PANTAI Selatan. Arah timur Parangteritis.
Menjelang tengah malam. Langit kelihatan hitam
diselimuti awan tebal yang telah menggantung
sejak senja berlalu. Tiupan angin keras dan dingin
terasa menusuk sangat. Kalau saja tidak ada suara
debur gulungan ombak yang kemudian memecah di
pasir, kawasan pantai selatan itu niscaya diselimuti
kesunyian berkepanjangan.
Di balik sederetan semak belukar liar, dua sosok
berpakaian dan berdestar hitam mendekam tak
bergerak laksana batu. Mata masing-masing yang
nyaris hanya sesekali berkedip memandang lekat ke
tengah lautan. Ketika salah seorang diantara
mereka keluarkan ucapan memaki, hanya mulut saja
yang bergerak. Kepala dan tubuh tetap diam.
"Sialan!" Orang yang memaki ini memiliki
kepala besar. Sepasang alis kelihatan aneh karena
yang kiri hitam lebat sebaliknya alis sebelah kanan
berwarna putih rimbun. Hidung besar tapi
kelihatan seperti penyok. Pada kening dan pipi
ada bentol-bentol hitam. Wajah manusia satu ini
sungguh sangat tidak sedap untuk dipandang.
“Apa yang sialan Putu Arka?" tanya kawan si
alis aneh yang duduk mencangkung di sebelah.
Orang ini bernama Wayan Japa, berwajah panjang
lancip. Kalau Putu Arka memiliki keanehan pada
sepasang alis maka Wayan Japa punya keanehan
pada mata kiri. Mata ini putih semua seolah tidak
ada bola mata, tapi anehnya mampu melihat
seperti mata kanan yang terlihat jelas bola
matanya.
“Langit itu!" Jawab Putu Arka sambil tudingkan
telunjuk tangan kanan ke atas.
“Langit?" Teman yang bertanya mendongak ke
atas, menatap ke arah langit. "Ada apa dengan
langit?"
"Apa matamu buta?!" Suara Putu Arka menyentak
tapi perlahan. Kedua orang ini sengaja tak mau
bicara keras-keras. Kawatir ada orang lain yang tak
mereka ketahui mendekam di sekitar tempat itu dan
mendengar percakapan mereka.
"Belum, mataku belum buta. Memangnya kenapa?"
sahut Wayan Japa yang disusul dengan pertanyaan.
"Langit ditelan kegelapan. Aku tidak bisa melihat
bintang satupun! Aku tidak bisa menentukan saat ini
apakah menjelang atau sudah tengah malam atau
sudah lewat tengah malam! Waktu sangat penting
bagi pekerjaan ini. Meleset sedikit kita tidak akan
mendapatkan benda itu. Percuma jauh-jauh dari
Buleleng datang ke sini. Kalau kita gagal, apa kata
guru. Sekarang apa kau mengerti mengapa aku tadi
memaki Wayan?" Wayan Japa anggukkan kepala.
"Cuaca memang tidak membantu. Sebentar lagi
mungkin akan turun hujan lebat. Jadi sebaiknya kita
teruskan memperhatikan kearah laut. Aku menduga
saat ini baru menjelang tengah malam.
Seandainya.."
Putu Arka pegang lengan kawannya.
"Ada apa?" tanya Wayan.
"Hidungmu belum rusak?"
"Maksudmu?" Wayan Japa bertanya heran.
"Tadi langit, sekarang hidungku."
"Apa kau tidak mencium bau sesuatu?" Putu
Arka bertanya sambil pelototkan mata.
Wayan Japa tinggikan hidung lalu menghirup
udara dalam-dalam.
"Astaga!"
"Sekarang kau tahu! Kau mencium bau apa?!"
Tukas Putu Arka.
"Menyan, bau menyan..." jawab Wayan Japa.
"Di tempat sesunyi ini, malam buta begini
menurutmu apakah ada orang gi!a yang datang
ke sini untuk membakar menyan?"
Wayan Japa gelengkan kepala. "Tentu saja
tidak. Tapi...tapi ini bukan bau menyan
sungguhan. Ini bau rokok. Rokok klobot..."
"Bagus, kau sadar sekarang, ucap Putu Arka.
"Nyoman Carik! Pasti dia! Siapa lagi!"
"Hebat!" Putu Arka menyeringai. Tampangnya
tambah buruk. "Kau tetap di sini. Aku akan memberi
pelajaran pada manusia satu itu. Ini urusan besar.
Urusan nyawa. Enak saja dia membuat ulah yang
bisa mengundang datangnya maut!"
Wayan Japa melihat kilatan menggidikkan di
sepasang mata Putu Arka dan cepat berbisik.
“Putu, jangan kau bunuh sahabat kita itu."
Putu Arka menyeringai. "Aku akan pertimbangkan
nasihatmu itu. Tetap memperhatikan ke arah laut."
Wayan Japa mengangguk. Hatinya terasa tidak
enak. Putu Arka perlahan-lahan baringkan tubuh,
menelentang di tanah. Dua kaki dilunjur lurus,
dua tangan disilangkan di atas dada. Tiba-tiba
tubuh itu bergerak ke samping. Laksana batang
kayu berguling menggelinding, membuat pasir
beterbangan ke udara. Belum sempat Wayan Japa
kedipkan mata sosok Putu Arka telah lenyap.
Di balik serumpunan semak belukar sekitar
dua belas tombak di arah belakang tempat Putu
Arka dan Wayan Japa berada. Seorang lelaki
yang juga berdestar dan berpakaian serba hitam
duduk menjelepok di pasir asyik menikmati
sebatang rokok yang asapnya menebar bau
kemenyan. Orang bertubuh tinggi kurus ini jadi
terganggu ketika tiba-tiba ada suara bersiur.
Sebuah benda menggelinding di tanah dan di lain
kejap benda itu berubah menjadi sosok manusia
yang setengah berjongkok memandang garang
ke arahnya.
"Putu Arka, ada apa...?"
"Bangsat jahanam tolol! Kau masih bisa
bertanya ada apa?!" bentak Putu Arka. "Apa kau
masih tidak sadar apa yang tengah kau lakukan?!"
"Aku....Memangnya....Bukankah kau menyuruh
aku sembunyi di tempat ini. Mengawasi kalau-kalau
ada orang lain yang datang, jika ada orang muncul
aku harus membunuhnya. Jika mereka lebih dari
satu aku harus memberi tanda dengan bunyi suara
burung..."
Darah Putu Arka seolah mau muncrat dari
ubun-ubun. Tangan kirinya bergerak mencabut
rokok yang terselip di bibir Nyoman Carik. Rokok
dibanting hingga amblas lenyap masuk ke dalam
tanah!
"Kita tengah menghadapi pekerjaan besar.
Rahasia besar! Tanggung jawab besar! Kau
beraninya bertindak ceroboh! Merokok! Nyala api
rokok dimalam gelap akan mudah dilihat orang!
Bau kemenyan yang menyebar akan mudah tercium!
Sungguh sembrono perbuatanmu, Nyoman Carik!"
"Ah...." Nyoman Carik luruskan tubuhnya yang
kurus. Dua kaki yang dilipat dibuka sedikit. Orang ini
membungkuk seraya berucap. "Mohon maafmu Putu
Arka."
"Aku maafkan dirimu! Tapi sesuai pesan guru
setiap kesalahan besar mati hukumannya!"
Tangan kanan Putu Arka bergerak ke atas.
Nyoman Carik melihat kilatan maut di kedua
mata Putu Arka.
"Putu, jangan...."
Tangan kanan Putu Arka menghantam laksana
palu godam.
"Praakk!"
Sosok malang Nyoman Carik terbanting ke
kiri. Sebelum tubuh itu terkapar di tanah Putu
Arka telah berkelebat tinggalkan tempat itu.
Sesaat kemudian dia sudah berada di samping
Wayan Japa kembali, di belakang semak belukar.
“Sudah...." jawab Putu Arka pendek. Wajahnya
yang buruk diarahkan ke laut. Lalu dia menatap
ke langit. Masih geiap, tak kelihatan satu bintangpun.
"Apa yang sudah?" Wayan Japa bertanya. Hatinya
syak tidak enak.
Aku sudah memberi pelajaran pada sahabat
kita satu itu.' Menerangkan Putu Arka.
"Maksudmu, kan telah membunuh Nyoman
Carik?"
"Kira-kira begitu." Putu Arka menyeringai,
“Gila kau! Jahat sekali membunuh teman sendiri!"
"Teman tidak iagi teman namanya kalau berlaku
sembrono yang bisa membuat kematian diriku. Juga
kematian bagi dirimu!"
"Hanya karena merokok?"
"Itu cuma penyebab."
Wayan Japa pegang lengan temannya. "Aku
tidak percaya kau telah membunuh Nyoman Carik."
"Sahabat, kau membuatku jadi kesal. Kalau
tidak percaya pergi saja ke balik semak belukar
sana. Periksa sendiri apakah Nyoman Carik masih
hidup! Kurasa saat ini dia sudah jadi bangkai tak
berguna!"
Wayan Japa terdiam. Dia palingkan kepala ke
arah semak belukar di kejauhan. Gelap. Tengkuknya
terasa dingin. Hatinya menduga-duga keculasan
sudah mulai muncul diantara mereka. Putu Arka
telah membunuh Nyoman Carik. Kini nanya tinggal
mereka berdua. Dalam hati Wayan Japa membatin.
"Setelah dapatkan barang itu pasti dia juga akan
membunuh diriku. Aku harus berlaku waspada. Aku
harus mendahuluinya."
“Putu, bagaimana kita mempertanggung jawabkan
komatian Nyoman Carik pada guru?"
“Soal nyawa Nyoman Carik guru tidak akan mau
tahu. Kepadanya kita hanya mempertanggung
jawabkan keberhasilan kita mendapatkan barang itu!
Kembali Wayan Japa terdiam. Lalu didengarnya
suara Putu Arka berkata.
"Ketololan Nyoman Carik telah mengundang
orang lain ke tempat ini! Kita berada dalam
pengintaian musuh yang juga menginginkan
barang itu! Mereka tahu kita berada di sini!"
Wayan Japa terkejut. Membuka mata lebar-
lebar, memasang telinga. Memandang berkeliling.
Dia tidak melihat apa-apa selain semak belukar
dan pepohonan dalam kegelapan. Dia juga tidak
mendengar suara lain kecuali tiupan angin dan
deburan ombak di pasir pantai.
"Ketika aku berguling di tanah tadi, aku
sempat melihat bayangan manusia di atas pohon
sana. Sewaktu kembali ke sini sekali lagi aku
melihat. Ada dua orang di atas pohon. Mungkin
lebih tapi yang kulihat jelas hanya dua orang."
Wayan Japa segera hendak palingkan kepala
ke arah pohon yang dimaksudkan temannya tapi
Putu Arka cepat berkata. "Jangan menoleh!
Jangan memandang ke arah pohon! Mereka
tengah mengawasi gerak-gerik kita. Pandanganmu
ke arah pohon hanya akan memberi tanda bahwa
kita sudah mengetahui kehadiran mereka. Kita
pura-pura tidak tahu tapi harus waspada! Jangan
berbuat tolol seperti Nyoman Carik!"
"Lalu apa yang akan kita lakukan?"
"Apa yang ada di benakmu?" balik bertanya
Putu Arka.
"Sebelum makhluk pembawa barang muncul,
bagaimana kalau kita habisi dulu kedua orang
itu. Hingga tidak perlu repot-repot belakangan."
"Itu namanya perbuatan sangat tolol!
Menghabiskan tenaga sebelum pekerjaan
selesai!" jawab Putu Arka pula. Setelah diam
sebentar Putu Arka berkata. "Wayan, kau mengambil
alih tugas Nyoman Carik. Begitu makhluk pembawa
barang muncul aku akan merampas barang dan kau
menghadang dua masuh di atas pohon."
"Baik Putu," jawab Wayan Japa namun hati
kecilnya kemudian berkata. "Setelah kau dapatkan
barang itu hanya ada dua kemungkinan. Kau
akan kabur, atau kau lebih dulu membunuhku."
TAK jauh dari rumpunan semak belukar tempat
beradanya Putu Arka dan Wayan Japa. Di atas
sebatang pohon besar berdaun lebat mendekam
dua sosok berdandanan aneh. Muka tua tertutup
celemongan entah dipoles dengan apa. Mungkin
cat atau kapur. Rambut sama putih, awut-awutan
menjela punggung. Pakaian compang camping
penuh tambalan. Dari jarak sepuluh langkah
seseorang bisa mencium bagaimana tubuh
maupun pakaian kedua orang ini menebar bau
apek tidak enak. Di atas pohon keduanya
memperhatikan keadaan sekitar pantai. Rupanya
sejak lama mereka sudah melihat gerak gerik
Putu Arka dan Wayan Japa. Mereka juga telah
mengetahui keberadaan Nyoman Carik yang
sembunyi beberapa tombak di belakang sana.
Orang tua pertama berbisik pada kawannya.
"Kita kedahuluan, tapi belum terlambat. Aku
tidak dapat memastikan siapa tiga cecunguk itu.
Tapi hembusan asap rokok yang menebar bau
kemenyan salah seorang dari mereka mengingatkan
aku pada tiga tokoh dari Bali. Mereka berasal dari
Buleleng. Kalau tidak salah mereka dijuluki Tiga
Hantu Buleleng."
"Sakra Kalianget, mereka boleh datang duluan.
Tapi barang itu tak bakal menjadi milik mereka."
Orang tua bernama Sakra Kalianget menyeringai
lalu usap mukanya yang celemongan.
"Jangan keliwat takabur sobatku Bayusongko.
Tiga Hantu Buleleng sudah punya nama di rimba
persilatan kawasan timur."
"Aku tidak takabur. Apa lagi aku pernah dengar,
walau terikat dalam satu kelompok, namun setiap
mereka memiliki hati culas. Lebih suka
mementingkan diri sendiri. Lihat saja nanti, kalau
salah seorang dari mereka dapatkan barang itu,
ketiganya akan tega saling berbunuhan untuk
dapat menguasai."
"Kabarnya barang itu memang tidak bisa
dimiliki lebih dari satu orang," ucap orang tua
berpakaian rombeng bernama Sakra Kalianget,
Bayusongko menatap tajam-tajam ke mata
sahabat yang duduK di cabang pohon di atasnya.
"Maksudmu, kaiau barang itu jatuh ke tangan
kita, salah seorang dari kita harus mati? Kau mau
membunuhku? Begitu?"
Sakta Kalianget tutup mulutnya dengan telapak
tangan kiri. Di balik telapak dia tertawa mengekeh
tanpa suara.
"Kita berdua bukan orang-orang sinting! Hal
itu tidak akan terjadi..."
"Sukra...." Bayusongko pegang kaki temannya.
"Pasang telingamu. Aku dengar sayup-sayup
suara dua orang di depan tengah bicara. Seperti
bertengkar. Hai, lihat...."
Sakra Kalianget sibakkan pohon yang
menghalangi pemandangannya lalu menunjuk ke
arah rerumpunan semak belukar. Di bawah sana,
di balik semak belukar saat itu Putu Arka tampak
membaringkan badan ke tanah.
Apa yang dilakukan manusia itu? Tidur? Gila
betul!" ucap Bayusongko. Lalu dia keluarkan
suara terkejut. "Astaga, lihat..."
Sosok Putu Arka berguling di tanah. Pasir
beterbangan. Cepat sekali gerakan tubuh yang
menggelinding itu lewat di bawah pohon lalu
sampai di balik serumpunan semak belukar
dimana Nyoman Carik tengah sembunyi sambil
asyik-asyikan merokok.
"Manusia tolol! Sengaja menggelinding di tanah
agar tidak terlihat orang! Padahal keberadaan dia
dan kawan-kawan sudah kita ketahui!"
Diam Bayu! ujar Sakra Kalianget sambil
menampar perlahan kepala teman yang berada di
cabang pohon di sebelah bawah. "Aku mendengar
benda berderak pecah. Lalu suara tubuh jatuh ke
tanah..."
Dari tempatnya berada di atas pohon, meski
lebih rendah dari kedudukan Sakra Kalianget
namun Bayusongko bisa melihat lebih jelas apa
yang terjadi. Dia keluarkan suara seperti mau
muntah.
"Kenapa kamu?" tanya Sakra Kalianget.
"Yang kau dengar adalah suara kepala pecah!
Orang yang menggelinding tadi membunuh
kawannya sendiri. Orang yang merokok! Gila!"
"Gila tapi bagus! Berarti kekuatan mereka kini
tinggal dua orang! Lebih mudah bagi kita untuk
merampas barang itu kalau sudah ada di tangan
mereka."
"Rupanya benar kabar yang tersiar. Tiga Hantu
Buleleng itu masing-masing berhati culas. Apapun
alasannya orang satu itu membunuh temannya.
aku yakin tujuan hati busuknya adalah untuk
mengurangi persaingan. Kelak dia bakal
membunuh temannya yang satu lagi..."
'Bisa begitu Bayu, bisa begitu..." ucap Sakra
Kalianget pula.
"Sakra, apa kita tetap pada siasat semula?
Membiarkan mereka mendapatkan barang itu lebih
dulu baru merampasnya?"
"Siasat tidak berubah. Kita, siapapun, sekalipun
memiliki kepandaian setinggi langit sedalam
lautan, tidak bakal dapat merampas barang itu.
Tiga Hantu Buleleng mampu melakukan karena
mereka punya penangkal, tahu rahasia kelemahan
makhluk yang membawa barang."
Bayusongko mengangguk-angguk, usap-usap
dagunya yang celemongan lalu alihkan pandangan
mata ke tengah laut. Dalam hati dia bertanya-tanya.
Bagaimana bentuk makhluk yang akan muncul
membawa barang itu? Lebih dari itu bagaimana
pula ujud barang yang akan mereka rampas lalu
diserahkan pada guru mereka di Danau Buyan di
Buleleng?
DUA
ANGIN dari arah laut bertiup dingin mengandung
garam. Sementara langit semakin hitam tanpa
bintang. Laut selatan diselimuti udara gelap gulita.
Gemuruh suara ombak yang bergulung untuk
kemudian memecah di pasir pantai terdengar tidak
berkeputusan. Tiba-tiba di ufuk tenggara menyambar
kilat, seolah muncul dari dalam samudera, melesat
ke angkasa membuat guratan seperti membelah
langit. Untuk sesaat kawasan pantai selatan terang
benderang oleh sambaran cahaya kilat. Di lain kejap
kegelapan kembali membungkus.
Di balik semak belukar Putu Arka mengusap
wajah, membuka mata lebar-lebar memandang ke
tengah laut. Dia mendongak ke langit, coba
mencari bintang pertanda. Tak kelihatan satu
bintangpun. Tapi dalam hatinya tokoh silat dari
Buleleng ini punya dugaan keras. Saat menjelang
tepat tengah malam telah tiba. Makhluk pembawa
barang akan segera muncul. Dan hujan rintik-
rintik mulai turun.
Sekali lagi kilat berkiblat. Kali ini di arah barat.
Begitu cahaya terang sirna dan kegelapan kembali
muncul, mendadak di tengah laut tampak satu
cahaya kehijauan, seolah keluar dari dasar
samudera. Secara aneh, entah apa yang terjadi,
entah kekuatan dari mana yang turun ke bumi.
tiba-tiba ombak di laut berhenti bergulung. Air
laut diam tak bergerak seperti berubah menjadi
hamparan rumput luar biasa luas. Tak ada lagi
ombak yang bergulung dan memecah di pasir
pantai. Anginpun berhenti bertiup dan hujan rintik-
rintik lenyap. Seantero kawasan pantai selatan
gelap pekat dan sunyi senyap.
“Saatnya....saatnya sudah tiba," kata Putu Arka
dalam hati. Dadanya berdebar, wajah buruknya
tampak tegang, mata terpentang lebar, menatap
tak berkesip ke arah laut. Di belakang sana Wayan
Japa merasa tegang. Sekilas dia memandang ke
arah laut. Lalu kembali berpaling ke jurusan
semula. Sesuai tugas, dia harus mengawasi
kemunculan mendadak orang-orang yang tidak
diingini. Saat itu sepasang matanya tidak lepas
dari memperhatikan pohon besar dimana menurut
Putu Arka bersembunyi dua orang tak dikenal.
Keheningan yang muncul mendadak membuat
semua orang yang ada di tempat itu jadi tercekat
bergidik.
"Keanehan apa ini?! Mengapa mendadak sunyi
seperti di liang kubur! Ombak berhenti bergulung,
angin tidak bertiup dan hujan yang barusan turun
juga berhenti! Apa yang terjadi?!" Berucap
Bayusongko yang berada di atas pohon besar.
"Saat yang ditunggu sudah tiba! Kita berada
di tepat tengah malam. Ini saat munculnya
makhluk yang membawa benda mustika itu.
Menurut petunjuk dia akan keluar dari...." Ucapan
Sakra Kalianget terputus. Dia meraba daun telinga
sebelah kiri. "Ada suara kuda berlari dari arah
timur. Menuju ke sini. Tapi....Mengapa tiba-tiba
lenyap?"
Ada orang lain yang tahu urusan besar ini.
Kita harus lebih waspada," bisik Bayusongko.
Di balik semak belukar Putu Arka yang
memperhatikan ke tengah laut tanpa berkesip
mendadak melihat cahaya hijau yang sejak tadi
diawasinya berubah tambah panjang dan tambah
terang. Tiba-tiba cahaya itu melesat ke atas. Air
laut laksana terbelah. Cahaya hijau keluar dari
dalam laut mengeluarkan suara bergemuruh.
Kawasan pantai bergetar, pepohonan bergoyang.
Di tepi pantai pasir berhamburan sampai setinggi
dan sejauh dua tombak. Saat itu pula air laut
kembali, bergerak. Ombak menderu bergulung ke
pantai. Angin kembali bertiup kencang dan dingin.
Lalu hujan rintik-rintik kembali turun dan dengan
cepat berubah deras.
Putu Arka tudungi kedua matanya dengan
tangan kiri. Tak tahan silau cahaya hijau yang
keluar dari laut. Ketika dia dapat melihat dengan
jelas, kejut tokoh silat dan Bali ini bukan alang
kepalang. Yang barusan melesat keluar dari dalam
laut disertai pancaran cahaya hijau menyilaukan
ternyata adalah sosok seekor ular besar dan
panjang berkulit hijau. Sebagian tubuhnya masih
berada didalam air laut. Luar biasanya sosok ular
ini memiliki kepala seorang nenek berambut hijau,
punya sepasang tanduk hijau serta dua mata
yang juga hijau. Dua tangannya memegang
sebuah peti kayu hitam yang diikat dengan akar
tumbuhan laut berwarna hijau. Di atas kepalanya
ada sebentuk mahkota terbuat dari batu hijau.
Keseluruhan sosok nenek ular ini, mulai dari
kepala sampai ke bawah memancarkan cahaya
hijau menyilaukan. Orang pertama dari Tiga Hantu
Buleleng ini tidak pernah menduga kalau inilah
makhluk yang akan ditemuinya.
Dalam kejut dan ketersiapannya Putu Arka
perhatikan peti kayu hitam yang dipegang nenek
ular. "Peti itu...." katanya dalam hati. "Itu, yang
harus aku dapatkan. Makhluk itu pasti tak akan
mau menyerahkan secara suka rela. Aku harus
merampasnya. Di dalam peti pasti tersimpan
barang yang dicari. Mustika pembawa nyawa,
pemberi kehidupan baru!"
Putu Arka usap wajah buruknya yang basah
oleh air hujan lalu bergeser ke kanan. Saatnya
dia keluar dari balik semak belukar. Gerakannya
terhenti sebentar ketika dilihatnya manusia ular
rundukkan tubuh bagian atas lalu meluncur di
atas air menuju pasir pantai. Begitu makhluk
aneh mengerikan itu sampai di atas pasir, Putu
Arka tidak menunggu lebih lama. Dia segera
melompat keluar dari balik semak belukar lalu
melesat ke tepi pasir.
"Makhluk ular kepala manusia! Serahkan peti
yang kau bawa padaku!"
Putu Arka berteriak keras. Suaranya
menggelegar di bawah deru hujan. Tokoh silat
dari Bali ini tentu saja menyertai teriakannya tadi
dengan kekuatan tenaga dalam. Nenek ular serta
merta angkat kepala. Sepasang matanya yang
hijau memandang menyorot ke arah orang yang
barusan membentak. Tiba-tiba si nenek keluarkan
suara tertawa aneh. Ketika mulutnya terbuka
kelihatan lidah berwarna hijau, menjulur terbelah
di sebelah ujung. Makhluk bertubuh ular berkepala
manusia ini bersurut setengah tombak. Ekornya
melesat ke atas, menekuk di udara. Seperti buntut
kalajengking yang siap menyengat, membuat Putu
Arka harus berlaku hati-hati.
"Anak manusia, siapapun kau adanya pasti
sudah lama menunggu di tempat ini. Kau begitu
sabar menantikan kematianmu. Apakah kau
sendirian atau punya teman. Suruh mereka segera
keluar agar aku tidak terlalu banyak mengha-
biskan waktu dan tenaga untuk menyingkirkan
kalian!"
Putu Arka mengeram marah.
"Aku meminta untuk kali kedua. Itu merupakan
kali yang terakhir! Serahkan peti kayu padaku!"
"Kau meminta barang yang bukan hakmu!
Kau ini bangsa maling, begal atau rampok?!"
Nenek ular sehabis berucap kembali tertawa aneh.
"Makhluk tolol! Kau lebih sayang peti itu dari
nyawamu! Lihat, apa yang ada di tanganku!"
Dua tangan Putu Arka yang sejak tadi
dimasukkan ke balik baju hitam yang basah kuyup
melesat keluar. Dia kembangkan telapak tangan.
Di atas telapak tangan kiri terdapat sehelai daun
sirih. Di telapak tangan kanan kelihatan sebuah
Bawang putih tunggal.
Tampang nenek ular serta merta berubah
begitu melihat sirih dan bawang putih tunggal
Tubuh ularnya mengkeret dan bersurut sampai
satu tombak.
Manusia beralis hitam putih! Katakan siapa
Kau sebenarnya?!"
Putu Arka menyeringai. Maklum makhluk
tubuh ular kepala manusia itu kini merasa jerih
terhadapnya.
"Aku tidak suruh kau bertanya. Aku perintahkan
agar kau segera menyerahkan peti kayu!"
Habis berkata begitu Putu Arka lalu remas daun
sirih di tangan kiri dan bawang putih tunggal di
tangan kanan. Daun sirih dan bawang putih yang
sudah hancur kemudian dimasukkannya ke dalam
mulut, dikunyah lumat-lumat.
"Manusia ini tahu kelemahanku' Aku harus
membunuhnya sebelum dia menyemburkan
kunyahan daun sirih dan bawang putih." Nenek
ular berkata daiam hati. Lalu sambi! surutkan
tubuh ularnya dan rundukkan kepala dia keluarkan
ucapan.
'Aku menaruh hormat dan tunduk padamu.
Mungkin kau memang orangnya kepada siapa
aku harus menyerahkan peti kayu ini. Maafkan
kelancanganku. Harap kau sudi menerima." Nenek
ular rundukkan kepala lebih ke bawah. Dua tangan
yang memegang peti kayu diulurkan ke depan
kearah orang yang meminta. Putu Arka tokoh silat
berpengalaman. Dia tidak bodoh. Dia mencium
gelagat yang tidak baik. Tipu daya! Dan ternyata
betul. Hanya seuluran tangan peti kayu berada di
depan Putu Arka, tiba-tiba ekor nenek ular yang
ditarik tadi menekuk di udara menghantam kearah
kepala Putu Arka. Cahaya hijau berkiblat menyertai
serangan maut itu!
Didahului bentakan keras Putu Arka melompat ke
samping. Ekor ular menderu dahsyat,
membongkar tanah. Pasir pantai berhamburan ke
udara di tempat itu kelihatan lobang besar
sedalam hampir setengah tombak. Dapat
dibayangkan kalau hantaman ekor ular mengenai
kepala Putu Arka.
Begitu ioios dari serangan maut Putu Arka cepat
melesat ke udara. Pada saat kepalanya sejajar
dengan kepala nenek ular dia semburkan
selengah dari kunyahan daun sirih dan bawang
putih yang ada dalam mulut. Hampir bersamaan
dengan itu nenek ular sentakkan kepala.
"Wuss! Wusss!"
Dari sepasang mata nenek ular melesat dua
sinar hijau menggidikkan. Tapi dua larik sinar
maut itu serta merta menghambur berantakan
begitu terkena semburan kunyahan daun sirih
dan bawang putih tunggal. Nenek ular keluarkan
suara meraung panjang aneh menggidikkan.
Suara ini seperti raungan anjing namun pada
ujung raungan berubah seperti ringkikan kuda.
Kepala nenek ular terbanting ke belakang. Sekujur
tubuh ularnya bergoncang keras. Dalam keadaan
menghuyung makhluk ini buka mulutnya. Lidah
hijau terbelah dijulurkan. Memancarkan cahaya
hijau menyeramkan.
Putu Arka yang maklum kalau lawan kembali
hendak menyerang. Dengan cepat jungkir balik di
udara. Sambil menukik dia semburkan sisa
kunyahan daun sirih dan bawang putih ke arah
kepala nenek ular. Makhluk yang belum sempat
menyemburkan racun maut dari mulutnya kembali
meraung keras. Semburan kunyahan daun sirih
dan bawang putih tepat mengenai wajahnya. Saat
itu juga kepala nenek ular kelihatan berpijar hebat,
mengepulkan asap hijau lalu seperti lilin terbakar
kepala itu leleh, berubah menjadi cairan hijau.
Luar biasa mengerikan. Dua tangan si nenek
terpentang ke udara. Menggapai-gapai. Peti kayu
yang sejak tadi dipegangnya terlepas jatuh.
Perlahan-lahan sosok ular si nenek tersurut
dan tenggelam ke dalam laut. Putu Arka bertindak
cepat. Dua kaki dijejakkan ke pasir. Tubuhnya
melesat ke udara, menyambar kayu hitam yang
siap jatuh ke dalam laut.
"Dapat!" Di balik semak belukar Wayan Japa
berucap gembira sambil kepalkan tangan ketika
melihat sobatnya Putu Arka berhasil menangkap
dan mendapatkan peti kayu yang terlepas jatuh
dari pegangan makhluk ular kepala manusia.
Namun pada saat yang sama, di arah belakangnya
terdengar sambaran angin. Dua makhluk aneh,
berwajah celemongan melesat turun dari pohon
besar. Musuh yang ditunggu-tunggu telah keluar
unjukkan diri. Sesuai yang sudah diatur, Wayan
Japa segera keluarkan suara siulan menyerupai
suara burung malam. !ni adalah tanda yang harus
diberikannya pada Putu Arka.
Putu Arka sempat mendengar suara siulan
pertanda yang diberikan Wayan Japa. Tapi seperti
yang sudah diduga, keculasan pada masing-
masing Tiga Hantu Buleleng ini menjadi kenyataan.
Bukannya datang untuk membantu sahabatnya,
malah sambil menyeringai Putu Arka berbalik kabur
ke arah barat membawa peti kayu. Dia tidak
menyadari justru pada saat yang hampir bersamaan
dari arah berlawanan terdengar derap kaki kuda
mendatangi.
SEBELUM turun dari atas pohon besar, Sakra
Kalianget berkata pada temannya. 'Bayusongko,
kau serang si penghadang. Aku mengejar orang
yang melarikan peti kayu!"
Dua tokoh silat dari Madura itu segera
berkelebat turun dari atas pohon sambil hunus
senjata masing-masing yakni sebilah clurit terbuat
dari besi biru dilapisi emas. Sakra Kalianget
langsung mengejar Putu Arka sedang Bayusongko
menyerbu ke arah Wayan Japa yang memang
bertindak sebagai penghadang.
Begitu saling berhadapan Bayusongko tenang-
tenang saja melintangkan clurit emas di depan
dada. Sementara Wayan Japa tidak dapat
menyembunyikan rasa kaget ketika melihat siapa
yang berdiri di hadapannya dan siap menyerbu.
Namun dia cepat menguasai diri dan merubah
sikap.
"Owalah!" ucap Wayan Japa. "Lihat siapa yang
jual tampang di hadapanku! Muka celemongan,
pakaian rombeng penuh tambalan, menebar bau
busuk. Bersenjata clurit emas! Siapa lagi kalau
bukan tua bangka berjuluk Pengemis Clurit Emas
dari Madura!"
Disapa orang begitu rupa Bayusongko tertawa
mengekeh.
"Malam begini gelap, hujan pula! Tidak sangka
orang masih mengenali diriku! Rupanya aku
memang sudah jadi tokoh kesohor! Ha...ha...ha!"
"Tunggu! Jangan buru-buru berucap sombong!"
Hardik Wayan Japa. "Biasanya Pengemis Clurit
Emas selalu muncul berdua. Mana temanmu? Apa
lagi mengemis di tempat lain? Ha...ha...ha!"
"Apa perduiimu dimana temanku!' jawab
Bayusongko lalu keluarkan suara mendengus.
Wayan Japa maklum kalau ejekannya membuat
lawan mulai marah. Maka dia kembali keluarkan
ucapan.
"Malam-malam buta begini. Di tempat sepi.
Ketika cuaca begini buruk! Aneh kalau kau
muncul untuk mengemis! Sendirian pula!"
Bayusongko menahan amarahnya. Batuk-batuk
lalu tertawa gelak-gelak.
Kalau mengemis nyawa manusia waktunya
tidak perlu diatur, Malam-malam seperti ini
memang paling tepat untuk minta nyawa orang.
Berbarangan dengan kehadiran setan laut yang
pasti banyak gentayangan di sekitar sini!
Ha...ha. .ha!"
"Tolol sekali!" tukas Wayan Japa. "Senjata
saja terbuat dari emas. Masih mau mengemis!
Jua! saja cluritmu kalau tidak punya uang! Aku
sering mendengar kabar. Banyak pengemis yang
sebenarnya kaya raya. Di kampung punya tiga
rumah dan tiga istri! Kau pasti termasuk pengemis
macam begituan!"
"Ah, rupanya Pengemis Clurit Emas memang
sudah tersohor. Sampai-sampai kau tahu keadaan
diriku! Hai, kalau aku mau menjual clurit ini, apa
kau mau membeli?!"
"Siapa sudi!" jawab Wayan Japa lalu meludah
ke tanah.
"Kalau begitu biar clurit ini aku berikan cuma-
cuma padamu!" kata Bayusongko pula lal
menerjang ke depan sambil babatkan senjatanya.
Sinar terang kuning berkiblat dalam gelapnya
udara dan curahan hujan lebat.
Wayan Japa cepat menyingkir selamatkan diri.
Sinar kuning clurit emas membabat udara kosong.
Curahan air hujan seolah tertahan. Dari sambaran
angin yang menggetarkan pakaian dan tubuhnya
Wayan Japa maklum, bukan saja senjata di tangan
lawan merupakan senjata berbahaya tapi yang
melancarkan serangan juga memiliki tenaga dalam
tinggi.
Sambil melompat mundur mengelak serangan
orang Wayan Japa cepat loloskan destar hitam di
kepala. Destar yang basah oleh air hujan diperas
dulu, lalu ditarik, direntang dan diurut-urut. Sesaat
saja destar hitam itu telah berubah menjadi keras
dan lurus. Destar dibolang baling mengeluarkan
suara bersiuran. Luar biasa, destar yang terbuat
dari kain itu kini berubah menjadi sebatang
tongkat sepanjang lima jengkal.
Bayusongko tertawa bergelak.
"Hantu Dari Buleleng yang katanya punya
nama besar di rimba persilatan ternyata cuma
punya senjata butut! Kau akan mampus lebih
cepat kalau hanya mengandalkan destar bau
tengik itu!" ejek Bayusongko.
"Jangan banyak mulut! Terima kematianmu!"
kertak Wayan Japa. Lalu orang kedua dari Tiga
Hantu Buleleng ini menerjang lancarkan erangan
dalam jurus bernama Tongkat Hantu menghidang
Iblis.
Seolah mengejek dan memandang rendah
lawan, Bayusongko sengaja tegak diam menung-
gu datangnya serangan Wayan Japa.
TIGA
SIKAP memandang enteng senjata dan serangan
lawan serta merta berubah jadi keterkejutan besar.
Malah Bayusongko sampai-sampai keluarkan seruan
tertahan. Destar hitam di tangan Wayan Japa
laksana seekor ular bisa berubah lentur. Laksana
seekor ular mematuk kian kemari, menyerang tiga
bagian tubuh Bayusongko dalam satu gebrakan!
Untuk mengelakkan hantaman ujung destar yang
mengarah ke bagian dada, perut dan betisnya
Bayusongko dipaksa berkelebat dan berjingkrak
kian kemari. Untung saja orang tokoh silat dari
Madura ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang
sudah mencapai tingkatan tinggi. Dia mampu
selamatkan diri dari tiga kali hantaman senjata
lawan.
Bayusongko menggeram dalam hati. Baru
jurus pertama lawan mampu membuatnya
kelabakan begitu rupa. Hatinya jadi panas ketika
Wayan Japa keluarkan ucapan.
"Ha...ha! Aku tidak sangka pengemis bisa
berubah jadi monyet! Jingkrak sana jingkrak sini!"
"Umur tinggal sejengkal! Masih mau bicara
sombong!" hardik Bayusongko pula. "Lihat clurit!"
Bayusongko membuat satu terjangan. Dua
kaki melesat di atas tanah. Tubuh meliuk aneh.
Clurit emas diputar di atas kepala, lalu menukik
dalam bentuk serangan ke arah pinggang lawan.
Ketika Wayan Japa mundur dua langkah untuk
elakkan sambaran clurit, tubuh Bayusongko yang
masih mengapung di udara kembali membuat
liukan aneh dan settt! Clurit emas tahu-tahu
membabat ke arah leher Wayan Japa!
Sambil surutkan kaki kiri ke belakang dan
kepala dirundukkan, Wayan Japa sambut
serangan orang dengan jurus Tongkat Hantu
Menutup Pintu Akhirat. Destar hitam berkelebat
searah perut lawan yang tidak terjaga,, membuat
kakek bernama Bayusongko terpaksa lentingkan
tubuh ke belakang dan begitu berhasil selamatkan
perutnya dari sambaran destar dia teruskan
babatan clurit ke arah leher lawan.
Jurus Tongkat Hantu Menutup Pintu Akhirat
yang dimainkan orang kedua dari Tiga Hantu
Buleleng ini bukan satu jurus kosong. Ujung
destar yang telah berubah menjadi sebatang
tongkat luar biasa ampuhnya, berkelebat di udara.
Ujung atas melintang di depan leher, ujung bawah
menohok ke arah perut lawan!
"Trangg!"
Tongkat destar beradu dengan clurit emas,
mengeluarkan suara berkerontangan seolah dua
logam atos saling bentrokan di udara! Bunga api
memercik. Destar mengeluarkan cahaya hitam
sedang clurit menebar percikan cahaya kuning
benderang.
Bentrokan senjata membuat tangan pengemis
tua Bayusongko yang memegang clurit tergetar
keras. Ini sudah cukup membuat tokoh silat dari
Madura ini jadi terkejut. Dia tidak menyangka
lawan memiliki kekuatan tenaga begitu besar serta
senjata aneh yang tak bisa dianggap enteng. Dan
belum habis kejutnya tiba-tiba bagian bawah
tongkat lawan menderu ke arah perutnya!
"Bukkk!"
"Hueekk!"
Bayusongko mengeluh tinggi dan muntahkan
darah segar. Tubuhnya terlipat ke depan. Tangan
kiri meraba perut karena mengira perut itu sudah
jebol dihantam tongkat yang terbuat dari destar
tapi kerasnya tidak beda dengan pentungan besi!
Ketika dia hendak mengusap darah yang
membasahi mulutnya, tiba-tiba tongkat di tangan
Wayan Japa kembali menderu. Kali ini dalam
gerakan mengemplang ke arah batok kepala si
pengemis yang berdiri setengah terbungkuk
karena menahan sakit pada perutnya dan tengah
menyeka darah di mulut.
Untungnya Bayusongko masih sempat melihat
serangan maut itu. Secepat kilat dia jatuhkan diri
ke tanah. Sambil berguling dia babatkan clurit
emas ke arah dua kaki Wayan Japa. Tanpa
menggeser kedudukan kedua kakinya, Wayan
Japa tusukkan tongkat ke bawah. Senjata itu
menancap di tanah tepat pada saat clurit emas
datang membabat.
Untuk kedua kalinya dua senjata saling
bentrokan dan untuk kedua kalinya pula bunga
api hitam dan kuning memercik di udara gelap.
Wayan Japa cepat tarik tongkat tapi alangkah
terkejutnya anggota Tiga Hantu Buleleng ini ketika
dapatkan walau telah mengerahkan tenaga sekuat
apapun, malah mempergunakan dua tangan
sekaligus, dia tidak mampu mencabut tongkat
yang menancap di tanah itu!
"Celaka! Apa yang terjadi?!" Sepasang mata
Wayan Japa mendelik besar. Clurit emas senjata
lawan dilihatnya melingkar pada badan tongkat.
Ujungnya yang tajam dan bagian gagang tidak
kelihatan karena terpendam ke dalam tanah!
"Clurit...clurit itu mengunci senjataku!" Wayan
Japa pentang matanya ke arah Bayusongko yang
saat itu telah tegak berdiri. Mukanya yang
celemongan tambak tak karuan oleh darah yang
membasahi mulut dan dagunya.
Kakek bermuka celemongan itu berdiri itu
sambil tertawa mengekeh dan usap-usap dua
tangannya satu sama lain. Tiba-tiba entah dari
mana munculnya tahu-tahu dalam dua tangan
Bayusongko telah tergenggam dua buah clurit
kecil. Dua senjata ini kelihatan aneh karena hanya
gagangnya yang tampak jelas sedang bagian yang
tajam dan runcing hampir tidak membekas di
dalam kegelapan.
"Clurit Hantu!"
Wayan Japa keluarkan seruan tertahan
Tampangnya berubah. Jelas ketakutan amat
Hangat.
Si pengemis tua Bayusongko tertawa
mengekeh.
"Bagus sekali! Kau mengenali sepasang clurit
gaib ini! Pertanda kau sadar bahwa kematian
sudah di depan hidung! Ha...ha...ha!" Pengemis
tua itu tertawa bergelak. Begitu tawa lenyap dua
tangan yang memegang clurit kecil yang
disebutnya sebagai clurit goib bergerak berputar.
"Seettt!"
"Seettt!"
Dua clurit aneh yang hanya kelihatan
gagangnya saja melesat ke arah Wayan Japa.
Tokoh dari Bali ini hanya sempat melihat clurit
hantu yang menyerang ke arah lehernya. Dia
cepat menyingkir ke kiri sambil lepaskan satu
pukulan tangan kosong berkekuatan tenaga dalam
penuh. Meskipun Wayan Japa berhasil memukul
mental clurit pertama namun dia tidak mampu
melihat kelebatan datangnya clurit hantu kedua.
Raungan menggelegar dari mulut orang kedua
Tiga Hantu Buleleng ini ketika clurit hantu kedua
menancap tepat di mata kirinya. Sosok Wayan
Japa terhuyung ke belakang. Tangan kiri
menggapai udara kosong. Tangan kanan bergerak
ke arah mata, berusaha mencabut clurit hantu
yang menancap di mata itu. Tapi belum sempat
menyentuh, mendadak sekujur tubuh Wayan Japa
berubah dingin dan kaku. Dia hanya sempat
keluarkan keluhan pendek lalu sosoknya
terbanting ke tanah tak bergerak lagi. Dalam gelap
sekujur kulit tubuhnya kelihatan membiru. Itulah
akibat racun sangat jahat yang ada pada clurit
hantu. Jangankan manusia, makhluk sebesar
gajahpun mampu terbunuh oleh racun ini dalam
sekejapan mata! Ternyata Hantu Buleleng tidak
sanggup menghadapi clurit hantu alias clurit goib!
Pengemis muka celemongan Bayusongko
menyeringai sambil usap-usap dua tangan. Secara
aneh, dua clurit hantu telah berada dalam
tangannya kembali. Orang tua ini masih terbungkuk
menahan sakit pada perutnya kemudian
melangkah mendekati tongkat milik Wayan Japa
yang kini telah berubah ke bentuknya semula
yaitu selembar kain ikat kepala dan melingkar di
tanah. Bayusongko cabut clurit emas miliknya
yang terpendam di tanah di samping destar hitam.
Kepala pengemis tua muka celemongan ini
terdongak ketika dari arah pantai terdengar suara
jeritan orang. Dia mengenali. Itu adalah suara
jeritan sahabatnya, Sakra Kalianget, orang
pertama dari Pengemis Clurit Emas.
KEMBALI kepada Putu Arka. Seperti dituturkan
sebelumnya orang pertama dari Tiga Hantu
Buleleng ini berhasil menghancurkan makhluk
ular berkepala manusia yang keluar dari dalam
lautan membawa sebuah peti kayu berwarna
hitam. Begitu peti berada di tangannya Putu Arka
segera kabur ke arah barat. Dia tidak perdulikan
suara suitan tanda yang diberikan sahabatnya
Wayan Japa. Dia seperti tidak mendengar suara
derap kaki kuda banyak sekali datang dari arah
timur. Yang penting dia sudah dapatkan peti berisi
benda maha sakti tiada duanya di dunia dan harus
menyelamatkannya.
Namun belum sampai berlari dua puluh
langkah, tiba-tiba satu bayangan hitam berkelebat
di depan Putu Arka. Cepat Putu Arka tahan lari
kemana gerakan orang jelas menghadang dirinya.
Memandang ke depan, Putu Arka jadi melengak.
Lnam langkah di hadapannya tegak bertolak
pinggang seorang kakek bermuka celemongan,
rambut putih panjang awut-awutan. Berpakaian
rombeng penuh tambalan. Dari keadaan serta
pakaian orang, Putu Arka segera maklum, dengan
siapa dia berhadapan saat itu.
Sakra Kalianget! Orang pertama Pengemis
Clurit Emas. Gerangan apa kau muncul di malam
buta sepertinya sengaja menghadang jalanku?!"
“Putu Arka, jangan pura-pura berbasa-basi.
Serahkan peti yang kau pegang padaku! Sekarang!
Cepat!"
“Ah” Putu Arka mundur satu langkah. "Aku
memang barusan merampas barang ini dari orang
lain. Tapi aku tahu betul peti dan benda isi di
dalamnya bukanlah milikmu! Mengapa aku merasa
perlu menyerahkan kepadamu!"
Sakra Kalianget tertawa bergelak. Rangkapkan
dua tangan diatas baju rombengnya lalu berkata.
“Kali pertama aku hanya meminta peti itu. Kali
kedua aku meminta berikut nyawamu! Terserah
kau mau memberikan yang mana!"
Sesaal Putu Arka terdiam. Otaknya bekerja.
Dia cukup tahu riwayat kakek muka angker
celemongan bernama Sakra Kalianget ini.
Bersama seorang kakek lainnya bernama
Bayusongko di rimba persilatan tanah Jawa
kawasan timur dia dikenal dengan julukan
Pengemis Clurit Emas. Mereka selalu muncul
berdua. Mana yang satunya? Tadi dia mendengar
jerit raungan Wayan Japa. Dia tidak perlu
menyelidik. Saat ini Wayan Japa pasti sudah
menemui ajal. Pembunuhnya? Besar dugaan si
pembunuh adalah Pengemis Clurit Emas yang
bernama Bayusongko. Menghadapi manusia satu
ini saja cukup sulit. Apa lagi kalau sampai
temannya muncul membantu.
"Sakra Kalianget, aku tidak mau membuang-
buang waktu berurusan dengan manusia
pengemis sepertimu. Tunggu saja sampai siang.
Pergi ke pasar dan mengemis di sana! Jangan
mencampuri urusan orang!"
Sakra Kalianget kembali tertawa.
"Urusan yang kau hadapi bukan urusan dirimu
sendiri. Tapi adalah urusan para tokoh rimba
persilatan!" Ucap jago tua dari Madura itu.
Dengar, aku akan mengampuni selembar
nyawamu, kalau kau tidak terlalu bodoh mau
menyerahkan peti kayu hitam padaku!"
"Jahanam!" maki Putu Arka dalam hati. "Mati
hidup peti ini akan aku pertahankan!" Lalu dia
keluarkan ucapan. "Pengemis kesasar! Kalau kau
inginkan peti ini silahkan mengambil sendiri!"
"Bodoh sekali! Berani menantang Pengemis
Clurit Emas dari Madura!" kata Sakra Kalianget
sambil menyeringai. Begitu selesai bicara kakek
pengemis ini keluarkan clurit emasnya dan
langsung menyerang Putu Arka. Perkelahian
hobat segera pecah. Putu Arka segera terdesak
begitu memasuki jurus kedua. Sebabnya dia
terpaksa berkelahi sambil satu tangan memegang
peti kayu. Seperti Wayan Japa tadi dia loloskan
destar hitam yang terikat di kepala. Kalau Wayan
Japa terlebih dulu harus menarik dan mengurut-
urut destar itu, lain halnya dengan Putu Arka.
Karena kesaktiannya jauh lebih tinggi dari Wayan
Japa, maka sekali kain hitam itu disentakkan,
serta merta berubah menjadi sebatang tongkat
seatos besi!
Ternyata ilmu silat yang dimiliki Putu Arka
setingkat lebih tinggi dari Sakra Kalianget. Walau
di awal jurus perkelahian dia kena didesak, namun
setelah keluarkan jurus-jurus andalannya, Putu
Arka berhasil mengimbangi serangan lawan malah
sesekali membuat serangan balasan yang
mematikan.
Kesal karena tidak bisa menembus pertahanan
lawan Sakra Kalianget dengan cerdik alihkan
sasaran serangannya. Kini cluritnya dipakai untuk
menghantam ke arah peti hitam yang dikepit Putu
Arka di tangan kiri. Satu kali clurit emas berhasil
membabat sudut kiri atas peti kayu hingga
gompal. Untung peti itu cukup tebal hingga isi di
dalamnya masih terlindung. Namun keberhasilan
merusak peti harus ditebus cukup mahal oleh
Sakra Kalianget. Karena di saat pertahanan Sakra
terbuka. Putu Arka berhasil susupkan tongkatnya
ke dada kiri lawan.
"Kraakk!"
Salah satu tulang iga Sakra Kalianget berderak
patah. Orang ini menjerit kesakitan. Jeritan inilah
yang kemudian didengar oleh pengemis Bayusongko
yang baru saja berhasil membunuh Wayan Japa.
"Jahanam Putu Arka! Kau memang minta
mampus! Sekarang tidak ada lagi pengampunan
bagi dirimu!" Sakra Kalianget lemparkan clurit
emas di tangan kanan ke arah Putu Arka.
Demikian cepatnya lemparan ini, Putu Arka hanya
mampu pergunakan peti kayu untuk melindungi
diri. Clurit emas menancap di peti. Putu Arka
tidak perdulikan. Dia lebih memperhatikan
keadaan lawan. Sementara Sakra Kalianget
kesakitan, Putu Arka melihat kesempatan untuk
menghabisinya. Dengan satu lompatan kilat Putu
Arka kirimkan serangan tongkat dalam jurus
Tongkat Hantu Memburu Iblis.
Tongkat yang terbuat dari kain ikat kepala itu,
yang kemudian berubah sekeras besi, kini
berubah lagi laksana sebilah pedang tipis,
bergetar keras memancarkan cahaya hitam.
Orang lain mungkin segera menangkis atau
bergerak cari selamat. Senjata di tangan lawan
bergetar demikian rupa hingga sulit diduga arah
mana yang dituju sebagai sasaran. Tapi luar
biasanya Sakra Kalianget tegak tenang-tenang
saja. Pasti ada yang diandalkannya. Memang
benar, ternyata dia berdiri sambil mengusap dua
tangan satu sama lain. Di lain kejap dua tangan
itu telah menggenggam dua bilah clurit yang
dalam gelap hanya terlihat gagangnya. Clurit
hantu alias Clurit goib!
Gerakan Putu Arka sesaat jadi tertahan begitu
matanya memperhatikan benda apa yang ada
dalam pegangan tangan kiri kanan lawan. Dia
belum pernah melihat senjata angker itu, hanya
banyak mendengar cerita,keganasannya saja. Tapi
dia maklum yang tengah dipegang Sakra
Kalianget adalah sepasang clurit hantu yang telah
banyak membuat geger rimba persilatan tanah
Jawa bagian timur.
"Jadi benar berita yang tersiar. Bangsat ini
memang punya sepasang clurit hantu! Aku harus
cepat membentengi diri dan kabur dari tempat
ini!" Didahului bentakan keras, sosok Putu Arka
berputar seperti gasing dan melesat ke udara. Di
saat yang sama Sakra Kalianget gerakkan dua
tangan yang memegang clurit hantu. Tapi belum
sempat dua senjata maut itu lepas dari tangannya
tiba-tiba di arah kiri belakang terdengar orang
berseru.
"Sakra! Biar aku yang menghabisi bangsat
itu! Kau cepat menangkap peti begitu lepas dari
tangannya!"
Sakra Kalianget kenali suara orang yang
berteriak. Suara Bayusongko sahabatnya. Selagi
dia meragu apakah akan meneruskan
melemparkan clurit hantu ke arah Putu Arka, dari
tempat gelap si kakek Bayusongko muncul dan
langsung saja melemparkan dua clurit hantu yang
telah tergenggam di tangannya kiri kanan.
"Bettt!"
"Bettt!"
Putu Arka yang tadinya bersiap untuk
selamatkan diri dari clurit hantu yang hendak
dilemparkan Sakra Kalianget tentu saja jadi
terkejut besar dan tidak menduga kalau bakalan
ada serangan yang sama dari arah lain. Apa lagi
saat itu dia tengah bergerak untuk mengeluarkan
sebuah benda yang jika dipecahkan akan sanggup
membentengi dirinya dari serangan lawan. Namun
sebelum sempat benda itu diambilnya, apa lagi
saat itu dia masih memegang tongkat, tahu-tahu
sebuah benda menancap di bahu kirinya.
"Clurit Hantu!" seru Putu Arka. Sekujur tubuhnya
mendadak sontak menjadi dingin. Tidak pikir lebih
lama, begitu dua kakinya menjejak tanah, Putu Arka
segera buang tongkat di tangan kanan. Lalu dengan
tangan itu dia membetot kuat-kuat lengan kirinya.
Terjadilah hal yang mengerikan!
Putu Arka menarik tanggal tangan kirinya yang
ditancapi clurit hantu pada bagian bahu. Tangan
ini tanggal mulai sebatas persendian bahu ke
bawah! Memang hanya inilah satu-satunya jalan
untuk menyelamatkan diri dari kematian akibat
racun clurit hantu atau clurit goib yang luar biasa
ganasnya. Sehabis menarik tanggal tangannya
sendiri, Putu Arka jatuh terjengkang di tanah.
Peti kayu hitam telah lebih dulu lepas dari kepitan
dan jatuh. Putu Arka gulingkan diri, masih
berusaha untuk menjangkau peti itu dengan
tangan kanan. Namun dia kalah cepat. Seseorang
berkelebat mengambil peti!
Bukan Putu Arka saja yang terkejut atas
serangan yang dilancarkan secara mendadak oleh
pengemis Bayusongko. Sakra Kalianget juga
ikutan kaget malah sampai keluarkan seruan
keras. Salah satu dari dua clurit hantu yang
dilemparkan Bayusongko menancap di lehernya.
Sakra Kalianget keluarkan suara seperti orang
digorok. Rasa terkejut luar biasa dan disusul
dengan, kemarahan besar membuat dia lupa
bertindak. Clurit hantu dibiarkan menancap di
leher sementara mulutnya keluarkan sumpah
serapah. Sebenarnya memang tak ada yang bisa
dilakukan Sakra Kalianget. Dia tidak mungkin
menanggalkan lehernya seperti yang dilakukan
Putu Arka menanggalkan tangan kirinya.
"Jahanam Bayusongko! Kau sengaja
membunuhku! Kau inginkan peti itu untuk dirimu
sendiri! Jahanam laknat! Terkutuk kau!"
Si tua muka celemongan Bayusongko batuk-batuk.
Seka darah yang meleleh di bibirnya dan menjawab
ucapan orang.
"Kau telah lebih dulu mengkhianati kelompok
kita! Pertama kau meyingkirkan Nyoman Carik
dongan alasan yang dicari-cari. Tadi waktu
dapatkan peti ini kau langsung bertindak kabur!
Untung masih tertahan oleh hadangan Putu Arka!
Bukan begitu ceritanya?!"
"Jahanam keparat! Serahkan peti itu padaku!"
teriak Sakra Kalianget seraya melotot memandang
ke arah peti kayu hitam yang kini dipegang oleh
Bayusongko. Namun heekkk! Dari tenggorokan
Sakra Kalianget terdengar suara tersedak. Itulah
suara tarikan nafasnya yang terakhir kali.
Sosoknya mendadak dingin lalu terjungkal di tanah.
Sekujur kulit tubuhnya berubah kebiru-biru akibat
racun ganas clurit hantu.
Bayusongko tertawa mengekeh. Dia kepit peti kayu
di tangan kiri. Dua tangan diusap-usapkan. Dua
clurit hantu yang tadi dipakainya untuk menyerang
orang pertama Tiga Hantu Buleleng dan kawannya
sendiri yaitu Sakra Kalianget, secara aneh berada
kembali dalam genggamannya.
"Pengemis culas! Kembalikan peti itu padaku!
Itu milikku!"
Bayusongko putar tubuh. Memperhatikan orang
yang barusan memakinya. Orang itu adalah Putu
Arka yang masih terguling di tanah, berusaha duduk.
"Aha! Orang pertama Tiga Hantu Buleleng!
Belum mati kau! Kau benar-benar inginkan peti
ini rupanya! Aku tidak tega melihat keadaanmu.
Biar kuberikan padamu! Ambillah!"
Bayusongko melangkah mendekati Putu Arka.
Tersenyum dan membungkuk. Ulurkan dua tangan
yang memegang peti seolah benar-benar hendak
menyerahkan. Tapi begitu Putu Arka duduk dan
ulurkan tangan untuk mengambil peti tiba-tiba
Bayusongko tendangkan kaki kanannya.
"Bukkk!"
Darah menyembur dari mulut Putu Arka
bersama jerit kesakitan. Tubuhnya mencelat mental,
terkapar tak berkutik di tepi pasir. Entah mati
entah pingsan.
"Manusia tolol!" ucap pengemis Bayusongko.
Lalu putar tubuh, hendak tinggalkan tempat itu
sambil menyeringai dan kempit erat-erat peti kayu
hitam di tangan kanan. Namun gerak berputar
kakek pengemis ini serta merta tertahan, seringai
di wajahnya yang celemongan mendadak lenyap
seperti direnggut setan ketika tiba-tiba tempat itu
telah dikurung oleh enam orang penunggang
kuda. Salah seorang dari mereka berseru.
"Atas nama Kerajaan harap peti kayu hitam
diserahkan kepada kami
EMPAT
BAYUSOKO sejenak jadi tertegun dalam
keterkejutan. Namun kakek pengemis ini dengan
cepat membaca keadaan. Sorotan matanya
memandang tajam pada enam orang berkuda yang
mengurung. Dia juga memperhatikan binatang
tunggangan ke enam orang itu.
"Kuda mereka besar-besar. Pelana bagus.
Hiasan di leher kuda dan bentuk tapal kuda
menunjukkan tunggangan mereka memang kuda-
kuda Kerajaan. Lalu pakaian yang mereka
kenakan. Dua berpakaian sebagai Perwira Tinggi.
Tiga orang mungkin pengawal. Orang keenam
berpakaian paling bagus. Jabatannya pasti lebih
tinggi dari dua perwira. Tapi mengapa mereka
semua menutupi wajah masing-masing dengan
sehelai kain hitam?"
"Pengemis tua! Apa kau tuli tidak mendengar
perintah kami?!" Salah satu dari dua orang
berpakaian Perwira Tinggi menghardik.
Bayusongko merasa tanah yang dipijaknya
bergetar. Pertanda sang perwira memiliki tenaga
cukup hebat.
"Kami orang-orang Kerajaan! Lekas serahkan
peti kayu itu pada kami!" Perwira Tinggi kedua
ikut membentak malah majukan kuda dua langkah.
Bayusongko perkencang kepitan peti kayu di
tangan kiri lalu cepat-cepat membungkuk. Mulut-
nya berucap hormat.
"Harap maafkan kalau aku, si tua bangka ini
tidak segera menunjukkan sikap hormat. Aku
kaget..."
"Sekarang kagetmu sudah lenyap. Lekas
serahkan peti itu!" Perwira kedua kembali majukan
kudanya mendekati Bayusongko.
Si kakek lagi-lagi membungkuk hormat. Dia
batuk-batuk beberapa kali lalu berkata. "Hormatku
untuk kalian berenam yang mengaku orang-orang
Kerajaan. Kalau boleh bertanya mengapa kalian
semua menutupi wajah dengan cadar hitam?"
"Angin malam begini dingin. Banyak nyamuk.
Apa tidak boleh kami melindungi wajah?" Perwira
Tinggi pertama yang menjawab.
Bayusongko tersenyum. Angguk-anggukkan
kepala. Peti kayu yang masih ditancapi clurit emas
milik Sakra Kalianget ditimang-timangnya beberapa
kali.
"Aku percaya, aku percaya..." kata si kakek
pula. "Kalian orang-orang Kerajaan memang
harus menjaga kesehatan. Di perjalanan bukan
cuma nyamuk dan dinginnya udara yang bisa
dltemui. Bisa juga bertemu harimau buas yang siap
menggerogot leher kalian. Atau ular yang
mematuk pantat kalian? Ha...ha...ha! Aneh, kalau
orang-orang Kerajaan yang katanya terkenal
hal Ilmu kepandaian tinggi takut pada angin dan
nyamuk! Seorang tua puteri saja kalaupun berada
itt tumpat ini kurasa tidak akan menutupi wajahnya
dengan cadar. Kecuali wajah itu penyok
hidungnya, alis cuma sebelah, mata picek, kuping
mamplung atau bopengan..."
"Pengemis tua ini terlalu banyak mulut!" Untuk
pertama kalinya penunggang kuda berpakaian
paling bagus keluarkan ucapan. Lalu memerintah.
Bunuh dia! Ambil peti kayu hitam!"
Tiga penumpang kuda berpakaian seperti
pengawal segera melompat dari kuda masing-
masing. Tiga pedang dihunus keluar dari
sarungnya. Di lain kejap tiga senjata maut membabat
ke arah kepala, dada dan pinggang si kakek
pengemis bermuka cemong. Rombongan
orangorang yang mengaku dari Kerajaan itu tidak
begitu mengetahui siapa adanya Bayusongko.
Mereka menganggap si kakek seorang tua renta
yang punya sedikit ilmu dan merampok peti yang
mereka juga inginkan. Namun semuanya jadi
tersentak ketika Bayusongko cabut clurit emas
yang menancap di peti kayu hitam. Lalu
menghamburlah cahaya kuning di kegelapan
malam.
Tiga kali terdengar suara bedentrangan
disertai percikan bunga api. Dua orang penyerang
Bayusongko roboh ke tanah dengan leher dan
dada muncratkan dada segar akibat dimakan
ujung clurit emas. Pengawal ke tiga masih berdiri
tegak, tapi kemudian menjerit keras ketika melihat
dan sadar bagaimana tangan kanannya telah
buntung di pergelangan dan darah menyembur
deras! kakek pengemis telah keluarkan jurus
Memapas Rembulan Membelah Matahari untuk
menyikat tiga penyerang.
Diam-diam dua orang berpakaian sebagai
Perwira Tinggi Kerajaan leletkan lidah. Mereka
kini sadar kalau yang dihadapi bukanlah pengemis
tua renta biasa. Tapi seorang berkepandaian
tinggi. Karena tiga teman mereka yang barusan
tewas rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi.
Dan si orang tua hanya butuhkan satu jurus saja
untuk merobohkan mereka.
Kalian berdua! Tunggu apa! Lekas bunuh
pengemis jahanam itu!" Penunggang kuda
berpakaian bagus berteriak marah. Tidak menunggu
lebih lama dua penunggang kuda segera
melayang turun dari kuda masing-masing dan
menyerbu Bayusongko dengan hanya
mengandalkan tangan kosong.
Walau tidak bersenjata apa-apa tapi ilmu silat
dua perwira yang bercadar itu ternyata sangat
tinggi. Dalam beberapa gebrakan saja Bayusongko
segera terdesak. Perwira Tinggi pertama
menggempur kakek itu dari segala jurusan
sementara kawannya lebih memusatkan pada
upaya untuk merampas peti.
Kakek pengemis muka celemongan dari
Madura menggeram dalam hati. Kalau terus
seperti itu, satu kali hantaman tangan dua lawan
pasti akan sempat menghajarnya atau peti kayu
hitam akan kena dirampas orang. Dia putar clurit
emas di tangan kanan dengan sebat. Bukan saja
senjata itu lenyap berubah jadi cahaya kuning.
Tapi cahaya kuning itu juga membuat tubuhnya
lenyap seolah terbungkus. Dua Perwira Tinggi
Kerajaan untuk beberapa ketika jadi bingung.
Melihat hal ini, orang berpakaian bagus yang
masih duduk di atas pelana kuda berteriak.
"Serang dengan jurus Barat Timur - Utara
Selatan Membongkar Nyawal"
Begitu mendengar teriakan, dua Perwira Tinggi
yang mengeroyok si kakek pengemis sama-sama
keluarkan seruan keras. Lalu tubuh mereka seperti
lenyap. Si kakek hanya melihat bayang-bayang
berputar cepat disusul dengan datangnya
hantaman bertubi-tubi dari depan, belakang,
samping kiri dan samping kanan. Badai serangan
itu mendera terus sampai tiga jurus dimuka. Jurus
berikutnya satu jotosan keras mendarat di dada
kiri si kakek. Membuat orang tua ini melintir.
Sakit yang dideritanya bukan alang kepalang.
Separuh tubuhnya sebelah atas laksana hancur.
Namun dia masih bisa mempertahankan peti kayu
hitam di kepitan tangan kiri. Dalam keadaan
terpuntir seperti itu Perwira Tinggi yang ada di
sebelah kiri sempat pula melancarkan serangan
yang menghantam perut Bayusongko, tepat di
bagian mana sebelumnya kena disodok tongkat
destar Wayan Japa. Luka dalam yang masih
terkuak membuat darah kembali menyembur dari
mulut si kakek.
"Kalau tidak segera kubunuh, aku bisa
celaka!" Si kakek maklum keadaannya mulai
gawat. Didahului teriakan keras membahana
Bayusongko melesat ke udara. Dua lawan cepat
mengikuti gerakannya. Namun inilah kesalahan
besar yang harus dibayar mahal. Ketika dua
Perwira Tinggi terpancing ikut melesat ke udara,
si kakek tidak sia-siakan peluang. Peti kayu
dipindah, dijepit di antara kedua paha. Lalu dua
tangan diusapkan satu sama lain. Sepasang clurit
hantu serta merta berada dalam genggamannya.
"Clurit hantu! Awas!" Salah seorang Perwira
Tinggi yang kebetulan melihat dua senjata aneh
yang ada di tangan lawan kiri kanan segera
berteriak memberi ingat. Dia kini sudah bisa
menerka siapa adanya lawan tua muka
celemongan itu. Namun teriak peringatan itu
terlambat, Clurit hantu pertama berkelebat.
Menancap di pipi kiri Perwira Tinggi sahabatnya.
Dia sendiri masih bisa berusaha melancarkan
satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga
dalam tinggi. Namun clurit hantu kedua tetap saja
berhasil menembus. Padahal seandainya dua
buah batang kelapa dihantamkan dan ditangkis
dengan pukulan tangan kosong itu niscaya dua
batang kelapa terpental hancur! Clurit hantu
menancap tepat dipertengahan kening. Sepasang
mata Perwira Tinggi ini langsung terbeliak. Tubuh
rubuh ke tanah, menindih sosok Perwira Tinggi
kawannya yang telah lebih dulu menemui ajal.
Sekujur kulit tubuh mereka kelihatan membiru.
Sesaat setelah kakek pengemis melemparkan
dua clurit hantu yang membunuh dua orang
berpakaian Perwira Tingi Kerajaan, sosok orang
berpakaian paling bagus di atas kuda mendadak
lenyap dalam satu gerakan luar biasa cepatnya.
Kakek pengemis yang belum sempat
memperhatikan musuh terakhirnya itu tiba-tiba
terpental laksana dihantam dahsyatnya angin
topan. Pahanya yang menjepit peti kayu hitam
terkembang. Penunggang kuda ke enam telah
menghantam si kakek dengan satu tendangan
luar biasa cepat dan keras. Sebelum kakek
pengemis terkapar di tanah, peti kayu yang
melayang jatuh telah berpindah ke tangan orang
bercadar berpakaian bagus.
Bayusongko megap-megap sulit bernafas. Dia
tak mampu menggerakkan tubuh. Hanya sepasang
matanya saja memandang penuh dendam dan
kebencian ke arah orang bercadar hitam yang
kini menguasai peti kayu.
"Jurus tendangan Memendam Bumi Menjarah
Nyawa...." Ucap kakek pengemis yang mengenali
jurus tendangan maut yang barusan dilancarkan
musuh bercadar. Sudak sejak lama dia mengetahui
bahwa jurus Memendam Bumi Menjarah Nyawa itu
adalah jurus ilmu silat yang hanya dimiliki oleh
sekelompok tokoh silat Kerajaan.
"Kalian memang orang-orang Kerajaan. Tapi
mengapa berlaku pengecut! Beraninya main
keroyok! Kau akan menerima laknat benda yang
ada dalam peti itu!"
Orang berpakaian bagus tertawa dibalik cadar.
"Kau minta mati! Apa salahnya kami
memberikan?!" ucap orang ini.
Pengemis tua Bayusongko berusaha menyatukan
dua tangan untuk diusapkan satu sama lain. Ingin
sekali dia menghajar manusia satu itu dengan clurit
hantu. Namun nyawanya keburu lepas. Setelah
muntahkan darah segar kakek ini akhirnya tergeletak
tak berkutik lagi.
Orang bercadar dan berpakaian bagus
memandang berkeliling. Datang berenam kini
hanya tinggal dia sendirian. Dua Perwira Tinggi
menemui ajal. Begitu juga dua pengawal.
Pengawal ke tiga, dalam keadaan buntung lengan
kanan telah menghambur lari entah kemana sejak
tadi-tadi. Sambil menimang-nimang peti kayu dia
melangkah ke arah kuda tunggangannya. "Aku
harus segera tinggalkan tempat ini. Agar sebelum
fajar menyingsing sudah berada di Kotaraja."
Peti kayu di masukkan ke dalam kantong
perbekalan yaiu,gantung di leher kuda. Orang
bercadar ini baru saja mengangkat kaki untuk
menjejak besi di sisi kiri kuda ketika tiba-tiba
satu suara suitan menggelegar dalam kegelapan.
Di lain saat kuda yang hendak dinaiki meringkik
keras. Dua kaki depan diangkat ke atas lalu
binatang ini tergelimpang di tanah. Di mulutnya
ludah putih membusah. Mata mendelik pertanda
nyawanya sudah lepas. Orang bercadar meneliti.
Kuda tunggangannya menemui ajal dengan
sebuah anak panah hitam menancap tepat pada
urat besar jalan darah di leher kanan, tembus ke
leher kiri!"
"Jahanam! Siapa yang punya perbuatan!"
Rutuk orang bercadar. Dia mencium adanya
kesulitan, bahkan bahaya besar. Cepat dia
membungkuk mengambil peti kayu di kantong
perbekalan. Namun belum sempat dia
mengeluarkan peti itu tiba-tiba ada suara menegur.
"Pangeran Haryo, setelah mendapat rejeki
besar tidak salah kalau kau buru-buru ingin
kembali ke Kotaraja. Tapi karena aku ada di sini,
mengapa kita tidak berbagi sedekah?!"
Kejut orang berpakaian bagus bukan alang
kepalang. Dia bagai mendengar suara setan.
Bagaimana dia tidak bisa mengetahui kalau di
tempat itu ada orang lain? Kecuali orang yang
barusan menegur itu memiliki ilmu kesaktian luar
biasa tinggi hingga kehadirannya seperti
bertiupnya angin malam.
LIMA
ORANG bercadar cepat berbalik memutar tubuh.
Pandangannya langsung membentur sosok seorang
kakek berkepala gundul, duduk mencakung di
tanah. Di paha kiri melintang sebuah gendewa atau
busur, di tangan kanan dia memegang sebilah anak
panah berwarna hitam. Di punggung ada satu
kantong dipenuhi dua lusin anak panah berwarna
hitam. Kakek berwajah bulat ini tiada henti
tersenyum seolah ada hal lucu yang
menggembirakan hatinya. Pakaiannya berupa
sehelai jubah hijau panjang menjela tanah. Mata
menatap tak berkedip ke arah lelaki bercadar hitam
dan sesekali melirik ke arah kantong perbekalan di
leher kuda yang sudah jadi bangkai.
Orang bercadar yang disapa dengan nama
pangeran Haryo kalau tadi terkejut dengan
teguran serta kehadiran orang lain yang tidak
terduga di tempat ini, kini malah tambah-tambah
kagetnya ketika melihat siapa yang duduk
berjongkok delapan langkah di depan sana.
"Dia selalu muncul berdua bersama gendaknya.
Sembunyi dimana perempuan mesum itu?"
Baru saja dia membatin, tiba-tiba dari samping
kiri terdengar suara perempuan tertawa cekikikan!
Lelaki bercadar hitam berpaling ke arah
datangnya suara tertawa. Orang yang barusan
dipertanyakannya dalam hati ternyata terlihat
enak-enakan duduk di atas rumpunan semak
belukar tanpa semak belukar itu merunduk meliuk
apalagi roboh.'
Orang yang duduk di atas rumpunan semak
belukar seperti si kakek kepalanya juga botak
dan sama mengenakan jubah hijau panjang. Di
punggungnya ada sekantong anak panah
berwarna putih. Tangan kiri dimelintangkan di
dada, memegang sebuah busur sementara tangan
knnan memutar-mutar sebuah anak panah
berwarna putih. Seperti si kakek botak dia juga
senyum-senyum tiada henti. Kalau saja orang ini
tidak mengenakan anting besar pada kedua
telinganya, sulit diduga mana yang perempuan
dan mana yang lelaki diantara mereka berdua.
"Pangeran Haryo, kau mendadak jadi bisu
atau tuli atau bagaimana? Mungkin terkejut karena
kehadiran kami yang tidak terduga di tempat ini?
Atau karena sudah lama tidak berjumpa membuat
kau jadi pangling terhadap kami berdua."
Orang bercadar melengak. Lalu membentak.
"Monyet tua botak buruk rupa! Siapa bilang
Pangeran Haryo!"
Si kakek senyum-senyum terus. "Kau boleh
sembunyikan wajah. Tapi raut sosok tubuhmu,
pakaian dan blangkon yang kau kenakan. Lalu
barusan suaramu, bukankah semua memberi
petunjuk bahwa kau adalah Pangeran Haryo dari
Kotaraja! Aku mengenalmu bertahun-tahun. Aku
tidak akan bisa ditipu walau kau menutupi wajah
dengan cadar hitam!"
"Setan alas! Kau dan gendakmu tidak disukai
di Keraton. Itu sebabnya kau tersingkir sebagai
tokoh silat Istana! Di tempat inipun tidak ada
yang suka padamu!"
"Ah, mulutmu usil amat." Jawab kakek botak
sambil bolang balingkan panah hitam di tangan
kanan. "Lihat nenek cantik di atas semak sana?
Dia kekasihku! Dia sangat menyukai diriku!
Jangan kau mengada-ada tidak ada orang yang
menyukai diriku! Ha...ha...ha...ha!"
"Kau benar sekali kekasihku! Benar sekali!'
menyahuti nenek botak yang duduk enak-enakan
di atas semak belukar. "Aku menyukaimu. Dari
dulu sampai sekarang. Sampai nanti!
Hik...hik...hik! Kau pandai bercinta denganku.
Membuat aku selalu tergila-gila mabuk kepayang!"
"Dasar perempuan lacur! Bicara kotor
seenaknya saja!" rutuk orang bercadar.
"Nah-nah kau dengar sendiri!" kata kakek
botak. "Sekarang kalau aku boleh bertanya apa
ada orang yang menyukai dirimu di tempat ini?
Aku pasti tidak!"
"Aku juga tidak!" jawab si nenek di atas semak
belukar lalu tertawa cekikikan.
"Tak ada manfaatnya bicara dengan orang-
orang sinting sepertimu! Aku bukan Pangeran
Haryo! Dengar itu baik-baik!"
"Kalau begitu harap singkirkan cadar hitam
penutup wajahmu!" tantang kakek botak pula.
"Orang sinting sepertimu mana layak
memerintah diriku!"
"Amboi!" seru si nenek botak.
Orang bercadar mengambil peti hitam di dalam
kantong perbekalan. Lalu dia melompat ke arah
kuda milik salah seorang perwira yang tewas.
Kakek botak lirikkan mata ke arah nenek botak di
atas semak belukar. Perempuan tua ini senyum-
senyum. Anak panah diselipkan di tali busur.
Lalu panah putih direntang. Semua itu dilakukan
dalam gerakan sangat cepat. Anak panah putih
kemudian melesat membelah kegelapan udara
malam. Lalu di depan sana kuda yang hendak
dipakai sebagai tunggangan meringkik keras.
Huyung sesaat lalu roboh ke tanah. Sebuah anak
panah berwarna putih menancap di kening, tepat
di antara dua mata terus menembus ke otak!
"Sepasang Setan Tersenyuml" orang bercadar
membentak. "Apa mau kalian sebenarnya?
Kakek botak dan nenek botak saling pandang
lalu sama-sama tertawa.
"Akhirnya kau sebut juga nama julukan kami!
Pertanda kau tidak pernah lupa siapa kami
berdua Ha...ha...ha! Seperti kataku tadi aku ingin
kita berbagi sedekah!"
"Berbagi sedekah? Sedekah apa?!" Bentak
orang bercadar walau dalam hati dia sudah bisa
menduga kemana melencengnya tujuan ucapan
kekek botak yang juga dikenal dengan julukan
Raja Setan Tersenyum sementara kekasihnya
dikenal dongan panggilan Ratu Setan Tersenyum.
Dengan anak panah hitam di tangan kanan
Raja Selan Tersenyum menunjuk ke arah peti
yang dipegang orang bercadar hitam di tangan
kiri. "Kami ingin kau membagi peti itu."
"Maksudmu?" tukas orang bercadar.
"Kau boleh ambil petinya. Isi serahkan pada
kami berdua!"
Habis berkata begitu si kakek botak tertawa
gelak-gelak. Si nenek tertawa cekikikan.
"Enak saja mulutmu bicara!" hardik orang
bercadar. "Tiga puluh enam rembulan aku
menunggu kesempatan, mencari benda di dalam
peti ini. Korbankan tenaga, uang, waktu bahkan
darah dan nyawa orang-orangku! Sesudah dapat
alangkah enaknya kau meminta! Persetan dengan
kalian!"
Orang bercadar langsung melompat ke atas
kuda perwira kedua. Namun belum sempat
menggebrak binatang itu lari, sebuah panah hitam
melesat dalam kegelapan malam dan menancap
tepat di kaki kiri depan kuda. Binatang ini
tersungkur lalu menghambur lari. Meninggalkan
orang bercadar jatuh tergelimpang di tanah!
Raja dan Ratu Setan Tersenyum tertawa gelak-
gelak.
"Kuda mana lagi yang akan kau pilih untuk
kabur?" bertanya si nenek. Lalu dia membuat
gerakan cepat tiga kali berturut-turut. Tiga ekor
kuda yang ada di tempat itu langsung meringkik
roboh.
"Ha...ha...ha!" tawa kakek botak. "Kekasihku
membuat kau tidak punya seekor kudapun lagi
untuk dipakai kabur!"
"Jahanam keparat!" rutuk orang bercadar. Dia
cepat berdiri.
Si nenek membuka mulut. "Pangeran Haryo..."
Nenek setan! Aku bukan Pangeran Haryo!
Apn kau tuli?!"
"Terserah siapa kau adanya." Sahut Ratu
Betan Tersenyum. "Aku hanya ingin membantu agar
kau bisa pulang ke Kotaraja tidak kurang suatu apa.
Dengar, jika kau serahkan peti itu pada kekasihku,
segala dosamu di masa lalu tidak akan kami
ungkit-ungkit!"
"Keparat rendah! Apa dosaku terhadap
kalian!" hardik orang bercadar.
Kakek nenek botak saling melirik lalu tertawa
gelak-gelak. Lalu si kakek berkata. "Sudah lama
kau diketahui sebagai pangeran temahak, rakus
dan pandai memfitnah orang-orang yang tidak
Behaluan denganmu. Ketika kau dan konco-
koncomu menyusun rencana untuk menggulingkan
tahta Sri Baginda dan kami menolak ikut, kau dan
teman-teman menjatuhkan fitnah bahwa kami
berdualah yang jadi dedengkot biang kejahatan
Itu. Kami berdua siap digantung. Untung masih
ada teman-teman yang menolong hingga bisa
kabur selamatkan diri..."
"Kalian mengakui kalau kalian berdua sebenarnya
adalah manusia-manusia buronan! Kalian berdua
harus ditangkap! Menyerahlah!"
"Hik...hiik...hik!" Si nenek tertawa cekikikan.
"Kami dalang kesini bukan bicara soal tangkap
menangkap. Tapi minta agar kau menyerahkan
bulat-bulat peti itu kepada kami! Mengerti?
Dengar? Atau kupingmu torek?!"
'Tidak ada jalan lain. Pemberontak-pemberontak
busuk macam kalian berdua memang harus
disingkirkan!"
Habis berkata begitu orang bercadar
lemparkan peti kayu ke atas pohon di dekatnya.
Peti melesat di udara dan jatuh tepat dilekuk
cabang pohon besar. Maksudnya berbuat begitu
adalah agar dia lebih leluasa menghadapi dua
lawan berat si nenek dan kakek kepala botak.
Namun dia tidak sadar kalau di tempat itu telah
muncul orang lain. Hanya sesaat setelah peti
bertengger di cabang pohon tiba-tiba satu
bayangan putih melesat dari tempat gelap.
Berkelebat ke arah peti di atas pohon.
"Jahanam! Ada pengacau baru!" Maki orang
bercadar. Dia segera hendak lepaskan satu
pukulan tangan kosong mengandung tenaga sakti
ke arah orang yang bermaksud mengambil peti"
itu namun tiba-tiba dari jurusan lain berkiblat tiga
cahaya terang.
"Wuss!"
Orang berpakaian putih yang tengah melesat
untuk mengambil peti kayu di cabang pohon
menjerit keras. Tubuhnya berubah menjadi
kobaran api. Ketika tubuh itu tercampak jatuh ke
tanah keadaannya mengerikan sekali. Sekujur
badan mulai dari kepala sampai kaki hanya tinggal
tulang-belulang gosong menghitam! Tak mungkin
untuk mengenali siapa adanya manusia malang
satu ini!
SEWAKTU orang tinggi besar yang mendekam
di balik semak belukar pertama kali sampai di
tempat itu sebenarnya sudah ada orang lain
berpakaian serba putih sembunyi di satu tempat.
Orang ini rupanya datang untuk tujuan yang sama
yaitu mendapatkan peti kayu hitam. Melihat
kenyataan bahwa orang bercadar mungkin benar
Pangeran Haryo adanya, orang yang mendekam
di balik semak-semak tidak mau bertindak
gegabah. Nama Pangeran Haryo cukup dikenal di
kalangan Keraton di Kotaraja. Seorang lelaki
berusia setengah abad memiliki ilmu silat dan
kesaktian tinggi. Selain itu di tempat tersebut dia
Juga melihat Sepasang Setan Tersenyum yang
merupakan tokoh-tokoh silat yang tak bisa
dipandang enteng. Mereka memang sangat
cekatan dalam memainkan panah. Tapi panah
dan busur itu juga bisa berubah menjadi pedang,
golok, pentungan atau tombak.
Begitu orang bercadar hitam lemparkan peti
kayu ke cabang pohon dan siap menghadapi
Sepasang Setan Tersenyum, orang berpakaian
putih melihat kesempatan baik. Secepat kilat dia
melesat ke cabang pohon. Namun sebelum
berhasil menyentuh peti kayu hitam tiba-tiba or
ang tinggi besar yang mendekam di belakang
semak belukar hantamkan tangan kanannya. Sinar
terang berkiblat. Tak ampun lagi orang berpakaian
serba putih menemui ajal dengan tubuh terbakar
gosong.
***
ORANG yang diduga sebagai Pangeran Haryo
sesaat terdiam. Matanya cepat mengawasi
keadaan. Kalau ada orang lain yang barusan
membunuh orang berpakaian serba putih itu,
apakah orang ini bertindak sebagai teman atau
bagaimana. Dia melirik ke atas cabang pohon.
Peti kayu hitam masih ada di situ. Dia perhatikan
Sepasang Setan Tersenyum. Dia tahu kakek nenek
ini tidak bermaksud untuk segera mengambil peti
karena terlalu besar bahayanya. Untuk sementara
peti kayu aman di atas cabang pohon.
Orang bercadar hitam manfaatkan situasi yang
mencekam. Dia menyeringai, menatap ke arah
Sepasang Setan Tersenyum.
"Kalian saksikan sendiri! Siapa saja yang
inginkan peti kayu hitam itu, pasti akan tewas di
tangan anak buahku!"
Ratu Setan Tersenyum hampir termakan
ucapan orang. Tapi si kakek kekasihnya cepat
mendekati dan berisik.
"Dia mau menipu kita. Yang membunuh orang
berpakaian serba putih tadi bukan anak buah
atau temannya. Dengar...aku akan melompat
mengambil peti di atas pohon..."
"Kau gila!" sahut Ratu Setan Tersenyum.
"Selagi kau melayang ke atas dirimu tidak
terlindung. Nasibmu bisa sama dengan bangkai
gosong itu!"
"Kekasihku," ujar Raja Setan. "Percuma kau
ada di sini kalau tidak bisa membantu. Dengar,
waktu aku melesat ke udara berondong dengan
panah orang yang mendekam di balik semak
belukar. Aku akan menghujani Pangeran Haryo
dengan panah. Aku tidak akan mempergunakan
gendewa. Tapi lebih dulu akan pergunakan Asap
Setan untuk mengecoh Pangeran itu."
"Terserah jika itu maumu."
"Kau siap Ratuku?"
"Tentu saja!" jawab Ratu Setan Tersenyum.
Lalu tangan kanannya berkelebat ke punggung
mengambil setengah lusin anak panah sekaligus.
Cepat sekali dia merentang gendewa dan
menghantam orang yang bersembunyi dibalik
semak belukar dengan enam anak panah, lalu
menyusul enam anak panah lagi. Orang di balik
semak belukar memaki habis-habisan namun
dengan gerakan cepat luar biasa dia mampu lolos
dari serangan dua belas anak panah.
Begitu kekasihnya mulai menghujani orang
yang sembunyi dibalik semak-semak dengan
serangan panah, dari dalam kantong jubah Raja
Setan Tersenyum keluarkan sebuah benda bulat
berwarna hijau. Ketika dilempar ke udara benda
bulat itu meletus pecah dan menghamburkan asap
tebal berwarna hijau, menutupi seantero tempat
terutama sekitar pohon besar dimana beradanya,
peti kayu hitam.
Dalam pandangan mata yang terhalang orang
bercadar hitam hantamkan tangan kiri ke udara
untuk menangkis serangan anak panah.
Sementara tangan kanan mengeluarkan
sehelai tambang hitam yang ujungnya ada besi
berkait. Peti kayu hitam serta merta terikat oleh
tambang yang ada pengaitnya itu. Sekali tarik,
sambil melayang ke jurusan yang tidak terduga,
lelaki bercadar berhasil mendapatkan peti kayu.
Lalu dia meniup ke depan. Asap hijau secara
aneh membuntal lebih lebar, menutupi pandangan
mata lebih luas. Raja Setan Tersenyum terkurung
oleh asap buatannya sendiri. Bersamaan dengan
meniup orang bercadar jatuhkan diri lalu
gelindingkan diri di tanah, ke balik deretan semak
belukar gelap.
"Kurang ajar! Bangsat itu menipu kita!" teriak
Ratu Setan Tersenyum yang terbungkus dalam
kepekatan asap hijau. Justru inilah kesalahan
besar yang harus dibayar mahal. Dari suara
ucapannya orang tinggi besar yang mendekam
dalam gelap segera mengetahui dimana beradanya
si nenek. Sekali tangannya menghantam,
satu gelombang angin laksana sebuah batu
raksasa menderu. Ratu Setan Tersenyum sempat
mendengar deru dahsyat tapi tidak bisa
selamatkan diri. Di dalam buntalan asap terdengar
jeritnya setinggi langit. Tubuhnya terpental, jatuh
di atas pasir pantai dalam keadaan hancur memar
mulai dari kepala sampai ke kaki.
Raja Setan Tersenyum berteriak keras. Dia
sambitkan delapan anak panah ke arah orang
bercadar hitam. Tapi orang ini telah lebih dulu
Jatuhkan diri ke tanah.
"Ratu! Kekasihku!" teriak Raja Setan Tersenyum
kalang kabut. Seperti gila dia menghantam kian
kemari. Dua pohon besar tumbang dihantam
gendewa. Tiga semak belukar lebat berserabutan
ke udara. Dia baru berhenti ketika ingat akan
sosok kekasihnya si nenek botak menggeletak di
tanah.
"Hancur..." ucap Raja Setan Tersenyum dengan
suara bergetar dada membara. "Pangeran Haryo
tidak punya ilmu pukulan yang bisa membunuh
seperti ini. Jahanam mana yang punya pekerjaan?"
Raja Setan Tersenyum pandangi monyet
kekasihnya dengan mata melotot. Lalu seperti orang
kemasukan setan, kepalanya dibentur-benturkan ke
tanah.
"Kekasihku....kekasihku..." kata si kakek
berulang kali sambil memeluk tubuh hancur Ratu
Setan Tersenyum. Tiba-tiba dia angkat kepala.
Tampangnya angker luar biasa seperti setan
sungguhan.
"Pangeran keparat! Kau mau kabur kemana!"
teriak Raja Setan Tersenyum. Lalu secepat kilat
kakek botak ini berkelebat ke jurusan dimana tadi
dia sempat melihat bayangan orang bercadar
melesat kabur.
ENAM
ORANG bercadar hitam memang
memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi. Namun
dalam ilmu lari kemampuannya masih satu tingkat
dibawah orang yang mengejar yaitu kakek botak
berjuluk Raja Setan Tersenyum. Saat demi saat
jarak mereka semakin terpaut dekat. Sementara itu
Raja Setan Tersenyum yang melakukan pengejaran
mendadak dibayangi rasa was-was karena
menyadari kalau di sebelah belakang ada orang lain
menguntit mengejarnya.
"Jahanam! Dia pasti pembunuh orang
berpakaian putih. Pasti dia juga yang membunuh
kekasihku!"
Raja Setan Tersenyum kertakkan rahang. Di
depan sana sosok lelaki bercadar tiba-tiba lenyap.
Kakek botak hentikan lari. Mata mengawasi ke
arah kegelapan di sebelah depan. Pada saat itulah
dari balik sebatang pohon besar sekonyong-
konyong menderu selarik angin luar biasa dingin
memancarkan sinar biru. Raja Setan Tersenyum
cepat melompat ke kiri selamatkan diri. Walau
tidak sempat dihantam serangan namun dia
merasakan sekujur tubuh seperti beku. Cepat dia
kerahkan hawa sakti ke pembuluh darah.
"Pukulan Kutub Es!" SI kakek kenali pukulan
Itu. "Hanya beberapa orang saja yang memiliki
Ilmu kesaktian itu! Satu diantaranya Pangeran
Haryo! Tidak salah lagi, bangsat itu memang
Pangeran Haryo adanya!"
Begitu Raja Setan Tersenyum berhasil memus-
nahkan hawa dingin yang membuat tubuhnya
kaku, kakek ini kembali melakukan pengejaran.
Di depan sana orang bercadar merutuk habis-
habisan karena tidak mampu loloskan diri. Saat
demi saat jarak keduanya semakin dekat. Di satu
tempat sambil terus memburu, Raja Setan
Tersenyum mulai lemparkan panah hitam,
membuat orang bercadar jadi tak karuan larinya
karena berulang kali harus melompat kian kemari
selamatkan diri dari hantaman panah yang datang
dari belakang. Sesekali orang bercadar pukulkan
tangan kanan ke belakang. Beberapa anak panah
yang dilemparkan Raja Setan Tersenyum mencelat
mental dan hancur. Beberapa lainnya malah
terpental berbalik menyerang si kakek, membuat
orang tua ini ganti kalang kabut selamatkan diri.
"Manusia-manusia tolol! Aku bosan mengikuti
permainan kalian!"
Mendadak ada suara orang berteriak di
belakang sana. Belum lenyap gema teriakan itu
menyusul berkiblatnya cahaya terang. Raja Setan
Tersenyum menoleh lalu berseru keras. Dia kenali
cahaya itu. Secepat kilat si kakek jatuhkan diri
sama rata dengan tanah. Tubuhnya laksana
terpanggang ketika cahaya terang menggebu
melewati punggung. Lalu dia mendengar suara
jeritan di depan sana.
Sosok orang bercadar kelihatan mencelat ke
udara. Sisi kanan tubuhnya dikobari api. Raja
Setan Tersenyum berusaha bangkit untuk melihat
lebih jelas apa yang telah terjadi. Namun tubuhnya
jatuh terbanting menelungkup di tanah ketika
satu kaki dengan kekuatan puluhan kati menindih
punggungnya.
Raja Setan Tersenyum hantamkan gendewa di
tangan kiri untuk memukul orang yang
menginjaknya.
"Kraaakkk!"
Gendewa patah dua, terlepas mental dari tangan
si kakek. Si kakek sendiri mengeluh kesakitan
karena tangan kirinya serasa tanggal.
"Raja Setan, cukup sampai disini kau ikut
bermain. Benda sakti mandraguna yang kau kejar-
kejar itu tidak berjodoh dengan dirimu!"
Orang yang menginjak punggung si kakek
keluarkan ucapan.
"Jahanam! Kau pasti orang yang membunuh
kekasihku! Siapa kau!"
Kaki yang menginjak bergerak. Dengan kaki
yang sama tubuh Raja Setan Tersenyum
dibalikkan hingga tertelentang. Kini ganti bagian
dada yang dipijak.
Orang tinggi besar yang menginjak dada Raja
Setan menyeringai.
"Apakah kau mengenali diriku?"
Sepasang mata Raja Setan Tersenyum
mendelik. Bukan saja untuk melihat lekat-lekat
wajah orang yang menginjaknya tapi juga karena
kesakitan akibat injakan. Si kakek melihat satu
wajah buruk.
"Kau...." Raja Setan Tersenyum tidak dapat
memastikan apakah dia mengenali orang itu.
Namun rasa-rasanya memang dia pernah melihat
wajah itu. Tapi sekarang mengapa berubah bentuk
begini rupa?
"Kau tidak mengenali diriku?" si tinggi besar
menyeringai.
"Setan keparat! Aku tidak perduli siapa kau
adanya! Yang jelas kau adalah pembunuh
kekasihku! Kau harus mampus di tanganku!"
Bentak si kakek lalu dua panah hitam yang ada di
tangan kanannya dilemparkan ke arah si tinggi
besar. Hanya dengan menggerakkan tangan kiri
sedikit, si tinggi besar berhasil memukul mental
dua anak panah.
"Kakek botak, seharusnya aku juga sudah
membunuhmu saat ini. Namun mengingat kau
banyak berlaku baik di masa kanak-kanakku, aku
mengampuni selembar nyawamu. Cukup adil
bukan?"
"Apa katamu...?" Dua mata Raja Setan
Tersenyum tambah membeliak. Otaknya bekerja
koras mengingat-ingat. Matanya menatap tajam
ke wajah orang tinggi besar. "Kalau...kalau begitu
kau adalah putera....Kau adalah...."
Belum sempat menyebut nama satu totokan
mendarat di leher si kakek. Saat itu juga sekujur
tubuhnya menjadi kaku. tak bisa bergerak tak
mampu bersuara.
***
SOSOK tua kurus kering itu terbaring hampir
sama rata dengan balai-balai kayu. Mata terpejam,
tak ada gerakan pada perut ataupun dada seolah
keadaannya sudah tidak bernafas lagi. Di dalam
kamar yang diterangi lampu templok, seorang
anak lelaki seusia dua belas tahun duduk di
samping tempat tidur. Anak ini duduk dengan
menahan kantuk yang amat sangat. Sesekali bila
kepalanya terdohok kemuka, cepat-cepat dia
mengusap muka, menarik nafas panjang dan
duduk diam pandangi sosok kakeknya yang
terbaring sakit di atas balai-balai kayu. Namun
segera saja kepalanya kembali tertunduk diserang
kantuk.
"Jantra cucuku....'
Anak lelaki yang duduk di samping tempat
tidur angkat kepala, buka mata. Serasa tidak
percaya dia mendengar orang tua itu bicara
memanggil namanya.
"Kek...."
'Kau tidak tidur?"
"Belum Kek. Saya menjaga Kakek."
"Tidurlah. Sudah larut malam. Mungkin
menjelang pagi. Nanti kau sakit....
"Saya belum mengantuk Kek,'' jawab si anak,
"Kakek mau minum?" Lalu anak ini ambil
kendi tanah berisi air putih sejuk di kaki tempat
tidur. Sedikit demi sedikit air putih itu di-
tuangkannya di atas bibir si kakek. Dia baru
berhenti ketika orang tua itu tersedak dan batuk-
batuk. "Kek, besok pagi saya akan ke hutan
mencari daun obat. Kalau minum obat Kakek
pasti cepat sembuh..."
'Kau cucu baik. Sekarang turuti kataku.
Tidurlah..."
"Baik Kek," si bocah akhirnya mengalah. Dia
mengambil sehelai tikar yang tergulung di sudut
pondok kajang itu. Baru setengah tikar sempat
digelar di lantai tanah, tiba-tiba braaakk!
Pintu pondok jebol. Jantra menjerit kaget. Si
kakek di atas balai-balai buka sepasang mata.
Seorang yang mukanya ditutupi kain hitam
terkapar di lantai pondok. Tubuh sebelah kanan
hancur hangus mengerikan. Di tangan kiri dia
mengepit sebuah peti kayu berwarna hitam.
Mengira yang muncul adalah setan atau hantu,
mungkin juga orang jahat Jantra ketakutan
setengah mati. Dia sampai melompat naik ke atas
balai-balai.
"Bocah, jangan takut," orang bercadar berkata.
Nafasnya megap-megap. Aku Pangeran Haryo
dari Kotaraja. Aku butuh pertolonganmu. Ambil
peti ini. Tinggalkan pondok. Lari sejauh bisa kau
lakukan. Sembunyikan peti di satu tempat. Jangan
kembali ke pondok. Tunggu sampai dua hari.
Kalau keadaan sudah aman pergi ke Kotaraja.
Temui seorang bernama Abdi Tunggul di Keraton.
Serahkan peti ini padanya.'
Si bocah hanya melongo lalu geleng-gelengkan
kepala berulang kali.
"Ambil cepat! Pergilah. Hidupku tak lama lagi."
Kakek di atas balai-balai angkat kepalanya sedikit,
menatap pada orang bercadar lalu berkata.
"Cucuku, jika memang Pangeran Haryo dari
Kotaraja yang minta tolong lekas lakukan apa
yang dikatakannya."
"Tapi Kek..."
"Bocah, lekas! Kita tak punya waktu banyak!
Sebentar lagi akan ada orang jahat datang ke sini
untuk merampas peti itu! Ayo ambil cepat!"
Jantra memandang pada kakeknya. Orang tua
ini gerakkan kepala sedikit lalu berkata. "Ambil
peti itu. Pergilah..."
"Tapi kau sakit Kek, aku harus menjagamu..."
"Aku akan segera sembuh."
Meski agak ragu Jantra akhirnya, mengambil
peti lalu melompat ke pintu.
"Jangan lewat situ!" orang bercadar mem-
beritahu. Dengan tangan kiri dijebolnya dinding
pondok sebelah belakang. "Lewat sini!" Jantra
loloskan diri lewat lobang di dinding. Di luar
pondok bocah ini lari tanpa arah, sekencang yang
bisa dilakukannya. Sesekali dia berhenti dan
berpaling ke belakang, ke arah pondok.
Begitu Jantra keluar dari dalam pondok, orang
bercadar mendekati si kakek yang terbaring
di atas balai-balai.
"Orang tua, aku terpaksa melakukan ini! Satu-
satunya jalan untuk menjaga kerahasiaan benda
mustika itu."
Si kakek melihat orang ulurkan tangan kiri.
Matanya mendelik.
"A...aku dan cucuku telah menolongmu. Mengapa
kau masih berhati jahat mau membunuhku...?"
"Kreeek!"
Ucapan si kakek terputus. Tulang leher remuk.
Nyawanya lepas saat itu juga. Sehabis membunuh
si kakek, orang bercadar kepalkan tinju kiri lalu
hantam kepalanya sendiri.
"Praaaak!"
ORANG bertubuh tinggi besar sesaat tegak
tak bergerak di depan pintu pondok. Rahangnya
menggembung. Pelipis bergerak-gerak. Mata
memandang dingin pada mayat kakek dan orang
bercadar. Kemudian dia memperhatikan ber-keliling.
Mencari-cari. Kurang puas dia menggeledah
mengobrak-abrik isi pondok. Benda yang dicari
tidak ditemukan. Lalu dia perhatikan dinding
pondok yang jebol.
"Kurang ajar! Pasti ada orang ke tiga sebelumnya
di tempat ini!" Orang ini menggeram.
Otaknya bekerja. "Kakek ini pasti dihabisi bangsat
bercadar. Lalu dia bunuh diri. Lalu orang ke tiga
yang sangat pasti melarikan peti, siapa dia...?"
Sambil kembali meneliti seisi pondok karena
masih berharap peti kayu hitam ada di tempat itu,
si tinggi besar melangkah mendekati sosok orang
bercadar yang tergelimpang di lantai. Dengan
tangan kirinya dia tarik cadar hitam yang
menutupi wajah orang.
Hemmm....Pangeran Haryo. Jadi memang kau
rupanya." Orang tinggi besar merenung sesaat.
"Mungkin pondok ini merupakan tempat
pertemuan rahasia antara Pangeran Haryo dengan
orang ke tiga. Untuk mengetahui siapa adanya
orang ke tiga, aku harus mencari tahu dulu siapa
adanya kakek yang mati dicekik ini."
Orang tinggi besar tinggalkan pondok. Malam
itu juga dia berusaha mencari keterangan dari
penduduk sekitar situ. Tidak mudah untuk
mendapatkan keterangan. Selain rumah penduduk
berada jauh, juga tak ada orang yang mau
membuka pintu di malam buta untuk tamu yang
tidak dikenal. Tidak putus asa, menjelang fajar
akhirnya orang itu berhasil mendapat keterangan
dari penduduk yang tinggal di kaki bukit. Kakek
yang tewas dibunuh diketahui bernama Ma-
ngunsuarso. Dia tinggal di pondok hanya berdua
dengan cucunya, seorang anak lelaki berusia dua
belas tahun bernama Jantra. Si tinggi besar tidak
pernah menduga kalau orang ketiga yang tengah
dilacaknya adalah seorang bocah.
"Kalau anak-anak, pasti dia belum lari terlalu
jauh. Aku pasti menemukannya." Kata si tinggi
besar dalam hat
TUJUH
KELETIHAN karena berlari hampir sepertiga
malam membuat Jantra tidur cukup nyenyak walau
beratap langit, berkasur tanah dan berselimut
embun. Ketika sapuan mentari pagi
membangunkannya, yang pertama sekali dilihatnya
adalah langit luas kebiruan. Lalu dia ingat
kakeknya. Anak ini bangkit dari tidurnya, duduk,
menggosok mata dan memandang berkeliling.
Dia menduga-duga kira-kira sejauh mana dia dari
pondok saat itu. Kemudian pandangannya
ditujukan pada peti kayu yang terletak di tanah di
ujung kakinya.
'Orang bercadar mengaku Pangeran Haryo
itu....' Jantra ingat peristiwa malam tadi.
"Mengapa dia menyuruh aku melarikan peti
sejauh mungkin. Menyembunyikan di satu tempat.
Harus menunggu sampai dua hari. Lalu pergi ke
Kotaraja. Menyerahkan peti pada seorang
bernama Abdi Tunggul di Keraton. Apa yang ada
dalam peti ini? Emas? Harta karun? Barang
pusaka? Kalau memang emas atau harta karun
perlu apa aku susah-susah mengantar ke
Kotaraja. Ambil saja, serahkan pada kakek. Kami
akan jadi kaya raya." Jantra permainkan peti kayu
dengan ujung kaki. Dia berada dalam
kebimbangan. Melaksanakan pesan orang bercadar
atau mengikuti suara hatinya.
Jantra memandang berkeliling. Tak jauh dari
tempatnya duduk ada satu lobang besar bekas
bongkaran akar pohon kelapa yang telah
tumbang. Sesuai pesan Pangeran Haryo, peti itu
bisa dikubur disembunyikannya di lobang itu.
Namun suara hati dan rasa ingin tahu si bocah
ternyata lebih keras. Jantra beringsut. Peti kayu
hitam diperhatikan dengan seksama. Penutup peti
hanya dikunci dengan sebuah pasak kayu. Berarti
tidak susah membuka peti. Maka bocah itu
ulurkan tangan menarik pasak. Ternyata tidak
semudah yang diduga Pasak itu sangat kuat.
Jantra harus mengetuk bagian bawah pasak
dengan sebuah batu berulang kali, baru pasak
bergerak ke atas. Sekali tarik pasak kayupun
akhirnya lepas.
"Kek, kita akan jadi orang kaya," kata bocah
usia dua belas tahun itu karena yakin peti kayu
berisi emas atau barang berharga. Penutup peti
diangkat. Begitu penutup peti terbuka bau busuk
membersit keluar. Jantra seperti mau muntah.
Walau tak tahan oleh bau busuk itu, Jantra masih
berusaha memperhatikan, memandang ke dalam
peti. Saat itu juga si bocah keluarkan jeritan
keras. Muka pucat ketakutan. Seperti disengat
kalajengking anak ini melompat lalu lari tunggang
langgang tinggalkan tempat itu sambil terus
menjerit.
Di dalam peti yang diharapkan berisi emas
atau harta karun itu ternyata ada satu kutungan
kepala manusia. Kutungan kepala ini memiliki
rambut putih yang berubah kaku merah oleh darah
yang telah mengering. Dua mata mencelet
menggidikkan. Darah kering menutupi hampir
keseluruhan wajah. Pada pertengahan kening
yang terbelah, menancap satu benda hitam. Benda
ini adalah sebuah batu tipis berukuran satu
jengkal persegi.
Jantra tidak perduli kemana arah larinya. Yang
penting menjauhkan diri dari peti mengerikan itu.
Selagi dia lari sambil menjerit begitu rupa tiba-
tiba satu tangan kukuh memagut pinggang si
bocah.
"Tidak! Jangan! Lepaskan!" teriak Jantra
sambil memukuli dada orang yang memegangnya.
"Bocah, tak usah takut! Aku akan melindungimu.
Apapun bahaya yang mengancam." Jantra
mendengar suara, merasakan punggungnya
dielus-elus. Jantra menarik nafas panjang lalu
menangis. Orang tinggi besar usap-usap kepala
Jantra, menunggu sampai anak itu tenang dan
berhenti menangis.
"Sahabatku kecil, aku tahu namamu Jantra.
Benar?"
Anak ini anggukkan kepala walau merasa
heran bagaimana orang tahu namanya. Untuk
pertama kali dia angkat kepala guna melihat wajah
orang. Si bocah langsung mengkeret ketakutan.
Dia melihat satu wajah dengan beberapa cacat
menyeramkan! Cepat-cepat Jantra tundukkan
kepala.
"Tampangku memang angker. Tapi terhadapmu
hatiku baik." Berkata orang tinggi besar.
"Sekarang katakan. Apa yang terjadi. Apa yang
membuatmu lari dan menjerit."
Jantra tak bisa segera menjawab.
Sesenggukan masih memenuhi mulut dan
tenggorokannya. Selain itu rasa takut terhadap
orang tak dikenalnya ini masih belum lenyap.
Orang tinggi besar kembali mengusap kepala
anak itu. Berucap dengan suara lembut membujuk.
"Ceritakan apa yang terjadi. Apa yang membuatmu
ketakutan..."
"Di... didalam peti..." Jantra coba menerangkan.
Tapi masih tersendat.
"Di dalam peti. Peti apa? Dimana?"
"Ada...ada potongan kepala manusia di dalam
peti. Kening terbelah. Ditancapi batu...."
Wajah si tinggi besar berubah. Rahang
mengembung, sepasang alis berjingkrak. "Peti
itu, dimana?" Tunjukkan padaku."
Jantra menunjuk ke arah kejauhan. Lalu
berkata. "Aku tidak mau kesana. Aku takut..."
"Kita sama-sama kesana. Biar kudukung agar
cepat."
Jantra didudukkan di bahu kiri lalu orang
tinggi besar membawa anak ini lari ke arah dari
mana tadi Jantra datang.
"Disana, dekat lobang besar. Itu petinya..."
ucap Jantra sambil menunjuk.
Si tinggi besar telah melihat peti kayu hitam
itu. Tergeletak di tanah dalam keadaan terbuka.
Jantra cepat diturunkan ke tanah. Anak ini tak
berani memandang ke arah peti. Si tinggi besar
membungkuk, memperhatikan isi peti. Mula-mula
kening mengerenyit, lalu mata terbelalak. Dada
berdebar panas.
"Bocah! Kau bilang ada batu menancap di
kening orang. Mana?!" Si tinggi besar tarik tubuh
Jantra lalu diputar ke arah peti. Jantra yang
ketakutan, pejamkan mata tak berani melihat.
"Bocah setan! Kau menipuku!" Si tinggi besar
jambak rambut Jantra.
"Di kening itu. Ada batu....Hitam..."
"Buka matamu! Libat sendiri!" bentak si tinggi
besar.
Jantra menggeleng. Tak berani buka mata.
"Kalau kau tidak mau buka mata, biar
kukorek!"
Ketakutan setengah mati matanya mau dikorek,
Jantra akhirnya buka kedua mata. Di kening
kutungan kepala di daiam peti ternyata memang
tidak ada lagi batu hitam itu.
"Tadi batu itu ada di situ. Menancap di
kening." Ucap Jantra.
"Kau yakin?"
Jantra mengangguk.
"Kau tidak mendustai diriku atau salah lihat?"
Si bocah menggeleng.
Si tinggi besar seperti kehilangan tenaga. Dia
dudukkan diri menjelepok di tanah. Dalam hati
mengeluh geram. "Puluhan minggu bekerja keras.
Peti kayu berhasil ditemukan. Tapi Batu Bernyawa
yang ada di dalamnya lenyap dijarah orang!
Kurang ajar!" Saking geramnya si tinggi besar
tendang peti kayu hitam hingga peti dan isinya
mencelat mental ke udara sampai setinggi lima
tombak.
Setelah amarahnya agak mengendur si tinggi
besar menatap Jantra dan berkata dalam hati.
"Anak ini memang tidak berdusta. Tapi
bagaimana batu bisa lenyap dalam waktu begitu
singkat? Ada seseorang muncul di tempat ini?
Siapa? Orang yang tidak tahu menahu perihal
batu mustika itu pasti akan pergi begitu saja.
Atau mungkin salah seorang kepercayaan
penguasa pantai selatan muncul menyelamatkan
batu mustika itu setelah kena dirampas dari
tangan nenek ular?"
"Jantra," kata si tinggi besar. "Kau menemukan
peti di tempat ini. Bagaimana ceritanya?"
"Bukan, bukan menemukan. Aku yang
membawa peti itu kesini..." menjelaskan si bocah.
"Hemmm....Ka!au begitu bagaimana
kejadiannya? Sehabis kau menjelaskan, aku akan
beri hadiah dan antar kau ke pondok kakekmu."
Jantra lalu menuturkan apayang terjadi malam
tadi sampai saat dia lari melalui dinding kajang
yang dijebol, anak ini tidak tahu peristiwa
selanjutnya yaitu kematian kakeknya serta bunuh
dirinya orang bercadar. Setelah mendengar cerita
si bocah orang tinggi besar memutar otak,
berpikir-pikir.
"Jantra, kau tunggu di sini. Kalau aku tidak
menemuimu sampai tengah hari, tinggalkan
tempat ini. Jangan kembali ke pondok." Dari
dalam saku pakaiannya orang tinggi besar
keluarkan kepingan emas. Logam sangat berharga
ini digenggamkannya ke tangan kanan si bocah
seraya berkata. "Ingat, kau tak usah kembali ke
rumah kakekmu. Kalau kakekmu punya saudara
temui dia. Tinggal bersamanya. Emas itu cukup
untuk bekal masa depanmu."
Habis berkata begitu orang tinggi besar usap
kepala si bocah lalu berkelebat pergi. Berada
sendirian Jantra merasa heran. Dia pandangi
potongan emas di telapak tangan kanan.
"Mukanya seram. Anehnya hatinya baik. Aku
diberi emas. Tapi tidak boleh kembali ke rumah.
Mungkin dia tidak tahu kalau kakekku sedang
sakit."
Laksana kilat orang tinggi besar lari ke tempat
dimana malam tadi dia meninggalkan Raja Setan
Tersenyum dalam keadaan tertotok. Ternyata
kakek kepala botak itu tak ada lagi di situ.
"Secepat itukah dia mampu memusnahkan
totokanku? Kurang ajar! Seharusnya kubunuh
saja dia malam tadi!" Si tinggi besar melangkah
bulak balik dengan tangan terkepal.
"Jantra menyebut nama Abdi Tunggul. Aku
pernah mendengar nama orang itu. Kalau tidak
salah dia adalah seorang Tumenggung. Kalau
Pangeran Haryo menyuruh Jantra menyerahkan
Batu Bernyawa pada Abdi Tunggul, berarti
Tumenggung itu tahu seluk beluk batu sakti.
Berarti Raja Setan Tersenyum akan menemuinya.
Atau mungkin, jangan-jangan rahasia besar itu
sudah bocor? Apa yang harus aku lakukan?
Mengejar Raja Setan Tersenyum? Dia pasti dalam
perjalanan ke Kotaraja. Atau aku harus
mengamankan Dewa Sedih lebih dulu?" Cukup
lama orang ini berpikir. Akhirnya dia keluarkan
secarik robekan kertas yang sudah sangat lusuh.
Disitu tertera tulisan yang tinggal samar-samar.
Pada saat seseorang berhasil mengetahui
keberadaan Batu Bernyawa, sebelum batu sakti
berubah menjadi Aksara Batu Bernyawa, orang
itu berpantang membunuh, satu nyawa
sebelumnya dan satu nyawa sesudahnya.
"Walau dia telah melihat wajahku, berarti aku
tidak boleh membunuh bocah itu. Juga tidak
boleh membunuh Abdi Tunggul atau Raja Setan
Tersenyum. Lalu setelah dapatkan batu, aku tidak
boleh membunuh kakek berjuluk Dewa Sedih..."
Setelah berpikir dan menimbang-nimbang cukup
lama orang tinggi besar itu akhirnya memutuskan
untuk segera ke Kotaraja. Sambil berlari dia
mengusap muka berulang kali. Lalu dari balik
pakaian dia keluarkan sebuah topeng karet tipis
dan segera dilekatkan ke wajahnya.
RAJA Setan Tersenyum menunggu cukup
lama sebelum Tumenggung Abdi Tunggul datang
menemuinya di salah satu ruang sunyi di bagian
belakang Keraton. Walau hatinya agak kesal
namun wajahnya tetap saja senyum-senyum. Tak
lama kemudian tirai tebal tersibak. Seorang kakek
berambut, berjanggut dan berkumis putih keluar.
Sesaat Raja Setan pandangi orang yang tegak di
depannya.
"Ada keanehan pada tua bangka satu ini. Usia
lanjut tapi tubuh kekar tegap." kata raja Setan
dalam hati. Dia coba perhatikan tangan dan kaki
orang. Namun tak berhasil karena orang itu
mengenakan jubah gombrong menutupi kedua
tangan serta kaki. "Sudah tahunan aku tidak
datang ke sini, agaknya banyak tokoh baru yang
aku tidak kenal. Terhadap yang satu ini aku harus
berlaku waspada." Setelah sunggingkan senyum,
kakek kepala botak ini berkata.
"Sayang sahabat lama Keraton. Saya ingin
menemui Tumenggung Abdi Tunggul...."
"Aha, siapa yang tidak kenal Raja Setan
Tersenyum. Aku mewakili Tumenggung, memberi
tahu bahwa beliau masih tidur. Pagi ini
Tumenggung agak kurang sehat....'
"Dia tahu siapa diriku. Aku tidak kenal dia.
Semakin aneh!" Membatin Raja Setan.
"Saya sudah meminta seorang pengawal untuk
memberi tahu."
"Pengawal sudah menjalankan tugas. Aku
mewakili Tumenggung menerima kehadiranmu.
Jika ada urusan harap diberitahu padaku."
"Ada urusan penting. Sangat penting. Aku
hanya akan bicara pada Tumenggung." Jawab
Raja Setan sambil tersenyum.
"Kalau begitu silakan menunggu. Tapi kurasa
kau akan membuang wantu sia-sia. Kalau
Tumenggung bangun lalu menolak bertemu
denganmu..."
"Jika beliau tahu siapa yang datang.
Tumenggung tidak akan menolak." Jawab Raja
Setan Tersenyum.
Kakek rambut putih angguk-anggukkan kepala.
"Aku ada keperluan lain. Tak bisa menemanimu.
Pengawal nanti akan memberitahu kalau
Tumenggung siap menemuimu."
"Kalau boleh bertanya, saya berhadapan
dengan siapa?" tanya Raja Setan Tersenyum.
"Aku hanya tua renta pembantu Keraton.
Namaku tak enak didengar. Lagi pula tak akan
ada arti apa-apa bagimu..."
Lalu kakek rambut putih itu acuh saja
melangkah melewati kursi yang diduduki Raja
Setan, berjalan menuju pintu. Raja Setan
memperhatikan. Ketika melangkah kaki orang itu
tidak mengeluarkan suara. Demikian juga ujung
pakaian gombrong yang dikenakan, padahal jelas
pakaian itu menjela dan bergeser dengan lantai.
Raja Setan semakin berlaku waspada.
Kecurigaannya ternyata betul.
Begitu satu langkah berada di belakang Raja
Setan Tersenyum tiba-tiba kakek rambut putih
berbalik. Dua jari tangan kiri laksana kilat
menusuk ke arah leher Raja Setan Tersenyum.
Raja Setan Tersenyum yang memang sudah
curiga dan berjaga-jaga melompat dari kursi.
Tusukan yang berupa totokan dahsyat melesat
mengenai sandaran kursi hingga sandaran kursi
itu hancur berantakan. Raja Setan membentak
marah, cepat berbalik dan hantamkan satu
tendangan. Serangan kaki diikuti dengan
lemparan sebatang panah hitam mengarah ke
tenggorokan. Dengan melompat ke belakang
kakek rambut putih berhasil hindari tendangan
lawan. Sementara dengan mengibaskan tangan
kirinya, anak panah yang menderu ke arah dada
dibuat terpental. Perkelahian hebat segera
berlangsung. Tapi cuma tiga jurus. Yang dihadapi
Raja Setan Tersenyum bukan lawan sembarangan
karena gerakan, daya hantam dan kepandaian
silatnya tinggi sekali. Selain itu Raja Setan mulai
menyadari bahwa lawannya sebenarnya bukanlah
seorang kakek seusianya. Si rambut puti
berpakaian gombrong itu mungkin puluhan tahun
jauh dibawah umurnya. Semua penampilannya
jelas-jelas hanya merupakan satu penyamaran!
Memasuki jurus keempat dengan mainkan
jurus Tangan Setan Menyusup Langit Raja Setan
Tersenyum berhasil menggebuk dada lawan.
Kakek rambut putih hanya bergoncang sedikit,
wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa
sakit. Padahal orang lain yang kena hantaman itu
paling tidak akan terpental dan cidera berat! Malah
dalam jurus ke empat inilah Raja Setan mengalami
nasib sial. Selagi dia setengah bengong melihat
pukulannya tidak menimbulkan akibat apa-apa
pada diri lawan tahu-tahu kakek rambut putih
kirimkan satu jotosan yang menjelang akan
sampai ke sasaran berubah menjadi satu sodokan
siku. Serangan ini mendarat di pinggang Raja
Setan, membuat si kakek melintir. Belum sempat
mengimbangi diri, satu totokan melanda pangkal
lehernya.
"Jahanam! Siapa kau sebenarnya!" hardik Raja
Setan.
Orang yang dihardik ambil sebuah patung
kecil terbuat dari kayu yang terletak di atas meja
lalu disumpalkan ke dalam mulut Raja Setan
hingga kakek botak ini kini hanya bisa keluarkan
suara ha-ha-hu-hu.
Dengan cepat kakek rambut putih geledah
pakaian Raja Setan. Benda yang dicarinya sebuah
batu hitam tipis empat persegi ditemukan di dalam
sebuah kantong di balik jubah hijau Raja Setan.
"Batu Bernyawa."
Suara kakek rambut putih bergetar ketika
menyebut nama batu itu. Takut tertipu kakek
rambut putih teliti batu dengan seksama. Dadanya
berdebar, sesaat nafasnya tertahan ketika melihat
bagaimana batu itu mengeluarkan gerakan-
gerakan halus dan jari-jari tangannya merasakan
ada denyutan aneh seolah batu itu makhluk
bernyawa, bukan benda mati. Batu dimasukkan
ke balik pakaian gombrong. Lalu sekali bergerak
tubuhnya melesat ke atas dan lenyap dari
pemandangan.
Melihat gerak dan cara orang melenyapkan
diri Raja Setan jadi terkesima. Dia melirik ke atas.
Astaga! Baru saat itu dia melihat Ternyata ada
satu lobang besar di langit-langit ruangan. Raja
Setan kerahkan tenaga dalam lalu meniup keras-
keras. Beberapa kali dicoba baru patung kayu
yang menyumpal mulutnya melesat mental.
"Jahanam!" Maki raja Setan. "Bangsat itu!
Aku kini ingat. Aku rasa-rasa pernah mendengar
suaranya sebelumnya! Kurang ajar! Dia adalah
orang yang menotokku malam tadi! Dia juga yang
telah membunuh kekasihku Ratu Setan!" Untuk
beberapa lamanya sekujur tubuh Raja Setan
bergetar hebat dan keluarkan lelehan keringat.
"Batu sakti itu. Tobat! Agaknya memang bukan
milikku! Bukan jodohku!" Raja Setan kerahkan
tenaga dalam untuk lepaskan totokan. Tapi tak
berhasil. Akhirnya dia berteriak memanggil
pengawal.
Ketika pengawal datang disusul kemudian
dengan kemunculan Tumenggung Abdi Tunggul,
kakek rambut putih berjubah gombrong telah
melompat melewati tembok Keraton sebelah
timur. Dengan cepat dia melesat memasuki satu
hutan kecil. Di dalam hutan dia tanggalkan
pakaian gombrangnya, copot rambut, kumis, dan
janggut putih. Dugaan Raja Setan Tersenyum
tidak meleset. Orang ini ternyata telah melakukan
penyamaran. Kini kelihatan wajahnya yang asli
serta sosoknya yang tinggi besar. Sambil tertawa
gelak-gelak dia pegang Batu Bernyawa di tangan
kiri dan percepat larinya.
"Raja Setan. Kau boleh merasa sebagai tokoh
silat berkepandaian tinggi! Tapi kau tidak pernah
menyadari kau adalah tokoh silat paling tolol di
dunia ini! Ha...ha...ha!"
Dua ratus tombak memasuki hutan kecil, orang itu
membelok ke utara.
"Aku harus cepat. Sebelum mentari tenggelam
sudah tiba di tempat perjanjian. Kalau kakek itu
nekad sampai bunuh diri, sia-sialah semua
rencana."
DELAPAN
DI SATU tikungan berbentuk
hampir menyerupai tapal kuda, sungai berair bening
itu bertemu dengan aliran sungai lain yang
bersumber dari sebuah gunung didaerah utara.
Kawasan ini penuh dengan batu-batu besar
berbentuk aneh betebaran dimana-mana. Ada
yang bulat besar seperti bola raksasa. Ada tegak
lurus menyerupai tiang setinggi dada manusia.
Banyak pula menyerupai bukit-bukit kecil. Lalu
ada beberapa berbentuk rata seperti ranjang tidur
atau meja besar.
Sejak alam diciptakan, kawasan berhawa sejuk
itu boleh dikatakan selalu diselimuti kesunyian
abadi. Bahkan kicau burung atau deru aliran suara
air sungai tidak terdengar. Suara desau angin tak
pernah mampir ke telinga siapa saja yang berada
di tempat itu. Tapi saat itu, entah sejak kapan
kejadiannya ada satu suara aneh. Suara aneh
yang terdengar di tempat itu, tatkala sang surya
akan segera tenggelam beberapa saat lagi adalah
suara isak tangis. Siapa pula makhluk yang susah-
susah datang ke tempat terpencil itu hanya untuk
menangis? Benar manusiakah atau hantu yang
tersesat ketika gentayangan, tak mampu mencari
jalan pulang sebelum malam datang?
Di atas sebuah batu besar berbentuk panjang
rata, menggeletak satu sosok tua renta berkulit
hitam berpakaian selempang kain putih. Rambut
yang semula di gelung di atas kepala kini menjulai
lepas di atas batu. Kalau rambutnya putih hampir
seperti kapas, sepasang alisnya masih hitam,
tebal menjulai. Orang tua ini terbujur diatas batu
rata demikian rupa sementara dua kaki terjulur
kebawah, masuk kedalam air sungai sebatas betis.
Dua kaki itu tak bisa diam. Sebentar dikuakkan
lebar-lebar hingga membersitkan deru angin luar
biasa deras. Sesekali ditendangkan ke udara
hingga ranting-ranting dan daun pepohonan di
sekitar tempat itu luruh berguguran. Sering pula
dua kaki itu yaitu ketika rasa sakit tidak
tertahankan dihunjamkan ke dalam air membuat
air sungai muncrat setinggi beberapa tombak,
jatuh ke bawah mengguyur kuyup sosok si kakek.
Kalau sudah begitu si kakek aneh semakin keras
tangisnya, semakin menyayat hati suara ratapannya.
Dalam keadaan terlentang dan menangis kakek
berkulit hitam pergunakan tangan kiri untuk
mengangkat tinggi-tinggi bagian bawah kain putih
sementara tangan kanan yang memegang
setangkai daun keladi hutan besar tiada hentinya
mengipas-ngipas bagian bawah auratnya yang
tersingkap lebar.
"Wutt...wuuuuttt...wuutttt."
"Werrr...weerrr....weerrrrr."
"Kroooookkkk...kroooookkkk....kroookkkkk."
Sambil berkipas-kipas dari mulut si kakek tiada
henti terdengar suara isak tangis sedih berhiba-
hiba disertai ratapan tidak berkeputusan. Suara
tangisan itu ditimpai suara aneh "krockk.......
krooookkkk... krookkkk..." yang keluar dari balik
kain putih yang tersingkap lebar. Seolah ada
seekor kodok besar mendekam di bawah perut si
kakek dan keluarkan suara mengorek terus-
terusan. Kaiau saja ada orang lain di tempat itu
dan berani mengintip bagian bawah kain putih
yang tersingkap lebar maka dia akan melengak
besar. Takut, ngeri. Tidak percaya. Betapa tidak,
sepasang buah sakti si kakek yang wajarnya
hanya sebesar biji salak kini kelihatan meng-
gembung raksasa .sebesar buah kelapa. Setiap
saat seolah hidup, dua buah sakti itu
mengembung kembang kempis dan mengeluarkan
suara seperti kodok mengorek.
Krokkkk:..krooook... krokkkkk!
"Kantong menyanku sialan. Hik...hik." Si kakek
meratap. "Aku rela kalau kalian pecah saja! Biar
terbebas aku dari azab celaka ini. Hik...hik."
Suara tangis dan ratapan si kakek terhenti
sebentar lalu bersambung kembali. "Hik....
enggg... hik...hik. Oala, apa dosaku hingga ketiban
malapetaka begini rupa. Hik...hik...hik. Diseduh
air cabe rasanya mungkin tidak sepanas ini!
Ditemploki bara menyalapun mungkin tidak
sesakit ini! Hik...hik...hik. Enggg...enggg...
Direndam dalam air sungai, ademnya cuma
sebentar. Lama-lama malah tambah panas! Oala...
Tobat aku. Bagusnya mati saja saat ini! Tapi
manusia yang punya perjanjian itu. Apa aku harus
menunggunya atau aku bunuh diri saja?
Enggg...Hik...hik...hik."
Tak tahan oleh sengatan rasa sakit si kakek
hunjamkan kedua kakinya ke dalam air. Air sungai
muncrat ke udara setinggi dua tombak, lalu jatuh
mengguyur sekujur tubuh si kakek.
Dari keadaan si kakek, jika ada orang lain
melihat, selain menduga kakek itu adalah seorang
berkepandaian dan punya kesaktian tinggi, orang
itu juga akan mengira, akibat tidak tahan oleh
penyakit aneh yang dideritanya, si kakek telah
berubah ingatan. Menjadi gila! Sebenarnya kakek
ini tidak gila. Sejak dulu dia memang berperangai
dan bertingkah laku aneh. Hanya saja rasa sakit
yang diderita akibat membengkaknya sepasang
buah zakar memang luar biasa dan menambah
aneh perbuatan serta ucapannya.
Dalam rimba persilatan tanah Jawa kakek
berkulit hitam mengenakan pakaian selempang
kain putih yang sudah kuyup ini dikenal dengan
julukan Dewa Sedih. Selain ilmu kesaktiannya
yang tinggi, dia juga memiliki keanehan tersendiri.
Mukanya yang hitam dengan alis panjang menjulai
selalu menunjukkan wajah sedih. Sekalipun
tertawa tampangnya tetap saja sedih. Apa lagi
kalau penyakit menangisnya kambuh. Apapun
yang dirasa, atau dilihat, apapun yang didengarnya
bisa menjadi sumber tangis tiada henti.
Walau banyak yang menganggap kakek ini kurang
waras namun tidak ada orang berani main-main
padanya.
Diketahui pula bahwa Dewa Sedih punya
seorang adik yang dikenal dengan julukan Dewa
Ketawa. Bertolak belakang dengan keadaan diri
dan sifat Dewa Sedih, sang adik selalu unjukkan
wajah ceria, sedikit bicara banyak ketawa. Melihat
sesuatu saja bisa jadi bahan ledakan tawa. Sekali
tertawa suaranya membahana, menggetarkan
tanah dan seperti mau memecah gendang-
gendang telinga. (Mengenai dua kakak beradik
aneh berjuluk Dewa Sedih dan Dewa Katawa bisa
dibaca dalam serial Wiro Sableng berjudul
"Halilintar Di Singosari" dan pasangannya
berjudul "Pelangi Di Majapahit.")
Setelah menangis sesengguk isak-isakan
Dewa Sedih kembali meratap.
"Mana orang itu! Ini adalah hari terakhir saat
perjanjian. Apa dia jadi datang atau dia hanya
menipu diriku. Kalau matahari tenggelam,
tenggelam pula diriku! Hik.. hik. Kantong
menyanku akan besar seperti kelapa selama-
lamanya. Hik...hik...hik. Bagaimana aku bisa
berjalan! Perempuan mana lagi yang akan sudi
mengusap anuku ini kalau melihat saja sudah
menakutkan. Hik .hiik...hik. Oala... lebih baik aku
gebuk saja biar pecah! Tak tahan sakitnya. Panas
sampai ke ubun-ubun. Sakit sampai ke jempol
kaki. Hik..hik...hik. Eh, apa aku masih punya
jempol kaki? Oala, aku tidak bisa melihat. Tiga
hari menunggu aku tidak makan. Aku tidak
sengsara! Tapi tiga hari kantong menyan
membengkak kembang-kempis enyut-enyutan
rasanya seperti di neraka! Bunyi lagi!
Hik..hik...hik." Si kakek lalu menangis panjang-
panjang. Tangan kanannya kembali sibuk
mengipas-ngipas auratnya yang salah kaprah itu
dengan daun keladi hutan. "Lumayan, lumayan
adem. Hik...hik. Seharusnya ada perempuan
mengipasi anuku ini. Tidak usah perempuan
beneran. Dedemit atau setan jejadianpun tak jadi
apa. Malah-malah yang namanya bancipun tidak
aku tolak. Tapi mengapa tidak seorangpun yang
datang? Engg...hik...hik."
Sambil menangis berkipas-kipas kakek di atas
batu melirik kelangit. Sebentar lagi matahari akan
tenggelam. Tangisnya semakin menjadi-jadi.
"Oala, matilah diriku! Ini semua gara-gara
selembar kain bersurat itu. Kalau saja aku menolak
menerimanya, tidak akan kejadian celaka yang
seperti ini. Sebentar lagi tamatlah riwayatku. Mati
di tempat sunyi seperti ini. Hik...hik...hik. Tidak
ada sanak tidak ada kadang tidak ada sahabat
yang melihat. Adikku Dewa Ketawa, aku banyak
dosa kesalahan padamu. Kita jarang bertemu.
Tapi kalau bertemu kau tertawa aku menangis.
Kita lebih banyak bertengkar. Kau memaki, aku
menyumpahimu. Kalau memang aku mati duluan,
maafkan diriku ya? Hik...hik...hik."
Selagi menangis meratap-ratap begitu rupa
tiba-tiba di bawah kemerahan langit oleh saputan
cahaya sang surya yang hendak tenggelam
berkelebat satu bayangan. Orang ini datang berlari
dari arah timur. Untuk memintas jalan agar lebih
cepat, kawasan sungai dilewati dengan cara
melompat dari satu batu ke batu lain. Bebatuan
yang telah ratusan tahun berada di tempat itu
sangat licin karena ditebali lumut. Jarak batu
satu dengan lainnya paling dekat dua atau tiga
tombak. Tapi orang ini mampu melompat sambil
berlari seperti bocah tengah bermain dampu.
"Dewa Sedih! Aku datang!"
Suara gelegar teriakan orang membuat Dewa
Sedih tergagap, lalu hentikan tangisnya. Namun
hanya sebentar. Dilain saat dia kembali meratap.
"Dia datang... Orang itu datang. Aku tahu dia
menipuku! Aku tahu semua ini pekerjaannya.
Hik...hik...hik. Asal dia memang bisa mengobati
kantong menyanku! Asal saja dia bisa
mengembalikan ke bentuk semula, tidak ada yang
mencong, tidak ada yang penyok atau berubah
burik, hik...hik...hik. Akan lupakan semua derita
sengsara ini. Ini sudah suratan nasib, sudah
takdir. Engg...hik...hik...hik.
Suara ratap Dewa Sedih berhenti. Gema suara
orang masih menggetari seantero tempat. Tahu-
tahu seorang bertubuh tinggi besar telah berdiri
di atas batu kali rata, di samping sosok Dewa
Sedih. Orang ini perhatikan keadaan. Dewa Sedih
mulai dari kepala sampai kaki. Si kakek pelototkan
mata balas menatap, lalu sesenggukan dan
akhirnya menangis keras-keras.
"Dewa Sedih, hentikan tangismu! Kau masih
mengenali diriku?"
"Ya... yang Enggg....hik...hik...hik. Aku kenali
tampangmu. Hampir tiga penyakit celaka yang
bersarang di bawah perutku! Aku tahu semua ini
ulah buatanmu sendiri. Kau memanfaatkan diriku
karena aku memiliki...."
"Kalau mau sembuh kau tidak perlu bicara
panjang lebar!" bentak si tinggi besar. "Ingin
sembuh dengar apa kataku!"
"Engg...hik...hik...hik." Si kakek kembali
menangis.
"Keluarkan Kain Bersurat. Sebentar lagi
matahari akan tenggelam. Saatnya kita mulai
bekerja."
Dewa Sedih tidak lakukan apa yang diminta
orang, malah balik bertanya. "Apakah kau berhasil
mendapatkan Baru Bernyawa.?"
SEMBILAN
SEBAGAI jawaban orang tinggi besar keluarkan
sebuah benda hitam tipis berukuran satu jengkal
persegi. Inilah batu mustika sakti yang pertama kali
muncul dibawa oleh makhluk ular berkepala nenek,
di dalam peti yang ada kutungan kepala manusia.
Peti itu kemudian dirampas oleh Putu Arka orang
pertama dari Tiga Hantu Buleleng. Batu tersebut
yang masih berada di dalam peti kayu hitam
kemudian direbut dan dilarikan oleh Pangeran
Haryo. Namun Pangeran Haryo sendiri menemui
ajal. Batu sakti berpindah tangan pada Raja Setan
Tersenyum. Seperti dituturkan sebelumnya,
selanjutnya batu itu dibawa Raja Setan Tersenyum
ke Keraton untuk diserahkan pada Tumenggung
Abdi Tunggul. Tapi sebelum hal itu sempat
dilaksanakan, batu mustika dirampas oleh seorang
yang menyamar sebagai kakek rambut putih. Si
kakek ini adalah kini orang tinggi besar yang
menemui Dewa Sedih di kawasan tempat
bertemunya dua sungai.
Si tinggi besar perlihatkan batu hitam tipis
dan dekatkan ke muka Dewa Sedih. Si kakek
menatap, kerenyutkan alis, lalu menangis se-
senggukkan.
"Hik...hik... tunggu, aku harus memastikan
batu itu asli atau tidak."
"Dewa Sedih, aku melihat batu ini bergerak.
Aku merasakan ada denyutan seperti tarikan
nafas. Ini pasti batu asli. Mengapa kau harus
menyelidik menghabiskan waktu saja. Bagaimana
caranya?!" Orang tinggi besar mulai jengkel.
Apalagi saat itu waktu hanya tinggal sedikit
sebelum sang surya tenggela
"Hik...hik... Enggg... Orang yang aku kenal
muka tapi tidak kenal nama, kau tenang saja.
Turuti apa yang aku katakan, salah sedikit saja
akan celaka seumur-umur. Hik...hik..."
Si tinggi besar menggeram menahan marah.
"Kalau begitu lekas lakukan apa yang mau
kau kerjakan!" ucapannya setengah membentak.
"Jangan bicara membentak. Aku jadi sedih..."
Dewa Sedih terisak-isak lalu menangis.
"Sial!" maki si tinggi besar dalam hati.
"Mengapa tua bangka keparat ini yang memiliki
Kain Bersurat itu. Mengapa bukan orang lain
yang tidak banyak cingcong!" Kalau tidak punya
kepentingan luar biasa, mungkin sudah sejak tadi
kakek satu ini digebuknya sampai ambruk.
Sambil sesenggukan Dewa Sedih tatap sesaat
batu hitam yang dipegang orang tinggi besar.
Lalu diangkat tangan kiri, telapak dikembangkan
lebar-lebar. Setelah merenung sesaat, pada
telapak tangannya itu Dewa Sedih melihat
bayangan jelas sebuah benda yang bukan lain
adalah Batu Bernyawa. Si kakek letakkan telapak
tangan di atas kening, pejamkan mata lalu
sesenggukan kembali dan menangis panjang
Tidak sabaran orang tinggi besar bertanya.
"Kek, apa yang kau lihat? Bagaimana keadaan
batu ini?"
"Hik...hiik. Aku melihat... Kau ... kau beruntung.
Batu ini memang batu mustika asli. Berasal dari
dasar ke tujuh samudera pantai selatan. Tapi
dibalik keberuntungan itu aku hik..hik.. aku
melihat juga ada petaka besar menunggu
dikejauhan...."
"Aku tidak perduli hal lain yang kau lihat.
Sekarang lekas keluarkan Kain Bersurat...."
"Hik.... hik...Enggg.... Kau sudah membawa
paku berujung emas?" tanya si kakek.
"Semua sudah kusiapkan. Kau saja yang
banyak tanya ini itu. Menangis tidak karuan. Aku
mulai tidak sabaran...."
"Hik...hik...hik. Jangan bicara begitu. Aku jadi
sedih. Kalau kau tidak sabar kau tidak bakal
mendapatkan apa yang kau ingin...." jawab Dewa
Sedih lalu usap air matanya.
"Mana Kain Bersurat itu?!" hardik si tinggi besar.
"Serahkan dulu paku berujung emas," jawab
si kakek lalu menangis panjang.
Meski kesal si tinggi besar keluarkan sebuah
benda yakni sebatang paku panjang sejengkal.
Ujung lancipnya berkilau kuning karena dilapisi
emas murni.
"Ambil paku ini! Lekas kerjakan apa yang
menjadi tugasmu sesuai perjanjian. Jika Kau
menipu kau akan kondor sampai mati! Setiap hari
barangmu akan tambah besar tambah berat!"
Dewa Sedih menggerung. "Jangan mengancam
menakuti aku seperti itu. Aku sedih. Hik...hik...hik."
Si kakek ambil paku berujung emas. Lalu paku
dimasukkan ke liang telinga sebelah kiri. Perlahan-
lahan tapi sedikit demi sedikit paku lenyap masuk
ke dalam liang telinganya. Bersamaan dengan
lenyapnya paku di dalam telinga kiri, dari telinga
kanan si kakek menyembul keluar sebuah benda
yang ternyata adalah segulung kecil kain berwarna
hitam. Si tinggi besar memperhatikan semua apa
yang terjadi dengan mata tak berkesip.
Dewa Sedih gerakkan tangan kiri kanan. Yang
kiri mencabut paku di telinga kiri. Paku lalu
diselipkan disudut mulut. Tangan kanan menarik
keluar gulungan kain hitam yang menyembul di
telinga kanan. Perlahan-lahan gulungan kain
dibuka. Ternyata pada kain hitam itu tertera
sederetan tulisan panjang, dibuat dengan tinta
berwarna kuning emas. Tulisan itu berbunyi :
Aksara Batu Bernyawa
Mula kehidupan anak manusia adalah dari
setetes air mani yang tenggelam ke dalam rahim
ibunya dan berubah
menjadi jabang bayi
Di dalam rahim sang ibu tali pusar menjadi
sumber kehidupan
Jika seorang yang sakarat inginkan kehidupan
Jika seorang telah menghembuskan nafas
lalu terkubur sampai sebelum sang surya
tenggelam
Dan mereka inginkan kehidupan duniawi
kembali
Bagi mereka yang beruntung dan berjodoh
akan didapat nyawa kedua
Asalkan dilakukan semua syarat yang diminta
Pertama, upacara mendapatkan nyawa kedua
harus dilakukan pada menjelang tengah malam
ditempat terbuka dan dibawah cahaya bulan sabit
hari ketiga
Kedua, insan tersebut sebelumnya harus
dimandikan dengan kembang tujuh rupa
Ketiga, yang memandikan haruslah kaum
sejenisnya
Lelaki dimandikan oleh lelaki, perempuan
dimandikan oleh perempuan
Keempat, yang hadir dalam upacara
mendapatkan nyawa kedua tidak boleh lebih dari
dua orang
Kelima, letakkan tali pusar bayi yang baru
dilahirkan diatas pusar insan yang bakal
mendapatkan nyawa kedua
Keenam, kucurkan darah suci bayi yang baru
lahir di atas tubuh insan, mulai dari ujung kaki
sampai kepala dan rambut
Ketujuh, sabarlah menunggu sampai kicau
burung atau kokok ayam pertama terdengar
sebelum fajar menyingsing
Jika itu terjadi maka nyawa kedua telah
tersimpan di dalam tubuh insan
Dia akan bernyawa, akan hidup seperti
manusia adanya, namun akan ditemui beberapa
kelainan
Insan nyawa kedua tidak akan mengenal siapa
diri sendiri dan orang-orang disekitarnya.
Insan nyawa kedua akan memiliki satu
kekuatan luar biasa
Insan nyawa kedua berada dibawah kekuasaan
dan hanya tunduk pada orang yang memberikan
kehidupan kedua padanya
Karenanya syarat kedelapan adalah, insan
nyawa kedua harus ditempatkan secara baik-baik
di satu tempat dimana mulai kehidupan kedua
datang padanya, tidak satu dosa kejahatanpun
baik berupa niat maupun tindakan boleh terjadi di
tempat tersebut.
Syarat ke sembilan dan terakhir, setiap bulan
sabit malam ketiga, insan nyawa kedua harus
diusap ubun-ubunnya dengan darah segar bayi
yang baru dilahirkan
Bilamana syarat ke delapan dan kesembilan
itu dilanggar maka insan nyawa kedua akan
kembali ke asalnya semula
Dan yang berbuat dosa kejahatan akan
kejatuhan bencana malapetaka
"Hik...hik.... Letakkan tanganmu yang
memegang batu tujuh jengkal di atas perutku.!.."
Dewa Sedih keluarkan ucapan
Orang tinggi besar lakukan apa yang dikatakan
si kakek.
"Pegang terus sampai aku memberi perintah
selanjutnya," kata Dewa Sedih sambil terisak-
isak. Kain bersurat dikembangkan di tangan
kanan, dihadapkan ke arah batu yang dipegang
di atas perut. Perlahan-lahan si kakek angkat
tangan kirinya. Lama tak terjadi apa-apa.
Mendadak tangan kiri itu memancarkan cahaya
merah. Cahaya merah keluar dari tangan,
membuntal di udara membentuk sebuah bola
besar. Bola merah ini kemudian bergerak
menyelubungi batu hitam yang dipegang orang
tinggi besar.
"Lepaskan batu!" Dewa Sedih memerintah.
Lalu tenggorokannya sesenggukan. Dari mulutnya
keluar suara meratap panjang.
Agak ragu-ragu orang tinggi besar lepaskan
tangannya yang memegang batu. Luar biasa! Batu
yang tidak dipegang itu kini mengapung di udara,
masih dalam buntalan cahaya merah. Si kakek
angkat tangan kirinya yang memegang paku
berujung emas. Paku diusap-usapkan diatas Kain
Bersurat tujuh kali berturut-turut. Selesai
mengusap kaki yang ke tujuh paku dilepas.
Seperti batu, paku ini juga tidak jatuh, mengapung
di udara. Malah kini paku bergerak melayang ke
arah batu dalam buntalan cahaya merah. Lalu
terdengar suara greet-greet...greet berkepanjangan.
Ujung paku yang lancip dan berlapis emas
bergerak ke bagian kiri atas batu. Lalu bergerak
menggurat dari kiri ke kanan, pindah ke bawah,
kembali dari kiri ke kanan demikian seterusnya.
Dalam waktu singkat, apa yang tertulis di atas
Kain Bersurat kini telah pindah dan tertera di
atas Batu Bernyawa. Begitu semua tertulis
lengkap, tulisan yang ada di atas kain hitam Kain
Bersurat lenyap secara aneh. Bedanya kalau
tulisan di atas Kain Bersurat berwarna kuning
emas, maka tulisan yang tergurat di atas Batu
Bernyawa berwarna putih terang.
Dewa Sedih menangis panjang.
"Pegang batu," katanya.
Orang tinggi besar cepat ulurkan tangan
memegang batu. Cahaya berbentuk buntalan ».
merah bergerak menjauhi batu, melayang dan
masuk kembali ke tangan kiri Dewa Sedih. Lapisan
emas yang menutupi ujung paku lenyap. Paku ini
kini tiada beda bentuknya dengan paku hitam
besi biasa. Paku besi jatuh berdentringan di atas
batu tempat si kakek terbaring, terpental masuk
ke dalam air sungai.
"Enggg....hik....hikkkkk." Dewa Sedih kembali
menangis. "Pekerjaanku telah selesai.... Batu ini
kini bertukar nama. Dari Batu Bernyawa menjadi
Aksara Batu Bernyawa. Hik...hik...hik. Orang yang
aku kenal tampang tapi tidak kenal nama,
sekarang giliranmu. Kau harus memberi
kesembuhan yang kau janjikan padaku!"
Si tinggi besar menyeringai.
"Bagaimana kalau aku tidak menepati janji."
"Apa....?" Dewa Sedih meraung keras lalu
menangis sejadi-jadinya. "Kau akan kualat. Apa
yang menjadi segala rencanamu akan menemui
kegagalan. Malapetaka besar akan menimpamu.
Hik...hik...hik. Kalau kau memang mau ingkar janji
aku minta kau membunuhku saat ini juga.
Sesudah itu akan kau lihat, penyakitku akan pindah
ke dirimu! Kantong menyanmu akan bengkak
besar lalu meledak. Enggg...Hik...hik...hik."
Si tinggi besar tertawa gelak-gelak. Dia alihkan
pandangan ke arah batu yang dipegang.
Mendadak tawanya lenyap.
"Tua bangka jahanam! Kau menipuku!"
"Hik...hik, memangnya ada apa?" Dewa Sedih
kaget lalu menangis.
"Tulisan di atas batu lenyap!"
Dewa sedih tersenyum. Ini pertama kali si
tinggi besar melihat orang tua itu tersenyum.
Tapi begitu senyum lenyap tangisnya muncul
kembali.
"Tulisan tidak hilang. Masih ada diatas batu.
Hanya mata biasa tidak bisa melihat. Pada saat
kau akan melakukan upacara nyawa kedua, kau
harus lebih dulu mencelup batu itu dalam darah
segar bayi yang baru lahir. Tulisan di atas batu
akan muncul kembali...."
"Kalau kau menipuku, aku akan mencarimu
sampai diujung neraka sekalipun...."
Si kakek hanya bisa manggut-manggut sambil
kucurkan air mata.
"Sekarang kau tunggu apa lagi? Kempeskan
kantong menyanku! Tapi awas, jangan sampai
ada yang salah bentuk, ukuran dan mengkilapnya.
Hik...hik,..hik."
Si Tinggi besar menyeringai. Dia bungkukkan
tubuh, tarik ujung selempang kain putih pakaian
si kakek disebelah bawah, lalu susupkan tangan
yang memegang Aksara Batu Bernyawa. Batu itu
ditempelkan di atas kantong menyan si kakek
beberapa lamanya.
"Hik...hik....." Si kakek masih menangis tapi
matanya kini kelihatan meram melek. "Adem....
hik...hik. Enaknya... aduh hik...hik. Sedap sekali.
Asyikkk... Hemmmm....Hik...hiik." Si kakek leletkan
lidah berulang kali. Dalam tangisnya dia kelihatan
senyum-senyum. "Enteng...hik...hik.. tubuhku
sebelah bawah jadi enteng. Engg... sudah
sembuhkah diriku?"
"Silahkan kau lihat sendiri Kek..." jawab si
tinggi besar.
Kalau selama ini dia sulit baginya untuk
bergerak, tapi kini Dewa Sedih dengan mudah
bisa bangkit dan duduk sambil buka dua kaki di
atas batu. Kain putih ditarik tinggi-tinggi ke atas.
Dia memandang ke bawah. Mata mendelik berkilat.
Ratapan panjang keluar dari mulutnya. "Aku
sembuh! Bijiku yang bengkak sebesar kelapa
sudah kempes. Kantong menyanku sudah ciut
bagus. Oala..." Dengan dua tangannya Dewa
Sedih usap-usap auratnya di sebelah bawah perut
itu. Lalu tangan yang mengusap disekakannya ke
sekujur muka. Setelah itu kembali dia mengusap
bagian bawah perutnya, ganti mengusap wajah.
Demikian sampai berulang kali.
"Dewa Sedih" si tinggi besar berkata. "Aku
akan tinggalkan tempat ini. Dengar baik-baik
beberapa hal penting yang akan aku beritahu...."
"Kau ,yang harus lebih dulu mendengarkan
ucapanku!" memotong Dewa Sedih. Wajahnya
tampak serius tapi hanya sebentar lalu kembali
berubah sedih.
"Apa yang hendak kau katakan?" tanya orang
tinggi besar.
"Hik...hik. Petunjuk yang tertulis di atas Aksara
Batu Bernyawa tidak keseluruhannya lengkap.
Kelak akan ada makhluk gaib mendatangimu,
mungkin menampakkan diri, mungkin hanya
suara. Makhluk itu kelak akan muncul menyam-
paikan beberapa petunjuk penting berkaitan
dengan batu mustika pemberi kehidupan itu."
Orang tinggi besar usap-usap dagunya. Dia
menatap ke arah langit yang tadi merah kini
mulai dibayangi kegelapan. Dia merasa lega,
semua berjalan sesuai rencana dan sesuai waktu.
"Sekarang giliranku bicara."
"Hik...hik..." Si kakek mendengar tanpa angkat
kepala.
"Ada beberapa hal penting. Kau tidak pernah
melihat diriku, tidak pernah mengenali
tampangku!"
Dewa Sedih anggukkan kepala. Sesenggukan.
"Kejadian hari-hari dulu dan hari-hari ini tidak
pernah ada!"
"Dewa sedih anggukkan kepala sambil terisak.
"Kau tidak pernah tahu tentang Batu
Bernyawa. Juga tidak pernah tahu atau pernah
melihat tentang Aksara Batu Bernyawa."
"Ya, ya. Hik...hik...hik. Dewa Sedih masih
tundukkan kepala. Sibuk mainkan kantong
menyannya.
Dalam hati si tinggi besar berkata.
"Kalau saja tidak ada pantangan membunuh
satu kali sebelum dan satu kali sesudah
mendapatkan Aksara Batu Bernyawa, pasti sudah
dari tadi-tadi kuhabisi tua bangka sinting ini."
Baru saja orang tinggi besar membatin begitu,
Dewa Sedih langsung meratap panjang.
"Ada orang mau membunuhku. Apa salahku,
apa dosaku? Engg...hik...hik...hik."
Orang tinggi besar terkesiap mendengar
ucapan si kakek. "Manusia satu ini apa dia punya
kesaktian mendengar suara hati orang?" Tidak
menunggu lebih lama orang ini segera tinggalkan
tempat itu.
Ketika akhirnya Dewa Sedih angkat kepala
orang tinggi besar tak ada lagi di tempat itu. Si
kakek langsung meratap.
"Teganya dia meninggalkan diriku.
Hik...hik...hik." Lalu kembali dua tangannya
sibuk mengusapi perabotan di bawah perutnya
sambil sepasang mata terpejam-pejam meram
melek. Dengan suara sesenggukan dia berucap.
"Untung masih utuh. Untung masih mengkilap.
Tidak ada bagian yang penyok, tidak ada yang
bentol-bentol, tak ada yang burik. Hik...hik...hik."
SEPULUH
DALAM akhir Episode sebelumnya (Bendera
Darah) diceritakan perkelahian hebat yang terjadi
antara Pendekar 212 Wiro Sableng dengan Adipati
Sidik Mangkurat dari Magetan.
Murid Sinto Gendeng tidak berdaya menghadapi
Adipati yang bersenjatakan Pecut Sewu Geni,
sebuah cambuk sakti yang mampu menyem-
burkan puluhan lidah api. Sebelumnya Loh Gatra
telah cidera terkena hantaman cambuk itu. Kini
Wiro siap menerima giliran mendapat celaka
dipanggang hidup-hidup.
Puluhan lidah api menyambar ke arah
Pendekar 212. Pukulan Tameng Sakti Menerpa
Hujan dan Topan Melanda Samudera yang
dilepaskan Wiro untuk membentengi diri sekaligus
melancarkan serangan balasan ternyata tidak
berdaya menghadapi puluhan lidah api yang
menyembur dari Pecut Sewu Geni. Empat belas
lidah api berkiblat dan berhasil tembus, siap
menggulung hangus sosok sang pendekar.
Pada saat yang sangat menentukan itu dalam
kegelapan malam mendadak muncul seorang
kakek berjubah dan bersorban putih berkilat.
Wajahnya dihiasi janggut dan kumis putih lebat
terpelihara rapi. Laksana seekor elang orang tua
ini menukik kearah Sidik Mangkurat. Dua lengan
jubah dikebutkan. Dua gelombang cahaya
berwarna biru disertai hamparan angin luar biasa
dinginnya menerpa hebat. Puluhan kobaran lidah
api serta merta padam. Wiro lolos dari malapetaka
dahsyat yang bisa membuat dirinya tinggal tulang
belulang gosong hitam.
Dalam keadaan terpental, Sidik Mangkurat
terkejut besar karena dapatkan pecut sakti tak
ada lagi di tangan kanannya. Siapa yang telah
merampas? Ketika dia mendongak, memandang
ke atas sebuah pohon, dia melihat sosok seorang
kakek berjubah dan bersorban putih berkilat.
Pecut Sewu Geni berada pada si kakek, digulung
sepanjang lengan kanannya. Orang tua ini sendiri
saat itu tahu-tahu telah berdiri enak-enakan di
atas cabang pohon yang besarnya hanya
sepergelangan tangan. Cukup membuktikan bahwa
dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat
tinggi.
Adipati Sidik Mangkurat berteriak marah. Minta
agar si orang tua yang tak dikenal mengembalikan
pecut sakti. Tapi sambil tertawa orang tua itu
malah membuka kedok Sidik Mangkurat. Ternyata
pecut itu adalah milik seseorang di negeri
seberang dan selama lima puluh dua purnama
sang Adipati telah menguasai senjata itu secara
tidak syah. Terjadi perang mulut. Si orang tua
menantang. Kalau Sidik Mangkurat memang
inginkan Pecut Sewu Geni maka dia dipersilahkan
mengambil sendiri ke atas pohon.
Dalam keadaan marah besar dan ditantang
begitu rupa di hadapan sekian banyak anak
buahnya Sidik Mangkurat jadi nekad. Dia melesat
ke atas pohon. Namun sekali si orang tua
mengibaskan tangan, sosok Sidik Mangkurat
terpental keras lalu jatuh bergedebuk di tanah.
Sadar kalau dia tidak bakal mampu menghadapi
lawan yang begitu tangguh, apa lagi mengha-
rapkan dapat merebut Pecut Sewu Geni kembali,
terbungkuk-bungkuk menahan sakit, Sidik Mang-
kurat bersama anak buahnya segera tinggalkan
tempat itu.
Sebelum pergi kakek berjubah dan bersorban
putih berkilat sempatkan diri menolong Loh Gatra
yang mengalami luka bakar di sekujur tubuh
akibat hantaman cambuk sakti. Pecut Sewu Geni
digantung di depan tubuh Loh Gatra. Lalu si
kakek meniup. Saat itu juga seluruh luka bakar
lenyap. Tubuh Loh Gatra kelihatan seperti tidak
pernah mengalami apa-apa!
"Luar biasa! Kek, kau hebat sekali!" Wiro
memuji sambil garuk-garuk kepala dan menatap
si orang tua.
Yang ditatap balas memandang, sunggingkan
senyum dan kedipkan mata kiri pada murid Sinto
Gendeng. Di lain kejap sekali berkelebat sosoknya
lenyap dalam kegelapan malam.
Wiro leletkan lidah, geleng-gelengkan kepala.
"Aku tak kenai siapa adanya kakek hebat itu.:"
"Aku malah tak sempat mengucapkan terima
kasih...." Ucap Loh Gatra sambil usap-usap
wajahnya yang kembali mulus setengah tidak
percaya.
Kegembiraan dua pendekar itu tidak berlangsung
lama. Tiba-tiba muncul seorang penunggang
kuda berjubah bertutup kepala putih. Luar
biasanya sosok putih di atas kuda itu sebentar
kelihatan sebentar lenyap. Wulan Srindi yang ada
di tempat itu berteriak kaget.
"Manusia pocong!"
Sosok manusia pocong lenyap. Ketika Wulan
Srindi berpaling ke kiri, gadis ini kembali berteriak.
"Awas serangan membokong! Wiro!"
Wiro berbalik, putar tubuh dengan cepat.
Tapi terlambat Pendekar 212 Wiro Sableng
hanya sempat melihat sebuah benda melesat di
kegelapan malam disertai cipratan cairan. Lalu
dia mengerang pendek, merasakan perih amat
sangat di bagian dada. Ketika dia memperhatikan
ternyata di dadanya telah menancap sebuah
bendera aneh.'Berbentuk segi tiga, basah oleh
cairan berwarna merah.
"Bendera Darah..." desis Wulan Srindi dengan
suara bergetar.
Wiro menggigit bibir menahan sakit.
"Kurang ajar! Siapa yang punya pekerjaan...."
"Pasti makhluk serba putih tadi. Manusia
pocong! Tetap disini. Aku akan mengejar bangsat
itu!" Kata Loh Gatra.
"Tunggu, jangan kemana-mana. Aku curiga
serangan membokong ini hanya jebakan belaka."
Ujar Wiro lalu pejamkan mata, menjajaki mencari
tahu apakah tangkai bendera yang menancap di
badannya mengandung racun atau tidak. Tidak
ada hawa panas, tidak ada kekacauan dalam aliran
darah. Berarti tidak ada tanda-tanda yang
menunjukkan kayu bendera mengandung racun.
Kalaupun ada mungkin kesaktian Kapak Naga
Geni 212 yang tersisip di pinggangnya telah
memusnahkan racun itu.
Wiro perhatikan Bendera Darah yang
menancap di dadanya. Sambil keluarkan suara
mengeram murid Sinto Gendeng gerakkan tangan
hendak mencabut gagang bendera. Saat itu
mendadak ada orang berseru.
"Jangan dicabut! Berbahaya!"
Wulan Srindi, Loh Gatra dan lebih-lebih Wiro
tentu saja tersentak kaget.
Di lain kejap, dari kegelapan malam muncullah
seorang pemuda berpakaian coklat, berkepala
gundul, berwajah dan berkulit tubuh kuning. Dia
adalah pemuda dari Negeri Latanahsilam yang
dikenal dengan nama Jatilandak.
Wiro mendengus, tidak perdulikan kehadiran
pemuda itu. Hatinya masih sangat terluka atas
kejadian beberapa waktu lalu. Dia menyaksikan
Jatilandak bermesraan dengan Bidadari Angin
Timur. Kini dia merasa benci sekali melihat
pemuda dari Negeri Latanahsilam ini.
Wulan Srindi menatap Jatilandak sesaat lalu
memandang berkeliling. Sebelumnya pemuda
muka kuning itu bersama-sama dengan Bidadari
Angin Timur. Si pemuda datang sendirian, lalu
dimana si gadis?
"Hemm... mungkin dia sengaja sembunyikan
diri." kata Wulan Srindi dalam hati. "Lihat saja,
akan aku kerjain lagi si pencemburu ini!"
Jatilandak melangkah mendekati Wiro dan
mengulangi lagi peringatannya tadi agar Wiro
jangan mencabut gagang bendera yang menancap
di dadanya.
Tanpa memandang pada pemuda bermuka
kuning itu Wiro bertanya. "Kalau dicabut
memangnya kenapa?" Wiro bertanya acuh sambil
arahkan pandangan keberbagai sudut gelap,
mencari-cari. Namun dia tidak melihat sosok
Bidadari Angin Timur. Padahal sebelumnya dia
tahu betul kalau gadis itu berdua-duaan dengan
Jatilandak. Apakah mereka berpisah di tengah
jalan atau mungkin si gadis bersembunyi di satu
tempat?
"Aku pernah.melihat bendera ini sebelumnya,"
menerangkan Jatilandak. "Ujung lancip yang
menancap di dalam daging tubuhmu berbentuk
gerigi runcing menghadap keluar. Jika gagang
bendera dicabut, daging sekitarnya akan ikut
terbongkar. Bisa sebesar ini." Jatilandak membuat
lingkaran dengan dua ibu jari dan dua jari tengah
tangan kiri kanan.
"Gila! Sialan!" Maki Wiro. "Aku tidak percaya.
Kalau tidak dicabut, biar aku patahkan saja!"
Nekad Wiro kembali gerakkan tangan hendak
mematahkan gagang Bendera Darah. Tapi satu
tangan halus cepat memegang lengannya,
mencegah.
"Orang sudah memberi nasihat, mengapa
berbuat nekad?!"
Wiro putar kepala, menatap wajah cantik gadis
berkulit hitam manis.
"Kau yang tadi mengaku murid Dewa Tuak,
siapa kau sebenarnya?!" tanya Pendekar 212.
"Tadi waktu Adipati itu masih di sini aku
sudah menjelaskan. Apa kau tidak mendengar?
Namaku Wulan Srindi. Aku murid Dewa Tuak.
Kau tahu, selama ini aku mencarimu...."
"Aku tidak percaya kau murid Dewa Tuak.
Perlu apa kau mencariku?"
"Tidak heran kalau kau tidak percaya. Kita
tidak pernah bertemu sebelumnya. Kau akan lebih
heran lagi kalau aku katakan bahwa menurut
guru, aku berjodoh dengan dirimu."
"Eee...apa?!" Wiro sampai tersentak dan rasa
sakit di dadanya terasa berlipat ganda.
Wulan Srindi tersenyum.
"Nanti saja kita bicarakan hal yang satu itu.
Tak jauh dari sini ada tempat yang baik. Kau bisa
berbaring di sana sementara kami-kami berusaha
membantu mengeluarkan Bendera Darah dari
tubuhmu.
Baru saja Wulan Srindi selesai berucap tiba-
tiba dikejauhan ada orang berteriak.
"Pendekar 212 Wiro Sableng! Jika ingin
selamat dari Bendera Darah, jika kau masih punya
nyali silahkan datang ke Seratus Tiga belas
Lorong Kematian!"
"Manusia pocong! Pasti itu manusia pocong
yang mencelakaiku! Jahanam!" Wiro segera
angkat tangan kanannya. Begitu tangan berubah
putih seperti perak mulai dari siku sampai ujung
jari dia langsung menghantam.
"Wusss!"
Selarik cahaya putih panas menyilaukan
berkiblat dalam gelapnya malam. Menghantam ke
arah datangnya suara orang berteriak tadi. Pohon-
pohon yang terkena sambaran Pukulan Sinar
Matahari berderak patah, mental dalam keadaan
hangus. Kobaran api bertebaran di beberapa
tempat. Suasana di tempat itu menjadi terang
untuk beberapa lamanya. Namun manusia pocong
yang jadi sasaran pukulan tidak kelihatan. Tidak
ada suara jeritan atau ringkik kuda pertanda
makhluk tersebut berhasil lolos dan tinggalkan
tempat itu.
Murid Sinto Gendeng menggeram marah,
kepalkan jari-jari tangan kanan. "Manusia pocong
jahanam! Saat ini kau bisa lolos. Aku bersumpah
akan mengejarmu sekalipun sampai ke neraka!"
Sementara itu di satu tempat gelap dibalik
sebatang pohon besar, seseorang yang sejak
tadi mendekam menyembunyikan diri menge-
luarkan umpatan. Walau diucapkan perlahan tapi
karena tempat itu sunyi, jika ada orang lain di
dekat situ, suaranya cukup jelas terdengar.
"Gadis tak tahu diri. Tak tahu diuntung!
Beraninya mengaku murid Dewa Tuak. Beraninya
mengatakan berjodoh dengan Wiro. Aku tahu kau
berdusta! Huh! Lihat saja, aku bersumpah satu
saat akan menampar mulutmu!"
Tidak dinyana, tiba-tiba satu suara bertanya.
"Sahabat lama, siapa orang malang yang
hendak kau jadikan sasaran tamparanmu?
Mudah-mudahan bukan diriku. Aduh, bisa-bisa
kencingku muncrat semua. Saat ini saja belum
apa-apa sudah mau luber rasanya. Hik...hik...hik."
Orang yang sembunyi dibalik pohon tersentak
kaget. Dia mencium bau pesing. Hatinya
membatin. "Seingatku hanya ada satu manusia
yang tubuh dan pakaiannya melebar bau pesing.
Nenek itu... Tapi yang barusan bicara suara laki-
laki. Dia mengaku sahabat lama." Orang dibalik
pohon cepat palingkan kepala sambil tangan
kanan berlaku waspada siap melancarkan
pukulan. Sepasang mata membesar.
Pandangannya membentur satu kepala botak
yang baru ditumbuhi rambut, dua telinga berdaun
lebar yang salah satunya terbalik. Lalu ada
sepasang mata belok balas menatap ke arahnya
sambil dikedap-kedipkan.
"Kau! Menjauh! Jangan dekat-dekat. Aku tak
mau celanamu yang basah penuh air kencing
menyentuh pakaian, apa lagi tubuhku!"
Orang yang dibentak cuma senyum-senyum.
"Aku tahu diri. Aku juga takut bersentuhan
denganmu. Bisa-bisa bukan air kencing yang
keluar tapi air yang lain. Hik...hik...hik!"
"Tua bangka sinting kurang ajar! Jangan kau
berani bicara jorok padaku! Saat ini aku sedang
kesal! Jangan salahkan kalau aku sampai
merobek mulutmu!"
"Serrrr!"
"Nah, nah! Ancamanmu menakutkan sekali.
Membuat aku tidak dapat menahan beser!"
"Sudah! Jangan banyak mulut! Pergi sana!"
"Amboi, gerangan apa yang membuat dirimu
kesal? Putus bercinta, ditinggal kekasih atau...."
"Kakek brengsek! Sudah! Tutup mulutmu!
Buka matamu yang belok! Lihat ke depan sana.!"
Kakek berkuping lebar bermata belok putar
kepala ke arah yang dikatakan orang. Mulutnya
terbuka melongo.
"Astaga! Yang satu itu bukankah dia si anak
setan murid Sinto Gendeng! Eh, anak sableng itu
dia memakai hiasan apa di dadanya?"
"Bukan memakai hiasan apa! Dia barusan
dibokong orang dengan Bendera Darah
"Astaga!" si kakek kembali mengucap. "Siapa
yang membokongnya?"
"Manusia pocong!"
"Serrr!"
Mendengar disebutnya nama itu kakek yang
celananya kuyup bau pesing yang bukan lain
adalah kakek konyol Setan Ngompol adanya,
untuk kedua kalinya langsung kucurkan air
kencing.
"Makhluk jahanam itu, rupanya benar-benar
sudah gentayangan kemana-mana. Biasanya
muncul menculik perempuan bunting. Kini
mengapa mencelakai sahabatku si anak sableng
itu?"
"Huh! Kau tahu apa tentang manusia pocong?"
"Bidadari Angin Timur," Setan Ngompol sebut
nama si gadis. "Aku pernah hendak dibunuh
orang gara-gara mengenakan jubah putih milik
seorang manusia pocong yang sengaja
ditinggalkan di sebuah rumah untuk menjebakku."
"Bagaimana ceritanya?" bertanya gadis cantik
yang memang Bidadari Angin Timur adanya.
"Panjang. Nanti saja kalau ada kesempatan
akan aku ceritakan padamu."
"Hemmm... Baiklah. Sekarang jelaskan
bagaimana kau bisa berada di tempat ini. Ingat,
seusai perjanjian kau menemui aku dan dua gadis
lain di gedung kepatihan. Kau tidak datang, tahu-
tahu sekarang muncul disini! Celana kuyup air
kencing, bau pesing!"
Setan Ngompol tertawa lebar, usap-usap
kepalanya yang baru ditumbuhi sedikit rambut.
"Kalau celana tidak kuyup air kencing namaku
bukan Setan Ngompol. Ha...ha...ha!"
"Husss!" Tertawa seenaknya! Kau kira tempat
apa ini!"
Setan Ngompol tekap mulutnya dengan tangan
kiri.
"Ayo bilang mengapa kau tidak memenuhi
janji pertemuan di gedung Kepatihan."
Setan Ngompol usap-usap kepalanya. "Waktu
itu aku melantur sedikit. Ada janda montok di
Bantul yang membuat aku tergila-gila. Tapi gara
gara urusan itu aku hampir dibunuh orang...."
"Kapok! Biar tahu rasa!" tukas Bidadari Angin
Timur.
"Saat itu aku memang kapok. Tapi sekarang,
apalagi malam-malam dingin begini, kalau ingat
sang janda, rasanya aku mau buru-buru balik ke
Bantul lagi menemui...."
"Ssssttt!" Bidadari Angin Timur memberi
isyarat. Jari telunjuk tangan kanan dipalangkan
diatas bibir. "Lihat, ada orang datang!" Bisik gadis
berambut pirang panjang ini.
Setan Ngompol ikut-ikutan letakkan jari
telunjuk tangan kanan di atas bibir, pelototkan
mata lalu berpaling ke depan sana.
"Astaga!" Si kakek terkejut dan serr! Dia
kucurkan air kencing. "Nenek gendeng itu! Setiap
muncul selalu bikin geger. Pasti sebentar lagi
akan heboh tempat ini!" Setan Ngompol berpaling
lalu bertanya. "Menurutmu apa kita keluar saja
dan bergabung dengan mereka?"
"Kau barusan bilang sebentar lagi tempat ini
bakalan heboh. Kalau kau mau ikutan heboh
silahkan saja bergabung sendiri. Aku tetap di
sini, jadi penonton saja. Mentang-mentang kalian
sama bau pesingnya. Eh, jangan-jangan kau
sudah lama gatal sama nenek itu. Naksir...?"
Si kakek pencongkan mulut, lalu cepat-cepat
tekap mulutnya agar tawanya tidak meledak.
"Bercinta dengan perempuan yang sama bau
pesingnya apa enaknya? Tidak ada penghijauan
dan penyegaran bebauan. Hik...hik...hik."
"Sudah! Pergi sana. Temui nenek itu."
Setan Ngompol usap-usap kepala. "Aku ikut
kamu. Kita sama-sama jadi penonton saja. Lagi
pula lama-lama bersamamu kurasa hidungmu
sudah jadi terbiasa dengan bau pesingku.
Bagaimana, sedap juga 'kan? He...he...he."
"Kakek geblek!" maki Bidadari Angin Timur.
Di depan sana, diantara Loh Gatra, Wulan
Srindi, Wiro Sableng dan Jatilandak tegak agak
terbungkuk seorang nenek tinggi, kurus kering,
berkulit hitam. Di kepalanya menancap lima tusuk
konde perak. Di tangan kiri ada sebuah tongkat
kayu butut. Tubuhnya, terutama kain yang
dikenakannya menebar bau pesing. .Sepasang
matanya yang seperti ada apinya memandang
berputar liar. Nenek angker ini bukan lain adalah
dedengkot rimba persilatan tanah Jawa, guru
Pendekar 212 Wiro Sableng. Sinto Gendeng dari
puncak Gunung Gede.
Melihat siapa yang berdiri di depannya Wiro
cepat mendatangi lalu membungkuk hormat. "Nek,
salam hormat dari muridmu" sapa sang pendekar
pada sang guru.
Sinto Gendeng hanya melirik sekilas, lalu
memandang berkeliling ke arah Jatilandak, Loh
Gatra, dan Wulan Srindi.
Melihat si nenek memandang ke arahnya dan
tadi dia mendengar Wiro menyebut guru pada
sisi nenek, Wulan Srindi buru-buru mendatangi si
nenek. Jatuhkan diri berlutut seraya berkata.
"Nenek Sinto, terima salam hormat dariku.
Wulan Srindi. Calon menantumu..."
Sepasang mata Sinto Gendeng seperti
terpacak pada wajah gadis cantik hitam manis
yang berlutut di depannya. Lima tusuk konde di
kulit kepalanya seperti berpijar dan bergoyang-
goyang. Di dalam hati gadis ini jadi punya rasa
takut kalau-kalau akan disemprot si nenek angker.
Namun diam-diam dia juga merasa lega. Jika
Bidadari Angin Timur ada disitu pasti dia
mendengar ucapannya tadi."
Rasakan, biar terbakar telinga, hangus
dadanya mendengar kata-kataku! Lain dari itu
aku juga untung-untungan. Siapa tahu benaran
diterima jadi menantu!" Wulan Srindi senyum-
senyum sendiri.
Sinto Gendeng mendongak ke langit. Lalu
nenek ini tertawa cekikikan.
"Tidak disangka banyak orang gila ditempat
ini! Hik...hik...hik.!"
SEBELAS
DI BALIK semak belukar Setan
Ngompol ingin ikut-ikutan tertawa. Karena ditahan-
tahan akhirnya dia jadi terkencing sendiri. Sebaliknya
Bidadari Angin Timur berkata.
"Dasar gadis lancang! Berani-beraninya
mengaku calon menantu pada nenek itu...."
"Nah, nah. Sekarang aku tahu mengapa kau
kesal. Pada siapa kau kesal. Kau kesal pada
gadis hitam manis mengaku bernama Wulan
Srindi itu. Kau kesal karena dia mengaku calon
menantu si nenek. Berarti calon suami Wiro si
anak sableng."
"Kau percaya ucapan gadis itu?"
"Tentu saja tidak."
"Alasanmu?"
"Seingatku Wiro cuma suka pada gadis cantik
berkulit putih dan mulus. Seperti...."
"Seperti apa?"
"Sepertimu inilah," jawab Setan Ngompol.
"Banyak gadis lain yang juga berkulit putih...."
"Tapi dia tidak memiliki rambut pirang yang
menakjubkan sepertimu."
"Memangnya rambutku bagus?"
"Buaguss uaammmmaaattt..." jawab Setan
Ngompol lalu tertawa sendiri dan ngompol sendiri.
Kata-kata Setan Ngompol itu bagaimanapun
juga sedikit menghibur hati Bidadari Angin Timur
yang sejak beberapa waktu belakangan ini selalu
kesal.
Di depan sana Sinto Gendeng hentikan tawa,
ketuk-ketukkan tongkat lalu membuka mulutnya
yang perot.
"Orang gila pertama adalah kau!" Si nenek
tudingkan ujung tongkatnya ke jidat Wiro Sableng.
"Dandanan gila apa yang kau pakai ini?
Menancapkan bendera basah bau amis di dada!
Uuahhh!" Si nenek semburkan ludah merah ke
tanah. Merah karena di mulutnya dia selalu
membekal susur yaitu tembako, daun sirih dan
pinang yang dikunyah-kunyah.
"Nek, ini bukan dandanan. Aku dibokong orang...."
Menjelaskan Pendekar 212.
"Apa? Kau dibokong orang? Astaga naga.
Untung bukan bokongmu yang dibokong!
Hik...hik...hik... Untung bukan anumu yang
ditancapi! Hik...hik'...hik...." Sinto Gendeng tertawa
cekikikan.
"Seorang anggota komplotan Barisan Manusia
Pocong muncul. Melakukan serangan dari tempat
gelap ketika kami tengah bicara di tempat ini."
Wulan Srindi ikut memberi keterangan seraya
bangkit berdir'.
"Aku sempat menghantamnya dengan pukulan
Sinar Matahari. Tapi dia berhasil lolos."
Menambahkan Wiro.
"Manusia pocong? Makhluk apa itu? Kalau
manusia ya manusia. Kalau pocong ya pocong
Mana bisa jadi satu. Atau mungkin ada manusia
sungguhan yang kawin sama pocong. Bunting,
anaknya mbrojol lalu disebut manusia pocong.
Begitu?"
"Bukan Nek," Yang menyahuti adalah Loh
Gatra. "Manusia Pocong itu adalah kelompok orang-
orang jahat penculik perempuan-perempuan
hamil. Salah satu korbannya adalah istri saya
sendiri."
Sinto Gendeng pencongkan mulut. Goleng-
goleng kepala.
"Nek," kembali Wulan Srindi membuka mulut.
"Markas komplotan Manusia Pocong itu tidak
jauh dari sini. Di sebelah utara sana. Mereka
diam di dalam Seratus Tiga Belas Lorong Kematian.
Kami tengah berunding untuk menyerbu
markas itu. Lorong itu bukan lorong sembarangan.
Siapa berani masuk akan tersesat, tak bisa keluar
lagi dan akan melepas nyawa di tempat itu!"
"Manusia Pocong, Seratus Tiga Belas Lorong
Kematian. Aneh-aneh saja. Tapi aku belum selesai
dengan urusan manusia-manusia gila yang ada
di tempat ini. Kau!" kata si nenek pula sambil
ketukkan tongkatnya ke kepala Wiro. "Kalau kau
benar dibokong dengan benda itu. Lalu mengapa
bendera itu tidak kau cabut?"
"Kalau dicabut daging dada Wiro akan ikut
terbongkar. Gagang bendera berbentuk gerigi
lancip menghadap keluar...."
Sinto Gendeng melirik ke arah Jatilandak yang
barusan bicara. Lalu dia tertawa panjang. "Kau
orang gila kedua di tempat ini. Kulit kuning,
kepala botak kuning, mata kuning, gigi pasti
kuning. Yang tidak kuning pada dirimu apa?
Kotoranmu?!"
Wulan Srindi senyum-senyum. Wiro mesem-
mesem. Loh Gatra palingkan muka sembunyikan
tawa. Jatilandak sendiri hanya diam dan komat-
kamitkan mulut. Dia sudah mendengar sifat nenek
satu ini.
"Orang gila ke tiga! Jangan kau senyum-
senyum! Kau yang kumaksud orang gila ke tiga!"
Tongkat di tangan kiri Sinto Gendeng bergerak,
kini menuding ke arah Wulan Srindi.
Si gadis kaget bukan main.
Di balik semak Bidadari Angin Timur berbisik.
"Nah sekarang rasakan. Kena batunya gadis
gatal ituL"
Sesaat kaget, Wulan Srindi kembali senyum.
"Aku orang gila ketiga di tempat ini?
Memangnya aku gila bagaimana Nek?
Dandananku apik dan rapi. Rasanya otakku
biasa-biasa saja." Wulan Srindi bicara sambil
usap-usap wajah dan rambutnya.
"Kau gila karena mengaku-aku sebagai calon
menantuku! Kenal baru hari ini. Melihat jidatmu
baru sekarang! Bagaimana kau bisa bilang calon
menantuku?!" Sinto gendeng melirik ke arah
muridnya. Lalu menatap kembali pada Wulan
Srindi. "Atau memang tanpa setahuku kalian
berdua memang sudah sejak lama bercinta?
Hemmmm..." Mata si nenek menatap tajam ke
perut Wulan Srindi yang sedikit agak gemuk. "Eh,
jangan-jangan kau bunting ya?"
"Astaga, kau yang gila Nek!" ucap Wulan
Srindi tanpa takut. "Berpegangan tangan saja
belum, bagaimana aku bisa bunting? Memangnya
muridmu punya kesaktian yang bisa membuat
gadis bunting dari jarak jauh? Wow! Oala! Hebat
sekali dia!"
Wiro melengak kaget mendengar ucapan
Wulan Srindi yang begitu berani. Yang lain-lain
juga terkesima. Dibalik semak belukar Bidadari
Angin Timur kembali keluarkan ucapan. "Belum
jadi menantu sudah berani memaki si nenek.
Uh.... gadis edan! Kurang ajar!"
Semua orang mengira si nenek angker akan
mendamprat Wulan Srindi. Tapi justru terjadi
sebaliknya. Setelah menatap wajah si gadis
sesaat, nenek ini dongakkan kepala lalu tertawa
panjang. Yang lain-lain merasa lega. Si nenek
gendeng itu ternyata tidak marah. Wulan Srindi
juga merasa lega. Dia sadar telah keterlepasan
bicara.
"Ilmu kesaktian yang bisa membuat gadis
bunting dari jarak jauh! Hik...hik...hik."
Setelah puas tertawa Sinto Gendeng
memandang berkeliling. Pandangannya' berakhir
kearah muridnya sendiri.
"Anak Setan! Memalukan jadi muridku kalau
bendera itu tak sanggup kau cabut! Mungkin kau
terlalu banyak main perempuan, hingga lupa
kemampuan sendiri! Mendekat ke sini!"
Wiro melangkah mendekat. Agak takut-takut.
Jatilandak dan Wulan Srindi serta Loh Gatra ikutan
cemas. Kalau si nenek nekad mencabut bendera
yang menancap di dada Wiro, bisa celaka pendekar
itu.
Begitu Wiro berada dekat di depannya, sinenek
bertanya.
"Kapak Naga Geni 212 masih ada padamu?
Atau sudah kau jual?" Kau gadaikan mungkin?
Atau kau berikan pada seorang gadis cantik....?"
"Nek, kapak itu masih ada padaku," jawab Wiro.
"Keluarkan, berikan padaku
Wiro ambil kapak Maut Naga Geni 212 yang
terselip di pinggang dibalik pakaian putihnya lalu
diserahkan pada si nenek. Sinto Gendeng timang-
timang benda itu beberapa lama. Sepasang
matanya yang angker kelihatan berkilat-kilat.
"Nenek bau pesing itu, apakah dia akan
memenggal leher muridnya sendiri?" tanya Setan
Ngompol di balik semak belukar lalu seerrr. Dia
kucurkan air kencing.
Perlahan-lahan Sinto Gendeng arahkan
pertengahan mata kapak sakti ke ujung gagang
Bendera Darah yang menancap di dada muridnya.
Kapak menempel dengan ujung kayu bendera.
Sinto Gendeng kerahkan tenaga dalam hawa sakti.
Mata kapak sakti serta merta memancarkan sinar
terang benderang.
Kain bendera yang basah oleh darah terbakai
Gagang bendera kelihatan membara. Lalu ada
suara letupan kecil.
"Dessss!"
Asap mengepul.
Wiro menjerit keras, tubuhnya terpental jatuh
terlentang di tanah. Bendera Darah dan
gagangnya tidak kelihatan lagi. Dibagian dada
yang sebelumnya ditancapi gagang bendera, kini
kelihatan satu lubang kecil hitam, mengucurkan
darah.
"Nek...."
Wiro berusaha bangkit berdiri. Dadanya seperti
ditempeli bara menyala. Tapi si nenek membentak.
"Jangan bergerak!"
Lalu Sinto Gendeng dekati muridnya,
membungkuk. Dia singsingkan ujung kainnya yang
basah oleh air kencing. Wiro tutup jalan
pernafasan. Tak tahan santarnya bau air kencing
ditubuh dan pakaian si nenek. Sinto Gendeng
peras ujung kainnya. Air kencing jatuh menetes
tepat di arah lubang kecil didada sang murid.
"Ces...ces...ces!"
Terdengar suara seperti air jatuh di atas bara
api. Wiro mengerenyit menahan sakit.
"Cukup tiga tetes!" Kata si nenek pula. Lalu
dengan tangan kirinya dia usap dada Wiro. Tanda
hitam lenyap. Lubang kecil juga lenyap. Lelehan
darah tak kelihatan lagi. Tak ada cacat bekas
luka. Dada itu mulus seperti tidak pernah ditancapi
apa-apa.
"Nek, kau punya ilmu baru!" Ujar Pendekar
212 sambil pandangi dadanya, kagum akan
kehebatan sang guru.
"Hemmmm...." Si nenek bergumam. "Namanya
Ilmu Pengobatan Kencing Sakti. Sekarang biar
penyakitmu tuntas air kencing akan aku peraskan
ke dalam mulutmu. Siapa tahu gagang bendera
itu ada racunnya. Ayo ngangakan mulutmu!"
Wiro tersentak kaget.
"Tidak Nek, ampun! Aku sudah sembuh! Terima
kasih Nek, terima kasih!" Wiro tekap mulutnya,
buru-buru berdiri dan menjauh dari si nenek.
Sinto Gendeng tertawa cekikikan. "Seperti
anak kecil saja.. Belum dicekoki obat sudah
mewek, mau kabur! Hik...hik...hik."
TAMAT
Segera Terbit Episode berikutnya :
PERNIKAHAN DENGAN MAYAT
0 comments:
Posting Komentar