..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 08 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE PARTAI RIMBA HITAM

Partai Rimba Hitam

 

PARTAI RIMBA HITAM 

Oleh T Hidayat 

Cetakan pertama 

Penerbit Cintamedia, Jakarta 

Penyunting : Puji S. 

Gambar sampul oleh Pro's 

Hak cipta pada Penerbit 

Dilarang mengcopy atau memperbanyak 

sebagian atau seluruh isi buku ini 

tanpa izin tertulis dan penerbit 

T. Hidayat 

Serial Pendekar Naga Putih 

dalam episode: Partai Rimba Hitam 

128 hal. ; 12 x 18 cm


SATU


Sinar matahari terasa panas nenyengat kulit. Angin laut 

berhembus keras, membawa udara sejuk dan melenakan. 

Di bawah teriknya sinar matahari, seorang pemuda 

berjubah putih tengah melangkah menyurusi tepian Pantai 

Alor yang berpasir putih. Langkahnya terlihat tenang, 

seolah-olah tidak merasa terganggu panasnya sinar 

matahari di pagi itu. 

Pemuda tampan dan gagah itu tak lain adalah Panji, 

atau yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Berkat ke-

dahsyatan ilmunya, maka dalam beberapa waktu saja nama 

Pendekar Naga Putih telah dikenal hampir seluruh tokoh 

persilatan. Baik dari golongan putih maupun golongan 

hitam. 

Saat ini, Pendekar Naga Putih kehilangan dua orang 

seperjalanannya di dalam sebuah hutan (Untuk jelasnya 

baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode: "Algojo 

Gunung Sutra"). Karena usaha pencariannya itulah, maka 

langkah kakinya terbawa hingga ke daerah Langkar, 

perkampungan nelayan ini. 

Dengan tidak pernah merasa bosan, Panji terus ber-

usaha mencari keterangan tentang dua orang temannya, 

Suntara dan Rahayu. 

"Ah! Lebih baik aku mencari kedai makan, karena di 

tempat-tempat seperti itu biasanya tersebar macam-

macam berita," ucap hati Panji.


Sudah cukup lama berjalan, akhirnya Panji menemukan 

sebuah kedai yang cukup ramai di Desa Langkar. 

Bergegas, dilangkahkan kakinya mendekati kedai. Namun 

belum lagi memasuki kedai yang dimaksud, langkahnya 

segera terhenti ketika terdengar bentakan-bentakan kasar. 

Pendekar Naga Putih itu menolehkan kepalanya ke arah 

perahu perahu nelayan yang sedang ditambatkan, ditempat 

bentak-bentakan tadi berasal. Dengan hati dipenuhi tanda 

tanya, Panji melangkahkan kakinya mendekati tempat itu. 

Dari kejauhan, terlihat para nelayan berkerumun dan 

memandang kesatu arah. Pendekar Naga Putih itu pun 

ikut membaurkan dirinya di antara kerumunan orang. 

Kening pemuda tampan itu berkerut ketika melihat suatu 

kejadian 

Beberapa puluh tombak di hadapannya, tampak 

seorang laki-laki kasar tengah membentak-bentak seorang 

laki-laki setengah baya yang bersimpuh di depannya. Laki-

laki setengah baya yang berpakaian seperti seorang nelayan 

itu menjawab dengan suara gemetar, dan penuh per-

mohonan. Beberapa luka memar tertera di wajah tuanya. 

Pendekar Naga Putih belum berani bertindak, karena 

sama sekali belum mengetahui duduk persoalannya. Maka 

pemuda digdaya itu hanya menyaksikan dengan kening 

berkerut. Tapi biar bagaimanapun juga, ia tidak menye-

tujui perbuatan laki-laki kasar itu. 

"Ingat, Pak Tua! Perbuatan ini akan menjadi mala-

petaka bagi seluruh keluargamu!" bentak laki-laki kasar itu 

dengan suara menggelegar. 

"Tapi, Tuan. Aku betul-betul belum mempunyai uang 

untuk membayar hutang-hutang itu. Tolonglah. Berilah


waktu satu minggu lagi, Tuan!" jawab laki-laki tua itu 

penuh permohonan. 

Deeesss! 

Sebuah tendangan keras menghantam iga laki-laki tua 

itu. Tubuhnya seketika terjengkang dan bergulingan 

sejauh satu tombak. Dia meringis-ringis kesakitan sambil 

memegangi iganya yang terasa remuk! Dari celah-celah 

bibirnya, tampak cairan merah mengalir turun. Dengan 

terbungkuk-bungkuk, laki-laki tua itu bangkit duduk. 

"Bangsat tua keras kepala! Apakah kau ingin seluruh 

keluargamu digantung Tuan Barja?! Kau tahu, sudah 

berapa lama kau tidak membayar hutang-hutangmu itu! 

Sudah hampir dua bulan, tahu! Dan setiap kali ditagih, 

selalu bilang tidak punya uang. Lalu, apa saja kerjamu 

selama ini, hah!" bentak laki-laki kasar itu semakin geram. 

Tangannya kembali terangkat hendak menghajar orang tua 

malang itu. Namun gerakannya terhenti, ketika terdengar 

suara halus, disusul munculnya seorang gadis manis yang 

langsung menghambur ke arah tubuh orang tua itu. 

"Ayaaah...!" 

Tubuh semampai itu langsung memeluk orang tua yang 

tengah bersimpuh sambil memegangi perutnya. Sejenak 

mata tua itu membelalak kaget, kemudian berubah 

memancarkan sinar kekhawatiran yang dalam. 

"Kami! Mengapa kau kemari, Nak? Tidak tahukah kau 

bahwa kedatanganmu akan menimbulkan malapetaka 

baru? Ya Tuhan..., selamatkan anakku dari kekejaman 

orang-orang jahat itu!" ujar orang tua itu dengan suara 

gemetar penuh kekhawatiran. 

Kekhawatiran yang ditunjukkan orang tua itu memang


tak terlalu berlebihan. Sebab orang yang disebut Tuan 

Barja oleh lelaki kasar yang menyiksanya itu, adalah 

seorang lelaki mata keranjang. Dan apabila matanya yang 

berminyak itu tertarik kepada seorang wanita, ia akan 

berusaha mendapatkannya dengan jalan apa pun! Sekali 

pun wanita yang diingininya itu telah bersuami! Itulah 

sebabnya, mengapa nelayan tua itu mengkhawatirkan 

keselamatan putrinya. 

"Tapi, Ayah. Aku tidak tahan melihat orang-orang 

kejam itu menyiksamu terus-menerus. Aku..., aku tidak 

tahan, Ayah!" 

Sehabis berkata demikian, tangis gadis itu pun 

meledak! Sehingga beberapa orang yang menyaksikan, 

memalingkan mukanya dengan penuh haru. Bahkan 

beberapa wanita di antaranya, sudah pula meneteskan air 

mata. Seakan-akan suami dan anak mereka sendirilah yang 

diperlakukan demikian. 

"Iblis! Kalian benar-benar tidak mempunyai perasaan 

kasihan sama sekali! Manusia kejam! Ayo, bunuh kami! 

Siksa kami! Lebih baik kami mati daripada diperlakukan 

seperti binatang begini!" teriak gadis yang dipanggil Kami 

itu, penuh amarah. 

Semenjak melihat gadis manis itu, laki-laki kasar tadi 

tersenyum penuh kelicikan. Di depan matanya terbayang 

sekantung uang yang akan didapat, apabila bisa membawa 

gadis itu kehadapan majikannya. 

"He he he.... Gadis anak Pak Tua itu, boleh juga, 

Kakang!" seru salah seorang kawan laki-laki kasar itu. 

Wajahnya menyeringai penuh nafsu. 

"Wah! Kita bisa berpesta, kalau bisa membawa gadis


itu kehadapan Tuan Barja," sahut yang lainnya lagi. 

Bibirnya tersenyum karena membayangkan hadiah besar 

yang bakal diterima 

Wajah laki-laki kasar yang semula bengis itu, 

mendadak ramah. Senyumnya membayang. Sikapnya 

benar-benar berubah, karena kehadiran Kami. 

"Hm..., Pak Tua. Kami yakin apabila anakmu mau 

membicarakan hal ini kepada Tuan Barja, tentu hutang-

hutangmu akan segera lunas. Dan kau sendiri akan 

mendapat sebuah perahu yang baik dan dapat digunakan 

semaumu! Bagaimana?" tanya laki-laki itu dengan suara 

yang dibuat ramah. 

"Oh, tidak! Jangan... biarlah aku berjanji akan 

melunasinya dalam dua hari ini," jawab nelayan tua itu 

ketakutan. Memang sudah dapat dibayangkan apa yang 

akan terjadi terhadap anak gadisnya itu. Wajah nelayan tua 

itu seketika pucat dan matanya berputar liar, seolah-olah 

hendak mencari dukungan dari orang-orang di sekitarnya. 

"Hm.... Jadi kau tidak mau menuruti anjuranku, 

monyet tua! Lagipula mana mungkin kau dapat melunasi 

hutangmu hanya dalam waktu dua hari! Ke mana kau akan 

mencari uang sebanyak itu, heh!" bentak laki-laki kasar 

yang sudah menjadi marah ketika mendengar penolakkan 

orang tua itu. 

"Ah! Sudahlah, Kakang. Buat apa melayani monyet tua 

itu. Bawa saja anak gadisnya, kan beres!" usul salah 

seorang kawannya. 

"Ah! Jangan! Jangan… Kasihanilah anakku, Tuan! Aku 

berjanji akan melunasinya," ratap orang tua itu, mulai 

gelisah.


"Huh! Minggat kau, monyet tua tak tahu diuntung!" 

bentak laki-laki kasar itu, sambil melayangkan kakinya ke 

perut nelayan tua itu Tubuh tua itu kembali terlempar 

akibat tendangan yang cukup keras, sehingga terlontar 

sejauh dua tombak. 

"Manusia biadab! Iblis kau...!" teriak Kami, langsung 

menubruk laki-laki kasar yang menyiksa ayahnya. Gadis 

itu memukul membabi buta. 

Namun, apa artinya pukulan seorang gadis lemah 

seperti Kami. Dengan sekali mengayunkan tangan saja, 

Kami kontan terpelanting terkena tamparan laki-laki kasar 

itu. 

"Huh, perempuan liar!" umpat laki-laki kasar itu, 

sambil mengulurkan tangan menangkap pergelangan 

tangan gadis tersebut. Langsung saja Kami diseret 

meninggalkan tempat yang masih dikerumuni orang itu 

"Oh, lepaskan! Lepaskan aku! Ayah, tolooong...!" 

Kami berteriak-teriak dan meronta-ronta dalam 

pondongan laki-laki kasar yang membawanya pergi ke 

rumah Tuan Barja majikannya. 

Panji yang semula berniat menolong gadis itu, seketika, 

membatalkan niatnya saat melihat sesosok bayangan merah 

berkelebat mendahuluinya. Pendekar Naga Putih itu 

kembali menonton dan menunggu perkembangan 

selanjutnya. Karena, ingin diketahui juga apa yang akan 

dilakukan si bayangan merah itu. 

"Hei, anjing-anjing busuk! Hendak kau bawa ke mana 

gadis itu?!" bentak si bayangan merah yang sudah berdiri 

dengan kaki terpentang, menghadang ke-empat orang 

laki-laki kasar itu.


"Sundari…! Apa pula yang dikerjakannya di tempat 

ini?" Panji menjadi terkejut begitu mengenali bayangan 

merah, yang tahu-tahu telah berada di tempat itu. 

Ucapan Panji memang tidak salah. Sosok bayangan 

merah itu memang Sundari yang berjuluk Dewi Tangan 

Merah. Gadis pendekar yang paling tidak suka terhadap 

segala perbuatan jahat itu langsung turun tangan ketika 

melihat kekejaman ber-langsung di depan matanya. 

Dengan wajah merah karena marah, Dewi Tangan Merah 

itu menudingkan telunjuknya yang mungil ke arah si laki-

laki kasar yang memondong tubuh Kami. 

"Turunkan gadis itu, atau nyawa anjingmu akan 

melayang!" ancam Dewi Tangan Merah tegas. 

"Wah, Kakang. Gadis yang kau pondong itu tidak ada 

artinya apabila dibandingkan dengannya. Eh, Nini Cantik. 

Apakah kau bersedia menggantikannya untuk menghadap 

Tuan Barja? Marilah! Tuan Barja pasti akan senang 

menerima kedatanganmu!" seru salah seorang kawan laki-

laki kasar itu, sambil mengulurkan tangannya menangkap 

pergelangan Sundari. 

Plakkk! 

"Aduuuh...!" 

Entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu saja tubuh 

laki-laki yang hendak menangkap tangan Sundari itu ter-

pelanting sambil berteriak kesakitan. Darah seketika 

mengucur dari celah-celah bibirnya yang pecah akibat 

tamparan tangan Sundari. 

"Pruhhh.... Pruhhh...!" laki-laki itu meludahkan darah 

yang terus mengalir. Bahkan beberapa buah giginya ikut 

tanggal akibat tamparan tangan halus tadi. "Bangsat!


Perempuan setan! Rupanya kau ingin cari mampus!" 

Sriiing! 

Laki-laki itu langsung mencabut pedang yang ter-

gantung di pinggangnya. Seketika diserangnya Dewi 

Tangan Merah dengan ganas. Sedangkan Sundari yang 

berjuluk Dewi Tangan Merah itu tersenyum mengejek, 

sambil menggeser tubuhnya sedikit. Dan tahu-tahu saja 

tangan kanannya dengan jari-jari terbuka mencelat 

menusuk tenggorokan lawan. Gerakannya cepat sekali, 

sehingga laki-laki itu tidak sempat lagi menghindar. 

Diiringi jeritan ngeri, laki-laki itu terjungkal sejauh 

satu depa! Setelah berkelojotan sesaat, tubuh itu pun 

meregang dan diam tak bergerak untuk seterusnya. Dia 

tewas dengan leher bolong. 

Melihat keadian Ini laki-laki kasar tadi segera me-

lepaskan tubuh Kami yang tengah dipondongnya. Matanya 

membelalak karena sama sekali tidak diduga kalau 

kawannya akan tewas di tangan gadis cantik itu. Malah 

hanya dalam segebrakan saja! 

"Perempuan ibilis! Siapa kau sebenarnya?! Dan apa 

maksudmu mencampuri urusan kami?!" teriak lelaki kasar 

itu gusar, penuh kemarahan. Meskipun sebenarnya ter-

kejut dan gentar menghadap gadis cantik itu, namun ia 

merasa malu untuk menunjukkan kelemahannya di depan 

orang banyak. Lelaki kasar itu mencabut goloknya diikuti 

kedua orang kawannya yang lain. Sundari diterjang dengan 

serangan yang ganas dan mematikan. Golok ketiga orang 

itu berkelebatan mengincar tubuh ramping yang 

menyelinap cepat, di antara sambaran-sambaran sejata. 

Dewi Tangan Merah itu rupanya sudah tak segan-segan


menurunkan tangan maut kepada tiga orang lawannya. 

Dan dalam beberapa saat saja terdengar tenakan ngeri. Itu 

pun masih disusul oleh terlemparnya salah seorang dari 

tiga lawan dalam keadaan tak bernyawa. Tak lama 

kemudian, kembali seorang menggelepar tewas akibat 

sambaran jari-jari tangan runcing yang mengandung hawa 

maut itu. 

"Perempuan keparat! Perempuan iblis! Kubunuh 

kau...!" teriak laki-laki kasar yang kini hanya tinggal 

seorang itu. Digerakkannya senjatanya membabi buta, 

karena sadar sepenuhnya bahwa ia tidak mungkin dapat 

mengalahkan gadis cantik berbaju merah yang ternyata 

sangat tinggi kepandaiannya. 

Tentu saja gerakan yang tak terarah itu semakin 

memberi peluang buat Sundari. Gadis itu sengaja tidak 

menghindar ketika pedang lawan mengarah pinggangnya. 

Dengan sebuah gerakan indah, gadis berbaju merah itu 

baru berkelit ketika pedang itu hampir membabat 

pinggangnya, sambil melepaskan sebuah tendangan kilat 

ke perut lawan 

Bukkk! 

Tubuh laki-laki kasar itu terjungkal keras mencium 

tanah berpasir. Namun ia masih berusaha untuk bangkit 

meskipun otot-otot perutnya terasa hancur. Sambil 

terbungkuk-bungkuk berusaha dipungut pedangnya yang 

terlempar dari tangannya. Wajahnya menyeringai me-

nahan rasa sakit yang hebat, sementara dari sela-sela 

bibirnya mengalir darah segar. 

"Heh, anjing buduk! Enyahlah dari sini! Laporkan pada 

majikanmu bahwa Dewi Tangan Merah akan berkunjung


untuk mengambil kepalanya. Cepaaat...! Jangan sampai 

aku berubah pikiran!" ancam Dewi Tangan Merah atau 

Sundari dengan wajah menyeringai. 

Sejenak laki-laki kasar itu meragu, seolah-olah tidak 

mempercayai pendengarannya. Tapi ketika mendengar 

bentakan gadis berbaju merah itu, ia pun segera meng-

ambil langkah seribu tanpa menoleh-noleh lagi. Laki-laki 

kasar itu berlari sambil memegangi perutnya yang masih 

terasa sakit akibat tendangan kilat Sundari. 

Dewi Tangan Merah itu berdiri terpaku, sambil 

memandangi kepergian lawannya 

"Nini Pendekar...! Terima kasih atas pertolonganmu. 

Entah apa jadinya terhadap putriku tanpa pertolongan 

Nini! Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih," ucap 

nelayan tua itu yang tahu-tahu saja telah berlutut di bawah 

telapak kaki Dewi Tangan Merah, diikuti putrinya. 

"Ah! Bangunlah, Paman! Dan kau juga Adik Manis. 

Bangunlah! Yang kulakukan tadi bukan apa-apa. Dan lagi 

pula itu memang sudah menjadi kewajibanku." ujar Dewi 

Tangan Merah merendah, sambil tersenyum manis dan 

mengangkat tubuh ayah dan anak itu supaya berdiri. 

"Nini. Sebaiknya Nini cepat-cepat meninggalkan desa 

ini, sebelum Logar dan kawan-kawannya datang kembali!" 

jelas nelayan tua itu dengan wajah penuh kecemasan. 

Nelayan tua itu memang tidak yakin kalau wanita berbaju 

merah itu dapat mengalahkan Logar yang terkenal ganas 

dan kejam. Dia juga tangan kanan Tuan Barja. 

"Hm.... Aku memang akan pergi, Paman. Tapi bukan 

untuk meninggalkan desa ini, melainkan hendak 

mengunjungi orang yang bernama Tuan Barja itu," Jelas


Dewi Tangan Merah tersenyum sabar 

"Tapi, tapi Nini. Tukang pukul Tuan Barja itu banyak 

sekali! Dan mereka rata-rata memiliki kepandaian cukup 

tinggi. Apalagi yang bernama Logar itu. Kepandaian silat-

nya hebat sekali, Nini. Dulu pernah ada seorang pendekar 

muda yang mencoba memperingati Tuan Barja tentang 

perbuatannya itu. Ya, dia memang suka memeras tenaga 

nelayan-nelayan miskin seperti saya ini. Dan Nini tahu 

akibatnya? Hhh..., pendekar muda itu tewas di tangan 

Logar dengan leher putus! Maka karena itulah kuperingat-

kan pada Nini. Sungguh aku tidak ingin Nini mengalami 

hal seperti itu. Bahkan mungkin nasib Nini akan lebih 

buruk lagi," ujar orang tua itu mengakhiri ceritanya. 

"Eh, Paman. Apakah sebabnya sampai mereka itu tega 

menyiksa Paman sedemikian rupa? Apakah kesalahan yang 

telah Paman perbuat? Kalau hanya soal hutang, bukankah 

Paman dapat membayarnya dengan hasil menangkap 

ikan?" tanya Dewi Tangan Merah mengalihkan pem-

bicaraan. Ia memang sengaja tidak menanggapi pem-

bicaraan nelayan tua itu, karena biar dijelaskan bagai-

manapun laki-laki itu tetap tidak akan paham. 

"Yahhh... Sebenarnya kalau hanya soal hutang, Paman 

rasa semua nelayan di kampung ini akan sanggup mem-

bayarnya. Namun, bunga yang kian hari kian membukit 

itulah, yang tidak sanggup dibayar," jawab nelayan tua itu 

sambil menghela napas berat. Seolah-olah dadanya ditekan 

sebongkah batu yang berat, sehingga napasnya harus 

segera dilonggarkan 

"Jadi, Paman sudah melunasi hutang yang diberikan 

Tuan Barja itu?" tanya Dewi Tangan Merah yang mulai


mengerti duduk persoalan sebenarnya 

"Benar, Nini! Namun Tuan Barja selalu menekan kami 

dengan bunga-bunga yang tak pernah habis. Setiap ter-

lambat membayarnya, maka bunga itu akan semakin 

berlipat. Apalagi dalam musim badai seperti ini, saat para 

nelayan tidak bisa melaut. Maka dapat Nini bayangkan, 

berapa banyak bunga yang harus kami bayar," jawab orang 

tua itu, lagi. 

"Kalau begitu, mengapa penduduk desa ini masih juga 

meminjam kepada Tuan Barja? Bukankah mereka sudah 

tahu kalau hal itu akan mendatangkan kesulitan?" tanya 

Dewi Tangan Merah penasaran. 

"Habis, ke mana lagi kami harus meminjam uang untuk 

membeli alat-alat penangkap ikan atau perahu, Nini? Kami 

terpaksa melakukannya! Sebab kalau tidak begitu, apa 

yang dapat diberikan kepada keluarga kami?" jawab orang 

tua itu bernada sedih. 

"Ah! Sudahlah, Paman! Sekarang lebih baik kembali 

saja. Biar aku yang akan membicarakan persoalan ini 

kepada Tuan Barja itu!" tegas Sundari. 

Selesai berkata demikian Dewi Tangan Merah ber-

kelebat lenyap dari hadapan ayah beranak itu. Cukup 

tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga membuat 

kedua teriongo-longo dengan wajah tidak percaya. Tubuh 

Dewi Tangan Merah bagai hilang ditelan bumi saja. 

"Oh! Mungkinkah ia seorang dewi yang sengaja di-

datangkan untuk menolong kita? Kalau seorang manusia, 

mengapa ia pandai menghilang?" gumam nelayan tua itu, 

setengah berharap. 

Tanpa sepengetahuan Dewi Tangan Merah mau pun


para nelayan yang berada di sekitar tempat itu, sesosok 

bayangan putih ikut pula melesat cepat luar biasa. 

Sehingga para nelayan itu hanya melihat seberkas sinar 

putih yang meluncur melewati kepala mereka. 

Bayangan putih yang memang adalah Panji itu sengaja 

mengikuti Sundari. Karena ingin dia ketahui apa yang akan 

diperbuat gadis itu terhadap orang yang disebut Tuan 

Barja. Pendekar Naga Putih itu sengaja memperlambat 

larinya, agar tidak diketahui Dewi Tangan Merah. 

Tidaklah terlalu sulit untuk menemukan rumah 

kediaman orang yang bernama Subarja atau biasa dipanggil 

Tuan Barja itu. Setelah bertanya pada salah seorang 

penduduk desa itu, Dewi Tangan Merah langsung melesat 

ke arah sebuah rumah besar dan megah. 

Tampak di depan pintu gerbang rumah besar itu dua 

orang tukang pukul Subarja tengah bertugas menjaga. 

Sementara itu dengan langkah ringan, Sundari meng-

hampiri pintu gerbang. Melihat kedatangan seseorang, dua 

orang penjaga itu segera menahan langkah Dewi Tangan 

Merah. 

"Nini, berhenti...!" perintah salah seorang dari kedua 

penjaga, sambil menghadang pintu masuk. 

"Eh! Mengapa menahanku? Apakah kawan kalian 

belum memberitahu?" tanya Dewi Tangan Merah sambil 

bertolak pinggang disertai senyum mengejek. 

"Bangsat! Rupanya kaulah perempuan liar itu!" bentak 

keduanya sambil menghunus pedang. Tanpa dikomando 

mereka langsung menerjang Dewi Tangan Merah dengan 

serangan gencar. 

Bagai burung walet, Sundari bergerak cepat meng


hindari serangan kedua orang penjaga itu. Dan tahu-tahu 

kedua tangannya meluncur bagai kilat! 

Desss! Bukkk! 

"Ahhhkkk...!" 

Kedua orang penjaga Itu tidak sempat lagi mengelak 

dari dua telapak tangan Sundari yang halus itu. Mereka 

terjungkal sambil memuntahkan darah segar dan langsung 

menggeletak pingsan. 

Dewi Tangan Merah itu langsung melesat ke arah 

bangunan utama rumah Tuan Barja. Sementara angin sore 

bersilir lembut, seolah olah memberikan semangat kepada 

Dewi Tangan Merah. 

***

DUA



"Hei, Subarja! Keluar kau...!" teriak Dewi Tangan Merah 

lantang. Teriakan yang didorong tenaga dalam tinggi itu, 

bergema ke seluruh pelosok rumah besar milik Tuan Barja 

Sebenarnya Dewi Tangan Maut tidak perlu berteriak 

seperti itu, karena belasan sosok tubuh yang memang 

sudah tahu kedatangannya telah berloncatan dari dalam 

gedung dengan gerakan gesit. Dan mereka langsung 

bergerak mengurung Dewi Tangan Merah, dengan 

berbagai macam senjata. 

Dari cara mengurungnya, Dewi Tangan Merah dapat 

menilai kalau tingkat kepandaian mereka rata-rata cukup 

tangguh. Jadi Dewi Tangan Merah tidak perlu mengulur-

ulur waktu lagi. Begitu tangannya bergerak, sebatang 

pedang yang bersinar kehijauan sudah tergenggam di 

tangan kanannya. 

"Hm.... Majulah, monyet-moyet busuk! Hari ini aku 

akan mengajak kalian untuk menikmati kematian. 

Haaaiiittt…!" segulung sinar kehijauan berkelebatan 

disertai suara mengaung tajam, membuat para pengurung-

nya serentak berloncatan mundur. 

Seeenggg! 

Mengetahui kekuatan yang terkandung di dalam 

sambaran pedang bersinar kehijauan itu cukup berbahaya 

para pengeroyok Dewi Tangan Merah tidak berani 

memapaknya. Belasan tukang pukul Tuan Barja itu ber-

gulingan ke kiri dan kanan, sambil bertukar posisi. Di lain


saat, tubuh mereka mencelat dan melakukan serangan dari 

segala penjuru secara bergolongan. Sebuah serangan 

balasan yang berbahaya dan telah diperhitungan cermat! 

Dewi Tangan Merah memutar pedang untuk me-

lindungi tubuhnya dari ancaman senjata lawan yang bagai-

kan air hujan itu. Sinar kehijauan bergulung-gulung 

menyelimuti seluruh tubuh ramping berbaju merah itu. 

Trang! Trang! Trang! 

Beberapa buah pedang lawan yang hampir menyentuh 

tubuhnya, berpatahan terlanggar pedang pusaka di tangan 

Sundari. Terdengar seruan-seruan tertahan dari para 

pengeroyok, yang merasa terkejut melihat keampuhan 

senjata Dewi Tangan Merah. Kesempatan seperti itu tidak 

dilewatkan begitu saja oleh Dewi Tangan Merah. Cepat-

cepat tubuhnya berkelebat disertai sambaran pedangnya. 

Terdengar jerit kematian merobek udara, ketika 

pedang sinar hijau di tangan Sundari berkelebat membabat 

tubuh dua orang lawan yang berada paling dekat dengan-

nya. Dua orang tukang pukul Tuan Barja itu terjungkal 

tewas tanpa dapat bangkit lagi! 

Bukan main marahnya para tukang pukul Tuan Barja 

ketika melihat dua orang kawan mereka telah menjadi 

korban pedang bersinar kehijauan lawannya itu. Kembali 

mereka menerjang Sundari dengan serangan serangan 

lebih ganas dan berbahaya. Senjata-senjata mereka ber-

kelebatan bagaikan iblis-iblis haus darah! 

Dewi Tangan Merah menangkis dua batang pedang 

yang meluncur ke tubuhnya. Tapi sebelum sempat mem-

balas, kembali dua batang pedang lainnya mengancam dari 

arah belakang. Cepat Sundari bergulingan ke kiri, sambil


menusukkan pedangnya ke salah seorang dari pem-

bokongnya. Orang itu menjerit tertahan ketika pedang di 

tangan Sundari menembus lambungnya. Tanpa dapat 

dicegah lagi orang itu ambruk ke tanah sambil memegangi 

lambungnya yang mengucurkan darah segar! 

"Tahaaan...!" tiba-tiba terdengar bentakan yang di-

barengi melayangnya sesosok tubuh ke tengah per-

tempuran. Sosok tubuh tinggi kurus itu berdiri tegak di 

hadapan Sundari dalam jarak dua tombak. 

"Hm..., Dewi Tangan Merah! Rupanya suatu nama 

besar telah membuatmu menjadi sombong dan tidak 

memandang muka kepada orang lain. Tapi di sini, kau 

jangan jual lagak, perempuan liar!" bentak orang bertubuh 

tinggi kurus itu. Suaranya melengking bagaikan suara 

seorang wanita saja layaknya. Pandang matanya yang tajam 

dan berpengaruh itu, membuat Dewi Tangan Merah 

merasa berhati-hati untuk menghadapi orang ini. 

"Huh, cacing kurus kurang makan! Kalau aku tidak 

salah lihat, bukankah kau yang berjuluk Setan Pemburu 

Mayat? Hi hi hi.... Tidak kusangka kalau kau begitu 

merendahkan dirimu sehingga menjadi anjing peliharaan 

Tuan Barja! Apakah kau kurang makan, cacing kurus?" 

ujar Dewi Tangan Merah sambil tertawa menghina 

Mendengar hinaan itu, bergetar sekujur tubuh orang 

yang berjuluk Setan Pemburu Mayat itu. Dengan sebuah 

gerengan murka, tubuhnya meluruk ke arah Dewi Tangan 

Merah dengan kedua tangan terkembang. 

Bresss! 

Debu mengepul tinggi ketika sepasang lengan Setan 

Pedang Pemburu Mayat yang bertenaga kuat mengenai


tempat kosong. Memang, Sundari sudah lebih dahulu 

menghindar disertai sebuah tendangan kilat yang 

mengancam kepala lawan. Cepat-cepat Setan Pemburu 

Mayat merendahkan tubuhnya sambil berputar dengan 

kaki terjulur menyapu kaki Dewi Tangan Merah. Sundari 

segera menarik pulang kaki dan melempar tubuhnya ke 

belakang. Empuk sekali menjejakkan kakinya, sejauh tiga 

tombak dari lawannya. 

"Siapkan jala...!" perintah Setan Pemburu Mayat. 

Belasan tukang pukul yang semenjak tadi hanya berdiri 

menonton pertarungan tersebut bergegas berlari meng-

ambil jala. Rupanya laki-laki kurus itu tidak ingin berlama-

lama menghadapi Dewi Tangan Merah. Meskipun 

sebenarnya tingkat kepandaian mereka tidak jauh atau 

bahkan mungkin seimbang. 

Tidak beberapa lama kemudian, delapan orang tukang 

pukul Tuan Barja telah siap dengan jala di tangan masing-

masing. Kelihatannya jala itu terbuat dari semacam akar 

pepohonan yang liat dan alot. Tak main-main, jala itu 

sudah diberi ramuan khusus sehingga tidak mudah putus. 

Bahkan oleh pedang sekalipun. 

Delapan tukang pukul itu sudah berloncatan mengitari 

Dewi Tangan Merah yang menjadi tegang karena keadaan-

nya sekarang benar-benar terancam! Sebelum delapan 

orang itu bergerak, tiba-tiba terdengar angin tajam 

berkesiutan, menuju Dewi Tangan Merah. 

Sundari menjadi terkejut sekali melihat dua buah sinar 

putih berkelebat cepat saling susul-menyusul! Gadis jelita 

itu segera bergulingan menghindarkan serangan maut yang 

dilakukan Setan Pemburu Mayat. Rupanya laki-laki itu


telah menggunakan sepasang pedang berukuran satu depa 

lebih. 

Setan Pemburu Mayat memang bukan tokoh kosong 

belaka! Karena ke mana pun tubuh Dewi Tangan Merah 

menghindar, sepasang pedang bercagak itu selalu 

membayanginya. Tentu saja hal ini membuatnya bergidik 

ngeri. Sehingga pada satu ketika, terpaksa harus ditangkis 

serangan lawan dengan pedangnya! 

Dan akibatnya benar-benar di luar dugaan Sundari! 

Entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu saja pedang di 

tangan lawan berputar dan membelit pedangnya! Sebelum 

Dewi Tangan Merah itu menyadari keadaannya, pedang 

yang di tangan kiri lawan sudah meluncur menebas 

pergelangan tangannya yang memegang pedang. Terpaksa 

Sundari melepaskan pedangnya dan bergulingan meng-

hindari sabetan berikutnya dari pedang lawan. Dalam 

keadaan terdesak, gadis itu masih sempat melepaskan 

sebuah pukulan jarak jauh mengandung tenaga 'Tangan 

Pasir Merah' yang menjadi ilmu andalannya. 

Wuuusss! 

Seketika serangan angin panas terlontar dari sepasang 

tangan Sundari yang sudah berubah berwarna merah 

sebatas siku. Angin itu terus meluncur, dan langsung 

menerpa tubuh Setan Pemburu Mayat yang tidak sempat 

lagi menghindar! 

Blukkk! 

"Huaaakkk...!" 

Tubuh Setan Pemburu Mayat terdorong mundur 

sejauh sepuluh langkah. Mulutnya memuntahkan darah 

segar yang berwarna agak kehitaman. Ternyata pukulan


'Tangan Pasir Merah' yang mengenai dada kirinya itu, 

telah membuat laki-laki kurus itu terluka dalam. Setan 

Pemuru Mayat berdiri terhuyung-huyung sambil menekap 

dadanya yang bagaikan terbakar itu. Tampak kulit dadanya 

berwarna agak kehitaman, sedangkan baju di bagian 

tubuhnya telah hancur bagaikan di makan api. 

"Kakang Logar, kau tidak apa apa...?" tanya salah 

seorang kawannya, sambil memburu ke arah Setan 

Pemburu Mayat yang ternyata bernama Logar itu 

"Gunakan jala itu untuk menangkapnya, goblok! 

Kuntilanak itu harus dapat ditangkap hidup-hidup!" 

bentak Setan Pemburu Mayat atau Logar penuh 

kemarahan. 

Kedelapan orang tukang pukul Tuan Barja yang 

memegang jala itu segera berputar untuk mengaburkan 

pandangan Dewi Tangan Merah. Sedangkan Logar juga 

sudah menerjang kembali dengan sepasang pedangnya 

yang berbahaya itu. Maka Dewi Tangan Merah yang sudah 

tidak bersenjata itu benar-benar kerepotan dibuatnya. 

Di tengah serangannya yang menderu-deru itu, tiba-

tiba tubuh Logar melompat jauh ke belakang. Dan pada 

saat yang sama, dua buah jala terlontar ke arah Dewi 

Tangan Merah. Gadis itu segera bergulingan untuk 

menghindarkannya. Namun ketika berdiri, sebuah jala lain 

tahu-tahu saja telah mengurungnya. Dewi Tangan Merah 

meronta-ronta berusaha keluar dari jala itu. 

Desss! 

"Ouggghhh...!" 

Dewi Tangan Merah mengeluh pendek, ketika sebuah 

tendangan keras telah menghantam punggungnya!


Ternyata Logar berbuat curang. Tubuh Dewi Tangan 

Merah langsung terjerembab ke depan. Darah segar mulai 

mengalir dari celah-celah bibirnya. 

Namun tiba-tiba saja, tubuh para tukang pukul yang 

memegang jala beterbangan bagaikan diamuk angin topan 

dahsyat! Terdengar teriakan-teriakan ngeri dari mulut 

mereka. Lima orang di antaranya ternyata telah tewas 

dengan tubuh membiru, seolah-olah diserang hawa dingin 

hebat! Sedang tiga orang lainnya tergeletak pingsan setelah 

menggigil hebat, bagaikan orang terserang demam tinggi! 

Logar dan para tukang pukul yang lainnya tersentak 

mundur dengan wajah pucat pasi. Mereka sama sekali 

tidak mengetahui, apa yang telah terjadi pada delapan 

orang kawannya itu. Dan mata mereka menjadi terbelalak 

ketika memandang seorang pemuda tampan berjubah 

putih, yang dengan tenangnya membebaskan Dewi Tangan 

Merah dari kurungan jala tadi. 

"Ah, rupanya Kakang Panji lagi, terima kasih! 

Kedatanganmu benar-benar tepat sekali," ujar Dewi 

Tangan Merah sambil tersenyum manis, ketika mengenali 

pemuda berjubah putih yang telah menolongnya itu. 

Pemuda tampan berjubah putih yang memang Panji 

dan lebih dikenal sebagai Pendekar Naga Putih itu, cepat 

memberikan sebutir ramuan berupa pil berwarna hijau. 

Tanpa bertanya lagi, Sundari segera menelannya. 

Beberapa saat kemudian, dirasakan hawa yang hangat 

berkumpul di pusar untuk kemudian menyebar ke seluruh 

anggota tubuhnya. Dan kini tubuhnya kembali terasa segar 

seperti semula. 

"Adik Sundari. Kau pergilah ke dalam, dan cari orang


yang bernama Subarja itu. Biar aku yang mengatasi 

mereka!" tegas Panji dengan suara tenang 

"Baiklah, Kakang! Kalau begitu, aku pergi dulu...!" 

seru Dewi Tangan Merah. 

Setelah berkata demikian, tubuh ramping itu pun 

berkelebat memasuki bangunan besar itu. 

Setan Pemburu Mayat dan para tukang pukul Tuan 

Barja segera bertindak untuk menghalangi Sundari. 

Namun sebelum dapat mengejar gadis itu, sebuah 

bayangan putih berkelebat menghadang mereka. 

"Heh, Anak Muda! Apa maksudmu mencampuri 

urusan kami? Bukankah kita belum saling berurusan?!" 

bentak Logar dengan suara garang. 

Meskipun Logar melihat apa yang telah menimpa pada 

kedelapan orang kawannya tadi, namun ia masih 

meragukan kebenarannya. Apakah benar pemuda tampan 

itu yang melakukannya, atau ada orang lain yang mem-

bantu dua orang muda itu secara sembunyi-sembunyi? 

"Hm.... Di antara kita memang tidak ada urusan, 

Kisanak! Tapi ketahuilah, bahwa kehadiranku dan Dewi 

Tangan Merah ke sini adalah sebagai wakil para nelayan 

yang telah diperas tenaganya oleh majikanmu," jawab 

Panji, masih tetap bersikap tenang tanpa menunjukkan 

amarah sedikit pun 

"Siapa kau sebenarnya, Anak Muda?! Dan apa 

hubunganmu dengan para nelayan di sini?!" tanya Logar 

sambil menggeram marah. 

"Sudahlah, Kakang! Untuk apa bertanya lagi. Bunuh 

saja pemuda usilan itu, habis perkara!" seru salah seorang 

kawannya yang rupanya sudah tidak sabar mendengar


pembicaraan itu. 

"Benar, Kakang. Bunuh saja dia!" seru yang lain, ikut 

mendukung perkataan kawannya tadi. 

"Hm... Jadi mau kalian begitu? Lalu mengapa tidak 

segera dilakukan? Apa lagi yang kalian tunggu?" tantang 

Panji sambil tersenyum lebar. 

"Bangsat! Kau makanlah senjataku! Hiaaattt...!" 

Dengan kemarahan yang menggelegak, salah seorang 

yang berbicara tadi segera menerjang Panji dengan ayunan 

pedangnya. Namun sebelum pedangnya menyentuh tubuh 

pemuda sakti itu, tiba-tiba orang itu terjungkal terhantam 

telapak tangan Panji yang telah dialiri 'Tenaga Sakti 

Gerhana Bulan'. Orang itu berkelojotan sesaat, kemudian 

tewas dengan dada remuk! 

Dapat dibayangkan, betapa terkejutnya Logar dan para 

tukang pukul lainnya menyaksikan kawan mereka tewas 

dalam segebrakkan saja. Seketika wajah mereka menjadi 

pucat, dan mata terbelalak seakan-akan tidak mempercayai 

kejadian itu. Tanpa sadar Logar dan kawan-kawannya 

melangkah mundur dengan hati diliputi kegentaran! 

"Siiiapppaaa... kau, Anak Muda...?" tanya Logar, 

suaranya begitu kering. Sambil berkata demikian, matanya 

memperhatikan mayat kawan kawannya. Mungkin saja dia 

dapat mengenalil tokoh persilatan yang memiliki ilmu 

pukulan berhawa dingin luar biasa seperti itu. 

"Apakah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?" 

sentak Logar. 

Dia kini teringat seorang pendekar muda yang telah 

mengguncangkan dunia persilatan dengan ilmu-ilmunya 

yang dahsyat. Dan menurut cerita, pendekar muda itu


berwajah tampan dan selalu mengenakan jubah putih. Ada 

selapis kabut bersinar putih keperakan yang menyelimuti 

tubuhnya. Tapi karena belum menyaksikan ciri-ciri yang 

terakhir dari pendekar itu, maka Logar pun masih sangsi 

akan dugaannya. 

"Begitulah, julukan yang diberikan orang kepadaku," 

jawab Panji tanpa merasa bangga sedikit pun pada 

julukannya. 

"Huh! Siapapun kau, maka atas perbuatanmu ini 

berarti telah menanamkan bibit permusuhan dengan Partai 

Rimba Hitam! Dan kau akan menyesali perbuatanmu hari 

ini!" ancam Logar yang terpaksa membuka kedoknya guna 

menakut-nakuti Panji. Karena biar bagaimanapun, Logar 

masih merasa gentar akan kepandaian lawannya yang 

masih muda itu. 

Namun alangkah kecewanya hati Logar ketika melihat 

lawannya sama sekali tidak terkejut terhadap ancamannya. 

Karena memang, Panji belum pernah mendengar partai 

yang misterius itu. Dan tentu saja ancaman Logar itu sama 

sekali tidak mengejutkannya. Sebaliknya, pemuda itu 

malah mengerutkan keningnya tanda tidak mengerti. 

"Hm..., apa maksudmu dengan ancaman itu? Dan 

partai macam apa, Partai Rimba Hitam itu? Bisakah kau 

menjelaskannya?" tanya Panji penasaran. 

Karena sudah terlanjur membuka kedok, maka Logar 

pun segera menjelaskan tentang Partai Rimba Hitam. 

Maksudnya agar lawan menjadi gentar dan tak lagi 

mencampuri urusannya. 

"Nah! Oleh karena itu, sayangilah nyawamu, Anak 

Muda. Karena dengan mencampuri urusanku berarti juga


telah berurusan dengan seluruh anggota Partai Rimba 

Hitam!" jelas Logar menutup keterangannya. Terbayang 

senyum kemenangan di bibirnya karena merasa yakin 

lawannya pasti akan gentar mendengar keterangannya. 

Tapi sayang dugaan Logar kembali meleset! Panji 

memang terkejut ketika mendengar keterangan Logar 

tentang Partai Rimba Hitam itu Namun, keterkejutannya 

bukan karena gentar. Melainkan karena justru mencurigai 

partai itu sebagai biang keladinya. Dan mungkin orang-

orang Partai Rimba Hitam itulah yang telah menculik 

Suntara dan Rahayu. 

"Hm.... Kalau begitu, kau harus tunjukkan padaku, di 

mana markas Partai Rimba Hitam itu!" 

Begitu ucapannya selesai, tubuh pemuda itu langsung 

melesat ke arah Logar dengan totokan-totokan yang cepat 

bagai kilat! Panji memang berniat menahan lawannya 

hidup-hidup, karena merupakan satu-satunya petunjuk 

yang dibutuhkan. 

Bukan main terperanjatnya Logar melihat lawannya 

yang bukannya gentar, tapi malah semakin ganas 

serangannya. Maka Logar menjadi kewalahan menghindar! 

serangan Panji yang luar biasa cepatnya itu. Dalam 

beberapa jurus saja Logar sudah terdesak hebat! 

Setelah lewat sepuluh jurus, Logar tidak mampu lagi 

untuk menghindari sebuah totokan tangan kanan Panji 

yang meluncur deras ke arahnya 

Tukkk! 

"Ughhh...!" 

Logar mengeluh pendek. Tubuhnya kontan ambruk 

bagaikan sehelai karung basah ketika totokan pemuda itu


mendarat telak dan melumpuhkannya. 

Namun belum lagi Panji sempat mendekati tubuh 

lawannya, tiba-tiba terdengar desingan senjata-senjata 

gelap yang mengancam dirinya. Panji menjejakkan kakinya 

ke tanah, maka seketika tubuhnya langsung melenting ke 

atas. Cepat bagai kitat, tangannya mengibas untuk 

meruntuhkan beberapa buah senjata yang masih meng-

ancamnya. 

"Bangsat curang...!" gerutu Panji begitu kakinya 

mendarat di tanah. Dan kegeraman pemuda itu bertambah 

ketika didapati tubuh Logar sudah tak bernyawa lagi, 

karena tertancap beberapa buah senjata di tubuhnya. 

Dengan penuh kemarahan, Panji segera berkelebat ke arah 

asal senjata-senjata gelap tadi. Setelah beberapa lama 

mengitari tempat itu, pemuda itu menjadi kecewa karena 

sama sekali tidak menemui apa yang dicarinya itu. 

"Tunggulah pembalasan Partai Rimba Hitam, Pendekar 

Naga Putih...!" samar-samar terdengar ancaman dari 

kejauhan. 

Ketika mendengar suara itu, tubuh Panji kembali ber-

kelebat ke arah asal suara tadi. Lagi-lagi pemuda itu harus 

menelan kekecewaan karena sama sekali tidak me-

nemukan apa-apa. Dengan langkah lesu Pendekar Naga 

Putih itu kembali ke tempat kediaman Tuan Barja untuk 

menemui Dewi Tangan Merah yang masih berada di situ. 

"Dari mana saja kau, Kakang ..?" tegur Dewi Tangan 

Merah ketika Panji memasuki pekarangan rumah 

kediaman Tuan Barja itu. Sementara di sebelahnya seorang 

laki-laki setengah tua dan berkepala setengah botak, 

tertunduk dengan wajah pucat.


"Hm.... Jadi inikah orangnya yang bernama Tuan Barja 

itu?" tanya Panji tanpa menjawab pertanyaan Sundari. 

"Benar, Kakang," jawab Sundari. "Nah, bandot tua. 

Sekarang ucapkanlah janjimu di hadapan Pendekar Naga 

Putih!" Sundari mendorong tubuh laki-laki gendut itu 

hingga terjajar ke depan. 

Laki-laki gendut yang bernama Subarja itu men-

jatuhkan dirinya berlutut di hadapan Pendekar Naga Putih 

sambil mengucapkan janjinya. Suaranya terdengar 

gemetar. 

"Kau ingat-ingatlah, Subarja! Apabila terdengar kau 

mengulangi perbuatanmu lagi, maka Dewi Tangan Merah 

dan Pendekar Naga Putih akan datang untuk mengambil 

kepala botakmu! Mengerti?!" bentak Dewi Tangan Merah 

yang membuat tubuh Subarja semakin gemetar. 

"Baik... baik, aku berjanji tidak akan mengulangi per-

buatanku lagi. Dan aku akan berusaha membantu nelayan-

nelayan di desa ini, Nini Pendekar," ucap Tuan Barja 

terputus-putus sambil mengangguk-anggukkan kepalanya 

yang agak botak itu. 

"Eh, Kakang. Kau belum menjawab pertanyaanku 

tadi?" ujar Sundari ketika keduanya melangkah bersisian 

meninggalkan kediaman Tuan Subarja. 

Mendengar pertanyaan itu, Panji kembali teringat 

kejadian yang benar-benar membuatnya amat penasaran. 

Segera diceritakan pengalamannya itu kepada Sundari, 

sehingga gadis itu pun menjadi penasaran dan marah 

dibuatnya. 

"Hm.., jadi Setan Pemburu Mayat itu adalah salah 

seorang anggota Partai Rimba Hitam. Pantas saja berani


berlagak. Rupanya dia mempunyai andalan yang tidak 

tanggung-tanggung. Hm.... Kalau begitu, kita harus 

mencari keterangan tentang letak markas Partai Rimba 

Hitam itu. Mari, Kakang...!" sambil berkata demikian 

Sundari segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya 

berlari mendahului Panji 

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji segera 

menggenjot tubuhnya dan langsung melesat menyusul 

Dewi Tangan Merah. Dalam beberapa saat saja tubuhnya 

sudah dapat disejajarkan di sebelah gadis itu. Diam-diam 

Dewi Tangan Merah ini semakin kagum akan kepandaian 

pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih itu. 

***


TIGA



"Berhenti...!" 

Sepuluh orang laki-laki gagah serentak menghentikan 

langkahnya ketika mendengar bentakan itu. Untuk be-

berapa saat lamanya, mereka hanya saling pandang satu 

sama lain dengan wajah heran. Namun, sikap kesepuluh 

orang itu terlihat tenang sekali, seolah-olah tidak merasa 

khawatir oleh suara bentakan yang menggelegar tadi. 

Tiga tombak di depan, tampak belasan laki-laki ber-

wajah bengis berdiri menghadang perjalanan sepuluh 

orang itu. Seorang laki-laki brewok yang merupakan 

pimpinan para penghalang itu melangkah ke depan. 

Lagaknya dibuat sewibawa mungkin, tapi justru 

memuakkan. Laki-laki brewok itu menatap ke arah 

sepuluh orang laki-laki gagah itu satu persatu, seperti 

seorang panglima perang yang sedang memeriksa barisan 

pasukannya. 

"Hm.... Hendak ke mana, kalian? Mengapa begitu 

tergesa-gesa?" tanya laki-laki brewok itu sambil bertolak 

pinggang dengan lagak sombong. Seolah-olah dia sedang 

bertanya kepada anak buahnya, sehingga sama sekali tidak 

memandang sebelah mata pun kepada sepuluh orang laki-

laki gagah itu. 

Seorang di antara sepuluh laki-laki gagah itu, me-

langkah ke depan mewakili kawan-kawannya yang lain. 

Wajahnya terlihat apik dan berwibawa. Ketenangannya 

menandakan kalau dia adalah orang sabar dan ber


pandangan luas. Sengaja dia mendahului untuk meng-

hindari hal hal yang tidak diinginkan. 

"Maafkan kami, Kisanak. Kami sedang menghadapi 

sebuah persoalan yang sangat pribadi dan sangat mendesak 

sifatnya. Maka ijinkanlah kami lewat. Sekali lagi kami 

mohon maaf," ucap laki-laki gagah itu sambil mem-

bungkuk hormat 

"He he he.... Kau pikir kami tidak tahu ke mana 

tujuanmu, Pendekar Tangan Sakti?! Bukankah kalian ingin 

mengunjungi Gunung Salaka? Nah, kalau begitu ber-

siaplah! Kami akan segera mengantar agar kalian lebih 

cepat tiba di sana untuk menemani si Tua Surya Kencana!" 

ujar laki-laki brewok itu. Suaranya bernada menghina 

sekali. 

Laki-laki gagah yang ternyata berjuluk Pendekar 

Tangan Sakti itu terkejut sekali ketika mendengar 

perkataan laki-laki brewok di depannya itu. Sama sekali 

tidak disangka kalau dirinya dapat dikenali. Lebih-lebih 

ketika laki-laki brewok itu menyebut-nyebut Gunung 

Salaka dan Ki Surya Kencana. Tanpa sadar Pendekar 

Tangan Sakti melangkah mundur sejauh lima tjndak! 

Meskipun wajahnya masih terlihat tenang, namun sinar 

matanya berkilat tajam 

Kesepuluh orang laki-laki gagah itu memang hendak 

mengunjungi Gunung Salaka setelah mendengar kematian 

Ki Surya Kencana. (Untuk lebih jelasnya baca serial 

Pendekar Naga Putih dalam episode: "Algojo Gunung 

Sutra"). Memang orang nomor dua di Perguruan Gunung 

Salaka itu adalah guru kesepuluh orang itu. Mereka 

meninggalkan Perguruan Gunung Salaka, karena ingin


meluaskan pengalaman. Begitu mendengar guru mereka 

tewas, para murid Perguruan Gunung Salaka yang tengah 

mencari pengalaman itu pun segera berbondong-bondong 

mengunjungi perguruan untuk memastikan kebenaran 

berita itu. Dan tanpa d sangka, tahu-tahu perjalanan 

mereka dihadang belasan orang yang sama sekali tidak 

menunjukkan sikap bersahabat 

"Hm..., siapa kau sebenarnya? Dan apa maksud meng-

hadang perjalanan kami?' tanya laki-laki yang berjuluk 

Pendekar Tangan Sakti itu. Pendekar Tangan Sakti yang 

benar-benar terpukul atas kematian gurunya yang tanpa 

diketahui siapa pembunuhnya menjadi curiga kepada laki-

laki kasar di depannya ini. Dan kini, laki-laki brewok itu 

tampaknya sangat memusuhi Perguruan Gunung Salaka. 

Memang bisa jadi orang ini mempunyai hubungan dengan 

pembunuhan gurunya. Apalagi melihat sikap laki-laki 

brewok yang mencurigakan itu. 

"He he he..., Pendekar Tangan Sakti! Demikian 

lemahkah ingatanmu sehingga tidak mengenaliku lagi? 

Apakah kau sudah lupa kejadian setahun yang lalu? Bukan-

kah gadis itu sudah menjadi istrimu?" ujar laki-laki brewok 

itu, mengingatkan. 

Kening Pendekar Tangan Sakti berkerut dalam. Jelas, 

dia tengah berpikir keras. 

"Ya, aku ingat sekarang!" jawab laki-laki gagah itu 

setelah berpikir sesaat. "Lalu, apa maumu sekarang, Setan 

Kali Gantang! Apakah ingin membalas dendam?" 

Pendekar Tangan Sakti mulai waspada ketika 

mengenali laki-laki brewok yang menghadangnya itu. 

Tatapan matanya tajam, mengawasi orang di depannya.


"He he he...., kira-kira begitulah!" jawab laki-laki 

brewok yang berjuluk Setan Kali Gantang itu. Sikapnya 

benar-benar memandang rendah lawan. 

Melihat sikap lawan yang sepertinya begitu yakin dapat 

mengalahkannya, Pendekar Tangan Sakti tidak mau ber-

tindak ceroboh. Maka segera dipersiapkan tenaga dalam-

nya untuk menghadapi segala kemungkinan yang bakal 

terjadi. Sementara kawan-kawannya sudah pula meng-

hampiri ketika melihat sikap Pendekar Tangan Sakti yang 

seperti akan bertarung itu. Namun sebelum kesembilan 

orang kawan Pendekar Tangan Sakti bertindak, tiba-tiba... 

"Seraaanggg...!" teriak laki-laki brewok yang berjuluk 

Setan Kali Gantang. 

Belum juga gema suara itu hilang, laki-laki kasar itu 

sudah mencabut sebilah golok besar dari pinggangnya. 

Langsung saja diterjangnya Pendekar Tangan Sakti. 

Sementara pendekar itu langsung berkelit dan membalas 

dengan pukulan-pukulan yang menimbulkan desir angin 

tajam. Dalam waktu singkat saja, keduanya segera terlibat 

pertarungan sengit dan mati-matian. 

Demikian pula belasan orang anak buah Setan Kali 

Gantang. Mereka sudah berlompatan menyerbu sembilan 

orang kawan Pendekar Tangan Sakti. Yang segera 

menyambut dengan tidak kalah ganasnya. Bunga api 

berpijaran ketika senjata-senjata dari kedua belah pihak 

berbenturan sehingga menimbulkan suara berdering yang 

memekakkan telinga. Kilatan kilatan pedang dan golok 

berkelebatan dan menyambar-nyambar mencari sasaran. 

Akibatnya membuat pertempuran itu semakin ramai dan 

sengit!


*** 

Setelah bertempur selama kurang lebih lima jurus, 

sembilan orang kawan Pendekar Tangan Sakti terkejut 

sekali. Ternyata kepandaian lawan-lawan mereka ternyata 

cukup hebat! Tidak heran kalau mereka yang telah di-

gembleng di Perguruan Gunung Salaka itu harus 

mengeluarkan seluruh kemampuan. Gerakan-gerakan 

lawan ternyata cukup gesit dan membingungkan. Seolah-

olah belasan orang itu memang sudah dipersiapkan sejak 

lama! Dan hal itu benar-benar di luar dugaan mereka. 

Sedangkan pertarungan Pendekar Tangan Sakti 

melawan Setan Kali Gantang tampak berlangsung 

seimbang. Pendekar itu memang pernah mengalahkan 

Setan Kali Gantang pada setahun yang lalu. Tapi kini 

hatinya merasa terkejut sekali melihat kemajuan lawannya. 

Padahal, dulu Setan Kali Gantang dapat dikalahkan tak 

lebih dari sepuluh jurus. Kini belasan jurus telah dilalui, 

namun Pendekar Tangan Sakti belum juga dapat mendesak 

lawannya. Apalagi untuk mengalahkan. Dan hal ini benar-

benar mengejutkan baginya. 

Pada jurus kedelapan belas, Pendekar Tangan Sakti 

mulai mengeluarkan salah satu ilmu andalan perguruannya 

'Sebelas Jurus Penahan Ombak'. Jurus ini diciptakan Ki 

Tunggul Jagad untuk menahan serangan yang bagaimana 

pun hebatnya. Di dalam jurus itu terkandung pukulan-

pukulan tersembunyi yang dapat dilontarkan secara 

mendadak, dan sama sekali tidak diduga lawan 

Setan Kali Gantang tersentak kaget, ketika setiap 

serangan yang dilakukan bagaikan membentur benteng


yang tak tampak. Beberapa kali tubuhnya terdorong 

mundur dan terhuyung-huyung ketika melakukan 

serangan gencar. Meskipun demikian, semangat Setan Kali 

Gantang memang patut dipuji. Hatinya sama sekali tidak 

merasa gentar. Diiringi sebuah teriakan parau, Setan Kali 

Gantang memutar-mutar golok besarnya hingga 

menimbulkan angin menderu-deru. Tubuhnya melesat 

diiringi suara mengaung yang ditimbulkan golok besarnya. 

Pendekar Tangan Sakti mempercepat gerakan tangan-

nya untuk menghalau serangan lawan. Disertai hentakan 

keras, tubuhnya segera berputar sehingga bacokan Setan 

Kali Gantang hanya mendapatkan tempat kosong. Namun 

gerakan Pendekar Tangan Sakti tidak sampai di situ saja. 

Tangan kanannya yang berputar itu, tiba-tiba mencelat 

cepat bagai kilat menuju lambung lawan! 

Bukan main terkejutnya Setan Kali Gantang ketika 

melihat serangan mendadak itu. Sedangkan pada saat itu 

dirinya dalam keadaan membacok. Sehingga, kesempatan-

nya untuk menghindar pupus sudah. 

Desss! 

"Aaakkkhhh...!" 

Setan Kali Gantang menjent tertahan ketika pukulan 

yang dilancarkan Pendekar Tangan Sakti menghantam 

lambung. Tubuh laki-laki brewok itu melintir bagai 

putaran gangsing. Belum lagi dapat mengatur kuda-kuda-

nya, tiba-tiba tubuh Pendekar Tangan Sakti sudah men-

celat mengejarnya. Tidak sampai di situ saja, pendekar itu 

langsung mendorongkan kedua telapak tangannya sepenuh 

tenaga! 

Bukkk!


Setan Kali Gantang menjerit tinggi ketika sepasang 

lengan yang dialiri tenaga dalam penuh itu menggedor 

dadanya. Kontan tubuh laki-laki itu terjungkal dan ambruk 

di tanah sejauh satu setengah tombak. Darah segar 

mengallr dari celah-celah bibirnya yang memucat. Setelah 

memuntahkan darah segar beberapa kali, tubuh Setan Kali 

Gantang itu diam tak bergerak lagi, tewas dengan dada 

hancur. 

Pada saat yang bersamaan terdengar pula jerit kematian 

yang merobek angkasa. Empat sosok tubuh telah ter-

jerembab dalam keadaan tewas. Perut dan lambung 

mereka masing-masing robek ditembus senjata. Salah 

seorang di antaranya adalah murid Gunung Salaka yang 

sebelumnya telah menewaskan dua orang lawannya. 

Pertempuran kembali berlangsung sengit. Korban dari 

pihak anak buah Setan Kali Gantang kembali berjatuhan 

ketika salah seorang murid Gunung Salaka membabatkan 

pedangnya sehingga merobek perut dua orang lawannya. 

Pendekar Tangan Sakti yang telah terjun dalam arena 

pertempuran kembali, telah pula merobohkan seorang 

lawan dengan pukulan ampuhnya. Dan hal itu semakin 

menambah semangat kawan-kawannya. 

Para pengeroyok yang kini tinggal tiga belas orang itu, 

menjadi kalang kabut menghadapi gempuran murid-murid 

Gunung Salaka. Kini mereka hanya dapat bertarung sambil 

mundur, karena rasa gentar telah mulai menguasai hati 

mereka. 

Brettt! Brettt! 

"Ouuuggghhh...!" 

Terdengar suara senjata yang mengenai sasaran. Lima


orang penghadang kembali terjerembab dengan tubuh 

berlumuran darah! Mereka tewas tersambar lima batang 

pedang yang dikelebatkan murid-murid Gunung Salaka 

yang telah haus darah itu. Tentu saja hal itu semakin 

menambah ciut hati para lawan. Mata mereka pun mulai 

liar, mencari-cari kesempatan untuk meloloskan diri. 

Namun kesembilan Pendekar Gunung Salaka itu sama 

sekali tidak memberi kesempatan kepada musuh-musuh-

nya untuk meloloskan diri. 

Namun pada saat para penghadang yang kini tinggal 

delapan orang itu kalut, tiba-tiba melesat tiga sosok 

bayangan yang langsung memasuki kancah pertempuran. 

Begitu ketiga sosok bayangan itu menggerakkan tangan-

nya, tiga orang pendekar dari Gunung Salaka kontan 

terjungkal ke belakang dihantam oleh pukulan bertenaga 

dalam tinggi. Darah segar mengalir dari sela-sela bibir 

mereka. Dengan gerakan limbung, tiga orang Pendekar 

Gunung Salaka itu mencoba bangkit berdiri. 

"Ha ha ha..., cecurut-cecurut Gunung Salaka! Sebentar 

lagi kalian akan menyusul si tua bangka Surya Kencana 

itu!" ujar salah seorang dari tiga bayangan itu, sambil 

tertawa pongah. Wajahnya yang berwarna kuning 

memang mudah dikenali. Siapa lagi kalau bukan Ular 

Muka Kuning yang telah menewasakan Ki Surya Kencana! 

Sedang sosok yang kedua adalah seorang wanita cantik 

berambut merah. Kepandaiannya juga tidak bisa di-

pandang rendah, karena termasuk salah seorang tokoh 

golongan sesat yang kejam dan genit. Kesenangannya 

adalah menggaet pemuda-pemuda tampan. Entah sudah 

berapa banyak pemuda tampan yang telah jadi korban


rayuan dan kecantikannya. Tapi, begitu merasa bosan, 

maka korbannya akan dibunuh dengan mulut tersenyum. 

Sehingga, dalam dunia persilatan ia dijuluki Setan Cantik. 

Dan yang sangat mengejutkan hati para pendekar 

Gunung Salaka itu, adalah orang ketiga. Tubuhnya 

jangkung dengan sebaris kumis lebat menghias wajahnya 

itu. Jelas-jelas hal ini membuat mata para pendekar 

Gunung Salaka terbelalak bagai melihat hantu di siang 

bolong! 

*** 

"Ki Ageng Sampang...!" teriak mereka berbarengan, 

dengan wajah pucat 

"Ki Ageng! Apa..., apa maksudnya semua ini...?" seru 

Pendekar Tangan Sakti, kebingungan. 

Memang, bagaimana hati pendekar itu tidak menjadi 

bingung? Sebab, selama ini dia mengenal Ki Ageng 

Sampang adalah sahabat guru mereka, Ki Surya Kencana. 

Tapi, mengapa sekarang tahu-tahu orang tua yang berjuluk 

Algojo Gunung Sutra itu, berpihak kepada tokoh-tokoh 

sesat? Padahal Ki Ageng Sampang yang selama ini mereka 

kenal adalah orang tua yang sabar dan bijaksana. Tentu saja 

hal itu sangat membingungkannya. 

"Ha ha ha...! Rupanya kau belum mengerti maksudku, 

anak bodoh! Ketahuilah bahwa kedatanganku ke sini untuk 

mengantarmu menemui Ki Surya Kencana. Nah, ber-

siaplah," ujar orang yang berwajah Ki Ageng Sampang itu, 

dingin. Dan begitu ucapannya selesai, tubuh jangkung itu 

segera melayang ke arah Pendekar Tangan Sakti yang


masih berdiri bagai orang linglung. 

Wuttt! 

Sambaran tangan orang tua jangkung itu hebat sekali. 

Serangkum angin dingin berhembus mendahului gerakan 

tangannya. Untunglah Pendekar Tangan Sakti cepat me-

rendahkan tubuhnya, sehingga serangan orang tua itu 

lewat beberapa rambut di atas kepalanya. Kalau tidak, 

pasti batok kepalanya remuk terkena hantaman itu! Begitu 

serangan itu berhasil dielakkan, tubuhnya pun mencelat ke 

belakang untuk menghindari serangan berikutnya. 

Pendekar Tangan Sakti yang menyadari siapa lawannya, 

segera mengempos semangatnya. Dikerahkannya seluruh 

tenaga dalam untuk memainkan ilmu 'Menggetar Langit 

Mengacau Bumi'. Ilmu ini merupakan andalan Guru Besar 

Gunung Salaka, Ki Tunggul Jagad. Orang tua itu memang 

telah mewariskan ilmu-ilmu tingkat tinggi kepada setiap 

muridnya yang memiliki bakat bagus dalam ilmu silat. Dan 

salah seorang yang beruntung adalah Pendekar Tangan 

Sakti. Dan dalam urutan perguruan, Pendekar Tangan 

Sakti dapat disejajarkan dengan tokoh perguruan lainnya 

seperti Santiaji dan Ranjita. Maka dapatlah diukur sampai 

di mana kepandaian yang dimiliki pendekar itu. 

Dengan ilmu yang jarang digunakan, Pendekar Tangan 

Sakti menyerang sepenuh tenaga orang yang bertubuh 

jangkung itu. Angin keras berputar, ketika Pendekar 

Tangan Sakti melancarkan serangan ke arah lawan! Kedua 

tangannya bergerak sallng susul menyusul disertai desiran 

angin tajam, sehingga jubah lawan berkibaran. 

Tapi sayang tenaga dan kematangan ilmu yang dimiliki 

Pendekar Tangan Sakti masih belum mampu menandingi



musuhnya. Sehingga biarpun telah dikerahkan seluruh 

kemampuannya, tetap saja tidak dapat mendesak lawan 

yang memang berkepandaian jauh lebih tinggi darinya. 

Orang tua bertubuh jangkung yang menyamar sebagai 

Ki Ageng Sampang itu bergerak lincah menghindari setiap 

serangan yang dilancarkan Pendekar Tangan Sakti dengan 

mulus. Bahkan sesekali masih sempat melontarkan 

pukulan berbahaya ke arah pendekar itu. 

Sementara itu, delapan orang Pendekar Gunung Salaka 

lain sudah pula terlibat dalam pertarungan yang berat 

sebelah. Mereka harus mengerahkan seluruh kemampuan 

untuk membendung serangan Ular Muka Kuning dan 

Setan Cantik yang dibantu delapan orang penghadang tadi. 

Tentu saja keadaan itu membuat delapan orang Pendekar 

Gunung Salaka terdesak hebat! Kalau saja Ular Muka 

Kuning dan Setan Cantik tidak dibantu delapan orang 

lainnya, tentu delapan Pendekar Gunung Salaka itu masih 

dapat mengimbanginya. Namun sekarang? Maka, keadaan-

nya pun kini menjadi terbalik. 

Pada jurus kesembilan belas, tiga orang dari para 

Pedekar Gunung Salaka itu menjerit tinggi. Tubuh mereka 

terlempar akibat pukulan yang dilontarkan Ular Muka 

Kuning dan Setan Cantik. Tiga orang pendekar itu 

terbanting dengan isi perut hancur. Tewas seketika. 

Melihat keadaan itu, bukan main marahnya hati para 

Pendekar Gunung Salaka! Tapi biar menggunakan seluruh 

tenaga dan kepandaian, tetap saja keadaan mereka tidak 

berubah! Bahkan lebih buruk dalam menghadapi lawan-

nya. 

Brettt! Brettt!


"Aaakh.!" 

Kembali terdengar jerit kematian yang dibarengi 

melambungnya dua orang Pendekar Gunung Salaka yang 

lainnya. Ternyata mereka tersambar pedang lawan dan 

tewas seketika dengan luka memanjang di tubuh. Tiga 

orang lainnya yang tersisa seketika tersentak mundur 

disertai wajah pucat. Hati mereka benar-benar terpukul 

menyaksikan kawan-kawannya dibantai di depan mata 

tanpa mampu berbuat apa-apa 

Di arena lain, keadaan Pendekar Tangan Sakti pun 

tidak berbeda jauh. Keadaannya, bagai telur di ujung 

tanduk yang sewaktu waktu jatuh dan hancur. Diam-diam 

hati Pendekar Tangan Sakti mengeluh ketika merasakan 

kalau kepandaian lawannya ternyata sangat tinggi. Apalagi 

ketika mendengar suara jerit kematian kawan-kawannya. 

Hati Pendekar Tangan Sakti bagaikan teriris. Memang 

mereka sama sekali tidak mengetahui apa sebabnya hingga 

orang-orang itu sampai menyerang mereka. 

Desss! 

"Aaahhhkkk...!" 

Tubuh Pendekar Tangan Sakti terjungkal ketika sebuah 

tendangan sangat keras dari lawannya telah menghantam 

dadanya! Darah segar menyembur diiringi teriakannya 

yang parau. Ternyata Pendekar Tangan Sakti harus 

membayar mahal akibat kelalaiannya itu! Di saat tubuhnya 

masih bergulingan, serangan lawannya kembali datang 

untuk segera membinasakan Pendekar Tangan Sakti. 

Wuttt! 

Plakkk! 

"Aihhh...!"


Pukulan maut yang semula hendak menghabisi nyawa 

Pendekar Tangan Sakti itu, berhasil disampok oleh sesosok 

bayangan merah yang tiba-tiba saja melesat di antara 

keduanya. Namun, bayangan merah itu menjerit tertahan 

dan tubuhnya terpelanting akibat menangkis pukulan yang 

bertenaga dalam kuat itu! Meskipun demikian, bayangan 

merah itu telah berhasil menyelamatkan nyawa Pendekar 

Tangan Sakti dari kematian! 

Berbarengan dengan kejadian itu, ditempat Iain, tiga 

orang Pendekar Gunung Salaka tengah terdesak hebat. 

Mereka tak dapat lagi menyelamatkan diri dari sabetan 

senjata tiga orang lawannya. 

Brettt! Brettt! 

"Aaahk...!" 

Bresss! 

"Wuaaa...!" 

Tubuh ketiga orang Pendekar Gunung Salaka itu 

terpelanting tersabet senjata lawan-lawannya! Darah segar 

menghambur keluar dari luka yang menganga di tubuh 

mereka. Ketiganya terbanting tewas seketika tanpa ampun 

lagi. 

Pada saat ketiga orang Pendekar Gunung Salaka itu 

terpelanting, mendadak meluncur ke tengah arena sesosok 

tubuh yang mengeluarkan sinar berwarna putih 

keperakan. Kedua telapak tangannya didorongkan ke 

depan. Seketika serangkum angin yang berhawa dingin 

luar biasa berhembus keras, bagaikan badai salju yang 

menggetarkan udara di sekitar arena pertarungan itu. 

Ular Muka Kuning, Setan Cantik, dan kedelapan orang 

lainnya, langsung terjengkang bagaikan diterpa angin


topan dahsyat! Tiga orang terdepan yang telah 

menewaskan tiga Pendekar Gunung Salaka, kontan tewas 

dengan tubuh kebiruan! Sedangkan lima orang lainnya 

bergelimpangan pingsan, akibat dorongan dahsyat itu. 

Hanya dua orang yang masih dapat bertahan akibat 

dorongan luar biasa tadi. Mereka adalah Ular Muka 

Kuning dan Setan Cantik! Namun, Keduanya tetap saja tak 

luput dari serangan pukulan berhawa dingin luar biasa itu. 

Tubuh dua tokoh itu menggigil bagaikan terserang demam 

tinggi! Cepat-cepat mereka mengatur pernapasan untuk 

mengusir hawa dingin yang mengeram dalam tubuh. 

"Pendekar Naga Putih...!" teriak Ular Muka Kuning 

dan Setan Cantik berbarengan, dengan wajah memucat! 

Keduanya tersentak mundur dengan gerakan limbung. 

Pandangan mata mereka terpancar rasa gentar yang tak 

dapat disembunyikan. 

***

EMPAT


Memang tidak salah apa yang diteriakkan Ular Muka 

Kuning dan Setan Cantik itu. Di hadapan mereka berdiri 

sesosok tubuh yang terselimut selapis kabut putih 

keperakan! Siapa lagi kalau bukan Pendekar Naga Putih, 

yang datang bersama Dewi Tangan Merah. 

"Kakang Panji, mereka itu tokoh-tokoh sesat yang 

berjuluk Ular Muka Kuning dan Setan Cantik! Sedangkan 

orang tua bertubuh jangkung itu kalau tidak salah si Setan 

Muka Seribu!" kata Dewi Tangan Merah yang tahu-tahu 

saja sudah berada di samping Panji, bersama Pendekar 

Tangan Sakti yang telah ditolong oleh bayangan merah, 

dan ternyata Sundari. Dan memang tidak mampu kalau 

untuk melindungi Pendekar Tangan Sakti terus-menerus 

dari ancaman Setan Muka Seribu yang memiliki 

kepandaian lebih tinggi darinya. 

"Eh! Bagaimana kau bisa mengenali mereka, Adik 

Sundari? Apakah kau pernah bertemu atau mengenal 

mereka sebelumnya?" tanya Panji sambil menolehkan 

kepala menatap gadis jelita berbaju merah itu. Masalah-

nya, dalam usia semuda itu Sundari sudah memiliki 

pengetahuan luas tentang tokoh-tokoh rimba per silatan. 

Benar-benar seorang gadis hebat! 

"Tentu saja mengenal mereka. Bahkan pernah me-

rasakan kelihaian masing-masing! Dan di antara mereka 

bertiga, hanya Setan Muka Seribu-lah yang paling tinggi


kepandaiannya. Rasanya aku pun tidak akan sanggup untuk 

menghadapinya, Kakang," jawab Dewi Tangan Merah 

sejujurnya. 

"Tapi, bagaimana kau bisa mengenali Setan Muka 

Seribu yang kini menyamar sebagai Algojo Gunung 

Sutra?" tanya Panji penasaran. 

"Benar! Sedangkan aku saja masih dapat ditipuya, 

hingga tidak mengenali sama sekali!" timpal Pendekar 

Tangan Sakti juga merasa heran, kerena ia sendiri tidak 

dapat membedakannya. 

"Semula aku memang menganggap orang tua itu 

sebagai Algojo Gunung Sutra. Tapi ketika menangkis 

pukulannya yang diarahkan kepada Pendekar Tangan 

Sakti, aku baru dapat mengenali. Sebab pukulan yang 

digunakannya sudah pernah membuatku terluka dalam! 

Bahkan mungkin akan tewas, kalau saja pada saat itu 

guruku tidak datang menyelamatkanku. Itulah sebabnya, 

Kakang. Mengapa aku dapat mengenali manusia busuk 

yang sangat berbahaya itu. Rasanya aku tak sabar ingin 

melihat dia pergi ke neraka!" Dewi Tangan Merah 

mengakhiri cerita. Kata-katanya yang terlontar memang 

mengandung kegemasan. 

"Hm..., berarti satu teka-teki terjawab sudah. Pantas 

saja Paman Ranjita sampai tidak dapat membedakan antara 

Algojo Gunung Sutra yang asli dan yang tiruannya. Bahkan 

aku sendiri pun tidak dapat membedakan, apabila tidak 

bertanding dulu sebelumnya atau melihat gerakannya!" 

ujar Panji. Setelah berkata demikian, kembali dilayangkan 

pandangannya ke arah tiga tokoh sesat yang juga telah 

berkumpul itu.


"Huaaakkk...!" tiba tiba Pendekar Tangan Sakti 

kembali memuntahkan darah berwarna agak kehitaman! 

"Uh, rupanya pukulan iblis itu telah mengakibatkan luka 

cukup parah dalam dadaku," keluh Pendekar Tangan Sakti 

yang wajahnya agak memucat. Sementara kedua tangan 

menekap dadanya yang terasa nyeri dan sesak 

"Cepatlah telan obat ini, Paman. Obat ini manjur 

sekali untuk menyembuhkan luka dalam akibat pukulan-

pukulan beracun," Pendekar Naga Putih, menyerahkan 

sebutir pil berwarna hijau. 

Pendekar Tangan Sakti segera menerima pil itu, dan 

tanpa ragu-ragu lagi segera dimasukkan ke dalam mulut-

nya. Beberapa saat setelah menelan pil yang berwarna 

hijau itu, Pendekar Tangan Sakti mulai merasakan 

keampuhan obat yang diberikan Pendekar Naga Putih. 

Hawa hangat mulai menebar dari bawah pusarnya dan 

terus mendorong ke dada. Tidak lama kemudian, 

Pendekar Tangan Sakti kembali memuntahkan segumpal 

darah kental berwarna kehitaman. Dan kini berangsur-

angsur tubuhnya segar dan ringan. Dengan penuh rasa 

heran segera dicobanya untuk mengerahkan hawa murni. 

Dan kembali pendekar itu merasa terheran-heran, ketika 

merasakan aliran hawa murninya lebih kuat dari semula. 

"Wah! Obat ini sungguh hebat, Panji! Terima kasih 

atas pertolongan memberikan obat itu kepadaku," ucap 

Pendekar Tangan Sakti sambil berkali-kali mem-

bungkukkan tubuhnya kepada Panji, dengan wajah berseri-

seri 

"Ah! Sudahlah, Paman. Di antara kawan sendiri 

mengapa harus sungkan-sungkan," ujar Pendekar Naga


Putih yang bersikap wajar, seolah-olah sama sekali tidak 

ingin dipuji. 

Setelah berkata demikian, Panji segera melangkah 

mendekati tiga tokoh sesat yang telah membuat geger 

dunia persilatan. Bahkan sepak terjangnya telah meresah-

kan dua buah partai besar yaitu Perguruan Gunung Salaka 

dan Perguruan Gunung Sutra. Akibatnya kedua pertai 

besar itu saling memusuhi satu sama Iain. (Untuk lebih 

jelas, baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode: 

"Algojo Gunung Sutra"). 

"Hm.... Setan Muka Seribu, apa maksudmu membuat 

kemelut dalam rimba hijau? Akibatnya kau tahu?! Telah 

terjadi permusuhan antara tokoh-tokoh golongan putih 

dari dua partai terbesar pada saat ini? Tidakkah kau sadar 

bahwa perbuatanmu itu telah memecah belah rimba 

persilatan golongan putih? Dan kau tahu, hukuman apa 

yang pantas untukmu apabila kau kuhadapkan kepada 

mereka?" ancam Panji dengan sinar mata berkilat penuh 

kemerahan. Meskipun demikian, sikap pemuda digdaya 

itu masih saja terlihat tenang. Kalau saja sinar mata itu 

tidak berkilat, pasti ketiga tokoh sesat itu akan terbahak-

bahak mendengar pertanyaan yang bernada bodoh itu. 

"Huh! Pendekar Naga Putih. Janganlah kau kira kami 

takut pada ilmu-ilmumu yang mengerikan itu! Ketahuilah, 

bahwa pada saat ini kau tengah berhadapan dengan orang-

orang Partai Rimba Hitam! Dan akan kau rasakan 

akibatnya, karena berani mencampuri urusan kami," ujar 

Setan Muka Seribu disertai tawa yang tidak enak didengar 

telinga. 

"Partai Rimba Hitam...! Bagus! Memang aku sudah


lama ingin mengetahui macam apa partai yang kau 

sebutkan Itu. Dan aku harus dapat menyeretmu meng-

hadap Ketua Perguruan Gunung Salaka dan Gunung Sutra 

untuk memperjelas persoalannya. Nah! Bersiaplah!" 

belum lagi gema suaranya hilang, tiba-tiba tubuh pemuda 

sakti itu sudah melesat ke arah tiga orang tokoh sesat yang 

memang sudah bersiap sejak tadi. 

Wuttt! 

Serangkum angin dingin berhembus keras mendahului 

serangan yang dilancarkan Panji. Selapis kabut tipis putih 

keperakan sudah pula menyelimuti sekeliling tubuhnya. 

Suatu tanda bahwa pendekar muda itu telah mengerahkan 

lebih dari separuh tenaga saktinya. Betapa hebat serangan 

yang dilancarkan Pendekar Naga Putih itu. 

Ketiga orang tokoh sesat yang sudah memiliki 

pengalaman bertanding dan selama malang melintang 

dalam rimba persilatan, merasa terkejut sekali ketika 

merasakan hawa di sekitarnya menjadi sangat dingin. 

Seolah-olah mereka bertiga dikelilingi dinding-dinding 

salju yang tak tampak. Sehingga untuk beberapa saat 

lamanya, mereka hanya dapat terpaku kebingungan. 

Dan ketiganya baru tersentak pucat, ketika serangan 

Panji hampir saja merenggut nyawa mereka. Dengan 

gerakan terburu-buru, mereka segera berlompatan 

mundur untuk menghindari serangan yang mengandung 

hawa maut itu! Setelah berhasil menghindari serangan 

Panji, ketiganya segera menyebar dan menyerang pemuda 

digdaya itu dari tiga jurusan. 

Menghadapi keroyokan Ular Muka Kuning, Setan 

Cantik, dan Setan Muka Seribu, bukanlah suatu hal yang


mudah. Sebab ketiganya adalah tokoh golongan hitam 

yang memiliki kepandaian tinggi. Rasanya jarang orang 

yang dapat menghalangi kejahatan mereka. Sehingga, 

nama ketiga tokoh sesat itu, bukanlah nama asing bagi 

dunia rimba hijau. Tak heran kalau Panji menjadi sibuk 

menghadapinya. Sehingga untuk beberapa jurus lamanya, 

ia masih belum dapat mendesak lawan lawannya itu. 

Bahkan setelah melewati belasan jurus, beberapa serangan 

lawan-lawannya hampir mengenai tubuhnya. Tentu saja 

hal itu sangat mengagetkan hati Pendekar Naga Putih itu. 

Panji memang mengetahui kalau tiga orang lawannya 

adaiah tokoh-tokoh sesat berkepandaian tinggi. Namun 

yang dialami justru di luar dugaannya sama sekali. 

Sehingga, hampir saja tubuhnya terluka oleh pukulan-

pukulan lawan yang memang berbahaya itu. Dan hal itu 

merupakan suatu pelajaran yang sangat berharga bagi 

Panji! 

Dewi Tangan Merah dan Pendekar Tangan Sakti yang 

melihat keadaan Panji, segera melesat dan langsung 

memasuki arena pertempuran. Mereka segera memilih 

lawan masing-masing. 

Dewi Tangan Merah segera menghadang serangan 

Setan Cantik. Dalam beberapa saat saja kedua orang 

wanita yang sama-sama cantik dan berilmu tinggi itu, 

segera teriibat dalam pertarungan sengit! 

Serangan-serangan yang dilancarkan Setan Cantik, 

memang tidak bisa dianggap remeh! Jari-jari kedua 

tangannya yang berkuku runcing itu benar-benar 

merupakan senjata yang sangat ampuh dan berbahaya. 

Kecepatan gerakan kedua tangannya memang patut dipuji!


Di saat kedua tangan Setan Cantik berputar, Dewi Tangan 

Merah membungkukkan tubuhnya sambil merendahkan 

kuda-kudanya. Sehingga, kedua tangan yang saling susul 

menyusul itu lewat di atas kepalanya. Namun tanpa 

disangka-sangka tahu-tahu saja tangan kanan Setan Cantik 

hampir mencapai lehernya! 

Tidak percuma kalau Sundari dijuluki Dewi Tangan 

Merah. Karena meskipun dalam keadaan sulit, dia masih 

dapat menyelamatkan lehernya dari cengkraman kuku-

kuku lawan. Denyan sebuah hentakan keras, tubuh 

Sundari melambung ke atas, setelah terlebih dahulu 

mengegoskan tubuhnya ke kiri. Hasilnya, cakaran Setan 

Cantik lolos, bahkan Sundari berhasil keluar dari kurungan 

sepasang tangan yang memiliki kecepatan mengejutkan 

itu. 

"Huh! Setan belang! Rupanya kau tidak tahu dikasihi 

orang, heh! Kalau begitu terimalah hukuman dariku ini! 

Bersiaplah!" Dewi Tangan Merah segera mengeluarkan 

ilmu andalannya, 'Tangan Pasir Merah', yang telah meng-

angkat namanya dalam dunia persilatan! Pelahan-lahan 

kedua tangannya mulai memerah hingga sebatas siku. 

Hawa panas pun mulai menebar dari kedua belah lengan 

yang memerah itu. 

"Haittt...!" dibarengi sebuah teriakan nyaring. Dewi 

Tangan Merah segera melancarkan serangan yang 

mengandung hawa panas. 

Setan Cantik ternyata sudah pula mempersiapkan ilmu 

andalan untuk menghadapi lawan yang sudah beberapa kali 

bentrok dengannya itu. Dengan jurus 'Setan Cantik 

Menolak Rayuan', tubuhnya segera melesat memapak


serangan lawan. Dan tanpa dapat dicegah lagi, kedua 

pasang tangan mungil namun berhawa maut itu pun 

berbenturan di udara. 

Dubbb! 

"Aihhh...!" 

Terdengar suara bagaikan api disiram air, berbareng 

terpentalnya dua sosok tubuh ramping beberapa tombak 

ke belakang. Juga, terdengar jeritan tertahan yang keluar 

dari mulut Setan Cantik. Tubuhnya terbanting ke tanah, 

namun dengan gerakan gesit segera melenting berdiri. 

Meski gerakannya tedihat sedikit limbung, tapi sama sekali 

tidak mengalami luka di tubuhnya. Hanya tangan bajunya 

yang hancur, akibat benturan tadi. 

Dewi Tangan Merah yang tidak kurang suatu apa itu, 

kembali menyerang ganas Setan Cantik itu. Maka wanita 

dari golongan sesat itu segera menyambutnya. Seketika 

pertarungan dua wanita yang sama-sama cantik itu 

kembali terjadi. Semakin sengit dan mendebarkan! 

Jurus demi jurus berlalu cepat. Dan tanpa disadari 

keduanya, mereka telah bertempur lebih dari lima puluh 

jurus. Dan setelah melewati jurus kelima puluh lima, jelas 

terlihat bahwa Dewi Tangan Merah mulai dapat 

menguasai lawannya. Gadis yang bernama Sundari itu 

memaksa lawannya untuk bermain mundur, tanpa sekali 

pun memberi kesempatan membalas. Hingga satu ketika, 

Setan Cantik terpaksa harus merelakan hantaman 

mengandung tenaga 'Pasir Merah' mampir di punggung-

nya. 

Bukkk! 

"Aughhh...!" tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Setan


Cantik terpelanting keras. Tokoh sesat itu langsung 

memuntahkan darah agak kehitaman akibat pukulan yang 

dilontarkan Dewi Tangan Merah. Belum lagi Setan Cantik 

berhasil memperbaiki kuda kudanya, tahu-tahu tubuh 

Dewi Tangan Merah sudah melayang ke arahnya disertai 

sebuah tendangan maut! 

Desss! 

"Ngkkk…!" tubuh Setan Cantik terjerembab ke 

belakang, ketika tendangan terbang yang dilakukan 

Sundari tepat bersarang di dadanya! Setelah menggeliat 

sejenak, tubuh molek itu pun diam tak bergerak lagi. Dia 

tewas di tangan Sundari setelah melalui pertempuran 

melelahkan. 

Baru saja Sundari dapat menarik napas lega, tiba-tiba 

terdengar sebuah jeritan keras. Di susul kemudian dengan 

jatuhnya sesosok tubuh tegap di samping Dewi Tangan 

Merah. Gadis itu segera memburunya dengan wajah 

cemas. 

"Kakang Wija, kau tidak apa-apa?" seru Dewi Tangan 

Merah sambil mengangkat tubuh yang tergolek di 

sampingnya itu. 

Orang yang di panggil Wija itu segera berusaha bangkit 

dengan susah payah. Rupanya, dia adalah Pendekar Tangan 

Sakti yang bernama Wijasena. Memang, dia tadi memilih 

lawan Ular Muka Kuning untuk bertarung. Dan laki-laki 

bermuka kuning itu memang masih sedikit lebih unggul 

dari Pendekar Tangan Sakti. Pada kenyataannya, dia telah 

berhasil mendaratkan pukulan pada lambung Pendekar 

Tangan Sakti pada saat memasuki jurus keempat puluh 

sembilan.


Dewi Tangan Merah yang tengah berusaha menolong 

Pendekar Tangan Sakti, merasa terkejut sekali ketika 

merasakan sambaran angin tajam menuju ke arahnya. 

Cepat dikerahkan 'Tenaga Sakti Pasir Merah' yang disertai 

dorongan telapak tangannya sambil mengerahkan jurus 

'Tangan Pasir Merah', ke arah sambaran angin keras itu. 

Bresss! 

"Aiii...!" Dewi Tangan Merah berseru tertahan ketika 

merasakan betapa kuatnya tenaga yang terkandung dalam 

serangan lawan. Tubuhnya terdorong sejauh tujuh 

langkah. Lengannya terasa bergetar dan nyeri akibat 

benturan itu. 

Sedangkan Ular Muka Kuning hanya terdorong sejauh 

empat langkah. Dari sini saja sudah dapat dinilai bahwa 

kepandaian laki-laki bermuka kuning itu lebih tinggi 

setingkat daripada Dewi Tangan Merah. Dan tentu saja hal 

itu membuat Ular Muka Kuning semakin berani 

melontarkan serangan-serangan, sehingga membuat Dewi 

Tangan Merah kewalahan. 

Di arena lain, Setan Muka Seribu tengah berusaha mati-

matian menyelamatkan diri dari ancaman cakar naga yang 

dilancarkan Pendekar Naga Putih. Gerakan pemuda sakti 

itu, benar-benar membuatnya kelabakan. Sebab ke mana 

saja tubuhnya mengelak, selalu saja tangan pemuda itu 

seolah-olah berada dekat tubuhnya. Sehingga Setan Muka 

Seribu merasa seperti bertarung melawan bayangannya 

sendiri. Tidak bisa dipungkiri, betapa ngeri hatinya meng-

hadapi kenyataan seperti itu. 

Hingga pada jurus yang ketiga puluh satu, Setan Muka 

Seribu tidak dapat lagi menghindari sebuah hantaman ke


arah lambungnya. Kedua tangan Pendekar Naga Putih 

dengan jari-jari terbuka itu berkesiut membeset udara, 

dan kecepatannya sukar ditangkap mata biasa. 

Wukkk! 

Tasss! 

"Aughhh...!" 

Tubuh Setan Muka Seribu terguling ketika jari-jari 

tangan Panji yang dialiri 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan', 

tepat menghantam lambungnya. Untunglah tenaga dalam 

yang dikerahkan Panji hanya separuhnya. Tubuh Jangkung 

itu terbungkuk-bungkuk menahan rasa nyeri yang luar 

biasa pada lambungnya. Giginya bergemeletukkan bagai 

orang kedinginan! Rupanya hawa dingin dari tenaga sakti 

Panji, ikut pula menambah beban orang tua yang 

menyamar sebagai Algojo Gunung Sutra itu. 

Dan sebelum Setan Muka Seribu dapat mengatasi 

keadaan, sebuah totokan maut telah melumpuhkan 

seluruh urat saraf di tubuhnya. Seketika tokoh itu ambruk 

bagaikan sehelai karung basah, akibat totokan Panji. 

Namun baru saja Pendekar Naga Putih akan mem-

bawanya, tiba-tiba terdengar suara mencicit tajam, dan 

dibarengi lesatan sesosok tubuh kurus ke arah Panji. 

Menghadapi serangan yang mengandung tenaga dahsyat 

itu, Panji tidak ingin menanggung resiko. Cepat-cepat 

kedua tangannya bergerak disertai pengerahan tenaga 

saktinya. Serangkum angin dingin menebar menyongsong 

angin tajam tadi. Dan.... 

Blarrr! 

Hebat luar biasa akibat benturan dua gelombang tenaga 

sakti yang dahsyat itu! Ular Muka Kuning, Dewi Tangan



Merah, dan Pendekar Tangan Sakti yang bertarung tidak 

jauh dari tempat benturan tadi, langsung terjengkang ke 

belakang. Memang, secara tiba-tiba saja dirasakan sesuatu 

yang tak tampak telah menggetarkan dada mereka. 

Sehingga, jalan napas seolah-olah tertutup getaran udara 

yang ditimbulkan benturan dua gelombang tenaga dahsyat 

tadi. Sejenak ketiganya sama-sama terdiam dengan wajah 

memucat! 

Sedangkan kedua orang yang mengalaminya secara 

langsung, tentu saja akibatnya lebih hebat lagi. Tubuh 

mereka masing-masing terpental ke belakang bagai sehelai 

daun kering tertiup angin. Dan masing-masing pula 

menabrak sebatang pohon hingga tumbang! Dengan 

gerakan limbung, keduanya segera bangkit dan sating 

menatap tajam. Di mata mereka masing-masing terpancar 

rasa kagum yang tak dapat disembunyikan 

"Bocah setan! Gila! Tidak kusangka tenaga dalammu 

ternyata begitu kuat! Huh! Hampir saja aku dipecundangi 

dalam segebrakkan tadi." 

Terdengar umpatan dari sosok bertubuh kurus dengan 

suara yang melengking tinggi. Tubuhnya yang hanya 

setinggi telinga Panji itu, tampak telah bongkok. Dari ciri-

cirinya saja sudah dapat diduga kalau sosok itu adalah 

seorang nenek tua yang usianya sekitar enam puluhan 

tahun. Nenek itu terus mengomel panjang pendek tanpa 

mempedulikan yang lainnya. 

"He he he.... Tidak percuma kau berjuluk Pendekar 

Naga Putih, bocah! Tenagamu lumayan. Eh murid 

siapakah kau, bocah?" tanya nenek bongkok itu sambil 

tersenyum. Namun senyum yang menurutnya adalah


senyum yang paling manis itu, tidak lebih dari sebuah 

seringai yang membuat wajahnya semakin tak sedap 

dipandang. 

"Hm.... Kau sudah mengenalku sebagai Pendekar Naga 

Putih, itu sudah cukup. Dan tidak perlu lagi bertanya-

tanya tentang guruku! Sebaiknya segeralah kau sebutkan 

namamu, dan apa maksudmu mencampuri urusanku?" 

ucap Panji yang tidak menanggapi pertanyaan nenek 

bongkok itu, tanpa rasa gentar sedikit pun! 

"Kurang ajar, bocah sombong! Apa dikira setelah kau 

mendapat julukan Pendekar Naga Butut dapat berbuat 

sesuka hati di hadapan Nyai Serondeng?! Huh! Kau 

memang harus merasakan kerasnya tongkat hitamku. Nah, 

bersiaplah bocah!" dengus nenek bongkok yang mengaku 

bernama Nyai Serondeng itu, sambil melintangkan 

tongkatnya di depan dada. Terdengar angin berkesiutan 

ketika nenek itu menggerakkan tongkatnya secara 

mendatar. Tentu saja hal itu semakin membuat Panji 

terkejut dan berhati-hati. Tanpa membuang-buang waktu 

lagi, segera dicabut pedang yang selalu melilit di pinggang-

nya. 

Singgg! 

Suara pedang di tangan Panji mengaung membelah 

udara. Panji yang telah merasakan kelihaian lawannya, 

rupanya tidak ingin mau main-main lagi. Kini dengan 

pedang di tangan, Pendekar Naga Putih siap-slap meng-

hadapi serangan lawan. 

Sementara itu, Nyai Serondeng sudah memutar-mutar 

tongkatnya di atas kepala. Hebat, luar biasa! Tiba tiba saja 

arena pertempuran, bagaikan dilanda angin topan dahsyat!



Daun-daun kering dan debu beterbangan akibat angin yang 

ditimbulkan putaran tongkat Nyai Serondeng. Benar-

benar seorang lawan yang tangguh buat Panji! 

"Hebat! Siapakah sebenarnya nenek ini? Dan apa 

hubungannya dengan Setan Muka Seribu? Mengapa setiap 

kali Setan Muka Seribu dalam bahaya, ia selalu muncul 

untuk menolongnya?" gumam Panji, dalam hati. 

"Kakang Panji, berhati-hatilah. Kepandaian nenek itu 

sangat tinggi. Bahkan menurut guruku, kepandaiannya 

lebih tinggi dari beliau sendiri!" Dewi Tangan Merah 

memperingatkan Panji, sambil menggenggam tangan 

pemuda digdaya itu. 

Sementara itu, Pendekar Tangan Sakti yang juga telah 

berada dekat Panji, menjadi heran sekali. Karena, dalam 

seharian ini saja, ia telah bertemu tokoh-tokoh sakti yang 

jarang dilihatnya. Sejenak ia termenung memikirkan 

kejadian sebenarnya yang telah menimpa Perguruan 

Gunung Salaka, sehingga melibatkan sedemikian banyak 

orang berkepandaian tinggi?! 

***


LIMA


"Yeaaattt...!" 

Diiringi sebuah pekikan panjang yang melengking 

nyaring, tubuh Nyai Serondeng melayang cepat bagai kilat 

ke arah Panji. Tongkat kepala ularnya menderu-deru dan 

berputar membentuk gulungan sinar yang berwarna 

kehitaman. Dan tahu-tahu saja, ujung tongkat itu telah 

meluncur ke dada Panji disertai suara mencicit tajam. 

Pendekar Naga Putih yang telah menduga kehebatan 

lawannya, melenting ke atas dibarengi tusukan pedangnya 

yang mengancam ubun-ubun lawan. Namun dengan 

gerakan cepat luar biasa, tahu-tahu tongkat di tangan 

lawan telah berputar menangkis tusukan pedangnya. Panji 

yang mengetahui kalau posisinya sangat lemah dalam adu 

tenaga, segera menarik pulang senjatanya. Tubuhnya 

langsung berputar melampaui kepala lawan sambil 

melepaskan tiga buah tendangan berturut-turut 

Plak! Plak! Plak! 

Hebat! Dengan gerakan mengagumkan, Nyai 

Serondeng menggerakkan tangan sebanyak tiga kali. Maka 

serangan Panji kandas akibat tangkisan nenek sesat itu. 

Diam-diam perempuan itu terkejut juga ketika tangannya 

yang dipakai menangkis tadi terasa kesemutan. 

"Hm.... Pemuda ini benar-benar berisi," puji Nyai 

Serondeng dalam hati. 

Sedangkan Panji yang menerima tangkisan itu menjadi 

kaget ketika dari telapak tangan si nenek berhembus


serangkum angin yang berhawa panas. Dan ini sempat 

membuat kakinya terasa nyeri untuk beberapa saat. 

"Gila! Tenaga nenek itu ternyata lebih hebat dari 

dugaanku semula!" gerutu Panji bernada penasaran. 

Namun di balik rasa penasarannya, timbul pula 

kegembiraan karena saat ini telah menemukan lawan yang 

benar-benar tangguh. Dan sebagaimana sifat-sifat ahli silat 

pada umumnya, rupanya Panji pun telah pula bersifat 

demikian. Dia selalu ingin mencoba apabila ada orang 

yang memiliki kepandaian silat sebanding, atau bahkan 

lebih darinya. Dan untuk pertama kalinya, Panji telah pula 

terbawa sifat seperti itu tanpa disadarinya. Maka ketika 

merasakan kepandaian Nyai Serondeng yang belum tentu 

berada di bawah kepandaiannya, timbullah semangat Panji 

untuk menguji ilmunya. 

Sementara itu, Nyai Serondeng kembali sudah 

menerjang mempergunakan tongkat kepala ularnya. 

Gagang tongkat itu berkelebat menyambar-nyambar 

tubuh lawan. Udara di sekitar arena pertarungan bagaikan 

bergetar, setiap kali tongkat berkepala ular itu bergerak 

bersilangan. 

Hawa sedingin salju berhembus bila Panji mengibaskan 

pedangnya. Namun di lain saat, hawa di arena pertarungan 

segera berubah panas, karena hawa yang keluar dari 

sambaran-sambaran tongkat berkepala ular milik Nyai 

Serondeng! 

Setelah merasakan kelihaian perempuan tua itu, kini 

Panji tidak ingin main-main lagi. Dengan mengerahkan 

hampir seluruh tenaga dalamnya, pemuda itu segera 

menyambut dan membalas serangan Nyai Serondeng.


Maka terjadilah pertarungan dahsyat dan mendebarkan. 

Kabut putih keperakan yang selalu menyelimuti tubuh 

Panji, semakin melebar karena pengerahan tenaga dalam 

yang hampir sepenuhnya itu. Hawa sedingin salju ber-

hembus di sekitar arena pertarungan. Namun di lain saat, 

hawa di arena pertarungan segera berubah panas, karena 

hawa yang keluar dari sambaran-sambaran tongkat 

berkepala ular milik Nyai Serondeng. 

Lima puluh jurus telah terlewati. Sampai saat ini, sama 

sekali belum terlihat siapa yang akan memenangkan per-

tarungan tingkat tinggi itu. Sedangkan arena pertarungan 

sudah porak-poranda akibat terlanggar senjata senjata 

mereka. Daun-daun pohon di sekitarnya berjatuhan 

karena pukulan maupun sambaran senjata masing-masing. 

Pada jurus yang kelima puluh delapan, Panji mulai 

melihat kelemahan pertahanan lawan. Segera saja 

ditusukkan pedangnya dengan penuh tenaga! 

Siiinggg! 

Suara angin pedang Pendekar Naga Putih mencicilt 

tajam disertai hembusan angin yang menggigilkan tubuh. 

Dan kalau saja serangan itu mengenai sasaran dapat 

dipastikan akan tamatlah riwayat Nyai Serondeng! 

Namun, Nyai Serondeng bukanlah tokoh sembarangan. 

Kepandaian nenek kurus ini, hebat sekali. Sehingga, 

tokoh-tokoh sesat seperti Ular Muka Kuning atau Setan 

Muka Seribu, sangat takut dan tunduk kepadanya. Dan 

selama puluhan tahun Nyai Serondeng berkeliaran di 

rimba hijau, entah telah berapa ratus nyawa yang telah 

direnggutnya secara kejam. Memang, karena kepandaian-

nya yang tidak lumrah itu, sehingga nenek kurus itu di



juluki Nenek Tongkat Maut. Bahkan telah diangkat sebagai 

datuk sesat di wilayah Selatan. Jadi tidak heran kalau ia 

dapat mengimbangi permainan Panji. Bahkan bukan tidak 

mungkin kalau kepandaian keduanya berimbang! 

Nyai Serondeng terkejut ketika melihat pedang lawan-

nya meluncur cepat ke arahnya. Karena tidak melihat jalan 

lain, perempuan itu segera menyabetkan tongkatnya me-

mapak pedang Panji. 

Tranggg! 

Bunga api berpijar ketika dua buah senjata yang sama-

sama dialiri tenaga dalam tinggi itu, saling berbenturan di 

udara. Tubuh Panji dan Nyai Serondeng terpental akibat 

benturan yang maha dahsyat itu! Kedua orang sakti itu 

langsung berputaran beberapa kali di udara untuk 

mematahkan daya dorong benturan itu. Begitu mendarat 

di tanah, mereka segera memeriksa senjata masing-

masing. Setelah memastikan kalau tidak mengalami 

kerusakan, kedua orang itu kembali saling bertatapan 

bagaikan dua ekor ayam jantan yang hendak berlagak. 

"Hm.... Sayang, aku tidak mempunyai banyak waktu, 

bocah! Biarlah lain waktu kita lanjutkan permainan yang 

menyenangkan ini," begitu ucapnya selesai, Nyai 

Serondeng melemparkan sebuah benda sebesar telur 

puyuh. 

Darrr! 

Pendekar Naga Putih Panji segera melenting ke 

belakang untuk menghindari asap pembius yang 

dilemparkan perempuan itu. Demikian pula Dewi Tangan 

Merah dan Pendekar Tangan Sakti yang sudah melompat 

jauh ke belakang, menghindari gulungan asap tebal yang


berwarna putih. 

Panji mengerutkan keningnya. Ketika asap itu hilang, 

hilang pula tiga orang musuhnya. Dan itu berarti lenyap 

pula petunjuk yang semula berada di depan mata. Pemuda 

sakti itu merasa terpukul, karena untuk kedua kalinya 

kembali terkecoh oleh Nyai Serondeng. Dengan diikuti 

Dewi Tangan Merah dan Pendekar Tangan Sakti, Panji 

mengayunkan langkahnya meninggalkan bekas arena 

pertarungan. Kini di tempat itu kembali sunyi, seperti 

tidak pernah terjadi apa apa. Yang ada kini hanya mayat 

Setan Kali Gantang dan anak buahnya, ditambah murid 

murid Perguruan Gunung Salaka Bau anyir darah mulai 

menyebar ke sekitarnya. 

*** 

Pendekar Naga Putih, Dewi Tangan Merah, dan 

Pendekar Tangan Sakti berjalan memasuki sebuah mulut 

desa. Jalan utama desa itu, tampak agak sepi. Di kanan kiri 

jalan, teriihat kedai-kedai makan yang hanya dikunjungi 

beberapa orang saja. Maklumlah hari mulai beranjak sore, 

sehingga para petani dan pedagang belum lagi menyelesai-

kan tugasnya. Masing-masing masih disibuki pekerjaannya. 

Ketiga orang pendekar itu melangkah memasuki 

sebuah kedai makan yang letaknya agak di sudut jalan. 

Mereka sengaja memilih kedai yang terlihat agak sepi, agar 

dapat menikmati hidangan dengan tenang. 

Setelah mengambil tempat, ketiganya segera memesan 

makanan. Sebentar kemudian makanan tiba, dan mereka 

segera menyantapnya pelahan-lahan. Tidak satu pun dari


ketiganya yang mengeluarkan suara. Entah sedang 

menikmati hidangan yang terasa lezat, atau tengah 

melamun. Tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. 

Setelah menyelesaikan makan, Panji menggerakan 

tangannya memanggil pelayan yang tadi mengantarkan 

makanan untuk mereka. 

"Paman, apakah kedai ini juga menyediakan kamar 

menginap?" tanya Panji kepada pelayan setengah tua. 

"Oh! Ada... ada, Tuan Muda. Apakah Tuan bertiga 

ingin menginap di sini?" sahut palayan tua itu dengan 

wajah gembira. Wajarlah kalau dia merasa gembira sebab 

jarang sekali orang yang mau menginap di tempatnya. 

Pedagang-pedagang keliling atau pun pelancong, lebih 

suka memilih penginapan yang besar dan bagus. 

Panji memesan dua buah kamar. Satu untuk Sundari 

dan satu lagi untuk dirinya dan Pendekar Tangan Sakti 

atau yang bernama Wijasena. Begitu selesai makan, 

ketiganya segera beranjak dari meja. Dan memasuki 

kamar yang telah disediakan. 

Di dalam kamar penginapan, Wijasena yang semula 

hendak bertanya pada Panji segera mengurungkan niatnya. 

Ternyata dia melihat pemuda sakti itu tengah melakukan 

semadi. Dari desah napasnya yang halus, Wijasena tahu 

kalau pemuda itu telah tenggelam dalam semadinya. Maka 

segera diurungkan niatnya semula. Terdengar helaan napas 

beratnya. Sesaat kemudian, Pendekar Tangan Sakti pun 

merebahkan tubuhnya di atas balai-balai yang beralaskan 

tikar pandan. 

Pikiran Wijasena mengembara, mengingat kejadian-

kejadian yang baru saja dialaminya.



"Mengapa para penghadang itu tahu kalau aku adalah 

salah seorang murid Gunung Salaka? Dan mengapa pula 

mereka mengetahui bahwa aku berniat mengunjungi 

perguruan? Apakah betul kalau merekalah yang mem-

bunuh Ki Surya Kencana? Kalau benar, mengapa Ki 

Tunggul Jagad dan Ki Sukma Kelana mendiamkan saja hal 

Itu? Apa sebenarnya di balik semua peristiwa Ini?" 

Berbagai pertanyaan tanpa jawaban, terus terngiang di 

telinga Pendekar Tangan Sakti yang masih belum mengerti 

sesuatu yang telah terjadi di perguruannya. Dan hal itu 

semakin menambah penasaran hati Pendekar Tangan 

Sakti. 

"Hm.... Apa pun yang terjadi, aku akan berusaha 

menyelidiki hal ini sampai tuntas!" janji Pendekar Tangan 

Sakti dalam hati. 

Sementara di luar malam semakin larut. Angin ber-

hembus sepoi-sepoi. Pendekar Naga Putih Panji yang 

semula tengah bersemadi, telah tertidur pulas di atas balai. 

Demikian pula halnya Wijasena. 

Sedangkan Dewi Tangan Merah Sundari yang berada di 

kamar sebelah, tampak tengah mondar-mandir seperti 

memikirkan sesuatu. Entah mengapa, Sundari merasa 

gelisah sekali malam ini. Sebentar-sebentar terdengar 

helaan napasnya yang berat dan panjang. Kedua tangannya 

diremas-remas tanpa sebab. Gadis itu coba merapatkan 

telinganya ke dinding untuk mendengar suara suara dari 

kamar sebelah yang ditempati dua orang kawannya. 

Namun, ia kecewa ketika telinganya hanya menangkap 

tarikan napas halus dari Panji dan Wijasena. 

"Hm... Apakah mereka tidak merasa gelisah sepertiku,


hingga berdua dapat terlelap seenaknya," gumam Dewi 

Tangan Merah heran. Memang baik Panji maupun 

Wijasena sama sekali tidak merasakan kegelisahan seperti 

yang dialaminya saat ini. Karena tidak tahu harus berbuat 

apa, maka Sundari memutuskan untuk bersemadi agar 

tenaganya tidak terbuang percuma. 

Lewat tengah malam, terdengar suara anjing hutan 

bersahut-sahutan. Suara salakan anjing hutan yang 

meramaikan suasana malam itu, terasa bagaikan suara-

suara iblis yang bergentayangan mencari mangsa. Angin 

dingin berkesiur membawa titik-titik air, sehingga suasana 

malam semakin menyeramkan. 

Di tengah kegelapan malam yang hanya diterangi 

cahaya bulan sabit itu, tampak lima sosok bayangan hitam 

mengendap-endap menuju penginapan Panji dan dua 

orang rekannya. Gerakan kelima bayangan hitam itu 

nampak lincah dan gesit. Langkah-langkah kaki mereka 

ringan, pertanda ilmu meringankan tubuh mereka terlatih 

baik. 

Kelima sosok bayangan hitam itu terus bergerak 

menuju kamar Panji dan Sundari. Salah seorang dari 

mereka menggerak-gerakkan tangannya sebagai isyarat 

agar memecah menjadi dua kelompok. Ketika cahaya 

bulan sedikit menerangi wajah mereka sekilas, tampak 

kain hitam menutupi wajah masing-masing lima bayangan 

hitam itu, sehingga sulit dikenali. 

Kelompok pertama yang terdiri dari tiga orang itu 

melangkah hati-hati ke arah kamar yang dihuni Panji dan 

Wijasena. Sedangkan sisanya, menuju kamar Sundari. 

Seorang dari tiap kelompok telah menggenggam sebuah


benda yang mirip pipa. 

Tiga orang yang menuju kamar Panji, berhenti dan 

menempelkan telinganya di dinding kamar. Beberapa saat 

kemudian ketika tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan, 

salah seorang dari mereka, segera memasukkan benda 

sejenis pipa tadi melalui sebuah lubang di sela-sela jendela. 

Setelah benda itu masuk, orang itu segera meniupkan 

sesuatu ke dalam kamar Panji. 

Panji yang semula tengah terlelap itu, tersentak bangun 

ketika telinganya yang tajam menangkap sesuatu yang 

mencurigakan. Dan pemuda itu menjadi terkejut ketika 

melihat segumpal asap berwarna merah menerobos 

metalui sela-sela jendela kamarnya. Tanpa berkata apa-

apa, tangannya bergerak memasukkan sebutir pil ke dalam 

mulutnya. Kemudian, Panji segera membangunkan 

Wijasena sambil menulup mulut pendekar itu. 

Diberikannya sebuah pil lain kepada pendekar itu sambil 

mengisyaratkan dan menunjuk-nunjuk ke jendela. 

Pendekar Tangan Sakti kaget ketika mendapati 

kamarnya telah dipenuhi asap berwarna merah, dan 

berbau wangi yang memabukkan. Kedua orang pendekar 

itu kembali merebahkan diri di atas tempat tidur masing-

masing untuk mengetahui maksud orang-orang yang 

mencoba membius mereka. 

Tidak berapa lama kemudian, terdengar suara jendela 

yang dibuka. Saat pintu jendela terbuka, tiga sosok tubuh 

yang mengenakan pakaian berwarna hitam hingga ke 

kepala berloncatan masuk tanpa menimbulkan suara yang 

mengejutkan. Diam-diam Panji mengagumi ilmu 

meringankan tubuh ketiga tamu tak diundang itu.



Tiba tiba hati Panji dan Wijasena tersentak kaget ketika 

melihat orang-orang bertopeng itu mencabut senjata 

berupa sebatang pedang panjang melengkung. 

Kedua orang pendekar itu berusaha menahan diri 

untuk mengetahui apa yang diperbuat tiga orang ber-

topeng itu selanjutnya. 

Ketiga manusia bertopeng itu menggerak-gerakkan 

pedangnya di atas tubuh kedua orang pendekar yang pura-

pura telah terbius itu. Setelah tidak melihat adanya reaksi, 

ketiga orang bertopeng itu kembali menyarungkan 

senjatanya masing-masing. Dan tentu saja hal ini membuat 

kedua orang pendekar itu menjadi lega. 

Dan selagi ketiga menusia bertopeng itu menyarungkan 

senjatanya, tiba-tiba Pendekar Naga Putih dan Pendekar 

Tangan Sakti bergerak secara berbarengan dan tidak 

terduga sama sekali! Mereka segera melompat secepat 

kilat sambil melepaskan totokan ke arah dua di antara tiga 

orang bertopeng itu. 

Tentu saja ketiga orang bertopeng itu terkejut setengah 

mati! Buru-buru ketiganya berusaha menghindari totokan 

yang melumpuhkan itu. Namun biar bagaimanapun ber-

usaha menghindar, tetap saja dua di antara ketiga tamu tak 

diundang itu ambruk terkena totokan Panji dan Wijasena. 

Sedangkan yang seorang lagi langsung melesat ketika 

menyadari kalau tak mungkin dapat menghadapi dua 

pendekar itu 

Pendekar Naga Putih langsung menghentakkan kakinya 

ke lantai, maka seketika tubuhnya melambung melampaui 

kepala lawannya. Begitu dua kakinya mendarat di tanah, 

tubuh pemuda itu sudah menghadang jalan orang


bertopeng yang hendak melarikan diri. 

Bukan main terperanjatnya orang bertopeng itu ketika 

melihat mangsanya tahu-tahu telah berada di depannya. 

Merasa tidak mungkin lolos, maka dia segera menerjang 

Panji dengan ganasnya. Dibarengi sebuah bentakan 

nyaring, tubuh manusia bertopeng itu meluncur ke depan 

sambil membabatkan pedang. 

Wuttt! 

Panji merendahkan kuda-kudanya sehingga pedang 

lawan lewat hanya beberapa rambut di atas kepalanya. 

Sebelum lawannya sempat merubah posisi, tangan Panji 

telah mencengkram ke arah bahu lawan. Namun meskipun 

kalap, rupanya orang bertopeng itu masih juga mampu 

mengontrol dirinya. Maka bergegas ditarik kaki kanannya 

ke belakang dibarengi gerakan tubuh, sehingga bobot 

tubuhnya ke belakang. Untunglah, serangan Panji pun 

berhasil dielakkannya 

Tapi kegembiraan orang bertopeng itu rupanya tidak 

berlangsung lama. Sebab, Panji sudah dapat menduga 

gerakan lawan. Maka ketika orang bertopeng itu meng-

geser tubuhnya ke belakang, tahu-tahu saja tangan kin 

Panji telah menotok dadanya secara cepat luar biasa. 

Tukkk! Tukkk! 

"Aaaahkkk...!" 

Orang bertopeng itu mengeluh pendek ketika totokan 

Panji mengenai tubuhnya. Dan tanpa dapat dicegah lagi, 

tubuh yang terbungkus pakaian hitam itu ambruk dalam 

keadaan lumpuh. Mata di balik kain hitam itu bergerak 

liar, sekejap kemudian memerah seperti darah! Terdengar 

suara mengorok dibarengi keluarnya darah berwarna


hitam dari mulut si orang bertopeng yang telah lumpuh. 

Bukan main terkejutnya Panji melihat kejadian yang 

sama sekali tidak disangka itu. Bergegas pemuda sakti itu 

mendekati lawannya yang dalam keadaan sekarat itu. 

Sekali pandang saja Panji tahu kalau nyawa orang itu sudah 

tidak mungkin dapat diselamatkan lagi. 

"Gila! Ia lebih suka menelan racun ganas daripada 

rahasianya diketahui. Hm..., siapakah mereka dan apa 

maksud sebenarnya? Mengapa tidak langsung membunuh-

ku saja tadi? Atau kah mereka ditugaskan untuk 

menangkapku hidup-hidup?" desah Panji tak mengerti. 

Dan begitu Pendekar Naga Putih teringat kepada dua 

orang yang telah dilumpuhkan tadi, bergegas pemuda itu 

berlari ke arah kamarnya. Dua orang tawanan tadi 

memang masih ditunggui Pendekar Tangan Sakti 

Tetapi apa yang dilihat Panji adalah dua sosok mayat 

yang telah menghitam tengah dipandangi Pendekar 

Tangan Sakti. Wajah Wijasena membayangkan penasaran 

yang mendalam. Memang, baik Panji maupun Wijasena 

sama sekali tidak mengetahui apa dan siapa mereka 

sebenarnya? 

"Mereka telah tewas beberapa saat yang lalu setelah 

kau pergi, Panji. Maafkanlah aku, karena tidak sempat 

mencegah perbuatan mereka," ucap Pendekar Tangan 

Sakti dengan wajah murung. 

"Ah! Semua ini bukan kesalahanmu, Wijasena. Aku 

pun mengalami kejadian seperti itu, mereka lebih suka 

man daripada rahasianya diketahui," sahut Panji, pelan. 

"Oh! Bagaimana dengan Dewi Tangan Merah? Ah, 

mengapa aku telah melupakannya...?!"


Tiba-tiba Panji teringat akan Sundari. Tanpa berkata 

apa-apa lagi, pemuda itu segera menggenjot tubuhnya ke 

arah kamar gadis jelita itu. 

Pendekar Naga Putih tercekat hatinya ketika mendapati 

kamar Sundari ternyata telah kosong. Panji berdiri tegak 

memperhatikan setiap sudut kamar ini. Tampaklah 

buntalan pakaian gadis itu masih tergeletak di atas tempat 

tidurnya. 

"Mana Sundari, Panji?" tanya Pendekar Tangan Sakti 

begitu tiba di situ. 

"Entahlah. Tapi aku yakin, ia masih berada di sekitar 

penginapan ini. Rasanya tidak mungkin ia..., Hei! 

Wijasena! Tidakkah kau mendengar suara orang ber-

tempur?!" seru Panji tiba-tiba sehingga Pendekar Tangan 

Sakti sampai terlonjak kaget. Tanpa menunggu kawannya. 

Panji segera melesat cepat luar biasa, menuju suara 

pertempuran tadi berasal. 

Beberapa saat kemudian, Pendekar Naga Putih sudah 

tiba di tempat Dewi Tangan Merah tengah bertarung 

melawan dua orang bertopeng. Dari kejauhan, teriihat 

kalau kedua orang bertopeng itu mulai terdesak oleh 

pedang yang bersinar kehijauan di tangan Dewi Tangan 

Merah. Gulungan sinar kehijauan makin lama semakin 

mempersempit ruang gerak dua orang lawannya 

Brettt! 

"Aaakkkhhh...!" salah seorang dari dua orang ber-

topeng itu tidak sempat menghindari sambaran pedang 

gadis itu. Orang itu menjerit kesakitan dan tubuhnya pun 

terguling, menyemburkan darah segar yang keluar dari 

luka di perutnya. Sebentar dia meregang nyawa, lalu


tewas dengan mata mendelik! 

"Sundari, jangan bunuh...!" teriak Panji yang disertai 

luncuran tubuhnya menuju arah pertempuran! Selagi 

tubuhnya mengudara, pemuda itu langsung melancarkan 

totokan ke arah leher lawan Sundari. 

Dewi Tangan Merah segera menarik pulang senjatanya 

ketika mendengar teriakan Panji. Dan begitu melihat 

sesosok bayangan putih melesat ke arena pertempuran, 

gadis itu pun menggeser tubuhnya untuk memberi 

peluang kepada pemuda itu. 

Tukkk! 

Tubuh orang bertopeng itu kontan ambruk ketika 

totokan tangan Panji mengenai leher dan tubuhnya. Dan 

dengan sigap, Panji segera memburu ke arah orang itu. 

Segera dibukanya mulut orang bertopeng itu secara paksa. 

Dari mulut orang itu, Panji menemukan racun yang 

tertanam di gusi. Cepat-cepat Panji mengeluarkan racun 

dengan mengerahkan tenaga saktinya, sehingga orang itu 

tidak merasa sakit. 

Begitu racun yang berada di mulut orang itu telah 

dibuang, bergegas pemuda itu membebaskan totokan pada 

leher lawan. 

"Hm.... Sekarang tidak akan lolos lagi dari tanganku! 

Katakan apa tujuanmu memasuki kamarku?" tanya Panji 

setelah membebaskan totokan pada leher manusia 

bertopeng itu. Ternyata biarpun sudah tidak berdaya, 

namun orang itu sama sekali tidak menjawab pertanyaan 

Panji. Pendekar Naga Putih itu kembali mengulang per-

tanyaannya. Tapi, orang bertopeng itu tetap saja 

membisu.


"Hm..., baiklah! Apakah kau pikir kami tidak bisa 

menyiksamu?" 

Setelah berkata demikian, tangan Panji bergerak 

melakukan totokan kembali. Tiba-tiba orang bertopeng 

itu berteriak setinggi langit untuk kemudian bergulingan 

ke tanah. Rupanya totokan yang dilakukan Panji barusan 

menimbulkan rasa sakit luar biasa pada diri orang itu. 

"Oh... aduuuh... ampuuun... tobaaattt...!" beberapa 

waktu kemudian, orang bertopeng itu sudah tidak sanggup 

lagi menahan rasa sakit yang menyiksanya. Akhirnya, dia 

bersedia untuk memberikan keterangan yang diperlukan 

Panji. 

"Nah! Begitu kan, lebih baik! Sekarang katakan, siapa 

yang telah menyuruhmu untuk menawan kami?" tanya 

Pendekar Naga Putih, tegas. 

"Kami... kami... ouuuggghhh...!" 

Orang bertopeng Itu belum lagi sempat memberikan 

jawaban, tiba-tiba sepasang matanya mendelik dan 

tubuhnya mengejang! Beberapa saat kemudian, ambruk 

dalam keadaan tak bernyawa. Dan ketika Panji memeriksa 

ditemukannya tiga batang jarum halus berisi racun ganas 

yang tertancap di belakang tubuh orang itu. Alangkah 

kecewanya Panji karena sama sekali tidak menduga kalau 

akan berakhir demikian. Sedang pada saat itu, ia tengah 

mencurahkan perhatian kepada jawaban orang bertopeng 

itu maka, sia-sialah usahanya itu. 

"Hei, lihat!" tiba tiba Pendekar Tangan Sakti yang juga 

telah tiba di tempat itu menjadi terkejut. Ternyata ketika 

memeriksa tubuh orang bertopeng itu, ia menemukan 

rajahan di dada orang itu yang bertuliskan 'PARTAI


RIMBA HITAM". Selain itu juga terdapat rajahan yang 

menggambarkan lambang Partai Rimba Hitam. 

"Hm.... Orang-orang bertopeng ini pastilah anggota 

partai itu. Dan mungkin ada kaitannya dengan kemelut 

yang dihadapi Gunung Salaka," ujar Pendekar Tangan 

Sakti pelan, seolah-olah berbicara kepada dirinya sendiri. 

"Hhh.... Kemanakah kita harus mencari keterangan 

tentang partai yang penuh rahasia itu?" desah Panji 

penasaran. 

"Benar, memang sulit sekali! Dan petunjuk itu ada 

pada Ular Muka Kuning, Setan Muka Seribu, dan Nyai 

Serondeng. Hei…! Mengapa tidak didatangi saja 

kediaman nenek itu!" seru Dewi Tangan Merah tiba-tiba. 

"Eh! Maksudmu, kau mengetahui siapa nenek tua itu, 

Sundari!" tanya Panji penuh harap. 

"Benar! Aku baru teringat, kalau nenek itu adalah 

seorang datuk golongan sesat yang amat ditakuti di dunia 

persilatan. Dan ia kini menguasai daerah Selatan. Nah! 

Bukankah tidak terlalu sulit untuk mencarinya?" ujar Dewi 

Tangan Merah, berseri. 

"Kalau begitu, ayolah! Tunggu apa lagi...!" sahut 

Pendekar Tangan Sakti sambil mengayunkan langkahnya 

meninggalkan tempat itu. 

Dewi Tangan Merah dan Panji ikut pula meninggalkan 

mayat orang bertopeng itu! 

***


ENAM


Keesokan paginya, setelah membayar ongkos penginapan, 

Panji, Wijasena dan Sundari bergegas meninggalkan 

tempat itu. Dan dari keterangan beberapa orang yang ada 

di penginapan, Panji menarik kesimpulan bahwa kediaman 

Nyai Serondeng yang berjuluk Nenek Tongkat Maut itu 

tidak berada di sekitar daerah itu. Memang tidak ada 

seorang pun yang pernah mendengar tentang nenek 

tersebut. 

Ketiga pendekar itu meneruskan langkahnya menuju 

perbatasan desa. Mereka bermaksud mencari keterangan 

dari desa-desa yang dilalui. Dan kalau perlu, akan men-

datangi perguruan-perguruan yang ditemui dalam per-

jalanan mereka. 

Setelah melakukan perjalanan selama kurang lebih 

setengah hari, di hadapan mereka terbentang sebuah 

pedesaan diramaikan kesibukan para warganya. Mereka 

bergegas memasuki mulut desa, tanpa berkata sepatah 

pun. Ketika melihat kedai, Panji melangkahkan kakinya 

memasuki kedai makan yang terletak di tepi jalan. 

Sedangkan Dewi Tangan Merah dan Pendekar Tangan 

Sakti segera mengikuti langkah kaki pemuda itu dari 

belakang. 

"Hm.... Desa ini tampak cukup ramai. Siapa tahu kita 

dapat mencari keterangan di tempat ini," ujar Dewi 

Tangan Merah ketika mereka telah duduk di satu meja 

sambil menikmati hidangan.


"Sabarlah, Sundari. Biasanya di desa yang cukup ramai 

seperti ini, banyak orang usil yang selalu mencari-cari 

keributan. Maka kita harus bisa menjaga sikap agar tidak 

menarik perhatian," sahut Panji mengingatkan. 

"Hm... Bagaimanapun kita bertiga tetap akan menjadi 

perhatian orang. Coba perhatikan sekelilingmu, Panji," 

tegas Pendekar Tangan Sakti merendahkan suaranya, agar 

tidak terlalu keras terdengar. 

Panji segera mengedarkan pandang matanya ketika 

mendengar ucapan Wijasena. Dan apa yang dilihatnya 

benar-benar membuat terkejut. Ternyata hampir semua 

mata para pengunjung kedai makan tengah menatap ke 

arah mereka bertiga. Puluhan pasang mata itu kontan 

menunduk ketika bertemu pandang dengan pemuda itu. 

Karena biar bagaimanapun, pandangan mata Panji tetap 

berbeda daripada pandangan mata orang pada umurnya. 

Di dalam sinar mata pemuda itu seolah-olah mengandung 

suatu pengaruh yang sulit dijabarkan. 

"Mengapa mereka... aaahhh. Betapa bodohnya, aku!" 

Panji tidak meneruskan kata-katanya ketika secara tak 

sengaja memandang wajah Sundari. Dan pada saat itu ia 

langsung mengerti, mengapa puluhan pasang mata itu 

menatap ke arahnya. Sehingga tanpa sadar, Panji menepuk 

dahinya. 

"Ada apa, Kakang Panji?" tanya Dewi Tangan Merah 

keheranan. Melihat sikap Pendekar Naga Putih yang tiba-

tiba aneh itu. 

"Ah! Tidak, tidak ada apa apa," jawab Panji, segera 

menyadari perbuatannya. Cepat Panji mengalihkan per-

hatiannya pada hidangan di atas meja untuk menghindari


pertanyaan Sundari lebih lanjut. 

Mendadak, para pengunjung kedai makan yang sedang 

menikmati hidangan itu serentak menolehkan kepalanya 

ke arah pintu, ketika terdengar suara ribut. Tidak lama 

kemudian terlihat belasan orang melangkah memasuki 

kedai. Sikap mereka tampak sangat kasar. 

"Ha ha ha...! Rupanya langgananmu banyak juga, 

Gatar! Ayo, cepat. Sediakan uangnya untukku!" bentak 

salah seorang dari belasan laki-laki itu. 

Setelah berkata demikian, laki-laki itu menarik sebuah 

kursi di dekatnya dan langsung menginjakkan sebelah kaki 

di atasnya. Sikap laki-laki itu terlihat seperti sudah terbiasa 

bertindak demikian. Tampaknya, dia seorang pemungut 

upeti bagi para pedagang di desa itu. 

"Oh, Tuan Gambalang kiranya. Silakan..., silakan, 

Tuan!" seorang laki-laki yang berusia sekitar lima puluh 

tahun berlari tergopoh-gopoh menyambut laki-laki yang 

dipanggil Gambalang itu. Di tangannya tampak beberapa 

keping uang yang rupanya sudah disediakan untuk orang 

yang bernama Gambalang itu. 

"Hhh! Mengapa hanya segini, Gatar! Bukankah kedai-

mu sudah maju? Mengapa kau semakin pelit saja?! Ayo, 

tambah lima keping lagi!" bentak Gambalang dengan suara 

mengguntur. 

"Tapi..., tapi... Saya betul-betul tidak mempunyai..." 

Brakkk! 

Sebuah meja di samping Gambalang, langsung hancur 

berantakan ketika telapak tangan Gambalang yang kokoh 

itu menghantam meja itu dengan kerasnya. Tubuh pemilik 

kedai yang bernama Gatar itu menggigil ketakutan.


Wajahnya pucat pasi, bagaikan tak dialiri darah. 

"Huh! Dasar orang tidak tahu diuntung! Sekarang, 

cepat berikan padaku sepuluh keping lagi! Dan permintaan 

akan semakin bertambah setiap kali kau membantah. 

Tahu?!" bentak Gambalang dengan wajah merah padam. 

Beberapa pengunjung yang semula sedang menikmati 

hidangan, cepat-cepat bangkit dan meninggalkan kedai itu 

lewat pintu belakang. Sebentar saja kedai makan berubah 

menjadi sepi. Hanya tinggal beberapa orang saja yang 

masih bertahan, termasuk Pendekar Naga Putih, Dewi 

Tangan Merah, dan Pendekar Tangan Sakti. 

"Hm.... Tampaknya keadaan akan semakin memburuk, 

Panji! Jangan-jangan malah akan menular ke sini!" ujar 

Pendekar Tangan Sakti sambil melirik ke arah Sundari 

yang juga sedang memperhatikannya. Mata gadis itu 

langsung melotot ketika mendengar godaan yang dituju-

kan kepadanya. 

"Huh! Hanya seekor cacing tanah, mengapa harus 

ribut!" tegas Sundari tanpa mempedulikan kedipan mata 

kedua orang temannya yang berusaha untuk mencegah. 

Terlambat! Ternyata Gambalang yang memang pada 

saat itu tengah memandang ke arah mereka, segera 

bangkit ketika mendengar suara Sundari yang memang 

ditujukan kepadanya. Dengan langkah lebar, Gambalang 

menghampiri meja tempat duduk Panji, Sundari dan 

Wijasena. 

"Hhh.... Untunglah kau yang mengucapkannya tadi, 

Bidadari Cantik! Kalau saja salah satu dari mereka, pastilah 

gigi salah satunya sudah tidak di tempatnya lagi!" gertak 

Gambalang. Suaranya sengaja diseram-seramkan sambil


menunjuk ke arah Panji dan Wijasena. Sikap yang 

ditunjukkan Gambalang itu sebenarnya telah cukup 

membuat telinga Pendekar Tangan Sakti memerah, tapi 

kemerahannya masih berusaha ditekan, memang dia tidak 

ingin mengecewakan Pendekar Naga Putih yang masih 

tetap tenang, seolah-olah sama sekali tidak terpengaruh 

ejekan-ejekan yang dilontarkan Gambalang. Diam-diam 

Wijasena mengagumi sikap Panji yang demikian itu. Sama 

sekali amarahnya tidak terpancing, walaupun dihina 

sedemikian rupa. 

"Setelah kau tahu, bahwa aku yang mengucapkan, kau 

mau apa?" tantang Dewi Tangan Merah tanpa rasa takut 

sedikit pun! 

Memang, kejadian kejadian seperti ini sudah sering 

dialami Sundari. Dan kebanyakan dari orang-orang kasar 

seperti itu, hanyalah gentong-gentong nasi belaka. Mereka 

hanya mengandalkan sedikit kepandaian untuk memeras. 

Dan hal itulah yang paling tidak disukai Sundari atau 

orang-orang golongan putih umumnya. 

"Ha ha ha...! Tentu saja tidak apa apa, Manis," jawab 

Gambalang sambil berusaha melemparkan senyum manis 

yang dimiliki. Tapi sayang, yang tampak hanyalah sebuah 

seringai buas bagaikan serigala lapar. Sementara tangan 

lelaki itu sudah pula terulur untuk menyentuh wajah 

Sundari. 

Melihat sikap Gambalang yang semakin kurang ajar itu. 

Sundari tak dapat lagi menahan luapan amarahnya. Hanya 

saja gadis itu masih tetap berusaha bersikap masa bodoh, 

seolah-olah tidak mengetahui uluran tangan kurang ajar 

itu.


Gubrakkk! 

"Waaa...!" 

Gambalang berteriak ngeri ketika tahu-tahu tubuhnya 

terbanting ke lantai dengan kepala terlebih dahulu! 

Namun Gambalang bergegas bangkit sambil mengusap-

usap dahinya yang terdapat dua buah benjolan membiru 

akibat terbentur kaki meja. 

"Bangsat! Rupanya ada yang ingin main-main dengan 

Gambalang! Hayo! Tunjukkan wajahmu, pengecut!" 

Gambalang berteriak-teriak menantang. Sedangkan 

kawan-kawannya sudah berdatangan mendekatinya, se-

telah melihat Gambalang terjatuh tadi. Mereka tidak 

mengetahui, siapa yang telah begitu berani membanting 

tubuh Gambalang itu. 

"Eh, eh! Kau mencari siapa?" tegur Sundari sambil 

tersenyum mengejek. Kemudian, gadis itu pun sudah 

bangkit berdiri sambil bertolak pinggang di hadapan 

Gambalang dan kawan-kawannya. 

"Huh! Aku hanya ingin tahu, bagaimana tampang orang 

yang telah menjatuhkan diriku secara curang!" jawab 

Gambalang yang masih juga memandang berkeliling, 

mencari orang yang dimaksud. 

"Hei! Mengapa harus susah-susah mencarinya? Bukan-

kah orang yang kau cari ada di depan matamu?" jelas Dewi 

Tangan Merah lagi. Senyumnya semakin melebar karena 

merasa geli melihat sikap Gambalang yang berdiri 

bengong bagai orang kehilangan ingatan. 

"Apa... apa maksudmu, Nini? Jangan main-main," 

tegas Gambalang tak percaya pada ucapan Sundari. 

Masalahnya, bagaimana mungkin gadis canbk itu dapat


menjatuhkannya, tanpa diketahui. Namun sebelum dia 

sadar akan keadaannya, tahu-tahu Sundari mengulurkan 

kedua tangannya cepat, sukar diikuti mata. Dan tiba-tiba 

tubuh Gambalang kembali terbanting keras! 

"Bagaimana, apakah kau masih belum mempercayai 

ucapanku?" tanya Dewi Tangan Merah lagi. 

Gambalang menjadi terkejut setengah mati. Lagi-lagi 

gadis jelita itu tahu-tahu telah menjatuhkan dirinya. 

Benar-benar dia tak mampu mencegahnya. Bagai orang 

yang masih belum mempercayai apa yang terjadi. 

Gambalang mengkerjap-kerjapkan kedua matanya seolah 

ingin menghilangkan mimpi buruk dalam tidurnya. Dan 

ketika kesadarannya telah kembali, Gambalang menjadi 

marah dan terhina sekali atas perlakuan Sundari. 

"Hm..., iblis betina! Rupanya kau sengaja ingin 

mengacau di daerah kekuasaan kami. Tangkap dia...!" 

perintah Gambalang kepada belasan orang kawannya yang 

telah bersiap sejak tadi. 

Kejadian selanjutnya, belasan orang itu segera bergerak 

mengurung Sundari yang merasa belum perlu meng-

gunakan pedangnya. Gadis jelita itu berdiri tegak di 

tengah-tengah belasan laki-laki kasar yang mengurungnya. 

Sementara Pendekar Tangan Sakti dan Pendekar Naga 

Putih telah menyingkir ke tepi tanpa berusaha membantu 

Sundari. Mereka melihat, dari gerakan para pengepungnya 

rasanya kekuatan lawan sudah dapat ditebak. Dengan 

demikian keduanya tidak merasa perlu membantu 

Sundari. 

"Hiaaa...!" 

Diiringi teriakan-teriakan keras, belasan orang yang


dipimpin Gambalang segera menyerbu Sundari dengan 

senjata di tangan. Tubuh gadis itu segera berkelebat di 

antara sambaran senjata lawan, dan langsung menuju pintu 

keluar. 

"Kejar...! Jangan biarkan gadis liar itu lolos!" 

Gambalang berteriak-teriak memberikan perintah. 

Serentak kawan-kawan Gambalang berloncatan keluar 

mengejar Dewi Tangan Merah. 

"Jangan lari kau, gadis liar!" seru Gambalang ketika 

tiba di hadapan Sundari yang telah berdiri tegak, seolah-

olah memang sengaja menantinya. 

"Hm.... Siapa yang hendak melarikan diri, monyet 

kurap! Aku hanya tidak ingin membuat seluruh isi kedai 

berantakan akibat ulah monyet-monyet kurap macam 

kalian!" jawab Dewi Tangan Merah, menghina. 

"Bangsat! Kubunuh kau perempuan setan...!" sambil 

berteriak-teriak marah, Gambalang segera menerjang 

Sundari menghunus senjatanya yang berbentuk sebuah 

tombak bergolok besar dan terlihat berat. 

Wuttt! Wuttt! 

Suara desingan golok bergagang tombak itu, menderu-

deru dan menyambar-nyambar di sekitar tubuh Sundari. 

Namun lewat sebuah gerakan indah, tahu-tahu tubuh 

Sundari telah berada di belakang lawannya. Ini di-

karenakan tingkat kepandaian Gambalang masih terlalu 

rendah, sehingga Sundari dapat mudah mengatasinya! 

Desss! 

"Ngggk...!" 

Tubuh Gambalang terjajar ke depan ketika Sundari 

yang sudah berada di belakangnya itu menyabetkan sisi


telapak tangannya ke tengkuk Gambalang. Tubuh laki-laki 

itu terbanting keras tanpa mampu bangkit lagi. Rupanya 

akibat hantaman keras itu Gambalang pingsan seketika. 

Menyaksikan pemimpin mereka dalam segebrakan saja 

tak berdaya, para pengikut Gambalang kontan mengambil 

langkah seribu meninggalkan tempat itu. Diiringi suara 

tawa merdu Dewi Tangan Merah, belasan orang itu 

pontang-panting terkencing-kencing. 

Wijasena dan Panji, segera melangkah menghampiri 

Sundari yang tengah berdiri berkacak pinggang menanti 

kedatangan mereka berdua. 

"Mengapa tidak kau bebaskan saja orang itu, Sundari?" 

tegur Wijasena ketika melihat tubuh Gambalang yang 

masih tergeletak pingsan di dekat gadis itu. 

"Wah! Kakang Wija ini bagaimana?! Bukankah kita 

memerlukan orang seperti dia untuk menunjukkan tempat 

kediaman Nenek Tongkat Maut yang menjadi datuk kaum 

sesat di Selatan ini. Apakah perbuatanku salah?" bantah 

Dewi Tangan Merah, ketus. 

"Hm..., benar! Mengapa aku menjadi pelupa sekali! 

Bukankah orang ini sangat tepat. Memang kalau dilihat 

tingkah lakunya, pasti ia salah seorang dari golongan hitam 

yang tengah beroperasi. Tapi sayang sekali, kali ini ketemu 

batunya!" sahut Wijasena. 

"Kalau begitu, mengapa tidak segera dibangunkan. 

Tunggu apa lagi?" ujar Panji ikut menimpali. 

"Tunggu...! Kakang Panji, apakah kau mengenal dua 

orang itu?" tanya Dewi Tangan Merah ketika melihat dua 

sosok tubuh yang terpisah agak jauh dari tempat mereka. 

Dua sosok tubuh itu tampak tengah memperhatikan tiga


orang pendekar itu tanpa berkedip. 

Panji segera melayangkan pandangannya mengikuti 

jari-jari tentik Sundari yang menunjuk ke satu arah. 

Jaraknya kira-kira sejauh seratus tombak dari tempat 

mereka berada. Semakin diperhatikan, semakin keras 

debaran dalam dada Panji. Mereka pun baru beberapa hari 

kenal, namun sudah dihapalnya ciri-ciri kedua orang itu. 

Namun Panji juga sedikit ragu-ragu masalahnya, jaraknya 

cukup jauh juga. Apalagi tempat kedua orang Itu berdiri 

agak tertutup pepohonan sehingga semakin meragukan 

hati pemuda itu 

Karena rasa penasaran yang meluap-luap, maka Panji 

melangkahkan kakinya mendekati dua sosok tubuh itu. 

Dengan penuh ketegangan, Pendekar Naga Putih tersebut 

terus melangkahkan kakinya menuju semak-semak tempat 

kedua orang itu berada. Belum lagi jauh Panji melangkah, 

tiba-tiba dua sosok tubuh yang terlindung bayangan 

pepohonan itu melesat dan menghilang di balik 

pepohonan. Cepat-cepat Panji mengerahkan kemampuan 

ilmu meringankan tubuh untuk mengejar dua bayangan 

yang dicurigainya itu. Namun sampai lelah mencari, kedua 

sosok bayangan itu tidak dapat ditemukan, seolah-olah 

lenyap ditelan bumi. 

"Siapakah mereka, Kakang? Mengapa terlihat begitu 

tegang?" tanya Dewi Tangan Merah ketika pemuda itu 

telah tiba di tempat semula. 

Pendekar Tangan Sakti diam-diam merasa heran 

melihat sikap Panji yang seolah-olah seperti terpukul 

ketika tidak dapat menemukan dua orang yang belum 

diketahui secara pasti itu.


"Aneh! Siapakah sebenarnya kedua orang tadi? Dan 

mengapa tiba-tiba saja pemuda itu menjadi tegang, seolah-

olah memang dapat menduga dua orang itu? Aneh, apa 

sebenarnya yang terjadi terhadap pemuda digdaya yang 

mengagumkan itu?" gumam Wijasena tak jelas. 

"Entahlah, Sundari! Tapi sepertinya mereka itu... 

aaahhh! Mana mungkin! Lagipula mengapa mereka seperti 

sengaja menghindar dariku!" desah Panji, yang pikirannya 

menjadi kacau. Dan tanpa berkata-kata lagi, pemuda itu 

melangkah melewati Sundari yang hanya memandang 

heran. Memang, gadis itu tidak mengerti, apa yang tengah 

dialam pemuda yang menarik hatinya itu sebenarnya. 

Dewi Tangan Merah dan Pendekar Tangan Sakti tidak 

bertanya-tanya lagi, karena keduanya merasa maklum 

kalau saat-saat seperti ini, Panji benar-benar tidak ingin 

diganggu berbagai macam pertanyaan. Dan, memang 

sebaiknya kalau pada saat seperti itu adalah diam. 

Ketiga orang pendekar itu kembali meneruskan niatnya 

semula untuk mengorek keterangan dari Gambalang. 

***


TUJUH


Setelah mendapat keterangan dari Gambalang tentang 

kediaman Nyai Serondeng, maka tiga pendekar itu ber-

gegas mengunjunginya. Sedangkan Gambalang dilepaskan 

dengan ancaman, apabila kembali melakukan kejahatan, 

Dewi Tangan Merah akan kembali untuk mengambil 

kepalanya! 

Dan Gambalang terpaksa harus menuruti kemauan 

Dewi Tangan Merah itu. Masalahnya, dia telah merasakan 

bagaimana dibuat tak berdaya hanya dalam segebrakan 

saja. Hal ini tentu saja membuat Gambalang tidak berani 

bertindak macam-macam. 

"Apakah kita harus datang secara terus terang, 

Kakang?" tanya Dewi Tangan Merah kepada Panji yang 

berjalan di sebelahnya. 

"Entahlah. Menurutmu, bagaimana Sundari?" ujar 

Panji balik bertanya. Sehingga untuk beberapa saat lama-

nya Dewi Tangan Merah terdiam untuk mencari jalan 

yang terbaik bagi mereka semua. 

"Lebih baik kita tidak datang secara terus terang, Panji. 

Karena, kita belum tahu pasti, apakah di tempat itu telah 

menjadi pusat perkumpulan Partai Rimba Hitam atau 

tidak?" sahut Pendekar Tangan Sakti yang ikut pula 

menimpali. 

"Ah! Mengapa kita tidak bertanya pada Gambalang 

tadi! Hhh..., mengapa kita melupakannya?" sergah Dewi 

Tangan Merah. Suaranya mengandung penyesalan karena


kecerobohannya. 

Memang, dia telah melupakan satu hal penting yang tak 

dapat dikesampingkan begitu saja. Sebab, dengan 

diketahuinya keadaan kediaman Nyai Serondeng, berarti 

mereka dapat mengambil keputusan. Apakah harus datang 

terang-terangan atau sembunyi? Hal inilah yang kini 

mengganggu pikiran ketiga orang pendekar itu. 

Akhirnya, karena belum tahu secara pasti, maka 

ketiganya memutuskan untuk mendatangi kediaman Nyai 

Serondeng secara sembunyi. Hal itu dilakukan untuk 

menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. 

Diiringi hembusan angin sore, ketiga pendekar itu 

meneruskan niatnya mendatangi kediaman Nyai 

Serondeng yang terletak di atas Bukit Nirwana. Sebuah 

bukit yang sangat indah, karena hampir di setiap sudutnya 

dipenuhi bunga yang bermekaran dan menebarkan 

keharuman yang menyejukkan. 

Cukup lama juga mereka melakukan perjalanan sambil 

mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Itu dilakukan 

apabila melewati tempat-tempat sepi. Dan kini tibalah 

mereka di tempat yang dituju, Bukit Nirwana. Untuk 

beberapa saat lamanya, ketiga pendekar itu hanya berdiri 

mematung memperhatikan puncak bukit yang menjadi 

kediaman salah satu datuk kaum sesat di Selatan. 

Kekejamannya tidak kalah dengan iblis! 

Namun sebelum memutuskan untuk mendaki bukit 

itu, mendadak di hadapan mereka telah berdiri dua sosok 

tubuh dalam jarak sekitar lima puluh tombak. Dua sosok 

tubuh itu muncul begitu saja bagaikan iblis-iblis neraka 

yang ditugaskan untuk menjemput Panji dan kawan


kawannya. 

"Suntara..., Rahayu...!" seru Panji. Suaranya terdengar 

bagaikan tercekat di tenggorokan. Wajah pemuda itu 

kembali menegang karena masih belum dapat menduga, 

apa yang tengah dialami dua orang itu sebenarnya? 

Bukankah mereka dalam tawanan Setan Muka Seribu? Lalu 

mengapa dibebaskan begitu saja? Dan mengapa mereka 

tidak menunjukkan sikap bersahabat. Panji tidak menerus-

kan lamunannya, karena hal itu akan semakin menambah 

keruwetan pikirannya saja. 

"Jadi, mereka itukah yang kau lihat di semak-semak 

samping kedai? Siapakah mereka? Demikian berartikah 

mereka bagimu, Panji?" tegur Pendekar Tangan sakti saat 

melihat wajah Panji, yang biasanya tenang itu tampak 

selalu tegang apabila berjumpa dengan dua orang yang 

disebutnya Suntara dan Rahayu itu. 

"Mereka adalah murid-murid kesayangan Ki Tunggul 

Jagad dan Ki Ageng Pandira yang ditugaskan untuk 

menyelidiki kemelut Partai Gunung Salaka dan Partai 

Gunung Sutra bersamaku. Kemudian keduanya meng-

hilang dalam sebuah hutan tanpa aku mampu 

menyelamatkannya. Dan kini tahu-tahu saja mereka telah 

terbebas. Namun dari sinar mata mereka sama sekali tidak 

memancarkan rasa persahabatan! Entah apa yang tengah 

dialami mereka? Sedangkan kedua guru mereka telah 

berpesan kepadaku untuk menjaga mereka baik-baik. 

Memang, keduanya sama sekali belum berpengalaman 

dalam menghadapi manusia yang penuh berbagai tipu 

daya. Dan aku takut kalau Suntara dan Rahayu telah 

dipengaruhi tokoh-tokoh sesat yang menawan mereka,"


Panji menghela napas berulang-ulang setelah mengakhiri 

ceritanya yang telah membuat Pendekar Tangan Sakti 

ternganga penuh keheranan. 

"Oh! Benarkah yang kau ceritakan itu, Panji! Aneh! 

Bagaimana mungkin Guru Besar mempunyai murid yang 

masih demikian muda? Dan mengapa pula aku tidak 

mengetahuinya?" ujar Pendekar Tangan Sakti dengan nada 

seperti kurang percaya. 

"Begitulah yang dikatakan Ki Sukma Kelana ketika 

melepaskan kepergian Suntara. Jangankan dirimu yang 

selalu berada di luar. Bahkan para tokoh tingkat tiga 

sekalipun tidak pernah mengetahui kalau Ki Tunggul Jagad 

mempunyai seorang murid yang seumur Suntara. Namun, 

demikianlah kenyataan sebenarnya, Wijasena," jawab 

Panji menerangkan. 

"Lalu, apa yang harus kita perbuat terhadap mereka?" 

tanya Dewi Tangan Merah tiba-tiba. Sehingga kedua orang 

pendekar itu kembali teringat akan keadaan mereka. 

Panji menatap kedua orang yang masih berdiri bagaikan 

sebuah patung batu saja. Mereka sama sekali tak bergerak 

walaupun telah cukup lama berdiri. 

"Kalian tetaplah di sini! Biar aku yang akan meng-

hadapi, karena kalian belum mengetahui apa yang telah 

terjadi dengan mereka," jelas Panji mengambil keputusan. 

Ia memang tidak ingin mengikutsertakan Sundari atau 

Wijasena sebelum mengetahui duduk persoalannya, yang 

membuat kedua orang itu seolah-olah tidak mengenalnya 

sama sekali. 

Pendekar Naga Putih melangkah penuh kewaspadaan 

menghampiri dua sosok tubuh yang memang Suntara dan


Rahayu itu. Namun, hati Panji terkejut ketika melihat 

wajah mereka berdua itu pucat bagaikan mayat. Dan yang 

lebih mengejutkan hati, ketika Panji melihat sinar mata 

Suntara dan Rahayu yang bagai hilang ingatan. Sinar mata 

itu begitu dingin dan kosong. Diam-diam hati Pendekar 

Naga Putih terharu ketika melihat keadaan mereka berdua 

yang bagaikan tak terurus. 

Baru beberapa langkah Panji mendekat, tiba-tiba 

Suntara dan Rahayu mencabut senjatanya masing-masing. 

Dan tanpa basa-basi lagi, keduanya melesat ke arah Panji 

dengan serangan menderu-deru. Sepasang senjata muda-

mudi itu meluncur deras ke arah Pendekar Naga Putih, 

sehingga menimbulkan desingan angin tajam. 

"Suntara, Rahayu...! Tahan! Ini aku, Panji! Apakah 

kalian lupa kepadaku!" cegah Panji sambil melangkah 

mundur menghindari serangan dua orang yang memang 

sangat berbahaya itu. Suntara dan Rahayu sama sekali tidak 

mengindahkan teriakan-teriakan Panji yang mencoba 

mencegah terjadinya pertempuran di antara mereka. 

Namun, wajah mereka tetap saja kaku tanpa perasaan. 

Seolah-olah memang benar-benar tidak mengenal Panji 

sama sekali. 

Hm..., pasti ada sesuatu yang tidak beres dalam diri 

mereka," gumam Panji pelan. 

Semakin lama serangan Suntara dan Rahayu semakin 

ganas dan berbahaya! Kalau sampai beberapa jurus lagi 

Panji masih saja tidak membalas serangan itu, dapat 

dipastikan dirinya akan celaka! Karena sebagai murid-

murid orang sakti, baik Suntara dan Rahayu pasti telah 

dibekali ilmu-ilmu tinggi oleh guru mereka berdua.


Sehingga, kepandaian kedua orang itu tidak dapat dianggap 

main-main. 

Dewi Tangan Merah dan Pendekar Tangan Sakti yang 

melihat keadaan Panji, sudah tidak dapat lagi menahan 

diri. Keduanya segera melesat dan langsung menerjunkan 

diri dalam kancah pertempuran. Begitu memasuki arena, 

Dewi Tangan Merah dan Pendekar Tangan Sakti segera 

melancarkan serangan ke arah Suntara yang pada saat itu 

dekat dengan mereka 

Merasakan sambaran angin kuat yang keluar dari dua 

pasang lengan yang meluncur ke arahnya, Suntara bukan-

nya menghindar tapi malah memapaknya dengan men-

dorongkan kedua telapak tangan disertai pengerahan 

tenaga dalam penuh. 

"Sebelas Jurus Penahan Ombak..!" seru Pendekar 

Tangan Sakti ketika melihat gerakan sepasang tangan 

Suntara yang menimbulkan desiran angin kuat. Pendekar 

Tangan Sakti yang mengetahui kehebatan ilmu kebanggaan 

perguruannya itu, segera mengerahkan seluruh tenaga 

dalam. Karena jelas-jelas untuk mengelak sudah ter-

lambat! 

Darrr! 

"Aaahhh...!" 

Terdengar bunyi ledakan keras di udara ketika dua 

gelombang bertenaga dalam tinggi bertemu di udara! 

Dewi Tangan Merah dan Pendekar Tangan Sakti memekik 

tertahan. Tubuh mereka sampai terjengkang akibat 

benturan itu, kemudian terbanting di atas tanah meskipun 

masih limbung. Dan dari celah-celah bibir mereka, 

nampak darah segar merembes keluar! Rupanya benturan


tadi telah mengguncangkan isi dada mereka! 

Di lain pihak, tubuh Suntara pun mengalami hal 

serupa. Gabungan tenaga lawannya ternyata kuat sekali. 

Walaupun dia telah mengeluarkan seluruh tenaganya, 

ternyata masih pula terdorong dan terhuyung-huyung 

dengan dada terasa sesak. Tapi anehnya, Suntara seolah-

olah tidak merasakan akibat benturan tenaga dalam tadi. 

Hanya wajahnya saja yang terlihat semakin pucat. Namun, 

pandangan matanya tetap saja kosong dan tak memancar-

kan gairah kehidupan. Seakan-akan jiwa Suntara telah 

mati, sementara raganya masih tetap utuh. 

Panji yang tengah berhadapan dengan Rahayu, serentak 

meninggalkan gadis itu. Dia berlari memburu Dewi 

Tangan Merah dan Pendekar Tangan Sakti yang tengah 

melangkah tertatih-tatih. 

"Sundari! Wija! Jangan ladeni, karena mereka berdua 

tidak menyadari apa-apa yang dilakukan saat ini! Mereka 

sedang kehilangan ingatannya!" tegas Panji begitu tiba di 

hadapan kedua orang kawannya yang sedang bersiap-siap 

bertarung kembali. 

"Panji! Kepandaian kedua orang ini tidak bisa dibuat 

main-main! Dan kalau kami terus mendiamkan, mereka 

pasti menyerangmu. Dan pasti kau berusaha untuk tidak 

membalas. Bisa bisa kau akan celaka di tangan mereka, 

Panji!" sergah Pendekar Tangan Sakti. Suaranya 

mengandung rasa penasaran dan kekhawatiran. 

"Benar, Kakang Panji. Lakukanlah sesuatu kepada 

mereka. Jangan hanya menghindar saja, karena hal itu 

sangat berbahaya!" Dewi Tangan Merah ikut pula mem-

berikan dorongan kepada Panji, karena sudah merasakan


bagaimana hebatnya kepandaian pemuda yang bernama 

Suntara itu. Padahal, dia tadi telah mengerahkan seluruh 

tenaganya. Malah, masih pula dibantu Pendekar Tangan 

Sakti. Tapi, toh mereka masih juga kalah tenaga. Dan hal 

itu benar-benar sukar dipercaya bagi Dewi Tangan Merah 

yang selama ini belum pernah bertemu lawan tangguh 

yang masih terlihat muda itu. Maka mau tidak mau ia 

harus mengakui kehebatan lawannya. 

Mendengar kata-kata kedua orang sahabatnya diam-

diam Panji merasa terharu sekali. Namun, perasaan itu 

cepat-cepat ditekan, karena tidak boleh terlihat lemah di 

hadapan mereka 

"Baiklah. Kalian tetaplah di sini! Aku akan mencoba 

untuk menundukkan mereka," jawab Panji. 

"Tapi bagaimana mungkin dapat menundukkan tanpa 

harus melukai mereka, Kakang? Bukankah hal itu terlihat 

sulit sekali!" sahut Dewi Tangan Merah, bernada 

khawatir. Sekejap sinar mata yang menyiratkan kecemasan 

itu meredup, mengungkapkan perasaan hati Sundari yang 

selama ini, cepat-cepat dibuang pandangannya dengan 

wajah kemerahan. 

"Hati-hatilah, Kakang...!" ujar Sundari untuk me-

nutupi rasa jengah dalam hatinya. 

Panji yang dapat menduga apa yang telah dirasakan 

gadis itu, hanya mengangguk tipis. Kemudian dia segera 

melangkah mendekati Suntara dan Rahayu yang telah 

bersatu kembali. Untuk beberapa saat lamanya, Panji 

hanya berdiri sambil memandang kedua orang itu dengan 

tatapan lembut Pendekar Naga Putih kini sudah dapat 

bersikap tenang, kembali seperti biasanya. Dan ketika


melihat kedua orang itu sudah bersiap hendak menerjang, 

Panji segera mengempos semangatnya. Ditariknya napas 

dalam-dalam. Sekejap kemudian, terdengar suara tulang-

tulang tubuhnya yang bergemerutuk karena dialiri 'Tenaga 

Dalam Gerhana Bulan' yang merupakan warisan Eyang 

Tirtayasa. 

Dalam sekejap saja, tubuh pemuda itu telah diselimuti 

selapis kabut bersinar putih keperakan dan memancarkan 

hawa dingin yang menggigit kulit. Dan secara mendadak, 

daerah di sekitarnya merubah menjadi dingin. 

Suntara dan Rahayu tersentak mundur, ketika 

serangkum angin berhawa dingin berhembus menerpa 

tubuh mereka. Ternyata biarpun kesadaran telah lenyap, 

namun naluri mereka sebagai ahli silat telah mem-

peringatkan akan bahaya mengancam. 

Diiringi bentakan nyaring, Suntara dan Rahayu segera 

bersiap mengerahkan ilmu andalan masing-masing. 

Keduanya segera bergerak membentuk kuda-kuda yang 

sesuai dengan jurus jurus mereka. 

"Yeeeaaattt...!" 

Tiba-tiba tubuh sepasang muda mudi itu melayang 

cepat ke arah Panji yang memang sudah bersiap 

menghadapinya. Angin keras berputar ketika kedua orang 

muda yang berkepandaian tinggi itu mulai melancarkan 

serangan pukulan dan tendangan kilat yang tidak terduga 

datangnya! Namun, meskipun mereka melancarkan 

serangan susul-menyusul, tetap saja hasilnya jadi berbalik. 

Mereka seperti membentur sebuah dinding berhawa 

dingin yang selalu saja menolak setiap pukulan yang datang 

ke tubuh pemuda itu.


Panji kini sudah pula membangun serangan dengan 

melakukan totokan-totokan yang mengarah ke bagian-

bagian terlemah di tubuh lawan-lawannya itu. Tapi sampai 

jurus yang keempat puluh berlalu, Panji belum juga dapat 

menyentuh tubuh Suntara maupun Rahayu yang ternyata 

memiliki kegesitan hebat. Dan sepertinya mereka tahu 

kalau Panji hendak menotok roboh. Tentu saja baik 

Suntara dan Rahayu tidak ingin tertotok begitu saja. Maka 

keduanya berusaha menghindarkan serangan-serangan 

yang dilontarkan Panji. 

Hingga pada jurus yang keempat puluh delapan, Panji 

yang rupanya merasa tidak akan mampu menjatuhkan 

lawannya tanpa harus mencelakai, segera merubah 

keputusannya. Tiba-tiba kedua tangan pemuda itu ber-

putar dan membentuk cakar naga. Dan dengan gerakan 

cepat luar biasa, Panji segera melakukan serangan lewat 

jurus "Silat Naga Sakti" yang menjadi andalannya. 

Bagaikan seekor naga putih yang sedang bermain di 

angkasa, tubuh pemuda itu bergerak lincah sambil 

melontarkan serangan-serangan cepat luar biasa. Akibat-

nya dalam beberapa jurus saja, kedua lawannya telah 

dibuat repot oleh pukulan-pukulan yang datang bagai air 

bah itu. Sampai akhirnya, keduanya hanya dapat bermain 

mundur. Memang, serlap kali mereka balas menyerang, 

selalu saja berbalik dan kandas terdorong angin dingin 

yang mengelilingi tubuh mereka. 

Wusss! Blarrr! 

Debu mengepul tinggi ketika pukulan yang dilontarkan 

Panji menghantam tanah-tanah berumput. Kali ini kedua 

orang lawan Panji itu berhasil menyelamatkan diri, dengan


cara melemparkan tubuh ke belakang. Itu pun masih 

disambung beberapa kali salto di udara. Dan kini mereka 

dapat mendaratkan kakinya manis dan indah, sejauh tiga 

tombak dari tempat semula. 

Namun Pendekar Naga Putih rupanya sudah tidak sabar 

untuk cepat-cepat menyelesaikan pertarungan. Pada saat 

Suntara dan Rahayu tengah memperbaiki posisi tahu-tahu 

serangan Panji sudah datang mengancam. Karena tidak 

mempunyai kesempatan lagi untuk menghindar, maka 

mereka segera mendorongkan telapak tangannya untuk 

memapak serangan itu! 

Blanggg! 

"Aaakh...!" 

Terdengar seruan tertahan yang keluar dari mulut 

ketiganya. Benturan dahsyat itu telah menggetarkan udara 

di sekitar arena pertarungan. Akibatnya tubuh ketiga 

orang yang berbenturan itu sama-sama terpental ke 

belakang. 

Suntara dan Rahayu yang terbanting keras di tanah, 

untuk beberapa waktu belum mampu bangkit berdiri! 

Mereka rebah di atas hamparan rumput, dengan napas 

satu-satu. Sementara dari sudut bibir mereka, terlihat 

cairan merah merembes keluar. 

Pada saat keduanya dalam keadaan tidak berdaya itu, 

tiba-tiba dua sosok bayangan melesat ke arah mereka 

disertai totokan yang mengancam. Tanpa dapat berbuat 

apa-apa, keduanya langsung lemas terkena totokan yang 

dllakukan dua sosok bayangan yang ternyata Dewi Tangan 

Merah dan Pendekar Tangan Sakti. Akibatnya kedua orang 

Itu dapat dikuasai tanpa mengalami kesulitan berarti.


Sedangkan Panji yang terhempas akibat benturan dua 

gelombang tenaga dalam tinggi tadi, dapat mendaratkan 

kakinya ringan tanpa mengalami luka sedikit pun. Hanya 

saja, dadanya terasa agak sesak seakan akan dihimpit 

sebuah benda berat. Namun rasa sesak itu pun tidak 

berlangsung terlalu lama, karena segera dikerahkan hawa 

murni untuk menolak segala pengaruh yang mengeram 

dalam dirinya. 

Panji yang semula sudah merasa lega ketika melihat 

Suntara dan Rahayu berhasil ditawan Sundari dan 

Wijasena, menjadi tersentak. Dia memang melihat 

beberapa sosok tubuh berkelebat ke arah Pendekar Tangan 

Sakti dan Dewi Tangan Merah. Tanpa membuang-buang 

waktu lagi, Panji segera menggenjot tubuhnya, 

menyambut sosok tubuh yang berada paling depan. 

"Sundari! Wijasena! Awaaasss...!" teriak Panji sambil 

meluncur ke arah kedua orang kawannya 

Sebenarnya tanpa diberitahu pun, Dewi Tangan Merah 

dan Pendekar Tangan Sakti sudah pula mengetahui hal itu. 

Maka ketika keduanya mendengar teriakan itu segera 

berlompatan mundur sambil memondong tubuh Suntara 

dan Rahayu. Untunglah keduanya terbebas dan serangan 

mendadak itu. 

Berbeda dengan bayangan yang meluncur paling depan. 

Ternyata bayangan itu langsung berbentur dengan Panji 

yang memang hendak menyambut serangan itu. Dan.... 

Plak! Bukkk! Desss! 

"Ouggghhh...!" 

Telapak tangan bayangan itu berhasil ditepis Panji yang 

langsung mengirimkan sebuah tendangan dan pukulan


tepat mengenai lambung dan dada lawan. Orang itu 

langsung terjungkal sambil memuntahkan darah segar dari 

mulutnya. Setelah menggigil karena disiksa hawa dingin 

yang merasuk tubuhnya, orang itu tewas seketika akibat 

pukulan dan tendangan Panji yang sangat kuat itu! 

Sedangkan sosok-sosok tubuh lain langsung berhenti, 

tidak meneruskan serangannya yang semula diarahkan ke 

Sundari dan Wijasena. Belasan orang itu tertegun ketika 

menyaksikan pimpinan mereka tewas hanya dalam 

segebrakan saja. Tanpa sadar, mereka yang semula hendak 

membunuh Panji, Dewi Tangan Merah dan Pendekar 

Tangan Sakti, bergerak mundur dengan wajah pucat! 

Namun seketika belasan orang itu bangkit setelah 

mendengar sebuah suara yang rupanya sangat ditakuti. 

"Mengapa diam saja, murid-murid goblok! Tunggu apa 

lagi, ayo cincang tubuh mereka!" perintah sebuah suara 

yang melengking tinggi bagaikan dengingan nyamuk. 

Belum lagi gema suaranya lenyap, tahu-tahu di tempat 

itu telah berdiri sesosok tubuh kurus yang tak lain adatah 

Nyai Serondeng. Dialah yang menjadi majikan di Bukit 

Nirwana. Sementara di belakangnya terlihat Setan Muka 

Kuning, yang rupanya sudah menjadi pengikut Nenek 

Tongkat Maut dan tergabung dalam Partai Rimba Hitam! 

"He he he.... Selamat bertemu lagi, Pendekar Naga 

Putih! Apakah kau ingin melanjutkan pertandingan kita 

yang tertunda?" ejek Nyai Serondeng. 

"Hm..., Nyai Serondeng! Di antara kita tidak terdapat 

permusuhan. Lalu mengapa tak membiarkan kami 

meninggalkan tempat ini? Apakah memang sengaja hendak 

mencari permusuhan?" tegas Panji. Wajah Panji terlihat


tegang, karena menyadari kalau di sekitar tempat itu telah 

dikurung sekitar lima puluh orang anggota Partai Rimba 

Hitam. Belum lagi ditambah dengan nenek sakti itu sendiri 

dan Setan Muka Seribu yang merupakan pentolan partai 

itu. Bahkan masih ditambah lagi Ular Muka Kuning yang 

mempunyai kepandaian tidak rendah! Maka dari itu, Panji 

berusaha untuk mengulur waktu sambil mencari-cari jalan 

keluar. 

Rupanya Nyai Serondeng mengetahui apa yang tengah 

dipikirkan Panji saat itu. Melihat sikap yang ditunjukkan 

Panji, diam-diam Nyai Serondeng merasa kagum kepada 

pemuda itu. 

"Hm... Entah murid siapa Anak Muda ini. Kepandaian-

nya hebat sekali dan tidak berada di bawah kepandaianku! 

Seorang pemuda yang hebat!" ujar nenek itu dalam hati. 

Sesaat, Panji terdiam Matanya tetap mengawasi 

sekitarnya. 

"He he he..., jangan harap dapat meloloskan diri kali 

ini Pendekar Naga Putih! Hari Ini adalah hari penentuan 

bagi kita!" seru Nyai Serondeng diiringi suara tawa yang 

mengikik. 

"Hm.... Jadi rupanya kau yang menjadi pimpinan 

Partai Rimba Hitam?" tanya Panji tanpa mempedulikan 

ocehan nenek itu. 

"He he he.... Rupanya kau sudah tahu pula tentang 

partai itu! Memang akulah Nyai Serondeng, Ketua Partai 

Rimba Hitam! Sudah puas, Anak Muda. " 

"Hm..., kalau begitu kau harus mempertanggung-

jawabkan segala perbuatanmu!" ujar Panji geram. 

"Huh, sudahlah! Jangan banyak mulut Bersiaplah untuk


mampus! Heaattt...!" dibarengi sebuah teriakan 

menyakitkan anak telinga tubuh nenek sakti itu meluncur 

sambil membabatkan tongkatnya ke tubuh Panji. Serangan 

angin berhawa panas berhembus mengiringi datangnya 

hantaman tongkat yang bertenaga tinggi itu. 

Tranggg! 

"Aihhh...!" Nyai Serondeng menjerit tertahan, ketika 

tiba-tiba saja di tangan Panji telah tergenggam sebatang 

pedang yang langsung digunakan untuk menangkis. 

Keduanya terdorong mundur sejauh delapan langkah. 

Ternyata dalam pertemuan tadi, tenaga mereka 

berimbang! Dan hal ini sangat mengkhawatirkan Panji. 

Karena, kalau bertarung melawan nenek itu, bagaimana ia 

dapat melindungi kawan-kawannya? Itulah yang menjadi 

beban pikiran Panji. 

Nyai Serondeng dan Panji saling bertatapan seolah-olah 

tengah mempelajari kekuatan tersembunyi yang ada dalam 

diri lawan masing-masing. Belum lagi keduanya bergerak, 

tiba-tiba terdengar suara sorak-sorai bergemuruh! Dan 

tidak lama kemudian, terlihat puluhan orang berlarian 

mendatangi tempat itu, sehingga untuk beberapa saat 

lamanya pertempuran antara dua orang sakti itu terhenti! 

"Hm..., Pendekar Kujang Emas. Rupanya kau ingin 

menuntut balas atas kematian murid kesayanganmu itu, 

heh!" tegur Nyai Serondeng. Suaranya benar-benar tidak 

enak didengar. 

"Benar! Nenek iblis! Aku dan murid-muridku lebih 

rela mati terhormat, daripada hidup sebagai seorang 

pengecut!" seru orang yang disebut Pendekar Kujang 

Emas itu tegas. Rupanya Pendekar Kujang Emas mem


punyai urusan pula dengan Nyai Serondeng. Apalagi kalau 

bukan mengenai terbunuhnya murid kesayangan 

Perguruan Kujang Emas. Perguruan itu memang dipimpin 

langsung Pendekar Kujang Emas sendiri. Itulah sebabnya, 

mengapa tahu-tahu Pendekar Kujang Emas dan murid-

muridnya sampai berada di sini. 

***

DELAPAN


"Anak-anak, serbuuu...!" perintah Pendekar Kujang Emas 

sambil menggerakkan tangannya ke depan. Sedangkan ia 

sendiri sudah mencabut senjatanya dan langsung 

menerjang Nyai Serondeng. 

Namun sebelum sampai ke tempat Nyai Serondeng 

berdiri, tiba-tiba Ular Muka Kuning yang sejak tadi hanya 

berdiam diri saja, langsung melompat menyambut 

serangan Pendekar Kujang Emas. 

Tranggg! 

Tubuh keduanya terdorong mundur ketika dua senjata 

sating bertemu hingga menimbulkan pijaran bunga api. 

Baik Pendekar Kujang Emas maupun Ular Muka Kuning 

sama-sama terkejut, ketika merasakan getaran pada lengan 

mereka yang memegang senjata. Dan itu menandakan 

kalau kekuatan keduanya berimbang. Setelah memeriksa 

senjata masing-masing, mereka kembali saling menyerang. 

Dan dalam waktu singkat saja, kedua tokoh itu telah 

terlibat pertempuran sengit. 

Sementara itu, Anggota Partai Rimba Hitam yang 

berjumlah sekitar lima puluh orang itu, sudah bertempur 

melawan murid-murid Perguruan Kujang Emas yang ber-

jumlah tujuh puluh orang lebih. Maka arena pertempuran 

semakin ramai. Kilatan-kilatan senjata tajam membelah 

angkasa, kini telah dibasahi darah. Satu persatu murid 

kedua belah pihak mulai berjatuhan! Dan dalam sekejap 

saja, tempat itu telah dibanjiri darah segar!


Di tempat lain, Dewi Tangan Merah kini telah 

berpasangan dengan Pendekar Tangan Sakti untuk 

menghadapi Setan Muka Seribu yang memiliki kepandaian 

di atas mereka. Jadi wajar saja kalau keduanya bertempur 

berpasangan. 

Ternyata dengan berpasangan dan saling mengisi, Dewi 

Tangan Merah dan Pendekar Tangan Sakti mampu 

menghadapi Setan Muka Seribu yang terkenal lihai itu. 

Bahkan mereka mampu pula memaksa Setan Muka Seribu 

untuk bermain mundur! Dan keadaan itu memaksa lawan 

untuk mengerahkan seluruh kepandaiannya dalam meng-

hadapi gempuran kedua orang pendekar ternama itu. 

Sedangkan datuk sesat yang berjuluk Nenek Tongkat 

Maut itu berhadapan melawan Pendekar Naga Putih. Dari 

sekian banyaknya pertarungan yang sedang berlangsung, 

pertarungan kedua orang inilah yang paling mendebarkan. 

Untunglah pertarungan kedua orang sakti itu terpisah agak 

jauh dari yang lain. Kalau tidak, tentu pertempuran lain 

akan berantakan terkena sambaran-sambaran angin 

pukulan mereka yang mengandung hawa berlainan sifat 

itu. 

Hawa dingin dan panas beganti-gantian menguasai 

arena pertarungan. Di saat Panji di atas angin, maka udara 

di sekitar arena akan terasa dingin bagaikan es 

Tapi apabila dikuasai Nyai Serondeng, maka udara 

sekitarnya pun berubah menjadi panas. 

Panji yang sudah menggunakan pedang tipisnya, 

menyerang bagaikan seekor naga murka. Gerakan-gerakan 

pemuda itu kini ditunjang 'Tenaga Dalam Gerhana Bulan'. 

Bahkan kabut putih bersinar keperakan telah pula


menyelimuti tubuh Panji. Sehingga apabila orang melihat 

pertempuran itu dari jarak jauh, pemuda itu benar-benar 

bagaikan seekor naga putih yang sesuai julukannya. 

Setelah melewati tujuh puluh jurus, pertempuran 

tampak semakin meningkat! Keduanya kini sudah tidak 

terlihat lagi bentuk tubuhnya. Yang terlihat kini hanyalah 

dua buah bayangan berkelebat saling sambar dan saling 

desak. Dan memang sulit untuk mengetahui mana 

bayangan Panji, dan mana Nyai Serondeng. Ini karena 

demikian cepatnya kedua orang itu bergerak. 

Pada jurus kedelapan puluh, Nyai Serondeng mem-

babatkan tongkatnya secara mendatar ke arah kepala Panji. 

Namun pemuda itu segera menundukkan kepala dengan 

kuda-kuda rendah sambil melontarkan pukulan tangan 

klrinya Tapi dengan mudah Nyai Serondeng meng-

elakkannya dengan sedikit menggeser kaki kanan ke 

samping. Kemudian perempuan itu langsung melepaskan 

sebuah tendangan kilat menuju ulu hati Panji. 

Melihat tendangan kilat yang muncul mendadak itu, 

Panji menggenjot tubuhnya tinggi melambung ke udara 

sehingga tendangan itu lewat di bawah kakinya. 

Dan dari udara Panji melontarkan tendangan berarti 

yang tepat mendarat di punggung Nyai Serondeng. 

Bukkk! 

"Oooggghhh...!" 

Tubuh Nyai Serondeng langsung terjajar ke depan 

ketika dua buah tendangan Panji mendarat di punggung-

nya. Disaat tubuhnya tengah terhuyung, tiba-tiba nenek 

itu berbalik sambil mengkelebatkan tongkatnya untuk 

menjaga serangan susulan yang mungkin dilakukan


lawannya. 

Ternyata dugaan Nyai Serondeng tepat sekali. Panji 

yang pada saat itu berniat melakukan serangan susulan, 

segera mengurungkan niatnya. Kini dia harus melompat 

mundur untuk menghindari sambaran tongkat yang ber-

bahaya itu. Pemuda itu berdiri tegak sambil memandang 

lawan yang tampaknya telah terluka dalam itu. Ini terlihat 

ketika dari sela-sela bibir nenek itu merembes cairan 

merah! Namun, Panji belum merasa bangga akan hasil 

serangannya tadi. Karena, ia pun menderita rasa nyeri 

pada kakinya karena berbenturan dengan punggung Nyai 

Serondeng yang telah dilindungi tenaga dalam tinggi! 

Saat itu Nyai Serondeng kembali sudah menerjang 

dengan tongkat mautnya yang berputar sehingga 

menimbulkan angin ribut. Maka kini keduanya kembali 

terlibat pertempuran sengit dan menegangkan. 

Di tempat lain, pertarungan Pendekar Kujang Emas 

yang melawan Ular Muka Kuning, tampak telah sampai 

pada puncaknya. Pendekar Kujang Emas terus mendesak 

lawan yang sudah mulai dapat dikuasainya itu. Senjatanya 

berkelebat mengurung tubuh lawan yang tak mempunyai 

kesempatan untuk membalas. Hingga pada jurus yang 

keempat puluh tiga, Ular Muka Kuning nekad untuk 

mengadu nyawa dengan lawannya. 

Saat itu posisi Ular Muka Kuning benar benar sudah di 

ambang kematian. Senjata lawan meluncur deras ke arah 

tenggorokannya melihat hal ini, Ular Muka Kuning 

bukannya menghindar tapi malah segera melepaskan 

sebuah pukulan keras ke arah dada Pendekar Kujang 

Emas. Namun pendekar itu rupanya tidak sudi mengadu


nyawa. 

Seketika pendekar itu menarik pulang senjatanya. Dan 

dengan sebuah liukan manis, tubuhnya bergerak ke 

samping kiri lawan. Langsung saja dilepaskan sebuah 

tusukan kilat ke arah lambung Ular Muka Kuning! Dengan 

demikian pendekar itu telah memperoleh dua 

keuntungan. Sambil menghindari pukulan lawan, dan 

dapat pula menusukkan senjatanya tanpa mendapat 

kesulitan. 

Cappp! 

"Aaarrrggghhh...!" 

Ular Muka Kuning meraung ketika kujang di tangan 

lawan menembus lambung, hingga amblas sampai 

gagangnya. Tubuh Ular Muka Kuning melintir disertai 

semburan darah saat Pendekar Kujang Emas mendorong 

senjatanya dan membeset tubuh lawan. Tak di situ saja. 

Pada saat tubuh lawan terhuyung-huyung, Pendekar 

Kujang Emas langsung melompat dan menjepit leher 

lawan dengan kakinya. Terdengar bunyi gemeretak dari 

tulang leher yang patah ketika pendekar itu memutar 

badannya dengan kaki masih menjepit leher lawan. 

Tubuh Ular Muka Kuning ambruk bersama tubuh 

lawannya. Tokoh sesat itu tewas seketika! Sedangkan 

Pendekar Kujang Emas langsung bangkit, dan menggenjot 

tubuhnya ke arena pertempuran lain. Pendekar itu 

langsung mengamuk hebat sehingga dalam beberapa 

gebrak saja telah menewaskan enam orang murid Nyai 

Serondeng. Tentu saja amukan pendekar itu membuat 

para murid Nyai Serondeng marah. Dan beberapa orang 

dari mereka langsung memusatkan perhatiannya kepada


pendekar itu. 

Sedangkan pertarungan yang berlangsung antara Dewi 

Tangan Merah dan Pendekar Tangan Sakti melawan Setan 

Muka Seribu masih berlangsung seru. Kedua belah pihak 

telah sama sama terluka. Bahkan nampak gerakan mereka 

mulai lamban karena terganggu rasa nyeri yang diderita. 

Pertarungan yang berlangsung selama kurang lebih 

tujuh puluh jurus itu, ternyata benar-benar telah 

menguras tenaga dua belah pihak. Sehingga tempo 

pertarungan tidak lagi berlangsung mulus. Kadang-kadang 

berubah menjadi cepat, tapi dilain saat menjadi lambat 

kembali. 

Bukkk! 

Desss! 

Pendekar Tangan Sakti dan Setan Muka Seribu sama-

sama terjungkal ketika keduanya sama-sama menerima 

sebuah pukulan secara berbarengan. Setan Muka Seribu 

langsung bangkit berdiri meskipun dadanya baru saja 

terkena pukulan lawan. Kekuatan tubuh tokoh sesat yang 

satu ini memang hebat sekali! Padahal, batu pun akan 

hancur apabila terkena pukulan Pendekar Tangan Sakti 

yang sangat kuat itu. 

Berbeda dengan lawannya, sebaliknya Pendekar Tangan 

Sakti belum dapat bangkit. Pendekar itu masih meringis 

menahan rasa mulas pada perutnya yang terkena pukulan 

telapak tangan lawan. Baru setelah agak pulih, pendekar 

itu dapat bangkit lagi. Sedangkan pada saat itu, keadaan 

Dewi Tangan Merah benar-benar dalam bahaya! Karena 

biar bagaimanapun, kepandaian Setan Muka Seribu masih 

jauh di atasnya.


Cepat Pendekar Tangan Sakti bangkit tanpa mem-

pedulikan rasa nyeri yang masih terasa itu. Tubuhnya 

segera meluncur, dan kedua tangannya terkembang sambil 

mengerahkan seluruh tenaga sakti. Jari-jari kedua tangan 

pendekar itu bergetar, pertanda telah mengeluarkan 

seluruh tenaga sakti yang masih tersisa. 

Sementara itu Setan Muka Seribu, melesat menyiapkan 

pukulan ke arah Dewi Tangan Merah. Dan.... 

Desss! 

Prakkk! 

Buggg! 

Tubuh Dewi Tangan Merah terhempas bagai sehelai 

daun kering, ketika kepalan Setan Muka Seribu meng-

hantam lambungnya. Berbarengan dengan itu pedang sinar 

hijaunya berhasil menggores dada lawan. Dan pada saat 

yang sama sepasang tangan yang mengandung kekuatan 

hebat ternyata juga, menghantam kepala Setan Muka 

Seribu. Pada saat yang tepat pula, tokoh sesat itu juga 

telah melepaskan hantaman sisi telapak tangan ke arah 

Pendekar Tangan Sakti yang memiliki sepasang tangan 

bertenaga kuat itu. 

Setan Muka Seribu terhuyung-huyung dengan gerakan 

limbung. Darah mengucur deras dari kepalanya yang retak 

akibat keprukkan sepasang tangan Pendekar Tangan Sakti 

yang mengerahkan seluruh tenaga dalam tinggi. Beberapa 

saat kemudian, iblis itu pun tewas menyedihkan. 

Sedangkan Pendekar Tangan Sakti yang terkena 

hantaman sisi telapak tangan lawan, tergeletak pingsan! 

Darah segar mengalir dari celah-celah bibirnya. Dua buah 

tulang rusuknya telah patah akibat hantaman lawan yang


sangat kuat itu. Sementara itu sesosok tubuh yang 

terbungkus pakaian merah telah berada di sampingnya. 

Dia tak lain adalah Dewi Tangan Merah yang bersandar 

pada sebatang pohon karena telah pula menderita luka 

cukup parah akibat pukulan Setan Muka seribu pada 

lambungnya. 

Di arena lain, Panji yang bertarung melawan Nyai 

Serondeng masih saja berlangsung sengit! Padahal 

pertempuran itu sudah melewati seratus jurus! Namun 

kekuatan masing-masing masih saja terlihat berimbang. 

Diam-diam Panji harus mengakui kehebatan nenek kurus 

yang menjadi lawannya itu. Di usianya yang telah 

melewati enam puluh tahun, ternyata kekuatan dan 

tenaganya masih begitu dahsyat. 

"Haaaiiittt...!" 

Wusss! 

Dengan sebuah hentakkan nyaring, tiba-tiba saja Nyai 

Serondeng melompat tinggi sambil mengayunkan tongkat-

nya dari atas ke bawah. Sambaran angin panas mendahului 

luncuran tongkatnya. Bergegas Panji menggeser tubuhnya 

ke samping disertai sabetan pedangnya ke pinggang nenek 

itu. Tapi, alangkah terkejutnya Pendekar Naga Putih itu 

ketika tahu-tahu saja tongkat di tangan lawannya berputar 

membabat lehernya. Cepat-cepat ditarik pulang senjata-

nya. Dan dengan merendahkan kuda-kudanya, tubuh 

pemuda itu berputar disertai tendangan kaki kanan sambil 

mengerahkan jurus 'Sabetan Ekor Naga Membelah 

Karang'. Jurus ini adalah salah satu bagian dari jurus 'Naga 

Sakti' yang merupakan ilmu kebanggaannya. 

Nyai Serondeng berseru kagum melihat kegesitan


Panji. Nenek itu segera menarik pulang tongkatnya dan 

langsung memapaki tendangan Panji. Hal ini membuat 

pemuda itu menjadi terkejut setengah mati. Karena untuk 

menarik kakinya sudah tidak mungkin lagi. Maka Panji 

pun menyalurkan seluruh tenaga dalamnya ke arah kaki 

yang menendang itu. 

Desss! 

"Uhhh...! " 

Terdengar suara bagai bara dicelupkan dalam air ketika 

tongkat di tangan nenek itu bertemu kaki Panji. Keduanya 

berseru kaget! Dan masing-masing mengakui kehebatan 

lawannya. Panji yang mempunyai posisi lebih lemah itu 

cepat melempar tubuhnya dan bergulingan mengikuti 

dorongan akibat benturan dahsyat itu. Dan pemuda itu 

menjadi terkejut sekali ketika mendapati celana pada 

bagian betisnya hancur, akibat benturan dua tenaga 

berlainan sifat itu. Ketika diperiksa bagian kakinya, tidak 

terlihat luka sedikit pun. Maka hatinya menjadi lega. 

Dipihak lain, Nyai Serondeng pun menjadi terkejut 

mendapati kenyataan kalau tongkatnya sama sekali tidak 

mampu melukai lawannya yang masih sangat muda itu. 

Dengan hati dipenuhi rasa malu dan penasaran, Nyai 

Serondeng segera melompat mengejar Panji yang tengah 

bergulingan itu. Langsung dihantamkan tongkat hitamnya 

sekuat tenaga ke punggung pemuda itu. 

Panji yang merasakan ada sambaran angin panas 

menerpa punggung menjadi kaget! Ketika dilirik, ternyata 

nenek kurus itu sedang mengayunkan tongkat mautnya. 

Menghadapi serangan yang mematikan itu, tubuh Panji 

mendadak melenting mengerahkan jurus 'Naga Sakti


Menggeliat' yang merupakan bagian ketujuh dari "Jurus 

Naga Sakti". 

Hebat dan tak terduga sama sekali gerakan yang 

dilakukan Panji itu. Tubuh pemuda itu tiba-tiba melenting 

ke udara dan langsung berputar di udara beberapa kali. Itu 

pun disertai ayunan pedang untuk membabat tangan Nyai 

Serondeng yang memegang tongkat hitam itu. Dan... 

Wusss 

Crakkk! 

"Aaakh...! 

Nyai Serondeng meraung tjnggi ketika pedang di 

tangan Panji menebas lengannya sebatas siku! Darah 

seketika muncrat dari tangan yang buntung itu, tubuh 

nenek itu terhuyung-huyung sambil memegangi lengan 

kanannya yang telah buntung itu. Dan sebelum menyadari 

keadaannya, tubuh Panji meluruk sambil berputar 

mengerahkan jurus 'Naga Sakti Kembali Kesarang'. Dan 

kini mata pedang meluncur deras menuju ulu hati 

lawannya. 

Cap! 

"Aaarrrggghhh...!" 

Nyai Serondeng menjerit ngeri ketika pedang bersinar 

putih keperakan di tangan Panji menancap di tubuhnya. 

Seketika nenek itu terhempas ke belakang ketika pedang 

yang menancap di tubuhnya disentakkan Panji dengan 

kuatnya! Tubuh Nyai Serondeng terbanting, dan tewas 

seketika. Perutnya terkoyak lebar dan tangan kanannya 

buntung, kini tamatiah riwayat datuk sesat dari Selatan itu 

di tangan Pendekar Naga Putih. 

Setelah memastikan bahwa lawannya telah tewas, Panji


melangkah menghampiri Dewi Tangan Merah dan 

Pendekar Tangan Sakti yang tengah mengawasinya. Tanpa 

berkata sepatah pun, pemuda itu segera menyerahkan 

sebutir pil kepada kedua orang kawannya yang tengah 

terluka dalam itu. 

Sementara pertempuran yang Iain seketika berakhir. 

Para pengikut Partai Rimba Hitam yang masih hidup 

dibebaskan Pendekar Kujang Emas. Mereka diberi 

peringatan agar meninggalkan kehidupan yang selama ini 

dijalani 

Pendekar Kujang Emas melangkah menghampiri Panji, 

Sundari, dan Wijasena yang berada tidak jauh dari 

tempatnya. Karena biar bagaimanapun, ia harus ber-

terima kasih kepada ketiga orang yang menurutnya telah 

ikut membantu dalam menumpas Partai Rimba Hitam 

yang dipimpin Nyai Serondeng. 

"Kisanak. Kalau mataku tidak salah menilai, bukankah 

kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih yang tersohor 

itu?" sapa Pendekar Kujang Emas ketika tiba di dekat 

Panji. Ia menduga demikian, karena sepintas tadi melihat 

jalannya pertempuran antara Nyai Serondeng melawan 

pendekar itu. Dan pada tubuh pemuda itu terlihat adanya 

selapis kabut bersinar putih keperakan, yang menjadi ciri-

ciri Pendekar Naga Putih. Itulah ciri-ciri yang selama ini 

didengarnya. 

"Ah! Sebuah julukan yang berlebihan, Paman!" jawab 

Panji yang menyebut paman karena melihat pendekar itu 

paling tidak telah berumur sekitar empat puluh tahun. 

"Oh ya, kenalkan kedua orang reman saya, Paman. 

Mereka adalah Sundari dan Wijasena." ujar Panji


mengenalkan. 

Mereka pun saling berkenalan dan berbincang-bincang, 

sebelum akhirnya Panji sadar 

"Eh! Kalian sembunyikan di mana Suntara dan 

Rahayu...?" tiba-tiba Panji berkata sambil mencari-cari 

dua orang yang dimaksud Dan Pendekar Naga Putih 

terkejut ketika melihat dua orang kakek tengah bersila 

dekat tubuh kedua orang kawannya itu. "Hei, siapa pula 

kedua orang kakek itu?" 

Sundari, Wijasena, dan Pendekar Kujang Emas 

serentak menolehkan kepalanya ke arah yang ditunjuk 

Panji. 

"Guru...!" Pendekar Tangan Sakti berseru gembira 

ketika mengenali salah seorang dari kedua kakek itu. 

Dengan langkah tertatih-tatih bergegas dihampirinya. 

Sementara Panji, Sundari, dan Pendekar Kujang Emas ikut 

mendekati. 

"Hm... Wijasena! Bagaimana kabarmu...?" ujar kakek 

tua yang tak tain adalah Ki Tunggul Jagad ketua Perguruan 

Gunung Salaka. Orang tua sakti itu mengusap lembut 

rambut kepala Wijasena yang bersujud di depannya. 

"Ki Ageng Pandira. Apakah, Ki Ageng baik-baik saja?" 

sapa Wijasena kepada kakek yang satunya lagi. 

"Hm. Bersyukurlah kepada Tuhan yang telah 

menyelamatkan kita semua," kata kakek itu yang ternyata 

adalah Ki Ageng Pandira, ketua Perguruan Gunung Sutra. 

Kemudian secara berturut-turut Panji, Sundari, dan 

Pendekar Kujang Emas ikut pula bertegur sapa dengan 

kedua orang tua sakti itu. 

"Bagaimana keadaan Suntara dan Rahayu, Ki?" tanya


Panji ketika melihat kedua orang itu masih rebah tak 

sadarkan diri 

"Hm... Kami baru saja mengobati mereka. Dan paling 

tidak, mereka harus beristirahat sekitar dua pekan untuk 

memulihkan kesehatan akibat pengaruh racun ganas yang 

dimasukkan Nyai Serondeng ke tubuh mereka," ujar Ki 

Ageng Pandira memberi penjelasan. 

"Terima kasih atas kesediaanmu yang telah bersusah 

payah menolong kami, Nak Panji. Kami harus segera 

membawa pulang mereka ke perguruan. Mari Wijasena," 

ajak Ki Tunggul Jagad kepada muridnya. 

Setelah saling berpamitan, kedua orang tua sakti itu 

pun berkelebat lenyap dari pandangan ketiga orang itu. 

"Kau akan pergi ke mana, Kakang...?" tanya Sundari 

ketika Panji ikut berpamitan kepadanya dan kepada 

Pendekar Kujang Emas. Dari nada suaranya jelas sekali 

kalau gadis itu terasa berat untuk berpisah dengan Panji. 

"Entahlah, Sundari. Aku hanya mengikuti ke mana 

kakiku melangkah." 

"Kalau begitu aku ikut, Kakang...," dan tanpa 

menunggu persetujuan Panji lagi, Sundari sudah 

melangkah di samping Pendekar Naga Putih yang tidak 

kuasa untuk mencegahnya. 



                                 SELESAI




Share:

0 comments:

Posting Komentar