PARTAI RIMBA HITAM
Oleh T Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Partai Rimba Hitam
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Sinar matahari terasa panas nenyengat kulit. Angin laut
berhembus keras, membawa udara sejuk dan melenakan.
Di bawah teriknya sinar matahari, seorang pemuda
berjubah putih tengah melangkah menyurusi tepian Pantai
Alor yang berpasir putih. Langkahnya terlihat tenang,
seolah-olah tidak merasa terganggu panasnya sinar
matahari di pagi itu.
Pemuda tampan dan gagah itu tak lain adalah Panji,
atau yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Berkat ke-
dahsyatan ilmunya, maka dalam beberapa waktu saja nama
Pendekar Naga Putih telah dikenal hampir seluruh tokoh
persilatan. Baik dari golongan putih maupun golongan
hitam.
Saat ini, Pendekar Naga Putih kehilangan dua orang
seperjalanannya di dalam sebuah hutan (Untuk jelasnya
baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode: "Algojo
Gunung Sutra"). Karena usaha pencariannya itulah, maka
langkah kakinya terbawa hingga ke daerah Langkar,
perkampungan nelayan ini.
Dengan tidak pernah merasa bosan, Panji terus ber-
usaha mencari keterangan tentang dua orang temannya,
Suntara dan Rahayu.
"Ah! Lebih baik aku mencari kedai makan, karena di
tempat-tempat seperti itu biasanya tersebar macam-
macam berita," ucap hati Panji.
Sudah cukup lama berjalan, akhirnya Panji menemukan
sebuah kedai yang cukup ramai di Desa Langkar.
Bergegas, dilangkahkan kakinya mendekati kedai. Namun
belum lagi memasuki kedai yang dimaksud, langkahnya
segera terhenti ketika terdengar bentakan-bentakan kasar.
Pendekar Naga Putih itu menolehkan kepalanya ke arah
perahu perahu nelayan yang sedang ditambatkan, ditempat
bentak-bentakan tadi berasal. Dengan hati dipenuhi tanda
tanya, Panji melangkahkan kakinya mendekati tempat itu.
Dari kejauhan, terlihat para nelayan berkerumun dan
memandang kesatu arah. Pendekar Naga Putih itu pun
ikut membaurkan dirinya di antara kerumunan orang.
Kening pemuda tampan itu berkerut ketika melihat suatu
kejadian
Beberapa puluh tombak di hadapannya, tampak
seorang laki-laki kasar tengah membentak-bentak seorang
laki-laki setengah baya yang bersimpuh di depannya. Laki-
laki setengah baya yang berpakaian seperti seorang nelayan
itu menjawab dengan suara gemetar, dan penuh per-
mohonan. Beberapa luka memar tertera di wajah tuanya.
Pendekar Naga Putih belum berani bertindak, karena
sama sekali belum mengetahui duduk persoalannya. Maka
pemuda digdaya itu hanya menyaksikan dengan kening
berkerut. Tapi biar bagaimanapun juga, ia tidak menye-
tujui perbuatan laki-laki kasar itu.
"Ingat, Pak Tua! Perbuatan ini akan menjadi mala-
petaka bagi seluruh keluargamu!" bentak laki-laki kasar itu
dengan suara menggelegar.
"Tapi, Tuan. Aku betul-betul belum mempunyai uang
untuk membayar hutang-hutang itu. Tolonglah. Berilah
waktu satu minggu lagi, Tuan!" jawab laki-laki tua itu
penuh permohonan.
Deeesss!
Sebuah tendangan keras menghantam iga laki-laki tua
itu. Tubuhnya seketika terjengkang dan bergulingan
sejauh satu tombak. Dia meringis-ringis kesakitan sambil
memegangi iganya yang terasa remuk! Dari celah-celah
bibirnya, tampak cairan merah mengalir turun. Dengan
terbungkuk-bungkuk, laki-laki tua itu bangkit duduk.
"Bangsat tua keras kepala! Apakah kau ingin seluruh
keluargamu digantung Tuan Barja?! Kau tahu, sudah
berapa lama kau tidak membayar hutang-hutangmu itu!
Sudah hampir dua bulan, tahu! Dan setiap kali ditagih,
selalu bilang tidak punya uang. Lalu, apa saja kerjamu
selama ini, hah!" bentak laki-laki kasar itu semakin geram.
Tangannya kembali terangkat hendak menghajar orang tua
malang itu. Namun gerakannya terhenti, ketika terdengar
suara halus, disusul munculnya seorang gadis manis yang
langsung menghambur ke arah tubuh orang tua itu.
"Ayaaah...!"
Tubuh semampai itu langsung memeluk orang tua yang
tengah bersimpuh sambil memegangi perutnya. Sejenak
mata tua itu membelalak kaget, kemudian berubah
memancarkan sinar kekhawatiran yang dalam.
"Kami! Mengapa kau kemari, Nak? Tidak tahukah kau
bahwa kedatanganmu akan menimbulkan malapetaka
baru? Ya Tuhan..., selamatkan anakku dari kekejaman
orang-orang jahat itu!" ujar orang tua itu dengan suara
gemetar penuh kekhawatiran.
Kekhawatiran yang ditunjukkan orang tua itu memang
tak terlalu berlebihan. Sebab orang yang disebut Tuan
Barja oleh lelaki kasar yang menyiksanya itu, adalah
seorang lelaki mata keranjang. Dan apabila matanya yang
berminyak itu tertarik kepada seorang wanita, ia akan
berusaha mendapatkannya dengan jalan apa pun! Sekali
pun wanita yang diingininya itu telah bersuami! Itulah
sebabnya, mengapa nelayan tua itu mengkhawatirkan
keselamatan putrinya.
"Tapi, Ayah. Aku tidak tahan melihat orang-orang
kejam itu menyiksamu terus-menerus. Aku..., aku tidak
tahan, Ayah!"
Sehabis berkata demikian, tangis gadis itu pun
meledak! Sehingga beberapa orang yang menyaksikan,
memalingkan mukanya dengan penuh haru. Bahkan
beberapa wanita di antaranya, sudah pula meneteskan air
mata. Seakan-akan suami dan anak mereka sendirilah yang
diperlakukan demikian.
"Iblis! Kalian benar-benar tidak mempunyai perasaan
kasihan sama sekali! Manusia kejam! Ayo, bunuh kami!
Siksa kami! Lebih baik kami mati daripada diperlakukan
seperti binatang begini!" teriak gadis yang dipanggil Kami
itu, penuh amarah.
Semenjak melihat gadis manis itu, laki-laki kasar tadi
tersenyum penuh kelicikan. Di depan matanya terbayang
sekantung uang yang akan didapat, apabila bisa membawa
gadis itu kehadapan majikannya.
"He he he.... Gadis anak Pak Tua itu, boleh juga,
Kakang!" seru salah seorang kawan laki-laki kasar itu.
Wajahnya menyeringai penuh nafsu.
"Wah! Kita bisa berpesta, kalau bisa membawa gadis
itu kehadapan Tuan Barja," sahut yang lainnya lagi.
Bibirnya tersenyum karena membayangkan hadiah besar
yang bakal diterima
Wajah laki-laki kasar yang semula bengis itu,
mendadak ramah. Senyumnya membayang. Sikapnya
benar-benar berubah, karena kehadiran Kami.
"Hm..., Pak Tua. Kami yakin apabila anakmu mau
membicarakan hal ini kepada Tuan Barja, tentu hutang-
hutangmu akan segera lunas. Dan kau sendiri akan
mendapat sebuah perahu yang baik dan dapat digunakan
semaumu! Bagaimana?" tanya laki-laki itu dengan suara
yang dibuat ramah.
"Oh, tidak! Jangan... biarlah aku berjanji akan
melunasinya dalam dua hari ini," jawab nelayan tua itu
ketakutan. Memang sudah dapat dibayangkan apa yang
akan terjadi terhadap anak gadisnya itu. Wajah nelayan tua
itu seketika pucat dan matanya berputar liar, seolah-olah
hendak mencari dukungan dari orang-orang di sekitarnya.
"Hm.... Jadi kau tidak mau menuruti anjuranku,
monyet tua! Lagipula mana mungkin kau dapat melunasi
hutangmu hanya dalam waktu dua hari! Ke mana kau akan
mencari uang sebanyak itu, heh!" bentak laki-laki kasar
yang sudah menjadi marah ketika mendengar penolakkan
orang tua itu.
"Ah! Sudahlah, Kakang. Buat apa melayani monyet tua
itu. Bawa saja anak gadisnya, kan beres!" usul salah
seorang kawannya.
"Ah! Jangan! Jangan… Kasihanilah anakku, Tuan! Aku
berjanji akan melunasinya," ratap orang tua itu, mulai
gelisah.
"Huh! Minggat kau, monyet tua tak tahu diuntung!"
bentak laki-laki kasar itu, sambil melayangkan kakinya ke
perut nelayan tua itu Tubuh tua itu kembali terlempar
akibat tendangan yang cukup keras, sehingga terlontar
sejauh dua tombak.
"Manusia biadab! Iblis kau...!" teriak Kami, langsung
menubruk laki-laki kasar yang menyiksa ayahnya. Gadis
itu memukul membabi buta.
Namun, apa artinya pukulan seorang gadis lemah
seperti Kami. Dengan sekali mengayunkan tangan saja,
Kami kontan terpelanting terkena tamparan laki-laki kasar
itu.
"Huh, perempuan liar!" umpat laki-laki kasar itu,
sambil mengulurkan tangan menangkap pergelangan
tangan gadis tersebut. Langsung saja Kami diseret
meninggalkan tempat yang masih dikerumuni orang itu
"Oh, lepaskan! Lepaskan aku! Ayah, tolooong...!"
Kami berteriak-teriak dan meronta-ronta dalam
pondongan laki-laki kasar yang membawanya pergi ke
rumah Tuan Barja majikannya.
Panji yang semula berniat menolong gadis itu, seketika,
membatalkan niatnya saat melihat sesosok bayangan merah
berkelebat mendahuluinya. Pendekar Naga Putih itu
kembali menonton dan menunggu perkembangan
selanjutnya. Karena, ingin diketahui juga apa yang akan
dilakukan si bayangan merah itu.
"Hei, anjing-anjing busuk! Hendak kau bawa ke mana
gadis itu?!" bentak si bayangan merah yang sudah berdiri
dengan kaki terpentang, menghadang ke-empat orang
laki-laki kasar itu.
"Sundari…! Apa pula yang dikerjakannya di tempat
ini?" Panji menjadi terkejut begitu mengenali bayangan
merah, yang tahu-tahu telah berada di tempat itu.
Ucapan Panji memang tidak salah. Sosok bayangan
merah itu memang Sundari yang berjuluk Dewi Tangan
Merah. Gadis pendekar yang paling tidak suka terhadap
segala perbuatan jahat itu langsung turun tangan ketika
melihat kekejaman ber-langsung di depan matanya.
Dengan wajah merah karena marah, Dewi Tangan Merah
itu menudingkan telunjuknya yang mungil ke arah si laki-
laki kasar yang memondong tubuh Kami.
"Turunkan gadis itu, atau nyawa anjingmu akan
melayang!" ancam Dewi Tangan Merah tegas.
"Wah, Kakang. Gadis yang kau pondong itu tidak ada
artinya apabila dibandingkan dengannya. Eh, Nini Cantik.
Apakah kau bersedia menggantikannya untuk menghadap
Tuan Barja? Marilah! Tuan Barja pasti akan senang
menerima kedatanganmu!" seru salah seorang kawan laki-
laki kasar itu, sambil mengulurkan tangannya menangkap
pergelangan Sundari.
Plakkk!
"Aduuuh...!"
Entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu saja tubuh
laki-laki yang hendak menangkap tangan Sundari itu ter-
pelanting sambil berteriak kesakitan. Darah seketika
mengucur dari celah-celah bibirnya yang pecah akibat
tamparan tangan Sundari.
"Pruhhh.... Pruhhh...!" laki-laki itu meludahkan darah
yang terus mengalir. Bahkan beberapa buah giginya ikut
tanggal akibat tamparan tangan halus tadi. "Bangsat!
Perempuan setan! Rupanya kau ingin cari mampus!"
Sriiing!
Laki-laki itu langsung mencabut pedang yang ter-
gantung di pinggangnya. Seketika diserangnya Dewi
Tangan Merah dengan ganas. Sedangkan Sundari yang
berjuluk Dewi Tangan Merah itu tersenyum mengejek,
sambil menggeser tubuhnya sedikit. Dan tahu-tahu saja
tangan kanannya dengan jari-jari terbuka mencelat
menusuk tenggorokan lawan. Gerakannya cepat sekali,
sehingga laki-laki itu tidak sempat lagi menghindar.
Diiringi jeritan ngeri, laki-laki itu terjungkal sejauh
satu depa! Setelah berkelojotan sesaat, tubuh itu pun
meregang dan diam tak bergerak untuk seterusnya. Dia
tewas dengan leher bolong.
Melihat keadian Ini laki-laki kasar tadi segera me-
lepaskan tubuh Kami yang tengah dipondongnya. Matanya
membelalak karena sama sekali tidak diduga kalau
kawannya akan tewas di tangan gadis cantik itu. Malah
hanya dalam segebrakan saja!
"Perempuan ibilis! Siapa kau sebenarnya?! Dan apa
maksudmu mencampuri urusan kami?!" teriak lelaki kasar
itu gusar, penuh kemarahan. Meskipun sebenarnya ter-
kejut dan gentar menghadap gadis cantik itu, namun ia
merasa malu untuk menunjukkan kelemahannya di depan
orang banyak. Lelaki kasar itu mencabut goloknya diikuti
kedua orang kawannya yang lain. Sundari diterjang dengan
serangan yang ganas dan mematikan. Golok ketiga orang
itu berkelebatan mengincar tubuh ramping yang
menyelinap cepat, di antara sambaran-sambaran sejata.
Dewi Tangan Merah itu rupanya sudah tak segan-segan
menurunkan tangan maut kepada tiga orang lawannya.
Dan dalam beberapa saat saja terdengar tenakan ngeri. Itu
pun masih disusul oleh terlemparnya salah seorang dari
tiga lawan dalam keadaan tak bernyawa. Tak lama
kemudian, kembali seorang menggelepar tewas akibat
sambaran jari-jari tangan runcing yang mengandung hawa
maut itu.
"Perempuan keparat! Perempuan iblis! Kubunuh
kau...!" teriak laki-laki kasar yang kini hanya tinggal
seorang itu. Digerakkannya senjatanya membabi buta,
karena sadar sepenuhnya bahwa ia tidak mungkin dapat
mengalahkan gadis cantik berbaju merah yang ternyata
sangat tinggi kepandaiannya.
Tentu saja gerakan yang tak terarah itu semakin
memberi peluang buat Sundari. Gadis itu sengaja tidak
menghindar ketika pedang lawan mengarah pinggangnya.
Dengan sebuah gerakan indah, gadis berbaju merah itu
baru berkelit ketika pedang itu hampir membabat
pinggangnya, sambil melepaskan sebuah tendangan kilat
ke perut lawan
Bukkk!
Tubuh laki-laki kasar itu terjungkal keras mencium
tanah berpasir. Namun ia masih berusaha untuk bangkit
meskipun otot-otot perutnya terasa hancur. Sambil
terbungkuk-bungkuk berusaha dipungut pedangnya yang
terlempar dari tangannya. Wajahnya menyeringai me-
nahan rasa sakit yang hebat, sementara dari sela-sela
bibirnya mengalir darah segar.
"Heh, anjing buduk! Enyahlah dari sini! Laporkan pada
majikanmu bahwa Dewi Tangan Merah akan berkunjung
untuk mengambil kepalanya. Cepaaat...! Jangan sampai
aku berubah pikiran!" ancam Dewi Tangan Merah atau
Sundari dengan wajah menyeringai.
Sejenak laki-laki kasar itu meragu, seolah-olah tidak
mempercayai pendengarannya. Tapi ketika mendengar
bentakan gadis berbaju merah itu, ia pun segera meng-
ambil langkah seribu tanpa menoleh-noleh lagi. Laki-laki
kasar itu berlari sambil memegangi perutnya yang masih
terasa sakit akibat tendangan kilat Sundari.
Dewi Tangan Merah itu berdiri terpaku, sambil
memandangi kepergian lawannya
"Nini Pendekar...! Terima kasih atas pertolonganmu.
Entah apa jadinya terhadap putriku tanpa pertolongan
Nini! Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih," ucap
nelayan tua itu yang tahu-tahu saja telah berlutut di bawah
telapak kaki Dewi Tangan Merah, diikuti putrinya.
"Ah! Bangunlah, Paman! Dan kau juga Adik Manis.
Bangunlah! Yang kulakukan tadi bukan apa-apa. Dan lagi
pula itu memang sudah menjadi kewajibanku." ujar Dewi
Tangan Merah merendah, sambil tersenyum manis dan
mengangkat tubuh ayah dan anak itu supaya berdiri.
"Nini. Sebaiknya Nini cepat-cepat meninggalkan desa
ini, sebelum Logar dan kawan-kawannya datang kembali!"
jelas nelayan tua itu dengan wajah penuh kecemasan.
Nelayan tua itu memang tidak yakin kalau wanita berbaju
merah itu dapat mengalahkan Logar yang terkenal ganas
dan kejam. Dia juga tangan kanan Tuan Barja.
"Hm.... Aku memang akan pergi, Paman. Tapi bukan
untuk meninggalkan desa ini, melainkan hendak
mengunjungi orang yang bernama Tuan Barja itu," Jelas
Dewi Tangan Merah tersenyum sabar
"Tapi, tapi Nini. Tukang pukul Tuan Barja itu banyak
sekali! Dan mereka rata-rata memiliki kepandaian cukup
tinggi. Apalagi yang bernama Logar itu. Kepandaian silat-
nya hebat sekali, Nini. Dulu pernah ada seorang pendekar
muda yang mencoba memperingati Tuan Barja tentang
perbuatannya itu. Ya, dia memang suka memeras tenaga
nelayan-nelayan miskin seperti saya ini. Dan Nini tahu
akibatnya? Hhh..., pendekar muda itu tewas di tangan
Logar dengan leher putus! Maka karena itulah kuperingat-
kan pada Nini. Sungguh aku tidak ingin Nini mengalami
hal seperti itu. Bahkan mungkin nasib Nini akan lebih
buruk lagi," ujar orang tua itu mengakhiri ceritanya.
"Eh, Paman. Apakah sebabnya sampai mereka itu tega
menyiksa Paman sedemikian rupa? Apakah kesalahan yang
telah Paman perbuat? Kalau hanya soal hutang, bukankah
Paman dapat membayarnya dengan hasil menangkap
ikan?" tanya Dewi Tangan Merah mengalihkan pem-
bicaraan. Ia memang sengaja tidak menanggapi pem-
bicaraan nelayan tua itu, karena biar dijelaskan bagai-
manapun laki-laki itu tetap tidak akan paham.
"Yahhh... Sebenarnya kalau hanya soal hutang, Paman
rasa semua nelayan di kampung ini akan sanggup mem-
bayarnya. Namun, bunga yang kian hari kian membukit
itulah, yang tidak sanggup dibayar," jawab nelayan tua itu
sambil menghela napas berat. Seolah-olah dadanya ditekan
sebongkah batu yang berat, sehingga napasnya harus
segera dilonggarkan
"Jadi, Paman sudah melunasi hutang yang diberikan
Tuan Barja itu?" tanya Dewi Tangan Merah yang mulai
mengerti duduk persoalan sebenarnya
"Benar, Nini! Namun Tuan Barja selalu menekan kami
dengan bunga-bunga yang tak pernah habis. Setiap ter-
lambat membayarnya, maka bunga itu akan semakin
berlipat. Apalagi dalam musim badai seperti ini, saat para
nelayan tidak bisa melaut. Maka dapat Nini bayangkan,
berapa banyak bunga yang harus kami bayar," jawab orang
tua itu, lagi.
"Kalau begitu, mengapa penduduk desa ini masih juga
meminjam kepada Tuan Barja? Bukankah mereka sudah
tahu kalau hal itu akan mendatangkan kesulitan?" tanya
Dewi Tangan Merah penasaran.
"Habis, ke mana lagi kami harus meminjam uang untuk
membeli alat-alat penangkap ikan atau perahu, Nini? Kami
terpaksa melakukannya! Sebab kalau tidak begitu, apa
yang dapat diberikan kepada keluarga kami?" jawab orang
tua itu bernada sedih.
"Ah! Sudahlah, Paman! Sekarang lebih baik kembali
saja. Biar aku yang akan membicarakan persoalan ini
kepada Tuan Barja itu!" tegas Sundari.
Selesai berkata demikian Dewi Tangan Merah ber-
kelebat lenyap dari hadapan ayah beranak itu. Cukup
tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga membuat
kedua teriongo-longo dengan wajah tidak percaya. Tubuh
Dewi Tangan Merah bagai hilang ditelan bumi saja.
"Oh! Mungkinkah ia seorang dewi yang sengaja di-
datangkan untuk menolong kita? Kalau seorang manusia,
mengapa ia pandai menghilang?" gumam nelayan tua itu,
setengah berharap.
Tanpa sepengetahuan Dewi Tangan Merah mau pun
para nelayan yang berada di sekitar tempat itu, sesosok
bayangan putih ikut pula melesat cepat luar biasa.
Sehingga para nelayan itu hanya melihat seberkas sinar
putih yang meluncur melewati kepala mereka.
Bayangan putih yang memang adalah Panji itu sengaja
mengikuti Sundari. Karena ingin dia ketahui apa yang akan
diperbuat gadis itu terhadap orang yang disebut Tuan
Barja. Pendekar Naga Putih itu sengaja memperlambat
larinya, agar tidak diketahui Dewi Tangan Merah.
Tidaklah terlalu sulit untuk menemukan rumah
kediaman orang yang bernama Subarja atau biasa dipanggil
Tuan Barja itu. Setelah bertanya pada salah seorang
penduduk desa itu, Dewi Tangan Merah langsung melesat
ke arah sebuah rumah besar dan megah.
Tampak di depan pintu gerbang rumah besar itu dua
orang tukang pukul Subarja tengah bertugas menjaga.
Sementara itu dengan langkah ringan, Sundari meng-
hampiri pintu gerbang. Melihat kedatangan seseorang, dua
orang penjaga itu segera menahan langkah Dewi Tangan
Merah.
"Nini, berhenti...!" perintah salah seorang dari kedua
penjaga, sambil menghadang pintu masuk.
"Eh! Mengapa menahanku? Apakah kawan kalian
belum memberitahu?" tanya Dewi Tangan Merah sambil
bertolak pinggang disertai senyum mengejek.
"Bangsat! Rupanya kaulah perempuan liar itu!" bentak
keduanya sambil menghunus pedang. Tanpa dikomando
mereka langsung menerjang Dewi Tangan Merah dengan
serangan gencar.
Bagai burung walet, Sundari bergerak cepat meng
hindari serangan kedua orang penjaga itu. Dan tahu-tahu
kedua tangannya meluncur bagai kilat!
Desss! Bukkk!
"Ahhhkkk...!"
Kedua orang penjaga Itu tidak sempat lagi mengelak
dari dua telapak tangan Sundari yang halus itu. Mereka
terjungkal sambil memuntahkan darah segar dan langsung
menggeletak pingsan.
Dewi Tangan Merah itu langsung melesat ke arah
bangunan utama rumah Tuan Barja. Sementara angin sore
bersilir lembut, seolah olah memberikan semangat kepada
Dewi Tangan Merah.
***
DUA
"Hei, Subarja! Keluar kau...!" teriak Dewi Tangan Merah
lantang. Teriakan yang didorong tenaga dalam tinggi itu,
bergema ke seluruh pelosok rumah besar milik Tuan Barja
Sebenarnya Dewi Tangan Maut tidak perlu berteriak
seperti itu, karena belasan sosok tubuh yang memang
sudah tahu kedatangannya telah berloncatan dari dalam
gedung dengan gerakan gesit. Dan mereka langsung
bergerak mengurung Dewi Tangan Merah, dengan
berbagai macam senjata.
Dari cara mengurungnya, Dewi Tangan Merah dapat
menilai kalau tingkat kepandaian mereka rata-rata cukup
tangguh. Jadi Dewi Tangan Merah tidak perlu mengulur-
ulur waktu lagi. Begitu tangannya bergerak, sebatang
pedang yang bersinar kehijauan sudah tergenggam di
tangan kanannya.
"Hm.... Majulah, monyet-moyet busuk! Hari ini aku
akan mengajak kalian untuk menikmati kematian.
Haaaiiittt…!" segulung sinar kehijauan berkelebatan
disertai suara mengaung tajam, membuat para pengurung-
nya serentak berloncatan mundur.
Seeenggg!
Mengetahui kekuatan yang terkandung di dalam
sambaran pedang bersinar kehijauan itu cukup berbahaya
para pengeroyok Dewi Tangan Merah tidak berani
memapaknya. Belasan tukang pukul Tuan Barja itu ber-
gulingan ke kiri dan kanan, sambil bertukar posisi. Di lain
saat, tubuh mereka mencelat dan melakukan serangan dari
segala penjuru secara bergolongan. Sebuah serangan
balasan yang berbahaya dan telah diperhitungan cermat!
Dewi Tangan Merah memutar pedang untuk me-
lindungi tubuhnya dari ancaman senjata lawan yang bagai-
kan air hujan itu. Sinar kehijauan bergulung-gulung
menyelimuti seluruh tubuh ramping berbaju merah itu.
Trang! Trang! Trang!
Beberapa buah pedang lawan yang hampir menyentuh
tubuhnya, berpatahan terlanggar pedang pusaka di tangan
Sundari. Terdengar seruan-seruan tertahan dari para
pengeroyok, yang merasa terkejut melihat keampuhan
senjata Dewi Tangan Merah. Kesempatan seperti itu tidak
dilewatkan begitu saja oleh Dewi Tangan Merah. Cepat-
cepat tubuhnya berkelebat disertai sambaran pedangnya.
Terdengar jerit kematian merobek udara, ketika
pedang sinar hijau di tangan Sundari berkelebat membabat
tubuh dua orang lawan yang berada paling dekat dengan-
nya. Dua orang tukang pukul Tuan Barja itu terjungkal
tewas tanpa dapat bangkit lagi!
Bukan main marahnya para tukang pukul Tuan Barja
ketika melihat dua orang kawan mereka telah menjadi
korban pedang bersinar kehijauan lawannya itu. Kembali
mereka menerjang Sundari dengan serangan serangan
lebih ganas dan berbahaya. Senjata-senjata mereka ber-
kelebatan bagaikan iblis-iblis haus darah!
Dewi Tangan Merah menangkis dua batang pedang
yang meluncur ke tubuhnya. Tapi sebelum sempat mem-
balas, kembali dua batang pedang lainnya mengancam dari
arah belakang. Cepat Sundari bergulingan ke kiri, sambil
menusukkan pedangnya ke salah seorang dari pem-
bokongnya. Orang itu menjerit tertahan ketika pedang di
tangan Sundari menembus lambungnya. Tanpa dapat
dicegah lagi orang itu ambruk ke tanah sambil memegangi
lambungnya yang mengucurkan darah segar!
"Tahaaan...!" tiba-tiba terdengar bentakan yang di-
barengi melayangnya sesosok tubuh ke tengah per-
tempuran. Sosok tubuh tinggi kurus itu berdiri tegak di
hadapan Sundari dalam jarak dua tombak.
"Hm..., Dewi Tangan Merah! Rupanya suatu nama
besar telah membuatmu menjadi sombong dan tidak
memandang muka kepada orang lain. Tapi di sini, kau
jangan jual lagak, perempuan liar!" bentak orang bertubuh
tinggi kurus itu. Suaranya melengking bagaikan suara
seorang wanita saja layaknya. Pandang matanya yang tajam
dan berpengaruh itu, membuat Dewi Tangan Merah
merasa berhati-hati untuk menghadapi orang ini.
"Huh, cacing kurus kurang makan! Kalau aku tidak
salah lihat, bukankah kau yang berjuluk Setan Pemburu
Mayat? Hi hi hi.... Tidak kusangka kalau kau begitu
merendahkan dirimu sehingga menjadi anjing peliharaan
Tuan Barja! Apakah kau kurang makan, cacing kurus?"
ujar Dewi Tangan Merah sambil tertawa menghina
Mendengar hinaan itu, bergetar sekujur tubuh orang
yang berjuluk Setan Pemburu Mayat itu. Dengan sebuah
gerengan murka, tubuhnya meluruk ke arah Dewi Tangan
Merah dengan kedua tangan terkembang.
Bresss!
Debu mengepul tinggi ketika sepasang lengan Setan
Pedang Pemburu Mayat yang bertenaga kuat mengenai
tempat kosong. Memang, Sundari sudah lebih dahulu
menghindar disertai sebuah tendangan kilat yang
mengancam kepala lawan. Cepat-cepat Setan Pemburu
Mayat merendahkan tubuhnya sambil berputar dengan
kaki terjulur menyapu kaki Dewi Tangan Merah. Sundari
segera menarik pulang kaki dan melempar tubuhnya ke
belakang. Empuk sekali menjejakkan kakinya, sejauh tiga
tombak dari lawannya.
"Siapkan jala...!" perintah Setan Pemburu Mayat.
Belasan tukang pukul yang semenjak tadi hanya berdiri
menonton pertarungan tersebut bergegas berlari meng-
ambil jala. Rupanya laki-laki kurus itu tidak ingin berlama-
lama menghadapi Dewi Tangan Merah. Meskipun
sebenarnya tingkat kepandaian mereka tidak jauh atau
bahkan mungkin seimbang.
Tidak beberapa lama kemudian, delapan orang tukang
pukul Tuan Barja telah siap dengan jala di tangan masing-
masing. Kelihatannya jala itu terbuat dari semacam akar
pepohonan yang liat dan alot. Tak main-main, jala itu
sudah diberi ramuan khusus sehingga tidak mudah putus.
Bahkan oleh pedang sekalipun.
Delapan tukang pukul itu sudah berloncatan mengitari
Dewi Tangan Merah yang menjadi tegang karena keadaan-
nya sekarang benar-benar terancam! Sebelum delapan
orang itu bergerak, tiba-tiba terdengar angin tajam
berkesiutan, menuju Dewi Tangan Merah.
Sundari menjadi terkejut sekali melihat dua buah sinar
putih berkelebat cepat saling susul-menyusul! Gadis jelita
itu segera bergulingan menghindarkan serangan maut yang
dilakukan Setan Pemburu Mayat. Rupanya laki-laki itu
telah menggunakan sepasang pedang berukuran satu depa
lebih.
Setan Pemburu Mayat memang bukan tokoh kosong
belaka! Karena ke mana pun tubuh Dewi Tangan Merah
menghindar, sepasang pedang bercagak itu selalu
membayanginya. Tentu saja hal ini membuatnya bergidik
ngeri. Sehingga pada satu ketika, terpaksa harus ditangkis
serangan lawan dengan pedangnya!
Dan akibatnya benar-benar di luar dugaan Sundari!
Entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu saja pedang di
tangan lawan berputar dan membelit pedangnya! Sebelum
Dewi Tangan Merah itu menyadari keadaannya, pedang
yang di tangan kiri lawan sudah meluncur menebas
pergelangan tangannya yang memegang pedang. Terpaksa
Sundari melepaskan pedangnya dan bergulingan meng-
hindari sabetan berikutnya dari pedang lawan. Dalam
keadaan terdesak, gadis itu masih sempat melepaskan
sebuah pukulan jarak jauh mengandung tenaga 'Tangan
Pasir Merah' yang menjadi ilmu andalannya.
Wuuusss!
Seketika serangan angin panas terlontar dari sepasang
tangan Sundari yang sudah berubah berwarna merah
sebatas siku. Angin itu terus meluncur, dan langsung
menerpa tubuh Setan Pemburu Mayat yang tidak sempat
lagi menghindar!
Blukkk!
"Huaaakkk...!"
Tubuh Setan Pemburu Mayat terdorong mundur
sejauh sepuluh langkah. Mulutnya memuntahkan darah
segar yang berwarna agak kehitaman. Ternyata pukulan
'Tangan Pasir Merah' yang mengenai dada kirinya itu,
telah membuat laki-laki kurus itu terluka dalam. Setan
Pemuru Mayat berdiri terhuyung-huyung sambil menekap
dadanya yang bagaikan terbakar itu. Tampak kulit dadanya
berwarna agak kehitaman, sedangkan baju di bagian
tubuhnya telah hancur bagaikan di makan api.
"Kakang Logar, kau tidak apa apa...?" tanya salah
seorang kawannya, sambil memburu ke arah Setan
Pemburu Mayat yang ternyata bernama Logar itu
"Gunakan jala itu untuk menangkapnya, goblok!
Kuntilanak itu harus dapat ditangkap hidup-hidup!"
bentak Setan Pemburu Mayat atau Logar penuh
kemarahan.
Kedelapan orang tukang pukul Tuan Barja yang
memegang jala itu segera berputar untuk mengaburkan
pandangan Dewi Tangan Merah. Sedangkan Logar juga
sudah menerjang kembali dengan sepasang pedangnya
yang berbahaya itu. Maka Dewi Tangan Merah yang sudah
tidak bersenjata itu benar-benar kerepotan dibuatnya.
Di tengah serangannya yang menderu-deru itu, tiba-
tiba tubuh Logar melompat jauh ke belakang. Dan pada
saat yang sama, dua buah jala terlontar ke arah Dewi
Tangan Merah. Gadis itu segera bergulingan untuk
menghindarkannya. Namun ketika berdiri, sebuah jala lain
tahu-tahu saja telah mengurungnya. Dewi Tangan Merah
meronta-ronta berusaha keluar dari jala itu.
Desss!
"Ouggghhh...!"
Dewi Tangan Merah mengeluh pendek, ketika sebuah
tendangan keras telah menghantam punggungnya!
Ternyata Logar berbuat curang. Tubuh Dewi Tangan
Merah langsung terjerembab ke depan. Darah segar mulai
mengalir dari celah-celah bibirnya.
Namun tiba-tiba saja, tubuh para tukang pukul yang
memegang jala beterbangan bagaikan diamuk angin topan
dahsyat! Terdengar teriakan-teriakan ngeri dari mulut
mereka. Lima orang di antaranya ternyata telah tewas
dengan tubuh membiru, seolah-olah diserang hawa dingin
hebat! Sedang tiga orang lainnya tergeletak pingsan setelah
menggigil hebat, bagaikan orang terserang demam tinggi!
Logar dan para tukang pukul yang lainnya tersentak
mundur dengan wajah pucat pasi. Mereka sama sekali
tidak mengetahui, apa yang telah terjadi pada delapan
orang kawannya itu. Dan mata mereka menjadi terbelalak
ketika memandang seorang pemuda tampan berjubah
putih, yang dengan tenangnya membebaskan Dewi Tangan
Merah dari kurungan jala tadi.
"Ah, rupanya Kakang Panji lagi, terima kasih!
Kedatanganmu benar-benar tepat sekali," ujar Dewi
Tangan Merah sambil tersenyum manis, ketika mengenali
pemuda berjubah putih yang telah menolongnya itu.
Pemuda tampan berjubah putih yang memang Panji
dan lebih dikenal sebagai Pendekar Naga Putih itu, cepat
memberikan sebutir ramuan berupa pil berwarna hijau.
Tanpa bertanya lagi, Sundari segera menelannya.
Beberapa saat kemudian, dirasakan hawa yang hangat
berkumpul di pusar untuk kemudian menyebar ke seluruh
anggota tubuhnya. Dan kini tubuhnya kembali terasa segar
seperti semula.
"Adik Sundari. Kau pergilah ke dalam, dan cari orang
yang bernama Subarja itu. Biar aku yang mengatasi
mereka!" tegas Panji dengan suara tenang
"Baiklah, Kakang! Kalau begitu, aku pergi dulu...!"
seru Dewi Tangan Merah.
Setelah berkata demikian, tubuh ramping itu pun
berkelebat memasuki bangunan besar itu.
Setan Pemburu Mayat dan para tukang pukul Tuan
Barja segera bertindak untuk menghalangi Sundari.
Namun sebelum dapat mengejar gadis itu, sebuah
bayangan putih berkelebat menghadang mereka.
"Heh, Anak Muda! Apa maksudmu mencampuri
urusan kami? Bukankah kita belum saling berurusan?!"
bentak Logar dengan suara garang.
Meskipun Logar melihat apa yang telah menimpa pada
kedelapan orang kawannya tadi, namun ia masih
meragukan kebenarannya. Apakah benar pemuda tampan
itu yang melakukannya, atau ada orang lain yang mem-
bantu dua orang muda itu secara sembunyi-sembunyi?
"Hm.... Di antara kita memang tidak ada urusan,
Kisanak! Tapi ketahuilah, bahwa kehadiranku dan Dewi
Tangan Merah ke sini adalah sebagai wakil para nelayan
yang telah diperas tenaganya oleh majikanmu," jawab
Panji, masih tetap bersikap tenang tanpa menunjukkan
amarah sedikit pun
"Siapa kau sebenarnya, Anak Muda?! Dan apa
hubunganmu dengan para nelayan di sini?!" tanya Logar
sambil menggeram marah.
"Sudahlah, Kakang! Untuk apa bertanya lagi. Bunuh
saja pemuda usilan itu, habis perkara!" seru salah seorang
kawannya yang rupanya sudah tidak sabar mendengar
pembicaraan itu.
"Benar, Kakang. Bunuh saja dia!" seru yang lain, ikut
mendukung perkataan kawannya tadi.
"Hm... Jadi mau kalian begitu? Lalu mengapa tidak
segera dilakukan? Apa lagi yang kalian tunggu?" tantang
Panji sambil tersenyum lebar.
"Bangsat! Kau makanlah senjataku! Hiaaattt...!"
Dengan kemarahan yang menggelegak, salah seorang
yang berbicara tadi segera menerjang Panji dengan ayunan
pedangnya. Namun sebelum pedangnya menyentuh tubuh
pemuda sakti itu, tiba-tiba orang itu terjungkal terhantam
telapak tangan Panji yang telah dialiri 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan'. Orang itu berkelojotan sesaat, kemudian
tewas dengan dada remuk!
Dapat dibayangkan, betapa terkejutnya Logar dan para
tukang pukul lainnya menyaksikan kawan mereka tewas
dalam segebrakkan saja. Seketika wajah mereka menjadi
pucat, dan mata terbelalak seakan-akan tidak mempercayai
kejadian itu. Tanpa sadar Logar dan kawan-kawannya
melangkah mundur dengan hati diliputi kegentaran!
"Siiiapppaaa... kau, Anak Muda...?" tanya Logar,
suaranya begitu kering. Sambil berkata demikian, matanya
memperhatikan mayat kawan kawannya. Mungkin saja dia
dapat mengenalil tokoh persilatan yang memiliki ilmu
pukulan berhawa dingin luar biasa seperti itu.
"Apakah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?"
sentak Logar.
Dia kini teringat seorang pendekar muda yang telah
mengguncangkan dunia persilatan dengan ilmu-ilmunya
yang dahsyat. Dan menurut cerita, pendekar muda itu
berwajah tampan dan selalu mengenakan jubah putih. Ada
selapis kabut bersinar putih keperakan yang menyelimuti
tubuhnya. Tapi karena belum menyaksikan ciri-ciri yang
terakhir dari pendekar itu, maka Logar pun masih sangsi
akan dugaannya.
"Begitulah, julukan yang diberikan orang kepadaku,"
jawab Panji tanpa merasa bangga sedikit pun pada
julukannya.
"Huh! Siapapun kau, maka atas perbuatanmu ini
berarti telah menanamkan bibit permusuhan dengan Partai
Rimba Hitam! Dan kau akan menyesali perbuatanmu hari
ini!" ancam Logar yang terpaksa membuka kedoknya guna
menakut-nakuti Panji. Karena biar bagaimanapun, Logar
masih merasa gentar akan kepandaian lawannya yang
masih muda itu.
Namun alangkah kecewanya hati Logar ketika melihat
lawannya sama sekali tidak terkejut terhadap ancamannya.
Karena memang, Panji belum pernah mendengar partai
yang misterius itu. Dan tentu saja ancaman Logar itu sama
sekali tidak mengejutkannya. Sebaliknya, pemuda itu
malah mengerutkan keningnya tanda tidak mengerti.
"Hm..., apa maksudmu dengan ancaman itu? Dan
partai macam apa, Partai Rimba Hitam itu? Bisakah kau
menjelaskannya?" tanya Panji penasaran.
Karena sudah terlanjur membuka kedok, maka Logar
pun segera menjelaskan tentang Partai Rimba Hitam.
Maksudnya agar lawan menjadi gentar dan tak lagi
mencampuri urusannya.
"Nah! Oleh karena itu, sayangilah nyawamu, Anak
Muda. Karena dengan mencampuri urusanku berarti juga
telah berurusan dengan seluruh anggota Partai Rimba
Hitam!" jelas Logar menutup keterangannya. Terbayang
senyum kemenangan di bibirnya karena merasa yakin
lawannya pasti akan gentar mendengar keterangannya.
Tapi sayang dugaan Logar kembali meleset! Panji
memang terkejut ketika mendengar keterangan Logar
tentang Partai Rimba Hitam itu Namun, keterkejutannya
bukan karena gentar. Melainkan karena justru mencurigai
partai itu sebagai biang keladinya. Dan mungkin orang-
orang Partai Rimba Hitam itulah yang telah menculik
Suntara dan Rahayu.
"Hm.... Kalau begitu, kau harus tunjukkan padaku, di
mana markas Partai Rimba Hitam itu!"
Begitu ucapannya selesai, tubuh pemuda itu langsung
melesat ke arah Logar dengan totokan-totokan yang cepat
bagai kilat! Panji memang berniat menahan lawannya
hidup-hidup, karena merupakan satu-satunya petunjuk
yang dibutuhkan.
Bukan main terperanjatnya Logar melihat lawannya
yang bukannya gentar, tapi malah semakin ganas
serangannya. Maka Logar menjadi kewalahan menghindar!
serangan Panji yang luar biasa cepatnya itu. Dalam
beberapa jurus saja Logar sudah terdesak hebat!
Setelah lewat sepuluh jurus, Logar tidak mampu lagi
untuk menghindari sebuah totokan tangan kanan Panji
yang meluncur deras ke arahnya
Tukkk!
"Ughhh...!"
Logar mengeluh pendek. Tubuhnya kontan ambruk
bagaikan sehelai karung basah ketika totokan pemuda itu
mendarat telak dan melumpuhkannya.
Namun belum lagi Panji sempat mendekati tubuh
lawannya, tiba-tiba terdengar desingan senjata-senjata
gelap yang mengancam dirinya. Panji menjejakkan kakinya
ke tanah, maka seketika tubuhnya langsung melenting ke
atas. Cepat bagai kitat, tangannya mengibas untuk
meruntuhkan beberapa buah senjata yang masih meng-
ancamnya.
"Bangsat curang...!" gerutu Panji begitu kakinya
mendarat di tanah. Dan kegeraman pemuda itu bertambah
ketika didapati tubuh Logar sudah tak bernyawa lagi,
karena tertancap beberapa buah senjata di tubuhnya.
Dengan penuh kemarahan, Panji segera berkelebat ke arah
asal senjata-senjata gelap tadi. Setelah beberapa lama
mengitari tempat itu, pemuda itu menjadi kecewa karena
sama sekali tidak menemui apa yang dicarinya itu.
"Tunggulah pembalasan Partai Rimba Hitam, Pendekar
Naga Putih...!" samar-samar terdengar ancaman dari
kejauhan.
Ketika mendengar suara itu, tubuh Panji kembali ber-
kelebat ke arah asal suara tadi. Lagi-lagi pemuda itu harus
menelan kekecewaan karena sama sekali tidak me-
nemukan apa-apa. Dengan langkah lesu Pendekar Naga
Putih itu kembali ke tempat kediaman Tuan Barja untuk
menemui Dewi Tangan Merah yang masih berada di situ.
"Dari mana saja kau, Kakang ..?" tegur Dewi Tangan
Merah ketika Panji memasuki pekarangan rumah
kediaman Tuan Barja itu. Sementara di sebelahnya seorang
laki-laki setengah tua dan berkepala setengah botak,
tertunduk dengan wajah pucat.
"Hm.... Jadi inikah orangnya yang bernama Tuan Barja
itu?" tanya Panji tanpa menjawab pertanyaan Sundari.
"Benar, Kakang," jawab Sundari. "Nah, bandot tua.
Sekarang ucapkanlah janjimu di hadapan Pendekar Naga
Putih!" Sundari mendorong tubuh laki-laki gendut itu
hingga terjajar ke depan.
Laki-laki gendut yang bernama Subarja itu men-
jatuhkan dirinya berlutut di hadapan Pendekar Naga Putih
sambil mengucapkan janjinya. Suaranya terdengar
gemetar.
"Kau ingat-ingatlah, Subarja! Apabila terdengar kau
mengulangi perbuatanmu lagi, maka Dewi Tangan Merah
dan Pendekar Naga Putih akan datang untuk mengambil
kepala botakmu! Mengerti?!" bentak Dewi Tangan Merah
yang membuat tubuh Subarja semakin gemetar.
"Baik... baik, aku berjanji tidak akan mengulangi per-
buatanku lagi. Dan aku akan berusaha membantu nelayan-
nelayan di desa ini, Nini Pendekar," ucap Tuan Barja
terputus-putus sambil mengangguk-anggukkan kepalanya
yang agak botak itu.
"Eh, Kakang. Kau belum menjawab pertanyaanku
tadi?" ujar Sundari ketika keduanya melangkah bersisian
meninggalkan kediaman Tuan Subarja.
Mendengar pertanyaan itu, Panji kembali teringat
kejadian yang benar-benar membuatnya amat penasaran.
Segera diceritakan pengalamannya itu kepada Sundari,
sehingga gadis itu pun menjadi penasaran dan marah
dibuatnya.
"Hm.., jadi Setan Pemburu Mayat itu adalah salah
seorang anggota Partai Rimba Hitam. Pantas saja berani
berlagak. Rupanya dia mempunyai andalan yang tidak
tanggung-tanggung. Hm.... Kalau begitu, kita harus
mencari keterangan tentang letak markas Partai Rimba
Hitam itu. Mari, Kakang...!" sambil berkata demikian
Sundari segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya
berlari mendahului Panji
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji segera
menggenjot tubuhnya dan langsung melesat menyusul
Dewi Tangan Merah. Dalam beberapa saat saja tubuhnya
sudah dapat disejajarkan di sebelah gadis itu. Diam-diam
Dewi Tangan Merah ini semakin kagum akan kepandaian
pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih itu.
***
TIGA
"Berhenti...!"
Sepuluh orang laki-laki gagah serentak menghentikan
langkahnya ketika mendengar bentakan itu. Untuk be-
berapa saat lamanya, mereka hanya saling pandang satu
sama lain dengan wajah heran. Namun, sikap kesepuluh
orang itu terlihat tenang sekali, seolah-olah tidak merasa
khawatir oleh suara bentakan yang menggelegar tadi.
Tiga tombak di depan, tampak belasan laki-laki ber-
wajah bengis berdiri menghadang perjalanan sepuluh
orang itu. Seorang laki-laki brewok yang merupakan
pimpinan para penghalang itu melangkah ke depan.
Lagaknya dibuat sewibawa mungkin, tapi justru
memuakkan. Laki-laki brewok itu menatap ke arah
sepuluh orang laki-laki gagah itu satu persatu, seperti
seorang panglima perang yang sedang memeriksa barisan
pasukannya.
"Hm.... Hendak ke mana, kalian? Mengapa begitu
tergesa-gesa?" tanya laki-laki brewok itu sambil bertolak
pinggang dengan lagak sombong. Seolah-olah dia sedang
bertanya kepada anak buahnya, sehingga sama sekali tidak
memandang sebelah mata pun kepada sepuluh orang laki-
laki gagah itu.
Seorang di antara sepuluh laki-laki gagah itu, me-
langkah ke depan mewakili kawan-kawannya yang lain.
Wajahnya terlihat apik dan berwibawa. Ketenangannya
menandakan kalau dia adalah orang sabar dan ber
pandangan luas. Sengaja dia mendahului untuk meng-
hindari hal hal yang tidak diinginkan.
"Maafkan kami, Kisanak. Kami sedang menghadapi
sebuah persoalan yang sangat pribadi dan sangat mendesak
sifatnya. Maka ijinkanlah kami lewat. Sekali lagi kami
mohon maaf," ucap laki-laki gagah itu sambil mem-
bungkuk hormat
"He he he.... Kau pikir kami tidak tahu ke mana
tujuanmu, Pendekar Tangan Sakti?! Bukankah kalian ingin
mengunjungi Gunung Salaka? Nah, kalau begitu ber-
siaplah! Kami akan segera mengantar agar kalian lebih
cepat tiba di sana untuk menemani si Tua Surya Kencana!"
ujar laki-laki brewok itu. Suaranya bernada menghina
sekali.
Laki-laki gagah yang ternyata berjuluk Pendekar
Tangan Sakti itu terkejut sekali ketika mendengar
perkataan laki-laki brewok di depannya itu. Sama sekali
tidak disangka kalau dirinya dapat dikenali. Lebih-lebih
ketika laki-laki brewok itu menyebut-nyebut Gunung
Salaka dan Ki Surya Kencana. Tanpa sadar Pendekar
Tangan Sakti melangkah mundur sejauh lima tjndak!
Meskipun wajahnya masih terlihat tenang, namun sinar
matanya berkilat tajam
Kesepuluh orang laki-laki gagah itu memang hendak
mengunjungi Gunung Salaka setelah mendengar kematian
Ki Surya Kencana. (Untuk lebih jelasnya baca serial
Pendekar Naga Putih dalam episode: "Algojo Gunung
Sutra"). Memang orang nomor dua di Perguruan Gunung
Salaka itu adalah guru kesepuluh orang itu. Mereka
meninggalkan Perguruan Gunung Salaka, karena ingin
meluaskan pengalaman. Begitu mendengar guru mereka
tewas, para murid Perguruan Gunung Salaka yang tengah
mencari pengalaman itu pun segera berbondong-bondong
mengunjungi perguruan untuk memastikan kebenaran
berita itu. Dan tanpa d sangka, tahu-tahu perjalanan
mereka dihadang belasan orang yang sama sekali tidak
menunjukkan sikap bersahabat
"Hm..., siapa kau sebenarnya? Dan apa maksud meng-
hadang perjalanan kami?' tanya laki-laki yang berjuluk
Pendekar Tangan Sakti itu. Pendekar Tangan Sakti yang
benar-benar terpukul atas kematian gurunya yang tanpa
diketahui siapa pembunuhnya menjadi curiga kepada laki-
laki kasar di depannya ini. Dan kini, laki-laki brewok itu
tampaknya sangat memusuhi Perguruan Gunung Salaka.
Memang bisa jadi orang ini mempunyai hubungan dengan
pembunuhan gurunya. Apalagi melihat sikap laki-laki
brewok yang mencurigakan itu.
"He he he..., Pendekar Tangan Sakti! Demikian
lemahkah ingatanmu sehingga tidak mengenaliku lagi?
Apakah kau sudah lupa kejadian setahun yang lalu? Bukan-
kah gadis itu sudah menjadi istrimu?" ujar laki-laki brewok
itu, mengingatkan.
Kening Pendekar Tangan Sakti berkerut dalam. Jelas,
dia tengah berpikir keras.
"Ya, aku ingat sekarang!" jawab laki-laki gagah itu
setelah berpikir sesaat. "Lalu, apa maumu sekarang, Setan
Kali Gantang! Apakah ingin membalas dendam?"
Pendekar Tangan Sakti mulai waspada ketika
mengenali laki-laki brewok yang menghadangnya itu.
Tatapan matanya tajam, mengawasi orang di depannya.
"He he he...., kira-kira begitulah!" jawab laki-laki
brewok yang berjuluk Setan Kali Gantang itu. Sikapnya
benar-benar memandang rendah lawan.
Melihat sikap lawan yang sepertinya begitu yakin dapat
mengalahkannya, Pendekar Tangan Sakti tidak mau ber-
tindak ceroboh. Maka segera dipersiapkan tenaga dalam-
nya untuk menghadapi segala kemungkinan yang bakal
terjadi. Sementara kawan-kawannya sudah pula meng-
hampiri ketika melihat sikap Pendekar Tangan Sakti yang
seperti akan bertarung itu. Namun sebelum kesembilan
orang kawan Pendekar Tangan Sakti bertindak, tiba-tiba...
"Seraaanggg...!" teriak laki-laki brewok yang berjuluk
Setan Kali Gantang.
Belum juga gema suara itu hilang, laki-laki kasar itu
sudah mencabut sebilah golok besar dari pinggangnya.
Langsung saja diterjangnya Pendekar Tangan Sakti.
Sementara pendekar itu langsung berkelit dan membalas
dengan pukulan-pukulan yang menimbulkan desir angin
tajam. Dalam waktu singkat saja, keduanya segera terlibat
pertarungan sengit dan mati-matian.
Demikian pula belasan orang anak buah Setan Kali
Gantang. Mereka sudah berlompatan menyerbu sembilan
orang kawan Pendekar Tangan Sakti. Yang segera
menyambut dengan tidak kalah ganasnya. Bunga api
berpijaran ketika senjata-senjata dari kedua belah pihak
berbenturan sehingga menimbulkan suara berdering yang
memekakkan telinga. Kilatan kilatan pedang dan golok
berkelebatan dan menyambar-nyambar mencari sasaran.
Akibatnya membuat pertempuran itu semakin ramai dan
sengit!
***
Setelah bertempur selama kurang lebih lima jurus,
sembilan orang kawan Pendekar Tangan Sakti terkejut
sekali. Ternyata kepandaian lawan-lawan mereka ternyata
cukup hebat! Tidak heran kalau mereka yang telah di-
gembleng di Perguruan Gunung Salaka itu harus
mengeluarkan seluruh kemampuan. Gerakan-gerakan
lawan ternyata cukup gesit dan membingungkan. Seolah-
olah belasan orang itu memang sudah dipersiapkan sejak
lama! Dan hal itu benar-benar di luar dugaan mereka.
Sedangkan pertarungan Pendekar Tangan Sakti
melawan Setan Kali Gantang tampak berlangsung
seimbang. Pendekar itu memang pernah mengalahkan
Setan Kali Gantang pada setahun yang lalu. Tapi kini
hatinya merasa terkejut sekali melihat kemajuan lawannya.
Padahal, dulu Setan Kali Gantang dapat dikalahkan tak
lebih dari sepuluh jurus. Kini belasan jurus telah dilalui,
namun Pendekar Tangan Sakti belum juga dapat mendesak
lawannya. Apalagi untuk mengalahkan. Dan hal ini benar-
benar mengejutkan baginya.
Pada jurus kedelapan belas, Pendekar Tangan Sakti
mulai mengeluarkan salah satu ilmu andalan perguruannya
'Sebelas Jurus Penahan Ombak'. Jurus ini diciptakan Ki
Tunggul Jagad untuk menahan serangan yang bagaimana
pun hebatnya. Di dalam jurus itu terkandung pukulan-
pukulan tersembunyi yang dapat dilontarkan secara
mendadak, dan sama sekali tidak diduga lawan
Setan Kali Gantang tersentak kaget, ketika setiap
serangan yang dilakukan bagaikan membentur benteng
yang tak tampak. Beberapa kali tubuhnya terdorong
mundur dan terhuyung-huyung ketika melakukan
serangan gencar. Meskipun demikian, semangat Setan Kali
Gantang memang patut dipuji. Hatinya sama sekali tidak
merasa gentar. Diiringi sebuah teriakan parau, Setan Kali
Gantang memutar-mutar golok besarnya hingga
menimbulkan angin menderu-deru. Tubuhnya melesat
diiringi suara mengaung yang ditimbulkan golok besarnya.
Pendekar Tangan Sakti mempercepat gerakan tangan-
nya untuk menghalau serangan lawan. Disertai hentakan
keras, tubuhnya segera berputar sehingga bacokan Setan
Kali Gantang hanya mendapatkan tempat kosong. Namun
gerakan Pendekar Tangan Sakti tidak sampai di situ saja.
Tangan kanannya yang berputar itu, tiba-tiba mencelat
cepat bagai kilat menuju lambung lawan!
Bukan main terkejutnya Setan Kali Gantang ketika
melihat serangan mendadak itu. Sedangkan pada saat itu
dirinya dalam keadaan membacok. Sehingga, kesempatan-
nya untuk menghindar pupus sudah.
Desss!
"Aaakkkhhh...!"
Setan Kali Gantang menjent tertahan ketika pukulan
yang dilancarkan Pendekar Tangan Sakti menghantam
lambung. Tubuh laki-laki brewok itu melintir bagai
putaran gangsing. Belum lagi dapat mengatur kuda-kuda-
nya, tiba-tiba tubuh Pendekar Tangan Sakti sudah men-
celat mengejarnya. Tidak sampai di situ saja, pendekar itu
langsung mendorongkan kedua telapak tangannya sepenuh
tenaga!
Bukkk!
Setan Kali Gantang menjerit tinggi ketika sepasang
lengan yang dialiri tenaga dalam penuh itu menggedor
dadanya. Kontan tubuh laki-laki itu terjungkal dan ambruk
di tanah sejauh satu setengah tombak. Darah segar
mengallr dari celah-celah bibirnya yang memucat. Setelah
memuntahkan darah segar beberapa kali, tubuh Setan Kali
Gantang itu diam tak bergerak lagi, tewas dengan dada
hancur.
Pada saat yang bersamaan terdengar pula jerit kematian
yang merobek angkasa. Empat sosok tubuh telah ter-
jerembab dalam keadaan tewas. Perut dan lambung
mereka masing-masing robek ditembus senjata. Salah
seorang di antaranya adalah murid Gunung Salaka yang
sebelumnya telah menewaskan dua orang lawannya.
Pertempuran kembali berlangsung sengit. Korban dari
pihak anak buah Setan Kali Gantang kembali berjatuhan
ketika salah seorang murid Gunung Salaka membabatkan
pedangnya sehingga merobek perut dua orang lawannya.
Pendekar Tangan Sakti yang telah terjun dalam arena
pertempuran kembali, telah pula merobohkan seorang
lawan dengan pukulan ampuhnya. Dan hal itu semakin
menambah semangat kawan-kawannya.
Para pengeroyok yang kini tinggal tiga belas orang itu,
menjadi kalang kabut menghadapi gempuran murid-murid
Gunung Salaka. Kini mereka hanya dapat bertarung sambil
mundur, karena rasa gentar telah mulai menguasai hati
mereka.
Brettt! Brettt!
"Ouuuggghhh...!"
Terdengar suara senjata yang mengenai sasaran. Lima
orang penghadang kembali terjerembab dengan tubuh
berlumuran darah! Mereka tewas tersambar lima batang
pedang yang dikelebatkan murid-murid Gunung Salaka
yang telah haus darah itu. Tentu saja hal itu semakin
menambah ciut hati para lawan. Mata mereka pun mulai
liar, mencari-cari kesempatan untuk meloloskan diri.
Namun kesembilan Pendekar Gunung Salaka itu sama
sekali tidak memberi kesempatan kepada musuh-musuh-
nya untuk meloloskan diri.
Namun pada saat para penghadang yang kini tinggal
delapan orang itu kalut, tiba-tiba melesat tiga sosok
bayangan yang langsung memasuki kancah pertempuran.
Begitu ketiga sosok bayangan itu menggerakkan tangan-
nya, tiga orang pendekar dari Gunung Salaka kontan
terjungkal ke belakang dihantam oleh pukulan bertenaga
dalam tinggi. Darah segar mengalir dari sela-sela bibir
mereka. Dengan gerakan limbung, tiga orang Pendekar
Gunung Salaka itu mencoba bangkit berdiri.
"Ha ha ha..., cecurut-cecurut Gunung Salaka! Sebentar
lagi kalian akan menyusul si tua bangka Surya Kencana
itu!" ujar salah seorang dari tiga bayangan itu, sambil
tertawa pongah. Wajahnya yang berwarna kuning
memang mudah dikenali. Siapa lagi kalau bukan Ular
Muka Kuning yang telah menewasakan Ki Surya Kencana!
Sedang sosok yang kedua adalah seorang wanita cantik
berambut merah. Kepandaiannya juga tidak bisa di-
pandang rendah, karena termasuk salah seorang tokoh
golongan sesat yang kejam dan genit. Kesenangannya
adalah menggaet pemuda-pemuda tampan. Entah sudah
berapa banyak pemuda tampan yang telah jadi korban
rayuan dan kecantikannya. Tapi, begitu merasa bosan,
maka korbannya akan dibunuh dengan mulut tersenyum.
Sehingga, dalam dunia persilatan ia dijuluki Setan Cantik.
Dan yang sangat mengejutkan hati para pendekar
Gunung Salaka itu, adalah orang ketiga. Tubuhnya
jangkung dengan sebaris kumis lebat menghias wajahnya
itu. Jelas-jelas hal ini membuat mata para pendekar
Gunung Salaka terbelalak bagai melihat hantu di siang
bolong!
***
"Ki Ageng Sampang...!" teriak mereka berbarengan,
dengan wajah pucat
"Ki Ageng! Apa..., apa maksudnya semua ini...?" seru
Pendekar Tangan Sakti, kebingungan.
Memang, bagaimana hati pendekar itu tidak menjadi
bingung? Sebab, selama ini dia mengenal Ki Ageng
Sampang adalah sahabat guru mereka, Ki Surya Kencana.
Tapi, mengapa sekarang tahu-tahu orang tua yang berjuluk
Algojo Gunung Sutra itu, berpihak kepada tokoh-tokoh
sesat? Padahal Ki Ageng Sampang yang selama ini mereka
kenal adalah orang tua yang sabar dan bijaksana. Tentu saja
hal itu sangat membingungkannya.
"Ha ha ha...! Rupanya kau belum mengerti maksudku,
anak bodoh! Ketahuilah bahwa kedatanganku ke sini untuk
mengantarmu menemui Ki Surya Kencana. Nah, ber-
siaplah," ujar orang yang berwajah Ki Ageng Sampang itu,
dingin. Dan begitu ucapannya selesai, tubuh jangkung itu
segera melayang ke arah Pendekar Tangan Sakti yang
masih berdiri bagai orang linglung.
Wuttt!
Sambaran tangan orang tua jangkung itu hebat sekali.
Serangkum angin dingin berhembus mendahului gerakan
tangannya. Untunglah Pendekar Tangan Sakti cepat me-
rendahkan tubuhnya, sehingga serangan orang tua itu
lewat beberapa rambut di atas kepalanya. Kalau tidak,
pasti batok kepalanya remuk terkena hantaman itu! Begitu
serangan itu berhasil dielakkan, tubuhnya pun mencelat ke
belakang untuk menghindari serangan berikutnya.
Pendekar Tangan Sakti yang menyadari siapa lawannya,
segera mengempos semangatnya. Dikerahkannya seluruh
tenaga dalam untuk memainkan ilmu 'Menggetar Langit
Mengacau Bumi'. Ilmu ini merupakan andalan Guru Besar
Gunung Salaka, Ki Tunggul Jagad. Orang tua itu memang
telah mewariskan ilmu-ilmu tingkat tinggi kepada setiap
muridnya yang memiliki bakat bagus dalam ilmu silat. Dan
salah seorang yang beruntung adalah Pendekar Tangan
Sakti. Dan dalam urutan perguruan, Pendekar Tangan
Sakti dapat disejajarkan dengan tokoh perguruan lainnya
seperti Santiaji dan Ranjita. Maka dapatlah diukur sampai
di mana kepandaian yang dimiliki pendekar itu.
Dengan ilmu yang jarang digunakan, Pendekar Tangan
Sakti menyerang sepenuh tenaga orang yang bertubuh
jangkung itu. Angin keras berputar, ketika Pendekar
Tangan Sakti melancarkan serangan ke arah lawan! Kedua
tangannya bergerak sallng susul menyusul disertai desiran
angin tajam, sehingga jubah lawan berkibaran.
Tapi sayang tenaga dan kematangan ilmu yang dimiliki
Pendekar Tangan Sakti masih belum mampu menandingi
musuhnya. Sehingga biarpun telah dikerahkan seluruh
kemampuannya, tetap saja tidak dapat mendesak lawan
yang memang berkepandaian jauh lebih tinggi darinya.
Orang tua bertubuh jangkung yang menyamar sebagai
Ki Ageng Sampang itu bergerak lincah menghindari setiap
serangan yang dilancarkan Pendekar Tangan Sakti dengan
mulus. Bahkan sesekali masih sempat melontarkan
pukulan berbahaya ke arah pendekar itu.
Sementara itu, delapan orang Pendekar Gunung Salaka
lain sudah pula terlibat dalam pertarungan yang berat
sebelah. Mereka harus mengerahkan seluruh kemampuan
untuk membendung serangan Ular Muka Kuning dan
Setan Cantik yang dibantu delapan orang penghadang tadi.
Tentu saja keadaan itu membuat delapan orang Pendekar
Gunung Salaka terdesak hebat! Kalau saja Ular Muka
Kuning dan Setan Cantik tidak dibantu delapan orang
lainnya, tentu delapan Pendekar Gunung Salaka itu masih
dapat mengimbanginya. Namun sekarang? Maka, keadaan-
nya pun kini menjadi terbalik.
Pada jurus kesembilan belas, tiga orang dari para
Pedekar Gunung Salaka itu menjerit tinggi. Tubuh mereka
terlempar akibat pukulan yang dilontarkan Ular Muka
Kuning dan Setan Cantik. Tiga orang pendekar itu
terbanting dengan isi perut hancur. Tewas seketika.
Melihat keadaan itu, bukan main marahnya hati para
Pendekar Gunung Salaka! Tapi biar menggunakan seluruh
tenaga dan kepandaian, tetap saja keadaan mereka tidak
berubah! Bahkan lebih buruk dalam menghadapi lawan-
nya.
Brettt! Brettt!
"Aaakh.!"
Kembali terdengar jerit kematian yang dibarengi
melambungnya dua orang Pendekar Gunung Salaka yang
lainnya. Ternyata mereka tersambar pedang lawan dan
tewas seketika dengan luka memanjang di tubuh. Tiga
orang lainnya yang tersisa seketika tersentak mundur
disertai wajah pucat. Hati mereka benar-benar terpukul
menyaksikan kawan-kawannya dibantai di depan mata
tanpa mampu berbuat apa-apa
Di arena lain, keadaan Pendekar Tangan Sakti pun
tidak berbeda jauh. Keadaannya, bagai telur di ujung
tanduk yang sewaktu waktu jatuh dan hancur. Diam-diam
hati Pendekar Tangan Sakti mengeluh ketika merasakan
kalau kepandaian lawannya ternyata sangat tinggi. Apalagi
ketika mendengar suara jerit kematian kawan-kawannya.
Hati Pendekar Tangan Sakti bagaikan teriris. Memang
mereka sama sekali tidak mengetahui apa sebabnya hingga
orang-orang itu sampai menyerang mereka.
Desss!
"Aaahhhkkk...!"
Tubuh Pendekar Tangan Sakti terjungkal ketika sebuah
tendangan sangat keras dari lawannya telah menghantam
dadanya! Darah segar menyembur diiringi teriakannya
yang parau. Ternyata Pendekar Tangan Sakti harus
membayar mahal akibat kelalaiannya itu! Di saat tubuhnya
masih bergulingan, serangan lawannya kembali datang
untuk segera membinasakan Pendekar Tangan Sakti.
Wuttt!
Plakkk!
"Aihhh...!"
Pukulan maut yang semula hendak menghabisi nyawa
Pendekar Tangan Sakti itu, berhasil disampok oleh sesosok
bayangan merah yang tiba-tiba saja melesat di antara
keduanya. Namun, bayangan merah itu menjerit tertahan
dan tubuhnya terpelanting akibat menangkis pukulan yang
bertenaga dalam kuat itu! Meskipun demikian, bayangan
merah itu telah berhasil menyelamatkan nyawa Pendekar
Tangan Sakti dari kematian!
Berbarengan dengan kejadian itu, ditempat Iain, tiga
orang Pendekar Gunung Salaka tengah terdesak hebat.
Mereka tak dapat lagi menyelamatkan diri dari sabetan
senjata tiga orang lawannya.
Brettt! Brettt!
"Aaahk...!"
Bresss!
"Wuaaa...!"
Tubuh ketiga orang Pendekar Gunung Salaka itu
terpelanting tersabet senjata lawan-lawannya! Darah segar
menghambur keluar dari luka yang menganga di tubuh
mereka. Ketiganya terbanting tewas seketika tanpa ampun
lagi.
Pada saat ketiga orang Pendekar Gunung Salaka itu
terpelanting, mendadak meluncur ke tengah arena sesosok
tubuh yang mengeluarkan sinar berwarna putih
keperakan. Kedua telapak tangannya didorongkan ke
depan. Seketika serangkum angin yang berhawa dingin
luar biasa berhembus keras, bagaikan badai salju yang
menggetarkan udara di sekitar arena pertarungan itu.
Ular Muka Kuning, Setan Cantik, dan kedelapan orang
lainnya, langsung terjengkang bagaikan diterpa angin
topan dahsyat! Tiga orang terdepan yang telah
menewaskan tiga Pendekar Gunung Salaka, kontan tewas
dengan tubuh kebiruan! Sedangkan lima orang lainnya
bergelimpangan pingsan, akibat dorongan dahsyat itu.
Hanya dua orang yang masih dapat bertahan akibat
dorongan luar biasa tadi. Mereka adalah Ular Muka
Kuning dan Setan Cantik! Namun, Keduanya tetap saja tak
luput dari serangan pukulan berhawa dingin luar biasa itu.
Tubuh dua tokoh itu menggigil bagaikan terserang demam
tinggi! Cepat-cepat mereka mengatur pernapasan untuk
mengusir hawa dingin yang mengeram dalam tubuh.
"Pendekar Naga Putih...!" teriak Ular Muka Kuning
dan Setan Cantik berbarengan, dengan wajah memucat!
Keduanya tersentak mundur dengan gerakan limbung.
Pandangan mata mereka terpancar rasa gentar yang tak
dapat disembunyikan.
***
EMPAT
Memang tidak salah apa yang diteriakkan Ular Muka
Kuning dan Setan Cantik itu. Di hadapan mereka berdiri
sesosok tubuh yang terselimut selapis kabut putih
keperakan! Siapa lagi kalau bukan Pendekar Naga Putih,
yang datang bersama Dewi Tangan Merah.
"Kakang Panji, mereka itu tokoh-tokoh sesat yang
berjuluk Ular Muka Kuning dan Setan Cantik! Sedangkan
orang tua bertubuh jangkung itu kalau tidak salah si Setan
Muka Seribu!" kata Dewi Tangan Merah yang tahu-tahu
saja sudah berada di samping Panji, bersama Pendekar
Tangan Sakti yang telah ditolong oleh bayangan merah,
dan ternyata Sundari. Dan memang tidak mampu kalau
untuk melindungi Pendekar Tangan Sakti terus-menerus
dari ancaman Setan Muka Seribu yang memiliki
kepandaian lebih tinggi darinya.
"Eh! Bagaimana kau bisa mengenali mereka, Adik
Sundari? Apakah kau pernah bertemu atau mengenal
mereka sebelumnya?" tanya Panji sambil menolehkan
kepala menatap gadis jelita berbaju merah itu. Masalah-
nya, dalam usia semuda itu Sundari sudah memiliki
pengetahuan luas tentang tokoh-tokoh rimba per silatan.
Benar-benar seorang gadis hebat!
"Tentu saja mengenal mereka. Bahkan pernah me-
rasakan kelihaian masing-masing! Dan di antara mereka
bertiga, hanya Setan Muka Seribu-lah yang paling tinggi
kepandaiannya. Rasanya aku pun tidak akan sanggup untuk
menghadapinya, Kakang," jawab Dewi Tangan Merah
sejujurnya.
"Tapi, bagaimana kau bisa mengenali Setan Muka
Seribu yang kini menyamar sebagai Algojo Gunung
Sutra?" tanya Panji penasaran.
"Benar! Sedangkan aku saja masih dapat ditipuya,
hingga tidak mengenali sama sekali!" timpal Pendekar
Tangan Sakti juga merasa heran, kerena ia sendiri tidak
dapat membedakannya.
"Semula aku memang menganggap orang tua itu
sebagai Algojo Gunung Sutra. Tapi ketika menangkis
pukulannya yang diarahkan kepada Pendekar Tangan
Sakti, aku baru dapat mengenali. Sebab pukulan yang
digunakannya sudah pernah membuatku terluka dalam!
Bahkan mungkin akan tewas, kalau saja pada saat itu
guruku tidak datang menyelamatkanku. Itulah sebabnya,
Kakang. Mengapa aku dapat mengenali manusia busuk
yang sangat berbahaya itu. Rasanya aku tak sabar ingin
melihat dia pergi ke neraka!" Dewi Tangan Merah
mengakhiri cerita. Kata-katanya yang terlontar memang
mengandung kegemasan.
"Hm..., berarti satu teka-teki terjawab sudah. Pantas
saja Paman Ranjita sampai tidak dapat membedakan antara
Algojo Gunung Sutra yang asli dan yang tiruannya. Bahkan
aku sendiri pun tidak dapat membedakan, apabila tidak
bertanding dulu sebelumnya atau melihat gerakannya!"
ujar Panji. Setelah berkata demikian, kembali dilayangkan
pandangannya ke arah tiga tokoh sesat yang juga telah
berkumpul itu.
"Huaaakkk...!" tiba tiba Pendekar Tangan Sakti
kembali memuntahkan darah berwarna agak kehitaman!
"Uh, rupanya pukulan iblis itu telah mengakibatkan luka
cukup parah dalam dadaku," keluh Pendekar Tangan Sakti
yang wajahnya agak memucat. Sementara kedua tangan
menekap dadanya yang terasa nyeri dan sesak
"Cepatlah telan obat ini, Paman. Obat ini manjur
sekali untuk menyembuhkan luka dalam akibat pukulan-
pukulan beracun," Pendekar Naga Putih, menyerahkan
sebutir pil berwarna hijau.
Pendekar Tangan Sakti segera menerima pil itu, dan
tanpa ragu-ragu lagi segera dimasukkan ke dalam mulut-
nya. Beberapa saat setelah menelan pil yang berwarna
hijau itu, Pendekar Tangan Sakti mulai merasakan
keampuhan obat yang diberikan Pendekar Naga Putih.
Hawa hangat mulai menebar dari bawah pusarnya dan
terus mendorong ke dada. Tidak lama kemudian,
Pendekar Tangan Sakti kembali memuntahkan segumpal
darah kental berwarna kehitaman. Dan kini berangsur-
angsur tubuhnya segar dan ringan. Dengan penuh rasa
heran segera dicobanya untuk mengerahkan hawa murni.
Dan kembali pendekar itu merasa terheran-heran, ketika
merasakan aliran hawa murninya lebih kuat dari semula.
"Wah! Obat ini sungguh hebat, Panji! Terima kasih
atas pertolongan memberikan obat itu kepadaku," ucap
Pendekar Tangan Sakti sambil berkali-kali mem-
bungkukkan tubuhnya kepada Panji, dengan wajah berseri-
seri
"Ah! Sudahlah, Paman. Di antara kawan sendiri
mengapa harus sungkan-sungkan," ujar Pendekar Naga
Putih yang bersikap wajar, seolah-olah sama sekali tidak
ingin dipuji.
Setelah berkata demikian, Panji segera melangkah
mendekati tiga tokoh sesat yang telah membuat geger
dunia persilatan. Bahkan sepak terjangnya telah meresah-
kan dua buah partai besar yaitu Perguruan Gunung Salaka
dan Perguruan Gunung Sutra. Akibatnya kedua pertai
besar itu saling memusuhi satu sama Iain. (Untuk lebih
jelas, baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode:
"Algojo Gunung Sutra").
"Hm.... Setan Muka Seribu, apa maksudmu membuat
kemelut dalam rimba hijau? Akibatnya kau tahu?! Telah
terjadi permusuhan antara tokoh-tokoh golongan putih
dari dua partai terbesar pada saat ini? Tidakkah kau sadar
bahwa perbuatanmu itu telah memecah belah rimba
persilatan golongan putih? Dan kau tahu, hukuman apa
yang pantas untukmu apabila kau kuhadapkan kepada
mereka?" ancam Panji dengan sinar mata berkilat penuh
kemerahan. Meskipun demikian, sikap pemuda digdaya
itu masih saja terlihat tenang. Kalau saja sinar mata itu
tidak berkilat, pasti ketiga tokoh sesat itu akan terbahak-
bahak mendengar pertanyaan yang bernada bodoh itu.
"Huh! Pendekar Naga Putih. Janganlah kau kira kami
takut pada ilmu-ilmumu yang mengerikan itu! Ketahuilah,
bahwa pada saat ini kau tengah berhadapan dengan orang-
orang Partai Rimba Hitam! Dan akan kau rasakan
akibatnya, karena berani mencampuri urusan kami," ujar
Setan Muka Seribu disertai tawa yang tidak enak didengar
telinga.
"Partai Rimba Hitam...! Bagus! Memang aku sudah
lama ingin mengetahui macam apa partai yang kau
sebutkan Itu. Dan aku harus dapat menyeretmu meng-
hadap Ketua Perguruan Gunung Salaka dan Gunung Sutra
untuk memperjelas persoalannya. Nah! Bersiaplah!"
belum lagi gema suaranya hilang, tiba-tiba tubuh pemuda
sakti itu sudah melesat ke arah tiga orang tokoh sesat yang
memang sudah bersiap sejak tadi.
Wuttt!
Serangkum angin dingin berhembus keras mendahului
serangan yang dilancarkan Panji. Selapis kabut tipis putih
keperakan sudah pula menyelimuti sekeliling tubuhnya.
Suatu tanda bahwa pendekar muda itu telah mengerahkan
lebih dari separuh tenaga saktinya. Betapa hebat serangan
yang dilancarkan Pendekar Naga Putih itu.
Ketiga orang tokoh sesat yang sudah memiliki
pengalaman bertanding dan selama malang melintang
dalam rimba persilatan, merasa terkejut sekali ketika
merasakan hawa di sekitarnya menjadi sangat dingin.
Seolah-olah mereka bertiga dikelilingi dinding-dinding
salju yang tak tampak. Sehingga untuk beberapa saat
lamanya, mereka hanya dapat terpaku kebingungan.
Dan ketiganya baru tersentak pucat, ketika serangan
Panji hampir saja merenggut nyawa mereka. Dengan
gerakan terburu-buru, mereka segera berlompatan
mundur untuk menghindari serangan yang mengandung
hawa maut itu! Setelah berhasil menghindari serangan
Panji, ketiganya segera menyebar dan menyerang pemuda
digdaya itu dari tiga jurusan.
Menghadapi keroyokan Ular Muka Kuning, Setan
Cantik, dan Setan Muka Seribu, bukanlah suatu hal yang
mudah. Sebab ketiganya adalah tokoh golongan hitam
yang memiliki kepandaian tinggi. Rasanya jarang orang
yang dapat menghalangi kejahatan mereka. Sehingga,
nama ketiga tokoh sesat itu, bukanlah nama asing bagi
dunia rimba hijau. Tak heran kalau Panji menjadi sibuk
menghadapinya. Sehingga untuk beberapa jurus lamanya,
ia masih belum dapat mendesak lawan lawannya itu.
Bahkan setelah melewati belasan jurus, beberapa serangan
lawan-lawannya hampir mengenai tubuhnya. Tentu saja
hal itu sangat mengagetkan hati Pendekar Naga Putih itu.
Panji memang mengetahui kalau tiga orang lawannya
adaiah tokoh-tokoh sesat berkepandaian tinggi. Namun
yang dialami justru di luar dugaannya sama sekali.
Sehingga, hampir saja tubuhnya terluka oleh pukulan-
pukulan lawan yang memang berbahaya itu. Dan hal itu
merupakan suatu pelajaran yang sangat berharga bagi
Panji!
Dewi Tangan Merah dan Pendekar Tangan Sakti yang
melihat keadaan Panji, segera melesat dan langsung
memasuki arena pertempuran. Mereka segera memilih
lawan masing-masing.
Dewi Tangan Merah segera menghadang serangan
Setan Cantik. Dalam beberapa saat saja kedua orang
wanita yang sama-sama cantik dan berilmu tinggi itu,
segera teriibat dalam pertarungan sengit!
Serangan-serangan yang dilancarkan Setan Cantik,
memang tidak bisa dianggap remeh! Jari-jari kedua
tangannya yang berkuku runcing itu benar-benar
merupakan senjata yang sangat ampuh dan berbahaya.
Kecepatan gerakan kedua tangannya memang patut dipuji!
Di saat kedua tangan Setan Cantik berputar, Dewi Tangan
Merah membungkukkan tubuhnya sambil merendahkan
kuda-kudanya. Sehingga, kedua tangan yang saling susul
menyusul itu lewat di atas kepalanya. Namun tanpa
disangka-sangka tahu-tahu saja tangan kanan Setan Cantik
hampir mencapai lehernya!
Tidak percuma kalau Sundari dijuluki Dewi Tangan
Merah. Karena meskipun dalam keadaan sulit, dia masih
dapat menyelamatkan lehernya dari cengkraman kuku-
kuku lawan. Denyan sebuah hentakan keras, tubuh
Sundari melambung ke atas, setelah terlebih dahulu
mengegoskan tubuhnya ke kiri. Hasilnya, cakaran Setan
Cantik lolos, bahkan Sundari berhasil keluar dari kurungan
sepasang tangan yang memiliki kecepatan mengejutkan
itu.
"Huh! Setan belang! Rupanya kau tidak tahu dikasihi
orang, heh! Kalau begitu terimalah hukuman dariku ini!
Bersiaplah!" Dewi Tangan Merah segera mengeluarkan
ilmu andalannya, 'Tangan Pasir Merah', yang telah meng-
angkat namanya dalam dunia persilatan! Pelahan-lahan
kedua tangannya mulai memerah hingga sebatas siku.
Hawa panas pun mulai menebar dari kedua belah lengan
yang memerah itu.
"Haittt...!" dibarengi sebuah teriakan nyaring. Dewi
Tangan Merah segera melancarkan serangan yang
mengandung hawa panas.
Setan Cantik ternyata sudah pula mempersiapkan ilmu
andalan untuk menghadapi lawan yang sudah beberapa kali
bentrok dengannya itu. Dengan jurus 'Setan Cantik
Menolak Rayuan', tubuhnya segera melesat memapak
serangan lawan. Dan tanpa dapat dicegah lagi, kedua
pasang tangan mungil namun berhawa maut itu pun
berbenturan di udara.
Dubbb!
"Aihhh...!"
Terdengar suara bagaikan api disiram air, berbareng
terpentalnya dua sosok tubuh ramping beberapa tombak
ke belakang. Juga, terdengar jeritan tertahan yang keluar
dari mulut Setan Cantik. Tubuhnya terbanting ke tanah,
namun dengan gerakan gesit segera melenting berdiri.
Meski gerakannya tedihat sedikit limbung, tapi sama sekali
tidak mengalami luka di tubuhnya. Hanya tangan bajunya
yang hancur, akibat benturan tadi.
Dewi Tangan Merah yang tidak kurang suatu apa itu,
kembali menyerang ganas Setan Cantik itu. Maka wanita
dari golongan sesat itu segera menyambutnya. Seketika
pertarungan dua wanita yang sama-sama cantik itu
kembali terjadi. Semakin sengit dan mendebarkan!
Jurus demi jurus berlalu cepat. Dan tanpa disadari
keduanya, mereka telah bertempur lebih dari lima puluh
jurus. Dan setelah melewati jurus kelima puluh lima, jelas
terlihat bahwa Dewi Tangan Merah mulai dapat
menguasai lawannya. Gadis yang bernama Sundari itu
memaksa lawannya untuk bermain mundur, tanpa sekali
pun memberi kesempatan membalas. Hingga satu ketika,
Setan Cantik terpaksa harus merelakan hantaman
mengandung tenaga 'Pasir Merah' mampir di punggung-
nya.
Bukkk!
"Aughhh...!" tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Setan
Cantik terpelanting keras. Tokoh sesat itu langsung
memuntahkan darah agak kehitaman akibat pukulan yang
dilontarkan Dewi Tangan Merah. Belum lagi Setan Cantik
berhasil memperbaiki kuda kudanya, tahu-tahu tubuh
Dewi Tangan Merah sudah melayang ke arahnya disertai
sebuah tendangan maut!
Desss!
"Ngkkk…!" tubuh Setan Cantik terjerembab ke
belakang, ketika tendangan terbang yang dilakukan
Sundari tepat bersarang di dadanya! Setelah menggeliat
sejenak, tubuh molek itu pun diam tak bergerak lagi. Dia
tewas di tangan Sundari setelah melalui pertempuran
melelahkan.
Baru saja Sundari dapat menarik napas lega, tiba-tiba
terdengar sebuah jeritan keras. Di susul kemudian dengan
jatuhnya sesosok tubuh tegap di samping Dewi Tangan
Merah. Gadis itu segera memburunya dengan wajah
cemas.
"Kakang Wija, kau tidak apa-apa?" seru Dewi Tangan
Merah sambil mengangkat tubuh yang tergolek di
sampingnya itu.
Orang yang di panggil Wija itu segera berusaha bangkit
dengan susah payah. Rupanya, dia adalah Pendekar Tangan
Sakti yang bernama Wijasena. Memang, dia tadi memilih
lawan Ular Muka Kuning untuk bertarung. Dan laki-laki
bermuka kuning itu memang masih sedikit lebih unggul
dari Pendekar Tangan Sakti. Pada kenyataannya, dia telah
berhasil mendaratkan pukulan pada lambung Pendekar
Tangan Sakti pada saat memasuki jurus keempat puluh
sembilan.
Dewi Tangan Merah yang tengah berusaha menolong
Pendekar Tangan Sakti, merasa terkejut sekali ketika
merasakan sambaran angin tajam menuju ke arahnya.
Cepat dikerahkan 'Tenaga Sakti Pasir Merah' yang disertai
dorongan telapak tangannya sambil mengerahkan jurus
'Tangan Pasir Merah', ke arah sambaran angin keras itu.
Bresss!
"Aiii...!" Dewi Tangan Merah berseru tertahan ketika
merasakan betapa kuatnya tenaga yang terkandung dalam
serangan lawan. Tubuhnya terdorong sejauh tujuh
langkah. Lengannya terasa bergetar dan nyeri akibat
benturan itu.
Sedangkan Ular Muka Kuning hanya terdorong sejauh
empat langkah. Dari sini saja sudah dapat dinilai bahwa
kepandaian laki-laki bermuka kuning itu lebih tinggi
setingkat daripada Dewi Tangan Merah. Dan tentu saja hal
itu membuat Ular Muka Kuning semakin berani
melontarkan serangan-serangan, sehingga membuat Dewi
Tangan Merah kewalahan.
Di arena lain, Setan Muka Seribu tengah berusaha mati-
matian menyelamatkan diri dari ancaman cakar naga yang
dilancarkan Pendekar Naga Putih. Gerakan pemuda sakti
itu, benar-benar membuatnya kelabakan. Sebab ke mana
saja tubuhnya mengelak, selalu saja tangan pemuda itu
seolah-olah berada dekat tubuhnya. Sehingga Setan Muka
Seribu merasa seperti bertarung melawan bayangannya
sendiri. Tidak bisa dipungkiri, betapa ngeri hatinya meng-
hadapi kenyataan seperti itu.
Hingga pada jurus yang ketiga puluh satu, Setan Muka
Seribu tidak dapat lagi menghindari sebuah hantaman ke
arah lambungnya. Kedua tangan Pendekar Naga Putih
dengan jari-jari terbuka itu berkesiut membeset udara,
dan kecepatannya sukar ditangkap mata biasa.
Wukkk!
Tasss!
"Aughhh...!"
Tubuh Setan Muka Seribu terguling ketika jari-jari
tangan Panji yang dialiri 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan',
tepat menghantam lambungnya. Untunglah tenaga dalam
yang dikerahkan Panji hanya separuhnya. Tubuh Jangkung
itu terbungkuk-bungkuk menahan rasa nyeri yang luar
biasa pada lambungnya. Giginya bergemeletukkan bagai
orang kedinginan! Rupanya hawa dingin dari tenaga sakti
Panji, ikut pula menambah beban orang tua yang
menyamar sebagai Algojo Gunung Sutra itu.
Dan sebelum Setan Muka Seribu dapat mengatasi
keadaan, sebuah totokan maut telah melumpuhkan
seluruh urat saraf di tubuhnya. Seketika tokoh itu ambruk
bagaikan sehelai karung basah, akibat totokan Panji.
Namun baru saja Pendekar Naga Putih akan mem-
bawanya, tiba-tiba terdengar suara mencicit tajam, dan
dibarengi lesatan sesosok tubuh kurus ke arah Panji.
Menghadapi serangan yang mengandung tenaga dahsyat
itu, Panji tidak ingin menanggung resiko. Cepat-cepat
kedua tangannya bergerak disertai pengerahan tenaga
saktinya. Serangkum angin dingin menebar menyongsong
angin tajam tadi. Dan....
Blarrr!
Hebat luar biasa akibat benturan dua gelombang tenaga
sakti yang dahsyat itu! Ular Muka Kuning, Dewi Tangan
Merah, dan Pendekar Tangan Sakti yang bertarung tidak
jauh dari tempat benturan tadi, langsung terjengkang ke
belakang. Memang, secara tiba-tiba saja dirasakan sesuatu
yang tak tampak telah menggetarkan dada mereka.
Sehingga, jalan napas seolah-olah tertutup getaran udara
yang ditimbulkan benturan dua gelombang tenaga dahsyat
tadi. Sejenak ketiganya sama-sama terdiam dengan wajah
memucat!
Sedangkan kedua orang yang mengalaminya secara
langsung, tentu saja akibatnya lebih hebat lagi. Tubuh
mereka masing-masing terpental ke belakang bagai sehelai
daun kering tertiup angin. Dan masing-masing pula
menabrak sebatang pohon hingga tumbang! Dengan
gerakan limbung, keduanya segera bangkit dan sating
menatap tajam. Di mata mereka masing-masing terpancar
rasa kagum yang tak dapat disembunyikan
"Bocah setan! Gila! Tidak kusangka tenaga dalammu
ternyata begitu kuat! Huh! Hampir saja aku dipecundangi
dalam segebrakkan tadi."
Terdengar umpatan dari sosok bertubuh kurus dengan
suara yang melengking tinggi. Tubuhnya yang hanya
setinggi telinga Panji itu, tampak telah bongkok. Dari ciri-
cirinya saja sudah dapat diduga kalau sosok itu adalah
seorang nenek tua yang usianya sekitar enam puluhan
tahun. Nenek itu terus mengomel panjang pendek tanpa
mempedulikan yang lainnya.
"He he he.... Tidak percuma kau berjuluk Pendekar
Naga Putih, bocah! Tenagamu lumayan. Eh murid
siapakah kau, bocah?" tanya nenek bongkok itu sambil
tersenyum. Namun senyum yang menurutnya adalah
senyum yang paling manis itu, tidak lebih dari sebuah
seringai yang membuat wajahnya semakin tak sedap
dipandang.
"Hm.... Kau sudah mengenalku sebagai Pendekar Naga
Putih, itu sudah cukup. Dan tidak perlu lagi bertanya-
tanya tentang guruku! Sebaiknya segeralah kau sebutkan
namamu, dan apa maksudmu mencampuri urusanku?"
ucap Panji yang tidak menanggapi pertanyaan nenek
bongkok itu, tanpa rasa gentar sedikit pun!
"Kurang ajar, bocah sombong! Apa dikira setelah kau
mendapat julukan Pendekar Naga Butut dapat berbuat
sesuka hati di hadapan Nyai Serondeng?! Huh! Kau
memang harus merasakan kerasnya tongkat hitamku. Nah,
bersiaplah bocah!" dengus nenek bongkok yang mengaku
bernama Nyai Serondeng itu, sambil melintangkan
tongkatnya di depan dada. Terdengar angin berkesiutan
ketika nenek itu menggerakkan tongkatnya secara
mendatar. Tentu saja hal itu semakin membuat Panji
terkejut dan berhati-hati. Tanpa membuang-buang waktu
lagi, segera dicabut pedang yang selalu melilit di pinggang-
nya.
Singgg!
Suara pedang di tangan Panji mengaung membelah
udara. Panji yang telah merasakan kelihaian lawannya,
rupanya tidak ingin mau main-main lagi. Kini dengan
pedang di tangan, Pendekar Naga Putih siap-slap meng-
hadapi serangan lawan.
Sementara itu, Nyai Serondeng sudah memutar-mutar
tongkatnya di atas kepala. Hebat, luar biasa! Tiba tiba saja
arena pertempuran, bagaikan dilanda angin topan dahsyat!
Daun-daun kering dan debu beterbangan akibat angin yang
ditimbulkan putaran tongkat Nyai Serondeng. Benar-
benar seorang lawan yang tangguh buat Panji!
"Hebat! Siapakah sebenarnya nenek ini? Dan apa
hubungannya dengan Setan Muka Seribu? Mengapa setiap
kali Setan Muka Seribu dalam bahaya, ia selalu muncul
untuk menolongnya?" gumam Panji, dalam hati.
"Kakang Panji, berhati-hatilah. Kepandaian nenek itu
sangat tinggi. Bahkan menurut guruku, kepandaiannya
lebih tinggi dari beliau sendiri!" Dewi Tangan Merah
memperingatkan Panji, sambil menggenggam tangan
pemuda digdaya itu.
Sementara itu, Pendekar Tangan Sakti yang juga telah
berada dekat Panji, menjadi heran sekali. Karena, dalam
seharian ini saja, ia telah bertemu tokoh-tokoh sakti yang
jarang dilihatnya. Sejenak ia termenung memikirkan
kejadian sebenarnya yang telah menimpa Perguruan
Gunung Salaka, sehingga melibatkan sedemikian banyak
orang berkepandaian tinggi?!
***
LIMA
"Yeaaattt...!"
Diiringi sebuah pekikan panjang yang melengking
nyaring, tubuh Nyai Serondeng melayang cepat bagai kilat
ke arah Panji. Tongkat kepala ularnya menderu-deru dan
berputar membentuk gulungan sinar yang berwarna
kehitaman. Dan tahu-tahu saja, ujung tongkat itu telah
meluncur ke dada Panji disertai suara mencicit tajam.
Pendekar Naga Putih yang telah menduga kehebatan
lawannya, melenting ke atas dibarengi tusukan pedangnya
yang mengancam ubun-ubun lawan. Namun dengan
gerakan cepat luar biasa, tahu-tahu tongkat di tangan
lawan telah berputar menangkis tusukan pedangnya. Panji
yang mengetahui kalau posisinya sangat lemah dalam adu
tenaga, segera menarik pulang senjatanya. Tubuhnya
langsung berputar melampaui kepala lawan sambil
melepaskan tiga buah tendangan berturut-turut
Plak! Plak! Plak!
Hebat! Dengan gerakan mengagumkan, Nyai
Serondeng menggerakkan tangan sebanyak tiga kali. Maka
serangan Panji kandas akibat tangkisan nenek sesat itu.
Diam-diam perempuan itu terkejut juga ketika tangannya
yang dipakai menangkis tadi terasa kesemutan.
"Hm.... Pemuda ini benar-benar berisi," puji Nyai
Serondeng dalam hati.
Sedangkan Panji yang menerima tangkisan itu menjadi
kaget ketika dari telapak tangan si nenek berhembus
serangkum angin yang berhawa panas. Dan ini sempat
membuat kakinya terasa nyeri untuk beberapa saat.
"Gila! Tenaga nenek itu ternyata lebih hebat dari
dugaanku semula!" gerutu Panji bernada penasaran.
Namun di balik rasa penasarannya, timbul pula
kegembiraan karena saat ini telah menemukan lawan yang
benar-benar tangguh. Dan sebagaimana sifat-sifat ahli silat
pada umumnya, rupanya Panji pun telah pula bersifat
demikian. Dia selalu ingin mencoba apabila ada orang
yang memiliki kepandaian silat sebanding, atau bahkan
lebih darinya. Dan untuk pertama kalinya, Panji telah pula
terbawa sifat seperti itu tanpa disadarinya. Maka ketika
merasakan kepandaian Nyai Serondeng yang belum tentu
berada di bawah kepandaiannya, timbullah semangat Panji
untuk menguji ilmunya.
Sementara itu, Nyai Serondeng kembali sudah
menerjang mempergunakan tongkat kepala ularnya.
Gagang tongkat itu berkelebat menyambar-nyambar
tubuh lawan. Udara di sekitar arena pertarungan bagaikan
bergetar, setiap kali tongkat berkepala ular itu bergerak
bersilangan.
Hawa sedingin salju berhembus bila Panji mengibaskan
pedangnya. Namun di lain saat, hawa di arena pertarungan
segera berubah panas, karena hawa yang keluar dari
sambaran-sambaran tongkat berkepala ular milik Nyai
Serondeng!
Setelah merasakan kelihaian perempuan tua itu, kini
Panji tidak ingin main-main lagi. Dengan mengerahkan
hampir seluruh tenaga dalamnya, pemuda itu segera
menyambut dan membalas serangan Nyai Serondeng.
Maka terjadilah pertarungan dahsyat dan mendebarkan.
Kabut putih keperakan yang selalu menyelimuti tubuh
Panji, semakin melebar karena pengerahan tenaga dalam
yang hampir sepenuhnya itu. Hawa sedingin salju ber-
hembus di sekitar arena pertarungan. Namun di lain saat,
hawa di arena pertarungan segera berubah panas, karena
hawa yang keluar dari sambaran-sambaran tongkat
berkepala ular milik Nyai Serondeng.
Lima puluh jurus telah terlewati. Sampai saat ini, sama
sekali belum terlihat siapa yang akan memenangkan per-
tarungan tingkat tinggi itu. Sedangkan arena pertarungan
sudah porak-poranda akibat terlanggar senjata senjata
mereka. Daun-daun pohon di sekitarnya berjatuhan
karena pukulan maupun sambaran senjata masing-masing.
Pada jurus yang kelima puluh delapan, Panji mulai
melihat kelemahan pertahanan lawan. Segera saja
ditusukkan pedangnya dengan penuh tenaga!
Siiinggg!
Suara angin pedang Pendekar Naga Putih mencicilt
tajam disertai hembusan angin yang menggigilkan tubuh.
Dan kalau saja serangan itu mengenai sasaran dapat
dipastikan akan tamatlah riwayat Nyai Serondeng!
Namun, Nyai Serondeng bukanlah tokoh sembarangan.
Kepandaian nenek kurus ini, hebat sekali. Sehingga,
tokoh-tokoh sesat seperti Ular Muka Kuning atau Setan
Muka Seribu, sangat takut dan tunduk kepadanya. Dan
selama puluhan tahun Nyai Serondeng berkeliaran di
rimba hijau, entah telah berapa ratus nyawa yang telah
direnggutnya secara kejam. Memang, karena kepandaian-
nya yang tidak lumrah itu, sehingga nenek kurus itu di
juluki Nenek Tongkat Maut. Bahkan telah diangkat sebagai
datuk sesat di wilayah Selatan. Jadi tidak heran kalau ia
dapat mengimbangi permainan Panji. Bahkan bukan tidak
mungkin kalau kepandaian keduanya berimbang!
Nyai Serondeng terkejut ketika melihat pedang lawan-
nya meluncur cepat ke arahnya. Karena tidak melihat jalan
lain, perempuan itu segera menyabetkan tongkatnya me-
mapak pedang Panji.
Tranggg!
Bunga api berpijar ketika dua buah senjata yang sama-
sama dialiri tenaga dalam tinggi itu, saling berbenturan di
udara. Tubuh Panji dan Nyai Serondeng terpental akibat
benturan yang maha dahsyat itu! Kedua orang sakti itu
langsung berputaran beberapa kali di udara untuk
mematahkan daya dorong benturan itu. Begitu mendarat
di tanah, mereka segera memeriksa senjata masing-
masing. Setelah memastikan kalau tidak mengalami
kerusakan, kedua orang itu kembali saling bertatapan
bagaikan dua ekor ayam jantan yang hendak berlagak.
"Hm.... Sayang, aku tidak mempunyai banyak waktu,
bocah! Biarlah lain waktu kita lanjutkan permainan yang
menyenangkan ini," begitu ucapnya selesai, Nyai
Serondeng melemparkan sebuah benda sebesar telur
puyuh.
Darrr!
Pendekar Naga Putih Panji segera melenting ke
belakang untuk menghindari asap pembius yang
dilemparkan perempuan itu. Demikian pula Dewi Tangan
Merah dan Pendekar Tangan Sakti yang sudah melompat
jauh ke belakang, menghindari gulungan asap tebal yang
berwarna putih.
Panji mengerutkan keningnya. Ketika asap itu hilang,
hilang pula tiga orang musuhnya. Dan itu berarti lenyap
pula petunjuk yang semula berada di depan mata. Pemuda
sakti itu merasa terpukul, karena untuk kedua kalinya
kembali terkecoh oleh Nyai Serondeng. Dengan diikuti
Dewi Tangan Merah dan Pendekar Tangan Sakti, Panji
mengayunkan langkahnya meninggalkan bekas arena
pertarungan. Kini di tempat itu kembali sunyi, seperti
tidak pernah terjadi apa apa. Yang ada kini hanya mayat
Setan Kali Gantang dan anak buahnya, ditambah murid
murid Perguruan Gunung Salaka Bau anyir darah mulai
menyebar ke sekitarnya.
***
Pendekar Naga Putih, Dewi Tangan Merah, dan
Pendekar Tangan Sakti berjalan memasuki sebuah mulut
desa. Jalan utama desa itu, tampak agak sepi. Di kanan kiri
jalan, teriihat kedai-kedai makan yang hanya dikunjungi
beberapa orang saja. Maklumlah hari mulai beranjak sore,
sehingga para petani dan pedagang belum lagi menyelesai-
kan tugasnya. Masing-masing masih disibuki pekerjaannya.
Ketiga orang pendekar itu melangkah memasuki
sebuah kedai makan yang letaknya agak di sudut jalan.
Mereka sengaja memilih kedai yang terlihat agak sepi, agar
dapat menikmati hidangan dengan tenang.
Setelah mengambil tempat, ketiganya segera memesan
makanan. Sebentar kemudian makanan tiba, dan mereka
segera menyantapnya pelahan-lahan. Tidak satu pun dari
ketiganya yang mengeluarkan suara. Entah sedang
menikmati hidangan yang terasa lezat, atau tengah
melamun. Tidak ada seorang pun yang mengetahuinya.
Setelah menyelesaikan makan, Panji menggerakan
tangannya memanggil pelayan yang tadi mengantarkan
makanan untuk mereka.
"Paman, apakah kedai ini juga menyediakan kamar
menginap?" tanya Panji kepada pelayan setengah tua.
"Oh! Ada... ada, Tuan Muda. Apakah Tuan bertiga
ingin menginap di sini?" sahut palayan tua itu dengan
wajah gembira. Wajarlah kalau dia merasa gembira sebab
jarang sekali orang yang mau menginap di tempatnya.
Pedagang-pedagang keliling atau pun pelancong, lebih
suka memilih penginapan yang besar dan bagus.
Panji memesan dua buah kamar. Satu untuk Sundari
dan satu lagi untuk dirinya dan Pendekar Tangan Sakti
atau yang bernama Wijasena. Begitu selesai makan,
ketiganya segera beranjak dari meja. Dan memasuki
kamar yang telah disediakan.
Di dalam kamar penginapan, Wijasena yang semula
hendak bertanya pada Panji segera mengurungkan niatnya.
Ternyata dia melihat pemuda sakti itu tengah melakukan
semadi. Dari desah napasnya yang halus, Wijasena tahu
kalau pemuda itu telah tenggelam dalam semadinya. Maka
segera diurungkan niatnya semula. Terdengar helaan napas
beratnya. Sesaat kemudian, Pendekar Tangan Sakti pun
merebahkan tubuhnya di atas balai-balai yang beralaskan
tikar pandan.
Pikiran Wijasena mengembara, mengingat kejadian-
kejadian yang baru saja dialaminya.
"Mengapa para penghadang itu tahu kalau aku adalah
salah seorang murid Gunung Salaka? Dan mengapa pula
mereka mengetahui bahwa aku berniat mengunjungi
perguruan? Apakah betul kalau merekalah yang mem-
bunuh Ki Surya Kencana? Kalau benar, mengapa Ki
Tunggul Jagad dan Ki Sukma Kelana mendiamkan saja hal
Itu? Apa sebenarnya di balik semua peristiwa Ini?"
Berbagai pertanyaan tanpa jawaban, terus terngiang di
telinga Pendekar Tangan Sakti yang masih belum mengerti
sesuatu yang telah terjadi di perguruannya. Dan hal itu
semakin menambah penasaran hati Pendekar Tangan
Sakti.
"Hm.... Apa pun yang terjadi, aku akan berusaha
menyelidiki hal ini sampai tuntas!" janji Pendekar Tangan
Sakti dalam hati.
Sementara di luar malam semakin larut. Angin ber-
hembus sepoi-sepoi. Pendekar Naga Putih Panji yang
semula tengah bersemadi, telah tertidur pulas di atas balai.
Demikian pula halnya Wijasena.
Sedangkan Dewi Tangan Merah Sundari yang berada di
kamar sebelah, tampak tengah mondar-mandir seperti
memikirkan sesuatu. Entah mengapa, Sundari merasa
gelisah sekali malam ini. Sebentar-sebentar terdengar
helaan napasnya yang berat dan panjang. Kedua tangannya
diremas-remas tanpa sebab. Gadis itu coba merapatkan
telinganya ke dinding untuk mendengar suara suara dari
kamar sebelah yang ditempati dua orang kawannya.
Namun, ia kecewa ketika telinganya hanya menangkap
tarikan napas halus dari Panji dan Wijasena.
"Hm... Apakah mereka tidak merasa gelisah sepertiku,
hingga berdua dapat terlelap seenaknya," gumam Dewi
Tangan Merah heran. Memang baik Panji maupun
Wijasena sama sekali tidak merasakan kegelisahan seperti
yang dialaminya saat ini. Karena tidak tahu harus berbuat
apa, maka Sundari memutuskan untuk bersemadi agar
tenaganya tidak terbuang percuma.
Lewat tengah malam, terdengar suara anjing hutan
bersahut-sahutan. Suara salakan anjing hutan yang
meramaikan suasana malam itu, terasa bagaikan suara-
suara iblis yang bergentayangan mencari mangsa. Angin
dingin berkesiur membawa titik-titik air, sehingga suasana
malam semakin menyeramkan.
Di tengah kegelapan malam yang hanya diterangi
cahaya bulan sabit itu, tampak lima sosok bayangan hitam
mengendap-endap menuju penginapan Panji dan dua
orang rekannya. Gerakan kelima bayangan hitam itu
nampak lincah dan gesit. Langkah-langkah kaki mereka
ringan, pertanda ilmu meringankan tubuh mereka terlatih
baik.
Kelima sosok bayangan hitam itu terus bergerak
menuju kamar Panji dan Sundari. Salah seorang dari
mereka menggerak-gerakkan tangannya sebagai isyarat
agar memecah menjadi dua kelompok. Ketika cahaya
bulan sedikit menerangi wajah mereka sekilas, tampak
kain hitam menutupi wajah masing-masing lima bayangan
hitam itu, sehingga sulit dikenali.
Kelompok pertama yang terdiri dari tiga orang itu
melangkah hati-hati ke arah kamar yang dihuni Panji dan
Wijasena. Sedangkan sisanya, menuju kamar Sundari.
Seorang dari tiap kelompok telah menggenggam sebuah
benda yang mirip pipa.
Tiga orang yang menuju kamar Panji, berhenti dan
menempelkan telinganya di dinding kamar. Beberapa saat
kemudian ketika tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan,
salah seorang dari mereka, segera memasukkan benda
sejenis pipa tadi melalui sebuah lubang di sela-sela jendela.
Setelah benda itu masuk, orang itu segera meniupkan
sesuatu ke dalam kamar Panji.
Panji yang semula tengah terlelap itu, tersentak bangun
ketika telinganya yang tajam menangkap sesuatu yang
mencurigakan. Dan pemuda itu menjadi terkejut ketika
melihat segumpal asap berwarna merah menerobos
metalui sela-sela jendela kamarnya. Tanpa berkata apa-
apa, tangannya bergerak memasukkan sebutir pil ke dalam
mulutnya. Kemudian, Panji segera membangunkan
Wijasena sambil menulup mulut pendekar itu.
Diberikannya sebuah pil lain kepada pendekar itu sambil
mengisyaratkan dan menunjuk-nunjuk ke jendela.
Pendekar Tangan Sakti kaget ketika mendapati
kamarnya telah dipenuhi asap berwarna merah, dan
berbau wangi yang memabukkan. Kedua orang pendekar
itu kembali merebahkan diri di atas tempat tidur masing-
masing untuk mengetahui maksud orang-orang yang
mencoba membius mereka.
Tidak berapa lama kemudian, terdengar suara jendela
yang dibuka. Saat pintu jendela terbuka, tiga sosok tubuh
yang mengenakan pakaian berwarna hitam hingga ke
kepala berloncatan masuk tanpa menimbulkan suara yang
mengejutkan. Diam-diam Panji mengagumi ilmu
meringankan tubuh ketiga tamu tak diundang itu.
Tiba tiba hati Panji dan Wijasena tersentak kaget ketika
melihat orang-orang bertopeng itu mencabut senjata
berupa sebatang pedang panjang melengkung.
Kedua orang pendekar itu berusaha menahan diri
untuk mengetahui apa yang diperbuat tiga orang ber-
topeng itu selanjutnya.
Ketiga manusia bertopeng itu menggerak-gerakkan
pedangnya di atas tubuh kedua orang pendekar yang pura-
pura telah terbius itu. Setelah tidak melihat adanya reaksi,
ketiga orang bertopeng itu kembali menyarungkan
senjatanya masing-masing. Dan tentu saja hal ini membuat
kedua orang pendekar itu menjadi lega.
Dan selagi ketiga menusia bertopeng itu menyarungkan
senjatanya, tiba-tiba Pendekar Naga Putih dan Pendekar
Tangan Sakti bergerak secara berbarengan dan tidak
terduga sama sekali! Mereka segera melompat secepat
kilat sambil melepaskan totokan ke arah dua di antara tiga
orang bertopeng itu.
Tentu saja ketiga orang bertopeng itu terkejut setengah
mati! Buru-buru ketiganya berusaha menghindari totokan
yang melumpuhkan itu. Namun biar bagaimanapun ber-
usaha menghindar, tetap saja dua di antara ketiga tamu tak
diundang itu ambruk terkena totokan Panji dan Wijasena.
Sedangkan yang seorang lagi langsung melesat ketika
menyadari kalau tak mungkin dapat menghadapi dua
pendekar itu
Pendekar Naga Putih langsung menghentakkan kakinya
ke lantai, maka seketika tubuhnya melambung melampaui
kepala lawannya. Begitu dua kakinya mendarat di tanah,
tubuh pemuda itu sudah menghadang jalan orang
bertopeng yang hendak melarikan diri.
Bukan main terperanjatnya orang bertopeng itu ketika
melihat mangsanya tahu-tahu telah berada di depannya.
Merasa tidak mungkin lolos, maka dia segera menerjang
Panji dengan ganasnya. Dibarengi sebuah bentakan
nyaring, tubuh manusia bertopeng itu meluncur ke depan
sambil membabatkan pedang.
Wuttt!
Panji merendahkan kuda-kudanya sehingga pedang
lawan lewat hanya beberapa rambut di atas kepalanya.
Sebelum lawannya sempat merubah posisi, tangan Panji
telah mencengkram ke arah bahu lawan. Namun meskipun
kalap, rupanya orang bertopeng itu masih juga mampu
mengontrol dirinya. Maka bergegas ditarik kaki kanannya
ke belakang dibarengi gerakan tubuh, sehingga bobot
tubuhnya ke belakang. Untunglah, serangan Panji pun
berhasil dielakkannya
Tapi kegembiraan orang bertopeng itu rupanya tidak
berlangsung lama. Sebab, Panji sudah dapat menduga
gerakan lawan. Maka ketika orang bertopeng itu meng-
geser tubuhnya ke belakang, tahu-tahu saja tangan kin
Panji telah menotok dadanya secara cepat luar biasa.
Tukkk! Tukkk!
"Aaaahkkk...!"
Orang bertopeng itu mengeluh pendek ketika totokan
Panji mengenai tubuhnya. Dan tanpa dapat dicegah lagi,
tubuh yang terbungkus pakaian hitam itu ambruk dalam
keadaan lumpuh. Mata di balik kain hitam itu bergerak
liar, sekejap kemudian memerah seperti darah! Terdengar
suara mengorok dibarengi keluarnya darah berwarna
hitam dari mulut si orang bertopeng yang telah lumpuh.
Bukan main terkejutnya Panji melihat kejadian yang
sama sekali tidak disangka itu. Bergegas pemuda sakti itu
mendekati lawannya yang dalam keadaan sekarat itu.
Sekali pandang saja Panji tahu kalau nyawa orang itu sudah
tidak mungkin dapat diselamatkan lagi.
"Gila! Ia lebih suka menelan racun ganas daripada
rahasianya diketahui. Hm..., siapakah mereka dan apa
maksud sebenarnya? Mengapa tidak langsung membunuh-
ku saja tadi? Atau kah mereka ditugaskan untuk
menangkapku hidup-hidup?" desah Panji tak mengerti.
Dan begitu Pendekar Naga Putih teringat kepada dua
orang yang telah dilumpuhkan tadi, bergegas pemuda itu
berlari ke arah kamarnya. Dua orang tawanan tadi
memang masih ditunggui Pendekar Tangan Sakti
Tetapi apa yang dilihat Panji adalah dua sosok mayat
yang telah menghitam tengah dipandangi Pendekar
Tangan Sakti. Wajah Wijasena membayangkan penasaran
yang mendalam. Memang, baik Panji maupun Wijasena
sama sekali tidak mengetahui apa dan siapa mereka
sebenarnya?
"Mereka telah tewas beberapa saat yang lalu setelah
kau pergi, Panji. Maafkanlah aku, karena tidak sempat
mencegah perbuatan mereka," ucap Pendekar Tangan
Sakti dengan wajah murung.
"Ah! Semua ini bukan kesalahanmu, Wijasena. Aku
pun mengalami kejadian seperti itu, mereka lebih suka
man daripada rahasianya diketahui," sahut Panji, pelan.
"Oh! Bagaimana dengan Dewi Tangan Merah? Ah,
mengapa aku telah melupakannya...?!"
Tiba-tiba Panji teringat akan Sundari. Tanpa berkata
apa-apa lagi, pemuda itu segera menggenjot tubuhnya ke
arah kamar gadis jelita itu.
Pendekar Naga Putih tercekat hatinya ketika mendapati
kamar Sundari ternyata telah kosong. Panji berdiri tegak
memperhatikan setiap sudut kamar ini. Tampaklah
buntalan pakaian gadis itu masih tergeletak di atas tempat
tidurnya.
"Mana Sundari, Panji?" tanya Pendekar Tangan Sakti
begitu tiba di situ.
"Entahlah. Tapi aku yakin, ia masih berada di sekitar
penginapan ini. Rasanya tidak mungkin ia..., Hei!
Wijasena! Tidakkah kau mendengar suara orang ber-
tempur?!" seru Panji tiba-tiba sehingga Pendekar Tangan
Sakti sampai terlonjak kaget. Tanpa menunggu kawannya.
Panji segera melesat cepat luar biasa, menuju suara
pertempuran tadi berasal.
Beberapa saat kemudian, Pendekar Naga Putih sudah
tiba di tempat Dewi Tangan Merah tengah bertarung
melawan dua orang bertopeng. Dari kejauhan, teriihat
kalau kedua orang bertopeng itu mulai terdesak oleh
pedang yang bersinar kehijauan di tangan Dewi Tangan
Merah. Gulungan sinar kehijauan makin lama semakin
mempersempit ruang gerak dua orang lawannya
Brettt!
"Aaakkkhhh...!" salah seorang dari dua orang ber-
topeng itu tidak sempat menghindari sambaran pedang
gadis itu. Orang itu menjerit kesakitan dan tubuhnya pun
terguling, menyemburkan darah segar yang keluar dari
luka di perutnya. Sebentar dia meregang nyawa, lalu
tewas dengan mata mendelik!
"Sundari, jangan bunuh...!" teriak Panji yang disertai
luncuran tubuhnya menuju arah pertempuran! Selagi
tubuhnya mengudara, pemuda itu langsung melancarkan
totokan ke arah leher lawan Sundari.
Dewi Tangan Merah segera menarik pulang senjatanya
ketika mendengar teriakan Panji. Dan begitu melihat
sesosok bayangan putih melesat ke arena pertempuran,
gadis itu pun menggeser tubuhnya untuk memberi
peluang kepada pemuda itu.
Tukkk!
Tubuh orang bertopeng itu kontan ambruk ketika
totokan tangan Panji mengenai leher dan tubuhnya. Dan
dengan sigap, Panji segera memburu ke arah orang itu.
Segera dibukanya mulut orang bertopeng itu secara paksa.
Dari mulut orang itu, Panji menemukan racun yang
tertanam di gusi. Cepat-cepat Panji mengeluarkan racun
dengan mengerahkan tenaga saktinya, sehingga orang itu
tidak merasa sakit.
Begitu racun yang berada di mulut orang itu telah
dibuang, bergegas pemuda itu membebaskan totokan pada
leher lawan.
"Hm.... Sekarang tidak akan lolos lagi dari tanganku!
Katakan apa tujuanmu memasuki kamarku?" tanya Panji
setelah membebaskan totokan pada leher manusia
bertopeng itu. Ternyata biarpun sudah tidak berdaya,
namun orang itu sama sekali tidak menjawab pertanyaan
Panji. Pendekar Naga Putih itu kembali mengulang per-
tanyaannya. Tapi, orang bertopeng itu tetap saja
membisu.
"Hm..., baiklah! Apakah kau pikir kami tidak bisa
menyiksamu?"
Setelah berkata demikian, tangan Panji bergerak
melakukan totokan kembali. Tiba-tiba orang bertopeng
itu berteriak setinggi langit untuk kemudian bergulingan
ke tanah. Rupanya totokan yang dilakukan Panji barusan
menimbulkan rasa sakit luar biasa pada diri orang itu.
"Oh... aduuuh... ampuuun... tobaaattt...!" beberapa
waktu kemudian, orang bertopeng itu sudah tidak sanggup
lagi menahan rasa sakit yang menyiksanya. Akhirnya, dia
bersedia untuk memberikan keterangan yang diperlukan
Panji.
"Nah! Begitu kan, lebih baik! Sekarang katakan, siapa
yang telah menyuruhmu untuk menawan kami?" tanya
Pendekar Naga Putih, tegas.
"Kami... kami... ouuuggghhh...!"
Orang bertopeng Itu belum lagi sempat memberikan
jawaban, tiba-tiba sepasang matanya mendelik dan
tubuhnya mengejang! Beberapa saat kemudian, ambruk
dalam keadaan tak bernyawa. Dan ketika Panji memeriksa
ditemukannya tiga batang jarum halus berisi racun ganas
yang tertancap di belakang tubuh orang itu. Alangkah
kecewanya Panji karena sama sekali tidak menduga kalau
akan berakhir demikian. Sedang pada saat itu, ia tengah
mencurahkan perhatian kepada jawaban orang bertopeng
itu maka, sia-sialah usahanya itu.
"Hei, lihat!" tiba tiba Pendekar Tangan Sakti yang juga
telah tiba di tempat itu menjadi terkejut. Ternyata ketika
memeriksa tubuh orang bertopeng itu, ia menemukan
rajahan di dada orang itu yang bertuliskan 'PARTAI
RIMBA HITAM". Selain itu juga terdapat rajahan yang
menggambarkan lambang Partai Rimba Hitam.
"Hm.... Orang-orang bertopeng ini pastilah anggota
partai itu. Dan mungkin ada kaitannya dengan kemelut
yang dihadapi Gunung Salaka," ujar Pendekar Tangan
Sakti pelan, seolah-olah berbicara kepada dirinya sendiri.
"Hhh.... Kemanakah kita harus mencari keterangan
tentang partai yang penuh rahasia itu?" desah Panji
penasaran.
"Benar, memang sulit sekali! Dan petunjuk itu ada
pada Ular Muka Kuning, Setan Muka Seribu, dan Nyai
Serondeng. Hei…! Mengapa tidak didatangi saja
kediaman nenek itu!" seru Dewi Tangan Merah tiba-tiba.
"Eh! Maksudmu, kau mengetahui siapa nenek tua itu,
Sundari!" tanya Panji penuh harap.
"Benar! Aku baru teringat, kalau nenek itu adalah
seorang datuk golongan sesat yang amat ditakuti di dunia
persilatan. Dan ia kini menguasai daerah Selatan. Nah!
Bukankah tidak terlalu sulit untuk mencarinya?" ujar Dewi
Tangan Merah, berseri.
"Kalau begitu, ayolah! Tunggu apa lagi...!" sahut
Pendekar Tangan Sakti sambil mengayunkan langkahnya
meninggalkan tempat itu.
Dewi Tangan Merah dan Panji ikut pula meninggalkan
mayat orang bertopeng itu!
***
ENAM
Keesokan paginya, setelah membayar ongkos penginapan,
Panji, Wijasena dan Sundari bergegas meninggalkan
tempat itu. Dan dari keterangan beberapa orang yang ada
di penginapan, Panji menarik kesimpulan bahwa kediaman
Nyai Serondeng yang berjuluk Nenek Tongkat Maut itu
tidak berada di sekitar daerah itu. Memang tidak ada
seorang pun yang pernah mendengar tentang nenek
tersebut.
Ketiga pendekar itu meneruskan langkahnya menuju
perbatasan desa. Mereka bermaksud mencari keterangan
dari desa-desa yang dilalui. Dan kalau perlu, akan men-
datangi perguruan-perguruan yang ditemui dalam per-
jalanan mereka.
Setelah melakukan perjalanan selama kurang lebih
setengah hari, di hadapan mereka terbentang sebuah
pedesaan diramaikan kesibukan para warganya. Mereka
bergegas memasuki mulut desa, tanpa berkata sepatah
pun. Ketika melihat kedai, Panji melangkahkan kakinya
memasuki kedai makan yang terletak di tepi jalan.
Sedangkan Dewi Tangan Merah dan Pendekar Tangan
Sakti segera mengikuti langkah kaki pemuda itu dari
belakang.
"Hm.... Desa ini tampak cukup ramai. Siapa tahu kita
dapat mencari keterangan di tempat ini," ujar Dewi
Tangan Merah ketika mereka telah duduk di satu meja
sambil menikmati hidangan.
"Sabarlah, Sundari. Biasanya di desa yang cukup ramai
seperti ini, banyak orang usil yang selalu mencari-cari
keributan. Maka kita harus bisa menjaga sikap agar tidak
menarik perhatian," sahut Panji mengingatkan.
"Hm... Bagaimanapun kita bertiga tetap akan menjadi
perhatian orang. Coba perhatikan sekelilingmu, Panji,"
tegas Pendekar Tangan Sakti merendahkan suaranya, agar
tidak terlalu keras terdengar.
Panji segera mengedarkan pandang matanya ketika
mendengar ucapan Wijasena. Dan apa yang dilihatnya
benar-benar membuat terkejut. Ternyata hampir semua
mata para pengunjung kedai makan tengah menatap ke
arah mereka bertiga. Puluhan pasang mata itu kontan
menunduk ketika bertemu pandang dengan pemuda itu.
Karena biar bagaimanapun, pandangan mata Panji tetap
berbeda daripada pandangan mata orang pada umurnya.
Di dalam sinar mata pemuda itu seolah-olah mengandung
suatu pengaruh yang sulit dijabarkan.
"Mengapa mereka... aaahhh. Betapa bodohnya, aku!"
Panji tidak meneruskan kata-katanya ketika secara tak
sengaja memandang wajah Sundari. Dan pada saat itu ia
langsung mengerti, mengapa puluhan pasang mata itu
menatap ke arahnya. Sehingga tanpa sadar, Panji menepuk
dahinya.
"Ada apa, Kakang Panji?" tanya Dewi Tangan Merah
keheranan. Melihat sikap Pendekar Naga Putih yang tiba-
tiba aneh itu.
"Ah! Tidak, tidak ada apa apa," jawab Panji, segera
menyadari perbuatannya. Cepat Panji mengalihkan per-
hatiannya pada hidangan di atas meja untuk menghindari
pertanyaan Sundari lebih lanjut.
Mendadak, para pengunjung kedai makan yang sedang
menikmati hidangan itu serentak menolehkan kepalanya
ke arah pintu, ketika terdengar suara ribut. Tidak lama
kemudian terlihat belasan orang melangkah memasuki
kedai. Sikap mereka tampak sangat kasar.
"Ha ha ha...! Rupanya langgananmu banyak juga,
Gatar! Ayo, cepat. Sediakan uangnya untukku!" bentak
salah seorang dari belasan laki-laki itu.
Setelah berkata demikian, laki-laki itu menarik sebuah
kursi di dekatnya dan langsung menginjakkan sebelah kaki
di atasnya. Sikap laki-laki itu terlihat seperti sudah terbiasa
bertindak demikian. Tampaknya, dia seorang pemungut
upeti bagi para pedagang di desa itu.
"Oh, Tuan Gambalang kiranya. Silakan..., silakan,
Tuan!" seorang laki-laki yang berusia sekitar lima puluh
tahun berlari tergopoh-gopoh menyambut laki-laki yang
dipanggil Gambalang itu. Di tangannya tampak beberapa
keping uang yang rupanya sudah disediakan untuk orang
yang bernama Gambalang itu.
"Hhh! Mengapa hanya segini, Gatar! Bukankah kedai-
mu sudah maju? Mengapa kau semakin pelit saja?! Ayo,
tambah lima keping lagi!" bentak Gambalang dengan suara
mengguntur.
"Tapi..., tapi... Saya betul-betul tidak mempunyai..."
Brakkk!
Sebuah meja di samping Gambalang, langsung hancur
berantakan ketika telapak tangan Gambalang yang kokoh
itu menghantam meja itu dengan kerasnya. Tubuh pemilik
kedai yang bernama Gatar itu menggigil ketakutan.
Wajahnya pucat pasi, bagaikan tak dialiri darah.
"Huh! Dasar orang tidak tahu diuntung! Sekarang,
cepat berikan padaku sepuluh keping lagi! Dan permintaan
akan semakin bertambah setiap kali kau membantah.
Tahu?!" bentak Gambalang dengan wajah merah padam.
Beberapa pengunjung yang semula sedang menikmati
hidangan, cepat-cepat bangkit dan meninggalkan kedai itu
lewat pintu belakang. Sebentar saja kedai makan berubah
menjadi sepi. Hanya tinggal beberapa orang saja yang
masih bertahan, termasuk Pendekar Naga Putih, Dewi
Tangan Merah, dan Pendekar Tangan Sakti.
"Hm.... Tampaknya keadaan akan semakin memburuk,
Panji! Jangan-jangan malah akan menular ke sini!" ujar
Pendekar Tangan Sakti sambil melirik ke arah Sundari
yang juga sedang memperhatikannya. Mata gadis itu
langsung melotot ketika mendengar godaan yang dituju-
kan kepadanya.
"Huh! Hanya seekor cacing tanah, mengapa harus
ribut!" tegas Sundari tanpa mempedulikan kedipan mata
kedua orang temannya yang berusaha untuk mencegah.
Terlambat! Ternyata Gambalang yang memang pada
saat itu tengah memandang ke arah mereka, segera
bangkit ketika mendengar suara Sundari yang memang
ditujukan kepadanya. Dengan langkah lebar, Gambalang
menghampiri meja tempat duduk Panji, Sundari dan
Wijasena.
"Hhh.... Untunglah kau yang mengucapkannya tadi,
Bidadari Cantik! Kalau saja salah satu dari mereka, pastilah
gigi salah satunya sudah tidak di tempatnya lagi!" gertak
Gambalang. Suaranya sengaja diseram-seramkan sambil
menunjuk ke arah Panji dan Wijasena. Sikap yang
ditunjukkan Gambalang itu sebenarnya telah cukup
membuat telinga Pendekar Tangan Sakti memerah, tapi
kemerahannya masih berusaha ditekan, memang dia tidak
ingin mengecewakan Pendekar Naga Putih yang masih
tetap tenang, seolah-olah sama sekali tidak terpengaruh
ejekan-ejekan yang dilontarkan Gambalang. Diam-diam
Wijasena mengagumi sikap Panji yang demikian itu. Sama
sekali amarahnya tidak terpancing, walaupun dihina
sedemikian rupa.
"Setelah kau tahu, bahwa aku yang mengucapkan, kau
mau apa?" tantang Dewi Tangan Merah tanpa rasa takut
sedikit pun!
Memang, kejadian kejadian seperti ini sudah sering
dialami Sundari. Dan kebanyakan dari orang-orang kasar
seperti itu, hanyalah gentong-gentong nasi belaka. Mereka
hanya mengandalkan sedikit kepandaian untuk memeras.
Dan hal itulah yang paling tidak disukai Sundari atau
orang-orang golongan putih umumnya.
"Ha ha ha...! Tentu saja tidak apa apa, Manis," jawab
Gambalang sambil berusaha melemparkan senyum manis
yang dimiliki. Tapi sayang, yang tampak hanyalah sebuah
seringai buas bagaikan serigala lapar. Sementara tangan
lelaki itu sudah pula terulur untuk menyentuh wajah
Sundari.
Melihat sikap Gambalang yang semakin kurang ajar itu.
Sundari tak dapat lagi menahan luapan amarahnya. Hanya
saja gadis itu masih tetap berusaha bersikap masa bodoh,
seolah-olah tidak mengetahui uluran tangan kurang ajar
itu.
Gubrakkk!
"Waaa...!"
Gambalang berteriak ngeri ketika tahu-tahu tubuhnya
terbanting ke lantai dengan kepala terlebih dahulu!
Namun Gambalang bergegas bangkit sambil mengusap-
usap dahinya yang terdapat dua buah benjolan membiru
akibat terbentur kaki meja.
"Bangsat! Rupanya ada yang ingin main-main dengan
Gambalang! Hayo! Tunjukkan wajahmu, pengecut!"
Gambalang berteriak-teriak menantang. Sedangkan
kawan-kawannya sudah berdatangan mendekatinya, se-
telah melihat Gambalang terjatuh tadi. Mereka tidak
mengetahui, siapa yang telah begitu berani membanting
tubuh Gambalang itu.
"Eh, eh! Kau mencari siapa?" tegur Sundari sambil
tersenyum mengejek. Kemudian, gadis itu pun sudah
bangkit berdiri sambil bertolak pinggang di hadapan
Gambalang dan kawan-kawannya.
"Huh! Aku hanya ingin tahu, bagaimana tampang orang
yang telah menjatuhkan diriku secara curang!" jawab
Gambalang yang masih juga memandang berkeliling,
mencari orang yang dimaksud.
"Hei! Mengapa harus susah-susah mencarinya? Bukan-
kah orang yang kau cari ada di depan matamu?" jelas Dewi
Tangan Merah lagi. Senyumnya semakin melebar karena
merasa geli melihat sikap Gambalang yang berdiri
bengong bagai orang kehilangan ingatan.
"Apa... apa maksudmu, Nini? Jangan main-main,"
tegas Gambalang tak percaya pada ucapan Sundari.
Masalahnya, bagaimana mungkin gadis canbk itu dapat
menjatuhkannya, tanpa diketahui. Namun sebelum dia
sadar akan keadaannya, tahu-tahu Sundari mengulurkan
kedua tangannya cepat, sukar diikuti mata. Dan tiba-tiba
tubuh Gambalang kembali terbanting keras!
"Bagaimana, apakah kau masih belum mempercayai
ucapanku?" tanya Dewi Tangan Merah lagi.
Gambalang menjadi terkejut setengah mati. Lagi-lagi
gadis jelita itu tahu-tahu telah menjatuhkan dirinya.
Benar-benar dia tak mampu mencegahnya. Bagai orang
yang masih belum mempercayai apa yang terjadi.
Gambalang mengkerjap-kerjapkan kedua matanya seolah
ingin menghilangkan mimpi buruk dalam tidurnya. Dan
ketika kesadarannya telah kembali, Gambalang menjadi
marah dan terhina sekali atas perlakuan Sundari.
"Hm..., iblis betina! Rupanya kau sengaja ingin
mengacau di daerah kekuasaan kami. Tangkap dia...!"
perintah Gambalang kepada belasan orang kawannya yang
telah bersiap sejak tadi.
Kejadian selanjutnya, belasan orang itu segera bergerak
mengurung Sundari yang merasa belum perlu meng-
gunakan pedangnya. Gadis jelita itu berdiri tegak di
tengah-tengah belasan laki-laki kasar yang mengurungnya.
Sementara Pendekar Tangan Sakti dan Pendekar Naga
Putih telah menyingkir ke tepi tanpa berusaha membantu
Sundari. Mereka melihat, dari gerakan para pengepungnya
rasanya kekuatan lawan sudah dapat ditebak. Dengan
demikian keduanya tidak merasa perlu membantu
Sundari.
"Hiaaa...!"
Diiringi teriakan-teriakan keras, belasan orang yang
dipimpin Gambalang segera menyerbu Sundari dengan
senjata di tangan. Tubuh gadis itu segera berkelebat di
antara sambaran senjata lawan, dan langsung menuju pintu
keluar.
"Kejar...! Jangan biarkan gadis liar itu lolos!"
Gambalang berteriak-teriak memberikan perintah.
Serentak kawan-kawan Gambalang berloncatan keluar
mengejar Dewi Tangan Merah.
"Jangan lari kau, gadis liar!" seru Gambalang ketika
tiba di hadapan Sundari yang telah berdiri tegak, seolah-
olah memang sengaja menantinya.
"Hm.... Siapa yang hendak melarikan diri, monyet
kurap! Aku hanya tidak ingin membuat seluruh isi kedai
berantakan akibat ulah monyet-monyet kurap macam
kalian!" jawab Dewi Tangan Merah, menghina.
"Bangsat! Kubunuh kau perempuan setan...!" sambil
berteriak-teriak marah, Gambalang segera menerjang
Sundari menghunus senjatanya yang berbentuk sebuah
tombak bergolok besar dan terlihat berat.
Wuttt! Wuttt!
Suara desingan golok bergagang tombak itu, menderu-
deru dan menyambar-nyambar di sekitar tubuh Sundari.
Namun lewat sebuah gerakan indah, tahu-tahu tubuh
Sundari telah berada di belakang lawannya. Ini di-
karenakan tingkat kepandaian Gambalang masih terlalu
rendah, sehingga Sundari dapat mudah mengatasinya!
Desss!
"Ngggk...!"
Tubuh Gambalang terjajar ke depan ketika Sundari
yang sudah berada di belakangnya itu menyabetkan sisi
telapak tangannya ke tengkuk Gambalang. Tubuh laki-laki
itu terbanting keras tanpa mampu bangkit lagi. Rupanya
akibat hantaman keras itu Gambalang pingsan seketika.
Menyaksikan pemimpin mereka dalam segebrakan saja
tak berdaya, para pengikut Gambalang kontan mengambil
langkah seribu meninggalkan tempat itu. Diiringi suara
tawa merdu Dewi Tangan Merah, belasan orang itu
pontang-panting terkencing-kencing.
Wijasena dan Panji, segera melangkah menghampiri
Sundari yang tengah berdiri berkacak pinggang menanti
kedatangan mereka berdua.
"Mengapa tidak kau bebaskan saja orang itu, Sundari?"
tegur Wijasena ketika melihat tubuh Gambalang yang
masih tergeletak pingsan di dekat gadis itu.
"Wah! Kakang Wija ini bagaimana?! Bukankah kita
memerlukan orang seperti dia untuk menunjukkan tempat
kediaman Nenek Tongkat Maut yang menjadi datuk kaum
sesat di Selatan ini. Apakah perbuatanku salah?" bantah
Dewi Tangan Merah, ketus.
"Hm..., benar! Mengapa aku menjadi pelupa sekali!
Bukankah orang ini sangat tepat. Memang kalau dilihat
tingkah lakunya, pasti ia salah seorang dari golongan hitam
yang tengah beroperasi. Tapi sayang sekali, kali ini ketemu
batunya!" sahut Wijasena.
"Kalau begitu, mengapa tidak segera dibangunkan.
Tunggu apa lagi?" ujar Panji ikut menimpali.
"Tunggu...! Kakang Panji, apakah kau mengenal dua
orang itu?" tanya Dewi Tangan Merah ketika melihat dua
sosok tubuh yang terpisah agak jauh dari tempat mereka.
Dua sosok tubuh itu tampak tengah memperhatikan tiga
orang pendekar itu tanpa berkedip.
Panji segera melayangkan pandangannya mengikuti
jari-jari tentik Sundari yang menunjuk ke satu arah.
Jaraknya kira-kira sejauh seratus tombak dari tempat
mereka berada. Semakin diperhatikan, semakin keras
debaran dalam dada Panji. Mereka pun baru beberapa hari
kenal, namun sudah dihapalnya ciri-ciri kedua orang itu.
Namun Panji juga sedikit ragu-ragu masalahnya, jaraknya
cukup jauh juga. Apalagi tempat kedua orang Itu berdiri
agak tertutup pepohonan sehingga semakin meragukan
hati pemuda itu
Karena rasa penasaran yang meluap-luap, maka Panji
melangkahkan kakinya mendekati dua sosok tubuh itu.
Dengan penuh ketegangan, Pendekar Naga Putih tersebut
terus melangkahkan kakinya menuju semak-semak tempat
kedua orang itu berada. Belum lagi jauh Panji melangkah,
tiba-tiba dua sosok tubuh yang terlindung bayangan
pepohonan itu melesat dan menghilang di balik
pepohonan. Cepat-cepat Panji mengerahkan kemampuan
ilmu meringankan tubuh untuk mengejar dua bayangan
yang dicurigainya itu. Namun sampai lelah mencari, kedua
sosok bayangan itu tidak dapat ditemukan, seolah-olah
lenyap ditelan bumi.
"Siapakah mereka, Kakang? Mengapa terlihat begitu
tegang?" tanya Dewi Tangan Merah ketika pemuda itu
telah tiba di tempat semula.
Pendekar Tangan Sakti diam-diam merasa heran
melihat sikap Panji yang seolah-olah seperti terpukul
ketika tidak dapat menemukan dua orang yang belum
diketahui secara pasti itu.
"Aneh! Siapakah sebenarnya kedua orang tadi? Dan
mengapa tiba-tiba saja pemuda itu menjadi tegang, seolah-
olah memang dapat menduga dua orang itu? Aneh, apa
sebenarnya yang terjadi terhadap pemuda digdaya yang
mengagumkan itu?" gumam Wijasena tak jelas.
"Entahlah, Sundari! Tapi sepertinya mereka itu...
aaahhh! Mana mungkin! Lagipula mengapa mereka seperti
sengaja menghindar dariku!" desah Panji, yang pikirannya
menjadi kacau. Dan tanpa berkata-kata lagi, pemuda itu
melangkah melewati Sundari yang hanya memandang
heran. Memang, gadis itu tidak mengerti, apa yang tengah
dialam pemuda yang menarik hatinya itu sebenarnya.
Dewi Tangan Merah dan Pendekar Tangan Sakti tidak
bertanya-tanya lagi, karena keduanya merasa maklum
kalau saat-saat seperti ini, Panji benar-benar tidak ingin
diganggu berbagai macam pertanyaan. Dan, memang
sebaiknya kalau pada saat seperti itu adalah diam.
Ketiga orang pendekar itu kembali meneruskan niatnya
semula untuk mengorek keterangan dari Gambalang.
***
TUJUH
Setelah mendapat keterangan dari Gambalang tentang
kediaman Nyai Serondeng, maka tiga pendekar itu ber-
gegas mengunjunginya. Sedangkan Gambalang dilepaskan
dengan ancaman, apabila kembali melakukan kejahatan,
Dewi Tangan Merah akan kembali untuk mengambil
kepalanya!
Dan Gambalang terpaksa harus menuruti kemauan
Dewi Tangan Merah itu. Masalahnya, dia telah merasakan
bagaimana dibuat tak berdaya hanya dalam segebrakan
saja. Hal ini tentu saja membuat Gambalang tidak berani
bertindak macam-macam.
"Apakah kita harus datang secara terus terang,
Kakang?" tanya Dewi Tangan Merah kepada Panji yang
berjalan di sebelahnya.
"Entahlah. Menurutmu, bagaimana Sundari?" ujar
Panji balik bertanya. Sehingga untuk beberapa saat lama-
nya Dewi Tangan Merah terdiam untuk mencari jalan
yang terbaik bagi mereka semua.
"Lebih baik kita tidak datang secara terus terang, Panji.
Karena, kita belum tahu pasti, apakah di tempat itu telah
menjadi pusat perkumpulan Partai Rimba Hitam atau
tidak?" sahut Pendekar Tangan Sakti yang ikut pula
menimpali.
"Ah! Mengapa kita tidak bertanya pada Gambalang
tadi! Hhh..., mengapa kita melupakannya?" sergah Dewi
Tangan Merah. Suaranya mengandung penyesalan karena
kecerobohannya.
Memang, dia telah melupakan satu hal penting yang tak
dapat dikesampingkan begitu saja. Sebab, dengan
diketahuinya keadaan kediaman Nyai Serondeng, berarti
mereka dapat mengambil keputusan. Apakah harus datang
terang-terangan atau sembunyi? Hal inilah yang kini
mengganggu pikiran ketiga orang pendekar itu.
Akhirnya, karena belum tahu secara pasti, maka
ketiganya memutuskan untuk mendatangi kediaman Nyai
Serondeng secara sembunyi. Hal itu dilakukan untuk
menjaga hal-hal yang tidak diinginkan.
Diiringi hembusan angin sore, ketiga pendekar itu
meneruskan niatnya mendatangi kediaman Nyai
Serondeng yang terletak di atas Bukit Nirwana. Sebuah
bukit yang sangat indah, karena hampir di setiap sudutnya
dipenuhi bunga yang bermekaran dan menebarkan
keharuman yang menyejukkan.
Cukup lama juga mereka melakukan perjalanan sambil
mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Itu dilakukan
apabila melewati tempat-tempat sepi. Dan kini tibalah
mereka di tempat yang dituju, Bukit Nirwana. Untuk
beberapa saat lamanya, ketiga pendekar itu hanya berdiri
mematung memperhatikan puncak bukit yang menjadi
kediaman salah satu datuk kaum sesat di Selatan.
Kekejamannya tidak kalah dengan iblis!
Namun sebelum memutuskan untuk mendaki bukit
itu, mendadak di hadapan mereka telah berdiri dua sosok
tubuh dalam jarak sekitar lima puluh tombak. Dua sosok
tubuh itu muncul begitu saja bagaikan iblis-iblis neraka
yang ditugaskan untuk menjemput Panji dan kawan
kawannya.
"Suntara..., Rahayu...!" seru Panji. Suaranya terdengar
bagaikan tercekat di tenggorokan. Wajah pemuda itu
kembali menegang karena masih belum dapat menduga,
apa yang tengah dialami dua orang itu sebenarnya?
Bukankah mereka dalam tawanan Setan Muka Seribu? Lalu
mengapa dibebaskan begitu saja? Dan mengapa mereka
tidak menunjukkan sikap bersahabat. Panji tidak menerus-
kan lamunannya, karena hal itu akan semakin menambah
keruwetan pikirannya saja.
"Jadi, mereka itukah yang kau lihat di semak-semak
samping kedai? Siapakah mereka? Demikian berartikah
mereka bagimu, Panji?" tegur Pendekar Tangan sakti saat
melihat wajah Panji, yang biasanya tenang itu tampak
selalu tegang apabila berjumpa dengan dua orang yang
disebutnya Suntara dan Rahayu itu.
"Mereka adalah murid-murid kesayangan Ki Tunggul
Jagad dan Ki Ageng Pandira yang ditugaskan untuk
menyelidiki kemelut Partai Gunung Salaka dan Partai
Gunung Sutra bersamaku. Kemudian keduanya meng-
hilang dalam sebuah hutan tanpa aku mampu
menyelamatkannya. Dan kini tahu-tahu saja mereka telah
terbebas. Namun dari sinar mata mereka sama sekali tidak
memancarkan rasa persahabatan! Entah apa yang tengah
dialami mereka? Sedangkan kedua guru mereka telah
berpesan kepadaku untuk menjaga mereka baik-baik.
Memang, keduanya sama sekali belum berpengalaman
dalam menghadapi manusia yang penuh berbagai tipu
daya. Dan aku takut kalau Suntara dan Rahayu telah
dipengaruhi tokoh-tokoh sesat yang menawan mereka,"
Panji menghela napas berulang-ulang setelah mengakhiri
ceritanya yang telah membuat Pendekar Tangan Sakti
ternganga penuh keheranan.
"Oh! Benarkah yang kau ceritakan itu, Panji! Aneh!
Bagaimana mungkin Guru Besar mempunyai murid yang
masih demikian muda? Dan mengapa pula aku tidak
mengetahuinya?" ujar Pendekar Tangan Sakti dengan nada
seperti kurang percaya.
"Begitulah yang dikatakan Ki Sukma Kelana ketika
melepaskan kepergian Suntara. Jangankan dirimu yang
selalu berada di luar. Bahkan para tokoh tingkat tiga
sekalipun tidak pernah mengetahui kalau Ki Tunggul Jagad
mempunyai seorang murid yang seumur Suntara. Namun,
demikianlah kenyataan sebenarnya, Wijasena," jawab
Panji menerangkan.
"Lalu, apa yang harus kita perbuat terhadap mereka?"
tanya Dewi Tangan Merah tiba-tiba. Sehingga kedua orang
pendekar itu kembali teringat akan keadaan mereka.
Panji menatap kedua orang yang masih berdiri bagaikan
sebuah patung batu saja. Mereka sama sekali tak bergerak
walaupun telah cukup lama berdiri.
"Kalian tetaplah di sini! Biar aku yang akan meng-
hadapi, karena kalian belum mengetahui apa yang telah
terjadi dengan mereka," jelas Panji mengambil keputusan.
Ia memang tidak ingin mengikutsertakan Sundari atau
Wijasena sebelum mengetahui duduk persoalannya, yang
membuat kedua orang itu seolah-olah tidak mengenalnya
sama sekali.
Pendekar Naga Putih melangkah penuh kewaspadaan
menghampiri dua sosok tubuh yang memang Suntara dan
Rahayu itu. Namun, hati Panji terkejut ketika melihat
wajah mereka berdua itu pucat bagaikan mayat. Dan yang
lebih mengejutkan hati, ketika Panji melihat sinar mata
Suntara dan Rahayu yang bagai hilang ingatan. Sinar mata
itu begitu dingin dan kosong. Diam-diam hati Pendekar
Naga Putih terharu ketika melihat keadaan mereka berdua
yang bagaikan tak terurus.
Baru beberapa langkah Panji mendekat, tiba-tiba
Suntara dan Rahayu mencabut senjatanya masing-masing.
Dan tanpa basa-basi lagi, keduanya melesat ke arah Panji
dengan serangan menderu-deru. Sepasang senjata muda-
mudi itu meluncur deras ke arah Pendekar Naga Putih,
sehingga menimbulkan desingan angin tajam.
"Suntara, Rahayu...! Tahan! Ini aku, Panji! Apakah
kalian lupa kepadaku!" cegah Panji sambil melangkah
mundur menghindari serangan dua orang yang memang
sangat berbahaya itu. Suntara dan Rahayu sama sekali tidak
mengindahkan teriakan-teriakan Panji yang mencoba
mencegah terjadinya pertempuran di antara mereka.
Namun, wajah mereka tetap saja kaku tanpa perasaan.
Seolah-olah memang benar-benar tidak mengenal Panji
sama sekali.
Hm..., pasti ada sesuatu yang tidak beres dalam diri
mereka," gumam Panji pelan.
Semakin lama serangan Suntara dan Rahayu semakin
ganas dan berbahaya! Kalau sampai beberapa jurus lagi
Panji masih saja tidak membalas serangan itu, dapat
dipastikan dirinya akan celaka! Karena sebagai murid-
murid orang sakti, baik Suntara dan Rahayu pasti telah
dibekali ilmu-ilmu tinggi oleh guru mereka berdua.
Sehingga, kepandaian kedua orang itu tidak dapat dianggap
main-main.
Dewi Tangan Merah dan Pendekar Tangan Sakti yang
melihat keadaan Panji, sudah tidak dapat lagi menahan
diri. Keduanya segera melesat dan langsung menerjunkan
diri dalam kancah pertempuran. Begitu memasuki arena,
Dewi Tangan Merah dan Pendekar Tangan Sakti segera
melancarkan serangan ke arah Suntara yang pada saat itu
dekat dengan mereka
Merasakan sambaran angin kuat yang keluar dari dua
pasang lengan yang meluncur ke arahnya, Suntara bukan-
nya menghindar tapi malah memapaknya dengan men-
dorongkan kedua telapak tangan disertai pengerahan
tenaga dalam penuh.
"Sebelas Jurus Penahan Ombak..!" seru Pendekar
Tangan Sakti ketika melihat gerakan sepasang tangan
Suntara yang menimbulkan desiran angin kuat. Pendekar
Tangan Sakti yang mengetahui kehebatan ilmu kebanggaan
perguruannya itu, segera mengerahkan seluruh tenaga
dalam. Karena jelas-jelas untuk mengelak sudah ter-
lambat!
Darrr!
"Aaahhh...!"
Terdengar bunyi ledakan keras di udara ketika dua
gelombang bertenaga dalam tinggi bertemu di udara!
Dewi Tangan Merah dan Pendekar Tangan Sakti memekik
tertahan. Tubuh mereka sampai terjengkang akibat
benturan itu, kemudian terbanting di atas tanah meskipun
masih limbung. Dan dari celah-celah bibir mereka,
nampak darah segar merembes keluar! Rupanya benturan
tadi telah mengguncangkan isi dada mereka!
Di lain pihak, tubuh Suntara pun mengalami hal
serupa. Gabungan tenaga lawannya ternyata kuat sekali.
Walaupun dia telah mengeluarkan seluruh tenaganya,
ternyata masih pula terdorong dan terhuyung-huyung
dengan dada terasa sesak. Tapi anehnya, Suntara seolah-
olah tidak merasakan akibat benturan tenaga dalam tadi.
Hanya wajahnya saja yang terlihat semakin pucat. Namun,
pandangan matanya tetap saja kosong dan tak memancar-
kan gairah kehidupan. Seakan-akan jiwa Suntara telah
mati, sementara raganya masih tetap utuh.
Panji yang tengah berhadapan dengan Rahayu, serentak
meninggalkan gadis itu. Dia berlari memburu Dewi
Tangan Merah dan Pendekar Tangan Sakti yang tengah
melangkah tertatih-tatih.
"Sundari! Wija! Jangan ladeni, karena mereka berdua
tidak menyadari apa-apa yang dilakukan saat ini! Mereka
sedang kehilangan ingatannya!" tegas Panji begitu tiba di
hadapan kedua orang kawannya yang sedang bersiap-siap
bertarung kembali.
"Panji! Kepandaian kedua orang ini tidak bisa dibuat
main-main! Dan kalau kami terus mendiamkan, mereka
pasti menyerangmu. Dan pasti kau berusaha untuk tidak
membalas. Bisa bisa kau akan celaka di tangan mereka,
Panji!" sergah Pendekar Tangan Sakti. Suaranya
mengandung rasa penasaran dan kekhawatiran.
"Benar, Kakang Panji. Lakukanlah sesuatu kepada
mereka. Jangan hanya menghindar saja, karena hal itu
sangat berbahaya!" Dewi Tangan Merah ikut pula mem-
berikan dorongan kepada Panji, karena sudah merasakan
bagaimana hebatnya kepandaian pemuda yang bernama
Suntara itu. Padahal, dia tadi telah mengerahkan seluruh
tenaganya. Malah, masih pula dibantu Pendekar Tangan
Sakti. Tapi, toh mereka masih juga kalah tenaga. Dan hal
itu benar-benar sukar dipercaya bagi Dewi Tangan Merah
yang selama ini belum pernah bertemu lawan tangguh
yang masih terlihat muda itu. Maka mau tidak mau ia
harus mengakui kehebatan lawannya.
Mendengar kata-kata kedua orang sahabatnya diam-
diam Panji merasa terharu sekali. Namun, perasaan itu
cepat-cepat ditekan, karena tidak boleh terlihat lemah di
hadapan mereka
"Baiklah. Kalian tetaplah di sini! Aku akan mencoba
untuk menundukkan mereka," jawab Panji.
"Tapi bagaimana mungkin dapat menundukkan tanpa
harus melukai mereka, Kakang? Bukankah hal itu terlihat
sulit sekali!" sahut Dewi Tangan Merah, bernada
khawatir. Sekejap sinar mata yang menyiratkan kecemasan
itu meredup, mengungkapkan perasaan hati Sundari yang
selama ini, cepat-cepat dibuang pandangannya dengan
wajah kemerahan.
"Hati-hatilah, Kakang...!" ujar Sundari untuk me-
nutupi rasa jengah dalam hatinya.
Panji yang dapat menduga apa yang telah dirasakan
gadis itu, hanya mengangguk tipis. Kemudian dia segera
melangkah mendekati Suntara dan Rahayu yang telah
bersatu kembali. Untuk beberapa saat lamanya, Panji
hanya berdiri sambil memandang kedua orang itu dengan
tatapan lembut Pendekar Naga Putih kini sudah dapat
bersikap tenang, kembali seperti biasanya. Dan ketika
melihat kedua orang itu sudah bersiap hendak menerjang,
Panji segera mengempos semangatnya. Ditariknya napas
dalam-dalam. Sekejap kemudian, terdengar suara tulang-
tulang tubuhnya yang bergemerutuk karena dialiri 'Tenaga
Dalam Gerhana Bulan' yang merupakan warisan Eyang
Tirtayasa.
Dalam sekejap saja, tubuh pemuda itu telah diselimuti
selapis kabut bersinar putih keperakan dan memancarkan
hawa dingin yang menggigit kulit. Dan secara mendadak,
daerah di sekitarnya merubah menjadi dingin.
Suntara dan Rahayu tersentak mundur, ketika
serangkum angin berhawa dingin berhembus menerpa
tubuh mereka. Ternyata biarpun kesadaran telah lenyap,
namun naluri mereka sebagai ahli silat telah mem-
peringatkan akan bahaya mengancam.
Diiringi bentakan nyaring, Suntara dan Rahayu segera
bersiap mengerahkan ilmu andalan masing-masing.
Keduanya segera bergerak membentuk kuda-kuda yang
sesuai dengan jurus jurus mereka.
"Yeeeaaattt...!"
Tiba-tiba tubuh sepasang muda mudi itu melayang
cepat ke arah Panji yang memang sudah bersiap
menghadapinya. Angin keras berputar ketika kedua orang
muda yang berkepandaian tinggi itu mulai melancarkan
serangan pukulan dan tendangan kilat yang tidak terduga
datangnya! Namun, meskipun mereka melancarkan
serangan susul-menyusul, tetap saja hasilnya jadi berbalik.
Mereka seperti membentur sebuah dinding berhawa
dingin yang selalu saja menolak setiap pukulan yang datang
ke tubuh pemuda itu.
Panji kini sudah pula membangun serangan dengan
melakukan totokan-totokan yang mengarah ke bagian-
bagian terlemah di tubuh lawan-lawannya itu. Tapi sampai
jurus yang keempat puluh berlalu, Panji belum juga dapat
menyentuh tubuh Suntara maupun Rahayu yang ternyata
memiliki kegesitan hebat. Dan sepertinya mereka tahu
kalau Panji hendak menotok roboh. Tentu saja baik
Suntara dan Rahayu tidak ingin tertotok begitu saja. Maka
keduanya berusaha menghindarkan serangan-serangan
yang dilontarkan Panji.
Hingga pada jurus yang keempat puluh delapan, Panji
yang rupanya merasa tidak akan mampu menjatuhkan
lawannya tanpa harus mencelakai, segera merubah
keputusannya. Tiba-tiba kedua tangan pemuda itu ber-
putar dan membentuk cakar naga. Dan dengan gerakan
cepat luar biasa, Panji segera melakukan serangan lewat
jurus "Silat Naga Sakti" yang menjadi andalannya.
Bagaikan seekor naga putih yang sedang bermain di
angkasa, tubuh pemuda itu bergerak lincah sambil
melontarkan serangan-serangan cepat luar biasa. Akibat-
nya dalam beberapa jurus saja, kedua lawannya telah
dibuat repot oleh pukulan-pukulan yang datang bagai air
bah itu. Sampai akhirnya, keduanya hanya dapat bermain
mundur. Memang, serlap kali mereka balas menyerang,
selalu saja berbalik dan kandas terdorong angin dingin
yang mengelilingi tubuh mereka.
Wusss! Blarrr!
Debu mengepul tinggi ketika pukulan yang dilontarkan
Panji menghantam tanah-tanah berumput. Kali ini kedua
orang lawan Panji itu berhasil menyelamatkan diri, dengan
cara melemparkan tubuh ke belakang. Itu pun masih
disambung beberapa kali salto di udara. Dan kini mereka
dapat mendaratkan kakinya manis dan indah, sejauh tiga
tombak dari tempat semula.
Namun Pendekar Naga Putih rupanya sudah tidak sabar
untuk cepat-cepat menyelesaikan pertarungan. Pada saat
Suntara dan Rahayu tengah memperbaiki posisi tahu-tahu
serangan Panji sudah datang mengancam. Karena tidak
mempunyai kesempatan lagi untuk menghindar, maka
mereka segera mendorongkan telapak tangannya untuk
memapak serangan itu!
Blanggg!
"Aaakh...!"
Terdengar seruan tertahan yang keluar dari mulut
ketiganya. Benturan dahsyat itu telah menggetarkan udara
di sekitar arena pertarungan. Akibatnya tubuh ketiga
orang yang berbenturan itu sama-sama terpental ke
belakang.
Suntara dan Rahayu yang terbanting keras di tanah,
untuk beberapa waktu belum mampu bangkit berdiri!
Mereka rebah di atas hamparan rumput, dengan napas
satu-satu. Sementara dari sudut bibir mereka, terlihat
cairan merah merembes keluar.
Pada saat keduanya dalam keadaan tidak berdaya itu,
tiba-tiba dua sosok bayangan melesat ke arah mereka
disertai totokan yang mengancam. Tanpa dapat berbuat
apa-apa, keduanya langsung lemas terkena totokan yang
dllakukan dua sosok bayangan yang ternyata Dewi Tangan
Merah dan Pendekar Tangan Sakti. Akibatnya kedua orang
Itu dapat dikuasai tanpa mengalami kesulitan berarti.
Sedangkan Panji yang terhempas akibat benturan dua
gelombang tenaga dalam tinggi tadi, dapat mendaratkan
kakinya ringan tanpa mengalami luka sedikit pun. Hanya
saja, dadanya terasa agak sesak seakan akan dihimpit
sebuah benda berat. Namun rasa sesak itu pun tidak
berlangsung terlalu lama, karena segera dikerahkan hawa
murni untuk menolak segala pengaruh yang mengeram
dalam dirinya.
Panji yang semula sudah merasa lega ketika melihat
Suntara dan Rahayu berhasil ditawan Sundari dan
Wijasena, menjadi tersentak. Dia memang melihat
beberapa sosok tubuh berkelebat ke arah Pendekar Tangan
Sakti dan Dewi Tangan Merah. Tanpa membuang-buang
waktu lagi, Panji segera menggenjot tubuhnya,
menyambut sosok tubuh yang berada paling depan.
"Sundari! Wijasena! Awaaasss...!" teriak Panji sambil
meluncur ke arah kedua orang kawannya
Sebenarnya tanpa diberitahu pun, Dewi Tangan Merah
dan Pendekar Tangan Sakti sudah pula mengetahui hal itu.
Maka ketika keduanya mendengar teriakan itu segera
berlompatan mundur sambil memondong tubuh Suntara
dan Rahayu. Untunglah keduanya terbebas dan serangan
mendadak itu.
Berbeda dengan bayangan yang meluncur paling depan.
Ternyata bayangan itu langsung berbentur dengan Panji
yang memang hendak menyambut serangan itu. Dan....
Plak! Bukkk! Desss!
"Ouggghhh...!"
Telapak tangan bayangan itu berhasil ditepis Panji yang
langsung mengirimkan sebuah tendangan dan pukulan
tepat mengenai lambung dan dada lawan. Orang itu
langsung terjungkal sambil memuntahkan darah segar dari
mulutnya. Setelah menggigil karena disiksa hawa dingin
yang merasuk tubuhnya, orang itu tewas seketika akibat
pukulan dan tendangan Panji yang sangat kuat itu!
Sedangkan sosok-sosok tubuh lain langsung berhenti,
tidak meneruskan serangannya yang semula diarahkan ke
Sundari dan Wijasena. Belasan orang itu tertegun ketika
menyaksikan pimpinan mereka tewas hanya dalam
segebrakan saja. Tanpa sadar, mereka yang semula hendak
membunuh Panji, Dewi Tangan Merah dan Pendekar
Tangan Sakti, bergerak mundur dengan wajah pucat!
Namun seketika belasan orang itu bangkit setelah
mendengar sebuah suara yang rupanya sangat ditakuti.
"Mengapa diam saja, murid-murid goblok! Tunggu apa
lagi, ayo cincang tubuh mereka!" perintah sebuah suara
yang melengking tinggi bagaikan dengingan nyamuk.
Belum lagi gema suaranya lenyap, tahu-tahu di tempat
itu telah berdiri sesosok tubuh kurus yang tak lain adatah
Nyai Serondeng. Dialah yang menjadi majikan di Bukit
Nirwana. Sementara di belakangnya terlihat Setan Muka
Kuning, yang rupanya sudah menjadi pengikut Nenek
Tongkat Maut dan tergabung dalam Partai Rimba Hitam!
"He he he.... Selamat bertemu lagi, Pendekar Naga
Putih! Apakah kau ingin melanjutkan pertandingan kita
yang tertunda?" ejek Nyai Serondeng.
"Hm..., Nyai Serondeng! Di antara kita tidak terdapat
permusuhan. Lalu mengapa tak membiarkan kami
meninggalkan tempat ini? Apakah memang sengaja hendak
mencari permusuhan?" tegas Panji. Wajah Panji terlihat
tegang, karena menyadari kalau di sekitar tempat itu telah
dikurung sekitar lima puluh orang anggota Partai Rimba
Hitam. Belum lagi ditambah dengan nenek sakti itu sendiri
dan Setan Muka Seribu yang merupakan pentolan partai
itu. Bahkan masih ditambah lagi Ular Muka Kuning yang
mempunyai kepandaian tidak rendah! Maka dari itu, Panji
berusaha untuk mengulur waktu sambil mencari-cari jalan
keluar.
Rupanya Nyai Serondeng mengetahui apa yang tengah
dipikirkan Panji saat itu. Melihat sikap yang ditunjukkan
Panji, diam-diam Nyai Serondeng merasa kagum kepada
pemuda itu.
"Hm... Entah murid siapa Anak Muda ini. Kepandaian-
nya hebat sekali dan tidak berada di bawah kepandaianku!
Seorang pemuda yang hebat!" ujar nenek itu dalam hati.
Sesaat, Panji terdiam Matanya tetap mengawasi
sekitarnya.
"He he he..., jangan harap dapat meloloskan diri kali
ini Pendekar Naga Putih! Hari Ini adalah hari penentuan
bagi kita!" seru Nyai Serondeng diiringi suara tawa yang
mengikik.
"Hm.... Jadi rupanya kau yang menjadi pimpinan
Partai Rimba Hitam?" tanya Panji tanpa mempedulikan
ocehan nenek itu.
"He he he.... Rupanya kau sudah tahu pula tentang
partai itu! Memang akulah Nyai Serondeng, Ketua Partai
Rimba Hitam! Sudah puas, Anak Muda. "
"Hm..., kalau begitu kau harus mempertanggung-
jawabkan segala perbuatanmu!" ujar Panji geram.
"Huh, sudahlah! Jangan banyak mulut Bersiaplah untuk
mampus! Heaattt...!" dibarengi sebuah teriakan
menyakitkan anak telinga tubuh nenek sakti itu meluncur
sambil membabatkan tongkatnya ke tubuh Panji. Serangan
angin berhawa panas berhembus mengiringi datangnya
hantaman tongkat yang bertenaga tinggi itu.
Tranggg!
"Aihhh...!" Nyai Serondeng menjerit tertahan, ketika
tiba-tiba saja di tangan Panji telah tergenggam sebatang
pedang yang langsung digunakan untuk menangkis.
Keduanya terdorong mundur sejauh delapan langkah.
Ternyata dalam pertemuan tadi, tenaga mereka
berimbang! Dan hal ini sangat mengkhawatirkan Panji.
Karena, kalau bertarung melawan nenek itu, bagaimana ia
dapat melindungi kawan-kawannya? Itulah yang menjadi
beban pikiran Panji.
Nyai Serondeng dan Panji saling bertatapan seolah-olah
tengah mempelajari kekuatan tersembunyi yang ada dalam
diri lawan masing-masing. Belum lagi keduanya bergerak,
tiba-tiba terdengar suara sorak-sorai bergemuruh! Dan
tidak lama kemudian, terlihat puluhan orang berlarian
mendatangi tempat itu, sehingga untuk beberapa saat
lamanya pertempuran antara dua orang sakti itu terhenti!
"Hm..., Pendekar Kujang Emas. Rupanya kau ingin
menuntut balas atas kematian murid kesayanganmu itu,
heh!" tegur Nyai Serondeng. Suaranya benar-benar tidak
enak didengar.
"Benar! Nenek iblis! Aku dan murid-muridku lebih
rela mati terhormat, daripada hidup sebagai seorang
pengecut!" seru orang yang disebut Pendekar Kujang
Emas itu tegas. Rupanya Pendekar Kujang Emas mem
punyai urusan pula dengan Nyai Serondeng. Apalagi kalau
bukan mengenai terbunuhnya murid kesayangan
Perguruan Kujang Emas. Perguruan itu memang dipimpin
langsung Pendekar Kujang Emas sendiri. Itulah sebabnya,
mengapa tahu-tahu Pendekar Kujang Emas dan murid-
muridnya sampai berada di sini.
***
DELAPAN
"Anak-anak, serbuuu...!" perintah Pendekar Kujang Emas
sambil menggerakkan tangannya ke depan. Sedangkan ia
sendiri sudah mencabut senjatanya dan langsung
menerjang Nyai Serondeng.
Namun sebelum sampai ke tempat Nyai Serondeng
berdiri, tiba-tiba Ular Muka Kuning yang sejak tadi hanya
berdiam diri saja, langsung melompat menyambut
serangan Pendekar Kujang Emas.
Tranggg!
Tubuh keduanya terdorong mundur ketika dua senjata
sating bertemu hingga menimbulkan pijaran bunga api.
Baik Pendekar Kujang Emas maupun Ular Muka Kuning
sama-sama terkejut, ketika merasakan getaran pada lengan
mereka yang memegang senjata. Dan itu menandakan
kalau kekuatan keduanya berimbang. Setelah memeriksa
senjata masing-masing, mereka kembali saling menyerang.
Dan dalam waktu singkat saja, kedua tokoh itu telah
terlibat pertempuran sengit.
Sementara itu, Anggota Partai Rimba Hitam yang
berjumlah sekitar lima puluh orang itu, sudah bertempur
melawan murid-murid Perguruan Kujang Emas yang ber-
jumlah tujuh puluh orang lebih. Maka arena pertempuran
semakin ramai. Kilatan-kilatan senjata tajam membelah
angkasa, kini telah dibasahi darah. Satu persatu murid
kedua belah pihak mulai berjatuhan! Dan dalam sekejap
saja, tempat itu telah dibanjiri darah segar!
Di tempat lain, Dewi Tangan Merah kini telah
berpasangan dengan Pendekar Tangan Sakti untuk
menghadapi Setan Muka Seribu yang memiliki kepandaian
di atas mereka. Jadi wajar saja kalau keduanya bertempur
berpasangan.
Ternyata dengan berpasangan dan saling mengisi, Dewi
Tangan Merah dan Pendekar Tangan Sakti mampu
menghadapi Setan Muka Seribu yang terkenal lihai itu.
Bahkan mereka mampu pula memaksa Setan Muka Seribu
untuk bermain mundur! Dan keadaan itu memaksa lawan
untuk mengerahkan seluruh kepandaiannya dalam meng-
hadapi gempuran kedua orang pendekar ternama itu.
Sedangkan datuk sesat yang berjuluk Nenek Tongkat
Maut itu berhadapan melawan Pendekar Naga Putih. Dari
sekian banyaknya pertarungan yang sedang berlangsung,
pertarungan kedua orang inilah yang paling mendebarkan.
Untunglah pertarungan kedua orang sakti itu terpisah agak
jauh dari yang lain. Kalau tidak, tentu pertempuran lain
akan berantakan terkena sambaran-sambaran angin
pukulan mereka yang mengandung hawa berlainan sifat
itu.
Hawa dingin dan panas beganti-gantian menguasai
arena pertarungan. Di saat Panji di atas angin, maka udara
di sekitar arena akan terasa dingin bagaikan es
Tapi apabila dikuasai Nyai Serondeng, maka udara
sekitarnya pun berubah menjadi panas.
Panji yang sudah menggunakan pedang tipisnya,
menyerang bagaikan seekor naga murka. Gerakan-gerakan
pemuda itu kini ditunjang 'Tenaga Dalam Gerhana Bulan'.
Bahkan kabut putih bersinar keperakan telah pula
menyelimuti tubuh Panji. Sehingga apabila orang melihat
pertempuran itu dari jarak jauh, pemuda itu benar-benar
bagaikan seekor naga putih yang sesuai julukannya.
Setelah melewati tujuh puluh jurus, pertempuran
tampak semakin meningkat! Keduanya kini sudah tidak
terlihat lagi bentuk tubuhnya. Yang terlihat kini hanyalah
dua buah bayangan berkelebat saling sambar dan saling
desak. Dan memang sulit untuk mengetahui mana
bayangan Panji, dan mana Nyai Serondeng. Ini karena
demikian cepatnya kedua orang itu bergerak.
Pada jurus kedelapan puluh, Nyai Serondeng mem-
babatkan tongkatnya secara mendatar ke arah kepala Panji.
Namun pemuda itu segera menundukkan kepala dengan
kuda-kuda rendah sambil melontarkan pukulan tangan
klrinya Tapi dengan mudah Nyai Serondeng meng-
elakkannya dengan sedikit menggeser kaki kanan ke
samping. Kemudian perempuan itu langsung melepaskan
sebuah tendangan kilat menuju ulu hati Panji.
Melihat tendangan kilat yang muncul mendadak itu,
Panji menggenjot tubuhnya tinggi melambung ke udara
sehingga tendangan itu lewat di bawah kakinya.
Dan dari udara Panji melontarkan tendangan berarti
yang tepat mendarat di punggung Nyai Serondeng.
Bukkk!
"Oooggghhh...!"
Tubuh Nyai Serondeng langsung terjajar ke depan
ketika dua buah tendangan Panji mendarat di punggung-
nya. Disaat tubuhnya tengah terhuyung, tiba-tiba nenek
itu berbalik sambil mengkelebatkan tongkatnya untuk
menjaga serangan susulan yang mungkin dilakukan
lawannya.
Ternyata dugaan Nyai Serondeng tepat sekali. Panji
yang pada saat itu berniat melakukan serangan susulan,
segera mengurungkan niatnya. Kini dia harus melompat
mundur untuk menghindari sambaran tongkat yang ber-
bahaya itu. Pemuda itu berdiri tegak sambil memandang
lawan yang tampaknya telah terluka dalam itu. Ini terlihat
ketika dari sela-sela bibir nenek itu merembes cairan
merah! Namun, Panji belum merasa bangga akan hasil
serangannya tadi. Karena, ia pun menderita rasa nyeri
pada kakinya karena berbenturan dengan punggung Nyai
Serondeng yang telah dilindungi tenaga dalam tinggi!
Saat itu Nyai Serondeng kembali sudah menerjang
dengan tongkat mautnya yang berputar sehingga
menimbulkan angin ribut. Maka kini keduanya kembali
terlibat pertempuran sengit dan menegangkan.
Di tempat lain, pertarungan Pendekar Kujang Emas
yang melawan Ular Muka Kuning, tampak telah sampai
pada puncaknya. Pendekar Kujang Emas terus mendesak
lawan yang sudah mulai dapat dikuasainya itu. Senjatanya
berkelebat mengurung tubuh lawan yang tak mempunyai
kesempatan untuk membalas. Hingga pada jurus yang
keempat puluh tiga, Ular Muka Kuning nekad untuk
mengadu nyawa dengan lawannya.
Saat itu posisi Ular Muka Kuning benar benar sudah di
ambang kematian. Senjata lawan meluncur deras ke arah
tenggorokannya melihat hal ini, Ular Muka Kuning
bukannya menghindar tapi malah segera melepaskan
sebuah pukulan keras ke arah dada Pendekar Kujang
Emas. Namun pendekar itu rupanya tidak sudi mengadu
nyawa.
Seketika pendekar itu menarik pulang senjatanya. Dan
dengan sebuah liukan manis, tubuhnya bergerak ke
samping kiri lawan. Langsung saja dilepaskan sebuah
tusukan kilat ke arah lambung Ular Muka Kuning! Dengan
demikian pendekar itu telah memperoleh dua
keuntungan. Sambil menghindari pukulan lawan, dan
dapat pula menusukkan senjatanya tanpa mendapat
kesulitan.
Cappp!
"Aaarrrggghhh...!"
Ular Muka Kuning meraung ketika kujang di tangan
lawan menembus lambung, hingga amblas sampai
gagangnya. Tubuh Ular Muka Kuning melintir disertai
semburan darah saat Pendekar Kujang Emas mendorong
senjatanya dan membeset tubuh lawan. Tak di situ saja.
Pada saat tubuh lawan terhuyung-huyung, Pendekar
Kujang Emas langsung melompat dan menjepit leher
lawan dengan kakinya. Terdengar bunyi gemeretak dari
tulang leher yang patah ketika pendekar itu memutar
badannya dengan kaki masih menjepit leher lawan.
Tubuh Ular Muka Kuning ambruk bersama tubuh
lawannya. Tokoh sesat itu tewas seketika! Sedangkan
Pendekar Kujang Emas langsung bangkit, dan menggenjot
tubuhnya ke arena pertempuran lain. Pendekar itu
langsung mengamuk hebat sehingga dalam beberapa
gebrak saja telah menewaskan enam orang murid Nyai
Serondeng. Tentu saja amukan pendekar itu membuat
para murid Nyai Serondeng marah. Dan beberapa orang
dari mereka langsung memusatkan perhatiannya kepada
pendekar itu.
Sedangkan pertarungan yang berlangsung antara Dewi
Tangan Merah dan Pendekar Tangan Sakti melawan Setan
Muka Seribu masih berlangsung seru. Kedua belah pihak
telah sama sama terluka. Bahkan nampak gerakan mereka
mulai lamban karena terganggu rasa nyeri yang diderita.
Pertarungan yang berlangsung selama kurang lebih
tujuh puluh jurus itu, ternyata benar-benar telah
menguras tenaga dua belah pihak. Sehingga tempo
pertarungan tidak lagi berlangsung mulus. Kadang-kadang
berubah menjadi cepat, tapi dilain saat menjadi lambat
kembali.
Bukkk!
Desss!
Pendekar Tangan Sakti dan Setan Muka Seribu sama-
sama terjungkal ketika keduanya sama-sama menerima
sebuah pukulan secara berbarengan. Setan Muka Seribu
langsung bangkit berdiri meskipun dadanya baru saja
terkena pukulan lawan. Kekuatan tubuh tokoh sesat yang
satu ini memang hebat sekali! Padahal, batu pun akan
hancur apabila terkena pukulan Pendekar Tangan Sakti
yang sangat kuat itu.
Berbeda dengan lawannya, sebaliknya Pendekar Tangan
Sakti belum dapat bangkit. Pendekar itu masih meringis
menahan rasa mulas pada perutnya yang terkena pukulan
telapak tangan lawan. Baru setelah agak pulih, pendekar
itu dapat bangkit lagi. Sedangkan pada saat itu, keadaan
Dewi Tangan Merah benar-benar dalam bahaya! Karena
biar bagaimanapun, kepandaian Setan Muka Seribu masih
jauh di atasnya.
Cepat Pendekar Tangan Sakti bangkit tanpa mem-
pedulikan rasa nyeri yang masih terasa itu. Tubuhnya
segera meluncur, dan kedua tangannya terkembang sambil
mengerahkan seluruh tenaga sakti. Jari-jari kedua tangan
pendekar itu bergetar, pertanda telah mengeluarkan
seluruh tenaga sakti yang masih tersisa.
Sementara itu Setan Muka Seribu, melesat menyiapkan
pukulan ke arah Dewi Tangan Merah. Dan....
Desss!
Prakkk!
Buggg!
Tubuh Dewi Tangan Merah terhempas bagai sehelai
daun kering, ketika kepalan Setan Muka Seribu meng-
hantam lambungnya. Berbarengan dengan itu pedang sinar
hijaunya berhasil menggores dada lawan. Dan pada saat
yang sama sepasang tangan yang mengandung kekuatan
hebat ternyata juga, menghantam kepala Setan Muka
Seribu. Pada saat yang tepat pula, tokoh sesat itu juga
telah melepaskan hantaman sisi telapak tangan ke arah
Pendekar Tangan Sakti yang memiliki sepasang tangan
bertenaga kuat itu.
Setan Muka Seribu terhuyung-huyung dengan gerakan
limbung. Darah mengucur deras dari kepalanya yang retak
akibat keprukkan sepasang tangan Pendekar Tangan Sakti
yang mengerahkan seluruh tenaga dalam tinggi. Beberapa
saat kemudian, iblis itu pun tewas menyedihkan.
Sedangkan Pendekar Tangan Sakti yang terkena
hantaman sisi telapak tangan lawan, tergeletak pingsan!
Darah segar mengalir dari celah-celah bibirnya. Dua buah
tulang rusuknya telah patah akibat hantaman lawan yang
sangat kuat itu. Sementara itu sesosok tubuh yang
terbungkus pakaian merah telah berada di sampingnya.
Dia tak lain adalah Dewi Tangan Merah yang bersandar
pada sebatang pohon karena telah pula menderita luka
cukup parah akibat pukulan Setan Muka seribu pada
lambungnya.
Di arena lain, Panji yang bertarung melawan Nyai
Serondeng masih saja berlangsung sengit! Padahal
pertempuran itu sudah melewati seratus jurus! Namun
kekuatan masing-masing masih saja terlihat berimbang.
Diam-diam Panji harus mengakui kehebatan nenek kurus
yang menjadi lawannya itu. Di usianya yang telah
melewati enam puluh tahun, ternyata kekuatan dan
tenaganya masih begitu dahsyat.
"Haaaiiittt...!"
Wusss!
Dengan sebuah hentakkan nyaring, tiba-tiba saja Nyai
Serondeng melompat tinggi sambil mengayunkan tongkat-
nya dari atas ke bawah. Sambaran angin panas mendahului
luncuran tongkatnya. Bergegas Panji menggeser tubuhnya
ke samping disertai sabetan pedangnya ke pinggang nenek
itu. Tapi, alangkah terkejutnya Pendekar Naga Putih itu
ketika tahu-tahu saja tongkat di tangan lawannya berputar
membabat lehernya. Cepat-cepat ditarik pulang senjata-
nya. Dan dengan merendahkan kuda-kudanya, tubuh
pemuda itu berputar disertai tendangan kaki kanan sambil
mengerahkan jurus 'Sabetan Ekor Naga Membelah
Karang'. Jurus ini adalah salah satu bagian dari jurus 'Naga
Sakti' yang merupakan ilmu kebanggaannya.
Nyai Serondeng berseru kagum melihat kegesitan
Panji. Nenek itu segera menarik pulang tongkatnya dan
langsung memapaki tendangan Panji. Hal ini membuat
pemuda itu menjadi terkejut setengah mati. Karena untuk
menarik kakinya sudah tidak mungkin lagi. Maka Panji
pun menyalurkan seluruh tenaga dalamnya ke arah kaki
yang menendang itu.
Desss!
"Uhhh...! "
Terdengar suara bagai bara dicelupkan dalam air ketika
tongkat di tangan nenek itu bertemu kaki Panji. Keduanya
berseru kaget! Dan masing-masing mengakui kehebatan
lawannya. Panji yang mempunyai posisi lebih lemah itu
cepat melempar tubuhnya dan bergulingan mengikuti
dorongan akibat benturan dahsyat itu. Dan pemuda itu
menjadi terkejut sekali ketika mendapati celana pada
bagian betisnya hancur, akibat benturan dua tenaga
berlainan sifat itu. Ketika diperiksa bagian kakinya, tidak
terlihat luka sedikit pun. Maka hatinya menjadi lega.
Dipihak lain, Nyai Serondeng pun menjadi terkejut
mendapati kenyataan kalau tongkatnya sama sekali tidak
mampu melukai lawannya yang masih sangat muda itu.
Dengan hati dipenuhi rasa malu dan penasaran, Nyai
Serondeng segera melompat mengejar Panji yang tengah
bergulingan itu. Langsung dihantamkan tongkat hitamnya
sekuat tenaga ke punggung pemuda itu.
Panji yang merasakan ada sambaran angin panas
menerpa punggung menjadi kaget! Ketika dilirik, ternyata
nenek kurus itu sedang mengayunkan tongkat mautnya.
Menghadapi serangan yang mematikan itu, tubuh Panji
mendadak melenting mengerahkan jurus 'Naga Sakti
Menggeliat' yang merupakan bagian ketujuh dari "Jurus
Naga Sakti".
Hebat dan tak terduga sama sekali gerakan yang
dilakukan Panji itu. Tubuh pemuda itu tiba-tiba melenting
ke udara dan langsung berputar di udara beberapa kali. Itu
pun disertai ayunan pedang untuk membabat tangan Nyai
Serondeng yang memegang tongkat hitam itu. Dan...
Wusss
Crakkk!
"Aaakh...!
Nyai Serondeng meraung tjnggi ketika pedang di
tangan Panji menebas lengannya sebatas siku! Darah
seketika muncrat dari tangan yang buntung itu, tubuh
nenek itu terhuyung-huyung sambil memegangi lengan
kanannya yang telah buntung itu. Dan sebelum menyadari
keadaannya, tubuh Panji meluruk sambil berputar
mengerahkan jurus 'Naga Sakti Kembali Kesarang'. Dan
kini mata pedang meluncur deras menuju ulu hati
lawannya.
Cap!
"Aaarrrggghhh...!"
Nyai Serondeng menjerit ngeri ketika pedang bersinar
putih keperakan di tangan Panji menancap di tubuhnya.
Seketika nenek itu terhempas ke belakang ketika pedang
yang menancap di tubuhnya disentakkan Panji dengan
kuatnya! Tubuh Nyai Serondeng terbanting, dan tewas
seketika. Perutnya terkoyak lebar dan tangan kanannya
buntung, kini tamatiah riwayat datuk sesat dari Selatan itu
di tangan Pendekar Naga Putih.
Setelah memastikan bahwa lawannya telah tewas, Panji
melangkah menghampiri Dewi Tangan Merah dan
Pendekar Tangan Sakti yang tengah mengawasinya. Tanpa
berkata sepatah pun, pemuda itu segera menyerahkan
sebutir pil kepada kedua orang kawannya yang tengah
terluka dalam itu.
Sementara pertempuran yang Iain seketika berakhir.
Para pengikut Partai Rimba Hitam yang masih hidup
dibebaskan Pendekar Kujang Emas. Mereka diberi
peringatan agar meninggalkan kehidupan yang selama ini
dijalani
Pendekar Kujang Emas melangkah menghampiri Panji,
Sundari, dan Wijasena yang berada tidak jauh dari
tempatnya. Karena biar bagaimanapun, ia harus ber-
terima kasih kepada ketiga orang yang menurutnya telah
ikut membantu dalam menumpas Partai Rimba Hitam
yang dipimpin Nyai Serondeng.
"Kisanak. Kalau mataku tidak salah menilai, bukankah
kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih yang tersohor
itu?" sapa Pendekar Kujang Emas ketika tiba di dekat
Panji. Ia menduga demikian, karena sepintas tadi melihat
jalannya pertempuran antara Nyai Serondeng melawan
pendekar itu. Dan pada tubuh pemuda itu terlihat adanya
selapis kabut bersinar putih keperakan, yang menjadi ciri-
ciri Pendekar Naga Putih. Itulah ciri-ciri yang selama ini
didengarnya.
"Ah! Sebuah julukan yang berlebihan, Paman!" jawab
Panji yang menyebut paman karena melihat pendekar itu
paling tidak telah berumur sekitar empat puluh tahun.
"Oh ya, kenalkan kedua orang reman saya, Paman.
Mereka adalah Sundari dan Wijasena." ujar Panji
mengenalkan.
Mereka pun saling berkenalan dan berbincang-bincang,
sebelum akhirnya Panji sadar
"Eh! Kalian sembunyikan di mana Suntara dan
Rahayu...?" tiba-tiba Panji berkata sambil mencari-cari
dua orang yang dimaksud Dan Pendekar Naga Putih
terkejut ketika melihat dua orang kakek tengah bersila
dekat tubuh kedua orang kawannya itu. "Hei, siapa pula
kedua orang kakek itu?"
Sundari, Wijasena, dan Pendekar Kujang Emas
serentak menolehkan kepalanya ke arah yang ditunjuk
Panji.
"Guru...!" Pendekar Tangan Sakti berseru gembira
ketika mengenali salah seorang dari kedua kakek itu.
Dengan langkah tertatih-tatih bergegas dihampirinya.
Sementara Panji, Sundari, dan Pendekar Kujang Emas ikut
mendekati.
"Hm... Wijasena! Bagaimana kabarmu...?" ujar kakek
tua yang tak tain adalah Ki Tunggul Jagad ketua Perguruan
Gunung Salaka. Orang tua sakti itu mengusap lembut
rambut kepala Wijasena yang bersujud di depannya.
"Ki Ageng Pandira. Apakah, Ki Ageng baik-baik saja?"
sapa Wijasena kepada kakek yang satunya lagi.
"Hm. Bersyukurlah kepada Tuhan yang telah
menyelamatkan kita semua," kata kakek itu yang ternyata
adalah Ki Ageng Pandira, ketua Perguruan Gunung Sutra.
Kemudian secara berturut-turut Panji, Sundari, dan
Pendekar Kujang Emas ikut pula bertegur sapa dengan
kedua orang tua sakti itu.
"Bagaimana keadaan Suntara dan Rahayu, Ki?" tanya
Panji ketika melihat kedua orang itu masih rebah tak
sadarkan diri
"Hm... Kami baru saja mengobati mereka. Dan paling
tidak, mereka harus beristirahat sekitar dua pekan untuk
memulihkan kesehatan akibat pengaruh racun ganas yang
dimasukkan Nyai Serondeng ke tubuh mereka," ujar Ki
Ageng Pandira memberi penjelasan.
"Terima kasih atas kesediaanmu yang telah bersusah
payah menolong kami, Nak Panji. Kami harus segera
membawa pulang mereka ke perguruan. Mari Wijasena,"
ajak Ki Tunggul Jagad kepada muridnya.
Setelah saling berpamitan, kedua orang tua sakti itu
pun berkelebat lenyap dari pandangan ketiga orang itu.
"Kau akan pergi ke mana, Kakang...?" tanya Sundari
ketika Panji ikut berpamitan kepadanya dan kepada
Pendekar Kujang Emas. Dari nada suaranya jelas sekali
kalau gadis itu terasa berat untuk berpisah dengan Panji.
"Entahlah, Sundari. Aku hanya mengikuti ke mana
kakiku melangkah."
"Kalau begitu aku ikut, Kakang...," dan tanpa
menunggu persetujuan Panji lagi, Sundari sudah
melangkah di samping Pendekar Naga Putih yang tidak
kuasa untuk mencegahnya.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar