..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 26 Juni 2024

WIRO SABLENG EPISODE KELELAWAR HANTU

Kelelawar Hantu



 Kelelawar Hantu


PANTAI UTARA tampak tenang di penghujung 

sore. Di sebuah teluk yang lengang sekelompok 

burung-burung kelelawar terbang kian ke mari. 

Sebentar mereka terbang ke arah selatan, 

sesekali melayang ke timur atau ke barat dalam 

bentuk kelompok yang selalu berubah-ubah dan 

setiap perubahan mempunyai daya tarik 

tersendiri.

Angin laut bertiup menebar udara lembab 

mengandung garam. Seorang tua berwajah 

angker tampak duduk di atas sebuah batu 

hitam berlumut di tepi pantai. Rambutnya yang 

putih panjang sebahu melambai-lambai diitup 

angin. Kedua matanya terpejam sedang 

sepasang tangan dirangkap di depan

dada. Setiap saat ombak memecah di pantai 

dan menghantam batu berlumut itu, air laut 

muncrat membasahi tubuh dan pakaian 

bahkan terkadang sampai kemukaorang tua 

bertampang angker ini. Namun seperti tidak 

merasakan atau tidak perdu I i dia tetap saja 

duduk tidak bergerak. Sepasang matanya yang 

terpejam juga tidak berkedip sedikit pun dan 

rahangnya yang tertutup cabang bawuk liar 

terkatup rapat.

Di udara burung-burung kelelawar masihterus terbang berputar-putar. Di atas batu 

hitam berlumut, orang tua yang duduk seolah-

olah tengah bersemadi itu perlahan-lahan 

membuka kedua tangannya yang dirangkapkan 

di depan dada. Yang sebelah kiri diletakkan di 

atas paha kiri sedang yang kanan diangkat ke 

atas dengan telapak terbuka menghadap ke 

langit. Bibirnya yang berwarna hitam tampak 

bergetar. Agaknya ada sesuatu yang dilafat-

kannya. Mungkin sekali suatir mantera.

Ketika pergelangan tangannya diputar-

putar, di udara terjadi keanehan. Burung-

burung kelelawar yang tadinya melayang-layang 

di udara tanpa suara, kini terdengar mencuit-

cuit riuh sekali. Binatang-binatang itu tampak 

terbang kian ke mari secara liar berserabutan. 

Sesuatu telah membuat mereka berubah ganas!

Setelah beberapa lama hal itu berlangsung, 

orang tua di atas batu turunkan tangan 

kanannya

perlahan-lahan. Namun setengah jalan 

digerakkan cepat sepert orang menangkap 

sesuatu. Lalu tangan kanan yang kini 

tergenggam dipukulkan ke paha kanan.

Dari puluhan burung kelelawar yang 

terbang hiruk pikuk di udara, salah seekor di 

antaranya mendadak tampak menukik ke 

bawah seperti dibetot oleh satu kekuatan yang 

tak terlihat! Binatang ini jatuh tepat di 

pangkuan orang tua yang duduk di atas batu.Sesaat burung ini menggelepar-gelepar seperti 

hendak putus nyawa lalu diam tak berkutik 

seperti sudah mati! Hanya sepasang matanya 

saja tampak membeliak menyorotkan sinar 

menggidikkan, berwarna hitam pekat.

Sepasang mata orang tua di atas batu 

perlahan-lahan tampak bergerak dan membuka. 

Begitu terbuka kelihatanlah dua mata berwarna 

merah, membersitkan sinar aneh. Dua pasang 

mata saling bentrokan. Dua pasang mata saling 

beradu pandang. Yang pertama sepasang mata 

binatang, satunya lagi sepasang mata manusia 

yang menyala seperti bara!

Sekelumit senyum muncul di wajah orang 

tua itu. Senyuman ini justru membuat 

wajahnya jadi tambah menyeramkan.

“Bagus...”, terdengar si mata merah ini 

keluarkan suara di antara desauan angin laut. 

“Kau telah datang menghadapku, Datuk Teluk 

Ular! Bersiaplah menerima perubahan wujud! 

Bersiaplah menjalankan perintah!”

Selesai berucap orang tua yang menyebut 

dirinya sebagai Datuk Teluk Ular itu genggam 

kepala kelelawar dengan tangan kirinya. 

Mulutnya berkomat-kamit membaca mantera. 

Bersamaan dengan itu sekujur tubuhnya 

bergetar seperti kedinginan. Tapi anehnya dari 

ubun-ubun serta tangan kiri yang 

menggenggam kepala burung kelelawar tampak 

keluar mengepul asap tipis berwarnakehitaman.

Begitu mantera selesai dibaca, asap hitam 

mulai menipis dan akhirnya lenyap sama sekali. 

Lalu perlahan-lahan orang tua bertampang 

angker itu buka genggaman tangan kirinya. 

Terlihat kepala kelelawar telah berubah menjadi 

satu makhluk mengerikan. Bukan saja kepala 

binatang menjadi dua kali lebih besar dari 

semula, tetapi telinganya pun menjadi lebih 

panjang sedang sepasang matanya yang tadinya 

berwarna hitam pekat, kini telah berubah 

menjadi merah menyala laksana bara api! Di 

ujung-ujung bibirnya mencuat keluar sepasang 

taring panjang yang sangat runcing! Sayapnya 

lebih lebar dan lebih panjang!

Datuk Telur Ular menyeringai puas.

“Wujudmu telah berubah. Apakah sudah 

siap menjalankan perintah?!”

Seperti manusia yang mendengar dan 

mengerti ucapan si orang tua, burung kelelawar 

di atas pangkuan itu membuka mulutnya dan 

keluarkan suara mencuit tiga kali berturut-

turut.

“Bagus!” ujar Datuk Teluk Ular. 

“Kesiapanmu harus kuuji! Lihat burung-burung

kelelawar yang beterbangan di udara sana. Tadi 

mereka adalah kawan-kawanmu. Tapi sekarang 

tidak. Mereka adalah musuh-musuhmu! Bunuh 

mereka semua! Jangan biar satupun hidup! 

Bunuh dengan taringmu, dengan hantamansayapmu serta dengan kuku-kukumu yang 

panjang!”

“Cuit...cuit... cuit!” Burung kelelawar di atas 

pangkuan menyahuti. Sepasang matanya 

tampak lebih menyala dan keseluruhan wajah 

binatang ini membersitkan hawa pembunuhan!

“Lakukan!” Datuk Telur Ular memerintah.

Kelelawar yang tadi rebah itu melompat 

bangkit, buka mulutnya memperlihatkan 

barisan gigi dan taring yang runcing, 

rentangkan sayap lalu menguik keras. Dilain 

kejap werrr...binatang

ini melesat ke udara seperti anak panah. 

Sesaat kemudian dia sudah mencapai kelompok 

kelelawar yang masih terbang berputar-putar di 

atas teluk. Dan terjadilah satu hal yang hebat.

Kelelawar yang telah berubah wujud ini 

menyerang puluhan kelelawar yang terbang di 

udara. Dengan ganas dia menggigit, merobek 

tubuh kawan-kawannya, mencakar dan 

menghantam dengan sayapnya. Kelompok 

burung-burung kelelawar itu menjadi kacau 

balau. Satu demi satu mereka melayang mati 

jatuh ke dalam laut. Ada yang mencoba 

melarikan diri namun tak sempat jauh karena 

kelelawar yang berubah wujud itu menyergap 

dengan cepat dan membunuhnya.

Hanya sebatas hitungan sembilan puluh, 

seluruh kelelawar yang ada di teluk itu akhirnya 

menemui ajal. Kelelawar pembunuh sesaatterbang berputar-putar dengan mulut, sayap 

dan kuku berlumuran darah. Ketika di bawah 

sana dilihatnya Datuk Teluk Ular mengangkat 

tangan memberi tanda, binatang ini segera 

menukik turun dan hinggap kembali di atas 

pangkuan sang datuk.

“Kau tidak mengecewakan! Benar-benar 

tidak mengecewakan! Kelelawarku, ketahuilah 

bahwa kau kini bukan termasuk mahluk 

binatang, bukan pula bangsa manusia! Kau 

tergolong dalam kelompok mahluk halus! 

Segolongan dengan para jin, iblis setan dan 

hantu! Karena itu kau akan kuberi nama 

Kelelawar Hantu!”

“Cuit — cuit — cuit —!” Kelelawar di atas 

pangkuan menyahuti.

“Tetapi ujianmu tadi masih belum cukup! 

Kau telah membunuh binatang sejenismu! 

Namun perlu kusaksikan bagaimana kau 

membunuh manusia!”

Kelelawar Hantu kedip-kedipkan kedua 

matanya yang merah seolah-olah siap 

menunggu perintah. Datuk Teluk Ular 

memandang berkeliling. Mulutnya menyeringai.

“Kau lihat tiga orang nelayan yang baru saja 

naik ke atas biduk di sebelah sana...? Bunuh 

mereka!”

“Cuit... cuit...cuit!”

Kelelawar Hantu melesat di atas permukaan 

laut menuju ke sebuah perahu yang ditumpangitiga nelayan dan baru saja meninggalkan 

pantai. Korban pertama adalah nelayan tua 

yang duduk di sebelah belakang perahu. 

Lehernya menyemburkan darah begitu taring 

runcing Kelelawar Hantu, mengorek 

tenggorokannya dan memutus urat besar! 

Orang tua ini menjerit lalu roboh!

Anak nelayan tua ini yang duduk di bagian 

tengah perahu berseru kaget. Siapa yang akan 

menduga kalau seekor kelelawar aneh seram 

tiba-tiba muncul dan menyerang dengan ganas.

“Binatang celaka!” teriak nelayan muda itu 

dengan marah. Pendayung di tangan kanannya 

langsung dipukulkan pada kelelawar. Sesaat 

lagi pendayung kayu itu akan menghantam 

pecah kepala kelelawar, binatang ini tiba-tiba 

melesat ke samping lalu dengan cepat sekali 

membalik menyerang nelayan muda itu dengan 

hantaman sayap kirinya.

Wuut...!

Sayap menderu, sama derasnya dengan 

sambaran kayu pendayung. Hanya bedanya, 

kalau waktu diserang tadi kelelawar itu mampu 

mengelak, sebaliknya nelayan muda tidak bisa 

selamatkan diri.

Pelipis kanannya tampak rengkah. Pemuda 

malang ini langsung ambruk, terkulai di 

pinggiran perahu. Dari mulutnya terdengar 

suara erangan, lalu diam. Tak terdengar apa-

apa lagi pertanda ajalnya sudah sampai.Nelayan ketiga, yang duduk di sebelah muk» 

menjadi pusat pasi ketakutan. Dia jatuhkan diri 

dan berlindung di balik gulungan jala ketika 

kelelawar itu terbang berputar-putar dan 

menyerangnya dari arah kiri.

Wuutt!

Sayap kelelawar membabat laksana 

sambaran pedang.

Nelayan itu menjerit ketakutan. 

Dirasakannya telinga kanannya perih sekali. 

Ketika dirabanya ternyata daun telinganya telah 

putus! Ketakutan setengah mati nelayan ini 

segera menyambar pendayung dan mengayuh 

perahu itu kembali ke pantai. Tetapi kelelawar 

Hantu datang lebih cepat, Kali ini binatang itu 

datang lurus-lurus dari arah depan. Sayap 

terpentang, moncong terbuka lebur dan suara 

cuit-cuit keluar tak putus-putusnya dari 

mulutnya yang bercelemong darah!

Ketike kelelawar mencapai jarak sepejang-

kauan, nelayan itu lemparkan kayu 

pendayungnya. Namun lemparannya meleset.

“Cuit... cuit...” Kelelawar Hantu tampak 

ganas. Kini kaki-kakinya terulur ke depan 

seperti hendak mencengkeram. Nelayan 

jatuhkan dirinya sama rata dengan lantai 

perahu. Tangan kanannya menyambar 

gulungan jala. Sesaat lagi kelelawar itu sampai 

di depannya, nelayan ini lempar dan tebar jala 

ikannya ke atas. Kelelawar Hantu terjerat dantergulung dalam jala ikan!

“Cuit... cuit... cuit...!”

Kaki, sayap dan taring bergerak kian 

kemari. Di lain kejap jala ikan yang kokoh itu 

robek berputusan. Begitu keluar dari dalam 

jala, binatang itu langsung menyerbu dan kali 

ini tidak memberi ampun. Cakaran kaki-

kakinya merobek wajah nelayan yang malang 

itu. Darah mengucur mengerikan. Terdengar 

jerit sang nelayan, panjang mengenaskan. 

Kedua tangannya ditekapkan ke wajahnya yang 

hancur. Darah mengucur. Tak dapat menahan 

sakit, nelayan ini berteriak keras dan 

menghambur ke dalam laut. Tubuhnya 

mengapung sesaat lalu lenyap tenggelam ke 

dalam laut.

“Cuit... cuit... cuit!” kelelawar Hantu 

keluarkan suara melengking. Berputar tiga kali 

di atas perahu lalu melesat ke selatan menuju 

batu hitam berlumut dimana Datuk Teluk Ular 

menunggu dengan menyeringai puas.

“Luar biasa! Kau menghabisi tiga nelayan 

itu lebih cepat dari yang kuharapkan!” kata 

Datuk Ular sambil mengusap-usap punggung 

kelelawar yang hinggap di pangkuannya. 

“Pekerjaan kita hari ini selesai. Kau ikut aku 

pulang ke rumah! Kita siap menunggu para 

tetamu yang bakal membawa harta dan uang! 

Ha... ha... ha...! Rezeki besar menunggu kita 

Kelelawar Hantu! Ha... ha... ha...!


2


SIANG ITU udara terasa panas walau di teluk 

turun hujan rintik-rintik dan angin bertiup 

keras. Penunggang kuda berbelangkon hitam 

berhias bintang perak yang disematkan di 

sebelah depan belangkon memandang seputar 

teluk. Laut... pantai dan pasir, ombak yang 

memecah, lalu deretan pohon-pohon kelapa 

diseling semak belukar liar. Sama sekali dia 

tidak melihat bangunan di sekitar situ.

“Petunjuk mengatakan ini adalah Teluk 

Ular. Orang yang kucari diam di sini. Tapi di 

mana? Tak ada bangunan. Tak ada sepotong 

manusia pun!”

Orang berkuda itu mengusap tengkuk 

tunggangannya sementara seekor kuda 

cadangan yang dibawanya tegak diam di sebelah 

kiri, hanya telinga binatang ini saja yang 

tampak bergerak-gerak. “Akan kuselidiki ke 

arah pedalaman sana...” Penunggang kuda itu 

memutuskan. Lalu dia memacu kuda 

tunggangannya melewati pepohonan kelapa, 

menerjang semak belukar pendek. Sekira 

sepeminuman teh dia menemui sebuah 

kampung kecil. Pasti kampung nelayan. Namun 

tak seorang pun ditemuinya di sana. Melihat 

keadaan kampung itu, tampaknya sudah sejaklama ditinggalkan penghuninya. Beberapa buah 

perahu kecil yang lapuk dimakan usia 

menggeletak di halaman rumah-rumah yang 

hampir roboh.

“Ke mana penghuni kampung ini... Tak ada 

orang, tak ada tempat bertanya!” Baru saja 

penunggang kuda ini berucap dalam hati begitu 

rupa tiba-tiba terasa ada angin menyambar di 

sisi kiri. Kuda cadangan meringkik keras. 

Berpaling ke kiri si pemilik kuda melihat di atas 

punggung kuda cadangannya telah duduk 

seorang lelaki tua tak dikenal, berpakaian 

rombeng penuh tambalan, menyandang sebuah 

tas yang terbuat dari tikar. Sebatang rokok 

kawung terselip di sela bibirnya.

Orang tua tak dikenal ini hembuskan asap 

rokok kawungnya lalu menyeringai lebar pada

lelaki berbelangkon hitam.

“Anak manusia berbelangkon dan 

berpakaian bagus, muncul dengan membawa 

dua ekor kuda tegap yang dapat berlari 

kencang! Kelihatannya kau tengah mencari-cari 

sesuatu atau seseorang. Apa atau siapa yang 

sedang kau cari heh...?”

“Pasti inilah orang yang kucari!” pikir si 

penunggang kuda. Hatinya gembira karena 

jauh-jauh datang akhirnya berhasil menjumpai 

orang yang dicari. “Orang tua, kau pasti Datuk 

Teluk Ular...”

Si tua berbaju rombeng kembalimenyeringai dan kepulkan asap rokok 

kawungnya. Dia tidak menjawab perkataan 

orang melainkan balas bertanya: “Anak 

manusia, siapa dirimu dan datang dari 

mana...?”

“Aku Lor Ametung, Kepala Desa Babakan di 

Tanjung Selatan. Aku datang jauh-jauh 

mencarimu untuk meminta pertolongan

“Hemmm... begitu?” ujar si baju rombent; 

“Tapi kau keliru anak manusia!”

“Keliru bagaimana...?”

“Aku bukan Datuk Teluk Ular yang kau 

cari...!”

Lor Ametung jadi kaget dan menatap lama 

pada si orang tua yang duduk di punggung 

kuda miliknya. “Gerak-geriknya aneh, sikapnya 

jelas menunjukkan dia menyimpan kepandaian 

tinggi Mungkin sekali dia sengaja hendak 

menutupi kalau dirinya bukan Datuk Teluk 

Ular...Orang sakti selalu bersikap aneh! Akan 

kucoba sekali lagi!” Maka Lor Ametung kembali 

berkata. “Aku datang dari jauh. Tidak mungkin 

keliru kalau ini bukanlah Teluk Ular. Juga tidak 

mungkin keliru kalau kau adalah Datuk Teluk 

Ular, orang yang memiliki peliharaan seekor 

kelelawar sakti!”

“Kelelawar sakti! Ah...Sudah lama aku 

mendengar nama binatang itu. Lebih terkenal 

dengan sebutan Kelelawar Hantu. Bukan begitu 

...?”“Benar. Dan kau, bukankah kau pemilik 

dan pemeliharanya?”

“Sudah kubilang. Kau keliru anak manusia! 

Aku bukan Datuk Teluk Ular. Aku bukan 

pemelihara segala macam burung atau 

kelelawar!”

“Jadi siapakah kau kalau begitu?”

“Aku adalah aku!”

Mendengar jawaban itu sekali lagi Lor 

Ametung menatap wajah si orang tua lekat-

lekat. Wajahnya kemudian berubah kecewa dan 

juga gusar.

“Kalau kau memang bukan Datuk Teluk 

Ular yang kucari, biarlah aku meneruskan 

perjalanan. Harap kau suka turun dari kudaku 

itu...!”

“Astaga!” si baju rombeng seperti baru 

sadar. “Aku duduk di atas kudamu rupanya! 

Betapa lancangnya diriku...” Dengan satu 

gerakan enteng orang tua berpakaian seperti 

pengemis itu melompat turun dan duduk pada 

batangan pohon kelapa tumbang dan tergeletak 

di tanah. Sambil duduk dia mengeluarkan 

bungkusan daun dari dalam tas tikarnya. 

Ternyata sebungkus nasi putih tanpa ikan. 

Tanpa menawarkan dan tanpa memandang ke 

kanan dan ke kiri dia mulai menyantap nasi 

putih itu!

Lor Ametung masih memperhatikan orang 

tua ini beberapa saat lalu akhirnya tinggalkantempat itu.

Semakin jauh masuk ke pedalaman teluk, 

semakin rapat pohon-pohon kelapa yang 

tumbuh dan semakin lebat semak belukar yang 

menghalang. Deburan ombak di tepi pantai 

sudah tidak terdengar lagi. Desauan angin 

bersatu dengan gemerisik daun-daun pohon 

kelapa. Lor Ametung merasakan tenggorokan-

nya kering dan haus sekali. Dia menyesali diri 

yang tidak membawa perbekalan air. Maka dia 

mendongak ke atas untuk mencari-cari pohon 

kelapa yang berbuah. Saat itulah tiba-tiba dia 

melihat sebuah bangunan aneh terbuat dari 

kayu kasar, terletak di atas empat buah pohon 

kelapa yang tumbuh berdekatan.

“Hanya orang berkepandaian tinggi mampu 

diam di atas pohon kelapa setinggi itu. Sama 

sekali tidak ada tangga! Pasti inilah tempat 

kediaman Datuk Teluk Ular! Ah, bagaimana aku 

akan menemuinya. Naik ke atas sana tentu aku 

tak mampu.

Satu-satunya jalan adalah berteriak... Maka 

Lor Ametung buka mulut lebar-lebar dan 

berseru: “Da...”

Seruannya serta merta putus ketika entah 

dari mana munculrya tiba-tiba melesat seekor 

burung besar, menderu ke arahnya. Merasa 

binatang itu sengaja menyerangnya, Lor 

Ametung cepat melompat dari punggung kuda, 

berguling di tanah dan berlindung di balikpohon kelapa. Ketika memandang ke depan, 

yang disangkanya burung tadi ternyata adalah 

seekor kelelawar aneh berkepala besar bersayap 

lebar. Dan ternyata kelelawar itu bukan 

menyerang dirinya, melainkan menyerang kuda 

yang ditungganginya!

Lor Ametung menyaksikan hal mengerikan 

dan sulit dipercaya. Sayap lebar kelelawar itu 

menghantam kepala kuda tunggangannya 

dengan keras hingga kuda itu meringkik tinggi, 

roboh tersandar ke sebatang pohon kelapa, 

melosoh ke tanah dengan bagian kening remuk! 

Kelelawar besar melayang berputar dan kembali 

menyerbu kuda yang sedang meregang nyawa. 

Kali ini sasarannya adalah leher kuda. Sekali 

mencengkeram dengan mulutnya yang bertaring 

panjang dan runcing, putuslah urat besar di 

leher kuda dan darah bersemburan! Lor 

Ametung merasakan tengkuknya dingin dan 

wajahnya pucat ketakutan ketika dilihatnya 

kelelawar ganas tadi hinggap di serumpun 

semak belukar, menatap dengan sepasang 

matanya yang merah, mengeluarkan suara 

mencuit keras lalu terbang ke arahnya!

“Matilah aku!” jerit Lor Ametung dalam hati. 

Di balik pohon kelapa besar dia jatuhkan diri, 

berlindung mencari selamat.

Di saat itulah dia seperti mendengar ada 

suara dari atas pohon.

“Kelelawarku, cukup kudanya saja! Kaukembali ke tempatmu, biar aku menemui 

tetamu dari jauh itu... ”

“Cuit... cuit... cuit...!”

Kelelawar hitam bermata merah mencuit 

tiga kali, melayang berputar lalu melesat ke 

arah bangunan kayu di atas pohon kelapa. Di 

saat yang sama sesosok tubuh melayang turun 

dari bangunan kayu itu dan tegak tepat di 

hadapan Lor Ametung.

Lor Ametung yang merunduk di akar pohon 

kelapa, merasa ada orang tegak di hadapannya 

pelahan-lahan angkat kepala. Dan dia jadi 

terhenyak di tanah saking takutnya ketika 

melihat wajah sosok tubuh yang tegak di 

hadapannya. Dia tidak tahu apakah tengah 

berhadapan dengan setan atau jin laut. Bahkan 

setan atau jin laut sekalipun tidak memiliki 

tampang seangker wajah yang disaksikannya 

saat itu!

“Berlutut di hadapanku! Jangan menjelepok

tolol seperti itu!”

Manusia berwajah seram di depan Lor 

Ametung membentak.

Dengan tubuh gemetar Lor Ametung 

bangkit dari duduknya lalu berlutut di hadapan 

si muka angker.

“Aku adalah penguasa Teluk Ular! Kau 

berani datang kemari apakah minta mati?!”

Meski takut setengah mati tapi diam-diam 

Lor Ametung merasa gembira juga karena jika siwajah angker mengatakan dirinya penguasa 

Teluk Ular, tidak dapat tidak dia pastilah Datuk 

Teluk Ular itu!

“Maafkan diriku...” kata Lor Ametung. “Aku 

datang dari jauh bukan untuk mengganggu 

ketenteramanmu, apalagi menantang ke-

kuasaanmu. Jika kau adalah Datuk Teluk Ular, 

manusia sakti pemilik Kelelawar Hantu, maka 

aku datang padamu untuk minta tolong!”

“Katakan siapa namamu. Datang dari mana. 

Pertolongan macam apa yang kau minta dan 

apakah datang membawa bekal...?!”

“Namaku Lor Ametung. Aku Kepala Desa 

Babakan di selatan. Datang menemui Datuk 

untuk minta tolong menghapus malu dan mem-

balaskan dendam kesumat terhadap seorang 

Perwira Kerajaan yang telah menipu dan 

mencemarkan nama keluargaku. Mengenai 

bekal aku memang sudah mempersiapkannya,.“

“Baik. Katakan apa bekal yang kau bawa?!”

“Seekor kuda jantan... “

“Anjing busuk! Siapa perlukan kuda!” 

bentak si wajah angker bermata merah yang 

memang bukan lain adalah Datuk Teluk Ular.

“Harap dimaafkan. Kalau Datuk tidak 

berkenan akan kuda itu. aku ada membawa 

bekal lain. Dua macam perhiasan dan lima

keping perak... “

“Itu boleh juga! Serahkan semuanya 

padaku! Cepat!” Datuk Ular gosok-gosok keduatelapak tangannya sedang sepasang matanya 

yang merah melotot berputar-putar.

Dari balik pinggang celananya Lor Ametung 

keluarkan sebuah kantong kain lalu menyerah-

kannya pada sang Datuk. Datuk Teluk Ular 

periksa isi kantong, menyeringai sekilas lalu 

masukkan kantong itu ke balik pakaiannya.

“Sekarang katakan pertolongan apa yang 

kau inginkan!”

Lor Ametung lalu menuturkan.

“Satu tahun silam, seorang Perwira Keraja-

an secara paksa meminta agar puteri tunggalku 

bernama Ranawarti bersedia dijadikan calon 

istrinya. Aku menolak karena selain Perwira itu 

sudah lanjut usianya, dia juga telah memiliki 

dua istri. Namun diriku sekeluarga diancam. 

Karena tak berdaya menghadapi ancaman dan 

kekuasaannya, aku dan istriku terpaksa 

mengabulkan permintaannya.

Begitu permintaan kukabulkan, Ranawarti 

langsung diboyongnya ke Kotaraja. Padahal 

sesuai perjanjian puteriku itu akan dikawin 

sesuai adat dan agama. Ternyata Ranawarti 

hanya dijadikan peliharaan. Sama sekali tidak 

ada pesta perkawinan seperti yang dijanjikan. 

Dan lebih malangnya lagi, ketika puteriku hamil 

enam bulan, Ranawarti dipulangkan dan 

ditinggalkan begitu saja...

Perwira itu kemudian kawin dengan gadis 

lain yang masih keponakanku. Pesta besarperkawinan akan dilangsungkan minggu depan

“Lalu apa maumu sekarang ini?” bertanya 

Datuk Teluk Ular,

“Aku ingin agar Perwira itu dibunuh!” jawab 

Lor Ametung.

“Kau mampu melakukan sendiri dengan 

tanganmu!”

Lor Ametung gelengkan kepala. “Saya sudah 

mencoba Datuk. Dengan cara kasar dan cara 

halus Semuanya gagal. Perwira itu memiliki dua 

orang pengawal berkepandaian tinggi sedang dia 

sendiri kabarnya menyimpan ilmu kebal! Malah 

aku mendengar berita, dia akan menyuruh 

tangkapku...”

“Nasibmu memang jelek Lor Ametung. Siapa 

nama Perwira yang doyan daun muda itu?”

“Namanya Haryo Tulus Neso, Datuk... “

“Bagus! Kau boleh pergi sekarang. Perwira 

itu akan menemui ajal pada malam 

perkawinannya! Di pelaminan!”

“Terima kasih Datuk... Aku mohon diri.”

“Hait! tunggu dulu!” seru Datuk Teluk Ular. 

“Ada satu pertanyaan yang harus kau jawab. 

Kau datang kemari seorang diri atau membawa 

teman?!”

“ Aku datang sendirian Datuk.”

“Jangan dusta!” bentak Datuk Teluk Ular 

dengan mata membeliak marah dan garang.

“Aku tidak berdusta Datuk. Aku benar-

benar datang sendirian...” berkata Lor Ametung.Sang Datuk menatap lekat-lekat. Hidungnya 

kembang kempis. Lalu dia bertanya: “Kau suka 

merokok Lor Ametung?”

“Tidak,” jawab Lor Ametung seraya meng-

geleng.

“Kenapa pakaianmu berbau rokok...?”

Lor Ametung mendekatkan bahu kanannya 

ke hidung. Memang pakaian itu berbau rokok. 

Sesaat dia merasa heran, kemudian dia ingat. 

“Aku bertemu seseorang di tengah jalan waktu 

menuju kemari... “

“Aku sudah menduga! Di mana orang itu 

sekarang?!”

“Aku tidak tahu Datuk. Waktu kutinggalkan 

dia asyik menyantap nasi bungkus... “

“Bagaimana ciri-ciri orang itu?!” tanya 

Datuk Teluk Ular.

“Seorang tua bermuka buruk keriput. 

Pakaiannya rombeng dan penuh tambalan

“Dia membawa tas terbuat dari tikar...?”

“Betul sekali Datuk...”

“Dan dia merokok kawung...?”

“Benar Datuk...”

Sekilas Lor Ametung melihat perubahan 

pada wajah Datuk yang angker itu.

“Aku boleh pergi sekarang Datuk?” bertanya 

Lor Ametung.

Sang Datuk hanya anggukkan kepala. Lor 

Ametung naik ke punggung kuda dan tinggal-

kan tempat itu.Untuk beberapa lamanya Datuk Teluk Ular 

masih tegak di situ. Derap kaki kuda tung-

gangan Lor Ametung makin lama makin jauh 

hingga akhirnya tak terdengar lagi. Datuk Teluk 

Ular mengusap wajahnya yang seram, me-

mandang ke arah kejauhan. Dalam hatinya ada 

serangkai ucapan.

“Ah, ternyata dia masih hidup. Bagaimana 

hal ini bisa terjadi. Bukankah dulu jelas-jelas 

dia sudah mati masuk ke dalam jurang? Atau 

mungkin setannya yang muncul gentayang-

an...?”

Datuk Teluk Ular memandang berkeliling. 

Meneliti hampir setiap pohon dan setiap semak 

belukar di sekitarnya. Tak tampak seorang 

manusia atau seekor binatangpun, kecuali kuda 

milik Lor Ametung yang tadi mati dibunuh 

Kelelawar Hantu. Hatinya agak lega sedikit. 

Setelah sekali lagi memandang berkeliling. 

Datuk Teluk Ular melompat ke atas dan masuk 

ke dalam rumah kayu di puncak empat pohon 

kelapa.

Di balik semak belukar lebat di bawah 

sebatang pohon kelapa, tak tertembus oleh 

pandangan mata tajam Datuk Teluk Ular, 

sesosok tubuh berpakaian rombeng bertambal-

tambal duduk menjelepok di tanah seenaknya. 

Sebatang rokok kawung terselip di sela bibir, 

tetapi sejak tadi sengaja tidak dinyalakan.

“Jika kuturutkan hawa amarah, ingin akumembunuhnya detik ini juga. Tapi aku harus 

menunggu. Harus melihat sendiri bahwa dia 

memang benar-benar telah menguasai mantera 

jahat itu. Burung kelelawar tadi...Sulit aku 

mempercayainya. Aku harus menunggu dan 

bersembunyi sampai minggu depan. Sampai dia 

melaksanakan perintah untuk membunuh 

Haryo Tulus Reso... Mudah-mudahan saja pen-

ciumannya tidak terlalu tajam hingga tidak 

dapat mencium bau busuk pakaianku 

rombengku ini...Hik... hik...hik “ Orang tua 

berbaju rombeng cekikikan sendir


3


MALAM MINGGU Legi, udara di atas teluk 

nampak mendung. Meskipun rembulan 

memancarkan sinarnya dengan terang namun 

tiada artinya karena hampir setiap saat awan 

tebal bergerak menutupinya. Angin laut terasa 

menembus sangat mencucuk tulang.

Di kawasan hutan kelapa dimana terletak 

bangunan kayu tempat kediaman Datuk Teluk 

Ular, keadaan sesunyi di pekuburan. Di luar 

gelap sekati. Di dalam rumah yang terletak di 

atas empat pohon kelapa itu sebuah pelita 

menyala berkelap kelip. Karena bangunan kayu 

itu tidak seberapa besar maka nyala pelita 

cukup menerangi satu-satunya ruangan yang 

ada.

Di salah satu sudut ruangan, dimana 

terdapat sepotong kayu melintang, tampak 

Kelelawar Hantu bergantung tidak bergerak. 

Sayapnya kuncup ke tubuh, kepalanya tegak 

lurus memandang ke arah Datuk Teluk Ular 

yang duduk di atas sehelai tikar yang terbuat 

dari kulit ular. Di hadapan sang Datuk terletak 

sebuah pendupaan dengan bara menyala serta 

asap menebar bau kemenyan. Datuk Teluk Ular 

duduk tak bergerak, mata terpejam dan tangan 

di depan dada.Setelah beberapa saat berlalu dalam 

kesunyian, bibir sang Datuk tampak bergerak.

“Kelelawar Hantu, apakah kau sudah siap 

menjalankan perintah?!”

Binatang yang tergantung di kayu kering di 

sudut ruangan kembangkan kedua sayapnya. 

Matanya tampak bersinar dan dari mulutnya 

terdengar suara mencuit tiga kali berturut-

turut.

“Kalau kau sudah siap maka dengar baik-

baik. Malam ini kau berangkat ke Kotaraja. 

Kotaraja... Kotaraja... Kotaraja...Di sana seorang 

Perwira Kerajaan tengah mengadakan pesta 

perkawinan. Namanya Haryo Tulus Reso. Haryo 

Tulus Reso... Haryo Tulus Reso. Datangi 

pendopo Kencana Wungu. Bunuh... bunuh... 

bunuh Haryo Tulus Reso... Haryo Tulus 

Reso...Sudah kau dengar dan sudah jelas?”

“Cuit... cuit... cuit...”

“Berangkat sekarang. Kau harus kembali 

sebelum hitungan ketiga ribu!”

“Cuit... cuit... cuit...”

Kelelawar Hantu mengepakkan sayapnya 

tiga kali. Tubuhnya yang tergantung kaki ke 

atas kepala ke bawah melesat menembus 

lubang angin di dinding ruangan. Di saat itu 

pula pelita di dalam bangunan padam hingga 

keadaan di situ gelap gulita. Hanya arang 

menyala dalam pendupaan yang mengeluarkan 

cahaya redup.Datuk Teluk Ular kembali rangkapkan 

kedua tangan di depan dada, pejamkan mata, 

membaca mantera pendek lalu menghitung 

mulai dari satu.

Ketika dia sampai ke hitungan yang ke 

empat puluh, sepasang matanya bergerak. Ada 

cahaya tiba-tiba menerangi ruangan itu dan 

menembus kelopak matanya. Perlahan-lahan 

Datuk Teluk Ular buka kedua matanya. 

Dadanya berdebar. Pandangannya terpaku pada 

pelita di hadapannya. Jelas tadi pelita itu 

padam sewaktu Kelelawar Hantu berkelebat 

pergi. Mengapa kini tahu-tahu pelita itu kembali 

menyala! Siapa yang menghidupkannya?! Di 

saat yang sama hidung sang Datuk mencium 

bau rokok kawung!

Datuk Teluk Ular hembuskan napas 

panjang.

“Kalau kau memang sudah hadir di sini, 

mengapa tidak segera masuk? Di luar gelap dan 

dingin...”

Baru saja sang Datuk berkata begitu, pintu 

bangunan yang tadi terkunci tiba-tiba tampak 

terbuka dengan mengeluarkan suara berkere-

katan. Pintu sudah terpentang lebar. Di luar 

tampak kegelapan menghitam. Tapi tidak 

seorang pun bertindak masuk!

“Masuklah dengan aman! Tidak ada 

peralatan dan senjata rahasia di tempat ini!” 

berseru Datuk Teluk Ular.Sesosok tubuh muncul di ambang pintu. 

Ada nyala api rokok kawung di sudut bibirnya. 

Lalu tubuh ini dengan mengeluarkan suara 

angin berkesiuran, berkelebat masuk ke dalam, 

langsung duduk di hadapan Datuk Teluk Ular.

“Tujuh tahun tidak bertemu, kau masih 

tetap seperti dulu-dulu juga Daeng Ponto 

Jene...” berkata Datuk Teluk Ular sambil 

menatap tak berkesip pada orang yang duduk di 

hadapannya...

Orang yang ditegur tertawa mengekeh dan, 

usap-usap wajahnya.

“Teman-teman lama bilang aku awet muda

Gila! Padahal muka buruk ini sudah memiliki 

seribu keriput! Rambut sudah lama putih, 

pandangan mata sudah mulai kabur dan 

pendengaran sudah muhi tumpul. Aku sudah 

berubah sangat tua Datuk Teluk Ular. Sesuai 

dengan bertambah tuanya bumi Tuhan ini...”

Datuk Teluk Ular angguk-anggukkan kepala 

mendengar ucapan sang tamu. Tamu yang 

datang kembali membuka mulut.

“Jika kau hitung tambalan di bajuku yang 

rombeng ini, semua berjumlah tujuh puluh dua. 

Nah sebegitu pula banyaknya usia tubuh 

keropos ini. Hik... hik... hik!”

“Tujuh tahun tidak bertemu, kalau malam 

ini kau datang tentu banyak cerita yang hendak 

kita tuturken bersama. Tapi rasa-rasanya, aku 

mendapat firasat, kau hanya ingin membicarakan satu dua hal penting saja. Bukan begitu 

saudaraku Daeng Ponto Jene...?”

“Tepat sekali saudara lamaku yang kini 

bergelar Datuk Teluk Ular. Tepat sekali...

Apakah kau punya waktu untuk itu?”

“Sampai pagi besok atau sampai pagi lusa 

aku bersedia berbincang-bincang denganmu. 

Hanya saja untuk menghormat tetamu, aku 

harus memasak air, menyeduh kopi. Kopi 

tubruk tanpa gula aren, bukankah itu 

kesenanganmu Daeng...?”

“Ah, kau terlalu repot. Tapi kalau memang 

ada minuman tentu saja mulut ini tidak 

menolak. Apalagi kopi hangat buatanmu. Hik... 

hik... hik...”

Datuk Teluk Ular mengambil sebatang 

ranting kayu panjang yang terletak di 

sampingnya. Dengan kayu ini dikaitnya 

pegangan dua buah cangkir tanah lalu 

diletakkannya di atas pendupa-an besar. 

Dengan ujung kayu pula dia mengait sebuah 

ceret terbuat dari tanah. Dari dalam ceret 

dituangkannya air putih ke dalam dua cangkir 

tanah. Lalu sebuah kantong berisi bubuk kopi 

dikeluarkannya, dimasukkan ke dalam dua 

buah cangkir. Tak selang berapa lama air di 

dalam dua buah cangkir tampak mendidih. 

Harumnya bau kopi menebar dalam ruangan 

itu.

“Apakah kau masih suka makan sirihDaeng...?” bertanya Datuk Teluk Ular.

“Ah, sudah sejak beberapa tahun silam aku 

tidak lagi menyirih. Kini aku lebih suka 

merokok kawung. Menyirih kukira adalah 

pekerjaan orang-orang perempuan ...” sahut 

Daeng Ponto Jene pula.

Datuk Teluk Ular tertawa hambar. “Aku tak 

pernah dapat melupakan sirih, tembakau 

campur pinang dan kapur. Kalau kau tak mau 

mengawani, biarlah aku makan sirih sendirian.” 

Lalu Datuk itu mengambil sebuah kotak kayu 

berisi daun sirih lengkap dengan kapur, 

tembakau dan pinang. Dengan tenang dia mulai 

meracik sirih sementara Daeng Ponto Jene, 

orang tua berpakaian rombeng itu memperhati-

kannya dengan sabar.

Setelah beberapa kali mengunyah sirihnya. 

Datuk Teluk Ular mempersilahkan tetamunya 

meneguk kopi hangat yang telah tersedia.

“Manusia cerdik, licik dan jahat!” membatin 

Daeng Ponto Jene. “Dikiranya aku tidak tahu 

kalau kopi itu berisi racun mematikan! Dia 

sendiri telah memagar diri dengan sirih yang 

dimakannya! Dasar manusia jahanam...!”

“Daeng, jangan ditunggu sampai kopinya 

menjadi dingin,” Datuk Teluk Ular berkata.

Karena cangkir tanah itu masih terjerang di 

atas pendupaan berbara merah, dengan sendiri-

nya berada dalam keadaan panas sekali. Tetapi 

begitu dipersilahkan tanpa ragu-ragu Daeng

Ponto Jene ulurkan tangan mengambilnya lalu 

mendekatkan bibir cangkir ke bibirnya. Tapi 

baru setengah jalan tiba-tiba cangkir tanah itu 

pecah dengan mengeluarkan suara keras. Kopi 

dan hancuran cangkir jatuh berantakan di 

lantai!

Berubah paras Datuk Teluk Ular tapi 

sebaliknya orang tua berpakaian rombeng 

tersenyum senyum lalu berkata: “Sungguh sial 

nasibku malam ini. Kalau bukan rejeki, sudah 

di depan mulut tak dapat kuminum!”

“Kau boleh mengambil kopi dalam cangkir 

satu lagi,” berkata Datuk Teluk Ular.

“Terima kasih Datuk. Aku tak mau jadi 

tamu yang dianggap rakus. Kau silahkan 

meneguk kopi bagianmu...” jawab Daeng Ponto 

Jene.

Dalam hatinya Datuk Teluk Ular membatin: 

“Manusia satu ini rupanya tahu kalau kopi itu

beracun. Karena itu dia sengaja memecah 

cangkir dengan tenaga dalamnya...”

“Aku tuan rumah yang tak tahu diri. Minum 

kopi sendirian...” ujar Datuk Teiuk Ular lalu 

dengan tangan kirinya dia menjangkau cangkir 

tanah di atas pendupaan dan cegluk... cegluk... 

dia meneguk kopi panas itu sampai habis. 

Sambil menyeringai dia letakkan cangkir kosong 

di lantai, lalu gosok-gosokkan kedua telapak 

tangannya satu sama iain.

“Sekarang Daeng, ceritakan apa maksudpenting kunjunganmu kemari.”

“Maksud pertama hanya mengingatkan 

peristiwa tujuh tahun lalu di tanah Bugis. 

Waktu kau membokongku dari belakang lalu 

melemparkanku ke dalam jurang Patompo. Itu 

kau lakukan semata-mata karena kau inginkan 

Badik Bintang Bulan milik guru yang 

dipercayakan padaku. Apakah kau masih ingat 

peristiwa itu Datuk?”

Datuk Teluk Ular tidak segera mcnjawsb. 

Daeng Ponto Jene tak hendak mendesak. Dia 

menunggu sampai akhirnya sang Datuk 

membuka mulut.

“Aku masih ingat Daeng. Dan benar-benar 

aku menyesal. Entah mengapa aku sampai 

tergoda oleh bujuk rayu setan saat itu dan tega 

mencelakaimu. Setelah kau kujerumuskan ke 

dalam jurang aku menyesal. Aku berusaha 

melakukan sesuatu untuk menolongmu dan 

menuruni jurang. Tapi sulit sekali mencapai 

dasar jurang. Aku menunggu sampai keesokan 

pagi kalau-kalau kau muncul. Tapi itu tak 

terjadi. Aku bersyukur kalau nyatanya kau 

selamat. Aku mohon maafmu atas kekhilafanku 

itu Daeng...”

Daeng Ponto Jene mengangguk. “Aku 

datang kemari bukan untuk meminta maafmu 

Datuk karena peristiwa itu sudah kulupakan 

Hanya perlu kau jawab pertanyaanku. Apakah 

Badik Bintang Bulan masih berada ditanganmu?”

“Senjata itu masih padaku Daeng. Kurawat 

baik-baik.” Menjawab Datuk Teluk Ular.

“Sebelum guru meninggal, beliau berpesan 

agar aku mencarimu untuk mengambil badik 

keramat itu, membawanya kembali ke tanah 

Bugis dan menguburkannya di samping 

makamnya. Tak satu orang pun boleh 

memilikinya. Tidak kau, tidak juga aku atau 

orang lain atau murid-muridnya yang lain...”

Datuk Telur Ular termenung.

“Kalau memang begitu pesan guru, aku 

tidak berani menolak,” katanya. Lalu dia 

bangkit berdiri dan melompat ke atas atap. 

Tangannya menjang kau sesuatu yang terselip 

di balik kayu kaso. Ketika kemudian dia turun 

dan meletakkan benda itu di hadapan Daeng 

Ponto Jene, ternyata benda itu adalah sebilah 

badik lengkap dengan sarungnya.

Pada hulu dan sarung senjata ini terdapat 

ukiran bulan bersanding dengan bintang.

Daeng Ponto Jene melirik ke arah badik. 

Sekali lihat saja, dia sudah mengetahui kalau 

senjata itu adalah badik Bulan Bintang palsu! 

Tapi berpura-pura tidak tahu orang tua 

berpakaian rombeng ini ambil senjata itu dan 

selipkan di pinggangnya. Ketika di pegang badik 

itu terasa ringan padahal yang asli berat.

“Terima kasih kau telah memelihara badik 

ini dengan baik dan mengembalikannya tanpakurang suatu apa,” kata Daeng Ponto Jene. 

“Sekarang aku beralih pada maksud 

kedatanganku yang kedua. Yang juga 

merupakan maksud terakhir. Sepanjang 

kuketahui, ternyata kau telah menguasai 

mantera untuk merubah wujud suatu benda 

hidup menurut kemauanmu, lalu menjalankan 

perintah menurut kehendakmu... Bukankah 

begitu Datuk?”

“Soal yang kedua ini aku tak bersedia 

menjawab. Soal mantera yang bisa dimiliki 

adalah rejeki masing-masing orang, masing-

masing murid. Aku mendapatkannya dari guru 

dan kau tidak mendapatkannya. Apakah ada 

perasaan iri dalam sanubarimu?”

Orang tua bermuka buruk berpakaian 

tambalan tersenyum lebar.

“Iri adalah kawannya syirik. Sifat itu tidak 

melekat dalam tubuhku baik lahir maupun 

batin. Aku tidak akan membawa persoalan ini 

kalau memang mantera itu kau dapatkan dari 

guru atau memang diberikan guru. Tetapi 

sebelum meninggal, justru guru menceritakan 

padaku bahwa mantera itu kau curi dari 

sekumpulan tulisan rahasia milik guru...”

“Sayang guru telah tiada hingga dia tidak 

bisa membuktikan bahwa aku telah mencuri 

mantera itu...”

“Guru memang telah tiada Datuk. Tapi apa 

yang dikatakan guru semasa hidup sangatkupercayai. Tak mungkin guru berdusta...”

“Maaf bicara Daeng, mungkin kau yang ber 

dusta!” memotong Datuk Teluk Ular.

Daeng Ponto Jene tertawa gelak-gelak.

“Ada-ada saja kau ini Datuk! Sejak aku 

mengenal mana yang baik dan mana yang 

buruk, sampai tua bangka keropos begini, tak 

pernah aku ber dusta. Tidak kepadamu, tidak 

kepada siapapun!”

“Lalu apa maksudmu yang sebenarnya?”

“Mulai detik ini kau tidak boleh 

menggunakan mantera itu untuk maksud 

apapun! Jika Kelelawar Hantu itu kembali kau 

harus membunuhnya!”

“Tak mungkin aku mengikuti perintahmu 

Daeng!”

“Mengapa tak mungkin?!”

“Kau bukan guru yang wajib kupatuhi!”

“Justru aku memerintah sesuai dengan 

pesan guru!”

“Tak dapat aku mempercayai ucapanmu itu

Daeng!”

“Kita saudara seperguruan. Apa katamu 

harus kupercaya. Sebaliknya apa yang 

kusampaikan harus pula kau percaya...”

Datuk Teluk Ular gelengkan kepala.

“Maafkan aku Daeng. Pembicaraan kita 

cukup sampai.di sini. Aku ingin istirahat. Pintu 

itu masih terbuka. Selamat jalan Daeng...”

Daeng Ponto Jene tertawa mengekeh.“Hakmu menyuruh aku pergi karena ini 

rumahmu! Tapi hakku menjalankan pesan 

mendiang guru! Aku akan keluar dari rumah 

ini. Tapi akan menunggu di luar sana sampai 

kau bersumpah untuk tidak lagi mengamalkan 

mantera terlarang itu dengan alasan dan 

maksud apapun! Aku memberi waktu padamu 

sampai besok pagi, saat sang surya terbit!”

Orang tua berbaju rombeng bangkit dari 

duduknya. “Sebelum aku pergi, aku juga ingin 

mengembalikan badik tak berguna ini padamu!”

Dari balik pakaian bututnya Daeng Ponto 

Jene keluarkan Badik Bulan Bintang palsu lalu 

mencampakkannya ke pangkuan Datuk Teluk 

Ular.

“Besok pagi kutunggu sumpahmu bersama 

Badik Bulan Bintang yang asli! Mataku 

mungkin sudah lamur, tapi aku tak bisa ditipu 

Datuk! Aku masih dapat membedakan mana 

senjata yang asli dan mana yang palsu...!” 

Daeng Ponto Jene tutup ucapannya dengan 

tawa mengekeh. Lalu tubuhnya berkelebat 

mundur ke arah pintu rumah kayu, lenyap di 

telan gelapnya malam di luar sana!


4


DATUK TELUK ULAR bantingkan badik palsu 

ke lantai hingga patah berantakan. Penasaran 

dia melompat ke pintu. Di luar gelap 

menghitam. Tapi dengan kepandaiannya yang 

tinggi orang ini langsung saja menghambur 

turun dari ketinggian lebih dari enam tombak 

itu. Begitu menjejakkan kaki di tanah, sepasang 

matanya yang merah serta merta memandang 

cepat berkeliling. Dekat serumpun semak 

belukar dia melihat nyala api kecil. Itulah nyala 

api rokok kawung Daeng Ponto Jene!

“Daeng!” berseru Datuk Telur Ulat, “Aku 

tidak suka kau berada di tempat ini! Kuharap 

kau segera pergi! Persetan dengan segala 

urusan besok pagi!”

“Suka atau tidak suka itu bukan urusanmu 

Datuk! Kau bisa mengusirku dari rumahmu di 

atas pohon sana! Tapi kalau aku nongkrong di 

sini, setan kepala tujuhpun tidak dapat 

mengusirku!” Daeng Ponto Jene mengekeh 

dalam gelap lalu hisap rokoknya dalam-dalam.

Datuk Teluk Ular mendengus.

“Kau lupa Daeng! Kawasan Teluk sampai 

seribu tombak ke pedalaman adalah daerah 

kekuasaanku!”

“Itu katamu! Tapi tidak kataku! Kau 

pergilah naik ke atas rumahmu kembali dan

tidur lelap. Waktumu masih cukup banyak 

sampai esok pagi!”

“Kalau kau tetap membangkang, berarti kau 

sengaja mencari silang sengketa!”

“Terserah kau mau mengatakan apa!” sahut 

Daeng Ponto Jene. “Aku kemari mencari kata 

bulat dan mupakat. Tapi kau inginkan lantai 

terjungkat! Aku tak mau bicara lagi denganmu! 

Aku mau tidur bersama nyamuk-nyamuk sialan 

di tempat ini!”

Lalu Daeng Ponto Jene rebahkan tubuhnya 

di atas semak belukar, seperti seorang orok dan 

mulai mendengkur! Tubuhnya yang berat itu 

seperti tergolek di atas kasur empuk, padahal 

hanya ditopang semak belukar belaka! Ini 

sudah cukup menjadi pertanda betapa tingginya 

tingkat keringanan tubuh orang tua berwajah 

buruk itu.

Jengkel dan marah Datuk Teluk Ular 

melangkah menghampiri semak belukar. Sekali 

tendang saja rambaslah semak belukar itu. 

Tubuh orang tua yang tidur di atas semak 

belukar, begitu semak belukar rambas tentunya 

akan jatuh ke tanah. Tapi anehnya, tubuh itu 

sesaat masih mengapung di udara lalu 

melayang ke arah semak belukar lainnya yang 

terdapat tidak jauh dari tempat itu. Dan 

kembali terdengar suara dengkurnya!

Merasa dipermainkan, dengan langkah-

langkah besar Datuk Teluk Ular mendatangi

semak belukar itu. Kali ini bukan semak 

belukar yang ditendangnya tapi langsung tubuh 

Daeng Ponto Jene. Tendangannya mengarah 

perut saudara seperguruannya itu. Suara 

tendangan terdengar keras menderu dalam 

gelapnya malam.

“Kalau tidak kuhabisi manusia keparat ini, 

aku bisa susah dibuatnya!” begitu Datuk Teluk 

Ular membatin dan dalam geramnya dia merasa 

pasti tendangannya akan mengenai sasaran.

Tetapi alangkah terkejutnya sang datuk 

ketika mendadak dia merasakan ada yang 

mencengkeram pergelangan kaki kanannya. 

Sebelum dia bisa berbuat sesuatu dirasakannya 

tubuhnya dilemparkan ke atas. Ketika melayang 

turun dia hampir tak bisa mengimbangi diri

karena sebuah benda kecil berapi melesat ke 

arah matanya. Rokok kawung Daeng Ponto 

Jene!

Datuk Teluk Ular jatuh punggung, 

terhempas ke tanah! Satu hal yang sebenarnya 

tidak mungkin terjadi atas diri seorang kawakan 

seperti dia!

Di dalam gelap terdengar suara tawa 

mengekeh.

“Datuk Teluk Ular! Kalau tidak mengingat 

kita masih saudara seperguruan, sudah 

kutanggalkan kaki kananmu tadi!”

“Manusia sombong!” maki Datuk Teluk Ular 

marah besar mendengar kata-kata Daeng PontoJene. “Aku mau lihat sampai dimana 

kepandaianmu!”

“Ha... ha! Soal kepandaian, kepandaian 

manusia adalah kecil dibanding dengan 

kepandaian dan kekuasaan Tuhan! Apa kau 

masih belum mau sadar

Ucapan Daeng Ponto Jene terputus karena 

saat itu datang sambaran angin ganas ke arah 

tenggorokannya.

“Cengkeraman jari angin!” seru orang tua 

berpakaian rombeng ketika mengenali pukulan 

tangan kosong yang mengandung tenaga dalam 

hebat itu! Tubuhnya melesat dari atas semak 

belukar. Sedetik kemudian semak belukar itu 

musnah hampir tidak berbekas dan si baju 

rombeng tampak berdiri di samping sebatang 

pohon kelapa leletkan lidah dan goleng-

golengkan kepala. “Rupanya kau tidak main 

main Datuk...?” menegur orang tua ini.

“Aku memberi pengampunan padamu jika 

kau mau pergi dari sini!”

Tertawa Daeng Ponto Jene mendengar 

ucapan itu.

“Seharusnya aku yang akan memberi 

pengampunan padamu karena telah melanggar 

pesan guru dan mencuri Badik Bulan Bintang!”

“Kalau itu cakapmu, berarti nyawamu harus 

lepas malam ini juga!” kertak Datuk Teluk Ular. 

Lalu kedua tangannya diangkat ke atas, 

mulutnya berkomat-komat. Dua tangannya

tampak seperti dijalari sinar biru.

Kagetlah Daeng Ponto Jene ketika melihat 

hal itu.

“Astaga! Darimana dia dapatkan pukulan 

sepasang kelabang biru itu!” Orang tua berbaju 

rombeng ini cepat kerahkan tenaga dalamnya ke 

tangan kanan. Ketika Datuk Teluk Ular 

menghantam dengan kedua tangannya, diapun 

membalas dengan pukulan tangan kanan.

Dua larik sinar biru yang tampak seperti 

hitam dalam gelapnya malam menyambar ke 

arah Daeng Ponto Jene. Sebaliknya dari tangan 

kanan orang tua dari tanah Bugis ini 

menghambur angin kencang laksana topan, 

tanpa sinar tanpa cahaya tetapi mengandung 

hawa dingin luar biasa!

Des...des...!

Daeng Ponto Jene terdengar mengeluh 

tinggi.

Tubuhnya terdorong empat langkah lalu 

jatuh duduk. Karena tak sanggup bertahan 

akhirnya rebah. Tangan kanannya nampak 

membiru sampai sebatas lengan.

Di lain tempat Datuk Telur Ular 

menggeletak di bawah kolong rumah kayunya, 

di antara empat batang pohon kelapa dengan 

nafas megap-megap dan tubuh menggigil seperti 

diselimuti es!

Menyadari dirinya terkena racun jahat, 

Daeng Ponto Jene segera totok urat besar di

pertengahan lengan kanan. Setelah atur jalan 

darah dan pernafasan, orang tua ini bangkit 

berdiri dan melangkah menghampiri Datuk 

Teluk Ular. Justru saat itulah sang Datuk 

tampak menggerakkan tangan kanannya. 

Sebuah pisau terbang melesat ke arah Daeng 

Ponto Jene. Yang diserang angkat tangan 

kirinya.

Cras!

Pisau terbang menancap pada tas daun 

tikar yang dijadikan tameng oleh Daeng Ponto 

Jene.

“Kau masih tak mau bertobat dan sadar 

Datuk?!”

“Manusia keparat! Hari ini putus hubungan 

kita sebagai saudara seperguruan! Aku 

bersumpah membunuhmu malam ini! Kalau 

tidak biar aku yang bunuh diri!”

“Sumpah manusia tolol!” tukas Daeng Ponto 

Jene. Dia angkat kaki kanannya. Dengan kaki 

ini dia mendorong dada Datuk Teluk Ular yang 

saat itu mencoba berdiri masih dalam keadaan 

menggigil. Akibat dorongan kaki ini sang Datuk 

kembali tergeletak di tanah. Dia mencoba 

bangkit kembali tapi dadanya diinjak oleh 

Daeng Ponto Jene.

Di malam yang gelap itu tiba-tiba terdengar 

suara cuit... cuit...cuit...

Sepasang mata merah Datuk Telur Ular 

membeliak bersinar. Mulutnya menyunggingkanseringai.

“Kau akan mampus Daeng... Akan mampus 

saat ini juga...!”

“Cuit...cuit... cuit...”

“Kelelawar Hantu! Bunuh orang ini. Bunuh 

orang ini... Orang ini... Orang ini...” Datuk Telur 

Ular berteriak ketika melihat binatang yang 

dikenalinya melayang di udara di antara batang-

batang pohon kelapa.

“Cuit... Cuit... cuit...!”

Kelelawar Hantu menyambar laksana kilat.

Daeng Ponto Jene tersentak kaget. Tak 

menyangka akan terjadi begitu cepat. Ketika dia 

berusaha menyelamatkan diri dengan melompat 

ke belakang, tak urung daun telinganya sebelah 

kanan kena disambar cakaran kuku Kelelawar 

Hantu. Orang tua ini terpekik! Daun telinganya 

putus dan darah mengucur!

“Binatang iblis!” teriak Daeng Ponto Jene. 

Dia hantamkan tangan kirinya ke arah 

Kelelawar Hantu yang melayang di udara. 

Pukulan tangan kosong ini adalah pukulan yang 

tadi dihantamkannya pada Datuk Teluk Ular. 

Tetapi seperti tahu bahaya. Kelelawar Hantu 

menukik ke bawah. Angin pukulan lewat jauh di 

atasnya. Di lain kejap, moncongnya yang 

memiliki gigi serta taring-taring panjang itu siap 

menerkam perut Daeng Ponto Jene. Orang tua 

ini gerakkan tangan kirinya, kini menghantam 

dengan tas tikarnya. Sambil menghantamsambil mengelak ke samping.

Breet...!”

Tas yang terbuat dari tikar itu robek besar. 

Daeng Ponto Jene merasakan salah satu jari 

tangannya perih. Ketika diperhatikan ternyata 

tangan itu terluka.

“Bunuh... bunuh orang ini! Orang ini...!”

“Cuit...Cuit...Cuit...!”

“Ya Tuhan, aku tidak mungkin menghadapi 

binatang celaka ini...” mengeluh Daeng Ponto 

Jene. Maka sebelum burung kelelawar bermata 

merah itu kembali menyerangnya, orang tua ini 

cepat berkelebat tinggalkan tempat itu.

“Kejar... Kejar orang itu! Kejar... kejar. i. 

kejar...!”

“Cuit...Cuit...Cuit!”

Kelelawar Hantu kerjakan apa yang 

diperintah sang Datuk. Binatang ini melesat ke 

jurusan lenyap.



5


PENDOPO Kencono Wungu yang terletak di 

pusat Kotaraja malam itu penuh kemeriahan. Di 

situ dilangsungkan pesta perkawinan Raden 

Haryo Tulus Resto, seorang Perwira Kerajaan 

yang sebenarnya telah punya istri. Yang 

“beruntung” menjadi pengantin perempuan 

adalah seorang dara berusia delapan belas 

tahun, bernama Rinusari yang masih 

merupakan keponakan Lor Ametung, Kepala 

Desa Babakan. Tamu melimpah ruah dan 

kebanyakan adalah tokoh-tokoh istana atau 

petinggi-petinggi Kerajaan. Sri Baginda memberi 

izin untuk dipergunakannya Pendopo Kencono 

Wungu sebagai tempat pesta perkawinan tapi 

beliau sendiri tidak hadir karena kabarnya Sri 

Baginda tidak begitu suka dengan perkawinan 

Perwiranya itu. Rupanya kabar telah sampai 

kepada Sri Baginda bahwa selain telah memiliki 

dua istri, sebelumnya Haryo Tulus Reso pernah 

memelihara seorang gadis bernama Ranawarti 

yang kemudian ditinggal begitu saja dalam 

keadaan hamil.

Berbagai hidangan dan minuman mahal 

disuguhkan. Serombongan pemain gamelan 

menghibur para tetamu dengan gending-

gending yang asyik didengar. Sepasang 

pengantin duduk di pelaminan. Haryo Tulus

Resto tiada henti-hentinya menyunggingkan 

senyum. Pada saat pesta perkawinan itu 

berjalan di puncak kemeriahannya mendadak 

dari luar melayang masuk seekor burung 

kelelawar besar, berkepala aneh. Sepasang 

telinganya lebih panjang dan lebih besar dari 

kelelawar biasa. Hampir menyerupai telinga 

kuda. Mulutnya yang senantiasa mengeluarkan 

suara cuit-cuit memperlihatkan gigi-gigi serta 

taring-taring mencuat Yang mengerikan adalah 

kedua matanya yang besar dan berwarna 

merah. Binatang ini melayang seputar pendopo. 

Beberapa orang segera bertindak mengusirnya. 

Tetapi seperti tidak takut sama sekali kelelawar 

itu terus berkelebat kian kemari. Ketika seorang 

petugas yang membawa galah datang mengusir, 

kelelawar itu keluarkan suara keras mencuit 

lalu menukik menyerang!

Petugas yang membawa galah bambu 

terdengar menjerit. Galah lepas dari tangannya. 

Kedua tangannya kini dipakai untuk menutupi 

mukanya. Dari sela-sela jari tangannya tampak 

darah mengucur. Ketika orang ini akhirnya 

jatuh tersungkur dan ketika semua orang 

menyaksikan keadaan wajahnya, suasana pesta 

serta merta menjadi gempar! Muka orang itu 

tidak seperti muka manusia lagi. Hidungnya 

tanggal meninggalkan lobang besar berdarah. 

Pipi kanannya copot dan mata kirinya ikut 

terbongkar! Dan kelelawar itu masih sajamelayang berputar-putar dalam ruangan besar 

pendopo!

Para tetamu yang ketakutan mulai berlarian 

meninggalkan tempat pesta. Mereka yang 

merasa memiliki kepandaian tetap dalam 

pendopo sambil bersiap-siap. Sepasang 

pengantin tampak gelisah. Seseorang kemudian 

membawa pengantin perempuan meninggalkan 

pelaminan sementara Haryo Tulus Reso tertegak 

bingung, lalu memberi isyarat pada dua orang 

lelaki tinggi besar yang berdiri tak berapa jauh 

dari tempat itu. Keduanya adalah pengawal 

pribadi yang telah mengabdi pada Perwira itu 

selama lebih dari sepuluh tahun. Dalam ilmu 

silat luar mereka memiliki kepandaian 

mengagumkan. Dalam ilmu dalam atau 

kesaktian. keduanya memang tidak mempunyai 

simpanan apa-apa.

Melihat isyarat Haryo Tulus Resp tadi, 

kedua pengawal itu cepat bergerak ke tengah 

ruangan. Salah seorang di antaranya 

menyambar pemukul gong yang telah 

ditinggalkan para pemain gamelan karena 

ketakutan. Dengan pukulan gong ini dia 

melempar kelelawar yang terbang berputar-

putar. Sebagai seorang ahli silat lemparannya 

pastilah tidak akan luput. Tetapi dia tidak 

mengetahui kalau binatang yang dilemparnya 

itu bukanlah kelelawar biasa!

Begitu pemukul gong melesat, kelelawarmelesat ke kiri, berputar dan menyambar kayu 

pemukul gong itu dengan sayapnya dari sebelah 

kiri.

Praak!

Kayu pemukul gong patah berentakan. 

Membuat pengawal yang melempar, Haryo 

Tulus Reso dan semua orang yang ada di situ 

menjadi kaget. Kekagetan ini disusul pula 

dengan satu kengerian ketika kelelawar besar 

keluarkan suara mencuit menusuk telinga, lalu 

menyambar ke leher orang yang tadi melempar. 

Jeritan keras memecah pendopo. Si pengawal 

terhuyung-huyung lalu roboh ke lantai yang 

bertutupkan permadani, menggelepar-gelepar 

sesaat, akhirnya tewas dengan mata melotot, 

leher luka besar!

“Ini bukan binatang biasa!” berucap Haryo 

Tulus Reso dalam hati. Dia segera baca aji ilmu 

kebal yang dimilikinya, lalu menyambar 

sebatang tombak yang terletak di samping 

pelaminan. Pengawalnya yang satu berseru agar 

dia tetap di tempat. Pengawal ini kemudian 

hunus sebilah golok bergerak ke tengah 

ruangan. Senjata di tangan kanannya di putar 

putar hingga keluarkan suara berdesing. 

Selangkah demi selangkah dia mulai mendekati 

kelelawar besar yang terbang merendah seperti 

siap pula untuk menghadapinya.

Merasa ditantang oleh seekor binatang, 

pengawal membuat lompatan setengah tombaklalu bacokkan goloknya ke arah kelelawar.

Breet...

Sayap kelelawar itu mengambang lebih 

panjang dan lebih lebar. Golok pengawal lewat 

di atas tubuhnya. Dengan mengertakkan 

geraham si pengawal membuat gerakan 

membacok dari atas ke bawah. Sekali ini bukan 

saja serangannya juga luput, tetapi kelelawar 

tiba-tiba membalik. Sayap kirinya kembali 

merentang, melesat laksana sebilah pedang.

Breet...!

Craaasss!

Pergelangan tangan kanan yang memegang 

golok putus laksana dibabat golok tajam. Darah 

menyembur. Si pengawal menjerit keras dan 

tinggalkan pendopo sambil terus melolong.

Paras Haryo Tulus Reso jadi berubah. Tapi 

dia tetap juga berdiri di tempatnya. Mulutnya 

berkomat-kamit, sepasang matanya memancar-

kan hawa amarah. Tangan kanannya meng-

genggam tombak erat-erat.

“Raden Haryo! Lekas tinggalkan pendopo!” 

seseorang berseru memberi ingat.

“Betul! Lekas tinggalkan pendopo! Itu bukan 

kelelawar biasa! Pasti kelelawar jejadian...!” 

Seorang lain berteriak.

“Kelelawar hantu!” teriak lainnya.

Namun Raden Haryo Tulus Reso tidak 

perdulikan teriakan orang. Dia memiliki 

kepandaian tinggi dan ilmu kebal. Mengapaharus takut pada seekor burung kelelawar yang 

baginya adalah seekor burung layang-layang. 

Justru saat itulah dia harus memperlihatkan 

kehebatan dirinya sebagai Perwira Kerajaan!

Kelelawar Hantu kiriman Datuk Teluk Ular 

tampak menjadi garang ketika melihat Haryo 

Tulus Reso merupakan satu-satunya orang yang 

tegak di tengah pendopo luas itu. Setelah 

membuat dua kali putaran pendek, binatang ini 

lalu melesat menyerang. Yang diarahnya adalah 

dada di bagian jantung calon korbannya. 

Mulutnya terkuak lebar, taring dan gigi-giginya 

yang berlumur darah mencuat mengerikan. 

Haryo Tulus Reso menunggu sekejap lalu 

lemparkan tombaknya ke arah kelelawar yang 

menyerang. Lemparan itu ternyata meleset, 

hanya menepis sedikit sayap kanan kelelawar. 

Binatang ini mencuit keras, mengepakkan sayap 

dua kali lalu menukik. Kembali kelelawar 

mengarahkan serangan dibagian dada Raden 

Haryo.

Dengan mengerahkan tenaga dalamnya. 

Raden Haryo lepaskan satu pukulan tangan 

kosong yang mengeluarkan angin keras. Sesaat 

kelelawar itu seperti tergontai. Namun di lain 

kejap binatang ini berhasil menembus aliran 

tenaga dalam. Tubuhnya terus melesat dan 

moncongnya bersarang di dada Raden Haryo.

Breet...!

Pakaian pengantin yang dikenakan RadenHaryo robek besar. Tapi tubuhnya tidak terluka 

sedikitpun. Inilah kehebatan’ ilmu kebal yang 

dimilikinya.

Melihat hal ini orang banyak disudut-sudut 

pendopo jadi agak lega. Mereka berteriak-teriak 

memberi semangat.

“Bunuh kelelawar itu Raden Haryo! Bunuh!”

Seseorang melemparkan sebilah pedang, 

tapi tidak disambuti oleh Raden Haryo. Setelah 

mengetahui bahwa kelelawar itu tidak sanggup 

melukai tubuhnya. Perwira Kerajaan ini dengan 

penuh percaya diri kembali bersiap sedia 

menantikan serangan kelelawar berikutnya 

dengan hanya mengandalkan tangan kosong!

Kelelawar Hantu menyerbu kembali. Kali ini 

dengan sayap terkembang lebar dan kepala 

perampok lurus ke depan.

Bukk!

Duukkk!

Plaaak!

Ketika mulut kelelawar menghunjam di 

perutnya tanpa menimbulkan cidera. Raden 

Haryo hantamkan tinjunya. Tepat mengenai 

punggung kelelawar. Binatang ini terbanting ke 

bawah tapi dengan sayapnya dia menyambar 

kaki kanan Raden Haryo. Meskipun tidak terasa 

sakit atau ada yang luka namun hantaman saya 

sempat membuat kaki Raden Haryo terpelanting 

dan tubuhnya hampir roboh.

“Kelelawar iblis!” rutuk Raden Haryo. Kedua

tangannya dipukulkan sekaligus ke depan.

Plaaak...plaaak!

Kelelawar melesat ke atas. Angin pukulan 

lewat di bawahnya. Raden Haryo menghantam 

lagi. Tapi dia kehilangan lawan. Saat itu 

kelelawar terbang berputar ke belakang. Raden 

Haryo membalikkan badan. Justru inilah 

kesalahannya. Sebelum dia sempat mengetahui 

di mana binatang itu berada, si kelelawar telah 

lebih dulu menyambar ke arah wajahnya. Raden 

Haryo merunduk. Tapi terlambat. Cakar kanan 

Kelelawar Hantu melabrak mata kirinya. Perwira 

Kerajaan ini menjerit keras. Seluruh isi matanya 

terbongkar tanggal. Dan ilmu kebalnya memang 

ternyata tidak melindungi matanya!

Dalam keadaan menjerit-jerit kesakitan 

begitu rupa, kelelawar kembali menukik dengan 

ganas. Perwira itu tidak kuasa mengelak atau 

melindungi dirinya lagi. Mata kanannya kini 

menjadi sasaran! Raden Haryo Tulus Reso 

menyeradak-nyeruduk kian ke mari. Darah 

berceceran di atas permadani. Tak ada seorang 

pun yang berani menolongnya, juga tak ada 

yang tahu mau berbuat apa menyaksikan 

keadaan Perwira Pengantin itu. Lolongan Raden 

Haryo makin parau, makin perlahan. Akhirnya 

hanya terdengar suara erangannya. Tubuhnya 

tergelimpang roboh menelentang. Nyawanya 

lepas. Kedua matanya hanya merupakan rongga 

mengerikan bergelimang darah!Di dalam ruangan, burung kelelawar masih 

terbang berputar-putar sambil keluarkan suara 

men-cuit-cuit. Lalu terdengar satu cuitan sangat 

keras dan binatang ini kemudian melesat 

meninggalkan pendopo, lenyap dalam kegelapan 

malam ke arah timur Kotaraja.

Orang banyak walaupun masih dalam 

keadaan ketakutan dan penuh ngeri, perlahan-

lahan melangkah mendekati mayat Raden 

Haryo. Mereka merinding ketika melihat 

bagaimana keadaan wajah Perwira Kerajaan itu.

Salah seorang yang ikut berkerumun di 

tempat itu adalah Lor Ametung, Kepala Desa 

Babakan, ayah Ranawarti yang ditinggal begitu 

saja oleh Raden Haryo dalam keadaan hamil 

enam bulan.

Lor Ametung sunggingkan seringai men-

gejek. Hatinya penuh kepuasan.

“Akhirnya mampus juga manusia keparat 

ini!” kata Lor Ametung dalam hati. Lalu 

perlahan-lahan dia melangkah tinggalkan 

pendopo.



6


ORANG TUA berbaju rombeng itu lari 

sekencang yang bisa dilakukannya dalam 

kegelapan malam di antara kerapatan pohon-

pohon kelapa. Bagaimanapun dia berusaha lari 

sekencangnya namun tetap saja tidak dapat 

memperjauh jarak-dengan mahluk pengejarnya 

yakni Kelelawar Hantu! Binatang ini detik demi 

detik bertambah dekat. Suara sayapnya 

menderu di antara hembusan angin malam 

yang datang dari teluk. Suaranya mencuit-cuit 

terdengar seperti tambah keras tanda tambah 

dekat.

Pohon-pohon kelapa semakin jarang tanda 

sesaat lagi dia akan mencapai pantai. Sekilas 

memandang ke belakang Kelelawar Hantu 

ternyata hanya tinggal terpisah sekitar enam 

sampai tujuh tombak saja!

“Celaka! Kemana aku harus pergi! Kaki ini 

sudah berat dibawa lari...!”

“Cuit... cuit... cuit...’!”

Di hadapan Daeng Ponto Jene kini 

menghampar Teluk Ular. Sunyi dan hitam 

dalam kepekatan malam. Dia berlari sepanjang 

tepi pantai. Tak ada tempat untuk berlindung, 

tak ada tempat untuk sembunyi sementara 

Kelelawar Hantu tambah dekat... tambah dekat. 

Satu-satunya jalan adalah menghambur masuklaut. Tapi berapa lama dia bisa menyelam untuk 

bersembunyi dalam air sebelum napasnya 

menyengat dan paru-parunya bisa pecah oleh 

tekanan air. Sesekali kepalanya muncul di 

permukaan laut untuk menghirup hawa segar, 

binatang celaka itu pasti akan menyambarnya. 

Dari pada mati menyerah seperti itu lebih baik 

melawan sebisa mungkin.

Si orang tua mengambil keputusan. Di 

hadapannya kelihatan sebuah perahu tua lapuk 

yang sudah hancur «ebagian dindingnya. 

Secepat kilat

Daeng Ponto Jene menghampiri perahu itu 

dan menendangnya hingga hancur berkeping-

keping. Dia melakukan hal itu untuk 

mendapatkan beberapa potong kayu perahu 

yang bisa dipergunakannya untuk menghajar 

Kelelawar Hantu. Tapi alangkah terkejutnya

ketika dalam...perahu yang hancur itu 

melompat keluar sesosok tubuh disertai caci 

maki menggeledek.

“Setan alas! Siapa yang berani mengganggu 

orang enak-enak tidur dalam perahu!”

Orang yang memaki langsung menghampiri 

Daeng Ponto Jene. Semula orang tua ini 

menyangka itu adalah sosok tubuh Datuk Teluk 

Ular yang tahu-tahu telah bersembunyi dan 

mencegatnya di tempat itu. Tapi dia segera 

mengenali itu bukan suara si datuk jahanam 

dan memperhatikan orang yang di depannyajelas bukan sosok tubuh Datuk Ular melainkan 

seorang pemuda berpakaian putih berambut 

gondrong!

“Maafkan aku! Aku tidak tahu kalau ada 

orang dalam perahu. Aku...”

Daeng Ponto Jene tidak dapat teruskan 

kata-katanya karena saat itu dari belakang 

terdengar suara mencuit disertai deru sayap 

Kelelawar Hantu. Orang tua ini cepat jatuhkan 

diri seraya berteriak memberi ingat.

“Awas kelelawar maut! Lekas tiarap!”

Daeng Ponto Jene jatuhkan diri ke pasir, 

sambil berguling dia menyambar sepotong kayu 

sebesar lengan.

Burung kelelawar berkelebat mencuit. Gagal 

menyerang Daeng Ponto Jene, binatang ini 

berkelebat ke arah pemuda berambut gondrong 

yang masih berdiri dalam jengkel.

“Eit... apa ini?!” Si pemuda berseru kagat 

ketika dilihatnya kelelawar besar itu melesat ke 

arah kepalanya. Secepat kilat si pemuda tekuk 

lututnya. Tubuhnya turun ke bawah, tangan 

kanannya menjotos ke atas. Luput! Jotosannya 

hanya mengenai tempat kosong.

Kelelawar Hantu mencuit. Berputar lalu 

berkelebat. Kini kembali menyerang Daeng 

Ponto Jene. Orang tua ini hantamkan kayu di 

tangan kanannya sementara tangan kiri 

lepaskan pukulan tangan kosong mengandung 

tenaga dalam tinggi dan menghambur angin

dahsyat!

Bless!

Buk!

Praak!

Hantaman angin deras hanya mengenai 

tempat kosong. Kelelawar hantu berkelebat 

mengelak sambil hentakkan sayapnya, 

menyambut serangan kayu. Sekali sayap dan 

kayu perahu beradu keras, kayu di tangan si 

orang tua hancur berantakan!

Melihat kejadian ini pemuda berambut 

gondrong terkesiap kaget. “Bagaimana ada 

seekor kelelawar bisa menyerang manusia 

seperti ini... ”pikirnya dalam hati. Justru saat 

itu si kelelawar kembali membalik dan 

menyerangnya. “Kurang ajar!” si pemuda 

menyumpah. Wajahnya sesaat jadi pucat. Sayap 

kelelawar itu sempat membabat segumpal 

rambut di kepalanya. Kain putih pengikat 

kepalanya robek besar.

”Kalau tidak kubunuh mahluk celaka ini 

nyawaku bisa dirampasnya...” kertak si 

pemuda. Lalu dia berdiri di tengah kalangan. 

Lutut sedikit menekuk, tangan kanan diangkat 

dan ditarik sejajar dada. Sesaat kemudian 

tangan itu telah berubah keputih-putihan 

seperti perak; Kelelawar Hantu datang 

menyerbu. Si pemuda hantamkan tangan 

kanannya.

Terdengar suara menggelegar. Sinar putihberkiblat dan hawa panas luar biasa 

menyungkup tempat itu.

“Cuit... cuit... cuit...!”

Kelelawar Hantu ternyata telah berada di 

tempat lain, selamatkan diri dari pukulan sinar 

matahari yang sangat ditakuti dalam dunia 

persilatan!

Si pemuda ternganga saking kagetnya. 

“Kalau mahluk setan itu bisa mengelakkan 

pukulan saktiku, ah! Benar-benar celaka! 

Mengapa aku musti tersesat ke teluk ini!”

“Selamatkan dirimu ke dalam laut anak 

muda!’ Daeng Ponto Jene berseru lalu lebih 

duiu menceburkan diri ke dalam laut karena 

baginya inilah satu-satunya jalan untuk 

menghindari serangan Kelelawar Hantu.

Pemuda berpakaian putih masih tegak 

tertegun. Tangan kirinya-menggaruk kepalanya 

yang gondrong. Matanya menyaksikan 

bagaimana orang tua berpakaian rombeng itu 

lari ke dalam laut sementara Kelelawar besar 

berusaha mengejarnya. Ketika binatang ini 

datang menyambar ke arah kepalanya Daeng 

Ponto Jene cepat menyilam.

Byaar...!

Air laut muncrat.

Kelelawar berkelebat ke udara. Berputar 

sesaat di atas air laut di tempat mana orang tua 

tadi lenyap menyelam. Pemuda berpakaian 

putih menunggu. Si baju rombeng itu pasti takakan sanggup bertahan lama dalam air. Begitu 

kepalanya muncul, kelelawar akan membabat 

batok kepalanya atau batang lehernya!

“Kasihan kalau orang tua itu menemui 

ajalnya...” begitu pemuda berambut gondrong 

membatin. Sesaat dia tidak tahu akan 

melakukan apa untuk dapat mengusir kelelawar 

itu. Jangan-jangan dirinya akan jadi umpan 

serangan seperti tadi. Padahal pukulan sakti 

andalan utama yang dimilikinya ternyata tadi 

dapat dengan mudah dielakkan oleh binatang 

itu.

Seperti yang diperkirakan si pemuda, orang 

tua berbaju rombeng hanya sanggup bertahan 

sampai hitungan ke seratus. Sesaat nafasnya 

sesak dan tekanan air membuat sekujur,tubuh 

serta kepalanya mendenyut sakit maka dia 

terpaksa munculkan kepalanya kembali dari 

dalam air. Saat itulah Kelelawar Hantu datang 

menukik!

Si orang tua cepat benamkan kepalanya 

kembali ke dalam air.

Tapi terlambat. Jaraknya dengan Kelelawar 

Hantu hanya tinggal dua jengkal saja!

Saat itulah si pemuda di tepi pantai 

keluarkan suara bentakan keras. Tubuhnya 

melesat ke jurusan tempat Daeng Ponto Jene 

berada di dalam air. Di tangan kanannya 

tergenggam sebuah senjata berupa kapak 

bermata dua yang memancarkan sinarberkilauan. Ketika kapak ini dihantamkan ke 

depan sinar menyilaukan berkiblat membuat 

laut sekitar situ terang benderang. Suara seperti 

tawon mengamuk. Hawa panas menebar sampai 

ke dalam air. Daeng Ponto Jene terlempar ke 

kiri. Kelelawar Hantu seperti menabrak satu 

dinding ataos yang tidak kelihatan. Binatang ini 

hantamkan sayapnya dua kali berturut-turut 

dan melesat tinggi ke udara sambil keluarkan 

suara cuit... cuit. Tapi sedikitpun mahluk ini 

tidak mengalami cidera. Malah dengan garang, 

setelah membuat dua kali putaran di udara, dia 

menukik menyerang si pemuda.

Yang diserang kembali menghantam dengan 

senjata mustikanya. Ternyata kali ini Kelelawar 

menyerbu tanpa dapat ditahan lagi. Sinar maut 

yang keluar dari kapak bermata dua itu 

sanggup dielakkannya dengan melayang rendah 

di atas permukaan air laut untuk kemudian 

melesat ke arah perut pemuda berambut 

gondrong!

“Celaka!” si gondrong berteriak kaget. 

Kapaknya kembali diputar. Dia melompat ke 

udara sambil tangan kiri menghantam ke 

bawah. Satu gelombang angin laksana topan 

menggebubu. Air laut muncrat sampai tiga 

tombak ke udara. Sesaat pemandangan 

tertutup. Hantaman kapak mengeluarkan suara 

seperti tawon mengamuk. Namun tetap saja 

Kelelawar Hantu tidak mengalami cidera,apalagi melarikan diri ketakutan.

Binatang itu terbang lagi berputar-putar di 

atas air laut. Daeng Ponto Jene yang 

menyaksikan semua kejadian itu lewat 

kepalanya yang dimunculkan dalam air semula 

merasa mendapatkan tuan penolong. Tetapi 

ternyata semua kehebatan pemuda yang 

mengagumkannya itu tetap tidak berdaya 

menghadapi Kelelawar Hantu yang memiliki 

kekuatan ganas akibat mantera yang dibuat 

oleh Datuk Teluk Ular.

Di udara Kelelawar Hantu mencuit keras. 

Gerakannya menunjukkan tanda-tanda dia 

bakal menyerang lagi. Dan ternyata memang 

benar!

“Ya Tuhan! Ya Guru...! Berikan aku 

petunjuk! Aku masih ingin hidup!” Si pemuda 

gondrong berteriak memohon dalam hati, 

menyebut nama Tuhan, memanggil gurunya. 

Dia meraba pinggang pakaiannya di mana 

terdapat sebuah batu hitam, batu mustika. Jika 

batu itu digosokkan ke mata kapak maka akan 

menyemburkan api yang mungkin dapat 

menghancurkan kelelawar. Tapi ternyata batu 

itu berada dalam keadaan basah.!

“Akan kucoba dengan jarum beracun!” si 

pemuda membatin sementara Kelelawar Hantu 

telah mulai menukik untuk menyerbu ke 

arahnya. Pemuda ini tekan sebuah tombol pada 

bagian hulu kapak yang berbentuk kepala naga.Terdengar suara berkesiuran. Selusin jarum 

putin mengandung racun mematikan meluncur 

ke udara, mencari sasaran di tubuh Kelelawar 

Hantu. Tapi sekali binatang ini mengepakkan 

kedua sayapnya kanan kiri, jarum-jarum 

rahasia itu mental bertaburan dan luruh masuk 

ke dalam air laut!

“Putus harapanku! Rupanya sudah 

ditakdirkan aku harus mati di tempat ini!” keluh 

si pemuda.

“Cuit...!” Kelelawar Hantu sudah menukik.

Si gondrong tampak seperti pasrah 

menunggu datangnya maut. Tiba-tiba saja dia 

ingat sesuatu. Gagang kapak yang berbentuk 

kepala naga diangkatnya ke kepalanya. Mulut 

kepala naga ditempelkannya ke bibirnya. Enam 

jari tangannya bergerak ke arah enam buah 

lobang di badan kapak yang berbentuk seruling. 

Pemuda ini salurkan tenaga dalamnya dari 

perut ke dada terus ke tenggorokan. Lalu dia 

menipu sekuat yang bisa dilakukannya.

Satu lengkingan suara yang sangat keras 

seperti membelah langit di tempat itu. Air laut 

bergelombang. Daeng Ponto Jene merasakan 

seperti ada besi panas yang disodokkan ke 

dalam kedua liang telinganya. Orang ini cepat 

tusukkan dua jari tangannya untuk menutup 

jalan pendengaran. Dadanya bergetar keras dan 

matanya terasa perih. Tapi dia masih sempat 

melihat apa yang terjadi. Suara lengkinganseperti ribuan seruling ditiup bersama yang 

keluar dari kapak mustika yang dipegang si 

pemuda, membuat Kelelawar Hantu seperti 

terhentak. Kepalanya mendongak ke udara. 

Tubuhnya seperti kehilangan keseimbangan. 

Binatang ini mencuit beberapa kali,. Sesaat 

tubuhnya mengapung di udara. Sepasang 

telinganya yang berdaun lebar tampak bergetar 

hebat. Matanya yang berwarna merah 

mendadak menjadi redup dan berputar-putar. 

Binatang ini mencuit sekali lagi. Dari telinga 

kirinya tampak ada darah yang mengucur!

Si pemuda makin keraskan tiupan seruling 

mautnya itu!

“Cuit...cuit... cuit...”

Kelelawar Hantu tak sanggup lagi bertahan. 

Setelah menggelepar beberapa kali dan hampir 

terjerumus jatuh ke dalam air laut binatang ini 

akhirnya hentakkan sayapnya dan dan terbang 

terhuyung-huyung ke arah pedalaman teluk.

Pemuda berambut gondong berlahan-lahan 

turunkan kedua tangannya yang memegang 

kapak. Sekujur tubuhnya meskipun berada 

dalam air terasa berkeringatan. Nafasnya yang 

tadi terasa sesak karena pengerahan tenaga 

dalam habis-habisan sewaktu meniup kapak, 

kini terasa lega kembali. Getaran tubuhnya 

akibat goncangan ancaman maut kini 

mengendur.

“Gila... benar-benar gila...” desisnya.Dari samping kiri terdengar suara air laut 

bergemericik lalu suara orang tua berbaju 

rombeng itu bertanya.

“Anak muda... Siapa namamu?”

Si pemuda putar kepalanya sambil 

menyerinai. Dia menjawab. “Aku pemuda tolol 

bernama Wiro Sableng...”



7


“WIRO SABLENG!” Daeng Ponto Jene berseru 

keras. Suaranya bukan saja menunjukkan rasa 

kagum tapi juga bernada gembira. Mulutnya 

menyunggingkan senyum padahal darah masih 

menetes dari telinga kanannya yang sum-plung 

akibat cengkeraman cakaran Kelelawar Hantu. 

“Bukankah kau muridnya nenek sakti dari 

gunung Gede bernama Sinto Gen... Gendang!”

Wiro tertawa. “Sinto Gendeng, bukan Sinto 

Gendang!” ujar si pemuda. “Apakah kau kenal 

dirinya...?”

“Kami pernah berjumpa ketika di puncak 

Merapi sepuluh tahun silam ada pertemuan 

para tokoh dan datuk dunia persilatan. Waktu 

itu aku bertin dak menjadi wakil dari para 

sahabat di tanah Bugis. Nenek tua jelek dan 

nyiyir itu... ah! Aku tidak bisa melupakan 

kelihayannya. Ilmunya segudang. Tenaga 

dalamnya tinggi luar biasa. Dan siapa nyana 

hari ini, di kala maut hendak merenggut aku 

bertemu dengan muridnya! Ha... ha... ha...! Dan 

ternyata kau menjadi tuan penolongku!”

“Untung saja kita tidak sama-sama mati 

jadi santapan kelelawar aneh tadi. Bagaimana 

kau bisa dikejar dan diserangnya?” bertanya 

Wiro. Lalu dia menarik tangan orang tua itu danmembawanya keluar dari air laut. Mereka 

kemudian duduk di atas pasir.

“Panjang ceritanya pendekar muda. Ini 

semua gara-gara Datuk Teluk Ular murid 

keparat itu...”

“Kalau ceritanya memang panjang, biar 

kubantu dulu mengobati telingamu yang 

buntung. Pasti kelelawar itu yang meng-

geragot...!”

Si orang tua seperti baru ingat akan luka di 

telinganya. Dengan tangan kanan dirabanya 

telinganya yang buntung. Orang tua ini 

menyeringai kesakitan dan menyumpah-

nyumpah. Selesai mengobati luka Daeng Ponto 

Jene dengan perbekalan obat yang selalu 

dibawanya, Wiro mendengarkan penuturannya. 

Selesai bercerita Daeng Ponto Jene menarik 

nafas panjang.

“Kulihat tadi binatang celaka itu terluka di 

dalam oleh lengking gagang kapakmu yang 

berbentuk seruling! Senjata luar biasa! Tapi 

kalau kelelawar itu belum mampus, dunia ini 

kurasa tidak akan aman. Dan aku tidak 

mungkin mendapatkan kembali Badik Bulan 

Bintang sesuai dengan pesan guru...”

“Agar kau bisa tenteram, mengapa tidak 

kita datangi sarang sang Datuk dan membunuh 

kelelawar iblis dengan itu dengan tiupan 

sulingku...”

“Senjatamu memang ampuh. Hanya tiupan

seruling itu agaknya yang bisa menghadapi 

Kelelawar Hantu! Tapi... bagaimanapun 

hebatnya terlukanya Kelelawar Hantu itu, dia 

tak akan bisa dibunuh sebelum Datuk Ular 

menemui kematiannya!”

“Wah, berabe juga urusan ini!” ujar Wiro 

seraya garuk-garuk kepala.

“Terlalu besar... Terlalu besar bencana yang 

timbul kalau mantera itu disalah gunakan...”

“Kalau begitu kenapa tidak kau mencari 

kelelawar lain atau binatang apa saja. Bacakan 

mantera dan suruh dia membunuh kelelawar

itu...” kata Wiro pula.

Daeng Ponto Jene gelengkan kepala. “Di situ 

sulitnya. Selama ada satu mantera telah 

diucapkan untuk seekor binatang atau mahluk 

hidup apa saja yang bukan manusia, maka 

mantera kedua tidak akan makbul. Kecuali 

kalau binatang pertama telah menemui ajalnya 

lebih dulu. Dan dia tidak bisa mati selama 

Datuk Teluk Ular masih hidup...” Lagi pula aku 

tidak menguasai mantera itu.”

“Gampang, mengapa tidak kau bunuh saja 

Datuk celaka itu?” tanya Wiro.

“Aku hampir berhasil mengalahkannya. 

Tapi keburu datang Kelelawar Hantu itu. 

Selama binatang itu berada di dekatnya sulit 

bagi kita untuk melakukan hal itu...”

“Aku yakin, segala sesuatu pasti ada 

penangkalnya. Segala sesuatu pasti adakelemahannya...”

“Betul. Tetapi apa...? Apa penangkal 

Kelelawar Hantu itu. Di mana kelemahannya...”

“Tadi mengapa telinganya bisa mengeluar-

kan darah? Bukankah itu berarti ada 

kelemahannya?”

Daeng Ponto Jene mengangguk. “Tapi begitu 

Datuk Ular memegang kepala binatang itu, atau 

meniupnya dan membacakan mantera baru. 

Kelelawar itu akan sembuh kembali. Dan dia 

akan jadi lebih ganas dari sebelumnya!”

“Menurutmu apakah Kelelawar itu akan 

dikirim kembali oleh Datuk Telur Ular 

kemari...?”

“Mungkin juga. Mengapa kau bertanya 

begitu anak muda...?”

“Jangan menoleh dulu. Aku mendengar 

suara geresek senjata dihunus dari sarungnya. 

Aku juga melihat ada bayangan berkelebat di 

balik semak belukar di ujung kiri, dekat pohon 

kelapa yang disambar petir...”

“Kalau begitu biar kuhantam dengan 

pukulan jarak jauh!” ujar Daeng Ponto Jene 

pula.

Tangan kanannya segera dialiri tenaga 

dalam. Lalu perlahan-lahan diangkat ke atas. 

Ketika orang ini siap untuk menghantam tiba-

tiba terdengar bentakan lantang. Sesosok tubuh 

laksana bayangan berkelebat cepat sekali.

“Siapa di antara kalian Da

tuk Teluk Ular!”Begitu bentakan lenyap Pendekar 212 Wiro 

Sableng merasakan ada angin menyambar di 

sampingnya dan tahu-tahu ujung sebilah golok 

pendek telah menempel di tenggorokannya!


8


SEUMUR HIDUPNYA tak pernah murid Sinto 

Gendeng melihat gerakan yang begitu cepat 

hingga dia tidak mampu berbuat apa-apa. Kini 

dengan sebilah golok menusuk tenggorokannya, 

sepasang mata pendekar itu jadi melotot tak 

berkesip, tengkuknya sedingin es. Memandang 

ke depan Wiro menyaksikan, yang menodong-

nya dengan ujung golok itu ternyata adalah 

seorang dara berpakaian merah, berikat kepala 

merah, bahkan golok yang digenggamnya 

memancarkan sinar redup berwarna kemerah-

an.

“Eh...! Apa-apaan ini...?” Daeng Ponto Jene 

bertanya keheranan. Diam-diam diapun dibuat 

kaget oleh kecepatan gerakan orang. Padahal 

sebelum membentak orang itu masih berada 

sekitar empat tombak di balik semak belukar.

“Tua bangka jangan banyak mulut!” dara 

berbaju merah membentak kembali. Suaranya 

benar-benar keras dan air mukanya menyata-

kan bahwa dia tidak main-main. “Jika tidak 

lekas mengaku ujung golok ini akan 

memancung leher manusia gondrong ini!”

Wiro gigit-gigit bibirnya. Dia tidak berani 

melakukan gerakan apapun karena merasa 

ragu. Dia telah menyaksikan kecepatan gerak si 

gadis berpakaian merah. Kalau dia berusaha

menghindarkan tusukan golok dan kalah cepat, 

bukan mustahil gadis itu benar-benar akan 

memancung lehernya.

“He... eh... Aku bukan Datuk Teluk Ular...” 

Wiro membuka mulut. Lidahnya terasa kelu. 

“Orang tua itu juga bukan... Mengapa...”

“Dusta!” menghardik si baju merah. “Salah 

satu di antara kalian pasti Datuk Teluk Ular

Wiro telan ludahnya. Tenggorokannya turun 

naik.

“Apakah aku ada tampang seorang Datuk. 

Juga kawanku yang berpakaian rombeng itu 

ada potongan Datuk...?” ujar Wiro.

“Sejak empat tahun silam, teluk ini tidak 

berpenghuni. Kecuali didiami Datuk Teluk Ular. 

Aku pasti sekali salah satu dari kalian adalah 

Datuk Teluk Ular, manusia iblis pemelihara 

Kelelawar Hantu...!” Lekas mengaku agar aku 

tidak sampai membunuh kalian keduanya!”

“Agaknya kita berada di pihak yang sama 

gadis gagah...” Daeng Ponto Jene membuka 

mulut.

Tanpa berpaling dan tanpa mau menggeser 

ujung goloknya dari tenggorokan Wiro sang dara 

membentak: “Apa maksudmu dengan ucapan 

itu?...

“Dari cara dan nadamu bicara aku mencium 

bau dendam kesumat di hatimu. Dendam 

terhadap Datuk Teluk Ular...

“Kau tahu apa segala macam dendamkesumat orang tua!?”

Daeng Ponto Jene tertawa perlahan.

“Aku tahu karena akupun mengindap 

dendam yang sama. Kau lihat telingaku yang 

sumplung ini...?” Daeng Ponto Jene menunjuk 

ke telinga kanannya.

“Perduli apa aku dengan telingamu. Mau 

buntung, mau apa bukan urusanku...!”

“Kau mau telingamu buntung seperti itu...?” 

Wiro tiba-tiba menyeletuk dan menyeringai 

ketika sang dara memandang padanya dengan 

melotot. Tapi pemuda ini serta merta mengeluh 

aduh ketika si baju merah tekankan ujung 

golok hingga kulit leher Wiro tergores dan 

berdarah. Wiro kerenyitkan kening dan gigit 

bibir menahan rasa perih dan sakit. Tapi 

kemudian dia tertawa.

“Sekali lagi kau berani membuka mulut, 

tembus lehermu dengan golok ini!” mengancam 

sang dara. “Jangan bersikap ceriwis padaku! 

Kau kira tampangmu jadi gagah tertawa seperti 

itu? Huh?!”

“Gadis gagah, turunkan tanganmu yang 

memegang golok itu. Tidak satupun di antara 

kami adalah Datuk Teluk Ular. Barusan saja 

kami lolos dari serangan maut Kelelawar Hantu 

peliharaan Datuk Keparat itu... Telingaku yang 

kanan ini, putus disambar cakaran binatang 

celaka itu...!”

Sekilas ada bayangan rasa bimbang diwajah si gadis. Tapi tangannya yang memegang 

golok tetap tidak mau diturunkannya.

Wiro kembali tampak senyum-senyum. Dia

tahu kalau si gadis galak mulai merasa ragu. 

Maka dia pun berkata, “Kalau salah seorang 

dari kami memang benar Datuk Teluk Ular, 

pasti di tempat ini juga ada Kelelawar Hantu itu. 

Kau lihat sendiri di sini hanya ada aku seorang 

pemuda tolol yang tak berdaya di bawah 

ancaman golok, lalu orang tua berpakaian 

rombeng dan bau itu, dan kau seorang gadis 

cantik yang entah muncul dari mana tapi tahu-

tahu membuat kami dua lelaki tua bangka dan 

muda geblek tak bisa berdaya. Betapa 

memalukan kalau sampai ada orang lain yang 

melihat...!”

Daeng Ponto Jene tertawa mengekeh. Lalu 

dia berkata: “Lebih baik kita tinggalkan tempat 

ini sebelum Datuk Teluk Ular dan Kelelawar 

Hantunya datang membawa bencana

“Jika kau takut silahkan angkat kaki. Aku 

tidak akan pergi sebelum mengetahui di mana 

beradanya Datuk biadab itu!”

“Nah... nah, kalau begitu kau kini yakin 

bahwa kami bukan Datuk Teluk Ular. Jadi 

apakah kau mengizinkan aku yang muda ini 

boleh, pergi...? Masa kakek-kakek itu saja yang 

boleh meninggalkan tempat ini. Atau mungkin 

kau ada maksud tersembunyi ingin berdua-

duaan denganku...?”Kaki kanan dara berpakaian merah 

berkelebat.

Bukk!

Tubuh Wiro Sableng berdiri ke depan lalu 

terpental satu tombak. Tendangan si gadis tepat 

bersarang di pertengahan perutnya. Sesaat 

pemuda ini melingkar di atas pasir sambil 

mengeluh kesakitan. Tapi sebenarnya dia hanya 

berpura-pura karena sewaktu gadis itu 

menggerakkan kaki untuk menendang, sekali 

ini Wiro berhasil memperhatikan hingga dia 

cepat lindungi tubuhnya sebelah bawah dengan 

tenaga dalam.

“Rasakan! Itu bagiannya orang bermulut 

usil!” kata gadis baju merah pula. Goloknya kini 

dimelintangkan di depan dada.

Daeng Ponto Jene tertawa-tawa dan ulurkan 

tangannya maksudnya, hendak membantu agar 

Wiro bangkit berdiri kembali. Tapi murid Sinto 

dendeng itu keluarkan ucapan: “Kalau tidak si 

jelita itu yang menolong, aku lebih suka 

terguling di pasir ini sampai pagi...!”

“Orang konyol!” mengomel sang dara 

sementara Daeng Ponto Jene kembali 

mengekeh.

Sambil tepuk-tepuk pakaian putihnya yang 

penuh bercelemong pasir akhirnya Wiro berdiri 

juga. Dia memandang sesaat pada si baju 

merah lalu melirik pada si kakek.

“Orang tua, kita tinggalkan tempat ini...?”tanya Wiro.

“Ya... ya! Akupun sudah mengajak tadi!”

“Nah, kami mau pergi. Kau ikut?” Wiro 

bertanya pada si gadis.

“Siapa sudi ikut dengan kalian...!” jawab 

sang dara pula.

“Gadis gagah,” Daeng Ponto Jene berkata, 

“Tidak mudah membalaskan dendam kesumat 

atau segala macam sakit hati terhadap Datuk 

Teluk Ular selama Kelelawar Hantu masih 

berada bersamanya. Kami berdua baru saja 

lolos dari lobang jarum maut, diserang habis-

habisan oleh Kelelawar Hantu. Kita lekas pergi 

dari sini dan menyusun rencana bagaimana 

dapat membereskan sang Datuk dan binatang 

celakanya itu...”

“Kalau bertemu masakan golok saktiku ini 

tidak dapat menghabisi keduanya?”

“Kulihat kau memang memiliki gerakan 

cepat luar biasa sampai sahabatku anak muda 

itu tidak mampu selamatkan batang lehernya 

tadi

“Sebetulnya aku bisa saja mengelak,” ujar 

Wiro. “Hanya saja tadi aku kesemsem melihat 

kecantikannya dan berlaku ayal!”.

Merah paras sang gadis. Pedangnya yang 

memancarkan sinar merah disarungkannya 

kembali. Lalu sambil membalikkan diri dia 

berkata, “Baiklah, aku akan ikut kalian”

“Eit! Tunggu dulu!” ujar Wiro. “Tidaksemudah itu ikut dengan kami

“Tadi kau yang mengajak!”

“Betul! Tapi ada syaratnya

“Jangan, mempermainkan aku! Sekali lagi 

golok sakti bernama Ki Karangasem ini kucabut, 

kepalamu tak akan bersatu lagi dengan 

badan...”

“Ah, jangan sekejam itu sahabat! Syarat 

yang kukatakan tadi tidak sulit. Asal saja kau 

mau mengatakan siapa dirimu dan apa 

urusanmu dengan Datuk Teluk Ular, beres 

sudah. Kita bisa jalan sama-sama meninggalkan 

teluk ini!”

“Aku tidak akan memberitahu siapa diriku 

dan apa sangkut pautku dengan Datuk Teluk 

Ular sebelum kalian lebih dulu menerangkan 

diri masing-masing ...”

Wiro tersenyum, berpaling pada Daeng 

Ponto Jene dan kedipkan matanya. Orang itu 

membalas dengan kedipan mata pula.

“Aku yang tua keriput dan berpakaian 

rombeng bau ini bernama Daeng Ponto Jene. 

Aku berasal dari tanah Bugis. Jauh dari sini. 

Kau pasti tidak tahu di maha letaknya...?” Habis 

berkata begitu si orang tua menjura bersikap 

hormat walau sebenarnya dia menggoda sang 

dara.

“Dan aku pemuda tolol pengangguran ini 

bernama Wiro Sableng. Terlahir di kaki Gunung 

Gede...” Lalu Wiro meniru perbuatan Daeng

Ponto Jene menjura dalam-dalam.

Gadis berpakaian merah maklum kalau dua 

orang itu menggodanya. Meski hatinya jengkel 

namun dia diam saja. Ketika dia hendak 

melangkah. Daeng Ponto Jene cepat menegur.

“Sesuai janji kau harus menerangkan siapa 

dirimu. Apa urusanmu denganDatuk Teluk 

Ular. apa kau lupa...?”

Sesaat sang dara masih diam. Namun 

akhirnya terdengar suaranya. ‘Perlahan tapi 

cukup jelas. “Lima tahun lalu Datuk Teluk Ular 

muncul di sini membawa malapetaka. Seluruh 

penduduk habis di-bunuhinya ketika dia 

mencobakan ilmu aneh lewat seekor kelelawar 

buas. Tak ada yang sanggup melawan. Yang 

masih hidup lari meninggalkan desa di teluk. 

Kedua orang tuaku ikut jadi korban. Juga tiga 

orang saudaraku. Kabarnya Datuk keparat itu 

juga menculik dua orang gadis dan menjadikan 

peliharaannya. Kemudian diketahui dua gadis 

itu menemui ajal jadi korban Kelelawarnya. 

Desa nelayan di teluk yang dulu tenteram ini 

menjadi desa hantu...”

Wiro garuk-garuk kepala sementara Daeng 

Ponto Jene tampak tercenung. “Bagaimana kau 

bisa selamat...?” bertanya orang tua itu 

kemudian.

“Ketika pembantaian besar-besaran itu 

terjadi, aku berada di desa lain jauh dari sini. 

Menjenguk saudara ibu yang sedang sakit.Bersama seorang paman aku mencari Datuk 

Teluk Ular. Pamanku tewas di tangan Kelelawar 

Hantu, aku masih bisa lolos diselamatkan oleh 

seorang nenek sakti. Nenek itu membawaku ke 

puncak gunung Lawu. Lima tahun aku 

diajarinya ilmu silat dan ilmu golok. Ketika aku 

bersikeras turun gunung untuk mencari Datuk 

Teluk Ular, dia memberikan golok Ki 

Karangasem padaku.”

“Nenek sakti di puncak Lawu itu, bukankah 

dia bernama Nyi Blorong?”

Sesaat gadis berpakaian merah terkejut 

mendengar kata-kata Wiro itu. “Kau kenal 

guruku...?” tanyanya.

“Ketika terjadi banjir besar di selatan 

beberapa tahun silam dia kutemui menolong 

banyak penduduk dari ancaman gerombolan 

rampok yang kelaparan serta ancaman binatang 

buas. Celakanya dia semula menduga aku salah 

seorang anggota rampok. Setelah kesalah 

pahaman itu dapat dijernihkan, kami sama-

sama menghancurkan sarang perampok di Goa 

Maguwo. Ketika berpisah, dia menyerahkan 

benda ini padaku disertai pesan bahwa kelak 

jika aku bertemu dengan muridnya yang 

berjodoh dengan benda ini maka aku harus 

menyerahkannya. Jika dalam waktu tujuh 

tahun aku tidak bertemu maka benda ini boleh 

menjadi milikku. Ternyata sebelum tujuh tahun 

aku telah bertemu dengan sang murid...”Paras sang dara kembali berubah 

sementara Daeng Ponto Jene terheran-heran 

mendengar ucapan Pendekar 212.

“Bukankah kau muridnya yang bernama 

Triwulan?”

Sang dara mundur satu langkan. Dadanya 

berdebar keras. Matanya menatap Wiro lekat-

lekat.

“Guru tidak pernah memberi tahu tentang 

pesan itu. Benda apa yang dimaksudkannya 

itu...?” bertanya Triwulan.

Wiro lalu keluarkan sebuah bungkusan 

kecil. Ketika kain pembungkus dibuka di 

dalamnya terlihat sebuah batu cincin berwarna 

hijau lumut, memancarkan sinar redup.

“Menurut gurumu, batu ini bernama 

Jamrut Kayangan. Khasiatnya untuk segala 

macam penyakit termasuk luka dan keracunan. 

Ini ambillah...”

Triwulan ragu-ragu mengambil batu cincin 

itu.

“Kalau kau tak mau, biar aku yang 

mengambilnya!” kata Daeng Ponto Jene sambil 

tersenyum.

“Hai! Mari kita buktikan kehebatan batu 

ini!” ujar Wiro tiba-tiba lalu melangkah 

mendekati si orang tua.

“Apa yang hendak kau lakukan...?!” Daeng 

Ponto Jene bersurut.

Wiro tangkap bahu orang itu. Batu cincindioleskannya ke jari tangan yang terluka oleh 

cakaran Kelelawar Hantu Ajaib. Darah pada 

luka serta merta berhenti dan luka itu sendiri 

menutup!

“Batu mukjizat!” seru Daeng Ponto Jene. 

“Kalau begitu tolong sembuhkan telinga 

kananku yang buntung!”

“Orang tua bodoh! Mana mungkin kuping 

yang sudah buntung bisa kembali! Tapi kalau 

hanya lukanya pasti bisa disembuhkan!” kata 

Wiro pula. Lalu batu hijau itu dioleskannya ke 

bagian telinga yang sumplung. Luka yang masih 

mengucurkan darah itu menjadi kering dan rasa 

sakit serta merta lenyap.

“Benar-benar luar biasa!” ujar Wiro. Lebih 

dari empat tahun dia mengantongi Jamrut 

Kayangan tanpa menyadari betapa hebatnya 

daya sembuh dan mukjizatnya. Batu itu 

dibersihkannya dengan ujung bajunya, 

dibungkusnya kembali lalu diulurkannya pada 

Triwulan. “Setelah melihat kehebatan batu ini, 

apakah kau masih menolak dan ragu 

menerimanya...?”

“Terima kasih...” Triwulan menyahuti dan

akhirnya mengambil batu dalam bungkusan itu.

“Nah... nah, antara kita tak ada ganjalan 

apa-apa lagi. Segala kecurigaan berganti dengan 

tali persahabatan. Mari kita tinggalkan tempat 

ini. Kita harus memikirkan bagaimana cara 

menumpas Datuk Teluk Ular dan KelelawarHantunya...”

Daeng Ponto lalu memegang lengan kedua 

orang muda itu dan ketiganya meninggalkan 

tapi pantai dengan cepat.


9


SEPASANG MATA MERAH Datuk Teluk Ular 

membeliak besar seperti menyala ke tika 

melihat Kelelawar Hantu kembali dengan telinga 

mengucurkan darah. Binatang ini menjatuhkan 

dirinya di pangkuan sang Datuk dan 

mengeluarkan suara mencuit perlahan berulang 

kali.

“Kurang ajar! Siapa yang punya pekerjaan 

ini!” kata Datuk Teluk Ular sambil menggebrak 

lantai rumahnya. “Tidak mungkin si tua bangka 

bau itu! Tidak mungkin!” Datuk Ular perhatikan 

kepala kelelawar terutama pada kedua 

telinganya. “Aneh... tak ada tanda tusukan. Tapi 

mengapa telinga kiri mengeluarkan darah...?”

“Cuit... cuit... cuit...”

“Tenang... tenang kelelawarku. Luka di 

telingamu akan kuobati. Bila sudah sembuh 

kau harus mencari orang yang mencelakaimu 

itu dan membunuhnya. Hancurkan mukanya. 

Korek kedua matanya! Robek perutnya biar 

ususnya ber-busaian!”

“Cuit... cuit... cuit... I”

Dengan kedua telapak tangannya Datuk 

Teluk Ular menekap kepala burung kelelawar. 

Kepalanya mendongak. Matanya terpejam dan 

mulutnya mulai komat-kamit membaca 

mantera.Beberapa saat berlalu. Perlahan-lahan 

Datuk Teluk Ular lepaskan tekapannya. Tampak 

tetasan darah di telinga kiri kelelawar 

mengering dan rontok ketika diusap. Kelelawar 

itu sendiri yang sebelumnya tampak kuyu lemas 

kini beruban tegar dan galak. Suara cuitannya 

melengking karat. Sepasang matanya yang 

merah menyala-nyala.

Datuk Teluk Ular usap-usap punggung 

Kelelawar Hantu.

“Tenang kelelawarku. Tenang... Aku tahu 

kau sangat marah dan ingin membalas dendam 

pada orang yang telah mencelakaimu. Tapi 

jangan kesusu. Tunggu sampai pagi. Setelah 

kau terluka tidak boleh keluar menyerbu di 

malam buta begini. Musuh pasti berada di 

sekitar teluk. Kita akan membunuhnya besok 

pagi. Aku akan menyertaimu untuk 

menyaksikan...!”

“Cuit... cuit... cuit!”

“Bagus... bagus. Kau bisa bersabar 

menahan diri. Sekarang kau harus istirahat. 

Besok kita kerja keras. Mungkin bukan hanya 

seorang yang akan kita hadapi... ”

“Cuit... cuit... cuit...”

•••

DATUK TELUK ULAR tegak bertolak ping 

gang di tepi pantai sesaat setelah matahari 

muncul di sebelah timur. Angin laut masih 

terasa dingin. Rambutnya yang panjang putihmelambai-lambai. Sepasang matanya yang 

merah tidak berkesip dan tampangnya yang 

angker sedikitpun tidak bergeming. Namun dua 

mata berwarna merah itu sesaat kemudian 

tampak menyipit ketika di kejauhan dia melihat 

sesosok tubuh terbujur di atas pasir pantai. 

Sang Datuk memandang ke langit. Kelelawar 

Hantu terbang berputar-putar. Dia memaling-

kan lagi pandangannya ke arah sosok tubuh. 

Dengan membuat enam kali lompatan saja 

manusia berwajah angker itu sampai di 

hadapan sosok tubuh yang menggeletak. Sesaat 

sang Datuk jadi tercekat!

Yang terbujur di atas pasir itu ternyata 

adalah seorang gadis berparas jelita. 

Rambutnya yang panjang hitam dan basah 

tergerai lepas. Seluruh pakaiannya yang 

berwarna merah basah kuyup dan seperti 

tercetak pada auratnya yang bagus, membuat 

Datuk Teluk Ular merasakan darahnya menjadi 

panas dan mengalir lebih cepat. Apalagi bagian 

dada pakaian sang dara agak tersingkap.

Salah satu tangan dara berbaju merah itu 

memegang sepotong papan kecil. Datuk Teluk 

Ular memandang ke laut. Hanya sesaat karena 

di lain kejap kedua matanya kembali 

menelusuri sosok tubuh di atas pasir, seperti 

hendak menelanjanginya. Sang Datuk duduk 

berlutut di samping sosok tubuh. Tangannya 

meluncur cepat ke dada yang tersingkap, laluterdengar tawanya mengekeh.

“Masih hidup... masih hidup...”

Sosok tubuh yang terbujur itu tiba-tiba 

bergerak menggeliat. Serasa sesak nafas Datuk 

Teluk Ular ketika melihat geliatan itu 

menyebabkan bagian dada sang dara terbuka 

tambah lebar!

Sepasang mata yang tadi terpejam kini 

membuka perlahan. Ah mata itu bagus dan 

bening sekali, benar-benar mempesona sang 

Datuk. Ketika mata itu melihat sosok tubuh 

Datuk Teluk Ular yang berlutut di sampingnya, 

sang dara seperti ketakutan dan bangkit dengan 

cepat, duduk di pasir dan bersurut beberapa 

langkah lalu berdiri sambil pegangi keningnya. 

Datuk Teluk Ular ikut berdiri.

“Di mana aku... Perahuku... Mana 

perahuku...” Si baju merah memandang ke arah 

laut. Lalu seperti lemas dia terduduk ke pasir. 

Ketika Datuk Teluk Ular datang mendekat, 

gadis ini kembali tampak ketakutan.

“Jangan takut gadis cantik... Jangan takut. 

Aku tidak akan menyakitimu. Katakan siapa 

namamu dan mengapa pagi-pagi begini terbujur 

di pantai...”

“Aku... perahuku dilanda badai menjelang 

pagi dan karam. Aku berusaha berenang 

mencapai pantai. Ternyata... ternyata...”

’Ternyata kau selamat dikirimkan ombak ke 

pantai teluk ini...’!” menyambut Datuk TelukUlar.

“Teluk... Apakah aku berada di teluk...”

“Betul, kau berada di teluk yang indah. 

Kawasan ini adalah daerah kekuasaanku!”

“Siapa kau! Wajahmu menakutkan sekali.

Jangan mendekat. Aku datang dari jauh. 

Sengaja mengarungi laut untuk mencari Datuk 

Teluk Ular...”

“Hai! Kau memang berada di Teluk Ular. 

Dan aku adalah Datuk yang kau cari...!” kata 

Datuk Teluk Ular hampir berseru.

Sang dara menunjukkan wajah seperti tidak 

percaya.

“Dengar gadis cantik berbaju merah,” kata 

sang Datuk. Matanya melirik ke dada si gadis. 

“Kau telah bertemu dengan orang yang kau cari. 

Aku kepingin tahu mengapa kau mencariku. 

Maksud baik atau maksud jahat...?”

“Jadi kau betul Datuk Teluk Ular? Tidak 

bohong?!”

“Setan sekalipun tak akan berani bohong 

pada gadis secantikmu ini...”

“Kalau begitu, aku harus memberi 

penghormatan padamu!” Lalu gadis berbaju 

merah itu membungkuk dalam-dalam berulang 

kali dan baru berhenti setelah Datuk Teluk Ular 

menegurnya.

“Sudah... sudah... Jangan menghormat 

seperti itu. Ayo katakan mengapa kau 

mencariku. Tapi tunggu, terangkan dulunamamu!”

“Aku Supani. Aku sengaja berlayar dari jauh 

mencarimu karene ingin menjadi muridmu. 

Sudah lama nama besar Datuk sampai di 

telingaku. Kehebatan Datuk, termasuk kabar 

bahwa Datuk memelihara seekor burung sakti, 

entah burung apa namanya!”

Datuk Teluk Ular tertawa gelak-gelak.

“Nama hebat memang ditiupkan angin ke 

mana-mana. Lihatlah ke atas. Seekor kelelawar 

terbang di udara berputar putar. Itulah burung 

yang kau maksudkan. Tapi binatang itu tidak 

sakti. Akulah yang memberikan kesektian 

padanya...”

“Luar biasa! Datuk sanggup memberikan 

kesaktian pada seekor burung. Tentu dapat 

pula memberikannya pada seorang manusia 

sepertiku...”

’Tentu saja! Tentu saja!” jawab Datuk Teluk 

Ular.

“Jadi Datuk bersedia mengambilku jadi 

murid...?”

“Lebih dari itu Supani! Lebih dari itu! Kau 

suka hidup bersamaku...?”

“Maksud... maksud Datuk...?”

“Kau akan kujadikan istri! Mau? Pasti mau!” 

Dan tangan sang Datuk mencuil dagu Supani.

“Ah Datuk ini...” ujar Supani seperti malu 

tapi matanya mengerling membuat sang Datuk 

blingsatan.“Dengar Supani! Kau kuterima jadi murid. 

Sekaligus jadi istri! Jika saat ini kukatakan kau 

jadi istriku maka berarti kau sudah resmi jadi 

istriku!”

“Ah Datuk ini...”

“Sebagai murid kau tak boleh menolak 

perintah guru. Sebagai istri kau harus patuh 

pada suami! Pakaianmu yang basah perlu 

dikeringkan. Mari kita ke semak belukar sana. 

Akan ku bantu kau membuka pakaian itu dan 

menjemurnya

“Tapi aku tidak memiliki pakaian pengganti 

Datuk...”

“Kau tidak memerlukan itu Supani,” sahut

Datuk Teluk Ular. Lalu dengan gerakan 

cepat dia mendukung tubuh sang Dara, 

membawanya ke balik serumpunan semak 

belukar dan membaringkannya di sana.

Ketika tangan sang Datuk hendak 

membuka pakaiannya, Supani pegang lengan 

orang itu seraya bertanya: “Datuk, apakah tak 

ada orang lain di tempat ini. Malu sekali kalau 

ada yang sempat melihat...”

“Setan pun tak ada yang berani berada di 

daerah ini. Apalagi manusia! Semua takut 

padaku!”

“Tapi burung kelelawar itu Datuk. Aku 

merasa takut dan gelisah kalau dia terus-

terusan terbang di atas kita. Matanya seperti 

memperhatikan. Aku tak sudi Datuk membukapakaianku kalau binatang itu masih ada di 

sekitar sini...”

Datuk Teluk Ular tertawa. Hidungnya 

kembang kempis. Dia jadi tak habis pikir 

mengapa mendapatkan rejeki besar pagi itu. 

Maka diapun menjawab: “Tak usah kawatir. 

Aku akan suruh kelelawar itu pergi jauh-jauh 

dari sini...”

“Ya... sebaiknya begitu Datuk

Datuk Teluk Ular lambaikan tangannya ke 

udara dan berseru: “Kelelawar Hantu, pergi dari 

sini. Jangan kembali sebelum aku memanggil-

mu!”

“Cuit... cuit... cuit

Kelelawar Hantu mengepakkan sayapnya 

dengan deras. Tubuhnya berputar ke timur. 

Sesaat kemudian binatang ini sudah melesat 

dan lenyap dari pemandangan.

“Nah, sekarang tak ada lagi yang perlu di 

risaukan,” kata Datuk Teluk Ular dengan nafas 

mendesau dan nafsu memburu. Kedua tangan-

nya meluncur ke bawah untuk membuka 

pakaian merah Supani. Sang dara lagi-lagi 

pegangi kedua lengannya.

“Kalau Datuk suka biar aku yang membuka 

pakaian Datuk lebih dulu

“Ah!” Datuk Teluk Ular terperangah. Lalu 

tertawa mengekeh. “Ini baru kejutan. Ini baru 

kejutan... Lakukanlah! Kau boleh membuka 

pakaianku! Lebih cepat lebih nikmat! Ha.ha...ha!”


10


BATU HITAM berlumut yang telah puluhan 

tahun di tepi pantai teluk seperti tidak 

termakan usia, mendekam menantang angin 

dan hempasan ombak. Sama sekali tidak 

bergerak.

Sosok tubuh yang duduk di atasnya juga 

tidak bergerak. Dua tangan disilangkan di 

depan dada. Rambut putih berkibar-kibar ditiup 

angin. Ada keanehan pada raut wajahnya yang 

angker tertutup cambang bawuk. Kedua 

matanya menatap jauh ke daratan teluk yang 

penuh ditumbuhi pohon-ponon kelapa. Di timur 

sang surya baru saja menyembul naik. Udara 

pagi terasa segar walau tidak terlepas dari hawa 

yang mengandung garam.

Seperti wajahnya, juga terlihat keanehan 

pada kedua mata manusia tua ini. Mata itu 

dilingkari cairan berwarna merah hingga 

bentuknya seram sekali.

“Cuit... cuit... cuit...!”

Keheningan teluk, hembusan angin dan 

deburan ombak dipecah oleh suara mencuit 

keras. Dari arah barat tampak melayang seekor 

kelelawar besar bersayap lebar. Binatang ini 

melesat ke timur seolah-olah hendak mengejar 

matahari. Namun di pertengahan telukkelelawar ini melayang ke atas lalu terbang 

berputar-putar. Sepasang matanya yang merah 

menatap menyorot ke arah sosok tubuh yang 

duduk di atas batu berlumut.

“Cuit... cuit... cuit...!”

Kelelawar mencuit lagi lalu menukik. Wajah 

angker bercambang bawuk nampak tegang

sesaat. Kelelawar melesat ke kiri lalu terbang 

berputar-putar sejarak lima tombak di atas 

kepala berambut putih itu!

“Kelelawarku!” tiba-tiba orang di atas batu 

berseru keras. Suaranya membahana. 

Bersamaan dengan itu tangan kanannya 

diangkat ke atas. “Aku Datuk Telur Ular akan 

memberi perintah...”

Sepasang mata yang diberi cairan merah itu 

melirik ke atas. Di udara burung kelelawar 

besar masih terus terbang berputar-putar.

“Kelelawar Hantu!” orang tua itu kembali 

berseru. “Apa kau tidak dengar ucapanku?!”

Kelelawar di atas sana masih terus terbang 

berputar. Matanya menyorot ke bawah seperti 

menyelidik.

“Kelelawar Hantu...!” Si muka angker di atas 

batu kembali berteriak.

“Cuit... cuit... cuit!”

Terdengar kelelawar besar mencuit sebagai 

jawaban.

“Bagus! Apakah kau siap menjalankan 

perintahku Datuk Teluk Ular...?”“Cuit... cuit... cuit...!”

“Terbang ke teluk sebelah barat! Di situ kau 

akan melihat lelaki tua berwajah seram 

berambut putih dalam keadaan bugil di balik 

rerumpunan semak belukar. Di balik 

rerumpunan semak belukar! Lelaki berambut 

putih dan bugil... Bugil... bugil...!”

“Cuit...cuit... cuit...!”

“Bunuh orang itu. Bunuh... bunuh... 

bunuh...!”

“Cuit... cuit... cuit...!”

Kelelawar yang terbang di udara mencuit 

untuk terakhir kali sebelum melesat ke arah 

barat teluk. Serentak dengan itu, orang tua 

berwajah angker di atas batu melompat turun 

dan seperti terbang lari pula menuju ke barat. 

Di saat yang sama sesosok tubuh melompat 

keluar dari balik semak belukar dan berlari 

kencang mengikuti orang tua tadi.

Di suatu tempat, kelelawar besar keluarkan 

suara mencuit ganas lalu menukik tajam ke 

Sesuai dengan perintah yang diucapkan Datuk 

Teluk Ular tadi, sosok tubuh berambut putih 

dan dalam keadaan bugil sudah terlihat oleh 

sepasang matanya yang merah garang tetapi 

tajam sekali.

Begitu mendengar suara mencuit, sosok 

tubuh telanjang di balik semak belukar 

mendongak ke atas. Merasa terganggu, orang ini 

membentak marah.“Siapa menyuruh kau kembali kemari! 

Lekas tinggalkan tempat ini!”

Dari balik semak belukar yang sama 

terdengar suara perempuan. “Biarkan saja 

burung itu Datuk. Kini aku tak takut lagi...”

“Ah, kalau begitu katamu tentu saja aku 

akan menurut. Nah, nah... nah! Kau masih 

belum membuka seluruh bajumu. Juga 

celanamu. Jangan biarkan aku terpanggang 

oleh nafsu birahi kekasihku cantik...” ujar orang 

tua yang berada dalam keadaan tanpa pakaian 

itu.

Gadis berpakaian merah yang terbujur di 

antara kedua kakinya menurut saja dan seperti 

mulai menanggalkan pakannya. Pada saat itu 

kembali terdengar suara Kelelawar Hantu 

mencuit. Binatang ini tiba-tiba menukik deras 

ke arah semak belukar.

Orang tua di bawah sana kembali 

mendongak. Hatinya mendadak merasa tak 

enak. Dan saat itu dilihatnya Kelelawar Hantu 

menukik ke arahnya. Sayap terkembang lebar 

seperti sepasang pedang yang siap memancung. 

Dua cakar terpentang ke depan dan mulut 

bertaring runcing mencuat!

“Hai! Mengapa kau menyerangku?!”

Orang tua bertelanjang berteriak kaget.

“Pergi!” teriaknya lagi.

Tapi sesuai perintah kelelawar itu terus 

menukik. Dia harus membunuh orangberambut putih tanpa pakaian!

“Hai...!”

Orang tua itu tak melihat jalan lain. Bahaya 

mengancam. Secepat kilat dia menjatuhkan diri 

ke samping lalu bergulingan di pasir. Ketika dia 

berdiri, dilihatnya Kelelawar Hantu sudah 

melesat ke udara, terbang berputar-putar, 

merendah lalu melesat ke arah tempatnya 

berdiri dengan suara men-cuit-cuit!

“Celaka! Apa yang terjadi!” Orang tua itu 

membatin. Lalu cepat membentak: “Binatang 

keparat! Kau berani menyerangku...”

Plaak... plaak!

Sayap lebar menerpa ganas. Orang tua yang 

di serang jatuhkan diri. Kelelawar Hantu 

melesat lewat di atas kepalanya. Salah satu 

sayapnya menghantam batang kelapa. Pohon ini 

seperti dihajar bacokan sepuluh golok tajam. 

Mengeluarkan suara berderak lalu tumbang 

dengan deras.

Orang tua berambut putih tampak pucat. 

Lupa akan keadaannya yang tidak berpakaian, 

dia melompat ke atas tumbangan pohon kelapa. 

Dia juga sudah melupakan gadis berbaju merah 

yang tadi siap untuk digagahinya. Di atas pohon 

kelapa tumbang dia tegak berkacak pinggang.

“Aku Datuk Teluk Ular! Dan kau berani me-’ 

nyerang tuanmu ini! Bersiaplah menerima 

mampus!” Mulutnya tampak berkomat-kamit. 

Tangan kanan dan tangan kiri yang diangkat keatas mendadak berubah biru. Ketika Kelelawar 

Hantu terbang merendah serta merta orang tua 

ini hantamkan kedua tangannya. Dua larik 

sinar biru yang memancarkan hawa panas dan 

mengandung racun jahat menderu menghantam 

ke arah Kelelawar Hantu.

“Cuit... cuit... cuit!”

Kelelawar Hantu mencuit keras, melesat ke 

udara hampir tegak lurus. Begitu dia larik sinar 

maut lewat di bawahnya binatang ini tiba-tiba 

menukik kembali, menyerang orang tua 

bertelanjang bulat itu.

“Aku Datuk Teluk Ular! Orang yang 

merubah wujudmu! Kau harus tunduk padaku! 

Harus tunduk... harus tunduk!”

“Cuit... cuit... cuit...”

Kelelawar Hantu tampak membelok ke 

kanan, tak jadi menyerang lalu kembali 

berputar-putar dan memandang ke bawah 

seolah-olah meneliti.

“Aku Datuk Teluk Ular! Memerintahkan 

pergi dari sini...”

“Akulah Datuk Teluk Ular!” satu suara 

keras membentak keras, mengejutkan orang tua 

bertelanjang. “Kau Datuk palsu! Kelelawarku! 

Jangan sampai terkecoh manusia telanjang itu! 

Ingat perintahku...!”

“Bangsat haram jadah...!” Sepasang mata 

merah orang tua telanjang membeliak besar 

hampit tak percaya. Kalau terdapat perbedaannamun sepintas lalu, sosok tubuh tua bangka 

berambut putih berwajah angker di depannya 

seperti dirinya sendiri! Memandang ke kiri, 

lelaki telanjang yang sebenarnya memang 

adalah Datuk Telur Ular yang asli, melihat 

sosok tubuh Daeng Ponto Jene, kakek berwajah 

buruk berpakaian rombeng, memandang 

menyeringai padanya. Dan memandang lagi ke 

sebelah kanan si kakek, Datuk Teluk Ular 

saksikan gadis jelita berpakaian merah yang 

tadi sudah siap untuk dilahapnya berdiri tegak 

dengan golok merah bersilang di depan dada!

Melihat kenyataan ini Datuk Teluk Ular 

serta maklum apa yang terjadi dan apa yang 

tengah dihadapinya. Maka diapun lambaikan 

tangan ke arah kelelawar dan berseru: 

“Kelelawarku! Bunuh ketiga manusia keparat 

itu!”

Kelelawar Hantu mencuit. Terbangnya 

merendah, berputar di atas tiga orang yang 

tegak di hadapan Datuk Teluk Ular.

“Kau tidak layak memperintah burungku!” 

balas berteriak orang berwajah angker 

berambut putih yang banyak kemiripannya 

dengan Datuk Tetuk Ular. “Akulah Datuk Teluk 

Ular! Penguasa teluk dan pemilik Kelelawar 

Hantu! Kelelawar jalankan perintahku! Bunuh 

manusia telanjang itu!”

Kelelawar Hantu tampak bingung. Binatang 

ini mengenali suara Datuk Teluk Ular yang aslidan juga mengenali tampangnya yang angker. 

Tapi dia juga mengenali wajah angker lainnya 

yang dalam otak binatangnya menganggap 

adalah juga wajah Datuk Teluk Ular, lengkap 

dengan rambut putih dan pakaiannya!

“Bunuh...bunuh... bunuh!”

Teriak Datuk Teluk Ular palsu.

“Dia yang harus kau bunuh!” Teriak Datuk 

Teluk Ular asli.

Kelelawar Hantu tampak bingung. Mencuit 

beberapa kali. Daeng Ponto Jene, Triwulan dan 

Datuk Teluk Ular palsu tampak tegang.

“Kelelawar Hantu! Bunuh manusia 

telanjang itu! Aku Datuk Teluk Ular 

memerintahkanmu!”

Manusia telanjang... manusia telanjang... „ 

Kata-kata itu mengiang di kedua telinga 

Kelelawar Hantu. Seumur hidup dia tidak 

pernah melihat Datuk Teluk Ular tanpa 

pakaian. Jadi Datuk Teluk Ular tak pernah 

bertelanjang. Datuk Teluk Ular yang sejati 

adalah si berewok bermuka angker dan 

berpakaian itu!

“Cuit... cuit... cuit.!”

Kelelawar Hantu menukik kencang.

Datuk Teluk Ular tersentak kaget melihat 

dirinya kembali diserang. Dia cepat membaca-

kan mantera. Tapi serbuan Kelelawar Hantu 

datang lebih cepat. Datuk Teluk Ular membuang 

diri ke kiri.Ujung sayap kanan Kelelawar Hantu 

menepis pipi kirinya. Datuk Teluk Ular menjerit 

keras. Daging pipinya luka dalam seperti 

dirobek ujung pisau. Darah mengucur! Sekujur 

tubuhnya bergetar menahan sakit dan juga oleh 

luapan amarah. Bagaimana mungkin binatang 

yang selama ini berada di bawah kekuasaan dan 

perintahnya kini menyerangnya sendiri dengan 

ganas!

Dengan wajah berlumuran darah Datuk 

Teluk Ular kembali berteriak, masih berusaha 

untuk menguasai Kelelawar Hantu.

“Aku Datuk Teluk Ular! Kau dengar?! Aku 

Datuk Teluk Ular! Kau harus tunduk padaku! 

Kau harus ikut perintahku. Karena aku yang 

merubah wujudmu! Aku Datuk Teluk Ular! 

Bunuh tiga manusia itu! Bunuh... bunuh... 

bunuh!”

Tapi kata-kata sang Datuk tampaknya tidak 

berpengaruh lagi pada Kelelawar Hantu 

meskipun mantera pertama yang merubah 

wujudnya dilafalkan oleh orang tua itu. Sebagai 

binatang burung kelelawar itu tidak mampu 

membedakan mana Datuk Teluk Ular yang asli 

dan mana yang palsu. Otaknya bekerja lebih 

banyak berdasarkan penglihatan belaka. Saat 

itu dia memang melihat dua wajah angker 

Datuk Teluk Ular, yakni yang palsu dan yang 

asli. Tapi walaupun asli, binatang ini tidak 

dapat mengenali tubuh telanjang itu. Sebaliknyameskipun wajahnya hanya mirip-mirip saja, 

datuk yang palsu mengenakan pakaian lengkap 

persis seperti yang asli. Karena itulah binatang 

ini lebih mempercayai penglihatannya dan 

menganggap Datuk Teluk Ular palsu adalah 

kepada siapa dia tunduk!

“Kelelawar Hantu! Bunuh... bunuh cepat 

manusia telanjang itu!” Datuk Teluk Ular yang 

tegak di sebelah Daeng Ponto Jene kembali 

berteriak berikan perintah.

Dan perintah inilah yang didengar serta 

dipatuhi Kelelawar Hantu. Didahului suara 

mencuit-cuit binatang itu kembali menyerbu 

Datuk Teluk Ular.

Daeng Ponto Jene terdengar keluarkan 

suara tertawa panjang.

“Datuk! Dosamu terlalu berat! Selangit 

tembus sebumi amblas! Kalau kau masih mau 

bertobat, kami akan memerintahkan kelelawar 

itu berhenti menyerangmu!

“Ponto Jene keparat! Apa kau kira bisa 

hidup lebih lama dariku!”

Habis berkata begitu Datuk Teluk Ular 

jatuhkan diri ke tanah. Tangan kanannya 

bergerak ke pinggang. Satu sinar putih berkiblat 

menyilaukan laksana sambaran matahari yang 

memantul dipermukaan kaca!

“Badik Bulan Bintang!” seru Daeng Ponto 

Jene ketika kenali senjata mustika di tangan 

Datuk Teluk Ular.Sang Datuk menyerbu. Sambaran dua 

cakar Kelelawar Hantu baru saja lewat di 

atasnya. Tubuhnya yang mendekam kemudian 

melesat ke arah Daeng Ponto Jene. Senjata di 

tangan kanannya kembali berkiblat.

Kakek yang diserang cepat menghindar 

sambil lepaskan pukulan tangan kosong. Tapi 

satu sambatan golok yang memancarkan 

cahaya merah datang dari samping lebih cepat.

“Gadis jahanam!” bentak Datuk Teluk Ular 

ketika melihat siapa yang menyerang. “Jadi kau 

berserikat dengan anjing tua ini! Kau akan 

menyesal sampai ke liang kubur!”

Datuk Teluk Ular angkat tangan kanannya 

yang memegang Badik Bulan Bintang.

Trang!

Dua senjata mustika yakni Badik Bulan 

Bintang dan golok Ki Karangasem bentrokan di 

udara, mengeluarkan suara berdentrang keras 

dan memercik kan bunga api.

Triwulan terpental tiga langkah. Tangan 

kanannya terasa ngilu sampai ke bahu. Telapak 

tangannya terasa panas. Golok yang 

digenggamnya terlepas mental. Dia berusaha 

untuk menjangkau golok itu sambil melompat. 

Ini satu kesalahan besar mengundang maut!

Baru saja Triwulan membuat setengah 

lompatan. Badik Bulan Bintang berkelebat 

membabat ke perutnya!

Daeng Ponto Jene keluarkan seruantertahan sambil berusaha menelikung Datuk 

Teluk Ular dari belakang. Namun terlambat. 

Sesaat lagi ujung badik akan membusai perut 

sang dara, dari samping menderu angin deras 

laksana topan prahara. Tubuh Datuk Teluk Ular 

bergoyang-goyang. Dia berusaha tapi akhirnya 

terseret angin deras dan jatuh bergulingan. 

Triwulan sendiri sudah lebih dulu terpental tiga 

tombak. Sekujur tubuhnya seperti remuk 

namun nyawanya selamat dari tikaman badik 

yang mematikan.

Daeng Ponto Jene tarik nafas lega 

menyaksikan pukulan tangan kosong yang 

dilepaskan oleh Datuk Teluk Ular palsu berhasil 

menyelamatkan Triwulan. Sebaliknya Datuk 

Teluk Ular yang asli merasakan denyutan sakit 

pada dadanya. Sebenarnya nyalinya saat itu 

sudah mulai meleleh. Bukan dalam menghadapi 

tiga lawan di depannya, tetapi melihat 

kenyataan bahwa dia tidak lagi bisa menguasai 

Kelelawar Hantu. Binatang ini kini menjadi 

musuh utama yang setiap saat akan 

mencelakainya, akan membunuhnya!

Percaya akan keandalan Badik Bulan 

Bintang, ketika Kelelawar Hantu melayang 

rendah dan menyambar ke arahnya, sang Datuk 

menyongsong dengan satu tusukan.

“Cuit... cuit... cuit!”

Sinar putih berkiblat.

Plaak! Craas!“Cuit...’...!”

Jeritan Datuk Teluk Ular seperti menembus 

langit menghunjam laut di teluk. Tangan 

kanannya sebatas pertengahan lengan tampak 

melayang di udara akibat dipapak putus oleh 

sayap kiri Kelelawar Hantu. Dalam masih 

menggenggam Badik Bulan Bintang kutungan 

tangan itu jatuh ke tanah sementara sang 

Datuk sendiri tersungkur berlutut pegangi 

lengan kanannya yang mengucurkan darah 

dengan tangan kiri. Dalam keadaan seperti itu 

Kelelawar Hantu yang secara tidak sadar berada 

di bawah kekuasaan dan perintah Datuk Teluk 

Ular palsu kembali menyerbu. Sekali ini 

punggungnya yang menjadi sasaran... Datuk 

Teluk Ular terhempas menelungkup. Luka 

seperti dikoyak harimau, menganga di 

punggungnya, mengerikan untuk dilihat.

“Keparat... binatang keparat...” rutuk sang 

Datuk. Dengan tangan kirinya dia melepaskan 

pukulan Kelabang Biru. Namun tenaganya 

sudah habis. Sinar biru pukulannya hanya 

merupakan bayangan samar. Sebelum dia 

sempat menurunkan tangan kirinya. Kelelawar 

Hantu telah menghantam tangan itu dengan 

sayapnya hingga kini kedua tangan Datuv Teluk 

Ular menjadi buntung! Dan seperti kesetanan 

Kelelawar Hantu kembali membalik untuk 

menyerangnya.

“Tolong... Daeng... Tolong...” suara DatukTeluk Ular hanya tinggal erangan.

Daeng Ponto Jene, si kakek berpakaian 

rombeng hanya bisa gelengkan kepala.

“Tidak ada yang bisa menolongmu Datuk...” 

sahutnya perlahan. “Kau sendiri yang telah 

menentukan kematianmu begini rupa

“Cuit... cuit... cuit...!”

Kelelawar Hantu menyambar!

Triwulan palingkan kepalanya karena ngeri.

“Cuit... cuit...cuit!”

Kelelawar Hantu melesat ke udara dengan 

membawa sebagian isi perut serta anggota 

rahasia Datuk Teluk Ular. Orang tua berwajah 

angker ini berkelejotan beberapa kali. Sesaat 

kemudian nyawanya pun lepas.

Di saat itu pula, Kelelawar Hantu yang tadi 

membumbung ke udara terdengar mencuit 

panjang, sayapnya yang panjang mendadak 

berubah kecil menciut. Kepalanya ikut mengecil. 

Matanya yang semula merah kini kembali hitam 

kuyu sedang taringnya yang mencuat lenyap. 

Lebih dari itu kekuatan yang ada ditubuhnya 

sirna. Seperti sebuah batu binatang ini jatuh 

ketanah, terguling di pasir pantai. Ombak 

datang menerpa lalu menyeretnya ke laut. 

Makin ke tengah, makin jauh, makin ke tengah 

akhirnya lenyap dari batas pandangan.

Daeng Ponto Jene melangkah menghampiri 

kutungan tangan kanan Datuk Teluk Ular 

untuk mengambil Badik Bulan Bintang.Sementara itu Datuk Teluk Ular palsu terdengar 

mengomel panjang pendek.

“Sialan... Untung saja binatang celaka itu 

tolol dan kena tertipu! Kalau tidak, muka dan 

tubuhku yang akan dikoyak-koyaknya! Gila!

Datuk palsu ini gerak-gerakkan tangan 

kanannya ke muka. Breet... breet! Cambang 

bawuk tiruan yang menutupi dagu dan pipi 

sampai ke pelipis tangal dan dibantingkannya 

ke tanah. Lalu wajahnya yang angker tapi acak-

acakan diusapnya berulang kali bahkan 

kemudian dicucinya dengan air laut Terakhir 

sekali rambut palsu berwarna putih yang 

melekat di kepalanya disentakkannya hingga 

kini kelihatan wajahnya yang asli.

Triwulan tertawa cekikikan melihat pemuda 

di hadapannya, itu. “Perananmu sebagai Datuk 

Teluk Ular cukup meyakinkan!” berkata sang 

dara.

Daeng-Ponto Jene tertawa mengekeh. 

Sebaliknya Wiro Sableng yang tadi didandani 

menjadi Datuk Teluk Ular menyeringai setengah 

jengkel sambil garuk-garuk kepala.

“Terus terang aku sebelumnya merasa 

kawatir kalau-kalau apa yang kita lakukan tadi 

akan gagal,” berkata si orang tua. “Tapi memang 

tak ada jalan lain. Lagi pula bukankah usul 

menipu Kelelawar Hantu dengan cara itu kau 

sendiri yang mengajukan...”

Wiro lagi-lagi terpaksa garuk-garuk kepala“Terima kasih...” katanya seraya berpaling pada 

Triwulan. “Kurang-kurang pandai kau men-

dandani mukaku dan sempat burung celaka itu 

mengetahui aku bukan Datuknya... puah, 

sudah jadi apa aku ini sekarang!”

“Anak-anak muda. Selagi masih pagi lebih 

baik kita segera meninggalkan teluk ini. Aku

harus kembali ke seberang, perjalanan pulang 

teramat jauh...”

“Aku akan tetap di sini,” menyahuti 

Triwulan.

“Heh, apa yang akan kau lakukan? 

Mengubur mayat Datuk Teluk Ular...?” bertanya 

Wiro.

“Siapa sudi!” jawab sang dara cemberut. 

“Aku akan kembali ke bekas desaku di 

pedalaman sana. Meski tidak ada makam atau 

kuburnya, menjenguk desa itu bagiku sama 

saja dengan menziarahi ayah ibu dan suadara-

saudaraku...”

“Kalau begitu... eng...” Wiro garuk-garuk 

kepala.

Daeng Pnto Jene tersenyum.

“Aku tahu apa arti kalau begitu itu, anak 

muda”, berkata Daeng Ponto Jene, “terserah 

kalian berdua mau ke mana. Asal saja hati-hati. 

Roh jahat Datuk Teluk Ular pasti akan 

gentayangan di sekitar teluk ini... Kalian tidak 

takut?”

Triwulan tidak menjawab. SebaliknyaPendekar 212 Wiro Sableng tertawa lebar dan 

berkata: “Setan lelaki tak akan mengganggu 

orang lelaki. Yang dicarinya tentu orang 

perempuan, apalagi secantik sahabat baruku 

ini!”

Si kakek tertawa panjang. “Kalau pun dia 

ketakutan, pasti kau tahu bagaimana me-

nolongnya...” kata orang, tua itu pula seraya 

kedip-kedipkan matanya.

“Kalian tua bangka dan yang pemuda sama 

saja senang mengganggu orang!” ujar Triwulan 

cemberut.

Daeng Ponto Jene tertawa mengekeh. Dia 

mengangkat tangan kanannya sebagai tanda 

mengucapkan selamat tinggal lalu berkelebat 

pergi dari situ.

Triwulan berpaling pada Wiro.

“Kau benaran hendak ikut aku ke desa...?”

“Pasti kau tidak keberatan!”

“Asal saja kau tidak usik dan tidak berlaku

kurang ajar

“Ah, aku tidak akan seusil kakek tadi. Juga 

tidak sekurang ajar Datuk Teluk Ular waktu 

bersamamu di semak belukar sana tadi. 

Setengah-setengah saja bagaimana...?”

“Pemuda gendeng!” dengus Triwulan lalu 

berlari tinggalkan tempat itu.

“Gendeng...?” Wiro usap-usap keningnya. 

“Ah tak apalah dia mencapku begitu. “Gendeng 

dan sableng mungkin tak ada bedanya... Hai


tunggu!” Wiro berkelebat pula menyusul sang dara.


TAMAT

Jakarta, 29 Juli 1988

Share:

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar