SATU
KINI, DESA MIJEN telah sepi kembali setelah tiga
hari yang lalu diramaikan oleh kemeriahan pesta per-
kawinan dari Endang Seruni dan Lawunggana.
Waktu itu Desa Mijen seperti mandi cahaya oleh pu-
luhan lampu dian minyak ataupun obor-obor yang di-
pasang di setiap pojok desa dan jalan-jalan yang me-
nuju ke rumah Ki Lurah Mijen. Pertunjukan Wayang
kulit turut meramaikan malam itu.
Orang-orang pada berdatangan mengunjungi pesta
tersebut dari segenap pelosok desa dan dari daerah
luarpun tak terhitung banyaknya. Seperti akan runtuh
rumah-rumah pedesaan oleh keriuhan dan keramaian
tetabuhan gamelan yang mengiringi pertunjukan Wa-
yang kulit dalam ceritera Gatutkaca Krama.
Malam itu adalah malam yang paling bahagia buat
pengantin berdua, Endang Seruni dan Lawunggana te-
lah disatukan dalam ikatan perkawinan yang suci se-
bagai suami-istri yang bakal membina keluarga baru.
Inipun merupakan tugas baru pula yang tak kalah be-
ratnya seperti ketika mereka menghadapi Ki Bango
Wadas serta gerombolan Bido Teles.
Ki Surotani, ayah kandung dari Endang Seruni, ha-
dir pula pada pesta perkawinan itu, membuat perkawi-
nan kedua pengantin menjadi pertemuan yang meng-
harukan.
Betapa gembiranya Ki Surotani ketika ia bertemu
kembali dengan putrinya yang dahulu telah disang-
kanya tewas ternyata masih hidup. Endang Seruni ti-
dak lain adalah Pandan Sari, yakni adik kandung dari
Pandan Arum.
Dan lebih menggembirakan lagi, bila Ki Surotani se-
gera mengenal kembali sahabat lamanya yang kini telah menjadi Lurah Desa Mijen dan sebagai ayah angkat
Pandan Sari selama itu.
Demikianlah, hari ini tampak adanya kesibukan ha-
laman depan kelurahan. Beberapa ekor kuda telah dis-
iapkan untuk suatu perjalanan.
Ki Lurah Mijen dengan istri, Lawunggana, Endang
Seruni, Pendekar Bayangan, para jagabaya telah sele-
sai berjabat tangan dengan Mahesa Wulung, Pandan
Arum, Ki Surotani dan juga Gagak Cemani. Mereka be-
rempat akan segera meninggalkan desa ini untuk me-
nempuh perjalanan mereka menuju ke Asemarang.
Sedang Nyi Surotani untuk beberapa hari masih
akan tinggal di Desa Mijen ini, karena ia masih sangat
rindu kepada Endang Seruni dan kelak ia akan kemba-
li ke Asemarang dengan diantar oleh Endang Seruni
serta Lawunggana.
Ketika Pandan Arum berpamitan kepada Endang
Seruni, tiba-tiba memeluklah si pengantin baru ini ke-
padanya dibarengi isakan tangis yang tertahan-tahan.
Sebagai seorang kakak, Pandan Arum dapat me-
maklumi akan keharuan Endang Seruni tadi. Bukan-
kah sebagai seorang adik, Endang Seruni telah men-
dahuluinya dalam perkawinan.
“Kita akan bertemu lagi, Seruni. Dan ibu pun masih
tinggal di sini untuk sementara. Berbahagialah. Kami
selalu berdoa untuk kalian berdua,” kata Pandan Arum
sambil mencium pipi adiknya dan membelai rambut-
nya.
“Terima kasih, Yunda. Terima kasih,” ujar Endang
Seruni seraya membalas mencium pipi kakaknya,
hingga untuk sesaat keheningan dan keharuan mence-
kam suasana.
Lebih-lebih ketika Pandan Arum dan rombongannya
telah berpacu meninggalkan halaman kelurahan me-
nuju ke arah selatan, Endang Seruni tak dapat lagi
menahan tangisnya hingga Lawunggana terpaksa me-
rangkul istrinya ini untuk dihiburnya.
Dalam pada itu, rombongan Ki Surotani telah sema-
kin jauh dan sebentar itu pula mereka telah keluar da-
ri gerbang Desa Mijen di sebelah selatan. Debupun
naik ke atas, berkepulan oleh derapan kaki-kaki kuda
yang melaju bagai angin.
***
Di tempat lain, dalam sebuah hutan kecil yang tak
jauh dari pantai, tampaklah seorang pemuda dengan
terengah-engah kepucatan, mengendap-endap di anta-
ra semak-semak. Sebentar-sebentar ia berhenti sambil
mengawasi tempat-tempat di sekitarnya dengan pan-
dangan penuh curiga.
Tampaknya ia membawa sesuatu yang penting
ataupun berharga, kentara dari sikapnya yang seben-
tar merabakan tangannya pada ikat pinggangnya ber-
hati-hati.
Dan karena sikapnya itu pula, maka beberapa pa-
sang mata yang tersembul dari celah dedaunan semak,
senantiasa mengawasi gerakan si pemuda tadi dengan
sorot mata yang setajam mata serigala-serigala kelapa-
ran.
“Hmmm, itulah orangnya yang aku ikuti sejak ia
mendarat di pantai tadi, Kakang Gombong!” bisik seo-
rang beralis tebal kepada temannya.
“Memang patut kita curigai orang itu!” jawab orang
yang bernama Gombong dan berperawakan kekar de-
ngan mata yang sipit. Pada ikat pinggangnya yang ber-
warna merah, tergantung sebilah pedang lebar bersa-
rung kayu hitam, seperti kebanyakan yang dipakai
oleh prajurit Demak.
“Adi Balur dan Salung, kalian berdua memang ber-
mata tajam. Aku bangga dan senang atas pekerjaanmu
yang bagus ini, dan pemimpin kita pun akan senang
pula bila mendengar laporanku nanti,” ujar Gombong
sambil tersenyum lebar.
“Akh, betulkah itu, Kakang?” sela si Balur
“Heh, heh. Kalian tak percaya? Kalian berdua ada
harapan untuk naik pangkat! Heh, heh...,” Gombong
berkata pula.
“Eeh, terima kasih, Kakang. Terima kasih!” kata Sa-
lung dengan terbata-bata saking gembiranya. “Sebaik-
nya kita sergap cepat-cepat orang itu!”
“Heh, heh. Kalian sudah tak sabar lagi rupanya,”
Gombong berkata seraya menatap kedua teman itu,
sementara beberapa orang temannya yang lain telah
bersiap-siap pula. “Yah, sekarang adalah saatnya!
Tangkap segera orang itu!”
Maka selesai Gombong berseru, berloncatanlah so-
sok-sosok tubuh manusia dari balik semak belukar
dan langsung mencegat si pemuda yang telah diincar-
nya itu.
“Berhenti! Jangan melawan!” bentak Gombong de-
ngan lantangnya, hingga si pemuda yang telah melihat
dengan kagetnya orang-orang yang bermunculan itu,
menjadi lebih kaget lagi. Maka secepat kilat ia memba-
likkan diri ke belakang untuk mengambil langkah seri-
bu dengan segera.
“Horaaah! Akan minggat kemana kowe, haaah?!” se-
buah bentakan menggeledek tahu-tahu telah mengha-
dang si pemuda tersebut dan seketika tahulah ia, bah-
wa dirinya telah terkepung!
“Ooh!” desis si pemuda seraya mendekapkan lebih
erat kedua belah tangannya ke atas ikat pinggangnya.
Hal ini membuat Gombong dan kawan-kawannya se-
makin tertarik dan curiga kepada pemuda tadi.
“Heei, bocah! Apa yang kau sembunyikan di dalam
ikat pinggangmu itu?!” seru Gombong lantang.
“Ess, tidak ada apa-apa,” ujar si pemuda setengah
ketakutan. Tapi ketika ia melihat ikat pinggang dan
pedang yang dipakai oleh Gombong, hatinya menjadi
agak tenang sedikit. “Akh, Bapak dari prajurit kawal?!”
tanya si pemuda.
“Nah, kau sudah tahu siapa aku sebenarnya!” sahut
Gombong serta-merta. “Jika begitu, kau harus terus
terang kepadaku!” Gombong kelihatan tidak sabar dan
kentara dari sikapnya yang sebentar mengusap hulu
pedangnya.
“Memang ada sesuatu yang akan kuutarakan ke-
pada Bapak, sebab kebetulan sekali bahwa Andika
adalah prajurit kawal di daerah ini,” ujar pemuda tadi.
“Mmmm, apakah yang akan kau katakan?”
“Aku mempunyai sebuah pesan yang harus kusam-
paikan kepada seorang tamtama Demak!” ujar si pe-
muda.
“Huhh, sebuah pesan?” ulang Gombong agak terke-
jut. “Itu mudah. Nanti aku antarkan untuk menemui
tamtama tadi ke Demak. Engkau turut bersama saya
ke sana!”
“Terima kasih, Bapak,” ujar si pemuda dengan lega.
“Tapi bolehkah aku tahu, dari mana engkau da-
tang?” bertanya si Gombong lagi.
“Aku baru saja lolos dari Pulau Mondoliko,” berkata
si pemuda tanpa kuatir apa-apa, karena ia telah ber-
temu dengan seorang prajurit kawal dari Demak. “Dan
karenanya, saya harus cepat-cepat menyampaikan pe-
san tadi kepada seorang tamtama Demak!”
Gombong menjadi tercengang dan memandang wa-
jah teman-teman lain yang juga ikut terperanjat oleh
tutur kata dari si pemuda tersebut. Sementara itu pula
Balur dan Salung mengerdipkan mata kepada Si Gom-
bong.
“Kalau begitu serahkan saja pesan itu kepada kami
sekarang, agar segera kami sampaikan kepada tamta-
ma Demak!” berkata Gombong seraya mengulurkan
tangannya ke arah si pemuda.
Oleh sikap tersebut yang tampaknya sangat tergesa-
gesa, si pemuda agak tertegun beberapa saat dan ke-
mudian berkata dengan ragu-ragu. “Maaf, Bapak. Per-
mintaan Andika kurang kupahami. Bukankah Bapak
tadi berkata hanya akan mengantarkan saja? Tetapi
mengapa pesan itu harus kuserahkan kepada Bapak?”
Gombong mengerutkan dahinya sebagai pertanda
bahwa hatinya mulai jengkel oleh ujar si pemuda tadi.
“Hmmm, kau tak melihat bahwa aku pun seorang pra-
jurit kawal dari Demak?”
“Benar, Bapak. Namun pesan tertulis yang aku ba-
wa ini harus kuserahkan sendiri kepada tamtama De-
mak.”
“Heeh. Apa bedanya? Pokoknya surat tersebut kan
sampai kepada kami!” berkata Gombong setengah
membentak.
“Sayang, pesan yang aku bawa ini sangat penting-
nya dan tak berani aku menyerahkannya kepada sem-
barangan orang, selain kepada tamtama Demak. Begi-
tulah permintaan si pemberi pesan tertulis ini kepa-
daku!”
“Kurang ajar!” desis Gombong seraya melototkan
matanya. “Jadi engkau menggolongkanku sebagai
orang sembarangan?!” Gombong tampak semakin ma-
rah dan berseru kepada teman-teman lainnya. “Akan
kita apakan bocah ingusan ini?”
“Kita hajar saja sampai benjol dan bengkak-beng-
kak! Barulah pesan itu kita rampas!” seru Balur diser-
tai tertawa lebar, hingga giginya yang besar-besar dan
agak kehitaman itu terlihat dengan kesan menyeram-
kan.
“Ooh, tidak. Andika semua tak boleh memaksaku
demikian!” berkata si pemuda seraya melangkah ke
samping untuk lari. Tetapi sekali lagi ia dibuat terkejut
bila sebuah ujung pedang yang runcing dan tajam te-
lah tertuju ke arah hidungnya! Ternyata Balur telah
mengancam dengan pedangnya.
“Kau minta dipaksa agar pesan itu segera kau se-
rahkan kepada kami, ha?!” Gombong berseru.
“Meskipun kalian mengancam, aku tak akan me-
nyerahkannya! Pesan tersebut lebih berharga dari nya-
waku!” berkata si pemuda tadi tanpa merasa takut, se-
bab kini ia tak melihat kemungkinan dapat lolos dari
kepungan orang-orang ini. Dan ia bertekad lebih baik
hancur bersama pesan tertulis itu daripada ia menye-
rahkannya kepada orang yang tidak berhak!
“Keparat! Copot lehermu, sekarang!” teriak Balur
sambil menebaskan pedangnya dengan nafsu amarah
yang berkobar, menggelegak laksana air bah tak terta-
han oleh bendungan.
Tringng! Wessss!
Pedang tersebut mendesis ke arah leher si pemuda
yang sebentar lagi pasti terpenggal putus bila ia tidak
cepat-cepat mengendap ke bawah dengan gerakan ge-
sit. Dengan begitu maka mata pedang tersebut cuma
sempat menebas beberapa lembar rambut si pemuda
yang masih bisa menyelamatkan lehernya itu.
Malahan saking kerasnya daya tebasan pedangnya
itu, si Balur hampir saja jatuh tersungkur ke depan bi-
la ia terlambat memutar gerakan tubuhnya ke sam-
ping.
“Gila,” desis Gombong dengan terbelalak. “Pandai
juga tikus cengeng ini menyelamatkan lehernya! Ayo,
Balur! Jangan mau dipermainkan bocah itu!”
Keruan saja si Balur menjadi naik darah. Sebagai
seorang jagoan bermain pedang, ia telah dibikin terke-
coh oleh lawannya dalam jurus awal. Maka sekali lagi
ia menyabetkan pedangnya ke samping ke arah dada si
pemuda.
“Uuuuh,” si pemuda ini mengelak seraya melangkah
surut ke belakang untuk menghindarkan dirinya, na-
mun di saat itu pula si Balur telah melayangkan ke-
palan tangan kirinya ke dagu si pemuda.
Praaak!
Kepala si pemuda terdongak ke atas ketika pukulan
tangan kiri si Balur melanda dagunya dengan jitu. Be-
berapa bintang berputar-putar terlihat oleh pandangan
mata si pemuda, berbareng rasa sakit pada dagunya
yang terasa bagai dipukul oleh pecahan batu gunung.
Seketika tubuhnya terhuyung ke samping. Akan tetapi
dalam waktu yang singkat tadi si pemuda sempat
menggerakkan kakinya untuk mengait kaki lawannya
dan berbareng dirinya jatuh, si Balur terpelanting pula
ke tanah oleh serangan si pemuda yang tanpa terduga
sebelumnya.
Balur mengumpat-umpat setengah mati oleh keja-
dian tadi. Sementara itu pula, si pemuda dengan si-
gapnya bangkit kembali untuk melarikan diri karena ia
melihat kepungan yang lowong akibat jatuhnya si Ba-
lur.
Sayangnya sekali ini si pemuda kurang mujur. Se-
bab semenjak tadi Gombong selalu bersiaga dan begitu
ia melihat si pemuda hendak melarikan diri, secepat
kilat ia telah mendahuluinya dengan tendangan kaki
yang mengarah ke lambung si pemuda.
Tendangan kaki tersebut memang dapat dilihat oleh
si pemuda dan iapun telah bersiaga untuk mengelak.
Hanya saja ia masih sedikit pusing, apalagi tendangan
itu datangnya sangat cepat, sehingga tanpa ampun lagi
tendangan si Gombong melanda dirinya dengan dah-
syat.
Bruuuk!
“Aaakhh!”
Si pemuda jatuh menggelinding ke tanah sambil
megap-megap menahan sakit pada lambungnya.
Melihat pemuda itu roboh, Balur menjadi beringas.
Secepat kilat ia menubruknya dan menindih dengan
tubuhnya. Seketika itu pula tak berdayalah si pemuda
tadi, tak ubahnya seekor ikan yang telah kehilangan
air, tinggal menanti ajal saja.
Dalam penglihatannya yang telah kabur, si pemuda
dapat melihat bahwa lawannya telah mengangkat ting-
gi-tinggi senjata pedangnya untuk segera dihunjamkan
ke dalam dadanya.
Bagaikan telah terbang semangatnya, si pemuda
menjadi cemas seluruh sendi-sendi tulangnya dan ter-
bayanglah olehnya, bahwa sebentar lagi pasti dadanya
akan tertembus oleh pedang orang itu dan ia akan ber-
teriak sekeras-kerasnya.
Yah, mungkin adalah teriakan yang terakhir yang
akan dilontarkan sehebat-hebatnya sebagai pertanda
kalau hidupnya akan segera berakhir.
“Aaaarghh!”
Terdengarlah teriakan dahsyat dan memekakkan te-
linga memenuhi hutan kecil ini. Akan tetapi..., ternyata
bukan berasal dari mulut si pemuda!
Bahkan si pemuda itu sendiri menjadi terkejut, se-
bab semula ia telah bersiap untuk berteriak, namun
kini teriakan itu bukan keluar dari mulutnya sendiri.
Tetapi yah sukar dipercaya barangkali! Teriakan tadi
adalah keluar dari mulut lawannya itu, yang telah siap
membunuhnya!
Malahan si pemuda inipun menjadi lebih kaget lagi,
apabila pandangan matanya yang kembali normal itu
dapat melihat tangan kanan si Balur yang menggeng-
gam pedang tahu-tahu melepaskan pedangnya serta
terpelanting jatuh ke tanah. Sementara pada punggung
telapak tangan si Balur sebelah tadi menancaplah se-
bilah daun ilalang yang menembusnya laksana sebilah
pisau tajam!
Balur segera bangkit sambil melolong-lolong kesaki-
tan disertai perasaan ngeri pada hatinya bila ia mena-
tap pada telapak tangan kanannya. Segera terbayan-
glah olehnya, bahwa perbuatan itu adalah perbuatan
seseorang yang memiliki tenaga dalam sempurna dan
hebat yang telah melemparkan sebilah daun ilalang
tersebut sampai dapat menembus telapak tangannya.
Gombong, Salung, serta beberapa orang lainnyapun
ikut terkejut pula dan serentak mereka menoleh ke se-
latan, bila dari arah itu terdengarlah orang tertawa
menggelegas dengan lirihnya.
Demikian mereka menatap ke arah suara itu tadi,
begitu pula mereka tersentak kaget bagai disambar pe-
tir di siang bolong, karena di arah sana itu tampaklah
empat ekor kuda berhenti dengan masing-masing pe-
nunggangnya masih berada di atas punggung kuda.
Dua orang penunggang kuda yang di depan hampir
sama gagahnya. Yang seorang berkumis melintang,
dengan berjubah kain pada punggungnya, sedang pada
tangannya masih menimang dua lembar daun ilalang
di bagian ujung yang runcing. Di sebelah orang yang
berkumis melintang ini, tampaklah seorang berpakaian
sederhana. Bajunya yang berwarna kebiruan setengah
terbuka sehingga sebentuk mata kalung yang dipakai-
nya tersembul keluar dengan bentuk lingkaran cakra
dengan empat jari-jari mata angin! Kumisnya yang hi-
tam kecil dan ikat kepalanya yang berwarna biru agak
ungu menambah kegagahan orang kedua ini.
Yah, itulah mereka, si Gagak Cemani dan Mahesa
Wulung! Dan yang berada di belakangnya tidak lain
adalah Ki Surotani dan Pandan Arum! Mereka dalam
perjalanan ke Asemarang.
Yang paling terkejut pertama-tama adalah si Gom-
bong itu sendiri. Terutama ketika ia menatap Mahesa
Wulung serta permata kalung yang dipakainya itu! Tak
salah lagi bahwa yang berada di hadapannya itu ada-
lah seorang perwira tamtama dari Demak! Dan pada
saat yang sama pula, Mahesa Wulungpun tertegun pu-
la menatap si Gombong yang berpedang lebar dan be-
rikat pinggang merah seperti yang biasa dipakai oleh
seorang prajurit kawal dari Demak!
Di dalam hati, Mahesa Wulung merasa keheranan,
mengapa seorang prajurit kawal serta beberapa orang
tersebut tengah menghajar seorang pemuda. Bahkan
mereka hampir membunuh si pemuda itu bila tidak
keburu dicegah oleh si Gagak Cemani.
“Hai, Kisanak!” Seru Mahesa Wulung. “Mengapa ka-
lian berlaku sekejam itu kepada anak muda tersebut?”
Tergagap si Gombong untuk menjawab pertanyaan
tadi dan sesaat kemudian iapun lekas-lekas berkata,
“Anak muda ini adalah seorang penjahat yang kami
jumpai dan ia melawan ketika akan kami tangkap!”
“Benar, Tuan!” sahut Salung pula dengan nada yang
meyakinkan seraya menunjuk kepada si pemuda yang
kini tengah tertatih-tatih untuk berdiri. “Dia membawa
sebuah pesan yang sangat mencurigakan!”
“Sebuah pesan?!” ulang Mahesa Wulung dengan he-
ran dan menyebabkan ia tertarik karenanya. “Hai anak
muda, pesan dari manakah dan siapa nama Anda?!”
“Nama saya Pakerti, Tuan,” jawab si pemuda sambil
mengawasi permata kalung yang tersembul dari balik
baju Mahesa Wulung. “Pesan yang saya bawa, datang
dari Pulau Mondoliko!”
“Ah, benarkah kata-katamu itu, Pakerti?!” ujar Ma-
hesa Wulung. “Dan kepada siapa pesan itu dituju-
kan?!”
“Maaf, Tuan,” kata Pakerti kemudian. “Aku melihat
permata kalung kepunyaan Andika itu, maka jelaslah
bahwa Andika adalah seorang wira tamtama dari De-
mak. Dan kepada Andikalah pesan tadi akan saya
sampaikan”
“Mengapa harus kepada saya?” tanya Mahesa Wu-
lung.
“Yah, begitulah maksud pesan tadi, Tuan. Ia harus
sampai kepada seorang tamtama Demak. Dan karena
Tuanlah tamtama yang pertama saya jumpai, maka
kepada Tuanlah pesan tadi akan kuserahkan,” Pakerti
berkata seraya melangkah mendekati Mahesa Wulung.
“Mmm, baiklah. Untuk itu aku tak berkeberatan.”
Pakerti segera mengambil sesuatu dari balik ikat
pinggangnya, dan tampaklah kemudian sepotong ta-
bung bambu kecil tersumbat terpegang pada jari-
jarinya.
“Nah, terimalah pesan ini, Tuan,” ujar Pakerti se-
raya menyampaikan tabung bambu kecil tadi kepada
Mahesa Wulung yang masih duduk di atas punggung
kudanya sambil mengangguk hormat.
Dengan cekatan tapi juga hati-hati, Mahesa Wulung
menyambut benda itu dan segera melepas sumbat
yang menutup lobang tabung bambu tersebut. Kemu-
dian ia mengetuk-ngetukkan tabung bambu tadi ke
atas telapak tangan kiri dan sejurus kemudian keluar-
lah segulung kertas kecil.
Mahesa Wulung segera membukanya dan membaca
beberapa tulisan yang tergores pada kertas kecil de-
ngan manggut-manggut serta menatap wajah Pakerti
beberapa kali.
Sementara itu Gombong dan kawan-kawannya sa-
ling berpandangan ketika Mahesa Wulung membaca
pesan tertulis pada kertas kecil tadi.
“Baiklah. Aku telah menerima pesan ini. Tapi Anda
harus ikut aku ke Demak, sebab ada beberapa pertanyaan yang ingin kusampaikan kepadamu!” ujar Ma-
hesa Wulung.
“Terima kasih, Tuan. Dengan senang hati saya akan
mengikuti Andika!” berkata Pakerti dengan wajah ce-
rah dan perasaan aman, sebab berarti ia akan terhin-
dar dari kemungkinan akan kemarahan orang-orang
itu.
Memang begitulah. Rupanya Mahesa Wulungpun te-
lah memperhitungkan kemungkinan akan bahaya-ba-
haya yang bakal dialami Pakerti bila ia begitu saja me-
ninggalkan si pemuda di tempat ini pula.
“Marilah kita berangkat ke Demak sekarang!” berka-
ta Mahesa Wulung seraya menolong Pakerti naik ke
atas punggung kudanya dan kemudian duduk di bela-
kangnya. Begitulah keduanya kini telah duduk di atas
satu punggung kuda.
Si Gombong melihat semua ini dengan hati yang ge-
ram, tapi ia tak berani gegabah memperlihatkan kema-
rahannya di hadapan wira tamtama dari Demak ini.
Apalagi bahwa nama Mahesa Wulung sangat dikenal-
nya, baik tentang kesaktian maupun pangkatnya. Oleh
sebab itu ia cuma mengutuk-ngutuk sendiri di dalam
hati dan untunglah ia dapat menahan diri sambil ber-
kata hormat, “Harap dimaafkan tindakan kami, Tuan.
Saya si Gombong dan kawan bertindak begitu karena
menjaga kewaspadaan semata-mata.”
“Lupakan saja kejadian tadi, Kisanak Gombong,”
jawab Mahesa Wulung dibarengi senyumnya yang ra-
mah. “Malah karenanya, saya berasa senang bahwa
Andika telah menjalankan tugas dengan sebaik-
baiknya.”
“Terima kasih, Tuan,” Gombong berkata serta meli-
rik ke arah Balur yang terluka dan kawan-kawan lain-
nya yang telah menanti, kemudian berkata pula. “Kami
mohon permisi meninggalkan Tuan-tuan sekarang!”
“Silakan, Gombong. Dan obatilah temanmu yang
terluka itu,” ujar Mahesa Wulung kepada mereka dan
sesaat lagi, si Gombong dan kawan-kawannya telah
berjalan ke arah timur dan lenyaplah mereka di balik
pepohonan rimbun.
Di saat itu pula, Mahesa Wulung, Gagak Cemani,
Pandan Arum, Ki Surotani serta Pakerti telah mulai
melarikan kudanya ke arah barat daya.
“Adimas Mahesa Wulung,” begitu kata Gagak Ce-
mani ketika ia telah berpacu di samping Mahesa Wu-
lung. “Aku terpaksa melukai orang tadi. Harap Andika
tidak menjadi gusar karenanya.”
“Tidak, Kakang Cemani,” kata Mahesa Wulung. “Su-
dah sepatutnya Andika berbuat demikian. Jika tidak,
pasti Pakerti ini telah mengalami cedera. Bukankah be-
gitu, Pakerti?” berkata Mahesa Wulung seraya menoleh
ke belakang, kepada Pakerti yang membonceng di
punggung kudanya.
“Benar, Tuan,” sahut Pakerti. “Hampir saja nyawa-
ku melayang jika Tuan Gagak Cemani tidak lekas ber-
tindak. Mereka tadi telah sedemikian nekadnya untuk
merampas pesan tertulis yang telah saya bawa tadi.
Apakah mereka telah salah sangka terhadapku,
Tuan?”
“Bisa juga demikian, Pakerti. Tapi aku belum ya-
kin,” kata Mahesa Wulung.
“Yang bernama Gombong tadi, memang berciri se-
bagai prajurit kawal dari Demak!” sambung Gagak
Cemani pula. “Tapi benarkah bahwa ia seorang prajurit
yang sesungguhnya? Maksud saya apakah Adimas per-
nah mengenalnya?”
“Jika tidak keliru, memang aku pernah melihatnya
beberapa waktu yang lalu di pinggiran kota Demak. Ia
adalah seorang prajurit kawal yang baru,” jawab Ma-
hesa Wulung.
“Dan teman-temannya itu,” kata Gagak Cemani pu-
la, “agak mencurigakan. Demikianlah perasaanku!”
“Memang benar, Kakang Cemani,” sambut Mahesa
Wulung. “Sebagai seorang prajurit kawal, ia telah ber-
kawan dengan orang-orang kasar. Entah siapa mereka
itu, aku tak mengenalnya. Dan apa maksud mereka
bersama-sama dengan si Gombong itu?”
Pertanyaan tersebut diam-diam tertanam pula di
dalam dada Pakerti sejak tadi, ketika ia dicegat oleh
Gombong dan kawan-kawannya. “Tuan Tamtama, apa-
kah surat yang aku bawa tadi cukup berharga bagi
Andika?”
“Sangat penting, Pakerti. Karenanya, aku mengu-
capkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Anda!” berkata Mahesa Wulung. “Si pengirim namanya
adalah Jagal Wesi. Kenalkah engkau kepadanya?”
“Dialah yang telah menolongku lari dari Pulau Mon-
doliko itu, Tuan. Dengan begitu maka loloslah saya da-
ri maut dan kematian yang dijatuhkan oleh iblis Rikma
Rembyak,” ujar Pakerti.
“Hmm, jadi yang menolongmu adalah Jagal Wesi.
Tapi Jagal Wesi itu sendiri adalah anak buah dari ge-
rombolan Pulau Mondoliko, dan berarti pula anak
buah si Rikma Rembyak!”
“Begitulah, Tuan,” sambung Pakerti. “Tetapi aku
yakin bahwa Jagal Wesi adalah orang baik-baik!”
“Baiklah, Pakerti. Soal ini akan kita bicarakan lebih
lanjut nanti. Kita akan segera singgah di Demak dan
engkau akan tinggal di sana serta aku titipkan pada
seorang sahabat. Sedang kami berempat akan terus ke
Asemarang untuk mengantarkan Bapak Surotani ke
sana. Setelah itu kami akan kembali ke Demak dan ki-
ta lanjutkan lagi urusan dari pesan tertulis si Jagal
Wesi ini,” begitu kata Mahesa Wulung kepada Pakerti.
Keempat kuda itu menderap pada jalan berbatu
batu yang menuju ke arah kota Demak. Beberapa kali
mereka mulai berpapasan dengan orang berjalan kaki
membawa dagangan, maupun gerobak-gerobak pedati
lembu yang mengangkut kayu bakar ataupun barang-
barang lainnya.
Itulah pertanda bahwa mereka telah lebih dekat
dengan kota Demak, kota yang menjadi pusat pemerin-
tahan di daerah yang maha luas itu. Beberapa rumah
penduduk dan warung-warung terlihat sudah.
Breeng! Breeng! Breeng!
Terdengarlah bunyi tembor perunggu yang ditabuh
orang dari tepi jalan tak jauh dari sebuah warung.
Karenanya, perhatian Mahesa Wulung dan rombo-
ngannya menjadi tertarik oleh beberapa orang yang
berkerumun, dari mana suara tadi berasal. Semakin
lekat dari gerombolan orang yang berkerumun tadi ter-
dengarlah suara keras, “Saudara-saudara, inilah cang-
kul-cangkul hasil buatanku yang sangat kukuh dan
bagus. Belilah beramai-ramai! Murah harganya! Nah,
apakah Anda membutuhkan pisau dapur, parang
ataupun sabit? Semua tersedia!”
Demikianlah suara itu terlontar dari mulut si peda-
gang cangkul yang menawarkan barang dagangannya.
Wajahnya agak persegi dihiasi oleh kumis lebat dan
sepasang mata yang tajam berkilauan dan agak hijau
seperti seolah-olah bukan mata manusia layaknya.
“Saudara-saudara, belilah barang daganganku ini!
Apakah Anda ingin melihat barang buatanku ini? Nah,
lihatlah! Ini dia, akan segera kutunjukkan kepada An-
da semua betapa tajam dan sempurnanya!” ujar si wa-
jah persegi seraya mengobat-abitkan sebilah parang di
tangannya. Angin siang bertiup dengan membawa be-
berapa daun kering layu yang tertanggal dari ranting
pohon dan di saat beberapa lembar lewat di depan si
wajah persegi, tiba-tiba terdengarlah suara....
Wuuuuk! Wuuuk!
Tiga buah daun layu, masing-masing terbelah men-
jadi dua bagian akibat tebasan parang si wajah per-
segi.
“Nah, Saudara-saudara! Apakah Anda masih sangsi
akan ketajaman parang buatanku ini?” ujar si wajah
persegi.
Beberapa orang sangat tertarik dan membeli bebe-
rapa barang dagangan si wajah persegi tadi. Sungguh
pandai orang ini memikat para pembeli.
“Heh, heh, terima kasih! Terima kasih!” seru si wa-
jah persegi dengan gembiranya. “Dan kini terlihatlah
lanjutan dari kesempurnaan parang ini!” Si wajah per-
segi lalu memutar parang tadi di depannya dan terden-
garlah bunyi mengaung seperti sekawanan lebah yang
beterbangan.
Nguuungngng!
Baik Gagak Cemani, Mahesa Wulung, Pandan Arum
serta Ki Surotani dan Pakerti yang telah dekat dengan
orang-orang berkerumun di tepi jalan itu, menjadi ka-
gum dan heran oleh pameran si wajah persegi terse-
but. Mereka memperlambat kudanya sehingga kini ku-
da-kuda tersebut cuma berjalan kecil-kecil, sementara
kelima orang yang berada di punggungnya, me-
nyaksikan parang bersuara tadi dengan tak habis he-
rannya.
Di saat mereka semakin dekat, terjadilah sebuah
kehebatan yang tidak tersangka-sangka datangnya.
Parang yang lagi berputar dengan mengaung tadi tiba-
tiba disambar oleh sebutir batu yang melesat dari be-
lakang para penonton dengan kecepatan yang tak da-
pat ditangkap oleh mata.
Akibatnya, parang tadi terpental lepas dari tangan si
wajah persegi yang kemudian langsung meluncur ke
arah leher Gagak Cemani dengan kecepatan dahsyat
dan luar biasa!
Beberapa orang segera menjerit ngeri bercampur
kaget, termasuk Pandan Arum, Ki Surotani, Mahesa
Wulung dan Pakerti.
Adapun Gagak Cemani sendiri hampir tak dapat
melihat parang yang meluncur dari arah depan yang
lurus menuju ke lehernya. Oleh sebab itulah ia ter-
tegun, ketika orang-orang pada berteriak ke arahnya
yang maunya memperingatkan akan bahaya yang bak-
al tiba.
Dalam saat itu pula Mahesa Wulung yang berkuda
di samping Gagak Cemani, lebih dapat melihat jelas
akan sebuah parang yang melesat ke arah sahabatnya
itu.
Cepat ia bersiaga. Sebagai seorang sahabat, Mahesa
Wulung tak mungkin membiarkan Gagak Cemani akan
mendapat cedera, terlebih lagi oleh serangan-serangan
gelap yang demikian itu.
Maka secepatnya Mahesa Wulung melolos sesuatu
dari ikat pinggangnya dan sekaligus dilecutkan ke arah
parang yang lagi melesat ke arah sahabatnya.
Duaaarrr! Pletaak!
Bunyi lecutan seperti mercon terdengar menge-
jutkan setiap orang, ketika ujung cambuk Naga Geni di
tangan Mahesa Wulung tepat menyambar parang ter-
sebut dan akibatnya pula, parang tadi patah menjadi
dua bagian dengan asap berkepul seperti habis di-
panggang.
Bersama potongan-potongan parang itu tercampak
jatuh di tanah, dari belakang para penonton yang ber-
gerombol di situ, melesatlah sesosok bayangan manu-
sia dengan gesitnya ke arah selatan, melarikan diri.
Melihat itu, Mahesa Wulung yang bermata tajam se-
gera dapat menangkap gerakan si bayangan tadi dan
iapun segera pula meloncat dari punggung kudanya
untuk mengejar si bayangan ke arah selatan. Hampir
saja oleh gerakan Mahesa Wulung yang tiba-tiba ini,
Pakerti yang berada di belakang akan jatuh ke sam-
ping. Untungnya ia lekas-lekas berpegang pada pelana
kuda.
Di waktu itu juga, Gagak Cemani menjadi marah
dan melesatlah si pendekar berjubah ini dari kudanya
langsung menyerang si wajah persegi, yakni si peda-
gang cangkul yang tadi memamerkan permainan pa-
rangnya.
“Keparat! Kau pengecut! Menyerangku secara gelap.
Sekarang terimalah hukumanmu, bangsat!” teriak Ga-
gak Cemani sambil melancarkan pukulan tangannya
ke arah si wajah persegi.
“Aaaah, tunggu dulu... aku tak bermaksud...,” de-
sah si wajah persegi seraya mengelak dengan gesitnya
terhadap pukulan tangan si Gagak Cemani.
Wuuut!
Sesaat si pendekar berjubah ini kagum bahwa si
wajah persegi mampu mengelakkan serangannya.
Akan tetapi Gagak Cemani secepat kilat melancarkan
tendangan kakinya yang tepat melabrak pinggang si
wajah persegi.
Bruuuk!
“Uugh!”
Si wajah persegi terguling roboh ke tanah, namun
kembali dengan gerakan lincah ia menggelindingkan
tubuhnya ke samping dan begitu bangkit ia telah me-
nyambar sebilah pacul dan menyabetkan ke arah Ga-
gak Cemani.
Sriiing... Tjraaasss! Tak! Taaak!
Terdengar bunyi ganjil berturut-turut dan tahu-
tahu, pacul di tangan si wajah persegi terputus menja-
di tiga bagian, sehingga si wajah persegi melongo kehe-
ranan. Yang tampak kemudian, Gagak Cemani itu
memasukkan kembali golok hitamnya ke dalam sa-
rungnya seraya tertawa menggelegas.
“Sekarang kau boleh menunjukkan semua permai-
nan senjatamu di hadapan Gagak Cemani ini, penye-
rang gelap yang terkutuk!” seru Gagak Cemani dengan
menunjuk ke arah muka si wajah persegi.
“Saudara memang hebat!” ujar si wajah persegi ke-
pada Gagak Cemani. “Tetapi Anda jangan mendakwa
Wisamala dengan semena-mena untuk berbuat seren-
dah itu! Aku bukan penyerang gelap! Aku tak sengaja
melepaskan parang tersebut dari tanganku!”
“Hmmm, aku tidak akan percaya begitu saja terha-
dap kata-katamu itu. Yang terang, parangmu tadi
hampir menembus leherku!” ujar Gagak Cemani. “Dan
untuk itu, kau harus mendapat sedikit pelajaran dari
Gagak Cemani! Hyat!”
Dengan kecepatan kilat, Gagak Cemani melancar-
kan pukulan dahsyat disertai loncatan ke arah Wisa-
mala. Si wajah persegi itu dengan gugup menyilangkan
kedua tangannya ke depan ketika pukulan Gagak Ce-
mani melanda dirinya dan menangkisnya.
Duuuk!
Wisamala terpental ke belakang jungkir balik de-
ngan nafas terengah-engah dan di saat itu pula Gagak
Cemani terus mengejar tubuh lawan yang sedang
menggelinding. Tanpa memberi kesempatan, si pende-
kar berjubah menggenjotkan kakinya ke arah tubuh
Wisamala.
“Heittt!”
Braaak!
Dalam saat berbahaya, Wisamala masih sempat
menggenjotkan kakinya ke tanah disusul tubuhnya
melenting ke udara menghindari genjotan kaki Gagak
Cemani.
Meskipun meleset, genjotan kaki Gagak Cemani menimpa sebuah batu besar dan akibatnya batu tersebut
hancur berkeping-keping.
Keruan saja Wisamala terperanjat, dan sekaligus ia
sadar bahwa lawannya yang berjubah itu adalah pen-
dekar yang sakti. Itulah sebabnya maka Wisamala se-
gera bersiaga dengan sepenuhnya dan ketika Gagak
Cemani menyerang kembali, ia telah siap dan me-
nyambutnya.
***
Sementara itu, di sebelah selatan, Mahesa Wulung
dengan loncatan-loncatan panjang mengejar si baya-
ngan yang tengah melarikan diri. Ternyata orang ini
mampu berlari dengan cepatnya.
Kejar-mengejar terjadi dengan sengitnya. Dan aneh-
nya, si bayangan tadi berlari sambil tertawa terkekeh-
kekeh, membuat Mahesa Wulung semakin marah.
Cambuk Naga Geni yang berada di tangannya segera
dicambukkan ke arah depan dan terdengarlah letupan-
letupan menggelegar disertai hempasan udara panas
yang hebat.
Si bayangan terperanjat dan kemudian ia melesat
ke atas dahan pohon dan hinggap di situ. Akan tetapi,
ujung cambuk Naga Geni terus mengejarnya dan me-
nyambar dahan tadi.
Duaaar! Kraakk!
Dahan pohon tadi semplak dan ambruk berkepi-
ngan menjadi arang, sedang batang pohonnya seketika
condong ke samping dan kayunya kering!
Si bayangan mendesis kaget sambil melesat ke sam-
ping dan berpindah ke dahan pohon di sebelahnya,
disertai tertawanya.
“Ha, ha, ha, kau memang hebat, sobat!” teriak si
bayangan. “Tapi sayang aku tak bisa melayanimu ber-
main-main lebih banyak. Akulah si Dobleh Kelana, dan
sampaikan salamku buat Gagak Cemani! Sampai, ber-
temu lagi!” demikian ujar si Dobleh Kelana yang berbi-
bir tebal dan kemudian ia melesat kembali ke pohon di
sebelahnya, untuk selanjutnya kabur ke arah selatan.
Melihat lawannya kabur, Mahesa Wulung mengge-
ram jengkel tapi ia tak berbuat apa-apa dan membiar-
kan Dobleh Kelana itu lenyap di balik pohon-pohon be-
sar, sebab di saat ini ia masih mempunyai persoalan
yang lebih penting!
Mahesa Wulung sadar, bahwa Dobleh Kelapa itulah
yang mengganggu permainan parang si wajah persegi,
sehingga parang tersebut sampai terlepas dan me-
nyambar Gagak Cemani! Dengan sentilan sebutir batu
yang sempat dilihat oleh Mahesa Wulung, Dobleh Ke-
lana telah berhasil membentur lepas parang tadi!
Kini secepat kilat Mahesa Wulung menyimpan cam-
buknya kembali dan memutar tubuhnya ke samping,
dan selanjutnya ia melesat ke arah utara kembali, ke
arah peristiwa tadi telah terjadi.
Sejak semula Mahesa Wulung telah cemas akan ter-
jadinya salah sangka dalam diri Gagak Cemani. Dan
rupanya saja hal inilah yang dikehendaki oleh si Dob-
leh Kelana yang licik dan penuh siasat itu.
Ternyata dugaan tadi tidak meleset! Ketika Mahesa
Wulung tiba di tempat semula, tampaklah olehnya
bahwa Gagak Cemani telah bertempur hebat melawan
si wajah persegi atau si Wisamala itu!
Pertarungan dahsyat terjadi di situ, sedang semua
orang di sekitarnya saling melongo dan kagum melihat
kejadian tadi. Wisamala kelihatan terdesak lama-
kelamaan. Betapapun ia bertahan sekuat mungkin
namun gerakan Gagak Cemani bertambah gesit dan
tangkas. Sekali-sekali pendekar berjubah ini mener-
jang bagaikan amukan seekor banteng dan lain kali ia
menukik dari atas laksana seekor garuda yang menerkam korbannya.
Beruntunglah kiranya, bahwa Wisamala masih
mempunyai tenaga dan dapat mengatur nafasnya se-
hingga ia masih sempat menghindar ke sana-kemari
apabila serangan Gagak Cemani itu datang kepadanya.
Sesaat kemudian, sebuah dupakan tumit Gagak Ce-
mani sempat menyelonong dan membentur dada Wisa-
mala, sehingga wajah persegi ini terhuyung mundur
sambil terbatuk-batuk dengan dada sesak.
Wisamala meringis kesakitan. Pada sudut mulutnya
terlihatlah darah segar meleleh ke bawah. Tiba-tiba
mata Wisamala yang berkilat kehijauan itu menatap
tajam ke arah Gagak Cemani dibarengi mulutnya ber-
teriak lantang.
“Gagak Cemani! Sudah kukatakan bahwa aku tak
bermaksud buruk terhadapmu! Tapi kau masih berke-
ras kepala. Sekarang lihatlah ini!” Wisamala tampak
menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya dan ke-
luarlah asap mengepul.
Gagak Cemani sangat kaget melihat asap yang ke-
luar dari celah kedua telapak tangan Wisamala yang
tengah digosok-gosokkan itu. Begitu pula Mahesa Wu-
lung yang baru tiba di tempat itu serta orang-orang
lainnya, ikut terkejut menyaksikan perbuatan Wisa-
mala tadi.
“Lihatlah, sobat! Aku terpaksa mengeluarkan ajiku
Hagni Kurda ini, disebabkan oleh sikapmu yang keras
kepala dan mendakwaku dengan ngawur!” demikian
seru Wisamala kepada Gagak Cemani. “Dan jangan sa-
lahkan, jika engkau cedera karenanya!”
Habis berkata demikian, Wisamala melirik ke se-
buah pohon melinjo yang tumbuh tidak jauh dari Ga-
gak Cemani berdiri dan kemudian iapun berseru lan-
tang. “Gagak Cemani! Tataplah pohon melinjo di sebe-
lah itu! Haaaisss!”
Kedua telapak tangan Wisamala yang berasap tiba-
tiba dihempaskan ke arah pohon melinjo tadi, yang
berjarak kurang lebih sepuluh tombak! Dan seketika
itu juga menyemburlah udara panas yang keluar dari
kedua telapak tangan Wisamala dan dengan dahsyat-
nya menerjang pohon melinjo tersebut.
Gagak Cemani yang berdiri tidak jauh dari pohon
tadi dapat merasakan udara panas yang menyambar,
dan lebih terkejut lagi bila pendekar berjubah ini me-
nyaksikan akibat ilmu Hagni Kurda yang dilontarkan
oleh Wisamala. Burung-burung beterbangan dengan
mencicit takut.
Wuuuut! Wessstt!
Udara panas, sepanas kobaran api seketika melan-
da pohon melinjo yang bernasib malang dan sejurus
kemudian, daun-daunnya mulai layu sedang buahnya
berontokan jatuh, disusul batang pohon itu tumbang
dengan asap mengepul!
Maka terbukalah kesadaran Gagak Cemani, bahwa
lawannya itu memiliki ilmu yang tinggi yang pasti akan
membahayakan dirinya. Oleh sebab itu, Gagak Cema-
nipun diam-diam mempersiapkan ilmunya untuk
menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi.
“Wisamala! Ilmu yang kau pamerkan tadi cukup he-
bat. Aku kagum karenanya! Tapi itu bukan berarti
bahwa aku menjadi takut menghadapimu!” ujar Gagak
Cemani.
“Kau mulai takut, sobat?!” teriak Wisamala sete-
ngah mengejek dengan hidung nyengir-nyengir dan
mata meriyip-riyip separuh terpejam bernada meren-
dahkan lawannya.
“Baiklah, Wisamala,” kata Gagak Cemani pula. “Kau
telah menunjukkan ilmumu yang hebat. Sekarang
engkaupun harus melihat sedikit permainanku ini!”
Sambil berkata si Gagak Cemani yang sejak tadi telah bersiaga, secepatnya mengarahkan tenaga dalam-
nya. Sementara itu, beberapa ekor burung terbang me-
lintas di atas arena pertandingan.
“Wisamala! Kau lihat tiga ekor burung gelatik yang
terbang itu? Saksikanlah mereka, dan inilah Bayu Ki-
kis!”
Daaaahhh!
Si Gagak Cemani tiba-tiba mendorongkan ujung te-
lapak tangan kanannya ke atas ke arah tiga ekor bu-
rung gelatik tadi dan akibatnya sungguh-sungguh he-
bat!
Ternyata dorongan ujung telapak tangan Gagak
Cemani telah memancarkan hawa dingin sedingin es
atau sedingin udara di puncak gunung. Begitu tiga
ekor burung gelatik tadi terlanda oleh hawa dingin,
maka seketika bekulah darahnya dan ketiganya jatuh
tercampak di atas tanah dengan sayap masih me-
ngembang dan tubuh kaku yang seperti patung! Ketika
ketiganya jatuh, terdengarlah bunyi berdentang, seper-
ti bunyi tiga benda logam yang terjatuh.
“Uuuh!” desak Wisamala terperanjat! Dengan mata
yang melotot seperti tak percaya ia menyaksikan ketiga
burung gelatik itu rontok di tanah, tidak jauh dari ka-
kinya berdiri.
Wisamala mencoba memungut salah satu bangkai
burung gelatik tadi. Tapi begitu tangannya memungut
dan mengangkatnya, seketika itu pula ia mencampak-
kan bangkai gelatik itu kembali sambil mengibas-ngi-
baskan tangannya yang terasa dingin dan beku!
“Heh, heh, heh,” terdengar Gagak Cemani tertawa
menggelegas kegelian melihat tingkah si Wisamala.
“Gelatik itu telah menjadi patung beku, sobat!”
“Kurang ajar!” dengus Wisamala marah. “Kau mem-
permainkan aku! Kau menantangku untuk mengadu
ilmumu tadi?!”
“Terserah jika sobat mengartikannya demikian! Aku
telah bersedia,” jawab Gagak Cemani tenang.
Mendengar jawaban lawannya, darah Wisamala se-
perti menggelegak dan naik ke kepalanya. Kemarahan-
nya meledak, seperti lahar gunung berapi yang mende-
sak keluar!
“Keparat!” teriak Wisamala. “Bersedialah untuk
menjelang kematianmu, Gagak sombong!”
“Heh, heh, heh,” tawa si Gagak Cemani. “Sejak tadi
aku telah bersiaga dan mulailah sekarang!”
Masing-masing selesai berkata dan keduanya telah
mengerahkan ilmu dan kekuatan tenaga dalamnya,
sedang orang-orang yang menyaksikannya menjadi
cemas dan ketakutan. Beberapa penonton menyingkir
mundur, sebab mereka takut kalau-kalau akibat ben-
turan kedua ilmu dahsyat tadi akan menimbulkan
bencana bagi dirinya.
“Haaiit!” Daahhh!
Terdengar seruan keras berbareng ketika Wisamala
menghempaskan kedua telapak tangannya ke depan
ke arah Gagak Cemani, sementara pendekar muda ber-
jubah inipun mendorongkan ujung telapak tangannya
ke depan untuk menyambut serangan Wisamala.
Tanpa diduga, Mahesa Wulung yang sejak tadi di-
am-diam menyaksikan pertandingan tadi, telah mem-
persiapkan diri. Ia tak ingin bila di antara mereka
menderita cedera karena kesalahan yang berdasarkan
salah paham dan salah duga semata-mata.
“Tahan!” teriak Mahesa Wulung sambil melanjutkan
pukulan jarak jauh yang dilandasi ilmu simpanannya
—Lebur Waja, ke depan, untuk memotong lontaran il-
mu Hagni Kurda dan Bayu Kikis sebelum keduanya
bertemu dan saling membentur.
“Heeiiittt!” Blaaarr!
Ledakan dahsyat seperti ratusan petir bersama
sama meledak terdengar menggelegar di sekitar tempat
itu. Pekik dan jerit ketakutan terdengar dari mulut pa-
ra penonton, sementara empat ekor kuda dari rombon-
gan Mahesa Wulung yang berhenti di situ meringkik-
ringkik dan mendongakkan kepalanya ke atas dengan
paniknya.
Sedang Gagak Cemani dan Wisamala sendiri tak ka-
lah kagetnya. Seketika keduanya tergetar surut bebe-
rapa langkah akibat benturan ketiga ilmu tenaga da-
lam yang dahsyat tadi.
“Maafkan, Kakang Gagak Cemani. Aku terpaksa
mencampuri pertandingan kalian. Sebab sebenarnya
Kisanak Wisamala ini tidak bersalah!” seru Mahesa
Wulung seraya meloncat mendekati Gagak Cemani.
“Haah! Tidak bersalah, kata Adimas Wulung?!” ujar
Gagak Cemani setengah berseru saking herannya. “Ba-
gaimana Adimas Wulung bisa berkata demikian?!”
“Sabarlah, Kakang Gagak Cemani,” Ujar Mahesa
Wulung. “Ketika Kakang menyerbu Kisanak Wisamala,
aku dapat melihat sesosok bayangan manusia berkele-
bat lari ke arah selatan. Aku segera mengejarnya dan
ternyata orang inilah yang menyampok parang dari Ki-
sanak Wisamala sehingga parang tadi terlepas dan me-
luncur ke arah Kakang Cemani!”
Mendengar keterangan Mahesa Wulung, si pendekar
berjubah ini terperanjat bukan kepalang dan mende-
sahlah si Gagak Cemani. “Huh? Siapa yang berbuat
kurang ajar seperti itu?!”
“Dia tidak lain adalah si Dobleh Kelana, ketua dari
Setan Enam Serangkai dari Gunung Kendeng!” kata
Mahesa Wulung.
“He, jadi si setan licik itu pula yang mencoba meng-
adu-domba!” seru Gagak Cemani. “Aakh, jika begitu
Kisanak Wisamala itu tidak bersalah!”
Di saat itu, Wisamala yang masih berdiri tegak di
tempatnya, menatap ke arah Mahesa Wulung dan Ga-
gak Cemani dengan perasaan penuh tanda tanya. Bah-
kan ia telah bersiaga jika seandainya kedua orang itu
menyerang dirinya, ia akan bertahan sampai ke titik
darah yang penghabisan.
Wisamala masih merasakan darah yang meleleh di
sudut mulutnya akibat pukulan Gagak Cemani bebe-
rapa saat yang lalu. Kini hatinya menjadi tambah ber-
debar-debar ketika Gagak Cemani dan Mahesa Wulung
melangkah ke arahnya dengan perlahan-lahan.
“Huh, kalian berdua mau mengeroyokku?!” ujar Wi-
samala sambil bersiaga memasang kuda-kudanya.
“Sabarlah, Kisanak,” sapa Mahesa Wulung dengan
nada ramah. “Aku tahu bahwa Andika tidak sengaja
melontarkan parang tadi kepada Kakang Gagak Cema-
ni. Memang ada orang jahil yang mengganggu permai-
nan parangmu!”
“Hmm, sudah sejak tadi aku katakan hal itu. Tetapi
sayang ia terlalu keras kepala sehingga hampir saja
terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan!” ujar Wisamala
seraya menghapus darah di sudut mulutnya dengan
lengan baju luriknya.
“Aku minta maaf, sobat!” berkata Gagak Cemani de-
ngan nada menyesal. “Memang aku terburu nafsu, me-
nuduhmu yang bukan-bukan.”
Mendengar pernyataan maaf dari Gagak Cemani
yang tulus ikhlas tadi, Wisamala mengangguk pelahan.
Betapapun hatinya masih panas membara, namun hati
kecilnyapun telah pula menerima pernyataan maaf si
pendekar berjubah. Bahkan hati kecilnya juga meng-
aku salah, karena ia telah menyerang Gagak Cemani
dengan ilmunya Hagni Kurda yang terbilang dahsyat
itu. Untung saja tidak ada korban yang jatuh.
Tetapi dengan munculnya Mahesa Wulung yang te-
lah sanggup menggagalkan benturan ilmunya terhadap
ilmu Bayu Kikis si Gagak Cemani, mau tak mau Wisa-
mala memujinya.
“Akupun minta maaf, Kisanak,” berkata Wisamala
menyambut ucapan Gagak Cemani tadi. “Manusia lu-
mrah membuat kesalahan. Namun aku ingin tahu ten-
tang si penyerang gelap itu. Ternyata tenaga dalamnya
cukup hebat. Dengan sentilan batu saja, ia telah
mampu menyampok lepas parang itu dari tanganku!”
“Hmm, memang dia musuh lamaku. Selama ini aku
selalu berusaha memburunya dan ternyata dia telah
keluyuran sampai di tempat ini!” ujar Gagak Cemani.
“Dan perbuatannya memang sengaja untuk mencela-
kakan aku serta mengadu domba kita!”
Sekali lagi Wisamala manggut-manggut oleh ketera-
ngan dari Gagak Cemani yang telah menjelaskan siapa
sebenarnya Dobleh Kelana, si penyerang gelap itu.
“Kisanak Wisamala,” Gagak Cemani berkata seraya
mengeluarkan sebuah slepen atau dompet yang ter-
buat dari tikar anyaman. “Anda telah terkena gempur
kakiku beberapa saat yang lalu. Nah silakan Anda me-
nelan obat ini, agar dadamu menjadi segar kembali.”
Wisamala menerima sepotong obat yang berbentuk
bulat gepeng sambil mengucap terima kasih, serta me-
nelannya sekali. Maka terasalah rasa pedas-pedas se-
gar yang mengalir ke tenggorokan bersama aliran nafas
dan sampai ke paru-paru. Hingga akhirnya dadanya
yang semula sesak, kini menjadi lapang kembali.
“Eh, ke manakah tujuan Anda dengan berkuda itu?”
tanya Wisamala.
“Saya sedang mengantar sahabat-sahabat kami ke
Asemarang,” jawab Gagak Cemani. “Dan inilah salah
satu di antara sahabat saya yang bernama Mahesa
Wulung, seorang wira tamtama Demak.”
“Oh, jadi... jadi Andalah yang bernama Mahesa Wu-
lung?!” seru Wisamala dengan tergagap saking gugup
yang bercampur rasa kagum. “Nama Andika sering di-
takuti dan menjadi momok bagi orang-orang gerombo-
lan hitam.”
“Ah, Kisanak terlalu berlebih-lebihan menyebut diri-
ku,” ujar Mahesa Wulung merendahkan diri. “Sebalik-
nya aku merasa kagum oleh ilmu Kisanak yang ber-
nama Hagni Kurda tadi. Dari tempat manakah Anda
datang?”
Mendengar pujian Mahesa Wulung tadi, Wisamala
sedikit tampak tersipu-sipu sambil berkata, “Oh, ilmu
tadi kurang sempurna dan aku menyesal karena telah
menggunakannya dalam bertanding melawan Kisanak
Gagak Cemani. Habis, aku merasa sedikit kewalahan
dalam menghadapinya, dan ilmu itulah satu-satunya
yang dapat kugunakan untuk melindungi tubuhku.”
Wisamala berhenti sejenak. “Tentang asalku, aku da-
tang dari Alas Mentaok!”
“Ohh, Anda terlalu jauh datang dari daerah selatan
sana! Dan Kisanak berdagang cangkul-cangkul ini?”
tanya Mahesa Wulung.
“Yah, begitulah. Untuk menyambung hidupku, aku
terpaksa berdagang barang-barang ini,” kata Wisa-
mala. “Dan... eh maaf! Ijinkanlah aku mengumpulkan
barang-barang daganganku yang berserakan ini. Su-
dah kelewat siang dan aku harus segera kembali ke
pondokanku.”
“Kisanak Wisamala,” sapa Mahesa Wulung. “Sebe-
narnya kami masih ingin mengobrol lebih banyak ber-
sama Anda. Tapi kamipun tengah menempuh perja-
lanan ke Asemarang, maka rupanya kita terus segera
berpisah di sini. Di lain waktu, pasti kita akan bertemu
pula.”
“Oo, tentu. Aku pun merasa senang dapat berkena-
lan dengan Andika berdua,” sahut Wisamala pula.
“Mudah-mudahan perjalanan Anda membawa kebaha
giaan dan aku ucapkan selamat jalan. Sampai bertemu
lagi.”
Wisamala telah selesai mengemasi barang daga-
ngannya. Sesudah mereka bertiga bersalaman, Mahesa
Wulung serta Gagak Cemani segera kembali ke ku-
danya, sedang Wisamala telah bergegas melangkah ke
utara untuk pulang ke rumah pondokannya.
Mahesa Wulung berempat sebentar saja telah tiba di
dalam kota Demak. Ia cuma singgah beberapa saat un-
tuk membeli bekal makanan serta menitipkan Pakerti
ke sebuah perumahan prajurit dari kota ini. Setelah
itu, berangkatlah mereka ke arah barat menempuh ja-
lan besar yang menuju ke daerah Asemarang.
Matahari telah semakin jauh bergeser ke arah barat
dan bayangan sore perlahan-lahan mulai meraba la-
ngit timur seperti mengejar sang matahari yang seben-
tar-sebentar tersaput awan mendung.
***
DUA
KETIKA Mahesa Wulung berempat melewati gerbang
kota Asemarang, malam telah tiba. Mereka melam-
batkan lari kudanya sambil menikmati pemandangan
malam kota pelabuhan.
Beberapa warung masih dibuka serta menjual ba-
rang makanannya sampai larut malam nanti. Beberapa
gerobak lembu tampak berhenti di depan warung tadi
sementara orang-orangnya tengah mengisi perutnya di
dalam. Rumah-rumah penduduk pun masih terbuka
pintunya dan dian lampu minyak bergoyang apinya,
menyorotkan cahaya keluar rumah. Anak-anak kecil
saling berkejaran di halaman bermain-main dengan
riangnya bermandikan cahaya rembulan yang men-
gambang amat indahnya di langit cerah.
Mahesa Wulung tersenyum melihat semua itu, dan
sekilas terbayang masa kecilnya yang penuh kegembi-
raan seperti bocah-bocah itu. Namun ketika Mahesa
Wulung berempat tiba di jantung kota dan akan mem-
belokkan kudanya ke selatan, mereka menjadi terpe-
ranjat, sebab tampaklah oleh mereka orang-orang yang
berduyun-duyun berjalan ke arah pelabuhan dengan
tergesa-gesa. Sedang dari mulut mereka terdengarlah
gumam dan bisik-bisik mengiringi wajah mereka yang
kecemasan.
Melihat hal yang terasa ganjil bagi dirinya, Mahesa
Wulung cepat-cepat menghentikan kudanya diikuti
oleh Gagak Cemani, Ki Surotani dan Pandan Arum.
“Apakah yang terjadi, Kisanak?” bertanyalah Ma-
hesa Wulung kepada seorang tua yang kebetulan lewat
di depannya.
“Ooo, kata orang, ada sebuah perahu yang menda-
pat kecelakaan di laut dan kini perahu tadi ditemukan
oleh perahu lain serta kemudian diseretnya ke pelabu-
han. Sekarang ia ada di pelabuhan.”
“Kecelakaan?” ulang Mahesa Wulung. “Ah, itu kan
biasa terjadi, Kisanak. Tapi... mengapakah orang-orang
ini berduyun-duyun ke sana? Agaknya ada sesuatu
yang aneh.”
“Memang, kecelakaan bisa saja terjadi. Akan tetapi
kalau semua penumpang itu dikabarkan mati di gela-
dak perahu, bukankah itu sesuatu yang aneh untuk
kita? Orang-orang pada mengira bahwa mereka telah
dibunuh oleh setan-setan penjaga laut!”
“Ooh!” desis Mahesa Wulung berempat dengan ber-
bareng. Hatinya tiba-tiba saja berdesir oleh keterangan
orang tua tadi, sebab ia lalu teringat dengan pengala-
mannya beberapa waktu yang lalu, ketika bersama
sama anak buahnya ia mengejar dan menghancurkan
Kapal Hantu di lautan utara.
“Saya juga akan ke sana, Tuan,” ujar orang tadi se-
raya meminta diri untuk melanjutkan perjalanannya.
“Terima kasih atas keterangan Kisanak tadi,” kata
Mahesa Wulung sambil menatap ke utara ke arah
orang-orang yang berduyun ke pelabuhan.
“Kakang Gagak Cemani,” ujar Mahesa Wulung pula,
“apakah Andika tidak tertarik dengan ceritera tadi?!”
“Cukup menarik,” sambut Gagak Cemani. “Teruta-
ma keterangan yang mengatakan bahwa para korban
berada di geladak perahu itulah, yang membuat hatiku
tertarik!”
“Tepat seperti perkiraanku, Kakang,” sambung Ma-
hesa Wulung lagi. “Bagaimanakah kalau kita mene-
ngok ke sana sebentar saja?”
“Itu bagus! Tapi bagaimana dengan Bapak Surotani
dan Adi Pandan Arum?” kata Gagak Cemani seraya
menoleh ke arah mereka berdua. “Apakah Andika ber-
dua juga ingin singgah di sana?”
“Kami juga akan ikut ke sana,” ujar Pandan Arum
serta Ki Surotani berbareng. “Kami perlu juga menge-
tahui apakah yang telah terjadi pada mereka.”
“Kalau begitu marilah kita lekas berangkat,” ajak
Mahesa Wulung serta menarik tali kekang kudanya, di-
ikuti oleh Gagak Cemani, Pandan Arum dan Ki Surota-
ni.
Jak! Jaaak!
Keempatnya telah memacukan kudanya ke arah pe-
labuhan dengan melewati orang-orang yang berduyun-
duyun ke arah yang sama. Semuanya tampak bergegas
ke arah sana, seperti rombongan semut yang telah
mencium adanya gula.
Panggung berlentera telah tampak, demikian pula
tiang-tiang layar dari perahu-perahu yang berlabuh di
situ kelihatan bertonjolan menjulang ke atas dengan
indahnya.
Agak di sebelah tepi, terlihatlah sebuah perahu da-
gang kecil yang biasa bermuatan enam orang, tertam-
bat pada sebuah tonggak kayu di situ, dengan puluhan
orang yang berkerumun menontonnya. Namun mereka
cuma berdiri di daratan saja, sebab perahu tadi dijaga
oleh prajurit-prajurit pengawal pelabuhan yang mela-
rang mereka untuk menyentuh perahu tadi. Beberapa
obor dan lampu telah dipasang di tempat itu.
Yang berada di geladak perahu tersebut cuma tiga
orang saja, yakni petugas-petugas khusus yang lagi
memeriksa perahu tadi dengan seksama.
Para pemeriksa tadi tampak menggeleng-gelengkan
kepala seperti mencoba mengerti, apakah yang se-
sungguhnya telah terjadi pada awak perahu ini?
Mahesa Wulung berempat telah tiba di tempat itu.
Bersama Gagak Cemani ia turun dari punggung ku-
danya, sedang Pandan Arum dan ayahnya tetap berada
di atas kuda tak jauh dari penonton lainnya.
Dengan langkah tergopoh kedua pendekar itu men-
dekati tangga naik perahu yang dijaga oleh empat
orang prajurit kawal yang berperisai dan bertombak.
“Eh, Kisanak. Jangan terlalu dekat dengan perahu
ini,” sapa salah seorang dari keempat prajurit tadi ke-
pada Mahesa Wulung dan Gagak Cemani. “Maaf, selain
pasukan kawal pelabuhan, dilarang terlalu mendekat,
apalagi sampai naik ke atas perahu ini.”
“Mengapa demikian?” ujar Mahesa Wulung seraya
tersenyum dengan ramahnya. “Apakah kami tidak bo-
leh melihat para korban yang terdapat dalam perahu
ini?”
“Itu dilarang oleh pemimpin kami,” jawab prajurit
tadi. “Sebelum ada keterangan dan selesainya peme-
riksaan oleh pemimpin kami itu, tak seorangpun di
ijinkan naik ke atas perahu ini!”
“Hmm, terima kasih,” ujar Mahesa Wulung. “Anda
bekerja cermat sekali. Tapi bolehkah kami bertemu pe-
mimpinmu itu?”
“Heei, rupanya Kisanak berdua sangat berminat se-
kali terhadap korban-korban ini. Siapa Anda? Je-
laskanlah pula apa kepentingan Kisanak berdua, agar
kami tak menaruh curiga terhadap Anda!” begitulah
kata si prajurit kawal tadi.
Namun mendadak saja si prajurit ini menjadi me-
longo setengah pucat, ketika tiba-tiba Mahesa Wulung
menyodorkan permata kalung yang diraihnya dari ba-
lik bajunya, ke depan si prajurit.
“Ooh, Tuan...,” desah si prajurit tadi begitu matanya
menatap permata kalung yang berbentuk cakra berada
di tangan Mahesa Wulung itu. “Maaf Tuan perwira,
kami tak mengenal Tuan...,” ujar si prajurit dengan
gugup. “Jika begitu, silakan Tuan berdua naik ke atas.
Kami tak berkeberatan sama sekali!”
“Heei..., lhooo! Bukankah Tuan adalah Wira Laut
Mahesa Wulung dari Demak?” terdengar seruan dari
atas perahu membuat Mahesa Wulung, Gagak Cemani
dan keempat prajurit kawal tadi mendongak ke atas,
ke arah suara tadi.
“Waakh! Bapak Kerpu dan Tambakan! Selamat. Kita
bertemu lagi di sini!” Seru Mahesa Wulung ketika ia
melihat dua orang yang menyambutnya dari atas tang-
ga perahu, yang tidak lain adalah Ki Kerpu dan Tam-
bakan. Dua sahabat lamanya yang tinggal di bandar
Asemarang sebagai pemimpin kawal dari prajurit-pra-
jurit di situ.
“Yah, kita bertemu lagi, Tuan. Seperti pertemuan ki-
ta beberapa tahun yang lalu ketika bersama-sama
membasmi gerombolan Alas Roban,” ujar Ki Kerpu de-
ngan tersenyum lebar dan ramah sekali.
Sebentar kemudian, mereka telah berada kembali di
atas geladak perahu dan tampaklah oleh mata Mahesa
Wulung dan Gagak Cemani, keenam korban yang
menggeletak tak bernyawa.
“Sukar untuk kami jelaskan, gerangan apakah yang
telah menyebabkan kematian mereka,” ujar Ki Kerpu
seraya menunjuk korban-korban itu. “Apakah Tuan
melihat sesuatu yang aneh pada tubuh mereka?”
“Biru hangus dan kering!” seru Mahesa Wulung de-
ngan suara bergetar saking kagetnya. “Akh, sungguh
mengerikan dan malang sekali nasib orang-orang ini!”
“Dapatkah kiranya Tuan mengetahui sebab-sebab
dari kematian orang-orang ini?!” kembali Ki Kerpu ber-
tanya.
“Yah! Aku pernah melihati korban-korban yang se-
macam ini,” kata Mahesa Wulung. “Persis seperti kor-
ban-korban dari kejahatan Kapal Hantu.”
“Kapal Hantu?!” desis Ki Kerpu. “Tapi... Tapi bu-
kankah menurut laporan yang aku terima dari Demak,
bahwa Kapal Hantu tersebut telah dihancurkan oleh
armada Demak?”
“Itu benar, Bapak!” sahut Mahesa Wulung. “Hanya
saja aku agak kuatir, bahwa sekarang Ki Rikma Rem-
byak mulai mengadakan pembalasan dendam atas ke-
hancuran Kapal Hantu tadi.”
“Hemmm, jika rekaan Tuan tadi benar-benar terjadi,
maka pastilah armada Demak akan dibuat sibuk kem-
bali oleh tugasnya. Demikian pula Tuan Mahesa Wu-
lung.”
“Bapak Kerpu,” ujar Mahesa Wulung pula. “Peristi-
wa ini akan kuperhatikan sepenuhnya. Tentang penje-
lasan Andika kepada para penduduk di sini, terserah
kepada kebijaksanaanmu. Yang penting, usahakanlah
agar mereka tidak menjadi panik karenanya. Sebab hal
itu akan mempengaruhi mereka, terutama dalam segiperdagangan dan pelayaran di daerah ini.”
“Terima kasih, Tuan,” berkata Ki Kerpu. “Kami akan
berusaha sebaik mungkin dan semoga seperti yang
Tuan harapkan. Dan eh... hendak ke manakah Tuan
berdua sekarang?”
“Kami hendak berkunjung ke Kampung Sekayu,
Bapak. Kini, baiklah kami meminta diri sekali,” kata
Mahesa Wulung.
Segera Mahesa Wulung dan Gagak Cemani menu-
runi tangga perahu setelah keduanya berpamit kepada
Ki Kerpu Tambakan serta kedua orang petugas lain-
nya.
Ki Kerpu mengantarkan mereka sampai ke bawah
dan sekali lagi mengucapkan terima kasihnya atas
kunjungan tadi. Sesaat kemudian Mahesa Wulung be-
rempat telah berpacu kembali ke arah selatan.
Sambil berpacu hati Mahesa Wulung selalu ber-
tanya-tanya akan peristiwa yang mengerikan tersebut.
Mungkinkah Ki Rikma Rembyak telah menciptakan
kembali Kapal Hantu untuk membalas dendam? Na-
mun selama ini ia belum pernah mendengar laporan
tentang munculnya kapal yang semacam itu lagi. Ke-
cemasan satu-satunya yang bisa dihubungkan dengan
peristiwa tadi, adalah isi pesan tertulis yang telah di-
serahkan oleh Pakerti kepadanya.
Tanpa terasa, mereka berempat telah memasuki
gerbang Kampung Sekayu yang ditandai oleh dua buah
pohon asem tua yang saling bertautan. Kampung tadi
merupakan desa kecil yang bertanah subur.
Begitulah, mereka sampai di tujuannya malam itu.
Dan sesudah membasuh muka dan kaki serta kemu-
dian mohon ala kadarnya, mereka berempat masuk ke
bilik tidurnya masing-masing.
Keempatnya segera tertidur pulas. Apalagi setelah
mereka berkuda dengan menempuh jarak yang sepan
jang dan sejauh itu, badan mereka telah terasa penat-
penat pegal.
Itulah sebabnya begitu mereka merebahkan tubuh-
nya di atas balai-balai beralas tikar pandan, seketika
itu tertidurlah mereka dengan nyenyak dan baru ter-
bangun pada keesokan paginya.
***
Telah dua hari Mahesa Wulung dan Gagak Cemani
tinggal di rumah Ki Surotani. Kepada Gagak Cemani
tamunya yang baru itu, Ki Surotani selalu mengajak
dan membawanya ke tetangga-tetangga di sekitarnya
untuk diperkenalkan kepada mereka.
Dalam pada itu Mahesa Wulung selalu tinggal di
rumah untuk menemani kekasihnya, si Pandan Arum,
serta pula mempelajari isi surat tertulis yang dibawa
oleh Pakerti dari Pulau Mondoliko.
Sore itu tampaklah Pandan Arum duduk termenung
di pekarangan rumah. Bunga-bunga bermekaran de-
ngan indahnya menyebar bau semerbak harum, me-
nyegarkan perasaan dan kegembiraan hidup.
Namun sore itu Pandan Arum termenung berdiam
diri, seolah-olah ada sesuatu yang mengganggu ha-
tinya, dan itulah sebabnya maka ia terperanjat ketika
Mahesa Wulung menyapa serta memegang kedua pun-
daknya dari sebelah belakang.
“Adi Pandan Arum,” sapa Mahesa Wulung, “engkau
melamunkan sesuatu?”
“Betul, Kakang Wulung,” lirih sekali Pandan Arum
menjawab kekasihnya. “Aku melamunkan diriku, Ka-
kang.”
“Mengapa, Adi?”
“Adikku si Pandan Sari telah kawin, mendahului
aku,” ujar Pandan Arum. “Sedang aku? Aah, mungkin
masih lama. Barangkali setahun lagi, dua tiga tahun
lagi atau mungkin pula sepuluh tahun lagi barulah ki-
ta kawin. Sedang aku telah pula merindukan berumah
tangga, mendidik anak-anak kita dengan penuh kasih
sayang.”
“Aku tahu perasaanmu, Adi,” berkata Mahesa Wu-
lung sambil mengusap pundak Pandan Arum dengan
penuh kemesraan. “Bersabarlah, Adi. Apakah Adi ma-
sih menyangsikan cintaku kepadamu?”
“Oh, tentang cintamu, aku percaya sepenuhnya Ka-
kang,” kata Pandan Arum seraya menunduk. “Tapi,
bukankah kita selalu dikejar oleh hari, dikejar oleh
waktu yang setiap kali akan menambah jumlah umur
kita?”
“Aku juga memikirkan hal itu, Adi. Namun Adi ten-
tunya tahu bahwa tugas-tugas yang berat senantiasa
menumpuk di atas pundak kita, sebagai beban yang
harus diselesaikan. Darma Ksatria! Demikianlah pe-
doman yang telah terpatri di dalam hatiku, Adi. Dan
menjadi Wira Tamtama Laut seperti kakang ini, ten-
tunya tak akan berpangku tangan melihat kejahatan
tumbuh dan merajalela di mana-mana. Maaf, Adi
Arum. Jangan Adi berprasangka bahwa aku bermak-
sud mengecewakanmu. Memanglah kalau dipikir, ke-
jahatan akan selalu ada, meskipun hanya kecil ben-
tuknya. Kebaikan dan keburukan selalu kita jumpai,
dan begitulah namanya irama hidup, Adi. Menindas
keburukan adalah tugas kita dan juga tugas setiap
manusia di marcapada. Semua itu kita lakukan karena
kita mengingini hidup yang tentram dan sejahtera.
Jauh dari malapetaka dan keburukan-keburukan.”
Mahesa Wulung berhenti sejenak dan menghela napas.
“Aakh, terlalu bertele-tele menceramahimu, Adi. Maaf-
kan.”
“Oo, tidak mengapa, Kakang Wulung! Tidak meng-
apa! Aku senang mendengarnya,” seru Pandan Arum
seraya menyandarkan kepalanya ke dada Mahesa Wu-
lung yang bidang itu.
“Aku selalu memikirkan apa yang Adi pikirkan. Ha-
nya saja, kakang tidak senang untuk mengambil suatu
keputusan dengan tergesa-gesa dan serampangan. Se-
bab perkawinan adalah sesuatu yang suci dan me-
nyangkut hidup kita. Kapan, waktu hari dan tempat-
nya, baiklah kita pikirkan dengan tenang dan lanjut.”
“Ookh aku selalu menambah beban di hatimu, Ka-
kang Wulung,” desah Pandan Arum. “Dan saya kira,
saat ini memang belum saatnya yang tepat untuk me-
mikirkan hal itu. Juga saya tak mau ketinggalan untuk
mendampingi Kakang Wulung dalam melaksanakan
tugas-tugas yang berat sekalipun!”
“Terima kasih, Adi Pandan Arum. Kakang merasa
gembira mendengar pengertian yang mendalam pada
dirimu. Dan ketahuilah Adi, sekarang ini selagi kita be-
rada di tempat ini, bahaya yang mahabesar tengah
mengancam di depan hidung kita. Bahaya tersebut bi-
sa menimbulkan bencana yang dahsyat bagi kita se-
mua!”
“Aduh. Apakah bahaya itu, Kakang?” seru Pandan
Arum dengan kagetnya.
“Engkau masih ingat sewaktu kita singgah di ban-
dar pelabuhan Asemarang dua hari yang lalu?” tanya
Mahesa Wulung.
“Mmm, aku ingat, Kakang! Bukankah malam itu ki-
ta lihat orang berduyun-duyun menuju ke pelabuhan
dan kita pun singgah di sana?”
“Nah, memang di situlah aku telah melihat adanya
bahaya. Ternyata, ketika aku dan Kakang Gagak Ce-
mani ikut memeriksa para korban yang menggeletak di
geladak perahu, dapatlah kami saksikan bahwa tubuh
keenam korban itu kering dan hangus kebiru-biruan,
persis seperti korban-korban dari kejahatan Kapal
Hantu.”
“Wah, sungguh mengerikan tentu,” desah Pandan
Arum. “Jadi itulah bahaya yang Kakang Wulung sebut-
kan?”
“Itu hanya sebagian saja, Adi,” sambung Mahesa
Wulung pula. “Kau tentu ingat pula sepucuk pesan ter-
tulis yang aku terima dari Pakerti? Di dalamnya tertu-
lis sebuah pesan yang menyebutkan bahwa Ki Rikma
Rembyak telah mendirikan sebuah benteng di Pulau
Mondoliko serta merencanakan sebuah senjata ampuh
yang sanggup menghancurkan sebuah desa dari jarak
jauh! Pesan ini dikirim dari seorang yang bernama
Jagal Wesi, yang tinggal di pulau itu juga.”
“Jadi pesan tersebut dikirim dari sana?!” ujar Pan-
dan Arum keheranan. “Apakah itu bukan sebuah jeba-
kan bagi kita, barangkali?”
“Hmm, bisa juga. Tapi Jagal Wesi itulah yang telah
membebaskan dan meloloskan Pakerti dari Pulau Mon-
doliko, ketika ia akan dijatuhi hukuman mati oleh Ki
Rikma Rembyak!”
“Eeng, jika demikian,” desah Pandan Arum dengan
berpikir-pikir sejenak, “kita boleh mempercayai pesan
dari Jagal Wesi tadi. Tapi apakah hubungan korban-
korban pada perahu tadi dengan Pulau Mondoliko?”
“Menurut keterangan Bapak Ki Kerpu, perahu tadi
ditemukan terkatung-katung di sebelah barat Pulau
Mondoliko oleh sebuah perahu lain dan kemudian me-
nyeretnya ke bandar Asemarang ini.”
“Akh, makin jelaslah persoalannya!” ujar Pandan
Arum. “Ki Rikma Rembyak mulai kembali melancarkan
serangannya dan mungkin pula dimaksudkan sebagai
pembalasan atas kehancuran Kapal Hantunya!”
“Begitulah seperti dugaanku semula!” sambung Ma-
hesa Wulung. “Memang kiranya itulah pembalasan
Rikma Rembyak!”
“Kakang Wulung, aku lalu teringat akan nasib ma-
lang yang telah dialami oleh mendiang paman Empu
Baskara yang kini masih terkubur di dasar Jurang Ma-
ti oleh perbuatan Rikma Rembyak!” gumam Pandan
Arum dengan nada haru. “Dan rahasia panah Braja
Kencar milik Paman sampai sekarang masih di tangan
si keparat Rikma Rembyak itu.”
“Yah, sayang sekali, memang sampai sekarang kita
belum berhasil merebut kembali rahasia panah Braja
Kencar itu! Namun kini telah jelas bahwa Ki Rikma
Rembyak telah memusatkan kekuatannya di Pulau
Mondoliko dan tentunya pula di sana pulalah benda
itu disimpannya!” berkata Mahesa Wulung. “Dan satu-
satunya jalan ialah menyerbunya ke sana!”
“Itu benar, Kakang,” sahut Pandan Arum. “Akan te-
tapi dengan kekuatan apakah kita menyerbu ke sana?
Dengan kekuatan beberapa kapal dari armada Demak
atau dengan diam-diam kita menyelundup ke sana?!”
Mahesa Wulung tampak berdiam sejenak untuk me-
mikirkan perkataan Pandan Arum tadi. “Hal itu harus
kita rencana masak-masak dengan para pemimpin di
Demak, dan kapan hal itu bisa dilaksanakan, aku be-
lum tahu. Yang terang saja di Pulau Mondoliko itu te-
lah ada seseorang yang berpihak pada kebenaran, yak-
ni di Jagal Wesi itu tadi. Dan tidak mustahil ia ber-
sedia membantu kita nanti!”
Percakapan mereka terhenti sesaat oleh dua ekor
burung ketilang yang berkejar-kejaran di sela-sela
daun pohon sawo di depan mereka dengan mesranya.
Rupanya, kedua burung itu adalah ketilang jantan dan
betina yang lagi dimabuk asmara, membuat Pandan
Arum dan Mahesa Wulung tersenyum penuh arti de-
ngan sedikit kesipu-sipuan.
“Besok kita akan kembali ke Demak, Adi,” ujar Ma-
hesa Wulung memecah kesepian yang sesaat itu. “Dan
kita harus mendapatkan keterangan lebih banyak dari
Pakerti sebelum kita mengambil langkah-langkah lebih
lanjut.”
Mahesa Wulung menyelesaikan kata-katanya itu se-
raya membungkuk memungut sebutir batu sebesar te-
lur ayam, sehingga Pandan Arum keheran-heranan
menatap kelakuan kekasihnya. Dan ketika ia hendak
berkata, tiba-tiba saja Mahesa Wulung mendesis,
memperingatkannya agar berdiam diri.
“Sssttt... tenanglah!”
Karenanya, Pandan Arum semakin keheranan di-
buatnya dan kini tampaklah bahwa kekasihnya itu me-
nimang-nimang batu tersebut di tangannya.
Sesaat Pandan Arum menjadi cemberut oleh sikap
kekasihnya, dan ketika ia sekali lagi ingin bertanya ke-
padanya, mendadak saja Mahesa Wulung mengi-
baskan tangannya yang memegang batu tadi ke atas,
ke arah kerimbunan pohon sawo di samping mereka,
dibarengi seruan pendek. “Heeeiittt! Ayo turun!”
Batu tersebut melesat dengan kecepatan tinggi, me-
rupakan seleret sinar kelabu dalam pandangan yang
hampir sukar ditangkap mata.
Taaak!
Suara benturan terdengar diiringi oleh jeritan me-
lengking menyertai sesosok bayangan tubuh manusia
melayang turun dari atas pohon sawo dengan suara
mengaduh.
Pandan Arum seketika berteriak kaget dan kembali
ia dibuat kagum oleh sesosok bayangan yang melayang
jatuh ke tanah. Tentunya orang ini akan cedera atau
patah tulangnya, namun begitu si bayangan tadi ham-
pir menyentuh tanah, maka dengan gesitnya ia menje-
jakkan kakinya ke tanah lebih dulu. Dengan begitu
maka tubuhnya kembali melenting dan secepat kilat
kabur ke arah barat, dibarengi teriak kutukan bernada
mengancam. “Keparat! Kalian memang bertelinga ta-
jam. Hari ini aku mengaku kalah, tapi tunggu hari-hari
yang akan datang!”
“Pengecut busuk! Kau ngacir melarikan diri setelah
ketahuan!” seru Mahesa Wulung seraya melesat untuk
mengejar si pengintai tadi.
Begitu pula si Pandan Arum tak mau ketinggalan
melihat Mahesa Wulung mengejar musuhnya, sehingga
dengan cepat pula ia meloncat mengikuti kekasihnya.
Akan tetapi semua itu tidak banyak gunanya, sebab
ternyata bayangan tadi mempunyai ilmu lari yang sa-
ngat hebat. Dalam sekejap saja lenyaplah orang itu di
balik semak-semak yang telah dirambah oleh baya-
ngan senja.
Mahesa Wulung dan Pandan Arum segera menghen-
tikan larinya begitu melihat buronannya telah kabur
dan lenyap.
“Ia telah kabur!” desah Mahesa Wulung sambil me-
meriksa permukaan tanah di dekatnya yang tadi telah
dilewati lari oleh si pengintai. “Sayang sekali.”
“Ilmu larinya cukup hebat, Kakang,” sambung Pan-
dan Arum. “Siapakah dia kiranya?”
“Memang cukup hebat!” sahut Mahesa Wulung pu-
la. “Tapi lihatlah ini,” berkata begitu si pendekar ini
menunjuk ke atas tanah. “Tetes-tetes darah! Pasti lem-
paran batuku telah mengenainya! Nah, jangan kau ce-
ritakan kejadian ini kepada siapa-siapa!”
“Akh, peristiwanya makin menarik, Kakang!” kata
Pandan Arum. “Menilik teriak ancamannya, orang tadi
pasti berasal dari pihak lawan!”
“Wah, aku lalu teringat dengan si Pakerti. Tiba-tiba
saja aku mencemaskan keselamatannya!” desah Mahe-
sa Wulung dengan suara kecemasan.
“Mengapa, Kakang?”
“Bukankah tadi aku telah menyebut-nyebut nama siPakerti? Dan tidak mustahillah bila pengintai tadi telah
mendengarnya!”
“Oh, sungguh mencemaskan,” sahut Pandan Arum.
“Jika orang tadi ternyata dari pihak lawan, pastilah ji-
wa dan keselamatan si Pakerti akan terancam bahaya
dalam setiap saat! Mudah-mudahan saja hal itu tidak
terjadi!”
“Yah, mudah-mudahan saja begitu,” sambung Ma-
hesa Wulung. “Marilah kita kembali ke rumah, Adi.”
Demikianlah, mereka segera pulang dan malam pun
tiba dengan tenangnya, seperti juga ia lenyap dengan
perlahan-lahan pada keesokan harinya.
***
TIGA
KI SUROTANI kini telah tenang hatinya. Pandan Sa-
ri yang dahulu telah disangkanya tewas dan lenyap,
kini telah dijumpainya kembali dalam keadaan segar-
bugar serta menjadi istri dari Lawunggana.
Demikian pula ia telah menerima hartanya kembali
yang telah sekian lama tersimpan di daerah Tanjung
Bugel secara rahasia. Begitulah sesungguhnya suka
dan duka saling mengisi kehidupan kita, dan Ki Suro-
tani yang bijaksana itu mengucap syukur kepada Tu-
han Yang Maha Pengasih yang telah mempertemukan-
nya kembali dengan putrinya itu.
Di pagi yang cerah dan berudara segar, Ki Surotani
telah berdiri di pagar halaman rumahnya bersama-
sama para penduduk Desa Sekayu lainnya. Pagi itu,
Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Gagak Cemani te-
lah bersiap akan berangkat, meninggalkan Desa Seka-
yu untuk kembali ke Demak.
Tiga ekor kuda yang tangguh dan segar telah pula
siap dengan pelana di punggung dan beberapa bung-
kusan bekal di perjalanan. Sesudah mereka bertiga
berpamitan kepada Ki Surotani serta orang-orang desa
yang berdiri di situ, segeralah ketiganya meloncat ke
punggung kudanya masing-masing.
“Selamat jalan, Angger bertiga!” ujar Ki Surotani se-
raya melambaikan tangannya ke arah Pandan Arum,
Mahesa Wulung dan Gagak Cemani. “Berhati-hatilah
dalam menjalankan tugas kalian!”
“Terima kasih, Bapak,” berkata Mahesa Wulung se-
raya mengangguk dan tersenyum manis. “Kami akan
segera berkunjung kemari jika tugas-tugas telah sele-
sai.”
“Yah, jagalah si Pandan Arum itu olehmu baik-baik,
Angger Wulung!” berkata pula Ki Surotani, sementara
Pandan Arum sendiri tertunduk dengan wajah merah
tersipu malu.
Mahesa Wulung sekali lagi mengangguk hormat se-
belum ia menderapkan kudanya meninggalkan hala-
man rumah Ki Surotani diikuti oleh Pandan Arum dan
Gagak Cemani.
Ketiganya memacu kudanya seperti berlomba berke-
jaran dengan ujung sinar matahari yang telah dipa-
nahkan ke permukaan tanah.
Sambil berpacu itu, hati Mahesa Wulung senantiasa
mencemaskan keselamatan Pakerti yang ditinggalnya
di Demak. Lebih-lebih bila ia teringat akan peristiwa
kemarin senja ketika ia berhasil memergoki seorang
pengintai yang telah memata-matainya dengan diam-
diam. Selain itupun ia sangat heran kepada orang yang
bernama Jagal Wesi yang telah menyelamatkan jiwa
Pakerti. Sungguh-sungguh ia ingin mengetahui siapa-
kah sebenarnya si Jagal Wesi tersebut.
Menilik namanya, agaknya dia berkekuatan dan
bertubuh kokoh seperti besi. Tapi sekali lagi, semua itu
akan menjadi jelas bila ia telah bertemu dengan Paker-
ti serta menanyainya pula.
Tanpa terasa, ketiganya telah melewati kota Asema-
rang dan berbelok ke arah timur, menuju ke pintu ger-
bang timur kota. Mereka mengikuti jalan besar yang
menuju ke arah kota Demak dengan kecepatan bagai
ketiga buah anak panah yang ditembakkan!
Matahari semakin tinggi mengarungi angkasa dan
sinarnya menerangi permukaan bumi dengan terang-
nya. Sebentar lagi siangpun akan tiba bersamaan Ma-
hesa Wulung bertiga telah mendekati pintu gerbang
luar Kota Demak.
“Kita akan langsung menuju ke tempat Pakerti?”
bertanya Gagak Cemani kepada Mahesa Wulung.
“Tidak, Kakang Cemani,” sahut Mahesa Wulung.
“Kita singgah dulu ke Balai Kesatrian, untuk melapor-
kan diri dan menitipkan kuda di sana. Setelah itu, kita
berjalan kaki menuju ke tempat Pakerti. Aku sambil la-
lu ingin menunjukkan keramaian dan suasana Kota
Demak kepadamu.”
“Eeh terima kasih, Adi Wulung,” ujar Gagak Cemani
pula. “Kebetulan aku ingin mencicipi buah belimbing
dari kota ini.”
“Heh, heh, heh. Kakang Cemani ternyata mempu-
nyai selera yang baik. Memanglah, buah belimbing dari
Kota Demak ini terkenal di mana-mana. Buahnya be-
sar, manis dan kuning-kuning,” ujar Mahesa Wulung.
“Nah, kita berbelok sedikit ke selatan dan kita masuk
ke pintu gerbang rumah yang berhalaman luas itu. In-
ilah Balai Kesatrian yang aku ceriterakan tadi.”
Mereka bertiga masuk dan segera menitipkan ku-
danya, serta kemudian Mahesa Wulung memberikan
laporan tentang kedatangannya kepada seorang petu-
gas di situ.
Sesudah selesai, ketiganyapun berjalan kaki menu-
ju pintu gerbang keluar untuk mencari si Pakerti. Se-
mentara itu, sambil berjalan tadi kelihatan Gagak Ce-
mani memperhatikan keadaan Balai Kesatrian.
Tampak oleh Gagak Cemani, beberapa orang perwi-
ra tengah berlatih diri di halaman Balai Kesatrian ini
dengan berolah senjata bermacam-macam. Pendekar
dari timur ini mau tak mau menjadi kagum juga oleh
latihan-latihan mereka.
Di sebelah yang lain, tampak pula sedang duduk-
duduk di bawah pohon beringin yang rindang, bebe-
rapa orang perwira membicarakan sesuatu yang keli-
hatannya sangat penting. Hal ini terlihat dari wajah-
wajah mereka yang tegang dan penuh perhatian.
Tiba-tiba saja percakapan mereka terhenti seketika,
apabila Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Gagak Ce-
mani melewati tempat mereka. Semua pandangan ma-
ta para perwira tadi tertumpah kepada Mahesa Wulung
bertiga, lebih-lebih kepada Gagak Cemani, si pendekar
berjubah itu.
“Kakangmas Mahesa Wulung!” terdengar sebuah se-
ruan yang nyaring dari arah para perwira tadi. “Tung-
gulah sebentar!”
Mendapat panggilan tersebut, Mahesa Wulung ber-
tiga serentak berhenti dan berpaling ke arah mereka.
“Oo engkau, Adi Surowo. Telah lama kita tak ber-
jumpa, bukan? Heh, makin gagah saja engkau ini,”
ujar Mahesa Wulung kepada salah seorang perwira
yang baru saja menyapa dirinya tadi.
“Eeeeh, Kakang Mahesa Wulung terlalu memanja-
kanku dengan pujian-pujian tadi,” sahut perwira Su-
rowo seraya tertawa lebar. “Dan kami baru saja mem-
bicarakan perihal Kakang Mahesa Wulung beserta
tuan pendekar berjubah ini.”
“Wah, tampaknya kami tengah menjadi tokoh dari
ceritera kalian itu,” ujar Mahesa Wulung. “Kenalkanlah
sekarang. Inilah Kakang Gagak Cemani dari daerah
timur.”
Tak lama kemudian, mereka telah saling berkenalan
dengan akrabnya, dan beberapa saat itu pula, Surowo
telah berkata, “Kakangmas Mahesa Wulung, secara ke-
betulan pada beberapa hari yang lalu aku telah sempat
menyaksikan pertempuran Tuan pendekar Gagak Ce-
mani di daerah pinggiran kota Demak di sebelah timur
dan kemudian aku ceriterakan hal itu kepada teman-
temanku ini. Akan tetapi, di antara mereka ini ada
yang menyangsikan ceriteraku tadi. Mereka menyang-
ka bahwa aku telah mengarang-ngarang tokoh yang
bernama Gagak Cemani! Tak tahunya sekarang ini,
mereka telah berhadapan dengan orangnya.” Surowo
berhenti sejenak sambil melayangkan pandangan ma-
tanya ke wajah salah seorang di antara perwira-per-
wira tadi yang berwajah kaku dan berhidung lebar.
“Bagaimana, Kakang Tungkoro?” bertanya Surowo ke-
pada si wajah kaku. “Apakah Kakang masih belum
percaya akan ceriteraku tadi?”
“Ehmm, yah aku percaya sekarang, Adi,” jawab
Tungkoro seraya menatap pendekar Gagak Cemani de-
ngan pandangan penuh selidik.
“Dan apakah Kakang juga masih akan melaksana-
kan maksud Kakang semula?” kembali Surowo ber-
tanya.
“Eh, agaknya kalian mempunyai persoalan yang
menarik sekali,” sahut Mahesa Wulung pula. “Kata-
kanlah. Jika boleh, kami ingin mengetahuinya!”
“Maaf, Kakangmas Mahesa Wulung,” ujar Tungkoro.
“Kami tadi telah saling berjanji ketika Adi Surowo ber-
ceritera, jika tokoh pendekar Gagak Cemani tadi betul-
betul ada, saya ingin sekali untuk sedikit mendapat
pelajaran dan bermain-main dalam beberapa gebrakan
jurus silat dari Tuan pendekar Gagak Cemani.”
Mahesa Wulung termangu sesaat dan berpaling ke
arah Gagak Cemani. Tapi apa yang dilihatnya cuma
sebuah senyuman yang menghias pada bibir sahabat-
nya itu, dan karenanya pula Mahesa Wulung berkata.
“Apakah ini berarti tantangan buat Kakang Gagak Ce-
mani?”
“Ooo, harap dimaafkan, Kakangmas Mahesa Wu-
lung,” kata Tungkoro tergagap bingung. “Bukan sekali-
kali saya bermaksud menantang Tuan Gagak Cemani
ini. Tapi karena terdorong oleh kekaguman dan keingi-
nan saya untuk berkenalan lebih erat lagi, maka terla-
hirlah maksud itu tadi.”
“Heh heh heh,” tawa pendekar Gagak Cemani sera-
ya mengelus-ngelus kumisnya yang melintang. “Anda
tak usah sungkan-sungkan terhadap saya, Tuan Tung-
koro. Aku sangat senang dan menghargai maksudmu
tadi. Dan untuk itu, saya mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya.”
“Eh, syukurlah jika Kakang Cemani tidak menjadi
salah paham oleh maksud Adi Tungkoro ini,” ujar Ma-
hesa Wulung.
“Nah, sekarang mulailah, Tuan Tungkoro,” ujar Ga-
gak Cemani seraya bersiaga. “Apakah Anda menghen-
daki bermain-main dengan tangan kosong dahulu
ataukah langsung menggunakan senjata kita?”
“Jika Andika tidak keberatan, baiklah kita terlebih
dahulu memakai tangan kosong saja,” berkata Tungko-
ro sambil memasang kuda-kuda jurus silatnya ke arah
Gagak Cemani.
Hampir setiap dada orang-orang di situ tergetar me-
lihat kedua orang itu mulai bersiaga dengan jurus-
jurus serangannya. Bagi perwira-perwira muda yang
berada di situ, mereka telah tahu bahwa Tungkoro
termasuk pula pendekar yang tangguh dan ulet. Sedang Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Surowo yang
pernah menyaksikan tandang dan gerakan Gagak Ce-
mani menjadi berdebar-debar pula jantungnya.
“Hyaaaat!” terdengar pekikan Tungkoro berbareng
tubuhnya menyerbu ke arah Gagak Cemani. Sebuah
pukulan tangan yang sederas badai meluncur kepada
Gagak Cemani.
Wuuuut!
Gagak Cemani tercengang sesaat oleh serangan
Tungkoro. Dan begitu jarak pukulan itu tinggal sejeng-
kal dari dadanya, dengan manisnya Gagak Cemani
menggeser kaki kirinya ke kanan dalam, dan dengan
sedikit menarik dadanya ke belakang, maka loloslah
pukulan tangan Tungkoro tadi dari sasarannya.
Maka terdengarlah desis kagum dari mulut para
penonton oleh kejadian tadi. Namun belum lagi me-
reda, mendadak Tungkoro menutup serangannya yang
gagal tadi dengan sebuah tendangan kaki kanan yang
menyambar ke arah pinggang Gagak Cemani dalam
kecepatan yang mengagumkan.
Betapapun Gagak Cemani telah matang dalam ilmu
silatnya, namun melihat serangan-serangan dari Tung-
koro tadi ia tak mau main-main. Maka di saat tenda-
ngan tadi meluncur dengan derasnya, Gagak Cemani
segera mengetrapkan ilmu meringankan tubuhnya ber-
bareng kakinya menggenjot tanah. Dan bagaikan see-
kor belalang, maka melentinglah tubuh Gagak Cemani
ke udara disertai beberapa kali jungkir balik yang sa-
ngat lincah. Dengan begitu, maka sekali lagi serangan
Tungkoro cuma melanda udara kosong belaka!
Untuk kedua kalinya pula para penonton bergu-
mam saking kagumnya, sedang Tungkoro dengan sen-
dirinya menjadi semakin panas hatinya sehingga ter-
paksalah ia mengerahkan segenap ilmu dan kekuatan
tubuhnya dalam menghujankan serangan-serangan
dahsyat ke arah Gagak Cemani!
Diikuti oleh desau angin dan bunyi bersuit, sera-
ngan Tungkoro bertubi-tubi menggempur pertahanan
Gagak Cemani yang teguh bagaikan benteng gunung
karang.
Sepintas lalu, serangan Tungkoro tadi seperti topan
ganas yang haus akan korbannya, bersambung-sam-
bung susul-menyusul tak ada redanya. Jika lawannya
hanyalah orang kebanyakan belaka, pastilah dalam
sekejap mata akan terpukul roboh.
Gagak Cemani memang bukan pendekar sembara-
ngan yang lekas terpengaruh ataupun berkecil hati
menjumpai lawan setangguh itu. Mula-mula ia membe-
ri kesempatan kepada Tungkoro untuk terus-menerus
menghimpun serta mencecar dengan serangan-
serangannya. Setelah ia mendapat sedikit ukuran akan
kekuatan Tungkoro, maka cepat-cepat ia menyela-
raskan dirinya sedikit berada di atas Tungkoro. Den-
gan demikian, maka Gagak Cemani selalu berhasil me-
nanggulangi semua serangan yang menuju ke dirinya.
Beberapa saat kemudian Gagak Cemani telah me-
mulai serangan-serangan beratnya. Dimulai dari jurus-
jurus ringan yang kemudian meningkat semakin dah-
syat, sehingga membuat Tungkoro makin terperanjat.
Bagi dirinya, Tungkoro mulai dapat merasakan pe-
rubahan dari serangan Gagak Cemani tersebut yang
selincah burung sikatan tapi sedahsyat banteng meng-
amuk!
Kendatipun Tungkoro telah mengeluarkan segenap
ilmu silat serta ketrampilannya, rasanya toh belum
memadai tandang Gagak Cemani.
Merasa kalau lawannya itu dapat mengatasi segala
serangannya, maka Tungkoro menjadi lebih beringas
dan diam-diam ia telah mengetrapkan pukulan ujung
jarinya yang telah berkali-kali sanggup menjatuhkan
lawan-lawannya, bahkan tidak jarang menimbulkan
kematian di pihak mereka.
Tungkoro sekali ini ingin mengetahui apakah pen-
dekar Gagak Cemani, si kumis melintang ini, mampu
menyambut pukulannya pula!
Apa yang tengah dipikirkan oleh Tungkoro itu ter-
nyata dapat diduga oleh si pendekar berjubah sebe-
lumnya. Begitu ia melihat Tungkoro mengambil sikap
pukulan tertentu, Gagak Cemani cepat-cepat bersiaga
seraya meloncat ke samping.
“Hmm, dia telah bersiaga pula!” pikir Tungkoro di-
am-diam. “Sekarang akan kuuji si Gagak Cemani ini
dengan pukulan dari perguruan Kedungjati yang telah
aku siapkan!”
Semua penonton pada menahan napas, seperti hal-
nya Mahesa Wulung berdebar-debar jantungnya me-
nyaksikan kedua pendekar itu telah saling bersiaga
sepenuhnya.
“Hyaattt!”
Teriakan yang memekakkan telinga terdengar dan
mengejutkan setiap telinga yang mendengarnya, disu-
sul oleh tubuh Tungkoro yang melesat ke depan me-
nerjang ke arah Gagak Cemani.
Sesaat dada Gagak Cemani berdesir, namun ia telah
bersiaga sejak semula, dan kini dengan tegar dan
tangguhnya ia menyilangkan kedua telapak tangannya
di depan tubuh, siap untuk menyambut pukulan
Tungkoro.
Blaaang!
Suara benturan keras terdengar, seperti dua bilah
papan yang diadu dengan dahsyatnya. Dan apa yang
terlihat kemudian sungguh menggoncangkan setiap
dada orang yang berada di tempat itu.
Tampaklah tubuh Gagak Cemani masih tegak pada
tempatnya dengan cuma bergoyang-goyang sedikit, se
dang Tungkoro seketika mencelat ke belakang bebe-
rapa tombak untuk kemudian bergulingan jatuh di.
tanah sambil meringis dan mendesis.
Dada Tungkoro dapat terlihat oleh setiap mata, be-
tapa ia berkempas-kempis seperti ikan kekeringan air.
Teranglah bahwa ia kehabisan napas dan tenaga.
Tetapi dasar ia pendekar pilihan dari Kedungjati,
maka sejurus kemudian ia duduk bersila di tanah un-
tuk mengatur napas dan tenaganya yang telah banyak
lolos dan setengah membalik akibat tolakan pukulan
dari Gagak Cemani.
Beberapa saat suasana menjadi lengang ketika se-
tiap mata yang menatapi sikap Tungkoro yang lagi
memulihkan tenaganya, termasuk pula Gagak Cemani
yang dengan tenangnya menantikan lawannya itu.
Ketika Tungkoro telah memperoleh tenaganya kem-
bali yang telah terlontar keluar tadi, kemudian ia me-
natap Gagak Cemani dengan mata setengah menyipit,
sebagai pertanda kekagumannya terhadap si pendekar
berjubah itu.
“Memang hebat Gagak Cemani!” pikir Tungkoro sen-
diri. “Ternyata tenaga dalamku berada di bawah ting-
katannya! Tapi bagaimana dengan permainan senja-
tanya? Hm, aku harus pula mencobanya!”
Sambil berpikir demikian, Tungkoro lalu meraba
hulu pedangnya yang tergantung di pinggang kiri dan
selama ini belum dipergunakannya.
Mendadak saja, dengan kecepatan yang menga-
gumkan, Tungkoro telah mencabut senjatanya seraya
meloncat ke depan. Pedang di tangannya terjulur lurus
menyambar ke dada Gagak Cemani yang masih saja
berdiri dengan tenangnya.
Yah, memang si pendekar berjubah sengaja berdiam
diri, sebab dengan ketenangan itu berarti ia dengan
mudahnya bisa memperhatikan Tungkoro.
Hanya dengan sedikit menggeser kakinya dan men-
condongkan badan ke kiri, maka ujung pedang yang
telah meluncur ke dadanya berhasil dielakkannya.
Bahkan tidak hanya sampai di sini saja Gagak Ce-
mani beraksi. Sambil menghindar tadi, tangan kanan-
nya menyampok ke kanan ke arah tangan Tungkoro
yang menggenggam pedang!
Untunglah saja Tungkoro masih cukup mempunyai
kewaspadaan diri. Begitu ia melihat tangan kanannya
terancam oleh pukulan tangan Gagak Cemani, secepat
itu pula ia menarik kembali serangannya disusul tu-
buhnya meloncat ke samping.
“Ayo, Tuan! Silakan cabut senjatamu biar kita lebih
sedap untuk bermain-main!” seru Tungkoro sambil
melesat ke depan sambil menggerakkan pedangnya
langsung mematuk dada Gagak Cemani.
Setiap dada seperti berdentang keras melihat cara
Tungkoro melancarkan serangannya. Benar-benar
trampil dan cekatan seperti gerakan seekor elang yang
siap mematuk korbannya dengan paruhnya yang ta-
jam!
Gagak Cemani merasa bahwa serangan pedang
Tungkoro ini berbahaya sekali untuk disepelekan. Ma-
ka secara tangkas pula Gagak Cemani menarik tubuh-
nya selangkah ke samping serentak kakinya menggen-
jot tanah.
Gerakan si pendekar berjubah ini ternyata tak kalah
hebatnya. Laksana seekor burung sikatan yang tubuh-
nya melenting ke atas, berbareng pula ia melolos golok
hitamnya!
Sreeett!
Masih dalam gerakan selincah burung sikatan, si
Gagak Cemani menyambar ke bawah dengan golok hi-
tamnya menebas ke arah kepala Tungkoro.
Sriiingngng!
Sambil menggerutu Tungkoro terpaksa mengendap
dan dengan cekakaran menggulingkan tubuhnya di
tanah untuk menjaga agar kepalanya tidak copot oleh
tebasan golok Gagak Cemani!
Dalam saat itu pula tahulah Tungkoro bahwa ceri-
tera tentang Gagak Cemani yang diceriterakan oleh sa-
habatnya, Surowo, ternyata memang cocok dengan ke-
nyataannya!
Meskipun demikian Tungkoro belum merasa puas
sebelum ia mengetahui kelebihan Gagak Cemani dalam
berolah senjata. Itu pula sebabnya mengapa Tungkoro
memutar dan menggerakkan pedangnya untuk menye-
rang Gagak Cemani dengan hebatnya, hingga kemu-
dian yang terlihat pusaran adalah si putih yang melon-
cat-loncat ke sana kemari, mengancam setiap kelenga-
han dan kelowongan dari pertahanan Gagak Cemani.
Tetapi si pendekar berjubah itupun bergerak sema-
kin dahsyat dengan senjata golok hitamnya. Golok ter-
sebut seolah-olah menari-nari ke sana kemari me-
nyambut setiap libatan pedang Tungkoro, bagaikan se-
orang gadis yang selalu menyongsong setiap gerak ta-
rian seorang jejaka.
Tidak jarang kedua senjata itu saling bersentuhan,
bahkan berbenturan dengan suara gemerincing diba-
rengi letupan bunga api. Dalam saat-saat demikian
Tungkoro selalu berhati-hati, sebab setiap benturan itu
terasalah betapa tangan kanannya menjadi nyeri.
Begitulah, setiap orang yang menyaksikan pertaru-
ngan tersebut telah dicengkam oleh kekaguman serta
rasa yang tidak dapat terpahami, tak ubahnya orang
yang lagi bermimpi.
Wajah orang-orang tersebut semakin menegang, se-
perti seutas benang yang direntang pula kedua ujung-
nya, tanpa sedikitpun kesempatan untuk mengendor.
Apalagi ketika kedua pendekar itu semakin cepat bergerak hingga seolah-olah tubuh mereka lenyap, kecuali
dua bayangan hitam dan lingkaran-lingkaran sinar pe-
dang dan golok hitam yang tertampak.
Tungkoro tidak mengira bahwa ia dapat menjumpai
seorang pendekar muda sakti di luar lingkungan ke-
prajuritan Demak. Kalau dengan Wira Tamtama Ma-
hesa Wulung, ia telah pula mengenalnya. Nama-nama
tokoh sakti di luar Demak telah ia dengar pula, seperti
Macan Kuping, Ki Topeng Reges, Rikma Rembyak, Pen-
dekar Bayangan, Ki Camar Seta dan sebagainya. Na-
mun kesemuanya itu toh terbilang dari kalangan to-
koh-tokoh tua. Sedang kini, ia menjumpai pendekar
muda Gagak Cemani, yang masih sebaya dengan diri-
nya dan sedikit lebih tua dari Mahesa Wulung.
Oleh sebab itulah, di dalam hati Tungkoro timbul
perasaan bangga karena ia sempat berkenalan dengan
Gagak Cemani dengan cara yang dikehendaki, yaitu
bertanding olah tenaga dan kelincahan bermain senja-
ta.
Habislah puluhan jurus berlalu, tapi pertempuran
mereka belum mereda, bahkan makin sengit. Apalagi
ketika Tungkoro telah memahami bahwa lawannya cu-
kup tangguh untuk menghadapinya, maka ia tidak se-
gan-segan untuk menumpahkan segala ilmu pedang-
nya terhadap Gagak Cemani tanpa perlu kuatir bila
Gagak Cemani akan mengalami cedera oleh senjata
pedangnya.
Adalah sudah sepatutnya bila masing-masing ingin
segera mengakhiri pertandingan tersebut, dengan me-
nunjukkan kelebihannya kepada lawannya dan me-
nang. Hanya saja satu hal yang tidak boleh terjadi pa-
da mereka, yaitu masing-masing tidak boleh melukai
lawannya.
Yah, itu sudah tentu demikian. Bukankah mereka
bertarung hanya sekadar sebagai mempererat persahabatan belaka? Jadi dalam hati mereka, tidak ada se-
kelumit pun perasaan untuk membunuh ataupun me-
lukai lawannya. Mereka sekadar ingin menunjukkan
kelebihan yang dipunyainya. Lain tidak!
Akhirnya Tungkoro telah merasa cukup lama dan ia
bermaksud menggunakan jurus pedangnya, ‘Menyobek
Daun Ilalang’, untuk memenangkan pertandingan itu.
“Haaiittt!”
Teriakan keras terdengar dari mulut Tungkoro ber-
samaan tubuhnya melesat ke arah Gagak Cemani. Ju-
rus yang dipergunakannya mempunyai dua gerakan.
Pertama menusuk, kemudian menebas ke samping, di
mana lawan berada. Dengan begitu maka lawannya
akan menjadi bingung, sebab kedua gerakan tadi sa-
ling berhubungan tapi tidak terduga-duga datangnya.
Melihat hal ini, Gagak Cemani tidak tinggal diam
begitu saja. Ia pun dengan sebatnya meloncat ke atas
menyambut serangan Tungkoro tadi.
Maka terlihatlah dua bayangan manusia itu melun-
cur ke atas saling menyongsong dengan senjata-sen-
jata siap beraksi, dan apa yang kemudian terjadi sung-
guh mencengkam perasaan.
Wessss. Sreettt, sret, sret. Traaang!
Begitulah, berbagai suara terdengar ketika Gagak
Cemani dan Tungkoro saling berpapasan di udara.
Sesaat kemudian, keduanya telah mendarat kemba-
li di tanah, namun itu bukan berarti bahwa suasana
yang tegang tadi telah mereda. Bahkan sebaliknya.
Saat-saat itu adalah saat yang menentukan dan me-
rupakan puncak daripada pertandingan itu. Kini se-
mua orang ingin melihat apakah yang telah terjadi pa-
da mereka? Siapakah yang kalah dan siapa yang me-
nang?
Begitu Gagak Cemani dan Tungkoro mendarat dan
tiba di tanah, keduanya segera berhadapan kembali
dalam jarak sejauh tiga tombak lebih.
Yang pertama-tama memeriksa dirinya adalah Ga-
gak Cemani. Ia merasa bahwa tubuhnya tidak menda-
pat cedera sedikitpun, namun toh ia merasa ada sesu-
atu yang tidak beres pada dirinya. Benarkah pedang
Tungkoro telah berhasil menyentuh dirinya?
Tiba-tiba saja Tungkoro tersenyum dan begitu pula
semua orang yang berada di tempat itu, ketika, Gagak
Cemani mendesis kaget sesudah ia merentang sisi ju-
bahnya yang kanan.
“Oooh!”
Ya, ternyata pada sisi jubah tersebut terlihat sobe-
kan sepanjang setengah jengkal! Dan karenanya pula
Gagak Cemani mengakui dalam hati akan kehebatan
Tungkoro.
Sesaat kemudian Gagak Cemani menyarungkan
kembali golok hitamnya, sementara Tungkoro masih
saja tersenyum-senyum karena kelebihannya itu!
Suara bergumam terdengar dari mulut orang-orang
yang berada di tempat itu, yang ternyata telah penuh
oleh para tamtama prajurit dan petugas lainnya.
Ketika bergumam itu, semua pandangan mata bera-
lih dari Gagak Cemani kepada Tungkoro. Mengapakah
demikian itu? Mungkin orang-orang di situ ingin me-
muji kehebatan permainan pedang Tungkoro yang te-
lah berhasil menyobek sisi jubah si Gagak Cemani.
Sekarang giliran Tungkoro ingin memeriksa tubuh-
nya, apalagi ketika ia merasa bahwa dadanya menjadi
dingin oleh sentuhan angin.
Tungkoro cepat-cepat meraba dadanya. Selama ini
ia kurang menyadari dirinya dan berkeyakinan bahwa
golok Gagak Cemani tidak bakal sanggup menyentuh
dirinya.
Namun benarkah kiranya anggapan Tungkoro tadi?
Sayang ia tidak mengetahui, bahwa Gagak Cemanipun
telah menggunakan jurusnya ‘Seriti Meminum Embun’
yang hebat.
“Waaakhhh!” seru Tungkoro, demikian ia meraba
dadanya! Ternyata bajunya telah terbelah mulai dari
leher sampai pusat dan sepertiga ikat pinggangnyapun
turut tersayat pula! Inilah hebatnya. Meskipun baju-
nya itu terbelah, kulit dadanya tidak mendapat cedera
sedikitpun.
Hal tersebut tentu pula mustahil. Sebab jika sean-
dainya mau, Gagak Cemanipun sanggup menggores
ataupun membelah dada Tungkoro tadi.
Tetapi toh hal itu tidak dilakukannya. Sebab lawan-
nya bertanding bukanlah orang jahat ataupun lawan
yang sebenarnya, melainkan hanya lawan sementara
sebagai pengikat perkenalan dan persahabatan saja.
Tungkoro buru-buru melangkah ke arah Gagak
Cemani seraya tersenyum tulus dan berkata, “Hebat!
Anda memang pendekar gemblengan, Saudara Gagak
Cemani! Akh, aku merasa berterima kasih oleh pelaja-
ran dari Saudara ini. Dengan demikian aku dapat
mengetahui sampai di mana kemampuanku!”
“Tak usah berkecil hati, Tuan!” ujar Gagak Cemani
seraya menyambut jabatan tangan dari Tungkoro ke-
padanya. “Andika pun punya kelebihan yang menga-
gumkan hatiku.”
“Eeh, Andika berdua telah bermain dengan baik!”
berkata Mahesa Wulung yang mendapatkan kedua
pendekar itu bersama Pandan Arum. Sementara itu
orang-orang di situ satu demi satu berlalu dan kembali
kepada kesibukannya semula.
“Sobat sekalian, aku permisi dahulu untuk mening-
galkan kalian, karena aku harus mengganti bajuku ini
lekas-lekas. Jika tidak, pasti aku akan masuk angin.
Heh, heh, heh,” ujar Tungkoro seraya mendekap dada-
nya.
Sesudah mengangguk hormat kepada ketiga saha-
batnya itu, Tungkoro berlalu meninggalkan tempat ter-
sebut ke arah barat, sedang Surowopun berjalan pula
di sampingnya.
“Adimas Mahesa Wulung. Waktu kita telah tertahan
di sini beberapa saat,” berkata Gagak Cemani. “Apakah
kita tidak perlu lekas-lekas pergi mendapatkan Paker-
ti?”
“Benar, Kakang Cemani!” sahut Mahesa Wulung pu-
la seraya menatap ke langit, melihat matahari yang te-
lah mulai condong ke arah barat. “Marilah kita be-
rangkat segera!”
Ketiganya lalu bergegas melewati pintu gerbang Ba-
lai Kesatrian, kemudian berjalan ke arah timur untuk
mendapatkan Pakerti yang telah ditempatkannya di
rumah pemondokan para prajurit Demak.
Jarak yang mereka tuju tidaklah terlalu jauh, se-
hingga dalam beberapa saat saja sampailah mereka di
tempat tujuan.
Seorang prajurit tua segera tergopoh mendapatkan
Mahesa Wulung bertiga dan berkatalah orang tua ini.
“Anakmas Mahesa Wulung! Selamat datang... tapi...
tapi di manakah si Pakerti itu? Bukankah tadi Anak-
mas telah memerintahkan beberapa orang untuk men-
jemput Pakerti?”
“Hah, bagaimanakah duduk perkara sebenarnya,
Bapak?” sahut Mahesa Wulung seraya tercengang he-
ran. “Aku tak mengerti maksud itu. Baru sekarang in-
ilah kami datang kemari untuk menjemput Pakerti!”
“Oh, jadi... Anakmas tidak menyuruh orang-orang
untuk menjemput Angger Pakerti?” ujar prajurit tua itu
dengan melongo.
“Tidak, Bapak. Sekarang cobalah Bapak ceriterakan
hal itu dengan jelas, agar kami dapat mengetahui du-
duk perkara yang sebenarnya.”
“Baik, Anakmas Wulung,” berkata orang tua itu se-
raya mengatur kata-katanya. “Kejadian ini telah berla-
lu, kira-kira sepenanak nasi lamanya dari sekarang.
Beberapa orang telah datang ke tempat ini katanya un-
tuk menjemput Pakerti. Aku masih dapat mengingat
bahwa salah seorang dari mereka mempunyai bengkak
dan sedikit luka pada pelipisnya. Mereka berkata ke-
pada Pakerti yang waktu itu lagi duduk-duduk bersa-
ma saya, bahwa mereka diutus oleh Anakmas Mahesa
Wulung untuk menjemput Pakerti yang katanya ada
urusan penting dan harus segera pergi ke sebelah ti-
mur kota Demak ini. Kami tak merasa curiga apapun
dan Pakerti menyetujui ajakan mereka. Sesudah ia
berganti pakaian sebentar, berangkatlah Angger Paker-
ti bersama mereka ke arah timur. Nah, demikianlah
kejadian yang sejelasnya, Anakmas Wulung.”
“Aduh, ketiwasan kita!” seru Mahesa Wulung. “Me-
reka justru adalah lawan-lawan kita, Bapak. Sebab
kami tidak menyuruh seorangpun untuk menjemput si
Pakerti!”
“Lalu apakah tindakan kita, Anakmas Wulung? Ba-
gaimana kalau kita kerahkan beberapa orang prajurit
untuk mengejar mereka?” kata si prajurit tua.
“Jangan, Bapak. Hal itu tentu akan menimbulkan
keributan pada umum. Maka biarlah kami saja yang
akan mencari mereka!” berkata Mahesa Wulung pula.
“Marilah, Kakang Cemani dan Adi Pandan Arum, kita
cepat-cepat mengejar mereka. Permisi saja Bapak, ka-
mi pergi sekarang!”
Hati siapa yang tidak akan panik oleh keterangan si
prajurit tua tadi, terlebih lagi bagi Mahesa Wulung.
Apa yang dikuatirkan tentang keselamatan Pakerti ter-
nyata kini telah benar-benar terjadi. Dan apabila Ma-
hesa Wulung mengingat keterangan si prajurit tua
yang menyatakan bahwa salah seorang di antara para
penjemput Pakerti itu mempunyai ciri luka dan beng-
kak pada pelipisnya, ia lalu menjadi teringat oleh keja-
dian di Asemarang beberapa hari yang lalu. Di sana ia
telah melukai seorang pengintai gelap, dan tidak mus-
tahil bahwa si pengintai gelap tadi adalah orang yang
mendatangi Pakerti.
Begitulah Mahesa Wulung bertiga berjalan dengan
cepatnya ke arah timur. Pintu gerbang kota telah keli-
hatan dan sebentar lagi mereka akan melewatinya.
Udara sore semilir bertiup sangat segarnya memba-
wa hawa laut yang menyongsong dedaunan pohon
yang sesiang tadi telah kepanasan oleh teriknya sinar
surya.
***
EMPAT
DI SEBUAH hutan kecil tidak jauh dari daerah ti-
mur kota Demak, tampaklah beberapa orang berjalan
beriringan menerobos semak-semak ilalang.
Yang paling depan bertubuh kekar dengan kumis
dan jenggotnya yang kasar serupa ijuk. Pada pelipis-
nya terdapat sebuah bengkak kebiruan dan luka kecil
yang sedikit agak kering.
Di belakangnya lagi, berjalan seorang yang berpera-
wakan jauh lebih tinggi daripada si kumis ijuk yang
ada di muka. Ikat kepalanya merah membara war-
nanya. Ia memakai baju berwarna coklat tua berkilat
seperti beludru dan pada bagian dadanya dihiasi oleh
bulatan logam selebar telapak tangan lebih, merupa-
kan perisai kecil yang selalu melindunginya dari setiap
bahaya.
Berjalan nomor tiga adalah si Pakerti, yakni si pemuda yang saat ini tengah dicari-cari oleh Mahesa Wu-
lung dan kedua rekannya.
Sedang di belakangnya lagi, tampak empat orang
berperawakan tinggi kekar yang selalu mengawasi Pa-
kerti dengan seksama dan cermatnya.
Ketika mereka semakin jauh menerobos semak ila-
lang tadi, diam-diam Pakerti menjadi semakin cemas
dan menjadi setengah curiga.
Oleh sebab itu, Pakerti selalu mencoba meninggal-
kan jejaknya dengan kadang-kadang mematah ranting
pohon ataupun membuat lobang telapak kakinya lebih
dalam di tanah. Ia berharap semoga ada orang lain
yang dapat melihat jejaknya itu.
“Tuan, di manakah kalian akan mempertemukanku
dengan Tuan pendekar Mahesa Wulung?” bertanya Pa-
kerti kepada si baju perisai. “Mengapakah ia mengutus
kalian dan tidak datang sendiri menemaniku?!”
“Jangan banyak cerewet, anak muda!” bentak si ba-
ju perisai. “Ikuti saja langkah kami dengan menurut
agar kau tidak mendapat kesukaran!”
“Heiii, itu kata-kata ancaman! Apa maksud kalian
sebenarnya. Di mana Tuan Mahesa Wulung berada?!”
seru Pakerti dengan cemas dan paniknya, sementara
satu perasaan aneh mulai merayapi dadanya.
“Diam! Kau tidak dengar kataku tadi?!” teriak si ba-
ju perisai. “Atau aku harus menyumbat mulutmu de-
ngan pedangku ini supaya engkau diam?!”
“Lhoo, kemana kalian akan membawaku?!” berseru
Pakerti ketakutan dengan dada berdentang-dentang.
“Ke neraka!” bentak si baju perisai lagi seraya me-
noleh ke arah Pakerti. “Oleh karenanya, engkau tak
perlu banyak tingkah, bocah ingusan!”
“Heee, jadi kalian telah menipuku?! Keparat!” teriak
Pakerti sekaligus melancarkan pukulan tangan kirinya
ke lambung si baju perisai di depannya. Api kemara
han telah membakar dadanya.
Breeeekkk!
“Aaaauuuhhh!”
Kembali Pakerti berteriak kesakitan ketika pukulan
tangannya mendarat di lambung si baju perisai, terasa
seperti membentur bukit karang.
Pakerti terpental ke belakang serta mengibas-ngi-
baskan tangan kirinya dan sebentar pula menghem-
bus-hembusnya lantaran pukulannya tadi serasa
membentur dinding karang yang tebal. Sedang si baju
perisai cuma tertawa tergelak-gelak.
Merasa bahwa dirinya berada dalam bahaya, maka
Pakerti dengan sebat meloncat ke samping untuk ka-
bur. Tetapi sekali lagi ia terkejut, begitu si baju perisai
menggerakkan tangannya separuh lingkaran dan tahu-
tahu kesepuluh jari-jari tangannya telah menyambar
pinggang Pakerti dan kemudian membantingnya sekali
ke tanah, hingga tak ampun lagi si Pakerti jatuh ter-
jengkang dan mengaduh kesakitan.
“Seret bocah ingusan ini!” teriakan perintah dari si
baju perisai kepada keempat rekan di sebelah belakang
yang secepat kilat menyeret dan mengikat tangan Pa-
kerti dengan kuat.
Bagaimanapun juga pemuda itu masih mempunyai
keberanian dan dengan sekuat tenaganya ia berontak
sekeras mungkin. Namun rupanya para penyergapnya
ini sungguh-sungguh orang pilihan, sehingga usaha-
nya tadi adalah sia-sia belaka.
“Lepaskan aku! Lepaskan!” teriak Pakerti seperti ca-
cing kepanasan dijepit tangan-tangan perkasa.
“Heh, heh, heh. Berteriaklah sampai mulutmu so-
bek! Toh, akhirnya engkau akan mampus juga!” bentak
si baju perisai disertai ketawa yang memuakkan teli-
nga.
Akhirnya Pakerti tak berdaya sama sekali. Selain ia
kalah tenaga, iapun kurang cukup mempunyai bekal-
bekal kepandaian silat.
“Hemmm, sekarang kau tak berdaya, setan kecil!”
ejek si baju perisai dan mulutnya kemudian tersenyum
lebar. “Tangan kirimu tadi telah lancang menyentuh
tubuhku, dan untuk itu kau harus menerima huku-
man!”
“Heh heh heh, ha, ha,” terdengar derai ketawa para
pengikut si baju perisai tadi seraya mengganggu si Pa-
kerti dengan tamparan-tamparan dan tendangan kaki.
“Keparat! Iblis!” umpat Pakerti dengan beraninya.
“Ayo, bunuhlah aku jika kalian berani!”
“Bagus! Kau masih berani berlagak di hadapanku!
Kau tahu siapa aku ini, haah?! Akulah Surokolo, si
dada besi yang tak terkalahkan!” demikian seru si baju
perisai yang menyebutkan dirinya, menyebabkan dada
Pakerti berdesir seketika, sebab ia pernah mendengar
nama itu. Nama yang banyak dikenal dalam deretan
tokoh-tokoh rimba persilatan yang berulang kali mela-
kukan kejahatan.
“Ayo, kawan-kawan. Ikat bocah bandel ini di batang
pohon!” terdengar kembali seruan Surokolo kepada pa-
ra pengikutnya yang kemudian dengan cekatan melak-
sanakan perintah tersebut.
Sekejap mata saja tubuh Pakerti telah terikat dan
melekat pada batang pohon oleh belitan-belitan tali
yang melilit dengan kerasnya, ibarat otot-otot raksasa.
Sriiingng!
Tiba-tiba saja Surokolo telah mencabut pedang pan-
jangnya. Matanya dengan liar menatap ke wajah Paker-
ti, lalu berkata, “Engkau tadi berkata supaya kami
membunuhmu?! Hah, memang kami telah memikirkan
hal itu. Tapi kami punya cara-cara tersendiri untuk-
mu. Hah, hah, he, he, he. Terlalu enak jika engkau ma-
ti dengan cepat. Lihatlah, kami akan membuatmu mati
dengan cara yang perlahan-lahan dan lambat!”
Begitu selesai berkata-kata, Surokolo secepat kilat
mengayunkan pedangnya ke depan dan sekejap kemu-
dian terdengarlah jerit yang mengerikan berbareng ter-
pelantingnya sebuah lengan berlumur darah ke atas
tanah.
“Aaaaeerh!” Rintih memilukan keluar dari mulut
Pakerti ketika ia merasa bahwa lengannya telah copot
dari tubuhnya oleh tebasan pedang Surokolo.
Penglihatan Pakerti menjadi semakin kabur, seolah-
olah ia berada di tengah kabut. Darah segar terus
mengalir dari luka-lukanya tanpa bisa ditahan lagi.
Namun sedikit banyak ia masih dapat menangkap
bayangan wajah Surokolo dan orang-orangnya. Terde-
ngarlah kemudian gumamnya perlahan. “Kalian penge-
cut... tunggulah kelak pembalasanku... tunggulah!”
“Hua, ha, ha, ha, ha,” tertawa Surokolo diikuti oleh
pengikut-pengikutnya. “Lihatlah kawan-kawan. Bocah
ini masih berani mengancam kita, padahal sebentar la-
gi ia akan mampus kehabisan darah!”
“Kakang Surokolo! Biarlah dia mampus di sini dan
menjadi makanan binatang. Sekarang ke manakah tu-
juan kita?!?” bertanya si kumis ijuk.
“Kita segera pulang, Bedor!” ujar Surokolo kepada si
kumis ijuk serta kemudian menyarungkan kembali pe-
dangnya dan memberi isyarat kepada para pengikut-
nya untuk meninggalkan tempat tersebut.
Sambil meludah, sekali lagi Surokolo menatap ke
arah Pakerti lalu berseru, “Katakan saja jika engkau
masih sempat hidup, bahwa perbuatan ini adalah pem-
balasan dari Rikma Rembyak!”
Pakerti masih bisa mendengar kata itu namun per-
lahan sekali, dan sesaat kemudian kepalanya terkulai
ke bawah karena pingsan.
Surokolo, Bedor dan keempat pengikutnya telaberloncatan ke arah barat dan lenyap di sebelah sana.
Kini tinggallah Pakerti di tempat tersebut dalam kea-
daan pingsan dan terikat pada sebatang pohon.
Sungguh malang nasib Pakerti ini. Kalau dahulu ia
masih bisa lolos dari tangan maut Ki Rikma Rembyak
sendiri, kini ia telah tertangkap buat kedua kalinya
dan tangan kirinya terpenggal putus! Darahpun masih
menetes dari luka-lukanya dan suatu ketika pasti ha-
bis mengalir keluar semua darahnya. Dengan demikian
tentulah Pakerti akan mati secara lambat! Sungguh
mengerikan akibatnya. Tapi apakah hal ini akan be-
nar-benar terjadi? Tak seorangpun dapat menjawab-
nya.
***
Pakerti masih saja tak sadarkan diri ketika dari
arah timur terlihat tiga sosok bayangan manusia me-
nerobos dan menguakkan semak-belukar dan gerum-
bul pohon yang lebat-lebat.
Matahari sudah sangat rendah pada langit barat,
namun cahayanya masih cukup menerangi wajah keti-
ga bayangan manusia tersebut.
Yang berada di sebelah muka, sebentar membung-
kuk ke bawah serta memeriksa rerumputan serta ta-
nah-tanah di depannya dengan telitinya.
Tak antara lama iapun memungut sebuah ranting
pohon yang telah dipatahkan. Oleh kedua orang lain-
nya, maka ranting tersebut diperiksanya pula, dan
kemudian berkatalah salah seorang di antaranya.
“Kakang Gagak Cemani, aku yakin bahwa ranting
ini bekas dipatahkan oleh tenaga tangan manusia. Pa-
tahan yang ujung membuatnya tertanggal lepas dari
batang pohonnya, sedang patahan kedua cuma me-
nimbulkan separuh patah.”
“Ternyata aku pun menduga demikian, Adimas Mahesa Wulung. Dan lihatlah di depan kita ini. Kau lihat
adanya rerumputan ilalang yang kusut dan mosak-
masik itu?” ujar Gagak Cemani sambil menunjuk ke
depan.
“Mudah-mudahan saja hal ini akan memberi petun-
juk-petunjuk tentang jejak Pakerti, Kakang,” kata Ma-
hesa Wulung pula.
“Marilah kita lekas-lekas maju ke depan,” ajak si
Gagak Cemani, dan mereka bertiga segera meneruskan
perjalanannya.
Makin jauh mereka melangkah, makin banyaklah
semak daun ilalang yang rebah dan kusut ke sana ke-
mari, sehingga diam-diam ketiga orang ini menjadi
berdebar-debar jantungnya.
Mereka telah bersiap-siap pula untuk menghadapi
setiap kemungkinan, dan dengan seksama dilihatnya
setiap sudut pepohonan di dekatnya.
Tiba-tiba saja Pandan Arum menjerit kecil seraya
menunjukkan jarinya ke arah sebuah pohon dengan
wajah kepucatan dan mata melotot.
“Ooookh! Ses... siapa orang itu?! Lihatlah ke sana!”
seru Pandan Arum, sehingga Mahesa Wulung serta
Gagak Cemani melihat ke arah yang sama.
“Itulah... Pakerti!” seru Gagak Cemani, serta Mahe-
sa Wulung berbareng serta berlarian mendekati tubuh
Pakerti yang terikat pada sebatang pohon dalam kea-
daan mengharukan.
Tangan kirinya telah buntung, berlumuran darah
kental yang setengah kering. Untuk ini Pandan Arum
terpaksa berpaling serta menutup matanya untuk
menghindari pemandangan yang ngeri dan mengharu-
kan tersebut.
Tanpa menunggu lebih lama, Mahesa Wulung serta
Gagak Cemani berloncatan untuk menolong Pakerti.
Tali-temali yang mengikat tubuhnya segera dilepaskan
dan di saat itu pula tubuh Pakerti merosot ke bawah
menggelusur di tanah.
“Celaka!” desis Gagak Cemani dengan wajah mu-
ram. “Dia telah banyak kehilangan darah!”
“Jika demikian, apakah ia tidak mempunyai kesem-
patan untuk hidup?!” sambut Mahesa Wulung dengan
cemasnya.
“Masih ada! Cuma aku sangsi apakah daya tahan
tubuhnya cukup baik untuk menghadapi luka-lukanya
itu,” berkata Gagak Cemani seraya memeriksa luka
Pakerti yang selalu meneteskan darah itu. “Marilah ki-
ta gotong si Pakerti ini dan kita bawa pulang ke De-
mak!”
“Benar, Kakang Cemani,” sambung Mahesa Wulung.
“Di sana kita akan dapat merawatnya lebih baik!”
Akan tetapi tiba-tiba saja terjadilah sesuatu yang
mengejutkan Mahesa Wulung bertiga. Sebuah baya-
ngan manusia telah muncul di bawah rerumpun pi-
sang serta meloncat ke arah mereka serta berseru,
“Tahan!”
Mahesa Wulung, Gagak Cemani dan Pandan Arum
secepat kilat bersiaga dengan senjatanya karena
bayangan itu telah begitu dekat dengan mereka.
Namun sekali lagi mereka dibikin kaget ketika da-
lam sinar senja itu, Mahesa Wulung bertiga dapat me-
ngenal wajah orang itu yang tidak lain adalah Wisa-
mala.
“Hee, angin apakah yang membawamu datang ke-
mari, sobat?!” seru Gagak Cemani heran.
“Maaf jika aku telah mengejutkan kalian!” ujar Wi-
samala.
“Kami akan menolong sahabatku ini,” Mahesa Wu-
lung berkata. “Luka-lukanya cukup berat.”
“Tapi aku yakin bahwa kalian tidak menghendaki
anak ini mati, bukan?” sahut Wisamala. “Jika ia terlalu
banyak bergerak, maka lukanya akan bertambah pa-
rah, demikian pula darahnya akan semakin banyak ke-
luar dan tidak mustahil bila kematian akan mereng-
gutnya!”
“Jadi, apakah maksud Anda?” tanya Gagak Cemani
kepada Wisamala.
“Aku sanggup menolong pemuda ini, sobat,” jawab
Wisamala. “Dan ijinkanlah aku merawatnya sampai
sembuh. Kebetulan sekali aku belum mempunyai mu-
rid.”
“Tapi ia mempunyai kepentingan dengan kami,”
sambung Mahesa Wulung. “Dan bagaimana nantinya?”
“Itu Andika tidak perlu kuatir. Jika kelak ia telah
sembuh pasti akan datang menemui Andika!” ujar Wi-
samala seraya memeriksa tubuh dan luka-luka Pa-
kerti. “Biarlah sekarang aku menghentikan darahnya
yang menetes dari luka-lukanya ini.”
Selesai berkata, Wisamala kemudian menotokkan
ujung jarinya ke atas pundak kiri Pakerti serta memi-
jitnya beberapa kali, sedang Mahesa Wulung bertiga
selalu mengamatinya.
Sungguh mengagumkan jadinya. Beberapa saat ke-
mudian darah yang selalu menetes dari luka Pakerti
telah berhenti dan Pakerti sendiri telah mulai merintih.
Dari mulutnya terdengar gerenengan pelahan, “Suro-
kolo, kalian pengecut. Hanya berani terhadap orang
yang tak berdaya....”
Mendengar nama Surokolo disebut-sebut oleh Pa-
kerti, Mahesa Wulung serta Wisamala mengangkat mu-
kanya saking kagetnya.
“Wah, jika demikian,” ujar Mahesa Wulung, “pasti-
lah yang membuntungi tangan Pakerti ini adalah Su-
rokolo dan komplotannya.”
“Kiranya memang begitu,” Wisamala berkata sambil
menyelesaikan pekerjaannya membalut luka Pakerti
dengan selembar kain bersih.
“Baiklah, Kisanak,” kata Mahesa Wulung kemudian.
“Aku serahkan perawatan Pakerti ini kepada Anda.
Semoga ia dapat sembuh dan menjadi murid Anda
yang baik.”
“Terima kasih, terima kasih!” ujar Wisamala dengan
gembiranya. “Aku berjanji akan merawatnya dan mem-
beri didikan yang baik kepadanya!”
Dengan bantuan Mahesa Wulung dan Gagak Cema-
ni akhirnya Wisamala telah memondong tubuh Pakerti
di dadanya.
“Sayang, aku tak dapat lama-lama tinggal di tempat
ini, sebab keadaan pemuda ini sangat menguatirkan
sekali!” Wisamala berkata. “Aku minta diri sekarang.”
“Berangkatlah, sobat. Kami mengucapkan terima
kasih atas kesediaan Anda untuk mengobati Pakerti,”
berkata Mahesa Wulung seraya menepuk pundak Wi-
samala.
Sekali lagi Wisamala mengangguk tersenyum dan
kemudian, dengan sebuah loncatan panjang ia telah
melesat ke arah selatan bagaikan seekor belalang yang
mengejar cahaya senja yang sebentar lagi akan tengge-
lam dan hilang di langit sebelah barat.
Dalam pada itu Mahesa Wulung bertigapun telah
melangkah ke arah selatan untuk kembali ke Demak.
Dan ketika mereka memasuki gerbang timur kota De-
mak, kini telah senyap-sepi terbuai oleh dekapan sang
malam yang hitam pekat.
***
Sebuah pondok sementara yang terbuat dari bambu
dan beberapa lembar papan kayu serta beratapkan
rumput ilalang berdiri di lekukan kaki pegunungan
kapur di sebelah timur Kali Serang.
Di depan pondok tadi, terlihatlah seorang laki-laki
tengah membelah kayu bakar dengan sebilah parang
yang besar dan berkilap.
Menilik balok-balok kayu yang besar-besar di dekat-
nya, pastilah orang tidak bakal percaya bila semua itu
adalah persediaan dari kayu bakar yang tengah di-
buatnya di situ.
Dengan enaknya laki-laki tadi berkali-kali men-
gayunkan parangnya dan setiap kali mata parang ter-
sebut menimpa potongan balok-balok kayu di depan-
nya, maka terbelahlah pecahan dari balok tadi menjadi
pecahan-pecahan kayu.
Dari sebab itu maka dapatlah ditarik kesimpulan,
bahwa laki-laki tersebut memiliki kekuatan tenaga da-
lam yang sangat hebat. Jika pekerjaan tadi hanya
mengandalkan tenaga kosong saja, pastilah selesainya
akan memakan waktu yang lama. Di samping itu, ma-
ka paling-paling mata parang tadi hanya akan me-
nancap pada permukaan balok kayu saja.
Namun hal itu tidak pernah terjadi. Setiap mata pa-
rang tadi membacok, maka ia akan terus membelah
sampai ke bawah terus, seolah-olah ia cuma membelah
gumpalan batang pohon pisang saja.
Dan laki-laki itu terus saja bekerja seperti tidak me-
ngenal rasa lelah. Dalam beberapa saat saja maka te-
lah bertumpuk-tumpuk di sebelahnya pecahan kayu
bakar menggunung.
Sambil bekerja tadi, sekali-sekali ia menoleh ke
arah pondoknya, seperti ia menguatirkan sesuatu yang
berada di dalam pondok tersebut.
Memang demikianlah sesungguhnya, dalam hatinya
selalu saja ia bertanya-tanya tentang nasib seseorang
yang sampai saat ini masih terbaring menggeletak di
atas balai-balai bambu di dalam pondoknya itu, de-
ngan badan yang masih panas.
Orang ini bermandikan peluh dan tergeletak di situ
dengan nafas yang sedikit lebih cepat dari nafas keba-
nyakan orang. Peluh yang keluar dari pori-pori kulit-
nya, sebentar-sebentar jatuh dan menetes di atas ba-
lai-balai.
Agaknya ia mulai sadar dan dengan lambat sekali ia
membuka kedua belah matanya.
Yang pertama-tama ditatap oleh pandangan mata-
nya adalah atap daun ilalang dan bambu yang seder-
hana buatannya. Terasa perubahan pada wajah orang
ini, yang tergambar pada bulatan bola mata yang me-
lebar dan melotot.
“Hehhh... di mana aku ini?” desah orang tersebut
seraya mencoba bangkit berdiri dari balai-balai.
Ia merasakan sesuatu yang aneh. Sesuatu yang ti-
dak sempurna pada dirinya. Ya! Ingat ia sekarang. Di
saat ia bangkit, ternyata tangan kirinya tidak mau
membantu dan bekerja seperti biasanya.
“Ooh, ada apakah dengan tangan kiriku? Lumpuh-
kah, sehingga tidak mau bekerja?” begitu pertanyaan
orang tadi seraya mengacungkan kedua belah tangan-
nya ke depan.
Sekonyong-konyong menjeritlah ia, bila yang dapat
teracung ke depan serta dilihat oleh matanya, hanya-
lah tangan yang sebelah kanan, sedang yang kiri sama
sekali tidak dapat!
Meskipun maksud diri juga mengacungkan tangan
kirinya ke depan, tapi berkali-kali ia tak berhasil. Se-
hingga akhirnya tangan kanannya dengan geragapan
dan gugup meraba dan meremas tangan kiri.
“Tidak ada!” desahan keras terdengar.
Yah, ia tak menjumpai lagi tangan kirinya! Berkali-
kali ia merabanya tapi memang tak dijumpainya!
“Aku... telah cacad!” gumamnya pelahan. “Tangan
kiriku telah hilang!” Ia mulai berdiri dan tiba-tiba ber-
teriaklah ia dengan nada keputus-asaan yang sangat.
“Aku telaaah buntuuuuuungng!”
Sambil berteriak, orang ini berlari ke arah pintu un-
tuk ke luar dari pondok bambu, dan begitu tiba di luar
seakan-akan seluruh sendi-sendi tulangnya seperti
lumpuh dan iapun jatuh terduduk di tanah sambil me-
nangis tersedu-sedu.
“Ooh, engkau telah sadar kembali Pakerti!” seru
seorang bertubuh kekar yang terburu-buru mendekati
si buntung tersebut. “Syukurlah, Pakerti. Selama ini
aku selalu mencemaskanmu. Berhari-hari engkau ter-
geletak pingsan di balai-balai itu.”
“Tu... Tuan Wisamala?” desis Pakerti seraya mena-
tap orang yang berdiri di dekatnya.
“Ya, akulah ini,” ujar Wisamala seraya mengulurkan
tangannya kepada Pakerti, yang telah buntung tangan
kirinya saat kini. “Berdirilah, Pakerti.”
“Terima kasih!” sahut si pemuda Pakerti sambil
berdiri. “Andika telah menolongku, Tuan Wisamala.”
Pakerti masih bisa mengenal kembali wajah Wisa-
mala yang dahulu pernah bertempur dengan Gagak
Cemani akibat kesalah-pahaman.
“Jangan putus asa ataupun berkecil hati, Pakerti,”
kata Wisamala seraya membimbing Pakerti ke arah
samping pondok. Keduanya kemudian duduk di atas
sebuah gumpalan batu. “Meskipun engkau telah cacat,
tapi hidupmu akan tetap berarti!”
“Tapi, dengan tangan yang cuma sebelah ini, apa-
kah yang dapat aku perbuat?!”
“Banyak! Engkau masih dapat bekerja seperti se-
diakala. Dengan memerlukan latihan yang rajin, maka
tanganmu yang cuma sebelah itu akan lebih trampil
kerjanya.”
“Benar, Tuan Wisamala. Namun apakah dengan
tangan yang tinggal sebelah ini aku mampu membela
diriku dari bahaya yang mengancam?!”
“Heh, heh, heh, pertanyaanmu itu sudah wajar, Pa-
kerti. Sebaiknya dengarlah lebih dulu ceriteraku ini.
Pernahkah engkau memperhatikan ceritera wayang
tentang Raden Kumbakarna? Nah ketika perang Aleng-
ka, kedua tangannya telah buntung oleh senjata la-
wan. Tapi toh ia masih bisa mengamuk dengan dah-
syat, malahan lebih dahsyat daripada saat-saat ia ma-
sih bertangan. Dengan berdasarkan itu pula, maka
saya percaya bahwa meskipun engkau telah kehila-
ngan tangan kirimu, tak akan menjadi halangan untuk
mempertahankan dirimu,” demikian tutur kata Wisa-
mala kepada Pakerti yang duduk di sebelahnya. “Ke-
tika aku menjumpaimu, engkau tengah ditolong Tuan
Mahesa Wulung bertiga. Namun aku telah melihat ba-
haya maut yang sedang mengancammu. Maka aku
minta kepada mereka untuk menolong dan mengang-
kat murid kepadamu.”
“Aaaah, benarkah itu, Tuan?” ujar Pakerti dengan
ragu-ragu bercampur rasa senang, sebab ia telah tahu
bahwa Wisamala adalah seorang pendekar gemble-
ngan.
“Heh, heh, heh, heh. Apakah engkau belum meya-
kini terhadap kata-kataku ini, Pakerti?!” sahut Wisa-
mala serta tersenyum lebar. “Wisamala tidak senang
bermain-main. Apa yang dikatakan adalah pula cetu-
san hatinya.”
“Maaf, Tuan,” sambung Pakerti dengan nada me-
rendah. “Bukannya aku tak mempercayainya. Justru
saking gembiranya dan bahagianya maka aku hampir
tak percaya oleh kebaikan Tuan untuk mengangkatku
sebagai murid Andika.”
“Jadi bersediakah engkau menjadi muridku?” tanya
Wisamala kembali.
“Aku senang sekali, Tuan Wisamala!”
“Bagus, dan sejak saat ini kau harus memanggilku
bapak guru.”
***
Mulai saat itulah maka Pakerti telah diangkat seba-
gai murid Wisamala. Langkah pertama, kepada Pakerti
diajarkan dasar-dasar ilmu pengetahuan tentang hi-
dup. Bagaimana ia harus hidup dan bergaul dengan
masyarakat dan bebrayan hidup. Bagaimana cara-cara
bekerja yang baik dan masih banyak lagi lainnya.
Pada tahap berikutnya oleh Wisamala, diajarkanlah
gerakan-gerakan lincah kepada Pakerti. Terutama Wi-
samala menekankan kepada muridnya agar ia memiliki
kelincahan yang sempurna.
Mengapakah demikian? Hal tersebut disebabkan
oleh keadaan tubuh Pakerti yang kini telah cacat. Ka-
lau dahulu ia mampu menangkis serangan lawan de-
ngan tangan kirinya, sekarang tidak mungkin lagi hal
itu dialaminya, sebab tangan kirinya telah buntung!
Maka satu-satunya jalan ialah menangkis dengan
tangan kanannya, dan tentu saja hal tersebut bisa di-
lakukan bila dirinya mampu bergerak cepat ke kiri
atau ke kanan, juga ke setiap arah yang diperlukan-
nya.
Dan pada suatu hari Pakerti harus menghadapi per-
cobaan dan latihan-latihan dari Wisamala. Keduanya
berdiri saling berhadapan tak jauh dari pondok mereka
dalam sikap yang bersiaga.
Sesudah Wisamala mengawasi dan menyaksikan
kesiapan muridnya, berserulah ia, “Pakerti! Perhatikan
dengan baik batu-batu kerikil yang ada pada telapak
tanganku ini. Nah, sudah kau lihat? Semua ada lima
butir dan kesemuanya harus kau tangkis dengan baik.
Untuk itu pakailah tangan kosong saja!”
“Baik, Bapak Guru. Aku telah siap,” Pakerti berkata
serta sekaligus mengambil sikap, sedang Wisamala
berkisar ke kanan untuk menjauhi tangan kanan Pa-
kerti. Dengan demikian ia mencoba untuk menyerang
titik kelemahan dari pertahanan Pakerti, yaitu bagian
kiri tubuhnya yang tidak mempunyai pertahanan.
Hal itu agaknya telah dipahami sepenuhnya oleh
Pakerti. Apalagi gurunyapun telah sering mengajarnya
tentang taktik menyerang dan pertahanan diri.
“Yaaaahh!” berteriak Wisamala seraya mengibaskan
tangannya dengan tiba-tiba ke arah Pakerti disambung
oleh dua leret sinar hitam yang menyambar si pemuda
buntung itu.
Weessstt!
Pakerti cepat bertindak. Ia berputar ke kiri, secepat
itu pula tangan kanannya menyampok seperempat
lingkaran, memapaki kedua sinar hitam tadi.
Plak! Plaaakk!
Suara keras bagai benturan benda keras terdengar
begitu kedua sinar hitam tersebut kena tersampok,
dan runtuh ke tanahlah dua buah batu hitam.
Akan tetapi Wisamala sekali lagi mengibaskan ta-
ngannya seraya meloncat ke atas, disusul tiga sinar hi-
tam seperti semula meluncur ke tubuh Pakerti.
Si pemuda buntung tidak menjadi gugup karena-
nya. Iapun mengendap ke kiri dan kembali tangan ka-
nannya menyampok ke arah sinar-sinar tersebut. Di
samping itu, kaki kanannya juga tak ketinggalan me-
nyampok ke atas.
Tak. Takk. Taaakk!
Tiga buah benturan keras berturut-turut terdengar
dan kembali tiga batu lemparan dari Wisamala runtuh
ke tanah oleh tangkisan Pakerti yang menakjubkan.
“Hmm, cukup bagus, Pakerti!” ujar Wisamala. Se-
nyum puasnya mengembang pada bibirnya. “Sekarang
pakailah parang itu, Nak. Sebab serangan yang meng-
ancammu akan lebih besar. Nah, cabutlah dia!”
Di saat Pakerti melolos parang dari pinggang kiri-
nya, Wisamala telah siap menyediakan batu-batu ke-
rikil di tangannya.
Sesaat kemudian, Wisamala bergerak cepat meling-
kari tubuh Pakerti dari arah kiri dan tidak ketinggalan
kedua tangannya saling bergantian mengibas ke arah
Pakerti.
Maka di saat itulah sinar-sinar hitam yang berasal
dari batu-batu bersambaran menyerang Pakerti, tak
bedanya dengan hujan meteor yang mengurung si pe-
muda buntung.
Parang Pakerti menjadi sibuk akibatnya, terlebih la-
gi berada di tangan si pendekar buntung ini. Maka be-
gitu bergerak mata parang tadi seolah-olah menjadi
puluhan jadinya.
Bunyi berdentang maupun benturan beruntun ter-
dengar memenuhi udara, dan runtuhan batu-batu be-
sar hitam berkali-kali rontok ke tanah.
“Toblas! Toblas! Tidak terlalu jelek, Pakerti!” berseru
Wisamala dan tahu-tahu tangan kanannya telah me-
nyambar sebilah tongkat logam yang sejak tadi tersan-
dar pada sebongkah batu.
Melihat hal itu, Pakerti merasa berdesir hatinya.
Gurunya telah menggenggam senjata tongkatnya yang
selama ini belum pernah dilihat permainannya.
“Perhatikan tongkatku ini, Pakerti! Cobalah engkau
menangkisnya bila ia menyerangmu. Aku akan senang
jika serangan berikut ini berhasil engkau patahkan pu-
la!” begitu kata-kata Wisamala seraya bersiap me-
lancarkan serangan.
Kesiagaan Pakerti yang dipersiapkan masak-masak
ternyata banyak membawa hasil. Begitu ia melihat gu-
runya meloncat ke arah dirinya sambil mengayunkan
tongkat logam, Pakerti segera berkelit ke samping, dii-
ringi parangnya menebas ke kanan menangkis tongkat
logam.
Bunyi gemeroncang terdengar keras dan kedua ta-
ngan yang menggenggam senjata itu masing-masing
bergetar hebat.
Pakerti meringis, karena telapak tangannya sangat
panas serasa memegang bara api. Tahulah ia, bahwa
gurunya mempunyai tenaga dalam yang bebat, dan ba-
ru sekaranglah ia merasakannya ketika parangnya tadi
membentur tongkat logam Wisamala.
Sedangkan Wisamala sendiri mengangguk-angguk
puas. Meskipun telapak tangannya tidak merasakan
apa-apa akibat bentrokan senjata tadi, namun ia ka-
gum juga oleh tangkisan Pakerti.
Ia melihat bahwa parang Pakerti masih tetap ter-
genggam erat di tangannya dan tidak mencelat lepas
seperti yang diduga semula.
Dengan demikian, maka teranglah bahwa muridnya
yang bertangan satu itu sudah cukup memiliki perta-
hanan untuk membela dirinya. Biarpun itu masih me-
wujudkan langkah-langkah pertama, Wisamala telah
lebih dari puas.
“Haaaitt!” Wisamala berseru serta meloncat kembali
kepada muridnya dan menyerang dengan tongkat lo-
gamnya. Dalam pada itu Pakertipun telah bersiaga.
Maka sebentar kemudian, keduanya bertempur
kembali dengan serunya. Begitu cepat dan lincah gera-
kannya, sampai-sampai tubuh mereka lenyap dan me-
rupakan bayangan yang saling melibat diseling oleh
sebentar-sebentar benturan senjata yang berdenting
mengumandang di udara.
Demikianlah Pakerti dan gurunya bertempur untuk
melatih ketrampilan mereka. Mulai saat itu terbukalah
mata hati Pakerti bahwa dirinya ternyata tidak sebu-
ruk yang ia duga. Ia melihat kemungkinan-kemung-
kinan pada dirinya, bahwa kecacadan dan ketidaklengkapan tubuhnya, tidak akan membawa kemeroso-
tan dirinya. Bahkan ia bisa mengangkatnya sejajar de-
ngan kemampuan orang lain. Dan itu semua berhasil
dicapainya berkat latihan dan ketekunan yang tidak
pernah kenal akan putus asa.
***
LIMA
SAMPAI SAAT ITU, Mahesa Wulung masih saja ber-
pikir-pikir tentang siapakah Surokolo yang telah dis-
ebut-sebut oleh Pakerti beberapa waktu yang lalu.
Yang terang saja, pastilah orang itu ada hubungan-
nya dengan pengintai gelap yang berhasil ia lukai keti-
ka berada di Asemarang.
Dari peristiwa-peristiwa yang dijumpainya dapatlah
Mahesa Wulung menghubungkan kesemuanya itu.
Mulai dari perkenalan dan persahabatannya dengan
Gagak Cemani, kemudian menjumpai sebuah kejadian
di mana Pakerti hampir mati dikeroyok oleh Gombong
dan pengikut-pengikutnya.
Kemudian ketika hampir memasuki gerbang kota
Demak, sebuah insiden dengan Wisamala telah terjadi
akibat usaha adu domba dari Dobleh Kelana yang
mendendam kepada Gagak Cemani.
Ketika ia berada di Asemarang ia telah menyaksikan
sebuah perahu yang mati semua awak perahunya. Dan
itu mirip dengan korban-korban dari Kapal Hantu.
Dari sebuah pesan yang diterimanya dari Pakerti,
dapatlah ia mengetahui bahwa Ki Rikma Rembyak te-
ngah mempersiapkan balas dendamnya.
Tentu saja mereka tidak akan tinggal diam terhadap
Pakerti yang telah lolos dari Pulau Mondoliko itu. Sedang kenyataannya kini Pakerti telah cedera dan di-
siksa oleh segerombolan orang.
Dengan kejadian itu pula maka Mahesa Wulung te-
lah dapat mengambil kesimpulan bahwa setidak-tidak-
nya gerombolan orang-orang tadi ada hubungannya
dengan Ki Rikma Rembyak. Dan seorang di antara me-
reka ialah bernama Surokolo!
Untung saja Pakerti sempat diselamatkan oleh Wi-
samala yang sekaligus mengambilnya sebagai murid.
Akan tetapi Mahesa Wulung masih belum mengerti, di
mana Surokolo dan orang-orangnya berada sekarang.
Jika orang-orang ini telah mampu mencederai si
Pakerti, apakah tidak mungkin bila mereka melakukan
pengacauan terhadap keamanan di daerah sekitar De-
mak?
Persoalan yang berbelit-belit ini menyebabkan Ma-
hesa Wulung beberapa hari ini agak sering termenung
berdiam diri.
Dan tentu saja Pandan Arum menjadi bingung oleh
sikap kekasihnya itu.
“Mengapakah Kakang Wulung ini?” pikir Pandan
Arum. “Ia selalu termenung-menung saja, tanpa mem-
beritahukan kepadaku apakah kesulitan yang ditemui-
nya.”
Dengan diam-diam Pandan Arum menceriterakan
hal ini kepada Gagak Cemani, dan kemudian keduanya
selalu mengawasi Mahesa Wulung secara rahasia.
Pada suatu hari, Mahesa Wulung sengaja berjalan-
jalan melihat keramaian kota Demak seorang diri. Se-
ngaja dalam hati ia berusaha membayangi dan mencari
jejak Surokolo dan orang-orangnya.
Sampailah ia di bagian utara kota Demak yang sa-
ngat ramainya. Di situ terdapat beberapa warung-wa-
rung yang menjual barang makanan dan dagangan
lainnya.
Mahesa Wulung yang telah banyak pengalaman itu
tahu, bahwa warung-warung tadi merupakan tempat
pertemuan yang sangat tepat bagi setiap orang. Dan ti-
dak mustahil bila di antara mereka itu, terdapat orang-
orang jahat yang menyamarkan diri. Dari kemungki-
nan itu, Mahesa Wulung berharap untuk dapat men-
cium jejak Surokolo yang tengah dicarinya.
Di sebuah warung yang cukup ramai Mahesa Wu-
lung berhenti. Dipesannya segelas minuman setelah ia
mengambil tempat duduk. Pandangan matanya mulai
disebar ke segenap sudut kamar warung itu.
Semua wajah orang yang ada di situ diamatinya de-
ngan teliti satu persatu dan mencoba untuk menyeli-
diki mereka.
Tiba-tiba salah seorang dari pengunjung warung itu
ada yang dikenalnya. Berwajah keras dan bermata si-
pit, itulah dia si Gombong.
Orang ini bangkit dari duduknya ketika Mahesa
Wulung menatap ke arah dirinya. Gombong sedikit ter-
senyum dan kemudian dengan perlahan-lahan ia men-
dekati tempat duduk Mahesa Wulung.
“Maaf, Tuan. Bolehkah aku duduk bersama Tuan?”
ujar Gombong kepada Mahesa Wulung. “Ada sebuah
berita penting untuk Tuan.”
“Ehh, tentu, Kisanak. Aku tak keberatan. Marilah
duduk di sini,” jawab Mahesa Wulung. “Apakah yang
hendak kau katakan?”
“Sebuah kecelakaan kecil Tuan,” ujar Gombong se-
tengah berbisik-bisik. “Namun cukup menarik untuk
kusampaikan kepada Andika. Di pantai utara, aku
menjumpai sebuah perahu kecil terdampar dengan ke-
tiga awak perahunya mati dalam keadaan tubuh yang
mengerikan, yaitu kering kebiruan!”
“Hah! Tidak kelirukah kata-katamu itu, Kisanak?”
berkata dengan gugupnya Mahesa Wulung.
“Tidak, Tuan. Andika boleh membuktikannya sen-
diri, dan untuk itu aku bersedia mengantarkan Tuan
ke tempat perahu tersebut.”
Mahesa Wulung terdiam sejenak dan ia berpikir,
agaknya ia telah mulai mencium jejak orang-orangnya
Rikma Rembyak, dan selanjutnya iapun berkata ke-
pada Gombong di sebelahnya. “Terima kasih, Kisanak.
Kapankah kita berangkat?”
“Jika tak keberatan, sekarang juga kita berangkat
ke sana, Tuan,” Gombong berkata dengan meyakinkan.
“Baik, Kisanak. Marilah,” sahut Mahesa Wulung pu-
la. “Tapi aku tak membawa kuda.”
“Itu mudah saja, Tuan,” kata Gombong. “Biarlah
aku meminjam seekor kuda lagi dari temanku untuk
Andika.”
Keduanya segera bangkit dan berjalan ke arah pin-
tu, sementara tiga pasang mata mengawasi gerak-gerik
Gombong dan Mahesa Wulung dengan diam-diam dari
sebuah jendela warung.
Sebentar kemudian, keduanya telah berpacu ke
arah utara meninggalkan debu berkepulan menuju ke
pantai. Ketiga orang pengintai itupun cepat pula berge-
rak. Dari belakang warung mereka telah menyediakan
tiga ekor kuda. Kemudian mereka berkuda ke arah
utara, menuruti jejak Mahesa Wulung dan Gombong.
“Awas! Jagalah jarak kita kepada mereka berdua.
Jangan terlalu dekat, tapi juga jangan sampai kita ke-
hilangan jejak mereka!” ujar seorang di antaranya,
yang agaknya tertua sendiri.
Mahesa Wulung dan Gombong yang berpacu di de-
pan, tidak begitu memperhatikan bahwa keduanya te-
ngah diikuti oleh ketiga orang pengintai yang berkuda.
Apalagi pikiran Mahesa Wulung yang kini lagi diliputi
tanda tanya besar tentang Surokolo dan ketambahan
lagi dengan berita tentang sebuah perahu yang terdampar di pantai.
Matahari bersinar dengan teriknya. Gumpalan-gum-
palan awan mendung yang mengalir di angkasa me-
nambah rasa panas dan gerah di badan. Peluh kuda-
kuda mereka mengalir deras membasahi kulit bulunya,
sehingga badan mereka berkilatan karenanya.
Tanpa terasa, Mahesa Wulung dan Gombong telah
tiba di daerah pantai utara. Dari jauh telah terlihat
ombak-ombak putih yang dengan tenangnya berleret-
leret memecah ke pasir pantai.
Pohon-pohon bakau yang tumbuh di pantai-pantai
menghijau dengan indahnya dan di sana tergoleklah
sebuah perahu kecil.
“Itulah, Tuan!” kata Gombong serta menunjuk ke
arah perahu kecil tadi. “Ia kutemukan di sana dengan
ketiga penumpangnya yang mati.”
“Hmmm, Kisanak benar.” Mahesa Wulung berkata
sambil mempercepat lari kudanya untuk mendekati
perahu tersebut. “Ayo, marilah lebih cepat!”
Seperti orang kehausan yang melihat seguci air, be-
gitulah Mahesa Wulung memacu kudanya untuk ce-
pat-cepat mendapatkan perahu tadi.
Sekonyong-konyong satu kejadian yang tak terduga
sama sekali telah mengejutkan Mahesa Wulung. Se-
buah bunyi berdesing muncul dari balik semak-semak
pohon bakau langsung menyambar ke arahnya.
“Anak panah!” desis Mahesa Wulung kaget.
Tapi rupanya anak panah tadi cuma ditujukan ke-
pada kuda Mahesa Wulung, yang dengan tepatnya me-
nancap di lambung kuda, tak jauh dari paha Mahesa
Wulung sendiri.
Hiieeehhh...!
Jerit dan ringkikan kuda itu terdengar, disusul tu-
buhnya terjungkal roboh diikuti oleh tubuh Mahesa
Wulung.
Namun pendekar Demak ini tidak begitu bodoh un-
tuk membiarkan tubuhnya tergencet roboh bersama
kudanya. Maka secepat kilat ia melenting ke udara
dengan gesit dan lincahnya.
“Hiaaattt! Siapa yang berlaku kurang ajar ini?!”
Dengan beberapa kali putaran manis di udara, Ma-
hesa Wulung kemudian mendarat turun di pasir pan-
tai. Namun kaget juga dia. Beberapa ujung senjata ter-
sembul dari sela dedaunan pohon bakau.
“Hua, hah, hah, ha. Kau memang gesit, sobat!” ter-
dengar suara manusia yang disusul oleh munculnya
beberapa orang dari balik semak pohon bakau yang
rimbun. “Maafkan atas sambutan kami yang agak ge-
gabah ini!”
Sementara itu pula, Gombong telah turun dan ber-
diri di dekat kudanya sambil memandang ke arah Ma-
hesa Wulung dengan tatapan mata yang kosong.
Oleh karenanya pula maka Mahesa Wulung berkata
kepada Gombong. “Hai, sobat! Lelucon apakah ini?”
“Hah, hah, ha, ha,” ketawa si wajah garang yang ba-
ru muncul itu. “Kau telah bertugas dengan baik, Gom-
bong! Terima kasih! Terima kasih!”
Bagai mendengar ledakan petir, Mahesa Wulung
sangat kaget oleh tutur kata si wajah garang tadi, dan
buru-buru ia berpaling ke arah Gombong sambil berte-
riak, “Gombong?! Jadi... jadi kau telah kenal dengan
orang-orang ini?!”
“Hi, haa, haa, Gombong memang anak buahku yang
paling pandai dan panjang akal,” seru si wajah garang
sambil mengelus-elus perhiasan perisai yang menem-
pel pada dada bajunya.
“Gombong! Jadi kau telah berkhianat kepadaku?!
Keparat!” teriak Mahesa Wulung dengan jengkel dan
marahnya sambil sekaligus bersiaga untuk menghada-
pi setiap kemungkinan.
Sadarlah sudah Mahesa Wulung, bahwa ia telah
masuk dalam jebakan lawan. Sekelumit penyesalan di-
ri terhadap kecerobohannya tergores dalam hati.
Meskipun begitu, Mahesa Wulung masih ingin me-
nyelidiki perihal Gombong untuk mengetahui sampai
di manakah peranan orang itu dalam gerombolan Su-
rokolo. Dengan pandangan tajamnya seperti tusukan
ujung pedang, Mahesa Wulung menatap ke arah Gom-
bong.
Tetapi prajurit kekar bermata sipit ini buru-buru
membuang muka untuk menghindari tatapan mata
Mahesa Wulung, dan ia kembali terkejut bila pendekar
Demak itupun berseru kembali.
“Gombong! Sadarkah perbuatanmu ini? Engkau te-
lah mengkhianati atasanmu!”
Gombong tidak segera bisa menjawab atau menang-
gapi terhadap kata-kata Mahesa Wulung tadi. Kepada
Wiratama Mahesa Wulung yang seolah-olah telah ter-
kepung itu, Gombong tidak lagi berani menatapnya.
Wajahnya lalu tunduk ke bawah, seperti merenungi
bumi dan menebak berapa butir pasir yang ada di ba-
wahnya ini.
“Hia, ha, ha, ha. Pendekar Mahesa Wulung!” bentak
Surokolo keras-keras. “Tak perlu kau kini banyak
omong dengan bualmu kepada si Gombong. Hadapilah
kenyataan! Kini kau berhadapan langsung dengan Su-
rokolo! Akulah yang bernama Surokolo! Kau dengar
dan tahu kini, heeii!”
“Hmm, aku sudah menduga sebelumnya! Dan me-
mang aku tengah mencari-carimu untuk membuat per-
hitungan dengan dirimu! Kau telah menyiksa si Pakerti
dengan cara yang keji!” ujar Mahesa Wulung seraya
mengawasi keadaan sekeliling. Yah, ia telah terkepung
kini dan sekali lagi ia menatap ke arah Surokolo yang
tampaknya tenang berdiri seraya mengelus-elus logam
perisai yang menghiasi dada bajunya.
Nah, bagaimanakah nasib Mahesa Wulung selanjut-
nya akan segera Andika jumpai dalam “Seribu Keping
Emas Buat Mahesa Wulung”. Dengan adegan-adegan
yang lebih menarik, memikat dan seru! Sampai di sini,
selesailah seri Naga Geni “Pembalasan Rikma Rembyak”.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar