Cerita ini adalah fiktif.
Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan belaka
DARAH
PEREMPUAN
IBLIS
Oleh Buce L. Hadi
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Dilarang mengutip, memproduksi dalam bentuk
apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit
Hak Cipta ada pada Penerbit
.
Buce L. Hadi
Serial Pendekar Kelana Sakti
dalam episode: Darah Perempuan Iblis
SATU
Hujan baru berhenti, sisa-sisa gerimis masih
menggerayangi permukaan tanah. Membuat tanah se-
kitar perbukitan makin tergenang air. Langit di atas
gelap dengan awan yang bergulung-gulung saling ke-
jar. Manakala petir sesekali menggeletar menggun-
cangkan Bukit Busung Kawu.
"Glaaaar...!"
Sekejap tempat itu terang, maka nampak jelas
pemandangan yang sangat menyeramkan. Seluruh
permukaan tanah yang becek itu banyak bergelimpan-
gan sosok-sosok tubuh bergelimpangan darah tanpa
nyawa.
"Zglaaaar...!"
Sekali lagi kilat menyambar. Maka keadaan me-
reka semakin jelas terlihat. Potongan-potongan tangan,
kepala atau segala macam senjata banyak berserakan
di pelataran bukit yang becek itu. Betul-betul mengeri-
kan! Seluruh tanah becek itu memerah bercampur da-
rah.
Di balik derai gerimis terdengar pula suara be-
radunya senjata. Berbarengan dengan jatuhnya seo-
rang korban lagi. Tidak jauh dari situ memang telah
terjadi suatu pertempuran. Nampak sepasang suami
istri sibuk menghadapi lima orang yang mengeroyok
dengan serangan-serangan yang membabi buta. Laki-
laki itu melindungi istrinya yang menggendong seorang
perempuan kecil. Namun sebenarnya wanita itu memi-
liki jurus-jurus pedang yang sangat hebat. Meskipun ia
dalam menggendong putrinya, ia masih bisa menja-
tuhkan seorang lawannya dengan babatan pedang.
Suaminya pun menghadapi empat orang sekali-
gus tidak kalah hebat. Pedangnya yang hanya bebera
pa jengkal dapat menyambut setiap serangan-serangan
lawannya. Sekalipun ia tahu keempat lawannya itu
bukan orang sembarangan. Yang lebih jelas mereka ti-
dak lain empat orang saudara seperguruannya sendiri.
Tapi dalam pertempuran yang basah kuyup itu,
mereka seakan memandang membesar terhadap pa-
sangan suami istri itu. Gigih sekali babatan-babatan
senjata mereka mencecar. Setengah mati suami istri
itu menangkis atau menghindari serangan yang mema-
tikan.
"Kakang Legowo.... Awas!" teriak perempuan
yang menggendong putrinya, padahal dia sendiri ham-
pir kewalahan menghindari sambaran pedang. Tapi
rupanya peringatan istrinya itu terlambat. Legowo ti-
dak sempat bergeser saat senjata lawannya mengenai
bagian lengan. "Breeet!"
Untung saja hanya tergores. Cepat Legowo
membalas serangan itu. Pedang pendeknya berputar.
"Traaang!"
Terjadi benturan nyaring dengan senjata yang
datang dari belakang Legowo.
"Istriku, sebaiknya kau pergi dari sini. Bawa
Laranti jauh-jauh. Biar aku yang menghadapi setan-
setan rakus ini!" teriak Legowo. Pedang pendeknya
menangkis dua sambaran pedang. Legowo sendiri me-
lompat mendorong istrinya mundur.
"Tidak bisa, Kakang! Mereka terlalu licik. Kau
bakal celaka menghadapi sendirian. Biar aku ikut
membantu, mati pun kita bersama!" jawab istri Lego-
wo, ia malah maju memutar pedangnya ke depan.
Keempat penyerang Legowo berjingkat mundur.
"Kalian memang bakal mampus! saja pergi dari
perguruan.... Kalian harus menebus kematian guru."
bentak salah seorang lawan Legowo sambil menuding
kan pedang ke arah suami istri itu. Legowo dan is-
trinya melotot.
"Sudah kukatakan, guru tewas karena sakit!
Bukan aku yang menyebabkan kematiannya." sahut
Legowo sengit. Tapi dijawab dengan sambaran pedang
keempat orang lawannya. Istri Legowo yang menggen-
dong putrinya sigap menyambut serangan-serangan
itu. Keempatnya sampai terkesiap.
Cepat mereka merubah posisi, keempat sauda-
ra perguruannya itu mengurung istri Legowo. Sudah
tentu Legowo tidak tinggal diam. Ia segera melompat ke
hadapan istrinya. Lalu berkata lantang....
"Saudara-saudaraku.... Hendaknya kesalahpa-
haman ini diakhiri saja. Aku tidak ingin ada pertum-
pahan darah di antara kita. Kalau kami meninggalkan
perguruan, bukanlah berarti kami melupakan budi
baik kalian. Tapi...."
"Jangan banyak ngoceh, Legowo! Kita ini sema-
kan dan sepeminuman. Siapa yang tidak tahu kalau
kau diberikan 'Ilmu Weduk Pamungkas' oleh guru. Pa-
dahal ilmu itu merupakan tingkat akhir jurus-jurus
ilmu pedang perguruan kita!"
"Astaga.... Sampai sejauh itukah pemikiran ka-
lian? Mana mungkin guru mau memberikan ilmu itu
pada kami. Kalian berempat adalah kakak sepergu-
ruan, seharusnya kepada kalianlah guru menyerahkan
ilmu tersebut." Legowo membela diri.
"Susah kalau bicara dengan orang yang bersifat
serakah! Mungkin kalau nyawa kalian sampai di teng-
gorokan baru mau mengaku. Sudah habisi saja mere-
ka!" Salah seorang dari keempat orang itu maju me-
nyerang. Yang lain mengikuti. Babatan-babatan pe-
dang kembali membersit. Terpaksa sekali Legowo
menghadapinya.
Sang istri tidak ingin suaminya terluka, untuk
itulah ia ikut maju membantu Legowo. Kemahirannya
dalam memainkan pedang jauh dibanding dengan
keempat orang yang dihadapinya. Setiap pedangnya
bergerak, para penyerang itu kelabakan menghinda-
rinya. Putrinya yang dalam gendongan nampak tersen-
gal-sengal. Gadis berusia tujuh tahunan itu nampak
gemetar melihat pedang-pedang mereka beradu sampai
mengeluarkan percikan-percikan api.
Bagaimana pun Legowo tidak ingin istrinya
ikut-ikutan dalam pertarungan itu. Dan lain kemara-
han keempat saudara seperguruannya sudah tidak
dapat dibendung. Mereka betul-betul telah memu-
tuskan tali persaudaraan. Meskipun Legowo saudara
termuda, ia masih bisa mengimbangi serangan-
serangan keempat orang itu. Dan kenyataannya Lego-
wo memang lebih tangguh dari mereka.
Kilat menyambar bagai lidah-lidah api yang
amat menyilaukan. Gerimis membasahi baju serta
rambut orang-orang itu. Manakala benturan senjata
berdenting terus menerus. Bersamaan dengan itu pula
serentetan teriakan menggema. Legowo membabat ke
samping. Pedang pendeknya menancap tepat di perut
lawan. Saat itu pun ia tidak sempat menarik lengan-
nya. Tahu-tahu saja lengannya tersayat oleh sambaran
pedang. Darah bercampur dengan air hujan di sekujur
lengannya.
"Kakang Legowo kau tidak apa-apa?" Istrinya
sempat bertanya, padahal ia sendiri merasa sibuk
menghadapi dua orang lawannya. Legowo memang te-
lah kehabisan tenaga. Apalagi lengannya banyak men-
geluarkan darah. Hal itu membuat istrinya sangat kua-
tir.
Sambil memondong putrinya itu, ia lihat Lego-
wo agak sedikit kepayahan menghadapi serangan
serangan empat orang yang mengeroyok suaminya. Dia
hanya dapat menangkis dan menepis. Untuk memba-
las serangan, tak mungkin ia bisa mengalahkan kece-
patan gerak sambaran pedang lawan-lawannya.
Sesekali pula ia memekik sambil melangkah
mundur. Untung saja Legowo bisa mengatasi kesuli-
tan-kesulitan itu. Namun menghadapi empat orang
yang sangat mahir dalam ilmu pedang tidaklah mudah.
Legowo yang sudah kehabisan tenaga itu mudah di
perdaya. Tak terduga pula saat Legowo melindungi is-
trinya, sambaran pedang lawannya dapat menyambar
pinggangnya. Legowo memekik hebat.
"Sudah kubilang, Legowo! Aku tak segan-segan
membunuh kau dan anak istrimu! Karena kami yakin
'Ilmu Weduk Pamungkas' ada padamu!" Sambil berka-
ta begitu salah seorang lawannya menyerang lagi, kali
ini dengan tusukan pedang yang meluncur deras.
"Trang...!"
Cepat Legowo menyambut dengan pedang pen-
deknya. Benturan itu demikian keras sehingga pedang
lawannya patah dua. Namun dengan patahan pedang
orang tersebut masih menjurus deras. Dan Legowo be-
tul-betul terperanjat menghadapinya. Ia tidak percaya
pedang lawannya yang buntung menancap amblas di
perut.
"Istriku.... Istriku...." Legowo takut sendiri. Me-
lihat itu istri Legowo jadi kalap. Istrinya menjerit-jerit
melihat sang ayah bersimbah darah. Sementara keem-
pat lawannya makin bersemangat menggempur Lego-
wo.
"Mundurlah, Kakang! Keparat-keparat ini aku
yang bereskan!" Istri Legowo membentak, pedangnya
membersit ke dep menghalau keempat orang yang me-
nyerang Legowo. Legowo yang sudah kehabisan tenaga
dan banyak mengeluarkan darah masih saja maju
menghadapi mereka. Jelaslah empat orang lawannya
akan lebih mudah menghadapi suami istri itu.
Lengan istri Legowo terasa kesemutan saat pe-
dangnya menangkis sambaran-sambaran pedang. Me-
rasa kurang leluasa bergerak, istri Legowo menurun-
kan putrinya. Lalu ia mengamuk menggantikan Lego-
wo. Meskipun istri Legowo murid termuda, kepan-
daiannya hampir berimbang dengan keempat saudara
seperguruannya. Dua diantaranya mulai terdesak. Se-
rangan perempuan itu tidak kepalang tanggung lagi.
Seleret sinar putih berkelebat.... "Crak!"
Salah seorang dari penyerang itu ambruk den-
gan batok kepala yang hampir terbelah. Darah pun
membanjir di sekitar tanah becek. Istri Legowo terse-
nyum sinis. Pedangnya masih terus membersit. Tiga
orang lawannya mulai mundur-mundur. Perempuan
itu makin gencar maju menyerang.
Kembali senjata-senjata mereka berdentingan
nyaring. Nampaklah beberapa gulung sinar saling ben-
tur memercikkan api. Teriakan-teriakan mereka meng-
gelegar di balik suara gerimis. Sesekali pula kilat me-
nyambar. Legowo berdiri terhuyung menyaksikan per-
tarungan istrinya yang mati-matian membela kesela-
matan mereka.
Saat itu seseorang melompat meninggalkan
arena pertarungan. Gerakannya cepat bagai kilat. Pe-
rempuan itu sendiri tidak sempat menghalanginya. Ka-
rena ia tengah sibuk menghadapi dua orang lawannya.
Ia sempat melirik orang yang melompat tadi. Ternyata
orang itu menuju ke arah Legowo yang berdiri ter-
huyung menahan sakit. Laranti putrinya berdiri di
samping memeluk.
"Mungkin setelah kau mampus kami baru bisa
memiliki 'Ilmu Weduk Pamungkas'. Hreaaaa!" Orang
itu langsung membabatkan pedangnya. Legowo yang
sudah luka parah tetap waspada. Begitu serangan da-
tang, pedang pendeknya menyambut. Namun gerakan-
nya yang lambat membuat penyerangnya cepat meng-
ganti posisi. Dan Legowo tidak sempat menghindar
saat sambaran pedang menghantam dadanya. Legowo
pun ambruk.
"Ha-ha-ha-ha.... Kau sendiri yang memaksa
aku bertindak kasar, Legowo.... Dan kau tidak perlu
khawatir, sebentar lagi anak dan istrimu akan menyu-
sul ke akherat!!" Sambil berkata begitu ia menarik len-
gan Laranti. Gadis kecil itu memekik ketakutan. Lego-
wo berusaha bangkit, tapi kondisinya yang tidak me-
mungkinkan lagi membuat dirinya ambruk lagi.
"Jangan kau sentuh anakku! Biarkan dia!" ben-
tak istri Legowo sambil lari menjurus ke arah Laranti.
Tapi dua orang yang tadi dihadapi cepat menghalan-
ginya. Babatan pedang mereka hampir saja memu-
tuskan lehernya.
"Kau menginginkan putri mu? Nih terimalah...!"
Dengan keras orang itu menendang gadis kecil itu. La-
ranti mencelat jauh. Jelas sekali darah menyembur da-
ri mulutnya.
"Laranti...!" Istri Legowo memekik hebat. Ia ti-
dak memperdulikan lagi pada orang-orang yang me-
nyerangnya. Perhatiannya tercurah penuh pada Laran-
ti. Kesempatan seperti itu tidak disia-siakan oleh ke-
dua orang penyerangnya.
Dari arah belakang mereka membabatkan pe-
dangnya sekuat tenaga. Istri Legowo yang dalam kea-
daan panik melihat anaknya tergeletak di tanah becek,
tahu-tahu saja tersungkur mencium lumpur. Pung-
gungnya terasa perih. Dan memang babatan-babatan
pedang itu merobek kulit punggungnya.
"Keparat!" Perempuan itu cepat berbalik. Sam-
baran-sambaran pedang masih terus mencecar dengan
bengis. Tapi sekali perempuan itu menyambar ke de-
pan serangan itu, dua orang penyerangnya terjungkal
hebat. Satu di antaranya tewas dengan perut yang
membuyarkan isinya. Satu lagi bergulingan. Istri Le-
gowo bangkit dengan geram menghadapi penyerangnya
yang tinggal dua orang.
"Kalian bukan saja menginginkan 'Ilmu Weduk
Pamungkas'! Tapi juga sengaja ingin membantai ka-
mi.... Hmrrrrt! Sekarang majulah! Lebih baik kita mati
bersama!"
Dua orang yang dihadapinya malah tertawa
mengekeh. Pedang mereka berputar mengancam. Den-
gan pandangan nanar perempuan itu terus menatap.
"Kau boleh menggulingkan orang-orang ku, Pe-
rempuan busuk! Aku memang ingin bertarung sampai
mati. Lebih baik mati daripada tidak mendapatkan
'Ilmu Weduk Pamungkas'...!"
"Pantas guru tidak pernah serius memberi ka-
lian pelajaran ilmu pedang. Ternyata watak kalian
memang bengkok! Biarlah aku yang akan menghukum
kalian!" Istri Legowo menghardik.
*
* *
DUA
Kedua lawannya beringsut mundur saat pe-
rempuan itu maju membabatkan pedangnya. Maka gu-
lungan-gulungan sinar berkelebat ke sana ke mari. Te-
riakan dahsyat dari ketiga orang itu membahana saling
melepaskan serangan. Dentingan beradunya pedang
mereka tidak henti-hentinya mengeluarkan percikan
api yang amat menyilaukan. Itu tandanya mereka
mengerahkan seluruh tenaga dalam setiap menggerak-
kan pedangnya.
Entah sampai pada jurus yang ke berapa. Ta-
hu-tahu saja sosok Legowo melesat dan langsung be-
rada di antara mereka. Lengannya yang menggenggam
gagang golok pendek berputar keras. Mendapat han-
taman yang begitu tak terduga. Ketiga orang itu terma-
suk istrinya sendiri, mendadak bergulingan. Legowo
sendiri hampir tidak dapat menahan berdiri. Tinda-
kannya itu sebenarnya hanya membuang-buang tena-
ga. Sebab begitu bergulingan kedua orang penyerang-
nya bangkit serempak. Istri Legowo sadar akan kese-
lamatan suaminya. Lalu ia bangkit pula.
Namun gerakannya yang lambat membuat usa-
hanya sia-sia. Sebab kedua orang itu terlebih dahulu
membabatkan pedangnya ke tubuh Legowo yang seka-
ligus ambruk.
Di luar dugaan satu di antara penyerangnya itu
ikut ambruk menindih tubuh Legowo. Rupanya ketika
kedua orang itu menyerang Legowo, pedang perem-
puan yang dalam keadaan kalap itu sempat menyam-
bar perut seorang yang berdiri itu sampai terjungkal
menghindari sambaran pedangnya.
"Kini tinggal kau sendiri, Wundung Kuro...
agaknya perguruan kita memang harus amblas ditelan
bumi. Jangan takut, setelah kau mampus, aku pasti
bunuh diri. Agar di antara kita sama-sama tidak men-
guasai 'Ilmu Weduk Pamungkas'..."
"Mendengar ucapanmu, pastilah jurus-jurus te-
rakhir ilmu pedang 'Ilmu Weduk Pamungkas' ada pa-
damu. Heh! Dasar perempuan licik!"
Perempuan itu hanya diam, pandangan ma-
tanya nyala memerah seperti bara. Pedang dalam
genggamannya bergetar, punggungnya yang terluka
semakin banyak mengeluarkan darah. Tapi ia tetap be
rusaha menyembunyikan rasa sakitnya. Mendadak ia
melompat ke atas. Sambaran pedangnya menjurus ke
arah batok kepala lawannya yang tinggal seorang itu.
Tapi sebelum pedang itu menyentuh batok kepala,
Wundung Kuro cepat merunduk sambil mengangkat
pedangnya ke atas pula. Maka pedang mereka beradu.
Namun istri Legowo yang sudah kepalang tang-
gung melepaskan serangan, ia melancarkan tendan-
gannya. Sudah tentu Wundung Kuro yang berada di
bawahnya tidak sempat menghindar. Tubuhnya am-
bruk ke tanah becek dengan punggung yang berde-
nyut.
Dan ia tersentak kaget saat istri Legowo hing-
gap di depannya dengan pedang terhunus. Dengan ka-
lap Wundung Kuro menyambar hantaman pedang pe-
rempuan itu dengan pedang. Sambil bangkit pedang-
nya terus berputar. Perempuan itu pun setengah mati
mundur menghindar. Namun tanah yang dipijaknya
sangat licin, kedua kakinya yang berdiri lemah terpele-
set. Pada saat itulah Wundung Kuro mendorong pe-
dangnya ke depan.
"Breeees...!"
Mata perempuan itu membelalak. Ia tidak per-
caya dengan penglihatannya sendiri. Pedang Wundung
Kuro menancap di tenggorokannya, dari situ mengucur
darah segar bagai air mancur. Ketika Wundung Kuro
mencabut pedangnya, tubuh perempuan ini ambruk
dengan kelojotan. Melihat keadaan lawannya demikian
parah Wundung Kuro semakin nafsu. Dengan geram ia
maju mendekati perempuan yang masih kelojotan me-
nahan sakit. Pedangnya siap terangkat.
Tapi di luar perhitungannya, perempuan itu
masih bisa menghalangi gerakan Wundung Kuro
meskipun dengan gerakan yang membabi buta. Tapi
justru tindakan seperti itu membuat Wundung Kuro
celaka. Tanpa terasa lengan lelaki itu yang menggeng-
gam pedang melayang tinggi. Dan tiba-tiba saja Wun-
dung Kuro teriak histeris saat ia lihat pangkal lengan-
nya mengucurkan darah. Ternyata lengannya telah
sempat termakan sambaran pedang.
Meskipun darah telah membanjir di sekitar le-
hernya, perempuan itu berusaha bangkit. Ia menatap
geram Wundung Kuro yang menjerit-jerit kehilangan
sebelah lengan. Pedangnya bergetar menyambar.
Dengan langkah yang terseret perempuan itu
mencoba maju. Wundung Kuro mengira tidak mungkin
dapat menghadapinya lagi. Sambil meringis ia mun-
dur.
Padahal perempuan itu hanya menggertak saja.
Tapi Wundung Kuro menjadi semakin keder. Maka se-
belum pedang menyambar ke arahnya, laki-laki yang
tinggal seorang itu melarikan diri. Langkah-langkahnya
tidak beraturan, karena sesungguhnya Wundung Kuro
telah kehabisan tenaga. Apalagi keadaan telah terluka
parah.
Perempuan itu bermaksud mengejarnya, na-
mun sepertinya ia tidak kuat lagi untuk melangkah. Ia
hanya menatap kepergian Wundung Kuro dengan ge-
rak tubuh yang sempoyongan. Sebentar kemudian ia
berpaling pada tubuh suami dan anaknya yang terlen-
tang bercampur dengan tanah becek. Tubuh Mereka
telah basah kuyup tak karuan. Tetes-tetes gerimis ma-
sih berderai mengiringi kesunyian itu. Petir menyam-
bar tanpa suara tapi cukup menegangkan suasana.
Dalam pada itu Legowo bergerak lemah. Tan-
gannya menggapai-gapai ke arah istrinya yang perla-
han pula melangkah. Perempuan itu ambruk dengan
seketika di samping Legowo. Kedua seperti ingin saling
berpelukan.
"Maafkan aku kakang.... Hh.... Setelah kema-
tian guru, aku memang menyembunyikan jurus-jurus
terakhir 'Ilmu Weduk Pamungkas'.... Hhhh.... Sekarang
telah terbukti.... Empat orang saudara seperguruan ki-
ta tidak bisa dipercaya...."
"Tidak kusangka.... Kau... selicik itu istriku....
Perbuatanmu tidak benar. Mengapa kau berani me-
nyembunyikan lembar terakhir itu tanpa sepengetahu-
anku...?" jawab Legowo dengan nafas yang terputus-
putus.
"Guru sudah tiada, Kakang.... Sebelum mereka
merebutnya, apa salahnya jika aku mencurinya lebih
dulu."
"Perempuan rendah! Tidak sadarkah kalau ke-
jadian ini akibat ulah mu? K-kk-kau lihat sendiri.... Di
sana sini telah bergelimpangan mayat-mayat yang tak
berdosa sama sekali.... Hkkkk.... Hhhhhh...." Legowo
mencengkeram erat punggung istrinya. Perempuan itu
seperti menyesalinya. Air matanya mengembang ma-
nakala tubuh suaminya mengejang kaku melepaskan
nafas terakhirnya.
"Kakang...!" Perempuan itu memekik hebat. Tu-
buhnya telah banjir dengan darah. Sekali tarik tubuh
suaminya itu sudah berada dalam pelukannya. Petir
menyambar lagi bersama suaranya yang menggelegar
menggetarkan suasana.
Sosok anak kecil mengguncang-guncangkan
mereka. Darah belum mengering bercampur air hujan
di mulutnya. Meski samar tampak gadis kecil itu men-
geluarkan suara.
"Bu...."
Meskipun suaranya yang pelah tertimbun suara
gerimis, masih sanggup menggetarkan wanita yang
mulai berpaling ke arah sana.
"Laranti... k-kk-kau... t-tt-tidak a-apa-apa,
Nak...?" sapanya setelah gadis kecil itu ikut memeluk
mereka. Laranti menggeleng. Ia mengusap-usap wajah
ayahnya yang telah kaku biru.
"Biarkan ayah pergi dengan tenang, Laranti....
Masih ada ibu yang menjaga mu.... Paman Wundung
Kuro yang melakukan semua ini anakku. Kelak kau
harus membalas kematian ayahmu...." Perempuan itu
tersenyum getir meski tenggorokannya yang berlubang
mengeluarkan darah. Ia menarik sesuatu dari gulun-
gan rambutnya. Sebuah tusuk konde berwarna kuning
mengkilat.
"Simpanlah ini kalau perlu selipkan saja pada
gulungan rambutmu. Jangan sampai hilang, Laranti....
Di dalamnya terselip beberapa lembar jurus ilmu silat
yang dapat mengalahkan Paman Wundung Kuro." La-
ranti yang mendengarkan ucapan ibunya mengangguk.
Perempuan itu menatap berkeliling tempat itu. Kea-
daan gelap Bukit Busung Kawu semakin pekat tertu-
tup oleh kabut. yang mulai turun.
Di sekitarnya banyak bergelimpangan mayat-
mayat yang telah kaku biru basah kuyup oleh air hu-
jan. Seluruh pelataran tanah perbukitan telah merah
bercampur darah.
"Bawa aku pergi dari sini, Laranti.... Ini bukan
tempat kita."
"Kita harus ke mana...?"
"Terserah.... Sekarang aku mengikuti kemaua-
nmu." Perempuan itu berusaha bangkit berdiri. Laranti
membantunya. Sebelum mereka melangkah, mereka
menatap tubuh Legowo tersiram air gerimis. Lalu me-
reka segera berlalu dengan diiringi sambaran kilat.
Kejadian itu telah lewat lima belas tahun yang
silam. Sampai saat ini kalangan persilatan tidak ada
yang mengetahui sebab-sebab kehancuran perguruan
itu. Yang mereka tahu hanyalah kabar burung menge-
nai kematian yang melanda orang-orang perguruan
tersebut. Beberapa partai golongan lurus masih terus
menyelidiki. Karena beberapa orang yang merupakan
pentolan dalam perguruan itu hilang secara misterius.
Wundung Kuro sebenarnya orang terpandang dalam
dunia persilatan. Dari aliran mana pun semua menge-
nalnya. Tapi setelah peristiwa itu terjadi, dirinya tidak
pernah ditemukan di antara korban-korban lainnya.
Begitu juga dengan anak istri Legowo. Sama hilangnya
secara bersamaan. Menghilang, atau....
***
Lima belas tahun memang terlalu cepat untuk
berlalu. Namun Bukit Busung Kawu tidak pernah be-
rubah sama sekali. Bukit itu nampak tetap gersang
dan sunyi. Pohon-pohon kering yang tumbuh di sana
sini banyak dihinggapi burung-burung pemakan bang-
kai. Sementara langit selalu mendung dan permukaan
tanah berkabut.
Jarang sekali orang-orang melintasi bukit ter-
sebut. Sebab mereka tahu betapa rawan serta angker
tempat itu. Menurut kabar, mereka pernah mendengar
munculnya seorang perempuan yang sangat berilmu
tinggi juga siap membunuh siapa saja yang melintasi
daerah perbukitan itu.
Hal itu memancing keluarnya para pendekar
dari kalangan golongan lurus. Mereka masih menyu-
sun rencana untuk menyatroni Bukit Busung Kawu.
Manakala orang-orang dari rimba persilatan makin
banyak berjatuhan mengantarkan nyawa.
Kabut hitam merayap perlahan menyapu tanah.
Sebuah bangunan yang cukup besar dan lapuk, kokoh
berdiri menghadap ke arah Bukit Busung Kawu. Dinding-dinding papan serta atap kayu berderak-derak saat
angin bertiup kencang. Bekas-bekas pagar yang men-
gelilingi halaman yang cukup luas itu sudah tidak ka-
ruan lagi.
Saat itu sosok tegap mengenakan baju bulu bi-
natang melangkah mulai mendekati bekas pintu ger-
bang yang usang. Di atasnya tergantung sebuah papan
nama. Bekas nama sebuah perguruan. Tanpa ragu-
ragu pemuda itu memasuki halaman. Ia yakin sekali
kalau di dalam bangunan kayu yang hampir runtuh
itu masih didiami oleh penghuninya. Karena ia bisa
melihat dari jendela yang terbuka lebar itu mengelua-
rkan asap serta aroma masakan yang menggoda perut.
Pemuda itu semakin berani melangkah mendekati pin-
tu. Dan ia mengetuk pintu itu.
"Ki sanak.... Adakah orang di dalam...” Pemuda
ini basa basi. Sekali lagi ia mengetuk. Tapi ternyata
pintu memang tidak terkunci.
"Pantas! Gemboknya sudah rusak." gumamnya.
Ia melangkah masuk ke dalam ruangan berbau pen-
gap. Tidak ada ruang udara sama sekali. Sinar mata-
hari hanya masuk melewati celah-celah papan yang
koyak termakan rayap. Tapi sebelum pemuda itu me-
masuki ruangan lebih dalam, sosok kurus renta ke-
luar, ia hanya berdiri menatap pemuda yang masih
keheranan.
"Kau dari perguruan mana, Anak muda? Ra-
sanya aku belum pernah melihat engkau?" tegur sosok
kurus dengan suara dingin dan bergetar.
"Bukan dari perguruan mana pun. Aku cuma
pengelana. Dan aku memang baru pertama kali datang
ke sini...." jawab pemuda itu. Yang tidak lain si Pende-
kar Kelana Sakti.... Atau sering disebut orang dengan
nama: Wintara.
"Kalau begitu tinggalkan tempat ini, Anak mu-
da. kita tidak pernah punya urusan. Dari partai lurus
pun belum tentu aku mengijinkan bermalam di sini,
apalagi orang yang tak kukenal seperti engkau."
"Tapi...." Wintara menyela.
Orang itu cepat menghardik.
"Pergi, anak muda! Kau tidak tahu bahaya di
tempat asing seperti ini!" Sosok kurus renta itu melo-
tot. Wintara hanya tersenyum, lalu ia melangkah mun-
dur.
*
* *
TIGA
Setelah menutup pintu kembali. Wintara berdiri
menghela nafas. Dipandanginya langit yang hampir ge-
lap. Juga deretan bukit yang memanjang di depan ma-
tanya. Nampak kian berangsur menghitam termakan
gelap. Jendela yang masih mengeluarkan asap berde-
rak menutup. Tak lama kemudian terlihat nyala api
menerangi ruangan tersebut. Pastilah sosok kurus ke-
ring itu yang menyalakan lampu pelita.
Wintara berpaling ke kiri, sebuah gubuk bera-
tap jerami tanpa dinding masih utuh walau tiang-
tiangnya nampak ada yang patah. Di bawahnya masih
banyak berserakan rumput-rumput kering. Gubug itu
mirip bekas sebuah kandang kuda. Karena di situ ma-
sih utuh bekas tambatan kuda. Wintara melangkah ke
situ.
Sebelum ia mendekat, jendela yang tadi tertu-
tup terbuka lagi. Sosok kurus itu berdiri menatap.
Wintara nyengir. Sosok kurus mengangkat tangannya.
Ia menggenggam lepitan kain tebal.
"Kalau terpaksa juga ingin bermalam di sini,
pakai ini.... Mungkin bisa digunakan untuk penahan
dingin. Sebentar lagi akan hujan."
Wintara menerima lemparan kain selimut. Lalu
jendela itu tertutup lagi berderak.
Anak muda itu langsung duduk dalam naungan
gubuk. Selimut tebal pemberi pemilik gedung menutu-
pi seluruh tubuh Wintara.
"Cepat tidur, Anak muda. Besok kau harus per-
gi dari sini!" Terdengar suara dari dalam gedung.
"Aku tahu, Ki sanak. Tidak lupa aku mengu-
capkan terima kasih atas pinjaman selimut mu...." ja-
wab Wintara.
Sementara itu langit makin gelap merayap.
Awan hitam bergulung menyeramkan. Mendung yang
sebentar lagi akan turun hujan mengeluarkan suara
guntur. Kilat pun menyambar terpeta di langit. Tak ada
satupun suara binatang malam terdengar. Tempat itu
betul-betul sunyi. Hanya hembusan angin yang me-
nyapu seluruh permukaan tanah.
Tetes-tetes gerimis mulai jatuh terhempas angin
yang bertiup kencang. Wintara yang diam terduduk
dalam bekas kandang, membersihkan wajahnya dari
lampiasan gerimis. Dan membetulkan letak selimut-
nya, Tanah kering di sekitarnya mendadak basah, ma-
nakala gerimis semakin membesar.
Meski kandang itu tidak besar, sudah cukup
bagi Wintara dari curahan derasnya air hujan. Ia bisa
menetap di situ sampai besok pagi. Sesekali langit
menjadi terang. Bersamaan dengan suara guntur yang
bergemuruh.
Dari balik derasnya air hujan. Wintara bisa me-
lihat sosok tubuh berlari melompat-lompat mendekati
bangunan. Dengan mempertajam penglihatannya Win-
tara bisa menentukan sosok itu seorang perempuan
muda. Larinya begitu cepat. Sebelah tangannya nam-
pak menggenggam benda berkilat sepanjang tiga jeng-
kal.
Wintara cepat bangkit saat sosok perempuan
itu menuju ke arah kandang. Ia menjadi terheran-
heran, kenapa perempuan itu tidak masuk saja ke da-
lam bangunan...? Sepertinya ia telah tahu bahwa ada
seseorang yang sedang berteduh dalam bekas sebuah
kandang. Benda berkilat dalam genggamannya sema-
kin jelas saat perempuan itu mendekat. Sebuah pe-
dang pendek tanpa sarung.
Laki-laki mengenakan baju bulu binatang ber-
diri tercengang menatap seraut wajah cantik, melesat
masuk bagai terbang ke arah di mana Wintara berdiri
penuh keheranan. Pedang pendek hitam mengkilat
berdesing cepat ke depan. Merupakan serangan men-
dadak bagi Wintara.
Dengan rasa tidak mengerti, Wintara bergeser
dari tusukan pedang yang datang bagai sebutir peluru.
Laki-laki itu lolos dari sambaran pedang pendek, tapi
ia tidak bisa mengelakkan tendangan. Meskipun cukup
telak, Wintara cuma berguling salto menyingkir. Tahu-
tahu sambaran pedang berkelebat lagi di atas kepa-
lanya.
Kalau saja Wintara tidak segera merunduk,
mungkin kepalanya sudah menggelinding. Namun bagi
seorang Pendekar Kelana Sakti, ia telah banyak makan
pengalaman. Makanya setelah ia merunduk, kedua te-
lapak tangannya mendorong ke depan.
"Des...!"
Perempuan cantik itu memekik nyaring. Tu-
buhnya terlempar jauh membentur tiang.
Wintara membiarkan gadis itu berdiri lagi. Ia
semakin tidak mengerti saat perempuan itu balas me-
natap dengan garang.
Nampak sekali kecantikannya. Rambutnya
yang tergulung ke atas basah, apalagi bajunya. Di luar
dugaan gadis itu menendang bekas tempat makan ku-
da. Maka dengan siap Wintara menyambut. "Braak!"
Kedua lengan pemuda itu menghantam hancur
tempat makan kuda sampai berkeping-keping. Saat itu
pun perempuan cantik itu telah lenyap. Wintara berlari
ke luar. Hujan deras tidak diperdulikannya. Matanya
memandang berkeliling mengawasi sekeliling tempat
itu.
Siapa perempuan itu adanya? Wintara sama
sekali tidak tahu. Oleh sebab itu Pendekar Kelana Sak-
ti harus terpaksa menantang hujan deras untuk men-
cari gadis tersebut. Serangan serta lemparan tempat
makan kuda tadi sangat berbahaya. Seakan-akan ga-
dis itu tidak suka dengan kehadiran si Pendekar Kela-
na Sakti.
"Perempuan terkutuk! Aku tidak suka main
kucing-kucingan seperti ini! Kalau mau membunuhku,
ayo coba sekali lagi...!" teriak Wintara menerobos de-
rasnya hujan. Tidak ada jawaban. Wintara semakin
curiga, karena ia yakin perempuan cantik itu masih
berada di sekitarnya. Tiba-tiba saja....
"Aaaaaarght!" Wintara tersentak kaget. Ia men-
dengar jeritan panjang dari dalam bangunan di sebelah
bekas kandang kuda. Jelas sekali suara itu dikenal-
nya. Suara pemilik bangunan yang memberikan seli-
mut.
Dengan sekali hentakan, Wintara melesat me-
nerobos jendela yang tertutup rapat. Kayu-kayu jende-
la sudah lapuk, mudah sekali pemuda itu memasu-
kinya. Dalam ruangan yang hanya diterangi sebuah
lampu pelita ia mendengar suara rintihan. Matanya
langsung menatap pada sosok tubuh kurus renta ter-
geletak di tanah.
Saat ia mendekati sosok kurus renta itu meng-
hembuskan nafasnya. Bekas babatan pedang di teng-
gorokan serta dadanya mengalirkan darah. Pastilah
perbuatan perempuan yang barusan menyerangnya
pula.
Hati-hati sekali ia memeriksa seluruh ruangan
itu. Memang gelap. Tapi Wintara cukup nekad. Setiap
ruangan tidak luput dari pemeriksaannya. Beberapa
saat kemudian ia menghela napas. Pintu gedung su-
dah terbuka lebar. Tentunya perempuan itu sudah ka-
bur melalui pintu itu. Wintara langkah ke luar. Di luar
hujan bertambah deras. Ruangan di mana ia berdiri
banyak tergenang air yang masuk melalui celah-celah
atap bocor. Hawa dingin yang menerobos ke dalam itu
tidak dirasakan.
Saat ia menatap jauh ke luar nampak seseo-
rang menunggangi kuda mendekati bangunan, Wintara
menahan nafas mempertajam penglihatannya. Kuda
itu berjalan tenang meskipun hujan deras. Penung-
gangnya seorang pemuda yang sudah basah kuyup.
Wintara berdiri di tengah-tengah pintu meman-
danginya. Tapi ia tetap waspada dan berhati-hati saat
kuda itu semakin mendekat. Si penunggang kuda itu
sudah melihat sikap Wintara yang menanti di muka
pintu.
"Wuah.... Ternyata bukan hanya aku seorang
yang numpang berteduh di sini. Kita sama-sama basah
kuyup. Tentunya kau pun baru datang pula...." kata si
penunggang itu langsung turun dari kudanya.
"Aku dari sejak sore, dan di sini telah terjadi
pembunuhan. Pemilik gedung reyot itu telah tewas...."
jawab Wintara menunggu pemuda itu mendekat.
"Apa...? Kenapa pemilik gedung itu sampai te-
was? Kau tidak menolongnya?" kata pemuda itu yang
terus melangkah memasuki ruangan. Wintara mengi-
kutinya dari belakang.
"Mula-mula aku yang menjadi sasaran. Tapi en-
tah kenapa pembunuh itu mengurungkan niatnya.
Aku pun hampir tewas. Wintara menjelaskan. Ia me-
langkah menunjukkan di mana sosok kurus renta ter-
geletak.
Si penunggang kuda yang baru datang itu men-
gernyitkan alisnya. Ia menatap sosok kurus renta ter-
geletak dengan luka-luka bekas babatan pedang yang
masih mengucurkan darah. Sesaat kemudian ia meno-
leh pada Wintara yang berdiri di belakangnya.
"Dia telah mengabdi di tempat ini hampir tiga
puluh tahun. Namanya: Ki Pelong. Mungkin kau men-
genali rupa pembunuh itu?"
"Seorang perempuan cantik."
"Aku pun sudah menduga demikian... Kalau
benar katamu pembunuh itu seorang perempuan. Itu
berarti nasibmu mujur, Sobat.... Biasanya ia tak per-
nah membiarkan orang-orang yang berkeliaran di seki-
tar Bukit Busung Kawu. Apalagi kalau kau di kalangan
persilatan." tutur anak muda itu.
"Lalu kau sendiri ada maksud apa melintasi
Bukit Busung Kawu? Aku rasa kau datang ke sini bu-
kan hanya sekedar numpang berteduh?" Wintara
memperhatikan gerak-gerik pemuda di hadapannya.
Sebilah pedang tersoren di pundak. Gagangnya meng-
gambarkan kepala tengkorak. Dengan sarung dari kulit
binatang.
"Namaku: Tapak Welang.... Tempat ini tidak as-
ing bagiku. Aku pernah tinggal di dini lima belas tahun
yang lalu. Jadi aku tidak perlu takut dengan segala
pembunuh macam perempuan yang kau sebutkan ta
di." Pemuda itu menyeka air yang memenuhi di mu-
kanya.
"Kenapa perempuan itu sampai membunuh Ki
Pelong? Anda betul mengenalinya?"
"Lebih dari itu, Sobat.... Ki Pelong pernah men-
gasuh ku. Beliau seorang abdi yang ulet dan jujur. Dia
sendiri tidak tahu kenapa perguruan ini sampai han-
cur."
"Perguruan...? Jadi tempat ini bekas sebuah
perguruan?" tanya Wintara.
Tapak Welang mengangguk. Secara spontan
Wintara memandang berkeliling. Dia bisa melihat ha-
laman yang luas saat petir menyambar. Bekas-bekas
pagar nampak porak poranda hampir punah. Kini
hanya tinggal tonggak-tonggak tiang yang berdiri ber-
deret. Juga ia ingat sewaktu memasuki halaman. Se-
buah papan nama masih tergantung dengan tulisan
yang sukar untuk dibaca. Dari pengakuan Tapak We-
lang pasti ia pun dari perguruan ini. Hanya saja Tapak
Welang tidak berterus terang menjelaskannya.
"Soal munculnya seorang pembunuh perem-
puan tidak penting bagiku. Kedatangan ku ke sini
memang ada urusan penting yang lama terpendam da-
lam perguruan ini.... Oh ya. Siapa dirimu, Sobat?"
tanya Tapak Welang. Senyumnya mengundang persa-
habatan.
"Aku hanya orang asing yang kebetulan berte-
duh di sini. Namaku: Wintara...." jawab Wintara tegas.
"Kenapa? Anda mencurigaiku membunuh Ki Pelong?"
katanya lagi.
"Ah... kau terlalu berperasaan, Wintara. Mana
mungkin aku menuduh mu? Kau tidak memiliki senja-
ta. Lagi pula kau tahu sendiri siapa orang yang menye-
rangmu...." Tapak Welang menepuk punggung Wintara
yang basah kuyup. Lalu Tapak Welang mengeluarkan
sebuah anak kunci dari balik bajunya. Ia melangkah
meninggalkan ruangan itu. Ditujunya sebuah ruangan
lain. Pintunya terkunci dengan gembok yang sudah hi-
tam berkarat.
Wintara tidak menahan saat Tapak Welang
membuka pintu itu. Karena Tapak Welang memiliki
kuncinya. Wintara tidak ikut masuk ketika pemuda itu
melangkah memasukinya tanpa ragu-ragu. Ia hanya
mendengar suara yang berderak-derak seperti
di bongkar. Tapak Welang pun tidak perduli se-
jak tadi Wintara memperhatikannya.
Wintara sendiri sampai bosan menunggu Tapak
Welang keluar dari ruangan itu. Maka ia sengaja me-
nunggu di ruangan tengah. Di situ ia mengumpulkan
kepingan-kepingan kayu usang. Lalu dijadikannya api
unggun.
Udara malam yang dihiasi hujan lebat tidak te-
rasa dingin saat api unggun menyala. Wintara duduk
menghadapinya. Ruangan itu menjadi hangat. Bebera-
pa saat kemudian muncul Tapak Welang.
"Sial! Aku tidak menemukan apa-apa di da-
lam...." Wintara tidak menyahut.
Tapak Welang langsung duduk di samping Win-
tara. Pemuda itu menghela nafas panjang.
"Celaka kalau sampai dikuasi oleh orang lain.
Ke mana aku harus mencarinya?" Tapak Welang
menggerutu sendiri. Tapi ia baru sadar kalau Wintara
yang duduk di sebelahnya dapat mendengar.
"Kau ini aneh, Sobat Tapak Welang. Apa sebe-
narnya yang kau cari?" Terpaksa Wintara bertanya.
Semula Tapak Welang segan menjawab, tapi....
"Maaf, sebaiknya kau pun tak perlu tahu, Win-
tara. Ini menyangkut nama baik nama sebuah pergu-
ruan. Bukannya aku tidak mau menjelaskannya."
"Ah, tidak apa-apa...." kata Wintara sambil me-
nambahkan kepingan kayu pada api unggun. Lalu ke-
duanya terdiam. Suasana hening, hanya curahan de-
rasnya air hujan menerpa atap yang terdengar. Diiringi
pula oleh suara petir yang sesekali menggelegar. Dalam
keheningan itu tiba-tiba saja keduanya tersentak. Ke-
duanya bangkit bersamaan.
*
* *
EMPAT
Bledar...! Bledar...!"
Dinding kayu seperti tertimbun bongkakan-
bongkahan batu. Rupanya seseorang telah melempari
bangunan itu dengan batu-batu yang cukup besar.
Bersamaan dengan itu menyusul pula bentakan-
bentakan:
"Semua orang-orang persilatan harus mampus!
Juga pendekar-pendekar keparat seperti kalian, seben-
tar lagi pasti modar!" Suara lantang itu jelas sekali ke-
dengaran sampai ke dalam bangunan. Tapak Welang
melompat ke luar. Wintara cepat mengikuti.
"Tidak perlu dikejar! Dia pasti sudah pergi dari
sini." Wintara menahan.
"Kau tidak merasa kalau kata-kata itu terlalu
menyakitkan?" Tapak Welang menatap geram. Wintara
hanya tersenyum.
"Itu cuma gertak agar kita segera meninggalkan
tempat ini. Lagi ia tidak cukup mampu menghadapi-
mu. Kalau pun ia ingin membunuh kita, dia pasti da-
tang lagi ke sini."
Wintara acuh meninggalkan Tapak Welang ber-
diri di luar tersiram deras air hujan. Kudanya nampak
tenang ditambatkan pada sebuah tiang. Saat Wintara
duduk menghadapi api unggun, Tapak Welang masuk
lagi, Kali ini mereka duduk berhadapan di antara nyala
api yang meletup-letup.
Keduanya saling diam. Sikap Tapak Welang jadi
serba salah. Seringkali Wintara melirik. Lama-lama
berdiam, tidak enak juga.
"Perempuan muda itu sangat cantik. Rasanya
tidak masuk akal kalau ia selalu membunuh tanpa
alasan." Wintara membuka pembicaraan.
"Cantik atau buruk bukan ukuran bagi orang
Alap-alap Bukit Busung Kawu. Entah sudah berapa
banyak tulang belulang orang-orang persilatan yang
berserakan di bukit ini. Termasuk sekarang, Ki Pelong
menjadi korbannya." Tapak Welang terpaksa menimpa-
li.
"Tempat ini satu-satunya perguruan yang ada
di Bukit Busung Kawu. Mungkinkah kehancurannya
atas perbuatan perempuan itu juga?" Pertanyaan Win-
tara cukup hebat.
"Tentu saja tidak! Lima belas tahun yang lalu
aku masih tinggal di sini, sampai perguruan ini beran-
takan. Sayang saat itu aku belum tahu apa-apa.... Apa
yang menyebabkan perguruan ini hancur aku tidak
tahu sama sekali."
"Lalu bagaimana kau bisa keluar dari sini?
Adakah orang yang menyelamatkan dirimu?" Perta-
nyaan Wintara mendesak.
"Kau terlalu jauh bertanya, Wintara.... Aku ke-
beratan menjawabnya."
"Ah.... Sayang."
***
Sosok-sosok tubuh kerdil yang berjumlah tiga
orang melintasi perbukitan Busung Kawu. Saat itu ma-
tahari mulai bangkit dari tidurnya. Ketiganya nampak
bersungut-sungut. Selain mereka bertiga kerdil, ciri-
ciri mereka berlainan. Orang yang berjalan paling ten-
gah, Gindek. Berwajah paling seram. Dia seorang lelaki
bertubuh gemuk dengan rambut berjuntai sebatas lu-
tut.
Lain lagi dengan Gondok, tubuh lelaki itu nam-
pak kurus. Namun memiliki leher yang sangat besar
seperti orang yang berpenyakit gondokan.
Sedangkan Gundik, seorang perempuan kerdil
yang sama gembrotnya dengan Gindek. Rambutnya
agak pirang serta semerawut. Matanya besar dan ke-
dua alis menyambung. Mereka tiga saudara yang ber-
juluk 'Gagak Hitam Penyebar Maut'
Sepanjang jalan Gundik nyerocos terus. Dia
memang paling cerewet di antara dua saudaranya.
Gindek dan Gondok malah terus menanggapinya.
"Kita akan sia-sia sesampainya di perguruan
bejad itu! Percayalah padaku! Lagi pula mana ada pu-
saka ditinggalkan begitu saja! Salah-salah kita berte-
mu dengan Alap-alap Bukit Busung Kawu." Gundik
ngoceh. Gindek yang berjalan di tengah tertawa.
"Ha-ha-ha-ha.... Kenapa musti takut terhadap
Alap-alap Busung Kawu? Jangan mudah terpancing
oleh berita yang baru simpang siur itu, Gundik!"
"Baru satu alap-alap.... Seratus pun masih
sanggup kita hadapi." Si kurus Gondok menimpali.
Gundik cemberut. Sambil melangkah terus ia menya-
hut.
"Bukannya takut.... Perguruan itu jelas sudah
tidak ada apa-apanya lagi. Pusaka sudah jatuh ke tan-
gan orang. Yang kita temui paling-paling si alap-alap
itu."
"Tolol! Kalau kita benar-benar ketemu dia, ce-
pat-cepat kabur." sela Gindek. "Berarti kau yang pen-
gecut!" "Gindek benar! Kita bisa memanfaatkan adanya
Alap-alap Bukit Busung Kawu. Biar saja ia menghabisi
semua orang -orang dari partai aliran lurus. Toh tin-
dakannya sangat menguntungkan kita." Gondok mem-
beri pendapat.
Gundik diam. Tapi sebentar kemudian ia nyero-
cos lagi.
"Alap-alap Bukit Busung Kawu mana mau per-
duli.... Dari aliran lurus kek, dari aliran bengkok kek.
Dia tidak pandang bulu!"
"Kalau terpaksa, ya... kita habisi saja sekalian.
Sejak kapan 'Gagak Hitam Penyebar Maut' takut sama
segala alap-alap?"
"Itu sama juga membuang tenaga percuma....
Alap-alap Bukit Busung Kawu yang tersohor itu tidak
ada arti bagi kita. Tapi cukup repot kalau kita sampai
berurusan dengannya. Orang-orang dari partai aliran
lurus akan menertawai kita."
"Kenapa harus memusingkan Alap-alap Bukit
Busung Kawu? Tujuan kita bukan ke situ, tapi untuk
mencari pusaka 'Weduk Pamungkas!" bentak Gondok.
Terhadap Gondok, Gundik cukup segan. Ia tidak nye-
rocos lagi saat si kurus kerdil membentaknya.
Ketiganya berjalan menyusuri daerah perbuki-
tan yang banyak ditumbuhi pohon-pohon kering bagai
tulang kerangka raksasa. Tanah di sekitar bukit masih
becek bekas hujan semalam. Tidak heran kalau kaki-
kaki mereka penuh dengan tanah lumpur. Setiap lang-
kah mereka menapak memanjang di sepanjang jalan.
Gundik membuang ludah saat ia menemui so-
sok mayat yang hampir busuk. Apa lagi sekitar situ
banyak menghampar tulang belulang. Burung-burung
nazar yang semula berdiri di atas tulang-tulang ke-
rangka beterbangan saat mereka melintasi tanah itu.
Angin gurun berdesir menerpa ketiga manusia
kerdil. Udaranya cukup segar meskipun sesekali ter-
cium bau bangkai busuk. Ketiganya berhenti melang-
kah menatap kejauhan. Mereka melihat sosok tubuh
ramping menghadapi dua gundukan tanah.
Sosok ramping itu tidak menoleh sekalipun su-
dah mendengar langkah-langkah manusia kerdil men-
dekati. Ia tetap diam menatap dua gundukan tanah
yang ditumbuhi rumput halus.
Gundik paling tidak suka melihat gadis cantik,
makanya ia tetap cemberut dan bersikap acuh. Lain
dengan Gindek dan Gondok. Mata mereka hijau kun-
ing melihat sosok yang begitu menggiurkan.
Hoooi.... Cah ayu! Sedang apa di sini." kata
Gindek yang langsung melompat mendekat. Gondok
hanya berjalan cepat menyusul si gembrot Gindek.
"Sungguh besar nyalimu, Cah ayu. Tidak tahu-
kah kalau Bukit Busung Kawu sering berkeliaran alap-
alap yang gemar menghitung mayat? He-he-he-he-
he...."
"Tidak disangka kalau dalam perjalanan ini kita
bisa bertemu dengan bidadari secantik ini.... Aku me-
mang sudah karatan, sudah lama tidak ketemu pe-
rempuan." Gondok paling berani. Ia mulai gerayangan
menyentuh gadis itu.
Gadis itu hanya diam tersenyum. Tanpa sepen-
getahuan mereka, tangannya yang putih mulus mena-
rik gagang pedang. Gondok tersentak kaget ketika pe-
dang itu keluar membersit. Mendadak saja laki-laki
kurus kerdil menjerit-jerit. Kedua matanya membelalak
melihat keempat jari yang menggerayang tadi sapat.
Sedangkan potongan-potongan jarinya bergetar berse-
rakan di tanah berumput.
Saat pedang pendek berputar ke arah Gindek.
Si gembrot kerdil cepat menyingkir. Gindek cepat me-
narik tubuh Gondok yang masih mengerang memegan-
gi lengannya yang kutung tanpa jari. Gundik langsung
melompat menghadapi gadis itu. Tapi ia pun hampir
terkena sambaran pedang kalau tidak cepat menarik
diri.
"Bocah kurang ajar! Berani mengusik 'Gagak
Hitam Penyebar Maut'." Gundik membentak, tapi ia
sendiri beringsut mundur.
"Baru gagak hitam! Setan rajawali pun tak akan
kubiarkan berkeliaran di Bukit Busung Kawu ini!" Ga-
dis itu balas menghardik. Maka ketiga orang kerdil ini
pun saling pandang. Ucapannya sangat menggetarkan
jantung mereka.
"Tidak mungkin! Tidak mungkin kalau kau
mengaku Alap-alap Bukit Busung Kawu. Siapa yang
percaya pada ocehan bocah ingusan, kau bukan alap-
alap.... Tapi cecurut yang mencari alat penggebuk!" sa-
hut Gundik yang dower nyerocos.
"Bagaimana kalian akan percaya kalau tidak
segera membuktikan?" Sambil berkata begitu, tubuh
ramping melesat ke atas. Pedangnya berkelebat me-
nyambar. Ketiga sosok kerdil berhamburan menghin-
dar. Mereka menggelinding bagai sebuah bola.
Tapi gadis itu sendiri terus berputar bagai kiti-
ran dengan babatan pedang mengeluarkan suara yang
menderu-deru. Setiap kali pedang itu mengarah, sosok
kerdil berjumpalitan menghindar.
Dengan sebuah tusukan yang sangat cepat, ga-
dis itu menerjang.
Gundik terlambat menepis. Ia hanya bergeser
sedikit, namun sebentar kemudian Gundik pun me-
mekik hebat. Telapak tangannya reflek meraba telinga.
Ternyata tusukan pedang pendek memutuskan daun
telinga Gundik. Saat Gundik berteriak marah, darah
dari telinganya muncrat berhamburan. Nekad pula ia
mendekati sambaran-sambaran pedang. Lenturan-
lenturan tubuh yang gesit berkelit melawan sambaran-
sambaran pedang. Melihat Gundik bersusah payah
menarung maut, Gindek dan Gondok tidak tinggal di-
am. Mereka datang berlompatan membantu saudara
perempuannya. Tiga saudara kecil itu memang tanpa
senjata. Tapi dengan ilmu yang mereka miliki cukup
mampu mempersulit gerakan gadis cantik itu.
Namun ketiga manusia kerdil itu selalu dibuat
porak poranda. Sekali pedang pendek membersit, me-
reka hampir serempak melompat mundur. Apalagi se-
rangan gadis itu tidak pernah berhenti. Babatan-
babatan pedang bergulung-gulung berkelebat ke sana
ke mari. Setiap sambaran pedangnya sukar di ikuti
oleh pandangan mata. Sedikit keder juga ketiga manu-
sia kerdil itu menghadapinya. Manakala gadis itu tidak
main-main lagi melancarkan serangan. Gondok selalu
menggerutu saat sambaran pedang hampir memisah-
kan lehernya. Ia berusaha membalas dengan tinjunya
sekalipun keempat jarinya telah putus.
Gundik lebih sengit. Mungkin karena benci ter-
hadap perempuan. Apalagi yang di hadapi cuma seo-
rang gadis yang masih di bawah umur. Seluruh kema-
rahannya hampir tercurah. Namun gadis itu tak bisa
dianggap remeh. Tanpa menggunakan pedang, ia bisa
menjatuhkan Gundik. "Beeeg!"
Gundik ngusruk kena tendangan. Tubuhnya
yang kerdil bergulingan. Gindek memekik! Ia khawatir
sekali akan diri Gundik yang menggelinding menuju ke
arah jurang. Makanya ia cepat meninggalkan gadis itu.
Sekali lompat Gindek sudah berada di bibir jurang se-
kaligus menahan tubuh Gundik.Mereka cepat bangkit dan datang membantu
Gondok yang jatuh bangun menghadapi
amukan gadis itu. Mendapat bantuan dari dua
saudaranya, Gondok menggelinding minggir.
Sementara itu Tapak Welang dan Wintara ke-
luar dari bangunan bekas perguruan. Kuda milik Ta-
pak Welang masih tertambat di depan pintu. Kuda itu
meringkik saat Tapak Welang melangkah mendekat.
Wintara hanya berdiri menatap.
"Wintara, sebaiknya kau pun harus meninggal-
kan tempat ini... Aku pikir tempat ini bukan lagi tem-
pat yang aman.: pesan Tapak Welang ketika ia sudah
duduk di atas pelana. Wintara tersenyum mengang-
guk.
"Dan hati-hatilah terhadap perempuan yang
menyerang mu semalam." Setelah berkata begitu, Ta-
pak Welang menghela kudanya. Kuda itu berjalan per-
lahan melintasi tanah becek. Wintara tetap berdiri di
situ sampai Tapak Welang jauh menghilang dari pen-
glihatannya.
Pada saat yang bersamaan itu, ketiga manusia
kerdil masih terus menggempur. Gadis yang dike-
royoknya tetap gigih menghadapi. Padahal ketiga ma-
nusia kerdil itu telah bertekad akan melarikan diri. Se-
bab mereka merasa kalau gadis muda belia itu bukan
tandingan mereka. Tapi siasat apa pun selalu dapat di-
raba oleh si gadis yang sudah kepalang tanggung men-
geluarkan ilmu pedangnya.
Gadis itu selalu mencecar setiap mereka berge-
rak menjauh. Dalam hal ini Gundik lebih banyak men-
geluarkan tenaga menggagalkan serangan yang hampir
menghantam dua saudaranya. Dia pun nyaris terkena
babatan pedang.
LIMA
Saat itu sosok penunggang kuda menatap) per-
tarungan yang demikian serunya. Penunggang kuda
itu sengaja membawa kudanya ke arah pertarungan.
Dan ia berdecak kagum saat melihat kehebatan seo-
rang gadis dalam memainkan jurus-jurus pedang.
Tapak Welang menahan tawanya ketika gadis
itu melancarkan tendangan memutar membuat tiga
kurcaci itu menggelinding seperti bola. Pemandangan
seperti itu membuat Tapak Welang tertarik, dan turun
dari kudanya.
Kedatangan Tapak Welang ke tempat itu bukan
berarti tidak diketahui oleh si gadis yang tengah men-
gamuk. Diam-diam si gadis menggiring ketiga lawan-
nya ke arah Tapak Welang. Gadis itu bermaksud akan
menghadapi empat orang sekaligus.
Tapi bagi ketiga manusia kerdil, mereka me-
manfaatkan kesempatan itu. Ketiganya menyelinap ke
belakang Tapak Welang. Pemuda itu yang masih kehe-
ranan tidak menyangka kalau ketiga manusia kerdil
itu serempak mendorongnya.
Karuan saja Tapak Welang terlontar ke depan.
Sedangkan gadis yang ada di hadapannya langsung
menyambut dengan babatan pedang.
"Beeeeet!"
Hampir saja pedang pendek itu merobek teng-
gorokannya. Untunglah Tapak Welang cepat bergulir
ke samping.
Nampaknya gadis itu tidak cukup menyerang
hanya sekali. Babatan pedangnya kembali bergulung-
gulung menyambar Tapak Welang yang setengah mati
menghindari. Tapi serangan itu tidak berarti apa-apa
bagi Tapak Welang, karena hanya dengan sekali hentakan pemuda itu dapat melesat dan hinggap berdiri
dengan ringan.
Sebentar Tapak Welang menoleh ke arah tiga
orang kerdil itu. Ia menghardik geram. Tiga saudara
kerdil itu telah lari jauh dan tidak mungkin dapat dike-
jar. Namun kembali ia gelagapan menerima sambaran-
sambaran pedang yang malang melintang merencah.
Sigap pula Tapak Welang melompat mundur.
Lengannya cepat menarik gagang pedang yang tersoren
di punggung. Pedang itu berdesing saat keluar dari sa-
rungnya.
"Maaf, Nona! Aku tidak bermaksud menggang-
gumu...!" Tapak Welang menepis pedang pendek den-
gan pedangnya.
"Traang!"
Gadis itu rada terhuyung. Namun ia masih te-
rus berusaha melancarkan babatan-babatan pedang-
nya.
"Berhadapan denganku tidak perlu banyak bi-
cara! Kalau tadi aku kehilangan tiga orang manusia
busuk, aku tidak menyesal. Karena aku mendapat
gantinya walaupun hanya seorang!" Gadis itu mener-
jang. Tapak Welang tidak membalas. Dia hanya meng-
geser tubuhnya menghindari babatan .pedang.
"Orang-orang persilatan harus mampus di tan-
ganku. Apalagi berani melintasi Bukit Busung Kawu!
Heaaaaat!"
Mendengar ucapan gadis itu, Tapak Welang ter-
cengang. Ia sampai tidak sempat ketika sambaran pe-
dang menggores lengannya. Perih sekali. Dan luka itu
cukup dalam juga mengeluarkan darah yang tidak se-
dikit.
"Tidak kusangka kalau Alap-alap Bukit Busung
Kawu ternyata seorang perempuan yang masih bau
kencur! Terhadap diriku kau boleh menyembah, Perempuan laknat. Tapak Welang membersitkan pedang-
nya ke depan. Gadis itu seakan melayang ke belakang.
Tapi ia merasakan pula desiran angin dari babatan pe-
dang pemuda itu.
Gadis itu segera membalas. Sekali membabat
ke depan. Pedangnya beradu.
"Traang!"
Terasa pula tenaga dalam yang disertakan den-
gan babatan tadi. Tapi Tapak Welang pura-pura tidak
merasakannya. Perlakuan seperti itu membuat si gadis
makin geram.
Tapak Welang tidak memperdulikan darah
mengalir dari lengannya. Ia terus menyambut samba-
ran-sambaran pedang. dua pedang itu bergulung-
gulung saling bentur, berbarengan pula dengan suara
teriakan-teriakan mereka.
Menghadapi Tapak Welang, gadis itu seperti
menghadapi puluhan orang bersenjata. Gempuran Ta-
pak Welang yang begitu bertubi-tubi mendesaknya
mundur. Tidak sadar pula kalau mereka mulai terbawa
ke arah jurang menganga. Namun sebagai Alap-alap
Bukit Busung Kawu, gadis itu sudah menguasai betul
tempat itu. Meskipun ia terdesak ia sengaja bersikap
mundur.
Dan saat gadis itu berdiri tepat di bibir jurang,
Tapak Welang membabat sekuat tenaga. Tapi samba-
ran pedang itu meleset ke tempat kosong. Karena begi-
tu pedang Tapak Welang berkelebat, gadis itu cepat
merunduk sambil menyapu dengan tendangan. "Bug!"
Malah Tapak Welang yang terguling.
Pemuda itu berusaha mengimbangi tubuh den-
gan berjumpalitan. Tapi sambaran pedang pendek me-
nyambar ke arah dada tanpa dapat dihindari.
"Breet!"
Tapak Welang ambruk. Malang baginya karena
harus terjerumus ke dalam jurang mengganga. Gadis
itu cepat berlari untuk melihat bagaimana Tapak We-
lang mengalami maut.
Di luar dugaan, gadis itu mendadak tersentak.
Karena baru saja ia menoleh ke bawah, tahu-tahu saja
sosok Tapak Welang melesat ke atas. Bersamaan den-
gan itu pun tendangan Tapak Welang bersarang telak
di tenggorokan.
"Des!"
Gadis itu memekik kesakitan.
Tapak Welang masih berjumpalitan salto di
udara. Sebelum kakinya menginjak tanah terlebih da-
hulu ia menendang lagi.
"Deees!"
Tanpa bisa menahan lagi gadis itu mencelat
jauh ke belakang. Kedua kakinya yang berusaha men-
gimbangi tubuh tidak sempat menginjak mulut jurang.
Maka tak ayal lagi, gadis itu terjerembab ke
bawah. Tapi kedua lengannya yang cekatan cepat me-
raih batu yang menonjol pada bibir jurang. Tapak We-
lang dapat melihat betapa gadis itu berusaha bertahan,
Manakala dasar jurang yang sangat curam berwarna
gelap menanti. Batu-batu mulai berserakan jatuh ke
bawah.
Gadis itu menggigit bibirnya menahan sakit
yang menyerang tenggorokan serta dadanya. Pedang
pendeknya masih tergenggam erat. Tapak Welang sen-
diri telah bersimbah darah. Luka di dada serta di len-
gannya telah membengkak.
"Wajah cantik cuma hiasan bagi dirimu yang
busuk! Sayang aku tidak tertarik sama sekali! Ru-
panya dasar jurang ini pula yang menentukan nasib
burukmu...." Tapak Welang berucap kasar. Ia berdiri di
atas gadis itu yang masih berpegangan pada tonjolan
batu. Tapak Welang tidak ragu-ragu lagi mengangkat
pedangnya.
Maka dalam sekejap ia membabat ke bawah.
"Breeeet...! Arrrrrghtf'
Gadis itu melepaskan pegangannya. Tubuhnya
meluncur deras dengan wajah yang hampir tidak ber-
bentuk lagi. Jeritannya panjang melengking terdengar
makin pelan dan lenyap.
Tapak Welang menatap puas ke bawah. Ia
membiarkan luka-lukanya mengalirkan darah. Tidak
terdengar suara berdegumnya tubuh gadis itu mem-
bentur dasar jurang. Karena jurang itu memang tinggi
dan curam. Tapi yang jelas Tapak Welang berpikiran
riwayat Alap-alap Bukit Busung Kawu tewas di tan-
gannya.
Setelah dirasakan luka-lukanya berdenyut, Ta-
pak Welang melangkah terhuyung mendekati kudanya
yang masih menunggu. Lemah sekali ia menaiki pela-
na. Tanpa menghela lagi, kudanya sudah mengerti ke
mana mereka harus melangkah.
Angin kembali menghembus menghiasi suasana
pagi. Bercak-bercak darah masih tersisa pada permu-
kaan tanah becek. Begitu juga bekas tapak-tapak kaki
mereka saat bertempur. Tanah berumput itu telah pe-
nuh dengan lumpur.
Tapak Welang hanya memegangi tali kekang ke-
tika kudanya berlari cepat. Dan sebentar saja kuda itu
lenyap menuruni tanah perbukitan tersebut.
Tiga manusia kerdil itu melangkah terburu-
buru. Mereka hampir mendekati sebuah bangunan
yang telah termakan usia. Dari kejauhan sudah nam-
pak jelas bangunan itu. Gondok berjalan berjingkat-
jingkat menahan sakit. Ia memegangi sebelah lengan
yang telah kehilangan empat jarinya.
Gundik pun sama meringisnya. Sejak tadi ia
memegangi sebelah telinganya yang masih mengucur-
kan darah. Sumpah serapahnya tidak pernah putus.
Gindek tidak perduli dengan dua orang saudaranya
yang berjalan di belakang. Dia sengaja melangkah pal-
ing dulu. Si kerdil gembrot ini memang tidak pernah
terluka dalam pertempuran apa pun.
Tapi kali ini, meskipun ia tidak terluka. Nama
besar 'Gagak Hitam Penyebar Maut' telah tercoreng
dengan kotoran yang paling kotor. Biasanya mereka ti-
dak pernah kabur dalam menghadapi musuh-
musuhnya.
Mendengar nama besar mereka saja orang-
prang persilatan dari golongan lurus sudah grabak
grubuk! Apalagi sampai berurusan dengan mereka. Ti-
ga orang kerdil itu memang musuh besar orang-orang
golongan lurus. Karena mereka selalu ikut campur
mengotori urusan rimba persilatan. Tapi sekarang me-
reka benar-benar telah kena batunya.
"Aku sudah bilang. Kalau ketemu sama Alap-
alap itu cepat merad!" gerutu Gindek.
"Jangan ngebacot seenaknya. Ini semua gara-
gara ulah tingkah hidung belang kalian! Lagi pula sia-
pa yang tahu kalau bocah ingusan itu Alap-alap Bukit
Busung Kawu!" jawab Gundik. Sebelah mukanya telah
banjir dengan darah.
"Aku pun sependapat denganmu, Gundik. Kita
semua tidak mengira.... Aduh sakitnya." Suara gondok
gemetar. Gindek berhenti melangkah dan berbalik
menghadapi dua saudara kerdilnya.
"Kita yang sudah malang melintang dalam du-
nia persilatan telah menjadi buta. Anggap saja ini se-
buah pelajaran agar kita semakin berhati-hati. Kalian
lihat di hadapan sana... Itulah perguruan yang pernah
jaya pada belasan tahun yang lalu." kata Gindek sambil menunjuk ke arah bangunan yang cuma satu-
satunya ada di sekitar perbukitan.
"Di situ pula kita akan menemukan Pusaka
'Weduk Pamungkas' yang merupakan serentetan jurus
ilmu pedang tingkat atas," Gindek memberi semangat
pada kedua saudaranya yang mulai berjalan mende-
kat.
"Masa bodoh! Aku sudah tidak tertarik dengan
segala barang pusaka!" bentak Gundik marah. "Yang
ku pikirkan bagaimana caranya dapat membalaskan
sakit hati atas hilangnya sebelah daun telingaku!" ben-
taknya menyambung.
"Aku juga! Bagaimana mungkin ke empat jariku
ini dapat tumbuh kembali?" sahut Gondok sambil me-
ringis.
"Kalau kalian sudah tidak tertarik dengan pu-
saka itu, biarlah untuk kusimpan bila kutemukan!"
Sambil berkata begitu, Gindek berbalik. Lalu ia meng-
hentakkan kedua kakinya melesat ke arah bangunan
yang tetap diam menanti. Gundik menatap dengan ke-
dua bola mata yang hampir keluar.
"Setan gembrot serakah! Kau tidak mengerti pe-
rasaanku sekali! Bagaimana aku bisa membalas den-
dam tanpa mempelajari 'Weduk Pamungkas'?" katanya
setengah membentak. Saat itu pun Gundik berlari me-
nyusul. Gondok yang semula berjalan terjingkat-
jingkat terpaksa pula menyusul mereka.
Wintara yang duduk-duduk di undakan tangga
di depan pintu mendadak salto ke belakang masuk ke
dalam ruangan. Matanya terus memandang ke luar
mengawasi tiga sosok kerdil berlarian saling mendekati
bangunan bekas sebuah perguruan.
Menduga akan mendatangi ke tempat itu, Win-
tara cepat melompat ke atas. Tanpa bersuara tubuh
Wintara melekat di atas para. Di situ ia tidak akan terlihat kalau ketiga manusia kerdil masuk, sebab ruan-
gan itu cukup gelap.
Masih dalam keadaan yang berdebar-debar
Wintara dapat melihat jelas setiap gerak-gerik orang-
orang yang telah masuk ke dalam bangunan itu. Lelu-
asa sekali Wintara melihat Gindek langsung mengo-
brak-abrik ruangan. Sedangkan Gundik dan Gondok
terus mengiring membiarkan Gindek keluar masuk
ruangan.
"Kenapa kalian diam saja! Cepat bantu aku!"
Gindek menghardik.
Gondok cepat masuk ke dalam salah satu
ruangan yang di dekatnya. Sebelah lengannya masin
dipegangi. Gundik masih berdiam diri. Darah yang
mengalir dari lubang telinganya makin banyak menga-
lir. Gindek membelalakkan matanya.
"Lukamu masih termasuk ringan, Gundik! Coba
saja bayangkan apa yang bakal di alami pemuda tolol
itu! Masih untung kita sempat kabur...! Cepat cari!"
Tanpa menyahut Gundik pun mulai masuk ke
dalam ruangan dengan langkah-langkah sigap. Gindek
sendiri memasuki ruangan lain. Maka terdengarlah
suara-suara yang bergemelotak. Mereka membongkar
segala yang ada dalam ruangan-ruangan itu. "Melihat
dari luka-luka mereka pastilah bekas babatan pedang,
astaga...! Apa yang terjadi pada Tapak Welang?" tanya
Wintara dalam hati. Tubuhnya tidak bergerak sedikit
pun di atas para. Ia mengira ketiga orang kerdil itu
bermaksud mencari sesuatu seperti Tapak Welang.
Hanya sayang Wintara tidak tahu benda apa yang me-
reka cari.
*
* *
ENAM
Timbul rasa khawatir pada diri Wintara. Ten-
tunya terhadap diri Tapak Welang. Padahal mereka
berkenalan baru satu malam. Tapi nampaknya ada se-
suatu yang amat penting pada diri mereka. Tapi ia be-
lum tahu sepenuhnya dari pembicaraan orang-orang
kerdil. Dia masih berada di atas dan berusaha mencuri
dengar pembicaraan mereka.
Gindek keluar dari ruangan yang telah diobrak-
abrik. Geram sekali ia menendang pintu ruangan.
"Pejajaran! Aku tidak menemukan apa-apa!" ka-
tanya dengan kesal. Tak lama Gondok dan Gundik ke-
luar juga dari ruangan lain.
"Sama saja! Tidak ada yang kutemukan selain
pakaian usang yang sudah lapuk." sahut Gondok.
Gundik hanya mengangkat bahu bertanda gagal. Ma-
tanya memandang pada bara api yang masih mengepul
asap.
"Tentu saja kita tidak menemukan apa-apa di
sini, sebab kita telah keduluan orang lain...." sahut
Gundik secara tiba-tiba.
"Apa maksudmu, Gundik?" tanya Gindek tidak
sabar dengan mata yang jelalatan.
"Akibat nafsu serakah kalian jadi buta. Apa ka-
lian tidak dapat melihat bekas api unggun itu?" Gun-
dik menunjukkan bara api yang memoncongkan bibir-
nya. Gondok serta Gindek langsung tanggap. Mereka
memang melihat bekas api unggun yang masih menge-
pulkan asap.
"Seseorang baru saja meninggalkan tempat ini.
Dia pasti sudah mendapatkan 'Weduk Pamungkas'.
Siapa lagi kalau bukan pemuda yang kita temui tadi."
Gundik melanjutkan pembicaraannya. Gondok dan
Gindek merenung. Tapi Gindek cepat melesat luar.
Sampai di depan pintu ia memandangi permu-
kaan tanah. Maka nampak jelas bekas tapak-tapak
kaki kuda. Gindek jadi geram. Dengan langkah yang
tegap ia kembali masuk ke dalam ruangan.
"Benar katamu, Gundik.... Pemuda sial itu ru-
panya baru dari sini..!" katanya kesal.
"Lalu kita musti bagaimana? Kembali ke sana?"
tanya gondok.
"Tolol! Kau ingin sebelah lenganmu kehilangan
empat jari lagi?" hardik Gundik.
"Belum tentu pemuda itu mendapatkan Pusaka
'Weduk Pamungkas'! Kalau dia sudah mendapatkan-
nya, mana mau ia berurusan dengan Alap-alap Bukit
Busung Kawu. Kita-kita saja yang tolol. Mana mungkin
pusaka ditinggal begitu saja di sini. Paling tidak pusa-
ka 'Weduk Pamungkas' sudah lenyap bersamaan han-
curnya perguruan ini."
"Satu-satunya orang yang perlu kita satroni
adalah Wundung Kuro. Karena dia satu-satunya orang
yang masih hidup. Apalagi ia murid tertua. Pasti dia
yang menyimpan." kata Gondok. Pikirannya memang
lebih tajam dari kedua saudaranya.
"Mencari Wundung Kuro sama saja mencari ja-
rum di dasar laut.... Jangankan kita bertiga, ratusan
orang rimba persilatan sampai sekarang belum mene-
mukan dia. Malah sekarang mereka repot menjaring
Alap-alap Bukit Busung Kawu,"
"Sudah jangan banyak kotbahi Tidak mendapat
pusaka pun, kita tidak bakal mati! Sekarang kita ber-
gabung saja dengan orang-orang persilatan. Kita ka-
barkan bahwa kita pernah bertemu Alap-alap Bukit
Busung Kawu." Gindek melangkah ke luar.
Gondok dan Gundik ikut melangkah ke luar
meskipun mereka masih menahan sakit. Keduanya
melangkah di belakang Gindek. Suara-suara mereka
terdengar terus oleh Wintara setelah mereka jauh me-
ninggalkan bangunan itu, barulah Wintara turun dari
para. Kakinya hinggap di lantai tanpa bersuara.
Matanya menatap tiga orang kerdil yang makin
lama makin jauh melangkah.
"Terlalu lancang bila ikut campur urusan mere-
ka. Tapi justru yang ku khawatirkan adalah diri Tapak
Welang. Tentunya ketiga kurcaci-kurcaci itu sudah
berhadapan dengan Tapak Welang. Mungkin juga den-
gan Alap-alap Bukit Busung Kawu." kata Wintara da-
lam hati. Ia sudah tidak melihat lagi tiga manusia ker-
dil.
"Melihat dari tampang mereka bertiga, mereka
bukanlah dari aliran lurus. Malah sekarang mereka
berniat akan mengacaukan dunia persilatan. Rupanya
mereka yang selama ini bikin hura-hura orang-orang
persilatan." Wintara mulai keluar dan ia pun segera
pergi mengikuti jejak-jejak tapak kuda yang membekas
pada permukaan tanah.
"Tapak Welang mungkin lebih memerlukan per-
tolongan." Wintara terus melesat, kecepatan larinya
sangat luar biasa. Hampir sukar diikuti oleh pandan-
gan mata.
***
Entah sudah berapa lama sosok ramping itu
tergeletak di dasar jurang yang dipenuhi oleh kabut.
Tubuhnya nampak bergetar dengan nafas yang perla-
han turun naik. Darah telah menutupi seluruh wajah-
nya. Sukar sekali ia membuka kelopak mata.
Darah memang telah mengering di seluruh wa-
jahnya. Lengannya yang gemetar berusaha menyeka.
Tapi ia cepat memekik. Rasa sakit yang tak terhingga
menyengat kulit muka. Meski dengan susah payah,
akhirnya gadis itu dapat menyingkirkan bercak-bercak
darah kering yang menutup di sekitar rongga mata.
Sekalipun ia dapat melihat, pandangannya ma-
sih kabur. Mungkin karena sudah lama tidak sadarkan
diri. Wajah cantiknya tampak begitu menyeramkan
tatkala ia mencoba bangkit. Seluruh tulang-tulang
sendinya terasa remuk.
Lama-kelamaan pandangannya kembali pulih.
Jelas sekali pedang pendeknya tergeletak di samping
tubuh. Setelah ia meraih pedang itu ia bangkit berdiri.
Namun keadaan yang masih lemah membuat tubuh-
nya ambruk lagi. Saat itu pun secara tidak sengaja se-
suatu jatuh dari gulungan rambutnya. Sebuah tusuk
konde berwarna keemasan.
Bergetar ia meraih tusuk konde itu. Lapat-lapat
pula ia seperti mendengar suara yang sangat halus.
Suara itu pernah di dengarnya pada lima belas tahun
yang lalu.
"Simpanlah ini.... Kalau perlu selipkan saja pa-
da gulungan rambutmu. Jangan sampai hilang, Laran-
ti.... Di dalamnya tersimpan beberapa lembar jurus il-
mu silat yang dapat mengalahkan Paman Wundung
Kuro.! Wundung Kuro.... Wundung Kuro.... Wundung
Kuro...." Suara itu sebenarnya datang dari ingatannya
sendiri yang telah terbuka bersama kenangan masa si-
lam.
Maka air matanya berderai pula mengaliri ke-
rak-kerak darah di wajah gadis itu. Bola mata yang
bening menampakkan sinar kebencian yang paling da-
lam.
Saat itu bibirnya bergetar.
"Aku betul-betul telah melupakannya Bu.... Aku
mengira ilmu pedang yang kupelajari darimu sudah
cukup untuk membalas kematian ayah dan ibu... Se-
karang sudah tak mungkin lagi bisa membalas kepada
manusia keparat itu.... Aku putus asa, Bu.... Putus
asa...!" Gadis itu tertunduk. Tubuhnya tertelungkup
tersiram kabut yang memenuhi dasar jurang. Namun
suara bathinnya seperti kembali terngiang....
"Di dalam terselip beberapa lembar jurus ilmu
silat yang dapat mengalahkan Paman Wundung Ku-
ro.... Wundung Kuro.... Wundung Kuro.... Wundung
Kuro...." Bersamaan dengan itu pula genggaman gadis
itu mengejang kuat. Tusuk konde dalam genggaman-
nya sampai patah. Perlahan ia mengangkat wajahnya
menatap patahan tusuk konde itu. Di dalamnya terse-
lip gulungan kulit yang sangat tipis. Tanpa ragu-ragu
pula ia mengeluarkan gulungan itu dan langsung
membukanya.
Pada lembaran itu tertera belasan gambar serta
petunjuk serangkaian ilmu pedang. Ia tahu betul kalau
gambar-gambar itu merupakan perpaduan ilmu pe-
dang yang selama ini ia dapatkan dari ibunya.
Melintas pula saat ibunya menghembuskan na-
fasnya yang terakhir. Membiarkan Laranti terkatung-
katung sendiri memperdalam ilmu pedang. Untunglah
saat itu Laranti telah menguasai seluruh ilmu yang di-
turunkan dari sang ibu. Meskipun dengan perbekalan
ilmu pedang yang belum tuntas, namun Laranti sudah
dapat mengguncangkan dunia persilatan. Bahkan te-
lah menyandang gelar sebagai 'Alap-alap Bukit Busung
Kawu'.
Terlintas pula dalam ingatannya saat ia tergan-
tung di mulut jurang menarung nasib. Masih ter-
bayang jelas ketika sambaran pedang menyambar mu
kanya. Sampai di situ pandangannya kabur lagi. Men-
dadak gelap dan pingsan.
Tidak jauh dari situ terdengar recek air yang ja-
tuh bagai air terjun ke dalam telaga. Tebing-tebing ba-
tu berlumut serta kumpulan kabut yang merayap di
permukaan tanah berbatu menyemarakkan suasana
dasar jurang.
Langit biru yang jauh di atas sana hanya nam-
pak dari celah-celah daun dari tiap-tiap pohon yang
merimbun. Di bawah situ telah tergeletak sosok Laran-
ti. Entah sampai kapan ia akan tersadar lagi...?
***
Niat Wintara yang bermaksud mencari Tapak
Welang ternyata membuang waktu saja. Sampai saat
ini ia belum juga menjumpainya. Jejak-jejaknya telah
hilang dan sukar untuk menentukan ke mana arah
Tapak Welang berlalu. Ia tetap yakin kalau Tapak We-
lang masih 'utuh' seperti adanya. Makanya ia tetap
bersikeras terus melangkah.
Bukit Busung Kawu telah jauh dilaluinya. Kini
langkahnya yang perlahan tengah menyusuri pinggiran
kali. Kali itu tidak lebar, namun di kedua sisinya ba-
nyak ditumbuhi pohon-pohon besar. Di bawahnya
menghampar akar-akar pohon yang merambat. Terka-
dang Wintara harus menerobos semak-semak yang
menghalang di depan. Sepertinya ia sengaja mengikuti
ke mana arah kali itu berakhir.
Selama dalam perjalanannya pula ia berharap
agar dapat menemui Tapak Welang. Ada sesuatu hal
yang membuat ia penasaran. Mengenai adanya 'Weduk
Pamungkas' serta kemunculan tiga manusia kerdil
yang bakal merecoki dunia persilatan. Kalau soal Alap-
alap Bukit Busung Kawu, Wintara belum begitu yakin.
Walaupun Tapak Welang sudah menjelaskan
Alap-alap Bukit Busung Kawu adalah seorang wanita
cantik yang pernah menyerangnya. Wintara belum bisa
mengatakannya demikian, karena ia sendiri sudah
mengukur kepandaian gadis itu sewaktu menyerang-
nya pada dua malam yang lalu.
Sekarang ia hanya melangkah mengikuti sepan-
jang kali. Sepertinya ia begitu yakin bakal bertemu
dengan Tapak Welang di kemudian hari. Tapi menda-
dak saja kebisuannya itu tersentak. Permukaan air
kali yang tadi tenang tiba-tiba berkecipak oleh jatuh-
nya beberapa butir buah dari atas pohon. Sebentar
Wintara menghentikan langkahnya. Pandangannya
seolah menatap riaknya air, tapi pendengarannya yang
selalu tajam dapat mendengar gerak gerik yang lain.
Di atas pohon sana memang telah mengendap-
endap beberapa orang. Sejak tadi mereka mengawasi
setiap langkah Wintara. Wintara sendiri yang sudah
dapat menduga jumlah mereka lebih dari lima, seolah
tidak perduli. Ia kembali meneruskan perjalanannya.
Tapi baru saja ia melangkah beberapa tindak,
Wintara mendengar suara teriakan yang datangnya da-
ri atas pohon ke arahnya. Mengetahui adanya seran-
gan, Wintara cepat melompat ke depan. Maka nampak-
lah beberapa orang berloncatan datang menyerang.
Satu, dua... tiga... empat.... Semuanya tujuh
orang, Wintara menghitung. Dan mereka tidak membe-
ri kesempatan pada Wintara untuk buka suara. Tahu-
tahu saja mereka menyerang dengan serempak. Na-
mun begitu mereka datang menerjang, Wintara me-
nyambut dengan sapuan kakinya.
"Sreeet...! Buuuuug...!"
Tiga orang yang datang menyerang itu ambruk
terpelanting. Bahkan dua orang di antaranya masuk
ke dalam kali
Datang lagi dua orang, kali ini menggunakan
pedang. Wintara cepat melirik, dua laret sinar putih
menyambar.... Menghadapi dua sambaran pedang,
Wintara tidak bergerak sejengkal pun. Malah kedua
tangannya bergerak memutar. Tahu-tahu saja kedua
lining itu memekik hebat. Karena saat Wintara memu-
tar kedua lengannya tepat menghantam pergelangan
tangan mereka.
Dua orang yang melihat teman-temannya am-
bruk berjatuhan sigap menarik pedangnya. Tapi mere-
ka menunggu semua temannya bangkit. Setelah itu
barulah mereka menyerang lagi serempak. Babatan-
babatan pedang menyambar ke arah Wintara.
Menghadapi lima orang bersenjata pedang cu-
kup bagi Wintara untuk bersikap mundur ke belakang.
Tapi bukan berarti bagi Wintara kabur. Saat pedang-
pedang mereka bergerak menyambar, mendadak Win-
tara melesat ke atas. Bersamaan dengan itu pula ke-
dua kakinya berputar menyambar setiap kepala para
penyerangnya. Maka dengan serempak pula mereka ja-
tuh terguling. Malang bagi ketiga orang yang langsung
nyemplung ke kali. Dua orang yang tadi nyebur lebih
dulu menyelam kembali, karena tertimbun oleh ketiga
orang temannya.
*
* *
TUJUH
Susah payah kelima orang itu memanjat ke
pinggir kali. Mereka langsung berlari datang memban-
tu dua orang temannya yang sibuk menghadapi Winta
ra. Saat itu pun Wintara sudah ketelepasan melancar-
kan sebuah tendangan memutar.
"Des...! Des...!"
Dua orang itu langsung celentang tak berkutik
di tanah. Lima orang yang telah basah kuyup menda-
dak berhenti menyerang karena...
"Ha-ha-ha-ha-ha-ha.... Aku sudah menduga!
Ha-ha-ha-ha-ha...." Terdengar tawa yang menggelegak.
Cepat Wintara menoleh ke arah suara itu.
"Tapak Welang!" Wintara tidak percaya dengan
penglihatannya sendiri. "Aku memang sengaja menyu-
ruh mereka untuk menyambutmu, Wintara," Tapak
Welang tersenyum, langkahnya mendekat.
"Dan ternyata dugaanku tidak meleset bahwa
kau bukanlah seorang pengelana sembarangan.... Ini
memang daerah kekuasaan ku, Wintara," sambung
Tapak Welang.
"Sambutan mu cukup hangat. Hampir saja ke-
palaku menggelinding di sini." jawab Wintara. "Tidak
tahukah kau, aku sudah setengah mampus mencari-
mu?"
"Mencariku? Ada urusan apa?" tanya Tapak
Welang keheranan.
"Tidakkah kau bertemu dengan tiga orang ker-
dil pada beberapa hari yang lalu?"
"Mereka tiga orang kerdil yang hampir saja
mencelakai diriku. Mengapa dengan mereka?" Tapak
Welang menunjukkan bekas-bekas luka babatan pe-
dang yang telah dibalut pada dada serta lengannya.
"Mereka datang juga ke perguruan itu. Mereka
sama dengan kau mencari Pusaka 'Weduk Pamung-
kas'. Dia juga menyebut-nyebut nama Wundung Kuro.
Siapa Wundung Kuro itu?"
Bagai tersambar petir Tapak Welang mendengar
pertanyaan Wintara. Ia hampir tidak dapat menjawab
nya. Wintara dapat melihat perubahan sikap sahabat-
nya. Tapak Welang akhirnya menjawab juga.
"Pusaka 'Weduk Pamungkas' adalah warisan
dari perguruan yang pernah kami tempati. Ayahku sa-
tu-satunya pewaris tunggal yang masih hidup. Tapi
sampai saat ini kami belum juga mendapatkan pusaka
tersebut."
"Kalau ayahmu pewaris tunggal yang masih hi-
dup, pastilah ia Wundung Kuro murid tertua pergu-
ruan itu." Wintara bisa berkata seperti itu karena ia
sudah mendengar dari pembicaraan ketiga manusia
kerdil.
"Kenapa ayahmu sampai meninggalkan pergu-
ruan? Dan juga kenapa baru sekarang ia memerlukan
Pusaka 'Weduk Pamungkas'? Tidak sadarkah kalau
persoalan ini menjadi rumit akhirnya.... Apalagi seka-
rang tiga manusia cebol telah mengetahuinya."
"Cukup Wintara...! Kau telah banyak tahu da-
lam urusan ini! Sekarang aku mulai curiga, tentunya
kau pun punya maksud lain terhadap kami." Tapak
Welang berubah sinis. Secepat kilat ia mencabut pe-
dang dan langsung menghunuskannya ke arah tenggo-
rokan Wintara. Sebagai seorang pendekar, Wintara te-
tap tenang.
"Apa perduli mu sampai datang ke tempat itu?
Tidak mungkin kalau kau pun tidak tertarik dengan
pusaka itu!" Tapak Welang berkata lebih sinis. Perla-
han Wintara menggeser pedangnya yang mengarah di
tenggorokannya, lalu....
"Itu tuduhan yang tidak mutlak, Tapak Welang.
Aku tidak tertarik dengan pusaka warisan kalian. Aku
justru datang menemuimu untuk memberi kabar bah-
wa ketiga orang kerdil itu telah bergabung dengan
orang-orang persilatan untuk mencari Wundung Kuro."
Wintara berkata yang sesungguhnya. Tapi....
"Pembohong besar!" Sambil menghardik begitu,
Tapak Welang membabatkan pedangnya ke depan.
"Weees!"
Wintara berjingkat mundur.
"Tapak Welang.... Tahan!" Wintara membentak.
Namun Tapak Welang tidak menggubris bentakan itu.
Babatan pedangnya semakin gencar menyerang Winta-
ra. Kalau Wintara tidak berhati-hati mungkin sudah
melukai tubuhnya.
Lima orang anak buah Tapak Welang yang ba-
sah kuyup itu mengangkat dua orang yang pingsan.
Mereka tidak membantu Tapak Welang menghadapi
Wintara. Karena mereka tahu, Tapak Welang tidak
pernah minta bantuan dalam menghadapi suatu.
Wintara sendiri sudah dapat mengukur. Betapa
hebatnya ilmu pedang yang dikeluarkan oleh Tapak
Welang. Setiap babatannya selalu mengundang maut.
Tatkala pedang itu berdesing saat berkelebat. Wintara
sengaja tidak membalas. Dia hanya berusaha meng-
hindar. Karena ia tidak ingin Tapak Welang berpra-
sangka makin buruk terhadap dirinya.
Diperlakukan demikian, Tapak Welang sangat
merasa diremehkan. Maka serangannya makin gencar
menggempur Wintara. Dalam hal ini pun Wintara tetap
mengalah. Sekalipun dalam hatinya ia sudah tidak sa-
bar atas perlakuan Tapak Welang.
Tapi sebelum Wintara bertindak untuk memba-
las....
"Bruuug!"
Tapak Welang jatuh berguling. Wintara sadar
kalau pukulannya itu tidaklah keras dan juga tidak
mengena. Beberapa saat pula Wintara baru sadar akan
bergulingnya Tapak Welang. Itu disebabkan oleh se-
seorang yang datang secara tiba-tiba. Orang itu lang-
sung berdiri di hadapan Wintara dengan sikap menan
tang. Seorang setengah tua berbaju serba putih, sebe-
lah lengannya buntung. Namun begitu sebilah pedang
tersoren di pinggangnya.
"Sungguh besar nyalimu, Anak muda.... Berani
memasuki daerah kekuasaan kami.
Apalagi berani menyebut-nyebut nama besar
Wundung Kuro. Benar-benar tak tahu penyakit! Tidak
tahukah setiap orang itu harus mati bila menyebut
namaku?" Suara orang tua itu pelan, tapi cukup ber-
wibawa. Wintara mundur selangkah.
Mengetahui orang yang mendorongnya Wun-
dung Kuro, Tapak Welang langsung bangkit.
"Ayah, dia seorang pengelana yang berilmu
sangat tinggi. Berbahaya sekali kalau dibiarkan hidup.
Karena ia telah tahu Pusaka 'Weduk Pamungkas' yang
kita cari!" kata Tapak Welang yang berdiri di belakang
Wundung Kuro.
"Diam kau, Anak tolol! Bisa mu hanya berkoar
saja!" Wundung Kuro membentak. Saat itu Wundung
Kuro menarik pedangnya. Suaranya berdesing pan-
jang. Terhadap laki-laki setengah tua ini, Wintara lebih
berhati-hati lagi.
Saat itu dua orang yang tadi pingsan telah di-
bawa pergi. Di tempat itu hanya mereka bertiga. Seka-
rang Tapak Welang malah ikut mengurung Wintara.
Pendekar Kelana Sakti sudah menduga, bakal repot
menghadapi mereka berdua.
Malah Tapak Welang sendiri yang menyerang
lebih dulu. Pedangnya berkelebat menyambar bagian
kepala. Serangan itu tidak main-main lagi. Wintara
melesat ke samping. Tapi tikaman pedang Wundung
Kuro deras menghujani tubuhnya. Untung Wintara
cukup awas. Dia bisa menghindari diri dengan bersalto
ke belakang.
Wintara yang hanya mengandalkan kemam-
puan tangan kosong harus berkelit mati-matian meng-
hindari sambaran-sambaran pedang dari dua orang
lawannya. Lentingan tubuhnya yang gesit selalu ber-
jumpalitan atau beterbangan ke sana ke mari. Ia tidak
berani mendekat, karena ia tahu setiap gerakan mere-
ka sangat berbahaya.
Apalagi Wundung Kuro mengerahkan hampir
seluruh permainan pedangnya. Gerakannya yang rin-
gan selalu dapat mengejar ke mana Wintara menghin-
dar. Begitu juga dengan serangan Tapak Welang, sam-
baran pedangnya tidak kalah hebat dengan ayahnya.
Terhadap Tapak Welang, Wintara dapat mem-
balas serangan itu dengan sesekali ia melancarkan
tendangan. Sehingga Tapak Welang harus terbanting.
Melihat Tapak Welang mencium tanah, sudah tentu
Wundung Kuro makin geram. Dengan gerakan yang
sangat cepat Wundung Kuro menendang pergelangan
tangan Tapak Welang.
Maka pedang dalam genggaman itu terlempar.
Yang lebih tak terduga lagi, pedang itu melesat deras
mengarah pada Wintara.
Mendapat serangan yang tak terduga, Wintara
rada tersentak. Tapi ia cepat menepis lesatan pedang.
"Trak!"
Pedang itu kembali menancap di tanah dan
hampir mengenai Tapak Welang yang masih tergeletak.
Tapi ternyata saat Wintara menepis lesatan pe-
dang, Wundung Kuro membarengi dengan sebuah ter-
jangan. Pedangnya menyambar.
"Breeet!"
Wintara tidak sempat menghindar. Tahu-tahu
saja lengannya mengucurkan darah. Setelah melan-
carkan babatan pedang, Wundung Kuro melompat
mundur. Wintara tidak berusaha membalas, karena
ada rasa kelainan pada luka goresan tadi...
"Riwayatmu sudah tamat, Anak muda! Tidak
ada seorang pun yang dapat hidup terkena racun
'Pedang Geni Kluwuk'. Aku menciptakan ilmu pedang
itu agar tidak ada orang yang mengusik ketenangan
kami di sini." Suara Wundung Kuro seakan mengan-
cam.
"Kau...." Wintara merasakan berat badannya
melayang. Pandangannya mulai kabur. Seluruh len-
gannya membiru. Mungkin racun 'Pedang Geni Klu-
wuk' sudah menjalar di tubuhnya. Nampak pula Wun-
dung Kuro tertawa mengekeh.
"Nasibmu sangat malang. Itu karena ulah mu
yang terlalu banyak campur tangan terhadap orang-
orang persilatan." Selesai berkata begitu, Wundung
Kuro mengangkat pedangnya. Meskipun dengan pan-
dangan yang kabur serta tubuh seloyongan, Wintara
sudah menduga apa yang bakal dilakukan Wundung
Kuro.
Maka saat pedangnya bergerak menyambar.
Wintara dapat menghindar. Dua kali sambaran pe-
dangnya nyaris merobek perut. Serangan-serangan itu
pula yang mendesak Wintara. Tapi begitu Wundung
Kuro melepaskan tendangannya, Wintara tidak sempat
lagi mengelak.
"Der!"
Tendangan itu mendarat telak di dadanya. Dia
tidak ingat apa-apa lagi sesaat tubuhnya masuk ke da-
lam kali.
Tapak Welang yang sudah bangkit tersenyum
melihat tubuh Wintara mengambang di kali terbawa
arus. Wundung Kuro memasukkan kembali pedangnya
ke dalam sarungnya. Tanpa bicara ia pergi melangkah
meninggalkan anaknya yang masih berdiri menatap
Wintara semakin jauh mengapung.
***
Tenda-tenda yang berderet di sekitar perbata-
san Bukit Busung Kawu sudah tiga hari berdiri di situ.
Empat partai besar perguruan ilmu pedang telah ber-
kumpul. Bendera-bendera lambang kebesaran mereka
banyak berdiri di atas tiap-tiap tenda. Begitu juga den-
gan murid-murid yang berkumpul di situ, rata-rata
mereka merupakan andalan tiap-tiap perguruan.
Para tetua mereka berkumpul pada satu tenda
yang lebih besar. Mereka memang tengah menyusun
satu rencana. Semuanya atas prakarsa gerombolan
'Gagak Hitam Penyebar Maut'. Ternyata usaha pende-
katannya kepada orang-orang persilatan berjalan mu-
lus.
Kini ketiga manusia kerdil itu tengah duduk
bersila di antara keempat ketua partai perguruan ilmu
pedang. Selama ini mereka bertiga selalu bersikap baik
terhadap orang-orang perguruan. Siapa pun tidak me-
nyangka kalau di balik kebaikannya itu
terselip maksud tertentu. "Kita telah mendatan-
gi bekas perguruan tersebut. Ternyata telah banyak
orang-orang yang berdatangan ke tempat itu. Bahkan
Ki Pelong telah kita temukan mati terbunuh. Jelas se-
kali luka-lukanya bekas babatan pedang." kata Abiya-
sa yang memimpin pertemuan empat partai itu.
"Menurut saudara Tiga 'Gagak Hitam Penyebar
Maut' itu perbuatan Alap-alap Bukit Busung Kawu, be-
tulkah demikian?" tanya Ki Rantungan yang duduk di
sebelah Abiyasa.
"Kalau kami belum pernah berhadapan den-
gannya, mana berani kami menuduh. sendiri tidak
percaya kalau Alap-alap Busung Kawu hanya seorang
gadis yang masih bau kencur." jawab Gindek. Gondok
dan Gundik hanya senyum-senyum saja.
"Hm.... Kalau begitu pastilah Alap-alap Bukit
Busung Kawu telah mengambil Pusaka 'Weduk Pa-
mungkas', karena menurut kabar hanya Ki Pelong
yang tahu letak penyimpanan pusaka tersebut." tukas
Buluk Bongas.
"Bukan.... Aku tahu betul perihal Ki Pelong. Be-
liau tidak tahu menahu persoalan pusaka. Ki Pelong
hanya seorang abdi dalem perguruan itu. Soal siapa
yang mencuri Pusaka 'Weduk Pamungkas' masih da-
lam teka-teki. Lagi pula tujuan kita bukan ke sini. Kita
berkumpul di sini untuk merencanakan bagaimana
menghadapi Alap-alap Bukit Busung Kawu." Abiyasa
menenangkan suasana dalam tenda itu.
"Bagaimana pun kita harus menemukan kem-
bali pusaka itu." sela Gundik yang kini kehilangan se-
belah telinga.
Mendengar ucapan Gundik, Gindek langsung
menyikut secara diam-diam. Tapi keempat ketua per-
guruan ilmu pedang melotot secara bersamaan.
"Maksud kami, kita harus menyerahkan pusa-
ka tersebut pada orang yang berhak mewarisi Weduk
Pamungkas'...." Gundik nyengir.
*
* *
DELAPAN
"Hraaaaat...!"
Di balik gemericiknya air yang jatuh ke dalam
telaga, terdengar pula serentetan teriakan panjang. Sosok tubuh ramping berjumpalitan di udara. Dengan
putaran-putaran pedang pendek yang menderu-deru
bagai angin taufan. Begitu tubuhnya hinggap di atas
tanah, maka belasan ranting pohon yang berada di de-
katnya berjatuhan.
Belum lagi ranting-ranting itu jatuh menyentuh
tanah, sosok ramping itu menyebar lagi dengan baba-
tan pedang. Seleret sinar putih kehitaman berdesing.
Dan saat ranting-ranting itu jatuh, daun-daun yang
tadi memenuhi tiap-tiap ranting rontok terbabat habis
oleh sambaran pedang.
Beberapa saat kemudian gadis itu berdiri me-
natap satu demi satu ranting-ranting yang plontos
tanpa daun. Ia telah puas dengan apa yang ia tekuni
selama ini di dasar jurang. Dan ternyata ilmu yang di-
tekuninya itu sangatlah luar biasa.
Kembali suasana hening. Gadis itu tetap berdiri
di pinggiran telaga. Sesaat kemudian ia melangkah
mengitari telaga itu. Kabut-kabut putih yang meng-
hampar di permukaan tanah buyar. Maka nampak je-
las air yang bening bagai kaca. Nampak jelas pula
bayangannya yang berjalan mengitari pinggiran itu.
Bagai tersambar petir ia melihat bayangannya
sendiri. Ditatapnya seraut wajah yang membayang di
permukaan air. Wajah cantiknya telah tercoreng oleh
bekas luka yang belum mengering. Luka itu meman-
jang dari kening sampai ke dagu. Hidung mancungnya
sudah tidak nampak lagi. Kini hanya terlihat dua lu-
bang besar di atas mulutnya.
Bergetar ia meraba bagian wajah. Makin dira-
sakan benjulan-benjulan yang memanjang bekas luka
itu. Mendadak wajah seram itu berubah makin menye-
ramkan. Tubuhnya seperti bergemuruh menahan ama-
rah yang tiada tara. Saat ingatannya menggambarkan
seraut wajah seorang pemuda yang telah melukainya,
tiba-tiba saja telapak tangannya menghantam bayan-
gan yang muncul di permukaan air. Hantaman itu dis-
ertai dengan luapan yang sudah tak tertahan lagi. Ma-
ka menimbulkan suara yang membledar. Air telaga
muncrat ke atas setinggi dua tombak. Lalu....
"Biar keadaanku begini, mungkin sudah takdir.
Tapi aku belum puas kalau belum bermandikan darah
orang-orang persilatan. Terlebih-lebih pada Wundung
Kuro dan pemuda keparat itu...! Lihat saja nanti!" kata
gadis itu seolah berbicara pada dirinya sendiri. Dan
ucapannya itu memang telah tertanam sebagai den-
dam yang sukar untuk dihapus.
Pandangannya nyalang menatap ke atas pada
batas jurang yang nampak tegar menanti kemuncu-
lannya. Setelah pedang pendek tersarung kembali di
pinggangnya, gadis itu melesat ke atas bersama den-
gan teriakannya yang menggema di sekitar dasar ju-
rang.
"Wundung Kuro.... Kau tidak bisa menghindari
dendam! Lima belas tahun aku mencari kesempatan
ini...!" Suara itu terus menggema. Manakala tubuh
ramping itu semakin tinggi dengan lesatan tubuh yang
ringan mencapai puncak jurang.
Kau tidak dapat menghindari ku lagi, meskipun
sampai ke ujung langit!" Gadis itu sudah tidak nam-
pak, tapi gema suaranya tetap memecah kesunyian
dasar jurang.
Kita semua tahu, bahwa pada lima belas tahun
yang lalu istri Legowo berhasil selamat dari kepungan
saudara seperguruannya, Wundung Kuro memang te-
lah menghancur belahkan keluarga Legowo. Hal ini
berlatar belakang adanya sebuah Pusaka 'Weduk Pa-
mungkas' yang telah dicuri oleh istri Legowo sendiri.
Sekarang Wundung Kuro tidak mungkin lagi
dapat memiliki pusaka tersebut. Karena si gadis kecil
yang dulu menyelamatkan serta merawat ibunya kini
telah menguasai tingkat akhir ilmu pedang itu.
Mereka betul-betul telah melupakan seorang
gadis kecil yang bernama Laranti anak dari Legowo.
Selama itu pula ia pernah membuat heboh orang-
orang persilatan. Bahkan orang-orang menyebutkan
sebagai Alap-alap Bukit Busung Kawu. Sebutan apa
lagi yang akan diberikan pada Laranti, setelah seka-
rang ia menguasai tingkat akhir ilmu pedang itu...?
Kini Laranti tengah menghadapi gundukan ta-
nah berlapis rerumputan halus. Dua gundukan tanah
itu tidak lain kubur orang tuanya. Siapa pun tidak
akan menyangka kalau dua gundukan tanah itu kubu-
ran. Karena pada bukit itu memang banyak gundukan-
gundukan lain. Laranti sendiri akan bingung kalau ia
tidak menandainya dengan tumpukan tulang-tulang
kerangka bekas korbannya.
Di depan dua gundukan tanah itu pula Laranti
menghancurkan beberapa lembar kulit yang merupa-
kan pusaka 'Weduk Pamungkas'. Dia menebarkan so-
bekan-sobekan kulit itu bagai menabur bunga. Maka
kepingan-kepingan kecil kulit berserakan di atas dua
gundukan tanah itu.
***
Setelah seharian penuh, rombongan yang ber-
jumlah belasan orang itu baru menemui sebuah kali
yang memanjang pada dataran Bukit Busung Kawu.
Bagai menemui sesuatu yang berharga, rombongan itu
saling serabut menuju ke arah kali. Hanya tujuh orang
yang tetap berjalan tenang menyusul orang-orang
Di antara ketujuh orang itu terselip tiga orang
kerdil. Mereka pun berjalan ke arah kali. Abiyasa yang
memimpin rombongan itu membiarkan belasan anak
buahnya melepaskan dahaga. Dia sendiri pun merasa
tenggorokannya telah kering.
Gabungan empat partai besar itu seperti ber-
pesta pora. Ada yang langsung menyebur ke kali. Ada
juga yang hanya meminum dan mengisi tempat perse-
diaan air mereka. Tawa beberapa orang yang bermata
jeli dapat melihat situasi air kali yang mengalir.
"Aneh! Ikan-ikan di sini semua mengambang.
Apa yang menyebabkan ikan-ikan ini mati?" tanya sa-
lah seorang yang mengawasi seluruh pinggiran kali.
Ikan-ikan memang banyak mengambang, bahkan telah
kembung membiru. Saat itu tiga orang kerdil dan rom-
bongan Abiyasa mulai mengambil air untuk mencuci
muka.
"Airnya pun sangat aneh. Coba kau perhatikan.
Seperti ada cairan hitam yang larut bersama air kali."
jawab seorang lagi. Abiyasa yang mendengar pembica-
raan itu tidak jadi mengambil air. Matanya pun ikut
mengawasi arus air kali yang mengalir tenang. Saat ia
tengah memperhatikan permukaan air, tiba-tiba saja
beberapa anak buahnya yang tadi meminum air kali
berteriak dengan tubuh mengejang. "Aaaaarght...!"
Abiyasa langsung melompat ke arah orang-
orang yang mengejang itu. Ki Rantungan dan Buluk
Bongas mengikuti gerakkan Abiyasa.
Didapatinya tiga orang tewas dan langsung
membiru saat itu juga. Setelah Abiyasa mengawasi
permukaan air, ia mendapatkan satu kesimpulan.
"Air kali mengandung racun! Jangan ada yang
minum!" teriaknya. Orang-orang itu menyingkir semua
dari kali. Mereka segera berkumpul mengerumuni tiga
mayat yang telah membiru.
"Pasti ada yang sengaja meracuninya. Cepat pe-
riksa...!" perintah Ki Rantungan. tiga manusia kerdil
berlari ke pinggiran kali. Begitu juga dengan Buluk
Bongas dan para pengikutnya. Mereka berjalan di se-
panjang pinggiran kali. Air kali memang tampak lain.
Ada cairan hitam yang tidak larut dalam arus kali. Se-
lain itu banyak pula bangkai-bangkai ikan. Kelompok
'Gagak Hitam Penyebar Maut' paling sibuk. Tubuh
kerdil mereka yang lincah meloncat ke seberang kali.
Mereka terus mencari sumber racun itu.
"Aku menemukan mayat...!" Tiba-tiba saja ter-
dengar teriakan. Kontan orang-orang berdatangan.
"Nampaknya orang ini masih hidup, coba per-
hatikan nafasnya." teriaknya lagi. Yang mereka lihat
memang sosok tubuh seorang pemuda terlentang di
pinggiran kali. Abiyasa dan teman-temannya menuju
ke tempat itu, "Angkat dia. Pemuda ini tidak keracu-
nan. Mungkin kita bisa menolongnya." kata Buluk
Bongas setelah mengamati sosok tubuh kekar.
"Tunggu dulu!. bentak Gindek. "Jangan terlalu
ceroboh. Siapa bilang pemuda ini tidak keracunan.
Coba kalian lihat luka di lengannya itu." kata Gindek
lagi. Semua mata memandang luka pada lengan pe-
muda itu. Dari situ mengalir cairan hitam kental.
"Dari manusia keparat ini rupanya racun itu
berasal...!" Gondok menghardik.
"Kenapa tidak dihabisi saja nyawa anak muda
ini." usul Gundik.
"Bukan! Racun itu bukan berasal dari lengan
anak muda ini. Kalian lihat disepanjang kali ini masih
mengalir cairan kental seperti itu." teriak dari salah
seorang rombongan itu.
"Ah! Terlalu buang waktu, sudah jelas luka di
lengannya itu mengeluarkan racun. Kenapa kalian ma-
sih kurang yakin?" Gundik geram. Sebelah lengannya
ke atas hendak menghantam. Tapi Abiyasa cepat me-
nahan.
"Selamatkan dia dulu. Aku yakin anak muda ini
korban dari racun itu juga. Cepat angkat dia."
Maka beberapa orang mengangkat tubuh ping-
san itu. Mereka meletakkannya pada tempat yang cu-
kup leluasa. Ki Rantungan memeriksa luka di lengan-
nya. Yang lain masih terus mengamati permukaan air
kali. Tiga manusia kerdil nampak bersungut.
"Hebat! Anak muda ini telah bebas dari penga-
ruh racun. Tubuhnya telah melewati masa kritis.
Mungkin karena terlalu lama terendam dalam air." Ki
Rantungan membolak balikkan tubuh pemuda itu.
"Racun apa gerangan yang bekerja sangat ganas ini?
Darah korban akan cepat membeku dan tidak mung-
kin tertolong."
Merasa diguncang-guncangkan, tubuh pingsan
itu mulai siuman. Tanpa sadar pula ia menyebutkan
sesuatu.
"Wundung Kuro.... Wundung Kuro...." Kata-
kata itu yang keluar dari bibir gemetar. Abiyasa dan
Buluk Bongas beranjak ke samping Ki Rantungan. Me-
reka seperti menemukan sesuatu setelah mendengar
ucapan pemuda yang tanpa sadar.
Tubuh yang mulai siuman itu mendadak kelojo-
tan. Ki Rantungan bersama yang lainnya cepat meme-
gangi tubuh kelojotan seperti mengamuk. Mereka me-
rasakan hawa panas yang keluar di sekujur tubuh pe-
muda itu.
"Saudara 'Gagak Hitam', kenapa diam saja...?
Bantu aku!" Rombongan 'Gagak Hitam Penyebar Maut'
yang tadi hanya diam berpangku tangan, berdatangan
ikut memegangi tubuh yang meronta-ronta itu. Mereka
yang memegangi tercengang melihat asap kehitaman
keluar dari sekujur tubuh basah kuyup. Mendadak pu-
la pemuda itu mengeluarkan gumpalan-gumpalan da-
rah beku dari mulutnya.
Beberapa saat kemudian barulah ia dapat te-
nang. Mereka tidak merejang lagi. Mereka membiarkan
anak muda itu terlentang bebas di tanah. Kedua ma-
tanya mulai membuka. Dan dapat terlihat beberapa
orang mengerumuninya.
"Anak muda.... Kau telah selamat dari racun
ganas yang bersarang di tubuhmu. Untunglah daya
tahan tubuhmu sangat kuat." sapa Abiyasa ketika
anak muda benar-benar sadar dan berusaha bangkit.
"Aku...." Sukar sekali anak muda itu menceri-
takan. Kepalanya masih terasa pening. Ia tidak perduli
dengan orang-orang yang mengerubungi. Pikirannya
berusaha mengingat-ingat apa yang telah terjadi pada
dirinya.
"Anak muda, barusan kau menyebut-nyebut
nama Wundung Kuro. Di mana kau pernah menemu-
kan dia...?" tanya Ki Rantungan tidak sabar.
"Betul, Anak muda. Sudah lima belas tahun
kami mencari beliau. Sampai saat ini pun kami tengah
mencarinya." kata Buluk Bongas. "Beliau salah satu
orang yang perlu diselamatkan...."
"Wundung Kuro...?" kata pemuda itu mengu-
lang. Kesadarannya telah pulih.
"Hm... Beliau salah seorang pewaris dari partai
perguruan ilmu pedang."
"Apa aku tidak salah dengar kalau kalian akan
menyelamatkan Wundung Kuro?" Pemuda itu malah
balik bertanya. Kedua matanya berputar mengawasi
tiap-tiap orang yang mengerubungi. Sampai pandan-
gannya membentur pada tiga manusia kerdil....
"Kenapa anjing-anjing kontet ini berada di sini
pula? Apakah mereka juga akan menyelamatkan Wun-
dung Kuro?"
Disebut anjing kontet, mata ketiga manusia
kerdil ini melotot. Gundik dan Gondok tidak sabar lagi
ingin menampar. Gindek yang bersikap tenang mena-
han mereka. Abiyasa dan lainnya semakin tidak men-
gerti dengan ucapan itu. Tapi mereka sengaja mem-
biarkan pemuda itu meneruskan kata-katanya.
"Belum lama ini aku melihat kurcaci-kurcaci je-
lek macam mereka berkeliaran menggeradai bekas per-
guruan. Apakah pusaka 'Weduk Pamungkas' belum ju-
ga didapati, sehingga mereka sekarang bergabung den-
gan partai-partai lain?" ucapnya makin berani.
*
* *
SEMBILAN
Mendengar ucapan yang demikian pedas, tentu
saja wajah ketiga manusia kerdil memerah. Abiyasa
dan yang lainnya saling pandang.
"Bocah keparat! Mulutmu memang harus diberi
pelajaran!" hardik Gondok. Tinjunya melayang ke de-
pan. Gondok tidak menyadari kalau empat jarinya te-
lah kutung, bagaimana Ia bisa mengerahkan tena-
ganya...?
"Dasar manusia busuk. Menyerang tanpa pakai
pikiran!" tukas pemuda itu. Dengan mudah pula ia
menepis pukulan Gondok. Hampir-hampir manusia
kerdil itu ngusruk ke tanah. Gundik dan Gindek ber-
maksud maju menyerang, tapi....
"Cukup...!" Ki Rantungan membentak. Orang-
orang kerdil itu mengurungkan niatnya.
"Bocah sial ini terlalu lancang, Ki, main tuduh
sembarangan. Siapa yang datang mengacak-acak be-
kas perguruan itu?" Gondek menyangkal.
"Hal itu tidak penting! Kita telah kehilangan ti-
ga nyawa, kenapa harus bertengkar pula.... Tujuan ki-
ta hanyalah mencari Wundung Kuro, Pusaka 'Weduk
Pemungkas' hanya membuat kita celaka." Bulus Bon-
gas angkat bicara.
"Biarkan saja Wundung Kuro pada tempatnya.
Laki-laki yang akan kalian selamatkan tidak lebih see-
kor binatang." sahut pemuda itu. Abiyasa dan Ki Ran-
tungan mendelik.
"Sudah kubilang, pemuda itu terlalu lancang!
Sudah habisi saja dia!" Gondok memanas-manasi. Tapi
Abiyasa tetap bersabar.
"Apa yang kau ketahui tentang Wundung Kuro,
Anak muda?" tanya Buluk Bongas dengan suara pelan.
Anak muda itu tidak langsung menjawab, ia hanya
menoleh pada luka di lengannya. Luka itu sudah agak
membaik. Lalu....
"Aku sungguh tidak mengerti, mengapa orang
macam Wundung Kuro mesti diselamatkan. Wundung
Kuro bisa menjaga dirinya sendiri. Ilmu pedangnya
sangat hebat. Selain itu...." Belum habis anak muda
itu menjelaskan, tiba-tiba saja ucapannya terputus.
Karena seseorang telah membentak...
Wintara...!" teriakan itu jelas terdengar. Maka
semua orang pun menoleh ke arah suara itu. Nampak-
lah sosok Tapak Weleng berdiri angker. Di belakangnya
berdiri pula beberapa orang pengikutnya. Anak muda
yang ternyata Wintara itu tersenyum memandang Ta-
pak Welang. "Dengan apa kau melenyapkan pengaruh
Racun 'Pedang Geni Kluwuk' ayahku, Wintara?" Tapak
Welang membalas senyuman itu dengan sinis.
"Entahlah.... Barangkali racun ayahmu itu ter-
golong racun murahan." jawab Wintara mengejek. Ta-
pak Welang bersikap tenang. Tapi setelah melihat ge-
rombolan 'Gagak Hitam Penyebar Maut' ia berubah si
nis. "Kebetulan kita ketemu lagi, Cecoro kerdil. Kita bi-
sa perhitungan untuk persoalan yang lalu."
Tapak Welang melangkah. Para pengikutnya
yang berderet di belakang ikut juga melangkah. Bah-
kan mereka sudah siap mencabut senjata.
Gabungan empat partai besar itu pun tak kalah
sigap. Saat rombongan Tapak Welang melangkah ma-
kin dekat, mereka serempak menarik gagang pedang.
Suasana nampak tegang. Tapak Welang seperti tertawa
mengekeh. Langkah yang dituju mendekat pada ge-
rombolan 'Gagak Hitam Penyebar Maut'. Tiga manusia
kerdil itu langsung berpencar.
Abiyasa selaku pemimpin rombongan itu cepat
menghadang langkah Tapak Welang,
"Apa maksudmu menghadang kami, Anak mu-
da? Kita belum pernah berurusan sebelumnya." Pan-
dangan Abiyasa tajam memandang Tapak Welang.
"Memang benar apa katamu.... Tapi sekarang
kita mulai berurusan." jawab Tapak Welang. Pemuda
ini menarik gagang pedangnya dari punggung.
"Anak dan ayah sama konyolnya. Sama-sama
tidak tahu diri. Buat apa menyendiri di dalam hutan
kalau diri tetap terancam." Wintara menyindir. Tapi
Tapak Welang yang berada di dekatnya langsung men-
garahkan sambaran pedangnya pada Wintara.
"Weees!"
Untung Wintara cepat merunduk. "Manusia ce-
rewet! Kau pun bakal mampus di sini!" bentak Tapak
Welang. Sambaran pedangnya terus mencecar. Abiyasa
cepat menarik pedang. Kemudian menangkis setiap se-
rangan Tapak Welang.
Melihat Tapak Welang sudah mulai menyerang,
para pengikutnya langsung menyerang menggempur
gabungan empat partai ilmu pedang itu. Maka saat itu
pula berdentingan senjata-senjata mereka beradu. Pa
ra pengikut Tapak Welang yang berjumlah tujuh orang
harus terpaksa melayani belasan orang. Mereka me-
mang memiliki ilmu pedang yang tidak rendah. Tapi
menghadapi gabungan empat partai itu mereka hanya
membuang tenaga. Karena gabungan itu terdiri dari
andalan jago-j ago pedang.
Kelompok 'Gagak Hitam Penyebar Maut' diam-
diam meninggalkan tempat itu. Tapi Tapak Welang
yang tengah menghadapi Abiyasa dapat melirik, maka
setelah ia menepiskan sambaran pedang, Tapak We-
lang melompat. Tubuhnya berjumpalitan di udara,
tahu-tahu saja sudah hinggap di muka tiga manusia
kerdil. Ketiganya serempak bergulingan saat pedang
Tapak Welang menyambar keras. Wintara hanya berdi-
ri tenang menyaksikan pertempuran itu. Sedikitnya ia
mengagumi kehebatan Tapak Welang.
"Monyet-monyet kerdil! Kalian pikir Alap-alap
Bukit Busung Kawu cukup mampu mengalahkanku...?
Ha-ha-ha-ha.... Dia telah mampus di dasar jurang sa-
na!" Pedangnya berkelebat cepat. Gerombolan kerdil ja-
tuh bergulingan.
"Siapa yang percaya dengan ocehanmu, Pemu-
da sinting?" Gindek membalas serangan Tapak Welang.
Ternyata hantaman jarak jauhnya cukup lumayan.
Terkena angin pukulan itu Tapak Welang sampai ter-
dorong mundur. Gondok dan Gundik melancarkan pu-
kulannya juga.
"Bweees...!"
Kalau Tapak Welang tidak segera melompat ke
atas, dua hantaman itu pasti mengenai dadanya.
"Paling-paling kau sendiri yang minta ampun
terhadap Alap-alap Bukit Busung Kawu!" Gondok
mengejek sambil melepaskan hantaman ke atas. Tapi
malang baginya. Tapak Welang yang berjumpalitan di
udara itu sempat membabatkan pedangnya ke bawah.
"Crak!"
Gondok tidak sempat berteriak lagi. Karena ke-
palanya sudah menggelinding ke tanah.
"Seperti itulah nasib Alap-alap Bukit Busung
Kawu. Kalau kalian tidak percaya, silahkan tengok ke
dasar jurang!" Pedang Tapak Welang terus berputar.
Kelompok manusia kerdil yang tinggal dua orang itu
berjingkat mundur
Kedua mata mereka menatap pada tubuh tanpa
kepala kelojotan di tanah. Tapi saat itu pula Tapak We-
lang menghentikan serangannya, karena....
"Pemuda keparat! Bicaramu kelewat nga-
wur...!" Terdengar bentakan keras. Terlihat pula sosok
ramping melesat di udara bagai rajawali. Tapak Welang
tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Bagai-
mana pun ia masih mengenali sosok ramping itu. Pe-
dang pendek Laranti berputar menderu menimbulkan
suara angin yang bergemuruh. Secepat itu pun tubuh-
nya menukik ke arah pertempuran antara para pengi-
kut Tapak Welang dengan gabungan empat partai ilmu
pedang. Di luar dugaan pula sambaran pedangnya
membabat setiap kepala yang di laluinya.
Jeritan yang menyayat memenuhi tempat itu
bersamaan dengan jatuhnya kepala-kepala mereka.
Manakala Laranti belum berhenti memutar pedang.
Maka makin bergelimpangan tubuh tanpa kepala. Ta-
nah sekitar itu telah banjir dengan darah. Untung saja
dalam pertempuran itu ada Abiyasa, Ki Rantungan dan
Buluk Bongas. Mereka dapat menahan amukan Laran-
ti yang datang secara tiba-tiba itu.
Adanya ketiga orang tersebut, Laranti menga-
lihkan serangan. Selama tubuhnya melesat ia tidak
menyentuh tanah, ke kepala orang yang tengah ber-
tempur itu di jadikan batu loncatan. Hanya dengan
beberapa hentakan saja ia telah menjurus ke arah Tapak Welang. Pemuda itu sendiri masih sibuk mengha-
dapi hantaman-hantaman jarak jauh dari Gindek dan
Gundik.
Pada saat yang sama dari arah berlawanan, me-
lesat pula sosok serba putih menyambut lesatan La-
ranti yang siap mengarah babatan pedang pada Tapak
Welang. Sosok putih berlengan tunggal itu sebenarnya
sudah mengarahkan pedangnya pula pada Laranti,
maka saat mereka membentur. Hanya dentingan sen-
jata mereka yang terdengar. Beberapa saat kemudian
keduanya hinggap di tanah tanpa bersuara.
Tapak Welang yang melihat sosok tanpa berlen-
gan tunggal datang, semakin bersemangat. Tapi ia ter-
sentak pula saat melihat wajah Laranti yang telah jauh
berubah. Begitu juga dengan Wintara. Ia masih ingat
sosok ramping yang pernah menyerangnya dulu. Seo-
rang gadis yang cantik jelita. kini sosok jelita itu san-
gat mengerikan. Benjulan luka yang memanjang sam-
pai ke dagu dengan kedua lubang hidung sebesar se-
perti tengkorak. Lama juga Wundung Kuro menatap ji-
jik.
"Wundung Kuro, selama lima belas tahun aku
malang melintang mencari kau, akhirnya kita bertemu
di sini. Sangat kebetulan sekali. Hutang darah itu ha-
rus diselesaikan sekarang juga, Wundung Kuro!" Suara
Laranti dingin. Matanya nyalang menatap tubuh tanpa
sebelah lengan.
"Kaukah Alap-alap Bukit Busung Kawu? Huh!
Apa perduli mu kau mencariku selama lima belas ta-
hun itu?" tanya Wundung Kuro.
"Masih ingat peristiwa lima belas tahun yang la-
lu? Ketika kau dan saudara seperguruanmu mengerjai
saudara seperguruannya sendiri? Mungkin juga nama
Legowo belum terhapus dalam ingatanmu!" Laranti
sengaja bicara agak keras. Abiyasa dan teman lain
yang melangkah ke situ dapat mendengar ucapan La-
ranti.
"Siapa kau sebenarnya, Perempuan buruk?"
Wundung Kuro murka.
"Lima belas tahun memang waktu yang sangat
panjang! Cukup membuat pikun untuk orang se usia-
mu. Sebenarnya terhadap mu aku harus memanggil
paman. Karena aku putri tunggal Legowo!"
Wundung Kuro agak tersentak. Tapak Welang
berhenti menyerang dua manusia kerdil, itu pun sete-
lah manusia-manusia kerdil itu bergulingan kehabisan
tenaga. "Tidak kusangka kalau semua ini akibat ulah
mu sendiri, Wundung Kuro. Terhadap saudara seper-
guruanmu sendiri kau tega membantainya." Ki Ran-
tungan mendongkol. "Kau tahu apa, Ki Rantungan! La-
gi pula ini bukan urusan kalian!" Wundung Kuro me-
lancarkan babatan pedangnya. Tapi Abiyasa dan Buluk
Bongas cepat menepis serangan itu dengan senjata
mereka. Benturan senjata itu mengakibatkan tubuh
mereka terlempar. Ki Rantungan yang melihat cepat
pula membalas. Tapi sabetan pedangnya melesat. Ma-
lah Ki Rantungan terjengkal terkena sambaran ten-
dangan dari Wundung Kuro.
Melihat ketiga tetua partai ilmu pedang itu ber-
gelimpangan, Wundung Kuro gigih melancarkan se-
rangan. Tapi saat tubuhnya melesat maju, hampir saja
sambaran pedang pendek Laranti merobek dadanya.
Sementara itu Tapak Welang masih mengawasi
gerak-gerik Laranti. Ia tidak sadar kalau Gindek dan
Gondok diam-diam kabur dari tempat itu. Larinya ce-
pat menggelinding bagai bola. Namun begitu mereka
bangkit berdiri, mereka terkejut setengah mati.
Karena tahu-tahu saja Wintara sudah berdiri di
hadapan mereka. Mereka tidak sempat pula menghindar saat Wintara mendorong dengan kedua telapak
tangannya. "Deeeer...!"
Dua tubuh kerdil itu mencelat ke arena per-
tempuran kembali.
Para pengikut Tapak Welang menduga kedua
orang kerdil itu akan melancarkan serangan. Maka be-
gitu mereka jatuh di tanah, beberapa orang dari mere-
ka langsung mencacah tubuh keduanya. Darah me-
nyembur dari tubuh kerdil itu bagai air mancur. Saat
itu juga riwayat 'Gagak Hitam Penyebar Maut' telah
pupus,"
Tapak Welang tidak membiarkan para anak
buahnya mulai kewalahan menghadapi gabungan par-
tai ilmu pedang itu. Sebab ia melesat pedangnya ber-
putar. Wintara yang sudah tahu niat Tapak Welang,
melompat pula ke arah pertempuran. Tinjunya berhasil
menghantam lengan Tapak Welang. Tapi setelah tahu
adanya Wintara, putra Wundung Kuro itu tidak meng-
gubrisnya.
Babatan-babatan pedang Tapak Welang dapat
menjatuhkan satu demi satu gabungan partai ilmu pe-
dang. Gerakannya yang sangat cepat luar biasa selalu
memakan korban. Sementara itu pun Wintara sengaja
menghabisi semua para pengikut Tapak Welang. Malah
gerakan Wintara lebih sengit. Meskipun tanpa senjata,
ia bisa menjatuhkan dua sampai tiga orang sekali pu-
kulan. Memang tidak tewas! Tapi cukup mengurangi
kekuatan lawan.
Maka dalam waktu yang sangat singkat per-
tempuran itu mendadak sepi. Banyak orang-orang ber-
gelimpangan tewas atau tanpa sadar. Namun masih
saja terdengar suara beradunya senjata maupun jerit
kesakitan yang menyayat. Tapak Welang tidak kepa-
lang tanggung membantai lawan-lawannya. Wintara
hampir tidak sanggup membendung.
***
SEPULUH
Tapak Welang yang nampak seperti kesetanan
menyerang membabi buta. Pedangnya bergerak bak ki-
latan-kilatan sinar putih yang siap menjemput maut.
Wintara yang tanpa senjata terpaksa berkelit mengha-
dapi setiap sambaran pedang. Maka nampaklah tubuh
gesit Wintara beterbangan ke sana ke mari.
"Tapak Welang tidak semestinya kau memban-
tai mereka!" bentak Wintara. Tinjunya melayang ham-
pir mengenai muka Tapak Welang.
"Kenapa? Lebih baik tidak ada perguruan sama
sekali di muka bumi ini! Hraaaaat!" Membersit sinar
putih di atas kepala Wintara. Dalam keadaan merun-
duk seperti itu, Wintara mendorong kedua telapak tan-
gannya.
"Der...!"
Terasa sekali hantaman itu begitu dingin. Tapi
berakibat sangat fatal. Tapak Welang seloyongan ke be-
lakang sambil menyemburkan darah segar dari mulut-
nya.
"Belum terlambat bagimu untuk kembali ke ja-
lan yang benar, Tapak Welang... Masih ada waktu."
Wintara sengaja tidak menyerang lagi. Tapi ia tetap
waspada terhadap pemuda itu. Setiap saat pedangnya
dapat menyambar tak terduga.
Tapi ternyata tidak. Hantaman Wintara tadi cu-
kup membuat Tapak Welang tak berkutik. Di dadanya
masih mengepul uap dingin tenaga pukulan Wintara.
Rupanya ada berapa tulang iganya telah patah, se-
hingga sukar bagi Tapak Welang bergerak. Baginya tidak ada pilihan lain. Tapak Welang melepaskan pe-
dangnya ke tanah. Dan ia sekarang berdiri pasrah.
Mulutnya menyembur darah lagi. Tubuh Tapak
Welang seakan lemas tak bertenaga saat tubuhnya
bergulir ambruk. Wintara cepat melompat menyang-
gah. Tapak Welang berpegangan erat pada punggung
Wintara. Sementara itu para tetua partai perguruan
ilmu pedang menjadi bingung. Mereka tidak tahu mesti
berpihak pada siapa. Wundung Kuro tidak terima atas
perlakuan baik mereka. Malah membalasnya dengan
sambaran pedang. Apalagi Laranti. Gadis berilmu ting-
gi ini sukar diajak kompromi. Ia tidak perduli terhadap
siapa pun. Pedang pendeknya selalu bergerak kepada
siapa saja yang mendekat.
Abiyasa sendiri menjadi repot. Mana kala ia
tengah menghadapi serangan Laranti, Wundung Kuro
malah menggunakan kesempatan itu. Ia menyerang
dari arah lain. Untung saja Ki Rantungan selalu was-
pada akan keselamatan temannya. Ia bisa mencegah
serangan Wundung Kuro.
Namun bagi Buluk Bongas, pikirannya tetap ti-
dak terpecah dua. Serangannya dari tadi mendesak
gadis berilmu tinggi itu. Sayangnya Buluk Bongas bu-
kanlah ukuran bagi Laranti yang telah menguasai
tingkat akhir ilmu pedang. "Ztraaaang...!"
Saat pedangnya tersambar pedang pendek. Pe-
dang Buluk Bongas patah dua. Bersamaan dengan itu
pula tenggorokannya robek mengalirkan darah yang
menyembur bagai air mancur. Buluk Bongas ambruk
kelojotan di tanah. Ki Rantungan menggeram melihat
Buluk Bongas kaku diam bersimbah darah memenuhi
bajunya.
Tentu saja Abiyasa dan Ki Rantungan segera
mengalihkan serangannya. Amarah mereka memuncak
karena telah kehilangan salah satu sahabat mereka.
Kedua tetua itu mendesak pertahanan Laranti.
Tenang sekali Laranti menyambut serangan-
serangan mereka. Hanya dengan memutar pedang
pendeknya, senjata-senjata lawan patah dua semua.
Gadis itu tersenyum sinis melihat mereka berdua gela-
gapan.
Keduanya merunduk serempak saat Wundung
Kuro datang membersitkan pedang, desingan anginnya
terasa sekali di atas kepala mereka. Belum habis ia
menghindari serangan Wundung Kuro. Laranti mele-
paskan tendangan berantai yang bertubi-tubi ke arah
mereka. ,
"Bug...! Bug...! Bug...! Bug...!"
Kontan Abiyasa maupun Ki Rantungan bergu-
lingan di tanah.
Bagi Wundung Kuro yang sudah kepalang
tanggung bertindak belum cukup puas sebelum pe-
dangnya menghirup darah mereka. Dengan langkah
gencar ia mengarahkan pedangnya. Abiyasa dan Ki
Rantungan belum sempat bangun.
"Mampuslah kalian!" Pedang Wundung Kuro
menyambar ke arah leher keduanya. Tapi sebelum pe-
dang itu mengena....
"Arghtt...!"
Wundung Kuro memekik. Kedua matanya
membeliak menatap perutnya yang tertembus pedang.
Rupanya tindakan Wintara tidak terlambat.
Saat Wundung Kuro membabatkan pedangnya, Winta-
ra cepat menendang pedang Tapak Welang yang terge-
letak di tanah. Dan lesatan pedang itu tepat menem-
bus di perut Wundung Kuro.
"Para tetua...! Hati-hati terhadap Wundung Ku-
ro! Pedangnya mengandung racun!" teriak Wintara. Ia
tetap duduk menyanggah Tapak Welang.
"Menyingkir dari situ. Gadis itu lebih berbahaya
lagi!" Mendengar perintah Wintara. Abiyasa maupun Ki
Rantungan bersalto mundur. Wundung Kuro masih
berdiri tegar dengan sebilah pedang menembus di pe-
rut. Tapi ia cepat segera menoleh ketika mendengar
suara teriakan garang menjurus ke arahnya. Laranti
yang sudah menunggu-nunggu kesempatan itu melun-
cur deras. Pedang pendeknya mengarah cepat bagai
anak panah.
Wundung Kuro hanya bergeser ke samping,
maka terjangan Laranti melesat. Dalam pada itu pun
Laranti cepat membalikkan serangan. Pedang pendek
menyambar disertai dengan sebuah tendangan. Wun-
dung Kuro dapat menepis babatan pedang pendek
dengan pedangnya. Tapi ia tak bisa menghindari ten-
dangan Laranti menghantam pedang yang menancap
di perut semakin amblas.
Seperti tidak dirasakan sama sekali, Wundung
Kuro membalas serangan itu. Keduanya sama-sama
membabatkan pedangnya. Benturan pedang mereka
beradu sampai memercikkan api. Lesatan tubuh mere-
ka bergulung-gulung bersamaan dengan berendarnya
sinar pedang saling bentur membersit.
Sekali Wundung Kuro mengerahkan tenaganya.
Lengannya bergerak cepat. Maka sambaran pedang
dapat menggores punggung Laranti. Reflek pula gadis
itu membabatkan pedangnya ke samping. Seketika itu
juga wajah seram Laranti terkena cipratan darah.
Sambaran pedang Laranti yang tanpa disada-
rinya itu telah menyambar putus kepala Wundung Ku-
ro. Tubuh tanpa kepala Wundung Kuro tetap berdiri.
Dari lehernya yang buntung mengucur darah. Memer-
cik mengotori wajah Laranti. "Gadis itu mendorong pe-
lan tubuh Wundung Kuro. Perlahan pula tubuh tanpa
kepala itu ambruk ke belakang.
Laranti sendiri merasakan punggungnya berde-
nyut. Racun pedang 'Geni Kluwuk' Wundung Kuro be-
kerja cepat. Sebentar saja sebagian punggung Laranti
membiru. Dengan langkah gemetar pula ia maju men-
dekati pada Tapak Welang.
"Kini giliranmu, Pemuda keparat! Luka di wa-
jahku belum kering, begitu juga dengan dendam yang
membakar hangus jantungku!" Sambil berkata demi-
kian Laranti mengeluarkan jurus-jurusnya lagi. Pedang
pendek berputar menderu-deru.
Wintara yang berada sangat dekat dengan Ta-
pak Welang cepat menarik sebelum Pedang itu berke-
lebat. Tapi tindakan itu justru membahayakan diri
Wintara. Karena saat Wintara membawa tubuh Tapak
Welang, Laranti gencar membabatkan pedangnya. Ab-
iyasa dan Ki Rantungan datang membantu.
"Tetua.... Selamatkan Tapak Welang dari sini!"
Wintara menyerahkan Tapak Welang pada Abiyasa.
Namun seperti sudah kesetanan Laranti melesat terus
ke arah Tapak Welang. Melihat itu Wintara langsung
melancarkan tendangan memutar.
"Bug...!"
Laranti memekik. Tubuhnya ambruk di tanah.
"Tahanlah, Nona.... Anda sudah terkena racun
pedang Wundung Kuro. Racun itu amat ganas. Kalau
tidak segera mengobatinya dengan tenaga inti, kau bi-
sa mati. bentak Wintara. Bentakan itu tidak diperduli-
kan. Laranti malah melempar Wintara dengan pedang-
nya.
"Bweees...!"
Wintara salto ke belakang membarengi lesatan
pedang.
Di luar dugaan Laranti melancarkan dua puku-
lan sekaligus. Sudah tentu Wintara yang dalam kea-
daan berjumpalitan tidak mengetahui adanya serangan. Apalagi hantaman-hantaman itu mendadak men-
dera di dadanya.
Melihat Laranti tidak menggunakan pedang la-
gi, Abiyasa dan Ki Rantungan serempak maju. Namun
hal itu bukan berarti gadis berilmu tinggi itu tidak ta-
hu. Setelah menghantam Wintara, ia berbalik mele-
paskan tendangan.
"Deeer..!"
Abiyasa balik mencelat. Bajunya basah oleh da-
rah yang menyembur dari mulut Ki Rantungan pun
demikian. Ia tidak menyangka kalau tendangan itu da-
pat langsung melencong ke arahnya. Melihat gerakan
kaki yang sangat cepat, Ki Rantungan sangat tersen-
tak. Makanya ia tidak bisa menghindari tendangan La-
ranti yang menghantam tenggorokannya. Keadaannya
lebih parah. Ki Rantungan ambruk dengan tulang leh-
er patah.
Semuanya di luar dugaan. Wintara sendiri tidak
menyangka kalau gadis itu demikian luar biasa. Tanpa
pedang pun gadis itu dapat mendesak pertahanan
Wintara. Setiap kali Wintara menangkis hantaman-
hantaman Laranti, terasa sekali dorongan tenaga da-
lam mematahkan lengan-lengan Wintara.
"Seluruh tubuhmu telah membiru, Nona! Pem-
buluh darahmu sudah mulai beku!" Tidak henti-
hentinya Wintara memperingati. Sebenarnya apa yang
dikatakan Wintara memang sudah terasa oleh Laranti.
Selain tubuhnya yang mulai membiru, gerakannya pun
seperti lambat. Namun demikian Laranti keras kepala
menyerang Wintara.
Terpaksa pula Wintara meladeninya. Hanta-
man-hantaman mereka beradu sampai menimbulkan
suara yang membledar. Hantaman Laranti bagaikan
ribuan jarum menyengat di tubuh Pendekar Kelana
Sakti. Tapi Alap-alap Bukit Busung Kawu mendadak
mental ke belakang saat Wintara mengerahkan seluruh
pukulan hawa dingin. Tubuh Laranti bergulingan den-
gan mengepulkan asap. Dalam keadaan berguling se-
perti itu Laranti sempat meraih sebilah pedang yang
tergeletak di tanah. Dan begitu ia bangkit berdiri, ta-
hu-tahu saja sudah menyandera Tapak Welang. Winta-
ra tidak jadi menyerang. Abiyasa yang membantu Ki
Rantungan bangkit merasa khawatir.
"Benarkah anak muda ini bernama Tapak We-
lang?" tanya Laranti dengan suara parau.
"Ada berapa Tapak Welang sebagai anak Wun-
dung Kuro? Sudah tahu dia Tapak Welang masih ba-
nyak tanya! Lepaskan saja dia! Dia sudah tidak ber-
daya! Akulah yang mesti kau hadapi!" Wintara bersi-
kap menantang.
"Pendekar sombong!" Sambil menghardik begitu
Laranti membanting tubuh Tapak Welang. Lalu meno-
dongkan pedang itu di tenggorokannya. Senyum gadis
itu nampak sinis.
"Kita memang pernah bermain bersama, Tapak
Welang. Kau yang selalu menjaga dan melindungiku
ternyata berjiwa anjing! Masih ingat lima belas tahun
yang lalu saat seorang gadis kecil jatuh bersamamu
pada sebuah batang pohon di samping perguruan?"
Pertanyaan itu membuat Tapak Welang membe-
lalakkan mata. Selintas ingatannya membayang pada
lima belas tahun yang lalu. Ia memang pernah terjatuh
dari sebatang pohon di saat bermain bersama seorang
teman gadis kecil.
"K-Kk-Kaukah Laranti...?" Gadis berwajah bu-
ruk itu tersenyum. Kenangan masa kecil memang te-
ramat manis. Tidak terasa pula Laranti menitikkan air
mata. Bersama Tapak Welang masa kecilnya tidak da-
pat dilupakan. Janji bocah ingusan yang bersumpah
akan menjadi pasangan raja pedang terngiang kembali.
Manakala wajah tampan Tapak Welang menatap La-
ranti. Saat itu pula keharuan yang melanda hati Alap-
alap Bukit Busung Kawu sirna. Sinar matanya yang
berkaca-kaca berubah nyalang.
Pedang dalam genggaman Laranti bergetar he-
bat. Lalu tanpa memejamkan mata Laranti memutar
pedang ke arah wajah Tapak Welang. "Breees...!"
Seketika wajah Tapak Welang mencair darah.
Seluruh wajahnya nampak rata. Bersamaan dengan itu
pula Tapak Welang kelojotan. Dingin Laranti menatap
tubuh kelojotan itu.
Kejadian itu terjadi sangat cepat. Wintara me-
nyesali diri karena ia tidak sempat menyelamatkan Ta-
pak Welang. Dengan langkah yang gesit ia melompat
bermaksud mengambil tubuh Tapak Welang. Tapi ter-
nyata Laranti telah mendahuluinya. Saat tubuh mere-
ka melesat, Laranti maupun Wintara saling melancar-
kan hantaman. Terdengarlah suara benturan hanta-
man mereka. Begitu juga dengan jeritan panjang La-
ranti.
Keduanya memang terbanting di tanah. Winta-
ra cepat bangkit meskipun mulutnya menyemburkan
darah. Laranti bangkit pula dengan pandangan yang
nyalang. Mulut serta lubang hidungnya yang besar
mengucurkan darah kehitaman. Bibirnya menggeram.
Beberapa detik kemudian tubuh ramping itu melesat
lagi. Kali ini terjangannya lebih dahsyat. Kedua telapak
tangannya merentang siap menghantam kepala.
Wintara yang sudah bersiap-siap, cepat pula
menghimpun tenaga inti hawa dingin. Begitu Laranti
berkelebat di atas kepala, Wintara menjatuhkan diri
sambil melepaskan dua hantaman sekaligus.
"Deeeeer...!"
Hantaman-hantaman Wintara mendarat telak
pada dada serta perut. Laranti tidak memekik lagi. Tubuhnya langsung terbanting keras di tanah dengan
nyawa melayang. Tubuhnya terlentang menghadap
langit. Dari setiap bekas hantaman Wintara mengepul
asap putih.
Wintara menatap tubuh Laranti dengan berdiri
sempoyongan. Membiarkan Tapak Welang tetap kelojo-
tan. Membiarkan Abiyasa mendekati membawa Ki Ran-
tungan yang nampak parah. Orang-orang gabungan
partai ilmu pedang yang masih sisa atau terluka mulai
berdatangan menghampiri. Beberapa orang dari mere-
ka mengangkat tubuh Tapak Welang yang pingsan.
Wintara menoleh ketika Abiyasa menepuk pundaknya.
Sebelum Abiyasa bicara, Wintara mendahului.
"Dalam hal ini Tapak Welang tidak bersalah.
Perlakukan dia baik-baik. Tindakannya selama ini
hanya dipengaruhi oleh Wundung Kuro. Dia pula ru-
panya yang menyebabkan peristiwa lima belas tahun
itu. Aku rasa kalian sudah mengerti akan persoalan-
nya"
"Anak muda.... Siapa sebenarnya diri mu? Se-
jak aku temukan kau di pinggir kali, aku sudah mera-
sa curiga. Bahwa kau bukanlah orang yang sembaran-
gan." tanya Abiyasa.
"Aku hanya seorang pengelana yang mencari
pengalaman. Tidak lebih dari itu." jawab Wintara sing-
kat.
"Tapi kau telah banyak mengetahui persoalan
sengketa antara keluarga Legowo dan Wundung Kuro.
Apakah kedatangan mu ke bukit ini untuk mempere-
butkan pusaka 'Weduk Pamungkas' juga?" Mendengar
pertanyaan seperti itu Wintara nyengir. Lalu, "Aku ti-
dak pernah memimpikan sebuah pusaka. Juga kalian
tidak bakal akan mendapatkan pusaka itu. Karena
'Weduk Pamungkas' sudah sirna bersama tewasnya
Alap-alap Bukit Busung Kawu.... Tidakkah kalian dapat melihat jurus-jurusnya tadi. Selain ilmu pedang
yang tinggi, jurus-jurus tangan kosongnya pun sangat
mematikan. Kepandaiannya jauh di atas kita. Pastilah
Alap-alap Bukit Busung Kawu telah menguasai pusaka
'Weduk Pamungkas'. Kalau saja ia tidak terkena racun
'Pedang Geni Kluwuk' ciptaan Wundung Kuro, mung-
kin kita semua sudah binasa."
Setelah berkata begitu Wintara melangkah. A-
biyasa dan orang-orang gabungan partai ilmu pedang
menatap heran. Tidak ada yang berani menahan lang-
kah-langkah Pendekar Kelana Sakti itu.
"Anak muda.... Sebutkan siapa nama mu!" te-
riak Abiyasa yang merasa kagum. Wintara tetap tidak
menjawab. Ia terus melangkah semakin menjauh. Tan-
pa menoleh Wintara melambai-lambaikan tangannya.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar