..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 22 Februari 2025

NAGA GENI EPISODE KUTUKAN PATUNG INTAN

matjenuh khairil

 SATU


SI TUA TAWAU, Mahesa Wulung dan rombongannya 

kini seolah-olah terkurung oleh tanaman pemakan 

daging yang berbelalai, bergerayangan siap mencaplok 

korbannya.

Suasana yang mengerikan tersebut kini tambah 

menyeramkan lagi berbareng turunnya sang senja. Da-

lam cahaya kemerahan lembayung itu tampaklah 

bahwa daun-daun berbelalai tadi, tak ubahnya jari-jari 

dari tangan setan yang haus akan mangsa.

Ternyata setelah tumbuh-tumbuhan tadi memakan 

tiga orang korbannya, menyebabkan rombongan terse-

but menjadi kacau dan panik. Apalagi dengan Pandan 

Arum dan Sandai. Baru kali inilah keduanya mengala-

mi peristiwa yang mengerikan. Kalau seandainya mere-

ka melihat seseorang mati akibat suatu pertempuran 

dengan darah yang bersemburan ataupun dengan luka 

tubuh yang menganga, kiranya mereka tidak akan be-

gitu ngeri melihatnya.

Tetapi kali ini yang mereka lihat, justru sangat di 

luar dugaan. Yah, sebuah tumbuh-tumbuhan yang bi-

asanya tampak lemah dan tak berdaya, lebih-lebih 

dengan bunganya yang indah mempesona hati, kali ini 

telah memakan manusia! Mereka telah menyedot dan 

menghisap darah dan daging para korbannya tanpa 

belas kasihan, kecuali yang tertinggal hanya tubuh-

tubuh kering kerontang, tak ubahnya tulang kerangka 

berselaput kulit.

Sesungguhnyalah seluruh rombongan manusia ini 

merasa ngeri. Seperti halnya Mahesa Wulung sendiri 

yang biasanya sering mengalami peristiwa-peristiwa 

pertempuran ataupun yang aneh-aneh, namun toh


pendekar gemblengan ini terpaksa bergetar pula ha-

tinya.

Kini terasalah oleh mereka, betapa kedahsyatan da-

ri kekuatan alam yang terbentang di hadapan mereka 

ini. Memang dalam alam yang kebanyakan masih ter-

sembunyi dan terpencil akan sering didapati hal-hal 

yang aneh dan menakjubkan.

Tetapi justru hal ini pulalah yang menggugah se-

mangat dan tekad bagi Mahesa Wulung untuk menge-

nal dan mengatasi kedahsyatan alam rimba Borneo.

“Aaaaaa...!”

Sebuah teriakan ngeri telah terlontar dari mulut se-

orang anak buah Tawau. Orang tersebut menggelepar-

gelepar di tanah dengan kedua belah tangannya berpe-

gang erat-erat pada rumpun-rumpun rerumputan. Te-

tapi setiap kali rumput-rumput tadi terbetot lepas ber-

sama akarnya dari permukaan tanah apabila tubuh 

orang itu terseret ke belakang dengan cepat.

Mahesa Wulung bermaksud menolong orang ini, ta-

pi sayang keadaannya tidak memungkinkan. Bukan-

kah ia sendiri tengah melindungi Pandan Arum yang 

kini mendekap erat pada lengannya, sedang orang ter-

sebut lebih cepat terseret oleh daun-daun belalai yang 

telah membelit kedua belah kakinya dengan keras.

“Eaaach....”

Orang tersebut menjerit lebih keras, tapi juga meru-

pakan jerit yang terakhir, sebab tubuhnya telah terku-

rung oleh daun-daun belalai tadi dalam waktu yang 

sekejap saja. Meskipun ia meronta-ronta sekuatnya, 

tapi itu sudah tak ada gunanya lagi. Duri-duri daun 

belalai tadi kemudian membenam lebih dalam ke da-

lam daging korbannya dan selanjutnya terjadilah pe-

rubahan-perubahan yang cukup mengerikan. Kulit tu-

buh orang tadi kemudian memucat dan semakin pucat, kemudian mengempis dan mengering.

Bila sudah begitu, maka daun-daun belalai tadi 

memperlonggar jepitannya dan selanjutnya terkulailah 

tubuh kering layu tersebut, terjelapak ke atas tanah 

tak bernyawa lagi.

“Tenang, Saudara-saudara! Tenang! Kepanikan a-

kan berarti menambah korban bagi kita sekalian!” Be-

gitulah Mahesa Wulung berteriak nyaring menyadar-

kan orang-orang yang tengah kebingungan dan ngeri 

hatinya.

Teriak peringatan dari Mahesa Wulung tadi berhasil 

sebagian, tetapi masih lebih banyak yang belum sadar 

akan manfaat dan arti seruan itu. Hingga korban pun 

masih bertambah juga.

Begitulah, seorang yang menjadi kalap melihat tum-

buh-tumbuhan maut tadi, seketika melolos mandau-

nya serta membabat daun-daun belalai yang tengah 

bergoyang-goyang. Akan tetapi daun-daun tadi seperti 

bermata tampaknya, sebab begitu tebasan-tebasan 

melanda dirinya, ia serentak meliuk-liuk lincah meng-

hindari setiap tebasan senjata tersebut.

Karuan saja si penyerang tersebut terperanjat dan 

takjub melihat serangannya kandas dan cuma mene-

bas angin kosong. Dan lebih kaget lagi bila tahu-tahu 

beberapa buah daun belalai tadi telah menyambar ta-

ngan dan kakinya serta menggeretnya sekali ke arah 

pertengahan tetumbuhan tersebut.

Orang ini rupanya tak mau mati dengan cuma-

cuma, maka sekali lagi ia menebaskan pedang man-

daunya ke sebuah daun yang tengah membelit ta-

ngannya. Terdengarlah suara benda tertebas dan daun 

tadi terpapas separuh lebih disertai cairan semacam 

getah berwarna merah tua menyembur dengan derasnya.


Dengan terluka demikian ini, tumbuhan bunga pe-

makan daging tadi segera menjadi lebih beringas dan 

garang. Maka daun-daun belalai lainnya secepat kilat 

menyambar tubuh orang tadi sampai tak berdaya sa-

ma sekali dan akhirnya ia pun terkurung oleh daun-

daun belalai tersebut. Maka bertambahlah korban seo-

rang lagi.

Dalam pada itu, Mahesa Wulung yang tengah melin-

dungi keselamatan Pandan Arum telah menjadi terke-

jut sebab kekasihnya ini tiba-tiba saja menjerit keras.

“Kakang Wulung! Awas di sebelah kanan!”

Begitu diteriakkan oleh kekasihnya, Mahesa Wu-

lung cepat-cepat bertindak. Sambil berpaling ke kanan 

ia menebaskan pedangnya secepat kilat.

Ternyata tebasan pedangnya itu adalah tepat wak-

tunya, karena sebuah daun belalai telah siap mener-

kam leher Mahesa Wulung dari samping.

Craas!

Daun belalai tersebut terpapas lepas diiringi oleh 

cairan getah merah yang menyemprot keluar.

Daun-daun yang lain segera beraksi menyambar ke 

arah Mahesa Wulung. Mereka seolah-olah merasa bah-

wa sebuah di antara anggota daunnya telah terpotong 

oleh pedang pendekar muda ini, sehingga keseluruh 

daun tadi secepat kilat menyebar ke arah yang sama.

Namun sekali ini mereka akan kecewa seandainya 

bisa berkata, sebab sebelum daun-daun itu sempat 

menyinggung tubuh Mahesa Wulung, telah terpenggal 

lebih dulu oleh pedang Mahesa Wulung yang berputar 

secepat baling-baling.

Dalam sekejap saja berjatuhanlah potongan-poto-

ngan daun-daun belalai ke atas tanah, tersapu selu-

ruhnya oleh sambaran ujung pedang Mahesa Wulung. 

Kini yang tinggal adalah pangkal-pangkal daun belaka

yang sudah tidak berdaya sama sekali. Pohon pema-

kan daging itu sekarang telah gundul, kecuali bunga 

merah yang masih mekar dengan megahnya di tengah 

pangkal-pangkal daun tersebut.

Bermula Mahesa Wulung sudah merasa lega karena 

dapat melumpuhkan tumbuhan yang mengerikan ini. 

Tetapi kemudian ia menjadi heran pula sebab sisa 

pangkal-pangkal daun itu masih dapat bergerak.

Sesaat Mahesa Wulung memaklumi kenyataan bah-

wa di daerah yang bertanah tinggi serta jarang tersen-

tuh oleh sinar matahari akan memungkinkan terda-

patnya tumbuh-tumbuhan pemakan daging, seperti 

tumbuhan ‘Kantong Semar’ yang pernah dilihatnya di 

lereng Gunung Merapi di tanah Jawa. Tumbuhan ini 

pun dapat menjebak serangga-serangga, seperti lalat, 

semut, ulat dan sebagainya. Jika serangga tadi terge-

lincir dan jatuh ke dalam daun kantung yang berwarna 

hijau, maka segera tubuhnya akan menjadi santapan-

nya. Dengan demikian maka tumbuh-tumbuhan tadi 

dapat menghisap zat asam yang terdapat di dalam tu-

buh korbannya.

Dengan begitu maka Mahesa Wulung tak menjadi 

heran bila bunga berdaun belalai yang sedahsyat itu 

telah tumbuh di hutan ini. Hanya saja Mahesa Wulung 

masih belum tahu, mengapa sisa-sisa pangkal daun 

tersebut masih mampu bergerak-gerak.

Mendadak saja Mahesa Wulung tertarik oleh bunga 

yang masih terdapat di tengah sisa-sisa pangkal daun 

belalai itu.

“Ah, mungkinkah sumber kekuatan tumbuhan ini 

terletak pada bunganya?” demikian Mahesa Wulung 

berpikir sendiri. “Aku harus mencobanya dengan se-

gera!”

Secepat Mahesa Wulung selesai berpikir, secepat itu


pula ia menghunjamkan ujung pedangnya ke arah 

bunga tersebut, dan akibatnya cukup mengagetkan. 

Sisa-sisa pangkal daun dan bunga tadi bergetar sesaat 

untuk kemudian diam tak bergerak sama sekali.

Kini tahulah Mahesa Wulung akan titik kelemahan 

tumbuhan pemakan daging itu. Tetapi sebelum orang 

dapat menikam bunga tersebut, kiranya terlalu sulitlah 

untuk memenggal daun-daun belalainya. Dan hal ini-

lah yang tak mungkin dikerjakan oleh orang-orang ter-

sebut, lebih-lebih karena mereka telah dicekam oleh 

rasa takut dan panik!

Di sebelah lain, Daeng Matoa cepat menebaskan

pedang pendeknya ke sebuah daun belalai yang men-

coba membelit tubuh Sandai. Untunglah ia keburu ce-

pat bertindak, sebab serangan ini datangnya dari bela-

kang tubuh si gadis dari Lembah Sampit ini.

“Saudara Daeng, tikam bunganya itu!” teriak Mahe-

sa Wulung dari sebelah barat.

“Ya!” seru Daeng Matoa pendek sedang pedang pen-

deknya segera berkelebat menyambar daun-daun tadi. 

Bagai sambaran sebuah petir, cepat dan ganas, maka 

tak perlu heran bila sebentar kemudian beberapa daun 

telah berontokkan jatuh ke tanah.

Melihat daun-daun tadi terpapas dan mengeluarkan 

getah berwarna merah seperti darah, Sandai menjadi 

memekik-mekik saking ngerinya.

Daeng Matoa tak memberi kelonggaran waktu bagi 

pedangnya untuk berhenti mencercah daun-daun ter-

sebut dan akhirnya ujung pedangnya telah ditikamkan 

kepada bunga yang berwarna merah.

Dua tumbuhan pemakan daging telah binasa, tetapi 

di sebelah utara, terdengar pula sebuah jeritan nyaring 

dari mulut seorang anggota rombongan yang telah di-

lahap oleh tumbuhan maut tadi. Korbanpun makin


bertambah pula jumlahnya, menyebabkan si tua Ta-

wau bertambah cemas hatinya.

Dalam pada itu Mahesa Wulung pun merasa cemas. 

Ia tak tega hatinya melihat korban-korban dari rom-

bongan ini yang telah dihisap tubuhnya oleh tumbu-

han berdaun belalai tersebut. Kalau ia sanggup meng-

hancurkan sebuah tumbuhan ini dengan pedangnya 

seperti halnya Daeng Matoa, seharusnyalah mereka 

akan sanggup pula membinasakan tumbuh-tumbuhan 

yang lainnya. Tetapi Mahesa Wulung merasa bahwa 

hal itu terlalu memakan waktu yang banyak.

Maka tak ada pilihan lain baginya kecuali ia menya-

rungkan kembali pedangnya dan setelah itu ia melolos 

cambuk pusaka Naga Geni!

Pandan Arum merasa bersyukur pula bahwa keka-

sihnya telah mempergunakan senjata ampuhnya. Apa 

yang ia lihat selanjutnya sungguh menakjubkan.

Bagaikan anak kijang yang binal, Mahesa Wulung 

meloncat ke sebelah utara dimana si tua Tawau tengah 

mati-matian melawan renggutan-renggutan daun bela-

lai yang mengancam dirinya.

Orang tua ini terkejut melihat bayangan melesat ke 

arahnya, apalagi sesaat kemudian terdengar sebuah 

lecutan cambuk meledak di dekatnya.

Daaarrrr!

Tawau melongo penuh kagum melihat tumbuhan 

berdaun belalai yang menjadi lawannya, tahu-tahu 

terkulai hangus kehitaman seperti arang dengan asap 

mengepul ke atas, seperti habis dibakar oleh kobaran 

api. Sedang di sampingnya telah berdiri Mahesa Wu-

lung dengan menggenggam cambuk Naga Geni yang 

menyala biru kehijauan dalam cahaya keremangan 

ujung malam.

“Tuan Mahesa Wulung!” desis si tua Tawau. “Tuan


mempunyai senjata yang hebat. Pantaslah tumbuhan 

maut itu telah hangus binasa!”

“Oh, aku terpaksa menggunakan cambuk jelek ini, 

Bapak. Mudah-mudahan kita selamat dari bahaya 

yang seram ini,” ujar Mahesa Wulung. “Bersiap-siaplah 

Bapak membawa orang-orang ke sebelah barat. Aku 

akan membuka jalan dan menghancurkan pohon-

pohon itu!”

Si tua Tawau segera mengerjakan apa yang telah 

dikatakan oleh Mahesa Wulung. Dengan lincahnya 

orang tua ini menghampiri setiap orang serta memberi 

tahu agar mereka bergerak ke barat, sementara Mahe-

sa Wulung berloncatan kesana-kemari sambil terus 

memutar cambuknya laksana baling-baling maut dan 

setiap kali menghajar hancur tumbuh-tumbuhan pe-

makan daging sampai hangus binasa.

Orang-orang terpaksa tercengang keheranan meli-

hat sepak terjang Mahesa Wulung yang begitu lincah 

dan cekatan dalam menggunakan senjatanya. Begitu 

pula dengan pendekar Seguntur yang sejak semula 

menaruh dendam kepada Mahesa Wulung, terpaksa 

memikirkan kembali maksudnya untuk menantang 

adu tenaga dengan pendekar dari seberang itu.

Seguntur yang menatap cambuk Naga Geni di ta-

ngan Mahesa Wulung dengan nyala biru kehijauan 

menjadi tergetar hatinya. Selama hidupnya baru kali 

inilah ia melihat sebuah senjata ampuh yang sanggup 

menghanguskan sasarannya.

“Hmmm, memang hebat senjata cambuknya itu,” 

pikir Seguntur dalam hati. “Tapi tanpa senjatanya be-

lum tentu ia tahan menghadapi Seguntur dari Lembah 

Sampit ini!”

Sementara itu si tua Tawau telah berhasil mengata-

si kepanikan orang-orangnya. Mereka segera mengikuti


jalan yang telah diamankan oleh Mahesa Wulung dari 

ancaman pohon-pohon maut pemakan daging.

***

SELANGKAH demi selangkah mereka melewati dae-

rah maut tadi. Dan sepanjang perjalanan tampaklah 

oleh mereka, bangkai-bangkai pohon maut berdaun 

belalai yang berserakan di sana-sini dalam keadaan 

hangus tak berkutik sama sekali. Biarpun begitu, di 

sebelah-sebelah yang lain, beberapa pohon maut ini 

masih tinggal hidup karena Mahesa Wulung hanya 

membinasakan pohon yang merintangi jalannya saja. 

Sedang selebihnya ia tak memikirkan lagi, sebab saat 

ini yang paling penting adalah menyelamatkan rom-

bongan orang-orang ini keluar dari daerah maut.

Akhirnya berhasillah mereka menjauhi tempat itu 

dengan dada yang masih berdebar-debar. Pengalaman 

yang baru saja mereka temui tadi adalah pengalaman 

yang sangat mengerikan dalam perjalanan hidupnya. 

Yah, bahkan merupakan terhebat dari segalanya.

Tiba-tiba sebelum mereka terlalu jauh meninggal-

kan tempat tersebut, terjadilah sesuatu yang menge-

jutkan seluruh rombongan itu. Tidak hanya para anak 

buah si tua Tawau dan Mahesa Wulung saja, akan te-

tapi mereka yang memimpin rombongan itu pun jadi 

terkejut karenanya.

Sebuah bayangan melesat dengan cepatnya disertai 

teriakan yang amat dahsyat menggetarkan udara ma-

lam. Dari cahaya obor-obor yang telah dipasang oleh 

orang-orang dalam rombongan itu ataupun dari sinar 

rembulan yang menerobos celah-celah dedaunan, tam-

paklah bahwa bayangan tadi adalah sesosok tubuh 

manusia yang meluncur dan langsung menyerang Ma-

hesa Wulung.


Tak terkira betapa kagetnya Mahesa Wulung men-

dapat serangan yang sangat mendadak itu. Untunglah 

dalam saat yang sekejap itu, ia masih sempat berkelit 

meskipun sebuah sambaran sisi telapak tangan si pe-

nyerang sempat menyerempet pundaknya.

Tak ampun lagi tubuh Mahesa Wulung terpelanting 

membentur batang pohon di sebelahnya. Nafas pen-

dekar ini terengah-engah serta peringisan menahan ra-

sa sakit yang menusuk-nusuk pada pundaknya akibat 

gempuran dari tangan si penyerang.

Kejadian yang hanya sekilas itu sangat memukau 

dan begitu cepatnya, sehingga orang-orang lainnya ter-

tegun bagaikan tengah melihat sebuah khayalan mim-

pi yang mengerikan.

“Hua, ha, ha. Kalian tak akan bisa lolos dari tempat 

ini hidup-hidup. Akulah Longiram! Penguasa taman 

bunga maut itu! Ha, ha, ha, haaaa!” teriak si penye-

rang yang kini berdiri dan hinggap di atas ujung dahan 

pohon, membuat orang-orang terhenyak kaget.

“Huh! Longiram?!” desis Tawau. “Tak kukira bahwa 

di tempat ini masih ada lagi pendekar yang sehebat 

itu!”

Belum lagi mereka sempat mengejapkan matanya, 

si penyerang kembali menyambar ke arah Mahesa Wu-

lung.

“Hiaaaat!”

Dan untuk kedua kalinya serangan ini belum me-

ngenai sasarannya, sebab sambaran tangan Longiram 

tertangkis oleh kibasan jari-jari Mahesa Wulung.

Bruuk!

Benturan antara kedua tenaga pukulan tangan pen-

dekar itu terjadi dan untuk yang kedua kalinya, Ma-

hesa Wulung terpental jatuh ke tanah bergulingan, se-

dang Longiram cuma tergeser beberapa telapak kaki ke


belakang.

Sambil bergulingan itu Mahesa Wulung mendesis 

kesakitan dan masih merasakan akibat gempuran ta-

ngan Longiram pada pundaknya.

“Hua, ha, ha, ha. Rasakanlah hukuman atas kelan-

canganmu, mengobrak-abrik taman bunga mautku!” 

seru Longiram seraya melesat ke samping, ketika tiga 

orang anggota rombongan menerjang ke arahnya de-

ngan tebasan mandau dan tombak.

“Heei, tikus-tikus ini ingin turut bermain-main?! 

Bagus, terimalah ini! Haaaa!”

Longiram menerjang pesat, menyongsong ketiga pe-

nyerangnya dengan gerakan yang cepat dan apa yang 

terlihat kemudian sangat menakjubkan. Tiga kali ta-

ngan kiri Longiram membuat lingkaran seraya berge-

rak menyelusup di antara tubuh-tubuh penyerangnya, 

dan saat itu pula ketiga senjata di tangan mereka ter-

pukul lepas oleh benturan sisi telapak tangan Longi-

ram.

Mahesa Wulung yang telah bangun kembali terpak-

sa kagum pula oleh kejadian itu, lebih-lebih ketika se-

kali lagi Longiram menggerakkan tangan kanannya ke 

arah tubuh ketiga lawannya.

Tiga kali gempuran sisi telapak tangan Longiram 

dengan keras melanggar dada ketiga lawannya dan se-

ketika itu pula mereka menjerit keras serta terpental 

rebah ke tanah dengan darah merah kehitaman ter-

muntah dari mulutnya.

“Ha, ha, ha, mampus kamu, tikus-tikus!”

Longiram berseru sambil melesat ke atas dan kem-

bali hinggap berdiri di atas ujung dahan pohon, de-

ngan gaya yang ringan bagai seekor belalang saja. Se-

mentara itu Mahesa Wulung terbeliak melihat ketiga 

anggota rombongannya telah terkapar di tanah tak

bernyawa.

“Setan! Jangan kira aku tak mampu berbuat ma-

cam itu! Tunggulah kedatanganku! Haaaait!” ujar Ma-

hesa Wulung sambil mengerahkan ilmu meringankan 

tubuh serta jurus-jurus ajaran pendekar Bontang.

Maka begitu menggenjotkan kakinya ke tanah, tu-

buh Mahesa Wulung melenting ke udara menyusul 

Longiram yang kini bertengger di dahan pohon.

Sejurus kemudian berlangsunglah perang tanding 

di atas dahan-dahan pohon dengan hebatnya, sedang 

orang-orang lainnya yang berada di bawah, menyaksi-

kan dengan mulut ternganga. Mereka kembali disuguhi 

pemandangan yang menakjubkan mata seakan-akan 

sebuah impian khayal saja.

Sekali ini Mahesa Wulung tidak mau bertangan ko-

song dalam menghadapi Longiram, sebab ia sudah me-

rasakan betapa sakit pundaknya oleh hajaran tangan 

Longiram.

Kedua orang ini bersambaran dan terjang-mener-

jang sangat hebat. Pedang Mahesa Wulung yang ber-

putar dan berkelebat dalam jurus-jurus Sigar Maruta 

atau Membelah Angin dari ajaran pendekar Ki Camar 

Seta.

Sedikit demi sedikit, Longiram yang bertangan ko-

song itupun terdesak oleh serangan-serangan pedang 

Mahesa Wulung. Pendekar ini terpaksa mengumpat-

umpat apabila pedang lawannya terasa makin santer 

mengurung dirinya, bahkan ujung pedang itu seolah-

olah mempunyai mata dan selalu memburunya kema-

napun ia bergerak!

Kini sadarlah Longiram bahwa orang muda yang 

menjadi lawannya ini bukan orang sembarangan. Ka-

lau ia tadi dalam dua gebrakan telah berhasil membi-

nasakan tiga orang yang mengeroyoknya, kini ia telah


menghabiskan sembilan belas jurus dan ia belum ber-

hasil merobohkan lawannya.

“Keparat! Ilmu pedangmu cukup hebat! Tapi kau 

belum mengenal tongkat rotanku ini, ya! Sambutlah 

ini!” berteriak Longiram berbareng ia mencabut sebilah 

tongkat rotan mengkilap yang terselip pada ikat ping-

gang kirinya.

Begitu meloncat, begitu pula ia menyabetkan tong-

kat rotannya ke arah leher Mahesa Wulung. Tetapi 

pendekar muda ini berhasil menangkis serangan maut 

tersebut dengan pedangnya.

Traaang!

Pertempuran menjadi semakin seru tampaknya, se-

telah masing-masing memegang senjata di tanganya. 

Keduanya bertempur hebat, kadang-kadang meloncat 

ke sana ke mari dari dahan pohon yang satu ke dahan 

lainnya dan ada kalanya mereka meloncat ke atas 

puncak-puncak pepohonan bagaikan dua ekor burung 

elang yang tengah berlaga.

Sinar bulan purnama yang terang benderang me-

nyebabkan masing-masing dapat melihat kedudukan 

lawannya dengan jelas. Mahesa Wulung makin berhati-

hati dalam menghadapi setiap serangan Longiram yang 

datangnya bagai ombak badai tak berkeputusan. Sam-

baran-sambaran serta tusukan tongkat rotan di tangan 

Longiram selalu mengancam dan memburu ke arah 

bagian-bagian tubuh Mahesa Wulung yang lemah, 

mengakibatkan pendekar muda ini agak kerepotan 

menangkisnya.

Biarpun begitu Mahesa Wulung merasa kagum pula 

melihat kegesitan lawannya itu. Selama tinggal di hu-

tan Borneo ini, ia telah mengenal dua orang pendekar 

berilmu tinggi yakni si liar Bengara dan pendekar Bon-

tang. Namun hari ini ia telah bertempur dengan seo

rang pendekar lain yang tak kalah hebatnya dengan 

mereka.

Orang-orang yang kini menjadi lawannya sesung-

guhnya berilmu tinggi dengan senjata tongkat rotannya 

yang mampu memukul hancur dahan-dahan pohon 

yang cukup besar. Tetapi hal utama yang membikin 

Mahesa Wulung tak habis mengerti adalah pengakuan 

Longiram yang mengatakan bahwa taman pohon-po-

hon maut tadi adalah miliknya.

Merasa bahwa lawannya yang masih muda ini sang-

gup mengandaskan serangan-serangannya, Longiram 

menjadi semakin menyala matanya. Kemarahannya te-

lah menyebabkan darahnya kian menggelegak sampai 

ke kepala, seolah-olah akan meledak rasanya.

Rupanya pendekar rimba yang menyebut namanya 

Longiram itu telah mengerahkan segenap tenaga dan 

ilmunya, sebab kini Mahesa Wulung melihat bahwa la-

wannya itu semakin dahsyat tandangnya. Maka ber-

tambah pula dahsyatnya mereka bertempur. Sedang 

batang-batang pohon yang berderak dan berserakan 

patah akibat gempuran senjata mereka, sudah tak ter-

hitung lagi banyaknya.

Mereka yang menyaksikan pertempuran itu terpak-

sa menahan nafas, apalagi dengan Pandan Arum. Ga-

dis ini merasa kecemasan melihat tandang dan gerak 

Longiram yang dahsyat dan makin mendesak kedudu-

kan Mahesa Wulung, kekasihnya.

Pada suatu kesempatan, tongkat rotan Longiram 

menebas ke kanan ke arah kepala Mahesa Wulung. 

Namun Mahesa Wulung masih bertindak cepat dalam 

saat yang segenting itu. Ia mengendapkan tubuhnya ke 

bawah hingga tongkat rotan lawannya cuma menyam-

bar dalam jarak yang hanya satu jengkal saja dari kepalanya.


Sekonyong-konyong dalam saat yang sama tangan 

kiri Longiram telah menyambar punggung Mahesa Wu-

lung, dan tergebloklah akhirnya punggung pendekar 

muda itu oleh telapak tangan Longiram.

Blaag!

Pandangan mata Mahesa Wulung sesaat berku-

nang-kunang begitu geblokan telapak tangan tadi 

membentur punggungnya bagai sambaran ujung hali-

lintar. Masih untunglah bagi dirinya karena ia masih 

sempat mengetrapkan sikap Tugu Wasesa yang sang-

gup membentengi tubuhnya dari segenap benturan da-

ri luar. Namun sikap tadi ternyata kurang sempurna, 

dibentuk secara tiba-tiba, sehingga pertahanan tadi 

tertembus pula oleh tenaga pukulan tangan kiri Longi-

ram.

Dalam keadaan yang setengah sadar dengan pung-

gung yang sakit bagai terbakar oleh bara api, Mahesa 

Wulung lalu kehilangan keseimbangan. Tubuhnya o-

leng dan jatuh melayang ke bawah.

Melihat ini, semua orang memejamkan mata, se-

dang Pandan Arum terpekik ketakutan. Daeng Matoa 

cepat-cepat berlari ke arah tubuh Mahesa Wulung 

bakal jatuh dari atas pohon. Ia bertindak dengan ne-

kad untuk mencoba menerima jatuhnya tubuh Mahesa 

Wulung agar tidak membentur ke tanah.

Sementara itu dari atas pohon terdengarlah derai 

ketawa yang menggetarkan udara malam. Longiram 

merasa senang melihat lawannya terpukul roboh.

Akan tetapi, secara tiba-tiba sebuah bayangan dari 

arah timur telah lebih dulu menyambar tubuh Mahesa 

Wulung, sebelum ia benar-benar jatuh membentur ta-

nah.

“Hiaaat!”

Bayangan tadi dengan cekatan membawa tubuh

Mahesa Wulung melesat turun ke atas tanah dan 

orang-orang segera menyambutnya. Pandan Arum ber-

jongkok di samping tubuh Mahesa Wulung yang telah 

berbaring di tanah dan di sebelahnya tampaklah si tua 

Tawau tengah memijit-mijit pundak Mahesa Wulung 

dengan seksama.

“Tak perlu kuatir, Nona. Tuan Mahesa Wulung cu-

ma pingsan saja dan sebentar lagi akan sembuh,” ujar 

orang tua itu kepada Pandan Arum yang menampak-

kan wajah cemas.

“Apakah ia tidak menderita luka dalam, Bapak Ta-

wau?” bertanya Pandan Arum.

“Menilik pukulan yang dahsyat dari orang tersebut, 

seharusnya ia terluka dalam. Tapi anehnya, Tuan Ma-

hesa Wulung tidak menderita apa-apa. Agaknya ia 

mempunyai kekebalan diri!”

Dalam pada itu, bayangan yang semula menolong 

Mahesa Wulung telah melesat ke atas, menerjang ke 

arah Longiram berdiri di atas dahan pohon.

“Akulah yang menjadi lawanmu, keparat!” teriak ba-

yangan tadi yang langsung menerjang Longiram de-

ngan sambaran kapak besar di tangannya.

“Heh, heh, heh. Siapa kau turut campur dengan 

urusanku, hah?! Apa perlunya kau tolong anak muda 

itu? Sudah sepantasnya ia hancur terlanggar oleh ba-

tang-batang pohon di bawah sana!”

“Ngocehlah sepuasmu, setan! Anak muda tadi ada-

lah muridku!” seru bayangan tadi dengan lantangnya. 

“Dan akulah si tua Bontang, dedengkotnya rimba sebe-

lah timur!”

“Uuh! Jadi kamulah yang bernama Bontang?”

“Benar! Kau mulai takut rupanya!”

“Takut? Kau bilang aku takut kepada orang yang 

bernama Bontang macam tampangmu itu?” ujar Longiram dengan sombongnya. “Ketahuilah, kemunculanmu 

justru membuat senang hatiku! Sudah lama aku ingin 

mengukur tenaga dengan orang yang bernama Bon-

tang!”

“Bagus! Kini kau telah berhadapan dengan orang-

nya,” sahut Bontang. “Dan kau akan tahu sampai di-

mana keuletan kulitmu!”

“Hua, hua, ha, ha. Ucapanmu menusuk telinga, ke-

parat! Tapi Longiram tidak akan takut karenanya!”

Habis berkata begitu, Longiram segera membuka se-

rangannya dengan sebuah sabetan tongkat rotannya 

ke arah kepala Bontang.

Walaupun serangan ini datang secara mendadak, 

tapi si tua Bontang tak kebingungan. Ia memutar ka-

pak hitamnya sejajar kepala dan tertangkislah tongkat 

rotan Longiram yang tengah menyambar dengan deras-

nya.

Praaak!

Terjadilah suatu benturan hebat. Longiram yang te-

lah mengerahkan tenaga sepenuhnya tak menduga 

bahwa Bontang pun juga telah menghimpun sebagian 

besar tenaganya. Maka akibatnya cukup menggetar-

kan. Bontang terpental surut beberapa langkah, na-

mun dengan lincahnya pula ia cepat berdiri dan hing-

gap di atas dahan. Sedang Longiram pun terlempar pu-

la ke belakang beberapa langkah dengan derasnya.

Ternyata Longiram cukup tangkas. Dengan bebe-

rapa lompatan jungkir balik di udara, hilanglah tenaga 

dorong tadi dan kemudian dengan enaknya ia menda-

rat di atas puncak pohon dengan tertawa memuakkan.

Mengalami hal itu, terpaksalah Bontang menyadari 

bahwa Longiram pun berilmu tinggi pula. Maka tak he-

ranlah bila Mahesa Wulung, muridnya itu, kena ter-

gablok oleh tangan Longiram.


Sebaliknya Longiram pun terkejut sendiri menga-

lami benturan yang sedemikian serunya. Ia harus ber-

hati-hati menghadapi lawannya. Kalau saja muridnya 

yang bernama Mahesa Wulung itu mampu menghada-

pinya dalam waktu yang cukup lama, maka pastilah 

gurunya ini pun lebih hebat pula.

Kembalilah mereka bertempur dengan sengitnya, 

saling melibat dan menerjang. Kedua senjata mereka 

seakan-akan saling berkejaran dan bila ada pertaha-

nan yang kosong jangan diharap tubuh mereka akan 

masih utuh bila kena tersambar oleh senjata-senjata 

itu.

Dalam pada itu, jauh di bawah sana Mahesa Wu-

lung telah tersadar dari pingsannya. Pendekar muda 

ini kemudian duduk bersila serta mengatur nafasnya, 

dengan mengisap dalam-dalam udara malam yang se-

juk, dan sebentar kemudian berisilah paru-parunya 

dengan hawa segar sehingga darahnya kembali meng-

alir lancar. Rasa panas terbakar pada punggungnya 

pun kemudian hilang tak berbekas lagi.

Ketika Mahesa Wulung dan orang-orang lainnya 

menatap ke atas, tampaklah pertempuran yang ber-

langsung semakin seru antara Longiram dan si tua 

Bontang. Keduanya bergeser ke arah timur.

Gerakan Longiram yang ganas serta garang itu be-

nar-benar mencemaskan para penonton di bawah. Dan 

setelah pertempuran itu berlangsung agak lama, tiba-

tiba saja Longiram mengambil sesuatu dari ikat ping-

gangnya dan kemudian tangan kirinya itu dikibaskan 

ke arah lawannya.

“Duri-duri racun!” desis si tua Bontang dengan ter-

kejut, sambil memutar kapaknya memapaki senjata 

rahasia yang telah dilempar oleh Longiram ke arahnya.

Ternyata lawan Bontang itu sangat licin. Begitu dilihatnya senjata rahasianya akan ditangkis, Longiram 

cepat mengulang serangannya. Sekali lagi tangan kiri-

nya melambai ke arah si tua Bontang dan beberapa 

duri beracun terlepas dari tangannya, menyambar ke 

arah kaki Bontang.

Karuan saja pendekar tua ini terkejut setengah mati 

sebab dua kelompok duri beracun tengah menyambar 

ke arah dirinya, sementara ia pun melihat bahwa Lo-

ngiram telah siap menyerang dengan tongkat rotannya.

Biar mengalami serangan beruntun ini, pendekar 

Bontang tidak menjadi takut. Ia bertekad akan mela-

wan Longiram habis-habisan, demi membela keselama-

tan rombongan Tawau dan Mahesa Wulung.

Begitulah, ketika kapak hitamnya menangkis duri-

duri racun yang tengah menyambar kepalanya, di saat 

itu pula ia merasa bahwa kakinya akan segera ditem-

busi oleh kelompok duri-duri racun yang lainnya.

Di saat yang sedemikian tegangnya, dimana maut 

tengah mengancam jiwa si tua Bontang, tahu-tahu se-

buah bayangan melesat kembali ke arah mereka dan 

sebuah cahaya biru telah menggugurkan duri-duri be-

racun yang bakal menyambar kaki Bontang.

Bukan main kaget Longiram demi senjata-senjata 

rahasianya telah gagal memenuhi tugasnya. Lebih-

lebih dengan munculnya bayangan yang melesat dari 

bawah dan kini berdiri di samping Bontang.

“Heeei. Kau masih ingin bermain-main dengan aku, 

ha?!” teriak Longiram dengan mata melotot, sebab 

bayangan tadi tidak lain adalah Mahesa Wulung den-

gan menggenggam cambuk pusaka Naga Geni.

“Haaa, kau mempunyai senjata ampuh juga rupa-

nya!” ujar Longiram dengan sudut mata yang tak ber-

kisar dari arah cambuk Naga Geni lawannya yang ber-

keredapan menyala biru kehijauan.


“Aku datang lagi untuk bertanding melawanmu!” 

berkata Mahesa Wulung dengan tenang.

“Jadi kalian berdua akan mengeroyokku?!” teriak 

Longiram.

“Tak perlu kami berbuat serendah itu!” sahut Ma-

hesa Wulung lantang. “Biarlah Bapak Bontang ini isti-

rahat, sementara aku mencoba kembali kesaktianmu!”

“Setan alas! Kata-katamu memanaskan telinga!” 

bentak Longiram sambil menggeram marah. “Sekali la-

gi tubuhmu kena kupukul akan benar-benar mampus 

kamu!”

“Hmm, marilah kita buktikan sesumbarmu tadi!” 

berkata Mahesa Wulung seraya bersiaga.

Longiram tak berkata lagi, melainkan ia melentur-

lenturkan tongkat rotannya dan dibarengi teriakan 

dahsyat, ia telah menyambar ke arah Mahesa Wulung.

“Hiaaattt!”

Serangan ini akan benar-benar mampu meremuk-

kan sasarannya seandainya Mahesa Wulung tidak ber-

geser ke samping, sementara Cambuk Naga Geni telah 

dilecutkan ke arah leher Longiram.

Benar-benar Longiram menjadi terkejut melihat 

cambuk yang menyala biru itu menyambar ke arah le-

hernya. Cepat ia mengendap seraya berkelit ke sam-

ping, tapi tak urung ia kaget pula, apabila ujung cam-

buk itu meledak tak jauh dari telinganya bagaikan le-

dakan petir di angkasa.

Kembali Longiram mengumpat dan terasalah bahwa 

telinganya berdenging akibat ledakan cambuk terse-

but. Cepat-cepat ia menggeram serta menyerang ke 

arah Mahesa Wulung. Ujung tongkat rasanya mengan-

cam dada lawannya.

Sekali ini Mahesa Wulung sengaja menyambut u-

jung tongkat Longiram dengan lecutan ujung cambuk


nya, hingga sesaat kemudian terjadilah letupan keras.

Blaaarrr!

Longiram menjerit kecil begitu ujung tongkat rotan-

nya membentur ujung cambuk Naga Geni. Seketika itu 

terasalah satu jilatan rasa panas yang merayapi tong-

katnya, lalu mengalir ke tangan, membuat Longiram 

sadar bahwa ia tak akan tahan lama menghadapi 

keampuhan cambuk pusaka itu. Maka sambil merasa-

kan tangan kanannya yang terasa bagai dibakar oleh 

kobaran api, Longiram berpaling dan melesat ke arah 

Bontang. Ujung tongkatnya menjalar mematuk ganas 

ke wajah pendekar tua itu. Serangan hebat ini sung-

guh cepat dan tak terduga datangnya. Si tua Bontang 

terperanjat melihat serangan tiba-tiba ini. Satu-satu-

nya jalan buat menyelamatkan wajahnya adalah melin-

tangkan kapak hitamnya di depan kepala.

Kraaak!

Terdengar kembali benturan seru. Dan karenanya 

Bontang terpental ke belakang beberapa langkah. Na-

mun dalam saat yang bersamaan Mahesa Wulung te-

lah meluncurkan pukulan Angin Bisu dari tangan kiri-

nya tepat di saat Longiram akan menghajarkan kemba-

li tongkat rotannya ke arah Bontang.

Akibatnya Longiram terlempar beberapa tombak 

dan kemudian meskipun ia telah berusaha bagaima-

napun juga, namun ia tak berhasil menguasai dirinya. 

Tubuhnya kemudian meluncur, melayang ke bawah 

tanpa daya sama sekali, diikuti oleh pandangan mata 

dari si tua Bontang dan Mahesa Wulung.

Baik mereka berdua maupun orang-orang yang be-

rada di bawah sesaat kemudian terkejut oleh sebuah 

teriak dan jeritan ngeri dari mulut Longiram. Mereka 

serentak terpukau oleh pemandangan yang mengeri-

kan. Ternyata tubuh Longiram telah jatuh di antara


pohon-pohon maut pemakan daging. Tubuhnya telah 

dibelit rapat-rapat oleh daun-daun belalai yang berdiri 

panjang-panjang.

“Lepaskan! Akulah tuanmu! Lepaskan! Aku bilang 

lepaskan!”

Terdengar teriakan Longiram dengan nada kacau, 

membuat siapa saja yang melihat menjadi ngeri dan 

meremang bulu tengkuknya. Longiram sesaat masih 

menjerit-jerit kecil tapi akhirnya tak berkutik lagi. Tu-

buhnya telah mengempis dihisap habis oleh pohon 

maut itu.

“Ia termakan oleh tanamannya sendiri!” desis Bon-

tang kepada Mahesa Wulung pula.

“Senjata rahasianya yang berujud duri beracun itu 

ternyata berasal dari daun-daun belalai pohon maut 

itu.”

“Benar,” sambung Bontang pula. “Agaknya ia se-

ngaja memelihara pohon-pohon maut tersebut untuk 

diambil duri-duri racunnya! Dan Anda tahu, bahwa 

duri-duri beracun itu tak kalah hebatnya dengan ja-

rum-jarum sumpit beracun!”

“Aku menghaturkan terima kasih atas pertolongan 

yang Bapak berikan kepadaku,” ujar Mahesa Wulung 

kembali.

“Heh, heh, heh. Tapi Anda pun telah menghindar-

kan duri-duri beracun yang hampir mengenai kakiku,” 

jawab Bontang. “Sesudah Anda dan rombongan itu 

pergi meninggalkan gubuk pohonku, hatiku tiba-tiba 

merasa tak enak. Dan ketika aku tiba di tempat ini, 

rupanya kalian tengah terlibat dalam pertempuran me-

lawan Longiram! Kini Anda beserta rombongan ini da-

pat meneruskan perjalanan kembali.”

Ketika itu, datanglah Daeng Matoa dengan tergo-

poh-gopoh sedang di tangannya menggenggam sebilah


tongkat rotan.

“Saudara Wulung, lihatlah! Aku dapat menangkap 

tongkat rotan, senjata ampuh milik Longiram yang ter-

jatuh ketika ia terpelanting dari atas pohon!”

“Hmmm, kau boleh menyimpannya, Saudara Da-

eng!” ujar Mahesa Wulung. “Mungkin akan berguna 

bagimu.”

Tak lama kemudian seluruh rombongan itu telah 

berkumpul dan si tua Bontang pun segera meminta di-

ri kepada mereka. Dengan beberapa loncatan dari po-

hon ke pohon ke sebelah timur, lenyaplah tubuh pen-

dekar tua itu di balik kelebatan dedaunan.

Setelah segala sesuatunya siap maka berangkatlah 

rombongan itu ke arah barat untuk kembali ke kam-

pung Lembah Sampit.

Orang-orang sekarang telah merasa lega sebab rin-

tangan-rintangan di perjalanan telah berhasil mereka 

atasi, biarpun untuk ini beberapa orang telah menjadi 

korban karenanya.

Sepanjang perjalanan mereka masih teringat ka-

wan-kawannya yang telah menjadi santapan pohon-

pohon maut pemakan daging ataupun ketiga orang 

yang tewas terpukul oleh Longiram. Rasa haru dan se-

dih tentu saja merayapi relung hati mereka. Bukankah 

orang-orang tadi telah sehidup semati. Seia-sekata da-

lam menempuh setiap bahaya yang mereka temui? Se-

dang kini yang masih tinggal cuma dapat mengenang 

jasa-jasa mereka serta akan berceritera kepada sanak 

keluarga si korban, bagaimana keberanian orang-orang 

itu dalam menunaikan tugasnya.

Namun pada barisan paling belakang, masih ada 

juga yang berpikir lain agaknya. Sebab kelihatannya 

wajah pendekar Seguntur masih saja muram, seperti 

ada sesuatu yang mencekam hatinya.


Tak kelirulah dugaan yang demikian itu. Memang 

mereka, orang-orang rombongan itu, tak bakal mengira 

bila Seguntur bakal lebih senang atau puas seandai-

nya seluruh rombongan ini mati, kecuali dirinya sendi-

ri serta Sandai ataupun Pandan Arum saja yang masih 

hidup. Pastilah ia akan segera memiliki benar-benar 

dara idaman hatinya.

Kejengkelan serta keirian hatinya terhadap pende-

kar Mahesa Wulung masih belum reda. Ia tidak men-

duga bahwa Mahesa Wulung selalu berhasil ikut me-

lenyapkan setiap bahaya serta menyelamatkan rom-

bongan ini dari marabahaya.

Dan lebih-lebih lagi, pada saat kini juga ia selalu 

melayangkan pandangan tajamnya ke arah Daeng Ma-

toa, karena gadis Sandai senantiasa berjalan bersama 

pendekar ini.

“Hmm, kedua pendekar dari seberang itu selalu 

membuat kecewa hatiku! Sampai saat ini aku masih 

cukup berlapang dada. Tetapi sekali lagi terulang, aku 

akan membuat perhitungan dengan mereka! Tunggu-

lah!” demikian pikir pendekar Seguntur dari Lembah 

Sampit yang ternyata telah tertutup hatinya oleh rasa 

cemburu dan iri hati.

Memang kedua sikap itu akan membuat seseorang 

akan kehilangan pertimbangan-pertimbangan yang se-

hat dalam tindakannya sehari-hari. Sepanjang hidup 

manusia, rasa cemburu dan iri hati tadi telah sering 

terjadi merusak tata pergaulan yang baik dalam segala 

sendi kehidupan. Tidak jarang antara dua orang saha-

bat yang baik, yang katanya seia-sekata dalam suka 

dan duka, akhirnya telah bermusuhan akibat salah 

seorang di antaranya telah menaruh rasa iri terhadap 

kedudukan dan kebahagiaan yang lain.

Begitu pula seorang narapraja, kadang-kadang sam


pai hati untuk menentang atasannya karena rasa iri 

dan cemburu tadi.

Sesungguhnya, rasa iri dan cemburu kalau disalur-

kan dalam sikap yang wajar dan bijaksana, bisa juga 

mendatangkan keberuntungan. Seperti misalnya seo-

rang yang hidupnya melarat telah melihat seorang te-

mannya yang kaya. Kalau ia menyalurkan rasa iri tadi 

dalam bentuk kerja keras dan rajin, tidak mustahil 

bahwa iapun dapat menjadi seorang yang kaya pula. 

Begitu pula yang berpangkat rendah dapat mencapai 

kedudukan yang lebih tinggi apabila ia mau belajar 

dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk itu.

Tetapi untuk melakukan ini semua, tidaklah semu-

dah seperti yang diangankan oleh seseorang. Ia harus-

lah orang yang bijaksana dan berpandangan luas. Dan 

hal inilah justru yang tidak dipunyai oleh Seguntur.

***

DUA



PERJALANAN mereka tak terasa jauhnya, dan men-

jelang munculnya sang matahari pagi, rombongan o-

rang-orang itu telah melihat kemegahan tanah pegu-

nungan di sebelah barat laut yang membayang biru 

kehijauan bagai dinding tembok raksasa, membentang 

dari sebelah utara.

Ketika mereka memasuki daerah kampung Lembah 

Sampit dari sebelah timur, beberapa orang penduduk 

telah melihat kedatangan rombongan ini. Beberapa 

orang berlari ke arah kampung sedang sebagian lagi 

berlari-lari menyongsong mereka.

Saat itu pula tak terlukiskan betapa bahagia mereka setelah menginjak tanah kampung halamannya 

kembali. Para penyambut dan anggota rombongan itu 

saling berpelukan dan bersalaman.

Tak antara lama mereka telah memasuki gerbang 

kampung sebelah timur dan rupanya orang-orang yang 

tadi berlari ke arah kampung, telah memberi tahu 

akan kedatangan rombongan Tawau dan Mahesa Wu-

lung. Dan sekarang tampaklah orang-orang yang ber-

deret menyambut mereka.

Si tua Tawau kemudian tampil ke depan dan meng-

ucapkan terima kasih atas sambutan ini, sedang seo-

rang yang berambut putih maju ke depan serta menye-

rahkan sebilah mandau yang berukuran keliwat besar 

dengan sarungnya yang berukir-ukir indah.

“Ooo, Tawau yang mulia, terimalah kembali mandau 

lambang kekuasaanmu ini. Hamba telah memegang-

nya sebagai wakil kepala kampung selama kepergian-

mu dan segala sesuatu telah berjalan baik serta sela-

mat. Kami seluruh penduduk mengucapkan selamat 

datang.”

Si tua Tawau segera menerima mandau lambang 

kekuasaan itu serta mengucapkan terima kasih. Na-

mun suasana segera diliputi pula oleh keharuan serta 

sedu sedan, di saat ketua Tawau menceriterakan ten-

tang orang-orang yang tewas di dalam perjalanan ter-

sebut. Beberapa orang dari sanak keluarga si korban 

tampak mengucurkan air mata, menangisi mereka.

Mahesa Wulung pun merasakan pula akan kesedi-

han mereka. Kadangkala ia pun merasa bahwa semua 

itu adalah akibat dari suatu peristiwa yang bersang-

kut-paut, berbelit-belit dimana dirinya pun terlibat di 

dalamnya.

Begitulah, kedatangan rombongan ini disamping 

membawa rasa keharuan tetapi juga menimbulkan rasa bersyukur bahwa mereka toh akhirnya tidak selu-

ruhnya binasa oleh kedahsyatan alam yang merintangi 

perjalanan mereka.

Mereka pun merasa beruntung mendapat banyak 

pengalaman dan kejadian hebat yang belum pernah 

mereka alami sebelumnya. Seperti keanehan taman 

pohon-pohon maut pemakan daging dan rasanya seo-

lah-olah sebuah khayalan belaka. Bahkan sekarang 

ini, mereka jadi ragu-ragu apakah pohon-pohon itu 

benar-benar telah mereka jumpai dan ada. Apakah itu 

bukan sebuah impian saja?

Tapi mereka pun lalu teringat pertemuannya de-

ngan pendekar yang bernama Longiram. Untuk hal itu, 

mereka tak bisa menyangkal ataupun menyangsikan 

lagi. Apalagi mereka masih bisa membayangkan ketika 

tiga orang teman serombongannya telah dipukul roboh 

oleh Longiram sehingga binasa.

Upacara penyambutan dan serah terima lambang 

kekuasaan kampung Lembah Sampit yang kecil itu te-

lah selesai. Orang-orang pun lalu pulang kembali ke 

rumah masing-masing. Sedang si tua Tawau, Mahesa 

Wulung, Daeng Matoa, Pandan Arum serta Sandai me-

nuju ke sebuah rumah bertangga yang terletak di sebe-

lah timur.

Setelah mereka berada di atas, si tua Tawau mem-

persilakan mereka untuk duduk berkeliling di sebuah 

ruangan yang lebar. Pada wajah si tua Tawau tampak-

lah suatu kesan yang sangat mendalam. Sesuatu yang 

cukup penting, sehingga mereka berempat yang duduk 

di hadapannya menjadi sibuk bertanya serta menebak 

di dalam hati mereka sendiri, gerangan apakah yang 

bakal diutarakan oleh orang tua ini? Suasana pun lalu 

hening karenanya.

“Tuan Mahesa Wulung,” demikian si tua Tawau


membuka percakapan yang memecah tabir kebisuan 

suasana di situ, “dan Andika bertiga juga! Pertemuan 

kita dulu di pantai Teluk Sampit sungguh membaha-

giakanku, sebab sesuatu yang selama ini sangat 

mengganggu ketenangan hatiku telah berkurang oleh 

hal itu.” Si tua Tawau sejenak berhenti berkata, serta 

melepas nafasnya dalam-dalam, dan kemudian ia pun 

melanjutkan kata-katanya. “Sebetulnya ada suatu ra-

hasia yang akan kuceriterakan kepada Andika.”

“Sebuah rahasia?!” gumam Mahesa Wulung. “Agak-

nya penting benar bagi Bapak.”

“Tepat. Memang penting benar bagi bapak ini, bah-

kan bagi seluruh penduduk kampung Lembah Sampit 

ini,” ujar Tawau.

“Kalau begitu silakan Bapak berceritera. Kami jadi 

makin tertarik karenanya,” kembali Mahesa Wulung 

berkata.

“Baik. Dengarlah. Kalau kita ke utara lurus dari 

arah kampung ini, kita akan sampai ke sebuah bukit-

bukit batu dan di situ kita juga akan menemukan se-

buah goa yang teramat penting bagi kampung ini.”

“Sebuah goa?” ulang Daeng Matoa.

“Begitulah. Sebuah goa yang senantiasa dijaga oleh 

sepuluh orang pendekar dari daerah ini.”

Mahesa Wulung sangat tertarik oleh keterangan ini, 

maka ia pun menyela, “Hmmm, rupanya goa tersebut 

berisi sesuatu yang amat berharga, bila sampai dijaga 

oleh para pendekar sedemikian kuatnya.”

“Heh, heh, heh. Anda berpikir sangat cemerlang,” 

ujar si tua Tawau seraya manggut-manggut. “Memang 

di situ tersimpan sebuah patung intan yang amat in-

dah dan cantiknya.”

“Eh, maksud Bapak, patung tersebut adalah patung 

seorang wanita?” Terdengar Pandan Arum ikut ber


tanya.

“Yah, itu benar. Patung tadi berbentuk seorang wa-

nita. Seorang puteri jelita yang bermata redup dan se-

luruhnya terbuat dari intan murni, tingginya kira-kira 

sekitar tiga jengkal.”

“Luar biasa!” desis Mahesa Wulung dengan kagum-

nya. “Patung intan sebesar itu pastilah banyak yang 

mengingininya.”

“Nah, itulah sebabnya kami telah menaruh pengaw-

al-pengawal untuk menjaganya. Tambahan lagi patung 

itu merupakan harta kebanggaan dari kampung Lem-

bah Sampit ini,” ujar si tua Tawau. “Namun di samping 

kebanggaan, terselip juga suatu kecemasan yang da-

tangnya dari dalam patung itu sendiri.”

Oleh kata-kata si tua Tawau yang terakhir ini, baik 

Mahesa Wulung, Daeng Matoa, Pandan Arum maupun 

Sandai sendiri jadi terkejut karenanya.

“Rahasia ini hanyalah aku sendiri yang tahu. Kare-

na aku merasa telah waktunya untuk memberitahukan 

hal ini kepada orang-orang yang aku percayai, maka 

kepada Anda berempatlah aku akan membukanya.”

“Akh, Bapak Tawau,” sela Mahesa Wulung. “Kami 

merasa mendapat kehormatan untuk dipercayai raha-

sia tersebut.”

“Sekarang, dengarlah baik-baik. Patung tadi me-

mang sangat indah, tapi juga sangat berbahaya bagi 

siapa yang menyimpannya,” ujar Tawau memulai ceri-

teranya. “Beberapa orang yang telah menyimpannya 

terdahulu, telah terkena oleh kutukan Patung Intan 

tersebut! Mereka mendapat bencana dan tewas!”

“Kutukan Patung Intan?!” desah Mahesa Wulung 

gemetar. “Sungguh mengherankan! Jika hal itu benar-

benar, maka berarti bahwa kampung Lembah Sampit 

ini pun akan mendapat bencana pula.”


“Begitulah seharusnya. Namun baiknya aku cerite-

rakan bunyi Kutukan Patung Intan tadi yang menyata-

kan bahwa, barangsiapa menemukan dan kemudian 

menyimpan Patung Intan ini, akan menemui bencana. 

Hanya seorang pendekar dari seberanglah yang dapat 

melenyapkan bencana itu,” si tua Tawau berhenti seje-

nak seraya memandang keempat pendengarnya yang 

tampak tertegun oleh bunyi Kutukan Patung Intan ter-

sebut. “Nah sejak kami menyimpan patung itu di kam-

pung kecil Lembah Sampit ini, timbullah bencana yang 

telah melanda kami. Beberapa waktu yang lalu orang-

orang dari Kapal Hantu selalu mengganggu dan men-

gadakan perampokan-perampokan terhadap kami. Se-

dang kemudian kami baru mengetahui bahwa Kapal 

Hantu dan orang-orangnya telah binasa dalam pertem-

puran melawan Tuan-tuan di pantai Teluk Sampit. 

Dengan begitu berarti bahwa Tuan-tuan telah menye-

lamatkan kami, bukan? Dan tahulah kami akhirnya, 

bahwa Tuan-tuan datang dari tanah seberang!”

“Mmmm, jadi tentunya kamilah yang Bapak anggap 

pendekar dari seberang seperti tersebut dalam kata-

kata Kutukan Patung Intan itu?!” sambung Mahesa 

Wulung.

“Saya harap Tuan-tuan tidaklah keberatan dengan 

anggapan kami tersebut,” ujar si tua Tawau. “Apakah 

Tuan-tuan memang benar yang dimaksud oleh kata-

kata itu, atau hanya secara kebetulan saja kami telah 

bertemu dengan Tuan, tetapi yang benar adalah Kapal 

Hantu itu telah hancur oleh Tuan-tuan. Dengan demi-

kian maka tidak ada salahnya jika kami menganggap 

Tuan-tuan sebagai penyelamat kami.”

“Baiklah, Bapak. Kami tak akan keberatan dengan 

pendapat Bapak itu. Namun kami juga ingin mengeta-

hui, mengapakah Patung Intan tadi sampai memberi


kan kutukan yang sedemikian menakutkan?” tanya 

Mahesa Wulung pula.

“Heeah... tentang itu ada ceriteranya, Tuan. Begi-

ni..., berpuluh-puluh tahun yang lalu, di jaman Kera-

jaan Kediri di tanah Jawa, yang waktu itu mempunyai 

hubungan luas dengan daerah-daerah lain di luar Ja-

wa, hiduplah seorang Pangeran Anom yang tengah me-

lamar seorang putri Kediri. Putri tadi sangatlah cantik-

nya, bernama Candrasari. Sesungguhnya berun-

tunglah Pangeran Anom tadi karena dari sekian ba-

nyak pelamar yang mempersunting puteri Candrasari, 

hanya dialah yang paling berkenan di hati Candrasari. 

Keduanya pun saling mencinta dan berjanji bahwa da-

lam waktu yang tidak lama lagi mereka akan melaksa-

nakan perkawinannya. Untuk itu, Pangeran Anom tadi 

berkenan mencari sebuah hadiah untuk mas kawin 

bagi calon isterinya, yakni puteri Candrasari tadi. Hal 

ini sudah layak dan merupakan kebiasaan di jaman 

itu. Secara kebetulan, Pangeran Anom itu adalah seo-

rang yang berbakat dan ahli dalam memahat dan men-

gukir patung.

“Pada suatu hari, Pangeran Anom tadi menemui ke-

kasihnya untuk mengutarakan isi hatinya. Ia bermak-

sud membuat sebuah patung intan yang akan di-

ciptanya berdasarkan wajah dan bentuk tubuh puteri 

Candrasari. Kelak patung intan itulah yang akan diha-

diahkan kepada kekasihnya sebagai mas kawin. Na-

mun untuk mencari bahan intan pembuat patung tadi, 

bukanlah hal yang mudah. Maka Pangeran Anom pun 

berkata kepada kekasihnya bahwa ia akan me-

ngunjungi Pulau Borneo atau Kalimantan ini, guna 

mencari bahan intan pembuat patungnya.

“Betapa kagetnya puteri Candrasari ketika mende-

ngar keinginan kekasihnya yang hendak berlayar seja


uh itu. Puteri tadi kurang menyetujui maksud kekasih-

nya. Bukannya ia tidak senang menerima hadiah yang 

begitu indah dan bermutu itu, tapi justru ia mengu-

atirkan nasib dan keselamatan Pangeran Anom keka-

sihnya. Ia berpendapat kalau sebaiknya tidak usahlah 

kekasihnya tadi membuat patung dirinya dari permata 

intan. Mas kawin yang berupa apapun akan ia terima 

asal Pangeran Anom tidak jadi berlayar ke tanah sebe-

rang.

“Tetapi sayang, Pangeran Anom adalah seorang 

yang berkemauan keras. Biarpun ia dicegah oleh puteri 

Candrasari, ia tetap bertegang leher untuk melaksana-

kan maksudnya. Hal itu akan tetap dilaksanakannya, 

justru saking cintanya kepada puteri Candrasari.

“Pada akhirnya, puteri Candrasari pun meluluskan 

kepergian kekasihnya dengan rasa hati yang amat be-

rat. Ia sadar bahwa perjalanan Pangeran Anom untuk 

mencari intan itu pasti memakan waktu yang cukup 

lama. Apalagi ia pun pernah mendengar tentang ke-

dahsyatan setiap keliaran tanah rimba Pulau Borneo. 

Dan inilah yang terutama dicemaskan oleh puteri Can-

drasari.

“Yah, berpisah dengan kekasih bagi orang yang te-

ngah berkasih-kasihan adalah suatu hal yang sangat 

memberatkan. Namun bagi Pangeran Anom tetap ber-

layar pula dan ia meninggalkan puteri Candrasari. Me-

reka berjanji sebelumnya, betapapun lama atau kesuli-

tan yang merintang di tengah jalan, keduanya akan 

saling tetap setia.

“Begitulah, dengan beberapa orang pengikutnya, Pa-

ngeran Anom tadi berlayar menuju ke pulau ini. Me-

reka mendarat di sebelah tenggara dan mulailah me-

reka mencari bahan intan.

“Mula-mula Pangeran Anom dan orang-orangnya


mencari intan tadi di daerah Martapura. Akan tetapi 

mereka hanyalah menjumpai butiran-butiran intan 

yang kecil saja. Maka Pangeran Anom pun bermaksud 

mencarinya ke daerah lain.

“Kini Pangeran itu berperahu ke arah utara, menyu-

suri sungai Barito, sementara sebagian pengikutnya di-

tinggal di daerah Martapura tadi untuk meneruskan

perjalanannya, yaitu mencari bahan intan. Dengan 

demikian terpecahlah rombongan tadi menjadi dua ba-

gian. Rombongan yang terbesar bersama Pangeran A-

nom berangkat ke utara.

“Sementara itu tidak terasalah bagi mereka bahwa 

perjalanan mereka sejak meninggalkan tanah Kediri te-

lah makan waktu berbulan-bulan.

“Setelah menempuh segala kesulitan dan bersusah 

payah, mereka tibalah di daerah Purukcahu yang juga 

terkenal sebagai daerah intan itu. Di sini pun mereka 

mula-mula cuma mendapatkan butiran-butiran intan 

yang kecil saja, sehingga Pangeran Anom tadi hampir-

hampir putus-asa karenanya.

“Tetapi pada hari yang keseratus dari pekerjaan me-

reka, Pangeran Anom yang saat itu ikut mencari bahan 

intan telah berhasil menggali sebuah lapisan tanah 

yang berisi gumpalan intan besar. Keruan saja mereka 

menjadi bergembira atas penemuan intan yang sebesar 

itu.

“Di tengah kegembiraan tadi, seorang penunjuk ja-

lan yang berasal dari daerah Martapura telah berkata 

kepada Pangeran Anom. Orang tadi memperingatkan 

bahwa dengan ditemukannya sebuah gumpalan intan 

berukuran kelewat besar, menandakan akan timbul-

nya sebuah bencana.

“Mendengar penuturan orang tadi, Pangeran Anom 

terperanjat karenanya. Namun sekali lagi ia menun


jukkan kekerasan hatinya. Betapa pun akan ada ben-

cana, patung intan tadi harus selesai dibuatnya.

“Begitulah, karena keahlian dan ketekunannya, Pa-

ngeran Anom memulai memahat gumpalan intan besar 

tersebut setahap demi setahap. Tanpa merasa lelah 

serta lapar, si pangeran muda terus menyelesaikan pa-

tungnya.

“Sedemikian tekunnya si pangeran muda tadi men-

ciptakan bentuk patungnya, hingga kadang-kadang ia 

terlupa untuk beristirahat. Siang malam ia bertekun 

sendiri, sampai orang-orang pengikutnya merasa iba 

dan terharu. Mereka tahu akan kebesaran cinta pa-

ngeran muda itu terhadap kekasihnya, yakni puteri 

Candrasari dari Kerajaan Kediri.

“Mula-mula sekali bentuk keseluruhan dari poto-

ngan tubuh puteri tersebut telah berhasil diwujudkan 

pada pahatan patung intannya. Yah, semula hanya 

bentuk yang masih kasar belaka. Akan tetapi pangeran 

muda ini tidak berhenti sampai di sini saja. Ia mulai 

menggosok halus patung intan tersebut, dan makin le-

bih berhati-hati ketika menciptakan wajah puteri keka-

sihnya. Pangeran muda tadi benar-benar punya daya 

cipta yang sangat hebat. Kekuatan daya ingat dan daya 

bayang serta ilhamnya telah ia curahkan dengan se-

puas hatinya.

“Hal ini membuat orang-orang pengikutnya sampai 

terheran serta takjub dibuatnya. Mereka dapat melihat 

betapa tekun dan telitinya Pangeran Anom menum-

pahkan segala kemampuan untuk melukiskan wajah 

sang putri. Mereka menyaksikan ketelitian sang pange-

ran menyelesaikan bentuk-bentuk mata, hidung, mu-

lut dan dagu dari wajah patung intan tersebut. Orang-

orang tadi menjadi terpesona menatap hasil karya ini, 

dan mereka jadi lebih terpesona lagi bila Pangeran


Anom belum puas-puasnya menghaluskan wajah dari 

patung itu.

“Memanglah sang pangeran menjadi terpukau sen-

diri oleh hasil ciptaannya, sebab kini seolah-olah ia 

tengah berhadapan sendiri dengan wajah kekasihnya, 

sang puteri Candrasari.

“Sebenarnya orang tak perlu heran oleh ketepatan 

wajah patung intan tersebut dengan wajah asli sang 

puteri. Hal itu membuktikan bahwa sang pangeran be-

nar-benar hafal dan menguasai bentuk wajah keka-

sihnya.

“Berhari-hari sang pangeran masih saja melicin dan 

menggosok halus wajah patung intan tersebut, meski 

pun sebenarnya keseluruhan dari patung itu telah se-

lesai.

“Begitulah ketekunan sang pangeran sampai akhir-

nya ia merasa puas. Kini orang-orang pengikut Pange-

ran Anom merasa lebih terpesona, bahkan kadangkala 

terselip pula perasaan kagum bercampur ngeri, sebab 

mereka seolah-olah berhadapan langsung dengan sang 

puteri Candrasari.

“Bentuk mata dan hidung dari patung intan itu 

sungguh hidup tampaknya. Seakan-akan mereka me-

rasakan bahwa mata tadi dapat berkedip serta mena-

tap mereka, sedang hidungnya seperti betul-betul ber-

kembang kempis menghirup dan menghembuskan na-

fas.

“Tetapi dari keseluruhannya, orang paling merasa 

kagum bila menatap bentuk bibirnya yang mungil, dan 

memang bagian inilah yang paling lama dihaluskan 

oleh Pangeran Anom.

“Hampir-hampir para pengikut sang pangeran tadi 

tidak dapat mempercayai bahwa itu hanyalah sebuah 

bibir dari patung intan saja. Mereka seperti melihat bibir yang sungguh-sungguh dari sang puteri Candrasa-

ri, dengan menyunggingkan senyum yang mempesona 

siapa saja.

“Akhirnya Pangeran Anom betul-betul merasa puas 

setelah patung intan tersebut telah selesai dengan 

sempurna. Rasa bahagia bercampur syukur membuat 

pangeran muda itu menjadi berwajah cerah dan riang, 

hingga para pengikutnya pun ikut merasa gembira pu-

la.

“Yah, mereka telah sekian lama menunggu pange-

ran muda itu berdiam diri serta bertekun sampai-sam-

pai ia tidak memperhatikan keadaan tubuhnya. Kumis 

serta jenggot Pangeran Anom sudah sekian lama di-

biarkan panjang serta tumbuh melebat tak terurus. Te-

tapi pada saat ia telah menyelesaikan hasil kerjanya 

itu, ia pun lekas-lekas mencukurnya bersih-bersih, se-

hingga tampaklah kembali wajah tampannya seperti 

sediakala.

“Namun pada suatu siang ketika Pangeran Anom 

tengah menatapi patung intan tersebut, datanglah seo-

rang pengikutnya yang dahulu ditinggal di daerah Mar-

tapura serta lekas-lekas menghadap kepadanya, mem-

buat sang pangeran berdebar-debar hatinya.

“Pangeran Anom segera bertanya kepada punggawa 

tadi, mengapa ia datang menyusul ke daerah Purukca-

hu ini? Ketika punggawa tadi mengatakan bahwa me-

reka tinggal di pulau ini sampai hampir selama lima 

tahun, maka terperanjatlah sang pangeran itu bagai 

disambar petir rasanya.

“Dan lebih terkejut lagilah Pangeran Anom ketika 

orang itu berkata dengan nada tersendat-sendat diser-

tai isakan kecil. Orang tersebut pun menjadi kian ter-

isak-isak sesudah ia menatap wajah patung intan sang 

Puteri Candrasari tadi.

“Sang Pangeran menjadi tak sabar karenanya, lalu 

diguncang-guncanglah pundak punggawa tadi serta di-

minta keterangannya, mengapakah sampai ia bersikap 

begitu.

“Akhirnya berkatalah orang tadi dengan nada terpu-

tus-putus dan mengatakan bahwa sang Puteri Candra-

sari telah meninggal dunia setelah ia menunggu serta 

merindukan Pangeran Anom hampir selama lima ta-

hun! Suatu masa penantian yang cukup lama dan 

memberatkan.

“Orang tadi mendapat kabar dari sebuah kapal ar-

mada Kediri yang beberapa orang utusan untuk mem-

berikan kabar duka tadi kepada Pangeran Anom.

“Begitu mendengar berita itu seketika sang pange-

ran rebah ke tanah dan pingsan tak sadarkan diri 

sampai beberapa saat lamanya. Pangeran Anom tadi 

menjadi sakit sejak itu. Badannya makin kurus dan 

lemah, sedang wajahnya kian pucat dan sayu.

“Sehari-hari kerjanya hanyalah melamun serta me-

natap patung intan sang puteri, tak bosan-bosannya. 

Tentu saja tak dapat dipungkiri bila kematian puteri 

Candrasari adalah pukulan yang berat bagi dirinya.

“Sakit sang pangeran kian berlarut-larut dan akhir-

nya ia pun meninggal dunia pula. Tapi sebelum itu ia 

sempat berpesan kepada semua pengikutnya agar ia 

dikuburkan di tempat itu. Demikian pula dengan pa-

tung intan tadi, sang pangeran berpesan pula agar di-

kubur di dekatnya, disertai peringatan yang keras me-

rupakan sebuah kutukan, yaitu Kutukan Patung In-

tan.

“Pesan atau kutukan tadi mengatakan, barang si-

apa menemukan serta menyimpan patung intan terse-

but akan mendapat bencana dan hanya seorang pendekar dari seberanglah yang mampu melenyapkan 

bencana itu. Begitulah keduanya segera dikubur di 

tempat itu pula.

“Pada selanjutnya, ketika para pengikut sang Pan-

geran Anom bermaksud kembali ke tanah Kediri, ke 

tanah tumpah darahnya, timbullah suatu perselisihan 

seru antara dua orang pengikutnya dengan orang-

orang lainnya. Keduanya bermaksud membawa pulang 

saja Patung Intan yang sangat bermutu ke tanah Kedi-

ri. Namun orang-orang lainnya segera menentang ke-

hendaknya, sampai menimbulkan perselisihan serta 

pertumpahan darah. Kedua orang tersebut menemui 

ajalnya, tewas dalam perkelahian melawan rekan-re-

kannya sendiri.

“Kesudahannya Patung Intan itu tetap ditinggal ter-

kubur di dalam tanah, sebab orang-orang tadi sudah 

cukup membawa butiran-butiran intan kecil untuk 

bekal pulang.

“Orang-orang tadi akhirnya kembali ke kerajaan 

Kediri, dan mereka bertolak dengan kapalnya mening-

galkan pulau ini.

“Begitulah, Patung Intan tadi telah memakan tiga 

orang korbannya, dan segala peristiwa itu telah dipa-

hatkan oleh seorang punggawa pada sebuah dinding 

batu terjal, tak jauh dari tempat kuburan Patung In-

tan.

“Patung tersebut beberapa tahun tetap aman terku-

bur di dalam lubang tanah, sampai akhirnya aku be-

serta seorang saudara serta beberapa pengikut telah 

tidak sengaja menemukan Patung Intan yang indah itu 

di saat kami tengah menggali-gali tanah untuk mencari 

butir-butiran intan di daerah Purukcahu itu.

“Keruan saja kami bersenang hati menemukan benda berharga itu. Sayangnya, kegembiraan tadi segera 

lenyap di saat kami menemukan sebuah tulisan yang 

terpahat pada dinding batu terjal di dekat tempat di-

temukannya Patung Intan itu.

“Seorang saudaraku tetap berkeras hati untuk 

membawa pulang Patung Intan berharga tadi ke da-

erah ini, ke Kampung Lembah Sampit ini. Sayangnya, 

saudaraku tadi telah tewas dalam perjalanan pulang. 

Ia tergelincir dan terperosok ke dalam sebuah jurang 

hingga tewas pada saat itu juga.

“Itulah rupanya akibat kutukan Patung Intan puteri 

Candrasari. Entah hal itu sungguh-sungguh atau se-

cara kebetulan saja saudaraku tadi terperosok kesana, 

aku tidak tahu. Yang terang, Patung Intan tersebut 

berhasil aku bawa pulang ke kampung Lembah Sampit 

ini dan nanti dapat Tuan-tuan saksikan sendiri,” demi-

kianlah si tua Tawau menyudahi akhir ceritanya ten-

tang Kutukan Patung Intan tersebut, sementara sua-

sana pun lalu jadi hening.

Keempat orang yang mendengar ceritera tersebut 

masih terbungkam berdiam diri. Baik Mahesa Wulung, 

Daeng Matoa, Pandan Arum maupun Sandai menjadi 

terpesona dan juga terharu oleh riwayat dari Patung 

Intan tadi.

“Wah, hari telah siang,” ujar si tua Tawau. “Maka 

sebaiknya kita melihat Patung Intan itu sekarang.”

“Baik, Bapak,” sambung Mahesa Wulung. “Memang 

kami pun agaknya sama-sama ingin secepatnya meli-

hat Patung Intan itu. Seperti apakah gerangan Patung 

Intan yang telah membuat ceritera dan lelakon yang 

begitu mengharukan?!”

“Ayolah kita turun ke bawah,” ujar si tua Tawau ke-

pada mereka berempat seraya bangkit dari duduknya. 

Maka sebentar kemudian kelimanya telah turun kebawah dan berjalanlah mereka menuju ke arah utara.

Sementara itu, sang matahari telah tinggi. Sinar te-

riknya menerpa semua sudut pepohonan hutan dan lo-

rong-lorong kampung Lembah Sampit.

Mereka berlima telah beberapa saat menuju ke arah 

utara dan bukit-bukit batu makin kelihatan jelas dan 

bertambah dekat.

Si tua Tawau lalu menunjuk ke arah sebuah goa 

yang terdapat pada sebuah dinding bukit, dan bertepa-

tan saatnya tiba-tiba berloncatanlah lima orang berpe-

rawakan kekar dengan bersenjata mandau terhunus 

siap di tangan, dari balik batu-batu yang besar, bagai-

kan gerak seekor macan hutan lincahnya.

Hanya saja mereka serentak terkejut seketika, di 

saat mereka tahu bahwa yang datang itu adalah si tua 

Tawau. Begitu pula lima orang lagi yang muncul ke-

mudian ikut terkejut pula.

Kesepuluh orang itu serentak mengangguk hormat 

ke arah Tawau dan keempat pengikutnya yang tidak 

lain adalah Mahesa Wulung, Daeng Matoa, Pandan 

Arum dan Sandai.

“Bagaimana keadaan di sini Tagoh Hulu?” sapa si 

tua Tawau kepada pemimpin para pendekar yang ber-

jenggot dan berkumis lebat.

“Semua baik-baik saja, Bapak Tawau. Dan tak seo-

rang pun datang mengusik harta kampung Lembah 

Sampit ini,” jawab orang yang bernama Tagoh Hulu 

dengan suara yang berat.

“Bagus. Kami berlima akan mengunjungi goa itu,” 

berkata si tua Tawau, dan pemimpin para pendekar itu 

pun cepat-cepat mempersilakan mereka.

“Silakan masuk, Bapak. Kami akan menjaga di luar. 

Jika Bapak menghendaki sesuatu, beritahulah kami,” 

ujar si Tagoh Hulu pula, sementara Tawau berlima


masuk ke dalam goa.

Segala apa yang dikatakan oleh si tua Tawau tadi 

ternyata benar. Mahesa Wulung, Daeng Matoa, Pandan 

Arum serta Sandai terpesona seketika, begitu panda-

ngan mata mereka tertumbuk pada sebuah patung 

yang bercahaya putih gemerlapan, tak ubahnya cahaya 

berpuluh-puluh bintang yang menggerombol menjadi 

satu.

Sedang di sekitar tempat Patung Intan tadi berdiri, 

terdapat pula tempurung-tempurung kelapa yang beri-

si butiran-butiran intan lainnya. Memanglah goa itu 

adalah goa tempat menyimpan harta benda, kekayaan 

dari kampung kecil Lembah Sampit ini.

Patung Intan yang berwujud seorang puteri cantik 

setinggi kira-kira tiga jengkal, berdiri dengan megah-

nya di tengah ruangan goa dan merajai suasana di se-

kelilingnya.

Wajah Patung Intan itu sungguh memancarkan pe-

sona yang kuat, membuat si tua Tawau, Mahesa Wu-

lung dan lainnya terdiam bisu beberapa saat lamanya.

Dalam hati Mahesa Wulung sungguh memuji akan 

ketelitian dan ketepatan antara bentuk keseluruhan 

dari potongan tubuh yang semampai dengan wajah pa-

tung yang jelita. Pendekar muda dari Armada Demak 

ini menaruh hormat kepada si penciptanya, yakni Pan-

geran Anom dari Kerajaan Kediri.

Seandainya pangeran itu masih hidup pada saat ini, 

tak keberatanlah agaknya bila Mahesa Wulung akan 

berguru dan menjadi muridnya dalam kepandaian 

membuat patung.

Kelima orang tersebut sampai agak lama berada di 

goa harta itu. Kadang-kadang si tua Tawau menje-

laskan segala sesuatu yang ditanyakan oleh Mahesa 

Wulung ataupun yang lainnya. Mereka asyik bercakap


cakap sedang waktu tak terasa bila sang matahari te-

rus bergeser merayap ke langit sebelah barat.

Setelah cukup puas, si tua Tawau, Mahesa Wulung 

serta yang lainnya pun segera keluar meninggalkan 

goa itu lalu kembali ke arah selatan menuju ke kam-

pung Lembah Sampit yang dilingkupi oleh kelengangan 

siang.

***

TIGA



BEBERAPA HARI kemudian, tampaklah kesibukan-

kesibukan di kampung Lembah Sampit. Meskipun 

kampung ini cuma kecil saja, namun penduduknya 

cukup padat, dan mereka hari ini bekerja keras.

Beberapa orang laki-laki kelihatan baru kembali da-

ri hutan. Mereka memanggul hasil-hasil buruannya, 

seperti burung bangau, ikan-ikan yang masih segar 

dan juga buah-buahan. Sedang orang-orang perem-

puan tengah sibuk memasak makanan.

Sementara itu di tengah-tengah kampung, beberapa 

orang lainnya tampak membersihkan halaman. Di situ 

tampaklah batu-batu hitam yang datar permukaannya 

sebagai tempat duduk yang diatur berjejer menghadap 

ke utara. Di sebelah lain, anak-anak muda kelihatan 

tengah mempersiapkan hiasan-hiasan janur atau po-

hon kelapa muda.

Melihat ini semua, dapatlah dipastikan bahwa di 

kampung ini tengah diadakan persiapan pesta. Dan ini 

dapat pula didengar dari percakapan mereka yang lagi 

bekerja itu.

“Malam nanti kita pasti akan makan kenyang!” ujar salah seorang yang lagi menguliti seekor ular besar ha-

sil buruannya. “Dan siang ini saya tidak akan makan 

banyak-banyak, agar malam nanti perutku ini bisa 

menampung banyak makanan!”

“Ha, ha, ha, pantaslah kalau kau digelari si raja 

makan, sebab seleramu yang selalu lapar akan segala 

makanan!” ujar seorang teman di sampingnya seraya 

tertawa geli.

“Habis, itulah kesempatan yang baik buatku. Kalau 

tidak ada pengangkatan seorang pahlawan, belum ten-

tu ada masakan-masakan selezat dan sesedap ini,” sa-

hut ‘si raja makan’ tadi sambil cuping hidungnya kem-

bang-kempis serta nyungir-nyungir menghirup bau 

masakan yang terbawa angin dari rumah sebelah ba-

rat. “Hmm, isaplah bau masakan ini. Ah, sedap benar 

rasanya!”

“Ha, ha, ha, jangan kuatir. Perempuan-perempuan 

kita akan memasak makanan yang paling enak dan 

kau tak perlu cemas kehabisan masakannya,” sam-

bung seorang teman lain yang bertubuh jangkung. 

“Tapi jangan lupa ini semua adalah berkat jasa-jasa 

Pendekar Mahesa Wulung dan teman-temannya, yang 

telah membebaskan kampung kita dari keganasan 

orang-orang Kapal Hantu!”

“Benar. Dengan begitu, di kampung ini akan ada ti-

ga pendekar utama, yakni Pendekar Seguntur, Tagoh 

Hulu, dan Mahesa Wulung,” berkata si tukang makan.

“Hah, pasti akan hebat! Aku kuatir Pendekar Se-

guntur akan tidak senang oleh pengangkatan Mahesa 

Wulung menjadi pendekar utama yang ketiga!” kembali 

si jangkung berkata. “Mudah-mudahan pesta malam 

nanti akan lancar dan tidak ada kesulitan apa-apa.”

“Ah, kau berpikir yang tidak-tidak!” sahut si tukang 

makan tadi dengan nada cemas. “Siapa yang mengharap ada kesulitan datang di tengah-tengah pesta kita?”

“Haai, ayo kembali bekerja, biar lekas selesai. Dan 

nanti malamlah kita lanjutkan percakapan ini sepuas-

nya,” sambung seorang lainnya dan mereka pun lalu 

memotong percakapannya serta kembali bekerja.

Demikianlah orang-orang Kampung Lembah Sampit 

tadi bekerja dengan giatnya mempersiapkan pesta ma-

lam nanti. Mereka seolah-olah tak sabar untuk menan-

ti malam yang bakal tiba ini.

Maka ketika malam pun mulai menjelang, halaman 

di tengah-tengah kampung tadi telah bersih serta ter-

hias indah. Orang-orang pun, penduduk dari kampung 

Lembah Sampit, berduyun-duyun berkumpul di tem-

pat tersebut.

Pada kursi-kursi batu, duduklah si tua Tawau, Ma-

hesa Wulung, Daeng Matoa, Pandan Arum, para orang-

orang tua dan lain-lainnya. Pendekar Seguntur pun 

ada pula di situ. Ia duduk bersama-sama para prajurit.

Udara malam itu sangat nyaman terasa, dan langit 

yang terang serta bersih dihiasi oleh sang purnama 

yang bulat penuh dengan warna peraknya, sedang di 

sekelilingnya ribuan bintang berkelip-kelip bertaburan 

sangat indah.

Sejurus kemudian terdengar pula bunyi-bunyian di-

tabuh orang. Suaranya merdu mengalun di udara ma-

lam itu, menyusuri sudut-sudut kampung dan pepo-

honan. Beberapa obor serta api unggun terpasang pa-

da tempat-tempat yang strategis, dimana cahaya dan 

sinar apinya dapat menerangi halaman yang telah pe-

nuh sesak oleh manusia-manusia.

***

SUARA hiruk-pikuk dan keriuhan tiba-tiba saja me-

reda lalu akhirnya hilang sama sekali, sebab mereka


melihat kepala kampungnya, yaitu si tua Tawau berdiri 

serta mengacungkan tangannya ke depan sambil ber-

kata. “Saudara-saudaraku semua, segenap warga 

kampung Lembah Sampit ini. Ketahuilah bahwa ma-

lam ini kita berkumpul di sini untuk mengadakan pes-

ta selamatan atas terlepasnya kampung kita dari an-

caman gerombolan Kapal Hantu yang telah sekian la-

manya selalu mengganggu ketentraman kita. Kedua 

kalinya, kita malam ini akan mengangkat Mahesa Wu-

lung, tamu kita dari seberang, untuk menjadi pen-

dekar utama yang ketiga dari Lembah Sampit ini.”

Demikian antara lain kata-kata pertama dari si tua 

Tawau, sementara dalam waktu yang bersamaan, Ma-

hesa Wulung menjadi berdebar-debar hatinya.

Ia tidak mengira sama sekali jika bakal mendapat 

kehormatan yang begitu besar, dan sebenarnya hal ini 

pulalah yang membuat hatinya kerepotan.

Kalau saja ia bukan seorang tamu serta kenalan ba-

ru dari orang-orang ini, pasti ia akan menolak jika di-

elu-elukan sedemikian besarnya. Dasar memang Ma-

hesa Wulung bukan termasuk golongan orang yang 

suka ditonjol-tonjolkan jasa serta keperwiraannya, ma-

ka pengangkatan itu terpaksa akan diterimanya de-

ngan hati yang berat, hal itu hanya diterimanya de-

ngan maksud untuk menjaga perasaan serta kebaikan 

orang-orang ini di dalam pergaulan selanjutnya.

Terlebih pula Mahesa Wulung sebenarnya menaruh 

rasa cemas dengan pengangkatan itu, sebab ia mendu-

ga akan terjadi apa-apa dalam pesta malam ini. Na-

luriahnya yang tajam seakan-akan telah memperin-

gatkan dirinya agar berlaku lebih hati-hati sekarang.

Oleh peringatan naluriahnya tadi, Mahesa Wulung 

seperti digerakkan oleh satu kekuatan dalam yang 

kuat dan di saat ia melirik ke arah pendekar Seguntur,


dadanya bagai terguncang oleh gempa hebat. Di situ ia 

melihat betapa sinar mata Seguntur menatap ke arah 

dirinya dengan tajam.

Untunglah Mahesa Wulung lebih cepat menguasai 

perasaannya, sehingga kagetnya itu tidaklah nampak 

benar oleh siapa pun, lebih-lebih oleh Seguntur sen-

diri.

Kemudian tibalah saat yang mereka tunggu-tunggu. 

Segenap mata lalu diarahkan kepada si tua Tawau 

yang menjunjung pada kedua belah telapak tangan-

nya, sebuah senjata mandau dengan sarungnya yang 

berukir indah, terhias pula dengan gigi-gigi binatang 

dan rambut atau bulu-bulu yang berumbai panjang 

keputihan warnanya.

Oleh seorang tua lainnya, Mahesa Wulung dipersi-

lakan tampil ke depan dan menerima senjata mandau 

tersebut diiringi oleh mulut si tua Tawau yang bergu-

mam mengucapkan doa atau puji-pujian yang sukar 

dimengerti oleh Mahesa Wulung. Tambahan lagi suara-

nya hanyalah bergumam di dalam mulut saja.

Setelah Mahesa Wulung memegang mandau tadi, ia 

pun mengucapkan janji yang diulang dari kata-kata si 

tua Tawau.

“Dengan menerima pusaka ini, saya berarti telah di-

angkat sebagai pendekar utama dan menjadi anggota 

keluarga Lembah Sampit, serta berjanji untuk mengu-

tamakan kebenaran dan keadilan serta menentang ke-

jahatan dan tindak angkara murka.”

Mahesa Wulung mengucapkan kata-kata dengan 

nada bergetar. Sedang Pandan Arum yang ikut me-

nyaksikan upacara tersebut bersama orang-orang 

lainnya, tahu-tahu telah melelehkan air mata keha-

ruan bercampur rasa bangga bahwa kekasihnya telah 

mendapat julukan pendekar utama Lembah Sampit.


Upacara tadi telah selesai dan Mahesa Wulung telah 

duduk di tempat semula. Bermacam-macam hidangan 

yang sedap-sedap telah dihidangkan, sementara bebe-

rapa orang pemuda menarikan tari perang dengan 

membawa perisai panjang atau telabang di tangan kiri 

dan sebilah senjata mandau terhunus tergenggam pa-

da tangan kanannya.

Para penari tadi bergerak dengan lincahnya dan ge-

sit. Kilatan-kilatan pedang mandau yang dimainkan 

dalam tataran yang cukup sempurna membuat penon-

ton pada kagum karenanya. Kadang-kadang dengan 

gerak yang berbareng, senjata-senjata tadi menyambar 

serta menebas ke atas, hingga menyebabkan suara 

berdesing dan di lain saat mereka menukik ke bawah 

bersama.

Tarian perang ini berlangsung cukup lama, namun 

selalu memikat para penonton, dan memang, para pe-

nari tadi melakukan segala geraknya dengan sungguh-

sungguh. Mereka tidak semata-mata memperlihatkan 

bahwa mereka hanya menari, tetapi lebih dari itu. Pe-

muda-pemuda tersebut seolah-olah tengah menghada-

pi musuh yang sebenarnya, sehingga gerak-gerik me-

reka dalam menangkis dan menyerang sangat hebat-

nya.

Pendekar Seguntur yang tengah menatap tarian pe-

rang tadi tidak sepenuhnya tertarik hatinya, sebab 

saat itu ia tengah mengawasi Mahesa Wulung dengan 

sorot mata yang tajam. Nafsu amarah dan iri dalam 

dadanya terhadap Mahesa Wulung, masih belum me-

reda sampai saat ini.

Dan memang rupanya Seguntur kurang tahan ter-

hadap luapan nafsu dendam yang kini melonjak-lonjak 

dalam dadanya. Sesungguhnya celakalah manusia yang 

mudah diperhamba oleh nafsunya, sebab jika sudah


demikian, manusia akan kehilangan kesadarannya.

Begitulah pula dengan Seguntur tadi. Bersamaan 

makin kerasnya irama genderang dipalu, yang menim-

bulkan irama, memukau dan penuh pesona, pendekar 

Seguntur tiba-tiba saja melesat dengan sigapnya ke 

tengah-tengah para penari tersebut sambil menghunus 

pedang mandaunya serta memegang sebuah perisai 

panjang atau telabang di tangan kiri.

Hampir semua mulut penonton melontarkan teria-

kan kecil kagum oleh kesigapan Seguntur, tetapi tidak-

lah demikian dengan Mahesa Wulung. Hatinya berdesir 

melihat Seguntur tadi.

Pendekar itu lalu turut menari bersama para pemu-

da lainnya. Gerakannya lebih lincah dari para penari 

tersebut, tetapi juga lebih garang, menyebabkan mere-

ka menjauh dari gerakan Seguntur. Agaknya mereka 

takut kalau-kalau terkena tebasan pedang mandau 

Seguntur yang berseliweran bagai sambaran-sambaran 

seekor ular memburu mangsa.

Malahan lama-kelamaan para penari muda tadi se-

gera menghentikan tariannya lalu mereka berdiri di te-

pi bersama para penonton lainnya. Kini mereka malah 

menjadi penonton dari tarian pendekar Seguntur.

Apa yang dicemaskan oleh Mahesa Wulung rupanya 

menjadi kenyataan juga. Tarian perang Seguntur ak-

hirnya mendekati ke arah Mahesa Wulung berada, dan 

tiba-tiba saja pedang mandaunya tadi menyambar ke 

arah ujung kepala Mahesa Wulung.

Wess!

Suara berdesing dibarengi oleh jeritan melengking 

dari penonton, memenuhi udara malam yang dingin 

dan pekat. Mereka sudah dapat membayangkan bila 

kepala Mahesa Wulung yang berharga dan cuma satu 

itu akan terpenggal dan jatuh menggelinding di tanah!


Pekik para penonton terdengar.

Namun mereka kemudian menarik nafas panjang 

bila sekonyong-konyong dalam waktu yang singkat Ma-

hesa Wulung mengegoskan kepalanya seraya berpaling 

ke arah Pandan Arum dengan tersenyum. Pedang man-

dau Seguntur cuma menebas udara kosong belaka!

Si tua Tawau cepat berteriak lantang, “Seguntur, 

apa maksudmu berlaku demikian?”

“Maaf, Tawau yang terhormat. Itu adalah sekadar 

tanda perkenalan dari Seguntur untuk menyambut 

pemberian gelar Pendekar Utama Lembah Sampit yang 

ketiga. Dan sekarang, seperti kebiasaan di sini, aku 

akan meminta pendekar yang baru ini untuk bermain-

main denganku di gelanggang!” teriak Seguntur sambil 

mengacung-acungkan pedang mandaunya ke arah Ma-

hesa Wulung.

Si tua Tawau jadi terkejut kaget oleh kata-kata Se-

guntur, sebab ia pun lalu sadar bahwa sebagai Pen-

dekar Utama yang pertama, Seguntur berhak mencoba 

keperwiraan Pendekar Utama yang kedua, ketiga dan 

seterusnya.

“Seguntur! Bukannya aku tak menyetujui maksud-

mu itu, tetapi aku rasa saat ini bukanlah saat yang te-

pat untuk mengukur keperwiraan antara kalian ber-

dua.”

“Ha, ha, ha, ha. Ketua Tawau yang terhormat. Ke-

perwiraan seseorang tidaklah tergantung oleh sesuatu 

keadaan atau peristiwa yang tengah berlangsung. Ma-

ka janganlah Tawau yang terhormat menghalang-

halangi maksudku.”

Hampir-hampir Mahesa Wulung meledak amarah-

nya demi mendengar ucapan Seguntur. Tangannya 

yang masih menggenggam sebilah pedang mandau 

pemberian si tua Tawau tadi, seakan-akan telah gatal


untuk menyambut senjata itu untuk melayani tanta-

ngan Seguntur. Tapi untunglah bahwa ia cepat-cepat 

mengendalikan perasaannya serta menarik nafas pan-

jang hingga rasa amarah tadi seketika mereda.

“Ayo, Mahesa Wulung, apa yang kau tunggu lagi!” 

teriak Seguntur keras-keras membuat setiap dada ma-

nusia yang berada di halaman itu terguncang bagai di-

hempas gempa bumi.

“Buktikan bahwa Anda patut memperoleh gelar Pen-

dekar Utama Lembah Sampit yang ketiga!”

Berganti-ganti pandangan mata para penonton ke 

arah Seguntur dan Mahesa Wulung seolah-olah tengah 

menantikan dua ekor jago yang hendak bertarung!

Dalam pada itu Mahesa Wulung merasa bahwa le-

ngannya dijentik oleh jari si tua Tawau sambil berkata 

perlahan, “Jangan kau layani tantangan itu, Tuan Ma-

hesa Wulung. Dia sangat berbahaya dan ganas, sega-

nas tarian yang telah dilakukannya tadi!”

“Betul, Bapak,” jawab Mahesa Wulung. “Tapi ini 

adalah soal kehormatan. Ia telah menantang diriku 

dan aku harus melayaninya. Sebab jika tidak, maka 

kehormatan diriku dan juga kehormatan Bapak serta 

nama kampung Lembah Sampit ini akan menjadi ru-

sak karenanya!”

“Hmm, benar juga kata-kata Andika,” sambung Ta-

wau seraya mengangguk-angguk penuh pengertian. 

“Tapi aku kuatir kalau menimbulkan korban, dan ju-

stru hal itulah yang tidak aku kehendaki!”

“Bapak tak perlu cemas akan hal itu. Biarlah aku 

menuruti kehendak Seguntur untuk sekadar memua-

skan hatinya. Namun aku berjanji tidak akan ada kor-

ban yang jatuh,” ujar Mahesa Wulung pelan.

Sekali lagi si tua Tawau mengangguk penuh keper-

cayaan kepada Mahesa Wulung dan berkatalah kemba


li orang tua ini, “Baiklah kalau begitu. Aku menaruh 

kepercayaan kepada Andika sepenuhnya dan pakailah 

pula pedang mandau pemberianku tadi untuk meng-

hadapi Seguntur!”

“Cepat, pendekar baru! Aku telah siap untuk men-

cobamu, dan jika engkau kalah, jangan harap nama 

gelar Pendekar Utama Lembah Sampit akan tetap 

menghias dadamu!”

Mahesa Wulung tidak terlalu lama untuk membiar-

kan Seguntur lebih banyak mengumbar suara. Maka 

dengan sebatnya ia melenting dan mendarat di tengah 

arena dalam sikap yang penuh siaga, dan sebilah pe-

dang mandau tergenggam di tangan kiri.

“Weh, bagus! bagus! Satu pameran yang menga-

gumkan bagi anak-anak kecil! Sekarang terimalah ini!” 

seru Seguntur seraya menebaskan pedang mandaunya 

ke arah lambung lawannya.

Traaang!

Seguntur kaget setengah mati, bagai melihat halilin-

tar menyambar ke arahnya, sebab tahu-tahu pedang 

mandau Mahesa Wulung telah terhunus dan berhasil 

menangkis sabetan senjatanya.

Dengan begitu tahulah ia, betapa Mahesa Wulung 

telah begitu cepatnya melolos pedang mandaunya serta 

menangkis serangannya.

“Keparat! Setan apa yang membantu gerakannya,” 

terdengar Seguntur mengumpat lirih.

Sebaliknya, Mahesa Wulung pun dibikin terkejut 

oleh kenyataan yang ditemuinya. Ketika ia berhasil me-

nangkis serangan pedang mandau Seguntur, terasalah 

rasa pedih bercampur panas merayapi sekujur tangan 

kanannya dan hampir-hampir saja ia melepaskan sen-

jata yang tergenggam di tangan kanannya.

Kesadaran Mahesa Wulung terbuka oleh hal ini dania tahu bila kekuatan Seguntur ternyata cukup hebat. 

Maka tak kelirulah kalau ia terpilih sebagai Pendekar 

Utama Lembah Sampit yang pertama.

Tiba-tiba Mahesa Wulung mengangkat dahinya, se-

bab sebuah pikiran yang bagus telah timbul di dalam 

benaknya.

“Mmmm, biarlah aku akan berpura-pura kalah ter-

lebih dulu kepada Pendekar Seguntur ini. Tetapi ke-

mudian aku akan membalasnya. Seguntur harus kuin-

safkan terhadap kesesatan sikapnya!” Maka segera ia 

pun menyambut serangan beruntun dari Pendekar Se-

guntur yang datangnya bagai angin puyuh, silih ber-

ganti.

Sebentar itu pula terjadilah pertempuran seru di ge-

langgang, di tengah-tengah halaman kampung yang 

penuh sesak oleh pagar manusia berjejal.

Ketika pertempuran itu semakin hebat, para penon-

ton ikut merasa gentar, dan secara tidak sadar mereka 

mundur ke belakang hingga lingkaran manusia itu 

pun menjadi semakin meluas.

Mahesa Wulung terus menangkis serangan-sera-

ngan Pendekar Seguntur dengan baiknya, hingga la-

wannya ini menjadi semakin beringasan karena ma-

rahnya.

Ketika pertempuran itu telah mencapai jurus yang 

ketiga puluh lima, Mahesa Wulung merasa telah tiba 

waktunya untuk memberi hati kepada Seguntur. Maka 

ketika pedang mandau Seguntur menebas ke arah pe-

dang mandau di tangannya, Mahesa Wulung pura-

pura kesakitan dan membiarkan senjatanya terlontar 

dari tangannya.

Traaang!

Dengan demikian seolah-olah yang tampak adalah 

Pendekar Seguntur berhasil memukul lepas pedang


mandau Mahesa Wulung.

Pandan Arum yang dari tadi menyaksikan pertem-

puran itu serentak berteriak saking ngeri dan cemas-

nya. Apalagi Seguntur seketika tertawa terkekeh-kekeh 

kesenangan.

“Hua, ha, ha, ha. Pendekar nomor tiga, tak kukira 

bahwa tenagamu cuma sampai di situ. Tapi kali ini 

aku tak akan memberi ampun lagi. Kau harus meng-

hadapi pedang mandauku ini!” teriak Seguntur dengan 

ganasnya seraya mengobat-abitkan senjatanya.

Tetapi Mahesa Wulung sekali lagi ingin menambah-

kan meriahnya pertarungan ini. Yah, bukankah ia ma-

sih memiliki sebilah pedang yang tergantung di ping-

gang kirinya? Lalu ia secepat kilat menghunus senjata 

tadi dan menyerang kembali ke arah Seguntur. Perta-

rungan kembali berlangsung seru, tetapi hanyalah 

mencapai beberapa jurus saja, sebab kembali Mahesa 

Wulung membiarkan pedangnya tersampok lepas oleh 

benturan pedang mandau Seguntur.

Keruan saja Pendekar Seguntur makin bertambah 

senang oleh hal itu. Dikiranya bahwa pukulan pedang-

nya benar-benar berhasil merontokkan senjata lawan.

“Hah, ha, ha, ha, ha. Mahesa Wulung! Nah, seka-

rang terbukti bahwa pilihan ketua Tawau adalah keli-

ru. Kau ternyata tak mampu melayani permainan pe-

dangku ini!” seru pendekar Seguntur lantang. “Hayo, 

sekarang buktikanlah bahwa kau lebih hebat dari Se-

guntur ini!”

“Hemm, sebenarnya aku tak suka mencari gara-

gara dengan Anda!” sahut Mahesa Wulung. “Tapi agak-

nya kamu berkeras kepala untuk mengukur tenaga 

dengan aku!”

“Hah, rupanya kau terlalu takut dengan senjata 

mandauku ini, Mahesa Wulung!” teriak pendekar Seguntur. “Tapi tak apalah. Kau boleh pilih semaumu. 

Apakah kepalamu yang aku pisahkan, atau dadamu 

yang terbelah menjadi dua?!”

“Terserahlah apa maumu. Tapi ingat, manusia tidak 

harus saling membunuh untuk menyelesaikan persoa-

lan ataupun urusannya!”

“Heh, ternyata kau pandai mengoceh pula, keparat! 

Laki-laki harus pula berbicara dengan senjata anda-

lannya. Dan kini kau tahu? Kedua senjatamu telah 

berhasil aku pukul rontok. Sekarang kau harus mera-

sakan ketajaman pedang mandauku ini! Hiyaaaat!”

Dengan satu loncatan yang sigap dan secepat elang 

menyambar mangsanya, Seguntur seketika melesat ke 

arah Mahesa Wulung dengan ujung senjatanya siap 

melubangi dada lawannya.

Pekik ketakutan terdengar dari mulut para penon-

ton. Tapi belum lagi selesai, mereka terpekik pula se-

kali lagi. Kali ini adalah pekik kekaguman, sebab tanpa 

berkisar jauh dari tempatnya, Mahesa Wulung cuma 

memutar separuh lingkaran kaki kirinya ke belakang 

sambil mencondongkan badannya ke kanan. Dengan 

begitu pedang mandau Seguntur meleset tanpa sasa-

ran.

Bersamaan itu pula, ketika tubuh Seguntur terdo-

rong ke depan oleh gaya beratnya sendiri, tiba-tiba ka-

ki kiri Mahesa Wulung beraksi. Dengan sebuah gera-

kan yang manis tapi cepat, kaki Mahesa Wulung ber-

hasil mengait kaki Seguntur dan seketika tanpa berke-

sempatan apa-apa tubuh Seguntur terjerembab jatuh 

ke tanah dan perisainya terlepas dari tangan kirinya.

“Kurang ajar. Kau bertingkah pula!” seru Seguntur 

seraya bangkit, sedang mukanya yang penuh tanah itu 

membayangkan kemarahannya yang meluap-luap.

Sekali lagi Pendekar Seguntur bersiap, dan kembali


pedang mandaunya menebas ke arah lambung lawan-

nya disertai suara berdesing. Meskipun demikian, Ma-

hesa Wulung menjejakkan kedua kakinya ke tanah, 

disusul tubuhnya melesat ke depan melewati kepala 

Seguntur lalu mendarat di belakang tubuh lawannya.

Seguntur sama sekali tidak berputus asa oleh hal 

itu, maka tanpa menunggu waktu lagi, secepatnya ia 

memutar tubuhnya ke belakang bersamaan mandau-

nya menyambar ke perut lawan.

Untunglah Mahesa Wulung selalu waspada oleh se-

rangan tak terduga tadi. Dengan tenang ia menge-

goskan tubuhnya sedikit ke samping dan kemudian si-

si telapak tangannya berayun secepat angin bertiup 

serta mendarat dengan tepat ke punggung Seguntur.

Bluuuk!

“Eaakh!”

Tubuh Seguntur terpelanting, dan roboh ke tanah 

ketika pukulan sisi telapak tangan Mahesa Wulung te-

rasa olehnya bagai runtuhan gunung karang yang me-

landa punggungnya. Akan tetapi Mahesa Wulung ganti 

terkejut bila ternyata Pendekar Seguntur berdiri kem-

bali meskipun dengan sempoyongan. Mandaunya 

kembali bersiap untuk menyerang.

Tahulah Mahesa Wulung bahwa Seguntur mempu-

nyai kekuatan yang luar biasa. Maka ia lebih berwas-

pada, biarpun tampaknya tubuh Seguntur bersem-

poyongan menuju ke arahnya.

Sedang sebaliknya, Seguntur pun merasa kagum 

oleh keperwiraan lawannya. Beberapa serangan maut-

nya telah gagal menemui sasarannya. Tak heranlah bi-

la marahnya semakin bertambah meluap. Kendatipun 

tubuhnya terasa sakit-sakit dan masih sempoyongan, 

Seguntur lalu mengatur nafasnya sebelum ia melan-

carkan serangan berikutnya.


Melihat ini Mahesa Wulung berdebar hatinya. Ia lalu 

teringat oleh janji ataupun permintaan si tua Tawau 

agar pertarungan ini tidak membawa korban, lebih-

lebih kematian.

Itulah sebabnya Mahesa Wulung cepat bersiaga 

memasang kuda-kudanya, sehingga berbareng Segun-

tur melancarkan tebasan pedang mandaunya, ia kem-

bali berkelit ke sebelah dan kedua tangannya bertin-

dak cepat!

Sisi telapak tangan kiri Mahesa Wulung menghajar 

pergelangan tangan kanan Seguntur yang memegang 

senjata, sedang tangan kanannya menotok sisi leher 

kiri Seguntur.

Apa yang terlihat kemudian sungguh mengejutkan 

para penonton. Pertama-tama senjata Seguntur terpe-

lanting lepas dan tercampak ke tanah, kemudian tu-

buhnya bergetar seolah-olah tengah melawan sesuatu 

yang sedang mencengkam tubuhnya.

Meskipun kedua sorot matanya masih memancar 

amarah dan dendam, tapi Seguntur tak mampu meng-

gerakkan tubuhnya sama sekali. Rasanya tubuhnya 

seperti tak bertulang sama sekali dan akhirnya rebah-

lah ia ke tanah laksana selembar kain jatuh dari sam-

piran dan teronggok di tanah.

Mahesa Wulung masih berdiri di tempatnya, ketika 

Seguntur menyumpah-nyumpah dengan kata-kata ta-

jam.

“Keparat! Mengapa aku tak kau bunuh sekali, hah?! 

Kau mau membikin malu kepadaku?!”

“Dari semula sudah aku katakan bahwa aku tak 

menginginkan perselisihan disini!” ujar Mahesa Wu-

lung dengan tenang dan berwibawa. “Tapi Anda me-

maksa juga.”

Si tua Tawau segera masuk ke tengah arena tersebut disertai beberapa orang pemuda, lalu mendekati 

Mahesa Wulung.

“Ah, Tuan telah menepati janji dan berlaku bijak-

sana!” ujar Tawau kepada Mahesa Wulung. “Dan aku 

mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada 

Anda!”

Mahesa Wulung mengangguk hormat kepada Tawau 

dan sejurus kemudian orang tua itupun memerintah-

kan para pemuda tadi untuk memapak tubuh Segun-

tur untuk dibawa ke rumahnya.

“Bapak,” ujar Mahesa Wulung kepada Tawau, “aku 

menyesal atas kejadian tadi.”

“Hmm, tak apalah. Sebab kesalahan itu justru terle-

tak di tangan Seguntur. Aku lihat ia betul-betul ber-

nafsu sekali untuk membunuh Anda,” jawab si tua 

Tawau.

Sampai mereka kembali ke tempat duduk masing-

masing di sebelah tepi bersama para penonton lainnya, 

pesta itu masih berjalan beberapa saat, tapi tak lama 

kemudian selesailah sudah. Mereka kembali ke rumah 

masing-masing dengan sebuah kenangan terhebat bagi 

dirinya, sebab mereka dapat melihat satu pertarungan 

seru dan berakhir dengan kekalahan Seguntur. Hal in-

ilah yang membuat mereka terheran kagum. Setahu 

mereka, Seguntur adalah Pendekar Utama Lembah 

Sampit yang tak terkalahkan selama ini, tapi ternyata 

telah dirobohkan oleh Mahesa Wulung tanpa menggu-

nakan senjata apa pun, kecuali dengan jari-jari ta-

ngannya belaka.

Malam pun semakin larut dan alam seolah-olah di-

peluk oleh kebekuan serta kesunyian. Semuanya se-

perti tertidur lelap di bawah asuhan sang purnama

yang setia memancarkan sinar peraknya.

***


EMPAT


SEJAK KEJADIAN dikalahkannya Seguntur oleh 

Mahesa Wulung dengan tangan kosong, terasalah pe-

rubahan pada diri Seguntur. Telah beberapa hari ia ti-

dak muncul di tengah-tengah penduduk atau mengo-

brol bersama mereka. Ia lebih suka menyendiri ke 

tempat-tempat terpencil untuk melatih permainan pe-

dang mandaunya.

Dendam hatinya terhadap Mahesa Wulung masih 

belum padam, meski tidak lagi sepanas yang dahulu. 

Kalau saja ia mau mengakui secara jujur, sudah se-

pantasnya bila dirinya berterima kasih kepada Pende-

kar Utama yang ketiga itu.

Bukankah ia yang menyembuhkan kembali dari ke-

lumpuhan akibat totokan jalan darah itu. Juga mes-

kipun ia terkalahkan dan seharusnya mati di tangan 

Mahesa Wulung, tapi toh pendekar itu tak mau mela-

kukannya?

Tetapi sekali lagi manusia akan tetap manusia. 

Dendam hati yang membuta sering menutupi kebe-

ningan hatinya. Demikian pula dengan Seguntur tak 

terkecuali dalam hal ini. Ia tak punya lagi pertim-

bangan-pertimbangan sehat terhadap kejadian atau 

keadaan yang tengah dialaminya. Baginya ia merasa 

kalau orang-orang telah menyingkirinya.

Kalau semula setiap orang merasa takut kepadanya, 

dan semua kehendaknya hampir selalu terpenuhi, te-

tapi kini tidaklah begitu lagi. Dan ini semua adalah 

akibat kekalahannya terhadap Mahesa Wulung di ge-

langgang pertarungan. Maka tak terhitunglah dendam 

dan kemarahannya yang tertimbun bertumpuk-

tumpuk di dalam relung hatinya.


Terhadap itu semua Mahesa Wulung pun telah 

maklum. Itulah sebabnya ia pun menjauhi terhadap 

kemungkinan bertemu dengan Seguntur. Bukannya 

karena ia takut, tetapi ia menjaga agar tidak menam-

bah keparahan luka hati Seguntur akibat kekalahan-

nya.

Begitulah kedua manusia ini selalu saling menghin-

dari dan menjauhi tak ubahnya bagai minyak dan air 

yang sukar bersatu.

Sebenarnya Mahesa Wulung merasa senang tinggal 

di kampung Lembah Sampit ini. Selain penduduknya 

ramah juga alamnya sangat indah dan menarik. Di se-

belah utara orang dapat menikmati tanah pegunungan 

yang biru kehijauan membayangi bagai tembok-

tembok raksasa, sedang di sebelah barat, selatan, dan 

timur, hutan-hutan belantara memagari dengan ra-

patnya. Alam sungguh-sungguh tenang kelihatannya.

Namun pada suatu hari, ketenangan kampung Lem-

bah Sampit terpecahkan oleh suatu peristiwa yang luar 

biasa. Siang itu ketika Mahesa Wulung, Daeng Matoa 

dan Pandan Arum tengah duduk-duduk di halaman 

dekat tangga rumahnya, tiba-tiba mereka melihat gadis 

Sandai berlari-lari dari arah utara dan langsung me-

nuju ke arah mereka.

“Tuan..., Tuan Mahesa Wulung!” berseru Sandai se-

tengah tergagap-gagap. “Ketua Tawau memanggil Anda 

untuk datang ke utara kampung... ada bencana....”

Tanpa bertanya lagi, ketiga orang itu segera bangkit 

oleh kata-kata Sandai tadi dan mereka pun berlonca-

tan mengikuti Sandai ke arah utara.

Disana terlihatlah beberapa orang mengerumuni se-

sosok tubuh yang tergeletak di tanah sedang kepala-

nya dipangku oleh si tua Tawau. Keruan saja Mahesa 

Wulung terkejut melihat pemandangan itu, maka di


percepatlah larinya hingga ia lebih dulu tiba di tempat 

tersebut dan apa yang dilihatnya kemudian membuat 

Mahesa Wulung terhenyak. Di situ tergeletaklah tubuh 

Tagoh Hulu, yakni pendekar Utama Lembah Sampit 

kedua yang telah dikenalnya sebagai pemimpin para 

penjaga goa harta di bukit sebelah utara.

“Oh, mengapa ia sampai terluka parah begitu, Ba-

pak!” bertanya Mahesa Wulung kepada si tua Tawau.

“Kabar buruk, Tuan,” ujar Tawau. “Tagoh Hulu be-

serta kesembilan anak buahnya telah diserbu segerom-

bolan orang dan dihajar habis-habisan. Hanya dialah 

yang sempat menyelamatkan diri dan lainnya entah 

bagaimana. Mungkin mereka binasa.”

“Diserbu?!” desis Mahesa Wulung kaget. “Lalu apa 

yang mereka cari sampai menyerbu tempat itu?!”

“Patung Intan! Ia telah lenyap! Patung berharga itu 

telah digondol kabur oleh orang-orang tersebut!” seru 

si tua Tawau dengan wajah yang membayangkan ke-

cemasan. “Celakalah kalau sampai tak dapat kita te-

mukan kembali, sebab patung itu adalah lambang ke-

kayaan dan kemegahan kampung ini!”

“Jangan kuatir, Bapak. Kami akan turut membantu 

mengembalikan patung itu,” ujar Mahesa Wulung.

“Terima kasih. Terima kasih,” berkata Tawau de-

ngan lega. “Tapi lebih dulu kita harus membawa dan 

mengobati Tagoh Hulu ke kampung!”

“Sebentar, Bapak. Tunggulah!” Mahesa Wulung ber-

kata seraya memandang ke arah Pandan Arum. “Aku

rasa Adi Pandan ada menyimpan sekantong obat-oba-

tan pemberian Bibi Sumekar. Bukankah begitu, Adi?”

“Eh, yah, yah. Hampir saja aku terlupa,” kata Pan-

dan Arum seraya melolos kantong kain putih dari balik 

bajunya. Tak lama kemudian diambilnyalah sebutir 

benda bulat hijau kehitaman dari dalam kantong kain


putih tersebut serta diberikannya kepada Mahesa Wu-

lung. “Berikanlah obat ini kepada Tagoh Hulu, Kakang. 

Kekuatannya akan pulih kembali serta mencegah agar 

darahnya tidak terlalu banyak keluar.”

Mahesa Wulung segera menerima butiran obat tadi 

lalu diberikannya kepada Tagoh Hulu sambil berkata, 

“Telan obat ini, Tagoh Hulu, agar kekuatanmu pulih 

kembali.”

Tagoh Hulu mengangguk penuh pengertian seraya 

membuka mulutnya dan dengan senang diterimalah 

butiran obat tersebut lalu ditelannya sekali.

Sementara itu beberapa orang kampung lainnya 

yang rupanya telah mendengar hal itu, segera ber-

datangan pula ke tempat tersebut. Si tua Tawau lalu 

meminta beberapa orang untuk menggotong tubuh Ta-

goh Hulu kembali ke kampung Lembah Sampit, guna 

mendapatkan perawatan-perawatan selanjutnya.

“Tuan Mahesa Wulung,” ujar Tawau berikutnya, 

“marilah kita cepat-cepat pergi ke goa harta itu. Kami 

lekas-lekas ingin tahu keadaan di sana.”

“Baik, Bapak,” kata Mahesa Wulung yang tengah 

memberi petunjuk-petunjuk kepada beberapa orang 

penjaga kampung.

Sebanyak lima orang telah bersiap untuk mengawal 

perjalanan ke utara menuju ke goa harta. Sedang si-

sanya disuruh oleh Tawau agar kembali ke kampung, 

menjaga keamanan di sana.

Sebentar kemudian terlihatlah iring-iringan manu-

sia berjalan ke arah utara menuju ke bukit-bukit batu. 

Mereka adalah si tua Tawau, Mahesa Wulung, Daeng 

Matoa, Pandan Arum, Sandai dan kelima orang penja-

ga kampung.

Sepanjang jalan kecil yang tengah mereka tempuh 

itu, tampak oleh mereka titik-titik darah mengering di


tanah, batu-batu dan dedaunan. Agaknya titik-titik da-

rah tadi keluar dari luka-luka di tubuh Tagoh Hulu ke-

tika ia berjalan ke arah desa.

Tempat yang mereka tuju semakin dekat dan si tua 

Tawau kelihatan tidak sabar. Ia ingin benar menge-

tahui nasib kesembilan pengawal goa harta, anak buah 

dari Tagoh Hulu.

Sesungguhnya di dalam hati si tua Tawau ini penuh 

keheranan kalau sampai Tagoh Hulu bersama kesem-

bilan orang anak buahnya yang terbilang pendekar pi-

lihan itu dapat terkalahkan oleh orang-orang, para pe-

nyerbu yang merampas Patung Intan. Dengan begitu 

dapatlah ia membayangkan bahwa mereka adalah 

orang-orang jagoan pula. Tapi siapakah mereka itu?!

Akhirnya tibalah mereka di tempat bukit-bukit batu 

dimana goa harta itu terdapat. Yang mula-mula mem-

buat Tawau dan yang lain terkejut ialah adanya tubuh-

tubuh yang tergeletak disana-sini di depan goa harta.

Mahesa Wulung tak sabar lagi melihat pemanda-

ngan yang menyayat hati tadi. Dengan beberapa lon-

catan tibalah ia di depan goa serta cepat-cepat meme-

riksa tubuh-tubuh manusia yang berkaparan. Tak sa-

lah lagi, bahwa mereka itu adalah kesembilan anak 

buah Tagoh Hulu.

Alangkah terkejutnya Mahesa Wulung bila dari se-

bagian besar para korban itu kebanyakan terpatah-

patah tulang punggung ataupun tulang anggota badan 

lainnya. Sedang sebagian kecil terluka oleh bekas-

bekas senjata tajam.

Dari kesembilan orang tadi, hanya seorang saja 

yang masih menunjukkan tanda-tanda hidup, meski-

pun hanya mengerang-erang, sedang ke delapan lain-

nya telah benar-benar mati, tak berkutik sama sekali.

Tawau dan yang lainnya begitu tiba di depan goa


segera datang ke arah Mahesa Wulung yang tengah 

berjongkok menunggui salah seorang korban yang ma-

sih mengerang-erang tadi.

“Ia tak dapat lebih lama hidup, Bapak Tawau,” ber-

kata Mahesa Wulung dalam nada terharu. “Sayang se-

kali.”

“Aakh, mengerikan sekali kematian orang-orang 

ini,” ujar si tua Tawau. “Siapakah kiranya para pe-

nyerbu ini?”

Sementara itu si korban yang masih mengerang-

erang itu rupanya dapat mendengar akan suara si tua 

Tawau.

“Ket... ketua... Ta.. wau! Mereka merampas Patung 

Intan tadi malam,” ujar si korban dengan ucapan ter-

putus-putus. “Mereka... orang... orang... utan.... 

heeeehhh... Ini....”

Orang tersebut mengacungkan genggaman tangan 

kirinya dan ketika jari-jarinya membuka, mereka se-

mua dapat melihat adanya segumpal bulu-bulu coklat 

kehitaman.

“Oh, jadi kalian telah diserbu oleh gerombolan 

orang-orang utan? Tapi mengapa teman-temanmu ter-

luka pula oleh senjata-senjata tajam?” berkata Tawau 

dengan gugupnya.

“Orang-orang jahat... ada bersama mereka... Pe-

mimpinnya... adalah orang bermata... sebelah!” Si kor-

ban berkata-kata lagi dengan suara yang semakin le-

mah. “Aku... aku pergi sekarang... ketua Tawau... 

hehhh....”

Matilah sudah si korban tadi dengan kepala terkulai 

lemah, bagai setangkai bunga yang layu kehabisan 

daya. Si tua Tawau tak dapat berkata-kata lagi kecuali 

keharuan yang menghimpit hatinya, sedang sudut-

sudut matanya telah menitikkan air mata. Begitu pula


Mahesa Wulung dan lain-lainnya ikut terharu kare-

nanya.

“Bapak Tawau. Aku yakin bahwa perbuatan kejam 

ini dilakukan oleh Bengara dan gerombolan orang 

utannya,” ujar Mahesa Wulung. “Dan orang bermata 

sebelah yang telah disebut tadi, tidak lain adalah Si 

Mata Siji.”

“Si Mata Siji?! Yah, aku ingat sekarang! Bukankah 

dia anak buah Monyong Iblis dari Kapal Hantu!” desis 

Daeng Matoa dengan gemas. “Keparat, dia masih bisa 

selamat!”

“Hah? Masih ada pula bekas-bekas anak buah Kap-

al Hantu?” sahut si tua Tawau. “Dan mereka bersama 

Bengara telah merampas Patung Intan.”

Sesaat suasana di situ menjadi senyap tetapi tiba-

tiba Sandai berseru.

“Bapak Tawau! Tuan Mahesa Wulung! Lihatlah ke-

mari. Ada sesuatu yang sangat menarik!”

Mendengar seruan itu, Mahesa Wulung dan Tawau 

segera berloncatan ke arah gadis Sandai yang berdiri di 

dekat mulut goa. Di situ mereka mendapati sebatang 

anak sumpitan yang pangkalnya berumbai bulu ber-

warna merah menancap pada dinding goa.

Melihat itu, hati Mahesa Wulung terperanjat seke-

tika. Tiba-tiba saja ia lantas teringat dengan anak 

sumpitan yang pernah ditembakkan ke arahnya bebe-

rapa waktu yang lalu.

Namun satu hal yang lebih mengejutkan hati mere-

ka adalah selembar sobekan kain yang tertancap oleh 

anak sumpitan tadi. Mahesa Wulung segera mencabut 

anak sumpitan tersebut serta memeriksa kain tadi.

“Sebuah surat!” desis Mahesa Wulung. “Hmm, apa 

bunyinya?!”

Mahesa Wulung segera membaca surat tadi yang


berbunyi: 

Jika masih sayang akan Patung Intan, ambillah 

kembali ke Mata Air Kembar Tiga dan harus diambil 

sendiri oleh Mahesa Wulung. Kami memberi waktu se-

lama tiga hari! Dari Mata Siji.

Sehabis membaca surat itu, Mahesa Wulung meng-

geretakkan giginya sebagai pertanda rasa jengkel yang 

mengisi dadanya. Rasanya jika saat ini ia berhadapan 

muka dengan Si Mata Siji ataupun Bengara, ia sang-

gup menghajar mereka sampai lumat.

Sedang si tua Tawau yang menerima surat tadi dari 

tangan Mahesa Wulung serta membacanya sekali, se-

ketika menjadi terperanjat sekali.

“Kutukan Patung Intan!” gumam orang tua itu seca-

ra tak sadar. “Dan hanya pendekar dari seberanglah 

yang dapat menghilangkannya!”

Dalam pada itu Daeng Matoa beserta kelima orang 

penjaga desa telah selesai membuat lubang-lubang di 

tanah untuk mengubur kesembilan korban tadi, di 

tempat itu juga.

“Mereka telah gugur di tempat ini dalam menunai-

kan tugasnya. Kini biarlah mereka istirahat di tempat 

ini pula,” bergumam si tua Tawau yang berdiri di 

samping Mahesa Wulung, disusul oleh bunyi pujian 

atau mantera yang diucapkannya mengiringi upacara 

penguburan tersebut.

Kembali tempat tersebut telah dicekam oleh kebi-

suan dan kesunyian. Masing-masing masih menekuni 

para pengawal setia yang kini telah tiada lagi.

Akhirnya Mahesa Wulung membuka percakapan 

dengan sebuah pertanyaan kepada si tua Tawau.

“Bapak Tawau, adakah tempat yang bernama Mata 

Air Kembar Tiga, seperti tertulis dalam surat itu?”


“Hmmm, memang ada tempat yang bernama begitu. 

Tapi sangat terpencil dan berbahaya. Kalau dari goa ini 

berjalan lurus ke arah timur, maka kita akan menjum-

pai sebuah dataran yang cekung dan di sana terdapat-

lah tiga buah mata air yang seolah-olah berukuran 

sama, hingga orang-orang menyebutnya Mata Air 

Kembar Tiga”.

“Ke situlah tempat yang harus aku tuju untuk me-

ngambil Patung Intan kembali,” desah Mahesa Wulung.

“Jangan ke sana seorang diri, Tuan. Itu berbahaya. 

Tempat tersebut sangat asing dan mungkin sebuah je-

bakan yang dipasang untuk Tuan!” si tua Tawau ber-

kata memperingatkan Mahesa Wulung.

“Tapi Patung Intan itu harus kembali, bukan? Dan 

jika benar apa yang dikatakan oleh Kutukan Patung 

Intan itu, mungkinlah aku yang dapat menyelamatkan 

Patung Intan tersebut.”

“Mungkin benar juga perkataan Anda. Tetapi lebih 

baik kita kembali dulu ke kampung. Siapa tahu kita 

mendapat keterangan-keterangan yang lebih jelas dari 

Tagoh Hulu!” Tawau berkata lirih. “Marilah, kita pu-

lang sekarang, Tuan.”

Mahesa Wulung mengangguk kecil dan kemudian 

berjalan di sebelah Tawau menuju ke arah selatan. Di 

belakang mereka menyusul pula Daeng Matoa, Pandan 

Arum, Sandai serta kelima penjaga kampung. Lang-

kah-langkah mereka kelihatan berat, tak ubahnya 

rombongan prajurit yang kalah perang.

Suasana alam pun seakan-akan ikut berkabung 

atas kematian kesembilan anak buah Tagoh Hulu itu. 

Awan mendung berarak-arak mengalir ke utara melalui 

sang matahari yang mulai condong ke arah barat. 

Dengan begitu, pemandangan yang terang dan kegela-

pan berselang-seling oleh awan-awan tersebut.


***

TAGOH HULU telah berangsur-angsur sembuh ber-

kat rawatan yang seksama dari para dukun kampung 

ahli obat-obatan.

Dengan pengobatan yang teliti, luka-luka parah 

akibat goresan-goresan senjata tajam di tubuhnya te-

lah mengering dan merapat kembali.

Pada suatu sore, Mahesa Wulung, si tua Tawau ser-

ta Daeng Matoa mengunjungi rumah Tagoh Hulu. Me-

reka mendapat pendekar ini tengah berbaring-baring di 

lantai rumah yang beralaskan selembar kulit beruang 

hitam.

Ketika melihat ketiga orang tamu tersebut, Tagoh 

Hulu bergegas bangun untuk menyambut kedatangan 

mereka.

“Tak usah bangun, Tagoh Hulu,” ujar Tawau. “Ka-

lau badanmu belum kuat, baiknya kau berbaring saja.”

“Ah, tak apa, Bapak Ketua. Aku telah kuat berdiri, 

bahkan berjalan sedikit-sedikit aku pun telah mampu,” 

ujar Tagoh Hulu seraya duduk bersila di pembaringan-

nya.

“Syukur, syukur jika kamu telah sembuh kembali,” 

kata Tawau dengan gembira, “Untunglah, kau tidak 

terbaring terlalu lama.”

“Tetapi satu setengah hari, sudah cukup lama bagi 

saya, Bapak,” sambung Tagoh Hulu. “Rasanya aku te-

lah tertidur satu setengah tahun!”

“Saudara Tagoh Hulu,” sela Mahesa Wulung, “aku 

belum jelas tentang peristiwa perampasan Patung In-

tan itu. Apakah Anda masih ingat dengan jelas?!”

“Oh, tentang itu? Yah, aku masih ingat, Tuan. Bah-

kan selama hidupku aku tak akan melupakannya. Ma-

lam itu kami bersepuluh seperti biasanya tengah ber-

jaga-jaga. Tetapi hatiku, entah mengapa merasa tak


tenang rasanya. Menjelang tengah malam aku perin-

tahkan agar mereka lebih waspada. Apalagi aku meli-

hat gerakan yang mencurigakan dari semak-semak di 

sebelah timur. Beberapa sosok hitam bayangan aku li-

hat mengendap-endap menuju ke arah kami. Maka 

aku cepat-cepat memerintahkan agar kesembilan anak 

buahku tadi mempersiapkan senjatanya. Tetapi sa-

yang, tindakan kami agak terlambat. Sebab begitu ka-

mi selesai menyiapkan senjata, bayangan-bayangan hi-

tam tadi telah berloncatan menerjang kami dengan te-

riakan-teriakan yang memekakkan telinga.

“Dari suara teriakan-teriakan tersebut aku tahu 

bahwa mereka adalah binatang orang utan. Tetapi ma-

nusia pun ada pula bersama mereka, sebab aku meli-

hat adanya kilatan-kilatan senjata tajam yang mereka 

pegang.

“Pertempuran seru segera berlangsung di depan goa 

harta. Kami bersepuluh dengan gigih bertempur mela-

wan para penyerang tadi, namun toh jumlah mereka 

jauh lebih banyak dari kami bersepuluh dan akhirnya 

terjadilah pengeroyokan dan pengepungan terhadap 

kami.

“Kalau semula kami berusaha untuk mengusir me-

reka, tetapi keadaan tak memungkinkan. Selain mere-

ka lebih banyak, juga lebih tangkas serta berani. Apa-

lagi dengan orang-orang utan yang bertempur melawan 

kami itu. Binatang-binatang tersebut seolah-olah pan-

dai bersilat seperti manusia. Lalu tak lama kemudian, 

aku lihat beberapa orang anak buahku telah diringkus 

oleh binatang-binatang tersebut dan dipatahkan tu-

lang-belulangnya satu demi satu. Sungguh mengerikan 

dan kejam! Sedang musuhku yang bersenjata golok 

panjang dan bermata satu itu sungguh hebat gerakan-

nya. Meskipun aku mengerahkan segenap tenaga dan


ilmuku, namun tak banyak gunanya. Pada jurus yang 

keempat puluh, senjata golok panjangnya itu berhasil 

menggores sobek dadaku dan seketika aku rebah tak 

sadarkan diri. Bersamaan waktu itu aku masih sempat 

mendengar sayup-sayup teriakan dan jeritan dari mu-

lut anak buahku yang agaknya tengah dihancurkan 

oleh para penyerbu tadi. Setelah itu aku tak ingat apa-

apalagi. Semuanya gelap.

“Menjelang dini hari, aku tersadar oleh hawa embun 

yang sejuk dan memedihkan luka-luka tubuhku. Di 

sekeliling aku lihat semua anak buahku berkaparan 

disana-sini tanpa berkutik. Dengan sempoyongan, aku 

mula-mula menengok ke dalam goa dan terkejutlah 

aku, sebab Patung Intan serta barang-barang berharga 

lainnya telah lenyap.

“Karena itu aku jatuh terduduk lemas. Kehilangan 

Patung itu berarti aku kehilangan muka. Begitulah, 

aku terbaring di lantai goa itu sampai beberapa saat 

sampai tubuhku terasa kuat kembali.

Dengan berjalan sempoyongan dan kadang-kadang 

terjatuh lalu merangkak, aku terus berjalan ke arah 

selatan, menuju ke kampung Lembah Sampit ini guna 

melaporkan seluruh peristiwa tersebut. Sungguh perja-

lanan yang sulit dan membuat lukaku semakin parah 

dan melebar. Darahku pun tertetes di sepanjang jalan. 

Untunglah aku dapat sampai ke tepi utara kampung 

dan kebetulan dapat ditemukan oleh para penduduk, 

di antaranya adalah bapak Tawau sendiri. Nah, demi-

kianlah ceriteraku yang selengkapnya.” Demikian Ta-

goh Hulu mengakhiri kisah penyerangan goa harta ser-

ta hilangnya Patung intan.

“Hmm, jadi Bengara dan Si Mata Siji telah bersepa-

kat melakukan penyerangan serta perampasan Patung 

Intan itu,” gumam Mahesa Wulung. “Tapi bagaimana


kah mereka sampai dapat mengetahui tempat penyim-

panan Patung Intan tadi?”

“Yah, itu mengherankan,” sambung Tawau pula. 

“Tak mungkin orang luar kampung kita dapat menge-

tahui tempat tersebut.”

“Rahasia itu semua harus dapat kita pecahkan!” 

berkata Mahesa Wulung. “Waktu tinggal satu setengah 

hari lagi, Bapak Tawau. Apakah akan kita biarkan Pa-

tung Intan itu lenyap serta kejahatan makin merajale-

la?”

“Tentu saja tidak, Tuan. Bengara dan Si Mata Siji 

sumber dari kejahatan itu harus kita hancurkan. Tapi 

itu tidak mungkin anda lakukan seorang diri, sebab 

mereka sangat kuat dan pula korban di pihak kita te-

lah cukup banyak. Aku tak ingin jika Tuan sampai 

mendapat cedera seperti Saudara Tagoh Hulu ini.” Si 

tua Tawau berhenti sejenak serta menatap ke arah 

Mahesa Wulung dan Tagoh Hulu, kemudian berkata 

kembali, “Mereka harus kita hadapi bersama-sama, 

karena hanya dibekali persatuan kokoh serta pemusa-

tan kekuatan yang menyeluruh kita dapat menghadapi 

mereka.”

Mendengar kata-kata itu, baik Mahesa Wulung, Da-

eng Matoa, maupun Tagoh Hulu tak akan menyangkal. 

Memang mereka telah melihat dan mendengar dimana-

mana, bahwa persatuan yang kuat dapat diperguna-

kan untuk mengatasi suatu kesulitan yang betapapun 

besarnya.

Mahesa Wulung telah maklum akan hal itu. Tetapi 

rencana apakah yang terbaik untuk melawan mereka 

bersama-sama serta merebut kembali Patung Intan 

itu? Sedang waktu tinggal satu setengah hari lagi sam-

pai dengan siang ini.

Hal ini membuat Mahesa Wulung bingung memikirkannya. Sampai ia pulang dari rumah Tagoh Hulu, 

persoalan tadi masih belum terpecahkan oleh otaknya.

Sampai malam telah menjelang Mahesa Wulung be-

lum dapat memejamkan mata. Sambil berbaring itu, ia 

terus berpikir keras. Memang, besok masih ada satu 

hari dan cukup untuk mengumpulkan orang-orang 

kampung terutama para pemudanya guna menghadapi 

Bengara serta si Mata Siji itu. Tapi Mahesa Wulung 

pun masih ingat bahwa Patung Intan itu harus ia sen-

diri yang mengambilnya. Maka jika ia sampai memba-

wa orang-orang kampung itu, apakah hal ini tidak 

akan merusak syarat-syarat seperti yang telah disebut 

oleh surat peringatan dari si Mata biji itu?

Halangan yang betapapun sulitnya tak mungkin 

dapat ditembus. Rawe-rawe rantas, malang-malang 

putung! Demikianlah semboyan pembangkit semangat 

yang selalu diingat oleh Mahesa Wulung dengan baik. 

Begitu pula Mahesa Wulung terus berpikir dan berpikir 

sampai akhirnya ia tampak tersenyum dan bersinar-

sinar matanya.

Demikianlah, pendekar Mahesa Wulung kemudian 

tampak menggores-gores dinding kamarnya dengan 

ujung pedangnya. Akh, apakah kiranya yang tengah 

diperbuat? Membuat ukir-ukiran atau hiasan yang in-

dah barangkali. Yah, semuanya penuh tanda tanya 

memang.

Sesaat kemudian, ia pun memejamkan mata serta 

tertidur dengan pulasnya. Di sebelah lain, Daeng Ma-

toa dan yang lain-lain pun telah lebih dahulu meme-

jamkan mata, tertidur dengan nyenyak. Segenap ru-

mah-rumah kampung Lembah Sampit telah juga sunyi 

senyap, kecuali derai nafas yang mengalir dengan te-

nang dari kamar-kamar rumah tadi. Sekali lewatlah 

beberapa orang penjaga kampung yang melakukan tu

gas jaga meronda berkeliling.

***

LIMA



KETIKA SISA-SISA malam masih bertahan beberapa 

saat, sedang langit di sebelah timur mulai cemerlang 

sebagai pertanda datangnya ujung sinar pagi, dari se-

buah rumah kampung Lembah Sampit terlihatlah se-

sosok bayangan mengendap-endap dengan gesit dan 

tiba-tiba ia melesat ke atap rumah bagai gerakan see-

kor tupai. Lincah dan tangkas.

Kemudian bayangan tadi berloncatan berpindah-

pindah dari atap rumah yang satu ke rumah yang lain 

dan juga dari satu puncak pohon ke puncak pohon 

yang berikutnya. Ia menuju ke arah utara, seperti 

hendak menjangkau tanah pegunungan yang memben-

tang di sebelah utara, laksana seorang raksasa yang 

membujur, tertidur dengan nyenyaknya.

Gerakan orang ini tidak menimbulkan suara sama 

sekali, kecuali desiran angin yang timbul dari kecepa-

tan geraknya. Dalam waktu yang singkat bayangan ta-

di telah melesat menjauh ke arah utara kampung dan 

akhirnya lenyap ditelan kegelapan sisa-sisa malam.

Angin pagi mulai berdesir, seirama dengan desiran 

tubuh orang ini yang dengan cepatnya berloncatan ke 

arah utara. Beberapa saat kemudian bayangan orang 

tadi telah tiba di depan goa harta.

Nah, orang tersebut tidak lain adalah Mahesa Wu-

lung yang bergumam ketika tiba di depan pintu goa. 

“Si tua Tawau berkata bahwa arah Mata Air Kembar 

Tiga adalah ke timur lurus dari tempat ini. Aku harus


cepat-cepat ke sana selagi orang-orang kampung Lem-

bah Sampit masih tertidur pulas. Semoga Daeng Matoa 

dapat menemukan pesan tertulis ku pada dinding ka-

mar rumah itu.”

Mahesa Wulung terus melesat ke sebelah timur, ke 

arah sang matahari yang mulai menampakkan berkas-

berkas ujung sinarnya. Dalam loncatan-loncatan yang 

seringan tubuh belalang, Mahesa Wulung tak perlu lagi 

bersusah-susah menempuh perjalanannya. Berkat aja-

ran ilmu dari pendekar Bontang dan ditambah kesem-

purnaan ilmunya meringankan tubuh, maka ibarat tak 

ada tempat tinggi yang dapat didaki dan tak ada jurang 

dalam yang tak dapat dituruni.

Begitulah Mahesa Wulung dengan pesatnya menuju 

ke arah timur.

Mahesa Wulung tak dapat menghitung jarak yang 

telah ditempuhnya, sebab yang pertama-tama dicari-

nya adalah dataran cekung yang di tengahnya terdapat 

tiga buah mata air kembar.

Berkat ketajaman matanya yang setajam mata bu-

rung elang itu, Mahesa Wulung segera dapat melihat 

agak jauh di depannya, tiga buah mata air yang airnya 

gemerlapan tersapu oleh ujung sinar fajar pagi.

“Nah, itulah tempatnya yang aku cari!”

Namun alangkah terkejutnya, begitu kakinya meng-

injak hutan pepohonan daerah Mata Air Kembar Tiga 

ini, sebuah sinar kemerahan menyambar ke arah ke-

palanya. Mahesa Wulung tak kurang waspada. Secepat 

kilat tangan kanannya berkelebat dan tahu-tahu sinar 

merah tadi telah berhasil ditangkapnya.

“Jarum sumpitan berbulu merah!” desis Mahesa 

Wulung kaget setengah mati, ketika kedua jarinya te-

lah menjepit senjata tadi.

Dalam saat yang sama, tiba-tiba muncullah sesosok


tubuh dari balik dedaunan. Maka berhadapanlah ke-

duanya dengan berdiri pada ranting-ranting di puncak 

pepohonan dengan enaknya, menimbulkan pemanda-

ngan yang menakjubkan seperti dalam impian saja.

“Bengara! Jadi kaulah yang selama ini selalu meng-

incar jiwaku?!” seru Mahesa Wulung seraya menatap 

ke arah tangan Bengara yang menggenggam buluh 

sumpitan.

“Hua, ha, ha, ha. Kau masih dapat mengenal aku? 

Bagus, sobat! Itulah salam selamat datang buat ka-

mu.”

“Kalau begitu, terimalah ini kembali, laknat. Hyaat.”

Mahesa Wulung dengan gerakan tanpa terduga 

mengibaskan tangannya yang masih menggenggam ja-

rum sumpitan berbulu merah ke arah Bengara, dan 

melesatlah jarum sumpitan tadi kembali ke pemiliknya 

dengan kecepatan yang luar biasa cepatnya.

Bengara sendiri merasa terkejut karenanya. Un-

tunglah ia cepat menjatuhkan diri ke bawah dan tu-

buhnya melayang kemudian mendarat di tanah tak 

jauh dari Tiga Mata Air Kembar itu. Akan tetapi Mahe-

sa Wulung tak mau kehilangan sasarannya kali ini. Ia 

pun melesat turun mengejar Bengara.

“Keparat! Kau tak akan lepas lagi dari tanganku, 

Bengara!” seru Mahesa Wulung dan langsung mener-

jang kepala lawannya dengan tendangan kaki.

Bengara waspada. Ia mengendap dan ganti mener-

jang lambung Mahesa Wulung dengan sabetan buluh 

sumpitannya.

Plaaak!

Tangan Bengara tergetar bila saat itu Mahesa Wu-

lung menangkis serangannya tadi dengan pukulan sisi 

telapak tangan dan akibatnya sungguh di luar dugaan! 

Buluh sumpitannya yang terbuat dari logam ini telah


melengkung! Dengan gugupnya Bengara membuang 

senjatanya yang sudah tak berguna lagi ke tanah, di-

barengi mulutnya mengeluarkan suitan keras, meme-

nuhi udara di situ.

Bunyi suitan tadi disambut oleh teriakan-teriakan 

panjang kemudian berloncatanlah lima bayangan 

makhluk bertangan panjang, berbulu lebat dari balik 

dedaunan langsung menerkam Mahesa Wulung de-

ngan ganasnya.

“Hyaaat!”

Plaak!

Mahesa Wulung berseru serta mengibaskan kedua 

pukulan sisi telapak tangannya dan kelima orang utan 

pengawal Bengara tadi terpental beberapa tombak ke 

belakang dibarengi jerit kesakitan dari mulut binatang-

binatang itu.

Bukan main marahnya Bengara melihat para pe-

ngawalnya kena terpukul rontok oleh Mahesa Wulung, 

maka ia segera menghunus pedang mandau pendek-

nya serta menerjang ke arah Mahesa Wulung.

Serangan yang mendatang ini sungguh hebat, kare-

na siapa yang tak bakal ngeri bila pedang mandau tadi 

mampu bergerak seperti pasukan moncong ular berbi-

sa yang kelaparan, bahkan ujung pedang tadi seperti 

berubah menjadi ratusan, mengurung serta mengan-

cam bagian tubuh Mahesa Wulung yang penting seper-

ti mata, ulu hati, lambung dan sebagainya.

“Hebat sekali!” Mahesa Wulung mendesis memuji 

saking kagumnya dan selanjutnya ia pun terpaksa 

menghunus pedangnya pula, sebab ia merasa bahwa 

serangan-serangan Bengara tidak boleh dipandang 

dengan sebelah mata.

Sebentar kemudian terjadilah perang tanding yang 

lebih seru. Lebih-lebih setelah mereka saling menggu


nakan senjatanya. Keduanya saling bergantian mene-

bas, membacok serta menusuk dengan hebat sedang 

gerakan mereka saling melingkar, melibat seolah-olah 

dua ekor burung layang-layang yang tengah bertarung.

Makin lama Bengara melihat kelebihan pada Mahe-

sa Wulung. Tubuh pendekar muda itu mampu berke-

lebatan bagai bayangan yang selalu berhasil lolos dari 

tebasan-tebasan pedang mandaunya. Dan sebaliknya, 

ujung pedang Mahesa Wulung itu menjadi semakin 

gencar mengarah ke seluruh bagian tubuhnya. Ka-

dang-kadang menyerang dari sebelah kiri dan kemu-

dian beralih dari arah belakang untuk kemudian ber-

ganti arah pula dari sebelah atas.

Tentu saja Bengara makin marah dan ketika ia 

kembali bersuit keras, sebelas orang utan segera mun-

cul kembali dari balik dedaunan lalu menyerang Ma-

hesa Wulung. Kini pendekar muda itu dikeroyok oleh 

dua belas lawan yang menyerang dengan berpasangan.

Serangan mereka jauh lebih ganas dari semula. Ka-

lau orang pernah melihat ombak badai yang susul-

menyusul menghempas ke pantai, maka sehebatnya 

itulah serangan Bengara bersama kesebelas orang 

utan bawahannya. Dengan berempat mereka menjadi 

tiga kelompok yang menyerang secara bergelombang, 

bergantian mencecar lawannya.

Namun Mahesa Wulung tidak lekas berkecil hati 

atau cemas. Pedang yang ada di tangannya diputarnya 

dengan dilambari ilmunya Sigar Maruta atau Membe-

lah Angin yang berada dalam tataran lebih matang, 

hingga menimbulkan bunyi berdesing dan mengaung 

menyerikan telinga.

Dengan demikian pertahanan kelompok Bengara 

dan orang-orang utannya menjadi buyar. Mata pedang 

Mahesa Wulung bersama tubuh pendekar muda ini


berloncatan melesat kesana-kemari serta menyelinap 

di antara gerakan tubuh lawan-lawannya.

Meskipun di antara binatang-binatang tadi ada 

yang membawa batang-batang kayu sebagai alat pe-

mukul atau penggada, namun sampai sejauh ini belum 

sebuah pun yang sempat menyinggung tubuh Mahesa 

Wulung. Hal ini membuat Bengara semakin kagum 

dan tiba-tiba saja ia lebih terkejut bila mendengar se-

buah jeritan parau dari salah seekor orang utannya, 

bertepatan pedang Mahesa Wulung menebas sasa-

rannya.

Binatang orang utan tersebut terpelanting ke tanah 

dengan dadanya terobek menganga disertai darah me-

rah menyembur keluar membasahi tanah di sekitar-

nya.

Melihat seekor orang utannya mati, Bengara meng-

geram marah, sementara kesepuluh ekor orang utan 

lainnya pun berteriak-teriak marah. Begitu binatang-

binatang tadi melihat serta membau darah dari te-

mannya yang mati, seketika nafsu keliaran mereka se-

perti terangsang, hingga sorot matanya merah memba-

ra. Sedang mulutnya menyeringai-nyeringai sampai gi-

gi taring mereka yang runcing dan tajam terlihat den-

gan jelasnya.

“Mahesa Wulung! Menyerahlah lekas sebelum selu-

ruh pengawalku ini mematah-matahkan batang leher-

mu!” teriak Bengara.

“Keparat kau Bengara! Mengocehlah sepuasmu se-

lagi mulutmu masih utuh!” seru Mahesa Wulung men-

jawab. “Di mana Patung Intan itu kau sembunyikan?!”

“Hua, ha, ha, ha. Kau akan peroleh patung itu jika 

kepalaku sudah terpisah dari leher ini,” Bengara ber-

kata lantang. “Atau kau memilih kepalamu saja yang 

kupenggal dan Patung Intan itu tetap di tanganku!”


“Hmm, terserah apa maumu!” seru Mahesa Wulung. 

“Mari kita coba lagi, siapa yang bakal memiliki Patung 

Intan itu!”

“Bagus! Sekarang bersiaplah!” teriak Bengara seraya 

membuka serangannya kembali, ditandai oleh teriakan 

melengking. “Hyaaat!”

Serempak Bengara beserta kesepuluh orang utan-

nya melesat ke arah Mahesa Wulung dan menyerang 

pendekar muda itu dengan hebatnya. Pertempuran 

yang kedua ini berlangsung lebih seru daripada yang 

pertama.

Bengara yang telah mengetahui kegigihan lawannya, 

tidak mau lagi menganggap enteng terhadap Mahesa 

Wulung. Itulah sebabnya ia memperlipat ganda sera-

ngannya. Kini ia bersama kesepuluh orang utan terse-

but melingkar dan mengepung Mahesa Wulung.

Serangan-serangan mereka menjadi lebih gencar 

datangnya. Mereka tidak lagi bergerak berpasangan 

seperti semula, tetapi merubahnya dengan serangan 

beruntun yang datang silih berganti. Senjata-senjata 

mereka tampak berkelebatan di sekitar tubuh pende-

kar muda ini, dengan menimbulkan hawa panas yang 

menampar kulit Mahesa Wulung.

Tentu saja pendekar muda ini menjadi agak kerepo-

tan, atas serangan-serangan yang tak berketentuan 

datangnya dari lawan-lawannya. Biarpun begitu ia tak 

mau terang-terangan memperlihatkan kerepotannya, 

sifat hal ini akan membuat Bengara menjadi bangga.

Sebenarnya Mahesa Wulung bisa menggunakan pu-

kulan saktinya ‘Angin Bisu’, hanya saja ia merasa be-

lum betul-betul tiba saatnya. Juga Patung Intan yang 

dicarinya itu belumlah ia tahu tempatnya dan hal ini 

pula membuat Mahesa Wulung belum berpikir tentang 

pukulan sakti tadi.


Seekor orang utan di antara kesepuluh anak buah 

si pendekar liar Bengara rupa-rupanya sudah tidak 

sabar lagi untuk melahap calon korbannya. Maka de-

ngan suatu loncatan nekad dari arah belakang tubuh 

Mahesa Wulung, is menghantamkan kayu penggada-

nya ke arah kepalanya si pendekar muda.

Mahesa Wulung cukup waspada. Kesiur angin pu-

kulan dari belakang terasa, menyebabkan ia seperti di-

gerakkan oleh tenaga naluriah yang peka dan ia mem-

balikkan tubuh ke belakang, sementara pedangnya 

menebas miring dari atas ke bawah.

Siuuut.... desss! Penggada kayu yang dipegang oleh 

orang utan tiba-tiba menjadi kutung, terpotong hampir 

ke pangkalnya, membuat binatang itu menjulingkan 

mata keheranan. Ia menyeringai-nyeringai marah dan 

segera menerkam Mahesa Wulung yang telah siaga le-

bih lanjut.

Dengan badan sedikit condong, Mahesa Wulung me-

nyambut terkaman tadi. Pedangnya kembali beraksi 

dan bergerak sangat cepatnya.

Wesss.... waaak!

Orang utan itu menjerit dan menebah lambungnya 

yang terobek sepanjang tiga jengkal serta menyemprot-

kan darah segar, dan selanjutnya ia terguling rebah ke 

tanah. Mati!

Namun di saat itu mendadak sebuah penggada 

kayu lainnya tepat menghajar pundak Mahesa Wulung 

dari samping, dan tak ampun lagi pendekar berani ini 

terhuyung ke samping sambil peringisan menahan sa-

kit yang nyeri menyelusup ke segenap sendi tulangnya.

Bengara yang melihat keadaan itu, cepat-cepat 

memberi aba-aba kepada para orang utannya untuk 

meringkus Mahesa Wulung.

Akan tetapi belum lagi mereka bergerak, sekonyong


konyong terdengarlah satu teriakan menggeledek dari 

sebelah selatan menyebabkan Bengara serta kesembi-

lan orang utan itu terkejut bukan main.

Dua sosok tubuh melesat dari arah selatan, lewat 

pepohonan dan kemudian terjun ke tengah lingkaran 

pertempuran.

“Bapak Bontang dan Goro!” seru Mahesa Wulung 

setengah kaget bercampur kagum.

Dua nama tadi diucapkan dengan suara keras dan 

Bengara yang mendengarnya menjadi terkejut kare-

nanya.

Ya, nama Bontang dan Goro memang membuatnya 

kaget sebab kedua mahluk itu sering muncul dan me-

musuhi dirinya. Ia tak lupa bahwa mereka berdua per-

nah menjadi sahabatnya, meskipun akhirnya mereka 

berpisah, karena memilih jalan hidup sendiri-sendiri.

“Bengara! Kini kita bertemu lagi, muka berhadapan 

muka. Dan hari ini kita akan membuat perhitungan 

sampai akhir!” kata pendekar Bontang dengan lan-

tangnya.

“Bah! Aku tak takut akan gertakanmu itu. Majulah 

kau kemari. Biar kupenggal lehermu!” Bengara berseru 

dan bersiaga, tepat di saat Bontang melesat ke arahnya 

sambil menyambarkan kapak hitamnya. Kedua orang 

itu pun bertempur dengan serunya.

Sedangkan Goro belum lekas-lekas ikut bertempur 

sebab ia masih menunggu dan berdiri di dekat Mahesa 

Wulung yang tengah bersila mengatur tenaga dalam-

nya guna mengusir rasa sakit yang masih menyengat-

nyengat pada pundaknya.

Tak antara lama selesailah usaha Mahesa Wulung 

tadi dan segera ia berkata kepada Goro. “Goro, aku te-

lah sehat kembali! Marilah sekarang kita ikut mera-

maikan suasana ini!”


Goro, si orang utan pengawal pendekar Bontang itu 

menjawab ajakan Mahesa Wulung dengan menepuk-

nepuk dadanya, dan segeralah ia meloncat ke arah 

sembilan ekor orang utan pengikut Bengara.

Melihat ini, Mahesa Wulung cepat pula mengikuti 

Goro. Maka terlihatlah dua lingkaran pertempuran 

yang seru dan hebat di dalam Mata Air Kembar Tiga 

ini. Satu lingkaran adalah Bontang melawan Bengara, 

sedang lingkaran kedua adalah Mahesa Wulung ber-

sama Goro melawan ke sembilan orang utan pengikut 

Bengara.

Kini dataran Mata Air Kembar Tiga seperti digetar-

kan oleh tiupan angin prahara akibat pertempuran ta-

di. Beberapa ekor burung rangkok terbang ke arah ti-

mur dengan berteriak-teriak parau karena merasa ce-

mas dan kagetnya. Dan di balik dedaunan yang rim-

bun, para kera kecil mencerecet bising dengan sesa-

manya, seakan-akan mereka tengah membicarakan 

pertempuran itu. Rupanya mereka keheranan bila di 

antara peserta pertempuran tadi adalah binatang-bina-

tang orang utan yang telah mereka kenal sebagai golo-

ngan terkuat di antara bangsa kera di hutan belantara 

itu.

Yah, memang agak mengagumkan. Para orang utan 

yang sesungguhnya mudah dididik oleh manusia, kini 

bertempur seru dengan gerak-gerak seperti manusia.

Namun orang akan segera dapat membedakan per-

bedaan gerak tadi. Kalau Goro pengawal dari Bontang 

itu bergerak dengan tenang dan terinci, sebaliknya ke-

sembilan orang utan pengikut Bengara bergerak liar 

dan ganas, seganas gurunya yakni si pendekar liar 

Bengara. Hal itu tidak perlu dibuat heran, karena Goro 

terdidik oleh si pendekar Bontang yang berbudi luhur 

sedang kesembilan pengikut Bengara terbiasa oleh di


dikan liar dan jahat.

Goro merasa gemas agaknya melihat orang-orang 

utan yang menjadi lawannya itu. Suatu ketika dengan 

sebat ia menangkis sebuah serangan dari seekor la-

wannya dan di saat itu pula ia menyambar tangan la-

wan tadi lalu membantingnya lewat kepalanya hingga 

akhirnya lawannya terhempas dahsyat ke tanah diba-

rengi oleh suara berderak tulang-tulang patah serta je-

rit melengking dari mulut si korban. Orang utan ini 

berkelojotan sesaat, kemudian matilah ia.

Melihat korbannya telah mati, Goro menepuk-nepuk 

dada dan di waktu yang sama Mahesa Wulung telah 

berhasil lagi menyabetkan pedangnya ke leher salah 

seekor orang utan yang menjadi lawannya dan korban 

ini pun seketika terkapar roboh ke tanah tanpa ber-

kutik lagi.

Dengan begitu binatang-binatang pengikut Bengara 

tadi tinggal tujuh ekor orang utan lagi yang masih hi-

dup serta bertempur lebih seru. Hal itu pulalah mem-

buat serangan-serangan mereka lebih nekad dan ma-

kin berani.

Dua ekor orang utan yang ganas tiba-tiba berhasil 

menyambar kedua belah tangan Goro, sekaligus me-

narik tangan tadi ke samping dengan arah yang berla-

wanan agar tubuh Goro itu sobek atau terpisah men-

jadi dua.

Namun orang utan yang bernama Goro itu ternyata 

bukan lawan yang ringan. Sambil berteriak marah ia 

memutar kedua tangannya itu beberapa kali dan entah 

bagaimana, tahu-tahu ganti kedua tangan Goro yang 

mencengkeram kedua leher lawannya. Gerakan selan-

jutnya sungguh cepat dan membikin Mahesa Wulung 

yang sempat melirik kejadian itu menjadi keheranan 

kagum.


Si Goro tiba-tiba menghentakkan kedua belah ta-

ngannya menuju arah yang sama ke depan dan...

Praaak!

Kedua kepala binatang orang utan yang menjadi la-

wannya saling berbenturan dengan suara berderak ke-

ras sekali, lalu keduanya terhempas ke tanah dan mati 

dengan kepala yang pecah.

Bengara yang juga melihat peristiwa ini ikut terkejut 

bukan main. Tak mengira bahwa mereka menjumpai 

lawan-lawan yang tangguh dan begitu kuatnya. Dan 

sekarang, mereka menjadi terdesak olehnya.

Sesudah mengangguk kecil, Bengara bersuit keras-

keras kembali dan beberapa bayangan tiba-tiba berda-

tangan melesat dari sebelah timur bagai kuda-kuda 

liar menyerbu ke arah medan pertempuran.

“Si Mata Siji dengan kawan-kawannya,” desis Mahe-

sa Wulung dengan suara bergetar, karena memang 

orang inilah yang ditunggu-tunggunya pula.

“Mata Siji!” seru Bengara yang lagi bertempur mela-

wan Bontang itu. “Mengapa engkau keluar sekarang?!”

“Hia, ha, ha, ha,” ujar Mata Siji kepada Bengara. 

“Bapak jangan gusar. Sedari tadi kami hanya sebagai 

penonton saja dari balik daun, dan sekarang biarlah 

kami membantu Bapak untuk sekadar melepaskan ke-

jemuan serta kegatalan tanganku ini!”

“Kalau begitu bagus!” seru Bengara. “Sekarang mu-

lailah segera!”

“Serbu!” seru Mata Siji sambil meloncat menyerbu 

ke arah Mahesa Wulung dan Goro.

Kedatangan Mata Siji dengan keenam orang-orang-

nya menambah pertempuran tadi makin lebih hebat.

Tetapi hal ini membuat Goro lebih cepat geraknya. 

Sewaktu ia berhasil menjepit kepala salah seekor orang 

utan lawannya segera ia semakin memperkeras jepitannya dan lawannya tadi menjerit keras serta roboh 

ke tanah dengan leher yang patah.

Begitu pula Mahesa Wulung melesat mengambang 

di udara ke arah lawan dan pedangnya menebas kem-

bali.

“Aaaargh”

Dua ekor orang utan yang menjadi lawannya terge-

letak bermandi darah oleh tebasan pedang Mahesa 

Wulung.

Memang lawan yang harus dihadapi oleh Mahesa 

Wulung dan Goro tinggal dua ekor orang utan saja. Te-

tapi, dengan kedatangan si Mata Siji beserta keenam 

kawannya, berarti lawan mereka menjadi bertambah 

lagi, yaitu sembilan! Dan inilah yang menyebabkan 

Mahesa Wulung merasa cemas. Kini, lawan-lawan me-

reka berdua ada dua macam, yaitu dua ekor binatang 

orang utan dan tujuh orang manusia! Goro agaknya 

mengerti perasaan sahabatnya, ketika ia menatap so-

rot mata Mahesa Wulung yang bernada kecemasan.

“Nguuk! Nguuk!” si Goro mengguncang lengan Ma-

hesa Wulung dan sebelah tangannya menepuk-nepuk 

dadanya sendiri.

“Hmm, terimakasih Goro! Memang jika kita meng-

hadapi bahaya di depan mata, haruslah tabah dan 

percaya pada kekuatan sendiri! Terimakasih, Goro! 

Meskipun kau hanya seekor binatang, tapi dapat ber-

pikir jauh lebih berbudi daripada bergejil-bergejil itu!” 

ujar Mahesa Wulung seraya menunjuk ke arah Mata 

Siji yang telah mengepungnya.

Keruan saja Mata Siji dan kawan-kawannya menjadi 

naik darah oleh kata-kata sindiran Mahesa Wulung. 

Masa mereka dikatakan lebih rendah dari seekor bina-

tang orang utan! Maka serentak Mata Siji memberi pe-

rintah kepada anak buahnya.


“Keparat! Ayo, lekas kita cincang keduanya!”

Sebentar saja berloncatanlah kembali Mata Siji be-

serta anak buahnya menyerang Mahesa Wulung serta 

Goro. Pertempuran berlangsung dengan serunya.

Apa yang dicemaskan oleh Mahesa Wulung, ternya-

ta mulai terbukti. Ia bersama Goro sedikit-sedikit ter-

desak oleh kesembilan lawannya, lebih-lebih Goro ha-

nya bertangan kosong belaka sedang lawan-lawan yang 

harus dihadapi, semuanya menggunakan senjata.

“Goro! Pakailah pedangku ini!” seru Mahesa Wulung 

seraya melontarkan pedang dari tangannya yang de-

ngan sebat disambut oleh Goro. Sedang ia kemudian 

melolos cambuk Naga Geni dari balik bajunya.

Dua kali cambuk itu diputar di udara dan begitu 

melecut terdengarlah dua ledakan dahsyat.

Daar! Daaaaarrr!

Akibatnya hebat. Dua sosok tubuh yaitu kedua ekor 

orang utan terakhir dari sisa pengikut Bengara ter-

hempas ke tanah dengan badan hangus dan tak ber-

nyawa lagi. Tetapi itu bukan berarti bahaya telah ber-

kurang bagi Mahesa Wulung dan Goro, sebab Mata Siji 

serta keenam anak buahnya yang terbilang jagoan-

jagoan ini dengan cekatan selalu berhasil menghindar 

dari ujung cambuk Naga Geni yang memburunya.

Dalam pada itu, dari sebelah selatan tampaklah 

bayangan-bayangan manusia mengendap-endap den-

gan hati-hati dan begitu mereka melihat pertempuran 

seru tadi, seorang agak tua yang tidak lain adalah si 

tua Tawau segera berteriak.

“Hee, kawan-kawan! Lihat, Mahesa Wulung sedang 

dikeroyok. Ayo, cepat kita membantunya!”

Habis berkata begitu, Tawau, Daeng Matoa dan Ta-

goh Hulu meloncat dan terjun ke medan pertempuran 

itu, sedang Pandan Arum dan Sandai serta tiga orang


anak buah Tawau berdiri dari kejauhan dengan hati 

yang berdegupan karena melihat pertempuran seru ta-

di.

Bukan main kagetnya Mata Siji karena kedatangan 

Tawau beserta kedua pendekar itu. Dengan sendirinya 

pengepungan terhadap Mahesa Wulung dan Goro ter-

paksa buyar, sebab jika tidak, besar kemungkinan me-

reka akan dirobohkan dari sebelah luar oleh Tawau 

bertiga! Kini Mahesa Wulung berhadapan dengan Mata 

Siji serta dua orang anak buahnya, sedang Daeng Ma-

toa melawan Pisek Grana. Di sebelah lain, dengan 

tangkasnya Tagoh Hulu menyerang Garangpati, dan si 

tua Tawau menghadapi Dangsa serta seorang teman-

nya lagi melawan Goro.

Dataran Mata Air Kembar Tiga bertambah tergetar 

oleh pertempuran seru tersebut. Masing-masing pasa-

ngan berusaha mendesak dan mengalahkan lawannya 

dengan cepat. Namun ternyata lawan-lawan yang me-

reka hadapi adalah pendekar-pendekar tangguh hingga 

pertempuran mereka semakin seru jalannya. Waktu 

pun terus berjalan, seperti tak memperdulikan manu-

sia-manusia yang tengah bertempur itu dan di langit 

pun sang matahari merayap dengan malasnya. Hari te-

lah sangat siang.

Pisek Grana menjadi penasaran melihat serangan-

serangannya selalu kandas ditangkis oleh Daeng Ma-

toa, dan karenanya Pisek Grana makin nekad. Golok di 

tangannya berputar dan melanda ke arah Daeng Matoa 

yang selalu waspada. Sekali lagi ia berhasil mengelak 

pedang yang membacoknya dan secepat itu pula senja-

ta tongkat rotannya berdesing menimpa punggung Pi-

sek Grana.

Plaaakkk!

“Eaach!”


Orang yang berhidung pesek ini menjerit kesakitan 

dan menggeliat-geliat meraba punggungnya dan seju-

rus kemudian Pisek Grana berbatuk-batuk darah, lalu 

terguling menggeletak di tanah tanpa berkutik.

Di sebelah yang lain, Goro berhasil menyampok ja-

tuh golok di tangan lawannya. Melihat itu, Goro pun 

lalu melempar pedangnya ke tanah dan dengan begitu 

keduanya sama-sama tak bersenjata. Dengan teriak 

ganas, lawan Goro melesat menerkam ke arahnya. Pa-

da pikirnya pastilah badannya yang kekar ini dengan 

mudah akan dapat meringkus tubuh si Goro.

“Masa, manusia seperti aku ini tak dapat menun-

dukkan seekor orang utan saja!” demikian pikir orang 

itu.

Namun sayang, pikiran tadi adalah keliru. Sebab 

begitu ia menerkam ke arah Goro, orang utan ini sege-

ra menyambutnya. Kedua tangannya yang penuh bulu 

coklat kehitaman tiba-tiba telah melingkar ke bahu 

dan pinggang orang itu. Keruan saja anak buah Mata 

Siji ini menggeliat-geliat untuk melepaskan diri, tapi 

sudah terlambat. Goro segera menghentakkan kedua 

tangannya ke kiri disusul bunyi gemertak tulang patah 

serta jeritan dari mulut lawannya. Orang tersebut ter-

kulai seketika dan matilah ia.

Di saat yang sama pula, Tawau dengan sigapnya 

memainkan pedang mandaunya. Sebuah tebasan men-

datar mengarah ke lambung si Dangsa membuat anak 

buah Mata Siji ini buru-buru menangkiskan goloknya 

ke bawah. Tetapi sesungguhnya inilah jurus pancingan 

dari Tawau. Pedang mandaunya tiba-tiba berubah 

arahnya di tengah jalan dengan membelok ke atas dan 

serong ke kanan.

“Haaaakk!”

Sebuah teriakan pendek terdengar dibarengi tubuh


anak buah Mata Siji itu terguling ke tanah dengan leh-

er yang hampir putus.

Melihat tiga orang anak buahnya telah tewas, Mata 

Siji menjadi lebih marah lagi. Dengan bersama dua 

orang anak buahnya, ia terus mengurung Mahesa Wu-

lung dengan libatan-libatan senjata. Ketiga ujung sen-

jata pedang dan golok itu seperti moncong tiga ekor 

ular yang menyerang korbannya. Tetapi ujung cambuk 

Naga Geni di tangan Mahesa Wulung lebih hebat lagi 

geraknya. Laksana seekor naga yang berwarna biru, 

cambuk tadi melentur-lentur menyusup sambaran ke-

tiga ujung senjata Mata Siji bertiga. Bahkan lebih he-

bat lagi bila sejurus kemudian menyambar lawannya 

dengan sebuah ledakan memekakkan telinga.

Duaaaarrr!

Seorang di antara pengeroyoknya terjengkang jatuh 

ke tanah bagai disambar oleh geledek. Tubuhnya han-

gus kehitaman sangat mengerikan siapa yang meman-

dangnya. Maka berkuranglah seorang anak buah Mata 

Siji. Biarpun begitu, tokoh Kapal Hantu tadi tidak 

menjadi berputus asa. Pertempuran antara Mahesa 

Wulung melawan Mata Siji dan seorang anak buahnya, 

tetap berjalan dengan serunya.

Dalam pada itu, tiba-tiba dari balik dedaunan di se-

belah timur, terpancarlah sebuah cahaya gemerlapan 

yang memancar ke segenap arah. Kejadian ini mem-

buat si tua Tawau terperanjat, begitu pula halnya de-

ngan Daeng Matoa dan Goro.

“Cahaya intan permata!” gumam Tawau pelan. Di 

saat itu pula ia jadi teringat oleh Patung Intan yang 

tengah mereka cari-cari. Orang tua ini lalu berkata ke-

pada kedua sahabatnya, “Saudara Daeng Matoa dan 

Goro. Kalian tunggu di sini sebentar, aku akan mene-

ngok cahaya di sebelah timur itu!”


Selesai berkata, si tua Tawau lalu meloncat ke arah 

timur. Akan tetapi rupanya tidak hanya Tawau saja 

yang tertarik oleh cahaya itu, sebab Sandai serta Pan-

dan Arum telah pula mendekati ke arah cahaya terse-

but.

Garangpati yang tengah menghadapi Tagoh Hulu, 

akhirnya merasa kewalahan. Ditambah lagi oleh te-

man-temannya yang telah tewas membuat hatinya me-

rasa keder. Sedang badannya pun telah menderita lu-

ka-luka kecil akibat sambaran-sambaran ujung pe-

dang mandau Tagoh Hulu. Maka akhirnya tanpa me-

nunggu lebih lama, Garangpati membalikkan tubuh 

dan melesat ke selatan meninggalkan tempat tersebut. 

Gerakannya ini sungguh hebat sehingga Tagoh Hulu 

seakan-akan terpukau dan membiarkan lawannya tadi 

melarikan diri yang sebentar kemudian lenyap di balik 

kelebatan pohon-pohon.

Alangkah marahnya Mata Siji melihat Garangpati 

melarikan diri. Namun ia tak dapat berbuat apa-apa, 

sebab ia masih harus menghadapi Mahesa Wulung 

yang bersenjatakan cambuk Naga Geni itu.

Daya tahan kekuatan Mata Siji jauh lebih kuat dari-

pada seorang anak buahnya yang tinggal seorang itu. 

Itulah sebabnya ketika cambuk Naga Geni di tangan 

Mahesa Wulung menyambar ke arah tubuh anak buah 

Mata Siji tersebut, orang itu terlambat menghindar dan 

tak ampun lagi tubuhnya terpental dan jatuh ke tanah 

dengan tubuh hangus.

“Mata Siji, kini kita berhadapan satu lawan satu. 

Terimalah pembalasan Wangsa Ginuk yang kau bunuh 

secara curang di geladak Kapal Hantu dahulu!” teriak 

Mahesa Wulung seraya memutar cambuknya lebih

dahsyat hingga menimbulkan bunyi mengaung bagai 

kawanan lebah yang tengah berdengung mencari madu.

“Setan! Ayo kejarlah aku kalau dapat!” seru Mata 

Siji sambil melesat ke atas puncak pohon, diiringi derai 

ketawa yang sombong memuakkan telinga. “Hua, ha, 

ha, ha! Ayo Mahesa rembes, naiklah kemari. Aku tung-

gu dengan senang hati! Hua, ha, ha, ha!”

“Hmm, jangan kira aku tak mampu berbuat begitu! 

Hyaaat!”

Tubuh Mahesa Wulung menjejak tanah dan melesat 

menyusul Mata Siji ke puncak pohon. Sungguh me-

ngagumkan, ilmu meringankan tubuh kedua orang 

pendekar ini. Keduanya lalu bertempur di atas puncak 

pohon tak ubahnya dua ekor burung. Sayangnya, hal 

ini tak berlangsung lama, sebab ketika suatu kali Mata 

Siji berjumpalitan di udara, tiba-tiba ujung cambuk 

Naga Geni telah menerjang punggungnya.

Duuaaaarrr!

Tubuhnya sesaat menggeliat dengan wajah yang te-

gang dan menyeringai, seakan tak percaya bahwa selu-

ruh tubuhnya telah hangus, lebih-lebih pada bagian 

punggungnya.

“Eaaargh!”

Mata Siji akhirnya melontakkan darah hitam kental 

berbareng tubuhnya melayang ke bawah, jatuh ke ba-

wah sana dari atas puncak pohon itu, dan matilah su-

dah si Mata Siji.

Rupanya kejahatan memang harus tumpas pada 

akhirnya. Demikian hukum Tuhan Yang Maha Esa 

berlaku. Di saat itu pula Bontang melihat pertahanan 

Bengara yang lowong dan kesempatan ini diperguna-

kannya dengan baik. Kapak hitamnya membuat satu 

serangan memancing dengan tebasan mengarah ke 

dada lawan dan tentu saja Bengara lekas-lekas me-

nangkisnya ke samping. Maka pada saat itulah Bontang melenting ke atas lawan dan kembali kapak hi-

tamnya meluncur deras ke bawah.

Praaaak!

Terdengar sebuah benturan cukup keras, bila ka-

pak si Bontang menghajar batok kepala si pendekar 

liar Bengara, dan sejurus kemudian Bengara itupun ja-

tuh bergulingan dengan rintihan pendek, sedang kepa-

lanya terluka mengerikan dan berlepotan darah. Tu-

buh Bengara kini tergeletak di tanah tak berkutik lagi.

Sementara itu, si tua Tawau telah tiba di rumpun 

semak-semak di sebelah timur dimana cahaya putih 

gemerlapan berasal dari tempat tersebut. Bagai orang 

terpukau si tua Tawau menatap sumber cahaya tadi 

yang tidak lain adalah Patung Intan yang kini tengah 

dibopong oleh Seguntur dengan tangan kiri, sedang 

tangan kanannya menggenggam pedang mandau ter-

hunus.

“Seguntur! Jadi Patung Intan itu ada di tangan-

mu!?”

“Hua, ha, ha, ha. Sekarang ini akan menjadi milik-

ku penuh, sebab kedua sekutuku telah mampus!” ujar 

Seguntur. “Maka menyingkirlah orang tua, sebelum pe-

dang mandauku meminum darahmu!”

“Keparat!” teriak Tawau seraya menerjang ke arah 

Seguntur, dan timbullah pertarungan sengit meskipun 

tidak lebih dari enam jurus gebrakan, sebab pada ju-

rus ketujuh, pedang mandau Seguntur berhasil me-

nyambar dada si tua Tawau!

“Aduuuuuh!” Tawau terpelanting ke tanah, sedang 

dadanya yang tertowel tadi mengalirkan darah segar.

Dan bersamaan waktunya, dua sosok bayangan te-

lah tiba di dekat Tawau, lalu menolong orang tua ter-

sebut. Mereka itu adalah Pandan Arum serta Sandai.

“Lukanya harus cepat-cepat diobati!” seru Sandai.


Dengan cekatan Pandan Arum mengambil kantong 

obatnya sementara Sandai menatap tajam ke arah Se-

guntur yang tengah bergegas meninggalkan tempat itu. 

Sambil meloncat memburu, Sandai berteriak lantang, 

“Seguntur, keparat! Kau tinggalkan Patung Intan itu!”

Namun Seguntur cukup waspada. Begitu Sandai 

memburu seraya melancarkan sebuah pukulan ta-

ngan, ia cepat mengelak dan lengan Seguntur yang ko-

koh itu dengan sigap menyambar pinggang gadis San-

dai.

“Hua, ha, ha, ha. Sekarang dua-duanya jadi milik-

ku! Patung Intan dan gadis yang cantik!” ujar Seguntur 

dengan tertawa memuakkan.

“Lepaskan aku, keparat! Aduh... toloooong!” seru 

Sandai tanpa daya ketika tubuhnya terjuntai dikempit 

oleh lengan Seguntur.

“Ha, ha, ha. Kau akan segera menjadi isteriku!” ujar 

Seguntur seraya melesat ke arah timur dengan sigap 

sambil kedua tangannya mengepit Patung Intan dan 

tubuh Sandai yang padat berisi itu.

Akan tetapi, sebuah bayangan meluncur dan mem-

buru di belakang Seguntur. Keduanya berkejaran se-

bentar, namun tiba-tiba sebuah tebasan telapak ta-

ngan si pengejar menyambar kepala Seguntur. Un-

tungnya, Seguntur lebih cepat mengelak dan kemudian 

meloncat ke samping dengan wajah pucat.

“Daeng Matoa! Kau menggangguku, setan!” teriak 

Seguntur dengan marahnya. “Hari ini kau harus mati 

di tanganku.”

Si pengejar yang tidak lain adalah Daeng Matoa itu 

kini berhadapan dengan Seguntur, tidak jauh dari ta-

nah berawa-rawa.

Seguntur kemudian melepaskan Sandai yang kon-

tan terduduk jatuh ke tanah dengan dada yang sesak


akibat tubuhnya dikempit dan dibawa lari oleh Segun-

tur beberapa saat lamanya.

Cepat Seguntur menghunus senjata.

“Hyaaat!” Daeng Matoa menerjang ke arah Seguntur 

dan mereka pun bertempur dengan dahsyatnya.

Seguntur bergerak bagai seekor macan, sedang pe-

dang mandaunya berkelebatan bagai bayangan maut. 

Sebaliknya, Daeng Matoa tak ubahnya seekor garuda. 

Ia bergerak lincah menyambar-nyambar dengan pe-

dangnya, sementara kakinya sekali-kali melancarkan 

serangan berbahaya.

Pada suatu ketika Daeng Matoa melenting ke atas, 

di saat Seguntur mengancam lambungnya dan menda-

dak kakinya melancarkan tendangan ampuh ke pun-

dak Seguntur.

Blaaaag!

Tubuh Seguntur terpelanting mencelat dan tanpa 

berdaya terceburlah ia ke tanah rawa-rawa di dekatnya 

disertai jeritan parau.

“Rawa Hidup! Aaaah... tolong!” teriak Seguntur sam-

bil tubuhnya berkutat untuk menepi!

Namun celakalah ia, sebab rawa tadi adalah rawa 

berlumpur hidup. Makin tubuhnya banyak bergerak 

makin cepatlah lumpur tadi menyedot tubuhnya ke 

bawah! Sungguh mengerikan! Patung Intan yang dike-

pit oleh lengan kiri Seguntur sudah tidak tampak se-

bab telah terbenam ke lumpur. Kini hanya kepala se-

batas leher serta tangan kanannya saja yang mengga-

pai-gapai minta tolong, berserabutan ke udara.

“Aduuh... Daeng Matoa! Aku akan bertobat... jangan 

biarkan aku mati di tempat ini... tolong!” Seguntur ber-

teriak sambat.

Daeng Matoa yang berhati welas asih itu tak sampai 

hati melihat lawannya mati disedot rawa berlumpur


tadi, maka cepat-cepat ia mengulurkan tangan meno-

long Seguntur. Dengan sigap jari-jari Seguntur meme-

gang pergelangan tangan Daeng Matoa dan mengunci 

dengan keras.

“Hua, ha, ha, ha. Kita akan mati bersama-sama 

Daeng Matoa!”

Bukan main Daeng Matoa terkejut, begitu pula 

Sandai! Kini tubuh Daeng Matoa rebah ke tepi rawa 

dan perlahan-lahan terseret oleh tangan Seguntur 

yang semakin tenggelam ke dalam lumpur hidup tadi.

Melihat ini Sandai cepat-cepat menubruk tubuh Da-

eng Matoa seraya menjerit panik.

“Daeeeng! Ohh, jangan. Jangan kau ikut tenggelam 

di sini! Daeng.... aku cinta padamu, Daeng! Ooh, aku 

ikut terseret pula! Aku tak berdaya menahan tubuhmu 

Daeng. Baiklah, jika harus mati..., kita akan mati ber-

sama-sama, kekasihku Daeng....”

Kini Seguntur sudah tak bisa bersuara, sebab seba-

gian kepalanya telah tenggelam oleh lumpur kecuali 

hidung dan matanya saja yang masih sempat meman-

dang birunya langit dan hijaunya pupus-pupus deda-

unan yang bergoyang-goyang terhembus angin pegu-

nungan. Jari-jarinya yang masih menggenggam tangan 

Daeng Matoa itu ikut menyeret tubuh Daeng Matoa 

dan kekasihnya, Sandai. Sedikit demi sedikit tubuh 

mereka berdua hampir tertarik dari tanah tanggul di 

tepi rawa!

Aah, akan matikah juga Daeng Matoa dan Sandai 

ke dalam rawa lumpur hidup ini?! 

Tunggulah jawabannya dalam seri Naga Geni “Ben-

trok di Kali Serang” yang tak kalah seru, tegang serta 

romantis. Maka sampai disini, selesailah cerita “Kutukan Patung Intan.”



                              SELESAI






























Share:

0 comments:

Posting Komentar