak sekali
tokoh-tokoh persilatan yang berkumpul di
tempat ini," gumam Panji sambil terus
mengamati puncak gunung berkabut tebal
di kejauhan.
Setelah agak lama memperhatikan,
pemuda tampan itu pun segera melintasi
sungai di depannya. Tubuhnya bergerak
lincah di antara tonjolan batu-batu yang
banyak tersebar di permukaan sungai. Tak
lama kemudian, Panji sudah berada di
seberang sungai di Kaki Gunung Kembaran.
Panji mengedarkan pandangannya
berkeliling kererimbunan hutan di
hadapannya. Pemuda itu menarik napas
lega melihat keadaan sekitar hutan itu
tampak sunyi. Hanya desir angin dan
gemercik air sungai yang terdengar
bagaikan nyanyian alam yang menemani
Panji.
Sesaat kemudian, Pendekar Naga
Putih sudah melesat mendaki lereng
gunung yang licin dan berbatu-batu.
Tanpa kesulitan sedikit pun pemuda
berjubah putih itu berkelebat melintasi
lereng gunung.
"Ah, ternyata tak begitu sulit untuk
menemukan gua yang dimaksud Raja Obat!"
gumam Panji ketika dari kejauhan sudah
melihat mulut gua yang dicarinya.
Pemuda itu berdiri di tanah darar
yang agak tinggi, sehingga dengan mudah
dapat mengawasi sekitar daerah itu. Dahi
Panji berkerut dalam ketika melihat
puluhan orang berkerumun di mulut gua.
"Hm... sudah banyak juga
tokoh-tokoh persilatan yang berkumpul di
sini," desah Panji menghela napas berat
Panji pun bergegas melesat ke tempat di
mana para tokoh itu berkumpul, karena
tidak ingin kedahuluan.
"Pendekar Naga Putih...!" beberapa
orang tokoh yang berada di sekitar mulut
gua berseru serentak ketika melihat
kehadiran seorang pemuda berjubah putih.
"Wah, rupanya pendekar muda yang
tersohor itu pun menghendaki Bunga Abadi
itu!" gumam seorang laki-laki berkumis
tebal menghela napas kecewa. Laki-laki
itu agak putus asa karena dengan
kehadiran Pendekar Naga Putih, akan
memperkecil peluangnya untuk merebut
Bunga Abadi itu.
"He he he... bakal ramai nih!" ujar
laki-laki gemuk pendek sambil
mengelus-elus dagu dengan mata
berbinar-binar. Menurut perhitungannya
sebentar lagi di sekitar gua akan ramai
dikunjungi orang.
Tanpa mempedulikan sorot mata
tokoh-tokoh persilatan yang mengarah
kepadanya, Panji terus melangkah lesu ke
arah pohon besar yang tidak terlalu jauh
dari mulut gua. Dengan tenang pemuda itu
menyandarkan badannya di bawah pohon.
"Kakang Panji..!"
Tiba-tiba terdengar dua orang gadis
cantik yang serempak memanggil pemuda
itu. Setelah saling tatap, keduanya
sama-sama tersentak kaget karena tidak
saling kenal.
Kedua gadis cantik itu saling tatap
penuh selidik untuk beberapa saat
lamanya. Siapa lagi kedua orang gadis itu
kalau bukan Ayuning dan Sundari atau yang
lebih dikenal dengan julukan Dewi Tangan
Merah. Rupa-rupanya mereka pun sudah
berada di tempat itu.
Ayuning memasang muka cemberut
setelah tahu ada gadis lain yang juga
mengenai pemuda itu. Sesaat kemudian,
gadis berpakaian biru itu pun bergegas
mendekati Panji yang tengah mengawasi
dirinya. Sejenak Pendekar Naga Putih
mengemtkan kening ketika mengenali gadis
yang memanggilnya.
"Ayuning...!" desah Panji menyebut
nama gadis cantik murid Dewa Tanpa
Bayangan itu lirih.
Sesaat setelah menatap Ayuning,
Sundari pun melangkah ke arah Panji.
Wajah gadis cantik berpakaian serba
merah itu tampak berseri gembira karena
memang sudah lama tidak berjumpa dengan
Pendekar Naga Putih.
"Ayuning, apakah gurumu menugaskan
kau untuk mendapatkan Bunga Abadi? Atau
kau datang dengan keingjnanmu sendiri?"
tanya Panji begitu Ayuning telah berdiri
di depannya.
Gadis cantik yang galak itu sama
sekali tidak menjawab pertanyaan Panji.
Ayuning hanya berdiri memandang wajah
Panji sambil memperiihatkan senyum
manisnya.
"Ah, kasihan. Rupanya gadis cantik
ini sudah tuli hingga sama sekali tidak
mendengar pertanyaanku!" goda Panji
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kurang ajar kau, Kakang! Kau bilang
aku sudah tuli!" bentak gadis itu sambil
mencibir. Tangan kanannya bergerak
menampar bahu pemuda itu pelan.
"Habis aku sebal dengan sikapmu.
Ditanya malah melotot seperti orang
hilang akal!" ujar Panji membiarkan
bahunya ditampar Ayuning. Pemuda ini
tahu, kalau pukulan itu hanyalah tingkah
manja gadis yang telah merasa akrab
dengan dirinya.
Panji yang tengah asyik berbicara
dengan Ayuning, tidak memperhatikan lagi
ketika seorang gadis cantik berpakaian
serba merah datang menghampirinya. Serta
merta gadis itu menegur dengan suaranya
yang bening dan merdu.
"Apa kabar, Kakang Panji?"
"Adik Sundari...!" seru Panji
ketika mengenali gadis berpakaian merah
yang menegumya. "Kau... kau juga
kemari? Apakah kau bersama gurumu?"
Pendekar Naga Putih berseru gembira
begitu melihat Sundari yang telah
berdiri sambil tersenyum di sebelah
Ayuning.
"Aku datang bersama guruku!" Kau
sendiri dengan siapa?" Sundari balas
bertanya sambil melirik ke arah Ayuning.
"Aku datang sendiri. Oh, ya,
perkenalkan, ini Ayuning Temanku ini
juga seperti aku, datang sendiri ke
sini!" sahut Panji seraya menoleh ke arah
Ayuning.
Kedua gadis itu sama-sama tersenyum
begitu tahu kalau mereka orang
segolongan. Kedua pendekar wanita itu
cepat sekali akrab. Sepertinya mereka
memang cocok satu sama lain.
"Waaa...!"
Panji, Sundari dan Ayuning
sama-sama menoleh ke arah mulut gua. Dari
situlah teriakan ngeri tadi berasal. Dan
tak lama kemudian tampak dua sosok tubuh
yang berlumuran darah melangkah keluar
dengan gerakan limbung. Mereka adatah
adik seperguruan Banjaran yang bernasib
sama dengan kakaknya.
"Hm... siapa mereka? Apakah mereka
tidak tahu kalau gua itu penuh binatang
berbisa?" gumam Panji ketika melihat
kejadian yang mengerikan itu.
"Entahlah! Tapi yang jelas keduanya
pasti dari golongan hitam. Mereka nekat
masuk gua karena takut keduluan orang
lain," jawab Sundari sambil menatap
orang yang tengah berkelojotan meregang
nyawa itu.
Gadis berpakaian serba merah
bergidik menyaksikan kedua orang itu
keluar dari mulut gua dalam keadaan
mengerikan.
"Man kita lihat lebih dekat!" ajak
Ayuning kepada Panji dan Sundari.
Setelah berkata demikian, gadis
berpakaian biru muda itu sudah
melangkahkan kaki mendekati mulut gua.
"Ayuning! Jangan!" seru Sundari
sambil melompat dan Iangsung menangkap
pergelangan tangan gadis itu.
"Mayat itu beracun. Kita tidak boleh
mendekat kalau tidak ingin menghirup
racun yang menyebar melalui uap mereka.
Bisa-bisa kau akan mengalami nasib yang
sama seperti mereka kalau kau menghirup
racun itu!"
"Aaah...!" Ayuning terkejut
mendengar keterangan Sundari. Wajahnya
berubah pucat seketika. “Terima kasih
Sundari. Untunglah kau ingatkan aku.
Kalau tidak, mungkin aku bisa seperti
mereka."
"Hm... lalu mengapa para tokoh
lainnya belum juga bergerak? Apakah
mereka juga khawatir dengan
binatang-binatang berbisa itu?" tanya
Panji kepada Sundari. Pendekar Naga
Putih berharap kalau gadis berpakaian
serba merah yang telah banyak makan asam
garam dunia persilatan itu dapat
menjelaskannya.
"Entahlah! Sepertinya mereka saling
menunggu!"
jawab Sundari.
"Hm... kalau begitu biarlah aku coba
masuk!" ucap Panji yang kontan membuat
kedua gadis itu serentak memandangnya
pucat!
"Kakang, begitu pentingkah Bunga
Abadi untukmu?" desak Sundari yang tidak
tahu persoalan yang dihadapi pemuda itu.
Sedangkan Ayuning yang lebih tahu
daripada Sundari, hanya memandang pemuda
itu penuh kecemasan. (Baca serial
Pendekar Naga Putih dalam episode:
"Mencari Jejak Pembunuh").
"Sangat penting sekali, Adik
Sundari! Nantilah kau akan kuceritakan
karena terlalu panjang kalau kuceritakan
sekarang. Yang jelas saat ini aku sedang
mengidap penyakit yang hanya dapat
disembuhkan dengan Bunga Abadi," jawab
Panji singkat tapi jelas.
"Ahhh... kalau begitu kau harus
hati-hati, Kakang! Di dalam gua itu
banyak binatang berbisa!" ucap Sundari
mengjngatkan.
“Terima kasih, Adik Sundari. Aku
sudah dibekali sebutir obat yang dapat
membuat semua jenis binatang berbisa tak
akan berani menggangguku Tapi sayang,
obat ini hanya sebutir. Jadi aku tidak
bisa mengajak kalian berdua," ucap Panji
agak menyesal.
“Tidak apa, Kakang! Asal kau kembali
dengan selamat, itu sudah lebih dari
cukup bagj kami! Bukankah begitu
Sundari?" kata Ayuning sambil
memalingkan wajahnya ke arah Dewi Tangan
Merah yang mengangguk sambil tersenyum
getir.
“Tentu, Ayuning'" sahut Sundari
sambil menyentuh bahu gadis berbaju biru
muda yang juga tersenyum.
Meskipun tersenyum, namun hati
kedua gadis itu sebenarnya cemas luar
biasa.
"Nah, aku pergi dulu, jagalah diri
kalian baik-baik!" ujar Panji seraya
melangkahkan kakinya kearah mulut gua.
"Hati-hati Kakang!" seru keduanya
serempak.
***
Panji melangkah perlahan mendekati
mulut gua. Obat penangkal racun
pemberian Raja Obat ditelannya ketika ia
mendekati mulut gua. Tokoh-tokoh
persilatan yang berkerumun di mulut gua
segera memberi Jalan kepada Pendekar
Naga Putih. Tokoh-tokoh itu kagum pada
keberanian Panji.
"Hm... Pendekar Naga Putih. Rupanya
pendekar tersohor ini pun sudah tak sabar
mendapatkan Bunga Abadi itu! Mungkinkah
pemuda lihai ini berhasil?" ujar seorang
laki-laki tua berusia sekitar enam puluh
lima tahun dan berambut putih
riap-riapan. Orang itu tidak lain adalah
Tongkat Pencabut Nyawa yang rupanya juga
telah berada di tempat itu.
"Sulit untuk memastikannya! Biarpun
pendekar muda itu memiliki kepandaian
setinggi langit belum tentu dia dapat
lolos dari ancaman binatang-binatang
berbisa yang sangat ganas itu,"
laki-laki di sebelahnya menyahuti. Dia
tidak lain adalah Ki Bagasti, ikut
mengawasi Pendekar Naga Putih yang
sedang mendekati mulut gua.
Kira-kira dua tombak dari mulut gua,
Panji menarik napasnya dalam-dalam.
Sesaat kemudian, selapis kabut bersinar
putih keperakan mulai menyelimuti
sekujur tubuh Pendekar Naga Putih.
"Ck ck ck... hebat! Itu pasti ilmu
Tenaga Sakti . Gerhana Bulan' yang
terkenal!" seru nenek berpakaian serba
hijau yang dikawal empat wanita cantik
yang sama-sama berpakaian serba hijau.
Kaki Panji mulai melangkahkan memasuki
mulut gua yang sempit dan gelap.
Untunglah seluruh tubuhnya mengeluarkan
sinar putih keperakan sehingga walaupun
remang-remang cahaya itu cukup menerangi
jalannya. Baru saja lima tombak pemuda
itu melangkah, tiba-tiba terdengar suara
bergemuruh di sekeliling gua.
Sambil terus melangkah, Pendekar
Naga Putih menyilangkan kedua tangannya
di depan dada. Panji berjaga-jaga atas
segala kemungkinan. Namun sampai sejauh
ini pemuda itu masih belum menemukan
sesuatu yang membahayakan jiwanya. Panji
pun terus menelusuri lorong gua dengan
hati-hati dan waspada.
Cittt! Cittt!
Seluruh otot di tubuh Panji menegang
ketika mendengar suara mencicit yang
bergemuruh disertai suara kepakan sayap
ratusan kelelawar beracun. Sesaat tu-
buhnya gemetar dan berkeringat ketika
tenaga saktinya bergolak dari pusamya.
"Ingat, Cucuku! Jangan sekali-kali
kau lepaskan pukulan selagi berada di
dalam gua! Yakinkan dirimu. Bila kau
sudah menelan obatku niscaya tak seekor
pun binatang beracun yang akan
mengganggumu!" kata-kata Raja Obat
ketika melepas kepergiannya kembali
terngiang-ngiang di telinga Pendekar
Naga Putih. Panji berusaha menekan
tenaga saktinya agar tidak bergolak.
Ditariknya napas dalam-dalam untuk
menenangkan pikirannya. Dan
periahan-lahan tenaga liar itu pun
mereda dengan sendirinya.
Sambil terus berusaha untuk
meyakini kalau kelelawar-kelelawar
beracun itu tak akan menyerangnya,
Pendekar Naga Putih terus menelusuri
lorong gua. Dan apa yang dikatakan Raja
Obat memang menjadi kenyataan. Tak
seekor pun dari ratusan kelelawar
beracun yang menyerang Panji. Malah
sebaliknya, binatang-binatang malam
yang berbisa itu berusaha
menghindarinya. Seobh-olah ada sesuatu
yang ditakuti penghuni gua itu dari dalam
diri Panji.
Setelah menyaksikan sendiri
keampuhan obat pemberian Raja Obat,
barulah Panji dapat sedikit menarik
napas lega. Kini kakinya dilangkahkan
dengan mantap. Semakin jauh Pendekar
Naga Putih melangkah, gua itu pun tampak
semakin lebar dan bertambah terang.
Setelah beberapa saat, akhirnya
Pendekar Naga Putih tiba di sebuah ruang
lebar bercabang tujuh.
"Hm... menurut Raja Obat aku harus
memilih lorong ketiga dari sebelah
kiri," gumam Panji teringat pada ucapan
kakek penolongnya.
Baru saja Panji hendak mengangkat
kakinya, tiba-tiba terdengar desisan
nyaring yang disertai munculnya raturan
ular dari berbagai jenis. Ular-ular
beracun itu merayap mendekatinya. Mata
binatang-binatang melata itu
mengeluarkan cahaya kekuningan,
sehingga suasana gua menjadi terang
benderang.
Ssszzz! Ssszzz!
Raturan ular itu mendesis seraya
menjulur-julurkan lidahnya yang merah ke
arah pemuda itu. Namun beberapa tombak
sebelum menyentuh tubuh Panji, mendadak
ular-ular itu berbalik dan langsung
menghilang di lubang-lubang kecil yang
banyak terdapat di dalam gua itu.
Seketika suasana gua pun menjadi
remang-remang kembali.
Panji menarik napas lega ketika
melihat ular-ular beracun telah merayap
pergi. Untunglah Panji bersikap tenang.
Kalau tidak, tentu tenaga liarnya akan
kembali bergolak.
Begitu ular-ular itu pergi, Panji
pun bergegas memasuki lorong ketiga dari
sebelah kirinya. Tapi hampir saja isi
perut pemuda itu tumpah keluar ketika
mencium bau amis luar biasa yang keluar
dari tubuh-tubuh ular itu. Dan ketika
melongok ke dalam, tampaklah seberkas
sinar warna-warni.
"Ah, itulah pancaran Bunga Abadi
seperti yang dikatakan Raja Obat!" gumam
Panji dengan wajah berseri-seri. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, pemuda itu
pun bergegas melesat ke dalam.
Grrraurh!
Baru saja Panji menjejakkan kakinya
memasuki lorong, terdengar raungan yang
menggetarkan langit-langit gua. Pemuda
itu terbelalak ketika tiba-tiba di
hadapannya terhampar lembah yang sangat
indah.
"Hahhh!"
Panji berseru tertahan dengan wajah
pucat ketika melihat apa yang disaksikan
di hadapannya. Pemuda itu
mengerjap-ngerjapkan matanya seolah tak
percaya dengan apa yang dilihatnya.
Di tengah-tengah lembah itu
terdapat tumbuhan yang sedang berbunga.
Dari setiap kelopak bunga berjumlah
delapan helai itu memancarkan cahaya
wama-warni.
Bukan bunga itu saja yang membuat
wajah Panji terpana! Ada sesuatu yang
lain membuat Pendekar Naga Putih
membelalak dengan mulut ternganga!
"Benarkah... itu... seekor
naga...!?" desis pemuda itu dengan suara
gemetar karena terkejut dan tegang.
Sesungguhnya apa yang disaksikan
Panji saat ini memang benar-benar sebuah
kenyataan. Naga raksasa yang berwama
putih keperakan tampak tengah melingkari
Bunga Abadi yang dicarinya. Naga itu
sepertinya adalah penjaga Bunga Abadi
itu. Dan raungan naga itulah yang tadi
didengar Panji.
"Ah, bagaimana mungkin!? Mengapa
Raja Obat tidak menceritakan kalau Bunga
Abadi dijaga naga raksasa? Apakah beliau
lupa?" pemuda itu tak habis mengerti.
Pendekar Naga Putih yang sudah
berada di dalam gua itu kembali melangkah
mundur. Rupanya pemuda itu masih
berpikir dua kali untuk mengambil bunga
yang dijaga naga raksasa yang mengerikan
itu. Baru suaranya saja sudah demikian
menggetarkan apalagi tenaganya, pikir
Panji ragu.
"Hm... kalau aku tidak mendapat
Bunga Abadi berarti aku harus menunggu
kematian. Tapi kalau nekat mengambil
bunga itu pun sama saja. Kedua-duanya
sama menantang maut!" Berpikir demikian,
Panji segera mencabut Pedang Sinar
Rembulan yang selalu terselip di
pinggangnya. Rupa-rupanya pemuda itu
memilih kematian yang lebih terhormat!
Kini periahan-lahan dihampirinya naga
raksasa yang tampaknya tengah tertidur
nyenyak
Graaaurh!
"Aaah...!"
Tubuh Pendekar Naga Putih bergetar
hebat ketika naga raksasa penjaga Bunga
Abadi kembali meraung dahsyat Namun
alangkah terkejutnya hati pemuda itu
ketika tiba-tiba saja tenaga liamya
bergolak semakin kuat hingga raungan
ular naga raksasa tak lagi
mengganggunya. Diam-diam Panji merasa
bersyukur memiliki tenaga liar yang
mengeram di dalam tubuhnya.
"Hm... apakah tenaga liarku sanggup
menghadapi naga raksasa itu?" pikir
Panji masih meragukan kekuatan yang
tersembunyi dalam tubuhnya.
Tiba-tiba sang Naga terjaga dari
tidumya. Sepasang bola matanya yang
berwarna merah menyala menatap Panji
marah. Rupanya kedatangan Pendekar Naga
Putih telah tercium olehnya. Disertai
raungan hebat, ular naga raksasa
mengibaskan ekomya ke arah Panji.
Wukkk!
Blarrr!
"Aihhh...!"
Panji berseru tertahan sambil
melompat mundur menghindari sabetan ekor
makhluk raksasa itu. Terdengar suara
benturan kerasa ketika ekor naga
meng-hantam mulut gua hingga batu-batu
berguguran menutupinya. Dinding dan atap
gua pun berguguran akibat getaran suara
itu.
Tenaga 'Inti Gerhana Bulan' yang
mengeram dalam tubuh Panji bergolak
semakin kuat Seolah-olah tenaga liar itu
tahu kalau kali ini ditantang menghadapi
kekuatan raksasa yang sukar diukur.
Tentu saja akibatnya pun mulai terasa
oleh pemuda itu. Tangan dan kakinya mulai
bergerak-gerak tak terkendali.
"Kreeeaaa...!"
Mulut Panji mengeluarkan raungan
hebat Pedangnya bergulung-gulung
melindungi tubuhnya hingga menimbulkan
deruan angin dingin. Sesaat kemudian,
pemuda itu meluncur ke arah naga raksasa
sambil mengayunkan Pedang Sinar
Rembulannya.
***
ENAM
Wukkk!
Ayunan pedang Panji menimbulkan
suara mengaung seraya menebarkan hawa
dingin menusuk tulang. Pedang Sinar
Rembulan cepat menghantam tubuh naga
raksasa.
Trakkk!
Kraghhh!
"Aaah...!"
Mata pedang Panji telak menghantam
tubuh naga raksasa. Tapi kulitnya yang
kenyal dan alot tidak tergores sedikit
pun. Bahkan sebaliknya, tubuh Panji
terpelanting beberapa tombak ke
belakang! Setelah bersalto beberapa kali
di udara, Panji mendaratkan kakinya
sepuluh tombak dari makhluk raksasa itu.
Naga raksasa meraung pendek Rupanya
hantaman mata pedang Panji cukup
menyakitkan dirinya. Saat itu juga,
ekornya dikibaskan kembali ke arah
Pendekar Naga Putih.
Wuttt!
Sambaran angin berbau amis yang
memuakkan menyertai tibanya kibasan ekor
naga.
"Hmh!"
Kali ini Panji tidak berusaha
mengelak. Sambaran ekor naga raksasa
disambutnya dengan dorongan sepasang
telapak tangan yang sudah dialiri
seluruh kekuatan tenaga dalamnya.
Wusss!
Angin dingin menderu-deru menyertai
dorongan sepasang telapak tangan pemuda
itu. Dan....
Bresss!
"Aaakh...!"
Hebat sekali akibat pertemuan dua
gelombang tenaga dahsyat itu! Bumi di
sekitar lembah bagai digoyang gempa
hebat Dinding-dinding batu di sekeliling
lembah berguguran akibat getaran
pertemuan dua tenaga raksasa itu.
Ekor makhluk raksasa membalik
ketika bertemu dengan serangkum angin
kuat yang meluncur dari telapak tangan
Panji Sang Naga meraungraung karena rasa
nyeri yang mendera ekornya. Sepasang ma-
tanya semakin merah menyala menyiratkan
kegusaran. Tubuh Panji sendiri terpental
lima tombak ke belakang. Dan belum lagi
pemuda itu memperbaiki posisi
kuda-kudanya, tiba-tiba sabetan ekor
penunggu Bunga Abadi sudah meluncur
tiba. Dan....
Wuuut!
Derrr!
"Hukh!"
Sabetan ekor naga menyebabkan tubuh
Panji meluncur cepat Daya luncur itu baru
berhenti ketika membentur dinding batu
cadas.
"Gila! Tenaga naga raksasa itu
benar-benar luar biasa!" gumam Panji
sambil menyeka darah yang mengalir
disela-sela bibir dengan ujung bajunya.
"Aku harus mencari titik kelemahannya."
Kini Panji tidak berani lagi
menyerang membabi buta. Pemuda sakti itu
hanya berani menunggu serang an binatang
raksasa sambil mengamati titik kelemahan
nya.
Sang Naga kembali meraung-raung
keras. Suaranya terpantul ke seluruh
dinding gua. Sesaat kemudian, kepala
naga raksasa pun melesat dengan
kecepatan tinggi.
Derrr!
Bumi bergoyang ketika moncong
binatang itu menghantam tanah tempat
Pendekar Naga Putih berpijak. Untunglah
saat itu Panji sempat melenting
kesamping. Kalau tidak, tubuhnya pasti
sudah lumat tertimpa kepala naga yang
sebesar gajah itu.
Pendekar Naga Putih berdiri tegak
sambil melintangkan Pedang Sinar
Rembulan di depan dada. Sorot matanya
menatap tajam, mengamati sekujur kepak
naga raksasa. Tiba-tiba pemuda itu
menyipitkan kedua matanya melihat
seberkas sinar keemasan yang me mancar di
antara kedua bola mata binatang itu.
"Hm.... Aku harus mencecar matanya!
Siapa tahu sinar itu adalah titik
kelemahannya," gumam Panj sambil
memusatkan perhatiannya ke arah sinar
keemasan yang terpancar di antar kedua
mata penuh Bunga Abadi.
"Heaaa...!"
Panji berteriak seraya melambung ke
udara dan langsung meluncur dengan jurus
'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi'.
Wungngng! Wungngng!
Tubuh Panji meluncur sambil
memutar-mutar Pedang Sinar Rembulan
melindungi tubuhnya.
Sang Naga meraung gusar sambil
memukulkan ekornya memapak luncuran
tubuh pemuda itu.
Bukkk!
"Aaaurgh!"
Kibasan ekor naga tepat menghantam
tubuh Panji. Namun tenaga bar yang selama
ini mengeram dalam tubuh Pendekar Naga
Putih kembali menunjukkan
kedahsyatannya. Ekor sang Naga terpental
balik disertai dengan raungan kesakitan
yang menggelegar. Tenaga alam yang
berasal dari Inti Tenaga Gerhana Bulan
temyata mampu membendung tenaga pukulan
ekor makhluk raksasa itu.
Meskipun tubuh Panji teriempar
cukup jauh, namun hantaman ekor ular
raksasa sama sekali tidak membuatnya
terluka. Setelah bersalto beberapa kali,
tubuh pemuda itu kembali meluncur ke arah
kepala sang Naga.
Wingngng!
Pedang Sinar Rembulan kembali
membentuk lingkaran hingga menimbulkan
suara mengaung bagaikan ratusan ekor
lebah yang marah. Ujung pedangnya
meluncur menuju bulatan yang memancarkan
sinar keemasan tepat di tengah kedua bola
mata penunggu Bunga Abadi.
Grottt!
"Graurrri"
Ujung pedang Panji menancap telak
pada sasaran. Dan seketika darah
menyembur deras dari luka di tempat yang
temyata merupakan titik kelemahan ular
raksasa.
Rasa sakit yang luar biasa
menyebabkan sang Naga mengamuk dahsyat!
Debu dan batu-batu kerilkil beterbangan
hingga membuat suasana di sekitar tempat
itu menjadi gelap!
Panji bergegas menyingkir dan
bersandar pada dinding gua. Beberapa
saat kemudian di tengah-tengah kepulan
debu yang semakin menebal terdengar
ledakan dahsyat yang mengguncangkan
bumi! Ledakan yang disertai dengan
pancaran sinar yang menyilaukan!
Beberapa saat setelah ledakan,
kepulan debu yang membumbung pun mulai
menipis. Bergegas Panji menurunkan
tangan yang semula digunakan untuk
melindungi matanya dari sorotan sinar
yang menyilaukan itu.
"Eh, ke mana perginya naga raksasa
itu?" desah Panji sambil merayapi selumh
pelosok gua.
Ketika kepulan debu pun sudah
menipis, pemuda itu menjadi keheranan
ketika tidak menemukan naga raksasa.
Setelah mengedarkan pandangan ke seluruh
pelosok gua, periahan-lahan
dihampirinya pohon Bunga Abadi. Panji
terpaksa menyipitkan matanya ketika
semakin dekat dengan Bunga Abadi yang
memancarkan sinar warna-warni.
"Eh!?"
Pendekar Naga Putih menahan
langkahnya ketika di samping pohon Bunga
Abadi tergeletak sebatang pedang Pemuda
itu menutupi sorot matanya dengan
punggung tangan karena silau oleh sinar
keemasan yang berpendar dari pedang itu.
Untuk beberapa saat lamanya Panji
hanya berdiri terpaku memandang pedang
yang satu setengah kali lebih besar dari
Pedang Sinar Rembulannya.
Perlahan-lahan tangannya diulurkan
meraih pedang itu. Keheranan di wajah
Pendekar Naga Putih semakin jelas ketika
sinar keemasan mendadak lenyap saat
pedang telah digenggamnya.
Panji meneliti pedang yang
berukuran lebih besar dan lebih berat
dari pedang biasa dan mempunyai sarung
ajaib yang mirip sisik ular naga tadi.
Namun sampai sedemikian jauh
memperhatikan, Pendekar Naga Putih sama
sekali tidak berniat untuk mengeluarkan
pedang itu dari sarungnya.
"Hm... biarlah pedang ini
kuserahkan pada Raja Obat, mudah-mudahan
dia tahu riwayat pedang ini," Berpikir
demikian, pemuda itu bergegas
menyampirkan pedang itu di punggungnya.
Pada saat tangannya terjulur hendak
memetik Bunga Abadi, Panji teringat
kembali nasihat Raja Obat
"Ingat, Cucuku! Kau harus memetik
Bunga Abadi tanpa merusak kelopak
ataupun daun-daun pohonnya. Kalau kau
sampai merusaknya, kau pasti akan
celaka! Ketahuilah, sesungguhnya pohon
maupun Bunga Abadi adalah racun yang
tidak ada obatnya. Apabila kau telah
menemukan Bunga Abadi, kau harus
memetiknya tanpa perlu menyentuhnya.
Pergunakanlah pedang dan seluruh tenaga
dalammu untuk menebas tangkainya. Dan
kau pun harus membungkus bunga itu
sebelum menyentuh permukaan tanah! Ingat
itu, Cucuku!" demikian pesan Raja Obat
sebelum Panji meninggalkan Bukit Gua
Harimau mencari Bunga Abadi.
Teringat pesan Raja Obat, Panji
tidak jadi memetik dengan tangan.
Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya
ketika teringat kehebatan racun yang
terkandung dalam Bunga Abadi itu.
Perlahan-lahan pemuda itu mundur
beberapa langkah.
Dengan memusatkan seluruh
pikirannya, Panji segera mencabut Pedang
Sinar Rembulan dari sarungnya. Sesaat
kemudian....
"Haittt..!"
Wuttt!
Tasss!
Bunga Abadi melambung beberapa
tombak di atas permukaan tanah. Pada saat
bersamaan, tubuh Panji pun melompat
sambil membuka kain pengikat kepalanya.
Dengan gerakan yang indah, kedua tangan
pemuda itu melayang cepat, menangkap
Bunga Abadi dengan kain pengikat
kepalanya.
Tappp!
Sepasang kaki Pendekar Naga Putih
mendarat ringan di atas permukaan tanah.
"Fuhhh...!"
Sambil menghela napas lega,
Pendekar Naga Putih mengusap keringat
yang membasahi keningnya.
"Sungguh berbahaya...!" gumamnya
sambil menggantungkan bunga yang telah
terbungkus rapi di pinggangnya. Setelah
itu, dia pun bergegas meninggalkan
tempat itu.
***
Puluhan pasang mata membelalak
takjub melihat Pendekar Naga Putih yang
masih segar bugar melangkah keluar dari
mulut gua.
" Apakah pemuda itu berhasil
mendapatkan Bunga Abadi?" gumam
laki-laki gendut berkepala botak
Sepasang matanya liar menatap sekujur
tubuh Panji.
"Hebat! Sepertinya anak muda itu
memang telah mendapatkan Bunga Abadi
itu, Adi Jiwana. Kau lihat buntalan yang
tergantung di pinggang kirinya?" ujar Ki
Bagasti menahan air liur yang hampir
menitik. Diam-diam dia pun menginginkan
Bunga Abadi yang tergantung di pinggang
Pendekar Naga Putih.
Panji berdiri tegak dengan wajah
tegang ketika puluhan tokoh persilatan
bergerak mengepungnya.
"Hm... mau apa kalian?" geram Panji
melihat ketamakan tokoh-tokoh
persilatan yang mengepungnya.
"He he he... tentu saja aku
menginginkan Bunga Abadi yang tergantung
di pinggangmu, Pendekar Naga Putih!"
sahut seorang nenek tua berpakaian serba
hijau yang diapit empat muridnya.
"Betul! Serahkan Bunga Abadi kepada
kami! Dan kami berjanji tidak akan
mengganggumu asal kau serahkan Bunga
Abadi itu!" ancam laki-laki gendut
berkepala botak menyeringai lebar
Para pengepung Pendekar Naga Putih
semakin merapat Dari mulut mereka
terdengar tuntutan-tuntutan yang sama.
Bahkan ada beberapa di antaranya yang
sudah bersiap-siap bertempur.
Sepasang mata pendekar muda itu
berkilat menyiratkan kegusaran hatinya.
Panji benar-benar muak dengan sikap
tokoh-tokoh persilatan itu.
"Hm... baiklah! Kalau kalian
menginginkan Bunga Abadi ini, ayo,
rebutlah dari tanganku!" ujar Panji sam-
bil menghunus Pedang Sinar Rembulan.
Sringngng!
Seberkas sinar putih keperakan
berkilatan dari mata pedang yang
tergenggam di tangan pemuda perkasa itu.
Beberapa orang yang berdekatan dengan
Panji terpaksa mundur. Mata mereka tidak
tahan melihat sinar menyilaukan yang
dipancarkan Pedang Sinar Rembulan.
"Kakang, kami datang
membantumu...!" seru suara merdu yang
dibarengi berkelebatnya sesosok tubuh
ramping berpakaian biru muda. Sosok
ramping itu bersalto melewati kepala
pengepung Panji, lalu mendarat dua
tombak di sebelahnya.
“Terima kasih, Ayuning. Tapi, biar
kuhadapi mereka sendiri. Aku tidak ingin
kau terseret dalam masalah ini!" sahut
Panji khawatir. Pemuda itu merasa lega
karena Ayuning benar-benar tidak
menginginkan Bunga Abadi. Namun tetap
saja merasa khawatir akan keselamatan
sahabatnya. Lawan-lawan yang bakal
mereka hadapi kali ini adalah
tokoh-tokoh berilmu tinggi yang
mempunyai ilmu-ilmu aneh yang sukar
dicari tandingannya.
"Tidak, Kakang! Biarpun kau
melarang, aku tetap membantumu. Aku
sebal melihat tingkah mereka yang
tamak!" sahut Ayuning seraya menghunus
pedangnya.
Sementara kedua muda-mudi berdebat,
sesosok bayangan merah melayang dan
mendaratkan kakinya di antara Panji dan
Ayuning.
"Aku pun akan membantumu, Kakang!"
ujar bayangan merah yang tidak lain
adalah Sundari atau lebih dikenal
sebagai Dewi Tangan Merah.
Belum lagi Panji sempat menyahuti
ucapan Dewi Tanga Merah, sesosok
bayangan hitam berkelebat kearah mereka.
"Sundari! Apa kau ingin melawan
gurumu?" bentak seorang nenek berpakaian
serba hitam marah. Sambil berkata
demikian, nenek itu menarik tangan gadis
itu.
"Tidak, Guru! Bukankah Guru selalu
berkata kalau kita harus membela
kebenaran dan keadilan. Dan bukankah
tindakan orang-orang tamak ini telah
menyimpang dari kebenaran dan keadilan?
Jawablah Guru?" sahut Sundari membantah
perintah gurunya.
“Tapi kali ini lain, Sundari!
Orang-orang ini sangat mendambakan Bunga
Abadi itu Mereka rela mempertaruhkan
nyawa asal dapat memiliki Bunga Abadi!"
sahut gurunya berang.
"Jadi Guru pun menginginkan Bunga
Abadi juga?" tanya Sundari mendesak
gurunya.
"Ya! Dan itu kewajibanmu untuk
membela kepentinganku!" bentak nenek
berpakaian serba hitam semakin berang
melihat kebandelan muridnya.
Sundari memandang wajah gurunya
dengan muka pucat Sungguh tak disangka
kalau gurunya setamak tokoh-tokoh
persilatan yang mengepung Panji.
Seketika pikiran gadis itu terpecah
antara membela kepentingan gurunya dan
membela keadilan. Beberapa saat lamanya
dia mengeluh dan terisak, lalu berlari
meninggalkan tempat itu. Alangkah
terpukulnya hati gadis itu melihat sikap
gurunya.
"Sundari, tunggu...!" teriak nenek
berpakaian serba hitam seraya menyusul
muridnya.
Sepeninggal Sundari dan gurunya,
Panji kembali mengalihkan pandangan ke
arah puluhan tokoh persilatan yang masih
mengepungnya.
"Hm..., Pendekar Naga Putih!
Rupanya kau lebih sayang Bunga Abadi itu
ketimbang nyawamu!" bentak laki-laki
gemuk berkepala botak sambil melangkah
maju. Tampaknya laki-laki ini sudah
tidak sabar ingin merebut Bunga Abadi.
Tangan kanannya bergerak mencabut
senjata andalannya yang berbentuk
tongkat berantai kembar tiga.
Wungngng! Wungngng!
Terdengar suara berdengung terasa
ketika tongkat kembar tiga diputar-putar
di atas kepala laki-laki gendut
berkepala botak.
“Tunggu, Datuk Timur! Bukan kau saja
yang berkepentingan dengan Bunga Abadi
itu?" bentak nenek berpakaian serba
hijau sambil melangkah maju. Sehelai
selendang hijau di tangannya meliuk-liuk
ditiup angin
"Hm..., Nyi Ayu Kedasih pun rupanya
tergiur dengan Bunga Abadi? Kalau
begitu, mari kita berlomba
mendapatkannya!" sahut laki-laki gendut
berkepala botak yang ternyata seorang
datuk sesat dari wilayah Timur.
"Serahkan Bunga Abadi itu!" bentak
si berkepala botak seraya menerjang
Panji sambil memutar-mutar senjatanya.
Suara tongkat berantai kembar tiga
mendengung memekakkan telinga.
Trangngng!
"Uhhh...!
Bunga api berpijar ketika Pedang
Sinar Rembulan beradu dengan senjata
laki-laki gendut berkepala botak. Tubuh
Datuk Timur terjajar mundur beberapa
langkah kebelakang sambil mengeluarkan
suara memekik tertahan.
"Bangsat! Pantas kau sombong,
Pendekar Naga Putih! Rupanya kau
memiliki kepandaian tinggi! Tapi jangan
kira aku gentar menghadapimu. Nah,
sambutlah seranganku yang kedua ini!"
ucap Datuk Timur. Tubuh gendut itu
kembali meturuk dengan disertai sambaran
tiga tongkat berantai yang selalu
mencecar ke manapun dia bergerak
Panji tidak takabur. Lawan
tandingnya tidak dapat dipandang remeh.
Sesaat kemudian, kedua tokoh persilatan
itu kembali bertarung dengan sengitnya!
Tiba-tiba terdengar suara ledakan yang
memekakkan telinga.
Ctarrr! Ctarrr!
Sehelai selendang berwama hijau
menyambar-nyambar di tengah
pertarungan. Suaranya meledak-ledak dan
mematuk-matuk, mengancam tubuh Panji
sehingga pemuda itu terpaksa melesat ke
belakang. Selendang maut itu temyata
milik Nyi Ayu Kedasih, yang juga berjuluk
Dewi Selendang Maut.
Prattt!
Pendekar Naga Putih kewalahan
menghadapi setiap serangan tokoh sakti
itu. Walau kedua orang itu tak ada ikatan
perguruan, tapi mereka menyerang Panji
didorong oleh kepentingan mereka
masing-masing
Nyi Ayu Kedasih terdesak mundur
akibat tangkisan tangan pemuda itu
terlalu kuat untuk selendang andalannya.
Nenek itu sendiri keteteran melindungi
tubuhnya dengan selendang.
"Huh temyata nama besar Pendekar
Naga Putih ini betul-betul bukan omong
kosong belaka saja!" maki Dewi Selendang
Maut gusar ketika merasakan tangannya
kesemutan akibat tangkisan tangan pemuda
itu.
Panji yang sadar lawannya bukanlah
orang-orang sembarangan, bersiap-siap
mengeluarkan tenaga dalamnya, lalu
menghirup napas dalam-dalam. Sesaat
kemudian, sinar putih keperakan pun
mulai menyelimuti dirinya.
***
TUJUH
“Tenaga Sakti Gerhana Bulan...!"
seru Datuk Timur dan Nyi Ayu Kedasih
berbarengan. Kedua tokoh sesat yang
sudah pernah mendengar kedahsyatan te-
naga sakti itu melangkah mundur sambil
mempersiapkan jurus-jurus andalannya.
Tongkat Pencabut Nyawa, Ki Bagasti
dan tokoh-tokoh lainnya tak mau
ketinggalan. Mereka semakin merapatkan
kepungan seraya mencabut senjata
masing-masing.
Meskipun di antara pengepung Panji
terdapat beberapa tokoh golongan putih,
namun Bunga Abadi yang tiada duanya itu
membuat mereka lupa pada kebenaran yang
selama ini mereka junjung tinggi.
"Heaaat...!"
Datuk Timur yang berkepala botak dan
bertubuh gendut berteriak lantang. Tokoh
sesat itu melompat sambil mengayunkan
senjatanya ke leher Panji.
Menghadapi puluhan tokoh sakti yang
tidak mungkin dihadapinya sekaligus,
Panji berusaha mencari jalan keluar
untuk meloloskan diri dari kepungan
mereka. Pedang Sinar Rembulan diputamya
cepat hingga menciptakan seguhingan
sinar yang melindungi tubuh Pendekar
Naga Putih. Begitu sambaran tongkat
berujung kembar tiga tiba mendekat.
Maka....
"Yeaaat..!"
Sambil berteriak nyaring, Panji
menyambut serangan Datuk Timur yang juga
dijuluki Tongkat Berantai.
Wukkk!
Sebelum dua tenaga raksasa itu
bertemu, tiba-tiba tongkat baja Jiwana
sudah lebih dahulu meluncur cepat ke arah
lambung Panji. Melihat kelicikan
tokoh-tokoh ini. Pendekar Naga Putih
yang semula bermaksud memapak serangan
Tongkat Berantai terpaksa mengurungkan
niatnya. Dengan gerakan yang sukar
diikuti mata, pemuda itu segera
menggeser tubuhnya ke kiri disertai
ayunan Pedang Sinar Rembulan.
Singngng!
"Aaah...!"
Tongkat Pencabut Nyawa dan Tongkat
Berantai yang tidak menyangka akan
mendapat serangan balasan yang demikian
tiba-tiba menjadi terkejut. Kedua tokoh
sesat yang sudah mendengar kehebatan
tenaga dalam Pendekar Naga Putih
buru-buru menarik pulang senjatanya.
Tapi terlambat...
Trangngng!
"Aihhh...!"
Terdengar suara benturan keras
memekakkan telinga ketika Pedang Sinar
Rembulan berbenturan sekaligus dengan
tongkat baja Jiwana dan Tongkat Berantai
Datuk Timur. Seketika kedua tokoh sesat
itu terpental bagai disentakkao oleh
tenaga liar yang amat kuat Keduanya
menggigil, menahan hawa dingin yang
merasuk sampai ke tulang.
"Hiahhh!"
Tongkat Pencabut Nyawa yang sudah
lebih dah dapat menguasai rasa
terkejutnya berseru keras. Kedua
tangannya dikibas-kibaskan untuk
mengusir pengaruh hawa dingin yang
membuat tubuhnya seperti orang terserang
demam. Begitu pengaruh hawa dingin
lenyap, Jiwana kembali memutar-mutar
tongkat baja hingga menimbulkan suara
berkesiutan.
Sementara itu Pendekar Naga Putih
sudah bert-rung sengit mengimbangi
keroyokan tokoh-tokoh sakti yang sudah
mulai tak sabar. Demikian pula Ayuning.
Kini gadis berpakaian bim muda ini sudah
terlihat bertarung melawan empat orang
wanita berpakaian hijau. Tubuh gadis
cantik itu berkelebat lincah disertai
dengan ayunan pedang yang
menyambar-nyambar ganas.
Wuttt! Wuttt!
Dua buah sambaran yang dilancarkan
murid Dewa Tanpa Bayangan ini
benar-benar hebat Kedua lawannya
terpaksa harus melempar tubuhnya ke
belakang Namun kedua murid Dewi
Selendang Maut mendadak pucat ketika
baru saja menjejakkan tanah, ujung
pedang Ayuning sudah mengancam
tenggorokan. Posisi kuda-kuda kedua
gadis berpakaian hijau itu sudah tidak
mungkin lagi menghindar atau menangkis
sambaran pedang Ayuning. Tiba-tiba....
Trangngng! Trangngng!
Untunglah pada saat yang gawat itu
berkelebat dua batang pedang lain
memotong arah luncuran pedang Ayuning.
Seketika tubuh ketiga wanita itu
tergetar mundur akibat benturan yang
amat keras! Kini di hadapan Ayuning telah
berdiri empat murid Nyi Ayu Kedasih
dengan sikap waspada.
"Siapa kau, Setan Betina! Mengapa
kau bela pemuda itu? Apakah kau kekasih
gelapnya?" maki salah seorang wanita
berpakaian hijau marah.
"Hei! Dengarlah Manusia-Manusia
Rakus! Aku Ratu Iblis yang ditugaskan
mencabut nyawa manusia-manusia tak tahu
malu seperti kalian!" sahut Ayuning tak
kalah gertak
"Bangsat! Jangan takabur, Setan
Betina! Kau pikir mudah mencabut nyawa
kami?" ujar wanita lainnya membelalak
marah.
"Hi hi hi... apa susahnya mencabut
nyawa wanita-wanrta busuk seperti
kalian? Bagiku hal itu semudah membalik
telapak tangan!" ejek Ayuning sambil
bertolak pinggang dan mencibirkan
bibirnya.
Bukan main berang keempat murid Dewi
Selendang Maut mendengar ejekan Ayuning
Serentak mereka melompat maju dan
menerjang membabi buta.
Wuttt! Wuttt!
"Aihhh... tidak kena!" ejek Ayuning
sambil melompat mundur menghindari dua
tusukan pedang yang mengarah leher dan
ulu hati. Kemudian dengan gerakan yang
tidak kalah cepat, Ayuning melancarkan
serangan balasan bertubi-tubi mengarah
jalan darah mematikan.
Pertempuran empat lawan satu itu
beriangsung seru. Ayuning yang punya
kelebihan dalam hal ilmu meringankan
tubuh, tentu saja memanfaatkan
kelebihannya. Tubuh gadis itu berkelebat
kian kemari. Kadang-kadang menyelinap di
antara hujan sabetan pedang, tapi di lain
saat tahu-tahu sudah melambung di atas
kepala lawannya.
"Adik Ayuning! Cepat tinggalkan
tempat ini! Tak ada gunanya kau layani
orang-orang culas ini!" teriak Panji
yang masih sempat memikirkan keselamatan
sahabatnya pada saat dirinya sendiri
menghadapi bahaya!
Setelah berteriak demikian, tubuh
Panji kembali berkelebat di sela-sela
sambaran senjata pengepungnya. Meskipun
hams terpontang-panting menghindari
hujan senjata pengepungnya, namun
Pendekar Naga Putih terus memutar
otaknya untuk mencari peluang meloloskan
diri.
"Yeaaaat..!"
Panji berseru keras sambil
menyabetkan pedangnya secara mendatar
dengan kecepatan yang menggetarkan!
Suara angin pedang yang merobek udara
mengaung tajam!
Wuttt!
Trangngng!
Trakkk!
Tringngng!
Tiga pedang yang mencoba menangkis
serangan Panji berpatahan seketika.
Belum lagi ketiga pengepungnya itu
sempat berbuat sesuatu, pedang Panji
kembali berkelebat!
Brettt! Brettt!
"Aaakh...!"
Dua orang pengeroyok yang tak sempat
menghindar terguling roboh! Seketika
darah segar bermuncratan dari luka
sabetan pedang Pendekar Naga Putih yang
merobek dada. Untunglah nyawa mereka
masih diampuni Panji. Pedang pemuda itu
hanya menggores kulit saja.
"Kejar...!" teriak laki-laki gendut
berkepala botak yang tidak lain adalah si
Tongkat Berantai. Walaupun tubuhnya
gendut, tapi gerakannya gesit seperti
kijang.
Beberapa tokoh sakti yang berada di
belakang segera mengejar Panji. Dalam
beberapa kali lompatan, empat tokoh yang
tadi mengeroyok telah menghadang di
depan Pendekar Naga Putih.
"Minggir kalian! Jangan paksa aku
berbuat kejam!" seru Panji yang sudah
hampir hilang kesabarannya.
"Huh! Jangan coba menggertak kami
Pendekar Naga Putih! Serahkan dulu Bunga
Abadi, baru kami mau menyingkir!" desak
salah seorang dari keempat tokoh itu.
Terdengar suara gemeretak ketika
orang itu mengepalkan tinjunya dengan
geram. Dan tanpa membuang-buang waktu
lagi, kepalan orang itu langsung
menyambar dada Pendekar Naga Putih.
Wuttt!
Panji segera menggeser kakinya ke
samping, sehingga pukulan lawan mengenai
angin kosong. Secepat itu juga Panji
memutar tubuhnya setengah lingkaran
sambil melepaskan tendangan kilat.
Namun lawan dapat menebak gerakan
Pendekar Naga Putih. Bergegas orang itu
menggeser kaki kiri kebelakang sambil
menarik tubuhnya. Begitu tendangan
pemuda itu lewat, orang itu langsung
melepaskan pukulan susulan ke arah perut
Temyata Panji bukanlah pendekar kemarin
sore. Tahu kalau tendangannya luput
pemuda itu pun segera merendahkan
kuda-kudanya seraya mengirimkan
tendangan menyamping.
Desss!
"Aaargh!"
Lawannya yang sudah telanjur
melangkah maju, tak sempat lagi
menghindari serangan kilat Panji yang
menghantam dagu hingga orang itu
terbanting keras ke tanah. Dengan mata
merah dia berusaha bangkit sambil
memegang dagu disertai erangan
kesakitan.
"Fuihhh...!"
Orang itu meludahkan beberapa benda
putih bercampur darah. Rupanya tendangan
yang cukup keras itu telah merontokkan
beberapa buah giginya.
Sebelum Panji bertindak lebih jauh,
tokoh-tokoh yang lainnya pun sudah pula
berdatangan mengepung. Kini kesempatan
untuk lolos kembali tertutup.
"Hi hi hi... mau lari ke mana kau
Pendekar Naga Putih? Lebih baik kau
serahkan bunga itu padaku. Dan
kutanggung kau dapat pergi dengan
selamat!" bujuk Nyi Ayu Kedasih
tersenyum licik
"Jangan dengarkan ucapan nenek gjla
itu, Pendekar Naga Putih! Lebih baik kau
berikan padaku. Dan kau kulindungi pergi
dari sini," ujar Tongkat Berantai tak mau
kalah.
"Hm... dengarlah, Manusia-Manusia
Tamak! Kudapatkan Bunga Abadi ini dengan
taruhan nyawa! Kalian pikir aku bodoh
bila kuserahkan Bunga Abadi ini begitu
saja kepada orang-orang tamak seperti
kalian!" ucap Panji dengan hati yang
semakin gusar melihat tokoh-tokoh
persilatan itu masih terus mendesaknya.
"Kalau begitu, bukan hanya bunga itu
saja akan kuambil. Tapi, nyawamu juga
harus kucabut" sahut Nyi Ayu Kedasih
mengancam.
"Nah seranglah! Jangan hanya pandai
mengumbar mulut saja!" tantang Panji.
"Keparati Kau memang harus kuberi
pelajaran agar kau tidak besar kepala!"
bentak Nyi Ayu Kedasih yang darahnya
mulai mendidih mendengar sindiran
Panji.
Wuttt!
Ctarrr! Ctarrr!
Ujung selendang sakti meliuk-liuk
mematuk dan meledak-ledak disertai
kepulan asap tipis. Kecepatannya tidak
dapat dilihat mata biasa. Bila diiihat
sepintas, memang senjata si nenek
seperti selendang biasa. Tapi karena
dimainkan oleh tokoh yang sudah memiliki
tenaga dalam tinggi, selendang itu
berusaha menjadi senjata maut! Bahkan
berkali-kali Panji hampir terpatuk
sambaran selendang.
Pada saat yang sama, tongkat
berantai Datuk Timur sudah mengancam
Pendekar Naga Putih. Senjata tokoh sesat
itu memancarkan sinar putih keperakan
yang menyilaukan mata.
Demikian pula tokoh-tokoh lainnya.
Mereka sudah bertekad merebut Bunga
Abadi dengan taruhan nyawa. Pertumpahan
darah di Lereng Gunung Kembaran
nampaknya tidak dapat dihindari lagi.
Pendekar Naga Putih kini sibuk
berusaha menyelamatkan selembar
nyawanya dari keroyokan puluhan
tokoh-tokoh sakti itu. Tubuhnya terus
berkelebatan menghindari tanpa sempat
membalas. Belum lagi menghindari
serangan lawan yang satu, serangan yang
lain sudah menyusul sehingga kesempatan
untuk membalas makin tertutup.
Bukkk!
Desss!
"Aaa...!"
Dua buah pukulan mengenai tubuh
Panji dengan telak! Dalam keadaan
terdesak, Pendekar Naga Putih, tak dapat
lagi menghindari Tapi pukulan telak dari
dua tokoh itu justru berbalik menjadi
malapetaka bagi mereka sendiri!
Tongkat Pencabut Nyawa dan salah
seorang tokoh sesat yang berhasil
menyarangkan pukulan di punggung dan
dada Pendekar Naga Putih langsung
menjerit kesakitan. Tubuh kedua tokoh
itu terpental bagai disentakkan tenaga
liar yang tak tampak! Keduanya
terbanting keras di atas permukaan
tanah. Bahkan tongkat baja di tangan
Jiwana pun sampai terpental dari
genggaman.
Dua buah pukulan mengenai tubuh
Panji dengan telak! Dalam keadaan
terdesak, Pendekar Naga Putih, tak dapat
lagi menghindari Tapi pukulan telak dari
dua tokoh itu justru berbalik menjadi
malapetaka bagi mereka sendiri!
Puluhan tokoh persilatan yang
mengeroyok Panji kontan berlompatan
mundur melihat kedua tokoh itu
berlompatan dan langsung tewas seketika!
Dari mulut, telinga, dan hidung mereka
mengalir darah segar.
"Gila! Ilmu apa yang dimiliki pemuda
itu...?" seru Ki Bagasti dengan wajah
pucat. Sepasang matanya bagai hendak
melompat keluar. Kalau saja tidak
menyaksikan sendiri, tentu dia tidak
akan percaya. Bagaimana tidak? Dengan
mata kepala sendiri dilihatnya kalau
kedua tokoh itu berhasil menyarangkan
pukulan telak ke tubuh Pendekar Naga
Putih. Tapi, justru dua tokoh itulah yang
terpental dan tewas seketika.
"Ilmu setan...!" seru Tongkat
Berantai bergetar ngeri.
"Tidak mungkin...!" Nyi Ayu Kedasih
pun berteriak kaget melihat kejadian
yang belum pernah disaksikan seumur
hidupnya. Nenek sakti ini memang sudah
lama mendengar cerita kesaktian pemuda
yang dijulukii Pendekar Naga Putih.
Namun sama sekali tidak menyangka kalau
kesaktian pemuda itu sampai begini
dahsyat! Bagaimana mungkin dua orang
sakti itu tewas sekaligus hanya karena
pukulannya berbalik menjadi bumerang
bagi mereka sendiri. Pikir nenek sakti
itu tak habis mengerti.
Bukan hanya para tokoh persilatan
yang mengeroyok saja yang terkejut
setengah mati, tapi Panji pun
terheran-heran. Pemuda itu sama sekali
tidak menyangka kalau tenaga liar yang
mengeram dalam tubuhnya sampai sedahsyat
itu. Sekarang Panji baru tahu betapa
besamya tenaga liar dalam dirinya.
Tenaga liar itu baru akan menunjukkan
kedahsyatannya apa bila tubuhnya dipukul
orang lain. Semakin tinggi tenaga dalam
orang yang menghantamnya, maka semakin
hebat pula daya tolak tenaga liar itu.
Seperti kejadian-kejadian
sebelumnya, maka tenaga liar yang
mengeram dalam tubuh Panji mulai
bergolak! Pukulan Tongkat Pencabut Nyawa
dan Datuk Timur menyebabkan tenaga
raksasa itu kembali meronta-ronta
laksana seekor harimau dibangunkan dari
tidumya.
Seiring dengan bangkitnya tenaga
sakti itu, Panji pun kembali didera
penderitaan luar biasa. Tubuh anak muda
itu bergetaran bagaikan orang terserang
demam. Wajahnya berkerut-kerut menahan
rasa sakit yang menjalari seluruh
urat-urat syarafnya. Tenaga liar mulai
meronta-ronta mencari jalan keluar!
Panji yang sudah tidak sanggup
menahan gejolak tenaga sakti yang
menyentak-nyentak tenggorokannya
berteriak mengguntur.
"Krrreaaahhh...!"
"Aaah...!"
Beberapa tokoh persilatan yang
tidak kuat menahan getaran tenaga liar
yang luar biasa, jatuh bergulingan! Dari
mulut, hidung dan telinga mereka
menyembur darah segar! Tokoh-tokoh
persilatan berilmu pas-pasan itu tewas
seketika! Teriakan menggelegar yang
keluar dari mulut Panji telah memecahkan
pembuluh-pembuluh darah mereka!
Tentu saja kejadian itu semakin
membuat pengeroyok Panji lainnya
terkejut setengah mati! Wajah mereka
semakin pucat bagai tak dialiri darah.
Bebera saat para tokoh persilatan itu
hanya dapat berdiri mematung. Bahkan ada
beberapa di antaranya langsung bersila
untuk mengerahkan tenaga dalamnya.
Tanpa sadar, Panji yang sudah tidak
sanggup lagi menahan gejolak tenaga bar
yang menyentak-nyentak, mendorongkan
sepasang telapak tangannya disertai
bentakan keras!
"Heaaat..!"
Wusss!
Serangkum angin dingin yang
membekukan tubuh berhembus keras
disertai suara bergemuruh. Dan....
Blarrr!
"Aaargh...!"
Bumi di sekitar Lembar Gunung
Kembaran bergetar hebat bagaikan
diguncang gempa. Debu dan batu kerikil
beterbangan memenuhi angkasa hingga
menghalangi pandangan.
Keempat tokoh persilatan yang tak
sempat menghindar berpentalan ke segala
penjuru. Keempat orang malang itu tewas
seketika dengan tubuh hampir tak
berbentuk lagi!
Tongkat Berantai, Nyi Ayu Kedasih,
Ki Bagasti dan beberapa orang yang memang
sudah waspada sebelumnya berhasil
meloloskan diri. Mereka terhindar dari
pukulan maut Panji karena beriindung di
batik gulungan sinar senjatanya.
Tokoh-tokoh persilatan yang kini
berjumlah menjadi dua puluh lima orang
menjadi gentar menghadapi Panji Wajah
mereka pucat dan bersimbah keringat
dingin!
Pendekar Naga Putih terus mengamuk
membabi buta. Dia seperti orang
kerasukan setan. Ayuning yang sejak tadi
berdiri terpaku terpaksa pula harus
menyingkir. Merinding bulu tengkuk gadis
ini melihat kehebatan tenaga liar yang
terus diumbar Panji
Duarrr...!
Para tokoh persilatan meleletkan
lidah dengan rasa ngeri melihat akibat
yang ditimbulkan pukulan yang nyaris
menyambar mereka. Di tanah tempat para
tokoh persilatan berdiri, tercipta
lubang sebesar kubangan kerbau. Tentu
saja hal itu membuat pengeroyok Panji
semakin ciut!
"Huh! Lebih baik aku pergi daripada
mati di tangan pemuda gila itu!" kata
salah seorang pengeroyok seraya melesat
meninggalkan tempat itu.
"Ya! Lebih baik kita pergi! Rasanya
mustahil kalau kita dapat merebut Bunga
Abadi. Pendekar Naga Putih benar-benar
sudah kemasukan setan!" kata pengeroyok
lainnya.
Selesai berkata demikian, orang itu
lari terbirit-birit hingga lupa memungut
pedangnya yang tadi terlempar ketika
menghindari sambaran Panji.
Satu demi satu tokoh persilatan yang
sudah merasa gentar mulai meninggalkan
Lembah Gunung Kembaran. Niat mereka yang
semula hendak memiliki Bunga Abadi,
mendadak sirna begitu menyaksikan
kesaktian pemilik Bunga Abadi itu.
Sedangkan sembilan tokoh lain,
termasuk Tongkat Berantai, Nyi Ayu
Kedasih, dan Ki Bagasti, masih tetap
bertahan. Walau bagaimanapun mereka
tetap bersikeras hendak merebut Bunga
Abadi dari tangan Panji. Kesembilan
tokoh sakti segera mengelilingi pemuda
yang tengah mengamuk dengan sikap
waspada.
"Jangan takut! Kita pancing
Pendekar Naga Putih terus menghamburkan
tenaganya! Lama-kelamaan pasti
tenaganya habis terkuras! Nah saat
itulah baru kita rebut Bunga Abadi dari
tangannya!" seru Tongkat Berantai yang
rupanya cepat membaca situasai.
"Hi hi hi.... Tak kusangka kalau
otakmu encer juga, Datuk Timur!" sahut
Dewi Selendang Maut terkekeh gembira
menanggapi usul Tongkat Berantai
Sembilan tokoh lainnya
mengangguk-angguk menyetujui usul yang
sangat baik itu. Sesaat kemudian, mereka
pun bergerak mengitari Pendekar Naga
Putih.
Panji yang hampir lenyap
kesadarannya tidak memperhatikan ucapan
pengeroyoknya. Yang memenuhi pikirannya
saat ini adalah bagaimana membuang
kekuatan tenaga liar sebanyak-banyaknya
agar kesadarannya pulih kembali.
"Yeaaat..!"
Diiringi teriakan membahana, Panji
kembali mendorong sepasang telapak
tangan ke arah dua pengeroyok di sebelah
kirinya. Pendekar Naga Putih sudah tidak
mempedulikan lagi ke mana jatuhnya
Pedang Pusaka Sinar Rembulan pemberian
eyang gurunya.
Blarrr!
Krrraaakh!
Sebatang pohon sebesar dua pelukan
orang dewasa hancur beserpihan tersambar
angin pukulan nyasar. Dua tokoh yang
lolos dari pukulan maut itu sama sama
meleletkan lidah melihat pohon di
belakang mereka hancur lebur diterpa
pukulan nyasar Pendekar Naga Putih. Kini
keduanya kembali bersiap-siap
menghindari pukulan nyasar lain yang
sewaktu-waktu bisa mencuri nyawa mereka.
"Hhh... entah apa jadinya kalau
pukulan tadi mengenai tubuhku?" desah
salah seorang di antaranya sambil
menarik napas lega.
"Jangan kau pikirkan hal itu,
Kisanak! Pokoknya sekarang kita tidak
boleh lengah!" ujar yang seorang lagi
mengingatkan bahaya maut bila pikiran
mereka terpecah-pecah.
***
DELAPAN
Apa yang diperhitungkan tokoh sakti
dari Timur itu memang mulai menjadi
kenyataan. Setelah sekian lama mengumbar
pukulan tanpa hasil, Pendekar Naga Putih
pun tampak mulai melemah. Kini
pukulan-pukulan berikutnya tidak
sedahsyat tadi
"Ha ha ha... lihatlah, kawan-kawan!
Pendekar Naga Putih sudah tidak seganas
tadi lagi! Tenaga pukulannya sudah jauh
berkurang!" sem Tongkat Berantai tertawa
senang.
Panji yang kesadarannya mulai
pulih, terkejut mendengar ucapan
laki-laki gendut berkepala botak itu.
Pemuda itu sadar kalau kini keadaannya
kembali terancam! Seluruh urat-urat
tubuhnya yang mulai melemah membuat
Panji cemas.
"Heaaat!"
Sambil memekik nyaring kesembilan
tokoh persilatan segera menerjang saling
mendahului. Senjata dari berbagai jenis
segera menghujani tubuh Pendekar Naga
Putih dari segala arah.
Wukkk!
Panji bergegas menundukkan
kepalanya menghindari sambaran tiga
tongkat berantai Datuk Timur yang tiba
lebih dahulu. Begitu hantaman tongkat
berantainya lolos, tangan kiri tokoh
sesat itu menyambar Bunga Abadi yang
tergantung di pinggang Panji. Pendekar
Naga Putih yang dapat membaca gerakan
Datuk Timur masih sempat menyelamatkan
Bunga Abadi itu dengan melempar tubuhnya
ke belakang.
Wuttt!
Sebuah terkaman lain sudah
menyongsong begitu Panji menjejak tanah.
Pemuda sakti itu tidak punya kesempatan
lagi untuk menghindar. Kedua belah
tangannya diangkat menangkis tamparan
dengan pengerahan seluruh tenaga
dalamnya.
Plakkk!
"Uhhh...!"
Keduanya terjajar mundur begitu dua
pasang telapak tangan beradu di udara
dengan memperdengarkan suara nyaring.
Ternyata meskipun keadaannya sudah
lemah, namun pemuda itu masih sanggup
memapak serangan lawan yang mengandung
tenaga dalam dahsyat.
Selagi Panji berusaha memperbaiki
kuda-kudanya, beberapa pengeroyok
kembali menerjang. Sungguh pun begitu
gerakan pemuda itu masih cukup gesit
menghindari setiap serangan kesembilan
pengeroyok yang berusaha keras
merobohkannya. Sementara di arena lain,
Ayuning manjadi cemas melihat Panji
terus didesak lawan-lawannya. Rasa cemas
membuat murid Dewa Tanpa Bayangan ini
semakin memperhebat gerakan pedangnya.
Karuan saja keempat murid Nyi Ayu Kedasih
yang berpakaian serba hijau menjadi
gugup melihat kecepatan gerak lawannya.
Memasuki jurus ketujuh puluh,
pedang-pedang lawan susul-menyusul
mengancam berbagai bagjan tubuh Ayuning.
Cepat gadis itu menggerakkan pedangnya
dua kali berturut-turut.
Trangngng! Tringngng!
"Ihhh...!"
Dua wanita berpakaian serba hijau
berseru tertahan. Tubuh mereka terjajar
mundur akibat tenaga tangkisan yang amat
kuat Ayuning yang tidak ingin
menyia-nyiakan kesempatan emas itu
kembali mencecar disertai ayunan pedang
secara mendatar.
Singngng!
Brettt! Brettt!
"Aaakh...!"
Tebasan pedang Ayuning yang dialiri
tenaga sakti dahsyat tepat merobek perut
kedua lawannya. Darah bermuncratan ke
mana-mana dari luka memanjang akibat
sabetan pedang gadis itu. Dua wanita
berpakaian serba hijau langsung ambruk
dan tewas seketika.
Melihat temannya tewas, dua gadis
lainnya tersentak kaget Keduanya menatap
mayat kedua saudara seperguruannya
dengan wajah berubah pucat!
"Bangsat! Kubunuh kau, Iblis
Betina! Yeaaat..!" Dua pengeroyok
Ayuning mengayunkan pedangnya dengan
kemarahan yang meluap-luap.
Wuttt! Wuttt!
"Hi hi hi... tidak kena....'" ejek
Ayuning sambil melompat sejauh dua
tombak ke belakang.
"Setan! Kuntilanak! Kucincang
tubuhmu nanti!" maki kedua wanita itu
sejadi-jadinya. Keduanya mencecar
Ayuning secara membabi buta. Ayuning
sengaja memancing kemarahan dua orang
lawannya dengan ejekan-ejekan yang
memanaskan perut. Karena dengan semakin
kalapnya mereka menyerang, maka akan
semakin mudahlah gadis itu merobohkan
mereka.
Karena terus-menerus diejek,
kemarahan mereka meledak-ledak,
Serangan pedang mereka yang tak lagi
terarah, sangat menguntungkan Ayuning.
"Heaaat..!"
Pada suatu kesempatan Ayuning
berseru lantang hingga mengejutkan dua
orang lawannya. Saat itu juga tubuh
Ayuning melesat disertai sabetan pedang
yang menimbulkan suara berdesing tajam.
Singngng!
Trangngng! Trangngng!
"Uhhh...!"
Dua serangan Ayuning berturut-turut
berhasil dipatahkan oleh dua murid Dewi
Selendang Maut Meskipun demikian, karena
tenaga dalam kedua orang lawannya itu
masih dua tingkat berada di bawah murid
Dewa Tanpa Bayangan, maka keduanya pun
terdorong beberapa langkah ke belakang
Tentu saja Ayuning memperhitungkan
hal itu secara cermat Seketika saja
melesat bagai sebuah bayangan hantu yang
menerkam mangsanya.
Brettt! Brettt!
"Aaah...!"
Darah segar bermuncratan begitu
pedang Ayuning merobek lambung dan
tenggorokan lawan. Kedua murid Nyi Ayu
Kedasih itu pun langsung roboh ke tanah.
Mereka menggelepar-gelepar sebentar
kemudian tewas, menyusul dua orang
saudaranya yang lebih dahulu sudah pergi
ke akhirat.
Setelah berhasil merobohkan keempat
lawannya, tubuh Ayuning melesat ke arah
Pendekar Naga Putih yang tengah
mati-matian menghindari
serangan-serangan pengeroyoknya.
"Haiiit..!"
Trangngng!
Begitu tiba, pedang Ayuning
langsung memotong pedang lawan yang saat
itu meluncur deras ke leher Pendekar Naga
Putih. Meskipun berhasil menyelamatkan
Panji, tubuh Ayuning terpental beberapa
langkah ke belakang akibat benturan yang
sangat keras.
"Siapa kau, Nisanak?" tegur kakek
yang tersentak kaget mendapat serangan
tiba-tiba. Kakek yang usia-nya kurang
lebih sekitar tujuh puluh tahun melotot
gusar karena gadis itu menggagalkan
serangannya yang hampir berhasil tadi.
"Hmh! Tidak periu kau tahu siapa
aku, Kakek Tua! Melihat sikap dan
penampilanmu, rasanya kau bukan dari
golongan sesat. Siapa kau sebenamya?"
Ayuning balas bertanya sambil bertolak
pinggang.
Tentu saja kakek yang bukan lain
adalah Ki Bagasti tertegun mendengar
jawaban Ayuning yang sama sekali di luar
dugaan. Sepasang mata tuanya meneliti
sekujur tubuh Ayuning, seolah dengan
berbuat begitu dia dapat mengetahui dari
golongan mana gadis itu berasal.
"Huh! Dasar kakek mata keranjang!
Mengapa kau malah memandangku seperti
itu? Oh, aku tahu sekarang!" ucap Ayuning
sambil tersenyum pahit.
"Rupanya kau kakek tua yang masih
suka dengan daun muda ya? Huh! Dasar
kakek tidak tahu diri! Sudah mau masuk
lubang kubur masih juga matanya
jelalatan! Menyebalkan!" lanjut Ayuning
sambil membuang muka dengan perasaan
jijik
Bukan main terkejutnya Ki Bagasti
mendengar ucapan gadis galak dan pandai
bicara itu. Seketika wajahnya merah
padam menahan malu karena tahu kalau
ucapan Ayuning pasti didengar
tokoh-tokoh lain.
"Kurang ajar kau, Gadis Gila!"
teriak Ki Bagasti sambil membanting kaki
penuh kegeraman. "Kau kira aku ini orang
tua macam apa? Ketahuilah, orang yang
berada di hadapanmu adalah Ki Bagasti
yang terpaksa keluar dari pertapaan
untuk mencari Bunga Abadi. Siapakah kau,
Nisanak? Dan mengapa kau menuduhku
sekeji itu?" lanjut Ki Bagasti terpaksa
memperkenalkan namanya.
"Kau tidak periu tahu siapa aku,
Kakek Tua! Kalau kuberi tahu nanti kau
akan bertanya siapa ibuku, siapa ayahku
dan di mana tempat tinggalku dan setelah
mengetahuinya kau akan datang melamarku
untuk kau jadikan istrimu yang kedua
puluh! Bukankah begitu, Kakek Tua? Hi hi
hi...!" tanpa mempedulikan kemarahan Ki
Bagasti, Ayuning terus saja menyudutkan
Ki Bagasti hingga wajahnya menjadi
semakin merah karena menahan kegeraman
bercampur rasa malu yang amat sangat
Ki Bagasti berdiri mematung.
Sekujur tubuhnya gemetar! Dia
benar-benar kehabisan akal menghadapi
gadis cantik yang pandai berbicara ini
dan terpaksa diam menahan amarah yang
hampir membuat dadanya pecah.
"Mengapa diam saja, Bandot Tua?
Apakah kau malu karena aku sudah tahu
maksud bejatmu?" tanpa rasa takut
sedikit pun Ayuning terus melontarkan
ejekan-ejekan kepada Ki Bagasti.
"Kulumat mulutmu yang jahat itu,
Gadis Gila!" bentak Ki Bagasti seraya
melompat disertai ayunan pedang yang
menimbulkan suara mengaung tajam.
"Eh... eh, mengapa marah-marah,
Bandot Tua? Bukankah aku belum tentu
menolak lamaranmu?" seru Ayuning sambil
melompat ke belakang, menghindari
serangan maut Ki Bagasti.
Sesaat kemudian, kedua orang itu
kembali bertempur hebat! Ayuning yang
menyadari kalau kepandaian Ki Bagasti
masih setingkat di atasnya, terpaksa
harus menggunakan ilmu meringankan
tubuh, guna mengimbangi kehebatan orang
tua itu.
Serangan-serangan Ki Bagasti yang
bagaikan air bah akhimya berhasil juga
mendesak Ayuning. Memasuki jurus keempat
puluh lima. Ayuning tak dapat lagi
menghindari sebuah tamparan yang
mengarah pelipis.
Plakkk!
"Uhhh...!"
Untunglah pada saat yang gawat
Ayuning sempat memiringkan tubuhnya,
sehingga tamparan Ki Bagasti hanya
menyerempet bahu kanannya. Tubuh gadis
cantik itu berputar beberapa tombak ke
belakang. Dari sela-sela bibirnya
mengalir cairan merah kental!
Pada saat yang bersamaan, tubuh
Panji pun terjatuh akibat sambaran
pedang salah seorang lawan, tepat di
dekat Ayuning. Pemuda itu menderita luka
di dada tersabet pedang musuh.
Sebenamya tenaga liar yang
mengendap di dalam tubuh Panji masih
tetap bekerja seperti biasa. Tapi kaena
kondisi Panji sudah sangat lemah, maka
tenaga liar itu pun tidak mampu untuk
menggerakkan otot-otot yang memang sudah
sangat lemah.
"Kau... kau terluka, Kakang?" desah
Ayuning lirih yang juga menyeringai
menahan rasa nyeri di bahu-nya.
"Tidak apa-apa, Ayuning, hanya
sedikit terg-res," sahut Panji
terengah-engah. Luka pemuda itu tidak
sampai menggoyahkan dadanya. Rupanya
Tenaga Liar Gerhana Bulan masih
melindungi bagian dalam tubuh Panji.
"Kakang, mengapa tidak kau gunakan
pedang yang di punggungmu?" ujar Ayuning
menunjuk pedang yang tersampir di
punggung sahabatnya.
Mendengar ucapan Ayuning, Panji
baru teringat pada pedang yang baru
ditemukannya di dekat pohon Bunga Abadi.
Periahan-lahan tangannya meraba pedang
yang tersampir di punggungnya.
"Ah, mengapa aku sampai lupa? Untung
kau mengingatkan! Ayo, Ayuning! kita
coba bertahan dengan menggunakan pedang
ini," kata Panji sambil meloloskan
pedang yang melebihi ukuran pedang
biasa.
"Pedang apa itu, Kang? Mengapa
demikian besar? Dari mana kau
mendapatkannya?" serentetan pertanyaan
meluncur dari mulut gadis itu karena
heran melihat pedang yang melebihi
ukuran pedang biasa itu.
"Entahlah, Ayuning? Aku
menemukannya di dalam gua," jawab Panji
sambil berusaha bangkit. Perlahan-lahan
pedang itu dicabut dari sarungnya.
Begitu tercabut, pedang itu
diacungkan ke langit, mendadak langit
yang semula terang menjadi gelap gulita!
Bahkan bukan itu saja! Kegelapan alam
yang secara tiba-tiba itu pun dibarengi
dengan sambaran-sambaran petir yang
memekakkan telinga! Dalam sekejap
suasana di sekitar Lembah Gunung
Kembaran berubah menjadi hiruk-pikuk
Glarrr!
Kegelapan alam dan sambaran petir
yang bersa-hut-sahutan diiringi pula
dengan hembusan angin ribut!
"Aaah...!"
Panji yang menggenggam pedang
bergetar hebat. Kilatan-kilatan petir
menyambar dan merasuk ke ujung pedang
yang diacungkan ke angkasa. Dan dari
ujung pedang, sinar petir
berpendar-pendar ke segala arah.
Pembahan keadaan itu benar-benar membuat
Pendekar Naga Putih menjadi ngeri!
"Aaakh...!"
Pekikan kengerian kembali terlontar
dari mulut Panji ketika merasakan tenaga
liar yang mengeram dalam tubunya kembali
bergolak hebat Tenaga liar itu akhirnya
bertemu dengan tenaga inti petir yang
terus merasuk ke dalam tubuhnya. Panji
memekik dan meraung hebat ketika kedua
tenaga liar yang beriainan jenis itu
bergolak semakin hebat!
Beberapa saat kemudian tubuh
Pendekar Naga Putih memancarkan cahaya
putih keperakan yang bercampur dengan
cahaya keemasan. Aneh! Meskipun tubuh
pemuda itu bergetar demikian hebat namun
sepasang kakinya bagai tertanam di dalam
bumi sehingga Panji tetap berdiri tegak
menggenggam pedang yang diacungkan ke
langit
Nyi Ayu Kedasih, Ki Bagasti, Tongkat
Berantai dan enam tokoh lain memandang
kejadian yang luar biasa itu dengan
sepasang mata tak berkedip. Mulut mereka
temganga menyaksikan kejadian yang
bagaikan dalam dongeng.
"Apa... apa...? Bagaimana..?" Datuk
Sesat Wilayah Timur yang berjuluk
Tongkat Berantai sampai-sampai tak tahu
harus mengatakan apa. Ucapannya pun tak
jelas maknanya.
"Gila! Apa... apa yang terjadi
dengan pemuda itu...?" desah Nyi Ayu
Kedasih dengan suara menggeletar mirip
orang terserang demam!
"Luar biasa...!" desis Ki Bagasti
seolah tak percaya dengan apa yang
dilihatnya.
Tak lama kemudian, dua buah sinar
yang menyelimuti tubuh Panji perlahan
menipis dan kini hanya terdapat pada mata
pedangnya. Dan pada saat berikutnya,
kedua berkas sinar itu pun melesat
melalui ujung pedang yang masih berada
dalam genggaman Pendekar Naga Putih.
Bersamaan dengan lenyapnya kedua
berkas sinar itu, langit mendadak terang
kembali. Tiupan angin keras dan sambaran
petir yang bersahut-sahutan pun lenyap
entah ke mana. Bumi di sekitar tempat itu
kembali cerah seperti sediakala.
Seolah-olah peristiwa yang menakjubkan
tadi tak pernah terjadi.
Beberapa saat lamanya semua tokoh
yang berada di tempat itu termasuk Panji
dan Ayuning hanya berdiri terpaku. Tak
seorang pun yang berbicara hingga
suasana di sekitar Lembah Gunung
Kembaran terasa hening dan mencekam.
"Kakang, mari kita tinggalkan
tempat ini!" ajak Ayuning ketika
tersadar dari keterpakuannya. Cepat
Ayuning menarik tangan Panji
meninggalkan tempat itu sebelum para
tokoh persilatan tersadar dari terpesona
yang masih menguasai mereka.
Panji tersentak dari ketegangan
begitu lengan Ayuning menariknya
meninggalkan Lembah Gunung Kembaran.
Tanpa banyak bertanya lagi, pemuda itu
segera mengikuti tarikan tangan
sahabatnya.
Sembilan tokoh persilatan segera
bangkit dari keterpakuannya ketika
mendengar suara Ayuning. Serentak para
tokoh persilatan itu pun bergegas
mengejar kedua muda-mudi yang telah
melarikan diri sebelumnya. Namun mereka
menjadi kecewa ketika bayangan Panji dan
Ayuning sudah lenyap di balik rerimbunan
pepohonan Lereng Gunung Kembaran.
Dengan hati yang diliputi
kekecewaan, sembilan tokoh persilatan
itu berpendar meninggalkan Lereng Gunung
Kembaran dengan tangan hampa.
***
"Ayuning, sebaiknya kita berpisah
di sini saja. Terima kasih atas
pertolonganmu!" ujar Panji ketika
keduanya sudah jauh meninggalkan Kaki
Gunung Kembaran.
"Ah, masih perlukah di antara kita
terdapat rasa sungkan, Kakang? Kau
adalah sahabat terbaik yang pernah
kutemui, sejak aku meninggalkan
pertapaan guruku. Apakah kau tidak
menganggapku sebagai sahabat baikmu,
Kakang?" ucap Ayuning memperlihatkan
senyum manisnya.
“Tentu Ayuning! Kau memang sahabat
yang sangat baik. Dan rasanya sulit
sekali mencari sahabat sepertimu!" sahut
Panji juga tersenyum.
“Terima kasih, Kakang, aku senang
sekali mendengamya," ujar Ayuning
semakin melebarkan senyumnya.
"Selamat bcrpisah, Ayuning. Jagalah
dirimu baik-baik!" ucap Panji terharu
begitu teringat kebaikan gadis itu
kepadanya. Setelah berkata demikian,
Panji pun bergegas meninggalkan Ayuning.
"Kakang, tunggu..!" seat Ayuning
sambil melompat mengejar Panji.
"Ada apa, Ayuning?" tanya Panji
begitu gadis itu tiba di dekatnya.
Ayuning tersenyum sambil
mengulurkan sebatang pedang yang sejak
tadi dipegangnya.
"Bukankah ini pedangmu, Kakang?"
"Ah, aku hampir lupa dengan pedang
pemberian eyang guruku ini! Di mana kau
menemukannya?" tanya Panji, seraya
menerima Pedang Sinar Rembulan dari
tangan Ayuning.
"Ketika aku terjatuh akibat pukulan
Ki Bagasti, secara tak sengaja tanganku
menyentuh benda ini. Dan ketika aku
teringat kalau pedang ini adalah pedang
yang selalu melingkar di pinggangmu, aku
pun menyimpannya," jawab Ayuning
menjelaskan mengapa pedang itu sampai di
tangannya.
"Sekali lagi teri...."
"Ett... eit... Apakah kau sudah lupa
dengan ucapanku tadi? Dasar kakek-kakek
pikun!" protes Ayuning dengan wajah
cemberut
"Ah, mengapa aku jadi pelupa!" seru
Panji memegang keningnya.
"Baiklah, tanpa terima kasih.
Selamat tinggal, Ayuning!"
Tubuh Pendekar Naga Putih langsung
berkelebat meninggalkan murid Dewa Tanpa
Bayangan yang memandangi kepergiannya
dengan senyum dikulum.
***
Matahari baru saja muncul di ufuk
Timur ketika seorang pemuda berjubah
putih berlari cepat mendaki Lereng Bukit
Gua Harimau. Pada jubah bagian dadanya
terlihat garis merah melintang. Garis
merah itu adalah darah yang telah
mengering. Siapa lagi pemuda itu kalau
bukan Panji alias Pendekar Naga Putih.
Dan luka memanjang pada dadanya adalah
akibat sabetan pedang salah seorang
pengeroyoknya ketika berusaha
mempertahankan Bunga Abadi yang hendak
direbut tokoh-tokoh persilatan.
Peristiwa itu terjadi di Lembah Gunung
Kembaran kemarin.
Tak lama kemudian, Pendekar Naga
Putih tiba di sebuah dataran yang cukup
luas di Puncak Bukit Gua Harimau. Panji
mengerutkan keningnya ketika melihat dua
orang berpakaian perwira kerajaan tengah
berjaga di depan pintu pondok
peninggalan Eyang Tirta Yasa.
"Berhenti! Siapa kau, Kisanak? Dan
apa keperluanmu datang ke tempat ini?"
tanya salah seorang dari mereka galak.
"Namaku Panji. Dan tempat ini adalah
kediaman guruku. Apakah yang telah
terjadi di sini, Tuan Perwira?" tanya
Panji cemas.
"Ah, kalau begitu kaulah yang
berjuluk Pendekar Naga Putih! Mari...
mari silakan," seru salah seorang
perwira dengan wajah gembira begitu tahu
kalau pemuda yang berdiri di hadapannya
adalah Pendekar Naga Putih.
"Kakek, Kenanga... apa... apa yang
terjadi?" tanya Panji begitu memasuki
pondok. Perasaan pemuda itu semakin
tidak enak ketika melihat ada seorang
perwira lagi yang tengah duduk di hadapan
Raja Obat dan Kenanga.
"Panji, syukurlah kau sudah
kembali! Bagaimana? Apakah kau sudah
berhasil meridapatkan Bunga Abadi?
Duduklah dulu, nanti kuceritakan!" ujar
Raja Obat ketika melihat pemuda itu
kebingungan dengan adanya seorang
perwira kerajaan di dalam pondok.
"Sudah, Kek!" jawab Panji sambil
menyerahkan kain pengikat kepala yang
digunakan sebagai pembungkus Bunga
Abadi.
Raja Obat tidak segera menerima
bungkusan yang disodorkan, melainkan
malah tertegun menatap wajah Panji.
Setelah memperhatikan lebih teliti,
akhirnya Raja Obat itu bertanya kepada
Panji.
"Cucuku, kau... kau sudah sembuh?
Kesinilah, biar kuperiksa tubuhmu?" ucap
Raja Obat tiba-tiba sehingga membuat
Kenanga dan perwira kerajaan
terheran-heran
Lebih-lebih Panji, pemuda itu
menjadi keheranan ketika mendengar
ucapan Raja Obat Namun tanpa berkata
sepatah pun, Panji membiarkan saja
tubuhnya diperiksa oleh Raja Obat
"Ah... ah... ajaib! Kau benar-benar
sudah sembuh, Cucuku!" seru Raja Obat
tersenyum. Setelah memeriksa dan
mengetuk-ngetuk tubuh Panji, kakek itu
merasa yakin kalau Panji memang sudah
benar-benar sembuh dari penyakitnya.
(Untuk mengetahui lebih jelas tentang
penyakit yang diderita Pendekar Naga
Putih, ada baiknya pembaca melihat
episode: "Raja Iblis dari Utara").
"Benarkah, Eyang?" Kenanga yang
sejak tadi hanya mendengarkan dengan
jantung berdebar tegang segera
menghambur ke dalam pelukan Pendekar
Naga Putih. Gadis jelita itu menangis
bahagia di dada kekasihnya yang menurut
Raja Obat sudah sembuh.
"Ceritakanlah, Cucuku! Apa yang
telah kau alami sejak kau meninggalkan
Bukit Gua Harimau," pinta Raja Obat yang
kelihatannya tidak sabar ingin segera
mendengar cerita Panji.
Secara singkat dan jelas Panji pun
menceritakan segala kejadian yang
dialaminya selama mencari Bunga Abadi.
Raja Obat Kenanga dan perwira kerajaan
sampai berkali-kali mengeluarkan seruan
kaget dan takjub ketika mendengar apa
yang dialami oleh Panji.
"Wah... sungguh luar biasa segala
yang kau alami, Saudara Panji! Kalau saja
cerita ini tidak kudengar dari mulutmu
sendiri, rasanya aku tak mungkin
percaya!" ujar perwira kerajaan dengan
suara yang masih terbawa oleh rasa
takjub.
"Betul, Cucuku. Dan setelah
mendengar ceritamu, Eyang yakin kalau
sembuhnya penyakit yang kau derita
disebabkan sambaran petir ketika engkau
mencabut pedang itu dari sarungnya.
Boleh kulihat pedang itu, Cucuku?" pinta
Raja Obat kepada Panji.
"Tentu, tentu, Eyang...," sahut
Panji sambil menyerahkan pedang yang
ditemukannya di dekat pohon Bunga Abadi.
Raja Obat meneliti pedang yang
diberikan Panji dengan penuh takjub. Dan
begitu meloloskan pedang dari sarungnya,
terdengar seruan takjubnya. Begitu pula
halnya dengan Kenanga dan perwira
kerajaan.
"Pedang Pusaka Naga Langit..!" seru
Raja Obat begitu mengenali pedang yang
ditemukan Panji.
"Pedang Naga Langit..?" seru Panji,
Kenanga dan perwira kerajaan keheranan
karena mereka belum pernah mendengar
cerita tentang pedang pusaka itu.
"Ya! Pedang Naga Langit Nantilah
akan aku ceritakan asal-usul pedang ini.
Nah, sekarang kau tidak memerlukan Bunga
Abadi lagi, Cucuku," ucap Raja Obat yang
lalu menceritakan maksud kedatangan per-
wira kerajaan ke Bukit Gua Harimau
"Jadi beberapa hari setelah
kepergianku, Eyang dipanggil menghadap
Gusti Prabu?" tanya Panji mene-gaskan.
"Betul, Cucuku Saat ini Gusti Prabu
tengah menderita sakit berat dan hampir
tidak ada obatnya. Akhirnya aku dengan
lancang menjanjikan akan mencarikan obat
yang mujarab untuk kesembuhan sang
Prabu. Kurasa kau sudah tahu apa yang
kumaksudkan, Cucuku?" tanya Raja Obat
sambil menatap wajah Panji dalam-dalam.
“Tahu, Eyang. Eyang pasti
menjanjikan Bunga Abadi untuk mengobati
penyakit, Gusti Prabu!" jawab Panji yang
sudah dapat menebak maksud ucapan Raja
Obat
"Nah, syukuriah. Sekarang kau sudah
tak memerlukan Bunga Abadi lagi, karena
memang benar-benar sudah sembuh secara
ajaib! Bagaimana pendapatmu kalau Eyang
meminta Bunga Abadi untuk obat penyakit,
Gusti Prabu?" tanya Raja Obat hati-hati.
Karena biar bagaimanapun Pendekar Naga
Putihlah yang berhak atas Bunga Abadi
itu.
"Dengan senang hati aku akan
merelakan Bunga Abadi ke tangan Eyang
demi kesembuhan Gusti Prabu. Lagi pula
kudengar Gusti Prabu adalah seorang raja
yang adil dan bijaksana," jawab Panji
tanpa ragu-ragu. Sejenak pemuda itu
mengalihkan pandangannya ke arah
kekasihnya yang tersenyum mengangguk.
“Terima kasih, Pendekar Naga Putih.
Kau memang benar-benar pendekar sejati
yang lebih mementingkan keselamatan
orang banyak ketimbang dirimu sendiri.
Aku akan menyampaikan Bunga Abadi kepada
Gusti Prabu. Sekarang kami mohon pamit
dan akan membawa Raja Obat ke istana.
Sekali lagi terimalah hormat dan terima
kasihku ini, Pendekar Naga Putih," ujar
perwira kerajaan yang belakangan baru
Panji ketahui kalau dia adalah seorang
Putih.
"Ah, Tuan Patih terlalu beriebihan.
Apalah artinya pengorbananku bila
dibandingkan dengan pengabdian, Tuan
Patih," ujar Panji membungkuk hormat
Kemudian Panji dan Kenanga mengantarkan
kepergian mereka hingga keluar pondok.
"Sampai jumpa, Pendekar Naga Putih,
Kenanga!" pamit patih kerajaan sambil
melambaikan tangan ke arah dua orang
pendekar muda itu.
"Selamat jalan, Eyang, Gusti
Patih!" seru Panji dan Kenanga tersenyum
sambil balas melambaikan tangan.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar