SATU
Siang itu Perguruan Perisai Baja tampak sibuk.
Beberapa orang dari rimba persilatan golongan putih
berganti-gantian mengunjungi perguruan itu. Rupa-
nya, kedatangan mereka ke situ adalah untuk me-
nyatakan bela sungkawa atas musibah yang me-
nimpa Perguruan Perisai Baja.
"Aneh! Padahal, baru kemarin aku bertemu Ki
Jaladri. Dan waktu itu kulihat beliau sehat-sehat saja.
Tak nampak sedikit pun kalau tengah menderita
sakit. Wajahnya pun segar, dan tak ada tanda-tanda
kalau tengah menghadapi suatu masalah," bisik salah
seorang tamu yang mengenakan ikat kepala ber-
warna hitam, kepada seorang tokoh lain yang berada
di sebelahnya.
"Ya! Kalau saja aku tidak melihat mayatnya, tentu
tidak akan mudah percaya begitu saja. Selama ini aku
mengenal beliau sebagai seorang yang tidak pernah
usil terhadap urusan orang lain," sahut orang yang
diajak bicara.
Rupanya, kedua orang itu adalah sahabat baik
Ketua Perguruan Perisai Baja yang bernama Ki
Jaladri. Wajah mereka tampak diliputi rasa
penasaran.
"Hm.... Menurut salah seorang murid utama, Ki
Jaladri tewas tanpa ada seorang murid pun yang
mengetahuinya. Untunglah ada seorang pelayan yang
menemukan mayat beliau di atas pembaringan,
persis seperti orang tertidur saja layaknya. Dan lebih
aneh lagi, tak satu pun luka di tubuhnya. Bahkan
menderita keracunan pun tidak! Entah, kitanya yang
kurang jeli, atau memang orang tua itu meninggal
sewajarnya?" celetuk tokoh lainnya. Dia memakai
jubah hijau, dan berikat kepala juga hijau.
Perkataan orang itu ditutup oleh sebuah per-
tanyaan yang membuat kedua orang yang tengah
berbicara itu terdiam dengan kening berkerut.
Sejenak suasana menjadi hening, terbawa oleh
pikiran masing-masing.
"Sudahlah, Kisanak. Lebih baik kita menunggu
perkembangan selanjutnya. Aku yakin kejadian ini
tidak akan berhenti begitu saja. Kematian Ki Jaladri
pasti akan berbuntut panjang," ujar tokoh yang
mengenakan ikat kepala hitam, menyimpulkan.
"Maaf. Kami harus pergi, Kisanak. Dengan adanya
kejadian ini, kami harus lebih berhati-hati menjaga
perguruan kami." Setelah berpamitan, orang itu
melangkah bersama kawannya meninggalkan
Perguruan Perisai Baja.
Tidak lama setelah kepergian kedua orang itu,
tokoh berwajah gagah yang menyandang pedang
beronce merah juga segera berpamitan kepada tuan
rumah. Dia meninggalkan Perguruan Perisai Baja
dengan berbagai pertanyaan di benaknya.
Satu persatu para tokoh persilatan itu mulai
meninggalkan Perguruan Perisai Baja. Wajah mereka
membayangkan rasa penasaran. Memang, kematian
ketua perguruan itu merupakan sebuah teka-teki
yang belum terungkapkan!
Menjelang sore, tempat itu pun kembali sepi.
Hanya ada satu dua orang tamu yang masih berbicara
dengan murid-murid utama Ki Jaladri. Sepertinya,
mereka adalah para kerabat dekat ketua perguruan
itu, dan berniat untuk bermalam di situ.
Para murid perguruan pun mulai membereskan
tempat itu. Sedangkan peti mati yang menyimpan
mayat Ki Jaladri, tetap berada di tempatnya. Tak
seorang pun yang berani memindahkan peti mati
gurunya yang berada di beranda depan itu.
Bau wewangian menebar memenuhi halaman
depan Perguruan Perisai Baja. Peti mati yang berisi
mayat Ki Jaladri tetap diam, beku, dan mengandung
misteri!
***
Malam mulai menampakkan kekuasaannya.
Perlahan-lahan kegelapan mulai menyelimuti per-
mukaan bumi. Malam itu, sang rembulan ber-
sembunyi di balik gumpalan awan hitam. Angin dingin
yang berhembus kencang membuat suasana malam
itu terasa semakin mencekam!
Keadaan malam yang menyimpan misteri itu
membuat dua orang murid Perguruan Perisai Baja
yang ditugaskan menjaga peti mati gurunya menjadi
gelisah. Sesekali salah seorang yang bertubuh gemuk
melirik ke arah tutup peti mati itu. Sepertinya dia
merasa khawatir kalau-kalau peti mati itu akan
terbuka.
"Perasaanku kok tidak enak ya? Suasana malam
ini terasa menyeramkan?" keluh orang gemuk itu
kepada kawannya yang tengah asyik melamun. Nada
suaranya yang berbisik itu terdengar agak gemetar.
Entah karena hawa dingin atau karena rasa takut
yang menyelimuti hatinya.
"Ah! Jangan berpikiran yang tidak-tidak. Kalau
takut, pergilah tidur sana," ujar kawannya, agak kesal
karena lamunannya terputus akibat keluhan orang
itu.
"Apa kau tidak merasa takut?" tanya si gemuk lagi.
Wajah orang itu tampak mulai memucat. Sepasang
matanya semakin sering melirik ke arah peti mati
yang terpisah tiga tombak dari mereka. Jelas sekali
kalau rasa takutnya semakin memuncak.
"Tidak. Mengapa harus takut? Suasana seperti ini
sudah sering terjadi. Apalagi musim hujan akan
segera datang. Jadi wajar saja kalau hari menjelang
musim itu suasana malam akan selalu begini," jawab
temannya yang memiliki tubuh kurus, acuh tak acuh.
Sepertinya keadaan alam di sekelilingnya tidak begitu
dipedulikannya.
"Aneh. Mengapa bulu kudukku tiba-tiba berdiri?
Hiiih...!"
Sambil berkata demikian, tubuh si gemuk meng-
gelinjang gelisah. Kali ini bukan lagi sekadar melirik
ke arah peti mati gurunya, tapi matanya malah tak
lepas dari peti mati itu. Keringat dingin tampak mulai
menitik membasahi keningnya.
"Ya! Karena sebentar lagi setan-setan akan
berdatangan untuk mencekik batang lehermu! Paling
tidak agar mulutmu berhenti mengoceh!" bentak si
kurus merasa kesal karena kawannya masih saja
bicara tak karuan. Namun suaranya tetap ditekan
rendah agar tidak terdengar yang lainnya.
"Aungngng...!"
Baru saja salah seorang penjaga yang bertubuh
kurus itu selesai berkata, terdengar lolongan serigala
saling bersahutan mengusik perasaan. Hembusan
angin dingin bertiup keras hingga membuat tubuh
kedua orang penjaga itu menggigil kedinginan.
Belum lagi lolongan serigala itu lenyap, terdengar
suara kayu yang bergeser dari tempatnya.
Grrrkkk!
Si penjaga bertubuh gemuk yang sejak tadi tengah
memandangi peti mati itu membelalakkan matanya.
Bahkan wajahnya pucat pasi. Penjaga itu menggosok-
gosokkan matanya dengan punggung tangan, seolah-
olah tak percaya dengan apa yang dilihatnya tadi.
"Penutup peti itu.... Penutup peti itu..., bergerak...!"
Sambil menunjuk ke arah peti mati Ki Jaladri,
orang itu berkata terputus-putus. Keringat dingin
tampak semakin banyak membasahi wajah dan
tubuhnya.
"Hm...!"
Si kurus yang memiliki keberanian, bergumam
sambil melangkah mendekati peti mati gurunya.
Diperhatikannya tutup peti mati itu dengan teliti.
"Dasar penakut! Ke sini kau! Dan lihat baik-baik,
apakah penutup peti mati ini terbuka?!" umpat si
kurus itu semakin kesal ketika tidak menemukan
sesuatu yang mencurigakan seperti yang dikatakan
kawannya tadi.
"Tapi.... Tapi, tadi...," bantah penjaga yang
bertubuh gemuk terbata-bata ketika melihat peti mati
itu ternyata masih tetap seperti semula. Sehingga
keheranannya timbul.
"Nah! Kau lihat sendiri ’kan! Makanya jangan
terlalu terbawa pikiran yang bukan-bukan," kata si
kurus menasihati.
Dan baru saja mereka hendak melangkah kembali
ke tempat semula, kembali terdengar suara yang
membuat jantung hampir copot!
"Suara itu.... Suara itu.... Datangnya dari dalam peti
mati guru!" bisik si gemuk, serak dan bergetar. Sambil
berkata demikian, tangannya mencengkeram pundak
kawannya.
Kawannya yang semula merasa tak percaya,
langsung tertegun. Karena, kali ini yang didengarnya
jelas suara yang memang datang dari dalam peti mati
Ki Jaladri.
Tapi si kurus itu tak mau mempercayai begitu saja.
Dengan hati-hati kakinya melangkah mengitari peti
mati gurunya. Diperiksanya sekeliling peti mati
gurunya itu. Dan ketika tidak menemukan sesuatu
yang mencurigakan, rasa takutnya mulai timbul.
"Tapi mustahil kalau ada mayat yang bisa bangkit
lagi," ucap si kurus dalam hati. Kata-kata itu
dimaksudkan untuk menenangkan hatinya sendiri
yang sempat goyah.
Pada saat kedua orang penjaga itu tengah
memandangi peti mati gurunya, mendadak...
Brakkk!
Penutup peti mati Ki Jaladri yang telah dipaku
kuat-kuat itu, melambung setinggi empat batang
tombak! Kemudian penutup peti mati itu melayang-
layang jatuh di tanah dalam keadaan utuh!
Belum lagi mereka menyadari apa yang tengah
terjadi, seketika itu sosok mayat yang berada di
dalam peti mati itu bangkit dan langsung berdiri tegak
dan kaku.
"Aaah...!?"
Kedua penjaga itu berteriak kaget dengan wajah
pucat pasi. Kedua kaki mereka gemetar hebat hingga
sukar untuk melangkah.
"Gggu.... ru...!" desis mereka bersamaan dengan
suara serak dan bergetar. Sepasang mata mereka
membelalak lebar.
Tanpa berbicara sepatah kata pun, sosok mayat Ki
Jaladri melangkah kaku mendekati dua orang
penjaga yang sebenarnya adalah muridnya itu.
Sepasang matanya memancarkan warna merah saga
dan menyiratkan kematian.
"Tolooong...!!!"
Dua orang penjaga itu menjerit-jerit ketakutan
ketika sepasang jari-jari tangan Ki Jaladri terulur ke
arah leher mereka. Dan....
Kreppp! Kreppp!
"Eeekh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua penjaga
yang naas itu terangkat ke atas. Wajah mereka
tampak mulai membiru karena pernapasan ter-
sumbat oleh jari-jari tangan yang sekeras besi.
Beberapa murid yang tengah meronda, cepat
berlari ketika mendengar jeritan ketakutan itu.
Bahkan tiga orang kerabat Ki Jaladri yang tengah
menginap serentak berlari menghambur ke arah yang
sama.
***
"Aaah...!"
"Mustahil...!"
"Ki Jaladri! Tidak mungkin...!"
Berbagai seruan terdengar silih berganti ketika
para murid dan tiga orang tokoh persilatan itu
menyaksikan apa yang terjadi. Serentak mereka surut
ke belakang dengan perasaan ngeri dan terkejut.
"Grrrh...!"
Terdengar erangan laksana binatang buas, keluar
dari mulut Ki Jaladri. Nampak air liur yang me-
nebarkan bau busuk menetes dari mulutnya yang
terbuka lebar.
Sesaat kemudian, tubuh dua orang penjaga yang
sudah tidak bernyawa itu dilempar ke arah orang
orang yang mengerumuninya.
"Ya, Tuhan... Musibah apa lagi yang akan menimpa
perguruan kami?" ucap salah seorang murid utama
Perguruan Perisai Baja mengeluh sedih.
Dua orang murid utama perguruan itu cepat
melesat menyambar dua sosok tubuh penjaga yang
dilemparkan oleh mayat hidup Ki Jaladri itu.
"Mereka.... Mereka telah tewas...!" desis dua orang
murid utama perguruan itu, terkejut sekaligus ngeri.
"Hm.... Pasti ada sesuatu yang tidak beres di
perguruan ini?" duga salah seorang tokoh persilatan
yang merupakan kerabat dekat Ki Jaladri.
Ia benar-benar merasa heran dengan kejadian-
kejadian aneh yang dialami perguruan itu. Belum lagi
misteri kematian Ki Jaladri terungkap, kini muncul lagi
persoalan baru.
"Pasti ada orang yang menggerakkannya, Kakang!
Tapi, apa maksud orang itu sebenarnya?" timpal
tokoh lain.
"Mungkin saja ini ulah salah seorang musuh lama
Ki Jaladri yang hendak membalas dendam!" sahut
yang lain.
"Hhh..., entahlah! Yang terpenting sekarang, apa
yang harus kita lakukan terhadap mayat hidup Ki
Jaladri ini? Untuk melukainya, rasanya tidak tega.
Tapi kalau didiamkan, bisa-bisa kita yang akan
dibunuhnya," kata seseorang.
Dia adalah tokoh persilatan yang merupakan
sahabat lama Ki Jaladri. Bajunya berwarna kuning,
dan celananya hitam. Di kedua sisi pinggangnya
tampak terselip dua buah senjata trisula yang terbuat
dari baja putih. Tokoh ini dijuluki si Trisula Perak yang
cukup terkenal di kalangan rimba persilatan. Itulah
sebabnya, mengapa dia menjadi bingung menghadapi
mayat hidup kawannya itu.
Saat itu mayat hidup Ki Jaladri sudah melangkah
mendekati orang-orang yang berada di depannya.
Gerak langkah kakinya nampak kaku dan berat.
Samar-samar tercium bau busuk yang memualkan
perut. Rupanya tubuh mayat itu pun sudah mulai
membusuk.
"Awasss...!"
Si Trisula Perak berteriak memperingatkan yang
lain ketika melihat mayat itu melompat ke arah
mereka. Kedua tangannya terulur ke depan, siap
mencengkeram siapa saja.
"Aaa...!"
Terdengar jerit kematian yang merobek angkasa.
Tampak seorang murid yang tidak sempat
menghindar, langsung menjadi korban mayat hidup
itu. Tubuh orang itu melambung tinggi disertai
percikan darahnya yang berhamburan ke segala arah.
Orang itu kontan ambruk dan tewas. Perutnya robek
lebar. Rupanya jari-jari tangan mayat hidup itu telah
membeset kulit perutnya. Darah pun mulai meng-
genang membasahi halaman Perguruan Perisai Baja.
"Maafkan aku, Sahabat. Aku terpaksa melumpuh-
kanmu!" gumam si Trisula Perak, pelan.
Setelah berkata demikian, tubuh pendekar itu
langsung melesat mengirimkan pukulan ke tubuh
mayat hidup Ki Jaladri.
Meskipun dengan gerakan kaku, ternyata mayat
hidup Ki Jaladri dapat menghindari dua buah pukulan
yang dilontarkan pendekar itu. Bahkan membalas
serangan lawan dengan tidak kalah ganas. Angin
pukulannya yang disertai bau busuk, menderu tajam
hingga menimbulkan suara mencicit
Si Trisula Perak menjatuhkan tubuhnya sambil
melepaskan sebuah tendangan kilat. Tendangan itu
terus meluncur deras mengancam perut lawan.
Desss!
Tendangan si Trisula Perak tepat menghantam
perut mayat hidup Ki Jaladri. Tapi, bukan main
terkejutnya hati pendekar itu ketika telapak kakinya
terasa bagai menghantam sebongkah besi baja!
"Aaah...!"
Tubuh pendekar itu terdorong deras ke belakang.
Secepat kilat tubuhnya berputar beberapa kali ke
belakang untuk menjaga serangan susulan. Kedua
kaki pendekar berusia setengah baya itu mendarat
empuk di atas permukaan tanah. Terlihat seringai
kesakitan di wajahnya.
Sedangkan tubuh mayat hidup Ki Jaladri hanya
terdorong sejauh empat langkah. Dan sepertinya,
tendangan pendekar itu tidak berpengaruh sama
sekali.
"Gila! Padahal semasa hidupnya Ki Jaladri pasti
akan mengalami luka dalam cukup parah akibat
tendanganku tadi. Heran, dari mana kekuatan yang
berlipat ganda itu diperolehnya?" gumam si Trisula
Perak, tak habis pikir.
Keheranan yang dialami pendekar itu memang
beralasan. Karena sebagai seorang sahabat yang
terdekat, ia tahu betul sampai di mana kepandaian
yang dimiliki Ki Jaladri. Meskipun kepandaian satu
sama lain tidak berbeda terlalu jauh, tapi pendekar
itu masih dapat mengunggulinya. Tapi sekarang,
sepertinya mayat hidup itu tidak mungkin dapat
diatasi.
"Kakang Darbasena! Kau tidak apa-apa?" tanya
salah seorang sahabatnya seraya menghampiri
pendekar itu disertai perasaan khawatir.
"Aku tidak apa-apa, Adi Kanjaran. Tapi, hati-hatilah!
Kekuatannya telah berlipat ganda. Bahkan kita
bertiga pun belum tentu mampu mengungguli
kekuatannya," jelas si Trisula Perak yang ternyata
bernama Darbasena itu.
"Wah, berbahaya sekali kalau begitu! Lalu, bagai-
mana kita harus mengatasinya?" sahut tokoh yang
dipanggil Kanjaran, bernada cemas.
"Kita terpaksa harus menggunakan senjata. Tidak
ada jalan lain, Adi Kanjaran. Sebab dia bukan lagi
sahabat kita. Jadi, tidak perlu sungkan-sungkan lagi,"
tegas Darbasena mengambil keputusan.
Selesai berkata demikian, pendekar itu bergegas
mencabut sepasang trisula peraknya yang terselip di
pinggang.
Sret! Sret!
Sinar putih keperakan seketika berpendar saat
sepasang trisula di tangan pendekar itu tersiram
cahaya obor. Dengan langkah kuda-kuda yang kokoh,
Darbasena melangkah mendekati mayat hidup Ki
Jaladri.
Wut! Wut!
Meskipun lawannya menggunakan senjata, namun
mayat hidup itu sama sekali tidak merasa gentar. Dua
serangan trisula Darbasena malah dipapak dengan
telapak tangannya. Tentu saja pendekar itu terkejut,
lalu cepat menarik pulang serangannya.
Sepasang trisula di tangan Darbasena berputar,
lalu kembali meluncur mengancam perut mayat hidup
Ki Jaladri. Dari suara desingannya yang tajam, dapat
diketahui kalau pendekar itu mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya.
Pada saat yang sama, berkelebat dua bilah pedang
ke arah mayat hidup itu. Dua serangan itu berasal
dari dua orang pendekar lain. Kekuatan dan
kecepatan dua batang pedang mereka tidak kalah
dengan sepasang trisula di tangan Darbasena.
Namun tanpa disangka-sangka, mayat hidup itu
merebahkan tubuhnya ke belakang. Meskipun
gerakannya terlihat amat kaku, tapi serangan tiga
orang pendekar itu manis sekali dapat dihindarinya.
Begitu sambaran empat batang senjata itu lolos,
tubuh mayat itu kembali bangkit dalam posisi tegak
lurus. Secepat kilat kedua tangannya menyambar ke
arah dua orang pendekar yang memegang pedang.
Bukkk! Plakkk!
Sambaran tangan kanan mayat hidup Ki Jaladri
tepat menghantam lambung salah seorang pendekar,
sehingga langsung terjengkang beberapa tombak.
Tampak darah segar menyembur keluar dari mulut-
nya. Namun hebatnya, pendekar itu langsung
melenting bangkit berdiri.
Sedangkan pendekar lainnya lagi berhasil
menangkis sambaran tangan kiri si mayat hidup.
Namun, tetap saja tubuhnya terjajar mundur sejauh
delapan langkah, sambil menyeringai kesakitan.
Rasanya, lengannya tadi bagaikan beradu dengan
sebatang besi baja yang amat keras. Tentu saja hal
itu membuatnya semakin berhati-hati dalam meng-
hadapinya.
"Bagaimana lukamu, Wijanarka?" tanya Kanjaran
kepada kawannya yang terkena hantaman mayat
hidup Ki Jaladri itu.
"Uh.... Uh.... Tidak kusangka, ternyata tenaga
pukulannya demikian kuat!" sahut tokoh yang
dipanggil Wijanarka itu sambil membungkuk
memegangi perutnya yang terkena hantaman keras
tadi.
"Kepung...!" perintah Darbasena kepada murid-
murid Perguruan Perisai Baja untuk mengurung
gurunya yang telah berubah menjadi mayat hidup.
Puluhan orang murid yang semula masih ragu-ragu
itu cepat berloncatan mengurung mayat hidup Ki
Jaladri. Mereka semua sudah mencabut senjata
masing-masing, karena sudah menyadari kalau mayat
hidup itu bukan lagi gurunya.
Sementara itu, mayat hidup Ki Jaladri pun telah
menggenggam sebatang pedang milik Wijanarka yang
telah terlepas karena terkena pukulannya. Tentu saja
hal itu membuatnya semakin berbahaya!
"Yeaaat..!"
Disertai teriakan nyaring, puluhan orang murid
Perguruan Perisai Baja berlompatan sambil
menyabetkan senjata ke arah mayat gurunya.
Sepertinya mayat hidup Ki Jaladri itu kali ini tidak
akan lolos dari kematian untuk yang kedua kalinya.
Namun, untuk kesekian kalinya tiga orang tokoh
persilatan dan para murid Perguruan Perisai Baja
kembali terkejut Ternyata mayat hidup yang dipasti-
kan akan terpanggang puluhan batang pedang itu
masih mampu menggerakkan pedang untuk
menangkis puluhan batang pedang. Meskipun
dengan terpatah-patah, tapi gerakan yang dilakukan-
nya benar-benar menggetarkan.
Tubuh mayat hidup itu melonjak-lonjak bagai
seekor kijang yang ketakutan. Setiap kali bergerak,
pedang lawan yang tertangkis pasti terpental lepas
dari genggaman. Dan sebelum para pengeroyok
sempat berbuat sesuatu, mayat hidup itu telah
menyabetkan pedangnya dengan kecepatan kilat.
Bret! Bret!
"Aaargh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, para pengeroyok yang
terkena sambaran pedangnya kontan terjungkal
mandi darah. Dalam satu gebrakan saja, enam orang
murid Perguruan Perisai Baja tewas tergeletak di
tangan mayat gurunya. Tentu saja hal itu membuat
yang lainnya tersentak mundur dengan wajah pucat.
Mundurnya para pengeroyok itu ternyata tidak
membuat mayat hidup itu berhenti mengamuk.
Tubuhnya yang bergerak kaku terus saja menerjang
disertai ayunan pedang yang berbau kematian.
Sehingga, para pengeroyok yang mulai gentar
bergegas berloncatan menjauhi arena maut itu.
Cras! Cras...!
"Aaa...!"
Lagi empat orang murid Perguruan Perisai Baja
yang tak sempat menghindarkan diri menjadi sasaran
amukan pedang mayat hidup Ki Jaladri. Mereka
langsung tewas seketika dengan usus memburai!
"Heaaat..!"
Darbasena, Kanjaran, dan Wijanarka berteriak
sambil menerjang berbarengan. Kali ini mereka
sudah tidak lagi memandang mayat hidup itu sebagai
kawannya. Maka serangan yang dilakukan pun tidak
tanggung-tanggung lagi. Ayunan senjata ketiga orang
tokoh itu mengaung tajam membeset udara dingin
malam itu.
Perbuatan ketiga orang tokoh itu pun segera diikuti
empat orang murid utama Ki Jaladri. Ternyata mereka
juga tidak lagi melihat Ki Jaladri sebagai gurunya.
Karena, mayat hidup itu ternyata telah tega mem-
bunuh murid-muridnya sendiri. Sehingga, rasa
keraguan yang memang sudah menipis itu lenyap
seketika. Dan kali ini, keempat orang murid utama itu
sudah bertekad untuk melenyapkannya.
DUA
"Haiiit..!"
Empat orang murid utama Perguruan Perisai Baja
berseru nyaring secara bersamaan sambil meng-
ayunkan senjata ke tubuh mayat hidup guru mereka.
Wut! Wut...!
Trang! Trang!
"Aaah...!"
Namun serangan beruntun dari keempat murid
Perguruan Perisai Baja dengan mudah dapat di-
tangkis oleh pedang si mayat hidup. Tubuh mereka
terjajar mundur disertai seruan kagetnya. Sebelum
posisi mereka sempat diatur kembali, si mayat hidup
sudah mengayunkan senjata mengancam ke-
selamatan keempat orang murid utama itu.
Wut!
Trak!
Pada saat yang berbahaya itu, Wijanarka me-
nyabetkan pedang untuk menyelamatkan empat
orang murid utama itu. Apa yang dilakukan tokoh itu
memang berhasil, meskipun pedangnya harus patah
akibat kuatnya ayunan pedang si mayat hidup. Buru-
buru tokoh itu menggulingkan tubuhnya untuk meng-
hindari serangan berikutnya.
"Uhhh...!"
Wijanarka berusaha bangkit sambil mendekap
dadanya yang terasa sesak akibat kuatnya pengaruh
tangkisan senjata si mayat hidup. Kekuatannya yang
masih kalah jauh menyebabkan Wijanarka kembali
terluka. Memang, lukanya akibat hantaman mayat
hidup itu kembali kambuh.
Sementara itu, Darbasena dan Kanjaran sudah
bertarung sengit melawan mayat hidup itu. Mereka
memang merasa berkewajiban untuk melindungi
Perguruan Perisai Baja dari kehancuran. Makanya,
kini si mayat hidup terus dicecar dengan serangan-
serangan hebat dan dahsyat
Trisula Perak dan Kanjaran mengerahkan seluruh
kepandaian yang dimiliki. Pengalaman yang telah
dialami berkali-kali tadi, membuat mereka harus ber-
hati-hati untuk memapak setiap serangan balasan si
mayat hidup. Kedua pendekar itu terus mendesak
tanpa berani beradu tangan atau beradu senjata
dengan mayat hidup Ki Jaladri.
Sementara itu empat orang murid utama
Perguruan Perisai Baja yang lolos dari kematian,
segera terjun ke dalam kancah pertempuran. Tentu
saja dengan hadirnya mereka, keadaan Darbasena
dan Kanjaran semakin bertambah kuat. Dan kini
serangan yang dilakukan dua orang tokoh persilatan
itu semakin hebat saja.
Tapi, mayat hidup Ki Jaladri memang luar biasa!
Walaupun dikeroyok dua orang pendekar dan di-
tambah empat orang murid utama, tetap saja tidak
merasa kewalahan. Malah, ayunan senjatanya
semakin ganas dan mengerikan.
Pada jurus yang kedua puluh tiga, enam orang
tokoh itu mengayunkan senjata secara berbarengan.
Mereka menerjang dari enam penjuru. Kali ini,
mereka semua yakin kalau tubuh mayat hidup Ketua
Perguruan Perisai Baja itu pasti akan tercincang.
Namun, dugaan enam orang tokoh itu kembali
keliru. Dengan gerakan cepat luar biasa, tubuh mayat
hidup itu menyelinap di tengah-tengah dua penge
royoknya. Kedua tangannya mengembang ke depan
memapak serangan dua orang murid utama Per-
guruan Perisai Baja.
Plak! Trang!
Pedang di tangan kanan si mayat hidup berhasil
menangkis senjata pengeroyoknya. Sedangkan
tangan kirinya menepiskan senjata yang mengancam
leher. Maka terciptalah celah untuknya meloloskan
diri, karena tubuh dua orang pengeroyoknya terjajar
ke belakang.
Setelah berhasil menerobos kepungan, tubuh
mayat hidup itu berputar setengah lingkaran disertai
sambaran pedang membabat perut dua orang murid
utama itu.
Bret! Cras!
"Aaa...!"
Tubuh dua orang itu melintir dan langsung ambruk
ke tanah. Darah seketika menyembur dari luka
menganga di perut, sehingga langsung menewaskan
dua orang murid utama Perguruan Perisai Baja.
Belum lagi rasa terkejut para pengeroyok hilang,
tubuh si mayat hidup sudah melompat ke arah
Wijanarka disertai ayunan pedangnya.
Wijanarka yang saat itu tengah melangkah tertatih-
tatih, hanya dapat memandang ngeri dengan
sepasang mata terbelalak. la tak sempat lagi
menghindari bacokan pedang yang menuju batang
lehernya itu.
"Hhhk...!"
Laki-laki berusia empat puluh tahun itu tak sempat
lagi berteriak, karena batang lehernya tertebas oleh si
mayat hidup. Darah pun langsung menyembur dari
batang leher yang telah putus itu. Kepala pendekar
itu menggelinding, lepas dari tubuhnya.
"Iblis...!" desis Trisula Perak marah melihat
kekejaman yang terjadi di depan matanya itu. Setelah
memaki penuh kemarahan, tubuh pendekar setengah
baya itu melesat disertai tusukan trisula peraknya
yang mengarah jantung si mayat hidup.
Saat itu si mayat hidup sudah kembali melompat
ke arah kerumunan puluhan murid yang tengah
menyaksikan pertarungan berdarah itu. Bukan main
pucatnya wajah mereka ketika melihat tubuh mayat
gurunya tengah meluncur ke arah mereka.
Terdengar jerit kematian yang saling susul ketika
senjata di tangan si mayat hidup kembali meminta
korban! Dalam beberapa gebrak saja, tubuh belasan
orang murid Perguruan Perisai Baja bergelimpangan
tumpang tindih. Darah semakin membanjir, menebar-
kan bau amis yang memualkan perut. Belum lagi bau
busuk yang menebar dari tubuh mayat hidup Ki
Jaladri. Yang jelas, bau di sekitar tempat itu semakin
tak karuan.
Trang! Trang!
Dua kali sambaran pedang si mayat hidup berhasil
digagalkan Darbasena. Meskipun tubuh pendekar itu
terdorong beberapa langkah ke belakang, namun
tangkisannya berhasil menyelamatkan beberapa
orang murid yang nyaris hilang nyawanya.
Perbuatan Trisula Perak ternyata telah membuat si
mayat hidup menjadi jengkel. Sepasang matanya
yang memerah saga menatap tajam ke arah
pendekar itu. Sesaat kemudian, tubuhnya melesat
kaku ke arah lawannya.
Wut' Trang! Trang!
"Uhhh...!"
Darbasena berhasil menghindari sebuah sabetan
yang mengancam lehernya. Dua buah serangan
berikutnya juga berhasil ditangkis. Namun karena
kekuatan mayat hidup Ki Jaladri memang lebih tinggi,
maka tetap saja tubuh laki-laki setengah baya itu
terdorong dan terhuyung-huyung ke belakang.
Kanjaran dan dua orang murid utama Ki Jaladri
yang masih selamat, bergegas melompat untuk
menolong Darbasena. Serentak mereka meng-
ayunkan senjata berbarengan ke arah si mayat hidup
yang tengah memburu Darbasena.
Darbasena memucat wajahnya karena saat itu
sudah tidak mempunyai kesempatan lagi untuk
menyelamatkan diri. Untunglah, saat itu ketiga orang
kawannya berhasil mendahului gerakan si mayat
hidup.
Trang! Trang!
Brettt!
Pedang di tangan Kanjaran dan salah seorang
murid utama berhasil menggunting senjata si mayat
hidup. Sehingga untuk beberapa saat lamanya, tiga
buah senjata itu mengapung di udara.
Pada saat yang bersamaan, pedang di tangan
salah seorang murid utama tepat membeset tubuh si
mayat hidup, sehingga terjajar beberapa langkah ke
belakang.
Ketiga orang itu bergegas berlompatan mundur
menjauhi si mayat hidup. Ternyata dari luka di
perutnya keluar cairan hijau yang menebarkan bau
busuk yang sangat menusuk hidung.
"Hoeeek...!"
Seketika ketiga orang itu memuntahkan isi
perutnya karena pengaruh bau busuk itu. Kini mereka
semua tak kuasa lagi menahan isi perutnya yang
mendadak ingin keluar.
Luka yang diderita si mayat hidup itu sebenarnya
cukup parah. Tapi sepertinya sama sekali tidak ada
pengaruhnya. Dan selagi keempat orang itu tengah
tak berdaya, si mayat hidup melesat mengayunkan
senjatanya.
Crak! Crak...!
Kematian demi kematian saling susul ketika
pedang di tangan si mayat hidup membacok ke tubuh
empat orang tokoh itu. Darah segar kembali muncrat
membanjiri pelataran Perguruan Perisai Baja.
Setelah menewaskan keempat orang tokoh itu, si
mayat hidup kembali berpaling ke arah murid
Perguruan Perisai Baja yang tinggal dua puluh tujuh
orang.
"Aaah...!"
Wajah dua puluh tujuh orang murid itu pun pucat
seketika. Rasanya nyawa mereka telah lepas sebelum
sempat terkena senjata si mayat hidup. Bahkan
beberapa orang di antaranya langsung jatuh pingsan
karena rasa takut yang hebat.
"Aaa...!"
Korban kembali berjatuhan ketika mayat hidup Ki
Jaladri mulai membantai murid-muridnya sendiri.
Darah memercik memenuhi halaman perguruan itu.
Namun demikian, beberapa orang murid nekat
melakukan perlawanan sebisanya. Namun, apalah
artinya perlawanan itu? Dan memang akhirnya
mereka mati tanpa mampu melukai si mayat hidup
sedikit pun juga. Sementara itu beberapa orang
lainnya langsung melarikan diri tanpa mempedulikan
kawan-kawannya.
Kini tempat itu kembali jadi hening. Puluhan mayat
bergelimpangan tumpang-tindih. Bau anyir darah
menebar tertiup hembusan angin malam yang
semakin dingin.
Mayat hidup Ki Jaladri melangkah kembali ke arah
peti matinya. Sekali lompat saja, tubuh yang kaku itu
kembali terbaring di dalamnya. Sedangkan golok di
tangannya masih tetap tergenggam erat Sementara
penutup peti mati itu kembali bergerak menutupinya.
Perlahan-lahan peti mati Ki Jaladri terangkat naik
bagai digerakkan tenaga gaib, lalu terus melayang
meninggalkan Perguruan Perisai Baja. Sesaat
kemudian, peti mati itu lenyap ditelan kegelapan sang
malam.
***
Malam baru saja berganti pagi ketika kegemparan
pecah di Desa Keputih. Para petani yang sedianya
hendak berangkat ke sawah, lari tunggang-langgang
kembali ke desa. Wajah mereka rata-rata terpancar
rasa ketakutan hebat.
Ternyata kegemparan itu disebabkan oleh datang-
nya tujuh orang laki-laki yang berteriak-teriak histeris
sambil mengacung-acungkan pedangnya. Wajah
mereka rata-rata kotor tak terawat. Begitu juga
dengan pakaian mereka yang compang-camping tak
ubahnya pakaian pengemis gila.
"Tolong...! Tolong...! Ada orang gila ngamuk...!"
Sambil berlari-lari para petani laki-laki dan
perempuan berteriak-teriak ketakutan.
"Hei, siapa kalian?! Apa maksudnya menakut-
nakuti penduduk desa kami?" tegur seseorang.
Dia adalah laki-laki brewok mengenakan baju putih
dan celana berwarna hitam. Tahu-tahu, laki-laki itu
telah berdiri menghadang. Tampak di kiri kanannya
berdiri masing-masing seorang laki-laki lain yang juga
bersikap galak. Yang di sebelah kiri bertubuh tinggi
tegap, dan berusia sekitar tiga puluh tahun.
Pakaiannya ketat berwarna biru. Sedangkan yang di
sebelah kanan bertubuh sedang, berusia sekitar dua
puluh dua tahun.
Pakaiannya ketat, berwarna hijau. Sepertinya,
mereka adalah keamanan desa itu.
Tujuh orang laki-laki bertubuh kotor itu menatap si
brewok dengan pandangan kosong dan ketakutan.
Melihat dari cara memandang, dapat diduga kalau
mereka memang tidak waras.
Si brewok dan dua orang kawannya terkejut
melihat cara memandang tujuh orang itu. Sejenak
mereka menjadi bingung karena tak tahu harus
berbuat apa.
"Kakang, kelihatannya mereka tidak waras!" tegas
laki-laki berbaju biru yang berada di sebelah kiri si
brewok.
"Ya! Sepertinya memang begitu, Adi. Entah harus
bagaimana kita menghadapinya?" sahut si brewok
terlihat agak bingung begitu mengetahui kalau yang
dihadapi adalah orang-orang yang tidak waras.
"Hm.... Dari mana mereka datang?" gumam laki-
laki berbaju hijau, seperti bertanya pada dirinya
sendiri.
"Coba dekati dan tanya baik-baik, Kakang," usul
laki-laki berbaju biru. Wajahnya yang cukup bersih
dan tampan itu terlihat agak khawatir.
"Hm...," si brewok hanya bergumam mendengar
usul salah seorang kawannya. Setelah berpikir
sejenak, kakinya melangkah perlahan mendekati
ketujuh orang itu.
Belum lagi si brewok sempat melontarkan
pertanyaan, ketujuh orang laki-laki tak waras itu
berteriak-teriak ketakutan.
"Jangan.... Jangan bunuh kami.... Ampun...!" ratap
salah seorang dari tujuh laki-laki gila itu dengan
wajah ketakutan.
Ketujuh laki-laki gila itu bergerak mundur. Mata
mereka tampak bergerak liar, penuh rasa takut. Jelas
sekali kalau rasa ketakutan itu tidak dibuat-buat.
Tentu saja hal itu membuat si brewok menjadi
semakin heran.
"Tenanglah, Kisanak. Kami tidak bermaksud
melukai atau membunuh kalian," bujuk laki-laki
brewok. Sambil berkata demikian, si brewok
meneruskan langkahnya mendekati mereka.
"Tidaaak...! Jangaaan...!"
Wajah yang semakin pucat bagaikan dilanda rasa
takut yang hebat itu terus bergerak mundur.
Beberapa saat kemudian, mereka berhenti. Namun
tiba-tiba tubuh mereka menegang dan kemudian
bergetar bagai tengah menderita demam yang hebat!
"Keparat kau, Iblis! Kubunuh kau...! Heaaat..!"
Tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak
marah. Rupanya rasa takut yang memuncak, mem-
buatnya nekat. Sambil berteriak-teriak kalap, laki-laki
gila yang berada paling depan melompat menerjang si
brewok disertai ayunan pedang.
"Kubunuh kau...! Kubunuh kau...!"
Sambil terus berteriak-teriak kalap, laki-laki gila itu
menyabetkan pedangnya berkali-kali.
Si brewok yang tidak menyangka akan mendapat
perlakuan demikian, bergegas menghindari bacokan
pedang si gila. Kemudian, ia melompat mundur jauh
ke belakang ketika serangan itu semakin cepat dan
ganas!
Berbarengan dengan mundurnya si brewok, enam
orang laki-laki gila lainnya melompat menerjang si
brewok yang saat itu sudah dekat dengan dua orang
kawannya.
Sadar kalau pertarungan tak mungkin dapat
dihindari, si brewok dan dua orang temannya ber-
gegas mencabut senjata masing-masing. Karena
tidak melihat jalan lain, maka ketiga orang keamanan
desa itu menggerakkan senjata untuk melakukan
perlawanan.
Wuk! Wut..!
"Aaah...!"
Tiga orang keamanan Desa Keputih itu saling
menghindari serangan tujuh orang laki-laki gila itu.
Mereka terkejut sekali ketika sadar kalau tujuh orang
gila itu ternyata bukan orang sembarangan. Bahkan
sepertinya memiliki ilmu kepandaian yang tidak
rendah! Tentu saja hal ini membuat tiga orang
keamanan desa itu terdesak hebat.
Pertarungan yang tidak seimbang dan men-
debarkan itu terus berlangsung sengit. Beberapa
orang penduduk yang menyaksikan dari tempat-
tempat tersembunyi seketika menjadi cemas. Karena,
tiga orang keamanan desa itu tampak terdesak.
"Cepat laporkan kepada Ki Jonggol sebelum
mereka terbunuh oleh gerombolan laki-laki gila itu!"
perintah seorang laki-laki tua berusia sekitar enam
puluh lima tahun kepada laki-laki muda yang hanya
menonton di sebelahnya.
"Baik, Ki!" jawab si pemuda bergegas keluar dari
persembunyiannya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda itu
segera berlari untuk melaporkan peristiwa itu kepada
orang yang bernama Ki Jonggol.
Sekitar sepuluh tombak dari tempat pertempuran,
tampak seorang pemuda tampan berjubah putih
berdiri tegak mengawasi jalannya pertarungan.
Wajahnya yang bersih dan tampan itu tampak tenang
mengawasi pertempuran yang berlangsung seru itu.
"Hm...."
Pemuda tampan itu hanya bergumam lirih ketika
lagi-lagi ketiga orang keamanan desa itu harus
bergulingan menghindari sabetan pedang ketujuh
orang gila itu.
Meskipun serangan tujuh orang gila itu tampak
sembarangan, namun cukup mengandung tenaga
dalam. Akibatnya, ketiga orang keamanan desa itu
sepertinya tak mampu mengatasi. Dan kini,
keselamatan mereka semakin terancam.
"Hm.... Gerakan ketujuh orang gila itu sepertinya
telah terlatih baik. Meskipun kacau, namun tenaga
serangan mereka tetap mantap dan membahayakan,"
gumam pemuda tampan berjubah putih, memberikan
penilaian terhadap ketujuh orang gila itu.
"Ya. Tapi kalau saja ketujuh orang itu bertarung
satu lawan satu, rasanya si brewok belum tentu akan
kalah, Kakang," timpal seorang gadis cantik laksana
bidadari.
Gadis jelita itu mengenakan pakaian serba hijau.
Demikian juga dengan kepalanya yang terikat
selembar kain yang juga berwarna hijau. Sudah bisa
diduga kalau kedua orang itu adalah Panji dan
Kenanga.
"Lihat, Kenanga! Sepertinya ketiga orang itu sudah
semakin parah keadaannya. Rasanya tak lama lagi
pasti akan terluka!" sentak Panji yang membuat gadis
jelita itu kembali menolehkan wajah ke arah
pertempuran.
Memang benar apa yang dikatakan Panji. Saat itu
ketiga orang keamanan Desa Keputih tampaknya
sudah tidak sanggup bertahan lagi. Karena, ketujuh
orang gila itu bagai memiliki sumber tenaga yang tak
pernah habis. Buktinya, walaupun pertempuran
sudah berlangsung cukup lama, namun orang-orang
gila itu masih saja nampak segar bagai tak merasa
lelah.
Des! Buk!
"Aaakh...!"
Tubuh dua orang teman si brewok terjungkal
ketika sebuah tendangan dan pukulan lawan tepat
menghantam tubuh mereka. Cepat-cepat kedua
orang itu bergulingan menjauhi tempat itu.
Wut! Wut!
Sabetan pedang dua laki-laki gila yang mengejar
dua orang keamanan desa itu berhasil dihindari.
Kemudian tubuh dua orang keamanan desa itu
melenting ke atas, lalu mendarat manis beberapa
tombak dari dua penyerangnya.
"Kubunuh kau! Kubunuh kau...!"
Sambil terus berteriak-teriak, dua orang laki-laki
gila itu terus mengejar lawannya. Wajah mereka
tampak semakin beringas bagai binatang buas
kelaparan.
Wajah dua orang keamanan desa itu semakin
pucat. Saat itu dua bilah pedang lawan sudah
meluncur ke arah tubuhnya. Dengan gerakan yang
semakin melemah, kedua keamanan desa itu meng-
angkat senjata untuk menangkis serangan.
Trang! Trang!
"Aaah...!"
Serangan itu memang berhasil digagalkan. Namun
karena tenaga sudah semakin lemah, maka kedua
senjata mereka terpental setelah menangkis bacokan
yang didorong tenaga dalam tinggi itu. Dua orang itu
hanya dapat memejamkan matanya penuh
kepasrahan. Karena, pada saat itu pedang di tangan
lawan-lawannya sudah kembali berkelebat meng-
ancam tubuh mereka.
Wut! Wut!
Tak! Tak!
"Aaargh...!"
Terdengar jeritan keras yang berasal dari mulut
kedua orang gila itu. Tubuh mereka langsung mundur
sambil memegangi tangan kanan yang tergantung
lumpuh. Sedangkan pedang mereka terjatuh ke atas
tanah.
Rupanya pada saat yang gawat bagi kedua orang
keamanan desa itu, tiba-tiba meluncur dua buah batu
kecil yang melesat dengan kecepatan kilat. Dua buah
batu itu tepat menghantam pergelangan kedua orang
gila yang sudah beringas itu, sehingga senjatanya
terlepas dari genggaman. Dengan demikian, selamat-
lah nyawa dua orang keamanan desa itu.
"Eh...!"
Dua orang keamanan desa itu seketika heran saat
sambaran pedang lawan tak juga datang. Mereka
semakin heran ketika melihat dua orang gila yang
semula hendak membunuh, tampak tengah
menyeringai menahan sakit. Dua orang gila itu
menatap dua orang keamanan desa dengan wajah
agak gentar.
Sementara itu, si brewok yang tengah dikeroyok
lima laki-laki gila lainnya, tengah mati-matian me-
nyelamatkan diri. Tubuhnya terus bergulingan meng-
hindari sambaran pedang lawan-lawannya. Namun,
karena gerakannya sudah semakin lemah dan
lambat, maka dia tak dapat lagi menghindari sabetan
pedang lawan.
Laki-laki brewok itu telentang pasrah menanti
datangnya maut yang siap menjemput.
Wut!
Pedang salah seorang lawan menderu tajam siap
membelah tubuh laki-laki brewok itu. Pada saat yang
berbahaya itu, sesosok bayangan putih berkelebat
laksana sambaran kilat. Maka....
Plak!
"Aaah...!"
Tubuh orang gila yang siap merajam tubuh si
brewok itu terjengkang ke belakang akibat tepisan
tangan bayangan putih yang berkelebat tadi. Dan
sebelum kelima laki-laki gila itu menyadari apa yang
terjadi, tubuh bayangan putih itu kembali berkelebat
laksana hantu.
Terdengar suara tamparan lima kali berturut-turut
yang disusul robohnya kelima laki-laki gila itu,
sehingga diam tak bergerak-gerak lagi. Tamparan itu
rupanya telah membuat mereka roboh pingsan.
"Heaaah...!"
Dua orang lain yang tadi menyerang dua teman si
brewok berteriak marah! Mereka meraung keras
bagai harimau luka, lalu serentak melompat
menerjang sosok berbaju putih yang tengah berdiri
menatapi lima orang yang telah pingsan tadi.
Begitu dua orang itu tiba di dekatnya, sosok baju
putih itu langsung berbalik. Dua kali tangannya ber-
gerak melakukan tamparan perlahan. Tanpa dapat
dicegah lagi, tubuh kedua orang itu pun roboh
pingsan menyusul yang lainnya.
***
TIGA
"Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak," ucap
laki-laki brewok sambil membungkuk hormat, diikuti
dua orang temannya.
"Ah! Janganlah terlalu sungkan, Kisanak. Ini
memang sudah menjadi kewajiban kita," sambut
pemuda berjubah putih, seraya membalas peng-
hormatan ketiga orang keamanan desa itu.
"Kakang, mengapa tidak dibunuh saja orang-orang
gila itu? Bukankah setelah sadar nanti mereka akan
membuat keonaran kembali?" kata gadis jelita yang
berpakaian serba hijau sambil menghampiri sosok
berjubah putih yang tidak lain Panji atau lebih dikenal
sebagai Pendekar Naga Putih.
"Kurasa tidak perlu, Kenanga. Kulihat mereka
sepertinya bukan orang gila sungguhan. Dari sikap
dan tingkah laku mereka tadi, aku menduga kalau
mereka telah mengalami suatu kejadian yang
membuat jiwa dan pikiran terguncang. Aku akan
mencoba memeriksanya. Siapa tahu mereka belum
terlambat untuk disembuhkan," sahut Panji tidak
menyetujui usul yang diajukan kekasihnya.
"Apakah Kisanak bertiga tidak kenal ketujuh orang
gila ini?" tanya Kenanga mengalihkan pandangannya
kepada ketiga orang keamanan Desa Keputih itu.
"Sayang sekali kami tidak mengenalnya, Nisanak.
Sepertinya mereka berasal dari tempat yang cukup
jauh," jawab laki-laki brewok yang kelihatannya
merupakan Ketua Keamanan Desa Keputih.
Panji dan Kenanga serta yang lain menolehkan
kepala ketika mendengar derap kaki kuda men-
datangi tempat itu. Tidak lama kemudian, tampak tiga
ekor kuda yang ditunggangi tiga orang laki-laki gagah.
"Siapakah mereka?" tanya Kenanga pelan.
Sambil berkata demikian, kepala gadis itu menoleh
ke arah si brewok. Jelas pertanyaan itu ditujukan
kepada si brewok.
"Orang tua yang berada di tengah adalah kepala
desa kami. la dipanggil dengan Ki Jonggol. Sedangkan
dua orang yang berada di kiri kanannya adalah para
pembantu utamanya," jawab laki-laki brewok itu
menerangkan.
Setelah menjawab pertanyaan Kenanga, si brewok
bergegas menyambut kepala desa itu bersama
dengan dua orang pembantunya.
Begitu tiba di tempat kejadian, laki-laki berusia
setengah baya yang bernama Ki Jonggol itu bergegas
melompat turun dari atas kudanya. Ringan sekali
gerakannya. Menandakan kalau kepala desa itu tidak
bisa dianggap enteng. Sementara dua orang
pembantu utamanya ikut melompat turun dari atas
punggung kuda masing-masing.
"Ada apa ini, Gedaran?" tanya Ki Jonggol kepada si
brewok yang ternyata bernama Gedaran, sambil
sepasang matanya berkeliling merayapi sekitar
tempat itu.
Kepala desa itu mengerutkan kening ketika
pandangannya bertemu dengan Panji dan Kenanga.
la menganggukkan kepalanya ketika melihat pemuda
berjubah putih itu mengangguk hormat ke arahnya.
"Begini, Ki...."
Laki-laki brewok yang bernama Gedaran itu pun
segera menceritakan kejadian yang dialami. Sesekali
kedua orang temannya ikut pula membantu, melengkapi keterangan si brewok.
"Untunglah kami ditolong pemuda tampan ber-
jubah putih itu, Ki. Kalau tidak, mungkin kami sudah
tewas," kata Gedaran menutup keterangannya.
"Hm.... Jadi pemuda berjubah putih itu juga yang
telah merobohkan ketujuh orang gila itu?" tanya Ki
Jonggol sambil mengarahkan pandangannya kepada
Panji dan Kenanga.
Setelah mendapat keterangan dari Gedaran, Ki
Jonggol segera melangkahkan kakinya mendekati
Panji dan Kenanga. Langkah kepala desa itu terlihat
ringan dan mantap. Ini satu bukti lagi kalau kepala
desa itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi.
"Terima kasih atas pertolonganmu kepada ketiga
orang pembantuku itu. Bolehkah aku tahu, siapa
nama kalian berdua?" ucap Ki Jonggol sambil meng-
anggukkan kepalanya kepada Panji dan Kenanga.
"Ah! Hanya suatu kebetulan saja, Ki. Namaku
Panji. Sedangkan gadis ini adalah tunanganku yang
bernama Kenanga," sahut Panji memperkenalkan diri
kepada kepala desa itu.
"Hm.... Panji... Rasanya nama itu sudah pernah
kudengar? Panji seorang pemuda tampan yang selalu
mengenakan jubah putih dengan sebilah pedang
lentur yang selalu melingkar di pinggangnya. Anak
Muda, salahkah dugaanku?" tanya Ki Jonggol
meminta ketegasan dari pemuda tampan berjubah
putih yang tengah berdiri di hadapannya.
"Hm.... Menurutku, banyak sekali pemuda yang
memiliki ciri-ciri seperti itu, Ki. Dan lagi...."
"Kalau yang Ki Jonggol maksudkan adalah
Pendekar Naga Putih, ya dia inilah orangnya!" potong
Kenanga cepat sambil menyunggingkan senyum
menggoda di bibirnya ke arah Panji yang hanya
melongo karena ucapannya terputus.
"Ah! Sudah kuduga kalau aku berhadapan dengan
pendekar muda yang tersohor itu. Maafkanlah sikap-
ku yang kurang hormat tadi, Pendekar Naga Putih.
Dan selamat datang di Desa Keputih ini," ucap Ki
Jonggol.
Wajah kepala desa itu langsung berseri gembira.
Padahal, semula agak angkuh.
Panji menjadi tidak enak hatinya mendengar Ki
Jonggol memuji-muji dirinya sedemikian rupa.
Pemuda itu mengerling ke arah Kenanga dengan
sinar mata mengancam.
"Awas kau...!" desis Panji perlahan, karena tidak
ingin kata-katanya didengar orang lain.
"Hi hi hi...!" Kenanga hanya tertawa menggoda
mendengar ancaman kekasihnya itu. Cepat-cepat
tubuhnya digeser menjauhi pemuda itu.
"Hm.... Lalu apa yang harus kita lakukan terhadap
ketujuh orang gila itu, Pendekar Naga Putih?" tanya Ki
Jonggol meminta pendapat pemuda itu.
"Panggilah aku dengan nama Panji saja, Ki!" pinta
Panji yang merasa risih mendengar kepala desa itu
memanggil julukannya.
"Ha ha ha...! Baiklah, Nak Panji," sahut Ki Jonggol
sambil tertawa terbahak-bahak. "Memang tidak salah
cerita-cerita yang kudengar di dunia persilatan.
Pendekar Naga Putih adalah seorang pendekar yang
tidak ingin menonjolkan nama julukannya. Kau mem-
buatku semakin bertambah kagum, Panji. Baiklah.
Kalau begitu, apa tindakan yang akan kau ambil
terhadap ketujuh orang gila itu?"
"Hm.... Apakah Ki Jonggol tidak dapat mengenali
siapa mereka?" tanya Panji sebelum mengambil
keputusan langkah apa yang akan diambil.
"Tidak. Aku tidak kenal tujuh laki-laki gila itu,"
sahut kepala desa itu cepat
Nampak di wajah Pendekar Naga Putih tersirat
kekecewaan, karena Ki Jonggol tidak mengenali tujuh
laki-lagi gila itu.
"Tapi..., eh! Nanti dulu!" sentak Ki Jonggol begitu
sepasang matanya menangkap sesuatu yang mem-
buatnya mengerutkan kening.
Bergegas orang tua itu membungkuk di dekat
salah seorang dari tujuh laki-laki gila itu. Perlahan-
lahan tangannya terulur menyibak pakaian yang
compang-camping itu.
"Perguruan Perisai Baja...!" desis Ki Jonggol ter-
kejut begitu mengenali lambang yang terdapat di
dada kiri pakaian orang itu. Sejenak laki-laki tua itu
termangu tanpa berkata sepatah pun.
"Kau mengenali mereka, Ki?" tanya Panji ketika
melihat orang tua itu terdiam.
"Aku tidak kenal mereka. Tapi aku kenal dengan
guru mereka yang bernama Ki Jaladri. Tapi, bagai-
mana murid-murid orang tua itu sampai berkeliaran
ke tempat ini? Bahkan dalam keadaan kurang waras.
Hm.... Apa yang telah menimpa mereka?" tanya orang
tua itu dengan suara berdesah agak pelan.
Sepertinya, pertanyaan itu ditujukan untuk dirinya
sendiri.
"Menurut pengamatanku, mereka sepertinya telah
mengalami suatu peristiwa hebat yang membuat jiwa
dan pikiran terguncang. Entah peristiwa apa sehingga
sedemikian hebat akibatnya," duga Panji memberi
gambaran tentang keadaan tujuh orang gila yang
ternyata adalah murid Perguruan Perisai Baja.
"Panji. Dapatkah kau menolong mengembalikan
ingatan mereka? Mungkin kita akan mendapat
keterangan lebih jelas apabila mereka dapat berpikir
waras kembali," pinta Ki Jonggol seraya bergegas
bangkit dan menatap pemuda itu penuh harap.
"Entahlah, Ki. Tapi aku akan berusaha menyem-
buhkan mereka'" sahut Panji.
Pendekar Naga Putih memang tak berani men-
janjikan apa-apa, karena memang belum melakukan
pemeriksaan terhadap ketujuh orang itu.
"Kalau begitu, mari singgah di tempatku. Biar
orang-orangku yang akan membawa tujuh orang itu,"
usul Ki Jonggol seraya menatap Panji dan Kenanga
bergantian.
"Baiklah, Ki. Mari," kata Panji menerima ajakan Ki
Jonggol untuk mengobati ketujuh orang itu di tempat
kediamannya.
Dengan wajah berseri, Ki Jonggol segera
memerintahkan pembantunya untuk menyiapkan dua
ekor kuda. Panji dan Kenanga diam saja tidak
berusaha mencegah niat baik Kepala Desa Keputih
itu, karena tidak ingin membuat kegembiraan Ki
Jonggol terganggu.
Sambil tak henti-hentinya bercerita, Ki Jonggol
menjalankan kudanya perlahan-lahan diapit Panji dan
Kenanga. Sedangkan dua orang pembantu utamanya
berada di belakang mengikuti.
***
"Bagaimana keadaan mereka, Panji? Apakah
masih bisa disembuhkan?" tanya Ki Jonggol ketika
melihat pemuda itu keluar dari kamar tempat tujuh
orang murid Perguruan Perisai Baja dirawat
"Untunglah belum terlalu parah, Ki. Sehingga tidak
terlalu sulit untuk mengobatinya," jawab Panji sambil
melangkah menghampiri Ki Jonggol yang duduk
bersama Kenanga di ruang tengah.
Panji menjatuhkan tubuhnya di atas sebuah kursi
yang terbuat dari kayu jati. Di atas meja tampak telah
terhidang segelas teh hangat dan juga beberapa jenis
penganan. Bergegas pemuda itu meneguk minuman
yang telah disediakan begitu dipersilakan tuan
rumah.
"Apakah mereka sudah sadar dari pingsannya?"
tanya Ki Jonggol lebih lanjut. Sepertinya laki-laki tua
itu sudah tidak sabar untuk segera mengetahui apa
yang telah terjadi dengan tujuh orang murid
sahabatnya itu.
"Sudah, Ki. Tapi mereka masih memerlukan waktu
beberapa hari untuk memulihkan tenaga. Sebab
begitu ingatan mereka sudah pulih, mereka masih
merasa lelah. Tapi kita tidak dapat mengorek
keterangan tentang apa saja yang telah dilakukan
selama kehilangan ingatan. Hanya kejadian sebelum
ingatan mereka hilang itulah yang dapat diketahui.
Oh, ya. Apakah Ki Jonggol tidak pernah berkunjung ke
Perguruan Perisai Baja?" tanya pemuda itu begitu
teringat kalau Ketua Perguruan Perisai Baja itu
adalah salah seorang sahabat Kepala Desa Keputih.
"Pernah, beberapa hari yang lalu. Saat itu,
kedatanganku untuk menyatakan bela sungkawa atas
wafatnya Ketua Perguruan Perisai Baja yang bernama
Ki Jaladri, sahabatku itu. Tapi di sana tidak kutemui
kejadian-kejadian aneh. Kalau hanya sekadar ber-
sedih, wajarlah. Karena mereka telah kehilangan guru
yang dicintai," jawab Ki Jonggol yang memang pada
saat kematian Ki Jaladri ikut hadir di perguruan itu.
"Hm, jadi Ketua Perguruan Perisai Baja sudah
meninggal? Apakah meninggalnya karena terbunuh
dalam perkelahian atau karena menderita sakit?"
tanya Panji lagi, yang sempat terkejut ketika
mendengar penjelasan Ki Jonggol.
"Pertanyaan itulah yang belum terjawab oleh
sahabat-sahabat Ki Jaladri, termasuk aku. Karena,
kematiannya memang aneh sekali. Menurut
keterangan muridnya, ia tidak menderita sakit apa-
apa. Bahkan tak ada luka sedikit pun, karena dia
memang tidak tewas dalam perkelahian. Cobalah kau
pikir, Panji. Apakah orang yang begitu sehat, bisa
mendadak meninggal begitu saja? Sedangkan pagi
harinya, para murid masih bertemu dengannya.
Bahkan pelayan yang menyiapkan makanan untuknya
pun mengatakan kalau pagi itu Ki Jaladri masih segar
bugar. Selesai makan, Ki Jaladri masuk ke kamarnya.
Dan ketika si pelayan mengetuk pintu, tapi tidak ada
jawaban," Ki Jonggol berhenti sejenak dan meneguk
minumannya.
"Lalu, bagaimana seterusnya, Ki?" tanya Kenanga
yang sudah tidak sabar ingin segera mendengar
penyelesaian cerita itu.
"Sabarlah, Kenanga. Biarkanlah Ki Jonggol ber-
istirahat sejenak," kata Panji sambil menggenggam
jemari kekasihnya yang terasa hangat itu.
"Hm.... Sampai di mana ceritaku tadi?" tanya Ki
Jonggol setelah meneguk habis air minumnya.
"Sampai si pelayan yang mengetuk-ngetuk pintu
kamar Ki Jaladri," sahut Kenanga tak sabar. Nada
suara gadis itu terdengar agak jengkel, karena
merasa seolah-olah Ki Jonggol memang sengaja
hendak menggodanya.
"Oh, ya. Setelah lama mengetuk tapi tak juga men-
dapat sahutan, pelayan itu memberanikan dirinya
membuka pintu kamar yang ternyata tidak dikunci.
Dia menjadi heran ketika melihat majikannya tertidur.
Namun Ki Jaladri ternyata telah tertidur untuk
selama-lamanya," sampai di situ, Ki Jonggol
mengakhiri ceritanya.
"Apakah tidak ada tanda-tanda keracunan?" tanya
Panji begitu kepala desa itu terdiam.
"Seperti yang kukatakan tadi, Ki Jaladri tak ubah-
nya meninggal secara wajar," jawab Ki Jonggol me-
nekankan.
"Aneh...!" gumam Panji, heran.
"Ya, memang sangat aneh!" sahut Ki Jonggol
dengan suara mendesah mengulangi ucapan Panji.
"Berapa jauhkah letak Perguruan Perisai Baja dari
tempat ini, Ki?" tanya Kenanga. Entah sekadar basa-
basi, atau karena memang ingin mengetahuinya.
"Hm.... Tidak begitu jauh. Kalau kita menggunakan
kuda, paling-paling hanya sekitar setengah hari
perjalanan. Kalau kalian berniat ingin mengunjungi-
nya, lebih baik tunggu saja dulu sampai ketujuh orang
itu sembuh. Nanti kalian bisa bersama-sama dengan
mereka pergi ke sana. Bagaimana?" usul Ki Jonggol.
"Tentu saja, Ki. Lagi pula pengobatan terhadap
ketujuh orang itu belum selesai," sahut Panji sambil
tersenyum maklum. Pendekar Naga Putih sebenarnya
tahu kalau orang tua itu masih menginginkan ia dan
Kenanga tinggal di rumahnya.
"Hm.... Kalau kalian ingin beristirahat, mari ku-
antarkan!" ajak Ki Jonggol seraya bangkit dari
duduknya. Dan kini ketiga orang itu meninggalkan
ruang tengah.
***
EMPAT
Sang mentari pagi nampak begitu cerah. Kicauan
burung bersahut-sahutan menyambut datangnya
pagi. Angin segar bertiup lembut mempermainkan
pucuk-pucuk dedaunan, sehingga seperti menari-nari.
Seorang pemuda tampan berpakaian serba putih
berjalan menyusuri sebuah taman. Wajahnya nampak
segar, sesegar udara di pagi ini. Langkahnya per-
lahan, seraya menikmati suasana yang ceria itu.
Di sebelah kirinya, nampak seorang gadis cantik
mengenakan pakaian serba hijau. Wajahnya yang
cantik tampak memerah di kedua pipinya, sehingga
membuatnya semakin mempesona. Angin pagi mem-
permainkan anak rambutnya yang terjuntai di kening.
"Kakang...," panggil gadis itu, lembut.
"Hm...," gumam pemuda berjubah putih itu seraya
menoleh. "Ada apa, Kenanga?"
Pemuda tampan yang tidak lain adalah Panji itu
menatap gadis yang memang Kenanga. Saat itu
keduanya tengah menikmati suasana pagi di kebun
belakang rumah Ki Jonggol.
"Rasanya sudah terlalu lama kita tinggal di sini,
lalu kapan mengunjungi Perguruan Perisai Baja?
Bukankah ketujuh orang murid perguruan itu sudah
sembuh? Jadi, apa lagi yang Kakang tunggu?" tanya
Kenanga seolah-olah mengingatkan kekasihnya
tentang niat mereka semula.
"Sabarlah, Kenanga. Kita tunggu saja sampai
kesehatan ketujuh orang itu benar-benar pulih," sahut
Panji sambil menggenggam erat jemari gadis jelita itu.
"Kapan itu, Kakang?" tanya Kenanga agak men-
desak.
"Hm.... Mungkin siang ini kita sudah bisa
mengunjungi Perguruan Perisai Baja itu," kata Panji
seraya tersenyum sabar.
"Betul itu, Kakang?" desak gadis jelita itu setengah
berteriak.
"Mengapa harus membohongimu?"
"Aku sudah tidak sabar untuk melihat kebenaran
cerita ketujuh orang itu. Rasanya aku masih belum
percaya kalau ada orang yang telah mati dapat
bangkit kembali. Apalagi menurut cerita mereka,
mayat hidup Ki Jaladri itu mengamuk membantai
murid-murid dan sahabat-sahabatnya sendiri. Apakah
kau juga percaya cerita itu, Kakang?"
"Agaknya aku bisa mempercayainya!" sahut Panji.
Kenanga agak terkejut mendengarnya. Betapa
tidak? Sebab dia tahu betul kalau Panji paling tidak
suka pada cerita yang berbau takhayul.
"Oh! Jadi Kakang percaya dengan cerita takhayul
itu?"
"Eyang Tirta Yasa telah banyak bercerita kepadaku
tentang bermacam-macam ilmu yang terdapat di
rimba persilatan ini. Dan salah satunya, kurasa mem-
punyai kaitan erat dengan kejadian yang menimpa
Ketua Perguruan Perisai Baja," jelas Panji seraya
menghela napas. Kemudian dilangkahkan kakinya
mengitari taman itu.
"Apakah Kakang tahu, ilmu apa itu?" tanya
Kenanga sambil menggenggam erat lengan Panji.
"Tentu saja. Tapi kuingatkan kepadamu, Kenanga.
Jangan kau ceritakan kepada siapa pun termasuk Ki
Jonggol!" bisik Panji di telinga gadis jelita itu.
"Baik, Kakang. Aku berjanji!" jawab Kenanga begitu
mengetahui kalau kekasihnya bersungguh-sungguh.
Sambil melangkah perlahan, Panji menceritakan
tentang ilmu hitam yang dapat membangkitkan
mayat. Wajah Kenanga terlihat agak pucat ketika
mendengar cerita kekasihnya. Berkali-kali mulutnya
ditutup untuk menahan seruan yang keluar dari
mulutnya. Jelas sekali kalau Kenanga merasa ngeri
mendengar cerita Panji.
"Ihhh.... Mengapa ada ilmu yang sekeji itu ya,
Kakang? Entah seperti apa rupanya orang yang
memiliki ilmu mengerikan itu!" kata Kenanga sambil
mengusap kuduknya yang terasa meremang.
"Sama saja seperti kita dan orang-orang lainnya.
Hanya, yang membuat mereka berbeda adalah
pancaran sinar matanya yang tajam dan dapat mem-
buat orang terpengaruh hingga menuruti perintah-
nya," sahut Panji seraya merangkul kekasihnya.
Kenanga menyandarkan kepalanya di dada
kekasihnya. Getar kasih sayang yang terpancar dari
hati mereka membuat Kenanga semakin dalam
menyurukkan wajahnya di dada Panji. Sesaat
kemudian, wajah cantik itu menengadah, memancar-
kan pijar kasih lewat sepasang mata indahnya.
"Hm.... Sepertinya ada beberapa orang yang
tengah menuju kemari, Kenanga," kata Panji, lembut.
Dilepaskan pelukannya dari tubuh gadis jelita itu.
Rupanya meskipun dalam keadaan terbuai, telinga
Panji masih sempat menangkap gerakan di sekitar-
nya.
Benar saja. Tidak berapa lama kemudian, tampak
delapan orang laki-laki bergegas menghampiri Panji
dan Kenanga.
"Selamat pagi, Panji, Kenanga...," ucap orang yang
melangkah paling depan, yang tidak lain adalah Ki
Jonggol, Kepala Desa Keputih. "Wajah kalian cerah
sekali pagi ini."
"Selamat pagi, Ki," sahut Panji membungkuk
hormat disertai senyuman lebar.
"Selamat pagi, Tuan Pendekar.... Kami sudah
merasa benar-benar sehat dan siap mengantarkan
Tuan Pendekar berdua," kata salah seorang dari tujuh
laki-laki yang datang bersama Ki Jonggol.
Sambil berkata demikian, orang itu membungkuk
diikuti enam orang lainnya. Mereka adalah tujuh
murid Perguruan Perisai Baja yang telah sembuh
karena pengobatan Pendekar Naga Putih.
"Syukurlah. Kalau begitu kita bisa segera
berangkat untuk melihat keadaan perguruan kalian
itu, Kisanak. Oh, ya. Panggil saja aku dengan nama
Panji, dan ini Kenanga," pinta Panji yang disambut
oleh ketujuh orang itu dengan anggukan kepala.
"Baik.... Baik, Tuan..., eh, Panji," sahut orang itu
agak kikuk.
Memang, biar bagaimanapun, mereka merasa tak
enak menyebut pendekar muda itu dengan nama
saja. Tapi karena pemuda itu sendiri yang meminta,
maka mereka pun terpaksa menurutinya.
"Ah! Mengapa harus terburu-buru? Nanti siang
sajalah kalian berangkat. Lebih baik kita sarapan
dulu, mari!" ajak Ki Jonggol.
Laki-laki tua itu sepertinya memang merasa berat
untuk melepaskan kepergian Pendekar Naga Putih
yang amat dikaguminya itu. Makanya, dia berusaha
mencari-cari berbagai alasan untuk menahan
pendekar muda itu.
"Terima kasih, Ki. Biarlah kami berangkat pagi ini
saja. Makin cepat, makin baik," sahut Panji meng-
harapkan pengertian orang tua itu. Meskipun tidak
mengatakan apa-apa, tapi Pendekar Naga Putih
dapat menduga kalau orang tua itu masih merasa
berat untuk melepaskannya.
Karena yang lain pun ikut pula mengatakan hal
yang sama, maka Ki Jonggol pun tak dapat menahan
lagi.
"Baiklah kalau begitu. Akan kusuruh orang-orangku
untuk menyiapkan kuda untuk kalian. Yah, paling
tidak untuk mempercepat perjalanan. Bukan begitu,
Kisanak?" Ki Jonggol menolehkan kepalanya kepada
salah seorang murid Perguruan Perisai Baja yang
berada di sebelahnya.
"Memang betul, Panji, Kenanga. Kalau kita
menempuh dengan jalan kaki, akan memakan waktu
sekitar dua hari. Jadi, sebaiknya terima saja bantuan
Ki Jonggol," jelas orang itu, memperkuat kata-kata Ki
Jonggol tadi.
"Yah.... Kalau memang harus begitu, apalagi yang
kita tunggu?" sahut Panji bergurau.
Setelah segalanya dipersiapkan Ki Jonggol,
rombongan kecil itu berangkat meninggalkan Desa
Keputih. Ki Jonggol dan kedua orang pembantu
utamanya mengantarkan hingga batas desa.
"Kalau persoalan itu sudah beres, singgahlah
kembali ke tempatku, Pendekar Naga Putih," pinta Ki
Jonggol sambil melepaskan rombongan kecil itu. Ia
sengaja memanggil Panji dengan julukannya kembali.
Seolah-olah hal itu meninggalkan kesan yang lain
dalam hatinya.
"Aku tidak bisa menjanjikannya, Ki. Tapi aku akan
berusaha mencari kesempatan untuk berkunjung ke
desa yang ramah ini," sahut Panji sambil menggebah
kudanya menyusul yang lain.
Kepulan debu membumbung tinggi ketika kuda
yang ditunggangi Panji melesat meninggalkan mulut
Desa Keputih. Makin lama, bayangannya makin
hilang ditelan kejauhan.
***
Menjelang siang, rombongan Panji pun mulai
memasuki sebuah hutan kecil yang cukup lebat.
Salah seorang murid Perguruan Perisai Baja yang
berada di depan, menghentikan lari kudanya.
"Setelah melewati mulut hutan ini, kita akan
segera sampai di Perguruan Perisai Baja," jelas laki-
laki itu seraya menolehkan kepalanya ke arah Panji
dan Kenanga.
"Marilah kita percepat perjalanan. Sebelum hari
gelap, kita harus sudah sampai di perguruan kalian
agar tidak mendapat kesulitan untuk memeriksanya,"
timpal Panji.
"Ayolah! Heyaaa...!"
Murid Perguruan Perisai Baja yang menjadi
petunjuk jalan itu bergegas menggebah kudanya.
Binatang tunggangan itu langsung melesat memasuki
mulut hutan.
"Heyaaa...!"
Panji, Kenanga, dan enam orang lainnya bergegas
pula menggebah kuda mereka yang langsung melesat
mengejar orang terdepan.
Tidak berapa lama kemudian, tembok bangunan
Perguruan Perisai Baja mulai terlihat. Mereka mulai
memperlambat lari kuda begitu tempat yang dituju
semakin dekat.
Pendekar Naga Putih dan yang lain segera meng-
hentikan lari kuda, karena dari jarak belasan tombak
sudah tercium bau busuk yang menusuk hidung.
"Uhhh! Rasanya kita tidak bisa memasuki tempat
ini, Panji. Dari sini saja aku sudah tidak sanggup
menahankan bau busuk yang menyengat itu. Jadi,
bagaimana kita akan dapat memeriksanya?" tanya
murid yang menjadi penunjuk jalan, sambil menutup
hidung dengan selendang yang membelit pinggang-
nya.
"Yahhh! Sepertinya kita tidak dapat maju lagi,
Kakang," kata Kenanga yang juga sudah menutup
hidungnya.
"Tidak. Kita harus tetap memeriksanya. Oleskanlah
minyak ini di hidung kalian. Mudah-mudahan bau
busuk itu tidak mengganggu lagi," ujar Panji.
Segera diberikannya sebuah botol kecil yang
berisikan cairan berwarna hijau. Botol itu juga
diberikan kepada yang lain.
"Wah, minyak ini benar-benar manjur. Apa nama
minyak ini, Panji?" tanya salah seorang murid
Perguruan Perisai Baja gembira. Memang, bau harum
yang menebar dari minyak itu ternyata dapat
mengalahkan bau busuk menyengat itu.
"Minyak itu adalah hasil ramuan guruku. Beliau
menamakannya 'Minyak Tujuh Bidadari', karena
harum yang ditimbulkan laksana harum keringat
bidadari. Tapi, jangan tanyakan, mengapa guruku
menamakannya demikian. Karena, aku sendiri tidak
mengetahuinya," sahut Panji sambil tersenyum.
"Hi hi hi.... Ada-ada saja nama minyak itu,"
Kenanga terkikik. "Eh, Kakang. Apakah kau sudah
pernah mencium bau harum keringat bidadari?"
"Wah! Kalau aku sih bukan saja sudah, bahkan
seringkali bidadari itu datang kepadaku," jawab Panji
dengan wajah sungguh-sungguh.
"Eh, benarkah itu, Panji...?" tanya tiga orang murid
Perguruan Perisai Baja berbarengan.
Sementara itu yang lain memandang dengan
setengah tak percaya. Memang, sepengetahuan
mereka, bidadari itu hanya ada dalam dongeng. Dan
sampai saat ini, belum pernah seorang pun yang
menjumpainya. Tentu saja kalau orang lain yang
mengatakannya, mereka tak akan mempercayai
begitu saja. Bahkan mungkin akan memaki sebagai
orang yang tak waras. Tapi yang berkata kali ini
adalah Pendekar Naga Putih yang kesaktiannya
sangat tinggi. Apalagi wajah pemuda itu jelas-jelas
menampakkan kesungguhan. Apakah mungkin kalau
pendekar besar itu akan berdusta?
Demikian pula dengan Kenanga. Tadinya, kekasih-
nya dikira sengaja menggoda. Tapi ketika melihat
wajah pemuda itu demikian bersungguh-sungguh,
tentu saja gadis jelita itu menjadi kebingungan.
Gadis itu memang sudah sering mendengar dari
mulut kekasihnya tentang peristiwa-peristiwa
mustahil yang dialami pemuda itu. Tapi untuk ber-
temu dengan bidadari, apakah itu mungkin? Dan
sebenarnya, diam-diam Kenanga mulai dijalari
kecemburuan.
"Tentu saja benar! Untuk apa aku berbohong
kepada kalian? Apa pula untungnya bagiku?" sahut
Panji seolah-seolah tak senang ketika melihat sinar
ketidakpercayaan di wajah mereka.
"Wah! Sudah tentu kami tidak berani menuduhmu
seperti itu, Panji. Tapi, bagaimanakah caranya kau
dapat bertemu bidadari itu?" tanya seorang murid
Perguruan Perisai Baja yang berkumis tipis. Orang itu
menundukkan kepalanya karena tak berani menen-
tang tatapan Panji yang tajam menusuk itu.
"Kakang.... Kau bersungguh-sungguh...?" tanya
Kenanga seraya menyentuh lengan kekasihnya.
Suara gadis itu terdengar bergetar, menggambarkan
perasaan hatinya yang kacau saat itu.
Panji tidak menjawab pertanyaan Kenanga, dan
hanya mengangguk membenarkan ucapannya. Lalu
pandangannya dialihkan kepada tujuh orang murid
Perguruan Perisai Baja yang tengah menanti jawaban.
"Hm.... Saat ini pun aku bisa memanggilnya. Kalau
ingin menyaksikannya, pejamkanlah mata kalian
rapat-rapat. Kau juga, Kenanga. Dan jangan sekali-
kali membuka mata sebelum kuperintahkan," ujar
Panji dengan suara yang berat dan dalam.
Tanpa banyak cakap lagi, ketujuh orang murid
Perguruan Perisai Baja yang ingin membuktikan
ucapan Panji bergegas memejamkan mata. Demikian
pula Kenanga. Gadis jelita itu pun memejamkan
matanya rapat-rapat meskipun hatinya berdebar
penuh ketegangan.
Panji merapat dan memeluk tubuh kekasihnya
erat-erat. Kemudian, dibisikkannya kata-kata yang
membuat Kenanga semakin tegang.
"Peluklah aku erat-erat, Kenanga. Agar bidadari itu
tidak memelukku apabila datang nanti," bisik Panji
lirih hingga tidak terdengar oleh yang lainnya.
"Nah, sekarang bukalah mata kalian!" perintah
Panji dengan suara yang berwibawa.
"Oh! Mana..., mana bidadari itu? Aku belum
melihatnya, Panji?" tanya salah satu dari ketujuh
orang itu sambil mengedarkan pandangannya.
"Wah! Apakah kalian sudah buta? Bukankah saat
ini aku tengah berpelukan dengan seorang bidadari?"
jawab Panji seraya tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha...!" meledaklah tawa ketujuh orang
murid Perguruan Perisai Baja itu ketika mendengar
penjelasan Panji.
"Ihhh, Kakang jahat! Kau hampir saja membuatku
berhenti bernapas tadi. Padahal aku sudah benar-
benar percaya dengan ucapanmu!" teriak gadis jelita
itu manja. Seketika dipukulinya dada Panji dengan
perasaan gemas.
"Hm, tanyalah kepada mereka kalau tidak percaya.
Kisanak, bukankah saat ini aku tengah memeluk
bidadari?" tanya Panji kepada ketujuh orang itu.
"Betul! Betul, Panji! Menurut penglihatanku, Nini
Kenanga adalah seorang bidadari," jawab laki-laki
berkumis tipis sambil tertawa gembira.
"Ya! Kecantikan Nini Kenanga tak ubahnya seperti
bidadari," seru yang lain sambil tertawa-tawa.
"Nah! Betul, kan?" kata Panji sambil tersenyum.
"Ah, Kakang...," desah Kenanga manja. Meskipun
mulutnya cemberut, tapi hati gadis jelita itu berbunga-
bunga. Perasaan bahagia semakin menggetarkan
relung hatinya.
***
Panji, Kenanga, dan tujuh orang lainnya bergerak
memasuki bangunan Perguruan Perisai Baja. Bau
busuk yang menyergap tidak lagi mengganggu
mereka, karena minyak yang dioleskan di bawah
hidung mereka mengusir bau busuk itu.
"Hm.... Tempat ini benar-benar seperti neraka saja
layaknya!" desis Kenanga melihat begitu banyaknya
mayat membusuk yang saling tumpang tindih. Diam-
diam, hati gadis jelita itu mengutuk orang yang telah
berbuat keji dengan membangkitkan mayat Ki Jaladri.
"Entah apa maksud orang yang menjadi dalang
kejadian ini? Rasanya, mustahil kalau tidak mempunyai maksud-maksud tertentu?" gumam Panji.
Kaki pemuda itu terus melangkah di antara
puluhan mayat yang bergeletakan. Hati Pendekar
Naga Putih menjadi geram melihat kekejaman yang
terpampang di depan matanya.
"Entahlah, Panji. Peristiwa ini masih merupakan
misteri bagi kami," sahut laki-laki berkumis tipis yang
berjalan di belakang pemuda itu. Rupanya ia sempat
juga mendengar gumaman pemuda di depannya.
Setelah memeriksa seluruh ruangan dalam
bangunan besar itu, rombongan kecil itu pun ber-
gegas keluar.
"Lebih baik kita kuburkan mayat-mayat ini dalam
sebuah lubang yang besar," usul Panji.
Pemuda itu menatap ketujuh orang murid
Perguruan Perisai Baja berganti-ganti, seolah-olah
meminta pendapat tentang usulnya.
"Wah, bagaimana kita harus melakukannya, Panji?
Mayat-mayat ini sudah sedemikian membusuk. Jadi,
bagaimana harus memindahkannya?" bantah salah
satu dari ketujuh orang itu.
Wajah orang itu tampak pucat ketika mem-
bayangkan harus mengangkat mayat-mayat busuk itu,
dan memindahkannya ke dalam lubang yang di-
maksudkan Panji.
"Hm...," Panji hanya bergumam mendengar
jawaban orang itu.
Ketika yang lain mengajukan alasan yang sama,
pemuda itu terdiam sambil mengedarkan pan-
dangannya ke sekitar tempat itu.
"Kami sudah tidak berniat untuk tinggal di tempat
ini lagi. Jadi menurutku, biar sajalah mayat-mayat ini
habis dengan sendirinya," jawab si kumis tipis dengan
suara rendah.
Memang, biar bagaimanapun ia masih merasa
berat juga untuk meninggalkan tempat itu, karena
semenjak kecil telah berada di Perguruan Perisai
Baja. Tapi mengingat peristiwa yang telah dialami,
membuat mereka berpikir dua kali untuk tinggal di
situ.
"Eh, nanti dulu!" seru Panji tiba-tiba. Seolah-olah
pemuda itu teringat akan sesuatu yang melintas
dalam pikirannya. Keningnya seketika jadi berkerut
"Bukankah menurut keterangan kalian mayat Ki
Jaladri berada di dalam peti? Lalu, ke mana perginya
peti mati Ki Jaladri?"
"Hm, benar! Bukankah peti mati itu diletakkan di
depan ruangan gedung pusat? Lalu, ke mana pergi-
nya peti mati guru?" tegas si kumis tipis begitu men-
dengar kata-kata Panji. Bergegas kakinya melangkah
ke tempat peti mati gurunya diletakkan pada
beberapa hari yang lalu.
Kesembilan orang itu menjadi terheran-heran
ketika mengitari halaman gedung, namun tidak juga
menemukan peti mati Ki Jaladri. Berbagai pertanyaan
melintas di benak masing-masing. ?
"Tidak ada lagikah murid-murid lainnya yang ber-
hasil meloloskan diri pada malam kejadian itu?" tanya
Panji kepada si kumis tipis yang selalu berada di
belakangnya.
"Tidak, Panji. Hanya kami bertujuh inilah yang
berhasil meloloskan diri dari pembantaian itu," jawab
orang itu pasti.
"Hm.... Lalu ke mana perginya peti mati gurumu
itu...?" gumam Panji berpikir keras, mencari
pemecahan atas kejadian yang penuh teka-teki itu.
"Ayolah kita keluar dari tempat ini, Kakang! Lama-
lama aku tidak tahan juga melihat mayat-mayat yang
berserakan itu."
Sambil berkata demikian, Kenanga melangkahkan
kakinya menuju keluar bangunan gedung perguruan
itu.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Panji dan ketujuh
orang lainnya bergegas mengikuti langkah Kenanga.
Sambil melangkah, Panji terus berpikir tentang
hilangnya peti mati Ki Jaladri. Rasa penasaran mem-
buat pemuda itu tidak menyerah begitu saja untuk
mencari jawaban.
"Apa langkah kita selanjutnya, Panji?" tanya salah
seorang murid Perguruan Perisai Baja begitu sudah
berada di tempat kuda-kuda mereka tertambat
Mereka semua langsung melompat ke punggung
kuda masing-masing. Ringan sekali gerakan mereka.
Jelas, kalau rata-rata ilmu meringankan tubuh mereka
telah tinggi.
"Hilangnya peti mati dan sekaligus mayat Ki
Jaladri, pasti bukan dengan sendirinya. Aku yakin
kalau peristiwa ini akan berbuntut panjang. Dan yang
harus dicari sekarang adalah orang yang menjadi
biang keladi semua kejadian ini. Dugaanku, orang itu
pulalah yang mencuri peti mati dan mayat guru
kalian. Sepertinya, mayat guru kalian masih diperlu-
kan orang keji itu," Panji menduga-duga. Dan apa
yang dikatakan pemuda itu memang cukup masuk
akal.
"Lalu, apa yang harus kita perbuat? Sedangkan
kita sendiri tidak tahu, siapa dan di mana adanya
orang keji itu?" tanya si kumis tipis. Nada suaranya
terdengar putus asa.
"Kembalilah kalian ke Desa Keputih. Dan tinggal-
lah untuk sementara di desa itu. Apabila sudah
menemukan manusia keji itu, aku akan segera
memberi kabar kepada kalian. Maaf, bukan berarti
aku meremehkan kapandaian kalian," ucap Panji
menutup kata-katanya.
"Tentu saja, Panji. Kami pun sadar kalau tidak
akan mampu untuk menyingkap misteri ini. Selamat
tinggal Pendekar Naga Putih. Kami menunggu berita
darimu," ucap salah seorang dari mereka yang
langsung menggebah kudanya meninggalkan Panji
dan Kenanga. Enam orang lainnya bergegas
menyusul kawannya meninggalkan tempat itu.
"Heyaaa...!"
Kepulan debu membumbung tinggi ketika tujuh
orang murid Perguruan Perisai Baja menggebah kuda-
kuda mereka.
Panji dan Kenanga menatap kepergian ketujuh
orang itu dengan perasaan haru.
"Kasihan mereka. Mereka tak ubahnya anak-anak
ayam kehilangan induknya. Sementara sang Induk
yang telah tewas tidak diketahui di mana rimbanya?"
desah Panji lirih.
"Lalu, ke mana tujuan kita sekarang, Kakang?
Sebentar lagi hari sudah gelap. Tidakkah sebaiknya
kita meninggalkan tempat ini?" tanya Kenanga.
Ucapan kekasihnya tadi sebenarnya telah mem-
bangkitkan ingatan Kenanga kalau dirinya tidak
mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini selain
pemuda kekasihnya itu.
Panji menyadari ucapannya ketika melihat
sepasang mata indah milik kekasihnya tampak ber-
kaca-kaca. Perlahan-lahan Panji mendekatkan kuda-
nya ke kuda Kenanga. Kuda-kuda itu kemudian
merapat Pendekar Naga Putih lalu mengulurkan
tangannya mendekap kepala gadis jelita itu. Dibisik-
kannya kata-kata mesra untuk menghibur hati
Kenanga yang teringat akan keadaan dirinya.
"Maafkan aku, Kenanga. Aku tahu, apa yang
tengah kau rasakan saat ini. Dan aku berjanji tidak
akan meninggalkanmu lagi," bisik Panji lirih di telinga
kekasihnya.
"Sungguh, Kakang...?" desah Kenanga serak.
Pendekar Naga Putih tidak menjawab. Dikecupnya
kening gadis jelita itu.
Beberapa saat kemudian, Panji dan Kenanga telah
memacu kudanya meninggalkan tempat itu.
***
LIMA
Malam telah larut. Hembusan angin dingin membuat
orang enggan untuk ke luar rumah. Gemerisik
dedaunan yang dipermainkan angin, semakin me-
nimbulkan keseraman. Ditambah lagi dengan suara
jatuhnya titik-titik air yang menimpa atap-atap rumah,
sehingga membuat suasana semakin menyeramkan.
Delapan orang prajurit yang bertugas menjaga
pintu gerbang Kadipaten Jagalan, tampak berkumpul
di gardu jaganya. Rupanya mereka merasa resah
mendapati suasana malam yang tidak seperti biasa-
nya.
"Hhh.... Entah mengapa suasana malam ini mem-
buat hatiku tidak tenteram? Ada apa, ya...?" gumam
salah seorang prajurit yang bertubuh gemuk, seraya
melipat kedua tangan di depan dada. Seolah-olah
dengan berbuat demikian, diharapkan akan men-
dapat ketenangan.
"Benar. Biasanya kalau suasana malam seperti ini,
pasti ada suatu kejadian yang menggemparkan. Tapi,
mudah-mudahan saja kejadian itu tidak menimpa
kita," timpal prajurit lain. Sepertinya, dia punya
perasaan yang serupa dengan prajurit gemuk itu.
"Ah, sudahlah! Tugas kita sebagai prajurit adalah
menjaga keamanan. Dan kalau ada apa-apa, kitalah
yang harus bertanggung jawab. Jadi tidak ada alasan
untuk merasa takut atau memikirkan hal yang bukan-
bukan!" bentak salah seorang prajurit yang lebih tua
dari mereka. Agaknya ia tak senang dengan pem-
bicaraan kedua orang temannya itu.
"Ah! Kami tidak mengatakan takut, Kakang. Hanya
saja, perasaan kami mengatakan kalau bakal ada
sesuatu yang akan terjadi malam ini. Dan kami ber-
harap agar kejadian itu tidak berlangsung di
Kadipaten Jagalan ini," bantah prajurit yang bertubuh
gemuk.
"Yah, mudah-mudahan saja prasangka kita itu
salah!" sahut yang lain, kembali mengharap.
Di saat para prajurit itu tengah berdebat, sebentuk
benda yang berbentuk kotak persegi panjang tampak
melayang-layang di atas gerbang kadipaten. Benda
aneh berwarna coklat tua itu terus bergerak menuju
sebuah bangunan besar.
"Hei, lihat! Apa itu?" teriak seorang prajurit yang
kebetulan saat itu tengah memandang ke langit,
sambil menunjuk ke atas.
"Seperti.... Seperti peti mati...!?" desis salah
seorang prajurit dengan suara bergetar dicekam
kengerian.
"Hm.... Orang gila dari mana yang berani berbuat
seperti itu di kadipaten?" geram seorang laki-laki
gagah. Kalau dilihat dari pakaiannya, pastilah
memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari prajurit lain.
"Hei, benda itu meluncur turun!" seru prajurit yang
pertama kali melihat peti mati itu.
"Bunyikan tanda bahaya...!" perintah laki-laki gagah
itu cepat.
Rupanya sudah mulai bisa diduga kalau peti mati
itu tidak bisa dibuat main-main. Sebentar kemudian,
tubuh laki-laki gagah itu segera melesat ke arah
tempat di mana peti mati akan turun.
Tujuh orang prajurit bergegas menyusul pemimpin-
nya yang telah lebih dahulu menghampiri peti mati
itu. Sambil berlarian, tujuh orang prajurit itu bergegas
mencabut senjatanya. Dan belum lagi mereka
sampai, tiba-tiba....
Blakkk!
Begitu menyentuh permukaan tanah, peti mati itu
langsung membuka. Tampak sesosok tubuh yang
kaku dan berbau busuk melompat keluar dari dalam
peti mati.
"Ups...!"
Pemimpin jaga yang baru saja menjejakkan
kakinya di dekat peti mati, langsung melenting
beberapa tombak ke belakang karena bau bangkai
yang amat busuk langsung menyergap hidungnya.
"Gila! Mayat hidup?!" teriak pemimpin jaga dengan
wajah memucat
Laki-laki itu benar-benar terkejut ketika menyaksi-
kan penampilan sesosok tubuh yang menjijikkan itu.
Tadinya disangka kalau di dalam peti mati itu pasti
terdapat seseorang yang berniat mengacau
kadipaten. Tapi ketika melihat apa yang disaksikan-
nya itu, matanya langsung terbelalak ngeri.
Saat itu tanda bahaya berbunyi melengking
memecah kesunyian malam! Tak lama kemudian,
terdengar derap langkah kaki puluhan orang yang
berlarian mendatangi tempat itu. Beberapa di
antaranya terdapat pemimpin-pemimpin pasukan
kadipaten.
"Gila! Apa itu...?!" teriak seorang prajurit kepada
kawannya. Meskipun sebenarnya melihat dengan
jelas, namun pertanyaannya itu terlontar juga dari
mulutnya.
"Mayat... Mayat hidup?!" seru kawannya dengan
suara bergetar. Sama sekali tidak disangka kalau
suasana malam seperti itu harus berhadapan dengan
mayat hidup.
"Jangan ada yang bergerak! Kita lihat dulu apa
yang akan dilakukannya!" perintah salah seorang
perwira kadipaten, lantang.
Si mayat hidup melangkah kaku menuju gedung
utama kadipaten. Sepertinya ia akan memasuki
bangunan utama yang menjadi tempat kediaman
Adipati Gamang Sari.
"Mundur...! Siapkan pasukan panah!" kembali sang
Perwira memerintahkan.
Tanpa diperintah dua kali, dua puluh orang prajurit
segera mempersiapkan anak panah dan busurnya.
Sesaat kemudian, puluhan batang anak panah sudah
tertuju ke arah si mayat hidup.
Sedangkan si mayat hidup terus saja melangkah
mendekati bangunan utama kadipaten. Sepertinya
sama sekali tidak dipedulikan teriakan-teriakan yang
mencegah langkahnya.
Si perwira yang melihat mayat hidup itu terus saja
melangkah maju, segera berteriak kepada prajuritnya
untuk melepaskan anak panah. Sesaat kemudian,
dua puluh batang anak panah sudah berdesing
menuju mayat hidup.
Zingngng! Zingngng!
Trak! Trak!
Begitu puluhan batang anak panah itu meluncur
ke arahnya, si mayat hidup bergegas memutar
pedang yang tergenggam di tangannya. Belasan
batang anak panah langsung runtuh ke tanah dalam
keadaan patah. Sedangkan beberapa batang lainnya
menancap di tubuh si mayat hidup. Namun sungguh
di luar dugaan, anak panah itu seperti tidak berarti
apa-apa bagi tubuhnya. Walaupun terluka, tapi tidak
merasakan sakit.
Para prajurit kadipaten yang hanya terpisah
beberapa tombak dari si mayat hidup, bergegas
berloncatan mundur! Ternyata luka akibat anak
panah di tubuh si mayat hidup mengeluarkan cairan
berwarna kuning bercampur kehijauan. Cairan itu
menebarkan bau busuk yang sangat memualkan
perut
"Hoekkk...!"
Beberapa orang prajurit yang tak sanggup
menahan rasa mual, langsung memuntahkan isi
perutnya. Wajah mereka seketika berubah, karena isi
perut terus saja melompat keluar.
"Mundur...! Jauhi mayat hidup itu!" si perwira
bertindak cepat memerintahkan pasukannya untuk
mundur menjauhi mayat hidup yang menjijikkan itu.
"Bagaimana ini, Kakang Wanasa? Apa yang harus
kita lakukan untuk menghadapi mayat hidup itu?"
tanya salah seorang yang juga berpangkat perwira.
Sepertinya orang itu juga merasa bingung ketika
melihat mayat hidup itu tidak roboh meskipun
tubuhnya tertembus belasan anak panah.
"Hm.... Coba terus hujani dengan anak panah.
Kalau seluruh tubuhnya sudah dipenuhi anak panah,
masak tidak roboh juga?" ujar perwira yang dipanggil
Wanasa, penasaran.
Setelah berkata demikian, ia pun kembali
memerintahkan prajuritnya untuk melepaskan anak
panah.
Zingngng! Zingngng!
Puluhan batang anak panah kembali berdesingan
mengancam tubuh si mayat hidup. Belum lagi
puluhan batang anak panah itu mengenai sasaran,
para prajurit itu kembali melepaskan anak panah
berikut.
Tapi kali ini si mayat hidup tidak hanya sekadar
bertahan. Begitu anak panah gelombang pertama
hampir mendekati, pedangnya diputar sambil
melompat ke arah barisan pasukan panah itu.
Meskipun dengan gerakan kaku, ternyata tubuh si
mayat hidup dapat berputar melakukan beberapa kali
salto di udara. Beberapa batang anak panah yang
mengancam tubuh langsung runtuh terpukul
sambaran pedangnya. Sedangkan anak panah yang
lainnya lewat beberapa jengkal di bawah kakinya.
Si perwira yang bernama Wanasa itu terkejut
ketika melihat gerakan si mayat hidup. Benar-benar
tidak disangka kalau tubuh kaku itu dapat ber-
jumpalitan di udara. Tanpa membuang-buang waktu
lagi, tubuhnya segera melesat disertai ayunan
pedangnya.
Melihat Wanasa sudah melesat memapak si mayat
hidup, empat orang perwira lainnya bergegas men-
cabut senjatanya. Tubuh mereka segera melesat
menyusul.
"Yeaaat..!"
Wut! Wuk...!
Kelima orang perwira itu menyabetkan senjatanya
secara susul-menyusul dari berbagai arah.
Mendapat serangan yang susul-menyusul dari lima
orang perwira itu, ternyata tidak membuat mayat
hidup menjadi gentar. Gulungan sinar pedangnya
tampak semakin melebar menyelimuti seluruh tubuh-
nya. Sambaran angin pedangnya menderu tajam
ketika mayat hidup itu memapak sabetan senjata
lawan-lawannya.
Trang! Trak! Trang...!
"Akh...!"
Kelima orang perwira itu terpental balik ketika
pedang mereka tertangkis pedang si mayat hidup.
Namun dengan gerakan indah, tubuh mereka ber-
putar beberapa kali di udara, lalu mendarat manis
beberapa tombak dari mayat hidup. Wajah mereka
tampak menyeringai sambil memijat-mijat tangan
kanannya yang terasa linu.
"Bedebah! Tenaga mayat hidup itu ternyata sangat
kuat!" maki Wanayasa semakin penasaran.
"Hm.... Kita harus lebih berhati-hati untuk meng-
hadapinya!" timpal perwira lainnya yang juga merasa-
kan hal yang sama.
"Hm.... Ada apa ini ribut-ribut?!"
Tiba-tiba terdengar suara bentakan yang meng-
guncangkan dada. Belum lagi gema suara bentakan
itu lenyap, dua sosok tubuh berjumpalitan dan
mendaratkan kakinya dengan manis di dekat kelima
orang perwira yang tengah kebingungan itu.
"Ki Panggitan.... Ki Badaran...!" seru kelima perwira
begitu mengenali dua sosok tubuh itu. Bergegas
mereka membungkuk hormat kepada kedua orang
laki-laki yang baru tiba itu.
"Eh! Siapa yang mengirimkan mayat hidup itu ke
tempat ini, Wanasa?" tanya salah satu dari kedua
orang gagah itu sambil menatap si mayat hidup
penuh selidik.
"Kakang Panggitan! Apakah kau tidak mengenali
siapa mayat hidup itu?" seru laki-laki setengah baya
yang bernama Ki Badaran. Sepasang matanya
menatap tajam ke arah si mayat hidup. Keningnya
tampak berkerut meneliti wajah mayat hidup yang
saat itu tersiram pantulan sinar obor.
"Hm.... Bukankah dia Ki Jaladri, Ketua Perguruan
Perisai Baja? Heran, apa yang telah terjadi dengan-
nya? Dan mengapa mayatnya kesasar sampai ke
tempat ini?" desis laki-laki berusia enam puluh tahun
yang bernama Ki Panggitan itu.
Ki Panggitan dan Ki Badaran adalah tokoh kelas
satu yang menjadi tangan kanan Adipati Gamang
Sari. Dan kedatangan mereka atas perintah sang
Adipati sendiri karena mendengar ribut-ribut yang
mengganggu tidurnya.
"Wanasa. Sementara aku dan Ki Badaran meng-
hadapi si mayat hidup itu, kau siapkan tali yang kuat
dan beberapa buah obor!" perintah Ki Panggitan yang
rupanya memiliki pengalaman yang sangat luas
dalam menghadapi berbagai pertarungan.
Memang, sebelum menjadi pengawal pribadi
adipati, Ki Panggitan dan Ki Radian adalah tokoh
persilatan yang sangat terkenai dan jarang menemui
tandingan. Itulah sebabnya Ki Panggitan langsung
saja menyuruh Wanasa untuk menyiapkan peralatan.
Setelah memberi beberapa petunjuk kepada
Wanasa dan empat orang lainnya, Ki Panggitan dan
Ki Badaran melangkah mendekati mayat hidup.
Kedua tokoh itu menghentikan langkahnya dalam
jarak tiga tombak di hadapan mayat hidup Ki Jaladri.
"Hm.... Tampaknya ia dikendalikan seseorang, Adi
Badaran," jelas Ki Panggitan, pelan. Karena saat itu
wajahnya telah tertutup oleh selembar kain hitam. Hal
itu dilakukan agar perhatiannya tidak terganggu oleh
bau busuk yang menebar dari tubuh mayat hidup itu.
"Betul, Kakang. Entah apa maksud orang itu
mengirim mayat hidup ini ke Kadipaten Jagalan?"
sahut Ki Badaran yang juga telah menutup sebagian
wajahnya dengan kain berwarna hitam.
Perlahan-lahan kedua tokoh kelas satu Kadipaten
Jagalan itu melangkah berpencar. Sepasang mata
mereka tetap tak lepas dari wajah si mayat hidup.
Terlihat Ki Panggitan menganggukkan kepalanya
kepada Ki Badaran.
Sementara itu, Wanasa dan beberapa anak buah-
nya telah datang membawa tali untuk menangkap
mayat hidup itu.
"Hiaaat..!"
Diiringi bentakan nyaring, kedua tokoh itu mulai
menggerakkan kedua tangannya. Sepasang kaki
mereka membentuk kuda-kuda silang yang terlihat
sangat kokoh dan kuat. Sesaat kemudian, kedua
pasang tangan mereka mendorong ke depan meng-
gencet tubuh si mayat hidup dari dua arah.
Wusss!
Dua buah gelombang tenaga dalam yang amat
kuat berhembus dari telapak tangan kedua tokoh itu.
Tampak kedua tangan Ki Panggitan dan Ki Badaran
bergetar kuat. Jelas, mereka telah mengerahkan
tenaga dalam sepenuhnya.
Mendapat tekanan dua gelombang tenaga dari
arah yang berlawanan itu, ternyata membuat tubuh si
mayat hidup bergetar hebat. Sehingga keadaannya
tak ubahnya bagai orang terserang demam tinggi.
Tepat pada saat tubuh si mayat hidup tengah tak
berdaya, Wanasa dan empat orang lainnya bergerak
cepat. Dilemparkannya tali-tali itu sehingga langsung
melibat tubuh mayat hidup. Dan begitu tali-tali yang
dilepaskan kelima orang perwira itu melibat ketat,
tubuh si mayat hidup langsung diseret ke arah
sebuah tiang.
Sesaat sebelum tubuh si mayat hidup diseret, Ki
Panggitan dan Ki Badaran berseru keras sambil
menarik pulang tenaga mereka. Tubuh keduanya
langsung melenting ke belakang mayat hidup itu.
"Yaaat..!"
Sambil membentak keras, Ki Panggitan dan Ki
Badaran mendorongkan telapak tangan mereka,
melakukan pukulan jarak jauh.
Wusss! Desss!
Tubuh si mayat hidup kontan tersuruk ke depan
ketika dua pasang telapak tangan tokoh-tokoh sakti
itu menghantam tubuh bagian belakangnya.
Pada saat yang tepat, Wanasa dan empat orang
perwira lainnya bergegas menyeret tubuh si mayat
hidup ke tiang hukuman. Jarak antara mereka
dengan tiang tempat hukuman itu terpisah sekitar
empat tombak.
Namun belum lagi mereka berhasil menyeret
tubuh si mayat hidup ke tiang itu, keanehan terjadi.
Tubuh kaku itu mendadak bangkit dan langsung
berjumpalitan ke depan. Kedua kakinya mendarat
tepat dua tombak di depan Wanasa dan empat
perwira lainnya.
Wut!
Tasss! Tasss! Tasss!
"Aaah...!"
Sebelum para perwira kadipaten itu menyadari apa
yang terjadi, mayat hidup itu sudah membabat putus
tali-tali yang mengikat tubuhnya. Tak ayal lagi, tubuh
kelima orang perwira itu terjajar ke belakang.
"Gila! Bagaimana mungkin ia masih bisa
melakukan hal itu?" kata Ki Badaran seperti bertanya
pada diri sendiri.
Laki-laki tua itu menjadi terkejut setengah mati
melihat mayat hidup dapat membebaskan dirinya.
Padahal, menurutnya mayat hidup itu pasti sudah
lemah akibat pukulan mereka berdua tadi.
Ki Panggitan juga tidak kalah terkejutnya.
Sepasang matanya membelalak tak percaya melihat
kekuatan lawan. Padahal, jarang sekali terdapat
tokoh persilatan yang mampu menahan pukulannya
tadi. Apalagi itu dilakukan berbarengan dengan Ki
Badaran yang boleh dibilang memiliki kepandaian
yang setingkat dengannya.
"Guru...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan yang disusul
munculnya seorang pemuda tampan dan gagah.
Pakaian berwarna kuning gading yang dikenakannya
membuat pemuda itu semakin gagah dan menarik.
"Tuan Muda, mengapa kemari?" tanya Ki
Panggitan menegur pemuda tampan yang rupanya
adalah putra Adipati Gamang Sati itu.
"Aku terbangun dari tidurku ketika mendengar
ribut-ribut di luar. Dan kedatanganku ke sini untuk
melihat apa yang terjadi," sahut pemuda tampan yang
dipanggil tuan muda itu cepat.
Rupanya putra adipati yang tampan itu adalah
murid dari Ki Panggitan dan Ki Badaran. Hal itu
terlihat jelas dari sikapnya yang amat menghormati
dua orang tokoh itu. Apalagi pemuda itu memanggil
keduanya dengan sebutan guru.
"Hm.... Lebih baik kembali ke tempatmu, Tuan
Muda. Di sini terlalu berbahaya buatmu," kata Ki
Badaran menasihati muridnya yang juga putra
majikannya itu.
"Tidak perlu khawatir, Guru. Aku hanya ingin
melihat saja. Hitung-hitung untuk menambah
pengalaman. Apakah hanya melihat saja tidak boleh,
Guru?" bantah pemuda tampan itu dengan suara
membujuk.
Mendengar jawaban itu, Ki Badaran dan Ki
Panggitan hanya dapat saling pandang sambil
menggelengkan kepalanya. Dan mereka tak dapat
berkata apa-apa lagi ketika melihat pemuda itu sudah
berdiri di antara para prajurit kadipaten.
Ki Panggitan dan Ki Badaran bergegas melompat
ketika mendengar jerit kematian. Ternyata, jeritan itu
disusul dengan jatuhnya salah seorang perwira dalam
keadaan terluka parah. Kedua tokoh sakti itu
bergegas melompat ke arena pertempuran. Gerakan
mereka sungguh ringan dan indah. Jelas, kepandaian
mereka tidak bisa dianggap enteng.
Saat itu empat orang perwira lainnya tengah
berusaha mati-matian menyelamatkan diri dari
terjangan mayat hidup. Sambaran pedang si mayat
hidup yang menderu-deru itu membuat mereka
terdesak hebat.
Trang!
"Uhhh...!"
Begitu tiba, Ki Panggitan langsung memapak
senjata lawan dengan senjatanya sendiri yang dicabut
dari pinggang. Meskipun tubuh tokoh itu terjajar
mundur, namun sempat menyelamatkan salah
seorang perwira dari kematian.
***
ENAM
Sesaat setelah benturan itu, serangan Ki Badaran
meluncur datang. Sepasang pedang pendek di
tangannya berkesiutan menyambar tubuh mayat
hidup Ki Jaladri.
Wuk!
Trang! Bret!
Tusukan pedang pendek di tangan kanan Ki
Badaran berhasil ditangkis lawan. Tapi pada saat
yang hampir bersamaan, pedang di tangan kirinya
menyambar cepat membeset perut si mayat hidup.
Tubuh kaku itu terbanting roboh disertai semburan
cairan kehijauan yang menyembur dari luka di perut-
nya.
"Aaah...!"
Ki Badaran langsung melempar tubuhnya ke
belakang dengan beberapa kali salto di udara. Wajah
laki-laki tua yang bersembunyi di balik kain hitam itu
tampak menyeringai menahan rasa jijik. Tampak
beberapa tetes cairan yang berbau busuk itu telah
menodai pakaiannya. Bergegas napasnya disedot
untuk menahan rasa mual yang menyerang.
"Setan keparat! Menjijikkan!" maki Ki Badaran
sambil membuka penutup wajahnya dan meludah
berkali-kali.
Meskipun telah terluka pada bagian perutnya,
namun mayat hidup Ki Jaladri itu masih saja bangkit
seolah-olah tidak merasakan luka itu. Bau busuk
semakin menebar memenuhi halaman depan gedung
kadipaten. Memang, cairan kehijauan dan ke
kuningan itu terus saja mengalir dari luka di perut si
mayat hidup.
"Gila! Mayat hidup itu sepertinya tidak merasakan
luka yang dideritanya," kata Wanasa dengan wajah
menyeringai menahankan rasa jijik.
"Berikan obor-obor itu kepadaku!" pinta Ki
Panggitan.
Tangannya segera saja terulur menyambar dua
batang obor yang dipegang seorang prajurit. Kakek itu
kembali menyambar dua batang obor lainnya setelah
lebih dulu melemparkan dua batang obor pertama
kepada Ki Badaran.
"Adi Badaran, kita coba menerjang mayat hidup itu
dengan menggunakan api!" lanjut orang tua itu lagi
"Ah! Betul, Kakang! Mengapa aku sampai me-
lupakannya!" sahut Ki Badaran berseri setelah
menerima dua batang obor yang tadi dilemparkan
sahabatnya itu.
"Heaaat..!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, dua orang
tokoh itu bergegas menerjang si mayat hidup.
Wrrr! Wrrr...!
Empat batang obor itu berkelebat menyambar-
nyambar cepat. Tampak lidah api menjilat-jilat
mengancam tubuh si mayat hidup.
"Ha ha ha...! Lihat, Kakang Panggitan! Sepertinya si
keparat itu merasa takut terhadap api!" tegas Ki
Badaran semakin bersemangat.
"Betul, Adi! Ayo kita bakar mayat pengacau ini!"
sahut Ki Panggitan yang menjadi agak lega karena
telah menemukan titik kelemahan mayat hidup yang
mengerikan itu.
Berrr! Prattt!
"Aaargh...!"
Terdengar raungan mengerikan ketika lidah api
obor di tangan Ki Panggitan menjilat tubuh si mayat
hidup. Seketika itu juga, bagian tubuh yang terjilat
lidah api itu menciut dan menebarkan bau sangit!
"Ha ha ha...! Ayo, tunjukkan keganasanmu tadi itu,
Mayat Keparat! Ha ha ha...!"
Ki Panggitan tertawa-tawa gembira ketika melihat
si mayat hidup semakin bertambah ketakutan. Kedua
kakinya terus melangkah mundur menjauhi kedua
orang tokoh yang semakin gencar menerjangnya itu.
Sekali pun ia tak berani melakukan serangan
balasan, karena empat batang obor itu tak henti-
hentinya menyambar. Terpaksa mayat hidup itu terus
mundur menjauhi jilatan lidah api.
"Mengapa kau tidak berani membalas serangan
kami, Mayat Keparat! Apakah takut dengan api obor
ini?" ejek Ki Badaran sambil terus mencecar si mayat
hidup dengan sambaran-sambaran api obornya.
"Yeaaat..!"
Pada jurus ketiga puluh, Ki Panggitan dan Ki
Badaran berteriak berbarengan. Tubuh mereka
melompat tinggi sambil mengulurkan kedua pasang
tangan yang menggenggam obor. Kedua tokoh kelas
satu Kadipaten Jagalan itu berjumpalitan melewati
kepala si mayat hidup. Begitu tubuh mereka berada di
atas kepala si mayat hidup, empat batang obor itu
segera dilemparkan disertai dorongan tenaga dalam
sepenuhnya.
"Aaa...!"
Si mayat hidup menjerit setinggi langit ketika
empat batang obor itu menyambar dari empat
penjuru. Sesaat kemudian, tubuh mayat hidup itu
langsung terbakar oleh empat batang obor.
"Aaaurgh....!"
Kembali si mayat hidup meraung mengerikan.
Tubuhnya yang sudah terjilat api itu nampak semakin
mengecil.
"Mundur...!" teriak Ki Panggitan memerintahkan
para prajurit untuk menjauhi tubuh mayat hidup yang
tengah terhuyung-huyung sambil meraung-raung
keras.
Tidak berapa lama kemudian, tubuh si mayat
hidup itu ambruk ke atas tanah. Kobaran api yang
membakar tubuhnya semakin mengecil untuk
kemudian hilang sama sekali. Dan pada tanah tempat
mayat terbakar, hanya ada sedikit cairan yang berbau
sangit. Sementara, tubuh si mayat hidup sudah habis
termakan api.
"Hhh.... Untunglah kau cukup tanggap menghadapi
kelihaian mayat hidup itu. Kalau tidak, entah
bagaimana harus mengalahkannya. Hhh, benar-benar
berbahaya...!" desah Ki Badaran sambil menggeleng-
gelengkan kepalanya dan menarik napas lega. "Eh,
bagaimana kau tahu kalau mayat hidup itu takut
dengan api, Kakang?"
"Hm.... Sebenarnya aku sama sekali tidak menge-
tahuinya, Adi. Semula hanya sekadar mencobanya
saja. Bukankah tidak ada salahnya? Lagi pula, aku
baru teringat akan hal itu pada saat kau telah
melukai tubuhnya. Dan lagi kalau orang yang meng-
gunakan obor tidak memiliki tenaga dalam tinggi,
rasanya mustahil akan dapat merobohkannya.
Buktinya dengan dorongan angin pukulannya saja ia
sudah dapat memadamkan api obor yang ditujukan
ke tubuhnya," jelas Ki Panggitan.
"Ah! Pantas saja kau tadi menyuruhku untuk
mengerahkan tenaga untuk membantu serangan
obor itu. Jadi, itu maksudnya?" kata Ki Badaran,
sambil tersenyum. Diam-diam tokoh ini semakin
mengagumi sahabatnya yang memang memiliki
banyak pengalaman.
"Wah! Hebat sekali, Guru! Kalian memang benar-
benar pendekar hebat!"
Sambil berkata demikian pemuda tampan putra
Adipati Jagalan itu melangkah menghampiri kedua
gurunya. Jelas sekali kalau pujian yang dilontar-
kannya itu bukan sekadar basa-basi.
"Ah, Tuan Muda terlalu memuji," ucap Ki Panggitan
sambil tersenyum simpul.
Meskipun sebenarnya pemuda itu adalah murid
kedua tokoh sakti ini, namun tetap saja mereka
menyebutnya dengan panggilan tuan muda. Karena,
memang merasa risih kalau harus memanggil putra
majikannya itu dengan hanya nama saja.
"Lebih baik Tuan Muda kembali ke kamar
sekarang, karena sudah tidak ada lagi tontonan yang
dapat dilihat," ujar Ki Badaran menimpali.
"Ah! Biarlah aku di sini saja, menemani Guru
berdua. Lagi pula sebentar lagi pagi akan datang,"
kilah pemuda itu.
"Yahhh, kalau memang begitu kemauanmu...," Ki
Panggitan tak meneruskan ucapannya. Kakek itu
hanya mengangkat bahunya tanda menyerah.
Malam pun kembali hening setelah para prajurit
membersihkan tempat itu dari mayat-mayat yang
bergeletakan.
***
"Jadi yang menyebabkan kekacauan semalam
hanya sesosok mayat?" tanya seorang laki-laki agak
gemuk.
Dengan pakaian serba merah, laki-laki setengah
baya itu berjalan hilir-mudik sambil menggendong
kedua tangannya di belakang. Wajahnya tampak
menyiratkan ketidaksenangan atas kejadian yang
menimpa kediamannya semalam.
"Betul, Gusti. Hanya sesosok mayat hidup," jawab
salah seorang laki-laki berpakaian biru gelap yang
bersimpuh beberapa tombak di hadapan laki-laki
berpakaian mewah yang tengah marah itu.
"Hm.... Menurut keterangan salah seorang perwira,
kau mengenali mayat itu. Coba katakan kepadaku, Ki
Panggitan. Siapa nama mayat hidup itu? Dan apakah
kau tahu di mana tempat tinggalnya semasa hidup?"
tanya laki-laki yang tak lain adalah Adipati Gamang
Sati yang menjadi penguasa di seluruh wilayah
Kadipaten Jagalan.
"Dia adalah mayat Ki Jaladri yang menjadi Ketua
Perguruan Perisai Baja. Hamba mengenalnya semasa
masih mengembara di dunia persilatan, Gusti Adipati.
Dan belakangan ini, hamba baru mengetahuinya
kalau dia telah mendirikan sebuah perguruan," sahut
orang tua yang memang Ki Panggitan.
Sementara itu, bersimpuh di sebelah Ki Panggitan
adalah Ki Badaran. Kedua pembantu utama Adipati
Gamang Sati itu rupanya tengah dimintai keterangan
sehubungan dengan peristiwa semalam.
"Apakah Ki Kalianji dan Walanggata juga menge-
tahui di mana letak Perguruan Perisai Baja itu?" tanya
Adipati Gamang Sati lebih lanjut
"Hamba yakin mereka pasti tahu, Gusti. Seperti
juga hamba, mereka juga telah lama mengenal Ki
Jaladri," jawab Ki Panggitan cepat
"Hm.... Kalau begitu aku akan menugaskan
mereka berdua untuk menyelidiki Perguruan Perisai
Baja. Berani sekali mereka membuat kekacauan di
kadipaten ini!" geram Adipati Gamang Sati dengan
wajah merah.
Setelah berkata demikian, adipati itu memerintah-
kan dua orang prajurit untuk memanggil dua orang
pembantu utamanya yang lain.
Adipati Gamang Sati memang mempunyai empat
orang pembantu utama yang tidak tergabung dalam
keprajuritan. Meskipun demikian, kedudukan mereka
lebih tinggi dari para perwira kadipaten. Memang,
mereka merupakan pengawal khusus yang tugasnya
menjaga keselamatan seluruh keluarga Adipati
Jagalan.
Keempat orang pembantu utama adipati itu
adalah tokoh persilatan terkemuka. Bahkan boleh
dikatakan merupakan tokoh tingkat tinggi yang sulit
dicari tandingannya. Itulah sebabnya, mengapa
mereka mengenal hampir seluruh tokoh persilatan,
termasuk Ki Jaladri di antaranya. Dan karena mereka-
lah sehingga Kadipaten Jagalan tidak ada yang berani
mengganggu. Banyak orang yang merasa enggan
untuk mencari permusuhan dengan keempat tokoh
kosen itu.
Tidak berapa lama kemudian, prajurit yang di-
tugaskan untuk memanggil Ki Kalianji dan
Walanggata telah kembali menghadap. Di belakang
mereka tampak seorang laki-laki berusia lima puluh
tahun lebih, dan seorang lagi berusia sekitar tiga
puluh lima tahun. Langkah mereka tampak tegap dan
berisi.
Adipati Gamang Sati mengibaskan tangan untuk
menyuruh dua orang prajuritnya meninggalkan
tempat itu. Sedangkan dua orang tokoh itu sudah
bersimpuh di samping Ki Panggitan dan Ki Badaran.
Dan mereka saling berteguran sekejap.
Setelah pintu ruangan kembali ditutup oleh dua
orang penjaga tadi, Adipati Gamang Sati mulai
mengutarakan maksudnya.
"Ampun, Gusti. Hamba berdua siap melaksanakan
perintah!" sahut Ki Kalianji setelah mendengar
penuturan sang Adipati.
"Kapan kami harus berangkat, Gusti?" tanya
Walanggata hormat.
Suara laki-laki gagah itu terdengar berat dan
dalam. Wajahnya pun tampak selalu menyiratkan
ketenangan, sebagaimana layaknya orang yang
memiliki kepercayaan penuh pada dirinya.
"Pagi ini juga kalian harus berangkat. Selidiki apa
maksudnya Perguruan Perisai Baja mengirimkan
mayat hidup ketuanya ke kadipaten ini?" perintah
Adipati Jagalan.
"Ampun, Gusti. Menurut dugaan hamba, Perguruan
Perisai Baja belum tentu terlibat. Harap Gusti jangan
mengambil tindakan keras terhadap mereka lebih
dulu, karena belum tentu bersalah," jelas Ki Badaran
mengajukan permohonan.
"Tentu saja, Ki Badaran. Aku tidak akan begitu
mudah menjatuhkan hukuman kalau memang
kesalahannya belum terbukti. Itulah sebabnya
mereka berdua kusuruh menyelidikinya. Tapi biar
bagaimanapun, aku berterima kasih kepadamu, Ki
Badaran. Paling tidak, kau telah mengingatkan aku,"
jawab Adipati Gamang Sati seraya tersenyum lembut.
"Ayah! Apakah aku boleh menyertai Ki Kalianji dan
Paman Walanggata?" pinta seorang pemuda tampan
yang sejak tadi hanya terduduk diam mendengarkan
pembicaraan antara ayahnya dengan guru-gurunya
itu.
"Tidak, Anggada. Pekerjaan ini terlalu berbahaya
untukmu. Lebih baik kau di rumah saja untuk
menyempurnakan ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kedua gurumu. Oh, ya. Di mana adikmu Ganesha?"
tanya Adipati Gamang Sati mengalihkan pem-
bicaraan.
"Entahlah, Ayah. Sejak pagi tadi aku belum
melihatnya," sahut Anggada dengan suara
mengandung kekecewaan, karena permintaannya
tidak dikabulkan.
"Nah! Ki Kalianji, Walanggata, kalian boleh
menyiapkan segala keperluan dalam perjalanan
nanti. Dan kau Ki Panggitan dan Ki Badaran, kalian
boleh beristirahat," ujar Adipati Gamang Sati mem-
persilakan.
"Baik, Gusti. Kami mohon pamit," ucap keempat
tokoh itu serentak.
Setelah membungkuk hormat, keempat tokoh itu
melangkah meninggalkan ruangan pertemuan
rahasia.
Beberapa saat kemudian, Adipati Gamang Sati dan
putranya pun meninggalkan tempat itu.
***
Dua ekor kuda putih melesat cepat melewati pintu
gerbang Kadipaten Jagalan. Derap dua ekor kuda
yang melesat bagai anak panah itu meninggalkan
kepulan debu yang membumbung tinggi di angkasa.
"Hiyaaa...! Hiyaaa...!"
Dua orang laki-laki yang berada di atas punggung
kuda terus menggebah kudanya ke luar wilayah
kadipaten. Mereka tak lain adalah Ki Kalianji dan
Walanggata yang ditugaskan Adipati Gamang Sati
untuk menyelidiki Perguruan Perisai Baja.
Tidak berapa lama kemudian, mereka mulai mem-
perlambat lari kudanya, karena saat itu harus
melewati daerah perbukitan. Memang, jalan yang
dilewati agak sukar. Tentu saja mereka tidak ingin
kalau kaki kudanya akan cedera akibat sukarnya
jalan yang dilalui.
"Mengapa kita tidak mengambil jalan yang lain
saja, Ki?" tanya Walanggata yang sepertinya tidak
suka melewati jalan yang sukar itu.
"Hm.... Hanya jalan inilah satu-satunya yang ter-
dekat, Walanggata. Lagi pula, kalau kita melewati
jalan yang di sebelah Selatan sana akan memakan
waktu lama. Belum lagi kalau nasib kita sedang sial,
sehingga harus berhadapan dengan perampok-
perampok yang kadang-kadang berkeliaran di tempat
itu," sahut Ki Kalianji yang rupanya lebih tahu arah
jalan yang dapat menyingkat perjalanan.
"Kalau tahu di daerah Selatan itu kadang-kadang
terjadi perampokan, mengapa Gusti Adipati tidak
mengirimkan pasukan untuk menumpasnya? Bukan-
kah perampok-perampok itu dapat mengganggu
ketenangan rakyat?" tanya Walanggata yang merasa
heran, karena para perampok dibiarkan merajalela
begitu saja.
"Ah! Kau seperti tidak tahu saja, Walanggata. Para
perampok itu tidak menetap di tempat itu. Entah dari
mana mereka datang? Beberapa bulan sebelum kau
datang untuk mengabdikan diri ke kadipaten, aku
sudah pernah ditugaskan Gusti Adipati untuk
menumpas gerombolan perampok itu. Tapi, tak satu
pun perampok yang kutemukan. Entah ke mana
perginya? Seolah-olah mereka telah mengetahui
kalau hari itu prajurit kadipaten akan mengadakan
pembersihan. Itulah yang membuatku heran," jelas Ki
Kalianji menutup ceritanya.
"Hm.... Memang mengherankan," desis Walanggata
bergumam pelan.
Setelah mendengar penuturan Ki Kalianji itu,
Walanggata pun terdiam.
Selang beberapa waktu kemudian, kedua
pengawal pribadi Adipati Gamang Sati itu mulai
menyusuri jalan setapak yang cukup rata, sehingga
dapat melarikan kuda meskipun tidak terlalu cepat.
Sebab tangan mereka kadang-kadang harus
menyibakkan ranting pohon yang menjulur ke arah
jalan setapak itu. Dan baru saja mereka akan mem-
percepat lari kudanya, tampak di tengah jalan ada
sesuatu yang mencurigakan.
"Hm.... Ada apa pula itu? Mengapa orang itu
menggeletak di tengah jalan?" gumam Ki Kalianji
yang berada di depan.
Sebagai tokoh persilatan yang sudah banyak
pengalaman, kecurigaannya langsung timbul. Ditarik-
nya tali kekang untuk memperlambat lari kudanya.
"Ada apa, Ki?" tanya Walanggata yang segera
memperlambat lari kudanya.
Sambil berkata demikian, kepalanya segera
dijulurkan untuk memandang ke depan melalui bahu
Ki Kalianji.
"Eh, siapa pula orang yang tergeletak di tengah
jalan itu?" tanya Walanggata seraya mengerutkan
kening, melihat pemandangan itu.
"Hati-hati, Walanggata! Siapa tahu ini merupakan
jebakan. Ingat, kita tengah menjalankan tugas! Jadi
bukan tidak mungkin kalau lawan sudah mengetahui
kedatangan kita," Ki Kalianji menasihati kawan
seperjalanannya. Orang tua itu sengaja merendahkan
suaranya agar tidak terdengar orang lain.
"Apakah tempat Perguruan Perisai Baja sudah
dekat, Ki?" tanya Walanggata yang rupanya tidak
mengetahui letak perguruan itu.
"Belum. Tempat itu masih cukup jauh. Tapi, siapa
tahu orang-orang itu sengaja menghadang kita di
tempat ini agar tidak terlalu mencolok," jawab Ki
Kalianji, kali ini malah berbisik. Memang, jarak
mereka dengan orang yang telentang itu sudah
semakin dekat Begitu jarak mereka sudah semakin
dekat, Ki Kalianji menjadi heran ketika melihat orang
itu sama sekali tidak nampak terluka. Dengan kening
berkerut, laki-laki tua itu melompat dari atas
punggung kudanya.
"Maaf, Kisanak. Berilah kami jalan untuk lewat,"
pinta Ki Kalianji sambil membungkuk sopan.
Laki-laki itu berkata demikian karena orang yang
menghalangi jalannya tampak memandangnya. Orang
itu sama sekali tidak tertidur, apalagi terluka.
Tanpa sadar, Ki Kalianji melangkah mundur ketika
matanya bertemu dengan sinar mata yang berkilat
tajam. Kilatan mata yang ternyata dipancarkan oleh
seorang kakek tua itu demikian berpengaruh,
sehingga sempat membuat hati Ki Kalianji berdebar
tegang.
"He he he...! Boleh aku tahu, ke mana tujuan
kalian, Kisanak?" tanya kakek itu.
Dia sama sekali tidak mempedulikan permintaan
Ki Kalianji. Malah sambil terkekeh menyeramkan, ia
bertanya kepada tokoh Kadipaten Jagalan itu.
"Maaf. Kami hanyalah dua orang pengembara yang
hanya kebetulan lewat. Dan kami mohon Kisanak
sudi memberi jalan untuk lewat," sahut Ki Kalianji.
Kali ini suaranya lebih tegas, karena sudah mulai
menduga kalau kakek tua itu sengaja mencari gara-
gara.
"He he he...! Sombong sekali kau, anjing-anjing
peliharaan Gamang Sati. Rupanya kehidupan yang
mewah membuat kalian tidak lagi memandang
sebelah mata kepada orang lain. Apakah kalian telah
merasa paling hebat? Kalianji, Walanggata, jawab
pertanyaanku!" bentak kakek itu.
Bukan main terkejutnya Ki Kalianji dan
Walanggata ketika kakek itu menyebut nama mereka.
Sejenak keduanya meneliti wajah dan pakaian kakek
itu. Dicobanya untuk mengingat-ingat, siapa kakek
tua itu sebenarnya.
Sebelum kedua orang jagoan kadipaten itu sempat
mengenali kakek tua di hadapannya, tiba-tiba
seorang pemuda tampan dan jangkung muncul dari
balik semak-semak.
***
TUJUH
"Paman...!" tegur pemuda tampan itu menyapa Ki
Kalianji dan Walanggata. Senyum licik tampak
membayang di wajahnya yang tampan.
"Tuan Muda Ganesha...!" seru kedua orang jagoan
kadipaten itu terkejut.
Bergegas mereka membungkuk hormat, karena
pemuda itu adalah putra kedua Adipati Gamang Sati
yang menjadi junjungan mereka.
"Apa..., apa yang Tuan Muda lakukan di tempat
ini?" tanya Ki Kalianji yang merasa heran melihat
putra junjungannya berada di tempat yang sebenar-
nya sangat jauh dari kadipaten.
"Guru, mari ajak mereka ke tempat kita," kata
pemuda yang bernama Ganesha, seraya menoleh
kepada kakek tua yang masih telentang di tengah
jalan. Dari sini saja mudah diketahui kalau antara
Ganesha dan kakek tua yang menyeramkan itu
terjalin hubungan yang cukup akrab.
"Baik, Tuan Muda," sahut si kakek seraya bangkit
dari berbaringnya.
Jelas sekali kalau kakek tua itu sangat meng-
hormati Ganesha. Meskipun pemuda itu memanggil-
nya dengan sebutan guru.
"Mari, Paman...," ajak Ganesha.
Kemudian pemuda itu melangkah keluar dari jalan
setapak. Sepertinya dia mengajak kedua jagoan
kadipaten memasuki wilayah hutan yang cukup lebat
Meskipun keheranan belum lenyap, tapi kedua
jagoan itu melangkah juga mengikuti Ganesha dan si
kakek memasuki hutan.
Tidak berapa lama kemudian, keempat orang itu
tiba di sebuah daerah pemukiman yang hanya
terdapat beberapa buah rumah yang dibuat asal jadi.
"Inilah tempat tinggalku, Paman," jelas Ganesha.
Dipersilakannya kedua orang itu memasuki
sebuah rumah yang lebih bagus dari yang lainnya.
Beberapa orang bertampang kasar tampak mem-
perhatikan kedua orang itu dengan kening berkerut.
Tapi mereka tampak sangat menghormati Ganesha.
"Hm.... Tempat apa ini? Mengapa Tuan Muda
Ganesha memilih tinggal di tempat ini daripada di
kadipaten?" gumam Ki Kalianji dalam hati. Sepasang
matanya terus merayapi curiga sekelilingnya.
"Apa maksudmu mengajak kami ke tempat ini,
Tuan Muda?" tanya Ki Kalianji begitu mereka telah
duduk mengitari sebuah kayu yang terbuat dari
batang pohon besar.
"Sebenarnya begini, Paman Kalianji dan
Walanggata...."
Ganesha lalu menceritakan tentang rencananya
kepada kedua orang jagoan kadipaten yang
kemudian menjadi terkejut setengah mati. Wajah
keduanya nampak pucat bagai tak dialiri darah,
karena benar-benar tidak menyangka kalau Ganesha
akan berbuat seperti itu.
"Tuan Muda! Sadarkah dengan apa yang kau
ucapkan itu? Mengapa Tuan Muda sampai hati
mengkhianati Gusti Adipati yang begitu menyayangi-
mu? Ini rencana gila! Dan kuminta Tuan Muda
memikirkannya sebelum bertindak. Ingat, Tuan Muda
masih belum terlambat untuk membatalkan rencana
ini!" sergah Ki Kalianji menasihati putra junjungannya
itu dengan suara ditekan sehormat mungkin.
"Tidak! Rencana yang telah kususun bersama
guruku tetap akan dijalankan. Ketahuilah, Paman.
Aku hanyalah seorang putra tiri yang lahir dari salah
seorang selir Adipati Gamang Sati. Semua itu
kuketahui ketika ayah tengah berbicara dengan
bunda. Katanya, Kakang Anggada akan diangkat
sebagai adipati untuk menggantikan beliau. Itu sama
artinya dengan mencampakkan aku, Paman!" tegas
Ganesha berapi-api. Jelas sudah kalau pemuda itu
akan melakukan pemberontakan untuk merebut
Kadipaten Jagalan.
"Tapi dengan diangkatnya Tuan Muda Anggada
nanti, bukan berarti Gusti Adipati akan mencampak-
kanmu, Tuan Muda," Walanggata ikut angkat bicara.
"Sudahlah! Aku tidak ingin banyak bicara lagi.
Sekarang, Paman berdua boleh mengambil
keputusan. Ikut denganku, atau akan menjadi mayat
hidup yang akan menggemparkan Kadipaten Jagalan
untuk kedua kalinya!" Ganesha mulai mengancam
kedua orang jagoan kadipaten itu.
"Jadi..., jadi rupanya Tuan Muda yang telah
mengirimkan mayat hidup Ki Jaladri untuk mengacau-
kan Kadipaten Jagalan?" tebak Ki Kalianji kembali
terkejut mendengar ucapan yang keluar dari mulut
putra tiri junjungannya itu.
"Ya! Dan kalau Paman berdua menolak ajakanku,.
maka akan bernasib sama dengan Ki Jaladri!" tegas
Ganesha dengan sepasang matanya yang meng-
ancam.
"Keparat! Rupanya kau telah berubah menjadi
iblis, Ganesha! Kau sengaja membunuh dan mem-
peralat Ketua Perguruan Perisai Baja agar niat busuk-
mu terlaksana! Dan kami pun tidak sudi berkomplot
denganmu!" geram Ki Kalianji dengan wajah gelap.
Setelah berkata demikian, tubuh laki-laki tua itu
segera melompat keluar, diikuti Walanggata.
"Baiklah. Kalau itu sudah menjadi keputusan
kalian, semoga saja tidak menyesal!" desis Ganesha
menampakkan sifat aslinya yang kejam.
Sesaat kemudian, tubuh pemuda jangkung itu pun
melesat mengejar kedua orang jagoan Kadipaten
Jagalan itu. Ganesha tertawa terbahak-bahak ketika
melihat Ki Kalianji dan Walanggata sudah terkepung
puluhan orang anak buahnya.
"Kau mimpi Ganesha! Pasukanmu yang kecil ini
tidak mungkin mampu menghadapi prajurit-prajurit
Gusti Adipati yang berpuluh kali lebih banyak dari
pasukanmu ini!" ejek Walanggata ketika melihat
jumlah pengikut pemuda itu yang hanya beberapa
puluh orang saja.
"Ha ha ha...! Jangan lupa, Walanggata! Guruku
dengan mudah dapat membunuh beberapa orang
prajurit kadipaten dan membangkitkannya kembali
untuk menghancurkan pasukan junjunganmu itu!"
sahut Ganesha.
Pemuda itu begitu yakin akan kepandaian gurunya
yang berwajah lusuh itu. Sepertinya orang tua itu
tidak pernah terkena air selama hidupnya, sehingga
keadaannya demikian lusuh dan kotor.
"Hm.... Pantas saja selama ini ia tidak pernah suka
belajar dengan kita. Rupanya diam-diam telah men-
dapatkan seorang guru yang jauh lebih pandai dari
kita berdua," gumam Ki Kalianji dengan suara rendah.
"Kurasa begitu, Ki. Dan kita harus berhati-hati
untuk menghadapinya. Yang jelas, kita belum
mengetahui sampai sejauh mana pemuda keparat itu
mempelajari ilmu dari gurunya," kata Walanggata
mengingatkan, kemudian bergegas mencabut
senjatanya.
Ki Kalianji pun tidak ingin ayal-ayalan lagi. Cepat-
cepat senjata yang berupa sepasang tongkat hitam
sepanjang tiga jengkal diloloskan.
Wungngng! Wungngng!
Sepasang tongkat hitam di tangan Ki Kalianji
bergerak saling bersilangan hingga menimbulkan
deruan angin tajam. Sadar kalau keadaan mereka
berdua tengah terancam, Ki Kalianji langsung
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Demikian pula halnya Walanggata. Senjatanya
yang berupa sebilah golok besar bercagak pada
ujungnya, sudah melintang di depan dada. Sepasang
matanya bergerak memutar memperhatikan gerak
langkah para pengepungnya.
"Mundur kalian! Buat lingkaran agar dua ekor tikus
itu tidak dapat lari ke mana-mana!" perintah Ganesha
sambil melangkah tegap ke tengah lingkaran meng-
hampiri kedua jagoan kelas satu Kadipaten Jagalan.
"Kau ingin menghadapi kami sendirian, Ganesha?"
tanya Ki Kalianji heran begitu melihat dan mendengar
ucapan pemuda jangkung itu.
"Ha ha ha...! Aku hanya ingin membuktikan kalau
ilmu yang kalian miliki itu hanya ilmu pasaran yang
rendah!" ejek pemuda jangkung itu sombong. "Nah,
jagalah pukulanku! Hiaaat..!"
Dibarengi sebuah bentakan keras, tubuh pemuda
jangkung itu melayang disertai kibasan tangannya
yang menimbulkan sambaran angin kuat!
Ki Kalianji yang berada paling dekat dengan
pemuda itu bergegas menggeser tubuhnya meng-
hindari pukulan lawan. Begitu mengetahui kalau yang
dihadapi adalah Ganesha, tokoh itu segera
menyimpan senjatanya. Selama ini, dia tahu betul
kalau Ganesha tidak pernah berlatih silat. Lagi pula
tokoh tua itu merasa malu kalau menghadapi lawan-
nya harus menggunakan senjata andalan.
Wut! Bet!
Dua buah tamparan telapak tangan Ganesha
mengenai tempat kosong, karena Ki Kalianji sudah
terlebih dahulu mengelak. Ki Kalianji langsung me-
lakukan serangan balasan yang tidak kalah dahsyat.
Ganesha sama sekali tidak berusaha menyingkir
ketika pukulan lawan meluncur ke tubuhnya. Pemuda
jangkung itu mendengus kasar sambil mengangkat
tangan kanan untuk memapak pukulan tokoh kosen
dari Kadipaten Jagalan. Rupanya Ganesha memang
sengaja hendak mengadu tenaga.
Wut! Plak!
"Aaah...!"
Terdengar ledakan keras ketika telapak tangan
pemuda jangkung itu bertumbukan dengan kepalan
Ki Kalianji. Tokoh tua dari Kadipaten Jagalan itu
berseru tertahan merasakan tenaga dalam yang
tersembunyi di balik lengan pemuda itu ternyata
cukup tinggi. Sehingga pertemuan tenaga dalam itu
sempat membuat tubuhnya bergetar.
"Gila! Tidak kusangka tenaga dalam yang
dimilikinya sangat kuat!" desis Ki Kalianji terkejut.
Cepat kakek tua itu melompat ke belakang dan
kembali bersiap.
"Ha ha ha...! Mengapa mundur, Orang Tua? Takut?
Nah! Kalau begitu, gunakanlah senjatamu!" ejek
Ganesha yang sepertinya tidak merasakan apa apa
dalam pertemuan tenaga tadi.
"Huh! Jangan sombong dulu, Pemuda Iblis! Aku
masih belum kalah!" bentak Ki Kalianji yang menjadi
geram mendengar ejekan pemuda yang pantas
menjadi cucunya itu.
"Lebih baik kalian maju berbarengan daripada
akan menyesal nanti," ejek Ganesha pongah.
Sepertinya pemuda itu merasa yakin sekali dengan
kepandaian yang dimilikinya. Hal itu tidaklah terlalu
berlebihan, karena Ganesha memang sudah
mengetahui sampai di mana tingkat kepandaian
kedua orang pembantu utama ayah tirinya itu.
Walanggata panas hatinya mendengar ejekan
pemuda itu. Dengan wajah gelap, kakinya melangkah
menghampiri Ganesha.
"Kalau memang itu yang kau inginkan, baiklah!
Tapi janganlah berteriak-teriak menyambat gurumu
apabila terdesak atau terluka nanti!" tegas
Walanggata geram. Hatinya benar-benar panas
melihat sikap pemuda itu yang meremehkannya.
"Ha ha ha...! Kau gentar pada guruku, Walanggata?
Jangan khawatir, karena kedua tanganku masih
sanggup menundukkan kalian. Nah! Apa lagi yang
ditunggu?" sahut Ganesha sambil tersenyum
mengejek.
"Tuan Muda! Orang bijak mengatakan, jika ingin
berhasil dalam suatu pekerjaan, maka janganlah
menunda-nuda pekerjaanmu. Nah, silakan Tuan
Muda beristirahat. Biarlah hamba yang akan
menghadapi anjing-anjing peliharaan Adipati Jagalan
itu," tiba-tiba kakek tua berwajah kumuh berkata
sambil melangkahkan kakinya ke tengah arena.
"Ah, Guru. Berilah kesempatan padaku untuk
menguji sampai di mana kemajuan yang telah
kuperoleh. Rasanya, hanya kedua orang inilah yang
cocok untuk menguji kepandaian yang Guru turun-
kan," Ganesha mencoba membantah ucapan kakek
tua yang menjadi gurunya itu.
"Tidak, Tuan Muda. Kita harus cepat-cepat
membereskan mereka. Sebab, naluriku merasakan
adanya bahaya lain yang akan mengancam dan
menghancurkan rencana kita. Aku tidak dapat
mengetahui secara pasti bahaya apa yang akan kita
hadapi itu," tegas si kakek tidak menerima bantahan
muridnya kali ini.
"Tapi.... Tapi, Guru...," Ganesha masih mencoba
membantah alasan yang dikemukakan gurunya.
Wajahnya yang tampan nampak menyiratkan
kekecewaan.
"Maaf, Tuan Muda. Kali ini hamba terpaksa tidak
bisa meluluskan permintaan Tuan Muda. Biarlah di
lain kesempatan hamba berjanji akan mencari lawan
yang dapat membuatmu tidak merasa sia-sia karena
telah mempelajari ilmu-ilmu hamba," kakek tua itu
tetap bersikeras mempertahankan pendapatnya.
"Yah! Kalau memang keputusan Guru tidak dapat
ditarik lagi, biarlah kali ini aku mengalah. Tapi Guru
harus menepati janji untuk mencarikan lawan yang
benar-benar dapat membuat hatiku puas!"
Akhirnya Ganesha terpaksa menuruti perintah
gurunya. Pemuda jangkung itu kemudian bergegas
melangkah mundur menjauhi arena.
Sementara itu, seluruh wajah Ki Kalianji dan
Walanggata seketika merah mendengar perdebatan
guru dan murid itu. Kedua orang tokoh kosen
Kadipaten Jagalan itu benar-benar merasa terhina.
Betapa tidak? Karena, kedua orang guru dan murid
itu enak saja membicarakan nasib mereka. Seolah-
olah, mereka dianggap orang pesakitan yang
hukumannya tengah diputuskan.
"Bangsat! Manusia sombong! Keparat!"
Walanggata yang usianya lebih muda daripada Ki
Kalianji tidak dapat lagi membendung kemarahan
yang hampir-hampir meledakkan dadanya itu. la
memaki-maki marah sambil mencabut golok
bercagak yang tadi sudah disimpannya.
"Hiaaat..!"
Dibarengi teriakan mengguntur, tubuh tokoh
Kadipaten Jagalan itu segera melompat disertai
tebasan golok besarnya.
Wut!
Angin tajam berhembus keras mengiringi tebasan
golok besar bercagak yang diayunkan Walanggata
sekuat tenaga.
"Hm...!"
Kakek berwajah kumuh itu mendengus kasar ber-
nada mengejek. Tubuhnya bergeser ke samping
menghindari tebasan golok Walanggata. Sesaat
setelah golok lawan menyambar lewat, tangan kanan
kakek itu cepat melakukan totokan jari-jari tangannya
yang membentuk paruh bangau. Kecepatan pukulan
kakek itu hebat sekali, hingga menimbulkan suara
mencicit tajam.
Wusss! Bet!
Walanggata melempar tubuhnya ke belakang
untuk menghindari totokan jari tangan yang
mengandung maut itu. Setelah melakukan salto
beberapa kali, tokoh Kadipaten Jagalan termuda itu
mendaratkan kedua kakinya beberapa tombak dari
lawannya dengan manis.
Rupanya kakek berwajah kumuh itu benar-benar
ingin cepat-cepat menyelesaikan pertarungan.
Karena, pada saat tubuh Walanggata melompat ke
udara, tubuh kakek itu pun segera menyusulinya.
Sepasang tangannya kali ini membentuk ceng-
keraman melebar dan siap meremukkan batok
kepala lawan.
"Aaah...!"
Bukan main terkejutnya Walanggata ketika melihat
sepasang tangan lawan sudah mencecar dengan
serangan-serangan mematikan. Padahal, posisinya
tidak memungkinkan untuk menghindar. Maka
tangan kirinya terpaksa diangkat untuk memapak
patukan tangan kanan lawan. Berbarengan dengan
itu, golok bercagaknya berkelebat membeset perut si
kakek.
"Bagus...!" puji kakek lusuh itu.
Mau tak mau dia terpaksa memuji kegesitan dan
kesigapan lawannya. Pujian yang keluar dari mulut
kakek itu bukanlah suatu pujian kosong ataupun
ejekan. Karena, apa yang dilakukan Walanggata
memang benar-benar mengagumkan. Buktinya, di
saat dirinya terancam, ternyata tokoh itu masih juga
sempat melontarkan serangan berbahaya.
Wut! Plak! Plak!
"Aaah...!"
Terdengar suara nyaring ketika sepasang lengan
mereka saling bertumbukan. Tubuh Walanggata
terjajar mundur disertai seruan kagetnya. Sepasang
tangannya terasa seperti lumpuh ketika beradu
tangan dengan kakek tua itu. Dan sebelum kuda-
kudanya sempat diperbaiki, tubuh lawannya kembali
melompat disertai patukan-patukan sepasang tangan
ke seluruh tubuh Walanggata.
Pucat seluruh paras tokoh Kadipaten Jagalan itu.
Dia sadar sepenuhnya kalau kali ini tidak mungkin
dapat lolos dari ancaman sepasang tangan yang
berbentuk paruh bangau itu. Walanggata hanya
mampu memejamkan matanya rapat-rapat menanti
datangnya maut
"Yeaaat..!"
Pada saat yang berbahaya itu, sesosok bayangan
tinggi kurus melesat ke tengah-tengah arena per-
tarungan. Sepasang tangan sosok tubuh itu terdorong
ke depan dengan telapak tangan terbuka.
Wusss!
Serangkum angin keras bertiup mengiringi
dorongan sepasang telapak tangan yang mengan-
dung tenaga dalam tinggi itu. Gerakannya demikian
cepat memotong gerak si kakek yang tengah
meluncur mengancam tubuh Walanggata. Dan....
Bresss!
"Aaah...!"
Udara di sekitar arena pertarungan bergetar ketika
sepasang tangan sosok tinggi kurus bertemu telapak
tangan guru Ganesha. Rupanya dia telah merubah
gerakannya begitu melihat sosok tubuh tinggi kurus
memotong geraknya.
Akibatnya sungguh hebat, tubuh sosok tinggi kurus
yang menyambut sepasang telapak tangan kakek tua
itu terlempar keras disertai jeritan kesakitan.
Tubuhnya terus meluncur menuju sebatang pohon
sebesar dua pelukan orang dewasa yang tumbuh di
tepi arena.
Berbarengan dengan meluncurnya tubuh sosok
tinggi kurus itu, sesosok bayangan putih melesat dari
arah yang berlawanan. Gerakannya demikian cepat
hingga tak ubahnya sebatang anak panah lepas dari
busur.
Tappp!
Sosok bayangan putih itu langsung mengulurkan
tangannya menangkap sosok tinggi kurus yang
hampir menghantam sebatang pohon besar. Dan
dengan sebuah gerakan indah, bayangan putih itu
melenting ke atas melakukan beberapa kali salto di
udara. Tanpa suara sedikit pun, sepasang kakinya
mendarat di atas permukaan tanah.
"Telanlah obat ini. Mudah-mudahan rasa nyeri
pada bagian dadamu akan segera lenyap. Dan
beristirahatlah sejenak untuk memulihkan tenagamu
yang buyar akibat benturan keras tadi," ujar si
bayangan putih sambil menyerahkan sebutir obat
pulung berwarna putih.
Cepat jari-jari tangan sosok berjubah putih itu
bergerak menutup mulut sosok tinggi kurus yang tak
lain Ki Kalianji. Karena, dia melihat bibir orang yang
ditolongnya bergerak seperti hendak mengucapkan
sesuatu.
Sementara itu, di arena pertarungan telah ber-
tambah satu orang lagi. Di saat Walanggata hampir
tak mampu lagi melindungi tubuhnya dari ancaman
serangan si kakek, tahu-tahu saja sesosok tubuh
ramping yang terbungkus pakaian serba hijau
melesat ke tengah pertarungan. Begitu tiba, dia
langsung menusukkan pedangnya ke arah lawan.
"Aaah...!"
Tentu saja kakek itu menjerit kaget ketika tahu-
tahu saja ujung pedang yang mengeluarkan sinar
putih keperakan mengancam beberapa bagian tubuh-
nya. Cepat tubuhnya dilempar ke belakang, meng-
hindari ujung pedang sosok tubuh yang baru tiba itu.
Cuiiit! Cuiiit!
Pedang di tangan sosok tubuh ramping itu terus
mengejar tubuh si kakek yang telah melompat
beberapa tombak ke belakang. Guru Ganesha itu
terus melakukan beberapa kali salto ketika melihat
ujung pedang sosok tubuh ramping itu terus
mengejarnya.
"Siapa kau, Nisanak?! Mengapa mencampuri
urusan kami?" bentak si kakek dengan wajah gelap.
Diam-diam ia merasa terkejut sekali melihat
kehebatan ilmu pedang wanita jelita yang datang-
datang langsung menerjangnya itu.
Sosok tubuh ramping itu sama sekali tidak mem-
pedulikan pertanyaan si kakek. Dengan sikap acuh,
wajahnya dipalingkan kepada Walanggata yang saat
itu juga tengah menatapnya.
"Te... terima kasih.... Atas pertolonganmu,
Nisanak," ucap Walanggata agak gugup.
Sepasang mata laki-laki itu tampak menyiratkan
kekaguman yang tak dapat disembunyikan.
Walanggata menjadi rikuh ketika melihat orang yang
menolongnya ternyata adalah seorang gadis yang
memiliki paras sangat cantik.
"Hm...."
Sosok tubuh ramping yang ternyata adalah
seorang dara jelita itu bergumam dan tersenyum
manis. Gadis itu baru tersadar dan senyumnya
menghilang ketika melihat orang yang ditolongnya
semakin membelalakkan matanya bagaikan orang
yang hilang ingatan.
"Maaf.... Maaf, bukan maksudku untuk bersikap
kurang ajar. Tapi..., tapi.... Nisanak benar-benar
mempesona," ucap Walanggata meminta maaf sambil
membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.
"Hm.... Sudahlah!" sergah gadis jelita itu mengibas-
kan tangannya.
Untung saja Walanggata cepat menyadari
kesalahannya. Kalau tidak, mungkin gadis jelita itu
akan menjadi marah melihat sikapnya tadi.
"Kakang, bagaimana luka orang tua itu?" tanya si
gadis jelita sambil menolehkan kepalanya ke arah
pemuda tampan berjubah putih yang tadi menolong
Ki Kalianji.
"Tidak apa-apa. Sebentar lagi kesehatannya segera
pulih," sahut pemuda tampan berjubah putih yang tak
lain adalah Pendekar Naga Putih.
Pemuda itu berbasa-basi sejenak menanyakan
keadaan Walanggata, kemudian kembali memandang
ke arah kakek tua yang melukai Ki Kalianji tadi.
"Hm...."
Kakek tua berwajah kumuh itu menatap tajam ke
arah Panji. Sepasang matanya meneliti sosok
pemuda berjubah putih itu dari bawah ke atas.
Kemudian tanpa mengucapkan sepata kata pun,
tubuh kakek itu melesat menerjang Panji.
Bet! Bet!
"Eh...!"
Tentu saja Pendekar Naga Putih kaget melihat
serangan yang tak diduga itu. Cepat-cepat tubuhnya
digeser ke belakang sehingga serangan kakek itu
gagal.
"Perlahan dulu, Kakek Tua...!" seru Panji sambil
terus menghindari patukan tangan si kakek yang
terus saja memburunya.
Pendekar Naga Putih terpaksa memapak serangan
kakek itu, karena kalau dibiarkan bisa-bisa dirinya
menjadi celaka.
Dukkk!
"Uhhh...!"
Tubuh mereka terjajar mundur ketika tangan
masing-masing saling berbenturan. Tampak keduanya
sama-sama terkejut mengetahui kalau tenaga
mereka boleh dibilang berimbang.
"Siapa kau, Anak Muda?" tanya si kakek semakin
penasaran ketika mendapat kenyataan kalau tenaga
dalam pemuda itu sangat tinggi.
***
DELAPAN
"Namaku Panji. Lalu, siapa dirimu, Kisanak?" jawab
Panji yang juga menanyakan lawannya. Keduanya
saling menatap dengan sinar mata berkilat tajam.
"Kakang! Menurut keterangan dua orang itu, kakek
inilah yang telah membunuh dan membangkitkan
mayat Ki Jaladri!" bisik gadis jelita yang tak lain
adalah Kenanga.
Rupanya selagi Panji berhadapan dengan kakek
tua itu, Kenanga bertanya kepada Walanggata dan Ki
Kalianji yang tenaganya sudah pulih akibat per-
tolongan Panji tadi.
"Eh, benarkah...?" tanya Panji sambil menatap Ki
Kalianji dan Walanggata bergantian. Pemuda itu
seolah-olah ingin mendapat kepastian dari dua orang
yang ditolongnya itu.
"Benar, Anak Muda. Dan aku juga bisa menduga,
siapa dirimu. Bukankah kau yang berjuluk Pendekar
Naga Putih?" kata kedua orang tokoh kosen
Kadipaten Jagalan, seakan-akan meminta kepastian.
Ki Kalianji lalu menceritakan secara singkat, dari
mulai kejadian di Kadipaten Jagalan hingga akhirnya
ditolong Pendekar Naga Putih dan Kenanga.
"Hm.... Kalau begitu, kami pun mempunyai urusan
dengan kakek itu," gumam Panji setelah mendengar
keterangan dari Ki Kalianji. Sepasang mata pemuda
itu mencorong tajam menatap kakek tua di hadapan-
nya.
"Ha ha ha...! Jangan kau pikir aku akan gentar.
mendengar namamu, Pendekar Naga Putih!" tegas
kakek itu.
Dia memang menjadi lebih yakin ketika men-
dengar Ki Kalianji menyebut pemuda itu dengan
julukan yang memang telah diduganya.
"Ketahuilah, Pendekar Naga Putih. Saat ini kau
tengah berhadapan dengan si Penggembala Mayat'"
lanjut kakek tua itu terpaksa menyebut julukannya
untuk membuat lawan-lawannya gentar.
"Penggembala Mayat..!" seru keempat orang
pendekar itu terkejut, karena pernah mendengar
nama tokoh itu dari guru masing-masing.
"Huh! Jangan coba-coba membohongi kami, Kakek
Tua. Tokoh yang kau sebutkan itu telah ada semenjak
aku masih muda. Jadi kalaupun masih ada, mungkin
sudah berusia seratus tahun lebih. Nah, jangan coba-
coba menakut-nakuti kami!" sahut Ki Kalianji sambil
melontarkan senyum mengejek.
"He he he...! Itulah aku, Kalianji. Walaupun usiaku
telah lebih dari seratus tahun, tapi tetap awet muda
berkat ilmu-ilmu yang kupelajari. Percaya atau tidak,
itu terserah kalian. Sekarang, bersiaplah untuk
melayat ke akhirat!" tegas kakek yang berjuluk si
Penggembala Mayat itu. Sepasang matanya tampak
mengandung ancaman maut
"Kepung dan bunuh mereka...!" teriak Ganesha
yang mulai memerintahkan anak buahnya untuk
mengepung keempat orang pendekar itu.
Setelah berkata demikian, pemuda jangkung itu
pun melompat sambil mencabut senjatanya.
"Kalian hadapi yang lainnya. Biar aku yang akan
mencoba menghadapi kakek yang berjuluk si
Penggembala Mayat itu!" ujar Panji sambil melompat
ke arah si Penggembala Mayat yang saat itu tengah
menatap tajam ke arahnya.
"Heaaah...!"
Si Penggembala Mayat menggeram sambil meng-
angkat sepasang tangannya ke atas. Sesaat
kemudian, kedua tangan itu perlahan-lahan turun dan
terkembang di depan dadanya. Terlihat uap tipis
mengepul dari sepasang lengan kakek tua itu.
Seketika bau kemenyan pun menebar memenuhi
tempat itu.
Panji melompat, seolah-olah mengajak kakek itu
untuk menjauhi pertarungan lain.
"He he he...! Mau lari ke mana kau, Pendekar Naga
Putih?" ejek Penggembala Mayat ketika melihat tubuh
Panji melesat meninggalkannya.
"Hm.... Tidak akan kulakukan perbuatan pengecut
itu, Penggembala Mayat! Aku hanya ingin agar
pertarungan kita tidak terganggu," sahut Panji yang
sudah menghentikan larinya. Tubuh pemuda tampan
itu berdiri tegak di sebuah tanah lapang yang cukup
luas.
"Nah! Tempat ini rasanya cukup memadai, bukan?"
kata Panji, kalem. Pendekar Naga Putih menanti
kedatangan tokoh sesat yang berusia seratus tahun
lebih itu.
"Hm.... Sambutlah jurus 'Mayat Hidup'ku ini!
Hiaaat..!"
Setelah berkata demikian, tubuh si Penggembala
Mayat meluncur maju menerjang Panji. Meskipun
gerakannya terlihat patah-patah, namun kecepatan
dan keganasannya malah semakin menggetarkan.
"Uts!"
Panji berseru kaget. Bergegas tubuhnya dilempar
ke belakang. Sedikit saja terlambat, sudah dapat
dibayangkan kalau tubuh pemuda itu pasti akan
terhantam jari-jari tangan yang berkuku panjang itu.
"Gila! Ilmu kakek ini ternyata dapat mengaburkan
pandangan! Hm.... Pastilah ilmu 'Mayat Hidup' itu
telah digabungkan dengan sejenis ilmu sihir. Aku
harus lebih berhati-hati untuk menghadapinya!" desis
Pendekar Naga Putih, terkejut Memang gerak
lawannya ternyata mampu mengaburkan pandangan-
nya.
Wettt! Wettt!
Saat itu si Penggembala Mayat sudah melangkah
maju. Sepasang tangannya bergerak-gerak kaku,
seperti terlonjak-lonjak. Dan setiap kali tangannya
menyambar, selalu saja membuat bulu kuduk Panji
meremang. Seolah-olah hawa yang keluar dari
sepasang tangan kakek itu berasal dari alam lain.
"Hmh...!"
Dengan sebuah geraman menggetarkan, sepasang
tangan Panji bergerak turun naik. Jari-jari tangannya
tampak bergetar karena 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'
mulai mengalir ke seluruh urat-urat tubuhnya. Sesaat
kemudian, selapis kabut tipis yang bersinar putih
keperakan pun mulai menyelimuti sekujur tubuhnya.
Wusss!
Hawa dingin yang menusuk tulang berhembus
ketika Panji mendorongkan sepasang telapak tangan-
nya ke depan. Dalam sekejap saja, sekitar arena
pertarungan itu telah dipenuhi hawa yang amat
dingin.
"Heaaat..!"
Dibarengi teriakan nyaring, tubuh Pendekar Naga
Putih melompat memapaki serangan lawan.
Sepasang tangannya yang sudah membentuk cakar
naga mulai menyambar-nyambar ganas. Setiap
sambarannya, serangkum hawa dingin ikut pula
menyertai.
Tak lama kemudian, kedua tokoh sakti itu telah
saling menerjang dahsyat. Sambaran angin pukulan
kedua tokoh itu menerbangkan apa saja yang ada di
sekitarnya. Pohon-pohon di dekatnya langsung ber-
tumbangan menimbulkan suara gemuruh ketika
pukulan-pukulan nyasar menghantamnya. Sehingga,
suasana di sekitar arena pertempuran sudah
sedemikian semrawut, tak terurus.
"Yeaaat..!"
Bet! Bet!
Memasuki jurus kelima puluh satu, tubuh si
Penggembala Mayat tiba-tiba meliuk disertai teriakan
yang mengejutkan. Sepasang tangannya menyambar
ganas mengancam bagian perut Pendekar Naga
Putih. Pemuda itu bergerak cepat menggeser tubuh-
nya hingga serangan jari-jari tangan lawan lewat
beberapa jari di sampingnya. Begitu serangan lawan
luput, cakar naga Panji berkelebat cepat mengancam
dada dan ubun-ubun lawan.
Si Penggembala Mayat memutar kaki kirinya
dengan gerakan amat kaku. Tapi anehnya, serangan
Panji tidak berhasil mengenai sasarannya. Bahkan
tiba-tiba saja tubuh kakek itu terjatuh dalam posisi
tengkurap. Dan sesaat kemudian, tubuhnya
melenting bangkit dan meluncur ke arah lawan bagai
sebatang bambu yang dilontarkan.
Panji yang sama sekali tidak menduga gerakan
lawan, sempat terkejut dibuatnya. Bergegas tubuhnya
melompat ke samping sejauh satu tombak. Namun
kembali Pendekar Naga Putih terkejut untuk yang
kedua kalinya. Karena, tubuh yang tengah meluncur
kaku dengan kaki berada di bagian depan itu, men-
dadak berputar dan kembali mengancamnya.
Sadar kalau tidak mungkin harus menghindari
terus-menerus, maka Pendekar Naga Putih meng-
angkat tangannya memapak sepasang kaki yang
mengancam tubuhnya. Segenap tenaga saktinya
segera disalurkan. Memang, Pendekar Naga Putih
tahu betul kalau tenaga dalam lawan pasti sangat
tinggi.
Dukkk! Plakkk!
"Uuuh...!"
Terdengar letukan yang menggetarkan ketika dua
gelombang tenaga sakti yang maha dahsyat saling
berbenturan keras. Beberapa batang pohon di dekat
arena pertarungan berderak ribut. Daun-daunnya
seketika berguguran akibat kerasnya getaran yang
ditimbulkan pertemuan dua tenaga raksasa itu.
Akibat benturan itu, sempat pula mengejutkan
Panji. Tubuhnya terjajar mundur beberapa langkah ke
belakang. Telapak tangan dan tulang lengannya
terasa nyeri dan linu. Diam-diam hati pemuda itu
semakin terkejut dengan kekuatan tenaga dalam
yang dimiliki kakek tua itu.
Meskipun tangkisan Pendekar Naga Putih tadi
sempat menghentikan daya luncur tubuh lawan, tapi
tidak berarti ancaman itu sudah lewat. Sebab tubuh
kaku laksana mayat itu kini kembali meluncur
mengancamnya. Bahkan kecepatannya semakin
pesat.
Des! Des!
"Ugh...!"
Tubuh Pendekar Naga Putih yang tengah terjajar
mundur itu terlonjak keras ke belakang. Karena
sepasang telapak kaki lawan telak menghantam dada
dan perutnya. Darah seketika menyembur dari mulut
pemuda itu! Dan tubuhnya yang meluncur beberapa
tombak langsung menghantam sebatang pohon
sebesar sepelukan orang dewasa. Pemuda itu
melorot ke atas tanah berbarengan dengan tumbang-
nya pohon.
Pada saat itu juga si Penggembala Mayat kembali
menerjang dan siap meremukkan tubuh Pendekar
Naga Putih yang tengah terduduk itu. Sepasang
telapak kakinya yang tengah dialiri tenaga dahsyat
siap menjejak tubuh Panji.
Blarrr!
Tanah dan bebatuan berhamburan disertai
kepulan debu yang membumbung tinggi. Diduga,
tubuh Pendekar Naga Putih pasti telah hancur
bersama kepulan debu tadi. Namun, untung Panji
sempat melempar tubuhnya bergulingan menghindari
jejakan kaki lawannya.
"Gila...!" desis Panji.
Pendekar Naga Putih terbelalak ngeri melihat
sebuah lubang sebesar kubangan kerbau, tempat tadi
tubuhnya berada. Dan hal itu semakin membuatnya
sadar kalau lawannya kali ini benar-benar tidak bisa
dibuat main-main.
Panji menarik napas dalam-dalam dan berulang-
ulang untuk menghilangkan rasa nyeri yang
menyerang dadanya. Di sudut bibirnya, tampak cairan
merah yang menetes perlahan. Begitu rasa nyerinya
berkurang, Pendekar Naga Putih bergegas bangkit
dan siap melanjutkan pertarungan yang menentukan
itu.
Sesaat kemudian, keduanya kembali terlibat
dalam pertarungan mati-matian. Mereka saling
menyerang dahsyat. Suasana di sekitar tempat
pertarungan tak ubahnya bagai dilanda angin topan
dahsyat Pertarungan kedua orang tokoh sakti itu
benar-benar dahsyat dan mengerikan sekali.
Di arena lain, Kenanga, Ki Kalianji, dan
Walanggata tengah berupaya mempertahankan
selembar nyawa mereka. Ganesha yang dibantu
hampir tiga puluh orang pengikutnya menerjang
ketiga orang pendekar itu tanpa ampun.
Kenanga yang mengetahui kalau kekuatan
pengeroyoknya terletak pada pemuda jangkung itu,
bergegas melompat menghadapi Ganesha. Pedang
Sinar Rembulan yang berada di tangannya berkelebat
cepat mengancam tubuh lawan.
Wut!
"Aaakh...!"
Bukan main terkejutnya Ganesha ketika tiba-tiba
saja serangkum angin tajam yang berhawa dingin
menyambar perutnya. Bergegas ditinggalkannya Ki
Kalianji dan tubuhnya segera dilempar ke belakang
untuk menghindari serangan berbahaya itu.
"Nisanak! Mengapa kau membela kedua orang tak
tahu diuntung itu? Bukankah lebih baik ikut
denganku? Percayalah, aku akan mengangkatmu
menjadi permaisuriku yang paling kusayangi. Marilah
ikut denganku. Aku berjanji tidak akan menyia-
nyiakanmu," bujuk Ganesha.
Sinar mata pemuda itu memang mengandung
kekuatan sihir. Meskipun ilmu sihirnya belum
sempurna, namun sepasang matanya sudah dapat
melumpuhkan semangat lawan yang tidak memiliki
tenaga dalam tinggi.
"Nisanak! Jangan pandang matanya! Pemuda itu
telah menggunakan ilmu sihir untuk merayumu!" Ki
Kalianji berteriak memperingatkan ketika melihat
gadis jelita itu terpaku mendengar kata-kata
Ganesha.
"Ah...! Bangsat keji! Rupanya kau benar-benar
pemuda bejat!" teriak Kenanga yang segera tersadar
begitu mendengar teriakan Ki Kalianji.
Gadis itu cepat-cepat memutar pedangnya hingga
membentuk gulungan sinar yang menyelimuti seluruh
tubuh. Tanpa membuang-buang waktu lagi tubuh
Kenanga melesat disertai sambaran pedangnya yang
menggiriskan.
"Keparat kau, Kalianji! Tunggulah bagianmu nanti!"
ancam Ganesha yang semakin membenci tokoh tua
Kadipaten Jagalan itu.
Setelah berkata demikian, pemuda jangkung itu
bergegas melompat menghindari sambaran pedang
Kenanga.
"Ki Kalianji! Hadapilah begundal-begundal pemuda
itu, berdua dengan Walanggata. Biar keparat ini
menjadi bagianku!" teriak Kenanga sambil menyabet-
kan senjatanya berulang-ulang. Sepertinya gadis jelita
itu menjadi marah sekali ketika hampir saja termakan
ilmu sihir pemuda itu.
Wut! Wut!
Ganesha menggeser tubuhnya ke samping meng-
hindari dua buah tusukan yang mengancam ulu hati
dan tenggorokannya. Kemudian, secepat kilat diberi-
kannya serangan balasan dengan tidak kalah
ganasnya.
Trang!
Bunga api berpijar ketika Kenanga menangkis
pedang lawan yang mengancam tubuhnya. Keduanya
terjajar mundur dan memeriksa pedang masing-
masing. Setelah yakin kalau tidak mengalami
kerusakan, keduanya kembali saling serang dengan
hebatnya.
Sementara itu, Ki Kalianji dan Walanggata sangat
terkejut ketika mendapat kenyataan kalau para
pengeroyoknya itu ternyata sangat gesit dan lincah.
Sehingga dalam beberapa jurus saja kedua tokoh
kosen Kadipaten Jagalan itu harus menguras tenaga
untuk dapat melindungi dirinya.
Ki Kalianji dan Walanggata benar-benar dibuat
kewalahan oleh kerjasama pengeroyoknya yang
sangat kompak. Sepertinya para pengikut Ganesha
telah dilatih sedemikian rupa sehingga dapat bekerja
sama dengan baik.
"Yeaaat..!"
Rasa penasaran yang kian memuncak membuat Ki
Kalianji menjadi geram. Sambil berteriak keras, dia
melompat disertai ayunan sepasang tongkat pendek-
nya.
Wut! Wut!
Dua batang tongkat hitam di tangan Ki Kalianji
berkelebat cepat menimbulkan deru angin keras. Dua
senjata kembar itu meluncur deras mengancam dua
orang lawan yang berada di samping kiri.
Melihat dua orang kawannya terancam, para
pengeroyok lain segera berlompatan sambil mem-
babatkan pedang ke tubuh Ki Kalianji. Paling tidak,
mereka berharap kakek itu akan menunda serangan
untuk menyambut ancaman senjata mereka.
Tapi kali ini rupanya Ki Kalianji telah mem-
pertimbangkan serangannya secara masak. Sebab,
begitu enam batang golok lain meluncur meng-
ancamnya, tubuh kakek itu tiba-tiba melenting ke
belakang enam penyerangnya. Sambil berputaran di
udara, sepasang tongkat hitam di tangannya
menyambar kepala empat orang penyerang.
Wut! Wut..!
Prak! Prak! Crok...!
Tanpa sempat menjerit lagi, empat orang
pengeroyok itu kontan roboh dengan kepala pecah.
Darah yang bercampur otak, seketika berhamburan
membasahi arena pertarungan. Tentu saja hal itu
membuat para pengeroyok lain menjadi terkejut
setengah mati.
Amukan Ki Kalianji tidak hanya berhenti sampai di
situ saja. Begitu kedua kakinya menyentuh tanah,
tubuhnya kembali melenting ke arah dua orang
lainnya. Sepasang tongkatnya terayun ke arah
punggung mereka.
Buk! Buk...!
"Aaakh...!"
Terdengar jerit kesakitan ketika tongkat hitam di
tangan kakek itu tepat menghantam punggung dua
orang lawannya. Tubuh mereka langsung tersungkur
disertai semburan darah segar dari mulut. Dua orang
itu kontan tewas dengan tulang punggung remuk.
Berbarengan dengan itu, terdengar jerit kematian
yang menyayat hati. Empat orang pengikut Ganesha
terjungkal mandi darah. Rupanya Walanggata tidak
mau ketinggalan oleh kawannya. Golok bercagaknya
telah pula memakan korban.
Di tengah ramainya pertempuran berlangsung,
tiba-tiba terdengar derap kaki kuda datang ke arah
pertempuran. Menilik suaranya yang bergemuruh,
dapat dipastikan kalau rombongan berkuda itu tidak
kurang dari dua puluh orang. Tentu saja hal itu
membuat orang-orang yang tengah bertempur
menjadi cemas. Karena, mereka belum dapat
menerka kawan atau lawan.
"Tuan Muda Anggada...!" Ki Kalianji dan
Walanggata berteriak gembira begitu dapat
mengenali orang yang berada di barisan paling depan
dan telah dekat dengan arena pertempuran.
"Paman...!" seru pemuda yang memang Anggada
adanya itu.
Wajah pemuda itu menjadi heran ketika melihat
kedua orang pengawal setia ayahnya tampak tengah
dikeroyok puluhan orang kasar. Bergegas pemuda itu
memerintahkan para pengikutnya untuk membantu
kedua orang tokoh Kadipaten Jagalan itu.
Kedua orang tokoh kosen itu langsung meng-
hampiri tuan mudanya. Setelah memberi hormat, Ki
Kalianji lalu menceritakan duduk persoalannya
secara singkat. Kening Anggada seketika berkerut
mendengar penuturan kedua orang kepercayaan
ayahnya itu.
"Hm.... Kalau saja aku tidak menyaksikannya
sendiri, pastilah aku belum dapat menerima
keterangan Paman ini," desah Anggada yang segera
memalingkan wajah ke arah yang ditunjuk Ki Kalianji.
Wajah pemuda itu berubah pucat ketika melihat
adiknya tengah bertarung dengan seorang gadis
cantik.
"Ganesha...!" desis Anggada hampir tak terdengar.
Wajah tampan itu mendadak murung. Karena
biarpun Ganesha bukan adik kandungnya, namun
sangat disayanginya. Dan tentu saja kejadian itu
membuatnya sangat terpukul.
"Tuan Muda, marilah kita tangkap dia hidup-hidup
sebelum gadis jelita itu membunuhnya," usul
Walanggata ketika melihat kemurungan menyelimuti
wajah putra junjungannya. Sekilas saja dia tahu kalau
Anggada merasa berat untuk melakukan tindakan
kejam terhadap adiknya.
"Paman berdua sajalah yang melakukannya. Aku
tidak sampai hati melakukan hal itu," sahut Anggada
sambil membalikkan tubuhnya melangkah ke arah
pertempuran yang berkecamuk.
Tanpa berkata apa-apa lagi, tubuh pemuda itu
bergegas melompat ke dalam kancah pertempuran
membantu para prajuritnya. Kedukaan membuat
pemuda itu mengamuk hebat, sehingga dalam
beberapa jurus saja enam orang lawan telah
tergeletak tewas. Sepertinya Anggada bermaksud
menumpahkan kekecewaan hatinya kepada para
pengikut adiknya.
Sementara itu, pertarungan Panji melawan si
Penggembala Mayat sudah semakin memuncak.
Jurus-jurus andalan telah digunakan untuk me-
nundukkan satu sama lain. Tapi sampai sejauh itu,
keduanya masih berimbang meskipun di pihak
Pendekar Naga Putih telah menderita luka dalam
akibat hantaman lawan.
"Hm.... Ternyata nama Pendekar Naga Putih bukan
sekadar nama kosong belaka. Aku benar-benar
kagum dengan kepandaian yang kau miliki, Anak
Muda. Tapi, kali ini kau terpaksa harus melepaskan
nyawa dan gelarmu di tangan si Penggembala Mayat!"
kata kakek itu yang diam-diam merasa kagum
dengan kehebatan Panji.
"Hiaaah...!"
Dibarengi bentakan menggemuruh, tubuh
Penggembala Mayat tiba-tiba berputar cepat bagai
sebuah gangsing. Sesekali jari-jari tangannya
menyembul dari balik lingkaran yang diciptakannya
itu.
Panji melempar tubuhnya, lalu bergulingan ketika
tahu-tahu saja jari-jari tangan lawan telah berada di
depan tubuhnya. Pemuda itu langsung berputaran
beberapa kali ke belakang karena serangan-serangan
lawan terus saja mengejar.
Des! Buk!'
"Huakkk...!"
Darah segar muncrat keluar dari mulut Pendekar
Naga Putih ketika hantaman sisi dan telapak tangan
lawan singgah di lambung dan perutnya. Tubuh
pemuda itu terjungkal bergulingan hingga beberapa
tombak jauhnya. Panji berusaha bangkit sambil
mendekap dadanya yang terasa sesak. Lebih-lebih
perut dan punggungnya yang terasa remuk akibat
hantaman lawan.
Selagi tubuh Pendekar Naga Putih bergerak
bangkit, si Penggembala Mayat kembali meluruk
menerjang lawannya. Sepertinya kakek tua itu
memang benar-benar hendak menghabisi nyawa
Panji.
Pada saat yang gawat itu, Panji teringat akan
pedang pusaka yang tersampir di punggungnya.
Tangan kanannya cepat bergerak meraba gagang
pedang.
"Yeaaa...!"
Desss! Crak!
"Ugh...!"
"Aaargh...!"
Terdengar keluhan yang keluar dari mulut Panji.
Berbarengan dengan itu, si Penggembala Mayat
meraung setinggi langit. Ternyata pada saat telapak
tangannya menghantam dada, Panji memiringkan
tubuhnya. Sehingga, hantaman telapak tangan kakek
itu hanya menyerempet bahu Pendekar Naga Putih.
Pada saat itu juga, Panji membarengi dengan sabetan
Pedang Naga Langit yang membabat pinggang si
Penggembala Mayat hingga tubuh kakek itu terbelah
menjadi dua bagian.
Darah segar seketika memercik membasahi tanah.
Tubuh si Penggembala Mayat terbanting di atas tanah
dalam keadaan terpisah. Perlahan-lahan tubuh kakek
itu mengerut, seolah-olah darahnya terhisap oleh
sesuatu yang tak tampak. Si Penggembala Mayat kini
tewas dalam keadaan yang sangat mengerikan.
Panji menatap pedang di tangannya dengan
sepasang mata membelalak. Ternyata noda darah
yang terdapat di badan pedang, perlahan menguap
untuk kemudian hilang tanpa bekas. Pedang Naga
Langit kembali bersih dan berkilau, seolah-olah tidak
pernah terkena darah. Bergegas pedangnya disimpan
kembali di punggung.
Pertempuran lain pun sepertinya telah pula usai.
Semua pengikut Ganesha telah dapat dibinasakan.
Sedangkan pemuda itu sendiri telah dapat ditakluk-
kan oleh Kenanga. Tubuhnya tertotok sehingga harus
digotong oleh beberapa prajurit. Kenanga, Ki Kalianji,
Walanggata, dan seorang pemuda tampan me-
langkah menghampiri Panji yang masih terduduk
lemah.
"Kakang, kau tidak apa-apa....?" tanya Kenanga
cemas. Bergegas gadis jelita itu menubruk kekasih-
nya yang belum juga bangkit itu.
"Ah! Aku tidak apa-apa, Kenanga. Hanya luka
biasa. Sebentar juga kesehatanku sudah pulih seperti
biasa," sahut Panji seraya tersenyum, untuk melega-
kan perasaan kekasihnya itu.
"Pendekar Naga Putih, kami mengucapkan terima
kasih atas kesediaanmu yang telah menyelamatkan
dua orang pamanku ini. Ingin sekali aku mengajakmu
untuk menghadap ayahku. Tapi, semua itu terserah
dirimu," ujar Anggada yang rupanya sudah diberi tahu
kalau pemuda yang menolong dua orang pembantu
ayahnya itu adalah Pendekar Naga Putih.
"Ah, terima kasih atas kebaikan Tuan Muda. Tapi
sayang, kali ini kami tidak bisa memenuhi per-
mintaan Tuan Muda. Masih banyak tugas yang harus
diselesaikan," sahut Panji menolak halus ajakan
pemuda tampan itu.
"Baiklah kalau begitu, Pendekar Naga Putih. Dan
kini kami pergi dulu. Dan jangan lupa, kalau ada
kesempatan singgahlah di tempat kami. Kami
menanti kedatanganmu," ucap Anggada seraya
melompat ke atas punggung kudanya.
Dan kini rombongan itu kembali ke kadipaten
dengan membawa Ganesha yang telah berhasil
ditawan.
Pendekar Naga Putih dan Kenanga memandangi
kepergian rombongan berkuda itu. Kesunyian pun
mulai terasa ketika rombongan berkuda itu telah
lenyap dari pandangan.
Sejenak kemudian, kedua orang itu pun saling
berpandangan mesra. Kenanga mengerutkan kening-
nya ketika melihat wajah kekasihnya meringis
menahan sakit.
"Kakang...! Kau... kau kenapa...!" tanya Kenanga
ketika melihat wajah Pendekar Naga Putih tampak
semakin memucat. Bergegas dirangkulnya tubuh
pemuda itu ketika terlihat hendak roboh.
Kenanga semakin kalang-kabut ketika melihat
kekasihnya tak sadarkan diri. Diraihnya tubuh Panji
ke dalam pelukannya, seolah-olah dengan berbuat
begitu kekasihnya diharapkan segera tersadar.
Tapi mendadak saja Panji membuka kedua mata-
nya dan langsung memeluk tubuh gadis cantik itu
erat-erat.
"Kakang jahat!" teriak Kenanga sambil berusaha
melepaskan pelukan kekasihnya.
Gadis jelita itu sama sekali tidak berusaha
melepaskan diri dari pelukan kekasihnya. Dan kini
malah merebahkan kepalanya di dada pemuda
pujaannya.
"Mengapa Kakang selalu saja menggodaku?" bisik
gadis itu lirih, sambil menengadahkan wajahnya
memandang Panji.
Panji hanya tertawa mendengar pertanyaan
kekasihnya itu. Dikecupnya sepasang mata indah itu.
"Ayolah. Bukankah kita harus ke Desa Keputih
untuk memberitahukan kepada tujuh orang murid Ki
Jaladri kalau tugas kita sudah selesai," ajak Panji
diiringi senyum manis.
Tak berapa lama kemudian, keduanya melangkah
meninggalkan hutan itu. Sinar kemerahan tampak
menyemburat di kaki langit sebelah Barat. Sebentar
lagi, senja akan turun mengiringi langkah sepasang pendekar itu.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar