..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 23 Februari 2025

NAGA GENI EPISODE HARTA TANJUNG BUGEL

matjenuh khairil

 


SATU

MATAHARI telah sedemikian tergeser ke langit barat 
dan cahayanya sudah tidak begitu panas lagi. 
Angin sejuk bertiup nyaman menyapu puncak 
puncak pohon dan dedaunan rumput tipis di tepi Kali 
Serang. 
Air sungai yang berwarna putih kecoklatan beriak kecil-
kecil dan mengalir dengan tenangnya seakan-akan tak 
memperdulikan akan keributan dan kedahsyatan dua 
manusia yang tengah bertarung di tempat tersebut, tidak 
jauh dari tepi sungai. 
Agak jauh dari kedua orang itu, seorang pemuda 
berkumis tebal tampak terjelepak di atas rerumputan 
dalam keadaan setengah pingsan, dan wajah kepucatan 
Sedang di dekat rumput pisang, dua orang gadis melihat 
kesemuanya itu dengan wajah kecemasan dan gelisah. 
Betapa tidak. Yang seorang ini tidak lain adalah Pandan 
Arum dan yang kedua adalah Endang Seruni. 
Melihat pertempuran antara kekasihnya melawan Ki 
Bango Wadas yang berlangsung dengan dahsyat dan telah 
memakan belasan jurus itu, mau tak mau hati Pandan 
Arum berdentang-dentang amat kerasnya secepat irama 
gerakan silat Mahesa Wulung melawan Ki Bango Wadas 
yang berkepala botak dan berrsenjata penggada berduri 
logam. 
Apa yang tidak dinyana selama ini, telah menimbulkan 
kecemasan hatinya Pandan Arum melihat bahwa gerakan 
Ki Bango Wadas makin bertambah ganas dan mencecar 
serta mendesak Mahesa Wulung. Apalagi senjata Ki Bango 
Wadas tadi seperti mempunyai mata yang selalu 
menyerang bagian-bagian yang lowong dari pertahanan 
Mahesa Wulung.

Yang paling mengagetkan bagi Pandan Arum adalah 
keadaan Mahesa Wulung. Kekasihnya ini seperti kalah 
cepat dan selalu terkurung oleh gulungan tubuh Ki Bango 
Wadas yang berloncatan sebagai bayang-bayang hitam. 
Dan celakanya lagi Mahesa Wulung harus selalu terus-
menerus menangkis senjata gada berduri logam yang 
datangnya bagai gelombang menghempas bertubi-tubi 
tanpa henti. Dengan begitu maka Mahesa Wulung tak 
berkesempatan untuk berpikir ataupun menggunakan 
cambuk pusakanya, Naga Geni. 
Yang semata-mata memenuhi pikirannya adalah 
menghalau atau menangkis serangan-serangan senjata 
lawannya yang dahsyat itu. Biarpun Mahesa Wulung telah 
sering berkali-kali bertempur melawan musuh-musuh yang 
bersenjata beraneka ragam, namun toh setiap kali pula ia 
terpaksa menghadapi senjata-senjata baru yang lebih 
hebat lagi, seperti senjata Ki Bango Wadas ini. 
“Bocah ingusan!” teriak Ki Bango Wadas dengan marah. 
“Sebentar lagi kau akan bertamasya ke neraka!!! Senjataku 
ini tak kenal akan belas kasihan.” 
“Ngocehlah sepuasmu Bango kudisan! Atau kau yang 
lebih dulu berkubang di api neraka sana!” seru Mahesa 
Wulung membalas. “Mengapa kau tiba-tiba menyerangku?! 
Tentang muridmu si Lawunggana itu, kami ada urusan 
pribadi yang harus kami selesaikan sendiri dan anda 
sebagai seorang guru yang bijaksana, tentunya akan mem-
biarkan anak-anak muda merampungkan persoalannya 
sendiri.” 
“Pintar saja kau ngomong bocah ingusan. Kalau kau 
telah berani dengan muridnya, dengan gurunyapun kau 
harus berani menghadapinya!” 
“Memang aku tak pernah takut kepada orang-orang 
macam tampangmu ini!” seru Mahesa Wulung jengkel. 
“Janganlah sekali-kali bikin gertakan terhadap Mahesa 
Wulung.” 
Telah berapa jurus mereka berdua bertarung itu, tak 
terhitung lagi bagi Pandan Arum serta Endang Seruni yang

tengah menonton pertempuran mereka. Pandangan mata 
mereka begitu tercengkam oleh kedahsyatan perang 
tanding itu, terlebih lagi bagi Endang Seruni yang jarang 
melihat hal-hal yang semacam ini. 
Kadangkala Endang Seruni melirik ke arah tubuh 
Lawunggana yang sampai kini masih terhampar di atas 
rerumputan setengah pingsan. Sebagai seorang gadis yang 
pernah dikasihi oleh pemuda itu, tentu saja Endang Seruni 
menaruh rasa iba kasihan melihat Lawunggana terkapar 
setengah pingsan itu. 
Di samping rasa iba itu, Endang Serunipun merasakan 
rasa heran yang terselip di dalam hatmya. Ia tahu bahwa 
dahulu Lawunggana tidak berhati keras seperti sekarang 
ini. Lawunggana telah dikenalnya sebagai seorang pemuda 
yang berhati lembut dan lebih suka menghindarkan diri 
dari setiap perselisihan meskipun ia bisa berkelahi. 
Agaknya Endang Seruni bisa menduga bahwa kekerasan 
watak Lawunggana ini berubah akibat didikan yang keras 
dan sedikit mengarah kekejaman dari gurunya Ki Bango 
Wadas. Untuk inipun ia telah maklum, dan ia berharap 
semoga ia bisa menyadarkannya. Itulah pula yang 
menyebabkan ia bergegas mendekati Lawunggana. 
“Yunda Pandan Arum, aku akan menengok kakang 
Lawunggana yang tergeletak di sana.” ujar Endang Seruni 
meminta diri kepada kakaknya. 
Pandan Arum menoleh dan tersenyum lalu berkata 
seraya menepuk bahu adiknya. “Ya, tengoklah dia, adi 
Seruni. Kasihan ia terharnpar di sana.” 
“Terima kasih, yunda Pandan Arum.” ujar Endang Seruni 
serta melangkah ke arah Lawunggana diiringi senyuman 
Pandan Arum penuh arti. Ia sadar bahwa adiknya ini masih 
menaruh rasa cinta kepada si pendekar kumis tebal, 
Lawunggana dan jika ia mengingat bahwa pada per-
jumpaan pertama dengan gadis itu ia telah menaruh rasa 
cemburu maka sekarang ini ia seperti ingin tertawa geli. 
Endang Seruni tadi segera mendekati tubuh 
Lawunggana yang tak berkutik membisu bagaikan tak bernyawa lagi dan ini menyebabkan ia kecemasan. Maka 
cepat-cepatlah ia membongkok dan menempelkan tangan-
nya pada dada pendekar ini. 
“Ah, masih bernafas kakang Lawunggana ini. Syukurlah 
jika begitu. Berarti kakang Mahesa Wulung tidak benar-
benar bermaksud membunuhnya!” gumam Endang Seruni 
seorang diri. Ia kemudian mengusap dahi Lawunggana 
yang penuh oleh keringat serta debu tanah dengan 
selembar sapu tangan. 
Perlahan-lahan sekali pendekar berkumis tebal ini 
menggerakkan kepalanya seraya merintih dan 
menggerakkan bibir serta membuka matanya. 
Betapa terperanjat Lawunggana ketika pandangan 
matanya menatap wajah Endang Seruni berada di 
hadapannya. 
“Adi Endang Seruni.” bisik Lawunggana seraya me-
mejamkan matanya sesaat dan kemudian membuka 
kembali. “ Apakah aku bermimpi? Aku belum mati bukan?!” 
“Kakang Lawunggana tidak mimpi dan kakang masih 
hidup. Kini berkata-kata di hadapanku.” berkata Endang 
Seruni dengan tangannya masih mengusap membersihkan 
dahi serta leher Lawunggana yang masih ditempeli oleh 
debu campur keringat. Usapan-usapan ini begitu lembut 
dan mesra membuat Lawunggana menyadari bahwa 
setidak-tidaknya gadis ini masih menaruh cinta kepadanya. 
“Mengapa Mahesa Wulung tidak segera membunuhku?” 
berkata Lawunggana dengan nada ragu seperti berkata 
dengan dirinya sendiri. “Mengapa?” 
“Itu pertanda bahwa kakang Wulung tidak benar-benar 
bermaksud ataupun menghendaki salah satu nyawa di 
antara kalian tercabut karena gara-gara kesalahpahaman 
atau pengertian yang sempit dari hati kakang Lawunggana 
yang dangkal dan mudah terbakar oleh nafsu amarah.” 
Mendengar ini hati Lawunggana menjadi pedih bagai 
diiris oleh sembilu. Ia sendiri akhirnya insyaf bahwa 
serangannya terhadap Mahesa Wulung serta dendamnya 
selama ini adalah keliru dan sesat.

Sekali lagi Lawunggana menatap wajah Endang Seruni 
sementara tangannya meraba jari-jemari gadis ini dan 
karenanya, Endang Seruni sesaat terkejut tapi akhirnya 
membiarkan Lawunggana menggenggam serta meremas 
mesra jari-jari tangannya. 
“Maafkan aku, adi Seruni.” desah Lawunggana. “Aku 
terlalu memperbesar rasa cemburu, namun itu terlahir 
karena begitu besarnya rasa cintaku kepadamu.” 
“Sudah lama aku memaafkanmu kakang Lawunggana.” 
sahut Endang Seruni. “Rasa cemburu mu memang kelewat 
besar dan aku tidak menyenanginya, kakang.” 
Sesaat Lawunggana memejamkan mata seperti me-
resapkan segala kata-kata kekasihnya ini. 
“Kau tahu kakang, siapa gadis yang berdiri di sana itu? 
Dialah nona Pandan Arum, kekasih dari kakang Mahesa 
Wulung dan ternyata adalah kakak kandungku sendiri!” 
“Hah?!” desis Lawunggana kaget. “Jadi gadis itu adalah 
kekasih Mahesa Wulung?” 
“Begitulah.” sambung Endang Seruni. “Maka, sekali lagi 
aku mengharap agar kakang Lawunggana segera meng-
hapuskan dendam hatimu kepada kakang Mahesa 
Wulung.” 
Lawunggana menganggukkan kepala serta berkata lirih. 
“Baiklah, adi Seruni. Aku berjanji dan semoga harapanmu 
itu menjadi kenyataan.” 
Sementara itu pertempuran antara Mahesa Wulung 
melawan Ki Bango Wadas masih berlangsung dengan 
sengit, tanpa ada tanda-tanda siapa yang bakal keluar 
sebagai pemenangnya. Keduanya telah bercucur keringat. 
Tiba pada jurus kelima puluh satu, tiba-tiba semua 
dikejutkan oleh suara berdentang keras dan segera setiap 
mata diarahkan ke arena pertempuran. 
Ternyata itu adalah suara benturan pedang Mahesa 
Wulung yang menangkis serangan penggada Ki Bango 
Wadas. Benturan tadi sedemikian hebat dan akibatnya luar 
biasa. 
Jari-jari Mahesa Wulung merasa nyeri serta bergetar

hebat dan pedang ditangannya itupun terpelanting lepas. 
Mahesa Wulung terkejut seketika dan sebelum ia bertindak 
lebih lanjut tiba-tiba dengan kecepatan luar biasa, Ki 
Bango Wadas telah memukulkan kedua ujung jari telunjuk 
dan tengah jari tangan kirinya, langsung mengenai dada 
Mahesa Wulung. 
“Heeh!” Mahesa Wulung terperanjat oleh serangan ini. 
Dadanya menjadi sesak dan terbatuk-batuk kemudian 
lemas, sehingga pendekar muda ini terjelapak jatuh 
terduduk di tanah dengan dada kembang-kempis. 
“Weh, heh, heh, heh, heh. Mahesa Wulung! Hari ini 
adalah saat kematianmu!” seru Ki Bango Wadas sambil 
terbahak-bahak ketawa menyeramkan. Suaranya meng-
gema di udara tepi Kali Serang. “Sekarang hiruplah udara 
sungai ini buat terakhir kalinya!” 
Selesai berkata itu, tampak Ki Bango Wadas meng-
angkat penggada berduri logam ditangannya tingg-tinggi 
serta di putar di atas kepala sehingga berdesing-desing 
suaranya. 
“Heh, heh, heh, mampus kowe hah!” teriak Ki Bango 
Wadas dalam suara yang ganas serta meloncat pendek 
untuk kemudian menghantamkan senjatanya ke bawah, ke 
arah sasarannya, yakni Mahesa Wulung yang tergeletak 
lemas di atas tanah. 
“Aaaaaa...” terdengar jeritan dan mulut Pandan Arum, 
juga dari Endang Seruni, sedang Liwunggana cuma ter-
beliak matanya tanpa kuasa menjerit. 
“Blaaaarrr!” terdengar suara keras bagai letupan petir 
menyambar, memekakkan anak telinga. Pandan Arum yang 
tak tega dan ngeri segera memejamkan mata. Demikian 
pula Endang Seruni. 
“Ooh, bapak guru sangat kejam!” desis Lawunggana 
seorang diri. Apa yang dilihatnya ini benar-benar ber-
tentangan dengan dasar-dasar keperwiraan yang pernah 
dikenalnya. 
Ki Bango Wadas yang telah mengayunkan penggadanya 
ke arah tubuh Mahesa Wulung terkejut sekali oleh suara

letupan ini. Bermula sekali ia yakin bahwa tubuh lawannya 
akan hancur berlubang-lubang oleh senjatanya yang 
ampuh ini. 
Namun ketika ia membelalakkan matanya ke depan 
betapa terkejutnya pendekar setengah botak ini. Di 
hadapannya telah berdiri seorang berpakaian dengan 
warna keputihan dan kepalanya berselubung dengan 
topeng kain dengan dua lubang mata bulat yang menatap 
tajam ke arah Ki Bango Wadas. 
Orang tersebut berdiri di antara Ki Bango Wadas dengan 
Mahesa Wulung. Pada tangan kanannya tergenggarn 
sebilah tongkat kayu bercabang dua dan agaknya orang 
bertopeng inilah yang telah menangkis pukulan senjata Ki 
Bango Wadas. 
Mahesa Wulungpun kaget pula oleh kedatangan orang 
bertopeng yang telah menyelamatkan nyawanya. Ia tidak 
lupa siapa orang ini, maka cepat-cepat ia berseru saking 
gembiranya. “Bapak Pendekar Bayangan!” 
“Pendekar Bayangan!” desis Ki Bango Wadas meng-
ulang nama tadi, yang selama ini telah disegani oleh 
hampir setiap tokoh persilatan serta ditakuti orang orang 
jahat. 
“Keparat! Kau berani muncul di hadapanku serta 
merusak maksudku, hah?” seru Ki Bango Wadas dengan 
lantang. 
“Hmmm, kalau antara murid dengan rnurid bertarung itu 
sudah lumrah. Tetapi jika seorang guru seperti tampangmu 
ini sudah mulai turut campur, maka tak ada salahnya kalau 
akupun mencampurinya pula!” 
“Eeee, jadi Mahesa rembes itu adalah muridmu juga?!” 
seru Ki Bango Wadas. “Apakah ini berarti kau menantang-
ku? Menantang Ki Bango Wadas dari rnuara Kali Serang?” 
“Boleh kau mengartikannya demikian!” sahut Pendekar 
Bayangan. “Tapi aku lebih suka mengambil cara damai. 
Sekarang baiknya engkau berlalu dari tempat ini lekas-
lekas dan kalau perlu bawalah pula muridmu itu!” 
“Tidak gampang kau mengusirku dari tempat ini, Topeng

busuk! Kecuali jika aku sudah tahu dan mencoba sampai 
di mana kesaktianmu!” 
Pendekar Bayangan tertawa lirih serta berkata, “Hal itu 
akan segera engkau ketahui. Bango Wadas!! Aku siap 
melayanimu!” 
“Hiaa…!” Ki Bango Wadas berteriak dan bagai 
kecepatan kilat ia tahu-tahu telah menerjang ke arah 
Pendekar Bayangan sekaligus senjatanya menyambar 
dengan pukulan maut. 
Tampaknya penggada berduri milik Ki Bango Wadas tadi 
benar-benar akan meremukkan kepala si Pendekar 
Bayangan jika saja sasarannya ini cuma berdiam diri saja. 
Kejadian berikutnya sungguh sangat mengagetkan bagi 
Mahesa Wulung dan Pandan Arum yang menyaksikan 
pertempuran itu bagai orang setengah mimpi. 
Kelihatannya pendekar berkerudung topeng putih itu 
cuma menggeliat ke samping bagai orang meregangkan 
tubuh sehabis bangun dari tidurnya. Gerakan sederhana 
dan tampak sepele atau boleh dianggap setengah main-
main ini ternyata cukup hebat. 
Begitu tepatnya perhitungan gerak menggeliat tadi dan 
di saat itu pula penggada berduri dari Ki Bango Wadas 
terpaksa bersarang di udara kosong belaka, membuat Ki 
Bango Wadas kaget setengah mati. 
Sebagai seorang pendekar jagoan ia seketika dapat 
menduga betapa tinggi dan sampai dimana kesaktian 
Pendekar Bayangan yang berada di hadapannya itu! 
Dengan gerakan sederhana seperti main-main saja ia 
telah berhasil lolos dari senjata Ki Bango Wadas. Dan 
karena ini pulalah Ki Bango Wadas merasa seperti di-
permainkan bagai anak kecil oleh lawannya, maka sudah 
barang tentu kalau ia marahnya bukan kepalang. Giginya 
berkerot gemeratak dan matanya bersinar tajam seperti 
mau menelan bulat-bulat terhadap lawannya ini. 
Sementara itu Pendekar Bayangan masih saja berdiri 
dengan seenaknya dan bersandar pada tongkat ber-
cabangnya sedang dari balik topengnya terdengar tertawa

menggelegas bernada ejekan. 
“Sess ... ses ... setaaan, kowe!!” seru Ki Bango Wadas 
sambil melototkan matanya sampai-sampai bagaikan mau 
meloncat keluar kedua bulatan mata tadi dari rongga dan 
pelupuknya. “Menghina keterlaluan kepadaku, ha!?” 
“Sudah aku katakan dari semula bahwa kita bisa 
memakai jalan damai tanpa bertegang leher untuk 
mengadu tenaga. Sobat sebaiknya berlalu dari tempat ini 
dan boleh silakan membawa muridmu kembali.” ujar 
Pendekar Bayangan seraya mencoker-cokerkan ujung 
tongkatnya ke tanah. “Aku tak akan menghalang-halangi 
lagi maksudmu!” 
“Topeng bobrok yang besar mulut! Tak berguna kau 
berkhotbah di depan hidungku! Minggir sajalah bila kamu 
merasa jerih berhadapan dengan Ki Bango Wadas ini!” 
Sekali lagi Pendekar Bayangan memperdengarkan 
ketawa menggelegas sambil berkata pula. “Aku masih 
tidak marah, sobat! Maka jangan paksakan aku 
mengeluarkannya!” 
“Hia, ha, ha, ha, itu lebih bagus topeng bobrok!” Seru Ki 
Bango Wadas. “Mari tunjukkan kemarahanmu itu! Aku 
ingin mengetahuinya!” 
“Oooo, kau manusia tak tahu diuntung!” sahut Pendekar 
Bayangan. “Jangan menyesal kau nanti!” 
“Haaaait!!” begitu Pendekar Bayangan selesai berkata 
begitu cepat pula ia menusukkan tongkat cabangnya ke 
depan dibarengi loncatan kecil. 
Ki Bango Wadas terperanjat! Ujung tongkat bercabang 
tersebut meluncur ke arah dadanya dan ia sudah lebih 
dulu merasakan angin tusukan yang terdorong oleh senjata 
itu. 
“Serangan tusukan maut!” desah Ki Bango Wadas dan 
segara pula ia menyabetkan penggadanya ke arah kanan 
keluar untuk menangkis serangan lawannya. 
“Braaak!!” Suara keras terdengar gemerocok akibat 
benturan kedua senjata tadi. Namun yang paling terkejut 
adalah Ki Bango Wadas sendiri. Ia merasa bahwa penggadanya yang menangkis serta membentur tongkat cabang 
si Pendekar Bayangan, rasanya seperti membentur sebuah 
tonggak besi baja sehingga berakibat tangannya yang 
menggenggam senjata merasa kesemutan dan nyeri. 
Untungnya ia mempunyai tenaga dalam yang cukup tinggi 
dan segera dapat mencegah senjatanya yang hampir lepas 
keluar dari jari-jemari yang menggenggamnya. 
“Hmmm, hampir-hampir aku menderita malu oleh 
serangan tadi!” Ki Bango Wadas berkata di dalam hati 
sementara ia memindah senjatanya ke tangan kiri. “Biar 
aku akan mencoba serangan pasir maut ini!!” 
Tanpa diduga tiba-tiba Ki Bango Wadas mengendap ke 
bawah sekaligus meraup pasir di dekat kakinya lalu 
menebarkannya ke depan dengan kecepatan dahsyat. 
Untungnya Pendekar Bayangan tidak lengah dari segala 
gerak-gerik lawannya, sehingga ia tahu apa yang harus 
diperbuatnya untuk menghadapi serangan lawan yang 
pasti mematikan ini. 
Butir-butir pasir tadi meluncur deras ke arah Pendekar 
Bayangan. Serangan ini terang mematikan sebab jika ia 
sampai menembus kulit maka akan segera masuk ke 
dalam daging atau mengalir dan masuk ke dalam aliran 
darah sehingga mau tidak mau korbannya akan segera 
mati. 
Sudah tentu Pendekar Bayangan tidak mau kulit 
dagingnya untuk ditembusi oleh butir-butir pasir tadi. Maka 
secepatnya ia mendorongkan pukulan tinjunya ke depan 
memapaki serangan pasir maut. 
Sekali ini pula, Ki Bango Wadas terpaksa terlongoh 
heran sebab butir-butir pasir tadi tiba-tiba terhenti di 
tengah jalan, bahkan kini terdorong oleh serangan angin 
pukulan dari tinju Pendekar Bayangan pada melesat 
berkeredapan ke arah diri Ki Bango Wadas sendiri! 
Diam-diam Ki Bango Wadas terpaksa memuji kegesitan 
serta kehebatan lawannya dan cepat-cepat ia mengendap 
serendah mungkin agar butir-butir pasir maut tadi tidak 
sampai mengenai dirinya sendiri.

Akan tetapi Pendekar Bayangan tidak membiarkan 
lawannya begitu saja nganggur selagi cekakaran 
menghindari terjangan butir-butir pasir maut secepat kilat 
ia menyampokkan tongkat cabangnya ke arah kaki Ki 
Bango Wadas serta mengaitnya dengan tepat dan 
hilanglah keseimbangan tubuhnya. 
Keruan saja pendekar berkepala botak dari muara Kali 
Serang tersebut jatuh terjerembab di atas tanah sambil 
memaki-maki pedas serta meludah-ludahkan tanah yang 
masuk kemulutnya! - Iblis laknat! Topeng bobrok keparat! 
Kau kelewat batas menghinaku. Awas tunggu serangan 
berikutnya!” 
“Hi, hi, hi, bukankah cukup enak makan gum-palan-
gumpalan tanah itu?” ujar Pendekar Bayangan seraya 
berguncang-guncang tubuhnya menahan ketawa. “Rasanya 
asin-asin gurih bukan?!” 
“Keparat! Terimalah seranganku ini!” seru Ki Bango 
Wadas sekaligus menyerang kembali dengan pukulan 
senjatanya yang berdesing mengerikan. 
“Wuuuttt wuut-wuutt.” Kini penggada berduri di tangan 
Ki Bango Wadas semakin garang gerakannya dan 
menyerang dengan segala kemampuannya. 
Biarpun Pendekar Bayangan juga bergerak hebat, 
namun Ki Bango Wadas yang telah mengerahkan ilmu 
permainan penggadanya yakni—Bindisrewu—tidak bisa 
dianggap enteng begitu saja. Kini penggada berduri logam 
tadi tampaknya menjadi beribu-ribu jumlahnya dan 
menyerang bertubi-tubi ke segala bagian tubuh Pendekar 
Bayangan. 
Setiap pukulan penggada berduri logam tersebut 
menerbitkan angin berputaran menyebabkan debu dan 
daun-daun kering bertaburan ke atas. Untuk serangan-
serangannya ini. Ki Bango Wadas sudah bisa memastikan 
bahwa pendekar bertopeng putih ini akan segera binasa 
atau paling sedikit mengalami cedera. Apalagi ujung-ujung 
duri logam pada ujung senjatanya pernah dipolesi oleh 
racun yang mematikan.

Menghadapi serangan-serangan yang sedemikian ganas 
dan garangnya, Pendekar Bayangan tidak berani lagi 
bermain-main atau setengah-setengah tenaga melayani 
serangan Ki Bango Wadas itu. Maka diam-diam ia 
menggerakkan ilmu geraknya Samparangin yang mem-
buat gerakan tubuhnya menjadi ribut, seribut angin 
prahara yang mampu menyambar dan menyapu setiap 
tetumbuhan di muka bumi hingga roboh sampai seakarnya. 
Dalam sekejap mata saja gerakan Samparangin beraksi 
menyelinap di antara celah-celah libatan senjata Ki Bango 
Wadas yang berjurus Bindisrewu. 
Sedikit demi sedikit jurus Bindisrewu tersebut tertindih 
oleh gerakan Samparangin yang makin ketat melibat tubuh 
Ki Bango Wadas. Ditambah pula ujung tongkat cabang si 
Pendekar Bayangan mematuk-matuk dan menyambar 
laksana moncong ular menyemburkan bisa mautnya. 
Bukan main kagetnya Ki Bango Wadas menghadapi 
serangan-serangan sehebat itu. Kemudian terasa pula 
bahwa gerakan senjata Bindisrewu dari dirinya seperti 
surut dan tanpa daya lagi. 
Pada suatu kesempatan yang dinanti-nanti, tiba-tiba 
saja Pendekar Bayangan menusukkan ujung tongkat 
cabangnya kedada Ki Bango Wadas dan tepat mengenai 
sasarannya, meskipun gerak tusukan tadi tidak di-
lancarkannya dengan sepenuh tenaga. 
“Heeeekk!” terdengarlah keluhan pendek dari mulut Ki 
Bango Wadas sambil melontarkan dirinya surut ke 
belakang beberapa tombak. Dengan demikian ia telah 
berusaha mengurangi tenaga tusukan dari tongkat 
Pendekar Bayangan sehingga tidak sampai dadanya 
berlobang. 
Meskipun begitu, tak urung Ki Bango Wadas merasakan 
betapa dadanya tiba-tiba menjadi sesak. Sementara itu, 
Pendekar Bayangan tidak terus menyerang, melainkan 
berdiam diri di tempat sambil mengawasi segala gerak-
gerik Ki Bango Wadas. 
Pendekar berkepala separo botak itu kembang kempis

mengatur nafas dan dadanya kelihatan turun naik meng-
hirup serta menghembus udara lewat hidungnya. Sedang 
matanya yang tajam itu melirik ke arah Lawunggana si 
murid tunggalnya yang masih terbaring di tanah ditunggui 
oleh Endang Seruni. 
Dilihatnya kedua anak muda itu dengan mesranya saling 
bercakap-cakap dan tentu saja Ki Bango Wadas merasa 
kurang senang karenanya. 
Untuk beberapa saat suasana di tempat itu terasa sepi 
tanpa suara percakapan manusia kecuali desah angin 
siang membelai puncak-puncak pohon dan rerumputan di 
tepi Kali Serang ini. 
Sekonyong-konyong dan dengan gerakan yang secepat 
kilat menyambar. Ki Bango Wadas tahu-tahu telah melesat 
ke arah Lawunggana terbaring. “Hyaat!” 
Gerakan ini sungguh di luar dugaan siapa saja. Tubuh Ki 
Bango Wadas mirip gerakan burung bangau berparuh dan 
berkaki panjang yang dengan sebat menyambar tubuh 
Lawunggana sementara kakinya mengirimkan angin 
dupakan ke pundak Endang Seruni. 
Akibatnya gadis ini terperanjat dan mencoba mengelak 
ke samping, tetapi ternyata angin tendangan dari Ki Bango 
Wadas lebih cepat datangnya. Maka hempas rebahlah 
Endang Seruni di atas rerumputan, karena terlanggar oleh 
angin tendangan tersebut. 
Selanjutnya Ki Bango Wadas sambil mengempit tubuh 
Lawunggana, tak ubahnya seorang botoh mengempit jago 
aduannya, lalu melesat ke arah utara dalam loncatan-
loncatan panjang selincah belalang. Sejurus kemudian 
Endang Seruni cepat bangun dan mencoba mencegah 
tubuh Lawunggana yang setengah sehat itu dibawa lari 
oleh gurunya, Ki Bango Wadas! 
Akan tetapi apa daya orang selemah Endang Seruni 
yang tidak pernah mengenal dengan dalam akan gerakan-
gerakan silat. Maka tanpa berdaya sedikitpun ia tak 
mampu mengejar loncatan-loncatan Ki Bango Wadas. 
Gadis ini cuma sempat meratap sambil menitikkan air

mata. “Oookh, kakang Lawunggana.” Sebentar itu pula, 
tubuh Ki Bango Wadas beserta muridnya telah lenyap 
ditelan oleh semak belukar di sebelah utara. Sambil 
memperdengarkan suara tertawa serta ancamannya. 
“Pendekar Bayangan!! Tunggulah dalam kesempatan 
lamnya. Kau pasti mampus di tanganku!!” 
Mendengar ini baik Mahesa Wulung maupun Pandan 
Arum dan Endang Seruni merasa meremang tengkuknya 
oleh kata-kata ancaman dari Ki Bango Wadas tadi. Namun 
berbeda dengan si Pendekar Bayangan yang masih saja 
berdiri di tempatnya sambil memperdengarkan tertawa 
menggelegas dan manggut-manggut. 
Begitulah akhirnya ketegangan tadi berlalu seperti 
lalunya angin bertiup di siang ini. Si Pendekar Bayangan 
perlahan-lahan melangkah mendekati Mahesa Wulung 
yang lagi ditunggui oleh Pandan Arum dan Endang Seruni. 
“Oookh, terima kasih bapak Pendekar Bayangan. Andika 
telah muncul dan menolongku dalam saat-saat yang 
sangat tepat!” ujar Mahesa Wulung seraya tersenyum. 
“Hmmm, yah, yah. Sedari kejadian yang pertama, aku 
telah mengikutinya, angger Wulung,” berkata si Pendekar 
Bayangan seraya berjongkok di samping tubuh Mahesa 
Wulung. 
“Aku memang bermaksud berkunjung ke daerah ini dan 
menengok Ki Lurah Mijen, sebab telah agak lama merasa 
rindu kepada Ki Lurah dan desa Mijen ini. Kau ingat bukan, 
bahwa kita pernah tinggal bersama-sama di sini ketika 
menghadapi gerombolan Topeng Reges??’ 
“Benar, bapak.” jawab Mahesa Wulung. “Begitupun 
saya, telah lama pula ingin bertemu dan bercakap-cakap 
dengan andika.” 
“Mmm, tentunya banyak pengalaman-pengalaman kita 
masing-masing yang perlu kita ceritakan.” sambung 
Pendekar Bayangan. “Tapi lebih dulu harus kupulihkan 
kelumpuhanmu ini. Kau telah tertotok jalan darah serta 
urat-urat rongga dadamu, sehingga nafasmu menjadi 
sesak dan tidak lancar.”

“Dapatkah ia sembuh dengan segera bapak??” bertanya 
Pandan Arum dengan nada kecemasan. 
“Heh, heh, heh, jangan kuatir, angger. Ia akan ku-
sembuhkan sekarang!” ujar si Pendekar Bayangan 
sekaligus mengurut-urutkan jari jemarinya ke leher Mahesa 
Wulung lalu menurun ke pundaknya. Selanjutnya tiba-tiba 
kedua belah ujung tangan Pendekar Bayangan menotok 
berbareng ke arah dada Mahesa Wulung sehingga 
Pendekar Demak ini mendesis pendek. “Haaekkk!” 
Mahesa Wulung sesaat menyeringai sebab dadanya 
merasa dialiri oleh aliran hawa panas yang menyengat dan 
kemudian menyebar ke segenap rongga dadanya. 
Bahkan lebih dari itu, terasa seakan-akan urat darahnya 
kembali bekerja dengan sempurna dan darahpun mengalir 
dengan lancar lewat pembuluh darah membawa udara 
bersih ke paru-paru dan jantungnya. Kekuatannya pulihi 
kembali. Maka tak heran bila nafas Mahesa Wulung 
kembali lancar dan cepat-cepat ia bangkit dan duduk 
bersama-sama mereka. 
***

DUA

PENDEKAR BAYANGAN tampak menghela nafas 
dalam-dalam serta menatap kepada Mahesa Wulung 
dengan lega. Sedang Pandan Arum serta Endang 
Seruni tak henti-hentinya mengagumi si penolong yang 
berkedok putih ini. 
“Mengapakah angger sampai melibatkan diri bertempur 
dengan murid si Bango Wadas tadi?” bertanya Pendekar 
Bayangan kepada Mahesa Wulung. 
“Itu terjadi karena kesalah fahaman dan dendam si 
Lawunggana yang sesat terhadap saya.” berkata Mahesa 
Wulung menjelaskan sebab-sebab terjadinya pertarungan 
antara Lawunggana dengan dirinya. “Sebelumnya antara 
kami berdua tidak pernah bertemu, berkenalan, apalagi 
sampai saling berselisih. Ternyata, si Lawunggana itu yang 
sejak semula telah mencintai adi Endang Seruni, telah 
mencemburukan adi Endang Seruni dengan diriku. Nah, 
inilah rupanya sumber dendam si Lawunggana tadi!” 
Pendekar Bayangan mengangguk-angguk oleh 
penuturan Mahesa Wulung, sementara otaknya mem-
bayangkan peristiwa-peristiwa yang lalu ketika ia bersama-
sama Mahesa Wulung tinggal di desa Mijen ini untuk meng-
hadapi pengacauan Ki Topeng Reges dan anak buahnya. 
Ya, Pendekar Bayangan juga tahu bahwa Mahesa 
Wulunglah yang telah membebaskan Endang Seruni dari 
tangan anak buah Ki Topeng Reges. Juga ia tahu, bahwa 
Mahesa Wulung telah menolak kawin dengan Endang 
Seruni sebagai hadiah atas kemenangan sayembara. 
Bagaimanapun juga Pendekar Bayangan dapat meng-
hargai atas sikap Mahesa Wulung tadi. Satu sikap luhur 
yang menunjukkan betapa besar cinta Mahesa Wulung 
kepada kekasihnya yakni Pandan Arum.

“Angger Mahesa Wulung. Sayang Ki Bango Wadas telah 
minggat dan membawa serta si Lawunggana.” ujar 
Pendekar Bayangan. “Dari wajah Lawunggana aku dapat 
mengambil kesimpulan, bahwa ia sebenarnya orang yang 
baik hati!” 
“Benar, bapak.” sela Endang Seruni. “Memang aku telah 
mengenal kakang Lawunggana semenjak kecil mula dan ia 
adalah orang yang baik-baik!” 
“Itulah sayangnya ia mendapat didikan yang sesat dari 
Ki Bango Wadas, yang mengutamakan kekerasan dan 
kekasaran. Untuk ini aku tak perlu heran sebab sedikit 
banyak aku telah mengenal siapa Ki Bango Wadas itu 
sebenarnya.” ujar Pendekar Bayangan dan kata-kata ter-
sebut cukup membuat Mahesa Wulung terperanjat. 
“Jadi bapak pernah mengenal Ki Bango Wadas itu?!” 
seru Mahesa Wulung. “Mmm, tentulah dia orang yang 
hebat.” 
“Heh, heh, heh, heh, memang orang yang hebat si 
kepala botak itu!” kata Pendekar Bayangan. “Ia telah ter-
kenal sejak mula kerajaan Demak berdiri.” 
“Sejak Demak berdiri?!” berseru Mahesa Wulung 
dengan terhenyak bagai disengat lebah. 
“Heh, heh, heh. Waktu itu ia masih muda sekali.” 
Pendekar Bayangan berkata. “Dan pada suatu ketika ia 
melamar ke Demak untuk menjadi calon tamtama dari 
pasukan kerajaan. Akan tetapi sayangnya ia sering 
menunjukkan kekasaran serta sikapnya yang selalu 
menyombongkan kesaktian dirinya, sehingga akhirnya 
Sultan tidak mau menerimanya. Hal ini rupanya membawa 
kejengkelan dalam hati Bango Wadas Anom. Maka pemuda 
sakti inipun meninggalkan kota Demak dengan kemarahan 
serta dendam yang berkobar di dadanya. Akhirnya dia 
menjadi seorang Pendekar liar yang sering mengganggu 
kearnanan dan ketenteraman. Di mana dia berada, di situ 
pulalah timbul perselisihan-perselisihan serta pertarungan 
yang kadang-kadang memakan korban jiwa. Nama Bango 
Wadas Anom tersebut semakin ditakuti, makin disegani
oleh orang-orang dan akhirnya juga disingkiri oleh mereka. 
Meskipun ia mula-mula merasa bangga atas hal ini, namun 
toh kesudahannya ia menjadi kesepian juga. Betapapun 
juga kecilnya, setiap manusia masih memerlukan bergaul 
dan berhubungan dengan manusia lainnya. Keadaan 
tersebut justru menambah dendamnya terhadap setiap 
orang, terhadap siapa saja yang dijumpainya. Karena itu, 
akhirnya sekelompok prajurit-prajurit Demak telah men-
coba menangkapnya. 
Tentu saja Bango Wadas Anorn tidak tinggal diam dan 
iapun melawan dengan sekuat tenaga dan kesaktiannya. 
Pertarungan hebat seketika berkobar. Pada kesempatan 
inilah ia menumpahkan segala dendam dan kemarahan-
nya. Maka tak perlu heranlah bila dalam beberapa jurus 
gebrakan kemudian Banyo Wadas Anom berhasil meroboh-
kan lima orang korban tanpa nyawa lagi, sedang tiga orang 
lainnya roboh terluka parah! 
Beberapa orang sisa pasukan Demak yang merasa tak 
mampu lagi menandingi Bango Wadas cepat-cepat berlari 
meminta bantuan ke kota. 
Begitulah, pertempuran hebat untuk kedua kalinya ber-
kobar lagi. Kali inipun dari kalangan prajurit-prajurit tidak 
bisa memandang dengan sebelah mata kepada Bango 
Wadas Anom. Mereka terpaksa mengakui keunggulan si 
pendekar liar ini. 
Kembali berjatuhan beberapa korban dari pihak prajurit-
prajurit Demak, tetapi lainnya masih terus mengepung 
Bango Wadas Anom dan menyerang dengan sengitnya. 
Mereka telah bertekad lebih baik mati bersama rekan-
rekannya dari pada ngacir berlari meninggalkan lawannya 
yang cuma seorang diri. 
“Hayo prajurit-prajurit Demak! Jangan rnaju satu 
persatu! Tuangkan seluruh teman-temanmu ke mari, dan 
aku akan melayaninya!” teriak Bango Wadas Anom dengan 
garangnya. “Kalian akan mampus, binasa satu persatu 
ditanganku. Hua-ha-ha-ha inilah Bango Wadas Anom yang 
telah ditolak sebagai calon tamtama Demak dan sekarang

kalian akan merasakan betapa sepak terjangku!” 
Sekali lagi Bango Wadas berkelebat dan beberapa orang 
prajurit pengepungnya terpelanting roboh ke tanah oleh 
sambaran kayu penggada ditangan Bango Wadas. 
Senjatanya yang tampaknya sederhana itu ternyata ter-
buat dari galih atau hati kayu pohon asam yang sangat 
keras dan ulet. Setiap pukulan dengan senjata ini akan 
menyebabkan maut atau paling sedikir patah tulang 
belulangnya. Maka celakalah bila lawan yang tak berilmu 
berani memapaki serangan gada kayu galih asam tadi! 
Tiba-tiba saja dalam keadaan yang sangat kritis dan 
tanpa harapan bagi prajurit-prajurit Demak itu, berkelebat-
lah sesosok bayangan manusia dari balik pepohonan lebat 
langsung melesat ke arah Bango Wadas Anom. 
Kedatangan orang ini sangat tepat sebab bersamaan 
Bango Wadas Anom akan menghajarkan penggadanya ke 
kepala seorang prajurit Demak yang telah kecapaian dan 
terlongoh-longoh saking lelahnya. 
Si pendatang tadi sekonyong-konyong dengan sebat 
membenturkan senjatanya yang senantiasa berputar bagai 
baling-baling ke arah penggada Bango Wadas yang tengah 
meluncur ke bawah. “Craaaakkk!” 
“Keparat! Setan alas!” umpat Bango Wadas sambil me-
loncat ke belakang menjauhi si pendatang tadi. 
Kini Bango Wadas Anom dapat menyaksikan lawan 
barunya, seorang pemuda yang berumur sebaya dengan 
dirinya dan pada tangannya tergenggamlah sebuah senjata 
nenggala yang berujung dua buah sangat runcingnya dan 
berkilatan ditimpa sinar matahari pagi. 
Dengan memegang pada pertengahannya, maka senjata 
tadi dapat diputar secepat baling-baling dan sepintas lalu 
akan miriplah dengan senjata nenggala si Prabu Baladewa 
dan cerita Pewayangan yang katanya mampu memukul 
hancur sebuah gunung anakan dan mengeringkan sebuah 
lautan yang dikenainya dengan senjata nenggala tadi. 
“Siapa kau haa? Mencampuri urusanku di sini!” seru 
Bango Wadas Anom seraya melototkan matanya ke arah si

pendatang tadi. “ Apakah kau sudah bosan hidup juga?” 
“Ha, ha, ha, Bango Wadas Anom! Memang hebat sekali 
sepak terjangmu ini. Aku lihat beberapa prajurit Demak 
telah terkapar mati!” ujar si pendatang. 
“Memang hebat, dan jika umurmu masih panjang, kau 
akan segera tahu bahwa besok hari pada ujung 
penggadaku ini akan kau lihat duri-duri logam yang aku 
pasang di situ sebanyak jumlah orang-orang yang telah 
mati itu!” 
“Luar biasa!” desis si pendatang baru itu. “Itulah sudah 
sepantasnya bila lamaranmu sebagai calon tamtama 
Demak telah ditolak karena kekejaman dan kekerasanmu!” 
“Itu sudah menjadi pendirianku serta keyakinan yang 
telah mendarah daging di tubuhku!” seru Bango Wadas 
Anom. “Siapa yang kuat dan paling keras, pastilah akan 
paling berkuasa di dunia ini! Dialah orang yang paling 
ditakuti!” 
“Hmmm kau lupa! Bukan hanya dengan kekerasan serta 
kekuatan saja orang dapat berkuasa tetapi dengan 
keluhuran, akan kebijaksanaan serta keadilan orangpun 
dapat pula disegani!” 
“Bagus, kita bertentang pendirian. Sakarang akan kita 
buktikan siapa di antara kita yang paling kuat.” 
“Heh, heh, heh. Aku senang mendengar tantanganmu 
tadi. Namun rupanya kau belum tahu dengan siapa engkau 
berhadapan!“ ujar si pendatang. 
“Lhah, siapa namamu he?! Kau kira aku takut men-
dengar nama yang kau ucapkan!” seru Bango Wadas Anom 
sombong. 
“Nah, kenallah lebih dulu. Aku biasa disebut orang si 
Banyaksekti, saudara seperguruan Ki Kebo Kenanga dari 
perguruan Pengging!” ujar si pendatang dengan tenangnya. 
“Kau?! Kau orang yang bernama Banyaksekti dari 
Pengging?” berseru Bango Wadas Anom dengan muka 
terperanjat. Nama tadi telah sering didengarnya sebagai 
nama yang paling ditakuti oleh para penjahat, maka sedikit 
banyak iapun tergetar pula olehnya. Meskipun begitu

Bango Wadas Anom malah tertawa terbahak-bahak. “Heh, 
kebetulan sekali kalau begitu. Ayo, sambutlah senjataku 
ini!” 
Banyaksekti terperanjat sebab begitu selesai berkata 
tahu-tahu senjata galih asam si Bango Wadas telah 
menyelonong menuju ke arah wajahnya. 
Untungnya si Banyaksekti cepat bertindak! Dengan 
kecepatan angin senjata nenggala di tangannya berkelebat 
memapaki serangan lawan dan menyebabkan benturan 
keras. “Traaang!!” 
Bango Wadas Anom terkejut seketika. Tidak dinyana bila 
serangannya yang cermat tadi meleset dari sasaran akibat 
tangkisan lawan. Ujung penggadanya tadi meluncur satu 
jengkal dari pelipis Banyaksekti. 
Dalam saat yang sama pula tiba-tiba kaki kiri 
Banyaksekti mengirimkan tendangan manis ke perut 
Bango Wadas disusul bunyi berkerocak dan keluhan ter-
tahan. Bango Wadas Anom buru-buru meloncat ke 
samping, tapi sesaat kemudian iapun muntah-muntah 
dengan wajah kepucatan. Sungguh hebat tendangan 
Banyaksekti. 
Melihat ini Banyaksekti tertawa terkekeh-kekeh dan 
karenanya Bango Wadas makin bertambah garang saking 
marahnya. Kembali ia menyerang Banyaksekti dengan 
serangan-serangan maut. Penggadanya tadi berkelebat 
menyambar-nyambar ke sekeliling tubuh Bango Wadas 
dengan rapatnya tanpa ampun. 
Namun sekali lagi Bango Wadas terkecoh, bila ke 
nyataannya Banyaksekti senantiasa mampu mengatasi 
serangan-serangannya dan tak lama kemudian iapun 
merasa bahwa senjata nenggala Banyaksekti berkali-kali 
mengancam tubuhnya. 
Putaran senjata lawannya yang berujung runcing pada 
kedua belah ujung pangkalnya berkilatan membuat hati 
Bango Wadas tergetar pula karenanya. Ia terpaksa bekerja 
keras bila tidak ingin tubuhnya di tembus oleh nenggala si 
Banyaksekti yang sekali-sekali sempat pula menggores

kulit dagingnya. 
Untungnya si Banyaksekti cepat bertindak! Dengan 
kecepatan angin senjata nenggala ditangannya berkelebat 
memapaki serangan lawan yang menyebabkan benturan 
keras. “Traaaang!!!!” 
Akhirnya Bango Wadas Anom merasa bahwa tenaganya 
akan menjadi habis bila diterus-teruskan bertempur 
melawan si Banyaksekti yang selincah burung sikatan 
melesat ke sana ke mari itu. 
Begitulah, sebuah tendangan kaki Banyaksekti tak 
sempat dihindarinya dan terpentallah Bango Wadas Anom 
ke samping beberapa langkah. Akan tetapi di saat itu pula 
ia telah menyiapkan serangkaian serangan maut. 
Sambil berjumpalitan, tangan kiri Bango Wadas tiba-tiba 
merogoh ikat pinggangnya dan begitu berkelebat mengibas 
meluncurlah beberapa jarum beracun ke arah Banyaksekti 
dengan cahaya berkeredapan. “Sringng!” 
Melihat serangan ini Banyaksekti tidak kehilangan akal. 
Tangan kanannya yang menggenggam nenggala, berputar 
ke kiri ke kanan dengan cepat dan lincah menyambut 
sambaran-sambaran jarum beracun tadi. 
Maka terdengarlah bunyi berdenting-denting susul 
menyusul dan rontoklah ke tanah jarum-jarum beracun 
tersampok oleh nenggala Banyaksekti. 
Hal ini merupakan keuntungan bagi Banyaksekti sebab 
kedua matanya segera menyaksikan betapa rumput-
rumput dan tetumbuhan yang terkena jarum beracun tadi 
menjadi layu serta mengering beberapa saat kemudian. 
Terbayanglah olehnya seandainya tubuhnya ditembusi oleh 
jarum-jarum beracun tadi pasti akan mengalami nasib yang 
sama. 
Pada saat Banyaksekti menangkis serangan jarum 
beracun tadi si Bango Wadas Anom menggunakan 
kesempatan yang paling baik ini dengan melesat ke luar 
gelanggang pertempuran seraya berkaok-kaok. “Banyak-
sekti! Tunggulah saatnya nanti. Kita akan bertemu lagi 
untuk melanjutkan pertemuan ini!!” Bango Wadas lenyap di

balik kelebatan pohon-pohon dan tempat itu kembali sepi, 
kecuali beberapa erangan prajurit-prajurit yang terluka 
parah, sementara beberapa prajurit Demak lainnya yang 
masih selamat masih saja terhenyak oleh pertempuran 
yang baru saja berakhir tadi. 
Banyaksekti tak tinggal diam. Ia segera mengajak para 
prajurit tadi untuk menolong rnereka-mereka yang masih 
sempat ditolong, sedang kepada mereka yang telah mati 
segera pula dikuburnya baik baik. 
Sejak itu, Bango Wadas tak terdengar lagi kabar berita-
nya. Ada sementara orang yang mengabarkan bahwa ia 
mengasmgkan diri di suatu tempat untuk memperdalam 
ilmu dan kesaktiannya. Sedang orang lain mengabarkan 
pula, bahwa setiap orang yang dijumpai tentu dibunuhnya. 
Begitulah kabar bersimpang siur terdengar dari sana-sini. 
Namun sampai sejauh itu, Bango Wadas ternyata tidak 
pernah muncul kembali dan orangpunn mulai melupakan-
nya pula. 
Pendekar Bayamian mengakhiri ceritanya dan ke-
heningan kembali mencekam suasana. Mahesa Wulung 
berdiam diri, juga Pandan Arum dan Endang Seruni. 
“Nah, angger bertiga,” ujar Pendekar Bayangan pula, 
melanjutkan bicaranya. “Begitu tadii cerita tentang Ki 
Bango Wadas yang diceritakan sendiri oleh sahabat 
karibku yakni si Banyaksekti sendiri.” 
“Ooh, Banyaksekti itu juga sahabat bapak?!” seru 
Mahesa Wulung setengah kagum. “Sungguh bahagia 
tentunya mempunyai sahabat seperti Banyaksekti itu.” 
“Heh, heh, heh, memang benar pendapatmu itu angger.” 
ujar Pendekar Bayangan seraya ketawa lirih. “Sekarang 
agaknya hari sudah terlalu siang. Baiknya kita kembali ke 
desa Mijen saja, angger Wulung. Aku ingin berjumpa 
dengan Ki Lurah. “Baik, bapak. Marilah!” berkata Mahesa 
Wulung mempersilakan Pendekar Bayangan yang telah 
bangkit dari duduknya. 
“Sebentar angger Wulung!” sela Pendekar Bayangan. 
“Aku harus lebih dulu melepas topengku ini sebelum tiba di

desa. Jika tidak, aku kuwatir kalau-kalau disangka tukang 
penari topeng barongan yang kesiangan.” 
Pendekar Bayangan lalu melepas topengnya yang 
berwarna keputihan serta menyimpannya di balik bajunya 
yang juga berwarna keputihan. Maka sebentar kemudian 
Mahesa Wulung bertiga dapat menyaksikan wajah seorang 
tua yang masih nampak segar dengan sorot mata yang 
bening dan bercahaya, membuat Pandan Arum yang belum 
pernah melihatnya terpaksa tercengang kagum. 
Tak lama kemudian mereka berempat bergegas menuju 
ke jalan desa Mijen yang letaknya tidak jauh lagi. Beberapa 
semak pohon bambu tumbuh di kiri-kanan jalan berseling-
seling pohon kelapa. 
***
TIGA

Ki LURAH MIJEN tampak mondar-mandir di pendapa 
kelurahan desa Mijen sedang Nyi Lurah diam-diam 
saja duduk di atas balai-balai. 
Pada wajah Ki Lurah Mijen terlihat gurat-gurat 
kecemasan yang mendalam, lebih-lebih dengan munculnya 
Lawunggana yang akhirnya disusul pula dengan per-
tarungan antara pemuda itu dengan Sorogenen. 
Akan tetapi Ki Lurah Mijen tiba-tiba berhenti demi 
didengarnya suara orang Bercakap-cakap dari arah 
halaman Kelurahan. 
Seperti digerakkan oleh tenaga naluriah Ki Lurah segera 
melayangkan pandangannya ke arah halaman. 
“Oh...” Ki Lurah melihat empat orang menuju ke 
halaman Kelurahan dan ia segera dapat mengenalnya. 
Mereka adalah Mahesa Wulung, Pandan Arum, Endang 
Seruni dan yang seorang lagi? 
Ki Lurah mencoba mengingat-ingat dan memusatkan 
pikirannya. “Ooooo, siapakah dia? Rasanya aku telah lama 
mengenalnya.” pikir Ki Lurah beberapa saat dan akhirnya 
ia menampakkan wajah cerah. 
“Hee, ya. Aku tak keliru lagi. Dia adalah Ki Pendekar 
Bayangan!!!” 
Maka Ki Lurah segera bergegas keluar dan 
menyongsong mereka seraya berseru. “Ki Pendekar 
Bayangan! Ooo, andika masih teringat dengan desa yang 
buruk ini?” 
“Heh, heh, heh, janganlah terlalu merendah Ki Lurah. 
Desamu justru sangat indah sehingga aku memerlukannya 
untuk singgah di sini kembali.” ujar Pendekar Bayangan 
dengan tersenyum lebar. 
“Ayo, ayo, kita terus masuk saja ke dalam!” berkata Ki 
Lurah Mijen terbata-bata mempersilakan tamunya yang 
baru ini masuk ke pendopo.

Mereka duduk di atas balai-balai kayu dan kemudian Ki 
Lurah membahagiakan tamunya, menanyakan tentang 
kesehatan Ki Pendekar Bayangan dan lain-lainnya. 
“Hmm, aku memang sengaja datang ke mari Ki Lurah.” 
Pendekar Bayangan berkata. “Sebab aku sedikit banyak 
mulai mencium adanya bahaya yang menyangkut diri Ki 
Lurah!” 
“Eeeh, bahaya apa itu, sahabat? Apakah andika mau 
menakut-nakuti diriku yang sudah tua ini,” ujar Ki Lurah 
dengan wajah yang setengah ketakutan tapi juga setengah 
senyum, sehingga nampaknya sangat lucu. 
“Heh, heh, heh, aku berkata sebenarnya Ki Lurah. 
Dengarlah baik-baik. Ketika aku lewat di kota Asemarang 
dan bersinggah di sebuah warung minum di dekat bandar 
pelabuhan, aku melihat seorang pengunjung yang 
setengah mabuk dengan bau tuak menghambur dari 
mulutnya. 
Ia mengomel semaunya dengan kata-kata begini. “Hoek, 
hoooeeek, aku akan segera kaya dengan harta Tanjung 
Bugel dan Ki Lurah Mijen tahu itu semua, hoooeeeekkk!!” 
Mendengar ini seketika wajah Ki Lurah Mijen ter-
peranjat, tak terkecuali Mahesa Wulung, Pandan Arum dan 
Endang Seruni pula. 
Hal itu tentu saja mengejutkan mereka, lebih-lebih bagi 
Ki Lurah yang namanya telah disebut sebut oleh si 
pemabuk itu, maka tak ada salahnya jika Ki Lurah buru-
buru berkata kepada Pendekar Bayangan. 
“Eh. siapakah orang itu, sahabat?” 
“Nah, itulah aku yang kurang tahu Ki Lurah. Beberapa 
saat kemudian sebelum aku sempat bertanya kepada 
orang mabuk itu, tahu-tahu mendekat seorang berwajah 
garang yang langsung menuju ke arah si pemabuk itu, lalu 
berkata seraya menggerutu marah. Selanjutnya ia 
memapah si pemabuk tadi ke luar dari warung. Aku cepat-
cepat membuntutinya keluar tapi aku tak mendapati apa-
apa kecuali debu berkepul ke udara diseling bunyi derapan 
kaki-kaki kuda yang makin menjauh dan lenyap di

kegelapan malam.” 
“Sangat berbahaya!!” desis Mahesa Wulung setengah 
menggeleng-geleng. “Hidung-hidung liar rupanya lebih 
cepat membau akan harta terpendam di Tanjung Bugel 
itu!!” 
“Heran sekali aku!” sela Ki Lurah pula. “Dari mana 
mereka dapat mengetahui perihal harta tersebut? Tetapi, 
yah! Aku agak ingat sekarang bahwa di antara para 
pengawal rombongan saudagar yang menanam harta tadi 
di sana, ada seorang yang aku curigai!” 
“Hooa, lika-liku persoalan ini makin bertambah jelas 
rupanya!” seru Pendekar Bayangan. “Jadi Ki Lurah benar-
benar mengenal orang yang andika curigai itu?!” 
“Kenal sekali!” tukas Ki Lurah Mijen. “Sekarangpun 
seandainya berjumpa, aku masih bisa mengenalinya!” 
Mendengar kalimat itu Pendekar Bayangan meng-
angguk-angguk mengerti dan berkata pula. “Apakah ia 
mempunyai cacad atau bekas tanda luka pada dahinya?!” 
“Tepat sekali! Ketelitian andika semakin membuatku 
bertambah jelas! Ya, orang itu memang pada dahinya 
berbekas tanda luka dan namanya si Blending. Dia adalah 
seorang yang suka minum tuak. Meskipun sudah kenyang 
perutnya dengan minuman tuak, tapi bagi dia belum ada 
artinya, maka dia akan menghabiskan beberapa lodong 
lagi sampai betul-betul perutnya bulat bagai tempayan, 
Nah, oleh sebab itulah dia bernama si Blending.” 
“Hmmm, namanya memang sesuai!” desis si Pendekar 
Bayangan manggut-manggut. “Pantas saja kalau pada 
waktu aku melihat si Blending itu, di atas mejanya aku lihat 
beberapa lodong tuak yang telah kosong berserakan. 
Rupanya baru saja habis diminumnya dengan tandas.” 
“Dengan demikian,” sela Mahesa Wulung. “Jelaslah 
bahwa harta dari Tanjung Bugel itu banyak yang 
mengincarnya!” 
“Sebaiknya kita harus cepat-cepat mendapatkan harta 
itu lebih dulu, angger.” ujar Pendekar Bayangan pula. 
“Dan bapak akan bersedia membantu kalian untuk

mencarinya.” 
“Terima kasih, sahabat!” Ki Lurah Mijen berkata. 
Bantuan andika sangat kami butuhkan memang! Sebab 
tentunya si Blending yang andika ceritakan tadi tidak 
mustahil mempunyai teman-teman lainnya.“ 
Ki Lurah Mijen kemudian bercerita pula tentang riwayat 
harta Tanjung Bugel secara singkat kepada Pendekar 
Bayangan dan karenanya Pendekar tua itupun menjadi 
tercengang kagum. “Eh, eh, eh. Tidak mengira bahwa ada 
lelakon seelok itu. Mmm, jadi angger Endang Seruni masih 
saudara sekandung dengan nona Pandan Arum!?” 
“Begitulah, bapak.” berkata Pandan Arum seraya 
menepuk bahu Endang Seruni yang duduk di sampingnya. 
“Jadi dia masih adikku sendiri. Adik sekandung yang aku 
ketahui karena kalung kami yang kembar.” 
“Angger sungguh berbahagia, nona Pandan Arum. 
Rakhmat Tuhan telah mempertemukan andika dengan 
adik kandung yang telah terpisah sekian lamanya.” 
Sementara itu Nyi Lurah disertai seorang pembantunya 
segera menyuguhkan minuman serta juadah ketan kepada 
mereka. 
Sedang di luar sang matahari telah bergeser jauh ke 
sebelah barat pertanda bahwa sore akan tiba sebentar 
kemudian. Beberapa ekor kelelawar memberanikan diri 
terbang di udara menyambar-nyambar serangga yang akan 
disantapnya sambil mencicit kegirangan. 
*** 
Dalam pada itu jauh di sebelah utara sana, di daerah 
Muara Kali Serang yang tengah diliputi kabut dan 
ditumbuhi oleh kelebatan pohon-pohon besar, terdengarlah 
suara orang memaki menyumpah-nyumpah dengan 
kerasnya. Kadang-kadang terdengar pula bunyi mem-
bentak-bentak disusul oleh suara lecutan-lecutan keras, 
mengumandang di udara senja yang senyap sepi.

Di balik pohon pohon besar itu, terdapatlah sebuah 
pondok kecil yang tersembunyi letaknya. Suara lecutan-
lecutan tadi ternyata berasal dan samping rumah. Sebuah 
gawang kayu terpasang di situ dan di bawahnya tergantung 
sesosok tubuh manusia pada kedua belah tangannya yang 
terikat pada gawang kayu. 
Di depan gawang itu berdirilah seorang berkepala botak 
dengan memegang sebuah cambuk pendek. Rupanya telah 
berkali-kali ia menghajarkan cambuknya pada seorang 
yang tergantung tersebut dan ini terlihat jelas dari luka-luka 
pada punggungnya yang berjalur-jalur merah padam 
dengan kulit mengelupas serta darah yang membasah. 
“Rasakan kau hah! Lawunggana mulai berhati lunak? 
Ingin jadi perempuan kau, heee?!”- teriak si botak dengan 
marahnya. “Aku si Bango Wadas pendekar jagoan Muara 
Kali Serang tak pernah mengajarmu untuk berhati selunak 
kain bobrok! Kau ternyata kurang memenuhi harapan dan 
sudah selayaknya kau menerima pelajaran dari gurumu ini! 
Terimalah ini!” Ki Bango Wadas berteriak serta meng-
hajarkan cambuk pendeknya kepunggung Lawunggana. 
“Wesss!” 
“Taaaar!” 
Begitu cambuk tadi menimpa dan mendera ke kulit 
punggung Lawunggana bertambahlah lagi sebuah goresan 
merah darah melintang dibarengi kulit mengelupas serta 
darah melekat pada batang cambuk. 
“Eeaaah!” teriak Lawunggana menyeringai saking sakit 
dan pedihnya. Punggungnya serasa terbakar oleh 
berbongkah-bongkah bara api menyala yang tidak bisa 
dihindari, kecuali ia menggemeretakkan giginya menahan 
rasa sakit tadi. 
“Ayo, minta ampun di hadapan gurumu ini!” Kembali Ki 
Bango Wadas berteriak garang seraya mengacung 
acungkan cambuknya ke wajah Lawunggana yang 
bermandi peluh dan debu kotor. 
Lawunggana telah lelah sekali dan setengah pingsan 
maka ia tak bisa berkata-kata dengan jelas, kecuali

merintih. “Aku ... aku ... minta ... maaf ....” 
“Heeh, kau tak bisa berkata keras-keras, hee?” teriak Ki 
Bango Wadas. “Rupamu jadi jelek kalau merintih dan 
berurai air mata seperti itu. Kau harus tertawa sekarang? 
Ayo, tertawa sekarang!” 
Tapi Lawunggana tak dapat memenuhi perintah Ki 
Bango Wadas itu. Mana bisa orang yang telah menderita 
seberat dan separah Lawunggana mampu berkata jelas 
apalagi tertawa seperti orang sehat. 
“Hmm, keparat! Jadi aku harus memaksamu tertawa 
bukan? Haaait!” Ki Bango Wadas yang berwatak bengis itu 
dengan tiba-tiba menotokkan ujung jari-jarinya ke leher 
Lawunggana, tepat pada "urat tertawa" sehingga sejurus 
kemudian tanpa sadar, tanpa ada sesuatu yang lucu atau 
menggelikan, pemuda ini tertawa terbahak, terkekeh-kekeh 
tanpa dia dapat menarik nafas dengan leluasa. “Heh, ha. 
ha. Heh, heh, ha, ha, ha ....” 
Melihat muridnya tertawa tanpa sadar ini, Ki Bango 
Wadas terpaksa ikut ketawa pula. Ia merasa sangat geli 
menyaksikan Lawunggana terus menerus dan sambung 
menyambung tertawa tanpa hentinya dengan mata melotot 
dan leher yang tegang. “Heh, heh, heh. Hah, hah, hah, 
hah...” 
Dengan demikian nafas Lawunggana lama kelamaan 
menjadi sesak dan makin sesak, hingga akhirnya ia 
terkulai lemas lalu pingsan. Tubuhnya tergantung pada 
gawangan kayu tadi, terayun bagaikan bangkai seekor 
binatang buruan yang telah disembelih. 
Melihat ini Ki Bango Wadas meringis puas, lalu berpaling 
dan bergegas menaju ke kamarnya. Ia mengambil 
mangkuk dari tempurung serta sebuah lodong tembikar. 
“Heeh, kau tak bisa berkata keras-keras heee?!” teriak 
Ki Bango Wadas. “Rupamu jadi jelek kalau merintih dan 
keluar air mata seperti itu. Kau harus tertawa sekarang! 
Ayo, tertawa sekarang!!” 
“Heh, heh, heh, dia harus minum lagi "jamu pelupa" ini 
sehingga ia akan kembali ke sifat kejam dan keras yang

telah mulai luntur ini!!” Ki Bango Wadas berpikir seraya 
mendekat ketubuh Lawunggana. “Sekali minum, maka 
lupalah dia akan kejadian kemarin dan selanjutnya akan 
tunduk di bawah segala perintah ku! Heh, heh, heh.” 
Sesudah ia menuangkan cairan jamu yang berwarna 
hijau kecoklatan, Ki Bango Wadas segera menjemba dan 
membuka mulut Lawunggana, dan secepat kilat ia 
meminumkan jamu tersebut ke mulut muridnya, sampai 
tertuang habis. 
Ki Bango Wadas berdiam diri beberapa saat sambil 
menatap ke arah Lawunggana. Ia menunggu kerja serta 
khasiat jamu tersebut. 
Sesaat kemudian Lawunggana mulai bergerak-gerak 
tubuhnya. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan 
segenap kulit tubuhnya. Perlahan-lahan pemuda berkumis 
tebal ini mengangkat kepalanya serta memandang ke 
wajah Ki Bango Wadas dengan mata yang sayu tetapi 
tajam!! Benar-benar mengerikan tak ubahnya mata seekor 
macan kumbag yang kelaparan! 
“Lawunggana!” seru Ki Bango Wadas. “Katakan siapa 
aku!” 
“Kau adalah guruku, Ki Bango Wadas dan kepadamu 
aku menurut segala perintahmu!” Lawunggana berkata 
dengan nada tegas tanpa ragu-ragu. 
“Heh, heh, heh, bagus! Itu bagus Lawunggana!!” teriak 
Ki Bango Wadas dengan senangnya, bagaikan bocah 
ingusan mendapat oleh-oleh dari ibunya. “Itulah yang aku 
harapkan Lawunggana! Kau benar-benar memenuhi 
seleraku!” 
Ki Bango Wadas kemudian melepas ikatan pada kedua 
belah pergelangan tangan Lawunggana dan sebentar saja 
muridnya yang berkumis tebal ini telah berdiri tegak di 
hadapannya. 
“Salamku serta hormatku ke hadapan bapak guru!” ujar 
Lawunggana seraya membungkukkan tubuhnya ke 
hadapan Ki Bango Wadas sedalam-dalamnya. Sedang 
pada wajahnya tidak terbayang lagi akan adanya wajah

lembut ataupun ramah, melainkan wajah garang dan kaku. 
“Nah, kau sekarang lebih baik, Lawunggana! Heh, heh, 
heh, heh.” Ki Bango Wadas berkata sambil terkekeh 
ketawa amat senang. “Sekarang kau boleh istirahat 
sesukamu!!” 
Lawunggana sekali mengangguk dan berkata. “Terima 
kasih, guru!” Dan kemudian ia melangkah ke ruang 
sebelah. 
Dalam pada itu Ki Bango Wadas kemudian duduk di 
atas sebuah bangku dari kayu panjang. Sebuah lodong 
berisi tuak direguknya puas-puas sampai kumisnya basah 
kuyup oleh air tuak. Sambil meletakkan kembali lodong 
tuaknya Ki Bango Wadas menyeka mulutnya dengan 
tangan. 
Beberapa daging bakar segera dilahapnya pula dan 
mulutnya sibuk berkomat-kamit mengunyah. Namun dasar 
Ki Bango Wadas memang seorang pendekar liar yang 
bertelinga tajam meskipun sambil rnengunyah santapan 
daging bakar tersebut, telinganya selalu terpasang untuk 
mendengarkan suara- suara yang mencurigakan. 
Ya, suara mencurigakan! Itulah yang bisa didengar oleh 
telinya Ki Bango Wadas. Beberapa langkah-langkah kaki 
manusia yang berjalan dengan hati-hati, sebentar berhenti 
dan sebentar kemudian melangkah kembali. Mungkin 
maksudnya agar tidak bisa didengar oleh telinga siapapun 
atau paling-paling hanya di anggap sebagai angin yang 
berlalu di sela dedaunan. 
Akan tetapi berhadapan dengan Ki Bango Wadas tidak 
boleh dianggap remeh begitu saja. Ia cepat-cepat bangkit 
dari tempat duduknya sambil memungut tiga buah batu 
kerikil, langsung disambitkan ke arah semak belukar di 
kegelapan malam tidak jauh dari pintu pondok. 
“Siapa itu bersembunyi di sebelah sana! Ayo lekas 
keluar!!” terdengar Ki Bango Wadas berkata seraya 
menunjuk ke arah semak-belukar tersebut. “Kalau tidak 
kalian akan segera binasa di tanganku!!” 
Dari kamar samping, meloncatlah Lawunggana seraya

bertanya kaget. “Ooh mengapa bapak guru?!” 
“Kita ada tamu, Lawunggana.” jawab Ki Bango Wadas. 
Bersiap-siaplah siapa tahu mereka bermaksud jelek 
terhadap kita!!” 
“Baik, guru!” 
Sejurus kemudian dari arah semak helukar muncullah 
tiga sosok tubuh manusia dan berjalan ke arah Ki Bango 
Wadas serta Lawunggana berdiri. 
Apabila ketiga pendatang itu semakin dekat serta 
tercapai oleh cahaya dian minyak, maka tampaklah tiga 
wajah garang yang berdiri di hadapan Ki Bango Wadas 
berdua. 
Ketiganya membungkuk sesaat memberi hormat. 
“Maafkan jika kami bertiga telah membikin andika terkejut, 
Ki Bango Wadas!” ucap seorang bertubuh kekar. “Harap 
andika tidak menjadi gusar dengan kedatangan kami 
bertiga!” 
“Apa maksud kalian datang ke tempat ini!?” bertanya Ki 
Bango Wadas dengan rasa curiga. 
“Kami datang dengan maksud baik-baik!” 
“Maksud baik-baik? Kalau begitu lekas katakan dengan 
jelas!” Ki Bango Wadas berkata. 
“Sabar Ki Bango Wadas! Sebelum kami menjelaskan 
lebih dahulu kami minta kesediaan andika untuk bersekutu 
dengan kami.” 
Mendengar perkataan si kekar tadi Ki Bango Wadas 
menjadi tersinggung karena orang ini tidak langsung 
mengatakan apa keperluannya, sehingga iapun berseru. 
“Kalian bertiga jangan mencoba main-main dengan Ki 
Bango Wadas! Kalau tak ada perlu yang penting lekaslah 
kalian berlalu menyingkir dan tempat ini!!” 
“Bagus kalau andika tak mau diajak bersekutu!” kata si 
tubuh kekar meringis. “Sayang sekali kalau emas intan 
berpeti- peti harus menjadi milik kami sendiri!” 
Habis berkata itu, si kekar dan kedua temannya segera 
bergegas meninggalkan tempat tersebut. Namun mereka 
terpaksa menghentikan langkahnya demi didengarnya Ki

Bango Wadas berteriak. “Tunggu dulu! Kalian tadi me-
ngatakan emas intan berpeti-peti?!” 
“Betul Ki Bango Wadas! Kalau andika tak mau ber-
sekutu biarlah kami ambil sendiri harta itu.” ujar si kekar. 
“Heh, heh, heh. Jika untuk itu, aku bersedia bersekutu 
dengan kalian!” Ki Bango Wadas berkata. 
“Nah, itulah harapan kami. Ki Bango Wadas. Kami 
memilih sekutu kepada andika berdua adalah pendekar 
pendekar gemblengan yang telah terkenal!” 
“Heh, heh, heh! Tidak keliru lagi pilihan anda!” berkata 
Ki Bango Wadas dengan nada bangga, karena pujian dari 
si kekar tadi. “Sekarang katakanlah!” 
“Baik Ki Bango Wadas.” Si kekar berkata, “Lebih dulu 
perkenalkan, kami bertiga adalah utusan Bido Teles dari 
Tanjung Jati. Saya sendiri adalah Sigayam dan yang 
bertubuh gempal pendek ini adalah Bujel, sedang yang 
berperut buncit itu ialah adi Blending!” Demikian Sigayam 
memperkenalkan dirinya serta kedua temannya. 
“Hmm, baiklah. Aku adalah Ki Bango Wadas dan ini 
adalah muridku Lawunggana.” kata Ki Bango Wadas. 
“Begini Ki Bango Wadas. Beberapa hari yang lalu adi 
Bujel ini telah mendapat keterangan bahwa Ki Lurah Mijen 
menyimpan harta emas intan di Tanjung Bugel” berkata 
Sigayam. 
“Haaah?! Harta ernas intan?!” seru Ki Bango Wadas 
setengah kaget bercampur takjub. Kata-kata emas intan 
bagi Ki Bango Wadas sangat menarik, tak ubahnya kata-
kata arak atau tuak bagi seorang peminum. “Tapi 
bagaimana sampai si Bujel dapat mendengar tentang 
harga emas intan itu?!” 
“Hmm sudah lama kami mengintai Ki Lurah Mijen 
tersebut. Belasan tahun yang telah silam adi Blending dan 
ketua kami yang bergelar Bido Teles pernah bersama-sama 
mengawal Ki Saudagar yang berdagang emas intan. Pada 
suatu ketika semua hartanya ditanam di daerah Tanjung 
Bugel yang letak-letak serta tandanya digambarkan pada 
permata hijau "Soca Wilis" yang sekarang berada di tangan

Endang Seruni, yakni putri Ki Lurah Mijen.” demikian kata 
Sigayam. 
“Tapi mengapa Ki Lurah Mijen ada sangkut pautnya 
dengan harta tersebut?” sela Ki Bango Wadas. 
“Heh, heh, heh, sebab sebenarnya Ki Lurah juga salah 
seorang pengawal dari Ki Saudagar itu!!” 
Sambil manggut-manggut, Ki Bango Wadas mengelus-
elus kumisnya. Pikirannya jadi melayang ke desa Mijen 
yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya ini. 
Serasa ia ingin segera tiba di sana serta merenggut kalung 
permata Soca Wilis dari leher Endang Seruni itu! 
Agaknya Ki Bango Wadas masih sedikit ragu dengan 
keterangan Sigayam tadi, lalu secara tiba-tiba ia menatap 
ke arah kaki kiri si Bujel yang dibalut oleh lembaran kain 
putih setengah coklat kotor. 
“Hee, rupanya temanmu itu kurang hati-hati Sigayam!!” 
berkata Ki Bango Wadas seraya menunjuk ke arah kaki 
Bujel yang dibalut. 
“Maaf, Ki Bango Wadas.” ujar Sigayam. “Sebenarnya ia 
cukup hati-hati. Tapi sayangnya ketika ia mengintai dan 
mendengarkan percakapan Ki Lurah Mijen dari atas 
genting sirap pendapa kelurahan, tiba-tiba sebuah ujung 
senjata tajam telah menusuk serta menembus genting 
sirap dari sebelah bawah dan langsung menancap kaki 
Bujel ini!!” 
“Luar biasa!!” desis Ki Bango Wadas kagum. “Si 
penusuk tadi pastilah seorang yang berilmu tinggi!!” 
“Benar Ki Bango, dan untungnya si Bujel masih sempat 
dan lekas-lekas meninggalkan pendapa kelurahan tadi. 
Kalau terlambat sedikit saja, oh pastilah ia telah dirangket, 
diikat oleh mereka!” Sigayam berkata seraya menepuk-
nepuk bahu si Bujel. “Memang di dalam pendapa 
kelurahan tadi ada seorang tamu yang bernama Mahesa 
Wulung.” 
“Mahesa Wulung!” berseru Ki Bango Wadas. “Keparat 
orang itu! Beberapa waktu berselang aku telah bertempur 
dengan dia. Ternyata dia memang seorang pendekar

gemblengan. Ketika itu hampir kubinasakan dia, tapi 
sayang sekali, seorang bertopeng tiba-tiba muncul dan 
menyelamatkan jiwanya!” 
“Nah, itu lah sebabnya kami mengajak bersekutu 
dengan andika Ki Bango Wadas, sebab lawan-lawan yang 
harus kita hadapi bukanlah orang-orang ingusan kemarin 
sore, tetapi adalah pendekar-pendekar pilihan!” 
“Kata-katamu benar Sigayam. Tapi tentang emas itu 
bagaimana pembagiannya setelah kita peroleh nanti?” Ki 
Bango Wadas bertanya. 
“Tak usah kuwatir Ki Bango.” kata Sigayam. “Seluruh 
emas intan yang kita peroleh akan kita bagi rata oleh enam 
orang. Jadi masing-masing menerima seperenam bagian 
dari jumlah harta itu!” 
“Heh, heh, itu berarti bahwa setiap orang harus bekerja 
sungguh-sungguh dan keras! Jika dari pihakmu ada yang 
bekerja seenaknya, bagian emasnya harus dikurangi!!” 
“Itu sangat setuju Ki Bango!” seru Sigayam. Kami juga 
setuju!” ujar Bujel dan Blending berbareng. 
“Nah, jika kita telah sepakat dengan persekutuan ini, 
kami mohon permisi dulu Ki Bango. Kami akan memberi 
laporan kepada ketua Bido Teles dan sepuluh hari lagi 
kami akan datang ke mari!” berkata Si gayam. 
“Bagus, Sigayam.” ujar Ki Bango Wadas. ‘Pulanglah dan 
beri tahu kepada Bido Teles akan persetujuan kami.” 
Selamat jalan!” 
Sigayam, Blending dan Bujel kemudian membungkuk 
hormat dan meminta diri. Mereka segera berlalu 
meninggalkan pondok Ki Bango Wadas di Muara Kali 
Serang itu. 
Mereka melangkah dengan tenangnya, kecuali si Bujel 
yang sedikit terseok-seok setengah pincang langkah kaki-
nya. Sejurus kemudian tubuh mereka bertiga telah lenyap 
di dalam pelukan gelap malam. 
Ki Bango Wadas dan Lawunggana segera pula masuk ke 
dalam kamar setelah mereka mengantar ketiga tamunya 
tadi sampai di halaman. Lawunggana menutup pintunya

sebab hawa malampun bertambah dingin menusuk ke 
dalam daging dan tulang, lebih-lebih seperti hawa di Muara 
Kali Serang ini. Pantaslah bila tempat ini jarang diinjak 
orang, kecuali mereka yang benar-benar berani menempuh 
segala bahaya. 
Malam itu Lawunggana masih terbaring di atas balai 
balai di dalam kamarnya. Matanya sukar dipejamkan 
sebab pikirannya sangat ruwet, sangat kacau. 
Antara kesadaran dan ketidaksadaran pikirannya ber-
perang sendiri. Kadang-kadang ia teringat akan wajah 
Endang Seruni, kekasihnya. 
Tetapi tiba-tiba pula wajah cantik tadi berubah menjadi 
wajah yang jelek, berkeriput dan menakutkan. Wajah tadi 
seperti menghantui dirinya, sehingga Lawunggana terpaksa 
gelisah, sebentar miring ke kiri, sebentar miring ke kanan. 
Demikianlah Lawunggana berusaha mengatasi semua 
kesadarannya. Namun pengaruh jamu ramuan "pelupa" 
dan totokan "urat ketawa" yang mengakibatkan hilangnya 
kesadarannya itu benar benar sangat sukar dilawannya. 
Maka tak heran bila sebentar sekujur wajah 
Lawunggana bermandi peluh. Juga segenap tubuhnya. 
Perjuangannya mengatasi kesadaran dirinya tak berhasil, 
sebab bagaimanapun usahanya, toh ia masih terlalu 
rendah tingkat kepandaiannya dari pada Ki Bango Wadas! 
Dengan demikian ia cuma dapat berkeluh kesah saja 
dan akhirnya iapun kelelahan dengan sendirinya. Tak lama 
kemudian Lawunggana terlena tidur, meskipun sebentar-
sebentar ia mengigau juga di tengah tidurnya. 
Sedangkan di sebuah lubang dinding pada kamar itu 
terlihatlah sepasang mata mengawasi segala gerak-gerik 
Lawunggana. 
Dan itulah mata Ki Bango Wadas yang mengintip 
muridnya. Ketika Lawunggana tertidur, si botak itu tertawa 
lirih. “Heh, heh, heh, Lawunggana, Lawunggana! Jangan 
sekali-sekali mencoba melawan kehendak Ki Bango Wadas 
ini. Tak akan berhasil percuma? Kau sekarang ada di 
bawah pengaruhku! Apapun yang aku perintahkan, kau

pasti akan menaatinya, sekalipun aku perintahkan kau 
membunuh diri atau terjun ke dalam kawah gunung berapi! 
Heh, heh, heh, harta emas intan! Sebentar lagi aku akan 
kaya! Heh, heh, heh, dan tak seorangpun yang dapat 
merintangi Ki Bango Wadas dari Muara Kali Serang ini!!” 
***
EMPAT

PADA suatu pagi, ketika ujung pepohonan di sebelah 
selatan Muara Kali Serang telah disaput oleh cahaya 
fajar yang baru saja merekah, sebuah bayangan 
manusia lagi berloncatan di antara batu-batu di tengah 
sungai. 
Melihat gerakannya yang cekatan teranglah bahwa 
orang ini mempunyai ilmu yang tinggi. Berulang-ulang ia 
melenting dari satu batu ke batu yang lain bolak-balik. 
Kalau mula-mula jaraknya cuma dekat, kemudian semakin 
jauh dan bertambah jauh hingga akhirnya gerakan orang 
ini benar benar mirip seorang yang setengah terbang. 
Orang yang melihat gerakan tersebut bisa jadi salah 
terka dengan menyangka melihat hantu atau dedemit 
penunggu muara sungai yang tengah bergembira 
berloncatan di tengah sungai. 
Namun toh orang akan segera manggut-manggut 
setelah ia tahu bahwa si peloncat tadi adalah Lawunggana, 
murid tunggal dari Ki Bango Wadas. Pagi ini tengah 
melancarkan latihan-latihan pemanas badan dan gerak 
ulangan. 
Si kumis tebal Lawunggana ini semakin menuju ke arah 
Selatan sehingga cukup jauh jaraknya dari pondok tempat 
tinggalnya. 
Sementara itu di antara sela-sela dedaunan di sebelah 
selatan, sepasang mata tajam di balik topeng kain putih 
senantiasa mengintai segala gerak-gerik Lawunggana yang 
tengah sibuk melatih diri itu. 
Ketika Lawunggana semakin bergerak ke arah selatan 
dan jaraknya dengan si pengintai tadi cukup dekat, secara 
tiba-tiba dan sebat, si pengintai melesat ke arah tengah 
sungai, menyambut gerakan Lawunggana. 
Melihat ini, bukan main kagetnya Lawunggana yang 
tidak menyangka akan munculnya seseorang di tempat

sesepi ini. Maka cepat-cepat ia menghentikan gerakannya. 
Kedua kakinya dengan lincah mendarat di atas sebuah 
batu di tengah sungai, dan seluruh jari-jarinya men-
cengkeram ke permukaan batu, sehingga tubuhnya ber-
henti tanpa bergoyang sedikitpun, tak ubahnya sebuah 
patung batu. 
Sikap Lawunggana ini sungguh mengagumkan. Selain ia 
berdiri kukuh tanpa bergerak, iapun sekaligus memasang 
kuda-kuda jurus silatnya. 
“Hmmm, hebat juga anak ini!” gumam si topeng sambil 
mendarat pula di atas sebuah batu. Kedua-duanya kini 
berhadapan di tengah-tengah sungai. 
“Heh, keparat! Kau berani mengganggu latihanku, 
heeei?!” bentak Lawunggana keras-keras. “Dan aku seperti 
pernah melihat tampangmu itu!?” 
“Ha, ha, ha, akulah si Pendekar Bayangan yang pernah 
bertempur dengan gurumu si botak Bango Wadas itu!!” ujar 
Pendekar Bayangan. 
“Hah, jika demikian engkaupun harus kubinasakan di 
tempat ini!” teriak Lawunggana. 
“Bicaramu memerahkan telinga, Lawunggana!” kata 
Pendekar Bayangan. “Dan mirip dengan perangai si Bango 
Wadas botak itu!’ 
“Tak perlu heran kau!” Lawunggana berkata. “Memang 
aku muridnya sehingga kami sangat mirip dalam segala 
sikap dan pikiran!” 
“Jadi kau tak punya kepribadian sendiri?!” Pendekar 
Bayangan berkata. “Engkau selalu mengekor akan segala 
perintah gurumu?” 
“Apa salahnya?! Kalau engkau musuh guruku, berarti 
musuhku pula dan harus mati ditanganku!” 
“Hmm, sikapmu itu tidak wajar, bocah! Pasti ada 
sesuatu yang tidak beres di dalam tubuhmu. Kasihan!” ujar 
Pendekar Bayangan dengan mata sayu. 
“Keparat! Kau membuat aku gusar topeng jelek - seru 
Lawunggana. “Bersiagalah aku akan membuat perhitungan 
dengan kamu!”

“Sesukamulah!” sahut Pendekar Bayangan. “Aku datang 
dengan maksud baik!” 
“Maksud baik?!” desis Lawunggana. “Apa itu?!” 
“Aku akan membawamu ke desa Mijen.” ujar Pendekar 
Bayangan. “Untuk mempertemukan dengan nona Endang 
Seruni!” 
“Endang Seruni?! Bah, siapa dia? Aku tak kenal dengan 
gadis itu!!” ujar Lawunggana seraya membuang muka 
dengan sombongnya. 
Melihat ini Pendekar Bayangan mau tak mau mengusap 
dadanya seraya bergumam sendiri. “Tobat! Pemuda ini 
telah kehilangan kesadarannya sama sekali. Kasihan kalau 
ia terus menerus begini. Aku harus segera menolongnya!” 
Dalam pada itu rupanya Lawunggana telah mulai 
menyiapkan serangannya. Selagi ia melihat Pendekar 
Bayangan itu masih berdiam diri, sekonyong-konyong ia 
telah berteriak keras menggetarkan udara pagi. 
“Hyaaat!!” Lawunggana melesat dan menerjang 
Pendekar Bayangan dengan tendangan mautnya! 
Tendangan kakinya tersebut berdengung membelah angin 
dan karenanya Pendekar Bayangan hampir saja mendapat 
bencana. 
“Weh, serangan maut!!” desis Pendekar Bayangan 
sambil mengendap ke samping kanan, menyebabkan 
serangan Lawunggana meleset. 
Bersamaan waktunya pula Pendekar Bayangan secepat 
kilat mengirim sebuah pukulan tangan yang mampu me-
rontokkan tulang-belulang ke arah tubuh Lawunggana. 
Seperti terbang semangat pendekar berkumis tebal itu 
oleh serangan balasan dari Pendekar Bayangan, maka se-
cepat kilat ia menangkisnya. Tangan kirinya menekuk ke 
arah samping menahan pukulan lawan yang begitu deras 
meluncur ke arah dirinya. 
“Bruuuk!!” Benturan keras antara dua kekuatan yang 
terpusat meledak berbareng, menyebabkan masing-masing 
tergetar. 
Pendekar Bayangan cepat-cepat menguasai keseim

bangan badannya sebelum ia terpeleset ke dalam air, 
sedang Lawunggana terpental ke dalam air. 
Akan tetap Lawunggana tidak sebodoh itu untuk 
kecebur dalam air. Ketika terpental akihat benturan 
pukulan tadi ia melenting ke udara berputaran beberapa 
kali lalu melayang turun ke arah batu yang lain. 
“Tap! Tap!” Kedua kaki Lawunggana mendarat di 
permukaan batu sungai yang letaknya kurang lebih dua 
tombak dari batu yang semula, membuat Pendekar 
Bayangan menggeleng-gelengkan kepalanya setengah 
kagum dari kejauhan. 
Lawunggana kembali mempersiapkan diri, kemudian 
dengan beberapa loncatan panjang ia melesat ke arah 
Pendekar Bayangan berdiri, kedua tangannya mengem-
bang bagaikan cakar-cakar rajawali menyerang mangsa-
nya. 
Dalam pada itu, Pendekar Bayangan bermaksud me-
lancarkan Pukulan Angin Bisu yang terkenal dahsyatnya, 
tapi ia buru-buru menggagalkan maksudnya itu, sebab ia 
teringat akan bahayanya. 
“Mmm, aku berjanji kepada angger Mahesa Wulung 
serta Ki Lurah Mijen untuk membawa kembali si 
Lawunggana ini ke desa Mijen,” begitu gumam Pendekar 
Bayangan. “Aku harus hati-hati melaksanakannya!!” 
Dengan pertimbangan-pertimbangan yang seperti itu, 
Pendekar Bayangan menjadi berbimbang hati beberapa 
saat. Itulah sebabnya ketika tubuh Lawunggana meluncur 
bagaikan meteor ke arah dirinya, ia menjadi geragapan. 
“Wuuuk!” Tangan kiri Lawunggana yang mencengkeram 
ke arah kepala Pendekar Bayangan berhasil ditangkis oleh 
lawannya, tetapi berbareng itu pula tangan kanan 
Lawunggana berhasil membentur pundak Pendekar 
Bayangan. “Bruuuk!” Pendekar Bayangan dengan diam-
diam meminjamkan tenaga pukulan lawannya, sehingga ia 
tidak mendapatkan cedera. Namun akibatnya hebat pula, 
sebab sesaat kemudian iapun terpelanting ke dalam air!! 
Melihat ini Lawunggana meringis kesenangan. Sayang

nya kesenangan tadi tiba-tiba terhenti, sebab kedua kaki 
Pendekar Bayangan yang menyentuh air, tidak langsung 
amblas ke dalam air sungai, melainkan berdiri di atas 
permukaannya. 
Itulah ilmu meringankan tubuh dalam tingkatan yang 
matang dan sempurna! 
Beberapa saat Pendekar Bayanyan berpijak pada 
permukaan air untuk kemudian ia melenting lalu mendarat 
ke sebuah batu sungai di dekatnya! 
Lawunggana terlongoh seperti orang mimpi, karena 
selama ini belum pernah ia menyaksikan pemandangan 
sehebat tadi. Kalau gurunyapun pernah mempertunjukkan 
ilmu-ilmu yang dahsyat, tapi yang baru aja dilakukan oleh 
Pendekar Bayangan ternyata jauh lebih dahsyat. 
“Lawunggana memang hebat.” gumam Pendekar 
Bayangan. “Aku tidak boleh lagi memberi hati kepadanya. 
Sekarang harus kuakhiri permainan ini.” 
Baik Pendekar Bayangan maupun Lawunggana masing-
masing bersiaga kembali. Mereka saling berpandangan 
dengan tajam, menatap lawannya serta menyelidiki akan 
kemungkinan kemungkinan kelemahan lawan yang dapat 
ditembusnya. 
Maka sejurus kemudian keduanya melesat saling 
menyongsong dengan cepatnya hingga sepintas lalu 
tampak seperti dua bayangan yang bersambaran di udara. 
Kali ini Lawunggana betul-betul menyiapkan pemusatan 
tenaga dalamnya ke arah kaki dan tangannya. Setiap 
pukulan yang ditimbulkan akan berarti maut bagi 
lawannya. 
Sedang Pendekar Bayanganpun lebih waspada. Begitu 
jarak mereka bertambah dekat, segera pendekar ber-
topeng bertindak. 
“Hyaaat!” Lawunggana mulai menyeringai! Kedua 
tangannya menerkam, masing-masing ke arah kepala dan 
dada Pendekai Bayangan, sedang kedua kakinya siap pula 
melancarkan tendangan rahasia, bila serangannya gagal. 
Akan tetapi Pendekar Bayangan yang berilmu tinggi se

tingkat dengan panembahan Tanah Putih dari Asemarang 
ini, tidak terkejut dengan serangan maut Lawunggana yang 
sehebat itu. 
Bahkan ia menyongsong dengan tenangnya dan sejurus 
kemudian terjadilah adegan yang sukar dipercaya oleh 
mata. Tangan kiri Pendekar Bayangan menyelusup di 
bawah ketiak Lawunggana serta sekaligus mencengkeram 
bajunya sementara tangan kanannya bergerak siap 
menotok tengkuk Lawunggana. 
“Haaackk!” terdengar jeritan pendek dari mulut 
Lawunggana begitu ujung jari tangan kanan Pendekar 
Bayangan menerjang tengkuknya, disusul rasa kesemutan 
yang menggerayang seluruh tubuhnya dan akhirnya semua-
semua pandangan matanya menggelap. Ia mengantuk dan 
sejurus kemudian tubuhnya lemah lunglai bagaikan 
seorang bayi tertidur pulas dalam pelukan ibunya. 
“Heh, heh, heh, tidurlah dengan pulas, anak bandel!!” 
ujar Pendekar Bayangan seraya mengempit tubuh 
Lawunggana yang dibawanya ke arah selatan berloncatan 
dari batu ke batu dan langsung menuju ke Desa Mijen! 
Pada saat yang sama pula tiba-tiba pintu pondok Ki 
Bango Wadas menjeplak dan si pendekar botak itu 
meloncat keluar. Pandangan matanya liar menatap ke arah 
sungai dan cepat-cepat ia melesat ke selatan. 
“Aku mendengar teriakan-teriakan!” gerundal Ki Bango 
Wadas. “Memang si Lawunggana tengah berlatih di sungai, 
tapi….. sekarang tidak kelihatan lagi loncatan-loncatan 
tubuhnya!” 
Si botak inipun segera berloncatan ke batu-batu di 
tengah sungai untuk mencari murid tunggalnya ke sana ke 
mari sampai beberapa saat lamanya. 
Bagaimanapun ia kejamnya terhadap murid tunggalnya 
ini, namun ketika Lawunggana tidak ketemu maupun 
dijumpai batang hidungnya, Ki Bango Wadas menjadi 
cemas pula hatinya. 
“Ooh, mungkinkah dia minggat?! Tak mungkin begitu!” 
desah Ki Bango Wadas sendirian. “Ia masih berada di

bawah pengaruhku! Ia mendapat celaka!” Sekali lagi si 
botak itu berloncatan ke sana ke mari mencari 
Lawunggana kalau-kalau tubuh muridnya hanyut atau 
tersangkut di batu-batu. 
“Tidak ada! Heh, lalu ke mana bocah, ini? Ataukah ... 
ataukah dia ditangkap oleh seseorang?!” ujar Ki Bango 
Wadas. “Dan ke mana aku harus mencarinya?” 
Beberapa saat Ki Bango Wadas termangu-mangu 
seorang diri di atas sebuah batu di tengah sungai, karena 
memikirkan muridnya. 
Tiba-tiba, sejurus kemudian pendekar botak inipun 
tertawa terbahak-bahak, terkekeh sendirian sambil ber-
kata, “Lawunggana minggat? Lawunggana hilang? Hah, ha, 
ha, ha, ha, ha, ha, ha, ha, ha. Itupun ada baiknya bagi 
diriku sebab bagian emasnya akan segera menjadi milikku! 
Kini sekutuku tinggal empat orang lagi! Ha, ha, ha, ha....” 
Habis berkata begitu, Ki Bango Wadas berbalik dan 
melesat ke arah utara, kembali ke pondoknya di daerah 
muara Kali Serang. 
Lima hari kemudian Matahari makin bertambah tinggi 
menyoroti segenap permukaan bumi Daerah muara Kali 
Serang yang semula masih suram oleh kabut pagi, kini 
menjadi terang benderang. Suara deburan ombak laut 
utara sayup-sayup terbawa oleh angin laut ke selatan, 
bagaikan nyanyian merdu yang menggapit hati. 
Ki Bango Wadas duduk di atas sebuah batu hitam di 
depan pondoknya, sambil menggosok duri-duri logam pada 
senjata penggadanya. 
Ketika dari arah timur ia melihat empat sosok tubuh 
berjalan ke arahnya, Ki Bango Wadas segera meng-
hentikan pekerjaannya seraya menengok ke arah timur. 
“Nah itulah mereka telah datang!” 
Keempat orang yang datang itu adalah Bido Teles, 
Sigayam, Bujel dan Blending. Mereka berjalan dengan 
tegapnya ke arah Ki Bango Wadas. 
“Selamat datang kawan kawan!” ujar Bango Wadas 
menyambut tamunya dengan senyum lebar. “Saudara

saudara datang pada waktunya!” 
“Tentu saja Ki Bango, sebab kami sudah tidak sabar 
dengan harta Tanjung Bugel itu!” ujar Sigayam. “Dan inilah 
ketua kami, Bido Teles dari Tanjung Jati!” 
Ki Bango Wadas segera memperkenalkan diri kepada 
ketua rombongan yang bernama Bido Teles tadi. Orangnya 
berperawakan tinggi berwajah angker dengan hidung 
melengkung dan mata yang tajam dan cekung ke dalam. 
Mata itu seolah-olah mengingatkan pada seekor burung 
yang juga bernama bido dan bermata tajam! 
Dengan senangnya Ki Bango Wadas cepat-cepat 
mempersilakan tamunya masuk ke dalam pondok. Mereka 
duduk di sebuah balai-balai. 
“Eh, aku tak melihat muridmu, si Lawunggana itu. Ki 
Bango Wadas.” ujar Sigayam. 
“Heh, heh, heh, dia lagi kuberi sebuah tugas untuk 
beberapa hari.” ujar Ki Bango Wadas mengelabui tamunya. 
“Dan mungkin aku pula yang merangkap tugasnya nanti!” 
“Itu tak menjadi soal Ki Bango!” Sambung Bido Teles. 
“Yang penting adalah andika sendiri!” 
“Heh, heh, heh, memang begitu, saudara Bido Teles! 
Apa rencana kita kemudian?!” bertanya Ki Bango Wadas 
kepada si pendekar bermata cekung ini. 
“Kita harus mendapatkan kalung permata itu dari 
tangan Ki Lurah Mijen.” kata Bido Teles. “Dengan kalung 
permata hijau tadi, kita dapat segera mengetahui letak 
harta terpendam dari Tanjung Bugel!” 
“Itu tidak mudah Bido Teles.” ujar Ki Bango Wadas. 
“Ketahuilah bahwa di desa Mijen, saat ini berdiam si 
Mahesa Wulung dan Pendekar Bayangan!” 
“Tak menjadi soal! Dengan berlima ini, masakan kita tak 
dapat menandingi mereka. Kalau perlu nanti akan 
kupanggil jagoan-jagoan dari tempat lain.” 
“Hehh, jika demikian baiklah saudara Bido Teles. Aku 
tak perlu cemas lagi karenanya.” ujar Ki Bango Wadas. 
Rencana itu harus kita bicarakan masak-masak dan 
sekarang tentunya kawan-kawan berempat cukup lelah.

Marilah beristirahat lebih dulu secukupnya di pondok buruk 
ini!” 
“Terima kasih, Ki Bango Wadas.” jawab Bido Teles 
dengan gembira seraya meletakkan beberapa bungkusan 
bekal dan pakaian mereka. Demikian pula mereka 
menanggalkan senjata-senjatanya. Mereka memang 
kelelahan dan harus beristirahat banyak-banyak karena 
tugas yang lebih berat telah menanti mereka. 
***

LIMA

BEBERAPA orang bercakap-cakap di pendapa 
kelurahan desa Mijen. Wajah-wajah mereka tampak 
cerah, sebagaimana cerahnya bulan purnama yang 
bersinar di langit biru. Beberapa potong awan tipis 
menerawang seperti kain sutera berlalu rnelewati sang 
rembulan dan kemudian tertiup ke arah selatan. 
Ki Lurah, Pendekar Bayangan, Mahesa Wulung, 
Sorogenen, Kertipana dan juga Lawunggana duduk 
bersama-sama di balai- balai besar. 
“Bagaimana rasa badanmu sekarang ini, angger 
Lawunggana?!” Pendekar Bayangan bertanya kepada si 
pemuda berkumis tebal yang telah ditolongnya. 
“Benar-benar merasa sehat, bapak.” jawab Lawung-
gana. “Kalau semula aku selalu merasa berada di alam 
mimpi, dengan perasaan tertekan dan tidak sadar, 
sekarang semua itu telah hilang. Karenanya aku meng-
ucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada 
bapak.” 
“Heh, heh, heh, sudah selayaknya aku menolongmu 
angger Lawunggana. Aku tahu bahwa semua sikap keras 
dan kejammu selama ini tidak wajar!” ujar Pendekar 
Bayangan. “Semua itu adalah perbuatan Ki Bango Wadas!” 
“Ya, baru sekarang aku menginsyafi kesesatanku 
selama ini. Selama itu kadang-kadang aku sadar dan 
kadang-kadang pula aku seperti orang mimpi menuruti 
segala perintah Ki Bango Wadas.” 
“Semua itu sudah berlalu, angger.” ujar Ki Lurah Mijen. 
“Hadapilah masa depanmu dengan tabah!” 
“Terima kasih, bapak.” kata Lawunggana. 
“Nah, Ki Lurah.” Sela Pendekar Bayangan. “Apakah 
segala sesuatunya telah siap besok malam?” 
“Tentu beres, Ki Pendekar Bayangan. Upacara per-
tunangan Endang Seruni dengan Lawunggana akan kita

langsungkan sesudah saat magrib.” 
Mendengar ini, Lawunggana menjadi tertunduk dengan 
dada gemuruh saking gembiranya. Saat yang telah diimpi-
impikannya selama ini akan segera tiba, besok malam. Ya, 
dia akan segera menjadi tunangan Endang Seruni, sebagai 
calon suaminya. 
Bukankah ini menggembirakan! Tetapi di balik ke-
gembiraannya itu terselip pula rasa cemas akan 
kemarahan serta tindakan balasan dari Ki Bango Wadas. 
“Bapak Lurah, bagaimanakah jika Ki Bango Wadas 
datang ke desa ini serta membuat kekacauan karena aku 
telah meninggalkannya?” 
“Jangan takut! Jika dia berani berbuat demikian, pasti 
akan segera kita tangkap dan kita hadapi bersama-sama!” 
ujar Ki Lurah Mijen. “Bukankah demikian Ki Pendekar 
Bayangan?” 
“Ya, dia boleh mencoba, Lawunggana.” berkata pula 
Pendekar Bayangan. “Tapi perlawanan hebat pasti akan 
dia dapatkan! Dan lagi di sinipun ada angger Mahesa 
Wulung, yang tidak boleh disepelekan olehnya!” 
“Hmm, memang demikian yang akan kita perbuat, 
hanya saja aku belum yakin apakah dia tidak mempunyai 
sekutu?” berkata Mahesa Wulung. 
“Jika demikian, memang kita akan sulit.” sahut Ki Lurah 
Mijen. “Namun Kertipana serta Sorogenen akan segera 
mengerahkan para jagabaya bilamana perlu.” 
Dalam pada itu, ketika mereka lagi sibuk bercakap-
cakap di pendapa kelurahan, beberapa sosok bayangan 
manusia mengendap-endap di celah-celah semak belukar 
mendekati halaman pendapa tersebut. 
Dengan hati-hati sekali dan tanpa suara mereka 
berjalan memutar dan sebentar kemudian berhentilah 
mereka di samping halaman. Mereka berbisik-bisik seraya 
menunjuk-nunjuk ke arah pendapa kelurahan. 
“Nah, Ki Bango Wadas, pekerjaan kita akan lancar dan 
lebih ringan. Aku telah menggaji lima jagoan yang 
membantu rencana ini.” ujar Bido Teles kepada sekutunya.

“Ke mana mereka sekarang?” Ki Bango Wadas bertanya 
“Ooo, mereka tengah mendekati lumbung desa di 
sebelah selatan sana!” 
“Heh, heh, heh, mereka punya bagian di sebelah sana?” 
Ki Bango Wadas bertanya seraya tertawa meringis. 
“Yaa, mereka akan membakar lumbung desa itu untuk 
memancing perhatian orang-orang desa ini, sementara kita 
berusaha merebut kalung permata hijau dari Ki Lurah!” 
“Hmm, bagus! Rencana yang cemerlang. Tapi apakah 
orang-orang di pendapa itu tidak akan mengacaukan 
rencana kita?” 
“Nah, itulah yang menyulitkan kita Ki Bango!” ujar Bido 
Teles. Meskipun kita langsung menyerbu dari rumah 
belakang, tapi tak urung merekapun akan mengetahuinya.” 
“Janqan bingung Bido Teles! Sekarang, soal itu menjadi 
bagianku. Biarlah mereka aku sirep, supaya tertidur 
pulas!!” 
“Ha-ha-ha-ha, kau sungguh cerdik Ki Bango. Nah, 
laksanakanlah, supaya kita dengan leluasa mencari kalung 
permata hijau itu!” 
“Baik dan perintahkanlah Sigayam beserta teman-
temannya untuk berjaga-jaga!” 
Bido Teles cepat cepat memberi isyarat kepada 
Sigayam, Bujel dan Blending untuk bersiaga, sedang Ki 
Bango Wadas segera memungut sejumput tanah 
dilemparkannya ke arah udara diikuti mulutnya komat-
kamit mengucapkan sesuatu yang tidak jelas terdengar 
oleh Bido Teles yang bermata cekung itu. 
Biarpun begitu, pendekar tersebut menaruh 
kepercayaan sepenuhnya kepada rekannya yang tengah 
menyebar sirep. Ia melihat Ki Bango Wadas berdiam seraya 
melipat tangan ke dada. 
Tak lama kemudian tampaklah kedua tangan Ki Bango 
Wadas merentang ke depan ke arah rumah pendapa 
kelurahan dan karenanya Bido Teles menjadi tertarik sekali 
oleh sikap rekannya ini. 
Jika mula-mula ia meragukan kehebatan Ki Bango

Wadas. Saat ini terpaksalah ia dibuat kaget oleh kejadian 
berikutnya. 
Dalam pancaran sinar purnama yang terang benderang 
beberapa ekor kelelawar beterbangan dengan riangnya. 
Hal itu belum mengagetkan Bido Teles, tetapi ketika dua 
ekor kelelawar terbang melintas ke arah halaman 
pendapa, tepat di depan Ki Bango Wadas yang juga 
merentangkan tangannya ke arah yang sama, tiba-tiba saja 
dua ekor kelelawar tadi terhenti terbangnya, seolah-olah 
menabrak satu dinding yang tidak nampak untuk kemudian 
tercampak rebah di atas tanah dengan menggelepar-
gelepar seperti kehilangan kekuatan. 
“Luar biasa!” desis Bido Teles setengah terhenyak 
kaget. “Kau benar-henar mengagumkan Ki Bango Wadas!” 
“Heh, heh, he, he, he,” tertawa Ki Bango Wadas sambil 
kedua tangannya terus merentang ke arah rumah pendapa 
kelurahan. “Lihat saja nanti, saudara Bido Teles. Mereka 
pasti akan tertidur pulas setengah mati!” 
Perkataan Ki Bango Wadas ini memang mengerikan 
bagi telinga yang mendengar. Bayangkan saja akibatnya, 
jika lawan-lawan yang harus dihadapi itu telah tertidur 
pulas pasti Ki Bango Wadas beserta kawan-kawannya juga, 
akan mudah berbuat semaunya. Mungkin mereka akan 
mencincang tubuh-tubuh lawannya yang telah tertidur 
pulas atau memenggal kepala mereka untuk dibuat 
tontonan. 
Pendek kata mereka bisa berbuat leluasa terhadap 
lawan-lawannya yang telah tak berdaya akibat sirep tadi. 
Kalau benar benar terjadi hal yang demikian itu, pastilah 
mengerikan sekali akibatnya! 
Akan tetapi kenyataannya berkata lain. Mereka yang 
tengah bercakap-cakap di ruang pendapa kelurahan 
memang merasakan adanya keganjilan suasana. Kertipana 
serta Sorogenen yang biasanya betah berjaga atau 
membaca kidung sampai jauh malam itu, tiba-tiba saja 
terlihat menguap beberapa kali, bersamaan hawa dingin 
dan memukau mengalir ke ruang pendapa kelurahan!

Demikian pula Ki Lurah Mijen dapat merasakan adanya 
hawa yang memperlena perasaan, masuk ke dalam 
ruangan itu. Oleh karenanya, Ki Lurah segera mengerahkan 
segenap tenaganya guna menolak rasa ngantuk yang mulai 
menyerang dirinya. 
Lawunggana juga tak ketinggalan berusaha dengan 
susah payah untuk menguasai dirinya. Hati kecilnya 
mendadak saja teringat oleh Ki Bango Wadas yang 
mempunyai kepandaian khusus dalam ilmu sirep. Hanya 
saja ia tak segera mengatakan rasa kuatirnya tadi kepada 
orang-orang untuk menjaga agar mereka tidak menjadi 
cemas atau panik! 
Berbeda dengan Pendekar Bayangan dan Mahesa 
Wulung yang masih enak-enak duduk tanpa menunjukkan 
tanda-tanda mengantuk atau terpengaruh oleh hawa aneh 
tadi. 
Walaupun begitu mereka akhirnya terkejut pula. sebab 
tampaklah bahwa Kertipana dan Sorogenen yang semula 
mengantuk sedikit-sedikit serta menguap-nguap itu 
sekarang telah merebahkan tubuhnya, masing-masing ke 
samping dan ke depan. Tambah-tambah lagi Ki Lurah dan 
Lawunggana tampak berwajah tegang dengan mengucur-
kan keringat untuk menguasai dirinya. 
“Ada sesuatu yang tidak beres!” desis Pendekar 
Bayangan setengah berbisik kepada Mahesa Wulung. 
“Bersiagalah angger!” 
“Rupanya seperti sirep, bapak!” bisik Mahesa Wulung 
pula. “Dan berkekuatan cukup besar!” 
“Nah itu mernang benar!” kata Pendekar Bayangan. 
“Pertahankanlah kusadaranmu, angger Wulung! Aku akan 
berusaha mengusir hawa jahat ini!” 
Selesai berkata, mereka berdua segera memusatkan 
tenaga dalamnya. Dengan sikap tangan melipat, masing-
masing telapak tangannya mendekap bahu kiri dan kanan. 
Pendekar Mahesa Wulung mulai mengerahkan segala 
kekuatan lahir bathinnya guna mengatasi pengaruh sirep 
yang tengah melanda mereka.

Begitu pula dengan Pendekar Bayangan tak ketinggalan 
pula memusatkan tenaga dalamnya, sikapnya agak ber-
beda dengan Mahesa Wulung. 
Orang tua ini bersikap seperti patung-patung Budha di 
candi Borobudur, dengan meletakkan telapak kiri tangan-
nya di atas pangkuan menghadap ke atas, sedang tangan 
kanannya menekuk kedepan dengan telapak tangan 
menentang ke depan pula, seperti orang menolak akan 
sesuatu. Nah, inilah yang bernama sikap “abaya mudra", 
atau sikap "menolak bahaya" yang kelewat ampuh. 
Maka secara diam-diam berlangsunglah suatu 
peperangan tenaga dalam yang tak nampak oleh mata. 
Mereka berdua menghadap ke arah halaman pendapa, 
tepat di mana Ki Bango Wadas tengah pula melancarkan 
serangan sirep dan tenaga dalamnya dari celah-celah 
dedaunan semak-belukar. 
Biarpun mereka tidak saling melihat lawan yang mereka 
hadapi, tetapi kekuatan mereka langsung berhadapan 
saling menerjang, sementara waktu berjalan terus. 
Di pendapa itu, Ki Lurah serta Lawunggana masih mati-
matian mempertahankan diri dari rasa ngantuk yang luar 
biasa itu. Mata mereka sudah separo terpejam, dan 
sebentar lagi pastilah mereka akan tergeletak tidur 
kepulasan seumpama tidak keburu oleh pertolongan 
Pendekar Bayangan dan Mahesa Wulung. 
Beberapa saat kemudian Pendekar Bayangan tiba-tiba 
saja menghentakkan telapak tangan kanannya lurus-lurus 
ke depan seraya membentak keras-keras. “Duuaahh.” 
Gerakan tiba-tiba dan seperti sepele saja ini ternyata 
berakibat luar biasa! Ki Lurah Mijen serta Lawunggana 
rnenjadi geragapan tersadar dari rasa kantuk yang telah 
menyerangnya. Demikian pula Kertipana dan Sorogenen 
seperti terhentak oleh sesuatu kekuatan dan mereka 
berdua segera terbangun dari tidurnya! 
Namun bahaya lain telah terjadi pula, ketika pengaruh 
sirep dapat diatasi. Dari arah lumbung desa, tempat 
menyimpan padi terlihatlah nyala api berkobar-kobar

disertai asap bergumpal bergulung-gulung kehitaman naik 
ke udara. 
Pemandangan ini sungguh menggetarkan hati. Asap 
hitam dan nyala api tadi terlihat jelas dalam cahaya terang 
bulan. 
Dan lebih menyeramkan lagi kiranya karena terdengar 
jeritan orang-orang desa yang ketakutan dan kaget 
setengah mati melihat lumbung desanya terbakar. 
Ah, akan habiskah lima bangunan lumbung padi itu? 
Dan lenyap pulakah persediaan pangan bagi desa ini? 
Beberapa orang desa segera berlarian mencoba 
memadamkan api yang untungnya baru saja menyala di 
sebuah lumbung yang paling tepi. Begitu pula beberapa 
orang jagabaya turun tangan membantu memadamkan api. 
Akan tetapi alangkah kagetnya mereka ketika lima orang 
bertutup mulut dan hidung dengan bersenjata golok serta 
senjata tajam lainnya menghalang-halangi usaha mereka. 
Sejurus kemudian terjadilah pertempuran ramai. 
Sementara itu, di dalam pendapa kelurahan, Ki Lurah 
Mijen, Pendekar Bayangan, Mahesa Wulung dan yang 
lainnya segera pula dapat melihat api berkobar dari arah 
lumbung desa itu. 
“Kebakaran! Lumbung desa dalam bahaya!” seru Ki 
Lurah dengan kecemasan. “Aku harus menyelamatkannya 
sekarang juga.” 
“Tunggu dulu Ki Lurah!” ujar Pendekar Bayangan yang 
segera menahan Ki Lurah. “Jangan terburu-buru pergi ke 
sana. Mungkin ini hanya pancingan, untuk mengalihkan 
perhatian kita saja. Sedang bahaya itu aku rasa langsung 
mengancam ke tempat kita ini! Apakah Ki Lurah tidak 
merasakan adanya serangan sirep tadi?” 
Ki Lurah seketika manggut-manggut mendengar 
penuturan Pendekar Bayangan itu. “Tapi, sebagai seorang 
kepala desa apakah aku akan membiarkan lumbung desa 
itu habis terbakar seluruhnya? Dan di manakah letak 
tanggung jawabku nanti? 
“Maaf, Ki Lurah. Aku sangat setuju dan menghargai

maksud Ki Lurah tadi, namun saya harap janganlah andika 
pergi ke sana. Lebih baik angger Sorogenen, Kertipana dan 
Lawunggana ini saja! Sedang saya, andika sendiri dan 
angger Mahesa Wulung akan berjaga-jaga di sini!” 
“Baiklah, kalau begitu!” ujar Ki Lurah. “Dan sebelum 
kalian bertiga berangkat ke sana, terlebih dulu pukullah 
kentongan tanda bahaya dan kebakaran bersambungan!” 
“juga ingat!” sela Pendekar Bayangan pula. “Janganlah 
kalian bertiga lewat di halaman depan ini, tapi lewatlah dari 
pintu pendapa samping sebelah sana!” 
Mereka bertiga segera bertindak tanpa menunda waktu 
lagi. Setelah Sorogenen memukul kentongan, Kertipana 
dan Lawunggana segera berlari keluar lewat pintu samping 
kemudian disusul oleh Sorogenen setelah ia selesai 
memukul kentongan kayu, sebagai pemberitahuan adanya 
bahaya dan kebakaran! 
Oleh suara kentongan tadi, Ki Bango Wadas dan Bido 
Teles serta orang-orangnya seketika terperanjat kaget. 
Mereka mengutuk-ngutuk sejadinya. 
“Saudara Bido Teles! Mari kita langsung menyergap dari 
rumah belakang dan biarkan Sigayam serta orang-
orangnya menyerang dari halaman pendapa.” 
“Baik Ki Bango! Wah, rupanya ada yang mengacau 
pekerjaan kita!” gerutu si Bido Teles. 
“Tapi jangan takut! Belum tentu semua orang dapat 
tersadar dari pengaruh sirepku tadi!” seru Ki Bango Wadas. 
“Ayo, kita segera bertindak!” 
Kedua orang itu secepat kilat melesat ke arah rumah 
belakang dengan sebatnya, tak ubahnya laksana dua 
bayangan hitam dari kelelawar raksasa yang menyeram-
kan. 
Sementara itu Sigayam, Bujel dan Blending cepat-cepat 
meloncat ke halaman pendapa kelurahan. 
“Hee, Ki Lurah!” teriak Sigayam dengan suara lantang. 
“Lekas keluar dan serahkan harta bendamu!” 
Mendengar teriakan tersebut, cepat-cepat Ki Lurah 
Mijen, Mahesa Wulung dan Pendekar Bayangan ber

loncatan ke luar halaman dan di situ telah menunggu 
Sigayam, Budjel dan Blending. 
“Heei, rupanya kamulah yang menjadi biang keladi 
kekacauan ini!” seru Mahesa Wulung seraya menunjuk ke 
arah Sigayam. “Menyerahlah untuk kami rangket!” 
“Haa, jangan besar mulut! Marilah kita buktikan lebih 
dulu, siapa yang lebih unggul!” ujar Sigayam menyiapkan 
tombak pendeknya, seraya memberi syarat kepada kedua 
rekannya, yakni si Bujel dan Blending. “Ayo kawan-kawan 
serang mereka!” 
Maka berlangsunglah seketika pertarungan seru di 
halaman pendapa kelurahan. Sigayam langsung 
menyerang Mahesa Wulung, sedang Blending menyerbu ke 
arah Pendekar Bayangan. Begitu pula Bujel dengan kaki 
setengah berjingkat karena bekas luka menyerang Ki Lurah 
Mijen dengan golok panjangnya, serupa pedang yang lebar. 
Pendekar Bayangan di dalam hatinya menaruh rasa 
curiga yang disebabkan tidak munculnya Ki Bango Wadas! 
Sebagai seorang pendekar yang banyak pengalaman itu, ia 
dapat menduga serta merasakan bahwa tokoh-tokoh yang 
muncul di depan mereka sekarang ini, adalah tokoh-tokoh 
kecil yang kurang mempunyai arti sama sekali. 
Dengan begitu yakinlah ia bahwa benggolan-benggolan 
mereka sengaja mengumpankan Sigayam beserta kedua 
orang rekannya untuk mengalihkan perhatian dari tujuan 
pokok mereka! 
Sigayam mengerahkan segala kekuatannya. Tombak 
pendeknya bersambaran mengurung Mahesa Wulung. 
Namun setiap kali pedang Mahesa Wulung selalu meng-
gagalkan serangan Sigayam yang bertubi-tubi datangnya. 
Pendekar Bayangan yang bersenjata tongkat bercabang 
serta telah mengenakan topeng kain putihnya kembali, 
dengan enaknya menyambut serangan-serangan golok si 
Blending yang datang bagaikan angin ribut. 
Di saat yang sama pula, Ki Lurah Mijen dengan gigih 
menangkis serangan-serangan Bujel yang garang. Orang 
tua ini mempergunakan kerisnya untuk menghadapi Bujel

dan gerakannya sungguh sangat lincah. 
Ternyata Ki Lurah ini memiliki kepandaian yang cukup 
seimbang dengan Bujel Bahkan beberapa saat kemudian 
permainan pedang Bujel tertindih oleh tikaman-tikaman 
keris Ki Lurah Mijen. 
Selagi enak-enaknya mereka sibuk bertempur di 
halaman pendapa kelurahan, tiba-tiba saja terdengar 
jeritan-jeritan dari arah rumah sebelah belakang. 
Sejurus kemudian tampak sesosok tubuh melesat ke 
atas genting rumah dengan memondong sesosok tubuh 
semampai langsing dan sebentar pula melesatlah sesosok 
tubuh lainnya menyertai yang pertama. 
Pendekar Bayangan yang sangat waspada itu secepat 
kilat menyabetkan tongkat cabangnya dengan dahsyat 
sehingga Blending terpental ketika menangkis jatuh 
bergulingan di tanah. 
“Angger Mahesa Wulung!” seru Pendekar Bayangan 
kepada muridnya. “Layanilah mereka dengan baik-baik! 
Aku akan mengejar orang-orang yang berlarian di atas 
genting itu!” 
Secepat selesai kata-katanya itu Pendekar Bayangan 
melesat ke atas genting, mengejar ke arah dua sosok 
tubuh yang berlarian. 
“Heei, berhenti!” teriak Pendekar Bayangan sekaligus 
menyerang mereka. 
Keruan saja kedua orang tadi yang tidak lain adalah Ki 
Bango Wadas serta Bido Teles terkejut setengah mati. 
Menghadapi serangan tiba-tiba ini, Ki Bango Wadas yang 
memondong tubuh Endang Seruni menjadi setengah 
kerepotan. 
Untunglah Bido Teles cepat-cepat menadahi serangan 
tersebut dengan pedangnya sehingga sesaat Ki Bango 
Wadas lolos dari maut. 
Kini pertempuran tersebut semakin sengit. Masing-
masing berusaha untuk lebih dahulu melenyapkan 
lawannya tersebut. 
Bido Teles dengan tangguh menghadapi lawannya yang

bertopeng ini disertai pikiran yang penuh tanda tanya, 
siapakah gerangan orang ini sebenarnya? Gerakan 
Pendekar Bayangan sangat hebat. Sebentar saja Bido 
Teles merasa terdesak meskipun pedangnya berkali-kali 
mengurung dan menyerang si pendekar bertopeng ini. 
Bido Teles segera memperbaiki serangan-serangannya 
Jurus-jurus mautnya dengan tusukan dan tebasan yang 
berbahaya mulai tampak. 
Orang biasa yang menghadapi serangan demikian itu 
jangan diharap bisa bertahan lebih dari lima jurus. Akan 
tetapi lawan Bido Teles adalah Pendekar Bayangan 
pendekar yang mumpuni atau menguasai ilmu gerakan. 
Maka tak heranlah bila Bido Teles berjingkrak kaget, 
serta terlongoh-longoh, sebab setiap pedangnya 
menyerang maka ujung tongkat bercabang lawannya selalu 
mengejar dan memapakinya. 
Ketika Bido Teles makin terasa terdesak, mendadak 
saja Ki Bango Wadas berteriak dengan suara lantang dari 
tempat yang tak jauh dari lingkaran pertempuran antara 
Pendekar Bayangan dengan Bido Teles. “Heee, Topeng 
Bobrok! Berhenti! Jangan kau teruskan mengganggu kami 
dan lepaskan sahabatku Bido Teles itu!! Jika tidak, maka 
gadis yang ada ditanganku ini akan mati sekarang juga! 
Dengar kau hee!?” 
Tentu saja Pendekar Bayangan segera menghentikan 
serangannya terhadap Bido Teles akibat ancaman yang 
gawat dari Ki Bango Wadas tadi. Sebagai seorang yang 
bijaksana dan waspada ia memahami bahwa ancaman Ki 
Bango Wadas ini tidaklah sekadar ancaman kosong 
belaka, karena iapun tahu bahwa tidak mustahil kalau Ki 
Bango Wadas akan benar-benar membunuh gadis itu. 
Peringai si botak yang kejam dan keras memungkinkan 
akan terwujudnya ancaman itu terhadap Endang Seruni 
tadi. 
Itulah sebabnya Pendekar Bayangan segera memutus 
serangannya dan karenanya pula ia meloncat surut atau 
langkah serta bersiaga.

“Heh, heh, he, he, he.” tertawa Ki Bango Wadas 
kegirangan. “Nah, itulah, sikap anak yang manis, Topeng 
Bobrok! Heh, he, he, he, kau menggeram jengkel? 
Sekarang dengarlah kata-kataku berikutnya!” 
“Ngocehlah sepuasmu botak!” seru Pendekar Bayangan 
dengan marahnya. 
“Heh, heh, heh. Aku tahu bahwa rahasia harta Tanjung 
Bugel itu terletak di dalam kalung permata hijau yang 
kembar. Sekarang yang tergantung dileher gadis ini cuma 
sebuah saja dan yang sebuah tidak berhasil kami 
dapatkan. Nah, maka gadis ini terpaksa aku bawa. Jika 
kalian ingin mendapatkan gadis ini kembali, datanglah ke 
Tanjung Jati serta membawa kalung yanh sebuah lagi 
sebagai penukarnya!!” 
Selesai berkata, Ki Bango Wadas memberi syarat 
kepada Bido Teles untuk menyingkir dari tempat itu dan 
Sekali lagi ia berseru mengancam. “Sekarang kami akan 
menyingkir dan jangan sekali mencoba-coba berbuat 
sesuatu jika tidak menginginkan kematian gadis ini!!” 
Pendekar Bayangan menggeram marah tapi ia tak dapat 
berbuat apa-apa karena keselamatan jiwa Endang Seruni. 
Akhirnya Ki Bango Wadas dan Bido Teles melesat turun 
dan atas genting pendapa kelurahan ke arah timur dengan 
membawa Endang Seruni yang masih terlena tidur akibat 
pengaruh sirep Ki Bango Wadas. 
Sementara itu, api yang semula berkobar-kobar di 
lunbung desa telah mulai surut dan berkurang. Karenanya 
Pendekar Bayangan menarik nafas lega. 
Bido Teles yang telah tiba di tanah itu bersuit nyaring 
sebagai isyarat untuk mengundurkan diri. Maka Blending 
dan Bujel secepat kilat menarik diri dari lingkaran per-
tempuran. 
“Heeee. Topeng Bobrokl Berhenti! Jangan kau teruskan 
mengganggu kami dan lepaskan sahabatku Bido Teles 
itu!!! Jika tidak, maka gadis yang ada di tanganku ini akan 
mati sekarang juga! Dengar kau, he?!”

Mahesa Wulung dan Ki Lurah Mijen, hampir saja 
mengejar mereka jika tidak buru-buru diperingatkan oleh 
Pendekar Bayangan dari atas genting. “Biarkan mereka 
lari! Jangan kejar! Mereka akan membunuh Endang Seruni 
jika kita menghentikan mereka!” 
“Endang Seruni diculik?!” seru Ki Lurah kaget. 
Pendekar Bayangan melesat turun dan segera men-
dapatkan Mahesa Wulung dan Ki Lurah Mijen. Iapun lalu 
menuturkan segala kejadian dan ancaman Ki Bango 
Wadas beberapa saat yang lalu. 
Dari arah belakang rumah dua sosok bayangan berlari-
lari kecil mendapatkan mereka bertiga. Mereka adalah 
Pandan Arum dan Nyi Lurah. 
“Kakang Wulung! Ooh adi Seruni telah diculik mereka.” 
ujar Pandan Arum setengah terisak sedih. 
“Oooo, alah pakne Seruni, anakmu telah diculik 
penjahat!” Nyi lurah meratap sedih seraya memeluk 
suaminya dengan cemasnya. “Ooh, bagaimana nasibnya 
nanti!” 
“Tenanglah, Nyi Lurah.” bujuk Pendekar Bayangan. 
“Mereka minta umuk menukar jiwa Endang Seruni dengan 
kalung yang sebuah lagi! Dengan begitu maka jelaslah 
maksud mereka!’ 
“Yah, memang mereka tadi berusaha pula merebut 
kalung yang aku pakai ini, tetapi tidak berhasil karena aku 
melawan mereka dengan pedang ini...” ujar Pandan Arum. 
“Kalau begitu pakne. Serahkan saja kalung yang sebuah 
lagi dan biarkan mereka mengambil harta Tanjung Bugel 
itu asal Endang Seruni selamat dan kembali di samping 
kita.” berkata Nyi Lurah seraya mengusap air matanya 
dengan ujung baju. 
Ki Lurah menjadi bingung oleh kejadian yang dihadapi-
nya saat ini. Kalau umumnya orang pasti mengharapkan 
untuk mendapatkan harta itu. Namun kini keadaan ber-
kembang ke arah lain. Endang Seruni telah diculik! Dan Nyi 
Lurah sendiri telah menganjurkan untuk menyerahkan saja 
harta itu kepada Ki Bango Wadas dan kawan-kawannya,

asalkan Endang seruni segera dibebaskan. 
Tetapi benarkah pendapat yang demikian itu? Nah itulah 
yang meruwetkan pikiran Ki Lurah saat ini. Antara 
keinginan untuk mendapatkan kembali harta itu, ber-
lawanan dengan kepentingan untuk menyelamatkan jiwa 
Endang Seruni. 
Seandamya ia menuruti ancaman Ki Bango Wadas itu, 
sama saja artinya dengan membenarkan tindak kejahatan 
mereka. Nah, serba salah lalu jadinya. 
Pandan Arum yang mengetahui perasaan Nyi Lurah tadi, 
tak bisa menyalahkan pendapatnya. Bahkan sebagai kakak 
kandung dari Endang Seruni sendiri, ia tidak akan 
membiarkan jiwa adiknya dalam bahaya. 
“Ibu, akupun rela menyerahkan kalung ini, asal jiwa adi 
Seruni selamat!” Pandan Arum berkata sambil melepaskan 
untaian kalung permata hijau tadi dari lehernya lalu di-
serahkan kepada Nyi Lurah. 
Melihat ini, Nyi Lurah semakin terharu, lalu sambil 
menerima kalung itu iapun merangkul Pandan Arum. 
Apalagi wajah Pandan Arum yang mirip dengan Endang 
Seruni membuat hatinya semakin pilu. 
“Bagaimanakah pendapat andika, Ki Pendekar 
Bayangan?” Ki Lurah Mijen bertanya. “Apakah akan kita 
serahkan saja kalung yang sebuah itu?” 
“Hmmm, memang tak ada jalan lain, kurasa!” berkata 
Pendekar Bayangan dengan tenangnya. “Kalung itu 
sebaiknya kita serahkan kepada mereka. Tapi itu sebagai 
siasat saja.” 
“Sebagai siasat?” desis Ki Lurah kaget. “Siasat yang 
bagaimana Ki Pendekar?” 
“Begini Ki Lurah.” Pendekar Bayangan berkata menjelas-
kan maksudnya. “Pertama, kalung itu kita serahkan dan 
Endang Seruni akan selamat kembali kepada kita. Nah, 
maka setelah itu kita segera menyerang mereka serta 
merebut kembali kedua kalung permata hijau tersebut!” 
Ki Lurah Mijen mengangguk-angguk sebagai pertanda 
akan jelasnya penuturan siasat dari Pendekar Bayangan.

“Ooo, syukurlah andika mempunyai gagasan yang 
demikian itu.” ujar Nyi Lurah dengan dada lega. 
“Akupun setuju dengan pikiran bapak.” sahut Mahesa 
Wulung pula. “Dan tentang rahasia kalung permata hijau 
itu tidak perlu kita merasa cemas, meskipun keduanya 
akan jatuh ke tangan Ki Bango Wadas dan teman-
temannya. 
“Eeeh, tapi tentang peta yang tergambar pada kedua 
permata kalung itu, bagaimana jadinya? Bukankah kunci 
rahasia harta Tanjung Bugel berada pada peta tersebut!” Ki 
Lurah Mijen menumpangi perkataan Mahesa Wulung tadi. 
“Hmm, maaf bapak.” berkata kembali Mahesa Wulung. 
“Sebenarnya sudah sejak lama saya merasakan adanya 
bahaya yang langsung bertalian dengan kedua kalung 
kembar tersebut. Maka untuk menghadapi setiap 
kemungkinan yang mengancam kedua kalung itu, saya 
telah secara diam-diam menyalin kedua peta yang berasal 
kedua permata kalung hijau tadi ke atas secarik kain.” 
Mahesa Wulung segera mengeluarkan selembar kain 
putih dari balik lipatan ikat pinggangnya serta 
membeberkannya pula di hadapan orang-orang itu. “Nah, 
inilah dia, peta lengkap dari rahasia harta Tanjung Bugel 
yang menjadi incaran mereka.” 
“Weh, tobat.” seru Ki Lurah penuh kagum. “Angger 
benar-benar seorang cerdas yang jarang bandingannya. 
Dan memang benar. Dengan peta itu, maka kedua kalung 
permata hijau tadi tak begitu lagi banyak artinya. 
“Heh heh, heh, heh,” tertawa Pendekar Bayangan saking 
senang dan kagumnya, mengetahui akal Mahesa Wulung. 
“Heh, heh, tak percuma aku mengangkat angger 
sebagai muridku. Wulung! Jika demikian, sementara kalung 
itu berada di tangan Ki Bango Wadas dan kawan-
kawannya, maka kitapun dapat pula langsung menuju ke 
Tanjung Bugel!” 
“Jika tidak keberatan...” berkata pula Ki Lurah Mijen. 
“Biarlah aku yang menjemput Endang Seruni ke Tanjung 
Jati.”

“Itu cukup berbahaya, jika bapak pergi seorang diri. 
Maka akupun bersedia menyertai bapak.” ujar Mahesa 
Wulung. 
“Hmm, sekarang begini baiknya.” Pendekar bayangan 
mengemukakan pendapatnya. “Ki Lurah dan angger 
Mahesa Wulung, dan juga angger Pandan Arum menuju ke 
Tanjung Jati untuk menjemput Endang Seruni serta 
menyerahkan kalung permata hijau itu kepada Ki Bango 
Wadas, sedang aku sendiri beserta Lawunggana, 
Sorogenen dan Kertipana akan menuju ke Tanjung Bugel. 
Kami akan menanti Ki Lurah dengan rombongan di sana 
untuk kemudian bersama-sama menghadapi Ki Bango 
Wadas dan sekutunya!” 
Ki Lurah Mijen mengangguk senang oleh pendapat 
Pendekar Bayangan tadi lalu iapun berkata, “Jika demikian, 
besok kita dapat segera berangkat dan untuk perjalanan 
jauh itu, di sini cukup tersedia kuda-kuda yang bagus.” 
Percakapan mereka terhenti ketika beberapa orang 
tampak memasuki halaman pendapa kelurahan meng-
giring seorang berpakaian hitarn yang terikat tangannya di 
belakang. 
“Nah, itu angger Lawunggana datang,” ujar Ki Lurah 
Mijen. “Heh, seorang pengacau berhasil mereka tangkap. 
Lawunggana agak terkejut rnelihat wajah mereka begitu 
suram tampaknya, seperti ada sesuatu yang menyusahkan. 
“Ah, ketiwasan angger Lawunggana. Angger Endang 
Seruni telah diculik oleh Ki Bango Wadas dan teman-
temannya.” ujar Ki Lurah. 
“Aakh, adi Seruni diculik!?” desah Lawunggana terkejut 
oleh penuturan yang tiba-tiba itu. Bukankah ini nasib yang 
benar-benar malang? Kalau besok adalah rencana dan 
kepastian hari pertunangannya dengan Endang Seruni, 
tetapi tiba-tiba hari ini telah terjadi malapetaka yang begitu 
hebat bagi dirinya. Maka tak mengherankan bila mendadak 
saja timbul kegeramannya terhadap si tawanan tadi. 
Lawunggana sekonyong-konyong melayangkan be-
berapa tamparannya ke wajah si tawanan tadi hingga

orang itu menjerit kesakitan dan hampir roboh. Untunglah 
ia cepat-cepat dipegang oleh Kertipana dan Sorogenen. 
“Sabar adi Lawunggana! Sabar!” ujar Manesa Wulung 
seraya mendekap Lawunggana yang tengah terbakar 
hatinya itu. Juga Ki Lurah Mijenpun segera menuturkan 
segala peristiwa yang baru saja terjadi. 
“Hmm, Ki Bango Wadas keparat! Aku harus membalas 
kekurang ajarannya.” berkata Lawunggana. 
“Siapakah orang ini, Lawunggana?” bertanya Ki Lurah 
seraya mengamat-amati wajah orang yang terikat tangan-
nya. “Aku belum pernah melihatnya.” 
“Dialah salah seorang pembakar lumbung desa kita. Ia 
berhasil kami tangkap sedang teman-temannya berhasil 
melarikan diri ketika terdengar bunyi suitan yang nyaring.” 
Lawunggana berkata menuturkan lelakonnya. “Dalam 
pertempuran singkat itu seorang di antara jagabaya kita, 
terluka. Sedang seorang di antara mereka dapat kami 
tewaskan.” 
“Hee, mengaku saja kisanak, siapa kau sebenarnya.” 
terdengar Pendekar Bayangan berkata untuk menyelidiki 
tawanan tersebut. “Mengakulah saja, supaya hukumanmu 
menjadi ringan!” 
Takut menghadapi tamparan Lawunggana kembali dan 
juga menghadapi Pendekar Bayangan yang bertopeng! Si 
tawanan akhirnya mengaku dengan terus terang. “Kami 
adalah orang-orang sewaan Bido Teles dari Tanjung Jati.” 
“Dan jelaskan siapa sebenarnya Bido Teles itu? Lekas!” 
terdengarlah Lawunggana membentak dengan kerasnya. 
“Dia ... dia ... saya tak tahu banyak tentang mereka. 
Cuma suatu kali saya pernah mendengar bahwa ketua Bido 
Teles pernah menyebut-nyebut nama Ki Rikma Rembyak!” 
“Rikma Rembyak?!” desis Mahesa Wulung kaget. 
“Hmm, rupanya ada sangkut-pautnya pula antara Bido 
Teles dengan Rikma Rembyak.” 
Dalam pada itu si tawanan yang tubuhnya sudah babak 
belur, agaknya sudah merasa putus asa akan keselamatan 
dirinya. Apalagi ia melihat sorot mata Kertipana dan

Sorogenen menyala marah kepadanya, sedang di tangan 
mereka masih tergenggam pedang-pedang terhunus. 
Si tawanan menjadi nekad akibat keputusasaannya, 
maka tiba-tiba saja ia melayangkan tendangan kakinya ke 
arah dada Lawunggana. Tendangan yang berdasarkan ilmu 
silat tangan kosong ini benar-benar berbahaya dan hampir 
saja mengenai dada pendekar muda berkumis tebal ini jika 
tidak keburu Mahesa Wulung mendorong tubuh Lawung-
gana ke samping! 
Gagal serangannya terhadap Lawunggana, si tawanan 
buru-buru menggenjotkan kakinya ke tanah dan tubuhnya 
melesat ke arah pepohonan di samping halaman untuk 
melarikan diri. 
Sayang, Pendekar Bayangan tak mau tinggal diam 
melihat tawanan itu lari, maka selagi yang lainnya masih 
berdiam diri. ia dengan sebatnya melancarkan "Pukulan 
Angin Bisu" ke arah si tawanan dan akibatnya sungguh 
mengerikan. 
Tubuh si tawanan mencelat, terpental ke arah 
pepohonan akibat pukulan jarak jauh tadi. 
“Proook! Aaaaurrgh!” 
Bunyi benturan keras bercampur jerit melengking 
mengiringi tubuh si tawanan melanggar batang pohon kayu 
dan kemudian tercampak roboh di tanah dengan kepala 
yang pecah. 
“Hmm dia telah mendapat hukuman yang setimpal!” 
desis Lawunggana lega sambil berpaling kepada Mahesa 
Wulung. “Untunglah kakang telah mendorongku. Kalau 
tidak, pastilah dadaku akan melesak, akibat 
tendangannya.” 
Beberapa orang penduduk yang melihat kejadian itu 
segera berkerumun ke arah si tawanan yang telah ter-
geletak tak bernyawa. Ki lurah Mijenpun segera menyuruh 
orang-orang untuk merawat mayat si tawanan tadi untuk 
dikebumikan pada keesokan harinya. Di sebelah lain, api 
yang membakar lumbung padi telah padam sama sekali. 
Kertipana serta Sorogenen segera kembali bekerja.

Keduanya memberi petunjuk-petunjuk untuk menyisihkan 
timbunan-timbunan padi yang belum terbakar serta me-
robohkan serta mencopot bagian-bagian lumbung padi 
yang telah menjadi arang. 
Suasana menjadi tenang kembali. Kekacauan yang 
semula timbul, kini telah reda kembali berkat kerja sama 
dan kegotong royongan yang terjalin erat di antara 
penduduk desa Mijen. Memang kegotong-royongan yang 
telah dirintis oleh nenek moyang masih terpelihara hingga 
kini. Dengan kegotong-royongan mereka membangun dan 
menanggulangi setiap bahaya yang mengancam mereka. 
Ki Lurah beserta istri, Pendekar Bayangan, Mahesa 
Wulung, Pandang Arum dan Laeunggana bersama-sama 
kembali ke dalam pendapa kelurahan. Mereka masih 
mempunyai pekerjaan besar dan rencana-rencana untuk 
keesokan harinya. Keselamatan diri Endang Seruni benar-
benar mereka pikirkan dari untuk itu mereka telah 
bertekad untuk menempuh segala rintangan dan bahaya. 
***

ENAM

Di TENGAH TERIKNYA sinar matahari yang lagi ber-
singgasana di siang hari, beberapa ekor kuda dan 
penunggangnya telah berpacu meninggalkan desa 
Mijen. 
Mereka berpacu dengan tangkasnya menuju ke arah 
utara melalui jalan kecil yang cukup baik. Beberapa bulak 
alang-alang dan hutan-hutan kecil telah mereka lalui, 
sementara jalan itu membelok ke arah timur laut dan 
menghubungkan desa Mijen dengan desa Mayong. 
Berkuda paiing depan adalah Pendekar Bayangan ber-
sama Ki Lurah Mijen dan di belakangnya adalah Mahesa 
Wulung bersama Pandan Arum, kemungkinan menyusul 
Lawunggana, Kertipana, Sorogenen dan tiga orang 
jagabaya bersenjata tombak. Ketika matahari telah ber-
geser ke arah barat, rombongan tersebut telah memasuki 
desa Mayong. 
“Nah, di sinilah kita akan berpisah, Ki Pendekar 
Bayangan. “Ki Lurah Mijen berkata serta menarik kekang 
kudanya, untuk memperlambat pacuan mereka. 
“Baiklah Ki Lurah.” ujar Pendekar Bayangan. “Jarak yang 
kita empuh sama jauhnya. Andika akan mengitarinya dari 
sebelah timur. Marilah kita berusaha dan semoga bertemu 
di Tanjung Bugel dalam waktu yang sama!” 
“Kami akan berusaha bapak.” sambung Mahesa Wulung 
kepada si Pendekar Bayangan. “Doakan, mudah-mudahan 
adi Endang Seruni kembali kepada kita dengan selamat!” 
“Yah, marilah kita berdoa semuanya.” kata Pendekar 
Bayangan. “Manusia berusaha dan Tuhan yang menentu-
kan.” 
Hati mereka menjadi lebih mantap oleh ucapan singkat 
dari Pendekar Bayanyan tadi. Ucapan singkat memang, 
tetapi jauh lebih banyak dan lebih panjang akan semangat 
dan artinya.

Rombongan tadi lalu berpisah. 
Ki Lurah Mijen, Mahesa Wulung, Pandan Arum dan 
soorang jagabaya langsung berpacu ke arah barat laut, 
bersamaan saatnya pula, Pendekar Bayangan terus 
berkuda ke arah timur bersama Lawunggana, Kertipana, 
Sorogenen dan dua orang jabagaya lainnya. 
Jalan yang ditempuh Ki Lurah bersama rombongannya 
sebentar-sebentar naik dan sebentar menurun. Mareka 
telah mulai mengitari kaki barat daya gunung Muria, untuk 
selanjutnya menuju ke utara. 
Kuda yang mereka pacu ini berlari kencang dan gembira 
seperti memahami akan kepentingan tuannya. Dan mulut-
mulut merek terdengar ringkikan segar seirama derap 
kakinya yang menempuh jalan ke utara ini. 
Mereka berlari berkejaran dengan sinar matahari yang 
marayap ke langit sebelah barat, sehingga tubuh mereka 
berkilat-kilat basah oleh peluhnya. 
Telah beberapa lama mereka berkuda, tak terasa lagi 
oleh mereka dan tahu-tahu desa Pecangakan telah 
dilewati. Kiri jalan yang mereka tempuh mulai berbelok ke 
arah barat laut, dan sebentar lagi pastilah mereka akan 
tiba di kota Jepara menjelang asar. 
Namun mereka sengaja tidak singgah di kota ini, maka 
diambillah jalan di luat kota Jepara sebelah timur sebab 
mereka ingin cepat-cepat tiba di daerah Tanjung Jati di 
pojok utara. 
Untunglah keempat orang ini telah benar-benar terlatih 
dalam berkuda. Seperti halnya Pandan Arum sendiri, 
meskipun dia seorang wanita, tetapi telah memperoleh 
dasar-dasar latihan keprajuritan dan keperwiraan, 
sehingga untuk berkuda berlama lama ia tak mengalami 
kesulitan apapun. Dengan demikian maka perjalanan 
mereka menjadi lebih lancar. 
Berbareng saat terbenamnya metahari di kaki langit 
sebelah barat, suasana daerah Tanjung Jati bersaput 
warna merah senja. Namun warna-warna tadi sedikit demi 
sedikit menjadi pudar dan lenyaplah kemudian.

Sedang di langit timur, sang purnama telah tinggi 
menyinarkan cahaya peraknya. Bulan yang berwajah bulat 
penuh itu kini menjadi penerus tugas sang matahari yang 
telah silam. Daerah Tanjung Jati telah bermandi sinar 
perak sang rembulan. Di sebelah utara dan barat, ombak 
Laut Jawa memecah di sepanjang pantai, berkejaran, 
bergulung-gulung dengan riangnya untuk kemudian surut 
kembali ke tengah, dengan meninggalkan busa-busa putih 
di pasir putih yang berkilatan tertimpa sinar rembulan. 
Di sebuah tempat, tak jauh dari pantai, di mana 
onggokan batu-batu karang dan batang batang pohon tua 
yang telah kering berserakan, tampaklah beberapa obor 
terpasang menancap di celah-celah batu ataupun batang-
batang kering. Di situ pula terlihat sebuah api unggun yang 
menyala terang benderang dengan api menjilat dan 
berlenggok-lenggok ke udara. 
Agaknya api-api tadi dipasang bukan semata-mata 
dimaksud untuk menerangi tempat itu, sebab cahaya 
rembulan sudah pasti cukup terang. 
Maka yang jelas adalah sebagai penghangat, dan pula 
sebagai pertanda bahwa ditempat itu telah ditunggu oleh 
segerombolan orang. 
Memang agak luar biasa, bahwa di tempat yang 
biasanya sepi dan terpencil ini sekarang ditunggui oleh 
segerombolan manusia. Beberapa orang di antaranya 
tampak duduk di dekat api unggun, tak jauh pula dari 
sebuah tonggak kayu kering yang terpancang di situ. 
Seorang di antara mereka berkali-kali menoleh ke arah 
tonggak kayu tadi dengan mata berkilat-kilat penuh arti, di 
mana terikat tubuh seorang gadis bertubuh padat tanpa 
daya. Wajahnya manis dan pipinya yang montok serta 
hidungnya yang mancung berkilat tersinar oleh sinar bulan. 
Sebentar-sebentar dadanya bergelombang tergoncang oleh 
isakan-isakan sedih yang meratapi akan nasib dirinya. 
Dan orang yang berkali-kali menatap gadis itu tiba-tiba 
bangkit berdiri serta perlahan-lahan mendekatinya seraya 
gerenengan. “Heh, heh, Endang Seruni terikat seorang diri.

Sebaiknya aku temani dia.” lalu orang yang berwajah 
angker dan bermata cekung ini menghampiri Endang 
Seruni. 
Endang Seruni, gadis yang terikat tadi, terkejut melihat 
seseorang menghampirinya. Apalagi ia melihat sinar mata 
yang cekung menjijikkan itu memandangi tubuhnya, 
bagaikan ingin menelannya. 
Dada Endang Seruni bergetar saking takutnya namun ia 
toh tak dapat berbuat apa-apa. Hanya saja ia telah 
bertekad, jika keadaan dirinya bakal mengalami nasib yang 
buruk, ia akan lebih baik mati dengan membunuh diri. Ia 
pernah mendengar bahwa dengan menggigit putus lidah-
nya sendiri, seseorang dapat meninggal dan ini pulalah 
cara yang akan dipilihnya. 
Akan tetapi iapun selalu berdoa, agar dirinya segera 
terhindar dari semua bencana. 
Tiba-tiba simata cekung telah mengembangkan kedua 
tangannya siap memeluk dirinya dan entah apa yang bakal 
terjadi kemudian, bila saja dua buah tangan tidak cepat-
cepat menarik leher baju si mata cekung! 
“Kau mau berbuat apa saudara Bido Teles!” ujar 
pendatang yang menarik leher baju si mata cekung. 
“Tahanlah dirimu sobat!!” 
Bido Teles terpaksa menggagalkan maksudnya seraya 
menggeram jengkel. Ditelannya air ludahnya seraya 
mengomel. 
“Kau lagi yang mengganggu maksudku Ki Bango Wadas! 
apakah aku tak boleh menikmati cahaya sinar bulan yang 
terang benderang dan indah ini!” 
“Ingatlah akan penawaran kita kepada Ki Lurah Mijen 
itu! Kita akan mendapat kalung yang sebuah lagi dengan 
menukarkan Endang Seruni ini kembali kepada orang 
tuanya dalam keadaan selamat! Nah, kau ingat itu saudara 
Bido Teles!” ujar Ki Bango Wadas. 
“Tapi sudah lama aku tak menjumpai wanita cantik dan 
aku menginginkan dia sebagai istriku!” 
“Aaakh, kau terlalu memikirkan kepentingan dirimu

sendiri, Bido Teles!” kata Ki Bango Wadas. “Yang lebih 
penting, kan harta emas intan dari Tanjungy Bugel itu? Jika 
kita telah kaya, maka istri cantik yang bagaimanapun serta 
berapa jumlahnya, pasti akan terpenuhi semuanya. Maka 
sadarlah sobatku, Bido Teles!! “ 
“Hmm, jadi aku tak boleh mengarnbil gadis ini?” 
“ Soal itu mudah!” Sahut Ki Bongo Wadas. “Kita tunggu 
tiga hari! Cukup waktu bagi mereka bukan? Nah, bila 
dalam jangka waktu tiga hari mereka tidak muncul untuk 
menyerahkan kalung yang sebuah lagi, barulah kau boleh 
berbuat semaumu terhadap Endang Seruni. Dan kita akan 
terpaksa lebih banyak mengerahkan orang-orang kita, guna 
mengobrak-abrik desa Mijen untuk mendapatkan kalung 
yang sebuah lagi!” 
“Heh, baiklah jika pendapatmu begitu!” Bido Teles 
berkata. “Kita akan tinggal di sini selama tiga hari!” 
Belum lagi habis mereka berkata-kata, terdengarlah 
derap kaki kuda dari arah selatan dan kemudian mereka 
melihat empat orang berkuda masuk ke dalam tempat 
mereka. 
“Haaa, mereka menepati janjinya!” seru Ki Bango 
Wadas gembira. “Lihatlah Bido Teles, sebentar lagi kita 
akan kaya!!” 
Tak antara lama mereka yang berkuda tadi telah turun 
dari punggung kudanya dan berjalan ke arah Ki Bango 
Wadas dan Bido Teles berdiri. Sedang pada waktu itu, 
seorang anak buah Bido Teles tampak berbisik-bisik 
melapor kepada Ki Bango Wadas dan Bido Teles. 
Keduanya mengangguk-angguk mengerti. 
“Hmm, jadi menggembirakan sekali! Pengintai ini 
melaporkan bahwa mereka benar-benar cuma berempat 
saja!” ujar Ki Bango Wadas seraya meringis kejam. 
“Jadi setelah tukar menukar, mereka dapat kita sikat!” 
bisik Bido Teles dengan mata cekungnya berkilatan tajam. 
Keempat pendatang yang tidak lain adalah Ki Lurah 
Mijen, Mahesa Wulung dan Pandan Arum serta seorang 
jagabaya bersenjatakan tombak. Mereka kini berhadapan

dengan kedua pemimpin gerombolan tadi. Ki Bango Wadas 
menyambut dengan kata-katanya. “Heh, heh, heh, aku 
telah menduga bahwa kau akan datang ke daerah Tanjung 
Jati ini, sebab kau tak ingin bukan, bila Endang Seruni itu 
mati merana di tangan kita?” 
“Sekarang aku minta agar kau secepatnya mem-
bebaskan anakku!” ujar Ki Lurah Mijen seraya menatap ke 
arah Endang Seruni dengan cemas. 
“Heh, heh, heh, sabar dulu Ki Lurah. Kami belum tahu 
apakah Ki Lurah benar-benar telah membawa kalung 
permata hijau itu?” ujar Ki Bango Wadas dengan 
menyeringai. 
“Ha, ha, ha, ha. Tunjukkan kalung hijau itu dan kami 
akan segera menukarnya dengan Endang Seruni!!” Bido 
Teles berkata. 
“Hah, lihatlah ini!” seru Ki Lurah seraya mengambil 
seuntai kalung dari balik bajunya. “Apakah kalian masih 
sangsi juga?” 
“Hmm, baiklah!” ujar K Bango Wadas bergirang seraya 
memberi isyarat kepada Blending yang duduk di dekat 
unggun api. “Blending, lekaslah kau lepas tali-tali pengikat 
Endang Seruni!” 
Si perut buncit bernama Blending itu, lekas-lekas 
melepas tali-temali pengikat tangan Endang Seruni. 
Sedang Pandan Arum dengan perasaan dan hati berdebar-
debar mengikuti semua kejadian ini. 
“Ayaah!” teriak Endang Seruni ketika tubuhnya telah 
bebas dari tali-temali pengikat, seraya bergegas untuk lari 
mendapatkan ayahnva. 
“Berhenti!!” seru Bido Teles sambil menghalangkan 
pedang panjangnya di depan tubuh Endang Suruni 
sehingga gadis ini terpaksa mundur kembali ke tempatnya 
dengan wajah kepucatan saking kagetnya. “Kau tak akan 
bebas, bocah ayu. Sebelum kalung hijau yang sebuah lagi 
itu sampai di tangan kami!” 
Mahesa Wulunq menggeram jengkel, tapi ia tak dapat 
berbuat apa-apa sebab saat ini adalah saat yang amat

berbahaya, sedikit saja ia berbuat kekeliruan, pastilah jiwa 
Endang Seruni terancam keselamatannya. Dengan 
demikian maka Mahesa Wuiurg terpaksa menahan gejolak 
hatinya. 
“Hmm kalian tak usah kuatir!” berkata Ki Lurah seraya 
maju ke depan. “Kalung kedua ini akan sungguh-sungguh 
saya serahkan kepada kalian, sebab saya lebih sayang 
kepada anakku dari pada Harta Tanjung Bugel itu. Nah, 
terimalah kalung ini dan ambillah semua harta tadi!” 
Sambil memberikan kalung tersebut kepada Ki Bango 
Wadas iapun berkata. “Nah, sekarang aku harap kalian 
tidak mengganggu Endang Seruni lagi!” 
“Baiklah!” uiar Ki Bango Wadas. “Sobat Bido Teles, 
biarkanlah gadis itu mendapatkan ayahnya!” 
Bido Teles mengangguk setuju seraya menyarungkan 
pedangnya kernbali dan dibiarkannya gadis tersebut berlari 
mendekap ayahnya. “Ayaah...” 
Setelah sesaat Endang Serunipun memeluk kakaknya, 
Pandan Arum dengan mata yang masih berlinang-linang 
oleh air mata. Maka tempat itu sejenak menjadi sunyi 
senyap. 
Suasana yang mengharukan bercampur ketegangan itu 
tak luput dari pengawasan sesosok tubuh bercaping dari 
balik sebuah batu karang. Sepintas lalu memang aneh. 
Tokoh tadi dalam malam hari masih mengenakan caping 
yang seharusnya dipakai pada waktu siang. Mungkin ia 
berusaha menyembunyikan bentuk wajahnya yang pada 
saat itu tertutup oleh bayangan capingnya. 
Tokoh yang misterius ini tampak mengangguk-
anggukkan kepalanya ketika tukar menukar tadi selesai. 
“Kita telah selesai.” ujar Ki Lurah kepada Mahesa 
Wulung yang berdiri di sebelahnya. “Dan marilah kita cepat-
cepat meninggalkan tempat ini! Pandan Arum, bawalah 
adikmu itu!” 
Mahesa Wulung mengangguk seraya meloncat ke atas 
punggung kudanya, begitu pula dengan Ki Lurah Mijen dan 
si jagabaya. Sedang Pandan Arum sendiri cepat-cepat

menaikkan Endang Seruni ke atas punggung kudanya, 
kemudian disusul oleh tubuhnya sendiri meloncat dengan 
sigapnya dan duduk ia di belakang Endang Seruni. 
Namun alangkah kagetnya ketika mereka akan men-
derapkan kudanya, tiba-tiba saja Bido Teles menghunus 
kembali pedangnya serta meloncat menghalang di tengah 
jalan. 
“Berhenti!” teriak Bido Teles garang. Pedangnya di-
acungkan ke arah rombongan Ki Lurah. “Tidak semudah itu 
kalian minggat dari tempat ini!!” 
“Keparat! Apa maksudmu? Kau mau berkhianat? 
Bukankah kalung itu telah kami serahkan?” seru Mahesa 
Wulung dengan nada jengkel dan marah. “Dan tukar 
menukar itu toh telah selesai?” 
“Memang benar! Tapi itu dengan Ki Bango Wadas!” kata 
Bido Teles. “Sedang urusan kalian terhadap diriku belum 
selesai!” 
“Hah! Urusan macam apa lagi?!” seru Ki Lurah. 
“Kalian lihat pada gerombolan kami ini? Tak ada 
seorang wanitapun yang tampak. Semua laki-laki melulu! 
Nah, sekarang tinggalkanlah salah seorang di antara dua 
orang gadis itu pada kami. Biar aku jadikan nanti sebagai 
istriku serta pemasak makanan dan nasi kami!” 
“Kurang ajar!” desis Mahesa Wulung sehabis mencabut 
pedangnya. “Kalian memang orang-orang licik. Seandainya 
kami akan mengabulkan permintaanmu toh tidak demikian 
caranya melamar seorang gadis!” 
“Hah, hah, hah, hah. Kami orang bebas, sebebas burung 
di angkasa. Tak sebuahpun peraturan dan tata cara yang 
mengikat kami, apalagi melamar seorang gadis untuk istri. 
Bagi kami, istri adalah manusia biasa seperti aku, dan 
kami akan selalu mengambil apa yang kami suka.” 
demikian kata Bido Teles seraya menyeringai. “Maka 
sebaiknya serahkan saja salah satu di antara gadis itu 
pada kami! Awas, kami masih cukup bersabar! Jika kalian 
mempersukar, maka kami pun akan menggunakan 
kekerasan. Dan mungkin malah keduanya akan kami ambil

semuanya sedang kalian bertiga akan kami cincang untuk 
makanan ikan di laut!” 
Oleh kata kata Bido Teles yang menggeledek ini, Endang 
Seruni menjadi ketakutan setengah mati dan dipegangnya 
lengan Pandan Arum arat-erat namun kakak perempuan-
nya ini berkata dengan tenang. “Tabahkan hatimu adi 
Seruni. Tenang-tenanglah saja!” 
Sebaliknya dengan Mahesa Wulung. Seketika ke 
marahannya benar-benar meledak tak tertahan dan 
berserulah ia dengan kerasnya. “Bido Teles! Pantas 
ocehanmu sedemikian memukkan dan memang sepantas-
nya kata-kata itu keluar dari mulut bobrok orang tak 
beradab! Sedang istri yang cocok untuk tampangmu adalah 
seekor kunyuk, seekor kera yang biadab pula!” 
“Heh, setan alas kowe!” teriak Bido Teles sambil 
memaki-maki setengah mati, kalang-kabut. “Hee kawan-
kawan, lekas cegat mereka! Kepung! Cincang yang laki-laki, 
dan biarkan yang perempuan hidup!” 
Sementara itu kuda-kuda rombongan Ki Lurah telah ber-
gerak, meringkik-ringkik menderap-derapkan kakinya ke 
tanah dan kerikilpun berloncatan ke sana-ke mari. 
Mahesa Wulung yang telah bersiaga sejak sernula tidak 
kaget oleh teriakan Bido Teles tadi, maka pedangnya telah 
siap menyambar-nyambar, menebas dan menusuk lawan-
lawannya yang bermunculan dan balik batu-batu karang 
dan pohon-pohon kering untuk kemudian mengepungnya! 
Begitu pula Ki Lurah Mijenpun telah melolos kerisnya 
untuk menghadapi serangan-serangan yang mendatang, 
sementara Pandan Arum dan si jayabaya Cangkring 
masing-masing telah menyiapkan pedang dan tombaknya. 
Pertempuran seketika berkobar dengan seru. 
Pandan Arum yang berkuda bersama Endang Seruni 
menjadi kurang leluasa menggerakkan pedangnya ke kiri, 
terutama bila ada serangan-serangan lawan yang datang 
dari sebelah kiri. Itulah sebahnya Manesa Wulung yang 
selalu waspada, berusaha terus untuk selalu berada di 
dekat Pandan Arum untuk rnelindunginnya.

Bagaikan burung rajawali mereka berempat bertempur 
menghadapi lawannya. Walaupun dikepung, mereka tidak 
pernah merasa gentar sedikitpun. Kuda-kuda yang mereka 
tunggangi meringkik-ringkik dahsyat membuat arena 
pertempuran ini semakin kalut suasananya. 
Beberapa orang yang bermaksud mendekati mereka 
berempat terpaksa mundur kembali dengan mengumpat-
umpat sebab kaki-kaki kuda itu menerjang dan hampir saja 
menginjak-injak tubuh mereka, seandainya tidak cepat-
cepat menghindar dan mundur kembali. 
Si Bujel bermaksud menyerang Pandan Arum dari 
samping kiri sebab dia tahu akan letak kelemahan dari 
kedudukan Pandan Arum yang berkuda bersama Endang 
Seruni tadi. Namun iapun menjadi terperanjat ketika 
serangan pedangnya menjadi kandas dan mental kembali 
begitu Pandan Arum mernutar kudanya ke kiri secepat kilat 
sekaligus menyampok pedang si Bujel. 
Tak jauh dari Pandan Arum, tampaklah Mahesa Wulung 
menyambut setiap serangan yang dilancarkan oleh Ki 
Bango Wadas. Mungkin pertempuran kedua orang inilah 
yang terdahsyat dari kancah pertempuran tersebut. 
Ki Bango Wadas mampu bergerak lincah, selincah 
belalang yang melenting ke sana ke mari diikuti gada 
berduri di tangannya menyambar dan menyapu ke arah 
Mahesa Wulung. Bagaimanapun juga Ki Bango Wadas yang 
berdiri di atas tanah akan jauh lebih lincah dan leluasa 
melakukan gerakannya. 
Berbeda dengan Mahesa Wulung yang bertempur di 
atas punggung kudanya hanyalah mampu melakukan 
gerakan-gerakannya yang terbatas. Maka tak heranlah bila 
Ki Bango Wadas semakin bernafsu melancarkan serangan-
serangannya Soalnya, ia tanu bahwa dirinya lebih banyak 
mempunyai ruang gerak yang sangat luas, dan itulah pula 
sebabnya orang tak perlu heran bila sesekali, dengan 
gerakan yang menakjubkan Ki Banyo Wadas tahu-tahu 
telah melintas dipunggung Mahesa Wulung seraya 
menghajarkan penggadanya.

Ternyata Mahesa Wulung tidak membiarkan senjata Ki 
Bango Wadas menyentuh kulit tubuhnya dan di saat Ki 
Banyo Wadas tadi melintas di belakangnya, ia dengan 
cepatnya menebaskan pedangnya ke belakang sambil 
menggeserkan kudanya ke samping beberapa langkah. 
“Craaang!” 
Ki Bango Wadas merasakan bahwa penggadanya sedikit 
bergetar menyerikan buku-buku tulang jari tangannya 
setelah beradu dan berbentur dengan pedang Mahesa 
Wulung. 
Terpaksalah Ki Bango Wadas menggerundal disertai 
desis kekaguman terhadap lawannya yang masih muda itu. 
Disebabkan oleh api dendam yang telah bertumpuk dan 
membakar hati Ki Bango Wadas ia tak memperdulikan lagi 
kehebatan Mahesa Wulung yang menjadi lawannya ini. 
Setahap demi setahap serangan Ki Bango Wadas 
semakin bertambah ketat, bertambah garang dan ganas. 
Bagaikan air bah yang membanjir ke arah lautan serangan-
serangan tadi siap menyapu dan melanda setiap 
sasarannya. 
Mahesa Wulung sadar akan hal ini. Ia tak mau lagi 
melayani serangan-serangan Ki Bango Wadas dengan 
setengah hati atau bermain-main menghindar dan 
menangkis saja. Kini iapun mulai melancarkan serangan 
serangan mautnya. 
Setiap kali, kuda Mahesa Wulung melingkar-lingkar 
berlari dengan garangnya diselingi dengan kedua kaki 
depannya yang sekali berjingkrak ke atas siap 
menghancurkan tubuh lawan yang berani mendekatinya. 
Melihat ini, keruan saja Ki Bango Wadas tambah marah. 
Sambil menyerang lawan mudanya ini, ia berteriak kepada 
anak buah Bido Teles supaya lebih memperhebat 
pengepurgan mereka. 
“Kawan-kawan! Hayo, jangan setengah-setengah 
menumpahkan tenagamu! Lekas bereskan ketiga laki-laki 
itu. Cincang tubuh mereka lumat-lumat!” 
Laksana orang terbangun dari pesona mimpi para anak

buah Bido Teles menjadi lebih beringas setelah mendengar 
seruan Ki Bango Wadas tadi. 
Mereka mengamuk dengan serangan-serangannya 
sementara di dalam hati mereka timbul pula 
keheranannya. “Masakan cuma menghadapi lawan empat 
orang saja mereka tidak becus?” Begitulah pikiran mereka. 
Tetapi memang kenyataannya demikian. Lawan yang 
berjumlah empat orang tersebut benar-benar menjengkel-
kan mereka. Hampir tiga puluh jurus serangan sudah 
berjalan, namun belum seorangpun di antara keempat 
orang tadi kena dirobohkan. 
Ki Lurah Mijen yang bersenjata keris dengan gigih 
menyambut setiap serangan Bido Teles dan anak buahnya 
yang semakin garang mencecar dirinya. Biar pun Ki Lurah 
ini sudah tidak muda lagi, tapi perkara olah senjata dan 
perihal keperwiraan jangan kira ia mau kalah dengan anak-
anak muda. Itulah sebabnya pula mengapa Ki Lurah 
mampu bertahan terhadap serangan-serangan lawan. 
Di sebelah timur, si jagabaya yang berperawakan tegap 
dan bersenjata tombak dengan gigih pula menanggulangi 
serangan-serangan yang dilancarkan oleh Sigayam dan 
teman-temannya. Senjata tombak pendek Sigayam ber-
putar mematuk-matuk menyambar ke arah si jagabaya 
yang berkuda itu, namun setiap kali pula tombak panjang 
si jagabaya selalu menangkis dengan tepatnya. 
Melihat ini Sigayam menjadi lebih jengkel dan serangan-
serangannyapun menjadi lebih dahsyat, menghempas 
seperti badai mengamuk, membuat si jagabaya lama-lama 
agak kerepotan juga. 
Rupanya tidak si jagabaya saja yang mulai kelihatan 
kerepotan, juga Pandan Arum pun mengalami hal yang 
sama. Apalagi jika serangan-serangan yang datang itu 
berbareng dari sebelah kanan dan kirinya. Benar-benar 
merepotkan dan untung saja, setiap kali pula Mahesa 
Wulung senantiasa membantunya. 
Ketika sang rembulan makin bertambah tinggi, 
pertempuran di tanah Tanjung Jati itu kian menghebat.
Ringkikan kuda, jerit peperangan serta bunyi berdencing 
dari senjata-senjata yang beradu berbareng percikan 
bunga-bunga apinya, membuat makin serunya per-
tempuran. 
“Keparat! Jangan kira kau mampu bertahan lebih dari 
dua puluh jurus lagi. Mahesa Wulung!” teriak Ki Bango 
Wadas. “Maka lebih baik menyerah saja sekarang, 
sebelum senjataku ini betul-betul meremukkan batok 
kepalamu yang cuma sebuah itu!” 
“Gila!” desis Mahesa Wulung. “Marilah kita lihat, siapa-
kah yang bakal mati lebih dulu. Engkau ataukah aku!” 
Dada Ki Bango Wadas menjadi lebih terbakar, bilamana 
Mahesa Wulung tiba-tiba meloncat turun dari punggung 
kudanya dan langsung menyerang Ki Bango Wadas dengan 
sabetan pedangnya ke arah leher si pendekar botak yang 
liar itu. 
Bunyi berdesing dan sambaran angin dingin mengiringi 
mata pedang Mahesa Wulung yang meluncur ke arah leher 
si botak dan hampir saja Ki Bango Wadas dari Muara Kali 
Serang itu terpapas batang lehernya, bila ia terlambat 
menggulingkan tubuhnya ke kiri beberapa langkah. 
Sambil bergulingan itu Ki Bango Wadas mengutuk-
ngutuk kepada lawannya. Untunglah beberapa anak buah 
Bido Teles lekas-lekas memberikan bantuannya kepada Ki 
Bango Wadas dengan mencegat serangan-serangan 
Mahesa Wulung berikutnya. 
Terpaksa Mahesa Wulung menarik serangannya ter-
hadap Ki Bango Wadas sementara waktu ketika dari arah 
samping terlihat beberapa sosok tubuh menghujani 
serangan-serangan pedang dan golok ke arah dirinya. 
“Heeit!” Mahesa Wulung berkelit ke samping dengan 
gerakan selincah belalang bersamaan pedangnya menebas 
ke arah lawannya. 
“Eeeeeeeakhhh!” Terdengar jeritan mengumandang dari 
mulut salah seorang pengeroyok Mahesa Wulung yang 
terkena oleh sabetan pedangnya tadi, disusul dengan 
tubuh yang tercampak di tanah dan darah merah

menyembur dan dadanya yang tersayat sepanjang satu 
jengkal lebih. 
Ki Bango Wadas terperanjat melihat seorang dari 
sekutunya telah tewas di ujung pedang Mahesa Wulung. 
Maka cepat-cepat ia bersiaga kembali dan dengan satu 
loncatan panjang Ki Bango Wadas menyambarkan 
penggada berduri di tangannya ke dada Mahesa Wulung. 
Serangan tiba-tiba tersebut rnembikin Mahesa Wulung 
geragapan sesaat dan syukurlah, ia masih sempat 
mengegoskan tubuhnya ke kanan disertai pedangnya 
menumpangi arah sambaran penggada! 
“Craaaaaang!” 
“Keparat!” desah Ki Bango Wadas yang hampir saja 
terjongor, terjerumus ke dcpan akibat pukulan pedang 
Mahesa Wulung yang menumpangi pukulan penggadanya. 
Akan tetapi, Ki Bango Wadas tidak berhenti sampai di 
situ, iapun berputar ke samping seraya menghajarkan 
senjatanya, bertubi-tubi ke arah Mahesa Wulung yang 
selalu bersiaga. Begitu menghindar, maka batu karang 
dibawah Mahesa Wulung menjadi ambrol berserakan ke 
mana-mana. Dan setelah itupun, senjata penggada tadi 
terus susul-menyusul mencecar ke arah Mahesa Wulung. 
Di samping itu, para pengeroyok Mahesa Wulung yang 
terdiri tidak kurang dan enam orang anak buah Bido Teles 
semakin memperketat pengepungan dan serangan-
serangannya. Untuk itu terpaksalah Mahesa Wulung 
berloncatan ke sana ke mari sambil tak henti-hentinya 
menangkis serangan-serangan lawannya. 
Sambil bertempur ini. Mahesa Wulung masih memerlu-
kan melirik ke arah Pandan Arum yang dengan gigih 
menghadapi serangan serangan lawan. Beberapa kali ia 
sempat melihat, betapa kekasihnya itu menangkis setiap 
ujung senjata yang menghampiri dirinya dan sekali pedang 
Pandan Arum tadi berhasil pula menebas tubuh lawan! 
Diam-diam Mahesa Wulung memuji ketrampilan Pandan 
Arum kekasihnya, sebab sambil mernboncengkan Endang 
Seruni pada punggung kudanya, ia masih lincah memain

kan pedangnya. 
Akan tetapi tiba-tiba Mahesa Wulung terperanjat ketika 
dilihatnya Pandan Arum sibuk melayani serangan-serangan 
dari sebelah kanan, mendadak saja Bujel mengendap ke 
sebelah belakang Pandan Arum dan siap menancapkan 
pedangnya ke arah punggung gadis itu. 
Rupa-rupanya saja si Bujel ini sudah benar-benar ter-
bakar kemarahannya dan ia lupa akan perintah Bido Teles 
yang mengharuskan kedua gadis itu ditangkap hidup 
hidup! 
Mahesa Wulung tak sempat berteriak memperingatkan 
adanya bahaya kepada Pandan Arum. Dalam saat saat 
yang tegang ini Mahesa Wulung secepat kilat melemparkan 
pedangnya ke arah Bujel yang mencoba secara curang 
menyerang Pandan Arum dari belakang. Bagaimanapun 
kecurangan harus dihukum! 
Pedang tadi yang dilempar oleh Mahesa Wulung, 
melayang dengan pesat dan langsung menancap ke 
punggung Bujel sampai menembus ke dada sebelah muka. 
“Creeeep! Uuuaarrgh!” 
Bujel sesaat terhuyung-huyung dengan sebilah pedang 
yang menancap tembus pada punggung dan dadanya. 
Seperti orang tak percaya akan keadaan dirinya, ia masih 
saja melihat ke arah dadanya. Tampaklah ujung pedang 
yang tersembul dari dalam dadanya menculat keluar 
diiringi oleh darah merah memercik mancur keluar mem-
basahi pakaiannya. 
Tiba-tiba Bujel melempar pedangnya sendiri dan seperti 
orang ketakutan ia menggerakkan tangannya, meng-
gerayangkan ke arah punggungnya untuk mencabut 
pangkal tangkai pedang yang menancap di situ. Gerakan 
Bujel sungguh mengharukan tapi juga mengerikan untuk 
dilihat. 
Sambil menjerit panjang akhirnya robohlah tubuh Bujel 
ke tanah dan sesudah berkelejotan sesaat akhirnya diam 
tak berkutik matilah sudah si Bujel. 
Melihat Mahesa Wulung sudah tak bersenjata lagi, Ki

Bango Wadas menjadi lebih beringas. Pikirnya, ia segera 
dapat menghancur lumatkan tubuh Mahesa Wulung ini. 
Tetapi ia menjadi kaget bila secepat kilat Mahesa 
Wulung tahu-tahu telah menggenggam sebatang cambuk 
yang terlolos dari ikat pinggangnya. Cambuk Naga Geni 
yang menyala berkeredapan biru kehijauan disinari sang 
rembulan itu, membuat Ki Bango Wadas berdebar-debar 
hatinya. Meskipun ia belum tahu apakah nama senjata 
yang tergenggam d tangan Mahesa Wulung, ia yakin bahwa 
cambuk tersebut bukanlah senjata sembarangan bukan 
sekadar cambuk penghalau ternak. 
Ki Bango Wadas menerjang, tapi Mahesa Wulung cepat 
melesat ke samping dan di saat itu pula beberapa orang 
anak buah Bido Teles segera menyerang dirinya. 
Melihat ini Mahesa Wulung tersenyum dan sekali ia 
melecutkan cambuknya ke arah mereka, terdengarlah satu 
ledakan diiringi jeritan parau. Seorang dari anak buah Bido 
Teles terjelapak ke tanah dengan tubuh hangus berkepul, 
dan tak bernyawa! Keruan saja Ki Bango Wadas terkejut 
dan seketika ia bersuit keras. Dari balik batu-batu karang 
munculah beberapa orang bersenjata panah, siap 
ditembakkan secara diam-diam ke arah Mahesa Wulung, 
ke arah Pandan Arum, Ki Lurah Mijen dan juga ke arah si 
jagabaya Cangkring! 
Mereka berada didalam bahaya. Ya, keadaan ini 
sungguh menegangkan dan mendebarkan hati siapa saja 
yang melihatnya! Benarkah tubuh-tubuh mereka akan di-
tembusi oleh panah-panah yang telah siap ditembakkan 
itu? Nah, itulah pertanyaan yang akan kita temui jawaban-
nya dalam Seri Naga Geni berikutnya. yakni "SENGKETA 
KALUNG PUSAKA" yang akan segera mengunjungi anda. 
Dan dengan ini pula selesailah cerita Seri Naga Geni—
HARTA TANJUNG BUGEL—Salam buat para pembaca yang 
budiman. 



                                TAMAT






Share:

0 comments:

Posting Komentar