MUSTIKA NAGA HIJAU
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tarech R.
Gambar sampul oleh Herros
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Mustika Naga Hijau
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Matahari cukup lama menampakkan kekua-
saannya. Sinarnya yang garang memancar ke seluruh
permukaan bumi. Sehingga, hembusan angin pun te-
rasa panas karena teriknya pancaran sinar matahari
siang itu.
Tampak sesosok tubuh kurus kecil, berlari ter-
seok-seok menerobos semak belukar sebuah hutan.
Sosok tubuh kurus itu sesekali berhenti dan terbatuk-
batuk hebat.
"Huaaakh...!"
Segumpal darah kental berwarna kehitaman
terlompat keluar dari mulutnya. Pertanda sosok kecil
kurus itu tengah menderita luka dalam yang cukup
parah.
Untuk beberapa saat lamanya, sosok kecil ku-
rus yang ternyata seorang kakek renta, nampak berdiri
goyah. Dihapusnya lelehan darah yang menetes dari
sela bibirnya.
"Hm.... Jangan harap kau dapat meloloskan diri
dari kejaran kami, Tua Bangka Keparat! Hayo, serah-
kan buntalan kuning itu kepada kami!" terdengar sua-
ra bentakan keras yang disusul berkelebatnya dua so-
sok tubuh, dan langsung mendaratkan kakinya dekat
kakek bertubuh kecil kurus itu.
"Hhh.... Hhh.... Jangan mimpi kau, Iblis Kem-
bar! Sampai mati pun, aku tidak akan menyerahkan
buntalan kain kuning ini kepadamu. Kecuali, kalian
dapat melangkahi mayatku!" sahut kakek kecil kurus
itu dengan sepasang mata menatap tajam ke arah dua
orang, yang dipanggilnya dengan julukan Iblis Kembar.
"Keparat! Tua bangka keras kepala! Apa artinya
benda itu buatmu?" geram salah seorang dari Iblis
Kembar. "Tubuhmu yang sudah bau tanah itu, tak lagi
memerlukannya. Lebih baik buntalan itu kau berikan
kepada kami. Dengan begitu, kau telah memperguna-
kan sisa hidupmu dengan baik"
Mendengar ucapan itu, kakek bertubuh kurus
memalingkan wajah dan menatap tajam lelaki berkepa-
la botak, yang mengenakan mantel dari kulit beruang
salju. Dirayapinya wajah pucat lelaki botak itu dengan
sorot mata yang mengiriskan.
"Hm.... Meskipun benda ini bagiku tidak ada
gunanya, tapi untuk diserahkan kepada kalian adalah
perbuatan tolol. Dan, dapat mendatangkan penyesalan
seumur hidupku. Dengar, Beruang Salju! Walaupun
kalian berdua masih terhitung murid keponakanku,
tapi untuk memiliki benda ini, kalian berdua tidak
mempunyai hak sama sekali. Camkan itu!" sahut ka-
kek kecil kurus itu dengan sinar mata garang.
"Bangsat! Rupanya kau lebih memilih kekera-
san daripada jalan damai! Kalau itu yang kau ingin-
kan, terimalah ini! Hiaaat..!"
Dengan dibarengi sebuah bentakan keras, sa-
lah seorang dari Iblis Kembar, yang mengenakan man-
tel terbuat dari kulit beruang hitam, melesat dengan
serangan berantai yang menimbulkan gemuruh angin
menderu.
Wuuut! Wuuut...!
Sadar akan kedahsyatan serangan lawan, ka-
kek kecil kurus Itu cepat melempar tubuhnya dan ber-
jumpalitan beberapa kali di udara.
Namun, orang kedua yang berjuluk Iblis Be-
ruang Salju melesat menyambut tubuh kakek itu sela-
gi berada di udara.
"Haaat..!
Disertai sebuah teriakan nyaring, lelaki berke-
pala botak yang mengenakan mantel beruang salju itu,
langsung mendorongkan sepasang telapak tangannya
dengan pengerahan tenaga dalam yang amat kuat
Wusss...!
Serangkum angin keras menderu tajam dan
menyambar tubuh kakek kecil kurus yang tengah ber-
jumpalitan di udara. Dan....
Blaggg...!
Hantaman telapak tangan iblis Beruang Salju
menghajar telak bagian belakang tubuh kakek itu.
Kontan tubuhnya terlempar deras seperti selembar
daun kering.
"Huakh...!"
Kembali gumpalan darah kental kehitaman ter-
lompat dari mulut kakek itu. Meskipun demikian, ka-
kek itu masih mampu melakukan beberapa kali salto
di udara. Sehingga, tubuhnya tidak sampai terbanting
di atas permukaan tanah.
Tampak kedua kaki kakek itu agak gemetar ke-
tika tubuhnya mendarat di atas tanah. Bahkan, cairan
merah kehitaman masih menetes perlahan dari sudut
bibirnya.
"Yeaaat...!"
Iblis Beruang Hitam yang tidak ingin menyia-
nyiakan kesempatan selagi kakek itu belum siap, sege-
ra melesat dengan disertai pukulan-pukulan maut
yang dapat mengakibatkan kematian bagi lawannya.
Sekali menyerang saja, telah terlontar empat buah pu-
kulan yang mengarah bagian-bagian terlemah di tubuh
kakek kecil kurus itu.
Walaupun kondisi tubuhnya semakin bertam-
bah parah, ternyata kakek kecil kurus itu bukanlah
seorang mangsa yang empuk. Meski agak goyah dan
terlihat susah-payah, kakek itu masih mampu menge-
lakkan serangkaian serangan lawan. Bahkan, sanggup
pula mengirimkan serangan balasan ke tubuh Iblis
Kembar.
Dukkk!
Tubuh keduanya terjajar mundur akibat tang-
kisan yang dilakukan Iblis Beruang Hitam. Tubuh ka-
kek itu nampak terjungkal setengah tombak dari la-
wannya. Jelas, luka dalam di tubuh kakek itu telah
membuat tenaganya berkurang jauh. Sehingga, tangki-
san itu telah membuatnya kembali memuntahkan da-
rah! Jelas, akibat tangkisan itu telah membuat luka
dalamnya Semakin bertambah parah.
Melihat keadaan lawannya sudah semakin pa-
rah, Iblis Kembar tak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Cepat keduanya melompat berbarengan, dan langsung
melontarkan pukulan-pukulan maut untuk menghabi-
si lawannya.
Sadar kematian akan segera menjemputnya,
kalau la tidak segera bertindak cepat Maka, dengan
sangat terpaksa, kakek itu merogoh sesuatu dari da-
lam kantung kain yang tergantung di pinggang kanan-
nya.
"Hiaaah...!"
Sambil membentak keras, tangan kanan kakek
kecil kurus itu mengibas ke depan.
Wrrr.... Wrrr...!
Bagaikan sebuah kitiran, benda-benda berben-
tuk bulan sabit, berputar dengan suara menderu ke
arah tubuh Iblis Kembar! Senjata-senjata rahasia yang
panjangnya setengah jengkal itu, bergerak menyambut
tubuh dua orang lelaki botak itu.
Adi Gelang, awasss...!"
Lelaki berkepala botak, yang mengenakan mantel kulit beruang hitam, berteriak memperingatkan
saudaranya. Sambil berseru, sepasang tangannya me-
mukul bergantian ke arah benda-benda yang tengah
meluncur ke arahnya.
Tring! Tring!
Kontan benda-benda berbentuk bulan sabit itu
berguguran, akibat hantaman angin pukulan yang be-
rasal dari sepasang tangan Iblis Beruang Hitam. Se-
hingga, ia terbebas dari ancaman senjata-senjata maut
lawannya.
Lain halnya dengan Iblis Beruang Salju. Luncu-
ran senjata-senjata rahasia itu, disambutnya dengan
sebatang senjata yang entah kapan dicabut dari sa-
rungnya. Dengan senjata itu ia berhasil memukul run-
tuh senjata rahasia yang mengancam keselamatannya
itu.
"Keparat! Ke mana perginya tua bangka licik
itu...!" maki Iblis Beruang Hitam ketika ia tidak lagi
melihat tubuh kakek kecil kurus itu di tempatnya ber-
diri.
"Hm.... Jelas, ia telah melarikan diri selagi kita
sibuk menghalau senjata-senjata rahasianya. Hayo,
cepat kita kejar, Kakang. Aku yakin dia belum jauh
meninggalkan tempat ini. Apalagi luka-luka nya sudah
sedemikian parah," usul Iblis Beruang Salju yang men-
jadi geram melihat kelicikan lawan. Dan, tanpa me-
nunggu jawaban dari saudaranya, tubuh lelaki botak
berpakaian mantel beruang salju itu, langsung melesat
melakukan pengejaran.
Iblis Beruang Hitam tidak mau ketinggalan.
Tubuhnya yang sedikit lebih tinggi dari saudaranya,
segera melesat dengan kecepatan tinggi. Melihat dari
kecepatan geraknya, jelas kedua orang lelaki yang ber-
juluk Iblis Kembar itu merupakan tokoh-tokoh persila
tan yang tidak bisa dipandang rendah kepandaiannya.
Bahkan, dalam dunia persilatan, kedua lelaki kembar
itu telah memiliki nama yang cukup besar dan ditaku-
ti. Baik kalangan hitam sendiri maupun orang-orang
golongan putih, yang menamakan dirinya sebagai pen-
dekar-pendekar persilatan.
Setelah agak lama berputaran di dalam hutan
itu, akhirnya Iblis Kembar terpaksa menelan kekece-
waan. Karena sosok kakek yang mereka cari-cari, telah
lenyap tanpa bekas. Seolah-olah tubuh kakek itu, me-
lesak ke dalam bumi. Sehingga, meskipun tiap jengkal
pelosok hutan itu sudah mereka jajaki, tetap saja tu-
buh kakek kecil kurus itu tak berhasil ditemukan.
"Bedebah! Ke mana perginya bangsat tua itu...?
Hm.... Kalau sampai dapat kutemukan, akan kulumat
dan ku siksa dia habis-habisan!" geram Iblis Beruang
Salju yang rupanya masih sangat mendendam karena
hampir saja ia menjadi korban senjata rahasia lawan-
nya.
"Sudahlah, Adi. Sebaiknya kita lanjutkan saja
pencarian ini. Aku yakin, dengan luka-luka yang di-
alaminya, tidak mungkin ia dapat lari sampai jauh.
Siapa tahu di sekitar daerah ini ada sebuah desa. Nah,
di tempat itu, kita bisa mencari keterangan tanpa
khawatir akan dicurigai," usul Iblis Beruang Hitam
yang merupakan orang tertua di antara mereka ber-
dua. Setelah berkata demikian, kakinya melangkah
meninggalkan hutan.
"Hm..., dicurigai pun aku tidak merasa takut!
Yang menjadi pikiranku adalah Siluman Tongkat Bera-
cun! Kalau sampai ia dapat menemukan benda itu le-
bih dulu, akan sulit bagi kita untuk merebutnya. Hal
itulah yang selalu menjadi pikiranku, Kakang," sahut
Wingka Gelang yang merupakan orang termuda dari
Iblis Kembar itu. Wajahnya terlihat agak tegang ketika
ia menyebut nama Siluman Tongkat Beracun. Jelas,
nama itu mendatangkan perasaan jerih dalam hatinya.
"Ya, itu salah satu sebab mengapa kita harus
bergegas. Hayolah, jangan buang-buang waktu lagi.!"
ajak Iblis Beruang Hitam tanpa mempedulikan rasa
cemas di hati saudaranya.
Tanpa banyak cakap lagi, Iblis Beruang Salju
segera mengikuti langkah saudaranya, meninggalkan
hutan itu. Sebentar saja, tubuh keduanya telah lenyap
di balik bayang-bayang pepohonan lebat yang tumbuh
di dalam hutan.
***
Swiiing...!
Anak panah yang dilepaskan seorang pemuda
tampan berusia sekitar sembilan belas tahun, melesat
cepat ke arah seekor kijang muda yang tengah me-
rumput.
"Ahhh! Lagi-lagi bidikan ku. meleset, Paman...,"
sesal pemuda itu sambil memandangi kijang muda
yang telah berlari meninggalkan tempat itu. Sedangkan
anak panahnya masih bergoyang-goyang pada seba-
tang pohon yang berada di belakang binatang buruan-
nya
"Sabarlah, Tuan Muda.... Jangan terlalu cepat
putus asa. Paman yakin, lain waktu pasti Tuan Muda
akan memperoleh hasil seperti yang kita harapkan,"
bujuk seorang lelaki setengah baya yang berada di
samping lelaki muda itu. "Ayo, kita cari di tempat lain."
Sambil berkata demikian, laki-laki setengah
baya Itu pun membenahi alat-alat berburunya. Kemu-
dian bergegas bangkit menuju kudanya.
Tanpa berkata sepatah pun, lelaki muda berwa-
jah tampan itu pun bangkit dan melangkah mengikuti
pamannya. Dengan gerakan yang ringan, tubuhnya
melompat ke atas punggung kuda berbulu putih yang
menjadi tunggangannya.
"Hm.... Sebentar lagi hari akan gelap, Paman.
Tapi, satu ekor binatang pun, belum juga kudapatkan.
Hhh..., memang dasar nasibku yang kurang berun-
tung," desah pemuda itu sambil menjalankan kudanya
perlahan.
"Yahhh..., entah mengapa binatang-binatang
itu tidak banyak yang tampak. Padahal, biasanya ba-
nyak sekali binatang buruan di sekitar tempat ini.
Mungkin benar kata-kata Tuan Muda bahwa nasib kita
kurang beruntung," sahut lelaki setengah baya yang
menunggang seekor kuda berbulu coklat Meskipun
kuda yang ditungganginya tidak sekokoh kuda maji-
kannya, namun jelas kuda itu merupakan kuda pili-
han.
"Lebih baik kita kembali saja, Paman. Rasanya
hari ini aku tidak ingin bermalam di dalam hutan,"
usul pemuda tampan itu tanpa menolehkan kepalanya.
Pandangan matanya tertuju ke depan.
"Baiklah..., kalau memang itu sudah menjadi
keputusan Tuan Muda," sahut lelaki setengah baya itu
sambil menarik tali kekang dan membalikkan ku-
danya.
"Paman, tunggu...!" tiba-tiba pemuda tampan
itu berseru sambil mengangkat tangan kanannya ke
atas. Sepasang matanya tampak berputar liar ke seke-
liling tempat itu.
"Ada apa, Tuan Muda...?" tanya lelaki setengah
baya itu yang menjadi tegang ketika melihat wajah ma-
jikan mudanya yang tampak tengah dilanda ketegangan.
Tanpa menjawab sepatah pun, pemuda tampan
itu melompat turun dari atas punggung kudanya.
Sambil menyiapkan anak panah pada busunrya, ka-
kinya melangkah hati-hati ke arah segerombolan se-
mak di depannya.
Namun, wajah yang semula tegang itu terkejut
ketika menyaksikan pemandangan di balik semak-
semak itu. Karena yang dilihatnya bukanlah binatang
buruan seperti dugaannya semula. Melainkan sesosok
tubuh kecil kurus yang tengah tergeletak dengan na-
pas satu-satu.
Untuk beberapa saat lamanya, pemuda tam-
pan, Itu berdiri terpaku seperti orang linglung. Kesada-
rannya baru pulih ketika sosok tubuh kurus itu mem-
perdengarkan rintihan halus.
"Kakek, siapakah kau...?! Siapa yang telah me-
lakukan perbuatan kejam ini?" tanya pemuda itu sam-
bil mengangkat tubuh kurus yang tengah menderita
luka parah.
"Anak baik..., bawalah aku dari tempat ini.
Dan, jangan kau beritahukan kepada siapa pun...,
mengenai aku.... Dan kalian berdua.... Harus menyim-
pan rapat mengenai diriku," ucap kakek kecil kurus itu
terbata-bata. Jelas sekali kalau ucapan itu dikeluarkan
dengan sisa-sisa tenaganya.
Lelaki setengah baya yang merupakan pelayan
pemuda tampan itu, menganggukkan kepalanya ketika
mendengar pesan. kakek kecil kurus yang tengah
menderita itu. Meskipun berbagai pertanyaan melintas
di benaknya, namun semua itu dibuangnya jauh-jauh
ketika melihat keadaan kakek yang sangat memerlu-
kan pertolongan itu.
Tanpa banyak cakap lagi, pemuda tampan itu
bergegas memondong tubuh kakek itu ke atas pung-
gung kudanya. Kemudian, cepat-cepat .meninggalkan
tempat itu dengan membawa tubuh si kakek.
Demikian pula halnya dengan pelayan setengah
baya. Tanpa banyak tanya, dia segera melompat ke
atas punggung kudanya dan memacu cepat, menyusul
kuda majikannya yang telah berada beberapa tombak
di depan.
***
DUA
Senja mulai turun menyelimuti permukaan
bumi. Saat itu, dua ekor kuda berderap perlahan me-
nuju halaman belakang sebuah bangunan perguruan.
"Mengapa kita harus melewati jalan belakang,
Tuan Muda? Tidakkah perbuatan kita ini akan me-
nimbulkan kecurigaan?" tanya lelaki setengah baya
yang berada di belakang.
"Sudahlah, Paman Tidak perlu banyak tanya.
Kau ingat pesan kakek ini tadi? Dia mengatakan agar
kehadirannya tidak boleh diketahui orang lain, kecuali
kita berdua. Perlu ku ingatkan, agar Paman jangan se-
kali-kali mengatakan hal ini kepada siapa pun juga.
Mengerti!" ujar pemuda tampan yang dipanggil tuan
muda itu. Dan, tampak pada wajahnya tercermin keti-
daksenangan hatinya melihat kecerewetan lelaki seten-
gah baya itu.
"Baik, Tuan Muda...," jawab lelaki setengah
baya Itu agak takut-takut, ketika melihat sinar keti-
daksenangan di wajah pemuda itu.
"Hm.... Kau tunggu di sini! Aku akan memerik
sa ke dalam. Siapa tahu ada yang memergoki kedatan-
gan kita," ujar pemuda tampan itu seraya melompat
turun dari punggung kudanya. Kemudian kakinya me-
langkah perlahan ke arah pagar kayu yang mengelilingi
bangunan perguruan itu.
Beberapa saat kemudian, tubuh pemuda tam-
pan itu melesat melampaui pagar kayu setinggi dua
tombak lebih. Lalu, lenyap ketika tubuhnya melayang
turun ke dalam bangunan perguruan itu.
Tidak lama kemudian, terdengar suara derit
perlahan. Disusul terbukanya pintu belakang bangu-
nan itu. Dan, muncul pemuda tampan yang sebelum-
nya lenyap di balik pagar kayu bulat itu.
'Paman Wangsa! Ayo, cepat masuk!" seru pe-
muda itu dengan menekan nada suaranya, agar tidak
terdengar oleh orang lain.
"Baik, Tuan Muda...," sahut lelaki setengah
baya yang bernama Wangsa.
Sesaat kemudian, tubuh kedua orang itu le-
nyap di balik pintu gerbang belakang bersama kedua
kuda tunggangannya.
"Kau masukkan kuda-kuda ini ke kandang. Bi-
ar aku yang mengurus kakek ini. Ingat! Jangan kau
ceritakan hal ini kepada orang lain, termasuk kepada
ayahku sekalipun!" pesan pemuda itu sebelum me-
ninggalkan pelayan bernama Wangsa itu.
Pemuda tampan itu tidak sempat melihat ang-
gukan di wajah pelayannya. Karena seusai bicara ia te-
lah beranjak dari tempat itu, sambil memanggul tubuh
kakek kurus di bahunya. Kemudian, dua sosok tubuh
itu lenyap di balik pintu kamar yang terbuat dari kayu
tebal.
Dengan hati-hati, pemuda tampan itu memba-
ringkan tubuh kakek kurus di atas pembaringan.
'Tunggu, Anak Muda...!" cegah kakek itu ketika
melihat si pemuda tampan hendak beranjak mening-
galkannya.
"Ada apa, Kek? Aku hanya ingin menyiapkan
air hangat untuk membersihkan noda darah di tu-
buhmu," sahut pemuda tampan itu memalingkan wa-
jahnya. Namun, ketika melihat gerakan kakek itu su-
dah sedemikian lemah, ia bergegas menghampiri.
"Boleh ku tahu namamu, Anak Baik...?" tanya
kakek kecil kurus itu mencoba tersenyum, meski se-
nyum itu terlihat lebih mirip seringai kesakitan.
"Namaku Wirya Saka, Kek. Sebenarnya apa
yang telah terjadi, Kek? Mengapa kau mengalami luka
sedemikian parah?" tanya pemuda tampan yang ber-
nama Wirya Saka itu sambil merayapi wajah kakek di
depannya.
"Dengarlah, Wirya. Dunia persilatan memberi-
kan julukan Dewa Kerdil kepadaku. Sedangkan men-
genai nama, aku sudah tidak ingat lagi," kakek yang
mengaku berjuluk Dewa Kerdil itu menghentikan uca-
pannya. Lalu, mengambil buntalan kain kuning yang
masih tersampir di bahu kirinya.
Wirya Saka sempat terbeliak dan melangkah
mundur ketika kakek itu mengeluarkan sebuah batu
sebesar telur ayam, yang memancarkan sinar kehi-
jauan.
"Kau tahu apa nama benda ini, Wirya...?" tanya
kakek Itu dengan tatapan penuh selidik.
Masih dalam keadaan setengah sadar, Wirya
Saka menggeleng lemah. Namun, sepasang matanya
masih mengerjap karena merasa silau dengan sinar
kehijauan yang berpendar dari benda bulat di tangan
Dewa Kerdil.
"Ketahuilah, Wirya; Benda ini bernama Mustika
Naga Hijau yang saat ini keberadaannya telah tersebar
di kalangan persilatan. Dan, karena ingin memperta-
hankan benda inilah, aku sampai mengalami luka, dan
bertemu denganmu," lanjut Dewa Kerdil seraya mele-
barkan senyumnya ketika melihat Wirya Saka masih
belum terbebas dari keterkejutannya.
"Tentu benda itu sangat besar sekali artinya,
sehingga Kakek mempertahankannya mati-matian,"
desah Wirya Saka sambil kembali duduk di sisi pemba-
ringan. Sepertinya pemuda itu sudah mulai dapat
menghilangkan perasaan kagetnya. Itu tercermin dari
perubahan wajahnya yang sudah tenang seperti semu-
la.
"Sebenarnya benda ini sama sekali tidak ada,
artinya bagiku, Wirya. Tapi bagi orang lain, benda ini
akan sangat besar sekali maknanya. Lebih-lebih terha-
dap seorang pemuda berhati bersih seperti dirimu.
Dengan kesediaanmu menolongku, yang sama sekali
tidak kau kenal, sudah menunjukkan kalau dirimu
adalah seorang pemuda yang berjiwa bersih. Orang se-
perti dirimu akan menjadi jodoh benda keramat Musti-
ka Naga Hijau," kembali Dewa Kerdil menghentikan
ucapannya, dan menarik napas dalam-dalam beberapa
kali. Seolah-olah ingin dikumpulkan seluruh sisa-sisa
kekuatannya untuk menceritakan segala sesuatunya
kepada Wirya Saka.
"Begitu hebatkah kegunaan Mustika Naga Hijau
sampai-sampai kakek rela mempertahankannya den-
gan taruhan nyawa?" tanya Wirya Saka yang semakin
merasa penasaran dengan benda keramat di tangan
kakek itu.
"Benda ini sendiri tidak banyak gunanya. Tapi,
rahasia di balik Mustika Naga Hijau inilah yang seka-
rang menjadi incaran tokoh-tokoh persilatan. Karena
benda ini dapat membawa si pemegangnya ke suatu
tempat yang menyimpan ilmu-ilmu silat tinggi dari pe-
ninggalan seorang tokoh maha sakti, yang hidup ratu-
san tahun silam. Bahkan, kabarnya di tempat itu ter-
dapat juga tumpukan harta, yang tidak ternilai har-
ganya. Kedua hal itulah yang membuat para tokoh
persilatan mengejar-ngejar benda keramat ini. Baik
mereka yang mengaku sebagai golongan putih maupun
tokoh-tokoh sesat Mereka semua ingin merebut benda
ini dari tanganku. Sekarang kau tentu paham dengan
sikapku mempertahankan benda ini mati-matian, bu-
kan?" tanya Dewa Kerdil, menutup ceritanya.
"Wah, menarik sekali ceritamu, Kek. Lalu, men-
gapa Kakek sendiri tidak berusaha untuk mencari
tempat itu? Dan, mengapa diceritakan kepadaku? Bu-
kankah kalau aku berniat jahat, Kakek akan celaka?"
"Benda ini ku curi dari seorang tokoh sesat
maha sakti yang menjadi majikanku, lima puluh tahun
yang lalu. Karena tokoh sesat itu bersama para pengi-
kutnya selalu mencariku, terpaksa aku menyembunyi-
kan diri dalam sebuah tempat yang jarang didatangi
manusia. Setelah aku mendengar berita kematiannya,
mulai aku menampakkan diri di dunia ramai dengan
maksud untuk mencari tempat penyimpanan pusaka-
pusaka tersebut Sayang, kehadiranku sempat tercium
oleh beberapa orang pengikut majikanku yang masih
pena saran. Sehingga, untuk kesekian kalinya aku di-
kejar-kejar mereka. Bahkan, beberapa tokoh golongan
putih dan tokoh sesat lainnya ikut pula mengejarku,
setelah berita mengenai benda mustika ini semakin
tersebar luas. Luka-luka inilah yang ku peroleh selama
kurang lebih tiga tahun bermain kucing-kucingan den-
gan para tokoh persilatan yang mengejarku. Akhirnya
aku bertemu denganmu, Wirya," jelas Dewa Kerdil
memaksa tersenyum.
"Hm.... Kalau begitu kau tentu mempunyai ju-
lukan yang seram sebelumnya. Sebab, dengan men-
gabdikan diri kepada seorang tokoh sesat, tentunya
kau pun bukanlah orang baik-baik. Dan, julukanmu
pasti bukan Dewa Kerdil, bukan?" tanya Wirya Saka
yang menjadi terkejut setelah mendengar penjelasan
kakek kecil kurus itu tentang masa lalunya.
Dewa Kerdil sama sekali tidak menyahut Nam-
pak keadaannya kian melemah. Beberapa kali tarikan
napasnya terdengar seperti suara ayam disembelih. Je-
las, kematian kakek itu sudah di ambang pintu.
"Kek...! Kakek...!"
Wirya Saka berteriak menekan suaranya sambil
mengguncang-guncangkan tubuh kakek yang matanya
sudah terpejam rapat itu. Pemuda ini kian bertambah
panik ketika tubuh Dewa Kerdil tetap saja tak bergerak
dan tidak merasa kan guncangan tangannya.
Wajah Wirya Saka yang semula panik, kembali
cerah ketika melihat sepasang mata Dewa Kerdil ter-
buka perlahan Dan, kakek yang sebelumnya seorang
tokoh sesat itu memaksa tersenyum kepada Wirya Sa-
ka.
"Ku..., percayakan.., benda ini kepadamu,
Wirya.... Di dalam buntalan kain kuning ini, ada se-
buah peta yang menunjukkan tempat tersimpannya
pusaka-pusaka yang tak ternilai itu. Sedangkan Mus-
tika Naga Hijau berguna untuk melindungimu dari
hawa beracun yang tersebar di daerah penyimpanan
harta dan ilmu-ilmu tinggi itu.... Jangan kau.... Kha-
watir, Wirya. ilmu-ilmu itu bukan ilmu sesat. Selain
itu, kau harus mengubur mayatku seorang diri, tanpa
sepengetahuan orang lain. Rahasiakan benda itu dan
juga pertemuan kita ini. Sebab, kalau sampai terdengar tokoh-tokoh persilatan yang mengejarku, maka hi-
dupmu tidak akan pernah tenteram. Ingat itu baik-
baik...!" pesan Dewa Kerdil dengan suara tersendat-
sendat. Setelah selesai meninggalkan pesan itu, napas
Dewa Kerdil pun putus. Kakek kecil kurus itu tewas
setelah menyerahkan Mustika Naga Hijau dan petanya
kepada Wirya Saka.
Tentu saja kematian Dewa Kerdil membuat pe-
muda itu terhenyak lemah. Namun, mengingat pesan-
pesan Dewa Kerdil sebelum menghembuskan napas-
nya yang terakhir, pemuda tampan itu bergegas bang-
kit Belum lagi tangannya sempat mengangkat tubuh
Dewa Kerdil dari pembaringan, tiba-tiba telinga pemu-
da itu mendengar bunyi yang mencurigakan.
"Siapa...?" tegur Wirya Saka dengan wajah te-
gang." Paman Wangsa, kaukah itu...?"
Ketika Wirya Saka menangkap suara gerakan
orang berlari, meninggalkan tempat itu, cepat tubuh-
nya berkelebat ke arah ruangan samping kamarnya.
"Hei..! Berhenti...!" seru Wirya Saka ketika me-
lihat sesosok tubuh melesat beberapa tombak di de-
pannya. Tanpa membuang-buang waktu, pemuda itu
segera melesat mengejarnya.
"Keparat..!" maki Wirya Saka sewaktu tiba di sekitar
bangunan tempat tinggal para murid ayahnya. Dan,
pemuda itu kehilangan jejak buruannya.
"Tuan Muda mencari siapa...?" tegur salah seo-
rang murid perguruan yang mendapat tugas jaga ma-
lam itu. Sambil bertanya, ia dan tiga orang temannya,
mengangguk hormat kepada Wirya Saka. Tapi, tidak
segera disambutnya karena masih diliputi rasa bin-
gung. Sehingga, tindakan pemuda itu sempat mem-
buat keempat orang itu merasa heran. Sebab, tidak bi-
asanya anak majikan mereka bersikap masa bodoh.
"Hm.... Kalian ini bagaimana? Apa yang kalian
lakukan sampai-sampai ada orang yang berani men-
gintai ke dalam kamarku. Apa kalian tidak melihat
bayangan orang berlari di sekitar tempat ini?" tanya
Wirya Saka dengan hati jengkel.
Wajah pemuda itu menegang ketika teringat pe-
san terakhir yang disampaikan Dewa Kerdil.
"Jangan-jangan manusia culas yang mengintai
ku Itu sempat pula mendengar penjelasan kakek Dewa
Kerdil. Kalau memang demikian, celakalah nasib per-
guruan ini," desah pemuda itu dalam hati.
"Kami... Baru saja tiba di tempat ini, Tuan Mu-
da. Dan, kami tidak melihat adanya bayangan yang
Tuan Muda maksudkan. Tapi, kami akan segera men-
carinya, kalau Tuan Muda kehendaki," sahut salah
seorang yang berkumis tebal dan bertubuh gemuk.
"Tidak, tidak perlu! Mungkin aku yang keliru
melihat Sudahlah. Lupakan saja persoalan itu. Mung-
kin aku hanya salah lihat saja," gumam Wirya Saka
yang tiba-tiba saja menjadi gugup ketika mendengar
jawaban salah seorang peronda itu.
Untung pemuda itu sempat berpikir cepat Ka-
lau tidak, keadaan akan semakin bertambah runyam.
Sebab, bukan tidak mungkin kalau keadaan akan se-
makin ramai, dan akan menimbulkan kesulitan ba-
ginya untuk menguburkan mayat Dewa Kerdil.
Setelah berkata demikian, Wirya Saka langsung
melesat meninggalkan keempat orang peronda yang
terbengong-bengong dan keheranan melihat keanehan
sikap pemuda itu. Namun, mereka hanya bisa mengge-
leng heran, tanpa berani bersuara.
Sementara, sekembalinya ke kamar, Wirya Sa-
ka, langsung bergegas menyiapkan penguburan mayat
Dewa Kerdil. Dibawanya mayat kakek kurus itu setelah
hari larut malam. Itu dilakukannya untuk menghindari
penglihatan murid-murid ayahnya.
Rintik hujan yang turun malam itu, membuat
hati Wirya Saka semakin lega. Sebab, dalam keadaan'
cuaca seperti itu, tentu orang akan enggan berada di
luar rumah. Maka, dengan leluasa, pemuda itu berlari
menuju ke luar bangunan perguruan Jelas, ia tidak
menghendaki mayat itu dikuburkan di dalam bangu-
nan. Sebab, hal itu bisa menimbulkan berbagai perta-
nyaan dalam benak murid-murid ayahnya. Bahkan,
orang tuanya mungkin akan meminta penjelasan kalau
itu dilakukan Itulah sebabnya mengapa Wirya Saka
memilih penguburan mayat Dewa Kerdil di luar ban-
gunan perguruan.
***
"Dari mana saja kau, Wirya...? Mengapa sejak
sore aku tidak melihatmu? Apa saja yang kau kerjakan
malam-malam begini?" tegur suara berat yang penuh
wibawa.
Wirya Saka yang baru saja akan memasuki
kamarnya, terkejut bukan main. Sehingga, untuk be-
berapa saat, tubuhnya, hanya tertegun sambil meme-
gangi daun pintu yang terbuka sedikit.
Seperti telah mendapatkan ketenangannya
kembali, pemuda tampan itu membalikkan tubuhnya
sambil tersenyum kepada sosok tinggi gagah yang ber-
nama Ki Panca Saka yang menjadi Ketua Perguruan
Cakar Baja.
"Ah, Ayah mengagetkan aku saja. Mengapa
Ayah berada di sini? Apakah ada sesuatu yang menjadi
pikiran Ayah...?" tanya Wirya Saka dengan sikap yang
dibuat setenang mungkin.
"Hm.... Seharusnya akulah yang bertanya ke-
padamu, Wirya. Tidak biasanya kau menghilang begitu
saja seusai berburu. Bahkan, Ki Wangsa seperti takut
bertemu denganku. Apa sebenarnya yang telah kalian
alami?" tanya Ki Panca Saka sambil menatap tajam bo-
la mata putra satu-satunya itu.
"Maaf, Ayah. Aku.... Aku merasa malu untuk
menghadap. Karena kami berdua sama sekali tidak
berhasil memperoleh seekor binatang pun. Kuharap
Ayah sudi memakluminya," sahut pemuda itu cepat.
Diam-diam Wirya Saka merasa bersyukur ka-
rena telah mendapatkan alasan yang tepat sebagai
pembelaan dirinya. Dan, ia berharap agar ayahnya da-
pat menerima alasan itu.
"Tapi, tidak seharusnya kau dan Ki Wangsa
menghilang begitu saja. Sebab, hal itu bukan sesuatu
yang memalukan," ujar Ki Panca Saka yang segera ber-
lalu meninggalkan Wirya Saka. Sehingga, pemuda
tampan itu dapat menarik napas lega. Untunglah saat
itu cuaca di depan kamarnya cukup gelap. Sehingga,
orang tua itu tidak sempat melihat pakaian yang dike-
nakan putranya. Kalau saja ayahnya sedikit jeli mem-
perhatikan, tentu ia akan melihat noda-noda tanah
yang mengotori pakaian Wirya Saka.
"Hhh..., syukurlah Ayah dapat menerima alasan
yang ku ajukan. Kalau saja beliau terus mendesak,
bukan mustahil perbuatanku akan diketahuinya," de-
sah Wirya Saka yang segera memasuki kamarnya, se-
telah sosok ayahnya lenyap di balik sebuah dinding
batu.
Selesai menyalin pakaiannya, pemuda itu ber-
gegas merebahkan tubuh di atas pembaringan. Na-
mun, tubuhnya kembali melonjak bangkit ketika terin-
gat pemberian Dewa Kerdil.
Di bawah penerangan sinar obor, Wirya Saka
mulai meneliti peta kulit kayu yang telah diawetkan
dengan sejenis ramuan. Sehingga, kulit itu menjadi
lemas dan tidak mudah pecah.
"Gunung Talang...," desah Wirya Saka ketika
melihat garis menyilang. Dan, di bawahnya terdapat
goresan huruf-huruf halus. Untuk beberapa saat la-
manya, pemuda itu menengadahkan kepalanya sambil
mengingat ingat letak gunung yang tercantum dalam
peta rahasia itu.
Setelah cukup lama mencari daerah gunung
itu, dan belum juga diketahuinya, pemuda itu mulai
merasa bosan. Disimpannya semua pemberian Dewa
Kerdil. Rasa telah dan kantuk, membuat pemuda itu
cepat terlelap di atas pembaringannya.
Sementara, sang malam semakin bertambah la-
rut. Gerimis sudah lama reda. Hanya suara jangkrik
dan binatang malam yang masih setia menemani sepi.
***
Siraman cahaya hangat matahari pagi, mengi-
ringi ayunan langkah dua orang lelaki berkepala botak
yang memasuki mulut Desa Ampenan. Dari mantel be-
ruang yang mereka kenakan, jelas kedua orang lelaki
itu adalah Iblis Kembar.
Begitu memasuki mulut desa, keduanya me-
langkah lebar ke arah kedai makan, yang tampak ra-
mai didatangi pengunjung. Kedai itu memang yang
terbaik di antara kedai-kedai makan lainnya. Sehingga,
wajar kalau kedai itu lebih banyak didatangi pengun-
jung ketimbang kedai-kedai lainnya.
Tanpa mempedulikan keadaan di sekelilingnya,
kedua orang lelaki botak itu menarik sebuah kursi,
yang terdapat pada sebuah meja di sudut ruangan itu.
Tempat yang mereka pilih memang sangat baik. Sebab,
dari tempat itu mereka bisa melihat orang-orang yang
berdatangan maupun yang sudah berada di dalam ke-
dai itu.
Sambil menikmati hidangan yang dipesannya
melalui salah seorang pelayan kedai, Iblis Kembar tak;
henti-hentinya mengedarkan pandangan ke seluruh
pengunjung yang berada di ruangan itu. Bahkan, selu-
ruh indra pendengaran mereka telah dikerahkan un-
tuk menangkap pembicaraan para pengunjung kedai.
"Hm.... Kalau saja Tuan Muda sampai menge-
tahui bahwa kau berani mengintai ke dalam kamarnya,
aku tidak bisa membayangkan, hukuman apa yang
akan dijatuhkan atas kelancanganmu itu," ujar seo-
rang lelaki gemuk yang wajahnya agak kecoklatan. Na-
da suara-nya terdengar agak ditekan, agar pembica-
raannya tidak sampai terdengar orang lain.
'Tapi, aku benar-benar tidak sengaja melaku-
kan perbuatan itu, Kakang. Lagi pula, hanya beberapa
kata saja yang sempat kuingat. Sedang yang lainnya
sama sekali tidak sempat kudengarkan," sahut lelaki
berwajah kurus itu membela diri. Pada wajahnya tam-
pak bayangan rasa khawatir ketika ia melihat sikap
kawan yang tidak senang dengan perbuatannya itu.
"Paling-paling Tuan Muda sedang berbicara ke-
pada Ki Wangsa. Sebab, hanya kepada pelayan itulah
beliau terlihat sangat dekat. Dan, pembicaraan mereka
tentunya berkisar soal perburuan. Apakah pembica-
raan itu yang membuatmu tertarik untuk ikut men-
dengarkannya?" tanya lelaki gemuk itu lagi sambil me-
natap wajah kawannya lekat-lekat.
"Kau keliru, Kakang. Tuan Muda bukan tengah
berbicara dengan Ki Wangsa, melainkan dengan seorang kakek berpenyakitan. Dan, yang tengah mereka
bicarakan saat itu adalah tentang.... Kalau tidak salah,
sebuah benda pusaka bernama.... Mustika.... Naga Hi-
jau, atau yah..., sejenis benda mustikalah," jelas lelaki
berwajah kurus itu yang sepertinya belum merasa te-
nang kalau tidak menuturkan pengalamannya itu ke-
pada orang lain Dan, setelah menceritakannya, seolah-
olah beban yang menindih dadanya terasa agak berku-
rang. Itulah yang memaksanya membuka mulut dan
menceritakannya kepada lelaki gemuk, sahabat akrab-
nya itu.
"Yaaahhh..., sudahlah. Ayo habiskan makan-
mu. Kita harus segera kembali ke perguruan Mungkin
saat Ini kawan-kawan kita yang berbelanja sudah me-
nunggu-nunggu kedatangan kita. He! Ingat baik-baik!
Jangan ceritakan apa yang kau ketahui itu kepada
orang lain. Sebab, kalau sampai terdengar oleh Tuan
Muda, aku tidak bisa menjamin keselamatanmu," pe-
san lelaki gemuk itu sebelum keduanya meninggalkan
kedai.
Kedua orang lelaki yang ternyata murid Pergu-
ruan Cakar Baja itu, mendadak menghentikan lang-
kahnya ketika mendengar suara teguran pelan dan
mengejutkan. Sehingga, mereka serentak menoleh ke
arah seorang lelaki kekar yang mengenakan mantel da-
ri kulit beruang salju.
"Maaf, boleh aku bertanya sedikit...?" tegur su-
ara parau itu dengan sikap yang sama sekali tidak me-
nyenangkan. Meskipun kata katanya didahului dengan
ucapan maaf, namun sepasang mata orang itu jelas
menggambarkan keangkuhan hatinya.
"Silakan, Kisanak. Kalau tidak terlalu sulit, ten-
tu akan kami jawab," sahut lelaki gemuk berwajah ke
coklatan itu dengan bersikap tetap tenang, dan menekan kejengkelan hatinya melihat sikap sombong orang
itu.
"Aku sempat mendengar tentang Mustika Naga
Hijau yang disebut-sebut oleh saudara ini. Tolong je-
laskan, siapakah tuan muda yang kalian maksudkan
itu? Dan, di mana aku bisa berjumpa dengannya? Per-
lu kalian ketahui, orang tua yang bersamanya adalah
paman guru kami. Beliau dalam keadaan terluka sete-
lah bertempur dengan musuh-musuh yang sangat sa-
kit Untunglah kami berdua keburu tiba dan meno-
longnya. Karena musuh terlalu kuat, terpaksa kami la-
ri secara terpisah. Sayang, perbuatan itu telah menye-
babkan paman guru kami yang tengah terluka itu hi-
lang, entah ke mana. Ketika mendengar cerita Kisanak,
kami segera menduga kalau kakek yang kalian bicara-
kan itu adalah paman guru kami Bukankah kakek itu
berjuluk Dewa Kerdil...?" tanya lelaki botak yang men-
genakan mantel kulit beruang salju itu dengan penje-
lasan panjang lebar.
"Ah..., ya aku ingat sekarang!" seru lelaki kurus
itu sambil bangkit dari kursi. "Tepat sekali! Aku me-
mang mendengar nama Dewa Kerdil dalam pembica-
raan itu. Bagaimana kau dapat menebaknya demikian
tepat, Kisanak?"
"Ahhh! Maaf, Kisanak. Kawanku ini terlalu ber-
lebihan. Sebenarnya ia hanya menduga-duga saja.
Dan, belum tentu apa yang diceritakannya itu benar.
Maaf, kami harus segera pergi...," pamit lelaki gemuk
yang sepertinya belum percaya penuh akan keterangan
lelaki berkepala botak itu. Maka, dengan setengah
memaksa, ditariknya lengan kawannya untuk segera
meninggalkan kedai makan.
"Hm.... Tidak mengapa, Kisanak," ucap lelaki
berkepala botak yang berjuluk Iblis Beruang Salju.
Kemurahan hati Iblis Kembar kali ini, bukan
karena ia enggan untuk melakukan kekerasan. Tapi,
karena belum mengetahui secara jelas tentang kea-
daan Dewa Kerdil. Itu yang membuatnya bertindak ha-
ti-hati. Sebab, biarpun kakek itu telah mengalami luka
dalam cukup parah. Jelas, Iblis Kembar tidak berani
bertindak ceroboh. Karena itu ia tidak menghalangi
kepergian kedua orang murid Perguruan Cakar Baja
itu.
Setelah melunasi harga makanan, kedua orang
lelaki berkepala botak itu bergegas meninggalkan ke-
dai. Dengan menjaga jarak, Iblis Kembar segera men-
guntit perjalanan murid-murid Perguruan Cakar Baja,
yang telah selesai berbelanja untuk keperluan sehari-
hari perguruan mereka. Dan, kini para murid itu ber-
gegas meninggalkan Desa Ampenan.
***
TIGA
Rombongan kecil yang berjumlah sekitar sepu-
luh orang itu, berhenti tepat di depan gerbang Pergu-
ruan Cakar Baja. Begitu pintu terbuka, mereka berge-
gas masuk.
Tak seorang murid pun yang sempat memper-
hatikan dua orang lelaki berkepala botak yang tengah
menatap dari kejauhan ke arah pintu perguruan itu
dengan senyum terkembang. Siapa lagi kalau bukan
Iblis Kembar yang menguntit perjalanan murid-murid
Perguruan Cakar Baja sejak dari Desa Ampenan.
"Hm.... Rupanya di sini Dewa Kerdil bersem-
bunyi. Kalau mendengar cerita salah seorang murid
Cakar Baja tadi, jelas kakek keparat itu telah menceri-
takan mengenai Mustika Naga Hijau kepada orang
yang disebut tuan muda. Menurut dugaanku, yang
disebut tuan muda itu, pasti putra Ki Panca Saka.
Mungkin tua bangka keparat itu hendak menyerahkan
pusaka keramat itu kepada ketua perguruan ini," ujar
Iblis Beruang Salju dengan nada jengkel. Bahkan, se-
pasang bola matanya nampak menyiratkan sinar ber-
kilat yang tajam dan mengiriskan.
"Dugaanku juga begitu, Adi. Dan, kalau sampai
pusaka keramat itu diceritakan kepada. orang lain.
tentu Dewa Kerdil sudah di ambang kematian. Sebab,
mustahil ia akan membongkar rahasia itu selagi masih
mampu mempertahankannya. Dasar kakek keparat! la
lebih suka menyerahkan pusaka itu kepada orang lain,
yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan-
nya. Ini suatu penghinaan bagi kita, Adi!" geram Iblis
Beruang Hitam dengan wajah gelap.
"Lebih baik kita hancurkan saja perguruan ini,
Kakang. Kemudian kita rebut pusaka itu dari tangan
Dewa Kerdil. Menurut dugaanku, mungkin ia masih
lemah akibat luka-luka yang dideritanya. Bagaimana
menurutmu, Kakang?" tanya Iblis Beruang Salju me-
minta pendapat saudaranya mengenai usul yang di-
kemukakannya itu.
"Hm.... Kita harus mengetahui kekuatan pergu-
ruan ini. Sebab, nama Garuda Cakar Lima patut kita
perhitungkan. Belum lagi, murid-muridnya yang jum-
lahnya tentu lebih dari lima puluh orang. Dan itu bisa
menyulitkan kita, Adi," sahut Iblis Beruang Hitam yang
sepertinya lebih mengutamakan berpikir sebelum ber-
tindak.
"Jadi, kau merasa gentar dengan Garuda Cakar
Lima dan murid-muridnya, begitu?" sergah Iblis Be
ruang Salju dengan tarikan bibir yang mengandung
ejekan.
"Bukan begitu, Adi. Tapi, kita harus berhati-
hati dalam menangani masalah ini. Sekali saja kita sa-
lah langkah, semua rencana akan hancur berantakan.
Haruskah kita mengorbankan waktu sepuluh tahun,
hanya karena kita tidak sabar dengan pusaka yang te-
lah berada di depan mata? Tidak, Adi. Biar kita tunggu
sampai hari gelap. Kemudian kita selidiki di mana tua
bangka keparat itu berada," kilah Iblis Beruang Hitam
yang jelas bertentangan dengan kemauan adiknya.
Setelah berkata demikian, ia langsung memba-
likkan tubuhnya, meninggalkan tempat itu. Tanpa ba-
nyak tanya lagi, Iblis Beruang Salju segera mengikuti
langkah saudaranya. Sekali berkelebat saja, tubuh Ib-
lis Kembar itu lenyap ditelan bayang-bayang pepoho-
nan.
***
Dalam keremangan cahaya bulan yang tema-
ram, tampak sesosok bayangan hitam berkelebat cepat
seperti bayangan hantu. Gerakannya cepat dan ringan,
jelas sosok itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang
sangat tinggi, dan jarang ada bandingannya.
Tidak lama kemudian, sosok bayangan hitam
itu tiba di depan sebuah pintu gerbang perguruan. Pa-
gar . kayu bulat setinggi dua tombak lebih, bukan ha-
langan sama sekali baginya. Sekali kakinya dijejakkan
ke tanah, sosok bayangan hitam bertubuh kurus itu
melambung dan berputar beberapa kali di udara.
Ringan dan tanpa suara sedikit pun, ketika ke-
dua kakinya mendarat di halaman depan perguruan
itu. Begitu kakinya menjejak tanah, secepat itu pula
tubuhnya kembali melambung ke wuwungan bangu-
nan Utama perguruan itu.
"Hei..I Siapa itu…?!"
Salah seorang penjaga, yang berada di pos atas
Gerbang perguruan berseru ketika melihat sosok
bayangan hitam itu hinggap di atap bangunan Utama.
Meski jarak antara keduanya terpisah sekitar
sepuluh tombak lebih, penjaga itu menjerit ketika so-
sok bayangan hitam itu mengibaskan lengan kanan-
nya.
Tanpa ampun lagi, tubuh penjaga itu terlempar
jatuh dari pos jaganya. Sedangkan sosok bayangan hi-
tam yang tertangkap sinar obor itu, kembali melesat
dan lenyap di balik bayangan dinding-dinding bangu-
nan utama itu.
"Ada pembunuh...!" seorang penjaga yang ten-
gah meronda langsung berteriak ketika melihat penja-
ga pintu gerbang tergeletak mandi darah. Di tubuhnya
tertancap sebilah pisau sepanjang setengah jengkal,
yang amblas hingga ke gagangnya.
Salah seorang yang memegang kentongan,
langsung memukul benda itu berkali-kali. Terdengar
suara kentongan yang bertalu-talu memenuhi seluruh
pelosok perguruan.
Sebentar saja, tampak puluhan orang berlarian
keluar dari dalam bangunan-bangunan kecil yang be-
rada di sekitar bangunan utama perguruan itu.
"Di mana pembunuh keji itu...?" tanya seorang
lelaki bercambang bauk yang sikapnya nampak gagah
dan galak. Di tangan kanannya, tampak tergenggam
sebatang pedang yang besar dan berat.
"Aku tidak tahu, Kakang. Aku baru saja tiba di
tempat ini, dan melihat penjaga pintu gerbang telah
tergeletak tanpa nyawa. Tapi, kematiannya jelas belum
lama. Karena darah yang membasahi tubuhnya masih
tampak segar," ujar seorang peronda berkumis tipis
melaporkan kepada lelaki bercambang bauk itu.
"Hm.... Jelas ada orang yang telah menyusup
ke dalam perguruan kita. Cepat menyebar! Can pem-
bunuh keji itu...!" perintah lelaki bercambang bauk itu
dengan suara lantang. Sedangkan ia sendiri telah
mengajak enam orang murid, dan bergegas memeriksa
sekeliling bangunan dalam perguruan.
Empat kelompok lainnya, yang masing-masing
berjumlah sepuluh orang, bergegas menyebar ke empat
penjuru. Sedang delapan orang lainnya, tetap tinggal
dan berjaga-jaga di depan pintu gerbang.
Sementara itu, sosok bayangan hitam bertubuh
jangkung yang telah menewaskan penjaga gerbang,:;
terus menyelinap ke dalam bangunan utama Pergu-
ruan Cakar Baja.
Sosok jangkung itu bergerak dan merapatkan
tubuhnya ke dinding ketika ia mendengar suara' lang-
kah kaki menuju ke arahnya. Sekali tongkat di tan-
gannya bergerak, tiga orang yang melintas di depan-
nya, langsung berkelojotan tewas tanpa sempat berte-
riak lagi. Sedang salah seorang dibuat tak berdaya
dengan totokan jari tangannya yang ampuh.
"Jawab pertanyaanku kalau kau masih kepin-
gin hidup!" ancam sosok jangkung itu sambil menekan
jemarinya ke ubun-ubun. "Pernahkah perguruan ini
kedatangan seorang laki-laki tua yang tengah menderi-
ta luka?"
'Tidak.... Aku.... Aku tidak pernah melihat-
nya...," sahut lelaki itu dengan suara gagap.
"Hm.... Jangan coba-coba membohongi ku, Ke-
parat!" geram sosok jangkung itu semakin menekan-
kan jari-jari tangannya.
"Benar, Tuan... Aku.... Tidak bohong...," rintih
lelaki itu menyeringai menahan rasa sakit pada batok
kepalanya.
"Bedebah! Mampuslah...!" desis sosok jangkung
itu melampiaskan kejengkelan hatinya. Sekali tekan
saja, menyemburlah darah segar dari ubun-ubun
orang itu, yang berlubang akibat tekanan jari-jari tan-
gan yang bertenaga kuat itu.
Tanpa mempedulikan tubuh korbannya yang
melorot tewas, sosok jangkung itu kembali bergerak
dan terus keluar dari dalam bangunan utama pergu-
ruan Itu.
"Bedebah! Ke mana perginya kakek keparat itu?
Tidak mungkin ia dapat pergi jauh, setelah dilukai Iblis
Kembar. Sedangkan letak perguruan ini dekat sekali
dengan Hutan Langkat Jelas, kalau tempat ini meru-
pakan satu-satunya yang termudah untuk menyem-
bunyikan diri. Mungkinkah dugaanku keliru...?" gu-
mam sosok jangkung itu sambil terus bergerak tanpa
memperhatikan sekelilingnya.
"Hei...! Berhenti...!"
Bentakan yang cukup mengejutkan itu, mem-
buat lelaki bertubuh jangkung membalikkan tubuhnya
secepat kilat. Sepasang matanya tampak mencorong
tajam! menatap tujuh orang laki-laki yang berlari
menghampirinya.
"Kisanak, siapakah kau...? Dan, apa keper-
luanmu berada di tempat ini..?" tegur lelaki kekar ber-
cambang bauk sambil meneliti sosok jangkung, yang
berada sekitar satu tombak di depannya.
"Hm.... Menilik dari sikapmu, tentunya kau me-
rupakan salah seorang murid utama Garuda Cakar
Lima, bukan? Jawab pertanyaanku. Pernahkah pergu-
ruan ini kedatangan seorang laki-laki tua dalam kea
daan terluka...?" tanya sosok jangkung itu tanpa
mempedulikan pertanyaan lelaki bercambang bauk.
"Kurang ajar...! Aku yang seharusnya bertanya
kepadamu pembunuh keji! Apa yang kau kerjakan di
perguruan kami ini? Atau kau memang sengaja mau
mencari keonaran?" bentak lelaki bercambang bauk
itu, yang menjadi marah ketika pertanyaannya tidak
mendapat jawaban seperti yang diharapkan.
"Jawab pertanyaanku, atau kau akan kukirim
ke neraka seperti teman-temanmu yang lain?" sergah
sosok jangkung itu dengan-suara dingin, namun men-
gandung ancaman maut di dalamnya.
"Setan...! Tangkap keparat busuk itu...!" seru
lelaki bercambang bauk itu yang telah hilang kesaba-
rannya. Kemudian tubuhnya segera melesat dengan
disertai putaran sepasang tangannya yang membentuk
cakar.
"Hmh...!"
Sosok bertubuh jangkung itu memperdengar-
kan dengusan mengejek ketika melihat serangan la-
wan. Cepat tubuhnya bergeser ke samping, pada saat
cengkeraman lawannya meluncur mengancam tubuh-
nya. Tongkat di tangan kanannya, langsung berkelebat
begitu serangan lawan lewat di samping tubuhnya.
Wukkk...!
Terdengar suara mengaung tajam mengiringi
lontaran tongkat yang mengandung kekuatan hebat.
Serangkum hawa berbau amis mengiringi sambaran
tongkat itu.
"Aaahhh...!"
Lelaki bercambang bauk itu berseru tertahan
ketika mencium hawa beracun yang timbul dari sam-
baran tongkat lawannya. Cepat tubuhnya dilempar ke
belakang tanpa berani menangkis sambaran tongkat
Itu. Kemudian berjumpalitan beberapa kali menjauhi
sosok bertubuh jangkung itu.
Berbarengan dengan mendaratnya kedua kaki
lelaki bercambang bauk itu, terdengar teriakan ngeri
susul-menyusul.
"Iblis keji...!" geram lelaki bercambang bauk itu
ketika melihat tubuh enam orang kawannya tengah
berkelojotan meregang nyawa.
Sadar kalau lawannya bukanlah orang semba-
rangan, maka sambil menggertakkan giginya kuat-kuat
dicabutnya pedang yang tergantung di pinggang. Dan,
langsung diputar sedemikian rupa, sehingga memben-
tuk gulungan sinar yang membungkus tubuhnya.
Wuuuk...! Wuuuk...!
"Hm.... Ilmu 'Pedang Kuku Garuda'. Rupanya
Garuda Cakar Lima telah menurunkan ilmu pedang itu
kepadamu. Bagus! Mari kulihat, apakah ilmu itu su-
dah pantas dipertontonkan di depan Siluman Tongkat
Beracun...!" ejek lelaki jangkung yang mengaku berju-
luk Siluman Tongkat Beracun itu dengan nada som-
bong. Usai berkata demikian, tongkat di tangannya
berputar. sejenak. Kemudian terhenti dan menuding
lurus ke arah lawannya. Sedang tangan kirinya dengan
telapak terbuka berada di depan kening. Jelas, sosok
jangkung itu sudah siap menghadapi ilmu pedang la-
wannya.
"Heaaat..!"
Tanpa basa-basi lagi, lelaki bercambang bauk
itu langsung melompat dengan disertai serangannya
yang susul-menyusul.
Sedangkan sosok jangkung yang berjuluk Si-
luman Tongkat Beracun itu sama sekali tidak berge-
rak. Dengan kepala tetap menekuri tanah, tongkat di
tangannya baru berkelebat pada saat ujung senjata
lawan hampir mencapai tubuhnya.
Whuuut..!
Trang...!
"Aaakh...!"
Hebat dan cepat bukan main gerakan yang di-
lakukan Siluman Tongkat Beracun itu. Tongkat yang
digerakkan dengan kekuatan hebat itu, langsung
membentur pedang lawannya. Sehingga, bukan hanya
senjata lelaki bercambang bauk itu yang terpental. Ta-
pi, tubuh lelaki kekar itu pun terjengkang kebelakang!
Jelas, tenaga dalam yang dimiliki sosok jangkung itu
masih jauh lebih kuat dari lawannya.
Siluman Tongkat Beracun rupanya tidak ingin
berlama-lama. Ketika tubuh lawannya terjengkang ke-
belakang, lelaki jangkung itu langsung melesat dengan
luncuran tongkatnya mengancam tenggorokan lawan.
Whuuut..!
Serangkum angin menderu yang diiringi bau
amis menyengat, tercium menyertai tusukan tongkat
maut Itu.
"Haiiit..!"
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselama-
tan murid utama Perguruan Cakar Baja itu, tiba-tiba
melesat sesosok bayangan diiringi teriakan nyaring
menggetarkan jantung. Begitu tiba, sosok bayangan itu
langsung memapaki tusukan tongkat itu.
Plakkk!
Lontaran angin pukulan yang meluncur dari te-
lapak tangan sosok bayangan itu, langsung menghan-
tam balik senjata Siluman Tongkat Beracun.
Kembali Siluman Tongkat Beracun menunjuk-
kan kehebatannya. Tongkat yang terpukul balik itu,
langsung berputar dan meluncur deras ke arah lam-
bung sosok bayangan yang baru tiba itu.
Bettt!
Terkejut bukan main sosok bayangan berpa-
kaian serba putih itu. Sadar kalau sambaran tongkat
itu tidak dapat dipandang ringan, maka sosok bayan-
gan itu melenting menghindari sambaran tongkat la-
wannya.
"Heaaahhh...!"
Sambil membentak keras, sosok bayangan itu
berjumpalitan di udara. Kemudian disusul dengan se-
buah lontaran pukulan jarak jauh yang menimbulkan
deruan angin tajam.
Wusss...!
Serangan yang dilontarkan selagi tubuhnya be-
rada di udara itu, sempat membuat Siluman Tongkat
Beracun terperangah kagum. Cepat ia mendorongkan
telapak tangan kirinya, menyambut pukulan jarak
jauh lawan. Dan....
Bresssh...!
Hebat sekali pertemuan dua gelombang tenaga
sakti dari kedua tokoh itu. Ledakan keras yang di tim-
bulkannya menggetarkan udara sekitar. Sedang tubuh
keduanya melenting dan berjumpalitan guna mema-
tahkan daya dorong yang ditimbulkan benturan itu.
Jleggg!
Jleggg!
Kedua sosok tubuh itu sama mendaratkan ka-
kinya dengan waktu berbarengan. Lalu, mereka saling
tatap dalam jarak dua setengah tombak.
"Hm.... Kiranya Garuda Cakar Lima yang da-
tang menolong muridnya...," gumam Siluman Tongkat
Beracun menyunggingkan senyum sinis. Sedang sepa-
sang matanya meneliti sosok di depannya.
"Siluman Tongkat Beracun...!?" desis lelaki ga-
gah setengah baya itu agak terkejut ketika mengenali
sosok jangkung yang hampir menewaskan muridnya
itu. "Apa yang mendorongmu membuat keonaran di
perguruanku, Siluman Tongkat Beracun...? Setahuku
di antara kita tidak pernah ada permusuhan, bukan?"
tegur lelaki setengah baya itu dengan kening berkerut
tak senang.
"Hm.... Sebenarnya aku pun tidak bermaksud
untuk mengurusi segala cecunguk seperti murid-
muridmu itu. Tapi, mereka sendiri yang mencari kema-
tian. Terpaksa aku memberi sedikit pelajaran, agar lain
kali mereka lebih tahu adat," ujar Siluman Tongkat Be-
racun dengan suara tetap dingin dan angkuh. Jelas,
lelaki, jangkung itu tetap juga memandang sebelah
mata, meski yang dihadapinya kali ini guru besar Per-
guruan Cakar Baja. Semua itu terlihat dari sikap dan
nada bicaranya, yang tetap sinis dan mengandung eje-
kan.
"Apa sebenarnya yang kau cari di perguruanku
Ini, Siluman tak tahu adat! Kalau memang ada keper-
luan, mengapa kau datang secara sembunyi seperti
maling hina? Bukankah kau bisa menemuiku dan
mengatakan keperluanmu?" kembali lelaki gagah yang
berjuluk Garuda Cakar Lima itu menegur dengan nada
mengandung kemarahan.
"He he he.... Kalau begitu, baiklah kutanyakan
langsung kepadamu. Nah, sekarang jawablah perta-
nyaanku. Apakah dalam beberapa hari ini kau pernah
kedatangan seorang tamu seorang laki-laki tua yang
tengah menderita luka? Coba kau serahkan kakek itu
kepadaku. Dan, aku akan pergi tanpa mengganggu ke-
tenangan mu lagi," ujar Siluman Tongkat Beracun
sambil menatap tajam lelaki gagah itu.
"Huh! Pertanyaanmu itu sudah terlambat, Ma-
nusia Jahat! Apakah kau kira setelah membunuh murid-muridku, kemudian bebas begitu saja. Hm.... Kau
boleh pergi setelah meninggalkan kepalamu sebagai
ganti nyawa murid-muridku yang telah kau bunuh itu.
Sebaiknya, kau bersiap-siap untuk menerima huku-
man. Atau, kau mau menyerahkan kepalamu dengan
sukarela?" sahut Garuda Cakar Lima yang rupanya
marah besar melihat mayat-mayat muridnya yang ber-
geletakan di tempat itu.
"He he he.... Jangan berlagak sombong kau,
Garuda Cakar Lima. Orang lain boleh takut mendengar
namamu. Tapi, Siluman Tongkat Beracun akan mele-
nyapkan namamu dari jajaran tokoh-tokoh persilatan,
hari ini juga. Bahkan, seluruh murid-muridmu akan
kuhabisi tanpa sisa!" geram Siluman Tongkat Beracun
dengan nada yang tetap dingin dan tanpa perasaan.
Hanya sepasang matanya yang menyorot tajam dan
penuh ancaman maut.
"Kau mundurlah, Pragala...," ujar lelaki gagah
itu' kepada lelaki bercambang bauk yang berada di se-
belah kanannya.
"Guru..., apakah tidak sebaiknya kita habiskan
saja manusia jahat seperti Siluman Tongkat Beracun';
itu. Rasanya untuk menghadapi manusia sesat seperti
dia, kita tidak perlu menggunakan banyak peraturan.
Serahkan saja dia kepada kami...," ujar lelaki bercam-
bang bauk, yang bernama Pragala, sambil menolehkan
kepala ke arah puluhan orang murid yang telah ber-
kumpul dan mengepung di sekitar halaman samping
perguruan itu.
Sejenak Garuda Cakar Lima menolehkan kepa-
lanya ke arah murid-muridnya yang telah berkumpul
mengelilingi tempat itu. Namun, kepala lelaki gagah itu
terlihat menggeleng perlahan.
'Tidak, Pragala. Meskipun orang yang kita ha
dapi ini adalah seorang tokoh golongan sesat, namun
sebagai orang-orang gagah kita harus menghadapinya
dengan jantan. Apa komentar orang persilatan nanti,
bila mendengar berita kematian Siluman Tongkat Be-
racun karena dikeroyok ketua dan murid-murid Pergu-
ruan Cakar Baja? Hm... Aku tidak ingin nama pergu-
ruan lata dilecehkan kaum rimba persilatan di kemu-
dian hari. Sebaiknya kalian bersiap-siap saja, agar
manusia jahat itu tidak melarikan diri dari tempat ini,"
ujar Garuda Cakar Lima yang menolak usul muridnya.
Setelah berkata demikian, lelaki gagah itu melangkah
maju dan bersiap menghadapi lawannya.
Sementara Pragala terpaksa melangkah mun-
dur dan memerintahkan teman-temannya untuk ber-
jaga-jaga, agar Siluman Tongkat Beracun tidak dapat
meloloskan diri dari perguruan itu.
***
EMPAT
"Heaaattt..!"
Tanpa menunggu lawannya menyerang lebih
dahulu, Siluman Tongkat Beracun langsung melompat
dengan disertai putaran tongkatnya.
Whuuut..! Whuuut..!
Hebat sekali memang permainan tongkat tokoh.
bertubuh jangkung itu. Angin keras bertiup laksana
deruan topan yang akan menerbangkan segala apa
yang ada di dekatnya. Suara sambaran tongkat itu
menderu-deru dengan hebatnya. Sehingga, bentuk
tongkat itu lenyap. Dan, yang tampak hanya gulungan
sinar berpendar meluncur ke arah Garuda Cakar Lima.
Namun, Ketua Perguruan Cakar Baja bukanlah]
orang lemah. Melihat lawannya mulai membuka seran-
gan, lelaki setengah baya itu bergegas memutar kedua
tangannya yang berbentuk cakar. garuda. Terdengar
angin bercuitan ketika jari-jari tangan yang terbung-
kus sarung tangan perak, menyambar-nyambar susul-
menyusul Meskipun tongkat lawannya telah dilumuri
racun jahat, Garuda Cakar Lima sama sekali tidak
menjadi gentar. Sebab, sarung tangan perak yang di-
kenakannya merupakan penolak racun yang ampuh.
Sehingga, lelaki setengah baya itu tidak merasa kha-
watir dengan hawa beracun yang keluar dari senjata
lawannya.
"Yeaaat..!"
Whuuut! Whuuut!
Dibarengi bentakan nyaring, tubuh lelaki se-
tengah baya itu bergerak maju dengan langkah-
langkah menyilang, yang terlihat kokoh dan kuat Se-
dangkan sepasang cakarnya bergerak ke kiri-kanan
menimbulkan angin bercuitan.
Bettt!
Sambil menggeser tubuhnya dengan posisi mir-
ing, guna menghindari sambaran tongkat lawan, tan-
gan kanan Ketua Perguruan Cakar Baja bergerak cepat
menyambar leher lawannya dengan cengkeraman maut
Bahkan, serangan balasan itu masih disusul dengan
sambaran tangan kiri yang mengancam dada lawan-
nya.
Siluman Tongkat Beracun cepat menarik pu-
lang tongkatnya dengan disertai geseran tubuhnya,
yang langsung membentuk kuda-kuda rendah. Sambil
mendoyongkan tubuhnya, tokoh sesat itu sempat pula
mengirimkan tendangan kilat ke perut lawan Hebat se-
kali gerakan yang dilakukan lelaki jangkung itu. Bukan saja serangan lawan yang dapat dihindarinya, me-
lainkan mampu pula melontarkan serangan yang cu-
kup berbahaya.
Zebbb!
Plakkk!
"Aaahhh...!"
Garuda Cakar Lima yang melihat datangnya
tendangan kilat itu, cepat menyampok dengan tangan
kiri, yang semula dimaksudkan untuk melancarkan,
serangan susulan. Akibatnya tangkisan itu membuat
tubuhnya terjajar mundur hingga satu tombak jauh-
nya. Jelas, kekuatan tenaga dalam yang dimiliki Silu-
man Tongkat Beracun masih jauh lebih tinggi dari te-
naga dalamnya sendiri.
"Heahhh...!"
Selagi tubuh lawannya terhuyung mundur, Si-
luman Tongkat Beracun bergegas menyabetkan tong-
kat di tangan kanannya. dengan kecepatan menggetar-
kan.
Tentu saja serangan susulan lawannya itu
membuat Garuda Cakar Lima tercekat dengan wajah
berubah. Sebisa mungkin, lelaki setengah baya ini me-
lemparkan tubuhnya dan bergulingan menghindari se-
rangan maut itu.
Sayang, lawannya tidak sudi melepaskannya
begitu saja. Siluman Tongkat Beracun terus mencecar
Garuda Cakar Lima dengan hantaman-hantaman
tongkatnya yang menimbulkan angin menderu tajam.
Gulungan sinar tongkat yang berputar hebat
itu, terus bergerak mengejar tubuh Ketua Perguruan
Cakar Baja, yang tengah berusaha menyelamatkan di-
rinya dari incaran senjata lawan.
Pada saat yang gawat itu, tiba-tiba berkelebat
sesosok bayangan dengan disertai gulungan sinar pedang yang mengaung tajam. Dan, langsung menyam-
but putaran tongkat yang tengah mengejar Garuda
Cakar Lima. Dan....
Trang! Trang!
"Aaahhh...!"
Terdengar benturan keras beberapa kali, ketika
kedua senjata itu sating bertemu di udara. Berbaren-
gan dengan itu, terdengar suara memekik tertahan.
Disusul terlemparnya sosok tubuh yang mencoba me-
nyelamatkan Ketua Perguruan Cakar Baja itu.
Namun, dengan gerakan yang indah sosok tu-
buh yang baru tiba itu berputar beberapa kali di uda-
ra. Meski agak goyah, sosok tubuh itu dapat menda-
ratkan kedua kakinya dengan selamat.
"Wirya Saka...! Kau tidak apa-apa...?" tanya Ga-
ruda Cakar Lima memburu sosok berpakaian biru mu-
da itu dengan wajah cemas.
Sosok tubuh yang ternyata Wirya Saka itu,
menggelengkan kepalanya perlahan. Dari helaan na-
pasnya yang nampak masih memburu, jelas pemuda
itu masih merasa tegang dengan apa yang baru saja
dialaminya. Sehingga, pertanyaan ayahnya hanya di-
jawab dengan gelengan kepala.
"Hebat sekali lelaki jangkung itu. Siapakah dia,
Ayah? Mengapa Ayah berkelahi dengan dia!..?" tanya
Wirya Saka tanpa melepaskan pandangannya dari so-
sok Siluman Tongkat Beracun.
"Hm.... Dia adalah seorang tokoh sesat yang
berjuluk Siluman Tongkat Beracun. Kedatangannya
hendak mencari seorang kakek, yang menurutnya be-
rada di dalam perguruan kita. Tapi, karena ia telah
membunuh beberapa murid perguruan kita, terpaksa
Ayah! meminta pertanggungjawabannya. Dan, akhir-
nya kami bertempur. Hhh.... Untunglah kau datang te
pat pada waktunya, Wirya. Kalau tidak, mungkin Ayah
sudah melayat ke akhirat Manusia sesat itu benar-
benar hebat sekali. Rasanya Ayah pun sulit untuk da-
pat menang dari dia," ujar Garuda Cakar Lima meng-
hela napas lega karena terbebas dari ancaman tongkat
beracun lawannya.
Sementara itu, Siluman Tongkat Beracun kem-
bali melangkah maju beberapa tindak Dengan tatapan
mata penuh ancaman, tokoh sesat berilmu tinggi itu
bersiap melancarkan serangannya. Jelas, ia bermak-
sud untuk menghabisi nyawa Ketua Perguruan Cakar
Baja.
"Lebih baik kau menyingkirlah, Wirya. Ayah
akan mencoba untuk menahan gempuran manusia se-
sat itu. Apabila kau lihat aku terdesak, sebaiknya ting-
galkan tempat ini. Bawa semua murid-murid kita. Ke-
lak setelah keadaan reda, kau boleh kembali dan me-
lanjutkan apa yang selama ini aku lakukan. Sebab,
bukan mustahil kalau aku akan tewas di tangan tokoh
sesat yang terkenal kejam dan bertangan dingin itu,"
ujar Garuda Cakar Lima yang segera melangkah maju
tanpa menunggu jawaban dari putranya. Menilik dari
sikapnya, jelas lelaki setengah baya itu siap untuk
mengadu nyawa dengan lawannya.
Kedua sosok tubuh yang siap melanjutkan per-
tarungan itu, mendadak saling melangkah mundur be-
berapa tindak ke belakang. Karena pada saat itu, dua
sosok bayangan melesat ke tengah arena.
"Ha ha ha.... Tidak kusangka kalau kita telah
kedahuluan Siluman Tongkat Beracun, Adi," ucap sa-
lah seorang dari dua sosok tubuh yang baru tiba itu.
"Benar, Kakang. Dan, nampaknya di sini telah
terjadi keramaian...," sahut sosok tubuh yang satunya
lagi dengan suara yang tidak kalah besarnya.
"Iblis Kembar.... Tidak kusangka kalau kalian
sampai juga ke tempat ini. Tapi, apakah yang kalian
cari di tempat ini...?" sapa Siluman Tongkat Beracun
yang berusaha menutupi keterkejutannya ketika meli-
hat dua orang saingannya itu.
"Iblis Kembar...!? Ada apa sebenarnya di pergu-
ruanku ini? Mengapa tokoh-tokoh sesat ini sampai ter-
sasar? Entah dari mana mereka mendapatkan kabar
yang tidak benar itu...?" gumam Garuda Cakar Lima
dengan wajah keheranan melihat ketiga tokoh sesat itu
berkumpul di tempat kediamannya.
"Iblis Kembar. Ada keperluan apa sehingga kau
menyempatkan diri singgah di tempatku ini...?" tegur
Garuda Cakar Lima menatap tajam dua orang yang ba-
ru tiba itu.
"Hm.... Tidak perlu kau berpura-pura bodoh,
Garuda Cakar Lima. Rasanya bukan rahasia lagi kalau
perguruanmu telah menyembunyikan Dewa Kerdil
yang tengah kami cari-cari. Sebaiknya kau serahkan
saja tua bangka keparat itu, sebelum kami bertindak
di luar batas," sahut Iblis Beruang Hitam bernada
mengancam.
"Kurang ajar...! Dengar, Manusia-manusia Se-
sat! Kalau memang kalian mau mencari keributan, ra-
sanya tidak perlu memakai alasan macam-macam. Ga-
ruda Cakar Lima siap menghadapi segala macam tikus
busuk seperti kalian! Sebab, hanya seorang pengecut
saja yang sudi menggunakan akal busuk seperti itu!"'
geram Garuda Cakar Lima yang menjadi jengkel men-
dengar alasan yang diajukan Iblis Kembar.
Sedang Wirya Saka sendiri terkejut bukan ke-
palang ketika mendengar ucapan Iblis Kembar itu. Ia
menjadi heran bukan main. Sebab, pemuda itu yakin:
betul kalau tak seorang pun yang melihatnya pada
saat membawa Dewa Kerdil ke dalam perguruan itu.
Namun, ketika teringat dengan sesosok bayangan yang
pernah mengintai kamarnya, berubah wajah pemuda
itu diliputi ketegangan.
"Iblis Beruang Hitam," ujar Wirya Saka sambil
melangkah maju dua tindak. "Apa yang kau katakan
itu hanyalah kabar bohong belaka. Jelas, penyebar
dusta itu adalah orang-orang yang tidak suka kepada
kami. Percayalah dengan jawaban ayahku. Sebab, be-
liau bukan orang pengecut yang tidak berani mengata-
kan segala apa yang diketahuinya. Sebaiknya kalian
tinggalkan tempat ini. Maaf, kalau jawaban kami tidak
memuaskan."
"Ha ha ha...!" meledak tawa Iblis Beruang Hi-
tam dan Iblis Beruang Salju demi mendengar ucapan
Wirya Saka. Saking kerasnya kedua lelaki kekar itu
tertawa, tubuh mereka berguncang-guncang.
"Ha ha ha... Aku ingin bertanya sedikit kepa-
damu, Garuda Cakar Lima. Pernahkah kau mengajar-
kan murid-muridmu berbohong? Jawablah dengan ju-
jur," tanya Iblis Beruang Hitam dengan wajah me-
nyunggingkan senyum mengejek.
"Apa maksudmu, Iblis Beruang Hitam..,?!" tegas
Garuda Cakar Lima menatap tajam lelaki kekar' ber-
pakaian mantel bulu beruang hitam itu. Dari nada su-
aranya yang terdengar geram, jelas lelaki setengah
baya itu merasa tak senang dengan pertanyaan yang
diajukan tokoh sesat itu.
"Jawab saja, tidak perlu bertele-tele...," sergah
Iblis Beruang Salju yang ikut menimpali sambil me-
langkah maju dua tindak.
"Hm,... Sudah jelas tidak. Sebab, kami mengu-
tamakan kejujuran dan kegagahan dalam mendidik.
Mengapa kau bertanya demikian?" Garuda Cakar Lima
balik bertanya dengan kening berkerut dalam.
Lelaki setengah baya itu merasa curiga dengan
pertanyaan yang aneh itu. Apalagi yang mengajukan-
nya adalah tokoh-tokoh sesat seperti Iblis Kembar, ten-
tu saja pertanyaan itu menimbulkan berbagai dugaan
dalam benaknya.
Tiba-tiba saja, Garuda Cakar Lima menoleh ke
arah putranya. Diam-diam timbul rasa curiga di ha-
tinya terhadap tingkah Wirya Saka, yang dirasakan
agak aneh semenjak kembali dari berburu beberapa
hari yang lalu. Dipandanginya wajah pemuda tampan
itu penuh selidik.
"Wirya. Kau sama sekali tidak tahu tentang ka-
kek yang dimaksudkan manusia-manusia sesat itu,
bukan...?" tegur Garuda Cakar Lima seperti meminta
ketegasan putranya dalam hal itu.
Mendapat pertanyaan yang tiba-tiba dan sama
sekali tidak diduganya itu, karuan saja wajah pemuda
tampan itu berubah sekejap. Namun, cepat Wirya
menguasai perasaannya yang berdebar tegang. Meski-
pun begitu, karena semenjak kecil ia memang tidak
pernah diajarkan untuk berbohong, maka bisikan
ayahnya itu hanya membuat kepalanya tertunduk.
Dan, itu merupakan sebuah jawaban bag! Garuda Ca-
kar Lima.
"Ahhh...! Mengapa kau tidak mengatakan sebe-
lumnya, Wirya? Kalau sudah begini, Ayah juga yang
ikut repot Apa sebenarnya yang sudah terjadi dengan
kakek itu? Perbuatan apakah yang menyebabkan ia
bermusuhan dengan manusia-manusia sesat seperti
mereka?" tanya Garuda Cakar Lima meminta penjela-
san putranya. Tentu saja semua itu diucapkan dengan
suara berbisik lirih. Sehingga, hanya mereka berdua
saja yang mengetahui.
"Maaf, Ayah. Panjang sekali kalau diceritakan
seluruhnya. Yang jelas, ketiga orang ini pasti mau me-
rebut benda Mustika Naga Hijau, yang dimiliki Dewa
Kerdil. Dan, benda itu telah diserahkannya kepadaku.
Dengan pesan agar aku tidak menceritakannya kepada
siapa pun, termasuk Ayah. Maafkan kelancanganku,
Ayah. Dan, Dewa Kerdil sendiri telah tewas dua hari
yang lalu," sahut Wirya terpaksa menjelaskan semua
yang diketahuinya mengenai kakek yang berjuluk De-
wa Kerdil itu.
"Ahhh! Setahuku, yang memiliki benda pusaka
itu seorang tokoh sesat, bertubuh kerdil kurus dan
berjuluk Setan Kerdil. Mungkinkah kakek itu telah
mengganti julukan demi keselamatan dirinya? Lalu, di
mana sekarang benda mustika itu, Wirya? Apakah kau
masih menyimpannya?" tanya Garuda Cakar Lima
yang wajahnya berubah menjadi tegang. Sebab, kete-
rangan putranya itu jelas akan menimbulkan malape-
taka bagi perguruannya. Dan, ia sadar betul akan hal
itu.
"Benda itu masih ada, dan kusimpan di tempat
tersembunyi, Ayah. Tapi, aku tak mengerti sama seka-
li, dari mana mereka memperoleh berita mengenai ke-
beradaan Dewa Kerdil di kediaman kita? Kalau Ki
Wangsa, jelas tidak mungkin menyebarkan cerita ini.
Aku tahu betul kesetiaan orang tua itu, Ayah," ujar
Wirya Saka, penasaran.
Pembicaraan mereka mendadak terhenti ketika
samar-samar terdengar suara berkesiutan yang datang
dari sebelah kirinya. Serentak keduanya menoleh sam-
bil siaga menghadapi segala kemungkinan yang bakal
terjadi.
Terkejut bukan main hati Garuda Cakar Lima
dan Wirya Saka ketika menyaksikan apa yang telah di
lakukan Iblis Kembar. Karena, tanpa dapat mereka ce-
gah, kedua orang iblis itu telah menyambar tubuh dua
orang murid perguruan yang langsung dibekuk dan di-
bawanya secara paksa.
"Hm.... Kenalilah baik-baik, Garuda Cakar Li-
ma. Bukankah kedua tikus ini adalah murid-
muridmu?" geram Iblis Beruang Hitam seraya mencek-
al batang leher kedua murid Perguruan Cakar Baja itu.
Entah bagaimana caranya, tahu-tahu saja iblis itu te-
lah menahan muridnya.
"Apa maksudmu, Iblis Beruang Hitam? Le-
paskan kedua orang muridku yang tak berdosa itu!
Dan, kalau memang jantan, mari kita bertarung sam-
pai seribu jurus!" bentak Garuda Cakar Lima yang se-
gera melangkah maju dengan wajah merah. Jelas, Ke-
tua Perguruan Cakar Baja itu marah sekali dengan
perbuatan Iblis Beruang Hitam yang. dinilainya terlalu
lancang.
"Hm.... Hayo katakan kepada ketuamu itu! Se-
butkan kapan dan di mana kau melihat kakek renta
bersama majikan mudamu itu! Tunjukkan kepadaku,
siapa orang yang kau sebut sebagai tuan mudamu
itu?" bentak Iblis Beruang Hitam sambil menekankan
jari-jari tangannya ke tengkuk lelaki berkumis tipis,
yang berada dalam cekalan tangan kanannya.
"Aku.... Aku melihatnya secara tak sengaja dua
hari yang lalu. Mungkin... Orang yang bersama Tuan
Muda Wirya Saka itu yang... Yang kalian cari-cari...,"
jawab lelaki berwajah lonjong itu sambil menyeringai
menahan rasa sakit akibat cengkeraman jari-jari tan-
gan Iblis Beruang Hitam.
'Tunjukkan yang mana orang bernama Wirya
Saka Ha..?" desak Iblis Beruang Hitam semakin mem-
pererat cekalannya ke leher orang itu.
"Dia.... Itu yang memakai pakaian biru mu-
da...," hiding lelaki itu ke arah Wirya Saka yang wajah-
nya menjadi pucat seketika.
"Keparat! Jadi, kau rupanya yang telah berani
mengintip kamarku! Jahanam! Mengapa kau berani
melakukan perbuatan tercela itu, Ludiga? Kau... Kau
benar-benar tidak tahu adat..!" geram Wirya Saka yang
menjadi marah besar, setelah mengetahui orang yang
telah mengintip kamarnya beberapa hari yang lalu.
"Ampun... Ampun, Tuan Muda.... Aku.... Benar-
benar tidak sengaja melakukannya...," ujar lelaki ber-
nama Ludiga itu dengan wajah pucat dan tubuh geme-
tar.
Jelas, Ludiga sangat takut melihat kemarahan
pemuda tampan itu. Sepengetahuannya, pemuda itu
tidak pernah terlihat sampai sedemikian marahnya.
Sehingga, wajah lelaki berkumis tipis itu menjadi pu-
cat.
Wirya Saka yang sudah siap melesat ke arah
Ludiga, menahan gerakannya ketika tangan ayahnya;
mencekal pergelangan kirinya. Sehingga, pemuda itu
hanya dapat menatap dengan sinar mata seperti hen-
dak menelan tubuh Ludiga bulat-bulat.
"Tahan emosimu, Wirya. Sebaiknya kau pergi
dan tinggalkan daerah ini. Sebab, kalau kau tidak per-
gi, mereka tentu akan merebut mustika itu dari tan-
ganmu. Dan, bukan tidak mungkin ketiga manusia se-
sat itu akan membunuhmu. Pergilah. Biar Ayah yang
akan? mencoba menahan mereka bersama murid-
murid lainnya," ujar Garuda Cakar Lima yang menya-
dari bahaya tersebut.
"Tapi..., Ayah. Tidakkah sebaiknya kita usir sa-
ja mereka...?" bantah Wirya Saka memegangi lengan
ayahnya dengan wajah cemas.
"Tidak, Anakku. Kita tidak mungkin dapat me-
nandingi kesaktian ketiga manusia sesat itu. Karena
itu Ayah menyuruh kau pergi dari sini sebelum ter-
lambat. Cepatlah! Bawa beberapa orang murid yang
dapat kau percaya...," setelah berkata demikian, Garu-
da Cakar Lima segera melompat maju dan menghadapi
ketiga tokoh sesat yang sudah bersiap melancarkan se-
rangan.
Semua murid Perguruan Cakar Baja bergerak
maju dengan senjata di tangan. Sepertinya para murid
itu telah menyadari sepenuhnya akan bahaya, yang
mengancam perguruan dan juga keluarga guru besar
mereka.
***
LIMA
"Bagus...! Begitulah seharusnya...," ucap Iblis
Beruang Hitam dengan suara geraman perlahan, na-
mun mengandung ancaman maut Usai berucap demi-
kian, kedua jari-jari tangannya menekan dengan pen-
gerahan tenaga dalam yang kuat. Terdengar suara tu-
lang berderak patah, disusul terkulainya dua orang
murid Perguruan Cakar Baja. Dan, langsung keduanya
melorot dari cengkeraman tokoh sesat itu.
"Bangsat keji...!" geram Garuda Cakar Lima ke-
tika melihat kedua orang muridnya tewas dalam ceng-
keraman Iblis Beruang Hitam.
"Yeaaat..!"
Dibarengi teriakan murka, tubuh Garuda Cakar
lima langsung melesat disertai putaran cakarnya, yang
menimbulkan angin berkesiutan.
Wuttt..! Wuttt..! Wuttt..!
Sekali menyerang, Garuda Cakar Lima melon-
tarkan serangkaian cengkeraman maut, yang mengin-
car bagian-bagian terlemah di tubuh Iblis Beruang Hi-
tam.
Sambil mengeluarkan dengusan kasar, lelaki
kekar berkepala botak, yang mengenakan mantel bulu
beruang hitam itu, menggeser tubuhnya ke kanan.
Dilemparkannya tubuh dua orang murid lawan,
yang telah menjadi korban keganasan cengkeraman-
nya.
Karena sudah telanjur menerjang, Garuda Ca-
kar Lima bergegas menyambut tubuh dua mayat mu-
ridnya itu. Lalu, ditangkapnya dan diletakkan di atas
tanah. Meskipun kedua orang muridnya itu telah men-
jadi mayat, tapi hati lelaki gagah setengah baya itu te-
tap tidak tega melemparkannya begitu saja.
Selagi Garuda Cakar Lima mengurusi mayat
kedua orang muridnya, saat itu pula Iblis Beruang Sal-
ju langsung melesat sambil melontarkan serangkaian
pukulan maut.
Bettt.! Bettt.! Bettt.!
Karuan saja serangan yang dilakukan secara li-
cik itu, membuat Garuda Cakar Lima menjadi sibuk.
Sebab, saat itu keadaannya memang sama sekali tidak
siap. Sehingga, terpaksa ia mengangkat kedua tangan-
nya bergantian guna melakukan tangkisan.
Plakkk! Plakkk!
"Aaah...!"
Garuda Cakar Lima terkejut bukan kepalang
ketika tangkisan yang dilakukannya justru membuat!
lengannya terasa panas dan linu. Bahkan, kuda-
kudanya tergempur sampai satu tombak jauhnya. Je-
las, hal itu menandakan kekuatan tenaga dalam yang
dimiliki Iblis Beruang Salju berada beberapa tingkat di
atasnya.
"Haiiit..!"
Sambil berseru keras, Garuda Cakar Lima men-
jejakkan kedua kakinya di tanah. Seketika itu pula tu-
buhnya yang tengah terhuyung melenting dan berjum-
palitan beberapa kali di udara. Hal itu dilakukannya
untuk menjaga keamanan dari serangan licik kedua
lawannya.
"Gila....' Sama sekali tidak kusangka kalau ke-
pandaian Iblis Kembar ternyata sangat hebat! Hm....
Jelas sukar sekali untuk menandingi kedua manusia
sesat berkepandaian tinggi ini. Aku harus mencari akal
guna menghadapi mereka," gumam Garuda Cakar Li-
ma sambil meringis menahan rasa nyeri pada perge-
langan tangannya ketika menangkis tadi.
Sebenarnya, wajar kalau Garuda Cakar Lima
merasa terkejut dengan kepandaian lawannya. Sebab,
selama ini ia hanya mendengar nama kedua orang to-
koh sesat itu. Dan, lelaki gagah itu benar-benar tidak
pernah mimpi kalau ia akan berhadapan dengan Iblis
Kembar dalam sebuah pertarungan. Walaupun Garuda
Cakar Lima sama sekali tidak merasa gentar, namun
jelas ada gambaran ketegangan pada wajah tuanya itu.
Belum lagi hilang rasa kagetnya mengenai kehebatan
Iblis Kembar, tiba-tiba terdengar teriakan ngeri yang
susul-menyusul. Cepat Garuda Cakar Lima menoleh
ke arah sebelah kanannya. Dan, ia kembali terkejut
ketika melihat beberapa orang murid yang di didiknya
berpentalan bagaikan daun-daun kering yang tertiup
angin.
"Biadab...!" desisnya ketika menyaksikan amu-
kan Siluman Tongkat Beracun yang telah menelan
korban belasan orang muridnya. Karuan saja hati Ketua Perguruan Cakar Baja itu seperti terbakar, sehing-
ga membuat wajahnya menjadi gelap.
"Ha ha ha.... Biarkanlah murid-muridmu itu
berpesta dengan Siluman Tongkat Beracun. Lebih baik
kita selesaikan dulu persoalan di antara kita," ejek Ib-
lis Beruang Salju yang kembali merangsek maju den-
gan serangkaian serangan-serangan maut.
Sadar kalau memang ia tidak bisa berbuat apa-
apa dalam menghadapi keadaan itu, maka dengan se-
genap kekuatannya, disambutnya gempuran Iblis Be-
ruang Salju. Sepasang tangannya yang membentuk
cakar garuda, menyambar-nyambar dengan kekuatan
hebat. Sehingga, pertarungan kedua orang tokoh itu
semakin sengit dan menegangkan.
Sedangkan Iblis Beruang Hitam sendiri, tentu
saja tidak mau melepaskan putra Garuda Cakar Lima
begitu saja. Sebab, yang menjadi tujuan utamanya, ju-
stru pemuda tampan itu. Maka, ketika melihat Wirya
Saka dan delapan orang murid ayahnya akan mening-
galkan tempat itu, langsung saja tubuh lelaki kekar
berkepala botak itu melesat mengejar.
"Hm.... jangan harap kalian dapat meloloskan
diri dari kejaranku, Tikus Kecil...!" bentak Iblis Be-
ruang Hitam yang langsung saja melontarkan cengke-
raman-cengkeraman maut ke arah Wirya Saka.
Bettt! Bettt! Bettt!
Serangkum angin keras berkesiutan ketika se-
pasang cakar Iblis Beruang Hitam menyambar susul-
menyusul dengan kecepatan kilat.
Delapan orang murid perguruan yang ikut me-
larikan diri bersama pemuda tampan itu, langsung
mencabut senjatanya dan menyambut sambaran cakar
Iblis Beruang Hitam.
'Tuan Muda! Teruskanlah berlari! Biar kami
yang akan menahan beruang tengik ini...!" seru salah
seorang dari delapan lelaki gagah itu, sambil mengi-
baskan senjatanya guna menyambut serangan lawan.
Namun, yang dihadapi murid-murid Perguruan
Cakar Baja bukanlah tokoh sembarangan. Jangankan
hanya delapan orang. Bahkan, ditambah lima kali lipat
lagi pun, belum tentu mereka akan dapat menghalangi
gempuran tokoh sesat itu. Maka, wajar kalau hanya
dalam dua gebrakan, serangan Iblis Beruang Hitam te-
lah membuat tiga orang lawannya bergeletakan tewas.
Melihat kenyataan itu, karuan saja lima orang
lainnya berlompatan mundur dengan wajah pucat
Meskipun demikian, kelima orang murid Garuda Cakar
Lima tetap bertekad mencegah lelaki bermantel kulit
beruang itu agar tidak mengejar majikannya.
"Haaat..!"
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, kelima
orang itu kembali berlompatan menerjang Iblis Be-
ruang Hitam.
"Hm.... Tikus-tikus busuk tak tahu penyakit..!"
geram Iblis Beruang Hitam yang menjadi marah ketika
melihat kenekatan lawan-lawannya. Maka, dengan ra-
sa jengkel, lelaki kekar berkepala botak itu langsung!
melesat dengan cengkeraman-cengkeraman mautnya.
Malang sekali nasib kelima orang murid Garuda
Cakar Lima. Sebab, dalam beberapa gebrakan saja,.
tubuh mereka terlempar ke kanan-kiri tersambar ca-
kar-cakar maut yang sekeras baja itu. Kelima orang itu
langsung menggelepar dengan tubuh bersimbah darah.
Tak lama kemudian, tubuh murid-murid Perguruan!
Cakar Baja itu diam dan tak bergerak lagi. Mereka te-
was di tangan Iblis Beruang Hitam yang terkenal ganas
dan keji itu.
Selesai menghabisi kedelapan orang lawannya,
Iblis Beruang Hitam langsung melesat melakukan pen-
gejaran terhadap Wirya Saka yang menjadi sasaran
utamanya. Namun, bukan main geramnya hati tokoh
sesat itu ketika ia tidak menemukan jejak buruannya.
"Setan! Ke mana perginya pemuda kurang ajar
itu...! Awas! Kalau sampai kutemukan? Akan ku cabik-
cabik seluruh tubuhnya!" geram Iblis Beruang Hitam
sambil mengepalkan tinjunya sehingga terdengar suara
berkerotokan nyaring.
Setelah mencari sampai ke bagian luar bangu-
nan, namun tetap tak ditemukan jejak buruannya, Ib-
lis Beruang Hitam bergegas kembali ke tempat semula
dan menemui saudara kembarnya.
Iblis Beruang Hitam menghentikan langkahnya
ketika dari kejauhan ia melihat saudara kembarnya
berlari mendatangi. Sekali lihat saja, sudah dapat di-
duganya kalau Iblis Beruang Salju telah berhasil me-
nundukkan Garuda Cakar Lima yang menjadi lawan
saudaranya itu.
"Bagaimana, Kakang..? Apakah kau sudah ber-
hasil mendapatkan benda mustika itu...?" tegur Iblis
Beruang Salju seperti tak sabar untuk mendengar pen-
jelasan dari saudara tuanya itu.
"Hhh..., sayang aku tidak berhasil menemukan
bocah keparat itu, Adi? Bagaimana dengan Garuda
Cakar Lima? Apakah tua bangka yang sombong itu
sudah kau bereskan?" ujar Iblis Beruang Hitam balik
bertanya setelah menjawab teguran adiknya.
"Tua bangka keras kepala itu terpaksa kubu-
nuh. Karena meski sudah tidak berdaya setelah ku lu-
kai, tetap saja ia tidak mau memberikan keterangan
mengenai benda itu. Sedangkan Siluman Tongkat Be-
racun telah lebih dulu menghilang, setelah menghabisi
seluruh murid Perguruan Cakar Baja. Mungkin saat ini
ia tengah melakukan pengejaran terhadap Wirya Saka.
Sepertinya ia sudah dapat menduga kalau pemuda itu
pasti melarikan diri dari tempat ini," jelas Iblis Beruang
Salju dengan wajah kecewa ketika mendengar tentang
kegagalan saudara tuanya itu.
"Hm…" Kalau begitu, kita habisi saja seluruh
wanita dan anak-anak yang berada di dalam bangunan
perguruan ini. Setelah itu, baru kita mencari putra Ga-
ruda Cakar Lima," usul Iblis Beruang Hitam yang se-
pertinya menjadi kalap karena tidak berhasil menemu-
kan benda yang dicari-carinya itu. Usai berkata demi-
kian, kakinya melangkah menuju bangunan utama
Perguruan Cakar Baja.
"Percuma, Kakang. Semuanya sudah dibantai
habis oleh Siluman Tongkat Beracun. Rupanya sain-
gan kita itu merasa geram dan jengkel. Sehingga, rasa
kesalnya dilampiaskan kepada seluruh penghuni per-
guruan ini. Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini,"
ajak Iblis Beruang Salju sambil memperdengarkan ta-
wanya yang berkepanjangan. Jelas, lelaki botak ber-
mantel kulit beruang salju itu merasa gembira akan
apa yang telah dilakukan Siluman Tongkat Beracun.
"Hm.... Baguslah kalau begitu. Berarti kita ti-
dak perlu mengotori tangan lagi untuk membantai me-
reka. Ayolah, kita tinggalkan tempat slat ini," ujar Iblis
Beruang Hitam yang segera membalikkan tubuhnya,
dan mengajak saudaranya untuk meninggalkan Pergu-
ruan Cakar Baja.
Dalam sekejap mata, tubuh Iblis Kembar lenyap
di balik pagar kayu bulat yang mengelilingi perguruan.
Dan yang tinggal hanya puluhan mayat murid Pergu-
ruan Cakar Baja berikut ketuanya, Garuda Cakar Lima.
***
Semilir angin pegunungan yang sejuk, mengi-
ringi langkah kaki seorang pemuda tampan berjubah
putih. Rambutnya yang panjang berkibar dipermain-
kan angin. Namun, wajah yang tampan dan bersih itu,
selalu terhias senyuman lembut dan tenang. Sehingga,
membuat orang suka bila melihatnya. Sebab, penampi-
lan pemuda berjubah putih itu menimbulkan kesan
ramah dan murah senyum.
Tidak berapa lama kemudian, pemuda itu tiba
di sebuah desa yang cukup ramai. Kedatangannya te-
pat saat diselenggarakan pekan yang biasa diadakan
dua hari setiap minggu. Maka, tidak heran kalau hari
itu suasana di Desa Ampenan tampak jauh lebih ramai
dari biasanya.
Namun, keramaian dan kebisingan itu sama
sekali tidak mengganggu langkah pemuda berjubah
putih. Kedua kakinya terus terayun menyusuri kera-
maian itu, dan sampai di sebuah kedai makan yang
saat itu sangat ramai dikunjungi orang.
"Ada yang bisa kubantu, Kisanak...?" tanya seo-
rang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun dengan
nada ramah. Menilik dari pakaian yang dikenakannya,
jelas lelaki itu merupakan pelayan kedai yang bertugas
menyambut pengunjung.
"Wah, ramai sekali kedaimu hari ini, Paman,"
ucap pemuda tampan itu tersenyum, sambil menge-
darkan pandangannya ke seluruh ruangan kedai. Ke-
mudian dipesannya makanan dari pelayan yang datang
menghampirinya.
"Begitulah, Kisanak. Selain kedai ini merupa-
kan yang terbaik di Desa Ampenan, kebetulan juga ha-
ri ini bertepatan dengan diadakannya pekan. Tentu saja suasana lebih ramai dan bising dari hari-hari biasa.
Mmm..., Kisanak dari mana...? Sepertinya baru saja
menempuh perjalanan yang cukup jauh...?" tanya pe-
layan kedai yang bertugas menyambut para tamu itu,
setelah melihat pakaian pemuda itu tampak lusuh dan
agak berdebu.
"Benar, Paman. Aku adalah seorang perantau
yang kebetulan merasa tertarik melihat ramainya Desa
Ampenan. Mmm..., jadi ini adalah Desa Ampenan...?"
tegas pemuda tampan itu seraya melebarkan senyum-
nya dan mengedarkan pandangan melalui jendela di
samping kanannya.
"Yah, desa ini bernama Ampenan. Tapi, jangan
Kisanak tanyakan mengapa desa ini bernama demi-
kian. Sebab, aku sendiri tidak mengetahui asal-
usulnya...," ujar pelayan berwajah ramah itu berselo-
roh. Sehingga, keduanya sama-sama tertawa.
Pembicaraan keduanya terhenti ketika pelayan
yang bertugas melayani pesanan para tamu datang
membawa pesanan pemuda berjubah putih itu.
'Terima kasih...," ucap pemuda tampan berju-
bah putih itu, setelah hidangannya tertata rapi di atas
meja.
"Silakan dicicipi, Kisanak. Semoga makanan di
desa ini sesuai dengan selera mu...," ujar pelayan ber-
wajah ramah itu. Kemudian bergegas meninggalkan
pemuda itu. Lalu, dinikmatinya hidangan itu tanpa
terburu-buru.
"Ah, Kakang Juladi... Silakan.... Silakan, Ka-
kang...," terdengar pelayan berwajah ramah yang ber-
diri di dekat pintu kedai itu berseru gembira dan pe-
nuh hormat
Seorang lelaki gagah berkumis lebat, nampak
melangkah memasuki kedai. Wajah muram itu tersenyum sekilas kepada pelayan yang menyambut keda-
tangannya. Sehingga membuat pelayan, yang seper-
tinya telah mengenai baik lelaki gagah itu, menge-
rutkan kening. Jelas, ia merasa heran dengan kemu-
rungan wajah lelaki yang dipanggil dengan nama Jula-
di itu.
"Ada apa, Kakang..? Sepertinya hatimu sedang
susah hari ini?" kembali pelayan tua itu bertanya sam-
bil menjajari langkah Juladi yang tengah menuju ke
arah meja.
"Hhh..., bencana besar, Adi. Benar-benar men-
gerikan, dan membuat hati penasaran," sahut Juladi
yang segera menarik kursi dan menghempaskan tu-
buhnya sambil menghembuskan napas panjang.
"Bencana besar...? Mengerikan...? Apa maksud
Kakang? Aku.... Aku tidak mengerti...?" gumam pe-
layan itu mengerutkan keningnya semakin dalam. Ke-
mudian dengan penuh tanda tanya, ia pun segera du-
duk di sebelah Juladi. Jelas sekali, rasa penasaran ha-
tinya ketika mendengar kata-kata lelaki gagah itu.
"Hhh..., selepas subuh tadi, aku berpamitan
kepada kepala desa untuk menjenguk saudaraku yang
tengah menderita sakit Karena saudaraku tinggal di
desa sebelah, maka dengan sendirinya aku melalui
Perguruan Cakar Baja yang letaknya memang berada
di luar desa ini. Tahu kau, apa yang menyebabkan aku
kembali dan menunda perjalananku itu...?" tanya Ju-
ladi menghentikan ceritanya dan menatap pelayan itu
lekat-lekat.
Pelayan berwajah ramah itu menggelengkan
kepalanya dengan wajah bodoh. Sehingga, Juladi kem-
bali melanjutkan ceritanya.
'Pada saat aku melintasi pintu gerbang pergu-
ruan itu, tiba-tiba hatiku merasa tidak enak. Sebab,
tidak biasanya Perguruan Cakar Baja sepi dan tidak
terlihat seorang pun penjaga. Perasaan tidak enak itu
semakin kuat mencengkeram hatiku. Karena semilir
angin yang berhembus, menebarkan bau busuk seperti
bangkai!" jelas Juladi menekankan kata katanya den-
gan suara rendah, tapi cukup jelas bagi beberapa
orang yang berada tidak jauh dari tempatnya. Terma-
suk pemuda berjubah putih yang terlihat mulai men-
gangkat kepalanya perlahan Jelas, ia tertarik dengan
cerita lelaki bernama Juladi itu.
"Lalu..., apa yang Kakang lakukan...?" desak
pelayan itu sambil merapatkan kursinya dengan pera-
saan tegang.
"Merasa penasaran, aku segera melompat turun
dari punggung kuda, dan melangkah mendekati pintu
gerbang. Karena beberapa kali kupanggil tiada sahu-
tan, maka aku, memberanikan diri mengintai dari ce-
lah-celah pintu gerbang. Kaget bukan main hatiku ke-
tika menyaksikan pemandangan di halaman depan
Perguruan Cakar Baja. Sebab, di sana kulihat puluhan
murid perguruan itu tampak bergeletakan dengan bau
anyir darah yang memualkan. Setelah memastikan pu-
luhan sosok tubuh itu sudah menjadi mayat, langsung
saja aku kembali dan melaporkan kepada kepala de-
sa...," ujar Juladi kembali menghentikan ceritanya.
Perlahan diteguknya air yang telah dihidangkan seo-
rang pelayan di atas mejanya.
"Bagaimana, pendapat Ki Cagak? Apa tindakan
beliau setelah mendengar laporan Kakang..?" tanya pe-
layan itu tak sabar.
"Yah, beliau langsung saja menyuruhku untuk
menemaninya melihat perguruan itu. Dugaanku ter-
nyata benar, Adi. Puluhan mayat murid-murid Pergu-
ruan Cakar Baja bergeletakan dalam keadaan mulai
membusuk!"
"Tapi..., mengapa Kakang sekarang berada di
sini? Apakah Ki Cagak juga sudah kembali bersama
Kakang...?"
"Tidak. Ki Cagak tetap berada di sana. Sedang-
kan aku diperintahkannya untuk kembali ke desa, gu-
na mengambil peralatan untuk penguburan dan mem-
bawa beberapa orang kawan. Wah, aku harus bergegas
Adi. Kawan-kawanku tentu sudah menunggu. Aku
hanya singgah sebentar untuk menanyakan kabar ten-
tang anak majikanmu. Apakah dia sudah kembali dari
rumah pamannya yang berada di seberang sungai itu?"
tanya Juladi agak malu-malu. Sambil berkata demi-
kian, lelaki gagah berusia tiga puluh tahun itu melirik
ke kiri-kanan Sehingga, beberapa orang yang tengah
melihat ke arahnya, langsung saja memalingkan muka
dengan wajah kaget.
Juladi yang merupakan tangan kiri Kepala De-
sa Cagak itu tersenyum tipis. Untunglah suaranya
agak direndahkan ketika ia bertanya tentang anak ga-
dis pemilik kedai itu, yang memang sudah lama di in-
carnya. Dan, tidak ada seorang pun yang mengetahui
perasaan hatinya, kecuali pelayan berwajah ramah itu.
Sebab, pelayan itu yang selama ini selalu memberikan
keterangan semua yang menyangkut anak gadis maji-
kannya.
Setelah meneguk tandas minumannya, Juladi
pamit Dan melangkah meninggalkan kedai itu. Sedang
pelayan yang menjajari langkahnya mengantar sampai
ke ambang pintu.
"Kalau tidak salah, besok Nyai Lasih akan kem-
bali. Nanti kusampaikan kalau Kakang Juladi sudah
rindu dan ingin berjumpa. Bagaimana menurutmu,
Kakang...?" tegas pelayan itu tersenyum simpul sambil
mengerjap-ngerjapkan matanya menggoda.
"Sesuka kaulah...," sahut Juladi sambil berge-
gas melompat ke atas punggung kudanya. Seraya me-
lambaikan tangannya sebelum meninggalkan kedai.
"Hei, mau ke mana, Kisanak? Mengapa terburu-
buru? Apakah hidangan di kedai ini tidak berkenan
dengan selera mu...?" tegur pelayan itu ketika memba-
likkan tubuhnya, dan melihat pemuda berbaju putih
yang hendak melangkah ke luar.
"Ah, hidangan di kedai ini memang benar-benar
memuaskan, Paman. Lihat saja, semua hidangan itu
sudah ludes dan berpindah ke dalam perutku," sahut
pemuda itu sambil menepuk perutnya perlahan
"Sayang aku harus melanjutkan perjalanan. Sehingga
tidak bisa berlama-lama di sini."
Dan sambil tetap tersenyum, pemuda itu ke-
mudian melangkah meninggalkan kedai.
"Hm.... Seorang pemuda yang ramah dan mena-
rik. Aku suka kepadanya. Kalau saja ia dapat tinggal di
desa ini, aku yakin ia akan menjadi rebutan para ga-
dis...," gumam pelayan itu mengikuti langkah pemuda
berjubah putih dengan tatapan matanya. Ia baru ber-
balik setelah bayangan pemuda berjubah putih itu le-
nyap di tengah keramaian orang-orang yang berbelanja
di pekan.
***
ENAM
Pemuda berbaju putih yang tidak lain Panji, ba-
ru saja mengerahkan ilmu lari cepatnya setelah mela-
lui tempat sunyi. Sengaja kepandaiannya dikerahkan
untuk mendahului lelaki gagah bernama Juladi yang]
dilihatnya di kedai. Panji yang merasa tertarik dengan
cerita lelaki berkumis lebat itu, segera menyelesaikan
hidangannya ketika melihat lelaki itu pergi.
Setelah cukup lama berlari melintasi hutan ke-
cil dan semak belukar, pemuda tampan itu tiba di se-
buah jalan yang cukup lebar.
"Hm..., Juladi dan kawan-kawannya pasti me-
lewati tempat ini. Sepertinya aku telah sampai lebih
dulu dari mereka...," gumam Panji yang segera me-
langkah pelan menyusuri jalan berbatu.
Tidak berapa lama berjalan, pendengarannya
yang tajam menangkap suara derap kaki kuda di bela-
kangnya. Suara derap yang semakin dekat itu sama
sekali tidak dipedulikannya. Kakinya tetap saja me-
langkah pelan tanpa menoleh ke belakang.
Apa yang diperkirakan Panji ternyata tidak me-
leset Sebab, rombongan orang berkuda yang beberapa
tombak di belakangnya memang dipimpin oleh Juladi.
Ketika rombongan itu melintas di sampingnya,
bergegas Panji menyingkir ke tepi jalan. Kepalanya
menoleh sekilas ke arah rombongan itu.
"Eh? Bukankah pemuda berjubah putih itu
yang tadi kulihat di kedai? Bagaimana ia tahu-tahu te-
lah berada di tempat ini...?" gumam Juladi sempat
mengerutkan keningnya ketika melewati Panji. Tampak
gambaran rasa heran di wajah lelaki gagah itu. "Hm....
Mungkin hanya pakaiannya saja yang serupa. Sebab,
mustahil kalau ia bisa mendahuluiku."
Tanpa mempedulikan Panji lagi, Juladi kembali
melarikan kudanya mendahului pemuda berjubah pu-
tih itu. Dibuangnya semua dugaan yang sangat mus-
tahil menurut pemikirannya.
Sedang Panji yang tidak menduga kalau lelaki
itu sempat memperhatikannya ketika di kedai, menjadi
kagum akan ketelitian lelaki gagah itu.
Setelah rombongan yang terdiri dari lima belas
orang penunggang kuda itu sudah lenyap, kembali
Panji melanjutkan perjalanannya dengan mengguna-
kan ilmu lari cepat. Ia terus membayangi rombongan
Juladi. Dan, baru menghentikan larinya ketika mereka
tiba di depan sebuah bangunan perguruan.
Ketika seorang di antara dua lelaki yang menja-
ga di depan gerbang mempersilakan, Juladi beserta
rombongannya bergegas memasuki bangunan.
Panji keluar dari persembunyian setelah rom-
bongan Juladi dan kedua orang penjaga pintu gerbang
itu lenyap di balik pagar kayu bulat, yang mengelilingi
bangunan itu. Bagaikan seekor burung besar, tubuh
pemuda berjubah putih itu melayang naik di samping
kanan bangunan itu. Dan, mendarat ringan pada seba-
tang cabang pohon yang tumbuh di tempat itu.
"Seluruh penghuni perguruan ini tewas, Juladi,
Kecuali mayat Wirya Saka yang belum dapat kita te-
mukan. Baik bagian dalam maupun luar perguruan ini
sudah diperiksa dalam jarak puluhan tombak. Namun,
tidak seorang pun yang menemukan mayat putra Ke-
tua Perguruan Cakar Baja. Benar-benar mengheran-
kan...," ujar seorang lelaki gagah berusia sekitar lima
puluh tahun Melihat dari sikap dan cara Juladi meng-
hadapinya, jelas orang tua itu Ki Cagak, Kepala Desa
Ampenan.
"Nampaknya, kita memang sukar menemukan
penyebab kejadian ini, Ki. Entah bagaimana nasib pu-
tra Garuda Cakar Lima itu. Mungkinkah orang yang
melakukan pembantaian ini telah menculiknya?" gu-
mam Juladi mengerutkan keningnya sambil menatap
Ki Cagak.
"Rasanya tidak mungkin, Juladi. Kejadian ini
pasti ada penyebabnya. Melihat dari luka-luka pada
tubuh-tubuh mayat ini, jelas kalau yang melakukan-
nya bukan satu orang Entah ini disebabkan karena
dendam atau apa. Yang jelas, aku belum bisa menja-
wabnya. Lebih baik kita kubur dulu mayat-mayat ini.
Dan, kita tidak berhak mencampurinya. Menurutku,
semua ini ada kaitannya dengan orang-orang rimba
persilatan," ucap Ki Cagak yang segera memerintahkan
orang-orangnya untuk mengubur seluruh mayat-
mayat itu, agar tidak menimbulkan keresahan di ka-
langan penduduk desanya.
"Jadi, kita harus berdiam diri, Ki...?" tanya Ju-
ladi menatap tajam wajah orang tua itu menuntut pen-
jelasan.
'Yahhh..., karena kita sama sekali tidak tahu
penyebabnya. Bisa saja pelakunya yang bersalah, dan
bisa juga perguruan ini yang bersalah. Nah, menurut-
mu, apa tindakan yang harus lata ambil?" Ki Cagak
balik bertanya dengan senyum tipis menghias wajah-
nya. Jelas, orang tua itu tidak ingin adanya tuduhan
tersembunyi yang diajukan pembantunya itu.
Mendengar ucapan kepala desanya, Juladi bungkam.
Sebab, ia sendiri tidak mengetahui, siapa yang bersa-
lah dalam kejadian itu. Sehingga, ia tidak bisa menen-
tukan sikap, ke mana harus berpihak.
"Sudahlah, Juladi. Kita hanya orang-orang de-
sa, dan bukan kaum rimba persilatan. Kejadian ini je-
las berhubungan dengan kaum persilatan. Karena itu
kita tidak bisa berbuat apa-apa. Kecuali para pemban-
tai itu mengganggu ketentraman desa kita. Itu baru
menjadi tanggung jawab kita," jelas Ki Cagak yang ke-
mudian melangkah meninggalkan pembantunya, yang
masih termenung memikirkan semua ucapan kepala
desanya.
Sementara Pendekar Naga Putih yang ikut
mendengarkan-pembicaraan kedua orang itu, terme-
nung sesaat Semula ia hendak keluar dari persembu-
nyianya dan menemui kedua orang itu. Namun, ketika
ia mendengar bahwa mereka tidak mengetahui secara
jelas duduk masalahnya, Panji segera memutuskan
untuk meninggalkan tempat itu, dan mencoba mencari
putra Garuda Cakar Lima yang bernama Wirya Saka.
Tanpa sepengetahuan orang-orang yang berada
di dalam bangunan itu, tubuh Panji segera melesat
meninggalkan tempat itu. Ia memutuskan untuk men-
gambil jalan ke Selatan. Sebab, menurutnya kalau
memang Wirya Saka melarikan diri, tidak mungkin ia
melalui tempat sunyi yang dipenuhi semak belukar.
Sebaliknya, pemuda itu pasti memilih jalan ramai,
yang sama sekali di luar dugaan para pengejarnya.
***
Pemuda berjubah putih itu melangkah tenang
menyusuri jalan berbatu kecil yang cukup lebar. Semi-
lir angin yang membelainya, membuat pikiran Panji te-
ringat akan Kenanga, kekasihnya.
Ingatan tentang dara jelita yang ditinggalkan-
nya. di sebuah desa terpencil bernama Desa Pugar,
membuatnya tiba-tiba merasa rindu dalam suasana
yang sunyi itu.
"Hm.... Dalam kehidupan ini, memang terka-
dang lebih sering kita mengorbankan perasaan untuk
kepentingan orang lain. Seperti yang kembali ku alami.
Bencana penyakit menular yang mewabah di Desa Pu-
gar, terpaksa memisahkan aku dari Kenanga. Sebagai
seorang pendekar, tentu saja aku tidak bisa tinggal
lama di desa itu. Sebab, bukan tidak mungkin kalau di
tempat lain tengah terjadi bencana yang sifatnya ber-
lainan," gumam pemuda tampan berjubah putih itu
dalam hari. Sesekali kepalanya yang tertunduk itu te-
rangkat menatap gumpalan mega biru.
Panji menghela napas panjang dan menekan
kerinduan yang mendera jiwanya. Sebagai pemuda
gemblengan tokoh sakti, ia memiliki kekuatan batin
yang melebihi ukuran manusia biasa. Namun, kerin-
duan itu sulit dilenyapkan seketika. Sebab, pendekar
gemblengan seperti Panji tetap manusia biasa, yang
memiliki perasaan sebagaimana manusia umumnya.
Sehingga, wajar kalau pemuda perkasa itu memiliki
perasaan yang sama dengan pemuda-pemuda lain
yang sebayanya.
Dan kini, apa yang ditemuinya di dalam perja-
lanan, telah membuatnya bertekad untuk mengung-
kapkan rahasia itu. Peristiwa pembantaian di Pergu-
ruan Cakar Baja dan lenyapnya putra ketua perguruan
itu, telah menimbulkan jiwa kependekarannya. Perja-
lanannya kali ini karena ia ingin mencari putra Garuda
Cakar Lima yang bernama Wirya Saka.
Teringat akan kewajibannya sebagai seorang
pendekar, semakin membuat rindunya terhadap Ke-
nanga tersingkir. Karena dirinya telah digariskan un-
tuk melakukan kewajiban seperti itu. Dan, Panji tidak
bisa menghindarinya. Semenjak kecil ia telah dididik
untuk menjadi seorang pendekar yang membela kebe-
naran. Dan, semua itu telah berakar di dalam batin-
nya. Apalagi ia sangat menyukai kewajibannya itu.
Maka, dengan sendirinya Panji tidak merasakan beban
dalam menjalankan tugas hidupnya sebagai seorang
pendekar.
Dengan tanpa mengenai lelah dan putus asa,
Panji selalu bertanya pada setiap desa atau pedusunan
kecil yang disinggahinya. Dan, semua keterangan yang
diperolehnya, telah membawa langkah Pendekar Naga
Putih semakin jauh memasuki pedalaman wilayah Se-
latan. Sebab, dari beberapa desa yang pernah dising-
gahinya, ia mendapat keterangan tentang seorang pe-
muda asing berwajah lusuh dan selalu menggambar-
kan kecemasan menuju ke pedalaman Selatan. Se-
hingga, Panji berusaha menyelusuri jejak yang diduga
pasti jejak Wirya Saka. Apalagi keterangan dari bebe-
rapa penduduk desa menggambarkan usia pemuda as-
ing itu sekitar satu atau dua tahun lebih muda da-
rinya. Semakin bertambah kuat dugaan Pendekar Naga
Putih, pemuda itu pasti Wirya Saka.
"Hm.... Sebentar lagi kegelapan sudah mulai
berkuasa. Aku harus menemukan tempat untuk ber-
malam. Mudah-mudahan saja ada sebuah desa di seki-
tar tempat ini. Kalau tidak, terpaksa aku harus berma-
lam di dalam hutan lagi," gumam Panji, menengadah-
kan kepalanya, dan menatap sinar jingga yang nampak
di kaki langit sebelah Barat. Bergegas pemuda itu
mengerahkan ilmu lari cepatnya untuk berpacu den-
gan sang waktu. Sekejap saja, tubuhnya telah melesat
bagai bayangan hantu yang lenyap di balik pepohonan
dan bebatuan besar.
***
Saat itu, matahari memancar terik. Sinarnya
dengan garang menebar ke permukaan bumi. Panas-
nya sengatan sinar matahari siang itu, membuat hem-
busan angin terasa hangat.
Namun, sosok tubuh yang berpakaian lusuh
tampak tidak mempedulikan panasnya sinar matahari.
Meski langkahnya nampak lelah, sosok lusuh yang
ternyata seorang pemuda tampan itu, tetap melan-
jutkan perjalanannya. Peluh yang membasahi wajah
dan pakaiannya, sama sekali tidak dipedulikan Wajah
tampan itu tampak agak kecoklatan karena sering di
sengat cahaya matahari.
Ketika tiba di mulut sebuah hutan, pemuda
yang usianya paling sekitar delapan belas atau sembi-
lan belas tahun itu, menghempaskan tubuhnya di ba-
wah pohon berdaun lebat Sehingga, ia terlindung dari
sengatan sinar matahari.
"Huhhh...," terdengar helaan napas yang keluar
dari mulutnya. Peluh yang berlelehan di wajahnya, di-
hapusnya dengan lengan baju yang juga kumal itu.
''Gila...! Panas sekali udara siang ini...," desah
pemuda itu merebahkan tubuhnya di atas rerumputan
hijau yang tebal. "Ah, aku harus mencari aliran sungai
di sekitar tempat ini. Rasanya akan segar kalau tubuh
penat ini dapat berendam di air jernih yang sejuk...."
Mendapat pikiran demikian, pemuda berwajah
lusuh itu bergegas bangkit, dan melangkah memasuki
hutan semakin ke dalam. Tidak berapa lama kemu-
dian, tibalah ia di sebuah tepian sungai yang berair
jernih. Namun, ketika ia hendak melepaskan pakaian-
nya, tiba-tiba telinganya menangkap gerakan langkah
kaki beberapa orang dari sebelah belakangnya.
Wajah pemuda itu tampak tegang ketika ia me-
lihat belasan orang bertampang kasar dan beringas,
bergerak menghampirinya. Tubuh orang-orang itu
tinggi besar dengan wajah terhias cambang bauk yang
kotor. Jelas, mereka adalah orang-orang liar yang ting-
gal di wilayah hutan itu.
"Maaf, bolehkah aku tahu, siapakah kalian?
Dan adakah yang bisa kubantu...?" sapa pemuda ber
wajah lusuh itu mencoba bersikap ramah dan bersa-
habat.
Namun, belasan orang lelaki kasar berwajah
menyeramkan itu, sama sekali tidak menanggapi. Me-
reka terus saja melangkah maju dengan sinar mata
mengancam. Melihat dari sikapnya, Jelas rombongan
lelaki kasar itu mempunyai niat yang tidak baik terha-
dap pemuda itu.
Rombongan lelaki kasar itu baru menghentikan
langkahnya, dalam Jarak satu tombak di hadapan pe-
muda yang bernama Wirya Saka. Kemudian salah seo-
rang yang sepertinya merupakan pimpinan orang-
orang kasar itu, melangkah maju mendekati Wirya Sa-
ka.
"Hm..., kau telah lewat di daerah kekuasaan
kami tanpa izin! Sekarang, cepat serahkan barang-
barangmu!" ujar lelaki bertubuh raksasa itu dengan lo-
gat yang aneh dan terdengar kaku.
Mendengar ucapan yang bernada mengancam
itu, menyadarkan Wirya Saka kalau saat itu ia tengah
berhadapan dengan gerombolan manusia liar, yang
sering merampas dan mencelakai orang. Sehingga,
tanpa sadar pemuda itu meraba gagang pedang yang
tersembunyi di balik pakaiannya. Karena ia sudah
menduga kalau perkelahian tidak mungkin dapat di-
hindarkan. Ia pun tahu orang-orang seperti itu sama
sekali tidak memiliki rasa kasihan, dan tanpa peduli
siapa pun korbannya.
"Maaf, Kisanak. Aku adalah seorang pengelana
miskin yang tidak mempunyai apa-apa. Bahkan, pa-
kaian yang ku kenakan hampir tidak ada bedanya
dengan kalian. Jadi, maaf kalau aku tidak bisa mem-
berikan sesuatu untuk kalian semua...," sahut Wirya
Saka dengan wajah tegang.
Kecemasan yang tergambar di wajah pemuda
itu tentu saja merupakan suatu yang wajar. Sebab, se-
lain jumlah. kawanan manusia liar itu cukup banyak,
mereka tampak bertenaga kuat. Mungkin hal itu dis-
ebabkan lingkungan kehidupan mereka yang keras
dan penuh tantangan. Sehingga, mereka sama sekali
tidak mengenai arti kesopanan.
"Hm..., jangan kau pikir dapat mengelabui aku,
Manusia Muda! Kulihat di pinggang kirimu ada bung-
kusan kain kuning. Nan, coba kau berikan benda itu
kepadaku!" sambil berkata demikian, lelaki bertubuh
raksasa itu langsung mengulurkan tangannya hendak
mengambil bungkusan kain kuning di pinggang Wirya
Saka.
Wuttt!
Uluran jari-jari tangan yang tampak kokoh itu,
menangkap angin kosong. Karena Wirya Saka telah
menggeser tubuhnya dengan melangkah dua tindak ke
belakang. Dengan sendirinya sambaran tangan lawan-
nya luput.
"Ghrrr...! Rupanya kau hendak melawan, Anak
Muda! Kalau begitu, kau akan ku rencah!" geram lelaki
bertubuh seperti raksasa itu segera melompat dan me-
nerkam tubuh pemuda itu.
"Tahan...!" seru Wirya Saka dengan mengerah-
kan tenaga dalam. Sehingga, seruannya sempat mem-
buat lelaki kasar itu menghentikan gerakannya.
Terlihat lelaki bertubuh seperti raksasa itu ter-
tegun dengan bola mata miliar. Jelas, suara teriakan
pemuda itu sempat membuatnya heran. Sebab, suara
teriakan pemuda itu terasa menggetarkan bagian da-
lam dadanya. Terdengar suara menggereng bagaikan
harimau luka, yang keluar dari kerongkongan lelaki
itu.
"Kisanak. Harap jangan mencari perkara. Bu-
kankah di antara kita tidak ada permusuhan? Lagi pu-
la, apa untungnya kalian merebut benda tak berharga
ini dari tanganku?" ujar Wirya Saka sambil tangan ki-
rinya mengangkat bungkusan kain kuning itu. Se-
dangkan tangan kanannya tetap memegang hulu pe-
dang Jelas, pemuda itu telah siap bila orang-orang ka-
sar itu memaksakan kehendaknya.
"Kalau memang benda itu tidak berharga, coba
tunjukkan kepadaku...!" desak lelaki seperti raksasa
itu dengan suara menggeram. Sambil berkata demi-
kian, kakinya melangkah maju mendekati Wirya Saka.
Tentu saja Wirya Saka tidak sudi memenuhi
permintaan lelaki itu. Sebab, bila ia menunjukkan
benda mustika itu, pasti mereka akan merebutnya.
Sehingga, pemuda itu terpaksa bungkam dan kembali
menyimpan bungkusan kain kuning itu di pinggang-
nya.
"Kurang ajar...!" geram lelaki bertubuh raksasa
itu dengan wajah gelap. Tangan kanannya bergerak
melambai. Gerakan itu jelas merupakan perintah ke-
pada kawan-kawannya untuk menyerbu Wirya Saka.
"Yeaaa...!"
Tanpa diperintah dua kali, belasan orang lelaki
bertubuh raksasa bergerak menyerbu Wirya Saka
sembari berteriak-teriak serak.
Sadar kalau perkelahian tidak mungkin dapat
dihindarkan lagi, Wirya Saka bergegas mencabut ke-
luar senjatanya.
Whuuut..!
Sinar putih berkeredep menyilaukan dengan di
sertai suara mengaung tajam. Senjata itu langsung
bergerak menyilang beberapa kali dengan menimbul-
kan suara mendengung.
Namun, belasan lelaki kasar bertubuh raksasa
itu sepertinya sama sekali tidak mengenai rasa takut
Mereka terus bergerak maju, tanpa mempedulikan
sambaran pedang pemuda itu.
Bettt! Bettt!
Wirya Saka menggeser langkahnya seraya me-
narik mundur tubuhnya ke belakang. Sehingga, dua
orang yang melancarkan cengkeraman ke tubuhnya
hanya mengenai daerah kosong. Gerakan yang dilaku-
kan pemuda itu, ternyata tidak berhenti begitu saja,
melainkan pedang di tangannya berkelebat menyilang
beberapa kali ke arah dua orang lawan, yang lebih da-
hulu tiba di dekatnya itu.
Wukkk!
Takkk! Takkk!
"Aaah...!"
Kaget bukan main hari Wirya Saka, ketika ke-
dua orang itu menangkis pedangnya dengan tangan te-
lanjang. Dan hebatnya, justru senjata pemuda itu yang
berbalik. Seolah yang dihantamnya bukan lengan ma-
nusia, melainkan segumpal baru cadas yang keras.
"Gila...!" desis Wirya Saka yang segera melom-
pat mundur dan berjumpalitan beberapa kali menjauhi
lawannya.
Dengan wajah keheranan, Wirya Saka menatap
mata pedangnya. Pemuda itu baru dapat menarik na-
pas lega ketika mendapati mata pedangnya tidak ru-
sak. Sebab, hatinya merasa khawatir ketika merasakan
pedangnya seperti membentur benda keras yang kuat.
Kalau saja ia tidak membuktikannya sendiri,
rasanya pemuda itu tidak akan mempercayai kalau
ada orang yang mampu menahan tebasan pedangnya
dengan tangan telanjang. Bahkan, saat itu sepertinya
ia masih belum mempercayai ape yang. baru saja di
alaminya itu. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya,
pemuda itu hanya dapat berdiri dengan mata membe-
lalak.
***
TUJUH
"Yeaaa...!"
Wirya Saka sadar dari keterpakuannya ketika
dikejutkan suara-suara teriakan orang-orang kasar itu.
Cepat pemuda itu melompat mundur, menghindari
sambaran dua bilah pedang yang mengancam tubuh-
nya.
Whuuut! Whuuut!
Dua batang senjata yang berdesing nyaring itu,
berhasil dielakkannya. Namun, hati pemuda itu terke-
jut ketika melihat pedang-pedang yang luput dari sasa-
ran itu, bergerak memutar secara aneh dan kembali
mengejarnya.
"Haiiit..!"
Menyadari kalau terus-menerus menghindar,
senjata-senjata itu tidak akan berhenti mengejarnya.
Dengan nekat, pemuda itu mengerahkan segenap ke-
kuatan tenaga saktinya, dan langsung memapaki sam-
baran dua batang senjata lawannya. Dan....
Trang! Trang!
"Uuuh...!"
Putra Garuda Cakar Lima itu kembali memekik
untuk kedua kalinya. Sebab, pedang yang dipakai
memapaki serangan lawan itu, membalik cepat dan
mengancam wajahnya. Segera pemuda itu melempar-
kan tubuhnya dan berjumpalitan beberapa kali di udara.
"Gila...! Tenaga mereka ternyata sangat kuat
sekali...!" keluh Wirya Saka sambil mengurut tangan
kanannya yang terasa bagaikan patah tulang-
tulangnya. Kenyataan itu semakin membuat hatinya
bertambah cemas.
Sadar kalau ia tidak bakal dapat menandingi
orang-orang kasar itu, maka Wirya Saka mencoba
memutar otaknya, mencari jalan untuk lolos.
"Kepung rapat! Jangan biarkan pemuda itu lo-
los!"
Terdengar suara parau yang keluar dari mulut
pemimpin belasan orang lelaki bertubuh raksasa itu.
Hal itu mencerminkan pikirannya cukup cerdik. Se-
hingga dapat membaca gelagat pada wajah dan sikap
Wirya Saka.
"Setan...!" desis Wirya Saka yang menjadi geram
melihat lawan-lawannya semakin rapat mengurung.
Karuan saja hati pemuda itu semakin bertambah ce-
mas.
Dengan mencoba tetap bersikap tenang, Wirya
Saka menghadapi belasan orang lelaki kasar itu den-
gan pedangnya. Diputarnya pedang itu hingga mem-
bentuk gulungan sinar, yang membungkus sekujur tu-
buhnya.
"Heaaat..!"
Sambil mengeluarkan pekikan keras, tubuh
pemuda itu melesat menyambut serangan para penge-
royoknya. Menyadari gerakan lawan terlihat rata-rata
lambat, Wirya Saka bertempur dengan mengandalkan
kecepatan geraknya.
Meskipun agak terdesak, Wirya Saka terus ber-
kelebatan di antara sambaran senjata-senjata lawan-
nya! Sesekali pedang di tangannya berkeredep memba
bat tubuh lawan.
Takkk! Takkk!
"Uuuh...!"
Untuk kesekian kalinya, tubuh pemuda itu
kembali terjajar limbung. Karena tebasan pedangnya
yang menghantam tubuh lawan telah terbalik, sehing-
ga membuat lengannya ngilu dan kesemutan Tentu sa-
ja kenyataan itu makin membuyarkan harapannya un-
tuk melepaskan diri dari cengkeraman orang-orang liar
itu.
Wuttt! Crabbb! Crabbb!
Tiga batang pedang yang besar dan bermata
kasar itu, menghantam tanah tempat tubuh pemuda
itu terjatuh. Untunglah ia masih sempat bergulingan
Sehingga, tubuhnya tidak sampai menjadi sasaran
senjata lawannya.
Setelah beberapa kali bergulingan guna meng-
hindari sambaran senjata pengeroyoknya, tubuh Wirya
Saka melenting bangkit seraya memutar senjatanya
melindungi tubuh.
"Heeeaaa...!"
Wuttt..!
Wirya Saka menggeser tubuhnya ke samping,
ketika sebatang senjata lawan menusuk dadanya den-
gan kekuatan hebat Pemuda itu tidak lagi berani un-
tuk menangkis. Sebab, ia sadar kalau hal itu hanya
akan membuatnya rugi.
Meskipun disadarinya bahwa tubuh lawannya
rata-rata memiliki kekebalan, putra Ketua Perguruan
Cakar Baja tetap melancarkan serangan balasan ke
arah musuhnya. Pedang di tangannya berkelebat cepat
menusuk belakang telinga lawannya yang tengah terje-
rembab akibat tusukannya yang luput itu.
Crakkk!
"Aaargh...!"
Girang bukan main hati Wirya Saka ketika me-
lihat lawannya meraung keras, terbabat ujung pe-
dangnya yang ternyata mampu melukai lawan.
Lelaki bertubuh raksasa yang menjadi korban
ujung pedang Wirya Saka, terjajar mundur sambil
memegangi telinga kirinya. Dari sela-sela jari tangan
orang itu, nampak mengalir darah segar.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda
itu langsung melesat dan kembali menusukkan senja-
tanya ke bagian belakang telinga lawannya. Sebab ma-
tanya telah terbuka kalau bagian di tubuh orang itu,
ternyata sama sekali tidak kebal seperti di bagian lain
tubuh raksasa itu.
"Yeaaat..!"
Dengan diiringi pekikan nyaring yang penuh
semangat, Wirya Saka kembali menusukkan ujung pe-
dangnya ke bagian belakang telinga kanan lawannya
yang terluka itu.
Crattt!
"Akh...!"
Kembali lelaki bertubuh raksasa itu menjerit
dari terhuyung limbung. Sedangkan tempat yang men-
jadi sasaran ujung pedang Wirya Saka, tampak darah
segar mengucur.
Semangat pemuda itu semakin menyala ketika
melihat korban senjatanya itu, terjatuh dan menggele-
par sekarat Sebab, dua buah jalan darah besar, yang
terkena senjata pemuda itu daerah yang sangat berba-
haya dan bisa mengakibatkan kematian. Terbukti tu-
buh orang itu diam tak bergerak. Mati.
Dengan semangat yang kembali menggebu-
gebu, Wirya Saka menjadi yakin kalau dirinya dapat lo-
los dari kepungan orang-orang liar itu. Sebab, kema
tian salah seorang kawan mereka, telah membuat be-
lasan lelaki bertubuh raksasa lainnya terkejut dan ke-
pungan nya merenggang.
"Bunuh manusia muda keparat itu...!" perintah
pemimpin yang murka dengan kematian salah seorang
pengikutnya. Sedangkan dirinya sendiri sudah melom-
pat dan menerjang Wirya Saka.
Kaget bukan main hati Putra Ketua Perguruan
Cakar Baja ketika melihat pimpinan gerombolan orang
liar itu ternyata dapat bergerak gesit. Jelas, pemimpin
itu berbeda dengan para pengikutnya. Pantas kalau la
dijadikan pimpinan.
Wuttt! Wuttt!
"Aiiih...!"
Wirya Saka memekik tertahan ketika hampir
saja ujung pedang lawannya membeset kulit tubuhnya.
Untunglah tubuhnya masih sempat dimiringkan. Se-
hingga, ujung pedang lawan lewat setengah jengkal di
depan tubuhnya.
Sembari mengeluarkan bentakan nyaring, pe-
muda itu menusukkan pedangnya ke arah mata lawan.
Karena hanya daerah itulah yang terpikir olehnya saat
itu.
Trangngng...!
"Aaakh...!"
Terdengar suara benturan keras yang memer-
cikkan pijaran bunga api. Sedangkan pedang di tangan
Wirya Saka terlempar lepas dari genggamannya. Bah-
kan, tubuh pemuda itu terjungkal ke belakang dengan
disertai jerit kesakitan.
Wirya Saka yang terbanting cukup keras di atas
permukaan tanah itu, terbelalak ngeri ketika belasan
batang senjata meluruk ke tubuhnya. Pemuda itu ter-
paksa menyerahkan nasibnya di tangan gerombolan
liar itu.
"Hattittt...!"
Tepat saat kematian hampir menjemput Wirya
Saka, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring bagai meng-
getarkan seluruh daerah hutan itu. Disusul dengan
berkelebatnya sesosok bayangan putih yang langsung
membagi bagikan pukulan dan tendangannya dengan
kecepatan luar biasa. Sehingga, putra Ketua Pergu-
ruan Cakar Baja yang menyaksikan gerakan itu men-
duga kalau orang yang menolongnya memiliki seribu
tangan dan kaki.
Terdengar jerit kesakitan susul-menyusul. Dan,
diiringi pula suara berdebuk nyaring yang seolah-olah
mengguncangkan bumi.
Wirya Saka hampir tak percaya melihat sosok!
tubuh yang mengeluarkan cahaya putih keperakan,
sanggup menjatuhkan belasan lelaki raksasa itu,
hanya dengan pukulan dan tendangannya saja. Pe-
mandangan itu membuat pemuda ini sadar kalau di-
rinya telah ditolong oleh seseorang yang memiliki ke-
pandaian yang sukar diukur.
"Bangkitlah, Kisanak. Kau tidak apa-apa, bu-
kan...?" sapa penolongnya itu dengan suara ramah dan
wajah menggoreskan senyum tenang.
"Ahhh...!?" Wirya Saka menahan jeritannya ke-
tika melihat wajah penolongnya. Ia benar-benar tidak
menyangka kalau penolongnya ternyata masih muda.
Dan, mungkin hanya beberapa tahun lebih tua da-
rinya.
Semula ia menduga penolongnya yang sakti itu
seorang kakek-kakek yang sangat tua. Karena kenya-
taannya berbeda dengan prasangkanya, maka Wirya
Saka seperti terkesima dan tak mampu untuk bersuara
"Mengapa, Kisanak...? Apakah wajahku mirip
dengan hantu...?" kembali pemuda berjubah putih itu
tersenyum kepada Wirya Saka.
"Ah, bukan.... Bukan itu maksudku," sahut
Wirya Saka cepat 'Tadinya..., eh, semula kusangka kau
seorang kakek-kakek. Tapi..., kau..., apakah kau yang
dijuluki Pendekar Naga Putih? Dan, pukulan yang kau
guna kan untuk menjatuhkan raksasa-raksasa liar itu,
bukankah 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'."
"Begitulah kaum rimba persilatan menjulukiku,
Kisanak," jawab Panji sederhana dan singkat.
"Ah, ayahku Garuda Cakar Lima selalu mence-
ritakan tentang dirimu kepadaku. Beliau berharap agar
aku dapat memiliki kepandaian, keramahan dan kete-
nangan sepertimu, Pendekar Naga Putih. Sayang, be-
liau sekarang sudah tiada. Sedang nasibku belum lagi
lepas dari incaran maut," desah Wirya Saka seraya
menundukkan wajahnya menekuri rerumputan. Jelas,
rasa kesedihan terpancar pada wajah pemuda Itu keti-
ka teringat akan kematian orang-orang yang dicin-
tainya. Hatinya nelangsa mengingat dirinya kini hidup
sebatang kara.
"Hm.... Bangkitlah, Wirya. Aku sudah menden-
gar semua yang telah menimpa keluarga dan pergu-
ruanmu. Keberadaanku di sini hanya ingin mencari
tahu tentang nasibmu. Syukurlah Tuhan memperte-
mukan kita. Sehingga, memungkinkan aku mendapat
keterangan yang lengkap dan jelas mengenai pemban-
taian di perguruanmu itu," jelas Panji sambil menepuk
perlahan bahu Wirya Saka. Seolah-olah dengan ber-
buat demikian, ia ingin memberikan kekuatan hall ke-
pada pemuda malang itu.
"Jadi..., jadi kau sudah mengetahuinya?" tegas
Wirya Saka mengerutkan keningnya. Sepertinya ia me
rasa heran mendengar perkataan Pendekar Naga Putih
tadi.
"Secara kebetulan aku singgah di Desa Ampe-
nan, dan sempat menyaksikan mayat-mayat yang ma-
sih bergeletakan di dalam bangunan Perguruan Cakar
Baja. Setelah mendengarkan percakapan Kepala Desa
Ampenan, aku pun segera mencarimu. Firasatku men-
gatakan engkau masih hidup dan mungkin memerlu-
kan bantuan," sahut Panji menjelaskan tentang apa
yang diketahuinya.
"Ah, ternyata apa yang sering diceritakan ayah,
sama sekali tidak berlebihan. Terima kasih atas kese-
diaanmu bersusah-payah mencariku dan mau meno-
longku. Sayang, aku tidak bisa menjanjikan apa-apa
sebagai balasannya," ucap Wirya Saka menundukkan
kepalanya merasa terharu dengan apa yang dilakukan
Pendekar Naga Putih kepadanya.
"Hm..., rupanya apa yang diceritakan ayahmu
itu belum lengkap. Perlu kau ketahui, Wirya. Sebagai
seorang pendekar, kita harus bersedia mengorbankan
kepentingan pribadi untuk menolong orang banyak.
Dan, semua itu harus dilandasi dengan rasa ikhlas,
tanpa mengharap imbalan apa pun. Meskipun hanya
ucapan terima kasih. Sebab sudah menjadi kewajiban
kita sebagai pendekar untuk membela kebenaran dan
mencegah kemungkaran Apakah ayahmu belum mem-
beritahukan hal ini?" tanya Panji dengan nada bersa-
habat.
"Maaf, aku lupa, Pendekar Naga Putih...," desah
Wirya Saka dengan suara lirih, hampir tak terdengar.
"Lupakanlah. Dan, kau boleh memanggilku cu-
kup dengan Panji saja. Bagaimana...?" usul pemuda
berjubah putih sambil menatap Wirya Saka lekat-lekat.
"Maaf, aku tidak berani, Pendekar Naga Putih.
Biarlah aku memanggilmu dengan julukan saja," pinta
putra Garuda Cakar Lima dengan nada penuh permo-
honan. Tampaknya pemuda itu sangat mengagumi so-
sok Pendekar Naga Putih. Dan, dengan menyebut julu-
kan itu, merupakan suatu kebanggaan baginya.
"Terserahmulah...," ujar Panji seraya mengang-
kat bahunya.
"Lalu, bagaimana dengan raksasa-raksasa itu?
Apakah kau akan membunuhnya? Kurasa hal itu lebih
baik. Karena kalau masih dibiarkan berkeliaran, mere-
ka akan selalu mengganggu orang-orang yang kebetu-
lan lewat. di hutan ini," ucap Wirya Saka melemparkan
pandangannya ke arah belasan lelaki liar bertubuh
tinggi besar dan berotot itu, yang tengah bersiap hen-
dak menerjang kembali.
"Kita lihat saja. Apakah mereka dapat kita tun-
dukkan dengan sedikit tipuan...," sahut Panji yang se-
gera melangkah, mendekati belasan lelaki liar bertu-
buh raksasa itu. Saat itu juga, Pendekar Naga Putih
mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Se-
hingga, tubuh pemuda itu terbungkus lapisan kabut
bersinar putih keperakan yang berpendar menyilaukan
mata.
Sengaja Panji mengerahkan tenaga saktinya.
Sebab, menurut apa yang diketahuinya, orang-orang
liar seperti gerombolan raksasa itu, pastilah memuja
sesuatu sebagai dewanya. Dan, ia ingin melihat tang-
gapan mereka setelah tubuhnya kembali terbungkus
lapisan kabut bersinar putih keperakan itu.
"Kau..., siapa kau.,.?" desis lelaki bercambang
bauk yang memiliki codet pada pipi kirinya, yang men-
jadi pimpinan gerombolan liar itu. Menilik dari sikap
dan suaranya, jelas lelaki raksasa itu merasa tegang
dan terpengaruh dengan keadaan Panji, yang memang
aneh bagi sebagian orang. Terlebih lagi, bagi mereka
yang merupakan orang-orang liar dan jarang bergaul
dengan manusia luar.
"Hm.... Aku adalah Dewa Bulan yang sengaja
turun untuk memberi peringatan kepada kalian. Se-
bab, dosa-dosa yang telah kalian lakukan, sudah me-
lebihi takaran...," sahut Panji sengaja mengerahkan
kekuatan tenaga saktinya ketika menjawab pertanyaan
lelaki bertubuh raksasa itu. Sehingga, suaranya seperti
datang dari segala pelosok hutan dan bergema meng-
getarkan jantung.
Dugaan pemuda berjubah putih itu ternyata ti-
dak meleset Wajah lelaki bertubuh raksasa dan pengi-
kutnya nampak pucat ketika mendengar ucapannya.
Sehingga, membuat Pendekar Naga Putih melanjutkan
sandiwaranya.
'Tapi..., kami..., tidak bersalah. Yang kami la-
kukan hanya meminta pajak bagi orang yang lewat di
wilayah hutan ini. Apakah itu merupakan dosa...?"
bantah lelaki bertubuh raksasa itu sambil menahan
hawa dingin yang terpancar dari tubuh Pendekar Naga
Putih. Sehingga, hawa dingin itu telah membuat tubuh
beberapa orang dari mereka sampai menggigil cukup
hebat.
"Hm.... Rupanya kalian masih hendak me-
nyangkal. Kalian memang patut untuk dihukum...!"
kembali suara Panji terdengar bergaung bagaikan da-
tang dari setiap pelosok hutan.
"Kau penipu...! Aku tidak percaya kalau kau
memang Dewa Bulan yang kami sembah itu. Tunjuk-
kan tanda-tandamu yang lain...?" teriak pemimpin ge-
rombolan liar itu mencoba menekan rasa takutnya.
Meski sebenarnya ia mulai percaya dengan ucapan so-
sok tubuh terselimut kabut putih keperakan itu, na
mun ia berusaha untuk tidak mempercayainya begitu
saja.
"Heaaat..!"
Sambil mengeluarkan pekikan keras, lelaki co-
det itu merangsek maju dengan sambaran pedangnya,
yang menimbulkan desingan angin tajam dan berhawa
maut.
Wirya Saka yang melihat penolongnya tidak
mencoba menghindar, tentu saja menjadi tegang. Se-
bab, ia tahu betapa kuatnya tenaga lelaki codet itu.
Ngeri hatinya membayangkan tubuh Pendekar Naga
Putih kalau sampai terobek oleh senjata lawan.
Namun, apa yang disaksikan Wirya Saka, be-
nar-benar hampir tidak bisa dipercayainya. Sebab, pa-
da saat pedang lelaki codet bertubuh raksasa itu da-
tang menyambar, mendadak tubuh Pendekar Naga Pu-
tih! raib dari pandangan. Sehingga, tebasan senjata itu
hanya mengenai tempat kosong.
"Gila...! Pendekar muda yang sakti itu ternyata!
bisa pula raib dari pandangan!? Entah ilmu apa yang
telah dipergunakannya?" desah Wirya Saka dengan
kekaguman yang semakin bertambah.
"Eh!?" lelaki codet bertubuh raksasa itu meno-
leh ke kiri dan kanan. Karena ia telah kehilangan sasa-
rannya. Karuan saja keringat dingin mengalir memba-
sahi kening dan wajahnya. Hatinya semakin kuat
menduga, kalau pemuda itu benar-benar Dewa Bulan
yang disembahnya.
"Bagaimana? Apakah kau masih merasa pena-
saran...?" tiba-tiba saja, terdengar sebuah teguran ha-
lus. Namun, mengandung ketegasan dan perbawa yang
amat kuat.
"Ahhh...! Ampunkan aku..., ampunkan aku.,..
Hukumlah aku kalau memang dianggap telah melaku
kan dosa. Hukumlah aku, Dewa Bulan Yang Agung...,"
ujar lelaki codet itu yang langsung saja menjatuhkan
tubuh berlutut di depan Panji, yang serta-merta mun-
cul di belakang belasan orang lelaki bertubuh raksasa
itu.
Diam-diam hati Panji merasa geli menyaksikan
betapa semua orang yang berada di tempat itu kebin-
gungan mencarinya. Padahal, ia hanya menggunakan
kecepatan geraknya untuk mengelabui mata lawan.
Dan, ia benar-benar tidak menyangka kalau Wirya Sa-
ka dapat pula dikecohnya. Sebab, pemuda itu terlihat
kebingungan dan mencari-carinya. Kenyataan itu
membuat Panji menjadi gembira. Karena hal itu me-
nandakan kalau ilmu meringankan tubuhnya telah
hampir mencapai puncak kesempurnaan. Sehingga,
orang-orang berkepandaian tinggi seperti Wirya Saka
dan lelaki codet itu pandangan matanya dapat mudah
dikelabui.
"Hm.... Bangkitlah kalian semua!" ujar Panji,
nada suaranya terdengar sangat menggetarkan. "Un-
tuk kali ini, aku hanya memberikan peringatan keras,
tanpa hukuman! Tapi ingat! Lain kali aku akan datang
untuk mengambil nyawa kalian semua, paham?"
"Kami mengerti, Dewa Bulan Yang Agung. Mulai
saat ini, kami berjanji tidak akan mengulangi perbua-
tan yang sudah-sudah. Semoga, Dewa Bulan Yang
Agung selalu memberikan keberkahan kepada kami,"
ujar lelaki codet itu mewakili kawan-kawannya seraya
tetap bersujud mencium rerumputan. Sehingga, mere-
ka tidak sadar kalau saat itu Panji sudah melesat
membawa Wirya Saka, dan meninggalkan hutan itu.
Tindakan itu dilakukan Panji karena dianggapnya su-
dah selesai. Maka, pemuda berjubah putih itu pergi
dengan membawa serta Wirya Saka.
Sementara rombongan lelaki bertubuh raksasa
itu, masih tetap berlutut tanpa berani mengangkat ke-
palanya. Padahal, orang yang mereka sembah telah
jauh meninggalkan hutan itu.
***
DELAPAN
Setelah merasa cukup jauh meninggalkan hu-
tan, Panji menghentikan larinya. Diturunkannya tu-
buh Wirya Saka yang berada di atas bahunya.
"Maaf, aku terpaksa melakukan ini kepadamu,
Wirya...," ucap Panji sambil menjatuhkan tubuhnya di
bawah sebatang pohon, yang tumbuh di tepi jalan ber-
batu.
"Ah, kau membuatku malu saja, Pendekar Naga
Putih. Seharusnya aku yang meminta maaf. Karena te-
lah membuatmu susah," kilah Wirya Saka yang juga
ikut duduk di samping Panji. Bahkan, pemuda itu
langsung menyandarkan tubuhnya ke batang pohon.
"Hm..., sudahlah. Sekarang ada baiknya kau
menceritakan masalah yang tengah kau hadapi. Tapi,
kalau kau merasa keberatan atau persoalanmu terlalu
rahasia, aku tidak akan mendesaknya," ucap Panji se-
telah beberapa saat keduanya terdiam.
'Tentu saja aku tidak keberatan untuk menceri-
takannya kepadamu, Pendekar Naga Putih," sahut pu-
tra Garuda Cakar Lima cepat. Dan, untuk menunjuk-
kan kalau ia memang tidak merasa keberatan, segera
dipaparkannya duduk persoalan, yang membuat ke-
luarga terbantai habis.
Panji mendengarkan penuturan pemuda itu
dengan tekun. Tidak sekali pun ia memotong cerita
yang tengah dibeberkan Wirya Saka. Sehingga, apa
yang diceritakan pemuda itu, tertangkap jelas olehnya.
"Hm.... Jadi benda bernama Mustika Naga Hi-
jau peninggalan Dewa Kerdil itu yang menyebabkan
kematian ayah dan saudara-saudara seperguruanmu?"
tanya Panji seraya mengangguk-anggukkan kepala ' se-
telah mendengar cerita Wirya Saka hingga selesai.
"Benar, Pendekar Naga Putih. Dan, aku yakin
kalau mereka tidak akan berhenti sebelum benda ini
mereka miliki," jawab Wirya Saka seraya melepaskan
pandangan ke langit yang cerah.
"Hm.... Apakah Iblis Kembar dan Siluman
Tongkat Beracun mengetahui tempat penyimpanan
harta dan ilmu-ilmu tinggi itu, seperti yang kau cerita-
kan?" tanya Panji ingin tahu.
"Entahlah! Kalau mengingat Dewa Kerdil dikejar
selama bertahun-tahun, ada kemungkinan mereka
mengetahui tempat penyimpanan harta dan ilmu-ilmu
tinggi peninggalan tokoh maha sakti ratusan tahun
yang lalu itu. Tapi, karena benda mustika ini merupa-
kan kunci untuk membuka tempat penyimpanan itu,
maka mereka mengejar-ngejar Dewa Kerdil tanpa men-
genai lelah," sahut Wirya Saka menduga-duga.
"Lalu, apa kegunaan Mustika Naga Hijau itu...?"
Panji semakin merasa tertarik dengan cerita Wirya;
Saka. Sepertinya ingin mengetahui secara lebih jelas.
"Kalau menurut catatan yang ada dalam peta
ini, aku harus meletakkan Mustika Naga Hijau tepat
saat bulan purnama di depan Gua Ular. Sedangkan le-
tak gua itu di sekitar Gunung Talang. Sebab, pintu gua
yang tertutup oleh dinding baru padas tebal itu, hanya
dapat terbuka bila sinar Mustika Naga Hijau yang ber-
pendar karena bias sinar purnama yang menyoroti tempat di pintu gua itu. Eh, apakah kau mengetahui letak
Gunung Talang, Pendekar Naga Putih...?" tanya Wirya
Saka ketika teringat kalau ia sama sekali belum men-
getahui letak gunung itu. Sedangkan, pada peta yang
diberikan Dewa Kerdil, dikatakan letak gunung itu be-
rada di wilayah Selatan. Dan, tempatnya yang tepat
sama sekali tidak tertulis.
"Hm.... Tidak sulit untuk mencari Gunung Ta-
lang itu, Wirya. Justru Gua Ular itu yang sukar dite-
mukan. Sebab, bukan hanya satu gua yang terdapat di
sekitar gunung itu. Rasanya akan memakan waktu
lama untuk menemukan gua yang kau maksudkan
itu," sahut Panji yang memang mengetahui letak Gu-
nung Talang yang dicari Wirya Saka.
"Jangan khawatir, Pendekar Naga Putih. Di da-
lam peta ini, jelas sekali di tunjukkan letak gua itu.
Dan, menurutku tidak sulit untuk menemukannya."
"Hm.... Kalau begitu, apa lagi yang kau tung-
gu...? Ayolah kita berangkat!" ajak Panji segera bangkit
berdiri.
Tanpa banyak cakap lagi, Wirya Saka melompat
bangkit dengan wajah cerah. Dengan adanya Pendekar
Naga Putih bersamanya, Wirya Saka yakin segala rin-
tangan akan dapat dihadapi. la tidak perlu merasa ce-
mas lagi dengan Iblis Kembar dan Siluman Tongkat
Beracun. Karena semua itu pasti tidak akan sulit di-
hadapi sahabat barunya yang menjadi penolongnya
itu. Tentu Wirya Saka yang telah mengetahui kesaktian
Panji, menjadi tenang.
***
"Berhenti...!"
Tiba-tiba terdengar sebuah bentakan keras,
yang disusul dengan berlebatnya dua sosok tubuh dan
langsung menghadang Panji dan Wirya Saka. Sehing-
ga, kedua pemuda itu menghentikan langkah.
"Iblis Kembar...!" desis Wirya Saka yang sempat
merasa kaget dengan kehadiran dua orang lelaki kem-
bar berkepala botak dan bertubuh kekar berotot itu.
Panji sendiri sudah dapat menebak kedua lelaki
kembar itu. Dan, ia sama sekali tidak merasa terkejut
dengan kehadiran mereka yang menghadang perjala-
nannya. Malah kakinya melangkah, mendekati kedua
tokoh sesat yang namanya tersohor sebagai tokoh-
tokoh kelas satu dari kalangan sesat. Bahkan, kekeja-
man mereka telah sampai pula di telinga Pendekar Na-
ga Putih. Maka, pertemuan itu memang sesuatu yang
telah lama diharapkan Panji. Sebab, kabar yang sering
didengarnya, kedua tokoh sesat itu sangat sukar dica-
ri. Seperti juga dirinya, Iblis Kembar tidak memiliki
tempat tinggal yang tetap.
"Pendekar Naga Putih...!?" gumam sepasang
manusia sesat itu agak terkejut melihat Panji bersama
pemuda buruan mereka.
"Hm.... Pendekar Naga Putih. Apa maksudmu
melakukan perjalanan bersama bocah setan itu? Atau
kau pun menginginkan Mustika Naga Hijau dengan
berpura-pura menolongnya?" sindir Iblis Beruang Hi-
tam menatap Panji dengan kening berkerut Kemudian
ia berpaling kepada Wirya Saka.
"Hei, Bocah! Ketahuilah, orang yang berjuluk
Pendekar Naga Putih itu juga mempunyai niat seperti
kami. Jika kau sudah dapat menemukan Gua Ular,
maka pemuda yang berpura-pura menolongmu, akan
merebut Mustika Naga Hijau, dan menyerakahinya. Ha
ha ha...! Kau telah ditipunya mentah-mentah, Bocah!"
"Benar, Bocah. Lebih baik kau bekerja sama
dengan kami. Sejahat-jahatnya Iblis Kembar, tidak
akan melupakan orang yang telah berjasa. Dan, kau
akan mendapat bagian bila mau bekerja sama dengan
kami. Bagaimana?" bujuk Iblis Beruang Salju menim-
pali ucapan saudara tuanya.
Namun, Wirya Saka bukanlah bocah kemarin
sore yang bisa dibujuk dengan kata-kata manis. Putra
Ketua Garuda Cakar Lima sudah sering mendengar ce-
rita tentang kegagahan dan kejujuran Pendekar Naga
Putih dari mendiang ayahnya. Tentu saja, ia tidak ter-
pengaruh dengan bujukan Iblis Kembar. Bahkan, den-
gan senyum lebar, pemuda itu balas mengejek lawan-
nya.
"Aku tidak keberatan untuk bekerja sama den-
ganmu, Iblis Kembar. Tapi, aku mempunyai satu sya-
rat yang harus kau penuhi, tentu saja kalau kau setu-
ju," ujar Wirya Saka tenang.
Sedangkan Panji sendiri hanya berdiri tenang,
tanpa terpengaruh dengan perkataan-perkataan ketiga
orang itu. Senyum di bibir Pendekar Naga Putih tetap
menghias wajahnya. Hanya tatapan matanya saja yang
menyorot tajam ke wajah Iblis Kembar berganti-ganti.
"Katakan apa syaratmu, Bocah? Aku pasti akan
menyetujuinya," sambut Iblis Beruang Salju dengan
wajah berseri. Tentu saja ia merasa gembira menden-
gar pemuda itu mau bekerja sama dengan mereka,
berdua.
"Tidak sulit," jawab Wirya Saka sambil melipat
kedua tangannya di depan dada. "Merangkaklah kalian
berdua seperti anjing kudisan, yang menggonggong ka-
rena lapar dan ingin meminta tulang kepada majikan-
nya. Nah, bukankah syarat itu sangat mudah?"
Merah wajah Iblis Kembar mendengar penghi-
naan yang tidak kepalang tanggung itu. Selama hidup,
baru kali ini mereka mendapat hinaan dari seorang
pemuda yang masih hijau. Tentu saja semua itu tidak
pernah terlintas dalam benak mereka. Jangankan seo-
rang pemuda hijau seperti Wirya Saka, tokoh-tokoh
rimba persilatan akan berpikir seribu kali untuk me-
lontarkan hinaan itu kepada Iblis Kembar. Maka, da-
patlah dibayangkan betapa murkanya kedua tokoh se-
sat itu mendengar syarat yang diajukan Wirya Saka.
Bahkan, tubuh keduanya menggigil karena kemarahan
yang menggelegak seperti akan meledakkan dada me-
reka.
"Jahanam! Kurobek mulutmu yang busuk itu,
Bocah Setan...!" geram Iblis Beruang Hitam yang tak
sanggup menahan kemarahannya, sambil meluncur
dengan cengkeraman maut yang mengarah wajah
Wirya Saka.
Plakkk!
"Aihhh...!"
Iblis Beruang Hitam berseru tertahan, ketika te-
lapak tangannya terasa bagaikan membentur bongka-
han salju yang amat dingin. Sehingga, tubuhnya terja-
jar mundur sejauh satu tombak. Hal itu disebabkan ia
tidak menggunakan tenaga sepenuhnya dalam melon-
tarkan cengkeraman maut itu.
Sedangkan di depan Wirya Saka telah berdiri
Pendekar Naga Putih, yang sekujur tubuhnya telah
terselimut lapisan kabut bersinar putih keperakan. Je-
las, Panji yang telah memapaki cengkeraman Iblis Be-
ruang Hitam. Karena, lelaki berjubah putih itu tidak
tinggal diam ketika melihat Wirya Saka terancam
maut.
"Keparat! Jadi kau benar-benar hendak berha-
dapan dengan kami, Pendekar Naga Putih? Baik Kalau
memang itu yang kau inginkan! Jangan sesali nasibmu
yang sial itu!" geram Iblis Beruang Hitam yang kembali
menyiapkan jurus-jurusnya untuk menghadapi Pende-
kar Naga Putih.
Sadar kalau lawan yang dihadapi kali ini bu-
kanlah orang sembarangan, maka Iblis Beruang Salju
tidak tinggal diam. Keduanya segera bergerak maju ke
arah Pendekar Naga Putih dengan langkah cepat, dan
gerakan tangan yang menimbulkan angin menderu ta-
jam.
Panji bukan tidak tahu akan kehebatan kedua
lawannya, maka begitu bergerak, ia langsung menge-
luarkan 'Ilmu Silat Naga Sakti' yang menjadi andalan-
nya.
Wuttt! Wuttt!
Terdengar suara berdesingan, yang disertai
sambaran angin dingin menembus tulang, ketika sepa-
sang cakar naga Panji menyambar-nyambar memapaki
serangan lawannya.
"Yeaaa...!"
Iblis Kembar berteriak nyaring seraya melon-
tarkan serangan-serangan mautnya, secara bergantian
dan susul-menyusul. Sepertinya, mereka hendak me-
nutup kemungkinan bagi lawan untuk melontarkan
serangan balasan.
Wukkk! Wukkk!
Panji menarik tubuhnya doyong ke belakang,
ketika cakar Iblis Beruang Hitam meluncur ke arah
wajahnya. Sedangkan cengkeraman Iblis Beruang Sal-
ju yang mengancam lambung kanannya, ditepiskan
dengan menggunakan telapak tangan kirinya.
Plakkk!
"Uhhh...!"
Begitu tubuh Iblis Beruang Salju terjajar mun-
dur, tubuh pemuda Itu mengegos berputar disertai li
ukan tubuhnya, yang bagaikan seekor naga muncul di
atas permukaan laut, dan begitu kepalanya menyem-
bul ke luar, sepasang cakar Panji telah melesat men-
cengkeram dada dan lambung Iblis Beruang Hitam.
Karuan saja Iblis Beruang Hitam yang tidak
menyangka lawan dapat bergerak demikian cepat,
menjadi kelabakan. Namun, sebagai seorang tokoh
sakti, yang ilmunya telah mendarah daging, langsung
tubuhnya diturunkan merendah dengan menekankan
bobot tubuh pada kaki belakang yang menekuk. Se-
dangkan kaki depannya menjulur lurus ke muka. Se-
mua itu dilakukannya dengan kuda-kuda yang sangat
rendah.
Dan begitu serangan lawan luput, lelaki berke-
pala botak yang mengenakan mantel kulit beruang hi-
tam itu, langsung melangkah mundur sambil mele-
paskan sebuah tendangan kilat dengan menggunakan
kaki depannya.
Zebbb!
Melihat datangnya tendangan kilat yang men-
dadak Itu Panji memiringkan tubuhnya sambil mene-
piskan tangan itu dengan telapak tangan kanannya.
Sedangkan tangan kirinya terlontar lurus menggedor
dada lawannya.
Plakkk! Buggg.!
"Hugkh...!"
Tubuh Iblis Beruang Hitam, terlempar mundur
sejauh satu tombak lebih. Meskipun hantaman itu ti-
dak terlalu keras, namun cukup membuat pernafa-
sannya bagaikan tersumbat! Dan, pada sudut bibirnya
tampak cairan merah merembes keluar. Jelas, pukulan
telapak tangan Pendekar Naga Putih sempat menggun-
cangkan isi dada tokoh sesat itu.
Panji yang semula berniat mengejar lawannya
mendadak dikejutkan oleh teriakan Wirya Saka. Dan
ketika Pendekar Naga Putih menoleh, tampak Wirya
Saka tengah berjuang mati-matian guna menyela-
matkan dirinya dan sambaran tongkat lelaki jangkung
yang diputarnya mengincar tubuh putra Garuda Cakar
Baja.
Desss!
"Aaargh...!"
Karena kepandaian yang dimiliki Wirya Saka
memang masih jauh di bawah lawannya, maka tanpa
dapat dihindari lagi, hantaman tongkat lelaki jangkung
itu telak bersarang di punggungnya, setelah mencoba
bertahan selama sepuluh jurus. Tubuh Wirya Saka ter-
lempar bagai sehelai daun kering yang diterbangkan
angin.
Menyaksikan kejadian itu, cepat Pendekar Naga
Putih melesat dan menyambut tubuh Wirya Saka yang
tengah mengapung di udara. Dengan mengulur kedua
tangannya, maka selamatkan Wirya Saka. Sehingga,
tubuhnya tidak sampai terbanting mencium tanah.
Namun, selagi tubuh Panji mengapung dan
menangkap Wirya Saka, lelaki jangkung yang bersenja-
takan sebatang tongkat itu melesat dengan tusukan
ujung tongkatnya ke arah tubuh Pendekar Naga Putih.
Dan....
Tukkk!
"Hugkh...!"
Panji mengeluh pendek ketika ujung tongkat le-
laki jangkung yang berjuluk Siluman Tongkat Beracun,
menghantam telak dada kanannya. Sehingga, tubuh
pemuda berjubah putih itu sempat tersentak balik da-
lam keadaan oleng.
Tapi tidak percuma Panji dijuluki sebagai Pen-
dekar Naga Putih. Meski dadanya dirasakan sesak dan
gatal, pemuda itu masih dapat menyelamatkan dirinya
agar tidak sampai terbanting di tanah. Dengan mela-
kukan beberapa kali salto, kedua kakinya dapat men-
darat dengan selamat di tempat yang cukup aman.
Begitu menjejak tanah, cepat Panji menurun-
kan tubuh Wirya Saka, dan langsung merogoh bunta-
lan pakaiannya. Ditelannya pil berwarna putih seperti
salju, guna menghilangkan rasa sakit yang dideritanya
akibat hantaman tongkat lawan. Pemuda berjubah pu-
tih itu sadar kalau senjata yang digunakan lawannya
mengandung racun jahat Dan, untuk mencegahnya la
harus bertindak cepat
Sayang, Pendekar Naga Putih tidak keburu un-
tuk mengobati Wirya Saka, karena Iblis Kembar mau-
pun Siluman Tongkat Beracun telah melesat ke arah-
nya secara bersamaan Dan, dari angin pukulan yang
ditimbulkan sambaran tangan mereka, jelas serangan
itu mengandung maut.
Sadar kalau posisinya masih lemah, bergegas
Pendekar Naga Putih memantekkan kuda-kudanya
dengan mengerahkan seluruh tenaga saktinya. Sehing-
ga, sepasang kakinya bagaikan tertanam di dalam bu-
mi.
"Heaaah...!"
Dibarengi sebuah bentakan menggeledek, Panji
mendorongkan kedua telapak tangannya ke depan gu-
na menyambut serangan ketiga orang lawannya. Ma-
ka....
Bresssh! Blakkk! Desss!
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
"Hugkh...!"
Benturan dahsyat yang seolah-olah akan meng-
guncangkan alam sekitar di arena pertarungan itu,
terdengar berdentam nyaring menggetarkan udara.
Disusul dengan teriakan-teriakan tertahan, dan ter-
lemparnya tubuh Iblis Beruang Hitam serta Siluman
Tongkat Beracun. Karena serangan kedua tokoh sesat
itu berhasil dipapak dengan dorongan telapak tangan
Pendekar Naga Putih.
Sedangkan Iblis Beruang Salju yang melejit
mengelakkan sambaran tangan Panji, berhasil mengi-
rimkan hantaman telapak tangannya, yang telak men-
genai dada bagian atas pemuda berjubah putih itu.
Sehingga tubuh pemuda itu tergetar, dan agak doyong
ke belakang. Sedangkan sepasang kakinya yang laksa-
na tertanam di dalam tanah, sama sekali tidak terang-
kat. Hanya tanah tempat telapak kaki pemuda itu ber-
pijak tampak amblas hingga dalamnya satu jengkal.
Sementara dari sudut bibir Pendekar Naga Putih, tam-
pak darah segar merembes keluar. Jelas, Panji tidak
luput dari luka akibat hantaman telapak tangan Iblis
Beruang Salju.
Iblis Beruang Salju sendiri begitu berhasil me-
nyarangkan serangannya, kembali melontarkan se-
buah tendangan kilat yang meluncur deras ke arah pe-
rut Pendekar Naga Putih yang tengah bergoyang-
goyang akibat benturan dahsyat jadi. Sehingga....
Desss...!
"Huagkh...!"
Untuk ketiga kalinya, tubuh Panji kembali me-
nerima hantaman keras dari salah seorang lawannya.
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh pemuda perkasa itu
langsung terjungkal dengan disertai semburan darah
segar yang keluar dari mulutnya.
Meskipun demikian, Pendekar Naga Putih ma-
sih mampu mempertahankan dirinya agar tidak sam-
pai terbanting ke tanah. Tapi, tampak tubuh pemuda
itu terhuyung ketika berusaha memantek kedua ka-
kinya untuk menahan daya dorong yang masih tersisa
akibat hantaman keras lawannya.
"Hmh...."
Sambil menggeram lirih, Panji menyilangkan
kedua tangannya di depan dada dengan telapak tangan
menghadap ke dalam. Kemudian, secara perlahan, se-
pasang tangannya bergerak terkembang ke atas dan
tetap dalam bentuk cakar naga, dengan telapak tangan
menghadap ke bumi. Gerakan itu dibarengi pula den-
gan kedua lutut ditekuk, sehingga membentuk kuda-
kuda menunggang kuda.
Terdengar helaan napasnya yang berkepanjan-
gan. Wajah Pendekar Naga Putih yang semula memu-
cat, tampak mulai berubah seperti semula. Jelas, Panji
tengah berusaha untuk mengusir rasa sesak seperti
menyumbat jalan napasnya.
"Huagkh...!"
Gumpalan darah segar kembali terlompat dari
mulut Panji. Bersamaan dengan itu, rongga dadanya
terasa agak longgar. Kekhawatiran akan nasib Wirya
Saka, yang saat itu berada dekat dengan tempat berdi-
ri Iblis Beruang Salju, membuat Panji segera melesat
kembali ke arah lawannya. Dan langsung melontarkan
serangkaian serangan yang cepat dan menggetarkan!
Iblis Beruang Salju terpaksa melayani Pendekar
Naga Putih seorang diri, tanpa rasa gentar sedikit pun.
Karena ia tahu keadaan Pendekar Naga Putih saat ini
sudah tidak sekuat semula. Luka dalam yang dideri-
tanya sedikit banyak telah mengurangi kedahsyatan
tenaga saktinya. Sehingga, Iblis Beruang Salju pun
menyambutnya dengan tidak kalah ganas. Pertarun-
gan kembali berlanjut dengan sengit.
Tapi, meski tenaganya tidak sehebat semula,
namun untuk menghadapi Iblis Beruang Salju seorang
diri, tidaklah membuat Pendekar Naga Putih kesulitan
Bahkan, dalam jurus-jurus yang kedua puluh lima
tampak Panji menguasai pertarungan. Sedangkan la-
wannya, tidak lagi mempunyai kesempatan untuk me-
lontarkan serangan balasan. Karena ruang geraknya
terasa seperti dihimpit dinding-dinding salju yang seo-
lah-olah membekukan aliran darahnya.
Untunglah Iblis Beruang Salju tidak terlalu
aneh dengan hawa dingin. Sehingga, meskipun samba-
ran cakar naga Panji selalu disarati gulungan hawa
dingin menusuk kulit, namun tidaklah terlalu menyu-
litkan lawannya. Justru, sambaran cakar pemuda itu-
lah yang amat dikhawatirkannya.
Ketika pertarungan memasuki jurus yang
keempat puluh, Pendekar Naga Putih berhasil menya-
rangkan sebuah sambaran cakarnya, yang langsung
merobek tubuh Iblis Beruang Salju.
"Heaaah...!"
Brettt!
"Aaakh...!"
Iblis Beruang Salju menjerit parau ketika tubuh
depannya terasa perih terkena sambaran jari-jari tan-
gan lawannya. Bahkan, tubuhnya sempat melintir ba-
gaikan gangsing akibat kerasnya sambaran cakar pe-
muda itu.
Saat itu, Panji yang berniat hendak mengejar
lawannya, terpaksa menunda langkahnya ketika mera-
sakan adanya sambaran angin dan belakangnya. Cepat
pemuda itu berbalik dan menjejakkan kakinya ketika
melihat datangnya serangan dan seorang lelaki berke-
pala botak, yang mengenakan mantel kulit beruang hi-
tam. Siapa lagi penyerang licik itu kalau bukan orang
tertua dari Iblis Kembar.
Begitu menjejakkan kakinya, tubuh Panji lang-
sung melambung dan berputar dengan kepala berada
di bawah. Sedangkan kedua kakinya dalam posisi te-
gak lurus, dan berada di alas. Berbarengan dengan itu,
sepasang cakar Panji bergerak cepat menggencet kepa-
la lawannya dari kiri dan kanan.
Wukkk! Prakkk...!
"Aaargh...!"
Iblis Beruang Hitam meraung setinggi langit ke-
tika sepasang cakar naga Pendekar Naga Putih, meng-
hantam telak kedua sisi kepalanya. Darah segar men-
galir dari mulut tokoh sesat itu seiring dengan suara
gemeretak bunyi tulang kepala yang remuk.
Dengan tubuh limbung, Iblis Beruang Hitam
terjerumus ke depan bagaikan orang mabuk. Kemu-
dian terjerembab di atas tanah berumput, dan mengge-
lepar sekarat.
"Kakang...!"
Melihat keadaan saudaranya, Iblis Beruang Sal-
ju berteriak parau dan langsung menghambur kearah
tubuh Iblis Beruang Hitam, yang menggelepar bagai-
kan ayam disembelih. Dan, darah segar semakin ba-
nyak menggenang di sekitar kepalanya.
"Kakang...!" terdengar Iblis Beruang Hitam ber-
seru serak ketika ia mengangkat tubuh itu, ternyata
telah terkulai tewas.
Bagaikan banteng luka, Iblis Beruang Salju
menoleh kearah Pendekar Naga Putih penuh ancaman.
Perlahan dilepaskannya tubuh Iblis Beruang Hitam da-
ri pelukannya. Kemudian ia melompat dan menerjang
Panji seperti orang kerasukan setan!
"Heaaa...!"
Panji yang melihat lawannya menyerang secara
membabi-buta, sama sekali tidak gentar. Dengan penuh ketenangan, pemuda berjubah putih itu bergerak
menghindari setiap sambaran pukulan dan cengkera-
man lawannya. Dan, itu tidak terlalu sulit baginya.
Apalagi, lawannya tengah dilanda kemarahan yang
menggelegak, maka semakin mudah bagi Pendekar Na-
ga Putih menghadapinya.
"Haaat..!"
Ketika melihat kesempatan baik, Panji segera
melontarkan sebuah tendangan kilat ke arah perut la-
wannya.
Bukkk!
Tubuh Iblis Beruang Salju tersentak ke bela-
kang ketika tendangan lawan telak bersarang di perut-
nya. Namun, bagaikan tidak merasakan sakit, lelaki
botak bertubuh kekar dan berotot itu kembali melom-
pat bangkit dan langsung menerjang kalap.
Sadar kalau lawannya benar-benar telah kese-
tanan, Panji segera merendahkan kuda-kudanya, siap
menyambut datangnya serangan itu. Dan, pada saat
cengkeraman-cengkeraman lawan hampir mendeka-
tinya, Pendekar Naga Putih langsung melontarkan pu-
kulan jarak jauh dengan telapak tangan terbuka.
Whusss...! Blaggg...!
Bagaikan dilempar sebuah tangan raksasa yang
tak tampak, tubuh Iblis Beruang Salju terlonjak ke be-
lakang dengan diiringi raung kematiannya. Dan sem-
buran darah segar memercik membasahi permukaan
tanah berumput di sekitar tempat itu.
Setelah menggelepar sesaat, tubuh tokoh sesat
itu terkulai tewas. Hantaman pukulan jarak jauh Panji
telah meremukkan bagian dalam dadanya. Sehingga,
Iblis Beruang Salju menyusul saudaranya yang telah
lebih dahulu pergi.
Teringat akan lawannya yang tinggal seorang
Pendekar Naga Putih mengedarkan pandangannya ke
sekitar tempat itu. Namun, sosok Siluman Tongkat Be-
racun ternyata telah lenyap tanpa bekas.
"Hm..., rupanya ia telah meninggalkan tempat
ini dengan diam-diam. Syukurlah kalau begitu," desah
Panji yang segera melangkah ke arah tubuh Wirya Sa-
ka yang masih tergeletak pingsan.
Panji menarik napas lega ketika mendapati
Wirya Saka masih belum terlambat untuk diobati. Ma-
ka pemuda berjubah putih itu bertindak cepat untuk
segera menyadarkan dan mengembalikan kesehatan
putra Garuda Cakar Baja itu.
***
Setelah kesehatan Wirya Saka pulih seperti se-
diakala, Pendekar Naga Putih segera mengantarkannya
ke Gunung Talang. Beberapa hari kemudian, kedua
orang pemuda itu tiba di tempat tujuan.
"Sekarang kita tinggal mencari Gua Ular, Pen-
dekar Naga Putih," seru Wirya Saka dengan nada gem-
bira. Sedang panggilannya terhadap Panji tetap tidak
berubah.
"Di sebelah mana kira-kira letak Gua Ular itu
Wirya...?" tanya Pendekar Naga Putih seraya menoleh
ke arah Wirya Saka yang jelas sekali tampak kegembi-
raan pada wajah dan tingkahnya.
"Menurut keterangan di peta ini, Gua Ular terle-
tak di sebelah Timur Gunung Talang. Ayolah kita cari
tempat itu...," ajak Wirya Saka yang segera berlari
mendahului Panji.
Ketika matahari sudah semakin naik tinggi, ti-
balah kedua orang pemuda itu di depan sebuah gua,
tibalah bagian mulutnya tertutup sebuah dinding batu
padas yang berkilat karena terlalu tua. Dan, semak be-
lukar tampak menutupi mulut gua. Sehingga, bila
orang tidak memperhatikannya, tentu tidak akan me-
nyangka kalau itu merupakan mulut gua.
"Tidak salah lagi. Ini pasti Gua Ular seperti
yang tercantum di peta!" teriak Wirya Saka seraya me-
lompat-lompat bagaikan orang kesurupan.
Sementara Panji hanya tersenyum-senyum me-
nyaksikan tingkah Wirya Saka yang seperti anak kecil
menemukan kembali boneka kesayangannya. Merasa
tugasnya sudah selesai, tubuh Panji segera berkelebat
meninggalkan Wirya Saka yang masih melompat-
lompat
"Pendekar Naga Putih.... Pendekar Naga Pu-
tih..,!" panggil Wirya Saka yang baru teringat akan ke-
beradaan Panji. Namun, meskipun mencari ke daerah
sekitar, tetap saja sosok Pendekar Naga Putih tidak
dapat ditemukannya.
"Ah..., Kakang Panji benar-benar seorang pen-
dekar sejati yang tidak mengharapkan imbalan atas ja-
sa-jasanya. Kalau kelak aku sudah menguasai ilmu-
ilmu tinggi di Gua Ular, akan kuikuti jejak Kakang
Panji...," janji Wirya Saka sambil melangkah kembali
menuju Gua Ular. Hembusan angin sore yang bersilir
lembut, mengiringi langkah kaki pemuda itu.
Nah, bagi para pembaca yang ingin mengetahui
kisah Wirya Saka selanjutnya, silakan ikuti serial Pen-
dekar Naga Putih dalam episode "Pendekar Gila".
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar