..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 12 November 2024

WIRO SABLENG EPISODE AKSARA BATU BERNYAWA

Aksara Batu Bernyawa


PANTAI Selatan. Arah timur Parangteritis.

Menjelang tengah malam. Langit kelihatan hitam 

diselimuti awan tebal yang telah menggantung 

sejak senja berlalu. Tiupan angin keras dan dingin 

terasa menusuk sangat. Kalau saja tidak ada suara 

debur gulungan ombak yang kemudian memecah di 

pasir, kawasan pantai selatan itu niscaya diselimuti 

kesunyian berkepanjangan.

 Di balik sederetan semak belukar liar, dua sosok 

berpakaian dan berdestar hitam mendekam tak 

bergerak laksana batu. Mata masing-masing yang 

nyaris hanya sesekali berkedip memandang lekat ke 

tengah lautan. Ketika salah seorang diantara 

mereka keluarkan ucapan memaki, hanya mulut saja 

yang bergerak. Kepala dan tubuh tetap diam.

 "Sialan!" Orang yang memaki ini memiliki

kepala besar. Sepasang alis kelihatan aneh karena

yang kiri hitam lebat sebaliknya alis sebelah kanan

berwarna putih rimbun. Hidung besar tapi

kelihatan seperti penyok. Pada kening dan pipi

ada bentol-bentol hitam. Wajah manusia satu ini

sungguh sangat tidak sedap untuk dipandang.

 “Apa yang sialan Putu Arka?" tanya kawan si

alis aneh yang duduk mencangkung di sebelah.

Orang ini bernama Wayan Japa, berwajah panjang

lancip. Kalau Putu Arka memiliki keanehan pada

sepasang alis maka Wayan Japa punya keanehan

pada mata kiri. Mata ini putih semua seolah tidak

ada bola mata, tapi anehnya mampu melihat

seperti mata kanan yang terlihat jelas bola

matanya.


“Langit itu!" Jawab Putu Arka sambil tudingkan 

telunjuk tangan kanan ke atas.

 “Langit?" Teman yang bertanya mendongak ke 

atas, menatap ke arah langit. "Ada apa dengan

langit?"

 "Apa matamu buta?!" Suara Putu Arka menyentak 

tapi perlahan. Kedua orang ini sengaja tak mau 

bicara keras-keras. Kawatir ada orang lain yang tak 

mereka ketahui mendekam di sekitar tempat itu dan 

mendengar percakapan mereka.

 "Belum, mataku belum buta. Memangnya kenapa?" 

sahut Wayan Japa yang disusul dengan pertanyaan.

 "Langit ditelan kegelapan. Aku tidak bisa melihat 

bintang satupun! Aku tidak bisa menentukan saat ini 

apakah menjelang atau sudah tengah malam atau 

sudah lewat tengah malam! Waktu sangat penting 

bagi pekerjaan ini. Meleset sedikit kita tidak akan 

mendapatkan benda itu. Percuma jauh-jauh dari 

Buleleng datang ke sini. Kalau kita gagal, apa kata 

guru. Sekarang apa kau mengerti mengapa aku tadi 

memaki Wayan?" Wayan Japa anggukkan kepala. 

"Cuaca memang tidak membantu. Sebentar lagi 

mungkin akan turun hujan lebat. Jadi sebaiknya kita 

teruskan memperhatikan kearah laut. Aku menduga 

saat ini baru menjelang tengah malam.

Seandainya.."

 Putu Arka pegang lengan kawannya.

 "Ada apa?" tanya Wayan.

 "Hidungmu belum rusak?"

 "Maksudmu?" Wayan Japa bertanya heran.

 "Tadi langit, sekarang hidungku."

 "Apa kau tidak mencium bau sesuatu?" Putu

Arka bertanya sambil pelototkan mata.

 Wayan Japa tinggikan hidung lalu menghirup

udara dalam-dalam.

 "Astaga!"

 "Sekarang kau tahu! Kau mencium bau apa?!"

Tukas Putu Arka.

 "Menyan, bau menyan..." jawab Wayan Japa.

 "Di tempat sesunyi ini, malam buta begini

menurutmu apakah ada orang gi!a yang datang

ke sini untuk membakar menyan?"

 Wayan Japa gelengkan kepala. "Tentu saja


tidak. Tapi...tapi ini bukan bau menyan 

sungguhan. Ini bau rokok. Rokok klobot..."

 "Bagus, kau sadar sekarang, ucap Putu Arka.

 "Nyoman Carik! Pasti dia! Siapa lagi!"

 "Hebat!" Putu Arka menyeringai. Tampangnya

tambah buruk. "Kau tetap di sini. Aku akan memberi 

pelajaran pada manusia satu itu. Ini urusan besar. 

Urusan nyawa. Enak saja dia membuat ulah yang 

bisa mengundang datangnya maut!"

 Wayan Japa melihat kilatan menggidikkan di

sepasang mata Putu Arka dan cepat berbisik.

 “Putu, jangan kau bunuh sahabat kita itu."

 Putu Arka menyeringai. "Aku akan pertimbangkan 

nasihatmu itu. Tetap memperhatikan ke arah laut."

 Wayan Japa mengangguk. Hatinya terasa tidak

enak. Putu Arka perlahan-lahan baringkan tubuh,

menelentang di tanah. Dua kaki dilunjur lurus,

dua tangan disilangkan di atas dada. Tiba-tiba

tubuh itu bergerak ke samping. Laksana batang

kayu berguling menggelinding, membuat pasir

beterbangan ke udara. Belum sempat Wayan Japa

kedipkan mata sosok Putu Arka telah lenyap.

 Di balik serumpunan semak belukar sekitar

dua belas tombak di arah belakang tempat Putu

Arka dan Wayan Japa berada. Seorang lelaki

yang juga berdestar dan berpakaian serba hitam

duduk menjelepok di pasir asyik menikmati

sebatang rokok yang asapnya menebar bau

kemenyan. Orang bertubuh tinggi kurus ini jadi

terganggu ketika tiba-tiba ada suara bersiur.

Sebuah benda menggelinding di tanah dan di lain

kejap benda itu berubah menjadi sosok manusia

yang setengah berjongkok memandang garang

ke arahnya.

 "Putu Arka, ada apa...?"

 "Bangsat jahanam tolol! Kau masih bisa

bertanya ada apa?!" bentak Putu Arka. "Apa kau

masih tidak sadar apa yang tengah kau lakukan?!"

 "Aku....Memangnya....Bukankah kau menyuruh

aku sembunyi di tempat ini. Mengawasi kalau-kalau 

ada orang lain yang datang, jika ada orang muncul 

aku harus membunuhnya. Jika mereka lebih dari


satu aku harus memberi tanda dengan bunyi suara 

burung..."

 Darah Putu Arka seolah mau muncrat dari

ubun-ubun. Tangan kirinya bergerak mencabut

rokok yang terselip di bibir Nyoman Carik. Rokok

dibanting hingga amblas lenyap masuk ke dalam

tanah!

 "Kita tengah menghadapi pekerjaan besar.

Rahasia besar! Tanggung jawab besar! Kau

beraninya bertindak ceroboh! Merokok! Nyala api

rokok dimalam gelap akan mudah dilihat orang!

Bau kemenyan yang menyebar akan mudah tercium! 

Sungguh sembrono perbuatanmu, Nyoman Carik!"

 "Ah...." Nyoman Carik luruskan tubuhnya yang

kurus. Dua kaki yang dilipat dibuka sedikit. Orang ini 

membungkuk seraya berucap. "Mohon maafmu Putu 

Arka."

 "Aku maafkan dirimu! Tapi sesuai pesan guru

setiap kesalahan besar mati hukumannya!"

 Tangan kanan Putu Arka bergerak ke atas.

 Nyoman Carik melihat kilatan maut di kedua

mata Putu Arka.

 "Putu, jangan...."

 Tangan kanan Putu Arka menghantam laksana

palu godam.

 "Praakk!"

 Sosok malang Nyoman Carik terbanting ke

kiri. Sebelum tubuh itu terkapar di tanah Putu

Arka telah berkelebat tinggalkan tempat itu.

Sesaat kemudian dia sudah berada di samping

Wayan Japa kembali, di belakang semak belukar.

 “Sudah...." jawab Putu Arka pendek. Wajahnya

yang buruk diarahkan ke laut. Lalu dia menatap

ke langit. Masih geiap, tak kelihatan satu bintangpun.

 "Apa yang sudah?" Wayan Japa bertanya. Hatinya 

syak tidak enak.

 Aku sudah memberi pelajaran pada sahabat

kita satu itu.' Menerangkan Putu Arka.

 "Maksudmu, kan telah membunuh Nyoman

Carik?"

 "Kira-kira begitu." Putu Arka menyeringai,


“Gila kau! Jahat sekali membunuh teman sendiri!"

 "Teman tidak iagi teman namanya kalau berlaku 

sembrono yang bisa membuat kematian diriku. Juga 

kematian bagi dirimu!"

 "Hanya karena merokok?"

 "Itu cuma penyebab."

 Wayan Japa pegang lengan temannya. "Aku

tidak percaya kau telah membunuh Nyoman Carik."

 "Sahabat, kau membuatku jadi kesal. Kalau

tidak percaya pergi saja ke balik semak belukar

sana. Periksa sendiri apakah Nyoman Carik masih

hidup! Kurasa saat ini dia sudah jadi bangkai tak

berguna!"

 Wayan Japa terdiam. Dia palingkan kepala ke

arah semak belukar di kejauhan. Gelap. Tengkuknya 

terasa dingin. Hatinya menduga-duga keculasan 

sudah mulai muncul diantara mereka. Putu Arka 

telah membunuh Nyoman Carik. Kini nanya tinggal 

mereka berdua. Dalam hati Wayan Japa membatin. 

"Setelah dapatkan barang itu pasti dia juga akan 

membunuh diriku. Aku harus berlaku waspada. Aku 

harus mendahuluinya."

“Putu, bagaimana kita mempertanggung jawabkan

komatian Nyoman Carik pada guru?"

 “Soal nyawa Nyoman Carik guru tidak akan mau 

tahu. Kepadanya kita hanya mempertanggung 

jawabkan keberhasilan kita mendapatkan barang itu!

 Kembali Wayan Japa terdiam. Lalu didengarnya 

suara Putu Arka berkata.

 "Ketololan Nyoman Carik telah mengundang

orang lain ke tempat ini! Kita berada dalam

pengintaian musuh yang juga menginginkan

barang itu! Mereka tahu kita berada di sini!"

 Wayan Japa terkejut. Membuka mata lebar-

lebar, memasang telinga. Memandang berkeliling.

Dia tidak melihat apa-apa selain semak belukar

dan pepohonan dalam kegelapan. Dia juga tidak

mendengar suara lain kecuali tiupan angin dan

deburan ombak di pasir pantai.

 "Ketika aku berguling di tanah tadi, aku

sempat melihat bayangan manusia di atas pohon

sana. Sewaktu kembali ke sini sekali lagi aku


melihat. Ada dua orang di atas pohon. Mungkin

lebih tapi yang kulihat jelas hanya dua orang."

 Wayan Japa segera hendak palingkan kepala

ke arah pohon yang dimaksudkan temannya tapi

Putu Arka cepat berkata. "Jangan menoleh!

Jangan memandang ke arah pohon! Mereka

tengah mengawasi gerak-gerik kita. Pandanganmu

ke arah pohon hanya akan memberi tanda bahwa

kita sudah mengetahui kehadiran mereka. Kita

pura-pura tidak tahu tapi harus waspada! Jangan

berbuat tolol seperti Nyoman Carik!"

 "Lalu apa yang akan kita lakukan?"

 "Apa yang ada di benakmu?" balik bertanya

Putu Arka.

 "Sebelum makhluk pembawa barang muncul,

bagaimana kalau kita habisi dulu kedua orang

itu. Hingga tidak perlu repot-repot belakangan."

 "Itu namanya perbuatan sangat tolol!

Menghabiskan tenaga sebelum pekerjaan

selesai!" jawab Putu Arka pula. Setelah diam 

sebentar Putu Arka berkata. "Wayan, kau mengambil

alih tugas Nyoman Carik. Begitu makhluk pembawa 

barang muncul aku akan merampas barang dan kau 

menghadang dua masuh di atas pohon."

 "Baik Putu," jawab Wayan Japa namun hati

kecilnya kemudian berkata. "Setelah kau dapatkan

barang itu hanya ada dua kemungkinan. Kau

akan kabur, atau kau lebih dulu membunuhku."

 TAK jauh dari rumpunan semak belukar tempat

beradanya Putu Arka dan Wayan Japa. Di atas

sebatang pohon besar berdaun lebat mendekam

dua sosok berdandanan aneh. Muka tua tertutup

celemongan entah dipoles dengan apa. Mungkin

cat atau kapur. Rambut sama putih, awut-awutan

menjela punggung. Pakaian compang camping

penuh tambalan. Dari jarak sepuluh langkah

seseorang bisa mencium bagaimana tubuh

maupun pakaian kedua orang ini menebar bau

apek tidak enak. Di atas pohon keduanya


memperhatikan keadaan sekitar pantai. Rupanya

sejak lama mereka sudah melihat gerak gerik

Putu Arka dan Wayan Japa. Mereka juga telah

mengetahui keberadaan Nyoman Carik yang

sembunyi beberapa tombak di belakang sana.

 Orang tua pertama berbisik pada kawannya.

 "Kita kedahuluan, tapi belum terlambat. Aku

tidak dapat memastikan siapa tiga cecunguk itu.

Tapi hembusan asap rokok yang menebar bau

kemenyan salah seorang dari mereka mengingatkan 

aku pada tiga tokoh dari Bali. Mereka berasal dari 

Buleleng. Kalau tidak salah mereka dijuluki Tiga 

Hantu Buleleng."

 "Sakra Kalianget, mereka boleh datang duluan.

Tapi barang itu tak bakal menjadi milik mereka."

 Orang tua bernama Sakra Kalianget menyeringai 

lalu usap mukanya yang celemongan.

 "Jangan keliwat takabur sobatku Bayusongko.

Tiga Hantu Buleleng sudah punya nama di rimba

persilatan kawasan timur."

 "Aku tidak takabur. Apa lagi aku pernah dengar, 

walau terikat dalam satu kelompok, namun setiap 

mereka memiliki hati culas. Lebih suka

mementingkan diri sendiri. Lihat saja nanti, kalau 

salah seorang dari mereka dapatkan barang itu, 

ketiganya akan tega saling berbunuhan untuk

dapat menguasai."

 "Kabarnya barang itu memang tidak bisa

dimiliki lebih dari satu orang," ucap orang tua

berpakaian rombeng bernama Sakra Kalianget,

 Bayusongko menatap tajam-tajam ke mata

sahabat yang duduK di cabang pohon di atasnya.

 "Maksudmu, kaiau barang itu jatuh ke tangan

kita, salah seorang dari kita harus mati? Kau mau

membunuhku? Begitu?"

 Sakta Kalianget tutup mulutnya dengan telapak 

tangan kiri. Di balik telapak dia tertawa mengekeh 

tanpa suara.

 "Kita berdua bukan orang-orang sinting! Hal

itu tidak akan terjadi..."

 "Sukra...." Bayusongko pegang kaki temannya.

 "Pasang telingamu. Aku dengar sayup-sayup


suara dua orang di depan tengah bicara. Seperti

bertengkar. Hai, lihat...."

 Sakra Kalianget sibakkan pohon yang

menghalangi pemandangannya lalu menunjuk ke

arah rerumpunan semak belukar. Di bawah sana,

di balik semak belukar saat itu Putu Arka tampak

membaringkan badan ke tanah.

 Apa yang dilakukan manusia itu? Tidur? Gila

betul!" ucap Bayusongko. Lalu dia keluarkan

suara terkejut. "Astaga, lihat..."

 Sosok Putu Arka berguling di tanah. Pasir

beterbangan. Cepat sekali gerakan tubuh yang

menggelinding itu lewat di bawah pohon lalu

sampai di balik serumpunan semak belukar

dimana Nyoman Carik tengah sembunyi sambil

asyik-asyikan merokok.

 "Manusia tolol! Sengaja menggelinding di tanah 

agar tidak terlihat orang! Padahal keberadaan dia 

dan kawan-kawan sudah kita ketahui!"

 Diam Bayu! ujar Sakra Kalianget sambil

menampar perlahan kepala teman yang berada di

cabang pohon di sebelah bawah. "Aku mendengar

benda berderak pecah. Lalu suara tubuh jatuh ke

tanah..."

 Dari tempatnya berada di atas pohon, meski

lebih rendah dari kedudukan Sakra Kalianget

namun Bayusongko bisa melihat lebih jelas apa

yang terjadi. Dia keluarkan suara seperti mau

muntah.

 "Kenapa kamu?" tanya Sakra Kalianget.

 "Yang kau dengar adalah suara kepala pecah!

Orang yang menggelinding tadi membunuh

kawannya sendiri. Orang yang merokok! Gila!"

 "Gila tapi bagus! Berarti kekuatan mereka kini

tinggal dua orang! Lebih mudah bagi kita untuk

merampas barang itu kalau sudah ada di tangan

mereka."

 "Rupanya benar kabar yang tersiar. Tiga Hantu

Buleleng itu masing-masing berhati culas. Apapun

alasannya orang satu itu membunuh temannya.

aku yakin tujuan hati busuknya adalah untuk


mengurangi persaingan. Kelak dia bakal

membunuh temannya yang satu lagi..."

 'Bisa begitu Bayu, bisa begitu..." ucap Sakra

Kalianget pula.

 "Sakra, apa kita tetap pada siasat semula?

Membiarkan mereka mendapatkan barang itu lebih

dulu baru merampasnya?"

 "Siasat tidak berubah. Kita, siapapun, sekalipun 

memiliki kepandaian setinggi langit sedalam

lautan, tidak bakal dapat merampas barang itu.

Tiga Hantu Buleleng mampu melakukan karena

mereka punya penangkal, tahu rahasia kelemahan

makhluk yang membawa barang."

 Bayusongko mengangguk-angguk, usap-usap

dagunya yang celemongan lalu alihkan pandangan 

mata ke tengah laut. Dalam hati dia bertanya-tanya. 

Bagaimana bentuk makhluk yang akan muncul 

membawa barang itu? Lebih dari itu bagaimana 

pula ujud barang yang akan mereka rampas lalu 

diserahkan pada guru mereka di Danau Buyan di 

Buleleng?


DUA


ANGIN dari arah laut bertiup dingin mengandung 

garam. Sementara langit semakin hitam tanpa 

bintang. Laut selatan diselimuti udara gelap gulita. 

Gemuruh suara ombak yang bergulung untuk 

kemudian memecah di pasir pantai terdengar tidak 

berkeputusan. Tiba-tiba di ufuk tenggara menyambar 

kilat, seolah muncul dari dalam samudera, melesat 

ke angkasa membuat guratan seperti membelah 

langit. Untuk sesaat kawasan pantai selatan terang 

benderang oleh sambaran cahaya kilat. Di lain kejap

kegelapan kembali membungkus.

 Di balik semak belukar Putu Arka mengusap

wajah, membuka mata lebar-lebar memandang ke

tengah laut. Dia mendongak ke langit, coba

mencari bintang pertanda. Tak kelihatan satu

bintangpun. Tapi dalam hatinya tokoh silat dari

Buleleng ini punya dugaan keras. Saat menjelang

tepat tengah malam telah tiba. Makhluk pembawa

barang akan segera muncul. Dan hujan rintik-

rintik mulai turun.

 Sekali lagi kilat berkiblat. Kali ini di arah barat.

Begitu cahaya terang sirna dan kegelapan kembali

muncul, mendadak di tengah laut tampak satu

cahaya kehijauan, seolah keluar dari dasar

samudera. Secara aneh, entah apa yang terjadi,

entah kekuatan dari mana yang turun ke bumi.

tiba-tiba ombak di laut berhenti bergulung. Air

laut diam tak bergerak seperti berubah menjadi

hamparan rumput luar biasa luas. Tak ada lagi

ombak yang bergulung dan memecah di pasir

pantai. Anginpun berhenti bertiup dan hujan rintik-

rintik lenyap. Seantero kawasan pantai selatan


gelap pekat dan sunyi senyap.

 “Saatnya....saatnya sudah tiba," kata Putu Arka

dalam hati. Dadanya berdebar, wajah buruknya

tampak tegang, mata terpentang lebar, menatap

tak berkesip ke arah laut. Di belakang sana Wayan

Japa merasa tegang. Sekilas dia memandang ke

arah laut. Lalu kembali berpaling ke jurusan

semula. Sesuai tugas, dia harus mengawasi

kemunculan mendadak orang-orang yang tidak

diingini. Saat itu sepasang matanya tidak lepas

dari memperhatikan pohon besar dimana menurut

Putu Arka bersembunyi dua orang tak dikenal.

 Keheningan yang muncul mendadak membuat

semua orang yang ada di tempat itu jadi tercekat

bergidik.

 "Keanehan apa ini?! Mengapa mendadak sunyi

seperti di liang kubur! Ombak berhenti bergulung,

angin tidak bertiup dan hujan yang barusan turun

juga berhenti! Apa yang terjadi?!" Berucap

Bayusongko yang berada di atas pohon besar.

 "Saat yang ditunggu sudah tiba! Kita berada

di tepat tengah malam. Ini saat munculnya

makhluk yang membawa benda mustika itu.

Menurut petunjuk dia akan keluar dari...." Ucapan

Sakra Kalianget terputus. Dia meraba daun telinga

sebelah kiri. "Ada suara kuda berlari dari arah

timur. Menuju ke sini. Tapi....Mengapa tiba-tiba

lenyap?"

 Ada orang lain yang tahu urusan besar ini.

Kita harus lebih waspada," bisik Bayusongko.

 Di balik semak belukar Putu Arka yang

memperhatikan ke tengah laut tanpa berkesip

mendadak melihat cahaya hijau yang sejak tadi

diawasinya berubah tambah panjang dan tambah

terang. Tiba-tiba cahaya itu melesat ke atas. Air

laut laksana terbelah. Cahaya hijau keluar dari

dalam laut mengeluarkan suara bergemuruh.

Kawasan pantai bergetar, pepohonan bergoyang.

Di tepi pantai pasir berhamburan sampai setinggi

dan sejauh dua tombak. Saat itu pula air laut

kembali, bergerak. Ombak menderu bergulung ke


pantai. Angin kembali bertiup kencang dan dingin.

Lalu hujan rintik-rintik kembali turun dan dengan

cepat berubah deras. 

 Putu Arka tudungi kedua matanya dengan

tangan kiri. Tak tahan silau cahaya hijau yang

keluar dari laut. Ketika dia dapat melihat dengan

jelas, kejut tokoh silat dan Bali ini bukan alang

kepalang. Yang barusan melesat keluar dari dalam

laut disertai pancaran cahaya hijau menyilaukan

ternyata adalah sosok seekor ular besar dan

panjang berkulit hijau. Sebagian tubuhnya masih

berada didalam air laut. Luar biasanya sosok ular

ini memiliki kepala seorang nenek berambut hijau,

punya sepasang tanduk hijau serta dua mata

yang juga hijau. Dua tangannya memegang

sebuah peti kayu hitam yang diikat dengan akar

tumbuhan laut berwarna hijau. Di atas kepalanya

ada sebentuk mahkota terbuat dari batu hijau.

Keseluruhan sosok nenek ular ini, mulai dari

kepala sampai ke bawah memancarkan cahaya

hijau menyilaukan. Orang pertama dari Tiga Hantu

Buleleng ini tidak pernah menduga kalau inilah

makhluk yang akan ditemuinya.

 Dalam kejut dan ketersiapannya Putu Arka

perhatikan peti kayu hitam yang dipegang nenek

ular. "Peti itu...." katanya dalam hati. "Itu, yang

harus aku dapatkan. Makhluk itu pasti tak akan

mau menyerahkan secara suka rela. Aku harus

merampasnya. Di dalam peti pasti tersimpan

barang yang dicari. Mustika pembawa nyawa,

pemberi kehidupan baru!"

 Putu Arka usap wajah buruknya yang basah

oleh air hujan lalu bergeser ke kanan. Saatnya

dia keluar dari balik semak belukar. Gerakannya

terhenti sebentar ketika dilihatnya manusia ular

rundukkan tubuh bagian atas lalu meluncur di

atas air menuju pasir pantai. Begitu makhluk

aneh mengerikan itu sampai di atas pasir, Putu

Arka tidak menunggu lebih lama. Dia segera

melompat keluar dari balik semak belukar lalu

melesat ke tepi pasir.


"Makhluk ular kepala manusia! Serahkan peti

yang kau bawa padaku!"

 Putu Arka berteriak keras. Suaranya

menggelegar di bawah deru hujan. Tokoh silat

dari Bali ini tentu saja menyertai teriakannya tadi

dengan kekuatan tenaga dalam. Nenek ular serta

merta angkat kepala. Sepasang matanya yang

hijau memandang menyorot ke arah orang yang

barusan membentak. Tiba-tiba si nenek keluarkan

suara tertawa aneh. Ketika mulutnya terbuka

kelihatan lidah berwarna hijau, menjulur terbelah

di sebelah ujung. Makhluk bertubuh ular berkepala

manusia ini bersurut setengah tombak. Ekornya

melesat ke atas, menekuk di udara. Seperti buntut

kalajengking yang siap menyengat, membuat Putu

Arka harus berlaku hati-hati.

 "Anak manusia, siapapun kau adanya pasti

sudah lama menunggu di tempat ini. Kau begitu

sabar menantikan kematianmu. Apakah kau

sendirian atau punya teman. Suruh mereka segera

keluar agar aku tidak terlalu banyak mengha-

biskan waktu dan tenaga untuk menyingkirkan

kalian!"

 Putu Arka mengeram marah.

 "Aku meminta untuk kali kedua. Itu merupakan

kali yang terakhir! Serahkan peti kayu padaku!"

 "Kau meminta barang yang bukan hakmu!

Kau ini bangsa maling, begal atau rampok?!"

Nenek ular sehabis berucap kembali tertawa aneh.

 "Makhluk tolol! Kau lebih sayang peti itu dari

nyawamu! Lihat, apa yang ada di tanganku!"

 Dua tangan Putu Arka yang sejak tadi

dimasukkan ke balik baju hitam yang basah kuyup

melesat keluar. Dia kembangkan telapak tangan.

Di atas telapak tangan kiri terdapat sehelai daun

sirih. Di telapak tangan kanan kelihatan sebuah

Bawang putih tunggal.

 Tampang nenek ular serta merta berubah

begitu melihat sirih dan bawang putih tunggal

Tubuh ularnya mengkeret dan bersurut sampai

satu tombak.


Manusia beralis hitam putih! Katakan siapa

Kau sebenarnya?!"

 Putu Arka menyeringai. Maklum makhluk

tubuh ular kepala manusia itu kini merasa jerih

terhadapnya.

 "Aku tidak suruh kau bertanya. Aku perintahkan 

agar kau segera menyerahkan peti kayu!"

Habis berkata begitu Putu Arka lalu remas daun

sirih di tangan kiri dan bawang putih tunggal di

tangan kanan. Daun sirih dan bawang putih yang

sudah hancur kemudian dimasukkannya ke dalam

mulut, dikunyah lumat-lumat.

 "Manusia ini tahu kelemahanku' Aku harus

membunuhnya sebelum dia menyemburkan

kunyahan daun sirih dan bawang putih." Nenek

ular berkata daiam hati. Lalu sambi! surutkan

tubuh ularnya dan rundukkan kepala dia keluarkan

ucapan.

 'Aku menaruh hormat dan tunduk padamu.

Mungkin kau memang orangnya kepada siapa

aku harus menyerahkan peti kayu ini. Maafkan

kelancanganku. Harap kau sudi menerima." Nenek

ular rundukkan kepala lebih ke bawah. Dua tangan

yang memegang peti kayu diulurkan ke depan 

kearah orang yang meminta. Putu Arka tokoh silat

berpengalaman. Dia tidak bodoh. Dia mencium

gelagat yang tidak baik. Tipu daya! Dan ternyata

betul. Hanya seuluran tangan peti kayu berada di

depan Putu Arka, tiba-tiba ekor nenek ular yang

ditarik tadi menekuk di udara menghantam kearah 

kepala Putu Arka. Cahaya hijau berkiblat menyertai

serangan maut itu!

 Didahului bentakan keras Putu Arka melompat ke

samping. Ekor ular menderu dahsyat,

membongkar tanah. Pasir pantai berhamburan ke

udara di tempat itu kelihatan lobang besar

sedalam hampir setengah tombak. Dapat

dibayangkan kalau hantaman ekor ular mengenai

kepala Putu Arka.

 Begitu ioios dari serangan maut Putu Arka cepat 

melesat ke udara. Pada saat kepalanya sejajar 

dengan kepala nenek ular dia semburkan


selengah dari kunyahan daun sirih dan bawang

putih yang ada dalam mulut. Hampir bersamaan

dengan itu nenek ular sentakkan kepala.

 "Wuss! Wusss!"

 Dari sepasang mata nenek ular melesat dua

sinar hijau menggidikkan. Tapi dua larik sinar

maut itu serta merta menghambur berantakan

begitu terkena semburan kunyahan daun sirih

dan bawang putih tunggal. Nenek ular keluarkan

suara meraung panjang aneh menggidikkan.

Suara ini seperti raungan anjing namun pada

ujung raungan berubah seperti ringkikan kuda.

Kepala nenek ular terbanting ke belakang. Sekujur

tubuh ularnya bergoncang keras. Dalam keadaan

menghuyung makhluk ini buka mulutnya. Lidah

hijau terbelah dijulurkan. Memancarkan cahaya

hijau menyeramkan.

 Putu Arka yang maklum kalau lawan kembali

hendak menyerang. Dengan cepat jungkir balik di

udara. Sambil menukik dia semburkan sisa

kunyahan daun sirih dan bawang putih ke arah

kepala nenek ular. Makhluk yang belum sempat

menyemburkan racun maut dari mulutnya kembali

meraung keras. Semburan kunyahan daun sirih

dan bawang putih tepat mengenai wajahnya. Saat

itu juga kepala nenek ular kelihatan berpijar hebat,

mengepulkan asap hijau lalu seperti lilin terbakar

kepala itu leleh, berubah menjadi cairan hijau.

Luar biasa mengerikan. Dua tangan si nenek

terpentang ke udara. Menggapai-gapai. Peti kayu

yang sejak tadi dipegangnya terlepas jatuh.

 Perlahan-lahan sosok ular si nenek tersurut

dan tenggelam ke dalam laut. Putu Arka bertindak

cepat. Dua kaki dijejakkan ke pasir. Tubuhnya

melesat ke udara, menyambar kayu hitam yang

siap jatuh ke dalam laut.

 "Dapat!" Di balik semak belukar Wayan Japa

berucap gembira sambil kepalkan tangan ketika

melihat sobatnya Putu Arka berhasil menangkap

dan mendapatkan peti kayu yang terlepas jatuh

dari pegangan makhluk ular kepala manusia.


Namun pada saat yang sama, di arah belakangnya

terdengar sambaran angin. Dua makhluk aneh,

berwajah celemongan melesat turun dari pohon

besar. Musuh yang ditunggu-tunggu telah keluar

unjukkan diri. Sesuai yang sudah diatur, Wayan

Japa segera keluarkan suara siulan menyerupai

suara burung malam. !ni adalah tanda yang harus

diberikannya pada Putu Arka.

 Putu Arka sempat mendengar suara siulan

pertanda yang diberikan Wayan Japa. Tapi seperti

yang sudah diduga, keculasan pada masing-

masing Tiga Hantu Buleleng ini menjadi kenyataan. 

Bukannya datang untuk membantu sahabatnya, 

malah sambil menyeringai Putu Arka berbalik kabur 

ke arah barat membawa peti kayu. Dia tidak 

menyadari justru pada saat yang hampir bersamaan 

dari arah berlawanan terdengar derap kaki kuda 

mendatangi.

 SEBELUM turun dari atas pohon besar, Sakra

Kalianget berkata pada temannya. 'Bayusongko,

kau serang si penghadang. Aku mengejar orang

yang melarikan peti kayu!"

 Dua tokoh silat dari Madura itu segera

berkelebat turun dari atas pohon sambil hunus

senjata masing-masing yakni sebilah clurit terbuat

dari besi biru dilapisi emas. Sakra Kalianget 

langsung mengejar Putu Arka sedang Bayusongko

menyerbu ke arah Wayan Japa yang memang

bertindak sebagai penghadang.

 Begitu saling berhadapan Bayusongko tenang-

tenang saja melintangkan clurit emas di depan

dada. Sementara Wayan Japa tidak dapat

menyembunyikan rasa kaget ketika melihat siapa

yang berdiri di hadapannya dan siap menyerbu.

Namun dia cepat menguasai diri dan merubah

sikap.

 "Owalah!" ucap Wayan Japa. "Lihat siapa yang

jual tampang di hadapanku! Muka celemongan,

pakaian rombeng penuh tambalan, menebar bau

busuk. Bersenjata clurit emas! Siapa lagi kalau


bukan tua bangka berjuluk Pengemis Clurit Emas

dari Madura!"

 Disapa orang begitu rupa Bayusongko tertawa

mengekeh.

 "Malam begini gelap, hujan pula! Tidak sangka

orang masih mengenali diriku! Rupanya aku

memang sudah jadi tokoh kesohor! Ha...ha...ha!"

 "Tunggu! Jangan buru-buru berucap sombong!" 

Hardik Wayan Japa. "Biasanya Pengemis Clurit 

Emas selalu muncul berdua. Mana temanmu? Apa 

lagi mengemis di tempat lain? Ha...ha...ha!"

 "Apa perduiimu dimana temanku!' jawab

Bayusongko lalu keluarkan suara mendengus.

 Wayan Japa maklum kalau ejekannya membuat 

lawan mulai marah. Maka dia kembali keluarkan 

ucapan.

 "Malam-malam buta begini. Di tempat sepi.

Ketika cuaca begini buruk! Aneh kalau kau

muncul untuk mengemis! Sendirian pula!"

 Bayusongko menahan amarahnya. Batuk-batuk 

lalu tertawa gelak-gelak.

 Kalau mengemis nyawa manusia waktunya

tidak perlu diatur, Malam-malam seperti ini

memang paling tepat untuk minta nyawa orang.

Berbarangan dengan kehadiran setan laut yang

pasti banyak gentayangan di sekitar sini!

Ha...ha. .ha!"

 "Tolol sekali!" tukas Wayan Japa. "Senjata

saja terbuat dari emas. Masih mau mengemis!

Jua! saja cluritmu kalau tidak punya uang! Aku

sering mendengar kabar. Banyak pengemis yang

sebenarnya kaya raya. Di kampung punya tiga

rumah dan tiga istri! Kau pasti termasuk pengemis

macam begituan!"

 "Ah, rupanya Pengemis Clurit Emas memang

sudah tersohor. Sampai-sampai kau tahu keadaan

diriku! Hai, kalau aku mau menjual clurit ini, apa

kau mau membeli?!"

 "Siapa sudi!" jawab Wayan Japa lalu meludah

ke tanah.

 "Kalau begitu biar clurit ini aku berikan cuma-

cuma padamu!" kata Bayusongko pula lal


menerjang ke depan sambil babatkan senjatanya.

Sinar terang kuning berkiblat dalam gelapnya

udara dan curahan hujan lebat.

 Wayan Japa cepat menyingkir selamatkan diri.

Sinar kuning clurit emas membabat udara kosong.

Curahan air hujan seolah tertahan. Dari sambaran

angin yang menggetarkan pakaian dan tubuhnya

Wayan Japa maklum, bukan saja senjata di tangan

lawan merupakan senjata berbahaya tapi yang

melancarkan serangan juga memiliki tenaga dalam

tinggi.

 Sambil melompat mundur mengelak serangan

orang Wayan Japa cepat loloskan destar hitam di

kepala. Destar yang basah oleh air hujan diperas

dulu, lalu ditarik, direntang dan diurut-urut. Sesaat

saja destar hitam itu telah berubah menjadi keras

dan lurus. Destar dibolang baling mengeluarkan

suara bersiuran. Luar biasa, destar yang terbuat

dari kain itu kini berubah menjadi sebatang

tongkat sepanjang lima jengkal.

 Bayusongko tertawa bergelak.

 "Hantu Dari Buleleng yang katanya punya

nama besar di rimba persilatan ternyata cuma

punya senjata butut! Kau akan mampus lebih

cepat kalau hanya mengandalkan destar bau

tengik itu!" ejek Bayusongko.

 "Jangan banyak mulut! Terima kematianmu!"

kertak Wayan Japa. Lalu orang kedua dari Tiga

Hantu Buleleng ini menerjang lancarkan erangan

dalam jurus bernama Tongkat Hantu menghidang

Iblis.

 Seolah mengejek dan memandang rendah

lawan, Bayusongko sengaja tegak diam menung-

gu datangnya serangan Wayan Japa.


TIGA


SIKAP memandang enteng senjata dan serangan 

lawan serta merta berubah jadi keterkejutan besar. 

Malah Bayusongko sampai-sampai keluarkan seruan 

tertahan. Destar hitam di tangan Wayan Japa 

laksana seekor ular bisa berubah lentur. Laksana 

seekor ular mematuk kian kemari, menyerang tiga 

bagian tubuh Bayusongko dalam satu gebrakan! 

Untuk mengelakkan hantaman ujung destar yang

mengarah ke bagian dada, perut dan betisnya

Bayusongko dipaksa berkelebat dan berjingkrak

kian kemari. Untung saja orang tokoh silat dari

Madura ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang

sudah mencapai tingkatan tinggi. Dia mampu

selamatkan diri dari tiga kali hantaman senjata

lawan.

 Bayusongko menggeram dalam hati. Baru

jurus pertama lawan mampu membuatnya

kelabakan begitu rupa. Hatinya jadi panas ketika

Wayan Japa keluarkan ucapan.

 "Ha...ha! Aku tidak sangka pengemis bisa

berubah jadi monyet! Jingkrak sana jingkrak sini!"

 "Umur tinggal sejengkal! Masih mau bicara

sombong!" hardik Bayusongko pula. "Lihat clurit!"

 Bayusongko membuat satu terjangan. Dua

kaki melesat di atas tanah. Tubuh meliuk aneh.

Clurit emas diputar di atas kepala, lalu menukik

dalam bentuk serangan ke arah pinggang lawan.

Ketika Wayan Japa mundur dua langkah untuk

elakkan sambaran clurit, tubuh Bayusongko yang

masih mengapung di udara kembali membuat

liukan aneh dan settt! Clurit emas tahu-tahu

membabat ke arah leher Wayan Japa!


Sambil surutkan kaki kiri ke belakang dan

kepala dirundukkan, Wayan Japa sambut

serangan orang dengan jurus Tongkat Hantu

Menutup Pintu Akhirat. Destar hitam berkelebat

searah perut lawan yang tidak terjaga,, membuat

kakek bernama Bayusongko terpaksa lentingkan

tubuh ke belakang dan begitu berhasil selamatkan

perutnya dari sambaran destar dia teruskan

babatan clurit ke arah leher lawan.

 Jurus Tongkat Hantu Menutup Pintu Akhirat

yang dimainkan orang kedua dari Tiga Hantu

Buleleng ini bukan satu jurus kosong. Ujung

destar yang telah berubah menjadi sebatang

tongkat luar biasa ampuhnya, berkelebat di udara.

Ujung atas melintang di depan leher, ujung bawah

menohok ke arah perut lawan!

 "Trangg!"

 Tongkat destar beradu dengan clurit emas,

mengeluarkan suara berkerontangan seolah dua

logam atos saling bentrokan di udara! Bunga api

memercik. Destar mengeluarkan cahaya hitam

sedang clurit menebar percikan cahaya kuning

benderang.

 Bentrokan senjata membuat tangan pengemis

tua Bayusongko yang memegang clurit tergetar

keras. Ini sudah cukup membuat tokoh silat dari

Madura ini jadi terkejut. Dia tidak menyangka

lawan memiliki kekuatan tenaga begitu besar serta

senjata aneh yang tak bisa dianggap enteng. Dan

belum habis kejutnya tiba-tiba bagian bawah

tongkat lawan menderu ke arah perutnya!

 "Bukkk!"

 "Hueekk!"

 Bayusongko mengeluh tinggi dan muntahkan

darah segar. Tubuhnya terlipat ke depan. Tangan

kiri meraba perut karena mengira perut itu sudah

jebol dihantam tongkat yang terbuat dari destar

tapi kerasnya tidak beda dengan pentungan besi!

Ketika dia hendak mengusap darah yang 

membasahi mulutnya, tiba-tiba tongkat di tangan

Wayan Japa kembali menderu. Kali ini dalam

gerakan mengemplang ke arah batok kepala si

pengemis yang berdiri setengah terbungkuk

karena menahan sakit pada perutnya dan tengah

menyeka darah di mulut.

 Untungnya Bayusongko masih sempat melihat

serangan maut itu. Secepat kilat dia jatuhkan diri

ke tanah. Sambil berguling dia babatkan clurit

emas ke arah dua kaki Wayan Japa. Tanpa

menggeser kedudukan kedua kakinya, Wayan

Japa tusukkan tongkat ke bawah. Senjata itu

menancap di tanah tepat pada saat clurit emas

datang membabat.

 Untuk kedua kalinya dua senjata saling

bentrokan dan untuk kedua kalinya pula bunga

api hitam dan kuning memercik di udara gelap.

Wayan Japa cepat tarik tongkat tapi alangkah

terkejutnya anggota Tiga Hantu Buleleng ini ketika

dapatkan walau telah mengerahkan tenaga sekuat

apapun, malah mempergunakan dua tangan

sekaligus, dia tidak mampu mencabut tongkat

yang menancap di tanah itu!

 "Celaka! Apa yang terjadi?!" Sepasang mata

Wayan Japa mendelik besar. Clurit emas senjata

lawan dilihatnya melingkar pada badan tongkat.

Ujungnya yang tajam dan bagian gagang tidak

kelihatan karena terpendam ke dalam tanah!

"Clurit...clurit itu mengunci senjataku!" Wayan

Japa pentang matanya ke arah Bayusongko yang

saat itu telah tegak berdiri. Mukanya yang

celemongan tambak tak karuan oleh darah yang

membasahi mulut dan dagunya.

 Kakek bermuka celemongan itu berdiri itu

sambil tertawa mengekeh dan usap-usap dua

tangannya satu sama lain. Tiba-tiba entah dari

mana munculnya tahu-tahu dalam dua tangan

Bayusongko telah tergenggam dua buah clurit

kecil. Dua senjata ini kelihatan aneh karena hanya

gagangnya yang tampak jelas sedang bagian yang

tajam dan runcing hampir tidak membekas di

dalam kegelapan.

 "Clurit Hantu!"

 Wayan Japa keluarkan seruan tertahan


Tampangnya berubah. Jelas ketakutan amat

Hangat.

 Si pengemis tua Bayusongko tertawa

mengekeh.

 "Bagus sekali! Kau mengenali sepasang clurit

gaib ini! Pertanda kau sadar bahwa kematian

sudah di depan hidung! Ha...ha...ha!" Pengemis

tua itu tertawa bergelak. Begitu tawa lenyap dua

tangan yang memegang clurit kecil yang

disebutnya sebagai clurit goib bergerak berputar.

 "Seettt!"

 "Seettt!"

 Dua clurit aneh yang hanya kelihatan

gagangnya saja melesat ke arah Wayan Japa.

Tokoh dari Bali ini hanya sempat melihat clurit

hantu yang menyerang ke arah lehernya. Dia

cepat menyingkir ke kiri sambil lepaskan satu

pukulan tangan kosong berkekuatan tenaga dalam

penuh. Meskipun Wayan Japa berhasil memukul

mental clurit pertama namun dia tidak mampu

melihat kelebatan datangnya clurit hantu kedua.

 Raungan menggelegar dari mulut orang kedua

Tiga Hantu Buleleng ini ketika clurit hantu kedua

menancap tepat di mata kirinya. Sosok Wayan

Japa terhuyung ke belakang. Tangan kiri

menggapai udara kosong. Tangan kanan bergerak

ke arah mata, berusaha mencabut clurit hantu

yang menancap di mata itu. Tapi belum sempat

menyentuh, mendadak sekujur tubuh Wayan Japa

berubah dingin dan kaku. Dia hanya sempat

keluarkan keluhan pendek lalu sosoknya

terbanting ke tanah tak bergerak lagi. Dalam gelap

sekujur kulit tubuhnya kelihatan membiru. Itulah

akibat racun sangat jahat yang ada pada clurit

hantu. Jangankan manusia, makhluk sebesar

gajahpun mampu terbunuh oleh racun ini dalam

sekejapan mata! Ternyata Hantu Buleleng tidak

sanggup menghadapi clurit hantu alias clurit goib!

 Pengemis muka celemongan Bayusongko

menyeringai sambil usap-usap dua tangan. Secara


aneh, dua clurit hantu telah berada dalam 

tangannya kembali. Orang tua ini masih terbungkuk

menahan sakit pada perutnya kemudian

melangkah mendekati tongkat milik Wayan Japa

yang kini telah berubah ke bentuknya semula

yaitu selembar kain ikat kepala dan melingkar di

tanah. Bayusongko cabut clurit emas miliknya

yang terpendam di tanah di samping destar hitam.

Kepala pengemis tua muka celemongan ini

terdongak ketika dari arah pantai terdengar suara

jeritan orang. Dia mengenali. Itu adalah suara

jeritan sahabatnya, Sakra Kalianget, orang

pertama dari Pengemis Clurit Emas.

 KEMBALI kepada Putu Arka. Seperti dituturkan

sebelumnya orang pertama dari Tiga Hantu

Buleleng ini berhasil menghancurkan makhluk

ular berkepala manusia yang keluar dari dalam

lautan membawa sebuah peti kayu berwarna

hitam. Begitu peti berada di tangannya Putu Arka

segera kabur ke arah barat. Dia tidak perdulikan

suara suitan tanda yang diberikan sahabatnya

Wayan Japa. Dia seperti tidak mendengar suara

derap kaki kuda banyak sekali datang dari arah

timur. Yang penting dia sudah dapatkan peti berisi

benda maha sakti tiada duanya di dunia dan harus 

menyelamatkannya.

 Namun belum sampai berlari dua puluh

langkah, tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat

di depan Putu Arka. Cepat Putu Arka tahan lari

kemana gerakan orang jelas menghadang dirinya.

Memandang ke depan, Putu Arka jadi melengak.

Lnam langkah di hadapannya tegak bertolak

pinggang seorang kakek bermuka celemongan,

rambut putih panjang awut-awutan. Berpakaian

rombeng penuh tambalan. Dari keadaan serta

pakaian orang, Putu Arka segera maklum, dengan

siapa dia berhadapan saat itu.

 Sakra Kalianget! Orang pertama Pengemis

Clurit Emas. Gerangan apa kau muncul di malam


buta sepertinya sengaja menghadang jalanku?!"

 “Putu Arka, jangan pura-pura berbasa-basi.

Serahkan peti yang kau pegang padaku! Sekarang! 

Cepat!"

 “Ah” Putu Arka mundur satu langkah. "Aku

memang barusan merampas barang ini dari orang

lain. Tapi aku tahu betul peti dan benda isi di 

dalamnya bukanlah milikmu! Mengapa aku merasa 

perlu menyerahkan kepadamu!"

 Sakra Kalianget tertawa bergelak. Rangkapkan

dua tangan diatas baju rombengnya lalu berkata.

“Kali pertama aku hanya meminta peti itu. Kali

kedua aku meminta berikut nyawamu! Terserah

kau mau memberikan yang mana!"

 Sesaal Putu Arka terdiam. Otaknya bekerja.

Dia cukup tahu riwayat kakek muka angker

celemongan bernama Sakra Kalianget ini.

Bersama seorang kakek lainnya bernama

Bayusongko di rimba persilatan tanah Jawa

kawasan timur dia dikenal dengan julukan

Pengemis Clurit Emas. Mereka selalu muncul

berdua. Mana yang satunya? Tadi dia mendengar

jerit raungan Wayan Japa. Dia tidak perlu

menyelidik. Saat ini Wayan Japa pasti sudah

menemui ajal. Pembunuhnya? Besar dugaan si

pembunuh adalah Pengemis Clurit Emas yang

bernama Bayusongko. Menghadapi manusia satu

ini saja cukup sulit. Apa lagi kalau sampai

temannya muncul membantu.

 "Sakra Kalianget, aku tidak mau membuang-

buang waktu berurusan dengan manusia

pengemis sepertimu. Tunggu saja sampai siang.

Pergi ke pasar dan mengemis di sana! Jangan

mencampuri urusan orang!"

 Sakra Kalianget kembali tertawa.

 "Urusan yang kau hadapi bukan urusan dirimu

sendiri. Tapi adalah urusan para tokoh rimba

persilatan!" Ucap jago tua dari Madura itu.

 Dengar, aku akan mengampuni selembar

nyawamu, kalau kau tidak terlalu bodoh mau

menyerahkan peti kayu hitam padaku!"

 "Jahanam!" maki Putu Arka dalam hati. "Mati


hidup peti ini akan aku pertahankan!" Lalu dia

keluarkan ucapan. "Pengemis kesasar! Kalau kau

inginkan peti ini silahkan mengambil sendiri!"

 "Bodoh sekali! Berani menantang Pengemis

Clurit Emas dari Madura!" kata Sakra Kalianget

sambil menyeringai. Begitu selesai bicara kakek

pengemis ini keluarkan clurit emasnya dan

langsung menyerang Putu Arka. Perkelahian

hobat segera pecah. Putu Arka segera terdesak

begitu memasuki jurus kedua. Sebabnya dia

terpaksa berkelahi sambil satu tangan memegang

peti kayu. Seperti Wayan Japa tadi dia loloskan

destar hitam yang terikat di kepala. Kalau Wayan

Japa terlebih dulu harus menarik dan mengurut-

urut destar itu, lain halnya dengan Putu Arka.

Karena kesaktiannya jauh lebih tinggi dari Wayan

Japa, maka sekali kain hitam itu disentakkan,

serta merta berubah menjadi sebatang tongkat

seatos besi!

 Ternyata ilmu silat yang dimiliki Putu Arka

setingkat lebih tinggi dari Sakra Kalianget. Walau

di awal jurus perkelahian dia kena didesak, namun

setelah keluarkan jurus-jurus andalannya, Putu

Arka berhasil mengimbangi serangan lawan malah

sesekali membuat serangan balasan yang

mematikan.

 Kesal karena tidak bisa menembus pertahanan

lawan Sakra Kalianget dengan cerdik alihkan

sasaran serangannya. Kini cluritnya dipakai untuk

menghantam ke arah peti hitam yang dikepit Putu

Arka di tangan kiri. Satu kali clurit emas berhasil

membabat sudut kiri atas peti kayu hingga

gompal. Untung peti itu cukup tebal hingga isi di

dalamnya masih terlindung. Namun keberhasilan

merusak peti harus ditebus cukup mahal oleh

Sakra Kalianget. Karena di saat pertahanan Sakra

terbuka. Putu Arka berhasil susupkan tongkatnya

ke dada kiri lawan.

 "Kraakk!"

 Salah satu tulang iga Sakra Kalianget berderak

patah. Orang ini menjerit kesakitan. Jeritan inilah


yang kemudian didengar oleh pengemis Bayusongko 

yang baru saja berhasil membunuh Wayan Japa.

 "Jahanam Putu Arka! Kau memang minta

mampus! Sekarang tidak ada lagi pengampunan

bagi dirimu!" Sakra Kalianget lemparkan clurit

emas di tangan kanan ke arah Putu Arka.

Demikian cepatnya lemparan ini, Putu Arka hanya

mampu pergunakan peti kayu untuk melindungi

diri. Clurit emas menancap di peti. Putu Arka

tidak perdulikan. Dia lebih memperhatikan

keadaan lawan. Sementara Sakra Kalianget

kesakitan, Putu Arka melihat kesempatan untuk

menghabisinya. Dengan satu lompatan kilat Putu

Arka kirimkan serangan tongkat dalam jurus

Tongkat Hantu Memburu Iblis.

 Tongkat yang terbuat dari kain ikat kepala itu,

yang kemudian berubah sekeras besi, kini

berubah lagi laksana sebilah pedang tipis,

bergetar keras memancarkan cahaya hitam.

 Orang lain mungkin segera menangkis atau

bergerak cari selamat. Senjata di tangan lawan

bergetar demikian rupa hingga sulit diduga arah

mana yang dituju sebagai sasaran. Tapi luar

biasanya Sakra Kalianget tegak tenang-tenang

saja. Pasti ada yang diandalkannya. Memang

benar, ternyata dia berdiri sambil mengusap dua

tangan satu sama lain. Di lain kejap dua tangan

itu telah menggenggam dua bilah clurit yang

dalam gelap hanya terlihat gagangnya. Clurit

hantu alias Clurit goib!

 Gerakan Putu Arka sesaat jadi tertahan begitu

matanya memperhatikan benda apa yang ada

dalam pegangan tangan kiri kanan lawan. Dia

belum pernah melihat senjata angker itu, hanya

banyak mendengar cerita,keganasannya saja. Tapi

dia maklum yang tengah dipegang Sakra

Kalianget adalah sepasang clurit hantu yang telah

banyak membuat geger rimba persilatan tanah

Jawa bagian timur.

 "Jadi benar berita yang tersiar. Bangsat ini

memang punya sepasang clurit hantu! Aku harus

cepat membentengi diri dan kabur dari tempat


ini!" Didahului bentakan keras, sosok Putu Arka

berputar seperti gasing dan melesat ke udara. Di

saat yang sama Sakra Kalianget gerakkan dua

tangan yang memegang clurit hantu. Tapi belum

sempat dua senjata maut itu lepas dari tangannya

tiba-tiba di arah kiri belakang terdengar orang

berseru.

 "Sakra! Biar aku yang menghabisi bangsat

itu! Kau cepat menangkap peti begitu lepas dari

tangannya!"

 Sakra Kalianget kenali suara orang yang

berteriak. Suara Bayusongko sahabatnya. Selagi

dia meragu apakah akan meneruskan 

melemparkan clurit hantu ke arah Putu Arka, dari 

tempat gelap si kakek Bayusongko muncul dan 

langsung saja melemparkan dua clurit hantu yang 

telah tergenggam di tangannya kiri kanan.

 "Bettt!"

 "Bettt!"

 Putu Arka yang tadinya bersiap untuk

selamatkan diri dari clurit hantu yang hendak

dilemparkan Sakra Kalianget tentu saja jadi

terkejut besar dan tidak menduga kalau bakalan

ada serangan yang sama dari arah lain. Apa lagi

saat itu dia tengah bergerak untuk mengeluarkan

sebuah benda yang jika dipecahkan akan sanggup

membentengi dirinya dari serangan lawan. Namun

sebelum sempat benda itu diambilnya, apa lagi

saat itu dia masih memegang tongkat, tahu-tahu

sebuah benda menancap di bahu kirinya.

 "Clurit Hantu!" seru Putu Arka. Sekujur tubuhnya 

mendadak sontak menjadi dingin. Tidak pikir lebih 

lama, begitu dua kakinya menjejak tanah, Putu Arka 

segera buang tongkat di tangan kanan. Lalu dengan 

tangan itu dia membetot kuat-kuat lengan kirinya.

 Terjadilah hal yang mengerikan!

 Putu Arka menarik tanggal tangan kirinya yang

ditancapi clurit hantu pada bagian bahu. Tangan

ini tanggal mulai sebatas persendian bahu ke

bawah! Memang hanya inilah satu-satunya jalan

untuk menyelamatkan diri dari kematian akibat

racun clurit hantu atau clurit goib yang luar biasa


ganasnya. Sehabis menarik tanggal tangannya

sendiri, Putu Arka jatuh terjengkang di tanah.

Peti kayu hitam telah lebih dulu lepas dari kepitan

dan jatuh. Putu Arka gulingkan diri, masih

berusaha untuk menjangkau peti itu dengan

tangan kanan. Namun dia kalah cepat. Seseorang

berkelebat mengambil peti!

 Bukan Putu Arka saja yang terkejut atas

serangan yang dilancarkan secara mendadak oleh

pengemis Bayusongko. Sakra Kalianget juga

ikutan kaget malah sampai keluarkan seruan

keras. Salah satu dari dua clurit hantu yang

dilemparkan Bayusongko menancap di lehernya.

Sakra Kalianget keluarkan suara seperti orang

digorok. Rasa terkejut luar biasa dan disusul

dengan, kemarahan besar membuat dia lupa

bertindak. Clurit hantu dibiarkan menancap di

leher sementara mulutnya keluarkan sumpah

serapah. Sebenarnya memang tak ada yang bisa

dilakukan Sakra Kalianget. Dia tidak mungkin

menanggalkan lehernya seperti yang dilakukan

Putu Arka menanggalkan tangan kirinya.

 "Jahanam Bayusongko! Kau sengaja 

membunuhku! Kau inginkan peti itu untuk dirimu

sendiri! Jahanam laknat! Terkutuk kau!"

 Si tua muka celemongan Bayusongko batuk-batuk. 

Seka darah yang meleleh di bibirnya dan menjawab 

ucapan orang.

 "Kau telah lebih dulu mengkhianati kelompok

kita! Pertama kau meyingkirkan Nyoman Carik

dongan alasan yang dicari-cari. Tadi waktu

dapatkan peti ini kau langsung bertindak kabur!

Untung masih tertahan oleh hadangan Putu Arka!

Bukan begitu ceritanya?!"

 "Jahanam keparat! Serahkan peti itu padaku!"

teriak Sakra Kalianget seraya melotot memandang

ke arah peti kayu hitam yang kini dipegang oleh

Bayusongko. Namun heekkk! Dari tenggorokan

Sakra Kalianget terdengar suara tersedak. Itulah

suara tarikan nafasnya yang terakhir kali.


Sosoknya mendadak dingin lalu terjungkal di tanah. 

Sekujur kulit tubuhnya berubah kebiru-biru akibat 

racun ganas clurit hantu.

 Bayusongko tertawa mengekeh. Dia kepit peti kayu 

di tangan kiri. Dua tangan diusap-usapkan. Dua 

clurit hantu yang tadi dipakainya untuk menyerang 

orang pertama Tiga Hantu Buleleng dan kawannya 

sendiri yaitu Sakra Kalianget, secara aneh berada 

kembali dalam genggamannya.

 "Pengemis culas! Kembalikan peti itu padaku!

Itu milikku!"

 Bayusongko putar tubuh. Memperhatikan orang 

yang barusan memakinya. Orang itu adalah Putu 

Arka yang masih terguling di tanah, berusaha duduk.

 "Aha! Orang pertama Tiga Hantu Buleleng!

Belum mati kau! Kau benar-benar inginkan peti

ini rupanya! Aku tidak tega melihat keadaanmu.

Biar kuberikan padamu! Ambillah!"

 Bayusongko melangkah mendekati Putu Arka.

Tersenyum dan membungkuk. Ulurkan dua tangan

yang memegang peti seolah benar-benar hendak

menyerahkan. Tapi begitu Putu Arka duduk dan

ulurkan tangan untuk mengambil peti tiba-tiba

Bayusongko tendangkan kaki kanannya.

 "Bukkk!"

 Darah menyembur dari mulut Putu Arka

bersama jerit kesakitan. Tubuhnya mencelat mental, 

terkapar tak berkutik di tepi pasir. Entah mati

entah pingsan.

 "Manusia tolol!" ucap pengemis Bayusongko.

Lalu putar tubuh, hendak tinggalkan tempat itu

sambil menyeringai dan kempit erat-erat peti kayu

hitam di tangan kanan. Namun gerak berputar

kakek pengemis ini serta merta tertahan, seringai

di wajahnya yang celemongan mendadak lenyap

seperti direnggut setan ketika tiba-tiba tempat itu

telah dikurung oleh enam orang penunggang

kuda. Salah seorang dari mereka berseru.

 "Atas nama Kerajaan harap peti kayu hitam

diserahkan kepada kami



EMPAT


BAYUSOKO sejenak jadi tertegun dalam

keterkejutan. Namun kakek pengemis ini dengan 

cepat membaca keadaan. Sorotan matanya 

memandang tajam pada enam orang berkuda yang 

mengurung. Dia juga memperhatikan binatang 

tunggangan ke enam orang itu.

 "Kuda mereka besar-besar. Pelana bagus.

Hiasan di leher kuda dan bentuk tapal kuda

menunjukkan tunggangan mereka memang kuda-

kuda Kerajaan. Lalu pakaian yang mereka

kenakan. Dua berpakaian sebagai Perwira Tinggi.

Tiga orang mungkin pengawal. Orang keenam

berpakaian paling bagus. Jabatannya pasti lebih

tinggi dari dua perwira. Tapi mengapa mereka

semua menutupi wajah masing-masing dengan

sehelai kain hitam?"

 "Pengemis tua! Apa kau tuli tidak mendengar

perintah kami?!" Salah satu dari dua orang

berpakaian Perwira Tinggi menghardik.

 Bayusongko merasa tanah yang dipijaknya

bergetar. Pertanda sang perwira memiliki tenaga

cukup hebat.

 "Kami orang-orang Kerajaan! Lekas serahkan

peti kayu itu pada kami!" Perwira Tinggi kedua

ikut membentak malah majukan kuda dua langkah.

 Bayusongko perkencang kepitan peti kayu di

tangan kiri lalu cepat-cepat membungkuk. Mulut-

nya berucap hormat.

 "Harap maafkan kalau aku, si tua bangka ini

tidak segera menunjukkan sikap hormat. Aku

kaget..."

 "Sekarang kagetmu sudah lenyap. Lekas

serahkan peti itu!" Perwira kedua kembali majukan 

kudanya mendekati Bayusongko.

 Si kakek lagi-lagi membungkuk hormat. Dia

batuk-batuk beberapa kali lalu berkata. "Hormatku


untuk kalian berenam yang mengaku orang-orang 

Kerajaan. Kalau boleh bertanya mengapa kalian 

semua menutupi wajah dengan cadar hitam?"

 "Angin malam begini dingin. Banyak nyamuk.

Apa tidak boleh kami melindungi wajah?" Perwira

Tinggi pertama yang menjawab.

 Bayusongko tersenyum. Angguk-anggukkan

kepala. Peti kayu yang masih ditancapi clurit emas 

milik Sakra Kalianget ditimang-timangnya beberapa 

kali.

 "Aku percaya, aku percaya..." kata si kakek

pula. "Kalian orang-orang Kerajaan memang

harus menjaga kesehatan. Di perjalanan bukan

cuma nyamuk dan dinginnya udara yang bisa

dltemui. Bisa juga bertemu harimau buas yang siap 

menggerogot leher kalian. Atau ular yang

mematuk pantat kalian? Ha...ha...ha! Aneh, kalau

orang-orang Kerajaan yang katanya terkenal

hal Ilmu kepandaian tinggi takut pada angin dan

nyamuk! Seorang tua puteri saja kalaupun berada

itt tumpat ini kurasa tidak akan menutupi wajahnya

dengan cadar. Kecuali wajah itu penyok

hidungnya, alis cuma sebelah, mata picek, kuping

mamplung atau bopengan..."

 "Pengemis tua ini terlalu banyak mulut!" Untuk

pertama kalinya penunggang kuda berpakaian

paling bagus keluarkan ucapan. Lalu memerintah.

Bunuh dia! Ambil peti kayu hitam!"

 Tiga penumpang kuda berpakaian seperti

pengawal segera melompat dari kuda masing-

masing. Tiga pedang dihunus keluar dari 

sarungnya. Di lain kejap tiga senjata maut membabat

ke arah kepala, dada dan pinggang si kakek

pengemis bermuka cemong. Rombongan 

orangorang yang mengaku dari Kerajaan itu tidak 

begitu mengetahui siapa adanya Bayusongko. 

Mereka menganggap si kakek seorang tua renta 

yang punya sedikit ilmu dan merampok peti yang

mereka juga inginkan. Namun semuanya jadi

tersentak ketika Bayusongko cabut clurit emas

yang menancap di peti kayu hitam. Lalu 

menghamburlah cahaya kuning di kegelapan 

malam.

 Tiga kali terdengar suara bedentrangan


disertai percikan bunga api. Dua orang penyerang

Bayusongko roboh ke tanah dengan leher dan

dada muncratkan dada segar akibat dimakan

ujung clurit emas. Pengawal ke tiga masih berdiri

tegak, tapi kemudian menjerit keras ketika melihat

dan sadar bagaimana tangan kanannya telah

buntung di pergelangan dan darah menyembur

deras! kakek pengemis telah keluarkan jurus

Memapas Rembulan Membelah Matahari untuk

menyikat tiga penyerang.

 Diam-diam dua orang berpakaian sebagai

Perwira Tinggi Kerajaan leletkan lidah. Mereka

kini sadar kalau yang dihadapi bukanlah pengemis

tua renta biasa. Tapi seorang berkepandaian

tinggi. Karena tiga teman mereka yang barusan

tewas rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi.

Dan si orang tua hanya butuhkan satu jurus saja

untuk merobohkan mereka.

 Kalian berdua! Tunggu apa! Lekas bunuh

pengemis jahanam itu!" Penunggang kuda

berpakaian bagus berteriak marah. Tidak menunggu 

lebih lama dua penunggang kuda segera

melayang turun dari kuda masing-masing dan

menyerbu Bayusongko dengan hanya 

mengandalkan tangan kosong.

 Walau tidak bersenjata apa-apa tapi ilmu silat

dua perwira yang bercadar itu ternyata sangat

tinggi. Dalam beberapa gebrakan saja Bayusongko 

segera terdesak. Perwira Tinggi pertama

menggempur kakek itu dari segala jurusan

sementara kawannya lebih memusatkan pada

upaya untuk merampas peti.

 Kakek pengemis muka celemongan dari

Madura menggeram dalam hati. Kalau terus

seperti itu, satu kali hantaman tangan dua lawan

pasti akan sempat menghajarnya atau peti kayu

hitam akan kena dirampas orang. Dia putar clurit

emas di tangan kanan dengan sebat. Bukan saja

senjata itu lenyap berubah jadi cahaya kuning.

Tapi cahaya kuning itu juga membuat tubuhnya

lenyap seolah terbungkus. Dua Perwira Tinggi

Kerajaan untuk beberapa ketika jadi bingung.

Melihat hal ini, orang berpakaian bagus yang


masih duduk di atas pelana kuda berteriak.

 "Serang dengan jurus Barat Timur - Utara

Selatan Membongkar Nyawal"

 Begitu mendengar teriakan, dua Perwira Tinggi

yang mengeroyok si kakek pengemis sama-sama

keluarkan seruan keras. Lalu tubuh mereka seperti

lenyap. Si kakek hanya melihat bayang-bayang

berputar cepat disusul dengan datangnya

hantaman bertubi-tubi dari depan, belakang,

samping kiri dan samping kanan. Badai serangan

itu mendera terus sampai tiga jurus dimuka. Jurus

berikutnya satu jotosan keras mendarat di dada

kiri si kakek. Membuat orang tua ini melintir.

Sakit yang dideritanya bukan alang kepalang.

Separuh tubuhnya sebelah atas laksana hancur.

Namun dia masih bisa mempertahankan peti kayu

hitam di kepitan tangan kiri. Dalam keadaan

terpuntir seperti itu Perwira Tinggi yang ada di

sebelah kiri sempat pula melancarkan serangan

yang menghantam perut Bayusongko, tepat di

bagian mana sebelumnya kena disodok tongkat

destar Wayan Japa. Luka dalam yang masih

terkuak membuat darah kembali menyembur dari

mulut si kakek.

 "Kalau tidak segera kubunuh, aku bisa

celaka!" Si kakek maklum keadaannya mulai

gawat. Didahului teriakan keras membahana

Bayusongko melesat ke udara. Dua lawan cepat

mengikuti gerakannya. Namun inilah kesalahan

besar yang harus dibayar mahal. Ketika dua

Perwira Tinggi terpancing ikut melesat ke udara,

si kakek tidak sia-siakan peluang. Peti kayu

dipindah, dijepit di antara kedua paha. Lalu dua

tangan diusapkan satu sama lain. Sepasang clurit

hantu serta merta berada dalam genggamannya.

 "Clurit hantu! Awas!" Salah seorang Perwira

Tinggi yang kebetulan melihat dua senjata aneh

yang ada di tangan lawan kiri kanan segera

berteriak memberi ingat. Dia kini sudah bisa

menerka siapa adanya lawan tua muka 

celemongan itu. Namun teriak peringatan itu 

terlambat, Clurit hantu pertama berkelebat.

Menancap di pipi kiri Perwira Tinggi sahabatnya.


Dia sendiri masih bisa berusaha melancarkan

satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga

dalam tinggi. Namun clurit hantu kedua tetap saja

berhasil menembus. Padahal seandainya dua

buah batang kelapa dihantamkan dan ditangkis

dengan pukulan tangan kosong itu niscaya dua

batang kelapa terpental hancur! Clurit hantu

menancap tepat dipertengahan kening. Sepasang

mata Perwira Tinggi ini langsung terbeliak. Tubuh

rubuh ke tanah, menindih sosok Perwira Tinggi

kawannya yang telah lebih dulu menemui ajal.

Sekujur kulit tubuh mereka kelihatan membiru.

 Sesaat setelah kakek pengemis melemparkan

dua clurit hantu yang membunuh dua orang

berpakaian Perwira Tingi Kerajaan, sosok orang

berpakaian paling bagus di atas kuda mendadak

lenyap dalam satu gerakan luar biasa cepatnya.

Kakek pengemis yang belum sempat 

memperhatikan musuh terakhirnya itu tiba-tiba

terpental laksana dihantam dahsyatnya angin

topan. Pahanya yang menjepit peti kayu hitam

terkembang. Penunggang kuda ke enam telah

menghantam si kakek dengan satu tendangan

luar biasa cepat dan keras. Sebelum kakek

pengemis terkapar di tanah, peti kayu yang

melayang jatuh telah berpindah ke tangan orang

bercadar berpakaian bagus.

 Bayusongko megap-megap sulit bernafas. Dia

tak mampu menggerakkan tubuh. Hanya sepasang

matanya saja memandang penuh dendam dan

kebencian ke arah orang bercadar hitam yang

kini menguasai peti kayu.

 "Jurus tendangan Memendam Bumi Menjarah

Nyawa...." Ucap kakek pengemis yang mengenali

jurus tendangan maut yang barusan dilancarkan

musuh bercadar. Sudak sejak lama dia mengetahui 

bahwa jurus Memendam Bumi Menjarah Nyawa itu 

adalah jurus ilmu silat yang hanya dimiliki oleh 

sekelompok tokoh silat Kerajaan.

"Kalian memang orang-orang Kerajaan. Tapi

mengapa berlaku pengecut! Beraninya main

keroyok! Kau akan menerima laknat benda yang

ada dalam peti itu!"


Orang berpakaian bagus tertawa dibalik cadar.

 "Kau minta mati! Apa salahnya kami 

memberikan?!" ucap orang ini.

 Pengemis tua Bayusongko berusaha menyatukan 

dua tangan untuk diusapkan satu sama lain. Ingin 

sekali dia menghajar manusia satu itu dengan clurit 

hantu. Namun nyawanya keburu lepas. Setelah 

muntahkan darah segar kakek ini akhirnya tergeletak 

tak berkutik lagi.

 Orang bercadar dan berpakaian bagus

memandang berkeliling. Datang berenam kini

hanya tinggal dia sendirian. Dua Perwira Tinggi

menemui ajal. Begitu juga dua pengawal.

Pengawal ke tiga, dalam keadaan buntung lengan

kanan telah menghambur lari entah kemana sejak

tadi-tadi. Sambil menimang-nimang peti kayu dia

melangkah ke arah kuda tunggangannya. "Aku

harus segera tinggalkan tempat ini. Agar sebelum

fajar menyingsing sudah berada di Kotaraja."

 Peti kayu di masukkan ke dalam kantong

perbekalan yaiu,gantung di leher kuda. Orang

bercadar ini baru saja mengangkat kaki untuk

menjejak besi di sisi kiri kuda ketika tiba-tiba

satu suara suitan menggelegar dalam kegelapan.

Di lain saat kuda yang hendak dinaiki meringkik

keras. Dua kaki depan diangkat ke atas lalu

binatang ini tergelimpang di tanah. Di mulutnya

ludah putih membusah. Mata mendelik pertanda

nyawanya sudah lepas. Orang bercadar meneliti.

Kuda tunggangannya menemui ajal dengan

sebuah anak panah hitam menancap tepat pada

urat besar jalan darah di leher kanan, tembus ke

leher kiri!"

 "Jahanam! Siapa yang punya perbuatan!"

Rutuk orang bercadar. Dia mencium adanya

kesulitan, bahkan bahaya besar. Cepat dia

membungkuk mengambil peti kayu di kantong

perbekalan. Namun belum sempat dia 

mengeluarkan peti itu tiba-tiba ada suara menegur.

 "Pangeran Haryo, setelah mendapat rejeki

besar tidak salah kalau kau buru-buru ingin

kembali ke Kotaraja. Tapi karena aku ada di sini,

mengapa kita tidak berbagi sedekah?!"

 Kejut orang berpakaian bagus bukan alang


kepalang. Dia bagai mendengar suara setan.

Bagaimana dia tidak bisa mengetahui kalau di

tempat itu ada orang lain? Kecuali orang yang

barusan menegur itu memiliki ilmu kesaktian luar

biasa tinggi hingga kehadirannya seperti

bertiupnya angin malam.



LIMA


ORANG bercadar cepat berbalik memutar tubuh. 

Pandangannya langsung membentur sosok seorang 

kakek berkepala gundul, duduk mencakung di 

tanah. Di paha kiri melintang sebuah gendewa atau 

busur, di tangan kanan dia memegang sebilah anak 

panah berwarna hitam. Di punggung ada satu 

kantong dipenuhi dua lusin anak panah berwarna 

hitam. Kakek berwajah bulat ini tiada henti

tersenyum seolah ada hal lucu yang 

menggembirakan hatinya. Pakaiannya berupa 

sehelai jubah hijau panjang menjela tanah. Mata 

menatap tak berkedip ke arah lelaki bercadar hitam 

dan sesekali melirik ke arah kantong perbekalan di 

leher kuda yang sudah jadi bangkai.

 Orang bercadar yang disapa dengan nama

pangeran Haryo kalau tadi terkejut dengan

teguran serta kehadiran orang lain yang tidak

terduga di tempat ini, kini malah tambah-tambah

kagetnya ketika melihat siapa yang duduk

berjongkok delapan langkah di depan sana.

 "Dia selalu muncul berdua bersama gendaknya. 

Sembunyi dimana perempuan mesum itu?"

 Baru saja dia membatin, tiba-tiba dari samping

kiri terdengar suara perempuan tertawa cekikikan!

 Lelaki bercadar hitam berpaling ke arah

datangnya suara tertawa. Orang yang barusan

dipertanyakannya dalam hati ternyata terlihat

enak-enakan duduk di atas rumpunan semak

belukar tanpa semak belukar itu merunduk meliuk

apalagi roboh.'

 Orang yang duduk di atas rumpunan semak

belukar seperti si kakek kepalanya juga botak

dan sama mengenakan jubah hijau panjang. Di

punggungnya ada sekantong anak panah


berwarna putih. Tangan kiri dimelintangkan di

dada, memegang sebuah busur sementara tangan

knnan memutar-mutar sebuah anak panah

berwarna putih. Seperti si kakek botak dia juga

senyum-senyum tiada henti. Kalau saja orang ini

tidak mengenakan anting besar pada kedua

telinganya, sulit diduga mana yang perempuan

dan mana yang lelaki diantara mereka berdua.

 "Pangeran Haryo, kau mendadak jadi bisu

atau tuli atau bagaimana? Mungkin terkejut karena

kehadiran kami yang tidak terduga di tempat ini?

Atau karena sudah lama tidak berjumpa membuat

kau jadi pangling terhadap kami berdua."

 Orang bercadar melengak. Lalu membentak.

 "Monyet tua botak buruk rupa! Siapa bilang

Pangeran Haryo!"

 Si kakek senyum-senyum terus. "Kau boleh

sembunyikan wajah. Tapi raut sosok tubuhmu,

pakaian dan blangkon yang kau kenakan. Lalu

barusan suaramu, bukankah semua memberi

petunjuk bahwa kau adalah Pangeran Haryo dari

Kotaraja! Aku mengenalmu bertahun-tahun. Aku

tidak akan bisa ditipu walau kau menutupi wajah

dengan cadar hitam!"

 "Setan alas! Kau dan gendakmu tidak disukai

di Keraton. Itu sebabnya kau tersingkir sebagai

tokoh silat Istana! Di tempat inipun tidak ada

yang suka padamu!"

 "Ah, mulutmu usil amat." Jawab kakek botak

sambil bolang balingkan panah hitam di tangan

kanan. "Lihat nenek cantik di atas semak sana?

Dia kekasihku! Dia sangat menyukai diriku!

Jangan kau mengada-ada tidak ada orang yang

menyukai diriku! Ha...ha...ha...ha!"

 "Kau benar sekali kekasihku! Benar sekali!'

menyahuti nenek botak yang duduk enak-enakan

di atas semak belukar. "Aku menyukaimu. Dari

dulu sampai sekarang. Sampai nanti!

 Hik...hik...hik! Kau pandai bercinta denganku.

Membuat aku selalu tergila-gila mabuk kepayang!"

 "Dasar perempuan lacur! Bicara kotor

seenaknya saja!" rutuk orang bercadar.


"Nah-nah kau dengar sendiri!" kata kakek

botak. "Sekarang kalau aku boleh bertanya apa

ada orang yang menyukai dirimu di tempat ini?

Aku pasti tidak!"

 "Aku juga tidak!" jawab si nenek di atas semak

belukar lalu tertawa cekikikan.

 "Tak ada manfaatnya bicara dengan orang-

orang sinting sepertimu! Aku bukan Pangeran

Haryo! Dengar itu baik-baik!"

 "Kalau begitu harap singkirkan cadar hitam

penutup wajahmu!" tantang kakek botak pula.

 "Orang sinting sepertimu mana layak

memerintah diriku!"

 "Amboi!" seru si nenek botak.

 Orang bercadar mengambil peti hitam di dalam

kantong perbekalan. Lalu dia melompat ke arah

kuda milik salah seorang perwira yang tewas.

Kakek botak lirikkan mata ke arah nenek botak di

atas semak belukar. Perempuan tua ini senyum-

senyum. Anak panah diselipkan di tali busur.

Lalu panah putih direntang. Semua itu dilakukan

dalam gerakan sangat cepat. Anak panah putih

kemudian melesat membelah kegelapan udara

malam. Lalu di depan sana kuda yang hendak

dipakai sebagai tunggangan meringkik keras.

Huyung sesaat lalu roboh ke tanah. Sebuah anak

panah berwarna putih menancap di kening, tepat

di antara dua mata terus menembus ke otak!

 "Sepasang Setan Tersenyuml" orang bercadar

membentak. "Apa mau kalian sebenarnya?

 Kakek botak dan nenek botak saling pandang

lalu sama-sama tertawa.

 "Akhirnya kau sebut juga nama julukan kami!

Pertanda kau tidak pernah lupa siapa kami

berdua Ha...ha...ha! Seperti kataku tadi aku ingin

kita berbagi sedekah!"

 "Berbagi sedekah? Sedekah apa?!" Bentak

orang bercadar walau dalam hati dia sudah bisa

menduga kemana melencengnya tujuan ucapan

kekek botak yang juga dikenal dengan julukan

Raja Setan Tersenyum sementara kekasihnya

dikenal dongan panggilan Ratu Setan Tersenyum.


Dengan anak panah hitam di tangan kanan

Raja Selan Tersenyum menunjuk ke arah peti

yang dipegang orang bercadar hitam di tangan

kiri. "Kami ingin kau membagi peti itu."

 "Maksudmu?" tukas orang bercadar.

 "Kau boleh ambil petinya. Isi serahkan pada

kami berdua!"

 Habis berkata begitu si kakek botak tertawa

gelak-gelak. Si nenek tertawa cekikikan.

 "Enak saja mulutmu bicara!" hardik orang

bercadar. "Tiga puluh enam rembulan aku

menunggu kesempatan, mencari benda di dalam

peti ini. Korbankan tenaga, uang, waktu bahkan

darah dan nyawa orang-orangku! Sesudah dapat

alangkah enaknya kau meminta! Persetan dengan

kalian!"

 Orang bercadar langsung melompat ke atas

kuda perwira kedua. Namun belum sempat

menggebrak binatang itu lari, sebuah panah hitam

melesat dalam kegelapan malam dan menancap

tepat di kaki kiri depan kuda. Binatang ini

tersungkur lalu menghambur lari. Meninggalkan

orang bercadar jatuh tergelimpang di tanah!

 Raja dan Ratu Setan Tersenyum tertawa gelak-

gelak.

 "Kuda mana lagi yang akan kau pilih untuk

kabur?" bertanya si nenek. Lalu dia membuat

gerakan cepat tiga kali berturut-turut. Tiga ekor

kuda yang ada di tempat itu langsung meringkik

roboh.

 "Ha...ha...ha!" tawa kakek botak. "Kekasihku

membuat kau tidak punya seekor kudapun lagi

untuk dipakai kabur!"

 "Jahanam keparat!" rutuk orang bercadar. Dia

cepat berdiri.

 Si nenek membuka mulut. "Pangeran Haryo..."

 Nenek setan! Aku bukan Pangeran Haryo!

Apn kau tuli?!"

 "Terserah siapa kau adanya." Sahut Ratu

Betan Tersenyum. "Aku hanya ingin membantu agar 

kau bisa pulang ke Kotaraja tidak kurang suatu apa. 

Dengar, jika kau serahkan peti itu pada kekasihku,


segala dosamu di masa lalu tidak akan kami 

ungkit-ungkit!"

 "Keparat rendah! Apa dosaku terhadap

kalian!" hardik orang bercadar.

 Kakek nenek botak saling melirik lalu tertawa

gelak-gelak. Lalu si kakek berkata. "Sudah lama

kau diketahui sebagai pangeran temahak, rakus

dan pandai memfitnah orang-orang yang tidak

Behaluan denganmu. Ketika kau dan konco-

koncomu menyusun rencana untuk menggulingkan

tahta Sri Baginda dan kami menolak ikut, kau dan

teman-teman menjatuhkan fitnah bahwa kami

berdualah yang jadi dedengkot biang kejahatan

Itu. Kami berdua siap digantung. Untung masih

ada teman-teman yang menolong hingga bisa

kabur selamatkan diri..."

 "Kalian mengakui kalau kalian berdua sebenarnya 

adalah manusia-manusia buronan! Kalian berdua 

harus ditangkap! Menyerahlah!"

 "Hik...hiik...hik!" Si nenek tertawa cekikikan.

"Kami dalang kesini bukan bicara soal tangkap

menangkap. Tapi minta agar kau menyerahkan

bulat-bulat peti itu kepada kami! Mengerti?

Dengar? Atau kupingmu torek?!"

 'Tidak ada jalan lain. Pemberontak-pemberontak 

busuk macam kalian berdua memang harus

disingkirkan!"

 Habis berkata begitu orang bercadar

lemparkan peti kayu ke atas pohon di dekatnya.

Peti melesat di udara dan jatuh tepat dilekuk

cabang pohon besar. Maksudnya berbuat begitu

adalah agar dia lebih leluasa menghadapi dua

lawan berat si nenek dan kakek kepala botak.

Namun dia tidak sadar kalau di tempat itu telah

muncul orang lain. Hanya sesaat setelah peti

bertengger di cabang pohon tiba-tiba satu

bayangan putih melesat dari tempat gelap.

Berkelebat ke arah peti di atas pohon.

 "Jahanam! Ada pengacau baru!" Maki orang

bercadar. Dia segera hendak lepaskan satu

pukulan tangan kosong mengandung tenaga sakti

ke arah orang yang bermaksud mengambil peti"


itu namun tiba-tiba dari jurusan lain berkiblat tiga

cahaya terang.

 "Wuss!"

 Orang berpakaian putih yang tengah melesat

untuk mengambil peti kayu di cabang pohon

menjerit keras. Tubuhnya berubah menjadi

kobaran api. Ketika tubuh itu tercampak jatuh ke

tanah keadaannya mengerikan sekali. Sekujur

badan mulai dari kepala sampai kaki hanya tinggal

tulang-belulang gosong menghitam! Tak mungkin

untuk mengenali siapa adanya manusia malang

satu ini!

 SEWAKTU orang tinggi besar yang mendekam

di balik semak belukar pertama kali sampai di

tempat itu sebenarnya sudah ada orang lain

berpakaian serba putih sembunyi di satu tempat.

Orang ini rupanya datang untuk tujuan yang sama

yaitu mendapatkan peti kayu hitam. Melihat

kenyataan bahwa orang bercadar mungkin benar

Pangeran Haryo adanya, orang yang mendekam

di balik semak-semak tidak mau bertindak

gegabah. Nama Pangeran Haryo cukup dikenal di

kalangan Keraton di Kotaraja. Seorang lelaki

berusia setengah abad memiliki ilmu silat dan

kesaktian tinggi. Selain itu di tempat tersebut dia

Juga melihat Sepasang Setan Tersenyum yang

merupakan tokoh-tokoh silat yang tak bisa

dipandang enteng. Mereka memang sangat

cekatan dalam memainkan panah. Tapi panah

dan busur itu juga bisa berubah menjadi pedang,

golok, pentungan atau tombak.

 Begitu orang bercadar hitam lemparkan peti

kayu ke cabang pohon dan siap menghadapi

Sepasang Setan Tersenyum, orang berpakaian

putih melihat kesempatan baik. Secepat kilat dia

melesat ke cabang pohon. Namun sebelum

berhasil menyentuh peti kayu hitam tiba-tiba or

ang tinggi besar yang mendekam di belakang

semak belukar hantamkan tangan kanannya. Sinar

terang berkiblat. Tak ampun lagi orang berpakaian


serba putih menemui ajal dengan tubuh terbakar

gosong.

 ***

 ORANG yang diduga sebagai Pangeran Haryo

sesaat terdiam. Matanya cepat mengawasi

keadaan. Kalau ada orang lain yang barusan

membunuh orang berpakaian serba putih itu,

apakah orang ini bertindak sebagai teman atau

bagaimana. Dia melirik ke atas cabang pohon.

Peti kayu hitam masih ada di situ. Dia perhatikan

Sepasang Setan Tersenyum. Dia tahu kakek nenek

ini tidak bermaksud untuk segera mengambil peti

karena terlalu besar bahayanya. Untuk sementara

peti kayu aman di atas cabang pohon.

 Orang bercadar hitam manfaatkan situasi yang

mencekam. Dia menyeringai, menatap ke arah

Sepasang Setan Tersenyum.

 "Kalian saksikan sendiri! Siapa saja yang

inginkan peti kayu hitam itu, pasti akan tewas di

tangan anak buahku!"

 Ratu Setan Tersenyum hampir termakan

ucapan orang. Tapi si kakek kekasihnya cepat

mendekati dan berisik.

 "Dia mau menipu kita. Yang membunuh orang

berpakaian serba putih tadi bukan anak buah

atau temannya. Dengar...aku akan melompat

mengambil peti di atas pohon..."

 "Kau gila!" sahut Ratu Setan Tersenyum.

 "Selagi kau melayang ke atas dirimu tidak

terlindung. Nasibmu bisa sama dengan bangkai

gosong itu!"

 "Kekasihku," ujar Raja Setan. "Percuma kau

ada di sini kalau tidak bisa membantu. Dengar,

waktu aku melesat ke udara berondong dengan

panah orang yang mendekam di balik semak

belukar. Aku akan menghujani Pangeran Haryo

dengan panah. Aku tidak akan mempergunakan

gendewa. Tapi lebih dulu akan pergunakan Asap


Setan untuk mengecoh Pangeran itu."

 "Terserah jika itu maumu."

 "Kau siap Ratuku?"

 "Tentu saja!" jawab Ratu Setan Tersenyum.

Lalu tangan kanannya berkelebat ke punggung

mengambil setengah lusin anak panah sekaligus.

Cepat sekali dia merentang gendewa dan

menghantam orang yang bersembunyi dibalik

semak belukar dengan enam anak panah, lalu

menyusul enam anak panah lagi. Orang di balik

semak belukar memaki habis-habisan namun

dengan gerakan cepat luar biasa dia mampu lolos

dari serangan dua belas anak panah.

 Begitu kekasihnya mulai menghujani orang

yang sembunyi dibalik semak-semak dengan

serangan panah, dari dalam kantong jubah Raja

Setan Tersenyum keluarkan sebuah benda bulat

berwarna hijau. Ketika dilempar ke udara benda

bulat itu meletus pecah dan menghamburkan asap

tebal berwarna hijau, menutupi seantero tempat

terutama sekitar pohon besar dimana beradanya,

peti kayu hitam.

 Dalam pandangan mata yang terhalang orang

bercadar hitam hantamkan tangan kiri ke udara

untuk menangkis serangan anak panah.

 Sementara tangan kanan mengeluarkan

sehelai tambang hitam yang ujungnya ada besi

berkait. Peti kayu hitam serta merta terikat oleh

tambang yang ada pengaitnya itu. Sekali tarik,

sambil melayang ke jurusan yang tidak terduga,

lelaki bercadar berhasil mendapatkan peti kayu.

Lalu dia meniup ke depan. Asap hijau secara

aneh membuntal lebih lebar, menutupi pandangan

mata lebih luas. Raja Setan Tersenyum terkurung

oleh asap buatannya sendiri. Bersamaan dengan

meniup orang bercadar jatuhkan diri lalu

gelindingkan diri di tanah, ke balik deretan semak

belukar gelap.

 "Kurang ajar! Bangsat itu menipu kita!" teriak

Ratu Setan Tersenyum yang terbungkus dalam

kepekatan asap hijau. Justru inilah kesalahan

besar yang harus dibayar mahal. Dari suara


ucapannya orang tinggi besar yang mendekam

dalam gelap segera mengetahui dimana beradanya 

si nenek. Sekali tangannya menghantam,

satu gelombang angin laksana sebuah batu

raksasa menderu. Ratu Setan Tersenyum sempat

mendengar deru dahsyat tapi tidak bisa 

selamatkan diri. Di dalam buntalan asap terdengar

jeritnya setinggi langit. Tubuhnya terpental, jatuh

di atas pasir pantai dalam keadaan hancur memar

mulai dari kepala sampai ke kaki.

 Raja Setan Tersenyum berteriak keras. Dia

sambitkan delapan anak panah ke arah orang

bercadar hitam. Tapi orang ini telah lebih dulu

Jatuhkan diri ke tanah.

 "Ratu! Kekasihku!" teriak Raja Setan Tersenyum 

kalang kabut. Seperti gila dia menghantam kian 

kemari. Dua pohon besar tumbang dihantam 

gendewa. Tiga semak belukar lebat berserabutan 

ke udara. Dia baru berhenti ketika ingat akan 

sosok kekasihnya si nenek botak menggeletak di 

tanah.

 "Hancur..." ucap Raja Setan Tersenyum dengan 

suara bergetar dada membara. "Pangeran Haryo 

tidak punya ilmu pukulan yang bisa membunuh 

seperti ini. Jahanam mana yang punya pekerjaan?" 

Raja Setan Tersenyum pandangi monyet 

kekasihnya dengan mata melotot. Lalu seperti orang 

kemasukan setan, kepalanya dibentur-benturkan ke 

tanah.

 "Kekasihku....kekasihku..." kata si kakek

berulang kali sambil memeluk tubuh hancur Ratu

Setan Tersenyum. Tiba-tiba dia angkat kepala.

Tampangnya angker luar biasa seperti setan

sungguhan.

 "Pangeran keparat! Kau mau kabur kemana!"

teriak Raja Setan Tersenyum. Lalu secepat kilat

kakek botak ini berkelebat ke jurusan dimana tadi

dia sempat melihat bayangan orang bercadar

melesat kabur.



ENAM


ORANG bercadar hitam memang 

memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi. Namun 

dalam ilmu lari kemampuannya masih satu tingkat

dibawah orang yang mengejar yaitu kakek botak

berjuluk Raja Setan Tersenyum. Saat demi saat

jarak mereka semakin terpaut dekat. Sementara itu 

Raja Setan Tersenyum yang melakukan pengejaran 

mendadak dibayangi rasa was-was karena 

menyadari kalau di sebelah belakang ada orang lain 

menguntit mengejarnya.

 "Jahanam! Dia pasti pembunuh orang

berpakaian putih. Pasti dia juga yang membunuh

kekasihku!"

 Raja Setan Tersenyum kertakkan rahang. Di

depan sana sosok lelaki bercadar tiba-tiba lenyap.

Kakek botak hentikan lari. Mata mengawasi ke

arah kegelapan di sebelah depan. Pada saat itulah

dari balik sebatang pohon besar sekonyong-

konyong menderu selarik angin luar biasa dingin

memancarkan sinar biru. Raja Setan Tersenyum

cepat melompat ke kiri selamatkan diri. Walau

tidak sempat dihantam serangan namun dia

merasakan sekujur tubuh seperti beku. Cepat dia

kerahkan hawa sakti ke pembuluh darah.

 "Pukulan Kutub Es!" SI kakek kenali pukulan

Itu. "Hanya beberapa orang saja yang memiliki

Ilmu kesaktian itu! Satu diantaranya Pangeran

Haryo! Tidak salah lagi, bangsat itu memang

Pangeran Haryo adanya!"

 Begitu Raja Setan Tersenyum berhasil memus-

nahkan hawa dingin yang membuat tubuhnya

kaku, kakek ini kembali melakukan pengejaran.

Di depan sana orang bercadar merutuk habis-

habisan karena tidak mampu loloskan diri. Saat

demi saat jarak keduanya semakin dekat. Di satu

tempat sambil terus memburu, Raja Setan

Tersenyum mulai lemparkan panah hitam,


membuat orang bercadar jadi tak karuan larinya

karena berulang kali harus melompat kian kemari

selamatkan diri dari hantaman panah yang datang

dari belakang. Sesekali orang bercadar pukulkan

tangan kanan ke belakang. Beberapa anak panah

yang dilemparkan Raja Setan Tersenyum mencelat

mental dan hancur. Beberapa lainnya malah

terpental berbalik menyerang si kakek, membuat

orang tua ini ganti kalang kabut selamatkan diri.

 "Manusia-manusia tolol! Aku bosan mengikuti

permainan kalian!"

 Mendadak ada suara orang berteriak di

belakang sana. Belum lenyap gema teriakan itu

menyusul berkiblatnya cahaya terang. Raja Setan

Tersenyum menoleh lalu berseru keras. Dia kenali

cahaya itu. Secepat kilat si kakek jatuhkan diri

sama rata dengan tanah. Tubuhnya laksana

terpanggang ketika cahaya terang menggebu

melewati punggung. Lalu dia mendengar suara

jeritan di depan sana.

 Sosok orang bercadar kelihatan mencelat ke

udara. Sisi kanan tubuhnya dikobari api. Raja

Setan Tersenyum berusaha bangkit untuk melihat

lebih jelas apa yang telah terjadi. Namun tubuhnya

jatuh terbanting menelungkup di tanah ketika

satu kaki dengan kekuatan puluhan kati menindih

punggungnya.

 Raja Setan Tersenyum hantamkan gendewa di

tangan kiri untuk memukul orang yang

menginjaknya.

 "Kraaakkk!"

 Gendewa patah dua, terlepas mental dari tangan 

si kakek. Si kakek sendiri mengeluh kesakitan 

karena tangan kirinya serasa tanggal.

 "Raja Setan, cukup sampai disini kau ikut

bermain. Benda sakti mandraguna yang kau kejar-

kejar itu tidak berjodoh dengan dirimu!"

 Orang yang menginjak punggung si kakek

keluarkan ucapan.

 "Jahanam! Kau pasti orang yang membunuh

kekasihku! Siapa kau!"

 Kaki yang menginjak bergerak. Dengan kaki


yang sama tubuh Raja Setan Tersenyum

dibalikkan hingga tertelentang. Kini ganti bagian

dada yang dipijak.

 Orang tinggi besar yang menginjak dada Raja

Setan menyeringai.

 "Apakah kau mengenali diriku?"

 Sepasang mata Raja Setan Tersenyum

mendelik. Bukan saja untuk melihat lekat-lekat

wajah orang yang menginjaknya tapi juga karena

kesakitan akibat injakan. Si kakek melihat satu

wajah buruk.

 "Kau...." Raja Setan Tersenyum tidak dapat

memastikan apakah dia mengenali orang itu.

Namun rasa-rasanya memang dia pernah melihat

wajah itu. Tapi sekarang mengapa berubah bentuk

begini rupa?

 "Kau tidak mengenali diriku?" si tinggi besar

menyeringai.

 "Setan keparat! Aku tidak perduli siapa kau

adanya! Yang jelas kau adalah pembunuh

kekasihku! Kau harus mampus di tanganku!"

Bentak si kakek lalu dua panah hitam yang ada di

tangan kanannya dilemparkan ke arah si tinggi

besar. Hanya dengan menggerakkan tangan kiri

sedikit, si tinggi besar berhasil memukul mental

dua anak panah.

 "Kakek botak, seharusnya aku juga sudah

membunuhmu saat ini. Namun mengingat kau

banyak berlaku baik di masa kanak-kanakku, aku

mengampuni selembar nyawamu. Cukup adil

bukan?"

 "Apa katamu...?" Dua mata Raja Setan

Tersenyum tambah membeliak. Otaknya bekerja

koras mengingat-ingat. Matanya menatap tajam

ke wajah orang tinggi besar. "Kalau...kalau begitu

kau adalah putera....Kau adalah...."

 Belum sempat menyebut nama satu totokan

mendarat di leher si kakek. Saat itu juga sekujur

tubuhnya menjadi kaku. tak bisa bergerak tak

mampu bersuara.


***

 SOSOK tua kurus kering itu terbaring hampir

sama rata dengan balai-balai kayu. Mata terpejam,

tak ada gerakan pada perut ataupun dada seolah

keadaannya sudah tidak bernafas lagi. Di dalam

kamar yang diterangi lampu templok, seorang

anak lelaki seusia dua belas tahun duduk di

samping tempat tidur. Anak ini duduk dengan

menahan kantuk yang amat sangat. Sesekali bila

kepalanya terdohok kemuka, cepat-cepat dia

mengusap muka, menarik nafas panjang dan

duduk diam pandangi sosok kakeknya yang

terbaring sakit di atas balai-balai kayu. Namun

segera saja kepalanya kembali tertunduk diserang

kantuk.

 "Jantra cucuku....'

 Anak lelaki yang duduk di samping tempat

tidur angkat kepala, buka mata. Serasa tidak

percaya dia mendengar orang tua itu bicara

memanggil namanya.

 "Kek...."

 'Kau tidak tidur?"

 "Belum Kek. Saya menjaga Kakek."

 "Tidurlah. Sudah larut malam. Mungkin

menjelang pagi. Nanti kau sakit....

 "Saya belum mengantuk Kek,'' jawab si anak,

 "Kakek mau minum?" Lalu anak ini ambil

kendi tanah berisi air putih sejuk di kaki tempat

tidur. Sedikit demi sedikit air putih itu di-

tuangkannya di atas bibir si kakek. Dia baru

berhenti ketika orang tua itu tersedak dan batuk-

batuk. "Kek, besok pagi saya akan ke hutan

mencari daun obat. Kalau minum obat Kakek

pasti cepat sembuh..."

 'Kau cucu baik. Sekarang turuti kataku.

Tidurlah..."

 "Baik Kek," si bocah akhirnya mengalah. Dia

mengambil sehelai tikar yang tergulung di sudut

pondok kajang itu. Baru setengah tikar sempat

digelar di lantai tanah, tiba-tiba braaakk!


Pintu pondok jebol. Jantra menjerit kaget. Si

kakek di atas balai-balai buka sepasang mata.

Seorang yang mukanya ditutupi kain hitam

terkapar di lantai pondok. Tubuh sebelah kanan

hancur hangus mengerikan. Di tangan kiri dia

mengepit sebuah peti kayu berwarna hitam.

 Mengira yang muncul adalah setan atau hantu,

mungkin juga orang jahat Jantra ketakutan

setengah mati. Dia sampai melompat naik ke atas

balai-balai.

 "Bocah, jangan takut," orang bercadar berkata.

Nafasnya megap-megap. Aku Pangeran Haryo

dari Kotaraja. Aku butuh pertolonganmu. Ambil

peti ini. Tinggalkan pondok. Lari sejauh bisa kau

lakukan. Sembunyikan peti di satu tempat. Jangan

kembali ke pondok. Tunggu sampai dua hari.

Kalau keadaan sudah aman pergi ke Kotaraja.

Temui seorang bernama Abdi Tunggul di Keraton.

Serahkan peti ini padanya.'

 Si bocah hanya melongo lalu geleng-gelengkan 

kepala berulang kali.

 "Ambil cepat! Pergilah. Hidupku tak lama lagi."

Kakek di atas balai-balai angkat kepalanya sedikit,

menatap pada orang bercadar lalu berkata.

"Cucuku, jika memang Pangeran Haryo dari

Kotaraja yang minta tolong lekas lakukan apa

yang dikatakannya."

 "Tapi Kek..."

 "Bocah, lekas! Kita tak punya waktu banyak!

Sebentar lagi akan ada orang jahat datang ke sini

untuk merampas peti itu! Ayo ambil cepat!"

 Jantra memandang pada kakeknya. Orang tua

ini gerakkan kepala sedikit lalu berkata. "Ambil

peti itu. Pergilah..."

 "Tapi kau sakit Kek, aku harus menjagamu..."

 "Aku akan segera sembuh."

 Meski agak ragu Jantra akhirnya, mengambil

peti lalu melompat ke pintu.

 "Jangan lewat situ!" orang bercadar mem-

beritahu. Dengan tangan kiri dijebolnya dinding

pondok sebelah belakang. "Lewat sini!" Jantra


loloskan diri lewat lobang di dinding. Di luar

pondok bocah ini lari tanpa arah, sekencang yang

bisa dilakukannya. Sesekali dia berhenti dan

berpaling ke belakang, ke arah pondok.

 Begitu Jantra keluar dari dalam pondok, orang 

bercadar mendekati si kakek yang terbaring

di atas balai-balai.

 "Orang tua, aku terpaksa melakukan ini! Satu-

satunya jalan untuk menjaga kerahasiaan benda

mustika itu."

 Si kakek melihat orang ulurkan tangan kiri.

Matanya mendelik.

 "A...aku dan cucuku telah menolongmu. Mengapa 

kau masih berhati jahat mau membunuhku...?"

 "Kreeek!"

 Ucapan si kakek terputus. Tulang leher remuk.

Nyawanya lepas saat itu juga. Sehabis membunuh

si kakek, orang bercadar kepalkan tinju kiri lalu

hantam kepalanya sendiri.

 "Praaaak!"

 ORANG bertubuh tinggi besar sesaat tegak

tak bergerak di depan pintu pondok. Rahangnya

menggembung. Pelipis bergerak-gerak. Mata

memandang dingin pada mayat kakek dan orang

bercadar. Kemudian dia memperhatikan ber-keliling. 

Mencari-cari. Kurang puas dia menggeledah

mengobrak-abrik isi pondok. Benda yang dicari

tidak ditemukan. Lalu dia perhatikan dinding

pondok yang jebol.

 "Kurang ajar! Pasti ada orang ke tiga sebelumnya 

di tempat ini!" Orang ini menggeram.

Otaknya bekerja. "Kakek ini pasti dihabisi bangsat

bercadar. Lalu dia bunuh diri. Lalu orang ke tiga

yang sangat pasti melarikan peti, siapa dia...?"

 Sambil kembali meneliti seisi pondok karena

masih berharap peti kayu hitam ada di tempat itu,

si tinggi besar melangkah mendekati sosok orang 

bercadar yang tergelimpang di lantai. Dengan

tangan kirinya dia tarik cadar hitam yang


menutupi wajah orang.

 Hemmm....Pangeran Haryo. Jadi memang kau

rupanya." Orang tinggi besar merenung sesaat.

"Mungkin pondok ini merupakan tempat

pertemuan rahasia antara Pangeran Haryo dengan

orang ke tiga. Untuk mengetahui siapa adanya

orang ke tiga, aku harus mencari tahu dulu siapa

adanya kakek yang mati dicekik ini."

 Orang tinggi besar tinggalkan pondok. Malam

itu juga dia berusaha mencari keterangan dari

penduduk sekitar situ. Tidak mudah untuk

mendapatkan keterangan. Selain rumah penduduk

berada jauh, juga tak ada orang yang mau

membuka pintu di malam buta untuk tamu yang

tidak dikenal. Tidak putus asa, menjelang fajar

akhirnya orang itu berhasil mendapat keterangan

dari penduduk yang tinggal di kaki bukit. Kakek

yang tewas dibunuh diketahui bernama Ma-

ngunsuarso. Dia tinggal di pondok hanya berdua

dengan cucunya, seorang anak lelaki berusia dua

belas tahun bernama Jantra. Si tinggi besar tidak

pernah menduga kalau orang ketiga yang tengah

dilacaknya adalah seorang bocah.

 "Kalau anak-anak, pasti dia belum lari terlalu

jauh. Aku pasti menemukannya." Kata si tinggi

besar dalam hat




TUJUH


KELETIHAN karena berlari hampir sepertiga

malam membuat Jantra tidur cukup nyenyak walau 

beratap langit, berkasur tanah dan berselimut 

embun. Ketika sapuan mentari pagi

membangunkannya, yang pertama sekali dilihatnya 

adalah langit luas kebiruan. Lalu dia ingat

kakeknya. Anak ini bangkit dari tidurnya, duduk,

menggosok mata dan memandang berkeliling.

Dia menduga-duga kira-kira sejauh mana dia dari

pondok saat itu. Kemudian pandangannya

ditujukan pada peti kayu yang terletak di tanah di

ujung kakinya.

 'Orang bercadar mengaku Pangeran Haryo

itu....' Jantra ingat peristiwa malam tadi.

 "Mengapa dia menyuruh aku melarikan peti

sejauh mungkin. Menyembunyikan di satu tempat.

Harus menunggu sampai dua hari. Lalu pergi ke

Kotaraja. Menyerahkan peti pada seorang

bernama Abdi Tunggul di Keraton. Apa yang ada

dalam peti ini? Emas? Harta karun? Barang

pusaka? Kalau memang emas atau harta karun

perlu apa aku susah-susah mengantar ke

Kotaraja. Ambil saja, serahkan pada kakek. Kami

akan jadi kaya raya." Jantra permainkan peti kayu

dengan ujung kaki. Dia berada dalam 

kebimbangan. Melaksanakan pesan orang bercadar 

atau mengikuti suara hatinya.

 Jantra memandang berkeliling. Tak jauh dari

tempatnya duduk ada satu lobang besar bekas

bongkaran akar pohon kelapa yang telah

tumbang. Sesuai pesan Pangeran Haryo, peti itu

bisa dikubur disembunyikannya di lobang itu.


Namun suara hati dan rasa ingin tahu si bocah

ternyata lebih keras. Jantra beringsut. Peti kayu

hitam diperhatikan dengan seksama. Penutup peti

hanya dikunci dengan sebuah pasak kayu. Berarti

tidak susah membuka peti. Maka bocah itu

ulurkan tangan menarik pasak. Ternyata tidak

semudah yang diduga Pasak itu sangat kuat.

Jantra harus mengetuk bagian bawah pasak

dengan sebuah batu berulang kali, baru pasak

bergerak ke atas. Sekali tarik pasak kayupun

akhirnya lepas.

 "Kek, kita akan jadi orang kaya," kata bocah

usia dua belas tahun itu karena yakin peti kayu

berisi emas atau barang berharga. Penutup peti

diangkat. Begitu penutup peti terbuka bau busuk

membersit keluar. Jantra seperti mau muntah.

Walau tak tahan oleh bau busuk itu, Jantra masih

berusaha memperhatikan, memandang ke dalam

peti. Saat itu juga si bocah keluarkan jeritan

keras. Muka pucat ketakutan. Seperti disengat

kalajengking anak ini melompat lalu lari tunggang

langgang tinggalkan tempat itu sambil terus

menjerit.

 Di dalam peti yang diharapkan berisi emas

atau harta karun itu ternyata ada satu kutungan

kepala manusia. Kutungan kepala ini memiliki

rambut putih yang berubah kaku merah oleh darah

yang telah mengering. Dua mata mencelet

menggidikkan. Darah kering menutupi hampir

keseluruhan wajah. Pada pertengahan kening

yang terbelah, menancap satu benda hitam. Benda

ini adalah sebuah batu tipis berukuran satu

jengkal persegi.

 Jantra tidak perduli kemana arah larinya. Yang

penting menjauhkan diri dari peti mengerikan itu.

Selagi dia lari sambil menjerit begitu rupa tiba-

tiba satu tangan kukuh memagut pinggang si

bocah.

 "Tidak! Jangan! Lepaskan!" teriak Jantra

sambil memukuli dada orang yang memegangnya.

 "Bocah, tak usah takut! Aku akan melindungimu. 

Apapun bahaya yang mengancam." Jantra


mendengar suara, merasakan punggungnya

dielus-elus. Jantra menarik nafas panjang lalu

menangis. Orang tinggi besar usap-usap kepala

Jantra, menunggu sampai anak itu tenang dan

berhenti menangis.

 "Sahabatku kecil, aku tahu namamu Jantra.

Benar?"

 Anak ini anggukkan kepala walau merasa

heran bagaimana orang tahu namanya. Untuk

pertama kali dia angkat kepala guna melihat wajah

orang. Si bocah langsung mengkeret ketakutan.

Dia melihat satu wajah dengan beberapa cacat

menyeramkan! Cepat-cepat Jantra tundukkan

kepala.

 "Tampangku memang angker. Tapi terhadapmu 

hatiku baik." Berkata orang tinggi besar.

"Sekarang katakan. Apa yang terjadi. Apa yang

membuatmu lari dan menjerit."

 Jantra tak bisa segera menjawab.

 Sesenggukan masih memenuhi mulut dan

tenggorokannya. Selain itu rasa takut terhadap

orang tak dikenalnya ini masih belum lenyap.

Orang tinggi besar kembali mengusap kepala

anak itu. Berucap dengan suara lembut membujuk.

 "Ceritakan apa yang terjadi. Apa yang membuatmu 

ketakutan..."

 "Di... didalam peti..." Jantra coba menerangkan. 

Tapi masih tersendat.

 "Di dalam peti. Peti apa? Dimana?"

 "Ada...ada potongan kepala manusia di dalam

peti. Kening terbelah. Ditancapi batu...."

 Wajah si tinggi besar berubah. Rahang

mengembung, sepasang alis berjingkrak. "Peti

itu, dimana?" Tunjukkan padaku."

 Jantra menunjuk ke arah kejauhan. Lalu

berkata. "Aku tidak mau kesana. Aku takut..."

 "Kita sama-sama kesana. Biar kudukung agar

cepat."

 Jantra didudukkan di bahu kiri lalu orang

tinggi besar membawa anak ini lari ke arah dari

mana tadi Jantra datang.


"Disana, dekat lobang besar. Itu petinya..."

ucap Jantra sambil menunjuk.

 Si tinggi besar telah melihat peti kayu hitam

itu. Tergeletak di tanah dalam keadaan terbuka.

Jantra cepat diturunkan ke tanah. Anak ini tak

berani memandang ke arah peti. Si tinggi besar

membungkuk, memperhatikan isi peti. Mula-mula

kening mengerenyit, lalu mata terbelalak. Dada

berdebar panas.

 "Bocah! Kau bilang ada batu menancap di

kening orang. Mana?!" Si tinggi besar tarik tubuh

Jantra lalu diputar ke arah peti. Jantra yang

ketakutan, pejamkan mata tak berani melihat.

 "Bocah setan! Kau menipuku!" Si tinggi besar

jambak rambut Jantra.

 "Di kening itu. Ada batu....Hitam..."

 "Buka matamu! Libat sendiri!" bentak si tinggi

besar.

 Jantra menggeleng. Tak berani buka mata.

 "Kalau kau tidak mau buka mata, biar

kukorek!"

 Ketakutan setengah mati matanya mau dikorek, 

Jantra akhirnya buka kedua mata. Di kening

kutungan kepala di daiam peti ternyata memang

tidak ada lagi batu hitam itu.

 "Tadi batu itu ada di situ. Menancap di

kening." Ucap Jantra.

 "Kau yakin?"

 Jantra mengangguk.

 "Kau tidak mendustai diriku atau salah lihat?"

Si bocah menggeleng.

 Si tinggi besar seperti kehilangan tenaga. Dia

dudukkan diri menjelepok di tanah. Dalam hati

mengeluh geram. "Puluhan minggu bekerja keras.

Peti kayu berhasil ditemukan. Tapi Batu Bernyawa

yang ada di dalamnya lenyap dijarah orang!

Kurang ajar!" Saking geramnya si tinggi besar

tendang peti kayu hitam hingga peti dan isinya

mencelat mental ke udara sampai setinggi lima

tombak.

 Setelah amarahnya agak mengendur si tinggi


besar menatap Jantra dan berkata dalam hati.

 "Anak ini memang tidak berdusta. Tapi

bagaimana batu bisa lenyap dalam waktu begitu

singkat? Ada seseorang muncul di tempat ini?

Siapa? Orang yang tidak tahu menahu perihal

batu mustika itu pasti akan pergi begitu saja.

Atau mungkin salah seorang kepercayaan

penguasa pantai selatan muncul menyelamatkan

batu mustika itu setelah kena dirampas dari

tangan nenek ular?"

 "Jantra," kata si tinggi besar. "Kau menemukan 

peti di tempat ini. Bagaimana ceritanya?"

 "Bukan, bukan menemukan. Aku yang

membawa peti itu kesini..." menjelaskan si bocah.

 "Hemmm....Ka!au begitu bagaimana 

kejadiannya? Sehabis kau menjelaskan, aku akan

beri hadiah dan antar kau ke pondok kakekmu."

 Jantra lalu menuturkan apayang terjadi malam

tadi sampai saat dia lari melalui dinding kajang

yang dijebol, anak ini tidak tahu peristiwa

selanjutnya yaitu kematian kakeknya serta bunuh

dirinya orang bercadar. Setelah mendengar cerita

si bocah orang tinggi besar memutar otak,

berpikir-pikir.

 "Jantra, kau tunggu di sini. Kalau aku tidak

menemuimu sampai tengah hari, tinggalkan

tempat ini. Jangan kembali ke pondok." Dari

dalam saku pakaiannya orang tinggi besar

keluarkan kepingan emas. Logam sangat berharga

ini digenggamkannya ke tangan kanan si bocah

seraya berkata. "Ingat, kau tak usah kembali ke

rumah kakekmu. Kalau kakekmu punya saudara

temui dia. Tinggal bersamanya. Emas itu cukup

untuk bekal masa depanmu."

 Habis berkata begitu orang tinggi besar usap

kepala si bocah lalu berkelebat pergi. Berada

sendirian Jantra merasa heran. Dia pandangi

potongan emas di telapak tangan kanan.

 "Mukanya seram. Anehnya hatinya baik. Aku

diberi emas. Tapi tidak boleh kembali ke rumah.

Mungkin dia tidak tahu kalau kakekku sedang

sakit."


Laksana kilat orang tinggi besar lari ke tempat

dimana malam tadi dia meninggalkan Raja Setan

Tersenyum dalam keadaan tertotok. Ternyata

kakek kepala botak itu tak ada lagi di situ.

 "Secepat itukah dia mampu memusnahkan

totokanku? Kurang ajar! Seharusnya kubunuh

saja dia malam tadi!" Si tinggi besar melangkah

bulak balik dengan tangan terkepal.

 "Jantra menyebut nama Abdi Tunggul. Aku

pernah mendengar nama orang itu. Kalau tidak

salah dia adalah seorang Tumenggung. Kalau

Pangeran Haryo menyuruh Jantra menyerahkan

Batu Bernyawa pada Abdi Tunggul, berarti

Tumenggung itu tahu seluk beluk batu sakti.

Berarti Raja Setan Tersenyum akan menemuinya.

Atau mungkin, jangan-jangan rahasia besar itu

sudah bocor? Apa yang harus aku lakukan?

Mengejar Raja Setan Tersenyum? Dia pasti dalam

perjalanan ke Kotaraja. Atau aku harus

mengamankan Dewa Sedih lebih dulu?" Cukup

lama orang ini berpikir. Akhirnya dia keluarkan

secarik robekan kertas yang sudah sangat lusuh.

Disitu tertera tulisan yang tinggal samar-samar.

Pada saat seseorang berhasil mengetahui

keberadaan Batu Bernyawa, sebelum batu sakti

berubah menjadi Aksara Batu Bernyawa, orang

itu berpantang membunuh, satu nyawa

sebelumnya dan satu nyawa sesudahnya.

 "Walau dia telah melihat wajahku, berarti aku

tidak boleh membunuh bocah itu. Juga tidak

boleh membunuh Abdi Tunggul atau Raja Setan

Tersenyum. Lalu setelah dapatkan batu, aku tidak

boleh membunuh kakek berjuluk Dewa Sedih..."

Setelah berpikir dan menimbang-nimbang cukup

lama orang tinggi besar itu akhirnya memutuskan

untuk segera ke Kotaraja. Sambil berlari dia

mengusap muka berulang kali. Lalu dari balik

pakaian dia keluarkan sebuah topeng karet tipis

dan segera dilekatkan ke wajahnya.


RAJA Setan Tersenyum menunggu cukup

lama sebelum Tumenggung Abdi Tunggul datang

menemuinya di salah satu ruang sunyi di bagian

belakang Keraton. Walau hatinya agak kesal

namun wajahnya tetap saja senyum-senyum. Tak

lama kemudian tirai tebal tersibak. Seorang kakek

berambut, berjanggut dan berkumis putih keluar.

Sesaat Raja Setan pandangi orang yang tegak di

depannya.

 "Ada keanehan pada tua bangka satu ini. Usia

lanjut tapi tubuh kekar tegap." kata raja Setan

dalam hati. Dia coba perhatikan tangan dan kaki

orang. Namun tak berhasil karena orang itu

mengenakan jubah gombrong menutupi kedua

tangan serta kaki. "Sudah tahunan aku tidak

datang ke sini, agaknya banyak tokoh baru yang

aku tidak kenal. Terhadap yang satu ini aku harus

berlaku waspada." Setelah sunggingkan senyum,

kakek kepala botak ini berkata.

 "Sayang sahabat lama Keraton. Saya ingin

menemui Tumenggung Abdi Tunggul...."

 "Aha, siapa yang tidak kenal Raja Setan

Tersenyum. Aku mewakili Tumenggung, memberi

tahu bahwa beliau masih tidur. Pagi ini

Tumenggung agak kurang sehat....'

 "Dia tahu siapa diriku. Aku tidak kenal dia.

Semakin aneh!" Membatin Raja Setan.

 "Saya sudah meminta seorang pengawal untuk

memberi tahu."

 "Pengawal sudah menjalankan tugas. Aku

mewakili Tumenggung menerima kehadiranmu.

Jika ada urusan harap diberitahu padaku."

 "Ada urusan penting. Sangat penting. Aku

hanya akan bicara pada Tumenggung." Jawab

Raja Setan sambil tersenyum.

 "Kalau begitu silakan menunggu. Tapi kurasa

kau akan membuang wantu sia-sia. Kalau

Tumenggung bangun lalu menolak bertemu

denganmu..."

 "Jika beliau tahu siapa yang datang.

Tumenggung tidak akan menolak." Jawab Raja


Setan Tersenyum.

 Kakek rambut putih angguk-anggukkan kepala.

 "Aku ada keperluan lain. Tak bisa menemanimu. 

Pengawal nanti akan memberitahu kalau

Tumenggung siap menemuimu."

 "Kalau boleh bertanya, saya berhadapan

dengan siapa?" tanya Raja Setan Tersenyum.

 "Aku hanya tua renta pembantu Keraton.

Namaku tak enak didengar. Lagi pula tak akan

ada arti apa-apa bagimu..."

 Lalu kakek rambut putih itu acuh saja

melangkah melewati kursi yang diduduki Raja

Setan, berjalan menuju pintu. Raja Setan

memperhatikan. Ketika melangkah kaki orang itu

tidak mengeluarkan suara. Demikian juga ujung

pakaian gombrong yang dikenakan, padahal jelas

pakaian itu menjela dan bergeser dengan lantai.

Raja Setan semakin berlaku waspada.

 Kecurigaannya ternyata betul.

 Begitu satu langkah berada di belakang Raja

Setan Tersenyum tiba-tiba kakek rambut putih

berbalik. Dua jari tangan kiri laksana kilat

menusuk ke arah leher Raja Setan Tersenyum.

 Raja Setan Tersenyum yang memang sudah

curiga dan berjaga-jaga melompat dari kursi.

Tusukan yang berupa totokan dahsyat melesat

mengenai sandaran kursi hingga sandaran kursi

itu hancur berantakan. Raja Setan membentak

marah, cepat berbalik dan hantamkan satu

tendangan. Serangan kaki diikuti dengan

lemparan sebatang panah hitam mengarah ke

tenggorokan. Dengan melompat ke belakang

kakek rambut putih berhasil hindari tendangan

lawan. Sementara dengan mengibaskan tangan

kirinya, anak panah yang menderu ke arah dada

dibuat terpental. Perkelahian hebat segera

berlangsung. Tapi cuma tiga jurus. Yang dihadapi

Raja Setan Tersenyum bukan lawan sembarangan

karena gerakan, daya hantam dan kepandaian

silatnya tinggi sekali. Selain itu Raja Setan mulai

menyadari bahwa lawannya sebenarnya bukanlah

seorang kakek seusianya. Si rambut puti


berpakaian gombrong itu mungkin puluhan tahun

jauh dibawah umurnya. Semua penampilannya

jelas-jelas hanya merupakan satu penyamaran!

 Memasuki jurus keempat dengan mainkan

jurus Tangan Setan Menyusup Langit Raja Setan

Tersenyum berhasil menggebuk dada lawan.

Kakek rambut putih hanya bergoncang sedikit,

wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa

sakit. Padahal orang lain yang kena hantaman itu

paling tidak akan terpental dan cidera berat! Malah

dalam jurus ke empat inilah Raja Setan mengalami

nasib sial. Selagi dia setengah bengong melihat

pukulannya tidak menimbulkan akibat apa-apa

pada diri lawan tahu-tahu kakek rambut putih

kirimkan satu jotosan yang menjelang akan

sampai ke sasaran berubah menjadi satu sodokan

siku. Serangan ini mendarat di pinggang Raja

Setan, membuat si kakek melintir. Belum sempat

mengimbangi diri, satu totokan melanda pangkal

lehernya.

 "Jahanam! Siapa kau sebenarnya!" hardik Raja

Setan.

 Orang yang dihardik ambil sebuah patung

kecil terbuat dari kayu yang terletak di atas meja

lalu disumpalkan ke dalam mulut Raja Setan

hingga kakek botak ini kini hanya bisa keluarkan

suara ha-ha-hu-hu.

 Dengan cepat kakek rambut putih geledah

pakaian Raja Setan. Benda yang dicarinya sebuah

batu hitam tipis empat persegi ditemukan di dalam

sebuah kantong di balik jubah hijau Raja Setan.

 "Batu Bernyawa."

 Suara kakek rambut putih bergetar ketika

menyebut nama batu itu. Takut tertipu kakek

rambut putih teliti batu dengan seksama. Dadanya

berdebar, sesaat nafasnya tertahan ketika melihat

bagaimana batu itu mengeluarkan gerakan-

gerakan halus dan jari-jari tangannya merasakan

ada denyutan aneh seolah batu itu makhluk

bernyawa, bukan benda mati. Batu dimasukkan

ke balik pakaian gombrong. Lalu sekali bergerak

tubuhnya melesat ke atas dan lenyap dari


pemandangan.

 Melihat gerak dan cara orang melenyapkan

diri Raja Setan jadi terkesima. Dia melirik ke atas.

Astaga! Baru saat itu dia melihat Ternyata ada

satu lobang besar di langit-langit ruangan. Raja

Setan kerahkan tenaga dalam lalu meniup keras-

keras. Beberapa kali dicoba baru patung kayu

yang menyumpal mulutnya melesat mental.

 "Jahanam!" Maki raja Setan. "Bangsat itu!

Aku kini ingat. Aku rasa-rasa pernah mendengar

suaranya sebelumnya! Kurang ajar! Dia adalah

orang yang menotokku malam tadi! Dia juga yang

telah membunuh kekasihku Ratu Setan!" Untuk

beberapa lamanya sekujur tubuh Raja Setan

bergetar hebat dan keluarkan lelehan keringat.

"Batu sakti itu. Tobat! Agaknya memang bukan

milikku! Bukan jodohku!" Raja Setan kerahkan

tenaga dalam untuk lepaskan totokan. Tapi tak

berhasil. Akhirnya dia berteriak memanggil

pengawal.

 Ketika pengawal datang disusul kemudian

dengan kemunculan Tumenggung Abdi Tunggul,

kakek rambut putih berjubah gombrong telah

melompat melewati tembok Keraton sebelah

timur. Dengan cepat dia melesat memasuki satu

hutan kecil. Di dalam hutan dia tanggalkan

pakaian gombrangnya, copot rambut, kumis, dan

janggut putih. Dugaan Raja Setan Tersenyum

tidak meleset. Orang ini ternyata telah melakukan

penyamaran. Kini kelihatan wajahnya yang asli

serta sosoknya yang tinggi besar. Sambil tertawa

gelak-gelak dia pegang Batu Bernyawa di tangan

kiri dan percepat larinya.

 "Raja Setan. Kau boleh merasa sebagai tokoh

silat berkepandaian tinggi! Tapi kau tidak pernah

menyadari kau adalah tokoh silat paling tolol di

dunia ini! Ha...ha...ha!"

 Dua ratus tombak memasuki hutan kecil, orang itu 

membelok ke utara.

 "Aku harus cepat. Sebelum mentari tenggelam

sudah tiba di tempat perjanjian. Kalau kakek itu


nekad sampai bunuh diri, sia-sialah semua

rencana."



DELAPAN


DI SATU tikungan berbentuk 

hampir menyerupai tapal kuda, sungai berair bening 

itu bertemu dengan aliran sungai lain yang

bersumber dari sebuah gunung didaerah utara.

Kawasan ini penuh dengan batu-batu besar

berbentuk aneh betebaran dimana-mana. Ada

yang bulat besar seperti bola raksasa. Ada tegak

lurus menyerupai tiang setinggi dada manusia.

Banyak pula menyerupai bukit-bukit kecil. Lalu

ada beberapa berbentuk rata seperti ranjang tidur

atau meja besar.

 Sejak alam diciptakan, kawasan berhawa sejuk

itu boleh dikatakan selalu diselimuti kesunyian

abadi. Bahkan kicau burung atau deru aliran suara

air sungai tidak terdengar. Suara desau angin tak

pernah mampir ke telinga siapa saja yang berada

di tempat itu. Tapi saat itu, entah sejak kapan

kejadiannya ada satu suara aneh. Suara aneh

yang terdengar di tempat itu, tatkala sang surya

akan segera tenggelam beberapa saat lagi adalah

suara isak tangis. Siapa pula makhluk yang susah-

susah datang ke tempat terpencil itu hanya untuk

menangis? Benar manusiakah atau hantu yang

tersesat ketika gentayangan, tak mampu mencari

jalan pulang sebelum malam datang?

 Di atas sebuah batu besar berbentuk panjang

rata, menggeletak satu sosok tua renta berkulit

hitam berpakaian selempang kain putih. Rambut

yang semula di gelung di atas kepala kini menjulai

lepas di atas batu. Kalau rambutnya putih hampir

seperti kapas, sepasang alisnya masih hitam,

tebal menjulai. Orang tua ini terbujur diatas batu

rata demikian rupa sementara dua kaki terjulur

kebawah, masuk kedalam air sungai sebatas betis.

Dua kaki itu tak bisa diam. Sebentar dikuakkan

lebar-lebar hingga membersitkan deru angin luar


biasa deras. Sesekali ditendangkan ke udara

hingga ranting-ranting dan daun pepohonan di

sekitar tempat itu luruh berguguran. Sering pula

dua kaki itu yaitu ketika rasa sakit tidak

tertahankan dihunjamkan ke dalam air membuat

air sungai muncrat setinggi beberapa tombak,

jatuh ke bawah mengguyur kuyup sosok si kakek.

Kalau sudah begitu si kakek aneh semakin keras

tangisnya, semakin menyayat hati suara ratapannya.

 Dalam keadaan terlentang dan menangis kakek

berkulit hitam pergunakan tangan kiri untuk

mengangkat tinggi-tinggi bagian bawah kain putih

sementara tangan kanan yang memegang

setangkai daun keladi hutan besar tiada hentinya

mengipas-ngipas bagian bawah auratnya yang

tersingkap lebar.

 "Wutt...wuuuuttt...wuutttt."

 "Werrr...weerrr....weerrrrr."

 "Kroooookkkk...kroooookkkk....kroookkkkk."

 Sambil berkipas-kipas dari mulut si kakek tiada

henti terdengar suara isak tangis sedih berhiba-

hiba disertai ratapan tidak berkeputusan. Suara

tangisan itu ditimpai suara aneh "krockk.......

krooookkkk... krookkkk..." yang keluar dari balik

kain putih yang tersingkap lebar. Seolah ada

seekor kodok besar mendekam di bawah perut si

kakek dan keluarkan suara mengorek terus-

terusan. Kaiau saja ada orang lain di tempat itu

dan berani mengintip bagian bawah kain putih

yang tersingkap lebar maka dia akan melengak

besar. Takut, ngeri. Tidak percaya. Betapa tidak,

sepasang buah sakti si kakek yang wajarnya

hanya sebesar biji salak kini kelihatan meng-

gembung raksasa .sebesar buah kelapa. Setiap

saat seolah hidup, dua buah sakti itu

mengembung kembang kempis dan mengeluarkan

suara seperti kodok mengorek.

 Krokkkk:..krooook... krokkkkk!

 "Kantong menyanku sialan. Hik...hik." Si kakek

meratap. "Aku rela kalau kalian pecah saja! Biar

terbebas aku dari azab celaka ini. Hik...hik."


Suara tangis dan ratapan si kakek terhenti

sebentar lalu bersambung kembali. "Hik....

enggg... hik...hik. Oala, apa dosaku hingga ketiban

malapetaka begini rupa. Hik...hik...hik. Diseduh

air cabe rasanya mungkin tidak sepanas ini!

Ditemploki bara menyalapun mungkin tidak

sesakit ini! Hik...hik...hik. Enggg...enggg...

Direndam dalam air sungai, ademnya cuma

sebentar. Lama-lama malah tambah panas! Oala...

Tobat aku. Bagusnya mati saja saat ini! Tapi

manusia yang punya perjanjian itu. Apa aku harus

menunggunya atau aku bunuh diri saja?

Enggg...Hik...hik...hik."

 Tak tahan oleh sengatan rasa sakit si kakek

hunjamkan kedua kakinya ke dalam air. Air sungai

muncrat ke udara setinggi dua tombak, lalu jatuh

mengguyur sekujur tubuh si kakek.

 Dari keadaan si kakek, jika ada orang lain

melihat, selain menduga kakek itu adalah seorang

berkepandaian dan punya kesaktian tinggi, orang

itu juga akan mengira, akibat tidak tahan oleh

penyakit aneh yang dideritanya, si kakek telah

berubah ingatan. Menjadi gila! Sebenarnya kakek

ini tidak gila. Sejak dulu dia memang berperangai

dan bertingkah laku aneh. Hanya saja rasa sakit

yang diderita akibat membengkaknya sepasang

buah zakar memang luar biasa dan menambah

aneh perbuatan serta ucapannya.

 Dalam rimba persilatan tanah Jawa kakek

berkulit hitam mengenakan pakaian selempang

kain putih yang sudah kuyup ini dikenal dengan

julukan Dewa Sedih. Selain ilmu kesaktiannya

yang tinggi, dia juga memiliki keanehan tersendiri.

Mukanya yang hitam dengan alis panjang menjulai

selalu menunjukkan wajah sedih. Sekalipun

tertawa tampangnya tetap saja sedih. Apa lagi

kalau penyakit menangisnya kambuh. Apapun

yang dirasa, atau dilihat, apapun yang didengarnya 

bisa menjadi sumber tangis tiada henti.

Walau banyak yang menganggap kakek ini kurang

waras namun tidak ada orang berani main-main


padanya.

 Diketahui pula bahwa Dewa Sedih punya

seorang adik yang dikenal dengan julukan Dewa

Ketawa. Bertolak belakang dengan keadaan diri

dan sifat Dewa Sedih, sang adik selalu unjukkan

wajah ceria, sedikit bicara banyak ketawa. Melihat

sesuatu saja bisa jadi bahan ledakan tawa. Sekali

tertawa suaranya membahana, menggetarkan

tanah dan seperti mau memecah gendang-

gendang telinga. (Mengenai dua kakak beradik

aneh berjuluk Dewa Sedih dan Dewa Katawa bisa

dibaca dalam serial Wiro Sableng berjudul

"Halilintar Di Singosari" dan pasangannya

berjudul "Pelangi Di Majapahit.")

 Setelah menangis sesengguk isak-isakan

Dewa Sedih kembali meratap.

 "Mana orang itu! Ini adalah hari terakhir saat

perjanjian. Apa dia jadi datang atau dia hanya

menipu diriku. Kalau matahari tenggelam,

tenggelam pula diriku! Hik.. hik. Kantong

menyanku akan besar seperti kelapa selama-

lamanya. Hik...hik...hik. Bagaimana aku bisa

berjalan! Perempuan mana lagi yang akan sudi

mengusap anuku ini kalau melihat saja sudah

menakutkan. Hik .hiik...hik. Oala... lebih baik aku

gebuk saja biar pecah! Tak tahan sakitnya. Panas

sampai ke ubun-ubun. Sakit sampai ke jempol

kaki. Hik..hik...hik. Eh, apa aku masih punya

jempol kaki? Oala, aku tidak bisa melihat. Tiga

hari menunggu aku tidak makan. Aku tidak

sengsara! Tapi tiga hari kantong menyan

membengkak kembang-kempis enyut-enyutan

rasanya seperti di neraka! Bunyi lagi!

 Hik..hik...hik." Si kakek lalu menangis panjang-

panjang. Tangan kanannya kembali sibuk

mengipas-ngipas auratnya yang salah kaprah itu

dengan daun keladi hutan. "Lumayan, lumayan

adem. Hik...hik. Seharusnya ada perempuan

mengipasi anuku ini. Tidak usah perempuan

beneran. Dedemit atau setan jejadianpun tak jadi

apa. Malah-malah yang namanya bancipun tidak


aku tolak. Tapi mengapa tidak seorangpun yang

datang? Engg...hik...hik."

 Sambil menangis berkipas-kipas kakek di atas

batu melirik kelangit. Sebentar lagi matahari akan

tenggelam. Tangisnya semakin menjadi-jadi.

 "Oala, matilah diriku! Ini semua gara-gara 

selembar kain bersurat itu. Kalau saja aku menolak

menerimanya, tidak akan kejadian celaka yang

seperti ini. Sebentar lagi tamatlah riwayatku. Mati

di tempat sunyi seperti ini. Hik...hik...hik. Tidak

ada sanak tidak ada kadang tidak ada sahabat

yang melihat. Adikku Dewa Ketawa, aku banyak

dosa kesalahan padamu. Kita jarang bertemu.

Tapi kalau bertemu kau tertawa aku menangis.

Kita lebih banyak bertengkar. Kau memaki, aku

menyumpahimu. Kalau memang aku mati duluan,

maafkan diriku ya? Hik...hik...hik."

 Selagi menangis meratap-ratap begitu rupa

tiba-tiba di bawah kemerahan langit oleh saputan

cahaya sang surya yang hendak tenggelam

berkelebat satu bayangan. Orang ini datang berlari

dari arah timur. Untuk memintas jalan agar lebih

cepat, kawasan sungai dilewati dengan cara

melompat dari satu batu ke batu lain. Bebatuan

yang telah ratusan tahun berada di tempat itu

sangat licin karena ditebali lumut. Jarak batu

satu dengan lainnya paling dekat dua atau tiga

tombak. Tapi orang ini mampu melompat sambil

berlari seperti bocah tengah bermain dampu.

 "Dewa Sedih! Aku datang!"

 Suara gelegar teriakan orang membuat Dewa

Sedih tergagap, lalu hentikan tangisnya. Namun

hanya sebentar. Dilain saat dia kembali meratap.

"Dia datang... Orang itu datang. Aku tahu dia

menipuku! Aku tahu semua ini pekerjaannya.

Hik...hik...hik. Asal dia memang bisa mengobati

kantong menyanku! Asal saja dia bisa

mengembalikan ke bentuk semula, tidak ada yang

mencong, tidak ada yang penyok atau berubah

burik, hik...hik...hik. Akan lupakan semua derita

sengsara ini. Ini sudah suratan nasib, sudah

takdir. Engg...hik...hik...hik.


Suara ratap Dewa Sedih berhenti. Gema suara

orang masih menggetari seantero tempat. Tahu-

tahu seorang bertubuh tinggi besar telah berdiri

di atas batu kali rata, di samping sosok Dewa

Sedih. Orang ini perhatikan keadaan. Dewa Sedih

mulai dari kepala sampai kaki. Si kakek pelototkan

mata balas menatap, lalu sesenggukan dan

akhirnya menangis keras-keras.

 "Dewa Sedih, hentikan tangismu! Kau masih

mengenali diriku?"

 "Ya... yang Enggg....hik...hik...hik. Aku kenali

tampangmu. Hampir tiga penyakit celaka yang

bersarang di bawah perutku! Aku tahu semua ini

ulah buatanmu sendiri. Kau memanfaatkan diriku

karena aku memiliki...."

 "Kalau mau sembuh kau tidak perlu bicara

panjang lebar!" bentak si tinggi besar. "Ingin

sembuh dengar apa kataku!"

 "Engg...hik...hik...hik." Si kakek kembali

menangis.

 "Keluarkan Kain Bersurat. Sebentar lagi

matahari akan tenggelam. Saatnya kita mulai

bekerja."

 Dewa Sedih tidak lakukan apa yang diminta

orang, malah balik bertanya. "Apakah kau berhasil

mendapatkan Baru Bernyawa.?"



SEMBILAN


SEBAGAI jawaban orang tinggi besar keluarkan 

sebuah benda hitam tipis berukuran satu jengkal 

persegi. Inilah batu mustika sakti yang pertama kali 

muncul dibawa oleh makhluk ular berkepala nenek, 

di dalam peti yang ada kutungan kepala manusia. 

Peti itu kemudian dirampas oleh Putu Arka orang 

pertama dari Tiga Hantu Buleleng. Batu tersebut 

yang masih berada di dalam peti kayu hitam 

kemudian direbut dan dilarikan oleh Pangeran 

Haryo. Namun Pangeran Haryo sendiri menemui 

ajal. Batu sakti berpindah tangan pada Raja Setan 

Tersenyum. Seperti dituturkan sebelumnya, 

selanjutnya batu itu dibawa Raja Setan Tersenyum 

ke Keraton untuk diserahkan pada Tumenggung 

Abdi Tunggul. Tapi sebelum hal itu sempat 

dilaksanakan, batu mustika dirampas oleh seorang 

yang menyamar sebagai kakek rambut putih. Si 

kakek ini adalah kini orang tinggi besar yang 

menemui Dewa Sedih di kawasan tempat 

bertemunya dua sungai.

 Si tinggi besar perlihatkan batu hitam tipis

dan dekatkan ke muka Dewa Sedih. Si kakek

menatap, kerenyutkan alis, lalu menangis se-

senggukkan.

 "Hik...hik... tunggu, aku harus memastikan

batu itu asli atau tidak."

 "Dewa Sedih, aku melihat batu ini bergerak.

Aku merasakan ada denyutan seperti tarikan

nafas. Ini pasti batu asli. Mengapa kau harus

menyelidik menghabiskan waktu saja. Bagaimana

caranya?!" Orang tinggi besar mulai jengkel.

Apalagi saat itu waktu hanya tinggal sedikit

sebelum sang surya tenggela


"Hik...hik... Enggg... Orang yang aku kenal

muka tapi tidak kenal nama, kau tenang saja.

Turuti apa yang aku katakan, salah sedikit saja

akan celaka seumur-umur. Hik...hik..."

 Si tinggi besar menggeram menahan marah.

 "Kalau begitu lekas lakukan apa yang mau

kau kerjakan!" ucapannya setengah membentak.

 "Jangan bicara membentak. Aku jadi sedih..."

Dewa Sedih terisak-isak lalu menangis.

 "Sial!" maki si tinggi besar dalam hati.

"Mengapa tua bangka keparat ini yang memiliki

Kain Bersurat itu. Mengapa bukan orang lain

yang tidak banyak cingcong!" Kalau tidak punya

kepentingan luar biasa, mungkin sudah sejak tadi

kakek satu ini digebuknya sampai ambruk.

 Sambil sesenggukan Dewa Sedih tatap sesaat

batu hitam yang dipegang orang tinggi besar.

Lalu diangkat tangan kiri, telapak dikembangkan

lebar-lebar. Setelah merenung sesaat, pada

telapak tangannya itu Dewa Sedih melihat

bayangan jelas sebuah benda yang bukan lain

adalah Batu Bernyawa. Si kakek letakkan telapak

tangan di atas kening, pejamkan mata lalu

sesenggukan kembali dan menangis panjang

 Tidak sabaran orang tinggi besar bertanya.

 "Kek, apa yang kau lihat? Bagaimana keadaan

batu ini?"

 "Hik...hiik. Aku melihat... Kau ... kau beruntung.

Batu ini memang batu mustika asli. Berasal dari

dasar ke tujuh samudera pantai selatan. Tapi

dibalik keberuntungan itu aku hik..hik.. aku

melihat juga ada petaka besar menunggu

dikejauhan...."

 "Aku tidak perduli hal lain yang kau lihat.

Sekarang lekas keluarkan Kain Bersurat...."

 "Hik.... hik...Enggg.... Kau sudah membawa

paku berujung emas?" tanya si kakek.

 "Semua sudah kusiapkan. Kau saja yang

banyak tanya ini itu. Menangis tidak karuan. Aku

mulai tidak sabaran...."

 "Hik...hik...hik. Jangan bicara begitu. Aku jadi


sedih. Kalau kau tidak sabar kau tidak bakal

mendapatkan apa yang kau ingin...." jawab Dewa

Sedih lalu usap air matanya.

 "Mana Kain Bersurat itu?!" hardik si tinggi besar.

 "Serahkan dulu paku berujung emas," jawab

si kakek lalu menangis panjang.

 Meski kesal si tinggi besar keluarkan sebuah

benda yakni sebatang paku panjang sejengkal.

Ujung lancipnya berkilau kuning karena dilapisi

emas murni.

 "Ambil paku ini! Lekas kerjakan apa yang

menjadi tugasmu sesuai perjanjian. Jika Kau

menipu kau akan kondor sampai mati! Setiap hari

barangmu akan tambah besar tambah berat!"

 Dewa Sedih menggerung. "Jangan mengancam 

menakuti aku seperti itu. Aku sedih. Hik...hik...hik." 

Si kakek ambil paku berujung emas. Lalu paku 

dimasukkan ke liang telinga sebelah kiri. Perlahan-

lahan tapi sedikit demi sedikit paku lenyap masuk 

ke dalam liang telinganya. Bersamaan dengan 

lenyapnya paku di dalam telinga kiri, dari telinga 

kanan si kakek menyembul keluar sebuah benda 

yang ternyata adalah segulung kecil kain berwarna 

hitam. Si tinggi besar memperhatikan semua apa 

yang terjadi dengan mata tak berkesip.

 Dewa Sedih gerakkan tangan kiri kanan. Yang

kiri mencabut paku di telinga kiri. Paku lalu

diselipkan disudut mulut. Tangan kanan menarik

keluar gulungan kain hitam yang menyembul di

telinga kanan. Perlahan-lahan gulungan kain

dibuka. Ternyata pada kain hitam itu tertera

sederetan tulisan panjang, dibuat dengan tinta

berwarna kuning emas. Tulisan itu berbunyi :

 Aksara Batu Bernyawa

 Mula kehidupan anak manusia adalah dari

setetes air mani yang tenggelam ke dalam rahim

ibunya dan berubah

 menjadi jabang bayi

 Di dalam rahim sang ibu tali pusar menjadi

sumber kehidupan

 Jika seorang yang sakarat inginkan kehidupan


Jika seorang telah menghembuskan nafas

lalu terkubur sampai sebelum sang surya

tenggelam

 Dan mereka inginkan kehidupan duniawi

kembali

 Bagi mereka yang beruntung dan berjodoh

akan didapat nyawa kedua

 Asalkan dilakukan semua syarat yang diminta

 Pertama, upacara mendapatkan nyawa kedua

harus dilakukan pada menjelang tengah malam

ditempat terbuka dan dibawah cahaya bulan sabit

hari ketiga

 Kedua, insan tersebut sebelumnya harus

dimandikan dengan kembang tujuh rupa

 Ketiga, yang memandikan haruslah kaum

sejenisnya

 Lelaki dimandikan oleh lelaki, perempuan

dimandikan oleh perempuan

 Keempat, yang hadir dalam upacara

mendapatkan nyawa kedua tidak boleh lebih dari

dua orang

 Kelima, letakkan tali pusar bayi yang baru

dilahirkan diatas pusar insan yang bakal

mendapatkan nyawa kedua

 Keenam, kucurkan darah suci bayi yang baru

lahir di atas tubuh insan, mulai dari ujung kaki

sampai kepala dan rambut

 Ketujuh, sabarlah menunggu sampai kicau

burung atau kokok ayam pertama terdengar

sebelum fajar menyingsing

 Jika itu terjadi maka nyawa kedua telah

tersimpan di dalam tubuh insan

 Dia akan bernyawa, akan hidup seperti

manusia adanya, namun akan ditemui beberapa

kelainan

 Insan nyawa kedua tidak akan mengenal siapa

diri sendiri dan orang-orang disekitarnya.

 Insan nyawa kedua akan memiliki satu

kekuatan luar biasa

 Insan nyawa kedua berada dibawah kekuasaan

dan hanya tunduk pada orang yang memberikan


kehidupan kedua padanya

 Karenanya syarat kedelapan adalah, insan

nyawa kedua harus ditempatkan secara baik-baik

di satu tempat dimana mulai kehidupan kedua

datang padanya, tidak satu dosa kejahatanpun

baik berupa niat maupun tindakan boleh terjadi di

tempat tersebut.

 Syarat ke sembilan dan terakhir, setiap bulan

sabit malam ketiga, insan nyawa kedua harus

diusap ubun-ubunnya dengan darah segar bayi

yang baru dilahirkan

 Bilamana syarat ke delapan dan kesembilan

itu dilanggar maka insan nyawa kedua akan

kembali ke asalnya semula

 Dan yang berbuat dosa kejahatan akan

kejatuhan bencana malapetaka

 "Hik...hik.... Letakkan tanganmu yang

memegang batu tujuh jengkal di atas perutku.!.."

Dewa Sedih keluarkan ucapan

 Orang tinggi besar lakukan apa yang dikatakan

si kakek.

 "Pegang terus sampai aku memberi perintah

selanjutnya," kata Dewa Sedih sambil terisak-

isak. Kain bersurat dikembangkan di tangan

kanan, dihadapkan ke arah batu yang dipegang

di atas perut. Perlahan-lahan si kakek angkat

tangan kirinya. Lama tak terjadi apa-apa.

Mendadak tangan kiri itu memancarkan cahaya

merah. Cahaya merah keluar dari tangan,

membuntal di udara membentuk sebuah bola

besar. Bola merah ini kemudian bergerak

menyelubungi batu hitam yang dipegang orang

tinggi besar.

 "Lepaskan batu!" Dewa Sedih memerintah.

Lalu tenggorokannya sesenggukan. Dari mulutnya

keluar suara meratap panjang.

 Agak ragu-ragu orang tinggi besar lepaskan

tangannya yang memegang batu. Luar biasa! Batu

yang tidak dipegang itu kini mengapung di udara,

masih dalam buntalan cahaya merah. Si kakek


angkat tangan kirinya yang memegang paku

berujung emas. Paku diusap-usapkan diatas Kain

Bersurat tujuh kali berturut-turut. Selesai

mengusap kaki yang ke tujuh paku dilepas.

Seperti batu, paku ini juga tidak jatuh, mengapung

di udara. Malah kini paku bergerak melayang ke

arah batu dalam buntalan cahaya merah. Lalu

terdengar suara greet-greet...greet berkepanjangan. 

Ujung paku yang lancip dan berlapis emas

bergerak ke bagian kiri atas batu. Lalu bergerak

menggurat dari kiri ke kanan, pindah ke bawah,

kembali dari kiri ke kanan demikian seterusnya.

Dalam waktu singkat, apa yang tertulis di atas

Kain Bersurat kini telah pindah dan tertera di

atas Batu Bernyawa. Begitu semua tertulis

lengkap, tulisan yang ada di atas kain hitam Kain

Bersurat lenyap secara aneh. Bedanya kalau

tulisan di atas Kain Bersurat berwarna kuning

emas, maka tulisan yang tergurat di atas Batu

Bernyawa berwarna putih terang.

 Dewa Sedih menangis panjang.

 "Pegang batu," katanya.

 Orang tinggi besar cepat ulurkan tangan

memegang batu. Cahaya berbentuk buntalan ».

merah bergerak menjauhi batu, melayang dan

masuk kembali ke tangan kiri Dewa Sedih. Lapisan

emas yang menutupi ujung paku lenyap. Paku ini

kini tiada beda bentuknya dengan paku hitam

besi biasa. Paku besi jatuh berdentringan di atas

batu tempat si kakek terbaring, terpental masuk

ke dalam air sungai.

 "Enggg....hik....hikkkkk." Dewa Sedih kembali

menangis. "Pekerjaanku telah selesai.... Batu ini

kini bertukar nama. Dari Batu Bernyawa menjadi

Aksara Batu Bernyawa. Hik...hik...hik. Orang yang

aku kenal tampang tapi tidak kenal nama,

sekarang giliranmu. Kau harus memberi

kesembuhan yang kau janjikan padaku!"

 Si tinggi besar menyeringai.

 "Bagaimana kalau aku tidak menepati janji."

 "Apa....?" Dewa Sedih meraung keras lalu

menangis sejadi-jadinya. "Kau akan kualat. Apa


yang menjadi segala rencanamu akan menemui

kegagalan. Malapetaka besar akan menimpamu.

Hik...hik...hik. Kalau kau memang mau ingkar janji

aku minta kau membunuhku saat ini juga.

Sesudah itu akan kau lihat, penyakitku akan pindah 

ke dirimu! Kantong menyanmu akan bengkak

besar lalu meledak. Enggg...Hik...hik...hik."

 Si tinggi besar tertawa gelak-gelak. Dia alihkan

pandangan ke arah batu yang dipegang.

 Mendadak tawanya lenyap.

 "Tua bangka jahanam! Kau menipuku!"

 "Hik...hik, memangnya ada apa?" Dewa Sedih

kaget lalu menangis.

 "Tulisan di atas batu lenyap!"

 Dewa sedih tersenyum. Ini pertama kali si

tinggi besar melihat orang tua itu tersenyum.

Tapi begitu senyum lenyap tangisnya muncul

kembali.

 "Tulisan tidak hilang. Masih ada diatas batu.

Hanya mata biasa tidak bisa melihat. Pada saat

kau akan melakukan upacara nyawa kedua, kau

harus lebih dulu mencelup batu itu dalam darah

segar bayi yang baru lahir. Tulisan di atas batu

akan muncul kembali...."

 "Kalau kau menipuku, aku akan mencarimu

sampai diujung neraka sekalipun...."

 Si kakek hanya bisa manggut-manggut sambil

kucurkan air mata.

 "Sekarang kau tunggu apa lagi? Kempeskan

kantong menyanku! Tapi awas, jangan sampai

ada yang salah bentuk, ukuran dan mengkilapnya.

 Hik...hik,..hik."

 Si Tinggi besar menyeringai. Dia bungkukkan

tubuh, tarik ujung selempang kain putih pakaian

si kakek disebelah bawah, lalu susupkan tangan

yang memegang Aksara Batu Bernyawa. Batu itu

ditempelkan di atas kantong menyan si kakek

beberapa lamanya.

 "Hik...hik....." Si kakek masih menangis tapi

matanya kini kelihatan meram melek. "Adem....

hik...hik. Enaknya... aduh hik...hik. Sedap sekali.


Asyikkk... Hemmmm....Hik...hiik." Si kakek leletkan

lidah berulang kali. Dalam tangisnya dia kelihatan

senyum-senyum. "Enteng...hik...hik.. tubuhku

sebelah bawah jadi enteng. Engg... sudah

sembuhkah diriku?"

 "Silahkan kau lihat sendiri Kek..." jawab si

tinggi besar.

 Kalau selama ini dia sulit baginya untuk

bergerak, tapi kini Dewa Sedih dengan mudah

bisa bangkit dan duduk sambil buka dua kaki di

atas batu. Kain putih ditarik tinggi-tinggi ke atas.

Dia memandang ke bawah. Mata mendelik berkilat.

Ratapan panjang keluar dari mulutnya. "Aku

sembuh! Bijiku yang bengkak sebesar kelapa

sudah kempes. Kantong menyanku sudah ciut

bagus. Oala..." Dengan dua tangannya Dewa

Sedih usap-usap auratnya di sebelah bawah perut

itu. Lalu tangan yang mengusap disekakannya ke

sekujur muka. Setelah itu kembali dia mengusap

bagian bawah perutnya, ganti mengusap wajah.

Demikian sampai berulang kali.

 "Dewa Sedih" si tinggi besar berkata. "Aku

akan tinggalkan tempat ini. Dengar baik-baik

beberapa hal penting yang akan aku beritahu...."

 "Kau ,yang harus lebih dulu mendengarkan

ucapanku!" memotong Dewa Sedih. Wajahnya

tampak serius tapi hanya sebentar lalu kembali

berubah sedih.

 "Apa yang hendak kau katakan?" tanya orang

tinggi besar.

 "Hik...hik. Petunjuk yang tertulis di atas Aksara

Batu Bernyawa tidak keseluruhannya lengkap.

Kelak akan ada makhluk gaib mendatangimu,

mungkin menampakkan diri, mungkin hanya

suara. Makhluk itu kelak akan muncul menyam-

paikan beberapa petunjuk penting berkaitan

dengan batu mustika pemberi kehidupan itu."

 Orang tinggi besar usap-usap dagunya. Dia

menatap ke arah langit yang tadi merah kini

mulai dibayangi kegelapan. Dia merasa lega,

semua berjalan sesuai rencana dan sesuai waktu.


"Sekarang giliranku bicara."

 "Hik...hik..." Si kakek mendengar tanpa angkat

kepala.

 "Ada beberapa hal penting. Kau tidak pernah

melihat diriku, tidak pernah mengenali

tampangku!"

 Dewa Sedih anggukkan kepala. Sesenggukan.

 "Kejadian hari-hari dulu dan hari-hari ini tidak

pernah ada!"

 "Dewa sedih anggukkan kepala sambil terisak.

 "Kau tidak pernah tahu tentang Batu

Bernyawa. Juga tidak pernah tahu atau pernah

melihat tentang Aksara Batu Bernyawa."

 "Ya, ya. Hik...hik...hik. Dewa Sedih masih 

tundukkan kepala. Sibuk mainkan kantong 

menyannya.

 Dalam hati si tinggi besar berkata.

 "Kalau saja tidak ada pantangan membunuh

satu kali sebelum dan satu kali sesudah

mendapatkan Aksara Batu Bernyawa, pasti sudah

dari tadi-tadi kuhabisi tua bangka sinting ini."

 Baru saja orang tinggi besar membatin begitu,

Dewa Sedih langsung meratap panjang.

 "Ada orang mau membunuhku. Apa salahku,

apa dosaku? Engg...hik...hik...hik."

 Orang tinggi besar terkesiap mendengar

ucapan si kakek. "Manusia satu ini apa dia punya

kesaktian mendengar suara hati orang?" Tidak

menunggu lebih lama orang ini segera tinggalkan

tempat itu.

 Ketika akhirnya Dewa Sedih angkat kepala

orang tinggi besar tak ada lagi di tempat itu. Si

kakek langsung meratap.

 "Teganya dia meninggalkan diriku.

 Hik...hik...hik." Lalu kembali dua tangannya

sibuk mengusapi perabotan di bawah perutnya

sambil sepasang mata terpejam-pejam meram

melek. Dengan suara sesenggukan dia berucap.

"Untung masih utuh. Untung masih mengkilap.

Tidak ada bagian yang penyok, tidak ada yang

bentol-bentol, tak ada yang burik. Hik...hik...hik."


SEPULUH


DALAM akhir Episode sebelumnya (Bendera

Darah) diceritakan perkelahian hebat yang terjadi 

antara Pendekar 212 Wiro Sableng dengan Adipati 

Sidik Mangkurat dari Magetan.

Murid Sinto Gendeng tidak berdaya menghadapi

Adipati yang bersenjatakan Pecut Sewu Geni,

sebuah cambuk sakti yang mampu menyem-

burkan puluhan lidah api. Sebelumnya Loh Gatra

telah cidera terkena hantaman cambuk itu. Kini

Wiro siap menerima giliran mendapat celaka

dipanggang hidup-hidup.

 Puluhan lidah api menyambar ke arah

Pendekar 212. Pukulan Tameng Sakti Menerpa

Hujan dan Topan Melanda Samudera yang

dilepaskan Wiro untuk membentengi diri sekaligus

melancarkan serangan balasan ternyata tidak

berdaya menghadapi puluhan lidah api yang

menyembur dari Pecut Sewu Geni. Empat belas

lidah api berkiblat dan berhasil tembus, siap

menggulung hangus sosok sang pendekar.

 Pada saat yang sangat menentukan itu dalam

kegelapan malam mendadak muncul seorang

kakek berjubah dan bersorban putih berkilat.

Wajahnya dihiasi janggut dan kumis putih lebat

terpelihara rapi. Laksana seekor elang orang tua

ini menukik kearah Sidik Mangkurat. Dua lengan

jubah dikebutkan. Dua gelombang cahaya

berwarna biru disertai hamparan angin luar biasa

dinginnya menerpa hebat. Puluhan kobaran lidah

api serta merta padam. Wiro lolos dari malapetaka

dahsyat yang bisa membuat dirinya tinggal tulang

belulang gosong hitam.

 Dalam keadaan terpental, Sidik Mangkurat

terkejut besar karena dapatkan pecut sakti tak


ada lagi di tangan kanannya. Siapa yang telah

merampas? Ketika dia mendongak, memandang

ke atas sebuah pohon, dia melihat sosok seorang

kakek berjubah dan bersorban putih berkilat.

Pecut Sewu Geni berada pada si kakek, digulung

sepanjang lengan kanannya. Orang tua ini sendiri

saat itu tahu-tahu telah berdiri enak-enakan di

atas cabang pohon yang besarnya hanya 

sepergelangan tangan. Cukup membuktikan bahwa 

dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat

tinggi.

 Adipati Sidik Mangkurat berteriak marah. Minta

agar si orang tua yang tak dikenal mengembalikan

pecut sakti. Tapi sambil tertawa orang tua itu

malah membuka kedok Sidik Mangkurat. Ternyata

pecut itu adalah milik seseorang di negeri

seberang dan selama lima puluh dua purnama

sang Adipati telah menguasai senjata itu secara

tidak syah. Terjadi perang mulut. Si orang tua

menantang. Kalau Sidik Mangkurat memang

inginkan Pecut Sewu Geni maka dia dipersilahkan

mengambil sendiri ke atas pohon.

 Dalam keadaan marah besar dan ditantang

begitu rupa di hadapan sekian banyak anak

buahnya Sidik Mangkurat jadi nekad. Dia melesat

ke atas pohon. Namun sekali si orang tua

mengibaskan tangan, sosok Sidik Mangkurat

terpental keras lalu jatuh bergedebuk di tanah.

Sadar kalau dia tidak bakal mampu menghadapi

lawan yang begitu tangguh, apa lagi mengha-

rapkan dapat merebut Pecut Sewu Geni kembali,

terbungkuk-bungkuk menahan sakit, Sidik Mang-

kurat bersama anak buahnya segera tinggalkan

tempat itu.

 Sebelum pergi kakek berjubah dan bersorban

putih berkilat sempatkan diri menolong Loh Gatra

yang mengalami luka bakar di sekujur tubuh

akibat hantaman cambuk sakti. Pecut Sewu Geni

digantung di depan tubuh Loh Gatra. Lalu si

kakek meniup. Saat itu juga seluruh luka bakar

lenyap. Tubuh Loh Gatra kelihatan seperti tidak

pernah mengalami apa-apa!

 "Luar biasa! Kek, kau hebat sekali!" Wiro


memuji sambil garuk-garuk kepala dan menatap

si orang tua.

 Yang ditatap balas memandang, sunggingkan

senyum dan kedipkan mata kiri pada murid Sinto

Gendeng. Di lain kejap sekali berkelebat sosoknya

lenyap dalam kegelapan malam.

 Wiro leletkan lidah, geleng-gelengkan kepala.

 "Aku tak kenai siapa adanya kakek hebat itu.:"

 "Aku malah tak sempat mengucapkan terima

kasih...." Ucap Loh Gatra sambil usap-usap

wajahnya yang kembali mulus setengah tidak

percaya.

 Kegembiraan dua pendekar itu tidak berlangsung 

lama. Tiba-tiba muncul seorang penunggang

kuda berjubah bertutup kepala putih. Luar

biasanya sosok putih di atas kuda itu sebentar

kelihatan sebentar lenyap. Wulan Srindi yang ada

di tempat itu berteriak kaget.

 "Manusia pocong!"

 Sosok manusia pocong lenyap. Ketika Wulan

Srindi berpaling ke kiri, gadis ini kembali berteriak.

 "Awas serangan membokong! Wiro!"

 Wiro berbalik, putar tubuh dengan cepat.

 Tapi terlambat Pendekar 212 Wiro Sableng

hanya sempat melihat sebuah benda melesat di

kegelapan malam disertai cipratan cairan. Lalu

dia mengerang pendek, merasakan perih amat

sangat di bagian dada. Ketika dia memperhatikan

ternyata di dadanya telah menancap sebuah

bendera aneh.'Berbentuk segi tiga, basah oleh

cairan berwarna merah.

 "Bendera Darah..." desis Wulan Srindi dengan

suara bergetar.

 Wiro menggigit bibir menahan sakit.

 "Kurang ajar! Siapa yang punya pekerjaan...."

 "Pasti makhluk serba putih tadi. Manusia

pocong! Tetap disini. Aku akan mengejar bangsat

itu!" Kata Loh Gatra.

 "Tunggu, jangan kemana-mana. Aku curiga

serangan membokong ini hanya jebakan belaka."

Ujar Wiro lalu pejamkan mata, menjajaki mencari

tahu apakah tangkai bendera yang menancap di

badannya mengandung racun atau tidak. Tidak


ada hawa panas, tidak ada kekacauan dalam aliran

darah. Berarti tidak ada tanda-tanda yang

menunjukkan kayu bendera mengandung racun.

Kalaupun ada mungkin kesaktian Kapak Naga

Geni 212 yang tersisip di pinggangnya telah

memusnahkan racun itu.

 Wiro perhatikan Bendera Darah yang

menancap di dadanya. Sambil keluarkan suara

mengeram murid Sinto Gendeng gerakkan tangan

hendak mencabut gagang bendera. Saat itu

mendadak ada orang berseru.

 "Jangan dicabut! Berbahaya!"

 Wulan Srindi, Loh Gatra dan lebih-lebih Wiro

tentu saja tersentak kaget.

 Di lain kejap, dari kegelapan malam muncullah

seorang pemuda berpakaian coklat, berkepala

gundul, berwajah dan berkulit tubuh kuning. Dia

adalah pemuda dari Negeri Latanahsilam yang

dikenal dengan nama Jatilandak.

 Wiro mendengus, tidak perdulikan kehadiran

pemuda itu. Hatinya masih sangat terluka atas

kejadian beberapa waktu lalu. Dia menyaksikan

Jatilandak bermesraan dengan Bidadari Angin

Timur. Kini dia merasa benci sekali melihat

pemuda dari Negeri Latanahsilam ini.

 Wulan Srindi menatap Jatilandak sesaat lalu

memandang berkeliling. Sebelumnya pemuda

muka kuning itu bersama-sama dengan Bidadari

Angin Timur. Si pemuda datang sendirian, lalu

dimana si gadis?

 "Hemm... mungkin dia sengaja sembunyikan

diri." kata Wulan Srindi dalam hati. "Lihat saja,

akan aku kerjain lagi si pencemburu ini!"

 Jatilandak melangkah mendekati Wiro dan

mengulangi lagi peringatannya tadi agar Wiro

jangan mencabut gagang bendera yang menancap

di dadanya.

 Tanpa memandang pada pemuda bermuka

kuning itu Wiro bertanya. "Kalau dicabut

memangnya kenapa?" Wiro bertanya acuh sambil

arahkan pandangan keberbagai sudut gelap,

mencari-cari. Namun dia tidak melihat sosok


Bidadari Angin Timur. Padahal sebelumnya dia

tahu betul kalau gadis itu berdua-duaan dengan

Jatilandak. Apakah mereka berpisah di tengah

jalan atau mungkin si gadis bersembunyi di satu

tempat?

 "Aku pernah.melihat bendera ini sebelumnya,"

menerangkan Jatilandak. "Ujung lancip yang

menancap di dalam daging tubuhmu berbentuk

gerigi runcing menghadap keluar. Jika gagang

bendera dicabut, daging sekitarnya akan ikut

terbongkar. Bisa sebesar ini." Jatilandak membuat

lingkaran dengan dua ibu jari dan dua jari tengah

tangan kiri kanan.

 "Gila! Sialan!" Maki Wiro. "Aku tidak percaya.

Kalau tidak dicabut, biar aku patahkan saja!"

 Nekad Wiro kembali gerakkan tangan hendak

mematahkan gagang Bendera Darah. Tapi satu

tangan halus cepat memegang lengannya,

mencegah.

 "Orang sudah memberi nasihat, mengapa

berbuat nekad?!"

 Wiro putar kepala, menatap wajah cantik gadis

berkulit hitam manis.

 "Kau yang tadi mengaku murid Dewa Tuak,

siapa kau sebenarnya?!" tanya Pendekar 212.

 "Tadi waktu Adipati itu masih di sini aku

sudah menjelaskan. Apa kau tidak mendengar?

Namaku Wulan Srindi. Aku murid Dewa Tuak.

Kau tahu, selama ini aku mencarimu...."

 "Aku tidak percaya kau murid Dewa Tuak.

Perlu apa kau mencariku?"

 "Tidak heran kalau kau tidak percaya. Kita

tidak pernah bertemu sebelumnya. Kau akan lebih

heran lagi kalau aku katakan bahwa menurut

guru, aku berjodoh dengan dirimu."

 "Eee...apa?!" Wiro sampai tersentak dan rasa

sakit di dadanya terasa berlipat ganda.

 Wulan Srindi tersenyum.

 "Nanti saja kita bicarakan hal yang satu itu.

Tak jauh dari sini ada tempat yang baik. Kau bisa

berbaring di sana sementara kami-kami berusaha

membantu mengeluarkan Bendera Darah dari

tubuhmu.


Baru saja Wulan Srindi selesai berucap tiba-

tiba dikejauhan ada orang berteriak.

 "Pendekar 212 Wiro Sableng! Jika ingin

selamat dari Bendera Darah, jika kau masih punya

nyali silahkan datang ke Seratus Tiga belas

Lorong Kematian!"

 "Manusia pocong! Pasti itu manusia pocong

yang mencelakaiku! Jahanam!" Wiro segera

angkat tangan kanannya. Begitu tangan berubah

putih seperti perak mulai dari siku sampai ujung

jari dia langsung menghantam.

 "Wusss!"

 Selarik cahaya putih panas menyilaukan

berkiblat dalam gelapnya malam. Menghantam ke

arah datangnya suara orang berteriak tadi. Pohon-

pohon yang terkena sambaran Pukulan Sinar

Matahari berderak patah, mental dalam keadaan

hangus. Kobaran api bertebaran di beberapa

tempat. Suasana di tempat itu menjadi terang

untuk beberapa lamanya. Namun manusia pocong

yang jadi sasaran pukulan tidak kelihatan. Tidak

ada suara jeritan atau ringkik kuda pertanda

makhluk tersebut berhasil lolos dan tinggalkan

tempat itu.

 Murid Sinto Gendeng menggeram marah,

kepalkan jari-jari tangan kanan. "Manusia pocong

jahanam! Saat ini kau bisa lolos. Aku bersumpah

akan mengejarmu sekalipun sampai ke neraka!"

 Sementara itu di satu tempat gelap dibalik

sebatang pohon besar, seseorang yang sejak

tadi mendekam menyembunyikan diri menge-

luarkan umpatan. Walau diucapkan perlahan tapi

karena tempat itu sunyi, jika ada orang lain di

dekat situ, suaranya cukup jelas terdengar.

 "Gadis tak tahu diri. Tak tahu diuntung!

Beraninya mengaku murid Dewa Tuak. Beraninya

mengatakan berjodoh dengan Wiro. Aku tahu kau

berdusta! Huh! Lihat saja, aku bersumpah satu

saat akan menampar mulutmu!"

 Tidak dinyana, tiba-tiba satu suara bertanya.

 "Sahabat lama, siapa orang malang yang

hendak kau jadikan sasaran tamparanmu?

Mudah-mudahan bukan diriku. Aduh, bisa-bisa


kencingku muncrat semua. Saat ini saja belum

apa-apa sudah mau luber rasanya. Hik...hik...hik."

 Orang yang sembunyi dibalik pohon tersentak

kaget. Dia mencium bau pesing. Hatinya

membatin. "Seingatku hanya ada satu manusia

yang tubuh dan pakaiannya melebar bau pesing.

Nenek itu... Tapi yang barusan bicara suara laki-

laki. Dia mengaku sahabat lama." Orang dibalik

pohon cepat palingkan kepala sambil tangan

kanan berlaku waspada siap melancarkan

pukulan. Sepasang mata membesar.

 Pandangannya membentur satu kepala botak

yang baru ditumbuhi rambut, dua telinga berdaun

lebar yang salah satunya terbalik. Lalu ada

sepasang mata belok balas menatap ke arahnya

sambil dikedap-kedipkan.

 "Kau! Menjauh! Jangan dekat-dekat. Aku tak

mau celanamu yang basah penuh air kencing

menyentuh pakaian, apa lagi tubuhku!"

 Orang yang dibentak cuma senyum-senyum.

"Aku tahu diri. Aku juga takut bersentuhan

denganmu. Bisa-bisa bukan air kencing yang

keluar tapi air yang lain. Hik...hik...hik!"

 "Tua bangka sinting kurang ajar! Jangan kau

berani bicara jorok padaku! Saat ini aku sedang

kesal! Jangan salahkan kalau aku sampai

merobek mulutmu!"

 "Serrrr!"

 "Nah, nah! Ancamanmu menakutkan sekali.

Membuat aku tidak dapat menahan beser!"

 "Sudah! Jangan banyak mulut! Pergi sana!"

 "Amboi, gerangan apa yang membuat dirimu

kesal? Putus bercinta, ditinggal kekasih atau...."

 "Kakek brengsek! Sudah! Tutup mulutmu!

Buka matamu yang belok! Lihat ke depan sana.!"

 Kakek berkuping lebar bermata belok putar

kepala ke arah yang dikatakan orang. Mulutnya

terbuka melongo.

 "Astaga! Yang satu itu bukankah dia si anak

setan murid Sinto Gendeng! Eh, anak sableng itu

dia memakai hiasan apa di dadanya?"

 "Bukan memakai hiasan apa! Dia barusan

dibokong orang dengan Bendera Darah


"Astaga!" si kakek kembali mengucap. "Siapa

yang membokongnya?"

 "Manusia pocong!"

 "Serrr!"

 Mendengar disebutnya nama itu kakek yang

celananya kuyup bau pesing yang bukan lain

adalah kakek konyol Setan Ngompol adanya,

untuk kedua kalinya langsung kucurkan air

kencing.

 "Makhluk jahanam itu, rupanya benar-benar

sudah gentayangan kemana-mana. Biasanya

muncul menculik perempuan bunting. Kini

mengapa mencelakai sahabatku si anak sableng

itu?"

 "Huh! Kau tahu apa tentang manusia pocong?"

 "Bidadari Angin Timur," Setan Ngompol sebut

nama si gadis. "Aku pernah hendak dibunuh

orang gara-gara mengenakan jubah putih milik

seorang manusia pocong yang sengaja

ditinggalkan di sebuah rumah untuk menjebakku."

 "Bagaimana ceritanya?" bertanya gadis cantik

yang memang Bidadari Angin Timur adanya.

 "Panjang. Nanti saja kalau ada kesempatan

akan aku ceritakan padamu."

 "Hemmm... Baiklah. Sekarang jelaskan

bagaimana kau bisa berada di tempat ini. Ingat,

seusai perjanjian kau menemui aku dan dua gadis

lain di gedung kepatihan. Kau tidak datang, tahu-

tahu sekarang muncul disini! Celana kuyup air

kencing, bau pesing!"

 Setan Ngompol tertawa lebar, usap-usap

kepalanya yang baru ditumbuhi sedikit rambut.

"Kalau celana tidak kuyup air kencing namaku

bukan Setan Ngompol. Ha...ha...ha!"

 "Husss!" Tertawa seenaknya! Kau kira tempat

apa ini!"

 Setan Ngompol tekap mulutnya dengan tangan

kiri.

 "Ayo bilang mengapa kau tidak memenuhi

janji pertemuan di gedung Kepatihan."

 Setan Ngompol usap-usap kepalanya. "Waktu

itu aku melantur sedikit. Ada janda montok di

Bantul yang membuat aku tergila-gila. Tapi gara


gara urusan itu aku hampir dibunuh orang...."

 "Kapok! Biar tahu rasa!" tukas Bidadari Angin

Timur.

 "Saat itu aku memang kapok. Tapi sekarang,

apalagi malam-malam dingin begini, kalau ingat

sang janda, rasanya aku mau buru-buru balik ke

Bantul lagi menemui...."

 "Ssssttt!" Bidadari Angin Timur memberi

isyarat. Jari telunjuk tangan kanan dipalangkan

diatas bibir. "Lihat, ada orang datang!" Bisik gadis

berambut pirang panjang ini.

 Setan Ngompol ikut-ikutan letakkan jari

telunjuk tangan kanan di atas bibir, pelototkan

mata lalu berpaling ke depan sana.

 "Astaga!" Si kakek terkejut dan serr! Dia

kucurkan air kencing. "Nenek gendeng itu! Setiap

muncul selalu bikin geger. Pasti sebentar lagi

akan heboh tempat ini!" Setan Ngompol berpaling

lalu bertanya. "Menurutmu apa kita keluar saja

dan bergabung dengan mereka?"

 "Kau barusan bilang sebentar lagi tempat ini

bakalan heboh. Kalau kau mau ikutan heboh

silahkan saja bergabung sendiri. Aku tetap di

sini, jadi penonton saja. Mentang-mentang kalian

sama bau pesingnya. Eh, jangan-jangan kau

sudah lama gatal sama nenek itu. Naksir...?"

 Si kakek pencongkan mulut, lalu cepat-cepat

tekap mulutnya agar tawanya tidak meledak.

"Bercinta dengan perempuan yang sama bau

pesingnya apa enaknya? Tidak ada penghijauan

dan penyegaran bebauan. Hik...hik...hik."

 "Sudah! Pergi sana. Temui nenek itu."

 Setan Ngompol usap-usap kepala. "Aku ikut

kamu. Kita sama-sama jadi penonton saja. Lagi

pula lama-lama bersamamu kurasa hidungmu

sudah jadi terbiasa dengan bau pesingku.

Bagaimana, sedap juga 'kan? He...he...he."

 "Kakek geblek!" maki Bidadari Angin Timur.

 Di depan sana, diantara Loh Gatra, Wulan

Srindi, Wiro Sableng dan Jatilandak tegak agak

terbungkuk seorang nenek tinggi, kurus kering,

berkulit hitam. Di kepalanya menancap lima tusuk

konde perak. Di tangan kiri ada sebuah tongkat


kayu butut. Tubuhnya, terutama kain yang

dikenakannya menebar bau pesing. .Sepasang

matanya yang seperti ada apinya memandang

berputar liar. Nenek angker ini bukan lain adalah

dedengkot rimba persilatan tanah Jawa, guru

Pendekar 212 Wiro Sableng. Sinto Gendeng dari

puncak Gunung Gede.

 Melihat siapa yang berdiri di depannya Wiro

cepat mendatangi lalu membungkuk hormat. "Nek,

salam hormat dari muridmu" sapa sang pendekar

pada sang guru.

 Sinto Gendeng hanya melirik sekilas, lalu

memandang berkeliling ke arah Jatilandak, Loh

Gatra, dan Wulan Srindi.

 Melihat si nenek memandang ke arahnya dan

tadi dia mendengar Wiro menyebut guru pada

sisi nenek, Wulan Srindi buru-buru mendatangi si

nenek. Jatuhkan diri berlutut seraya berkata.

 "Nenek Sinto, terima salam hormat dariku.

Wulan Srindi. Calon menantumu..."

 Sepasang mata Sinto Gendeng seperti

terpacak pada wajah gadis cantik hitam manis

yang berlutut di depannya. Lima tusuk konde di

kulit kepalanya seperti berpijar dan bergoyang-

goyang. Di dalam hati gadis ini jadi punya rasa

takut kalau-kalau akan disemprot si nenek angker.

Namun diam-diam dia juga merasa lega. Jika

Bidadari Angin Timur ada disitu pasti dia

mendengar ucapannya tadi."

 Rasakan, biar terbakar telinga, hangus

dadanya mendengar kata-kataku! Lain dari itu

aku juga untung-untungan. Siapa tahu benaran

diterima jadi menantu!" Wulan Srindi senyum-

senyum sendiri.

 Sinto Gendeng mendongak ke langit. Lalu

nenek ini tertawa cekikikan.

 "Tidak disangka banyak orang gila ditempat

ini! Hik...hik...hik.!"




SEBELAS


DI BALIK semak belukar Setan

Ngompol ingin ikut-ikutan tertawa. Karena ditahan-

tahan akhirnya dia jadi terkencing sendiri. Sebaliknya 

Bidadari Angin Timur berkata.

 "Dasar gadis lancang! Berani-beraninya

mengaku calon menantu pada nenek itu...."

 "Nah, nah. Sekarang aku tahu mengapa kau

kesal. Pada siapa kau kesal. Kau kesal pada

gadis hitam manis mengaku bernama Wulan

Srindi itu. Kau kesal karena dia mengaku calon

menantu si nenek. Berarti calon suami Wiro si

anak sableng."

 "Kau percaya ucapan gadis itu?"

 "Tentu saja tidak."

 "Alasanmu?"

 "Seingatku Wiro cuma suka pada gadis cantik

berkulit putih dan mulus. Seperti...."

 "Seperti apa?"

 "Sepertimu inilah," jawab Setan Ngompol.

 "Banyak gadis lain yang juga berkulit putih...."

 "Tapi dia tidak memiliki rambut pirang yang

menakjubkan sepertimu."

 "Memangnya rambutku bagus?"

 "Buaguss uaammmmaaattt..." jawab Setan

Ngompol lalu tertawa sendiri dan ngompol sendiri.

 Kata-kata Setan Ngompol itu bagaimanapun

juga sedikit menghibur hati Bidadari Angin Timur

yang sejak beberapa waktu belakangan ini selalu

kesal.

 Di depan sana Sinto Gendeng hentikan tawa,

ketuk-ketukkan tongkat lalu membuka mulutnya

yang perot.

 "Orang gila pertama adalah kau!" Si nenek

tudingkan ujung tongkatnya ke jidat Wiro Sableng.

 "Dandanan gila apa yang kau pakai ini?

Menancapkan bendera basah bau amis di dada!

Uuahhh!" Si nenek semburkan ludah merah ke


tanah. Merah karena di mulutnya dia selalu

membekal susur yaitu tembako, daun sirih dan

pinang yang dikunyah-kunyah.

 "Nek, ini bukan dandanan. Aku dibokong orang...." 

Menjelaskan Pendekar 212.

 "Apa? Kau dibokong orang? Astaga naga.

Untung bukan bokongmu yang dibokong!

 Hik...hik...hik... Untung bukan anumu yang

ditancapi! Hik...hik'...hik...." Sinto Gendeng tertawa

cekikikan.

 "Seorang anggota komplotan Barisan Manusia

Pocong muncul. Melakukan serangan dari tempat

gelap ketika kami tengah bicara di tempat ini."

 Wulan Srindi ikut memberi keterangan seraya

bangkit berdir'.

 "Aku sempat menghantamnya dengan pukulan

Sinar Matahari. Tapi dia berhasil lolos." 

Menambahkan Wiro.

 "Manusia pocong? Makhluk apa itu? Kalau

manusia ya manusia. Kalau pocong ya pocong

Mana bisa jadi satu. Atau mungkin ada manusia

sungguhan yang kawin sama pocong. Bunting,

anaknya mbrojol lalu disebut manusia pocong.

Begitu?"

 "Bukan Nek," Yang menyahuti adalah Loh

Gatra. "Manusia Pocong itu adalah kelompok orang-

orang jahat penculik perempuan-perempuan

hamil. Salah satu korbannya adalah istri saya

sendiri."

 Sinto Gendeng pencongkan mulut. Goleng-

goleng kepala.

 "Nek," kembali Wulan Srindi membuka mulut.

"Markas komplotan Manusia Pocong itu tidak

jauh dari sini. Di sebelah utara sana. Mereka

diam di dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian. 

Kami tengah berunding untuk menyerbu

markas itu. Lorong itu bukan lorong sembarangan. 

Siapa berani masuk akan tersesat, tak bisa keluar 

lagi dan akan melepas nyawa di tempat itu!"

 "Manusia Pocong, Seratus Tiga Belas Lorong

Kematian. Aneh-aneh saja. Tapi aku belum selesai

dengan urusan manusia-manusia gila yang ada


di tempat ini. Kau!" kata si nenek pula sambil

ketukkan tongkatnya ke kepala Wiro. "Kalau kau

benar dibokong dengan benda itu. Lalu mengapa

bendera itu tidak kau cabut?"

 "Kalau dicabut daging dada Wiro akan ikut

terbongkar. Gagang bendera berbentuk gerigi

lancip menghadap keluar...."

 Sinto Gendeng melirik ke arah Jatilandak yang

barusan bicara. Lalu dia tertawa panjang. "Kau

orang gila kedua di tempat ini. Kulit kuning,

kepala botak kuning, mata kuning, gigi pasti

kuning. Yang tidak kuning pada dirimu apa?

Kotoranmu?!"

 Wulan Srindi senyum-senyum. Wiro mesem-

mesem. Loh Gatra palingkan muka sembunyikan

tawa. Jatilandak sendiri hanya diam dan komat-

kamitkan mulut. Dia sudah mendengar sifat nenek

satu ini.

 "Orang gila ke tiga! Jangan kau senyum-

senyum! Kau yang kumaksud orang gila ke tiga!"

Tongkat di tangan kiri Sinto Gendeng bergerak,

kini menuding ke arah Wulan Srindi.

 Si gadis kaget bukan main.

 Di balik semak Bidadari Angin Timur berbisik.

 "Nah sekarang rasakan. Kena batunya gadis

gatal ituL"

 Sesaat kaget, Wulan Srindi kembali senyum.

 "Aku orang gila ketiga di tempat ini?

 Memangnya aku gila bagaimana Nek?

 Dandananku apik dan rapi. Rasanya otakku

biasa-biasa saja." Wulan Srindi bicara sambil

usap-usap wajah dan rambutnya.

 "Kau gila karena mengaku-aku sebagai calon

menantuku! Kenal baru hari ini. Melihat jidatmu

baru sekarang! Bagaimana kau bisa bilang calon

menantuku?!" Sinto gendeng melirik ke arah

muridnya. Lalu menatap kembali pada Wulan

Srindi. "Atau memang tanpa setahuku kalian

berdua memang sudah sejak lama bercinta?

Hemmmm..." Mata si nenek menatap tajam ke

perut Wulan Srindi yang sedikit agak gemuk. "Eh,


jangan-jangan kau bunting ya?"

 "Astaga, kau yang gila Nek!" ucap Wulan

Srindi tanpa takut. "Berpegangan tangan saja

belum, bagaimana aku bisa bunting? Memangnya

muridmu punya kesaktian yang bisa membuat

gadis bunting dari jarak jauh? Wow! Oala! Hebat

sekali dia!"

 Wiro melengak kaget mendengar ucapan

Wulan Srindi yang begitu berani. Yang lain-lain

juga terkesima. Dibalik semak belukar Bidadari

Angin Timur kembali keluarkan ucapan. "Belum

jadi menantu sudah berani memaki si nenek.

Uh.... gadis edan! Kurang ajar!"

 Semua orang mengira si nenek angker akan

mendamprat Wulan Srindi. Tapi justru terjadi

sebaliknya. Setelah menatap wajah si gadis

sesaat, nenek ini dongakkan kepala lalu tertawa

panjang. Yang lain-lain merasa lega. Si nenek

gendeng itu ternyata tidak marah. Wulan Srindi

juga merasa lega. Dia sadar telah keterlepasan

bicara.

 "Ilmu kesaktian yang bisa membuat gadis

bunting dari jarak jauh! Hik...hik...hik."

 Setelah puas tertawa Sinto Gendeng 

memandang berkeliling. Pandangannya' berakhir

kearah muridnya sendiri.

 "Anak Setan! Memalukan jadi muridku kalau

bendera itu tak sanggup kau cabut! Mungkin kau

terlalu banyak main perempuan, hingga lupa

kemampuan sendiri! Mendekat ke sini!"

 Wiro melangkah mendekat. Agak takut-takut.

Jatilandak dan Wulan Srindi serta Loh Gatra ikutan 

cemas. Kalau si nenek nekad mencabut bendera 

yang menancap di dada Wiro, bisa celaka pendekar 

itu.

 Begitu Wiro berada dekat di depannya, sinenek 

bertanya.

 "Kapak Naga Geni 212 masih ada padamu?

Atau sudah kau jual?" Kau gadaikan mungkin?

Atau kau berikan pada seorang gadis cantik....?"

 "Nek, kapak itu masih ada padaku," jawab Wiro.

 "Keluarkan, berikan padaku



Wiro ambil kapak Maut Naga Geni 212 yang

terselip di pinggang dibalik pakaian putihnya lalu

diserahkan pada si nenek. Sinto Gendeng timang-

timang benda itu beberapa lama. Sepasang

matanya yang angker kelihatan berkilat-kilat.

 "Nenek bau pesing itu, apakah dia akan

memenggal leher muridnya sendiri?" tanya Setan

Ngompol di balik semak belukar lalu seerrr. Dia

kucurkan air kencing.

 Perlahan-lahan Sinto Gendeng arahkan

pertengahan mata kapak sakti ke ujung gagang

Bendera Darah yang menancap di dada muridnya.

Kapak menempel dengan ujung kayu bendera.

Sinto Gendeng kerahkan tenaga dalam hawa sakti.

Mata kapak sakti serta merta memancarkan sinar

terang benderang.

 Kain bendera yang basah oleh darah terbakai

Gagang bendera kelihatan membara. Lalu ada

suara letupan kecil.

 "Dessss!"

 Asap mengepul.

 Wiro menjerit keras, tubuhnya terpental jatuh

terlentang di tanah. Bendera Darah dan

gagangnya tidak kelihatan lagi. Dibagian dada

yang sebelumnya ditancapi gagang bendera, kini

kelihatan satu lubang kecil hitam, mengucurkan

darah.

 "Nek...."

 Wiro berusaha bangkit berdiri. Dadanya seperti

ditempeli bara menyala. Tapi si nenek membentak.

 "Jangan bergerak!"

 Lalu Sinto Gendeng dekati muridnya, 

membungkuk. Dia singsingkan ujung kainnya yang

basah oleh air kencing. Wiro tutup jalan 

pernafasan. Tak tahan santarnya bau air kencing

ditubuh dan pakaian si nenek. Sinto Gendeng

peras ujung kainnya. Air kencing jatuh menetes

tepat di arah lubang kecil didada sang murid.

 "Ces...ces...ces!"

 Terdengar suara seperti air jatuh di atas bara

api. Wiro mengerenyit menahan sakit.


"Cukup tiga tetes!" Kata si nenek pula. Lalu

dengan tangan kirinya dia usap dada Wiro. Tanda

hitam lenyap. Lubang kecil juga lenyap. Lelehan

darah tak kelihatan lagi. Tak ada cacat bekas

luka. Dada itu mulus seperti tidak pernah ditancapi

apa-apa.

 "Nek, kau punya ilmu baru!" Ujar Pendekar

212 sambil pandangi dadanya, kagum akan

kehebatan sang guru.

 "Hemmmm...." Si nenek bergumam. "Namanya

Ilmu Pengobatan Kencing Sakti. Sekarang biar

penyakitmu tuntas air kencing akan aku peraskan

ke dalam mulutmu. Siapa tahu gagang bendera

itu ada racunnya. Ayo ngangakan mulutmu!"

 Wiro tersentak kaget.

 "Tidak Nek, ampun! Aku sudah sembuh! Terima 

kasih Nek, terima kasih!" Wiro tekap mulutnya, 

buru-buru berdiri dan menjauh dari si nenek.

 Sinto Gendeng tertawa cekikikan. "Seperti

anak kecil saja.. Belum dicekoki obat sudah

mewek, mau kabur! Hik...hik...hik."


TAMAT


Segera Terbit Episode berikutnya :


PERNIKAHAN DENGAN MAYAT


 

Share:

0 comments:

Posting Komentar