..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 22 Februari 2025

NAGA GENI EPISODE MAUT DI LEMBAH SAMPIT

matjenuh khairil


SATU


ANGIN SEJUK berhembus sepoi-sepoi 

pada sisa-sisa malam itu, dan kapal 

Barong Makara yang berlabuh dalam 

teluk Sampit bergoyang mengangguk-

angguk seakan menyambut ujung cahaya 

fajar yang mulai muncul di cakrawala 

timur.

Beberapa orang awak kapal tampak 

sibuk mempersiapkan pelayaran pagi 

nanti sesudah matahari terbit cukup 

tinggi. Mereka mempersiapkan tali 

temali layar serta meneliti alat2 lain 

ataupun bagian-bagian, kapal, seperti 

dinding-dinding, kemudi, dayung-

dayung, dan sebagainya.

Ketika langit sebelah timur makin 

berjambah terang, Mahesa Wulung, 

Jagayuda, Daeng Matoa dan Pandan Arum 

pun telah bersiap-siap pula. Mahesa 

Wulung berkeliling beberapa saat untuk 

memeriksa persiapan pelayaran, apakah 

semuanya telah beres dan sempurna. 

Sebab untuk pelayaranjarak jauh, 

segalanya harus dipersiapkan dengan 

baik. Jangan sampai ada kerusakah-

kerusakan kecil sekalipun. Jika 

ternyata ada, maka lebih baik 

diperbaiki sekarang dari pada sesudah 

berlayar nanti, karena tidak mustahil 

bahwa kerusakan yang kecil akan dapat 

membawa bencana yang besar.


Dengan tersenyum puas, Mahesa 

Wulung kembali kepada ketiga rekannya 

tadi. Hatinya merasa puas setelah 

melihat kerja para awak kapal yang 

dengan teliti dan sempurna 

mempersiapkan pelayaran ini.

— Adik Jagayuda. — ujar Mahesa 

Wulung. — Perintahkan para perajurit 

yang berjaga di pantai itu untuk naik 

ke kapal dan sebentar lagi kita akan 

berlayar. —

— Baik kakang. — Jagayuda berkata 

seraya mengangguk hormat. — Kini 

ijinkan saya turun ke darat. — Dan tak 

lama kemudian tampaklah sebuah perahu 

kecil yang membawa Jagayuda serta dua 

orang pendayung meninggalkan lambung 

kapal dan berkayuh ke arah pantai 

teluk Sampit, untuk menjemput kelima 

perajurit jaga yang semalam telah 

berjaga di tempat itu.

Perahu tadi semakin berkayuh 

cepat dan sebentar saja telah mencapai 

pantai. Ketiga penumpangnya segera 

berloncatan, turun dari perahu, 

sementara kelima perajurit jaga segera 

berlari-lari menyambut mereka dan 

turut membantu menyeret perahu ke tepi

Dalam sepintas lalu, pantai yang 

penuh ditumbuhi oleh semak pohon bakau 

diseling oleh pohon-pohon kelapa yang 

bertumbuhan disana-sini dengan 

suburnya, sangatlah sepi tampaknya. 

Tak ada gerak-gerik binatang besar


atau makhluk yang perlu mereka 

takutkan, sebab yang mereka lihat 

hanyalah burung-burung bangau dan raja 

udang yang tengah sibuk mencari ikan-

ikan kecil. Sedang di lumpur-lumpur 

pantai, di sela akar pohon bakau yang 

bergayutan pada permukaan air, ikan2 

glodog berloncatan riang menimbulkan 

suara berkecopak di sana-sini.

Kedelapan orang tadi, yaitu 

Jagayuda dengan ketujuh awak kapal 

Barong Makara tidaklah mengira sama 

sekati bila di balik dedaunan semak2 

pohon bakau berpasang-pasang mata 

telah mengawasi mereka sejak mulai 

mendarat sampai mereka mengemasi tenda 

dan alat-alat untuk bermalam. Namun 

Jagayuda tidaklah sia-sia memperoleh 

pangkat Tamtama Madya bila ia tiba-

tiba mengangkat muka setelah angin 

berdesir ke telinganya dari arah 

utara.

— Saudara-saudara!! Siapkan 

senjatamu cepat-cepat dan jangan 

bertanya apa-apa! — ujar Jagayuda 

kepada ketujuh awak kapal yang tengah 

bekerja didekatnya. — Aku mendengar 

bunyi gemerisik dan dengus nafas dari 

semak-semak pohon bakau disebelah 

utara! —

Agak terkejut juga ketujuh awak 

kapal yang mendengar seruan Jagayuda 

ini dan secepat kilat tanpa menunggu 

perintah yang kedua kalinya, mereka

menghunus dan menyiapkan senjatanya 

masing-masing. Sesaat suasana menjadi 

tenang tetapi juga tegang. Mereka 

menanti beberapa waktu lagi. Tak ada 

apa-apa dan mereka tetap bersiaga. 

Beberapa awak kapal mulai gelisah 

tampaknya, lalu diam-diam mereka 

mengira bahwa Jagayuda mungkin salah 

dengar atau memang tengah mencoba 

kesiap siagaan mereka, sebab belum 

juga tampak sesuatu yang muncul dari 

balik semak-semak pohon bakau.

Jagayuda pun mulai mencucurkan 

keringat dinginnya pada dahi dan 

lehernya. Ia akan merasa malu jika 

ternyata dibalik semak2 bakau itu 

tidak ada sesuatu yang tengah mereka 

tunggu. Namun itu semua bukan semata-

mata kesalahannya. Suara gemerisik dan 

dengus nafas itu memang betul-betul 

didengarnya dari sana.

Tepat disaat mereka tengah 

gelisah dan bertanya-tanya didalam 

hati, tiba2 muncullah sesosok tubuh 

keluar dari balik semak2 pohon bakau 

disebelah utara dan disaat itu juga 

para awak kapal yang dipimpin oleh 

Jagayuda tadi merangsak maju dalam 

bentuk setengah lingkaran menghadap ke 

arah orang yang baru saja muncul itu. 

Mereka bersiaga menghadapi setiap 

kemungkinan, sementara mereka menjadi 

berdebar-debar hatinya demi pandangan


mata mereka menatapi tubuh orang 

didepannya.

Dalam jarak enam tombak, orang 

tadi berdiri dengan gagahnya, meskipun 

wajahnya tampak setengah tua. Badannya 

masih tampak segar dengan sebuah baju 

tak berlengan penuh ragam hias 

lingkaran2 kecil, dipakainya dalam 

potongan yang sangat serasi. Sedang 

selembar kain ikat kepala kecil 

disertai beberapa lembar bulu burung 

menghiasi kepalanya.

Pada tangan kirinya tergenggam 

sebuah perisai panjang, juga dihiasi 

oleh gambar lingkaran2 dengan warna 

merah dan hitam.

Jagayuda dan para awak kapal tadi 

tidak hanya sampai disitu saja 

mengawasi orang tersebut. Mereka 

dengan jelas dapat melihat hampir 

semua perlengkapan dan pakaiannya. 

Selain baju, orang itupun mengenakan 

selembar kain tenun yang dipakainya 

sebagai cawat dengan bagian ujungnya 

terurai di sebelah muka dan pada 

pinggang kirinya tergantung sebilah 

mandau, sejenis pedang yang merupakan 

senjata khusus dari pulau Borneo.

Melihat orang itu tetap berdiri 

dengan tenang tanpa menunjukkan wajah 

bermusuhan, Jagayuda dan orang-

orangnya menjadi semakin bercuriga. 

Maka segeralah mereka bergerak lebih 

dekat ke arah orang ini sedang


senjata2 ditangan mereka tetap 

tergenggam erat, siap melaksanakan 

tugasnya.

Namun alangkah terkejutnya 

mereka, di saat jarak antara orang 

tadi dan diri mereka tinggal kurang 

lebih dua tombak, tahu2 berloncatanlah 

dari balik semak2 di depan mereka 

beberapa orang2 yang berpakaian serupa 

dengan orang pertama. Pada tangan2 

mereka tergenggam berbagai senjata, 

seperti tombak, mandau, sumpitan dan 

penggada. Orang2 inipun bersiap 

dihadapan rombongan Jagayuda untuk 

bertempur.

Untunglah orang pertama tadi 

mengacungkan tangannya keatas dengan 

jari2 terbuka, dan seketika orang2 

yang baru muncul tadi mundur beberapa 

langkah sambil menyarungkan senjata 

mereka masing2.

Oleh hal ini, Jagayuda dan orang-

orangnya pun mengetahui maksud baik 

dari mereka, maka ia pun memerintahkan 

orang-orangnya agar segera menurunkan 

senjatanya.

Sementara itu, Mahesa Wulung yang 

berada diatas geladak kapal Barong 

Makara, dapat pula melihat semua 

kejadian di pantai beberapa saat 

berselang. Dan ia pun menarik nafas 

lega bila kedua rombongan itu tidak 

sampai berbentrok. Maka segera 

diperintahkan kepada anak buahnya


untuk menyiapkan serta menurunkan 

sebuah perahu lagi ke air, karena ia 

bermaksud pergi ke pantai serta 

mendapatkan kedua rombongan itu.

Dalam pada itu Jagayuda juga tak 

ketinggalan untuk mengacungkan 

tangannya ke atas kepada ketua 

rombongan yang bersenjata mandau itu, 

sebagai pernyataan "tidak bermusuhan", 

atau "bermaksud damai" seraya 

melangkah ke hadapan si ketua rombong-

an itu disertai senyuman yang ramah.

Sebaliknya, siketua rombongan 

menunjukkan senyumnya pula kepada 

Jagayuda. Keduanya tak lama kemudian 

saling mengeluarkan tangan dan 

berjabatan dengan eratnya.

— Jagayuda — ujar 

Jagayuda memperkenalkan 

dirinya kepada ketua rombongan 

itu.

— Tawau — terdengar siketua 

rombongan yang bersenjata mandau tadi 

menyebutkan namanya. — Maaf, jika 

kedatangan kami telah mengejutkan tuan 

dan para awak kapal ini. —

— Tak mengapa saudara, tak 

mengapa. Bahkan seharusnyalah kami 

yang meminta maaf, sebab begitu 

saudara muncul dari semak2 pohon bakau 

itu. kami menyambutnya dengan senjata 

terhunus. —

— Heh, heh, heh, untunglah kita 

tidak sampai mengadu senjata, tuan


Jagayuda. — kata Tawau. — Rupanya akan 

hebatlah korbannya bila hal itu benar-

benar terjadi. —

— Hmm, akupun berpendapat begitu 

saudara Tawau. Namun Tuhan Yang Maha 

Besar telah menghindarkan bencana tadi 

dari kita dan untuk itu kita patut 

berterima kasih kepadaNya. — kata 

Jagayuda dan Tawau mengangguk-angguk 

karenanya. Kemudian Jagayuda bertanya 

pula. — Saudara Tawau, mengapakah 

andika begitu muncul tiba2 ketika kami 

berada di pantai ini? —

— Memang, kami sengaja untuk 

menemui tuan-tuan semua. — ujar Tawau. 

— Kami mempunyai suatu maksud dan 

semoga tuan-tuan bersedia 

mendengarnya. —

— Katakanlah saudara Tawau, kami 

akan mendengarnya dengan senang hati. 

Percakapan mereka terpaksa 

terhenti oleh bunyi kecupak air yang 

tersibak oleh dayung-dayung dan sebuah 

perahu telah mendarat di pantai. 

Beberapa orang turun ke pasir dan 

seorang bertubuh tegap langsung menuju 

ke arah Jagayuda dan Tawau berdiri de-

ngan langkah2 yang mantap.

— Nah, saudara Tawau. Inilah 

pemimpin kami. — Jagayuda berkata 

ketika orang bertubuh tegap yang tidak 

lain adalah Mahesa Wulung telah tiba 

disamping mereka.


Mahesa Wulung mengangguk kepada 

Tawau, berbareng itu Jagayuda berkata 

lagi. — Kakang Mahesa perkenalkanlah. 

Bapak ini bernama Tawau dan ia bersama 

orang orangnya sengaja menemui kita. —

Sambil berjabatan tangan, Tawau 

berkata kepada Mahesa Wulung. — Benar 

apa yang dikatakan oleh saudara 

Jagayuda ini. Kami memang sengaja 

menemui tuan2 dengan suatu maksud yang 

baik. —

— Eh, apakah yang bapak 

kehendaki? — Mahesa Wulung berkata, 

sedang dalam hatinya dipenuhi oleh 

pertanyaan-pertanyaan, — Apakah kami 

telah membuat sesuatu kesalahan 

disini? —

— Kesalahan? — seru Tawau kaget. 

— Oh, tidak. Sama sekali tuan-tuan 

tidak berbuat kesalahan, bahkan 

sebaliknya, Tuan-tuan telah berjasa 

terhadap keluarga saya dan para 

penduduk lainnya.

— Janganlah bapak keburu berkata 

tentang jasa-jasa kami, sedangkan kami 

sendiri tidak tahu menahu jasa-jasa 

apakah yang telah kami perbuat dan 

apakah hubungannya dengan keluarga 

bapak serta para penduduk disini? —

Mendengar perkataan Mahesa 

Wulung, orang tua ini justru malah 

tersenyum seraya mengangguk-angguk, 

lalu berkata. — Eh, kata-katamu 

membuat hati bapak kagum setengah


mati. Tuan telah membuat satu jasa 

besar bagi kemanusiaan dan tuan 

sendiri malah tidak merasakan hal itu. 

Atau mungkin tuan mencoba 

menyembunyikan pengakuan itu? — Tawau 

berhenti sejenak dan ketika Mahesa 

Wulung belum juga berkata, kembalilah 

si tua ini berkata — Yah, seorang yang 

bijaksana dan berbudi luhur memang 

seringkali menganggap suatu hal yang 

biasa bagi jasa2 yang telah 

diperbuatnya, sementara orang lain 

memandangnya dengan kagum. Ketahuilah 

tuan, dengan hancurnya Kapal Hantu 

itu, kami sekarang telah merasa aman 

dan lega, sebab selama ini hidup kami 

selalu terancam oleh anak buah Kapal 

Hantu yang telah sering kali merampok 

dan mengganggu para penduduk. —

— Oh, jadi hal itulah yang bapak 

maksudkan. — sahut Mahesa Wulung 

setelah ia mengetahui duduk 

persoalannya. — Tentang Kapal Hantu 

itu, memang sebenarnya menjadi buron 

kami, karena ia telah mengacau lalu 

lintas pelayaran dilaut Jawa. Dan 

kami, dari Armada Laut Demak mendapat 

tugas untuk menghancurkannya. —

— Nah, jika tuan telah

mengetahuinya, maka sudilah tuan 

menanggapi satu permintaan yang akan 

kami sampaikan kepada tuan. —


— Marilah bapak katakan 

permintaan itu, dan kami dengan senang 

akan menyambutnya. —

Demi mendengar kesanggupan Mahesa 

Wulung, orang tua ini menarik napas 

lega. — Begini tuan, sesudah hancurnya 

Kapal Hantu dan pulihnya ketenteraman 

para penduduk disini, kami bermaksud 

mengundang tuan2 untuk berkunjung ke 

kampung kami, sebab para penduduk 

ingin berkenalan dengan orang yang 

telah berhasil menghancurkan Kapal 

Hantu — Tawau berhenti sejenak seraya 

memandang ke wajah Mahesa Wulung, 

seolah-olah ingin menyelidik, apakah 

pendekar muda ini bersedia memenuhi 

undangannya — Dan kami telah 

menyiapkan suatu perjaimuan untuk 

tuan-tuan sekalian maka kami betul2 

mengharapkan kedatangan itu. —

Mahesa Wulung tak segera menjawab 

oleh permintaan yang telah diajukan 

oleh Tawau tadi, karena disaat itu 

pula ia telah dihadapkan pada 

persoalan yang sulit. Yah, bukankah ia 

telah mempersiapkan kapalnya untuk 

berlayar kembali ke Demak? Sedang kini 

ia telah diminta untuk berkunjung ke 

kampung orang tua ini.

Sungguh persoalan yang sulit dan 

mesti dipecahkan, dalam saat ini juga. 

Kalau seandainya ia tetap melanjutkan 

niatnya untuk belayar, ini berarti 

akan membuat kecewa kepada Tawau dan


segenap penduduk sedang sebaliknya, 

jika ia memenuhi permintaan Tawau, ini 

sama saja dengan menunda pelayarannya.

Begitulah, sesaat Mahesa Wulung 

terbungkam membisu sementara 

pikirannya menimbang-nimbang akan 

keputusan yang harus diambilnya. 

Sebentar kemudian, pendekar muda ini 

telah mengambil keputusannya dan 

berkatalah ia kepada Tawau siorang tua 

yang bersenjata mandau itu.

— Demi persaudaraan kita yang 

telah terjalin ini, aku tak 

berkeberatan untuk berkunjung ke kam-

pung bapak. — ujar Mahesa Wulung dan 

keruan saja orang tua ini terlonjak 

kegirangan.

— Weh, bagus! Itulah yang kami 

harapkan, tuan —. seru Tawau. — Dengan 

begitu tak akan sia-sialah perjamuan 

yang telah kami persiapkan itu dan

kapankah kita berangkat? —

— Maaf bapak, tak dapat kami 

tergesa-gesa sebab kami harus lebih 

dulu memberi tahu kepada para awak 

kapal agar pelayaran kita tunda dulu. 

Tawau menganggukkan kepala oleh 

kata-kata Mahesa Wulung dan pendekar 

muda inipun memberi petunjuk-petunjuk 

kepada Jagayuda. — Adi Jagayuda, 

beritahukan kepada saudara Daeng Matoa 

dan adi Pandan Arum agar mereka turun 

ke pantai untuk menemaniku dalam


perjalananku ke daerah pedalaman. 

Kemudian pimpinan kapal Barong Makara 

sementara aku serahkan kepadamu. —

— Baiklah kakang, dan sekarang 

juga aku akan kembali kekapal untuk 

menjemput dan memberitahu mereka 

berdua. — ujar Jagayuda serta berpamit 

kepada Mahesa Wulung dan selanjutnya, 

dengan beberapa orang telah berperahu 

ke tengah laut mendekati kapal Barong 

Makara.

Demikianlah tak lama kemudian 

perahu tadi merapat ke dinding kapal 

dan naiklah Jagayuda kegeladak lalu 

menyampaikan segala pesan2 Mahesa 

Wulung kepada Daeng Matoa dan Pandan 

Arum. Maka sejurus lagi meluncurlah 

sebuah perahu dan dari tepi dinding 

kapal menuju kearah pantai, membawa 

Daeng Matoa dan Pandan Arum.

Keduanya diperkenalkan kepada 

bapak Tawau setelah mereka tiba di 

darat dan Mahesa Wulung pun 

berceritera kepada mereka berdua akan 

segala maksud dan permintaan bapak 

Tawau.

— Nah, bapak Tawau, sekarang kami 

telah siap menyertai bapak untuk 

bertamu ke kampung andika — kata 

Mahesa Wulung kepada si orang tua itu.

— Bagus. Marilah kita berangkat —

Tawau berkata sambil kedua tangannya 

memberi aba2 ke atas dan segera orang-

orangnya berkemas-kemas pula. Maka


berjalanlah mereka kearah utara 

beriring-iring menembus hutan bakau 

dan pohon kelapa menuju daerah 

pedalaman. Berjalan paling depan 

adalah empat orang anak buah Tawau, 

lalu orang tua itu sendiri berjalan 

berdampingan dengan Mahesa Wulung dan 

di belakangnya berjalan Pandan Arum 

bersama Daeng Matoa, disusul oleh enam 

orang anak buah Mahesa Wulung kemudian 

disambung pula oleh dua puluh orang 

pengikut Tawau.

Daerah yang mereka tempuh semakin 

lebat pohon-pohonnya. Batangnya yang 

tinggi dan besar tak ubahnya pagar2 

raksasa yang membentengi pulau itu 

dari jamahan tangan manusia. Pohon2 

besar seperti pohon besi, pohon sindur 

dan lanan serta rotan2 yang berlilitan 

seperti ular terlihat di sana-sini.

Diam2 hati Pandan Arum tergetar 

pula menatap kelebatan hutan yang 

tengah mereka lalui ini. Biarpun ia 

merasa senang dengan beraneka ragam 

bunga2 anggrek liar yang bergayutan 

pada batang2 pohon di sepanjang 

perjalanan, namun sekali2 ia terkejut 

oleh jeritan2 melengking memekakkan 

telinga, hingga ia terpaksa berpegang 

pada pundak Mahesa Wulung yang 

berjalan di depannya. Melihat hal ini, 

bapak Tawau menoleh sambil tersenyum, 

dan berkata dengan pelan, — Jangan 

takut nona Pandan Arum, itu tadi


adalah jeritan2 dari Orang Utan, 

sejenis kera besar yang hanya terdapat 

di hutan pulau Borneo ini. Rupanya ia 

terkejut melihat orang2 yang sebanyak 

ini. —

Pandan Arum melihat ke atas ke 

arah cabang2 pohon yang hampir 

seluruhnya menutup dan melingkupi 

udara, sehingga warna biru langit 

hampir tak terlihat sama sekali, 

kecuali dari sela2 dedaunan.

Sekali waktu Pandan Arum 

tercengang2 melihat bayangan-bayangan 

hitam berkelebat di antara cabang dan 

dahan2 pepohonan lalu lenyap dibalik 

dedaunan.

— Nah, itulah tadi Orang Utan 

yang menimbulkan suara2 jeritan 

melengking. Selama orang tak 

mengganggu maka iapun tak akan 

mengganggu kita — berkata bapak Tawau 

kepada Mahesa Wulung dan Pandan Arum 

serta Daeng Matoa.

— Tapi, apakah belum pernah ada 

orang yang berani menangkapnya? —

tanya Mahesa Wulung.

— Oh, tentu ada tuan. Namun itu 

pun hanya orang-orang tertentu, yaitu 

para tagoh atau pendekar-pendekar 

berilmu tinggi. Sebab seekor Orang 

Utan' yang benar-benar marah akan 

mengamuk dengan hebat. — jawab Tawau 

kepada tamunya. — Dan tidak sembarang 

orang berani menghadapinya. —


— Hmm hebat juga binatang itu! —

desis Mahesa Wulung. Perjalanan 

diteruskan kearah utara dan hutan pun 

bertambah lebat. Sekali-sekali mereka 

terpaksa melewati rawa-rawa kecil atau 

genangan air dan tak jarang beberapa 

orang setelah melewatinya jadi sibuk 

memunguti dan melepaskan lintah-lintah 

yang menempel pada kaki mereka. 

Binatang-binatang kecil pengisap darah 

ini terlepas sesudah diludahi dan 

dipelintir dengan jari. Sedang Mahesa 

Wulung dan anak buahnya yang kebetulan 

membawa daun sirih atau ranjangan 

tembakau dengan mudahnya mengusir bi-

natang-binatang tadi dengan cucuran 

air sirih atau air tembakau.

Perhatian Pandan Arum tiba-tiba 

dipecahkan oleh jeritan kicauan yang 

serak dari atas pohon dan 

tercenganglah ia melihat burung burung 

ganjil bertengger di depan sebuah

lubang pada batang kayu.

— Bapak Tawau, sungguh ganjil 

burung-burung ini! — ujar Pandan Arum 

seraya menunjuk ke atas.

— Ooo? nama burung itu adalah 

Enggang dan lihatlah paruhnya yang 

besar. Agaknya ia tengah memperlebar 

lubang pada pohon itu. —

— Uuuh, memperlebar lubang pada 

batang pohon itu? Apakah maksudnya 

bapak? — sela Daeng Matoa ikut 

bertanya pula.


— Itu berarti bahwa ia tengah 

mencari tempat untuk bertelur. Sesudah 

lubang tadi cukup lebar, burung 

Enggang yang betina akan masuk ke 

dalam untuk bertelur, sementara burung 

jantan menembok lubang pohon tadi dari 

sebelah luar dengan lumpur serta tanah 

liat dan ia cuma menyisakan sebuah lu-

bang kecil tempat si betina 

melongokkan kepalanya keluar.

— Wah, sungguh aneh kebiasaan 

burung Enggang itu bapak Tawau? —

desis Pandan Arum.

— Heh, heh, heh, nona boleh 

keheranan oleh kesetiaan si jantan. Ia 

setiap hari dan setiap kali mencari 

makanan buat si Enggang betina. 

Sesudah telurnya menetas, si betina 

lalu memecah tembok lumpur tadi dan 

keluarlah ia dari dalam lubang. Mereka 

lalu mengurung dan membiarkan anak-

anaknya tinggal didalam lobang 

tersebiut serta menembok kembali se-

perti semula dengan lumpur. Kini 

Enggang betina dan jantan akan 

mencarikan makanan buat anak anak 

mereka serta bergantian menyuapinya. 

Dengan begitu mereka tak usah 

menguatirkan keselamatan anak-anaknya 

sampai kesemuanya besar dan sudah 

waktunya keluar dari lubang tersebut. 

— Demikianlah si tua Tawau berceritera 

sambil berjalan bersama tamu-tamunya. 

Hal ini membuat senang mereka, lebih


lebih bagi Pandan Arum yang dasarnya 

haus akan pengetahuan. Di tengah hutan 

seliar ini ternyata banyak hal hal 

yang aneh, yang patut diketahui.

Apabila rombongan tadi semakin 

jauh ke utara menjelajah hutan liar 

ini, semakin terlihatlah banyaknya 

sulur-sulur tumbuh-tumbuhan dan rotan 

yang bergayutan, berjuntai kebawah 

bagaikan tangan-tangan hantu yang siap 

menerkam korbannya. Si tua Tawau 

segera berkata kepada para tamunya, —

Saudara-saudara jangan terlalu banyak 

berjalan dengan menundukkan kepala 

kebawah, tetapi sering-seringlah 

melihat keatas. Sebab dengan begitu 

saudara-saudara akan dapat membedakan, 

apakah itu sulur tumbuh-tumbuhan 

ataukah tubuh seekor ular yang tengah 

menanti mangsa. —


Dan tiba-tiba sebelum rombongan 

bergerak, Mahesa Wulung menggenjotkan 

kakinya ke tanah dan tubuhnya dengan 

sebat melesat ke atas dibarengi pe-

dangnya berputar selingkaran penuh.

Bulu tengkuk Pandan Arum seketika 

bergidik meremang mendengar peringatan 

situa Tawau, sehingga tak dapat 

disalahkan bila gadis pendekar inipun 

menggandeng lengan kekasihnya, Mahesa 

Wulung.

Belum lagi lama selesainya Tawau 

berkata tadi, mendadak orang tua ini 

meminjam sebuah sumpitan panjang dari 

tangan seorang anak buahnya dan 

lansung ditembakkannya kearah atas 

pepohonan disebelah muka. 

— Cappp! — Anak sumpitan melesat 

dan disusul bunyi benturan menancap, 

kemudian sebatang sulur! sebesar 

lengan yang tidak lain seekor ular 

hitam kecoklatan melorot kebawah lalu 

terhempas ke tanah dengan kepalanya 

tertembus oleh anak sumpitan.

— Oooh! — jerit Pandan Arum 

tertahan.

— Tak apa-apa nona, tenang lah. 

Bahaya telah lewat ! — ujar situa 

Tawau dengan ramahnya. — Ular itu 

telah mati dan tak akan mengganggu 

perjalanan kita lagi. —


Suasana sesaat menjadi senyap dan 

mereka segera bergegas-gegas untuk 

melanjutkan perjalanannya kembali. 

Tetapi, benarkah bahaya telah lewat? 

Agaknya tidak demikianlah 

kenyataannya, sebab telinga Mahesa 

Wulung telah menangkap suara berisik 

serta desis perlahan dari atas 

dedaunan tepat diatas jalan yang 

tengah dilaluinya. Dan tiba-tiba 

sebelum rombongan bergerak, Mahesa 

Wulung mengenjotkan kakinya ke tanah 

dan tubuhnya dengan sebat melesat ke

atas dibarengi pedangnya berputar 

selingkaran penuh kearah dedaunan dan 

terdengarlah kemudian bunyi tebasan 

serta desis yang terputus, lalu 

terkulailah sebuah tubuh ular dengan 

kepala yang terpisah meluncur jatuh di

tanah. Dalam saat yang sama Mahesa 

Wulung telah pula mendarat dan tiba di

tanah seraya menyarungkan pedangnya.

Keruan saja si tua Tawau dan anak 

buahnya terlongoh2 keheranan melihat 

gerak Mahesa Wulung yang demikian 

cepat dan tangkasnya, sehingga orang 

tua ini tanpa segan-segan memuji 

sipendekar muda yang menjadi tamunya. 

— Hebat! Tak kami kira bahwa tuan 

rnampu berbuat demikian. Maka tak 

heranlah bila Kapal Hantu itu telah 

berhasil anda hancurkan.—

— Aah, bapak Tawau berlebih 

lebihan memuji saya. Penghancuran


Kapal Hantu itu tidak saya lakukan 

seorang diri, tetapi bersama saudara 

Daeng Matoa ini juga. — ujar Mahesa 

Wulung sambil menepuk bahu pendekar 

Bugis itu dengan tangannya, dan Daeng 

Matoa cuma tersenyum karenanya.

— Oooh! Kalau begitu lebih hebat 

lagi! Tak kukira bahwa tamu-tamuku 

terbilang pendekar2 tangguh, — seru 

Tawau tak habis kagumnya, — Nah, 

marilah kita lanjutkan lagi perjalanan 

kita. —

— Marilah bapak! — ujar Mahesa 

Wulung. Mereka meneruskan 

perjalanannya kembali kearah utara 

menyusuri sepanjang tepi sungai Sampit 

yang mengalir kearah selatan dengan 

derasnya.

Sungai ini makin lama makin 

menyempit dan berbelok-belok bagaikan 

ular yang tengah melata. Makin 

keutara, makin banyak terdapat riam-

riam dan batu-batu yang bertebaran 

disungai.

Jauh disebelah barat laut Sana, 

terbayanglah kebiruan tanah pegunungan 

yang terlihat dari celah-celah

pepohonan, menimbulkan rasa nglangut 

menerawang seakan-akan membuat hati 

rindu. Bagi si tua Tawau dan anak 

buahnya yang terbiasa hidup di hutan

belantara Borneo ini, tak ada 

pengaruhnya sama sekali. Tetapi untuk 

Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Daeng


Matoa serta para awak kapal Barong 

Makara sungguh besar pengaruhnya! 

Selain lelah, mereka setengah diliputi 

perasaan jemu. Mereka ingin menatap

pemandangan yang lepas bebas, 

menyaksikan birunya langit dan 

sinarnya matahari yang terang 

benderang. Sedang kini, yang mereka 

lihat melulu pohon-pohon yang tinggi 

dengan daunnya yang melingkupi udara, 

seolah-olah hutan ini tak ada 

putusnya.

Dari berkas-berkas sinar matahari 

yang jatuh, dapatlah diketahui bahwa 

matahari telah condong ke sebelah 

barat, sebagai pertanda bahwa senja 

tengah menjelang.

*****

Sementara itu, dalam waktu yang 

hampir bersamaan dan jauh di sebelah 

tenggara teluk Sampit tampaklah 

seorang manusia yang sedang berenang 

dari tengah laut dengan tangan 

sebentar-sebentar menggapai-gapai tak 

teratur, menunjukkan bahwa orang 

tersebut telah kelelahan, kehabiran 

tenaga. Dengan susah payah akhirnya 

tibalah ia ditepi pantai dan seketika 

merebahkan tubuhnya di pasir.

Orang ini menatapkan matanya 

kearah hutan yang mulai menggelap dan 

suram. Tiba-tiba pandangannya


menangkap dua sosok tubuh yang 

bergayutan lincah dan meloncat turun 

dari atas dahan pohon. Keduanya 

perlahan-lahan berjalan ditanah, 

sedang dibelakang mereka tiba-tiba 

bergayutan pula sosok-sosok tubuh yang 

meloncat turun ke tanah, tidak kurang 

dari sepuluh jumlahnya. Maka kedua 

belas sosok tubuh itu berjalan 

mendekati kearah tempat orang yang 

baru mendarat tadi.

Tentu saja tak terbayangkan 

betapa kaget dan takutnya orang itu 

yang kedatangan dua belas sosok tubuh 

berjalan dalam keremangan senja. Dua 

sosok tubuh yang berjalan paling depan 

sangat banyak bedanya. Yang satu 

bertubuh kurus tapi kekar, sedang yang 

satunya bertubuh pendek, besar dan 

kedua tangannya sangat panjang, sampai 

mencapai tanah.

Demikian pula yang kesepuluh 

sosok tubuh dibelakangnya, tak berbeda 

dengan sosok tubuh kedua. Mereka 

memiliki pula tangan-tangan yang pan-

jang terseret ditanah.

Hampir saja orang tadi mengira 

bahwa kedua belas sosok tubuh tadi 

adalah hantu-hantu dedemit penghuni 

alas rimba teluk Sampit, namun sosok 

tubuh yang kurus tadi tiba2 

menyapanya. — Haai! Bukankah anda 

bernama si Mata Siji dari Kapal 

Hantu?! —


Orang yang disebut si Mata Siji, 

yakni orang yang baru saja mendarat 

tadi terhenyak keheranan sampai ia 

mengangkat kepalanya serta mempertajam

penglihatannya. Pandangannya kini 

mulai jelas. Sosok tubuh yang kurus 

itu adalah manusia seperti dirinya

juga. Bahkan dengan perlahan-lahan ia 

dapat mengenalsikurus ini. 

— Bengara! — desis si Mata Siji 

atau yang dulu bernama Jaramala kepada 

si kurus. — Kemana saja bapak selama 

ini? —

— Hee, aku orang merdeka dan 

bebas kemana saja serta berbuat 

apapun! Anda tak perlu bertanya apa2 

kepadaku! — bentak Bengara dengan 

mencibirkan bibirnya. — Tak seorangpun 

yang bakal menghalang-halangiku. 

Lihatlah kesebelas orang temanku ini. 

Mereka akan menjaga dan melindungiku 

dari setiap bahaya. —

Si Mata Siji terperanjat, begitu 

matanya menatap kesebelas teman 

Bengara yang berdiri dibelakang 

berjajar bagai pagar. Kehitaman, 

berbulu kehitaman. Mereka adalah 

sebelas ekor Orang Utan yang berdiri 

dengan garangnya!

— Jangan anda takut! Heh, heh, 

heh, selama anda tak mengusiknya dan 

anda tetap menghormatiku, anda akan 

selamat. Tapi jika anda melanggar 

kedua hal itu, jangan harap tubuhmu


masih utuh. Mereka akan mencabik-cabik 

dan melahap tubuh anda dalam waktu 

singkat!—

— Hmm, bapak Bengara mengancamku? 

— gumam si Mata Siji.

— Bukan mengancam, tapi sekadar 

peringatan saja. Aku tak ingin ada 

orang yang terlalu banyak mengetahui 

tentang diriku! —

— Baiklah — sahut si Mata Siji. —

Tapi bapak akan menyesal bila 

mendengar perihal Ki Monyong Iblis!

— Heei, perihal Monyong Iblis? 

Apa yang terjadi dengan sahabat 

karibku itu?! — seru Bengara tak 

sabar. — Ayo, lekas katakan terus 

terang atau kamu ingin diganyang oleh 

pengawal-pengawalku ini! —

Si Mata Siji di dalam hati 

tersenyum geli melihat tingkah laku 

Bengara, pendekar liar yang berpakaian 

kulit beruang itu. Ia tahu bahwa 

antara Ki Monyong Iblis dengan Bengara 

terjalin persahabatan erat, sehingga 

keduanya saling membantu dan bekerja 

sama. Maka tak heranlah bila ia sangat 

tertarik akan perihal diri Monyong 

Iblis.

— Heh, baiklah kalau bapak ingin 

mengetahui nasib Ki Monyong Iblis. Ia 

telah meninggal dan Kapal Hantu telah 

meledak! — ujar Mata Siji tandas 

bernada geram.


— Gila! Apa katamu tadi, ha? Ki 

Monyong Iblis telah mati? — teriak 

Bengara sambil meringkus leher baju si 

Mata Siji serta menggoncang-goncangnya 

— Coba berkatalah yang jelas. Mungkin 

aku tadi salah dengar! —

— Aku telah berkata begitu dan 

bapak telah mengatakannya pula. Maka 

tak ada yang keliru lagi. Ki Monyong 

Iblis telah meninggal!! —

— Keparat! Siapa yang 

melakukannya? Siapa berani berbuat 

demikian terhadap sahabat karibku, ha! 

— teriak Bengara dengan beringas.

— Ia telah meninggal oleh tangan 

Mahesa Wulung dan orang itu pula yang 

telah menghancurkan Kapal Hantu! —

— Heerh! — terdengar suara geram 

dari mulut Bengara disertai pancaran 

matanya berapi-api karena marah. 

— Aku belum pernah mendengar nama 

Mahesa Wulung itu. Dimana sekarang 

orang itu? Aku ingin pula mengukur 

tenaga dengan dia. Kalau sahabatku, Ki 

Monyong Iblis setelah binasa ditangan 

Mahesa Wulung, pastilah ia termasuk 

pendekar jagoan, sebab untuk 

merobohkan orang seperti Ki Monyong 

Iblis itu diperlukan keberanian dan 

ilmu yang bertihgkat tinggi! -

— Tepat! — Memang tepat! Orang 

yang bernama Mahesa Wulung itu adalah 

pendekar jagoan dari Armada Demak dan


kiranya hanyalah bapak yang bisa 

mengalahkannya! —

— Tapi mengapa engkau sendiri tak

ikut melawannya — damprat Bengara 

kepada si Mata Siji.

— Bapak tak tahu bahwa pada saat 

itu tengah terjadi pertempuran hebat 

digeladak Kapal Hantu dan kami masing-

masing mendapat lawan yang tangguh-

tangguh! Nah, kalau bapak ingin 

mencari Mahesa Wulung, orang itu 

sekarang tengah berkunjung ke lembah 

Sampit dan menjadi tamu si tua Tawau. 

Begitulah mereka telah kuintai tanpa 

setahu siapapun —

Pendekar liar Bengara tampak 

mengangkat kedua alisnya dan berkata 

keras. — Uh, jadi orang itu pun telah 

bersahabat dengan Tawau?! Wah kita 

bertambah sulit jadinya. Terhadap si 

tua Tawau kita harus berhati-hati! —

— Sekarang kemana tujuan kita? —

tanya si Mata Siji kepada Bengara, 

sedang kesebelas Orang Utan pengawal2 

Bengara melenguh-lenguh seperti tak 

sabar.

— Ayo ikutlah aku si Mata Siji! 

Kita bisa Bantu-membantu! — ujar 

Bengara seraya memberi isyarat kepada 

sebelas pengawalnya untuk kembali ke

tengah hutan, diikuti pula oleh si 

Mata Siji. Mereka berjalan ke arah 

utara dan sejurus kemudian lenyap, 

seperti ditelan oleh hutan belantara.

Malampun mulai turun dan kegelapan 

merajai segalanya.



DUA



BEBERAPA gubuk liar yang sangat 

sederhana, terdiri dari cabang-cabang 

pohon dipancangkan diatas tanah dengan 

beratapkan daun-daun pepohonan.

Dua buah unggun api telah 

terpasang menyala dengan lidah apinya 

menjilat keudara, sedang 

disekelilingnya berkerumun beberapa 

orang. Hawa panas memancar dengan rasa 

nyaman pada malam yang gelap dan 

dingin, di tengah rimba Borneo.

Pada api unggun yang satu, 

tampaklah situa Tawau, Mahesa Wulung, 

Pandan Arum dan Daeng Matoa. Sedang 

disekeliling api unggun kedua yang 

agak lebih besar, beberapa orang 

duduk-duduk disitu. Mereka adalah anak 

buah Tawau dan para awak kapal Barong 

Makara. Rupanya dalam waktu yang 

singkat itu telah terjalin 

persahabatan yang erat diantara me-

reka.

— Bapak Tawau, ternyata jauh juga 

tempat tinggal andika — ujar Mahesa 

Wulung — Kapan kita sampai disana? —

— Oh, janganlah tuan merasa 

cemas. Besok pagi atau paling lambat 

disaat matahari tepat di atas kepala,

kita akan sampai disebuah lembah dan 

disitulah tempat tinggal kami — kata 

situa Tawau dengan ramahnya. — Dan 

lembah itu namanya ialah lembah 

Sampit. —

— Mmm, dapatkah saya mendapat 

gambaran tentang tempat tinggal bapak 

itu? —

— Kami tinggal didalam rumah 

rumah panjang yang berdiri diatas 

tonggak tonggak kayu dan untuk naik 

kerumah kita menggunakan tangga kayu. 

Mungkin tuan akan bertanya mengapa 

rumah-rumah kami berdiri diatas 

tonggak tonggak kayu. Yah, itu untuk 

menghindari gangguan binatang-bintang 

buas ataupun rasa dingin yang timbul 

bila hujan lebat turun dan ajrnya 

menggenangi tanah dan rerumputan 

dibawah. —

Tiba-tiba percakapan mereka 

dihentikan oleh teriakan Pandan Arum 

yang duduk di samping Mahesa Wulung 

mengejutkan semua orang.

— Oh, ada apa nona? — tanya Tawau 

setenyah heran.

— Mengapa Pandan Arum? ! — Mahesa 

Wulung bertanya pula.

— Itu! Itu, mata itu kakang, 

lihatlah! Mata hantu yang bersinar! 

Hiii!! — seru Pandan Arum dengan 

tangannya menunjuk-nunjuk kearah pohon 

di sebelah kanan atas. Baik Mahesa 

Wulung, Daeng Matoa maupun orang-orang


awak kapal Barong Makara terperanjat 

pula ketika menatap kearah pohon yang 

ditunjuk oleh Pandan Arum.

Memang diantara dedaunan lebat 

terlihatlan dua bulatan menyala kuning 

kehijauan yang sebentar turun naik 

diantara cabang-cabang pohon, tak 

ubahnya mata hantu seperti yang 

dikatakan oleh Pandan Arum.

— Heh, heh, heh, tenanglah nona 

yang juga tuan2 semua saya harap tidak 

panik. Itu bukan mata hantu, tetapi 

mata seekor binatang yang bernama 

Kukang. — ujar situa Tawau. — Nah, 

lihatlah itu. Seorang anak buahku akan 

mengoborinya. —

Seorang anak buah Tawau mendekati 

pohon tadi kemudian menerangi dengan 

sebilah obor ditangannya dan apa yang 

dikatakan oleh situa Tawau ternyata 

benar.

Pada sebuah cabang pohon 

bergantunglah seekor binatang berbulu 

mirip kera tetapi tak berekor. Ia

memegang cabang pohon itu dengan kedua 

kaki belakangnya, sedang kedua kaki 

muka mengusap usap mulutnya. Mungkin 

ia tengah makan sesuatu atau mungkin 

pula ia merasa silau terkena cahaya 

obor tersebut.

Dengan gerak yang tenang binatang 

Kukang ini berjalan lurus sepanjang 

cabang pohon yang melurus tumbuh


keatas, dan kemudian bersrrnbunyi 

dibalik dedaunan.

Serentak terdengar orang-orang 

menghela napas lega. Malah ada 

diantaranya tertawa geli melihat Ku-

kang itu bersembunyi seperti orang 

malu karena terkena cahaya obor 

tersebut.

Suasana menjadi tenang kembali, 

kecuali bunyi jengkerik dan belalang 

bersahut-sahutan bagai alunan irama 

senandung malam. Dari jauh terdengar 

sayup2 raungan binatang buas. Suaranya 

mengaung terpantul pada tebing2 

pepohonan menggetarkan rongga2 dada.

Namun mereka tak perlu kuatir 

lagi sebab enam orang telah berjaga 

dengan cermatnya disekitar perkemahan 

darurat itu. Dari keenam orang penjaga 

tadi, yang dua orang adalah anak buah 

Mahesa Wulung, sedang yang empat orang 

lagi adalah anak buah situa Tawau. 

Karena itu yang lainnya tidak perlu 

ikut berjaga semalam suntuk. Mereka 

boleh mempercayakan keamanan rombongan 

ini kepada keenam penjaga itu.

Biarpun begitu, Mahesa Wulung 

tidaklah dapat sepenuhnya tertidur 

pulas, melainkan ia hanya "tidur-

tidur ayam" saja, yang setiap saat 

dapat terbangun dan bersiaga bila ada 

hal2 yang tidak diinginkan. Lebih-

lebih ia merasa ditempat asing yang 

belum dikenalnya, sehingga kewaspadaan


adalah unsur penting yang harus 

diutamakan.

Begituiah malam terus berlalu 

dengan lambathya dan semakin larut, 

udara dingin terasa menusuk tulang-

belulang sampai ketulang sumsum

rasanya. Para penjaga selalu 

bergiliran dan setiap kali enam orang 

selalu berjaga sedang enam orang yang 

baru selesai, diganti segera 

merebahkan dirinya diatas dedaunan 

kering atau pun berselimutkan kain 

yang dibawanya. Mereka sebentar saja 

tertidur pulas.

Ketika tengah malam telah lewat, 

mendadak bunyi dering jengkerik 

terhenti dengan tiba-tiba membuat hati 

para penjaga seketika berdebar-debar 

dengan kerasnya.

Demikian pula Mahesa Wulung yang 

tajam tel-nganya itu, ia merasakan 

adanya sesuatu yang ganjil, yang 

membuat para jengkerik itu tiba-tiba 

membisukan diri. Maka cepat-cepatlah 

ia bangun dari pembaringannya serta 

mendapatkan para penjaga.

— Tuan! — desis seorang penjaga 

yang berdiri didekat Mahesa Wulung..—

Kami merasakan sesuatu yang ganjil! 

Rasanya kita tengah dikepung oleh 

bencana! Oleh maut! —

— Tenanglah! Apa yang anda 

katakan tadi, juga tengah aku rasakan 

sekarang ini. — ujar Mahesa Wulung dan


kemudian ia berseru kepada keenam 

orang penjaga itu. — Awas!! Kita telah 

terkepung! Musuh telah bercokol di 

sekitar kita. Perhatikan baik-baik 

pepohonan disekitar kita ini, dan 

siapkan senjata kalian. —

Keenam orang penjaga tersebut, 

lekas-lekas menghunus senjatanya 

masing-masing dan alangkah kagetnya 

mereka ketika pandangan mata mereka 

tercampak pada pepohonan yang tinggi 

disekitar mereka. Pada dahan-dahan 

pohon tadi, terlihatlah dua belas 

sosok tubuh yang bertengger dengan 

enaknya.

Keruan saja keenam pengawal 

tersebut mengalirkan keringat dingin 

yang menetes dari dahi dan pelipis 

mereka. Tambahan lagi sebentar 

kemudian kedua belas bayangan itupun 

mengeluarkan suara riuh, melenguh 

serta menjerit dengan suara 

menggetarkan udara sekeliling. 

— Nguuuuk...... 

ngoaaak........kiaaaak.......

kuiiik......ngeek-ngeek......—

Beberapa orang yang tengah tidur 

telah terbangun oleh suara ribut-ribut 

itu. Tampak seperti situa Tawau, Daeng 

Matoa dan Pandan Arum dan beberapa 

orang lainnya.

— Apa yang terjadi tuan Mahesa 

Wulung? — tanya Tawau dengan gugupnya.


— Kita telah dikepung oleh musuh, 

bapak! —

— Musuh?! Aneh sekali! Disekitar 

sini jarang manusia tinggal! — ujar 

Tawau keheranan. — Dan kalau ini ada 

orang yang berada disekitar tempat 

ini, pastilah mereka juga salah satu 

penduduk dari desa kami sendiri! —

Percakapan mereka terhenti oleh 

sebuah derai ketawa bergetar dari atas 

pepohonan itu. 

— Hah, hah, hah, hah, hah, hah. 

Maaf para sobat sekalian! Aku terpaksa 

mengganggumu sebentar, karena aku 

tengah mencari manusia yang bernama 

Mahesa Wulung! —

Mahesa Wulung terperanjat oleh 

suara ini. Juga situa Tawau yang 

merasa sebagai tuan rumah bagi tamu-

tamunya yakni Mahesa Wulung 

serombongan itu haruslah bertanggung 

jawab atas keselamatan mereka.

— Hei, tunjukkan mukamu lebih 

dulu! Siapa engkau, hah? — teriak 

Tawau dengan marahnya.

— Hah, ha, ha, ha, ha. Kalian 

sudah terkepung, para sobat! Dan 

ketahuilah bahwa aku cuma berurusan 

dengan orang yang bernama Mahesa 

Wulung dan biarkan aku membuat 

perhitungan dengan dia! — terdengar 

suara dari atas pohon.

— Apa maksudmu, setanl Keluarlah! 

— situa Tawau berteriak pula dengan


jengkelnya. Betapapun jadinya ia tak 

akan membiarkan tamunya diganggu.

— Tua keriput! Hah, ha, ha, ha. 

Aku tak berurusan dengan kalian! —

terdengar pula teriakan dari atas 

pohon. — Sekali lagi aku peringatkan, 

bahwa aku cuma akan membuat 

perhitungan dengan Mahesa Wulung. Lain 

tidak! —

Situa Tawau jadi kian tersinggung 

oleh kata-kata dan suara tadi dan 

kembali ia berseru — Keparat! Sebelum 

berurusan dengan dia, akupun bersedia 

membuat perhitungan dengan kamu! —

— Bagus! Tawau yang telah tua 

lumutan ini ingin bergurau dengan 

diriku? Jadi kau berani menantangku? —

terdengar ancaman lagi. — Awas jangan 

menyesal nanti! —

Sementara itu Mahesa Wulung yang 

berdiri disamping Tawau, segera 

menggait lengan orang tua ini seraya 

berbisik. — Bapak, mengapa andika 

bersikap begitu? Bukankah suara itu 

hanya mencariku saja? —

— Biarpun begitu. — jawab Tawau 

kepada Mahesa Wulung. — Aku ingin 

melayaninya pula dan tuan lihat 

sajalah nanti. Jika bapak terpaksa 

kalah barulah tuan boleh turun tangan! 

Sebuah bayangan yang bergerak 

lincah tak ubahnya gerak seekor kera 

tahu-tahu telah meluncur dari balik


dedaunan, kemudian bergayut-gayut pada 

sebatang dahan pohon, kemudian 

meluncur keatas tanah dalam gaya yang 

manis dan ringan tampaknya seperti 

selembar kapas jatuh kebawah tanpa 

menimbulkan suara sedikitpun. 

Selanjutnya, begitu di tanah, bayangan

tadi terus saja mengumbar suara, 

memperdengarkan ketawanya — Hah, ha, 

ha, ha. Nah, tua keriput! Kini kita 

telah berhadapan muka. Sekarang mari

tunjukkan permainanmu dihadapan 

Bengara ini, dengan sepenuh tenagamu 

agar nanti tidak menyesal bila aku 

terpaksa meremukkan tubuhmu! —

— Bengara! — Bedebah! Jangan coba 

menakut nakutiku seperti dengan anak

kecil saja! Dulupun aku telah 

mengalahkanmu karena perbuatanmu yang 

suka merusak ketentraman kampung, dan 

sekarang kau muncul kembali untuk 

mengganggu tamuku! —

— Bah. Itu dulu, waktu yang telah 

lampau. Tetapi kini lain sama sekali. 

Bengara yang sekarang berdiri disini, 

bukanlah Bengara yang ingusan dulu, 

yang mudah kau lemparkan seperti 

segumpal batu belaka! Bengara sekarang 

adalah pendekar liar pilih tanding! 

Ayo cabutlah mandaumu itu Tawau! 

Sesudah kau binasa, selanjutnya akan 

menyusul yang lainnya satu demi satu! 


Wajah Tawau seketika merah 

membara mendengar kesombongan 

sipendekar Bengara. Maka tanpa 

memperpanjang waktu lagi, ia melolos 

mandaunya dan secepat kilat menebas 

kearah dada Bengara. — Wesss! —

Sungguhpun cepat dan tiba-tiba, 

bahkan tebasan mandau tadi hanya 

merupakan seleret sinar putih kemilau, 

anehnya cuma menebas udara kosong, 

sebab keburu tubuh Bengara terlebih 

dulu telah melenting keudara 

berjumpalitan, lalu bergayut pada 

seutas sulur rotan sambil terkekeh-

kekeh ketawa.

Agak kecewa bercampur heran situa 

Tawau bila tebasan mandaunya meleset 

begitu mudah. Cepat-cepat ia mengulang 

serangannya, secepat tubuh Bengara 

mendarat kembali diatas tanah.

— Hyaaat!! — Ujung mandau melibas 

kearah Bengara dengan kencang, 

tapi.....sreet! Bengara sekali lagi 

memperlihatkan kelincahannya. Ia 

merebahkan diri ketanah dengan 

punggungnya lebih dulu, dan ketika 

senjata mandau si tua Tawau terjulur 

diatas tubuhnya, kedua kaki Bengara 

beraksi dengan tendangan berganda 

keatas. — Taap! Plaaak! —

Sebuah jeritan kecil keluar dari 

mulut Tawau begitu kedua ujung kaki 

Bengara telah menghajar tangan


kanannya, Seketika senjata mandau tadi 

terpental lepas dari tangan Tawau.

Rasa terkejut Tawau belum habis 

ketika tiba-tiba pendekar liar Bengara 

itu bangkit dan kedua tangannya 

menyambar bahu lawannya. Situa Tawau 

lebih terkejut lagi. Tak mengira bila 

kedua bahunya kena dicengkeram oleh 

tangan Bengara.

— Haaaait! Mampus kau tua 

keriput! — teriak Bengara sekaligus 

menghempaskan tubuh Tawau kearah 

sebatang pohon besi.

Meskipun pertempuran ini hanya 

diterangi oleh dua onggok api unggun 

serta obor-obor ditangan orang-orang 

yang berdiri disitu namun Mahesa Wu-

lung dengan mudahnya mengikuti 

pertempuran tersebut, apa lagi ketika 

tubuh Tawau kena dilemparkan oleh 

Bengara, Mahesa Wulung cepat 

bertindak. Tubuhnya melesat mencegat 

tubuh Tawau yang meluncur bagai anak 

panah siap membentur sebatang kayu 

besi.

Dengan tangkapan serta sergapan 

tangan yang cepat, Mahesa Wulung 

menyambar tubuh Tawau yang. tengah 

meluncur tadi dengan arah memotong 

tenaga lontaran tersebut. Yang tampak 

kemudian adalah, dua tubuh yang 

meluncur diatas tanah dan kemudian 

keduanya mendarat di tanah.


— Uuh! — desis Bengara kaget 

melihat lawannya lolos dari maut, 

terlebih pula melihat pemuda yang 

telah menyelamatkan Tawau, sehingga 

situa ini lolos dari maut.

— Heee, bocah ingusan! Mengapa 

kau selamatkan situa keriput itu?! —

teriak Bengara kepada Mahesa Wulung.

— Itu urusanku! Kini akulah yang 

akan menghadapimu. Bersiaplah! — seru 

Mahesa Wulung sambil bersiaga.

— Bagus! Tapi sebut dulu namamu! 

— Akulah Mahesa Wulung yang kau 

cari! —

— Eeee, muncul juga kau, keparat. 

Kini giliranmu untuk mampus, 

sebagaimana kau menewaskan sahabatku 

si Monyong Iblis!! — terdengar Bengara 

berseru.

— Hah, jadi cecunguk itu adalah 

sahabatmu juga?! Sayang, dia telah 

binasa dan kiranya itulah jalan 

terbaik baginya, agar dosanya tidak 

bertambah banyak! —

— Hesss, ngoceh juga kau bocah 

ingusan. Terimalah ini. Haiiit! —

Tubuh Bengara melesat dan menerjang 

kearah Mahesa Wulung dengan kedua 

tangannya siap menerkam. Semua menahan 

napas dalam saat-saat yang tegang ini.

Tetapi ketegangan yang lain 

muncul, apabila Mahesa Wulung tidak 

menghindar ataupun menangkis serahgan


Bengara, malah justeru sebaliknya 

iapun melesat kearah Bengara dengan 

kedua belah tangan tergenggam 

mengepalkan tinjunya.

Tak dapat dikira bagaimana 

kagetnya pendekar liar Bengara ketika 

anak muda yang menjadi lawannya ini 

malah memapaki serangannya. Inilah 

yang aneh dan membuat hatinya 

tergetar!

Untuk menarik serangannya, sudah 

tak mungkin lagi, sebab jarak sudah 

begitu dekat sedang keduanya meluncur 

dengan kecepatan kilat. Maka 

terjadilah benturan dahsyat.

Mahesa Wulung yang melambari 

pukulannya dengan dasar-dasar 

permulaan Ilmu Pukulan Angin Bisu

seketika terguncang juga, tak berbeda 

dengan Bengara.

Keduanya tergetar surut dengan 

derasnya seperti ditolakkan oleh 

tenaga raksasa. Untunglah Mahesa 

Wulung masih bisa menjaga keseimbangan 

tubuhnya, hingga tubuhnya cuma 

sempoyongan saja. Sedang Bengara yang 

tak mengira bila dirinya akan mendapat 

benturan sehebat itu, terpaksa jungkir 

balik diatas tanah dengan peringisan 

disertai umpatan2 dari mulutnya.

Untunglah ia punya ketangguhan 

juga, sehingga setelah empat kali 

jungkir balik, ia melesat berdiri se-

perti sediakala. Sikapnya itu cuma


sekejap saja, sebab iapun segera 

melesat menyerang kembali kearah Ma-

hesa Wulung lebih garang. Namun sekali 

lagi Mahesa Wulung mengelak. Sekali 

ini, sipendekar muda melesat keatas 

dan tahu-tahu telah bertengger diatas 

sebuah dahan pohon. Bengarapun tak mau 

ketinggalan. Iapun melesat kearah 

Mahesa Wulung berada.

— Braak! — kaki Bengara membentur 

dahan kayu tempat Mahesa Wulung 

berdiri hingga dahan tersebut patah 

dan runtuh ketanah, sementara Mahesa 

Wulung secara lincah telah bergantung 

pada dahan diatasnya.

— Keparat! Jangan kira mundur 

sampai disini saja! — teriak Bengara 

seraya kedua tangannya bergantian 

berpegang pada dahan2 pohon dan sulur-

suluran. Tubuhnya bergayutan meluncur 

keatas mengejar ketempat Mahesa Wulung 

berada.

Hanya saja pendekar muda yang 

telah banyak makan asam garam 

pertempuran tersebut telah bersiaga 

sepenuhnya. Begitu tubuh Bengara 

meluncur ke tempatnya, Mahesa Wulung 

segera melenting kebawah dengan 

tangannya bergayut pada sulur pohon 

lalu menyongsongnya. Kedua bayangan 

manusia ini berkelebat songsong-

menyongsong dan sesaat kemudian 

terdengarlah satu jeritan nyaring dari 

mulut Bengara, apabila kedua ujung


kaki Mahesa Wulung telah bersarang 

kedadanya. — Heeekkk! —

Bengara terbeliak matanya 

dibarengi rasa sesak pada dadanya. 

Maka sesaat ia oleng dan terpelanting 

kebawah. Semua penonton dibawali 

terpekik puas menyaksikan pendekar 

liar ini kena terhajar oleh Mahesa 

Wulung. Benarkah Bengara mati disini?

Ternyata mereka jadi kecewa, tapi 

juga kagum. Bengara ditengah udara 

memutar tubuhnya dan melenting kembali 

kearah lawannya dalam gerak yang tak 

terduga dan tahu-tahu ia telah 

menyergap bahu Mahesa Wulung.

Pandan Arum menjerit lirih 

melihat kekasihnya terkena ringkus 

lawannya dan apa yang dilihatnya 

kemudian sungguh mengejutkan hatinya. 

Seperti halnya Tawau semula, Mahesa 

Wulung dengan sebatnya dilemparkan 

kearah batang pohon oleh sipendekar 

liar Bengara. Dan untuk kesekian 

kalinya pula Mahesa Wulung 

mempertunjukkan ilmunya, sehingga 

ditengah lontarannya ia memutar 

tubuhnya berjumpalitan diudara. Dengan 

begitu ia mengerahkan ilmu meringankan 

tubuh.

— Taaappp! — Kedua kaki Mahesa 

Wulung seolah2 melekat pada kulit 

batang pohon dan tubuhnya terpancang 

lurus disitu.


— Kurangajar! — desis Bengara. —

Cukup tangguh anak muda ini. Tapi 

belum tentu ia kuat menghadapi 

keroyokan para pengawalku ini. Pasti 

tubuhnya akan disobek-sobek oleh orang 

utan-orang utanku, sapi sayang sekali 

waktu tak mengijinkan lebih lama 

disini. Juga senjataku aku belum 

sempat menggunakannya! Baiknya aku 

cepat2 meninggalkan tempat ini! —

Bengara melesat kesamping sambil 

bersuit keras dan seketika tubuhnya 

lenyap dibalik dedaunan diikuti oleh 

kesebelas bayangan hitam yang tidak 

lain ialah orang utan-orang utan.

Secepat tiba dibalik dedaunan, 

sesosok bayangan manusia telah 

menunggu kedatangan sipendekar liar 

Bengara.

— Mata Siji! Ceriteramu memang 

benar. Sianak muda bernama Mahesa 

Wulung itu memang hebat. Sa-angnya 

waktu kita tak banyak lagi dan kita 

harus cepat2 meninggalkan tempat ini! 

— ujar Bengara pada si Mata Siji —

Fajar hampir tiba. —

— Baik pak! Marilah kita 

rencanakan siasat lain! — kata si Mata 

siji atau yang dahulu bernama Jerawala 

itu. Ketiga belas sosok tubuh itu 

sebentar saja lenyap kearah barat.

Kini daerah perkemahan sunyi 

kembali. Sekali terdengar bisik-bisik 

halus mempercakapkan pertempuran yang


baru lewat itu. Situa Tawau dan orange 

orangnya tak habis habisnya mengagumi 

keperkasaan Mahesa Wulung yang menjadi 

tamunya dan mereka hampir tak percaya 

bila pendekar muda tadi dapat 

menandingi si pendekar liar Bengara.

Hanya saja pendekar muda yang 

telah banyak makan asam garam 

pertempuran tersebut telah bersiaga 

sepenuhnya. Begitu tubuh Bengara 

meluncur ke tempatnya, Mahesa Wulung 

segera melenting ke bawah.....


—Luar Biasa! — Tamu kita itu 

dapat menandingi si liar Bengara. —

terdengar suara berbisik dari mulut 

seorang anak buah Tawau kepada teman 

disebelahnya.

— Memang hebat. Dengan beraninya 

ia bertempur menghadapi Bengara 

seorang diri dan aku lalu ingat dengan 

seorang pendekar kita yang menjaga 

kampung pada saat ini.

— Hmmm, ya, ya. Bukankah yang kau 

maksud tadi adalah Seguntur? — suara 

lain terdengar menyambung. — Diapun 

perkasa dan berani. Tapi kau tahu 

bukan, kalau ia tak mampu menghadapi 

Bengara? —

Kokok ayam hutan sayup-sayup 

terdengar dari arah utara terbawa oleh 

angin subuh ketelinga orang2 disitu. 

Situa Tawau tampak mempersilakan para 

tamunya untuk beristirahat kembali 

sampai sang mata hari terbit dan 

bersinardi langit timur.



TIGA



PELAHAN-LAHAN, sinar fajar 

merekah dilangit timur dengan diiringi 

kokok ayam hutan serta kicau-kicau 

burung yang mulai beramai-ramai 

bersahutan.

Perkemahan ditengah hutan itu 

telah dibongkar sedang rombongan


manusia itu tampak bergegas 

meninggalkan tempat tersebut. Begitu 

rapatnya dedaunan pohon-pohon hingga 

sinar matahari cuma kuasa menembuskan 

berkas-berkas sinarnya saja.

Sekarang tampaklah pemandangan 

yang jelas. Di waktu tempat kemah 

ditumbuhi oleh pohon-pohon pakis dan 

pisang hutan yang berdaun hijau 

kemetahan berselang-seling dengan 

rumput ilalang. Bau anggrek hutan 

tersebar semerbak oleh hawa pagi 

menambah segarnya suasana.

Rombongan yang terdiri dari Tawau 

beserta anak buahnya dan Mahesa Wulung 

dengan para awak kapal Barong Makara, 

meneruskan perjalanannya ke arah 

utara.

Kembali mereka menerobos hutan 

belantara ini. Bagi Mahesa Wulung, 

Pandan Arum, Daeng Matoa dan para awak 

kapal Barong Makara, perjaianan ini 

banyak menambah pengalaman mereka. 

Pengetahuan tentang tetumbuhan, 

binatang2 dan cara bagaimana 

seharusnya, menerobos hutan belantara 

dahsyat ini serta menguasainya.

Kebanyakan hutan2 yang pernah 

mereka jumpai tidak sedahsyat dipulau 

Borneo ini, sehingga mereka tak 

henti2nya mengagumi alam yang 

terhampar disini.

Terutama bagi Mahesa Wulung 

sendiri, pengalaman tadi malam sungguh


merupakan pengalaman terdahsyat. 

Betapa tidak, bertempur melawan 

seorang pendekar yang bernama Bengara 

itu, sebenarnya suatu hal yang luar 

biasa, sebab ia melihat sendiri, 

bagaimana situa Tawau kena diringkus 

dan dilemparkan begitu mudah oleh 

Bengara.

Terhadap Bengara, Mahesa Wulung 

menaruh kekaguman yang kelewat banyak, 

lebih-lebih bila ia mengingat cara 

Bengara bergerak dan bertempur yang

diselang-seling oleh loncatan dari 

satu dahan pohon ke dahan yang lain 

benar2 mirip gerakan seekor kera.

Lincah, tangkas dan berbahaya!

Tetapi yang lebih heran lagi, 

Mahesa Wulung tak habis mengerti, 

bagaimana Bengara ini dapat mengetahui 

bila Monyong Iblis telah binasa dan 

bagaiaman ia tahu kalau Mahesa Wulung 

berada di tempat ini. Hal itulah yang 

membuat Mahesa Wulung selalu bertanya-

tanya didalam hati, dan ia mulai 

menduga kalau ada seseorang yang 

memberi tahu kepada Bengara. Tetapi 

siapakah orang ini. Mahesa Wulung tak 

tahu.

Jika Bengara ini tahu dengan 

sendiri, itu tak mungkin, karena 

selama pertempuran digeladak Kapal 

Hantu ia tdk melihat adanya sipendekar 

liar Bengara tadi. Juga dari jagayuda 

yang bertempur dipantai melawan orang


orang Kapal Hantu, ia tak menerima 

laporan adanya si liar Bengara. Dengan 

begitu dapatlah dipastikan bahwa 

disaat terjadinya pertempuran itu, 

Bengara tidak berada ditempat tersebut 

dan ia hanya bisa tahu kalau seorang 

telah berceritera kepadanya!

Dengan sambil berpikir-pikir 

begitu. Mahesa Wulung tak merasa bahwa 

perjalanan mereka telah cukup jauh.

Mereka lalu tiba ditempat yang 

berhutan semakin jarang dan diutara 

membayanglah pegunungan biru berkilat 

tertimpa curahan sinar matahari. 

Mereka tidak lagi menjumpai aliran 

sungai Sampit yang deras, melainkan 

sebuah mata air yang meluap2 dengan 

jernihnya dan mengalir kearah selatan.

— Tuan Mahesa Wulung. Nah, 

lihatlah pada gerombolan pohon-pohon 

besi disebelah tebing itu — ujar situa 

Tawau — Disitulah kampung kami berada. 

— Syukurlah kalau sudah tiba, 

bapak. Aku lihat orang orangku telah 

lelah semua. — Mahesa Wulung berkata 

lega.

— Tak apalah tuan. Kami punya 

obat-obat penghilang rasa lelah dan 

tunggulah nanti hidangan2 kami yang 

disiapkan untuk tuan-tuan sekalian. —

— Terima kasih bapak. — ujar 

Mahesa Wulung. — Maklumlah mereka 

kurang terbiasa berjalan sejauh ini


dan lagi sebenarnya mereka masih lelah 

setelah bertempur menumpas anak buah 

Kapal Hantu dan Monyong Iblis. 

Rombongan semakin dekat dengan 

arah kampung yang ditunjuk oleh situa 

Tawau. Para anak buah Mahesa Wulung 

juga merasa lega setelah mendengar hal 

itu dari orang-orang pengikut Tawau. 

Kini, kampung tadi semakin dekat dan 

tampaklah pemandangan disana dengan 

jelasnya.

Rumah-rumah panjang berpanggung, 

berdiri diatas tonggak-tonggak kayu, 

pohon-pohon besi yang memagarinya 

serta tebing batu seperti perisai

kesemuanya semakin jelas terlihat. Dan 

juga kesibukan orang-orang yang 

bergerombol menyambut kedatangan 

rombongan ini juga terlihat pula.

Sekejap saja telah terdengar 

suara riuh dan gaduh ketika rombongan 

tersebut memasuki daerah perkampungan. 

Orang-orang mengerumuni rombongan yang 

baru masuk tadi, sehingga si Tawau 

berkali-kali menyuruh para penyambut 

tadi supaya minggir ketepi, untuk 

memberi jalan kepada rombongan yang 

berjalan menuju kesebuah rumah 

terbesar.

Akhirnya situa Tawau mengacungkan 

tangannya kesamping dan berhentilah 

rombongan tadi dihalaman rumah yang 

terbesar. Seorang pemuda perkasa yang


berdiri disitu segera menghadap 

kedepan Tawau serta mengangguk hormat.

— Terimalah hormatku dan kami 

mengucapkan selamat datang kehadapan 

Tawau yang mulia — ujar pemuda tadi 

dengan hormatnya.

— Terima kasih Seguntur — balas 

situa Tawau dengan tersenyum. —

Bagaimana keadaan kampung selama aku 

pergi kepantai selatan? —

— Seperti kehendakmu, O Tawau. 

Semuanya selamat, tak ada kesulitan 

apapun juga! — demikian kata sipemuda 

perkasa yang bernama Seguntur dengan 

nada mantap.

— Nah begitulah harapanku 

Seguntur. Tak keliru lagi jika aku 

memilihmu sebagai pendekar utama dari 

kampung ini.! —

Oleh pujian situa Tawau, Seguntur 

tersenyum lebar seraya mengangkat 

mukanya disertai dadanya yang setengah 

membusung bangga, sementara matanya

melirik kearah gadis manis yang 

berdiri diantara gerombolan orang-

orang.

Situa Tawau kemudian berpaling 

menghadap kearah orang2 kampung yang 

tengah riuh. Melihat kepala kampungnya 

menatap kearahnya, mereka seketika 

meredakan keriuhannya, hingga suasana 

sebentar saja telah hening.

— Saudara-saudara sekalian —

berkata situa Tawau dengan suara haru.


— Setelah aku berjalan kearah selatan 

dan tiba diteluk Sampit, kami dapat 

bertemu dengan pendekar-pendekar 

seberang yang telah menghancurkan 

Kapal Hantu dan sekarang ia telah 

berdiri dihadapan kalian. —

Situa Tawau berhenti sejenak, 

sedang orang-orang mulai berbisik-

bisik untuk mempercakapkan para 

tamunya dan kemudian Tawau berkata 

kembali. — Sekarang aku perkenalkan 

kepada kalian! Nah, lihatlah yang 

berada disebelahku ini. Yang paling 

kanan adalah Mahesa Wulung, dan 

disampingnya adalah Daeng Matoa. 

Sedang yang berdiri paling kiri adalah 

Pandan Arum. Dibelakang mereka adalah 

enam orang perajurit mereka yang gagah 

berani. —

Orang-orang kampung riuh sejenak 

dan tiba2 seorang gadis yang berwajah 

manis dan ramah maju kedepan dan 

menghadap situa Tawau! 

— Bapak Tawau, kami mengagumi 

keberanian mereka dan perkenankanlah 

saya mengalungkan kalung ini. —

— Silakan Sandai, Sudah 

sepantasnya bila kita memberi tanda 

keberanian kepada mereka. — berkata 

situa Tawau dengan wajah cerah dan 

tersenyum.

Gadis manis yang bernama Sandai 

ini pelahan-lahan dengan langkah 

gontai maju kedepan Mahesa Wulung dan


kemudian mengalungkan sebuah kalung 

berhiaskan enam buah kuku beruang 

keleher Mahesa Wulung.

Semua wajah tampak ikut gembira 

kecuali pendekar Seguntur yang menatap 

tajam kearah sigadis yang tengah 

mengalungkan kalung tersebut kepada 

Mahesa Wulung.

Walaupun sekilas, mata Mahesa 

Wulung sempat pula melirik kearah 

pendekar Seguntur yang menampakkan 

wajah masam kearah gadis Sandai.

Oleh hal itu terpaksalah hati 

Mahesa Wulung tergetar seperti 

disentuh oleh bisikan. Bisikan yang 

mengatakan adanya bahaya yang bakal 

timbul karena peristiwa ini.

Sesudah kalung tersebut 

terpasang, Sandai masih belum beranjak 

pergi dari hadapan Mahesa Wulung, 

seolah-olah ia masih mengagumi wajah 

tampan Mahesa Wulung.

Dada Mahesa Wulung, semakin 

berdebar-debar. Ia berkali-kali 

menatap wajah gadis didepannya dan 

kemudian berpindah kewajah pendekar 

Seguntur. Benar-benar membingungkan 

hatinya. Yang satu menampakkan wajah 

tersenyum cerah sedang yang kedua 

memperlihatkan wajah masam dan 

cemberut.

Butir-butir keringat dingin 

mengalir dari dahi dan mengalir


kewajah serta leher Mahesa Wulung yang 

masih membisu.

— Oohh, gerangan apakah lelakon 

yang bakal kami temui disini? —

berpikir Mahesa Wulung.

Diam-diam ia mengutuk didalam 

hati,mengapa gadis ini tidak lekas-

lekas berlalu dari hadapannya dan 

apabila Mahesa Wulung kembali menatap 

kewajah Seguntur, ia lebih terhenyak 

lagi. Sekarang, pandangan tajam 

bernada marah itu tidak saja 

dilontarkan Seguntur kepada Sandai, 

sigadis manis yang berdiri dihadapan 

Mahesa Wulung itu. Tetapi juga 

dilontarkan kepada Mahesa Wulung juga! 

Karena hal itu, Mahesa Wulung 

segera dapat merasakan adanya bahaya 

yang mulai timbul. Pandangan tajam 

pendekar Seguntur yang tajam tadipun 

sangat mengejutkan hatinya, bahkan 

sekilas saja ia telah bisa menduga dan 

berkesimpulan bahwa Seguntur telah 

menaruh hati kepada Sandai. Inilah 

agaknya sebab utamanya.

Untunglah, disaat Mahesa Wulung 

tengah bergolak hatinya itu, sikepala 

kampung telah menyapa gadis itu. 

— Sandai, kau juga 

harus berkenalan dengan kedua 

pendekar lainnya. —

— Ahh, betul bapak. Ehhh........ 

— ujar Sandai tergagap-gagap seperti


orang kebingungan yang terbangun dari 

mimpi. Namun gadis ini cepat-cepat 

menguasai perasaannya, dan segera ia 

memperkenal kan diri kepada Daeng 

Matoa dan Pandan Arum.

Kini Mahesa Wulung dapat

mengumbar nafas leganya. Peristiwa 

yang menegangkan dada tersebut telah 

lewat dan berlalu bagai angin bertiup.

Sandai, sigadis manis dari 

kampung Lembah Sampit telah kembali 

dan berdiri bersama penduduk kampung 

lainnya, sementara situa Tawau 

memanggil pendekar Seguntur untuk 

diperkenalkan kepada para tamunya.

Seguntur maju kedepan dan mula-

mula memperkenalkan diri pada Daeng 

Matoa dan Pandan Arum. Sesudah itu ia 

melangkah kesamping dengan langkah 

berat dan tibalah Seguntur dihadapan 

Mahesa Wulung. Keduanya berpandangan 

sesaat.

Tiba-tiba pendekar Seguntur 

tersenyum lebar kepada Mahesa Wulung 

dan mengulurkan tangannya untuk 

bersalaman. Karena itu, Mahesa 

Wulungpun cepat-cepat menyambutnya 

diiringi oleh senyum dibibirnya.

Namun Mahesa Wulung terkejut 

dengan segera apabila senyum ramah 

pendekar Seguntur ini secara pelan 

pelan berubah. Kedua sudut bibirnya 

menurun dan melengkung kebawah, 

sehingga senyum tadi kini berubah


sebagai senyum cemooh yang 

merendahkan. Bahkan tidak itu saja, 

juga sinar mata Seguntur menatap tajam 

kepada Mahesa Wulung, seperti sebuah 

mata pedang yang tengah menghujam.

Dada Mahesa Wulung berdebar 

kembali seperti semula dan terasa 

bahwa jari jemari Seguntur yang 

menggenggam tangannya bertambah erat 

dan rapat, seakan-akan sebuah kunci 

yang menjepit dengan keras. Senyuman 

Mahesa Wulung pun lenyap seketika dan 

kini malah Mahesa Wulung meringis, 

menahan rasa sakit yang terpancar dari 

jari-jari tangannya yang tengah 

diremas oleh jari jari pendekar 

Seguntur.

Hampir-hampir ia menjerit, kalau 

tidak mengingat berada dihadapan orang 

banyak. Betapa malunya nanti jika hal 

ini terjadi, sebab namanya dan juga 

nama teman2nya akan runtuh apabila ia 

menjerit hanya disebabkan tangannya 

digenggam oleh tangan Seguntur.

Maka sadarlah ia, bahwa pendekar 

perkasa dari Lembah Sampit ini tengah 

mencoba dirinya! Sungguh suatu 

pertunjukan yang berbahaya. Suatu 

permainan yang terjadi tanpa setahu 

siapapun!

Akan tetapi Mahesa Wulung tidak 

mau terlampau lama dipermainkan begitu 

oleh pendekar yang baru dikenalnya 

ini. Satu-satunya jalan, sebelum jari


jari tangannya remuk, ia harus pula 

melawan!

Karena itu Mahesa Wulung segera 

pula mengerahkan tenaganya. Perlahan-

lahan segenap ilmu simpanannya 

tersalur kesegenap jari jari tangan 

kanannya dan apa yang terjadi kemudian 

cukuplah mengejutkan hati pendekar 

Seguntur.

Kalau bermula dialah yang meremas 

jari-jari Ma hesa Wulung, sekarang 

terjadilah sebaliknya. Sedikit demi 

sedikit terasa olehnya bahwa jari-jari 

tangan yang tengah digenggamnya itu 

semakin mengeras dan bertambah keras, 

sehingga jari-jari tangannya tak kuasa 

lagi meremasnya!

Giliran bagi Seguntur untuk

mengucurkan keringat dinginnya demi 

jari jemari Mahesa Wulung kini ganti 

beraksi, mengunci dan meremas bagaikan 

terbikin dari baja. Rasa sakit yang 

hebat terjadi. Seguntur seketika 

terbeliak dan meringis dan sesaat 

kemudian iapun menjerit seru, setelah 

rasa sakit tadi menjalar sampai 

keujung kaki dan ujung kepala.

— Aaaaakhhh! — Seguntur 

menjerit.

— Lho, mengapa anda berteriak?! —

ujar Mahesa Wulung seraya mengendorkan 

jepitan jari-jarinya, sehngga Seguntur 

terdiam kembali, Keduanya masih saling 

berjabatan.


— A ,aah..."... tak apa-apa. Aku 

berteriak karena saking gembira dapat 

bertemu dan berkenalan dengan anda! —

jawab pendekar Seguntur.

— Akupun merasa senang dapat 

berkenalan dengan anda. — ujar Mahesa 

Wulung pula. — Sungguh-sungguh anda 

seorang pendekar tangguh dari Lembah 

Sampit! —

Oleh perkataan tamunya tadi, 

pendekar Seguntur menggeram lirih, 

sebab dirasanya kata-kata tadi seperti 

sindiran yang halus. Bukankah dirinya 

telah kalah tenaga dalam mengadu 

kekuatan jari-jarinya melawan Mahesa 

Wulung?

Serasa ingin melayangkan tinjunya 

kemulut Mahesa Wulung, jika saja ia 

tak kuasa menahan nafsu amarahnya yang 

mendesak-desak didada. Tetapi Seguntur 

bukanlah anak kecil lagi. Dengan 

menarik napas panjang, Seguntur telah 

berhasil melenyapkan amarahnya, 

meskipun mungkin hanya untuk sementara 

waktu saja, sebab siapa tahu suatu 

ketika bakal meledak keluar!

Sesaat kemudian Mahesa Wulung 

melepaskan genggaman jari-jarinya, 

begitu juga dengan Seguntur. Pendekar 

Lembah Sampit ini cepat-cepat 

membalikkan diri serta melangkah 

kearah tempatnya semula, sedang kedua 

matanya masih juga melirik tajam


kepada Mahesa Wulung, meskipun cuma 

sekejap saja.

Kemudian pendekar Seguntur 

ini berpikir pikir tentang diri 

Mahesa Wulung yang baru saja berhasil 

mengalahkan remasan jari-jarinya. Hal 

ini rasanya seperti suatu peringatan 

bahwa ia harus lebih tekun berlatih 

memperdalam ilmunya.

Untunglah bahwa orang-orang 

ditempat itu tidak mengerti tentang 

"adu tenaga" secara diam-diam itu.

Jika seandainya mereka tahu, pastilah 

Seguntur pasti mendapat malu seketika 

itu juga.

— Hmmm, memang aku akui kehebaian 

pendekar Mahesa Wulung itu! — berkata 

Seguntur dalam hatinya — Dan dia pula 

agaknya menaruh hati kepada Sandai, 

gadis manis yang selalu menjadi pujaan 

hati ku selama ini. Ah tapi benarkah 

hal itu? Mungkinkah seseorang jatuh 

cinta dalam waktu yang sekejap mata 

saja? Dan jika seandainya benar, 

berarti lenyaplah harapan hidupku yang 

selama ini telah kucurahkan kepada 

Sandai. Akan tetapi bisa juga dugaanku 

tersebut meleset, Mungkin yang terjadi 

adalah kebalikannya, bahwa Sandailah 

yang lebih dulu tertambat hatinya 

kepada pendekar Mahesa Wulung itu?

Yah, inilah kemungkinan yang lebih 

kuat! Bukankah Sandai terpaku beberapa 

saat setelah ia mengalungkan kalung


kuku beruang tadi kepada sipendekar? 

Persetan! Aku tak perduli alasan apaun 

yang bakal memisahkan harapanku 

kepadanya. Sandai harus menjadi 

milikku!

Tentang pendekar Mahesa Wulung 

itu, biarlah ia bertamu disini, selama 

situa Tawau menghendakinya. Aku tak 

akan mengusiknya, dan semoga tidak ada 

persoalan antara Sandai dan pendekar 

itu. Hmm, mudah-mudahan begitulah, 

agar aku tak sampai membuat 

perhitungan dengan dia! Sekali 

perhitungan terjadi berarti maut akan 

berpesta dilembah Sampit! —

Pendekar Seguntur segera 

meninggalkan tempat yang masih 

dikerumuni oleh orang-orang kampung 

karena pikirannya masih ruwet. Ia 

melangkah perlahan-lahan kearah barat 

menuju keatas. Beberapa kali ia dan 

menaiki tangga, menuju keatas. 

Beberapa kali ia memandang kebawah 

kearah orang orang kampung tadi 

bergerombol, lalu iapun masuk kedalam 

dan membaringkan diri ke lantai.

Dalam pada itu situa Tawau telah 

selesai memperkenalkan para tamu 

kepada orang orang kampung. Ia merasa 

gembira bahwa para penduduk ini 

menyambut baik mereka, sebagaimana 

tampak pada saat perkenalan tadi. 

Pertanyaan-pertanyaan serta saling


memperkenalkan nama ataupun tawa 

senyum terlihat disana-sini.

— Tuan Mahesa wulung — kata situa 

Tawau — Sekarang saat berkenalan telah 

lewat. Marilah aku tunjukkan tempat 

dimana anda sekalian akan bermalam dan 

bertempat tinggal selama menjadi tamu 

kami dikampung Lembah Sampit ini.—

— Terima kasih bapak! — Mahesa 

Wulung berka ta seraya melangkah dan 

berjalan disamping situa Tawau diikuti 

oleh Pandan Arum, Daeng Matoa dan 

keenam anak buahnya. 

— Saya harap andika menganggap 

tempai ini seperti tempat anda sendiri 

dan katakanlah kepada bapak jika ada 

kesulitan atau kebutuhan-kebutuhan

yang andika perlukan. —

— Baik!, Bapak. — ujar Mahesa 

Wulung pula — Tempat ini sangat indah 

dan tenteram. Pasti teman-teman senang 

dan kerasan tinggal disini. —

— Syukurlah kalau begitu, tuan. —

Situa Tawau berkata, sementara mereka 

telah tiba disebelah timur kampung itu 

dan berhenti didepan sebuah rumah 

bertangga. — Nah, inilah tempat andika 

sekalian untuk tidur dan berdiam 

dikampung ini. —

Kemudian situa Tawau naik keatas 

bersama para tamunya dan menunjukkan 

kepada mereka kamar-kamar serta segala 

seluk beluk dari rumah ini yang 

tentunya masih agak asing bagi mereka.


Beberapa saat kemudian, sesudah 

situa Tawau menerangkan kepada mereka 

serta menjawab pertanyaan-pertanyaan 

mereka, iapun lalu turun kebawah 

meninggalkan para tetamunya untuk 

beristirahat setelah menempuh 

perjalanan yang sekian jauhnya itu.

Diluar, matahari siang sangat 

panasnya seakan-akan membakar kulit 

bumi dengan ujung2 sinarnya. Udarapun 

seperti ikut terbakar pula. Namun 

udara di Lembah Sampit tidaklah 

sepanas dengan udara ditepi pantai 

seperti diteluk Sampit disebelah 

selatan sana.

Udara dingin disini setelah 

mendapat sinar panas sang matahari 

berubah menjadi nyaman dan segar, 

terasa sampai kelubang-lubang kulit, 

Kampung di Lembah Sampit tampak tenang 

dan tenteram, lebih-lebih setelah 

hancurnya Kapal Hantu dan Monyong 

Iblis.

****

Mahesa Wulung dan anak buahnya 

telah beberapa hari tinggal dikampung 

Lembah Sampit sejak mereka tinggal 

disini sebagai tamu dari Situa Tawau, 

seringlah mereka bertukar pikiran 

dengan situa kepala kampung serta para 

penduduk, terutama yang tua-tua.


Oleh Mahesa Wulung, diceriterakan 

tentang keadaan tanah Jawa serta segi 

penghidupan penduduknya. Pendekar muda 

ini berceritera kepada mereka cara-

cara orang bertani, bersawah, menanam 

padi dan lain-lainnya. Juga tentang 

berlayar dan macam-macam perahu, 

Mahesa Wulung dapat berceritera lebih 

banyak lagi.

Demikian pula orang-orang tua 

kampung Lembah Sampit inipun bercerita 

tentang alam rimba Borneo, 

penduduknya, macam-macam bintang, 

tumbuh-tumbuhan dan cara menghadapi 

serta hidup didalam rimba raya ini. 

Semua itu didengar serta diingatnya 

betul-betul oleh Mahesa Wulung.

Begitulah, maka sejak saat itu 

Mahesa Wulung, Pandan Arum, Daeng 

Matoa dan keenam anak buahnya tidak 

bergaul dengan orang-orang penduduk 

kampung Lembah Sampit. Kebanyakan 

mereka bersikap sangat hormat sehingga 

Mahesa Wulung dan orang-orangnya 

menjadi sangat canggung karenanya. 

Bagaimanapun juga, hal itu tak dapat 

disalahkan, karena mereka telah merasa 

berhutang budi. Bukankah mereka telah 

terlepas dari ancaman dan keganasan 

anak buah Kapal Hantu? Dan oleh 

karenanya mereka merasa sudah 

sepatutnya kalau berlaku hormat dan 

ramah terhadap Mahesa Wulung serta 

teman-temannya.

Yah, semuanya bersikap ramah, 

kecuali seorang saja yang kadang-

kadang memperlihatkan sikap acuh tak 

acuh ataupun tak bersahabat. Orang itu 

tidak lain adalah pendekar Seguntur, 

pendekar utama dari laskar kampung 

Lembah Sampit

Oleh karena sikap Seguntur yang 

demikian tadi, Mahesa Wulung menjadi 

lebih hati-hati lagi dalam menjaga 

sikap dirinya.

Pada suatu siang, ketika matahari 

bersinar dengan teriknya, Mahesa 

Wulung telah berjalan kearah utara 

kampung seorang diri menuju kesebuah 

mata air. Sampai disana, segera ia 

membasuh kepala, leher dan dadanya 

dengan air yang jernih dan sejuk, 

sehingga badannya terasa segar.

Sesudah itu, ia tidak lekas-lekas 

kembali melainkan duduk diatas sebuah 

batu besar ditepi mata air itu sambil 

menikmati pemandangan disebelah utara 

yang terdiri dari daerah pegunungan 

dan hutan-hutan kecil.

Bila saja matanya menatap 

pemandangan itu, Mahesa Wulung tiba-

tiba teringat kepada gurunya, 

Panembahan Tanah Putih dari Asemarang. 

Bukit-bukit dan tebing-tebing yang 

berlekuk-lekuk mengingatkan akan 

pemandangan yang hampir sama ditanah 

pegunungan Tanah Putih. Karenanya, 

pikiran Mahesa Wulung lalu ikut


menerawang, mengenang segala peristiwa 

yang telah lalu.

Sekonyong-konyong Mahesa Wulung 

terkejut oleh suara kecopak air yang 

keras dengan air bertampiasan kemana-

mana. Keruan saja Mahesa Wulung kaget 

setengah mati. Terlebih lagi bahwa 

suara derai ketawa lirih telah 

terdengar pula dari arah belakangnya. 

Maka cepat-cepat ia menoleh kebelakang 

dan apa yang dilihatnya kemudian 

membuat hatinya tergetar.

— Sandai! Kau........? — desis 

Mahesa Wulung.

— Maaf, tuan. Aku telah 

mengejutkanmu. — ujar si gadis manis 

Sandai dengan senyumnya yang manja 

memikat — Aku lihat tadi tuan tengah 

melamun, lalu aku lemparkan batu keair 

ini.—

Sigadis Sandai berjalan dengan 

lemah gemulai seraya mengepit sebuah 

labu tempat air dipinggangnya. Ia 

menuju ketepi mata air dan berjongkok

mengisi tempat airnya, sambil 

melemparkan lirikan matanya kepada 

Mahesa Wulung, — Tuan marah kepada 

Sandai? —

— Ah tidak. —ujar Mahesa Wulung 

singkat. Sandai lalu berdiri kembali 

setelah tempat airnya berisi penuh. 

Namun ia tidak lekas-lekas berlalu. 

Gadis manis ini mengenakan kain 

panjang sampai kedadanya berwarna


biru, sedang selembar kain pita merah 

melilit pada dahinya, terikat sampai 

kebelakang ke palanya yang bersanggul. 

Kemudian ia manatap kearah Mahesa 

Wulung yang masih saja duduk diatas 

batu hitam tersebut.

— Engkau selalu mengambil air 

kemari? — bertanya Mahesa Wulung 

kepada Sandai.

— Benar tuan. — Sandai menjawab 

dan mengangguk pelan. — Memang orang-

orang kampung biasa mengambil air 

kemari. — Eh, senangkah tuan tinggal 

dikampung Lembah Sampit ini? —

— Tentu, Sandai. Aku merasa 

senang tinggal di kampung ini, tetapi 

sayang aku tidak bisa terlalu lama 

berdiam disini. —

— Mengapa tuan? — Sandai 

bertanya, sementara iapun duduk di 

atas batu hitam tak jauh dari Mahesa 

Wulung berada. — Adakah sesuatu yang 

merisaukan hati? —

— Benar, Sandai. Kawan-kawanku 

lainnya masih berada dipantai teluk 

Sampit menunggu aku kembali dan jika 

kami terlalu lama tinggal disini pasti 

mereka akan menjadi gelisah karenanya.

— Oh, tapi tuan tidak bisa

meninggalkan kami sebelum menghadiri 

pesta kampung Lembah Sampit ini. —


— Pesta? Apakah yang akan 

dirayakan disini? — Mahesa Wulung 

bertanya kaget.

— Pesta kebebasan kampung kami 

dari ancaman dan gangguan orang-orang 

Kapal Hantu. Dan agaknya bapak tua 

Tawau akan mengangkat tuan sebagai 

pendekar utama, sehingga dikampung ini 

akan segera mempunyai dua orang 

pendekar utama, Yaitu tuan Mahesa 

Wulung dan pendekar Seguntur. —

Hati Mahesa Wulung berdetak keras 

mendengar penuturan Sandai bahwa 

dirinya akan diangkat sebagai pendekar 

utama Lembah Sampit. Bukankah ini 

dapat menimbulkan hal-hal yang 

berbahaya bagi dirinya dan keselamatan 

anak buahnya? Ia masih jelas bagaimana 

sikap pendekar Seguntur kepadanya, 

disaat Sandai mengalungkan kalung kuku 

beruang sebagai lambang keberanian. 

Dan sekarang, apakah jadinya bila ia 

diangkat sebagai pendekar utama, 

sejajar dengan kedudukan pendekar 

Seguntur ini? Bukankah ini dapat 

menimbulkan sengketa dengan Seguntur 

sendiri?

Selagi Mahesa Wulung merisaukan 

pikirannya itu, mendadak Sandai tampak 

menengok kekiri kanan mengarahkan 

telinganya kearah sumber suatu 

gemerisik yang didengarnya dari arah 

barat.


Dan selanjutnya tiba-tiba gadis 

manis itu meletakkan tempat airnya 

seraya bersiaga, seolah-olah ia

melihat adanya musuh. Bersamaan dengan 

suara mendesing, Sandai meloncat, 

menubruk lalu memeluk tubuh Mahesa 

Wulung hingga keduanya rebah bersama-

sama keatas tanah, disusul oleh bunyi 

benda menancap dengan nyaring 

— Tass! —

Sesaat Mahesa Wulung terkejut dan 

ia kebingungan karena dipeluk 

sedemikian ketatnya oleh gadis manis 

ini, sampai ia dapat merasa detak 

jantung Sandai serta tubuhnya yang 

gemetar.

— Sandai, kau tak apa-apa? —

bisik Mahesa Wulung.

— Tak apa apa tuan. Ah, hampir 

saja tuan dicelakai. Nah, lihatlah 

permukaan batu disamping kita itu. —

— Anak sumpitan! — desis Mahesa 

Wulung kaget ketika ia menatap 

kepermukaan batu yang ditunjuk oleh 

Sandai. Disitu tampaklah sebuah logam 

runcing seperti jarum dengan 

pangkalnya berumbai semacam serabut 

atau bulu berwarna merah.

— Ya, anak sumpitan yang beracun! 

Benda ini akan membunuh seseorang yang 

dikenainya dalam waktu yang tidak 

lebih dari setengah hari. — tutur 

Sandai dengan kata2 yang masih 

gemetar.


Kau telah menyelamatkan diriku, 

Sandai! —

— Tuanpun telah menyelamatkan 

kami dari orang-orang Kapal Hantu! —

ujar Sandai.

— Sandai! — kata Mahesa Wulung 

seraya berdiri diikuti oleh Sandai 

yang telah menyelamatkannya dari 

bahaya. — Sekarang sebaiknya engkau 

pulang dan jangan ceriterakan kepada 

siapapun, tentang peristiwa sumpitan 

ini! —

— Baik tuan, dan anda akan 

kemana? — tanya Sandai.

— Aku akan mencari jejak 

sipenyumpit gelap tadi! —

— Hati-hatilah tuan! —

— Terima kasih Sandai! — berkata 

Mahesa Wulung seraya membalikkan diri 

dan meloncat dengan sebatnya kearah 

barat, sedang sigadis Sandai cepat-

cepat berlalu menuju ke jalan pulang 

kekampung.

Mahesa Wulung terus berloncatan 

kearah barat dimana dijumpainya 

sebatang pohon tua dan cepat memeriksa 

sekitar tempat itu dengan seksama.

— Hmmm, jejak2 kaki manusia —

gumam Mahesa Wulung — Agaknya dari 

sinilah sipenyumpit gelap tadi 

mengintai dan menembakku! —

Mahesa Wulung terus memeriksa 

lebih teliti dan dijumpainya jejak2 

kaki tadi berbalik kearah utara. Maka


diturutinya jejak tersebut dengan 

seksama, setapak demi setapak, dengan 

mudahnya. Apalagi bagi Mahesa Wulung 

yang telah berpengalaman, hal ini 

tidak menjadi kesukaran baginya. Namun 

setelah kurang lebih mencapai jarak 

seratus langkah lebih dari mata air

tadi, Mahesa Wulung berhenti dengan 

tiba2.

— Heh, cerdik juga sipenyumpit 

gelap ini! Ia telah menghilangkan 

jejaknya diair dan berjalan disungai 

kecil ini kearah timur! Dengan begitu, 

berarti aku kehilangan jejaknya. Namun 

orang ini akan keliru jika menyangka 

Mahesa Wulung akan berputus asa

karenanya — berpikir Mahesa Wulung 

seorang diri. — Tunggulah aku akan 

mengikuti aliran sungai ini ke timur! 

Kembali Mahesa Wulung meneruskan 

penyelidikannya. Ia terus menyurusi 

aliran sungai kecil ini dengan 

sebentar2 berhenti untuk memeriksa. 

Dengan begitu, tanpa terasa Mahesa 

Wulung telah jauh dari kampung Lembah 

Sampit. Tetapi dasar ia seorang yang 

ulet, maka ia tidak merasa cemas akan 

kesasar. Yang dipikirkannya hanyalah 

sipenyumpit yang tahu dan hal inilah 

yang harus dicarinya.


EMPAT


ANAK SUNGAI itu semakin deras 

alirannya, dengan suara gemericik dan 

busa-busa gelembung disana sini. 

Hutanpun semakin bertambah rapat 

tampaknya.

Sampai sejauh itu jejak2 yang 

tengah dicari belum ditemui oleh 

Mahesa Wulung, menimbulkan keheranan 

bagi pendekar muda ini. — Belum juga 

ada petunjuk-petunjuk yang kuperoleh! 

— gumam Mahesa Wulung. — Mungkinkah 

orang itu tetap berjalan diair hingga 

sejauh ini? Ah, sungguh hebat lawan 

gelapku ini! — Tapi, uh tunggu dulu, 

Benda apakah ini?! —

Mahesa Wulung cepat membungkuk 

dan memungut sebuah gelang akar bahar 

yang tergeletak ditepi sungai, tak 

jauh dari kakinya berdiri.

— Gelang akar ini telah retak dan 

terbuka keluar. Agaknya tersangkut 

pada sesuatu benda sehingga terlepas 

dari tangan atau kaki pemiliknya. —

Mahesa Wulung berpikir dan kembali 

meneliti tempat itu. — Heh, tak ada 

apa-apa yang menarik perhatianku dh 

sini. Kalau begitu mengapa gelang ini 

tertinggal ditempat ini? Ahh, itu ada 

sulur dan dahan pohon yang menjulur 

tepat diatas sungai kecil ini. Hmm 

inilah yang boleh aku curigai. Namun


aku harus lebih dulu mencoba 

perkiraanku ini terlebih dahulu! —

Karena itu Mahesa Wulung lalu 

mencebur kedalam air yang ternyata 

dalamnya cuma setengah betis saja. 

Perlahan-lahan ia melangkah kesebelah 

bawah dari sulur dan dahan-dahan pohon 

tadi, dan akhirnya berdirilah ia tepat 

dibawahnya!

— Nah, kini aku telah berdiri 

dibawahnya dan akan mulai! — Mahesa 

Wulung cepat bersiaga dan dengan 

sekali menggenjotkan kakinya kedasar 

sungai yang terdiri dari batu-batuan, 

maka melentinglah tubuhnya keatas 

berbareng tangannya menyambar sulur 

dan dahan2 pohon, lalu bergayutan dan 

berpindah dari pohon yang satu kepohon 

yang lain.

— Yah, agaknya dugaanku tidak 

meleset dan dengan cara inilah 

sipenyumpit gelap tadi melarikan diri!

Dengan hati lega Mahesa Wulung 

telah berhasil memecahkan rahasia 

jejak yang menghilang tadi. Tetapi 

kini timbullah pertanyaan baru. 

Siapakah sebenarnya orang itu?

Beberapa saat Mahesa Wulung masih 

meneruskan loncatan-loncatannya sampai 

kemudian terlihat olehnya dua bayangan 

berkelebat dari arah timur berloncatan 

dari dahan kedahan, dari cabang 

kecabang, membuat hatinya berdegupan.


— Uuh, Bengarakah itu? — desah 

Mahesa Wulung seorang diri. — Aku 

lihat, mereka mempunyai kecakapan yang 

sama. Berjalan diatas pohon! —

Mahesa Wulung cepat berputar dan 

bersembunyi dibalik dedaunan sementara 

bayangan tersebut tiba-tiba berhenti 

berloncatan. Keduanya lalu bertengger,

duduk berjuntai diatas dahan pohon 

besi.

Mata Mahesa Wulung hampir tak 

percaya melihat pemandangan yang 

berada didepannya, sebab yang duduk 

didahan tadi tidak lain adalah seorang 

manusia berpakaian kulit berbulu dan 

disampingnya duduk pula seekor Orang 

Utan yang besar.

Melihat itu semua, Mahesa Wulung 

hampir saja memastikan bahwa orang itu 

tidak lain adalah sipendekar liar 

Bengara. Tapi setelah ia meneliti 

lebih sek-sama lagi, ternyata bukan. 

Orang ini berwajah jauh lebih tua dan 

tampaknya tidak segarang Bengara yang 

dijumpainya dulu.

Yang membuat heran Mahesa Wulung, 

ialah pakaian orang ini. Sungguh mirip 

dengan pakaian sipendekar liar 

Bengara. Keduanya terbuat dari kulit 

berbulu coklat kehitaman dan 

mengkilat.

Pada tali ikat pinggang orang 

ini, terselip sebuah kapak batu hitam, 

berkilat dengan bertangkai kayu.


Sebentar-sebentar kedua makhluk itu 

melayangkan pandangannya kearah Mahesa 

Wulung bersembunyi, sampai sipendekar 

muda dari Demak ini lebih berdetak 

keras hatinya. Maka ia mengatur 

napasnya agar teratur dan tidak 

mengalir dengan semaunya, sementara 

iapun berharap agar kedua makhluk tadi 

tidak mendengar nafasnya.

Ketika Mahesa Wulung menghela 

nafasnya, tiba2 orang tua tersebut 

berkata kepada Orang Utan yang duduk 

disampingnya. — Goro, biarkan saja 

orang yang duduk dibalik dedaunan itu. 

Kalau ia ternyata seorang baik, kita 

tak perlu mengganggunya. Namun jika ia 

berani mengganggu kita, pastilah kau 

kuperbolehkan untuk membunuhnya! —

Alangkah terkejutnya Mahesa 

Wulung mendengar kata2 orang itu. 

Dirasanya kata2 tadi ditujukan kepada 

dirinya, hingga Mahesa Wulung sadar 

bahwa orang tersebut mengetahui kalau 

dirinya bersembunyi dibalik dedaunan.

Inilah yang mengagumkan bagi 

Mahesa Wulung tentang orang tadi. 

Setidak-tidaknya ia berilmu tinggi 

pula, karena dapat membedakan suara.

— Hee, tukang sembunyi! Ayo 

muncullah di hadapanku dan terangkan, 

mengapa sampai kesasar ke daerahku 

ini, ha? — terdengar orang berbaju 

kulit itu berseru dengan lantang


seraya menghadap kearah Mahesa Wulung 

bersembunyi.

Mendengar seruan itu, Mahesa 

Wulung lekas-lekas keluar dari tempat 

persembunyiannya. Toh orang berbaju 

kulit itu telah mengetahuinya pula.

— Ha, ha, ha, ha, bagus, bagus! 

Ternyata kau masih muda juga. Nah 

sekarang apa maksudmu menginjak hutan 

ini? —

— Aku tengah mencari seseorang 

yang telah memenyumpitku dengan cara 

yang pengecut! Kalau boleh, akupun 

ingin bertanya kepada bapak, adalah 

seseorang yang lewat disini sebelum 

aku tiba ditempat ini? —

— Hee, anak muda! Kau belum 

lengkap menjawab pertanyaanku, malah 

sekarang engkau ganti bertanya 

kepadaku pula! Kau jangan membuatku 

gusar, ha! — ujar sibaju berbulu 

dengan nada tinggi dan wajah yang 

marah. — Kau belum sebutkan namamu! —

— Aku Mahesa Wulung! Aku orang 

asing ditanah ini, sehingga tak 

mengetahui bahwa tempat ini adalah 

daerahmu — berkata Mahesa wulung.

— Dimana engkau tinggal? —

— Aku menjadi tamu situa Tawau 

dari kampung Lembah Sampit ini. —

— Hemm, engkau sahabat situa 

Tawau? dan juga tamunya? Kalau begitu, 

pastilah engkau termasuk orang yang


penting? — ujar siorang, tua berbaju 

kulit.

— Aku tak merasa begitu, bapak. 

Aku bukan orang penting, tetapi orang 

biasa saja, seperti halnya bapak 

sendiri — kata Mahesa Wulung — Dan 

sekarang akupun ingin bertanya kepada 

bapak! —

— Kau pandai bersilat lidah, anak 

muda. Tapi tak apalah! — sibaju kulit 

berbulu berkata geram. — Bertanyalah 

sepuas hatimu! —

— Sebelum aku tiba dikampung 

Lembah Sampit, ditengah perjalanan, 

kami telah dicegat oleh seorang 

pendekar liar yang berteman dengan 

orang orang Utan dan ia menyebutkan 

namanya, yakni Bengara! Sedang 

sekarang aku telah pula berjumpa 

dengan seorang manusia yang berteman 

seekor Orang Utan, Nah, apakah bapak 

juga termasuk sahabat dengan Bengara 

tadi? —

— Kurangajar! Setan! — terdengar 

orang tua berbaju kulit itu mendamprat 

dan mengutuk uring-uringan disertai 

tangannya menunjuk-nunjuk kearah 

Mahesa Wulung. Demikian pula Orang 

Utan yang bernama Goro itu turut 

menyeringai hingga terlihat barisan 

giginya yang tajam mengerikan. Agaknya 

binatang inipun mengetahui kemarahan 

tuannya.


— Kau lancang, anak muda! Kau 

berani menyamakan diriku dengan 

silaknat Bengara itu, hee?! Memang du-

lu ia sahabatku dan semua ilmu serta 

kepandaiannya adalah berkat ajaran si 

Bontang ini! — berkata sibaju kulit 

itu seraya menunjukkan jari 

telunjuknya — Tetapi sayang ia telah 

berkhianat, dengan menggunakan semua 

ilmu dan kepandaiannya guna maksud-

maksud jahat! —

— Maafkan bapak. Kalau begitu aku 

telah keliru sangka.

— Hee, tak semudah itu kau 

menyesali sikapmu, anak muda! — seru 

Bontang dengan marah. — Terlebih dulu 

aku harus memberimu sedikit pelajaran!

Goro, berilah anak muda itu 

kegembiraan. Ajaklah ia bermain-main 

untuk melemaskan urat-uratnya! —

Orang Utan yang dinamai Goro 

tadi, mengangguk-angguk dan kemudian 

melesat menerkam kearah Mahesa Wulung 

berada, disertai jerit yang memekakkan 

telinga.

Serangan yang mendadak dan 

mengejutkan itu sungguh diluar dugaan 

bagi Mahesa Wulung yang tak bersiaga 

sama sekali. Maka sesaat ia seperti 

terpesona. Untunglah, teriakan kedua 

dari mulut Goro seperti menggugah 

kesadarannya. Maka sebelum kedua ta-

ngan berjari-jari kokoh dan panjang 

dari binatang itu sernpat menerkam


tubuhnya, Mahesa Wulung telah mengelak 

kekiri seraya bergantung pada sebuah 

dahan.

Sebuah teriakan kecil pertanda 

kagum terloncat dari bibir Bontang, 

siorangtua berbaju kulit tadi, ketika 

ia mtelihat betapa Mahesa Wulung 

sempat menghindar kekiri dan 

bergantung pada dahan pohon dalam gaya 

yang sangat manis. Setelah itu 

pendekar muda tadi memutar tubuhnya 

keatas dan dengan sigap ia telah 

berdiri diatas dahan tadi.

— Setan! Sungguh tangkas anak 

muda itu. Pantas kalau ia menjadi tamu 

situa Tawau! — gumam Bontang tak 

habis-habisnya. Selama ini belum 

pernah si Goro gagal dalam 

serangannya.

Begitu serangannya gagal, Orang 

Ulan itu dengan lincahnya 

menjangkaukan kedua tangannya kesebuah 

dahan dan tubuhnya berputar keatas 

lalu berbalik dan telah bersiaga untuk 

mengulangi serangannya. Namun Mahesa 

Wulung bukan anak-anak lagi yang 

tengah berlatih silat. Itulah sebabnya 

ketika Goro menerjang kembali. Mahesa 

Wulung cepat melentingkan tubuhnya 

keatas sehingga orang Utan itu cuma 

menerjang angin kosong.

Binatang ini menggeram marah, 

tetapi Mahesa Wulung tak mau memberi 

kesempatan lagi kepada Goro. Maka


disaat tubuhnya melesat turun, kedua 

kakinya menerjang kearah kepala Goro.

— Grrrr. — binatang ini menggeram 

kaget dan cepat-cepat ia mengendapkan 

tubuhnya dan akibatnya, tendangan 

Mahesa Wulung jadi meleset.

Oleh gerak binatang ini. Mahesa 

Wulung diam-diam merasa kagum. Goro, 

siorang utan dari rimba Borneo ini 

seolah-olah mempunyai kepandaian

seperti seorang manusia biasa.

Meskipun begitu, Mahesa Wulung 

tidak sudi memberi hati kepada 

binatang itu. Dan sebelum Goro sempat 

memperbaiki kedudukannya, Mahesa 

Wulung telah melesat kembali dan 

menerjang Orang Utan tersebut dengan 

kecepatan bagai kilat yang menyambar.

Bontang melihat bahaya yang 

mengancam sahabatnya tapi sayang ia 

tak dapat berbuat apa-apa. Lebih-lebih 

gerakan Mahesa Wulung sangat cepatnya 

dan tidak mungkin lagi ia memberi 

peringatan kepada Goro.

Dalam saat yang tegang itu, lawan 

Mahesa Wulung masih juga sempat 

menangkiskan tangannya yang berjari-

jari panjang, hingga terjadilah 

benturan keras. — Praaak! —

Sebuah jeritan keras melengking 

dari mulut binatang itu disusul 

tubuhnya terhempas kebawah begitupun 

Mahesa Wulung tergetar tubuhnya, 

sedang kepalanya berkunang-kunang


sangat pusing. Untungnya ia sempat 

menyambarkan tangannya kesebuah dahan 

pohon hingga sesaat ia memeluk dahan 

tersebut, sampai pusingnya mereda.

Dibawah, si Orang Utan tergeletak 

ditanah setelah ia terhempas dengan 

kerasnya. Tak berapa lama kemudian, 

Goro bangkit dan berdiri kembali. 

Kedua matanya menjadi kemerahan, satu 

tanda kalau binatang ini telah benar-

benar marah. Sebuah teriakan parau 

disertai kedua tangannya berserabutan 

keatas, seolah ia tengah menantang 

Mahesa Wulung untuk turun kebawah 

serta bertempur kembali dengannya.

Sekali lagi Mahesa Wulung 

molompat kebawah, melesat turun untuk 

memenuhi tantangan si Orang Utan Goro. 

Sebentar pula ia telah tiba ditanah 

saling berhadapan.

Dalam pada itu, situa Bontang 

yang masih berada diatas pohon 

mengikuti pertempuran tadi dengan hati 

yang cemas. Ia melihat kemungkinan 

bahwa pendekar muda itu akan lebih 

unggul dari pada si Goro.

Lagi pula ia melihat dengan jelas 

betapa pemuda itu dapat bergerak 

sangat lincah, selincah binatang si 

Orang Utan yang menjadi lawannya. 

Seolah-olah iapun pernah mendapat 

didikan secara rimba.

Karena rasa cemasnya yang mulai 

timbul itu, Bontang cepat-cepat


melolos senjata kapaknya dari ikat 

pinggang dan kemudian dilemparkan 

kebawah kearah Goro, setelah lebih 

dulu ia berteriak nyaring kepada 

binatang itu — Goro pakailah kapak 

hitamku ini! —

Mahesa Wulung terkejut dengan 

teriakan dari atas pohon itu. Tetapi 

lebih terkejut lagi bila ia melihat 

gerakan yang lincah dan cepat dari 

Orang Utan ini, yang dengan sebat 

menangkap kapak tersebut.

Begitu memegang senjata kapak 

tersebut ditangannya, Goro tampak 

menyeringai meringis dan sorot matanya 

lebih bersinar garang. Senjata tadi 

ditimang-timang dan diputarnya, 

seperti membayangkan bahwa hatinya 

lebih mantap sesudah ia bersenjata.

Kapak itu diputarnya semakin 

santer sampai menerbitkan suara 

berdesing, sedang dari atas pohon 

terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh 

dari mulut situa Bontang. Itu semua 

membuat hati Mahesa Wulung berdetak 

semakin keras.

Tiba-tiba senjata ditangan 

binatang itu menyambar kearah kepala 

Mahesa Wulung, menyebabkan pendekar 

muda ini mengelak kesamping dengan 

cekakaran.

Kali ini Mahesa Wulung terpaksa 

menanggung malu, sebab sambaran kapak 

tadi hanyalah gerak tipuan belaka dari


Goro, yang secara tiba-tiba pula 

menarik serangan kapaknya kembali 

ditengah sambarannya itu.

Sekali lagi terdengar derai 

ketawa dari atas pohon dan teriakan 

dari Bontang — Bagus, Goro! Bagus! 

Berilah ajaran lebih banyak kepada 

orang muda itu!! —

Sebuah teriak lengkingan 

terdengar dan Goro tahu-tahu telah 

menebaskan kapaknya kearah Mahesa 

Wulung, dan sekali ini betul-betul 

serangan yang berbahaya.

Mahesa Wulung yang sejak semula 

telah berwaspada dan bersiaga, secepat 

kilat melenting keudara tepat disaat 

kapak hitam itu menghancur sebuah batu 

besar didekat Mahesa Wulung berdiri 

semula.

Hal ini membuat Bontang melongo 

keheranan, demikian pula dengan Orang 

Utan ini yang menyeringaikan mulutnya, 

sangat kecewa Binatang ini tambah 

beringas lagi dan segera mengulang 

serangan-serangannya lebih rapat, 

sehingga partempuran itupun segera 

menjadi lebih sengit.

Binatang ini ternyata memiliki 

kukuatan tenaga yang luar biasa. 

Gerakannya kian garang dan setiap 

sambaran kapaknya menimbulkan getaran 

yang mengerikan. Bunyi berdesing dari 

angin sambaran kapak ditangan Goro


seakan-akan sebuah irama beralun yang 

melagukan kematian dan maut.

Senjata diujung tangan Goro 

setiap kali menyambar dan menebas 

mengeluarkan angin maut, susul-

menyusul tanpa memberi kesempatan 

kepada lawannya untuk balas menyerang. 

Sampai disini terlihatlah kalau 

pertempuran makin berjalan seru, dan 

Mahesa Wulung semakin mandi keringat!

Ia tak menyangka sama sekali bila 

binatang yang menjadi lawannya mampu 

bertempur sehebat manusia. Baru kali 

inilah ia menjumpai lawan yang aneh.

Karena itu Mahesa Wulung berusaha 

mengerahkan segala kemampuan dan 

ilmunya guna menghadapi lawan anehnya 

itu. Sekali-sekali ia membalas 

menyerang Orang Utan itu, dan sedikit 

demi sedikit ia berhasil mengatasi 

kerepotannya. Ia tak memperdulikan 

lagi bagaimana dahsyatnya kapak hitam 

ditangan Goro merombak, menumbangkan 

semak-semak dan dahan pohon disekitar 

mereka.

Bontang yang masih berada diatas 

pohon melihat pertempuran itu dengan 

detak jantung yang kencang, seperti 

kencangnya angin sore yang mulai 

menjelang. Matahari telah condong 

kesebelah barat, tetapi sinarnya masih 

benderang dan panas dilangit yang biru 

tak berawan.


Ketika pada suatu saat Goro 

menebaskan kapak hitamnya, Mahesa 

Wulung untuk kesekian kalinya mengelak 

kekanan. Sayangnya, disaat itu pula 

tangan kiri Goro menyambar leher 

Mahesa Wulung sampai pendekar muda ini 

terhenyak kaget. Ia tak sempat 

mengelak dan segera jari-jari yang 

mencekik lehernya itu terasa makin 

mengunci.

Betapapun ia berusaha melepaskan 

tangan ganas si Goro yang mencekiknya, 

ia tak berhasil sedikitpun, bahkan 

bahaya lain segera akan tiba. 

Dilihatnya tangan kanan Goro yang 

memenang kapak telah siap meluncur 

kebawah, kearah kepalanya.

Melihat keadaan yang kritis ini, 

Bontang segera berteriak keras-keras. 

— Goro! Berhenti! — Baginya, ia tak 

ingin adanya pembunuhan. Ia cuma 

bermaksud mencoba dan memberi 

peringatan kepada pendekar muda ini.

Akan tetapi agaknya si Goro telah 

gusar dan kehilangan pengamatannya. 

Maklumlah ia tetap seekor binatang 

walaupun telah bergaul dan dididik 

oleh manusia seperti situa Bontang 

itu. Ia tak memperdulikan kata-kata 

Bontang sama sekali dan tetap 

menghantamkan kapaknya itu kearah 

kepala lawannya.

Mahesa Wulung merasa semakin 

sesak nafasnya, tambahan lagi sebentar


kemudian agaknya akan pecahlah 

kepalanya terhajar oleh kapal hitam si 

Goro. Dalam saat yang benar2 tegang 

tadi. Mahesa Wulung secepat kilat 

menotokkan ujung jari jari tangan 

kanannya kesisi leher Goro, sehingga 

binatang ini menjerit seketika sambil 

melepaskan jari-jari tangannya dari 

leher Mahesa Wulung. Begitu pula kapak 

hitam tersebut tiba-tiba telah jatuh 

terlepas dari tangannya. Seluruh 

kekuatannya seperti hilang lenyap dan 

tak bertenaga sama sekali.

Orang Utan itu sejurus kemudian 

rebah ketanah seperti setumpuk daging 

tak bertulang. Itu semua adalah akibat 

totokan jalan darah dari Mahesa Wulung 

yang sangat hebat.

Bersamaan itu pula Mahesa Wulung 

jatuh terduduk diatas tanah dengan 

lemasnya. Lehernya masih terasa sakit 

dan sesak.

Situa Bontang sebentar itu pula 

telah meluncur turun ketanah lalu 

mendekati tubuh Mahesa Wulung yang 

tergeletak disamping Goro. Orang Utan 

ini tampak menggeleng-gelengkan 

kepalanya dibarengi sorot mata yang 

mengharap belas kasihan dari situa 

Bontang.

— Nah, Goro. Aku tadi sudah 

melarangmu supaya berhenti, tetapi kau 

telah nekad dan inilah akibat nya! 

Sekarang aku tak dapat menolongmu,


Goro. Yang tahu cara2 menolong 

kelumpuhanmu ini adalah pendekar muda 

itu sendiri. Bersabarlah dulu, Goro. 

Aku harus menolong pendekar itu lebih 

dahulu. — ujar situa Bontang serta 

mendekati tubuh Mahesa Wulung yang 

masih terduduk ditanah. — Maaf anak 

muda. Sahabatku tadi terlalu kasar 

kepadamu! — Situa Bontang berkata 

kemudian duduk didepan Mahesa Wulung.

— Tak apa, bapak. Justru aku 

merasa gembira dapat bermain-main 

dengan Orang Utan itu. Aku telah 

mendapat pengalaman-pengalaman yang 

berguna dalam menambah ilmu silatku. —

— Syukurlah anak muda. Sejak 

semula aku telah mengagumi gerak ilmu 

silatmu dan akupun ingin bersahabat 

denganmu. — kata Bontang. — Sekarang 

ijinkanlah aku menolongmu, anak muda. 

— Terima kasih bapak. — sahut 

Mahesa Wulung dan ia membiarkan kedua 

tangan orang tua itu mengurut-urut 

pundak dan lehernya dengan hati-hati.

Dalam pada itu, sambil merasakan 

pijitan dan usapan tangan situa 

Bontang, Mahesa Wulung melemparkan 

pandangan matanya kearah Goro, Si 

Orang Utan yang tergeletak ditanah 

tanpa daya.

Rupanya binatang inipun tengah 

mengawasi Mahesa Wulung sehingga kedua 

pandangan mata mereka bertemu


seketika. Dan disini Mahesa Wulung 

melihat pandangan mata Goro yang 

lembut, seakan akan ia menyatakan 

penyesalannya. Bahkan segera tampak 

oleh Mahesa Wulung kalau binatang itu 

mencoba tersenyum kepadanya.

Perlahan-lahan dan sedikit demi 

sedikit tubuh Mahesa Wulung terasa 

segar kembali dan rasa sesak serta 

sakit pada lehernya berangsur-angsur 

hilang, sehingga sebentar kemudian ia 

dapat bernapas dengan lega.

— Nah, aku lihat engkau telah 

sembuh kembali, Mahesa Wulung. Kini 

aku minta agar si Goro engkau bebaskan 

dari totokan jarimu. — ujar situa 

Bontang.

— Tentu, pak. Jangan kuatir. Aku 

akan menolong sahabatmu ini! —

terdengar Mahesa Wulung berkata dan 

mendekati binatang itu. Kemudian ia 

meraba leher si Goro dan dengan tiba-

tiba menotokkan ujung jari-jarinya 

keleher Goro tepat ditempat semula ia 

menotoknya.

Suatu jeritan terlontar dari 

mulut Orang Utan ml dan kemudian 

binatang itu sudah dapat menggerak 

gerakkan kedua tangannya dan kaki. 

Sebentar kemu dian Goro tersenyum 

dengan sorot mata berterima kasih 

kepada Mahesa Wulung seraya menepuk-

nepukkan kedua tangannya kepundak 

pendekar muda ini.


Mahesa Wulung tersenyum melihat 

kelucuan Goro, demi kian pula dengan 

situa Bontang. Orang Utan ini setelah 

merasa dirinya sembuh kembali, lalu 

berjingkrakan dengan gembira dan 

kesannya bahwa ia seekor binatang yang 

pandai bertempur dan bersilat seperti 

manusia telah lenyap.

— Ah, anda telah membuatnya 

gembira, Mahesa Wulung — berkata situa 

Bontang seraya memungut kapak hitamnya 

yang masih tergeletak ditanah, dan 

menyelipkan sekali keikat pinggangnya. 

— Aku sangat berterima kasih 

karenanya. Maka aku harap sudilah anak 

muda singgah kegubukku lebih dulu. —

— Baiklah, bapak. Dan kebetulan 

senja telah tiba — ujar Mahesa Wulung. 

— Jika pulang kekampung Lembah Sampit 

sekarang juga, mungkin aku akan 

tersesat. —

— Itu betul, anak muda. — sahut 

Bontang. — Berjalan malam seorang diri 

ditengah rimba Borneo ini sangatlah 

berbahaya. Kalau tidak tersesat, maut

pun yang akan mengancamnya. —

— Kearah mana kita pergi bapak? —

tanya Mahesa Wulung.

— Ikutlah kami, anak muda. Kita 

pergi kearah timur dan sebaiknya 

berjalan diatas pohon saja agar lebih 

cepat! —

Sejurus kemudian, Bontang bersama 

Mahesa Wulung dan si Goro telah


berloncatan keatas pohon. Mereka 

bergayut dan bergantung pada sulur dan 

dahan2 pohon, melesat dari tempat satu 

ketempat lain, dan dari pohon yang 

satu kepohon berikutnya.

Yang kelihatan kemudian adalah 

merupakan tiga bayangan hitam yang 

berloncatan diantara dahan pohon pohon 

dengan gesitnya menuju kearah timur. 

Sisa sinar matahari senja masih 

temarang dilangit barat yang telah 

disepuh oleh warna merah kekuningan. 

Kelelawar-kelelawar dan kunang-kunang 

mulai keluar dari sarangnya 

beterbangan dengan riangnya.

Ketiga sosok bayangan tadi terus 

berloncatan kearah timur dan sebentar 

kemudian mereka telah lenyap dibalik 

pepohonan dan kegeiapan udara senja.

Bagi Mahesa Wulung sendiri, 

perjalanan ini dirasanya seperti 

sebuah impian saja. Berloncatan dari 

pohon kepohon bersama dua makhluk yang 

baru saja dikenalnya dan masih sangat 

asing baginya. Biarpun begitu ia tak 

menaruh kecurigaan kepada mereka ber-

dua, sebab ia yakin bahwa keduanya 

bukanlah termasuk golongan sipendekar 

liar Bengara. Bahkan menurut situa 

Bontang, mereka justeru bermusuhan

karena perbedaan sikap dan tujuan.

Kini mereka telah semakin jauh 

dari sungai kecil, tempat mereka 

bertemu semula. Ternyata hutan di


sebelah timur ini tak kalah lebatnya 

dengan hutan- hutan yang pernah 

dilalui oleh Mahesa Wulung selama

tinggal dirimba pulau Borneo ini.

Tak antara lama situa Bontang 

memberi isyarat Mahesa Wulung serta 

berkata dengan senangnya. —Nah, anak 

muda. Lihatlah dengan pohon besar 

didepan kita itu. Kau lihat sebuah 

rumah gubuk berdiri di antara celah 

celah dahan pohon itu? —

— Benar, bapak. Dan aku kagum 

karenanya — sahut Mahesa Wulung kepada 

situa Bontang.

— Ha, ha, ha, ha. Terima kasih, 

anak muda. Terimakasih. Baru kali 

inilah aku mendengar sebuah pujian 

atas gubuk buatanku! — seru Bontang 

dengan hati yang bangga.

Mereka bertiga telah semakin 

dekat dengan gubuk itu dan sesaat 

kemudian tibalah mereka didepannya. 

Ketiganya segera mengakhiri loncatan-

loncatannya dan berhenti pada dahan 

dahan pohon didekat rumah gubuk itu.

Mahesa Wulung segera dapat 

melihat keadaan rumah gubuk itu. 

Dinding dan atapnya terbuat dari 

kulit-kulit pohon dan anyaman daun 

kelapa yang dipasang berlapis-lapis.

Situa Bontang segera masuk 

terlebih dulu dan menyalakan sebuah 

pelita yang terbuat dari damar, getah 

pepohonan dengan batu apinya. Sesudah


itu barulah ia mempersilakan Mahesa 

Wulung memasuki gubuk itu, diikuti 

oleh Goro di sebelah belakang.

— Nah, anggaplah seperti 

dirumahmu sendiri, Mahesa Wulung. 

Maaflah kalau ternyata kurang 

memuaskan bagi anda. —

— Lebih dari memuaskan, bapak. 

Aah, ternyata ruangan gubuk ini cukup 

luas. Cukup untuk tinggal lima orang. 

— ujar Mahesa Wulung.

— Heh, heh, heh. Ya memang cukup 

luas, tetapi selama ini cuma kami 

berdua saja yang mendiami — sahut 

Bontang.

Ketika mereka tengah bercakap-

cakap dengan asyiknya tadi, si Goro 

mendekat seraya membawa sebuah pinggan 

dari tanah liat yang berisi burung 

panggang dan buah-buahan, kemudian 

diletakkannya keatas lantai yang 

beralaskan tikar anyaman kasar.

— Anak muda, sayang sekali 

panggang burung ini telah dingin. Tapi 

tak apalah. Rasanya tetap gurih dan 

sedap. Nah makanlah hidangan sederhana 

ini dan tunggu nanti minumannya. —

— Terima kasih, bapak, — ujar 

Mahesa Wulung.

Sejurus kemudian Goro kembali 

kehadapan mereka sambil membawa seruas 

bambu yang berisi tuak dan cangkir-

cangkir,dari potongan-potongan bambu.


Oleh hidangan-hidangan tersebut, 

Mahesa Wulung jadi menelan air liur 

sebab seketika perutnya merasa 

bergejolak minta diisi. Maka mereka 

bertiga segera menikmati hidangan tadi 

dengan lahapnya, terutama Mahesa 

Wulung yang dasarnya sudah merasa 

lapar sekali.

Demikianlah sesudah mereka 

bersantap, maka Bontang pun lalu 

mempersilahkan tamunya untuk 

beristirahat. — Tentu anda telah 

kelelahan setelah memeras tenaga sore 

tadi. Maka beristirahatlah secukupnya 

agar pulih kembali. —

Mahesa Wulung mengangguk pelan 

dan sebentar kemudian ia menguap 

sementara matanya terasa berat, 

mengantuk. Sedang situa Bontang 

sendiri telah mengatur tikar-tikar 

untuk alas tidur bagi mereka berdua.

Didekat pintu gubuk, si Orang 

Utan berbaring pada dinding. Matanya 

sebentar-sebentar menatap kearah 

Bontang dan Mahesa Wulung yang telah 

berbaring tidur dan sebentar pula ia 

melihat kearah tangga naik yang 

terbuat dari tali-temali, terjuntai 

sampai jauh kebawah tanah. Bagi Goro, 

menjaga tuannya adalah kewajiban yang 

utama, sebagaimana situa Bontang 

pernah menolongnya dari sergapan 

seekor ular ketika ia masih kecil 

beberapa tahun yang telah silam.


Ketika malam telah semakin larut, 

suasana sunyi-senyap telah menelan 

tempat itu, dan sekitarnya. Hanya 

sekali-sekali terdengar suara burung 

hantu dan derai nafas teratur dari 

dalam gubuk itu.



LIMA



BEBERAPA ORANG dengan membawa 

obor api ditangannya tampak menyuluhi 

tempat-tempat disegala pelosok kampung 

Lembah Sampit. Bahkan merekapun telah 

sampai di luar daerah tersebut. Semua 

itu untuk mencari Mahesa Wulung, yang 

sampai saat sisa-sisa malam ini belum 

kembali.

Situa Tawau, kepala kampung 

Lembah Sampit dan juga Pandan Arum 

serta Daeng Matoa menjadi cemas 

karenanya. Mereka sudah menyangka bila 

Mahesa Wulung akan tersesat bila 

terlalu jauh pergi dari kampung ini. 

Ketiga orang inipun ikut beramai-ramai 

bersama orang-orang kampung menyuluhi 

tempat-tempat yang gelap dan 

tersembunyi, untuk mencari jejak dan 

petunjuk-petunjuk dari kepergian 

Mahesa Wulung.

Terlebih cemas adalah Pandan Arum 

sendiri. Ia masih ingat akan 

pertempuran sipendekar liar Bengara 

melawan kekasihnya beberapa waktu yang



lalu dan kini, tiba-tiba saja Mahesa 

Wulung telah menghilang.

Pikiran Pandan Arum lalu menjadi 

semakin kacau setelah mengingat hal 

itu dan rasa takutnya lalu bermunculan 

dari hati kecilnya. Bukankah ia kini 

berada ditengah daerah asing dan 

terpencil, disebuah kampung ditengah 

rimba liar pulau Borneo.

Sementara itu disebuah rumah 

panjang diantara gerombolan rumah 

rumah kampung Lembah Sampit, sigadis 

manis Sandai selalu membolak balikkan 

tubuh diatas tempat tidurnya. Sebentar 

sebentar ia terbangun karena mimpi-

mimpinya yang buruk dan gelisah.

Setiap matanya sudah terpejam 

tidur setiap kali pula ia dibayangi 

oleh bayangan wajah Mahesa Wulung yang 

mula mula tampak kecil, lalu besar dan 

semakin besar seakan-akan memenuhi 

rongga matanya. 

Ketika ia terbangun untuk 

kesekian kalinya, Sandai terkejut 

mendengar suara-suara ribut di bawah 

sedang cahaya terang dari obor-obor 

telah masuk kedalam kamarnya melalui 

celah-celah lubang lantai dan dinding 

rumah. Semula Sandai agak terkejut, 

tetapi setelah ia mengintai beberapa 

saat ke arahluar, iapun lalu teringat 

bahwa sejak senja menjelang malam 

tadi, orang-orang telah sibuk mencari


Maluisa Wulung sampai saat kini pada 

sisa-sisa malam menjelang subuh.

Sayup-sayup Sandai mendengar 

kokok ayam hutan dengan merdunya tapi 

kemudian telah ditelan oleh suara 

ribut dan gumam manusia yang tengah 

menyuluhi segenap tempat disudut rumah 

dan semak-semak.

Waktu itu Sandai juga ikut 

gelisah, sebab mungkin hanya dia 

sendirilah yang tahu, kemana Mahesa 

Wulung telah pergi. Sedang selama ini 

ia tetap bungkam dan berdiam diri 

pura-pura tidak tahu, sebab memang hal 

itulah yang telah diminta dan 

dikehendaki oleh Mahesa Wulung 

kepadanya.

Maka terpaksalah dengan hati yang 

berat dan tertekan, ia tetap memenuhi 

permintaan Mahesa Wulung, sehingga 

dibiarkannya saja orang-orang itu 

nencari Mahesa Wulung kesana kemari 

tanpa arah tujuan yang pasti.

Demikianlah Sandai masih bisa 

menahan perasaannya dan membiarkan 

mereka kalang-kabut mencari pendekar 

muda dari pantai Seberang itu yang 

seolah-olah menghilang tanpa jejak dan 

bekas! Akan tetapi sesudah pencarian 

itu berjalan dua hari lewat, Sandai 

sudah tidak bisa menahan perasaannya 

lagi. Cepat-cepat sigadis manis ini 

berlari-lari menuju rumah kepala


kampung, membuat orang-orang terkejut 

heran karenanya.

Disana, dihalaman bawah rumah

berpanggung situa Tawai, Sandai telah 

sampai dan dilihatnya bahwa disitu

telah berkumpul beberapi orang 

memegang senjata. Diantara mereka 

terlihat pula bapak Tawau, Daeng Matoa 

dan Pandan Arum serta keenam orang 

anak buah Mahesa Wulung. Juga pendekar 

Seguntur pun terlihat pula diantara 

mereka.

Agaknya situa Tawau tengah 

memberi petunjuk pada kelompok-

kelompok orang itu, yang sebentar lagi 

akan pergi keluar kampung. Dan 

kemudian, orang tua itupun terkejut 

melihat Sandai berlari-lari kearah 

dirinya.

— Sandai! Mengapa wajahmu begitu 

pucat dan berkeringat? Apakah yang 

telah terjadi dengan dirimu! —

terdengar Tawau berseru kaget.

— Maaf, bapak, Aku telah 

bersalah! Aku memang orang yang tak 

berbudi! Aku telah berdosa kepada 

kalian! —

— Tenanglah Sandai, tenangkan 

hatimu dan kemudian ceriterakanlah 

kepada kami dengan jelas — ujar Pandan 

Arum Serta merangkul pundak Sandai 

dengan manisnya. — Apakah yang 

menyebabkan kekalutanmu ini? —


— Tentang Pendekar Mahesa Wulung, 

nona. Aku sebenarnya tahu tentang 

kepergiannya dari kampung ini! —

Perkataan Sandai ini bagai 

sambaran petir bagi orang2 ini dan 

mereka terhenyak kaget seketika.

— Hah! Jadi kau sudah tahu 

tentang kepergian Mahesa Wulung selagi 

kami kalang kabut mencarinya? — seru 

Tawau. — Oooh. — desah Pandan Arum. —

Kalau engkau sudah tahu sejak semula, 

mengapa tak engkau ceriterakan kepada 

kami, Sandai? —

Sandai sesaat tertunduk tak 

berani menatap w-jah orang orang 

disekitarnya dan iapun sadar, bahwa 

sikapnya ini menyebabkan rasa jengkel 

pada hati mereka. Tak lama kemudian 

berkatalah Sandai. —Maaf, nona. Itu 

semua kulakukan atas permintaan tuan 

Mahesa, agar aku tak berceritera 

kepada siapapun bahwa ia tengah 

mengejar dan mencari seorang penyumpit 

gelap yang menyerangnya, dua hari yang 

lalu didekat mata air. —

— Seorang penyumpit gelap? Dan 

menyerang pendekar Mahesa Wulung? —

ulang situa Tawau dengan suara 

bergetar.

- Begitulah bapak — sambung 

Sandai pula — Kemudian tuan Mahesa 

Wulung memintaku agar pulang kembali 

kekampung, dan berpesan seperti yang 

telah aku ceriterakan diatas. —


— Kearah mana ia pergi, Sandai? 

— ikut bertanya Daeng Matoa. — Hari 

ini juga kita harus menyusulnya! —

— Kira-kira kearah barat, tuan 

Daeng — jawab gadis Sandai. — Dan jika 

andika semua akan pergi mencarinya, 

ijinkanlah aku turut serta. Siapa tahu 

aku dapat memberi keterangan 

keterangan yang berguna. —

— Baiklah, Sandai — kata situa 

Tawau. — Sebentar lagi kita akan 

berangkat! —

Kepala kampung ini segera 

menyiapkan segala sesuatu yang perlu 

bagi perjalanan nanti dan ketika 

matahari sudah cukup tinggi, mereka 

berangkatlah kearah utara lebih dulu.

Tampak situa Tawau berjalan 

bersama Sandai di sebelah muka, 

kemudian Daeng Matoa bersama Pandan 

Arum dan dibelakang mereka berjalan 

orang-orang anak buah Tawau serta 

keenam anak buah Mahesa Wulung.

Sandai mula-mula membawa 

rombongan tersebut kemata air 

disebelah utara kampung dan mereka 

masih bisa melihat sebuah jarum 

sumpitan yang menancap pada batu 

ditepi mata air. Situa Tawau 

mengangguk-angguk melihat benda itu 

dan kemudian rombongan itupun 

meneruskan perjalanannya kearah barat 

seperti petunjuk dari Sandai.


Didekat sebatang pohon tua, 

mereka dapat melihat jejak-jejak kaki 

menuju kearah utara. Mereka pun segera 

menuruti jejak2 tersebut dengan teliti 

dan sampailah mereka pada sebuah 

aliran sungai kecil yang mengalir 

kearah timur.

— Nah, kita menemukan jejak lagi, 

Sandai! — ujar Tawau seraya menunjuk 

kebawah dan tampaklah jejak-jejak kaki 

di sepanjang tepian sungai tadi terus 

menuju kearah timur.

— Tapi, bapak — Sela Daeng Matoa 

— Apakah kita yakin bahwa jejak2 ini 

adalah jejak kaki saudara Mahesa 

Wulung? —

— Aku bisa memastikan begitu 

tuan, karena jejak-2 ini masih sama 

dengan jejak yang terdapat dimata air 

pertama tadi — ujar Tawau seraya 

meraba-raba bekas2 jejak kaki 

tersebut. — Dan kira-kira ini berbekas 

pada dua hari yang lalu., —

Daeng Matoa dan Pandan Arum 

terperanjat juga mendengar penuturan 

Tawau. Mereka tidak menyangka kalau 

orang tua itu mempunyai pengetahuan 

yang sedemikian dalamnya.

— Ooh, mudah-mudahan kita dapat 

segera menemukannya. Bapak — ujar 

Pandan Arum menyambung.

— Begitulah harapan kita semua, 

nona — sahut situa Tawau. — Dan


sekarang, marilah kita lanjutkan 

perjalanan kita. —

Maka sejurus kemudian, 

berjalanlah kembali rombongan tadi 

menyusuri sepanjang tepi sungai kecil 

menuju kearah timur. Mereka sebentar-

sebentar berhenti untuk meneliti 

jejak-jejak tadi, sehingga perjalanan 

cukup memakan waktu yang banyak. 

Maklumlah, mereka tak berani 

serampangan untuk tujuan yang tengah 

mereka kejar. Apalagi mencari orang 

yang tersesat didalam hutan, seperti 

pekerjaan mereka sekarang ini. Semua 

benda yang dapat memberi petunjuk 

sangat berguna sekali, seperti jejak-

jejak kaki, ranting-ranting terpatah, 

semak yang roboh dan sebagainya.

Cukup jauh sudah jarak yang 

tengah mereka tempuh dan tiba-tiba 

saja mereka berhenti karena Tawau yang 

berjalan paling depan telah menemukan 

jejak yang terputus dan sebuah jejak 

tampak menuju ketengah sungai. 

— Hmm, jejak ini terputus dan 

hilang disungai! — desis situa Tawau 

sambil pandangan matanya memeriksa 

tempat sekeliling. Dan tiba-tiba ia 

melihat sebuah dahan pohon yang besar 

menjorok diatasnya. Hal ini membuat 

situa Tawau sibuk berpikir dengan 

kerasnya. Semua pengalamannya sebagai 

kepala kampung Lembah Sampit dan telah 

puluhan kali keluar masuk menjelajah


hutan pulau Borneo ini, membuat ia 

kaya akan seluk beluk dan tanda-tanda 

sekecilpun, yang terdapat di dalam 

hutan.

— Ranting pohon yang terpatah itu 

telah kering. Pastilah ini terjadi 

beberapa hari yang lalu dan disebelah 

timurnya lagi, ada sebuah cabang pohon 

lain yang terpatah. Ehh, agaknya 

pendekar Mahesa Wiiliing telah 

berjalan diatas pohon menuju kearah 

timur! — demikian pikir situa Tawau.

— Jejak-jejak kaki telah 

terputus bapak — ujar sigadis Sandai 

kepada situa Tawau — Dan apa tindakan 

kita selanjutnya? —

— Kita menyeberang sungai kecil 

ini dan terus berjalan ketimur — ujar 

Tawau seraya memberi isyarat kepada 

rombongan tadi dan perjalananpun 

diteruskan kearah timur, menyeberangi 

sungai tersebut kemudian menerobos 

hutan yang lebat.

Beberapa waktu kemudian, 

rombongan Tawau tadi celah semakin 

jauh dari sungai itu dan tibalah 

dihutan yang lebat. Namun itu bukanlah 

rintangan yang berat bagi mereka, 

sehingga dalam waktu yang singkat 

terbukalah semak-semak yang merintangi 

jalan oleh tebasan mandau dan pedang 

orang orang itu.

Tak antara lama, Tawau memberi 

tanda berhenti kepada rombongan tadi,


sebab didepan tnereka terlihatlah 

semak-semak dan pepohonan kecil yang 

berebahan dan terserak disana-sini. 

Sebagian dari semak-semak tadi juga 

telah kering. Itu semua menandakan 

bahwa hal ini terjadi pada waktu-waktu 

yang lewat.

— Ooh, apakah yang terjadi 

disini, kiranya? Agaknya seperti habis 

dipakai untuk tempat bertempur! —

gumam Daeng Matoa yang berdiri 

disebelah Tawau.

— Benar, Daeng! Tempat ini telah 

dipakai untuk medan pertempuran 

beberapa hari yang lalu — sambung 

Tawau — lihatlah batu-batu yang 

berserakan pecah ini!—

— Tapi tidak ada tanda-tanda 

berdarah ataupu mayat yang kita 

temukan — berkata pula Panda Arum yang 

ikut memeriksa. — Dan disebelah timur

kami dapati lagi beberapa cabang pohon 

yang terpatah dan sulur-suluran pohon 

yang terputus. —

— Nah, itu satu tanda lagi bahwa 

kita harus berjalan kesebelah timur! —

sahut Tawau pula. — Ayolah, jangan 

lagi kita buang-buang tempo disini. —

Serentak mereka meneruskan 

perjalanannya, menempuh hutan yang 

kian lebat dan sulit untuk ditempuh. 

Hutan didaerah timur ini lebih rapat, 

seakan-akan pagar benteng yang


berlapis-lapis, menghalangi siapa saja 

yang berani memasukinya.

Tetapi rintangan alam itu tidak 

ada artinya bagi putera-putera Borneo 

ini. Kelebatan hutan tidak menjadikan 

mereka takut, tapi justeru membuat 

semangat mereka bertumbuh untuk 

menjelajahinya.

Biarpun begitu, toh mereka tidak 

meninggalkan kewaspadaan diri. Mereka 

tetap berhati-hati dan senantiasa siap 

dengan senjatanya, sebab dengan sema-

kin rapatnya hutan tadi, pastilah 

lebih banyak binatang-binatang liar 

dan berbisa yang tinggal didalamnya.

Tawau yang berjalan disebelah 

muka selalu dengan teliti memeriksa 

jalan yang bakal ditempuhnya. 

Pandangan matanya yang setajam elang 

itu selalu jauh mendahului langkah 

langkah kakinya, jauh kedepan, seakan 

akan ingin menerobos kelebatan hutan 

dan semak-semak yang terbentang 

dihadapannya.

Rombongan tadi terus berjalan 

kearah timur, bagai semut beriring-

iring dan sebentar berbelok-belok 

menurut langkah, situa Tawau yang 

menjadi pemimpinnya.

Tidak antara lama, rombongan tadi 

dikejutkan oleh suara berisik dan 

teriakan-teriakan yang menggema dari 

sebelah timur. Keruan saja mereka 

berhenti dengan serentak disertai oleh


hati yang berdebar-debar penuh tanda 

tanya.

Situa Tawau segera berseru —

Saudara-saudara, siapkanlah senjatamu 

dan ikuti aku untuk mengintai sebab 

sebab suara tadi. —

Rombongan tadi kemudian bertebar 

dan mereka mengendap-endap maju dan 

mendekati arah suara yang berisik 

disebelah timur, setapak demi setapak.

Daeng Matoa dan Pandan Arum telah 

menghunus pedangnya masing-masing, 

sedang Tawau, pendekar Seguntur dan 

orang-orang lainnyapun telah bersiap 

dengan senjatanya. Ujung tombak, 

mandau dan pedang berkilatan tertimpa 

cahaya siang, sementara yang 

bersenjata sumpitan, telah pula siap 

dimulutnya untuk menembak.

Suara berisik semakin jelas dun 

rombongan situa Tawau telah sampai 

pada tempot itu. Mereka sudah tak 

sabar lagi tampaknya untuk mengetahui 

apakah yang menyebabkan ramai-ramai 

sedemikian gaduhnya. Namun alangkah 

kagetnya mereka setelah menguakkan 

daun semak-semak didepannya. Ternyata 

suara gaduh tadi berasal dari dua 

sosok tubuh yang tengah bertempur dan 

bergerak dengan cepat, laksana dua 

bayangan yang saling melibat dan 

berpusaran.

Tak jauh dari tempat itu, diatas 

sebuah dahan pohon yang terlindung


kelebatan daun-daun dan kegelapan, 

tampak pula sesosok tubuh yang 

nongkrong dengan enaknya serta 

menonton pertempuran tersebut. 

Sebentar-sebentar ia bersorak serta 

berteriak-teriak dengan lantangnya. —

Ayo jangan tunggu lawanmu sampai 

menerjang lebih dulu! Tangkis! Yah, 

bagus. Itulah yang aku maksudkan. 

Awas, jangan lengah terhadap sambaran 

kaki lawan! Ha, ha, ha, ha! Nah, 

begitu. Ayo ulang sekali lagi! —

Situa Tawau dan orang-orang 

lainnya menjadi terkejut oleh suara 

tersebut. Rupanya orang yang tengah 

nongkrong di datas dahan tadi sedang 

memberi petunjuk petunjuk kepada dua 

sosok tubuh yang lagi bertempur.

Orang-orang yang bersembunyi 

dibalik semak-semak, termasuk Tawau, 

Daeng Matoa, Pandan Arum dan lain 

lainnya seperti terpukau melihat 

pertempuran tersebut.

Mereka tak tahu lagi apakah yang 

musti dikerjakan, lantaran saking 

takjub dan kagumnya. Dan lagi kedua 

sosok tubuh yang lagi bertempur seru 

tadi tak dapat mereka kenal wajahnya 

sebab selalu bergerak dengan cepat.

Begitulah, mereka kadang-kadang 

saling berpandangan tapi sama-sama 

diam tanpa berbuat apa-apa. Apalagi 

situa Tawau yang menjadi pemimpin rom


bongan, juga berdiam diri tanpa 

memberi perintah2 kepada mereka.

Entah sampai berapa lama mereka 

berlaku sebagai penonton diluar 

gelanggang pertempuran yang begitu 

seru. Tak seorangpun berkata-kata. 

Semua pandangan mata dicurahkan kepada 

dua sosok bayangan yang tengah 

berlibatan saling menyerang dan mener-

jang.

Namun tiba-tiba semuanya 

terperanjat, sebab orang yang 

menongkrong didahan pohon itu mendadak 

berseru dengan nyaring.

— Berhenti!! Ha, ha, ha, ha. 

Kalian berdua telah mencapai apa yang 

aku inginkan, dan aku puas karenanya. 

Tapi waspadalah rupanya beberapa 

pasang mata telah mengintai kita! —

Kedua bayangan makhluk yang kini 

telah mengakhiri pertempurannya, 

seketika itu juga menebarkan pandangan 

matanya kearah tempat sekeliling serta 

bersiaga menghadapi setiap 

kemungkinan. Maka tak mengherankan 

bila sesaat tempat tersebut menjadi 

sunyi-senyap, kecuali derai napas 

pelahan dari orang-orang rombongan 

Tawau yang bersembunyi dibalik 

dedaunan.

Mendadak, saja, kesunyi-senyapan 

tadi dipecahkan oleh teriakan bernada 

gembira dan sesosok tubuh meloncat 

dari balik dedaunan, menuju kearah dua


makhluk yang baru saja selesai 

bertempur tadi. — Kakang Mahesa 

Wulung!! —

— Pandan Arum !— seru salah 

seorang makhluk tadi yang tidak lain 

adalah Mahesa Wulung. Pendekar ini 

segera menyambut Pandan Arum yang 

berlari kearahnya dan ia segera 

menerima dekapan mesra dari gadis itu.

Dalam hati, Pandan Arum mengucap 

syukur dan berterima kasih kepada 

Tuhan, bahwa kekasihnya ternyata 

selamat tak kurang suatu apa.

Ia kini merasa aman kembali dan 

perasaan cemas yang semula menghantui 

hatinya kini telah lenyap. Bahkan ia 

tidak lagi menjadi takut, bila 

ternyata makhluk yang satunya itu 

adalah seekor Orang Utan yang besar 

dan kokoh.

— Siapakah teman kakang ini? —

bertanya Pandan Arum.

— Ooo, dia adalah sahabat baruku. 

Namanya adalah Goro. — Mahesa Wulung 

berkata kepada kekasihnya. — Dan tadi 

kami baru saja selesai berlatih. —

— Dan aku memperkenalkan diri 

pula, nona!! — seru sebuah bayangan 

yang meluncur dari atas dahan pohon, 

tepat mendarat didekat Mahesa Wulung 

dan Pandan Arum.

Hampir saja Pandan Arum ini 

terpekik kuget melihat bayangan tadi. 

Dikiranya pula adalah seekor Orang


Utan yang pandai berbicara, tak 

tahunya adalah manusia juga yang 

berbaju kulit, berbulu hitam 

mengkilat.

— Maaf, jika aku telah 

mengejutkan nona. Nama saya adalah 

Bontang — ujar siorang tua yang 

berbaju kulit itu.

Selagi mereka asyik bercakap-

cakap itu, situa Tawau dengan orang-

orang lainnya telah bermunculan dari 

balik semak-semak dan mendekati 

mereka.

— Kakang Mahesa Wulung, 

kepergianmu telah membuat kami bingung 

dan akhirnya mencarimu sampai ketempat 

ini, — berkata Pandan Arum.

— Nah, nona Pandan Arum — ujar

situa Tawau yang telah berdiri didekat 

mereka. — Bukankah benar kata-kataku, 

bahwa Tuan Mahesa Wulung pasti 

selamat? —

— Eh, benar bapak. 

Terimakasih. —

— He, he, he, heh. Begitulah 

tuan Mahesa Wu lung. Memang kepergian 

anda itu menyebabkan orang-orang 

sekampung kebingungan mencarimu 

kemana-mana. Lebih-lebih dengan nona 

Pandan Arum ini, yang hampir setiap 

harinya merindukan anda serta tak 

doyan makan sedikitpun. — berkata 

situa Tawau setengah menggoda, 

sehingga membuat Pandan Arum tertunduk


malu dengan wajah kemerahan disertai 

warna merah jambu membayang dipipinya 

yang montok.

— Aaah, bapak ini ada-ada saja! —

desah Pandan Arum seraya melirik 

kearah wajah kekasihnya yang 

tersenyum-senyum.

— Tapi bapak, darimanakah andika 

dapat menge-tahui arah kepergianku 

ini? — tanya Mahesa Wulung dengan 

perasaan heran, sebab hanya Sandailah 

yang tahu peristiwa penyerangan gelap 

itu.

— Semua itu adalah atas petunjuk 

Sandai. Bukankah begitu Sandai? — kata 

Tawau.


— Nah, nona Pandan Arum —

ujarnya situa Tawau yang telah berdiri 

di dekat mereka. — Bukankah benar 

kataku, bahwa tuan Mahesa Wulung pasti 

selamat? —

— Aku terpaksa berceritera kepada 

bapak Tawau dan lain-lainnya, tuan —

sahut Sandai yang berdiri dibelakang 

Tawau — Sebab aku tak sampai hati 

melihat orang-orang ini kalangkabut 

mencari tuan, sedang sebenarnya aku 

mengetahui kepergianmu. —

Mahesa Wulung mengangguk-angguk 

penuh pengertian, dan iapun tak bisa 

menyalahkan sikap Sandai yang telah 

mengingkari pesannya. Dalam hati 

malahan ia mengucapkan syukur atas 

sikap Sandai yang penuh rasa tanggung 

jawab dan persaudaraan. Ia dapat 

membayangkan sendiri, bagaimanakah 

jadinya, seandainya gadis manis itu 

tetap bungkam dan tak mau berceritera 

tentang kepergiannya tersebut.

Yah, pastilah orang-orang ini 

akan kalang kabut dan kebingungan 

seperti yang telah dikatakan oleh 

Sandai sendiri.

— Bapak Tawau, aku mengucapkan

terima kasih atas perhatian andika 

semua yang begitu besar terhadap 

diriku ini. — berkata Mahesa Wulung. —

Dan selama itu aku telah tinggal 

dipondok pendekar Bontang ini. —

Situa Tawau segera memperkenalkan 

diri kepada pendekar Bontang, juga tak 

ketinggalan kepada si Orang Utan yang 

bernama Goro itu. Binatang tersebut 

sungguh membuat gembira dan tertawa 

bagi Situa Tawau dan orang-orangnya. 

Kelakuannya yang mirip-mirip dengan 

manusia itu sungguh menakjubkan orang-

orang disitu, seperti bersalaman, 

tertawa, menggaruk-garuk kepala dan 

sebagainya lagi.

— Jadi, andalah yang bernama 

pendekar Bontang — ujar situa Tawau. —

Kami sering mendengar nama anda yang 

terkenal diseluruh sudut rimba Borneo. 

— Uh, itu kurasa terlalu 

berkelebihan buat diriku, sobat. —

kata situa Bontang kepada Tawau — Aku 

cuma sedikit bisa bersilat dan itupun 

telah aku ajarkan kepada pendekar muda 

Mahesa Wulung ini.

— Situa Tawau merasa kagum atas 

sikap merendah dari pendekar Bontang 

tadi, terlebih lagi situa Bontang 

berkata pula. — Setelah aku ajarkan 

kepandaianku kepada Mahesa Wulung, 

maka terlihatlah bahwa pendekar muda 

ini dengan mudahnya menguasai segala 

ajaranku dan ternyata dia lebih pandai 

dari pada diriku. Agaknya patutlah


bila sebaliknya aku menjadi murid 

Mahesa Wulung ini. —

— Ha, ha, ha, ha. Kalau andika 

bermaksud begitu, maka tak ada 

salahnya bila akupun mencalonkan diri 

untuk menjadi muridnya — sambung situa 

Tawau yang tak ketinggalan ikut 

berkelakar. menjadikan suasana 

pertemuan ini tambah cerah dan 

semarak.

Sementara itu matahari telah 

membuat bayangan pepohonan condong 

kearah timur. Pertanda kalau hari 

telah kelewet siang. Maka situa 

Bontang segera memerintahkan kepada 

Goro agar menghidangkan buah-buahan 

dan minum kepada orang2 itu semua, 

yang dengan senang hati menyambutnya.

Sesaat mereka beristirahat, tak 

jauh dari rumah gubuk milik Bontang 

yang terpasang diatas pohon. Sedang 

situa Tawau tampak bercakap-cakap 

dengan pendekar Bontang, disebelah 

lain kelihatan Mahesa Wulung, Pandan 

Arum, Daeng Matoa dan Sandai duduk 

duduk bersama dibawah sebuah pohon 

rindang. Dipojok barat, keenam anak 

buah Mahesa Wulung dan orang orang 

Tawau sibuk pula bercakap-cakap.

Diantara mereka, tampaklah 

pendekar Seguntur yang sebentar-

sebentar melirik tajam kearah bawah 

pohon rindang dimana Sandai dan ketiga


orang sahabatnya dari seberang tengah 

asyik bercakap-cakap.

Tetapi hal itu jangan dikira tak 

mendapat perhatian dari Mahesa Wulung 

sendiri. Ia tahu bahwa pendekar 

Seguntur, tengah mengawasi mereka 

dengan mata tajam.

— Hmm, apakah gerangan yang 

membuat Seguntur bersikap begitu? —

pikir Mahesa Wulung semula dan tiba-

tiba ia sadar, bahwa gadis manis 

Sandai ada bersama mereka. — Ah, 

agaknya sikap cemburu yang berlebih-

lebihan yang menyebabkan sikap Se-

guntur bersikap demikian. Rupanya 

belum sembuh penyakit cemburunya sejak 

pertama aku datang dikampung Lembah 

Sampit. —

— Kakang Mahesa Wulung, — Pandan 

Arum berkata. — Aku heran bahwa 

pendekar liar Bengara yang dulu 

mencegat kita ditengah perjalanan, 

sangat mirip dengan bapak tua Bontang 

itu. —

— Memang mereka dulu adalah dua 

bersahabat yang kemudian berpisah 

karena masing-masing berbeda pendapat 

— tutur Mahesa Wulung kepada ketiga 

rekannya. — Kalau sipendekar liar 

Bengara akhirnya menggunakan 

kepandaian dan ilmunya untuk 

kepentingan diri sendiri bahkan tidak 

jarang menyeleweng kearah kejahatan, 

maka adalah sebaliknya dengan Bontang.


Orang tua itu banyak mengamalkan

ilmunya untuk kebajikan sesama 

makhluk. Demikian pula jika kita 

memperhatikan kehidupan manusia 

sehari-harinya, maka tak luput dari 

nafsu berbuat baik dan berlaku jahat.

Pada dasarnya, kedua nafsu tadi 

ada bersarang dihati kita masing-

masing dan selanjutnya kitalah yang 

harus menguasai dan mengendalikan 

mereka, seperti halnya dengan kereta 

berkuda. Manusia harus menekan dan 

rnengendalikan nafsu jahatnya, sampai 

akhirnya ia betul-betul menguasainya 

dan syukur kalau ia malah berhasil 

melenyapkannya sama sekali dari lubuk

hatinya. —

Oleh penuturan Mahesa Wulung itu, 

Daeng Matoa, Pandan Arum dan Sandai 

terdiam sesaat seraya mengangguk 

mengerti. Tutur kata Mahesa Wulung 

tadi sungguh tepat dirasanya.

Tetapi lain agaknya jika yang 

mendengar itu adalah pendekar 

Seguntur. Pastilah dia tidak akan 

senang karenanya. Dalam pada itu, 

Daeng Matoa agaknya merasa ada sesuatu 

hal yang masih kurang jelas, maka 

cepat-cepatlah ia bertanya kepada 

Mahesa Wulung. — Saudara Mahesa 

Wulung, sudilah kiranya andika 

menerangkan sekali lagi perumpamaan 

kereta berkuda tadi? —


— Mmm, baiklah Daeng. Kereta itu 

aku umpamakan tubuh manusia dan 

kehidupannya, sedang diri pribadi 

adalah kusirnya. Adapun kuda kuda 

tersebut ialah semua nafsu-nafsu. yang 

ada pada manusia. Nah maka tugas kusir 

atau sais tadi adalah menguasai 

jalannya kereta dengan mengatur dan 

mengendalikan arah lari kuda kuda itu 

semua. Ia harus benar-benar bijaksana 

dan tegas, janganlah sampai dia yang 

diperkuda oleh kuda-kuda atau nafsu-

nafsu itu tadi. Jika sikusir tadi 

sampai bisa diperkuda oleh kuda-

kudanya, maka tak mustahil bila kereta 

tadi akan dibawa lari kemana-mana 

tanpa arah tujuan tertentu dan 

kemungkinan akan rusak dan celakalah 

kereta tersebut. Begitulah Daeng, jadi 

jelasnya setiap manusia hendaklah bisa 

mengatur dan mengendalikan semua 

nafsunya agar hidupnya selamat dan 

sejahtera. —

Daeng Matoa sekali lagi 

mengangguk seraya berkata — Terima 

kasih saudara Mahesa Wulung. Segala 

tutur kata serta keteranganmu, telah 

aku mengerti semuanya. Memanglah, 

segala kata-katamu tadi ada benarnya 

juga. —

Diam-diam Pandan Arum merasa 

bangga oleh tutur kata kekasihnya. Ia 

kagum akan kebijaksanaan Mahesa Wulung 

yang berpandangan seluas itu.


Rupanya cukuplah sudah waktu 

istirahat yang diperlukan untuk 

memulihkan tenaga bagi situa Tawau dan 

rombongannya, sebab situa itupun 

segera berpamit minta diri kepada 

pendekar Bontang dan si Orang Utan 

Goro! Juga Mahesa Wulung, Pandan

Arum, Daeng Matoa dan gadis Sandai 

serta orang-orang lainnya tak lupa 

meminta diri.

— Semua pesan dan pelajaran dari 

bapak, akan aku ingat baik-baik dan 

sungguh-sungguh. Kini ijinkanlah aku 

berangkat, bapak — berkata Mahesa 

Wulung dengan membungkuk hormat dan 

setelah itu berlalulah ia dari hadapan 

Bontang.

Rombongan tadi bergerak, lalu 

berjalan kearah barat menuruti jalan 

semula yang ditempuhnya ketika menuju 

ketempat ini. Mereka sudah tidak lagi 

susah-susah mencari jalan baru, karena 

jalan yang semula masih cukup jelas 

dan mudah dicari.

Sinar matahari masih bersinar 

dengan terangnya sementara angin siang 

bertiup dengan segar dari timur. Tak 

lama kemudian, rombongan tadi telah 

lenyap dibalik pepohonan dan situa 

Bontang serta Goro masih saja berdiri 

termangu ditempatnya. Dua titik air 

mata tergenang disudut mata Bontang 

sebagai luapan rasa harunya yang tak 

tertahan. Meskipun orang tua itu cuma


secara singkat berkenalan dengan situa 

Tawau dan rombongannya, namun sangat 

berkesan bagi dirinya, sebab selama 

ini ia lebih banyak hidup memencil 

bertemankan Goro, dan binatang-

binatang lainnya daripada dengan 

manusia-manusia. Hal ini seolah-olah 

memperingatkannya, bahwa betapapun 

manusia mencoba hidup menyendiri, tapi 

toh perlu juga bergaul dengan manusia-

manusia lain.

*****

Dalam pada itu jauh disebelah 

timur teluk Sampit sana, tampaklah 

beberapa orang mengendap2 menuju 

kearah hutan. Mereka yang bersenjata 

pedang ada tiga orang dan dua orang 

lainnya bersenjata dua pucuk senapan 

lantakan, sedang pemimpinnya yang 

berjalan didepan selain bersenjata 

pedang lebar juga ia menyelipkan 

sebuah pistol kuno pada ikat 

pinggangnya.

Tanpa ragu-ragu mereka mulai 

menerobos semak-semak pohon bakau. 

Keenam orang tadi rupanya telah 

bertekad untuk bertempur mati matian 

sampai ketitik darah yang penghabisan.

— Kakang Garangpati. Mereka punya 

kekuatan yang jauh lebih besar dari 

pada kia! — ujar seorang diantaranya


kepada sipemimpin yang berjalan 

didepan.

— Hah! Rupanya kau berkecil hati 

Dangsa! Kalau memang begitu sebaiknya 

kau tak usah ikut saja! — seru 

sipemimpin dengan wajah yang garang 

serta sorot mata yang tajam. — Biar 

kami berlima saja yang menyerang kapal 

Barong Makara itu! —

— Maaf, janganlah salah sangka 

kakang! Aku tak pernah takut melawan 

orang-orang dari Armada Demak itu. Kau 

masih ingat bukan, ketika kami disaat-

saat terakhir mencoba mengeroyok 

pemimpin mereka yang bernama Mahesa 

Wulung itu. Sayangnya Kapal Hantu kita 

keburu meledak dan kami terpaksa lebih

dulu terjun kelaut, sebelum mati 

konyol secara cuma-cuma. —

— Nah, kalau begitu apa lagi yang 

mesti kau kuatirkan? — Sahut 

Garangpati tajam. — Bukankah kita 

telah bertekad untuk bertempur mati-

matian, sebagai pembalas dendam atas 

kehancuran Kapal Hantu dan tewasnya Ki 

Monyong Iblis? —

— Betul kakang! Tapi kita harus 

menyerang mereka secara diam-diam dan 

tersembunyi. Kita akan bunuh mereka 

satu demi satu, sehingga akhirnya 

habis ditangan kita! — ujar Dangsa 

dengan geram. — Tetapi yang membuatku 

heran, mereka belum juga berlayar,


seolah-olah ada sesuatu kejadian yang 

membuat pelayaran mereka tertunda. —

— Hmm, memang betul bicaramu. 

Orang-orang itu malah kembali berkemah 

dipantai! Heh, heh, heh, justeru 

itulah yang memperkuat keyakinanku 

bahwa sebentar lagi mereka akan dapat 

kita hancurkan. — ujar Garangpati.

— Kita serang saja mereka malam 

nanti! — sela seorang lain yang 

berhidung pesek dan bersenjata bedil. 

— Mereka akan kutembak dengan 

senapanku ini satu demi satu........—

— Ha, ha, ha, rupa-rupanya kau 

ingin menghabiskan mereka seorang 

diri, Pisek Grana?! — sahut

Garangpati.

— Eeh, tidak kakang. — jawab 

Pisek Grana cepat-cepat. Mereka 

terlalu banyak untuk senapanku yang 

hanya sekali sekali menembak ini. —

— Heh, heh, heh, baiklah. Mereka 

akan kita bagi rata, Pisek Grana! 

Setuju kau?! — berkata Garangpati.

— Lebih dari setuju kakang! —

sahut Pisek Grana seraya tertawa 

terkekeh-kekeh, disusul oleh suara 

ketawa yang lain-lainnya.

Keenam orang itu terus menerobos 

semak pohon bakau dan membelok kearah 

barat laut. Mereka bermaksud mengepung 

orang-orang yang lagi berkemah 

dipantai itu, dan menyerangnya pada 

malam hari.


Beberapa orang lagi masih 

tertawa-tawa, namun sekonyong-konyong 

keenam orang tadi berteriak kaget 

sebab dari atas pohon-pohon besar 

berlompatanlah turun beberapa Orang 

Utan serta dua sosok tubuh manusia 

yang kemudian mendarat ditanah dengan 

manisnya.

— Garangpati! — teriak seorang 

yang baru turun dari atas pohon seraya 

menyambut kearah Garangpati — Hah, kau 

masih selamat sobat? —

— Kakang Mata Siji! Ah, kita 

masih berjumpa lagi, kakang. 

Syukurlah, kita akan bersama-sama 

menghancurkan orang orang Armada Demak 

itu! —

— Jangan terlalu bodoh 

Garangpati!. Dengarlah lebih dulu akan 

ceriteraku ini! — seru Mata Siji sam-

pai membuat Garangpati terkejut.

— Mengapa kakang?! —

— Kau belum tahu tentu, bahwa 

saat ini Mahesa Wulung lagi bertamu 

dikampung Lembah Sampit disebelah 

utara sana! — Dan inilah yang harus 

kita perhatikan, Garangpati! Kita 

jangan keburu menyerang orang-orang 

yang tinggal dipantai itu, tetapi 

lebih dulu harus membinasakan 

pemimpinnya dan setelah beres, barulah 

kita menyerang orang-orang tadi 

menghancurkannya sekaligus! —


— Ooh, itu bagus! Untunglah kami 

bertemu dengan kakang Mata Siji. Kalau 

tidak, entah apa jadinya. —

— Nah, adi Garangpati dan lain-

lainnya. Kalian tentu masih ingat 

dengan bapak pendekar Bengara, sahabat 

Ki Monyong Iblis dahulu itu? Inilah 

dia dan silakan berkenalan! —

Garangpati dan kelima orang 

temannya segera berkenalan dengan 

pendekar liar Bengara. Mereka merasa 

gembira dapat berkenalan dengan 

Bengara yang terbilang pendekar jagoan 

dengan anak buahnya Orang-Orang Utan 

yang ganas-ganas ini. Selama itu, 

mereka cuma mendengar dari kabar-kabar 

mulut saja tentang pendekar Bengara 

ini. Maka tak heranlah, bila mereka 

tak habis-habis herannya menatap 

sipendekar liar dengan bala 

tentaranya, yang terdiri binatang-

binatang tersebut.

— Mata Siji, marilah kita segera 

menuju kekampung Lembah Sampit. Sebab 

ada hal-hal yang harus kita kerjakan 

disana! — Bengara berkata kepada Mata 

Siji.

Mendengar itu, Mata Siji seketika 

meringis kesenangan sebab ia tahu akan 

maksud perkataan pendekar Bengara ini, 

yaitu menyerang kampung Lembah Sampit.

Segera berangkatlah mereka 

bersama-sama kearah utara. Pendekar 

Bengara berjalan paling depan bersama


pasukan Orang Utannya sedang 

dibelakangnya menyusul Mata Siji, 

Garangpati, Dangsa, Pisek Grana dan 

lain-lainnya.

Kalau Bengara dan rombongannya 

tengah berangkat kearah utara, diwaktu 

itu pula situa Tawau beserta orang-

orangnya tengah menerobos hutan lebat 

jauh disebelah timur laut sana.

Dengan bersusah payah Tawau dan 

rombongan berusaha menerobos hutan 

yang sangat lebatnya. Ditambah dengan 

sinar matahari yang sudah tidak terang 

lagi, menyebabkan mereka lebih 

berhati-hati. Mereka tidak berani 

secara gegabah berjalan semaunya 

dihutan ini.

Tumbuh-tumbuhan sangat rapat dan 

dua orang yang berjalan paling depan 

terpaksa harus membuka jalan dengan 

menebas dan membabak semak2 didepan 

dengan senjata mandaunya.

— Kita telah tersesat? — desis 

Tawau kepada dua orang yang tengah 

membabat semak2 tadi.

— Ah, masakan kita tersesat 

ditanah kita sendiri, bapak — berkata 

sigadis Sandai kurang percaya.

— Benar! Ini memang tak masuk 

akal, Sandoi! — seru Tawau membenarkan 

perkataan Sandai. — Tapi hal itu 

benar2 terjadi! Kau masih ingat bukan, 

bahwa mula-mula kita telah mengikuti 

jalan yang pertama kita tempuh, namun


sampai disini jalan itu telah lenyap, 

seolah-olah telah ditelan oleh bumi. —

— Tapi, bapak. Rasanya tak 

mungkin jika jalan tersebut musnah 

dengan sendirinya. — sahut Sandai 

pula.

— Memang, tak ada jalan yang 

dapat berpindah sendiri, 

kecuali....... — Tawau tiba-tiba 

berhenti berkata sebab ia menjadi 

terkejut sendiri oleh kata-kata yang 

baru saja diucapkan itu. Kata-kata 

tadi seketika menimbulkan suatu 

pikiran Tawau yang cemerlang. Diam-

diam ia melanjutkan perkataannya tadi 

didalam hati —.....Kecuali jalan itu 

dipindahkan oleh tangan manusia! —

Situa Tawau lalu teringat akan 

cara-cara menjebak seseorang yang 

tengah berjalan dihutan. Diantaranya 

adalah menghapus jejak-jejak sebuah 

jalan agar seseorang menjadi tersesat 

karenanya? Sekali lagi Tawau mencoba 

mengingat-ingat perjalanan mereka yang 

mula-mula, ketika mereka berjalan 

kearah timur untuk mencari Mahesa 

Wulung. Untuk menghilangkan jejak-

jejak tersebut, seseorang dalam 

rombongannya haruslah berjalan 

disebelah belakang sendiri.

Tetapi siapakah orangnya yang 

mungkin berbuat itu! Kembali situa 

Tawau terperanjat dengan hebatnya, 

bila tiba-tiba ia teringat seseorang


yang sering berjalan paling akhir dari 

rombongannya. Orang tadi adalah 

pendekar Seguntur! Narnun Tawau 

menjadi ragu-ragu oleh hal itu, sebab 

rasanya tak mungkin bila Seguntur mau 

berbuat seperti itu. Atau bisa juga 

hal tersebut telah dilakukan oleh 

seseorang dari luar rombongan.

Selagi kebingungan berpikir yang 

begitu sulit, sigadis Sandai lalu 

bertanya, menyapa Tawau hingga orang 

tua ini geragapan.

— Bapak Tawau. Apakah langkah-

langkah yang perlu diambil berikutnya? 

— Kita terus saja menempuh jalan 

ini. Tetapi awas kalian berdua mesti 

hati-hati dan bersiaga. — ujar Tawau 

kepada kedua orang anak buahnya yang 

masih sibuk membabat semak2 di sebelah 

muka.

— Baik, bapak! — sahut mereka 

berbareng, dan segera melanjutkan 

pekerjaannya. Setapak demi setapak 

mereka maju kedepan dengan lambatnya.

Mahesa Wulung yang berada 

disebelah tengah buru-buru maju 

kedepan untuk menemui situa Tawau.

— Rasanya agak lambat bapak, 

perjalanan kita ini — berkata Mahesa 

Wulung kepada Tawau yang telah berdiri 

di sebelahnya.

— Wah, kita menemui kesulitan, 

tuan Mahesa Wulung — jawab Tawau


seraya menunjuk kedepan. — Kedua 

saudara kita ini terpaksa membuka 

jalan yang baru, sebab jalan yang 

semula kita lalui telah hilang! —

— Eeeh, hilang? — sahut Mahesa 

Wulung dengan keheranan.

— Yah, begitulah — situa Tawau 

menyambung. — Tapi kita tak perlu 

cemas oleh hal itu. Jalan lain masih 

banyak untuk kita. —

— Hari sudah terlalu sore bapak, 

dan sebentar lagi akan gelap. — Mahesa 

Wulung berkata lagi, — Apakah kita 

tidak perlu berkemah jika malam nanti 

telah tiba? —

— Sebaiknya kita terus saja, tuan 

— kata situa Tawau — Kampung kita 

sudah tidak seberapa lagi jauhnya. 

Kalau berjalan terus larut malam nanti 

kita akan sampai disana. — Tawau 

berhenti sejenak lalu berkata kembali. 

— Namun kita mesti harus ber-hati-

hati, tuan. —

— Ooh, gawatkah tempat ini, 

bapak? —

— Aku kira demikian, tuan. Dan 

lagi aku belum pernah menginjak daerah 

ini yang bagi kami masih agak asing 

juga.

— Kalau begitu aku harus 

mengingatkan orang-orang ini lebih 

dulu, bapak! —


— Itu lebih baik, tuan. Silakan

memberitahu mereka sementara kami maju 

serta membuka jalan. —

Mahesa Wulung segera kembali 

kebelakang serta memberi peringatan 

kepada orang-orang, agar berhati-hati 

melewati jalan ini, sementara itu 

pendekar Seguntur yang berada 

dibarisan sebelah belakang tampak 

tersenyum mengejek, mencibirkan 

bibirnya. Entah mengapa Seguntur 

berlaku begitu, agaknya ia menganggap 

sepi kata-kata Mahesa Wulung itu.

Kembali rombongan itu maju 

perlahan-lahan, dan mereka berbaris 

satu persatu karena sempitnya jalan 

darurat yang baru saja mereka buka 

tadi.

Hutan didaerah inipun tak kalah 

hebatnya dengan hutan hutan lainnya. 

Memang pulau Borneo yang sebagian 

besar tertutup oleh hutan itu, benar-

benar membuat orang yang berhati kecil 

akan ketakutan menginjakkan kakinya 

dipulau ini.

Mahesa Wulungpun dapat merasakan 

kehebatan hutan ini, dan jika ia 

teringat pengalamannya ketika menempuh 

hutan Alas Roban dipesisir utara Jawa, 

ternyata bukan apa-apa jika 

dibandingkan dengan hutan disini. Jauh 

lebih hebat dan lebih ngeri hutan yang 

kini tengah dilalui ini.


Rombongan orang-orang ini lebih 

banyak berdiam diri, serta memasang 

kewaspadaan dengan secermatnya. 

Senjata siap ditangan dan sewaktu-

waktu dapat dipergunakan.

Mereka melihat banyak sulur-

suluran dan pohon pohon pakis sebagai 

semak-semak utama, sedan hawapun 

terasa lebih dingin. Bunga-bunga 

beraneka warna tampak bermekaran 

dengan indahnya dengan menyebarkan 

bau-bau harum keudara sore ini.

Mahesa Wulung agak kagum melihat 

semacam tumbuh-tumbuhan bunga yang 

berdaun panjang-panjang seperti 

belalai runcing terhampar ditanah. 

Jika dipandang dari atas, agaknya akan 

mirip sebuah bintang yang berjari-

jari, sedang ditengah-tengahnya 

terdapat sekuntum bunga yang berwarna 

merah kekuningan sangat menarik hati 

siapa saja yang melihatnya.

Semakin lama Mahesa Wulung banyak 

melihat bunga-bunga berdaun belalai 

tadi tumbuh disana-sini. Demikian pula 

orang-orang dalam rombongan tadi 

merasa takjub melihat bunga-bunga itu. 

Mereka merasa seakan-akan tengah 

berjalan ditaman bunga yang aneh.

— Kakang Mahesa Wulung. Bunga itu 

sangat aneh — ujar Pandan Arum kepada 

Mahesa Wulung yang ada didapannya. —

Belum pernah aku melihatnya. —


— Tapi aku merasa seolah-olah 

bunga-bunga tersebut tengah mengawasi 

kita, adi Pandan. — kata Mahesa 

Wulung.

— Ah, engkau ada-ada saja kakang 

Wulung. — Dalam pada itu, kedua orang 

anak buah Tawau yang berada didepan 

dan membuka jalan, juga menjumpai 

bunga-bunga berdaun belalai tadi. 

Seorang diantaranya cepat-cepat 

memungut sebuah bunga tersebut untuk 

dibabatnya karena dirasanya 

menghalangi jalan yang akan mereka 

lalui. Tetapi tiba-tiba orang tadi 

menjerit hebat dan mengerikan, sebab 

tahu-tahu seluruh daun-daun seperti 

belalai tadi dengan cepat terangkat 

keatas dan mengurung serta menjepit 

tubuhnya dengan duri-durinya yang 

menghunjam kedalam daging.

Kejadian tadi membuat orang orang 

terkejut dengan hebatnya, sampai-

sampai mereka terpaku tanpa sempat 

berbuat apapun. Dan lebih hebat lagi 

bila melihat orang yang terjerat daun 

belalai tadi tiba-tiba tak berkutik 

lagi dan tubuhnya kelihatan semakin 

menyusut dan pucat. Setelah itu tubuh 

tersebut terus mengempis hingga 

tinggal kerangka bersaput kulit, 

sedang daging darahnya lenyap, seperti 

disedot oleh daun-daun belalai tadi.

— Tumbuh-tumbuhan pemakan daging! 

— desis Mahesa Wulung, sedang Pandan


Arum cepat-cepat mendekap Mahesa 

Wulung saking takutnya.

Demikian pula orang-orang dalam 

rombongan itu terkejut semuanya dan 

tiba-tiba dua orang diantaranya

menjadi panik serta berlarian keluar

dari barisan. Namun tak urung kedua 

orang tersebut tanpa sadar telah 

menginjak bunga-bunga berbelalai tadi 

dan dalam sekejap mata mereka 

terkurung oleh daun-daun tersebut 

untuk kemudian mengalami nasib yang 

sama dengan korban yang pertama. 

Tubuh-tubuh mereka mengering dan 

kemudian terkulai rontok kebawah.

Pandan Arum menjerit ketakutan. 

Ia tak tahan melihat pemandangan yang 

mengerikan itu. Begitu pula sigadis 

Sandai menjadi ngeri hatinya dan ia 

mendekap lengan Daeng Matoa yang 

berada dibelakangnya. Pendekar Bugis 

inipun dengan sigapnya menyambut 

Sandai serta melindunginya, sementara 

tangan kanannya telah menggenggam 

pedang terhunus, siap menghadapi mara 

bahaya. — Tenanglah Sandai! Jangan 

panik! —

Oleh jeritan2 tadi serta bau 

darah yang masih menetes dari duri2 

daun belalai yang habis memakan 

korbannya, seketika daun2 belalai yang 

lainnya bergerak terangkat keatas 

bergerayangan turun-naik bagaikan 

minta korban pula seperti ketiga


tumbuh-2an bunga pertama yang telah 

kenyang melahap daging dan darah 

ketiga korbannya.

Sungguh mengerikan! Taman bunga 

yang semula tampak indah itu berubah 

mengerikan oleh daun2 belalai yang 

berjungkit2 naik turun dengan suara

bergesekan serta berdecit seperti 

jeritan2 kecil dari mulut-mulut yang 

kelaparan meminta makan. Jalan yang 

semula mereka lalui tadi juga telah 

tertutup oleh daun2 belalai, membuat 

seluruh rombongan Tawau dan Mahesa 

Wulung ketakutan setengah mati. Akan 

matikah seluruh rombongan tadi oleh 

tumbuh2an bunga pemakan daging ini?! 

Nah, para pembaca akan mendapat 

jawabannya kelak.

Sampai disinilah berakhir 

ceritera Seri Naga Geni "MAUT DI 

LEMBAH SAMPIT" dan segera menyusul 

Seri Naga Geni selanjutnya "KUTUKAN 

PATUNG INTAN", yang tak kalah 

hebatnya.





                              TAMAT





 

Share:

0 comments:

Posting Komentar