SATU
SI TUA TAWAU, Mahesa Wulung dan rombongannya
kini seolah-olah terkurung oleh tanaman pemakan
daging yang berbelalai, bergerayangan siap mencaplok
korbannya.
Suasana yang mengerikan tersebut kini tambah
menyeramkan lagi berbareng turunnya sang senja. Da-
lam cahaya kemerahan lembayung itu tampaklah
bahwa daun-daun berbelalai tadi, tak ubahnya jari-jari
dari tangan setan yang haus akan mangsa.
Ternyata setelah tumbuh-tumbuhan tadi memakan
tiga orang korbannya, menyebabkan rombongan terse-
but menjadi kacau dan panik. Apalagi dengan Pandan
Arum dan Sandai. Baru kali inilah keduanya mengala-
mi peristiwa yang mengerikan. Kalau seandainya mere-
ka melihat seseorang mati akibat suatu pertempuran
dengan darah yang bersemburan ataupun dengan luka
tubuh yang menganga, kiranya mereka tidak akan be-
gitu ngeri melihatnya.
Tetapi kali ini yang mereka lihat, justru sangat di
luar dugaan. Yah, sebuah tumbuh-tumbuhan yang bi-
asanya tampak lemah dan tak berdaya, lebih-lebih
dengan bunganya yang indah mempesona hati, kali ini
telah memakan manusia! Mereka telah menyedot dan
menghisap darah dan daging para korbannya tanpa
belas kasihan, kecuali yang tertinggal hanya tubuh-
tubuh kering kerontang, tak ubahnya tulang kerangka
berselaput kulit.
Sesungguhnyalah seluruh rombongan manusia ini
merasa ngeri. Seperti halnya Mahesa Wulung sendiri
yang biasanya sering mengalami peristiwa-peristiwa
pertempuran ataupun yang aneh-aneh, namun toh
pendekar gemblengan ini terpaksa bergetar pula ha-
tinya.
Kini terasalah oleh mereka, betapa kedahsyatan da-
ri kekuatan alam yang terbentang di hadapan mereka
ini. Memang dalam alam yang kebanyakan masih ter-
sembunyi dan terpencil akan sering didapati hal-hal
yang aneh dan menakjubkan.
Tetapi justru hal ini pulalah yang menggugah se-
mangat dan tekad bagi Mahesa Wulung untuk menge-
nal dan mengatasi kedahsyatan alam rimba Borneo.
“Aaaaaa...!”
Sebuah teriakan ngeri telah terlontar dari mulut se-
orang anak buah Tawau. Orang tersebut menggelepar-
gelepar di tanah dengan kedua belah tangannya berpe-
gang erat-erat pada rumpun-rumpun rerumputan. Te-
tapi setiap kali rumput-rumput tadi terbetot lepas ber-
sama akarnya dari permukaan tanah apabila tubuh
orang itu terseret ke belakang dengan cepat.
Mahesa Wulung bermaksud menolong orang ini, ta-
pi sayang keadaannya tidak memungkinkan. Bukan-
kah ia sendiri tengah melindungi Pandan Arum yang
kini mendekap erat pada lengannya, sedang orang ter-
sebut lebih cepat terseret oleh daun-daun belalai yang
telah membelit kedua belah kakinya dengan keras.
“Eaaach....”
Orang tersebut menjerit lebih keras, tapi juga meru-
pakan jerit yang terakhir, sebab tubuhnya telah terku-
rung oleh daun-daun belalai tadi dalam waktu yang
sekejap saja. Meskipun ia meronta-ronta sekuatnya,
tapi itu sudah tak ada gunanya lagi. Duri-duri daun
belalai tadi kemudian membenam lebih dalam ke da-
lam daging korbannya dan selanjutnya terjadilah pe-
rubahan-perubahan yang cukup mengerikan. Kulit tu-
buh orang tadi kemudian memucat dan semakin pucat, kemudian mengempis dan mengering.
Bila sudah begitu, maka daun-daun belalai tadi
memperlonggar jepitannya dan selanjutnya terkulailah
tubuh kering layu tersebut, terjelapak ke atas tanah
tak bernyawa lagi.
“Tenang, Saudara-saudara! Tenang! Kepanikan a-
kan berarti menambah korban bagi kita sekalian!” Be-
gitulah Mahesa Wulung berteriak nyaring menyadar-
kan orang-orang yang tengah kebingungan dan ngeri
hatinya.
Teriak peringatan dari Mahesa Wulung tadi berhasil
sebagian, tetapi masih lebih banyak yang belum sadar
akan manfaat dan arti seruan itu. Hingga korban pun
masih bertambah juga.
Begitulah, seorang yang menjadi kalap melihat tum-
buh-tumbuhan maut tadi, seketika melolos mandau-
nya serta membabat daun-daun belalai yang tengah
bergoyang-goyang. Akan tetapi daun-daun tadi seperti
bermata tampaknya, sebab begitu tebasan-tebasan
melanda dirinya, ia serentak meliuk-liuk lincah meng-
hindari setiap tebasan senjata tersebut.
Karuan saja si penyerang tersebut terperanjat dan
takjub melihat serangannya kandas dan cuma mene-
bas angin kosong. Dan lebih kaget lagi bila tahu-tahu
beberapa buah daun belalai tadi telah menyambar ta-
ngan dan kakinya serta menggeretnya sekali ke arah
pertengahan tetumbuhan tersebut.
Orang ini rupanya tak mau mati dengan cuma-
cuma, maka sekali lagi ia menebaskan pedang man-
daunya ke sebuah daun yang tengah membelit ta-
ngannya. Terdengarlah suara benda tertebas dan daun
tadi terpapas separuh lebih disertai cairan semacam
getah berwarna merah tua menyembur dengan derasnya.
Dengan terluka demikian ini, tumbuhan bunga pe-
makan daging tadi segera menjadi lebih beringas dan
garang. Maka daun-daun belalai lainnya secepat kilat
menyambar tubuh orang tadi sampai tak berdaya sa-
ma sekali dan akhirnya ia pun terkurung oleh daun-
daun belalai tersebut. Maka bertambahlah korban seo-
rang lagi.
Dalam pada itu, Mahesa Wulung yang tengah melin-
dungi keselamatan Pandan Arum telah menjadi terke-
jut sebab kekasihnya ini tiba-tiba saja menjerit keras.
“Kakang Wulung! Awas di sebelah kanan!”
Begitu diteriakkan oleh kekasihnya, Mahesa Wu-
lung cepat-cepat bertindak. Sambil berpaling ke kanan
ia menebaskan pedangnya secepat kilat.
Ternyata tebasan pedangnya itu adalah tepat wak-
tunya, karena sebuah daun belalai telah siap mener-
kam leher Mahesa Wulung dari samping.
Craas!
Daun belalai tersebut terpapas lepas diiringi oleh
cairan getah merah yang menyemprot keluar.
Daun-daun yang lain segera beraksi menyambar ke
arah Mahesa Wulung. Mereka seolah-olah merasa bah-
wa sebuah di antara anggota daunnya telah terpotong
oleh pedang pendekar muda ini, sehingga keseluruh
daun tadi secepat kilat menyebar ke arah yang sama.
Namun sekali ini mereka akan kecewa seandainya
bisa berkata, sebab sebelum daun-daun itu sempat
menyinggung tubuh Mahesa Wulung, telah terpenggal
lebih dulu oleh pedang Mahesa Wulung yang berputar
secepat baling-baling.
Dalam sekejap saja berjatuhanlah potongan-poto-
ngan daun-daun belalai ke atas tanah, tersapu selu-
ruhnya oleh sambaran ujung pedang Mahesa Wulung.
Kini yang tinggal adalah pangkal-pangkal daun belaka
yang sudah tidak berdaya sama sekali. Pohon pema-
kan daging itu sekarang telah gundul, kecuali bunga
merah yang masih mekar dengan megahnya di tengah
pangkal-pangkal daun tersebut.
Bermula Mahesa Wulung sudah merasa lega karena
dapat melumpuhkan tumbuhan yang mengerikan ini.
Tetapi kemudian ia menjadi heran pula sebab sisa
pangkal-pangkal daun itu masih dapat bergerak.
Sesaat Mahesa Wulung memaklumi kenyataan bah-
wa di daerah yang bertanah tinggi serta jarang tersen-
tuh oleh sinar matahari akan memungkinkan terda-
patnya tumbuh-tumbuhan pemakan daging, seperti
tumbuhan ‘Kantong Semar’ yang pernah dilihatnya di
lereng Gunung Merapi di tanah Jawa. Tumbuhan ini
pun dapat menjebak serangga-serangga, seperti lalat,
semut, ulat dan sebagainya. Jika serangga tadi terge-
lincir dan jatuh ke dalam daun kantung yang berwarna
hijau, maka segera tubuhnya akan menjadi santapan-
nya. Dengan demikian maka tumbuh-tumbuhan tadi
dapat menghisap zat asam yang terdapat di dalam tu-
buh korbannya.
Dengan begitu maka Mahesa Wulung tak menjadi
heran bila bunga berdaun belalai yang sedahsyat itu
telah tumbuh di hutan ini. Hanya saja Mahesa Wulung
masih belum tahu, mengapa sisa-sisa pangkal daun
tersebut masih mampu bergerak-gerak.
Mendadak saja Mahesa Wulung tertarik oleh bunga
yang masih terdapat di tengah sisa-sisa pangkal daun
belalai itu.
“Ah, mungkinkah sumber kekuatan tumbuhan ini
terletak pada bunganya?” demikian Mahesa Wulung
berpikir sendiri. “Aku harus mencobanya dengan se-
gera!”
Secepat Mahesa Wulung selesai berpikir, secepat itu
pula ia menghunjamkan ujung pedangnya ke arah
bunga tersebut, dan akibatnya cukup mengagetkan.
Sisa-sisa pangkal daun dan bunga tadi bergetar sesaat
untuk kemudian diam tak bergerak sama sekali.
Kini tahulah Mahesa Wulung akan titik kelemahan
tumbuhan pemakan daging itu. Tetapi sebelum orang
dapat menikam bunga tersebut, kiranya terlalu sulitlah
untuk memenggal daun-daun belalainya. Dan hal ini-
lah yang tak mungkin dikerjakan oleh orang-orang ter-
sebut, lebih-lebih karena mereka telah dicekam oleh
rasa takut dan panik!
Di sebelah lain, Daeng Matoa cepat menebaskan
pedang pendeknya ke sebuah daun belalai yang men-
coba membelit tubuh Sandai. Untunglah ia keburu ce-
pat bertindak, sebab serangan ini datangnya dari bela-
kang tubuh si gadis dari Lembah Sampit ini.
“Saudara Daeng, tikam bunganya itu!” teriak Mahe-
sa Wulung dari sebelah barat.
“Ya!” seru Daeng Matoa pendek sedang pedang pen-
deknya segera berkelebat menyambar daun-daun tadi.
Bagai sambaran sebuah petir, cepat dan ganas, maka
tak perlu heran bila sebentar kemudian beberapa daun
telah berontokkan jatuh ke tanah.
Melihat daun-daun tadi terpapas dan mengeluarkan
getah berwarna merah seperti darah, Sandai menjadi
memekik-mekik saking ngerinya.
Daeng Matoa tak memberi kelonggaran waktu bagi
pedangnya untuk berhenti mencercah daun-daun ter-
sebut dan akhirnya ujung pedangnya telah ditikamkan
kepada bunga yang berwarna merah.
Dua tumbuhan pemakan daging telah binasa, tetapi
di sebelah utara, terdengar pula sebuah jeritan nyaring
dari mulut seorang anggota rombongan yang telah di-
lahap oleh tumbuhan maut tadi. Korbanpun makin
bertambah pula jumlahnya, menyebabkan si tua Ta-
wau bertambah cemas hatinya.
Dalam pada itu Mahesa Wulung pun merasa cemas.
Ia tak tega hatinya melihat korban-korban dari rom-
bongan ini yang telah dihisap tubuhnya oleh tumbu-
han berdaun belalai tersebut. Kalau ia sanggup meng-
hancurkan sebuah tumbuhan ini dengan pedangnya
seperti halnya Daeng Matoa, seharusnyalah mereka
akan sanggup pula membinasakan tumbuh-tumbuhan
yang lainnya. Tetapi Mahesa Wulung merasa bahwa
hal itu terlalu memakan waktu yang banyak.
Maka tak ada pilihan lain baginya kecuali ia menya-
rungkan kembali pedangnya dan setelah itu ia melolos
cambuk pusaka Naga Geni!
Pandan Arum merasa bersyukur pula bahwa keka-
sihnya telah mempergunakan senjata ampuhnya. Apa
yang ia lihat selanjutnya sungguh menakjubkan.
Bagaikan anak kijang yang binal, Mahesa Wulung
meloncat ke sebelah utara dimana si tua Tawau tengah
mati-matian melawan renggutan-renggutan daun bela-
lai yang mengancam dirinya.
Orang tua ini terkejut melihat bayangan melesat ke
arahnya, apalagi sesaat kemudian terdengar sebuah
lecutan cambuk meledak di dekatnya.
Daaarrrr!
Tawau melongo penuh kagum melihat tumbuhan
berdaun belalai yang menjadi lawannya, tahu-tahu
terkulai hangus kehitaman seperti arang dengan asap
mengepul ke atas, seperti habis dibakar oleh kobaran
api. Sedang di sampingnya telah berdiri Mahesa Wu-
lung dengan menggenggam cambuk Naga Geni yang
menyala biru kehijauan dalam cahaya keremangan
ujung malam.
“Tuan Mahesa Wulung!” desis si tua Tawau. “Tuan
mempunyai senjata yang hebat. Pantaslah tumbuhan
maut itu telah hangus binasa!”
“Oh, aku terpaksa menggunakan cambuk jelek ini,
Bapak. Mudah-mudahan kita selamat dari bahaya
yang seram ini,” ujar Mahesa Wulung. “Bersiap-siaplah
Bapak membawa orang-orang ke sebelah barat. Aku
akan membuka jalan dan menghancurkan pohon-
pohon itu!”
Si tua Tawau segera mengerjakan apa yang telah
dikatakan oleh Mahesa Wulung. Dengan lincahnya
orang tua ini menghampiri setiap orang serta memberi
tahu agar mereka bergerak ke barat, sementara Mahe-
sa Wulung berloncatan kesana-kemari sambil terus
memutar cambuknya laksana baling-baling maut dan
setiap kali menghajar hancur tumbuh-tumbuhan pe-
makan daging sampai hangus binasa.
Orang-orang terpaksa tercengang keheranan meli-
hat sepak terjang Mahesa Wulung yang begitu lincah
dan cekatan dalam menggunakan senjatanya. Begitu
pula dengan pendekar Seguntur yang sejak semula
menaruh dendam kepada Mahesa Wulung, terpaksa
memikirkan kembali maksudnya untuk menantang
adu tenaga dengan pendekar dari seberang itu.
Seguntur yang menatap cambuk Naga Geni di ta-
ngan Mahesa Wulung dengan nyala biru kehijauan
menjadi tergetar hatinya. Selama hidupnya baru kali
inilah ia melihat sebuah senjata ampuh yang sanggup
menghanguskan sasarannya.
“Hmmm, memang hebat senjata cambuknya itu,”
pikir Seguntur dalam hati. “Tapi tanpa senjatanya be-
lum tentu ia tahan menghadapi Seguntur dari Lembah
Sampit ini!”
Sementara itu si tua Tawau telah berhasil mengata-
si kepanikan orang-orangnya. Mereka segera mengikuti
jalan yang telah diamankan oleh Mahesa Wulung dari
ancaman pohon-pohon maut pemakan daging.
***
SELANGKAH demi selangkah mereka melewati dae-
rah maut tadi. Dan sepanjang perjalanan tampaklah
oleh mereka, bangkai-bangkai pohon maut berdaun
belalai yang berserakan di sana-sini dalam keadaan
hangus tak berkutik sama sekali. Biarpun begitu, di
sebelah-sebelah yang lain, beberapa pohon maut ini
masih tinggal hidup karena Mahesa Wulung hanya
membinasakan pohon yang merintangi jalannya saja.
Sedang selebihnya ia tak memikirkan lagi, sebab saat
ini yang paling penting adalah menyelamatkan rom-
bongan orang-orang ini keluar dari daerah maut.
Akhirnya berhasillah mereka menjauhi tempat itu
dengan dada yang masih berdebar-debar. Pengalaman
yang baru saja mereka temui tadi adalah pengalaman
yang sangat mengerikan dalam perjalanan hidupnya.
Yah, bahkan merupakan terhebat dari segalanya.
Tiba-tiba sebelum mereka terlalu jauh meninggal-
kan tempat tersebut, terjadilah sesuatu yang menge-
jutkan seluruh rombongan itu. Tidak hanya para anak
buah si tua Tawau dan Mahesa Wulung saja, akan te-
tapi mereka yang memimpin rombongan itu pun jadi
terkejut karenanya.
Sebuah bayangan melesat dengan cepatnya disertai
teriakan yang amat dahsyat menggetarkan udara ma-
lam. Dari cahaya obor-obor yang telah dipasang oleh
orang-orang dalam rombongan itu ataupun dari sinar
rembulan yang menerobos celah-celah dedaunan, tam-
paklah bahwa bayangan tadi adalah sesosok tubuh
manusia yang meluncur dan langsung menyerang Ma-
hesa Wulung.
Tak terkira betapa kagetnya Mahesa Wulung men-
dapat serangan yang sangat mendadak itu. Untunglah
dalam saat yang sekejap itu, ia masih sempat berkelit
meskipun sebuah sambaran sisi telapak tangan si pe-
nyerang sempat menyerempet pundaknya.
Tak ampun lagi tubuh Mahesa Wulung terpelanting
membentur batang pohon di sebelahnya. Nafas pen-
dekar ini terengah-engah serta peringisan menahan ra-
sa sakit yang menusuk-nusuk pada pundaknya akibat
gempuran dari tangan si penyerang.
Kejadian yang hanya sekilas itu sangat memukau
dan begitu cepatnya, sehingga orang-orang lainnya ter-
tegun bagaikan tengah melihat sebuah khayalan mim-
pi yang mengerikan.
“Hua, ha, ha. Kalian tak akan bisa lolos dari tempat
ini hidup-hidup. Akulah Longiram! Penguasa taman
bunga maut itu! Ha, ha, ha, haaaa!” teriak si penye-
rang yang kini berdiri dan hinggap di atas ujung dahan
pohon, membuat orang-orang terhenyak kaget.
“Huh! Longiram?!” desis Tawau. “Tak kukira bahwa
di tempat ini masih ada lagi pendekar yang sehebat
itu!”
Belum lagi mereka sempat mengejapkan matanya,
si penyerang kembali menyambar ke arah Mahesa Wu-
lung.
“Hiaaaat!”
Dan untuk kedua kalinya serangan ini belum me-
ngenai sasarannya, sebab sambaran tangan Longiram
tertangkis oleh kibasan jari-jari Mahesa Wulung.
Bruuk!
Benturan antara kedua tenaga pukulan tangan pen-
dekar itu terjadi dan untuk yang kedua kalinya, Ma-
hesa Wulung terpental jatuh ke tanah bergulingan, se-
dang Longiram cuma tergeser beberapa telapak kaki ke
belakang.
Sambil bergulingan itu Mahesa Wulung mendesis
kesakitan dan masih merasakan akibat gempuran ta-
ngan Longiram pada pundaknya.
“Hua, ha, ha, ha. Rasakanlah hukuman atas kelan-
canganmu, mengobrak-abrik taman bunga mautku!”
seru Longiram seraya melesat ke samping, ketika tiga
orang anggota rombongan menerjang ke arahnya de-
ngan tebasan mandau dan tombak.
“Heei, tikus-tikus ini ingin turut bermain-main?!
Bagus, terimalah ini! Haaaa!”
Longiram menerjang pesat, menyongsong ketiga pe-
nyerangnya dengan gerakan yang cepat dan apa yang
terlihat kemudian sangat menakjubkan. Tiga kali ta-
ngan kiri Longiram membuat lingkaran seraya berge-
rak menyelusup di antara tubuh-tubuh penyerangnya,
dan saat itu pula ketiga senjata di tangan mereka ter-
pukul lepas oleh benturan sisi telapak tangan Longi-
ram.
Mahesa Wulung yang telah bangun kembali terpak-
sa kagum pula oleh kejadian itu, lebih-lebih ketika se-
kali lagi Longiram menggerakkan tangan kanannya ke
arah tubuh ketiga lawannya.
Tiga kali gempuran sisi telapak tangan Longiram
dengan keras melanggar dada ketiga lawannya dan se-
ketika itu pula mereka menjerit keras serta terpental
rebah ke tanah dengan darah merah kehitaman ter-
muntah dari mulutnya.
“Ha, ha, ha, mampus kamu, tikus-tikus!”
Longiram berseru sambil melesat ke atas dan kem-
bali hinggap berdiri di atas ujung dahan pohon, de-
ngan gaya yang ringan bagai seekor belalang saja. Se-
mentara itu Mahesa Wulung terbeliak melihat ketiga
anggota rombongannya telah terkapar di tanah tak
bernyawa.
“Setan! Jangan kira aku tak mampu berbuat ma-
cam itu! Tunggulah kedatanganku! Haaaait!” ujar Ma-
hesa Wulung sambil mengerahkan ilmu meringankan
tubuh serta jurus-jurus ajaran pendekar Bontang.
Maka begitu menggenjotkan kakinya ke tanah, tu-
buh Mahesa Wulung melenting ke udara menyusul
Longiram yang kini bertengger di dahan pohon.
Sejurus kemudian berlangsunglah perang tanding
di atas dahan-dahan pohon dengan hebatnya, sedang
orang-orang lainnya yang berada di bawah, menyaksi-
kan dengan mulut ternganga. Mereka kembali disuguhi
pemandangan yang menakjubkan mata seakan-akan
sebuah impian khayal saja.
Sekali ini Mahesa Wulung tidak mau bertangan ko-
song dalam menghadapi Longiram, sebab ia sudah me-
rasakan betapa sakit pundaknya oleh hajaran tangan
Longiram.
Kedua orang ini bersambaran dan terjang-mener-
jang sangat hebat. Pedang Mahesa Wulung yang ber-
putar dan berkelebat dalam jurus-jurus Sigar Maruta
atau Membelah Angin dari ajaran pendekar Ki Camar
Seta.
Sedikit demi sedikit, Longiram yang bertangan ko-
song itupun terdesak oleh serangan-serangan pedang
Mahesa Wulung. Pendekar ini terpaksa mengumpat-
umpat apabila pedang lawannya terasa makin santer
mengurung dirinya, bahkan ujung pedang itu seolah-
olah mempunyai mata dan selalu memburunya kema-
napun ia bergerak!
Kini sadarlah Longiram bahwa orang muda yang
menjadi lawannya ini bukan orang sembarangan. Ka-
lau ia tadi dalam dua gebrakan telah berhasil membi-
nasakan tiga orang yang mengeroyoknya, kini ia telah
menghabiskan sembilan belas jurus dan ia belum ber-
hasil merobohkan lawannya.
“Keparat! Ilmu pedangmu cukup hebat! Tapi kau
belum mengenal tongkat rotanku ini, ya! Sambutlah
ini!” berteriak Longiram berbareng ia mencabut sebilah
tongkat rotan mengkilap yang terselip pada ikat ping-
gang kirinya.
Begitu meloncat, begitu pula ia menyabetkan tong-
kat rotannya ke arah leher Mahesa Wulung. Tetapi
pendekar muda ini berhasil menangkis serangan maut
tersebut dengan pedangnya.
Traaang!
Pertempuran menjadi semakin seru tampaknya, se-
telah masing-masing memegang senjata di tanganya.
Keduanya bertempur hebat, kadang-kadang meloncat
ke sana ke mari dari dahan pohon yang satu ke dahan
lainnya dan ada kalanya mereka meloncat ke atas
puncak-puncak pepohonan bagaikan dua ekor burung
elang yang tengah berlaga.
Sinar bulan purnama yang terang benderang me-
nyebabkan masing-masing dapat melihat kedudukan
lawannya dengan jelas. Mahesa Wulung makin berhati-
hati dalam menghadapi setiap serangan Longiram yang
datangnya bagai ombak badai tak berkeputusan. Sam-
baran-sambaran serta tusukan tongkat rotan di tangan
Longiram selalu mengancam dan memburu ke arah
bagian-bagian tubuh Mahesa Wulung yang lemah,
mengakibatkan pendekar muda ini agak kerepotan
menangkisnya.
Biarpun begitu Mahesa Wulung merasa kagum pula
melihat kegesitan lawannya itu. Selama tinggal di hu-
tan Borneo ini, ia telah mengenal dua orang pendekar
berilmu tinggi yakni si liar Bengara dan pendekar Bon-
tang. Namun hari ini ia telah bertempur dengan seo
rang pendekar lain yang tak kalah hebatnya dengan
mereka.
Orang-orang yang kini menjadi lawannya sesung-
guhnya berilmu tinggi dengan senjata tongkat rotannya
yang mampu memukul hancur dahan-dahan pohon
yang cukup besar. Tetapi hal utama yang membikin
Mahesa Wulung tak habis mengerti adalah pengakuan
Longiram yang mengatakan bahwa taman pohon-po-
hon maut tadi adalah miliknya.
Merasa bahwa lawannya yang masih muda ini sang-
gup mengandaskan serangan-serangannya, Longiram
menjadi semakin menyala matanya. Kemarahannya te-
lah menyebabkan darahnya kian menggelegak sampai
ke kepala, seolah-olah akan meledak rasanya.
Rupanya pendekar rimba yang menyebut namanya
Longiram itu telah mengerahkan segenap tenaga dan
ilmunya, sebab kini Mahesa Wulung melihat bahwa la-
wannya itu semakin dahsyat tandangnya. Maka ber-
tambah pula dahsyatnya mereka bertempur. Sedang
batang-batang pohon yang berderak dan berserakan
patah akibat gempuran senjata mereka, sudah tak ter-
hitung lagi banyaknya.
Mereka yang menyaksikan pertempuran itu terpak-
sa menahan nafas, apalagi dengan Pandan Arum. Ga-
dis ini merasa kecemasan melihat tandang dan gerak
Longiram yang dahsyat dan makin mendesak kedudu-
kan Mahesa Wulung, kekasihnya.
Pada suatu kesempatan, tongkat rotan Longiram
menebas ke kanan ke arah kepala Mahesa Wulung.
Namun Mahesa Wulung masih bertindak cepat dalam
saat yang segenting itu. Ia mengendapkan tubuhnya ke
bawah hingga tongkat rotan lawannya cuma menyam-
bar dalam jarak yang hanya satu jengkal saja dari kepalanya.
Sekonyong-konyong dalam saat yang sama tangan
kiri Longiram telah menyambar punggung Mahesa Wu-
lung, dan tergebloklah akhirnya punggung pendekar
muda itu oleh telapak tangan Longiram.
Blaag!
Pandangan mata Mahesa Wulung sesaat berku-
nang-kunang begitu geblokan telapak tangan tadi
membentur punggungnya bagai sambaran ujung hali-
lintar. Masih untunglah bagi dirinya karena ia masih
sempat mengetrapkan sikap Tugu Wasesa yang sang-
gup membentengi tubuhnya dari segenap benturan da-
ri luar. Namun sikap tadi ternyata kurang sempurna,
dibentuk secara tiba-tiba, sehingga pertahanan tadi
tertembus pula oleh tenaga pukulan tangan kiri Longi-
ram.
Dalam keadaan yang setengah sadar dengan pung-
gung yang sakit bagai terbakar oleh bara api, Mahesa
Wulung lalu kehilangan keseimbangan. Tubuhnya o-
leng dan jatuh melayang ke bawah.
Melihat ini, semua orang memejamkan mata, se-
dang Pandan Arum terpekik ketakutan. Daeng Matoa
cepat-cepat berlari ke arah tubuh Mahesa Wulung
bakal jatuh dari atas pohon. Ia bertindak dengan ne-
kad untuk mencoba menerima jatuhnya tubuh Mahesa
Wulung agar tidak membentur ke tanah.
Sementara itu dari atas pohon terdengarlah derai
ketawa yang menggetarkan udara malam. Longiram
merasa senang melihat lawannya terpukul roboh.
Akan tetapi, secara tiba-tiba sebuah bayangan dari
arah timur telah lebih dulu menyambar tubuh Mahesa
Wulung, sebelum ia benar-benar jatuh membentur ta-
nah.
“Hiaaat!”
Bayangan tadi dengan cekatan membawa tubuh
Mahesa Wulung melesat turun ke atas tanah dan
orang-orang segera menyambutnya. Pandan Arum ber-
jongkok di samping tubuh Mahesa Wulung yang telah
berbaring di tanah dan di sebelahnya tampaklah si tua
Tawau tengah memijit-mijit pundak Mahesa Wulung
dengan seksama.
“Tak perlu kuatir, Nona. Tuan Mahesa Wulung cu-
ma pingsan saja dan sebentar lagi akan sembuh,” ujar
orang tua itu kepada Pandan Arum yang menampak-
kan wajah cemas.
“Apakah ia tidak menderita luka dalam, Bapak Ta-
wau?” bertanya Pandan Arum.
“Menilik pukulan yang dahsyat dari orang tersebut,
seharusnya ia terluka dalam. Tapi anehnya, Tuan Ma-
hesa Wulung tidak menderita apa-apa. Agaknya ia
mempunyai kekebalan diri!”
Dalam pada itu, bayangan yang semula menolong
Mahesa Wulung telah melesat ke atas, menerjang ke
arah Longiram berdiri di atas dahan pohon.
“Akulah yang menjadi lawanmu, keparat!” teriak ba-
yangan tadi yang langsung menerjang Longiram de-
ngan sambaran kapak besar di tangannya.
“Heh, heh, heh. Siapa kau turut campur dengan
urusanku, hah?! Apa perlunya kau tolong anak muda
itu? Sudah sepantasnya ia hancur terlanggar oleh ba-
tang-batang pohon di bawah sana!”
“Ngocehlah sepuasmu, setan! Anak muda tadi ada-
lah muridku!” seru bayangan tadi dengan lantangnya.
“Dan akulah si tua Bontang, dedengkotnya rimba sebe-
lah timur!”
“Uuh! Jadi kamulah yang bernama Bontang?”
“Benar! Kau mulai takut rupanya!”
“Takut? Kau bilang aku takut kepada orang yang
bernama Bontang macam tampangmu itu?” ujar Longiram dengan sombongnya. “Ketahuilah, kemunculanmu
justru membuat senang hatiku! Sudah lama aku ingin
mengukur tenaga dengan orang yang bernama Bon-
tang!”
“Bagus! Kini kau telah berhadapan dengan orang-
nya,” sahut Bontang. “Dan kau akan tahu sampai di-
mana keuletan kulitmu!”
“Hua, hua, ha, ha. Ucapanmu menusuk telinga, ke-
parat! Tapi Longiram tidak akan takut karenanya!”
Habis berkata begitu, Longiram segera membuka se-
rangannya dengan sebuah sabetan tongkat rotannya
ke arah kepala Bontang.
Walaupun serangan ini datang secara mendadak,
tapi si tua Bontang tak kebingungan. Ia memutar ka-
pak hitamnya sejajar kepala dan tertangkislah tongkat
rotan Longiram yang tengah menyambar dengan deras-
nya.
Praaak!
Terjadilah suatu benturan hebat. Longiram yang te-
lah mengerahkan tenaga sepenuhnya tak menduga
bahwa Bontang pun juga telah menghimpun sebagian
besar tenaganya. Maka akibatnya cukup menggetar-
kan. Bontang terpental surut beberapa langkah, na-
mun dengan lincahnya pula ia cepat berdiri dan hing-
gap di atas dahan. Sedang Longiram pun terlempar pu-
la ke belakang beberapa langkah dengan derasnya.
Ternyata Longiram cukup tangkas. Dengan bebe-
rapa lompatan jungkir balik di udara, hilanglah tenaga
dorong tadi dan kemudian dengan enaknya ia menda-
rat di atas puncak pohon dengan tertawa memuakkan.
Mengalami hal itu, terpaksalah Bontang menyadari
bahwa Longiram pun berilmu tinggi pula. Maka tak he-
ranlah bila Mahesa Wulung, muridnya itu, kena ter-
gablok oleh tangan Longiram.
Sebaliknya Longiram pun terkejut sendiri menga-
lami benturan yang sedemikian serunya. Ia harus ber-
hati-hati menghadapi lawannya. Kalau saja muridnya
yang bernama Mahesa Wulung itu mampu menghada-
pinya dalam waktu yang cukup lama, maka pastilah
gurunya ini pun lebih hebat pula.
Kembalilah mereka bertempur dengan sengitnya,
saling melibat dan menerjang. Kedua senjata mereka
seakan-akan saling berkejaran dan bila ada pertaha-
nan yang kosong jangan diharap tubuh mereka akan
masih utuh bila kena tersambar oleh senjata-senjata
itu.
Dalam pada itu, jauh di bawah sana Mahesa Wu-
lung telah tersadar dari pingsannya. Pendekar muda
ini kemudian duduk bersila serta mengatur nafasnya,
dengan mengisap dalam-dalam udara malam yang se-
juk, dan sebentar kemudian berisilah paru-parunya
dengan hawa segar sehingga darahnya kembali meng-
alir lancar. Rasa panas terbakar pada punggungnya
pun kemudian hilang tak berbekas lagi.
Ketika Mahesa Wulung dan orang-orang lainnya
menatap ke atas, tampaklah pertempuran yang ber-
langsung semakin seru antara Longiram dan si tua
Bontang. Keduanya bergeser ke arah timur.
Gerakan Longiram yang ganas serta garang itu be-
nar-benar mencemaskan para penonton di bawah. Dan
setelah pertempuran itu berlangsung agak lama, tiba-
tiba saja Longiram mengambil sesuatu dari ikat ping-
gangnya dan kemudian tangan kirinya itu dikibaskan
ke arah lawannya.
“Duri-duri racun!” desis si tua Bontang dengan ter-
kejut, sambil memutar kapaknya memapaki senjata
rahasia yang telah dilempar oleh Longiram ke arahnya.
Ternyata lawan Bontang itu sangat licin. Begitu dilihatnya senjata rahasianya akan ditangkis, Longiram
cepat mengulang serangannya. Sekali lagi tangan kiri-
nya melambai ke arah si tua Bontang dan beberapa
duri beracun terlepas dari tangannya, menyambar ke
arah kaki Bontang.
Karuan saja pendekar tua ini terkejut setengah mati
sebab dua kelompok duri beracun tengah menyambar
ke arah dirinya, sementara ia pun melihat bahwa Lo-
ngiram telah siap menyerang dengan tongkat rotannya.
Biar mengalami serangan beruntun ini, pendekar
Bontang tidak menjadi takut. Ia bertekad akan mela-
wan Longiram habis-habisan, demi membela keselama-
tan rombongan Tawau dan Mahesa Wulung.
Begitulah, ketika kapak hitamnya menangkis duri-
duri racun yang tengah menyambar kepalanya, di saat
itu pula ia merasa bahwa kakinya akan segera ditem-
busi oleh kelompok duri-duri racun yang lainnya.
Di saat yang sedemikian tegangnya, dimana maut
tengah mengancam jiwa si tua Bontang, tahu-tahu se-
buah bayangan melesat kembali ke arah mereka dan
sebuah cahaya biru telah menggugurkan duri-duri be-
racun yang bakal menyambar kaki Bontang.
Bukan main kaget Longiram demi senjata-senjata
rahasianya telah gagal memenuhi tugasnya. Lebih-
lebih dengan munculnya bayangan yang melesat dari
bawah dan kini berdiri di samping Bontang.
“Heeei. Kau masih ingin bermain-main dengan aku,
ha?!” teriak Longiram dengan mata melotot, sebab
bayangan tadi tidak lain adalah Mahesa Wulung den-
gan menggenggam cambuk pusaka Naga Geni.
“Haaa, kau mempunyai senjata ampuh juga rupa-
nya!” ujar Longiram dengan sudut mata yang tak ber-
kisar dari arah cambuk Naga Geni lawannya yang ber-
keredapan menyala biru kehijauan.
“Aku datang lagi untuk bertanding melawanmu!”
berkata Mahesa Wulung dengan tenang.
“Jadi kalian berdua akan mengeroyokku?!” teriak
Longiram.
“Tak perlu kami berbuat serendah itu!” sahut Ma-
hesa Wulung lantang. “Biarlah Bapak Bontang ini isti-
rahat, sementara aku mencoba kembali kesaktianmu!”
“Setan alas! Kata-katamu memanaskan telinga!”
bentak Longiram sambil menggeram marah. “Sekali la-
gi tubuhmu kena kupukul akan benar-benar mampus
kamu!”
“Hmm, marilah kita buktikan sesumbarmu tadi!”
berkata Mahesa Wulung seraya bersiaga.
Longiram tak berkata lagi, melainkan ia melentur-
lenturkan tongkat rotannya dan dibarengi teriakan
dahsyat, ia telah menyambar ke arah Mahesa Wulung.
“Hiaaattt!”
Serangan ini akan benar-benar mampu meremuk-
kan sasarannya seandainya Mahesa Wulung tidak ber-
geser ke samping, sementara Cambuk Naga Geni telah
dilecutkan ke arah leher Longiram.
Benar-benar Longiram menjadi terkejut melihat
cambuk yang menyala biru itu menyambar ke arah le-
hernya. Cepat ia mengendap seraya berkelit ke sam-
ping, tapi tak urung ia kaget pula, apabila ujung cam-
buk itu meledak tak jauh dari telinganya bagaikan le-
dakan petir di angkasa.
Kembali Longiram mengumpat dan terasalah bahwa
telinganya berdenging akibat ledakan cambuk terse-
but. Cepat-cepat ia menggeram serta menyerang ke
arah Mahesa Wulung. Ujung tongkat rasanya mengan-
cam dada lawannya.
Sekali ini Mahesa Wulung sengaja menyambut u-
jung tongkat Longiram dengan lecutan ujung cambuk
nya, hingga sesaat kemudian terjadilah letupan keras.
Blaaarrr!
Longiram menjerit kecil begitu ujung tongkat rotan-
nya membentur ujung cambuk Naga Geni. Seketika itu
terasalah satu jilatan rasa panas yang merayapi tong-
katnya, lalu mengalir ke tangan, membuat Longiram
sadar bahwa ia tak akan tahan lama menghadapi
keampuhan cambuk pusaka itu. Maka sambil merasa-
kan tangan kanannya yang terasa bagai dibakar oleh
kobaran api, Longiram berpaling dan melesat ke arah
Bontang. Ujung tongkatnya menjalar mematuk ganas
ke wajah pendekar tua itu. Serangan hebat ini sung-
guh cepat dan tak terduga datangnya. Si tua Bontang
terperanjat melihat serangan tiba-tiba ini. Satu-satu-
nya jalan buat menyelamatkan wajahnya adalah melin-
tangkan kapak hitamnya di depan kepala.
Kraaak!
Terdengar kembali benturan seru. Dan karenanya
Bontang terpental ke belakang beberapa langkah. Na-
mun dalam saat yang bersamaan Mahesa Wulung te-
lah meluncurkan pukulan Angin Bisu dari tangan kiri-
nya tepat di saat Longiram akan menghajarkan kemba-
li tongkat rotannya ke arah Bontang.
Akibatnya Longiram terlempar beberapa tombak
dan kemudian meskipun ia telah berusaha bagaima-
napun juga, namun ia tak berhasil menguasai dirinya.
Tubuhnya kemudian meluncur, melayang ke bawah
tanpa daya sama sekali, diikuti oleh pandangan mata
dari si tua Bontang dan Mahesa Wulung.
Baik mereka berdua maupun orang-orang yang be-
rada di bawah sesaat kemudian terkejut oleh sebuah
teriak dan jeritan ngeri dari mulut Longiram. Mereka
serentak terpukau oleh pemandangan yang mengeri-
kan. Ternyata tubuh Longiram telah jatuh di antara
pohon-pohon maut pemakan daging. Tubuhnya telah
dibelit rapat-rapat oleh daun-daun belalai yang berdiri
panjang-panjang.
“Lepaskan! Akulah tuanmu! Lepaskan! Aku bilang
lepaskan!”
Terdengar teriakan Longiram dengan nada kacau,
membuat siapa saja yang melihat menjadi ngeri dan
meremang bulu tengkuknya. Longiram sesaat masih
menjerit-jerit kecil tapi akhirnya tak berkutik lagi. Tu-
buhnya telah mengempis dihisap habis oleh pohon
maut itu.
“Ia termakan oleh tanamannya sendiri!” desis Bon-
tang kepada Mahesa Wulung pula.
“Senjata rahasianya yang berujud duri beracun itu
ternyata berasal dari daun-daun belalai pohon maut
itu.”
“Benar,” sambung Bontang pula. “Agaknya ia se-
ngaja memelihara pohon-pohon maut tersebut untuk
diambil duri-duri racunnya! Dan Anda tahu, bahwa
duri-duri beracun itu tak kalah hebatnya dengan ja-
rum-jarum sumpit beracun!”
“Aku menghaturkan terima kasih atas pertolongan
yang Bapak berikan kepadaku,” ujar Mahesa Wulung
kembali.
“Heh, heh, heh. Tapi Anda pun telah menghindar-
kan duri-duri beracun yang hampir mengenai kakiku,”
jawab Bontang. “Sesudah Anda dan rombongan itu
pergi meninggalkan gubuk pohonku, hatiku tiba-tiba
merasa tak enak. Dan ketika aku tiba di tempat ini,
rupanya kalian tengah terlibat dalam pertempuran me-
lawan Longiram! Kini Anda beserta rombongan ini da-
pat meneruskan perjalanan kembali.”
Ketika itu, datanglah Daeng Matoa dengan tergo-
poh-gopoh sedang di tangannya menggenggam sebilah
tongkat rotan.
“Saudara Wulung, lihatlah! Aku dapat menangkap
tongkat rotan, senjata ampuh milik Longiram yang ter-
jatuh ketika ia terpelanting dari atas pohon!”
“Hmmm, kau boleh menyimpannya, Saudara Da-
eng!” ujar Mahesa Wulung. “Mungkin akan berguna
bagimu.”
Tak lama kemudian seluruh rombongan itu telah
berkumpul dan si tua Bontang pun segera meminta di-
ri kepada mereka. Dengan beberapa loncatan dari po-
hon ke pohon ke sebelah timur, lenyaplah tubuh pen-
dekar tua itu di balik kelebatan dedaunan.
Setelah segala sesuatunya siap maka berangkatlah
rombongan itu ke arah barat untuk kembali ke kam-
pung Lembah Sampit.
Orang-orang sekarang telah merasa lega sebab rin-
tangan-rintangan di perjalanan telah berhasil mereka
atasi, biarpun untuk ini beberapa orang telah menjadi
korban karenanya.
Sepanjang perjalanan mereka masih teringat ka-
wan-kawannya yang telah menjadi santapan pohon-
pohon maut pemakan daging ataupun ketiga orang
yang tewas terpukul oleh Longiram. Rasa haru dan se-
dih tentu saja merayapi relung hati mereka. Bukankah
orang-orang tadi telah sehidup semati. Seia-sekata da-
lam menempuh setiap bahaya yang mereka temui? Se-
dang kini yang masih tinggal cuma dapat mengenang
jasa-jasa mereka serta akan berceritera kepada sanak
keluarga si korban, bagaimana keberanian orang-orang
itu dalam menunaikan tugasnya.
Namun pada barisan paling belakang, masih ada
juga yang berpikir lain agaknya. Sebab kelihatannya
wajah pendekar Seguntur masih saja muram, seperti
ada sesuatu yang mencekam hatinya.
Tak kelirulah dugaan yang demikian itu. Memang
mereka, orang-orang rombongan itu, tak bakal mengira
bila Seguntur bakal lebih senang atau puas seandai-
nya seluruh rombongan ini mati, kecuali dirinya sendi-
ri serta Sandai ataupun Pandan Arum saja yang masih
hidup. Pastilah ia akan segera memiliki benar-benar
dara idaman hatinya.
Kejengkelan serta keirian hatinya terhadap pende-
kar Mahesa Wulung masih belum reda. Ia tidak men-
duga bahwa Mahesa Wulung selalu berhasil ikut me-
lenyapkan setiap bahaya serta menyelamatkan rom-
bongan ini dari marabahaya.
Dan lebih-lebih lagi, pada saat kini juga ia selalu
melayangkan pandangan tajamnya ke arah Daeng Ma-
toa, karena gadis Sandai senantiasa berjalan bersama
pendekar ini.
“Hmm, kedua pendekar dari seberang itu selalu
membuat kecewa hatiku! Sampai saat ini aku masih
cukup berlapang dada. Tetapi sekali lagi terulang, aku
akan membuat perhitungan dengan mereka! Tunggu-
lah!” demikian pikir pendekar Seguntur dari Lembah
Sampit yang ternyata telah tertutup hatinya oleh rasa
cemburu dan iri hati.
Memang kedua sikap itu akan membuat seseorang
akan kehilangan pertimbangan-pertimbangan yang se-
hat dalam tindakannya sehari-hari. Sepanjang hidup
manusia, rasa cemburu dan iri hati tadi telah sering
terjadi merusak tata pergaulan yang baik dalam segala
sendi kehidupan. Tidak jarang antara dua orang saha-
bat yang baik, yang katanya seia-sekata dalam suka
dan duka, akhirnya telah bermusuhan akibat salah
seorang di antaranya telah menaruh rasa iri terhadap
kedudukan dan kebahagiaan yang lain.
Begitu pula seorang narapraja, kadang-kadang sam
pai hati untuk menentang atasannya karena rasa iri
dan cemburu tadi.
Sesungguhnya, rasa iri dan cemburu kalau disalur-
kan dalam sikap yang wajar dan bijaksana, bisa juga
mendatangkan keberuntungan. Seperti misalnya seo-
rang yang hidupnya melarat telah melihat seorang te-
mannya yang kaya. Kalau ia menyalurkan rasa iri tadi
dalam bentuk kerja keras dan rajin, tidak mustahil
bahwa iapun dapat menjadi seorang yang kaya pula.
Begitu pula yang berpangkat rendah dapat mencapai
kedudukan yang lebih tinggi apabila ia mau belajar
dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk itu.
Tetapi untuk melakukan ini semua, tidaklah semu-
dah seperti yang diangankan oleh seseorang. Ia harus-
lah orang yang bijaksana dan berpandangan luas. Dan
hal inilah justru yang tidak dipunyai oleh Seguntur.
***
DUA
PERJALANAN mereka tak terasa jauhnya, dan men-
jelang munculnya sang matahari pagi, rombongan o-
rang-orang itu telah melihat kemegahan tanah pegu-
nungan di sebelah barat laut yang membayang biru
kehijauan bagai dinding tembok raksasa, membentang
dari sebelah utara.
Ketika mereka memasuki daerah kampung Lembah
Sampit dari sebelah timur, beberapa orang penduduk
telah melihat kedatangan rombongan ini. Beberapa
orang berlari ke arah kampung sedang sebagian lagi
berlari-lari menyongsong mereka.
Saat itu pula tak terlukiskan betapa bahagia mereka setelah menginjak tanah kampung halamannya
kembali. Para penyambut dan anggota rombongan itu
saling berpelukan dan bersalaman.
Tak antara lama mereka telah memasuki gerbang
kampung sebelah timur dan rupanya orang-orang yang
tadi berlari ke arah kampung, telah memberi tahu
akan kedatangan rombongan Tawau dan Mahesa Wu-
lung. Dan sekarang tampaklah orang-orang yang ber-
deret menyambut mereka.
Si tua Tawau kemudian tampil ke depan dan meng-
ucapkan terima kasih atas sambutan ini, sedang seo-
rang yang berambut putih maju ke depan serta menye-
rahkan sebilah mandau yang berukuran keliwat besar
dengan sarungnya yang berukir-ukir indah.
“Ooo, Tawau yang mulia, terimalah kembali mandau
lambang kekuasaanmu ini. Hamba telah memegang-
nya sebagai wakil kepala kampung selama kepergian-
mu dan segala sesuatu telah berjalan baik serta sela-
mat. Kami seluruh penduduk mengucapkan selamat
datang.”
Si tua Tawau segera menerima mandau lambang
kekuasaan itu serta mengucapkan terima kasih. Na-
mun suasana segera diliputi pula oleh keharuan serta
sedu sedan, di saat ketua Tawau menceriterakan ten-
tang orang-orang yang tewas di dalam perjalanan ter-
sebut. Beberapa orang dari sanak keluarga si korban
tampak mengucurkan air mata, menangisi mereka.
Mahesa Wulung pun merasakan pula akan kesedi-
han mereka. Kadangkala ia pun merasa bahwa semua
itu adalah akibat dari suatu peristiwa yang bersang-
kut-paut, berbelit-belit dimana dirinya pun terlibat di
dalamnya.
Begitulah, kedatangan rombongan ini disamping
membawa rasa keharuan tetapi juga menimbulkan rasa bersyukur bahwa mereka toh akhirnya tidak selu-
ruhnya binasa oleh kedahsyatan alam yang merintangi
perjalanan mereka.
Mereka pun merasa beruntung mendapat banyak
pengalaman dan kejadian hebat yang belum pernah
mereka alami sebelumnya. Seperti keanehan taman
pohon-pohon maut pemakan daging dan rasanya seo-
lah-olah sebuah khayalan belaka. Bahkan sekarang
ini, mereka jadi ragu-ragu apakah pohon-pohon itu
benar-benar telah mereka jumpai dan ada. Apakah itu
bukan sebuah impian saja?
Tapi mereka pun lalu teringat pertemuannya de-
ngan pendekar yang bernama Longiram. Untuk hal itu,
mereka tak bisa menyangkal ataupun menyangsikan
lagi. Apalagi mereka masih bisa membayangkan ketika
tiga orang teman serombongannya telah dipukul roboh
oleh Longiram sehingga binasa.
Upacara penyambutan dan serah terima lambang
kekuasaan kampung Lembah Sampit yang kecil itu te-
lah selesai. Orang-orang pun lalu pulang kembali ke
rumah masing-masing. Sedang si tua Tawau, Mahesa
Wulung, Daeng Matoa, Pandan Arum serta Sandai me-
nuju ke sebuah rumah bertangga yang terletak di sebe-
lah timur.
Setelah mereka berada di atas, si tua Tawau mem-
persilakan mereka untuk duduk berkeliling di sebuah
ruangan yang lebar. Pada wajah si tua Tawau tampak-
lah suatu kesan yang sangat mendalam. Sesuatu yang
cukup penting, sehingga mereka berempat yang duduk
di hadapannya menjadi sibuk bertanya serta menebak
di dalam hati mereka sendiri, gerangan apakah yang
bakal diutarakan oleh orang tua ini? Suasana pun lalu
hening karenanya.
“Tuan Mahesa Wulung,” demikian si tua Tawau
membuka percakapan yang memecah tabir kebisuan
suasana di situ, “dan Andika bertiga juga! Pertemuan
kita dulu di pantai Teluk Sampit sungguh membaha-
giakanku, sebab sesuatu yang selama ini sangat
mengganggu ketenangan hatiku telah berkurang oleh
hal itu.” Si tua Tawau sejenak berhenti berkata, serta
melepas nafasnya dalam-dalam, dan kemudian ia pun
melanjutkan kata-katanya. “Sebetulnya ada suatu ra-
hasia yang akan kuceriterakan kepada Andika.”
“Sebuah rahasia?!” gumam Mahesa Wulung. “Agak-
nya penting benar bagi Bapak.”
“Tepat. Memang penting benar bagi bapak ini, bah-
kan bagi seluruh penduduk kampung Lembah Sampit
ini,” ujar Tawau.
“Kalau begitu silakan Bapak berceritera. Kami jadi
makin tertarik karenanya,” kembali Mahesa Wulung
berkata.
“Baik. Dengarlah. Kalau kita ke utara lurus dari
arah kampung ini, kita akan sampai ke sebuah bukit-
bukit batu dan di situ kita juga akan menemukan se-
buah goa yang teramat penting bagi kampung ini.”
“Sebuah goa?” ulang Daeng Matoa.
“Begitulah. Sebuah goa yang senantiasa dijaga oleh
sepuluh orang pendekar dari daerah ini.”
Mahesa Wulung sangat tertarik oleh keterangan ini,
maka ia pun menyela, “Hmmm, rupanya goa tersebut
berisi sesuatu yang amat berharga, bila sampai dijaga
oleh para pendekar sedemikian kuatnya.”
“Heh, heh, heh. Anda berpikir sangat cemerlang,”
ujar si tua Tawau seraya manggut-manggut. “Memang
di situ tersimpan sebuah patung intan yang amat in-
dah dan cantiknya.”
“Eh, maksud Bapak, patung tersebut adalah patung
seorang wanita?” Terdengar Pandan Arum ikut ber
tanya.
“Yah, itu benar. Patung tadi berbentuk seorang wa-
nita. Seorang puteri jelita yang bermata redup dan se-
luruhnya terbuat dari intan murni, tingginya kira-kira
sekitar tiga jengkal.”
“Luar biasa!” desis Mahesa Wulung dengan kagum-
nya. “Patung intan sebesar itu pastilah banyak yang
mengingininya.”
“Nah, itulah sebabnya kami telah menaruh pengaw-
al-pengawal untuk menjaganya. Tambahan lagi patung
itu merupakan harta kebanggaan dari kampung Lem-
bah Sampit ini,” ujar si tua Tawau. “Namun di samping
kebanggaan, terselip juga suatu kecemasan yang da-
tangnya dari dalam patung itu sendiri.”
Oleh kata-kata si tua Tawau yang terakhir ini, baik
Mahesa Wulung, Daeng Matoa, Pandan Arum maupun
Sandai sendiri jadi terkejut karenanya.
“Rahasia ini hanyalah aku sendiri yang tahu. Kare-
na aku merasa telah waktunya untuk memberitahukan
hal ini kepada orang-orang yang aku percayai, maka
kepada Anda berempatlah aku akan membukanya.”
“Akh, Bapak Tawau,” sela Mahesa Wulung. “Kami
merasa mendapat kehormatan untuk dipercayai raha-
sia tersebut.”
“Sekarang, dengarlah baik-baik. Patung tadi me-
mang sangat indah, tapi juga sangat berbahaya bagi
siapa yang menyimpannya,” ujar Tawau memulai ceri-
teranya. “Beberapa orang yang telah menyimpannya
terdahulu, telah terkena oleh kutukan Patung Intan
tersebut! Mereka mendapat bencana dan tewas!”
“Kutukan Patung Intan?!” desah Mahesa Wulung
gemetar. “Sungguh mengherankan! Jika hal itu benar-
benar, maka berarti bahwa kampung Lembah Sampit
ini pun akan mendapat bencana pula.”
“Begitulah seharusnya. Namun baiknya aku cerite-
rakan bunyi Kutukan Patung Intan tadi yang menyata-
kan bahwa, barangsiapa menemukan dan kemudian
menyimpan Patung Intan ini, akan menemui bencana.
Hanya seorang pendekar dari seberanglah yang dapat
melenyapkan bencana itu,” si tua Tawau berhenti seje-
nak seraya memandang keempat pendengarnya yang
tampak tertegun oleh bunyi Kutukan Patung Intan ter-
sebut. “Nah sejak kami menyimpan patung itu di kam-
pung kecil Lembah Sampit ini, timbullah bencana yang
telah melanda kami. Beberapa waktu yang lalu orang-
orang dari Kapal Hantu selalu mengganggu dan men-
gadakan perampokan-perampokan terhadap kami. Se-
dang kemudian kami baru mengetahui bahwa Kapal
Hantu dan orang-orangnya telah binasa dalam pertem-
puran melawan Tuan-tuan di pantai Teluk Sampit.
Dengan begitu berarti bahwa Tuan-tuan telah menye-
lamatkan kami, bukan? Dan tahulah kami akhirnya,
bahwa Tuan-tuan datang dari tanah seberang!”
“Mmmm, jadi tentunya kamilah yang Bapak anggap
pendekar dari seberang seperti tersebut dalam kata-
kata Kutukan Patung Intan itu?!” sambung Mahesa
Wulung.
“Saya harap Tuan-tuan tidaklah keberatan dengan
anggapan kami tersebut,” ujar si tua Tawau. “Apakah
Tuan-tuan memang benar yang dimaksud oleh kata-
kata itu, atau hanya secara kebetulan saja kami telah
bertemu dengan Tuan, tetapi yang benar adalah Kapal
Hantu itu telah hancur oleh Tuan-tuan. Dengan demi-
kian maka tidak ada salahnya jika kami menganggap
Tuan-tuan sebagai penyelamat kami.”
“Baiklah, Bapak. Kami tak akan keberatan dengan
pendapat Bapak itu. Namun kami juga ingin mengeta-
hui, mengapakah Patung Intan tadi sampai memberi
kan kutukan yang sedemikian menakutkan?” tanya
Mahesa Wulung pula.
“Heeah... tentang itu ada ceriteranya, Tuan. Begi-
ni..., berpuluh-puluh tahun yang lalu, di jaman Kera-
jaan Kediri di tanah Jawa, yang waktu itu mempunyai
hubungan luas dengan daerah-daerah lain di luar Ja-
wa, hiduplah seorang Pangeran Anom yang tengah me-
lamar seorang putri Kediri. Putri tadi sangatlah cantik-
nya, bernama Candrasari. Sesungguhnya berun-
tunglah Pangeran Anom tadi karena dari sekian ba-
nyak pelamar yang mempersunting puteri Candrasari,
hanya dialah yang paling berkenan di hati Candrasari.
Keduanya pun saling mencinta dan berjanji bahwa da-
lam waktu yang tidak lama lagi mereka akan melaksa-
nakan perkawinannya. Untuk itu, Pangeran Anom tadi
berkenan mencari sebuah hadiah untuk mas kawin
bagi calon isterinya, yakni puteri Candrasari tadi. Hal
ini sudah layak dan merupakan kebiasaan di jaman
itu. Secara kebetulan, Pangeran Anom itu adalah seo-
rang yang berbakat dan ahli dalam memahat dan men-
gukir patung.
“Pada suatu hari, Pangeran Anom tadi menemui ke-
kasihnya untuk mengutarakan isi hatinya. Ia bermak-
sud membuat sebuah patung intan yang akan di-
ciptanya berdasarkan wajah dan bentuk tubuh puteri
Candrasari. Kelak patung intan itulah yang akan diha-
diahkan kepada kekasihnya sebagai mas kawin. Na-
mun untuk mencari bahan intan pembuat patung tadi,
bukanlah hal yang mudah. Maka Pangeran Anom pun
berkata kepada kekasihnya bahwa ia akan me-
ngunjungi Pulau Borneo atau Kalimantan ini, guna
mencari bahan intan pembuat patungnya.
“Betapa kagetnya puteri Candrasari ketika mende-
ngar keinginan kekasihnya yang hendak berlayar seja
uh itu. Puteri tadi kurang menyetujui maksud kekasih-
nya. Bukannya ia tidak senang menerima hadiah yang
begitu indah dan bermutu itu, tapi justru ia mengu-
atirkan nasib dan keselamatan Pangeran Anom keka-
sihnya. Ia berpendapat kalau sebaiknya tidak usahlah
kekasihnya tadi membuat patung dirinya dari permata
intan. Mas kawin yang berupa apapun akan ia terima
asal Pangeran Anom tidak jadi berlayar ke tanah sebe-
rang.
“Tetapi sayang, Pangeran Anom adalah seorang
yang berkemauan keras. Biarpun ia dicegah oleh puteri
Candrasari, ia tetap bertegang leher untuk melaksana-
kan maksudnya. Hal itu akan tetap dilaksanakannya,
justru saking cintanya kepada puteri Candrasari.
“Pada akhirnya, puteri Candrasari pun meluluskan
kepergian kekasihnya dengan rasa hati yang amat be-
rat. Ia sadar bahwa perjalanan Pangeran Anom untuk
mencari intan itu pasti memakan waktu yang cukup
lama. Apalagi ia pun pernah mendengar tentang ke-
dahsyatan setiap keliaran tanah rimba Pulau Borneo.
Dan inilah yang terutama dicemaskan oleh puteri Can-
drasari.
“Yah, berpisah dengan kekasih bagi orang yang te-
ngah berkasih-kasihan adalah suatu hal yang sangat
memberatkan. Namun bagi Pangeran Anom tetap ber-
layar pula dan ia meninggalkan puteri Candrasari. Me-
reka berjanji sebelumnya, betapapun lama atau kesuli-
tan yang merintang di tengah jalan, keduanya akan
saling tetap setia.
“Begitulah, dengan beberapa orang pengikutnya, Pa-
ngeran Anom tadi berlayar menuju ke pulau ini. Me-
reka mendarat di sebelah tenggara dan mulailah me-
reka mencari bahan intan.
“Mula-mula Pangeran Anom dan orang-orangnya
mencari intan tadi di daerah Martapura. Akan tetapi
mereka hanyalah menjumpai butiran-butiran intan
yang kecil saja. Maka Pangeran Anom pun bermaksud
mencarinya ke daerah lain.
“Kini Pangeran itu berperahu ke arah utara, menyu-
suri sungai Barito, sementara sebagian pengikutnya di-
tinggal di daerah Martapura tadi untuk meneruskan
perjalanannya, yaitu mencari bahan intan. Dengan
demikian terpecahlah rombongan tadi menjadi dua ba-
gian. Rombongan yang terbesar bersama Pangeran A-
nom berangkat ke utara.
“Sementara itu tidak terasalah bagi mereka bahwa
perjalanan mereka sejak meninggalkan tanah Kediri te-
lah makan waktu berbulan-bulan.
“Setelah menempuh segala kesulitan dan bersusah
payah, mereka tibalah di daerah Purukcahu yang juga
terkenal sebagai daerah intan itu. Di sini pun mereka
mula-mula cuma mendapatkan butiran-butiran intan
yang kecil saja, sehingga Pangeran Anom tadi hampir-
hampir putus-asa karenanya.
“Tetapi pada hari yang keseratus dari pekerjaan me-
reka, Pangeran Anom yang saat itu ikut mencari bahan
intan telah berhasil menggali sebuah lapisan tanah
yang berisi gumpalan intan besar. Keruan saja mereka
menjadi bergembira atas penemuan intan yang sebesar
itu.
“Di tengah kegembiraan tadi, seorang penunjuk ja-
lan yang berasal dari daerah Martapura telah berkata
kepada Pangeran Anom. Orang tadi memperingatkan
bahwa dengan ditemukannya sebuah gumpalan intan
berukuran kelewat besar, menandakan akan timbul-
nya sebuah bencana.
“Mendengar penuturan orang tadi, Pangeran Anom
terperanjat karenanya. Namun sekali lagi ia menun
jukkan kekerasan hatinya. Betapa pun akan ada ben-
cana, patung intan tadi harus selesai dibuatnya.
“Begitulah, karena keahlian dan ketekunannya, Pa-
ngeran Anom memulai memahat gumpalan intan besar
tersebut setahap demi setahap. Tanpa merasa lelah
serta lapar, si pangeran muda terus menyelesaikan pa-
tungnya.
“Sedemikian tekunnya si pangeran muda tadi men-
ciptakan bentuk patungnya, hingga kadang-kadang ia
terlupa untuk beristirahat. Siang malam ia bertekun
sendiri, sampai orang-orang pengikutnya merasa iba
dan terharu. Mereka tahu akan kebesaran cinta pa-
ngeran muda itu terhadap kekasihnya, yakni puteri
Candrasari dari Kerajaan Kediri.
“Mula-mula sekali bentuk keseluruhan dari poto-
ngan tubuh puteri tersebut telah berhasil diwujudkan
pada pahatan patung intannya. Yah, semula hanya
bentuk yang masih kasar belaka. Akan tetapi pangeran
muda ini tidak berhenti sampai di sini saja. Ia mulai
menggosok halus patung intan tersebut, dan makin le-
bih berhati-hati ketika menciptakan wajah puteri keka-
sihnya. Pangeran muda tadi benar-benar punya daya
cipta yang sangat hebat. Kekuatan daya ingat dan daya
bayang serta ilhamnya telah ia curahkan dengan se-
puas hatinya.
“Hal ini membuat orang-orang pengikutnya sampai
terheran serta takjub dibuatnya. Mereka dapat melihat
betapa tekun dan telitinya Pangeran Anom menum-
pahkan segala kemampuan untuk melukiskan wajah
sang putri. Mereka menyaksikan ketelitian sang pange-
ran menyelesaikan bentuk-bentuk mata, hidung, mu-
lut dan dagu dari wajah patung intan tersebut. Orang-
orang tadi menjadi terpesona menatap hasil karya ini,
dan mereka jadi lebih terpesona lagi bila Pangeran
Anom belum puas-puasnya menghaluskan wajah dari
patung itu.
“Memanglah sang pangeran menjadi terpukau sen-
diri oleh hasil ciptaannya, sebab kini seolah-olah ia
tengah berhadapan sendiri dengan wajah kekasihnya,
sang puteri Candrasari.
“Sebenarnya orang tak perlu heran oleh ketepatan
wajah patung intan tersebut dengan wajah asli sang
puteri. Hal itu membuktikan bahwa sang pangeran be-
nar-benar hafal dan menguasai bentuk wajah keka-
sihnya.
“Berhari-hari sang pangeran masih saja melicin dan
menggosok halus wajah patung intan tersebut, meski
pun sebenarnya keseluruhan dari patung itu telah se-
lesai.
“Begitulah ketekunan sang pangeran sampai akhir-
nya ia merasa puas. Kini orang-orang pengikut Pange-
ran Anom merasa lebih terpesona, bahkan kadangkala
terselip pula perasaan kagum bercampur ngeri, sebab
mereka seolah-olah berhadapan langsung dengan sang
puteri Candrasari.
“Bentuk mata dan hidung dari patung intan itu
sungguh hidup tampaknya. Seakan-akan mereka me-
rasakan bahwa mata tadi dapat berkedip serta mena-
tap mereka, sedang hidungnya seperti betul-betul ber-
kembang kempis menghirup dan menghembuskan na-
fas.
“Tetapi dari keseluruhannya, orang paling merasa
kagum bila menatap bentuk bibirnya yang mungil, dan
memang bagian inilah yang paling lama dihaluskan
oleh Pangeran Anom.
“Hampir-hampir para pengikut sang pangeran tadi
tidak dapat mempercayai bahwa itu hanyalah sebuah
bibir dari patung intan saja. Mereka seperti melihat bibir yang sungguh-sungguh dari sang puteri Candrasa-
ri, dengan menyunggingkan senyum yang mempesona
siapa saja.
“Akhirnya Pangeran Anom betul-betul merasa puas
setelah patung intan tersebut telah selesai dengan
sempurna. Rasa bahagia bercampur syukur membuat
pangeran muda itu menjadi berwajah cerah dan riang,
hingga para pengikutnya pun ikut merasa gembira pu-
la.
“Yah, mereka telah sekian lama menunggu pange-
ran muda itu berdiam diri serta bertekun sampai-sam-
pai ia tidak memperhatikan keadaan tubuhnya. Kumis
serta jenggot Pangeran Anom sudah sekian lama di-
biarkan panjang serta tumbuh melebat tak terurus. Te-
tapi pada saat ia telah menyelesaikan hasil kerjanya
itu, ia pun lekas-lekas mencukurnya bersih-bersih, se-
hingga tampaklah kembali wajah tampannya seperti
sediakala.
“Namun pada suatu siang ketika Pangeran Anom
tengah menatapi patung intan tersebut, datanglah seo-
rang pengikutnya yang dahulu ditinggal di daerah Mar-
tapura serta lekas-lekas menghadap kepadanya, mem-
buat sang pangeran berdebar-debar hatinya.
“Pangeran Anom segera bertanya kepada punggawa
tadi, mengapa ia datang menyusul ke daerah Purukca-
hu ini? Ketika punggawa tadi mengatakan bahwa me-
reka tinggal di pulau ini sampai hampir selama lima
tahun, maka terperanjatlah sang pangeran itu bagai
disambar petir rasanya.
“Dan lebih terkejut lagilah Pangeran Anom ketika
orang itu berkata dengan nada tersendat-sendat diser-
tai isakan kecil. Orang tersebut pun menjadi kian ter-
isak-isak sesudah ia menatap wajah patung intan sang
Puteri Candrasari tadi.
“Sang Pangeran menjadi tak sabar karenanya, lalu
diguncang-guncanglah pundak punggawa tadi serta di-
minta keterangannya, mengapakah sampai ia bersikap
begitu.
“Akhirnya berkatalah orang tadi dengan nada terpu-
tus-putus dan mengatakan bahwa sang Puteri Candra-
sari telah meninggal dunia setelah ia menunggu serta
merindukan Pangeran Anom hampir selama lima ta-
hun! Suatu masa penantian yang cukup lama dan
memberatkan.
“Orang tadi mendapat kabar dari sebuah kapal ar-
mada Kediri yang beberapa orang utusan untuk mem-
berikan kabar duka tadi kepada Pangeran Anom.
“Begitu mendengar berita itu seketika sang pange-
ran rebah ke tanah dan pingsan tak sadarkan diri
sampai beberapa saat lamanya. Pangeran Anom tadi
menjadi sakit sejak itu. Badannya makin kurus dan
lemah, sedang wajahnya kian pucat dan sayu.
“Sehari-hari kerjanya hanyalah melamun serta me-
natap patung intan sang puteri, tak bosan-bosannya.
Tentu saja tak dapat dipungkiri bila kematian puteri
Candrasari adalah pukulan yang berat bagi dirinya.
“Sakit sang pangeran kian berlarut-larut dan akhir-
nya ia pun meninggal dunia pula. Tapi sebelum itu ia
sempat berpesan kepada semua pengikutnya agar ia
dikuburkan di tempat itu. Demikian pula dengan pa-
tung intan tadi, sang pangeran berpesan pula agar di-
kubur di dekatnya, disertai peringatan yang keras me-
rupakan sebuah kutukan, yaitu Kutukan Patung In-
tan.
“Pesan atau kutukan tadi mengatakan, barang si-
apa menemukan serta menyimpan patung intan terse-
but akan mendapat bencana dan hanya seorang pendekar dari seberanglah yang mampu melenyapkan
bencana itu. Begitulah keduanya segera dikubur di
tempat itu pula.
“Pada selanjutnya, ketika para pengikut sang Pan-
geran Anom bermaksud kembali ke tanah Kediri, ke
tanah tumpah darahnya, timbullah suatu perselisihan
seru antara dua orang pengikutnya dengan orang-
orang lainnya. Keduanya bermaksud membawa pulang
saja Patung Intan yang sangat bermutu ke tanah Kedi-
ri. Namun orang-orang lainnya segera menentang ke-
hendaknya, sampai menimbulkan perselisihan serta
pertumpahan darah. Kedua orang tersebut menemui
ajalnya, tewas dalam perkelahian melawan rekan-re-
kannya sendiri.
“Kesudahannya Patung Intan itu tetap ditinggal ter-
kubur di dalam tanah, sebab orang-orang tadi sudah
cukup membawa butiran-butiran intan kecil untuk
bekal pulang.
“Orang-orang tadi akhirnya kembali ke kerajaan
Kediri, dan mereka bertolak dengan kapalnya mening-
galkan pulau ini.
“Begitulah, Patung Intan tadi telah memakan tiga
orang korbannya, dan segala peristiwa itu telah dipa-
hatkan oleh seorang punggawa pada sebuah dinding
batu terjal, tak jauh dari tempat kuburan Patung In-
tan.
“Patung tersebut beberapa tahun tetap aman terku-
bur di dalam lubang tanah, sampai akhirnya aku be-
serta seorang saudara serta beberapa pengikut telah
tidak sengaja menemukan Patung Intan yang indah itu
di saat kami tengah menggali-gali tanah untuk mencari
butir-butiran intan di daerah Purukcahu itu.
“Keruan saja kami bersenang hati menemukan benda berharga itu. Sayangnya, kegembiraan tadi segera
lenyap di saat kami menemukan sebuah tulisan yang
terpahat pada dinding batu terjal di dekat tempat di-
temukannya Patung Intan itu.
“Seorang saudaraku tetap berkeras hati untuk
membawa pulang Patung Intan berharga tadi ke da-
erah ini, ke Kampung Lembah Sampit ini. Sayangnya,
saudaraku tadi telah tewas dalam perjalanan pulang.
Ia tergelincir dan terperosok ke dalam sebuah jurang
hingga tewas pada saat itu juga.
“Itulah rupanya akibat kutukan Patung Intan puteri
Candrasari. Entah hal itu sungguh-sungguh atau se-
cara kebetulan saja saudaraku tadi terperosok kesana,
aku tidak tahu. Yang terang, Patung Intan tersebut
berhasil aku bawa pulang ke kampung Lembah Sampit
ini dan nanti dapat Tuan-tuan saksikan sendiri,” demi-
kianlah si tua Tawau menyudahi akhir ceritanya ten-
tang Kutukan Patung Intan tersebut, sementara sua-
sana pun lalu jadi hening.
Keempat orang yang mendengar ceritera tersebut
masih terbungkam berdiam diri. Baik Mahesa Wulung,
Daeng Matoa, Pandan Arum maupun Sandai menjadi
terpesona dan juga terharu oleh riwayat dari Patung
Intan tadi.
“Wah, hari telah siang,” ujar si tua Tawau. “Maka
sebaiknya kita melihat Patung Intan itu sekarang.”
“Baik, Bapak,” sambung Mahesa Wulung. “Memang
kami pun agaknya sama-sama ingin secepatnya meli-
hat Patung Intan itu. Seperti apakah gerangan Patung
Intan yang telah membuat ceritera dan lelakon yang
begitu mengharukan?!”
“Ayolah kita turun ke bawah,” ujar si tua Tawau ke-
pada mereka berempat seraya bangkit dari duduknya.
Maka sebentar kemudian kelimanya telah turun kebawah dan berjalanlah mereka menuju ke arah utara.
Sementara itu, sang matahari telah tinggi. Sinar te-
riknya menerpa semua sudut pepohonan hutan dan lo-
rong-lorong kampung Lembah Sampit.
Mereka berlima telah beberapa saat menuju ke arah
utara dan bukit-bukit batu makin kelihatan jelas dan
bertambah dekat.
Si tua Tawau lalu menunjuk ke arah sebuah goa
yang terdapat pada sebuah dinding bukit, dan bertepa-
tan saatnya tiba-tiba berloncatanlah lima orang berpe-
rawakan kekar dengan bersenjata mandau terhunus
siap di tangan, dari balik batu-batu yang besar, bagai-
kan gerak seekor macan hutan lincahnya.
Hanya saja mereka serentak terkejut seketika, di
saat mereka tahu bahwa yang datang itu adalah si tua
Tawau. Begitu pula lima orang lagi yang muncul ke-
mudian ikut terkejut pula.
Kesepuluh orang itu serentak mengangguk hormat
ke arah Tawau dan keempat pengikutnya yang tidak
lain adalah Mahesa Wulung, Daeng Matoa, Pandan
Arum dan Sandai.
“Bagaimana keadaan di sini Tagoh Hulu?” sapa si
tua Tawau kepada pemimpin para pendekar yang ber-
jenggot dan berkumis lebat.
“Semua baik-baik saja, Bapak Tawau. Dan tak seo-
rang pun datang mengusik harta kampung Lembah
Sampit ini,” jawab orang yang bernama Tagoh Hulu
dengan suara yang berat.
“Bagus. Kami berlima akan mengunjungi goa itu,”
berkata si tua Tawau, dan pemimpin para pendekar itu
pun cepat-cepat mempersilakan mereka.
“Silakan masuk, Bapak. Kami akan menjaga di luar.
Jika Bapak menghendaki sesuatu, beritahulah kami,”
ujar si Tagoh Hulu pula, sementara Tawau berlima
masuk ke dalam goa.
Segala apa yang dikatakan oleh si tua Tawau tadi
ternyata benar. Mahesa Wulung, Daeng Matoa, Pandan
Arum serta Sandai terpesona seketika, begitu panda-
ngan mata mereka tertumbuk pada sebuah patung
yang bercahaya putih gemerlapan, tak ubahnya cahaya
berpuluh-puluh bintang yang menggerombol menjadi
satu.
Sedang di sekitar tempat Patung Intan tadi berdiri,
terdapat pula tempurung-tempurung kelapa yang beri-
si butiran-butiran intan lainnya. Memanglah goa itu
adalah goa tempat menyimpan harta benda, kekayaan
dari kampung kecil Lembah Sampit ini.
Patung Intan yang berwujud seorang puteri cantik
setinggi kira-kira tiga jengkal, berdiri dengan megah-
nya di tengah ruangan goa dan merajai suasana di se-
kelilingnya.
Wajah Patung Intan itu sungguh memancarkan pe-
sona yang kuat, membuat si tua Tawau, Mahesa Wu-
lung dan lainnya terdiam bisu beberapa saat lamanya.
Dalam hati Mahesa Wulung sungguh memuji akan
ketelitian dan ketepatan antara bentuk keseluruhan
dari potongan tubuh yang semampai dengan wajah pa-
tung yang jelita. Pendekar muda dari Armada Demak
ini menaruh hormat kepada si penciptanya, yakni Pan-
geran Anom dari Kerajaan Kediri.
Seandainya pangeran itu masih hidup pada saat ini,
tak keberatanlah agaknya bila Mahesa Wulung akan
berguru dan menjadi muridnya dalam kepandaian
membuat patung.
Kelima orang tersebut sampai agak lama berada di
goa harta itu. Kadang-kadang si tua Tawau menje-
laskan segala sesuatu yang ditanyakan oleh Mahesa
Wulung ataupun yang lainnya. Mereka asyik bercakap
cakap sedang waktu tak terasa bila sang matahari te-
rus bergeser merayap ke langit sebelah barat.
Setelah cukup puas, si tua Tawau, Mahesa Wulung
serta yang lainnya pun segera keluar meninggalkan
goa itu lalu kembali ke arah selatan menuju ke kam-
pung Lembah Sampit yang dilingkupi oleh kelengangan
siang.
***
TIGA
BEBERAPA HARI kemudian, tampaklah kesibukan-
kesibukan di kampung Lembah Sampit. Meskipun
kampung ini cuma kecil saja, namun penduduknya
cukup padat, dan mereka hari ini bekerja keras.
Beberapa orang laki-laki kelihatan baru kembali da-
ri hutan. Mereka memanggul hasil-hasil buruannya,
seperti burung bangau, ikan-ikan yang masih segar
dan juga buah-buahan. Sedang orang-orang perem-
puan tengah sibuk memasak makanan.
Sementara itu di tengah-tengah kampung, beberapa
orang lainnya tampak membersihkan halaman. Di situ
tampaklah batu-batu hitam yang datar permukaannya
sebagai tempat duduk yang diatur berjejer menghadap
ke utara. Di sebelah lain, anak-anak muda kelihatan
tengah mempersiapkan hiasan-hiasan janur atau po-
hon kelapa muda.
Melihat ini semua, dapatlah dipastikan bahwa di
kampung ini tengah diadakan persiapan pesta. Dan ini
dapat pula didengar dari percakapan mereka yang lagi
bekerja itu.
“Malam nanti kita pasti akan makan kenyang!” ujar salah seorang yang lagi menguliti seekor ular besar ha-
sil buruannya. “Dan siang ini saya tidak akan makan
banyak-banyak, agar malam nanti perutku ini bisa
menampung banyak makanan!”
“Ha, ha, ha, pantaslah kalau kau digelari si raja
makan, sebab seleramu yang selalu lapar akan segala
makanan!” ujar seorang teman di sampingnya seraya
tertawa geli.
“Habis, itulah kesempatan yang baik buatku. Kalau
tidak ada pengangkatan seorang pahlawan, belum ten-
tu ada masakan-masakan selezat dan sesedap ini,” sa-
hut ‘si raja makan’ tadi sambil cuping hidungnya kem-
bang-kempis serta nyungir-nyungir menghirup bau
masakan yang terbawa angin dari rumah sebelah ba-
rat. “Hmm, isaplah bau masakan ini. Ah, sedap benar
rasanya!”
“Ha, ha, ha, jangan kuatir. Perempuan-perempuan
kita akan memasak makanan yang paling enak dan
kau tak perlu cemas kehabisan masakannya,” sam-
bung seorang teman lain yang bertubuh jangkung.
“Tapi jangan lupa ini semua adalah berkat jasa-jasa
Pendekar Mahesa Wulung dan teman-temannya, yang
telah membebaskan kampung kita dari keganasan
orang-orang Kapal Hantu!”
“Benar. Dengan begitu, di kampung ini akan ada ti-
ga pendekar utama, yakni Pendekar Seguntur, Tagoh
Hulu, dan Mahesa Wulung,” berkata si tukang makan.
“Hah, pasti akan hebat! Aku kuatir Pendekar Se-
guntur akan tidak senang oleh pengangkatan Mahesa
Wulung menjadi pendekar utama yang ketiga!” kembali
si jangkung berkata. “Mudah-mudahan pesta malam
nanti akan lancar dan tidak ada kesulitan apa-apa.”
“Ah, kau berpikir yang tidak-tidak!” sahut si tukang
makan tadi dengan nada cemas. “Siapa yang mengharap ada kesulitan datang di tengah-tengah pesta kita?”
“Haai, ayo kembali bekerja, biar lekas selesai. Dan
nanti malamlah kita lanjutkan percakapan ini sepuas-
nya,” sambung seorang lainnya dan mereka pun lalu
memotong percakapannya serta kembali bekerja.
Demikianlah orang-orang Kampung Lembah Sampit
tadi bekerja dengan giatnya mempersiapkan pesta ma-
lam nanti. Mereka seolah-olah tak sabar untuk menan-
ti malam yang bakal tiba ini.
Maka ketika malam pun mulai menjelang, halaman
di tengah-tengah kampung tadi telah bersih serta ter-
hias indah. Orang-orang pun, penduduk dari kampung
Lembah Sampit, berduyun-duyun berkumpul di tem-
pat tersebut.
Pada kursi-kursi batu, duduklah si tua Tawau, Ma-
hesa Wulung, Daeng Matoa, Pandan Arum, para orang-
orang tua dan lain-lainnya. Pendekar Seguntur pun
ada pula di situ. Ia duduk bersama-sama para prajurit.
Udara malam itu sangat nyaman terasa, dan langit
yang terang serta bersih dihiasi oleh sang purnama
yang bulat penuh dengan warna peraknya, sedang di
sekelilingnya ribuan bintang berkelip-kelip bertaburan
sangat indah.
Sejurus kemudian terdengar pula bunyi-bunyian di-
tabuh orang. Suaranya merdu mengalun di udara ma-
lam itu, menyusuri sudut-sudut kampung dan pepo-
honan. Beberapa obor serta api unggun terpasang pa-
da tempat-tempat yang strategis, dimana cahaya dan
sinar apinya dapat menerangi halaman yang telah pe-
nuh sesak oleh manusia-manusia.
***
SUARA hiruk-pikuk dan keriuhan tiba-tiba saja me-
reda lalu akhirnya hilang sama sekali, sebab mereka
melihat kepala kampungnya, yaitu si tua Tawau berdiri
serta mengacungkan tangannya ke depan sambil ber-
kata. “Saudara-saudaraku semua, segenap warga
kampung Lembah Sampit ini. Ketahuilah bahwa ma-
lam ini kita berkumpul di sini untuk mengadakan pes-
ta selamatan atas terlepasnya kampung kita dari an-
caman gerombolan Kapal Hantu yang telah sekian la-
manya selalu mengganggu ketentraman kita. Kedua
kalinya, kita malam ini akan mengangkat Mahesa Wu-
lung, tamu kita dari seberang, untuk menjadi pen-
dekar utama yang ketiga dari Lembah Sampit ini.”
Demikian antara lain kata-kata pertama dari si tua
Tawau, sementara dalam waktu yang bersamaan, Ma-
hesa Wulung menjadi berdebar-debar hatinya.
Ia tidak mengira sama sekali jika bakal mendapat
kehormatan yang begitu besar, dan sebenarnya hal ini
pulalah yang membuat hatinya kerepotan.
Kalau saja ia bukan seorang tamu serta kenalan ba-
ru dari orang-orang ini, pasti ia akan menolak jika di-
elu-elukan sedemikian besarnya. Dasar memang Ma-
hesa Wulung bukan termasuk golongan orang yang
suka ditonjol-tonjolkan jasa serta keperwiraannya, ma-
ka pengangkatan itu terpaksa akan diterimanya de-
ngan hati yang berat, hal itu hanya diterimanya de-
ngan maksud untuk menjaga perasaan serta kebaikan
orang-orang ini di dalam pergaulan selanjutnya.
Terlebih pula Mahesa Wulung sebenarnya menaruh
rasa cemas dengan pengangkatan itu, sebab ia mendu-
ga akan terjadi apa-apa dalam pesta malam ini. Na-
luriahnya yang tajam seakan-akan telah memperin-
gatkan dirinya agar berlaku lebih hati-hati sekarang.
Oleh peringatan naluriahnya tadi, Mahesa Wulung
seperti digerakkan oleh satu kekuatan dalam yang
kuat dan di saat ia melirik ke arah pendekar Seguntur,
dadanya bagai terguncang oleh gempa hebat. Di situ ia
melihat betapa sinar mata Seguntur menatap ke arah
dirinya dengan tajam.
Untunglah Mahesa Wulung lebih cepat menguasai
perasaannya, sehingga kagetnya itu tidaklah nampak
benar oleh siapa pun, lebih-lebih oleh Seguntur sen-
diri.
Kemudian tibalah saat yang mereka tunggu-tunggu.
Segenap mata lalu diarahkan kepada si tua Tawau
yang menjunjung pada kedua belah telapak tangan-
nya, sebuah senjata mandau dengan sarungnya yang
berukir indah, terhias pula dengan gigi-gigi binatang
dan rambut atau bulu-bulu yang berumbai panjang
keputihan warnanya.
Oleh seorang tua lainnya, Mahesa Wulung dipersi-
lakan tampil ke depan dan menerima senjata mandau
tersebut diiringi oleh mulut si tua Tawau yang bergu-
mam mengucapkan doa atau puji-pujian yang sukar
dimengerti oleh Mahesa Wulung. Tambahan lagi suara-
nya hanyalah bergumam di dalam mulut saja.
Setelah Mahesa Wulung memegang mandau tadi, ia
pun mengucapkan janji yang diulang dari kata-kata si
tua Tawau.
“Dengan menerima pusaka ini, saya berarti telah di-
angkat sebagai pendekar utama dan menjadi anggota
keluarga Lembah Sampit, serta berjanji untuk mengu-
tamakan kebenaran dan keadilan serta menentang ke-
jahatan dan tindak angkara murka.”
Mahesa Wulung mengucapkan kata-kata dengan
nada bergetar. Sedang Pandan Arum yang ikut me-
nyaksikan upacara tersebut bersama orang-orang
lainnya, tahu-tahu telah melelehkan air mata keha-
ruan bercampur rasa bangga bahwa kekasihnya telah
mendapat julukan pendekar utama Lembah Sampit.
Upacara tadi telah selesai dan Mahesa Wulung telah
duduk di tempat semula. Bermacam-macam hidangan
yang sedap-sedap telah dihidangkan, sementara bebe-
rapa orang pemuda menarikan tari perang dengan
membawa perisai panjang atau telabang di tangan kiri
dan sebilah senjata mandau terhunus tergenggam pa-
da tangan kanannya.
Para penari tadi bergerak dengan lincahnya dan ge-
sit. Kilatan-kilatan pedang mandau yang dimainkan
dalam tataran yang cukup sempurna membuat penon-
ton pada kagum karenanya. Kadang-kadang dengan
gerak yang berbareng, senjata-senjata tadi menyambar
serta menebas ke atas, hingga menyebabkan suara
berdesing dan di lain saat mereka menukik ke bawah
bersama.
Tarian perang ini berlangsung cukup lama, namun
selalu memikat para penonton, dan memang, para pe-
nari tadi melakukan segala geraknya dengan sungguh-
sungguh. Mereka tidak semata-mata memperlihatkan
bahwa mereka hanya menari, tetapi lebih dari itu. Pe-
muda-pemuda tersebut seolah-olah tengah menghada-
pi musuh yang sebenarnya, sehingga gerak-gerik me-
reka dalam menangkis dan menyerang sangat hebat-
nya.
Pendekar Seguntur yang tengah menatap tarian pe-
rang tadi tidak sepenuhnya tertarik hatinya, sebab
saat itu ia tengah mengawasi Mahesa Wulung dengan
sorot mata yang tajam. Nafsu amarah dan iri dalam
dadanya terhadap Mahesa Wulung, masih belum me-
reda sampai saat ini.
Dan memang rupanya Seguntur kurang tahan ter-
hadap luapan nafsu dendam yang kini melonjak-lonjak
dalam dadanya. Sesungguhnya celakalah manusia yang
mudah diperhamba oleh nafsunya, sebab jika sudah
demikian, manusia akan kehilangan kesadarannya.
Begitulah pula dengan Seguntur tadi. Bersamaan
makin kerasnya irama genderang dipalu, yang menim-
bulkan irama, memukau dan penuh pesona, pendekar
Seguntur tiba-tiba saja melesat dengan sigapnya ke
tengah-tengah para penari tersebut sambil menghunus
pedang mandaunya serta memegang sebuah perisai
panjang atau telabang di tangan kiri.
Hampir semua mulut penonton melontarkan teria-
kan kecil kagum oleh kesigapan Seguntur, tetapi tidak-
lah demikian dengan Mahesa Wulung. Hatinya berdesir
melihat Seguntur tadi.
Pendekar itu lalu turut menari bersama para pemu-
da lainnya. Gerakannya lebih lincah dari para penari
tersebut, tetapi juga lebih garang, menyebabkan mere-
ka menjauh dari gerakan Seguntur. Agaknya mereka
takut kalau-kalau terkena tebasan pedang mandau
Seguntur yang berseliweran bagai sambaran-sambaran
seekor ular memburu mangsa.
Malahan lama-kelamaan para penari muda tadi se-
gera menghentikan tariannya lalu mereka berdiri di te-
pi bersama para penonton lainnya. Kini mereka malah
menjadi penonton dari tarian pendekar Seguntur.
Apa yang dicemaskan oleh Mahesa Wulung rupanya
menjadi kenyataan juga. Tarian perang Seguntur ak-
hirnya mendekati ke arah Mahesa Wulung berada, dan
tiba-tiba saja pedang mandaunya tadi menyambar ke
arah ujung kepala Mahesa Wulung.
Wess!
Suara berdesing dibarengi oleh jeritan melengking
dari penonton, memenuhi udara malam yang dingin
dan pekat. Mereka sudah dapat membayangkan bila
kepala Mahesa Wulung yang berharga dan cuma satu
itu akan terpenggal dan jatuh menggelinding di tanah!
Pekik para penonton terdengar.
Namun mereka kemudian menarik nafas panjang
bila sekonyong-konyong dalam waktu yang singkat Ma-
hesa Wulung mengegoskan kepalanya seraya berpaling
ke arah Pandan Arum dengan tersenyum. Pedang man-
dau Seguntur cuma menebas udara kosong belaka!
Si tua Tawau cepat berteriak lantang, “Seguntur,
apa maksudmu berlaku demikian?”
“Maaf, Tawau yang terhormat. Itu adalah sekadar
tanda perkenalan dari Seguntur untuk menyambut
pemberian gelar Pendekar Utama Lembah Sampit yang
ketiga. Dan sekarang, seperti kebiasaan di sini, aku
akan meminta pendekar yang baru ini untuk bermain-
main denganku di gelanggang!” teriak Seguntur sambil
mengacung-acungkan pedang mandaunya ke arah Ma-
hesa Wulung.
Si tua Tawau jadi terkejut kaget oleh kata-kata Se-
guntur, sebab ia pun lalu sadar bahwa sebagai Pen-
dekar Utama yang pertama, Seguntur berhak mencoba
keperwiraan Pendekar Utama yang kedua, ketiga dan
seterusnya.
“Seguntur! Bukannya aku tak menyetujui maksud-
mu itu, tetapi aku rasa saat ini bukanlah saat yang te-
pat untuk mengukur keperwiraan antara kalian ber-
dua.”
“Ha, ha, ha, ha. Ketua Tawau yang terhormat. Ke-
perwiraan seseorang tidaklah tergantung oleh sesuatu
keadaan atau peristiwa yang tengah berlangsung. Ma-
ka janganlah Tawau yang terhormat menghalang-
halangi maksudku.”
Hampir-hampir Mahesa Wulung meledak amarah-
nya demi mendengar ucapan Seguntur. Tangannya
yang masih menggenggam sebilah pedang mandau
pemberian si tua Tawau tadi, seakan-akan telah gatal
untuk menyambut senjata itu untuk melayani tanta-
ngan Seguntur. Tapi untunglah bahwa ia cepat-cepat
mengendalikan perasaannya serta menarik nafas pan-
jang hingga rasa amarah tadi seketika mereda.
“Ayo, Mahesa Wulung, apa yang kau tunggu lagi!”
teriak Seguntur keras-keras membuat setiap dada ma-
nusia yang berada di halaman itu terguncang bagai di-
hempas gempa bumi.
“Buktikan bahwa Anda patut memperoleh gelar Pen-
dekar Utama Lembah Sampit yang ketiga!”
Berganti-ganti pandangan mata para penonton ke
arah Seguntur dan Mahesa Wulung seolah-olah tengah
menantikan dua ekor jago yang hendak bertarung!
Dalam pada itu Mahesa Wulung merasa bahwa le-
ngannya dijentik oleh jari si tua Tawau sambil berkata
perlahan, “Jangan kau layani tantangan itu, Tuan Ma-
hesa Wulung. Dia sangat berbahaya dan ganas, sega-
nas tarian yang telah dilakukannya tadi!”
“Betul, Bapak,” jawab Mahesa Wulung. “Tapi ini
adalah soal kehormatan. Ia telah menantang diriku
dan aku harus melayaninya. Sebab jika tidak, maka
kehormatan diriku dan juga kehormatan Bapak serta
nama kampung Lembah Sampit ini akan menjadi ru-
sak karenanya!”
“Hmm, benar juga kata-kata Andika,” sambung Ta-
wau seraya mengangguk-angguk penuh pengertian.
“Tapi aku kuatir kalau menimbulkan korban, dan ju-
stru hal itulah yang tidak aku kehendaki!”
“Bapak tak perlu cemas akan hal itu. Biarlah aku
menuruti kehendak Seguntur untuk sekadar memua-
skan hatinya. Namun aku berjanji tidak akan ada kor-
ban yang jatuh,” ujar Mahesa Wulung pelan.
Sekali lagi si tua Tawau mengangguk penuh keper-
cayaan kepada Mahesa Wulung dan berkatalah kemba
li orang tua ini, “Baiklah kalau begitu. Aku menaruh
kepercayaan kepada Andika sepenuhnya dan pakailah
pula pedang mandau pemberianku tadi untuk meng-
hadapi Seguntur!”
“Cepat, pendekar baru! Aku telah siap untuk men-
cobamu, dan jika engkau kalah, jangan harap nama
gelar Pendekar Utama Lembah Sampit akan tetap
menghias dadamu!”
Mahesa Wulung tidak terlalu lama untuk membiar-
kan Seguntur lebih banyak mengumbar suara. Maka
dengan sebatnya ia melenting dan mendarat di tengah
arena dalam sikap yang penuh siaga, dan sebilah pe-
dang mandau tergenggam di tangan kiri.
“Weh, bagus! bagus! Satu pameran yang menga-
gumkan bagi anak-anak kecil! Sekarang terimalah ini!”
seru Seguntur seraya menebaskan pedang mandaunya
ke arah lambung lawannya.
Traaang!
Seguntur kaget setengah mati, bagai melihat halilin-
tar menyambar ke arahnya, sebab tahu-tahu pedang
mandau Mahesa Wulung telah terhunus dan berhasil
menangkis sabetan senjatanya.
Dengan begitu tahulah ia, betapa Mahesa Wulung
telah begitu cepatnya melolos pedang mandaunya serta
menangkis serangannya.
“Keparat! Setan apa yang membantu gerakannya,”
terdengar Seguntur mengumpat lirih.
Sebaliknya, Mahesa Wulung pun dibikin terkejut
oleh kenyataan yang ditemuinya. Ketika ia berhasil me-
nangkis serangan pedang mandau Seguntur, terasalah
rasa pedih bercampur panas merayapi sekujur tangan
kanannya dan hampir-hampir saja ia melepaskan sen-
jata yang tergenggam di tangan kanannya.
Kesadaran Mahesa Wulung terbuka oleh hal ini dania tahu bila kekuatan Seguntur ternyata cukup hebat.
Maka tak kelirulah kalau ia terpilih sebagai Pendekar
Utama Lembah Sampit yang pertama.
Tiba-tiba Mahesa Wulung mengangkat dahinya, se-
bab sebuah pikiran yang bagus telah timbul di dalam
benaknya.
“Mmmm, biarlah aku akan berpura-pura kalah ter-
lebih dulu kepada Pendekar Seguntur ini. Tetapi ke-
mudian aku akan membalasnya. Seguntur harus kuin-
safkan terhadap kesesatan sikapnya!” Maka segera ia
pun menyambut serangan beruntun dari Pendekar Se-
guntur yang datangnya bagai angin puyuh, silih ber-
ganti.
Sebentar itu pula terjadilah pertempuran seru di ge-
langgang, di tengah-tengah halaman kampung yang
penuh sesak oleh pagar manusia berjejal.
Ketika pertempuran itu semakin hebat, para penon-
ton ikut merasa gentar, dan secara tidak sadar mereka
mundur ke belakang hingga lingkaran manusia itu
pun menjadi semakin meluas.
Mahesa Wulung terus menangkis serangan-sera-
ngan Pendekar Seguntur dengan baiknya, hingga la-
wannya ini menjadi semakin beringasan karena ma-
rahnya.
Ketika pertempuran itu telah mencapai jurus yang
ketiga puluh lima, Mahesa Wulung merasa telah tiba
waktunya untuk memberi hati kepada Seguntur. Maka
ketika pedang mandau Seguntur menebas ke arah pe-
dang mandau di tangannya, Mahesa Wulung pura-
pura kesakitan dan membiarkan senjatanya terlontar
dari tangannya.
Traaang!
Dengan demikian seolah-olah yang tampak adalah
Pendekar Seguntur berhasil memukul lepas pedang
mandau Mahesa Wulung.
Pandan Arum yang dari tadi menyaksikan pertem-
puran itu serentak berteriak saking ngeri dan cemas-
nya. Apalagi Seguntur seketika tertawa terkekeh-kekeh
kesenangan.
“Hua, ha, ha, ha. Pendekar nomor tiga, tak kukira
bahwa tenagamu cuma sampai di situ. Tapi kali ini
aku tak akan memberi ampun lagi. Kau harus meng-
hadapi pedang mandauku ini!” teriak Seguntur dengan
ganasnya seraya mengobat-abitkan senjatanya.
Tetapi Mahesa Wulung sekali lagi ingin menambah-
kan meriahnya pertarungan ini. Yah, bukankah ia ma-
sih memiliki sebilah pedang yang tergantung di ping-
gang kirinya? Lalu ia secepat kilat menghunus senjata
tadi dan menyerang kembali ke arah Seguntur. Perta-
rungan kembali berlangsung seru, tetapi hanyalah
mencapai beberapa jurus saja, sebab kembali Mahesa
Wulung membiarkan pedangnya tersampok lepas oleh
benturan pedang mandau Seguntur.
Keruan saja Pendekar Seguntur makin bertambah
senang oleh hal itu. Dikiranya bahwa pukulan pedang-
nya benar-benar berhasil merontokkan senjata lawan.
“Hah, ha, ha, ha, ha. Mahesa Wulung! Nah, seka-
rang terbukti bahwa pilihan ketua Tawau adalah keli-
ru. Kau ternyata tak mampu melayani permainan pe-
dangku ini!” seru pendekar Seguntur lantang. “Hayo,
sekarang buktikanlah bahwa kau lebih hebat dari Se-
guntur ini!”
“Hemm, sebenarnya aku tak suka mencari gara-
gara dengan Anda!” sahut Mahesa Wulung. “Tapi agak-
nya kamu berkeras kepala untuk mengukur tenaga
dengan aku!”
“Hah, rupanya kau terlalu takut dengan senjata
mandauku ini, Mahesa Wulung!” teriak pendekar Seguntur. “Tapi tak apalah. Kau boleh pilih semaumu.
Apakah kepalamu yang aku pisahkan, atau dadamu
yang terbelah menjadi dua?!”
“Terserahlah apa maumu. Tapi ingat, manusia tidak
harus saling membunuh untuk menyelesaikan persoa-
lan ataupun urusannya!”
“Heh, ternyata kau pandai mengoceh pula, keparat!
Laki-laki harus pula berbicara dengan senjata anda-
lannya. Dan kini kau tahu? Kedua senjatamu telah
berhasil aku pukul rontok. Sekarang kau harus mera-
sakan ketajaman pedang mandauku ini! Hiyaaaat!”
Dengan satu loncatan yang sigap dan secepat elang
menyambar mangsanya, Seguntur seketika melesat ke
arah Mahesa Wulung dengan ujung senjatanya siap
melubangi dada lawannya.
Pekik ketakutan terdengar dari mulut para penon-
ton. Tapi belum lagi selesai, mereka terpekik pula se-
kali lagi. Kali ini adalah pekik kekaguman, sebab tanpa
berkisar jauh dari tempatnya, Mahesa Wulung cuma
memutar separuh lingkaran kaki kirinya ke belakang
sambil mencondongkan badannya ke kanan. Dengan
begitu pedang mandau Seguntur meleset tanpa sasa-
ran.
Bersamaan itu pula, ketika tubuh Seguntur terdo-
rong ke depan oleh gaya beratnya sendiri, tiba-tiba ka-
ki kiri Mahesa Wulung beraksi. Dengan sebuah gera-
kan yang manis tapi cepat, kaki Mahesa Wulung ber-
hasil mengait kaki Seguntur dan seketika tanpa berke-
sempatan apa-apa tubuh Seguntur terjerembab jatuh
ke tanah dan perisainya terlepas dari tangan kirinya.
“Kurang ajar. Kau bertingkah pula!” seru Seguntur
seraya bangkit, sedang mukanya yang penuh tanah itu
membayangkan kemarahannya yang meluap-luap.
Sekali lagi Pendekar Seguntur bersiap, dan kembali
pedang mandaunya menebas ke arah lambung lawan-
nya disertai suara berdesing. Meskipun demikian, Ma-
hesa Wulung menjejakkan kedua kakinya ke tanah,
disusul tubuhnya melesat ke depan melewati kepala
Seguntur lalu mendarat di belakang tubuh lawannya.
Seguntur sama sekali tidak berputus asa oleh hal
itu, maka tanpa menunggu waktu lagi, secepatnya ia
memutar tubuhnya ke belakang bersamaan mandau-
nya menyambar ke perut lawan.
Untunglah Mahesa Wulung selalu waspada oleh se-
rangan tak terduga tadi. Dengan tenang ia menge-
goskan tubuhnya sedikit ke samping dan kemudian si-
si telapak tangannya berayun secepat angin bertiup
serta mendarat dengan tepat ke punggung Seguntur.
Bluuuk!
“Eaakh!”
Tubuh Seguntur terpelanting, dan roboh ke tanah
ketika pukulan sisi telapak tangan Mahesa Wulung te-
rasa olehnya bagai runtuhan gunung karang yang me-
landa punggungnya. Akan tetapi Mahesa Wulung ganti
terkejut bila ternyata Pendekar Seguntur berdiri kem-
bali meskipun dengan sempoyongan. Mandaunya
kembali bersiap untuk menyerang.
Tahulah Mahesa Wulung bahwa Seguntur mempu-
nyai kekuatan yang luar biasa. Maka ia lebih berwas-
pada, biarpun tampaknya tubuh Seguntur bersem-
poyongan menuju ke arahnya.
Sedang sebaliknya, Seguntur pun merasa kagum
oleh keperwiraan lawannya. Beberapa serangan maut-
nya telah gagal menemui sasarannya. Tak heranlah bi-
la marahnya semakin bertambah meluap. Kendatipun
tubuhnya terasa sakit-sakit dan masih sempoyongan,
Seguntur lalu mengatur nafasnya sebelum ia melan-
carkan serangan berikutnya.
Melihat ini Mahesa Wulung berdebar hatinya. Ia lalu
teringat oleh janji ataupun permintaan si tua Tawau
agar pertarungan ini tidak membawa korban, lebih-
lebih kematian.
Itulah sebabnya Mahesa Wulung cepat bersiaga
memasang kuda-kudanya, sehingga berbareng Segun-
tur melancarkan tebasan pedang mandaunya, ia kem-
bali berkelit ke sebelah dan kedua tangannya bertin-
dak cepat!
Sisi telapak tangan kiri Mahesa Wulung menghajar
pergelangan tangan kanan Seguntur yang memegang
senjata, sedang tangan kanannya menotok sisi leher
kiri Seguntur.
Apa yang terlihat kemudian sungguh mengejutkan
para penonton. Pertama-tama senjata Seguntur terpe-
lanting lepas dan tercampak ke tanah, kemudian tu-
buhnya bergetar seolah-olah tengah melawan sesuatu
yang sedang mencengkam tubuhnya.
Meskipun kedua sorot matanya masih memancar
amarah dan dendam, tapi Seguntur tak mampu meng-
gerakkan tubuhnya sama sekali. Rasanya tubuhnya
seperti tak bertulang sama sekali dan akhirnya rebah-
lah ia ke tanah laksana selembar kain jatuh dari sam-
piran dan teronggok di tanah.
Mahesa Wulung masih berdiri di tempatnya, ketika
Seguntur menyumpah-nyumpah dengan kata-kata ta-
jam.
“Keparat! Mengapa aku tak kau bunuh sekali, hah?!
Kau mau membikin malu kepadaku?!”
“Dari semula sudah aku katakan bahwa aku tak
menginginkan perselisihan disini!” ujar Mahesa Wu-
lung dengan tenang dan berwibawa. “Tapi Anda me-
maksa juga.”
Si tua Tawau segera masuk ke tengah arena tersebut disertai beberapa orang pemuda, lalu mendekati
Mahesa Wulung.
“Ah, Tuan telah menepati janji dan berlaku bijak-
sana!” ujar Tawau kepada Mahesa Wulung. “Dan aku
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
Anda!”
Mahesa Wulung mengangguk hormat kepada Tawau
dan sejurus kemudian orang tua itupun memerintah-
kan para pemuda tadi untuk memapak tubuh Segun-
tur untuk dibawa ke rumahnya.
“Bapak,” ujar Mahesa Wulung kepada Tawau, “aku
menyesal atas kejadian tadi.”
“Hmm, tak apalah. Sebab kesalahan itu justru terle-
tak di tangan Seguntur. Aku lihat ia betul-betul ber-
nafsu sekali untuk membunuh Anda,” jawab si tua
Tawau.
Sampai mereka kembali ke tempat duduk masing-
masing di sebelah tepi bersama para penonton lainnya,
pesta itu masih berjalan beberapa saat, tapi tak lama
kemudian selesailah sudah. Mereka kembali ke rumah
masing-masing dengan sebuah kenangan terhebat bagi
dirinya, sebab mereka dapat melihat satu pertarungan
seru dan berakhir dengan kekalahan Seguntur. Hal in-
ilah yang membuat mereka terheran kagum. Setahu
mereka, Seguntur adalah Pendekar Utama Lembah
Sampit yang tak terkalahkan selama ini, tapi ternyata
telah dirobohkan oleh Mahesa Wulung tanpa menggu-
nakan senjata apa pun, kecuali dengan jari-jari ta-
ngannya belaka.
Malam pun semakin larut dan alam seolah-olah di-
peluk oleh kebekuan serta kesunyian. Semuanya se-
perti tertidur lelap di bawah asuhan sang purnama
yang setia memancarkan sinar peraknya.
***
EMPAT
SEJAK KEJADIAN dikalahkannya Seguntur oleh
Mahesa Wulung dengan tangan kosong, terasalah pe-
rubahan pada diri Seguntur. Telah beberapa hari ia ti-
dak muncul di tengah-tengah penduduk atau mengo-
brol bersama mereka. Ia lebih suka menyendiri ke
tempat-tempat terpencil untuk melatih permainan pe-
dang mandaunya.
Dendam hatinya terhadap Mahesa Wulung masih
belum padam, meski tidak lagi sepanas yang dahulu.
Kalau saja ia mau mengakui secara jujur, sudah se-
pantasnya bila dirinya berterima kasih kepada Pende-
kar Utama yang ketiga itu.
Bukankah ia yang menyembuhkan kembali dari ke-
lumpuhan akibat totokan jalan darah itu. Juga mes-
kipun ia terkalahkan dan seharusnya mati di tangan
Mahesa Wulung, tapi toh pendekar itu tak mau mela-
kukannya?
Tetapi sekali lagi manusia akan tetap manusia.
Dendam hati yang membuta sering menutupi kebe-
ningan hatinya. Demikian pula dengan Seguntur tak
terkecuali dalam hal ini. Ia tak punya lagi pertim-
bangan-pertimbangan sehat terhadap kejadian atau
keadaan yang tengah dialaminya. Baginya ia merasa
kalau orang-orang telah menyingkirinya.
Kalau semula setiap orang merasa takut kepadanya,
dan semua kehendaknya hampir selalu terpenuhi, te-
tapi kini tidaklah begitu lagi. Dan ini semua adalah
akibat kekalahannya terhadap Mahesa Wulung di ge-
langgang pertarungan. Maka tak terhitunglah dendam
dan kemarahannya yang tertimbun bertumpuk-
tumpuk di dalam relung hatinya.
Terhadap itu semua Mahesa Wulung pun telah
maklum. Itulah sebabnya ia pun menjauhi terhadap
kemungkinan bertemu dengan Seguntur. Bukannya
karena ia takut, tetapi ia menjaga agar tidak menam-
bah keparahan luka hati Seguntur akibat kekalahan-
nya.
Begitulah kedua manusia ini selalu saling menghin-
dari dan menjauhi tak ubahnya bagai minyak dan air
yang sukar bersatu.
Sebenarnya Mahesa Wulung merasa senang tinggal
di kampung Lembah Sampit ini. Selain penduduknya
ramah juga alamnya sangat indah dan menarik. Di se-
belah utara orang dapat menikmati tanah pegunungan
yang biru kehijauan membayangi bagai tembok-
tembok raksasa, sedang di sebelah barat, selatan, dan
timur, hutan-hutan belantara memagari dengan ra-
patnya. Alam sungguh-sungguh tenang kelihatannya.
Namun pada suatu hari, ketenangan kampung Lem-
bah Sampit terpecahkan oleh suatu peristiwa yang luar
biasa. Siang itu ketika Mahesa Wulung, Daeng Matoa
dan Pandan Arum tengah duduk-duduk di halaman
dekat tangga rumahnya, tiba-tiba mereka melihat gadis
Sandai berlari-lari dari arah utara dan langsung me-
nuju ke arah mereka.
“Tuan..., Tuan Mahesa Wulung!” berseru Sandai se-
tengah tergagap-gagap. “Ketua Tawau memanggil Anda
untuk datang ke utara kampung... ada bencana....”
Tanpa bertanya lagi, ketiga orang itu segera bangkit
oleh kata-kata Sandai tadi dan mereka pun berlonca-
tan mengikuti Sandai ke arah utara.
Disana terlihatlah beberapa orang mengerumuni se-
sosok tubuh yang tergeletak di tanah sedang kepala-
nya dipangku oleh si tua Tawau. Keruan saja Mahesa
Wulung terkejut melihat pemandangan itu, maka di
percepatlah larinya hingga ia lebih dulu tiba di tempat
tersebut dan apa yang dilihatnya kemudian membuat
Mahesa Wulung terhenyak. Di situ tergeletaklah tubuh
Tagoh Hulu, yakni pendekar Utama Lembah Sampit
kedua yang telah dikenalnya sebagai pemimpin para
penjaga goa harta di bukit sebelah utara.
“Oh, mengapa ia sampai terluka parah begitu, Ba-
pak!” bertanya Mahesa Wulung kepada si tua Tawau.
“Kabar buruk, Tuan,” ujar Tawau. “Tagoh Hulu be-
serta kesembilan anak buahnya telah diserbu segerom-
bolan orang dan dihajar habis-habisan. Hanya dialah
yang sempat menyelamatkan diri dan lainnya entah
bagaimana. Mungkin mereka binasa.”
“Diserbu?!” desis Mahesa Wulung kaget. “Lalu apa
yang mereka cari sampai menyerbu tempat itu?!”
“Patung Intan! Ia telah lenyap! Patung berharga itu
telah digondol kabur oleh orang-orang tersebut!” seru
si tua Tawau dengan wajah yang membayangkan ke-
cemasan. “Celakalah kalau sampai tak dapat kita te-
mukan kembali, sebab patung itu adalah lambang ke-
kayaan dan kemegahan kampung ini!”
“Jangan kuatir, Bapak. Kami akan turut membantu
mengembalikan patung itu,” ujar Mahesa Wulung.
“Terima kasih. Terima kasih,” berkata Tawau de-
ngan lega. “Tapi lebih dulu kita harus membawa dan
mengobati Tagoh Hulu ke kampung!”
“Sebentar, Bapak. Tunggulah!” Mahesa Wulung ber-
kata seraya memandang ke arah Pandan Arum. “Aku
rasa Adi Pandan ada menyimpan sekantong obat-oba-
tan pemberian Bibi Sumekar. Bukankah begitu, Adi?”
“Eh, yah, yah. Hampir saja aku terlupa,” kata Pan-
dan Arum seraya melolos kantong kain putih dari balik
bajunya. Tak lama kemudian diambilnyalah sebutir
benda bulat hijau kehitaman dari dalam kantong kain
putih tersebut serta diberikannya kepada Mahesa Wu-
lung. “Berikanlah obat ini kepada Tagoh Hulu, Kakang.
Kekuatannya akan pulih kembali serta mencegah agar
darahnya tidak terlalu banyak keluar.”
Mahesa Wulung segera menerima butiran obat tadi
lalu diberikannya kepada Tagoh Hulu sambil berkata,
“Telan obat ini, Tagoh Hulu, agar kekuatanmu pulih
kembali.”
Tagoh Hulu mengangguk penuh pengertian seraya
membuka mulutnya dan dengan senang diterimalah
butiran obat tersebut lalu ditelannya sekali.
Sementara itu beberapa orang kampung lainnya
yang rupanya telah mendengar hal itu, segera ber-
datangan pula ke tempat tersebut. Si tua Tawau lalu
meminta beberapa orang untuk menggotong tubuh Ta-
goh Hulu kembali ke kampung Lembah Sampit, guna
mendapatkan perawatan-perawatan selanjutnya.
“Tuan Mahesa Wulung,” ujar Tawau berikutnya,
“marilah kita cepat-cepat pergi ke goa harta itu. Kami
lekas-lekas ingin tahu keadaan di sana.”
“Baik, Bapak,” kata Mahesa Wulung yang tengah
memberi petunjuk-petunjuk kepada beberapa orang
penjaga kampung.
Sebanyak lima orang telah bersiap untuk mengawal
perjalanan ke utara menuju ke goa harta. Sedang si-
sanya disuruh oleh Tawau agar kembali ke kampung,
menjaga keamanan di sana.
Sebentar kemudian terlihatlah iring-iringan manu-
sia berjalan ke arah utara menuju ke bukit-bukit batu.
Mereka adalah si tua Tawau, Mahesa Wulung, Daeng
Matoa, Pandan Arum, Sandai dan kelima orang penja-
ga kampung.
Sepanjang jalan kecil yang tengah mereka tempuh
itu, tampak oleh mereka titik-titik darah mengering di
tanah, batu-batu dan dedaunan. Agaknya titik-titik da-
rah tadi keluar dari luka-luka di tubuh Tagoh Hulu ke-
tika ia berjalan ke arah desa.
Tempat yang mereka tuju semakin dekat dan si tua
Tawau kelihatan tidak sabar. Ia ingin benar menge-
tahui nasib kesembilan pengawal goa harta, anak buah
dari Tagoh Hulu.
Sesungguhnya di dalam hati si tua Tawau ini penuh
keheranan kalau sampai Tagoh Hulu bersama kesem-
bilan orang anak buahnya yang terbilang pendekar pi-
lihan itu dapat terkalahkan oleh orang-orang, para pe-
nyerbu yang merampas Patung Intan. Dengan begitu
dapatlah ia membayangkan bahwa mereka adalah
orang-orang jagoan pula. Tapi siapakah mereka itu?!
Akhirnya tibalah mereka di tempat bukit-bukit batu
dimana goa harta itu terdapat. Yang mula-mula mem-
buat Tawau dan yang lain terkejut ialah adanya tubuh-
tubuh yang tergeletak disana-sini di depan goa harta.
Mahesa Wulung tak sabar lagi melihat pemanda-
ngan yang menyayat hati tadi. Dengan beberapa lon-
catan tibalah ia di depan goa serta cepat-cepat meme-
riksa tubuh-tubuh manusia yang berkaparan. Tak sa-
lah lagi, bahwa mereka itu adalah kesembilan anak
buah Tagoh Hulu.
Alangkah terkejutnya Mahesa Wulung bila dari se-
bagian besar para korban itu kebanyakan terpatah-
patah tulang punggung ataupun tulang anggota badan
lainnya. Sedang sebagian kecil terluka oleh bekas-
bekas senjata tajam.
Dari kesembilan orang tadi, hanya seorang saja
yang masih menunjukkan tanda-tanda hidup, meski-
pun hanya mengerang-erang, sedang ke delapan lain-
nya telah benar-benar mati, tak berkutik sama sekali.
Tawau dan yang lainnya begitu tiba di depan goa
segera datang ke arah Mahesa Wulung yang tengah
berjongkok menunggui salah seorang korban yang ma-
sih mengerang-erang tadi.
“Ia tak dapat lebih lama hidup, Bapak Tawau,” ber-
kata Mahesa Wulung dalam nada terharu. “Sayang se-
kali.”
“Aakh, mengerikan sekali kematian orang-orang
ini,” ujar si tua Tawau. “Siapakah kiranya para pe-
nyerbu ini?”
Sementara itu si korban yang masih mengerang-
erang itu rupanya dapat mendengar akan suara si tua
Tawau.
“Ket... ketua... Ta.. wau! Mereka merampas Patung
Intan tadi malam,” ujar si korban dengan ucapan ter-
putus-putus. “Mereka... orang... orang... utan....
heeeehhh... Ini....”
Orang tersebut mengacungkan genggaman tangan
kirinya dan ketika jari-jarinya membuka, mereka se-
mua dapat melihat adanya segumpal bulu-bulu coklat
kehitaman.
“Oh, jadi kalian telah diserbu oleh gerombolan
orang-orang utan? Tapi mengapa teman-temanmu ter-
luka pula oleh senjata-senjata tajam?” berkata Tawau
dengan gugupnya.
“Orang-orang jahat... ada bersama mereka... Pe-
mimpinnya... adalah orang bermata... sebelah!” Si kor-
ban berkata-kata lagi dengan suara yang semakin le-
mah. “Aku... aku pergi sekarang... ketua Tawau...
hehhh....”
Matilah sudah si korban tadi dengan kepala terkulai
lemah, bagai setangkai bunga yang layu kehabisan
daya. Si tua Tawau tak dapat berkata-kata lagi kecuali
keharuan yang menghimpit hatinya, sedang sudut-
sudut matanya telah menitikkan air mata. Begitu pula
Mahesa Wulung dan lain-lainnya ikut terharu kare-
nanya.
“Bapak Tawau. Aku yakin bahwa perbuatan kejam
ini dilakukan oleh Bengara dan gerombolan orang
utannya,” ujar Mahesa Wulung. “Dan orang bermata
sebelah yang telah disebut tadi, tidak lain adalah Si
Mata Siji.”
“Si Mata Siji?! Yah, aku ingat sekarang! Bukankah
dia anak buah Monyong Iblis dari Kapal Hantu!” desis
Daeng Matoa dengan gemas. “Keparat, dia masih bisa
selamat!”
“Hah? Masih ada pula bekas-bekas anak buah Kap-
al Hantu?” sahut si tua Tawau. “Dan mereka bersama
Bengara telah merampas Patung Intan.”
Sesaat suasana di situ menjadi senyap tetapi tiba-
tiba Sandai berseru.
“Bapak Tawau! Tuan Mahesa Wulung! Lihatlah ke-
mari. Ada sesuatu yang sangat menarik!”
Mendengar seruan itu, Mahesa Wulung dan Tawau
segera berloncatan ke arah gadis Sandai yang berdiri di
dekat mulut goa. Di situ mereka mendapati sebatang
anak sumpitan yang pangkalnya berumbai bulu ber-
warna merah menancap pada dinding goa.
Melihat itu, hati Mahesa Wulung terperanjat seke-
tika. Tiba-tiba saja ia lantas teringat dengan anak
sumpitan yang pernah ditembakkan ke arahnya bebe-
rapa waktu yang lalu.
Namun satu hal yang lebih mengejutkan hati mere-
ka adalah selembar sobekan kain yang tertancap oleh
anak sumpitan tadi. Mahesa Wulung segera mencabut
anak sumpitan tersebut serta memeriksa kain tadi.
“Sebuah surat!” desis Mahesa Wulung. “Hmm, apa
bunyinya?!”
Mahesa Wulung segera membaca surat tadi yang
berbunyi:
Jika masih sayang akan Patung Intan, ambillah
kembali ke Mata Air Kembar Tiga dan harus diambil
sendiri oleh Mahesa Wulung. Kami memberi waktu se-
lama tiga hari! Dari Mata Siji.
Sehabis membaca surat itu, Mahesa Wulung meng-
geretakkan giginya sebagai pertanda rasa jengkel yang
mengisi dadanya. Rasanya jika saat ini ia berhadapan
muka dengan Si Mata Siji ataupun Bengara, ia sang-
gup menghajar mereka sampai lumat.
Sedang si tua Tawau yang menerima surat tadi dari
tangan Mahesa Wulung serta membacanya sekali, se-
ketika menjadi terperanjat sekali.
“Kutukan Patung Intan!” gumam orang tua itu seca-
ra tak sadar. “Dan hanya pendekar dari seberanglah
yang dapat menghilangkannya!”
Dalam pada itu Daeng Matoa beserta kelima orang
penjaga desa telah selesai membuat lubang-lubang di
tanah untuk mengubur kesembilan korban tadi, di
tempat itu juga.
“Mereka telah gugur di tempat ini dalam menunai-
kan tugasnya. Kini biarlah mereka istirahat di tempat
ini pula,” bergumam si tua Tawau yang berdiri di
samping Mahesa Wulung, disusul oleh bunyi pujian
atau mantera yang diucapkannya mengiringi upacara
penguburan tersebut.
Kembali tempat tersebut telah dicekam oleh kebi-
suan dan kesunyian. Masing-masing masih menekuni
para pengawal setia yang kini telah tiada lagi.
Akhirnya Mahesa Wulung membuka percakapan
dengan sebuah pertanyaan kepada si tua Tawau.
“Bapak Tawau, adakah tempat yang bernama Mata
Air Kembar Tiga, seperti tertulis dalam surat itu?”
“Hmmm, memang ada tempat yang bernama begitu.
Tapi sangat terpencil dan berbahaya. Kalau dari goa ini
berjalan lurus ke arah timur, maka kita akan menjum-
pai sebuah dataran yang cekung dan di sana terdapat-
lah tiga buah mata air yang seolah-olah berukuran
sama, hingga orang-orang menyebutnya Mata Air
Kembar Tiga”.
“Ke situlah tempat yang harus aku tuju untuk me-
ngambil Patung Intan kembali,” desah Mahesa Wulung.
“Jangan ke sana seorang diri, Tuan. Itu berbahaya.
Tempat tersebut sangat asing dan mungkin sebuah je-
bakan yang dipasang untuk Tuan!” si tua Tawau ber-
kata memperingatkan Mahesa Wulung.
“Tapi Patung Intan itu harus kembali, bukan? Dan
jika benar apa yang dikatakan oleh Kutukan Patung
Intan itu, mungkinlah aku yang dapat menyelamatkan
Patung Intan tersebut.”
“Mungkin benar juga perkataan Anda. Tetapi lebih
baik kita kembali dulu ke kampung. Siapa tahu kita
mendapat keterangan-keterangan yang lebih jelas dari
Tagoh Hulu!” Tawau berkata lirih. “Marilah, kita pu-
lang sekarang, Tuan.”
Mahesa Wulung mengangguk kecil dan kemudian
berjalan di sebelah Tawau menuju ke arah selatan. Di
belakang mereka menyusul pula Daeng Matoa, Pandan
Arum, Sandai serta kelima penjaga kampung. Lang-
kah-langkah mereka kelihatan berat, tak ubahnya
rombongan prajurit yang kalah perang.
Suasana alam pun seakan-akan ikut berkabung
atas kematian kesembilan anak buah Tagoh Hulu itu.
Awan mendung berarak-arak mengalir ke utara melalui
sang matahari yang mulai condong ke arah barat.
Dengan begitu, pemandangan yang terang dan kegela-
pan berselang-seling oleh awan-awan tersebut.
***
TAGOH HULU telah berangsur-angsur sembuh ber-
kat rawatan yang seksama dari para dukun kampung
ahli obat-obatan.
Dengan pengobatan yang teliti, luka-luka parah
akibat goresan-goresan senjata tajam di tubuhnya te-
lah mengering dan merapat kembali.
Pada suatu sore, Mahesa Wulung, si tua Tawau ser-
ta Daeng Matoa mengunjungi rumah Tagoh Hulu. Me-
reka mendapat pendekar ini tengah berbaring-baring di
lantai rumah yang beralaskan selembar kulit beruang
hitam.
Ketika melihat ketiga orang tamu tersebut, Tagoh
Hulu bergegas bangun untuk menyambut kedatangan
mereka.
“Tak usah bangun, Tagoh Hulu,” ujar Tawau. “Ka-
lau badanmu belum kuat, baiknya kau berbaring saja.”
“Ah, tak apa, Bapak Ketua. Aku telah kuat berdiri,
bahkan berjalan sedikit-sedikit aku pun telah mampu,”
ujar Tagoh Hulu seraya duduk bersila di pembaringan-
nya.
“Syukur, syukur jika kamu telah sembuh kembali,”
kata Tawau dengan gembira, “Untunglah, kau tidak
terbaring terlalu lama.”
“Tetapi satu setengah hari, sudah cukup lama bagi
saya, Bapak,” sambung Tagoh Hulu. “Rasanya aku te-
lah tertidur satu setengah tahun!”
“Saudara Tagoh Hulu,” sela Mahesa Wulung, “aku
belum jelas tentang peristiwa perampasan Patung In-
tan itu. Apakah Anda masih ingat dengan jelas?!”
“Oh, tentang itu? Yah, aku masih ingat, Tuan. Bah-
kan selama hidupku aku tak akan melupakannya. Ma-
lam itu kami bersepuluh seperti biasanya tengah ber-
jaga-jaga. Tetapi hatiku, entah mengapa merasa tak
tenang rasanya. Menjelang tengah malam aku perin-
tahkan agar mereka lebih waspada. Apalagi aku meli-
hat gerakan yang mencurigakan dari semak-semak di
sebelah timur. Beberapa sosok hitam bayangan aku li-
hat mengendap-endap menuju ke arah kami. Maka
aku cepat-cepat memerintahkan agar kesembilan anak
buahku tadi mempersiapkan senjatanya. Tetapi sa-
yang, tindakan kami agak terlambat. Sebab begitu ka-
mi selesai menyiapkan senjata, bayangan-bayangan hi-
tam tadi telah berloncatan menerjang kami dengan te-
riakan-teriakan yang memekakkan telinga.
“Dari suara teriakan-teriakan tersebut aku tahu
bahwa mereka adalah binatang orang utan. Tetapi ma-
nusia pun ada pula bersama mereka, sebab aku meli-
hat adanya kilatan-kilatan senjata tajam yang mereka
pegang.
“Pertempuran seru segera berlangsung di depan goa
harta. Kami bersepuluh dengan gigih bertempur mela-
wan para penyerang tadi, namun toh jumlah mereka
jauh lebih banyak dari kami bersepuluh dan akhirnya
terjadilah pengeroyokan dan pengepungan terhadap
kami.
“Kalau semula kami berusaha untuk mengusir me-
reka, tetapi keadaan tak memungkinkan. Selain mere-
ka lebih banyak, juga lebih tangkas serta berani. Apa-
lagi dengan orang-orang utan yang bertempur melawan
kami itu. Binatang-binatang tersebut seolah-olah pan-
dai bersilat seperti manusia. Lalu tak lama kemudian,
aku lihat beberapa orang anak buahku telah diringkus
oleh binatang-binatang tersebut dan dipatahkan tu-
lang-belulangnya satu demi satu. Sungguh mengerikan
dan kejam! Sedang musuhku yang bersenjata golok
panjang dan bermata satu itu sungguh hebat gerakan-
nya. Meskipun aku mengerahkan segenap tenaga dan
ilmuku, namun tak banyak gunanya. Pada jurus yang
keempat puluh, senjata golok panjangnya itu berhasil
menggores sobek dadaku dan seketika aku rebah tak
sadarkan diri. Bersamaan waktu itu aku masih sempat
mendengar sayup-sayup teriakan dan jeritan dari mu-
lut anak buahku yang agaknya tengah dihancurkan
oleh para penyerbu tadi. Setelah itu aku tak ingat apa-
apalagi. Semuanya gelap.
“Menjelang dini hari, aku tersadar oleh hawa embun
yang sejuk dan memedihkan luka-luka tubuhku. Di
sekeliling aku lihat semua anak buahku berkaparan
disana-sini tanpa berkutik. Dengan sempoyongan, aku
mula-mula menengok ke dalam goa dan terkejutlah
aku, sebab Patung Intan serta barang-barang berharga
lainnya telah lenyap.
“Karena itu aku jatuh terduduk lemas. Kehilangan
Patung itu berarti aku kehilangan muka. Begitulah,
aku terbaring di lantai goa itu sampai beberapa saat
sampai tubuhku terasa kuat kembali.
Dengan berjalan sempoyongan dan kadang-kadang
terjatuh lalu merangkak, aku terus berjalan ke arah
selatan, menuju ke kampung Lembah Sampit ini guna
melaporkan seluruh peristiwa tersebut. Sungguh perja-
lanan yang sulit dan membuat lukaku semakin parah
dan melebar. Darahku pun tertetes di sepanjang jalan.
Untunglah aku dapat sampai ke tepi utara kampung
dan kebetulan dapat ditemukan oleh para penduduk,
di antaranya adalah bapak Tawau sendiri. Nah, demi-
kianlah ceriteraku yang selengkapnya.” Demikian Ta-
goh Hulu mengakhiri kisah penyerangan goa harta ser-
ta hilangnya Patung intan.
“Hmm, jadi Bengara dan Si Mata Siji telah bersepa-
kat melakukan penyerangan serta perampasan Patung
Intan itu,” gumam Mahesa Wulung. “Tapi bagaimana
kah mereka sampai dapat mengetahui tempat penyim-
panan Patung Intan tadi?”
“Yah, itu mengherankan,” sambung Tawau pula.
“Tak mungkin orang luar kampung kita dapat menge-
tahui tempat tersebut.”
“Rahasia itu semua harus dapat kita pecahkan!”
berkata Mahesa Wulung. “Waktu tinggal satu setengah
hari lagi, Bapak Tawau. Apakah akan kita biarkan Pa-
tung Intan itu lenyap serta kejahatan makin merajale-
la?”
“Tentu saja tidak, Tuan. Bengara dan Si Mata Siji
sumber dari kejahatan itu harus kita hancurkan. Tapi
itu tidak mungkin anda lakukan seorang diri, sebab
mereka sangat kuat dan pula korban di pihak kita te-
lah cukup banyak. Aku tak ingin jika Tuan sampai
mendapat cedera seperti Saudara Tagoh Hulu ini.” Si
tua Tawau berhenti sejenak serta menatap ke arah
Mahesa Wulung dan Tagoh Hulu, kemudian berkata
kembali, “Mereka harus kita hadapi bersama-sama,
karena hanya dibekali persatuan kokoh serta pemusa-
tan kekuatan yang menyeluruh kita dapat menghadapi
mereka.”
Mendengar kata-kata itu, baik Mahesa Wulung, Da-
eng Matoa, maupun Tagoh Hulu tak akan menyangkal.
Memang mereka telah melihat dan mendengar dimana-
mana, bahwa persatuan yang kuat dapat diperguna-
kan untuk mengatasi suatu kesulitan yang betapapun
besarnya.
Mahesa Wulung telah maklum akan hal itu. Tetapi
rencana apakah yang terbaik untuk melawan mereka
bersama-sama serta merebut kembali Patung Intan
itu? Sedang waktu tinggal satu setengah hari lagi sam-
pai dengan siang ini.
Hal ini membuat Mahesa Wulung bingung memikirkannya. Sampai ia pulang dari rumah Tagoh Hulu,
persoalan tadi masih belum terpecahkan oleh otaknya.
Sampai malam telah menjelang Mahesa Wulung be-
lum dapat memejamkan mata. Sambil berbaring itu, ia
terus berpikir keras. Memang, besok masih ada satu
hari dan cukup untuk mengumpulkan orang-orang
kampung terutama para pemudanya guna menghadapi
Bengara serta si Mata Siji itu. Tapi Mahesa Wulung
pun masih ingat bahwa Patung Intan itu harus ia sen-
diri yang mengambilnya. Maka jika ia sampai memba-
wa orang-orang kampung itu, apakah hal ini tidak
akan merusak syarat-syarat seperti yang telah disebut
oleh surat peringatan dari si Mata biji itu?
Halangan yang betapapun sulitnya tak mungkin
dapat ditembus. Rawe-rawe rantas, malang-malang
putung! Demikianlah semboyan pembangkit semangat
yang selalu diingat oleh Mahesa Wulung dengan baik.
Begitu pula Mahesa Wulung terus berpikir dan berpikir
sampai akhirnya ia tampak tersenyum dan bersinar-
sinar matanya.
Demikianlah, pendekar Mahesa Wulung kemudian
tampak menggores-gores dinding kamarnya dengan
ujung pedangnya. Akh, apakah kiranya yang tengah
diperbuat? Membuat ukir-ukiran atau hiasan yang in-
dah barangkali. Yah, semuanya penuh tanda tanya
memang.
Sesaat kemudian, ia pun memejamkan mata serta
tertidur dengan pulasnya. Di sebelah lain, Daeng Ma-
toa dan yang lain-lain pun telah lebih dahulu meme-
jamkan mata, tertidur dengan nyenyak. Segenap ru-
mah-rumah kampung Lembah Sampit telah juga sunyi
senyap, kecuali derai nafas yang mengalir dengan te-
nang dari kamar-kamar rumah tadi. Sekali lewatlah
beberapa orang penjaga kampung yang melakukan tu
gas jaga meronda berkeliling.
***
LIMA
KETIKA SISA-SISA malam masih bertahan beberapa
saat, sedang langit di sebelah timur mulai cemerlang
sebagai pertanda datangnya ujung sinar pagi, dari se-
buah rumah kampung Lembah Sampit terlihatlah se-
sosok bayangan mengendap-endap dengan gesit dan
tiba-tiba ia melesat ke atap rumah bagai gerakan see-
kor tupai. Lincah dan tangkas.
Kemudian bayangan tadi berloncatan berpindah-
pindah dari atap rumah yang satu ke rumah yang lain
dan juga dari satu puncak pohon ke puncak pohon
yang berikutnya. Ia menuju ke arah utara, seperti
hendak menjangkau tanah pegunungan yang memben-
tang di sebelah utara, laksana seorang raksasa yang
membujur, tertidur dengan nyenyaknya.
Gerakan orang ini tidak menimbulkan suara sama
sekali, kecuali desiran angin yang timbul dari kecepa-
tan geraknya. Dalam waktu yang singkat bayangan ta-
di telah melesat menjauh ke arah utara kampung dan
akhirnya lenyap ditelan kegelapan sisa-sisa malam.
Angin pagi mulai berdesir, seirama dengan desiran
tubuh orang ini yang dengan cepatnya berloncatan ke
arah utara. Beberapa saat kemudian bayangan orang
tadi telah tiba di depan goa harta.
Nah, orang tersebut tidak lain adalah Mahesa Wu-
lung yang bergumam ketika tiba di depan pintu goa.
“Si tua Tawau berkata bahwa arah Mata Air Kembar
Tiga adalah ke timur lurus dari tempat ini. Aku harus
cepat-cepat ke sana selagi orang-orang kampung Lem-
bah Sampit masih tertidur pulas. Semoga Daeng Matoa
dapat menemukan pesan tertulis ku pada dinding ka-
mar rumah itu.”
Mahesa Wulung terus melesat ke sebelah timur, ke
arah sang matahari yang mulai menampakkan berkas-
berkas ujung sinarnya. Dalam loncatan-loncatan yang
seringan tubuh belalang, Mahesa Wulung tak perlu lagi
bersusah-susah menempuh perjalanannya. Berkat aja-
ran ilmu dari pendekar Bontang dan ditambah kesem-
purnaan ilmunya meringankan tubuh, maka ibarat tak
ada tempat tinggi yang dapat didaki dan tak ada jurang
dalam yang tak dapat dituruni.
Begitulah Mahesa Wulung dengan pesatnya menuju
ke arah timur.
Mahesa Wulung tak dapat menghitung jarak yang
telah ditempuhnya, sebab yang pertama-tama dicari-
nya adalah dataran cekung yang di tengahnya terdapat
tiga buah mata air kembar.
Berkat ketajaman matanya yang setajam mata bu-
rung elang itu, Mahesa Wulung segera dapat melihat
agak jauh di depannya, tiga buah mata air yang airnya
gemerlapan tersapu oleh ujung sinar fajar pagi.
“Nah, itulah tempatnya yang aku cari!”
Namun alangkah terkejutnya, begitu kakinya meng-
injak hutan pepohonan daerah Mata Air Kembar Tiga
ini, sebuah sinar kemerahan menyambar ke arah ke-
palanya. Mahesa Wulung tak kurang waspada. Secepat
kilat tangan kanannya berkelebat dan tahu-tahu sinar
merah tadi telah berhasil ditangkapnya.
“Jarum sumpitan berbulu merah!” desis Mahesa
Wulung kaget setengah mati, ketika kedua jarinya te-
lah menjepit senjata tadi.
Dalam saat yang sama, tiba-tiba muncullah sesosok
tubuh dari balik dedaunan. Maka berhadapanlah ke-
duanya dengan berdiri pada ranting-ranting di puncak
pepohonan dengan enaknya, menimbulkan pemanda-
ngan yang menakjubkan seperti dalam impian saja.
“Bengara! Jadi kaulah yang selama ini selalu meng-
incar jiwaku?!” seru Mahesa Wulung seraya menatap
ke arah tangan Bengara yang menggenggam buluh
sumpitan.
“Hua, ha, ha, ha. Kau masih dapat mengenal aku?
Bagus, sobat! Itulah salam selamat datang buat ka-
mu.”
“Kalau begitu, terimalah ini kembali, laknat. Hyaat.”
Mahesa Wulung dengan gerakan tanpa terduga
mengibaskan tangannya yang masih menggenggam ja-
rum sumpitan berbulu merah ke arah Bengara, dan
melesatlah jarum sumpitan tadi kembali ke pemiliknya
dengan kecepatan yang luar biasa cepatnya.
Bengara sendiri merasa terkejut karenanya. Un-
tunglah ia cepat menjatuhkan diri ke bawah dan tu-
buhnya melayang kemudian mendarat di tanah tak
jauh dari Tiga Mata Air Kembar itu. Akan tetapi Mahe-
sa Wulung tak mau kehilangan sasarannya kali ini. Ia
pun melesat turun mengejar Bengara.
“Keparat! Kau tak akan lepas lagi dari tanganku,
Bengara!” seru Mahesa Wulung dan langsung mener-
jang kepala lawannya dengan tendangan kaki.
Bengara waspada. Ia mengendap dan ganti mener-
jang lambung Mahesa Wulung dengan sabetan buluh
sumpitannya.
Plaaak!
Tangan Bengara tergetar bila saat itu Mahesa Wu-
lung menangkis serangannya tadi dengan pukulan sisi
telapak tangan dan akibatnya sungguh di luar dugaan!
Buluh sumpitannya yang terbuat dari logam ini telah
melengkung! Dengan gugupnya Bengara membuang
senjatanya yang sudah tak berguna lagi ke tanah, di-
barengi mulutnya mengeluarkan suitan keras, meme-
nuhi udara di situ.
Bunyi suitan tadi disambut oleh teriakan-teriakan
panjang kemudian berloncatanlah lima bayangan
makhluk bertangan panjang, berbulu lebat dari balik
dedaunan langsung menerkam Mahesa Wulung de-
ngan ganasnya.
“Hyaaat!”
Plaak!
Mahesa Wulung berseru serta mengibaskan kedua
pukulan sisi telapak tangannya dan kelima orang utan
pengawal Bengara tadi terpental beberapa tombak ke
belakang dibarengi jerit kesakitan dari mulut binatang-
binatang itu.
Bukan main marahnya Bengara melihat para pe-
ngawalnya kena terpukul rontok oleh Mahesa Wulung,
maka ia segera menghunus pedang mandau pendek-
nya serta menerjang ke arah Mahesa Wulung.
Serangan yang mendatang ini sungguh hebat, kare-
na siapa yang tak bakal ngeri bila pedang mandau tadi
mampu bergerak seperti pasukan moncong ular berbi-
sa yang kelaparan, bahkan ujung pedang tadi seperti
berubah menjadi ratusan, mengurung serta mengan-
cam bagian tubuh Mahesa Wulung yang penting seper-
ti mata, ulu hati, lambung dan sebagainya.
“Hebat sekali!” Mahesa Wulung mendesis memuji
saking kagumnya dan selanjutnya ia pun terpaksa
menghunus pedangnya pula, sebab ia merasa bahwa
serangan-serangan Bengara tidak boleh dipandang
dengan sebelah mata.
Sebentar kemudian terjadilah perang tanding yang
lebih seru. Lebih-lebih setelah mereka saling menggu
nakan senjatanya. Keduanya saling bergantian mene-
bas, membacok serta menusuk dengan hebat sedang
gerakan mereka saling melingkar, melibat seolah-olah
dua ekor burung layang-layang yang tengah bertarung.
Makin lama Bengara melihat kelebihan pada Mahe-
sa Wulung. Tubuh pendekar muda itu mampu berke-
lebatan bagai bayangan yang selalu berhasil lolos dari
tebasan-tebasan pedang mandaunya. Dan sebaliknya,
ujung pedang Mahesa Wulung itu menjadi semakin
gencar mengarah ke seluruh bagian tubuhnya. Ka-
dang-kadang menyerang dari sebelah kiri dan kemu-
dian beralih dari arah belakang untuk kemudian ber-
ganti arah pula dari sebelah atas.
Tentu saja Bengara makin marah dan ketika ia
kembali bersuit keras, sebelas orang utan segera mun-
cul kembali dari balik dedaunan lalu menyerang Ma-
hesa Wulung. Kini pendekar muda itu dikeroyok oleh
dua belas lawan yang menyerang dengan berpasangan.
Serangan mereka jauh lebih ganas dari semula. Ka-
lau orang pernah melihat ombak badai yang susul-
menyusul menghempas ke pantai, maka sehebatnya
itulah serangan Bengara bersama kesebelas orang
utan bawahannya. Dengan berempat mereka menjadi
tiga kelompok yang menyerang secara bergelombang,
bergantian mencecar lawannya.
Namun Mahesa Wulung tidak lekas berkecil hati
atau cemas. Pedang yang ada di tangannya diputarnya
dengan dilambari ilmunya Sigar Maruta atau Membe-
lah Angin yang berada dalam tataran lebih matang,
hingga menimbulkan bunyi berdesing dan mengaung
menyerikan telinga.
Dengan demikian pertahanan kelompok Bengara
dan orang-orang utannya menjadi buyar. Mata pedang
Mahesa Wulung bersama tubuh pendekar muda ini
berloncatan melesat kesana-kemari serta menyelinap
di antara gerakan tubuh lawan-lawannya.
Meskipun di antara binatang-binatang tadi ada
yang membawa batang-batang kayu sebagai alat pe-
mukul atau penggada, namun sampai sejauh ini belum
sebuah pun yang sempat menyinggung tubuh Mahesa
Wulung. Hal ini membuat Bengara semakin kagum
dan tiba-tiba saja ia lebih terkejut bila mendengar se-
buah jeritan parau dari salah seekor orang utannya,
bertepatan pedang Mahesa Wulung menebas sasa-
rannya.
Binatang orang utan tersebut terpelanting ke tanah
dengan dadanya terobek menganga disertai darah me-
rah menyembur keluar membasahi tanah di sekitar-
nya.
Melihat seekor orang utannya mati, Bengara meng-
geram marah, sementara kesepuluh ekor orang utan
lainnya pun berteriak-teriak marah. Begitu binatang-
binatang tadi melihat serta membau darah dari te-
mannya yang mati, seketika nafsu keliaran mereka se-
perti terangsang, hingga sorot matanya merah memba-
ra. Sedang mulutnya menyeringai-nyeringai sampai gi-
gi taring mereka yang runcing dan tajam terlihat den-
gan jelasnya.
“Mahesa Wulung! Menyerahlah lekas sebelum selu-
ruh pengawalku ini mematah-matahkan batang leher-
mu!” teriak Bengara.
“Keparat kau Bengara! Mengocehlah sepuasmu se-
lagi mulutmu masih utuh!” seru Mahesa Wulung men-
jawab. “Di mana Patung Intan itu kau sembunyikan?!”
“Hua, ha, ha, ha. Kau akan peroleh patung itu jika
kepalaku sudah terpisah dari leher ini,” Bengara ber-
kata lantang. “Atau kau memilih kepalamu saja yang
kupenggal dan Patung Intan itu tetap di tanganku!”
“Hmm, terserah apa maumu!” seru Mahesa Wulung.
“Mari kita coba lagi, siapa yang bakal memiliki Patung
Intan itu!”
“Bagus! Sekarang bersiaplah!” teriak Bengara seraya
membuka serangannya kembali, ditandai oleh teriakan
melengking. “Hyaaat!”
Serempak Bengara beserta kesepuluh orang utan-
nya melesat ke arah Mahesa Wulung dan menyerang
pendekar muda itu dengan hebatnya. Pertempuran
yang kedua ini berlangsung lebih seru daripada yang
pertama.
Bengara yang telah mengetahui kegigihan lawannya,
tidak mau lagi menganggap enteng terhadap Mahesa
Wulung. Itulah sebabnya ia memperlipat ganda sera-
ngannya. Kini ia bersama kesepuluh orang utan terse-
but melingkar dan mengepung Mahesa Wulung.
Serangan-serangan mereka menjadi lebih gencar
datangnya. Mereka tidak lagi bergerak berpasangan
seperti semula, tetapi merubahnya dengan serangan
beruntun yang datang silih berganti. Senjata-senjata
mereka tampak berkelebatan di sekitar tubuh pende-
kar muda ini, dengan menimbulkan hawa panas yang
menampar kulit Mahesa Wulung.
Tentu saja pendekar muda ini menjadi agak kerepo-
tan, atas serangan-serangan yang tak berketentuan
datangnya dari lawan-lawannya. Biarpun begitu ia tak
mau terang-terangan memperlihatkan kerepotannya,
sifat hal ini akan membuat Bengara menjadi bangga.
Sebenarnya Mahesa Wulung bisa menggunakan pu-
kulan saktinya ‘Angin Bisu’, hanya saja ia merasa be-
lum betul-betul tiba saatnya. Juga Patung Intan yang
dicarinya itu belumlah ia tahu tempatnya dan hal ini
pula membuat Mahesa Wulung belum berpikir tentang
pukulan sakti tadi.
Seekor orang utan di antara kesepuluh anak buah
si pendekar liar Bengara rupa-rupanya sudah tidak
sabar lagi untuk melahap calon korbannya. Maka de-
ngan suatu loncatan nekad dari arah belakang tubuh
Mahesa Wulung, is menghantamkan kayu penggada-
nya ke arah kepalanya si pendekar muda.
Mahesa Wulung cukup waspada. Kesiur angin pu-
kulan dari belakang terasa, menyebabkan ia seperti di-
gerakkan oleh tenaga naluriah yang peka dan ia mem-
balikkan tubuh ke belakang, sementara pedangnya
menebas miring dari atas ke bawah.
Siuuut.... desss! Penggada kayu yang dipegang oleh
orang utan tiba-tiba menjadi kutung, terpotong hampir
ke pangkalnya, membuat binatang itu menjulingkan
mata keheranan. Ia menyeringai-nyeringai marah dan
segera menerkam Mahesa Wulung yang telah siaga le-
bih lanjut.
Dengan badan sedikit condong, Mahesa Wulung me-
nyambut terkaman tadi. Pedangnya kembali beraksi
dan bergerak sangat cepatnya.
Wesss.... waaak!
Orang utan itu menjerit dan menebah lambungnya
yang terobek sepanjang tiga jengkal serta menyemprot-
kan darah segar, dan selanjutnya ia terguling rebah ke
tanah. Mati!
Namun di saat itu mendadak sebuah penggada
kayu lainnya tepat menghajar pundak Mahesa Wulung
dari samping, dan tak ampun lagi pendekar berani ini
terhuyung ke samping sambil peringisan menahan sa-
kit yang nyeri menyelusup ke segenap sendi tulangnya.
Bengara yang melihat keadaan itu, cepat-cepat
memberi aba-aba kepada para orang utannya untuk
meringkus Mahesa Wulung.
Akan tetapi belum lagi mereka bergerak, sekonyong
konyong terdengarlah satu teriakan menggeledek dari
sebelah selatan menyebabkan Bengara serta kesembi-
lan orang utan itu terkejut bukan main.
Dua sosok tubuh melesat dari arah selatan, lewat
pepohonan dan kemudian terjun ke tengah lingkaran
pertempuran.
“Bapak Bontang dan Goro!” seru Mahesa Wulung
setengah kaget bercampur kagum.
Dua nama tadi diucapkan dengan suara keras dan
Bengara yang mendengarnya menjadi terkejut kare-
nanya.
Ya, nama Bontang dan Goro memang membuatnya
kaget sebab kedua mahluk itu sering muncul dan me-
musuhi dirinya. Ia tak lupa bahwa mereka berdua per-
nah menjadi sahabatnya, meskipun akhirnya mereka
berpisah, karena memilih jalan hidup sendiri-sendiri.
“Bengara! Kini kita bertemu lagi, muka berhadapan
muka. Dan hari ini kita akan membuat perhitungan
sampai akhir!” kata pendekar Bontang dengan lan-
tangnya.
“Bah! Aku tak takut akan gertakanmu itu. Majulah
kau kemari. Biar kupenggal lehermu!” Bengara berseru
dan bersiaga, tepat di saat Bontang melesat ke arahnya
sambil menyambarkan kapak hitamnya. Kedua orang
itu pun bertempur dengan serunya.
Sedangkan Goro belum lekas-lekas ikut bertempur
sebab ia masih menunggu dan berdiri di dekat Mahesa
Wulung yang tengah bersila mengatur tenaga dalam-
nya guna mengusir rasa sakit yang masih menyengat-
nyengat pada pundaknya.
Tak antara lama selesailah usaha Mahesa Wulung
tadi dan segera ia berkata kepada Goro. “Goro, aku te-
lah sehat kembali! Marilah sekarang kita ikut mera-
maikan suasana ini!”
Goro, si orang utan pengawal pendekar Bontang itu
menjawab ajakan Mahesa Wulung dengan menepuk-
nepuk dadanya, dan segeralah ia meloncat ke arah
sembilan ekor orang utan pengikut Bengara.
Melihat ini, Mahesa Wulung cepat pula mengikuti
Goro. Maka terlihatlah dua lingkaran pertempuran
yang seru dan hebat di dalam Mata Air Kembar Tiga
ini. Satu lingkaran adalah Bontang melawan Bengara,
sedang lingkaran kedua adalah Mahesa Wulung ber-
sama Goro melawan ke sembilan orang utan pengikut
Bengara.
Kini dataran Mata Air Kembar Tiga seperti digetar-
kan oleh tiupan angin prahara akibat pertempuran ta-
di. Beberapa ekor burung rangkok terbang ke arah ti-
mur dengan berteriak-teriak parau karena merasa ce-
mas dan kagetnya. Dan di balik dedaunan yang rim-
bun, para kera kecil mencerecet bising dengan sesa-
manya, seakan-akan mereka tengah membicarakan
pertempuran itu. Rupanya mereka keheranan bila di
antara peserta pertempuran tadi adalah binatang-bina-
tang orang utan yang telah mereka kenal sebagai golo-
ngan terkuat di antara bangsa kera di hutan belantara
itu.
Yah, memang agak mengagumkan. Para orang utan
yang sesungguhnya mudah dididik oleh manusia, kini
bertempur seru dengan gerak-gerak seperti manusia.
Namun orang akan segera dapat membedakan per-
bedaan gerak tadi. Kalau Goro pengawal dari Bontang
itu bergerak dengan tenang dan terinci, sebaliknya ke-
sembilan orang utan pengikut Bengara bergerak liar
dan ganas, seganas gurunya yakni si pendekar liar
Bengara. Hal itu tidak perlu dibuat heran, karena Goro
terdidik oleh si pendekar Bontang yang berbudi luhur
sedang kesembilan pengikut Bengara terbiasa oleh di
dikan liar dan jahat.
Goro merasa gemas agaknya melihat orang-orang
utan yang menjadi lawannya itu. Suatu ketika dengan
sebat ia menangkis sebuah serangan dari seekor la-
wannya dan di saat itu pula ia menyambar tangan la-
wan tadi lalu membantingnya lewat kepalanya hingga
akhirnya lawannya terhempas dahsyat ke tanah diba-
rengi oleh suara berderak tulang-tulang patah serta je-
rit melengking dari mulut si korban. Orang utan ini
berkelojotan sesaat, kemudian matilah ia.
Melihat korbannya telah mati, Goro menepuk-nepuk
dada dan di waktu yang sama Mahesa Wulung telah
berhasil lagi menyabetkan pedangnya ke leher salah
seekor orang utan yang menjadi lawannya dan korban
ini pun seketika terkapar roboh ke tanah tanpa ber-
kutik lagi.
Dengan begitu binatang-binatang pengikut Bengara
tadi tinggal tujuh ekor orang utan lagi yang masih hi-
dup serta bertempur lebih seru. Hal itu pulalah mem-
buat serangan-serangan mereka lebih nekad dan ma-
kin berani.
Dua ekor orang utan yang ganas tiba-tiba berhasil
menyambar kedua belah tangan Goro, sekaligus me-
narik tangan tadi ke samping dengan arah yang berla-
wanan agar tubuh Goro itu sobek atau terpisah men-
jadi dua.
Namun orang utan yang bernama Goro itu ternyata
bukan lawan yang ringan. Sambil berteriak marah ia
memutar kedua tangannya itu beberapa kali dan entah
bagaimana, tahu-tahu ganti kedua tangan Goro yang
mencengkeram kedua leher lawannya. Gerakan selan-
jutnya sungguh cepat dan membikin Mahesa Wulung
yang sempat melirik kejadian itu menjadi keheranan
kagum.
Si Goro tiba-tiba menghentakkan kedua belah ta-
ngannya menuju arah yang sama ke depan dan...
Praaak!
Kedua kepala binatang orang utan yang menjadi la-
wannya saling berbenturan dengan suara berderak ke-
ras sekali, lalu keduanya terhempas ke tanah dan mati
dengan kepala yang pecah.
Bengara yang juga melihat peristiwa ini ikut terkejut
bukan main. Tak mengira bahwa mereka menjumpai
lawan-lawan yang tangguh dan begitu kuatnya. Dan
sekarang, mereka menjadi terdesak olehnya.
Sesudah mengangguk kecil, Bengara bersuit keras-
keras kembali dan beberapa bayangan tiba-tiba berda-
tangan melesat dari sebelah timur bagai kuda-kuda
liar menyerbu ke arah medan pertempuran.
“Si Mata Siji dengan kawan-kawannya,” desis Mahe-
sa Wulung dengan suara bergetar, karena memang
orang inilah yang ditunggu-tunggunya pula.
“Mata Siji!” seru Bengara yang lagi bertempur mela-
wan Bontang itu. “Mengapa engkau keluar sekarang?!”
“Hia, ha, ha, ha,” ujar Mata Siji kepada Bengara.
“Bapak jangan gusar. Sedari tadi kami hanya sebagai
penonton saja dari balik daun, dan sekarang biarlah
kami membantu Bapak untuk sekadar melepaskan ke-
jemuan serta kegatalan tanganku ini!”
“Kalau begitu bagus!” seru Bengara. “Sekarang mu-
lailah segera!”
“Serbu!” seru Mata Siji sambil meloncat menyerbu
ke arah Mahesa Wulung dan Goro.
Kedatangan Mata Siji dengan keenam orang-orang-
nya menambah pertempuran tadi makin lebih hebat.
Tetapi hal ini membuat Goro lebih cepat geraknya.
Sewaktu ia berhasil menjepit kepala salah seekor orang
utan lawannya segera ia semakin memperkeras jepitannya dan lawannya tadi menjerit keras serta roboh
ke tanah dengan leher yang patah.
Begitu pula Mahesa Wulung melesat mengambang
di udara ke arah lawan dan pedangnya menebas kem-
bali.
“Aaaargh”
Dua ekor orang utan yang menjadi lawannya terge-
letak bermandi darah oleh tebasan pedang Mahesa
Wulung.
Memang lawan yang harus dihadapi oleh Mahesa
Wulung dan Goro tinggal dua ekor orang utan saja. Te-
tapi, dengan kedatangan si Mata Siji beserta keenam
kawannya, berarti lawan mereka menjadi bertambah
lagi, yaitu sembilan! Dan inilah yang menyebabkan
Mahesa Wulung merasa cemas. Kini, lawan-lawan me-
reka berdua ada dua macam, yaitu dua ekor binatang
orang utan dan tujuh orang manusia! Goro agaknya
mengerti perasaan sahabatnya, ketika ia menatap so-
rot mata Mahesa Wulung yang bernada kecemasan.
“Nguuk! Nguuk!” si Goro mengguncang lengan Ma-
hesa Wulung dan sebelah tangannya menepuk-nepuk
dadanya sendiri.
“Hmm, terimakasih Goro! Memang jika kita meng-
hadapi bahaya di depan mata, haruslah tabah dan
percaya pada kekuatan sendiri! Terimakasih, Goro!
Meskipun kau hanya seekor binatang, tapi dapat ber-
pikir jauh lebih berbudi daripada bergejil-bergejil itu!”
ujar Mahesa Wulung seraya menunjuk ke arah Mata
Siji yang telah mengepungnya.
Keruan saja Mata Siji dan kawan-kawannya menjadi
naik darah oleh kata-kata sindiran Mahesa Wulung.
Masa mereka dikatakan lebih rendah dari seekor bina-
tang orang utan! Maka serentak Mata Siji memberi pe-
rintah kepada anak buahnya.
“Keparat! Ayo, lekas kita cincang keduanya!”
Sebentar saja berloncatanlah kembali Mata Siji be-
serta anak buahnya menyerang Mahesa Wulung serta
Goro. Pertempuran berlangsung dengan serunya.
Apa yang dicemaskan oleh Mahesa Wulung, ternya-
ta mulai terbukti. Ia bersama Goro sedikit-sedikit ter-
desak oleh kesembilan lawannya, lebih-lebih Goro ha-
nya bertangan kosong belaka sedang lawan-lawan yang
harus dihadapi, semuanya menggunakan senjata.
“Goro! Pakailah pedangku ini!” seru Mahesa Wulung
seraya melontarkan pedang dari tangannya yang de-
ngan sebat disambut oleh Goro. Sedang ia kemudian
melolos cambuk Naga Geni dari balik bajunya.
Dua kali cambuk itu diputar di udara dan begitu
melecut terdengarlah dua ledakan dahsyat.
Daar! Daaaaarrr!
Akibatnya hebat. Dua sosok tubuh yaitu kedua ekor
orang utan terakhir dari sisa pengikut Bengara ter-
hempas ke tanah dengan badan hangus dan tak ber-
nyawa lagi. Tetapi itu bukan berarti bahaya telah ber-
kurang bagi Mahesa Wulung dan Goro, sebab Mata Siji
serta keenam anak buahnya yang terbilang jagoan-
jagoan ini dengan cekatan selalu berhasil menghindar
dari ujung cambuk Naga Geni yang memburunya.
Dalam pada itu, dari sebelah selatan tampaklah
bayangan-bayangan manusia mengendap-endap den-
gan hati-hati dan begitu mereka melihat pertempuran
seru tadi, seorang agak tua yang tidak lain adalah si
tua Tawau segera berteriak.
“Hee, kawan-kawan! Lihat, Mahesa Wulung sedang
dikeroyok. Ayo, cepat kita membantunya!”
Habis berkata begitu, Tawau, Daeng Matoa dan Ta-
goh Hulu meloncat dan terjun ke medan pertempuran
itu, sedang Pandan Arum dan Sandai serta tiga orang
anak buah Tawau berdiri dari kejauhan dengan hati
yang berdegupan karena melihat pertempuran seru ta-
di.
Bukan main kagetnya Mata Siji karena kedatangan
Tawau beserta kedua pendekar itu. Dengan sendirinya
pengepungan terhadap Mahesa Wulung dan Goro ter-
paksa buyar, sebab jika tidak, besar kemungkinan me-
reka akan dirobohkan dari sebelah luar oleh Tawau
bertiga! Kini Mahesa Wulung berhadapan dengan Mata
Siji serta dua orang anak buahnya, sedang Daeng Ma-
toa melawan Pisek Grana. Di sebelah lain, dengan
tangkasnya Tagoh Hulu menyerang Garangpati, dan si
tua Tawau menghadapi Dangsa serta seorang teman-
nya lagi melawan Goro.
Dataran Mata Air Kembar Tiga bertambah tergetar
oleh pertempuran seru tersebut. Masing-masing pasa-
ngan berusaha mendesak dan mengalahkan lawannya
dengan cepat. Namun ternyata lawan-lawan yang me-
reka hadapi adalah pendekar-pendekar tangguh hingga
pertempuran mereka semakin seru jalannya. Waktu
pun terus berjalan, seperti tak memperdulikan manu-
sia-manusia yang tengah bertempur itu dan di langit
pun sang matahari merayap dengan malasnya. Hari te-
lah sangat siang.
Pisek Grana menjadi penasaran melihat serangan-
serangannya selalu kandas ditangkis oleh Daeng Ma-
toa, dan karenanya Pisek Grana makin nekad. Golok di
tangannya berputar dan melanda ke arah Daeng Matoa
yang selalu waspada. Sekali lagi ia berhasil mengelak
pedang yang membacoknya dan secepat itu pula senja-
ta tongkat rotannya berdesing menimpa punggung Pi-
sek Grana.
Plaaakkk!
“Eaach!”
Orang yang berhidung pesek ini menjerit kesakitan
dan menggeliat-geliat meraba punggungnya dan seju-
rus kemudian Pisek Grana berbatuk-batuk darah, lalu
terguling menggeletak di tanah tanpa berkutik.
Di sebelah yang lain, Goro berhasil menyampok ja-
tuh golok di tangan lawannya. Melihat itu, Goro pun
lalu melempar pedangnya ke tanah dan dengan begitu
keduanya sama-sama tak bersenjata. Dengan teriak
ganas, lawan Goro melesat menerkam ke arahnya. Pa-
da pikirnya pastilah badannya yang kekar ini dengan
mudah akan dapat meringkus tubuh si Goro.
“Masa, manusia seperti aku ini tak dapat menun-
dukkan seekor orang utan saja!” demikian pikir orang
itu.
Namun sayang, pikiran tadi adalah keliru. Sebab
begitu ia menerkam ke arah Goro, orang utan ini sege-
ra menyambutnya. Kedua tangannya yang penuh bulu
coklat kehitaman tiba-tiba telah melingkar ke bahu
dan pinggang orang itu. Keruan saja anak buah Mata
Siji ini menggeliat-geliat untuk melepaskan diri, tapi
sudah terlambat. Goro segera menghentakkan kedua
tangannya ke kiri disusul bunyi gemertak tulang patah
serta jeritan dari mulut lawannya. Orang tersebut ter-
kulai seketika dan matilah ia.
Di saat yang sama pula, Tawau dengan sigapnya
memainkan pedang mandaunya. Sebuah tebasan men-
datar mengarah ke lambung si Dangsa membuat anak
buah Mata Siji ini buru-buru menangkiskan goloknya
ke bawah. Tetapi sesungguhnya inilah jurus pancingan
dari Tawau. Pedang mandaunya tiba-tiba berubah
arahnya di tengah jalan dengan membelok ke atas dan
serong ke kanan.
“Haaaakk!”
Sebuah teriakan pendek terdengar dibarengi tubuh
anak buah Mata Siji itu terguling ke tanah dengan leh-
er yang hampir putus.
Melihat tiga orang anak buahnya telah tewas, Mata
Siji menjadi lebih marah lagi. Dengan bersama dua
orang anak buahnya, ia terus mengurung Mahesa Wu-
lung dengan libatan-libatan senjata. Ketiga ujung sen-
jata pedang dan golok itu seperti moncong tiga ekor
ular yang menyerang korbannya. Tetapi ujung cambuk
Naga Geni di tangan Mahesa Wulung lebih hebat lagi
geraknya. Laksana seekor naga yang berwarna biru,
cambuk tadi melentur-lentur menyusup sambaran ke-
tiga ujung senjata Mata Siji bertiga. Bahkan lebih he-
bat lagi bila sejurus kemudian menyambar lawannya
dengan sebuah ledakan memekakkan telinga.
Duaaaarrr!
Seorang di antara pengeroyoknya terjengkang jatuh
ke tanah bagai disambar oleh geledek. Tubuhnya han-
gus kehitaman sangat mengerikan siapa yang meman-
dangnya. Maka berkuranglah seorang anak buah Mata
Siji. Biarpun begitu, tokoh Kapal Hantu tadi tidak
menjadi berputus asa. Pertempuran antara Mahesa
Wulung melawan Mata Siji dan seorang anak buahnya,
tetap berjalan dengan serunya.
Dalam pada itu, tiba-tiba dari balik dedaunan di se-
belah timur, terpancarlah sebuah cahaya gemerlapan
yang memancar ke segenap arah. Kejadian ini mem-
buat si tua Tawau terperanjat, begitu pula halnya de-
ngan Daeng Matoa dan Goro.
“Cahaya intan permata!” gumam Tawau pelan. Di
saat itu pula ia jadi teringat oleh Patung Intan yang
tengah mereka cari-cari. Orang tua ini lalu berkata ke-
pada kedua sahabatnya, “Saudara Daeng Matoa dan
Goro. Kalian tunggu di sini sebentar, aku akan mene-
ngok cahaya di sebelah timur itu!”
Selesai berkata, si tua Tawau lalu meloncat ke arah
timur. Akan tetapi rupanya tidak hanya Tawau saja
yang tertarik oleh cahaya itu, sebab Sandai serta Pan-
dan Arum telah pula mendekati ke arah cahaya terse-
but.
Garangpati yang tengah menghadapi Tagoh Hulu,
akhirnya merasa kewalahan. Ditambah lagi oleh te-
man-temannya yang telah tewas membuat hatinya me-
rasa keder. Sedang badannya pun telah menderita lu-
ka-luka kecil akibat sambaran-sambaran ujung pe-
dang mandau Tagoh Hulu. Maka akhirnya tanpa me-
nunggu lebih lama, Garangpati membalikkan tubuh
dan melesat ke selatan meninggalkan tempat tersebut.
Gerakannya ini sungguh hebat sehingga Tagoh Hulu
seakan-akan terpukau dan membiarkan lawannya tadi
melarikan diri yang sebentar kemudian lenyap di balik
kelebatan pohon-pohon.
Alangkah marahnya Mata Siji melihat Garangpati
melarikan diri. Namun ia tak dapat berbuat apa-apa,
sebab ia masih harus menghadapi Mahesa Wulung
yang bersenjatakan cambuk Naga Geni itu.
Daya tahan kekuatan Mata Siji jauh lebih kuat dari-
pada seorang anak buahnya yang tinggal seorang itu.
Itulah sebabnya ketika cambuk Naga Geni di tangan
Mahesa Wulung menyambar ke arah tubuh anak buah
Mata Siji tersebut, orang itu terlambat menghindar dan
tak ampun lagi tubuhnya terpental dan jatuh ke tanah
dengan tubuh hangus.
“Mata Siji, kini kita berhadapan satu lawan satu.
Terimalah pembalasan Wangsa Ginuk yang kau bunuh
secara curang di geladak Kapal Hantu dahulu!” teriak
Mahesa Wulung seraya memutar cambuknya lebih
dahsyat hingga menimbulkan bunyi mengaung bagai
kawanan lebah yang tengah berdengung mencari madu.
“Setan! Ayo kejarlah aku kalau dapat!” seru Mata
Siji sambil melesat ke atas puncak pohon, diiringi derai
ketawa yang sombong memuakkan telinga. “Hua, ha,
ha, ha! Ayo Mahesa rembes, naiklah kemari. Aku tung-
gu dengan senang hati! Hua, ha, ha, ha!”
“Hmm, jangan kira aku tak mampu berbuat begitu!
Hyaaat!”
Tubuh Mahesa Wulung menjejak tanah dan melesat
menyusul Mata Siji ke puncak pohon. Sungguh me-
ngagumkan, ilmu meringankan tubuh kedua orang
pendekar ini. Keduanya lalu bertempur di atas puncak
pohon tak ubahnya dua ekor burung. Sayangnya, hal
ini tak berlangsung lama, sebab ketika suatu kali Mata
Siji berjumpalitan di udara, tiba-tiba ujung cambuk
Naga Geni telah menerjang punggungnya.
Duuaaaarrr!
Tubuhnya sesaat menggeliat dengan wajah yang te-
gang dan menyeringai, seakan tak percaya bahwa selu-
ruh tubuhnya telah hangus, lebih-lebih pada bagian
punggungnya.
“Eaaargh!”
Mata Siji akhirnya melontakkan darah hitam kental
berbareng tubuhnya melayang ke bawah, jatuh ke ba-
wah sana dari atas puncak pohon itu, dan matilah su-
dah si Mata Siji.
Rupanya kejahatan memang harus tumpas pada
akhirnya. Demikian hukum Tuhan Yang Maha Esa
berlaku. Di saat itu pula Bontang melihat pertahanan
Bengara yang lowong dan kesempatan ini diperguna-
kannya dengan baik. Kapak hitamnya membuat satu
serangan memancing dengan tebasan mengarah ke
dada lawan dan tentu saja Bengara lekas-lekas me-
nangkisnya ke samping. Maka pada saat itulah Bontang melenting ke atas lawan dan kembali kapak hi-
tamnya meluncur deras ke bawah.
Praaaak!
Terdengar sebuah benturan cukup keras, bila ka-
pak si Bontang menghajar batok kepala si pendekar
liar Bengara, dan sejurus kemudian Bengara itupun ja-
tuh bergulingan dengan rintihan pendek, sedang kepa-
lanya terluka mengerikan dan berlepotan darah. Tu-
buh Bengara kini tergeletak di tanah tak berkutik lagi.
Sementara itu, si tua Tawau telah tiba di rumpun
semak-semak di sebelah timur dimana cahaya putih
gemerlapan berasal dari tempat tersebut. Bagai orang
terpukau si tua Tawau menatap sumber cahaya tadi
yang tidak lain adalah Patung Intan yang kini tengah
dibopong oleh Seguntur dengan tangan kiri, sedang
tangan kanannya menggenggam pedang mandau ter-
hunus.
“Seguntur! Jadi Patung Intan itu ada di tangan-
mu!?”
“Hua, ha, ha, ha. Sekarang ini akan menjadi milik-
ku penuh, sebab kedua sekutuku telah mampus!” ujar
Seguntur. “Maka menyingkirlah orang tua, sebelum pe-
dang mandauku meminum darahmu!”
“Keparat!” teriak Tawau seraya menerjang ke arah
Seguntur, dan timbullah pertarungan sengit meskipun
tidak lebih dari enam jurus gebrakan, sebab pada ju-
rus ketujuh, pedang mandau Seguntur berhasil me-
nyambar dada si tua Tawau!
“Aduuuuuh!” Tawau terpelanting ke tanah, sedang
dadanya yang tertowel tadi mengalirkan darah segar.
Dan bersamaan waktunya, dua sosok bayangan te-
lah tiba di dekat Tawau, lalu menolong orang tua ter-
sebut. Mereka itu adalah Pandan Arum serta Sandai.
“Lukanya harus cepat-cepat diobati!” seru Sandai.
Dengan cekatan Pandan Arum mengambil kantong
obatnya sementara Sandai menatap tajam ke arah Se-
guntur yang tengah bergegas meninggalkan tempat itu.
Sambil meloncat memburu, Sandai berteriak lantang,
“Seguntur, keparat! Kau tinggalkan Patung Intan itu!”
Namun Seguntur cukup waspada. Begitu Sandai
memburu seraya melancarkan sebuah pukulan ta-
ngan, ia cepat mengelak dan lengan Seguntur yang ko-
koh itu dengan sigap menyambar pinggang gadis San-
dai.
“Hua, ha, ha, ha. Sekarang dua-duanya jadi milik-
ku! Patung Intan dan gadis yang cantik!” ujar Seguntur
dengan tertawa memuakkan.
“Lepaskan aku, keparat! Aduh... toloooong!” seru
Sandai tanpa daya ketika tubuhnya terjuntai dikempit
oleh lengan Seguntur.
“Ha, ha, ha. Kau akan segera menjadi isteriku!” ujar
Seguntur seraya melesat ke arah timur dengan sigap
sambil kedua tangannya mengepit Patung Intan dan
tubuh Sandai yang padat berisi itu.
Akan tetapi, sebuah bayangan meluncur dan mem-
buru di belakang Seguntur. Keduanya berkejaran se-
bentar, namun tiba-tiba sebuah tebasan telapak ta-
ngan si pengejar menyambar kepala Seguntur. Un-
tungnya, Seguntur lebih cepat mengelak dan kemudian
meloncat ke samping dengan wajah pucat.
“Daeng Matoa! Kau menggangguku, setan!” teriak
Seguntur dengan marahnya. “Hari ini kau harus mati
di tanganku.”
Si pengejar yang tidak lain adalah Daeng Matoa itu
kini berhadapan dengan Seguntur, tidak jauh dari ta-
nah berawa-rawa.
Seguntur kemudian melepaskan Sandai yang kon-
tan terduduk jatuh ke tanah dengan dada yang sesak
akibat tubuhnya dikempit dan dibawa lari oleh Segun-
tur beberapa saat lamanya.
Cepat Seguntur menghunus senjata.
“Hyaaat!” Daeng Matoa menerjang ke arah Seguntur
dan mereka pun bertempur dengan dahsyatnya.
Seguntur bergerak bagai seekor macan, sedang pe-
dang mandaunya berkelebatan bagai bayangan maut.
Sebaliknya, Daeng Matoa tak ubahnya seekor garuda.
Ia bergerak lincah menyambar-nyambar dengan pe-
dangnya, sementara kakinya sekali-kali melancarkan
serangan berbahaya.
Pada suatu ketika Daeng Matoa melenting ke atas,
di saat Seguntur mengancam lambungnya dan menda-
dak kakinya melancarkan tendangan ampuh ke pun-
dak Seguntur.
Blaaaag!
Tubuh Seguntur terpelanting mencelat dan tanpa
berdaya terceburlah ia ke tanah rawa-rawa di dekatnya
disertai jeritan parau.
“Rawa Hidup! Aaaah... tolong!” teriak Seguntur sam-
bil tubuhnya berkutat untuk menepi!
Namun celakalah ia, sebab rawa tadi adalah rawa
berlumpur hidup. Makin tubuhnya banyak bergerak
makin cepatlah lumpur tadi menyedot tubuhnya ke
bawah! Sungguh mengerikan! Patung Intan yang dike-
pit oleh lengan kiri Seguntur sudah tidak tampak se-
bab telah terbenam ke lumpur. Kini hanya kepala se-
batas leher serta tangan kanannya saja yang mengga-
pai-gapai minta tolong, berserabutan ke udara.
“Aduuh... Daeng Matoa! Aku akan bertobat... jangan
biarkan aku mati di tempat ini... tolong!” Seguntur ber-
teriak sambat.
Daeng Matoa yang berhati welas asih itu tak sampai
hati melihat lawannya mati disedot rawa berlumpur
tadi, maka cepat-cepat ia mengulurkan tangan meno-
long Seguntur. Dengan sigap jari-jari Seguntur meme-
gang pergelangan tangan Daeng Matoa dan mengunci
dengan keras.
“Hua, ha, ha, ha. Kita akan mati bersama-sama
Daeng Matoa!”
Bukan main Daeng Matoa terkejut, begitu pula
Sandai! Kini tubuh Daeng Matoa rebah ke tepi rawa
dan perlahan-lahan terseret oleh tangan Seguntur
yang semakin tenggelam ke dalam lumpur hidup tadi.
Melihat ini Sandai cepat-cepat menubruk tubuh Da-
eng Matoa seraya menjerit panik.
“Daeeeng! Ohh, jangan. Jangan kau ikut tenggelam
di sini! Daeng.... aku cinta padamu, Daeng! Ooh, aku
ikut terseret pula! Aku tak berdaya menahan tubuhmu
Daeng. Baiklah, jika harus mati..., kita akan mati ber-
sama-sama, kekasihku Daeng....”
Kini Seguntur sudah tak bisa bersuara, sebab seba-
gian kepalanya telah tenggelam oleh lumpur kecuali
hidung dan matanya saja yang masih sempat meman-
dang birunya langit dan hijaunya pupus-pupus deda-
unan yang bergoyang-goyang terhembus angin pegu-
nungan. Jari-jarinya yang masih menggenggam tangan
Daeng Matoa itu ikut menyeret tubuh Daeng Matoa
dan kekasihnya, Sandai. Sedikit demi sedikit tubuh
mereka berdua hampir tertarik dari tanah tanggul di
tepi rawa!
Aah, akan matikah juga Daeng Matoa dan Sandai
ke dalam rawa lumpur hidup ini?!
Tunggulah jawabannya dalam seri Naga Geni “Ben-
trok di Kali Serang” yang tak kalah seru, tegang serta
romantis. Maka sampai disini, selesailah cerita “Kutukan Patung Intan.”
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar