SATU
PERAHU YANG MEMBAWA Mahesa Wulung, Pan-
dan Arum, Gagak Cemani dan Palumpang serta rom-
bongannya telah tiba kembali di bandar Muara Demak.
Sejak tiba di tempat ini, Palumpang tak habis he-
rannya melihat keramaian yang ada. Nampaknya, se-
menjak ia mengasingkan diri dengan rakitnya di lau-
tan, Palumpang hampir tidak pernah menginjakkan
kaki ke bandar pelabuhan, apalagi ke kota-kota besar.
Memang keramaian-keramaian manusia itulah yang
dihindarinya selama ini. Tak tahunya, sekarang ia te-
lah menyaksikan kembali. Tambahan lagi, banyak ter-
jadi perubahan-perubahan baru yang sangat berbeda
dengan keadaan waktu ia masih pemuda beberapa be-
las tahun yang lalu.
“Aku harap Anda tidak berkeberatan untuk menjadi
tamuku beberapa waktu di Demak nanti,” ujar Mahesa
Wulung kepada Palumpang.
“Dengan senang hati aku menerima tawaran Andi-
ka,” sahut Palumpang seraya tersenyum. “Asal saja ti-
dak untuk selamanya.”
“Ehh, jadi Anda akan kembali lagi ke laut?” Mahesa
Wulung bertanya serta menatap ke arah Palumpang
dengan keheranan.
Palumpang tersenyum kepada sahabatnya. “Andika
tak perlu heran, Mahesa Wulung! Lautan telah menjadi
darah dagingku. Dalam urat-urat tubuhku, seolah-
olah telah mengalir air laut yang setiap kali memberi-
kan panggilan untuk turun ke sana.”
Sesaat Mahesa Wulung mengangguk-angguk, me-
mahami akan segala tutur kata sahabatnya yang ber-
kulit hitam coklat ini. Sebagai perwira laut, iapun ba-
nyak mengetahui seluk-beluk para pelaut dan nelayan,
yang hampir setiap harinya berkecimpung di lautan
dan betapa besar kecintaan mereka kepada laut.
Tak antara lama mereka telah mendapatkan bebe-
rapa ekor kuda yang telah dipinjamkan oleh petugas-
petugas bandar Muara Demak. Dan segeralah mereka
berpacu ke arah selatan, menyusuri Sungai Tuntang.
Mahesa Wulung seperti tak sabar lagi untuk meng-
injakkan kakinya ke kota Demak. Banyak hal-hal yang
harus diselesaikannya. Laporan-laporan tentang masa
cutinya yang sedikit melebihi waktu dan kejadian-
kejadian lain yang dialaminya selama ini. Lebih-lebih
pengalamannya yang terakhir sekali, di mana ia ham-
pir saja diseret di depan Ki Rikma Rembyak di Pulau
Mondoliko.
Kini Mahesa Wulung telah tahu dengan pasti bahwa
Pulau Mondoliko menjadi pusat dari kekuatan lawan
yang bermaksud mengacau negara.
Sudah barang tentu hal itu tidak boleh dibiarkan
berlarut-larut. Namun sekali lagi Mahesa Wulung ha-
rus berpikir dua kali, begitu ia memikir-mikir untuk
menggempur pulau tersebut dengan kapal-kapal ar-
mada Demak.
“Hmm, pekerjaan itu tidak begitu mudah,” gumam
Mahesa Wulung sambil menggeprak kudanya. “Jika
perang terbuka tersebut dilancarkan, maka pastilah
akan menimbulkan korban yang tidak sedikit di pihak
armada Demak. Apalagi dengan kekuatan mereka yang
tersembunyi di sana, menjadikan Pulau Mondoliko se-
perti benteng setan yang sukar ditembus.”
Demikianlah Mahesa Wulung berpikir-pikir dalam
perjalanan itu, sementara kawan-kawannya sibuk pula
memacu kudanya, kabur ke arah selatan.
Seperti mencoba membalik-balik sebuah buku, Ma-
hesa Wulung terus berpikir dan mengenang segala ke-
jadian yang telah dialaminya beberapa waktu yang ak
hir ini.
Ketika kenangannya sampai pada pertarungan me-
lawan Surokolo dan betapa senjata jala dari lawannya
itu masih mampu melumpuhkan tubuhnya, tiba-tiba
saja Mahesa Wulung terlonjak kaget, seperti disengat
oleh sesuatu.
Yah, memang patutlah jika Mahesa Wulung lalu
menjadi kaget, karena sesungguhnya ia hampir-hampir
tak dapat mempercayainya akan hal itu! Bukankah ia
telah memakai sebuah cincin yang bernama Galuh Pu-
nar yang katanya sanggup menolak dan melindungi di-
rinya dari serangan-serangan racun berbisa?
Tetapi toh kenyataannya ia tak mampu menanggu-
langi senjata jala berbisa dari Surokolo! Percikan piki-
ran tadi sungguh di luar dugaan, sehingga untuk be-
berapa saat ia membiarkan kudanya berhenti memacu
dan beberapa lompatan ia tertinggal di sebelah bela-
kang.
Keruan saja Pandan Arum menjadi tercengang-ce-
ngang dan buru-buru ia menjaga kekasihnya itu.
“Kakang Wulung, mengapa engkau...?”
“Ooh, tidak apa-apa, Adi. Maaf aku agak ‘melawan’
tadi,” sambung Mahesa Wulung menutupi dirinya.
(Editor: ‘melawan’ apa, ya?)
Pandan Arum merasa tidak puas dengan jawaban
kekasihnya, tapi sebagaimana ia telah sekian lama
mengenal sikap-sikap dan pribadi Mahesa Wulung,
maka ia membiarkan saja sikap kekasihnya itu. Se-
sungguhnya ia tahu pula, bahwa Mahesa Wulung te-
ngah memikirkan sesuatu yang penting, sesuatu yang
mungkin akan membawa mereka ke arah pengalaman-
pengalaman yang baru dan mendebarkan!
Mereka masih terus berpacu, sebagaimana pikiran
Mahesa Wulung yang juga berpacu untuk menekuni
tentang cincin pusakanya si Galuh Punar tadi.
Sambil lalu, ia berkali-kali melirik ke arah jari ma-
nisnya yang sebelah kiri untuk menatap cincin berma-
ta kuning yang melekat dengan indahnya.
Dengan beragu sejenak, Mahesa Wulung melihat
cincinnya tersebut dan terdengarlah gumamnya yang
lembut, yang cuma terdengar oleh telinganya sendiri.
“Hmm, ia tidak lagi bekerja sebagaimana mestinya.
Seolah-olah ia telah kehilangan kekuatan dan sinar-
nya!”
Pikiran Mahesa Wulung berputar kembali dan ia
menebak-nebak sendiri. “Memang batu Galuh Punar
ini telah berkali-kali memberikan keajaibannya. Tapi
sekarang...? Akh, memang batu ini diciptakan oleh Tu-
han dan semua menurut kehendakNya. Jika cincin ini
telah kehilangan saktinya, maka ia tidak lebih meru-
pakan batu biasa saja!”
Mereka terus berpacu.
“Tetapi... ada kemungkinan lain yang bisa terjadi,
sehingga cincin Galuh Punar ini tidak mampu bekerja!
Yakni... jika cincin ini ditukar dengan cincin lain yang
serupa!” begitu pikir Mahesa Wulung diam-diam. “Na-
mun di mana hal ini bisa terjadi dan seandainyapun
benar, mengapa hal itu perlu dilakukan? Dan apa
maksudnya?”
Sampai sebegitu jauh Mahesa Wulung tak mampu
menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi yang bermun-
culan dari rongga dadanya. Seperti orang yang memi-
num jamu pahit, Mahesa Wulung terpaksa menelan
mentah-mentah segala pertanyaan itu.
“Heh, baiklah. Hal ini akan kupikirkan lebih lanjut
di Demak nanti. Mungkin dengan ketenangan yang
ada, aku dapat memecahkan teka-teki dan mengenal
seluk-beluk tentang cincin Galuh Punar ini.”
Mahesa Wulung akhirnya menghentikan pemikiran
ke arah cincinnya tadi, akan tetapi, belum lagi ia selesai seluruhnya, mendadak saja seluruh rombongannya
telah dikejutkan oleh sebuah lolong tangis yang pan-
jang dan menyayat-nyayat hati.
Suara tangis tadi jelas suara orang perempuan dan
berasal dari sebelah timur. Dan seperti digerakkan
bersama, mereka serentak menoleh ke arah sana.
Beberapa orang penduduk tampak pula berlari-lari
ke arah itu memasuki sebuah halaman rumah pede-
saan.
“Hee, apa yang terjadi di sana?” gumam Gagak Ce-
mani.
“Rupanya sebuah bencana, Kakang!” ujar Mahesa
Wulung menyahut.
“Aku harus memeriksa ke sana!” sahut Tungkoro
pula. “Marilah kita melihat ke sana sebentar. Siapa ta-
hu ada hal-hal penting yang berguna bagi kita!”
Sambil berkata Tungkoro memutar kudanya ke arah
timur dan menderap ke arah sana, disusul oleh Mahe-
sa Wulung, Gagak Cemani, Pandan Arum dan Palum-
pang.
Jarak rumah tersebut dengan jalan yang dilalui oleh
rombongan Mahesa Wulung kurang lebih sejauh lima
puluhan tombak. Satu jarak yang cukup jauh untuk
orang yang berjalan kaki. Namun bagi mereka yang
berkuda ini, tidak ada kesulitan apapun. Dengan seka-
li geprakan saja kuda-kuda mereka telah melesat ke
arah timur, menuju ke rumah pedesaan tersebut.
Suara lolongan tangis makin jelas terdengar ketika
Mahesa Wulung serombongan telah sampai di sebuah
tikungan jalan yang menuju ke rumah ini.
“Huuu... huuuu... Oooo, alah Simbah. Mengapa
engkau meninggalkan kami... huuuu,” begitulah ter-
dengar ratapan tangis yang cukup memilukan.
Mahesa Wulung dan kawan-kawannya serentak me-
loncat turun dari punggung kuda dan segera berlarian
memasuki halaman rumah itu.
Sementara itu beberapa orang yang melihat keda-
tangan rombongan Mahesa Wulung segera menyibak
dan memberi jalan pada mereka.
Terlebih lagi ketika mereka melihat bahwa Tungkoro
mengenakan ikat pinggang merah dan pedang lebar
keprajuritan Demak, orang-orang segera menyambut-
nya.
“Pembunuhan, Tuan!” seru seorang penduduk yang
beruban dan tua. “Pembunuhan yang kejam dan aneh!”
“Haah, pembunuhan?!” seru Tungkoro kaget, seperti
pula Mahesa Wulung dan kawan-kawan lainnya tak
habis kagetnya. “Mari kita periksa, Kakang Mahesa
Wulung!”
“Baik. Ayolah, Adi.”
“Hee, minggir, Kisanak dan para sanak kadang. Biar
tuan-tuan ini memeriksa kejadian ini,” seru orang tua
tadi yang rupa-rupanya adalah salah seorang jagabaya
di situ.
Mahesa Wulung dan Tungkoro segera mendekat ke
arah korban. Tampaklah oleh mereka, seorang gadis
dengan meratap memeluk seorang kakek tua yang ter-
sandar di bawah sebatang pohon sawo.
Kakek tua yang tersandar itu telah memejamkan
mata dan pucat sekali. Pada sudut mulutnya terlihat
bercak darah hitam yang membeku. Dan yang mem-
buat Mahesa Wulung kaget ialah terlihatnya sebuah
bekas telapak tangan pada dada si kakek yang tak
berbaju tadi. Bekas telapak tangan tadi berwarna me-
rah kebiruan.
“Alangkah dahsyatnya!” desis Tungkoro begitu pan-
dangan matanya menatapi bekas telapak tangan yang
mengecap pada dada si kakek tua.
Mahesa Wulungpun terbelalak melihatnya, dan gu-
mamnya kemudian, “Mmm, belum pernah aku menjumpai kejadian yang seperti ini. Tahukah Kakang Ce-
mani tentang telapak tangan tersebut?”
“Memang luar biasa. Tetapi aku yakin bahwa si
pembunuh adalah orang yang liar atau mungkin pula
dari golongan hitam,” ujar Gagak Cemani.
“Eeh? Kakang Cemani dapat memastikan?” sahut
Mahesa Wulung pula.
“Jika tidak begitu, mengapa ilmu yang sedahsyat itu
hanya digunakan untuk membunuh kakek tua ini?”
berkata Gagak Cemani seraya memaling ke arah gadis
yang masih terisak-isak di dekat tubuh kakek itu. “Bu-
kankah begitu, Nona?”
Gadis itu mengangguk lemah dan berkata dengan
pelannya, “Benar, Tuan. Kakekku adalah orang yang
baik-baik. Dia cuma seorang pemahat saja yang ker-
janya membuat pahatan-pahatan dan ukir-ukiran.
Oleh sebab itu kami menjadi heran bahwa ada orang
yang telah membunuhnya...,” kata-kata gadis itu ter-
henti sejenak sebab isak-isakan tertahan terdengar
memenuhi mulutnya.
“Jadi tidak sepatutnya bukan, bila kakek Nona
mempunyai lawan?” sela Mahesa Wulung.
“Itu... itu kami tidak tahu, Tuan,” sambung si gadis
malang tadi. “Sebab memang beberapa tahun ia per-
nah meninggalkan keluarga kami.”
“Hah, jadi dia pernah pergi juga?!” ujar Mahesa Wu-
lung dengan kagetnya. “Agaknya pada saat-saat itulah
ada sesuatu kejadian penting yang Nona tidak menge-
tahuinya dan ada sangkut pautnya pula dengan peris-
tiwa ini.”
Gadis itu mengangguk ragu, tapi dari tatapan dan
sorot matanya, agaknya ia bisa memahami akan segala
kata-kata Mahesa Wulung.
“Haai, Adi Wulung. Coba perhatikan ini dulu!” sahut
Gagak Cemani menyela sambil menunjuk ke arah dada
kakek tersebut dan kemudian iapun menempelkan te-
linganya ke dada si korban. “Dengarlah. Masih ada de-
tak-detak lemah sekali yang berasal dari jantungnya!
Rupa-rupanya pukulan telapak tangan ini tidak dilan-
carkan dengan sepenuhnya.”
Kata-kata Gagak Cemani tadi ternyata membuat
orang-orang di situ pada terlonjak kaget.
Maka seperti orang yang tidak percaya dan tanpa
sadar si gadis menggoncang-goncang lengan Gagak
Cemani seraya berkata, “Aah, benar... benarkah kata-
kata Tuan itu? Atau Tuan sekedar bermaksud menghi-
bur kesedihanku saja?”
“Hee, itu benar, Nona. Tapi sabar dahulu. Biar sa-
habatku ini mencocokkan perkataanku tadi,” begitu
kata Gagak Cemani seraya berpaling dan bertanya ke-
pada Mahesa Wulung yang sedang memeriksa tubuh
kakek tua itu,
“Bagaimana, Adi Mahesa Wulung? Apakah ia bisa
kita tolong?”
“Kata-katamu benar, Kakang Cemani,” berkata Ma-
hesa Wulung. “Ada sedikit kemungkinan bahwa ia
akan dapat tertolong.”
“Ya, tolonglah kakekku ini, Tuan,” sela gadis di
samping gagak Cemani dengan nada yang penuh ha-
rapan.
“Baiklah. Akan kami usahakan untuk menolong ji-
wanya,” ujar Gagak Cemani. “Tapi terlebih dahulu ha-
rus kami bawa ke dalam rumah dan tubuhnya harus
terbaring dengan baik. Setelah itu barulah kami bisa
merawatnya.”
Akhirnya dengan dibantu oleh beberapa orang pen-
duduk di situ, tubuh kakek tua itu telah digotong ke
dalam rumahnya dan kini dirawat oleh Gagak Cemani
serta Palumpang.
Sedangkan Mahesa Wulung masih sibuk bercakap
cakap dengan orang-orang di luar rumah. Agaknya ia
tengah bertanya-tanya dengan mereka tentang kakek
tua yang malang itu.
Selain itu, Mahesa Wulung tak henti-hentinya mem-
perhatikan halaman rumah si gadis yang dihiasi de-
ngan beberapa buah patung pahatan dari batu sungai
yang berwarna hitam.
Bentuk-bentuk patung binatang seperti lembu dan
harimau dalam keadaan duduk. Manusia dan patung-
patung berpakaian raja seperti yang pernah dilihatnya
dalam relief-relief candi di daerah Tambak Baya dan
Mentaok.
Mahesa Wulung lalu menjadi kagum akan karya-
karya pahatan si kakek tua ini. Betapa besar bakat
dan rasa seninya dapat terukur dan terlihat pada
karya pahatan itu semua.
Jika seandainya kakek tadi hidup di jaman Rakai
Panangkaran di saat-saat pembangunan candi-candi
Borobudur dan sekitarnya, pastilah kakek tadi akan
dapat mengembangkan bakatnya seluas mungkin.
Tapi di jaman sekarang, di mana patung tidak lagi
menjadi bagian penting dari setiap bangunan, sejak
saat itulah seni pahatan dan mematung menjadi mun-
dur. Kecuali di Pulau Bali yang pernah didengarnya.
Mereka masih terus melangsungkan seni pahat dan
mematung.
Yang sekarang masih dapat dilihatnya hanyalah di
daerah Jepara. Seni ukir kayu masih terpelihara baik
di sana sebagai seni kerajinan rakyat.
Sesaat kemudian, Mahesa Wulung melangkah ke
dalam pintu masuk rumah si kakek tua. Di balai-balai
yang beralaskan tikar anyaman, kakek itu dibaringkan
dengan baik.
Agaknya Palumpang dan Gagak Cemani telah mera-
wat dan mengobatinya. Di sebelah yang lain tampak sigadis yang tadi menangis, kini telah tenang dan me-
nunggu kakeknya. Di sebelahnya, tampaklah Pandan
Arum duduk dengan tekun, memperhatikan pengoba-
tan tersebut.
Mahesa Wulung melangkah dengan pelannya men-
dekati balai-balai si kakek. Namun perhatian tiba-tiba
terpaku pada sebuah meja kecil yang terletak di se-
buah sudut rumah.
Entah mengapa hatinya tiba-tiba seperti tergun-
cang. Bahkan Mahesa Wulung menjadi heran, menga-
pa nalurinya tergerak untuk melihat ke arah meja kecil
tadi, sekaligus tertarik ke arah benda yang tergeletak
di atasnya.
Dengan penuh perhatian Mahesa Wulung menga-
matinya. Ternyata di atas meja kecil tadi terdapat se-
buah pahatan patung yang terbuat dari batu putih dan
mempunyai bentuk yang aneh. Pahatan patung yang
menarik perhatian Mahesa Wulung itu berbentuk ke-
pala dari seekor singa yang menganga ke atas, seolah-
olah mulut singa tadi sedang meraung.
Mahesa Wulung dengan mudahnya dapat mengenal
bentuk kepala singa itu karena pada kepala dan sebe-
lah belakang telinga, terdapat pahatan dengan goresan
menjurai dan ujungnya melengkung merupakan ikalan
rambut yang panjang.
Dan kemudian saja si pendekar Demak yang bero-
tak tajam itu teringat akan patung-patung singa di
daerah Candi Borobudur.
Yang membuat ia sangat heran ialah bentuk paha-
tan kepala singa tadi. Mengapa tidak dibuat seluruh-
nya, lengkap dengan badannya?
Sekali lagi Mahesa Wulung mengamatinya dan lama-
kelamaan patung kepala singa itu seolah-olah meru-
pakan bentuk sebuah puncak gunung yang menjulang
dan menganga ke atas!
“Aku tak habis mengerti,” demikian ujar Mahesa
Wulung di dalam hatinya. “Pahatan kepala singa itu
dapat menarik perhatianku. Mungkin karena penem-
patannya yang sangat khusus dan beralaskan kain su-
tera merah itulah sebabnya. Hal ini hanya bisa dije-
laskan oleh si kakek atau cucu gadisnya itu. Hmm,
mudah-mudahan kakek tua ini dapat tertolong ji-
wanya!”
Pendekar Demak ini mendekati Gagak Cemani dan
duduk di dekatnya. Mereka kini telah mengerumuni
balai-balai si kakek tua.
“Bagaimana, Kakang Cemani? Ada harapan bagi-
nya?” tanya Mahesa Wulung kepada sahabatnya.
“Aku harap demikian, Adi Wulung,” jawab Gagak
Cemani seraya mengelus kumisnya. “Telah kami usa-
hakan sebaik-baiknya dan mudah-mudahan ia terto-
long.”
“Badannya telah hangat kembali,” ujar Palumpang
sambil menghapus beberapa butir air keringat yang
muncul di dahi si kakek tua. “Dan jantungnya mulai
berdetak lebih keras.”
Kini pusat perhatian tertumpah kepada si kakek tua
yang terbaring di tengah-tengah mereka. Dadanya yang
terluka telah dibalut dengan secarik kain bersih dan
dibubuhi ramuan obat yang dibawa oleh Palumpang.
Tubuh si kakek mulai tampak lebih segar, tidak se-
pucat ketika Mahesa Wulung dan rombongannya men-
jumpainya. Juga urat-urat darahnya mulai tampak
menggembung kembali. Agaknya darahnya telah mulai
mengalir lancar, setelah beberapa waktu lamanya ber-
detak jantungnya lebih keras.
“Mmm... hehh... aduuuh...,” demikian keluh yang
keluar dari mulut si kakek.
“Ooh, Kakek! Kakek!” seru si gadis kegirangan ber-
campur haru dan memelukkan tangannya ke arah tubuh si kakek.
“Tahan dulu!” seru Palumpang sambil mencegah ge-
rakan si gadis. Secepat itu pula Pandan Arum mena-
han si gadis untuk tidak melanjutkan maksudnya.
“Ooh, mengapa Tuan menahanku?”
“Maaf, itu demi keselamatan kakek Anda sendiri!”
berkata Palumpang. “Jika Anda memeluknya dan di-
sertai isakan atau rasa haru yang meluap-luap, maka
akan terloncat dan teralirlah getaran-getaran diri Anda
ke tubuh si kakek. Dan karena tubuhnya masih belum
kuat, maka tidak mustahil bahwa getaran-getaran tu-
buh Anda akan menghancurkan isi rongga dadanya.
Dan akibatnya, kakek Anda akan mati dengan segera.”
Mendengar ini, si gadis tadi terlonjak kaget serta
menjadi ketakutan dan secepatnya ia menarik kembali
kedua belah tangannya ke belakang disertai desisan
menyesal. “Ooh, maaf, Tuan.”
“Tak apa, Nona,” ujar Palumpang seraya tersenyum.
“Aku dapat memahami perasaan Anda.”
“Sekarang, dapatkah Anda menyalurkan hawa sakti
ke dalam tubuhnya?” bertanya Gagak Cemani kepada
Palumpang.
“Ya. Sekaranglah saatnya,” kata Palumpang seraya
mengulurkan kedua belah tangannya untuk masing-
masing menggenggam sebelah tangan kiri dan tangan
kanan si kakek.
Palumpang kemudian memejamkan mata dan mu-
lutnya berkomat-kamit mengucapkan sesuatu yang
sukar didengar.
Sebenarnya memang Palumpang tengah bekerja me-
nyalurkan hawa sakti untuk memulihkan tenaga dan
kekuatan si kakek yang telah hilang. Pada wajah Pa-
lumpang, terbitlah bintik-bintik keringat kecil-kecil
yang semakin lama makin bertambah besar dan ke-
mudian menetes jatuh. Jelaslah bahwa pekerjaan tadi
cukup berat baginya, seperti yang terlihat pada wajah
Palumpang dengan mengucurkan keringat serta mem-
bara merah.
Hampir tak seorangpun melepaskan pandangan
mata dari adegan yang cukup menegangkan ini. Teru-
tama bagi si gadis sendiri.
Larangan si Palumpang untuk tidak memeluk si ka-
kek tua ini, telah cukup mengguncangkan perasaan si
gadis. Namun atas tutur kata Palumpang dan penjela-
san-penjelasan Pandan Arum, telah membuat pe-
ngertian dan rasa terima kasih kepadanya.
Suasana yang tegang tadi makin memuncak dan
meledak, merupakan jeritan kaget dari mulut orang-
orang di situ berbareng si kakek tua tiba-tiba bangkit
dengan mata yang nyalang membelalak sambil berte-
riak-teriak ketakutan.
“Ooh, tidak! Tidak! Aku tak mau ikut bersamamu
lagi. Pergi! Pergi, kau Tangan iblis jahanam!”
Sambil berteriak demikian, si kakek tua tersebut
meronta-ronta seperti hendak melesat kabur dari ba-
lai-balai tempat tidurnya.
Akan tetapi Palumpang cukup cekatan. Dengan di-
bantu pula oleh Gagak Cemani serta Mahesa Wulung,
ia akhirnya dapat menahan gerakan si kakek.
“Tenang, Bapak! Sabarlah! Sebutlah nama Tuhan
Yang Maha Besar agar kekuatan Bapak pulih kembali,”
demikian kata Palumpang dalam nada yang tenang
dan penuh wibawa, sehingga si kakek tua itu berang-
sur-angsur mengendorkan dan kemudian menghenti-
kan gerakannya.
“Ooh, di mana aku sekarang! Masih hidupkan aku
ini?!” keluh si kakek tua dengan mengernyit-ngernyit-
kan matanya, seakan-akan ia tak mau percaya dengan
pandangan yang ada di depannya. Namun ketika ia
melihat wajah si gadis yang ada di sampingnya, berse
rulah ia dengan tiba-tiba, “Cucuku, Sekarwengi! Oohh!”
Si gadis yang bernama Sekarwengi ini lalu memeluk
kakeknya disertai cucuran air mata, dan kali ini me-
mang tak perlu dicegah lagi karena tenaga si kakek te-
lah pulih. Sambil menatap ke arah para penolongnya
berkatalah dia, “Tuan-tuan, kami bersyukur atas ban-
tuan dan pertolongan yang telah Andika berikan. Per-
kenalkanlah, ini kakekku, Selakriya.”
Suasana kini berganti meriah. Penuh dengan sua-
sana gembira dan wajah-wajah cerah. Kakek Selakriya
segera memperkenalkan diri kepada Mahesa Wulung,
Palumpang, Gagak Cemani, Pandan Arum dan Tung-
koro.
Sekarwengi kemudian menyiapkan minuman untuk
para tamu. Sementara itu, di luar, para tetangga si Ka-
kek Selakriya ikut menengok ke dalam untuk ikut me-
nyatakan ucapan selamat dan kemudian mereka satu
demi satu pulang ke rumahnya masing-masing.
“Aku tak menyangka bahwa hidupku masih pan-
jang,” ujar Selakriya kepada para tamunya. “Pukulan
maut si Tangan Iblis itu sungguh dahsyat, dan ketika
terkena olehnya, pandanganku seketika gelap dan na-
pasku seperti putus. Ketika aku roboh ke tanah, aku
masih sempat mendengar derai ketawanya yang me-
mekakkan telinga.”
“Hmm, jadi orang tersebut bernama Tangan Iblis?!”
desah Mahesa Wulung. “Untunglah bahwa ia tidak
memukul Bapak dengan tenaga yang penuh. Agaknya
ia mengandalkan bahwa dengan tenaga pukulan yang
ringan, ia akan sanggup merobohkan sampai mati seo-
rang tua yang seperti Andika ini.”
Kakek tua itu manggut-manggut dengan ucapan
Mahesa Wulung dan membenarkannya.
“Tetapi apakah sebabnya si Tangan Iblis itu sampai
memusuhi Andika?” bertanya kembali Mahesa Wulung
kepada Kakek Selakriya. “Apakah Andika telah berbuat
kesalahan kepadanya?!”
“Sebab aku telah menolak ajakannya untuk mengi-
kuti sampai ke Pulau Mondoliko,” kata Kakek Selakri-
ya. “Aku tak ingin pergi ke sana untuk kedua kalinya.
Sekali saja sudah cukup dan aku merasa hidup di ten-
gah-tengah para iblis.”
“Jadi Andika pernah datang ke sana?” seru Mahesa
Wulung saking kagetnya.
“Apakah yang Andika kerjakan di sana?” bertanya
Gagak Cemani menyela.
Kakek Selakriya termenung sejenak sambil meng-
usap-usap jenggotnya yang kelabu, lalu berkata kem-
bali, “Sebenarnya aku tak ingin untuk mengungkit-
ungkit ataupun mengenang kembali peristiwa itu. Te-
tapi karena inipun agaknya penting untuk saya cerite-
rakan kepada Tuan-tuan, maka tak ada salahnya, jika
aku tuturkan kembali.”
“Kami tidak keberatan dan dengan senang hati akan
mendengarkan penuturan Andika,” Gagak Cemani ber-
kata, sedang hatinya telah tidak sabar untuk menge-
tahui riwayat si Kakek Selakriya yang pernah tinggal di
Pulau Mondoliko itu.
***
DUA
KAKEK SELAKRIYA menarik napas panjang seolah-
olah ia ingin mengumpulkan semua pikirannya guna
ditumpahkan dalam ceritera yang akan dituturkannya.
“Ceriteranya cukup panjang,” begitu kata Kakek Se-
lakriya memulai ceriteranya. “Beberapa tahun yang la-
lu aku sering mengembara kemana-mana bersama-
sama dengan anakku yang laki-laki. Kami berkelana
untuk mencari pengalaman dan memperdalam bakat
yang kami punyai, yakni memahat dan mengukir batu
untuk kami jadikan patung dan hiasan-hiasan lainnya.
Bangunan-bangunan candi seperti Borobudur, Men-
dut, Kalasan, Prambanan sering kami kunjungi. Bah-
kan kami pernah juga sampai ke Candi Penataran di
Jawa Timur. Kami mempelajari patung-patung dinding
yang ada di candi-candi tersebut. Ternyata banyak co-
rak tadi makin berubah ke corak wayang kulit seperti
yang terdapat di Candi Penataran, Jago dan lain-
lainnya.
“Ternyata hal ini banyak gunanya bagi kami sehing-
ga selain pengalaman bakat kamipun bisa lebih ber-
kembang.
“Selama mengembara itu, bila kami mendapat pesa-
nan untuk menghias bangunan rumah yang baru, ten-
tu kami kerjakan dengan senang hati dan penuh se-
mangat.
“Demikianlah, maka nama kami mulai dikenal di
beberapa tempat di mana kami membuat karya-karya
kami.
“Perjalanan kami teruskan ke daerah timur menjela-
jahi wilayah Pulau Jawa di sebelah sana. Ternyata di
daerah timur itu jauh lebih banyak bangunan-bangu-
nan kuna yang bertebar di beberapa tempat.
“Peninggalan bangunan-bangunan dari kerajaan
Majapahit, Singasari masih dapat terlihat dengan baik
dan megahnya.
“Pada suatu hari, sampailah kami di kota Banyu-
wangi dan kami akan tinggal di sana beberapa lama,
untuk mencari pengalaman yang baru.
“Di suatu sore, ketika kami tengah membuat se-
buah ukir-ukiran patung kayu, datanglah seorang se-
tengah tua yang gagah, berpakaian bagus dan memakai dastar cara Bali.”
***
“Selamat sore, sobat!” sapa si pendatang tadi kepa-
da Selakriya dan anaknya. “Bolehkah aku mengganggu
sebentar?”
“Ehh, mm, tentu Kisanak... tentu kami tak kebe-
ratan untuk itu,” ujar Selakriya kepada tamunya.
“Adakah yang Anda perlukan dari kami?”
Tamu tadi tersenyum ramah sambil duduk ke atas
sebuah balok kayu di dekat Selakriya, lalu berkata
memperkenalkan diri. “Aku bernama Wayan Arsana,
datang dari Pulau Bali.”
Selakriya menjabat tangan Wayan Arsana seraya
menyebut namanya. “Nama saya Selakriya, dan ini
anakku, Sunutama namanya.”
Ketiga orang itu kemudian saling berkenalan dan
bercakap-cakap dengan ramahnya. Tampaklah Wayan
Arsana mengagumi karya pahatan patung kayu Sela-
kriya yang menggambarkan sang Bima Sena bertarung
dan dililit oleh seekor ular naga. Karya tersebut sung-
guh mengagumkan bagi Wayan Arsana yang baru da-
tang itu.
“Sungguh mengagumkan karya pahatan Andika
ini,” kata Wayan Arsana. “Belum pernah aku melihat
karya yang sehebat itu.”
“Ahh, Anda terlalu memuji berlebih-lebihan, dan itu
membuat kami merasa malu,” ujar Selakriya meren-
dahkan diri. “Bukankah Pulau Bali penuh dengan pe-
mahat-pemahat dan pengukir terkenal?”
“Betul kata Andika, Ki Selakriya,” sambung Wayan
Arsana. “Namun toh aku dapat mengagumi hasil karya
Andika. Meskipun corak pahatan Andika berlainan de-
ngan corak daerahku, namun keindahan tetap ter-
bayang dalam karya ini.”
“Ehh, apakah itu benar, Ki Wayan?” berkata Selakriya sedikit segan, karena sanjungan tadi.
“Oo, itu aku katakan dengan sebenarnya, Ki Sela-
kriya,” sahut Wayan Arsana. “Keindahan akan tetap
mempunyai nilai-nilai keindahan walaupun coraknya
berlainan. Seperti tarian dari Pulau Jawa dan di Bali
ataupun dari pulau-pulau lainnya, akan tetap mem-
punyai keindahan sendiri-sendiri.”
“Hmm, agaknya Anda seorang pengagum kesenian,
Ki Wayan.”
“Itu memang benar, sobat. Dan kedatanganku ke-
mari inipun karena hal tersebut,” ujar Wayan Arsana.
“Aku telah mendengar nama Andika beberapa waktu
yang lalu, ketika seorang sahabatku yang datang dari
Banyuwangi membawa serta sebuah karya pahatan
patung kayu yang menggambarkan seekor garuda me-
nyambar seekor ular. Kata sahabatku, patung tersebut
adalah hasil karya seorang pemahat yang bernama Se-
lakriya yang saat ini tinggal menetap beberapa waktu
di kota Banyuwangi. Aku sangat mengagumi karya ter-
sebut. Karenanya aku memutuskan untuk datang ke-
mari serta menemui Andika.”
“Ooh, terima kasih, Ki Wayan,” gumam Selakriya.
“Telah jauh-jauh Anda datang dari seberang, untuk
menjumpaiku di kota Banyuwangi ini. Oleh sebab itu,
sudah sepantasnya bila kami menghargai kedatangan
Anda ini.”
“Ketahuilah Ki Selakriya, bahwa kedatanganku ke-
mari ini ingin menawarkan suatu pekerjaan untuk An-
da.”
“Pekerjaan?” desis Selakriya seperti tak mau per-
caya akan pendengarannya. “Apakah itu, Ki Wayan Ar-
sana?”
“Kami sedang membangun sebuah rumah tinggal
yang baru. Dan saya ingin agar di dalamnya dihias de-
ngan patung-patung hasil karya dari Andika. Selain
itu, gapura pintu gerbang rumah belum dimulai. Mak-
sud saya, semuanya itu kami tawarkan kepada An-
dika.”
“Senang sekali kami dengan tawaran Anda, Ki Wa-
yan Arsana,” ujar Selakriya. “Tapi apakah itu tidak
akan berbeda dengan corak-corak yang telah ada di
sana?”
“Justru itulah, Ki Selakriya. Saya mengharap agar
Andika memadukan corak dan gaya dari Jawa dengan
corak-corak dari Bali,” ujar Wayan Arsana dengan ra-
mahnya. “Dengan begitu, maka pintu gerbang ru-
mahku akan mempunyai gaya yang sedikit lain tapi
akan tetap indah.”
Selakriya manggut-manggut mendengar usul Wayan
Arsana tadi. Ia tak menyangka bahwa ada orang lain
yang begitu besar menaruh minat kepada dirinya.
“Baiklah, Ki Wayan. Aku tak keberatan dengan
permintaan Anda tadi. Tapi aku belum tahu apakah
anakku akan menyetujuinya pula.”
“Aku akan ikut, Ayah! Aku akan membantu Ayah
menyelesaikan pintu gerbang itu,” sahut Sunutama
sambil menggoncang-goncang lengan ayahnya.
“Naah, itu bagus! Bagus!” seru Wayan Arsana gem-
bira. “Kapankah kalian berdua dapat berangkat?”
“Mungkin sehari, dua hari lagi, setelah patung sang
Bima ini selesai,” ujar Selakriya. “Dan tentu Anda tidak
terlalu tergesa-gesa, bukan?”
“Baiklah, Ki Selakriya,” berkata Wayan Arsana dise-
lingi wajah yang cerah. “Aku akan kembali ke tempat
penginapanku di sebelah timur kota. Dua hari lagi aku
akan kemari untuk menjemput kalian.”
“Terima kasih,” sahut Selakriya seraya mengantar
tamunya ke luar dari halaman rumah.
Tapi untuk sesaat Wayan Arsana berpaling kembali
untuk menatapkan pandang ke arah patung sang Bima dan tiba-tiba berkatalah ia, “Ki Selakriya, bagaima-
na jika patung itu aku beli sekalian, untuk menghias
rumahku?”
“Eh, jadi Anda berminat pula terhadap patungku
ini?” ujar Selakriya pula.
“Begitulah jika Anda tak keberatan,” Wayan Arsana
berkata. “Berapapun akan saya bayar untuk patung
itu.”
“Syukurlah jika Anda menyukainya. Dua hari lagi
akan melihat keseluruhannya.”
Wayan Arsana sebentar kemudian berpamit lagi dan
melangkah ke arah timur, sementara sang rembulan
telah mulai muncul di langit timur.
Ki Selakriya berdua terus mengikuti langkah-lang-
kah tamunya dengan pandangan cerah, sampai akhir-
nya Wayan Arsana lenyap di sebuah tikungan jalan.
“Ooh, kita bakal mendapat pekerjaan yang lebih be-
sar, Ayah! Dan lagi kita akan mengunjungi Pulau Bali,”
seru Sunutama kegirangan. “Seolah-olah aku telah da-
pat melihat lemah-gemulai dari tarian penari-penari di
sana....”
“Jangan lekas-lekas bergembira, Sunutama!” desah
Selakriya kepada anaknya yang masih hijau itu. “Kalau
pekerjaan atau tugas kita bertambah besar, itu berarti
bahwa tanggung jawab kitapun makin bertambah lebih
berat lagi!”
“Eeh, maksud Ayah?”
“Ketahuilah, Nak. Bahwa tanggung jawab seseorang
itu akan selalu lebih berat daripada yang sudah-
sudah. Apalagi jika orang tersebut mendapat pekerjaan
atau tugas yang lebih besar. Sebagai misal, seorang
anak kecil akan selalu dibimbing oleh orang tuanya.
Disuap, dimandikan, digendong dan sebagainya. Tapi
jika ia makin meningkat dewasa, maka tanggung ja-
wabnya akan lebih besar pula. Ia tidak lagi dimandi
kan, tapi akan mandi sendiri. Begitu pula ia akan me-
nyuapkan makanan sendiri ke mulutnya. Kemudian,
jika ia makin tua, maka akan dicarinya sendiri san-
dang pangan dan pekerjaan yang diingininya untuk
menjamin kesejahteraan keluarganya. Nah, itulah yang
aku maksudkan, Nak.”
Si pemuda Sunutama menundukkan kepala dengan
perhatian yang tercurah kepada tutur kata ayahnya
itu. Terasa benar, betapa ia masih terlalu hijau untuk
memahami hal-hal yang baru.
“Sekarang aku lebih mengerti, Ayah. Terima kasih
untuk nasehat Ayah,” kata Sunutama.
“Ya, itu bagus, Ngger,” ujar Selakriya dengan rasa
gembira. “Marilah kita menyudahi dulu pekerjaan kita.
Ringkaslah alat-alat pemahat kita dan segala sesua-
tunya. Besok kita akan melanjutkannya kembali.”
Selakriya dan anaknya kemudian memberesi pera-
botnya ke dalam rumah, dan halaman itu kini telah
sepi kembali. Beberapa ekor kunang-kunang beterba-
ngan di sela-sela dedaunan, kesana-kemari seperti
akan mencari, ke manakah gerangan manusia-manu-
sia yang tadi duduk-duduk di halaman ini?
Akan tetapi agaknya kunang-kunang tadi tidak me-
ngerti bahwa di sela-sela semak di seberang halaman
rumah tersebut, terlihatlah sepasang mata yang meng-
awasi ke arah rumah Selakriya dengan tajamnya, seo-
lah-olah sepasang mata burung hantu yang mengintai
mangsanya.
Tatapan mata yang tajam itu seperti akan menem-
bus dinding rumah dan menghunjam kepada para
penghuninya, yakni Selakriya dan anaknya.
Hmm, siapakah sebenarnya si pengintai ini dan apa
pula maksudnya dengan mengamat-amati Selakriya
berdua?
Ternyata kemudian bahwa si pengintai tadi terenengan menggerundal, “Keparat! Jadi si Wayan Arsana
akan mengambil kedua orang itu untuk menjadi pem-
bantunya! Baiklah. Akan kutunggu kelak, sampai di
mana ia tahan melaksanakan tugasnya dan untuk itu
aku akan membuat perhitungan kepada mereka!”
Habis berkata demikian maka bayangan tadi lalu
memutar tubuh dan meloncat meninggalkan tempat
itu, laksana bayangan hantu, menembus malam yang
semakin larut.
***
TIGA
PADA SIANG yang cerah di hari itu, Selakriya ber-
sama Sunutama kelihatan tersenyum-senyum puas
menikmati hasil karyanya yang baru saja selesai. Se-
bentar-sebentar mereka menghapus keringat yang
mengalir di dahinya. Betapapun kepanasan, namun
mereka tak merasakannya, karena perhatian mereka
lagi tercurah kepada patung pahatan sang Bima yang
lagi bertarung melawan seekor naga.
Memang sungguh mengagumkan. Kedahsyatan dan
keperwiraan tercermin di dalam karya tersebut, me-
nimbulkan semangat bagi siapa yang melihatnya. Ke-
gagahan sang Bima Sena bergelut menghadapi rinta-
ngan yang tidak kecil. Meskipun tubuhnya telah dibelit
oleh sang naga, toh Sang Bima tidak menjadi ketaku-
tan dan tetap berjuang melawan lawannya, sehingga
akhirnya ia ke luar sebagai pemenang.
Ketika itu matahari bergeser lebih ke barat. Dari
arah timur muncullah si Wayan Arsana berjalan me-
nuju ke arah rumah pondokan Selakriya, si pemahat
yang terkenal itu.
“Selamat siang, Ki Selakriya,” sapa Wayan Arsana
memberi salam kepada si pemahat.
“Eeh, kedatangan Anda bertepatan dengan selesai-
nya patung ini,” ujar Selakriya mempersilahkan ta-
munya masuk ke halaman.
“Apakah Anda telah menyiapkan diri untuk kebe-
rangkatan itu?” Wayan Arsana bertanya.
“Untuk itu, kami telah bersiap.”
“Bagus, sobat. Sore nanti, kita akan menuju ke
bandar dan kita menyeberang dengan perahu layar.”
Sunutama tersenyum dan bersinar-sinar matanya
mendengar tentang perahu layar itu, dan karenanya
iapun bertanya, “Paman Wayan, apakah itu perahu
yang besar?”
“Oo, memang itu perahu layar yang besar,” kata
Wayan Arsana. “Apakah Angger pernah pula naik pe-
rahu?”
“Pernah pula, tapi itu hanya perahu kecil saja di se-
buah sungai.”
“Heh, heh, heh itu sama saja, Nak. Cuma bedanya,
kalau kita berperahu di sungai, airnya hanya tenang
saja alirannya. Sedang di laut nanti, ombaknya jauh
lebih besar daripada aliran air di sungai tadi. Nah apa-
kah Angger juga berani berlayar menempuh ombak-
ombak laut itu nanti?”
“Jika Paman berani... aku pun berani,” ujar Sunu-
tama sambil tersenyum lebar.
“Ha, ha, ha. Engkau bocah yang bersemangat, Ang-
ger Sunutama. Cocok sekali jika engkau putra Ki Sela-
kriya,” kata Wayan Arsana memuji.
Ketika matahari makin condong ke barat, Selakriya
dan puteranya telah berkemas-kemas dengan barang-
nya. Bersama Wayan Arsana, mereka bergegas melang-
kah ke arah timur. Mereka singgah pula sebentar ke
pondokan Wayan Arsana untuk mengambil barang-ba-
rangnya, setelah itu mereka langsung menuju ke bandar.
Beberapa perahu tampak berjejer di sana dan se-
buah di antaranya telah siap untuk menyeberang.
Memang jarak antara Banyuwangi dan Pulau Bali tidak
terlalu jauh. Dan satu kota pelabuhan di Pulau Dewata
itu yang paling dekat ialah Gilimanuk, sehingga di se-
tiap harinya berhilir-mudiklah perahu-perahu layar
yang menghubungkan kedua kota tersebut.
“Hooi! Kami telah menunggu!” terdengar seruan dari
tukang perahu kepada Wayan Arsana bertiga.
“Ah, rupanya Anda telah memesan tempat,” kata
Selakriya seraya menoleh ke arah Wayan Arsana.
Sambil mengangguk, Wayan Arsana melambai ke
arah perahu tadi. “Benar, Ki Selakriya. Sebab aku ku-
watir kalau-kalau kita tidak kebagian tempat. Dan lagi
Andikapun belum tahu agaknya, bahwa perahu itu su-
dah menjadi langgananku untuk menyeberang kema-
ri.”
“Senang juga, ya. Rupanya Anda sering melakukan
perjalanan keliling.”
“Sebagai seorang saudagar memang aku sering ber-
keliling. Seluruh Pulau Bali dan pesisir-pesisir Jawa
Timur telah aku jelajahi.”
“Akh, untung sekali kami berdua dapat bertemu de-
ngan Anda,” kata Selakriya. “Jika tidak, belum tentu
kami mampu mengadakan perjalanan semahal ini.”
“Heh, heh, heh. Itulah namanya nasib. Agaknya pa-
ra dewa telah mempertemukan kita, Ki Selakriya.”
Sebentar kemudian mereka bertiga telah turun ke
perahu dan penyeberangan itupun dimulailah. Dengan
lajunya haluan perahu membelah permukaan air dan
angin sore yang kencang mengembangkan layar-layar
bagai sayap-sayap raksasa.
Beberapa penumpang tampak pula duduk bersama-
sama Wayan Arsana, Selakriya dan Sunutama.
Di antara deretan penumpang tadi, tampaklah seo-
rang berpakaian bagus, berbaju sutera merah dan ber-
wajah angker dengan kumisnya yang kaku.
Orang inilah yang lebih dulu memperkenalkan diri
kepada Wayan Arsana bertiga. Dengan senyum ramah-
nya pula ia menawarkan makanan yang dibawanya
kepada Wayan Arsana.
“Jimbaran,” si kumis kaku menyebutkan namanya,
kemudian ia menyampaikan secawan tuak kepada Wa-
yan Arsana. “Minumlah ini, sobat. Cocok sekali untuk
hawa sore yang sejuk ini.”
Mendengar orang ini menyebutkan nama Jimbaran,
Ki Wayan Arsana terperanjat sesaat. Sebab ia seperti
pernah mendengar nama tersebut, tapi entah di mana,
iapun sudah lupa.
Namun dasar Wayan Arsana tidak mempunyai pra-
sangka apapun, maka ia buru-buru menerima cawan
tembikar berisi tuak yang diberikan oleh Jimbaran ke-
padanya.
Sesudah menyampaikan tuak tadi, si kumis kaku
Jimbaran memperlihatkan senyumnya yang tajam, se-
nyum yang bernada merendahkan.
Wayan Arsana menjadi kaget luar biasa begitu jari-
jemari tangannya memegang cawan berisi tuak tadi.
Ternyata cawan tadi belum seluruhnya dilepaskan oleh
genggaman jari-jari Jimbaran. Dengan begitu, maka
Wayan Arsana mengira telah terdapat perbedaan wak-
tu, antara saat penyerahan cawan dari tangan Jimba-
ran dan penerimaan pada tangannya. Sehingga wajar-
lah bila hal itu menimbulkan kecanggungan seperti di
atas.
Akan tetapi kemudian Wayan Arsana benar-benar
sangat terkejut bila perkiraannya semula adalah mele-
set. Kecanggungan tersebut bukan disebabkan oleh se-
lisih waktu, tetapi memang disengaja oleh Jimbaran
untuk menguji kekuatan Wayan Arsana.
“Satu permainan yang berbahaya!” kata Wayan Ar-
sana di dalam hati. “Agaknya ia mempunyai kebiasaan
demikian!”
Kini terlihatlah adegan yang menarik dan mende-
barkan hati. Masing-masing tangan kanan Jimbaran
dan Wayan Arsana melekat dan memegang cawan be-
risi tuak itu. Tarik-menarik terjadi antara kedua orang
itu untuk memperoleh tuak yang cuma secawan. Mes-
kipun mereka tetap duduk pada masing-masing tem-
patnya, namun kedua tangan mereka saling bergetar
mengadu tenaga dalam.
Wajah Wayan Arsana mulai nampak berkeringat.
Rupanya iapun bukan orang sembarangan dan sedikit
banyak mempunyai ilmu pula.
Melihat hal ini, Sunutama menyenggol-nyenggol le-
ngan ayahnya sebagai maksud memberi tahu akan adu
tenaga dalam antara Wayan Arsana melawan Jimba-
ran.
“Sttt,” desis Ki Selakriya kepada anaknya agar ber-
diam diri menghadapi keadaan ini. Ia sendiri belum
tahu, apakah yang akan diperbuatnya dalam mengha-
dapi peristiwa yang demikian menggetarkan hati itu.
Butir-butir peluh menitik juga pada wajah Jimba-
ran, satu pertanda bahwa iapun telah mengerahkan
tenaga dalamnya. Tetapi dibanding dengan Wayan Ar-
sana, hal itu kelihatan besar bedanya.
Kalau wajah Wayan Arsana tampak tegang dan ba-
sah oleh keringat serta sebentar-sebentar meringis
menahan rasa sakit yang mulai merayap pada tangan-
nya, sebaliknya Jimbaran masih tampak segar! Bah-
kan mulut Jimbaran sebentar memperlihatkan senyum
bangga, sehingga Selakriya dan Sunutama makin ber-
debar-debar dadanya. Mereka merasa kuatir akan ke-
selamatan Wayan Arsana yang telah menjadi sahabat
nya ini.
Jika Wayan Arsana ternyata akan kalah dan ketum-
pahan tuak ini tidaklah begitu menimbulkan kecema-
san. Tapi jika tenaga dalam itu sampai meruntuhkan
atau paling sedikit mencederai dada sahabatnya, inilah
bakal membuat kegaduhan!
Keadaan makin gawat ketika tangan-tangan Wayan
Arsana dan Jimbaran pada bergetar dengan hebatnya.
Beberapa saat kemudian dapatlah dibayangkan bila
Wayan Arsana akan menderita kalah.
Tiba-tiba saja, satu kejadian yang tidak disangka te-
lah terjadi begitu cepat! Salah seorang penumpang
yang duduk di pojok, berkerudung kain batik dan ber-
caping bambu serta berdiam diri saja dari tadi, tahu-
tahu telah bersin dengan kerasnya.
“Haaa... haaa... haa, sin!”
Jimbaran terkejut bukan kepalang. Kalau suara
bersin saja ia tidak bakal terkejut ataupun heran se-
tengah mati. Tapi kali ini bersin yang ia jumpai terasa
aneh dan luar biasa. Bersama bersin tadi terpancarlah
satu semburan angin panas yang langsung membentur
lengan kanan Jimbaran. Satu rasa pedih yang menye-
ngat tulang telah menyerangnya dan keruan saja Jim-
baran menjerit kesakitan.
“Aaaghh!”
Dan seketika itu pula Jimbaran melepaskan pega-
ngannya pada cawan berisi tuak yang telah menjadi
bahan perebutan.
Wayan Arsana dengan tenangnya kemudian menu-
angkan tuak itu ke dalam mulutnya, sementara Jimba-
ran mengutuk-ngutuk, seraya mengurut lengan ka-
nannya yang terasa bagai terbakar oleh kobaran api.
Mata Jimbaran melirik tajam ke arah si caping bam-
bu, dan seketika itu meletuplah marahnya.
“Keparat! Kau mengganggu permainanku, heei?! Koweakan memperlihatkan kesaktianmu?”
“Ohh, tidak, Tuan. Tidak! Aku tak bermaksud begi-
tu,” ujar pria bercaping bambu itu seraya membung-
kuk-bungkuk setengah ketakutan. “Aku tidak sengaja
berlaku demikian.”
“Kurang ajar. Ternyata engkau pandai memutar li-
dah!” bentak Jimbaran dengan wajah kemerah-mera-
han. “Aku ingin tahu apakah engkau mampu pula me-
mutar tenagamu!”
Begitu berkata, Jimbaran seketika menerjang ke
depan dibarengi satu pukulan tinju yang langsung
menghajar wajah pria bercaping.
Melihat hal ini, Wayan Arsana, Selakriya, Sunutama
dan segenap penumpang lainnya berseru kaget. Me-
reka percaya bahwa pukulan yang dilancarkan oleh
Jimbaran ini bukan sekedar gertakan untuk menakut-
nakuti saja, tapi adalah pukulan yang sepenuh tenaga.
Malahan pula dilambari oleh kemarahan yang meluap.
Weesstt!
Suara mendesau terdengar menggetarkan telinga,
namun si pria bercaping cukup memindahkan duduk-
nya dan akibatnya pukulan Jimbaran cuma memper-
oleh udara kosong.
Sudah barang tentu si kumis kaku Jimbaran itu
memaki-maki dan selanjutnya ia memutar tubuh serta
kembali melancarkan serangannya.
Pukulan yang kedua segera melanda ke arah kepala
lawan, tepat di saat itu pula kedua tangan lawannya
telah didorong ke depan menyambutnya.
Blaaakk!
Terdengar sebuah benturan keras disusul oleh
raung kesakitan dan tubuh Jimbaran yang terpental
jatuh di geladak perahu.
“Heiii! Ohh... celaka! Berhenti, Tuan-tuan. Jangan
berkelahi di atas perahuku ini!” teriak para tukang pe
rahu yang ketakutan dan kalang kabut, karena badan
perahu ini telah tergoyang-goyang.
Melihat itu pula, merekapun sadar bahwa kedua
orang yang sedang berkelahi itu pasti memiliki tenaga
dalam serta ilmu yang cukup tinggi.
Menjadi semakin penasaran si Jimbaran ketika dua
serangannya tadi telah kandas begitu saja tanpa mam-
pu menyinggung tubuh si caping bambu.
“Setan iblis! Kau menyepelekan aku, hah!” seru
Jimbaran seraya menyingkap bajunya sekaligus me-
lolos sebilah keris yang terselip di pinggang. “Coba kau
hadapi pusakaku ini kalau mampu!”
“Bagus! Sekarang jelaslah bahwa kau tidak mempu-
nyai watak ksatria. Selagi lawanmu bertangan kosong,
kau telah mencabut senjata!”
Jimbaran mengutuk. “Persetan! Tak perlu banyak
mulut!”
Sambil berkata itu, Jimbaran memamerkan ketram-
pilannya memainkan keris. Dengan hanya mengguna-
kan telunjuk tangan kanannya, ia memutar keris tadi
seperti gasing. Kemudian disertai seruan pendek, keris
tadi tahu-tahu telah berpindah ke tangan kiri, dan se-
lanjutnya pula keris tersebut berpindah-pindah antara
tangan kanan dan kiri, sehingga membingungkan sia-
pa saja yang melihatnya!
Diam-diam si caping bambu mengakui kepandaian
Jimbaran dalam berolah senjata, dan karenanya tak
mengherankan bila Jimbaran berani malang-melintang
serta membuat perkara di muka umum!
Dalam pada itu, disebabkan saking sibuknya perha-
tian segenap penumpang perahu kepada pertarungan
tadi, mereka tidak merasa bahwa sebuah perahu lain
telah mendekat dan merapatkan badan perahunya ke-
pada perahu yang ditumpangi oleh Wayan Arsana, Se-
lakriya dan orang lainnya.
Sambil berteriak nyaring, Jimbaran tahu-tahu telah
menikam ke dada si caping bambu, tetapi lawannya ini
dengan sigapnya mengelak dan berbareng itu pula sisi
tangannya telah menampar pergelangan tangan Jimba-
ran, sehingga dengan teriakan mengaduh, keris terse-
but telah terlepas.
Hal ini membikin si laki-laki bercaping bambu itu
bersenang sesaat. Hanya sayang, bahwa kegembiraan
itu cuma sesaat, sebab dalam gerakan yang gesit, Jim-
baran menggerakkan tangan kiri dan... hup! Kerisnya
yang terlepas tadi tertangkap lagi dan berpindah ke
tangan kiri!
“Hua, ha, ha, ha,” terdengar ketawa Jimbaran sam-
bil menimang-nimang kerisnya. “Bukalah matamu le-
bar-lebar. Kau berhadapan dengan Jimbaran, pende-
kar pilih tanding dari Gunung Batur! Apakah kamu
punya nama, sampai berani melawanku?!” Sesaat itu
pula Jimbaran bersuit dan beberapa orang meloncat
turun dari perahu asing yang telah merapat tadi.
Melihat ini semua, penumpang dari perahu pertama
serempak terkejut, kecuali Jimbaran sendiri.
Beberapa orang di antara mereka ada yang berte-
riak, “Perompak!”
Dan keruan saja keadaan di situ menjadi panik se-
ketika.
Sunutama dengan ketakutan berlindung di bela-
kang Ki Selakriya yang telah siap dengan sebilah ka-
pak kecil bertangkai agak panjang.
Sedang Wayan Arsana, diam-diam pula telah ber-
siap dengan sebilah keris yang dihunusnya dari pung-
gung. Meskipun ia jarang dan boleh dikatakan tidak
pernah berkelahi, tetapi melihat pengacauan ini, ia ti-
dak segan-segan untuk turun tangan.
Tiba-tiba terdengarlah ketawa yang menggelegar da-
ri salah seorang perompak yang baru saja turun dari
perahu asing yang telah merapat itu. Di tangannya ter-
genggam sepucuk pedang mengkilat yang ujungnya
agak melengkung ke depan.
“Hii, ha, ha, ha, ha. Bukankah kedatanganku ini te-
pat, Adi Jimbaran?!” seru si perompak yang berpedang
serta berwajah bengis itu. Giginya tampak kehitam-
hitaman. Dengan dua lobang pula yang menghias ke-
dua ujung telinga, menambah keangkeran dari wajah-
nya.
Jimbaranpun lalu ketawa girang.
“Bagus, Kakang Jembrana! Hari ini kita akan mem-
peroleh uang banyak-banyak!”
“Keparat! Jadi kau adalah komplotan dari perom-
pak-perompak busuk ini, hah?” seru Wayan Arsana se-
raya mengacungkan kerisnya ke arah Jimbaran.
“Heh, heh. Lihatlah, Kakang Jembrana,” ujar Jim-
baran serta menoleh ke arah samping. “Dialah si sau-
dagar kaya yang sombong. Duitnya banyak dan seben-
tar lagi akan kita kuras habis!”
Mata Jembrana bersinar-sinar mendengar tutur ka-
ta adik seperguruannya ini, lalu katanya kemudian,
“Ha ha, ha. Tapi kau pernah bilang pula bahwa si Wa-
yan kaya ini mempunyai harta yang lebih menarik?!”
“Itu benar, Kakang Jembrana! Istri dan anak gadis-
nya sangat cantik!” sahut Jimbaran disusul oleh keta-
wanya yang merentet memuakkan. Begitu pula Jem-
brana ikut tertawa.
Sebaliknya, Wayan Arsana terperanjat dengan Jim-
baran yang serba tahu itu. Maka tak habis-habisnya ia
menatap tajam mengawasi wajah Jimbaran.
Dan sesaat kemudian, Wayan Arsana berseru kaget.
“Heii, bukankah aku telah mengenal wajah dan
tampangmu itu?! Engkaulah bekas pelayanku yang
dulu minggat dengan membawa barang-barang ber-
harga kepunyaanku!”
“Akh, ternyata otakmu masih dapat berpikir baik.
Kuakui, memang akulah orang itu! Tahukah kamu,
bahwa aku sengaja menyamar dan menyelidiki tem-
patmu?!”
Tiba-tiba saja sebelum percakapan mereka dilan-
jutkan, terdengarlah seseorang berkata dengan lan-
tangnya, “Bagus, Jimbaran! Sekarang aku tahu siapa-
kah engkau sebenarnya!”
Baik Jimbaran sendiri, ataupun Jembrana serta re-
kan-rekannya yang lain pada terkejut kaget! Mereka
serentak memandang ke arah laki-laki bercaping yang
baru saja berkata dengan lantangnya itu.
Sebentar kemudian, mereka melihat betapa dengan
tenangnya laki-laki bercaping itu membuka caping ser-
ta meletakkannya di sudut geladak perahu. Sedang ke-
rudung kain batiknyapun ditanggalkannya.
Maka terlihatlah dengan jelas, siapa sesungguhnya
laki-laki itu.
Wajahnya masih tampan, meski telah kelihatan be-
rumur sekitar tiga puluhan. Sebilah keris terselip di
punggungnya. Ia mengenakan kain berbunga-bunga
berwarna emas sampai ke pangkal dada. Begitu pula
ikat kepalanya berwarna merah dengan bunga-bunga
berwarna emas.
Wajah Jimbaran dan I Jembrana sesaat menjadi
kaget, begitu pula Wayan Arsana dan orang-orang
lainnya.
“Kamu tak usah heran!” seru laki-laki tadi yang ba-
ru saja menanggalkan capingnya itu kepada Jimbaran
bersama rekan-rekannya. “Akulah Ngurah Jelantik
yang telah sekian lamanya mencari-carimu!”
Mendengar nama itu, hampir semuanya berseru ka-
gum. Sebab siapakah belum mengenal akan nama
Ngurah Jelantik, si pendekar kerajaan dari Singaraja?
Apalagi nama Jelantik adalah nama-nama yang ang
ker, yang hanya dimiliki oleh pendekar-pendekar sakti
dan gagah berani!
Merasa tanpa ada jalan keluar secara gampang,
Jimbaran serta I Jembrana, diikuti oleh rekan-rekan-
nya serentak menyerang ke arah Ngurah Jelantik dan
penumpang-penumpang lainnya.
Seketika itu pula terjadilah pertarungan seru di atas
geladak perahu tersebut. Untungnya di antara penum-
pang tadi tidak terdapat seorang wanitapun.
Ngurah Jelantik cepat bertindak. Sebelum para pe-
rompak itu merangsak para penumpang yang tidak ta-
hu apa-apa, ia telah melolos keris di punggungnya
yang panjangnya hampir satu lengan. Dan selanjutnya
ia menerjang ke depan, menyambut serangan Jembra-
na yang datangnya bagai kilat.
Sementara itu pula, serangan Jimbaran telah di-
sambut oleh Wayan Arsana. Keduanya menggunakan
senjata keris sehingga pertarungan mereka seimbang
tampaknya.
Di sebelah lain, Ki Selakriya bertempur dengan ka-
paknya melawan beberapa perompak anak buah Jem-
brana. Gerakan Ki Selakriya cukup tangkas dan ia se-
lalu berusaha melindungi Sunutama serta beberapa
penumpang lain.
Dalam pada itu, tiga orang awak perahu pertama,
berusaha sebisa-bisanya untuk ikut membantu Ngu-
rah Jelantik, Wayan Arsana serta rekan-rekannya da-
lam menghadapi serangan perompak-perompak tadi.
Bunyi gemerincing senjata beradu, teriak-teriak pe-
perangan serta bersimpang-siurnya gerakan manusia
yang lagi berperang itu benar-benar mengerikan. Tapi
memang begitulah seharusnya jika mereka tidak ingin
mati.
Bahkan bagi mereka yang tidak pernah berkelahi-
pun terpaksa mempertahankan diri dengan cara yang
sebisa-bisanya. Dorongan naluri untuk mempertahan-
kan diri memaksa mereka untuk bertempur melawan
para perompak tadi.
Angin sore yang bertiup kencang terasa menampar-
nampar kulit dan cahaya merah sang matahari mewar-
nai segenap permukaan air, dinding-dinding perahu
dan segenap penumpangnya lagi gigih dan sibuk ber-
tempur.
***
Pertarungan di geladak perahu semakin bertambah
dahsyat. Ngurah Jelantik yang harus menghadapi ter-
jangan I Jembrana tidak pernah sedikitpun merasa
gentar. Pedang lengkung I Jembrana berputar-putar
laksana badai mengamuk, mengurung setiap bagian
tubuh pendekar Ngurah Jelantik.
Memang hebat ilmu pedang dari Jembrana tadi. Da-
lam hati, Ngurah Jelantikpun memuji akan kehebatan
ilmu pedang lawannya yang jarang ada duanya.
Hanya saja lawan yang dihajar oleh ilmu pedang
I Jembrana ini, bukankah orang sembarangan. Nama
Ngurah Jelantik telah banyak dikenal hampir di sege-
nap daerah Pulau Dewata ini. Banyak sudah para pen-
jahat atau gerombolan-gerombolan perusuh yang di-
basmi olehnya sampai ludes.
Maka di saat ia harus menghadapi serangan-sera-
ngan I Jembrana sekarang ini, Ngurah Jelantik telah
mengetrapkan ilmunya “Layang-layang Menempuh Hu-
jan”, sehingga dalam sekejap mata saja, tubuh Ngurah
Jelantik telah meloncat kesana-kemari, menyelinap di
antara tebasan-tebasan pedang I Jembrana yang da-
tangnya bertubi-tubi bagai curahan air hujan.
Sampai sejauh ini, Ngurah Jelantik belum memba-
las dengan serangan. Ia cuma menyelinap dan me-
loncat kesana-kemari menghindari pedang Jembrana.
Hanya sekali-sekali saja ia menangkis dengan keris
panjangnya.
Memang sebenarnya, Ngurah Jelantik sedang me-
mancing kemarahan Jembrana, sebab ia sudah meli-
hat bahwa Jembrana mempunyai tampang orang yang
lekas naik darah. Dengan kemarahan seseorang, lebih-
lebih kemarahan yang meluap-luap, akan menyebab-
kan perhatian dan pemusatan pikiran menjadi buyar
serta hilang berantakan.
Begitu pula I Jembrana. Ketika ia merasa diperma-
inkan oleh lawannya, gerakan pedangnya ditumpah-
kannya semakin hebat, sehingga ujung pedang tidak
lagi tampak, tetapi yang kelihatan kemudian cuma ber-
kelebatannya sinar putih.
Ngurah Jelantik sekali lagi bermaksud menguji la-
wan. Entah bagaimana cepat dan caranya, sebab tahu-
tahu terjadilah adegan yang mengejutkan.
“Hiaatt!” teriak Jembrana dibarengi sebuah tikaman
maut ke arah dada lawannya dan kemudian dadanya
menjadi mongkok bangga begitu ia merasakan bahwa
ujung pedangnya telah menembus sasaran yang em-
puk.
Blesss!
“Mampus kowe, Jelantik!”
I Jembrana yakin bahwa Ngurah Jelantik akan se-
gera roboh terjengkang ketika pedangnya ini dicabut
kembali dari dada lawannya. Oleh sebab itu Jembrana
cepat-cepat mencabut kembali pedangnya. Namun
hampir saja ia berteriak ketika dirasanya bahwa pe-
dangnya sama sekali tak bergeming dan sukar ditarik
kembali.
Dan yang membuat lebih kaget lagi ialah ketika ke-
dua matanya menatap dengan jelas bahwa ujung mata
pedangnya bukannya menancap di dada Ngurah Jelan-
tik, tetapi cuma menelusup di antara ketiak lawannya
sebelah kiri.
Sesungguhnya hal ini memang disengaja oleh Ngu-
rah Jelantik untuk merontokkan semangat lawan.
Sambil tersenyum, pendekar dari Singaraja ini mem-
biarkan lawannya berkutat mencabut pedangnya kem-
bali.
Ketika keringat dingin mulai mengalir di leher
I Jembrana, Ngurah Jelantikpun merasa bahwa per-
mainan ini sudah cukup. Maka dengan gerakan tiba-
tiba, ia melepaskan pedang I Jembrana seraya kaki
kanannya mengait ke depan
Weet! Brukkk!
I Jembrana terjengkang jatuh ke belakang terdorong
oleh daya tariknya kembali, diiringi oleh jerit meng-
aduh.
Namun dasar dirinya telah memiliki daya tahan luar
biasa, maka secepat kilat iapun melenting berdiri kem-
bali dalam gerakan gesit, segesit belalang.
Sementara itu, Wayan Arsana tampak bertarung
sengit melawan Jimbaran dalam tataran yang seim-
bang. Keris mereka berseliweran saling mencari sasa-
ran tubuh lawannya.
Hingga sejauh itu masih belum ada tanda-tanda
bahwa Jimbaran akan sanggup menundukkan lawan-
nya. Wayan Arsana ini ternyata mampu bergerak lin-
cah seperti burung sikatan, melesat kesana kemari se-
tiap senjata Jimbaran mengancam dan kemudian me-
matukkan kerisnya bila ia melihat pertahanan yang
lowong dari Jimbaran.
Pada gebrakan kedua puluh, Jimbaran berhasil
menjegal Wayan Arsana, ketika musuhnya ini me-
nangkis serangannya.
Wayan Arsana jatuh terjerembab ke geladak, se-
mentara itu Jimbaran tidak membuang kesempatan
dan memburunya dengan tikaman mematikan.
Wuuusssttt... Craaak.
Jimbaran melotot matanya bila kenyataannya keris
tadi tidak menancap di dada Wayan Arsana, tapi me-
nancap pada geladak perahu. Sedang tubuh Wayan
Arsana telah berguling ke samping dua putaran sekali-
gus mengirim tendangan kaki dengan jitu.
Plaaakk!
“Aaaaugh!” Jimbaran terpelanting sambil menjerit,
begitu tendangan kaki Wayan Arsana menerjang peli-
pisnya.
Dengan terhuyung-huyung, Jimbaran bangun kem-
bali, tapi ia menjadi kaget sebab kerisnya masih me-
nancap dan tertinggal pada geladak perahu. Sedang-
kan Wayan Arsana telah berdiri mengancam dengan
kerisnya, membuat semangat Jimbaran seperti terbang
rasanya.
“Hmm, bangunlah dan cabut kerismu kembali. Aku
tak ingin melawan seorang yang tak bersenjata!” seru
Wayan Arsana.
Jimbaran menggeram marah seraya mencabut ke-
risnya kembali. “Terlalu sombong kau, keparat! Kini gi-
liranku! Haaiit!”
Seperti harimau luka, Jimbaran menubruk Wayan
Arsana dengan nekad, dan keduanya jatuh berguli-
ngan di atas geladak perahu.
Mereka saling mengancam dengan keris-kerisnya
sambil bergulingan dan tindih-menindih silih berganti.
Tiba-tiba Jimbaran menjerit parau seraya bangkit ber-
diri sambil menebahkan tangan kirinya ke atas dada-
nya yang mengucurkan darah segar.
Rupanya jerit Jimbaran tadi terdengar oleh I Jem-
brana, dan ia menjadi kaget seketika. Harapannya un-
tuk dapat menguasai perahu menjadi buyar.
Ia tak mengira sama sekali bahwa iapun menjumpai
tokoh tangguh Ngurah Jelantik ini.
Tiba-tiba I Jembrana mengibaskan tangan kirinya
dan belasan uang kepeng beterbangan ke arah Ngurah
Jelantik dengan suara bersiutan mendesing.
Tetapi secepat itu pula pendekar Singaraja tersebut
menggerakkan tangan kirinya membuat beberapa ge-
rakan memutar di udara dan sesaat kemudian le-
nyaplah belasan uang kepeng tadi dari udara.
I Jembrana seperti tak percaya melihat itu semua.
Kedua matanya makin membeliak begitu menatap ta-
ngan kiri Ngurah Jelantik yang dikembangkan. Bela-
san uang kepengnya yang dilempar tadi semuanya ter-
selip di antara celah jari-jari tangan kirinya.
“I Jembrana! Semua uangmu masih lengkap. Seka-
rang, terimalah kembali! Haah!” seru Ngurah Jelantik
sekaligus mengibaskan tangan kirinya ke depan se-
hingga uang-uang logam tadi menyambar kembali ke
arah pemiliknya semula, yakni I Jembrana. Keruan sa-
ja jagoan dari Gunung Batur ini kalang kabut berusa-
ha menghindari bahaya yang mengancamnya. Ia beru-
saha meloncat ke atas, tapi kurang cepat dan dua
buah keping uang logam masih sempat mengenainya.
Satu menyambar ikat kepalanya sampai lepas, sebuah
lagi menancap ke lengan kanannya sehingga pedang-
nya terlepas seketika sambil menjerit.
“Aaarghh!”
Kekagetannya tidak sampai di situ saja. Ketika ia
mendaratkan kakinya ke atas geladak perahu, menda-
dak saja keris Ngurah Jelantik menyambar di mu-
kanya, dan alangkah kaget serta malunya sewaktu ia
mendapatkan kumisnya telah terkupas separo.
I Jembrana makin sadar dan makin ngeri hatinya.
Sekarang tahulah ia, bahwa musuh yang dihadapinya
ini mempunyai banyak kelebihan daripada dirinya.
Merasa bahwa ia tidak lagi mempunyai harapan un-
tuk menang ataupun bertahan lebih lama lagi, maka
I Jembrana tiba-tiba bersuit keras memberi isyarat ke-
pada rekan-rekannya untuk lari meninggalkan tempat
itu. Rasanya memang itulah jalan yang paling tepat!
Melihat ini Ngurah Jelantik kaget dan cepat-cepat ia
berusaha mencegat lawannya, begitu juga Wayan Ar-
sana, Ki Selakriya dan beberapa tukang perahu, ber-
sama-sama ikut mengejar para perompak yang berlari
ke arah perahunya.
Namun sekonyong-konyong mereka melihat I Jem-
brana menggerakkan tangan kirinya dan membanting
sesuatu ke geladak perahu, disusul satu ledakan me-
mekakkan telinga berbareng tersebarnya asap menge-
pul ke udara yang berwarna hitam.
“Munduuurrr! Asap beracun!” teriak Ngurah Jelan-
tik kepada rekan-rekannya seraya menutup mulut ser-
ta hidungnya.
Dalam sekejap mata, asap beracun telah memekat,
mengaburkan pandangan dan menghalangi para pe-
ngejar. Karena mereka tidak mau mati konyol, seketika
pengejaran tadi dihentikan.
Dari arah kabut terdengarlah teriakan I Jembrana,
“Kalian unggul hari ini. Tapi jangan keburu bangga.
Tunggulah lain saat nanti!”
Ngurah Jelantik hanya dapat menggeretukkan gigi-
nya mendengar ancaman musuhnya tadi. Kalau hanya
menurutkan nafsu amarah saja, mungkin ia sudah
akan lari sendirian mengejar mereka.
Akan tetapi kemudian iapun insaf, bahwa musuh
dapat berbuat lebih leluasa dari balik kabut itu tanpa
dapat diketahui lebih lanjut oleh pihaknya. Dengan
demikian, tidak mustahil bila pengejaran itu dilan-
jutkan, musuh sudah siap memberondongkan senjata-
senjatanya sehingga akan menimbulkan banyak kor-
ban.
Untunglah Ngurah Jelantik sebagai pendekar yang
telah matang dan mengendap pribadinya mampu me-
ngekang amarahnya. Maka ia cuma berdiam diri, mem-
biarkan musuhnya itu lolos. Namun tak urung giginya
gemeretak menahan diri sedang matanya berkilat-kilat
seperti hendak menembus kabut hitam di depannya.
Beberapa saat kemudian, kabut tadi makin menipis
dan menghilang, tersaput oleh angin sore yang bertiup
kencang. Di saat itu juga tampaklah oleh Ngurah Je-
lantik dan rekan-rekannya, bahwa perahu perompak
yang semula merapatkan diri, kini telah berlayar men-
jauh, melarikan diri seperti anjing bercawat ekor kare-
na ketakutan.
Para penumpang perahu penyeberang itu masih
termangu-mangu di atas geladak sambil mengawasi
perahu perompak yang kabur, sedang senjata-senjata
mereka masih tergenggam di tangan.
Ki Selakriya masih menggenggam kapaknya dengan
noda-noda darah yang menempel pada mata kapak itu.
Begitu pula ujung keris Wayan Arsana masih ada be-
kas oleh darah.
Ternyata di atas geladak perahu, masih tergeletak
seorang anak buah I Jembrana dengan menderita luka
parah, sedang di sampingnya tergolek mayat seorang
perompak lainnya. Agaknya mereka tidak sempat dis-
elamatkan oleh kawan-kawan perompaknya yang ka-
bur tadi.
Di pihak Ngurah Jelantik, tiga orang penumpang
mendapat cedera kecil. Berbeda sekali dengan pihak
perompak. Menilik dari banyaknya ceceran-ceceran da-
rah yang banyak mengotori geladak perahu, bolehlah
dipastikan bahwa di pihak perompak banyak yang
menderita luka.
“Mereka telah kabur!” desah Ngurah Jelantik. “Kita
aman sekarang.”
“Untunglah Andika bersama kami,” ujar Wayan Arsana seraya menyarungkan kerisnya yang telah diber-
sihkan. “Jika tidak, mungkin kami telah bergelimpa-
ngan menjadi mayat.”
“Ah, janganlah Anda terlalu merendahkan diri,” ujar
Ngurah Jelantik. “Akupun kagum akan ketrampilan
Anda bermain keris. Kesemuanya itu adalah berkat
kerja sama kita dan juga berkat pertolongan para De-
wata.”
Wayan Arsana, Ki Selakriya serta penumpang-pe-
numpang lainnya mengangguk-angguk oleh kata-kata
itu. Dalam batin, mereka tidak menyangkal akan ke-
benaran ujar si pendekar Ngurah Jelantik dari Singa-
raja tadi.
“Saudara-saudara tidak perlu heran,” kembali Ngu-
rah Jelantik melanjutkan kata-katanya. “Aku telah
membuntuti Jimbaran sejak ia mulai menyeberang da-
ri Gilimanuk menuju ke Banyuwangi.”
“Aah, sungguh menarik tutur Andika ini,” ujar Wa-
yan Arsana kagum. “Aku tak menyangka bahwa Jim-
baran yang berwajah baik itu menjadi anggota dari
kawanan perompak.”
“Hmm, itu patut menjadi bahan renungan bagi kita.
Bahwa tidak semua yang buruk itu memiliki isi yang
buruk. Dapat pula bahwa sesuatu yang kelihatan baik
mempunyai isi yang buruk! Eeh, maaf jika kata-kataku
ini lebih mirip dengan pidato,” berkata Ngurah Jelantik
disertai batuk-batuk kecil bernada segan.
“E, e, e. Tak mengapa, Tuan,” sela Ki Selakriya ikut
berkata. “Sesuatu yang baik tidak perlu disembunyi-
kan, dan aku kagum dengan tutur kata Andika terse-
but.”
“Terima kasih,” balas Ngurah Jelantik seraya me-
mandang Selakriya dan mengamati kapak bertangkai
yang dipegangnya. “Eeh, Kisanak bersenjata kapak?
Dan Anda akan mengunjungi Pulau Dewata?”
“Dia sahabatku, Tuan,” sambung Wayan Arsana.
“Namanya Ki Selakriya, seorang pemahat yang cukup
terkenal. Aku bermaksud mengajaknya ke Pulau Bali
dan mengundangnya untuk mengerjakan pahatan-pa-
hatan di rumahku.”
“Mmm, saya pernah juga mendengar nama Kisanak,
dan beruntung bahwa sekarang saya dapat berjumpa
dan berkenalan dengan Anda,” berkata Ngurah Jelan-
tik seraya memperkenalkan diri kepada Ki Selakriya.
“Saya bernama Ngurah Jelantik dari Singaraja.”
Sesudah saling berkenalan dan sementara para pe-
numpang yang menderita luka-luka diobati, para tu-
kang perahu lalu kembali ke tempat tugasnya masing-
masing.
Kemudian, perhatian Ngurah Jelantik, Wayan Arsa-
na dan Ki Selakriya beralih kepada seorang anggota
perompak yang terluka parah dan tertinggal di situ.
Orang tersebut telah dirawat pula, meski harapan un-
tuk tetap hidup sangat tipis. Pada dadanya terdapat
bekas-bekas luka yang lebar dan cukup dalam. Kea-
daan sudah sangat lelah dan bicarapun sudah terlalu
sukar untuknya. Karenanya Ngurah Jelantik menjadi
cemas, sebab ia banyak membutuhkan keterangan da-
ri orang tersebut.
“Lekas kau katakan, siapa nama pemimpinmu? Je-
laskanlah pada kami, supaya dosa-dosamu menjadi ri-
ngan!” desak Ngurah Jelantik kepada orang yang luka
parah tadi.
Si perompak ini rupanya menyadari akan segala do-
sa-dosanya, dan setitik harapan untuk meringankan
dosanya telah timbul dengan pertanyaan Ngurah Je-
lantik tadi.
“Aku... ses... sangsi. Apakah... kal... kalian akan
mampu... meng... hadapi... nya,” ujar si perompak,
sambil sebentar-sebentar menyeringai menahan sakit.
“Nam... namanya... ialah... si... si Tang... si Tangan...
Iblis...! Hhh... hh....”
“Telah berlalu!” gumam Ngurah Jelantik pelahan.
“Dan dia telah menyebutkan nama yang menakutkan...
si Tangan Iblis!”
“Memang menakutkan!” sahut Wayan Arsana mene-
gaskan kata-kata sahabatnya. “Nama si Tangan Iblis
banyak membuat ciut hati orang-orang di pesisir barat
dan selatan Pulau Bali.”
“Itu tidak keliru. Si Tangan Iblis kabarnya memiliki
kesaktian yang luar biasa dan belum pernah ada lawan
yang masih hidup bila bertarung menghadapinya,” ujar
Ngurah Jelantik. “Oleh sebab itu para pembesar di Si-
ngaraja telah menugaskanku untuk menyelidiki si Ta-
ngan Iblis tersebut. Akh, masih panjang tugas ini un-
tuk diselesaikan, dan agaknya Andika berduapun ter-
tarik pula oleh hal ini.”
Wayan Arsana mengangguk. “Kami kagum begitu
melihat jurus-jurus gerakan dari tata kelahi Andika.
Berkeberatankah bila Anda mengajarkan beberapa di-
antaranya kepada kami?”
“Oo, dengan senang hati saya bersedia mengajar-
kannya. Tapi di manakah Anda tinggal?” Ngurah Jelan-
tik bertanya.
“Di sebelah timur Gilimanuk,” jawab Wayan Arsana
pasti. “Tuan dapat singgah dan menginap beberapa ha-
ri di sana sebelum kembali ke Singaraja.”
“Terima kasih untuk itu,” Ngurah Jelantik berkata
seraya mengeluarkan senyumnya.
Perahu penyeberang ini terus meluncur menuju ke
arah timur, setelah beberapa saat yang lewat mereka
telah meluncurkan ke air dua sosok tubuh tak bernya-
wa dari anak buah perompak I Jembrana.
Sang matahari telah mencium cakrawala barat dan
menarik sinarnya untuk bersama-sama tenggelam di
kaki langit sana. Daratan Pulau Bali telah tampak dan
mulai membayang di sebelah timur. Beberapa perahu
nelayan mulai tampak dan berpapasan dengan perahu
penyeberang yang ditumpangi Ngurah Jelantik, Wayan
Arsana, Ki Selakriya dan Sunutama.
Kini mereka dapat menarik nafas lega setelah pe-
nyeberangan ini melalui suatu bahaya yang hampir-
hampir merenggut nyawa dan menghancurkan me-
reka.
Pucuk-pucuk pohon nyiur yang semakin jelas tam-
pak berjejer di sepanjang pantai, seperti mengelu-elu-
kan, melambai ke arah perahu itu sebagai ucapan se-
lamat datang. Lampu-lampu perahu yang berkelip-
kelip digoyangkan oleh angin tak ubahnya sekawanan
kunang-kunang bertebaran di atas riak air dan gemer-
cik, menambah suasana keindahan yang tergambar
dari panorama senja di pantai Pulau Dewata.
Dari sana pula, terdengar sayup-sayup bunyi ga-
melan yang mengalun bersama angin senja, seperti
melambangkan pulau yang hidup dan selalu bergerak,
seirama gerak ujung tangan gadis-gadis yang menari
dan putaran mata yang lincah selalu.
***
EMPAT
GILIMANUK, sebuah kota bandar yang sangat ramai
di pantai barat Pulau Bali. Di setiap harinya tak ku-
rang belasan perahu yang menyeberang ke barat hilir
mudik menghubungkan antara Gilimanuk dengan Ba-
nyuwangi, sebuah kota di pantai timur Pulau Jawa.
Di sebelah timur Gilimanuk, sedikit di luar kota,
terdapatlah sebuah rumah yang megah dan berhala-
man luas. Sebuah dinding halaman masih belum selesai dikerjakan, demikian pula gapura, pintu gerbang
masuk ke halaman belum ada sama sekali,
Pada pagi itu, beberapa orang tampak berjalan-jalan
di halaman yang luas. Seorang di antaranya memegang
selembar kain putih bergambar dan ia membicarakan
sesuatu dengan tiga orang di sampingnya.
“Sungguh pantas dan tepat bila gapura itu diba-
ngun di sini,” ujar seorang berwajah tampan, mengula-
si terhadap gambar bentuk gapura yang tertera pada
lembaran kain tersebut. “Anda memang seorang pe-
mahat yang ulung, Ki Selakriya.”
“Tuan Ngurah Jelantik, apakah pujian tadi patut
untuk diriku yang kecil ini?” Ki Selakriya berkata me-
rendah diri.
“Heh, heh, heh. Aku berkata dengan setulus hatiku,
Ki Selakriya. Anda tak usah sungkan-sungkan,” sam-
bung Ngurah Jelantik.
“Jika demikian, aku mengucapkan terima kasih pa-
da Andika,” kembali berkata Ki Selakriya.
“Pujian Tuan Ngurah Jelantik tadi memang sudah
sepatutnya, Ki Sela,” ujar Wayan Arsana seraya mene-
puk bahu sahabatnya. “Anda telah berhasil mengga-
bungkan gaya-gaya pahatan Jawa dengan gaya paha-
tan dari Pulau Dewata ini. Dan inilah yang sebenarnya
saya maksud.”
“Kapankah gapura ini dapat mulai kita kerjakan?”
bertanya Ki Selakriya mengalihkan persoalan.
“Eh, jika Anda telah siap, besokpun dapat kita mu-
lai, Ki Sela,” kata Wayan Arsana dengan senangnya.
“Lebih cepat selesai, itu lebih baik. Apakah sudah An-
da catat segala kebutuhan-kebutuhan itu?”
“Semuanya telah tercatat dan sekarang anakku si
Sunutama tengah memesankannya.”
“Itu bagus, Ki Sela,” kata Wayan Arsana pula. “Na-
mun Anda harus pula menyisihkan waktu untuk setiap sore. Anda belum lupa bukan, bahwa Ki Ngurah
Jelantik akan mengajarkan beberapa jurus silat ke-
pada kita?”
“Akh, ya, ya. Seperti jurus gerakan Burung Layang-
layang menirukan beberapa gerakan yang pernah dili-
hatnya dari pendekar Ngurah Jelantik.”
“Heh, heh, he, he. Anda mempunyai ingatan yang
tajam, Ki Sela,” sahut Ngurah Jelantik dengan kehe-
ranan, begitu ia melihat bahwa Ki Selakriya mampu
menirukan gerakan-gerakan jurus silatnya dengan
baik. “Itu pertanda kalau Anda memiliki dasar-dasar
yang cukup matang.”
“Tuan Ngurah, apakah anakku si Sunutama diijin-
kan pula untuk ikut berlatih bersama kita?”
“Oo tentu, Ki Sela. Biarlah ia mengikutinya, sebab
ini memang perlu bagi seorang pemuda seperti dia.
Mempertahankan dan menjaga diri harus dilambari de-
ngan bermacam ilmu dan kepandaian.”
Wajah Sunutama yang berdiri di situ menjadi cerah
mendengar penuturan pendekar Ngurah Jelantik ter-
sebut.
“Heei, Sunutama. Jangan cengar-cengir melompong.
Lekas berikan hormatmu kepada pendekar Ngurah Je-
lantik yang akan menjadi gurumu!” ujar Ki Selakriya
kepada anaknya.
Tanpa menunggu perintah lagi dari ayahnya, Sunu-
tama segera membungkuk hormat ke hadapan pen-
dekar Ngurah Jelantik sebagai penghormatan seorang
calon murid kepada gurunya.
“Aah, sudah, sudah,” ujar Ngurah Jelantik seraya
menepuk bahu Sunutama. “Jangan terlalu dalam eng-
kau membungkuk, Nak. Tegaklah kembali. Engkau te-
lah kuterima sebagai muridku.”
Kesanggupan Ngurah Jelantik untuk melatih Wayan
Arsana, Ki Selakriya dan Sunutama tadi ternyata di
kerjakannya dengan baik dan cermat.
Dan begitulah, pada setiap sore sesudah mengaso
dari pekerjaannya, keempat orang tadi berlatih dengan
giatnya. Setahap demi setahap, sehari demi sehari,
Wayan Arsana bertiga telah diajari mulai dari langkah-
langkah dasar sampai ke tingkat yang harus dicapai.
Bagi Wayan Arsana ataupun Ki Selakriya, mereka
tak mengalami kesulitan apapun, sebab sebelum lati-
han itu, mereka telah mempunyai dasar-dasar yang
cukup matang, sehingga bekal tadi seperti minyak licin
yang mempermudah keduanya menerima segala pela-
jaran dari pendekar Ngurah Jelantik. Sedang Sunuta-
ma agak lain keadaannya. Dasar yang ada pada diri-
nya tidak seberapa, maka seharusnya ia akan banyak
mengalami kesulitan dan bekerja keras.
Untunglah bahwa Ki Selakriya dan Wayan Arsana
banyak memberikan petunjuk dan bantuannya, se-
hingga bagi Sunutama yang mula-mula mengalami ke-
sulitan-kesulitan, akhirnya dapat mengatasinya.
Juga berkat kerajinan Sunutama sendiri yang ka-
dang-kadang suka menekuni berlama-lama antara ge-
rakan ayahnya sendiri, gerakan Wayan Arsana serta
gerakan Ngurah Jelantik dan kemudian menggabung-
kannya sekali, menyebabkan dirinya memperoleh ilmu
gerakan dan jurus-jurus yang agak lain atau baru sa-
ma sekali.
Tentu saja pendekar Ngurah Jelantik inipun dibuat
tercengang oleh kemampuan Sunutama dalam mene-
rima pelajaran. Pada diri pemuda Sunutama ini, Ngu-
rah Jelantik seolah-olah dapat melihat dirinya sendiri
pada masa-masa usia belasan tahun.
Bahkan sesaat ia terkenang semasa mudanya se-
waktu ia belajar pada gurunya. Hampir saja ia menda-
pat marah dari sang guru karena ia mengolah sendiri
gerakan dan jurus-jurus gurunya dengan menggabungkannya dengan jurus-jurus dari luar perguruan.
Memang gurunya mempunyai peraturan yang keras.
Sebelum seseorang lulus, ia tidak diperkenankan men-
ciptakan jurus-jurus tersendiri.
Dan sekarang ini, ia hampir melihat hal tersebut
pada diri Sunutama, namun itu tidak menjadi persoa-
lan lagi baginya. Jaman telah berganti dan peraturan-
peraturan yang menghambat kemajuan tidak boleh di-
teruskan.
Tanpa terasa, Ngurah Jelantik telah hampir sebulan
tinggal di rumah saudagar Wayan Arsana. Sedang Ki
Selakriya pun hampir menyelesaikan separo lebih ga-
pura yang dipesan oleh Wayan Arsana.
Banyak orang yang mengagumi hasil pekerjaan Ki
Selakriya dan puteranya. Meski belum selesai seluruh-
nya, gapura tadi telah memperlihatkan kemegahan dan
keindahannya, hingga tak mengherankan bila ini ba-
nyak menarik perhatian orang-orang di daerah itu.
Selama ini diam-diam Ki Selakriya menaruh rasa
heran pada putranya sendiri. Ia tidak menyangka bah-
wa Sunutama memiliki semangat yang begitu hebat
dan tangguh. Pagi harus membantu ayahnya dalam
menyelesaikan gapura, dan sorenya berlatih tata kelahi
serta membela diri, bukankah pekerjaan ringan. Na-
mun toh itu dapat dikerjakan oleh Sunutama dengan
baik.
Kekaguman seorang tua kepada puteranya mem-
buat Ki Selakriya memperhatikan Sunutama lebih da-
ripada biasanya. Dan akhirnya orang tua itu mengeta-
hui sebab-sebab dari kemajuan puteranya.
Pada suatu sore, sebelum latihan dimulai, Ki Sela-
kriya berjalan-jalan untuk menghirup udara segar. Di-
tempuhnya jalan yang menuju ke utara, sebuah jalan
rintisan yang dinaungi oleh pohon-pohon sawo.
“Hmm, sejak pekerjaan berakhir, tak kulihat lagi
batang hidung Sunutama. Kemana anak nakal ini per-
gi,” begitu gerundal Ki Selakriya sambil melangkahkan
kakinya menempuh jalan rintisan tadi. “Kalau ia sam-
pai datang terlambat waktu latihan, ah, aku yang akan
mendapat malu di hadapan Tuan Ngurah.”
Jalan yang lagi ditempuh oleh Ki Selakriya sering
naik turun dan berbelok-belok. Rumput yang menghi-
jau, dedaunan yang bergoyangan terhembus angin ba-
nyak menghiasi sepanjang jalan itu.
Tiba-tiba, Ki Selakriya dibuat kaget oleh sebuah
percakapan manusia yang lamat-lamat terdengar dari
arah utara.
“Suara itu menuju kemari!” desis Ki Selakriya se-
raya meloncat ke tepi jalan, berlindung di balik seba-
tang pohon sawo dan semak-semak di bawahnya.
Orang tua ini berdebar-debar pula hatinya selagi
bersembunyi. Sebenarnya ia merasa tak ada perlunya
bertindak demikian tadi, tapi entah mengapa bahwa
nalurinya telah mengajak dia untuk meloncat dan ber-
sembunyi ke tepi jalan.
Suara percakapan dan ketawa terdengar saling ber-
ganti, menggambarkan suasana gembira dan kecera-
han hati.
Ketika dari arah utara Ki Selakriya melihat dua so-
sok tubuh yang berjalan berdampingan, ia semakin
membenamkan kepalanya ke balik semak-semak di
depannya untuk lebih hati-hati menyembunyikan diri.
Mendadak saja mulut Ki Selakriya ternganga kaget,
begitu juga kedua matanya melotot seperti tak mau
percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Ooh... bukankah itu Sunutama dan... Ni Made Ma-
ya?!” desis Ki Selakriya saking herannya. “Jadi mereka
telah saling bersahabat?!”
Ki Selakriya kini tahu dan segera dapat menebak
dengan sendirinya, bahwa gadis itulah yang memberi
dorongan semangat pada anaknya. Dan ini lebih meya-
kinkannya ketika ia mendengar percakapan kedua re-
maja tadi.
“Aku lebih senang jika Kakang sudi membawakan
bumbung tempat air ini setiap harinya,” terdengar
Made Maya berkata. Suaranya empuk dan diseling liri-
kan mesra membuat Sunutama kelabakan hatinya.
“Tentu aku merasa bahagia memenuhi permintaan-
mu ini. Tapi apakah ayahmu akan menyetujuinya pu-
la?”
“Eeh, mengapa tidak?” sahut Made Maya seraya
mencubit lengan Sunutama. “Apakah aku kurang pan-
tas untuk dirimu?”
“Aduuh,” desah Sunutama sambil menggenggam ja-
ri-jemari Made Maya yang mencubitnya. “Bukan itu
sebabnya. Tetapi ayahmu, paman Wayan Arsana, ada-
lah seorang saudagar kaya! Sedang aku?”
“Hah, itu lagi yang Kakang katakan. Bukankah Ka-
kang juga seorang pemahat yang berbakat? Dan ayah
juga senang kepada Andika,” ujar Made Maya sambil
memberengut, tapi tak urung warna merah jambu
mengembang pada pipinya.
“Cobalah engkau terus memberengut begitu, Adik
Made Maya,” berkata Sunutama menggoda. “Ternyata,
makin marah engkau makin bertambah cantik...!”
“Iih, Kakang selalu menggodaku... iih, ih...,” dengan
membanting-banting telapak kakinya ke tanah, gadis
itu menghentikan langkahnya dan berdiri merengut.
Dengan sedikit kebingungan, Sunutama berhenti
pula menanti Made Maya yang berhenti di tepi jalan.
Kalau semula ia bermaksud sedikit menggoda gadis
itu, kini dia sendirilah yang ketakutan.
Pelahan pemuda Sunutama menghampiri Made Ma-
ya, sementara tangan kanannya memetik sekuntum
bunga mawar merah dari semak batang pohon mawar
di tepi jalan itu. Dengan hati-hati, Sunutama menyi-
sipkan kuntum mawar tadi ke sanggul Made Maya dan
gadis ini membiarkannya.
“Adi Maya masih marah?” ujar Sunutama pelahan.
“Maafkan aku, ya....”
Made Maya tidak lagi merengut, tapi juga tidak ber-
kata kecuali membalas dengan senyum atas kata-kata
Sunutama tadi.
Melihat ini semua, Ki Selakriya berdebar-debar da-
danya. Bagaimanakah Sunutama sampai bisa intim
dan kenal dengan Made Maya, puteri dari Wayan Arsa-
na itu?
Tapi kemudian dapat diingatnya, bahwa setiap kali
Sunutama membantunya bekerja membangun gapura
itu, pasti dilihatnya Made Maya berdiri mengawasinya
dari kejauhan. Begitu pula gadis ini selalu ikut meng-
hidangkan makanan setiap hari di rumah Wayan Ar-
sana. Dan pada saat-saat demikian itulah rupanya ke-
dua remaja tadi saling berkenalan.
Ki Selakriya masih saja berdiam diri mengawasi ke-
dua remaja tadi dan mendadak saja didengarnya Su-
nutama berteriak nyaring, “Heei, siapa bersembunyi di
situ! Ayo, lekas keluar menunjukkan muka!”
Sambil berteriak tadi, Sunutama mengacungkan
tangannya ke arah selatan, ke arah di mana Ki Selakri-
ya bersembunyi.
Hal ini membuat Ki Selakriya kaget bukan main.
Hatinya bertanya-tanya sendiri oleh hal ini yang diang-
gapnya sangat keterlaluan.
“Heh, tentu dia telah mengetahui bahwa aku ber-
sembunyi di sini dan ancamannya tadi pasti ditujukan
kepada diriku!”
“Heei, lekas keluar! Apakah maksudmu bersembu-
nyi mendekam di sana. Awas, jangan sampai menung-
gu aku bertindak!” terdengar lagi Sunutama berteriak
mengancam.
Untuk kedua kalinya, telinga Ki Selakriya menjadi
marah mendengar teriakan anaknya itu, sebab bagai-
manapun juga ia merasa bahwa ancaman tadi benar-
benar ditujukan kepada dirinya.
Karenanya pula Ki Selakriya akan segera keluar dari
persembunyiannya agar Sunutama mengetahui bahwa
yang bersembunyi di situ adalah dirinya.
Hampir saja Ki Selakriya akan meloncat ke luar jika
dari arah sampingnya, kira-kira empat lima tombak
jauhnya, terdengar bunyi berkerosak berbareng melon-
catnya sesosok bayangan manusia.
Ki Selakriya terpaksa berdiam tetap pada tempatnya
karena sesungguhnya iapun kaget dengan munculnya
orang tadi.
“Heh, jadi selain aku, ada pula orang lain yang
mengintai Sunutama?!” gumam Ki Selakriya. “Biarlah
sementara aku tetap tinggal di tempatku. Jika keadaan
genting, baru aku keluar dari semak ini.”
Orang yang tadi meloncat keluar segera datang di
hadapan Sunutama sambil bertolak pinggang. “Hah,
rupanya engkau bermulut besar, ya! Sudah lama ku-
nanti-nantikan saat itu!”
“Sebab itu, segera katakan. Apa maksudmu yang
sebenarnya, dan siapa pula namamu?!” berkata Sunu-
tama.
“Baik. Ketahuilah, bahwa aku bernama Wasi Bera
yang seharusnya mengerjakan gapura rumah si Wayan
Arsana itu. Tapi si kaya itu tak mau membayar tinggi
dan terlalu kikir! Sekarang malah kau bersama ayah-
mu yang membuatnya!”
“Hmm, maaf, Kisanak. Itu bukan urusanku. Kami
tak tahu-menahu soal itu. Jika Kisanak gusar, bergu-
sarlah kepada Tuan Wayan Arsana.”
“Kau kuperingatkan! Jangan kau lanjutkan menyelesaikan gapura itu jika kalian masih menyayangi ji-
wamu!”
“Ehh, Kisanak mengancamku? Sayang, bahwa kami
bukan orang-orang pengecut,” ujar Sunutama dengan
tegasnya.
“Haa, kau akan pamer keberanianmu di hadapan
anak si saudagar kikir ini, heeh?!” Seru Wasi Bera di-
sertai mulutnya yang menyeringai mencemooh dan ta-
hu-tahu ia melesat mengirim satu tendangan ke arah
Sunutama. “Heeeaaatt!”
Made Maya berteriak kecil melihat serangan tadi
yang datangnya seperti kilat. Dalam saat yang bersa-
maan pula Sunutama berkelit dan menebaskan ta-
ngannya menyambut serangan kaki Wasi Bera.
Wesst. Plaaak!
Tangan Sunutama tergetar disertai tubuhnya ter-
huyung ke samping, sedang Wasi Bera sendiri terpe-
lanting jatuh di atas tanah dengan jeritan parau.
“Huaaaaduh! Kurang ajar! Kau membuat aku malu,
hah! Awas yang ini, hait!” Kembali Wasi Bera mener-
jang dengan pukulan tangan yang deras.
Sekali lagi Sunutama mengunjukkan diri dengan
satu loncatan ke atas, melambung bagai seekor bela-
lang menyongsong serangan lawan.
Wasi Bera kaget bukan main melihat sepak terjang
Sunutama tadi. Ia melihat bahwa kedua belah tangan
Sunutama menerkamkan jari-jari ke arah dirinya. Ma-
ka satu benturan dahsyat tak dapat terelakkan lagi.
Blaaarrr!
Seperti dua buah durian runtuh, kedua orang tadi
rebah ke tanah Sunutama, lebih dulu menapakkan
kakinya, sementara Wasi Bera jatuh meloso akibat
benturan yang cukup menggoncangkan tubuhnya.
Ki Selakriya yang melihat pertarungan tadi dari
tempat persembunyiannya menjadi kagum bercampur
dada berdentang-dentang. Dilihatnya kembali bahwa
Wasi Bera bangun dengan sempoyongan serta memaki-
maki.
“Kau bocah keparat!” sela Wasi Bera. “Tapi awas,
kuperingatkan kau sekali lagi, jika gapura itu kalian
teruskan sampai selesai, hari itu pula akan kuhancur-
kan bersama kawan-kawanku!”
Habis berkata begitu, Wasi Bera meloncat ke timur
meninggalkan tempat tersebut. Made Maya buru-buru
mendapatkan Sunutama seraya bertanya dengan sua-
ra terbata-bata. “Kakang mendapat luka?”
“Tidak, Adi Maya. Aku baik-baik saja.”
Ki Selakriya segera muncul pula, keluar dari tempat
persembunyiannya, membuat Sunutama bersiap-siap
kembali karena mengira bahwa musuhnya telah da-
tang lagi untuk bertarung.
“Ooh, Ayah!” seru Sunutama menjemput ayahnya
dengan perasaan kaget karena Ki Selakriya tidak da-
tang lewat jalan biasa, tapi meloncat dari semak belu-
kar di tepi jalan.
“Aku telah melihat semuanya, Sunutama,” berkata
Ki Selakriya dengan menoleh ke timur ke arah di mana
Wasi Bera meloncat dan hilang di antara semak-se-
mak. “Orang tadi tampaknya bersungguh-sungguh dan
sangat berbahaya.”
“Tapi bukankah ia telah melarikan diri, Ayah? Dan
tampaknya pula ilmunya tidak seberapa.”
“Hmm, kau harus bisa membedakan antara kalah
dan mengalah! Apakah engkau yakin bahwa Wasi Bera
tadi takut menghadapimu?”
“Ehh, jadi....?”
“Bisa juga dia baru memberi gertakan sebagai per-
mulaan. Dan mungkin juga ada teman-teman lain yang
menunggunya. Marilah kita periksa tempat di mana ia
melarikan diri,” ujar Ki Selakriya seraya mengajak pula
kepada Made Maya untuk ikut serta. “Ikutlah sebentar,
Angger Made Maya.”
Segera ketiga orang tersebut memeriksa tempat-
tempat yang dianggap mencurigakan, dan ternyata apa
yang dikuatirkan oleh Ki Selakriya itu patut mendapat
perhatian, sebab mereka mendapatkan jejak-jejak kaki
manusia di balik semak-semak.
“Lebih dari satu orang!” desis Sunutama kepada
ayahnya.
“Telapak-telapak kaki ini mempunyai ukuran yang
berbeda-beda. Jadi jelas bahwa semula ada beberapa
orang yang tinggal di balik semak-semak ini.”
Sunutama mengangguk melihat kenyataan yang
ada di hadapannya. “Jika demikian, hal ini harus dike-
tahui pula oleh Paman Wayan Arsana.”
“Memang begitulah seharusnya,” berkata Ki Selakri-
ya. “Karena persoalan ini sebenarnya adalah persoalan
Tuan Wayan Arsana dan akhirnya menyangkut pula
kita semua.”
“Marilah kita segera pulang, Paman,” Made Maya
menyela. “Ayah dan juga Paman Ngurah Jelantik harus
segera pula mengetahuinya.”
Ketiganya segera bergegas pulang melalui jalan yang
menuju ke arah selatan dengan langkah yang agak ter-
gesa kemudian membelok ke sebuah tikungan dan le-
nyap di balik kelebatan pohon-pohon sawo.
***
LIMA
APAPUN YANG TELAH diyakini akan kebenarannya,
tidak perlu dilepaskan hanya karena sebuah ancaman
yang bermaksud menggagalkan hal itu. Begitulah te-
kad Ki Selakriya dengan ancaman dari Wasi Bera beberapa hari yang telah lalu. Tanpa berubah semangat
dan daya ciptanya, Ki Selakriya dan Sunutama terus
menyelesaikan gapura gerbang dari rumah saudagar
Wayan Arsana. Apalagi setelah keduanya mendapat
banyak pelajaran dan gemblengan dari pendekar Ngu-
rah Jelantik, mereka lebih percaya akan kepercayaan
dan kekuatan diri pribadinya.
Hari bertambah hari makin sempurnalah hasil pe-
kerjaan Ki Selakriya berdua. Kekaguman dan pujian
banyak tertumpah kepada karya yang begitu indah
dan megahnya.
Maka tidak heran bahwa hasil karya tadi cepat
menjadi terkenal di daerah sekelilingnya dan ini pula-
lah agaknya mengapa Wesi Bera benar-benar menjadi
marah. Ia merasa disepelekan oleh Ki Selakriya. Anca-
man yang dahulu pernah diberikan kepada Sunutama
ternyata tidak memberikan hasil sama sekali. Dan kini
ia mengetahui bahwa gapura itu hampir selesai selu-
ruhnya.
Pada suatu pagi, ketika Ki Selakriya dan beberapa
orang pembantunya menghaluskan ukir-ukiran pada
pintu gerbang itu, tiba-tiba terdengarlah bunyi men-
desing dari arah timur, menuju ke arah mereka.
“Tiarap semua!” seru Ki Selakriya kepada orang-
orang di dekatnya dan ia sendiripun bertiarap.
Siingngng. Tjlaapp!
Sebuah anak panah menancap di dinding batu tak
jauh dari kepala Ki Selakriya bertiarap.
“Sungguh hebat!” desis Ki Selakriya. “Pasti dilamba-
ri oleh tenaga dalam yang luar biasa! Jika tidak, mana
mungkin anak panah ini bisa menembus dinding ba-
tu?”
Sunutama yang bekerja di sebelah lain segera berla-
ri-lari mendapatkan ayahnya, sebab dengan mendekati
penyelesaian pintu gerbang tersebut hati Sunutama
makin berdebar-debar mengingat ancaman dari Wasi
Bera.
“Apa yang terjadi, Ayah?” seru Sunutama seraya
mencabut anak panah tadi dari dinding.
“Seseorang mencoba menembakku dengan anak
panah itu!” Ki Selakriya bangkit dari tiarapnya dan
kemudian ikut mengamati anak panah tersebut.
“Ada suratnya!” desis Ki Selakriya dengan menun-
juk sebuah gulungan kain kecil yang terikat pada per-
tengahan batang anak panah.
Sunutama segera melepas gulungan secarik kain
tadi dan selembar surat segera didapatinya. “Ancaman
terakhir dari Wesi Bera!”
“Apa katanya?”
“Dia akan menyerbu kemari dan menghancurkan
segalanya, termasuk pintu gerbang dan kita semua!”
“Oh, dia sungguh sesat! Kasihan orang yang seperti
dia,” ujar Ki Selakriya pula.
“Wah, dia menyebut-nyebut nama Jembrana yang
akan membelanya!”
“Naa, jadi peristiwa di dalam perahu beberapa wak-
tu yang lalu, ternyata ada hubungannya dengan si Wa-
si Bera ini.”
“Mudah-mudahan Tuan pendekar Ngurah Jelantik
berhasil menghimpun kekuatan orang-orang di sini,”
Sunutama berkata dengan nada setengah kuatir dan
penuh harapan.
Kekuatiran kedua ayah beranak ini sudah tentu bi-
sa dimaklumi, sebab ancaman tersebut pasti akan
membawa korban yang tidak sedikit jumlahnya bila
pertarungan itu benar-benar terjadi.
Kadang-kadang Ki Selakriya mau menyesali dengan
menerima pekerjaan ini yang akhirnya membawa ma-
lapetaka. Namun Wayan Arsana sendiri telah menjer-
nihkan perasaan Ki Selakriya, bahwa sesungguhnya
dialah yang bertanggung jawab atas semua kejadian
yang bakal terjadi.
Demikianlah pada akhirnya, tiga hari kemudian, se-
lesailah pintu gerbang yang megah menghubungkan
sebuah dinding setinggi satu tombak yang mengelilingi
rumah saudagar Wayan Arsana dengan kukuhnya.
Ketegangan segera muncul ketika matahari semakin
bergeser ke kaki langit di sebelah barat. Di sana-sini
tampaklah orang berjaga-jaga dengan senjata di ta-
ngan, menanti setiap kemungkinan yang bakal terjadi.
Di dekat pintu gerbang, berdirilah Wayan Arsana,
pendekar Ngurah Jelantik, Ki Selakriya, Sunutama dan
beberapa orang lagi.
“Mereka telah berjaga-jaga,” ujar Wayan Arsana ke-
pada Ngurah Jelantik.
“Mudah-mudahan tidak akan mengecewakan,” sa-
hut pendekar Ngurah Jelantik dengan mengawasi dan
setengah menghitung terhadap orang-orang yang ber-
jaga di sekeliling. “Tadi telah aku terangkan lagi secara
singkat akan tugas-tugas mereka.”
“Jika Wasi Bera benar-benar melaksanakan anca-
mannya, maka dialah sebab dan pangkal segala mala-
petaka ini! Untunglah Andika berada di sini, jika tidak
entahlah nanti.”
“Menurut Ki Selakriya, si Wasi Bera juga menyebut-
nyebut nama Jembrana dalam ancamannya,” berkata
Ngurah Jelantik. “Ini menandakan bahwa kedua orang
tersebut telah bersekutu untuk memusuhimu.”
Tetapi percakapan mereka tiba-tiba terhenti karena
seorang penjaga datang ke hadapan mereka dengan
tergopoh-gopoh dan memberikan laporan.
“Tuan Wayan Arsana. dari arah selatan telah mun-
cul orang-orang berkuda menuju kemari.”
“Sekarang juga siapkan teman-temanmu!” ujar Wa-
yan Arsana. “Pukullah kentongan tanda bahaya.”
Maka sebentar kemudian berkumandanglah bunyi
kentongan tanda bahaya menggema di segenap pelosok
halaman dan rumah Wayan Arsana.
Debu berkepul-kepul mulai tampak di sebelah sela-
tan dan bergerak mendekati arah pintu gerbang yang
megah itu. Ketika makin bertambah dekat, segeralah
tampak orang-orang yang berkuda dengan kencang-
nya. Wajah mereka beringas seperti wajah para iblis
yang kelaparan! Begitu nyata kegarangan mereka,
mengerikan hati siapa saja yang melihatnya.
Di barisan depan tampaklah I Jembrana, disusul
oleh Jimbaran yang berdampingan dengan Wasi Bera.
Di belakangnya lagi terdapat tidak kurang dari dua pu-
luh orang berkuda yang berpacu seperti orang-orang
gila.
Ketika jarak mereka mencapai kira-kira sepuluh
tombak lebih dari dinding gapura rumah Wayan Arsa-
na, kuda I Jembrana tiba-tiba terjungkal roboh terpe-
rosok dalam lobang tanah. Disusul oleh kuda Jimba-
ran dan Wasi Bera dan dua orang lagi di belakang.
Namun dengan tangkasnya pula mereka berlima me-
loncat turun sebelum tubuh-tubuh mereka tertindih
oleh kuda-kuda tersebut.
“Tinggalkan kuda-kuda itu dan ikuti saya!” teriak
I Jembrana seraya menyerbu ke depan bersama sege-
nap anak buahnya. “Hancurkan rumah itu!”
Tetapi pihak Wayan Arsanapun tidak tinggal diam.
Mereka berloncatan keluar dari pintu gerbang me-
nyambut para penyerbu yang ganas itu, dan seketika
itu pula terjadilah pertempuran hebat.
I Jembrana segera menerjang ke arah Ngurah Jelan-
tik, musuh lamanya yang sangat dinantinya, sedang
Jimbaran meloncat ke depan Wayan Arsana dan me-
nyerangnya. Sementara itu Ki Selakriya telah mencegat
Wasi Bera berbareng Sunutama memimpin orang
orang untuk menghadapi para pengikut Jembrana.
Tempat yang semula sepi dan segar oleh angin sore,
kini penuhlah dengan teriakan dan jerit pertempuran
yang disertai oleh gemerincing senjata beradu.
Pedang Jembrana terus mengurung tubuh pendekar
Ngurah Jelantik tanpa sedikitpun memberi kesempa-
tan pada lawannya.
Pendekar Ngurah Jelantik terpaksa memeras keri-
ngatnya untuk menghadapi mata pedang Jembrana
yang selalu mengejar dan mematuknya.
Berkali-kali ia menghindar dan menangkis senjata
lawannya, sementara hatinya mengakui bahwa Jem-
brana kali ini jauh kelihatan lebih bebat daripada wak-
tu ia menjumpainya yang pertama kali.
Jimbaran yang melawan Wayan Arsana kelihatan
bertempur dengan sangat bernapsu dan ganas. Tika-
man kerisnya yang mematikan selalu mengancam si
saudagar.
Meskipun demikian, Wayan Arsana sangat cekatan
menjaga diri. Ia meloncat kesana-kemari dengan gera-
kan selincah burung sikatan, membingungkan lawan-
nya. Keris panjangnya mampu menusuk kesana-ke-
mari memapaki setiap senjata lawan yang selalu mem-
burunya.
Di sebelah lain, Ki Selakriya memutar senjata ka-
paknya menandingi pedang lebar di tangan Wasi Bera
yang selalu menebas mengeluarkan angin santer, dan
suara berdesing.
Apa yang ditemui oleh Wasi Bera sekarang, benar-
benar membuatnya kecewa. Kalau pada beberapa hari
yang lalu ia pura-pura melitikan diri seketika melawan
Sunutama, kini ia menghadapi lawan yang benar-
benar tangguh. Ia telah merasa menumpahkan segala
jurus-jurus dan ilmunya, tapi sampai begitu jauh toh
belum berhasil mendesak Ki Selakriya yang menjadi
lawannya.
Selain tiga lingkaran pertempuran tadi terlihat pula
satu kancah pertempuran yang bergerombol di dekat
pintu gerbang. Itulah pertempuran antara Sunutama
dan para penjaga melawan para anak buah Jembrana,
seolah-olah bagai dua gerombolan semut yang berta-
rung berebut sarang.
Ternyata Sunutama sangat pandai mengatur dan
memimpin para penjaga tadi. Bagai pagar besi, mereka
mendesak mundur penyerang-penyerang tersebut dan
di antaranya beberapa orang penyerang telah roboh
terluka parah.
Wasi Bera makin penasaran menghadapi lawannya.
Lebih-lebih ketika iapun sadar bahwa Ki Selakriya ada-
lah orang yang membangun gapura, yang seharusnya
dikerjakan dan menurut anggapannya orang itulah
yang menjadi saingannya.
Dengan begitu ia ingin membalaskan sakit hatinya
dengan merobohkan Ki Selakriya, sekaligus membu-
nuhnya. Begitulah akibat kesesatan yang dilambari
oleh rasa iri telah membutakan mata hati Wasi Bera
dan mata hati siapapun yang tidak waspada dan ma-
was diri.
Wasi Bera bertempur seperti orang kemasukan se-
tan. Tandangnya sangat ganas dan mengerikan, kare-
na didorong oleh kemarahan yang meluap-luap dan ra-
sa iri yang bercampur aduk menjadi satu.
Karenanya tidak mengherankan bila setapak demi
setapak Ki Selakriya terdesak oleh serangan-serangan
Wasi Bera yang datangnya bagai badai mengamuk.
“Ha, ha, ha. Sekarang tahu rasa kau, pemahat yang
sombong! Hari ini akan tamat riwayatmu bersama am-
bruknya pintu gerbang buatanmu itu!” seru Wasi Bera
seraya meloncat ke sana ke mari, mengejar gerakan Ki
Selakriya yang berusaha menghindar.
“Persetan!” geram Ki Selakriya “Kalau aku menjadi
dirimu, pasti akan malu karena sebagai seorang dewa-
sa kau masih ditempeli oleh perasaan kekanak-
kanakan!”
Mendelik mata Wasi Bera mendengar perkataan
musuhnya, maka seketika itu menyemburlah mulut-
nya menumpahkan segala kemarahan. “Setan alas!
Kau bilang aku masih bersikap kanak-kanak?!”
“Habis? Memang begitu sih kenyataannya! Kalau
kau mengaku dewasa mengapa berlaku setolol anak
kecil?” ujar Ki Selakriya.
“Kau masih berani mengatakan aku sebagai anak
kecil! Kau lihat kumisku ini, hah?!”
“Heh, mengapa dengan kumismu?!”
“Ini sebagai tanda bahwa aku telah lebih dari dewa-
sa, tolol!” bentak Wasi Bera sambil memutar pe-
dangnya, sampai mengeluarkan bunyi meraung.
“Hih, hih, seekor anak kucing pun sudah memiliki
kumis. Maka janganlah kumis dijadikan patokan un-
tuk pernyataan dewasa!” ujar Ki Selakriya semau-mau-
nya, sekedar menghibur hatinya yang merasa tegang.
“Gila! Sudah hampir mampus, masih berani berla-
gak! Mampuslah segera! Hiah!”
Satu lompatan secepat belalang disertai tebasan pe-
dang telah dilakukan oleh Wasi Bera dengan tiba-tiba
ke arah leher Ki Selakriya.
Weeesssttt!
Cepat sekali gerakan ini, namun Ki Selakriya bu-
kanlah orang tolol yang mau kehilangan lehernya! Ia
telah cukup mendapat gemblengan dari pendekar Ngu-
rah Jelantik dan di saat-saat yang berbahaya ini, ia ti-
dak pernah melupakannya! Maka begitu diserang seca-
ra tiba-tiba, kedua kakinya telah menjejak tanah dan
tubuhnya melenting ke atas.
Dua gerakan tadi telah dilakukan berbareng susul
menyusul dengan cepatnya, sehingga untuk panda-
ngan mata biasa akan sukar menangkapnya.
Sedang mereka sendiri tidaklah demikian. Malahan
sambil melenting tadi, kaki kanan Ki Selakriya meng-
gampar lengan kanan Wasi Bera yang menggenggam
pedang lebar.
Seketika Wasi Bera memekik kaget dan pedangnya
lepas dari jari-jarinya. Tapi dengan gerakan menga-
gumkan, tahu-tahu tangan kirinya telah menyambut
kembali pedang tadi, sekaligus ditangkiskan ke arah
kapak Ki Selakriya yang menyambar kepalanya dari
atas.
Traaangng!
Kedua senjata tersebut berbenturan keras dan ke-
dua orang ini terdorong surut beberapa langkah diser-
tai rasa nyeri pada telapak tangan mereka.
Tapi hebat si Wasi Bera. Sesaat setelah terpental ia
menerjang maju dengan membabatkan pedang lebar-
nya. Keruan saja Ki Selakriya seperti tercekat saking
kagetnya, dan ketika pedang lawan tadi menebas ke
arahnya, buru-buru ia menangkis dengan senjata ka-
paknya, meskipun ia belum siaga sepenuhnya.
Claaang!
Pedang lebar Wasi Bera menerjang kapak Ki Selakri-
ya dengan dahsyat, menggoncangkan tangan si pema-
hat sehingga untuk kedua kalinya Ki Selakriya terdo-
rong ke belakang.
Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Wasi Bera
maka secepat itu pula kaki kanannya mendupak pun-
dak Ki Selakriya, sampai lawannya terpekik dan tu-
buhnya terpental menggelinding di tanah diiringi oleh
gelak ketawa kemenangan Wasi Bera.
Ki Selakriya cepat-cepat berusaha bangun, namun
tiba-tiba terasalah bahwa pundaknya menjadi pegal
dan nyeri seperti dirambati oleh ratusan semut.
“Urat darahku terkena dupakan!” desis Ki Selakriya
dengan bergeleyoran dan akhirnya mendeprok duduk.
Sekali lagi ia mencoba bangun, namun tiba-tiba ia
terkejut ketika sebuah tangan halus berjari ramping
telah menahan pundaknya dari belakang.
“Biarlah engkau istirahat dulu, Paman Selakriya.
Amukan Wasi Bera akan kulayani,” terdengar pula su-
ara halus dan merdu, membuat Ki Selakriya seperti
dalam mimpi dan hampir-hampir tak percaya akan
pendengarannya tadi.
“Ooh, Andika... Andika...,” guguplah Ki Selakriya
begitu ia melihat siapa yang berdiri di belakangnya.
“Benarkah...?”
“Inilah aku, Paman Selakriya. Namaku Made Maya,
dan tentunya Andika tidak lupa, bukan?” ujar seorang
gadis yang berdiri di belakangnya dengan berpakaian
ringkas dan rambut disanggul rapi. Sebilah keris ter-
selip di punggung dan pada tangan kirinya tergantung
seuntai kalung rantai yang panjang dengan sebilah lo-
gam runcing seperti mata tombak.
Ki Selakriya masih saja melongo seperti orang gen-
deng, karena ia tak habis mengerti mengapa gadis se-
manis Made Maya yang selama ini hanya diketahuinya
suka bersikap manis dan lemah gemulai, kini akan
maju bertempur.
“Jadi Angger akan bertempur?” ujar Ki Selakriya
meyakinkan. “Si Wasi Bera itu bukan orang sembara-
ngan, Angger Made Maya.”
“Karena itu saya akan mengukurnya dengan tena-
gaku, Paman. Sementara itu Paman bisa memulihkan
tenaga.”
“Baiklah, Angger Made Maya. Tapi hati-hatilah
menghadapinya,” ujar Ki Selakriya sambil duduk bersi-
la untuk mengatur napas.
Begitu Made Maya disetujui oleh Ki Selakriya, maka
terus kakinya menjejak tanah dan melesat ke depan
mendapatkan Wasi Bera yang masih tertawa-tawa de-
ngan sombongnya.
Bahkan, begitu Wasi Bera melihat siapa yang da-
tang, ia terus saja membuka mulut, menggerendeng.
“Eeh, bocah ayu. Kau akan menyerahkan diri, De-
nok? Mari-mari, biar kugendong, kupondong pulang ke
rumahku dan menjadi istriku!”
“Kurang ajar! Kau ngawur, ngomong seenakmu sa-
ja!” teriak Made Maya. “Sebaiknya, sebelum mulutmu
mengomel lebih nyeleweng, rasakanlah senjataku ini!
Hyaaat!”
Wasi Bera seketika geragapan menerima serangan
Made Maya yang pertama, sebab ujung senjata rantai
gadis ini tahu-tahu telah mematuk wajahnya.
Untunglah Wasi Bera tidak kalah cepat gerakannya.
Sebagai murid Jembrana, ia tidak mudah digertak de-
ngan serangan pertama. Maka secepat kilat ia mem-
buang diri menggelundung di tanah, menjauhi lawan-
nya.
Sementara itu hati Wasi Bera tak habis heran ten-
tang ketangkasan dan keberanian Made Maya yang be-
rani turun ke gelanggang pertempuran.
Rupanya, Made Maya telah mempunyai perhitungan
tentang gerakan lawannya, sehingga ia tidak terkejut
sewaktu Wasi Bera menggelundungkan diri. Dalam ge-
rakan sebat ia terus berloncatan membuntuti Wasi Be-
ra sambil menghajarkan senjata rantainya ke arah la-
wannya yang lagi menggelinding.
Clap! Clap! Clap!
Begitulah ujung senjata rantai Made Maya yang
runcing tadi bertubi-tubi mematuk di dekat leher Wasi
Bera yang masih mujur bisa menyelamatkan diri de-
ngan berguling terus-menerus.
Akan tetapi, lama kelamaan Wasi Bera menjadi
jengkel sebagai sasaran senjata lawan yang masih te-
rus mengejar. Maka dengan tiba-tiba tangan kirinya
berkelebat ke arah Made Maya dan seketika itu juga
melesatlah empat buah pisau kecil ke tubuh si gadis.
Melihat itu, Ki Selakriya berseru dari jauh mempe-
ringatkan Made Maya yang juga telah waspada akan
gerakan lawannya, “Awas, Maya! Pisau-pisau terbang!”
“Heeiit!” sambil berseru Made Maya melenting ke
atas menghindari pisau-pisau terbang lawannya dan
kemudian ia menyampokkan senjata rantainya ke ba-
wah.
Traaang!
Pisau-pisau tersebut tersampok runtuh ke tanah
membuat pemiliknya berjingkrak kaget. Wasi Bera ter-
heran-heran, bagaimana mungkin senjata pisau ter-
bangnya ajaran I Jembrana bisa diruntuhkan oleh la-
wannya, seorang gadis pula?
“Ayo, Wasi Bera! Jangan termangu! Sambutlah kem-
bali seranganku ini!” terdengar teriakan Made Maya
mengiringi senjata rantainya yang menyambar ke arah
Wasi Bera.
Sedikit geragapan Wasi Bera cepat bersiaga kemba-
li, sementara serangan Made Maya datang seperti kilat.
Pedang lebar Wasi Bera segera menyambutnya. Teta-
pi... rantai berujung mata tombak tersebut seperti
bermata dan begitu ditangkis oleh pedang lebar Wasi
Bera, ia terus melentur ke atas lalu menyelonong me-
nyambar kepala lawan.
“Akh,” lenguh Wasi Bera seraya mengendap tanpa
mengira bahwa gerakannya kalah cepat dengan senjata
rantai Made Maya. “Celaka!” desis si Wasi Bera disusul
oleh bunyi menjambret dan teriakan tertahan, ketika
ikat kepala Wasi Bera kesambar lepas dari kepala dan
sebuah luka goresan telah menghias dahinya. Darah
segar menetes seketika.
Putus asa mulai melanda diri Wasi Bera setelah ia
mendapat cedera pertama dari lawannya. Kalau semu-
la ia hampir merobohkan dan membinasakan Ki Sela-
kriya, sekarang malah sebaliknya, ia hampir binasa di
tangan Made Maya si gadis ayu penolong Ki Selakriya
itu.
Justru keputus-asaan ini menimbulkan rasa nekat,
seperti naluri manusia pada umumnya, bila hidupnya
terancam maka timbullah semangat untuk memperta-
hankan hidup dan keselamatannya. Begitu pula Wasi
Bera, setelah ia merasa bahwa musuhnya mempunyai
tataran ilmu yang lebih tinggi dari dirinya, mengamuk-
lah ia dengan segenap tenaga.
Dengan melancarkan tebasan-tebasan pedang le-
barnya, ia mengamuk, menyambut Made Maya. Kini,
gerakan pedang lebar Wasi Bera berubah seperti gulu-
ngan badai sinar putih yang mengerikan. Bagi lawan
yang biasa saja, jangan diharap masih bisa bertahan
diri. Salah-salah, ia pasti akan tercacah seperti daging
adonan perkedel.
Namun gadis ayu Made Maya ini tidak bisa diang-
gap ringan. Tubuhnya berjumpalitan, meloncat kesa-
na-kemari menembus dan menyelinap gulungan sinar
pedang Wasi Bera, tak ubahnya segumpal asap yang
mengambang di udara, selalu lolos dari bahaya.
Wasi Bera makin merasa bahwa serangan-serangan
ini lebih bersifat menjaga diri dari serangan senjata
rantai Made Maya, sedang gadis yang menjadi lawan-
nya tadi sangat sukar dirobohkan. Entah, sampai be-
rapa lama ia mampu bertahan dengan cara begitu.
Di sebelah lain, terlihatlah pertempuran yang seim-
bang antara Wayan Arsana melawan Jimbaran. Kedua
orang ini telah menghabiskan belasan jurus, tetapi
sampai sekarang belum ada tanda-tanda siapa yang
bakal terdesak dan kalah.
“Hee, mengapa engkau tak lekas-lekas menyerah,
saudagar kikir?!” seru Jimbaran mengejek. “Serahkan
semua harta bendamu dan rumahmu yang bagus ini,
supaya kami bisa mengampuni kesalahanmu!”
“Eh, mengapa bukan engkau saja yang bertekuk lu-
tut di hadapanku?! Dosamu sudah cukup banyak,
pengkhianat Jimbaran!” jawab Arsana sementara ke-
risnya menangkis tikaman Jimbaran yang semakin
gencar datangnya. Sesaat terdengarlah gerundalnya,
“Rupanya Jimbaran telah membuka jurus-jurus in-
tinya!” pikir Wayan Arsana kemudian. “Biarlah ia me-
muaskan diri, sebab akupun belum mengeluarkan ju-
rus-jurus inti ajaran pendekar Ngurah Jelantik!”
Serangan keris Jimbaran ternyata memang gesit
dan tangkas. Berkali-kali Wayan Arsana menjadi terpe-
ranjat karena ujung keris Jimbaran selalu tiba-tiba
mengancam tubuhnya. Kadang-kadang tanpa tahu ge-
rakan tangan Jimbaran yang menyerang, tahu-tahu
keris lawannya itu telah menyelonong dengan mendes-
ing.
Inilah yang hebat. Jelaslah bahwa serangan Jimba-
ran mengandalkan kecepatan gerak, dan karenanya
pula Wayan Arsana tidak mau memandangnya dengan
sebelah mata.
Sesaat kemudian, Wayan Arsana melompat surut
dan memasang kuda-kudanya, berdiri dengan tegar
dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
“Ha, ha, ha. Keluarkanlah segenap kesaktianmu,
saudagar sombong!” seruan sombong Jimbaran terde-
ngar. “Hari ini kita akan membuat perhitungan habis-
habisan!”
Wayan Arsana menahan diri akan ucapan lawannya
yang terdengar memerahkan telinga, lalu sesaat kemu-
dian ia menginyarkan ujung kerisnya ke dada Jimba-
ran, seolah-olah sedang memilih tempat, kemana keris
itu harus ditancapkan.
Keruan saja Jimbaran malah tertawa melihat sikap
Wayan Arsana tadi. Bukankah jarak antara mereka
berdua cukup jauh, sedang ia sendiri telah me-
nyiapkan puncak ilmu kerisnya yang menggentarkan
hati. Maka, apakah yang harus dikuatirkan dari
Wayan Arsana itu?
“Hiaaat!”
Sambil berteriak keras, Wayan Arsana meloncat ke
depan beberapa langkah. Kerisnya membuat gerakan
bersilang.
Ini sangat mengagetkan Jimbaran. Dan belum lagi
ia sadar, terasalah seleret sinar menyentuh dadanya
disusul rasa sakit seperti kesambar petir.
Wreeettt!
Jagoan dari Gunung Batur ini membelalak, sebab
baju yang menutup dadanya sobek dan sebuah luka
menyilang tergores di situ.
“Peringatan terakhir, sobat!” seru Wayan Arsana
sambil meloncat ke samping. Keris di tangannya masih
basah oleh darah segar pada ujungnya. “Sebelum keris
ini benar-benar bersarang di dadamu, lebih baik me-
nyerahlah!”
Jimbaran tidak berani membuka mulut karena ia
belum habis kagetnya dengan dadanya yang terluka
tadi. Matanya nanar menatap lawannya, kemudian me-
lihat lingkaran-lingkaran pertempuran yang lain.
Di sebelah selatan, I Jembrana makin sibuk meng-
hadapi serangan Ngurah Jelantik yang gencar itu. Pu-
luhan jurus mereka telah bertempur dan Jembrana
masih melihat betapa Ngurah Jelantik masih bertubuh
segar tanpa menunjukkan tanda-tanda kelelahan se-
perti dirinya sendiri.
Pendekar dari Singaraja itu terus mencecar lawan-
nya, tanpa memberi kesempatan sedikitpun untuk
mengambil nafas ataupun beristirahat.
Dan tidak itu saja yang membingungkan Jembrana,
sebab selain tikaman-tikaman keris, tangan kiri dan
kaki Ngurah Jelantik ikut pula melancarkan serangan-
serangan dahsyat, seolah-olah anggota-anggota badan-
nya itu masing-masing mempunyai mata, sehingga di
mana kelihatan pertahanan Jembrana lowong, ke situ
pula tangan dan kaki Ngurah Jelantik menerjang.
Dua jurus berikutnya, tubuh Jembrana telah basah
oleh keringat dan rasa lelah telah mulai menyerang-
nya. Hal inilah yang benar-benar ditakutkan olehnya
sejak tadi.
“Aku harus melancarkan jurus terakhir dari ilmu
pedang ajaran Bapa Tangan Iblis! Jurus Karang Pecah
dari Bukit Kepala Singa ini harus kuhadapkan kepada
Ngurah Jelantik. Aku ingin tahu, apakah ia mampu
menahan jurus ini!” demikian gerundal Jembrana di-
ikuti tubuhnya meloncat ke samping.
Tangan kiri Jembrana menyilang di depan dada dan
tangan kanan mengangkat pedangnya tinggi-tinggi di
atas kepala. Bibir Jembrana kelihatan komat-kamit
mengucapkan sesuatu.
Mendadak saja, pedang di atas kepala tadi berputar
seperti pusaran air dan suara mendesing terdengar
menyerikan telinga.
Ngurah Jelantik terperanjat. Cepat-cepat ia menga-
rahkan tenaga dalamnya, bersamaan tubuh Jembrana
melesat ke arahnya, menebaskan pedangnya yang te-
lah bergerak dengan jurus sakti Karang Pecah.
Dalam detik yang menegangkan tadi, pendekar Ngu-
rah Jelantik menyilangkan kerisnya untuk menyong-
song tebasan ilmu pedang Karang Pecah lawannya tadi
dan sesaat kemudian terdengarlah bunyi benturan ke-
ras dan bunga api yang memercik.
Claaangng!
Tangan Ngurah Jelantik seperti terbakar api ketika
rasa panas dan getaran hebat merambat akibat bentu-
ran senjatanya melawan pedang Jembrana. Dan aki-
batnya, keris di tangannya terpelanting lepas lalu ter-
campak di tanah.
Melihat ini, bukan main gembiranya Jembrana. Ma-
ka mulutnya lantas tertawa terbahak-bahak seperti
orang mabuk.
“Haha, ha, ha. Nyatanya tidak seberapa tenagamu,
pendekar raja. Sekarang kau harus mampus di ta-
nganku keparat!”
Jembrana memang tak mau melewatkan kesempa-
tan yang lowong ini. Selagi lawannya bertangan ko-
song, masakan dibiarkan begitu saja. Apalagi setelah ia
tahu, bahwa Ngurah Jelantik masih bertubuh limbung
akibat benturan dengan tenaga pukulan pedangnya.
Maka inilah kesempatan baik buat merobohkan la-
wannya.
Namun sebenarnya, Ngurah Jelantikpun telah sadar
bahwa akibat dari benturan tadi tubuhnya terguncang
limbung, sehingga cepat-cepat ia mengerahkan tenaga
dalamnya untuk menolak lebih jauh akibat-akibat lain
yang bisa timbul.
“Mati kowe sekarang! Hiaah!” teriak Jembrana se-
raya menebaskan pedangnya ke tubuh Ngurah Jelan-
tik dengan hati yang mantap membayangkan bahwa
sekejap kemudian pasti tubuh lawannya akan sempal,
terbelah oleh pedangnya yang masih dilandasi oleh ju-
rus tebasan Karang Pecah.
Akan tetapi, mendadak saja Ngurah Jelantik mem-
buka mulut mengeluarkan jeritan keras sebagai lua-
pan rasa amarahnya. Dan ternyata jeritan tadi cukup
mempengaruhi pemusatan tenaga Jembrana. Maka di
saat itu pulalah, secepat kilat tangan kiri Ngurah Je-
lantik menangkis lengan kiri Jembrana dan tangan
kanannya mengirim jotosan keras ke dada Jembrana.
Bluukkk!
“Hoooeek!”
Jembrana terhenyak ke belakang dan pedangnya
terlepas jatuh. Ia sempoyongan menjauh dari lawannya
seperti ketakutan melihat hantu.
Dari mulut Jembrana mencerocos darah segar meng-
anak sungai mengalir ke luar meskipun kedua bibirnya
mencaprut, mengerinyut seperti hendak menahan da-
rah tersebut. Ia masih terus berjalan beberapa langkah
senggoyoran untuk kemudian jatuh terduduk mende-
prok dan mulutnya memuntahkan darah segar ke ta-
nah.
“Hooekk!”
Ngurah Jelantik segera memungut kerisnya kembali
dan membiarkan Jembrana duduk bersila mengatur
tenaganya yang telah punah, akibat luka dalam yang
parah setelah terkena pukulan Ngurah Jelantik tadi.
Sudah terang bahwa Jembrana menderita luka da-
lam dan untuk menyembuhkannya akan memakan
waktu yang lama. Di saat itulah ia akan mudah me-
nangkapnya dan menyerahkannya ke Singaraja.
Sementara itu, Jimbaran yang terluka oleh senjata
Wayan Arsana sempat pula melihat kakak sepergu-
ruannya mendeprok terluka dalam. Karenanya, sema-
ngatnya seperti terbang. Kalau kakak seperguruannya
saja telah terluka, apalagi sampai melontakkan darah
segar, rasanya sangat tipis untuk bisa memenangkan
pertempuran ini.
Sedang dia sendiri masih tangguh menghadapi Wa-
yan Arsana, meski dadanyapun telah terluka. Jimba-
ran kemudian telah mengambil keputusan nekat un-
tuk melancarkan serangan terakhir.
“Dia atau saya yang mati!” gumam Jimbaran. “Atau
lebih baik mati bersama!”
Sambil menggumam itu, Jimbaran mengambil an-
cang-ancang dan kakinya menjejak tanah. Tubuh Jim-
baran melesat ke depan seperti seekor garuda me-
nyambar dengan kecepatan luar biasa ke arah Wayan
Arsana. Di tangannya, sebilah keris telah siap meni-
kam lawan.
Sudah barang tentu Wayan Arsana tak membiarkan
diri, secepat kilat iapun melesat ke udara menyong-
song terkaman Jimbaran dengan kerisnya pula.
Maka sesaat itu tampaklah kedua orang itu saling
menyambar di udara, laksana dua ekor garuda yang
bertarung dengan senjata masing-masing siap di ta-
ngan.
Plaaakk! Bless!
“Aaargh!”
Yang terlihat sungguh hebat. Ketika tangan kiri
Wayan Arsana dapat menangkis keris Jimbaran, sece-
pat itu pula tangan kiri Jimbaran menggempur pundak
Wayan Arsana. Namun di saat itu pulalah Wayan Ar-
sana menghunjamkan kerisnya ke lambung Jimbaran
sekuat tenaga.
Keduanya kemudian jatuh di tanah seperti dua ekor
garuda yang patah sayapnya. Jimbaran jatuh terhem-
pas pada punggungnya, sedang Wayan Arsana masih
kuasa mendaratkan kakinya lebih dulu dengan sela-
mat.
Sambil menggerung merintih-rintih, Jimbaran me-
rangkak ke arah Jembrana yang masih duduk bersila
mengatur tenaga. Pada lambungnya masih tertancap
keris Wayan Arsana dengan darah yang menetes-netes
di sepanjang jalan.
Wayan Arsana sendiri masih berusaha untuk tetap
tegak berdiri, tapi tiba-tiba ia sempoyongan lalu ber-
sandar pada sebongkah batu. Dada dan nafasnya keli-
hatan tersengal-sengal dan terlihatlah darah mengalir
dari mulutnya.
Lingkaran pertempuran Made Maya cukup dekat
dengan tempat jatuhnya Wayan Arsana tadi. Betapa
sangat kagetnya ketika Made Maya mengetahui bahwa
ayahnya terluka dalam, dan kini bersandar pada se-
bongkah batu di dekatnya.
“Ayaah!” desis Made Maya dengan wajah yang mem-
bayangkan kecemasan. Betapapun tangguhnya hati
gadis ini dalam menghadapi lawan, tapi begitu melihat
ayahnya kena terluka hatinya serentak tergetar.
Tiba-tiba wajah Made Maya bersemu merah dan so-
rot matanya makin tajam ketika ia memaling ke arah
Wasi Bera.
Terdengar Made Maya menggeram dan ini membuat
Wasi Bera terperanjat ketika ia melihat perubahan si-
kap gadis ini.
Wasi Bera menjadi bergidik dan meremang bulu
tengkuknya, sebab di balik kecantikan wajah Made
Maya, ia seolah-olah melihat kegalakan seekor hari-
mau yang siap mencaplok dirinya.
Cepat Wasi Bera menyiapkan serangkaian perta-
hanan diri, ketika ia merasa bahwa sebentar lagi gadis
itu akan menerkam.
“Hiaatt! Kau tebuslah dosa-dosamu, Wasi Bera. Te-
rimalah ini!” teriak Made Maya seraya mencelat ke de-
pan menghajarkan senjata rantainya ke arah Wasi Be-
ra.
Wesss! Clanng!
Wasi Bera sekali berhasil menangkis serangan
ujung rantai lawannya. Tapi ternyata untuk kedua
kali, ketiga dan selanjutnya ujung rantai yang runcing
itu mematuk-matuk ke dadanya dan ia tak sempat
menangkis.
“Aaaaarrrggghhh,” Wasi Bera terlonjak ke belakang.
Pada dadanya terlihatlah lobang-lobang seperti lobang
lobang rumah lebah yang mengucurkan darah.
Sungguh mengerikan keadaan Wasi Bera yang da-
danya berlobang-lobang akibat terjangan ujung senjata
rantai Made Maya. Biarpun begitu, Wasi Bera masih
menyimpan tenaga terakhir. Ia lantas saja mengamuk
sebisanya asal saja pedangnya menebas-nebas ke arah
Made Maya, tanpa mempedulikan darahnya yang cero-
cosan keluar dari luka-lukanya.
Dalam saat yang bersamaan, Sunutama yang me-
mimpin para penjaga dalam mengusir dan melawan
perampok-perampok anak buah Jembrana, mengalami
kemajuan pula. Tiga orang lawan telah roboh tak ber-
nyawa dan beberapa lagi berkaparan terluka parah.
Tambahan lagi setelah mereka melihat bahwa pemim-
pin merekapun telah roboh dan terluka parah, sema-
ngatnya menjadi kendor, seperti kerupuk tersiram air.
Setapak demi setapak para penyerbu mengundurkan
diri.
Hampir boleh dipastikan, bahwa pihak Wayan Ar-
sana akan segera memenangkan pertempuran dengan
kehancuran di pihak para penyerbu.
Wasi Bera yang sejak tadi mengobat-abitkan pe-
dangnya kini makin merasa lelah, apalagi darahnya te-
lah banyak yang mengalir ke luar. Pandangannya telah
berkunang-kunang dan makin menggelap, untuk se-
saat kemudian iapun roboh terjungkal.
Cepat Made Maya berlari mendapatkan ayahnya
yang bersandar pada sebongkah batu, dan terluka da-
lam.
“Oh, Andika cedera, Ayah?!” seru Made Maya seraya
memeriksa tubuh ayahnya yang tersandar.
Wayan Arsana terbatuk-batuk dan tersenyum, lalu
berkata pelahan, “Tenanglah, Made Maya, aku cuma
terluka ringan. Tak apa-apa. Tapi... ehh, ngomong-
omong engkaupun pandai bersilat dan merobohkan siWasi Bera.”
Made Maya menunduk ke bawah. “Ekh, tadi cuma
sekedarnya, Ayah.”
“Heran. Heran,” gumam Wayan Arsana. “Dari mana
kau mempelajari ilmu silat dan bertarung sedemikian
hebat?”
“Dari... eh, dari...,” gerendeng Made Maya tak dilan-
jutkan.
“Dan juga engkau memiliki senjata yang aneh, Ma-
ya?” tegur Wayan Arsana kembali seraya menatap sen-
jata rantai yang tergenggam dalam tangan Made Maya.
Wayan Arsana lalu menebak-nebak, siapakah yang
mengajar dan membimbing anak gadisnya. Ia sendiri
tidak pernah menyuruh atau menyerahkan Made Maya
untuk dididik ilmu persilatan. Sehari-harinya ia hanya
mengetahui Made Maya membantu urusan rumah
tangga dan tindak-tanduknya gemulai penuh pesona.
Karenanya ia menjadi heran sewaktu ia menyaksikan
dengan mata kepala sendiri bahwa Made Maya mampu
bertempur dengan gesit dan tangguhnya.
“Dari mana, Nak, engkau mendapatkan semua itu?”
kembali Wayan Arsana bertanya kepada putrinya.
“Engkau katakan terus-terang, Nak. Aku tak akan ma-
rah, malah justru sebaliknya. Ayah akan merasa bang-
ga terhadapmu. Jika boleh aku ingin mengucapkan te-
rima kasih kepada gurumu.”
“Guruku... adalah...,” belum lagi Made Maya melan-
jutkan bicaranya, mendadak satu bayangan manusia
berkelebat hinggap di atas tembok pagar pekarangan
rumah Wayan Arsana.
“Hua, ha, ha ha! Bagus! Bagus! Teruskanlah ber-
tempur! Sebentar lagi tempat ini akan kubanjiri de-
ngan darah!” demikian bayangan manusia yang hing-
gap tadi mengumbar suara diseling dengan ketawa ber-
kakakan yang menggoncangkan dada. Dengan sombong dan bertolak pinggang ia berseru, “Hmm, Jimba-
ran dan Jembrana telah terluka parah. Juga Wasi Bera
telah menggeletak di sana. Heh, heh, heh. Cukup ter-
lambat, tapi tak apa-apa, sebab sebentar kemudian
nyawa kalian, para pengikut Ngurah Jelantik akan ku-
cabut sebagai pengganti murid-muridku yang telah ka-
lian robohkan!”
Ancaman itu benar-benar memukau seperti sihir
jahat yang mempengaruhi semangat seseorang. Sambil
kemudian menyapukan pandangan matanya ke bawah
ia berkata kembali. Suaranya keras.
“Kalian belum mengenalku, heei?! Inilah si Tangan
Iblis dari bukit kepala Singa!” Kemudian, sambil me-
nunjuk ke arah anak buah Jembrana, ia berseru, “Hee,
kalian lanjutkan pertempuran ini dan aku akan mem-
belamu! Mana Ngurah Jelantik? Mana Wayan Arsana
dan itu pemahat Selakriya yang berkurang-ajar terha-
dap anak muridku? Akan kurobek-robek mulutnya,
akan kupatah-patah tulang belulangnya!” begitu teria-
kan Tangan Iblis menggetarkan.
Mendengar ancaman tadi, tiba-tiba dua orang pen-
jaga menjadi panas hati, lalu cepat-cepat melesat naik
ke atas pagar tembok membabatkan senjata parangnya
ke arah Tangan Iblis yang masih bertolak pinggang.
Melihat dua orang lawan menghampiri dirinya, Ta-
ngan Iblis cuma mencibirkan bibir memandang ren-
dah. Sebegitu cepat kedua penjaga tadi menyerang, se-
cepat itu juga kedua tangan si tokoh yang menye-
butkan diri Tangan Iblis, telah berkelebat ke depan
berbareng.
Plak! Plak!
“Eaaargh!”
Kedua orang penjaga tadi terjengkang roboh berde-
buk di atas tanah dan masing-masing pada dadanya
tergambar sebuah telapak tangan yang kemerahan
hangus, sementara darah hitam kental meleleh dari
sudut bibirnya. Mereka telah mati!
Hampir semua yang melihat kejadian ini terhenyak
kaget bercampur ngeri. Bagaimana mungkin, bahwa
dengan sekali tepak, kedua orang penjaga tadi telah
mati! Tapi toh hal itu benar-benar terjadi di depan ma-
ta mereka sendiri.
Tiba-tiba Tangan Iblis telah melesat turun mener-
jang ke arah para penjaga lainnya.
Plaak! Plaakk!
Kembali Tangan Iblis melancarkan hempasan tela-
pak tangannya dan menyusul dua orang penjaga lain-
nya terpelanting roboh dengan menghamburkan darah
kental dari mulutnya. Sedang dada mereka terluka de-
ngan bekas telapak tangan si Tangan Iblis.
Sungguh hebat gerakan ilmu si Tangan Iblis itu,
dan malahan ia tertawa sinis ketika seorang penjaga
lainnya menyerangnya dari belakang dengan sebilah
tombak.
“Hyaat!”
Si Tangan Iblis cuma mengegoskan sedikit tubuh-
nya ke samping, sehingga tombak tadi menyelonong
menembus udara melompong.
Berbareng itu kedua tangannya beruntun.
Plaakk! Plak!
Tangan kiri menebas tombak sampai patah dan ta-
ngan kanan menggaplok punggung si penjaga yang
menyerang, sampai terdengar gemeretak seperti tulang
patah dan sebuah cap telapak tangan tertera di atas
punggung si penjaga yang malang.
“Hoooekk!” korban kelima terjungkal ke tanah de-
ngan melontakkan darah kental dan mati seketika,
tanpa sesambat.
Suasana jadi tegang dan mencengkam, seolah-olah
elmaut lagi menari-nari di situ mencari korban-korban
yang baru.
Matahari yang telah rendah benar masih menyinar-
kan sinar kemerahan, menimbulkan suasana makin
seram. Semuanya terkena cahaya merah jingga seperti
tenggelam dalam cahaya api neraka.
Melihat itu semua, menguatirkan akan jatuhnya le-
bih banyak korban pada pihaknya, Ngurah Jelantik
menggenjot kaki melesat ke arah si Tangan Iblis yang
masih mengamuk.
Seorang korban lagi jatuh digaplok oleh tangan
mautnya si Tangan Iblis tepat di saat Ngurah Jelantik
tiba di situ.
“He, he, he, berani benar kau menyambutku, heh!
Mau mengantar nyawa rupanya?!” seru Tangan Iblis
sambil mencibir. Wajahnya seram dengan hidung yang
melengkung seperti paruh burung dan kumisnya yang
lebat membuat Tangan Iblis benar-benar memiliki wa-
jah iblis.
“Akulah si Ngurah Jelantik!”
“Hooh? Jadi kaulah yang bernama Ngurah Jelantik
itu, pendekar sakti dari Singaraja. Pantas! Pantas! Ka-
lau begitu kaupun harus mampus!” Sambil mengakhiri
bicaranya, Tangan Iblis menggerung keras dan sebelah
tangannya lantas mengirim satu jotosan maut memati-
kan.
Untung Ngurah Jelantik cukup waspada. Ia me-
ngelit ke samping dan ganti ia menghajarkan tebasan
tangannya ke pundak Tangan Iblis.
Ternyata si Tangan Iblis ini sangat gesit, sebab me-
rasa diserang, ia buru-buru menarik diri memaling ke
arah lawan dan bersiaga. Tangan kirinya mengibas,
menangkis pukulan Ngurah Jelantik hingga terjadilah
benturan dahsyat yang tak terelakkan.
Ngurah Jelantik tergetar tangannya dan bergeser
dari tempatnya sejengkal sambil kemudian mundur
sempoyongan, tapi tak sampai roboh.
Melihat ini, si Tangan Iblis mau tak mau merasa he-
ran akan ilmu kepandaian yang dimiliki lawannya. Te-
lah beberapa lawan yang berani membentur tenaga
pukulannya akan roboh kehilangan tenaga, tetapi Ngu-
rah Jelantik ini ternyata lebih kebal.
Ketika lawannya sempoyongan, secepat kilat Tangan
Iblis menebahkan telapak tangannya ke kepala Ngurah
Jelantik! Inilah saat yang paling berbahaya bagi pen-
dekar dari Singaraja tersebut.
Dengan sebat Ngurah Jelantik menjatuhkan diri di
tanah lalu menggulingkan ke kiri. Tangan Iblis terus
mengejar dengan pukulan mautnya, sehingga tanah di
tempat Ngurah Jelantik berguling telah berlobang-
lobang setelah terhajar oleh tenaga pukulan tadi.
Tiba-tiba Ngurah Jelantik melesat bangun sesudah
tangannya menyambar sebilah pedang yang tergeletak
di situ.
Sebentar saja, pedang tadi telah diputarnya dan
berkali-kali melancarkan tikaman serta tebasan maut
ke arah Tangan Iblis.
“Heh, heh. Kau kira pedangmu bisa menggertak di-
riku? Sekarang lihatlah ini. Heup!” begitu berteriak,
kedua tangan si pendekar Tangan Iblis menyambut
bacokan pedang Ngurah Jelantik, kemudian menjepit
batang pedang tadi dengan kedua belah sisi telapak
tangannya.
Bagai disambar geledek kagetnya Ngurah Jelantik
setelah kena ditangkap pedang tersebut oleh lawannya.
Maka ia menggeram marah dan kedua tangannya ber-
kutat untuk mencabut kembali pedangnya.
Meskipun telah mengerahkan segenap tenaga, pe-
dang tersebut tidak bergeming sedikitpun, seolah-olah
terjepit oleh dinding baja.
Untuk melepaskan pedang tadi, terang Ngurah Jelantik tidak berani. Sebab dengan begitu dalam jarak
yang pendek lawannya akan bersenjata, sedang dia
cuma bertangan kosong. Dan bukankah ini sama de-
ngan menyerahkan nyawa ke hadapan si Tangan Iblis!
“Heh, heh, heh,” ketawa si Tangan Iblis dengan puas.
“Sekarang kau dapat berbuat apa, hah?!”
***
Sampai di sinilah selesai seri Naga Geni “Bukit Ke-
pala Singa” untuk Anda. Segera akan menyusul kepa-
da para pembaca, seri Naga Geni “Tragedi di Tengah
Kabut” yang tak kalah seru, romantis dan mencekam.
Akan Anda ketahui siapa sebenarnya si Tangan Iblis
dan bagaimana dengan Ngurah Jelantik yang sakti itu.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar