SATU
Wakil Ketua melangkah cepat memanggul tubuh Hantu
Muka Dua. Setelah melewati sebuah pintu besi, dia
hentikan langkah dan berpaling pada Satria Pocong yang
berjalan mengikutinya.
“Untung tadi Yang Mulia Ketua tidak sampai
menanyakan soal caping milik Kakek Segala Tahu. Kau
sempat memeriksa benda itu ?“
“Sudah, tapi saya tidak menemukan gulungan kain putih
yang kita cari.”
“Apa ucapanmu bisa kupercaya?“ tanya wakil ketua
barisan manusia pocong 113 lorong kematian sambil dua
matanya menatap lurus dan tajam pada sepasang mata
anak buahnya.
“Saya tidak berdusta. Saya tidak punya keperluan apa‐
apa atas benda itu.” Menjawab Satria Pocong.
“Yang Mulia Ketua pernah bilang benda itu luar biasa
penting. Menyangkut kelangsungan masa depan seratus
tiga belas lorong kematian dan rencana pembentukan
sebuah partai yang bakal menguasai seantero rimba
persilatan tanah Jawa dan tanah seberang.”
“Saya pernah mendengar hal itu...” ucap Satria Pocong.
Lalu dan balik jubah putihnya orang ini keluarkan caping
milik Kakek Segala Tahu. “Silahkan Wakil Ketua
memeriksa sendiri”
“Simpan saja. Saat ini aku mempercayai semua
ucapanmu. Kalau kemudian kau ternyata berdusta, aku
akan merajam dirimu tiga hari tiga malam sebelum
nyawamu kucabut! Camkan itu baik‐baik!”
“Saya mengerti Wakil Ketua.” Satria Pocong masukkan
kembali caping bambu ke balik jubahnya.
Wakil Ketua serahkan tubuh Hantu Muka Dua pada anak
buahnya. “Tunggu aku di depan Rumah Tanpa Dosa.
Jangan melakukan apapun sampai aku datang!”
“Wakil Ketua mau kemana?” tanya Satria Pocong.
“Sesuai perintah Yang Mulia Ketua, aku akan menemui
Dewa Tuak di ruangannya. Aku harus memeriksa tua
bangka satu itu. Gadis muridnya lenyap dan kamar Yang
Mulia Ketua. Mungkin dia yang punya pekerjaan.”
Satria Pocong mengangguk. Panggul sosok Hantu Muka
Dua di bahu kiri lalu cepat‐cepat tinggalkan tempat itu.
Wakil Ketua menyusuri lorong di mana terdapat deretan
ruang batu. Di depan sebuah pintu besi dia berhenti. Ada
satu jendulan di batu ini. Pintu besi terbuka. Engselnya
keluarkan suara berkereketan.
Di sudut kamar, di atas satu tempat tidur terbuat dan
batu, duduk seorang kakek berpakaian putih lusuh.
Wajah pucat, tubuh kelihatan lemas. Rambut putih acak‐
acakan. Janggut dan kumis putih tidak karuan. Di lantai
ruangan, dekat kepala tempat tidur batu, teronggok
helai jubah dan kain putih penutup kepala. Orang tua ini
yang bukan lain adalah Dewa Tuak adanya pandangi
sosok manusia pocong yang masuk lalu berkata.
“Lagi‐lagi kau datang berhampa tangan. Kukira kau
membawa tuak kayangan untukku!”
Wakil Ketua tutup pintu besi, perhatikan orang tua di
atas tempat tidur batu seraya berucap dalam hati.
“Seingatku dia sudah dicekoki Iebih dan empat cangkir
minuman pelupa diri pelupa ingatan. Nyatanya
ingatannya tidak sepenuhnya leleh. Dia masih ingat pada
minuman kesayangannya itu. Tidak heran Yang Mulia
Ketua masih terus menyekapnya di tempat ini. Manusia
satu ini masih berbahaya. Aku akan menyuruh orang
untuk memberi minuman tambahan padanya.”
Sejurus kemudian Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong
berkata.
“Selama kau belum mau mengenakan jubah dan kain
putih penutup kepala, jangan harap aku akan
memberikan tuak padamu!”
“Aku sudah bilang, jubah dan penutup kepala tidak
pantas jadi dandanan tua bangka sepertiku! Para gadis
cantik tidak dapat melihat wajahku yang walau sudah
keriputan ini tapi masih merangsang! Ha.. ha. .ha!”
“Tua bangka edan. Alasan tolol!” bentak Wakil Ketua.
Dewa Tuak menyeringai. Kepala didongakkan. Mulut
dibuka. Dua tangan diangkat ke atas seolah memegang
sebuah benda panjang. Sikap si kakek seperti seseorang
yang meneguk minuman sungguhan. Mata meram melek
dan dari tenggorokannya yang bergerak naik turun
keluar suara gluk...gluk...gluk!
“Gila! Bagaimana mungkin!” ujar Wakil Ketua dalam hati.
Dewa Tuak tertawa bergelak. Belakang telapak tangan
kirinya dipakai mengusap mulut, seperti orang yang
barusan benar‐benar habis meneguk minuman enak.
“Tuakku terasa tawar. Tapi lumayan. Daripada meneguk
air comberan....” Dewa Tuak kembali tertawa sambil
mengusap‐usap perutnya yang kempes.
Wakil Ketua hentakkan kaki kanannya ke lantai hingga
ruangan batu itu bergetar. “Dewa Tuak! Jangan
bertingkah macam‐macam yang membuatku jengkel!”
“Oala! Sampeyan jengkel rupanya. Mana aku tahu!
Padahal aku tidak macam‐macam. Cuma satu macam!
Ha...ha...ha!”
“Aku datang untuk menanyakan perihal muridmu!”
“OaIa, kapan aku punya murid? Aku lupa.”
“Muridmu, gadis bernama Anggini lenyap dari kamar
Yang Mulia Ketua! Ini pasti kau punya pekerjaan. Kau
sembunyikan dimana gadis itu?” Dewa Tuak pentang
lebar‐lebar matanya. “Aku tidak pernah ingat kalau
punya murid. Aku tidak kenal siapa gadis bernama
Anggini itu. Di tempat ini mana mungkin aku main
sembunyi‐sembunyian. Pintu celaka itu selalu dikunci.
Bagaimana mungkin aku bisa keluar?”
“Beberapa waktu lalu ketika ada seorang tokoh rimba
persilatan dijebloskan kedalam Seratus Tiga Belas Lorong
Kematian, kau diberi kebebasan keluar kamar ini.
Kesempatan itu pasti kau pergunakan untuk melarikan
dan menyembunyikan muridmu!”
Dewa Tuak tertawa. Dia kembali membuat sikap seperti
orang tengah meneguk minuman dan dalam sebuah
bumbung.
“Gluk! Gluk...gluk!”
“Mengurusi diriku saja, aku tak mampu, apalagi
mengurusi orang lain! Sudah, pergi sana! Lama‐lama aku
muak melihatmu. Aku mau kentut!”
“Kakek jahanam! Jangan kau berani main‐ main padaku!”
“Aku tidak main‐main. Aku memang mau kentut
sungguhan!” Habis berkata begitu Dewa Tuak turun dan
tempat tidur batu, badannya membungkuk dan pantat
disonggengkan. Lalu!
“Buuuttt……. Buuutt……. buttttttt!”
Dewa Tuak keluarkan kentut, tiga kali berturut‐turut,
panjang dan keras. Selagi pantatnya keluar suara kentut,
dan mulutnya si kakek keluarkan suara mengekeh.
Ruangan batu itu buncah oleh bau kentut luar biasa
busuk “Jahanam kurang ajar!”
Wakil Ketua angkat kaki kanannya dan bukkk!
Satu tendangan mendarat di pantat Dewa Tuak. Suara
tawa mengekeh si kakek berubah jadi jeritan keras.
Tubuhnya terlempar, kening membentur dinding batu
itu hingga benjut besar. Si kakek melingkar tak bergerak
di lantai, mata terpejam, mulut meringis kesakitan.
“Kalau aku kembali dan kau masih belum mengenakan
jubah serta penutup kepala itu, akan aku patahkan
batang lehermu!” Wakil Ketua lalu keluar dan kamar,
pintu besi dibanting keras.
Dewa Tuak usap‐usap pantatnya. “Untung tidak remuk
tulang bokongku! Edan! Tendangan bangsat itu keras
juga! Weleh...!”
Dewa Tuak buka sepasang mata. Pandangannya
membentur onggokan jubah dan kain putih penutup
kepala. Si kakek mencibir. “Mungkin sudah saatnya aku
harus mengenakan pakaian dan penutup kepala sialan
ini! Dari pada ditendang lagi, apa lagi kalau sampai
dipatahkan Ieherku. Hik...hik...hik. Sebelum mengenakan
jubah dan penutup kepala itu, aku mau minum tuak dulu
ah!” Lalu Dewa Tuak dongakkan kepala, buka mulut dan
dua tangan dikeataskan, mata merem melek dan leher
naik turun. “Gluk...gluk. . .gluk!”
***
Satria Pocong berdiri tak bergerak di hadapan Rumah
Tanpa Dosa. Sepasang matanya sesekali melirik ke arah
bangunan, menatap ke bagian atas. Setiap berada di
dekat rumah itu dia selalu merasa takut. Kini dia berada
di situ dengan beban tubuh Hantu Muka Dua di bahu
kiri.
Yang disebut Rumah Tanpa Dosa ini adalah sebuah
rumah panggung terletak di seberang Iembah kecil. Di
sebelah atas ada sebuah pintu dan delapan jendela
dalam keadaan tertutup. Mulai dari atap yang terbuat
dan ijuk sampai tiang penyangga bangunan dan tangga
berputar menuju ke atas, semua berwarna putih. Di
bawah atap, dekat tangga setengah Iingkaran, menjulai
ke bawah hampir menyentuh tanah seutas tali besar. Tali
ini berhubungan dengan sebuah genta atau lonceng
besar yang terletak di depan pintu bangunan.
Di dalam rumah panggung putih yang disebut Rumah
Tanpa Dosa inilah diam Yang Mulia Sri Paduka Ratu,
seorang gadis berambut hitam panjang yang hidup
dengan nyawa kedua setelah mendapat satu kekuatan
majis aneh dan benda berupa batu yang disebut Aksara
Batu Bernyawa. Sang Ratu yang memiliki kesaktian luar
biasa ini berada di bawah kekuasaan Yang Mulia Ketua
Barisan Manusia Pocong Seratus Tiga Belas Lorong
Kematian.
Walau cukup lama memanggul tubuh Hantu Muka Dua,
Satria Pocong di halaman rumah Tanpa Dosa tetap
berdiri tak bergerak. Setiap dua kakinya terasa capai
atau bahunya terasa pegal maka cepat‐cepat Ia
mengucap. “Hanya penintah Yang Mulia Ketua yang
harus dilakukan!
Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!”
Satu bayangan putih bekelebat. Satria Pocong lepaskan
nafas lega. Wakil Ketua akhirnya muncul dan tegak di
sampingnya.
“Tidak ada kejadian apa‐apa di tempat ini?” Wakil Ketua
bertanya.
“Sepi‐sepi saja.” Jawab Satria Pocong.
Wakil Ketua memperhatikan arah delapan jendela dan
pintu rumah pintu. “Saatnya kita minta Yang Mulia Sri
Paduka Ratu keluar,” kata Wakil Ketua pula lalu
melangkah mendekati tali besar yang menjulai ke
permukaan tanah. Ada sedikit debaran di dada manusia
pocong ini ketika jari‐jari tangan kanannya menyentuh
dan menggenggam tali. Terlebih ketika dia menggerakan
tangan menarik tali. Saat itu juga genta di bawah atap
mengeluarkan suara berkumandang. Tanah di halaman
Rumah Tanpa Dosa bergetar. Tiang rumah panggung
berderak. Satria Pocong merasakan dua kakinya goyah
dan tubuhnya sebelah atas gontai seperti ditiup angin.
Wakil Ketua Ietakkan tangan kiri di depan dada lalu
mendongak dan berseru.
“Yang Mulia Sri Paduka Ratu. Kami diutus oleh Yang
Mulia Ketua Barisan Manusia Pocong Seratus Tiga Belas
Lorong Kematian untuk satu permintaan yang harus kau
Iaksanakan!”
Wakil Ketua menanik genta sekali lagi. Lalu menunggu.
Sementara itu di selatan bukit batu tak jauh dari jalan
masuk ke dalam 113 lorong kematian, Ratu Duyung
tercekat ketika mendengar suara menggema dari
kejauhan. Tanah yang dipijaknya seperti dialiri getaran
aneh. Ratu Duyung berpaling pada Setan Ngompol yang
tegak di sampingnya sambil memegangi bagian bawah
perut agar tidak membersit air kencingnya.
“Kek, kau dengar suara aneh itu?”
Setan Ngompol anggukkan kepala. “Seperti suara
lonceng besar.”
Ratu Duyung segera keluarkan cermin saktinya.
Sepasang matanya yang biru memperhatikan tak
berkesip. Setan Ngompol ulurkan kepala ikutan melihat.
Mula‐mula tampak tebaran asap tipis.
“Jangan‐jangan tak mempan lagi....” Ucap Ratu Duyung
dalam hati agak khawatir. Namun perlahan‐lahan asap
tipis dalam cermin bulat berangsur lenyap. Kini muncul
satu bangunan berwarna putih. Ratu Duyung berpaling
pada si kakek. “Rumah putih itu pernah muncul
sebelumnya dalam cermin beberapa waktu lalu.
Bangunan penuh rahasia menyimpan satu kekuatan
dahsyat.”
Baru saja Ratu Duyung berucap begitu tiba‐tiba di
sebelah utara kembali terdengar gema suara aneh.
Cermin bulat bergetar. Satu hawa aneh berkekuatan
hebat tiba‐tiba menghantam Ratu Duyung. Gadis ini
terpekik, terjajar beberapa langkah dan jatuh duduk di
tanah. Wajahnya tampak pucat. Setan Ngompol sudah
lebih dulu terjengkang di tanah dan kucurkan kencing.
“Rumah putih itu…“ desisnya dengan dada
turun naik “Aku yakin itu tempatnya markas
manusia pocong.”
***
DUA
Setelah berdiam diri sesaat untuk menenangkan hati dan
mengatur jalan darahnya, Ratu Duyung berdiri.
Sebenarnya melalui cermin sakti dia ingin memantau
lagi. Menjajagi dimana beradanya Wiro. Namun khawatir
akan diserang kekuatan dahsyat yang tidak kelihatan
Ratu Duyung simpan cermin saktinya di balik pakaian lalu
tinggalkan tempat itu sambil memberi isyarat pada si
kakek di sebelahnya untuk mengikuti.
“Kita mau kemana?” tanya Setan Ngompol.
“Aku yakin markas manusia pocong ada di arah utara.
Kita menuju ke sana.”
Setan Ngompol raba telinga kanannya yang terbalik,
peras celananya yang basah oleh air kencing lalu cepat‐
cepat mengikuti Ratu Duyung yang telah jalan duluan.
***
Kembali ke halaman Rumah Tanpa Dosa. Belum lenyap
gema suara genta, belum hilang getaran di tanah,
delapan jendela rumah putih terpentang. Ada hembusan
angin aneh keluar lewat jendela yang terbuka disertai
tebaran asap putih. Sesaat kemudian pintu bangunan
ikut terbuka.
“Siapa di luar sana?”
Tiba‐tiba suara perempuan bertanya. Keluar dan bagian
atas rumah panggung putih
“Saya Wakil Ketua bersama seorang Satria Pocong. Kami
diutus Yang Mulia Ketua untuk satu keperluan yang
harus dilaksanakan oleh Yang Mulia Sri Paduka Ratu!”
Wakil Ketua memberi jawaban dengan berteriak.
Sunyi beberapa saat ketika pada saat Yang Mulia Sri
Paduka Ratu diharapkan keluar, justru dari dalam rumah
panggung putih terdengar suara orang bernyanyi.
Kematian datang tidak disangka
Di dalam bukit batu
Ada seratus tiga belas lorong
Siapa masuk akan tersesat
Tidak ada jalan keluar
Sampai kematian datang menjemput
Di dalam lembah
Ada Rumah Tanpa Dosa
Inilah tempatnya…
Di halaman Rumah Tanpa Dosa, Wakil Ketua Barisan
Manusia Pocong 113 Lorong Kematian berteriak keras.
“Yang Mulia Sri Paduka Ratu! Yang Mulia Ketua telah
berulangkali memperingatimu agar tidak menyanyi!
Jangan membuat Yang Mulia Ketua gusar dan marah!”
Sunyi lagi. Lalu satu bayangan putih muncul di pintu.
Tampak satu sosok tinggi semampai dibalut jubah
terbuat dan kain putih lembut dan halus berkilat. Di
bawah kain putih penutup kepala menjulai rambut hitam
panjang hampir menyentuh pinggul. Pada bagian kening
dan kain penutup kepala melingkar sebuah mahkota
kecil berwarna hijau memancarkan cahaya berkilau. Di
depan pintu sosok ini berhenti sebentar. Dua mata
memandang ke bawah. Menatap ke arah Wakil Ketua,
lalu ke arah sosok berjubah putih di atas panggulan bahu
Satria Pocong.
“Yang Mulia Ketua mengutusmu ke sini untuk satu
urusan. Wakil Ketua, harap katakan urusan apa?” Sosok
di atas rumah panggung putih yaitu Yang Mulia Sri
Paduka Ratu ajukan pertanyaan.
“Kami membawa seorang tawanan. Yang Mulia Ketua
meminta agar Yang Mulia Sri Paduka Ratu menyedot
semua ilmu kesaktian yang dimiIikinya.”
“Hanya perintah Yang Mulia Ketua harus dilakukan!
Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai!”
“Jangan membuang waktu. Harap Yang Mulia Sri Paduka
Ratu segera melaksanakan perintah!” kata Wakil Ketua
pula.
Untuk turun ke bawah Sri Paduka Ratu bisa
mempergunakan tangga setengah Iingkaran. Tapi dia
tidak melakukan hal itu. Dengan satu gerakan enteng
tanpa suara sama sekali, seperti seekor burung besar,
dalam gerakan yang begitu indah Sri Paduka Ratu
melompat, melayang turun ke tanah. Di lain saat dia
telah berdiri di hadapan Wakil Ketua dan Satria Pocong.
“Ini manusia yang akan disedot ilmu kesaktiannya?”
tanya Sri Paduka Ratu sambil menatap tubuh yang
tergeletak di bahu kiri Satria Pocong. “Pakaian dan kain
penutup kepalanya hampir sama dengan kalian berdua.”
“Dia bukan anggota Barisan Manusia Pocong Seratus
Tiga Belas Lorong Kematian,” menjelaskan Wakil Ketua.
Wakil Ketua memberi isyarat. Anak buahnya turunkan
sosok Hantu Muka Dua dan bahu kiri lalu ditegakkan di
tanah. Karena dalam keadaan tertotok tanpa bisa
bergerak ataupun berbicara, Hantu Muka Dua tegak
kaku seperti patung. Hanya dua matanya yang aneh
berbentuk segi tiga menatap angker ke arah Yang Mulia
Sri Paduka Ratu.
“Dari matanya yang aneh aku bisa memaklumi manusia
ini memang memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa. Tapi
baunya aneh. Dia seperti bukan mahluk alam sini. Beri
tahu siapa namanya.”
“Nama aslinya kami tidak tahu. Orang‐orang yang kenal
menyebut dia Hantu Muka Dua! Konon dia bukan
mahluk alam kita. Tapi berasal dan alam seribu dua ratus
tahun silam. Silahkan Yang Mulia Sri Paduka Ratu
menyaksikan dan menyelidik sendiri!” Selesai berucap
Wakil Ketua tanggalkan kain yang menutupi kepala
Hantu Muka Dua.
Orang lain mungkin akan terkesiap kaget bahkan ngeri
melihat keadaan kepala Hantu Muka dua. Betapa tidak.
Kepala itu memiliki dua wajah. Satu di sebelah depan,
satunya di bagian belakang. Wajah sebelah depan
berkulit putih kekuningan sedang bagian belakang hitam
berkilat. Keduanya mewujudkan wajah seorang lelaki
berusia sekitar empat puluhan.
Di balik kain penutup kepala walau kening mengerenyit
dan mata menyipit namun air muka Yang Mulia Sri
Paduka Ratu tidak memperlihatkan rasa gentar. Dengan
tenang ia melangkah mendekati Hantu Muka Dua. Dari
mulutnya keluar ucapan.
“Hanya perintah Yang Mulia Ketua yang harus
dilaksanakan!”
Di hadapan Yang Mulia Sri Paduka Ratu dua wajah Hantu
Muka Dua tiba‐tiba berubah. Warnanya yang tadi hitam
dan putih kini sama‐sama menjadi merah. Tampang itu
bukan berwujud manusia biasa tapi lebih menyerupai
tampang raksasa. Mulut berbibir tebal, taring mencuat.
Cambang hijau berubah merah. Sesuai ujud dan sifatnya
iniIah satu pertanda bahwa Hantu Muka Dua berada
dalam kemarahan luar biasa!
Kalau Wakil Ketua dan Satria Pocong tercekat kaget
melihat perubahan dua wajah Hantu Muka Dua,
sebaliknya Yang Mulia Sri Paduka Ratu tertawa pendek.
“Mungkin ini mahluk jejadian yang kesasar dan rimba
belantara. Mungkin kau memang memiliki ilmu kesaktian
setinggi langit sedalam samudera! Namun semua
kehebatanmu itu berakhir hari ini! Harus kau serahkan
padaku! Mulai yang ada di batok kepala sampai yang ada
di telapak kakimu!”
Tenggorokan Hantu Muka Dua turun naik. Bola matanya
yang berbentuk segi tiga warna hijau pantulkan cahaya
bergidik tapi tidak punya kemampuan untuk
melancarkan serangan berupa sinar maut. Raja Diraja
dari segala Hantu dari Negeri Latanahsilam ini berusaha
kerahkan tenaga dan hawa sakti untuk memusnahkan
totokan yang menguasai dirinya, namun sia‐sia.
Sementara itu bersamaan dengan akhir ucapannya,
sosok Yang Mulia Sri Paduka Ratu tiba‐tiba melayang ke
atas. Serentak dengan itu tangan kanannya menyambar
ke atas batok kepala Hantu Muka Dua. Telapak tangan
menempel pada ubun‐ubun mahluk dari Negeri
Latanahsilam ini.
“Dess! Dess! Dess!
Sekujur tubuh Hantu Muka Dua bergetar hebat.
Sepasang mata mendelik. Tenggorokan mengeluarkan
suara seperti sapi digorok. Untuk kedua kalinya
wajahnya depan belakang berubah mengerikan.
Tampang raksasa lenyap, berganti dengan wajah kakek
keriput pucat pasi. Ini merupakan pertanda bahwa Hantu
Muka Dua berada dalam keadaan kaget dan takut besar.
Dari batok kepala Hantu Muka Dua mengepui asap
kelabu. Lalu ada cahaya biru mengalir dari telapak kaki,
menjalar ke atas dan akhirnya keluar dari ubun‐ubun.
Cahaya biru itu disedot, melesat masuk ke dalam tangan
kanan Yang Mulia Sri Paduka Ratu, terus menjalar ke
seluruh jalan darah dalam tubuhnya. Begitu cahaya biru
mencapai bagian kepala, kelihatan kain penutup kepala
serta mahkota kecil memancarkan sinar biru sangat
benderang.
Hantu Muka Dua yang sebeiumnya dalam keadaan
tertotok tak bisa bergerak tak bisa bersuara, keluarkan
suara raungan keras mengerikan. Tubuh seperti benang
basah, terkulai iemah. Wajahnya yang tua keriputan,
depan belakang semakin putih. Ketika sosoknya hampir
roboh ke tanah tiba‐tiba ada suara mengiang di kedua
telinganya kiri kanan. Kepala Hantu Muka Dua tersentak.
Seperti ada kekuatan aneh yang masuk ke dalam
tubuhnya lewat suara mengiang itu mendadak bola
matanya yang berwarna hijau dan berbentuk segi tiga
pancarkan cahaya berkilat aneh, menatap Sri Paduka
Ratu. Malah tangan kirinya yang menunjuk‐nunjuk kini
bergerak berusaha hendak memegang tubuh perempuan
itu. Dari mulutnya keluhan suara hek...hek...hek
berkepanjangan disertai lelehan air liur berwarna biru!
“Sreettt!”
Tangan kiri Hantu Muka Dua berhasil menggapai Jubah
putih Sri Paduka Ratu.
“Ihh!”
Yang Mulia Sri Paduka Ratu cepat mundur satu langkah
Lalu hentakkan kaki kanannya. Tanah bergetar hebat.
Hantu Muka Dua tergelimpang roboh. Tangan kirinya
yang tadi sempat menyentuh pakaian Sri Paduka Ratu
kelihatan berwarna putih dan mengepulkan asap.
Satria Pocong cepat memeriksa keadaan Hantu Muka
Dua. Tubuh itu dingin sekali. Ketika diraba urat besar di
leher terasa denyutan.
“Wakil Ketua, orang ini masih hidup!” Satria Pocong
memberi tahu. “Biar saya selesaikan sekalian!” Satria
Pocong angkat tangan kanannya siap hendak menggebuk
batok kepala Hantu Muka Dua yang tergelimpang tak
berdaya.
“Ajalnya hanya tinggal beberapa kejapan mata. Buang
dia ke dalam jurang di belakang lorong,” perintah Wakil
Ketua. “Biar dia tersiksa lebih dulu sebelum menemui
kematian!”
Satria Pocong segera panggul tubuh Hantu Muka Dua.
Aneh sosok orang itu kini terasa sangat enteng seolah
dia memanggul batangan bambu.
“Wakil Ketua, aku sudah melaksanakan perintah. Aku
akan kembali masuk ke dalam Rumah Tanpa Dosa. Harap
kau tidak berlama‐lama berada di sekitar tempat ini.”
Wakil Ketua tidak segera berlalu. Mulutnya keluarkan
suara berdecak. Dia berkata, “Seorang gadis tawanan,
bernama Anggini, lenyap dari kamar Yang Mulia Ketua.
Mungkin melarikan diri. Jika Yang Mulia Sri Paduka Ratu
melihatnya harap memberi tahu kami Kalau bisa tangkap
sekalian dan serahkan padaku!”
Sri Paduka Ratu putar tubuh, melangkah ke arah tangga
setengah Iingkaran. Sebelum melesat ke atas rumah
panggung ia berhenti sebentar dan berpaling pada Wakil
ketua lalu mendongak dan berkata.
“Yang barusan kau katakan bukan penintah Yang Muila
Ketua. Kau dan anak buahmu berkewajiban mencari
tawanan yang kabur itu. Bukan aku!”
“Ck…ck…ck...” Mulut Wakil Ketua berdecak berulang kali.
Walaupun telinganya panas mendengar ucapan itu
namun dia segera saja angkat kaki dan halaman Rumah
Tanpa Dosa. Tapi dalam hati dia berkata, “Lihat saja,
Kalau aku punya kesempatan dan berhasil mencuri
rahasia dirimu akan aku sedot habis seluruh ilmu
kesaktianmu lewat lubang paling bawah di tubuhmu!
Setelah itu kau akan jadi budak pemuas nafsuku!”
Begitu menginjakkan kaki di lantai atas rumah
panggung, Yang Mulia Sri Paduka Ratu berpaling
memperhatikan sosok Hantu Muka Dua yang dilarikan
Satria Pocong dari halaman Rumah Tanpa Dosa. Sang
Ratu usapkan tangannya dan dada sampai perut.
“Aneh,” ucapnya dalam hati. “Mahluk satu itu benar‐
benar luar biasa. Memiliki dua wajah yang bisa berubah‐
ubah. Orang lain pasti sudah leleh tubuhnya kusedot
begitu rupa.” Yang Mulia Sri Paduka Ratu kembali
mengusap tubuhnya sebelah depan. “Matanya itu.... Apa
yang dilihatnya, apa yang diperhatikannya?”
Satria Pocong yang memanggul Hantu Muka Dua lenyap
di kejauhan. Sri Paduka Ratu putar tubuh lalu masuk ke
dalam bangunan. Tak ama kemudian sayup‐sayup
terdengar suaranya menyanyi.
Kehidupan muncul secara aneh
Kematian datang tidak disangka
Di dalam bukit batu
Ada seratus tiga belas lorongSiapa masuk akan tersesat
Tidak ada jalan keluar
Sampai kematian datang menjemput...
***
TIGA
Pendekar 212 Wiro Sableng berdiri di pinggir timur
jurang batu. Memandang ke bawah tak terlihat dasar
jurang karena tertutup pohon‐pohon besar berdaun
lebat dan rimbunan pohon bambu. Sayup‐sayup Wiro
mendengar suara air mengalir ke bawah berarti di dasar
jurang yang tak kelihatan itu ada genangan air atau
semacam telaga.
Murid Eyang Sinto Gendeng berpaling pada Wulan Srindi
yang tegak di sebelahnya. “Apa kataku. Ini jadinya
mengikuti petunjuk nenek bau pesing itu!”
“Wiro, jangan kau berkata begitu. Nenek itu adalah
gurumu sendiri!”
“Siapa bilang dia bukan guruku? Tapi Wulan, kau
saksikan tak ada jalan masuk lewat bagian belakang
bukit‐bukit batu yang jadi markas manusia pocong itu!
Kau percaya pada ucapan Eyang Sinto Gedeng. Inilah
jadinya! Pakai ilmu bambu. Setiap ada jalan masuk dari
depan pasti ada jalan masuk dan belakang. Ilmu
bambu...Huh! Di dalam jurang aku lihat banyak pohon
bambu. Makan saja bambu itu!”
Sambil tersenyum Wulan Srindi pegang punggung Wiro.
“Saat ini kita berada di bagian terpendek dan lebarnya
jurang. Bagaimana kalau kita bergerak ke arah barat,
menyusuri panjangnya pinggiran jurang. Mungkin kita
akan menemukan sesuatu.”
“Sudah setengah nyasar, biar nyasar benaran. Aku
mengikuti apa katamu saja,” ucap Wiro masih kesal.
Cukup lama mereka menyusuri pinggiran jurang di
belakang bukit batu. Di satu tempat ketinggian Wiro dan
Wulan Srindi berhenti. Saat itu mereka berada di
deretan pohon‐pohon tinggi berbatang sebesar
pemelukan tangan.
“Wiro lihat!” Tiba‐tiba Wulan Srindi keluarkan ucapan
sambil menyibakkan semak belukar di depannya.
Wiro sibakkan pula semak belukar di sebelah depan yang
menutupi pemandangan. Dua mata terpentang lebar. Di
seberang jurang, gundukan batu hitam berjejer
bertumpuk‐tumpuk, membentuk dinding hitam kokoh
dan tinggi. Di bagian tengah dinding, antara dua buah
batu menyerupai tiang hitam tumbuh dua buah pohon
berdaun lebat. Di sebelah belakang ada tumbuhan
merambat, melekat ke dinding agak terlindung oleh dua
pohon berdaun lebat. Di belakang pohon terdapat satu
tangga batu seratus undak menuju ke dinding yang
ditutupi tumbuhan merambat.
Sepasang mata Wiro memperhatikan tak berkesip.
“Kalau ada tangga berarti ada pintu, berarti ada jalan
masuk. Tapi aku tidak melihat sebuah pintupun di bagian
atas tangga batu....” Ucap Wiro.
“Pintu yang kau cari terhalang daun pohon lebat dan
tertutup tumbuhan merambat”
“Bagaimana kau tahu?” tanya Wiro penasaran. Lalu dia
hendak mengerahkan ilmu menembus pandang. Tapi
tidak jadi. Khawatir kekuatan gaib akan menghantam
dirinya lagi seperti yang sudah‐sudah.
“Petunjuk gurumu bukan isapan jempol. Di sebelah
depan satu‐satunya jalan masuk ke dalam Seratus Tiga
Belas Lorong Kematian adalah mulut goa. Siapa masuk
lewat goa itu akan tersesat seumur‐umur sampai
akhirnya menemui ajal. Di sebelah belakang tenyata ada
pintu masuk lain. Terlindung oleh daun dan tumbuhan
merambat.”
“Kalau di situ memang ada pintu berarti Eyang Sinto
betul,” kata Wiro menyeringai dan sambil garuk kepala.
“Yang jadi pertanyaan sekarang apakah pintu itu
memang dipergunakan untuk jalan keluar masuk. Kau
lihat sendiri. Tangga batu itu menuju pinggiran jurang.
Buntu! Lalu apa kegunaan pintu kalau memang di
dinding itu ada pintu tersembunyi?”
“Betul, apa kegunaan pintu itu.” Mengulang Wulan
Srindi. “Kalau orang membuat pintu, lantas tidak ada
kegunaannya, buat apa?”
“Bisa saja sebagai jebakan,” kata Wiro pula.
Wulan Srindi pegang lengan Wiro. Menarik pemuda itu
melangkah sepanjang pinggiran jurang dan berhenti
tepat di jurusan dinding batu yang ada tangganya. Si
gadis memperhatikan ke arah kejauhan. Lalu
memperhatikan ke arah kakinya sendiri. Pandangan
terus melebar ke arah sekitarnya. Wiro ikuti perbuatan
Wulan Srindi. Dua orang ini kemudian sama‐sama
melepas nafas tercekat.
“Apa yang ada dalam pikiranmu?” tanya Wiro.
“Apa yang ada dalam benakmu?” balik bertanya Wulan
Srindi.
“Aku melihat batu di pinggiran jurang sebelah sini agak
kurang lumutnya.” Kata Wiro pula.
“Itu yang pertama. Yang kedua nyaris tidak ada semak
belukar di sekitar sini. Berarti ada yang pernah
merambasnya. Berarti tempat ini, yang jika ditarik garis
lurus berhadap‐hadapan dengan bagian dinding batu
yang aku kira ada pintunya itu. Wiro, keras dugaanku
tempat ini sering dilalui orang.”
“Wulan, yang jadi pertanyaan jika banyak orang lewat
sini, apakah mereka pergi dan datang ke dinding batu?
Lalu bagaimana caranya? Tidak mungkin melompat, apa
lagi terbang. Siapapun orang sakti dan memiliki ilmu
meringankan tubuh hebat sekalipun tak mungkin
sanggup melompat dari sini sampai ke sana atau
sebaliknya.”
“Apapun kesulitannya kita harus mampu menyeberang
dan menyelidik bagian dinding batu yang ditutupi
tumbuhan merambat itu.”
“Jarak dua pinggiran jurang terlalu jauh. Kita tidak
mungkin melompat atau turun ke bawah lalu naik lagi di
sebelah sana. Jurang ini terlalu dalam. Kita tidak tahu
ada apa di dasarnya. Mungkin ular atau binatang buas
lainnya. Mungkin juga ada dedemit penghuni jurang....”
“Kita harus mencari akal,” kata Wulan sambil menggigit
bibir. Pandangannya diarahkan ke berbagai jurusan.
Ketika dia memperhatikan ke arah tiga pohon tinggi yang
tumbuh tak jauh di sisi kanan, gadis ini tersenyum.
“Aku tahu apa yang ada dalam benakmu. Kau ingin
menumbangkan salah satu pohon itu untuk dijadikan
jembatan dan sini ke dinding seberang sana. Menurut
perhitunganku kelebaran jurang paling sedikit lima puluh
kaki. Tinggi pohon ini sampai ke pucuknya paling banyak
empat puluh kaki.”
“Jarak yang terpaut sekitar sepuluh kaki bisa kita atasi
dengan melompat.” Setelah memperhatikan akar pohon,
Wulan Srindi melanjutkan. “Akar pohon ini dari jenis
yang melebar ke samping, bukan menghujam ke dalam
tanah. Wiro, keluarkan kapak saktimu. Akar pohon harus
diputus baru bisa ditumbangkan.”
“Enak saja kau bicara. Kapak saktiku bukan alat untuk
menebang pohon!”
“Kalau begitu kita berdua harus pergunakan kekuatan
tenaga dalam. Tunggu apa lagi? Dorong batang pohon
yang di tengah. Kalau akarnya terbongkar pasti
pohonnya tumbang.”
Wiro dan Wulan mencari bagian batang yang baik untuk
tempat meletakkan dua telapak tangan dan selanjutnya
mulai mendorong pohon iu. Namun sampai tangan
mereka licin oleh keringat walau batang pohon bergerak,
akarnya tidak terbongkar dari tanah. Kedua orang itu
terus mencoba sambil kerahkan tenaga dalam yang
mereka miliki.
“Preettt!”
“Pendekar kurang ajar!” maki Wulan Srindi seraya
melompat menjauhi Wiro. “Mendorong pohon saja
sampai keluar kentut!”
“Siapa yang kentut?” tukas Wiro dengan mata mendelik.
“Kalau bukan kamu apa ada setan yang kentut di tempat
itu!” Wulan Srindi semakin marah. “Kalaupun ada setan
aku belum pernah mendengar ada setan bisa kentut!”
Wiro gosok‐gosok pantatnya sendiri. Tangannya
kemudian ditempelkan ke hidung. “Kalau aku memang
kentut pasti bau! Nyatanya tanganku tidak bau! Kau mau
cium?”
Wulan Srindi mencibir.
“Ayo kita dorong sekali lagi pohonnya,” kata Wiro.
Wulan Srindi menggeleng. “Percuma, pohon tidak
tumbang malah kentutmu yang bermuncratan!”
“Kalau begitu biar aku pergunakan pukulan sakti saja.”
Kata Wiro Jadi jengkel mendengar kata‐kata si gadis.
“itu lebih baik. Dan pada kau nanti kentut lagi!” jawab
Wulan Srindi.
“Sial! Jangan bicara soal kentut lagi! Pokoknya aku tidak
kentut! Sumpah!” Murid Sinto Gendeng mundur
menjauhi pohon. Tangan kiri menggaruk kepala, tangan
kanan menyiapkan pukulan “Dewa Topan Menggusur
Gunung”. Diarahkan ke bagian paling bawah pohon
tinggi di depan.
“Wiro, tunggu!” tiba‐tiba Wulan Srindi berseru.
“Ada apa?”
“Lihat!”
Wulan Srindi menunjuk ke seberang jurang.
“Astaganaga...” Wiro mengucap setengah berolok.
Saat itu bagian dinding yang tertutup tumbuhan
merambat kelihatan bergeser ke samping hingga
membentuk sebuah celah tinggi dan lebar.
“Apa kataku! Kau lihat sendiri! Ternyata memang ada
pintu di dinding itu!” kata Wulan Srindi.
“Pintu rahasia,” ucap Wiro.
Sesaat kemudian dan ruang agak gelap di balik pintu
yang barusan terbuka keluarlah manusia pocong
memanggul sosok besar seorang berjubah tanpa kain
putih penutup kepala. Si manusia pocong menuruni
tangga batu yang memiliki seratus undakan dan
membawanya ke tepi jurang.
Wulan Srindi menggeleng. “Percuma, pohon tidak
tumbang malah kentutmu yang bermuncratan!”
“Kalau begitu biar aku pergunakan pukulan sakti saja.”
Kata Wiro Jadi jengkel mendengar kata‐kata si gadis.
“itu lebih baik. Dan pada kau nanti kentut lagi!” jawab
Wulan Srindi.
“Sial! Jangan bicara soal kentut lagi! Pokoknya aku tidak
kentut! Sumpah!” Murid Sinto Gendeng mundur
menjauhi pohon. Tangan kiri menggaruk kepala, tangan
kanan menyiapkan pukulan “Dewa Topan Menggusur
Gunung”. Diarahkan ke bagian paling bawah pohon
tinggi di depan.
“Wiro, tunggu!” tiba‐tiba Wulan Srindi berseru.
“Ada apa?”
“Lihat!”
Wulan Srindi menunjuk ke seberang jurang.
“Astaganaga...” Wiro mengucap setengah berolok.
Saat itu bagian dinding yang tertutup tumbuhan
merambat kelihatan bergeser ke samping hingga
membentuk sebuah celah tinggi dan lebar.
“Apa kataku! Kau lihat sendiri! Ternyata memang ada
pintu di dinding itu!” kata Wulan Srindi.
“Pintu rahasia,” ucap Wiro.
Sesaat kemudian dan ruang agak gelap di balik pintu
yang barusan terbuka keluarlah manusia pocong
memanggul sosok besar seorang berjubah tanpa kain
putih penutup kepala. Si manusia pocong menuruni
tangga batu yang memiliki seratus undakan dan
membawanya ke tepi jurang.
“Wiro! Si manusia pocong melemparkan orang yang
dipanggulnya ke dalam jurang!” ucap Wulan Srindi.
“Aneh!”
“Tidak aneh kalau orang itu memang anggota barisan
manusia pocong yang sudah mati,” kat Wiro pula.
“Kalau begitu yang jadi pertanyaan mengapa orang itu
mati. Dibunuh?”
Manusia pocong yang barusan melemparkan orang
berjubah ke dalam jurang untuk beberapa lama masih
berdiri di tepi jurang. Dia mengomel sendiri karena
orang yang dilempar ternyata menyangsrang di antara
kerapatan ranting dan kelebatan daun pohon di dalam
jurang, juga tertahan oleh sebuah cabang cukup besar.
Sebelum tinggalkan tepian jurang, sepasang matanya
melirik ke seberang. Dj balik kain penutup kepala
mukanya menyeringai. Dalam hati dia berkata, “Yang
Mulia Ketua dan Wakil Ketua pasti senang jika kulapori
sudah ada dua tokoh rimba persilatan menyelinap ke
bagian belakang markas.”
Tak ama kemudian Wiro dan Wulan melihat manusia
pocong tadi menaiki tangga, masuk ke dalam pintu.
Setelah itu pintu rahasia di dinding batu tertutup
kembali.
“Saatnya kita menyeberang ke sana.” Kata Wiro. Dia
melangkah mendekati pohon besar yang akan
ditumbangkan dan dipergunakan sebagai jembatan
untuk menyeberang. Tenaga dalam dialirkan. Hawa sakti
disalurkan ke tangan. Wiro lalu hantam bagian bawah
pohon dengan pukulan “Dewa Topan Menggusur
Gunung”..
“Wuttt!”
“Braakkk!”
“Reeetttttt! Bummmm!”
Pukulan sakti pemberian Tua Gila dan Pulau Andalas itu
menghancurkan bagian bawah pohon besar,
membongkar akar yang menjalar ke enam bagian tanah
lalu masuk dengan suara bergemuruh tumbang melintas
di atas jurang.
Seperti yang diperhitungkan Wiro, ujung pohon ternyata
tidak sampai menyentuh pinggiran jurang batu di
seberang sana. Selain itu karena tumbangnya miring,
jarak yang terpaut menjadi Lebih jauh dan sepuluh
langkah.
“Kau siap?” tanya Wiro.
Wulan Srindi mengangguk. Kedua orang itu kerahkan
ilmu meringankan tubuh dan segera meniti batang
pohon yang melintang di atas jurang batu. Menjelang
akan sampai ke ujung pohon Wiro menyempatkan
memandang ke bawah kanan, ke arah orang yang tadi
dilempar dan menyangsrang di atas pohon. Jaraknya
hanya terpisah sekitar dua jangkauan tangan. Dia bisa
melihat sosok dan wajah orang itu. Gerakan kakinya
yang tengah meniti batang pohon serta merta terhenti.
Wulan Srindi hampir menabrak tubuhnya.
“Apa yang kau lakukan? Mengapa berhenti mendadak?
Gila! Kita bisa sama‐sama jatuh!” teriak Si gadis.
“Orang itu.” Ucap Wiro. “Aku...aku mengenalinya. Dia
Hantu Muka Dua, mahluk dari negeri seribu dua ratus
silam. Coba kau perhatikan kepalanya. Di memiliki dua
wajah. Satu di depan satu di belakang. Saat ini wajahnya
seperti kakek. itu bukan wajah aslinya. Dia dalam
ketakutan luar biasa.”
“Turut keteranganmu, dia adalah musuh besarmu
sewaktu berada di alam lain. Dia muncul di alam kita
untuk mengejar dan membunuhmu! Aku pernah cerita
dan punya dugaan kalau bangsat itu yang hendak
memperkosa Bidadari Angin Timur! Lalu dia pula yang
menyeranq kita waktu di bukit batu.”
“Wulan, semua yang kau katakan betul adanya.”
“Lalu mengapa kau berhenti? Apa yang hendak kau
lakukan?”
“Aku ingin tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Jika
manusia pocong melemparkannya ke dalam jurang
berarti dia bukan anggota barisan manusia pocong.”
“Belum tentu. Bisa saja dia anggota yang berbuat salah
besar lalu dibunuh dan mayatnya dibuang ke dalam
jurang.”
“Wulan, manusia itu masih belum jadi mayat. Lihat,
tangan kanannya bergerak‐gerak. Dia berusaha
mengangkat tangan, berusaha melambai ke arah kita.
Mungkin dia ingin minta tolong...”
“Perduli setan! Orang jahat seperti dia kenapa
diperdulikan? Biar dia mati nyangsrang di atas pohon itu.
Ayo jalan, Wiro! Kalau kita terus‐terusan berdiri di sini
lama‐lama batang pohon ini bisa melengkung dan roboh.
Kita berdua bakalan mati konyol jatuh ke dalam jurang!”
“Aku tidak tega meninggalkannya. Aku bisa
menolongnya.”
“Jangan terlalu berbaik budi dengan seorang musuh
besar. Keselamatan kita saja tidak ada yang menjamin.
Kau mau‐mauan menolong orang! Sudah gila apa!”
Wulan mendorong bahu Wiro. Murid Sinto Gendeng
garuk kepala. Sesaat jadi bingung.
“Wulan, Hantu Muka Dua pernah masuk ke dalam lorong
kematian. Maksudku kita bisa menanyainya. Mungkin
dan dia kita bisa mendapat keterangan yang besar
manfaatnya.”
“Aku pernah masuk ke lorong jahanam itu! Aku sudah
ceritakan semua yang aku ketahui! Di dalam lorong
kematian ada beberapa tokoh yang perlu diselamatkan.
Kau akan ke lorong atau mau menolong bangsat satu
itu?”
Wiro tidak menjawab. Tiba‐tiba pemuda ini menjatuhkan
diri ke bawah, bergayut pada batang pohon.
“Benar‐benar sableng! Apa yang kau lakukan, Wiro?”
teriak Wulan Srindi.
“Aku memberi jalan padamu! Lewatlah cepat! Tunggu
aku di tangga batu.”
“Pendekar goblok! Seumur hidup baru hari ini aku
menyaksikan seorang pendekar mau‐maunya menolong
musuh besarnya! Kau akan mati karena ketololanmu
sendiri!” Dengan kesal Wulan Srindi tinggalkan Wiro,
meniti batang pohon, bergerak hati‐hati di sela‐sela
ranting dan begitu sampai di ujung pohon dia Iesatkan
diri, membuat lompatan sejauh lima belas kaki lebih dan
berhasil mendarat di undakan tangga batu ke tiga.
Setelah memperhatikan Wulan Srindi sebentar Wiro
putar tubuhnya sedemikian rupa hingga kini dia berada
dalam keadaan duduk di cabang pohon. Dengan cepat
dia buka baju putihnya. Pakaian ini dibuntal demikian
rupa hingga membentuk tali sepanjang lebih sepuluh
jengkal
“Hantu Muka Dua!” Wiro berteriak. “Kalau aku
lemparkan ujung pakaian padamu, cepat tangkap!
Pegang kuat‐kuat. Aku akan menarikmu ke batang
pohon ini!”
Hantu Muka Dua tidak menjawab karena jalan suaranya
berada dalam keadaan ditotok. Wiro lemparkan pakaian
putihnya yang kini berbentuk tali. Ujung pakaiannya
jatuh tepat di bahu kiri Hantu Muka Dua
“Hantu Muka Dua! Tunggu apa iagi? Lilitkan ujung
pakaian ke lenganmu. Pegang kuat‐kuat! Kau akan aku
tarik!”
Hantu Muka Dua dengan wajah masih berupa kakek
keriput hanya bisa menatap ke arah Pendekar 212. Dua
tangannya terkulai Iemah di kedua sisi, sama sekali tidak
bisa digerakkan.
“Hantu Muka Dua! Kau mendengar teriakanku! Cepat
pegang ujung pakaian!” Wiro kembali berteriak. Tak ada
jawaban. Tak ada gerakan.
“Jangan‐jangan mahluk itu sudah jadi mayat,” pikir Wiro.
“Tapi tadi salah satu tangannya mampu digerakkan
membuat lambaian. Atau mungkin dia sudah pasrah, tak
mau ditolong.” Di atas pohon sosok Hantu Muka Dua
bergoyang goyang menyangsrang terlentang. Penasaran
Wiro tarik pakaiannya. Dalam hati ia berkata. “Lebih baik
aku mengikuti ucapan Wulan Srindi. Buat apa susah‐
susah menolong mahluk satu ini.” Perlahan‐lahan Wiro
berdiri di atas cabang pohon.
Sebelum beranjak pergi untuk terakhir kalinya dia
melihat ke arah Hantu Muka Dua. Saat itu dilihatnya
tangan kanan mahluk dan negeri Lahtanahsilam itu
bergerak sedikit. Jari terkembang, telapak melambai.
“Edan!” maki murid Sinto Gendeng. Namun rasa kasihan
kembali muncul dalam hatinya. Ujung pakaian dibuhul
membentuk simpul cukup lebar. Simpul ini
menyebabkan kepanjangan tali buatan itu jadi
berkurang. Wiro memperhatikan. Bagian tubuh Hantu
Muka Dua yang paling dekat adalah kaki kanannya yang
terangkat ke atas. Wiro lemparkan ujung tali berbentuk
simpul ke anah tangan kiri itu. Meleset. Tali jatuh ke
bawah. Sekali lagi dicoba. Ujung tali tepat jatuh di kaki
kiri Hantu Muka Dua tapi simpul tidak masuk ke kaki.
Wiro goyang‐goyangkan ujung tali yang dipegangnya.
Simpul bergerak turun. Begitu mencapai pergelangan
kaki kiri, dengan cepat Wiro menyentakkan hingga
simpul menjerat keras.
“Mudah‐mudahan saja tali dan baju butut ini cukup kuat
untuk menahan tubuh tinggi besar Hantu Muka Dua.
Kalau sampai putus tamat riwayatnya.”
“Hantu Muka Dua. Aku akan menarik tubuhmu!” Wiro
berteriak memberi tahu. Duduk di atas batang dengan
dua kaki disilang merangkul batang pohon kuat‐kuat,
Wiro mempergunakan dua tangan untuk menarik Hantu
Muka Dua. Jelas bukan pekerjaan mudah melakukan hal
itu. Salah‐salah Wiro sendiri bisa terseret oleh beban
berat dan amblas jatuh di dalam jurang. Namun
herannya murid Sinto Gendeng ini dapatkan ternyata
tubuh Hantu Muka Dua yang besar dan tinggi itu enteng
sekali. Dia seperti menarik sebatang ranting pohon
kering.
Begitu sosok Hantu Muka Dua berada di dekatnya, Wiro
sentakkan tangan kanannya hingga Hantu Muka Dua
terbetot dan jatuh tepat di atas bahu kanannya. Lagi‐lagi
Wiro dibuat heran. Tubuh Hantu Muka Dua yang tinggi
besar itu terasa ringan hingga Wiro mampu bergerak dan
berdiri di atas batang pohon. Tidak ada waktu untuk
mencari tahu keanehan itu Wiro cepat meniti batang
pohon yang membelintang di atas jurang. Di ujung
pohon dia membuat lompatan, melesat di udara dan
melayang turun di samping kin tangga batu seratus
undak. Ketika memperhatikan ke arah tangga batu di
samping kanan, Wiro tersentak kaget. Wulan Srindi yang
tadi dilihatnya berada di undakan tangga batu ketiga kini
tidak ada lagi di tempat itu!
“Gadis bengal. Pergi kemana dia?” pikir Wiro. “Wulan!”
Wiro berteriak memanggil. Tak ada jawaban.
“Wulan!” terlak Wiro lebih keras hingga suaranya
menggema ke seantero tempat dan bergaung di dalam
jurang. Tetap tak ada jawaban. Wiro baringkan tubuh
Hantu Muka Dua di samping tangga batu. Dia lalu
melompat ke atas tangga, memandang berkeliling,
mencari‐cari. Sekali lagi dia berteriak memanggil Wulan
Srindi. Tak ada jawaban, apalagi kelihatan sosoknya.
Selagi Wiro kebingungan tiba‐tiba terdengar suara suitan
di kejauhan. Suara suitan ini disahuti oleh suitan lain dan
arah yang berbeda.
“Orang‐orang Seratus Tiga Belas Lorong Kematian sudah
mengetahui kehadiranku...” ucap Wiro dalam hati. Dia
melompat turun dari tangga batu, menghampiri Hantu
Muka Dua.
Rasa cemas mulai menggerayangi diri murid Sinto
Gendeng ini. “Tidak mungkin Wulan Srindi pergi begitu
saja. Kalau orang‐orang lorong membawanya kabur
masakan aku tidak melihat. Masakan dia tidak
melakukan perlawanan...” Wiro memperhatikan bagian
dinding batu yang tertutup tumbuhan rambat. Lalu
menyelidik ke tepi jurang di depan tangga batu seratus
undak.
“Gila! Apa yang terjadi dengan gadis itu!” pikir Wiro.
Sambil garuk‐garuk kepala dia mendekati Hantu Muka
Dua kembali.
“Mahluk Latanahsilam Hantu Muka Dua! Kita
bertemu pada saat yang tidak karu‐karuan! Apa yang
terjadi denganmu?” Wiro ajukan pertanyaan.
Tenggorokan Hantu Muka Dua bergerak turun naik.
Namun dan mulutnya tak ada suara yang keluar. Tubuh
tergeletak kaku. Wajah depan belakang masih berupa
wajah kakek keriput. Pertanda dirinya masih berada
dalam ketakutan besar. Mungkin sekali saat itu dia takut
kalau Wiro akan menghabisi dirinya. Maklum saja, silang
sengketa permusuhan dan dendam kesumat dia dengan
Wiro sewaktu masih berada di negeri 1200 tahun silam
luar biasa hebatnya. Tambahan lagi beberapa waktu lalu
dia sengaja hendak merusak kehormatan Bidadari Angin
Timur karena diketahuinya gadis itu adalah kekasih
musuh besarnya itu. Perbuatan keji yarg tidak
kesampaian itu adalah salah satu cara dia membalaskan
dendam kesumat sakit hati terhadap Wiro. Dan kini
dalam keadaan dirinya tidak berdaya Wiro muncul di
hadapannya. Selain takut amat sangat juga ada tanda
tanya besar dalam hati Hantu Muka Dua. Mengapa
pemuda musuh besarnya itu mau menyelamatkan
dirinya.
***
EMPAT
Hantu Muka Dua menatap Wiro dengan pandangan
kosong. Mukanya depan belakang yang berwujud kakek
keriput tetap menunjukkan rasa takut amat sangat.
“Aku bertanya kau tak menjawab. Apa kau tuli atau
gagu?!” Wiro kembali membuka mulut.
Hantu Muka Dua masih tidak keluarkan jawaban.
Wiro sandarkan mahluk dan negeri 1.200 tahun silam itu
ke dinding batu. Karena kesal waktu menyandarkan Wiro
sengaja menghempaskan punggung Hantu Muka Dua ke
dinding batu. Tetap saja Hantu Muka Dua tidak bersuara
tidak bergerak, kecuali tenggorokannya yang turun naik.
Wiro lalu perhatikan sekujur tubuh mahluk itu. Periksa
bagian leher serta singkapkan jubah putih di bagian dada
orang. Tak ada tanda‐tanda bekas totokan.
“Heran, apa yang terjadi dengan mahluk sialan ini!” maki
Wiro dalam hati. Lalu dia ingat. Tubuh Hantu Muka Dua
selain tinggi juga besar kekar. Namun mengapa
keadaannya luar biasa enteng? Untuk beberapa lama
Wiro melangkah mundar mandir sambil matanya terus
mengawasi Hantu Muka Dua. Karena agak tertutup
rambut tanda itu nyaris tidak kelihatan kalau dia tdak
memperhatikan dengan teliti. Tanda itu menyerupai
bekas telapak tangan dengan jari‐jari yang mengembang.
“Tanda aneh”, ucap Wiro dalam hati. “Kalau ada orang
sakti memukul kepalanya pasti kepala ini sudah hancur!
Banyak hal ingin aku tanyakan padanya. Bagaimana
caraku membuat dia mampu bicara!”
Wiro berlutut di hadapan Hantu Muka Dua. Dua jari
tangannya ditusukkan ke beberapa bagian tubuh mahluk
dan negeri Latanahsilam itu. Sosok Hantu Muka Dua
hanya meliuk sedikit lalu kembali diam. Saking kesalnya
Wiro kemudian pukul batok kepala mahluk itu.
“Desss!”
Suara seperti benda gembos terdengar bersamaan
dengan mengkeretnya tubuh Hantu Muka Dua. Kepala
yang dipukul jatuh ke dada. Dada turun ke perut dan
bagian perut melosoh ke pangkal paha. Sesaat kemudian
seperti Ienturnya karet, kepala, dada dan perut itu naik
ke atas dan bentuknya kembali seperti semula.
Murid Sinto Gendeng sampai terperangah dan terduduk
di tanah saking kagetnya melihat apa yang terjadi.
“Mahluk geblek! Ada yang tak beres dengan dirimu!”
ucap Wiro. Lalu dia bangkit berdiri. “Aku tak punya
waktu lama‐lama mengurusi dirimu!” Wiro hendak
melompat ke alas tangga batu.
“Huk...huk...hukkk...”
Tiba‐tiba mulut Hantu Muka Dua keluarkan suara seperti
orang mau muntah.
“Nah, nah! Akhirnya kau bersuara juga!”
“Hukkk...huk...hukkk...”
“Apa yang terjadi dengan dirimu. Aku lihat kau dipanggul
keluar dan balik dinding balu ini lalu dilempar ke jurang.
Apakah kau anggota Barisan Manusia Pocong Seratus
Tiga Belas Lorong Kematian?!”
“Hukk...hukk! Hukkk...”
“Tubuhmu enteng sekali! Apakah...”
“Hukkk...huukkk...hukk!”
“Setan alas! Apa kau lak bisa bicara lain selain
hukk...hukk...hukk melulu?!” Saking kesalnya Wiro
tampar pipi kanan Hantu Muka Dua.
Saat itu juga wajah Hantu Muka Dua depan belakang
mendadak sontak berubah menjadi wajah raksasa
lengkap dengan taring mencuat. lnilah kehebatan dan
keangkeran mahluk dan negeri 1.200 tahun silam. Dua
mukanya depan belakang bisa berubah sesuai dengan
perasaan yang menguasai dirinya yaitu muka wajar,
muka takut, muka marah dan muka nafsu.
“Nah, nah! Kau ternyata masih punya perasaan!
Tampangmu depan belakang berubah jadi muka raksasa
tanda kau lagi marah! marah padaku! Ha...ha...ha!” Wiro
tertawa sambil garuk‐garuk kepala.
“Hukkk…hukkkkk!” Lagi‐lagi Hantu Muka Dua keluarkan
suara seperti orang mau muntah sementara wajahnya
perlahan‐lahan kembali berubah menjadi wajah kakek‐
kakek dengan sepasang mata memandang ke depan.
Bersamaan dengan itu Wiro melihat mahluk ini berusaha
mengangkat tangan kanannya. Walau tergontai‐gontai,
gerakan tangan itu seperti berusaha menggapai sesuatu.
Dua mata menatap ke depan, sayu tidak berkesip.
Wiro garuk‐garuk kepala. Dia memandang ke belakang,
ke samping sambil bertanya‐tanya dalam hati. “Apa yang
diperhatikan mahluk ini? Ada sesuatu yang hendak
dipegangnya. Apa?”
Hantu Muka Dua! Kau menghabiskan waktuku saja!”
Wiro akhirnya melompat ke atas tangga batu,
menaikinya hingga mencapai bagian dinding yang
tertutup tumbuhan merambat. Dia meraba kian kemari.
“Aneh, jelas di bagian ini aku tadi melihat dinding batu
terbuka menyerupai pintu! Mengapa rata semua, tidak
ada tanda‐tandanya?” Dengan jari‐jari tangannya Wiro
merenggut tumbuhan merambat dan kini dia
berhadapan dengan dinding batu hitam, kotor berlumut.
Kalau di sini ada pintu, berarti disini ada jalan masuk!
Seberapa tebalnya dinding batu ini. Kalau kuhantam
dengan pukulan sakti masakan tidak jebol!”
Pendekar 212 alirkan tenaga dalam dan hawa sakti ke
tangan kanan. Pukulan sakti yang hendak dikeluarkannya
adalah Segulung Ombak Menerpa Karang dengan
pengerahan tenaga dalam setengah dan yang
dimilikinya. Wiro turun ke anak tangga dua puluh
Lima. Dua kaki tegak merenggang. Dua tangan
perlahan‐lahan diangkat dan arah pinggang ke
atas lalu dihantamkan ke arah dinding batu hitam,
tepat pada bagian yang diperkirakannya merupakan
pintu rahasia.
“Wutttt! Wuttt!”
“Bummm! Bummm!
Dinding batu bergetar hebat. Dua pukulan sakti
menyebabkan gelegar panjang di dalam jurang. Namun
dinding batu tetap berdiri kokoh. Pukulan sakti yang
dilepaskan Wiro untuk menjebol dinding malah berbalik
menghantam ke arahnya. Pendekar 212 berteriak kaget.
Darah menyembur dan mulut. Tubuh mencelat mental
ke belakang, ditunggu jurang batu yang dalam!
Lapat‐lapat dikejauhan terdengar suara perempuan
bernyanyi.
Di dalam lorong ada kesepian
Di dalam kesepian ada kehidupan
Di dalam lorong ada kesunyian
Di dalam kesunyian ada kematian
Belum lagi suara nyanyian sirap mendadak ada suara
“Preett!” Suara orang kentut! Dan seperti ada yang
mendorong dan belakang, tubuh Pendekar Pendekar 212
yang akan amblas masuk ke dalam jurang batu mental ke
depan, jatuh terkapar di undakan tangga batu ke
delapan puluh dan delapan puluh satu. Wiro merasa
sekujur tubuhnya sebelah depan seperti remuk. Untuk
beberapa saat lamanya dia hanya bisa tergeletak tak
bergerak. Mulut meringis menahan sakit, mata setengah
terpejam. Ketika merasa ada cairan hangat dan asin di
dalam mulut, murid Sinto Gendeng ini sadar kalau
dirinya telah terluka di dalam!
“Gila! Kekuatan setan apa yang membalikkan
pukulariku!” Walau menahan sakit namun otak sang
pendekar masih bisa bekerja.
Kekuatan daya pukulan sakti yang dilepaskannya dan
berbalik menghantam dirinya itulah yang membuat
tubuhnya sebelah depan serasa remuk dan terluka di
sebelah dalam. Namun aneh dorongan keras dan arah
belakang yang tak kalah hebatnya sama sekali tidak
membuatnya cidera.
“Ada kekuatan Jahat dan arah depan menghantam
tubuhku. Pasti datangnya dan arah Seratus Tiga Belas
Lorong Kematian. Lalu kekuatan dan belakang yang
menyelamatkan diriku! Siapa? Orang yang kentut tadi?”
Wiro memandang berkeliling. Tak ada siapa‐siapa kecuali
Hantu Muka Dua yang masih duduk tersandar ke dinding
batu. Masih bisa garuk‐garuk kepala.
Wiro semburkan Iudah campur darah. Dengan menahan
sakit dia berusaha bendiri dan berteriak. “Siapa yang
barusan kentut?!” Tak ada jawaban. Diperhatikannya
Hantu Muka Dua. Mahluk ini masih tetap tak bergerak
dan tempatnya semula, tersandar ke dinding batu. “Jelas
tadi aku mendengar suara orang kentut! Tak mungkin
mahluk sialan satu ini yang keluarkan angin!”
Wiro mendadak sadar. Dia harus melakukan sesuatu
untuk meredam luka dalam yang dialaminya. Sang
pendekar duduk bersila di tangga. Alirkan hawa sakti ke
bagian dada dan tarik nafas dalam lalu dilepaskan lagi.
Demikian dilakukan berulang kali. Setelah itu sambil
mengusap dada Wiro alihkan pandangan ke dinding batu
yang barusan dihantamnya dengan pukulan sakti. Mau
tak mau ada rasa bergidik di dalam hatinya. Pukulan
Segulung Ombak Menerpa Karang tidak mampu
membobol dinding batu itu. Bahkan membekas
sedikitpun tidak! Kekuatan apa sebenarnya yang
tersembunyi di balik dinding? Lalu suara perempuan
menyanyi tadi? Wiro berpikir‐pikir akan menghantam
dinding batu dengan Pukulan Sinar Matahari namun ada
rasa kawatir, kekuatan gaib seperti tadi akan
membalikkan pukulan sakti itu lalu menghantam dirinya
sendiri! Dia bisa benar‐benar celaka! Malah mungkin
mati konyol dengan sekujur tubuh hangus!
“Apa yang harus aku lakukan? Bagaimanapun juga aku
harus bisa masuk ke dalam sana! Dewa Tuak ada di sana.
Orang tua itu harus kuselamatkan. Kakek Segala Tahu
dan juga Wulan Srindi mungkin sekali ada di sana.
Jahanam! Siapa sebenarnya penguasa lorong kematian
itu? Apakah ilmunya setinggi langit sedalam samudera?!
Berbahaya dan sulit dijajagi!”
Wiro garuk‐garuk kepala berulang kali.
“Mungkin aku harus menunggu sampai pintu rahasia
terbuka dan ada orang keluar dan dalam sana. Tapi
sampai berapa lama aku musti menunggu sementara
para tokoh dan sahabat di dalam terancam
keselamatannya? Gila betul! Wiro meludah lagi.
Ludahnya masih merah bercampur darah. “Satu‐satunya
cara mungkin aku harus pergunakan ilmu itu.
Sebelumnya aku pernah kucoba. Tapi terhalang oleh
Wulan Srindi Tak ada jalan lain. Rasanya saat ini aku
harus mengeluarkan ilmu itu” Wiro melompat turun dan
tangga. Dia memilih berdiri di sebelah kanan sementara
Hantu Muka Dua berada di sebelah kiri tangga batu.
Duduk bersila di tanah Wiro pejamkan mata. Dua tangan
diletakkan di atas paha kiri kanan. Perlahan‐lahan dia
mulai mengosongkan pikiran. Bersamaan dengan itu
jalan pendengarannyapun mulai ditutup. Dalam hati
Wiro melafal Basmallah tiga kali berturut‐turut. Lalu
disusul dengan ucapan Meraga Sukma juga sebanyak
tiga kali. Apa yang tengah dilakukan oleh Pendekar 212
saat itu adalah menerapkan imu kesaktian yang disebut
“Meraga Sukma”. Dengan ilmu kesaktian ini raga atau
ujud kasarnya akan tetap tinggal sebagaimana biasa
namun roh atau sukmanya akan keluar dan dalam tubuh
kasar. Sukma ini selanjutnya akan memiliki kemampuan
untuk masuk kemana saja walaupun terhalang dinding
tebal. Atau menerobos masuk ke satu tempat melalui
lobang atau celah sekecil apapun.
Sebelumnya Wiro hendak menerapkan iImu kesaktian ini
ketika berada di depan goa yang merupakan jalan masuk
ke dalam 113 Lorong Kematian. Namun Wulan Srindi
yang tidak sabaran saat itu mengajaknya cepat‐cepat
berlalu. Seperti diceritakan dalam serial Wiro Sableng
berjudul “Meraga Sukma” ilmu kesaktian langka ini
didapat Pendekar 212 dan! seorang sà kti di kawasan
samudera selatan yang dikenal dengan nama Nyi Roro
Manggut.
Sesaat setelah Wiro mengucapkan kata‐kata Meraga
Sukma dalam hati, sekujur tubuhnya terasa bergetar.
Tidak seperti yang pernah kejadian sebelumnya, keringat
membasahi wajah dan badan. Beberapa saat berlalu. Di
bawah tanah yang didudukinya seolah ada bara api
membakar. Wiro merasa pening. Ujud gaib atau
sukmanya tidak mampu keluar dan dalam tubuh kasar.
Beberapa saat berlalu. Saputan angin tencium menebar
bau setanggi! Wiro merasa bulu tengkuknya merinding.
Akhirnya sang pendekar buka sepasang mata.
“Apa yang terjadi? Aku tidak mampu menerapkan ilmu
kesaktian itu. Mungkin ilmu itu sudah lenyap, tak lagi aku
miliki? Mengapa tengkukku terasa meninding? Biar
kucoba sekali lagi.”
Wiro kembali duduk bersila penuh khidmat, kosongkan
pikiran dan pendengaran. Mengucapkan BasmalIah dan
Meraga Sukma sebanyak tiga kali. Wiro merasa
tubuhnya enteng sekali. Mengira ilmu kesaktian itu akan
berhasil dikeluarkannya mendadak harumnya bau
setanggi membucah seantero tempat. Lalu satu
kekuatan dahsyat, Iaksana angin topan datang dan arah
dinding batu, menggemuruh melabrak dirinya!
Pendekar 212 berteriak kaget. Jatuhkan diri ke tanah tapi
tetap saja kena disapu hantaman angin hingga terguling
kencang ke arah jurang. Sesaat lagi dirinya akan tercebur
ke dalam jurang, seperti tadi ada satu kekuatan aneh
mendorong tubuhnya hingga dia terlempar kembali ke
depan dan terhenyak di tanah!
“Apa yang terjadi dengan diriku! Mengapa aku tidak
sanggup menerapkan ilmu kesaktian itu. Siapa yang
barusan menolongku,” ucap Wiro dengan dada turun
naik dan nafas tersengal. Seperti tadi ada rasa asin
dalam mulutnya. Ketika dia meludah, ludahnya merah
kental bercampur darah. Dia terluka di bagian dalam
kembali! Berubahlah paras murid Sinto Gendeng ini.
Hantaman kekuatan gaib tadi telah membuat dirinya
cidera di sebelah dalam untuk kedua kali!
“Dari pada penasaran biar aku coba sekali lagi!” Kata
Wiro dalam hati. Dia sengaja pindah duduk ke bagian
depan lain dan dinding batu. Dua tangan diletakkan di
ujung lutut. Mata dipejamkan. Pikiran dikosongkan dan
jalan pendengaran ditutup. Baru saja dia hendak
melafalkan Basmallah, tiba‐tiba di depannya terdengar
suara angin menderu, lebih keras dan lebih dahsyat dan
yang tadi menghantam dirinya.
“Bocah tolol! Memangnya kau punya nyawa berapa
berani mengadu jiwa?!’ Tiba‐tiba ada suara perempuan
berteriak disusul tawa cekikikan. Bersamaan dengan itu
Wiro merasa rambut gondrongnya dijambak. Di lain saat
dia sudah pindah duduk di atas tangga batu pada
undakan ke dua puluh empat. Ketika jambakan di
kepalanya terlepas, Wiro cepat berpaling. Dia tak
melihat siapa‐siapa!
Tiba‐tiba dia mendengar suara tawa cekikikan
perempuan. Berpaling ke kanan Wiro tersentak kaget
ketika melihat siapa yang ada di arah sana.
“Nyi Roro Manggut!” Seru Pendekar 212
Seruan Wiro disambut suara tawa cekikikan.
“Hik...hik...hik! Pemuda sableng! Kau masih mengenali
diriku! Heran, kenapa kau kelayapan sampai jauh‐jauh
kesini dan berpakaian cuma tinggal sepotong celana?!”
“Bajuku dijadikan tali untuk menolong orang”, jawab
Wiro. Lalu dia menimpali “Nek, aku juga heran! Ngapain
Nyi Roro sendiri ikutan keluyuran bersamaku sampai di
sini!”
Ucapan Wiro disambut orang dengan tawa panjang.
“Weleh! Siapa yang ikutan kamu datang kesini”
Walau luka dalamnya cukup parah dan sekujur tubuh
sakit bukan main, Wiro yang tidak mau melupakan sopan
santun serta peradatan cepat melompat turun dan atas
tangga batu, terbungkuk‐bungkuk menjura di hadapan
satu sosok nenek bertubuh cebol. Sepasang matanya
besar jernih tapi juling. Muka yang berkulit keriput dihias
sebuah hidung pesek hampir sama rata dengan pipi.
“Nyi Roro, terima salam hormatku. Apa kau yang tadi
menolongku tapi juga sekaligus menebar kentut prat‐
pret prat‐pret?!”
“Enak saja kau bicara! Kentutnya bau apa tidak?” Si
nenek bertanya sambil kepalanya termanggut‐manggut.
Wiro garuk kepala lalu mendongak, hidung mengendus‐
endus.
“Tidak Nyi Roro. Kentutnya tidak bau,” jawab Wiro pula.
“Kalau kentutku pasti bau! Berarti bukan aku yang
kentut!”
“Lalu...?!”
LIMA
Nenek berambut putih yang disanggul di atas kepala
sunggingkan senyum. Kepala mengangguk‐angguk
seperti orang kesedakan. IniIah Nyi Roro Manggut.
Orang kepercayaan Nyi Roro Agung, penguasa samudera
kawasan selatan. Nenek sakti inilah yang memberikan
ilmu Iangka Meraga Sukma kepada Wiro dengan Ratu
Duyung yang sebelumnya juga adalah penghuni
samudera selatan.
“Yang menolongmu memang aku! Tapi soal kentut
jangan menuduh diriku!” Si nenek menjawab.
Wiro garuk kepala. “Berarti kakek yang punya dua muka
itu yang kentut?!”
Nyi Roro Manggut menoleh ke arah Hantu Muka Dua
yang sampai saat itu masih menjelepok di tanah, duduk
tersandar ke dinding batu.
“Bau mahluk itu terasa aneh. Menyembunyikan banyak
rahasia. Aku mencium bahaya besar dibalik dua
wajahnya yang menyeramkan. Matanya menatap kosong
namun dibalik kekosongan itu dia seolah melihat
sesuatu. Jari‐jari tangan kanannya bergetar. Ingin
digerakkan, ingin diangkat karena hendak berusaha
mengambil sesuatu. Dia orang yang katamu kau tolong
dengan mengorbankan baju bututmu?!”
“Kau suka padanya?”
“Bocah geblek!” Nyi Roro Manggut berteriak marah.
Matanya sampai mendelik besar.
Wiro tertawa dan seenaknya menggoda lagi. “Dia bukan
mahluk sembarangan, Nek. Kalau mukanya dua berarti
anunya juga dua. Siapa yang ha‐ha hi‐hi dengan dia pasti
puas!”
“Anak kurang ajar! Apa maksudmu dengan kata‐kata ha‐
ha hi‐hi itu?!”
“Maaf Nek,” jawab Wiro sambil nyengir. “Aku hanya
bergurau.”
“Benar‐benar sableng! Kau tengah menghadapi urusan
besar! Masih bisa bergurau!” Kepala si nenek tersentak‐
sentak, dagunya manggut‐manggut.
Wiro garuk‐garuk kepala.
“Nyi Roro, apakah kau tahu kita berada di mana?”
“Kau yang akan menerangkan padaku.” Jawab Nyi Roro
Manggut.
“Di balik dinding batu ini ada satu tempat yang disebut
Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Lorong ini
merupakan sarang dan gerombolan orang yang dikenal
sebagai manusia pocong....”
“Manusia ya manusia. Pocong ya pocong! Mana ada
manusia sekaligus pocong....”
“Maksudku....”
“Sudahlah, aku lebih tahu dari kamu!” potong Nyi Roro
Manggut.
“Kalau begitu kau bisa menolongku”, kata Wiro cepat.
Kepala si nenek menggangguk‐angguk tapi ini bukan
merupakan gerakkan tanda dia mengiyakan ucapan
Wiro.
“Aku muncul di sini bukan untuk menolongmu!”
“Lalu....?” tanya Wiro sambil garuk kepala.
“Aku mencari seseorang.”
“Siapa Nyi Roro?”
“Apa perlumu mencari tahu?!” sentak si nenek.
“Bukan maksudku lancang, Nyi Roro. Tapi... sudahlah.
Walau kau tak mau memberi tahu aku sudah bisa
menduga siapa orang yang kau cari itu.”
“Siapa?” Kini Nyi Roro Manggut yang balik bertanya.
“Apa perlu aku memberi tahu?!” Wiro menggoda sambil
senyum‐senyum.
Dan balik pinggang celananya Wiro mengeluarkan
sebuah kaleng butut lalu digoyang hingga mengeluarkan
suara berkerontang. Berubahlah paras Nyi Roro
Manggut.
“Kau memegang kaleng miliknya. Orangnya dimana?”
Suara si nenek agak tercekat ketika mengajukan
pertanyaan. Wiro lalu menuturkan riwayat bagaimana
dia mendapatkan kaleng milik Kakek Segala tahu itu.
Termasuk penemuan kuburan tak jauh dan sebuah
jurang. Air muka Nyi Roro Manggut menunjukkan rasa
kawatir. Terlebih setelah Wiro mengatakan dugaan
bahwa besar kemungkinan Kakek Segala Tahu telah
diculik oleh orang‐orang 113 Lorong Kematian.
“Aku kawatir apakah dia masih hidup. Berikan kaleng itu
padaku.” Kata Nyi Roro Manggut pula.
Wiro serahkan kaleng milik Kakek Segala Tahu kepada si
nenek dan Nyi Roro Manggut lalu memegang kaleng itu
dengan kedua tangan. Mata dipejamkan, kepala yang
termanggut‐manggut sedikit diangkat ke atas. Sesaat
kemudian mulutnya berucap perlahan.
“Aku merasa ada sedikit hawa hangat. Dia masih hidup.
Tapi keadaannya sangat sengsara...” Nyi Roro Manggut
tarik nafas panjang lalu buka kedua matanya. Sesaat dia
pandangi yang ada di dalam pegangan tangan kanannya.
Kaleng berisi batu‐batu kerikil digoyang. Wiro hendak
mencegah tapi terlambat. Suara kerontangan kaleng
menggema ke suluruh penjuru, menggaung sampai ke
dalam jurang. Tanah, dinding dan tangga batu seratus
undak bergetar!
Tiba‐tiba Nyi Roro Manggut terpekik. Satu sambaran
angin keras membuat kaleng yang dipegangnya
mencelat mental dan jatuh ke dalam jurang. Si nenek
sendiri ikut tersapu terpental namun dengan jungkir
balik di udara sambil dorongkan dua tangan ke depan dia
berhasil menahan hantaman angin dahsyat dan
melayang turun, injakkan kaki di tanah.
“Luar biasa kekuatan gaib itu”, ucap si nenek bertubuh
cebol ini.
“Nyi Roro, kita berdua harus bisa masuk ke dalam
lorong....”
Nyi Roro Manggut menggeleng. “Aku terlalu jauh berada
dan dalam asalku. Selain itu kekuatan gaib yang ada di
dalam lorong tak mungkin kusentuh....”
“Kalau kau saja berkata begitu bagaimana aku?” ujar
Wiro pula.
“Tadi aku mencoba mengeluarkan ilmu Meraga Sukma
untuk bisa menembus masuk ke dalam lorong. Tapi
gagal. Aku mencium bau setanggi. Malah ada satu
kekuatan dahyat kemudian menghantamku. Apakah aku
telah kehilangan ilmu yang kudapat darimu itu Nyi
Roro?”
Si nenek menggeleng. “Tidak, kau masih memiliki ilmu
kesaktian itu. Namun seperti penjelasanku dulu sewaktu
ilmu itu aku berikan. Ada kemungkinan suatu saat kau
tidak bisa menerapkan ilmu itu. Ingat, semua apa yang
kita miliki, semua kepandaian dan kesaktian yang
dipunyai manusia keampuhannya sangat tergantung
pada kuasa dan ridhonya Gusti Allah. Selain itu di tempat
ini ada satu kekuatan dahsyat dan alam lain yang sulit
ditandingi. Kekuatan itu merupakan kekuatan roh! Dan
roh paling suka bau setanggi!”
“Kalau begitu tidak ada yang bakal bisa menembus
masuk ke dalam lorong kematian untuk menyelamatkan
perempuan‐perempuan hamil dan para tokoh yang
diculik. Aku kawatir Wulan Srindi saat ini juga menuju ke
sini. Aku tidak tahu berada dimana mereka sekarang.
Jangan‐jangan....”
Nyi Roro Manggut terdiam sesaat. Kemudian mulutnya
berucap perlahan. “Kekuatan roh hanya bisa ditandingi
oleh roh pula. Tapi, mungkin ini semua sudah kehendak
Gusti Allah....”
“Tidak bisa! Kita tidak bisa berkata seperti itu Nyi Roro!
Apapun yang terjadi aku harus bisa masuk ke dalam
lorong. Kalau tidak bisa lewat jalan rahasia di tempat ini
aku akan kembali ke bagian depan bukit batu dan
memasuki lorong dan mulut gua. Tidak perduli aku akan
tersesat dan menemui ajal di dalam lorong!”
Melihat Nyi Roro Manggut diam saja Wiro jadi
penasaran. “Nyi Roro, kau orang sakti. Mustahil kau
tidak bisa memberi pertolongan. Atau mungkin cuma
berupa petunjuk. Tadi kau sendiri telah menyelidiki.
Kakek Segala Tahu ada dalam lorong. Keadaannya
mengawatirkan. Apakah kau tidak ingin menolongnya?”
Bukannya menjawab si nenek malah balik bertanya.
“Ketika kau berkunjung ke tempatku di dasar samudera.
Setelah aku memberikan Ilmu Meraga Sukma, sebelum
kau pergi aku pernah menitipkan sebuah kipas padamu.
Dengan pesan agar diserahkan pada Kakek Segala Tahu.
Apakah kipas itu sudah kau berikan padanya?” (Baca
serial Wiro Sableng berjudul “Meraga Sukma”)
Wiro terkejut. Dia meraba pinggang celana sebelah
kanan. Lalu beralih ke pinggang kiri. Dia menemukan
benda yang dicarinya. Sebuah kipas kayu cendana
dikeluarkannya dan balik pinggang celana. Wiro garuk‐
garuk kepala.
“Anu Nek, kipasnya masih ada padaku. Aku tidak ingat.
Tapi kalau tidak keliru sampai saat ini aku belum sempat
bertemu dengan Kakek Segala Tahu. Kau ingin
mengambil kipas ini kembali?”
Nyi Roro Manggut kelihatan kecewa tapi masih bisa
tersenyum. “Kemarikan, biar kupegang sebentar kipas
itu,” katanya. Kipas kayu cendana diambil lalu
dikembangkan. Di sebelah dalam kipas itu penuh dengan
ukiran bagus sekali. Di bagian tengah kipas ada gambar
seorang pemuda gagah dan seorang gadis cantik. Nyi
Roro letakkan kipas itu di atas kening, mata dipejam dan
mulut komat kamit entah merapal apa. Tiga larik sinar
biru berpijar lima kali berturut‐turut dan kepala Nyi Roro
ke badan kipas. Kipas kemudian diserahkan kembali
pada Wiro. “Simpan saja, kalau bertemu berikan pada
orangnya.”
“Nyi Roro, maafkan aku karena lalai memenuhi
pesanmu...” Wiro masukkan kipas kayu cendana ke balik
pinggang celana.
“Huk...huk...huk...huk!”
Di dinding batu sebelah sana Hantu Muka Dua keluarkan
suara seperti mau muntah. Nyi Roro melirik, Wiro
berpaling.
“Nyi Roro, tadi kau berkata. Orang itu melihat sesuatu
dan ingin mengambil sesuatu itu. Sebelumnya aku
memang melihat sikapnya yang aneh itu. Kalau kau mau
menerangkan apakah yang dilihatnya itu.”
“Mengapa tidak kau tanyakan sendiri padanya?”
“Tubuhnya kaku, mulutnya gagu”.
“Dia tidak gagu. Hanya lidahnya kena dikancing orang.”
“Maksud Nyi Roro?”
“Sudahlah....”
“Nyi Roro, maukah Nyi Roro menyempatkan diri
memeriksa keadaan orang itu barang sebentar? Nyi Roro
saksikan sendiri walau tubuhnya terkulai lemah
perawakannya tinggi dan besar. Tapi ketika aku
menolong dan memanggulnya, tubuhnya seenteng
kertas! Kalau dia bisa dibikin bicara mungkin banyak
rahasia di dalam lorong yang bisa kita ketahui...”
“Begitu....?”
Nyi Roro manggut‐manggut lalu melangkah mendekati
Hantu Muka Dua. Wiro mengikuti. Di hadapan Hantu
Muka Dua nenek cebol itu berdiri memperhatikan. Dia
melihat tanda berupa.
Telapak dan jari‐jari tangan di atas kepala Hantu Muka
Dua. Si nenek geleng‐geleng kepala.
“Turut apa yang aku lihat, orang ini bukan mahluk dan
alam kita...”
“Kau benar Nyi Roro, dia datang dan negeni seribu dua
ratus tahun silam...”
“Dia memiliki ilmu kesaktian luar biasa. Tapi sekarang
ilmunya itu sudah lenyap. Dirampas orang dengan cara
menyedot lewat kepala. Lihat tanda telapak tangan dan
lima jari di kulit kepalanya. itu menyebabkan tubuhnya
sekujur tubuhnya menjadi sangat lemah dan berubah
menjadi enteng. Mahluk lain pasti sudah amblas
nyawanya disedot begini rupa.”
“Kau tahu siapa yang menyedot ilmu kesaktiannya itu,
Nyi Roro?” tanya Wiro.
Si nenek cebol tidak menjawab. Melainkan ulurkan
tangan kiri dan cekik tenggorokan Hantu Muka Dua kuat‐
kuat.
“Hueekkkk!”
Mulut Hantu Muka Dua terbuka lebar seperti mau
muntah. Mata mendelik. Lidahnya terjulur. Pendekar
212 Wiro Sableng melengak kaget sampai tersurut satu
langkah! Lidah yang terjulur panjang itu ternyata berada
dalam keadaan terbuhul!
“Itu yang membuat dia tidak bisa bicara!” Menjelaskan
Nyi Roro Manggut.
“Bagaimana sampai Iidahnya jadi seperti ini?”
“Akibat sedotan dahsyat di kepalanya.”
Nyi Roro Manggut cabut jepitan kayu pada rambutnya
yang dikonde hingga konde terlepas dan rambutnya
yang putih sepinggang tergerai ke bawah. Dengan
jepitan kayu itu kemudian mengait Iidah Hantu Muka
Dua sampai terlepas. Tenggorokan Hantu Muka Dua
turun naik. Mulutnya mengeluarkan suara mendesah
panjang berulang kali. Lidahnya terluka. Mukanya depan
belakang berubah‐ubah beberapa kali.
Sesaat merupakan wajah kakek keriput, dilain kejap
berupa muka raksasa bercaling.
Nyi Roro buang ke tanah jepitan kayu bernoda darah
yang tadi dipakai membuka buhulan lidah Hantu Muka
Dua.
“Nyi Roro, kau tahu siapa yang melakukan penyedotan
itu?” Wiro ulangi pertanyaannya tadi.
“Roh?” Wiro mengulang heran sambil garuk kepala.
“Benar. Dan kau akan kawin dengan roh itu!”
Murid Sinto Gendeng tersentak kaget.
“Nyi Roro, jangan kau bergurau. Mana ada manusia
kawin dengan roh.”
Si nenek cebol tersenyum.
“Aku tahu, kau menyimpan secarik kain di dalam
kantong hitam yang tergantung di pinggangmu. Kau
pernah membacanya...,”
“Eh, bagaimana kau tahu perihal kain itu?’ Wiro
menggaruk kepala. “Kain itu memang ada tulisannya.
Aku pernah membacanya....”
“Sudah keluarkan saja dan baca sekali lagi apa yang
tertulis disitu.” Kata Nyi Roro dengan kepala terangguk‐
angguk.
***
ENAM
Wiro mengeruk kantong kain di pinggang yang
dipergunakan sebagal tempat menyimpan batu sakti
hitam pasangan Kapak Naga Geni 212. Di kantong itu
pula dia menyimpan secarik kain putih yang di dapatnya
terselip di bawah caping milik Kakek Segala Tahu.
“Baca yang keras biar aku bisa mendengar,” kata Nyi
Roro Manggut pula.
Wiro mulai membaca.
Batas antara kebaikan dan kejahatan adalah
kebijaksanaan
Kehidupan yang terjadi tanpa Izin Yang Kuasa
Akan menimbulkan bencana malapetaka dimana‐mana
Jika kehidupan pertama tidak dimusnahkan
Rimba persilatan akan kiamat
Dalam kiamat tangan‐tangan jahat akan menjadi
penguasa
Darah mengalir sederas air sungai di musim hujan
Nyawa tiada artinya lagi
Hanya pernikahan dengan mayat yang sanggup menjadi
tumbal penyelamat
Jika pemilik pertama nyawa kedua seorang perempuan
Nikahkan dia dengan seorang perjaka
Jika pemilik nyawa kedua seorang laki‐laki
Nikahkah dia dengan seorang perawan
Pernikahan adalah sesuatu yang sakral
Dalam kesakralan ada kesucian
Dalam kesucian ada jalan untuk selamat
Maka kematian abadi akan menjadi jalan keselamatan
“Bagaimana?” tanya Nyi Roro Manggut.
“Apanya yang bagaimana, Nek?” balik bertanya Wiro.
Nenek cebol tertawa lebar hingga hidungnya yang pesek
penyet benar‐benar jadi sama rata dengan pipi kiri
kanan.
“Kau sudah siap?” Kembali Nyi Roro bertanya yang
membuat Wiro tambah heran.
“Siap? Siap apa?”
Nyi Roro tertawa cekikian. “Aku bertanya apa kau sudah
siap nikah dengan roh?”
Wiro terperangah. Sambil garuk‐garuk kepala murid
Sinto Gendeng ini berkata. “Dengan gadis manusia
sungguhan saja aku belum sempat dan belum tentu mau
nikah. Apalagi dengan roh!” Lalu sang pendekar tertawa
sendiri.
“Kau tahu, tulisan di atas kain putih itu bukan
sembarangan tulisan dan dibuat oleh orang yang juga
bukan sembarangan. Seseorang telah memberikan kain
itu pada Kakek Segala Tahu. Aku tidak tahu siapa
orangnya! Tapi semua tujuan adalah untuk
memusnahkan mahluk‐mahluk jahat yang gentayangan
seperti pocong! Kain itu menjadi rebutan beberapa
tokoh, termasuk manusia‐manusia pocong penguasa
Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Mereka ingin tahu
apa yang tertera di situ lalu mencari penangkalnya.
Bocah sableng. Kau tahu, satu‐satunya jalan untuk
menghancurkan mereka adalah melalui pernikahanmu
dengan roh yang ada di dalam lorong...”
“Roh perempuan...?” tanya Wiro.
“Tentu saja roh perempuan! Apa kau mau kawin dengan
laki‐laki sejenismu juga?” tukas Nyi nora Manggut lalu
tertawa cekikikan.
Wiro garuk‐garuk kepala.
“Maksudku masuk ke dalam lorong adalah untuk
menyelamatkan perempuan‐perempuan yang diculik.
Termasuk para sahabat dan para tokoh.”
“Kau tidak akan mampu melakukan itu karena kau tidak
sanggup menghadapi kekuatan roh. Buktinya kau tidak
sanggup menjebol dinding batu yang ada pintu
rahasianya itu! Dengar bocah sableng, satu‐satunya cara
adalah melumpuhkan roh itu hanya dengan cara
menikahinya.”
“Gila! Aku tidak mau!” ucap Wiro sambil mengusap
tengkuknya yang mendadak menjadi dingin dan
merinding.
“Jadi kau tidak mau masuk ke dalam lorong?
Membatalkan semua rencana?”
“Bukan tidak mau masuk ke dalam lorong! Tapi tidak
mau nikah dengan roh!”
“Anggap saja nikah dengan gadis sungguhan.”
Wiro tak bisa menjawab lagi. Malah kini dia jadi tertawa
gelak‐gelak.
“Syukur “ katanya Nyi Roro Manggut pula.
“Syukur apa Nek?”
“Kau tertawa gelak‐gelak. Tandanya kau senang dan suka
nikah dengan roh!”
Wiro mencibir dan keluarkan suara seperti orang kentut
dari mulutnya.
“Prett!”
Ada yang membalas. Dengan kentut sungguhan!
Wiro kaget, memandang berkeliling. Dia tidak melihat
orang lain di tempat itu, Nyi Roro tertawa cekikikan.
Wiro pandangi nenek ini. Dia tahu bukan Nyi Roro yang
barusan kentut. Lalu siapa?
“Sudah, segala kentut kau urusi.” Kata Nyi Roro pula.
“Kau tidak punya waktu banyak. Kau harus segera masuk
ke dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Tadi kau
bertanya padaku mengenai mahluk bermuka dua itu.
Walau tubuhnya sangat lemah, kurasa sekarang dia
sudah bisa bicara.”
“Aku memang banyak pertanyaan untuknya,” sahut Wiro
lalu mendatangi Hantu Muka Dua. Begitu sampai di
hadapan Hantu Muka Dua Wiro bukannya ajukan
pertanyaan tapi justru mendamprat mahluk dan negeri
latanahsilam itu.
“Nenek itu sudah menolong membuka buhul lidahmu!
Apakah kau tidak punya adat tidak tahu diri untuk
mengucapkan terima kasihmu padanya?”
Hantu Muka Dua batuk‐batuk. Mukanya depan belakang
masih berupa muka kakek‐kakek keriput pertanda masih
ada rasa takut menghinggapi dirinya. Mendengar kata‐
kata Wiro tadi ia segera menggeser tubuh, lalu masih
dalam keadaan duduk dia bungkukkan tubuh ke arah
Nyi Roro Manggut dan keluarkan ucapan.
“Nyi Roro, aku Hantu Muka Dua dan negeri Latanahsilam
sangat berterima kasih padamu. Kau telah melepaskan
siksa diriku dan Iidah yang terkancing.”
Walau sudah bisa bicara namun suara Hantu Muka Dua
perlahan sekali karena tubuhnya sangat lemah. Nyi Roro
Manggut pencongkan mulut lalu melirik pada Wiro.
Hantu Muka Dua kemudian putar tubuhnya menghadap
ke arah Wiro. Kembali dia membungkukkan badan lalu
berkata “Aku juga sangat berterima kasih padamu. Aku
sudah tewas kalau bukan kau yang menolongku.
Mengingat perseteruan kita di negeri Latanahsilam, aku
sungguh tidak mengerti mengapa kau mau
mengorbankan nyawa menyelamatkanku.”
“Semua silang sengketa di negerimu sudah berlalu. Kau
sekarang berada di alam lain.” Jawab Wiro. “Ketika kau
terdesak melawanku, dua manusia pocong muncul
menolongmu. Kau dilarikan ke dalam lorong. Apakah kau
salah seorang dart mereka? Mungkin juga kau biang
kerok pimpinan Barisan Manusia Pocong mahluk celaka
itu!”
Hantu Muka Dua gelengkan kepala. Tampang kakek
keriputnya tampak tegang. “Aku bukan anggota Barisan
Manusia Pocong. Apalagi pimpinannya. Mereka menculik
aku...”
“Perlu apa mereka menculik dirimu?” yang bertanya Nyi
Roro Manggut.
“Semula aku juga tidak mengerti. Ternyata mereka
punya maksud jahat. Mereka membawa aku menemui
seseorang yang disebut Yang Mulia Sri Paduka Ratu.”
Wiro dan Nyi Roro saling pandang.
“Jadi Yang Mulia Sri Paduka Ratu itu rupanya yang jadi
pimpinan Barisan Manusia Pocong.” Ujar Wiro sambil
rangkapkan dua tangan di atas dada sementara Nyi Roro
tegak angguk‐anggukkan kepala.
“Turut apa yang aku lihat sang Ratu bukanlah pimpinan
Barisan Manusia Pocong. Ilmunya memang luar biasa
tapi dia berada di bawah kekuasaan dan perintah yang
disebut Yang Mulia Ketua. Selain itu ada lagi yang
dipanggil dengan sebutan Wakil Ketua. Dia punya
kebiasaan mengeluarkan suara berdecak ck. . .ck.. .ck.”
“Kau melihat wajah‐wajah semua orang itu? Tahu siapa
mereka?”
Hantu Muka Dua gelengkan kepala. Semua mahluk yang
ada dalam lorong mengenakan jubah putih dan kain
penutup kepala putih. Termasuk yang dipanggil dengan
sebutan Ratu.
“Kau dibawa menghadap Ratu. Apa yang kemudian
terjadi?”
“Ratu menyedot seluruh tenaga dalam dan ilmu
kesaktian yang ada di tubuhku’” jawab Hantu Muka Dua.
Lalu dia tundukkan kepala memperlihatkan bekas
telapak tangan dan jari‐jari sang Ratu di kulit kepalanya.
Murid Sinto Gendeng raba tengkuknya sendiri, lalu
berbisik pada Nyi Roro. “Kalau yang namanya Ratu itu
kerjanya hanya menyedot tenaga dalam dan kesaktian
orang, dapat dibayangkan betapa luar biasa tenaga
dalam dan ilmu kesaktian yang kini dimilikinya. Sudah
berapa orang saja yang kena disedotnya? Bagaimana
mungkin hal itu bisa terjadi? Dia bukan pimpinan Barisan
Manusia Pocong. Mengapa disuruh menyedot tenaga
dalam dan ilmu kesaktian orang?”
“Aku punya dugaan, di balik semua kejadian ini ada satu
rahasia besar. Ada satu kejadian luar biasa yang akan
meluluh Iantakkan rimba persilatan tanah Jawa. Tokoh
Seratus Tiga Belas Lorong Kematian mempergunakan
tangan orang untuk melaksanakan hal itu. Mungkin Yang
Mulia Sri Paduka Ratu itu. Dan firasatku mengatakan
Ratu itulah yang bakal jadi calon jodoh untuk dinikahkan
dengan dirimu
“Apa Nek?” tanya Wiro dengan mata terbelalak.
Nyi Roro hanya senyum‐senyum.
“Turut keteranganmu tadi yang akan nikah dengan aku
adalah sebangsa roh. Sekarang ternyata malah muncul
seorang Ratu.”
“Bocah tolol. Yang namanya Roh itu bisa saja nyangsrang
di pohon, nempel di batu, main air di sungai atau masuk
ke dalam tubuh manusia hidup atau yang sudah mati,
atau nemplok di pantatmu! Hi...hik...hik!”
“Aku tidak mengerti...” Wiro garuk‐garuk kepala. Dia
mendekati Hantu Muka Dua dan bertanya. “Setelah Ratu
menyedot tenaga dalam dan kesaktianmu, apa yang
kemudian terjadi?”
“Wakil Ketua memerintah seorang Satria Pocong
membuang diriku ke dalam jurang di belakang markas.
Masih untung aku tidak amblas jatuh sampai ke dasar
jurang. Tubuhku tersangkut menyangsrang di pohon
sampai kau muncul menyelamatkan diriku. Sekali lagi
aku sangat berterima kasih padamu...”
“Aku sempat melihat kau dipanggul keluar dan pintu
rahasia di dinding sana. Apa yang kau ketahui mengenal
pintu itu?” tanya Wiro pula.
“Pintu batu penuh rahasia. Hanya bisa dibuka dan dalam
lewat satu kekuatan gaib. Tidak ada satu kekuatan lain
yang bisa membuka pintu dan menjebol pintu itu dan
luar...”
“Selain Ketua, Wakil Ketua dan Ratu ada berapa banyak
manusia pocong di dalam lorong?”
“Aku tidak tahu pasti. Mungkin beberapa orang saja.
Bolak balik aku hanya melihat Wakil Ketua dan seorang
bawahannya.” Jawabnya Hantu Muka Dua
Wiro garuk‐garuk kepala.
“Coba kau ingat‐ingat. Selama kau berada di dalam
lorong mungkin ada hal atau peristiwa lain yang terjadi?
Atau mungkin kau bertemu orang lain yang jadi
tawanan. Mungkin juga melihat perempuan‐perempuan
bunting?”
“Waktu aku dibawa dan dijebloskan dalam ruangan batu,
aku melihat deretan kamar berpintu besi. Lalu masuk
seorang perempuan bunting. Dia mencekoki aku dengan
sejenis minuman. Kalau aku tidak salah minuman itu
disebut Minuman Selamat Datang. Konon siapa saja yang
meneguk minuman itu akan lupa diri dan akan tunduk
seperti kerbau dipasung. Dalam setiap hal mereka selalu
mengumandangkan ucapan Hanya perintah Yang Mulia
Ketua yang harus dilakukan! Hanya Yang Mulia Ketua
seorang yang wajib dicintai! Ternyata minuman itu tidak
mempan padaku. Aku lalu ditotok. Aku berada dalam
keadaan kaku ketika Ratu menyedot tenaga dalam dan
ilmu kesaktian yang ada dalam diriku”
***
TUJUH
Wiro geleng‐geleng kepala. Nyi Roro manggut‐manggut.
“Sudah? Hanya itu saja yang bisa kau ceritakan? Atau. ..“
“Ada satu kejadian lain,” kata Hantu Muka Dua pula.
“Sewaktu aku dipanggul dalam perjalanan ke tempat
Ratu...”
“Tunggu,” memotong Nyi Roro. “Kau bilang dibawa ke
tempat Ratu. Apakah tempat itu di dalam markas, di
dalam lorong atau Ratu punya tempat tersendiri?”
“Ratu punya kediaman sendiri. Letaknya di seberang
sebuah lembah kecil. Berbentuk satu rumah panggung
berwarna putih. Di bawah atapnya ada sebuah genta
besar...”
“Ah. . .Suara genta itu rupanya suara aneh yang pernah
aku dengar beberapa kali...” Ucap Wiro. “Hantu Muka
Dua, teruskan keteranganmu.”
“Sewaktu aku dipanggul menuju tempat kediaman Ratu,
di dalam lorong terjadi satu kehebohan. Seorang gadis
culikan lenyap dan kamar ketiduran Ketua Barisan
Manusia Pocong.”
Air muka murid Sinto Gendeng jadi berubah.
“Kau tahu siap adanya gadis itu?”
“Turut ucapan Wakil Ketua dan seorang bawahannya
gadis itu adalah murid seorang tokoh silat yang diculik.
Tokoh itu kalau aku tidak salah berjuluk Dewa Tuak.”
“Anggini!” seru Wiro. “Gadis itu pasti Anggini! Kurang
ajar! Kalau manusia‐manusia pocong itu berani
menyentuh Anggini aku bersumpah akan membunuh
dan mencincang lumat tubuh mereka semua!”
“Wiro, waktu kita tidak banyak. Ada lagi yang ingin kau
tanyakan padanya?”
“Aku memperhatikan gerak gerikmu. Nyi Roro tadi juga
menyebutkan. Kau pernah bersikap seperti melihat
sesuatu. Tanganmu berusaha menggapai. Apa yang
sebenarnya terjadi?”
Sepasang mata Hantu Muka Dua yang berbentuk segi
tiga hijau berputar. Setelah batuk‐batuk beberapa kali
dan mukanya menjadi merah, baru mahluk ini keluarkan
ucapan.
“Keselamatan diriku. Aku melihat sebuah benda yang
bisa menyelamatkan diriku dan keadaan seperti
sekarang ini.” Suara Hantu Muka Dua perlahan sekali
sehingga Wiro terpaksa membungkuk dan dekatkan
telinganya ke mulut orang.
“Kau melihat benda yang bisa menyelamatkan dirimu.
Benda apa? Dimana kau melihatnya?” Tanya Wiro
sementara Nyi Roro Manggut memperhatikan sambil
rangkapkan dua tangan di atas dadanya.
“Berbentuk cahaya putih...”
Wiro menggaruk kepala. “Kau tidak tahu benda apa itu?”
“Tidak jelas karena mataku silau terkena cahayanya.
Tampaknya seperti... mungkin seperti ikat pinggang
dalam keadaan tergulung.”
“Benda putih. Bercahaya. Seperti gulungan ikat
pinggang...” Wiro ulangi ucapan Hantu Muka Dua. Sulit
dia menduga benda apa yang sebenarnya dilihat Hantu
Muka Dua itu. Kalau cuma sebuah ikat pinggang,
kesaktian apa yang ada di dalamnya hingga mampu
menyelamatkan Hantu Muka Dua dan keadaannya yang
sekarang.
“Kau melihat benda itu dimana?” Wiro ajukan
pertanyaan.
“Di dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian.
Jangankan memiliki jika aku bisa menyentuh saja benda
itu, semua tenaga dalam dan kesaktianku yang hilang
akan kembali.”
“Luar biasa,” ucap Wiro. “Katakan di sebelah mana
Seratus Tiga Belas Lorong Kematian kau melihat benda
bercahaya putih itu? Aku akan masuk ke sana. Aku akan
berusaha menemukan benda itu dan memberikan
padamu...” Wiro mengiming‐iming agar orang mau
bicara terus.
“Benda itu bukan berada di satu ruangan atau di satu
tempat. Tapi di.. .di. . .di dalam rongga. Aku hanya
sempat menggapai. Robek! Lihat jari‐jari tangan kiriku.
Cidera. Putih semua...”
“Hantu Muka Dua, keteranganmu tidak jelas. Apa yang
kau maksud dengan rongga. Kau menggapai, menggapai
apa? Apa yang robek?” tanya Wiro mencecar.
“Yang robek pakaian....”
“Pakaian? Pakaian siapa? Lalu rongga yang kau sebut itu,
rongga apa?”
“Di dalam tu...“
Belum sempat Hantu Muka Dua menyelesaikan
ucapannya tiba‐tiba tubuhnya tampak menggigil hebat.
Lalu tidak terduga, entah dan mana datangnya berkiblat
satu cahaya putih, menyambar ke arah mahluk dari
negeri 1200 tahun silam itu. Karena Wiro berada dekat
sekali dengan Hantu Muka Dua sangat mungkin cahaya
putih itu akan melabrak dirinya pula.
“Wiro awas!” teriak Nyi Roro Manggut lalu kebutkan
ujung lengan kanan pakaiannya. Selarik sinar biru
melesat, memotong jalan cahaya putih.
Wiro berpaling. Dia masih sempat melihat sambaran
cahaya putih. Secepat kilat Pendekar 212 jatuhkan diri ke
tanah. Pukulan yang memancarkan cahaya biru yang
dilepas Nyi Roro Manggut sempat menabrak cahaya
putih hingga mengeluarkan suara dentuman keras
diserta letupan api. Namun sebagian dari cahaya putih
itu masih sempat menghantam Hantu Muka Dua.
Mahluk ini menjerit keras. Sosoknya terkapar pucat
dekat tangga seratus undak. Bagian kiri jubah putih yang
dikenakannya kelihatan hangus dan mengepulkan asap
kelabu.
“Ada kekuatan gaib yang tidak ingin mahluk ini
membuka mulut memberi keterangan.” Berkata Nyi
Roro Manggut.
“Kekuatan roh?” tanya Wiro.
“Bagus kalau kau sudah bisa menduga.” Sahut Nyi Roro
Manggut pula. “Sekarang lekas ikuti aku.”
“Kau mau mengajakku kemana, Nyi Roro? Aku masih
penasaran tentang benda bercahaya putih yang dilihat
Hantu Muka Dua itu. Mungkin di situ letak seluruh
kekuatan gaib penguasa Seratus Tiga Belas Lorong
Kematian.”
“Jangan banyak tanya. Ikut saja!”
Wiro akhirnya melangkah mengikuti Nyi Roro Manggut.
Tiba‐tiba ada satu bayangan kuning berkelebat dan arah
pohon besar yang membentang di tengah jurang disertai
suara menegur.
“Nyi Roro sahabatku, tadi kita datang bersama. Apa kau
tidak ingin aku bertemu dulu dengan pemuda itu
sebelum dia kau ajak pergi?”
Nyi Roro Manggut hentikan langkah. Wiro berpaling dan
terkejut bukan alang kepalang. Di hadapan Wiro dan Nyi
Roro Manggut saat itu berdiri seorang nenek yang
keadaannya serba kuning. Mulai dan rambut, wajah dan
juga pakaian. Selain itu si nenek juga mengenakan hiasan
tiga tusuk konde, giwang, beberapa untai kalung yang
kesemuanya juga berwarna kuning. Salah satu dari
gandulan kalung berbentuk aneh yaitu berupa sebuah
sendok emas.
“Luhkentut! Pantas aku mendengar suara ang kentut
beberapa kali sebelumnya. Ternyata kau! Pasti kau dan
nenek satu itu sudah lama di sini!” berseru Pendekar 212
dan segera mendatangi lalu pegang dua Si nenek seperti
orang kangen. Diam‐diam Hantu Muka Dua juga terkejut
melihat kemunculan nenek serba kuning itu. Hatinya
mendadak jadi tidak enak. Karena Luhkentut adalah juga
mahluk dan negeri 1200 tahun silam. Dan antara mereka
tidak terjalin hubungan baik.
“Prett!” Nenek yang dipanggil dengan sebutan Luhkentut
pancarkan kentut keras. Membuat Wiro lepaskan
dekapannya dan bersurut dua langkah.
“Penyakit kentutmu masih belum lenyap. Jauh‐jauh kau
bawa ke sini. Padahal di negeri Latanahsilam kau sudah
makan tujuh puluh kibul ayam!”
Si nenek berujud serba kuning tertawa cekikikan.
“Untung kau anjurkan aku menelan kibul ayam itu. Aku
sekarang cuma kentut sekali‐sekali saja. Kalau tidak
penyakit kentutku tidak akan sembuh‐sembuh. Aku akan
terus kentut mulai pagi sampai malam. Dan malam
sampai pagi lagi. Hik ...hik ... hik..”
“Ya, ... ya, dalam tidurpun kau masih bisa kentut!” kata
Wiro menggoda yang membuat tawa Si nenek semakin
panjang. (Mengenai nenek bernama Luhkentut ini harap
baca kisah Wiro di negeri Latanahsilam berjudul “Hantu
Langit Terjungkir”).
Luhkentut dikenal juga dengan julukan Nenek Selaksa
Kentut atau Nenek Selaksa angin. Sebagai salah seorang
tokoh berkepandaian tinggi di Negeri Latanahsilam
nenek ini memiliki berbagai ilmu kesaktian Iangka.
Kepada Wiro dia telah memberikan ilmu kesaktian yang
disebut Menahan Darah Memindah Jazad. Dengan ilmu
kesaktian ini seseorang bisa memindahkan bagian tubuh
manusia ke tempat mana saja yang disukainya.
“Luhkentut, kau ingat sahabatku bernama Setan
Ngompol?”
“Kakek bau pesing itu dimana dia? Apa masih suka
kencing di celana?” tanya si nenek muka kuning. “Dia
pasti gembira kalau bertemu denganmu. Bukankah dulu
kau memindah telinga kanannya. Sewaktu kau
kembalikan kembali daun telinga itu kau pasang terbalik!
Sampai sekarang keadaannya masih seperti itu!”
Luhkentut tertawa gelak‐gelak.
“Luhkentut, bagaimana kau bisa muncul di tempat ini?”
Wiro ingin tahu. “Apakah kau punya maksud baik
menolongku menumpas manusia‐manusia pocong itu?”
“Tak sengaja dalam perjalanan aku bertemu dengan Nyi
Roro Manggut. Begitu berkenalan kami saling cocok. Dia
mengajak aku ke tempat ini. Aku mau saja karena
katanya dia akan menemuimu di sini. Ternyata memang
benar.”
“Kau mau ikutan aku mencari jalan masuk ke dalam
lorong?”
“Aku sudah kebagian tugas dari Nyi Roro.” Si nenek
mendekati Wiro lalu berbisik, “Aku harus menjaga Hantu
Muka Dua sampai manusia‐manusia pocong itu
dimusnahkan. Ada sesuatu yang dikawatirkan Nyi Roro.”
“Apa?”
“Dia tidak mengatakan padaku,” jawab si nenek.
“Luhkentut, sewaktu di Latanahsilam aku mendapat Ilmu
Membelah Bumi Menyedot Arwah dari Hantu Santet
Laknat. Menurutmu dengan ilmu itu apakah aku bisa
membongkar dinding batu ini lalu menerobos masuk ke
dalam markas manusia pocong?”
“Jangan mencari penyakit. Dirimu belum berada di
tingkat roh. Nyi Roro sudah mengatakan padamu bahwa
ada kekuatan roh di dalam lorong sana. Dan roh hanya
bisa dilawan dengan roh pula.”
Wiro menggaruk kepala. “Kalau begitu aku akan
tanyakan pada Nyi Roro apa maksudnya ucapannya itu.”
“Sahabat Luhkentut, kami berdua akan pergi. Seperti
yang sudah kita bicarakan di perjalanan harap kau tetap
di sini.” Nyi Roro berkata.
Luhkentut anggukkan kepala. Dia tepuk‐tepuk bahu Wiro
dan berkata.
“Anak muda, jika semua urusan sudah selesai kita
ketemu lagi. Banyak cerita yang bisa kita bicarakan. Dari
pagi sampai malam.”
“Sambil kentut!
Luhkentut alias Nenek Selaksa Kentut tertawa cekikan.
Wiro tinggalkan nenek dari negeri Latanahsilam itu.
Melangkah mengikuti Nyi Roro Manggut.
“Nyi Roro, kau mau bawa aku kemana?”
“Dekat‐dekat sini saja,” jawab Nyi Roro seraya berjalan
terus dan baru berhenti begitu sampai di pinggiran
jurang. Wiro berdiri di samping si nenek.
“Nyi Roro, aku mohon petunjuk tentang ucapanmu roh
harus dilawan roh.”
“Apakah kau pernah kenal dengan seseorang dari alam
roh?” Nyi Roro balik bertanya. “Cobalah berhubungan
dengan dia.”
Wiro garuk‐garuk kepala.
“Aku coba mengingat‐ingat dulu. Rasanya… Tapi Nek,
katamu aku bisa menghancurkan kekuatan dahsyat di
dalam lorong yang berasal dan roh jika aku nikah dengan
roh. Sekarang mengapa kau meminta aku menghubungi
seseorang dan alam roh?”
“Karena orang itulah yang mungkin akan jadi juru
nikahmu” Jawaban Nyi Roro Manggut membuat Wiro
tercengang diam, mulut terbuka.
“Nek,” Wiro garuk‐garuk kepala. “Selain urusan dengan
gerombolan manusia pocong ini, aku punya dua perkara
atau dua tugas besar dan guruku Eyang Sinto Gendeng.”
“Hemmmm, urusan apa?” tanya Nyi Roro pula.
“Aku harus mencari dua benda pusaka Iangka yang
lenyap dicuri orang. Pertama sebilah pedang sakti
mandraguna bernama Pedang Naga Suci Dua Satu Dua.
Yang kedua sebuah buku keramat bernama Kitab Seribu
Pengobatan. Aku harus menemukan kedua benda
pusaka itu. Apa kau pernah mendengan dan punya
petunjuk?”
Nyi Roro geleng‐geleng kepala. Dipegangnya lengan
Wiro. Ditariknya seraya berkata, “Berdiri Lebih dekat ke
sini!”
Wiro mengikuti ucapan si nenek.
“Coba kau memandang ke dalam jurang. Apa yang kau
lihat?”
Wiro memperhatikan ke bawah. Ke dalam jurang.
“Aku hanya melihat pepohonan. Selainnya redup gelap.”
“Kau tidak melihat dasar jurang?”
“Tidak, nek.”
“Menurutmu apakah jurang ini dalam?”
“Dalam sekali,” jawab Wiro
“Heran, mengapa kau bertanya seperti itu Nyi Roro?
Orang gila mana yang mau‐mauan mengukur dalamnya
jurang.”
“Kalau begitu aku sarankan agar kau mengukur
dalamnya sekarang juga!”
Selagi murid Eyang Sinto Gendeng terheran‐heran
karena tidak mengerti semua ucapan si nenek, tiba‐tiba
Nyi Roro Manggut dorong punggung Pendekar 212 kuat‐
kuat. Tak ampun lagi Wiro terlempar jatuh ke dalam
jurang.
“Nyi Roro!” Wiro berteriak keras. Suara teriakannya
menggaung di seantero tempat, bergelegar di dalam
jurang.
Di pinggir jurang, Nyi Roro Manggut tetawa panjang. Lalu
berkelebat lenyap ke arah pohon besar yang
membelintang di atas jurang. Dekat dinding batu
Luhkentut si nenek muka kuning ikutan tertawa. Hantu
Muka Dua menyaksikan apa yang terjadi dengan
perasaan tercekat. Jika nenek bernama Nyi Roro
Manggut itu tega‐teganya membunuh Wiro berarti
dirinya tidak bakal lama akan dihabisi pula!
Belum lama Nyi Roro Manggut lenyap dan tempat itu,
belum lama pula suara gaung teriakan Wiro sirna tiba‐
tiba dinding batu di depan anak tangga seratus undak
bergeser membuka. Bersamaan dengan itu, dan pintu
rahasia yang terbuka melesat keluar sebuah benda aneh
berbentuk papan panjang. Papan ini meluncur begitu
hingga mencapai dan membelintang pada dua pertiga
lebarnya jurang.
Tak selang berapa lama, dua orang manusia pocong
berkelebat keluar dan pintu rahasia, langsung meniti
sepanjang papan. Diberati dua sosok tubuh papan itu
kelihatan bergoyang‐goyang turun naik. Mendekati
ujung papan, dua manusia pocong berhenti, memandang
berkeliling.
“Aneh, orang‐orang kita memberi tahu ada beberapa
orang di tempat ini. Salah satunya adalah Pendekar Dua
Satu Dua Wiro Sableng. Nyatanya tak ada satu orangpun
di tempat ini.”
“Mereka sudah kabur entah kemana. Lihat pohon yang
membellntang di atas jurang! Jelas mereka sebelumnya
ada di tempat ini, Wakil Ketua.”
“Tadi aku mendengar suara teriakan. Lalu suara
perempuan tertawa. Sepengetahuanku tak ada setan
atau dedemit di sekitar sini. Lalu siapa yang berteriak,
siapa yang menjerit?” Orang yang bicara ternyata Wakil
Ketua Barisan Manusia Pocong 113 Lorong Kematian. Dia
memandang berkeliling sekali lagi. Pandangannya
membentur dua buah batang kayu kering yang
tergeletak di tanah, di samping kiri tangga batu.
“Mungkin salah aku menduga. tapi seingatku dulu tidak
ada dua batang kayu kering di tempat itu,” ucap Wakil
Ketua. Dia mengangkat bahu lalu berkata, “Sudah kita
kembali saja ke dalam lorong. Banyak urusan yang harus
kita lakukan.”
Dua manusia pocong itu berbalik, meniti papan panjang
yang melesat masuk kembali ke arah pintu rahasia.
Namun sebelum masuk ke dalam pintu Wakil Ketua
hentikan larinya. Di balik kain putih penutup kepalanya
dia menyeringai. Tangan kanannya melepaskan satu
pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi
dua kali berturut‐turut.
Pohon besar yang melintang di atas jurang patah dua
lalu bergemuruh masuk ke dalam jurang.
“Siapapun mahluk yang coba sembunyi mengelabui
diriku tak bakal punya jalan keluar. Dia akan mati
kelaparan di tempat ini! Ha ... ha... ha...!”
Wakil Ketua dan anak buahnya berkelebat masuk. Pintu
rahasia tertutup kembali. Dinding batu itu kembali pada
ujudnya semula seolah tak ada apa‐apa di tempat itu.
Dua onggok batang kayu kering yang tergeletak di
samping kiri tangga batu. Secara aneh perlahan‐lahan
berubah bentuk menjadi sosok nenek berpakaian serba
kuning serta sosok kakek berjubah putih.
“Luhkentut, terima kasih kau telah menyelamatkan
diriku dengan ilmu kesaktianmu hingga kita berdua
berubah bentuk jadi batang kayu kering tak berguna.
Kalau sampai dua manusia pocong tadi itu sempat
melihat kita di sini, Jangan harap saat ini kita masih bisa
bernafas.”
Nenek Selaksa Angin alias Luhkentut cuma menyeringai
dingin mendengar kata‐kata Hantu Muka Dua itu.
“Luhkentut, kalau aku boleh bertanya. Mengapa nenek
cebol tadi membunuh pemuda bernama Wiro itu?”
Sambil bertanya sepasang mata Hantu Muka Dua yang
berbentuk segitiga memperhatikan kalung berbentuk
sendok yang tergantung di leher si nenek.
“Siapa yang membunuh?” ujar Luhkentut pula.
“Kau menyaksikan sendiri. Nenek itu mendorong Wiro
hingga masuk ke dalam jurang. Kau juga aku lihat
tertawa. Rahasia apa yang ada di balik semua kejadian
aneh ini?”
Luhkentut kembali menyeringai dingin dan tidak
memberikan jawaban apa‐apa. Pandangan Hantu Muka
Dua ini tertuju ke arah jurang. Pohon yang tadi
membelintang tak tampak Iagi karena sudah
dihancurkan oleh Wakil Ketua Barisan Manusia Pocong.
Hatinya merasa cemas. Bagaimana dia bisa tinggalkan
tempat itu. Melirik ke samping si nenek dilihatnya
tenang‐tenang saja.
***
DELAPAN
Teriak kemarahan Pndekar 212 menggelegar di dalam
jurang. “Nenek cebol keparat! Apa salahku! Kau pasti
kaki tangan kompiotan manusia pocong!”
Namun rasa marah itu dalam sekejap berubah menjadi
rasa takut Iuar biasa. Tubuhnya yang melayang jatuh
dengan deras, sesekali tersangkut cabang pepohonan.
Cabang‐cabang pohon berpatahan dan dia kembali
amblas ke bawah. Sekujur tubuhnya sebelah atas yang
tidak berpakaian penuh goresan luka. Sebuah patahan
ranting menancap di punggung. Rasa sakit membuat
tubuhnya bergetar. Pipi kiri mengucurkan darah akibat
luka sewaktu membentur pohon bambu. Bagaimanapun
juga rasa saki dan luka‐luka itu tidak seberapa dibanding
rasa takut bahwa di bawah sana batu‐batu besar
menunggu kejatuhan tubuhnya di dasar jurang! Dalam
keadaan seperti itu Wiro masih berusaha
menyelamatkan diri. Kaki dipentang mencari tahanan,
tangan menggapai mencari pegangan. Namun bobot
tubuhnya yang berat membuat dia tidak berdaya
menahan kejatuhan. Semakin dia berusaha mencari
selamat, semakin deras tubuhnya jatuh ke bawah.
Akhirnya dia hanya bisa pasrah. Agaknya Tuhan memang
sudah menakdirkan dia menemui kematian dengan cara
begini. Dia tahu dalam hitungan kejapan mata tubuhnya
akan menghantam batu di dasar jurang. Remuk dan
hancur! Kematian baginya bukan apa‐apa dibanding
dengan beban tanggung jawab untuk menyelamatkan
para tokoh, para gadis serta perempuan‐perempuan
hamil yang disekap dalam 113 Lorong Kematian. Pada
saat‐saat menunggu ajal itu Pendekar 212 berulang kali
memanggil nama Gusti AIlah.
“Byuuurrr!”
“Hik‐hik! Ada dedemit kecebur!”
Wiro merasakan tubuhnya amblas dalam air luar biasa
dingin. Saat tubuhnya tenggelam ke dalam air rasa sakit
perih mencengkeram wajah dan sekujur tubuhnya yang
penuh goresan luka.
“Astaga! Berada dimana aku ini?! Masih hidup atau
sudah mati?!”
Wiro kembangkan dua tangan ke samping dan gerakkan
sepasang kaki. Perlahan‐lahan kepalanya muncul di
permukaan air. Dalam keadaan mengambang yang
hampir tak bisa dipercaya.
Wiro dapatkan dirinya berada di tengah sebuah telaga
besar berair luar biasa dingin, dikelilingi kerimbunan
pepohonan dan deretan batu‐batu besar membentuk
dinding tinggi seperti Iingkaran. Kabut tipis menggantung
di permukaan air. Wiro berenang sejauh lima belas
tombak lebih mencapai tepian telaga terdekat. Susah
payah dia berhasil menggapai deretan batu berlumut,
naik ke atas dan duduk di atas batu. Wiro alirkan hawa
hangat yang berpusat di perut untuk melawan gigilan
rasa dingin. Lalu dia memandang berkeliling.
Di hadapannya terbentang telaga besar berair biru gelap.
Kabut menutupi sebagian pemandangan. di sebelah
kanan ada cahaya terang. Ketika diperhatikan ternyata
terdapat sebuah celah besar berbentuk goa antara dua
dinding batu. Sayup‐sayup dia mendengar suara aliran
air.
“Apa yang ada di balik celah itu,” pikir Wiro. Rasa nyeri di
punggung membuat dia meraba ke belakang. Tangannya
membentur patahan ranting yang menancap di
punggung. Sambil gigit bibir Wiro cabut patahan ranting.
Darah mengucur dan luka yang menganga. Wiro cepat
totok urat besar di bahu kiri. Kucuran darah serta merta
berhenti.
“Nyi Roro ...“ ucap Wiro begitu dia ingat nenek cebol itu.
“Permainan jahat apa yang kau lakukan padaku! Kau
sengaja mendorong diriku ke dalam jurang. Maksudmu
hendak membunuhku atau bagaimana? Apa kau
memang sudah tahu di dasar jurang ini ada telaga hingga
kalaupun jatuh aku tidak bakal menemui kematian?”
Wiro garuk‐garuk rambutnya yang basah. “Kalau ini
hanya siasatmu lalu apa tujuanmu? Mencelakai diriku
atau ..?“ Wiro usap goresan luka di dada kiri. Sekujur
tubuhnya basah, dingin dan sakit. “Nenek itu, tidak
mungkin dia berniat jahat terhadapku ...“ ucap Wiro
dalam hati. Otak diputar. “Nyi Roro, apakah kau hendak
menunjukkan sesuatu padaku?” Wiro memeriksa
beberapa benda yang disimpan di balik pinggang celana.
Kaleng butut milik Kakek Segala Tahu masih ada. Juga
kipas kayu cendana dari Nyi Roro Manggut yang harus
diserahkannya pada kakek itu. Batu hitam sakti pasangan
Kapak Naga Geni 212 masih ada dalam kantong kain.
Begitu juga gulungan kecil kain putih. Lalu sapu tangan
biru muda pemberian Wulan Srindi, juga masih ada. Dan
tentunya Kapak Naga Geni 212 yang tersembul di atas
Tiba‐tiba saja Wiro ingat. Waktu dirinya jatuh ke dalam
telaga tadi dia sempat mendengar suara tawa cekikikan
serta ucapan “Ada dedemit kecebur.” Siapa yang
tertawa, siapa yang berucap?
“Suara anak‐anak. Aku yakin betul itu suara anak‐anak,”
kata Wiro dalam hati. Dia memandang berkeliling. Tidak
melihat apa‐apa, kecuali air telaga, batu‐batu yang
mengelilingi dan pepohonan. “Jangan‐jangan ada Setan
anak‐anak di sini. Sebangsa tuyul ... Tempat apa ini
sebenarnya? Telaga apa ini sebenarnya? Tempat mandi
mahluk halus?” Wiro mengusap‐usap tengkuknya. Sekali
lagi dia memandang berkeliling. Kali ini ada yang
membuatnya jadi tercekat. Tadi permukaan telaga
tertutup kabut. Kini ketika kabut naik ke atas, di arah kiri
dia melihat sebuah perahu kayu terapung‐apung di tepi
telaga, ditambatkan pada sebuah tiang yang menancap
di tebing batu. Lalu di sebelah sana kelihatan ada tangga
kecil merambat ke atas sepanjang dinding batu yang
terjal.
“Nyi Roro,” Wiro kembali menyebut nama nenek cebol
itu. “Aku menaruh sangka buruk padamu. Kini aku
mengerti kau menceburkan aku ke dalam jurang adalah
untuk menemukan tempat dan jalan rahasia ini.” Wiro
garuk‐garuk kepala. Dia ingat gurunya dan berucap lagi
dalam hati. “Eyang Sinto, sebelumnya aku mengejekmu.
Ternyata ucapanmu betul. Pakai ilmu bambu. Ada jalan
masuk ada jalan keluar...“
Perlahan‐lahan Wiro bangkit berdiri. Celah terang di
samping kanan lebih dekat dari perahu kayu yang
tertambat. Wiro benjalan di atas batu‐batu di sepanjang
tepi telaga. Dia harus kerahkan ilmu meringankan tubuh
agar tidak terpeleset ketika menginjak batu licin
berlumut.
Begitu sampai di celah terang dan berdiri di atas batu
besar, Wiro melihat sebuah sungai berair jernrh kebiruan
terbentang di depannya. Di seberang sungai
menghadang rimba belantara. Wiro perhatikan batu
besar yang dipijaknya. Dia melihat sesuatu. Wiro
membungkuk agar bisa memperhatikan Iebih dekat.
Walau tanda‐tanda sangat samar, dia merasa yakin
sebelumnya ada orang di tempat itu. Murid Sinto
Gendeng bersikap lebih waspada. Bukan mustahil ada
orang saat itu tengah memperhatikan gerak‐geriknya.
Dia melingkari telaga. Tak kelihatan bayangan orang, tak
tampak gerakan. Kecuali perahu kayu yang terapung dan
bergoyang perlahan.
Wiro akhirnya mencebur memasuki telaga dan berenang
menuju perahu. Pada saat tangan kanannya menggapai
pinggiran perahu, dua kepala bergerak naik dari dalam
perahu. Ketika Wiro keluarkan kepala dan tubuh atasnya
dan dalam air pada saat itu pula ada dua tangan
berkelebat. Satu menjambak rambut gondrong basah
sang pendekar, tangan kedua mendorong perutnya.
Wiro berteriak kaget. Jantungnya seperti mau copot!
Selagi tubuhnya melayang ke udara Wiro mendengar
dua suara tawa bergelak. Satu suara anak lelaki, satu lagi
suara tawa perempuan. Setelah jungkir balik di udara
Wiro melayang turun dan injakkan kaki di atas batu. Di
saat hampir bersamaan dua sosok melesat keluar dan
dalam perahu kayu, mengumbar tawa haha‐hihi lalu
berkelebat ke hadapan Pendekar 212
Tidak tunggu Lebih lama sebelum dua sosok itu
menginjak batu murid Sinto Gendeng segera pukulkan
dua tangan ke depan.
“Hai ini aku!” Suara anak kecil berteriak nyaring.
“OaIa! Apa kau tidak mengenali diriku lagi? Hik ... hik!”
Menimpali suara perempuan yang disertai tawa
cekikikan!
Wiro terkesiap dan cepat tarik dua tangannya yang
sudah diisi kekuatan tenaga dalam tirggi. Mata mendelik
dan begitu dia mengenali siapa dua orang yang berdiri di
hadapannya Iangsung saja mulutnya memaki.
“Bocah kurang ajar! Kau rupanya. Dan kau nenek jahil!”
Dua orang yang dimaki semakin keras gelak tawanya.
“Setan keblinger! Kalian masih bisa tertawa! Bagaimana
kalian bisa muncul di sini?” Bentak murid Sinto Gendeng.
“Kami lagi jalan‐jalan. Saking enaknya jalan‐jalan kesasar
sampai ke sini. Kami berdua mau mandi bugil‐bugilan di
telaga waktu kau muncul! Takut diintip bugil kami lantas
sembunyi di dalam perahu!”
“Bocah sialan! Apa kau dan nenek kekasihmu itu tahu
berada dimana saat ini?”
Dua orang di hadapan Wiro tertawa haha‐hihi.
Orang pertama anak lelaki berpakaian hitam berambut
jabrik bukan lain adalah Naga Kuning bernama asli
Gunung. Pada dada pakaiannya tergurat gambar seekor
naga bergelung, kulit kuning mata merah. Seperti
diketahul ujud asli anak lelaki ini adalah seorang kakek
berusia lebih dari seratus tahun, yang dalam rimba
persilatan dikenal dengan julukan Kiai Paus Samudera
BInu. Di punggung Naga Kuning terikat sebuah bumbung
bambu yang sudah pecah.
Di samping Naga Kuning tegak seorang nenek berambut
tebal kelabu berwajah angker. Bahkan waktu tertawa
atau tersenyum sekalipun tampangnya tetap
mengerikan. Lima jari tangan yang menyembul di balik
lengan jubah hitam memiliki kuku runcing berwarna
hitam pekat. Siapa gerangan nenek ini?
Nama asli semasa mudanya adalah Ning Intan Lestari.
Dalam rimba persilatan tanah Jawa dia kemudian dikenal
dengan julukan Gondoruwo Patah Hati. Konon si nenek
tengah berusaha mendapatkan satu llmu kesaktian yang
disebut Ilmu Kuku Api. Namun karena banyak masalah
besar yang dihadapi dalam dunia persilatan, ilmu
tersebut sampai saat ini masih belum dapat
dirampungkan. Diriwayatkan dalam beberapa Episode
serial Wiro Sableng sebelumnya, di masa muda antara
Gunung dan Ning Intan Lestari terjalin hubungan tali
kasih. Nasib membuat mereka berpisah selama puluhan
tahun dan ketika bertemu kembali keduanya sudah
berusia sangat lanjut. Namun hubungan cinta yang
selama ini seolah terputus kini bersambung kembali
dengan segala kehangatannya. Sejak beberapa lama
belakangan ini kemana‐mana mereka selalu berduaan.
“Wiro,” kata Naga Kuning menjawab pertanyaan
Pendekar 212 tadi. “Kami dua insan yang sedang
dimabuk cinta. Mana perduli dimana kami berada saat
ini?”
“Cinta gila bisa membuat kalian mati konyol di tempat
ini!” tukas Wiro.
“Nyatanya kau juga ada di sini. Apa juga mau ikutan mati
konyol? Kalau begitu silahkan mati konyol duluan!” ucap
si nenek berjuluk Gondoruwo Patah Hati lalu tertawa
gelak‐gelak.
“Kalian berdua sama saja gebleknya!” Wiro mengomel
kesal. Sebaliknya Naga Kuning dan Gondoruwo Patah
Hati malah tertawa haha‐hihi.
Wiro perhatikan bumbung bambu di puggung Naga
Kuning. Dia mengenali benda itu adalah bumbung
bambu milik Dewa Tuak yang pernah ditemukannya di
sebuah pondok di tengah hutan tempat dimana Wulan
Srindi hampir jadi korban perkosaan manusia pocong.
“Anak kurang ajar! Bagaimana bumbung bambu itu bisa
ada padamu?” Wiro bertanya.
“Kami menemukannya di sebuah gubuk ambruk di
tengah hutan,” yang menjawab Gondoruwo Patah Hati.
“Melihat bentuk dan bau yang masih menempel di
bumbung itu, kami menduga keras bumbung itu adalah
milik tokoh silat bernama Dewa Tuak. Kalau bumbung
miliknya ditinggal begitu rupa dalam keadaan pecah
sedang orangnya tidak kelihatan, kami menaruh curiga
sesuatu telah terjadi dengan kakek itu. Apa lagi melihat
keadaan gubuk jelas ada tanda‐tanda terjadinya
penkelahian hebat di sana. Kami juga melihat percikan
darah.”
“Bagaimana pun juga dia adalah sahabat kita semua,”
menyambung Naga Kuning. “Pantas saja kami berusaha
menyelidik apa yang terjadi dengan kakek itu, dimana
dia berada saat ini. Apa lagi kami menyirap kabar bahwa
di salah satu bagian kawasan ini terdapat lorong maut
yang dikenal dengan nama Seratus Tga Betas Lorong
Kematian, markas manusia‐manusia jahat yang
menamakan diri Barisan Manusia Pocong. Waktu
pertemuan kita terakhir kali tempo hari, kami berdua
berniat bergabung dengan kalian di Kotaraja, di gedung
kediaman Sutri Kaliangan, puteri Patih Kerajaan. Tapi
kami tidak menemukan dirimu dan tuan rumah. Juga
tidak melihat bidadari Angin Timur, Ratu Duyung dan
Anggini. Terakhir kami sempat melihat Ratu Duyung di
sebuah rumah di Jatipurno. Ada manusia pocong yang
hendak memperkosa Sutri Kaliangan! Nasibnya jelek.
Kemaluannya aku gebuk sampai amblas!”
“Kami juga mendapat kabar bahwa selain menculik
perempuan‐perempuan hamil ternyata orang‐orang
Seratus Tiga Betas Lorong Kematian juga menculik para
tokoh silat serta orang‐orang berkepandaian tinggi. Apa
maksud mereka perlu diwaspadai. Di masa muda aku
sering berkeliaran di tempat ini. Aku tahu kalau ada
sebuah telaga di bawah bukit batu. Aku dan Naga Kuning
menyusuri sungai dengan perahu. Beberapa jauh dari
sini perahu kami kandas. Kami masih bisa berenang dan
berhasil menemukan telaga ini. Ternyata di sini kami
menemul kejutan!”
“Kejutan apa?” tanya Wiro pula pada Gondoruwo Patah
Hati.
“Di telaga kami menemukan sebuah perahu. Lalu dinding
batu ini kini memiliki sebuah tangga menuju ke atas.
Berarti ada pintu di atas sana. Paling tidak ujung tangga
ini berhubungan dengan sebuah ruangan. Karena telaga
berada di bawah bukit batu tempat terletaknya Seratus
Tiga Betas Lorong Kematian kami berdua yakin ini semua
adalah pekerjaan manusia‐manusia pocong penghuni
lorong!”
Wiro garuk‐garuk kepala mendengar semua ucapan
Naga Kuning itu.
Gondoruwo Patah Hati memandang ke bagian tangga
sebelas atas. Lalu berkata, ”Aku dan Naga Kuning tengah
memeriksa perahu ketika kau jatuh dan kecemplung
masuk ke dalam telaga.”
“Yang aku heran, mengapa kau kini cuma tinggal
mengenakan celana. Kemana baju putih bututmu?”
bertanya Naga Kuning. Lalu ia meneruskan, “Jangan‐
jangan ada anak gadis orang yang kau kerjakan di atas
sana. Gadis itu berontak dan mendorongmu ke dalam
jurang! Betul!?”
“Anak Setan bermulut jahil. Enak saja kau menuduh yang
bukan‐bukan!” damprat murid Sinto Gendeng. Lalu dia
cenitakan yang terjadi dijurang.
“Jadi nenek cebol yang suka manggut‐manggut itu yang
melemparkanmu ke dalam jurang?” ujar Naga Kuning.
“Tadinya aku menduga buruk. Ternyata dia sengaja ingin
mengirim aku ke tempat ini. Untuk menunjukkan bahwa
ada jalan rahasia menuju Seratus Tiga Belas Lorong
Kematian. Saat itu aku ingin cepat‐cepat menerobos ke
atas. Tapi ingat pada petunjuk Nyi Roro Manggut aku
harus berlaku waspada. Di dalam lorong ada satu
kekuatan luar biasa. Kekuatan roh!”
“Kau jangan menakut‐nakuti aku!” kata Naga Kuning.
Wiro menyeringai. “Kita akan masuk ke sana. Kau akan
lihat sendiri apa aku menakuti dirimu atau tidak. Nyi
Roro minta aku berhubungan dengan roh agar bisa
menghadapi kekuatan yang ada di dalam lorong. Aku jadi
bingung. Mau menghubungi roh siapa? Bagaimana
caranya? Salah‐salah aku bisa dipencet roh sampai mati
mencelet!”
“Kenapa bingung?” ujar Naga Kuning pula. “Setahuku
kau punya kekasih. Seorang gadis dan alam roh!”
“Astaga!” Wiro terkejut. “Anak kurang ajar! Kau betul!”
lalu Pendekar 212 sibuk menggeledah sekitar
pinggangnya. Semua benda yang disimpan di balik
pinggang kecuali Kapak Naga Geni 212 dikeluarkan. Yaitu
sapu tangan biru muda pemberian Wulan Srindi, kipas
cendana pemberian Nyi Roro Manggut, kaleng rombeng
milik Kakek Segala Tahu, batu hitam serta gulungan kain
putih kecil. Namun benda yang dicarinya tidak
ditemukan. Wiro jadi bingung. Diperiksanya sekali lagi.
Pinggang celana ditarik ke depan, di betot ke samping.
“Ada apa? Apa yang kau cari?” tanya Naga Kuning.
“Burungmu lenyap?!”
“Hik...hik...hik.” Gondoruwo Patah Hati tertawa cekikan.
“Jangan bergurau! Aku mencari benda yang sangat
menentukan mampu tidaknya kita menghadapi kekuatan
roh di dalam lorong! Celaka, jangan‐jangan benda itu ada
di saku baju putihku! Itu satu‐satunya benda yang bisa
menghubungkan aku dengan gadis dan alam roh!”
Naga Kuning menunjuk ke batu di depan kaki kiri Wiro.
Ketika Wiro sibuk mencari‐cari seputar pinggang
celananya, anak ini melihat sebuah benda meluncur dari
kaki celana kiri Wiro.
“Benda itu yang kau cari?”
Wiro memandang ke arah yang ditunjuk Naga Kuning.
Mata membesar, mulut menyeringai. Dia menjadi lega
dan cepat‐cepat mengambil benda yang ada di atas batu
di depan kakinya.
***
SEMBILAN
Benda yang dipungut Wiro itu ternyata adalah sekuntum
kembang kenanga yang telah mengering dan kini
menjadi layu karena kebasahan air telaga. Wiro
mengeringkan bunga basah itu dengan kedua tangannya
sambil meniup‐niup. Setelah itu Wiro pegang kembang
kenanga itu diantara ibu jari dan jari tengah tangan
kanan. Mata dipejamkan. Sambil menggosok perlahan
bunga di antara dua jarinya Wiro berucap.
“Bunga, datanglah. Aku membutuhkan pertolonganmu.
Bunga datanglah...“
Wiro menunggu dengan dada berdebar. Tidak terjadi
apa‐apa. dia mengulang Iagi. Kembang kenanga digosok‐
gosok. Mulut berucap, ”Bunga, aku memerlukanmu.
Datanglah ....“
Naga Kuning dekatkan mulutnya ke telinga Gondroruwo
Patah Hati dan berbisik, “Apa yang dilakukannya? Bicara
sendiri sambil mengusapusap kembang kenanga ...“
Si nenek meilntangkan jari telunjuknya di atas bibir.
“Jangan berisik. aku tahu apa yang dilakukannya. Aku
tahu siapa yang dipanggilnya.”
Naga Kuning masih bandel. “Maksudmu dia tengah
memanggii kekasihnya gadis dan alam roh itu? Mana aku
tahu kalau caranya begitu. Aku ....“ Anak lelaki itu baru
hentikan bicaranya ketika tiba‐tiba dia mencium
harumnya bau kembang kenanga santar sekali. Si nenek
juga sudah mencium bau itu dan dalam keadaan
tercekat dia sama sekali tidak kedipkan mata.
Tiba‐tiba dan arah batu yang terang terasa ada
sambaran angin. Cahaya terang untuk sesaat seperti
terhalang. Suasana di sekitar telaga menjadi redup.
Ketika cahaya dan luar kembali memasuki telaga
terdengar satu suara berucap.
“Wiro, aku di sini.”
Wiro berpaIing ke arah datangnya suara. Naga Kuning
dan Gondoruwo Patah Hati melakukan hal yang sama.
Di situ, di atas perahu tampak segulung asap yang
perlahan‐lahan berubah menjadi sosok seorang gadis
mengenakan kebaya putih berkancing besar. Dia duduk
di lantai perahu. Dua kaki yang disilang terlindung oleh
celana putih sebatas betis. Di tangan kanannya dia
memegang sehelai baju putih. Wajahnya cantik namun
pucat seperti tidak berdarah. Inilah gadis dan alam roh
bernama Suci yang oleh Wiro dipanggil dengan sebutan
Bunga. Dalam serial Wiro Sableng benjudul “Dewi Bunga
Mayat” dikisahkan bahwa Suci menemui kematian akibat
diracun oleh Sadewo, bekas kekasihnya sendiri atas
suruhan Suntini, adik tiri Suci. Antara Wiro dan Suci
kemudian terjalin satu hubungan mesra. Suci yang
menyadari keadaan dirinya yang berbeda alam dengan
Wiro dan tak mungkin hidup berdampingan dengan
pemuda itu lebih banyak mengalah dan sengaja
menjauhkan diri. Namun dia memberikan sekuntum
kembang kenanga pada Wiro. Jika Wiro ingin bertemu
dengan dirinya Wiro harus mengusap kembang kenanga
itu sambil memanggil namanya.
Dalam girangnya melihat kemunculan Bunga, Pendekar
212 melompat dari atas batu. Di dalam perahu, Bunga
bangkit berdiri, kembangkan dua tangan lalu melesat ke
udara menyambut kedatangan Wiro. Untuk beberapa
saat keduanya seperti menghambang dan saling
berangkulan di udara.
“Wiro, aku rindu padamu. Rindu sekali” bisik Bunga.
Wiro memeluk erat‐erat gadis dan alam roh itu. Bunga
menggerakkan kakinya. Dia membawa Wiro melayang
turun ke atas batu.
“Aku juga rindu padamu, Bunga. Tapi saat ini ada
perkara besar yang tengah aku hadapi. Aku butuh
bantuanmu.”
“Dalam alamku, aku sudah tahu kesulitan apa yang
tengah kau hadapi. Tapi seperti yang pernah aku
jelaskan, aku tidak bisa keluar dan alamku. Kecuali kau
mengusap kembang kenanga itu dan menyebut namaku.
Untung kau masih menyimpan kembang itu. Dulu kuberi
satu pernah kau hilangkan.”
Wiro tersenyum. “Maafkan aku Bunga. Dua orang
temanku ada di sini. Mari kuperkenalkan kau pada
mereka.”
“Biar dulu, aku masih kangen. Aku masih ingin
memelukmu,” jawab Bunga dan tidak mau melepaskan
pelukannya.
Naga Kuning kembali keluar jahilnya. Dia mendehem
berulang kali sampai akhirnya Wiro dan Bunga lepaskan
pelukan masing‐masing. Bunga tersenyum manis dan
lambaikan tangan pada Naga Kuning. Pada Gondowuro
Patah Hati dia anggukkan kepala lalu membungkuk. Si
nenek balas penghormatan Bunga dengan kedip‐
kedipkan sepasang matanya.
Bunga angsurkan tangannya yang memegang baju putih.
“Di alamku aku melihat kau tidak mengenakan baju.
Pakailah ini, mudah‐mudahan cocok.”
Wiro mengambil baju yang diberikan Bunga lalu
memakainya dan ternyata cocok dengan besar
tubuhnya.
“Terima kasih ...“ bisik Wiro sambil membelai pipi gadis
dan alam roh itu.
“Bunga, seorang nenek sakti bernama Nyi Roro Manggut
memberi tahu bahwa kau akan menjadi juru nikahku.
Kau akan mengawinkan aku dengan roh yang berada
dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Setelah itu
baru kekuatan jahat yang ada di lorong dapat
dimusnahkan.”
Wiro hendak mengeluarkan gulungan kain putih dari
dalam kantong kain yang terikat di pinggangnya.
Bunga tersenyum. “Tidak usah dikeluarkan. Tulisan di
atas kain putih itu aku yang menulisnya. Dan alam gaib
aku kirim ke dalam alammu. Diterima oleh tokoh silat
berjuluk Dewa Sedih. Selanjutnya kain itu sampai di
tangan Raja Penidur yang kemudian diserahkan pada
Kakek Segala Tahu dan akhirnya jatuh ke tanganmu.”
Kaget Wiro bukan olah‐olah. Mulutnya sampai
menganga dan sepasang mata terbuka lebar tak
berkesiap.
“Bunga, kau merencanakan pernikahan bagi diriku,”
ucap Wiro perlahan. “Aku ...“
Bunga tundukkan kepala. “Aku mengerti apa yang ada
dalam hati dan pikiranmu. Perasaan kasihku padamu
ingin menolak hal itu. Namun aku merasa punya
tanggung jawab untuk menolong dirimu serta rimba
persilatan dimana kau berada. Hanya pernikahan itu
yang akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang
disekap di dalam lorong. Hanya pernikahan itu satu‐
satunya jalan yang bisa menyelamatkan rimba
persilatan. Kalau saja nasib diriku bukan sebagai mahluk
dan alam roh, sudah lama aku ingin bersimpuh di depan
kakimu untuk dapat kau terima sebagai teman
pendamping hidupmu. Namun ....“ Bunga tidak
meneruskan katakatanya. “Maafkan aku Wiro. Aku tidak
dapat menahan perasaanku. Tidak seharusnya aku
mengeluarkan kata‐kata tadi.”
Kalau saja di situ tidak ada Naga Kuning dan Gondowuro
Patah hati, ingin sekali Wiro memeluk gadis dari alam
roh itu kembali. Masih bingung Wiro kembali ajukan
pertanyaan.
“Pernikahan itu, apakah memang benaran? Maksudku
apakah aku betul‐betul akan terikat dalam satu tali
perkawinan? Gila! aku tidak dapat membayangkan!”
“Aku juga tidak dapat membayangkan. Aku hanya
menjalankan sesuatu yang tersirat dan tersurat
sebagaimana petunjuk yang aku dapat dari alamku.”
Wiro garuk‐garuk kepala. “Bunga sebenarnya apa tujuan
manusia pocong penghuni lorong dengan segala
perbuatan keji mereka itu?” tanya Wiro pula.
“Mereka ingin menguasai dan menjadi raja diraja rimba
persilatan. Caranya dengan menghimpun seluruh
kekuatan yang dimiliki para tokoh persilatan melalui satu
ilmu sesat. Memanfaatkan kekuatan nyawa kedua atau
memperalat kekuatan roh yang saat ini bisa mereka
kuasai.”
“Nyawa kedua? Aku tidak mengerti.” Murid Sinto
Gendeng lagi‐lagi garuk‐garuk kepala.
“Seseorang yang sudah mati dihidupkan kembali.
Rohnya yang mengapung diantara langit dan bumi
dimasukkan kembali ke dalam jazadnya lalu dikuasai.
Dialah yang disebut dengan panggilan Yang Mulia Sri
Paduka Ratu. Mahluk dengan nyawa kedua dan alam roh
ini akan melakukan apa saja segala yang diperintahkan
oleh orang yang menguasainya. Dan orang ini adalah
penguasa atau pimpmnan Barisan Manusia Pocong
Seratus Tiga Belas Lorong Kematian.”
“Kau tahu siapa orangnya?”
Bunga gelengkan kepala. “Sebelum aku masuk ke dalam
lorong sulit aku menduga siapa adanya mahluk dengan
nyawa kedua dan alam roh itu.”
“Luar biasa. Mengerikan ....“ ucap Wiro.
“Wiro, jika sampai di dalam lorong, berlaku hati‐hati.
Orang‐orang di dalam lorong telah mengetahui
kedatanganmu dan dua sahabatmu itu.”
“Aku sudah menduga hal itu,” jawab Wiro.
“Satu hal lagi, Wiro. Di dalam lorong sahabat bisa
menjadi musuh yang dapat membunuhmu.”
“Terima kasih, kau telah mengingatkan aku…“ kata Wiro
sambil meremas jari‐jari tangan Bunga. “Sebelum kau
pergi, ada satu hal yang ingin aku tanyakan.”
Bunga anggukkan kepala.
“Di atas jurang sana ada seorang kakek dari negeri seribu
dua ratus tahun silam. Dia menjadi korban keganasan
penghuni lorong. Seluruh tenaga dalam dan
kesaktiannya disedot oleh mahluk yang disebut Yang
Mulia Sri Paduka Ratu. Menurut Nyi Roro dialah yang
akan dinikahkan dengan diriku. Apa yang dikatakan Nyi
Roro sama dengan yang kau jelaskan.”
“Lalu?” tanya Binga pula.
“Kakek itu bercerita. Waktu di dalam lorong dia melihat
sebuah benda putih bercahaya. Katanya jika saja dia bisa
menyentuh benda itu maka seluruh tenaga dalam dan
kesaktiannya yang lenyap akan kembali. Bunga, kau tahu
benda apa yang dilihat kakek itu?”
Bunga diam sejenak, seperti merenung.
“Wiro, aku barusan mendapat petunjuk. Benda itu
adalah salah satu dan dua benda pusaka yang lenyap.”
Habis keluarkan ucapan itu sekujur tubuh Bunga
mendadak bergetar hebat. Mukanya seputih kain kafan.
Dua kakinya yang menginjak batu kepulkan asap putih.
“Bunga!” seru Wiro kaget dan cepat hendak memeluk
gadis alam roh itu sambil alirkan hawa sakti untuk
menjaga segala kemungkinan. Wiro merasa ada hawa
panas menyengat dirinya. Cepat dia kerahkan tenaga
dalam untuk membentengi diri. Hawa panas yang
menyengat perlahan‐lahan hilang.
“Tenang Wiro. Aku masih dapat menguasai diri.
Kekuatan roh di dalam lorong melancarkan serangan
gaib agar aku tidak bicara.”
“Benda itu Bunga, apakah Pedang Naga Suci Dua Satu
Dua atau Kitab Seribu Pengobatan?” tanya Wiro.
“Aku tidak dapat memastikan sebelum masuk ke dalam
Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. Saat ini aku hanya
bisa menduga‐duga. Benda yang dilihat kakek itu
mungkin Pedang Naga Suci 212.”
“Doss! Doss! Doss!”
Tiga letupan keras menggema di tempat itu. Dua tepat di
bawah kaki Bunga hingga gadis alam roh ini terpekik dan
terlempar ke udara. Dua kaki celananya kelihatan hangus
hitam. Letupan ke tiga terjadi di atas kepala Bunga.
Untuk menghindari cidera akibat letupan di atas
kepalanya, gadis alam roh hantamkan tangan kanan ke
atas.
“Bummmmm!”
Satu ledakan dahsyat menggelegar. Permukaan air
telaga sampai muncrat. Perahu kayu bergoyang keras
dan terangkat sepuluh jengkal di atas permukaan air
telaga. Naga Kuning dan Gondoruwo Patah Hati saling
berpegangan karena batu yang mereka pijak bergeletar
keras. Wiro tegak tergontai‐gontai dengan wajah pucat.
Bunga hampir jatuh terduduk. Ketika dia berhasil berdiri,
sekujur tubuhnya bergetar dan keringat kebiruan
memercik di wajahnya yang pucat pasi.
Setelah keadaan gadis dari alam roh itu tenang, Wiro
berkata, “Bunga, boleh aku mengajukan satu pertanyaan
lagi?”
Bunga anggukkan kepala.
“Menurut kakek tadi, dia melihat , dia melihat benda itu
di dalam rongga. Bunga, mungkin kau tahu rongga apa?”
Bunga tersenyum. Gadis alam roh ini kembali merenung.
Sesaat kemudian dia gelengkan kepala.
“Maafkan aku Wiro. Aku bisa menjawab pertanyaanmu
itu. Tapi jika kuberitahu tempat ini akan runtuh. Aku bisa
selamatkan diri. Kau dan tiga temanmu tak mungkin
lolos dari maut!”
Wiro garuk kepala lalu berkata, “Aku bisa menduga
rongga apa yang dimaksudkan kakek itu”
“Wiro! Jangan kau sebutkan! Kita bisa mati semua!”
Bunga cepat memberi ingat sambil menekap mulut Wiro
dengan jari‐jari tangan kanannya. Wiro hanya bisa
mengangguk‐angguk.
“Maaf, aku masih punya satu pertanyaan,” kata Wiro
pula. Bunga tersenyum dan anggukkan kepala. “Aku
pernah mengerahkan beberapa ilmu kesaktian bahkan
menghantam dinding batu jalan masuk ke dalam lorong.
Aku pernah menerapkan Ilmu Meraga Sukma. Tapi
semua itu membalik menghantam diriku sendiri ....“
“Kau atau siapapun selaku manusia tidak mungkin
menghadapi kekuatan roh secara langsung. Justru
disitulah letak pantangannya. Roh di dalam lorong
memiliki kekuatan luar biasa. Dan roh itu menyedot
kekuatan yang kau keluarkan untuk kembali
dihantamkan pada dirimu. Pada siapa saja yang berani
menghadapinya secara langsung. Apapun yang terjadi,
dimanapun, jangan sekali‐kali berani melakukan adu
kekuatan secara langsung dalam satu garis lurus dengan
roh.”
“Kalau begitu tidak seorangpun, tidak satu kekuatanpun
yang bisa menghadapi sang Ratu.”
“Kaulah yang akan menghadapinya Wiro. Dengan
pernikahan itu. Dengan menikahi dirinya. Aku hanya
bertindak sebagai pembantu.”
Wiro garuk‐garuk kepala sementara tengkuknya terasa
merinding.
“Ada satu hal yang perlu aku jelaskan padamu, Wiro,”
kata Bunga pula. “Di dalam lorong terdapat sebuah
benda berupa batu pipih hitam persegi. Batu inilah yang
jadi pangkal sebab segala bencana. Kau harus
mendapatkan batu itu dan menghancurkannya. Dan
petunjuk yang aku lihat di alam gaib, batu itu berada di
tangan pimpinan manusia pocong.”
“Tambah lagi satu pekerjaan ...“ ucap Wiro sambil garuk‐
garuk kepala.
“Aku pergi sekarang. Aku akan membukakan pintu
rahasia di atas tangga sana untukmu dan teman‐teman.
Sebelum pergi aku akan memberikan sesuatu padamu.”
Dan balik kebaya putihnya Bunga keluarkan sebuah
kantong kecil terbuat dan kain putih. “Ambil, simpan
baik‐baik. Dalam keadaan terdesak jika kau harus
berhadapan dengan kekuatan roh di dalam lorong usap
wajah dan tubuhmu dengan benda ini. Sebagian
tebarkan di depannya.”
“Benda apa yang ada di dalam kantong mi?” tanya Wiro.
“Serbuk Setanggi.”
“Eh, dimana sebelumnya aku mencium bau Setanggi?”
Wiro bertanya‐tanya pada diri sendiri. Lalu dia ingat.
“Bunga, sewaktu aku hendak mencoba masuk ke dalam
lorong menerapkan Ilmu Meraga Sukma, ada kekuatan
dahsyat menghantam diriku disertai menebarnya bau
Setanggi.”
“Kekuatan dahsyat itu adalah kekuatan roh. Datang dan
dalam lorong bersama tebaran bau setanggi.”
Menerangkan Bunga. Gadis dan alam roh ini memegang
lengan sang pendekar dan berkata, “Aku pergi sekarang.
Hati‐hatilah! Keselamatan semua orang yang diculik dan
berada di dalam lorong kematian serta masa depan
rimba persilatan berada di tanganmu...“
Wiro menggaruk kepala, “Aku selalu ketiban pulung hal
yang tidak enak...“ ucapnya.
Bunga lepaskan pegangannya di lengan Pendekar 212.
Sosok gadis alam roh itu melesat ke atas dan lenyap dan
pemandangan, meninggalkan bau harum bunga kenanga
yang membuat Naga Kuning, Gondoruwo Patah Hati dan
Wiro jadi tercekat.
Setelah Bunga tinggalkan tempat itu Naga Kuning dan
Gondoruwo Patah Hati datangi Wiro. Si bocah pegang
lengan sahabatnya.
“Wiro, apa aku barusan tidak salah dengar. Gadis alam
roh sahabatmu itu bilang kau akan dikawinkan dengan
roh yang ada di dalam Seratus Tiga Belas Lorong
Kematian. Kawin dengan gadis benaran saja kau belum
pernah. Sekarang kau mau kawin dengan roh! Apa
otakmu sudah berubah pindah ke dengkul, lalu turun ke
pantat?”
Wajah Pendekar 212 tampak memerah. Namun enak
saja dia menjawab.
“Sahabatku bocah berambut jabrik,” kata Wiro pula.
“Kau memang tidak salah dengar. Karena kau belum
torek, belum budek. Tapi kau keliru menyebut. Aku
bukannya mau dikawinkan. Tapi dinikahkan...“
“Lalu apa bedanya?” tanya Naga Kuning.
“Tentu ada beda. Kalau nikah pakai niat. Kalau kawin
pakai urat!” jawab murid Sinto Gendeng lalu tertawa
gelak‐gelak dan melompat ke arah tangga batu.
***
SEPULUH
Kembali ke kawasan jurang di sebelah belakang bukit
batu dimana terletak 113 Lorong Kematian.
Tak lama setelah Pendekar 212 didorong jatuh ke dalam
jurang Nyi Roro Manggut tinggalkan tempat itu dengan
melintas di atas tumbangan pohon. Tak selang berapa
lama ketika setelah Wakil Ketua dan anak buahnya
muncul dari pintu rahasia lalu menghancurkan pohon
yang melintang di atas jurang dan kembali masuk ke
dalam lorong lewat pintu rahasia di dinding batu, dua
orang melayang turun dari atas satu pohon besar
berdaun rimbun. Rupanya sudah cukup lama mereka
sembunyi di atas pohon dan menyaksikan semua
kejadian di tempat itu. Kedua orang ini ternyata gadis
cantik Bidadari Angin Timur dan Jatilandak, pemuda
berkulit kuning dan negeri 1200 tahun silam.
“Aku mengkhawatirkan Wiro. Kalau sampai dia menemui
ajal di dasar jurang...“
Bidadari Angin Timur bersikap dingin saja mendengar
ucapan Jatilandak.
“Kau tidak khawatir?” tanya Jatilandak sewaktu Bidadari
Angin Timur dilihatnya hanya berdiam diri.
“Sebelumnya kau sudah tahu, aku tidak ingin ke tempat
ini. Tapi kau membujuk...“
“Maksudku baik. Ingin membantu para sahabat yang
menghadapi urusan besar,” sahut Jatilandak.
“Umur manusia di tangan Tuhan. Kalau pemuda itu
harus menemui kematian di dasar jurang, apa yang perlu
dikawatirkan?”
“Sahabatku, kau menyaksikan sendiri nenek itu
mendorong Wiro masuk ke dalam jurang. Tidakkah kau
ingin tahu mengapa dia melakukan hal itu?”
“Mungkin saja nenek itu punya silang sengketa dengan
Wiro. Mungkin pula si nenek adalah kaki tangan orang‐
orang penghuni lorong atau salah seorang dari mereka
yang sengaja muncul untuk mencelakai Wiro. Pemuda
itu karena tidak tahu gelagat dan tidak waspada akhirnya
jadi korban. Dalam rimba persilatan segala sesuatunya
bisa terjadi. Kematian bisa berlangsung karena seribu
satu macam sebab. Wiro telah menemukan penyebab
kematiannya…”
“Kalau Wiro benar‐benar menemui ajal di dasar jurang,
apakah kau tidak punya rasa hiba? Bukankah antara kau
dan dia...“
Jatilandak tidak teruskan ucapannya. Bidadari Angin
Timur sendiri berdiri sambil rangkapkan dua tangan di
atas dada dan kepala memandang ke langit yang terlihat
di sela‐sela kerimbunan daun pepohonan. Bibirnya
digigit‐gigit.
“Jatilandak,” sang dara akhirnya keluarkan ucapan. “Aku
tak ingin lagi membicarakan pemuda itu. Aku
mengikutimu cukup hanya sampai di sini. Kau silahkan
meneruskan perjalanan seorang diri”.
Jatilandak menatap lekat‐lekat ke wajah cantik itu.
“Sahabat, aku sedih sekali mendengar semua ucapanmu.
Seandainya kau benci pada seseorang akulah orangnya.
Karena sebenarnya akulah yang telah berlaku keliru.
Kalau Wiro menemui kematian tanpa aku sempat
memberi keterangan padanya tentang hubungan kita,
aku akan menyesal seumur hidup...“
“Kita tidak punya hubungan apa‐apa. Seandainya dia
nanti ditemui dalam keadaan hidup, tidak ada yang perlu
diterangkan. Bukankah dia sudah berbahagia dengan
sahabat barunya, gadis bernama Wulan Srindi itu?” kata
Bidadari Angin Timur pula.
Di dalam hati Jatilandak bertanya‐tanya apa sebenarnya
yang membuat gadis berambut pirang itu selalu
berubah‐ubah pikiran serta menunjukkan kebencian
mendalam terhadap Pendekar 212 Wiro Sableng. Hanya
karena rasa cemburu yang berubah menjadi kebencian
semata?
“Aku ingin pergi. Kau mau ikut bersamaku?” Bidadari
Angin Timur bertanya. Dia bertanya dengan kepala
dipalingkan ke jurusan lain. Untuk menyembunyikan
sepasang matanya yang berkaca‐kaca.
“Aku ingin pergi kemana kau pergi. Tapi saat ini kita
menghadapi urusan besar. Aku...“
Bidadari Angin Timur angkat tangan kirinya memberi
tanda agar Jatilandak hentikan ucapan. “Aku ingin
membawamu menemui seorang tokoh rimba persilatan.
Namanya Bujang Gila Tapak Sakti. Dia memiliki ilmu yang
bisa merubah warna kulitmu yang kuning.”
“Sahabatku Bidadari Angin Timur, terima kasih kau
memperhatikan diriku. Soal keadaan kulit tubuhku yang
kuning kalaupun tidak bisa disembuhkan bagiku tidak
menjadi apa. Saat ini ada hal lain yang lebih penting dari
diriku. Yaitu menyelamatkan rimba persilatan dari
manusia‐manusia pocong lorong kematian
Kau tahu sendiri banyak perempuan hamil yang diculik.
Beberapa tokoh silat yang tersesat ke dalam lorong tidak
diketahui bagaimana keadaannya. Kita harus berbuat
sesuatu.”
“Kau orang baik. Budimu sangat luhur. Satu saat kau
akan mengerti. Kepentingan orang banyak tidak selalu
diatas kepentingan diri pribadi. Selamat tinggal
Jatilandak. Selamat berbakti pada rimba persilatan.”
Habis berkata begitu Bidadari Angin Timur balikkan
badan dan tinggalkan tempat itu. Jatilandak memanggil
dan hendak mengejar. Namun ragu. Sudah dua kali
dengan ini si gadis bersikap seperti itu. Akhirnya pemuda
berkepala botak kuning ini duduk di tanah, bersandar ke
batang pohon. Menatap ke seberang jurang, di arah
mana Luhkentut dan Hantu Muka Dua berada.
Bidadari Angin Timur Iari cukup jauh. Gadis ini baru
berhenti berlari ketika sampai di pinggiran rimba
belantara. Dia duduk di tanah, bersandar pada
tumbangan batang pohon yang telah kering. Wajah
dibenamkan di atas telapak tangan. Pundaknya bergetar
pertanda dia berusaha menahan isak. Sebelum isakan
berubah menjadi tangis, tiba‐tiba dua bayangan
berkelebat dan berdiri di kiri kanannya. Sang dana
mencium bau pesing santar sekali.
“Sinto Gendeng,” pikir Bidadari Angin Timur. Wajahnya
masih dibenamkan di atas dua telapak tangan akhirnya
telinganya mendengar suara perempuan menegur.
“Bidadari Angin Timur, sahabatku, apa yang kau buat di
sini?”
Bidadari Angin Timur terkejut. Dia mengenali suara itu.
Dua tangan yang menutupi wajah diturunkan.
Dihadapannya berdiri Ratu Duyung dan kakek berjuluk
Setan Ngompol.
“Ah, kalian berdua rupanya. Aku gembira bisa bertemu
dengan kalian lagi.”
Ratu Duyung tersenyum, anggukkan kepala lalu
bertanya, “Kau seorang diri di tempat ini. Raut wajah
dan sinar matamu menunjukkan hati dan perasaanmu
sedang tergoncang. Maukah kau berbagi rasa
menceritakan padaku apa yang terjadi?”
Bidadari Angin Timur usap kedua matanya, tensenyum
lalu tertawa.
“Ratu Duyung, terima kasih kau punya perhatian begitu
baik terhadapku. Tapi apa perlunya kau mengkawatirkan
orang seperti diriku? Urusanmu sendiri begitu banyak.”
Dalam hati Bidadari Angin Timur berkata, “Aku tidak
punya silang sengketa apa‐apa dengan gadis bermata
biru ini. Tapi entah mengapa aku tidak suka padanya.
Hubungannya dengan Wiro sangat dekat. Aku heran,
mengapa aku masih mencemburui orang lain. Padahal
aku sendiri ingin berpaling diri dari pemuda itu. Mana
mungkin aku menghargai seorang pemuda yang punya
kekasih dimana‐mana. Yang pernah kawin dengan
seorang gadis dari alam lain...“
Ratu Duyung pegang bahu Bidadari Angin Timur lalu
berkata, “Kau sahabatku, susah senangmu susah
senangku juga. Ayo katakan apa yang terjadi?”
Bidadari Angin Timur masih tersenyum. Dia melirik pada
Setan Ngompol. Si kakek kedip‐kedipkan mata lalu cepat‐
cepat pegang bagian bawah perutnya agar kencing tidak
terpancar.
“Di tengah jalan kakek Setan Ngompol ini bilang padaku
kau pengi bersama pemuda bernama Jatilandak. Dimana
dia sekarang?”
Bidadari Angin Timur sisir rambut pirangnya dengan jari‐
jari tangan.
“Dia pergi ke arah sana. Mungkin tengah menuju bukit
batu sarang manusia‐manusia pocong. Untuk sementara
aku menunggu di sini”
“Aneh, mengapa mereka tidak pergi sama‐sama?” pikir
Ratu Duyung.
“Kau tahu dimana Wiro berada?”
“Itulah…”
“Itulah apa?” tanya Ratu Duyung ketika Bidadari Angin
Timur tidak teruskan ucapannya.
“Di belakang bukit batu, ada sebuah jurang. Wiro berada
di sana. Seorang nenek cebol mendorongnya masuk ke
dalam jurang. Sulit aku menduga apakah pemuda itu
masih hidup atau…”
Ratu Duyung menatap wajah Bidadari Angin Timur.
Ketika pertama kali berjumpa tadi dia melihat paras
gadis berambut pirang itu lesu sedih dan sepasang mata
yang balut seperti mau menangis. Tapi agaknya bukan
lenyapnya Wiro ini yang menjadi ganjalan kesedihan
hatinya.
Ratu Duyung tidak rnenunggu Bidadari Angin Timur
menyelesai kan kalimatnya. Gadis bermata biru dari
samudera selatan ini memberi tanda pada Setan
Ngompol, lalu berkelebat pergi tinggalkan tempat itu.
Sambil berlari cepat Ratu Duyung berkata, “Aku melihat
sikap aneh Bidadari Angin Timur. Kalau dia tahu Wiro
didorong orang masuk jurang mengapa dia masih bisa
duduk tenang‐tenang di tempat itu?”
“Aku melihat matanya balut sedih seperti habis
menangis. Mungkin meratapi kematian Wiro,” ujar Setan
Ngompol.
“Jangan kau bicara seolah Wiro sudah mati. Kita belum
tahu kenyataan sebenarnya...“
“Kau bisa pergunakan cermin sakti untuk menyelidiki”
“Sebelumnya telah beberapa kali aku mempergunakan
cermin itu. Namun satu kekuatan gaib menghantam
diriku dengan dahsyat. Aku khawatir... Nanti saja kalau
kita sampai di jurang aku akan mencoba...“
“Kau bisa menduga siapa nenek cebol yang disebutkan
Bidadari Angin Timur tadi?”
“Mungkin aku bisa menduga. Tapi mustahil dia mau
berbuat sejahat itu” jawab Ratu Duyung. Sambil terus
berlari Ratu Duyung berkata, “Aku tadi memperhatikan.
Ketika Bidadari Angin Timur melirik ke arahmu, ada
sesuatu di balik lirikan itu.”
“Maksudmu dia menaruh hati padaku?” ujar Setan
Ngompol.
“Tua bangka geblek!” maki Ratu Duyung hingga Setan
Ngompol tersentak kaget lalu tertawa mengekeh dan
kucurkan air kencing.
“Air mukanya menunjukkan ada sesuatu yang
dikhawatirkan...“
“Benar sekali. Dia kawatir kalau aku jatuh cinta pada
gadis lain! Ah, kasihan kalau Bidadari Angin Timur
sampai patah hati karena ulahku,” sahut Setan Ngompol
kembali bergurau dan tertawa gelak‐gelak.
Kedua orang itu sampai di tepi jurang di sebelah
belakang bukit batu markas manusia pocong. Mereka
tidak menemukan Jatilandak. Namun di seberang jurang,
dekat dinding batu mereka melihat seorang kakek dan
seonang nenek berwajah angker. Ratu Duyung bertanya
perihal kedua orang yang tidak dikenalnya itu. Setan
Ngompol yang pernah tersesat ke negeri 1200 tahun
silam bersama Naga Kuning dan Wiro segera saja
mengenali. “Si kakek yang memiliki dua muka di
kepalanya itu berjuluk Hantu Muka Dua. Jahatnya
selangit tembus, si nenek bernama Luhkentut karena
kentut melulu. Keduanya memiliki ilmu kepandaian
sangat tinggi. Mereka sama‐sama berasal dan negeri
seribu dua ratus tahun silam. Tapi heran dari sini aku
lihat Hantu Muka Dua hanya duduk menjelepok di tanah
seperti kakek pikun tiada daya. Mengapa mereka berdua
bisa berada di seberang jurang sana? Tak mungkin
melompat sejauh ini walau ilmu mereka setinggi langit
sekalipun. Nenek jelek itu. Aku benci padanya. Dia yang
membaIikkan daun telingaku sebelah kanan! Nanti akan
kubalas!” Si kakek pegang daun telinga sebelah
kanannya yang lebar tapi terbalik.
“Dan tanda‐tanda di sekitar sini,” ucap Ratu Duyung
sambil sepasang matanya yang biru memperhatikan
berkeliling. “Memang jelas ada beberapa orang berada
di tempat ini sebelumnya. Lalu pada kemana mereka?”
“Bidadari Angin Timur memberi tahu, seorang nenek
cebol mendorong pemuda itu ke dalam jurang. Saatnya
kau mempergunakan cermin untuk menyelidik.” kata
Setan Ngompol sambil menahan kencing.
Ratu Duyung sesaat merasa ragu. “Aku kawatir kejadian
itu akan terulang kembali. Saat ini kita justru berada
dekat sekali dengan markas manusia pocong.”
“Kalau kau takut, biar aku yang pegang kacanya. Kau
yang melihat ke dalam cermin,” kata Setan Ngompol
pula sambil seka tangan kanannya yang basah oleh air
kencing ke dada.
Ratu Duyung tersenyum. Dan balik pakaiannya yang
bagus dia keluarkan cermin sakti bulat. Cermin dipegang
di tangan kanan. Untuk menjaga segala kemungkinan
Ratu Duyung alirkan tenaga dalam ke kaki hingga dua
kaki itu laksana di pantek ke tanah. Sebagian tenaga
dalam juga dialirkan ke tangan kiri. Tangan ini kemudian
diangkat sebatas dada untuk membentengi diri. Dengan
dada berdebar Ratu Duyung kemudian mulai arahkan
pandangannya ke dalam cermin. Pikirannya dipusatkan
pada jurang di hadapannya. Tak ada getaran pada
tangan kanan dan cermin yang dipegangnya. Tak ada
hawa aneh mempengaruhi. Sepasang matanya melihat
hamparan kabut muncul di dalam cermin. Sesaat
kemudian kabut lenyap. Dalam kejernihan permukaan
cermin dia melihat jurang di bawah sana. Mula‐mula
yang tampak adalah rimbunan pepohonan dari
bebatuan. Lalu genangan air muncul sebuah benda
berbentuk perahu.
“Ada sebuah telaga dalam cermin. Hai, apa ini ....? Di
salah satu dinding ada tangga batu menuju ke atas. Aku
melihat seorang anak menaiki tangga. Aku seperti
mengenalinya. Pakaian hitam, rambut tegak lurus seperti
ijuk”
“Itu pasti Naga Kuning!” seru Setan Ngompol. “Kau tidak
melihat yang lain‐lain? Wiro, Anggini, Wulan Srindi,
Jatilandak?”
Ratu Duyung gelengkan kepala. “Tunggu. Astaga, apa
ini?! Ada seekor binatang melompat‐lompat menaiki
tangga mengikuti bocah itu. Seekor tikus besar. Tapi
bulunya panjang tebal dan runcing...“
“Gila, apakah Wiro telah berubah menjadi tikus besar?”
ujar Setan Ngompol sambil menahan kencing. “Ratu,
kalau bocah itu Naga Kuning, bersamanya pasti ada
seorang nenek jelek ....“
“Aku tak melihat orang lain,” ucap Ratu Duyung.
“Kalaupun Wiro sudah menemui ajal di dasar jurang,
pasti aku bisa melihat sosoknya lewat cermin ini. Aneh,
tidak terjadi apa‐apa. Tidak ada kekuatan gaib
menyerangku.”
Perlahan‐lahan dia gerakkan cermin sakti di tangan
kanan. Gerakan mi membuat dia mampu melihat bagian
atas tangga batu. Namun saat itu tangannya mulai
bergetar. “Serangan itu datang kembali...“ membatin
Ratu Duyung. Dengan cepat dia turunkan cermin, tegak
tak bergerak sambil kerahkan tenaga dalam.
Mendadak sontak menggelegar satu dentuman dahsyat.
Seantero kawasan bergetar.
Ratu Duyung hampir terjungkal ke dalam jurang. Setan
Ngompol masih sempat memegang pinggang
pakaiannya. Kedua orang ini terbanting jatuh ke tanah.
Setan Ngompol pancarkan air kencing. Sambil pegangi
kupingnya yang mengiang dia bertanya. Di seberang
jurang nenek Latanahsilam Luhketut terhempas ke
tanah. Hantu Muka Dua mencelat ke udara dan jatuh
bergedebuk.
Di dalam jurang terdengar suara teriakan‐teriakan
beberapa orang disusul benda‐benda yang berjatuhan
kecebur masuk ke dalam telaga.
“Apa yang terjadi ....?“ Setan Ngompol keluarkan suara
bergetar.
Ratu Duyung duduk bersila di tanah. dia coba melihat ke
dalam cermin kembali. Tak kelihatan apa‐apa kecuali
kabut tebal.
“Aneh, sewaktu aku memantau ke dalam jurang tidak
terjadi apa‐apa. Ketika aku merubah arah cermin
pandangan ke dinding batu sebelah kiri letak markas
manusia pocong itu tanganku bergetar. Lalu ada letusan
keras itu…“ Ratu Duyung geleng‐geleng kepala. “Sesuatu
terjadi di bawah sana. Aku kawatir. Kita harus bisa turun
ke dasar jurang. Tapi bagaimana caranya?” Ratu Duyung
usap keringat yang memericik di kening. Setan Ngompol
usap celananya yang kuyup oleh air kencing.
“Ratu, waktu ledakan menggelegar aku mendengar
suara teriakan. Coba kau menyelidik lagi lewat cermin.
Perhatikan ke arah jurang, jangan melenceng ke arah
dinding batu...“
Ratu Duyung ikuti ucapan Setan Ngompol. Dia angkat
cermin sakti ke depan wajahnya lalu memperhatikan
dengan seksama. Kabul menutupi pandangan di
permukaan cermin. Kabut lenyap berganti dengan
pohon‐pohon lebat. Lalu muncul telaga di dasar jurang.
“Astaga, aku melihat mereka!” seru Ratu Duyung.
“Siapa saja?”
“Wiro, Naga Kuning, nenek berpakaian serba hitam. Lalu
tikus besar itu ... Mereka berada di telaga. Mereka
berenang menuju salah satu tepian. Hai!”
“Ada apa?” Naga Kuning coba melihat ke dalam cermin.
Namun dia tidak melihat apa‐apa. “Aku tidak melihat
apa‐apa. Kau melihat apa? Apa yang barusan
mengejutkanmu?”
“Setibanya di pinggir teiaga di arah tangga batu, tikus
besar tadi berubah menjadi kepulan asap. Lalu muncul
sosok seorang pemuda berpakaian coklat, berkepala
botak dan berkulit kuning.”
“Itu pasti Jatilandak. Pemuda dari negeri Latanahsilam.
Ah, aku tahu ilmu yang dipakainya. Untuk turun ke
bawah dia merubah diri ke bentuk aslinya. Seekor landak
besar!”
Satu suara tercekat terdengar di belakang kedua orang
itu. Ratu Duyung dan Setan Ngompol berpaling. Di situ
berdiri Bidadari Angin Timur dengan wajah pucat. Dua
tangan memegangi pangkai leher. Apa yang diucapkan
Setan Ngompol tadi membuatnya sangat terkejut.
Ternyata perwujudan asli pemuda bernama Jatilandak
itu adalah seekor landak besar.
“Bidadari Angin Timur,” tegur Ratu Duyung. “Kami
gembira akhirnya kau mau menyusul ke sini. Kami
tengah memikirkan bagaimana cara turun ke dalam
jurang. Wiro dan beberapa orang terlihat lewat cermin
saktiku. Mereka berada di dasar jurang yang ada
telaganya...“
Bidadari Angin Timur tidak menjawab. Hanya sepasang
matanya menatapi Ratu Duyung lalu beralih pada Setan
Ngompol. Perlahan‐lahan dua butir air bening
menggelinding dan kelopak mata sebelah bawah gadis
berambut pirang ini. Kepalanya digelengkan. Mulutnya
terbuka. Suaranya berucap perlahan.
“Nasib diriku buruk sekali...“
“Sahabatku, kau menyesali apa?” tanya Ratu Duyung
seraya mendekat.
Bidadari Angin Timur gelengkan kepaa lalu memutar
tubuh dan tinggalkan tempat itu.
“Lagi‐lagi dia menunjukkan sitat aneh...“ ucap Ratu
Duyung.
***
BUNGA gadis dari alam roh sampai di anak tangga
teratas. Mata manusia biasa tidak akan melihat celah
sehalus rambut membentuk bagian empat persegi pada
dinding batu.
Ada celah. Ternyata mereka tidak sepandai yang aku
sangka...“ ucap Bunga dalam hati. Gadis dan alam roh ini
goyangkan kepala. Saat itu juga sosoknya berubah
menjadi samar, berubah lagi menjadi asap tipis lalu
bergerak menembus celah halus di dinding batu. Sesaat
kemudian Bunga telah berada di bagian dalam dinding
batu. Ujudnya yang seperti asap kembali membentuk
sosok seorang gadis berkebaya putih. Memandang
berkeliling dia dapatkan dirinya berada di satu ruangan
cukup besar. Di sebelah depan ada satu lorong pendek.
Di ujung lorong kelihatan sebuah tangga menuju ke atas.
Bunga balikkan tubuh, menatap ke arah dinding yang
barusan dilewatinya melalui celah halus. Samar‐samar
dia melihat ada cahaya kuning pada bagian dinding batu
yang berada dalam celah sehalus rambut.
“Cahaya itu, pertanda satu kekuatan roh dahsyat
membentengi batu. Apakah aku sanggup
menembusnya? Aku harus bertindak cepat sebelum roh
di dalam lorong mengetahui kehadiranku...“
Tiba‐tiba setiup angin berhembus disertai menebarnya
bau setanggi.
“Celaka, mahluk penguasa lorong telah mengetahui
kehadiranku,” Baru saja Bunga membatin seperti itu
tiba‐tiba satu suara halus seolah datang dan kejauhan
mengiang di telinga Bunga.
“Roh dari alam gaib. Kau datang membawa bencana.
Terima kematianmu sebelum kau menimbulkan
malapetaka!”
Mendengar suara halus itu Bunga cepat menyahuti.
“Bencana ada dalam hatimu. Malapetaka ada dalam
benakmu! Aku datang membawa kebaikan. Aku akan
berindak sebagai juru nikahmu. Untuk melepas dirimu
kembali bebas alammu. Dunia bukan tempat
kediamanmu. Di dalam lorong ada manusia jahat yang
memperalatmu!”
“Ahai! Pandai sekali kau mengeluarkan ucapan. Hanya
perintah Yang Mulia Ketua yang harus dilaksanakan.
Hanya Yang Mulia Ketua seorang yang wajib dicintai! Aku
mau lihat apakah kau masih bisa berkata‐kata sesudah
aku menjatuhkan kematian kedua padamu!”
Dari arah lorong di depan sana kembali bertiup
serangkum angin, menyusul munculnya cahaya kuning.
Bunga cepat rapatkan dua telapak tangan di atas kepala.
Mulut terkancing rapat. Sepasang mata menatap tajam
ke arah cahaya kuning yang datang menyambar.
“Roh dari alam gaib, aku mewakili semua roh dari
alammu. Berikan kekuatanmu padaku! Hancurkan pintu
itu!” Bunga gerakkan tangan kanannya ke depan. Sejenis
bubuk menebar di udara. Bubuk setanggi. Bau harum
semakin santar di tempat itu. Dan jauh mendadak
terdengar suara pekikan.
Sosok Bunga Iaksana kilat berubah menjadi asap melesat
ke atas. Di ujung lorong kemudian terdengar satu
teriakan keras.
“Jangan!”
Cahaya kuning berkiblat. Menghantam dinding batu.
Tebaran setanggi yang masih melayang di udara berubah
menjadi percikan bunga api terang benberang.
“Bummm! Byaaarr!”
Satu letusan dahsyat berdentum mengguncang seantero
tempat. Dinding batu di depan sana hancur berantakan.
Sebuah lobang berupa pintu empat persegi terpentang.
Bunga kembali membentuk ujud nyatanya. Gadis dari
alam roh ini berseru :“Terima kasih! Kau telah membuka
pintu untuk calon suamimu!”
Satu pekikan panjang terdengar di kejauhan. Begitu
suara pekikan sirna, mendadak terdengar suara genta
tujuh kali berturut‐turut. Terguncang ke kiri ke kanan.
Bunga lari ke arah pintu.
“Wiro, cepat!”
Di bawah sana Wiro, Gondoruwo Patah Hati, Naga
Kuning dan Jatilandak baru saja keluar dari dalam telaga.
Keempatnya cepat menaiki tangga menuju ke atas.
“Cepat, ikuti aku!” kata Bunga begitu keempat orang itu
sampai dihadapannya. Di kejauhan genta terdengar lagi
tujuh kali berturut‐turut. Kawasan 113 Lorong Kematian
seperti diguncang gempa.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar