SATU
MATAHARI telah sedemikian tergeser ke langit barat
dan cahayanya sudah tidak begitu panas lagi.
Angin sejuk bertiup nyaman menyapu puncak
puncak pohon dan dedaunan rumput tipis di tepi Kali
Serang.
Air sungai yang berwarna putih kecoklatan beriak kecil-
kecil dan mengalir dengan tenangnya seakan-akan tak
memperdulikan akan keributan dan kedahsyatan dua
manusia yang tengah bertarung di tempat tersebut, tidak
jauh dari tepi sungai.
Agak jauh dari kedua orang itu, seorang pemuda
berkumis tebal tampak terjelepak di atas rerumputan
dalam keadaan setengah pingsan, dan wajah kepucatan
Sedang di dekat rumput pisang, dua orang gadis melihat
kesemuanya itu dengan wajah kecemasan dan gelisah.
Betapa tidak. Yang seorang ini tidak lain adalah Pandan
Arum dan yang kedua adalah Endang Seruni.
Melihat pertempuran antara kekasihnya melawan Ki
Bango Wadas yang berlangsung dengan dahsyat dan telah
memakan belasan jurus itu, mau tak mau hati Pandan
Arum berdentang-dentang amat kerasnya secepat irama
gerakan silat Mahesa Wulung melawan Ki Bango Wadas
yang berkepala botak dan berrsenjata penggada berduri
logam.
Apa yang tidak dinyana selama ini, telah menimbulkan
kecemasan hatinya Pandan Arum melihat bahwa gerakan
Ki Bango Wadas makin bertambah ganas dan mencecar
serta mendesak Mahesa Wulung. Apalagi senjata Ki Bango
Wadas tadi seperti mempunyai mata yang selalu
menyerang bagian-bagian yang lowong dari pertahanan
Mahesa Wulung.
Yang paling mengagetkan bagi Pandan Arum adalah
keadaan Mahesa Wulung. Kekasihnya ini seperti kalah
cepat dan selalu terkurung oleh gulungan tubuh Ki Bango
Wadas yang berloncatan sebagai bayang-bayang hitam.
Dan celakanya lagi Mahesa Wulung harus selalu terus-
menerus menangkis senjata gada berduri logam yang
datangnya bagai gelombang menghempas bertubi-tubi
tanpa henti. Dengan begitu maka Mahesa Wulung tak
berkesempatan untuk berpikir ataupun menggunakan
cambuk pusakanya, Naga Geni.
Yang semata-mata memenuhi pikirannya adalah
menghalau atau menangkis serangan-serangan senjata
lawannya yang dahsyat itu. Biarpun Mahesa Wulung telah
sering berkali-kali bertempur melawan musuh-musuh yang
bersenjata beraneka ragam, namun toh setiap kali pula ia
terpaksa menghadapi senjata-senjata baru yang lebih
hebat lagi, seperti senjata Ki Bango Wadas ini.
“Bocah ingusan!” teriak Ki Bango Wadas dengan marah.
“Sebentar lagi kau akan bertamasya ke neraka!!! Senjataku
ini tak kenal akan belas kasihan.”
“Ngocehlah sepuasmu Bango kudisan! Atau kau yang
lebih dulu berkubang di api neraka sana!” seru Mahesa
Wulung membalas. “Mengapa kau tiba-tiba menyerangku?!
Tentang muridmu si Lawunggana itu, kami ada urusan
pribadi yang harus kami selesaikan sendiri dan anda
sebagai seorang guru yang bijaksana, tentunya akan mem-
biarkan anak-anak muda merampungkan persoalannya
sendiri.”
“Pintar saja kau ngomong bocah ingusan. Kalau kau
telah berani dengan muridnya, dengan gurunyapun kau
harus berani menghadapinya!”
“Memang aku tak pernah takut kepada orang-orang
macam tampangmu ini!” seru Mahesa Wulung jengkel.
“Janganlah sekali-kali bikin gertakan terhadap Mahesa
Wulung.”
Telah berapa jurus mereka berdua bertarung itu, tak
terhitung lagi bagi Pandan Arum serta Endang Seruni yang
tengah menonton pertempuran mereka. Pandangan mata
mereka begitu tercengkam oleh kedahsyatan perang
tanding itu, terlebih lagi bagi Endang Seruni yang jarang
melihat hal-hal yang semacam ini.
Kadangkala Endang Seruni melirik ke arah tubuh
Lawunggana yang sampai kini masih terhampar di atas
rerumputan setengah pingsan. Sebagai seorang gadis yang
pernah dikasihi oleh pemuda itu, tentu saja Endang Seruni
menaruh rasa iba kasihan melihat Lawunggana terkapar
setengah pingsan itu.
Di samping rasa iba itu, Endang Serunipun merasakan
rasa heran yang terselip di dalam hatmya. Ia tahu bahwa
dahulu Lawunggana tidak berhati keras seperti sekarang
ini. Lawunggana telah dikenalnya sebagai seorang pemuda
yang berhati lembut dan lebih suka menghindarkan diri
dari setiap perselisihan meskipun ia bisa berkelahi.
Agaknya Endang Seruni bisa menduga bahwa kekerasan
watak Lawunggana ini berubah akibat didikan yang keras
dan sedikit mengarah kekejaman dari gurunya Ki Bango
Wadas. Untuk inipun ia telah maklum, dan ia berharap
semoga ia bisa menyadarkannya. Itulah pula yang
menyebabkan ia bergegas mendekati Lawunggana.
“Yunda Pandan Arum, aku akan menengok kakang
Lawunggana yang tergeletak di sana.” ujar Endang Seruni
meminta diri kepada kakaknya.
Pandan Arum menoleh dan tersenyum lalu berkata
seraya menepuk bahu adiknya. “Ya, tengoklah dia, adi
Seruni. Kasihan ia terharnpar di sana.”
“Terima kasih, yunda Pandan Arum.” ujar Endang Seruni
serta melangkah ke arah Lawunggana diiringi senyuman
Pandan Arum penuh arti. Ia sadar bahwa adiknya ini masih
menaruh rasa cinta kepada si pendekar kumis tebal,
Lawunggana dan jika ia mengingat bahwa pada per-
jumpaan pertama dengan gadis itu ia telah menaruh rasa
cemburu maka sekarang ini ia seperti ingin tertawa geli.
Endang Seruni tadi segera mendekati tubuh
Lawunggana yang tak berkutik membisu bagaikan tak bernyawa lagi dan ini menyebabkan ia kecemasan. Maka
cepat-cepatlah ia membongkok dan menempelkan tangan-
nya pada dada pendekar ini.
“Ah, masih bernafas kakang Lawunggana ini. Syukurlah
jika begitu. Berarti kakang Mahesa Wulung tidak benar-
benar bermaksud membunuhnya!” gumam Endang Seruni
seorang diri. Ia kemudian mengusap dahi Lawunggana
yang penuh oleh keringat serta debu tanah dengan
selembar sapu tangan.
Perlahan-lahan sekali pendekar berkumis tebal ini
menggerakkan kepalanya seraya merintih dan
menggerakkan bibir serta membuka matanya.
Betapa terperanjat Lawunggana ketika pandangan
matanya menatap wajah Endang Seruni berada di
hadapannya.
“Adi Endang Seruni.” bisik Lawunggana seraya me-
mejamkan matanya sesaat dan kemudian membuka
kembali. “ Apakah aku bermimpi? Aku belum mati bukan?!”
“Kakang Lawunggana tidak mimpi dan kakang masih
hidup. Kini berkata-kata di hadapanku.” berkata Endang
Seruni dengan tangannya masih mengusap membersihkan
dahi serta leher Lawunggana yang masih ditempeli oleh
debu campur keringat. Usapan-usapan ini begitu lembut
dan mesra membuat Lawunggana menyadari bahwa
setidak-tidaknya gadis ini masih menaruh cinta kepadanya.
“Mengapa Mahesa Wulung tidak segera membunuhku?”
berkata Lawunggana dengan nada ragu seperti berkata
dengan dirinya sendiri. “Mengapa?”
“Itu pertanda bahwa kakang Wulung tidak benar-benar
bermaksud ataupun menghendaki salah satu nyawa di
antara kalian tercabut karena gara-gara kesalahpahaman
atau pengertian yang sempit dari hati kakang Lawunggana
yang dangkal dan mudah terbakar oleh nafsu amarah.”
Mendengar ini hati Lawunggana menjadi pedih bagai
diiris oleh sembilu. Ia sendiri akhirnya insyaf bahwa
serangannya terhadap Mahesa Wulung serta dendamnya
selama ini adalah keliru dan sesat.
Sekali lagi Lawunggana menatap wajah Endang Seruni
sementara tangannya meraba jari-jemari gadis ini dan
karenanya, Endang Seruni sesaat terkejut tapi akhirnya
membiarkan Lawunggana menggenggam serta meremas
mesra jari-jari tangannya.
“Maafkan aku, adi Seruni.” desah Lawunggana. “Aku
terlalu memperbesar rasa cemburu, namun itu terlahir
karena begitu besarnya rasa cintaku kepadamu.”
“Sudah lama aku memaafkanmu kakang Lawunggana.”
sahut Endang Seruni. “Rasa cemburu mu memang kelewat
besar dan aku tidak menyenanginya, kakang.”
Sesaat Lawunggana memejamkan mata seperti me-
resapkan segala kata-kata kekasihnya ini.
“Kau tahu kakang, siapa gadis yang berdiri di sana itu?
Dialah nona Pandan Arum, kekasih dari kakang Mahesa
Wulung dan ternyata adalah kakak kandungku sendiri!”
“Hah?!” desis Lawunggana kaget. “Jadi gadis itu adalah
kekasih Mahesa Wulung?”
“Begitulah.” sambung Endang Seruni. “Maka, sekali lagi
aku mengharap agar kakang Lawunggana segera meng-
hapuskan dendam hatimu kepada kakang Mahesa
Wulung.”
Lawunggana menganggukkan kepala serta berkata lirih.
“Baiklah, adi Seruni. Aku berjanji dan semoga harapanmu
itu menjadi kenyataan.”
Sementara itu pertempuran antara Mahesa Wulung
melawan Ki Bango Wadas masih berlangsung dengan
sengit, tanpa ada tanda-tanda siapa yang bakal keluar
sebagai pemenangnya. Keduanya telah bercucur keringat.
Tiba pada jurus kelima puluh satu, tiba-tiba semua
dikejutkan oleh suara berdentang keras dan segera setiap
mata diarahkan ke arena pertempuran.
Ternyata itu adalah suara benturan pedang Mahesa
Wulung yang menangkis serangan penggada Ki Bango
Wadas. Benturan tadi sedemikian hebat dan akibatnya luar
biasa.
Jari-jari Mahesa Wulung merasa nyeri serta bergetar
hebat dan pedang ditangannya itupun terpelanting lepas.
Mahesa Wulung terkejut seketika dan sebelum ia bertindak
lebih lanjut tiba-tiba dengan kecepatan luar biasa, Ki
Bango Wadas telah memukulkan kedua ujung jari telunjuk
dan tengah jari tangan kirinya, langsung mengenai dada
Mahesa Wulung.
“Heeh!” Mahesa Wulung terperanjat oleh serangan ini.
Dadanya menjadi sesak dan terbatuk-batuk kemudian
lemas, sehingga pendekar muda ini terjelapak jatuh
terduduk di tanah dengan dada kembang-kempis.
“Weh, heh, heh, heh, heh. Mahesa Wulung! Hari ini
adalah saat kematianmu!” seru Ki Bango Wadas sambil
terbahak-bahak ketawa menyeramkan. Suaranya meng-
gema di udara tepi Kali Serang. “Sekarang hiruplah udara
sungai ini buat terakhir kalinya!”
Selesai berkata itu, tampak Ki Bango Wadas meng-
angkat penggada berduri logam ditangannya tingg-tinggi
serta di putar di atas kepala sehingga berdesing-desing
suaranya.
“Heh, heh, heh, mampus kowe hah!” teriak Ki Bango
Wadas dalam suara yang ganas serta meloncat pendek
untuk kemudian menghantamkan senjatanya ke bawah, ke
arah sasarannya, yakni Mahesa Wulung yang tergeletak
lemas di atas tanah.
“Aaaaaa...” terdengar jeritan dan mulut Pandan Arum,
juga dari Endang Seruni, sedang Liwunggana cuma ter-
beliak matanya tanpa kuasa menjerit.
“Blaaaarrr!” terdengar suara keras bagai letupan petir
menyambar, memekakkan anak telinga. Pandan Arum yang
tak tega dan ngeri segera memejamkan mata. Demikian
pula Endang Seruni.
“Ooh, bapak guru sangat kejam!” desis Lawunggana
seorang diri. Apa yang dilihatnya ini benar-benar ber-
tentangan dengan dasar-dasar keperwiraan yang pernah
dikenalnya.
Ki Bango Wadas yang telah mengayunkan penggadanya
ke arah tubuh Mahesa Wulung terkejut sekali oleh suara
letupan ini. Bermula sekali ia yakin bahwa tubuh lawannya
akan hancur berlubang-lubang oleh senjatanya yang
ampuh ini.
Namun ketika ia membelalakkan matanya ke depan
betapa terkejutnya pendekar setengah botak ini. Di
hadapannya telah berdiri seorang berpakaian dengan
warna keputihan dan kepalanya berselubung dengan
topeng kain dengan dua lubang mata bulat yang menatap
tajam ke arah Ki Bango Wadas.
Orang tersebut berdiri di antara Ki Bango Wadas dengan
Mahesa Wulung. Pada tangan kanannya tergenggarn
sebilah tongkat kayu bercabang dua dan agaknya orang
bertopeng inilah yang telah menangkis pukulan senjata Ki
Bango Wadas.
Mahesa Wulungpun kaget pula oleh kedatangan orang
bertopeng yang telah menyelamatkan nyawanya. Ia tidak
lupa siapa orang ini, maka cepat-cepat ia berseru saking
gembiranya. “Bapak Pendekar Bayangan!”
“Pendekar Bayangan!” desis Ki Bango Wadas meng-
ulang nama tadi, yang selama ini telah disegani oleh
hampir setiap tokoh persilatan serta ditakuti orang orang
jahat.
“Keparat! Kau berani muncul di hadapanku serta
merusak maksudku, hah?” seru Ki Bango Wadas dengan
lantang.
“Hmmm, kalau antara murid dengan rnurid bertarung itu
sudah lumrah. Tetapi jika seorang guru seperti tampangmu
ini sudah mulai turut campur, maka tak ada salahnya kalau
akupun mencampurinya pula!”
“Eeee, jadi Mahesa rembes itu adalah muridmu juga?!”
seru Ki Bango Wadas. “Apakah ini berarti kau menantang-
ku? Menantang Ki Bango Wadas dari rnuara Kali Serang?”
“Boleh kau mengartikannya demikian!” sahut Pendekar
Bayangan. “Tapi aku lebih suka mengambil cara damai.
Sekarang baiknya engkau berlalu dari tempat ini lekas-
lekas dan kalau perlu bawalah pula muridmu itu!”
“Tidak gampang kau mengusirku dari tempat ini, Topeng
busuk! Kecuali jika aku sudah tahu dan mencoba sampai
di mana kesaktianmu!”
Pendekar Bayangan tertawa lirih serta berkata, “Hal itu
akan segera engkau ketahui. Bango Wadas!! Aku siap
melayanimu!”
“Hiaa…!” Ki Bango Wadas berteriak dan bagai
kecepatan kilat ia tahu-tahu telah menerjang ke arah
Pendekar Bayangan sekaligus senjatanya menyambar
dengan pukulan maut.
Tampaknya penggada berduri milik Ki Bango Wadas tadi
benar-benar akan meremukkan kepala si Pendekar
Bayangan jika saja sasarannya ini cuma berdiam diri saja.
Kejadian berikutnya sungguh sangat mengagetkan bagi
Mahesa Wulung dan Pandan Arum yang menyaksikan
pertempuran itu bagai orang setengah mimpi.
Kelihatannya pendekar berkerudung topeng putih itu
cuma menggeliat ke samping bagai orang meregangkan
tubuh sehabis bangun dari tidurnya. Gerakan sederhana
dan tampak sepele atau boleh dianggap setengah main-
main ini ternyata cukup hebat.
Begitu tepatnya perhitungan gerak menggeliat tadi dan
di saat itu pula penggada berduri dari Ki Bango Wadas
terpaksa bersarang di udara kosong belaka, membuat Ki
Bango Wadas kaget setengah mati.
Sebagai seorang pendekar jagoan ia seketika dapat
menduga betapa tinggi dan sampai dimana kesaktian
Pendekar Bayangan yang berada di hadapannya itu!
Dengan gerakan sederhana seperti main-main saja ia
telah berhasil lolos dari senjata Ki Bango Wadas. Dan
karena ini pulalah Ki Bango Wadas merasa seperti di-
permainkan bagai anak kecil oleh lawannya, maka sudah
barang tentu kalau ia marahnya bukan kepalang. Giginya
berkerot gemeratak dan matanya bersinar tajam seperti
mau menelan bulat-bulat terhadap lawannya ini.
Sementara itu Pendekar Bayangan masih saja berdiri
dengan seenaknya dan bersandar pada tongkat ber-
cabangnya sedang dari balik topengnya terdengar tertawa
menggelegas bernada ejekan.
“Sess ... ses ... setaaan, kowe!!” seru Ki Bango Wadas
sambil melototkan matanya sampai-sampai bagaikan mau
meloncat keluar kedua bulatan mata tadi dari rongga dan
pelupuknya. “Menghina keterlaluan kepadaku, ha!?”
“Sudah aku katakan dari semula bahwa kita bisa
memakai jalan damai tanpa bertegang leher untuk
mengadu tenaga. Sobat sebaiknya berlalu dari tempat ini
dan boleh silakan membawa muridmu kembali.” ujar
Pendekar Bayangan seraya mencoker-cokerkan ujung
tongkatnya ke tanah. “Aku tak akan menghalang-halangi
lagi maksudmu!”
“Topeng bobrok yang besar mulut! Tak berguna kau
berkhotbah di depan hidungku! Minggir sajalah bila kamu
merasa jerih berhadapan dengan Ki Bango Wadas ini!”
Sekali lagi Pendekar Bayangan memperdengarkan
ketawa menggelegas sambil berkata pula. “Aku masih
tidak marah, sobat! Maka jangan paksakan aku
mengeluarkannya!”
“Hia, ha, ha, ha, itu lebih bagus topeng bobrok!” Seru Ki
Bango Wadas. “Mari tunjukkan kemarahanmu itu! Aku
ingin mengetahuinya!”
“Oooo, kau manusia tak tahu diuntung!” sahut Pendekar
Bayangan. “Jangan menyesal kau nanti!”
“Haaaait!!” begitu Pendekar Bayangan selesai berkata
begitu cepat pula ia menusukkan tongkat cabangnya ke
depan dibarengi loncatan kecil.
Ki Bango Wadas terperanjat! Ujung tongkat bercabang
tersebut meluncur ke arah dadanya dan ia sudah lebih
dulu merasakan angin tusukan yang terdorong oleh senjata
itu.
“Serangan tusukan maut!” desah Ki Bango Wadas dan
segara pula ia menyabetkan penggadanya ke arah kanan
keluar untuk menangkis serangan lawannya.
“Braaak!!” Suara keras terdengar gemerocok akibat
benturan kedua senjata tadi. Namun yang paling terkejut
adalah Ki Bango Wadas sendiri. Ia merasa bahwa penggadanya yang menangkis serta membentur tongkat cabang
si Pendekar Bayangan, rasanya seperti membentur sebuah
tonggak besi baja sehingga berakibat tangannya yang
menggenggam senjata merasa kesemutan dan nyeri.
Untungnya ia mempunyai tenaga dalam yang cukup tinggi
dan segera dapat mencegah senjatanya yang hampir lepas
keluar dari jari-jemari yang menggenggamnya.
“Hmmm, hampir-hampir aku menderita malu oleh
serangan tadi!” Ki Bango Wadas berkata di dalam hati
sementara ia memindah senjatanya ke tangan kiri. “Biar
aku akan mencoba serangan pasir maut ini!!”
Tanpa diduga tiba-tiba Ki Bango Wadas mengendap ke
bawah sekaligus meraup pasir di dekat kakinya lalu
menebarkannya ke depan dengan kecepatan dahsyat.
Untungnya Pendekar Bayangan tidak lengah dari segala
gerak-gerik lawannya, sehingga ia tahu apa yang harus
diperbuatnya untuk menghadapi serangan lawan yang
pasti mematikan ini.
Butir-butir pasir tadi meluncur deras ke arah Pendekar
Bayangan. Serangan ini terang mematikan sebab jika ia
sampai menembus kulit maka akan segera masuk ke
dalam daging atau mengalir dan masuk ke dalam aliran
darah sehingga mau tidak mau korbannya akan segera
mati.
Sudah tentu Pendekar Bayangan tidak mau kulit
dagingnya untuk ditembusi oleh butir-butir pasir tadi. Maka
secepatnya ia mendorongkan pukulan tinjunya ke depan
memapaki serangan pasir maut.
Sekali ini pula, Ki Bango Wadas terpaksa terlongoh
heran sebab butir-butir pasir tadi tiba-tiba terhenti di
tengah jalan, bahkan kini terdorong oleh serangan angin
pukulan dari tinju Pendekar Bayangan pada melesat
berkeredapan ke arah diri Ki Bango Wadas sendiri!
Diam-diam Ki Bango Wadas terpaksa memuji kegesitan
serta kehebatan lawannya dan cepat-cepat ia mengendap
serendah mungkin agar butir-butir pasir maut tadi tidak
sampai mengenai dirinya sendiri.
Akan tetapi Pendekar Bayangan tidak membiarkan
lawannya begitu saja nganggur selagi cekakaran
menghindari terjangan butir-butir pasir maut secepat kilat
ia menyampokkan tongkat cabangnya ke arah kaki Ki
Bango Wadas serta mengaitnya dengan tepat dan
hilanglah keseimbangan tubuhnya.
Keruan saja pendekar berkepala botak dari muara Kali
Serang tersebut jatuh terjerembab di atas tanah sambil
memaki-maki pedas serta meludah-ludahkan tanah yang
masuk kemulutnya! - Iblis laknat! Topeng bobrok keparat!
Kau kelewat batas menghinaku. Awas tunggu serangan
berikutnya!”
“Hi, hi, hi, bukankah cukup enak makan gum-palan-
gumpalan tanah itu?” ujar Pendekar Bayangan seraya
berguncang-guncang tubuhnya menahan ketawa. “Rasanya
asin-asin gurih bukan?!”
“Keparat! Terimalah seranganku ini!” seru Ki Bango
Wadas sekaligus menyerang kembali dengan pukulan
senjatanya yang berdesing mengerikan.
“Wuuuttt wuut-wuutt.” Kini penggada berduri di tangan
Ki Bango Wadas semakin garang gerakannya dan
menyerang dengan segala kemampuannya.
Biarpun Pendekar Bayangan juga bergerak hebat,
namun Ki Bango Wadas yang telah mengerahkan ilmu
permainan penggadanya yakni—Bindisrewu—tidak bisa
dianggap enteng begitu saja. Kini penggada berduri logam
tadi tampaknya menjadi beribu-ribu jumlahnya dan
menyerang bertubi-tubi ke segala bagian tubuh Pendekar
Bayangan.
Setiap pukulan penggada berduri logam tersebut
menerbitkan angin berputaran menyebabkan debu dan
daun-daun kering bertaburan ke atas. Untuk serangan-
serangannya ini. Ki Bango Wadas sudah bisa memastikan
bahwa pendekar bertopeng putih ini akan segera binasa
atau paling sedikit mengalami cedera. Apalagi ujung-ujung
duri logam pada ujung senjatanya pernah dipolesi oleh
racun yang mematikan.
Menghadapi serangan-serangan yang sedemikian ganas
dan garangnya, Pendekar Bayangan tidak berani lagi
bermain-main atau setengah-setengah tenaga melayani
serangan Ki Bango Wadas itu. Maka diam-diam ia
menggerakkan ilmu geraknya Samparangin yang mem-
buat gerakan tubuhnya menjadi ribut, seribut angin
prahara yang mampu menyambar dan menyapu setiap
tetumbuhan di muka bumi hingga roboh sampai seakarnya.
Dalam sekejap mata saja gerakan Samparangin beraksi
menyelinap di antara celah-celah libatan senjata Ki Bango
Wadas yang berjurus Bindisrewu.
Sedikit demi sedikit jurus Bindisrewu tersebut tertindih
oleh gerakan Samparangin yang makin ketat melibat tubuh
Ki Bango Wadas. Ditambah pula ujung tongkat cabang si
Pendekar Bayangan mematuk-matuk dan menyambar
laksana moncong ular menyemburkan bisa mautnya.
Bukan main kagetnya Ki Bango Wadas menghadapi
serangan-serangan sehebat itu. Kemudian terasa pula
bahwa gerakan senjata Bindisrewu dari dirinya seperti
surut dan tanpa daya lagi.
Pada suatu kesempatan yang dinanti-nanti, tiba-tiba
saja Pendekar Bayangan menusukkan ujung tongkat
cabangnya kedada Ki Bango Wadas dan tepat mengenai
sasarannya, meskipun gerak tusukan tadi tidak di-
lancarkannya dengan sepenuh tenaga.
“Heeeekk!” terdengarlah keluhan pendek dari mulut Ki
Bango Wadas sambil melontarkan dirinya surut ke
belakang beberapa tombak. Dengan demikian ia telah
berusaha mengurangi tenaga tusukan dari tongkat
Pendekar Bayangan sehingga tidak sampai dadanya
berlobang.
Meskipun begitu, tak urung Ki Bango Wadas merasakan
betapa dadanya tiba-tiba menjadi sesak. Sementara itu,
Pendekar Bayangan tidak terus menyerang, melainkan
berdiam diri di tempat sambil mengawasi segala gerak-
gerik Ki Bango Wadas.
Pendekar berkepala separo botak itu kembang kempis
mengatur nafas dan dadanya kelihatan turun naik meng-
hirup serta menghembus udara lewat hidungnya. Sedang
matanya yang tajam itu melirik ke arah Lawunggana si
murid tunggalnya yang masih terbaring di tanah ditunggui
oleh Endang Seruni.
Dilihatnya kedua anak muda itu dengan mesranya saling
bercakap-cakap dan tentu saja Ki Bango Wadas merasa
kurang senang karenanya.
Untuk beberapa saat suasana di tempat itu terasa sepi
tanpa suara percakapan manusia kecuali desah angin
siang membelai puncak-puncak pohon dan rerumputan di
tepi Kali Serang ini.
Sekonyong-konyong dan dengan gerakan yang secepat
kilat menyambar. Ki Bango Wadas tahu-tahu telah melesat
ke arah Lawunggana terbaring. “Hyaat!”
Gerakan ini sungguh di luar dugaan siapa saja. Tubuh Ki
Bango Wadas mirip gerakan burung bangau berparuh dan
berkaki panjang yang dengan sebat menyambar tubuh
Lawunggana sementara kakinya mengirimkan angin
dupakan ke pundak Endang Seruni.
Akibatnya gadis ini terperanjat dan mencoba mengelak
ke samping, tetapi ternyata angin tendangan dari Ki Bango
Wadas lebih cepat datangnya. Maka hempas rebahlah
Endang Seruni di atas rerumputan, karena terlanggar oleh
angin tendangan tersebut.
Selanjutnya Ki Bango Wadas sambil mengempit tubuh
Lawunggana, tak ubahnya seorang botoh mengempit jago
aduannya, lalu melesat ke arah utara dalam loncatan-
loncatan panjang selincah belalang. Sejurus kemudian
Endang Seruni cepat bangun dan mencoba mencegah
tubuh Lawunggana yang setengah sehat itu dibawa lari
oleh gurunya, Ki Bango Wadas!
Akan tetapi apa daya orang selemah Endang Seruni
yang tidak pernah mengenal dengan dalam akan gerakan-
gerakan silat. Maka tanpa berdaya sedikitpun ia tak
mampu mengejar loncatan-loncatan Ki Bango Wadas.
Gadis ini cuma sempat meratap sambil menitikkan air
mata. “Oookh, kakang Lawunggana.” Sebentar itu pula,
tubuh Ki Bango Wadas beserta muridnya telah lenyap
ditelan oleh semak belukar di sebelah utara. Sambil
memperdengarkan suara tertawa serta ancamannya.
“Pendekar Bayangan!! Tunggulah dalam kesempatan
lamnya. Kau pasti mampus di tanganku!!”
Mendengar ini baik Mahesa Wulung maupun Pandan
Arum dan Endang Seruni merasa meremang tengkuknya
oleh kata-kata ancaman dari Ki Bango Wadas tadi. Namun
berbeda dengan si Pendekar Bayangan yang masih saja
berdiri di tempatnya sambil memperdengarkan tertawa
menggelegas dan manggut-manggut.
Begitulah akhirnya ketegangan tadi berlalu seperti
lalunya angin bertiup di siang ini. Si Pendekar Bayangan
perlahan-lahan melangkah mendekati Mahesa Wulung
yang lagi ditunggui oleh Pandan Arum dan Endang Seruni.
“Oookh, terima kasih bapak Pendekar Bayangan. Andika
telah muncul dan menolongku dalam saat-saat yang
sangat tepat!” ujar Mahesa Wulung seraya tersenyum.
“Hmmm, yah, yah. Sedari kejadian yang pertama, aku
telah mengikutinya, angger Wulung,” berkata si Pendekar
Bayangan seraya berjongkok di samping tubuh Mahesa
Wulung.
“Aku memang bermaksud berkunjung ke daerah ini dan
menengok Ki Lurah Mijen, sebab telah agak lama merasa
rindu kepada Ki Lurah dan desa Mijen ini. Kau ingat bukan,
bahwa kita pernah tinggal bersama-sama di sini ketika
menghadapi gerombolan Topeng Reges??’
“Benar, bapak.” jawab Mahesa Wulung. “Begitupun
saya, telah lama pula ingin bertemu dan bercakap-cakap
dengan andika.”
“Mmm, tentunya banyak pengalaman-pengalaman kita
masing-masing yang perlu kita ceritakan.” sambung
Pendekar Bayangan. “Tapi lebih dulu harus kupulihkan
kelumpuhanmu ini. Kau telah tertotok jalan darah serta
urat-urat rongga dadamu, sehingga nafasmu menjadi
sesak dan tidak lancar.”
“Dapatkah ia sembuh dengan segera bapak??” bertanya
Pandan Arum dengan nada kecemasan.
“Heh, heh, heh, jangan kuatir, angger. Ia akan ku-
sembuhkan sekarang!” ujar si Pendekar Bayangan
sekaligus mengurut-urutkan jari jemarinya ke leher Mahesa
Wulung lalu menurun ke pundaknya. Selanjutnya tiba-tiba
kedua belah ujung tangan Pendekar Bayangan menotok
berbareng ke arah dada Mahesa Wulung sehingga
Pendekar Demak ini mendesis pendek. “Haaekkk!”
Mahesa Wulung sesaat menyeringai sebab dadanya
merasa dialiri oleh aliran hawa panas yang menyengat dan
kemudian menyebar ke segenap rongga dadanya.
Bahkan lebih dari itu, terasa seakan-akan urat darahnya
kembali bekerja dengan sempurna dan darahpun mengalir
dengan lancar lewat pembuluh darah membawa udara
bersih ke paru-paru dan jantungnya. Kekuatannya pulihi
kembali. Maka tak heran bila nafas Mahesa Wulung
kembali lancar dan cepat-cepat ia bangkit dan duduk
bersama-sama mereka.
***
DUA
PENDEKAR BAYANGAN tampak menghela nafas
dalam-dalam serta menatap kepada Mahesa Wulung
dengan lega. Sedang Pandan Arum serta Endang
Seruni tak henti-hentinya mengagumi si penolong yang
berkedok putih ini.
“Mengapakah angger sampai melibatkan diri bertempur
dengan murid si Bango Wadas tadi?” bertanya Pendekar
Bayangan kepada Mahesa Wulung.
“Itu terjadi karena kesalah fahaman dan dendam si
Lawunggana yang sesat terhadap saya.” berkata Mahesa
Wulung menjelaskan sebab-sebab terjadinya pertarungan
antara Lawunggana dengan dirinya. “Sebelumnya antara
kami berdua tidak pernah bertemu, berkenalan, apalagi
sampai saling berselisih. Ternyata, si Lawunggana itu yang
sejak semula telah mencintai adi Endang Seruni, telah
mencemburukan adi Endang Seruni dengan diriku. Nah,
inilah rupanya sumber dendam si Lawunggana tadi!”
Pendekar Bayangan mengangguk-angguk oleh
penuturan Mahesa Wulung, sementara otaknya mem-
bayangkan peristiwa-peristiwa yang lalu ketika ia bersama-
sama Mahesa Wulung tinggal di desa Mijen ini untuk meng-
hadapi pengacauan Ki Topeng Reges dan anak buahnya.
Ya, Pendekar Bayangan juga tahu bahwa Mahesa
Wulunglah yang telah membebaskan Endang Seruni dari
tangan anak buah Ki Topeng Reges. Juga ia tahu, bahwa
Mahesa Wulung telah menolak kawin dengan Endang
Seruni sebagai hadiah atas kemenangan sayembara.
Bagaimanapun juga Pendekar Bayangan dapat meng-
hargai atas sikap Mahesa Wulung tadi. Satu sikap luhur
yang menunjukkan betapa besar cinta Mahesa Wulung
kepada kekasihnya yakni Pandan Arum.
“Angger Mahesa Wulung. Sayang Ki Bango Wadas telah
minggat dan membawa serta si Lawunggana.” ujar
Pendekar Bayangan. “Dari wajah Lawunggana aku dapat
mengambil kesimpulan, bahwa ia sebenarnya orang yang
baik hati!”
“Benar, bapak.” sela Endang Seruni. “Memang aku telah
mengenal kakang Lawunggana semenjak kecil mula dan ia
adalah orang yang baik-baik!”
“Itulah sayangnya ia mendapat didikan yang sesat dari
Ki Bango Wadas, yang mengutamakan kekerasan dan
kekasaran. Untuk ini aku tak perlu heran sebab sedikit
banyak aku telah mengenal siapa Ki Bango Wadas itu
sebenarnya.” ujar Pendekar Bayangan dan kata-kata ter-
sebut cukup membuat Mahesa Wulung terperanjat.
“Jadi bapak pernah mengenal Ki Bango Wadas itu?!”
seru Mahesa Wulung. “Mmm, tentulah dia orang yang
hebat.”
“Heh, heh, heh, heh, memang orang yang hebat si
kepala botak itu!” kata Pendekar Bayangan. “Ia telah ter-
kenal sejak mula kerajaan Demak berdiri.”
“Sejak Demak berdiri?!” berseru Mahesa Wulung
dengan terhenyak bagai disengat lebah.
“Heh, heh, heh. Waktu itu ia masih muda sekali.”
Pendekar Bayangan berkata. “Dan pada suatu ketika ia
melamar ke Demak untuk menjadi calon tamtama dari
pasukan kerajaan. Akan tetapi sayangnya ia sering
menunjukkan kekasaran serta sikapnya yang selalu
menyombongkan kesaktian dirinya, sehingga akhirnya
Sultan tidak mau menerimanya. Hal ini rupanya membawa
kejengkelan dalam hati Bango Wadas Anom. Maka pemuda
sakti inipun meninggalkan kota Demak dengan kemarahan
serta dendam yang berkobar di dadanya. Akhirnya dia
menjadi seorang Pendekar liar yang sering mengganggu
kearnanan dan ketenteraman. Di mana dia berada, di situ
pulalah timbul perselisihan-perselisihan serta pertarungan
yang kadang-kadang memakan korban jiwa. Nama Bango
Wadas Anom tersebut semakin ditakuti, makin disegani
oleh orang-orang dan akhirnya juga disingkiri oleh mereka.
Meskipun ia mula-mula merasa bangga atas hal ini, namun
toh kesudahannya ia menjadi kesepian juga. Betapapun
juga kecilnya, setiap manusia masih memerlukan bergaul
dan berhubungan dengan manusia lainnya. Keadaan
tersebut justru menambah dendamnya terhadap setiap
orang, terhadap siapa saja yang dijumpainya. Karena itu,
akhirnya sekelompok prajurit-prajurit Demak telah men-
coba menangkapnya.
Tentu saja Bango Wadas Anorn tidak tinggal diam dan
iapun melawan dengan sekuat tenaga dan kesaktiannya.
Pertarungan hebat seketika berkobar. Pada kesempatan
inilah ia menumpahkan segala dendam dan kemarahan-
nya. Maka tak perlu heranlah bila dalam beberapa jurus
gebrakan kemudian Banyo Wadas Anom berhasil meroboh-
kan lima orang korban tanpa nyawa lagi, sedang tiga orang
lainnya roboh terluka parah!
Beberapa orang sisa pasukan Demak yang merasa tak
mampu lagi menandingi Bango Wadas cepat-cepat berlari
meminta bantuan ke kota.
Begitulah, pertempuran hebat untuk kedua kalinya ber-
kobar lagi. Kali inipun dari kalangan prajurit-prajurit tidak
bisa memandang dengan sebelah mata kepada Bango
Wadas Anom. Mereka terpaksa mengakui keunggulan si
pendekar liar ini.
Kembali berjatuhan beberapa korban dari pihak prajurit-
prajurit Demak, tetapi lainnya masih terus mengepung
Bango Wadas Anom dan menyerang dengan sengitnya.
Mereka telah bertekad lebih baik mati bersama rekan-
rekannya dari pada ngacir berlari meninggalkan lawannya
yang cuma seorang diri.
“Hayo prajurit-prajurit Demak! Jangan rnaju satu
persatu! Tuangkan seluruh teman-temanmu ke mari, dan
aku akan melayaninya!” teriak Bango Wadas Anom dengan
garangnya. “Kalian akan mampus, binasa satu persatu
ditanganku. Hua-ha-ha-ha inilah Bango Wadas Anom yang
telah ditolak sebagai calon tamtama Demak dan sekarang
kalian akan merasakan betapa sepak terjangku!”
Sekali lagi Bango Wadas berkelebat dan beberapa orang
prajurit pengepungnya terpelanting roboh ke tanah oleh
sambaran kayu penggada ditangan Bango Wadas.
Senjatanya yang tampaknya sederhana itu ternyata ter-
buat dari galih atau hati kayu pohon asam yang sangat
keras dan ulet. Setiap pukulan dengan senjata ini akan
menyebabkan maut atau paling sedikir patah tulang
belulangnya. Maka celakalah bila lawan yang tak berilmu
berani memapaki serangan gada kayu galih asam tadi!
Tiba-tiba saja dalam keadaan yang sangat kritis dan
tanpa harapan bagi prajurit-prajurit Demak itu, berkelebat-
lah sesosok bayangan manusia dari balik pepohonan lebat
langsung melesat ke arah Bango Wadas Anom.
Kedatangan orang ini sangat tepat sebab bersamaan
Bango Wadas Anom akan menghajarkan penggadanya ke
kepala seorang prajurit Demak yang telah kecapaian dan
terlongoh-longoh saking lelahnya.
Si pendatang tadi sekonyong-konyong dengan sebat
membenturkan senjatanya yang senantiasa berputar bagai
baling-baling ke arah penggada Bango Wadas yang tengah
meluncur ke bawah. “Craaaakkk!”
“Keparat! Setan alas!” umpat Bango Wadas sambil me-
loncat ke belakang menjauhi si pendatang tadi.
Kini Bango Wadas Anom dapat menyaksikan lawan
barunya, seorang pemuda yang berumur sebaya dengan
dirinya dan pada tangannya tergenggamlah sebuah senjata
nenggala yang berujung dua buah sangat runcingnya dan
berkilatan ditimpa sinar matahari pagi.
Dengan memegang pada pertengahannya, maka senjata
tadi dapat diputar secepat baling-baling dan sepintas lalu
akan miriplah dengan senjata nenggala si Prabu Baladewa
dan cerita Pewayangan yang katanya mampu memukul
hancur sebuah gunung anakan dan mengeringkan sebuah
lautan yang dikenainya dengan senjata nenggala tadi.
“Siapa kau haa? Mencampuri urusanku di sini!” seru
Bango Wadas Anom seraya melototkan matanya ke arah si
pendatang tadi. “ Apakah kau sudah bosan hidup juga?”
“Ha, ha, ha, Bango Wadas Anom! Memang hebat sekali
sepak terjangmu ini. Aku lihat beberapa prajurit Demak
telah terkapar mati!” ujar si pendatang.
“Memang hebat, dan jika umurmu masih panjang, kau
akan segera tahu bahwa besok hari pada ujung
penggadaku ini akan kau lihat duri-duri logam yang aku
pasang di situ sebanyak jumlah orang-orang yang telah
mati itu!”
“Luar biasa!” desis si pendatang baru itu. “Itulah sudah
sepantasnya bila lamaranmu sebagai calon tamtama
Demak telah ditolak karena kekejaman dan kekerasanmu!”
“Itu sudah menjadi pendirianku serta keyakinan yang
telah mendarah daging di tubuhku!” seru Bango Wadas
Anom. “Siapa yang kuat dan paling keras, pastilah akan
paling berkuasa di dunia ini! Dialah orang yang paling
ditakuti!”
“Hmmm kau lupa! Bukan hanya dengan kekerasan serta
kekuatan saja orang dapat berkuasa tetapi dengan
keluhuran, akan kebijaksanaan serta keadilan orangpun
dapat pula disegani!”
“Bagus, kita bertentang pendirian. Sakarang akan kita
buktikan siapa di antara kita yang paling kuat.”
“Heh, heh, heh. Aku senang mendengar tantanganmu
tadi. Namun rupanya kau belum tahu dengan siapa engkau
berhadapan!“ ujar si pendatang.
“Lhah, siapa namamu he?! Kau kira aku takut men-
dengar nama yang kau ucapkan!” seru Bango Wadas Anom
sombong.
“Nah, kenallah lebih dulu. Aku biasa disebut orang si
Banyaksekti, saudara seperguruan Ki Kebo Kenanga dari
perguruan Pengging!” ujar si pendatang dengan tenangnya.
“Kau?! Kau orang yang bernama Banyaksekti dari
Pengging?” berseru Bango Wadas Anom dengan muka
terperanjat. Nama tadi telah sering didengarnya sebagai
nama yang paling ditakuti oleh para penjahat, maka sedikit
banyak iapun tergetar pula olehnya. Meskipun begitu
Bango Wadas Anom malah tertawa terbahak-bahak. “Heh,
kebetulan sekali kalau begitu. Ayo, sambutlah senjataku
ini!”
Banyaksekti terperanjat sebab begitu selesai berkata
tahu-tahu senjata galih asam si Bango Wadas telah
menyelonong menuju ke arah wajahnya.
Untungnya si Banyaksekti cepat bertindak! Dengan
kecepatan angin senjata nenggala di tangannya berkelebat
memapaki serangan lawan dan menyebabkan benturan
keras. “Traaang!!”
Bango Wadas Anom terkejut seketika. Tidak dinyana bila
serangannya yang cermat tadi meleset dari sasaran akibat
tangkisan lawan. Ujung penggadanya tadi meluncur satu
jengkal dari pelipis Banyaksekti.
Dalam saat yang sama pula tiba-tiba kaki kiri
Banyaksekti mengirimkan tendangan manis ke perut
Bango Wadas disusul bunyi berkerocak dan keluhan ter-
tahan. Bango Wadas Anom buru-buru meloncat ke
samping, tapi sesaat kemudian iapun muntah-muntah
dengan wajah kepucatan. Sungguh hebat tendangan
Banyaksekti.
Melihat ini Banyaksekti tertawa terkekeh-kekeh dan
karenanya Bango Wadas makin bertambah garang saking
marahnya. Kembali ia menyerang Banyaksekti dengan
serangan-serangan maut. Penggadanya tadi berkelebat
menyambar-nyambar ke sekeliling tubuh Bango Wadas
dengan rapatnya tanpa ampun.
Namun sekali lagi Bango Wadas terkecoh, bila ke
nyataannya Banyaksekti senantiasa mampu mengatasi
serangan-serangannya dan tak lama kemudian iapun
merasa bahwa senjata nenggala Banyaksekti berkali-kali
mengancam tubuhnya.
Putaran senjata lawannya yang berujung runcing pada
kedua belah ujung pangkalnya berkilatan membuat hati
Bango Wadas tergetar pula karenanya. Ia terpaksa bekerja
keras bila tidak ingin tubuhnya di tembus oleh nenggala si
Banyaksekti yang sekali-sekali sempat pula menggores
kulit dagingnya.
Untungnya si Banyaksekti cepat bertindak! Dengan
kecepatan angin senjata nenggala ditangannya berkelebat
memapaki serangan lawan yang menyebabkan benturan
keras. “Traaaang!!!!”
Akhirnya Bango Wadas Anom merasa bahwa tenaganya
akan menjadi habis bila diterus-teruskan bertempur
melawan si Banyaksekti yang selincah burung sikatan
melesat ke sana ke mari itu.
Begitulah, sebuah tendangan kaki Banyaksekti tak
sempat dihindarinya dan terpentallah Bango Wadas Anom
ke samping beberapa langkah. Akan tetapi di saat itu pula
ia telah menyiapkan serangkaian serangan maut.
Sambil berjumpalitan, tangan kiri Bango Wadas tiba-tiba
merogoh ikat pinggangnya dan begitu berkelebat mengibas
meluncurlah beberapa jarum beracun ke arah Banyaksekti
dengan cahaya berkeredapan. “Sringng!”
Melihat serangan ini Banyaksekti tidak kehilangan akal.
Tangan kanannya yang menggenggam nenggala, berputar
ke kiri ke kanan dengan cepat dan lincah menyambut
sambaran-sambaran jarum beracun tadi.
Maka terdengarlah bunyi berdenting-denting susul
menyusul dan rontoklah ke tanah jarum-jarum beracun
tersampok oleh nenggala Banyaksekti.
Hal ini merupakan keuntungan bagi Banyaksekti sebab
kedua matanya segera menyaksikan betapa rumput-
rumput dan tetumbuhan yang terkena jarum beracun tadi
menjadi layu serta mengering beberapa saat kemudian.
Terbayanglah olehnya seandainya tubuhnya ditembusi oleh
jarum-jarum beracun tadi pasti akan mengalami nasib yang
sama.
Pada saat Banyaksekti menangkis serangan jarum
beracun tadi si Bango Wadas Anom menggunakan
kesempatan yang paling baik ini dengan melesat ke luar
gelanggang pertempuran seraya berkaok-kaok. “Banyak-
sekti! Tunggulah saatnya nanti. Kita akan bertemu lagi
untuk melanjutkan pertemuan ini!!” Bango Wadas lenyap di
balik kelebatan pohon-pohon dan tempat itu kembali sepi,
kecuali beberapa erangan prajurit-prajurit yang terluka
parah, sementara beberapa prajurit Demak lainnya yang
masih selamat masih saja terhenyak oleh pertempuran
yang baru saja berakhir tadi.
Banyaksekti tak tinggal diam. Ia segera mengajak para
prajurit tadi untuk menolong rnereka-mereka yang masih
sempat ditolong, sedang kepada mereka yang telah mati
segera pula dikuburnya baik baik.
Sejak itu, Bango Wadas tak terdengar lagi kabar berita-
nya. Ada sementara orang yang mengabarkan bahwa ia
mengasmgkan diri di suatu tempat untuk memperdalam
ilmu dan kesaktiannya. Sedang orang lain mengabarkan
pula, bahwa setiap orang yang dijumpai tentu dibunuhnya.
Begitulah kabar bersimpang siur terdengar dari sana-sini.
Namun sampai sejauh itu, Bango Wadas ternyata tidak
pernah muncul kembali dan orangpunn mulai melupakan-
nya pula.
Pendekar Bayamian mengakhiri ceritanya dan ke-
heningan kembali mencekam suasana. Mahesa Wulung
berdiam diri, juga Pandan Arum dan Endang Seruni.
“Nah, angger bertiga,” ujar Pendekar Bayangan pula,
melanjutkan bicaranya. “Begitu tadii cerita tentang Ki
Bango Wadas yang diceritakan sendiri oleh sahabat
karibku yakni si Banyaksekti sendiri.”
“Ooh, Banyaksekti itu juga sahabat bapak?!” seru
Mahesa Wulung setengah kagum. “Sungguh bahagia
tentunya mempunyai sahabat seperti Banyaksekti itu.”
“Heh, heh, heh, memang benar pendapatmu itu angger.”
ujar Pendekar Bayangan seraya ketawa lirih. “Sekarang
agaknya hari sudah terlalu siang. Baiknya kita kembali ke
desa Mijen saja, angger Wulung. Aku ingin berjumpa
dengan Ki Lurah. “Baik, bapak. Marilah!” berkata Mahesa
Wulung mempersilakan Pendekar Bayangan yang telah
bangkit dari duduknya.
“Sebentar angger Wulung!” sela Pendekar Bayangan.
“Aku harus lebih dulu melepas topengku ini sebelum tiba di
desa. Jika tidak, aku kuwatir kalau-kalau disangka tukang
penari topeng barongan yang kesiangan.”
Pendekar Bayangan lalu melepas topengnya yang
berwarna keputihan serta menyimpannya di balik bajunya
yang juga berwarna keputihan. Maka sebentar kemudian
Mahesa Wulung bertiga dapat menyaksikan wajah seorang
tua yang masih nampak segar dengan sorot mata yang
bening dan bercahaya, membuat Pandan Arum yang belum
pernah melihatnya terpaksa tercengang kagum.
Tak lama kemudian mereka berempat bergegas menuju
ke jalan desa Mijen yang letaknya tidak jauh lagi. Beberapa
semak pohon bambu tumbuh di kiri-kanan jalan berseling-
seling pohon kelapa.
***
TIGA
Ki LURAH MIJEN tampak mondar-mandir di pendapa
kelurahan desa Mijen sedang Nyi Lurah diam-diam
saja duduk di atas balai-balai.
Pada wajah Ki Lurah Mijen terlihat gurat-gurat
kecemasan yang mendalam, lebih-lebih dengan munculnya
Lawunggana yang akhirnya disusul pula dengan per-
tarungan antara pemuda itu dengan Sorogenen.
Akan tetapi Ki Lurah Mijen tiba-tiba berhenti demi
didengarnya suara orang Bercakap-cakap dari arah
halaman Kelurahan.
Seperti digerakkan oleh tenaga naluriah Ki Lurah segera
melayangkan pandangannya ke arah halaman.
“Oh...” Ki Lurah melihat empat orang menuju ke
halaman Kelurahan dan ia segera dapat mengenalnya.
Mereka adalah Mahesa Wulung, Pandan Arum, Endang
Seruni dan yang seorang lagi?
Ki Lurah mencoba mengingat-ingat dan memusatkan
pikirannya. “Ooooo, siapakah dia? Rasanya aku telah lama
mengenalnya.” pikir Ki Lurah beberapa saat dan akhirnya
ia menampakkan wajah cerah.
“Hee, ya. Aku tak keliru lagi. Dia adalah Ki Pendekar
Bayangan!!!”
Maka Ki Lurah segera bergegas keluar dan
menyongsong mereka seraya berseru. “Ki Pendekar
Bayangan! Ooo, andika masih teringat dengan desa yang
buruk ini?”
“Heh, heh, heh, janganlah terlalu merendah Ki Lurah.
Desamu justru sangat indah sehingga aku memerlukannya
untuk singgah di sini kembali.” ujar Pendekar Bayangan
dengan tersenyum lebar.
“Ayo, ayo, kita terus masuk saja ke dalam!” berkata Ki
Lurah Mijen terbata-bata mempersilakan tamunya yang
baru ini masuk ke pendopo.
Mereka duduk di atas balai-balai kayu dan kemudian Ki
Lurah membahagiakan tamunya, menanyakan tentang
kesehatan Ki Pendekar Bayangan dan lain-lainnya.
“Hmm, aku memang sengaja datang ke mari Ki Lurah.”
Pendekar Bayangan berkata. “Sebab aku sedikit banyak
mulai mencium adanya bahaya yang menyangkut diri Ki
Lurah!”
“Eeeh, bahaya apa itu, sahabat? Apakah andika mau
menakut-nakuti diriku yang sudah tua ini,” ujar Ki Lurah
dengan wajah yang setengah ketakutan tapi juga setengah
senyum, sehingga nampaknya sangat lucu.
“Heh, heh, heh, aku berkata sebenarnya Ki Lurah.
Dengarlah baik-baik. Ketika aku lewat di kota Asemarang
dan bersinggah di sebuah warung minum di dekat bandar
pelabuhan, aku melihat seorang pengunjung yang
setengah mabuk dengan bau tuak menghambur dari
mulutnya.
Ia mengomel semaunya dengan kata-kata begini. “Hoek,
hoooeeek, aku akan segera kaya dengan harta Tanjung
Bugel dan Ki Lurah Mijen tahu itu semua, hoooeeeekkk!!”
Mendengar ini seketika wajah Ki Lurah Mijen ter-
peranjat, tak terkecuali Mahesa Wulung, Pandan Arum dan
Endang Seruni pula.
Hal itu tentu saja mengejutkan mereka, lebih-lebih bagi
Ki Lurah yang namanya telah disebut sebut oleh si
pemabuk itu, maka tak ada salahnya jika Ki Lurah buru-
buru berkata kepada Pendekar Bayangan.
“Eh. siapakah orang itu, sahabat?”
“Nah, itulah aku yang kurang tahu Ki Lurah. Beberapa
saat kemudian sebelum aku sempat bertanya kepada
orang mabuk itu, tahu-tahu mendekat seorang berwajah
garang yang langsung menuju ke arah si pemabuk itu, lalu
berkata seraya menggerutu marah. Selanjutnya ia
memapah si pemabuk tadi ke luar dari warung. Aku cepat-
cepat membuntutinya keluar tapi aku tak mendapati apa-
apa kecuali debu berkepul ke udara diseling bunyi derapan
kaki-kaki kuda yang makin menjauh dan lenyap di
kegelapan malam.”
“Sangat berbahaya!!” desis Mahesa Wulung setengah
menggeleng-geleng. “Hidung-hidung liar rupanya lebih
cepat membau akan harta terpendam di Tanjung Bugel
itu!!”
“Heran sekali aku!” sela Ki Lurah pula. “Dari mana
mereka dapat mengetahui perihal harta tersebut? Tetapi,
yah! Aku agak ingat sekarang bahwa di antara para
pengawal rombongan saudagar yang menanam harta tadi
di sana, ada seorang yang aku curigai!”
“Hooa, lika-liku persoalan ini makin bertambah jelas
rupanya!” seru Pendekar Bayangan. “Jadi Ki Lurah benar-
benar mengenal orang yang andika curigai itu?!”
“Kenal sekali!” tukas Ki Lurah Mijen. “Sekarangpun
seandainya berjumpa, aku masih bisa mengenalinya!”
Mendengar kalimat itu Pendekar Bayangan meng-
angguk-angguk mengerti dan berkata pula. “Apakah ia
mempunyai cacad atau bekas tanda luka pada dahinya?!”
“Tepat sekali! Ketelitian andika semakin membuatku
bertambah jelas! Ya, orang itu memang pada dahinya
berbekas tanda luka dan namanya si Blending. Dia adalah
seorang yang suka minum tuak. Meskipun sudah kenyang
perutnya dengan minuman tuak, tapi bagi dia belum ada
artinya, maka dia akan menghabiskan beberapa lodong
lagi sampai betul-betul perutnya bulat bagai tempayan,
Nah, oleh sebab itulah dia bernama si Blending.”
“Hmmm, namanya memang sesuai!” desis si Pendekar
Bayangan manggut-manggut. “Pantas saja kalau pada
waktu aku melihat si Blending itu, di atas mejanya aku lihat
beberapa lodong tuak yang telah kosong berserakan.
Rupanya baru saja habis diminumnya dengan tandas.”
“Dengan demikian,” sela Mahesa Wulung. “Jelaslah
bahwa harta dari Tanjung Bugel itu banyak yang
mengincarnya!”
“Sebaiknya kita harus cepat-cepat mendapatkan harta
itu lebih dulu, angger.” ujar Pendekar Bayangan pula.
“Dan bapak akan bersedia membantu kalian untuk
mencarinya.”
“Terima kasih, sahabat!” Ki Lurah Mijen berkata.
Bantuan andika sangat kami butuhkan memang! Sebab
tentunya si Blending yang andika ceritakan tadi tidak
mustahil mempunyai teman-teman lainnya.“
Ki Lurah Mijen kemudian bercerita pula tentang riwayat
harta Tanjung Bugel secara singkat kepada Pendekar
Bayangan dan karenanya Pendekar tua itupun menjadi
tercengang kagum. “Eh, eh, eh. Tidak mengira bahwa ada
lelakon seelok itu. Mmm, jadi angger Endang Seruni masih
saudara sekandung dengan nona Pandan Arum!?”
“Begitulah, bapak.” berkata Pandan Arum seraya
menepuk bahu Endang Seruni yang duduk di sampingnya.
“Jadi dia masih adikku sendiri. Adik sekandung yang aku
ketahui karena kalung kami yang kembar.”
“Angger sungguh berbahagia, nona Pandan Arum.
Rakhmat Tuhan telah mempertemukan andika dengan
adik kandung yang telah terpisah sekian lamanya.”
Sementara itu Nyi Lurah disertai seorang pembantunya
segera menyuguhkan minuman serta juadah ketan kepada
mereka.
Sedang di luar sang matahari telah bergeser jauh ke
sebelah barat pertanda bahwa sore akan tiba sebentar
kemudian. Beberapa ekor kelelawar memberanikan diri
terbang di udara menyambar-nyambar serangga yang akan
disantapnya sambil mencicit kegirangan.
***
Dalam pada itu jauh di sebelah utara sana, di daerah
Muara Kali Serang yang tengah diliputi kabut dan
ditumbuhi oleh kelebatan pohon-pohon besar, terdengarlah
suara orang memaki menyumpah-nyumpah dengan
kerasnya. Kadang-kadang terdengar pula bunyi mem-
bentak-bentak disusul oleh suara lecutan-lecutan keras,
mengumandang di udara senja yang senyap sepi.
Di balik pohon pohon besar itu, terdapatlah sebuah
pondok kecil yang tersembunyi letaknya. Suara lecutan-
lecutan tadi ternyata berasal dan samping rumah. Sebuah
gawang kayu terpasang di situ dan di bawahnya tergantung
sesosok tubuh manusia pada kedua belah tangannya yang
terikat pada gawang kayu.
Di depan gawang itu berdirilah seorang berkepala botak
dengan memegang sebuah cambuk pendek. Rupanya telah
berkali-kali ia menghajarkan cambuknya pada seorang
yang tergantung tersebut dan ini terlihat jelas dari luka-luka
pada punggungnya yang berjalur-jalur merah padam
dengan kulit mengelupas serta darah yang membasah.
“Rasakan kau hah! Lawunggana mulai berhati lunak?
Ingin jadi perempuan kau, heee?!”- teriak si botak dengan
marahnya. “Aku si Bango Wadas pendekar jagoan Muara
Kali Serang tak pernah mengajarmu untuk berhati selunak
kain bobrok! Kau ternyata kurang memenuhi harapan dan
sudah selayaknya kau menerima pelajaran dari gurumu ini!
Terimalah ini!” Ki Bango Wadas berteriak serta meng-
hajarkan cambuk pendeknya kepunggung Lawunggana.
“Wesss!”
“Taaaar!”
Begitu cambuk tadi menimpa dan mendera ke kulit
punggung Lawunggana bertambahlah lagi sebuah goresan
merah darah melintang dibarengi kulit mengelupas serta
darah melekat pada batang cambuk.
“Eeaaah!” teriak Lawunggana menyeringai saking sakit
dan pedihnya. Punggungnya serasa terbakar oleh
berbongkah-bongkah bara api menyala yang tidak bisa
dihindari, kecuali ia menggemeretakkan giginya menahan
rasa sakit tadi.
“Ayo, minta ampun di hadapan gurumu ini!” Kembali Ki
Bango Wadas berteriak garang seraya mengacung
acungkan cambuknya ke wajah Lawunggana yang
bermandi peluh dan debu kotor.
Lawunggana telah lelah sekali dan setengah pingsan
maka ia tak bisa berkata-kata dengan jelas, kecuali
merintih. “Aku ... aku ... minta ... maaf ....”
“Heeh, kau tak bisa berkata keras-keras, hee?” teriak Ki
Bango Wadas. “Rupamu jadi jelek kalau merintih dan
berurai air mata seperti itu. Kau harus tertawa sekarang?
Ayo, tertawa sekarang!”
Tapi Lawunggana tak dapat memenuhi perintah Ki
Bango Wadas itu. Mana bisa orang yang telah menderita
seberat dan separah Lawunggana mampu berkata jelas
apalagi tertawa seperti orang sehat.
“Hmm, keparat! Jadi aku harus memaksamu tertawa
bukan? Haaait!” Ki Bango Wadas yang berwatak bengis itu
dengan tiba-tiba menotokkan ujung jari-jarinya ke leher
Lawunggana, tepat pada "urat tertawa" sehingga sejurus
kemudian tanpa sadar, tanpa ada sesuatu yang lucu atau
menggelikan, pemuda ini tertawa terbahak, terkekeh-kekeh
tanpa dia dapat menarik nafas dengan leluasa. “Heh, ha.
ha. Heh, heh, ha, ha, ha ....”
Melihat muridnya tertawa tanpa sadar ini, Ki Bango
Wadas terpaksa ikut ketawa pula. Ia merasa sangat geli
menyaksikan Lawunggana terus menerus dan sambung
menyambung tertawa tanpa hentinya dengan mata melotot
dan leher yang tegang. “Heh, heh, heh. Hah, hah, hah,
hah...”
Dengan demikian nafas Lawunggana lama kelamaan
menjadi sesak dan makin sesak, hingga akhirnya ia
terkulai lemas lalu pingsan. Tubuhnya tergantung pada
gawangan kayu tadi, terayun bagaikan bangkai seekor
binatang buruan yang telah disembelih.
Melihat ini Ki Bango Wadas meringis puas, lalu berpaling
dan bergegas menaju ke kamarnya. Ia mengambil
mangkuk dari tempurung serta sebuah lodong tembikar.
“Heeh, kau tak bisa berkata keras-keras heee?!” teriak
Ki Bango Wadas. “Rupamu jadi jelek kalau merintih dan
keluar air mata seperti itu. Kau harus tertawa sekarang!
Ayo, tertawa sekarang!!”
“Heh, heh, heh, dia harus minum lagi "jamu pelupa" ini
sehingga ia akan kembali ke sifat kejam dan keras yang
telah mulai luntur ini!!” Ki Bango Wadas berpikir seraya
mendekat ketubuh Lawunggana. “Sekali minum, maka
lupalah dia akan kejadian kemarin dan selanjutnya akan
tunduk di bawah segala perintah ku! Heh, heh, heh.”
Sesudah ia menuangkan cairan jamu yang berwarna
hijau kecoklatan, Ki Bango Wadas segera menjemba dan
membuka mulut Lawunggana, dan secepat kilat ia
meminumkan jamu tersebut ke mulut muridnya, sampai
tertuang habis.
Ki Bango Wadas berdiam diri beberapa saat sambil
menatap ke arah Lawunggana. Ia menunggu kerja serta
khasiat jamu tersebut.
Sesaat kemudian Lawunggana mulai bergerak-gerak
tubuhnya. Keringat dingin mulai mengucur dari dahi dan
segenap kulit tubuhnya. Perlahan-lahan pemuda berkumis
tebal ini mengangkat kepalanya serta memandang ke
wajah Ki Bango Wadas dengan mata yang sayu tetapi
tajam!! Benar-benar mengerikan tak ubahnya mata seekor
macan kumbag yang kelaparan!
“Lawunggana!” seru Ki Bango Wadas. “Katakan siapa
aku!”
“Kau adalah guruku, Ki Bango Wadas dan kepadamu
aku menurut segala perintahmu!” Lawunggana berkata
dengan nada tegas tanpa ragu-ragu.
“Heh, heh, heh, bagus! Itu bagus Lawunggana!!” teriak
Ki Bango Wadas dengan senangnya, bagaikan bocah
ingusan mendapat oleh-oleh dari ibunya. “Itulah yang aku
harapkan Lawunggana! Kau benar-benar memenuhi
seleraku!”
Ki Bango Wadas kemudian melepas ikatan pada kedua
belah pergelangan tangan Lawunggana dan sebentar saja
muridnya yang berkumis tebal ini telah berdiri tegak di
hadapannya.
“Salamku serta hormatku ke hadapan bapak guru!” ujar
Lawunggana seraya membungkukkan tubuhnya ke
hadapan Ki Bango Wadas sedalam-dalamnya. Sedang
pada wajahnya tidak terbayang lagi akan adanya wajah
lembut ataupun ramah, melainkan wajah garang dan kaku.
“Nah, kau sekarang lebih baik, Lawunggana! Heh, heh,
heh, heh.” Ki Bango Wadas berkata sambil terkekeh
ketawa amat senang. “Sekarang kau boleh istirahat
sesukamu!!”
Lawunggana sekali mengangguk dan berkata. “Terima
kasih, guru!” Dan kemudian ia melangkah ke ruang
sebelah.
Dalam pada itu Ki Bango Wadas kemudian duduk di
atas sebuah bangku dari kayu panjang. Sebuah lodong
berisi tuak direguknya puas-puas sampai kumisnya basah
kuyup oleh air tuak. Sambil meletakkan kembali lodong
tuaknya Ki Bango Wadas menyeka mulutnya dengan
tangan.
Beberapa daging bakar segera dilahapnya pula dan
mulutnya sibuk berkomat-kamit mengunyah. Namun dasar
Ki Bango Wadas memang seorang pendekar liar yang
bertelinga tajam meskipun sambil rnengunyah santapan
daging bakar tersebut, telinganya selalu terpasang untuk
mendengarkan suara- suara yang mencurigakan.
Ya, suara mencurigakan! Itulah yang bisa didengar oleh
telinya Ki Bango Wadas. Beberapa langkah-langkah kaki
manusia yang berjalan dengan hati-hati, sebentar berhenti
dan sebentar kemudian melangkah kembali. Mungkin
maksudnya agar tidak bisa didengar oleh telinga siapapun
atau paling-paling hanya di anggap sebagai angin yang
berlalu di sela dedaunan.
Akan tetapi berhadapan dengan Ki Bango Wadas tidak
boleh dianggap remeh begitu saja. Ia cepat-cepat bangkit
dari tempat duduknya sambil memungut tiga buah batu
kerikil, langsung disambitkan ke arah semak belukar di
kegelapan malam tidak jauh dari pintu pondok.
“Siapa itu bersembunyi di sebelah sana! Ayo lekas
keluar!!” terdengar Ki Bango Wadas berkata seraya
menunjuk ke arah semak-belukar tersebut. “Kalau tidak
kalian akan segera binasa di tanganku!!”
Dari kamar samping, meloncatlah Lawunggana seraya
bertanya kaget. “Ooh mengapa bapak guru?!”
“Kita ada tamu, Lawunggana.” jawab Ki Bango Wadas.
Bersiap-siaplah siapa tahu mereka bermaksud jelek
terhadap kita!!”
“Baik, guru!”
Sejurus kemudian dari arah semak helukar muncullah
tiga sosok tubuh manusia dan berjalan ke arah Ki Bango
Wadas serta Lawunggana berdiri.
Apabila ketiga pendatang itu semakin dekat serta
tercapai oleh cahaya dian minyak, maka tampaklah tiga
wajah garang yang berdiri di hadapan Ki Bango Wadas
berdua.
Ketiganya membungkuk sesaat memberi hormat.
“Maafkan jika kami bertiga telah membikin andika terkejut,
Ki Bango Wadas!” ucap seorang bertubuh kekar. “Harap
andika tidak menjadi gusar dengan kedatangan kami
bertiga!”
“Apa maksud kalian datang ke tempat ini!?” bertanya Ki
Bango Wadas dengan rasa curiga.
“Kami datang dengan maksud baik-baik!”
“Maksud baik-baik? Kalau begitu lekas katakan dengan
jelas!” Ki Bango Wadas berkata.
“Sabar Ki Bango Wadas! Sebelum kami menjelaskan
lebih dahulu kami minta kesediaan andika untuk bersekutu
dengan kami.”
Mendengar perkataan si kekar tadi Ki Bango Wadas
menjadi tersinggung karena orang ini tidak langsung
mengatakan apa keperluannya, sehingga iapun berseru.
“Kalian bertiga jangan mencoba main-main dengan Ki
Bango Wadas! Kalau tak ada perlu yang penting lekaslah
kalian berlalu menyingkir dan tempat ini!!”
“Bagus kalau andika tak mau diajak bersekutu!” kata si
tubuh kekar meringis. “Sayang sekali kalau emas intan
berpeti- peti harus menjadi milik kami sendiri!”
Habis berkata itu, si kekar dan kedua temannya segera
bergegas meninggalkan tempat tersebut. Namun mereka
terpaksa menghentikan langkahnya demi didengarnya Ki
Bango Wadas berteriak. “Tunggu dulu! Kalian tadi me-
ngatakan emas intan berpeti-peti?!”
“Betul Ki Bango Wadas! Kalau andika tak mau ber-
sekutu biarlah kami ambil sendiri harta itu.” ujar si kekar.
“Heh, heh, heh. Jika untuk itu, aku bersedia bersekutu
dengan kalian!” Ki Bango Wadas berkata.
“Nah, itulah harapan kami. Ki Bango Wadas. Kami
memilih sekutu kepada andika berdua adalah pendekar
pendekar gemblengan yang telah terkenal!”
“Heh, heh, heh! Tidak keliru lagi pilihan anda!” berkata
Ki Bango Wadas dengan nada bangga, karena pujian dari
si kekar tadi. “Sekarang katakanlah!”
“Baik Ki Bango Wadas.” Si kekar berkata, “Lebih dulu
perkenalkan, kami bertiga adalah utusan Bido Teles dari
Tanjung Jati. Saya sendiri adalah Sigayam dan yang
bertubuh gempal pendek ini adalah Bujel, sedang yang
berperut buncit itu ialah adi Blending!” Demikian Sigayam
memperkenalkan dirinya serta kedua temannya.
“Hmm, baiklah. Aku adalah Ki Bango Wadas dan ini
adalah muridku Lawunggana.” kata Ki Bango Wadas.
“Begini Ki Bango Wadas. Beberapa hari yang lalu adi
Bujel ini telah mendapat keterangan bahwa Ki Lurah Mijen
menyimpan harta emas intan di Tanjung Bugel” berkata
Sigayam.
“Haaah?! Harta ernas intan?!” seru Ki Bango Wadas
setengah kaget bercampur takjub. Kata-kata emas intan
bagi Ki Bango Wadas sangat menarik, tak ubahnya kata-
kata arak atau tuak bagi seorang peminum. “Tapi
bagaimana sampai si Bujel dapat mendengar tentang
harga emas intan itu?!”
“Hmm sudah lama kami mengintai Ki Lurah Mijen
tersebut. Belasan tahun yang telah silam adi Blending dan
ketua kami yang bergelar Bido Teles pernah bersama-sama
mengawal Ki Saudagar yang berdagang emas intan. Pada
suatu ketika semua hartanya ditanam di daerah Tanjung
Bugel yang letak-letak serta tandanya digambarkan pada
permata hijau "Soca Wilis" yang sekarang berada di tangan
Endang Seruni, yakni putri Ki Lurah Mijen.” demikian kata
Sigayam.
“Tapi mengapa Ki Lurah Mijen ada sangkut pautnya
dengan harta tersebut?” sela Ki Bango Wadas.
“Heh, heh, heh, sebab sebenarnya Ki Lurah juga salah
seorang pengawal dari Ki Saudagar itu!!”
Sambil manggut-manggut, Ki Bango Wadas mengelus-
elus kumisnya. Pikirannya jadi melayang ke desa Mijen
yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya ini.
Serasa ia ingin segera tiba di sana serta merenggut kalung
permata Soca Wilis dari leher Endang Seruni itu!
Agaknya Ki Bango Wadas masih sedikit ragu dengan
keterangan Sigayam tadi, lalu secara tiba-tiba ia menatap
ke arah kaki kiri si Bujel yang dibalut oleh lembaran kain
putih setengah coklat kotor.
“Hee, rupanya temanmu itu kurang hati-hati Sigayam!!”
berkata Ki Bango Wadas seraya menunjuk ke arah kaki
Bujel yang dibalut.
“Maaf, Ki Bango Wadas.” ujar Sigayam. “Sebenarnya ia
cukup hati-hati. Tapi sayangnya ketika ia mengintai dan
mendengarkan percakapan Ki Lurah Mijen dari atas
genting sirap pendapa kelurahan, tiba-tiba sebuah ujung
senjata tajam telah menusuk serta menembus genting
sirap dari sebelah bawah dan langsung menancap kaki
Bujel ini!!”
“Luar biasa!!” desis Ki Bango Wadas kagum. “Si
penusuk tadi pastilah seorang yang berilmu tinggi!!”
“Benar Ki Bango, dan untungnya si Bujel masih sempat
dan lekas-lekas meninggalkan pendapa kelurahan tadi.
Kalau terlambat sedikit saja, oh pastilah ia telah dirangket,
diikat oleh mereka!” Sigayam berkata seraya menepuk-
nepuk bahu si Bujel. “Memang di dalam pendapa
kelurahan tadi ada seorang tamu yang bernama Mahesa
Wulung.”
“Mahesa Wulung!” berseru Ki Bango Wadas. “Keparat
orang itu! Beberapa waktu berselang aku telah bertempur
dengan dia. Ternyata dia memang seorang pendekar
gemblengan. Ketika itu hampir kubinasakan dia, tapi
sayang sekali, seorang bertopeng tiba-tiba muncul dan
menyelamatkan jiwanya!”
“Nah, itu lah sebabnya kami mengajak bersekutu
dengan andika Ki Bango Wadas, sebab lawan-lawan yang
harus kita hadapi bukanlah orang-orang ingusan kemarin
sore, tetapi adalah pendekar-pendekar pilihan!”
“Kata-katamu benar Sigayam. Tapi tentang emas itu
bagaimana pembagiannya setelah kita peroleh nanti?” Ki
Bango Wadas bertanya.
“Tak usah kuwatir Ki Bango.” kata Sigayam. “Seluruh
emas intan yang kita peroleh akan kita bagi rata oleh enam
orang. Jadi masing-masing menerima seperenam bagian
dari jumlah harta itu!”
“Heh, heh, itu berarti bahwa setiap orang harus bekerja
sungguh-sungguh dan keras! Jika dari pihakmu ada yang
bekerja seenaknya, bagian emasnya harus dikurangi!!”
“Itu sangat setuju Ki Bango!” seru Sigayam. Kami juga
setuju!” ujar Bujel dan Blending berbareng.
“Nah, jika kita telah sepakat dengan persekutuan ini,
kami mohon permisi dulu Ki Bango. Kami akan memberi
laporan kepada ketua Bido Teles dan sepuluh hari lagi
kami akan datang ke mari!” berkata Si gayam.
“Bagus, Sigayam.” ujar Ki Bango Wadas. ‘Pulanglah dan
beri tahu kepada Bido Teles akan persetujuan kami.”
Selamat jalan!”
Sigayam, Blending dan Bujel kemudian membungkuk
hormat dan meminta diri. Mereka segera berlalu
meninggalkan pondok Ki Bango Wadas di Muara Kali
Serang itu.
Mereka melangkah dengan tenangnya, kecuali si Bujel
yang sedikit terseok-seok setengah pincang langkah kaki-
nya. Sejurus kemudian tubuh mereka bertiga telah lenyap
di dalam pelukan gelap malam.
Ki Bango Wadas dan Lawunggana segera pula masuk ke
dalam kamar setelah mereka mengantar ketiga tamunya
tadi sampai di halaman. Lawunggana menutup pintunya
sebab hawa malampun bertambah dingin menusuk ke
dalam daging dan tulang, lebih-lebih seperti hawa di Muara
Kali Serang ini. Pantaslah bila tempat ini jarang diinjak
orang, kecuali mereka yang benar-benar berani menempuh
segala bahaya.
Malam itu Lawunggana masih terbaring di atas balai
balai di dalam kamarnya. Matanya sukar dipejamkan
sebab pikirannya sangat ruwet, sangat kacau.
Antara kesadaran dan ketidaksadaran pikirannya ber-
perang sendiri. Kadang-kadang ia teringat akan wajah
Endang Seruni, kekasihnya.
Tetapi tiba-tiba pula wajah cantik tadi berubah menjadi
wajah yang jelek, berkeriput dan menakutkan. Wajah tadi
seperti menghantui dirinya, sehingga Lawunggana terpaksa
gelisah, sebentar miring ke kiri, sebentar miring ke kanan.
Demikianlah Lawunggana berusaha mengatasi semua
kesadarannya. Namun pengaruh jamu ramuan "pelupa"
dan totokan "urat ketawa" yang mengakibatkan hilangnya
kesadarannya itu benar benar sangat sukar dilawannya.
Maka tak heran bila sebentar sekujur wajah
Lawunggana bermandi peluh. Juga segenap tubuhnya.
Perjuangannya mengatasi kesadaran dirinya tak berhasil,
sebab bagaimanapun usahanya, toh ia masih terlalu
rendah tingkat kepandaiannya dari pada Ki Bango Wadas!
Dengan demikian ia cuma dapat berkeluh kesah saja
dan akhirnya iapun kelelahan dengan sendirinya. Tak lama
kemudian Lawunggana terlena tidur, meskipun sebentar-
sebentar ia mengigau juga di tengah tidurnya.
Sedangkan di sebuah lubang dinding pada kamar itu
terlihatlah sepasang mata mengawasi segala gerak-gerik
Lawunggana.
Dan itulah mata Ki Bango Wadas yang mengintip
muridnya. Ketika Lawunggana tertidur, si botak itu tertawa
lirih. “Heh, heh, heh, Lawunggana, Lawunggana! Jangan
sekali-sekali mencoba melawan kehendak Ki Bango Wadas
ini. Tak akan berhasil percuma? Kau sekarang ada di
bawah pengaruhku! Apapun yang aku perintahkan, kau
pasti akan menaatinya, sekalipun aku perintahkan kau
membunuh diri atau terjun ke dalam kawah gunung berapi!
Heh, heh, heh, harta emas intan! Sebentar lagi aku akan
kaya! Heh, heh, heh, dan tak seorangpun yang dapat
merintangi Ki Bango Wadas dari Muara Kali Serang ini!!”
***
EMPAT
PADA suatu pagi, ketika ujung pepohonan di sebelah
selatan Muara Kali Serang telah disaput oleh cahaya
fajar yang baru saja merekah, sebuah bayangan
manusia lagi berloncatan di antara batu-batu di tengah
sungai.
Melihat gerakannya yang cekatan teranglah bahwa
orang ini mempunyai ilmu yang tinggi. Berulang-ulang ia
melenting dari satu batu ke batu yang lain bolak-balik.
Kalau mula-mula jaraknya cuma dekat, kemudian semakin
jauh dan bertambah jauh hingga akhirnya gerakan orang
ini benar benar mirip seorang yang setengah terbang.
Orang yang melihat gerakan tersebut bisa jadi salah
terka dengan menyangka melihat hantu atau dedemit
penunggu muara sungai yang tengah bergembira
berloncatan di tengah sungai.
Namun toh orang akan segera manggut-manggut
setelah ia tahu bahwa si peloncat tadi adalah Lawunggana,
murid tunggal dari Ki Bango Wadas. Pagi ini tengah
melancarkan latihan-latihan pemanas badan dan gerak
ulangan.
Si kumis tebal Lawunggana ini semakin menuju ke arah
Selatan sehingga cukup jauh jaraknya dari pondok tempat
tinggalnya.
Sementara itu di antara sela-sela dedaunan di sebelah
selatan, sepasang mata tajam di balik topeng kain putih
senantiasa mengintai segala gerak-gerik Lawunggana yang
tengah sibuk melatih diri itu.
Ketika Lawunggana semakin bergerak ke arah selatan
dan jaraknya dengan si pengintai tadi cukup dekat, secara
tiba-tiba dan sebat, si pengintai melesat ke arah tengah
sungai, menyambut gerakan Lawunggana.
Melihat ini, bukan main kagetnya Lawunggana yang
tidak menyangka akan munculnya seseorang di tempat
sesepi ini. Maka cepat-cepat ia menghentikan gerakannya.
Kedua kakinya dengan lincah mendarat di atas sebuah
batu di tengah sungai, dan seluruh jari-jarinya men-
cengkeram ke permukaan batu, sehingga tubuhnya ber-
henti tanpa bergoyang sedikitpun, tak ubahnya sebuah
patung batu.
Sikap Lawunggana ini sungguh mengagumkan. Selain ia
berdiri kukuh tanpa bergerak, iapun sekaligus memasang
kuda-kuda jurus silatnya.
“Hmmm, hebat juga anak ini!” gumam si topeng sambil
mendarat pula di atas sebuah batu. Kedua-duanya kini
berhadapan di tengah-tengah sungai.
“Heh, keparat! Kau berani mengganggu latihanku,
heeei?!” bentak Lawunggana keras-keras. “Dan aku seperti
pernah melihat tampangmu itu!?”
“Ha, ha, ha, akulah si Pendekar Bayangan yang pernah
bertempur dengan gurumu si botak Bango Wadas itu!!” ujar
Pendekar Bayangan.
“Hah, jika demikian engkaupun harus kubinasakan di
tempat ini!” teriak Lawunggana.
“Bicaramu memerahkan telinga, Lawunggana!” kata
Pendekar Bayangan. “Dan mirip dengan perangai si Bango
Wadas botak itu!’
“Tak perlu heran kau!” Lawunggana berkata. “Memang
aku muridnya sehingga kami sangat mirip dalam segala
sikap dan pikiran!”
“Jadi kau tak punya kepribadian sendiri?!” Pendekar
Bayangan berkata. “Engkau selalu mengekor akan segala
perintah gurumu?”
“Apa salahnya?! Kalau engkau musuh guruku, berarti
musuhku pula dan harus mati ditanganku!”
“Hmm, sikapmu itu tidak wajar, bocah! Pasti ada
sesuatu yang tidak beres di dalam tubuhmu. Kasihan!” ujar
Pendekar Bayangan dengan mata sayu.
“Keparat! Kau membuat aku gusar topeng jelek - seru
Lawunggana. “Bersiagalah aku akan membuat perhitungan
dengan kamu!”
“Sesukamulah!” sahut Pendekar Bayangan. “Aku datang
dengan maksud baik!”
“Maksud baik?!” desis Lawunggana. “Apa itu?!”
“Aku akan membawamu ke desa Mijen.” ujar Pendekar
Bayangan. “Untuk mempertemukan dengan nona Endang
Seruni!”
“Endang Seruni?! Bah, siapa dia? Aku tak kenal dengan
gadis itu!!” ujar Lawunggana seraya membuang muka
dengan sombongnya.
Melihat ini Pendekar Bayangan mau tak mau mengusap
dadanya seraya bergumam sendiri. “Tobat! Pemuda ini
telah kehilangan kesadarannya sama sekali. Kasihan kalau
ia terus menerus begini. Aku harus segera menolongnya!”
Dalam pada itu rupanya Lawunggana telah mulai
menyiapkan serangannya. Selagi ia melihat Pendekar
Bayangan itu masih berdiam diri, sekonyong-konyong ia
telah berteriak keras menggetarkan udara pagi.
“Hyaaat!!” Lawunggana melesat dan menerjang
Pendekar Bayangan dengan tendangan mautnya!
Tendangan kakinya tersebut berdengung membelah angin
dan karenanya Pendekar Bayangan hampir saja mendapat
bencana.
“Weh, serangan maut!!” desis Pendekar Bayangan
sambil mengendap ke samping kanan, menyebabkan
serangan Lawunggana meleset.
Bersamaan waktunya pula Pendekar Bayangan secepat
kilat mengirim sebuah pukulan tangan yang mampu me-
rontokkan tulang-belulang ke arah tubuh Lawunggana.
Seperti terbang semangat pendekar berkumis tebal itu
oleh serangan balasan dari Pendekar Bayangan, maka se-
cepat kilat ia menangkisnya. Tangan kirinya menekuk ke
arah samping menahan pukulan lawan yang begitu deras
meluncur ke arah dirinya.
“Bruuuk!!” Benturan keras antara dua kekuatan yang
terpusat meledak berbareng, menyebabkan masing-masing
tergetar.
Pendekar Bayangan cepat-cepat menguasai keseim
bangan badannya sebelum ia terpeleset ke dalam air,
sedang Lawunggana terpental ke dalam air.
Akan tetap Lawunggana tidak sebodoh itu untuk
kecebur dalam air. Ketika terpental akihat benturan
pukulan tadi ia melenting ke udara berputaran beberapa
kali lalu melayang turun ke arah batu yang lain.
“Tap! Tap!” Kedua kaki Lawunggana mendarat di
permukaan batu sungai yang letaknya kurang lebih dua
tombak dari batu yang semula, membuat Pendekar
Bayangan menggeleng-gelengkan kepalanya setengah
kagum dari kejauhan.
Lawunggana kembali mempersiapkan diri, kemudian
dengan beberapa loncatan panjang ia melesat ke arah
Pendekar Bayangan berdiri, kedua tangannya mengem-
bang bagaikan cakar-cakar rajawali menyerang mangsa-
nya.
Dalam pada itu, Pendekar Bayangan bermaksud me-
lancarkan Pukulan Angin Bisu yang terkenal dahsyatnya,
tapi ia buru-buru menggagalkan maksudnya itu, sebab ia
teringat akan bahayanya.
“Mmm, aku berjanji kepada angger Mahesa Wulung
serta Ki Lurah Mijen untuk membawa kembali si
Lawunggana ini ke desa Mijen,” begitu gumam Pendekar
Bayangan. “Aku harus hati-hati melaksanakannya!!”
Dengan pertimbangan-pertimbangan yang seperti itu,
Pendekar Bayangan menjadi berbimbang hati beberapa
saat. Itulah sebabnya ketika tubuh Lawunggana meluncur
bagaikan meteor ke arah dirinya, ia menjadi geragapan.
“Wuuuk!” Tangan kiri Lawunggana yang mencengkeram
ke arah kepala Pendekar Bayangan berhasil ditangkis oleh
lawannya, tetapi berbareng itu pula tangan kanan
Lawunggana berhasil membentur pundak Pendekar
Bayangan. “Bruuuk!” Pendekar Bayangan dengan diam-
diam meminjamkan tenaga pukulan lawannya, sehingga ia
tidak mendapatkan cedera. Namun akibatnya hebat pula,
sebab sesaat kemudian iapun terpelanting ke dalam air!!
Melihat ini Lawunggana meringis kesenangan. Sayang
nya kesenangan tadi tiba-tiba terhenti, sebab kedua kaki
Pendekar Bayangan yang menyentuh air, tidak langsung
amblas ke dalam air sungai, melainkan berdiri di atas
permukaannya.
Itulah ilmu meringankan tubuh dalam tingkatan yang
matang dan sempurna!
Beberapa saat Pendekar Bayanyan berpijak pada
permukaan air untuk kemudian ia melenting lalu mendarat
ke sebuah batu sungai di dekatnya!
Lawunggana terlongoh seperti orang mimpi, karena
selama ini belum pernah ia menyaksikan pemandangan
sehebat tadi. Kalau gurunyapun pernah mempertunjukkan
ilmu-ilmu yang dahsyat, tapi yang baru aja dilakukan oleh
Pendekar Bayangan ternyata jauh lebih dahsyat.
“Lawunggana memang hebat.” gumam Pendekar
Bayangan. “Aku tidak boleh lagi memberi hati kepadanya.
Sekarang harus kuakhiri permainan ini.”
Baik Pendekar Bayangan maupun Lawunggana masing-
masing bersiaga kembali. Mereka saling berpandangan
dengan tajam, menatap lawannya serta menyelidiki akan
kemungkinan kemungkinan kelemahan lawan yang dapat
ditembusnya.
Maka sejurus kemudian keduanya melesat saling
menyongsong dengan cepatnya hingga sepintas lalu
tampak seperti dua bayangan yang bersambaran di udara.
Kali ini Lawunggana betul-betul menyiapkan pemusatan
tenaga dalamnya ke arah kaki dan tangannya. Setiap
pukulan yang ditimbulkan akan berarti maut bagi
lawannya.
Sedang Pendekar Bayanganpun lebih waspada. Begitu
jarak mereka bertambah dekat, segera pendekar ber-
topeng bertindak.
“Hyaaat!” Lawunggana mulai menyeringai! Kedua
tangannya menerkam, masing-masing ke arah kepala dan
dada Pendekai Bayangan, sedang kedua kakinya siap pula
melancarkan tendangan rahasia, bila serangannya gagal.
Akan tetapi Pendekar Bayangan yang berilmu tinggi se
tingkat dengan panembahan Tanah Putih dari Asemarang
ini, tidak terkejut dengan serangan maut Lawunggana yang
sehebat itu.
Bahkan ia menyongsong dengan tenangnya dan sejurus
kemudian terjadilah adegan yang sukar dipercaya oleh
mata. Tangan kiri Pendekar Bayangan menyelusup di
bawah ketiak Lawunggana serta sekaligus mencengkeram
bajunya sementara tangan kanannya bergerak siap
menotok tengkuk Lawunggana.
“Haaackk!” terdengar jeritan pendek dari mulut
Lawunggana begitu ujung jari tangan kanan Pendekar
Bayangan menerjang tengkuknya, disusul rasa kesemutan
yang menggerayang seluruh tubuhnya dan akhirnya semua-
semua pandangan matanya menggelap. Ia mengantuk dan
sejurus kemudian tubuhnya lemah lunglai bagaikan
seorang bayi tertidur pulas dalam pelukan ibunya.
“Heh, heh, heh, tidurlah dengan pulas, anak bandel!!”
ujar Pendekar Bayangan seraya mengempit tubuh
Lawunggana yang dibawanya ke arah selatan berloncatan
dari batu ke batu dan langsung menuju ke Desa Mijen!
Pada saat yang sama pula tiba-tiba pintu pondok Ki
Bango Wadas menjeplak dan si pendekar botak itu
meloncat keluar. Pandangan matanya liar menatap ke arah
sungai dan cepat-cepat ia melesat ke selatan.
“Aku mendengar teriakan-teriakan!” gerundal Ki Bango
Wadas. “Memang si Lawunggana tengah berlatih di sungai,
tapi….. sekarang tidak kelihatan lagi loncatan-loncatan
tubuhnya!”
Si botak inipun segera berloncatan ke batu-batu di
tengah sungai untuk mencari murid tunggalnya ke sana ke
mari sampai beberapa saat lamanya.
Bagaimanapun ia kejamnya terhadap murid tunggalnya
ini, namun ketika Lawunggana tidak ketemu maupun
dijumpai batang hidungnya, Ki Bango Wadas menjadi
cemas pula hatinya.
“Ooh, mungkinkah dia minggat?! Tak mungkin begitu!”
desah Ki Bango Wadas sendirian. “Ia masih berada di
bawah pengaruhku! Ia mendapat celaka!” Sekali lagi si
botak itu berloncatan ke sana ke mari mencari
Lawunggana kalau-kalau tubuh muridnya hanyut atau
tersangkut di batu-batu.
“Tidak ada! Heh, lalu ke mana bocah, ini? Ataukah ...
ataukah dia ditangkap oleh seseorang?!” ujar Ki Bango
Wadas. “Dan ke mana aku harus mencarinya?”
Beberapa saat Ki Bango Wadas termangu-mangu
seorang diri di atas sebuah batu di tengah sungai, karena
memikirkan muridnya.
Tiba-tiba, sejurus kemudian pendekar botak inipun
tertawa terbahak-bahak, terkekeh sendirian sambil ber-
kata, “Lawunggana minggat? Lawunggana hilang? Hah, ha,
ha, ha, ha, ha, ha, ha, ha, ha. Itupun ada baiknya bagi
diriku sebab bagian emasnya akan segera menjadi milikku!
Kini sekutuku tinggal empat orang lagi! Ha, ha, ha, ha....”
Habis berkata begitu, Ki Bango Wadas berbalik dan
melesat ke arah utara, kembali ke pondoknya di daerah
muara Kali Serang.
Lima hari kemudian Matahari makin bertambah tinggi
menyoroti segenap permukaan bumi Daerah muara Kali
Serang yang semula masih suram oleh kabut pagi, kini
menjadi terang benderang. Suara deburan ombak laut
utara sayup-sayup terbawa oleh angin laut ke selatan,
bagaikan nyanyian merdu yang menggapit hati.
Ki Bango Wadas duduk di atas sebuah batu hitam di
depan pondoknya, sambil menggosok duri-duri logam pada
senjata penggadanya.
Ketika dari arah timur ia melihat empat sosok tubuh
berjalan ke arahnya, Ki Bango Wadas segera meng-
hentikan pekerjaannya seraya menengok ke arah timur.
“Nah itulah mereka telah datang!”
Keempat orang yang datang itu adalah Bido Teles,
Sigayam, Bujel dan Blending. Mereka berjalan dengan
tegapnya ke arah Ki Bango Wadas.
“Selamat datang kawan kawan!” ujar Bango Wadas
menyambut tamunya dengan senyum lebar. “Saudara
saudara datang pada waktunya!”
“Tentu saja Ki Bango, sebab kami sudah tidak sabar
dengan harta Tanjung Bugel itu!” ujar Sigayam. “Dan inilah
ketua kami, Bido Teles dari Tanjung Jati!”
Ki Bango Wadas segera memperkenalkan diri kepada
ketua rombongan yang bernama Bido Teles tadi. Orangnya
berperawakan tinggi berwajah angker dengan hidung
melengkung dan mata yang tajam dan cekung ke dalam.
Mata itu seolah-olah mengingatkan pada seekor burung
yang juga bernama bido dan bermata tajam!
Dengan senangnya Ki Bango Wadas cepat-cepat
mempersilakan tamunya masuk ke dalam pondok. Mereka
duduk di sebuah balai-balai.
“Eh, aku tak melihat muridmu, si Lawunggana itu. Ki
Bango Wadas.” ujar Sigayam.
“Heh, heh, heh, dia lagi kuberi sebuah tugas untuk
beberapa hari.” ujar Ki Bango Wadas mengelabui tamunya.
“Dan mungkin aku pula yang merangkap tugasnya nanti!”
“Itu tak menjadi soal Ki Bango!” Sambung Bido Teles.
“Yang penting adalah andika sendiri!”
“Heh, heh, heh, memang begitu, saudara Bido Teles!
Apa rencana kita kemudian?!” bertanya Ki Bango Wadas
kepada si pendekar bermata cekung ini.
“Kita harus mendapatkan kalung permata itu dari
tangan Ki Lurah Mijen.” kata Bido Teles. “Dengan kalung
permata hijau tadi, kita dapat segera mengetahui letak
harta terpendam dari Tanjung Bugel!”
“Itu tidak mudah Bido Teles.” ujar Ki Bango Wadas.
“Ketahuilah bahwa di desa Mijen, saat ini berdiam si
Mahesa Wulung dan Pendekar Bayangan!”
“Tak menjadi soal! Dengan berlima ini, masakan kita tak
dapat menandingi mereka. Kalau perlu nanti akan
kupanggil jagoan-jagoan dari tempat lain.”
“Hehh, jika demikian baiklah saudara Bido Teles. Aku
tak perlu cemas lagi karenanya.” ujar Ki Bango Wadas.
Rencana itu harus kita bicarakan masak-masak dan
sekarang tentunya kawan-kawan berempat cukup lelah.
Marilah beristirahat lebih dulu secukupnya di pondok buruk
ini!”
“Terima kasih, Ki Bango Wadas.” jawab Bido Teles
dengan gembira seraya meletakkan beberapa bungkusan
bekal dan pakaian mereka. Demikian pula mereka
menanggalkan senjata-senjatanya. Mereka memang
kelelahan dan harus beristirahat banyak-banyak karena
tugas yang lebih berat telah menanti mereka.
***
LIMA
BEBERAPA orang bercakap-cakap di pendapa
kelurahan desa Mijen. Wajah-wajah mereka tampak
cerah, sebagaimana cerahnya bulan purnama yang
bersinar di langit biru. Beberapa potong awan tipis
menerawang seperti kain sutera berlalu rnelewati sang
rembulan dan kemudian tertiup ke arah selatan.
Ki Lurah, Pendekar Bayangan, Mahesa Wulung,
Sorogenen, Kertipana dan juga Lawunggana duduk
bersama-sama di balai- balai besar.
“Bagaimana rasa badanmu sekarang ini, angger
Lawunggana?!” Pendekar Bayangan bertanya kepada si
pemuda berkumis tebal yang telah ditolongnya.
“Benar-benar merasa sehat, bapak.” jawab Lawung-
gana. “Kalau semula aku selalu merasa berada di alam
mimpi, dengan perasaan tertekan dan tidak sadar,
sekarang semua itu telah hilang. Karenanya aku meng-
ucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada
bapak.”
“Heh, heh, heh, sudah selayaknya aku menolongmu
angger Lawunggana. Aku tahu bahwa semua sikap keras
dan kejammu selama ini tidak wajar!” ujar Pendekar
Bayangan. “Semua itu adalah perbuatan Ki Bango Wadas!”
“Ya, baru sekarang aku menginsyafi kesesatanku
selama ini. Selama itu kadang-kadang aku sadar dan
kadang-kadang pula aku seperti orang mimpi menuruti
segala perintah Ki Bango Wadas.”
“Semua itu sudah berlalu, angger.” ujar Ki Lurah Mijen.
“Hadapilah masa depanmu dengan tabah!”
“Terima kasih, bapak.” kata Lawunggana.
“Nah, Ki Lurah.” Sela Pendekar Bayangan. “Apakah
segala sesuatunya telah siap besok malam?”
“Tentu beres, Ki Pendekar Bayangan. Upacara per-
tunangan Endang Seruni dengan Lawunggana akan kita
langsungkan sesudah saat magrib.”
Mendengar ini, Lawunggana menjadi tertunduk dengan
dada gemuruh saking gembiranya. Saat yang telah diimpi-
impikannya selama ini akan segera tiba, besok malam. Ya,
dia akan segera menjadi tunangan Endang Seruni, sebagai
calon suaminya.
Bukankah ini menggembirakan! Tetapi di balik ke-
gembiraannya itu terselip pula rasa cemas akan
kemarahan serta tindakan balasan dari Ki Bango Wadas.
“Bapak Lurah, bagaimanakah jika Ki Bango Wadas
datang ke desa ini serta membuat kekacauan karena aku
telah meninggalkannya?”
“Jangan takut! Jika dia berani berbuat demikian, pasti
akan segera kita tangkap dan kita hadapi bersama-sama!”
ujar Ki Lurah Mijen. “Bukankah demikian Ki Pendekar
Bayangan?”
“Ya, dia boleh mencoba, Lawunggana.” berkata pula
Pendekar Bayangan. “Tapi perlawanan hebat pasti akan
dia dapatkan! Dan lagi di sinipun ada angger Mahesa
Wulung, yang tidak boleh disepelekan olehnya!”
“Hmm, memang demikian yang akan kita perbuat,
hanya saja aku belum yakin apakah dia tidak mempunyai
sekutu?” berkata Mahesa Wulung.
“Jika demikian, memang kita akan sulit.” sahut Ki Lurah
Mijen. “Namun Kertipana serta Sorogenen akan segera
mengerahkan para jagabaya bilamana perlu.”
Dalam pada itu, ketika mereka lagi sibuk bercakap-
cakap di pendapa kelurahan, beberapa sosok bayangan
manusia mengendap-endap di celah-celah semak belukar
mendekati halaman pendapa tersebut.
Dengan hati-hati sekali dan tanpa suara mereka
berjalan memutar dan sebentar kemudian berhentilah
mereka di samping halaman. Mereka berbisik-bisik seraya
menunjuk-nunjuk ke arah pendapa kelurahan.
“Nah, Ki Bango Wadas, pekerjaan kita akan lancar dan
lebih ringan. Aku telah menggaji lima jagoan yang
membantu rencana ini.” ujar Bido Teles kepada sekutunya.
“Ke mana mereka sekarang?” Ki Bango Wadas bertanya
“Ooo, mereka tengah mendekati lumbung desa di
sebelah selatan sana!”
“Heh, heh, heh, mereka punya bagian di sebelah sana?”
Ki Bango Wadas bertanya seraya tertawa meringis.
“Yaa, mereka akan membakar lumbung desa itu untuk
memancing perhatian orang-orang desa ini, sementara kita
berusaha merebut kalung permata hijau dari Ki Lurah!”
“Hmm, bagus! Rencana yang cemerlang. Tapi apakah
orang-orang di pendapa itu tidak akan mengacaukan
rencana kita?”
“Nah, itulah yang menyulitkan kita Ki Bango!” ujar Bido
Teles. Meskipun kita langsung menyerbu dari rumah
belakang, tapi tak urung merekapun akan mengetahuinya.”
“Janqan bingung Bido Teles! Sekarang, soal itu menjadi
bagianku. Biarlah mereka aku sirep, supaya tertidur
pulas!!”
“Ha-ha-ha-ha, kau sungguh cerdik Ki Bango. Nah,
laksanakanlah, supaya kita dengan leluasa mencari kalung
permata hijau itu!”
“Baik dan perintahkanlah Sigayam beserta teman-
temannya untuk berjaga-jaga!”
Bido Teles cepat cepat memberi isyarat kepada
Sigayam, Bujel dan Blending untuk bersiaga, sedang Ki
Bango Wadas segera memungut sejumput tanah
dilemparkannya ke arah udara diikuti mulutnya komat-
kamit mengucapkan sesuatu yang tidak jelas terdengar
oleh Bido Teles yang bermata cekung itu.
Biarpun begitu, pendekar tersebut menaruh
kepercayaan sepenuhnya kepada rekannya yang tengah
menyebar sirep. Ia melihat Ki Bango Wadas berdiam seraya
melipat tangan ke dada.
Tak lama kemudian tampaklah kedua tangan Ki Bango
Wadas merentang ke depan ke arah rumah pendapa
kelurahan dan karenanya Bido Teles menjadi tertarik sekali
oleh sikap rekannya ini.
Jika mula-mula ia meragukan kehebatan Ki Bango
Wadas. Saat ini terpaksalah ia dibuat kaget oleh kejadian
berikutnya.
Dalam pancaran sinar purnama yang terang benderang
beberapa ekor kelelawar beterbangan dengan riangnya.
Hal itu belum mengagetkan Bido Teles, tetapi ketika dua
ekor kelelawar terbang melintas ke arah halaman
pendapa, tepat di depan Ki Bango Wadas yang juga
merentangkan tangannya ke arah yang sama, tiba-tiba saja
dua ekor kelelawar tadi terhenti terbangnya, seolah-olah
menabrak satu dinding yang tidak nampak untuk kemudian
tercampak rebah di atas tanah dengan menggelepar-
gelepar seperti kehilangan kekuatan.
“Luar biasa!” desis Bido Teles setengah terhenyak
kaget. “Kau benar-henar mengagumkan Ki Bango Wadas!”
“Heh, heh, he, he, he,” tertawa Ki Bango Wadas sambil
kedua tangannya terus merentang ke arah rumah pendapa
kelurahan. “Lihat saja nanti, saudara Bido Teles. Mereka
pasti akan tertidur pulas setengah mati!”
Perkataan Ki Bango Wadas ini memang mengerikan
bagi telinga yang mendengar. Bayangkan saja akibatnya,
jika lawan-lawan yang harus dihadapi itu telah tertidur
pulas pasti Ki Bango Wadas beserta kawan-kawannya juga,
akan mudah berbuat semaunya. Mungkin mereka akan
mencincang tubuh-tubuh lawannya yang telah tertidur
pulas atau memenggal kepala mereka untuk dibuat
tontonan.
Pendek kata mereka bisa berbuat leluasa terhadap
lawan-lawannya yang telah tak berdaya akibat sirep tadi.
Kalau benar benar terjadi hal yang demikian itu, pastilah
mengerikan sekali akibatnya!
Akan tetapi kenyataannya berkata lain. Mereka yang
tengah bercakap-cakap di ruang pendapa kelurahan
memang merasakan adanya keganjilan suasana. Kertipana
serta Sorogenen yang biasanya betah berjaga atau
membaca kidung sampai jauh malam itu, tiba-tiba saja
terlihat menguap beberapa kali, bersamaan hawa dingin
dan memukau mengalir ke ruang pendapa kelurahan!
Demikian pula Ki Lurah Mijen dapat merasakan adanya
hawa yang memperlena perasaan, masuk ke dalam
ruangan itu. Oleh karenanya, Ki Lurah segera mengerahkan
segenap tenaganya guna menolak rasa ngantuk yang mulai
menyerang dirinya.
Lawunggana juga tak ketinggalan berusaha dengan
susah payah untuk menguasai dirinya. Hati kecilnya
mendadak saja teringat oleh Ki Bango Wadas yang
mempunyai kepandaian khusus dalam ilmu sirep. Hanya
saja ia tak segera mengatakan rasa kuatirnya tadi kepada
orang-orang untuk menjaga agar mereka tidak menjadi
cemas atau panik!
Berbeda dengan Pendekar Bayangan dan Mahesa
Wulung yang masih enak-enak duduk tanpa menunjukkan
tanda-tanda mengantuk atau terpengaruh oleh hawa aneh
tadi.
Walaupun begitu mereka akhirnya terkejut pula. sebab
tampaklah bahwa Kertipana dan Sorogenen yang semula
mengantuk sedikit-sedikit serta menguap-nguap itu
sekarang telah merebahkan tubuhnya, masing-masing ke
samping dan ke depan. Tambah-tambah lagi Ki Lurah dan
Lawunggana tampak berwajah tegang dengan mengucur-
kan keringat untuk menguasai dirinya.
“Ada sesuatu yang tidak beres!” desis Pendekar
Bayangan setengah berbisik kepada Mahesa Wulung.
“Bersiagalah angger!”
“Rupanya seperti sirep, bapak!” bisik Mahesa Wulung
pula. “Dan berkekuatan cukup besar!”
“Nah itu mernang benar!” kata Pendekar Bayangan.
“Pertahankanlah kusadaranmu, angger Wulung! Aku akan
berusaha mengusir hawa jahat ini!”
Selesai berkata, mereka berdua segera memusatkan
tenaga dalamnya. Dengan sikap tangan melipat, masing-
masing telapak tangannya mendekap bahu kiri dan kanan.
Pendekar Mahesa Wulung mulai mengerahkan segala
kekuatan lahir bathinnya guna mengatasi pengaruh sirep
yang tengah melanda mereka.
Begitu pula dengan Pendekar Bayangan tak ketinggalan
pula memusatkan tenaga dalamnya, sikapnya agak ber-
beda dengan Mahesa Wulung.
Orang tua ini bersikap seperti patung-patung Budha di
candi Borobudur, dengan meletakkan telapak kiri tangan-
nya di atas pangkuan menghadap ke atas, sedang tangan
kanannya menekuk kedepan dengan telapak tangan
menentang ke depan pula, seperti orang menolak akan
sesuatu. Nah, inilah yang bernama sikap “abaya mudra",
atau sikap "menolak bahaya" yang kelewat ampuh.
Maka secara diam-diam berlangsunglah suatu
peperangan tenaga dalam yang tak nampak oleh mata.
Mereka berdua menghadap ke arah halaman pendapa,
tepat di mana Ki Bango Wadas tengah pula melancarkan
serangan sirep dan tenaga dalamnya dari celah-celah
dedaunan semak-belukar.
Biarpun mereka tidak saling melihat lawan yang mereka
hadapi, tetapi kekuatan mereka langsung berhadapan
saling menerjang, sementara waktu berjalan terus.
Di pendapa itu, Ki Lurah serta Lawunggana masih mati-
matian mempertahankan diri dari rasa ngantuk yang luar
biasa itu. Mata mereka sudah separo terpejam, dan
sebentar lagi pastilah mereka akan tergeletak tidur
kepulasan seumpama tidak keburu oleh pertolongan
Pendekar Bayangan dan Mahesa Wulung.
Beberapa saat kemudian Pendekar Bayangan tiba-tiba
saja menghentakkan telapak tangan kanannya lurus-lurus
ke depan seraya membentak keras-keras. “Duuaahh.”
Gerakan tiba-tiba dan seperti sepele saja ini ternyata
berakibat luar biasa! Ki Lurah Mijen serta Lawunggana
rnenjadi geragapan tersadar dari rasa kantuk yang telah
menyerangnya. Demikian pula Kertipana dan Sorogenen
seperti terhentak oleh sesuatu kekuatan dan mereka
berdua segera terbangun dari tidurnya!
Namun bahaya lain telah terjadi pula, ketika pengaruh
sirep dapat diatasi. Dari arah lumbung desa, tempat
menyimpan padi terlihatlah nyala api berkobar-kobar
disertai asap bergumpal bergulung-gulung kehitaman naik
ke udara.
Pemandangan ini sungguh menggetarkan hati. Asap
hitam dan nyala api tadi terlihat jelas dalam cahaya terang
bulan.
Dan lebih menyeramkan lagi kiranya karena terdengar
jeritan orang-orang desa yang ketakutan dan kaget
setengah mati melihat lumbung desanya terbakar.
Ah, akan habiskah lima bangunan lumbung padi itu?
Dan lenyap pulakah persediaan pangan bagi desa ini?
Beberapa orang desa segera berlarian mencoba
memadamkan api yang untungnya baru saja menyala di
sebuah lumbung yang paling tepi. Begitu pula beberapa
orang jagabaya turun tangan membantu memadamkan api.
Akan tetapi alangkah kagetnya mereka ketika lima orang
bertutup mulut dan hidung dengan bersenjata golok serta
senjata tajam lainnya menghalang-halangi usaha mereka.
Sejurus kemudian terjadilah pertempuran ramai.
Sementara itu, di dalam pendapa kelurahan, Ki Lurah
Mijen, Pendekar Bayangan, Mahesa Wulung dan yang
lainnya segera pula dapat melihat api berkobar dari arah
lumbung desa itu.
“Kebakaran! Lumbung desa dalam bahaya!” seru Ki
Lurah dengan kecemasan. “Aku harus menyelamatkannya
sekarang juga.”
“Tunggu dulu Ki Lurah!” ujar Pendekar Bayangan yang
segera menahan Ki Lurah. “Jangan terburu-buru pergi ke
sana. Mungkin ini hanya pancingan, untuk mengalihkan
perhatian kita saja. Sedang bahaya itu aku rasa langsung
mengancam ke tempat kita ini! Apakah Ki Lurah tidak
merasakan adanya serangan sirep tadi?”
Ki Lurah seketika manggut-manggut mendengar
penuturan Pendekar Bayangan itu. “Tapi, sebagai seorang
kepala desa apakah aku akan membiarkan lumbung desa
itu habis terbakar seluruhnya? Dan di manakah letak
tanggung jawabku nanti?
“Maaf, Ki Lurah. Aku sangat setuju dan menghargai
maksud Ki Lurah tadi, namun saya harap janganlah andika
pergi ke sana. Lebih baik angger Sorogenen, Kertipana dan
Lawunggana ini saja! Sedang saya, andika sendiri dan
angger Mahesa Wulung akan berjaga-jaga di sini!”
“Baiklah, kalau begitu!” ujar Ki Lurah. “Dan sebelum
kalian bertiga berangkat ke sana, terlebih dulu pukullah
kentongan tanda bahaya dan kebakaran bersambungan!”
“juga ingat!” sela Pendekar Bayangan pula. “Janganlah
kalian bertiga lewat di halaman depan ini, tapi lewatlah dari
pintu pendapa samping sebelah sana!”
Mereka bertiga segera bertindak tanpa menunda waktu
lagi. Setelah Sorogenen memukul kentongan, Kertipana
dan Lawunggana segera berlari keluar lewat pintu samping
kemudian disusul oleh Sorogenen setelah ia selesai
memukul kentongan kayu, sebagai pemberitahuan adanya
bahaya dan kebakaran!
Oleh suara kentongan tadi, Ki Bango Wadas dan Bido
Teles serta orang-orangnya seketika terperanjat kaget.
Mereka mengutuk-ngutuk sejadinya.
“Saudara Bido Teles! Mari kita langsung menyergap dari
rumah belakang dan biarkan Sigayam serta orang-
orangnya menyerang dari halaman pendapa.”
“Baik Ki Bango! Wah, rupanya ada yang mengacau
pekerjaan kita!” gerutu si Bido Teles.
“Tapi jangan takut! Belum tentu semua orang dapat
tersadar dari pengaruh sirepku tadi!” seru Ki Bango Wadas.
“Ayo, kita segera bertindak!”
Kedua orang itu secepat kilat melesat ke arah rumah
belakang dengan sebatnya, tak ubahnya laksana dua
bayangan hitam dari kelelawar raksasa yang menyeram-
kan.
Sementara itu Sigayam, Bujel dan Blending cepat-cepat
meloncat ke halaman pendapa kelurahan.
“Hee, Ki Lurah!” teriak Sigayam dengan suara lantang.
“Lekas keluar dan serahkan harta bendamu!”
Mendengar teriakan tersebut, cepat-cepat Ki Lurah
Mijen, Mahesa Wulung dan Pendekar Bayangan ber
loncatan ke luar halaman dan di situ telah menunggu
Sigayam, Budjel dan Blending.
“Heei, rupanya kamulah yang menjadi biang keladi
kekacauan ini!” seru Mahesa Wulung seraya menunjuk ke
arah Sigayam. “Menyerahlah untuk kami rangket!”
“Haa, jangan besar mulut! Marilah kita buktikan lebih
dulu, siapa yang lebih unggul!” ujar Sigayam menyiapkan
tombak pendeknya, seraya memberi syarat kepada kedua
rekannya, yakni si Bujel dan Blending. “Ayo kawan-kawan
serang mereka!”
Maka berlangsunglah seketika pertarungan seru di
halaman pendapa kelurahan. Sigayam langsung
menyerang Mahesa Wulung, sedang Blending menyerbu ke
arah Pendekar Bayangan. Begitu pula Bujel dengan kaki
setengah berjingkat karena bekas luka menyerang Ki Lurah
Mijen dengan golok panjangnya, serupa pedang yang lebar.
Pendekar Bayangan di dalam hatinya menaruh rasa
curiga yang disebabkan tidak munculnya Ki Bango Wadas!
Sebagai seorang pendekar yang banyak pengalaman itu, ia
dapat menduga serta merasakan bahwa tokoh-tokoh yang
muncul di depan mereka sekarang ini, adalah tokoh-tokoh
kecil yang kurang mempunyai arti sama sekali.
Dengan begitu yakinlah ia bahwa benggolan-benggolan
mereka sengaja mengumpankan Sigayam beserta kedua
orang rekannya untuk mengalihkan perhatian dari tujuan
pokok mereka!
Sigayam mengerahkan segala kekuatannya. Tombak
pendeknya bersambaran mengurung Mahesa Wulung.
Namun setiap kali pedang Mahesa Wulung selalu meng-
gagalkan serangan Sigayam yang bertubi-tubi datangnya.
Pendekar Bayangan yang bersenjata tongkat bercabang
serta telah mengenakan topeng kain putihnya kembali,
dengan enaknya menyambut serangan-serangan golok si
Blending yang datang bagaikan angin ribut.
Di saat yang sama pula, Ki Lurah Mijen dengan gigih
menangkis serangan-serangan Bujel yang garang. Orang
tua ini mempergunakan kerisnya untuk menghadapi Bujel
dan gerakannya sungguh sangat lincah.
Ternyata Ki Lurah ini memiliki kepandaian yang cukup
seimbang dengan Bujel Bahkan beberapa saat kemudian
permainan pedang Bujel tertindih oleh tikaman-tikaman
keris Ki Lurah Mijen.
Selagi enak-enaknya mereka sibuk bertempur di
halaman pendapa kelurahan, tiba-tiba saja terdengar
jeritan-jeritan dari arah rumah sebelah belakang.
Sejurus kemudian tampak sesosok tubuh melesat ke
atas genting rumah dengan memondong sesosok tubuh
semampai langsing dan sebentar pula melesatlah sesosok
tubuh lainnya menyertai yang pertama.
Pendekar Bayangan yang sangat waspada itu secepat
kilat menyabetkan tongkat cabangnya dengan dahsyat
sehingga Blending terpental ketika menangkis jatuh
bergulingan di tanah.
“Angger Mahesa Wulung!” seru Pendekar Bayangan
kepada muridnya. “Layanilah mereka dengan baik-baik!
Aku akan mengejar orang-orang yang berlarian di atas
genting itu!”
Secepat selesai kata-katanya itu Pendekar Bayangan
melesat ke atas genting, mengejar ke arah dua sosok
tubuh yang berlarian.
“Heei, berhenti!” teriak Pendekar Bayangan sekaligus
menyerang mereka.
Keruan saja kedua orang tadi yang tidak lain adalah Ki
Bango Wadas serta Bido Teles terkejut setengah mati.
Menghadapi serangan tiba-tiba ini, Ki Bango Wadas yang
memondong tubuh Endang Seruni menjadi setengah
kerepotan.
Untunglah Bido Teles cepat-cepat menadahi serangan
tersebut dengan pedangnya sehingga sesaat Ki Bango
Wadas lolos dari maut.
Kini pertempuran tersebut semakin sengit. Masing-
masing berusaha untuk lebih dahulu melenyapkan
lawannya tersebut.
Bido Teles dengan tangguh menghadapi lawannya yang
bertopeng ini disertai pikiran yang penuh tanda tanya,
siapakah gerangan orang ini sebenarnya? Gerakan
Pendekar Bayangan sangat hebat. Sebentar saja Bido
Teles merasa terdesak meskipun pedangnya berkali-kali
mengurung dan menyerang si pendekar bertopeng ini.
Bido Teles segera memperbaiki serangan-serangannya
Jurus-jurus mautnya dengan tusukan dan tebasan yang
berbahaya mulai tampak.
Orang biasa yang menghadapi serangan demikian itu
jangan diharap bisa bertahan lebih dari lima jurus. Akan
tetapi lawan Bido Teles adalah Pendekar Bayangan
pendekar yang mumpuni atau menguasai ilmu gerakan.
Maka tak heranlah bila Bido Teles berjingkrak kaget,
serta terlongoh-longoh, sebab setiap pedangnya
menyerang maka ujung tongkat bercabang lawannya selalu
mengejar dan memapakinya.
Ketika Bido Teles makin terasa terdesak, mendadak
saja Ki Bango Wadas berteriak dengan suara lantang dari
tempat yang tak jauh dari lingkaran pertempuran antara
Pendekar Bayangan dengan Bido Teles. “Heee, Topeng
Bobrok! Berhenti! Jangan kau teruskan mengganggu kami
dan lepaskan sahabatku Bido Teles itu!! Jika tidak, maka
gadis yang ada ditanganku ini akan mati sekarang juga!
Dengar kau hee!?”
Tentu saja Pendekar Bayangan segera menghentikan
serangannya terhadap Bido Teles akibat ancaman yang
gawat dari Ki Bango Wadas tadi. Sebagai seorang yang
bijaksana dan waspada ia memahami bahwa ancaman Ki
Bango Wadas ini tidaklah sekadar ancaman kosong
belaka, karena iapun tahu bahwa tidak mustahil kalau Ki
Bango Wadas akan benar-benar membunuh gadis itu.
Peringai si botak yang kejam dan keras memungkinkan
akan terwujudnya ancaman itu terhadap Endang Seruni
tadi.
Itulah sebabnya Pendekar Bayangan segera memutus
serangannya dan karenanya pula ia meloncat surut atau
langkah serta bersiaga.
“Heh, heh, he, he, he.” tertawa Ki Bango Wadas
kegirangan. “Nah, itulah, sikap anak yang manis, Topeng
Bobrok! Heh, he, he, he, kau menggeram jengkel?
Sekarang dengarlah kata-kataku berikutnya!”
“Ngocehlah sepuasmu botak!” seru Pendekar Bayangan
dengan marahnya.
“Heh, heh, heh. Aku tahu bahwa rahasia harta Tanjung
Bugel itu terletak di dalam kalung permata hijau yang
kembar. Sekarang yang tergantung dileher gadis ini cuma
sebuah saja dan yang sebuah tidak berhasil kami
dapatkan. Nah, maka gadis ini terpaksa aku bawa. Jika
kalian ingin mendapatkan gadis ini kembali, datanglah ke
Tanjung Jati serta membawa kalung yanh sebuah lagi
sebagai penukarnya!!”
Selesai berkata, Ki Bango Wadas memberi syarat
kepada Bido Teles untuk menyingkir dari tempat itu dan
Sekali lagi ia berseru mengancam. “Sekarang kami akan
menyingkir dan jangan sekali mencoba-coba berbuat
sesuatu jika tidak menginginkan kematian gadis ini!!”
Pendekar Bayangan menggeram marah tapi ia tak dapat
berbuat apa-apa karena keselamatan jiwa Endang Seruni.
Akhirnya Ki Bango Wadas dan Bido Teles melesat turun
dan atas genting pendapa kelurahan ke arah timur dengan
membawa Endang Seruni yang masih terlena tidur akibat
pengaruh sirep Ki Bango Wadas.
Sementara itu, api yang semula berkobar-kobar di
lunbung desa telah mulai surut dan berkurang. Karenanya
Pendekar Bayangan menarik nafas lega.
Bido Teles yang telah tiba di tanah itu bersuit nyaring
sebagai isyarat untuk mengundurkan diri. Maka Blending
dan Bujel secepat kilat menarik diri dari lingkaran per-
tempuran.
“Heeee. Topeng Bobrokl Berhenti! Jangan kau teruskan
mengganggu kami dan lepaskan sahabatku Bido Teles
itu!!! Jika tidak, maka gadis yang ada di tanganku ini akan
mati sekarang juga! Dengar kau, he?!”
Mahesa Wulung dan Ki Lurah Mijen, hampir saja
mengejar mereka jika tidak buru-buru diperingatkan oleh
Pendekar Bayangan dari atas genting. “Biarkan mereka
lari! Jangan kejar! Mereka akan membunuh Endang Seruni
jika kita menghentikan mereka!”
“Endang Seruni diculik?!” seru Ki Lurah kaget.
Pendekar Bayangan melesat turun dan segera men-
dapatkan Mahesa Wulung dan Ki Lurah Mijen. Iapun lalu
menuturkan segala kejadian dan ancaman Ki Bango
Wadas beberapa saat yang lalu.
Dari arah belakang rumah dua sosok bayangan berlari-
lari kecil mendapatkan mereka bertiga. Mereka adalah
Pandan Arum dan Nyi Lurah.
“Kakang Wulung! Ooh adi Seruni telah diculik mereka.”
ujar Pandan Arum setengah terisak sedih.
“Oooo, alah pakne Seruni, anakmu telah diculik
penjahat!” Nyi lurah meratap sedih seraya memeluk
suaminya dengan cemasnya. “Ooh, bagaimana nasibnya
nanti!”
“Tenanglah, Nyi Lurah.” bujuk Pendekar Bayangan.
“Mereka minta umuk menukar jiwa Endang Seruni dengan
kalung yang sebuah lagi! Dengan begitu maka jelaslah
maksud mereka!’
“Yah, memang mereka tadi berusaha pula merebut
kalung yang aku pakai ini, tetapi tidak berhasil karena aku
melawan mereka dengan pedang ini...” ujar Pandan Arum.
“Kalau begitu pakne. Serahkan saja kalung yang sebuah
lagi dan biarkan mereka mengambil harta Tanjung Bugel
itu asal Endang Seruni selamat dan kembali di samping
kita.” berkata Nyi Lurah seraya mengusap air matanya
dengan ujung baju.
Ki Lurah menjadi bingung oleh kejadian yang dihadapi-
nya saat ini. Kalau umumnya orang pasti mengharapkan
untuk mendapatkan harta itu. Namun kini keadaan ber-
kembang ke arah lain. Endang Seruni telah diculik! Dan Nyi
Lurah sendiri telah menganjurkan untuk menyerahkan saja
harta itu kepada Ki Bango Wadas dan kawan-kawannya,
asalkan Endang seruni segera dibebaskan.
Tetapi benarkah pendapat yang demikian itu? Nah itulah
yang meruwetkan pikiran Ki Lurah saat ini. Antara
keinginan untuk mendapatkan kembali harta itu, ber-
lawanan dengan kepentingan untuk menyelamatkan jiwa
Endang Seruni.
Seandamya ia menuruti ancaman Ki Bango Wadas itu,
sama saja artinya dengan membenarkan tindak kejahatan
mereka. Nah, serba salah lalu jadinya.
Pandan Arum yang mengetahui perasaan Nyi Lurah tadi,
tak bisa menyalahkan pendapatnya. Bahkan sebagai kakak
kandung dari Endang Seruni sendiri, ia tidak akan
membiarkan jiwa adiknya dalam bahaya.
“Ibu, akupun rela menyerahkan kalung ini, asal jiwa adi
Seruni selamat!” Pandan Arum berkata sambil melepaskan
untaian kalung permata hijau tadi dari lehernya lalu di-
serahkan kepada Nyi Lurah.
Melihat ini, Nyi Lurah semakin terharu, lalu sambil
menerima kalung itu iapun merangkul Pandan Arum.
Apalagi wajah Pandan Arum yang mirip dengan Endang
Seruni membuat hatinya semakin pilu.
“Bagaimanakah pendapat andika, Ki Pendekar
Bayangan?” Ki Lurah Mijen bertanya. “Apakah akan kita
serahkan saja kalung yang sebuah itu?”
“Hmmm, memang tak ada jalan lain, kurasa!” berkata
Pendekar Bayangan dengan tenangnya. “Kalung itu
sebaiknya kita serahkan kepada mereka. Tapi itu sebagai
siasat saja.”
“Sebagai siasat?” desis Ki Lurah kaget. “Siasat yang
bagaimana Ki Pendekar?”
“Begini Ki Lurah.” Pendekar Bayangan berkata menjelas-
kan maksudnya. “Pertama, kalung itu kita serahkan dan
Endang Seruni akan selamat kembali kepada kita. Nah,
maka setelah itu kita segera menyerang mereka serta
merebut kembali kedua kalung permata hijau tersebut!”
Ki Lurah Mijen mengangguk-angguk sebagai pertanda
akan jelasnya penuturan siasat dari Pendekar Bayangan.
“Ooo, syukurlah andika mempunyai gagasan yang
demikian itu.” ujar Nyi Lurah dengan dada lega.
“Akupun setuju dengan pikiran bapak.” sahut Mahesa
Wulung pula. “Dan tentang rahasia kalung permata hijau
itu tidak perlu kita merasa cemas, meskipun keduanya
akan jatuh ke tangan Ki Bango Wadas dan teman-
temannya.
“Eeeh, tapi tentang peta yang tergambar pada kedua
permata kalung itu, bagaimana jadinya? Bukankah kunci
rahasia harta Tanjung Bugel berada pada peta tersebut!” Ki
Lurah Mijen menumpangi perkataan Mahesa Wulung tadi.
“Hmm, maaf bapak.” berkata kembali Mahesa Wulung.
“Sebenarnya sudah sejak lama saya merasakan adanya
bahaya yang langsung bertalian dengan kedua kalung
kembar tersebut. Maka untuk menghadapi setiap
kemungkinan yang mengancam kedua kalung itu, saya
telah secara diam-diam menyalin kedua peta yang berasal
kedua permata kalung hijau tadi ke atas secarik kain.”
Mahesa Wulung segera mengeluarkan selembar kain
putih dari balik lipatan ikat pinggangnya serta
membeberkannya pula di hadapan orang-orang itu. “Nah,
inilah dia, peta lengkap dari rahasia harta Tanjung Bugel
yang menjadi incaran mereka.”
“Weh, tobat.” seru Ki Lurah penuh kagum. “Angger
benar-benar seorang cerdas yang jarang bandingannya.
Dan memang benar. Dengan peta itu, maka kedua kalung
permata hijau tadi tak begitu lagi banyak artinya.
“Heh heh, heh, heh,” tertawa Pendekar Bayangan saking
senang dan kagumnya, mengetahui akal Mahesa Wulung.
“Heh, heh, tak percuma aku mengangkat angger
sebagai muridku. Wulung! Jika demikian, sementara kalung
itu berada di tangan Ki Bango Wadas dan kawan-
kawannya, maka kitapun dapat pula langsung menuju ke
Tanjung Bugel!”
“Jika tidak keberatan...” berkata pula Ki Lurah Mijen.
“Biarlah aku yang menjemput Endang Seruni ke Tanjung
Jati.”
“Itu cukup berbahaya, jika bapak pergi seorang diri.
Maka akupun bersedia menyertai bapak.” ujar Mahesa
Wulung.
“Hmm, sekarang begini baiknya.” Pendekar bayangan
mengemukakan pendapatnya. “Ki Lurah dan angger
Mahesa Wulung, dan juga angger Pandan Arum menuju ke
Tanjung Jati untuk menjemput Endang Seruni serta
menyerahkan kalung permata hijau itu kepada Ki Bango
Wadas, sedang aku sendiri beserta Lawunggana,
Sorogenen dan Kertipana akan menuju ke Tanjung Bugel.
Kami akan menanti Ki Lurah dengan rombongan di sana
untuk kemudian bersama-sama menghadapi Ki Bango
Wadas dan sekutunya!”
Ki Lurah Mijen mengangguk senang oleh pendapat
Pendekar Bayangan tadi lalu iapun berkata, “Jika demikian,
besok kita dapat segera berangkat dan untuk perjalanan
jauh itu, di sini cukup tersedia kuda-kuda yang bagus.”
Percakapan mereka terhenti ketika beberapa orang
tampak memasuki halaman pendapa kelurahan meng-
giring seorang berpakaian hitarn yang terikat tangannya di
belakang.
“Nah, itu angger Lawunggana datang,” ujar Ki Lurah
Mijen. “Heh, seorang pengacau berhasil mereka tangkap.
Lawunggana agak terkejut rnelihat wajah mereka begitu
suram tampaknya, seperti ada sesuatu yang menyusahkan.
“Ah, ketiwasan angger Lawunggana. Angger Endang
Seruni telah diculik oleh Ki Bango Wadas dan teman-
temannya.” ujar Ki Lurah.
“Aakh, adi Seruni diculik!?” desah Lawunggana terkejut
oleh penuturan yang tiba-tiba itu. Bukankah ini nasib yang
benar-benar malang? Kalau besok adalah rencana dan
kepastian hari pertunangannya dengan Endang Seruni,
tetapi tiba-tiba hari ini telah terjadi malapetaka yang begitu
hebat bagi dirinya. Maka tak mengherankan bila mendadak
saja timbul kegeramannya terhadap si tawanan tadi.
Lawunggana sekonyong-konyong melayangkan be-
berapa tamparannya ke wajah si tawanan tadi hingga
orang itu menjerit kesakitan dan hampir roboh. Untunglah
ia cepat-cepat dipegang oleh Kertipana dan Sorogenen.
“Sabar adi Lawunggana! Sabar!” ujar Manesa Wulung
seraya mendekap Lawunggana yang tengah terbakar
hatinya itu. Juga Ki Lurah Mijenpun segera menuturkan
segala peristiwa yang baru saja terjadi.
“Hmm, Ki Bango Wadas keparat! Aku harus membalas
kekurang ajarannya.” berkata Lawunggana.
“Siapakah orang ini, Lawunggana?” bertanya Ki Lurah
seraya mengamat-amati wajah orang yang terikat tangan-
nya. “Aku belum pernah melihatnya.”
“Dialah salah seorang pembakar lumbung desa kita. Ia
berhasil kami tangkap sedang teman-temannya berhasil
melarikan diri ketika terdengar bunyi suitan yang nyaring.”
Lawunggana berkata menuturkan lelakonnya. “Dalam
pertempuran singkat itu seorang di antara jagabaya kita,
terluka. Sedang seorang di antara mereka dapat kami
tewaskan.”
“Hee, mengaku saja kisanak, siapa kau sebenarnya.”
terdengar Pendekar Bayangan berkata untuk menyelidiki
tawanan tersebut. “Mengakulah saja, supaya hukumanmu
menjadi ringan!”
Takut menghadapi tamparan Lawunggana kembali dan
juga menghadapi Pendekar Bayangan yang bertopeng! Si
tawanan akhirnya mengaku dengan terus terang. “Kami
adalah orang-orang sewaan Bido Teles dari Tanjung Jati.”
“Dan jelaskan siapa sebenarnya Bido Teles itu? Lekas!”
terdengarlah Lawunggana membentak dengan kerasnya.
“Dia ... dia ... saya tak tahu banyak tentang mereka.
Cuma suatu kali saya pernah mendengar bahwa ketua Bido
Teles pernah menyebut-nyebut nama Ki Rikma Rembyak!”
“Rikma Rembyak?!” desis Mahesa Wulung kaget.
“Hmm, rupanya ada sangkut-pautnya pula antara Bido
Teles dengan Rikma Rembyak.”
Dalam pada itu si tawanan yang tubuhnya sudah babak
belur, agaknya sudah merasa putus asa akan keselamatan
dirinya. Apalagi ia melihat sorot mata Kertipana dan
Sorogenen menyala marah kepadanya, sedang di tangan
mereka masih tergenggam pedang-pedang terhunus.
Si tawanan menjadi nekad akibat keputusasaannya,
maka tiba-tiba saja ia melayangkan tendangan kakinya ke
arah dada Lawunggana. Tendangan yang berdasarkan ilmu
silat tangan kosong ini benar-benar berbahaya dan hampir
saja mengenai dada pendekar muda berkumis tebal ini jika
tidak keburu Mahesa Wulung mendorong tubuh Lawung-
gana ke samping!
Gagal serangannya terhadap Lawunggana, si tawanan
buru-buru menggenjotkan kakinya ke tanah dan tubuhnya
melesat ke arah pepohonan di samping halaman untuk
melarikan diri.
Sayang, Pendekar Bayangan tak mau tinggal diam
melihat tawanan itu lari, maka selagi yang lainnya masih
berdiam diri. ia dengan sebatnya melancarkan "Pukulan
Angin Bisu" ke arah si tawanan dan akibatnya sungguh
mengerikan.
Tubuh si tawanan mencelat, terpental ke arah
pepohonan akibat pukulan jarak jauh tadi.
“Proook! Aaaaurrgh!”
Bunyi benturan keras bercampur jerit melengking
mengiringi tubuh si tawanan melanggar batang pohon kayu
dan kemudian tercampak roboh di tanah dengan kepala
yang pecah.
“Hmm dia telah mendapat hukuman yang setimpal!”
desis Lawunggana lega sambil berpaling kepada Mahesa
Wulung. “Untunglah kakang telah mendorongku. Kalau
tidak, pastilah dadaku akan melesak, akibat
tendangannya.”
Beberapa orang penduduk yang melihat kejadian itu
segera berkerumun ke arah si tawanan yang telah ter-
geletak tak bernyawa. Ki lurah Mijenpun segera menyuruh
orang-orang untuk merawat mayat si tawanan tadi untuk
dikebumikan pada keesokan harinya. Di sebelah lain, api
yang membakar lumbung padi telah padam sama sekali.
Kertipana serta Sorogenen segera kembali bekerja.
Keduanya memberi petunjuk-petunjuk untuk menyisihkan
timbunan-timbunan padi yang belum terbakar serta me-
robohkan serta mencopot bagian-bagian lumbung padi
yang telah menjadi arang.
Suasana menjadi tenang kembali. Kekacauan yang
semula timbul, kini telah reda kembali berkat kerja sama
dan kegotong royongan yang terjalin erat di antara
penduduk desa Mijen. Memang kegotong-royongan yang
telah dirintis oleh nenek moyang masih terpelihara hingga
kini. Dengan kegotong-royongan mereka membangun dan
menanggulangi setiap bahaya yang mengancam mereka.
Ki Lurah beserta istri, Pendekar Bayangan, Mahesa
Wulung, Pandang Arum dan Laeunggana bersama-sama
kembali ke dalam pendapa kelurahan. Mereka masih
mempunyai pekerjaan besar dan rencana-rencana untuk
keesokan harinya. Keselamatan diri Endang Seruni benar-
benar mereka pikirkan dari untuk itu mereka telah
bertekad untuk menempuh segala rintangan dan bahaya.
***
ENAM
Di TENGAH TERIKNYA sinar matahari yang lagi ber-
singgasana di siang hari, beberapa ekor kuda dan
penunggangnya telah berpacu meninggalkan desa
Mijen.
Mereka berpacu dengan tangkasnya menuju ke arah
utara melalui jalan kecil yang cukup baik. Beberapa bulak
alang-alang dan hutan-hutan kecil telah mereka lalui,
sementara jalan itu membelok ke arah timur laut dan
menghubungkan desa Mijen dengan desa Mayong.
Berkuda paiing depan adalah Pendekar Bayangan ber-
sama Ki Lurah Mijen dan di belakangnya adalah Mahesa
Wulung bersama Pandan Arum, kemungkinan menyusul
Lawunggana, Kertipana, Sorogenen dan tiga orang
jagabaya bersenjata tombak. Ketika matahari telah ber-
geser ke arah barat, rombongan tersebut telah memasuki
desa Mayong.
“Nah, di sinilah kita akan berpisah, Ki Pendekar
Bayangan. “Ki Lurah Mijen berkata serta menarik kekang
kudanya, untuk memperlambat pacuan mereka.
“Baiklah Ki Lurah.” ujar Pendekar Bayangan. “Jarak yang
kita empuh sama jauhnya. Andika akan mengitarinya dari
sebelah timur. Marilah kita berusaha dan semoga bertemu
di Tanjung Bugel dalam waktu yang sama!”
“Kami akan berusaha bapak.” sambung Mahesa Wulung
kepada si Pendekar Bayangan. “Doakan, mudah-mudahan
adi Endang Seruni kembali kepada kita dengan selamat!”
“Yah, marilah kita berdoa semuanya.” kata Pendekar
Bayangan. “Manusia berusaha dan Tuhan yang menentu-
kan.”
Hati mereka menjadi lebih mantap oleh ucapan singkat
dari Pendekar Bayanyan tadi. Ucapan singkat memang,
tetapi jauh lebih banyak dan lebih panjang akan semangat
dan artinya.
Rombongan tadi lalu berpisah.
Ki Lurah Mijen, Mahesa Wulung, Pandan Arum dan
soorang jagabaya langsung berpacu ke arah barat laut,
bersamaan saatnya pula, Pendekar Bayangan terus
berkuda ke arah timur bersama Lawunggana, Kertipana,
Sorogenen dan dua orang jabagaya lainnya.
Jalan yang ditempuh Ki Lurah bersama rombongannya
sebentar-sebentar naik dan sebentar menurun. Mareka
telah mulai mengitari kaki barat daya gunung Muria, untuk
selanjutnya menuju ke utara.
Kuda yang mereka pacu ini berlari kencang dan gembira
seperti memahami akan kepentingan tuannya. Dan mulut-
mulut merek terdengar ringkikan segar seirama derap
kakinya yang menempuh jalan ke utara ini.
Mereka berlari berkejaran dengan sinar matahari yang
marayap ke langit sebelah barat, sehingga tubuh mereka
berkilat-kilat basah oleh peluhnya.
Telah beberapa lama mereka berkuda, tak terasa lagi
oleh mereka dan tahu-tahu desa Pecangakan telah
dilewati. Kiri jalan yang mereka tempuh mulai berbelok ke
arah barat laut, dan sebentar lagi pastilah mereka akan
tiba di kota Jepara menjelang asar.
Namun mereka sengaja tidak singgah di kota ini, maka
diambillah jalan di luat kota Jepara sebelah timur sebab
mereka ingin cepat-cepat tiba di daerah Tanjung Jati di
pojok utara.
Untunglah keempat orang ini telah benar-benar terlatih
dalam berkuda. Seperti halnya Pandan Arum sendiri,
meskipun dia seorang wanita, tetapi telah memperoleh
dasar-dasar latihan keprajuritan dan keperwiraan,
sehingga untuk berkuda berlama lama ia tak mengalami
kesulitan apapun. Dengan demikian maka perjalanan
mereka menjadi lebih lancar.
Berbareng saat terbenamnya metahari di kaki langit
sebelah barat, suasana daerah Tanjung Jati bersaput
warna merah senja. Namun warna-warna tadi sedikit demi
sedikit menjadi pudar dan lenyaplah kemudian.
Sedang di langit timur, sang purnama telah tinggi
menyinarkan cahaya peraknya. Bulan yang berwajah bulat
penuh itu kini menjadi penerus tugas sang matahari yang
telah silam. Daerah Tanjung Jati telah bermandi sinar
perak sang rembulan. Di sebelah utara dan barat, ombak
Laut Jawa memecah di sepanjang pantai, berkejaran,
bergulung-gulung dengan riangnya untuk kemudian surut
kembali ke tengah, dengan meninggalkan busa-busa putih
di pasir putih yang berkilatan tertimpa sinar rembulan.
Di sebuah tempat, tak jauh dari pantai, di mana
onggokan batu-batu karang dan batang batang pohon tua
yang telah kering berserakan, tampaklah beberapa obor
terpasang menancap di celah-celah batu ataupun batang-
batang kering. Di situ pula terlihat sebuah api unggun yang
menyala terang benderang dengan api menjilat dan
berlenggok-lenggok ke udara.
Agaknya api-api tadi dipasang bukan semata-mata
dimaksud untuk menerangi tempat itu, sebab cahaya
rembulan sudah pasti cukup terang.
Maka yang jelas adalah sebagai penghangat, dan pula
sebagai pertanda bahwa ditempat itu telah ditunggu oleh
segerombolan orang.
Memang agak luar biasa, bahwa di tempat yang
biasanya sepi dan terpencil ini sekarang ditunggui oleh
segerombolan manusia. Beberapa orang di antaranya
tampak duduk di dekat api unggun, tak jauh pula dari
sebuah tonggak kayu kering yang terpancang di situ.
Seorang di antara mereka berkali-kali menoleh ke arah
tonggak kayu tadi dengan mata berkilat-kilat penuh arti, di
mana terikat tubuh seorang gadis bertubuh padat tanpa
daya. Wajahnya manis dan pipinya yang montok serta
hidungnya yang mancung berkilat tersinar oleh sinar bulan.
Sebentar-sebentar dadanya bergelombang tergoncang oleh
isakan-isakan sedih yang meratapi akan nasib dirinya.
Dan orang yang berkali-kali menatap gadis itu tiba-tiba
bangkit berdiri serta perlahan-lahan mendekatinya seraya
gerenengan. “Heh, heh, Endang Seruni terikat seorang diri.
Sebaiknya aku temani dia.” lalu orang yang berwajah
angker dan bermata cekung ini menghampiri Endang
Seruni.
Endang Seruni, gadis yang terikat tadi, terkejut melihat
seseorang menghampirinya. Apalagi ia melihat sinar mata
yang cekung menjijikkan itu memandangi tubuhnya,
bagaikan ingin menelannya.
Dada Endang Seruni bergetar saking takutnya namun ia
toh tak dapat berbuat apa-apa. Hanya saja ia telah
bertekad, jika keadaan dirinya bakal mengalami nasib yang
buruk, ia akan lebih baik mati dengan membunuh diri. Ia
pernah mendengar bahwa dengan menggigit putus lidah-
nya sendiri, seseorang dapat meninggal dan ini pulalah
cara yang akan dipilihnya.
Akan tetapi iapun selalu berdoa, agar dirinya segera
terhindar dari semua bencana.
Tiba-tiba simata cekung telah mengembangkan kedua
tangannya siap memeluk dirinya dan entah apa yang bakal
terjadi kemudian, bila saja dua buah tangan tidak cepat-
cepat menarik leher baju si mata cekung!
“Kau mau berbuat apa saudara Bido Teles!” ujar
pendatang yang menarik leher baju si mata cekung.
“Tahanlah dirimu sobat!!”
Bido Teles terpaksa menggagalkan maksudnya seraya
menggeram jengkel. Ditelannya air ludahnya seraya
mengomel.
“Kau lagi yang mengganggu maksudku Ki Bango Wadas!
apakah aku tak boleh menikmati cahaya sinar bulan yang
terang benderang dan indah ini!”
“Ingatlah akan penawaran kita kepada Ki Lurah Mijen
itu! Kita akan mendapat kalung yang sebuah lagi dengan
menukarkan Endang Seruni ini kembali kepada orang
tuanya dalam keadaan selamat! Nah, kau ingat itu saudara
Bido Teles!” ujar Ki Bango Wadas.
“Tapi sudah lama aku tak menjumpai wanita cantik dan
aku menginginkan dia sebagai istriku!”
“Aaakh, kau terlalu memikirkan kepentingan dirimu
sendiri, Bido Teles!” kata Ki Bango Wadas. “Yang lebih
penting, kan harta emas intan dari Tanjungy Bugel itu? Jika
kita telah kaya, maka istri cantik yang bagaimanapun serta
berapa jumlahnya, pasti akan terpenuhi semuanya. Maka
sadarlah sobatku, Bido Teles!! “
“Hmm, jadi aku tak boleh mengarnbil gadis ini?”
“ Soal itu mudah!” Sahut Ki Bongo Wadas. “Kita tunggu
tiga hari! Cukup waktu bagi mereka bukan? Nah, bila
dalam jangka waktu tiga hari mereka tidak muncul untuk
menyerahkan kalung yang sebuah lagi, barulah kau boleh
berbuat semaumu terhadap Endang Seruni. Dan kita akan
terpaksa lebih banyak mengerahkan orang-orang kita, guna
mengobrak-abrik desa Mijen untuk mendapatkan kalung
yang sebuah lagi!”
“Heh, baiklah jika pendapatmu begitu!” Bido Teles
berkata. “Kita akan tinggal di sini selama tiga hari!”
Belum lagi habis mereka berkata-kata, terdengarlah
derap kaki kuda dari arah selatan dan kemudian mereka
melihat empat orang berkuda masuk ke dalam tempat
mereka.
“Haaa, mereka menepati janjinya!” seru Ki Bango
Wadas gembira. “Lihatlah Bido Teles, sebentar lagi kita
akan kaya!!”
Tak antara lama mereka yang berkuda tadi telah turun
dari punggung kudanya dan berjalan ke arah Ki Bango
Wadas dan Bido Teles berdiri. Sedang pada waktu itu,
seorang anak buah Bido Teles tampak berbisik-bisik
melapor kepada Ki Bango Wadas dan Bido Teles.
Keduanya mengangguk-angguk mengerti.
“Hmm, jadi menggembirakan sekali! Pengintai ini
melaporkan bahwa mereka benar-benar cuma berempat
saja!” ujar Ki Bango Wadas seraya meringis kejam.
“Jadi setelah tukar menukar, mereka dapat kita sikat!”
bisik Bido Teles dengan mata cekungnya berkilatan tajam.
Keempat pendatang yang tidak lain adalah Ki Lurah
Mijen, Mahesa Wulung dan Pandan Arum serta seorang
jagabaya bersenjatakan tombak. Mereka kini berhadapan
dengan kedua pemimpin gerombolan tadi. Ki Bango Wadas
menyambut dengan kata-katanya. “Heh, heh, heh, aku
telah menduga bahwa kau akan datang ke daerah Tanjung
Jati ini, sebab kau tak ingin bukan, bila Endang Seruni itu
mati merana di tangan kita?”
“Sekarang aku minta agar kau secepatnya mem-
bebaskan anakku!” ujar Ki Lurah Mijen seraya menatap ke
arah Endang Seruni dengan cemas.
“Heh, heh, heh, sabar dulu Ki Lurah. Kami belum tahu
apakah Ki Lurah benar-benar telah membawa kalung
permata hijau itu?” ujar Ki Bango Wadas dengan
menyeringai.
“Ha, ha, ha, ha. Tunjukkan kalung hijau itu dan kami
akan segera menukarnya dengan Endang Seruni!!” Bido
Teles berkata.
“Hah, lihatlah ini!” seru Ki Lurah seraya mengambil
seuntai kalung dari balik bajunya. “Apakah kalian masih
sangsi juga?”
“Hmm, baiklah!” ujar K Bango Wadas bergirang seraya
memberi isyarat kepada Blending yang duduk di dekat
unggun api. “Blending, lekaslah kau lepas tali-tali pengikat
Endang Seruni!”
Si perut buncit bernama Blending itu, lekas-lekas
melepas tali-temali pengikat tangan Endang Seruni.
Sedang Pandan Arum dengan perasaan dan hati berdebar-
debar mengikuti semua kejadian ini.
“Ayaah!” teriak Endang Seruni ketika tubuhnya telah
bebas dari tali-temali pengikat, seraya bergegas untuk lari
mendapatkan ayahnva.
“Berhenti!!” seru Bido Teles sambil menghalangkan
pedang panjangnya di depan tubuh Endang Suruni
sehingga gadis ini terpaksa mundur kembali ke tempatnya
dengan wajah kepucatan saking kagetnya. “Kau tak akan
bebas, bocah ayu. Sebelum kalung hijau yang sebuah lagi
itu sampai di tangan kami!”
Mahesa Wulunq menggeram jengkel, tapi ia tak dapat
berbuat apa-apa sebab saat ini adalah saat yang amat
berbahaya, sedikit saja ia berbuat kekeliruan, pastilah jiwa
Endang Seruni terancam keselamatannya. Dengan
demikian maka Mahesa Wuiurg terpaksa menahan gejolak
hatinya.
“Hmm kalian tak usah kuatir!” berkata Ki Lurah seraya
maju ke depan. “Kalung kedua ini akan sungguh-sungguh
saya serahkan kepada kalian, sebab saya lebih sayang
kepada anakku dari pada Harta Tanjung Bugel itu. Nah,
terimalah kalung ini dan ambillah semua harta tadi!”
Sambil memberikan kalung tersebut kepada Ki Bango
Wadas iapun berkata. “Nah, sekarang aku harap kalian
tidak mengganggu Endang Seruni lagi!”
“Baiklah!” uiar Ki Bango Wadas. “Sobat Bido Teles,
biarkanlah gadis itu mendapatkan ayahnya!”
Bido Teles mengangguk setuju seraya menyarungkan
pedangnya kernbali dan dibiarkannya gadis tersebut berlari
mendekap ayahnya. “Ayaah...”
Setelah sesaat Endang Serunipun memeluk kakaknya,
Pandan Arum dengan mata yang masih berlinang-linang
oleh air mata. Maka tempat itu sejenak menjadi sunyi
senyap.
Suasana yang mengharukan bercampur ketegangan itu
tak luput dari pengawasan sesosok tubuh bercaping dari
balik sebuah batu karang. Sepintas lalu memang aneh.
Tokoh tadi dalam malam hari masih mengenakan caping
yang seharusnya dipakai pada waktu siang. Mungkin ia
berusaha menyembunyikan bentuk wajahnya yang pada
saat itu tertutup oleh bayangan capingnya.
Tokoh yang misterius ini tampak mengangguk-
anggukkan kepalanya ketika tukar menukar tadi selesai.
“Kita telah selesai.” ujar Ki Lurah kepada Mahesa
Wulung yang berdiri di sebelahnya. “Dan marilah kita cepat-
cepat meninggalkan tempat ini! Pandan Arum, bawalah
adikmu itu!”
Mahesa Wulung mengangguk seraya meloncat ke atas
punggung kudanya, begitu pula dengan Ki Lurah Mijen dan
si jagabaya. Sedang Pandan Arum sendiri cepat-cepat
menaikkan Endang Seruni ke atas punggung kudanya,
kemudian disusul oleh tubuhnya sendiri meloncat dengan
sigapnya dan duduk ia di belakang Endang Seruni.
Namun alangkah kagetnya ketika mereka akan men-
derapkan kudanya, tiba-tiba saja Bido Teles menghunus
kembali pedangnya serta meloncat menghalang di tengah
jalan.
“Berhenti!” teriak Bido Teles garang. Pedangnya di-
acungkan ke arah rombongan Ki Lurah. “Tidak semudah itu
kalian minggat dari tempat ini!!”
“Keparat! Apa maksudmu? Kau mau berkhianat?
Bukankah kalung itu telah kami serahkan?” seru Mahesa
Wulung dengan nada jengkel dan marah. “Dan tukar
menukar itu toh telah selesai?”
“Memang benar! Tapi itu dengan Ki Bango Wadas!” kata
Bido Teles. “Sedang urusan kalian terhadap diriku belum
selesai!”
“Hah! Urusan macam apa lagi?!” seru Ki Lurah.
“Kalian lihat pada gerombolan kami ini? Tak ada
seorang wanitapun yang tampak. Semua laki-laki melulu!
Nah, sekarang tinggalkanlah salah seorang di antara dua
orang gadis itu pada kami. Biar aku jadikan nanti sebagai
istriku serta pemasak makanan dan nasi kami!”
“Kurang ajar!” desis Mahesa Wulung sehabis mencabut
pedangnya. “Kalian memang orang-orang licik. Seandainya
kami akan mengabulkan permintaanmu toh tidak demikian
caranya melamar seorang gadis!”
“Hah, hah, hah, hah. Kami orang bebas, sebebas burung
di angkasa. Tak sebuahpun peraturan dan tata cara yang
mengikat kami, apalagi melamar seorang gadis untuk istri.
Bagi kami, istri adalah manusia biasa seperti aku, dan
kami akan selalu mengambil apa yang kami suka.”
demikian kata Bido Teles seraya menyeringai. “Maka
sebaiknya serahkan saja salah satu di antara gadis itu
pada kami! Awas, kami masih cukup bersabar! Jika kalian
mempersukar, maka kami pun akan menggunakan
kekerasan. Dan mungkin malah keduanya akan kami ambil
semuanya sedang kalian bertiga akan kami cincang untuk
makanan ikan di laut!”
Oleh kata kata Bido Teles yang menggeledek ini, Endang
Seruni menjadi ketakutan setengah mati dan dipegangnya
lengan Pandan Arum arat-erat namun kakak perempuan-
nya ini berkata dengan tenang. “Tabahkan hatimu adi
Seruni. Tenang-tenanglah saja!”
Sebaliknya dengan Mahesa Wulung. Seketika ke
marahannya benar-benar meledak tak tertahan dan
berserulah ia dengan kerasnya. “Bido Teles! Pantas
ocehanmu sedemikian memukkan dan memang sepantas-
nya kata-kata itu keluar dari mulut bobrok orang tak
beradab! Sedang istri yang cocok untuk tampangmu adalah
seekor kunyuk, seekor kera yang biadab pula!”
“Heh, setan alas kowe!” teriak Bido Teles sambil
memaki-maki setengah mati, kalang-kabut. “Hee kawan-
kawan, lekas cegat mereka! Kepung! Cincang yang laki-laki,
dan biarkan yang perempuan hidup!”
Sementara itu kuda-kuda rombongan Ki Lurah telah ber-
gerak, meringkik-ringkik menderap-derapkan kakinya ke
tanah dan kerikilpun berloncatan ke sana-ke mari.
Mahesa Wulung yang telah bersiaga sejak sernula tidak
kaget oleh teriakan Bido Teles tadi, maka pedangnya telah
siap menyambar-nyambar, menebas dan menusuk lawan-
lawannya yang bermunculan dan balik batu-batu karang
dan pohon-pohon kering untuk kemudian mengepungnya!
Begitu pula Ki Lurah Mijenpun telah melolos kerisnya
untuk menghadapi serangan-serangan yang mendatang,
sementara Pandan Arum dan si jayabaya Cangkring
masing-masing telah menyiapkan pedang dan tombaknya.
Pertempuran seketika berkobar dengan seru.
Pandan Arum yang berkuda bersama Endang Seruni
menjadi kurang leluasa menggerakkan pedangnya ke kiri,
terutama bila ada serangan-serangan lawan yang datang
dari sebelah kiri. Itulah sebahnya Manesa Wulung yang
selalu waspada, berusaha terus untuk selalu berada di
dekat Pandan Arum untuk rnelindunginnya.
Bagaikan burung rajawali mereka berempat bertempur
menghadapi lawannya. Walaupun dikepung, mereka tidak
pernah merasa gentar sedikitpun. Kuda-kuda yang mereka
tunggangi meringkik-ringkik dahsyat membuat arena
pertempuran ini semakin kalut suasananya.
Beberapa orang yang bermaksud mendekati mereka
berempat terpaksa mundur kembali dengan mengumpat-
umpat sebab kaki-kaki kuda itu menerjang dan hampir saja
menginjak-injak tubuh mereka, seandainya tidak cepat-
cepat menghindar dan mundur kembali.
Si Bujel bermaksud menyerang Pandan Arum dari
samping kiri sebab dia tahu akan letak kelemahan dari
kedudukan Pandan Arum yang berkuda bersama Endang
Seruni tadi. Namun iapun menjadi terperanjat ketika
serangan pedangnya menjadi kandas dan mental kembali
begitu Pandan Arum mernutar kudanya ke kiri secepat kilat
sekaligus menyampok pedang si Bujel.
Tak jauh dari Pandan Arum, tampaklah Mahesa Wulung
menyambut setiap serangan yang dilancarkan oleh Ki
Bango Wadas. Mungkin pertempuran kedua orang inilah
yang terdahsyat dari kancah pertempuran tersebut.
Ki Bango Wadas mampu bergerak lincah, selincah
belalang yang melenting ke sana ke mari diikuti gada
berduri di tangannya menyambar dan menyapu ke arah
Mahesa Wulung. Bagaimanapun juga Ki Bango Wadas yang
berdiri di atas tanah akan jauh lebih lincah dan leluasa
melakukan gerakannya.
Berbeda dengan Mahesa Wulung yang bertempur di
atas punggung kudanya hanyalah mampu melakukan
gerakan-gerakannya yang terbatas. Maka tak heranlah bila
Ki Bango Wadas semakin bernafsu melancarkan serangan-
serangannya Soalnya, ia tanu bahwa dirinya lebih banyak
mempunyai ruang gerak yang sangat luas, dan itulah pula
sebabnya orang tak perlu heran bila sesekali, dengan
gerakan yang menakjubkan Ki Banyo Wadas tahu-tahu
telah melintas dipunggung Mahesa Wulung seraya
menghajarkan penggadanya.
Ternyata Mahesa Wulung tidak membiarkan senjata Ki
Bango Wadas menyentuh kulit tubuhnya dan di saat Ki
Banyo Wadas tadi melintas di belakangnya, ia dengan
cepatnya menebaskan pedangnya ke belakang sambil
menggeserkan kudanya ke samping beberapa langkah.
“Craaang!”
Ki Bango Wadas merasakan bahwa penggadanya sedikit
bergetar menyerikan buku-buku tulang jari tangannya
setelah beradu dan berbentur dengan pedang Mahesa
Wulung.
Terpaksalah Ki Bango Wadas menggerundal disertai
desis kekaguman terhadap lawannya yang masih muda itu.
Disebabkan oleh api dendam yang telah bertumpuk dan
membakar hati Ki Bango Wadas ia tak memperdulikan lagi
kehebatan Mahesa Wulung yang menjadi lawannya ini.
Setahap demi setahap serangan Ki Bango Wadas
semakin bertambah ketat, bertambah garang dan ganas.
Bagaikan air bah yang membanjir ke arah lautan serangan-
serangan tadi siap menyapu dan melanda setiap
sasarannya.
Mahesa Wulung sadar akan hal ini. Ia tak mau lagi
melayani serangan-serangan Ki Bango Wadas dengan
setengah hati atau bermain-main menghindar dan
menangkis saja. Kini iapun mulai melancarkan serangan
serangan mautnya.
Setiap kali, kuda Mahesa Wulung melingkar-lingkar
berlari dengan garangnya diselingi dengan kedua kaki
depannya yang sekali berjingkrak ke atas siap
menghancurkan tubuh lawan yang berani mendekatinya.
Melihat ini, keruan saja Ki Bango Wadas tambah marah.
Sambil menyerang lawan mudanya ini, ia berteriak kepada
anak buah Bido Teles supaya lebih memperhebat
pengepurgan mereka.
“Kawan-kawan! Hayo, jangan setengah-setengah
menumpahkan tenagamu! Lekas bereskan ketiga laki-laki
itu. Cincang tubuh mereka lumat-lumat!”
Laksana orang terbangun dari pesona mimpi para anak
buah Bido Teles menjadi lebih beringas setelah mendengar
seruan Ki Bango Wadas tadi.
Mereka mengamuk dengan serangan-serangannya
sementara di dalam hati mereka timbul pula
keheranannya. “Masakan cuma menghadapi lawan empat
orang saja mereka tidak becus?” Begitulah pikiran mereka.
Tetapi memang kenyataannya demikian. Lawan yang
berjumlah empat orang tersebut benar-benar menjengkel-
kan mereka. Hampir tiga puluh jurus serangan sudah
berjalan, namun belum seorangpun di antara keempat
orang tadi kena dirobohkan.
Ki Lurah Mijen yang bersenjata keris dengan gigih
menyambut setiap serangan Bido Teles dan anak buahnya
yang semakin garang mencecar dirinya. Biar pun Ki Lurah
ini sudah tidak muda lagi, tapi perkara olah senjata dan
perihal keperwiraan jangan kira ia mau kalah dengan anak-
anak muda. Itulah sebabnya pula mengapa Ki Lurah
mampu bertahan terhadap serangan-serangan lawan.
Di sebelah timur, si jagabaya yang berperawakan tegap
dan bersenjata tombak dengan gigih pula menanggulangi
serangan-serangan yang dilancarkan oleh Sigayam dan
teman-temannya. Senjata tombak pendek Sigayam ber-
putar mematuk-matuk menyambar ke arah si jagabaya
yang berkuda itu, namun setiap kali pula tombak panjang
si jagabaya selalu menangkis dengan tepatnya.
Melihat ini Sigayam menjadi lebih jengkel dan serangan-
serangannyapun menjadi lebih dahsyat, menghempas
seperti badai mengamuk, membuat si jagabaya lama-lama
agak kerepotan juga.
Rupanya tidak si jagabaya saja yang mulai kelihatan
kerepotan, juga Pandan Arum pun mengalami hal yang
sama. Apalagi jika serangan-serangan yang datang itu
berbareng dari sebelah kanan dan kirinya. Benar-benar
merepotkan dan untung saja, setiap kali pula Mahesa
Wulung senantiasa membantunya.
Ketika sang rembulan makin bertambah tinggi,
pertempuran di tanah Tanjung Jati itu kian menghebat.
Ringkikan kuda, jerit peperangan serta bunyi berdencing
dari senjata-senjata yang beradu berbareng percikan
bunga-bunga apinya, membuat makin serunya per-
tempuran.
“Keparat! Jangan kira kau mampu bertahan lebih dari
dua puluh jurus lagi. Mahesa Wulung!” teriak Ki Bango
Wadas. “Maka lebih baik menyerah saja sekarang,
sebelum senjataku ini betul-betul meremukkan batok
kepalamu yang cuma sebuah itu!”
“Gila!” desis Mahesa Wulung. “Marilah kita lihat, siapa-
kah yang bakal mati lebih dulu. Engkau ataukah aku!”
Dada Ki Bango Wadas menjadi lebih terbakar, bilamana
Mahesa Wulung tiba-tiba meloncat turun dari punggung
kudanya dan langsung menyerang Ki Bango Wadas dengan
sabetan pedangnya ke arah leher si pendekar botak yang
liar itu.
Bunyi berdesing dan sambaran angin dingin mengiringi
mata pedang Mahesa Wulung yang meluncur ke arah leher
si botak dan hampir saja Ki Bango Wadas dari Muara Kali
Serang itu terpapas batang lehernya, bila ia terlambat
menggulingkan tubuhnya ke kiri beberapa langkah.
Sambil bergulingan itu Ki Bango Wadas mengutuk-
ngutuk kepada lawannya. Untunglah beberapa anak buah
Bido Teles lekas-lekas memberikan bantuannya kepada Ki
Bango Wadas dengan mencegat serangan-serangan
Mahesa Wulung berikutnya.
Terpaksa Mahesa Wulung menarik serangannya ter-
hadap Ki Bango Wadas sementara waktu ketika dari arah
samping terlihat beberapa sosok tubuh menghujani
serangan-serangan pedang dan golok ke arah dirinya.
“Heeit!” Mahesa Wulung berkelit ke samping dengan
gerakan selincah belalang bersamaan pedangnya menebas
ke arah lawannya.
“Eeeeeeeakhhh!” Terdengar jeritan mengumandang dari
mulut salah seorang pengeroyok Mahesa Wulung yang
terkena oleh sabetan pedangnya tadi, disusul dengan
tubuh yang tercampak di tanah dan darah merah
menyembur dan dadanya yang tersayat sepanjang satu
jengkal lebih.
Ki Bango Wadas terperanjat melihat seorang dari
sekutunya telah tewas di ujung pedang Mahesa Wulung.
Maka cepat-cepat ia bersiaga kembali dan dengan satu
loncatan panjang Ki Bango Wadas menyambarkan
penggada berduri di tangannya ke dada Mahesa Wulung.
Serangan tiba-tiba tersebut rnembikin Mahesa Wulung
geragapan sesaat dan syukurlah, ia masih sempat
mengegoskan tubuhnya ke kanan disertai pedangnya
menumpangi arah sambaran penggada!
“Craaaaaang!”
“Keparat!” desah Ki Bango Wadas yang hampir saja
terjongor, terjerumus ke dcpan akibat pukulan pedang
Mahesa Wulung yang menumpangi pukulan penggadanya.
Akan tetapi, Ki Bango Wadas tidak berhenti sampai di
situ, iapun berputar ke samping seraya menghajarkan
senjatanya, bertubi-tubi ke arah Mahesa Wulung yang
selalu bersiaga. Begitu menghindar, maka batu karang
dibawah Mahesa Wulung menjadi ambrol berserakan ke
mana-mana. Dan setelah itupun, senjata penggada tadi
terus susul-menyusul mencecar ke arah Mahesa Wulung.
Di samping itu, para pengeroyok Mahesa Wulung yang
terdiri tidak kurang dan enam orang anak buah Bido Teles
semakin memperketat pengepungan dan serangan-
serangannya. Untuk itu terpaksalah Mahesa Wulung
berloncatan ke sana ke mari sambil tak henti-hentinya
menangkis serangan-serangan lawannya.
Sambil bertempur ini. Mahesa Wulung masih memerlu-
kan melirik ke arah Pandan Arum yang dengan gigih
menghadapi serangan serangan lawan. Beberapa kali ia
sempat melihat, betapa kekasihnya itu menangkis setiap
ujung senjata yang menghampiri dirinya dan sekali pedang
Pandan Arum tadi berhasil pula menebas tubuh lawan!
Diam-diam Mahesa Wulung memuji ketrampilan Pandan
Arum kekasihnya, sebab sambil mernboncengkan Endang
Seruni pada punggung kudanya, ia masih lincah memain
kan pedangnya.
Akan tetapi tiba-tiba Mahesa Wulung terperanjat ketika
dilihatnya Pandan Arum sibuk melayani serangan-serangan
dari sebelah kanan, mendadak saja Bujel mengendap ke
sebelah belakang Pandan Arum dan siap menancapkan
pedangnya ke arah punggung gadis itu.
Rupa-rupanya saja si Bujel ini sudah benar-benar ter-
bakar kemarahannya dan ia lupa akan perintah Bido Teles
yang mengharuskan kedua gadis itu ditangkap hidup
hidup!
Mahesa Wulung tak sempat berteriak memperingatkan
adanya bahaya kepada Pandan Arum. Dalam saat saat
yang tegang ini Mahesa Wulung secepat kilat melemparkan
pedangnya ke arah Bujel yang mencoba secara curang
menyerang Pandan Arum dari belakang. Bagaimanapun
kecurangan harus dihukum!
Pedang tadi yang dilempar oleh Mahesa Wulung,
melayang dengan pesat dan langsung menancap ke
punggung Bujel sampai menembus ke dada sebelah muka.
“Creeeep! Uuuaarrgh!”
Bujel sesaat terhuyung-huyung dengan sebilah pedang
yang menancap tembus pada punggung dan dadanya.
Seperti orang tak percaya akan keadaan dirinya, ia masih
saja melihat ke arah dadanya. Tampaklah ujung pedang
yang tersembul dari dalam dadanya menculat keluar
diiringi oleh darah merah memercik mancur keluar mem-
basahi pakaiannya.
Tiba-tiba Bujel melempar pedangnya sendiri dan seperti
orang ketakutan ia menggerakkan tangannya, meng-
gerayangkan ke arah punggungnya untuk mencabut
pangkal tangkai pedang yang menancap di situ. Gerakan
Bujel sungguh mengharukan tapi juga mengerikan untuk
dilihat.
Sambil menjerit panjang akhirnya robohlah tubuh Bujel
ke tanah dan sesudah berkelejotan sesaat akhirnya diam
tak berkutik matilah sudah si Bujel.
Melihat Mahesa Wulung sudah tak bersenjata lagi, Ki
Bango Wadas menjadi lebih beringas. Pikirnya, ia segera
dapat menghancur lumatkan tubuh Mahesa Wulung ini.
Tetapi ia menjadi kaget bila secepat kilat Mahesa
Wulung tahu-tahu telah menggenggam sebatang cambuk
yang terlolos dari ikat pinggangnya. Cambuk Naga Geni
yang menyala berkeredapan biru kehijauan disinari sang
rembulan itu, membuat Ki Bango Wadas berdebar-debar
hatinya. Meskipun ia belum tahu apakah nama senjata
yang tergenggam d tangan Mahesa Wulung, ia yakin bahwa
cambuk tersebut bukanlah senjata sembarangan bukan
sekadar cambuk penghalau ternak.
Ki Bango Wadas menerjang, tapi Mahesa Wulung cepat
melesat ke samping dan di saat itu pula beberapa orang
anak buah Bido Teles segera menyerang dirinya.
Melihat ini Mahesa Wulung tersenyum dan sekali ia
melecutkan cambuknya ke arah mereka, terdengarlah satu
ledakan diiringi jeritan parau. Seorang dari anak buah Bido
Teles terjelapak ke tanah dengan tubuh hangus berkepul,
dan tak bernyawa! Keruan saja Ki Bango Wadas terkejut
dan seketika ia bersuit keras. Dari balik batu-batu karang
munculah beberapa orang bersenjata panah, siap
ditembakkan secara diam-diam ke arah Mahesa Wulung,
ke arah Pandan Arum, Ki Lurah Mijen dan juga ke arah si
jagabaya Cangkring!
Mereka berada didalam bahaya. Ya, keadaan ini
sungguh menegangkan dan mendebarkan hati siapa saja
yang melihatnya! Benarkah tubuh-tubuh mereka akan di-
tembusi oleh panah-panah yang telah siap ditembakkan
itu? Nah, itulah pertanyaan yang akan kita temui jawaban-
nya dalam Seri Naga Geni berikutnya. yakni "SENGKETA
KALUNG PUSAKA" yang akan segera mengunjungi anda.
Dan dengan ini pula selesailah cerita Seri Naga Geni—
HARTA TANJUNG BUGEL—Salam buat para pembaca yang
budiman.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar