..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 23 Februari 2025

NAGA GENI EPISODE PEMBALASAN RIKMA REMBYAK

matjenuh khairil

 

SATU

KINI, DESA MIJEN telah sepi kembali setelah tiga 
hari yang lalu diramaikan oleh kemeriahan pesta per-
kawinan dari Endang Seruni dan Lawunggana.
Waktu itu Desa Mijen seperti mandi cahaya oleh pu-
luhan lampu dian minyak ataupun obor-obor yang di-
pasang di setiap pojok desa dan jalan-jalan yang me-
nuju ke rumah Ki Lurah Mijen. Pertunjukan Wayang 
kulit turut meramaikan malam itu.
Orang-orang pada berdatangan mengunjungi pesta 
tersebut dari segenap pelosok desa dan dari daerah 
luarpun tak terhitung banyaknya. Seperti akan runtuh 
rumah-rumah pedesaan oleh keriuhan dan keramaian 
tetabuhan gamelan yang mengiringi pertunjukan Wa-
yang kulit dalam ceritera Gatutkaca Krama.
Malam itu adalah malam yang paling bahagia buat 
pengantin berdua, Endang Seruni dan Lawunggana te-
lah disatukan dalam ikatan perkawinan yang suci se-
bagai suami-istri yang bakal membina keluarga baru. 
Inipun merupakan tugas baru pula yang tak kalah be-
ratnya seperti ketika mereka menghadapi Ki Bango 
Wadas serta gerombolan Bido Teles.
Ki Surotani, ayah kandung dari Endang Seruni, ha-
dir pula pada pesta perkawinan itu, membuat perkawi-
nan kedua pengantin menjadi pertemuan yang meng-
harukan.
Betapa gembiranya Ki Surotani ketika ia bertemu 
kembali dengan putrinya yang dahulu telah disang-
kanya tewas ternyata masih hidup. Endang Seruni ti-
dak lain adalah Pandan Sari, yakni adik kandung dari 
Pandan Arum.
Dan lebih menggembirakan lagi, bila Ki Surotani se-
gera mengenal kembali sahabat lamanya yang kini telah menjadi Lurah Desa Mijen dan sebagai ayah angkat 
Pandan Sari selama itu.
Demikianlah, hari ini tampak adanya kesibukan ha-
laman depan kelurahan. Beberapa ekor kuda telah dis-
iapkan untuk suatu perjalanan.
Ki Lurah Mijen dengan istri, Lawunggana, Endang 
Seruni, Pendekar Bayangan, para jagabaya telah sele-
sai berjabat tangan dengan Mahesa Wulung, Pandan 
Arum, Ki Surotani dan juga Gagak Cemani. Mereka be-
rempat akan segera meninggalkan desa ini untuk me-
nempuh perjalanan mereka menuju ke Asemarang.
Sedang Nyi Surotani untuk beberapa hari masih 
akan tinggal di Desa Mijen ini, karena ia masih sangat 
rindu kepada Endang Seruni dan kelak ia akan kemba-
li ke Asemarang dengan diantar oleh Endang Seruni 
serta Lawunggana.
Ketika Pandan Arum berpamitan kepada Endang 
Seruni, tiba-tiba memeluklah si pengantin baru ini ke-
padanya dibarengi isakan tangis yang tertahan-tahan.
Sebagai seorang kakak, Pandan Arum dapat me-
maklumi akan keharuan Endang Seruni tadi. Bukan-
kah sebagai seorang adik, Endang Seruni telah men-
dahuluinya dalam perkawinan.
“Kita akan bertemu lagi, Seruni. Dan ibu pun masih 
tinggal di sini untuk sementara. Berbahagialah. Kami 
selalu berdoa untuk kalian berdua,” kata Pandan Arum 
sambil mencium pipi adiknya dan membelai rambut-
nya.
“Terima kasih, Yunda. Terima kasih,” ujar Endang 
Seruni seraya membalas mencium pipi kakaknya, 
hingga untuk sesaat keheningan dan keharuan mence-
kam suasana.
Lebih-lebih ketika Pandan Arum dan rombongannya 
telah berpacu meninggalkan halaman kelurahan me-
nuju ke arah selatan, Endang Seruni tak dapat lagi

menahan tangisnya hingga Lawunggana terpaksa me-
rangkul istrinya ini untuk dihiburnya.
Dalam pada itu, rombongan Ki Surotani telah sema-
kin jauh dan sebentar itu pula mereka telah keluar da-
ri gerbang Desa Mijen di sebelah selatan. Debupun 
naik ke atas, berkepulan oleh derapan kaki-kaki kuda 
yang melaju bagai angin.
***
Di tempat lain, dalam sebuah hutan kecil yang tak 
jauh dari pantai, tampaklah seorang pemuda dengan 
terengah-engah kepucatan, mengendap-endap di anta-
ra semak-semak. Sebentar-sebentar ia berhenti sambil 
mengawasi tempat-tempat di sekitarnya dengan pan-
dangan penuh curiga.
Tampaknya ia membawa sesuatu yang penting 
ataupun berharga, kentara dari sikapnya yang seben-
tar merabakan tangannya pada ikat pinggangnya ber-
hati-hati.
Dan karena sikapnya itu pula, maka beberapa pa-
sang mata yang tersembul dari celah dedaunan semak, 
senantiasa mengawasi gerakan si pemuda tadi dengan 
sorot mata yang setajam mata serigala-serigala kelapa-
ran.
“Hmmm, itulah orangnya yang aku ikuti sejak ia 
mendarat di pantai tadi, Kakang Gombong!” bisik seo-
rang beralis tebal kepada temannya.
“Memang patut kita curigai orang itu!” jawab orang 
yang bernama Gombong dan berperawakan kekar de-
ngan mata yang sipit. Pada ikat pinggangnya yang ber-
warna merah, tergantung sebilah pedang lebar bersa-
rung kayu hitam, seperti kebanyakan yang dipakai 
oleh prajurit Demak.
“Adi Balur dan Salung, kalian berdua memang ber-
mata tajam. Aku bangga dan senang atas pekerjaanmu

yang bagus ini, dan pemimpin kita pun akan senang 
pula bila mendengar laporanku nanti,” ujar Gombong 
sambil tersenyum lebar.
“Akh, betulkah itu, Kakang?” sela si Balur
“Heh, heh. Kalian tak percaya? Kalian berdua ada 
harapan untuk naik pangkat! Heh, heh...,” Gombong 
berkata pula.
“Eeh, terima kasih, Kakang. Terima kasih!” kata Sa-
lung dengan terbata-bata saking gembiranya. “Sebaik-
nya kita sergap cepat-cepat orang itu!”
“Heh, heh. Kalian sudah tak sabar lagi rupanya,” 
Gombong berkata seraya menatap kedua teman itu, 
sementara beberapa orang temannya yang lain telah 
bersiap-siap pula. “Yah, sekarang adalah saatnya! 
Tangkap segera orang itu!”
Maka selesai Gombong berseru, berloncatanlah so-
sok-sosok tubuh manusia dari balik semak belukar 
dan langsung mencegat si pemuda yang telah diincar-
nya itu.
“Berhenti! Jangan melawan!” bentak Gombong de-
ngan lantangnya, hingga si pemuda yang telah melihat 
dengan kagetnya orang-orang yang bermunculan itu, 
menjadi lebih kaget lagi. Maka secepat kilat ia memba-
likkan diri ke belakang untuk mengambil langkah seri-
bu dengan segera.
“Horaaah! Akan minggat kemana kowe, haaah?!” se-
buah bentakan menggeledek tahu-tahu telah mengha-
dang si pemuda tersebut dan seketika tahulah ia, bah-
wa dirinya telah terkepung!
“Ooh!” desis si pemuda seraya mendekapkan lebih 
erat kedua belah tangannya ke atas ikat pinggangnya. 
Hal ini membuat Gombong dan kawan-kawannya se-
makin tertarik dan curiga kepada pemuda tadi.
“Heei, bocah! Apa yang kau sembunyikan di dalam 
ikat pinggangmu itu?!” seru Gombong lantang.

“Ess, tidak ada apa-apa,” ujar si pemuda setengah 
ketakutan. Tapi ketika ia melihat ikat pinggang dan 
pedang yang dipakai oleh Gombong, hatinya menjadi 
agak tenang sedikit. “Akh, Bapak dari prajurit kawal?!” 
tanya si pemuda.
“Nah, kau sudah tahu siapa aku sebenarnya!” sahut 
Gombong serta-merta. “Jika begitu, kau harus terus 
terang kepadaku!” Gombong kelihatan tidak sabar dan 
kentara dari sikapnya yang sebentar mengusap hulu 
pedangnya.
“Memang ada sesuatu yang akan kuutarakan ke-
pada Bapak, sebab kebetulan sekali bahwa Andika 
adalah prajurit kawal di daerah ini,” ujar pemuda tadi.
“Mmmm, apakah yang akan kau katakan?”
“Aku mempunyai sebuah pesan yang harus kusam-
paikan kepada seorang tamtama Demak!” ujar si pe-
muda.
“Huhh, sebuah pesan?” ulang Gombong agak terke-
jut. “Itu mudah. Nanti aku antarkan untuk menemui 
tamtama tadi ke Demak. Engkau turut bersama saya 
ke sana!”
“Terima kasih, Bapak,” ujar si pemuda dengan lega.
“Tapi bolehkah aku tahu, dari mana engkau da-
tang?” bertanya si Gombong lagi.
“Aku baru saja lolos dari Pulau Mondoliko,” berkata 
si pemuda tanpa kuatir apa-apa, karena ia telah ber-
temu dengan seorang prajurit kawal dari Demak. “Dan 
karenanya, saya harus cepat-cepat menyampaikan pe-
san tadi kepada seorang tamtama Demak!”
Gombong menjadi tercengang dan memandang wa-
jah teman-teman lain yang juga ikut terperanjat oleh 
tutur kata dari si pemuda tersebut. Sementara itu pula 
Balur dan Salung mengerdipkan mata kepada Si Gom-
bong.
“Kalau begitu serahkan saja pesan itu kepada kami

sekarang, agar segera kami sampaikan kepada tamta-
ma Demak!” berkata Gombong seraya mengulurkan 
tangannya ke arah si pemuda.
Oleh sikap tersebut yang tampaknya sangat tergesa-
gesa, si pemuda agak tertegun beberapa saat dan ke-
mudian berkata dengan ragu-ragu. “Maaf, Bapak. Per-
mintaan Andika kurang kupahami. Bukankah Bapak 
tadi berkata hanya akan mengantarkan saja? Tetapi 
mengapa pesan itu harus kuserahkan kepada Bapak?”
Gombong mengerutkan dahinya sebagai pertanda 
bahwa hatinya mulai jengkel oleh ujar si pemuda tadi. 
“Hmmm, kau tak melihat bahwa aku pun seorang pra-
jurit kawal dari Demak?”
“Benar, Bapak. Namun pesan tertulis yang aku ba-
wa ini harus kuserahkan sendiri kepada tamtama De-
mak.”
“Heeh. Apa bedanya? Pokoknya surat tersebut kan 
sampai kepada kami!” berkata Gombong setengah 
membentak.
“Sayang, pesan yang aku bawa ini sangat penting-
nya dan tak berani aku menyerahkannya kepada sem-
barangan orang, selain kepada tamtama Demak. Begi-
tulah permintaan si pemberi pesan tertulis ini kepa-
daku!”
“Kurang ajar!” desis Gombong seraya melototkan 
matanya. “Jadi engkau menggolongkanku sebagai 
orang sembarangan?!” Gombong tampak semakin ma-
rah dan berseru kepada teman-teman lainnya. “Akan 
kita apakan bocah ingusan ini?”
“Kita hajar saja sampai benjol dan bengkak-beng-
kak! Barulah pesan itu kita rampas!” seru Balur diser-
tai tertawa lebar, hingga giginya yang besar-besar dan 
agak kehitaman itu terlihat dengan kesan menyeram-
kan.
“Ooh, tidak. Andika semua tak boleh memaksaku

demikian!” berkata si pemuda seraya melangkah ke 
samping untuk lari. Tetapi sekali lagi ia dibuat terkejut 
bila sebuah ujung pedang yang runcing dan tajam te-
lah tertuju ke arah hidungnya! Ternyata Balur telah 
mengancam dengan pedangnya.
“Kau minta dipaksa agar pesan itu segera kau se-
rahkan kepada kami, ha?!” Gombong berseru.
“Meskipun kalian mengancam, aku tak akan me-
nyerahkannya! Pesan tersebut lebih berharga dari nya-
waku!” berkata si pemuda tadi tanpa merasa takut, se-
bab kini ia tak melihat kemungkinan dapat lolos dari 
kepungan orang-orang ini. Dan ia bertekad lebih baik 
hancur bersama pesan tertulis itu daripada ia menye-
rahkannya kepada orang yang tidak berhak!
“Keparat! Copot lehermu, sekarang!” teriak Balur 
sambil menebaskan pedangnya dengan nafsu amarah 
yang berkobar, menggelegak laksana air bah tak terta-
han oleh bendungan.
Tringng! Wessss!
Pedang tersebut mendesis ke arah leher si pemuda 
yang sebentar lagi pasti terpenggal putus bila ia tidak
cepat-cepat mengendap ke bawah dengan gerakan ge-
sit. Dengan begitu maka mata pedang tersebut cuma 
sempat menebas beberapa lembar rambut si pemuda 
yang masih bisa menyelamatkan lehernya itu.
Malahan saking kerasnya daya tebasan pedangnya 
itu, si Balur hampir saja jatuh tersungkur ke depan bi-
la ia terlambat memutar gerakan tubuhnya ke sam-
ping.
“Gila,” desis Gombong dengan terbelalak. “Pandai 
juga tikus cengeng ini menyelamatkan lehernya! Ayo, 
Balur! Jangan mau dipermainkan bocah itu!”
Keruan saja si Balur menjadi naik darah. Sebagai 
seorang jagoan bermain pedang, ia telah dibikin terke-
coh oleh lawannya dalam jurus awal. Maka sekali lagi

ia menyabetkan pedangnya ke samping ke arah dada si 
pemuda.
“Uuuuh,” si pemuda ini mengelak seraya melangkah 
surut ke belakang untuk menghindarkan dirinya, na-
mun di saat itu pula si Balur telah melayangkan ke-
palan tangan kirinya ke dagu si pemuda.
Praaak!
Kepala si pemuda terdongak ke atas ketika pukulan 
tangan kiri si Balur melanda dagunya dengan jitu. Be-
berapa bintang berputar-putar terlihat oleh pandangan 
mata si pemuda, berbareng rasa sakit pada dagunya 
yang terasa bagai dipukul oleh pecahan batu gunung. 
Seketika tubuhnya terhuyung ke samping. Akan tetapi 
dalam waktu yang singkat tadi si pemuda sempat 
menggerakkan kakinya untuk mengait kaki lawannya 
dan berbareng dirinya jatuh, si Balur terpelanting pula 
ke tanah oleh serangan si pemuda yang tanpa terduga 
sebelumnya.
Balur mengumpat-umpat setengah mati oleh keja-
dian tadi. Sementara itu pula, si pemuda dengan si-
gapnya bangkit kembali untuk melarikan diri karena ia 
melihat kepungan yang lowong akibat jatuhnya si Ba-
lur.
Sayangnya sekali ini si pemuda kurang mujur. Se-
bab semenjak tadi Gombong selalu bersiaga dan begitu 
ia melihat si pemuda hendak melarikan diri, secepat 
kilat ia telah mendahuluinya dengan tendangan kaki 
yang mengarah ke lambung si pemuda.
Tendangan kaki tersebut memang dapat dilihat oleh 
si pemuda dan iapun telah bersiaga untuk mengelak. 
Hanya saja ia masih sedikit pusing, apalagi tendangan 
itu datangnya sangat cepat, sehingga tanpa ampun lagi 
tendangan si Gombong melanda dirinya dengan dah-
syat.
Bruuuk!

“Aaakhh!”
Si pemuda jatuh menggelinding ke tanah sambil 
megap-megap menahan sakit pada lambungnya.
Melihat pemuda itu roboh, Balur menjadi beringas. 
Secepat kilat ia menubruknya dan menindih dengan 
tubuhnya. Seketika itu pula tak berdayalah si pemuda 
tadi, tak ubahnya seekor ikan yang telah kehilangan 
air, tinggal menanti ajal saja.
Dalam penglihatannya yang telah kabur, si pemuda 
dapat melihat bahwa lawannya telah mengangkat ting-
gi-tinggi senjata pedangnya untuk segera dihunjamkan 
ke dalam dadanya.
Bagaikan telah terbang semangatnya, si pemuda 
menjadi cemas seluruh sendi-sendi tulangnya dan ter-
bayanglah olehnya, bahwa sebentar lagi pasti dadanya 
akan tertembus oleh pedang orang itu dan ia akan ber-
teriak sekeras-kerasnya.
Yah, mungkin adalah teriakan yang terakhir yang 
akan dilontarkan sehebat-hebatnya sebagai pertanda 
kalau hidupnya akan segera berakhir.
“Aaaarghh!”
Terdengarlah teriakan dahsyat dan memekakkan te-
linga memenuhi hutan kecil ini. Akan tetapi..., ternyata 
bukan berasal dari mulut si pemuda!
Bahkan si pemuda itu sendiri menjadi terkejut, se-
bab semula ia telah bersiap untuk berteriak, namun 
kini teriakan itu bukan keluar dari mulutnya sendiri. 
Tetapi yah sukar dipercaya barangkali! Teriakan tadi 
adalah keluar dari mulut lawannya itu, yang telah siap 
membunuhnya!
Malahan si pemuda inipun menjadi lebih kaget lagi, 
apabila pandangan matanya yang kembali normal itu 
dapat melihat tangan kanan si Balur yang menggeng-
gam pedang tahu-tahu melepaskan pedangnya serta 
terpelanting jatuh ke tanah. Sementara pada punggung

telapak tangan si Balur sebelah tadi menancaplah se-
bilah daun ilalang yang menembusnya laksana sebilah 
pisau tajam!
Balur segera bangkit sambil melolong-lolong kesaki-
tan disertai perasaan ngeri pada hatinya bila ia mena-
tap pada telapak tangan kanannya. Segera terbayan-
glah olehnya, bahwa perbuatan itu adalah perbuatan 
seseorang yang memiliki tenaga dalam sempurna dan 
hebat yang telah melemparkan sebilah daun ilalang 
tersebut sampai dapat menembus telapak tangannya.
Gombong, Salung, serta beberapa orang lainnyapun 
ikut terkejut pula dan serentak mereka menoleh ke se-
latan, bila dari arah itu terdengarlah orang tertawa 
menggelegas dengan lirihnya.
Demikian mereka menatap ke arah suara itu tadi, 
begitu pula mereka tersentak kaget bagai disambar pe-
tir di siang bolong, karena di arah sana itu tampaklah 
empat ekor kuda berhenti dengan masing-masing pe-
nunggangnya masih berada di atas punggung kuda. 
Dua orang penunggang kuda yang di depan hampir 
sama gagahnya. Yang seorang berkumis melintang, 
dengan berjubah kain pada punggungnya, sedang pada 
tangannya masih menimang dua lembar daun ilalang 
di bagian ujung yang runcing. Di sebelah orang yang 
berkumis melintang ini, tampaklah seorang berpakaian 
sederhana. Bajunya yang berwarna kebiruan setengah 
terbuka sehingga sebentuk mata kalung yang dipakai-
nya tersembul keluar dengan bentuk lingkaran cakra 
dengan empat jari-jari mata angin! Kumisnya yang hi-
tam kecil dan ikat kepalanya yang berwarna biru agak 
ungu menambah kegagahan orang kedua ini.
Yah, itulah mereka, si Gagak Cemani dan Mahesa 
Wulung! Dan yang berada di belakangnya tidak lain 
adalah Ki Surotani dan Pandan Arum! Mereka dalam 
perjalanan ke Asemarang.

Yang paling terkejut pertama-tama adalah si Gom-
bong itu sendiri. Terutama ketika ia menatap Mahesa 
Wulung serta permata kalung yang dipakainya itu! Tak 
salah lagi bahwa yang berada di hadapannya itu ada-
lah seorang perwira tamtama dari Demak! Dan pada 
saat yang sama pula, Mahesa Wulungpun tertegun pu-
la menatap si Gombong yang berpedang lebar dan be-
rikat pinggang merah seperti yang biasa dipakai oleh 
seorang prajurit kawal dari Demak!
Di dalam hati, Mahesa Wulung merasa keheranan, 
mengapa seorang prajurit kawal serta beberapa orang 
tersebut tengah menghajar seorang pemuda. Bahkan 
mereka hampir membunuh si pemuda itu bila tidak 
keburu dicegah oleh si Gagak Cemani.
“Hai, Kisanak!” Seru Mahesa Wulung. “Mengapa ka-
lian berlaku sekejam itu kepada anak muda tersebut?”
Tergagap si Gombong untuk menjawab pertanyaan 
tadi dan sesaat kemudian iapun lekas-lekas berkata, 
“Anak muda ini adalah seorang penjahat yang kami 
jumpai dan ia melawan ketika akan kami tangkap!”
“Benar, Tuan!” sahut Salung pula dengan nada yang 
meyakinkan seraya menunjuk kepada si pemuda yang 
kini tengah tertatih-tatih untuk berdiri. “Dia membawa 
sebuah pesan yang sangat mencurigakan!”
“Sebuah pesan?!” ulang Mahesa Wulung dengan he-
ran dan menyebabkan ia tertarik karenanya. “Hai anak 
muda, pesan dari manakah dan siapa nama Anda?!”
“Nama saya Pakerti, Tuan,” jawab si pemuda sambil 
mengawasi permata kalung yang tersembul dari balik 
baju Mahesa Wulung. “Pesan yang saya bawa, datang 
dari Pulau Mondoliko!”
“Ah, benarkah kata-katamu itu, Pakerti?!” ujar Ma-
hesa Wulung. “Dan kepada siapa pesan itu dituju-
kan?!”
“Maaf, Tuan,” kata Pakerti kemudian. “Aku melihat

permata kalung kepunyaan Andika itu, maka jelaslah 
bahwa Andika adalah seorang wira tamtama dari De-
mak. Dan kepada Andikalah pesan tadi akan saya 
sampaikan”
“Mengapa harus kepada saya?” tanya Mahesa Wu-
lung.
“Yah, begitulah maksud pesan tadi, Tuan. Ia harus 
sampai kepada seorang tamtama Demak. Dan karena 
Tuanlah tamtama yang pertama saya jumpai, maka 
kepada Tuanlah pesan tadi akan kuserahkan,” Pakerti 
berkata seraya melangkah mendekati Mahesa Wulung.
“Mmm, baiklah. Untuk itu aku tak berkeberatan.”
Pakerti segera mengambil sesuatu dari balik ikat 
pinggangnya, dan tampaklah kemudian sepotong ta-
bung bambu kecil tersumbat terpegang pada jari-
jarinya.
“Nah, terimalah pesan ini, Tuan,” ujar Pakerti se-
raya menyampaikan tabung bambu kecil tadi kepada 
Mahesa Wulung yang masih duduk di atas punggung 
kudanya sambil mengangguk hormat.
Dengan cekatan tapi juga hati-hati, Mahesa Wulung 
menyambut benda itu dan segera melepas sumbat 
yang menutup lobang tabung bambu tersebut. Kemu-
dian ia mengetuk-ngetukkan tabung bambu tadi ke 
atas telapak tangan kiri dan sejurus kemudian keluar-
lah segulung kertas kecil.
Mahesa Wulung segera membukanya dan membaca 
beberapa tulisan yang tergores pada kertas kecil de-
ngan manggut-manggut serta menatap wajah Pakerti 
beberapa kali.
Sementara itu Gombong dan kawan-kawannya sa-
ling berpandangan ketika Mahesa Wulung membaca 
pesan tertulis pada kertas kecil tadi.
“Baiklah. Aku telah menerima pesan ini. Tapi Anda 
harus ikut aku ke Demak, sebab ada beberapa pertanyaan yang ingin kusampaikan kepadamu!” ujar Ma-
hesa Wulung.
“Terima kasih, Tuan. Dengan senang hati saya akan 
mengikuti Andika!” berkata Pakerti dengan wajah ce-
rah dan perasaan aman, sebab berarti ia akan terhin-
dar dari kemungkinan akan kemarahan orang-orang 
itu.
Memang begitulah. Rupanya Mahesa Wulungpun te-
lah memperhitungkan kemungkinan akan bahaya-ba-
haya yang bakal dialami Pakerti bila ia begitu saja me-
ninggalkan si pemuda di tempat ini pula.
“Marilah kita berangkat ke Demak sekarang!” berka-
ta Mahesa Wulung seraya menolong Pakerti naik ke 
atas punggung kudanya dan kemudian duduk di bela-
kangnya. Begitulah keduanya kini telah duduk di atas 
satu punggung kuda.
Si Gombong melihat semua ini dengan hati yang ge-
ram, tapi ia tak berani gegabah memperlihatkan kema-
rahannya di hadapan wira tamtama dari Demak ini. 
Apalagi bahwa nama Mahesa Wulung sangat dikenal-
nya, baik tentang kesaktian maupun pangkatnya. Oleh 
sebab itu ia cuma mengutuk-ngutuk sendiri di dalam 
hati dan untunglah ia dapat menahan diri sambil ber-
kata hormat, “Harap dimaafkan tindakan kami, Tuan. 
Saya si Gombong dan kawan bertindak begitu karena 
menjaga kewaspadaan semata-mata.”
“Lupakan saja kejadian tadi, Kisanak Gombong,” 
jawab Mahesa Wulung dibarengi senyumnya yang ra-
mah. “Malah karenanya, saya berasa senang bahwa 
Andika telah menjalankan tugas dengan sebaik-
baiknya.”
“Terima kasih, Tuan,” Gombong berkata serta meli-
rik ke arah Balur yang terluka dan kawan-kawan lain-
nya yang telah menanti, kemudian berkata pula. “Kami 
mohon permisi meninggalkan Tuan-tuan sekarang!”

“Silakan, Gombong. Dan obatilah temanmu yang 
terluka itu,” ujar Mahesa Wulung kepada mereka dan 
sesaat lagi, si Gombong dan kawan-kawannya telah 
berjalan ke arah timur dan lenyaplah mereka di balik 
pepohonan rimbun.
Di saat itu pula, Mahesa Wulung, Gagak Cemani, 
Pandan Arum, Ki Surotani serta Pakerti telah mulai 
melarikan kudanya ke arah barat daya.
“Adimas Mahesa Wulung,” begitu kata Gagak Ce-
mani ketika ia telah berpacu di samping Mahesa Wu-
lung. “Aku terpaksa melukai orang tadi. Harap Andika 
tidak menjadi gusar karenanya.”
“Tidak, Kakang Cemani,” kata Mahesa Wulung. “Su-
dah sepatutnya Andika berbuat demikian. Jika tidak, 
pasti Pakerti ini telah mengalami cedera. Bukankah be-
gitu, Pakerti?” berkata Mahesa Wulung seraya menoleh 
ke belakang, kepada Pakerti yang membonceng di 
punggung kudanya.
“Benar, Tuan,” sahut Pakerti. “Hampir saja nyawa-
ku melayang jika Tuan Gagak Cemani tidak lekas ber-
tindak. Mereka tadi telah sedemikian nekadnya untuk 
merampas pesan tertulis yang telah saya bawa tadi. 
Apakah mereka telah salah sangka terhadapku, 
Tuan?”
“Bisa juga demikian, Pakerti. Tapi aku belum ya-
kin,” kata Mahesa Wulung.
“Yang bernama Gombong tadi, memang berciri se-
bagai prajurit kawal dari Demak!” sambung Gagak 
Cemani pula. “Tapi benarkah bahwa ia seorang prajurit 
yang sesungguhnya? Maksud saya apakah Adimas per-
nah mengenalnya?”
“Jika tidak keliru, memang aku pernah melihatnya 
beberapa waktu yang lalu di pinggiran kota Demak. Ia 
adalah seorang prajurit kawal yang baru,” jawab Ma-
hesa Wulung.

“Dan teman-temannya itu,” kata Gagak Cemani pu-
la, “agak mencurigakan. Demikianlah perasaanku!”
“Memang benar, Kakang Cemani,” sambut Mahesa 
Wulung. “Sebagai seorang prajurit kawal, ia telah ber-
kawan dengan orang-orang kasar. Entah siapa mereka 
itu, aku tak mengenalnya. Dan apa maksud mereka 
bersama-sama dengan si Gombong itu?”
Pertanyaan tersebut diam-diam tertanam pula di 
dalam dada Pakerti sejak tadi, ketika ia dicegat oleh 
Gombong dan kawan-kawannya. “Tuan Tamtama, apa-
kah surat yang aku bawa tadi cukup berharga bagi 
Andika?”
“Sangat penting, Pakerti. Karenanya, aku mengu-
capkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada 
Anda!” berkata Mahesa Wulung. “Si pengirim namanya 
adalah Jagal Wesi. Kenalkah engkau kepadanya?”
“Dialah yang telah menolongku lari dari Pulau Mon-
doliko itu, Tuan. Dengan begitu maka loloslah saya da-
ri maut dan kematian yang dijatuhkan oleh iblis Rikma 
Rembyak,” ujar Pakerti.
“Hmm, jadi yang menolongmu adalah Jagal Wesi. 
Tapi Jagal Wesi itu sendiri adalah anak buah dari ge-
rombolan Pulau Mondoliko, dan berarti pula anak 
buah si Rikma Rembyak!”
“Begitulah, Tuan,” sambung Pakerti. “Tetapi aku 
yakin bahwa Jagal Wesi adalah orang baik-baik!”
“Baiklah, Pakerti. Soal ini akan kita bicarakan lebih 
lanjut nanti. Kita akan segera singgah di Demak dan 
engkau akan tinggal di sana serta aku titipkan pada 
seorang sahabat. Sedang kami berempat akan terus ke 
Asemarang untuk mengantarkan Bapak Surotani ke 
sana. Setelah itu kami akan kembali ke Demak dan ki-
ta lanjutkan lagi urusan dari pesan tertulis si Jagal 
Wesi ini,” begitu kata Mahesa Wulung kepada Pakerti.
Keempat kuda itu menderap pada jalan berbatu

batu yang menuju ke arah kota Demak. Beberapa kali 
mereka mulai berpapasan dengan orang berjalan kaki 
membawa dagangan, maupun gerobak-gerobak pedati 
lembu yang mengangkut kayu bakar ataupun barang-
barang lainnya.
Itulah pertanda bahwa mereka telah lebih dekat 
dengan kota Demak, kota yang menjadi pusat pemerin-
tahan di daerah yang maha luas itu. Beberapa rumah 
penduduk dan warung-warung terlihat sudah.
Breeng! Breeng! Breeng!
Terdengarlah bunyi tembor perunggu yang ditabuh 
orang dari tepi jalan tak jauh dari sebuah warung.
Karenanya, perhatian Mahesa Wulung dan rombo-
ngannya menjadi tertarik oleh beberapa orang yang 
berkerumun, dari mana suara tadi berasal. Semakin 
lekat dari gerombolan orang yang berkerumun tadi ter-
dengarlah suara keras, “Saudara-saudara, inilah cang-
kul-cangkul hasil buatanku yang sangat kukuh dan 
bagus. Belilah beramai-ramai! Murah harganya! Nah, 
apakah Anda membutuhkan pisau dapur, parang 
ataupun sabit? Semua tersedia!”
Demikianlah suara itu terlontar dari mulut si peda-
gang cangkul yang menawarkan barang dagangannya. 
Wajahnya agak persegi dihiasi oleh kumis lebat dan 
sepasang mata yang tajam berkilauan dan agak hijau 
seperti seolah-olah bukan mata manusia layaknya.
“Saudara-saudara, belilah barang daganganku ini! 
Apakah Anda ingin melihat barang buatanku ini? Nah, 
lihatlah! Ini dia, akan segera kutunjukkan kepada An-
da semua betapa tajam dan sempurnanya!” ujar si wa-
jah persegi seraya mengobat-abitkan sebilah parang di 
tangannya. Angin siang bertiup dengan membawa be-
berapa daun kering layu yang tertanggal dari ranting 
pohon dan di saat beberapa lembar lewat di depan si 
wajah persegi, tiba-tiba terdengarlah suara....

Wuuuuk! Wuuuk!
Tiga buah daun layu, masing-masing terbelah men-
jadi dua bagian akibat tebasan parang si wajah per-
segi.
“Nah, Saudara-saudara! Apakah Anda masih sangsi 
akan ketajaman parang buatanku ini?” ujar si wajah 
persegi.
Beberapa orang sangat tertarik dan membeli bebe-
rapa barang dagangan si wajah persegi tadi. Sungguh 
pandai orang ini memikat para pembeli.
“Heh, heh, terima kasih! Terima kasih!” seru si wa-
jah persegi dengan gembiranya. “Dan kini terlihatlah 
lanjutan dari kesempurnaan parang ini!” Si wajah per-
segi lalu memutar parang tadi di depannya dan terden-
garlah bunyi mengaung seperti sekawanan lebah yang 
beterbangan.
Nguuungngng!
Baik Gagak Cemani, Mahesa Wulung, Pandan Arum 
serta Ki Surotani dan Pakerti yang telah dekat dengan 
orang-orang berkerumun di tepi jalan itu, menjadi ka-
gum dan heran oleh pameran si wajah persegi terse-
but. Mereka memperlambat kudanya sehingga kini ku-
da-kuda tersebut cuma berjalan kecil-kecil, sementara 
kelima orang yang berada di punggungnya, me-
nyaksikan parang bersuara tadi dengan tak habis he-
rannya.
Di saat mereka semakin dekat, terjadilah sebuah 
kehebatan yang tidak tersangka-sangka datangnya. 
Parang yang lagi berputar dengan mengaung tadi tiba-
tiba disambar oleh sebutir batu yang melesat dari be-
lakang para penonton dengan kecepatan yang tak da-
pat ditangkap oleh mata.
Akibatnya, parang tadi terpental lepas dari tangan si 
wajah persegi yang kemudian langsung meluncur ke 
arah leher Gagak Cemani dengan kecepatan dahsyat

dan luar biasa!
Beberapa orang segera menjerit ngeri bercampur 
kaget, termasuk Pandan Arum, Ki Surotani, Mahesa 
Wulung dan Pakerti.
Adapun Gagak Cemani sendiri hampir tak dapat 
melihat parang yang meluncur dari arah depan yang 
lurus menuju ke lehernya. Oleh sebab itulah ia ter-
tegun, ketika orang-orang pada berteriak ke arahnya 
yang maunya memperingatkan akan bahaya yang bak-
al tiba.
Dalam saat itu pula Mahesa Wulung yang berkuda 
di samping Gagak Cemani, lebih dapat melihat jelas 
akan sebuah parang yang melesat ke arah sahabatnya 
itu.
Cepat ia bersiaga. Sebagai seorang sahabat, Mahesa 
Wulung tak mungkin membiarkan Gagak Cemani akan 
mendapat cedera, terlebih lagi oleh serangan-serangan 
gelap yang demikian itu.
Maka secepatnya Mahesa Wulung melolos sesuatu 
dari ikat pinggangnya dan sekaligus dilecutkan ke arah 
parang yang lagi melesat ke arah sahabatnya.
Duaaarrr! Pletaak!
Bunyi lecutan seperti mercon terdengar menge-
jutkan setiap orang, ketika ujung cambuk Naga Geni di 
tangan Mahesa Wulung tepat menyambar parang ter-
sebut dan akibatnya pula, parang tadi patah menjadi 
dua bagian dengan asap berkepul seperti habis di-
panggang.
Bersama potongan-potongan parang itu tercampak 
jatuh di tanah, dari belakang para penonton yang ber-
gerombol di situ, melesatlah sesosok bayangan manu-
sia dengan gesitnya ke arah selatan, melarikan diri.
Melihat itu, Mahesa Wulung yang bermata tajam se-
gera dapat menangkap gerakan si bayangan tadi dan 
iapun segera pula meloncat dari punggung kudanya

untuk mengejar si bayangan ke arah selatan. Hampir 
saja oleh gerakan Mahesa Wulung yang tiba-tiba ini, 
Pakerti yang berada di belakang akan jatuh ke sam-
ping. Untungnya ia lekas-lekas berpegang pada pelana 
kuda.
Di waktu itu juga, Gagak Cemani menjadi marah 
dan melesatlah si pendekar berjubah ini dari kudanya 
langsung menyerang si wajah persegi, yakni si peda-
gang cangkul yang tadi memamerkan permainan pa-
rangnya.
“Keparat! Kau pengecut! Menyerangku secara gelap. 
Sekarang terimalah hukumanmu, bangsat!” teriak Ga-
gak Cemani sambil melancarkan pukulan tangannya 
ke arah si wajah persegi.
“Aaaah, tunggu dulu... aku tak bermaksud...,” de-
sah si wajah persegi seraya mengelak dengan gesitnya 
terhadap pukulan tangan si Gagak Cemani.
Wuuut!
Sesaat si pendekar berjubah ini kagum bahwa si 
wajah persegi mampu mengelakkan serangannya. 
Akan tetapi Gagak Cemani secepat kilat melancarkan 
tendangan kakinya yang tepat melabrak pinggang si 
wajah persegi.
Bruuuk!
“Uugh!”
Si wajah persegi terguling roboh ke tanah, namun 
kembali dengan gerakan lincah ia menggelindingkan 
tubuhnya ke samping dan begitu bangkit ia telah me-
nyambar sebilah pacul dan menyabetkan ke arah Ga-
gak Cemani.
Sriiing... Tjraaasss! Tak! Taaak!
Terdengar bunyi ganjil berturut-turut dan tahu-
tahu, pacul di tangan si wajah persegi terputus menja-
di tiga bagian, sehingga si wajah persegi melongo kehe-
ranan. Yang tampak kemudian, Gagak Cemani itu

memasukkan kembali golok hitamnya ke dalam sa-
rungnya seraya tertawa menggelegas.
“Sekarang kau boleh menunjukkan semua permai-
nan senjatamu di hadapan Gagak Cemani ini, penye-
rang gelap yang terkutuk!” seru Gagak Cemani dengan 
menunjuk ke arah muka si wajah persegi.
“Saudara memang hebat!” ujar si wajah persegi ke-
pada Gagak Cemani. “Tetapi Anda jangan mendakwa 
Wisamala dengan semena-mena untuk berbuat seren-
dah itu! Aku bukan penyerang gelap! Aku tak sengaja 
melepaskan parang tersebut dari tanganku!”
“Hmmm, aku tidak akan percaya begitu saja terha-
dap kata-katamu itu. Yang terang, parangmu tadi 
hampir menembus leherku!” ujar Gagak Cemani. “Dan 
untuk itu, kau harus mendapat sedikit pelajaran dari 
Gagak Cemani! Hyat!”
Dengan kecepatan kilat, Gagak Cemani melancar-
kan pukulan dahsyat disertai loncatan ke arah Wisa-
mala. Si wajah persegi itu dengan gugup menyilangkan 
kedua tangannya ke depan ketika pukulan Gagak Ce-
mani melanda dirinya dan menangkisnya.
Duuuk!
Wisamala terpental ke belakang jungkir balik de-
ngan nafas terengah-engah dan di saat itu pula Gagak 
Cemani terus mengejar tubuh lawan yang sedang 
menggelinding. Tanpa memberi kesempatan, si pende-
kar berjubah menggenjotkan kakinya ke arah tubuh 
Wisamala.
“Heittt!”
Braaak!
Dalam saat berbahaya, Wisamala masih sempat 
menggenjotkan kakinya ke tanah disusul tubuhnya 
melenting ke udara menghindari genjotan kaki Gagak 
Cemani.
Meskipun meleset, genjotan kaki Gagak Cemani menimpa sebuah batu besar dan akibatnya batu tersebut 
hancur berkeping-keping.
Keruan saja Wisamala terperanjat, dan sekaligus ia 
sadar bahwa lawannya yang berjubah itu adalah pen-
dekar yang sakti. Itulah sebabnya maka Wisamala se-
gera bersiaga dengan sepenuhnya dan ketika Gagak 
Cemani menyerang kembali, ia telah siap dan me-
nyambutnya.
***
Sementara itu, di sebelah selatan, Mahesa Wulung 
dengan loncatan-loncatan panjang mengejar si baya-
ngan yang tengah melarikan diri. Ternyata orang ini 
mampu berlari dengan cepatnya.
Kejar-mengejar terjadi dengan sengitnya. Dan aneh-
nya, si bayangan tadi berlari sambil tertawa terkekeh-
kekeh, membuat Mahesa Wulung semakin marah. 
Cambuk Naga Geni yang berada di tangannya segera 
dicambukkan ke arah depan dan terdengarlah letupan-
letupan menggelegar disertai hempasan udara panas 
yang hebat.
Si bayangan terperanjat dan kemudian ia melesat 
ke atas dahan pohon dan hinggap di situ. Akan tetapi, 
ujung cambuk Naga Geni terus mengejarnya dan me-
nyambar dahan tadi.
Duaaar! Kraakk!
Dahan pohon tadi semplak dan ambruk berkepi-
ngan menjadi arang, sedang batang pohonnya seketika 
condong ke samping dan kayunya kering!
Si bayangan mendesis kaget sambil melesat ke sam-
ping dan berpindah ke dahan pohon di sebelahnya, 
disertai tertawanya.
“Ha, ha, ha, kau memang hebat, sobat!” teriak si 
bayangan. “Tapi sayang aku tak bisa melayanimu ber-
main-main lebih banyak. Akulah si Dobleh Kelana, dan

sampaikan salamku buat Gagak Cemani! Sampai, ber-
temu lagi!” demikian ujar si Dobleh Kelana yang berbi-
bir tebal dan kemudian ia melesat kembali ke pohon di 
sebelahnya, untuk selanjutnya kabur ke arah selatan.
Melihat lawannya kabur, Mahesa Wulung mengge-
ram jengkel tapi ia tak berbuat apa-apa dan membiar-
kan Dobleh Kelana itu lenyap di balik pohon-pohon be-
sar, sebab di saat ini ia masih mempunyai persoalan 
yang lebih penting!
Mahesa Wulung sadar, bahwa Dobleh Kelapa itulah 
yang mengganggu permainan parang si wajah persegi, 
sehingga parang tersebut sampai terlepas dan me-
nyambar Gagak Cemani! Dengan sentilan sebutir batu 
yang sempat dilihat oleh Mahesa Wulung, Dobleh Ke-
lana telah berhasil membentur lepas parang tadi!
Kini secepat kilat Mahesa Wulung menyimpan cam-
buknya kembali dan memutar tubuhnya ke samping, 
dan selanjutnya ia melesat ke arah utara kembali, ke 
arah peristiwa tadi telah terjadi.
Sejak semula Mahesa Wulung telah cemas akan ter-
jadinya salah sangka dalam diri Gagak Cemani. Dan 
rupanya saja hal inilah yang dikehendaki oleh si Dob-
leh Kelana yang licik dan penuh siasat itu.
Ternyata dugaan tadi tidak meleset! Ketika Mahesa 
Wulung tiba di tempat semula, tampaklah olehnya 
bahwa Gagak Cemani telah bertempur hebat melawan 
si wajah persegi atau si Wisamala itu!
Pertarungan dahsyat terjadi di situ, sedang semua 
orang di sekitarnya saling melongo dan kagum melihat 
kejadian tadi. Wisamala kelihatan terdesak lama-
kelamaan. Betapapun ia bertahan sekuat mungkin 
namun gerakan Gagak Cemani bertambah gesit dan 
tangkas. Sekali-sekali pendekar berjubah ini mener-
jang bagaikan amukan seekor banteng dan lain kali ia 
menukik dari atas laksana seekor garuda yang menerkam korbannya.
Beruntunglah kiranya, bahwa Wisamala masih 
mempunyai tenaga dan dapat mengatur nafasnya se-
hingga ia masih sempat menghindar ke sana-kemari 
apabila serangan Gagak Cemani itu datang kepadanya.
Sesaat kemudian, sebuah dupakan tumit Gagak Ce-
mani sempat menyelonong dan membentur dada Wisa-
mala, sehingga wajah persegi ini terhuyung mundur 
sambil terbatuk-batuk dengan dada sesak.
Wisamala meringis kesakitan. Pada sudut mulutnya 
terlihatlah darah segar meleleh ke bawah. Tiba-tiba 
mata Wisamala yang berkilat kehijauan itu menatap 
tajam ke arah Gagak Cemani dibarengi mulutnya ber-
teriak lantang.
“Gagak Cemani! Sudah kukatakan bahwa aku tak 
bermaksud buruk terhadapmu! Tapi kau masih berke-
ras kepala. Sekarang lihatlah ini!” Wisamala tampak 
menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya dan ke-
luarlah asap mengepul.
Gagak Cemani sangat kaget melihat asap yang ke-
luar dari celah kedua telapak tangan Wisamala yang 
tengah digosok-gosokkan itu. Begitu pula Mahesa Wu-
lung yang baru tiba di tempat itu serta orang-orang 
lainnya, ikut terkejut menyaksikan perbuatan Wisa-
mala tadi.
“Lihatlah, sobat! Aku terpaksa mengeluarkan ajiku 
Hagni Kurda ini, disebabkan oleh sikapmu yang keras 
kepala dan mendakwaku dengan ngawur!” demikian 
seru Wisamala kepada Gagak Cemani. “Dan jangan sa-
lahkan, jika engkau cedera karenanya!”
Habis berkata demikian, Wisamala melirik ke se-
buah pohon melinjo yang tumbuh tidak jauh dari Ga-
gak Cemani berdiri dan kemudian iapun berseru lan-
tang. “Gagak Cemani! Tataplah pohon melinjo di sebe-
lah itu! Haaaisss!”

Kedua telapak tangan Wisamala yang berasap tiba-
tiba dihempaskan ke arah pohon melinjo tadi, yang 
berjarak kurang lebih sepuluh tombak! Dan seketika 
itu juga menyemburlah udara panas yang keluar dari 
kedua telapak tangan Wisamala dan dengan dahsyat-
nya menerjang pohon melinjo tersebut.
Gagak Cemani yang berdiri tidak jauh dari pohon 
tadi dapat merasakan udara panas yang menyambar, 
dan lebih terkejut lagi bila pendekar berjubah ini me-
nyaksikan akibat ilmu Hagni Kurda yang dilontarkan 
oleh Wisamala. Burung-burung beterbangan dengan 
mencicit takut.
Wuuuut! Wessstt!
Udara panas, sepanas kobaran api seketika melan-
da pohon melinjo yang bernasib malang dan sejurus 
kemudian, daun-daunnya mulai layu sedang buahnya 
berontokan jatuh, disusul batang pohon itu tumbang 
dengan asap mengepul!
Maka terbukalah kesadaran Gagak Cemani, bahwa 
lawannya itu memiliki ilmu yang tinggi yang pasti akan 
membahayakan dirinya. Oleh sebab itu, Gagak Cema-
nipun diam-diam mempersiapkan ilmunya untuk 
menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi.
“Wisamala! Ilmu yang kau pamerkan tadi cukup he-
bat. Aku kagum karenanya! Tapi itu bukan berarti 
bahwa aku menjadi takut menghadapimu!” ujar Gagak 
Cemani.
“Kau mulai takut, sobat?!” teriak Wisamala sete-
ngah mengejek dengan hidung nyengir-nyengir dan 
mata meriyip-riyip separuh terpejam bernada meren-
dahkan lawannya.
“Baiklah, Wisamala,” kata Gagak Cemani pula. “Kau 
telah menunjukkan ilmumu yang hebat. Sekarang 
engkaupun harus melihat sedikit permainanku ini!”
Sambil berkata si Gagak Cemani yang sejak tadi telah bersiaga, secepatnya mengarahkan tenaga dalam-
nya. Sementara itu, beberapa ekor burung terbang me-
lintas di atas arena pertandingan.
“Wisamala! Kau lihat tiga ekor burung gelatik yang 
terbang itu? Saksikanlah mereka, dan inilah Bayu Ki-
kis!”
Daaaahhh!
Si Gagak Cemani tiba-tiba mendorongkan ujung te-
lapak tangan kanannya ke atas ke arah tiga ekor bu-
rung gelatik tadi dan akibatnya sungguh-sungguh he-
bat!
Ternyata dorongan ujung telapak tangan Gagak 
Cemani telah memancarkan hawa dingin sedingin es 
atau sedingin udara di puncak gunung. Begitu tiga 
ekor burung gelatik tadi terlanda oleh hawa dingin, 
maka seketika bekulah darahnya dan ketiganya jatuh 
tercampak di atas tanah dengan sayap masih me-
ngembang dan tubuh kaku yang seperti patung! Ketika 
ketiganya jatuh, terdengarlah bunyi berdentang, seper-
ti bunyi tiga benda logam yang terjatuh.
“Uuuh!” desak Wisamala terperanjat! Dengan mata 
yang melotot seperti tak percaya ia menyaksikan ketiga 
burung gelatik itu rontok di tanah, tidak jauh dari ka-
kinya berdiri.
Wisamala mencoba memungut salah satu bangkai 
burung gelatik tadi. Tapi begitu tangannya memungut 
dan mengangkatnya, seketika itu pula ia mencampak-
kan bangkai gelatik itu kembali sambil mengibas-ngi-
baskan tangannya yang terasa dingin dan beku!
“Heh, heh, heh,” terdengar Gagak Cemani tertawa 
menggelegas kegelian melihat tingkah si Wisamala. 
“Gelatik itu telah menjadi patung beku, sobat!”
“Kurang ajar!” dengus Wisamala marah. “Kau mem-
permainkan aku! Kau menantangku untuk mengadu 
ilmumu tadi?!”
“Terserah jika sobat mengartikannya demikian! Aku 
telah bersedia,” jawab Gagak Cemani tenang.
Mendengar jawaban lawannya, darah Wisamala se-
perti menggelegak dan naik ke kepalanya. Kemarahan-
nya meledak, seperti lahar gunung berapi yang mende-
sak keluar!
“Keparat!” teriak Wisamala. “Bersedialah untuk 
menjelang kematianmu, Gagak sombong!”
“Heh, heh, heh,” tawa si Gagak Cemani. “Sejak tadi 
aku telah bersiaga dan mulailah sekarang!”
Masing-masing selesai berkata dan keduanya telah 
mengerahkan ilmu dan kekuatan tenaga dalamnya, 
sedang orang-orang yang menyaksikannya menjadi 
cemas dan ketakutan. Beberapa penonton menyingkir 
mundur, sebab mereka takut kalau-kalau akibat ben-
turan kedua ilmu dahsyat tadi akan menimbulkan 
bencana bagi dirinya.
“Haaiit!” Daahhh!
Terdengar seruan keras berbareng ketika Wisamala 
menghempaskan kedua telapak tangannya ke depan 
ke arah Gagak Cemani, sementara pendekar muda ber-
jubah inipun mendorongkan ujung telapak tangannya 
ke depan untuk menyambut serangan Wisamala.
Tanpa diduga, Mahesa Wulung yang sejak tadi di-
am-diam menyaksikan pertandingan tadi, telah mem-
persiapkan diri. Ia tak ingin bila di antara mereka 
menderita cedera karena kesalahan yang berdasarkan 
salah paham dan salah duga semata-mata.
“Tahan!” teriak Mahesa Wulung sambil melanjutkan 
pukulan jarak jauh yang dilandasi ilmu simpanannya 
—Lebur Waja, ke depan, untuk memotong lontaran il-
mu Hagni Kurda dan Bayu Kikis sebelum keduanya 
bertemu dan saling membentur.
“Heeiiittt!” Blaaarr!
Ledakan dahsyat seperti ratusan petir bersama

sama meledak terdengar menggelegar di sekitar tempat 
itu. Pekik dan jerit ketakutan terdengar dari mulut pa-
ra penonton, sementara empat ekor kuda dari rombon-
gan Mahesa Wulung yang berhenti di situ meringkik-
ringkik dan mendongakkan kepalanya ke atas dengan 
paniknya.
Sedang Gagak Cemani dan Wisamala sendiri tak ka-
lah kagetnya. Seketika keduanya tergetar surut bebe-
rapa langkah akibat benturan ketiga ilmu tenaga da-
lam yang dahsyat tadi.
“Maafkan, Kakang Gagak Cemani. Aku terpaksa 
mencampuri pertandingan kalian. Sebab sebenarnya 
Kisanak Wisamala ini tidak bersalah!” seru Mahesa 
Wulung seraya meloncat mendekati Gagak Cemani.
“Haah! Tidak bersalah, kata Adimas Wulung?!” ujar 
Gagak Cemani setengah berseru saking herannya. “Ba-
gaimana Adimas Wulung bisa berkata demikian?!”
“Sabarlah, Kakang Gagak Cemani,” Ujar Mahesa 
Wulung. “Ketika Kakang menyerbu Kisanak Wisamala, 
aku dapat melihat sesosok bayangan manusia berkele-
bat lari ke arah selatan. Aku segera mengejarnya dan 
ternyata orang inilah yang menyampok parang dari Ki-
sanak Wisamala sehingga parang tadi terlepas dan me-
luncur ke arah Kakang Cemani!”
Mendengar keterangan Mahesa Wulung, si pendekar 
berjubah ini terperanjat bukan kepalang dan mende-
sahlah si Gagak Cemani. “Huh? Siapa yang berbuat 
kurang ajar seperti itu?!”
“Dia tidak lain adalah si Dobleh Kelana, ketua dari 
Setan Enam Serangkai dari Gunung Kendeng!” kata 
Mahesa Wulung.
“He, jadi si setan licik itu pula yang mencoba meng-
adu-domba!” seru Gagak Cemani. “Aakh, jika begitu 
Kisanak Wisamala itu tidak bersalah!”
Di saat itu, Wisamala yang masih berdiri tegak di
tempatnya, menatap ke arah Mahesa Wulung dan Ga-
gak Cemani dengan perasaan penuh tanda tanya. Bah-
kan ia telah bersiaga jika seandainya kedua orang itu 
menyerang dirinya, ia akan bertahan sampai ke titik 
darah yang penghabisan.
Wisamala masih merasakan darah yang meleleh di 
sudut mulutnya akibat pukulan Gagak Cemani bebe-
rapa saat yang lalu. Kini hatinya menjadi tambah ber-
debar-debar ketika Gagak Cemani dan Mahesa Wulung 
melangkah ke arahnya dengan perlahan-lahan.
“Huh, kalian berdua mau mengeroyokku?!” ujar Wi-
samala sambil bersiaga memasang kuda-kudanya.
“Sabarlah, Kisanak,” sapa Mahesa Wulung dengan 
nada ramah. “Aku tahu bahwa Andika tidak sengaja 
melontarkan parang tadi kepada Kakang Gagak Cema-
ni. Memang ada orang jahil yang mengganggu permai-
nan parangmu!”
“Hmm, sudah sejak tadi aku katakan hal itu. Tetapi 
sayang ia terlalu keras kepala sehingga hampir saja 
terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan!” ujar Wisamala 
seraya menghapus darah di sudut mulutnya dengan 
lengan baju luriknya.
“Aku minta maaf, sobat!” berkata Gagak Cemani de-
ngan nada menyesal. “Memang aku terburu nafsu, me-
nuduhmu yang bukan-bukan.”
Mendengar pernyataan maaf dari Gagak Cemani 
yang tulus ikhlas tadi, Wisamala mengangguk pelahan. 
Betapapun hatinya masih panas membara, namun hati 
kecilnyapun telah pula menerima pernyataan maaf si 
pendekar berjubah. Bahkan hati kecilnya juga meng-
aku salah, karena ia telah menyerang Gagak Cemani 
dengan ilmunya Hagni Kurda yang terbilang dahsyat 
itu. Untung saja tidak ada korban yang jatuh.
Tetapi dengan munculnya Mahesa Wulung yang te-
lah sanggup menggagalkan benturan ilmunya terhadap

ilmu Bayu Kikis si Gagak Cemani, mau tak mau Wisa-
mala memujinya.
“Akupun minta maaf, Kisanak,” berkata Wisamala 
menyambut ucapan Gagak Cemani tadi. “Manusia lu-
mrah membuat kesalahan. Namun aku ingin tahu ten-
tang si penyerang gelap itu. Ternyata tenaga dalamnya 
cukup hebat. Dengan sentilan batu saja, ia telah 
mampu menyampok lepas parang itu dari tanganku!”
“Hmm, memang dia musuh lamaku. Selama ini aku 
selalu berusaha memburunya dan ternyata dia telah 
keluyuran sampai di tempat ini!” ujar Gagak Cemani. 
“Dan perbuatannya memang sengaja untuk mencela-
kakan aku serta mengadu domba kita!”
Sekali lagi Wisamala manggut-manggut oleh ketera-
ngan dari Gagak Cemani yang telah menjelaskan siapa 
sebenarnya Dobleh Kelana, si penyerang gelap itu.
“Kisanak Wisamala,” Gagak Cemani berkata seraya 
mengeluarkan sebuah slepen atau dompet yang ter-
buat dari tikar anyaman. “Anda telah terkena gempur 
kakiku beberapa saat yang lalu. Nah silakan Anda me-
nelan obat ini, agar dadamu menjadi segar kembali.”
Wisamala menerima sepotong obat yang berbentuk 
bulat gepeng sambil mengucap terima kasih, serta me-
nelannya sekali. Maka terasalah rasa pedas-pedas se-
gar yang mengalir ke tenggorokan bersama aliran nafas 
dan sampai ke paru-paru. Hingga akhirnya dadanya 
yang semula sesak, kini menjadi lapang kembali.
“Eh, ke manakah tujuan Anda dengan berkuda itu?” 
tanya Wisamala.
“Saya sedang mengantar sahabat-sahabat kami ke 
Asemarang,” jawab Gagak Cemani. “Dan inilah salah 
satu di antara sahabat saya yang bernama Mahesa 
Wulung, seorang wira tamtama Demak.”
“Oh, jadi... jadi Andalah yang bernama Mahesa Wu-
lung?!” seru Wisamala dengan tergagap saking gugup
yang bercampur rasa kagum. “Nama Andika sering di-
takuti dan menjadi momok bagi orang-orang gerombo-
lan hitam.”
“Ah, Kisanak terlalu berlebih-lebihan menyebut diri-
ku,” ujar Mahesa Wulung merendahkan diri. “Sebalik-
nya aku merasa kagum oleh ilmu Kisanak yang ber-
nama Hagni Kurda tadi. Dari tempat manakah Anda 
datang?”
Mendengar pujian Mahesa Wulung tadi, Wisamala 
sedikit tampak tersipu-sipu sambil berkata, “Oh, ilmu 
tadi kurang sempurna dan aku menyesal karena telah 
menggunakannya dalam bertanding melawan Kisanak 
Gagak Cemani. Habis, aku merasa sedikit kewalahan 
dalam menghadapinya, dan ilmu itulah satu-satunya 
yang dapat kugunakan untuk melindungi tubuhku.” 
Wisamala berhenti sejenak. “Tentang asalku, aku da-
tang dari Alas Mentaok!”
“Ohh, Anda terlalu jauh datang dari daerah selatan 
sana! Dan Kisanak berdagang cangkul-cangkul ini?” 
tanya Mahesa Wulung.
“Yah, begitulah. Untuk menyambung hidupku, aku 
terpaksa berdagang barang-barang ini,” kata Wisa-
mala. “Dan... eh maaf! Ijinkanlah aku mengumpulkan 
barang-barang daganganku yang berserakan ini. Su-
dah kelewat siang dan aku harus segera kembali ke 
pondokanku.”
“Kisanak Wisamala,” sapa Mahesa Wulung. “Sebe-
narnya kami masih ingin mengobrol lebih banyak ber-
sama Anda. Tapi kamipun tengah menempuh perja-
lanan ke Asemarang, maka rupanya kita terus segera 
berpisah di sini. Di lain waktu, pasti kita akan bertemu 
pula.”
“Oo, tentu. Aku pun merasa senang dapat berkena-
lan dengan Andika berdua,” sahut Wisamala pula. 
“Mudah-mudahan perjalanan Anda membawa kebaha

giaan dan aku ucapkan selamat jalan. Sampai bertemu 
lagi.”
Wisamala telah selesai mengemasi barang daga-
ngannya. Sesudah mereka bertiga bersalaman, Mahesa 
Wulung serta Gagak Cemani segera kembali ke ku-
danya, sedang Wisamala telah bergegas melangkah ke 
utara untuk pulang ke rumah pondokannya.
Mahesa Wulung berempat sebentar saja telah tiba di 
dalam kota Demak. Ia cuma singgah beberapa saat un-
tuk membeli bekal makanan serta menitipkan Pakerti 
ke sebuah perumahan prajurit dari kota ini. Setelah 
itu, berangkatlah mereka ke arah barat menempuh ja-
lan besar yang menuju ke daerah Asemarang.
Matahari telah semakin jauh bergeser ke arah barat 
dan bayangan sore perlahan-lahan mulai meraba la-
ngit timur seperti mengejar sang matahari yang seben-
tar-sebentar tersaput awan mendung.
***
DUA


KETIKA Mahesa Wulung berempat melewati gerbang 
kota Asemarang, malam telah tiba. Mereka melam-
batkan lari kudanya sambil menikmati pemandangan 
malam kota pelabuhan.
Beberapa warung masih dibuka serta menjual ba-
rang makanannya sampai larut malam nanti. Beberapa 
gerobak lembu tampak berhenti di depan warung tadi 
sementara orang-orangnya tengah mengisi perutnya di 
dalam. Rumah-rumah penduduk pun masih terbuka 
pintunya dan dian lampu minyak bergoyang apinya, 
menyorotkan cahaya keluar rumah. Anak-anak kecil 
saling berkejaran di halaman bermain-main dengan

riangnya bermandikan cahaya rembulan yang men-
gambang amat indahnya di langit cerah.
Mahesa Wulung tersenyum melihat semua itu, dan 
sekilas terbayang masa kecilnya yang penuh kegembi-
raan seperti bocah-bocah itu. Namun ketika Mahesa 
Wulung berempat tiba di jantung kota dan akan mem-
belokkan kudanya ke selatan, mereka menjadi terpe-
ranjat, sebab tampaklah oleh mereka orang-orang yang 
berduyun-duyun berjalan ke arah pelabuhan dengan 
tergesa-gesa. Sedang dari mulut mereka terdengarlah 
gumam dan bisik-bisik mengiringi wajah mereka yang 
kecemasan.
Melihat hal yang terasa ganjil bagi dirinya, Mahesa 
Wulung cepat-cepat menghentikan kudanya diikuti 
oleh Gagak Cemani, Ki Surotani dan Pandan Arum.
“Apakah yang terjadi, Kisanak?” bertanyalah Ma-
hesa Wulung kepada seorang tua yang kebetulan lewat 
di depannya.
“Ooo, kata orang, ada sebuah perahu yang menda-
pat kecelakaan di laut dan kini perahu tadi ditemukan 
oleh perahu lain serta kemudian diseretnya ke pelabu-
han. Sekarang ia ada di pelabuhan.”
“Kecelakaan?” ulang Mahesa Wulung. “Ah, itu kan 
biasa terjadi, Kisanak. Tapi... mengapakah orang-orang 
ini berduyun-duyun ke sana? Agaknya ada sesuatu 
yang aneh.”
“Memang, kecelakaan bisa saja terjadi. Akan tetapi 
kalau semua penumpang itu dikabarkan mati di gela-
dak perahu, bukankah itu sesuatu yang aneh untuk 
kita? Orang-orang pada mengira bahwa mereka telah 
dibunuh oleh setan-setan penjaga laut!”
“Ooh!” desis Mahesa Wulung berempat dengan ber-
bareng. Hatinya tiba-tiba saja berdesir oleh keterangan 
orang tua tadi, sebab ia lalu teringat dengan pengala-
mannya beberapa waktu yang lalu, ketika bersama

sama anak buahnya ia mengejar dan menghancurkan 
Kapal Hantu di lautan utara.
“Saya juga akan ke sana, Tuan,” ujar orang tadi se-
raya meminta diri untuk melanjutkan perjalanannya.
“Terima kasih atas keterangan Kisanak tadi,” kata 
Mahesa Wulung sambil menatap ke utara ke arah 
orang-orang yang berduyun ke pelabuhan.
“Kakang Gagak Cemani,” ujar Mahesa Wulung pula, 
“apakah Andika tidak tertarik dengan ceritera tadi?!”
“Cukup menarik,” sambut Gagak Cemani. “Teruta-
ma keterangan yang mengatakan bahwa para korban 
berada di geladak perahu itulah, yang membuat hatiku 
tertarik!”
“Tepat seperti perkiraanku, Kakang,” sambung Ma-
hesa Wulung lagi. “Bagaimanakah kalau kita mene-
ngok ke sana sebentar saja?”
“Itu bagus! Tapi bagaimana dengan Bapak Surotani 
dan Adi Pandan Arum?” kata Gagak Cemani seraya 
menoleh ke arah mereka berdua. “Apakah Andika ber-
dua juga ingin singgah di sana?”
“Kami juga akan ikut ke sana,” ujar Pandan Arum 
serta Ki Surotani berbareng. “Kami perlu juga menge-
tahui apakah yang telah terjadi pada mereka.”
“Kalau begitu marilah kita lekas berangkat,” ajak 
Mahesa Wulung serta menarik tali kekang kudanya, di-
ikuti oleh Gagak Cemani, Pandan Arum dan Ki Surota-
ni.
Jak! Jaaak!
Keempatnya telah memacukan kudanya ke arah pe-
labuhan dengan melewati orang-orang yang berduyun-
duyun ke arah yang sama. Semuanya tampak bergegas 
ke arah sana, seperti rombongan semut yang telah 
mencium adanya gula.
Panggung berlentera telah tampak, demikian pula 
tiang-tiang layar dari perahu-perahu yang berlabuh di

situ kelihatan bertonjolan menjulang ke atas dengan 
indahnya.
Agak di sebelah tepi, terlihatlah sebuah perahu da-
gang kecil yang biasa bermuatan enam orang, tertam-
bat pada sebuah tonggak kayu di situ, dengan puluhan 
orang yang berkerumun menontonnya. Namun mereka 
cuma berdiri di daratan saja, sebab perahu tadi dijaga 
oleh prajurit-prajurit pengawal pelabuhan yang mela-
rang mereka untuk menyentuh perahu tadi. Beberapa 
obor dan lampu telah dipasang di tempat itu.
Yang berada di geladak perahu tersebut cuma tiga 
orang saja, yakni petugas-petugas khusus yang lagi 
memeriksa perahu tadi dengan seksama.
Para pemeriksa tadi tampak menggeleng-gelengkan 
kepala seperti mencoba mengerti, apakah yang se-
sungguhnya telah terjadi pada awak perahu ini?
Mahesa Wulung berempat telah tiba di tempat itu. 
Bersama Gagak Cemani ia turun dari punggung ku-
danya, sedang Pandan Arum dan ayahnya tetap berada 
di atas kuda tak jauh dari penonton lainnya.
Dengan langkah tergopoh kedua pendekar itu men-
dekati tangga naik perahu yang dijaga oleh empat 
orang prajurit kawal yang berperisai dan bertombak.
“Eh, Kisanak. Jangan terlalu dekat dengan perahu 
ini,” sapa salah seorang dari keempat prajurit tadi ke-
pada Mahesa Wulung dan Gagak Cemani. “Maaf, selain 
pasukan kawal pelabuhan, dilarang terlalu mendekat, 
apalagi sampai naik ke atas perahu ini.”
“Mengapa demikian?” ujar Mahesa Wulung seraya 
tersenyum dengan ramahnya. “Apakah kami tidak bo-
leh melihat para korban yang terdapat dalam perahu 
ini?”
“Itu dilarang oleh pemimpin kami,” jawab prajurit 
tadi. “Sebelum ada keterangan dan selesainya peme-
riksaan oleh pemimpin kami itu, tak seorangpun di

ijinkan naik ke atas perahu ini!”
“Hmm, terima kasih,” ujar Mahesa Wulung. “Anda 
bekerja cermat sekali. Tapi bolehkah kami bertemu pe-
mimpinmu itu?”
“Heei, rupanya Kisanak berdua sangat berminat se-
kali terhadap korban-korban ini. Siapa Anda? Je-
laskanlah pula apa kepentingan Kisanak berdua, agar 
kami tak menaruh curiga terhadap Anda!” begitulah 
kata si prajurit kawal tadi.
Namun mendadak saja si prajurit ini menjadi me-
longo setengah pucat, ketika tiba-tiba Mahesa Wulung 
menyodorkan permata kalung yang diraihnya dari ba-
lik bajunya, ke depan si prajurit.
“Ooh, Tuan...,” desah si prajurit tadi begitu matanya 
menatap permata kalung yang berbentuk cakra berada 
di tangan Mahesa Wulung itu. “Maaf Tuan perwira, 
kami tak mengenal Tuan...,” ujar si prajurit dengan 
gugup. “Jika begitu, silakan Tuan berdua naik ke atas. 
Kami tak berkeberatan sama sekali!”
“Heei..., lhooo! Bukankah Tuan adalah Wira Laut 
Mahesa Wulung dari Demak?” terdengar seruan dari 
atas perahu membuat Mahesa Wulung, Gagak Cemani 
dan keempat prajurit kawal tadi mendongak ke atas, 
ke arah suara tadi.
“Waakh! Bapak Kerpu dan Tambakan! Selamat. Kita 
bertemu lagi di sini!” Seru Mahesa Wulung ketika ia 
melihat dua orang yang menyambutnya dari atas tang-
ga perahu, yang tidak lain adalah Ki Kerpu dan Tam-
bakan. Dua sahabat lamanya yang tinggal di bandar 
Asemarang sebagai pemimpin kawal dari prajurit-pra-
jurit di situ.
“Yah, kita bertemu lagi, Tuan. Seperti pertemuan ki-
ta beberapa tahun yang lalu ketika bersama-sama 
membasmi gerombolan Alas Roban,” ujar Ki Kerpu de-
ngan tersenyum lebar dan ramah sekali.

Sebentar kemudian, mereka telah berada kembali di 
atas geladak perahu dan tampaklah oleh mata Mahesa 
Wulung dan Gagak Cemani, keenam korban yang 
menggeletak tak bernyawa.
“Sukar untuk kami jelaskan, gerangan apakah yang 
telah menyebabkan kematian mereka,” ujar Ki Kerpu 
seraya menunjuk korban-korban itu. “Apakah Tuan 
melihat sesuatu yang aneh pada tubuh mereka?”
“Biru hangus dan kering!” seru Mahesa Wulung de-
ngan suara bergetar saking kagetnya. “Akh, sungguh 
mengerikan dan malang sekali nasib orang-orang ini!”
“Dapatkah kiranya Tuan mengetahui sebab-sebab 
dari kematian orang-orang ini?!” kembali Ki Kerpu ber-
tanya.
“Yah! Aku pernah melihati korban-korban yang se-
macam ini,” kata Mahesa Wulung. “Persis seperti kor-
ban-korban dari kejahatan Kapal Hantu.”
“Kapal Hantu?!” desis Ki Kerpu. “Tapi... Tapi bu-
kankah menurut laporan yang aku terima dari Demak, 
bahwa Kapal Hantu tersebut telah dihancurkan oleh 
armada Demak?”
“Itu benar, Bapak!” sahut Mahesa Wulung. “Hanya 
saja aku agak kuatir, bahwa sekarang Ki Rikma Rem-
byak mulai mengadakan pembalasan dendam atas ke-
hancuran Kapal Hantu tadi.”
“Hemmm, jika rekaan Tuan tadi benar-benar terjadi, 
maka pastilah armada Demak akan dibuat sibuk kem-
bali oleh tugasnya. Demikian pula Tuan Mahesa Wu-
lung.”
“Bapak Kerpu,” ujar Mahesa Wulung pula. “Peristi-
wa ini akan kuperhatikan sepenuhnya. Tentang penje-
lasan Andika kepada para penduduk di sini, terserah 
kepada kebijaksanaanmu. Yang penting, usahakanlah 
agar mereka tidak menjadi panik karenanya. Sebab hal 
itu akan mempengaruhi mereka, terutama dalam segiperdagangan dan pelayaran di daerah ini.”
“Terima kasih, Tuan,” berkata Ki Kerpu. “Kami akan 
berusaha sebaik mungkin dan semoga seperti yang 
Tuan harapkan. Dan eh... hendak ke manakah Tuan 
berdua sekarang?”
“Kami hendak berkunjung ke Kampung Sekayu, 
Bapak. Kini, baiklah kami meminta diri sekali,” kata 
Mahesa Wulung.
Segera Mahesa Wulung dan Gagak Cemani menu-
runi tangga perahu setelah keduanya berpamit kepada 
Ki Kerpu Tambakan serta kedua orang petugas lain-
nya.
Ki Kerpu mengantarkan mereka sampai ke bawah 
dan sekali lagi mengucapkan terima kasihnya atas 
kunjungan tadi. Sesaat kemudian Mahesa Wulung be-
rempat telah berpacu kembali ke arah selatan.
Sambil berpacu hati Mahesa Wulung selalu ber-
tanya-tanya akan peristiwa yang mengerikan tersebut. 
Mungkinkah Ki Rikma Rembyak telah menciptakan 
kembali Kapal Hantu untuk membalas dendam? Na-
mun selama ini ia belum pernah mendengar laporan 
tentang munculnya kapal yang semacam itu lagi. Ke-
cemasan satu-satunya yang bisa dihubungkan dengan 
peristiwa tadi, adalah isi pesan tertulis yang telah di-
serahkan oleh Pakerti kepadanya.
Tanpa terasa, mereka berempat telah memasuki 
gerbang Kampung Sekayu yang ditandai oleh dua buah 
pohon asem tua yang saling bertautan. Kampung tadi 
merupakan desa kecil yang bertanah subur.
Begitulah, mereka sampai di tujuannya malam itu. 
Dan sesudah membasuh muka dan kaki serta kemu-
dian mohon ala kadarnya, mereka berempat masuk ke 
bilik tidurnya masing-masing.
Keempatnya segera tertidur pulas. Apalagi setelah 
mereka berkuda dengan menempuh jarak yang sepan

jang dan sejauh itu, badan mereka telah terasa penat-
penat pegal.
Itulah sebabnya begitu mereka merebahkan tubuh-
nya di atas balai-balai beralas tikar pandan, seketika 
itu tertidurlah mereka dengan nyenyak dan baru ter-
bangun pada keesokan paginya.
***
Telah dua hari Mahesa Wulung dan Gagak Cemani 
tinggal di rumah Ki Surotani. Kepada Gagak Cemani 
tamunya yang baru itu, Ki Surotani selalu mengajak 
dan membawanya ke tetangga-tetangga di sekitarnya 
untuk diperkenalkan kepada mereka.
Dalam pada itu Mahesa Wulung selalu tinggal di 
rumah untuk menemani kekasihnya, si Pandan Arum, 
serta pula mempelajari isi surat tertulis yang dibawa 
oleh Pakerti dari Pulau Mondoliko.
Sore itu tampaklah Pandan Arum duduk termenung 
di pekarangan rumah. Bunga-bunga bermekaran de-
ngan indahnya menyebar bau semerbak harum, me-
nyegarkan perasaan dan kegembiraan hidup.
Namun sore itu Pandan Arum termenung berdiam 
diri, seolah-olah ada sesuatu yang mengganggu ha-
tinya, dan itulah sebabnya maka ia terperanjat ketika 
Mahesa Wulung menyapa serta memegang kedua pun-
daknya dari sebelah belakang.
“Adi Pandan Arum,” sapa Mahesa Wulung, “engkau 
melamunkan sesuatu?”
“Betul, Kakang Wulung,” lirih sekali Pandan Arum 
menjawab kekasihnya. “Aku melamunkan diriku, Ka-
kang.”
“Mengapa, Adi?”
“Adikku si Pandan Sari telah kawin, mendahului 
aku,” ujar Pandan Arum. “Sedang aku? Aah, mungkin 
masih lama. Barangkali setahun lagi, dua tiga tahun

lagi atau mungkin pula sepuluh tahun lagi barulah ki-
ta kawin. Sedang aku telah pula merindukan berumah 
tangga, mendidik anak-anak kita dengan penuh kasih 
sayang.”
“Aku tahu perasaanmu, Adi,” berkata Mahesa Wu-
lung sambil mengusap pundak Pandan Arum dengan 
penuh kemesraan. “Bersabarlah, Adi. Apakah Adi ma-
sih menyangsikan cintaku kepadamu?”
“Oh, tentang cintamu, aku percaya sepenuhnya Ka-
kang,” kata Pandan Arum seraya menunduk. “Tapi, 
bukankah kita selalu dikejar oleh hari, dikejar oleh 
waktu yang setiap kali akan menambah jumlah umur 
kita?”
“Aku juga memikirkan hal itu, Adi. Namun Adi ten-
tunya tahu bahwa tugas-tugas yang berat senantiasa 
menumpuk di atas pundak kita, sebagai beban yang 
harus diselesaikan. Darma Ksatria! Demikianlah pe-
doman yang telah terpatri di dalam hatiku, Adi. Dan 
menjadi Wira Tamtama Laut seperti kakang ini, ten-
tunya tak akan berpangku tangan melihat kejahatan 
tumbuh dan merajalela di mana-mana. Maaf, Adi 
Arum. Jangan Adi berprasangka bahwa aku bermak-
sud mengecewakanmu. Memanglah kalau dipikir, ke-
jahatan akan selalu ada, meskipun hanya kecil ben-
tuknya. Kebaikan dan keburukan selalu kita jumpai, 
dan begitulah namanya irama hidup, Adi. Menindas 
keburukan adalah tugas kita dan juga tugas setiap 
manusia di marcapada. Semua itu kita lakukan karena 
kita mengingini hidup yang tentram dan sejahtera. 
Jauh dari malapetaka dan keburukan-keburukan.” 
Mahesa Wulung berhenti sejenak dan menghela napas. 
“Aakh, terlalu bertele-tele menceramahimu, Adi. Maaf-
kan.”
“Oo, tidak mengapa, Kakang Wulung! Tidak meng-
apa! Aku senang mendengarnya,” seru Pandan Arum

seraya menyandarkan kepalanya ke dada Mahesa Wu-
lung yang bidang itu.
“Aku selalu memikirkan apa yang Adi pikirkan. Ha-
nya saja, kakang tidak senang untuk mengambil suatu 
keputusan dengan tergesa-gesa dan serampangan. Se-
bab perkawinan adalah sesuatu yang suci dan me-
nyangkut hidup kita. Kapan, waktu hari dan tempat-
nya, baiklah kita pikirkan dengan tenang dan lanjut.”
“Ookh aku selalu menambah beban di hatimu, Ka-
kang Wulung,” desah Pandan Arum. “Dan saya kira, 
saat ini memang belum saatnya yang tepat untuk me-
mikirkan hal itu. Juga saya tak mau ketinggalan untuk 
mendampingi Kakang Wulung dalam melaksanakan 
tugas-tugas yang berat sekalipun!”
“Terima kasih, Adi Pandan Arum. Kakang merasa 
gembira mendengar pengertian yang mendalam pada 
dirimu. Dan ketahuilah Adi, sekarang ini selagi kita be-
rada di tempat ini, bahaya yang mahabesar tengah 
mengancam di depan hidung kita. Bahaya tersebut bi-
sa menimbulkan bencana yang dahsyat bagi kita se-
mua!”
“Aduh. Apakah bahaya itu, Kakang?” seru Pandan 
Arum dengan kagetnya.
“Engkau masih ingat sewaktu kita singgah di ban-
dar pelabuhan Asemarang dua hari yang lalu?” tanya 
Mahesa Wulung.
“Mmm, aku ingat, Kakang! Bukankah malam itu ki-
ta lihat orang berduyun-duyun menuju ke pelabuhan 
dan kita pun singgah di sana?”
“Nah, memang di situlah aku telah melihat adanya 
bahaya. Ternyata, ketika aku dan Kakang Gagak Ce-
mani ikut memeriksa para korban yang menggeletak di 
geladak perahu, dapatlah kami saksikan bahwa tubuh 
keenam korban itu kering dan hangus kebiru-biruan, 
persis seperti korban-korban dari kejahatan Kapal

Hantu.”
“Wah, sungguh mengerikan tentu,” desah Pandan 
Arum. “Jadi itulah bahaya yang Kakang Wulung sebut-
kan?”
“Itu hanya sebagian saja, Adi,” sambung Mahesa 
Wulung pula. “Kau tentu ingat pula sepucuk pesan ter-
tulis yang aku terima dari Pakerti? Di dalamnya tertu-
lis sebuah pesan yang menyebutkan bahwa Ki Rikma 
Rembyak telah mendirikan sebuah benteng di Pulau 
Mondoliko serta merencanakan sebuah senjata ampuh 
yang sanggup menghancurkan sebuah desa dari jarak 
jauh! Pesan ini dikirim dari seorang yang bernama 
Jagal Wesi, yang tinggal di pulau itu juga.”
“Jadi pesan tersebut dikirim dari sana?!” ujar Pan-
dan Arum keheranan. “Apakah itu bukan sebuah jeba-
kan bagi kita, barangkali?”
“Hmm, bisa juga. Tapi Jagal Wesi itulah yang telah 
membebaskan dan meloloskan Pakerti dari Pulau Mon-
doliko, ketika ia akan dijatuhi hukuman mati oleh Ki 
Rikma Rembyak!”
“Eeng, jika demikian,” desah Pandan Arum dengan 
berpikir-pikir sejenak, “kita boleh mempercayai pesan 
dari Jagal Wesi tadi. Tapi apakah hubungan korban-
korban pada perahu tadi dengan Pulau Mondoliko?”
“Menurut keterangan Bapak Ki Kerpu, perahu tadi 
ditemukan terkatung-katung di sebelah barat Pulau 
Mondoliko oleh sebuah perahu lain dan kemudian me-
nyeretnya ke bandar Asemarang ini.”
“Akh, makin jelaslah persoalannya!” ujar Pandan 
Arum. “Ki Rikma Rembyak mulai kembali melancarkan 
serangannya dan mungkin pula dimaksudkan sebagai 
pembalasan atas kehancuran Kapal Hantunya!”
“Begitulah seperti dugaanku semula!” sambung Ma-
hesa Wulung. “Memang kiranya itulah pembalasan 
Rikma Rembyak!”

“Kakang Wulung, aku lalu teringat akan nasib ma-
lang yang telah dialami oleh mendiang paman Empu 
Baskara yang kini masih terkubur di dasar Jurang Ma-
ti oleh perbuatan Rikma Rembyak!” gumam Pandan 
Arum dengan nada haru. “Dan rahasia panah Braja 
Kencar milik Paman sampai sekarang masih di tangan 
si keparat Rikma Rembyak itu.”
“Yah, sayang sekali, memang sampai sekarang kita 
belum berhasil merebut kembali rahasia panah Braja 
Kencar itu! Namun kini telah jelas bahwa Ki Rikma 
Rembyak telah memusatkan kekuatannya di Pulau 
Mondoliko dan tentunya pula di sana pulalah benda 
itu disimpannya!” berkata Mahesa Wulung. “Dan satu-
satunya jalan ialah menyerbunya ke sana!”
“Itu benar, Kakang,” sahut Pandan Arum. “Akan te-
tapi dengan kekuatan apakah kita menyerbu ke sana? 
Dengan kekuatan beberapa kapal dari armada Demak 
atau dengan diam-diam kita menyelundup ke sana?!”
Mahesa Wulung tampak berdiam sejenak untuk me-
mikirkan perkataan Pandan Arum tadi. “Hal itu harus 
kita rencana masak-masak dengan para pemimpin di 
Demak, dan kapan hal itu bisa dilaksanakan, aku be-
lum tahu. Yang terang saja di Pulau Mondoliko itu te-
lah ada seseorang yang berpihak pada kebenaran, yak-
ni di Jagal Wesi itu tadi. Dan tidak mustahil ia ber-
sedia membantu kita nanti!”
Percakapan mereka terhenti sesaat oleh dua ekor 
burung ketilang yang berkejar-kejaran di sela-sela 
daun pohon sawo di depan mereka dengan mesranya. 
Rupanya, kedua burung itu adalah ketilang jantan dan 
betina yang lagi dimabuk asmara, membuat Pandan 
Arum dan Mahesa Wulung tersenyum penuh arti de-
ngan sedikit kesipu-sipuan.
“Besok kita akan kembali ke Demak, Adi,” ujar Ma-
hesa Wulung memecah kesepian yang sesaat itu. “Dan
kita harus mendapatkan keterangan lebih banyak dari 
Pakerti sebelum kita mengambil langkah-langkah lebih 
lanjut.”
Mahesa Wulung menyelesaikan kata-katanya itu se-
raya membungkuk memungut sebutir batu sebesar te-
lur ayam, sehingga Pandan Arum keheran-heranan 
menatap kelakuan kekasihnya. Dan ketika ia hendak 
berkata, tiba-tiba saja Mahesa Wulung mendesis, 
memperingatkannya agar berdiam diri.
“Sssttt... tenanglah!”
Karenanya, Pandan Arum semakin keheranan di-
buatnya dan kini tampaklah bahwa kekasihnya itu me-
nimang-nimang batu tersebut di tangannya.
Sesaat Pandan Arum menjadi cemberut oleh sikap 
kekasihnya, dan ketika ia sekali lagi ingin bertanya ke-
padanya, mendadak saja Mahesa Wulung mengi-
baskan tangannya yang memegang batu tadi ke atas, 
ke arah kerimbunan pohon sawo di samping mereka, 
dibarengi seruan pendek. “Heeeiittt! Ayo turun!”
Batu tersebut melesat dengan kecepatan tinggi, me-
rupakan seleret sinar kelabu dalam pandangan yang 
hampir sukar ditangkap mata.
Taaak!
Suara benturan terdengar diiringi oleh jeritan me-
lengking menyertai sesosok bayangan tubuh manusia 
melayang turun dari atas pohon sawo dengan suara 
mengaduh.
Pandan Arum seketika berteriak kaget dan kembali 
ia dibuat kagum oleh sesosok bayangan yang melayang 
jatuh ke tanah. Tentunya orang ini akan cedera atau 
patah tulangnya, namun begitu si bayangan tadi ham-
pir menyentuh tanah, maka dengan gesitnya ia menje-
jakkan kakinya ke tanah lebih dulu. Dengan begitu 
maka tubuhnya kembali melenting dan secepat kilat 
kabur ke arah barat, dibarengi teriak kutukan bernada

mengancam. “Keparat! Kalian memang bertelinga ta-
jam. Hari ini aku mengaku kalah, tapi tunggu hari-hari 
yang akan datang!”
“Pengecut busuk! Kau ngacir melarikan diri setelah 
ketahuan!” seru Mahesa Wulung seraya melesat untuk 
mengejar si pengintai tadi.
Begitu pula si Pandan Arum tak mau ketinggalan 
melihat Mahesa Wulung mengejar musuhnya, sehingga 
dengan cepat pula ia meloncat mengikuti kekasihnya.
Akan tetapi semua itu tidak banyak gunanya, sebab 
ternyata bayangan tadi mempunyai ilmu lari yang sa-
ngat hebat. Dalam sekejap saja lenyaplah orang itu di
balik semak-semak yang telah dirambah oleh baya-
ngan senja.
Mahesa Wulung dan Pandan Arum segera menghen-
tikan larinya begitu melihat buronannya telah kabur 
dan lenyap.
“Ia telah kabur!” desah Mahesa Wulung sambil me-
meriksa permukaan tanah di dekatnya yang tadi telah 
dilewati lari oleh si pengintai. “Sayang sekali.”
“Ilmu larinya cukup hebat, Kakang,” sambung Pan-
dan Arum. “Siapakah dia kiranya?”
“Memang cukup hebat!” sahut Mahesa Wulung pu-
la. “Tapi lihatlah ini,” berkata begitu si pendekar ini 
menunjuk ke atas tanah. “Tetes-tetes darah! Pasti lem-
paran batuku telah mengenainya! Nah, jangan kau ce-
ritakan kejadian ini kepada siapa-siapa!”
“Akh, peristiwanya makin menarik, Kakang!” kata 
Pandan Arum. “Menilik teriak ancamannya, orang tadi 
pasti berasal dari pihak lawan!”
“Wah, aku lalu teringat dengan si Pakerti. Tiba-tiba 
saja aku mencemaskan keselamatannya!” desah Mahe-
sa Wulung dengan suara kecemasan.
“Mengapa, Kakang?”
“Bukankah tadi aku telah menyebut-nyebut nama siPakerti? Dan tidak mustahillah bila pengintai tadi telah 
mendengarnya!”
“Oh, sungguh mencemaskan,” sahut Pandan Arum. 
“Jika orang tadi ternyata dari pihak lawan, pastilah ji-
wa dan keselamatan si Pakerti akan terancam bahaya 
dalam setiap saat! Mudah-mudahan saja hal itu tidak 
terjadi!”
“Yah, mudah-mudahan saja begitu,” sambung Ma-
hesa Wulung. “Marilah kita kembali ke rumah, Adi.”
Demikianlah, mereka segera pulang dan malam pun 
tiba dengan tenangnya, seperti juga ia lenyap dengan 
perlahan-lahan pada keesokan harinya.
***
TIGA


KI SUROTANI kini telah tenang hatinya. Pandan Sa-
ri yang dahulu telah disangkanya tewas dan lenyap, 
kini telah dijumpainya kembali dalam keadaan segar-
bugar serta menjadi istri dari Lawunggana.
Demikian pula ia telah menerima hartanya kembali 
yang telah sekian lama tersimpan di daerah Tanjung 
Bugel secara rahasia. Begitulah sesungguhnya suka 
dan duka saling mengisi kehidupan kita, dan Ki Suro-
tani yang bijaksana itu mengucap syukur kepada Tu-
han Yang Maha Pengasih yang telah mempertemukan-
nya kembali dengan putrinya itu.
Di pagi yang cerah dan berudara segar, Ki Surotani 
telah berdiri di pagar halaman rumahnya bersama-
sama para penduduk Desa Sekayu lainnya. Pagi itu, 
Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Gagak Cemani te-
lah bersiap akan berangkat, meninggalkan Desa Seka-
yu untuk kembali ke Demak.

Tiga ekor kuda yang tangguh dan segar telah pula 
siap dengan pelana di punggung dan beberapa bung-
kusan bekal di perjalanan. Sesudah mereka bertiga 
berpamitan kepada Ki Surotani serta orang-orang desa 
yang berdiri di situ, segeralah ketiganya meloncat ke 
punggung kudanya masing-masing.
“Selamat jalan, Angger bertiga!” ujar Ki Surotani se-
raya melambaikan tangannya ke arah Pandan Arum, 
Mahesa Wulung dan Gagak Cemani. “Berhati-hatilah 
dalam menjalankan tugas kalian!”
“Terima kasih, Bapak,” berkata Mahesa Wulung se-
raya mengangguk dan tersenyum manis. “Kami akan 
segera berkunjung kemari jika tugas-tugas telah sele-
sai.”
“Yah, jagalah si Pandan Arum itu olehmu baik-baik, 
Angger Wulung!” berkata pula Ki Surotani, sementara 
Pandan Arum sendiri tertunduk dengan wajah merah 
tersipu malu.
Mahesa Wulung sekali lagi mengangguk hormat se-
belum ia menderapkan kudanya meninggalkan hala-
man rumah Ki Surotani diikuti oleh Pandan Arum dan 
Gagak Cemani.
Ketiganya memacu kudanya seperti berlomba berke-
jaran dengan ujung sinar matahari yang telah dipa-
nahkan ke permukaan tanah.
Sambil berpacu itu, hati Mahesa Wulung senantiasa 
mencemaskan keselamatan Pakerti yang ditinggalnya 
di Demak. Lebih-lebih bila ia teringat akan peristiwa 
kemarin senja ketika ia berhasil memergoki seorang 
pengintai yang telah memata-matainya dengan diam-
diam. Selain itupun ia sangat heran kepada orang yang 
bernama Jagal Wesi yang telah menyelamatkan jiwa 
Pakerti. Sungguh-sungguh ia ingin mengetahui siapa-
kah sebenarnya si Jagal Wesi tersebut.
Menilik namanya, agaknya dia berkekuatan dan

bertubuh kokoh seperti besi. Tapi sekali lagi, semua itu 
akan menjadi jelas bila ia telah bertemu dengan Paker-
ti serta menanyainya pula.
Tanpa terasa, ketiganya telah melewati kota Asema-
rang dan berbelok ke arah timur, menuju ke pintu ger-
bang timur kota. Mereka mengikuti jalan besar yang 
menuju ke arah kota Demak dengan kecepatan bagai 
ketiga buah anak panah yang ditembakkan!
Matahari semakin tinggi mengarungi angkasa dan 
sinarnya menerangi permukaan bumi dengan terang-
nya. Sebentar lagi siangpun akan tiba bersamaan Ma-
hesa Wulung bertiga telah mendekati pintu gerbang 
luar Kota Demak.
“Kita akan langsung menuju ke tempat Pakerti?” 
bertanya Gagak Cemani kepada Mahesa Wulung.
“Tidak, Kakang Cemani,” sahut Mahesa Wulung. 
“Kita singgah dulu ke Balai Kesatrian, untuk melapor-
kan diri dan menitipkan kuda di sana. Setelah itu, kita 
berjalan kaki menuju ke tempat Pakerti. Aku sambil la-
lu ingin menunjukkan keramaian dan suasana Kota 
Demak kepadamu.”
“Eeh terima kasih, Adi Wulung,” ujar Gagak Cemani 
pula. “Kebetulan aku ingin mencicipi buah belimbing 
dari kota ini.”
“Heh, heh, heh. Kakang Cemani ternyata mempu-
nyai selera yang baik. Memanglah, buah belimbing dari 
Kota Demak ini terkenal di mana-mana. Buahnya be-
sar, manis dan kuning-kuning,” ujar Mahesa Wulung. 
“Nah, kita berbelok sedikit ke selatan dan kita masuk 
ke pintu gerbang rumah yang berhalaman luas itu. In-
ilah Balai Kesatrian yang aku ceriterakan tadi.”
Mereka bertiga masuk dan segera menitipkan ku-
danya, serta kemudian Mahesa Wulung memberikan 
laporan tentang kedatangannya kepada seorang petu-
gas di situ.

Sesudah selesai, ketiganyapun berjalan kaki menu-
ju pintu gerbang keluar untuk mencari si Pakerti. Se-
mentara itu, sambil berjalan tadi kelihatan Gagak Ce-
mani memperhatikan keadaan Balai Kesatrian.
Tampak oleh Gagak Cemani, beberapa orang perwi-
ra tengah berlatih diri di halaman Balai Kesatrian ini 
dengan berolah senjata bermacam-macam. Pendekar 
dari timur ini mau tak mau menjadi kagum juga oleh 
latihan-latihan mereka.
Di sebelah yang lain, tampak pula sedang duduk-
duduk di bawah pohon beringin yang rindang, bebe-
rapa orang perwira membicarakan sesuatu yang keli-
hatannya sangat penting. Hal ini terlihat dari wajah-
wajah mereka yang tegang dan penuh perhatian.
Tiba-tiba saja percakapan mereka terhenti seketika, 
apabila Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Gagak Ce-
mani melewati tempat mereka. Semua pandangan ma-
ta para perwira tadi tertumpah kepada Mahesa Wulung 
bertiga, lebih-lebih kepada Gagak Cemani, si pendekar 
berjubah itu.
“Kakangmas Mahesa Wulung!” terdengar sebuah se-
ruan yang nyaring dari arah para perwira tadi. “Tung-
gulah sebentar!”
Mendapat panggilan tersebut, Mahesa Wulung ber-
tiga serentak berhenti dan berpaling ke arah mereka.
“Oo engkau, Adi Surowo. Telah lama kita tak ber-
jumpa, bukan? Heh, makin gagah saja engkau ini,” 
ujar Mahesa Wulung kepada salah seorang perwira 
yang baru saja menyapa dirinya tadi.
“Eeeeh, Kakang Mahesa Wulung terlalu memanja-
kanku dengan pujian-pujian tadi,” sahut perwira Su-
rowo seraya tertawa lebar. “Dan kami baru saja mem-
bicarakan perihal Kakang Mahesa Wulung beserta 
tuan pendekar berjubah ini.”
“Wah, tampaknya kami tengah menjadi tokoh dari

ceritera kalian itu,” ujar Mahesa Wulung. “Kenalkanlah 
sekarang. Inilah Kakang Gagak Cemani dari daerah 
timur.”
Tak lama kemudian, mereka telah saling berkenalan 
dengan akrabnya, dan beberapa saat itu pula, Surowo 
telah berkata, “Kakangmas Mahesa Wulung, secara ke-
betulan pada beberapa hari yang lalu aku telah sempat 
menyaksikan pertempuran Tuan pendekar Gagak Ce-
mani di daerah pinggiran kota Demak di sebelah timur 
dan kemudian aku ceriterakan hal itu kepada teman-
temanku ini. Akan tetapi, di antara mereka ini ada 
yang menyangsikan ceriteraku tadi. Mereka menyang-
ka bahwa aku telah mengarang-ngarang tokoh yang 
bernama Gagak Cemani! Tak tahunya sekarang ini, 
mereka telah berhadapan dengan orangnya.” Surowo 
berhenti sejenak sambil melayangkan pandangan ma-
tanya ke wajah salah seorang di antara perwira-per-
wira tadi yang berwajah kaku dan berhidung lebar. 
“Bagaimana, Kakang Tungkoro?” bertanya Surowo ke-
pada si wajah kaku. “Apakah Kakang masih belum 
percaya akan ceriteraku tadi?”
“Ehmm, yah aku percaya sekarang, Adi,” jawab 
Tungkoro seraya menatap pendekar Gagak Cemani de-
ngan pandangan penuh selidik.
“Dan apakah Kakang juga masih akan melaksana-
kan maksud Kakang semula?” kembali Surowo ber-
tanya.
“Eh, agaknya kalian mempunyai persoalan yang 
menarik sekali,” sahut Mahesa Wulung pula. “Kata-
kanlah. Jika boleh, kami ingin mengetahuinya!”
“Maaf, Kakangmas Mahesa Wulung,” ujar Tungkoro. 
“Kami tadi telah saling berjanji ketika Adi Surowo ber-
ceritera, jika tokoh pendekar Gagak Cemani tadi betul-
betul ada, saya ingin sekali untuk sedikit mendapat 
pelajaran dan bermain-main dalam beberapa gebrakan

jurus silat dari Tuan pendekar Gagak Cemani.”
Mahesa Wulung termangu sesaat dan berpaling ke 
arah Gagak Cemani. Tapi apa yang dilihatnya cuma 
sebuah senyuman yang menghias pada bibir sahabat-
nya itu, dan karenanya pula Mahesa Wulung berkata. 
“Apakah ini berarti tantangan buat Kakang Gagak Ce-
mani?”
“Ooo, harap dimaafkan, Kakangmas Mahesa Wu-
lung,” kata Tungkoro tergagap bingung. “Bukan sekali-
kali saya bermaksud menantang Tuan Gagak Cemani 
ini. Tapi karena terdorong oleh kekaguman dan keingi-
nan saya untuk berkenalan lebih erat lagi, maka terla-
hirlah maksud itu tadi.”
“Heh heh heh,” tawa pendekar Gagak Cemani sera-
ya mengelus-ngelus kumisnya yang melintang. “Anda 
tak usah sungkan-sungkan terhadap saya, Tuan Tung-
koro. Aku sangat senang dan menghargai maksudmu 
tadi. Dan untuk itu, saya mengucapkan terima kasih 
yang sebesar-besarnya.”
“Eh, syukurlah jika Kakang Cemani tidak menjadi 
salah paham oleh maksud Adi Tungkoro ini,” ujar Ma-
hesa Wulung.
“Nah, sekarang mulailah, Tuan Tungkoro,” ujar Ga-
gak Cemani seraya bersiaga. “Apakah Anda menghen-
daki bermain-main dengan tangan kosong dahulu 
ataukah langsung menggunakan senjata kita?”
“Jika Andika tidak keberatan, baiklah kita terlebih 
dahulu memakai tangan kosong saja,” berkata Tungko-
ro sambil memasang kuda-kuda jurus silatnya ke arah 
Gagak Cemani.
Hampir setiap dada orang-orang di situ tergetar me-
lihat kedua orang itu mulai bersiaga dengan jurus-
jurus serangannya. Bagi perwira-perwira muda yang 
berada di situ, mereka telah tahu bahwa Tungkoro 
termasuk pula pendekar yang tangguh dan ulet. Sedang Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Surowo yang 
pernah menyaksikan tandang dan gerakan Gagak Ce-
mani menjadi berdebar-debar pula jantungnya.
“Hyaaaat!” terdengar pekikan Tungkoro berbareng 
tubuhnya menyerbu ke arah Gagak Cemani. Sebuah 
pukulan tangan yang sederas badai meluncur kepada 
Gagak Cemani.
Wuuuut!
Gagak Cemani tercengang sesaat oleh serangan 
Tungkoro. Dan begitu jarak pukulan itu tinggal sejeng-
kal dari dadanya, dengan manisnya Gagak Cemani 
menggeser kaki kirinya ke kanan dalam, dan dengan 
sedikit menarik dadanya ke belakang, maka loloslah 
pukulan tangan Tungkoro tadi dari sasarannya.
Maka terdengarlah desis kagum dari mulut para 
penonton oleh kejadian tadi. Namun belum lagi me-
reda, mendadak Tungkoro menutup serangannya yang 
gagal tadi dengan sebuah tendangan kaki kanan yang 
menyambar ke arah pinggang Gagak Cemani dalam 
kecepatan yang mengagumkan.
Betapapun Gagak Cemani telah matang dalam ilmu 
silatnya, namun melihat serangan-serangan dari Tung-
koro tadi ia tak mau main-main. Maka di saat tenda-
ngan tadi meluncur dengan derasnya, Gagak Cemani 
segera mengetrapkan ilmu meringankan tubuhnya ber-
bareng kakinya menggenjot tanah. Dan bagaikan see-
kor belalang, maka melentinglah tubuh Gagak Cemani 
ke udara disertai beberapa kali jungkir balik yang sa-
ngat lincah. Dengan begitu, maka sekali lagi serangan 
Tungkoro cuma melanda udara kosong belaka!
Untuk kedua kalinya pula para penonton bergu-
mam saking kagumnya, sedang Tungkoro dengan sen-
dirinya menjadi semakin panas hatinya sehingga ter-
paksalah ia mengerahkan segenap ilmu dan kekuatan 
tubuhnya dalam menghujankan serangan-serangan

dahsyat ke arah Gagak Cemani!
Diikuti oleh desau angin dan bunyi bersuit, sera-
ngan Tungkoro bertubi-tubi menggempur pertahanan 
Gagak Cemani yang teguh bagaikan benteng gunung 
karang.
Sepintas lalu, serangan Tungkoro tadi seperti topan 
ganas yang haus akan korbannya, bersambung-sam-
bung susul-menyusul tak ada redanya. Jika lawannya 
hanyalah orang kebanyakan belaka, pastilah dalam 
sekejap mata akan terpukul roboh.
Gagak Cemani memang bukan pendekar sembara-
ngan yang lekas terpengaruh ataupun berkecil hati 
menjumpai lawan setangguh itu. Mula-mula ia membe-
ri kesempatan kepada Tungkoro untuk terus-menerus 
menghimpun serta mencecar dengan serangan-
serangannya. Setelah ia mendapat sedikit ukuran akan 
kekuatan Tungkoro, maka cepat-cepat ia menyela-
raskan dirinya sedikit berada di atas Tungkoro. Den-
gan demikian, maka Gagak Cemani selalu berhasil me-
nanggulangi semua serangan yang menuju ke dirinya.
Beberapa saat kemudian Gagak Cemani telah me-
mulai serangan-serangan beratnya. Dimulai dari jurus-
jurus ringan yang kemudian meningkat semakin dah-
syat, sehingga membuat Tungkoro makin terperanjat.
Bagi dirinya, Tungkoro mulai dapat merasakan pe-
rubahan dari serangan Gagak Cemani tersebut yang 
selincah burung sikatan tapi sedahsyat banteng meng-
amuk!
Kendatipun Tungkoro telah mengeluarkan segenap 
ilmu silat serta ketrampilannya, rasanya toh belum 
memadai tandang Gagak Cemani.
Merasa kalau lawannya itu dapat mengatasi segala 
serangannya, maka Tungkoro menjadi lebih beringas 
dan diam-diam ia telah mengetrapkan pukulan ujung 
jarinya yang telah berkali-kali sanggup menjatuhkan
lawan-lawannya, bahkan tidak jarang menimbulkan 
kematian di pihak mereka.
Tungkoro sekali ini ingin mengetahui apakah pen-
dekar Gagak Cemani, si kumis melintang ini, mampu 
menyambut pukulannya pula!
Apa yang tengah dipikirkan oleh Tungkoro itu ter-
nyata dapat diduga oleh si pendekar berjubah sebe-
lumnya. Begitu ia melihat Tungkoro mengambil sikap 
pukulan tertentu, Gagak Cemani cepat-cepat bersiaga 
seraya meloncat ke samping.
“Hmm, dia telah bersiaga pula!” pikir Tungkoro di-
am-diam. “Sekarang akan kuuji si Gagak Cemani ini 
dengan pukulan dari perguruan Kedungjati yang telah 
aku siapkan!”
Semua penonton pada menahan napas, seperti hal-
nya Mahesa Wulung berdebar-debar jantungnya me-
nyaksikan kedua pendekar itu telah saling bersiaga 
sepenuhnya.
“Hyaattt!”
Teriakan yang memekakkan telinga terdengar dan 
mengejutkan setiap telinga yang mendengarnya, disu-
sul oleh tubuh Tungkoro yang melesat ke depan me-
nerjang ke arah Gagak Cemani.
Sesaat dada Gagak Cemani berdesir, namun ia telah 
bersiaga sejak semula, dan kini dengan tegar dan 
tangguhnya ia menyilangkan kedua telapak tangannya 
di depan tubuh, siap untuk menyambut pukulan 
Tungkoro.
Blaaang!
Suara benturan keras terdengar, seperti dua bilah 
papan yang diadu dengan dahsyatnya. Dan apa yang 
terlihat kemudian sungguh menggoncangkan setiap 
dada orang yang berada di tempat itu.
Tampaklah tubuh Gagak Cemani masih tegak pada 
tempatnya dengan cuma bergoyang-goyang sedikit, se

dang Tungkoro seketika mencelat ke belakang bebe-
rapa tombak untuk kemudian bergulingan jatuh di. 
tanah sambil meringis dan mendesis.
Dada Tungkoro dapat terlihat oleh setiap mata, be-
tapa ia berkempas-kempis seperti ikan kekeringan air. 
Teranglah bahwa ia kehabisan napas dan tenaga.
Tetapi dasar ia pendekar pilihan dari Kedungjati, 
maka sejurus kemudian ia duduk bersila di tanah un-
tuk mengatur napas dan tenaganya yang telah banyak 
lolos dan setengah membalik akibat tolakan pukulan 
dari Gagak Cemani.
Beberapa saat suasana menjadi lengang ketika se-
tiap mata yang menatapi sikap Tungkoro yang lagi 
memulihkan tenaganya, termasuk pula Gagak Cemani 
yang dengan tenangnya menantikan lawannya itu.
Ketika Tungkoro telah memperoleh tenaganya kem-
bali yang telah terlontar keluar tadi, kemudian ia me-
natap Gagak Cemani dengan mata setengah menyipit, 
sebagai pertanda kekagumannya terhadap si pendekar 
berjubah itu.
“Memang hebat Gagak Cemani!” pikir Tungkoro sen-
diri. “Ternyata tenaga dalamku berada di bawah ting-
katannya! Tapi bagaimana dengan permainan senja-
tanya? Hm, aku harus pula mencobanya!”
Sambil berpikir demikian, Tungkoro lalu meraba 
hulu pedangnya yang tergantung di pinggang kiri dan 
selama ini belum dipergunakannya.
Mendadak saja, dengan kecepatan yang menga-
gumkan, Tungkoro telah mencabut senjatanya seraya 
meloncat ke depan. Pedang di tangannya terjulur lurus 
menyambar ke dada Gagak Cemani yang masih saja 
berdiri dengan tenangnya.
Yah, memang si pendekar berjubah sengaja berdiam 
diri, sebab dengan ketenangan itu berarti ia dengan 
mudahnya bisa memperhatikan Tungkoro.

Hanya dengan sedikit menggeser kakinya dan men-
condongkan badan ke kiri, maka ujung pedang yang 
telah meluncur ke dadanya berhasil dielakkannya.
Bahkan tidak hanya sampai di sini saja Gagak Ce-
mani beraksi. Sambil menghindar tadi, tangan kanan-
nya menyampok ke kanan ke arah tangan Tungkoro 
yang menggenggam pedang!
Untunglah saja Tungkoro masih cukup mempunyai 
kewaspadaan diri. Begitu ia melihat tangan kanannya 
terancam oleh pukulan tangan Gagak Cemani, secepat 
itu pula ia menarik kembali serangannya disusul tu-
buhnya meloncat ke samping.
“Ayo, Tuan! Silakan cabut senjatamu biar kita lebih 
sedap untuk bermain-main!” seru Tungkoro sambil 
melesat ke depan sambil menggerakkan pedangnya 
langsung mematuk dada Gagak Cemani.
Setiap dada seperti berdentang keras melihat cara 
Tungkoro melancarkan serangannya. Benar-benar 
trampil dan cekatan seperti gerakan seekor elang yang 
siap mematuk korbannya dengan paruhnya yang ta-
jam!
Gagak Cemani merasa bahwa serangan pedang 
Tungkoro ini berbahaya sekali untuk disepelekan. Ma-
ka secara tangkas pula Gagak Cemani menarik tubuh-
nya selangkah ke samping serentak kakinya menggen-
jot tanah.
Gerakan si pendekar berjubah ini ternyata tak kalah 
hebatnya. Laksana seekor burung sikatan yang tubuh-
nya melenting ke atas, berbareng pula ia melolos golok 
hitamnya!
Sreeett!
Masih dalam gerakan selincah burung sikatan, si 
Gagak Cemani menyambar ke bawah dengan golok hi-
tamnya menebas ke arah kepala Tungkoro.
Sriiingngng!

Sambil menggerutu Tungkoro terpaksa mengendap 
dan dengan cekakaran menggulingkan tubuhnya di 
tanah untuk menjaga agar kepalanya tidak copot oleh 
tebasan golok Gagak Cemani!
Dalam saat itu pula tahulah Tungkoro bahwa ceri-
tera tentang Gagak Cemani yang diceriterakan oleh sa-
habatnya, Surowo, ternyata memang cocok dengan ke-
nyataannya!
Meskipun demikian Tungkoro belum merasa puas 
sebelum ia mengetahui kelebihan Gagak Cemani dalam 
berolah senjata. Itu pula sebabnya mengapa Tungkoro 
memutar dan menggerakkan pedangnya untuk menye-
rang Gagak Cemani dengan hebatnya, hingga kemu-
dian yang terlihat pusaran adalah si putih yang melon-
cat-loncat ke sana kemari, mengancam setiap kelenga-
han dan kelowongan dari pertahanan Gagak Cemani.
Tetapi si pendekar berjubah itupun bergerak sema-
kin dahsyat dengan senjata golok hitamnya. Golok ter-
sebut seolah-olah menari-nari ke sana kemari me-
nyambut setiap libatan pedang Tungkoro, bagaikan se-
orang gadis yang selalu menyongsong setiap gerak ta-
rian seorang jejaka.
Tidak jarang kedua senjata itu saling bersentuhan, 
bahkan berbenturan dengan suara gemerincing diba-
rengi letupan bunga api. Dalam saat-saat demikian 
Tungkoro selalu berhati-hati, sebab setiap benturan itu 
terasalah betapa tangan kanannya menjadi nyeri.
Begitulah, setiap orang yang menyaksikan pertaru-
ngan tersebut telah dicengkam oleh kekaguman serta 
rasa yang tidak dapat terpahami, tak ubahnya orang 
yang lagi bermimpi.
Wajah orang-orang tersebut semakin menegang, se-
perti seutas benang yang direntang pula kedua ujung-
nya, tanpa sedikitpun kesempatan untuk mengendor. 
Apalagi ketika kedua pendekar itu semakin cepat bergerak hingga seolah-olah tubuh mereka lenyap, kecuali 
dua bayangan hitam dan lingkaran-lingkaran sinar pe-
dang dan golok hitam yang tertampak.
Tungkoro tidak mengira bahwa ia dapat menjumpai 
seorang pendekar muda sakti di luar lingkungan ke-
prajuritan Demak. Kalau dengan Wira Tamtama Ma-
hesa Wulung, ia telah pula mengenalnya. Nama-nama 
tokoh sakti di luar Demak telah ia dengar pula, seperti 
Macan Kuping, Ki Topeng Reges, Rikma Rembyak, Pen-
dekar Bayangan, Ki Camar Seta dan sebagainya. Na-
mun kesemuanya itu toh terbilang dari kalangan to-
koh-tokoh tua. Sedang kini, ia menjumpai pendekar 
muda Gagak Cemani, yang masih sebaya dengan diri-
nya dan sedikit lebih tua dari Mahesa Wulung.
Oleh sebab itulah, di dalam hati Tungkoro timbul 
perasaan bangga karena ia sempat berkenalan dengan 
Gagak Cemani dengan cara yang dikehendaki, yaitu 
bertanding olah tenaga dan kelincahan bermain senja-
ta.
Habislah puluhan jurus berlalu, tapi pertempuran 
mereka belum mereda, bahkan makin sengit. Apalagi 
ketika Tungkoro telah memahami bahwa lawannya cu-
kup tangguh untuk menghadapinya, maka ia tidak se-
gan-segan untuk menumpahkan segala ilmu pedang-
nya terhadap Gagak Cemani tanpa perlu kuatir bila 
Gagak Cemani akan mengalami cedera oleh senjata 
pedangnya.
Adalah sudah sepatutnya bila masing-masing ingin 
segera mengakhiri pertandingan tersebut, dengan me-
nunjukkan kelebihannya kepada lawannya dan me-
nang. Hanya saja satu hal yang tidak boleh terjadi pa-
da mereka, yaitu masing-masing tidak boleh melukai 
lawannya.
Yah, itu sudah tentu demikian. Bukankah mereka 
bertarung hanya sekadar sebagai mempererat persahabatan belaka? Jadi dalam hati mereka, tidak ada se-
kelumit pun perasaan untuk membunuh ataupun me-
lukai lawannya. Mereka sekadar ingin menunjukkan 
kelebihan yang dipunyainya. Lain tidak!
Akhirnya Tungkoro telah merasa cukup lama dan ia 
bermaksud menggunakan jurus pedangnya, ‘Menyobek 
Daun Ilalang’, untuk memenangkan pertandingan itu.
“Haaiittt!”
Teriakan keras terdengar dari mulut Tungkoro ber-
samaan tubuhnya melesat ke arah Gagak Cemani. Ju-
rus yang dipergunakannya mempunyai dua gerakan. 
Pertama menusuk, kemudian menebas ke samping, di 
mana lawan berada. Dengan begitu maka lawannya 
akan menjadi bingung, sebab kedua gerakan tadi sa-
ling berhubungan tapi tidak terduga-duga datangnya.
Melihat hal ini, Gagak Cemani tidak tinggal diam 
begitu saja. Ia pun dengan sebatnya meloncat ke atas 
menyambut serangan Tungkoro tadi.
Maka terlihatlah dua bayangan manusia itu melun-
cur ke atas saling menyongsong dengan senjata-sen-
jata siap beraksi, dan apa yang kemudian terjadi sung-
guh mencengkam perasaan.
Wessss. Sreettt, sret, sret. Traaang!
Begitulah, berbagai suara terdengar ketika Gagak 
Cemani dan Tungkoro saling berpapasan di udara.
Sesaat kemudian, keduanya telah mendarat kemba-
li di tanah, namun itu bukan berarti bahwa suasana 
yang tegang tadi telah mereda. Bahkan sebaliknya.
Saat-saat itu adalah saat yang menentukan dan me-
rupakan puncak daripada pertandingan itu. Kini se-
mua orang ingin melihat apakah yang telah terjadi pa-
da mereka? Siapakah yang kalah dan siapa yang me-
nang?
Begitu Gagak Cemani dan Tungkoro mendarat dan 
tiba di tanah, keduanya segera berhadapan kembali

dalam jarak sejauh tiga tombak lebih.
Yang pertama-tama memeriksa dirinya adalah Ga-
gak Cemani. Ia merasa bahwa tubuhnya tidak menda-
pat cedera sedikitpun, namun toh ia merasa ada sesu-
atu yang tidak beres pada dirinya. Benarkah pedang 
Tungkoro telah berhasil menyentuh dirinya?
Tiba-tiba saja Tungkoro tersenyum dan begitu pula 
semua orang yang berada di tempat itu, ketika, Gagak 
Cemani mendesis kaget sesudah ia merentang sisi ju-
bahnya yang kanan.
“Oooh!”
Ya, ternyata pada sisi jubah tersebut terlihat sobe-
kan sepanjang setengah jengkal! Dan karenanya pula 
Gagak Cemani mengakui dalam hati akan kehebatan 
Tungkoro.
Sesaat kemudian Gagak Cemani menyarungkan 
kembali golok hitamnya, sementara Tungkoro masih 
saja tersenyum-senyum karena kelebihannya itu!
Suara bergumam terdengar dari mulut orang-orang 
yang berada di tempat itu, yang ternyata telah penuh 
oleh para tamtama prajurit dan petugas lainnya.
Ketika bergumam itu, semua pandangan mata bera-
lih dari Gagak Cemani kepada Tungkoro. Mengapakah 
demikian itu? Mungkin orang-orang di situ ingin me-
muji kehebatan permainan pedang Tungkoro yang te-
lah berhasil menyobek sisi jubah si Gagak Cemani.
Sekarang giliran Tungkoro ingin memeriksa tubuh-
nya, apalagi ketika ia merasa bahwa dadanya menjadi 
dingin oleh sentuhan angin.
Tungkoro cepat-cepat meraba dadanya. Selama ini 
ia kurang menyadari dirinya dan berkeyakinan bahwa 
golok Gagak Cemani tidak bakal sanggup menyentuh 
dirinya.
Namun benarkah kiranya anggapan Tungkoro tadi? 
Sayang ia tidak mengetahui, bahwa Gagak Cemanipun

telah menggunakan jurusnya ‘Seriti Meminum Embun’ 
yang hebat.
“Waaakhhh!” seru Tungkoro, demikian ia meraba 
dadanya! Ternyata bajunya telah terbelah mulai dari 
leher sampai pusat dan sepertiga ikat pinggangnyapun 
turut tersayat pula! Inilah hebatnya. Meskipun baju-
nya itu terbelah, kulit dadanya tidak mendapat cedera 
sedikitpun.
Hal tersebut tentu pula mustahil. Sebab jika sean-
dainya mau, Gagak Cemanipun sanggup menggores 
ataupun membelah dada Tungkoro tadi.
Tetapi toh hal itu tidak dilakukannya. Sebab lawan-
nya bertanding bukanlah orang jahat ataupun lawan 
yang sebenarnya, melainkan hanya lawan sementara 
sebagai pengikat perkenalan dan persahabatan saja.
Tungkoro buru-buru melangkah ke arah Gagak 
Cemani seraya tersenyum tulus dan berkata, “Hebat! 
Anda memang pendekar gemblengan, Saudara Gagak 
Cemani! Akh, aku merasa berterima kasih oleh pelaja-
ran dari Saudara ini. Dengan demikian aku dapat 
mengetahui sampai di mana kemampuanku!”
“Tak usah berkecil hati, Tuan!” ujar Gagak Cemani 
seraya menyambut jabatan tangan dari Tungkoro ke-
padanya. “Andika pun punya kelebihan yang menga-
gumkan hatiku.”
“Eeh, Andika berdua telah bermain dengan baik!” 
berkata Mahesa Wulung yang mendapatkan kedua 
pendekar itu bersama Pandan Arum. Sementara itu 
orang-orang di situ satu demi satu berlalu dan kembali 
kepada kesibukannya semula.
“Sobat sekalian, aku permisi dahulu untuk mening-
galkan kalian, karena aku harus mengganti bajuku ini 
lekas-lekas. Jika tidak, pasti aku akan masuk angin. 
Heh, heh, heh,” ujar Tungkoro seraya mendekap dada-
nya.

Sesudah mengangguk hormat kepada ketiga saha-
batnya itu, Tungkoro berlalu meninggalkan tempat ter-
sebut ke arah barat, sedang Surowopun berjalan pula 
di sampingnya.
“Adimas Mahesa Wulung. Waktu kita telah tertahan 
di sini beberapa saat,” berkata Gagak Cemani. “Apakah 
kita tidak perlu lekas-lekas pergi mendapatkan Paker-
ti?”
“Benar, Kakang Cemani!” sahut Mahesa Wulung pu-
la seraya menatap ke langit, melihat matahari yang te-
lah mulai condong ke arah barat. “Marilah kita be-
rangkat segera!”
Ketiganya lalu bergegas melewati pintu gerbang Ba-
lai Kesatrian, kemudian berjalan ke arah timur untuk 
mendapatkan Pakerti yang telah ditempatkannya di 
rumah pemondokan para prajurit Demak.
Jarak yang mereka tuju tidaklah terlalu jauh, se-
hingga dalam beberapa saat saja sampailah mereka di 
tempat tujuan.
Seorang prajurit tua segera tergopoh mendapatkan 
Mahesa Wulung bertiga dan berkatalah orang tua ini. 
“Anakmas Mahesa Wulung! Selamat datang... tapi... 
tapi di manakah si Pakerti itu? Bukankah tadi Anak-
mas telah memerintahkan beberapa orang untuk men-
jemput Pakerti?”
“Hah, bagaimanakah duduk perkara sebenarnya, 
Bapak?” sahut Mahesa Wulung seraya tercengang he-
ran. “Aku tak mengerti maksud itu. Baru sekarang in-
ilah kami datang kemari untuk menjemput Pakerti!”
“Oh, jadi... Anakmas tidak menyuruh orang-orang 
untuk menjemput Angger Pakerti?” ujar prajurit tua itu 
dengan melongo.
“Tidak, Bapak. Sekarang cobalah Bapak ceriterakan 
hal itu dengan jelas, agar kami dapat mengetahui du-
duk perkara yang sebenarnya.”

“Baik, Anakmas Wulung,” berkata orang tua itu se-
raya mengatur kata-katanya. “Kejadian ini telah berla-
lu, kira-kira sepenanak nasi lamanya dari sekarang. 
Beberapa orang telah datang ke tempat ini katanya un-
tuk menjemput Pakerti. Aku masih dapat mengingat 
bahwa salah seorang dari mereka mempunyai bengkak 
dan sedikit luka pada pelipisnya. Mereka berkata ke-
pada Pakerti yang waktu itu lagi duduk-duduk bersa-
ma saya, bahwa mereka diutus oleh Anakmas Mahesa 
Wulung untuk menjemput Pakerti yang katanya ada 
urusan penting dan harus segera pergi ke sebelah ti-
mur kota Demak ini. Kami tak merasa curiga apapun 
dan Pakerti menyetujui ajakan mereka. Sesudah ia 
berganti pakaian sebentar, berangkatlah Angger Paker-
ti bersama mereka ke arah timur. Nah, demikianlah 
kejadian yang sejelasnya, Anakmas Wulung.”
“Aduh, ketiwasan kita!” seru Mahesa Wulung. “Me-
reka justru adalah lawan-lawan kita, Bapak. Sebab 
kami tidak menyuruh seorangpun untuk menjemput si 
Pakerti!”
“Lalu apakah tindakan kita, Anakmas Wulung? Ba-
gaimana kalau kita kerahkan beberapa orang prajurit 
untuk mengejar mereka?” kata si prajurit tua.
“Jangan, Bapak. Hal itu tentu akan menimbulkan 
keributan pada umum. Maka biarlah kami saja yang 
akan mencari mereka!” berkata Mahesa Wulung pula. 
“Marilah, Kakang Cemani dan Adi Pandan Arum, kita 
cepat-cepat mengejar mereka. Permisi saja Bapak, ka-
mi pergi sekarang!”
Hati siapa yang tidak akan panik oleh keterangan si 
prajurit tua tadi, terlebih lagi bagi Mahesa Wulung. 
Apa yang dikuatirkan tentang keselamatan Pakerti ter-
nyata kini telah benar-benar terjadi. Dan apabila Ma-
hesa Wulung mengingat keterangan si prajurit tua 
yang menyatakan bahwa salah seorang di antara para

penjemput Pakerti itu mempunyai ciri luka dan beng-
kak pada pelipisnya, ia lalu menjadi teringat oleh keja-
dian di Asemarang beberapa hari yang lalu. Di sana ia 
telah melukai seorang pengintai gelap, dan tidak mus-
tahil bahwa si pengintai gelap tadi adalah orang yang 
mendatangi Pakerti.
Begitulah Mahesa Wulung bertiga berjalan dengan 
cepatnya ke arah timur. Pintu gerbang kota telah keli-
hatan dan sebentar lagi mereka akan melewatinya.
Udara sore semilir bertiup sangat segarnya memba-
wa hawa laut yang menyongsong dedaunan pohon 
yang sesiang tadi telah kepanasan oleh teriknya sinar 
surya.
***
EMPAT


DI SEBUAH hutan kecil tidak jauh dari daerah ti-
mur kota Demak, tampaklah beberapa orang berjalan 
beriringan menerobos semak-semak ilalang.
Yang paling depan bertubuh kekar dengan kumis 
dan jenggotnya yang kasar serupa ijuk. Pada pelipis-
nya terdapat sebuah bengkak kebiruan dan luka kecil 
yang sedikit agak kering.
Di belakangnya lagi, berjalan seorang yang berpera-
wakan jauh lebih tinggi daripada si kumis ijuk yang 
ada di muka. Ikat kepalanya merah membara war-
nanya. Ia memakai baju berwarna coklat tua berkilat 
seperti beludru dan pada bagian dadanya dihiasi oleh 
bulatan logam selebar telapak tangan lebih, merupa-
kan perisai kecil yang selalu melindunginya dari setiap 
bahaya.
Berjalan nomor tiga adalah si Pakerti, yakni si pemuda yang saat ini tengah dicari-cari oleh Mahesa Wu-
lung dan kedua rekannya.
Sedang di belakangnya lagi, tampak empat orang 
berperawakan tinggi kekar yang selalu mengawasi Pa-
kerti dengan seksama dan cermatnya.
Ketika mereka semakin jauh menerobos semak ila-
lang tadi, diam-diam Pakerti menjadi semakin cemas 
dan menjadi setengah curiga.
Oleh sebab itu, Pakerti selalu mencoba meninggal-
kan jejaknya dengan kadang-kadang mematah ranting 
pohon ataupun membuat lobang telapak kakinya lebih 
dalam di tanah. Ia berharap semoga ada orang lain 
yang dapat melihat jejaknya itu.
“Tuan, di manakah kalian akan mempertemukanku 
dengan Tuan pendekar Mahesa Wulung?” bertanya Pa-
kerti kepada si baju perisai. “Mengapakah ia mengutus 
kalian dan tidak datang sendiri menemaniku?!”
“Jangan banyak cerewet, anak muda!” bentak si ba-
ju perisai. “Ikuti saja langkah kami dengan menurut 
agar kau tidak mendapat kesukaran!”
“Heiii, itu kata-kata ancaman! Apa maksud kalian 
sebenarnya. Di mana Tuan Mahesa Wulung berada?!” 
seru Pakerti dengan cemas dan paniknya, sementara 
satu perasaan aneh mulai merayapi dadanya.
“Diam! Kau tidak dengar kataku tadi?!” teriak si ba-
ju perisai. “Atau aku harus menyumbat mulutmu de-
ngan pedangku ini supaya engkau diam?!”
“Lhoo, kemana kalian akan membawaku?!” berseru 
Pakerti ketakutan dengan dada berdentang-dentang.
“Ke neraka!” bentak si baju perisai lagi seraya me-
noleh ke arah Pakerti. “Oleh karenanya, engkau tak 
perlu banyak tingkah, bocah ingusan!”
“Heee, jadi kalian telah menipuku?! Keparat!” teriak 
Pakerti sekaligus melancarkan pukulan tangan kirinya 
ke lambung si baju perisai di depannya. Api kemara

han telah membakar dadanya.
Breeeekkk!
“Aaaauuuhhh!”
Kembali Pakerti berteriak kesakitan ketika pukulan 
tangannya mendarat di lambung si baju perisai, terasa 
seperti membentur bukit karang.
Pakerti terpental ke belakang serta mengibas-ngi-
baskan tangan kirinya dan sebentar pula menghem-
bus-hembusnya lantaran pukulannya tadi serasa 
membentur dinding karang yang tebal. Sedang si baju 
perisai cuma tertawa tergelak-gelak.
Merasa bahwa dirinya berada dalam bahaya, maka 
Pakerti dengan sebat meloncat ke samping untuk ka-
bur. Tetapi sekali lagi ia terkejut, begitu si baju perisai 
menggerakkan tangannya separuh lingkaran dan tahu-
tahu kesepuluh jari-jari tangannya telah menyambar 
pinggang Pakerti dan kemudian membantingnya sekali 
ke tanah, hingga tak ampun lagi si Pakerti jatuh ter-
jengkang dan mengaduh kesakitan.
“Seret bocah ingusan ini!” teriakan perintah dari si 
baju perisai kepada keempat rekan di sebelah belakang 
yang secepat kilat menyeret dan mengikat tangan Pa-
kerti dengan kuat.
Bagaimanapun juga pemuda itu masih mempunyai 
keberanian dan dengan sekuat tenaganya ia berontak 
sekeras mungkin. Namun rupanya para penyergapnya 
ini sungguh-sungguh orang pilihan, sehingga usaha-
nya tadi adalah sia-sia belaka.
“Lepaskan aku! Lepaskan!” teriak Pakerti seperti ca-
cing kepanasan dijepit tangan-tangan perkasa.
“Heh, heh, heh. Berteriaklah sampai mulutmu so-
bek! Toh, akhirnya engkau akan mampus juga!” bentak 
si baju perisai disertai ketawa yang memuakkan teli-
nga.
Akhirnya Pakerti tak berdaya sama sekali. Selain ia

kalah tenaga, iapun kurang cukup mempunyai bekal-
bekal kepandaian silat.
“Hemmm, sekarang kau tak berdaya, setan kecil!” 
ejek si baju perisai dan mulutnya kemudian tersenyum 
lebar. “Tangan kirimu tadi telah lancang menyentuh 
tubuhku, dan untuk itu kau harus menerima huku-
man!”
“Heh heh heh, ha, ha,” terdengar derai ketawa para 
pengikut si baju perisai tadi seraya mengganggu si Pa-
kerti dengan tamparan-tamparan dan tendangan kaki.
“Keparat! Iblis!” umpat Pakerti dengan beraninya. 
“Ayo, bunuhlah aku jika kalian berani!”
“Bagus! Kau masih berani berlagak di hadapanku!
Kau tahu siapa aku ini, haah?! Akulah Surokolo, si 
dada besi yang tak terkalahkan!” demikian seru si baju 
perisai yang menyebutkan dirinya, menyebabkan dada 
Pakerti berdesir seketika, sebab ia pernah mendengar 
nama itu. Nama yang banyak dikenal dalam deretan 
tokoh-tokoh rimba persilatan yang berulang kali mela-
kukan kejahatan.
“Ayo, kawan-kawan. Ikat bocah bandel ini di batang 
pohon!” terdengar kembali seruan Surokolo kepada pa-
ra pengikutnya yang kemudian dengan cekatan melak-
sanakan perintah tersebut.
Sekejap mata saja tubuh Pakerti telah terikat dan 
melekat pada batang pohon oleh belitan-belitan tali 
yang melilit dengan kerasnya, ibarat otot-otot raksasa.
Sriiingng!
Tiba-tiba saja Surokolo telah mencabut pedang pan-
jangnya. Matanya dengan liar menatap ke wajah Paker-
ti, lalu berkata, “Engkau tadi berkata supaya kami 
membunuhmu?! Hah, memang kami telah memikirkan 
hal itu. Tapi kami punya cara-cara tersendiri untuk-
mu. Hah, hah, he, he, he. Terlalu enak jika engkau ma-
ti dengan cepat. Lihatlah, kami akan membuatmu mati


dengan cara yang perlahan-lahan dan lambat!”
Begitu selesai berkata-kata, Surokolo secepat kilat 
mengayunkan pedangnya ke depan dan sekejap kemu-
dian terdengarlah jerit yang mengerikan berbareng ter-
pelantingnya sebuah lengan berlumur darah ke atas 
tanah.
“Aaaaeerh!” Rintih memilukan keluar dari mulut 
Pakerti ketika ia merasa bahwa lengannya telah copot 
dari tubuhnya oleh tebasan pedang Surokolo.
Penglihatan Pakerti menjadi semakin kabur, seolah-
olah ia berada di tengah kabut. Darah segar terus 
mengalir dari luka-lukanya tanpa bisa ditahan lagi.
Namun sedikit banyak ia masih dapat menangkap 
bayangan wajah Surokolo dan orang-orangnya. Terde-
ngarlah kemudian gumamnya perlahan. “Kalian penge-
cut... tunggulah kelak pembalasanku... tunggulah!”
“Hua, ha, ha, ha, ha,” tertawa Surokolo diikuti oleh 
pengikut-pengikutnya. “Lihatlah kawan-kawan. Bocah 
ini masih berani mengancam kita, padahal sebentar la-
gi ia akan mampus kehabisan darah!”
“Kakang Surokolo! Biarlah dia mampus di sini dan 
menjadi makanan binatang. Sekarang ke manakah tu-
juan kita?!?” bertanya si kumis ijuk.
“Kita segera pulang, Bedor!” ujar Surokolo kepada si 
kumis ijuk serta kemudian menyarungkan kembali pe-
dangnya dan memberi isyarat kepada para pengikut-
nya untuk meninggalkan tempat tersebut.
Sambil meludah, sekali lagi Surokolo menatap ke 
arah Pakerti lalu berseru, “Katakan saja jika engkau 
masih sempat hidup, bahwa perbuatan ini adalah pem-
balasan dari Rikma Rembyak!”
Pakerti masih bisa mendengar kata itu namun per-
lahan sekali, dan sesaat kemudian kepalanya terkulai 
ke bawah karena pingsan.
Surokolo, Bedor dan keempat pengikutnya telaberloncatan ke arah barat dan lenyap di sebelah sana. 
Kini tinggallah Pakerti di tempat tersebut dalam kea-
daan pingsan dan terikat pada sebatang pohon.
Sungguh malang nasib Pakerti ini. Kalau dahulu ia 
masih bisa lolos dari tangan maut Ki Rikma Rembyak 
sendiri, kini ia telah tertangkap buat kedua kalinya 
dan tangan kirinya terpenggal putus! Darahpun masih 
menetes dari luka-lukanya dan suatu ketika pasti ha-
bis mengalir keluar semua darahnya. Dengan demikian 
tentulah Pakerti akan mati secara lambat! Sungguh 
mengerikan akibatnya. Tapi apakah hal ini akan be-
nar-benar terjadi? Tak seorangpun dapat menjawab-
nya.
***
Pakerti masih saja tak sadarkan diri ketika dari 
arah timur terlihat tiga sosok bayangan manusia me-
nerobos dan menguakkan semak-belukar dan gerum-
bul pohon yang lebat-lebat.
Matahari sudah sangat rendah pada langit barat, 
namun cahayanya masih cukup menerangi wajah keti-
ga bayangan manusia tersebut.
Yang berada di sebelah muka, sebentar membung-
kuk ke bawah serta memeriksa rerumputan serta ta-
nah-tanah di depannya dengan telitinya.
Tak antara lama iapun memungut sebuah ranting 
pohon yang telah dipatahkan. Oleh kedua orang lain-
nya, maka ranting tersebut diperiksanya pula, dan 
kemudian berkatalah salah seorang di antaranya.
“Kakang Gagak Cemani, aku yakin bahwa ranting 
ini bekas dipatahkan oleh tenaga tangan manusia. Pa-
tahan yang ujung membuatnya tertanggal lepas dari 
batang pohonnya, sedang patahan kedua cuma me-
nimbulkan separuh patah.”
“Ternyata aku pun menduga demikian, Adimas Mahesa Wulung. Dan lihatlah di depan kita ini. Kau lihat 
adanya rerumputan ilalang yang kusut dan mosak-
masik itu?” ujar Gagak Cemani sambil menunjuk ke 
depan.
“Mudah-mudahan saja hal ini akan memberi petun-
juk-petunjuk tentang jejak Pakerti, Kakang,” kata Ma-
hesa Wulung pula.
“Marilah kita lekas-lekas maju ke depan,” ajak si 
Gagak Cemani, dan mereka bertiga segera meneruskan 
perjalanannya.
Makin jauh mereka melangkah, makin banyaklah 
semak daun ilalang yang rebah dan kusut ke sana ke-
mari, sehingga diam-diam ketiga orang ini menjadi 
berdebar-debar jantungnya.
Mereka telah bersiap-siap pula untuk menghadapi 
setiap kemungkinan, dan dengan seksama dilihatnya 
setiap sudut pepohonan di dekatnya.
Tiba-tiba saja Pandan Arum menjerit kecil seraya 
menunjukkan jarinya ke arah sebuah pohon dengan 
wajah kepucatan dan mata melotot.
“Ooookh! Ses... siapa orang itu?! Lihatlah ke sana!” 
seru Pandan Arum, sehingga Mahesa Wulung serta 
Gagak Cemani melihat ke arah yang sama.
“Itulah... Pakerti!” seru Gagak Cemani, serta Mahe-
sa Wulung berbareng serta berlarian mendekati tubuh 
Pakerti yang terikat pada sebatang pohon dalam kea-
daan mengharukan.
Tangan kirinya telah buntung, berlumuran darah 
kental yang setengah kering. Untuk ini Pandan Arum 
terpaksa berpaling serta menutup matanya untuk 
menghindari pemandangan yang ngeri dan mengharu-
kan tersebut.
Tanpa menunggu lebih lama, Mahesa Wulung serta 
Gagak Cemani berloncatan untuk menolong Pakerti. 
Tali-temali yang mengikat tubuhnya segera dilepaskan

dan di saat itu pula tubuh Pakerti merosot ke bawah 
menggelusur di tanah.
“Celaka!” desis Gagak Cemani dengan wajah mu-
ram. “Dia telah banyak kehilangan darah!”
“Jika demikian, apakah ia tidak mempunyai kesem-
patan untuk hidup?!” sambut Mahesa Wulung dengan 
cemasnya.
“Masih ada! Cuma aku sangsi apakah daya tahan 
tubuhnya cukup baik untuk menghadapi luka-lukanya 
itu,” berkata Gagak Cemani seraya memeriksa luka 
Pakerti yang selalu meneteskan darah itu. “Marilah ki-
ta gotong si Pakerti ini dan kita bawa pulang ke De-
mak!”
“Benar, Kakang Cemani,” sambung Mahesa Wulung. 
“Di sana kita akan dapat merawatnya lebih baik!”
Akan tetapi tiba-tiba saja terjadilah sesuatu yang 
mengejutkan Mahesa Wulung bertiga. Sebuah baya-
ngan manusia telah muncul di bawah rerumpun pi-
sang serta meloncat ke arah mereka serta berseru,
“Tahan!”
Mahesa Wulung, Gagak Cemani dan Pandan Arum 
secepat kilat bersiaga dengan senjatanya karena 
bayangan itu telah begitu dekat dengan mereka.
Namun sekali lagi mereka dibikin kaget ketika da-
lam sinar senja itu, Mahesa Wulung bertiga dapat me-
ngenal wajah orang itu yang tidak lain adalah Wisa-
mala.
“Hee, angin apakah yang membawamu datang ke-
mari, sobat?!” seru Gagak Cemani heran.
“Maaf jika aku telah mengejutkan kalian!” ujar Wi-
samala.
“Kami akan menolong sahabatku ini,” Mahesa Wu-
lung berkata. “Luka-lukanya cukup berat.”
“Tapi aku yakin bahwa kalian tidak menghendaki 
anak ini mati, bukan?” sahut Wisamala. “Jika ia terlalu

banyak bergerak, maka lukanya akan bertambah pa-
rah, demikian pula darahnya akan semakin banyak ke-
luar dan tidak mustahil bila kematian akan mereng-
gutnya!”
“Jadi, apakah maksud Anda?” tanya Gagak Cemani 
kepada Wisamala.
“Aku sanggup menolong pemuda ini, sobat,” jawab 
Wisamala. “Dan ijinkanlah aku merawatnya sampai 
sembuh. Kebetulan sekali aku belum mempunyai mu-
rid.”
“Tapi ia mempunyai kepentingan dengan kami,” 
sambung Mahesa Wulung. “Dan bagaimana nantinya?”
“Itu Andika tidak perlu kuatir. Jika kelak ia telah 
sembuh pasti akan datang menemui Andika!” ujar Wi-
samala seraya memeriksa tubuh dan luka-luka Pa-
kerti. “Biarlah sekarang aku menghentikan darahnya 
yang menetes dari luka-lukanya ini.”
Selesai berkata, Wisamala kemudian menotokkan 
ujung jarinya ke atas pundak kiri Pakerti serta memi-
jitnya beberapa kali, sedang Mahesa Wulung bertiga 
selalu mengamatinya.
Sungguh mengagumkan jadinya. Beberapa saat ke-
mudian darah yang selalu menetes dari luka Pakerti 
telah berhenti dan Pakerti sendiri telah mulai merintih. 
Dari mulutnya terdengar gerenengan pelahan, “Suro-
kolo, kalian pengecut. Hanya berani terhadap orang 
yang tak berdaya....”
Mendengar nama Surokolo disebut-sebut oleh Pa-
kerti, Mahesa Wulung serta Wisamala mengangkat mu-
kanya saking kagetnya.
“Wah, jika demikian,” ujar Mahesa Wulung, “pasti-
lah yang membuntungi tangan Pakerti ini adalah Su-
rokolo dan komplotannya.”
“Kiranya memang begitu,” Wisamala berkata sambil 
menyelesaikan pekerjaannya membalut luka Pakerti

dengan selembar kain bersih.
“Baiklah, Kisanak,” kata Mahesa Wulung kemudian. 
“Aku serahkan perawatan Pakerti ini kepada Anda. 
Semoga ia dapat sembuh dan menjadi murid Anda 
yang baik.”
“Terima kasih, terima kasih!” ujar Wisamala dengan 
gembiranya. “Aku berjanji akan merawatnya dan mem-
beri didikan yang baik kepadanya!”
Dengan bantuan Mahesa Wulung dan Gagak Cema-
ni akhirnya Wisamala telah memondong tubuh Pakerti 
di dadanya.
“Sayang, aku tak dapat lama-lama tinggal di tempat 
ini, sebab keadaan pemuda ini sangat menguatirkan 
sekali!” Wisamala berkata. “Aku minta diri sekarang.”
“Berangkatlah, sobat. Kami mengucapkan terima 
kasih atas kesediaan Anda untuk mengobati Pakerti,” 
berkata Mahesa Wulung seraya menepuk pundak Wi-
samala.
Sekali lagi Wisamala mengangguk tersenyum dan 
kemudian, dengan sebuah loncatan panjang ia telah 
melesat ke arah selatan bagaikan seekor belalang yang 
mengejar cahaya senja yang sebentar lagi akan tengge-
lam dan hilang di langit sebelah barat.
Dalam pada itu Mahesa Wulung bertigapun telah 
melangkah ke arah selatan untuk kembali ke Demak. 
Dan ketika mereka memasuki gerbang timur kota De-
mak, kini telah senyap-sepi terbuai oleh dekapan sang 
malam yang hitam pekat.
***
Sebuah pondok sementara yang terbuat dari bambu 
dan beberapa lembar papan kayu serta beratapkan 
rumput ilalang berdiri di lekukan kaki pegunungan 
kapur di sebelah timur Kali Serang.
Di depan pondok tadi, terlihatlah seorang laki-laki
tengah membelah kayu bakar dengan sebilah parang 
yang besar dan berkilap.
Menilik balok-balok kayu yang besar-besar di dekat-
nya, pastilah orang tidak bakal percaya bila semua itu 
adalah persediaan dari kayu bakar yang tengah di-
buatnya di situ.
Dengan enaknya laki-laki tadi berkali-kali men-
gayunkan parangnya dan setiap kali mata parang ter-
sebut menimpa potongan balok-balok kayu di depan-
nya, maka terbelahlah pecahan dari balok tadi menjadi 
pecahan-pecahan kayu.
Dari sebab itu maka dapatlah ditarik kesimpulan, 
bahwa laki-laki tersebut memiliki kekuatan tenaga da-
lam yang sangat hebat. Jika pekerjaan tadi hanya 
mengandalkan tenaga kosong saja, pastilah selesainya 
akan memakan waktu yang lama. Di samping itu, ma-
ka paling-paling mata parang tadi hanya akan me-
nancap pada permukaan balok kayu saja.
Namun hal itu tidak pernah terjadi. Setiap mata pa-
rang tadi membacok, maka ia akan terus membelah 
sampai ke bawah terus, seolah-olah ia cuma membelah 
gumpalan batang pohon pisang saja.
Dan laki-laki itu terus saja bekerja seperti tidak me-
ngenal rasa lelah. Dalam beberapa saat saja maka te-
lah bertumpuk-tumpuk di sebelahnya pecahan kayu 
bakar menggunung.
Sambil bekerja tadi, sekali-sekali ia menoleh ke 
arah pondoknya, seperti ia menguatirkan sesuatu yang 
berada di dalam pondok tersebut.
Memang demikianlah sesungguhnya, dalam hatinya 
selalu saja ia bertanya-tanya tentang nasib seseorang 
yang sampai saat ini masih terbaring menggeletak di 
atas balai-balai bambu di dalam pondoknya itu, de-
ngan badan yang masih panas.
Orang ini bermandikan peluh dan tergeletak di situ

dengan nafas yang sedikit lebih cepat dari nafas keba-
nyakan orang. Peluh yang keluar dari pori-pori kulit-
nya, sebentar-sebentar jatuh dan menetes di atas ba-
lai-balai.
Agaknya ia mulai sadar dan dengan lambat sekali ia 
membuka kedua belah matanya.
Yang pertama-tama ditatap oleh pandangan mata-
nya adalah atap daun ilalang dan bambu yang seder-
hana buatannya. Terasa perubahan pada wajah orang 
ini, yang tergambar pada bulatan bola mata yang me-
lebar dan melotot.
“Hehhh... di mana aku ini?” desah orang tersebut 
seraya mencoba bangkit berdiri dari balai-balai.
Ia merasakan sesuatu yang aneh. Sesuatu yang ti-
dak sempurna pada dirinya. Ya! Ingat ia sekarang. Di 
saat ia bangkit, ternyata tangan kirinya tidak mau 
membantu dan bekerja seperti biasanya.
“Ooh, ada apakah dengan tangan kiriku? Lumpuh-
kah, sehingga tidak mau bekerja?” begitu pertanyaan 
orang tadi seraya mengacungkan kedua belah tangan-
nya ke depan.
Sekonyong-konyong menjeritlah ia, bila yang dapat 
teracung ke depan serta dilihat oleh matanya, hanya-
lah tangan yang sebelah kanan, sedang yang kiri sama 
sekali tidak dapat!
Meskipun maksud diri juga mengacungkan tangan 
kirinya ke depan, tapi berkali-kali ia tak berhasil. Se-
hingga akhirnya tangan kanannya dengan geragapan 
dan gugup meraba dan meremas tangan kiri.
“Tidak ada!” desahan keras terdengar.
Yah, ia tak menjumpai lagi tangan kirinya! Berkali-
kali ia merabanya tapi memang tak dijumpainya!
“Aku... telah cacad!” gumamnya pelahan. “Tangan 
kiriku telah hilang!” Ia mulai berdiri dan tiba-tiba ber-
teriaklah ia dengan nada keputus-asaan yang sangat.

“Aku telaaah buntuuuuuungng!”
Sambil berteriak, orang ini berlari ke arah pintu un-
tuk ke luar dari pondok bambu, dan begitu tiba di luar 
seakan-akan seluruh sendi-sendi tulangnya seperti 
lumpuh dan iapun jatuh terduduk di tanah sambil me-
nangis tersedu-sedu.
“Ooh, engkau telah sadar kembali Pakerti!” seru 
seorang bertubuh kekar yang terburu-buru mendekati 
si buntung tersebut. “Syukurlah, Pakerti. Selama ini 
aku selalu mencemaskanmu. Berhari-hari engkau ter-
geletak pingsan di balai-balai itu.”
“Tu... Tuan Wisamala?” desis Pakerti seraya mena-
tap orang yang berdiri di dekatnya.
“Ya, akulah ini,” ujar Wisamala seraya mengulurkan 
tangannya kepada Pakerti, yang telah buntung tangan 
kirinya saat kini. “Berdirilah, Pakerti.”
“Terima kasih!” sahut si pemuda Pakerti sambil 
berdiri. “Andika telah menolongku, Tuan Wisamala.”
Pakerti masih bisa mengenal kembali wajah Wisa-
mala yang dahulu pernah bertempur dengan Gagak 
Cemani akibat kesalah-pahaman.
“Jangan putus asa ataupun berkecil hati, Pakerti,” 
kata Wisamala seraya membimbing Pakerti ke arah 
samping pondok. Keduanya kemudian duduk di atas 
sebuah gumpalan batu. “Meskipun engkau telah cacat, 
tapi hidupmu akan tetap berarti!”
“Tapi, dengan tangan yang cuma sebelah ini, apa-
kah yang dapat aku perbuat?!”
“Banyak! Engkau masih dapat bekerja seperti se-
diakala. Dengan memerlukan latihan yang rajin, maka 
tanganmu yang cuma sebelah itu akan lebih trampil 
kerjanya.”
“Benar, Tuan Wisamala. Namun apakah dengan 
tangan yang tinggal sebelah ini aku mampu membela 
diriku dari bahaya yang mengancam?!”

“Heh, heh, heh, pertanyaanmu itu sudah wajar, Pa-
kerti. Sebaiknya dengarlah lebih dulu ceriteraku ini. 
Pernahkah engkau memperhatikan ceritera wayang 
tentang Raden Kumbakarna? Nah ketika perang Aleng-
ka, kedua tangannya telah buntung oleh senjata la-
wan. Tapi toh ia masih bisa mengamuk dengan dah-
syat, malahan lebih dahsyat daripada saat-saat ia ma-
sih bertangan. Dengan berdasarkan itu pula, maka 
saya percaya bahwa meskipun engkau telah kehila-
ngan tangan kirimu, tak akan menjadi halangan untuk 
mempertahankan dirimu,” demikian tutur kata Wisa-
mala kepada Pakerti yang duduk di sebelahnya. “Ke-
tika aku menjumpaimu, engkau tengah ditolong Tuan 
Mahesa Wulung bertiga. Namun aku telah melihat ba-
haya maut yang sedang mengancammu. Maka aku 
minta kepada mereka untuk menolong dan mengang-
kat murid kepadamu.”
“Aaaah, benarkah itu, Tuan?” ujar Pakerti dengan 
ragu-ragu bercampur rasa senang, sebab ia telah tahu 
bahwa Wisamala adalah seorang pendekar gemble-
ngan.
“Heh, heh, heh, heh. Apakah engkau belum meya-
kini terhadap kata-kataku ini, Pakerti?!” sahut Wisa-
mala serta tersenyum lebar. “Wisamala tidak senang 
bermain-main. Apa yang dikatakan adalah pula cetu-
san hatinya.”
“Maaf, Tuan,” sambung Pakerti dengan nada me-
rendah. “Bukannya aku tak mempercayainya. Justru 
saking gembiranya dan bahagianya maka aku hampir 
tak percaya oleh kebaikan Tuan untuk mengangkatku 
sebagai murid Andika.”
“Jadi bersediakah engkau menjadi muridku?” tanya 
Wisamala kembali.
“Aku senang sekali, Tuan Wisamala!”
“Bagus, dan sejak saat ini kau harus memanggilku

bapak guru.”
***
Mulai saat itulah maka Pakerti telah diangkat seba-
gai murid Wisamala. Langkah pertama, kepada Pakerti 
diajarkan dasar-dasar ilmu pengetahuan tentang hi-
dup. Bagaimana ia harus hidup dan bergaul dengan 
masyarakat dan bebrayan hidup. Bagaimana cara-cara 
bekerja yang baik dan masih banyak lagi lainnya.
Pada tahap berikutnya oleh Wisamala, diajarkanlah 
gerakan-gerakan lincah kepada Pakerti. Terutama Wi-
samala menekankan kepada muridnya agar ia memiliki 
kelincahan yang sempurna.
Mengapakah demikian? Hal tersebut disebabkan 
oleh keadaan tubuh Pakerti yang kini telah cacat. Ka-
lau dahulu ia mampu menangkis serangan lawan de-
ngan tangan kirinya, sekarang tidak mungkin lagi hal 
itu dialaminya, sebab tangan kirinya telah buntung!
Maka satu-satunya jalan ialah menangkis dengan 
tangan kanannya, dan tentu saja hal tersebut bisa di-
lakukan bila dirinya mampu bergerak cepat ke kiri 
atau ke kanan, juga ke setiap arah yang diperlukan-
nya.
Dan pada suatu hari Pakerti harus menghadapi per-
cobaan dan latihan-latihan dari Wisamala. Keduanya 
berdiri saling berhadapan tak jauh dari pondok mereka 
dalam sikap yang bersiaga.
Sesudah Wisamala mengawasi dan menyaksikan 
kesiapan muridnya, berserulah ia, “Pakerti! Perhatikan 
dengan baik batu-batu kerikil yang ada pada telapak 
tanganku ini. Nah, sudah kau lihat? Semua ada lima 
butir dan kesemuanya harus kau tangkis dengan baik. 
Untuk itu pakailah tangan kosong saja!”
“Baik, Bapak Guru. Aku telah siap,” Pakerti berkata 
serta sekaligus mengambil sikap, sedang Wisamala

berkisar ke kanan untuk menjauhi tangan kanan Pa-
kerti. Dengan demikian ia mencoba untuk menyerang 
titik kelemahan dari pertahanan Pakerti, yaitu bagian 
kiri tubuhnya yang tidak mempunyai pertahanan.
Hal itu agaknya telah dipahami sepenuhnya oleh 
Pakerti. Apalagi gurunyapun telah sering mengajarnya 
tentang taktik menyerang dan pertahanan diri.
“Yaaaahh!” berteriak Wisamala seraya mengibaskan 
tangannya dengan tiba-tiba ke arah Pakerti disambung 
oleh dua leret sinar hitam yang menyambar si pemuda 
buntung itu.
Weessstt!
Pakerti cepat bertindak. Ia berputar ke kiri, secepat 
itu pula tangan kanannya menyampok seperempat 
lingkaran, memapaki kedua sinar hitam tadi.
Plak! Plaaakk!
Suara keras bagai benturan benda keras terdengar 
begitu kedua sinar hitam tersebut kena tersampok, 
dan runtuh ke tanahlah dua buah batu hitam.
Akan tetapi Wisamala sekali lagi mengibaskan ta-
ngannya seraya meloncat ke atas, disusul tiga sinar hi-
tam seperti semula meluncur ke tubuh Pakerti.
Si pemuda buntung tidak menjadi gugup karena-
nya. Iapun mengendap ke kiri dan kembali tangan ka-
nannya menyampok ke arah sinar-sinar tersebut. Di 
samping itu, kaki kanannya juga tak ketinggalan me-
nyampok ke atas.
Tak. Takk. Taaakk!
Tiga buah benturan keras berturut-turut terdengar 
dan kembali tiga batu lemparan dari Wisamala runtuh 
ke tanah oleh tangkisan Pakerti yang menakjubkan.
“Hmm, cukup bagus, Pakerti!” ujar Wisamala. Se-
nyum puasnya mengembang pada bibirnya. “Sekarang 
pakailah parang itu, Nak. Sebab serangan yang meng-
ancammu akan lebih besar. Nah, cabutlah dia!”

Di saat Pakerti melolos parang dari pinggang kiri-
nya, Wisamala telah siap menyediakan batu-batu ke-
rikil di tangannya.
Sesaat kemudian, Wisamala bergerak cepat meling-
kari tubuh Pakerti dari arah kiri dan tidak ketinggalan 
kedua tangannya saling bergantian mengibas ke arah 
Pakerti.
Maka di saat itulah sinar-sinar hitam yang berasal 
dari batu-batu bersambaran menyerang Pakerti, tak 
bedanya dengan hujan meteor yang mengurung si pe-
muda buntung.
Parang Pakerti menjadi sibuk akibatnya, terlebih la-
gi berada di tangan si pendekar buntung ini. Maka be-
gitu bergerak mata parang tadi seolah-olah menjadi 
puluhan jadinya.
Bunyi berdentang maupun benturan beruntun ter-
dengar memenuhi udara, dan runtuhan batu-batu be-
sar hitam berkali-kali rontok ke tanah.
“Toblas! Toblas! Tidak terlalu jelek, Pakerti!” berseru 
Wisamala dan tahu-tahu tangan kanannya telah me-
nyambar sebilah tongkat logam yang sejak tadi tersan-
dar pada sebongkah batu.
Melihat hal itu, Pakerti merasa berdesir hatinya. 
Gurunya telah menggenggam senjata tongkatnya yang 
selama ini belum pernah dilihat permainannya.
“Perhatikan tongkatku ini, Pakerti! Cobalah engkau 
menangkisnya bila ia menyerangmu. Aku akan senang 
jika serangan berikut ini berhasil engkau patahkan pu-
la!” begitu kata-kata Wisamala seraya bersiap me-
lancarkan serangan.
Kesiagaan Pakerti yang dipersiapkan masak-masak 
ternyata banyak membawa hasil. Begitu ia melihat gu-
runya meloncat ke arah dirinya sambil mengayunkan 
tongkat logam, Pakerti segera berkelit ke samping, dii-
ringi parangnya menebas ke kanan menangkis tongkat

logam.
Bunyi gemeroncang terdengar keras dan kedua ta-
ngan yang menggenggam senjata itu masing-masing 
bergetar hebat.
Pakerti meringis, karena telapak tangannya sangat 
panas serasa memegang bara api. Tahulah ia, bahwa 
gurunya mempunyai tenaga dalam yang bebat, dan ba-
ru sekaranglah ia merasakannya ketika parangnya tadi 
membentur tongkat logam Wisamala.
Sedangkan Wisamala sendiri mengangguk-angguk 
puas. Meskipun telapak tangannya tidak merasakan 
apa-apa akibat bentrokan senjata tadi, namun ia ka-
gum juga oleh tangkisan Pakerti.
Ia melihat bahwa parang Pakerti masih tetap ter-
genggam erat di tangannya dan tidak mencelat lepas 
seperti yang diduga semula.
Dengan demikian, maka teranglah bahwa muridnya 
yang bertangan satu itu sudah cukup memiliki perta-
hanan untuk membela dirinya. Biarpun itu masih me-
wujudkan langkah-langkah pertama, Wisamala telah 
lebih dari puas.
“Haaaitt!” Wisamala berseru serta meloncat kembali 
kepada muridnya dan menyerang dengan tongkat lo-
gamnya. Dalam pada itu Pakertipun telah bersiaga.
Maka sebentar kemudian, keduanya bertempur 
kembali dengan serunya. Begitu cepat dan lincah gera-
kannya, sampai-sampai tubuh mereka lenyap dan me-
rupakan bayangan yang saling melibat diseling oleh 
sebentar-sebentar benturan senjata yang berdenting 
mengumandang di udara.
Demikianlah Pakerti dan gurunya bertempur untuk 
melatih ketrampilan mereka. Mulai saat itu terbukalah 
mata hati Pakerti bahwa dirinya ternyata tidak sebu-
ruk yang ia duga. Ia melihat kemungkinan-kemung-
kinan pada dirinya, bahwa kecacadan dan ketidaklengkapan tubuhnya, tidak akan membawa kemeroso-
tan dirinya. Bahkan ia bisa mengangkatnya sejajar de-
ngan kemampuan orang lain. Dan itu semua berhasil 
dicapainya berkat latihan dan ketekunan yang tidak 
pernah kenal akan putus asa.
***
LIMA


SAMPAI SAAT ITU, Mahesa Wulung masih saja ber-
pikir-pikir tentang siapakah Surokolo yang telah dis-
ebut-sebut oleh Pakerti beberapa waktu yang lalu.
Yang terang saja, pastilah orang itu ada hubungan-
nya dengan pengintai gelap yang berhasil ia lukai keti-
ka berada di Asemarang.
Dari peristiwa-peristiwa yang dijumpainya dapatlah 
Mahesa Wulung menghubungkan kesemuanya itu. 
Mulai dari perkenalan dan persahabatannya dengan 
Gagak Cemani, kemudian menjumpai sebuah kejadian 
di mana Pakerti hampir mati dikeroyok oleh Gombong 
dan pengikut-pengikutnya.
Kemudian ketika hampir memasuki gerbang kota 
Demak, sebuah insiden dengan Wisamala telah terjadi 
akibat usaha adu domba dari Dobleh Kelana yang 
mendendam kepada Gagak Cemani.
Ketika ia berada di Asemarang ia telah menyaksikan 
sebuah perahu yang mati semua awak perahunya. Dan 
itu mirip dengan korban-korban dari Kapal Hantu.
Dari sebuah pesan yang diterimanya dari Pakerti, 
dapatlah ia mengetahui bahwa Ki Rikma Rembyak te-
ngah mempersiapkan balas dendamnya.
Tentu saja mereka tidak akan tinggal diam terhadap 
Pakerti yang telah lolos dari Pulau Mondoliko itu. Sedang kenyataannya kini Pakerti telah cedera dan di-
siksa oleh segerombolan orang.
Dengan kejadian itu pula maka Mahesa Wulung te-
lah dapat mengambil kesimpulan bahwa setidak-tidak-
nya gerombolan orang-orang tadi ada hubungannya 
dengan Ki Rikma Rembyak. Dan seorang di antara me-
reka ialah bernama Surokolo!
Untung saja Pakerti sempat diselamatkan oleh Wi-
samala yang sekaligus mengambilnya sebagai murid. 
Akan tetapi Mahesa Wulung masih belum mengerti, di 
mana Surokolo dan orang-orangnya berada sekarang.
Jika orang-orang ini telah mampu mencederai si 
Pakerti, apakah tidak mungkin bila mereka melakukan 
pengacauan terhadap keamanan di daerah sekitar De-
mak?
Persoalan yang berbelit-belit ini menyebabkan Ma-
hesa Wulung beberapa hari ini agak sering termenung 
berdiam diri.
Dan tentu saja Pandan Arum menjadi bingung oleh 
sikap kekasihnya itu.
“Mengapakah Kakang Wulung ini?” pikir Pandan 
Arum. “Ia selalu termenung-menung saja, tanpa mem-
beritahukan kepadaku apakah kesulitan yang ditemui-
nya.”
Dengan diam-diam Pandan Arum menceriterakan 
hal ini kepada Gagak Cemani, dan kemudian keduanya 
selalu mengawasi Mahesa Wulung secara rahasia.
Pada suatu hari, Mahesa Wulung sengaja berjalan-
jalan melihat keramaian kota Demak seorang diri. Se-
ngaja dalam hati ia berusaha membayangi dan mencari 
jejak Surokolo dan orang-orangnya.
Sampailah ia di bagian utara kota Demak yang sa-
ngat ramainya. Di situ terdapat beberapa warung-wa-
rung yang menjual barang makanan dan dagangan 
lainnya.

Mahesa Wulung yang telah banyak pengalaman itu 
tahu, bahwa warung-warung tadi merupakan tempat 
pertemuan yang sangat tepat bagi setiap orang. Dan ti-
dak mustahil bila di antara mereka itu, terdapat orang-
orang jahat yang menyamarkan diri. Dari kemungki-
nan itu, Mahesa Wulung berharap untuk dapat men-
cium jejak Surokolo yang tengah dicarinya.
Di sebuah warung yang cukup ramai Mahesa Wu-
lung berhenti. Dipesannya segelas minuman setelah ia 
mengambil tempat duduk. Pandangan matanya mulai 
disebar ke segenap sudut kamar warung itu.
Semua wajah orang yang ada di situ diamatinya de-
ngan teliti satu persatu dan mencoba untuk menyeli-
diki mereka.
Tiba-tiba salah seorang dari pengunjung warung itu 
ada yang dikenalnya. Berwajah keras dan bermata si-
pit, itulah dia si Gombong.
Orang ini bangkit dari duduknya ketika Mahesa 
Wulung menatap ke arah dirinya. Gombong sedikit ter-
senyum dan kemudian dengan perlahan-lahan ia men-
dekati tempat duduk Mahesa Wulung.
“Maaf, Tuan. Bolehkah aku duduk bersama Tuan?” 
ujar Gombong kepada Mahesa Wulung. “Ada sebuah 
berita penting untuk Tuan.”
“Ehh, tentu, Kisanak. Aku tak keberatan. Marilah 
duduk di sini,” jawab Mahesa Wulung. “Apakah yang 
hendak kau katakan?”
“Sebuah kecelakaan kecil Tuan,” ujar Gombong se-
tengah berbisik-bisik. “Namun cukup menarik untuk 
kusampaikan kepada Andika. Di pantai utara, aku 
menjumpai sebuah perahu kecil terdampar dengan ke-
tiga awak perahunya mati dalam keadaan tubuh yang 
mengerikan, yaitu kering kebiruan!”
“Hah! Tidak kelirukah kata-katamu itu, Kisanak?” 
berkata dengan gugupnya Mahesa Wulung.

“Tidak, Tuan. Andika boleh membuktikannya sen-
diri, dan untuk itu aku bersedia mengantarkan Tuan 
ke tempat perahu tersebut.”
Mahesa Wulung terdiam sejenak dan ia berpikir, 
agaknya ia telah mulai mencium jejak orang-orangnya 
Rikma Rembyak, dan selanjutnya iapun berkata ke-
pada Gombong di sebelahnya. “Terima kasih, Kisanak. 
Kapankah kita berangkat?”
“Jika tak keberatan, sekarang juga kita berangkat 
ke sana, Tuan,” Gombong berkata dengan meyakinkan.
“Baik, Kisanak. Marilah,” sahut Mahesa Wulung pu-
la. “Tapi aku tak membawa kuda.”
“Itu mudah saja, Tuan,” kata Gombong. “Biarlah 
aku meminjam seekor kuda lagi dari temanku untuk 
Andika.”
Keduanya segera bangkit dan berjalan ke arah pin-
tu, sementara tiga pasang mata mengawasi gerak-gerik 
Gombong dan Mahesa Wulung dengan diam-diam dari 
sebuah jendela warung.
Sebentar kemudian, keduanya telah berpacu ke 
arah utara meninggalkan debu berkepulan menuju ke 
pantai. Ketiga orang pengintai itupun cepat pula berge-
rak. Dari belakang warung mereka telah menyediakan 
tiga ekor kuda. Kemudian mereka berkuda ke arah 
utara, menuruti jejak Mahesa Wulung dan Gombong.
“Awas! Jagalah jarak kita kepada mereka berdua. 
Jangan terlalu dekat, tapi juga jangan sampai kita ke-
hilangan jejak mereka!” ujar seorang di antaranya, 
yang agaknya tertua sendiri.
Mahesa Wulung dan Gombong yang berpacu di de-
pan, tidak begitu memperhatikan bahwa keduanya te-
ngah diikuti oleh ketiga orang pengintai yang berkuda. 
Apalagi pikiran Mahesa Wulung yang kini lagi diliputi 
tanda tanya besar tentang Surokolo dan ketambahan 
lagi dengan berita tentang sebuah perahu yang terdampar di pantai.
Matahari bersinar dengan teriknya. Gumpalan-gum-
palan awan mendung yang mengalir di angkasa me-
nambah rasa panas dan gerah di badan. Peluh kuda-
kuda mereka mengalir deras membasahi kulit bulunya, 
sehingga badan mereka berkilatan karenanya.
Tanpa terasa, Mahesa Wulung dan Gombong telah 
tiba di daerah pantai utara. Dari jauh telah terlihat 
ombak-ombak putih yang dengan tenangnya berleret-
leret memecah ke pasir pantai.
Pohon-pohon bakau yang tumbuh di pantai-pantai 
menghijau dengan indahnya dan di sana tergoleklah 
sebuah perahu kecil.
“Itulah, Tuan!” kata Gombong serta menunjuk ke 
arah perahu kecil tadi. “Ia kutemukan di sana dengan 
ketiga penumpangnya yang mati.”
“Hmmm, Kisanak benar.” Mahesa Wulung berkata 
sambil mempercepat lari kudanya untuk mendekati 
perahu tersebut. “Ayo, marilah lebih cepat!”
Seperti orang kehausan yang melihat seguci air, be-
gitulah Mahesa Wulung memacu kudanya untuk ce-
pat-cepat mendapatkan perahu tadi.
Sekonyong-konyong satu kejadian yang tak terduga 
sama sekali telah mengejutkan Mahesa Wulung. Se-
buah bunyi berdesing muncul dari balik semak-semak 
pohon bakau langsung menyambar ke arahnya.
“Anak panah!” desis Mahesa Wulung kaget.
Tapi rupanya anak panah tadi cuma ditujukan ke-
pada kuda Mahesa Wulung, yang dengan tepatnya me-
nancap di lambung kuda, tak jauh dari paha Mahesa 
Wulung sendiri.
Hiieeehhh...!
Jerit dan ringkikan kuda itu terdengar, disusul tu-
buhnya terjungkal roboh diikuti oleh tubuh Mahesa 
Wulung.

Namun pendekar Demak ini tidak begitu bodoh un-
tuk membiarkan tubuhnya tergencet roboh bersama 
kudanya. Maka secepat kilat ia melenting ke udara 
dengan gesit dan lincahnya.
“Hiaaattt! Siapa yang berlaku kurang ajar ini?!”
Dengan beberapa kali putaran manis di udara, Ma-
hesa Wulung kemudian mendarat turun di pasir pan-
tai. Namun kaget juga dia. Beberapa ujung senjata ter-
sembul dari sela dedaunan pohon bakau.
“Hua, hah, hah, ha. Kau memang gesit, sobat!” ter-
dengar suara manusia yang disusul oleh munculnya 
beberapa orang dari balik semak pohon bakau yang 
rimbun. “Maafkan atas sambutan kami yang agak ge-
gabah ini!”
Sementara itu pula, Gombong telah turun dan ber-
diri di dekat kudanya sambil memandang ke arah Ma-
hesa Wulung dengan tatapan mata yang kosong.
Oleh karenanya pula maka Mahesa Wulung berkata 
kepada Gombong. “Hai, sobat! Lelucon apakah ini?”
“Hah, hah, ha, ha,” ketawa si wajah garang yang ba-
ru muncul itu. “Kau telah bertugas dengan baik, Gom-
bong! Terima kasih! Terima kasih!”
Bagai mendengar ledakan petir, Mahesa Wulung 
sangat kaget oleh tutur kata si wajah garang tadi, dan 
buru-buru ia berpaling ke arah Gombong sambil berte-
riak, “Gombong?! Jadi... jadi kau telah kenal dengan 
orang-orang ini?!”
“Hi, haa, haa, Gombong memang anak buahku yang 
paling pandai dan panjang akal,” seru si wajah garang 
sambil mengelus-elus perhiasan perisai yang menem-
pel pada dada bajunya.
“Gombong! Jadi kau telah berkhianat kepadaku?! 
Keparat!” teriak Mahesa Wulung dengan jengkel dan 
marahnya sambil sekaligus bersiaga untuk menghada-
pi setiap kemungkinan.

Sadarlah sudah Mahesa Wulung, bahwa ia telah 
masuk dalam jebakan lawan. Sekelumit penyesalan di-
ri terhadap kecerobohannya tergores dalam hati.
Meskipun begitu, Mahesa Wulung masih ingin me-
nyelidiki perihal Gombong untuk mengetahui sampai 
di manakah peranan orang itu dalam gerombolan Su-
rokolo. Dengan pandangan tajamnya seperti tusukan 
ujung pedang, Mahesa Wulung menatap ke arah Gom-
bong.
Tetapi prajurit kekar bermata sipit ini buru-buru 
membuang muka untuk menghindari tatapan mata 
Mahesa Wulung, dan ia kembali terkejut bila pendekar 
Demak itupun berseru kembali.
“Gombong! Sadarkah perbuatanmu ini? Engkau te-
lah mengkhianati atasanmu!”
Gombong tidak segera bisa menjawab atau menang-
gapi terhadap kata-kata Mahesa Wulung tadi. Kepada 
Wiratama Mahesa Wulung yang seolah-olah telah ter-
kepung itu, Gombong tidak lagi berani menatapnya. 
Wajahnya lalu tunduk ke bawah, seperti merenungi 
bumi dan menebak berapa butir pasir yang ada di ba-
wahnya ini.
“Hia, ha, ha, ha. Pendekar Mahesa Wulung!” bentak 
Surokolo keras-keras. “Tak perlu kau kini banyak 
omong dengan bualmu kepada si Gombong. Hadapilah 
kenyataan! Kini kau berhadapan langsung dengan Su-
rokolo! Akulah yang bernama Surokolo! Kau dengar 
dan tahu kini, heeii!”
“Hmm, aku sudah menduga sebelumnya! Dan me-
mang aku tengah mencari-carimu untuk membuat per-
hitungan dengan dirimu! Kau telah menyiksa si Pakerti 
dengan cara yang keji!” ujar Mahesa Wulung seraya 
mengawasi keadaan sekeliling. Yah, ia telah terkepung 
kini dan sekali lagi ia menatap ke arah Surokolo yang 
tampaknya tenang berdiri seraya mengelus-elus logam
perisai yang menghiasi dada bajunya.
Nah, bagaimanakah nasib Mahesa Wulung selanjut-
nya akan segera Andika jumpai dalam “Seribu Keping 
Emas Buat Mahesa Wulung”. Dengan adegan-adegan 
yang lebih menarik, memikat dan seru! Sampai di sini, 
selesailah seri Naga Geni “Pembalasan Rikma Rembyak”.




                             TAMAT































Share:

0 comments:

Posting Komentar