SATU
ANGIN SEJUK berhembus sepoi-sepoi
pada sisa-sisa malam itu, dan kapal
Barong Makara yang berlabuh dalam
teluk Sampit bergoyang mengangguk-
angguk seakan menyambut ujung cahaya
fajar yang mulai muncul di cakrawala
timur.
Beberapa orang awak kapal tampak
sibuk mempersiapkan pelayaran pagi
nanti sesudah matahari terbit cukup
tinggi. Mereka mempersiapkan tali
temali layar serta meneliti alat2 lain
ataupun bagian-bagian, kapal, seperti
dinding-dinding, kemudi, dayung-
dayung, dan sebagainya.
Ketika langit sebelah timur makin
berjambah terang, Mahesa Wulung,
Jagayuda, Daeng Matoa dan Pandan Arum
pun telah bersiap-siap pula. Mahesa
Wulung berkeliling beberapa saat untuk
memeriksa persiapan pelayaran, apakah
semuanya telah beres dan sempurna.
Sebab untuk pelayaranjarak jauh,
segalanya harus dipersiapkan dengan
baik. Jangan sampai ada kerusakah-
kerusakan kecil sekalipun. Jika
ternyata ada, maka lebih baik
diperbaiki sekarang dari pada sesudah
berlayar nanti, karena tidak mustahil
bahwa kerusakan yang kecil akan dapat
membawa bencana yang besar.
Dengan tersenyum puas, Mahesa
Wulung kembali kepada ketiga rekannya
tadi. Hatinya merasa puas setelah
melihat kerja para awak kapal yang
dengan teliti dan sempurna
mempersiapkan pelayaran ini.
— Adik Jagayuda. — ujar Mahesa
Wulung. — Perintahkan para perajurit
yang berjaga di pantai itu untuk naik
ke kapal dan sebentar lagi kita akan
berlayar. —
— Baik kakang. — Jagayuda berkata
seraya mengangguk hormat. — Kini
ijinkan saya turun ke darat. — Dan tak
lama kemudian tampaklah sebuah perahu
kecil yang membawa Jagayuda serta dua
orang pendayung meninggalkan lambung
kapal dan berkayuh ke arah pantai
teluk Sampit, untuk menjemput kelima
perajurit jaga yang semalam telah
berjaga di tempat itu.
Perahu tadi semakin berkayuh
cepat dan sebentar saja telah mencapai
pantai. Ketiga penumpangnya segera
berloncatan, turun dari perahu,
sementara kelima perajurit jaga segera
berlari-lari menyambut mereka dan
turut membantu menyeret perahu ke tepi
Dalam sepintas lalu, pantai yang
penuh ditumbuhi oleh semak pohon bakau
diseling oleh pohon-pohon kelapa yang
bertumbuhan disana-sini dengan
suburnya, sangatlah sepi tampaknya.
Tak ada gerak-gerik binatang besar
atau makhluk yang perlu mereka
takutkan, sebab yang mereka lihat
hanyalah burung-burung bangau dan raja
udang yang tengah sibuk mencari ikan-
ikan kecil. Sedang di lumpur-lumpur
pantai, di sela akar pohon bakau yang
bergayutan pada permukaan air, ikan2
glodog berloncatan riang menimbulkan
suara berkecopak di sana-sini.
Kedelapan orang tadi, yaitu
Jagayuda dengan ketujuh awak kapal
Barong Makara tidaklah mengira sama
sekati bila di balik dedaunan semak2
pohon bakau berpasang-pasang mata
telah mengawasi mereka sejak mulai
mendarat sampai mereka mengemasi tenda
dan alat-alat untuk bermalam. Namun
Jagayuda tidaklah sia-sia memperoleh
pangkat Tamtama Madya bila ia tiba-
tiba mengangkat muka setelah angin
berdesir ke telinganya dari arah
utara.
— Saudara-saudara!! Siapkan
senjatamu cepat-cepat dan jangan
bertanya apa-apa! — ujar Jagayuda
kepada ketujuh awak kapal yang tengah
bekerja didekatnya. — Aku mendengar
bunyi gemerisik dan dengus nafas dari
semak-semak pohon bakau disebelah
utara! —
Agak terkejut juga ketujuh awak
kapal yang mendengar seruan Jagayuda
ini dan secepat kilat tanpa menunggu
perintah yang kedua kalinya, mereka
menghunus dan menyiapkan senjatanya
masing-masing. Sesaat suasana menjadi
tenang tetapi juga tegang. Mereka
menanti beberapa waktu lagi. Tak ada
apa-apa dan mereka tetap bersiaga.
Beberapa awak kapal mulai gelisah
tampaknya, lalu diam-diam mereka
mengira bahwa Jagayuda mungkin salah
dengar atau memang tengah mencoba
kesiap siagaan mereka, sebab belum
juga tampak sesuatu yang muncul dari
balik semak-semak pohon bakau.
Jagayuda pun mulai mencucurkan
keringat dinginnya pada dahi dan
lehernya. Ia akan merasa malu jika
ternyata dibalik semak2 bakau itu
tidak ada sesuatu yang tengah mereka
tunggu. Namun itu semua bukan semata-
mata kesalahannya. Suara gemerisik dan
dengus nafas itu memang betul-betul
didengarnya dari sana.
Tepat disaat mereka tengah
gelisah dan bertanya-tanya didalam
hati, tiba2 muncullah sesosok tubuh
keluar dari balik semak2 pohon bakau
disebelah utara dan disaat itu juga
para awak kapal yang dipimpin oleh
Jagayuda tadi merangsak maju dalam
bentuk setengah lingkaran menghadap ke
arah orang yang baru saja muncul itu.
Mereka bersiaga menghadapi setiap
kemungkinan, sementara mereka menjadi
berdebar-debar hatinya demi pandangan
mata mereka menatapi tubuh orang
didepannya.
Dalam jarak enam tombak, orang
tadi berdiri dengan gagahnya, meskipun
wajahnya tampak setengah tua. Badannya
masih tampak segar dengan sebuah baju
tak berlengan penuh ragam hias
lingkaran2 kecil, dipakainya dalam
potongan yang sangat serasi. Sedang
selembar kain ikat kepala kecil
disertai beberapa lembar bulu burung
menghiasi kepalanya.
Pada tangan kirinya tergenggam
sebuah perisai panjang, juga dihiasi
oleh gambar lingkaran2 dengan warna
merah dan hitam.
Jagayuda dan para awak kapal tadi
tidak hanya sampai disitu saja
mengawasi orang tersebut. Mereka
dengan jelas dapat melihat hampir
semua perlengkapan dan pakaiannya.
Selain baju, orang itupun mengenakan
selembar kain tenun yang dipakainya
sebagai cawat dengan bagian ujungnya
terurai di sebelah muka dan pada
pinggang kirinya tergantung sebilah
mandau, sejenis pedang yang merupakan
senjata khusus dari pulau Borneo.
Melihat orang itu tetap berdiri
dengan tenang tanpa menunjukkan wajah
bermusuhan, Jagayuda dan orang-
orangnya menjadi semakin bercuriga.
Maka segeralah mereka bergerak lebih
dekat ke arah orang ini sedang
senjata2 ditangan mereka tetap
tergenggam erat, siap melaksanakan
tugasnya.
Namun alangkah terkejutnya
mereka, di saat jarak antara orang
tadi dan diri mereka tinggal kurang
lebih dua tombak, tahu2 berloncatanlah
dari balik semak2 di depan mereka
beberapa orang2 yang berpakaian serupa
dengan orang pertama. Pada tangan2
mereka tergenggam berbagai senjata,
seperti tombak, mandau, sumpitan dan
penggada. Orang2 inipun bersiap
dihadapan rombongan Jagayuda untuk
bertempur.
Untunglah orang pertama tadi
mengacungkan tangannya keatas dengan
jari2 terbuka, dan seketika orang2
yang baru muncul tadi mundur beberapa
langkah sambil menyarungkan senjata
mereka masing2.
Oleh hal ini, Jagayuda dan orang-
orangnya pun mengetahui maksud baik
dari mereka, maka ia pun memerintahkan
orang-orangnya agar segera menurunkan
senjatanya.
Sementara itu, Mahesa Wulung yang
berada diatas geladak kapal Barong
Makara, dapat pula melihat semua
kejadian di pantai beberapa saat
berselang. Dan ia pun menarik nafas
lega bila kedua rombongan itu tidak
sampai berbentrok. Maka segera
diperintahkan kepada anak buahnya
untuk menyiapkan serta menurunkan
sebuah perahu lagi ke air, karena ia
bermaksud pergi ke pantai serta
mendapatkan kedua rombongan itu.
Dalam pada itu Jagayuda juga tak
ketinggalan untuk mengacungkan
tangannya ke atas kepada ketua
rombongan yang bersenjata mandau itu,
sebagai pernyataan "tidak bermusuhan",
atau "bermaksud damai" seraya
melangkah ke hadapan si ketua rombong-
an itu disertai senyuman yang ramah.
Sebaliknya, siketua rombongan
menunjukkan senyumnya pula kepada
Jagayuda. Keduanya tak lama kemudian
saling mengeluarkan tangan dan
berjabatan dengan eratnya.
— Jagayuda — ujar
Jagayuda memperkenalkan
dirinya kepada ketua rombongan
itu.
— Tawau — terdengar siketua
rombongan yang bersenjata mandau tadi
menyebutkan namanya. — Maaf, jika
kedatangan kami telah mengejutkan tuan
dan para awak kapal ini. —
— Tak mengapa saudara, tak
mengapa. Bahkan seharusnyalah kami
yang meminta maaf, sebab begitu
saudara muncul dari semak2 pohon bakau
itu. kami menyambutnya dengan senjata
terhunus. —
— Heh, heh, heh, untunglah kita
tidak sampai mengadu senjata, tuan
Jagayuda. — kata Tawau. — Rupanya akan
hebatlah korbannya bila hal itu benar-
benar terjadi. —
— Hmm, akupun berpendapat begitu
saudara Tawau. Namun Tuhan Yang Maha
Besar telah menghindarkan bencana tadi
dari kita dan untuk itu kita patut
berterima kasih kepadaNya. — kata
Jagayuda dan Tawau mengangguk-angguk
karenanya. Kemudian Jagayuda bertanya
pula. — Saudara Tawau, mengapakah
andika begitu muncul tiba2 ketika kami
berada di pantai ini? —
— Memang, kami sengaja untuk
menemui tuan-tuan semua. — ujar Tawau.
— Kami mempunyai suatu maksud dan
semoga tuan-tuan bersedia
mendengarnya. —
— Katakanlah saudara Tawau, kami
akan mendengarnya dengan senang hati.
—
Percakapan mereka terpaksa
terhenti oleh bunyi kecupak air yang
tersibak oleh dayung-dayung dan sebuah
perahu telah mendarat di pantai.
Beberapa orang turun ke pasir dan
seorang bertubuh tegap langsung menuju
ke arah Jagayuda dan Tawau berdiri de-
ngan langkah2 yang mantap.
— Nah, saudara Tawau. Inilah
pemimpin kami. — Jagayuda berkata
ketika orang bertubuh tegap yang tidak
lain adalah Mahesa Wulung telah tiba
disamping mereka.
Mahesa Wulung mengangguk kepada
Tawau, berbareng itu Jagayuda berkata
lagi. — Kakang Mahesa perkenalkanlah.
Bapak ini bernama Tawau dan ia bersama
orang orangnya sengaja menemui kita. —
Sambil berjabatan tangan, Tawau
berkata kepada Mahesa Wulung. — Benar
apa yang dikatakan oleh saudara
Jagayuda ini. Kami memang sengaja
menemui tuan2 dengan suatu maksud yang
baik. —
— Eh, apakah yang bapak
kehendaki? — Mahesa Wulung berkata,
sedang dalam hatinya dipenuhi oleh
pertanyaan-pertanyaan, — Apakah kami
telah membuat sesuatu kesalahan
disini? —
— Kesalahan? — seru Tawau kaget.
— Oh, tidak. Sama sekali tuan-tuan
tidak berbuat kesalahan, bahkan
sebaliknya, Tuan-tuan telah berjasa
terhadap keluarga saya dan para
penduduk lainnya.
— Janganlah bapak keburu berkata
tentang jasa-jasa kami, sedangkan kami
sendiri tidak tahu menahu jasa-jasa
apakah yang telah kami perbuat dan
apakah hubungannya dengan keluarga
bapak serta para penduduk disini? —
Mendengar perkataan Mahesa
Wulung, orang tua ini justru malah
tersenyum seraya mengangguk-angguk,
lalu berkata. — Eh, kata-katamu
membuat hati bapak kagum setengah
mati. Tuan telah membuat satu jasa
besar bagi kemanusiaan dan tuan
sendiri malah tidak merasakan hal itu.
Atau mungkin tuan mencoba
menyembunyikan pengakuan itu? — Tawau
berhenti sejenak dan ketika Mahesa
Wulung belum juga berkata, kembalilah
si tua ini berkata — Yah, seorang yang
bijaksana dan berbudi luhur memang
seringkali menganggap suatu hal yang
biasa bagi jasa2 yang telah
diperbuatnya, sementara orang lain
memandangnya dengan kagum. Ketahuilah
tuan, dengan hancurnya Kapal Hantu
itu, kami sekarang telah merasa aman
dan lega, sebab selama ini hidup kami
selalu terancam oleh anak buah Kapal
Hantu yang telah sering kali merampok
dan mengganggu para penduduk. —
— Oh, jadi hal itulah yang bapak
maksudkan. — sahut Mahesa Wulung
setelah ia mengetahui duduk
persoalannya. — Tentang Kapal Hantu
itu, memang sebenarnya menjadi buron
kami, karena ia telah mengacau lalu
lintas pelayaran dilaut Jawa. Dan
kami, dari Armada Laut Demak mendapat
tugas untuk menghancurkannya. —
— Nah, jika tuan telah
mengetahuinya, maka sudilah tuan
menanggapi satu permintaan yang akan
kami sampaikan kepada tuan. —
— Marilah bapak katakan
permintaan itu, dan kami dengan senang
akan menyambutnya. —
Demi mendengar kesanggupan Mahesa
Wulung, orang tua ini menarik napas
lega. — Begini tuan, sesudah hancurnya
Kapal Hantu dan pulihnya ketenteraman
para penduduk disini, kami bermaksud
mengundang tuan2 untuk berkunjung ke
kampung kami, sebab para penduduk
ingin berkenalan dengan orang yang
telah berhasil menghancurkan Kapal
Hantu — Tawau berhenti sejenak seraya
memandang ke wajah Mahesa Wulung,
seolah-olah ingin menyelidik, apakah
pendekar muda ini bersedia memenuhi
undangannya — Dan kami telah
menyiapkan suatu perjaimuan untuk
tuan-tuan sekalian maka kami betul2
mengharapkan kedatangan itu. —
Mahesa Wulung tak segera menjawab
oleh permintaan yang telah diajukan
oleh Tawau tadi, karena disaat itu
pula ia telah dihadapkan pada
persoalan yang sulit. Yah, bukankah ia
telah mempersiapkan kapalnya untuk
berlayar kembali ke Demak? Sedang kini
ia telah diminta untuk berkunjung ke
kampung orang tua ini.
Sungguh persoalan yang sulit dan
mesti dipecahkan, dalam saat ini juga.
Kalau seandainya ia tetap melanjutkan
niatnya untuk belayar, ini berarti
akan membuat kecewa kepada Tawau dan
segenap penduduk sedang sebaliknya,
jika ia memenuhi permintaan Tawau, ini
sama saja dengan menunda pelayarannya.
Begitulah, sesaat Mahesa Wulung
terbungkam membisu sementara
pikirannya menimbang-nimbang akan
keputusan yang harus diambilnya.
Sebentar kemudian, pendekar muda ini
telah mengambil keputusannya dan
berkatalah ia kepada Tawau siorang tua
yang bersenjata mandau itu.
— Demi persaudaraan kita yang
telah terjalin ini, aku tak
berkeberatan untuk berkunjung ke kam-
pung bapak. — ujar Mahesa Wulung dan
keruan saja orang tua ini terlonjak
kegirangan.
— Weh, bagus! Itulah yang kami
harapkan, tuan —. seru Tawau. — Dengan
begitu tak akan sia-sialah perjamuan
yang telah kami persiapkan itu dan
kapankah kita berangkat? —
— Maaf bapak, tak dapat kami
tergesa-gesa sebab kami harus lebih
dulu memberi tahu kepada para awak
kapal agar pelayaran kita tunda dulu.
—
Tawau menganggukkan kepala oleh
kata-kata Mahesa Wulung dan pendekar
muda inipun memberi petunjuk-petunjuk
kepada Jagayuda. — Adi Jagayuda,
beritahukan kepada saudara Daeng Matoa
dan adi Pandan Arum agar mereka turun
ke pantai untuk menemaniku dalam
perjalananku ke daerah pedalaman.
Kemudian pimpinan kapal Barong Makara
sementara aku serahkan kepadamu. —
— Baiklah kakang, dan sekarang
juga aku akan kembali kekapal untuk
menjemput dan memberitahu mereka
berdua. — ujar Jagayuda serta berpamit
kepada Mahesa Wulung dan selanjutnya,
dengan beberapa orang telah berperahu
ke tengah laut mendekati kapal Barong
Makara.
Demikianlah tak lama kemudian
perahu tadi merapat ke dinding kapal
dan naiklah Jagayuda kegeladak lalu
menyampaikan segala pesan2 Mahesa
Wulung kepada Daeng Matoa dan Pandan
Arum. Maka sejurus lagi meluncurlah
sebuah perahu dan dari tepi dinding
kapal menuju kearah pantai, membawa
Daeng Matoa dan Pandan Arum.
Keduanya diperkenalkan kepada
bapak Tawau setelah mereka tiba di
darat dan Mahesa Wulung pun
berceritera kepada mereka berdua akan
segala maksud dan permintaan bapak
Tawau.
— Nah, bapak Tawau, sekarang kami
telah siap menyertai bapak untuk
bertamu ke kampung andika — kata
Mahesa Wulung kepada si orang tua itu.
— Bagus. Marilah kita berangkat —
Tawau berkata sambil kedua tangannya
memberi aba2 ke atas dan segera orang-
orangnya berkemas-kemas pula. Maka
berjalanlah mereka kearah utara
beriring-iring menembus hutan bakau
dan pohon kelapa menuju daerah
pedalaman. Berjalan paling depan
adalah empat orang anak buah Tawau,
lalu orang tua itu sendiri berjalan
berdampingan dengan Mahesa Wulung dan
di belakangnya berjalan Pandan Arum
bersama Daeng Matoa, disusul oleh enam
orang anak buah Mahesa Wulung kemudian
disambung pula oleh dua puluh orang
pengikut Tawau.
Daerah yang mereka tempuh semakin
lebat pohon-pohonnya. Batangnya yang
tinggi dan besar tak ubahnya pagar2
raksasa yang membentengi pulau itu
dari jamahan tangan manusia. Pohon2
besar seperti pohon besi, pohon sindur
dan lanan serta rotan2 yang berlilitan
seperti ular terlihat di sana-sini.
Diam2 hati Pandan Arum tergetar
pula menatap kelebatan hutan yang
tengah mereka lalui ini. Biarpun ia
merasa senang dengan beraneka ragam
bunga2 anggrek liar yang bergayutan
pada batang2 pohon di sepanjang
perjalanan, namun sekali2 ia terkejut
oleh jeritan2 melengking memekakkan
telinga, hingga ia terpaksa berpegang
pada pundak Mahesa Wulung yang
berjalan di depannya. Melihat hal ini,
bapak Tawau menoleh sambil tersenyum,
dan berkata dengan pelan, — Jangan
takut nona Pandan Arum, itu tadi
adalah jeritan2 dari Orang Utan,
sejenis kera besar yang hanya terdapat
di hutan pulau Borneo ini. Rupanya ia
terkejut melihat orang2 yang sebanyak
ini. —
Pandan Arum melihat ke atas ke
arah cabang2 pohon yang hampir
seluruhnya menutup dan melingkupi
udara, sehingga warna biru langit
hampir tak terlihat sama sekali,
kecuali dari sela2 dedaunan.
Sekali waktu Pandan Arum
tercengang2 melihat bayangan-bayangan
hitam berkelebat di antara cabang dan
dahan2 pepohonan lalu lenyap dibalik
dedaunan.
— Nah, itulah tadi Orang Utan
yang menimbulkan suara2 jeritan
melengking. Selama orang tak
mengganggu maka iapun tak akan
mengganggu kita — berkata bapak Tawau
kepada Mahesa Wulung dan Pandan Arum
serta Daeng Matoa.
— Tapi, apakah belum pernah ada
orang yang berani menangkapnya? —
tanya Mahesa Wulung.
— Oh, tentu ada tuan. Namun itu
pun hanya orang-orang tertentu, yaitu
para tagoh atau pendekar-pendekar
berilmu tinggi. Sebab seekor Orang
Utan' yang benar-benar marah akan
mengamuk dengan hebat. — jawab Tawau
kepada tamunya. — Dan tidak sembarang
orang berani menghadapinya. —
— Hmm hebat juga binatang itu! —
desis Mahesa Wulung. Perjalanan
diteruskan kearah utara dan hutan pun
bertambah lebat. Sekali-sekali mereka
terpaksa melewati rawa-rawa kecil atau
genangan air dan tak jarang beberapa
orang setelah melewatinya jadi sibuk
memunguti dan melepaskan lintah-lintah
yang menempel pada kaki mereka.
Binatang-binatang kecil pengisap darah
ini terlepas sesudah diludahi dan
dipelintir dengan jari. Sedang Mahesa
Wulung dan anak buahnya yang kebetulan
membawa daun sirih atau ranjangan
tembakau dengan mudahnya mengusir bi-
natang-binatang tadi dengan cucuran
air sirih atau air tembakau.
Perhatian Pandan Arum tiba-tiba
dipecahkan oleh jeritan kicauan yang
serak dari atas pohon dan
tercenganglah ia melihat burung burung
ganjil bertengger di depan sebuah
lubang pada batang kayu.
— Bapak Tawau, sungguh ganjil
burung-burung ini! — ujar Pandan Arum
seraya menunjuk ke atas.
— Ooo? nama burung itu adalah
Enggang dan lihatlah paruhnya yang
besar. Agaknya ia tengah memperlebar
lubang pada pohon itu. —
— Uuuh, memperlebar lubang pada
batang pohon itu? Apakah maksudnya
bapak? — sela Daeng Matoa ikut
bertanya pula.
— Itu berarti bahwa ia tengah
mencari tempat untuk bertelur. Sesudah
lubang tadi cukup lebar, burung
Enggang yang betina akan masuk ke
dalam untuk bertelur, sementara burung
jantan menembok lubang pohon tadi dari
sebelah luar dengan lumpur serta tanah
liat dan ia cuma menyisakan sebuah lu-
bang kecil tempat si betina
melongokkan kepalanya keluar.
— Wah, sungguh aneh kebiasaan
burung Enggang itu bapak Tawau? —
desis Pandan Arum.
— Heh, heh, heh, nona boleh
keheranan oleh kesetiaan si jantan. Ia
setiap hari dan setiap kali mencari
makanan buat si Enggang betina.
Sesudah telurnya menetas, si betina
lalu memecah tembok lumpur tadi dan
keluarlah ia dari dalam lubang. Mereka
lalu mengurung dan membiarkan anak-
anaknya tinggal didalam lobang
tersebiut serta menembok kembali se-
perti semula dengan lumpur. Kini
Enggang betina dan jantan akan
mencarikan makanan buat anak anak
mereka serta bergantian menyuapinya.
Dengan begitu mereka tak usah
menguatirkan keselamatan anak-anaknya
sampai kesemuanya besar dan sudah
waktunya keluar dari lubang tersebut.
— Demikianlah si tua Tawau berceritera
sambil berjalan bersama tamu-tamunya.
Hal ini membuat senang mereka, lebih
lebih bagi Pandan Arum yang dasarnya
haus akan pengetahuan. Di tengah hutan
seliar ini ternyata banyak hal hal
yang aneh, yang patut diketahui.
Apabila rombongan tadi semakin
jauh ke utara menjelajah hutan liar
ini, semakin terlihatlah banyaknya
sulur-sulur tumbuh-tumbuhan dan rotan
yang bergayutan, berjuntai kebawah
bagaikan tangan-tangan hantu yang siap
menerkam korbannya. Si tua Tawau
segera berkata kepada para tamunya, —
Saudara-saudara jangan terlalu banyak
berjalan dengan menundukkan kepala
kebawah, tetapi sering-seringlah
melihat keatas. Sebab dengan begitu
saudara-saudara akan dapat membedakan,
apakah itu sulur tumbuh-tumbuhan
ataukah tubuh seekor ular yang tengah
menanti mangsa. —
Dan tiba-tiba sebelum rombongan
bergerak, Mahesa Wulung menggenjotkan
kakinya ke tanah dan tubuhnya dengan
sebat melesat ke atas dibarengi pe-
dangnya berputar selingkaran penuh.
Bulu tengkuk Pandan Arum seketika
bergidik meremang mendengar peringatan
situa Tawau, sehingga tak dapat
disalahkan bila gadis pendekar inipun
menggandeng lengan kekasihnya, Mahesa
Wulung.
Belum lagi lama selesainya Tawau
berkata tadi, mendadak orang tua ini
meminjam sebuah sumpitan panjang dari
tangan seorang anak buahnya dan
lansung ditembakkannya kearah atas
pepohonan disebelah muka.
— Cappp! — Anak sumpitan melesat
dan disusul bunyi benturan menancap,
kemudian sebatang sulur! sebesar
lengan yang tidak lain seekor ular
hitam kecoklatan melorot kebawah lalu
terhempas ke tanah dengan kepalanya
tertembus oleh anak sumpitan.
— Oooh! — jerit Pandan Arum
tertahan.
— Tak apa-apa nona, tenang lah.
Bahaya telah lewat ! — ujar situa
Tawau dengan ramahnya. — Ular itu
telah mati dan tak akan mengganggu
perjalanan kita lagi. —
Suasana sesaat menjadi senyap dan
mereka segera bergegas-gegas untuk
melanjutkan perjalanannya kembali.
Tetapi, benarkah bahaya telah lewat?
Agaknya tidak demikianlah
kenyataannya, sebab telinga Mahesa
Wulung telah menangkap suara berisik
serta desis perlahan dari atas
dedaunan tepat diatas jalan yang
tengah dilaluinya. Dan tiba-tiba
sebelum rombongan bergerak, Mahesa
Wulung mengenjotkan kakinya ke tanah
dan tubuhnya dengan sebat melesat ke
atas dibarengi pedangnya berputar
selingkaran penuh kearah dedaunan dan
terdengarlah kemudian bunyi tebasan
serta desis yang terputus, lalu
terkulailah sebuah tubuh ular dengan
kepala yang terpisah meluncur jatuh di
tanah. Dalam saat yang sama Mahesa
Wulung telah pula mendarat dan tiba di
tanah seraya menyarungkan pedangnya.
Keruan saja si tua Tawau dan anak
buahnya terlongoh2 keheranan melihat
gerak Mahesa Wulung yang demikian
cepat dan tangkasnya, sehingga orang
tua ini tanpa segan-segan memuji
sipendekar muda yang menjadi tamunya.
— Hebat! Tak kami kira bahwa tuan
rnampu berbuat demikian. Maka tak
heranlah bila Kapal Hantu itu telah
berhasil anda hancurkan.—
— Aah, bapak Tawau berlebih
lebihan memuji saya. Penghancuran
Kapal Hantu itu tidak saya lakukan
seorang diri, tetapi bersama saudara
Daeng Matoa ini juga. — ujar Mahesa
Wulung sambil menepuk bahu pendekar
Bugis itu dengan tangannya, dan Daeng
Matoa cuma tersenyum karenanya.
— Oooh! Kalau begitu lebih hebat
lagi! Tak kukira bahwa tamu-tamuku
terbilang pendekar2 tangguh, — seru
Tawau tak habis kagumnya, — Nah,
marilah kita lanjutkan lagi perjalanan
kita. —
— Marilah bapak! — ujar Mahesa
Wulung. Mereka meneruskan
perjalanannya kembali kearah utara
menyusuri sepanjang tepi sungai Sampit
yang mengalir kearah selatan dengan
derasnya.
Sungai ini makin lama makin
menyempit dan berbelok-belok bagaikan
ular yang tengah melata. Makin
keutara, makin banyak terdapat riam-
riam dan batu-batu yang bertebaran
disungai.
Jauh disebelah barat laut Sana,
terbayanglah kebiruan tanah pegunungan
yang terlihat dari celah-celah
pepohonan, menimbulkan rasa nglangut
menerawang seakan-akan membuat hati
rindu. Bagi si tua Tawau dan anak
buahnya yang terbiasa hidup di hutan
belantara Borneo ini, tak ada
pengaruhnya sama sekali. Tetapi untuk
Mahesa Wulung, Pandan Arum dan Daeng
Matoa serta para awak kapal Barong
Makara sungguh besar pengaruhnya!
Selain lelah, mereka setengah diliputi
perasaan jemu. Mereka ingin menatap
pemandangan yang lepas bebas,
menyaksikan birunya langit dan
sinarnya matahari yang terang
benderang. Sedang kini, yang mereka
lihat melulu pohon-pohon yang tinggi
dengan daunnya yang melingkupi udara,
seolah-olah hutan ini tak ada
putusnya.
Dari berkas-berkas sinar matahari
yang jatuh, dapatlah diketahui bahwa
matahari telah condong ke sebelah
barat, sebagai pertanda bahwa senja
tengah menjelang.
*****
Sementara itu, dalam waktu yang
hampir bersamaan dan jauh di sebelah
tenggara teluk Sampit tampaklah
seorang manusia yang sedang berenang
dari tengah laut dengan tangan
sebentar-sebentar menggapai-gapai tak
teratur, menunjukkan bahwa orang
tersebut telah kelelahan, kehabiran
tenaga. Dengan susah payah akhirnya
tibalah ia ditepi pantai dan seketika
merebahkan tubuhnya di pasir.
Orang ini menatapkan matanya
kearah hutan yang mulai menggelap dan
suram. Tiba-tiba pandangannya
menangkap dua sosok tubuh yang
bergayutan lincah dan meloncat turun
dari atas dahan pohon. Keduanya
perlahan-lahan berjalan ditanah,
sedang dibelakang mereka tiba-tiba
bergayutan pula sosok-sosok tubuh yang
meloncat turun ke tanah, tidak kurang
dari sepuluh jumlahnya. Maka kedua
belas sosok tubuh itu berjalan
mendekati kearah tempat orang yang
baru mendarat tadi.
Tentu saja tak terbayangkan
betapa kaget dan takutnya orang itu
yang kedatangan dua belas sosok tubuh
berjalan dalam keremangan senja. Dua
sosok tubuh yang berjalan paling depan
sangat banyak bedanya. Yang satu
bertubuh kurus tapi kekar, sedang yang
satunya bertubuh pendek, besar dan
kedua tangannya sangat panjang, sampai
mencapai tanah.
Demikian pula yang kesepuluh
sosok tubuh dibelakangnya, tak berbeda
dengan sosok tubuh kedua. Mereka
memiliki pula tangan-tangan yang pan-
jang terseret ditanah.
Hampir saja orang tadi mengira
bahwa kedua belas sosok tubuh tadi
adalah hantu-hantu dedemit penghuni
alas rimba teluk Sampit, namun sosok
tubuh yang kurus tadi tiba2
menyapanya. — Haai! Bukankah anda
bernama si Mata Siji dari Kapal
Hantu?! —
Orang yang disebut si Mata Siji,
yakni orang yang baru saja mendarat
tadi terhenyak keheranan sampai ia
mengangkat kepalanya serta mempertajam
penglihatannya. Pandangannya kini
mulai jelas. Sosok tubuh yang kurus
itu adalah manusia seperti dirinya
juga. Bahkan dengan perlahan-lahan ia
dapat mengenalsikurus ini.
— Bengara! — desis si Mata Siji
atau yang dulu bernama Jaramala kepada
si kurus. — Kemana saja bapak selama
ini? —
— Hee, aku orang merdeka dan
bebas kemana saja serta berbuat
apapun! Anda tak perlu bertanya apa2
kepadaku! — bentak Bengara dengan
mencibirkan bibirnya. — Tak seorangpun
yang bakal menghalang-halangiku.
Lihatlah kesebelas orang temanku ini.
Mereka akan menjaga dan melindungiku
dari setiap bahaya. —
Si Mata Siji terperanjat, begitu
matanya menatap kesebelas teman
Bengara yang berdiri dibelakang
berjajar bagai pagar. Kehitaman,
berbulu kehitaman. Mereka adalah
sebelas ekor Orang Utan yang berdiri
dengan garangnya!
— Jangan anda takut! Heh, heh,
heh, selama anda tak mengusiknya dan
anda tetap menghormatiku, anda akan
selamat. Tapi jika anda melanggar
kedua hal itu, jangan harap tubuhmu
masih utuh. Mereka akan mencabik-cabik
dan melahap tubuh anda dalam waktu
singkat!—
— Hmm, bapak Bengara mengancamku?
— gumam si Mata Siji.
— Bukan mengancam, tapi sekadar
peringatan saja. Aku tak ingin ada
orang yang terlalu banyak mengetahui
tentang diriku! —
— Baiklah — sahut si Mata Siji. —
Tapi bapak akan menyesal bila
mendengar perihal Ki Monyong Iblis!
— Heei, perihal Monyong Iblis?
Apa yang terjadi dengan sahabat
karibku itu?! — seru Bengara tak
sabar. — Ayo, lekas katakan terus
terang atau kamu ingin diganyang oleh
pengawal-pengawalku ini! —
Si Mata Siji di dalam hati
tersenyum geli melihat tingkah laku
Bengara, pendekar liar yang berpakaian
kulit beruang itu. Ia tahu bahwa
antara Ki Monyong Iblis dengan Bengara
terjalin persahabatan erat, sehingga
keduanya saling membantu dan bekerja
sama. Maka tak heranlah bila ia sangat
tertarik akan perihal diri Monyong
Iblis.
— Heh, baiklah kalau bapak ingin
mengetahui nasib Ki Monyong Iblis. Ia
telah meninggal dan Kapal Hantu telah
meledak! — ujar Mata Siji tandas
bernada geram.
— Gila! Apa katamu tadi, ha? Ki
Monyong Iblis telah mati? — teriak
Bengara sambil meringkus leher baju si
Mata Siji serta menggoncang-goncangnya
— Coba berkatalah yang jelas. Mungkin
aku tadi salah dengar! —
— Aku telah berkata begitu dan
bapak telah mengatakannya pula. Maka
tak ada yang keliru lagi. Ki Monyong
Iblis telah meninggal!! —
— Keparat! Siapa yang
melakukannya? Siapa berani berbuat
demikian terhadap sahabat karibku, ha!
— teriak Bengara dengan beringas.
— Ia telah meninggal oleh tangan
Mahesa Wulung dan orang itu pula yang
telah menghancurkan Kapal Hantu! —
— Heerh! — terdengar suara geram
dari mulut Bengara disertai pancaran
matanya berapi-api karena marah.
— Aku belum pernah mendengar nama
Mahesa Wulung itu. Dimana sekarang
orang itu? Aku ingin pula mengukur
tenaga dengan dia. Kalau sahabatku, Ki
Monyong Iblis setelah binasa ditangan
Mahesa Wulung, pastilah ia termasuk
pendekar jagoan, sebab untuk
merobohkan orang seperti Ki Monyong
Iblis itu diperlukan keberanian dan
ilmu yang bertihgkat tinggi! -
— Tepat! — Memang tepat! Orang
yang bernama Mahesa Wulung itu adalah
pendekar jagoan dari Armada Demak dan
kiranya hanyalah bapak yang bisa
mengalahkannya! —
— Tapi mengapa engkau sendiri tak
ikut melawannya — damprat Bengara
kepada si Mata Siji.
— Bapak tak tahu bahwa pada saat
itu tengah terjadi pertempuran hebat
digeladak Kapal Hantu dan kami masing-
masing mendapat lawan yang tangguh-
tangguh! Nah, kalau bapak ingin
mencari Mahesa Wulung, orang itu
sekarang tengah berkunjung ke lembah
Sampit dan menjadi tamu si tua Tawau.
Begitulah mereka telah kuintai tanpa
setahu siapapun —
Pendekar liar Bengara tampak
mengangkat kedua alisnya dan berkata
keras. — Uh, jadi orang itu pun telah
bersahabat dengan Tawau?! Wah kita
bertambah sulit jadinya. Terhadap si
tua Tawau kita harus berhati-hati! —
— Sekarang kemana tujuan kita? —
tanya si Mata Siji kepada Bengara,
sedang kesebelas Orang Utan pengawal2
Bengara melenguh-lenguh seperti tak
sabar.
— Ayo ikutlah aku si Mata Siji!
Kita bisa Bantu-membantu! — ujar
Bengara seraya memberi isyarat kepada
sebelas pengawalnya untuk kembali ke
tengah hutan, diikuti pula oleh si
Mata Siji. Mereka berjalan ke arah
utara dan sejurus kemudian lenyap,
seperti ditelan oleh hutan belantara.
Malampun mulai turun dan kegelapan
merajai segalanya.
DUA
BEBERAPA gubuk liar yang sangat
sederhana, terdiri dari cabang-cabang
pohon dipancangkan diatas tanah dengan
beratapkan daun-daun pepohonan.
Dua buah unggun api telah
terpasang menyala dengan lidah apinya
menjilat keudara, sedang
disekelilingnya berkerumun beberapa
orang. Hawa panas memancar dengan rasa
nyaman pada malam yang gelap dan
dingin, di tengah rimba Borneo.
Pada api unggun yang satu,
tampaklah situa Tawau, Mahesa Wulung,
Pandan Arum dan Daeng Matoa. Sedang
disekeliling api unggun kedua yang
agak lebih besar, beberapa orang
duduk-duduk disitu. Mereka adalah anak
buah Tawau dan para awak kapal Barong
Makara. Rupanya dalam waktu yang
singkat itu telah terjalin
persahabatan yang erat diantara me-
reka.
— Bapak Tawau, ternyata jauh juga
tempat tinggal andika — ujar Mahesa
Wulung — Kapan kita sampai disana? —
— Oh, janganlah tuan merasa
cemas. Besok pagi atau paling lambat
disaat matahari tepat di atas kepala,
kita akan sampai disebuah lembah dan
disitulah tempat tinggal kami — kata
situa Tawau dengan ramahnya. — Dan
lembah itu namanya ialah lembah
Sampit. —
— Mmm, dapatkah saya mendapat
gambaran tentang tempat tinggal bapak
itu? —
— Kami tinggal didalam rumah
rumah panjang yang berdiri diatas
tonggak tonggak kayu dan untuk naik
kerumah kita menggunakan tangga kayu.
Mungkin tuan akan bertanya mengapa
rumah-rumah kami berdiri diatas
tonggak tonggak kayu. Yah, itu untuk
menghindari gangguan binatang-bintang
buas ataupun rasa dingin yang timbul
bila hujan lebat turun dan ajrnya
menggenangi tanah dan rerumputan
dibawah. —
Tiba-tiba percakapan mereka
dihentikan oleh teriakan Pandan Arum
yang duduk di samping Mahesa Wulung
mengejutkan semua orang.
— Oh, ada apa nona? — tanya Tawau
setenyah heran.
— Mengapa Pandan Arum? ! — Mahesa
Wulung bertanya pula.
— Itu! Itu, mata itu kakang,
lihatlah! Mata hantu yang bersinar!
Hiii!! — seru Pandan Arum dengan
tangannya menunjuk-nunjuk kearah pohon
di sebelah kanan atas. Baik Mahesa
Wulung, Daeng Matoa maupun orang-orang
awak kapal Barong Makara terperanjat
pula ketika menatap kearah pohon yang
ditunjuk oleh Pandan Arum.
Memang diantara dedaunan lebat
terlihatlan dua bulatan menyala kuning
kehijauan yang sebentar turun naik
diantara cabang-cabang pohon, tak
ubahnya mata hantu seperti yang
dikatakan oleh Pandan Arum.
— Heh, heh, heh, tenanglah nona
yang juga tuan2 semua saya harap tidak
panik. Itu bukan mata hantu, tetapi
mata seekor binatang yang bernama
Kukang. — ujar situa Tawau. — Nah,
lihatlah itu. Seorang anak buahku akan
mengoborinya. —
Seorang anak buah Tawau mendekati
pohon tadi kemudian menerangi dengan
sebilah obor ditangannya dan apa yang
dikatakan oleh situa Tawau ternyata
benar.
Pada sebuah cabang pohon
bergantunglah seekor binatang berbulu
mirip kera tetapi tak berekor. Ia
memegang cabang pohon itu dengan kedua
kaki belakangnya, sedang kedua kaki
muka mengusap usap mulutnya. Mungkin
ia tengah makan sesuatu atau mungkin
pula ia merasa silau terkena cahaya
obor tersebut.
Dengan gerak yang tenang binatang
Kukang ini berjalan lurus sepanjang
cabang pohon yang melurus tumbuh
keatas, dan kemudian bersrrnbunyi
dibalik dedaunan.
Serentak terdengar orang-orang
menghela napas lega. Malah ada
diantaranya tertawa geli melihat Ku-
kang itu bersembunyi seperti orang
malu karena terkena cahaya obor
tersebut.
Suasana menjadi tenang kembali,
kecuali bunyi jengkerik dan belalang
bersahut-sahutan bagai alunan irama
senandung malam. Dari jauh terdengar
sayup2 raungan binatang buas. Suaranya
mengaung terpantul pada tebing2
pepohonan menggetarkan rongga2 dada.
Namun mereka tak perlu kuatir
lagi sebab enam orang telah berjaga
dengan cermatnya disekitar perkemahan
darurat itu. Dari keenam orang penjaga
tadi, yang dua orang adalah anak buah
Mahesa Wulung, sedang yang empat orang
lagi adalah anak buah situa Tawau.
Karena itu yang lainnya tidak perlu
ikut berjaga semalam suntuk. Mereka
boleh mempercayakan keamanan rombongan
ini kepada keenam penjaga itu.
Biarpun begitu, Mahesa Wulung
tidaklah dapat sepenuhnya tertidur
pulas, melainkan ia hanya "tidur-
tidur ayam" saja, yang setiap saat
dapat terbangun dan bersiaga bila ada
hal2 yang tidak diinginkan. Lebih-
lebih ia merasa ditempat asing yang
belum dikenalnya, sehingga kewaspadaan
adalah unsur penting yang harus
diutamakan.
Begituiah malam terus berlalu
dengan lambathya dan semakin larut,
udara dingin terasa menusuk tulang-
belulang sampai ketulang sumsum
rasanya. Para penjaga selalu
bergiliran dan setiap kali enam orang
selalu berjaga sedang enam orang yang
baru selesai, diganti segera
merebahkan dirinya diatas dedaunan
kering atau pun berselimutkan kain
yang dibawanya. Mereka sebentar saja
tertidur pulas.
Ketika tengah malam telah lewat,
mendadak bunyi dering jengkerik
terhenti dengan tiba-tiba membuat hati
para penjaga seketika berdebar-debar
dengan kerasnya.
Demikian pula Mahesa Wulung yang
tajam tel-nganya itu, ia merasakan
adanya sesuatu yang ganjil, yang
membuat para jengkerik itu tiba-tiba
membisukan diri. Maka cepat-cepatlah
ia bangun dari pembaringannya serta
mendapatkan para penjaga.
— Tuan! — desis seorang penjaga
yang berdiri didekat Mahesa Wulung..—
Kami merasakan sesuatu yang ganjil!
Rasanya kita tengah dikepung oleh
bencana! Oleh maut! —
— Tenanglah! Apa yang anda
katakan tadi, juga tengah aku rasakan
sekarang ini. — ujar Mahesa Wulung dan
kemudian ia berseru kepada keenam
orang penjaga itu. — Awas!! Kita telah
terkepung! Musuh telah bercokol di
sekitar kita. Perhatikan baik-baik
pepohonan disekitar kita ini, dan
siapkan senjata kalian. —
Keenam orang penjaga tersebut,
lekas-lekas menghunus senjatanya
masing-masing dan alangkah kagetnya
mereka ketika pandangan mata mereka
tercampak pada pepohonan yang tinggi
disekitar mereka. Pada dahan-dahan
pohon tadi, terlihatlah dua belas
sosok tubuh yang bertengger dengan
enaknya.
Keruan saja keenam pengawal
tersebut mengalirkan keringat dingin
yang menetes dari dahi dan pelipis
mereka. Tambahan lagi sebentar
kemudian kedua belas bayangan itupun
mengeluarkan suara riuh, melenguh
serta menjerit dengan suara
menggetarkan udara sekeliling.
— Nguuuuk......
ngoaaak........kiaaaak.......
kuiiik......ngeek-ngeek......—
Beberapa orang yang tengah tidur
telah terbangun oleh suara ribut-ribut
itu. Tampak seperti situa Tawau, Daeng
Matoa dan Pandan Arum dan beberapa
orang lainnya.
— Apa yang terjadi tuan Mahesa
Wulung? — tanya Tawau dengan gugupnya.
— Kita telah dikepung oleh musuh,
bapak! —
— Musuh?! Aneh sekali! Disekitar
sini jarang manusia tinggal! — ujar
Tawau keheranan. — Dan kalau ini ada
orang yang berada disekitar tempat
ini, pastilah mereka juga salah satu
penduduk dari desa kami sendiri! —
Percakapan mereka terhenti oleh
sebuah derai ketawa bergetar dari atas
pepohonan itu.
— Hah, hah, hah, hah, hah, hah.
Maaf para sobat sekalian! Aku terpaksa
mengganggumu sebentar, karena aku
tengah mencari manusia yang bernama
Mahesa Wulung! —
Mahesa Wulung terperanjat oleh
suara ini. Juga situa Tawau yang
merasa sebagai tuan rumah bagi tamu-
tamunya yakni Mahesa Wulung
serombongan itu haruslah bertanggung
jawab atas keselamatan mereka.
— Hei, tunjukkan mukamu lebih
dulu! Siapa engkau, hah? — teriak
Tawau dengan marahnya.
— Hah, ha, ha, ha, ha. Kalian
sudah terkepung, para sobat! Dan
ketahuilah bahwa aku cuma berurusan
dengan orang yang bernama Mahesa
Wulung dan biarkan aku membuat
perhitungan dengan dia! — terdengar
suara dari atas pohon.
— Apa maksudmu, setanl Keluarlah!
— situa Tawau berteriak pula dengan
jengkelnya. Betapapun jadinya ia tak
akan membiarkan tamunya diganggu.
— Tua keriput! Hah, ha, ha, ha.
Aku tak berurusan dengan kalian! —
terdengar pula teriakan dari atas
pohon. — Sekali lagi aku peringatkan,
bahwa aku cuma akan membuat
perhitungan dengan Mahesa Wulung. Lain
tidak! —
Situa Tawau jadi kian tersinggung
oleh kata-kata dan suara tadi dan
kembali ia berseru — Keparat! Sebelum
berurusan dengan dia, akupun bersedia
membuat perhitungan dengan kamu! —
— Bagus! Tawau yang telah tua
lumutan ini ingin bergurau dengan
diriku? Jadi kau berani menantangku? —
terdengar ancaman lagi. — Awas jangan
menyesal nanti! —
Sementara itu Mahesa Wulung yang
berdiri disamping Tawau, segera
menggait lengan orang tua ini seraya
berbisik. — Bapak, mengapa andika
bersikap begitu? Bukankah suara itu
hanya mencariku saja? —
— Biarpun begitu. — jawab Tawau
kepada Mahesa Wulung. — Aku ingin
melayaninya pula dan tuan lihat
sajalah nanti. Jika bapak terpaksa
kalah barulah tuan boleh turun tangan!
—
Sebuah bayangan yang bergerak
lincah tak ubahnya gerak seekor kera
tahu-tahu telah meluncur dari balik
dedaunan, kemudian bergayut-gayut pada
sebatang dahan pohon, kemudian
meluncur keatas tanah dalam gaya yang
manis dan ringan tampaknya seperti
selembar kapas jatuh kebawah tanpa
menimbulkan suara sedikitpun.
Selanjutnya, begitu di tanah, bayangan
tadi terus saja mengumbar suara,
memperdengarkan ketawanya — Hah, ha,
ha, ha. Nah, tua keriput! Kini kita
telah berhadapan muka. Sekarang mari
tunjukkan permainanmu dihadapan
Bengara ini, dengan sepenuh tenagamu
agar nanti tidak menyesal bila aku
terpaksa meremukkan tubuhmu! —
— Bengara! — Bedebah! Jangan coba
menakut nakutiku seperti dengan anak
kecil saja! Dulupun aku telah
mengalahkanmu karena perbuatanmu yang
suka merusak ketentraman kampung, dan
sekarang kau muncul kembali untuk
mengganggu tamuku! —
— Bah. Itu dulu, waktu yang telah
lampau. Tetapi kini lain sama sekali.
Bengara yang sekarang berdiri disini,
bukanlah Bengara yang ingusan dulu,
yang mudah kau lemparkan seperti
segumpal batu belaka! Bengara sekarang
adalah pendekar liar pilih tanding!
Ayo cabutlah mandaumu itu Tawau!
Sesudah kau binasa, selanjutnya akan
menyusul yang lainnya satu demi satu!
—
Wajah Tawau seketika merah
membara mendengar kesombongan
sipendekar Bengara. Maka tanpa
memperpanjang waktu lagi, ia melolos
mandaunya dan secepat kilat menebas
kearah dada Bengara. — Wesss! —
Sungguhpun cepat dan tiba-tiba,
bahkan tebasan mandau tadi hanya
merupakan seleret sinar putih kemilau,
anehnya cuma menebas udara kosong,
sebab keburu tubuh Bengara terlebih
dulu telah melenting keudara
berjumpalitan, lalu bergayut pada
seutas sulur rotan sambil terkekeh-
kekeh ketawa.
Agak kecewa bercampur heran situa
Tawau bila tebasan mandaunya meleset
begitu mudah. Cepat-cepat ia mengulang
serangannya, secepat tubuh Bengara
mendarat kembali diatas tanah.
— Hyaaat!! — Ujung mandau melibas
kearah Bengara dengan kencang,
tapi.....sreet! Bengara sekali lagi
memperlihatkan kelincahannya. Ia
merebahkan diri ketanah dengan
punggungnya lebih dulu, dan ketika
senjata mandau si tua Tawau terjulur
diatas tubuhnya, kedua kaki Bengara
beraksi dengan tendangan berganda
keatas. — Taap! Plaaak! —
Sebuah jeritan kecil keluar dari
mulut Tawau begitu kedua ujung kaki
Bengara telah menghajar tangan
kanannya, Seketika senjata mandau tadi
terpental lepas dari tangan Tawau.
Rasa terkejut Tawau belum habis
ketika tiba-tiba pendekar liar Bengara
itu bangkit dan kedua tangannya
menyambar bahu lawannya. Situa Tawau
lebih terkejut lagi. Tak mengira bila
kedua bahunya kena dicengkeram oleh
tangan Bengara.
— Haaaait! Mampus kau tua
keriput! — teriak Bengara sekaligus
menghempaskan tubuh Tawau kearah
sebatang pohon besi.
Meskipun pertempuran ini hanya
diterangi oleh dua onggok api unggun
serta obor-obor ditangan orang-orang
yang berdiri disitu namun Mahesa Wu-
lung dengan mudahnya mengikuti
pertempuran tersebut, apa lagi ketika
tubuh Tawau kena dilemparkan oleh
Bengara, Mahesa Wulung cepat
bertindak. Tubuhnya melesat mencegat
tubuh Tawau yang meluncur bagai anak
panah siap membentur sebatang kayu
besi.
Dengan tangkapan serta sergapan
tangan yang cepat, Mahesa Wulung
menyambar tubuh Tawau yang. tengah
meluncur tadi dengan arah memotong
tenaga lontaran tersebut. Yang tampak
kemudian adalah, dua tubuh yang
meluncur diatas tanah dan kemudian
keduanya mendarat di tanah.
— Uuh! — desis Bengara kaget
melihat lawannya lolos dari maut,
terlebih pula melihat pemuda yang
telah menyelamatkan Tawau, sehingga
situa ini lolos dari maut.
— Heee, bocah ingusan! Mengapa
kau selamatkan situa keriput itu?! —
teriak Bengara kepada Mahesa Wulung.
— Itu urusanku! Kini akulah yang
akan menghadapimu. Bersiaplah! — seru
Mahesa Wulung sambil bersiaga.
— Bagus! Tapi sebut dulu namamu!
—
— Akulah Mahesa Wulung yang kau
cari! —
— Eeee, muncul juga kau, keparat.
Kini giliranmu untuk mampus,
sebagaimana kau menewaskan sahabatku
si Monyong Iblis!! — terdengar Bengara
berseru.
— Hah, jadi cecunguk itu adalah
sahabatmu juga?! Sayang, dia telah
binasa dan kiranya itulah jalan
terbaik baginya, agar dosanya tidak
bertambah banyak! —
— Hesss, ngoceh juga kau bocah
ingusan. Terimalah ini. Haiiit! —
Tubuh Bengara melesat dan menerjang
kearah Mahesa Wulung dengan kedua
tangannya siap menerkam. Semua menahan
napas dalam saat-saat yang tegang ini.
Tetapi ketegangan yang lain
muncul, apabila Mahesa Wulung tidak
menghindar ataupun menangkis serahgan
Bengara, malah justeru sebaliknya
iapun melesat kearah Bengara dengan
kedua belah tangan tergenggam
mengepalkan tinjunya.
Tak dapat dikira bagaimana
kagetnya pendekar liar Bengara ketika
anak muda yang menjadi lawannya ini
malah memapaki serangannya. Inilah
yang aneh dan membuat hatinya
tergetar!
Untuk menarik serangannya, sudah
tak mungkin lagi, sebab jarak sudah
begitu dekat sedang keduanya meluncur
dengan kecepatan kilat. Maka
terjadilah benturan dahsyat.
Mahesa Wulung yang melambari
pukulannya dengan dasar-dasar
permulaan Ilmu Pukulan Angin Bisu
seketika terguncang juga, tak berbeda
dengan Bengara.
Keduanya tergetar surut dengan
derasnya seperti ditolakkan oleh
tenaga raksasa. Untunglah Mahesa
Wulung masih bisa menjaga keseimbangan
tubuhnya, hingga tubuhnya cuma
sempoyongan saja. Sedang Bengara yang
tak mengira bila dirinya akan mendapat
benturan sehebat itu, terpaksa jungkir
balik diatas tanah dengan peringisan
disertai umpatan2 dari mulutnya.
Untunglah ia punya ketangguhan
juga, sehingga setelah empat kali
jungkir balik, ia melesat berdiri se-
perti sediakala. Sikapnya itu cuma
sekejap saja, sebab iapun segera
melesat menyerang kembali kearah Ma-
hesa Wulung lebih garang. Namun sekali
lagi Mahesa Wulung mengelak. Sekali
ini, sipendekar muda melesat keatas
dan tahu-tahu telah bertengger diatas
sebuah dahan pohon. Bengarapun tak mau
ketinggalan. Iapun melesat kearah
Mahesa Wulung berada.
— Braak! — kaki Bengara membentur
dahan kayu tempat Mahesa Wulung
berdiri hingga dahan tersebut patah
dan runtuh ketanah, sementara Mahesa
Wulung secara lincah telah bergantung
pada dahan diatasnya.
— Keparat! Jangan kira mundur
sampai disini saja! — teriak Bengara
seraya kedua tangannya bergantian
berpegang pada dahan2 pohon dan sulur-
suluran. Tubuhnya bergayutan meluncur
keatas mengejar ketempat Mahesa Wulung
berada.
Hanya saja pendekar muda yang
telah banyak makan asam garam
pertempuran tersebut telah bersiaga
sepenuhnya. Begitu tubuh Bengara
meluncur ke tempatnya, Mahesa Wulung
segera melenting kebawah dengan
tangannya bergayut pada sulur pohon
lalu menyongsongnya. Kedua bayangan
manusia ini berkelebat songsong-
menyongsong dan sesaat kemudian
terdengarlah satu jeritan nyaring dari
mulut Bengara, apabila kedua ujung
kaki Mahesa Wulung telah bersarang
kedadanya. — Heeekkk! —
Bengara terbeliak matanya
dibarengi rasa sesak pada dadanya.
Maka sesaat ia oleng dan terpelanting
kebawah. Semua penonton dibawali
terpekik puas menyaksikan pendekar
liar ini kena terhajar oleh Mahesa
Wulung. Benarkah Bengara mati disini?
Ternyata mereka jadi kecewa, tapi
juga kagum. Bengara ditengah udara
memutar tubuhnya dan melenting kembali
kearah lawannya dalam gerak yang tak
terduga dan tahu-tahu ia telah
menyergap bahu Mahesa Wulung.
Pandan Arum menjerit lirih
melihat kekasihnya terkena ringkus
lawannya dan apa yang dilihatnya
kemudian sungguh mengejutkan hatinya.
Seperti halnya Tawau semula, Mahesa
Wulung dengan sebatnya dilemparkan
kearah batang pohon oleh sipendekar
liar Bengara. Dan untuk kesekian
kalinya pula Mahesa Wulung
mempertunjukkan ilmunya, sehingga
ditengah lontarannya ia memutar
tubuhnya berjumpalitan diudara. Dengan
begitu ia mengerahkan ilmu meringankan
tubuh.
— Taaappp! — Kedua kaki Mahesa
Wulung seolah2 melekat pada kulit
batang pohon dan tubuhnya terpancang
lurus disitu.
— Kurangajar! — desis Bengara. —
Cukup tangguh anak muda ini. Tapi
belum tentu ia kuat menghadapi
keroyokan para pengawalku ini. Pasti
tubuhnya akan disobek-sobek oleh orang
utan-orang utanku, sapi sayang sekali
waktu tak mengijinkan lebih lama
disini. Juga senjataku aku belum
sempat menggunakannya! Baiknya aku
cepat2 meninggalkan tempat ini! —
Bengara melesat kesamping sambil
bersuit keras dan seketika tubuhnya
lenyap dibalik dedaunan diikuti oleh
kesebelas bayangan hitam yang tidak
lain ialah orang utan-orang utan.
Secepat tiba dibalik dedaunan,
sesosok bayangan manusia telah
menunggu kedatangan sipendekar liar
Bengara.
— Mata Siji! Ceriteramu memang
benar. Sianak muda bernama Mahesa
Wulung itu memang hebat. Sa-angnya
waktu kita tak banyak lagi dan kita
harus cepat2 meninggalkan tempat ini!
— ujar Bengara pada si Mata Siji —
Fajar hampir tiba. —
— Baik pak! Marilah kita
rencanakan siasat lain! — kata si Mata
siji atau yang dahulu bernama Jerawala
itu. Ketiga belas sosok tubuh itu
sebentar saja lenyap kearah barat.
Kini daerah perkemahan sunyi
kembali. Sekali terdengar bisik-bisik
halus mempercakapkan pertempuran yang
baru lewat itu. Situa Tawau dan orange
orangnya tak habis habisnya mengagumi
keperkasaan Mahesa Wulung yang menjadi
tamunya dan mereka hampir tak percaya
bila pendekar muda tadi dapat
menandingi si pendekar liar Bengara.
Hanya saja pendekar muda yang
telah banyak makan asam garam
pertempuran tersebut telah bersiaga
sepenuhnya. Begitu tubuh Bengara
meluncur ke tempatnya, Mahesa Wulung
segera melenting ke bawah.....
—Luar Biasa! — Tamu kita itu
dapat menandingi si liar Bengara. —
terdengar suara berbisik dari mulut
seorang anak buah Tawau kepada teman
disebelahnya.
— Memang hebat. Dengan beraninya
ia bertempur menghadapi Bengara
seorang diri dan aku lalu ingat dengan
seorang pendekar kita yang menjaga
kampung pada saat ini.
— Hmmm, ya, ya. Bukankah yang kau
maksud tadi adalah Seguntur? — suara
lain terdengar menyambung. — Diapun
perkasa dan berani. Tapi kau tahu
bukan, kalau ia tak mampu menghadapi
Bengara? —
Kokok ayam hutan sayup-sayup
terdengar dari arah utara terbawa oleh
angin subuh ketelinga orang2 disitu.
Situa Tawau tampak mempersilakan para
tamunya untuk beristirahat kembali
sampai sang mata hari terbit dan
bersinardi langit timur.
TIGA
PELAHAN-LAHAN, sinar fajar
merekah dilangit timur dengan diiringi
kokok ayam hutan serta kicau-kicau
burung yang mulai beramai-ramai
bersahutan.
Perkemahan ditengah hutan itu
telah dibongkar sedang rombongan
manusia itu tampak bergegas
meninggalkan tempat tersebut. Begitu
rapatnya dedaunan pohon-pohon hingga
sinar matahari cuma kuasa menembuskan
berkas-berkas sinarnya saja.
Sekarang tampaklah pemandangan
yang jelas. Di waktu tempat kemah
ditumbuhi oleh pohon-pohon pakis dan
pisang hutan yang berdaun hijau
kemetahan berselang-seling dengan
rumput ilalang. Bau anggrek hutan
tersebar semerbak oleh hawa pagi
menambah segarnya suasana.
Rombongan yang terdiri dari Tawau
beserta anak buahnya dan Mahesa Wulung
dengan para awak kapal Barong Makara,
meneruskan perjalanannya ke arah
utara.
Kembali mereka menerobos hutan
belantara ini. Bagi Mahesa Wulung,
Pandan Arum, Daeng Matoa dan para awak
kapal Barong Makara, perjaianan ini
banyak menambah pengalaman mereka.
Pengetahuan tentang tetumbuhan,
binatang2 dan cara bagaimana
seharusnya, menerobos hutan belantara
dahsyat ini serta menguasainya.
Kebanyakan hutan2 yang pernah
mereka jumpai tidak sedahsyat dipulau
Borneo ini, sehingga mereka tak
henti2nya mengagumi alam yang
terhampar disini.
Terutama bagi Mahesa Wulung
sendiri, pengalaman tadi malam sungguh
merupakan pengalaman terdahsyat.
Betapa tidak, bertempur melawan
seorang pendekar yang bernama Bengara
itu, sebenarnya suatu hal yang luar
biasa, sebab ia melihat sendiri,
bagaimana situa Tawau kena diringkus
dan dilemparkan begitu mudah oleh
Bengara.
Terhadap Bengara, Mahesa Wulung
menaruh kekaguman yang kelewat banyak,
lebih-lebih bila ia mengingat cara
Bengara bergerak dan bertempur yang
diselang-seling oleh loncatan dari
satu dahan pohon ke dahan yang lain
benar2 mirip gerakan seekor kera.
Lincah, tangkas dan berbahaya!
Tetapi yang lebih heran lagi,
Mahesa Wulung tak habis mengerti,
bagaimana Bengara ini dapat mengetahui
bila Monyong Iblis telah binasa dan
bagaiaman ia tahu kalau Mahesa Wulung
berada di tempat ini. Hal itulah yang
membuat Mahesa Wulung selalu bertanya-
tanya didalam hati, dan ia mulai
menduga kalau ada seseorang yang
memberi tahu kepada Bengara. Tetapi
siapakah orang ini. Mahesa Wulung tak
tahu.
Jika Bengara ini tahu dengan
sendiri, itu tak mungkin, karena
selama pertempuran digeladak Kapal
Hantu ia tdk melihat adanya sipendekar
liar Bengara tadi. Juga dari jagayuda
yang bertempur dipantai melawan orang
orang Kapal Hantu, ia tak menerima
laporan adanya si liar Bengara. Dengan
begitu dapatlah dipastikan bahwa
disaat terjadinya pertempuran itu,
Bengara tidak berada ditempat tersebut
dan ia hanya bisa tahu kalau seorang
telah berceritera kepadanya!
Dengan sambil berpikir-pikir
begitu. Mahesa Wulung tak merasa bahwa
perjalanan mereka telah cukup jauh.
Mereka lalu tiba ditempat yang
berhutan semakin jarang dan diutara
membayanglah pegunungan biru berkilat
tertimpa curahan sinar matahari.
Mereka tidak lagi menjumpai aliran
sungai Sampit yang deras, melainkan
sebuah mata air yang meluap2 dengan
jernihnya dan mengalir kearah selatan.
— Tuan Mahesa Wulung. Nah,
lihatlah pada gerombolan pohon-pohon
besi disebelah tebing itu — ujar situa
Tawau — Disitulah kampung kami berada.
—
— Syukurlah kalau sudah tiba,
bapak. Aku lihat orang orangku telah
lelah semua. — Mahesa Wulung berkata
lega.
— Tak apalah tuan. Kami punya
obat-obat penghilang rasa lelah dan
tunggulah nanti hidangan2 kami yang
disiapkan untuk tuan-tuan sekalian. —
— Terima kasih bapak. — ujar
Mahesa Wulung. — Maklumlah mereka
kurang terbiasa berjalan sejauh ini
dan lagi sebenarnya mereka masih lelah
setelah bertempur menumpas anak buah
Kapal Hantu dan Monyong Iblis.
Rombongan semakin dekat dengan
arah kampung yang ditunjuk oleh situa
Tawau. Para anak buah Mahesa Wulung
juga merasa lega setelah mendengar hal
itu dari orang-orang pengikut Tawau.
Kini, kampung tadi semakin dekat dan
tampaklah pemandangan disana dengan
jelasnya.
Rumah-rumah panjang berpanggung,
berdiri diatas tonggak-tonggak kayu,
pohon-pohon besi yang memagarinya
serta tebing batu seperti perisai
kesemuanya semakin jelas terlihat. Dan
juga kesibukan orang-orang yang
bergerombol menyambut kedatangan
rombongan ini juga terlihat pula.
Sekejap saja telah terdengar
suara riuh dan gaduh ketika rombongan
tersebut memasuki daerah perkampungan.
Orang-orang mengerumuni rombongan yang
baru masuk tadi, sehingga si Tawau
berkali-kali menyuruh para penyambut
tadi supaya minggir ketepi, untuk
memberi jalan kepada rombongan yang
berjalan menuju kesebuah rumah
terbesar.
Akhirnya situa Tawau mengacungkan
tangannya kesamping dan berhentilah
rombongan tadi dihalaman rumah yang
terbesar. Seorang pemuda perkasa yang
berdiri disitu segera menghadap
kedepan Tawau serta mengangguk hormat.
— Terimalah hormatku dan kami
mengucapkan selamat datang kehadapan
Tawau yang mulia — ujar pemuda tadi
dengan hormatnya.
— Terima kasih Seguntur — balas
situa Tawau dengan tersenyum. —
Bagaimana keadaan kampung selama aku
pergi kepantai selatan? —
— Seperti kehendakmu, O Tawau.
Semuanya selamat, tak ada kesulitan
apapun juga! — demikian kata sipemuda
perkasa yang bernama Seguntur dengan
nada mantap.
— Nah begitulah harapanku
Seguntur. Tak keliru lagi jika aku
memilihmu sebagai pendekar utama dari
kampung ini.! —
Oleh pujian situa Tawau, Seguntur
tersenyum lebar seraya mengangkat
mukanya disertai dadanya yang setengah
membusung bangga, sementara matanya
melirik kearah gadis manis yang
berdiri diantara gerombolan orang-
orang.
Situa Tawau kemudian berpaling
menghadap kearah orang2 kampung yang
tengah riuh. Melihat kepala kampungnya
menatap kearahnya, mereka seketika
meredakan keriuhannya, hingga suasana
sebentar saja telah hening.
— Saudara-saudara sekalian —
berkata situa Tawau dengan suara haru.
— Setelah aku berjalan kearah selatan
dan tiba diteluk Sampit, kami dapat
bertemu dengan pendekar-pendekar
seberang yang telah menghancurkan
Kapal Hantu dan sekarang ia telah
berdiri dihadapan kalian. —
Situa Tawau berhenti sejenak,
sedang orang-orang mulai berbisik-
bisik untuk mempercakapkan para
tamunya dan kemudian Tawau berkata
kembali. — Sekarang aku perkenalkan
kepada kalian! Nah, lihatlah yang
berada disebelahku ini. Yang paling
kanan adalah Mahesa Wulung, dan
disampingnya adalah Daeng Matoa.
Sedang yang berdiri paling kiri adalah
Pandan Arum. Dibelakang mereka adalah
enam orang perajurit mereka yang gagah
berani. —
Orang-orang kampung riuh sejenak
dan tiba2 seorang gadis yang berwajah
manis dan ramah maju kedepan dan
menghadap situa Tawau!
— Bapak Tawau, kami mengagumi
keberanian mereka dan perkenankanlah
saya mengalungkan kalung ini. —
— Silakan Sandai, Sudah
sepantasnya bila kita memberi tanda
keberanian kepada mereka. — berkata
situa Tawau dengan wajah cerah dan
tersenyum.
Gadis manis yang bernama Sandai
ini pelahan-lahan dengan langkah
gontai maju kedepan Mahesa Wulung dan
kemudian mengalungkan sebuah kalung
berhiaskan enam buah kuku beruang
keleher Mahesa Wulung.
Semua wajah tampak ikut gembira
kecuali pendekar Seguntur yang menatap
tajam kearah sigadis yang tengah
mengalungkan kalung tersebut kepada
Mahesa Wulung.
Walaupun sekilas, mata Mahesa
Wulung sempat pula melirik kearah
pendekar Seguntur yang menampakkan
wajah masam kearah gadis Sandai.
Oleh hal itu terpaksalah hati
Mahesa Wulung tergetar seperti
disentuh oleh bisikan. Bisikan yang
mengatakan adanya bahaya yang bakal
timbul karena peristiwa ini.
Sesudah kalung tersebut
terpasang, Sandai masih belum beranjak
pergi dari hadapan Mahesa Wulung,
seolah-olah ia masih mengagumi wajah
tampan Mahesa Wulung.
Dada Mahesa Wulung, semakin
berdebar-debar. Ia berkali-kali
menatap wajah gadis didepannya dan
kemudian berpindah kewajah pendekar
Seguntur. Benar-benar membingungkan
hatinya. Yang satu menampakkan wajah
tersenyum cerah sedang yang kedua
memperlihatkan wajah masam dan
cemberut.
Butir-butir keringat dingin
mengalir dari dahi dan mengalir
kewajah serta leher Mahesa Wulung yang
masih membisu.
— Oohh, gerangan apakah lelakon
yang bakal kami temui disini? —
berpikir Mahesa Wulung.
Diam-diam ia mengutuk didalam
hati,mengapa gadis ini tidak lekas-
lekas berlalu dari hadapannya dan
apabila Mahesa Wulung kembali menatap
kewajah Seguntur, ia lebih terhenyak
lagi. Sekarang, pandangan tajam
bernada marah itu tidak saja
dilontarkan Seguntur kepada Sandai,
sigadis manis yang berdiri dihadapan
Mahesa Wulung itu. Tetapi juga
dilontarkan kepada Mahesa Wulung juga!
—
Karena hal itu, Mahesa Wulung
segera dapat merasakan adanya bahaya
yang mulai timbul. Pandangan tajam
pendekar Seguntur yang tajam tadipun
sangat mengejutkan hatinya, bahkan
sekilas saja ia telah bisa menduga dan
berkesimpulan bahwa Seguntur telah
menaruh hati kepada Sandai. Inilah
agaknya sebab utamanya.
Untunglah, disaat Mahesa Wulung
tengah bergolak hatinya itu, sikepala
kampung telah menyapa gadis itu.
— Sandai, kau juga
harus berkenalan dengan kedua
pendekar lainnya. —
— Ahh, betul bapak. Ehhh........
— ujar Sandai tergagap-gagap seperti
orang kebingungan yang terbangun dari
mimpi. Namun gadis ini cepat-cepat
menguasai perasaannya, dan segera ia
memperkenal kan diri kepada Daeng
Matoa dan Pandan Arum.
Kini Mahesa Wulung dapat
mengumbar nafas leganya. Peristiwa
yang menegangkan dada tersebut telah
lewat dan berlalu bagai angin bertiup.
Sandai, sigadis manis dari
kampung Lembah Sampit telah kembali
dan berdiri bersama penduduk kampung
lainnya, sementara situa Tawau
memanggil pendekar Seguntur untuk
diperkenalkan kepada para tamunya.
Seguntur maju kedepan dan mula-
mula memperkenalkan diri pada Daeng
Matoa dan Pandan Arum. Sesudah itu ia
melangkah kesamping dengan langkah
berat dan tibalah Seguntur dihadapan
Mahesa Wulung. Keduanya berpandangan
sesaat.
Tiba-tiba pendekar Seguntur
tersenyum lebar kepada Mahesa Wulung
dan mengulurkan tangannya untuk
bersalaman. Karena itu, Mahesa
Wulungpun cepat-cepat menyambutnya
diiringi oleh senyum dibibirnya.
Namun Mahesa Wulung terkejut
dengan segera apabila senyum ramah
pendekar Seguntur ini secara pelan
pelan berubah. Kedua sudut bibirnya
menurun dan melengkung kebawah,
sehingga senyum tadi kini berubah
sebagai senyum cemooh yang
merendahkan. Bahkan tidak itu saja,
juga sinar mata Seguntur menatap tajam
kepada Mahesa Wulung, seperti sebuah
mata pedang yang tengah menghujam.
Dada Mahesa Wulung berdebar
kembali seperti semula dan terasa
bahwa jari jemari Seguntur yang
menggenggam tangannya bertambah erat
dan rapat, seakan-akan sebuah kunci
yang menjepit dengan keras. Senyuman
Mahesa Wulung pun lenyap seketika dan
kini malah Mahesa Wulung meringis,
menahan rasa sakit yang terpancar dari
jari-jari tangannya yang tengah
diremas oleh jari jari pendekar
Seguntur.
Hampir-hampir ia menjerit, kalau
tidak mengingat berada dihadapan orang
banyak. Betapa malunya nanti jika hal
ini terjadi, sebab namanya dan juga
nama teman2nya akan runtuh apabila ia
menjerit hanya disebabkan tangannya
digenggam oleh tangan Seguntur.
Maka sadarlah ia, bahwa pendekar
perkasa dari Lembah Sampit ini tengah
mencoba dirinya! Sungguh suatu
pertunjukan yang berbahaya. Suatu
permainan yang terjadi tanpa setahu
siapapun!
Akan tetapi Mahesa Wulung tidak
mau terlampau lama dipermainkan begitu
oleh pendekar yang baru dikenalnya
ini. Satu-satunya jalan, sebelum jari
jari tangannya remuk, ia harus pula
melawan!
Karena itu Mahesa Wulung segera
pula mengerahkan tenaganya. Perlahan-
lahan segenap ilmu simpanannya
tersalur kesegenap jari jari tangan
kanannya dan apa yang terjadi kemudian
cukuplah mengejutkan hati pendekar
Seguntur.
Kalau bermula dialah yang meremas
jari-jari Ma hesa Wulung, sekarang
terjadilah sebaliknya. Sedikit demi
sedikit terasa olehnya bahwa jari-jari
tangan yang tengah digenggamnya itu
semakin mengeras dan bertambah keras,
sehingga jari-jari tangannya tak kuasa
lagi meremasnya!
Giliran bagi Seguntur untuk
mengucurkan keringat dinginnya demi
jari jemari Mahesa Wulung kini ganti
beraksi, mengunci dan meremas bagaikan
terbikin dari baja. Rasa sakit yang
hebat terjadi. Seguntur seketika
terbeliak dan meringis dan sesaat
kemudian iapun menjerit seru, setelah
rasa sakit tadi menjalar sampai
keujung kaki dan ujung kepala.
— Aaaaakhhh! — Seguntur
menjerit.
— Lho, mengapa anda berteriak?! —
ujar Mahesa Wulung seraya mengendorkan
jepitan jari-jarinya, sehngga Seguntur
terdiam kembali, Keduanya masih saling
berjabatan.
— A ,aah..."... tak apa-apa. Aku
berteriak karena saking gembira dapat
bertemu dan berkenalan dengan anda! —
jawab pendekar Seguntur.
— Akupun merasa senang dapat
berkenalan dengan anda. — ujar Mahesa
Wulung pula. — Sungguh-sungguh anda
seorang pendekar tangguh dari Lembah
Sampit! —
Oleh perkataan tamunya tadi,
pendekar Seguntur menggeram lirih,
sebab dirasanya kata-kata tadi seperti
sindiran yang halus. Bukankah dirinya
telah kalah tenaga dalam mengadu
kekuatan jari-jarinya melawan Mahesa
Wulung?
Serasa ingin melayangkan tinjunya
kemulut Mahesa Wulung, jika saja ia
tak kuasa menahan nafsu amarahnya yang
mendesak-desak didada. Tetapi Seguntur
bukanlah anak kecil lagi. Dengan
menarik napas panjang, Seguntur telah
berhasil melenyapkan amarahnya,
meskipun mungkin hanya untuk sementara
waktu saja, sebab siapa tahu suatu
ketika bakal meledak keluar!
Sesaat kemudian Mahesa Wulung
melepaskan genggaman jari-jarinya,
begitu juga dengan Seguntur. Pendekar
Lembah Sampit ini cepat-cepat
membalikkan diri serta melangkah
kearah tempatnya semula, sedang kedua
matanya masih juga melirik tajam
kepada Mahesa Wulung, meskipun cuma
sekejap saja.
Kemudian pendekar Seguntur
ini berpikir pikir tentang diri
Mahesa Wulung yang baru saja berhasil
mengalahkan remasan jari-jarinya. Hal
ini rasanya seperti suatu peringatan
bahwa ia harus lebih tekun berlatih
memperdalam ilmunya.
Untunglah bahwa orang-orang
ditempat itu tidak mengerti tentang
"adu tenaga" secara diam-diam itu.
Jika seandainya mereka tahu, pastilah
Seguntur pasti mendapat malu seketika
itu juga.
— Hmmm, memang aku akui kehebaian
pendekar Mahesa Wulung itu! — berkata
Seguntur dalam hatinya — Dan dia pula
agaknya menaruh hati kepada Sandai,
gadis manis yang selalu menjadi pujaan
hati ku selama ini. Ah tapi benarkah
hal itu? Mungkinkah seseorang jatuh
cinta dalam waktu yang sekejap mata
saja? Dan jika seandainya benar,
berarti lenyaplah harapan hidupku yang
selama ini telah kucurahkan kepada
Sandai. Akan tetapi bisa juga dugaanku
tersebut meleset, Mungkin yang terjadi
adalah kebalikannya, bahwa Sandailah
yang lebih dulu tertambat hatinya
kepada pendekar Mahesa Wulung itu?
Yah, inilah kemungkinan yang lebih
kuat! Bukankah Sandai terpaku beberapa
saat setelah ia mengalungkan kalung
kuku beruang tadi kepada sipendekar?
Persetan! Aku tak perduli alasan apaun
yang bakal memisahkan harapanku
kepadanya. Sandai harus menjadi
milikku!
Tentang pendekar Mahesa Wulung
itu, biarlah ia bertamu disini, selama
situa Tawau menghendakinya. Aku tak
akan mengusiknya, dan semoga tidak ada
persoalan antara Sandai dan pendekar
itu. Hmm, mudah-mudahan begitulah,
agar aku tak sampai membuat
perhitungan dengan dia! Sekali
perhitungan terjadi berarti maut akan
berpesta dilembah Sampit! —
Pendekar Seguntur segera
meninggalkan tempat yang masih
dikerumuni oleh orang-orang kampung
karena pikirannya masih ruwet. Ia
melangkah perlahan-lahan kearah barat
menuju keatas. Beberapa kali ia dan
menaiki tangga, menuju keatas.
Beberapa kali ia memandang kebawah
kearah orang orang kampung tadi
bergerombol, lalu iapun masuk kedalam
dan membaringkan diri ke lantai.
Dalam pada itu situa Tawau telah
selesai memperkenalkan para tamu
kepada orang orang kampung. Ia merasa
gembira bahwa para penduduk ini
menyambut baik mereka, sebagaimana
tampak pada saat perkenalan tadi.
Pertanyaan-pertanyaan serta saling
memperkenalkan nama ataupun tawa
senyum terlihat disana-sini.
— Tuan Mahesa wulung — kata situa
Tawau — Sekarang saat berkenalan telah
lewat. Marilah aku tunjukkan tempat
dimana anda sekalian akan bermalam dan
bertempat tinggal selama menjadi tamu
kami dikampung Lembah Sampit ini.—
— Terima kasih bapak! — Mahesa
Wulung berka ta seraya melangkah dan
berjalan disamping situa Tawau diikuti
oleh Pandan Arum, Daeng Matoa dan
keenam anak buahnya.
— Saya harap andika menganggap
tempai ini seperti tempat anda sendiri
dan katakanlah kepada bapak jika ada
kesulitan atau kebutuhan-kebutuhan
yang andika perlukan. —
— Baik!, Bapak. — ujar Mahesa
Wulung pula — Tempat ini sangat indah
dan tenteram. Pasti teman-teman senang
dan kerasan tinggal disini. —
— Syukurlah kalau begitu, tuan. —
Situa Tawau berkata, sementara mereka
telah tiba disebelah timur kampung itu
dan berhenti didepan sebuah rumah
bertangga. — Nah, inilah tempat andika
sekalian untuk tidur dan berdiam
dikampung ini. —
Kemudian situa Tawau naik keatas
bersama para tamunya dan menunjukkan
kepada mereka kamar-kamar serta segala
seluk beluk dari rumah ini yang
tentunya masih agak asing bagi mereka.
Beberapa saat kemudian, sesudah
situa Tawau menerangkan kepada mereka
serta menjawab pertanyaan-pertanyaan
mereka, iapun lalu turun kebawah
meninggalkan para tetamunya untuk
beristirahat setelah menempuh
perjalanan yang sekian jauhnya itu.
Diluar, matahari siang sangat
panasnya seakan-akan membakar kulit
bumi dengan ujung2 sinarnya. Udarapun
seperti ikut terbakar pula. Namun
udara di Lembah Sampit tidaklah
sepanas dengan udara ditepi pantai
seperti diteluk Sampit disebelah
selatan sana.
Udara dingin disini setelah
mendapat sinar panas sang matahari
berubah menjadi nyaman dan segar,
terasa sampai kelubang-lubang kulit,
Kampung di Lembah Sampit tampak tenang
dan tenteram, lebih-lebih setelah
hancurnya Kapal Hantu dan Monyong
Iblis.
****
Mahesa Wulung dan anak buahnya
telah beberapa hari tinggal dikampung
Lembah Sampit sejak mereka tinggal
disini sebagai tamu dari Situa Tawau,
seringlah mereka bertukar pikiran
dengan situa kepala kampung serta para
penduduk, terutama yang tua-tua.
Oleh Mahesa Wulung, diceriterakan
tentang keadaan tanah Jawa serta segi
penghidupan penduduknya. Pendekar muda
ini berceritera kepada mereka cara-
cara orang bertani, bersawah, menanam
padi dan lain-lainnya. Juga tentang
berlayar dan macam-macam perahu,
Mahesa Wulung dapat berceritera lebih
banyak lagi.
Demikian pula orang-orang tua
kampung Lembah Sampit inipun bercerita
tentang alam rimba Borneo,
penduduknya, macam-macam bintang,
tumbuh-tumbuhan dan cara menghadapi
serta hidup didalam rimba raya ini.
Semua itu didengar serta diingatnya
betul-betul oleh Mahesa Wulung.
Begitulah, maka sejak saat itu
Mahesa Wulung, Pandan Arum, Daeng
Matoa dan keenam anak buahnya tidak
bergaul dengan orang-orang penduduk
kampung Lembah Sampit. Kebanyakan
mereka bersikap sangat hormat sehingga
Mahesa Wulung dan orang-orangnya
menjadi sangat canggung karenanya.
Bagaimanapun juga, hal itu tak dapat
disalahkan, karena mereka telah merasa
berhutang budi. Bukankah mereka telah
terlepas dari ancaman dan keganasan
anak buah Kapal Hantu? Dan oleh
karenanya mereka merasa sudah
sepatutnya kalau berlaku hormat dan
ramah terhadap Mahesa Wulung serta
teman-temannya.
Yah, semuanya bersikap ramah,
kecuali seorang saja yang kadang-
kadang memperlihatkan sikap acuh tak
acuh ataupun tak bersahabat. Orang itu
tidak lain adalah pendekar Seguntur,
pendekar utama dari laskar kampung
Lembah Sampit
Oleh karena sikap Seguntur yang
demikian tadi, Mahesa Wulung menjadi
lebih hati-hati lagi dalam menjaga
sikap dirinya.
Pada suatu siang, ketika matahari
bersinar dengan teriknya, Mahesa
Wulung telah berjalan kearah utara
kampung seorang diri menuju kesebuah
mata air. Sampai disana, segera ia
membasuh kepala, leher dan dadanya
dengan air yang jernih dan sejuk,
sehingga badannya terasa segar.
Sesudah itu, ia tidak lekas-lekas
kembali melainkan duduk diatas sebuah
batu besar ditepi mata air itu sambil
menikmati pemandangan disebelah utara
yang terdiri dari daerah pegunungan
dan hutan-hutan kecil.
Bila saja matanya menatap
pemandangan itu, Mahesa Wulung tiba-
tiba teringat kepada gurunya,
Panembahan Tanah Putih dari Asemarang.
Bukit-bukit dan tebing-tebing yang
berlekuk-lekuk mengingatkan akan
pemandangan yang hampir sama ditanah
pegunungan Tanah Putih. Karenanya,
pikiran Mahesa Wulung lalu ikut
menerawang, mengenang segala peristiwa
yang telah lalu.
Sekonyong-konyong Mahesa Wulung
terkejut oleh suara kecopak air yang
keras dengan air bertampiasan kemana-
mana. Keruan saja Mahesa Wulung kaget
setengah mati. Terlebih lagi bahwa
suara derai ketawa lirih telah
terdengar pula dari arah belakangnya.
Maka cepat-cepat ia menoleh kebelakang
dan apa yang dilihatnya kemudian
membuat hatinya tergetar.
— Sandai! Kau........? — desis
Mahesa Wulung.
— Maaf, tuan. Aku telah
mengejutkanmu. — ujar si gadis manis
Sandai dengan senyumnya yang manja
memikat — Aku lihat tadi tuan tengah
melamun, lalu aku lemparkan batu keair
ini.—
Sigadis Sandai berjalan dengan
lemah gemulai seraya mengepit sebuah
labu tempat air dipinggangnya. Ia
menuju ketepi mata air dan berjongkok
mengisi tempat airnya, sambil
melemparkan lirikan matanya kepada
Mahesa Wulung, — Tuan marah kepada
Sandai? —
— Ah tidak. —ujar Mahesa Wulung
singkat. Sandai lalu berdiri kembali
setelah tempat airnya berisi penuh.
Namun ia tidak lekas-lekas berlalu.
Gadis manis ini mengenakan kain
panjang sampai kedadanya berwarna
biru, sedang selembar kain pita merah
melilit pada dahinya, terikat sampai
kebelakang ke palanya yang bersanggul.
Kemudian ia manatap kearah Mahesa
Wulung yang masih saja duduk diatas
batu hitam tersebut.
— Engkau selalu mengambil air
kemari? — bertanya Mahesa Wulung
kepada Sandai.
— Benar tuan. — Sandai menjawab
dan mengangguk pelan. — Memang orang-
orang kampung biasa mengambil air
kemari. — Eh, senangkah tuan tinggal
dikampung Lembah Sampit ini? —
— Tentu, Sandai. Aku merasa
senang tinggal di kampung ini, tetapi
sayang aku tidak bisa terlalu lama
berdiam disini. —
— Mengapa tuan? — Sandai
bertanya, sementara iapun duduk di
atas batu hitam tak jauh dari Mahesa
Wulung berada. — Adakah sesuatu yang
merisaukan hati? —
— Benar, Sandai. Kawan-kawanku
lainnya masih berada dipantai teluk
Sampit menunggu aku kembali dan jika
kami terlalu lama tinggal disini pasti
mereka akan menjadi gelisah karenanya.
—
— Oh, tapi tuan tidak bisa
meninggalkan kami sebelum menghadiri
pesta kampung Lembah Sampit ini. —
— Pesta? Apakah yang akan
dirayakan disini? — Mahesa Wulung
bertanya kaget.
— Pesta kebebasan kampung kami
dari ancaman dan gangguan orang-orang
Kapal Hantu. Dan agaknya bapak tua
Tawau akan mengangkat tuan sebagai
pendekar utama, sehingga dikampung ini
akan segera mempunyai dua orang
pendekar utama, Yaitu tuan Mahesa
Wulung dan pendekar Seguntur. —
Hati Mahesa Wulung berdetak keras
mendengar penuturan Sandai bahwa
dirinya akan diangkat sebagai pendekar
utama Lembah Sampit. Bukankah ini
dapat menimbulkan hal-hal yang
berbahaya bagi dirinya dan keselamatan
anak buahnya? Ia masih jelas bagaimana
sikap pendekar Seguntur kepadanya,
disaat Sandai mengalungkan kalung kuku
beruang sebagai lambang keberanian.
Dan sekarang, apakah jadinya bila ia
diangkat sebagai pendekar utama,
sejajar dengan kedudukan pendekar
Seguntur ini? Bukankah ini dapat
menimbulkan sengketa dengan Seguntur
sendiri?
Selagi Mahesa Wulung merisaukan
pikirannya itu, mendadak Sandai tampak
menengok kekiri kanan mengarahkan
telinganya kearah sumber suatu
gemerisik yang didengarnya dari arah
barat.
Dan selanjutnya tiba-tiba gadis
manis itu meletakkan tempat airnya
seraya bersiaga, seolah-olah ia
melihat adanya musuh. Bersamaan dengan
suara mendesing, Sandai meloncat,
menubruk lalu memeluk tubuh Mahesa
Wulung hingga keduanya rebah bersama-
sama keatas tanah, disusul oleh bunyi
benda menancap dengan nyaring
— Tass! —
Sesaat Mahesa Wulung terkejut dan
ia kebingungan karena dipeluk
sedemikian ketatnya oleh gadis manis
ini, sampai ia dapat merasa detak
jantung Sandai serta tubuhnya yang
gemetar.
— Sandai, kau tak apa-apa? —
bisik Mahesa Wulung.
— Tak apa apa tuan. Ah, hampir
saja tuan dicelakai. Nah, lihatlah
permukaan batu disamping kita itu. —
— Anak sumpitan! — desis Mahesa
Wulung kaget ketika ia menatap
kepermukaan batu yang ditunjuk oleh
Sandai. Disitu tampaklah sebuah logam
runcing seperti jarum dengan
pangkalnya berumbai semacam serabut
atau bulu berwarna merah.
— Ya, anak sumpitan yang beracun!
Benda ini akan membunuh seseorang yang
dikenainya dalam waktu yang tidak
lebih dari setengah hari. — tutur
Sandai dengan kata2 yang masih
gemetar.
Kau telah menyelamatkan diriku,
Sandai! —
— Tuanpun telah menyelamatkan
kami dari orang-orang Kapal Hantu! —
ujar Sandai.
— Sandai! — kata Mahesa Wulung
seraya berdiri diikuti oleh Sandai
yang telah menyelamatkannya dari
bahaya. — Sekarang sebaiknya engkau
pulang dan jangan ceriterakan kepada
siapapun, tentang peristiwa sumpitan
ini! —
— Baik tuan, dan anda akan
kemana? — tanya Sandai.
— Aku akan mencari jejak
sipenyumpit gelap tadi! —
— Hati-hatilah tuan! —
— Terima kasih Sandai! — berkata
Mahesa Wulung seraya membalikkan diri
dan meloncat dengan sebatnya kearah
barat, sedang sigadis Sandai cepat-
cepat berlalu menuju ke jalan pulang
kekampung.
Mahesa Wulung terus berloncatan
kearah barat dimana dijumpainya
sebatang pohon tua dan cepat memeriksa
sekitar tempat itu dengan seksama.
— Hmmm, jejak2 kaki manusia —
gumam Mahesa Wulung — Agaknya dari
sinilah sipenyumpit gelap tadi
mengintai dan menembakku! —
Mahesa Wulung terus memeriksa
lebih teliti dan dijumpainya jejak2
kaki tadi berbalik kearah utara. Maka
diturutinya jejak tersebut dengan
seksama, setapak demi setapak, dengan
mudahnya. Apalagi bagi Mahesa Wulung
yang telah berpengalaman, hal ini
tidak menjadi kesukaran baginya. Namun
setelah kurang lebih mencapai jarak
seratus langkah lebih dari mata air
tadi, Mahesa Wulung berhenti dengan
tiba2.
— Heh, cerdik juga sipenyumpit
gelap ini! Ia telah menghilangkan
jejaknya diair dan berjalan disungai
kecil ini kearah timur! Dengan begitu,
berarti aku kehilangan jejaknya. Namun
orang ini akan keliru jika menyangka
Mahesa Wulung akan berputus asa
karenanya — berpikir Mahesa Wulung
seorang diri. — Tunggulah aku akan
mengikuti aliran sungai ini ke timur!
—
Kembali Mahesa Wulung meneruskan
penyelidikannya. Ia terus menyurusi
aliran sungai kecil ini dengan
sebentar2 berhenti untuk memeriksa.
Dengan begitu, tanpa terasa Mahesa
Wulung telah jauh dari kampung Lembah
Sampit. Tetapi dasar ia seorang yang
ulet, maka ia tidak merasa cemas akan
kesasar. Yang dipikirkannya hanyalah
sipenyumpit yang tahu dan hal inilah
yang harus dicarinya.
EMPAT
ANAK SUNGAI itu semakin deras
alirannya, dengan suara gemericik dan
busa-busa gelembung disana sini.
Hutanpun semakin bertambah rapat
tampaknya.
Sampai sejauh itu jejak2 yang
tengah dicari belum ditemui oleh
Mahesa Wulung, menimbulkan keheranan
bagi pendekar muda ini. — Belum juga
ada petunjuk-petunjuk yang kuperoleh!
— gumam Mahesa Wulung. — Mungkinkah
orang itu tetap berjalan diair hingga
sejauh ini? Ah, sungguh hebat lawan
gelapku ini! — Tapi, uh tunggu dulu,
Benda apakah ini?! —
Mahesa Wulung cepat membungkuk
dan memungut sebuah gelang akar bahar
yang tergeletak ditepi sungai, tak
jauh dari kakinya berdiri.
— Gelang akar ini telah retak dan
terbuka keluar. Agaknya tersangkut
pada sesuatu benda sehingga terlepas
dari tangan atau kaki pemiliknya. —
Mahesa Wulung berpikir dan kembali
meneliti tempat itu. — Heh, tak ada
apa-apa yang menarik perhatianku dh
sini. Kalau begitu mengapa gelang ini
tertinggal ditempat ini? Ahh, itu ada
sulur dan dahan pohon yang menjulur
tepat diatas sungai kecil ini. Hmm
inilah yang boleh aku curigai. Namun
aku harus lebih dulu mencoba
perkiraanku ini terlebih dahulu! —
Karena itu Mahesa Wulung lalu
mencebur kedalam air yang ternyata
dalamnya cuma setengah betis saja.
Perlahan-lahan ia melangkah kesebelah
bawah dari sulur dan dahan-dahan pohon
tadi, dan akhirnya berdirilah ia tepat
dibawahnya!
— Nah, kini aku telah berdiri
dibawahnya dan akan mulai! — Mahesa
Wulung cepat bersiaga dan dengan
sekali menggenjotkan kakinya kedasar
sungai yang terdiri dari batu-batuan,
maka melentinglah tubuhnya keatas
berbareng tangannya menyambar sulur
dan dahan2 pohon, lalu bergayutan dan
berpindah dari pohon yang satu kepohon
yang lain.
— Yah, agaknya dugaanku tidak
meleset dan dengan cara inilah
sipenyumpit gelap tadi melarikan diri!
—
Dengan hati lega Mahesa Wulung
telah berhasil memecahkan rahasia
jejak yang menghilang tadi. Tetapi
kini timbullah pertanyaan baru.
Siapakah sebenarnya orang itu?
Beberapa saat Mahesa Wulung masih
meneruskan loncatan-loncatannya sampai
kemudian terlihat olehnya dua bayangan
berkelebat dari arah timur berloncatan
dari dahan kedahan, dari cabang
kecabang, membuat hatinya berdegupan.
— Uuh, Bengarakah itu? — desah
Mahesa Wulung seorang diri. — Aku
lihat, mereka mempunyai kecakapan yang
sama. Berjalan diatas pohon! —
Mahesa Wulung cepat berputar dan
bersembunyi dibalik dedaunan sementara
bayangan tersebut tiba-tiba berhenti
berloncatan. Keduanya lalu bertengger,
duduk berjuntai diatas dahan pohon
besi.
Mata Mahesa Wulung hampir tak
percaya melihat pemandangan yang
berada didepannya, sebab yang duduk
didahan tadi tidak lain adalah seorang
manusia berpakaian kulit berbulu dan
disampingnya duduk pula seekor Orang
Utan yang besar.
Melihat itu semua, Mahesa Wulung
hampir saja memastikan bahwa orang itu
tidak lain adalah sipendekar liar
Bengara. Tapi setelah ia meneliti
lebih sek-sama lagi, ternyata bukan.
Orang ini berwajah jauh lebih tua dan
tampaknya tidak segarang Bengara yang
dijumpainya dulu.
Yang membuat heran Mahesa Wulung,
ialah pakaian orang ini. Sungguh mirip
dengan pakaian sipendekar liar
Bengara. Keduanya terbuat dari kulit
berbulu coklat kehitaman dan
mengkilat.
Pada tali ikat pinggang orang
ini, terselip sebuah kapak batu hitam,
berkilat dengan bertangkai kayu.
Sebentar-sebentar kedua makhluk itu
melayangkan pandangannya kearah Mahesa
Wulung bersembunyi, sampai sipendekar
muda dari Demak ini lebih berdetak
keras hatinya. Maka ia mengatur
napasnya agar teratur dan tidak
mengalir dengan semaunya, sementara
iapun berharap agar kedua makhluk tadi
tidak mendengar nafasnya.
Ketika Mahesa Wulung menghela
nafasnya, tiba2 orang tua tersebut
berkata kepada Orang Utan yang duduk
disampingnya. — Goro, biarkan saja
orang yang duduk dibalik dedaunan itu.
Kalau ia ternyata seorang baik, kita
tak perlu mengganggunya. Namun jika ia
berani mengganggu kita, pastilah kau
kuperbolehkan untuk membunuhnya! —
Alangkah terkejutnya Mahesa
Wulung mendengar kata2 orang itu.
Dirasanya kata2 tadi ditujukan kepada
dirinya, hingga Mahesa Wulung sadar
bahwa orang tersebut mengetahui kalau
dirinya bersembunyi dibalik dedaunan.
Inilah yang mengagumkan bagi
Mahesa Wulung tentang orang tadi.
Setidak-tidaknya ia berilmu tinggi
pula, karena dapat membedakan suara.
— Hee, tukang sembunyi! Ayo
muncullah di hadapanku dan terangkan,
mengapa sampai kesasar ke daerahku
ini, ha? — terdengar orang berbaju
kulit itu berseru dengan lantang
seraya menghadap kearah Mahesa Wulung
bersembunyi.
Mendengar seruan itu, Mahesa
Wulung lekas-lekas keluar dari tempat
persembunyiannya. Toh orang berbaju
kulit itu telah mengetahuinya pula.
— Ha, ha, ha, ha, bagus, bagus!
Ternyata kau masih muda juga. Nah
sekarang apa maksudmu menginjak hutan
ini? —
— Aku tengah mencari seseorang
yang telah memenyumpitku dengan cara
yang pengecut! Kalau boleh, akupun
ingin bertanya kepada bapak, adalah
seseorang yang lewat disini sebelum
aku tiba ditempat ini? —
— Hee, anak muda! Kau belum
lengkap menjawab pertanyaanku, malah
sekarang engkau ganti bertanya
kepadaku pula! Kau jangan membuatku
gusar, ha! — ujar sibaju berbulu
dengan nada tinggi dan wajah yang
marah. — Kau belum sebutkan namamu! —
— Aku Mahesa Wulung! Aku orang
asing ditanah ini, sehingga tak
mengetahui bahwa tempat ini adalah
daerahmu — berkata Mahesa wulung.
— Dimana engkau tinggal? —
— Aku menjadi tamu situa Tawau
dari kampung Lembah Sampit ini. —
— Hemm, engkau sahabat situa
Tawau? dan juga tamunya? Kalau begitu,
pastilah engkau termasuk orang yang
penting? — ujar siorang, tua berbaju
kulit.
— Aku tak merasa begitu, bapak.
Aku bukan orang penting, tetapi orang
biasa saja, seperti halnya bapak
sendiri — kata Mahesa Wulung — Dan
sekarang akupun ingin bertanya kepada
bapak! —
— Kau pandai bersilat lidah, anak
muda. Tapi tak apalah! — sibaju kulit
berbulu berkata geram. — Bertanyalah
sepuas hatimu! —
— Sebelum aku tiba dikampung
Lembah Sampit, ditengah perjalanan,
kami telah dicegat oleh seorang
pendekar liar yang berteman dengan
orang orang Utan dan ia menyebutkan
namanya, yakni Bengara! Sedang
sekarang aku telah pula berjumpa
dengan seorang manusia yang berteman
seekor Orang Utan, Nah, apakah bapak
juga termasuk sahabat dengan Bengara
tadi? —
— Kurangajar! Setan! — terdengar
orang tua berbaju kulit itu mendamprat
dan mengutuk uring-uringan disertai
tangannya menunjuk-nunjuk kearah
Mahesa Wulung. Demikian pula Orang
Utan yang bernama Goro itu turut
menyeringai hingga terlihat barisan
giginya yang tajam mengerikan. Agaknya
binatang inipun mengetahui kemarahan
tuannya.
— Kau lancang, anak muda! Kau
berani menyamakan diriku dengan
silaknat Bengara itu, hee?! Memang du-
lu ia sahabatku dan semua ilmu serta
kepandaiannya adalah berkat ajaran si
Bontang ini! — berkata sibaju kulit
itu seraya menunjukkan jari
telunjuknya — Tetapi sayang ia telah
berkhianat, dengan menggunakan semua
ilmu dan kepandaiannya guna maksud-
maksud jahat! —
— Maafkan bapak. Kalau begitu aku
telah keliru sangka.
— Hee, tak semudah itu kau
menyesali sikapmu, anak muda! — seru
Bontang dengan marah. — Terlebih dulu
aku harus memberimu sedikit pelajaran!
Goro, berilah anak muda itu
kegembiraan. Ajaklah ia bermain-main
untuk melemaskan urat-uratnya! —
Orang Utan yang dinamai Goro
tadi, mengangguk-angguk dan kemudian
melesat menerkam kearah Mahesa Wulung
berada, disertai jerit yang memekakkan
telinga.
Serangan yang mendadak dan
mengejutkan itu sungguh diluar dugaan
bagi Mahesa Wulung yang tak bersiaga
sama sekali. Maka sesaat ia seperti
terpesona. Untunglah, teriakan kedua
dari mulut Goro seperti menggugah
kesadarannya. Maka sebelum kedua ta-
ngan berjari-jari kokoh dan panjang
dari binatang itu sernpat menerkam
tubuhnya, Mahesa Wulung telah mengelak
kekiri seraya bergantung pada sebuah
dahan.
Sebuah teriakan kecil pertanda
kagum terloncat dari bibir Bontang,
siorangtua berbaju kulit tadi, ketika
ia mtelihat betapa Mahesa Wulung
sempat menghindar kekiri dan
bergantung pada dahan pohon dalam gaya
yang sangat manis. Setelah itu
pendekar muda tadi memutar tubuhnya
keatas dan dengan sigap ia telah
berdiri diatas dahan tadi.
— Setan! Sungguh tangkas anak
muda itu. Pantas kalau ia menjadi tamu
situa Tawau! — gumam Bontang tak
habis-habisnya. Selama ini belum
pernah si Goro gagal dalam
serangannya.
Begitu serangannya gagal, Orang
Ulan itu dengan lincahnya
menjangkaukan kedua tangannya kesebuah
dahan dan tubuhnya berputar keatas
lalu berbalik dan telah bersiaga untuk
mengulangi serangannya. Namun Mahesa
Wulung bukan anak-anak lagi yang
tengah berlatih silat. Itulah sebabnya
ketika Goro menerjang kembali. Mahesa
Wulung cepat melentingkan tubuhnya
keatas sehingga orang Utan itu cuma
menerjang angin kosong.
Binatang ini menggeram marah,
tetapi Mahesa Wulung tak mau memberi
kesempatan lagi kepada Goro. Maka
disaat tubuhnya melesat turun, kedua
kakinya menerjang kearah kepala Goro.
— Grrrr. — binatang ini menggeram
kaget dan cepat-cepat ia mengendapkan
tubuhnya dan akibatnya, tendangan
Mahesa Wulung jadi meleset.
Oleh gerak binatang ini. Mahesa
Wulung diam-diam merasa kagum. Goro,
siorang utan dari rimba Borneo ini
seolah-olah mempunyai kepandaian
seperti seorang manusia biasa.
Meskipun begitu, Mahesa Wulung
tidak sudi memberi hati kepada
binatang itu. Dan sebelum Goro sempat
memperbaiki kedudukannya, Mahesa
Wulung telah melesat kembali dan
menerjang Orang Utan tersebut dengan
kecepatan bagai kilat yang menyambar.
Bontang melihat bahaya yang
mengancam sahabatnya tapi sayang ia
tak dapat berbuat apa-apa. Lebih-lebih
gerakan Mahesa Wulung sangat cepatnya
dan tidak mungkin lagi ia memberi
peringatan kepada Goro.
Dalam saat yang tegang itu, lawan
Mahesa Wulung masih juga sempat
menangkiskan tangannya yang berjari-
jari panjang, hingga terjadilah
benturan keras. — Praaak! —
Sebuah jeritan keras melengking
dari mulut binatang itu disusul
tubuhnya terhempas kebawah begitupun
Mahesa Wulung tergetar tubuhnya,
sedang kepalanya berkunang-kunang
sangat pusing. Untungnya ia sempat
menyambarkan tangannya kesebuah dahan
pohon hingga sesaat ia memeluk dahan
tersebut, sampai pusingnya mereda.
Dibawah, si Orang Utan tergeletak
ditanah setelah ia terhempas dengan
kerasnya. Tak berapa lama kemudian,
Goro bangkit dan berdiri kembali.
Kedua matanya menjadi kemerahan, satu
tanda kalau binatang ini telah benar-
benar marah. Sebuah teriakan parau
disertai kedua tangannya berserabutan
keatas, seolah ia tengah menantang
Mahesa Wulung untuk turun kebawah
serta bertempur kembali dengannya.
Sekali lagi Mahesa Wulung
molompat kebawah, melesat turun untuk
memenuhi tantangan si Orang Utan Goro.
Sebentar pula ia telah tiba ditanah
saling berhadapan.
Dalam pada itu, situa Bontang
yang masih berada diatas pohon
mengikuti pertempuran tadi dengan hati
yang cemas. Ia melihat kemungkinan
bahwa pendekar muda itu akan lebih
unggul dari pada si Goro.
Lagi pula ia melihat dengan jelas
betapa pemuda itu dapat bergerak
sangat lincah, selincah binatang si
Orang Utan yang menjadi lawannya.
Seolah-olah iapun pernah mendapat
didikan secara rimba.
Karena rasa cemasnya yang mulai
timbul itu, Bontang cepat-cepat
melolos senjata kapaknya dari ikat
pinggang dan kemudian dilemparkan
kebawah kearah Goro, setelah lebih
dulu ia berteriak nyaring kepada
binatang itu — Goro pakailah kapak
hitamku ini! —
Mahesa Wulung terkejut dengan
teriakan dari atas pohon itu. Tetapi
lebih terkejut lagi bila ia melihat
gerakan yang lincah dan cepat dari
Orang Utan ini, yang dengan sebat
menangkap kapak tersebut.
Begitu memegang senjata kapak
tersebut ditangannya, Goro tampak
menyeringai meringis dan sorot matanya
lebih bersinar garang. Senjata tadi
ditimang-timang dan diputarnya,
seperti membayangkan bahwa hatinya
lebih mantap sesudah ia bersenjata.
Kapak itu diputarnya semakin
santer sampai menerbitkan suara
berdesing, sedang dari atas pohon
terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh
dari mulut situa Bontang. Itu semua
membuat hati Mahesa Wulung berdetak
semakin keras.
Tiba-tiba senjata ditangan
binatang itu menyambar kearah kepala
Mahesa Wulung, menyebabkan pendekar
muda ini mengelak kesamping dengan
cekakaran.
Kali ini Mahesa Wulung terpaksa
menanggung malu, sebab sambaran kapak
tadi hanyalah gerak tipuan belaka dari
Goro, yang secara tiba-tiba pula
menarik serangan kapaknya kembali
ditengah sambarannya itu.
Sekali lagi terdengar derai
ketawa dari atas pohon dan teriakan
dari Bontang — Bagus, Goro! Bagus!
Berilah ajaran lebih banyak kepada
orang muda itu!! —
Sebuah teriak lengkingan
terdengar dan Goro tahu-tahu telah
menebaskan kapaknya kearah Mahesa
Wulung, dan sekali ini betul-betul
serangan yang berbahaya.
Mahesa Wulung yang sejak semula
telah berwaspada dan bersiaga, secepat
kilat melenting keudara tepat disaat
kapak hitam itu menghancur sebuah batu
besar didekat Mahesa Wulung berdiri
semula.
Hal ini membuat Bontang melongo
keheranan, demikian pula dengan Orang
Utan ini yang menyeringaikan mulutnya,
sangat kecewa Binatang ini tambah
beringas lagi dan segera mengulang
serangan-serangannya lebih rapat,
sehingga partempuran itupun segera
menjadi lebih sengit.
Binatang ini ternyata memiliki
kukuatan tenaga yang luar biasa.
Gerakannya kian garang dan setiap
sambaran kapaknya menimbulkan getaran
yang mengerikan. Bunyi berdesing dari
angin sambaran kapak ditangan Goro
seakan-akan sebuah irama beralun yang
melagukan kematian dan maut.
Senjata diujung tangan Goro
setiap kali menyambar dan menebas
mengeluarkan angin maut, susul-
menyusul tanpa memberi kesempatan
kepada lawannya untuk balas menyerang.
Sampai disini terlihatlah kalau
pertempuran makin berjalan seru, dan
Mahesa Wulung semakin mandi keringat!
Ia tak menyangka sama sekali bila
binatang yang menjadi lawannya mampu
bertempur sehebat manusia. Baru kali
inilah ia menjumpai lawan yang aneh.
Karena itu Mahesa Wulung berusaha
mengerahkan segala kemampuan dan
ilmunya guna menghadapi lawan anehnya
itu. Sekali-sekali ia membalas
menyerang Orang Utan itu, dan sedikit
demi sedikit ia berhasil mengatasi
kerepotannya. Ia tak memperdulikan
lagi bagaimana dahsyatnya kapak hitam
ditangan Goro merombak, menumbangkan
semak-semak dan dahan pohon disekitar
mereka.
Bontang yang masih berada diatas
pohon melihat pertempuran itu dengan
detak jantung yang kencang, seperti
kencangnya angin sore yang mulai
menjelang. Matahari telah condong
kesebelah barat, tetapi sinarnya masih
benderang dan panas dilangit yang biru
tak berawan.
Ketika pada suatu saat Goro
menebaskan kapak hitamnya, Mahesa
Wulung untuk kesekian kalinya mengelak
kekanan. Sayangnya, disaat itu pula
tangan kiri Goro menyambar leher
Mahesa Wulung sampai pendekar muda ini
terhenyak kaget. Ia tak sempat
mengelak dan segera jari-jari yang
mencekik lehernya itu terasa makin
mengunci.
Betapapun ia berusaha melepaskan
tangan ganas si Goro yang mencekiknya,
ia tak berhasil sedikitpun, bahkan
bahaya lain segera akan tiba.
Dilihatnya tangan kanan Goro yang
memenang kapak telah siap meluncur
kebawah, kearah kepalanya.
Melihat keadaan yang kritis ini,
Bontang segera berteriak keras-keras.
— Goro! Berhenti! — Baginya, ia tak
ingin adanya pembunuhan. Ia cuma
bermaksud mencoba dan memberi
peringatan kepada pendekar muda ini.
Akan tetapi agaknya si Goro telah
gusar dan kehilangan pengamatannya.
Maklumlah ia tetap seekor binatang
walaupun telah bergaul dan dididik
oleh manusia seperti situa Bontang
itu. Ia tak memperdulikan kata-kata
Bontang sama sekali dan tetap
menghantamkan kapaknya itu kearah
kepala lawannya.
Mahesa Wulung merasa semakin
sesak nafasnya, tambahan lagi sebentar
kemudian agaknya akan pecahlah
kepalanya terhajar oleh kapal hitam si
Goro. Dalam saat yang benar2 tegang
tadi. Mahesa Wulung secepat kilat
menotokkan ujung jari jari tangan
kanannya kesisi leher Goro, sehingga
binatang ini menjerit seketika sambil
melepaskan jari-jari tangannya dari
leher Mahesa Wulung. Begitu pula kapak
hitam tersebut tiba-tiba telah jatuh
terlepas dari tangannya. Seluruh
kekuatannya seperti hilang lenyap dan
tak bertenaga sama sekali.
Orang Utan itu sejurus kemudian
rebah ketanah seperti setumpuk daging
tak bertulang. Itu semua adalah akibat
totokan jalan darah dari Mahesa Wulung
yang sangat hebat.
Bersamaan itu pula Mahesa Wulung
jatuh terduduk diatas tanah dengan
lemasnya. Lehernya masih terasa sakit
dan sesak.
Situa Bontang sebentar itu pula
telah meluncur turun ketanah lalu
mendekati tubuh Mahesa Wulung yang
tergeletak disamping Goro. Orang Utan
ini tampak menggeleng-gelengkan
kepalanya dibarengi sorot mata yang
mengharap belas kasihan dari situa
Bontang.
— Nah, Goro. Aku tadi sudah
melarangmu supaya berhenti, tetapi kau
telah nekad dan inilah akibat nya!
Sekarang aku tak dapat menolongmu,
Goro. Yang tahu cara2 menolong
kelumpuhanmu ini adalah pendekar muda
itu sendiri. Bersabarlah dulu, Goro.
Aku harus menolong pendekar itu lebih
dahulu. — ujar situa Bontang serta
mendekati tubuh Mahesa Wulung yang
masih terduduk ditanah. — Maaf anak
muda. Sahabatku tadi terlalu kasar
kepadamu! — Situa Bontang berkata
kemudian duduk didepan Mahesa Wulung.
— Tak apa, bapak. Justru aku
merasa gembira dapat bermain-main
dengan Orang Utan itu. Aku telah
mendapat pengalaman-pengalaman yang
berguna dalam menambah ilmu silatku. —
— Syukurlah anak muda. Sejak
semula aku telah mengagumi gerak ilmu
silatmu dan akupun ingin bersahabat
denganmu. — kata Bontang. — Sekarang
ijinkanlah aku menolongmu, anak muda.
—
— Terima kasih bapak. — sahut
Mahesa Wulung dan ia membiarkan kedua
tangan orang tua itu mengurut-urut
pundak dan lehernya dengan hati-hati.
Dalam pada itu, sambil merasakan
pijitan dan usapan tangan situa
Bontang, Mahesa Wulung melemparkan
pandangan matanya kearah Goro, Si
Orang Utan yang tergeletak ditanah
tanpa daya.
Rupanya binatang inipun tengah
mengawasi Mahesa Wulung sehingga kedua
pandangan mata mereka bertemu
seketika. Dan disini Mahesa Wulung
melihat pandangan mata Goro yang
lembut, seakan akan ia menyatakan
penyesalannya. Bahkan segera tampak
oleh Mahesa Wulung kalau binatang itu
mencoba tersenyum kepadanya.
Perlahan-lahan dan sedikit demi
sedikit tubuh Mahesa Wulung terasa
segar kembali dan rasa sesak serta
sakit pada lehernya berangsur-angsur
hilang, sehingga sebentar kemudian ia
dapat bernapas dengan lega.
— Nah, aku lihat engkau telah
sembuh kembali, Mahesa Wulung. Kini
aku minta agar si Goro engkau bebaskan
dari totokan jarimu. — ujar situa
Bontang.
— Tentu, pak. Jangan kuatir. Aku
akan menolong sahabatmu ini! —
terdengar Mahesa Wulung berkata dan
mendekati binatang itu. Kemudian ia
meraba leher si Goro dan dengan tiba-
tiba menotokkan ujung jari-jarinya
keleher Goro tepat ditempat semula ia
menotoknya.
Suatu jeritan terlontar dari
mulut Orang Utan ml dan kemudian
binatang itu sudah dapat menggerak
gerakkan kedua tangannya dan kaki.
Sebentar kemu dian Goro tersenyum
dengan sorot mata berterima kasih
kepada Mahesa Wulung seraya menepuk-
nepukkan kedua tangannya kepundak
pendekar muda ini.
Mahesa Wulung tersenyum melihat
kelucuan Goro, demi kian pula dengan
situa Bontang. Orang Utan ini setelah
merasa dirinya sembuh kembali, lalu
berjingkrakan dengan gembira dan
kesannya bahwa ia seekor binatang yang
pandai bertempur dan bersilat seperti
manusia telah lenyap.
— Ah, anda telah membuatnya
gembira, Mahesa Wulung — berkata situa
Bontang seraya memungut kapak hitamnya
yang masih tergeletak ditanah, dan
menyelipkan sekali keikat pinggangnya.
— Aku sangat berterima kasih
karenanya. Maka aku harap sudilah anak
muda singgah kegubukku lebih dulu. —
— Baiklah, bapak. Dan kebetulan
senja telah tiba — ujar Mahesa Wulung.
— Jika pulang kekampung Lembah Sampit
sekarang juga, mungkin aku akan
tersesat. —
— Itu betul, anak muda. — sahut
Bontang. — Berjalan malam seorang diri
ditengah rimba Borneo ini sangatlah
berbahaya. Kalau tidak tersesat, maut
pun yang akan mengancamnya. —
— Kearah mana kita pergi bapak? —
tanya Mahesa Wulung.
— Ikutlah kami, anak muda. Kita
pergi kearah timur dan sebaiknya
berjalan diatas pohon saja agar lebih
cepat! —
Sejurus kemudian, Bontang bersama
Mahesa Wulung dan si Goro telah
berloncatan keatas pohon. Mereka
bergayut dan bergantung pada sulur dan
dahan2 pohon, melesat dari tempat satu
ketempat lain, dan dari pohon yang
satu kepohon berikutnya.
Yang kelihatan kemudian adalah
merupakan tiga bayangan hitam yang
berloncatan diantara dahan pohon pohon
dengan gesitnya menuju kearah timur.
Sisa sinar matahari senja masih
temarang dilangit barat yang telah
disepuh oleh warna merah kekuningan.
Kelelawar-kelelawar dan kunang-kunang
mulai keluar dari sarangnya
beterbangan dengan riangnya.
Ketiga sosok bayangan tadi terus
berloncatan kearah timur dan sebentar
kemudian mereka telah lenyap dibalik
pepohonan dan kegeiapan udara senja.
Bagi Mahesa Wulung sendiri,
perjalanan ini dirasanya seperti
sebuah impian saja. Berloncatan dari
pohon kepohon bersama dua makhluk yang
baru saja dikenalnya dan masih sangat
asing baginya. Biarpun begitu ia tak
menaruh kecurigaan kepada mereka ber-
dua, sebab ia yakin bahwa keduanya
bukanlah termasuk golongan sipendekar
liar Bengara. Bahkan menurut situa
Bontang, mereka justeru bermusuhan
karena perbedaan sikap dan tujuan.
Kini mereka telah semakin jauh
dari sungai kecil, tempat mereka
bertemu semula. Ternyata hutan di
sebelah timur ini tak kalah lebatnya
dengan hutan- hutan yang pernah
dilalui oleh Mahesa Wulung selama
tinggal dirimba pulau Borneo ini.
Tak antara lama situa Bontang
memberi isyarat Mahesa Wulung serta
berkata dengan senangnya. —Nah, anak
muda. Lihatlah dengan pohon besar
didepan kita itu. Kau lihat sebuah
rumah gubuk berdiri di antara celah
celah dahan pohon itu? —
— Benar, bapak. Dan aku kagum
karenanya — sahut Mahesa Wulung kepada
situa Bontang.
— Ha, ha, ha, ha. Terima kasih,
anak muda. Terimakasih. Baru kali
inilah aku mendengar sebuah pujian
atas gubuk buatanku! — seru Bontang
dengan hati yang bangga.
Mereka bertiga telah semakin
dekat dengan gubuk itu dan sesaat
kemudian tibalah mereka didepannya.
Ketiganya segera mengakhiri loncatan-
loncatannya dan berhenti pada dahan
dahan pohon didekat rumah gubuk itu.
Mahesa Wulung segera dapat
melihat keadaan rumah gubuk itu.
Dinding dan atapnya terbuat dari
kulit-kulit pohon dan anyaman daun
kelapa yang dipasang berlapis-lapis.
Situa Bontang segera masuk
terlebih dulu dan menyalakan sebuah
pelita yang terbuat dari damar, getah
pepohonan dengan batu apinya. Sesudah
itu barulah ia mempersilakan Mahesa
Wulung memasuki gubuk itu, diikuti
oleh Goro di sebelah belakang.
— Nah, anggaplah seperti
dirumahmu sendiri, Mahesa Wulung.
Maaflah kalau ternyata kurang
memuaskan bagi anda. —
— Lebih dari memuaskan, bapak.
Aah, ternyata ruangan gubuk ini cukup
luas. Cukup untuk tinggal lima orang.
— ujar Mahesa Wulung.
— Heh, heh, heh. Ya memang cukup
luas, tetapi selama ini cuma kami
berdua saja yang mendiami — sahut
Bontang.
Ketika mereka tengah bercakap-
cakap dengan asyiknya tadi, si Goro
mendekat seraya membawa sebuah pinggan
dari tanah liat yang berisi burung
panggang dan buah-buahan, kemudian
diletakkannya keatas lantai yang
beralaskan tikar anyaman kasar.
— Anak muda, sayang sekali
panggang burung ini telah dingin. Tapi
tak apalah. Rasanya tetap gurih dan
sedap. Nah makanlah hidangan sederhana
ini dan tunggu nanti minumannya. —
— Terima kasih, bapak, — ujar
Mahesa Wulung.
Sejurus kemudian Goro kembali
kehadapan mereka sambil membawa seruas
bambu yang berisi tuak dan cangkir-
cangkir,dari potongan-potongan bambu.
Oleh hidangan-hidangan tersebut,
Mahesa Wulung jadi menelan air liur
sebab seketika perutnya merasa
bergejolak minta diisi. Maka mereka
bertiga segera menikmati hidangan tadi
dengan lahapnya, terutama Mahesa
Wulung yang dasarnya sudah merasa
lapar sekali.
Demikianlah sesudah mereka
bersantap, maka Bontang pun lalu
mempersilahkan tamunya untuk
beristirahat. — Tentu anda telah
kelelahan setelah memeras tenaga sore
tadi. Maka beristirahatlah secukupnya
agar pulih kembali. —
Mahesa Wulung mengangguk pelan
dan sebentar kemudian ia menguap
sementara matanya terasa berat,
mengantuk. Sedang situa Bontang
sendiri telah mengatur tikar-tikar
untuk alas tidur bagi mereka berdua.
Didekat pintu gubuk, si Orang
Utan berbaring pada dinding. Matanya
sebentar-sebentar menatap kearah
Bontang dan Mahesa Wulung yang telah
berbaring tidur dan sebentar pula ia
melihat kearah tangga naik yang
terbuat dari tali-temali, terjuntai
sampai jauh kebawah tanah. Bagi Goro,
menjaga tuannya adalah kewajiban yang
utama, sebagaimana situa Bontang
pernah menolongnya dari sergapan
seekor ular ketika ia masih kecil
beberapa tahun yang telah silam.
Ketika malam telah semakin larut,
suasana sunyi-senyap telah menelan
tempat itu, dan sekitarnya. Hanya
sekali-sekali terdengar suara burung
hantu dan derai nafas teratur dari
dalam gubuk itu.
LIMA
BEBERAPA ORANG dengan membawa
obor api ditangannya tampak menyuluhi
tempat-tempat disegala pelosok kampung
Lembah Sampit. Bahkan merekapun telah
sampai di luar daerah tersebut. Semua
itu untuk mencari Mahesa Wulung, yang
sampai saat sisa-sisa malam ini belum
kembali.
Situa Tawau, kepala kampung
Lembah Sampit dan juga Pandan Arum
serta Daeng Matoa menjadi cemas
karenanya. Mereka sudah menyangka bila
Mahesa Wulung akan tersesat bila
terlalu jauh pergi dari kampung ini.
Ketiga orang inipun ikut beramai-ramai
bersama orang-orang kampung menyuluhi
tempat-tempat yang gelap dan
tersembunyi, untuk mencari jejak dan
petunjuk-petunjuk dari kepergian
Mahesa Wulung.
Terlebih cemas adalah Pandan Arum
sendiri. Ia masih ingat akan
pertempuran sipendekar liar Bengara
melawan kekasihnya beberapa waktu yang
lalu dan kini, tiba-tiba saja Mahesa
Wulung telah menghilang.
Pikiran Pandan Arum lalu menjadi
semakin kacau setelah mengingat hal
itu dan rasa takutnya lalu bermunculan
dari hati kecilnya. Bukankah ia kini
berada ditengah daerah asing dan
terpencil, disebuah kampung ditengah
rimba liar pulau Borneo.
Sementara itu disebuah rumah
panjang diantara gerombolan rumah
rumah kampung Lembah Sampit, sigadis
manis Sandai selalu membolak balikkan
tubuh diatas tempat tidurnya. Sebentar
sebentar ia terbangun karena mimpi-
mimpinya yang buruk dan gelisah.
Setiap matanya sudah terpejam
tidur setiap kali pula ia dibayangi
oleh bayangan wajah Mahesa Wulung yang
mula mula tampak kecil, lalu besar dan
semakin besar seakan-akan memenuhi
rongga matanya.
Ketika ia terbangun untuk
kesekian kalinya, Sandai terkejut
mendengar suara-suara ribut di bawah
sedang cahaya terang dari obor-obor
telah masuk kedalam kamarnya melalui
celah-celah lubang lantai dan dinding
rumah. Semula Sandai agak terkejut,
tetapi setelah ia mengintai beberapa
saat ke arahluar, iapun lalu teringat
bahwa sejak senja menjelang malam
tadi, orang-orang telah sibuk mencari
Maluisa Wulung sampai saat kini pada
sisa-sisa malam menjelang subuh.
Sayup-sayup Sandai mendengar
kokok ayam hutan dengan merdunya tapi
kemudian telah ditelan oleh suara
ribut dan gumam manusia yang tengah
menyuluhi segenap tempat disudut rumah
dan semak-semak.
Waktu itu Sandai juga ikut
gelisah, sebab mungkin hanya dia
sendirilah yang tahu, kemana Mahesa
Wulung telah pergi. Sedang selama ini
ia tetap bungkam dan berdiam diri
pura-pura tidak tahu, sebab memang hal
itulah yang telah diminta dan
dikehendaki oleh Mahesa Wulung
kepadanya.
Maka terpaksalah dengan hati yang
berat dan tertekan, ia tetap memenuhi
permintaan Mahesa Wulung, sehingga
dibiarkannya saja orang-orang itu
nencari Mahesa Wulung kesana kemari
tanpa arah tujuan yang pasti.
Demikianlah Sandai masih bisa
menahan perasaannya dan membiarkan
mereka kalang-kabut mencari pendekar
muda dari pantai Seberang itu yang
seolah-olah menghilang tanpa jejak dan
bekas! Akan tetapi sesudah pencarian
itu berjalan dua hari lewat, Sandai
sudah tidak bisa menahan perasaannya
lagi. Cepat-cepat sigadis manis ini
berlari-lari menuju rumah kepala
kampung, membuat orang-orang terkejut
heran karenanya.
Disana, dihalaman bawah rumah
berpanggung situa Tawai, Sandai telah
sampai dan dilihatnya bahwa disitu
telah berkumpul beberapi orang
memegang senjata. Diantara mereka
terlihat pula bapak Tawau, Daeng Matoa
dan Pandan Arum serta keenam orang
anak buah Mahesa Wulung. Juga pendekar
Seguntur pun terlihat pula diantara
mereka.
Agaknya situa Tawau tengah
memberi petunjuk pada kelompok-
kelompok orang itu, yang sebentar lagi
akan pergi keluar kampung. Dan
kemudian, orang tua itupun terkejut
melihat Sandai berlari-lari kearah
dirinya.
— Sandai! Mengapa wajahmu begitu
pucat dan berkeringat? Apakah yang
telah terjadi dengan dirimu! —
terdengar Tawau berseru kaget.
— Maaf, bapak, Aku telah
bersalah! Aku memang orang yang tak
berbudi! Aku telah berdosa kepada
kalian! —
— Tenanglah Sandai, tenangkan
hatimu dan kemudian ceriterakanlah
kepada kami dengan jelas — ujar Pandan
Arum Serta merangkul pundak Sandai
dengan manisnya. — Apakah yang
menyebabkan kekalutanmu ini? —
— Tentang Pendekar Mahesa Wulung,
nona. Aku sebenarnya tahu tentang
kepergiannya dari kampung ini! —
Perkataan Sandai ini bagai
sambaran petir bagi orang2 ini dan
mereka terhenyak kaget seketika.
— Hah! Jadi kau sudah tahu
tentang kepergian Mahesa Wulung selagi
kami kalang kabut mencarinya? — seru
Tawau. — Oooh. — desah Pandan Arum. —
Kalau engkau sudah tahu sejak semula,
mengapa tak engkau ceriterakan kepada
kami, Sandai? —
Sandai sesaat tertunduk tak
berani menatap w-jah orang orang
disekitarnya dan iapun sadar, bahwa
sikapnya ini menyebabkan rasa jengkel
pada hati mereka. Tak lama kemudian
berkatalah Sandai. —Maaf, nona. Itu
semua kulakukan atas permintaan tuan
Mahesa, agar aku tak berceritera
kepada siapapun bahwa ia tengah
mengejar dan mencari seorang penyumpit
gelap yang menyerangnya, dua hari yang
lalu didekat mata air. —
— Seorang penyumpit gelap? Dan
menyerang pendekar Mahesa Wulung? —
ulang situa Tawau dengan suara
bergetar.
- Begitulah bapak — sambung
Sandai pula — Kemudian tuan Mahesa
Wulung memintaku agar pulang kembali
kekampung, dan berpesan seperti yang
telah aku ceriterakan diatas. —
— Kearah mana ia pergi, Sandai?
— ikut bertanya Daeng Matoa. — Hari
ini juga kita harus menyusulnya! —
— Kira-kira kearah barat, tuan
Daeng — jawab gadis Sandai. — Dan jika
andika semua akan pergi mencarinya,
ijinkanlah aku turut serta. Siapa tahu
aku dapat memberi keterangan
keterangan yang berguna. —
— Baiklah, Sandai — kata situa
Tawau. — Sebentar lagi kita akan
berangkat! —
Kepala kampung ini segera
menyiapkan segala sesuatu yang perlu
bagi perjalanan nanti dan ketika
matahari sudah cukup tinggi, mereka
berangkatlah kearah utara lebih dulu.
Tampak situa Tawau berjalan
bersama Sandai di sebelah muka,
kemudian Daeng Matoa bersama Pandan
Arum dan dibelakang mereka berjalan
orang-orang anak buah Tawau serta
keenam anak buah Mahesa Wulung.
Sandai mula-mula membawa
rombongan tersebut kemata air
disebelah utara kampung dan mereka
masih bisa melihat sebuah jarum
sumpitan yang menancap pada batu
ditepi mata air. Situa Tawau
mengangguk-angguk melihat benda itu
dan kemudian rombongan itupun
meneruskan perjalanannya kearah barat
seperti petunjuk dari Sandai.
Didekat sebatang pohon tua,
mereka dapat melihat jejak-jejak kaki
menuju kearah utara. Mereka pun segera
menuruti jejak2 tersebut dengan teliti
dan sampailah mereka pada sebuah
aliran sungai kecil yang mengalir
kearah timur.
— Nah, kita menemukan jejak lagi,
Sandai! — ujar Tawau seraya menunjuk
kebawah dan tampaklah jejak-jejak kaki
di sepanjang tepian sungai tadi terus
menuju kearah timur.
— Tapi, bapak — Sela Daeng Matoa
— Apakah kita yakin bahwa jejak2 ini
adalah jejak kaki saudara Mahesa
Wulung? —
— Aku bisa memastikan begitu
tuan, karena jejak-2 ini masih sama
dengan jejak yang terdapat dimata air
pertama tadi — ujar Tawau seraya
meraba-raba bekas2 jejak kaki
tersebut. — Dan kira-kira ini berbekas
pada dua hari yang lalu., —
Daeng Matoa dan Pandan Arum
terperanjat juga mendengar penuturan
Tawau. Mereka tidak menyangka kalau
orang tua itu mempunyai pengetahuan
yang sedemikian dalamnya.
— Ooh, mudah-mudahan kita dapat
segera menemukannya. Bapak — ujar
Pandan Arum menyambung.
— Begitulah harapan kita semua,
nona — sahut situa Tawau. — Dan
sekarang, marilah kita lanjutkan
perjalanan kita. —
Maka sejurus kemudian,
berjalanlah kembali rombongan tadi
menyusuri sepanjang tepi sungai kecil
menuju kearah timur. Mereka sebentar-
sebentar berhenti untuk meneliti
jejak-jejak tadi, sehingga perjalanan
cukup memakan waktu yang banyak.
Maklumlah, mereka tak berani
serampangan untuk tujuan yang tengah
mereka kejar. Apalagi mencari orang
yang tersesat didalam hutan, seperti
pekerjaan mereka sekarang ini. Semua
benda yang dapat memberi petunjuk
sangat berguna sekali, seperti jejak-
jejak kaki, ranting-ranting terpatah,
semak yang roboh dan sebagainya.
Cukup jauh sudah jarak yang
tengah mereka tempuh dan tiba-tiba
saja mereka berhenti karena Tawau yang
berjalan paling depan telah menemukan
jejak yang terputus dan sebuah jejak
tampak menuju ketengah sungai.
— Hmm, jejak ini terputus dan
hilang disungai! — desis situa Tawau
sambil pandangan matanya memeriksa
tempat sekeliling. Dan tiba-tiba ia
melihat sebuah dahan pohon yang besar
menjorok diatasnya. Hal ini membuat
situa Tawau sibuk berpikir dengan
kerasnya. Semua pengalamannya sebagai
kepala kampung Lembah Sampit dan telah
puluhan kali keluar masuk menjelajah
hutan pulau Borneo ini, membuat ia
kaya akan seluk beluk dan tanda-tanda
sekecilpun, yang terdapat di dalam
hutan.
— Ranting pohon yang terpatah itu
telah kering. Pastilah ini terjadi
beberapa hari yang lalu dan disebelah
timurnya lagi, ada sebuah cabang pohon
lain yang terpatah. Ehh, agaknya
pendekar Mahesa Wiiliing telah
berjalan diatas pohon menuju kearah
timur! — demikian pikir situa Tawau.
— Jejak-jejak kaki telah
terputus bapak — ujar sigadis Sandai
kepada situa Tawau — Dan apa tindakan
kita selanjutnya? —
— Kita menyeberang sungai kecil
ini dan terus berjalan ketimur — ujar
Tawau seraya memberi isyarat kepada
rombongan tadi dan perjalananpun
diteruskan kearah timur, menyeberangi
sungai tersebut kemudian menerobos
hutan yang lebat.
Beberapa waktu kemudian,
rombongan Tawau tadi celah semakin
jauh dari sungai itu dan tibalah
dihutan yang lebat. Namun itu bukanlah
rintangan yang berat bagi mereka,
sehingga dalam waktu yang singkat
terbukalah semak-semak yang merintangi
jalan oleh tebasan mandau dan pedang
orang orang itu.
Tak antara lama, Tawau memberi
tanda berhenti kepada rombongan tadi,
sebab didepan tnereka terlihatlah
semak-semak dan pepohonan kecil yang
berebahan dan terserak disana-sini.
Sebagian dari semak-semak tadi juga
telah kering. Itu semua menandakan
bahwa hal ini terjadi pada waktu-waktu
yang lewat.
— Ooh, apakah yang terjadi
disini, kiranya? Agaknya seperti habis
dipakai untuk tempat bertempur! —
gumam Daeng Matoa yang berdiri
disebelah Tawau.
— Benar, Daeng! Tempat ini telah
dipakai untuk medan pertempuran
beberapa hari yang lalu — sambung
Tawau — lihatlah batu-batu yang
berserakan pecah ini!—
— Tapi tidak ada tanda-tanda
berdarah ataupu mayat yang kita
temukan — berkata pula Panda Arum yang
ikut memeriksa. — Dan disebelah timur
kami dapati lagi beberapa cabang pohon
yang terpatah dan sulur-suluran pohon
yang terputus. —
— Nah, itu satu tanda lagi bahwa
kita harus berjalan kesebelah timur! —
sahut Tawau pula. — Ayolah, jangan
lagi kita buang-buang tempo disini. —
Serentak mereka meneruskan
perjalanannya, menempuh hutan yang
kian lebat dan sulit untuk ditempuh.
Hutan didaerah timur ini lebih rapat,
seakan-akan pagar benteng yang
berlapis-lapis, menghalangi siapa saja
yang berani memasukinya.
Tetapi rintangan alam itu tidak
ada artinya bagi putera-putera Borneo
ini. Kelebatan hutan tidak menjadikan
mereka takut, tapi justeru membuat
semangat mereka bertumbuh untuk
menjelajahinya.
Biarpun begitu, toh mereka tidak
meninggalkan kewaspadaan diri. Mereka
tetap berhati-hati dan senantiasa siap
dengan senjatanya, sebab dengan sema-
kin rapatnya hutan tadi, pastilah
lebih banyak binatang-binatang liar
dan berbisa yang tinggal didalamnya.
Tawau yang berjalan disebelah
muka selalu dengan teliti memeriksa
jalan yang bakal ditempuhnya.
Pandangan matanya yang setajam elang
itu selalu jauh mendahului langkah
langkah kakinya, jauh kedepan, seakan
akan ingin menerobos kelebatan hutan
dan semak-semak yang terbentang
dihadapannya.
Rombongan tadi terus berjalan
kearah timur, bagai semut beriring-
iring dan sebentar berbelok-belok
menurut langkah, situa Tawau yang
menjadi pemimpinnya.
Tidak antara lama, rombongan tadi
dikejutkan oleh suara berisik dan
teriakan-teriakan yang menggema dari
sebelah timur. Keruan saja mereka
berhenti dengan serentak disertai oleh
hati yang berdebar-debar penuh tanda
tanya.
Situa Tawau segera berseru —
Saudara-saudara, siapkanlah senjatamu
dan ikuti aku untuk mengintai sebab
sebab suara tadi. —
Rombongan tadi kemudian bertebar
dan mereka mengendap-endap maju dan
mendekati arah suara yang berisik
disebelah timur, setapak demi setapak.
Daeng Matoa dan Pandan Arum telah
menghunus pedangnya masing-masing,
sedang Tawau, pendekar Seguntur dan
orang-orang lainnyapun telah bersiap
dengan senjatanya. Ujung tombak,
mandau dan pedang berkilatan tertimpa
cahaya siang, sementara yang
bersenjata sumpitan, telah pula siap
dimulutnya untuk menembak.
Suara berisik semakin jelas dun
rombongan situa Tawau telah sampai
pada tempot itu. Mereka sudah tak
sabar lagi tampaknya untuk mengetahui
apakah yang menyebabkan ramai-ramai
sedemikian gaduhnya. Namun alangkah
kagetnya mereka setelah menguakkan
daun semak-semak didepannya. Ternyata
suara gaduh tadi berasal dari dua
sosok tubuh yang tengah bertempur dan
bergerak dengan cepat, laksana dua
bayangan yang saling melibat dan
berpusaran.
Tak jauh dari tempat itu, diatas
sebuah dahan pohon yang terlindung
kelebatan daun-daun dan kegelapan,
tampak pula sesosok tubuh yang
nongkrong dengan enaknya serta
menonton pertempuran tersebut.
Sebentar-sebentar ia bersorak serta
berteriak-teriak dengan lantangnya. —
Ayo jangan tunggu lawanmu sampai
menerjang lebih dulu! Tangkis! Yah,
bagus. Itulah yang aku maksudkan.
Awas, jangan lengah terhadap sambaran
kaki lawan! Ha, ha, ha, ha! Nah,
begitu. Ayo ulang sekali lagi! —
Situa Tawau dan orang-orang
lainnya menjadi terkejut oleh suara
tersebut. Rupanya orang yang tengah
nongkrong di datas dahan tadi sedang
memberi petunjuk petunjuk kepada dua
sosok tubuh yang lagi bertempur.
Orang-orang yang bersembunyi
dibalik semak-semak, termasuk Tawau,
Daeng Matoa, Pandan Arum dan lain
lainnya seperti terpukau melihat
pertempuran tersebut.
Mereka tak tahu lagi apakah yang
musti dikerjakan, lantaran saking
takjub dan kagumnya. Dan lagi kedua
sosok tubuh yang lagi bertempur seru
tadi tak dapat mereka kenal wajahnya
sebab selalu bergerak dengan cepat.
Begitulah, mereka kadang-kadang
saling berpandangan tapi sama-sama
diam tanpa berbuat apa-apa. Apalagi
situa Tawau yang menjadi pemimpin rom
bongan, juga berdiam diri tanpa
memberi perintah2 kepada mereka.
Entah sampai berapa lama mereka
berlaku sebagai penonton diluar
gelanggang pertempuran yang begitu
seru. Tak seorangpun berkata-kata.
Semua pandangan mata dicurahkan kepada
dua sosok bayangan yang tengah
berlibatan saling menyerang dan mener-
jang.
Namun tiba-tiba semuanya
terperanjat, sebab orang yang
menongkrong didahan pohon itu mendadak
berseru dengan nyaring.
— Berhenti!! Ha, ha, ha, ha.
Kalian berdua telah mencapai apa yang
aku inginkan, dan aku puas karenanya.
Tapi waspadalah rupanya beberapa
pasang mata telah mengintai kita! —
Kedua bayangan makhluk yang kini
telah mengakhiri pertempurannya,
seketika itu juga menebarkan pandangan
matanya kearah tempat sekeliling serta
bersiaga menghadapi setiap
kemungkinan. Maka tak mengherankan
bila sesaat tempat tersebut menjadi
sunyi-senyap, kecuali derai napas
pelahan dari orang-orang rombongan
Tawau yang bersembunyi dibalik
dedaunan.
Mendadak, saja, kesunyi-senyapan
tadi dipecahkan oleh teriakan bernada
gembira dan sesosok tubuh meloncat
dari balik dedaunan, menuju kearah dua
makhluk yang baru saja selesai
bertempur tadi. — Kakang Mahesa
Wulung!! —
— Pandan Arum !— seru salah
seorang makhluk tadi yang tidak lain
adalah Mahesa Wulung. Pendekar ini
segera menyambut Pandan Arum yang
berlari kearahnya dan ia segera
menerima dekapan mesra dari gadis itu.
Dalam hati, Pandan Arum mengucap
syukur dan berterima kasih kepada
Tuhan, bahwa kekasihnya ternyata
selamat tak kurang suatu apa.
Ia kini merasa aman kembali dan
perasaan cemas yang semula menghantui
hatinya kini telah lenyap. Bahkan ia
tidak lagi menjadi takut, bila
ternyata makhluk yang satunya itu
adalah seekor Orang Utan yang besar
dan kokoh.
— Siapakah teman kakang ini? —
bertanya Pandan Arum.
— Ooo, dia adalah sahabat baruku.
Namanya adalah Goro. — Mahesa Wulung
berkata kepada kekasihnya. — Dan tadi
kami baru saja selesai berlatih. —
— Dan aku memperkenalkan diri
pula, nona!! — seru sebuah bayangan
yang meluncur dari atas dahan pohon,
tepat mendarat didekat Mahesa Wulung
dan Pandan Arum.
Hampir saja Pandan Arum ini
terpekik kuget melihat bayangan tadi.
Dikiranya pula adalah seekor Orang
Utan yang pandai berbicara, tak
tahunya adalah manusia juga yang
berbaju kulit, berbulu hitam
mengkilat.
— Maaf, jika aku telah
mengejutkan nona. Nama saya adalah
Bontang — ujar siorang tua yang
berbaju kulit itu.
Selagi mereka asyik bercakap-
cakap itu, situa Tawau dengan orang-
orang lainnya telah bermunculan dari
balik semak-semak dan mendekati
mereka.
— Kakang Mahesa Wulung,
kepergianmu telah membuat kami bingung
dan akhirnya mencarimu sampai ketempat
ini, — berkata Pandan Arum.
— Nah, nona Pandan Arum — ujar
situa Tawau yang telah berdiri didekat
mereka. — Bukankah benar kata-kataku,
bahwa Tuan Mahesa Wulung pasti
selamat? —
— Eh, benar bapak.
Terimakasih. —
— He, he, he, heh. Begitulah
tuan Mahesa Wu lung. Memang kepergian
anda itu menyebabkan orang-orang
sekampung kebingungan mencarimu
kemana-mana. Lebih-lebih dengan nona
Pandan Arum ini, yang hampir setiap
harinya merindukan anda serta tak
doyan makan sedikitpun. — berkata
situa Tawau setengah menggoda,
sehingga membuat Pandan Arum tertunduk
malu dengan wajah kemerahan disertai
warna merah jambu membayang dipipinya
yang montok.
— Aaah, bapak ini ada-ada saja! —
desah Pandan Arum seraya melirik
kearah wajah kekasihnya yang
tersenyum-senyum.
— Tapi bapak, darimanakah andika
dapat menge-tahui arah kepergianku
ini? — tanya Mahesa Wulung dengan
perasaan heran, sebab hanya Sandailah
yang tahu peristiwa penyerangan gelap
itu.
— Semua itu adalah atas petunjuk
Sandai. Bukankah begitu Sandai? — kata
Tawau.
— Nah, nona Pandan Arum —
ujarnya situa Tawau yang telah berdiri
di dekat mereka. — Bukankah benar
kataku, bahwa tuan Mahesa Wulung pasti
selamat? —
— Aku terpaksa berceritera kepada
bapak Tawau dan lain-lainnya, tuan —
sahut Sandai yang berdiri dibelakang
Tawau — Sebab aku tak sampai hati
melihat orang-orang ini kalangkabut
mencari tuan, sedang sebenarnya aku
mengetahui kepergianmu. —
Mahesa Wulung mengangguk-angguk
penuh pengertian, dan iapun tak bisa
menyalahkan sikap Sandai yang telah
mengingkari pesannya. Dalam hati
malahan ia mengucapkan syukur atas
sikap Sandai yang penuh rasa tanggung
jawab dan persaudaraan. Ia dapat
membayangkan sendiri, bagaimanakah
jadinya, seandainya gadis manis itu
tetap bungkam dan tak mau berceritera
tentang kepergiannya tersebut.
Yah, pastilah orang-orang ini
akan kalang kabut dan kebingungan
seperti yang telah dikatakan oleh
Sandai sendiri.
— Bapak Tawau, aku mengucapkan
terima kasih atas perhatian andika
semua yang begitu besar terhadap
diriku ini. — berkata Mahesa Wulung. —
Dan selama itu aku telah tinggal
dipondok pendekar Bontang ini. —
Situa Tawau segera memperkenalkan
diri kepada pendekar Bontang, juga tak
ketinggalan kepada si Orang Utan yang
bernama Goro itu. Binatang tersebut
sungguh membuat gembira dan tertawa
bagi Situa Tawau dan orang-orangnya.
Kelakuannya yang mirip-mirip dengan
manusia itu sungguh menakjubkan orang-
orang disitu, seperti bersalaman,
tertawa, menggaruk-garuk kepala dan
sebagainya lagi.
— Jadi, andalah yang bernama
pendekar Bontang — ujar situa Tawau. —
Kami sering mendengar nama anda yang
terkenal diseluruh sudut rimba Borneo.
—
— Uh, itu kurasa terlalu
berkelebihan buat diriku, sobat. —
kata situa Bontang kepada Tawau — Aku
cuma sedikit bisa bersilat dan itupun
telah aku ajarkan kepada pendekar muda
Mahesa Wulung ini.
— Situa Tawau merasa kagum atas
sikap merendah dari pendekar Bontang
tadi, terlebih lagi situa Bontang
berkata pula. — Setelah aku ajarkan
kepandaianku kepada Mahesa Wulung,
maka terlihatlah bahwa pendekar muda
ini dengan mudahnya menguasai segala
ajaranku dan ternyata dia lebih pandai
dari pada diriku. Agaknya patutlah
bila sebaliknya aku menjadi murid
Mahesa Wulung ini. —
— Ha, ha, ha, ha. Kalau andika
bermaksud begitu, maka tak ada
salahnya bila akupun mencalonkan diri
untuk menjadi muridnya — sambung situa
Tawau yang tak ketinggalan ikut
berkelakar. menjadikan suasana
pertemuan ini tambah cerah dan
semarak.
Sementara itu matahari telah
membuat bayangan pepohonan condong
kearah timur. Pertanda kalau hari
telah kelewet siang. Maka situa
Bontang segera memerintahkan kepada
Goro agar menghidangkan buah-buahan
dan minum kepada orang2 itu semua,
yang dengan senang hati menyambutnya.
Sesaat mereka beristirahat, tak
jauh dari rumah gubuk milik Bontang
yang terpasang diatas pohon. Sedang
situa Tawau tampak bercakap-cakap
dengan pendekar Bontang, disebelah
lain kelihatan Mahesa Wulung, Pandan
Arum, Daeng Matoa dan Sandai duduk
duduk bersama dibawah sebuah pohon
rindang. Dipojok barat, keenam anak
buah Mahesa Wulung dan orang orang
Tawau sibuk pula bercakap-cakap.
Diantara mereka, tampaklah
pendekar Seguntur yang sebentar-
sebentar melirik tajam kearah bawah
pohon rindang dimana Sandai dan ketiga
orang sahabatnya dari seberang tengah
asyik bercakap-cakap.
Tetapi hal itu jangan dikira tak
mendapat perhatian dari Mahesa Wulung
sendiri. Ia tahu bahwa pendekar
Seguntur, tengah mengawasi mereka
dengan mata tajam.
— Hmm, apakah gerangan yang
membuat Seguntur bersikap begitu? —
pikir Mahesa Wulung semula dan tiba-
tiba ia sadar, bahwa gadis manis
Sandai ada bersama mereka. — Ah,
agaknya sikap cemburu yang berlebih-
lebihan yang menyebabkan sikap Se-
guntur bersikap demikian. Rupanya
belum sembuh penyakit cemburunya sejak
pertama aku datang dikampung Lembah
Sampit. —
— Kakang Mahesa Wulung, — Pandan
Arum berkata. — Aku heran bahwa
pendekar liar Bengara yang dulu
mencegat kita ditengah perjalanan,
sangat mirip dengan bapak tua Bontang
itu. —
— Memang mereka dulu adalah dua
bersahabat yang kemudian berpisah
karena masing-masing berbeda pendapat
— tutur Mahesa Wulung kepada ketiga
rekannya. — Kalau sipendekar liar
Bengara akhirnya menggunakan
kepandaian dan ilmunya untuk
kepentingan diri sendiri bahkan tidak
jarang menyeleweng kearah kejahatan,
maka adalah sebaliknya dengan Bontang.
Orang tua itu banyak mengamalkan
ilmunya untuk kebajikan sesama
makhluk. Demikian pula jika kita
memperhatikan kehidupan manusia
sehari-harinya, maka tak luput dari
nafsu berbuat baik dan berlaku jahat.
Pada dasarnya, kedua nafsu tadi
ada bersarang dihati kita masing-
masing dan selanjutnya kitalah yang
harus menguasai dan mengendalikan
mereka, seperti halnya dengan kereta
berkuda. Manusia harus menekan dan
rnengendalikan nafsu jahatnya, sampai
akhirnya ia betul-betul menguasainya
dan syukur kalau ia malah berhasil
melenyapkannya sama sekali dari lubuk
hatinya. —
Oleh penuturan Mahesa Wulung itu,
Daeng Matoa, Pandan Arum dan Sandai
terdiam sesaat seraya mengangguk
mengerti. Tutur kata Mahesa Wulung
tadi sungguh tepat dirasanya.
Tetapi lain agaknya jika yang
mendengar itu adalah pendekar
Seguntur. Pastilah dia tidak akan
senang karenanya. Dalam pada itu,
Daeng Matoa agaknya merasa ada sesuatu
hal yang masih kurang jelas, maka
cepat-cepatlah ia bertanya kepada
Mahesa Wulung. — Saudara Mahesa
Wulung, sudilah kiranya andika
menerangkan sekali lagi perumpamaan
kereta berkuda tadi? —
— Mmm, baiklah Daeng. Kereta itu
aku umpamakan tubuh manusia dan
kehidupannya, sedang diri pribadi
adalah kusirnya. Adapun kuda kuda
tersebut ialah semua nafsu-nafsu. yang
ada pada manusia. Nah maka tugas kusir
atau sais tadi adalah menguasai
jalannya kereta dengan mengatur dan
mengendalikan arah lari kuda kuda itu
semua. Ia harus benar-benar bijaksana
dan tegas, janganlah sampai dia yang
diperkuda oleh kuda-kuda atau nafsu-
nafsu itu tadi. Jika sikusir tadi
sampai bisa diperkuda oleh kuda-
kudanya, maka tak mustahil bila kereta
tadi akan dibawa lari kemana-mana
tanpa arah tujuan tertentu dan
kemungkinan akan rusak dan celakalah
kereta tersebut. Begitulah Daeng, jadi
jelasnya setiap manusia hendaklah bisa
mengatur dan mengendalikan semua
nafsunya agar hidupnya selamat dan
sejahtera. —
Daeng Matoa sekali lagi
mengangguk seraya berkata — Terima
kasih saudara Mahesa Wulung. Segala
tutur kata serta keteranganmu, telah
aku mengerti semuanya. Memanglah,
segala kata-katamu tadi ada benarnya
juga. —
Diam-diam Pandan Arum merasa
bangga oleh tutur kata kekasihnya. Ia
kagum akan kebijaksanaan Mahesa Wulung
yang berpandangan seluas itu.
Rupanya cukuplah sudah waktu
istirahat yang diperlukan untuk
memulihkan tenaga bagi situa Tawau dan
rombongannya, sebab situa itupun
segera berpamit minta diri kepada
pendekar Bontang dan si Orang Utan
Goro! Juga Mahesa Wulung, Pandan
Arum, Daeng Matoa dan gadis Sandai
serta orang-orang lainnya tak lupa
meminta diri.
— Semua pesan dan pelajaran dari
bapak, akan aku ingat baik-baik dan
sungguh-sungguh. Kini ijinkanlah aku
berangkat, bapak — berkata Mahesa
Wulung dengan membungkuk hormat dan
setelah itu berlalulah ia dari hadapan
Bontang.
Rombongan tadi bergerak, lalu
berjalan kearah barat menuruti jalan
semula yang ditempuhnya ketika menuju
ketempat ini. Mereka sudah tidak lagi
susah-susah mencari jalan baru, karena
jalan yang semula masih cukup jelas
dan mudah dicari.
Sinar matahari masih bersinar
dengan terangnya sementara angin siang
bertiup dengan segar dari timur. Tak
lama kemudian, rombongan tadi telah
lenyap dibalik pepohonan dan situa
Bontang serta Goro masih saja berdiri
termangu ditempatnya. Dua titik air
mata tergenang disudut mata Bontang
sebagai luapan rasa harunya yang tak
tertahan. Meskipun orang tua itu cuma
secara singkat berkenalan dengan situa
Tawau dan rombongannya, namun sangat
berkesan bagi dirinya, sebab selama
ini ia lebih banyak hidup memencil
bertemankan Goro, dan binatang-
binatang lainnya daripada dengan
manusia-manusia. Hal ini seolah-olah
memperingatkannya, bahwa betapapun
manusia mencoba hidup menyendiri, tapi
toh perlu juga bergaul dengan manusia-
manusia lain.
*****
Dalam pada itu jauh disebelah
timur teluk Sampit sana, tampaklah
beberapa orang mengendap2 menuju
kearah hutan. Mereka yang bersenjata
pedang ada tiga orang dan dua orang
lainnya bersenjata dua pucuk senapan
lantakan, sedang pemimpinnya yang
berjalan didepan selain bersenjata
pedang lebar juga ia menyelipkan
sebuah pistol kuno pada ikat
pinggangnya.
Tanpa ragu-ragu mereka mulai
menerobos semak-semak pohon bakau.
Keenam orang tadi rupanya telah
bertekad untuk bertempur mati matian
sampai ketitik darah yang penghabisan.
— Kakang Garangpati. Mereka punya
kekuatan yang jauh lebih besar dari
pada kia! — ujar seorang diantaranya
kepada sipemimpin yang berjalan
didepan.
— Hah! Rupanya kau berkecil hati
Dangsa! Kalau memang begitu sebaiknya
kau tak usah ikut saja! — seru
sipemimpin dengan wajah yang garang
serta sorot mata yang tajam. — Biar
kami berlima saja yang menyerang kapal
Barong Makara itu! —
— Maaf, janganlah salah sangka
kakang! Aku tak pernah takut melawan
orang-orang dari Armada Demak itu. Kau
masih ingat bukan, ketika kami disaat-
saat terakhir mencoba mengeroyok
pemimpin mereka yang bernama Mahesa
Wulung itu. Sayangnya Kapal Hantu kita
keburu meledak dan kami terpaksa lebih
dulu terjun kelaut, sebelum mati
konyol secara cuma-cuma. —
— Nah, kalau begitu apa lagi yang
mesti kau kuatirkan? — Sahut
Garangpati tajam. — Bukankah kita
telah bertekad untuk bertempur mati-
matian, sebagai pembalas dendam atas
kehancuran Kapal Hantu dan tewasnya Ki
Monyong Iblis? —
— Betul kakang! Tapi kita harus
menyerang mereka secara diam-diam dan
tersembunyi. Kita akan bunuh mereka
satu demi satu, sehingga akhirnya
habis ditangan kita! — ujar Dangsa
dengan geram. — Tetapi yang membuatku
heran, mereka belum juga berlayar,
seolah-olah ada sesuatu kejadian yang
membuat pelayaran mereka tertunda. —
— Hmm, memang betul bicaramu.
Orang-orang itu malah kembali berkemah
dipantai! Heh, heh, heh, justeru
itulah yang memperkuat keyakinanku
bahwa sebentar lagi mereka akan dapat
kita hancurkan. — ujar Garangpati.
— Kita serang saja mereka malam
nanti! — sela seorang lain yang
berhidung pesek dan bersenjata bedil.
— Mereka akan kutembak dengan
senapanku ini satu demi satu........—
— Ha, ha, ha, rupa-rupanya kau
ingin menghabiskan mereka seorang
diri, Pisek Grana?! — sahut
Garangpati.
— Eeh, tidak kakang. — jawab
Pisek Grana cepat-cepat. Mereka
terlalu banyak untuk senapanku yang
hanya sekali sekali menembak ini. —
— Heh, heh, heh, baiklah. Mereka
akan kita bagi rata, Pisek Grana!
Setuju kau?! — berkata Garangpati.
— Lebih dari setuju kakang! —
sahut Pisek Grana seraya tertawa
terkekeh-kekeh, disusul oleh suara
ketawa yang lain-lainnya.
Keenam orang itu terus menerobos
semak pohon bakau dan membelok kearah
barat laut. Mereka bermaksud mengepung
orang-orang yang lagi berkemah
dipantai itu, dan menyerangnya pada
malam hari.
Beberapa orang lagi masih
tertawa-tawa, namun sekonyong-konyong
keenam orang tadi berteriak kaget
sebab dari atas pohon-pohon besar
berlompatanlah turun beberapa Orang
Utan serta dua sosok tubuh manusia
yang kemudian mendarat ditanah dengan
manisnya.
— Garangpati! — teriak seorang
yang baru turun dari atas pohon seraya
menyambut kearah Garangpati — Hah, kau
masih selamat sobat? —
— Kakang Mata Siji! Ah, kita
masih berjumpa lagi, kakang.
Syukurlah, kita akan bersama-sama
menghancurkan orang orang Armada Demak
itu! —
— Jangan terlalu bodoh
Garangpati!. Dengarlah lebih dulu akan
ceriteraku ini! — seru Mata Siji sam-
pai membuat Garangpati terkejut.
— Mengapa kakang?! —
— Kau belum tahu tentu, bahwa
saat ini Mahesa Wulung lagi bertamu
dikampung Lembah Sampit disebelah
utara sana! — Dan inilah yang harus
kita perhatikan, Garangpati! Kita
jangan keburu menyerang orang-orang
yang tinggal dipantai itu, tetapi
lebih dulu harus membinasakan
pemimpinnya dan setelah beres, barulah
kita menyerang orang-orang tadi
menghancurkannya sekaligus! —
— Ooh, itu bagus! Untunglah kami
bertemu dengan kakang Mata Siji. Kalau
tidak, entah apa jadinya. —
— Nah, adi Garangpati dan lain-
lainnya. Kalian tentu masih ingat
dengan bapak pendekar Bengara, sahabat
Ki Monyong Iblis dahulu itu? Inilah
dia dan silakan berkenalan! —
Garangpati dan kelima orang
temannya segera berkenalan dengan
pendekar liar Bengara. Mereka merasa
gembira dapat berkenalan dengan
Bengara yang terbilang pendekar jagoan
dengan anak buahnya Orang-Orang Utan
yang ganas-ganas ini. Selama itu,
mereka cuma mendengar dari kabar-kabar
mulut saja tentang pendekar Bengara
ini. Maka tak heranlah, bila mereka
tak habis-habis herannya menatap
sipendekar liar dengan bala
tentaranya, yang terdiri binatang-
binatang tersebut.
— Mata Siji, marilah kita segera
menuju kekampung Lembah Sampit. Sebab
ada hal-hal yang harus kita kerjakan
disana! — Bengara berkata kepada Mata
Siji.
Mendengar itu, Mata Siji seketika
meringis kesenangan sebab ia tahu akan
maksud perkataan pendekar Bengara ini,
yaitu menyerang kampung Lembah Sampit.
Segera berangkatlah mereka
bersama-sama kearah utara. Pendekar
Bengara berjalan paling depan bersama
pasukan Orang Utannya sedang
dibelakangnya menyusul Mata Siji,
Garangpati, Dangsa, Pisek Grana dan
lain-lainnya.
Kalau Bengara dan rombongannya
tengah berangkat kearah utara, diwaktu
itu pula situa Tawau beserta orang-
orangnya tengah menerobos hutan lebat
jauh disebelah timur laut sana.
Dengan bersusah payah Tawau dan
rombongan berusaha menerobos hutan
yang sangat lebatnya. Ditambah dengan
sinar matahari yang sudah tidak terang
lagi, menyebabkan mereka lebih
berhati-hati. Mereka tidak berani
secara gegabah berjalan semaunya
dihutan ini.
Tumbuh-tumbuhan sangat rapat dan
dua orang yang berjalan paling depan
terpaksa harus membuka jalan dengan
menebas dan membabak semak2 didepan
dengan senjata mandaunya.
— Kita telah tersesat? — desis
Tawau kepada dua orang yang tengah
membabat semak2 tadi.
— Ah, masakan kita tersesat
ditanah kita sendiri, bapak — berkata
sigadis Sandai kurang percaya.
— Benar! Ini memang tak masuk
akal, Sandoi! — seru Tawau membenarkan
perkataan Sandai. — Tapi hal itu
benar2 terjadi! Kau masih ingat bukan,
bahwa mula-mula kita telah mengikuti
jalan yang pertama kita tempuh, namun
sampai disini jalan itu telah lenyap,
seolah-olah telah ditelan oleh bumi. —
— Tapi, bapak. Rasanya tak
mungkin jika jalan tersebut musnah
dengan sendirinya. — sahut Sandai
pula.
— Memang, tak ada jalan yang
dapat berpindah sendiri,
kecuali....... — Tawau tiba-tiba
berhenti berkata sebab ia menjadi
terkejut sendiri oleh kata-kata yang
baru saja diucapkan itu. Kata-kata
tadi seketika menimbulkan suatu
pikiran Tawau yang cemerlang. Diam-
diam ia melanjutkan perkataannya tadi
didalam hati —.....Kecuali jalan itu
dipindahkan oleh tangan manusia! —
Situa Tawau lalu teringat akan
cara-cara menjebak seseorang yang
tengah berjalan dihutan. Diantaranya
adalah menghapus jejak-jejak sebuah
jalan agar seseorang menjadi tersesat
karenanya? Sekali lagi Tawau mencoba
mengingat-ingat perjalanan mereka yang
mula-mula, ketika mereka berjalan
kearah timur untuk mencari Mahesa
Wulung. Untuk menghilangkan jejak-
jejak tersebut, seseorang dalam
rombongannya haruslah berjalan
disebelah belakang sendiri.
Tetapi siapakah orangnya yang
mungkin berbuat itu! Kembali situa
Tawau terperanjat dengan hebatnya,
bila tiba-tiba ia teringat seseorang
yang sering berjalan paling akhir dari
rombongannya. Orang tadi adalah
pendekar Seguntur! Narnun Tawau
menjadi ragu-ragu oleh hal itu, sebab
rasanya tak mungkin bila Seguntur mau
berbuat seperti itu. Atau bisa juga
hal tersebut telah dilakukan oleh
seseorang dari luar rombongan.
Selagi kebingungan berpikir yang
begitu sulit, sigadis Sandai lalu
bertanya, menyapa Tawau hingga orang
tua ini geragapan.
— Bapak Tawau. Apakah langkah-
langkah yang perlu diambil berikutnya?
—
— Kita terus saja menempuh jalan
ini. Tetapi awas kalian berdua mesti
hati-hati dan bersiaga. — ujar Tawau
kepada kedua orang anak buahnya yang
masih sibuk membabat semak2 di sebelah
muka.
— Baik, bapak! — sahut mereka
berbareng, dan segera melanjutkan
pekerjaannya. Setapak demi setapak
mereka maju kedepan dengan lambatnya.
Mahesa Wulung yang berada
disebelah tengah buru-buru maju
kedepan untuk menemui situa Tawau.
— Rasanya agak lambat bapak,
perjalanan kita ini — berkata Mahesa
Wulung kepada Tawau yang telah berdiri
di sebelahnya.
— Wah, kita menemui kesulitan,
tuan Mahesa Wulung — jawab Tawau
seraya menunjuk kedepan. — Kedua
saudara kita ini terpaksa membuka
jalan yang baru, sebab jalan yang
semula kita lalui telah hilang! —
— Eeeh, hilang? — sahut Mahesa
Wulung dengan keheranan.
— Yah, begitulah — situa Tawau
menyambung. — Tapi kita tak perlu
cemas oleh hal itu. Jalan lain masih
banyak untuk kita. —
— Hari sudah terlalu sore bapak,
dan sebentar lagi akan gelap. — Mahesa
Wulung berkata lagi, — Apakah kita
tidak perlu berkemah jika malam nanti
telah tiba? —
— Sebaiknya kita terus saja, tuan
— kata situa Tawau — Kampung kita
sudah tidak seberapa lagi jauhnya.
Kalau berjalan terus larut malam nanti
kita akan sampai disana. — Tawau
berhenti sejenak lalu berkata kembali.
— Namun kita mesti harus ber-hati-
hati, tuan. —
— Ooh, gawatkah tempat ini,
bapak? —
— Aku kira demikian, tuan. Dan
lagi aku belum pernah menginjak daerah
ini yang bagi kami masih agak asing
juga.
— Kalau begitu aku harus
mengingatkan orang-orang ini lebih
dulu, bapak! —
— Itu lebih baik, tuan. Silakan
memberitahu mereka sementara kami maju
serta membuka jalan. —
Mahesa Wulung segera kembali
kebelakang serta memberi peringatan
kepada orang-orang, agar berhati-hati
melewati jalan ini, sementara itu
pendekar Seguntur yang berada
dibarisan sebelah belakang tampak
tersenyum mengejek, mencibirkan
bibirnya. Entah mengapa Seguntur
berlaku begitu, agaknya ia menganggap
sepi kata-kata Mahesa Wulung itu.
Kembali rombongan itu maju
perlahan-lahan, dan mereka berbaris
satu persatu karena sempitnya jalan
darurat yang baru saja mereka buka
tadi.
Hutan didaerah inipun tak kalah
hebatnya dengan hutan hutan lainnya.
Memang pulau Borneo yang sebagian
besar tertutup oleh hutan itu, benar-
benar membuat orang yang berhati kecil
akan ketakutan menginjakkan kakinya
dipulau ini.
Mahesa Wulungpun dapat merasakan
kehebatan hutan ini, dan jika ia
teringat pengalamannya ketika menempuh
hutan Alas Roban dipesisir utara Jawa,
ternyata bukan apa-apa jika
dibandingkan dengan hutan disini. Jauh
lebih hebat dan lebih ngeri hutan yang
kini tengah dilalui ini.
Rombongan orang-orang ini lebih
banyak berdiam diri, serta memasang
kewaspadaan dengan secermatnya.
Senjata siap ditangan dan sewaktu-
waktu dapat dipergunakan.
Mereka melihat banyak sulur-
suluran dan pohon pohon pakis sebagai
semak-semak utama, sedan hawapun
terasa lebih dingin. Bunga-bunga
beraneka warna tampak bermekaran
dengan indahnya dengan menyebarkan
bau-bau harum keudara sore ini.
Mahesa Wulung agak kagum melihat
semacam tumbuh-tumbuhan bunga yang
berdaun panjang-panjang seperti
belalai runcing terhampar ditanah.
Jika dipandang dari atas, agaknya akan
mirip sebuah bintang yang berjari-
jari, sedang ditengah-tengahnya
terdapat sekuntum bunga yang berwarna
merah kekuningan sangat menarik hati
siapa saja yang melihatnya.
Semakin lama Mahesa Wulung banyak
melihat bunga-bunga berdaun belalai
tadi tumbuh disana-sini. Demikian pula
orang-orang dalam rombongan tadi
merasa takjub melihat bunga-bunga itu.
Mereka merasa seakan-akan tengah
berjalan ditaman bunga yang aneh.
— Kakang Mahesa Wulung. Bunga itu
sangat aneh — ujar Pandan Arum kepada
Mahesa Wulung yang ada didapannya. —
Belum pernah aku melihatnya. —
— Tapi aku merasa seolah-olah
bunga-bunga tersebut tengah mengawasi
kita, adi Pandan. — kata Mahesa
Wulung.
— Ah, engkau ada-ada saja kakang
Wulung. — Dalam pada itu, kedua orang
anak buah Tawau yang berada didepan
dan membuka jalan, juga menjumpai
bunga-bunga berdaun belalai tadi.
Seorang diantaranya cepat-cepat
memungut sebuah bunga tersebut untuk
dibabatnya karena dirasanya
menghalangi jalan yang akan mereka
lalui. Tetapi tiba-tiba orang tadi
menjerit hebat dan mengerikan, sebab
tahu-tahu seluruh daun-daun seperti
belalai tadi dengan cepat terangkat
keatas dan mengurung serta menjepit
tubuhnya dengan duri-durinya yang
menghunjam kedalam daging.
Kejadian tadi membuat orang orang
terkejut dengan hebatnya, sampai-
sampai mereka terpaku tanpa sempat
berbuat apapun. Dan lebih hebat lagi
bila melihat orang yang terjerat daun
belalai tadi tiba-tiba tak berkutik
lagi dan tubuhnya kelihatan semakin
menyusut dan pucat. Setelah itu tubuh
tersebut terus mengempis hingga
tinggal kerangka bersaput kulit,
sedang daging darahnya lenyap, seperti
disedot oleh daun-daun belalai tadi.
— Tumbuh-tumbuhan pemakan daging!
— desis Mahesa Wulung, sedang Pandan
Arum cepat-cepat mendekap Mahesa
Wulung saking takutnya.
Demikian pula orang-orang dalam
rombongan itu terkejut semuanya dan
tiba-tiba dua orang diantaranya
menjadi panik serta berlarian keluar
dari barisan. Namun tak urung kedua
orang tersebut tanpa sadar telah
menginjak bunga-bunga berbelalai tadi
dan dalam sekejap mata mereka
terkurung oleh daun-daun tersebut
untuk kemudian mengalami nasib yang
sama dengan korban yang pertama.
Tubuh-tubuh mereka mengering dan
kemudian terkulai rontok kebawah.
Pandan Arum menjerit ketakutan.
Ia tak tahan melihat pemandangan yang
mengerikan itu. Begitu pula sigadis
Sandai menjadi ngeri hatinya dan ia
mendekap lengan Daeng Matoa yang
berada dibelakangnya. Pendekar Bugis
inipun dengan sigapnya menyambut
Sandai serta melindunginya, sementara
tangan kanannya telah menggenggam
pedang terhunus, siap menghadapi mara
bahaya. — Tenanglah Sandai! Jangan
panik! —
Oleh jeritan2 tadi serta bau
darah yang masih menetes dari duri2
daun belalai yang habis memakan
korbannya, seketika daun2 belalai yang
lainnya bergerak terangkat keatas
bergerayangan turun-naik bagaikan
minta korban pula seperti ketiga
tumbuh-2an bunga pertama yang telah
kenyang melahap daging dan darah
ketiga korbannya.
Sungguh mengerikan! Taman bunga
yang semula tampak indah itu berubah
mengerikan oleh daun2 belalai yang
berjungkit2 naik turun dengan suara
bergesekan serta berdecit seperti
jeritan2 kecil dari mulut-mulut yang
kelaparan meminta makan. Jalan yang
semula mereka lalui tadi juga telah
tertutup oleh daun2 belalai, membuat
seluruh rombongan Tawau dan Mahesa
Wulung ketakutan setengah mati. Akan
matikah seluruh rombongan tadi oleh
tumbuh2an bunga pemakan daging ini?!
Nah, para pembaca akan mendapat
jawabannya kelak.
Sampai disinilah berakhir
ceritera Seri Naga Geni "MAUT DI
LEMBAH SAMPIT" dan segera menyusul
Seri Naga Geni selanjutnya "KUTUKAN
PATUNG INTAN", yang tak kalah
hebatnya.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar