..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 11 November 2024

WIRO SABLENG EPISODE RUMAH TANPA DOSA

Rumah Tanpa Dosa


 

SATU

WULAN Srindi buka sepasang matanya yang sejak tadi dipejamkan.
Tubuhnya terasa lemas, saat itu sudah tiga kali dia mendengar ada
langkah-langkah kaki di depan pintu kamar, tempat di mana sekian
lama dia disekap. Ini kali ke empat. Perlahan-lahan gadis murid
Perguruan Silat Lawu Putih ini bangkit dari berbaringnya, duduk di tepi
tempat tidur, memandang nanar ke arah pintu yang terkunci. Untung
sebelum pergi manusia pocong yang membawanya ke dalam kamar itu
mau berlaku baik melepaskan totokan. Tapi totokan tidak dilepas
penuh, hanya dua pertiganya. Sisa tenaga yang ada hanya sekedar bisa
menggerakkan tangan dan kaki. Tidak mungkin menggerakkan tenaga
dalam atau menyalurkan hawa sakti, apa lagi menjebol pintu mencoba
melarikan diri.
Perlahan-lahan Wulan Srindi melangkah ke pintu. Dia perhatikan
keadaan pintu itu sejenak. Tidak dapat dipastikan apakah terbuat dari
batu atos atau besi karena dicat putih. Pada daun pintu tepat di arah
kepala ada sebuah lobang berbentuk kotak empat persegi. Tak
diketahuinya lobang apa itu adanya dan apa kegunaannya. Wulan
tempelkan telinga kiri ke daun pintu. Lagi-lagi dia mendengar suara
langkah itu. Mungkin pengawal, pikir si gadis. Ketika untuk kesekian
kalinya dia mendengar suara langkah orang, Wulan menegur. “Siapa di
luar?”
Tak ada jawaban. Tapi suara kaki melangkah mendadak berhenti.
“Siapa di luar? Mengapa tidak menjawab?” Wulan mengulangi
teguran.
Tiba-tiba sret! Kotak kecil di depan kepala Wulan Srindi terbuka.
Si gadis mundur satu langkah, memandang memperhatikan ke arah
kotak. Dia melihat satu kepala mengenakan kerudung kain putih. Dua
buah mata di balik lobang kecil memandang berkilat, tak berkesip ke
arahnya. Kepala itu mendekat hingga kini hanya salah satu matanya
saja yang berada dalam kotak.
Wulan perhatikan kilatan yang memancar dari mata di dalam
kotak. Dia merasa ada satu getaran dahsyat dan panas. Itulah cara
memandang laki-laki yang gairah terhadap kecantikan dan kebagusan
tubuh seorang gadis. Namun gairah itu disertai rasa takut yang
membuatnya bersikap bimbang.
“Manusia pocong, kau siapa sebenarnya?”
“Gadis dalam kamar, kau tak layak bertanya,” jawab orang di luar
kamar.
Wulan mendengar suara keras tapi bergetar pertanda ucapannya
dipengaruhi oleh sesuatu yang ada dalam hatinya.

Manusia pocong di luar kamar hendak menutup kotak di pintu.
Wulan cepat berkata.
“Tunggu!”
“Apa maumu?”
“Namaku Wulan Srindi. Aku murid Perguruan Silat Lawu Putih...”
“Tak usah banyak bicara. Kami di sini tahu semua siapa dirimu
adanya!” menukas manusia pocong di balik pintu kamar. Dalam hati
orang ini merasa heran dan bicara sendiri. “Wakil Ketua agaknya belum
memberi minuman pelupa diri pelupa ingatan pada gadis ini. Mungkin
dia kelupaan atau mungkin memang disengaja? Hemmm, aku tahu
mengapa gadis satu ini diperlakukan istimewa. Wakil Ketua ingin
bersenang-senang. Mungkin dia merasa kurang nikmat kalau si gadis
berada dalam keadaan lumpuh dan hilang ingatan.”
Wulan melihat kepala berkerudung putih bergerak menjauh dari
pintu.
“Tunggu, jangan pergi. Dengar dulu ucapanku. Kalau kau mau
menolongku keluar dari tempat celaka ini, aku akan berikan apa saja
yang kau minta.”
Dibalik penutup kepala kain putih si manusia pocong
menyeringai.
“Kau tak bisa membujuk diriku. Tidak siapa-pun di tempat ini
bisa dibujuk. Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!”
Wulan Srindi terdiam. Namun di lain saat gadis ini keluarkan
tawa panjang.
“Kenapa kau tertawa?” manusia pocong bertanya.
“Kukira kau satu-satunya manusia cerdik di tempat ini. Ternyata
kau sama saja tololnya dengan manusia-manusia pocong lainnya!”
“Gadis kurang ajar! Jangan berani berlancang mulut di tempat
ini!”
“Hemm... Ternyata benar ucapanku. Aku seorang perempuan lebih
berani dari kau seorang lelaki! Buktinya kau menutupi kepala dengan
kain putih. Pasti ada sesuatu yang kau takutkan!”
“Kami Barisan Manusia Pocong tidak ada satupun yang ditakuti di
dunia ini. Kecuali Yang Mulia Sang Ketua!”
“Sudah, pergi sana! Aku muak mendengar ucapanmu!”
Wulan Srindi berpura-pura mundur menjauhi kotak di pintu.
Pancingannya mengena. Manusia pocong sebaliknya kini malah
mendekatkan matanya ke lobang kotak.
“Pertolongan macam apa yang kau inginkan?”
“Aku sudah katakan tadi. Keluarkan aku dari tempat ini. Dan aku
akan memberikan apa saja yang kau kehendaki!”
“Kami telah mengeledah pakaianmu. Kau tidak membawa bekal
apa-apa waktu masuk ke sini. Tidak memiliki barang perhiasan tidak
juga uang.”
“Apakah perhiasan dan uang dua hal penting berharga di dunia

ini bagi seorang laki-laki sepertimu?” tanya Wulan Srindi sambil
dekatkan wajahnya ke lobang kotak.
“Apa maksudmu?” Manusia pocong di balik pintu bertanya.
Wulan Srindi tersenyum. Sambil mata setengah dipejamkan dan
lidah merah basah diulurkan membelai bibir dia berkata lirih, berusaha
merayu memikat.
“Aku tahu, mungkin kau sudah begitu lama berada di tempat ini.
Menjalankan tugas penting dari Sang Ketua. Hingga tidak memikirkan
lagi kepentingan dan kebahagiaan diri sendiri. Terkadang uang atau
perhiasan, tidak ada artinya dibanding dengan kebahagiaan dan
kenikmatan yang kau dapat dari seorang gadis sepertiku.”
“Gadis, kau bicara terlalu berani. Jangan kau coba merayu
diriku...”
“Dengar, aku kini percaya. Kau tidak sama dengan manusia
pocong lain yang ada di tempat ini. Tolong diriku. Keluarkan aku dari
sini. Apa sulitnya bagimu? Begitu kita berada diluar, maka aku adalah
milikmu. Tidak hanya sebentar, tapi selama kau membutuhkanku. Itu
tanda terima kasihku padamu.”
“Kau mau menipuku!”
Alis kanan Wulan Srindi mencuat ke atas. Dia tersenyum lalu
berkata. “Kalau begitu, agar tidak ada yang tertipu di antara kita,
pembicaraan cukup sampai di sini.”
Wulan Srindi melangkah mundur menjauhi lobang di pintu.
“Apakah aku bisa mempercayai dirimu?” Manusia pocong
bertanya.
“Kepercayaan harus datang dari dua belah pihak,” jawab Wulan
Srindi
Si manusia pocong terdiam. Seperti berpikir.
“Baik,” katanya kemudian. “Kau tunggu sebentar. Ada sesuatu
yang harus aku periksa. Kau tunggu sampai aku kembali.”
“Jangan terlalu lama,” kata Wulan Srindi.
Memang gadis itu tidak menunggu lama.
Beberapa saat kemudian si manusia pocong kembali muncul.
Wulan mendengar suara berdesir. Lalu perlahan-lahan dilihatnya pintu
putih terbuka.
“Lekas!” kata manusia pocong. Cepat dia menarik lengan si gadis.
Sambil melangkah Wulan Srindi coba kerahkan tenaga dalam,
alirkan hawa sakti. Ternyata dia masih tidak mampu melakukan. Mau
tak mau gadis ini terpaksa mengikuti saja ke mana manusia pocong itu
menariknya. Orang membawanya memasuki lorong, berputar-putar
demikian rupa hingga kepalanya pusing. Dia berjalan dengan tubuh
terhuyung.
“Apa kau tidak bisa jalan lebih cepat?” Manusia pocong bertanya
antara tidak sabaran dan rasa kawatir.
“Diriku masih setengah tertotok. Kalau kau mau melepaskan
totokan di tubuhku, aku tidak akan merepotkanmu. Malah aku bisa lari

mengikutimu.”
“Yang menotokmu adalah Wakil Ketua. Kecuali Yang Mulia Sang
Ketua dan dia sendiri, tidak ada orang lain yang mampu
membebaskanmu,” jawab manusia pocong. Lalu dia hentikan langkah,
bungkukkan tubuhnya sedikit. Di lain saat Wulan Srindi sudah berada
di atas panggulannya.
“Kau mau membawa aku ke mana?” tanya gadis murid Perguruan
Silat Lawu Putih itu.
“Kau minta tolong dikeluarkan dari dalam goa. Kenapa masih
bertanya?” Manusia pocong agak jengkel.
“Goa? Aku disekap dalam kamar.”
“Kamar ini ada dalam goa. Goa ini memiliki seratus tiga belas
lorong. Bagi orang luar tidak mudah masuk dan keluar. Sekali tersesat
berarti kematian. “-
“Tapi aku harus tahu kau mau membawa aku ke mana.”
“Ada satu pondokan di kawasan bukit batu. Aku akan
membawamu ke sana. Sudah, jangan banyak bertanya. Dinding lorong
ini punya seribu telinga!” Manusia pocong mempercepat larinya. Tak
lama kemudian Wulan Srindi dapatkan dirinya telah keluar dari dalam
lorong sangat panjang dan berliku. Matanya berputar mengawasi
keadaan sekelilingnya. Dia berada di kawasan bukit berbatu-batu. Saat
itu fajar telah menyingsing namun karena kabut mengambang di mana-
mana, keadaan tampak masih gelap. Hal ini menguntungkan dua orang
yang melarikan diri itu karena sosok mereka tidak mudah terlihat.
Setelah melewati gundukan batu-batu besar, manusia pocong
memutar arah lari ke sebelah timur. Wulan melihat satu jalan menurun
lalu ada kali kecil menghadang di ujung jalan. Orang yang
memanggulnya membelok ke kanan, menyusuri kali ke arah hulu.
Melihat kali, Wulan lalu berkata. “Turunkan aku di sini saja. Aku
bisa mencari jalan sendiri.”
“Perjanjian kita tidak begitu,” jawab manusia pocong yang
memanggul si gadis dan terus saja lari.
Wulan Srindi menggigit bibir. Dia berhasil membujuk orang
mengeluarkan dirinya dari dalam tempat sekapan. Bahaya pertama
sudah lewat.
Kini ada bahaya berikutnya. Bagamana dia bisa membebaskan
diri dari tangan manusia pocong satu ini.
“Aku mau membersihkan diri dulu di kali. Turunkan aku barang
sebentar.”
Manusia pocong tidak perdulikan permintaan Wulan Srindi. Dia
terus saja lari.
Jalan yang ditempuh semakin sulit karena bebatuan menebar
sangat banyak dan tebal berlapis lumut. Wulan Srindi maklum orang
yang melarikannya itu selain memiliki tenaga dalam juga membekal
ilmu meringankan tubuh cukup tinggi. Karena tidak mudah untuk lari
di atas batu-batu yang diselimuti lumut licin. Selewatnya kawasan

berbatu mereka memasuki satu rimba belantara kecil tapi sarat semak
belukar dan pepohonan yang tumbuh sangat rapat. Di antara kerapatan
pepohonan serta semak belukar itulah kemudian Wulan Srindi melihat
sebuah pondok kayu tak berpintu. Salah satu dindingnya telah jebol.
Dan kesinilah manusia pocong itu membawanya.
Wulan Srindi dibaringkan di lantai pondok kotor berdebu. Gadis
ini cepat bangkit dan melangkah ke sudut pondok. Tadinya dia hendak
bergerak ke pintu. Tapi manusia pocong itu tegak di depan pintu seolah
sengaja menghadang. Sesaat orang ini tegak diam memperhatikan si
gadis. Nafasnya memburu karena berlari sejauh itu sambil mendukung
Wulan Srindi. Apa lagi saat itu nafsu mulai merambat membakar aliran
darahnya. Dari tempatnya berdiri di dalam pondok orang ini
memperhatikan keluar. Mata dan telinga dipasang tajam-tajam. Tak ada
gerakan mencurigakan. Tak ada orang yang mengikuti. Dia juga tidak
mendengar suara apa-apa selain hanya suara kumbang hutan menggeru
bersahut-sahutan.
Manusia pocong balikkan tubuh. Wulan Srindi tahu, kini bahaya
besar mengancam kehormatan dan keselamatan dirinya. Dia harus bisa
menipu orang ini, paling tidak mengulur waktu.
“Kau telah menolongku. Aku berterima kasih. Sayang aku tidak
bisa melihat wajahmu. Hingga kalau kelak bertemu aku mungkin tidak
mengenal dirimu.”
Manusia pocong keluarkan suara tertawa.
“Kau tak perlu melihat wajahku. Apa lagi mengenal siapa diriku.
Budi pertolonganku berpangkal pada janji yang kau ucapkan sewaktu
masih berada dalam kamar sekapan. Saatnya kau menepati janji.
Saatnya aku menagih janji.”
“Tapi aku ingin lebih dulu melihat wajahmu. Dan kalau kau
percaya, lakukan sesuatu agar totokan di tubuhku musnah.”
“Saat ini tidak ada lagi waktu untuk bicara. Yang ada waktu
untuk bekerja.” Habis berkata begitu manusia pocong tanggalkan jubah
putihnya. Di balik jubah ternyata dia mengenakan satu pakaian ringkas
berupa baju dan celana panjang hitam. Masih dengan kepala tertutup
kerudung putih dia melangkah mendekati Wulan Srindi.
“Buka pakaianmu,” perintah manusia pocong.
“Dengar, kita perlu bicara dulu.”
“Aku sudah bilang tak ada waktu untuk bicara! Kalau kau
berusaha menipu dan tidak mau menanggalkan pakaian, aku bisa
melakukannya. Tapi aku akan melakukan secara kejam. Jangan berani
mengingkari perjanjian yang kau buat sendiri! Ingat ucapanmu waktu di
dalam kamar sekapan. Kau mengatakan mau memberi kebahagiaan dan
kenikmatan padaku. Kau bilang begitu berada di luar dirimu adalah
milikku selama aku membutuhkanmu! Sekarang jangan berani mencari
dalih!”
“Aku tahu. Aku juga tahu kau orang baik-baik. Aku...”
“Aku akan menanggalkan semua pakaianku. Harap kau

melakukan hal yang sama. Pada saat semua pakaianku sudah
kutanggalkan dan kau masih tidak berbuat apa-apa, aku akan
menghajarmu sampai sekarat. Aku memang lebih suka melihat dan
menggauli perempuan dalam kesakitan.” Lalu manusia pocong buka
baju hitamnya.
“Aku mohon...”
Wulan Srindi balikkan badan ke sudut pondok. Tak berani
memperhatikan ketika orang di hadapannya bergerak menanggalkan
sisa pakaian yang masih melekat di tubuhnya. Diam-diam Wulan
kembali berusaha mengerahkan tenaga dalam dan alirkan hawa sakti.
Tetap saja dia tidak mampu memusnahkan kekuatan totokan yang
masih menguasai dirinya. Totokan Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong
memang luar biasa.
Tiba-tiba Wulan Srindi merasa ada tangan mencengkeram
punggung pakaiannya. Lalu breeet! Pakaian itu robek sampai ke
pinggang. Wulan Srindi menjerit. Dia balikkan tubuh sambil hantamkan
satu pukulan. Tapi pukulan itu begitu lemah. Jangankan tenaga dalam,
tenaga luarnya sajapun tidak punya daya apa-apa. Manusia pocong
biarkan jotosan lemah itu mendarat di dadanya. Tidak terasa apa-apa,
hanya seperti diusap.
Manusia pocong menyeringai, mendekat penuh nafsu.
“Aku mohon, jangan kau apa-apakan diriku. Aku bersedia jadi
istrimu...” Wulan keluarkan ucapan, masih berusaha membujuk dan
mengulur waktu.
“Kehidupan dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian tidak
mengenal apa yang dinamakan istri! Percuma kau membujukku!”
Tiba-tiba tangan kanannya kembali bergerak. Kali ini menyambar
ke dada si gadis. Untuk kedua kalinya Wulan Srindi memekik. Dada
pakaiannya robek besar. Tapi pekikan si gadis kali ini juga dibarengi
jeritan si manusia pocong. Entah apa yang terjadi tubuhnya terpental ke
kiri, menghantam dinding pondok yang lapuk hingga terpentang jebol
lalu terlempar ke halaman samping. Bersamaan dengan itu satu suara
tawa mengekeh menggema dalam pondok. Bau harum aneh menebar
menyengat hidung.
“Gluk... gluk... gluk!”
Ada suara orang menenggak minuman dengan amat lahap.
***

DUA

DALAM kagetnya Wulan Srindi pentang mata mendelik, memandang ke
depan. Seorang kakek berjanggut putih menjulai dada, berpakaian
selempang kain biru tegak di tengah pondok sambil tertawa gelak-gelak.
Tangan kirinya memegang sebuah bumbung terbuat dari bambu. Bibir
bumbung didekatkan ke mulut. Sikakek lantas buka mulutnya lebar-
lebar. Tak ada benda yang mengucur dari dalam bumbung itu.
“Aku tidak mengenal kakek ini. Apakah dia barusan yang jadi
sang penolongku?” membatin Wulan Srindi. Hatinya harap-harap
cemas. Dalam rimba persilatan tanah Jawa seribu satu macam manusia
gentayangan di mana-mana. Terkadang sulit diterka mana kawan dan
mana lawan.
Si kakek goyang-goyang bumbung di atas mulutnya. Tetap saja
tak ada tak ada cairan yang keluar dari dalam bumbung bambu. Si
kakek memaki sendiri.
“Sial! Kenapa cepat sekali habisnya! Aku tidak memeriksa lagi.
Baru tahu saat mau minum kali ini. Pasti waktu di gunung si Sinto
menenggak bukan cuma satu dua teguk. Nenek geblek! Katanya tidak
doyan, tapi tuakku diteguk amblas!”
Entah disengaja atau memang kebetulan, secara acuh tak acuh
kakek ini lemparkan ke kiri bumbung bambu yang dipegangnya. Saat
itu justru manusia pocong yang terlempar keluar pondok dalam keadaan
marah besar tengah melompat masuk ke dalam pondok untuk
mendamprat dan menyerang si kakek. Namun setengah jalan kepalanya
keburu dihantam bumbung bambu hingga kembali dia terpental. Di
balik kain putih penutup kepala, keningnya luka dan benjut besar.
Darah mengucur membuat kain putih di atas kepalanya basah merah.
Seperti tidak ada kejadian apa-apa, tidak melihat dan tidak
mendengar jerit kesakitan serta caci maki orang, kakek di dalam pondok
ambil tabung bambu kedua yang tergantung di punggungnya. Penutup
tabung di buka, dicampakkan seenaknya ke lantai. Kepala didongakkan
lalu tabung diangkat tinggi-tinggi di atas mulut. Cairan bening yang
menebar bau harum menyengat hidung mengucur keluar. Si kakek
cepat buka mulutnya lebar-lebar.
“Gluk... gluk... gluk!”
Si kakek meneguk tuak harum yang mengucur keluar dari dalam
bumbung bambu dengan lahap. Matanya sebentar mendelik, sebentar
dipejamkan. Sebagian dari tuak membasahi wajahnya yang keriput,
membasahi kumis dan janggut putih serta membasahi dada pakaian
birunya. Tak selang berapa lama baru si kakek turunkan bumbung
bambu. Mukanya kelihatan merah. Dia batuk-batuk beberapa kali lalu
mengusap mulut.

“Tuak enak, benar-benar sedap. Tak salah kalau orang
menyebutnya tuak kayangan. Malah kalau benar ada tuak di kayangan
sana, rasanya mungkin tidak selezat tuakku ini!” Si kakek tertawa
mengekeh sambil usap-usap bumbung bambu. Lalu mulutnya bicara
kembali seenaknya, seolah dia hanya sendirian di tempat itu.
“Mengusap bumbungnya saja nikmatnya seperti mengusap pantat
perempuan montok. Ha... ha... ha!”
Wulan Srindi yang sejak tadi memperhatikan si kakek dari sudut
pendek jadi tercekat.
“Jangan-jangan kakek yang kuanggap sebagai tuan penolong ini
ternyata adalah seekor bandot tua doyan tanaman muda,” murid
Perguruan Silat Lawu Putih itu membatin. “Anehnya lagi masakan dia
tidak tahu aku ada di sini. Mungkin berpura-pura...” Si gadis semula
hendak memanggil tapi kemudian memutuskan untuk diam saja sambil
memperhatikan terus gerak-gerik orang tua berselempang kain biru itu.
Si kakek sangkutkan kembali bumbung tuaknya di punggung.
Dia perhatikan lantai pondok.
“Uh, kotornya. Debu tebal sampai sejempol. Tadinya aku berniat
istirahat tidur-tiduran di tempat ini barang sehari dua. Kalau kotor
begini siapa sudi! Uh! Malam-malam tidak mustahil tikus dan kecoak
mampir di sini. Baiknya aku pergi saja...”
Si kakek betulkan letak bumbung bambu di punggung, usap-usap
dada pakaiannya yang basah, membelai jenggotnya yang putih panjang
dan juga basah lalu putar tubuh melangkah ke pintu pondok.
“Kek!”
Si kakek tertegun berjingkrak. Kelihatan kaget sekali. Entah kaget
benaran entah cuma pura-pura. Dua kaki berhenti melangkah, bahu
diputar dan kepala dipalingkan ke sudut pondok dari mana barusan dia
mendengar suara orang menegur.
“Astaga naga!” si kakek pelototkan mata, usap janggutnya dan
balikkan tubuh. “Luar biasa! Kukira tadi aku sendirian di tempat ini.
Untung tadi aku tidak loloskan celana, dan kencing di sudut pondok
sana.” Si kakek geleng-geleng kepala. Lalu tertawa mengekeh. “Makin
lanjut umurku, makin pikun diriku. Bagaimana mungkin sejak tadi aku
tidak melihat, tidak mengetahui kalau ada seorang gadis cantik di dalam
pondok ini. Tapi, ah! Pakaianmu mengapa tidak karuan begitu rupa.”
Si kakek tutupkan lima jari tangan kanannya di atas dada, tapi
jari-jari itu dipentang lebar hingga tetap saja dia bisa melihat jelas
keadaan dada si gadis yang tersingkap.
Wulan Srindi baru sadar keadaan dada bajunya yang tersingkap
lebar akibat robekan manusia pocong tadi. Cepat-cepat gadis ini rapikan
pakaiannya.
“Kek kau siapa?” Wulan Srindi bertanya.
Berbarangan dengan itu si kakek juga ajukan pertanyaan.
“Gadis cantik, kau siapa?”
Dua-duanya kemudian sama tertawa. Si kakek maju selangkah,

pandangi Wulan Srindi dari kepala sampai ke kaki.
“Kau orang sungguhan? Eh, kakimu nginjak lantai apa tidak?
Hik... hik... hik!”
“Eh, memangnya aku ini kau lihat bagaimana Kek?”
“Pondok ini terpencil dalam rimba belantara. Di kawasan bukit
batu jarang didatangi manusia. Ada seorang gadis cantik begini rupa.
Bagaimana aku tidak curiga?”
“Nyatanya kau sendiri berada di sini,” tukas Wulan Srindi si gadis
berkulit hitam manis. “Berarti aku juga pantas merasa curiga.”
“Aku muncul di sini kebetulan saja. Eh, jawab dulu kau ini orang
sungguhan, bukan peri bukan dedemit hutan yang muncul menyamar
jadi gadis cantik?”
Wulan Srindi tertawa lebar.
“Terkadang hantu juga bisa muncul dalam ujud seperti dirimu
sekarang ini, Kek.”
Si kakek angkat tangannya, digoyang-goyang seraya berkata.
“Sudah, sudah! Jangan bicara segala macam hantu dan dedemit. Nanti
kita berdua pada kesambet dan jadi hantu dedemit sungguhan.”
“Kek, kau telah menolongku. Aku mengucapkan terima kasih.”
Wulan Srindi berkata sambil bungkukkan diri. Karena gerakan ini, dada
pakaiannya kembali tersingkap. Si kakek mendelik menahan nafsu
ketika melihat dada yang terbuka itu. Sambil usap-usap jenggotnya dia
memandang ke arah pintu. Saat itu terdengar suara menggembor
disertai makian keras.
“Tua bangka jahanam! Kupecahkan kepalamu!”
“Eh, siapa yang bicara?” kejut si kakek. Dia celingukan sebentar
lalu berpaling ke kiri. Di saat bersamaan satu sosok berkelebat. Satu
jotosan dahsyat menderu ke arah pelipis kiri si kakek. Kalau dia tidak
lekas menghindar kepalanya pasti kena dihantam rengkah!
Sambil berseru kaget, orang tua yang membekal bumbung tuak di
punggungnya itu cepat melompat mundur. Ketika dia hendak balas
menyerang, baru disadarinya dengan siapa dia berhadapan.
“Aha! Ini baru dedemit sungguhan! Muka ditutup kain putih
berdarah. Tapi mengapa tubuh sebelah bawah polos tidak pakai apa-
apa! Gila betul! Apa tidak masuk angin? Pemandangan merusak mata!
Kalau seorang gadis berkeadaan sepertimu pasti aku tidak menolak
melihat! Tapi yang macam kamu! Wuaallah! Dedemit geblek! Pergi sana!”
Ketika orang tanpa pakaian itu berkelebat kirimkan serangan ke
arah si kakek Wulan Srindi telah lebih dulu membuang muka,
memandang ke jurusan lain.
Si manusia pocong dengan satu-satu pakaian yang dikenakannya
saat itu hanyalah kain penutup kepala, seolah baru sadar jadi
kelabakan melihat keadaan dirinya. Dia segera menyambar jubah putih
miliknya yang ada di lantai. Tapi si kakek lebih dulu menarik jubah itu
dengan jempol kaki kirinya, lalu dilempar lewat pintu keluar pondok.
Manusia pocong jadi kalap.

“Tua bangka jahanam!” Dia memaki.
Si manusia pocong lalu hantamkan dua tangannya sekaligus ke
arah si kakek. Dua gelombang angin menderu dahsyat. Pondok
bergoyang seperti mau roboh. Sebelum dua gelombang angin menyapa si
kakek, manusia pocong telah melompat susul serangannya dengan
kirimkan pukulan berantai, dua tangan kiri kanan sekaligus.
Kakek berselempang kain biru melihat dan merasa dua gelombang
angin maut menderu ke arah dirinya. Cepat dia melompat ke atas
hingga kepalanya hampir menyundul atap pondok.
“Braakk! Braakkk!”
Dinding pondok sebelah kanan hancur berantakan di hantam dua
angin pukulan manusia pocong. Manusia pocong berteriak marah. Tidak
Perdulikan keadaan dirinya yang tanpa pakaian sama sekali dengan
nekad dia mengejar ke depan. Saat itu si kakek telah melayang turun
kembali sambil dua tangannya sambuti pukulan berantai lawan.
“Bukk! Bukkk!”
Dua tangan saling memukul, saling beradu di udara
mengeluarkan suara bergedebukan tiada hentinya. Satu kali si kakek
gerakkan tangan kanan, memutar bumbung bambu ke depan. Ketika
jotosan tangan kanan lawan datang, dengan cepat si kakek sodokkan
pantat bumbung bambu ke arah serangan.
“Krakk!”
Seolah tidak mendengar suara apa-apa si kakek buka kain
penutup bumbung, dongakkan kepala, buka mulut dan kucurkan tuak
di dalam bumbung.
“Gluk... gluk... gluk!”
Enak saja si kakek meneguk tuak harumnya sementara di
depannya si manusia pocong menjerit terbungkuk-bungkuk sambil
pegangi tangan kanannya yang telah hancur mulai dari ujung lima jari
sampai pengkal pergelangan!
“Orang gila! Jangan berisik di tempat ini! Pergi sana!” maki si
kakek. Lalu tuak diteguknya satu kali lagi. Setelah itu tuak yang ada
dalam mulut disemburkan ke arah manusia pocong.
“Cuaahhh!”
“Wusss!” Cairan tuak yang disertai aliran tenaga dalam tinggi itu
laksana ratusan jarum menderu ke arah manusia pocong yang sedang
menjerit-jerit kesakitan karena tangan kanannya yang hancur. Dia tak
mampu berkelit, tak sanggup menangkis. Sosoknya terlempar jauh
keluar pondok, terbanting di tanah. Lebih dari empat lusin lobang
muncul di permukaan kulit tubuhnya yang kelihatan hancur, menyusup
ke daging terus ke tulang! Dari lobang-lobang itu mengepul asap kelabu!
Si manusia pocong keluarkan pekik keras, tubuhnya menggeliat
beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi. Mati!
Seumur hidup baru sekali itu Wulan Srindi melihat kematian
orang akibat semburan cairan tuak. Sementara si gadis masih setengah
terkesiap, si kakek melangkah keluar pondok yang sudah doyong dan

siap roboh, mendekati mayat manusia pocong. Dia tarik kain putih yang
menutupi kepala orang. Satu wajah tua bundar dan ada tahi lalat besar
di dagu kiri tersingkap. Lama si kakek pandangi wajah itu hingga
perlahan-lahan dua alis matanya yang putih mencuat ke atas. Setelah
menarik nafas panjang dan geleng-geleng kepala kakek ini keluarkan
ucapan. Nada suaranya menyatakan kesedihan.
“Sahabatku Ki Sepuh Dalemkawung, benarkah kau ini? Kalau
tidak melihat tahi lalat di dagumu, aku mungkin masih menaruh ragu.
Mengapa kau berubah jadi orang jahat? Kalau tadi-tadi aku tahu ini
adalah dirimu, mungkin aku tidak akan tega membunuhmu.”
Wulan Srindi tidak berani mendekati. Dari tempatnya berdiri gadis
ini bertanya.
“Kek, kau kenal orang itu?”
Si kakek melangkah kembali masuk ke dalam pondok.
“Namanya Sepuh Dalemkawung. Belasan tahun lalu kami pernah
bersahabat. Dia orang baik. Ilmunya tinggi. Serangan tangan kosong
yang dilakukannya tadi adalah pukulan Dua Gelombang Menjebol
Dinding Karang. Dia pernah berulang kali membantu Kerajaan
menghancurkan kaum pemberontak di kawasan timur. Adalah aneh
kalau kini dia berbuat seperti ini, berdandan seperti pocong hidup,
melakukan kejahatan, terutama terhadap orang-orang perempuan.
Menyedihkan sekali seorang sahabat menemui ajal mengenaskan seperti
ini. Dan gilanya, aku yang membunuhnya!” Si kakek tepuk keningnya
sendiri.
“Kek,” ujar Wulan Srindi. “Kau tidak membunuh seorang sahabat.
Yang kau bunuh adalah kejahatan.” Si gadis coba menghibur.
Si kakek tersenyum tawar. Dia hendak meneguk tuak dalam
bumbung tapi tak jadi, malah keluarkan ucapan penyesalan. “Ki Sepuh,
kalau saja kau masih hidup dan bisa bicara, menerangkan apa
sebenarnya yang terjadi, aku mungkin bisa mencari tahu siapa yang jadi
biang kerok kejahatan ini.”
Memandangi si kakek Wulan Srindi lalu ingat. Tahu diri kalau
orang benar-benar telah menolongnya si gadis melangkah ke hadapan si
kakek lalu jatuhkan diri berlutut.
“Kek, aku sangat berterima kasih. Kalau kau tidak muncul saat ini
pasti aku sudah...”
Si kakek usap kepala Wulan Srindi.
“Bangunlah, tidak pantas manusia berlutut di hadapan manusia
lainnya. Aku hanya tidak mengerti, bagaimana gadis cantik sepertimu
bisa kesasar di tempat ini dan tadi hampir saja dikerjai makhluk
terkutuk itu. Gadis, siapa namamu?” “Kek, namaku Wulan Srindi...”
“Pantas wajahmu cantik seperti bulan.” Memuji si kakek.
“Aku murid Perguruan Silat Lawu Putih. Aku dan kakak
seperguruan yang menjadi Ketua Perguruan, meninggalkan perguruan
beberapa waktu lalu untuk menyelidiki pembunuhan atas diri guru dan
bekas Ketua kami Surablandong. Kami bernasib malang. Kakak

seperguruanku menemui ajal di tangan manusia pocong. Aku sendiri...”
“Manusia pocong?” tanya si kakek.
“Betul Kek. Salah satu diantaranya yang barusan kau bunuh.”
“Hemm, dalam perjalanan ke sini beberapa kali aku mendengar
makhluk-makhluk itu disebut orang. Aneh tapi jahat. Kabarnya mereka
menculik perempuan-perempuan bunting. Apa betul?” “Betul sekali
Kek...” Lalu Wulan Srindi menuturkan kisahnya, mulai dari penyamaran
yang dilakukannya bersama Ketua Perguruan Silat Lawu Putih sampai
akhirnya dirinya diculik.
“Aneh, buat apa? Mau diapakan perempuan-perempuan hamil
itu?”
“Itu sebenarnya salah satu hal yang ingin kami selidiki.” Jawab
Wulan Srindi pula.
“Murid yang tengah aku cari, seperti dirimu pasti tidak dalam
keadaan bunting. Tapi melihat dirimu yang juga tidak bunting hampir
jadi korban bukan mustahil muridku bisa pula celaka di tangan
makhluk keparat itu. Siapa manusia-manusia pocong itu sebenarnya?”
“Aku belum sempat menyelidik. Tahu-tahu sudah kena diculik.”
Si kakek usap-usap janggut panjangnya.
“Hemm...” si kakek bergumam. “Turut penuturanmu jelas
manusia-manusia pocong ini punya satu komplotan. Kalau yang disebut
Wakil Ketua, tentu ada Ketua. Pasti pula mereka punya banyak anak
buah. Lalu sarang mereka pasti dijadikan tempat penyekapan
perempuan-perempuan hamil itu. Kalau katamu kau dibawa ke sini
sesaat setelah fajar menyingsing, lalu sampai di sini tak selang berapa
lama, berarti markas komplotan itu tidak berapa jauh dari tempat ini.”
“Mungkin begitu Kek. Satu hal perlu aku beritahu sarang
komplotan itu merupakan satu goa batu. Di dalamnya ada puluhan
lorong aneh, panjang dan berliku-liku. Sekali tersesat masuk dan tak
bisa keluar pasti menemui ajal. Menurut manusia pocong yang
membawaku ke sini, lorong itu disebut Seratus Tiga Belas Lorong
Kematian.”
Si kakek goleng-goleng kepala.
“Makin tua umur dunia, makin banyak keanehan terjadi,” kata si
kakek lalu dia meneguk tuaknya beberapa kali.
“Aku harus menyelidiki tempat itu sebelum bencana semakin
merajalela.”
“Aku ikut bersamamu Kek.” Kata Wulan Srindi pula.
Si kakek tersenyum.
“Mendekatlah ke hadapanku,” kata si kakek.
Wulan Srindi mengikuti perintah. Dia melangkah ke hadapan
orang tua itu. Si kakek pandangi gadis di depannya dari kepala sampai
ke kaki.
“Kek, ada apa?” Si gadis menjadi risih tidak enak.
“Aku melihat ada kelainan pada gerak-gerikmu...”
“Kek, sebenarnya aku masih dalam keadaan tertotok.”

“Ah, benar dugaanku. Tapi totokan yang menguasai dirimu bukan
totokan sembarangan. Anehnya kau masih bisa bergerak, bisa bicara
dan mampu berpikir. Membaliklah. Tahan nafas dan pejamkan mata.”
“Menurut orang yang barusan kau bunuh, hanya Wakil Ketua dan
Ketua manusia pocong yang bisa membebaskan diriku dari totokan ini.”
“Begitu? Coba kulihat. Ayo melangkah ke sini.”
Wulan Srindi ikuti perintah. Dia melangkah mendekati si kakek.
“Baliklah tubuh. Hadapkan punggungmu padaku. Tahan nafas
dan pejamkan mata.”
Kembali Wulan Srindi lakukan apa yang dikatakan si orang tua.
Begitu dia menahan nafas dan pejamkan mata, satu tusukan
halus melanda punggungnya. Walau tusukan itu halus dan lembut tapi
akibatnya membuat tubuh si gadis mencelat ke atas. Di dahului satu
pekik keras, Wulan Srindi berjumpalitan di udara dan melayang turun
ke bawah dengan dua kaki menginjak lantai pondok lebih dulu. Di
wajahnya yang cantik bermunculan titik-titik keringat. Sesaat mukanya
tampak pucat, lalu secara perlahan berdarah kembali.
“Kek, kau memusnahkan totokan di tubuhku,” kata Wulan Srindi
penuh kagum dan hampir tidak percaya dan berpikir. Berarti orang tua
ini memiliki ilmu kesaktian paling tidak setingkat Sang Wakil Ketua
barisan Manusia Pocong. Mungkin juga sama dengan tingkat
kepandaian Sang Ketua sendiri. “Kek, aku mohon kau sudi
memberitahu siapa dirimu adanya. Aku sangat berterima kasih. Bukan
cuma berhutang budi, tapi juga nyawa dan kehormatan.”
Si kakek cuma tersenyum. “Kau ini bicara apa,” katanya.
“Kek, aku mohon. Harap katakan siapa dirimu adanya.”
“Siapa diriku, itulah hal yang tidak penting.” “Jangan begitu Kek.
Bagimu tidak penting tapi bagiku sangat penting.”
Si kakek tersenyum, usap-usap janggutnya. Akhirnya berkata.
“Karena aku doyan minum tuak, orang-orang lantas menyebut
diriku Dswa Tuak. Ada-ada saja. Pada hal jelas aku bukan Dewa. Tapi
kakek-kakek rongsokan yang sudah bau tanah!” Habis berkata begitu si
orang tua tertawa mengekeh.
Terkejutlah Wulan Srindi mendengar ucapan orang. Kembali dia
jatuhkan diri.
“Kek, ketika guruku Surablandong masih hidup, beliau sering
menceritakan tentang kisah tokoh-tokoh rimba persilatan tanah Jawa.
Salah seorang yang disebut dan diceritakan beliau adalah dirimu. Hari
ini sungguh aku bersyukur bisa bertemu denganmu. Lebih dari itu
karena ternyata engkaulah penolongku, tokoh rimba persilatan yang
selama ini kami kagumi.”
“Berdiri, jangan berlutut!” Si kakek membentak.
“Tidak Kek, aku akan tetap berlutut sebelum kau memenuhi satu
permintaanku.”
“Permintaan? Memangnya kau mau minta apa? Ingin merasakan
minum tuakku? Nanti kau mabok. Baru tau!”

Wulan Srindi angkat kepalanya, tersenyum. Lalu dengan
sungguh-sungguh dia berkata.
“Aku tidak akan bangun sebelum Kakek mengiyakan bahwa kau
mau mengambil aku jadi muridmu.”
Dewa Tuak tertegun sesaat lalu sambil tersenyum dia berkata.
“Kau keliwat menganggap diriku sebagai orang hebat. Aku tidak
punya apa-apa selain bumbung tuak ini...”
“Aku lebih baik mati berlutut di tempat ini daripada tidak jadi
muridmu.”
“Gadis bengal. Aku masih banyak urusan. Antaranya mencari
muridku...”
“Katakan saja siapa muridmu. Aku akan mencarikannya
untukmu. Asal aku dijadikan muridmu lebih dulu. Biar tidak diajarkan
ilmu kepandaian apapun aku rela.”
“Anak gadis, kau sendiri pasti banyak urusan. Kembalilah ke
perguruanmu. Daerah sekitar sini terlalu berbahaya bagimu. Jangan
kau sampai kena diculik orang untuk kedua kali.”
“Tidak Kek, aku tidak akan kembali ke perguruan. Aku akan ikut
ke mana kau pergi.”
“Benar-benar gadis bengal!” ujar Dewa Tuak dengan suara keras
tapi wajah tuanya unjukkan senyum. “Dengar, aku berjanji satu saat
akan menjengukmu di Gunung Lawu.”
“Dan kau akan mengambilku jadi murid. Begitu? Ujar Wulan
Srindi, masih berlutut dan kepala masih ditundukkan. Sepuluh jari
tangan dirangkapkan di depan dada. “Tapi Kek, berapa lama aku harus
menunggu? Satu tahun? Dua tahun...?”
“Sudah, begini saja, kalau kau tidak suka kembali ke Gunung
Lawu, tolong aku mencarikan seseorang,” kata Dewa Tuak pula.
“Mencari seseorang? Siapa? Muridmu itu?” “Bukan. Seorang
pemuda berjuluk Pendekar 212 Wiro Sableng.”
Wulan Srindi terkesiap, angkat kepalanya sedikit, pandangi wajah
si kakek lalu merunduk kembali.
“Aku sudah lama mendengar nama besar dan kehebatan Pendekar
212. Tapi belum pernah bertemu orangnya. Kata orang tidak mudah
mencari pendekar satu itu. Lalu aku juga menyirap kabar, dia seorang
pendekar mata keranjang. Punya banyak kekasih. Cantik-cantik
semua...”
“Kau tidak kalah cantik dengan semua mereka itu,” jawab Dewa
Tuak sambil tersenyum.
Dada sang dara jadi berdebar. “Apa maksudmu, Kek?”
“Sudah, sekarang terserah padamu. Kau punya pilihan mau
melakukan apa. Kembali ke Gunung Lawu atau mencari pendekar itu.
Kalau mencari Wiro dan bertemu, ceritakan padanya apa yang telah
terjadi dengan dirimu. Juga ceritakan pertemuan kita ini.”
“Aku akan lakukan Kek. Cuma aku ada satu pertanyaan lagi...”
Wulan Srindi mendengar suara si kakek bergumam. Lalu gadis ini

merasakan satu usapan di kepalanya. Ketika dia mengangkat muka,
Dewa Tuak tak ada lagi di dalam pondok.

TIGA

DALAM Episode sebelumnya (Nyawa Kedua) diceritakan bahwa seorang
anggota komplotan manusia pocong yang disebut Satria Pocong
menemui Yang Mulia Ketua yang saat itu masih berada di halaman
Rumah Tanpa Dosa. Kepada Sang Ketua dilaporkan tentang adanya
seorang penyusup yang kini terperangkap dalam lorong delapan belas.
Ketua Barisan Manusia Pocong memerintahkan Wakil Ketua bersama
anggota pelapor untuk segera menyelidiki perkara tersebut.
Di tengah jalan Wakil Ketua memerintahkan Satria Pocong agar
berangkat lebih dulu ke lorong delapan belas, menunggunya di sana dan
jangan melakukan sesuatu sebelum dia datang. Wakil Ketua kemudian
memasuki satu terowongan batu menuju kamar kediamannya. Di
tempat inilah dia telah menyekap Wulan Srindi, gadis anak murid
Perguruan Silat Lawu Putih setelah lebih dulu dua pertiga dari kekuatan
yang ada dalam dirinya dilumpuhkan dengan totokan. Sebelum pergi ke
lorong delapan belas dorongan nafsu yang ada dalam tubuhnya
membuat dia terlebih dulu ingin bersenang-senang dengan gadis itu.
Namun Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong jadi terkejut besar
ketika dapati kamar dalam keadaan kosong. Wulan Srindi lenyap.
“Tubuhnya dibawah pengaruh totokan. Pintu kamar hanya bisa
dibuka dengan tombol batu rahasia. Tidak mungkin gadis itu kabur
sendiri. Pasti ada yang menolong. Ada penghianat di tempat ini! Kurang
ajar!” Sang Wakil Ketua gerakkan jari-jari tangan kanannya hingga
mengeluarkan suara berkeretekan membentuk tinju. Tidak menunggu
lebih lama dia segera melompat ke pintu lalu menghambur ke kanan.
Tak lama kemudian dia telah memasuki bagian dalam mulut
terowongan yang disebut 113 Lorong Kematian. Sambil lari dalam hati
dia menghitung menyebut angka dan arah.
“Lima puluh kiri. Tiga puluh kanan. Empat puluh kiri. Lima puluh
kanan...” Wakil Ketua sudah berulang kali melewati lorong tersebut.
Namun dia tetap menghitung angka dan menyebut arah agar tidak
tersesat. Sekali seseorang kesasar dalam terowongan yang memiliki 113
lorong tersebut, sulit baginya akan keluar lagi.
Ketika mencapai lorong 18, Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong
hentikan lari. Di depannya menggeletak sosok putih seorang Satria
Pocong. Mengerang megap-megap siap menemui ajal. Kain putih yang
menutupi wajahnya tampak basah merah oleh darah. Dari bentuk
sosoknya Sang Wakil Ketua mengetahui orang ini adalah Satria Pocong
yang tadi disuruhnya pergi lebih dulu ke lorong 18.
Wakil Ketua berlutut di samping sosok Satria Pocong. Hidungnya
mencium bau aneh. Sepasang mata mengerenyit ketika melihat kain
putih yang menutupi kepala anak buahnya itu selain basah oleh darah

juga dipenuhi puluhan lubang kecil.
“Aneh.” ucap Wakil Ketua. Dengan tangan kiri ditariknya ke atas
kain putih penutup kepala Satria Pocong. Sang Wakil Ketua langsung
melengak. Lututnya goyah, tubuh tersurut ke belakang. Muka yang
tersembul di balik kain putih penutup kepala tampak melepuh hangus.
Di seluruh kulit muka kelihatan lobang-lobang kecil mengepulkan asap
tipis. Darah menggenang di mata yang mendelik besar. Wakil Ketua
pegang urat besar di leher Satria Pocong. Masih ada denyutan halus.
“Satria Pocong! Katakan apa yang terjadi!”
Bibir anggota Barisan Manusia Pocong itu bergetar. Matanya
bergerak. Darah yang menggenang meleleh ke pipi. Mulutnya
mengucapkan sesuatu. Namun yang keluar adalah lelehan darah.
“Kurang ajar!” rutuk Wakil Ketua. Dia memandang berkeliling. Di
ujung lorong sebelah sana dia melihat satu lagi sosok putih
tergelimpang. Pandangannya kembali pada Satria Pocong yang tergeletak
di sampingnya. Tidak sabaran dia tekan tenggorokan orang itu hingga
darah menggelegak keluar. Kau bisa bicara! Kau harus bisa bicara!
Katakan apa yang terjadi!” Wakil Ketua ulangi ucapannya. Setengah
berteriak.
“Grekk... hekkkk... Ka... kakek rambut put... putih. Ilmunya ting...
tinggi sekal... A... aku... Hekkk!” Tenggorokan Satria Pocong keluarkan
suara tercekik. Ucapannya putus. Mata nyalang tergenang darah, tak
berkesip. Nyawanya keburu melayang sebelum sempat berikan
keterangan lebih lanjut.
Wakil Ketua bangkit berdiri, bertolak pinggang.
Mata liar memandang ke setiap sudut terowongan yang memiliki
banyak sekali lorong dan cabang-cabangnya. Sambil usap-usap
tengkuknya dia berkata perlahan.
“Kakek rambut putih. Siapa manusia itu? Tidak ada orang lain di
tempat ini. Orang yang menyusup? Kalau memang dia, di mana bangsat
itu sekarang?” Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong memandang ke
arah ujung lorong. Memperhatikan cabang-cabang lorong yang
memenuhi kiri kanan lorong di mana dia berada. “Satria Pocong satu ini
setahuku memiliki kepandaian silat tiga tingkat di bawahku. Kalau ada
orang bisa membantainya berarti...” Wakil Ketua tidak teruskan ucapan.
Dia melangkah mendekati sosok manusia pocong satu lagi yang terkapar
di depan sana. Ketika dia memperhatikan kain putih penutup kepala,
ada sedikit bercak darah, tidak ada lobang-lobang kecil seperti pada
penutup kepala manusia pocong yang barusan meregang nyawa.
Menyangka Satria Pocong satu ini masih hidup, dia segera lepaskan
kain penutup kepala. Untuk kedua kalinya dia dibuat melengak kaget.
Muka yang tersembul di balik kain putih penutup kepala ini memang
tidak hangus tidak melepuh. Tapi mulai dari kening sampai ke
pertengahan hidung muka itu rengkah. Darah pada rengkahan kepala
mulai mengering. Siapa saja yang melihat pasti akan bergidik.
Suara geram menggembor keluar dari tenggorokan Wakil Ketua

Barisan Manusia Pocong. Tiba-tiba matanya melihat ada cairan
menggenang di lantai lorong. Dia memperhatikan sesaat, lalu usapkan
jari-jari tangannya di atas cairan. Terasa dingin. Sewaktu jarinya
didekatkan ke hidung, dia mencium bau harum aneh.
“Seperti bau nira. Mungkin juga tuak...” Membatin Sang Wakil
Ketua lalu bangkit berdiri, memandang berkeliling. “Aku berada di
lorong delapan belas. Kakek rambut putih yang katanya tersesat di
sekitar sini tidak kelihatan. Mungkin dia berusaha mencari jalan, lalu
nyasar di lorong lain. Dia tak bakal bisa ke mana-mana. Nanti saja
kucari. Sekarang aku harus mengejar jahanam yang melarikan diri itu.”
Sang Wakil Ketua segera berkelebat tinggalkan tempat itu.
TAK berapa lama setelah Dewa Tuak tinggalkan dirinya Wulan
Srindi keluar dari dalam pondok. Walau memikir nasihat si kakek agar
dia kembali ke Perguruan di Gunung Lawu ada benarnya, namun gadis
ini memilih menyelidik ke mana perginya orang tua aneh berkepandaian
tinggi yang telah menolongnya itu. Berat dugaannya Dewa Tuak akan
menyelidik sarang komplotan Barisan Manusia Pocong. Maka dia segera
tinggalkan rimba belantara kecil, lari ke arah bukit batu.
Seperti yang diduga Wulan Srindi, Dewa Tuak memang
menyelidiki kawasan bukit batu di sebelah barat rimba belantara. Kakek
berkepandaian tinggi dengan pengalaman selangit ini setelah memutari
bukit batu beberapa lama akhirnya menemui goa yang jadi mulut
terowongan sarang kediaman manusia pocong. Tanpa ragu kakek ini
segera masuk ke dalam goa. Di luar goa Wulan Srindi mendekam di
balik sebuah batu besar. Dia tak berani terus mengikuti Dewa Tuak
masuk ke dalam goa. Sebelumnya sewaktu diculik Wakil Ketua Barisan
Manusia Pocong dia telah menyaksikan sendiri keadaan lorong di dalam
bukit batu. Dalam kebimbangannya akhirnya gadis ini memilih untuk
tetap sembunyi di balik batu. Siapa tahu si kakek akan muncul keluar
kembali.
Lama sekali dia mendekam di belakang batu besar tiba-tiba
berkelebat satu bayangan putih. Dari bentuk sosoknya Wulan Srindi
segera mengenali manusia pocong itu adalah Wakil Ketua yang
sebelumnya telah menculik dirinya. Wulan cepat merunduk, bergerak
lebih jauh ke balik batu besar.
DI LUAR 113 lorong Kematian hari telah lama terang. Matahari
pagi mengusir sebagian kabut yang banyak menggantung di kawasan
bukit berbatu sehingga dengan matanya yang tajam cukup mudah bagi
Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong melihat jejak-jejak kaki di
bebatuan berlumut.
“Orang lari di atas batu berlumut, membawa beban tubuh
manusia. Tidak terpeleset, berarti si pengkhianat memiliki ilmu
meringankan tubuh tinggi. Aku belum bisa menduga siapa dia adanya.
Tapi aku sudah bisa menduga ke mana dia membawa gadis itu. Jalan
ini mengarah ke pondok kayu di dalam rimba.”
Wakil Ketua lari laksana bayangan setan. Tak selang berapa lama

dia sudah melihat bangunan di balik pepohonan dan semak belukar
lebat itu. Lima puluh langkah dari pondok kayu dia hentikan lari,
memperhatikan. Pondok itu tampak doyong berat, siap roboh. Salah
satu dindingnya terpentang jebol. Ketika dia memperhatikan halaman
kiri di samping dinding yang jebol, kagetnya bukan alang kepalang. Dia
melihat satu sosok lelaki tanpa pakaian menggeletak di tanah. Kain
putih penutup kepala tercampak di dekatnya. Dua kali lompatan saja
Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong ini sudah sampai di samping
sosok tak berpakaian itu.
Ki Sepuh Daiemkawung!” ucap kaget Wakil Ketua dan suaranya
setengah tercekik ketika dia mengenali wajah orang yang tergelimpangan
di tanah itu. Ada benjut dan luka besar di kening. Lalu di bagian tubuh
dia melihat puluhan lobang mengerikan pada kulit dan daging yang
melepuh hangus.
Jahanam! Kau rupanya yang jadi pengkhianat. Tua bangka tak
tahu diri! Masih suka gadis yang pantas jadi cucunya!” maki Wakil
Ketua tanpa merasa kalau sebenarnya diapun punya maksud keji dan
mesum terhadap Wulan Srindi. Kaki kirinya bergerak. Tubuh Ki Sepuh
Daiemkawung terpental sampai dua tombak.
“Bangsat pengkhianat ini melarikan Wulan Srindi. Tapi gadis itu
sendiri entah berada di mana. Apakah dia sudah sempat menodai gadis
itu lalu membunuhnya. Kemudian membuang mayatnya di tempat lain?
Di sekitar sini banyak jurang dalam. Lalu siapa yang membunuh
Dalemkawung? Kakek rambut putih yang disebutkan Satria Pocong
dalam lorong?” Sang Wakil Ketua terus berpikir. “Dalemkawung tidak
mungkin telah menodai gadis itu. Tidak secepat itu.”
Wakil Ketua melompat ke dalam pondok yang hampir roboh. Di
sini dia hanya menemui seperangkat pakaian hitam, jubah dan kain
putih penutup kepala.
Sambil pegang dagunya Wakil Ketua membatin. “Mungkin si
keparat Dalemkawung belum sempat menodai gadis itu. Keburu
dibunuh...” Wakil Ketua membatin seolah menghibur diri sendiri.
Manusia pocong ini kemudian putar kepala, memperhatikan bagian
dalam pondok. Pandangannya membentur sebuah bumbung bambu.
Benda ini segera diambil. Ketika diperhatikan dan dibolak balik, ada
cairan yang keluar. Wakil Ketua dekatkan hidungnya ke mulut
bumbung.
“Cairan ini sama baunya dengan cairan dalam lorong. Tuak!
Berarti orang yang membunuh Dalemkawung adalah orang yang sama
yang membunuh dua Satria Pocong di dalam lorong! Bangsat itu
katanya tersesat sekitar lorong delapan belas. Aku harus segera ke sana.
Sekali dia masuk ke dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian, pasti
tidak bisa keluar selamatkan diri! Sial, tak ada kesempatan bagiku
mencari gadis itu.”
Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong benar-benar marah besar.
Gadis cantik yang sudah jadi miliknya lenyap entah ke mana karena

pengkhianatan Ki Sepuh Dalemkawung. Tiga orang anak buahnya
dibunuh orang! Setiap anggota Barisan Manusia Pocong bukanlah
orang-orang biasa. Mereka adalah orang-orang pilihan yang harus
memiliki kepandaian silat tinggi, Kesaktian serta tenaga dalam yang
dapat diandalkan. Itu sebabnya mereka dijuluki Satria Pocong. Tidak
mudah membunuh salah seorang dari mereka. Dan kalau sampai tiga
orang sekaligus tewas seperti yang terjadi, pastilah si pembunuh
seorang berkepandaian sangat tinggi.
“Kalau memang ada kakek berambut putih menyusup masuk dan
jadi pembunuh liga Satria Pocong, pasti dia berkepandaian tinggi.
Jangan-jangan dia seorang tokoh rimba persilatan.” Begitu Wakil Ketua
Barisan Manusia Pocong membatin sambil lari memasuki 113 Lorong
Kematian. Dia harus berlaku waspada. Mata dipentang tajam, telinga
dipasang. Bukan mustahil kakek rambut putih itu mendadak muncul di
depannya.
Di balik batu besar, Wulan Srindi yang masih berada dalam
kebimbangan apakah akan masuk ke dalam goa batu jadi bertambah
bimbang ketika dilihatnya Wakil Ketua memasuki mulut goa. Kalau dia
menyusul masuk lalu tertangkap untuk kedua kalinya, pasti dia tak
akan bisa selamatkan diri lagi untuk selama-lamanya.
LORONG 21 memiliki 7 anak lorong. Di dalam anak lorong ke 5
Dewa Tuak duduk menjelepok sambil mengusap-usap bumbung bambu
yang terletak di pangkuannya.
“Sarang manusia pocong. Aku berada dalam sarang manusia
pocong...” Si kakek berucap. “Tiga anggota mereka sudah kubunuh.
Tentu masih banyak yang lainnya. Tadi salah seorang dari mereka
berhasil kabur. Pasti melapor pada atasannya. Sebentar lagi ada yang
akan muncul di tempat ini. Lorong celaka, bagaimana aku bisa keluar
dari sini? Semua lorong bentuknya sama. Bagaimana mungkin ada
tempat jahanam seperti ini?!” Dewa Tuak geleng-geleng kepala. Tadi
setelah menghabisi dua orang manusia pocong yang tiba-tiba muncul
dan menyerangnya dia berusaha kembali ke mulut goa. Keluar dari
lorong 18 dia kesasar memasuki cabang-cabang lorong atau menemui
lorong buntu. Akhirnya dalam keadaan letih kakek ini dudukkan diri di
lantai cabang lorong ke 5 dari lorong utama 21.
“Aku harus mencari jalan keluar! Tolol sekali kalau aku sampai
mampus di tempat celaka begini rupa!”
Sebelum berdiri Dewa Tuak angkat bumbung bambunya. Dari
beratnya bumbung dia tahu kalau tuak di dalamnya hanya tinggal
setengah.
“Cuma satu bumbung tuak kini yang kumiliki. Isinya hanya
tinggal setengah. Edan, di mana aku bisa mendapatkan bahan untuk
membuat tuak baru!” Penutup bumbung dibuka. Bumbung ditempelkan
ke bibir. Biasanya tuak yang mencurah akan ditenggak dengan lahap.
Karena tinggal sedikit kali ini si kakek terpaksa berhemat-hemat.

Baru sedikit tuak harum itu memasuki tenggorokannya tiba-tiba
satu benda melesat dan menancap di pantat bumbung. Dewa Tuak
sampai tercekik saking kagetnya. Dengan mata mendelik dia turunkan
bumbung. Sepasang mata tambah membelalak ketika melihat benda apa
yang menancap di ujung bumbung bambu. Sebuah bendera kecil
berbentuk segi tiga. Berwarna merah dan basah. Bendera Darah!
-***

EMPAT

WALAU kaget terkesiap melihat bendera aneh menancap di ujung
bumbung bambu, di lain saat Dewa Tuak keluarkan suara tawa
mengekeh.
“Siapa pula yang mau-mauan bercanda di tempat gila seperti ini!”
katanya sambil bangkit berdiri. Tapi begitu berdiri tegak lurus, masih
memegang bumbung tuak di tangan kiri tahu-tahu di depannya sudah
berdiri satu sosok berjubah dan bertutup kepala putih.
“Aha! Sampean rupanya Manusia pocong yang katanya doyan
menculik perempuan-perempuan bunting! Sayang aku tidak bisa
melihat tampangmu. Hingga sulit kuduga apa kau ini lelaki, perempuan
atau makhluk banci-bancian!”
“Tua bangka sinting!” bentak manusia pocong di hadapan Dewa
Tuak. Suaranya keras, membuat gema panjang di Seantero lorong dan
menggetarkan lantai batu. Getaran itu menjalar masuk pada dua kaki
Dewa Tuak, namun lenyap sebelum mencapai ketinggian lutut. “Jangan
berani bicara kurang ajar sembarangan di hadapanku!”
Meski kaget mendengar dahsyatnya bentakan orang Dewa Tuak
menyeringai. Diam-diam tadi dia sudah mengukur kehebatan tenaga
dalam manusia pocong yang memancar dalam suara bentakannya.
Memang jarang-jarang ada orang memiliki tingkat tenaga dalam setinggi
yang dimiliki makhluk serba putih ini. Namun si kakek tidak merasa
khawatir. Tingkat tenaga daiam orang masih berada di bawahnya. Maka
enak saja sambil letakkan bumbung bambu di bahu kiri dia keluarkan
ucapan.
“Manusia pocong, kau tentunya punya jabatan tinggi di tempat ini.
Makanya bisa bicara sombong dan membentak segala. Usiaku bisa tiga
kali usiamu! Kau pantas memanggil aku Eyang. Ayo lekas menghormat,
cium tanganku dan minta maaf pada Eyangmu ini!” Habis berucap Dewa
Tuak ulurkan tangannya minta disalami. Tapi sikapnya jelas mengejek
karena telunjuk jari tangan sengaja digerakkan dikedat-kedut seperti
orang memainkan benang layangan sementara dari mulutnya yang
kempot menyembur tawa menge-keh.
Di balik kain penutup kepala, sepasang mata manusia pocong
mendelik besar. Rahangnya menggembung. Gerahamnya ber-
gemeletakan. Tapi agaknya dia bisa mengendalikan kemarahan. Sambil
berkacak pinggang dan decakan lidah beberapa kali, dia berkata.
“Aku suka pada manusia-manusia pemberani. Tapi sayang kau
tidak bisa mengukur diri. Tidak sadar berada di mana!”
“Ah, begitu...?” Dewa Tuak berpura-pura kaget. Dia memandang
seputar lorong. “Kurasa aku belum buta. Di tempat ini aku hanya

melihat dinding-dinding batu. Lorong-lorong tak karuan. Lalu melihat
dirimu! Apa hebatnya? Eh, coba beritahu Eyangmu ini! Memangnya
tempat ini tempat apa?”
“Tua bangka sinting! Ketahuilah. Kau berada dalam Seratus Tiga
Belas Lorong Kematian. Siapa masuk tidak bisa keluar lagi! Mati di
tempat ini! Kecuali Yang Mulia Ketua memberi pengampunan! Hanya
perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia
Ketua seorang wajib dicintai!”
“Eh, apakah Ketuamu seorang perempuan hingga hanya dia
seorang wajib dicintai?!” Dewa Tuak menyeletuk ucapan orang.
“Dasar kakek sinting! Ketua kami jelas seorang laki-laki!”
“Nah, nah! Kalau kau mencintai Ketuamu yang laki-laki berarti
kau sebangsa makhluk yang suka pada makhluk sejenis! Ha... ha... ha!
Dan kalau kau punya seorang Ketua, berarti kau hanya salah seekor
cecunguknya saja! Ha... ha... ha!”
Saat itu meledaklah amarah Wakil Ketua Barisan Manusia
Pocong. Tadinya dia masih ingin menanyakan untuk memastikan apa
benar kakek ini yang telah membunuh tiga Satria Pocong. Dia juga ingin
mengorek keterangan di mana Wulan Srindi berada. Namun ledakan
amarah membuat dia jadi kalap dan serta merta melompat kirimkan
serangan maut ke arah Dewa Tuak. Tangan kanan menderu ganas
mencari sasaran di batok kepala si kakek. Memang sinting apa yang
dilakukan si kakek dalam menghadapi serangan maut itu. Dewa Tuak
mundur satu langkah. Tangan kiri putar bumbung bambu di bahu,
kepala setengah menengadah dipalingkan ke kiri.
“Gluk... gluk... gluk!”
Dewa Tuak teguk tuak dalam bumbung tiga kali berturut-turut
lalu bersurut mundur sambil rundukkan kepala namun mulutnya tiba-
tiba menyembur!
“Wusss!”
Tuak dalam mulut Dewa Tuak menderu ke arah dada Wakil Ketua
Barisan Manusia Pocong.
“Tuak setan!” maki Wakil Ketua. Dia serta merta ingat pada cairan
yang sebelumnya ditemui di dalam lorong dan pondok kayu. Secepat
kilat Wakil Ketua melompat mundur selamatkan diri. Sambil melompat
dia kibaskan tangan kanannya hingga menebar gelombang angin.
Dengan kibasan tangan kanan yang disertai kekuatan tenaga dalam itu
Wakil Ketua berusaha menangkis serangan sekaligus menggebuk. Angin
kibasan tangannya sanggup membuat sosok Dewa Tuak goyang
terhuyung namun dia sendiri berseru kaget ketika dapatkan lengan
kanan jubah putihnya kepulkan asap. Ketika diperhatikan lengan jubah
itu telah dipenuhi belasan lobang-lobang kecil. Lalu begitu dia
singsingkan lengan jubah, tampak beberapa bagian kulit lengannya
merah melepuh! Asap mengepul dari empat buah lobang kecil di
permukaan kulit. Dinginkan kuduk manusia pocong ini. Namun amarah
yang membakar dirinya serta rasa tanggung jawab akan pengamanan

kawasan 113 Lorong Kematian membuat dia tidak mau menyerah begitu
saja. Didahului suara menggereng Wakil Ketua angkat dua tangan ke
depan.
Dewa Tuak tersentak kaget ketika melihat bagaimana sepasang
tangan lawan mendadak berubah lebih panjang dan lebih besar. Lima
jari tangan mencuat membentuk kuku-kuku binatang lalu dalam
keadaan dikepalkan, dua tangan serentak menghantam ke depan. Dua
larik cahaya merah tipis membayangi gerakan.
“Ilmu pukulan apa yang hendak dilancarkan jahanam ini?”
membatin Dewa Tuak dan berlaku waspada.
Masih beberapa jengkal di sebelah depan angin dua jotosan
manusia pocong telah terasa menyambar dingin, menggetarkan dada.
Lapisan cahaya merah tampak semakin terang. Tidak mau berlaku ayal
Dewa Tuak cepat singkirkan diri ke samping sambil sodokkan ujung
bumbung bambu yang masih ditancapi bendera kecil berbentuk segitiga.
“Braakkk! Byaar!”
“Settt! Cleepp!”
Dua mulut sama keluarkan seruan kaget.
Yang pertama seruan yang keluar dari mulut Dewa Tuak ketika
dua jotosan lawan yang lewat menghantam dinding batu lorong di
sampingnya hingga terbongkar, membentuk dua lobang besar hangus
kehitaman!
Seruan kedua keluar dari mulut wakil Ketua. Sewaktu kakek
lawannya menyodokkan ujung bumbung bambu ke arah dada dia
berhasil berkelit dengan mudah. Namun tidak diduga, Bendera Darah
yang menancap di ujung bambu mendadak melesat ke arah kepalanya.
Saat itu kedudukan Wakil Ketua sudah memepet ke dinding lorong batu
sebelah kiri. Dia hanya mampu merunduk dan geserkan kepalanya
sedikit. Bendera Darah menancap di kain putih penutup kepala, di sisi
kening sebelah kanan. Masih untung bendera itu tidak menancap di
matanya. Hanya menyusup di kain putih, menggores sedikit pelipis
kanan.
Masih dalam keadaan terperangah Wakil Ketua lihat si kakek
tenggak tuak dalam bumbung. Lalu sekali berkelebat tahu-tahu bagian
bawah bumbung bambu telah menghantam ke arah dada, menyambar
membalik ke kepala lalu membabat menggebuk ke arah leher. Luar
biasa sekali. Seumur hidup belum pernah Wakil Ketua barisan Manusia
Pocong ini melihat serangan berantai begitu cepat dan ganas. Tiga
serangan laksana kilat dan ditujukan pada kepala serta dua bagian
tubuh mematikan!
Walau mendapat serangan dahsyat begitu rupa namun Wakil
Ketua dengan gerakan-gerakan tak kalah cepat masih mampu
menghindar selamatkan diri. Namun ada satu hal yang ditakutkannya
yakni kalau si kakek kembali lancarkan serangan dengan semburan
tuak. Sebelum hal itu kejadian dia cepat angkat tangan kiri. Tangan ini
bergetar keras pertanda Sang Wakil Ketua tengah alirkan seluruh

kekuatan tenaga dalamnya. Namun entah mengapa dia batalkan niat.
Dengan cepat dia putar tubuh lalu berkelebat memasuki lobang di
samping kiri.
“Makhluk setan! Sampean mau kabur ke mana!” Teriak Dewa
Tuak. Kakek ini cepat mengejar. Namun dilorong yang dimasukinya dia
tidak melihat bayangan manusia pocong itu. Dewa Tuak mengejar ke
lorong sebelah kanan. Kosong. Lari lagi memasuki lorong di samping kiri
depan. 0-rang yang dikejar tak kelihatan akhirnya si kakek tersesat
memasuki lorong 22 pada anak lorong ke 3.
“Sial! Aku kesasar lagi! Lorong celaka! Bagaimana bisa begini!
Banyak sekali lika-likunya!” rutuk Dewa Tuak lalu sandarkan
punggungnya ke dinding lorong. “Bangsat itu kabur. Pasti memberitahu
Ketuanya. Sebentar lagi mereka pasti datang. Lebih baik aku istirahat
kumpulkan tenaga.” Lalu enak saja orang tua ini baringkan tubuhnya di
lantai batu. Bumbung bambu di letakkan di atas perut. Sesaat
kemudian terdengar suara dengkurnya memenuhi lorong.
DI DALAM Ruang Kayu Hitam Yang Mulia Ketua Barisan Manusia
Pocong memandang tak berkesip ke arah Wakil Ketua yang barusan saja
datang melapor apa yang telah terjadi. Pelipisnya bergerak-gerak, rahang
menggembung terkatup.
“Tiga Satria Pocong tewas terbunuh. Berarti kita hanya tinggal
memiliki tujuh Satria Pocong. Yang Mulia Ketua, saya punya kewajiban
untuk mencari pengganti. Bukan cuma tiga tapi lebih banyak lagi.”
“Yang saat ini aku pikirkan bukan cuma mengganti anggota yang
terbunuh. Tapi jauh lebih penting dari itu adalah bagaimana menangani
kakek tua yang kini berada dalam lorong. Aku merasa pasti dia masuk
ke sini bukan karena tersesat. Tapi membekal satu maksud. Menyelidiki
kita! Dan semua kejadian ini berpangkal pada nafsu bejatmu ingin
meniduri gadis bernama Wulan Srindi itu...”
“Mohon maafmu Yang Mulia Ketua. Saya rasa antara si kakek
janggut putih dan gadis anak murid Perguruan Lawu Putih itu tidak ada
hubungan apa-apa.” Menjawab Wakil Ketua.
“Picik! Sungguh tolol! Apa kau tidak melihat rentetan kenyataan
yang terjadi?!” semprot Yang Mulia Ketua dengan suara beringas.
“Pertama gadis itu diculik Dalemkaeung. Dibawa kabur ke pondok di
rimba belantara. Di situ kau menemui mayat Dalemkawung, tapi si
gadis tidak kelihatan. Si pembunuh juga tidak ada. Tapi tahu-tahu
kakek itu muncul di dalam lorong. Apa kau tidak berpikir bagaimana
kakek jahanam itu tahu jalan ke sini, lalu bisa masuk ke dalam lorong
kalau tidak diberitahu oleh Wulan Srindi?!”
“Maafkan saya Yang Mulia Ketua. Saya kira ucapan Yang Mulia
Ketua benar adanya.
“Bukan cuma kamu kira! Tapi memang begitu kenyataannya!
Tolol!” Membentak Sang Ketua. “Sekarang aku ingin kejelasan.
Terangkan sekali lagi ciri-ciri kakek janggut putih itu!”
“Bukan cuma janggutnya yang putih, rambut dan kumisnya juga

putih. Berpakaian selempang kain biru. Membawa satu bumbung
bambu berisi tuak. Tadinya mungkin dua. Yang satu saya temukan di
dalam pondok dalam keadaan hancur. Tuak minumannya itu sekaligus
merupakan senjata berbahaya.” Wakil Ketua lalu singkapkan lengan
jubah tangan kanan. Memperlihatkan kulit lengannya yang melepuh
serta beberapa lobang luka. “Yang Mulia Ketua bisa saksikan sendiri
lengan saya. Ini akibat semburan tuak kakek itu.”
“Mengapa kau tidak pergunakan senjata andalanmu?” Tiba-tiba
Sang Ketua bertanya.
“Tadinya memang saya sudah siap melakukan. Tapi saya punya
pikiran lain. Harap Yang Mulia Ketua memberi maaf kalau saya lancang
punya rencana.” Menerangkan Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong.
“Apa yang ada di otakmu?”
“Kakek itu memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi sekali.
Tuaknya luar biasa berbahaya. Bukankah kita membutuhkan orang-
orang semacam dia walau dia telah membunuh tiga anggota kita?”
Yang Mulia Ketua tidak menjawab. Sambil rangkapkan tangan di
depan dada dia melangkah mundar-mandir di dalam Ruang Kayu
Hitam.
“Selain itu Yang Mulia Ketua, saatnya kita menguji kesetiaan dan
kehebatan Yang Mulia Sri Paduka Ratu.”
Ketua Barisan Manusia Pocong hentikan langkah, menatap ke
arah Sang Wakil Ketua lalu berkata. “Sekali ini aku memuji kecerdasan
otakmu! Aku akan menemui Yang Mulia Sri Paduka Ratu di Rumah
Tanpa Dosa. Apakah kau sudah memasang genta di depan tempat
kediamannya?”
“Saya sudah memerintahkan dua orang anggota untuk
melakukan. Saat ini pasti sudah terpasang,” jawab Wakil Ketua.
“Kau segera masuk ke dalam lorong. Berjaga-jaga di sekitar Lorong
Dua Puluh Lima. Kita bakal mendapat satu tangkapan besar! Kau tahu
siapa adanya kakek itu?”
Wakil Ketua gelengkan kepala.
“Kakek berjanggut putih, yang selalu membawa bumbung tuak ke
mana-mana adalah salah satu dedengkot rimba persilatan. Dia dikenal
dengan julukan Dewa Tuak. Kalau bisa membuatnya berada di barisan
kita banyak hal bakal dapat kita lakukan. Antara lain memancing tokoh
rimba persilatan lainnya, termasuk Pendekar 212 Wiro Sableng!”
“Dewa Tuak...” ucap Wakil Ketua sambil usap-usap lengan
kanannya yang cidera. “Aku pernah mendengar nama tokoh rimba
persilatan itu. Kalau dia bisa dibekuk dan dijadikan anggota Barisan
Manusia Pocong, semakin mudah bagiku untuk membalaskan dendam
kesumat terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng.”

LIMA

KETUA Barisan Manusia Pocong berdiri di hadapan bangunan
panggung berbentuk bulat. Keseluruhan bangunan terbuat dari kayu
termasuk atap yang terbuat dari ijuk dicat warna putih. Pada bagian
depan, di bawah atap, dekat tangga setengah lingkaran menuju bagian
atas bangunan, terdapat sebuah genta yang talinya menjulai ke bawah,
hampir menyentuh tanah. Inilah yang disebut Rumah Tanpa Dosa,
berada dalam satu lembah kecil, jauh di utara Telaga Sarangan.
Sebagaimana sunyinya lembah, begitu pula senyap keheningan
menyelimuti rumah panggung ini.
Yang Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong berdiri di depan
Rumah Tanpa Dosa, dekat tangga. Sesaat dia memperhatikan keadaan
bangunan. Delapan jendela dan satu pintu dalam keadaan tertutup.
Yang Mulia Ketua ulurkan tangan menjangkau tali yang menjulai dekat
tangga kayu. Perlahan-lahan tali itu disentakkan, tiga kali berturut-
turut. Suara genta menggema di seantero lembah, lama baru
menghilang. Tidak terjadi apa-apa. Pintu ataupun jendela tidak
bergerak, tidak satupun yang terbuka.
Untuk kedua kalinya Sang Ketua sentakkan tali genta. Kembali
suara genta mengumandang, bergaung keras dan panjang. Dari balik
kain putih penutup kepala sepasang mata Sang Ketua memperhatikan
ke arah atas. Tetap saja tak kelihatan ada gerakan.
Tangan yang memegang tali genta bergerak. Hendak menarik tali
itu untuk ke tiga kalinya. Tapi mendadak Sang Ketua batalkan niat. Dua
kaki dihentakkan ke tanah. Saat itu juga tubuhnya melesat ke atas,
melewati tangga kayu berbentuk setengah lingkaran. Namun begitu dua
kaki menginjak lantai atas rumah panggung putih, mendadak ada hawa
aneh menjalar dan menyengat kakinya. Bersamaan dengan itu satu
gelombang angin, entah dari mana datangnya mendadak menderu
menghantam dadanya. Membuat Sang Ketua terlempar. Dalam kejutnya
manusia pocong ini keluarkan seruan keras. Sewaktu terpental dan
melayang di udara, dia masih bisa menguasai diri. Berjungkir balik dua
kali lalu melayang turun ke bawah. Walau dua kaki masih bisa
menyentuh tanah namun kelihatan lututnya agak goyah. Sang Ketua
memandang berkeliling. Untung tak ada siapa-siapa di tempat itu. Kalau
sampai ada anggota Barisan Manusia Pocong melihatnya terpental
begitu rupa wibawanya bisa jatuh. Tidak ada hujan tidak ada angin
bagaimana dia bisa tunggang langgang seperti itu. Orang lantas akan
mempertanyakan sampai di mana sebenarnya tingkat kepandaiannya.
“Rumah Tanpa Dosa...” ucap Sang Ketua perlahan dan bergetar.
“Kekuatan dahsyat apa yang ada dalam bangunan ini? Penghuni Aksara
Batu Bernyawa memang melarang mendekati rumah. Tapi dia tak

pernah memberitahu hal aneh seperti ini.” Manusia pocong usap
dadanya. Tak ada rasa sakit akibat hantaman angin aneh tadi. Dua
kakinya juga tidak cidera walau ada hawa masuk menyengat. “Kalau
memang ada orang berbuat jahat, niscaya aku telah celaka. Apakah
gadis itu yang melakukan?”
Yang Mulia Ketua mendongak ke atas, perhatikan pintu dan
deretan jendela. Lalu dia berteriak.
“Yang Mulia Sri Paduka Ratu! Aku tahu kau ada di dalam. Kau
tahu aku ada di luar sini! Aku sudah membunyikan genta sampai dua
kali. Sesuai perjanjian, mengapa kau tidak keluar?!”
Sunyi tak ada jawaban. Angin lembah bertiup agar keras,
membuat pakaian dan kain putih penutup kepala Sang Ketua berkibar-
kibar.
Tiba-tiba dari bagian atas rumah panggung putih mengumandang
suara tertawa. Tawa perempuan. Menyusul ucapan lantang.
“Yang Mulia Ketua! Kau melanggar pantangan! Bangunan ini tidak
boleh diinjak dan dijamah manusia-manusia yang telah tersentuh dosa.
Itu sebabnya disebut Rumah Tanpa Dosal”
Sang Ketua terkesiap. “Aneh,” ucapnya dalam hati. “Bagaimana
dia tahu rahasia yang tersembunyi dalam rumah panggung ini. Jangan-
jangan penghuni Aksara Batu Bernyawa merasuk ke dalam jiwanya?”
Setelah menatap tajam ke arah bagian atas bangunan, manusia pocong
ini berkata.
“Yang Mulia Sri Paduka Ratu, aku sudah memberi tanda dengan
menarik genta. Sampai dua kali. Mengapa Yang Mulia Sri Paduka Ratu
tidak keluar? Apa kau lupa pada ketentuan yang berlaku di tempat ini?
Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang
Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!”
“Yang Mulia Ketua,” terdengar jawaban dari atas rumah. “Aku
belum lama berada di tempat ini. Tapi aku telah berkesempatan
mengarang satu tembang. Apakah kau sudi mendengar sebelum aku
keluar?”
“Perempuan gila! Lain yang aku katakan, lain yang dia ucapkan!”
Maki Yang Mulia Ketua dalam hati. Dia membuka mulut hendak
mengatakan sesuatu namun dari dalam Rumah Tanpa Dosa tiba-tiba
mengumandang suara nyanyian.
Kehidupan muncul secara aneh
Kematian datang tidak disangka
Di dalam bukit batu
Ada seratus tiga belas lorong
Siapa masuk akan tersesat
Tidak ada jalan keluar
Sampai kematian datang menjemput
Di dalam lembah
Ada Rumah Tanpa Dosa
Inilah tempat teraman bagi makhluk tidak berdosa

Bendera Darah lambang kematian
Tiada daya menentang ajal
Darah suci bayi yang dilahirkan
Pembawa kehadiran Nyawa
Kedua Sambungan hidup insan tak bernyawa
Di dalam lorong ada kesepian
Di dalam kesepian ada kehidupan
Di dalam lorong ada kesunyian
Di dalam kesunyian ada kematian
Mau tak mau Ketua Barisan Manusia Pocong merasa tercekat juga
mendengar nyanyian itu. Apa lagi orang yang menyanyi tutup
nyanyiannya dengan tawa panjang. (Dalam Episode pertama berjudul
“113 Lorong Kematian” diceritakan bahwa nyanyian itu sempat didengar
oleh Aji Warangan, Kepala Pasukan Kadipaten Demak ketika dia
dijebloskan ke dalam kamar penyekapan. Hanya saja suara nyanyian itu
terdengar terputus-putus karena si penyanyi dan Aji Warangan terpisah
jauh)
“Apa yang salah?” pikir Sang Ketua. “Mungkin dia belum meneguk
Minuman Selamat Datang yang disediakan di dalam kamar? Minuman
pelupa diri pelupa ingatan? Atau dirinya kebal terhadap racun. Padahal
khusus untuk dirinya racun yang disuguhkan tiga kali lebih kuat dari
yang diberikan pada orang lain. Mungkin ada satu kekuatan melindungi
dirinya? Pedang Naga Suci 212? Tapi aku sudah menggeledah tubuhnya.
Pedang sakti mandraguna itu tak ada padanya. Aku harus menguji.
Kalau dia tidak berada dalam kekuasaanku, urusan bisa kacau.
Nyanyian tadi, dia tidak boleh mengulangi lagi. Dia menyanyi dengan
pengerahan tenaga dalam tinggi. Kalau suara nyanyiannya sampai di
luar kawasan bukit batu, ada orang mendengar. Urusan bisa jadi
kacau.”
Yang Mulia Ketua kembali memperhatikan ke arah atas bangunan
panggung putih. “Yang Mulia Sri Paduka Ratu! Ingat! Hanya perintah
Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Aku minta Sri Paduka Ratu
segera keluar dari dalam Rumah Tanpa Dosa, menemuiku di sini!”
Tak ada jawaban.
Yang Mulia Ketua mulai jengkel.
Dia berteriak sekali lagi. Masih sunyi.
“Setan alas!” Sang Ketua merutuk. “Ada yang tidak beres!” Rasa
jengkelnya kini disertai aliran hawa kemarahan. Perlahan-lahan dia
angkat tangan kanannya. Tangan itu tampak bergetar pertanda ada
tenaga dalam berkekuatan tinggi tengah disalurkan. “Aku akan
menghitung sampai lima! Jika dia tidak muncul sampai hitungan
terakhir akan kuhancurkan bangunan ini!”
Baru saja Sang Ketua selesai berucap dalam hati seperti itu tiba-
tiba tanah yang diinjaknya bergetar dan seperti tadi satu gelombang
angin menderu menghantam ke arah tangan kanan. Manusia pocong ini

keluarkan jeritan keras. Tubuhnya terjajar ke belakang sampai tiga
langkah. Tangan kanan terasa sangat panas seperti dpendam dalam
bara api. Sadar kalau lagi-lagi dia berhadapan dengan kekuatan dahsyat
tidak kelihatan yang menguasai Rumah Tanpa Dosa, cepat-cepat dia
turunkan tangan yang tadi siap melepas satu pukulan sakti.
Hanya sesaat kemudian pintu di bagian atas Rumah Tanpa Dosa
terbuka. Di lain kejap satu bayangan putih meluncur turun. Bau sangat
wangi menebar. Di hadapan Yang Mulia Ketua berdiri tegak serba putih
seorang manusia pocong. Di sebelah atas sosok ini mengenakan sehelai
kain putih tebal penutup kepala dengan dua lobang di bagian mata.
Diatas penutup kepala yang berbentuk pocong itu menempel sebuah
mahkota kecil berwarna hijau berkilat. Di bawah ujung penutup kepala
sebelah belakang, menjulai rambut hitam sepinggang.
Kalau di sebelah atas bagian kepala tertutup kain putih tidak
tembus pandang maka di sebelah bawah manusia pocong ini
mengenakan jubah putih terbuat dari bahan yang begitu tipis
menerawang. Sehingga walau samar terlihat satu sosok tubuh
perempuan yang sangat elok, namun memiliki gerak-gerik yang serba
kaku. Dia berdiri dengan kepala ditegakkan dan dua mata memandang
lurus ke depan. Inilah Yang Mulia Sri Paduka Ratu.
Dalam kagumnya melihat pesona kebagusan tubuh Sang Ratu.
Yang Mulia Ketua masih merasa sedikit bimbang. “Dia telah
mengenakan perangkat pakaian keratuannya. Pasti juga telah meneguk
Minuman Selamat Datang. Tapi apakah ingatannya benar-benar telah
terkikis dan berubah? Perlu segera aku selidiki dulu.”
“Yang Mulia Ketua, aku telah ada di hadapanmu. Harap katakan
apa keperluanmu.” Sri Paduka Ratu keluarkan ucapan.
Sesaat Yang Mulia Ketua menatap tak ber-kesip. Seperti tadi ada
sekelumit perasaan bimbang dalam hatinya. Untuk mengatasi hal ini
maka dia ingin lebih dulu menguji.
“Yang Mulia Sri Paduka Ratu, ada satu tugas yang harus kau
lakukan. Namun sebelum tugas kuterangkan, harap Yang Mulia
mengucapkan Salam Perjanjian.”
Sang Ratu dongakkan kepala lalu berucap lantang. “Hanya
perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan! Hanya Yang Mulia
Ketua seorang yang wajib dicintai!”
“Bagus,” ucap Yang Mulia Ketua. Namun dia masih belum puas
dan lanjutkan ujiannya. “Yang Mulia Sri Paduka Ratu, harap kau mau
mengatakan siapa dirimu dan bagaimana kau bisa berada di tempat ini.
Lalu apa yang kau ketahui mengenai tempat ini.”
“Siapa diriku itulah yang aku tidak ketahui. Bagaimana aku
sampai di sini merupakan sesuatu di luar ingatanku. Aku hanya tahu
bahwa diriku diam di satu bangunan putih disebut Rumah Tanpa Dosa.
Lain dari itu mengenai keadaan di tempat ini aku tidak tahu apa-apa.”
Yang Mulia Ketua benar-benar puas. Maka diapun berkata. “Yang
Mulia Sri Paduka Ratu, kau telah mengarang sebuah tembang. Bait

liriknya amat bagus. Suaramu merdu sekali ketika menyanyikan.
Namun jangan kau melupakan aturan di tempat ini. Segala sesuatu
berada di bawah pengawasanku. Berarti setiap tindak perbuatan harus
seizinku. Aku tidak memperkenankan dirimu untuk menyanyikan
tembang itu, apalagi dengan suara keras disertai pengerahan tenaga
dalam. Apa jawabmu?”
Dua mata di balik kain penutup kepala memandang ke arah Sang
Ketua. Ada larikan sinar aneh keluar dari sepasang mata itu, yang
membuat
Sang Ketua merasa bergetar. Maka dia segera membentak.
“Apa jawabmu?!”
“Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan!
Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!”
“Bagus,” ucap Sang Ketua dengan perasaan lega. “Sekarang ikuti
aku. Ada satu tugas yang harus kau lakukan.” Sang Ketua balikkan
badan, melangkah keluar dari lembah. Sang Ratu mengikuti dengan
gerakan aneh. Kepala menghadap lurus ke depan, dua tangan dan kaki
bergerak kaku seolah tidak punya persendian tapi dia bisa bergerak
cepat di belakang orang yang diikutinya. Di satu tempat, begitu keluar
dari dalam lembah, Yang Mulia Ketua berpaling dan berkata. “Yang
Mulia Sri Paduka Ratu, kita harus bergerak cepat. Ikuti aku!” Sekali
berucap dan sekali berkelebat Sang Ketua telah melesat jauh, berkelebat
melewati bangunan rumah tua berijuk hitam. Dia tidak mendengar
suara deru orang berlari di sebelah belakang. Tapi ketika dia menoleh
Sang Ketua jadi leletkan lidah. Yang Mulia Sri Paduka Ratu ternyata
hanya berada setengah langkah di belakangnya. Tubuhnya berlari
laksana meluncur, seolah tidak menginjak tanah! Kembali Sang Ketua
ingin menguji. Dia lipat gandakan daya kecepatan larinya. Berpaling ke
belakang dia dapatkan Sang Ratu masih tetap terpaut hanya setengah
langkah! Berarti kalau mau, gadis yang hidup dengan nyawa kedua ini
bisa lari lebih cepat dan melewatinya dengan mudah!

ENAM

DI DALAM lorong 22 pada anak lorong ke 3 Dewa Tuak tidak tahu entah
berapa lama dia tertidur di lantai lorong. Dia terbangun dari lelapnya
ketika ada bau wangi masuk ke dalam jalan pernafasannya. Masih mata
terpejam dia berkata dalam hati. “Ini bukan bau harum tuakku. Ada
satu bau lain masuk ke dalam penciumanku.” Perlahan-lahan si kakek
buka dua matanya. Begitu melihat ada tiga sosok putih berdiri di ujung
lorong, sejarak lima langkah dari tempatnya berada, kakek ini segera
bangkit berdiri. Mata dikucak lalu si kakek memperhatikan. Manusia
pocong yang tegak di samping kiri, dari lengan jubah kanannyS yang
basah bekas semburan tuak segera dikenalinya sebagai manusia pocong
yang sebelumnya telah berkelahi dengan dia lalu kabur melarikan diri.
“Aha, kau tadi kabur.” Dewa Tuak keluarkan ucapan seraya
tudingkan ibu jari tangan kanan ke arah Wakil Ketua. “Aku sudah
menduga. Kau pasti kembali membawa teman. Ternyata dua manusia
pocong sekaligus. Satu laki-laki tinggi besar. Satu lagi perempuan
berpakaian seronok. Kepala ditutup malah pakai mahkota segala, tapi
lucunya aurat sebelah bawah diobral ke mana-mana! Tidak sangka, di
lorong celaka begini rupa ada juga pemandangan bagus! Ha... ha... ha!”
Dewa Tuak letakkan bumbung tuak di atas bahu kiri. Memandang
pada pocong bermahkota di depannya lalu sambung ucapannya tadi.
“Pocong perempuan, baiknya kau berganti pakaian. Tukar pakaian
putih tipis itu dengan pakaian yang lebih baik. Salah-salah nanti kau
bisa masuk angin dan perutmu jadi bunting. Eh, maksudku perutmu
nanti jadi melendung masuk angin! Ha... ha... ha!”
“Tua bangka sinting! Kau tidak tahu siapa kedua orang ini!” Tiba-
tiba Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong menghardik lantang hingga
suaranya menggetarkan lorong batu di mana orang-orang itu berada.
“Mana aku tahu. Bertemupun baru sekali ini! Tapi biar aku
menduga. Mungkin ini Raja dan Ratu Makhluk Pocong penghuni
Seratus Tiga Belas Lorong Kematian?” ujar Dewa Tuak. “Kalau aku salah
harap kau betulkan!”
“Tua bangka sinting, dengar baik-baik. Kau berhadapan dengan
Yang Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong dan Yang Mulia Sri Paduka
Ratu!”
“Kalau begitu dugaanku hanya meleset sedikit. Tadinya aku kira
manusia pocong yang tinggi besar ini Rajamu. Tapi bukan. Kalau
memang Raja pasti dandanannya seronok seperti Ratumu ini. Mungkin
cuma pakai kain penutup kepala tapi di sebelah bawah telanjang bulat.
Seperti manusia pocong yang minta mati di rimba belantara sana!”
Amarah Sang Wakil Ketua jadi meledak. Apa lagi sebelumnya si
kakek telah sempat menghajarnya. Sekali lompat saja dia sudah berada

di hadapan Dewa Tuak. Tangan kiri digerakkan. Di dalam lengan jubah
terdengar suara sesuatu bergeser.
“Wakil Ketua, tunggu!” Tiba-tiba Yang Mulia Ketua berseru sambil
angkat tangan kiri. Sejak tadi dia tegak berdiam diri karena
memperhatikan si kakek dengan seksama. Berdasarkan keterangan
Wakil Ketua ditambah dengan ciri-ciri yang kini disaksikannya sendiri
dugaannya tidak meleset. Kakek ini memang salah seorang dedengkot
rimba persilatan yang dikenal dengan julukan Dewa Tuak. Diam-diam
hatinya merasa gembira. Mendapatkan dan menguasai tokoh silat
sehebat yang satu ini bukan hal mudah.
Mendengar seruan serta gerak isyarat tangan Sang Ketua, dengan
geram Wakil Ketua turunkan tangan, mundur selangkah. Yang Mulia
Ketua bergerak ke samping Yang Mulia Sri Paduka Ratu, lalu ajukan
pertanyaan, sekaligus menguji daya ingat dan daya pikir Sang Ratu.
“Yang Mulia Sri Paduka Ratu, apa kau pernah melihat, atau
pernah kenal dengan tua bangka itu?”
Sepasang mata di balik kain putih penutup kepala memandang
tak berkesip ke arah Dewa Tuak. Lalu terdengar suara jawaban.
“Seekor sapi tua berjanggut putih, aku tak pernah melihat. Siapa
sudi mengenal dirinya.”
“Daya ingat dan daya pikirnya sudah musnah,” ucap Yang Mulia
Ketua, gembira dalam hati.
Di depan tiga orang manusia pocong. Dewa Tuak keluarkan tawa
mengekeh. “Kau tak kenal diriku tak jadi apa. Kau bilang aku seekor
sapi tua berjanggut putih mungkin ada benarnya. Tapi bagaimana aku
mengenali dirimu kalau wajah disembunyikan di balik kain penutup
kepala?”
“Kalau ingin melihat wajahku mengapa tidak melepas sendiri kain
pocong penutup kepalaku?!” Yang Mulia Sang Ratu balas menjawab.
Membuat Yang Mulia Ketua jadi terkejut. Kawatir si kakek yang berilmu
tinggi menyergap dan benar-benar lakukan apa yang ditantang Sang
Ratu maka dia cepat maju satu langkah seraya berkata.
“Yang Mulia Sri Paduka Ratu, lekas lumpuhkan sapi janggut putih
itu. Jangan dibunuh!”
“Aku hanya seekor sapi tua berjanggut putih, masakan ada yang
tega mau mencelakai!” ucap Dewa Tuak. Bumbung bambu di bahu kiri
digeser ke dekat mulut. Lalu gluk... gluk... gluk, dia tegak tuak
kayangan tiga kali berturut-turut.
“Sri Paduka Ratu, hati-hati. Tuak dalam mulutnya jika
disemburkan bisa jadi senjata mematikan,” memberi tahu Wakil Ketua.
“Yang Mulia, lekas lumpuhkan bangsat tua itu!” Sang Ketua
mengulangi perintah.
Wajah dibalik kain penutup kepala menyeringai.
“Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan!
Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!”
“Eh, aku pernah mendengar Wakil Ketua ucapkan kata-kata

seperti itu. Edan, manusia-manusia apa mereka ini sebenarnya?”
membatin Dewa Tuak.
Tiba-tiba Sang Ratu maju dua langkah. Dewa Tuak
memperhatikan Kakek ini merasa heran. Dia melihat gerakan kaku
seperti patung kayu berjalan. Didahului satu lengkingan keras tiba-tiba
Sang Ratu hantamkan tangan kanannya ke depan. Lagi-lagi terlihat
bagaimana gerakan tangan itu begitu kaku. Dewa Tuak mula-mula
menganggap enteng serangan orang. Dia dorongkan bumbung bambu ke
depan. Tapi kaget orang tua ini bukan alang kepalang ketika dia
merasakan satu gelombang angin laksana batu raksasa berguling
dahsyat. Dia cepat mundur dan tarik bumbung bambunya. Tapi
terlambat. “Braakkk!”
Bumbung bambu di tangan Dewa Tuak hancur. Tuak harum
muncrat ke mana-mana. Walau kaget setengah mati tapi kakek ini tidak
kehilangan kewaspadaan. Mulutnya dibuka dan byuuur! Tuak di dalam
mulut menyembur ke arah Yang Mulia Sri Paduka Ratu.
“Yang Mulia, awas!” Memperingatkan Wakil Ketua yang sudah
merasakan keganasan semburan tuak si kakek.
Tapi Sang Ratu tidak menggeser kedua kakinya. Sosoknya tetap
berdiri kaku. Hanya satu jengkal semburan tuak akan mendarat di
muka, dada dan perutnya tiba-tiba Sang Ratu goyangkan kepala.
“Wuuttt!”
Rambut panjang Sang Ratu berubah laksana sebuah tameng
hitam, bukan saja menangkis semburan tuak, malah sekaligus
menghantamkannya kembali ke arah si kakek. Karuan saja Dewa Tuak
terkejut besar. Sambil berseru keras dia cepat melompat mundur. Ketika
si kakek melompat mundur dua langkah, Sang Ratu membarangi
dengan gerakan kaku. Tubuhnya seperti melayang lalu wuuut! Kembali
rambut hitamnya berkelebat di udara. Dan des... des... des!
Terdengar tiga kali suara amblasnya urat besar di tiga bagian
tubuh Dewa Tuak ketika ujung rambut yang seolah berubah menjadi
benda keras membuat tiga kali totokan. Orang tua ini masih sempat
keluarkan jeritan keras lalu tubuhnya roboh ke lantai lorong. Mulut
ternganga, mata mendelik. Sekujur tubuh kaku mulai dari kepala
sampai ujung jari kaki.
“Luar biasa!” memuji Sang Ketua. Baru kali ini dia melihat ilmu
totokan seperti itu. Ujung rambut yang lunak, bisa berubah seperti
benda keras.
Wakil Ketua leletkan lidah, keluarkan suara berdecak. “Yang
Mulia Sri Paduka Ratu. Kau hebat sekali!”
“Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan!
Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!” Sang Ratu
keluarkan ucapan. Lalu balikkan tubuh. “Tugas sudah kujalankan.
Saatnya aku kembali ke Rumah Tanpa dosa.”
Yang Mulia Ketua membungkuk hormat lalu berkata. “Ikuti saya
Yang Mulia Sri Paduka Ratu,” katanya. Sebelum tinggalkan tempat itu

dia memberi perintah pada Wakil Ketua. “Panggil tua bangka itu.
Masukkan ke dalam Ruang Peristirahatan. Suguhkan Minuman Selamat
Datang. Sediakan Pakaian Persalinan.”
“Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan,”
jawab Wakil Ketua. Lalu dengan cepat tubuh kaku Dewa Tuak
dipanggulnya di bahu kiri.
Yang disebut Ruang Peristirahatan adalah sebuah ruangan batu
berbentuk segi tiga berpintu besi. Setiap orang yang hendak dijadikan
anggota Barisan Manusia Pocong selalu dimasukkan ke ruangan ini. Di
atas pintu besi ada sebuah lobang kecil, cukup besar untuk mengintai
ke dalam. Di sebelah kanan terdapat tempat tidur batu beralaskan tikar
jerami. Lalu ada seperangkat meja dan kursi yang juga terbuat dari
batu. Ke dalam ruangan inilah Dewa Tuak dimasukkan, dibaringkan di
atas tempat tidur batu.
Tak selang berapa lama masuklah seorang perempuan muda yang
dari bentuk perutnya jelas dia dalam keadaan hamil. Perempuan ini
membawa sebuah keranjang berisi sebuah teko terbuat dari tanah. Di
samping teko ada seperangkat jubah dan kain penutup kepala putih.
Dewa Tuak yang terbaring menelentang tak bisa bergerak tak bisa bicara
ikuti gerak gerik perempuan hamil itu dengan putaran sepasang mata.
“Semua orang di tempat celaka ini mengenakan pakaian seperti
pocong. Mengapa perempuan bunting ini berpakaian biasa-biasa saja.
Apa yang dibawanya dalam keranjang...”
“Perempuan hamil letakkan keranjang di atas meja batu lalu
berpaling ke arah Dewa Tuak dan keluarkan ucapan.
“Orang tua, saya akan menyuguhkan Minuman Selamat Datang
untukmu. Untuk itu saya akan membantu. Setelah beberapa lama kau
akan tertidur. Berarti kau bisa beristirahat. Bila kau terbangun, jalan
suaramu akan terbuka dengan sendirinya. Saya meninggalkan sehelai
jubah dan kain putih penutup kepala. Bila totokan di tubuhmu mulai
punah dan kau mulai bisa menggerakkan tangan serta kaki, kenakan
jubah dan kain penutup kepala itu. Hanya perintah Yang Mulia Ketua
yang harus dilaksanakan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib
dicintai.” Dewa Tuak memaki panjang pendek dalam hati. Saat itu dia
seperti merasa ada tuak dalam mulutnya. Dia berusaha menyembur.
Tapi jangankan menyembur, membuka mulut saja dia tidak mampu.
Apa lagi saat itu memang tidak ada tuak dalam mulutnya.
Perempuan hamil keluarkan teko tanah dari dalam keranjang
dengan tangan kanan. Lalu dia mendekat ke ranjang batu. Dengan
tangan kirinya dia memencet pipi Dewa Tuak hingga mulut si kakek
terbuka sedikit. Perlahan-lahan dia lalu kucurkan cairan bening yang
ada di dalam teko ke mulut orang tua itu. Begitu cairan masuk ke dalam
mulut Dewa Tuak berusaha untuk menyemburkan. Tapi bibirnya tidak
bergetar, lidah tidak bergeming. Sedikit demi sedikit cairan dalam teko
masuk ke dalam mulut, turun ke tenggorokan dan sampai di perut.
“Perempuan bunting celaka!” rutuk Dewa Tuak yang hanya

menggema dalam hati. “Apa yang kau lakukan terhadap diriku! Kau
meracuni aku?! Kalau aku bisa keluar hidup-hidup dari tempat celaka
ini akan kepencet perutmu sampai bayimu merojol keluar!”
Air bening di dalam teko habis. Sesaat kemudian Dewa Tuak
merasa tubuhnya sangat letih. Matanya yang sejak kena ditotok nyalang
tak berkesip secara aneh perlahan-lahan menutup.
Perempuan hamil tersenyum. Sambil melangkah ke luar kamar
dia berkata. “Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan. Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai.

TUJUH

DI TANGGA pendapa Gedung Kepatihan di Kotaraja empat orang gadis
cantik duduk saling berdiam diri. Sebentar-sebentar mata mereka
diarahkan ke pintu gerbang. Setiap terdengar derap kaki kuda mereka
berpaling. Namun orang yang mereka tunggu tidak kunjung datang.
Gadis pertama cantik jelita berpakaian biru, bertubuh tinggi
semampai dan berambut pirang, duduk sambil sandarkan punggung ke
tiang besar pendapa. Dia adalah Bidadari Angin Timur, si cantik rimba
persilatan yang dikagumi bukan saja kecantikan dan kebagusan
potongan tubuhnya, tapi juga ketinggian ilmu silat serta kesaktiannya.
Kalau tersenyum di pipi kiri kanannya muncul lesung pipit menambah
kecantikannya.
Gadis kedua bersimpuh dekat sebuah arca. Pakaiannya ketat
hingga bentuk tubuhnya yang padat dan bagus tampak jelas
mempesona. Rambut hitam panjang digelung di atas kepala. Sepasang
mata dipejamkan. Dia duduk tidak bergerak. Dua tangan diletakkan di
pangkuan. Sikapnya seperti tengah bersamadi. Tapi sebenarnya saat itu
dia tengah menerapkan satu ilmu yang disebut Menembus Pandang. Dia
mencoba memantau keberadaan orang yang ditunggu. Namun dia tidak
melihat apa-apa dalam rona alur pandangan gaibnya. Berarti orang yang
ditunggu masih berada di tempat jauh, di luar jangkauan kekuatan
ilmu. Atau mungkin juga memang tidak tengah menuju ke tempat dia
berada. Ketika perlahan-lahan mata yang terpejam dibukakan,
terlihatlah sepasang bola mata berwarna biru, indah menawan. Si cantik
satu ini bukan lain adalah Ratu Duyung. Dalam rimba persilatan tanah
Jawa dikenal sebagai salah satu orang yang dipercayakan ikut
mengawasi dan menguasai kawasan laut selatan.
Gadis ke tiga tak kalah cantiknya dengan Ratu Duyung dan
Bidadari Angin Timur. Seperti Ratu Duyung dan Bidadari Angin Timur,
dia juga memiliki wajah cantik, berkulit putih mulus. Seperti Bidadari
Angin Timur gadis satu ini juga mempunyai lesung pipit di kedua
pipinya. Gadis ini mengenakan pakaian ringkas warna ungu agar
longgar hingga menyembunyikan raut tubuhnya yang padat sintal. Di
pinggangnya melilit sehelai selendang yang juga berwarna ungu. Secarik
pita ungu menghias rambutnya. Saat itu dia duduk di tangga gedung
Kepatihan sambil memegang dan mempermainkan ujung seledang ungu
di mana terdapat guratan angka 212. Angka ini digurat sendiri oleh
Pendekar 212 Wiro Sableng pada kisah pertemuan mereka pertama kali.
(Baca serial Wiro Sableng berjudul “Maut Bernyanyi Di Pajajaran”)
Dalam petualangannya di rimba persilatan gadis ini pernah menyamar
dan dijuluki “Dewi Kerudung Biru” (Baca serial Wiro Sableng berjudul
“Keris Tumbal Wilayuda”) Anggini, itulah nama si gadis dan dia bukan

lain adalah murid Dewa Tuak.
Gadis keempat berpakaian serba kuning. Mulai dari baju dan
celana, ikat pinggang sampai pada ikat kepala. Di pinggangnya
tergantung sebilah pedang. Agak kesal dia berdiri dari duduknya lalu
melangkah mundar mandir dan sesekali memandang kelangit di mana
bulan hari kedua kelihatan muncul samar-samar di balik saputan awan
tipis. Sang dara yang satu ini adalah Sutri Kaliangan, putri Patih
Kerajaan Selo Kaliangan. (Mengenai kisah pertemuan dan persahabatan
Putri Patih Kerajaan ini dengan tiga gadis dan Pendekar 212 Wiro
Sableng harap baca serial Wiro Sableng berjudul “Badik Sumpah Darah”
terdiri dari 7 Episode) Di samping Bidadari Angin Timur, Sutri Kaliangan
hentikan langkah menatap ke arah bulan tipis di langit, memandang
pada gadis berambut pirang di sebelahnya lalu berucap.
“Sesuai perjanjian Pendekar 212 Wiro Sableng akan datang ke
sini. Seharusnya dia muncul malam kemarin. Tapi sampai saat ini dia
belum muncul. Apakah dia lupa...”
“Biasanya Wiro selalu tepat janji. Kemungkinan lupa tidak masuk
akal.” Menjawab Bidadari Angin Timur. “Dia dan juga kita punya banyak
pekerjaan yang belum selesai. Mencari Pedang Naga Suci Dua Satu Dua,
mencari Kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan...”
“Mungkin ada sesuatu halangan yang membuat dia tidak dapat
memenuhi perjanjian. Tidak bisa datang ke sini.” Kata Anggini pula.
Ratu Duyung ikut bicara. “Tadi aku coba menjajaki dengan Ilmu
Menembus Pandang. Tapi aku tidak bisa melihat apa-apa. bayangan
tipispun tidak nampak. Berarti Wiro belum berada di sekitar Kotaraja.
Masih sangat jauh di tempat lain. Dan kita tidak tahu di mana adanya
tempat lain itu.”
“Ratu Duyung,” kata Sutri Kaliangan seraya mendekati gadis
bermata biru itu dan duduk di sampingnya. “Bukankah kau memiliki
sebuah cermin sakti yang bukan saja bisa dipakai sebagai senjata, tapi
juga dapat dipergunakan untk melihat sesuatu yang masih gaib dalam
pandangan mata manusia?” Ratu Duyung anggukkan kepala. Anggini
segera mendekati kedua orang itu.
Bidadari Angin Timur untuk sesaat masih tetap tidak beranjak
dari duduknya. Dari tadi diam-diam dia memperhatikan gerak-gerik dan
setiap ucapan Sutri Kaliangan. Dalam hati gadis berambut pirang ini
membatin. “Dari tadi kuperhatikan, puteri Patih Kerajaan ini tampak pa
ling gelisah. Dia begitu mengharapkan kehadiran Wiro. Padahal tempat
ini semata dipergunakan untuk janji pertemuan antara aku, Anggini dan
Ratu Duyung dengan Wiro. Dia hanya diminta menyediakan tempat
pertemuan ini. Sebenarnya bisa saja pertemuan dilakukan di tempat
lain. Jangan-jangan gadis satu ini telah menaruh hati pada Wiro...”
Ratu Duyung keluarkan cermin bulat dari balik pakaiannya.
Perlahan-lahan Bidadari Angin Timur berdiri dari duduknya, bergabung
dengan tiga gadis itu. Sang Ratu pejamkan mata. Mulut dikatup rapat.
Tenaga dalam dialirkan pada tangan kanan yang memegang gagang

cermin. Sebenarnya Ratu Duyung bisa melihat segala sesuatu yang
muncul di dalam cermin tanpa memejamkan mata. Tapi inilah
keanehannya. Dengan memejamkan mata justru penglihatannya lebih
terang dan daya jangkaunya lebih jauh. Tangan kanan yang memegang
gagang cermin mendadak bergetar. Kelopak mata Ratu Duyung
bergerak-gerak. Mulutnya yang sejak tadi terkancing, perlahan-lahan
terbuka.
“Aku melihat telaga besar. Indah sekali pemandangannya. Ada
gunung di kejauhan. Ah! Telaga dan gunung menghilang. Ratu Duyung
terdiam. Getaran tangannya semakin kencang. Cermin bulat ikut
bergetar. “Ada rimba belantara... ada lembah batu. Lembah berganti
bukit batu. Gelap... apa ini? Terowongan panjang, berliku-liku. Eh, ada
bayangan-bayangan putih aneh berkelebat. Lenyap lagi! Muncul rumah
tua. Hilang! Berganti dengan rumah putih... rumah panggung warna
putih...”
Sampai di situ getaran tangan kanan Ratu Duyung semakin keras.
Wajahnya tampak tegang. Keringat mencicir di kening. Selain bergetar
keras cermin sakti terasa tambah berat. Dia gerakkan tangan kiri. Kini
dia pegang gagang cermin dengan dua tangan. Tapi getaran bertambah
hebat. Ratu Duyung coba bertahan. Mata semakin rapat dipejamkan.
“Rumah panggung putih. Berputar! Semakin besar. Ada suara keras.
Suara apa ini. Suara lonceng... bukan. Suara genta aneh. Keras sekali...
aku tak tahan, aku tak sanggup. Teman-teman. Tolong... Telingaku bisa
pecah! Kawan-kawan...”
Seperti didorong satu kekuatan dahsyat yang tidak kelihatan
tubuh Ratu Duyung terhuyung keras ke belakang. Cermin bulat terlepas
dari genggaman, mencelat mental ke udara. Anggini cepat meloncat
menyambar benda itu. Bidadari Angin Timur dan Sutri Kaliangan segera
bertindak menolong Ratu Duyung.
“Ratu kau tak apa-apa?” tanya Sutri Kaliangan.
Bidadari Angin Timur keluarkan sehelai sapu tangan lalu
mengusap keringat yang membasahi wajah pucat Ratu Duyung.
Setelah menarik nafas panjang beberapa kali, dalam keadaan
dada turun naik, Ratu Duyung berkata. “Tidak pernah aku mengalami
yang seperti ini.” Suaranya perlahan sekali, hampir tidak kedengaran.
Tenaganya seolah terkuras.
“Ratu, apa yang terjadi? Apa yang kau lihat?” tanya Sutri
Kaliangan.
Ratu Duyung menarik nafas dalam-dalam, baru menjawab.
“Mula-mula aku melihat sebuah telaga besar dan gunung di
kejauhan. Mendadak bayangan telaga dan gunung lenyap. Kemudian
ada lembah batu, lalu bukit batu. Muncul bayangan gelap. Dalam gelap
aku melihat lorong panjang, banyak sekali. Lalu ada kelebatan bayang-
bayang putih.” Ratu Duyung diam sejenak baru menyambung. “Saat itu
sebenarnya kepalaku terasa pusing. Tubuhku berkeringat, detak
jantung keras dan aku merasa letih sekali. Di kaca muncul bayangan

sebuah rumah tua. Rumah tua berganti dengan rumah putih berbentuk
aneh...”
“Kami mendengar kau menyebut rumah panggung putih,” kata
Sutri Kaliangan.
“Benar, rumah panggung putih. Rumah ini berputar aneh,
mengeluarkan suara mengerikan dan bertambah besar. Bergerak seperti
mau menerjangku. Lalu ada suara luar biasa kerasnya. Suara lonceng,
bukan... bukan lonceng. Suara genta, hampir menyerupai suara gong.
Aku tidak tahan. Kupingku seperti terbongkar. Kepalaku laksana mau
pecah. Gagang cermin yang aku pegang terasa panas lalu terpental.
Tubuhku letih sekali. Tulang-tulang serasa rontok. Masih untung aku
tidak pingsan atau cidera di dalam...” Ratu Duyung raba dadanya
dengan tangan kiri lalu seka keringat yang menggantung di dagunya.
Ketika tangannya diletakkan di pangkuan, terkejutlah gadis bermata
biru ini. Telapak tangan kirinya kelihatan merah kehitaman. Dia
balikkan tangan kanan. Astaga! Tangan inipun kelihatan merah
kehitaman!
“Ada kekuatan aneh menyerangku dari kejauhan...”
“Seberapa jauhnya?” tanya Anggini.
“Tidak dapat kupastikan. Paling tidak sehari perjalanan berkuda,”
jawab Ratu Duyung.
Bidadari Angin Timur, Anggini dan Sutri Kaliangan jadi saling
pandang. Kalau ada satu kekuatan yang jaraknya satu hari perjalanan
melakukan serangan dan mampu membuat cidera tangan orang yang
diserang, maka dapat dibayangkan kalau kekuatan yang menyerang itu
berada di hadapan sasaran. Niscaya Ratu Duyung bisa hancur lebur
mulai dari kepala sampai ke kaki! Ratu Duyung diam-diam juga
merasakan apa yang saat itu terpikir oleh ketiga gadis sahabatnya.
“Sulit dipercaya,” kata Anggini.
“Tidak masuk akal,” menimpali Bidadari Angin Timur. Sementara
Sutri Kaliangan berdiam diri tapi sepasang matanya tak luput dari
memandang Ratu Duyung terus-terusan. Seperti ada sesuatu yang
dipikirkan dalam benaknya. Hal ini diam-diam perhatikan sikap puteri
Patih Kerajaan ini.
“Ratu, ini cerminmu,” kata Anggini sambil menyerahkan cermin
bulat yang tadi berhasil disambarnya sewaktu mental dari pegangan
Ratu Duyung.
“Ada satu kekuatan aneh luar biasa. Mungkin sekali bersumber
dalam rumah panggung berwarna putih itu,” Ratu Duyung sambil
gosok-gosokkan telapak tangannya satu sama lain disertai dengan
mengalirkan hawa sakti. “Keanehan lain, aku sama sekali tidak melihat
bayangan Wiro.”
“Ratu,” kata Bidadari Angin Timur sambil memegang lengan Ratu
Duyung. “Jika kau memusatkan perhatian untuk melihat Wiro dalam
cermin sakti, lalu yang muncul bayangan-bayangan lain. Apakah ini
mempunyai arti tertentu?”

“Hal seperti ini, sudah kukatakan tadi, belum pernah kejadian.”
Jawab Ratu Duyung. Dia perhatikan dua tangannya. Warna hitam pada
dua telapak tangan telah berkurang banyak. Kini hanya tinggal warna
merah. Kembali gadis ini usapkan dua telapak tangan satu sama lain.
“Kalau saja aku boleh menduga antara apa yang aku lihat, rasanya
kelak akan ada hubungannya dengan Wiro. Bagaimana kaitannya tak
bisa kumengerti.”
“Telaga, lembah, gunung, serta bukit batu yang kau lihat dalam
cermin itu,” berucap Sutri Kaliangan, “apakah kau bisa mengenali atau
mungkin mengetahui di mana beradanya? Mungkin juga bisa menduga
telaga apa, gunung di mana.”
Ratu Duyung berpikir sejenak lalu menggeleng. “Aku hanya bisa
mengukur jarak. Itupun hanya satu dugaan. Semua yang aku lihat itu
berada sekitar satu hari perjalanan berkuda dari sini.”
Diam-diam Bidadari Angin Timur punya prasangka sendiri dalam
hatinya. “Mungkin saja dia tahu semua tempat yang dilihatnya dalam
cermin sakti. Tapi tidak mau memberitahu. Dia mengatakan hanya bisa
mengukur jarak. Satu hari perjalanan naik kuda dari sini. Apa ceritanya
itu bisa dipercaya? Mungkin saja dia sengaja merahasiakan apa yang
diketahuinya untuk tujuan tertentu...”
“Ratu, kalau kau tahu jaraknya, mungkinkah kau juga bisa
menduga arahnya?” tanya Sutri Kaliangan. “Karena kalau kita tahu
arah, dengan mudah kita bisa menemukan tempat itu. sebera-papun
jauhnya.”
“Seandainya kita bisa menemukan tempat itu, lalu apa yang akan
kita lakukan?” tanya Ratu Duyung.
“Aku punya dugaan Wiro akan muncul di sini!” Jawab Sutri
Kaliangan sambil letakkan tangan di atas gagang pedang.
Tiga gadis menatap ke arah Sutri Kaliangan.
“Aku tahu, kalian tidak percaya,” Sutri Kaliangan kembali berucap
setelah memperhatikan cara memandang tiga gadis cantik itu. “Tapi
dengar dulu. Bukankah tadi Ratu Duyung mengatakan ada keterkaitan
antara Wiro dengan bayangan yang muncul dalam cermin? Hanya
sayang, kita tidak tahu di mana tempat-tempat itu beradanya.” Sutri
Kaliangan berdiri, menatap ke langit lalu melangkah mundar-mandir.
“Apalagi yang ada dalam benak gadis ini?” ucap Bidadari Angin
Timur dalam hati sambil memperhatikan gerak-gerik putri Patih
Kerajaan itu. “Niatnya untuk bisa bertemu Wiro seolah tidak bisa
dicegah.”
Tiba-tiba Sutri Kaliangan hentikan langkah. Dia ingat sesuatu dan
mendekati Ratu Duyung kembali, berlutut di sampingnya.
“Ratu sahabatku. Waktu tadi kau memegang cermin sakti dan
mulai melihat bayangan-bayangan yang muncul di dalamnya, kau
duduk di lantai pendapa. Ingat saat itu kau menghadap ke arah mana?”
“Aku masih ingat. Ratu Duyung menghadap ke arah pintu gerbang
sana,” yang menjawab Anggini.

“Benar, aku memang menghadap ke jurusan pintu gerbang itu,”
kata Ratu Duyung kemudian.
“Berarti di arah itulah tempat-tempat yang kau lihat dalam cermin
sakti. Telaga, gunung, bukit batu, lembah. Rumah panggung warna
putih! Semua di arah itu. Arah pintu gerbang. Menurut mata angin, arah
pintu gerbang adalah arah ke timur, sedikit melenceng ke utara. Berarti
tepatnya arah antara timur dan timur laut. Kalau kita berkuda satu
harian ke sana, semua tempat itu pasti kita temui!” Sutri Kaliangan
kembali berdiri. “Para sahabat, rasanya aku tidak mau menunggu lebih
lama. Kalau kita berangkat malam ini, besok paling lambat di sana sama
seperti ini, kita sudah sampai di tujuan. Siapa yang bersedia berangkat
bersamaku sekarang juga?”
Tidak ada yang menjawab.
Putri Patih Kerajaan itu tampak kecewa. Dia pandangi satu
persatu wajah tiga gadis cantik di hadapannya lalu berkata.
“Aku tidak ingin mengatakan. Takut kalian menganggap aku
berlebihan atau punya niat buruk mengharapkan kejadian tidak baik
atas diri Wiro. Tapi terus-terang aku katakan pada kalian saat ini, aku
punya firasat Wiro akan muncul di tempat-tempat yang ada dalam
cermin. Dan di situ dia akan menghadapi bahaya besar!”
Di antara tiga gadis masih tidak ada yang bicara.
“Kalau kalian tidak mau berangkat bersamaku, kalian boleh tidur
enak-enakan di Kepatihan ini. Aku akan berangkat sendirian sekarang
juga.”
“Aku ikut bersamamu,” kata Ratu Duyung seraya bangkit berdiri.
“Siapa lagi?” tanya Sutri Kaliangan sambil menatap pada Anggini
dan Bidadari Angin Timur. Tapi dua gadis ini tidak memberi tanggapan.
“Baiklah Ratu, agaknya hanya kita berdua yang akan berangkat malam
ini. Aku akan menyuruh orang menyiapkan dua ekor kuda untuk kita.
Dan jika sahabatku Bidadari Angin Timur dan Anggini berubah pikiran,
kalian boleh meminta masing-masing seekor kuda pada penjaga.”
Tak lama setelah Ratu Duyung dan Sutri Kaliangan meninggalkan
gedung. Kepatihan, Bidadari Angin Timur memandang ke arah pintu
gerbang. Tanpa palingkan kepala dia bertanya pada Anggini.
“Sahabatku Anggini, apa yang akan kita lakukan sekarang?”
“Tuan rumah sudah pergi. Rasanya kita tidak mungkin berada
lebih lama di tempat ini.”
“Kau ingin mengikuti Ratu Duyung dan Sutri?”
Anggini berdiam cukup lama. Jawabannya kemudian justru
berupa pertanyaan. “Bagaimana dengan kau?”
“Sebenarnya tidak ada salahnya kita menyusul mereka. Kita
sudah tahu arah yang mereka tuju. Malah kita bisa minta kuda untuk
tunggangan. Hanya sayang, saat ini aku tiba-tiba ingat pada satu
urusan lain yang harus aku lakukan. Jadi sahabatku Anggini, kita
terpaksa berpisah sementara di tempat ini.”
Tanpa menunggu jawaban Anggini, Bidadari Angin Timur berdiri

dari duduknya dan sekali berkelebat gadis ini telah lenyap di balik
tembok timur gedung Kepatihan. Tapi tanpa setahu Anggini, Bidadari
Angin Timur kembali memasuki halaman dalam gedung Kepatihan dari
sebelah belakang, langsung menuju kandang kuda. Setelah memilih
kuda yang besar dan tegap gadis ini tinggalkan tempat itu melalui pintu
belakang.
Untuk beberapa saat Anggini tertegun sendirian di pendapa
gedung Kepatihan. Namun ada suara hati kecilnya berkata. “Bidadari
Angin Timur, kau tidak bisa menipuku. Waktu bicara tadi kau tidak
berani menatap mataku. Aku tahu kau berdusta. Aku tahu tidak ada
urusan lain yang harus kau lakukan. Dan aku tahu kau akan menyusul
dua gadis itu. Kau lebih suka pergi sendirian karena tidak senang
berjalan seiring denganku. Apa yang kau cari Bidadari Angin Timur?
Tidak ingin aku berada disampingmu ketika kau berjumpa dengan
Wiro?” Secercah senyum menyeruak di bibir murid Dewa Tuak ini. “Aku
sudah sejak lama ingin mendapatkannya. Nyatanya tak pernah
kesampaian. Hingga akhirnya aku dihinggapi rasa kecewa yang
berujung pada satu keiklasan. Aku menerima nasib tidak berjodoh
dengan pemuda itu. Namun bukan berarti ini satu peluang bagimu.
Karena aku merasa ada seorang gadis lain yang mungkin telah
mendapat tempat di dalam hati Wiro.”
Merasa Bidadari Angin Timur sudah pergi jauh, Anggini menemui
seorang penjaga dan minta disediakan seekor kuda. Tak selang berapa
lama gadis inipun tinggalkan gedung Kepatihan melalui pintu depan.

DELAPAN

DALAM Episode sebelumnya (Nyawa Kedua) diceritakan nasib sial yang
menimpa Setan Ngompol. Kakek satu ini hampir kena digerebek
pasukan Kadipaten Magetan dibawah pimpinan Adipati Sidik Mangkurat
selagi menginap di rumah seorang janda di pinggiran Kotaraja. Dia
dituduh sebagai manusia pocong yang telah membuat keonaran di
Magetan, menculik, membunuh. Hal itu terjadi gara-gara di rumah sang
janda ditemukan seperangkat jubah dan kain putih tutupan kepala
berbentuk pocong. Setan Ngompol berhasil melarikan diri tapi dalam
pengejaran dia hampir kena dibekuk oleh Adipati Sidik Mangkurat.
Untung saat itu muncul Pendekar 212. Setan Ngompol dapat
diselamatkan. Setelah puas saling bercerita panjang lebar di sebuah
pedataran rumput, Wiro memberitahu.
“Malam nanti aku janji bertemu dengan tiga gadis di Gedung
Kepatihan. Bersama Sutri Kaliangan, puteri Patih Kerajaan mereka
menunggu aku disana.”
Saat itu Setan Ngompol mengenakan jubah putih yang dibawa
Adipati Magetan karena sewaktu kabur dari rumah janda di Bantul dia
hanya mengenakan selembar celana kolor butut.
“Tiga gadis cantik itu,” kata Setan Ngompol pula sambil melipat
kain putih tutupan kepala lalu menyelipkannya di balik pinggang jubah.
“Ratu Duyung. Bidadari Angin Timur dan Anggini?”
Wiro anggukkan kepala.
“Lumayan lama aku tidak melihat mereka. Aku ikut bersamamu.”
“Memang ada baiknya kau ikut Kek,” kata Wiro. Kedua orang itu
lalu naik ke punggung dua ekor kuda yang mereka ambil dari orang-
orang kadipaten Magelang.
“Betul, aku kangen sama mereka. Mereka pasti juga kangen sama
bau pesingku! Ha... ha... ha!”
Belum lama meninggalkan pedataran rumput, Setan Ngompol
menunjuk ke arah kejauhan. Di arah timur kelihatan seorang
penunggang kuda. Orang ini memacu kudanya cepat sekali dan jelas
mendatangi ke arah mereka. Wiro dan Setan Ngompol perlambat lari
kuda masing-masing. Tak lama kemudian penunggang kuda itu berhenti
di hadapan Wiro dan Setan Ngompol. Debu yang membumbung ke
udara menutupi pandangan. Sesaat setelah debu turun Wiro dan Setan
Ngompol memperhatikan. Keduanya segera mengenali si penunggang
kuda. Hampir berbarangan sama-sama berseru.
“Loh Gatra!”
“Sahabatku Wiro, Kakek Setan Ngompol! Syukur kita bisa bertemu
di sini. Aku dalam perjalanan menuju Kotaraja...”
“Kami berdua juga dalam perjalanan ke Kotaraja,” menerangkan

Setan Ngompol.
Wiro sendiri saat itu diam-diam perhatikan raut air muka lelaki
muda bernama Loh Gatra. Di balik wajah yang diselimuti debu Wiro
melihat ada satu bayangan kecemasan. Wiro lalu berkata. “Setelah
peristiwa berdarah di bukit Watu Ireng tempo hari, kami hanya
mendengar kabar gembira bahwa kau melangsungkan pernikahan
dengan Nyi Larasati. Tapi di mana kalian berada dan menetap tidak
kami ketahui. Apakah kalian berdua baik-baik saja?”
“Berita yang kalian dengar benar adanya. Aku menikah dengan
Nyi Larasati...” Loh Gatra diam sesaat dan tatap wajah Pendekar 212
Wiro Sableng. Dalam hati dia tahu kalau Nyi Larasati yang kini jadi
istrinya pernah jatuh hati terhadap sang pendekar. “Setelah menikah,”
Loh Gatra lanjutkan keterangannya, “aku membawa Nyi Lara ke desa
kelahiranku di Jatipuro, di selatan Gunung Lawu. Kami menetap di situ.
Aku punya beberapa bidang kebun dan sawah, juga ternak. Udara di
sana sejuk, keadaan aman tenteram. Namun suatu malam terjadi
malapetaka besar...” Loh Gatra buka destar di kepalanya, usap
rambutnya beberapa kali lalu menggigit bibir gelengkan kepala. (Siapa
adanya Loh Gatra dan bagaimana kisahnya dapat pembaca ikuti dalam
serial Wiro Sableng berjudul Badik Sumpah Darah terdiri dari 7 Episode)
“Sahabatku Loh Gatra, katakan apa yang terjadi,” ucap Wiro.
“Nyi Lara, istriku diculik makhluk aneh. Kejadiannya dua hari
lalu. Waktu itu menjelang pagi. Aku terbangun ketika mendengar suara
jeritan perempuan. Nyi Lara tak ada lagi di sampingku. Aku
menghambur keluar dan masih sempat melihat seorang berpakaian
aneh menunggang kuda memboyong istriku. Aku berusaha mengejar
tapi penculik jahanam itu berhasil menghilang dengan cepat...”
Wiro dan Setan Ngompol sama-sama terkejut mendengar
keterangan Loh Gatra itu.
“Loh Gatra, katamu tadi orang yang menculik Nyi Lara berpakaian
aneh. Aneh bagaimana?” tanya Wiro.
“Dia mengenakan jubah putih. Kepala ditutup dengan kain putih,
di sebelah atas diikat seperti pocong...”
“Manusia pocong...” ucap Setan Ngompol sambil buru-buru
pegang perut di bawah pusar.
Loh Gatra berpaling pada si kakek. Untuk pertama kalinya dia
menyadari pakaian jubah putih yang dikenakan Setan Ngompol. Yakni
jubah putih yang dilemparkan Adipati Magetan dan kemudian diambil si
kakek. Cara memandang Loh Gatra membuat Setan Ngompol merasa
tidak enak. Wiro juga merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
Tiba-tiba Loh Gatra keluarkan teriakan keras seraya menunding
ke arah Setan Ngompol.
“Kau!”
Setan Ngompol tersentak kaget sampai kucurkan air kencing. Wiro
sendiri ikut terkesiap.
Begitu membentak Loh Gatra melesat dari punggung kudanya.

Laksana terbang dia melayang ke arah Setan Ngompol sambil
hantamkan satu jotosan kilat ke arah kepala si kakek.
“Hai!” Setan Ngompol berteriak. “Serrr!”
Sambil pancarkan air kencing kakek ini cepat rundukkan tubuh
sama rata dengan punggung kuda laiu jatuhkan diri ke tanah. Baru dua
kaki menginjak tanah tahu-tahu Loh Gatra sudah kembali
menyerbunya.
“Loh Gatra! Apa-apaan ini?!Mengapa kau menyerangku!” Teriak
Setan Ngompol seraya membuat gerakan berkelit dan menangkis.
“Bukk! Bukkk!”
Dalam satu gebrakan hebat sepasang lengan Setan Ngompol yang
dipakai menangkis saling beradu dengan tangan Loh Gatra. Si kakek
pancarkan air kencing keluarkan keluhan pendek. Tubuhnya terhuyung
beberapa langkah. Sebaliknya Loh Gatra walau memiliki kecepatan
bergerak dan menyerang namun tingkat tenaga dalamnya masih di
bawah si kakek. Karuan saja walau berhasil memukul lawan lelaki
muda ini terpental sampai setengah tombak. Dua tangannya bergetar
sakit. Rasa sakit membuat Loh Gatra jadi kalap. Dia kembali menyerbu.
Namun saat itu Wiro sudah melompat turun dari kudanya dan tegak di
hadapan Loh Gatra, menghalangi orang lain untuk lancarkan serangan
berikutnya.
“Tua bangka jahanam! Kau harus mati! Harus mati! Kau yang
menculik istriku!”
“Gila!” teriak Setan Ngompol sambil tekap jubah putihnya di
bagian bawah perut yang kuyup oleh air kencing. “Enak saja tanpa
juntrungan kau menuduhku!”
“Sahabat Loh Gatra, tenang. Sabarkan dirimu! Ada yang tidak
beres.” Wiro berkata sambil angkat dua tangan ke atas, berusaha
menghalangi Loh Gatra yang kembali nekad hendak menyerang Setan
Ngompol.
“Wiro! Kalau kau melindungi jahanam penculik ini, aku
bersumpah membunuh kalian berdua!” Teriak Loh Gatra. Lalu
tangannya bergerak ke pinggang.
“Srett!”
Selarik cahaya putih berkilauan di bawah teriknya sorotan sinar
matahari. Sebilah keris terbuat dari perak tergenggam di tangan Loh
Gatra. Senjata ini tampak bergetar dan memancarkan cahaya
menyilaukan pertanda Loh Gatra menggenggam keris itu sambil
kerahkan tenaga dalam penuh. Pertanda bahwa dia tidak main-main
dengan ancamannya. Wiro perhatikan keris di tangan Loh Gatra. Dulu
lelaki ini memiliki sebuah keris sakti mandraguna bernama Keris
Tumbal Bekisar. Setahunya senjata tersebut telah hancur dihantam
Badik Sumpah Darah sewaktu Loh Gatra berkelahi melawan Adipati
Salatiga Jatilegowo. (Baca serial Wiro Sableng berjudul Meraga Sukma )
Berarti Loh Gatra telah membekal sebuah keris baru dan tingkat
kehebatannya pasti tidak kalah dengan Keris Tumbal Bekisa

Dengan sikap hati-hati Wiro melangkah maju, mempersempit
celah ruangan Loh Gatra untuk menyerang Setan Ngompol.
“Loh Gatra, kita sudah sejak lama bersahabat. Jika ada sesuatu
yang tidak beres mari kita selesaikan dulu dengan berbicara. Aku yakin
ada kesalah pahaman.”
Loh Gatra mendengus lalu berkata. “Wiro aku mengerti kalau kau
membela tua bangka jahanam ini. Kau lebih lama bersahabat dengan
dia dibandingkan diriku! Tapi satu hal perlu kau ketahui. Aku yakin
dialah yang telah menculik Nyi Lara.”
“Mulut dangkal otak cetek!” teriak Setan Ngompol.” Istrimu di
mana, aku di mana! Setan apa yang menyusup ke dalam otakmu hingga
menuduh aku menculik Nyi Lara!”
“Loh Gatra, kau menuduh tentu punya bukti. Tolong katakan apa
alasan atau bukti yang kau miliki hingga menuduh kakek tukang
ngompol ini sebagai penculik istrimu.”
“Aku punya bukti! Aku merasa tidak perlu bicara banyak dengan
kalian berdua! Minggir Wiro. Atau aku terpaksa menghajarmu!”
Murid Sinto Gendeng gelengkan kepala. Tangan kiri diulurkan
hendak memegang bahu Loh Gatra. Tapi lelaki ini cepat kibaskan
tangan kanannya yang memegang keris.
“Breeet!”
Ujung keris membabat robek lengan bahu putih Wiro sebelah
kanan. Kalau Wiro tidak cepat melompat mundur niscaya bukan cuma
bajunya yang robek, daging lengannya juga akan kena ditoreh.
Wiro pandangi bajunya yang robek, berpaling pada Loh Gatra,
masih bisa senyum dan sambil garuk-garuk kepala dia berkata.
“Loh Gatra, salah paham bisa merubah persahabatan jadi
perseteruan. Mari kita bicara dulu.”
Loh Gatra gelengkan kepala. Pandangan matanya menyorot.
Senyum dan gerakan menggaruk kepala sang pendekar dianggapnya
seperti meremehkan dirinya.
“Aku minta kau minggir Wiro! Menyingkir! Cepat!” Teriak Loh
Gatra.
Ketika Wiro tidak juga beranjak dari hadapannya Loh Gatra
tusukkan keris di tangan ke dada murid Sinto Gendeng. Satu jengkal
ujung keris akan sampai di permukaan dada, Wiro gerakkan tangan kiri
menepis serangan hingga lengan Loh Gatra terangkat ke atas.
Bersamaan dengan itu tangan kanannya menyambar ke arah
pergelangan. Loh Gatra merasa tangannya terpuntir begitu rupa. Ketika
Wiro lepaskan cekalan di pergelangannya, keris yang tadi di pegangnya
telah lenyap. Memandang ke bawah, senjata itu dilihatnya telah amblas
masuk ke dalam tanah! Dalam keadaan kalap, didahului teriakan keras
Loh Gatra menerjang ke depan. Dua tangan dihantamkan. Tapi tangan
kiri Wiro menyusup lebih dulu. Telapaknya menyentuh pertengahan
dada lawan, sekali tangan itu didorongkan, Loh Gatra terpental satu
tombak, jatuh terjengkang di tanah. Untuk beberapa lamanya dia

terduduk tak bergerak. Sorot mata dan dadanya yang turun naik
menyatakan amarah besar masih menguasai dirinya. Namun saat itu dia
merasa tubuhnya lemah sekali. Padahal tadi Wiro hanya mengerahkan
sedikit saja tenaga dalam dan lebih mengandalkan tenaga luar agar Loh
Gatra tidak cidera. Hanya saja gerakan berupa dorongan tangan yang
tadi dilakukannya adalah jurus Dewa Topan Menggusur Gunung yang
didapat dari gurunya Tua Gila, dedengkot rimba persilatan pulau
Andalas. Merupakan salah satu jurus langka dengan bobot berkekuatan
luar biasa.
Wiro dekati Loh Gatra, ulurkan tangan kanan. Agak ragu Loh
Gatra ulurkan pula tangan kanannya, Wiro kemudian membantu Loh
Gatra berdiri. Tegak berhadap-hadapan Wiro melihat sorotan mata
penuh amarah Loh Gatra mulai meredup. Dia masih mengerling ke arah
Setan Ngompol tapi wajahnya tidak lagi membersitkan luapan amarah.
Sesaat dia memandang ke tanah tempat kerisnya dibuat amblas oleh
Wiro. Lalu lelaki ini menarik nafas panjang.
“Aku dalam bingung dan marah besar. Aku tidak tahu harus
berbuat apa. Mungkin aku salah bertindak...”
Wiro tersenyum. “Agar tidak ada yang salah mari kita bicara baik-
baik.” Wiro memberi isyarat agar Setan Ngompol mendekat. Agak takut-
takut kakek ini melangkah sambil pegangi perut. Setelah ketiganya
saling berhadapan Wiro lantas berkata.
“Sahabatku! Loh Gatra, sekarang kita bisa bicara. Kau mulai
duluan.”
Loh Gatra menarik nafas panjang sekali lagi baru membuka
mulut.
“Seperti aku terangkan tadi, istriku diculik orang. Sebelum kabur
menunggang kuda, aku masih sempat melihat jelas si penculik. Dia
berpakaian serba putih. Kepalanya ditutup kain putih yang diikat
seperti ikatan jenasah. Seperti pocong. Ketika aku perhatikan pakaian
kakek ini, lalu aku lihat pula carikan kain putih yang menjulur
jubahnya, ada tali putih ikatan, tiba-tiba saja aku menaruh curiga, buka
cuma curiga, malah begitu yakin bahwa dialah manusia pocong yang
telah menculik Nyi Larasati, istriku. Itu sebabnya aku menjadi kalap...”
Pendekar 212 berpaling pada Setan Ngompol.
“Kek, sekarang giliranmu memberikan penuturan.”
Setan Ngompol batuk-batuk, usap-usap kuping kanannya yang
terbalik.
“Sudah dua kali aku ketuduhan sebagai penculik. Loh Gatra,
apakah istrimu Nyi Lara sedang hamil?”
Loh Gatra terkejut mendengar pertanyaan Setan Ngompol itu.
“Kek, dari mana kau tahu?”
“Sebelumnya aku dituduh menculik perempuan hamil oleh orang-
orang Kadipaten Magetan. Gara-gara di rumah tempat aku menginap di
Bantul, ditemukan seperangkat pakaian manusia pocong.” Lalu kepada
Loh Gatra Setan Ngompol ceritakan apa yang telah kejadian dengan

dirinya termasuk bagaimana dia mendapatkan jubah putih serta
penutup kepala berbentuk ikatan pocong.
Cukup lama Loh Gatra terdiam mendengar cerita si kakek. Lalu
dengan suara perlahan dia berkata. “Aku mengadakan perjalanan jauh
sampai kesini justru karena mendapat penjelasan dari seorang perajurit
Kadipaten Magetan. Katanya Adipati dan serombongan pasukan tengah
melakukan pengejaran terhadap seorang manusia pocong yang terlihat
berada sekitar Bantul. Aku ikut mengejar ke sini. Sampai bertemu
kalian dan terjadi semua kesalah pahaman ini. Kek, kuharap kau mau
memaaafkan kecerobohanku.”
Setan Ngompol tersenyum lebar lalu angguk-anggukkan kepala.
“Dari semua cerita yang aku dengar,” kata Wiro. “Agaknya
memang ada manusia pocong yang muncul di Bantul. Tujuannya
menculik Rana Suwarte...”
“Sekaligus mau memfitnah dan mencelakai diriku,” ucap Setan
Ngompol pula.
“Mungkin aku keliru mengejar jejak penculik. Ada beberapa orang
menerangkan bahwa kawasan di utara Telaga Sarangan diduga besar
sebagai sarangnya komplotan manusia pocong penculik perempuan-
perempuan hamil...”
“Aneh, mengapa ada orang mau menculik perempuan hamil.
Padahal yang gadis saja kelelaran di mana-mana. Cantik-cantik,” kata
Wiro sambil garuk kepala.
“Pasti ada sesuatu dibalik semua kejahatan ini. Manusia-manusia
pocong bukan cuma menculik, tapi juga membunuh secara kejam siapa
saja yang berani menghalangi atau mengejar mereka. Salah seorang
korban penculikan adalah Nyi Upit Suwarni, puteri tunggal Ki Mantep
Jalawardu, Kepala Desa Plaosan. Yang tewas jadi korban Ki Mantep
sendiri, menantunya. Lalu Surablandong, orang yang pernah jadi Ketua
Perguruan Silat Lawu Putih. Aji Warangan, Kepala pasukan kadipaten
Magetan lenyap, tidak diketahui nasibnya, apa masih hidup atau juga
sudah tewas. Konon, ada beberapa orang rimba persilatan yang ikut
lenyap. Kebanyakan korban penculikan dan korban pembunuhan
memang berasal dari kawasan sekitar Telaga Sarangan...”
“Berarti komplotan manusia pocong itu memang punya sarang di
daerah itu,” kata Setan Ngompol.
“Banyak orang menduga demikian, termasuk aku dan Adipati
Magetan. Tapi, sebegitu jauh diselidiki sarang komplotan manusia
pocong itu tidak berhasil ditemui,” kata Loh Gatra pula. “Wiro, Setan
Ngompol, aku harus kembali ke Jati-puro. Istriku yang hamil enam
bulan berada di tangan manusia-manusia jahat itu. Aku tidak tahu apa
yang bakal terjadi dengan dirinya. Selain itu dibalik semua kejahatan ini
pasti ada satu hal dahsyat mengerikan. Mungkin aku tidak akan dapat
menghadapinya sendirian. Mungkin juga aku akan menemui ajal di
tangan mereka seperti para pengejar lainnya.” Loh Gatra naik ke
punggung kudanya. Sebelum kuda dibedal Wiro berkata.

Tunggu, aku ikut bersamamu! Seperti yang kau duga, aku juga
punya kecurigaan. Ada satu perkara besar dibalik peristiwa penculikan
perempuan-perempuan hamil itu. Mungkin mereka dijadikan tumbal.
Mungkin juga bayi-bayi mereka diperjual belikan. Mungkin kejadiannya
lebih mengerikan dari yang kita duga. Semua itu pasti akan membawa
satu bencana besar bagi rimba persilatan.”
“Wiro, apa kau lupa kalau punya janji bertemu dengan tiga gadis
malam ini di Gedung Kepa-tihan?” Setan Ngompol mengingatkan
Pendekar 212.
Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepala. “Aku tidak lupa. Aku
minta bantuanmu mewakili diriku menemui puteri Patih Kerajaan dan
tiga gadis. Katakan aku tidak dapat memenuhi janji karena ada urusan
sangat penting bersama Loh Gatra. Kuharap kau menyusul ke Telaga
Sarangan. Kalau para gadis ingin ikut bersamamu silahkan saja...”
“Itu memang maumu,” ujar Setan Ngompol sambil senyum-
senyum.
Tiga orang itu berpisah. Wiro dan Loh Gatra memacu kuda ke
arah timur. Setan Ngompol ke arah Kotaraja. Celakanya di tengah jalan
pikiran kakek tukang ngompol ini bercabang. Dia ingat pada janda
gemuk putih di Bantul. Perjalanan ke Kotaraja melalui Bantul. Apa
salahnya dia mampir dulu di rumah sang janda. Paling tidak untuk
memberitahu kalau dirinya dalam keadaan selamat. Lalu dia harus
mengambil pakaiannya yang tertinggal. Mengenakan jubah putih
panjang itu terasa risih bagi si kakek. Lagi pula kalau ngompolnya
kumat, air kencing langsung saja meluncur ke bawah, tidak mandek
dulu di bawah perut.
“Kalau ngompol, enaknya memang pakai celana. Terasa hangat-
hangat basahnya.
Hah... ha... ha.” Setan Ngompol tertawa sendiri.
Sampai di Bantul, dalam suka citanya bertemu lagi dengan sang
janda, malam itu Setan Ngompol tidak pergi ke Gedung Kepatihan. Dia
baru pergi ke sana malam berikutnya. Itupun setelah larut malam pada
saat empat gadis telah meninggalkan gedung tersebut setelah menunggu
sekian lama Wiro tidak kunjung muncul.

SEMBILAN

KEDAI nasi besar berbentuk rumah panggung rendah itu terletak di
persimpangan tiga jalan menuju Magetan, Plaosan dan Sa-rangan.
Pemiliknya seorang lelaki, duda separuh baya bernama Danarejo.
Namun nama ini sudah lama dilupakan orang. Para pelanggan kedai
nasi terkenal itu lebih suka memanggil sang pemilik dengan nama Ki
Sedap Roso, sesuai dengan nama kedai nasinya yang terpampang di
satu papan besar di bawah atap depan bangunan.
Seperti biasanya setiap siang kedai itu selalu ramai dikunjungi
orang yang datang dari mana-mana atau kebetulan lewat untuk
bersantap mengisi perut. Menjelang matahari condong ke barat baru
suasana di tempat itu menjadi sepi. Kalaupun ada pengunjung mereka
bukan datang untuk makan tapi sekedar minum teh atau kopi sambil
mencicipi beragam penganan.
Di sudut kedai, seperti sengaja memencilkan diri dari para
pengunjung lainnya, duduk seorang gadis berwajah cantik, berkulit
hitam manis. Pelayan telah sejak tadi menghidangkan teh manis hangat.
Macam-macam juadah terhidang di depannya. Namun si gadis masih
belum meneguk teh atau mencicipi kue-kue. Sebentar-sebentar dia
memperhatikan orang-orang yang ada di dalam kedai. Sesekali dia
memandang ke arah pintu. Dan tak jarang pula perhatiannya ditujukan
pada Ki Sedap Roso yang tengah sibuk menghitung dan mengatur-
ngatur uang di laci mejanya.
Di sudut lain dari kedai, duduk seorang mengenakan caping.
Walau kepala dan seluruh wajahnya tak kelihatan karena tertutup
caping, namun dari bentuk tubuh dan pakaiannya dia jelas seorang
perempuan.
Dua orang pengunjung meninggalkan kedai. Untuk pertama
kalinya gadis berkulit hitam manis menyentuh cangkir minuman dan
meneguk teh manis hangat. Sesaat dia melirik pada orang bercaping lalu
gadis ini berdiri, melangkah ke tempat Ki Sedap Roso. Pemilik kedai
angkat kepala, tersenyum lebar melihat siapa yang berdiri di depannya.
Dia tutup laci meja. Matanya yang berpengalaman segera maklum kalau
gadis cantik di hadapannya adalah seorang dari rimba persilatan. Maka
dengan ramah Ki Sedap Roso menegur.
“Gadis gagah, kau tentu datang dari jauh. Apa sudah puas
meneguk minuman dan menyantap juadah? Kenapa buru-buru pergi?”
“Ki Sedap Roso, saya butuh keterangan. Ada sesuatu hendak saya
tanyakan pada Aki.”
“Hemm, hal apakah?”
“Kedai Aki begini besar, terkenal ke mana-mana. Pengunjung
datang dari berbagai tempat. Mulai dari rakyat biasa sampai para

pejabat Kerajaan dan juga orang-orang rimba persilatan. Orang yang
saya tanyakan mungkin pernah berkunjung ke sini. Ki Sedap Roso,
mungkin Aki kenal dan tahu di mana saya bisa menemui seorang
pemuda bernama Wiro Sableng, berjuluk Pendekar 212?”
“Ah, perihal pendekar itu yang hendak ditanyakan tamuku. Gadis
gagah. Kalau aku boleh lebih dulu bertanya, siapakah kau adanya?
Seingatku baru sekali ini kau mampir ke kedaiku.”
“Nama saya Wulan Srindi. Saya murid Perguruan Silat Lawu
Putih.” Si gadis mengatakan siapa dirinya secara terus-terang.
“Ah, sejak tadi aku sudah menduga kalau tamuku saat ini adalah
orang gagah rimba persilatan.” Ki Sedap Roso membungkuk
menyatakan hormat
“Ki Sedap Roso. kau jawab saja pertanyaan saya tadi.”
“Aku mendengar kabar meninggalnya Ki Surablandong bekas
Ketua Perguruan Silat Lawu Putih. Aku turut berduka cita. Malah aku
juga mendengar kabar dua hari lalu banyak anak murid perguruan
tewas di tangan makhluk aneh menyerupai pocong hidup.”
“Aki, kau belum menjawab pertanyaan saya.”
“Pendekar 212 Wiro Sableng.” Pemilik kedai nasi itu tarik nafas
panjang lebih dulu baru meneruskan ucapannya. “Nama besar itu
dikenal di mana-mana. Aku juga sering mendengar. Tapi bertemu
dengan orangnya aku belum pernah. Kata orang mencarinya sama saja
dengan mencari hantu. Sulit sekali. Tapi secara tidak terduga sewaktu-
waktu dia bisa muncul begitu saja. Aku tidak tahu apa dia pernah
mampir di kedaiku ini. Begitu banyak dan hebatnya cerita mengenai
dirinya hingga aku sendiri bingung. Jangan jangan semua itu hanya
cerita atau legenda yang disampaikan orang dari mulut ke mulut.”
“Aki, pendekar bernama Wiro Sableng itu bukan cuma cerita
kosong. Bukan cuma legenda. Orangnya benar-benar ada. Kalau tidak
saya tidak akan mencarinya.”
“Gadis gagah, kalau aku tahu mengenai Pendekar 212, pasti aku
ceritakan padamu. Tak ada yang akan aku sembunyikan. Cuma kalau
aku boleh memberi saran, untuk mencari seorang tokoh rimba
persilatan mengapa tidak minta bantuan orang dari rimba persilatan
pula? Apa lagi kau juga seorang dari dunia persilatan. Pasti tahu betul
liku-liku rimba hijau persilatan.”
Wulan Srindi renungkan ucapan pemilik kedai itu. Memang ada
benarnya. Tapi tidak mudah mencari dan menemui orang-orang rimba
persilatan. Apa lagi para tokohnya. Perlahan-lahan gadis ini berpaling ke
sudut kedai di mana duduk tamu perempuan bercaping lebar.
“Gadis yang kau pandangi itu,” kata Ki Sedap Roso dengan suara
perlahan, “aku bisa menduga dia adalah orang rimba persilatan.
Mengapa tidak bertanya saja padanya?”
“Nasihatmu akan saya turuti,” kata Wulan Srindi pula. “Aki, tadi
kau menyebut makhluk aneh menyerupai pocong hidup. Apa yang kau
ketahui tentang mereka?”

Pemilik kedai gelengkan kepala. “Tidak banyak yang aku ketahui.
Katanya makhluk itu muncul secara mendadak. Menculik perempuan
hamil, membunuh siapa saja yang coba menghalangi atau berani
mengejar. Salah satu korbannya adalah puteri tunggal Kepala Desa
Plaosan yang kabarnya tengah hamil tujuh bulan. Suaminya dibunuh,
Kepala Desa juga.”
“Hanya itu yang Aki ketahui?”
“Hanya itu.”
Wulan Srindi kembali palingkan kepala ke sudut kedai. Ki Sedap
Roso ikut berpaling. Astaga! Tamu bercaping lebar tadi tak ada lagi di
tempatnya. Dia lenyap seperti angin. Di atas meja kelihatan sejumlah
uang yang agaknya sengaja ditinggalkan sebagai pembayar minuman
dan makanan.
Wulan Srindi keluarkan kepingan uang logam dari balik pakaian
lalu berkata. “Ki Sedap, saya akan mencari keterangan mengenai
Pendekar 212 sesuai nasihatmu.”
Sebelum Wulan Srindi bergerak dari hadapan pemilik kedai, satu
tangan besar berbulu letakkan sebilah golok di atas meja. Lalu terdengar
suara parau bertanya.
“Siapa mencari tahu tentang Pendekar 212 Wiro Sableng?”
Wulan Srindi melihat wajah Ki Sedap Roso langsung pucat. Gadis
ini berpaling. Orang yang barusan meletakkan golok di atas meja
ternyata seorang tinggi besar, berpakaian dan berdestar serba hitam.
Kulit mukanya hitam berkilat. Kumis, janggut dan cambang bawuknya
meranggas tebal. Di lehernya tergantung sebuah kalung kain hitam
besar berbentuk segi empat. Kuping kiri dan cuping hidung sebelah kiri
dicanteli giwang emas.
“Warok Jangkrik,” Ki Sedap Roso cepat membungkuk. “Satu
kehormatan besar kau sudi mampir di kedai buruk ini. Silahkan duduk,
saya akan menyiapkan hidangan untukmu.”
“Jangkrik! Tutup mulutmu! Aku tidak bicara padamu. Aku bicara
pada gadis ini!” Sentak orang yang dipanggil dengan nama Warok
Jangkrik.
Ki Sedap Roso cepat-cepat membungkuk dan memohon maaf
berulang kali. Pinggulnya ditekankan ke laci uang. Kawatir kalau orang
di hadapannya itu akan membuka laci lalu menjarah isinya.
Warok Jangkrik palingkan kepala, memandang pada Wulan
Srindi. Si gadis saat itu juga tengah memperhatikan. Warok Jangkrik
tersenyum lebar dan kedipkan mata kirinya yang belok merah.
“Warok Jangkrik...” Ucap Wulan Srindi. “Aku pernah dengar
namamu. Bukankah kau dedengkot kepala rampok rimba belantara
Sarnigaluh?”
Warok Jangkrik tertawa bergelak sementara para pengunjung
kedai yang ketakutan satu demi satu segera tinggalkan tempat itu.
“Seorang gadis cantik mengetahui siapa diriku! Ha... ha...! Sungguh aku
berbangga hati!”

“Sarnigaluh jauh di sebelah barat. Kau muncul di tempat ini jauh
di sebelah timur. Pasti ada sesuatu yang membawamu datang ke sini.
atau mungkin di barat kau mengalami banyak kesulitan hingga
mengungsi di sini?”
Kembali Warok Jangkrik tertawa gelak-gelak.
“Aku muncul di mana aku suka! Dan setiap aku muncul pasti ada
rejeki besar menunggu! Contohnya siapa menduga kalau hari ini aku
akan bertemu dengan seorang gadis gagah dan cantik sepertimu!” Warok
Jangkrik basahi bibir dengan ujung lidah, tenggorokannya tampak
bergerak menelan air liur.
“Hemmm, begitu?” ucap Wulan Srindi. Walau masih sangat muda,
belum punya banyak pengalaman dalam rimba persilatan namun dari
gerak-gerik, serta sikap bicara Warok Jangkrik dia sudah maklum kalau
manusia satu ini membekal maksud buruk terhadap dirinya. “Warok,
tadi kau bertanya siapa mencari tahu mengenai Wiro Sableng. Apa kau
tahu di mana beradanya pendekar itu?”
“Katakan dulu siapa dirimu, baru aku menjawab pertanyaanmu.”
“Aku Wulan Srindi. Anak murid Perguruan Silat Lawu Putih.”
Seperti pada pemilik kedai tadi, Wulan Srindi sengaja menerangkan
siapa dirinya agar orang tidak berani berbuat macam-macam.
“Ah, sungguh satu kehormatan aku bisa berhadapan dengan
seorang anak murid satu perguruan silat besar.” Warok Jangkrik
menjura. “Hanya sayang, aku mendengar kabar buruk tentang
perguruanmu itu.”
“Hal itu tidak perlu kau pikirkan. Katakan saja kalau kau memang
tahu di mana beradanya Pendekar 212 Wiro Sableng.”
“Kau membawa kuda?” Tanya Warok Jangkrik.
Wulan Srindi mengangguk.
“Ikuti aku!”
Warok Jangkrik ambil golok besar di atas meja, selipkan di
pinggang lalu melangkah ke pintu.
“Wulan,” ucap Ki Sedap Roso setengah berbisik. “Aku nasihatkan,
jangan kau ikuti orang itu. Dia garong besar! Jahat dan ganas!
Berbahaya...”
“Terima kasih Aki. Saya hanya mengikuti nasihatmu tadi. Ingin
tahu tentang seorang pendekar rimba persilatan, tanyakan pada orang
rimba persilatan.”
“Memang aku berkata begitu. Tapi Warok Jangkrik bukan
manusia baik-baik. Dulu dia rampok besar di kawasan barat. Kini
pindah menjarah ke wilayah timur sini.”
“Aki tak usah kawatir. Kalau dia berbuat macam-macam pada
saya, akan saya jadikan dia satu macam!”
Ki Sedap Roso hanya bisa gelengkan kepala.
Warok Jangkrik seperti yang dikatakan Ki Sedap Roso dulunya
adalah dedengkot kepala rampok hutan Sarnigaluh di wilayah barat,
memiliki beberapa orang anak buah. Kepala rampok ini sebut Warok

Jangkrik karena kepalanya yang besar dan mukanya yang hitam
berkilat menyerupai jangkrik besar, jangkrik keliongan. Selain itu jika
sedang marah dia selalu mendahului makiannya dengan kata-kata
jangkrik!
Suatu ketika Warok Jangkrik mengetahui adanya sebuah peta
rahasia menyangkut harta karun dalam jumlah besar milik Kerajaan.
Dua orang yang secara tidak sengaja mengetahui peta itu adalah Ki
Kalimanah dan cucunya, seorang anak lelaki bernama Boma Wanareja.
Ki Kalimanah bekerja di Keraton sebagai perawat kuda. Suatu ketika Ki
Kalimanah dan Boma mengadakan perjalanan melewati rimba belantara
Sarnigaluh. Warok Jangkrik dan beberapa anak buahnya yang sudah
punya rencana jahat melakukan penghadangan. Dia memaksa Ki
Kalimanah untuk menceritakan tempat disembunyikan harta karun
Kerajaan sesuai dengan apa yang pernah dilihatnya dalam peta. Ki
Kalimanah tidak mau menerangkan. Kakek ini disiksa sampai babak
belur. Gagal menguras keterangan dari mulut Ki Kalimanah, Warok
Jangkrik ganti menyiksa Boma Wanareja.
Seperti kakeknya Boma juga tidak mau memberi keterangan.
Dalam marahnya Warok Jangkrik dan anak buahnya hendak
membunuh Boma. Di saat mau hendak merenggut itulah muncul
seorang tua berselempang kain putih yang kemudian diketahui adalah
perwujudan Kiai Gede Tapa Pamungkas, guru Sinto Gendeng, tokoh
besar rimba persilatan yang hidup di alam gaib. Kakek ini bukan saja
menyelamatkan Boma, tapi juga menghajar Warok Jangkrik dan anak
buahnya. Salah seorang dari tiga anak buah Warok Jangkrik menemui
ajal. Warok Jangkrik sendiri dan juga sisa dua anak buahnya kalau
tidak dimintakan pengampunan oleh Boma pasti akan menemui ajal di
tangan Kiai Gede Tapa Pamungkas. Boma kemudian dibawa oleh Kiai
Gede Tapa Pamungkas ke tempat kediamannya di Gunung Bismo,
diangkat menjadi murid. Di kemudian hari anak ini menemukan nasib
menyedihkan, terbunuh secara tidak sengaja oleh Sinto Gendeng. Untuk
menebus dosa kesalahannya Kiai Gede Tapa Pamungkas menugaskan
Sinto Gendeng untuk kelak mewariskan ilmu kepandaiannya pada
seorang anak lelaki bernama
Boma Tri Sumitro yang dilahirkan di dunia lain. Konon anak itu
akan dijadikan sebagai Pendekar Tahun 2000 untuk menghadapi
kekuatan jahat para pendekar golongan hitam. (Kisah Warok Jangkrik
dan Boma Wanareja dapat diikuti dalam serial Wiro Sableng berjudul Si
Cantik Dalam Guci. Sedang kisah Boma Tri Sumitro sudah terbit dalam
serial Boma Gendenk. Empat Episode pertama yaitu Suka Suka Cinta,
ABG, Tripping, Macho, Episode berikutnya Topan Di Borobudur, Tenda
Biru Candi Mendut, Bonek Candi Sewu, Rembulan Di Prambanan)

SEPULUH

DI KEJAUHAN Gunung Lawu tampak menjulang tinggi. Wulan Srindi
memacu kuda mengikuti Warok Jangkrik melewati jalan menurun
berliku dan berbatu-batu lalu menanjak tajam memasuki kawasan
hutan jati. Di satu tempat Warok Jangkrik hentikan kudanya. “Ada
apa?” tanya Wulan Srindi. “Selewat hutan jati ini, ada lembah kecil. Di
situ ada satu rumah tua. Kita menuju ke sana,” Warok Jangkrik segera
hendak membedal kudanya.
“Tunggu. Kalau hanya untuk memberi keterangan tentang
Pendekar 212 Wiro Sableng, mengapa kita menempuh perjalanan sejauh
ini?”
Warok Jangkrik tatap wajah gadis cantik hitam manis itu sesaat.
Lalu matanya melirik ke arah kejauhan. Dia melihat kepala seekor kuda
di balik serumpun semak belukar, dekat sebatang pohon jati besar.
Kepala rampok ini menyeringai. “Tipuanku mengena. Emas satu
kantong itu akan segera jadi milikku.” Hatinya membatin.
“Aku curiga,” kata Wulan Srindi pula.
Warok Jangkrik tertawa lebar. “Wulan Srindi, adalah tolol kalau
baru sekarang mau menaruh curiga! Seharusnya tadi-tadi sewaktu
masih di kedai Ki Sedap Roso kau berpikir sepuluh kali untuk
mengikutiku!”
“Jadi benar, rupanya kau menipuku!”
Warok Jangkrik tidak menjawab. Sambil mengumbar tawa
bergelak dia tarik tali kekang tunggangannya. Kuda itu menghambur
meninggalkan hutan jati untuk kemudian menuruni sebuah lembah.
“Warok Jangkrik!” teriak Wulan Srindi. “Kalau kau menipuku, apa
lagi bermaksud jahat! Kupecahkan kepalamu!” Si gadis sentakkan tali
kekang kuda, menghambur mengejar Warok Jangkrik.
Hutan jati sampai pada ujungnya. Seperti yang dikatakan Warok
Jangkrik tadi selewatnya hutan jadi ada lembah kecil. Di bibir lembah
sebelah utara kelihatan satu rumah kayu. Saat itu Warok Jangkrik telah
sampai di pertengahan lembah, terus memacu kudanya ke arah
bangunan. Wulan Srindi sesaat hentikan kudanya, menggigit bibir dan
berpikir-pikir. Hati kecilnya sebenarnya menyuruh dia memutar kuda
dan tinggalkan tempat itu. Namun hasrat besar ingin mengetahui
keberadaan Pendekar 212 membuat gadis ini akhirnya melarikan
kudanya menuruni lembah. Apa lagi saat itu seolah terbayang kembali
ke-matian kakak seperguruannya yang juga merupakan Ketua
Perguruan Silat Lawu Putih yakni Parit Juwana. Yang disaksikannya
dengan mata kepala sendiri. Parit Juwana menemui ajal di tangan Wakil
Ketua Manusia Pocong. Dendam yang berkobar membuat dia bersedia
menempuh kesulitan apa saja asal dapat membalaskan sakit hati

kematian Parit Juwana serta saudara-saudara seperguruan lainnya.
Selain itu kalau saja bukan Dewa Tuak yang memintanya untuk
mencari Pendekar 212 Wiro Sableng mungkin hatinya akan mendua
melakukan hal itu.
Begitu sampai di depan rumah tua yang terletak di bibir lembah
sebelah utara, Warok Jangkrik turun dari kuda. Tunggangannya ini
dibiarkan bebas tidak ditambatkan. Tak lama kemudian Wulan Srindi
sampai di tempat itu, langsung melompat turun dari punggung kuda.
“Kita sudah sampai di tujuan. Sekarang katakan apa yang kau
ketahui tentang Wiro Sableng. Apakah dia ada di dalam rumah ini?”
“Jawaban ada di dalam rumah. Mengapa tidak segera masuk?”
Ujar Warok Jangkrik.
Jengkel ada, penasaran juga ada, sekali lompat saja gadis anak
murid Perguruan Silat Lawu Putih ini telah melesat masuk ke dalam
rumah tua. Ternyata bagian atas bangunan itu tidak beratap lagi hingga
cahaya matahari masuk menerangi bagian dalam rumah.
Wulan Srindi memandang berkeliling. Lalu berpaling pada Warok
Jangkrik yang saat itu berdiri tegak di ambang pintu rumah tua.
“Tidak ada siapa-siapa di sini! Warok Jangkrik! Jangan kau berani
menipuku!” Bentak Wulan Srindi.
Dibentak si gadis Warok Jangkrik cuma menyeringai. Tiba-tiba dia
masukkan dua jari tangannya ke dalam mulut. Saat itu juga satu suitan
keras keluar dari mulut kepala rampok ini. Dari atap rumah yang
terbuka melayang turun empat sosok. Gerakan cepat dan dua kaki
mendarat di lantai lebih dulu, hampir tanpa suara. Empat sosok ini
ternyata empat orang berpakaian dan berikat kepala serba hitam. Ke
empatnya langsung mengurung Wulan Srindi.
“Kurang ajar! Warok Jangkrik! apa-apaan ini?!” Teriak Wulan
Srindi.
Warok Jangkrik menyeringai. Dia melangkah ke sudut rumah,
duduk di lantai sambil bersandar ke dinding. Lapat-lapat di luar sana
dia mendengar suara kuda mendatangi.
“Anak-anak, aku tidak mau susah. Aku mau terima bersihnya
saja! Telanjangi gadis ini!”
Wulan Srindi seperti mendengar petir menggelegar di depan mata.
“Warok Jahanam! Aku bersumpah akan memecahkan kepalamu!” Teriak
si gadis. Lalu sambil memasang kuda-kuda dia berkata pada empat
orang yang mengurung. “Kalau kalian mau mampus duluan, tunggu apa
lagi! Maju!”
Salah seorang anak buah Warok Jangkrik yang mengurung Wulan
Srindi bernama Si Comot. Dia dikenal paling rakus dan ganas dalam
menjarah setiap korbannya. Selain itu jika melihat perempuan cantik,
tangannya pasti meraba menggerayang.
“Kawan-kawan,” kata Si Comot pada tiga temannya sambil lidah
dijulurkan membasahi bibir. “Kalian bertiga lihat saja. Biar aku yang
melaksanakan perintah Warok!”

“Jangan enak sendiri! Kami juga punya kewajiban menjalankan
tugas pimpinan!” teriak anggota rampok di sebelah kanan yang dikenal
dengan nama Si Galah Jangkung alias Si Galah Ceking karena
tubuhnya yang tinggi tapi kurus kering.
Takut kedahuluan tiga temannya Si Comot segera bergerak.
Tubuhnya berkelebat ke arah Wulan Srindi, dua tangan bergerak cepat
sekali. Yang kiri menyambar ke arah wajah si gadis sementara yang
kanan secara kurang ajar meraba ke dada.
Dalam amarah mendidih Wulan Srindi hadapi serangan kurang
ajar lawan dengan jurus Membelah Ombak Menembus Gunung. Dua
tangan memukul kesamping seperti kipas terkembang. Kaki kiri
bersitekan ke lantai membuat pijakan atau kuda-kuda kokoh, lalu
bersamaan dengan itu kaki kanannya melesat ke depan menendang ke
arah selangkangan lawan!
“Bukk! Bukk!”
Dua tangan Si Comot terpental ke samping begitu kena dihantam
pukulan Wulan Srindi. Si Comot keluarkan seruan tertahan, kaget
sekali. Sambil menahan sakit dia kibas-kibaskan dua tangannya. Dia
sama sekali tidak menyangka kalau gadis cantik yang dipandang enteng
dan hendak dilecehkannya itu ternyata memberikan perlawanan dengan
ilmu silat tidak rendah. Kalau tidak cepat tiga temannya menyerbu,
bagian bawah perutnya bisa saja tadi kena dimakan tendangan lawan!
Sebagai murid Perguruan Silat Lawu Putih walau tenaga dalamnya
belum mencapai tingkat tinggi, dalam ilmu silat kepandaian Wulan
Srindi hanya dua tingkat di bawah kepandaian Parit Juwana, mendiang
Ketua perguruan. Namun dikeroyok empat rampok yang memiliki ilmu
silat tinggi setelah bertahan selama sembilan jurus, Wulan Srindi mulai
terdesak. Di antara empat pengeroyok yang paling berbahaya adalah Si
Galah Jangkung. Gerak tangannya cepat sekali. Selain itu dua
tangannya yang panjang berkelebat sering tidak terduga.
Memasuki jurus ke dua belas. Wulan Srindi berhasil
menghantamkan sikunya ke dada salah seorang lawan, namun pada
saat itu pula dari samping kiri berkelebat tangan Si Galah Jangkung.
“Brett!”
Bahu kiri baju ringkas yang dikenakan Wulan Srindi koyak besar.
Sebelumnya baju ini telah robek di bagian punggung dan dada sewaktu
gadis ini hendak digagahi oleh manusia pocong bernama Sepuh
DalemKawung. Kini keadaan pakaian Wulan Srindi jadi awut-awutan.
Sebagian tubuhnya tersingkap depan belakang. Membuat empat anak
buah Warok Jangkrik jadi tambah bernafsu. Sementara Warok Jangkrik
sendiri masih tetap duduk tak bergerak di sudut rumah. Hanya
sepasang matanya yang melotot besar tak berkesip sesekali berputar liar
memperhatikan tubuh Wulan Srindi yang tersingkap di sana-sini.
Wulan Srindi sendiri saat itu memilih lebih baik mati daripada
tercemar dan dirusak kehormatannya. Dalam keadaan terdesak dia
berikan perlawanan hebat. Jurus-jurus ilmu silatnya yang diberi nama

selalu berkaitan dengan alam, dilancarkan dalam bentuk serangan luar
biasa ganas.
Di jurus ke sembilan belas Wulan Srindi dapat menjotos muka Si
Comot hingga darah mengucur dari hidungnya yang patah. Namun
inilah batas terakhir gadis murid Perguruan Silat Lawu Putih ini
menunjukkan kehebatannya. Dua lawan kembali berhasil merobek
pakaiannya. Selagi dia kebingungan menutupi auratnya, Si Galah
Jangkung membetot celananya.
Wulan Srindi menjerit keras, hantamkan dua tangan ke depan.
Mendadak betis kirinya disambar satu tendangan. Tak ampun gadis ini
jatuh terjengkang di lantai. Tiga anggota rampok segera meringkusnya.
Rampok ke empat yang hidungnya remuk yakni Si Comot, dengan muka
penuh darah seperti kesetanan merobeki pakaian si gadis.
Warok Jangkrik tertawa mengekeh. Dalam tertawa dia dia pasang
telinga dan melirik ke arah pintu. Dia tidak menunggu lama. Satu
bayangan biru berkelebat masuk ke dalam rumah. Lalu terdengarlah
pekik empat anak buahnya. Si Comot terpental ke dinding rumah
sebelah kiri. Kepala menghantam dinding. Kening hancur. Tubuh meliuk
tak bergerak dan tak bernafas lagi. Si Galah Jangkung terkapar sambil
pegangi tulang dadanya yang remuk. Mulut megap-megap mengucurkan
darah. Nyawanya tak tertolong. Dua anggota rampok lainnya bernasib
lebih mujur karena hanya remuk tulang pinggul dan patah tulang
belikat. Keduanya terduduk di lantai, mengerang menahan sakit sambil
memandang ke depan di mana tegak berdiri seorang gadis cantik
berpakaian biru, berambut pirang. Tubuh dan pakaian menebar bau
harum semerbak. Mereka tahu gadis inilah tadi yang mengirimkan
serangan hebat hingga keduanya cidera patah dan remuk tulang.
Sementara dua kawan mereka menemui ajal. Tapi agaknya ada yang
aneh dengan gadis ini. Karena begitu selesai lancarkan serangan ganas,
kini dia berdiri kaku, tak bisa bergerak tak dapat keluarkan suara.
Bahkan sepasang matanya yang bagus tidak mampu berkedip!
Selagi dua anggota rampok ini menahan sakit sambil terheran
memandangi si cantik berbaju biru, saat itu pula mereka melihat ada
seseorang tinggi besar berdiri tepat di sebelah belakang si gadis. Mereka
melihat satu tangan bergerak. Sebuah benda dilemparkan ke udara.
Sebuah kantong kulit. Satu tangan menangkap kantong itu. Tangan
Warok Jangkrik! Kepala rampok ini menyeringai. Dia melangkah dekati
Wulan Srindi yang tengah berusaha bangkit. Warok Jangkrik daratkan
satu totokan di tubuh Wulan Srindi. Tubuh yang kaku itu kemudian
dipanggulnya di bahu kiri.
“Warok, tunggu!” teriak salah seorang anggota rampok.
“Pemimpin, jangan tinggalkan kami!” rampok satunya ikut
berteriak.
Dalam keadaan menahan sakit keduanya berusaha berdiri,
terbungkuk-bungkuk ke pintu. Di ambang pintu Warok Jangkrik berdiri
seolah menunggu dua anak buahnya. Tapi begitu mereka sampai di

hadapannya, Warok Jangkrik berturut-turut hantamkan dua
tendangan. Tak ampun lagi dua anggota rampok ini mencelat mental
kembali ke dalam rumah. Keduanya bergedebukan di lantai. Tak
satupun yang bergerak karena masing-masing sudah putus nyawa
dengan perut hancur di sebelah dala

SEBELAS

SOSOK tinggi besar yang tadi melemparkan kantong kulit dan ditangkap
oleh Warok Jangkrik, bergerak melangkah ke hadapan gadis berpakaian
serba biru berambut pirang. Gadis ini tegak kaku tak bergerak, tak bisa
keluarkan suara bahkan sepasang matanya tidak mampu berkedip! Dan
sepasang mata yang bagus ini mendadak memancarkan rasa takut
ketika melihat orang yang berdiri di hadapannya. Si tinggi besar ini
mengenakan sehelai jubah putih menjela tanah. Kepala tertutup
kerudung yang juga terbuat dari kain putih. Dari keseluruhan wajahnya
hanya sepasang matanya yang kelihatan di balik dua lobang kecil pada
kain penutup kepala. Sepasang mata ini memiliki bola mata aneh
membersitkan sinar menggidikkan.
“Makhluk aneh. Menyerupai pocong hidup...” Gadis baju biru
tidak teruskan ucapan dalam hatinya. Tengkuk terasa dingin. “Aku
tidak mendengar suaranya berkelebat. Aku juga tidak merasakan jari
tangan yang melakukan totokan. Bagaimana aku tahu-tahu tidak bisa
bergerak tidak bisa bicara. Warok Jangkrik pergi begitu dia muncul di
sini. Apa hubungan antara keduanya. Satu menjebak satu
menungguku. Lalu gadis berkulit hitam yang diboyong Warok Jangkrik?
Mungkin dia salah satu pemain dalam jebakan ini?” Sadar dirinya
diancam bahaya besar serta merta si gadis berusaha mengerahkan
tenaga dalam untuk membuyarkan totokan. Tapi dia tidak mampu
melakukan.
Di balik kain putih kepala makluk tinggi besar berjubah putih
menyeringai. Dari urat yang menonjol tegang di permukaan leher putih
jenjang, dia mengetahui kalau gadis di hadapannya tengah berusaha
memusnahkan totokan dengan pengerahan tenaga dalam dan hawa
sakti.
“Totokan yang menguasai dirimu adalah totokan Menjerat Urat
Melumpuh Syaraf. Jangankan dirimu, sepuluh tokoh utama rimba
persilatan tanah Jawa sekalipun tidak akan mampu membebaskanmu.”
Si gadis maklum kalau saat itu dia berhadapan dengan seorang
berkepandaian tinggi dan jelas punya niat baik terhadap dirinya. Dia
tidak boleh bertindak gegabah. Namun amarah membuat dia keluarkan
makian.
“Jahanam kurang ajar! Siapa kau sebenarnya! Apa tujuanmu
menotok diriku! Berani kau berbuat yang bukan-bukan, aku bersumpah
mencincang tubuhmu!” Makian gadis berbaju biru hanya terucap di
dalam hati karena mulutnya tak mampu bersuara.
“Bidadari Angin Timur. Jadi inilah ujud orangnya.” Si tinggi besar
keluarkan ucapan sambil rangkapkan dua tangan di atas dada dan
mulut keluarkan suara berdecak kagum. Dua matanya menatap

berkilat. “Wajah cantik jelita, rambut pirang, mata bagus. Kulit putih,
tubuh elok tinggi semampai. Aku tidak ingat apakah kita pernah
bertemu sebelumnya. Dengar Bidadari, aku tidak malu berterus-terang
padamu. Pada pertemuan kita saat ini, tiba-tiba saja aku jatuh cinta
pada dirimu. Apa jawabmu?”
“Jahanam gila!” maki gadis berpakaian biru yang memang
Bidadari Angin Timur adanya. Ingin sekali saat itu dia menerkam dan
merobek mulut atau memecah kepala orang di hadapannya. Lagi-lagi
suara makiannya hanya di dalam hati karena tidak bisa bicara.
“Aku mendengar kabar. Konon kau adalah salah seorang dari
sekian banyak kekasih gelap Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng.
Ha... ha... ha! Benar begitu?” Sambil tertawa bergelak orang berjubah
dan bertutup kepala kain putih itu memutari Bidadari Angin Timur dan
berhenti melangkah begitu sampai lagi di hadapan si gadis. “Apa
bahagianya menjadi kekasih gelap. Apa lagi kau hanya seorang dari
sekian banyak gadis yang terjebak dalam tipu daya asmara murahan
Pendekar itu.”
Dari balik kain penutup kepala orang tinggi besar tatap wajah
Bidadari Angin Timur. Si gadis balas memandang. Dia dapatkan
sepasang bola mata manusia menyerupai pocong di hadapannya ini
berbentuk aneh. “Cantik sekali. Luar biasa cantik.” Orang di hadapan
Bidadari Angin Timur kembali keluarkan ucapan berupa puji-pujian.
“Bidadari Angin Timur, bersediakah kau kujadikan kekasih? Ah, aku
seharusnya tak perlu bertanya. Saat ini aku punya kekuasaan atas
dirimu. Aku bisa melakukan apa saja. Termasuk membunuhmu! Oh
tidak, tidak... Aku tidak akan membunuh orang secantikmu. Apa lagi
aku punya pantangan membunuh. Tapi dengar, kita punya banyak
waktu untuk bersenang-senang sambil menunggu kemunculan
Pendekar Dua Satu Dua di tempat ini! Kalau dia muncul akan
kuselesaikan dendam lama yang sudah karatan di dalam tubuhku. Kau
bisa menyaksikan kematian kekasih tak bergunamu itu dengan mata
kepala sendiri. Setelah itu... Ha... ha... ha!” Si tinggi besar maju satu
langkah. Dua tangannya diulurkan membelai pipi Bidadari Angin Timur.
Dua tangan itu kemudian turun kebahu, turun lagi ke bawah mengusap
pinggul. Si tinggi besar leletkan lidah. Tenggorokannya turun naik.
“Kata orang tubuhmu mulus tanpa cacat. Ingin sekali aku melihat
membuktikannya. Kekasihku, izinkan aku membuka pakaianmu.” Habis
berkata begitu orang tinggi besar gerakkan dua tangannya ke atas dada
pakaian Bidadari Angin Timur. Nafas panas memburu. Jari-jari tangan
bergerak membuka pita-pita kecil pengancing pakaian biru di bagian
dada.
“Ah... tak pernah aku melihat yang begini putih, begini bagus.
Kekasihku, aku benar-benar jatuh cinta padamu.” Kepala yang tertutup
kain putih itu dirundukkan ke dada Bidadari Angin Timur yang
tersingkap. Belum sempat kepala dan dada bersentuhan tiba-tiba satu
cahaya kuning melesat dari atas atap, menerpa ke dalam rumah.

Orang berjubah keluarkan seruan kaget. Dia cepat menyingkir
namun cahaya kuning masih sempat menyerempet tubuhnya hingga dia
terpental ke belakang. Punggungnya melabrak dinding rumah. Dinding
papan yang sudah lapuk itu amblas jebol. Sosok orang berjubah
tersekat dalam jebolan. Marah manusia satu ini bukan alang kepalang.
Lima jari tangan kiri kanan dipentang ke depan. Luar biasa! Lima jari
tangan ini jadi berubah sangat besar dan kuku-kuku hitam mencuat
mengerikan dari ujung-ujung jari. Namun begitu matanya
memperhatikan ke depan, memandang sosok yang berdiri di samping
gadis berbaju biru, amarahnya mendadak mereda. Dadanya berdebar.
Di sebelah Bidadari Angin Timur saat itu berdiri seorang pemuda
berpakaian coklat. Sekujur tubuh, mulai dari kepala yang botak sampai
ujung kaki yang telanjang berwarna kuning. Bahkan bagian mata yang
seharusnya berwarna putih juga terlihat kuning. Ketika dia menyeringai
lidahnya juga tampak kuning!
Orang berjubah keluarkan diri dari dalam lobang di dinding.
Berdiri tegak, mendadak terkesiap karena baru sadar kalau sebagian
jubahnya sebelah depan tampak berwarna kuning.
“Pukulan yang dilepaskan bedebah ini, menyerupai pukulan
makhluk dari alamku! Aku memang menyirap kabar kalau dirinya juga
sudah terpesat ke tanah Jawa ini. Tapi ujudnya mengapa berbeda.
Untuk membuktikan aku harus lancarkan serangan!”
Orang berjubah kembangkan dua tangan ke samping. Tubuhnya
tiba-tiba berputar. Sosok yang berputar membentuk kerucut terbalik.
Sekujur tubuh Bidadari Angin Timur bergoyang-goyang dan terasa
disedot ke arah orang yang berputar. Dia tak mungkin bertahan. Sesaat
lagi tubuhnya akan masuk ke dalam putaran yang menyedot tiba-tiba
pemuda berpakaian coklat bertubuh kuning berseru sambil dorongkan
tangan kanan ke arah orang yang berputar.
“Ilmu Tangan Hantu Tanpa Suaral Manusia yang sembunyikan
wajah di balik penutup kepala! Dari mana kau mencuri ilmu itu?!”
Kejut orang yang ditegur bukan olah-olah!
“Memang dia! Pasti dia!” kata orang ini dalam hati. Saat itu selarik
sinar kuning dari pukulan yang dilepaskan si pemuda menderu tinggal
sejarak satu langkah dari hadapannya. Dengan cepat manusia berjubah
putih besarkan mata. Ketika sepasang mata ini dikedipkan, dua larik
cahaya hijau panjang berbentuk segi tiga lancip di bagian ujung
terdepan, menyembur ganas ke arah pemuda berkulit kuning.
“Hantu Hijau Penjungkir Roh\” Seru si pemuda berkulit kuning.
Dengan cepat dia melesat ke udara hingga sebagian tubuhnya keluar
dari atap bangunan. Dari atas pemuda ini gerakkan dua kaki
menendang ke bawah. Dua gelombang cahaya kuning membabat
laksana topan prahara. Sebelum rumah tua lapuk itu hancur
berantakan, orang berjubah cepat menyambar tubuh Bidadari Angin
Timur yang terlempar ke udara. Tapi dia kalah cepat. Pemuda kulit
kuning telah lebih dulu melesat ke bawah. Satu kaki ditendangkan ke

arah si jubah putih sementara tangan kanan disusupkan ke bawah
ketiak Bidadari Angin Timur.
“Dukkk!”
Untuk kedua kalinya si jubah putih terpental. Kali ini sambil
semburkan muntahan cairan warna kuning dari mulutnya. Sesaat
wajahnya kelihatan kuning. Tubuhnya bergetar hebat, merinding dingin
karena sadar bahwa barusan dia terlepas dari bahaya racun jahat.
Kalau saja tadi dia tidak muntahkan cairan kuning maka satu racun
sangat berbahaya akan mendekam di bagian tubuhnya yang kena
tendangan. Mulutnya komat-kamit. Amarah membuat dia gelap mata.
“Makhluk kuning jahanam! Kau tak akan dapatkan gadis itu
hidup-hidup!” Habis berkata begitu si jubah putih angkat tangan kanan
ke atas, diputar setengah lingkaran.
“Cukup!” teriak pemuda berkulit kuning. Tangan kanannya
dikepal, lalu diangkat ke atas. Kepala itu kelihatan dibungkus cahaya
kuning.
Sesaat orang berjubah merasa bimbang. Dalam hati dia merutuk
habis-habisan.
“Pemuda muka tai!” bentak si jubah putih. “Aku tahu siapa kau
adanya! Sejak dulu kau memang biang racun penghalang segala
pekerjaanku! Jangan kira aku takut padamu! Hari ini aku masih berbaik
hati mengampuni selembar nyawamu! Tapi lain kali kalau aku datang
mencarimu jangan harap nyawamu ketolongan. Aku akan membuat
tubuhmu amblas ke dalam tanah! Akan kukubur kau hidup-hidup!”
Selesai membentak orang berjubah segera putar tubuh. Dinding rumah
ditabraknya begitu saja. Pemuda botak berkulit kuning hendak
mengejar. Tapi kawatir akan keselamatan gadis dalam pelukannya dia
batalkan niat. Di kejauhan sana manusia berdandan seperti pocong
telah berada di pinggiran lembah sebelah timur.
Perlahan-lahan pemuda berkulit kuning turunkan tubuh Bidadari
Angin Timur.
“Ini pertemuan kita yang kedua. Aku sangat gembira bisa
melihatmu lagi. Sahabat, apakah kau masih ingat diriku?” Pemuda
botak menatap tersenyum sambil usap kepalanya. Ketika Bidadari Angin
Timur tidak menjawab dan tidak bergerak baru dia ingat. “Tololnya aku
ini. Sahabat cantik dalam keadaan tertotok aku malah ajak bicara.
Eh...” Si pemuda mendadak tutup mulut hentikan ucapan lalu tertawa
sendiri. “Kau tahu, di negeri asalku totok berarti payudara...” Pemuda
itu usap lagi kepala botaknya, perhatikan Bidadari Angin Timur dari
kepala sampai ke kaki lalu geleng-geleng kepala. Melihat sikap orang
Bidadari Angin Timur diam-diam merasa kawatir. Mungkin pemuda itu
tidak mampu melepaskan totokan yang menguasai dirinya. Berarti
sampai berapa lama dia akan berada dalam keadaan seperti itu hingga
ada seseorang yang mampu menolong?
Pemuda botak berkulit kuning perhatikan bagian leher Bidadari
Angin Timur. Saat itu bagian dada pakaian si gadis yang tadi sempat

dibuka orang berjubah dan berkerudung kain putih masih dalam
keadaan tersingkap. Namun sedikitpun dia tidak memperhatikan
pemandangan yang tidak akan dilewatkan oleh mata lelaki manapun.
“Tak ada tanda di lehermu,” ucap si pemuda. Dia melangkah ke
belakang Bidadari Angin Timur “Maafkan kalau aku terpaksa
menyentuhmu. Aku harus mengetahui bagian mana dari tubuhmu yang
ditotok.” Bidadari Angin Timur merasakan dua kali usapan di
punggungnya kiri kanan. “Tidak terasa ada bekas totokan di
punggungmu. Hemmm...” Sambil usap-usap dagunya yang ditumbuhi
bulu-bulu tipis dia kembali berdiri di hadapan Bidadari Angin Timur.
“Menjerat Urat Melumpuh Syaraf! Pasti dia menotokmu dengan ilmu itu.
Ilmu curian! Semua ilmu kepandaiannya kebanyakan hasil curian dari
para tokoh di Negeri Latanahsilam.”
Bidadari Angin Timur semakin merasa kawatir. “Agaknya dia
memang tidak bisa menolong. Celaka diriku...”
Pemuda itu tatap paras cantik gadis di depannya lalu tersenyum.
“Jangan kawatir. Aku bisa membebaskanmu. Asa! kau tidak marah
kepalamu aku pegang-pegang.” Bidadari Angin Timur merasa lega.
“Lakukan apa saja asal aku bisa kau bebaskan,” katanya pasrah dalam
hati. Dari sikap si pemuda dia yakin orang tidak akan
memperlakukannya secara kurang ajar.
“Sahabat, aku akan berdiri di belakangmu. Aku akan
menyusupkan tangan ke bawah rambut pirangmu di bagian tengkuk,
terus naik ke atas sampai ke ubun-ubun. Kau tidak akan merasa sakit,
hanya ada sedikit rasa panas. Justru hawa panas itulah yang akan
membuyarkan totokan yang menguasai dirimu. Aku akan melakukan
sekarang. Harap maafkan kalau aku harus memegang kepalamu. Aku
tahu, orang di negeri ini menganggap kepala sebagai bagian tubuh
paling terhormat. Jadi dianggap kurang ajar kalau kepala kita sampai
dipegang orang lain. Begitu, betul?”
Kalau saja tidak dalam keadaan tertotok saat itu Bidadari Angin
Timur pasti tersenyum dan mengiyakan ucapan si pemuda. Setelah
menatap wajah si gadis sesaat, pemuda muka kuning melangkah ke
belakang Bidadari Angin Timur. Seperti yang dikatakannya tadi, tangan
kanannya disusupkan ke tengkuk di bawah rambut pirang, terus naik
ke atas kepala hingga telapak tangannya menyentuh ubun-ubun.
Bidadari Angin Timur tidak menunggu lama. Hawa panas yang
dikatakan pemuda itu kini mulai terasa menyengat kepalanya, menjalar
ke muka, turun ke tubuh. kalau saja mulutnya tidak terkancing, saat
itu Bidadari Angin Timur pasti akan berteriak keras. Hawa yang turun
ke telapak kakinya panas luar biasa seolah dia tengah berdiri di atas
bara api.
Pemuda berkulit kuning turunkan tangannya ke tengkuk. Sesaat
tangan itu masih menyusup ke bawah rambut pirang Bidadari Angin
Timur. Begitu pegangan dilepas si pemuda sudah berada di hadapan si
gadis kembali.

“Hai, kau sudah bebas dari totokan. Mengapa diam saja?!” Ucap si
pemuda.
“Apa?!” Bidadari Angin Timur terkejut.
Ucapannya keluar tanpa sadar. Kepalanya dipalingkan.
Tangannya digerakkan. Gadis ini berteriak keras saking girangnya.
Malah diluar sadar dia hendak melompat memeluki pemuda berkulit
kuning itu. Karuan saja si pemuda mundur teratur seperti ketakutan.
“Kau, bukankah kau Hantu Jatilandak yang katanya berasal dari
negeri seribu dua ratus tahun silam? Yang lenyap begitu saja tempo hari
setelah menolong Setan Ngompol!?”
“Aku gembira kau masih ingat diriku. Mana teman-temanku yang
lain. Wiro, Naga Kuning, kakek tukang kencing Setan Ngompol...”
(Riwayat pertemuan Bidadari Angin Timur dan Hantu Jatilandak
pertama kali dapat dibaca dalam serial Wiro Sableng berjudul Melati
Tujuh Racun sedang mengenai Hantu Jatilandak bisa dibaca dalam
serial Wiro di Negeri Latanahsilam antaranya dalam Episode berjudul
Hantu Jatilandak)
“Panjang cerita mengenai mereka...”
“Kalau begitu cerita tentang dirimu saja. Bagaimana kau bisa
hampir celaka di tangan orang tadi.”
“Ada yang menjebakku. Antara kau dan manusia berpakaian
serba putih tadi, apakah sudah saling mengenal sebelumnya?”
“Kami sudah lama berseteru. Di negeri Latanahsilam dia dikenal
sebagai makhluk paling jahat. Namanya Hantu Muka Dua. Kalau saja
kepalanya tidak ditutupi dengan kain putih kau bisa melihat keadaan
kepalanya. Dia memiliki dua wajah, satu di depan satu di belakang...”
Bidadari Angin Timur jadi ternganga mendengar ucapan Hantu
Jatilandak.
“Kalau tidak menyaksikan sendiri kau tidak akan percaya. Aku...”
“Jatilandak, aku sangat berterimakasih atas pertolonganmu.
Namun saat ini ada sesuatu yang harus aku lakukan. Seorang gadis
berada dalam bahaya besar. Diculik rampok jahat. Aku harus
menyelamatkannya. Rasanya si penculik belum lari jauh...”
“Dalam perjalanan ke tempat ini tadi, aku melihat orang lari
keluar lembah menuju arah selatan. Pakaian hitam-hitam. Dia lari
sambil memanggul seseorang. Mungkin itu orang yang kau maksudkan?
“Pasti!”
“Kalau begitu aku ikut bersamamu. Aku bisa memberitahu arah
lari si penculik itu,” kata Jatilandak.
Keduanya, segera hendak tinggalkan tempat itu. Namun sebelum
sempat melangkah, Jatilandak tiba-tiba tarik tangan Bidadari Angin
Timur. Sebuah benda melayang di udara, melesat satu jengkal di depan
wajah si gadis lalu menancap di papan lapuk runtuhan rumah tua.
“Benda apa?!” kejut Bidadari Angin Timur.
Jatilandak dekati papan, membungkuk dan mencabut benda yang
menancap lalu diperlihatkan pada Bidadari Angin Timur. Benda itu

ternyata sebuah bendera kecil berbentuk segi tiga, basah oleh cairan
merah berbau amis.

                                        TAMAT

EPISODE BERIKUTNYA: BENDERA DARAH

Share:

0 comments:

Posting Komentar