..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 25 Juni 2024

WIRO SABLENG EPISODE BENCANA KUTO GEDE


Bencana Kuto Gede


 Bencana Kuto Gede


KUTO GEDE sudah jauh di belakang mereka. 

Malam tambah gelap dan dinginnya udara 

semakin mencucuk. Di langit sebelah tenggara 

tampak kilat menyambar beberapa kali. 

“Turunkan aku di sini!” teriak gadis di atas 

panggulan bahu kanan Pendekar 212 Wiro 

Sableng. 

“Tenang sajalah dan jangan banyak bicara. 

Berhenti di tempat ini masih cukup besar 

bahayanya. Bukan mustahil orang-orang 

kerajaan membuntuti kita!” 

“Aku tidak takut pada mereka!” sahut 

Nawang Suri. Dia adalah gadis yang baru saja 

diselamatkan Wiro Sableng ketika pecah 

perkelahian hebat di istana di awal malam. Di 

atas bahu sang pendekar, dara itu berada 

dalam keadaan tertotok sementara tangan 

kanannya patah dan mendenyut sakit tiada 

henti. Tapi sebagai seorang gadis nekad dan 

keras hati tak sedikit pun rintih kesakitan 

ketuar dari mulutnya. 

Melihat si pemuda terus melarikannya, 

Nawang Suri berkata: “Jika kau tak mau 

menurunkan aku di sini, bawa aku ke lembah 

Maturwangi di selatan!” 

“Eh, kenapa kau minta dibawa ke sana?” 

bertanya Wiro.Semula Nawang Suri tak mau menjawab. 

Ketika ditanya beberapa kali akhirnya dia 

menerangkan: “Aku harus menemui pasukanku 

di situ. Paling tidak sebelum mereka bergerak. 

Aku akan kembali ke Kota-raja dan memimpin 

penyerbuan. Meskipun raja keparat itu sudah 

kubunuh, tapi sebelum tahta berada di 

tanganku belum puas hatiku!” 

Mendengar kata-kata Nawang Suri, Wiro 

Sableng hentikan larinya. Sang dara 

didudukkannya pada akar sebatang pohon 

besar. 

“Lepaskan totokanku!” meminta Nawang 

Suri. 

Wiro Sableng gelengkan kepala. Dia duduk 

menjelepok di tanah di hadapan sang dara. 

Untuk beberapa saat sepasang mata mereka 

saling memandang tak berkedip. 

“Seumur hidup baru kali ini aku menemui 

gadis nekad sepertimu!” kata Wiro pula. 

Ucapan itu membuat sang dara jadi panas 

hatinya dan menjawab dengan suara keras. 

“Aku bukan manusia nekad! Apa yang aku 

lakukan adalah demi keadilan! Demi kedua 

orang tuaku yang mereka bunuh! Demi tahta 

kerajaan yang mereka rampas! Demi masa 

depan negeri di mana aku dilahirkan. Dan kau 

jangan coba menghalangi!” 

“Siapa bilang aku menghalangi!” sahut Wiro 

sambil garuk kepala. “Kau sudah membunuhraja! Apa itu tidak cukup?!” 

“Memang tidak cukup! Tujuan utamaku 

adalah tahta kerajaan!” 

“Mungkin itu memang belum jadi rejekimu 

“Ini bukan soal rejeki atau apa! Tapi soal hak...” 

“Dalam kehidupan di dunia ini, soal hak 

sama tipisnya dengan hembusan angin malam. 

“Jangan bersyair di depanku!” bentak 

Nawang Suri. 

Wiro menyeringai kecut. Dan berkata: 

“Dalam keadaan terluka begini, tangan patah, 

kau hendak menyerbu Kuto Gede. Sia-sia saja. 

Apakah kau memiliki pasukan yang kuat serta 

panglima perang yang tangguh?” 

“Aku dan orang-orangku memiliki 

semangat...” 

“Gadis nekad! Semangat saja tidak cukup 

untuk memenangkan peperangan. 

“Pemuda tolol macammu mana tahu soal 

perang! Sebagai puteri raja aku telah diberi 

pelajaran dan latihan untuk perang!” 

“Tapi kau bukan mau perang!” kata Wiro 

dengan pandangan mengejek. 

“Maksudmu aku ini mau apa?” 

“Mau bunuh diri!” 

Kalau saja tubuhnya tidak kaku karena 

totokan mungkin Nawang Suri sudah memukuli 

atau menampar Wiro Sableng saat itu. 

“Bunuh diri atau apapun aku tak takut 

mati...”“Jika kau tetap keras kepala biar kutinggal 

saja kau sendirian di sini!” kata Wiro seraya 

berdiri dan pura-pura hendak pergi. 

“Kau boleh pergi! Tapi lepaskan dulu 

totokan di tubuhku!” 

“Aku tak akan melakukan hal itu. Kudengar 

banyak binatang buas sekitar sini. Biar kau 

dijadikan mangsa mereka!” Lalu Wiro 

melangkah. 

“Hai! Jangan tinggalkan aku!” seru Nawang 

Suri. Kecut juga hatinya. 

“Nah, nah... Kau harus begitu. Harus 

mengikuti apa yang aku bilang. 

“Tapi kau bukan ayah atau majikanku! 

Jangan anggap budi pertolonganmu membuat 

dirimu merasa berkuasa atas diriku!” kembali 

Nawang Suri keluarkan ucapan keras. 

“Apa untungku menguasaimu...?” 

“Kalau tidak ada maksud sesuatu mengapa 

kau melarikan diriku?” 

“Eh... eh! Aku bukan melarikanmu. Apa 

yang kulakukan adalah menolongmu. Heran, 

bicaramu mengapa ngacok melulu dan Wiro 

hentikan kata-katanya. Disambarnya tubuh 

Nawang Suri lalu digotongnya ke balik 

serumpunan semak belukar lebat. Keduanya 

menelungkup sama rata dengan tanah. 

“Jangan keluarkan suara” bisik Wiro yang 

mendengar suara orang mendekat. 

Baru saja pendekar itu selesai bicara,dua tubuh tampak berkelebat dalam kegelapan 

dan berhenti sejarak beberapa langkah dari 

pohon besar di mana mereka sebelumnya 

berada. 

“Heran!” terdengar salah seorang pendatang 

berkata pada temannya. Dia mengenakan 

pakaian biru berikat pinggang putih. Di tangan 

kanannya ada sebilah golok besar. Wiro 

maupun Nawang Suri segera mengenali orang 

ini dari suara dan pakaiannya yakni bukan lain 

Ki Rawe Jembor, hulubalang pertama keraton 

Kuto Gede. “Aku yakin sekali mereka pasti 

kabur ke jurusan ini. Tapi mengapa kita tidak 

menemukan keduanya?! Pemuda itu tak 

mungkin bisa lari cepat dengan membawa 

beban sosok tubuh gadis pemberontak!” 

Kawannya terdengar menarik nafas panjang 

lalu mengusap-usap pipinya yang cekung. Dia 

adalah Imo Gantra, hulubalang kedua. 

“Bagiku sama sekali tidak mengherankan. 

Pemuda itu bukan manusia sembarangan. 

Sosok tubuh manusia bagaimanapun beratnya 

bisa saja seperti sekantong kapas baginya. 

Sebaiknya kita kembali ke istana. Aku kawatir 

keadaan di sana tambah ricuh. Terus terang 

aku tak perdaya pada si tua bangka Wulung 

Kerso. Keris Mustiko Geni ada di tangannya!” 

“Kita sama pendapat. Kakek itu bisa saja 

melakukan sesuatu. Ketika kita berangkat 

mengejar kulihat dia menyelinap masuk kedalam istana. 

“Ya, akupun melihat. Gerakannya agak 

mencurigakan”. 

“Ah, manusia satu itu pun sudah kuketahui 

belangnya. Ketika Sri Baginda masih hidup dia 

tak lebih dari seorang penjilat nomer satu! 

Dimas Imo Gantra, mari kita kembali!” 

Kedua tokoh silat istana itu berkelebat dan 

lenyap dalam kegelapan malam. Di balik 

rerumputan semak belukar Wiro membantu 

Nawang Suri duduk di tanah. Begitu duduk 

sang dara langsung bertanya setengah 

mendamprat. “Kenapa tidak kau hantam kedua 

bangsat itu?” 

Wiro geleng-gelengkan kepala dan 

menjawab: “Aku tak punya permusuhan dengan 

mereka.” 

“Gila!” 

“Eh, siapa yang gila...?” tanya Wiro melotot 

tapi mulutnya menyunggingkan senyum. 

“Kowe!” sahut Nawang Suri setengah 

berteriak. 

Wiro tertegun sesaat lalu tertawa gelak-

gelak. 

“Hanya orang gila yang masih bisa ketawa 

dalam keadaan seperti ini...!” menyentak 

Nawang Suri dengan pandangan mata dan air 

muka sangat jengkel. 

“Sudahlah, sekarang katakan apa maumu?” 

“Antarkan aku ke lembah Maturwangi! Akuharus bergabung dengan pasukanku sebelum 

terlambat!” 

“Benakmu masih saja dipenuhi oleh 

kehendak balas dendam dan pertumpahan 

darah. Apakah tidak cukup semua itu lunas 

dengan kematian raja yang tanganmu sendiri 

membunuhnya?!” 

“Tidak!”, jawab Nawang Suri. 

“Nawang Suri, kalau kau hanya 

mendasarkan jalan hidupmu pada balas 

dendam dan darah, kau akan celaka!” 

“Biar, aku memang sudah celaka!” suara 

sang dara tersendat lalu terdengar 

sesunggukannya. 

“Eh, tidak kusangka dara dengan hati 

sekeras batu sepertimu ternyata pandai juga 

menangis...” ujar Wiro Sableng menggoda. 

“Pemuda edan! Aku bersumpah menampar 

mulutmu seratus kali!” 

“Sumpah edan!” tukas Wiro. Lalu dia 

beringsut mendekati, hingga tubuh dan 

wajahnya hampir bersentuhan dengan gadis itu. 

“Jangan berlaku kurang ajar! Apa yang 

hendak kau perbuat?!” 

“Pertama, aku akan menolong mengobati 

lengan kananmu yang patah. Setelah itu 

totokanmu akan kulepaskan. Setelah itu... 

terserah padamu. Kau mau ke lembah 

Maturwangi atau ke lembah sontoloyo silakan 

pergi!“Lalu dengan gerakan cepat—yang membuat 

Nawang Suri terpekik—Wiro Sableng merobek 

ujung kain yang dikenakan sang dara. Dia 

mematahkan sebatang ranting besar, 

meletakkan batang kayu ini pada bagian lengan 

yang patah lalu mengikatnya dengan sobekan 

kain. “Beres...” ujar Wiro. Lalu tangannya 

bergerak mengurut bagian bahu dekat pangkal 

leher Nawang Suri beberapa kali mengurut 

gadis itu merasakan totokan yang membuat 

tubuhnya kaku tegang menjadi sirna. 

“Nah, kau sudah bebas sekarang,” kata 

Wiro. Lalu diangsurkannya wajahnya dekat-

dekat ke hadapan sang dara. 

“Pemuda gila! Apa maumu...?” 

“Eh, bukankah tadi kau hendak 

menamparku seratus kali? Mengapa tidak 

segera kau lakukan?!” 

Nawang Suri hampir menjerit saking 

gemasnya. Tangan kirinya sudah diangkatnya 

siap untuk menampar. Namun tamparan itu 

tidak dilakukan. Entah mengapa hatinya tak 

kuasa untuk melakukan hal itu. 

“Aku benci padamu. Tapi aku tak bisa 

menamparmu!” berkata Nawang Suri sambil 

berdiri dan membalikkan tubuh membelakangi 

Wiro. 

“Benci itu ada dua arti...” terdengar suara 

sang pendekar. “Benar-benar benci atau benar-

benar cinta. Nah yang mana yang kau pilih...?”“Kau ternyata bukan saja sableng tapi juga 

ceriwis! Siapa yang cinta padamu!” Habis 

berkata begitu Nawang Suri dorong dada si 

pemuda lalu dengan gerakan cepat dia 

tinggalkan tempat tersebut. Tinggal kini 

Pendekar 212 yang tegak tertegun sambil garuk 

garuk kepala. Akan diikutinyakah gadis itu? 

Akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke 

Kuto Gede saja.


Dari rumah penduduk di tepi desa, Nawang 

Sari mencuri seekor kuda. Dengan seekor kuda 

itu dia bergerak ke arah selatan. Dia memacu 

bintang itu seperti dikejar setan, karena 

memang dia harus sampai di lembah sebelum 

tengah malam. Namun gadis itu terperangah 

ketika sampai di lembah Maturwangi yang dia 

dapati hanya bekas-bekas perkemahan. 

Pasukan yang sebelumnya dia ketahuai 

berkumpul di sana tak ada lagi disitu. “Celaka, 

aku terlambat. Apakah Empu Soka Panaran 

berada di antara mereka...?” Nawang Suri 

berpikir sesaat. “Aku harus kembali ke 

Kotaraja...” katanya dalam hati mengambil 

keputusan. Lalu kuda yang sudah letih itu 

diputar dan dibedalnya menuju ke utara. 

Sebelum masuk ke Kuto Gede dia harus 

kembali ke rumah Empu Soka Panaran untuk 

berganti pakaian. Dia akan bergabung dengan 

pasukan yang akan menyerbu istana, lalu 

mencari dan mendapatkan kembali Keris 

Mustiko Geni lambang tahta Kerajaan. 

Sebelum kita ikuti perjalanan Nawang Suri 

kembali menuju Kotaraja, marilah kita kembali 

dulu pada kejadian beberapa waktu 

sebelumnya. 

Sejak kerajaan ditumbangkan dan tahta 

kerajaan dirampas, Nawang Suri yangsesungguhnya adalah putri kerajaan yang 

berkuasa diselamatkan dan di pelihara oleh 

Empu Andiko Pamesworo. Mereka 

bersembunyia di sebuah pondok kayu di hutan 

dekat teluk yang sangat sepi. Di tempat itu sang 

Empu menurukan seluruh kepandaian silat dan 

kesaktian yang dimiliknya kepada Nawang Sari 

sehingga pada umur 19 jadilah dia dara yang 

memiliki kepandaian tinggi. Di samping itu 

secara diam-diam Empu Andiko Pamesworo 

menyusun perebutan kekuasaan. Dengan 

mengandalkan kecantikan Nawang Suri, diatur 

untuk mendekati orang-orang penting istana. 

Begitu mereka terjebak, riwayat masing-masing 

akan segera dihabisi. Sasaran paling utama dan 

paling penting tentunya adalah Sri Baginda 

sendiri. 

Dengan berbekal sebilah keris sakti 

bernama Mustiko Geni, Nawang Suri menyamar 

sebagai lelaki dan meninggalkan pondok Empu 

Andiko. Tak lama setelah dia pergi tiga orang 

tokoh silat istana muncul di situ dan berhasil 

membunuh sang empu. Di pihak penyerbu, satu 

orang menemui ajal. Dua lainnya yakni Gagak 

Celeng dan Buto Celeng berusaha mengejar 

sang dara dan berhasil menghadangnya di 

daerah pesawahan. Dengan keris sakti di 

tangan Nawang Suri menewaskan Gagak 

Celeng. Tapi pada saat itu muncul seorang 

tokoh silat istana lainnya yang berkepandaiantinggi bernama Sindu Kalasan, dikenal dengan 

julukan Datuk Tongkat Dari Selatan. Sang 

Datuk berhasil membuat mental keris di tangan 

Nawang Suri. Penyamarannya terbuka. 

Nyawanya terancam. Saat itulah muncul 

Pendekar 212 Wiro Sableng menolong dan 

menyelamatkan Nawang Suri. Keris Mustiko 

Geni sempat pula terhindar dari rampasan 

Datuk Tongkat. 

Sikap dan gerak-gerik Wiro yang seperti 

orang kurang waras itu membuat Nawang Suri 

tidak mempercayainya. Dara itu kemudian 

melanjutkan perjalanan menuju Kuto Gede. 

Sesuai dengan petunjuk Empu Andiko dia 

akhirnya sampai ke tempat kediaman Empu 

Soka Panaran yang tinggal di pinggiran Kuto 

Gede dan menyamar sebagai juru ukir barang-

barang perak dengan memakai nama Gama 

Manyar. Bersama Soka Panaran rencana 

dimatangkan. Sementara itu sisa-sisa 

balatentara kerajaan lama dikumpul dan 

disiapkan untuk sewaktu-waktu menyerbu Kota 

raja. 

Orang yang pertama menjadi korban adalah 

Pangeran Onto Wiryo, Kepala Pasukan Kota 

Gede. Nawang Suri berhasil membunuhnya di 

sebuah telaga sepi. 

Ketika jenazah sang Pangeran dibaringkan 

di istana. Empu Soka Panaran dan Nawang Suri 

sengaja datang melayat. Perangkap merekamengena. Sri Baginda terpikat melihat 

kecantikan dan kemulusan tubuh sang dara. 

Maka dia meminta patih Wulung Kerso untuk 

mengatur agar gadis itu bisa di jadikannya 

gundik. Hal itu berlangsung begitu cepat, sama 

sekali tidak diduga oleh Empu Soka Panaran. 

Maka diatur gerak cepat. Sementera Nawang 

Suri dibawa ke istana malam harinya, sang 

Empu ke luar kota untuk menyipakan pasukan 

penyerbu. Celakanya kemunculan Nawang Suri 

di Istana terlihat oleh Datuk Tongkat yang saat 

itu tengah berkelahi melawan sejumlah pasukan 

dang perwira kerajaan, dipimpin oleh tokoh 

hulubalang tingkat satu yakni Ki Rawa Jembor 

dan Imo Gatra. Akibat tipu muslihat Nawang 

Suri, Datuk Tongkat dituduh sebagai 

penghianat yang berserikat dengan kaum 

pemberontak. 

Sadar kalau rahasia dirinya sudah terbuka 

sementara Datuk Tongkat menemui ajal di 

tangan para pengeroyoknya, Nawang Suri 

melihat tak ada jalan lain dari pada harus 

membunuh Sri Baginda saat itu juga. Begitulah, 

ketika Seri Baginda yang tergila-gila padanya 

menyongsong kedatangannya di tangga istana 

Nawang Suri mencabut Keris Mustiko Geni dan 

menikam Sri Baginda hingga tewas saat itu 

juga! 

Istana heboh. Kini Nawang Suri menjadi 

bulan-bulanan, ditangkap hidup atau matisedang Keris Mustiko Geni yang terlepas mental 

akibat hantaman senjata Ki Rawe Jembor 

berhasil dirampas oleh Patih Wulung Kerso. 

Dalam keadaan terdesak dan tangan kanan 

patah, Nawang Suri lagi-lagi diselamatkan oleh 

Pendekar 212 Wiro Sableng. Untuk jelasnya 

kisah di atas baca serial Wiro Sableng berjudul 

Petaka Gundik Jelita. 

Kita kembali ke istana di kota Gede. 

Beberapa orang perwira termasuk kepada 

Pasukan Kotaraja yakni Cokro Ningrat segera 

menggotong jenazah Sri Baginda, membawanya 

ke dalam istana. Namun Cokro Ningrat tampak 

memisahkan diri ketika melihat patih Wulung 

Kerso bergegas masuk ke ruangan lain sambil 

membawa Keris Mustiko Geni. Dengan cepat 

Kepala Pasukan ini mengikuti si orang tua. 

Kejadian yang serba cepat ini masih sempat 

terlihat oleh K i Rawe Jembor. Sebenarnya dia 

hendak mengajak kambratnya Imo Gantra 

untuk mengintili kedua orang tersebut. Namun 

saat itu Imo Gantra telah lari bergegas ke pintu 

gerbang istana untuk mengejar Pendekar 212 

Wiro Sableng yang membawa lari Nawang Suri. 

Karena menangkap gadis pemberontak itu lebih 

penting akhirnya Ki Rawe Jembor mengikuti 

Imo Gantra mengejar pendekar yang kabur 

bersama boyongannya. 

Patih Wulung Kerso memasuki ruangan 

khusus di mana disimpan barang-barang dansenjata-senjata pusaka istana. Di situ dia 

mencari sarung keris yang dapat dipergunakan 

untuk rumah Keris Mustiko Geni yang telanjang 

dan masih berlumuran darah Sri Baginda. 

Karena di situ memang banyak disimpan 

berbagai macam keris, dalam waktu cepat sang 

patih telah mendapatkan sarung yang cocok 

untuk Mustiko Geni. Tanpa membersihkan 

darah di badan keris, Wulung Kerso 

menyarungkan senjata sakti itu. Lalu 

menyimpannya baik-baik di balik pakaiannya. 

“Paman Patih Wulung Kerso, apakah yang 

kau perbuat di sini?” 

Patih Wulung Kerso tersentak kaget. Ketika 

membalik dilihatnya Raden Cokro Ningrat tegak 

di ambang pintu ruangan dengan pandangan 

mata penuh selidik. 

“Raden Cokro, bukankah seharusnya kau 

menolong Sri Baginda?” 

“Orang yang sudah mati tak mungkin lagi 

ditolong. Saya lihat tadi Paman Patih membawa 

Keris Mustiko Geni….. 

Wulung Kerso merasa tidak enak. Namun 

dia maklum, ketika berhasil menangkap 

Mustiko Geni yang terlepas dari tangan Nawang 

Suri, puluhan mata menyaksikannya. Jadi 

hampir semua orang tahu kalau senjata 

mustika lambang tahta Kerajaan itu ada 

padanya. 

Dalam gugupnya patih Wulung Kersosekaligus coba menempelak. 

“Raden, tak seharusnya kau berada dalam 

ruangan ini. Tugasmu di luar sana. Bukankah 

mata-mata kita memberi tahu bahwa ada 

serombongan pasukan tak dikenal bergerak 

menuju Kuto Gede. Pasti mereka pasukan 

pemberontak yang datang untuk menyerbu. 

Atas nama kerajaan kuminta agar Raden segera 

mengatur bala tentara untuk menghadapi kaum 

pemberontak yang muncul setiap saat…” 

Raden Cokro Ningrat tersenyum penuh arti. 

“Soal pasukan musuh, pasukan 

pemberontak, apapun namanya tak usah 

dikhawatirkan. Jika mereka berani muncul 

pasti lebur. Saya ingin tahu kau kemanakan 

Keris Mustiko Geni itu, paman patih?” 

“Ada kusimpan baik-baik. Kau tak usah 

khawatir...” 

“Mengapa paman yang harus menyimpan 

senjata itu? Jika ada musuh menyelinap dan 

merampasnya bisa berbahaya. Berikan keris itu 

padaku. Aku bisa menyimpannya di tempat 

yang aman……” 

Patih Wulung Kerso tersenyum tawar 

mendengar kata-kata Kepala Pasukan Kerajaan 

itu. 

“Kau tak usah kawatir Raden Cokro. Aku 

tahu bagaimana cara menyimpannya. Senjata 

itu tak akan muncul sebelum Raja baru 

diangkat!”“Dengar paman patih,” kata Cokro Ningrat 

pula. “Saya tahu dengan kepandaian yang 

paman miliki, paman bisa menyimpan dan 

menjaga keris sakti itu baik-baik. Tapi jangan 

lupa. Istana penuh dengan musuh dalam 

selimut. Kaki tangan musuh berkeliaran di 

mana-mana. Keselamatan paman dan senjata 

itu bisa terancam... Saya tetap meminta agar 

Mustiko Geni diserahkan pada saya…..” 

“Hal itu tak bisa ku-kabulkan Raden Cokro. 

Mustiko Geni tetap kusimpan sampai ada Raja 

baru yang diangkat dan duduk di kursi besar 

sana…..” 

Raden Cokro Ningrat rupanya tidak senang. 

Namun dengan cerdik mulutnya tetap 

menyunggingkan senyum. Dia melangkah 

mendekati sebuah patung terbuat dari batu. 

Sambil mengusap-usap kaki patung dia berkata 

: “Baiklah, kalau paman menganggap mampu 

menjaga Mustiko Geni, tak ada salahnya paman 

yang menyimpan…..”. Lalu Kepala Pasukan 

Kotaraja itu bersikap hendak berlalu. Namun 

tiba-tiba cepat sekali tangan kanannya 

menangkap kaki patung batu. Benda itu 

dihantamkan sekeras-kerasnya ke kepala Patih 

Wulung Kerso. Orang tua itu tersungkur ke 

lantai. Tangan kanannya menggapai ke depan 

sementara kepala dan mukanya berlumuran 

darah mengerikan. 

“Keparat terkutuk. Kau... kau nyatanya jugaseorang musuh dalam selimut...” Dari balik 

pakaiannya patih tua ini keluarkan Mustiko 

Geni lalu dia merangkak mendekati Cokro 

Ningrat. Keris yang memancarkan sinar merah 

itu ditikamkannya ke arah Cokro. Namun 

sasaran terpisah jauh. Dia hanya menusuk 

angin dan kembali tersungkur. Saat itu kembali 

Cokro Ningrat menghantamkan patung batu ke 

kepala Patih Wulung Kerso. 

Dalam keadaan terluka parah di kepala, 

patih yang juga memiliki kepandaian silat dan 

kekuatan itu ternyata tidak mau menyerah 

begitu saja. Sambil merundukkan kepala 

menghindarkan hantaman patung batu, Wulung 

Kerso memukul ke depan. Jotosannya tepat 

menghantam lambung Cokro Ningrat. Meskipun 

tidak begitu telak dan keras akibat luka yang 

dideritanya namun jotosan tersebut cukup 

membuat Kepala Pasukan itu terhenyak ke 

belakan dengan perut mual dan dada terasa 

sesak sakit. 

Patih Wulung Kerso maju merangsak. Kini 

dia kerahkan seluruh tenaga dalam yang ada 

lalu menyergap dengan dua tangan terpentang. 

Namun Keris Mustiko Geni yang ada di tangan 

kanannya hanya mampu merobek pakaian 

kebesaran Raden Cokro Ningrat. Diam-diam 

Kepala Pasuka Kerajaan ini merasakan 

tekuknya jadi dingin. Sempat senjata sakti itu 

menggores kulit dadanya, nyawanya tak akantertolong! 

Darah yang membasahi kepala dan muka 

Wulung Kerso menutup pemandangan kedua 

matanya. Berulang kali dia mengusap wajah 

dan ini tentu saja merupakan kesempatan baik 

bagi Cokro Ningrat. Selagi pemandangan patih 

tua itu terhalang secepat kilat Cokro Ningrat 

gebukkan patung batu di tangannya ke tubuh 

Wulung Kerso. Tepat menghantam bahu kiri 

hingga orang tua ini terkapar di lantai ruangan. 

Dari mulut Wulung Kerso keluar suara 

rintihan. Patih ini masih berusaha bangkit 

sambil mengacungkan Keris Mustoko Geni yang 

memancarkan sinar merah angker itu. Namun 

darah yang terlalu banyak tertumpah membuat 

Wulung Kerso kehilangan tenaga. Lututnya 

goyah, pemandangannya semakin kabur, 

tenaganya semakin sirna. Ketika patung batu 

menghajar keningnya, dia tak punya daya lagi 

untuk mengelak. Tubuhnya roboh ke lantai, 

darah dan cairan otak berceceran. Keris 

Mustoko Geni terlepas dari genggamanya dan 

tercampak di lantai. 

Raden Cokro Ningrat cepat mengambil 

senjata Mustika itu, memasukkannya ke dalam 

sarung yang ditariknya dari pinggang Wulung 

Kerso, lalu meninggalkan mangan itu. Pintu 

kamar sengaja dikuncinya dari luar. 

Ketika dia sampai di bagian depan istana, 

Kepala Pasukan Kerajaan ini terkejutSerombongan pasukan berjumlah sekitar tiga 

ratus orang tampak berada di seberang sana, 

siap menyerbu. Ada tiga orang berkuda yang 

bertindak sebagai pimpinan. Dua masih muda 

dan tak dikenal sedang yang seorang lagi 

dikenalnya sebagai Manyar Gantra, orang tua 

yang diketahui sebagai juru ukur barang-

barang perak. 

“Pemberontak keparat! Datang juga mereka 

akhirnya!” serapah Cokro Ningrat. Pada 

beberapa orang perwira yang ada di situ dia 

segera berteriak memberi perintah. Sejumlah 

pasukan segera dihimpun dengan cepat untuk 

menyambut serangan. Namun karena pasukan 

yang ada di situ hanya merupakan pengawal 

istana, jumlah mereka dengan sendirinya lebih 

sedikit. Hal ini membuat serangan pasukan 

pemberontak tidak tertahankan. 

“Kurang ajar!” kertak Cokro Ningrat. 

Seorang perwira ditariknya ke balik pilar istana. 

“Cepat datangkan pasukan bantuan dari timur 

dan selatan. Paling tidak jumlah kita harus dua 

kali lebih besar dari pemberontak jahanam itu!” 

“Siap Raden!” jawab si perwira lalu 

tinggalkan tempat itu. 

Memandang berkeliling Raden Cokro 

menjadi beringas. Dia tak melihat seorang pun 

tokoh silat istana ada di tempat itu. Karena tak 

dapat menunggu lebih lama. Kepala Pasukan ini 

segera menuruni tangga istana menyongsongserbuan pasukan dengan sebilah pedang di 

tangan kanan. Ketika dia sampai di pertengahan 

taman istana, dua penunggang kuda yang 

bertindak sebagai pimpinan pasukan penyerbu 

menghadangnya. 

“Bangsat pemberontak! Kalian mencari 

mampus!” teriak Cokro Ningrat. 

“Cokro Ningrat anjing pengkhianat! Darah 

rakyat yang pernah kau tumpahkan harus kau 

ganti dengan darahmu sendiri!” Balas berteriak 

salah seorang penunggang kuda. Sekali 

goloknya diayunkan, senjata itu membabat ke 

arah kepala Cokro Ningrat.


Tampaknya lelaki muda yang menyerang 

Kepala Pasukan itu memang memiliki 

kepandaian. Namun dibandingkan dengan 

kepandaian yang dimiliki Raden Cokro Ningrat, 

meskipun dia menggempur bersama seorang 

kawanya, agak sulit baginya untuk merobohkan 

Kepala Pasukan itu. Hal itu menjadi kenyataan 

sewaktu pedang Cokro Ningrat membacok kura 

tunggangan mereka hingga kuda-kuda itu 

merangkak liar. Membuat keduanya terpaksa 

melompat ke tanah. 

Perkelahian dua lawan satu ini berlangsung 

sekitar empat jurus. Di jurus kelima, lelaki di 

sebelah kanan menemui ajal oleh tusukan 

pedang Cokro Ningrat yang tepat menembus 

dada kirinya. Jurus berikutnya lelaki kedua 

menyusul roboh akibat bacokan pedang tepat 

pada pangkal lehernya. 

“Bangsat pemberontak! Kalian mundur 

kalau tidak mau mampus percuma! Letakkan 

senjata dan menyerah!” teriak Cokro Ningrat. 

Tapi pasukan penyerbu yang tidak kenal 

rasa takut itu merangsak terus. Puluhan di 

antara mereka sudah mendekati tangga istana 

sementara puluhan prajurit di kedua belah 

pihak tampak berkaparan di taman dan tangga 

istana. 

Saat itulah serombongan pasukan kerajaanyang berjumlah hampir dua ratus orang muncul 

dari kiri kanan. Serta-merta gerakan penyerbu 

tertahan. Se-mangat balatentara Kerajaan yang 

tadi melemah kini pulih kembali. Raden Cokro 

terdengar kembali berteriak. 

“Jika kalian tidak menyerah kalian akan 

mampus percuma! Kalian sudah terkurung!” 

“Cokro Ningrat! Mulut besarmu sudah 

saatnya ditutup!” 

Terdengar suara membentak. 

Satu bayangan putih berkelebat. Angin 

serangan membuat Kepala Pasukan ini tergetar 

dan cepat bertindak mundur, memandang ke 

depan dia melihat orang itu itu tegak dengan 

sebatang tongkat besi kuning melintang di dada. 

“Gama Manyar! Tidak sangka nyatanya kau 

adalah seorang gembong pemberontak!” bentak 

Raden Cokro ketika mengenali siapa adanya 

orang tua di hadapannya. 

Si orang tua menyeringai. Wajahnya tetap 

dingin sedang sepasang matanya tidak 

berkedip. 

“Namaku bukan Gama Manyar. Akulah 

yang dikenal dengan nama Empu Soka 

Panaran!” berkata orang tua itu dengan suara 

lantang lalu wut... wut! Tongkat besi kuning di 

tangannya diputar di depan dada. Sesaat sosok 

tubuhnya hanya berupa baying-bayang kuning 

yang terbungkus oleh putaran tongkat kuning 

yang amat cepat.Raden Cokro Ningrat terkejut. Tapi dia tidak 

mau memperlihatkan perubahan pada air 

mukanya. Siapa yang tak kenal Empu Soka 

Panaran? Di masa Kerajaan lama dia dalah 

seorang ahli pembuat barang-barang ukiran 

istana. Tapi lebih penting dari itu dikabarkan 

orang tua ini memiliki kepandaian silat tinggi 

dan kesaktian mengagumkan. 

“Kau terkejut setelah mengetahui siapa 

aku? Takut...?! Lalu mengapa tak lekas 

menyerah?!” mengejek Empu Soka Panaran. 

“Tua bangka rakus kekuasaan! Kau sengaja 

mengorbankan orang-orang tak berdosa untuk 

mencapai tujuan kotor!” 

Soka Panaran tertawa mengekeh. 

“Buka matamu lebar-lebar, pasang 

telingamu baik-baik dan tanyai hati 

sanubarimu! Siapa di antara kita yang kotor! 

Siapa di antara kita yang telah menumpahkan 

darah rakyat untuk merebut tahta kerajaan? 

Kau dan rajamu yang sudah mampus itu dan 

ratusan pengkhianat lainnya yang gila 

kekuasaan! Dulu kau hanya perwira kelas 

picisan! Tapi kau bersedia mengkhianati rajamu 

yang syah hanya untuk mendapatkan 

kedudukan Kepala Pasukan! Apakah kau sudah 

senang dan baik-baik saja dalam jabatanmu 

yang penuh lumuran darah itu...?” 

Merah padam wajah Raden Cokro dan 

berdesing panas telinganya mendengar kata

kata Empu Soka Panaran itu. 

“Tua bangka sinting! Ajal sudah di depan 

mata masih saja bicara tak karuan!” Habis 

membentak begitu Cokro Ningrat menyerang 

dengan pedangnya. Sementara itu pasukan 

Kerajaan yang datang semakin banyak. Puluha 

prajurit dan beberapa perwira mengelilingi 

kalangan pertempuran antara pemimpin mereka 

melawan Empu Soka Panaran. Mereka maklum 

orang tua itu memiliki kepandaian tinggi 

karenanya perlu berjaga-jaga agar jangan 

sampai lolos kalau seandainya Kepala Pasukan 

mereka mengalami cidera atau sampai tumbang 

di tangan orang tua itu. 

Ternyata memang Empu Soka Panaran 

bukan tandingan Kepala Pasukan Kerajaan itu. 

Setelah menggempur habis-habisan selama 

enam jurus tanpa membawa hasil, kini Cokro 

Ningrat mendapat serangan balik yang gencar. 

Tongkat besi kuning di tangan sang empu 

menderu laksana titiran, menekan dan 

mengemplang, menggebuk dan menusuk, 

membuat Kepala Pasukan itu terdesak dan 

berseru keras sewaktu akhirnya pedang di 

tangannya dihantam mental oleh pukulan keras 

ujung tongkat. Raden Cokro Ningrat melompat 

mundur. Tapi lebih cepat tongkat lawan datang 

mengejar ke arah kepala. Masih untung Cokro 

Ningrat sempat membuang diri ke samping 

kalau tidak kepalanya sudah remuk dihantam

tongkat. Meskipun selamat namun ujung 

senjata lawan menoreh pelipis dan pipi 

kanannya hingga mendatangkan gorensan luka 

yang cukup dalam dan mengucurkan darah. 

Melihat pimpinan mereka cidera, beberapa 

perwira segera bertindak maju. Menyaksikan 

hal ini Empu Soka Panaran cepat berteriak 

mengejek. 

“Bagus! Kalian bangsa pengkhianat memang 

berjiwa pengecut! Silakan bantu pimpinan 

kalian agar tidak mampus lebih cepat!” 

Merasa malu Cokro Ningrat berteriak pada 

orang-orangnya. 

“Semua mundur! Menghadapi tikus tua 

macam ini aku tak butuh bantuan kalian!” 

Lalu dari balik pakaiannya Kepala Pasukan 

Kerajaan itu cabut Keris Mustiko Geni. Sinar 

merah berkiblat dalam gelapnya malam di 

taman istana itu. 

Terkejutlah Empu Soka Panaran alias Gama 

Manyar. Bagaimana Keris sakti lambang tahta 

Kerajaan itu berada di tangan Cokro Ningrat. 

Sejak tadi hatinya memang sudah cemas karena 

tidak melihat Nawang Suri. Di mana gadis itu 

setelah dia diketahui berhasil membunuh Sri 

Baginda? 

’Tikus tua! Majulah! Bukankah kau ingin 

mati lebih cepat?” membentak Cokro Ningrat. 

“Pengkhianat busuk! Rajamu sudah tewas! 

Keris itu bukan milikmu! Lekas serahkanpadaku...!” 

“Ha... ha...! Kau takut menemui kematian di 

tangan senjata sakti ini?!” ejek Cokro Ningrat. 

“Hidupku hanya sekali! Nyawa hanya satu 

dan aku tidak takutkan mati!” Hardik Empu 

Soka Panaran. 

Wut!. 

Sinar kuning berkiblat ketika tongkat 

besinya diputar sebat. 

Cokro Ningrat yakin sekali akan keampuhan 

keris Mustiko Geni. Dia menyongson sambaran 

tongkat lawan. 

Trang…!! 

Kliing…!! 

Empu Soka Panaran berseru kaget dan 

melompat mundur. Tongkat besi kuningnya 

putung sewaktu keris sakti itu membabat 

hampir sepertiga dari panjangnya! Tangannya 

bergetar dan terasa panas. 

“Ah, senjata sakti itu... Mengapa bisa 

berada di tangan musuh...” keluh Empu Soka 

Panaran dalam hati. Dia sadar apapun senjata 

yang dimilikinya tak bakal sanggup menghadapi 

Keris Mustiko Geni. Berarti dia harus 

mengerahkan kemampuan tenaga luar dalam 

dan akal untuk menghadapi lawan. 

“Tua bangka pemberontak!” Cokro Ningrat 

berkata sambil acungkan Keris Mustiko Geni 

tinggi-tinggi ke atas. “Jika kau bersedia 

menyerah maka kau akan digantung secaraterhormat! Tapi jika terus melawan, tubuhmu 

akan gosong oleh keris sakti ini!” 

“Aku lebih suka mati di ujung Mustiko 

Geni!” jawab Soka Panaran tegas. Tongkatnya 

yang hanya tinggal dua pertiga panjang semula 

meluncur ke depan tapi cepat ditarik ketika 

keris Mustiko Geni digunakan lawan untuk 

menangkis. Serangan tongkat yang tadi berupa 

tusukan kini berubah menjadi sabetan kea rah 

pinggang dan lagi-lagi berbahaya setelah 

Mustiko Geni dipakai untuk menangkis. 

Gerakan yang serba cepat membuat Cokro 

Ningrat menjadi kewalahan. Tapi orang ini 

cukup cerdik. Dia tak mau tenaga ikut bergera 

cepat dalam menghadapi lawan. Yang dilakukan 

adalah tegak di kalangan pertempuran dan 

melindungi diri dari setiap serangan dengan 

Keris Mustiko Geni. Lalu pada setiap 

kesempatan yang ada dia kirimkan serangan 

balasan. 

Setelah berkelahi lebih dari dua puluh 

jurus, nafas Empu Soka Panaran mulai 

tersengal. Meskipun dia sanggup untuk terus 

berkelahi sampai seratus jurus amun kekuatan 

serangannya akan mengendur. Hal ini disadari 

sepenuhnya oleh orang tua itu. Maka dia pun 

merubah sasaran serangan. Kalau tadi dia 

berusaha menghantam tubuh, kepala atau 

bagian badan lain dari Cokro Ningrat maka kini 

serangannya dipusatkan pada tangan kananlawan. Apapun yang terjadi dia harus dapat 

membuat Cokro Ningrat melepaskan Keris 

Mustiko Geni dari genggamannya, celakanya 

apa yang ada dalam benak si orang tua, 

diketahui pula oleh lawan! Kini tampak Cokro 

Ningrat merobah sasaran serangan. Kalau 

sebelumnya dia berusaha menghancurkan 

senjata lawan maka kini begitu berhasil 

mengelakkan satu serangan dia langsung 

tusukkan keris ke arah bagian tubuh lawan. Dia 

tak perlu memilih bagian tubuh lawan. Karena 

sekali Keris Mustiko Geni dapat menoreh kulit 

atau daging lawan, dalam beberapa saat hawa 

ganas yang ada pada senjata itu akan 

menewaskannya. 

Pada jurus ke enam puluh dua Empu Soka 

Panaran mulai lamban gerakannya. Beberapa 

kali Keris Mustiko Geni hampir mendarat di 

tubuhnya. Keadaannya sangat terdesak. 

Nyawanya tak tertolong lagi. Pasukan yang 

datang menyerbu bersamanya, melihat kejadian 

ini jadi leleh semangat mereka. Semua hanya 

tinggal menunggu saja. Jika si orang tua tewas 

di tangan Kepala Pasukan Kerajaan itu maka 

mereka yang hidup hanya ada satu pilihan. 

Menyerah atau melarikan diri! 

Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba seekor 

kuda menerjang masuk ke dalam» kalangan 

pertempuran sambil meringkik keras. Dua 

orang prajurit tergelimpang roboh kenaterjangan kaki depan. Seorang perwira 

tersungkur ke samping. Satu perwira lagi 

berseru kaget ketika pedang yang sejak tadi 

dicekalnya tahu-tahu dibetot lepas. Dalam 

suasana yang bertambah kacau terdengar 

seruan. 

“Empu Soka Panaran! Mari kita musnahkan 

manusia-manusia perampok tahta dan 

pengkhianat busuk!” 

Sekali lagi terdengar ringkik kuda. Dari atas 

punggung binatang ini tampak menyambar 

sebilah pedang, berkiblat kea rah leher Cokro 

Ningrat. Masih untung kepala pasukan ini 

dalam kejutnya untuk melompat mundur. 

Begitu selamat dari tebasa pedang dengan 

beringas dia menusukkan keris Mustiko Geni ke 

arah penunggang kuda. Namun dari samping 

Empu Soka Panaran datang membabatkan 

tongkat besi kuningnya hingga Cokro Ningrat 

sekali lagi terpaksa melompat mencari selamat. 

Saat itulah satu tendangan bersarang di bahu 

kirinya, membuat Cokro Ningrat hamper roboh 

ke tanah kalau tidak di Bantu dua orang 

perwira. 

Memandang ke depan Cokro Ningrat segera 

mengenali siapa adanya penunggang kuda itu. 

Bukan lain Nawang Suri, puteri raja terdahulu. 

Gadis ini tampak mengenakan pakaian ringkas 

dan ikat kepala warna merah. 

“Bagus! Aku tak perlu susah payahmencarimu! Kau ternyata datang sendiri untuk 

menyerahkan nyawa!” kertak Cokro Ningrat. Dia 

memberi isyarat pada para pembantunya. Dua 

perwira yang barusan menolongnya bersama-

sama tujuh prajurit segera mengurung Nawang 

Suri yang masih tetap berada di punggung 

kuda. Tangan kanan yang patah terbalut kain 

sedang tangan kiri memegang pedang 

rampasan. 

Meskipun kehadiran Nawang Suri 

menyelamatkan dirinya dari serangan lawan, 

namun Empu Soka Panaran merasa sangat 

kawatir. Dia melihat sendiri keadaan Nawang 

Sari yang cedera tangan kanan dan hanya 

mengandalkan tangan kiri. Sementara itu 

jumlah pasukan kerajaan semakin banyak. 

Sulita bagi mereka untuk memenangkan 

pertempuran. Bagi sang empu sendiri kematian 

tidaklah menakutkan. Tapi kiri dia justru 

mengkhawatirkan keselamatan putri 

junjungannya itu!. 

“Den Ayu! Keadaan sangat berbahaya! 

Tinggalkan tempat ini! Selamatkan dirimu! 

berseru Empu Soka Panaran. 

“Tidak!” sahut Nawang Suri tegas dan tanpa 

takut. “Bukankah kita sudah memilih mati dari 

pada hidup dinista?!” 

Cokro Ningrat tertawa bergolak. 

“Kalau sudah masuk ke sarang harimau 

mana mungkin keluar dengan selamat?!Bersiaplah menerima kematian!” Tangan 

kanannya bergerak. Sinar merah Keris Mustiko 

Geni berkiblat ke arah sang empu sementara 

Nawang Suri harus menghadapi serbuan dua 

perwira dan tujuh prajurit.



“Bunuh dulu kudanya!” teriak salah seorang 

perwira. Lebih dari selusin prajurit datang 

menyerbu. Sementara dua pimpinan mereka 

melayani Nawang Suri. Prajurit-prajurit itu 

memusatkan serangan pada kuda tunggangan 

sang dara. Tombak dan pedang serta kelewang 

berserabutan. Bagaimanapun Nawang Suri 

berusaha menyelamatkan kudanya namun 

akhirnya binatang itu roboh bergelimang darah, 

penuh luka 

“Bangsat rendah! Mampus kalian semua!” 

teriak Nawang Suri. Dia melompat dari 

punggung kuda sebelum binatang ini 

tergelimpang di halaman istana. Pedangnya 

diputar deras. Dua prajurit menjerit dan roboh 

mandi darah. 

Dua perwira cepat berteriak memberi aba-

aba. Sepuluh prajurit lagi datang membantu. 

Kini ada delapan belas prajurit dan dua perwira 

mengurung Nawang Suri. Dengan pedang di 

tangan kiri gadis ini terus mengamuk. Di 

jurusan lain Cokro Ningrat menggempur Empu 

Soka Panaran habis-habisan. Orang tua yang 

kehabisan tenaga ini tak mampu berbuat 

banyak. Beberapa kali tongkat besi kuningnya 

buntung di babat keris Mustiko Geni hingga 

potongan kecil yang masih tersisa di tangannya 

tak ada gunanya lagi lalu di lempar kearahCokro Ningrat. Dengan mudah Kepala Pasukan 

itu mengelakkan lemparan besi itu meskipun 

potongan tongkat ini melesat dan menancap di 

leher seorang perwira yang mengeroyok Nawang 

Suri, yang membuatnya tak ampun lagi roboh 

ke tanah dan menemui ajal saat itu juga!. 

Perwira yang kedua terkejur dan tercekat 

melihat kematian kawannya yang berlaku 

lengah. Hal ini harus dibayarnya dengan mahal. 

Pedang di tangan kiri Nawang Suri menghujam 

di perutnya tanpa dapat dielakkan! Karena 

kehilangan dua pemimpin mereka sekaligus, 

belasan prajurit yang mengeroyok Nawang SUri 

menjadi leleh nyali mereka. Hal ini diketahui 

benar oleh sang dara hingga dia dapat menebar 

serangan maut dengan leluasa. 

Sebelum prajurit-prajurit kerajaan menjadi 

korban keganasan pedang sang dara lebih 

banyak, dari arah pintu gerbang istana, dua 

orang kakek tampak berkelebat dalam 

kegelapan. Dalam waktu singkat keduanya telah 

berada di hadapan Nawang Suri. Gerakan 

kedua kakek ini membuat sang dara seperti 

terdorong tembok keras sehingga dia terpaksa 

melompat mundur dan memandang dengan 

beringa kearah dua pendatang ini. Nawang Suri 

segera mengenali mereka yakni bukan lain 

adalah Ki Rawe Jembor dan Imo Gatra, dua 

hulubalang utama istana. 

“Hemmm... kalian rupanya! Apa sudah siapuntuk mampus?!” mengejek Nawang Suri 

sementara sepasang matanya bergerak liar 

memperhatikan gerakan belasan prajurit yang 

kini mengurungnya dengan rapat. 

Imo Gantra tertawa buruk. Ki Rawe Jembor 

memandang dingin tak berkesip. 

“Gadis tolol!” mengejek Imo Gantra. “Setelah 

lolos ditolong pendekar sableng itu, kau malah 

kembali muncul mencari kematian!” 

“Akan kita lihat siapa yang mampus duluan, 

kau atau aku!” sahut Nawang Suri. 

“Pasti kau! Bukankah kad ingin lekas-lekas 

menyusul kedua orang tuamu...?!” mengejek 

Imo Gantra. 

Mendengar orang tuanya disebut-sebut, 

Nawang Suri menjerit marah. Tubuhnya 

berkelebat ke depan. Pedang di tangan kirinya 

menyambar deras ke kepala Hulubalang Istana 

nomor dua itu. 

Saat itu keadaan pihak penyerbu boleh 

dikatakan sudah kritis. Empu Soka Panaran 

yang sudah tak berdaya apa-apa lagi hanya 

tinggal menunggu kematian di ujung Keris 

Mustiko Geni. Bala tentara yang tadi hampir 

tidak tertahankan dan sempat naik ke tangga 

istana kini terpukul dan didesak mundur 

sampai ke pintu gerbang istana meninggalkan 

korban tewas bergeletakan di berbagai penjuru. 

Dan nasib Nawang Suri jelas tidak 

menguntungkan. Dengan tangan kanan patah,hanya dengan mengandalkan pedang di tangan 

kiri sulit baginya untuk menghadapi dua tokoh 

silat istana yang berkepandaian tinggi yakni Imo 

Gatra dan Ki Rawe Jembor. Meskipun kedua 

kakek itu tidak memegang senjata namun 

dalam beberapa jurus saja sudah berhasil 

mendesak sang dara. Dalam satu gebrakan 

hebat Nawang Suri bertindak kenat yaitu 

menerima gebukan tangan Ki Rawe Jembor 

asalkan dapat menusuk mati Imo Gatra dengan 

pedang di tangan kirinya. 

Buk! 

Jotosan Ki Rawe Jembor bersarang tepat di 

dada sang dara. Sebaliknya tusukan pedang 

yang diharapkan akan menewaskan Imo Gantra 

ternyata menemui kegagalan karena sambil 

menjotos dengan tangan kanan, Ki Rawe 

Jembor pergunakan tangan kiri untuk 

mendorong Imo Gantra hingga kakek satu ini 

selamat dari kematian! 

Nawang Suri terhuyung-huyung ke 

belakang. Pedangnya terlepas dari tangan kiri 

dan terjatuh ke tanah. Kedua tangannya kini 

dipergunakan untuk mendekap dadanya yang 

sakit bukan kepalang. Tulang dadanya serasa 

melesak. Iga-iganya seperti remuk berantakan. 

Darah mengucur di sela bibirnya. Perlahan-

lahan tapi pasti dara ini akhirnya jatuh 

terduduk di tanah. Saat itulah dilihatnya di 

kejauhan, Empu Soka menemui ajal, tewas ditangan Raden Cokro Ningrat. Tewas terkena 

tikaman Keris Mustiko Geni. Senjata mustiko 

sakti lambang kerajaan yang hendak dibelanya 

tapi justru dia sendiri yang menemui kematian 

di ujung keris itu. 

Tubuh Empu Soka Panaran tergelimpang 

tak bergerak lagi. Kulitnya tampak menghitam 

hangus! 

“Bagus! Pemberontak tua sudah mampus! 

Sekarang giliran gadis tolol ini menemui 

ajalnya!” teriak Ki Rawe Jembor. Sekali lompat 

saja dia sudah berada di hadapan Nawang Suri 

yang terduduk di tanah tak berdaya. Kakek ini 

angkat kaki kanannya dan kirimkan tendangan 

maut ke arah kepala sang dara. Meskipun saat 

itu pemandangannya menjadi kabur namun 

Nawang Suri masih sempat melihat datangnya 

bahaya maut. Sambil jatuhkan diri ke tanah 

gadis ini angkat tangan kanannya yang terbalut 

patah untuk menangkis. Terdengar jeritannya 

ketika tendangan K i Rawe Jembor mematahkan 

tulang lengan itu untuk kedua kalinya. Nawang 

Suri terguling di tanah beberapa kali. Gulingan 

tubuhnya terhenti ketika satu kaki menahan 

dadanya. Kaki yang menginjak ini tidak beda 

dengan batu besar hingga dadanya yang sakit 

semakin terasa sakit seperti remuk berantakan. 

Dia tak kuasa lagi menjerit. Nafasnya pun 

hanya tinggal satu-satu. Dia memandang ke 

langit gelap. Lalu pada orang yang menginjaktubuhnya. Ternyata orang ini adalah Cakra 

Ningrat. Kepala Pasukan Kerajaan yang barusan 

membunuh Empu Soka Panaran. 

“Keparat! Pengkhianat busuk! Tunggu apa 

lagi? Bunuh aku saat ini juga!” Suara sang dara 

bergetar. Perlahan, tapi karena di tempat itu 

mendadak menjadi sunyi sementara pasukan 

penyerbu telah melarikan diri, maka suara yang 

perlahan itu masih dapat terdengar jelas. 

“Mati cepat-cepat saat ini terlalu enak 

bagimu! Kau akan kami gantung di tanah 

lapang! Biar semua orang menyaksikan 

hukuman yang layak bagi setiap pemberontak!” 

berkata Cokro Ningrat. 

“Dia sudah minta mati. Kenapa menunggu-

nunggu? Bunuh saja saat ini juga. Habis 

perkara. Semua urusan beres sudah!” 

Yang bicara adalah Ki Rawe Jembor. 

Raden Cokro Ningrat menyeringai 

mendengar ucapan itu. Dia melirik pada Imo 

Gantra seakan minta pendapat. Imo Gantra 

yang mengerti maksud lirikan Kepala Pasukan 

Kerajaan itu anggukkan kepala tanda setuju. 

Maka tanpa pikir panjang lagi Raden Cokro 

Ningrat membungkuk dan tusukkan keris 

Mustiko Geni lurus-lurus kea rah leher Nawang 

Suri. 

Saat itulah terdengar satu suitan nyaring. 

Disusul dengan deru angin laksana topan 

prahara datang menyambar dari langit malamyang gelap. Semua orang yang ada di tempat itu 

merasakan tubuh masing-masing bergetar. 

Pakaian dan rambut mereka berkibar-kibar. 

Sekali lagi terdengar suitan keras dan tubuh 

Cokro Ningrat tiba-tiba terpental. Keris Mustiko 

Geni hampir terlepas dari tangannya. Dengan 

sigap Kepala Pasukan ini jatuhkan diri ke tanah 

sambil babatkan keris sakti ke depan. Sinar 

merah berkiblat. Dia selamat dan bangkit 

dengan cepat tapi bahu kanannya tampak 

bengkak besar. Seseorang telah melepaskan 

tendangan kilat. Masih untung tendangan itu 

meleset. 

“Keparat! Dia lagi!” terdengar teriakan Imo 

Gantra. 

“Kali ini tak ada ampun bagimu pendekar 

sinting!” menyusul suara bentakan Ki Rawe 

Jembor. 

Memandang ke depan Raden Cokro Ningrat 

melihat seorang pemuda berambut gondrong 

sebahu berikat kepala kain putih tegak dengan 

kaki merenggang. Kedua tangannya 

dirangkapkan di depan dada. Baju putihnya 

tidak dikancingkan. Pada dadanya yang berotot 

tampak tersebul barisan tiga angka yang telah 

menggetarkan rimba persilatan. 

“Pendekar 212...” desis Cokro Ningrat. Lidah 

nya terasa kelu, tengkuknya seperti disiram 

embun pagi! 

“Aku sudah memberi peringatan padasemua Kalian di sini. Jangan berani 

mengganggu gadis ini! Ternyata kalian 

mengabaikan peringatan itu...” 

Ki Rawe Jembor tampak geram mendengar 

kata-kata Pendekar 212 Wiro Sableng yang 

jelas-jelas menantang dan sekaligus 

merendahkan dirinya dan kawan-kawan. Dia 

maju satu langkah dan membuka mulut dengan 

suara lantang. 

“Manusia sableng! Kau sendiri rupanya juga 

lupa akan peringatanku. Kami telah melepaskan 

kau dan gadis itu sore tadi. Kini kalian datang 

lagi membuat keonaran. Bahkan membunuh 

orang-orang kami. Bukankah sudah kukatakan 

bahwa pembalasan kami lebih kejam dari siksa 

neraka...?!” 

“Soal siksa neraka mana aku tahu. Kukira 

kaupun tidak tahu! Kalau aku kepingin tahu 

apakah kau bisa menunjukkan jalan ke 

neraka?!” Habis berkata begitu Wiro Sableng 

lalu umbar tawa bergelak. Karena suara 

tawanya disertai kekuatan tenaga dalam yang 

tinggi maka semua orang yang ada di sana 

merasakan telinga masing-masing mengiang 

memekakkan sedang jantung seperti 

berguncang! 

Wiro melangkah mendekati Nawang Suri. 

“Sahabat, kau tak apa-apa...?” Pendekar ini 

menegur. 

Dalam hatinya sang dara memaki panjang pendek. “Aku sudah hampir mampus dikatakan 

tidak apa-apa! Pemuda edan! Benar-benar 

sableng!” Walaupun dalam hati memaki, namun 

entah mengapa gadis yang tadi sudah nekad 

dan siap menerima kematian, kini muncul 

harapan untuk hidup kembali. Dan dia diam 

saja ketika pemuda itu memegang tubuhnya 

lalu mengangkat dan meletakkannya di bahu, 

seperti sebelumnya ketika dia memberi 

pertolongan. Wiro memandang berkeliling. 

Saat itu terdengar Ki Rawe Jembor berkata. 

“Jangan harap kali ini kami memberi 

ampunan dan membiarkan kalian berdua pergi 

hidup-hidup!” 

“Begitu...?” tukas Wiro. “Kita akan lihat. 

Siapa berani bergerak dia akan mati duluan!” 

Lalu murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung 

Gede ini gerakkan tangan kanannya ke 

pinggang di mana tersisip Kapak Maut Naga 

Geni 212. 

Imo Gantra tegak tak bergerak. Dia sudah 

melihat keganasan Kapak Naga Geni 212 itu. Ki 

Rawe Jembor diam meragu. Tapi Raden Cokro 

Ningrat yang memegang Keris Mustiko Geni di 

tangan kanan, merasa tidak ada yang perlu 

ditakutkan. Maka dia pun menyerbu dengan 

satu tusukan ke arah kepala Wiro Sableng. 

“Manusia tolol!” teriak Wiro. Tubuhnya 

dirun-dukkan. Keris Mustiko Geni menukik 

mengikuti gerakannya, membeset danmenyusup di antara rambutnya yang gondrong. 

Nawang Suri terpekik dan semburkan darah 

dari mulutnya. Gadis ini sungguh luar biasa. 

Orang lain menderita luka seperti itu mungkin 

sudah pingsan. 

 Gerakan tangan Wiro untuk mencabut 

Kapak Naga Geni 212 terhalang oleh serangan 

tangan kosong Imo Gantra dan Ki Rawe Jembor 

yang datang dari kiri kanan. Dan terjadilah satu 

pemandangan yang luar biasa. 

Dengan masih memanggul tubuh Nawang 

Suri di bahu kanannya, mustahil bagi murid 

Sinto Gendeng itu untuk selamatkan diri dari 

dua serangan tangan kosong dan satu tikaman 

keris yang disusulkan oleh Raden Cokro 

Ningrat. Tanpa perdulikan keadaan sang dara, 

Wiro lemparkan tubuh Nawang Suri ke udara. 

Tangan kanannya menyikut ke arah jotosan Imo 

Gantra yang datang dari sebelah kanan sedang 

tangan kiri menghantam ke depan, memukul ke 

arah lambung Ki Rawe Jembor. Untuk Cokro 

Ningrat, dengan miringkan tubuh ke samping 

kiri Wiro lesatkan kaki kanannya, mtmendang 

ke bawah perut lawan. 

Selagi Cokro Ningrat melompat mundur 

selamatkan selangkangannya dan Imo Gantra 

terpekik karena tiga jari tangannya yang dipakai 

menjotos menjadi bengkak waktu beradu keras 

dengan sikut Wiro sementarei Ki Rawe Jembor 

terhenyak ke belakang dimakan tinju kiri, makaPendekar 212 Wiro Sableng berkelebat untuk 

menangkap sosok tubuh Nawang Suri, langsung 

memanggulnya kembali di bahu kanan! 

Para prajurit kerajaan yang menyaksikan 

kejadian itu mau tak mau sama leletkan lidah 

dan berdecak kagum. Sesaat mereka terlupa 

bahwa pendekar yang mereka kagumi itu 

adalah musuh besar mereka! 

Selagi Imo Gantra si kakek muka cekung 

masih merintih kesakitan, Ki Rawe Jembor telah 

berhasil memulihkan rasa sakit pada bagian 

tubuh yang kena dijotos Wiro. Kakek ini tampak 

selusupkan tangan kanannya ke pinggang. Di 

lain kejap dia telah menggenggam sebilah 

tombak pendek bermata tiga terbuat dari perak 

berkilat. 

Dari samping kanan Cokro Ningrat tampak 

bersiap-siap dengan Keris Mustiko Geni. 

Puluhan prajurit dan beberapa orang perwira 

telah mengambil posisi mengurung. Imo Gantra 

kemudian tampak pula meloloskan senjatanya 

dari balik pakaian biru, yakni sebilah rantai besi 

pendek yang ujungnya diganduli lima keping 

mata pisau. Kehebatan senjata ini terletak pada 

kepingan pisau yang bisa menyerang serentak 

sekaligus pada satu sasaran atau menebar 

menghantam lima sasaran! 

Melihat kenyataan ini Wiro Sableng jadi 

menggerendeng. Ternyata orang-orang itu tidak 

mungkin diajak berdamai. Maka sekali diamenggerakkan tangan Kapak Naga Geni 212 

sudah berada dalam genggamannya. Sinar 

perak bertabur menyilaukan dalam gelapnya 

malam. 

“Kalian semua memang minta mampus! 

Majulah serentak agar lekas kupesiangi!” teriak 

Wiro. 

Tombak bermata tiga menderu. Sinar putih 

menyambar. Rantai besi berpisau lima mata 

bersiuran di udara. Lalu sinar merah menabur 

hawa panas berkiblat ketika Keris Mustiko Geni 

ikut masuk ke dalam kalangan pertempuran. 

Wiro maklum, apapun kehebatan senjata di 

tangan dua kakek berkepandaian tinggi itu, 

namun Keris Mustiko Geni tetap merupakan 

senjata paling berbahaya yang harus 

diperhatikannya. 

Pendekar 212 sapukan Kapak Naga Geni di 

depan dada. Suara seperti ribuan tawon 

mengamuk terdengar menderu disertai kilauan 

sinar putih. Tiga seruan tertahan terdengar 

hampir berbarengan sementara puluhan 

prajurit dan beberapa perwira yang ada di dekat 

kalangan pertempuran menyingkir dengan 

perasaan ngeri. 

Ki Rawe Jembor, Cokro Ningrat dan Imo 

Gantra sama melompat mundur. Rantai besi 

berpisau lima bergoyang-goyang. Tombak 

bermata tiga bergetar keras ketika terkena 

hantaman angin kapak sakti. Hanya KerisMustiko Geni yang tampak masih membersitkan 

sinar merah angker. Satu pertanda ijahwa 

senjata ini memiliki keampuhan luar biasa dan 

dapat diandalkan menghadapi Kapak Nage Geni 

212. 

Melihat tiga lawannya jelas bergeming 

menghadapi senjatanya, Wiro Sableng 

melangkah mundur menjauh. Dia memutuskan 

untuk mundur segera meninggalkan tempat itu 

karena hati kecilnya tetap tak mau 

menumpahkan darah atas orang-orang kerjaan. 

Tetapi celakanya ata perinta Cokro Ningrat, 

puluhan prajurit dan beberapa perwira bergerak 

merapatkan kurungan sementara itu Kepala 

Pasukan Kerajaan ini telah memberi isyarat 

pada dua hulubalang istana. Bersama Imo 

Gatra dan Ki Rawe Jembor, dia kembali 

menyerbu Wiro Sableng. Kali ini ketiganya 

menyusun taktik yakni walaupun tampak 

bergerak berbarengan namun serangan tidak 

dilancarkan secara bersamaan. 

Yang menghantam pertama adalah Ki Rawe 

Jembor dengan tombak berkepala tiganya. 

Ketika Wiro menangkis dengan kapaknya, orang 

tua ini cepat melompat mundur, begitu 

hantaman kapak lewat Imo Gantra meloncat ke 

depan sambil hantamkan rantai besi bergandul 

lima pisau berkilat. Sekali lagi Pendekar 212 

babatkan kapaknya untuk menghantam 

serangan kedua ini. Seperti tadi Ki RaweJembor, Imo Gantra pun cepat melompat 

mundur. Di saat itulah Cokro Ningrat masuk ke 

dalam kalangan dengan menyusupkan satu 

tusukan ganas ke arah dada Wiro Sableng. 

Sebenarnya serangan Cokro Ningrat mempunyai 

dua sasaran. Pertama memang dada wiro, 

namun jika terpaksa meleset maka ujung keris 

akan terus ditikamkannya ke kepala Nawang 

Suri yang terkulai di atas bahu pendekar dari 

Gunung Gede itu!



“Wong edan!” maki Pendekar 212. Terpaksa 

dia lepaskan pegangannya pada tubuh Nawang 

Suri dan pergunakan tangan kiri untuk 

melepaskan pukulan kunyuk melempar buah. 

Tinju kiri dihantamkan lurus-lurus ke depan ke 

arah Cokro Ningrat. Begitu lengan membentuk 

garis lurus lima jari terkembang membuka. 

Serangkum angin dahsyat menggebu. Kepala 

Pasukan Kerajaan itu merasakan seperti ada 

batu besar yang menggelinding menghantam ke 

arah tubuhnya. Kalau tadi dia hendak nekad 

menruskan tusukan ke arah kepala Nawang 

Suri, kini dalam keadaan tubuh hampir terseret 

dia terpaksa menarik pulang tusukannya, 

melompat ke samping menghindari angin 

pukulan. Selagi Cokro Ningrat mengusap 

dadanya yang terasa sakit dan sesak, di 

belakang sana terdengar pekik jerit 

menggemparkan. Enam prajurit dan seorang 

perwira yang terkena hantaman pukulan 

kunyuk melempar buah mencelat bermentalan. 

Ketika tubuh masing-masing tergelimpang di 

dekat tembok depan halaman istana, empat 

orang diantaranya sudah tidak bernafas lagi. 

Dua lainnya merintih berkelojotan, siap 

menyusul empat kawannya, sementara si 

perwira terduduk sambil memuntahkan darah 

kental Kejadian yang menggemparkan ini membuat 

Imo Gantra dan Ki Rawe Jembor naik darah. 

Keduanya berseru keras. Kekuatan serangan 

tombak dan lima pisau berantai mereka lipat 

gandakan dengan pengerahan tenaga dalam 

penuh hingga lima pisau tampak berpijar terang 

dalam gelapnya malam sedang tombak tiga 

mata mengeluarkan deru angin dingin 

menggetarkan. 

Ketika Wiro dengan kertakkan rahang 

memutar Kapak Naga Geni untuk menangkis 

dua serangan yang datang, celakanya Nawang 

Suri yang dari atas bahu Wiro melihat si 

pemuda berada dalam keadaan terdesak tiba-

tiba hantamkan tangan kirinya ke arah Ki Rawe 

Jembor, padahal saat itu dari samping lima 

pisau di ujung rantai Imo Gantra membabat 

sebat tepat membelintang di arah pertengahan 

lengan Nawang Suri yang memukul! 

Pendekar 212 sadar meskipun dia dapat 

menangkis tusukan tombak Ki Rawe Jembor 

namun ke dudukannya tidak memungkinkan 

menolong Nawang Suri dari senjata Imo Gatra. 

Karena tak ingin gadis itu mendapat celaka mau 

tak mau Wiro Sableng mengambil keputusan 

menghamtam lima pisau terlebih dahulu, baru 

selamatkan diri sendiri dari tombak tiga mata. 

Namun baru saja dia menggerakkan kapak 

ke arah senjata di tangan Imo Gantra, Cokro 

Ningrat kembali masuk ke dalam kalanganpertempuran dengan tikaman Keris Mustiko 

Geni ke arah dadanya. Pendekar 212 Wiro 

Sableng benar-benar menghadapi kesulitan 

yang membahayakan jiwanya! 

Ki Rawe Jembor keluarkan suara tertawa 

ber-gelak. 

“Pendekar sableng! Akhirnya kau harus 

tinggalkan nyawamu di sini!” kata hulubalang 

istana itu karena sudah yakin betul pemuda itu 

akan menemui kematian dihantam tusukan 

tombaknya atau tikaman Keris Mustiko Geni. 

Wiro yang masih tetap ingin menyelamatkan 

gadis di atas panggulannya, meski sadar nyawa 

terancam tapi tetap saja menyahuti dengan 

nada menantang. 

“Mana mau aku mati sendirian! Salah satu 

dari kalian harus ikut bersama!” Lalu Kapak 

Naga Geni 212 dibabatkan ke atas. Tapi tombak 

di tangan Ki Rawe Jembor sudah menusuk 

dekat sekali ke wajah pendekar ini. 

Di saat yang menegangkan di mana Wiro 

sudah siap mempertaruhkan jiwanya tiba-tiba 

murid Sinto Gendeng merasakan ada yang 

berkelebat di belakangnya. Serentak dengan itu 

tubuh Nawang Suri yang ada di bahunya 

tertarik ke atas tanpa dia mampu menahannya. 

Mengira ada musuh ke empat yang muncul dan 

bermaksud menangkap Nawang Suri hidup-

hidup, Wiro berusaha menendang seperti seekor 

kuda menlenjangkan kaki belakangnya.Justru saat itu terdengar suara seseorang 

seperti ngiangan nyamuk di telinganya. 

“Anak muda! Biar gadis ini kuselamatkan 

lebih dulu. Kutunggu kau di Goa Selarong!” 

Begitu suara mengiang lenyap, mendadak 

bertabur angin deras. Keris Mustiko Geni 

melesat di samping perut Wiro. Lima pisau Imo 

Gantra yang seharusnya membabat lengan 

Nawang Suri kini menderu hanya seujung ibu 

jari di depan hidung Pendekar 212 dan senjata 

ini hancur berantakan dihantam Kapak Naga 

Geni 212. Akan tetapi tusukan tombak tiga 

mata yang sudah demikian dekatnya, meskipun 

agak tergontai-gontai oleh tiupan angin deras 

tadi, tetap saja salah satu matanya sempat 

mengiris pipi kanan pemuda itu. Dengan pipi 

mencucurkan darah Wiro melompat menjauhi 

tiga pengeroyoknya. Dia menoleh cepat ke 

belakang, tapi tak melihat lagi sosok tubuh 

Nawang Suri ataupun orang yang tadi muncul 

menarik gadis itu dari bahunya. 

Di samping kanan terdengar teriakan Cokro 

Ningrat. 

“Kejar bangsat penculik berpakaian hitam 

itu!” 

Hampir dua lusin prajurit dipimpin oleh tiga 

orang kepala regu dan dua orang perwira 

bergerak cepat, berlari ke arah lenyapnya 

Nawang Suri. Sesaat kemudian di kejauhan, 

dalam kegelapan malam terdengar pekik jerit 

kematian. Dari sekian banyak yang melakukan 

pengejaran, dua orang kembali ke halaman 

istana. Yang pertama seorang kepala regu, 

datang terseok-seok karena salah satu tulang 

kakinya tampak remuk hancur. Yang satu lagi 

perwira berwajah penuh darah karena sebuah 

matanya tampak pecah! 

“Kurang ajar! Aku harus mengejar bangsat 

itu!” kertak Imo Gantra marah dan bertindak 

hendak mengejar meskipun tangannya masih 

terasa sakit dan panas akibat bentrokan senjata 

dengan Kapak Naga Geni 212 tadi. 

Ki Rawe Jembor cepat memegang bahu 

kawannya ini dan berbisik. 

“Jangan dimas. Kalau lebih dibutuhkan di 

sini. Aku tidak bermaksud merendahkanmu 

tapi manusia berpakaian hitam itu memiliki 

kepandaian seperti dewa!” 

“Aku tidak takut! Mana ada manusia seperti 

dewa di dunia ini!” tukas Imo Gantra. 

“Kataku jangan dimas!” Ki Rawe Jembor 

Akhirnya membentak. “Kau tahu siapa orang 

berpakaian hitam itu?!” 

Mesti jengkel penasaran tapi Imo Gatra 

menjawab dengan menggelengkan kepala. 

 “Dia adalah Resi Mandra Gotama, sesepuh 

kerajaan terdahulu. 

Mendengar keterangan itu Imo Gantra 

berubah parasnya dan menatap tajam pada Ki. 

Rawe Jembor. “Kangmas Jembor. Ternyatamanusia itu masih hidup. Ini sangat berbahaya 

bagi kita semua. Sebaiknya segera menyusun 

rencana menumpasnya habis-habisan...” 

“Soal itu lain kali saja kita bicarakan. Saat 

ini yang penting adalah menamatkan riwayat 

pemuda sableng satu ini!” 

Wiro yang diam-diam mendengarkan 

pembiaraan kedua orang itu tampak garuk-

garuk kepala. Setelah mengusap darah yang 

keluar dari luka di pipi kanan dia mengangkat 

tangan kiri seraya berkata. 

“Orang yang kalian ingin tangkap atau 

bunuh sudah tak ada. Kurasa akupun tak ada 

urusan lagi di tempat celaka ini. Beri jalan, aku 

mau pergi...” 

Cokro Ningrat dan dua kakek hulubalang 

istana saling berpandangan sejenak lalu tertawa 

gelak-gelak. 

“Enak saja bicaramu! Cepat atau lambat 

kami akan menangkap gadis pemberontak itu. 

Tapi yang jelas saat ini kau kami bunuh lebih 

dulu!” berkata Raden Mas Cokro Ningrat. 

“Memang, kunyuk satu ini harus dibereskan 

dulu!” ujar Imo Gantra. Dia penasaran sekali 

karena senjata rantai berpisau lima miliknya 

musnah di hantam kappa Naga Geni 212. 

Meskipun diancam begitu Wiro Sableng hanya 

menyeringai. Dia lepaskan pukulan angin 

puyuh dengan tangan kiri. Pukulan ini sengaja 

dihantamkan ke tanah di depannya. Tanahhalaman istana berlobang besar. Bongkahan 

tanah dan pasir beterbangan ke udara menutup 

pemandangan. 

“Keparat! Jangan biarkan dia lolos!” teriak 

Imo Gantra. Tapi orang-orang di situ tak dapat 

melihat Wiro. Selagi pemandangan tertutup 

begitu rupa Wiro cepat berkelebat, namun di 

pintu gerbang halaman puluhan prajurit coba 

menghadangnya. Ketika Wiro berlagak hendak 

menghantam dengan Kapak Naga Geni 212, 

semuanya langsung buyar ketakutan. Tapi dari 

sebelah belakang Imo Gantra tampak mengejar. 

Sambil lari dia kelihatan mengerukkan tangan 

kanan ke dalam sebuah kantong yang 

tersembunyi di balik bahu pakaiannya. Ketika 

dia memukulkan tangannya ke depan maka 

berhamburanlah lebih dari selusin senjata 

rahasia berbentuk paku hitam. Benda-benda ini 

melesat di udara hampir tanpa suara dan 

mengandung racun sangat jahat. 

Meskipun senjata rahasia itu tidak 

mengeluarkan suara namun pendengaran 

Pendekar 212 Wiro Sableng tak dapat ditipu. 

Dia putar Kapak Naga Geni di belakang kepala. 

Terdengar suara berdentringan. Seluruh paku 

maut itu hancur dan luruh ke tanah, beberapa 

di antaranya sempat menerpa anggota pasukan 

yang ada di dekat situ. Meskipun mereka tidak 

terluka parah, tapi racun senjata rahasia yang 

jahat membuat merasakan nyeri di seluruhperedaran darah lalu akhirnya menemui ajal 

setelah terlebih dahulu menjerit-jerit Karen tak 

kuat menahan rasa sakit. 

Sewaktu tadi menghantam luruh serangan 

paku hitam yang dilepaskan Imo Gantra dengan 

Kapak Maut Naga Geni 212, Wiro sekaligus 

menekan sebuah tombol rahasia pada bagian 

hulu kapak yang berbentuk kepala naga. Serta-

merta dari lubang-lubang pada gagang kapak 

yang berjumlah enam buah mencuat keluar 

enam buah jarum halus yang meskipun malam 

masih pekat kelam tapi jarum-jarum itu 

memancarkan sinar berkilauan. Keenamnya 

menyambar ke arah Imo Gantra. 

“Dimas awas senjata rahasia!” teriak Ki 

Rawe Jembor memberi ingat. Dia lepaskan 

pukulan tangan kosong. Imo Gantra sendiri 

cepat membuang diri ke samping namun kasip. 

Hanya tiga jarum yang berhasil dibuat mental 

oleh pukulan Ki Rawe Jembor, tiga lainnya 

sudah keburu menyusup di bahu kiri, pinggang 

kiri dan perut Imo Gantra. Kakek bermuka 

cekung ini merintih membeliak. Tubuhnya 

sebelah kiri langsung lumpuh sedang perutnya 

seperti ada besi menyala di sebelah dalam. 

Sebelum Imo Gantra tersungkur jatuh, Ki Rawe 

Jembor cepat mendekap tubuh kawannya itu 

lalu berteriak agar beberapa orang menolong 

menggotong Imo Gatra ke dalam istana. Ketika 

dia memandang berkeliling Ki Rowo Jembortidak melihat lagi Raden Cokro Ningrat di 

tempat itu. Jelas Kepala Pasukan Kerajaan itu 

mengejar Wiro Sableng. Lalu kemana dia lenyap 

bengitu saja ?


WIRO SABLENG tidak tahu di mana 

letaknya Goa Selarong. Tapi dia ingat bahwa 

anta ra Muntilan dan kaki barat laut Gunung 

Merapi ada sebuah lembah batu kapur bernama 

Selarong. Kemungkinan besar itulah tempat 

yang disebutkan oleh orang yang telah 

melarikan dan menyelamatkan Nawang Suri. 

Resi Mandra Botama. Ini satu nama yang 

tak pernah didengar Wiro sebelumnya. Sayang 

tadi dia tak sempat melihat wajah ataupun 

sosok tubuh orang itu. Gerakannya begitu 

cepat. Sudah lenyap sebelum dia sempat 

membalik. Hanya ada satu hal yang sangat pasti 

tentang orang itu. Yakni dia memiliki 

kepandaian tinggi sekali. Orang-orang atau para 

tokoh silat istana kelihatannya agak gentar 

terhadapnya. Benarkah dia sesepuh kerajaan 

lama seperti yang disebut-sebut Ki Rawe Jembor 

ketika berbisik-bisik dengan Imo Gantra dan 

sempat terdengar oleh Wiro? Berarti sang resi 

mempunyai hubungan sangat dekat dengan 

Nawang Suri. Tidak mengherankan kalau dia 

muncul menyelamatkan gadis itu. Tetapi 

apakah maksud sang resi menunggunya di Goa 

Selarong? 

Wiro berlari tidak terlalu cepat. Sambil lari 

dia berusaha mengobati luka pada pipinya 

dengan obat bubuk yang selalu di bawanyaAgaknya tombak Ki Rawe Jembor meskipun 

tampak angker ternyata tidak mengandung 

racun jahat. Kalau tidak pada saat itu dia pasti 

telah keracunan. Tapi untuk lebih meyakinkan 

pendekar itu menelan sebutir obat lalu 

mempercepat larinya menuju kearah timur. 

Menjelang tengah hari keesokannya Wiro 

sampai di lembah batu kapur Selarong. Sejauh 

mata memandang yang tampak hanyalah batu-

batu kapur berwarna putih. Di beberapa bagian 

batu-batu itu telah berubah coklat kehitaman di 

makan waktu. Tak ada bangunan, tak ada 

pepohonan. Apalagi menemukan sebuah goa. 

Wiro menarik nafas kesal. Kepalanya 

digaruk berulang kali. 

“Gila! Di mana aku bisa menemukan goa di 

daerah begini rupa. Jangan-jangan orang itu 

hanya berdusta. Tapi dia bicara dengan ilmu 

luar biasa hingga orang lain tak dapat 

mendengar. Berarti pesannya memang 

ditujukan padaku. Jelas dia tak bermaksud 

mempermainkan...” 

Wiro memandang lagi berkeliling. 

Tenggorokannya terasa kering. Bajunya basah 

oleh keringat dan perutnya terasa keroncongan. 

“Gila!” kata pendekar ini lagi. Lalu 

mendongak ke langit. Sinar matahari 

menyilaukan mata. Batu kapur yang dipijaknya 

terasa panas membakar telapak kaki. Akhirnya 

pemuda ini mendapat akal. Dari pada susahsusah mencari mengapa tidak berteriak saja? 

Maka Wiro pun kerahkan tenaga dalamnya dan 

berteriak keras-keras. 

“Resi Mandra Botama! Aku Wiro, orang yang 

kau suruh datang! Harap beri petunjuk di mana 

kau berada!” 

Suara teriakan Wiro membahana di lembah 

batu kapur itu. Bergema panjang berulang-

ulang membuat sang pendekar merasa ngeri 

sendiri mendengarnya. 

Tak ada jawaban. Siliran angin pun tidak 

terdengar. Wiro berteriak sekali lagi. Sekali 

lagi,terus berulang-ulang. Tetap saja tak ada 

jawaban, tak ada sesuatu pun yang bergerak. 

“Sialan!” maki pemuda ini. Dia memutuskan 

menunggu selama sepeminuman teh di tempat 

itu. Jika tetap tak ada seseorang yang muncul 

dia akan berteriak lagi. Dan jika masih tak ada 

tanda-tanda orang yang dicarinya berada di situ 

maka lebih baik dia pergi saja. 

Suatu ketika seekor burung tampak terbang 

di udara. Berputar-putar beberapa kali di atas 

lembah batu kapur. Tiba-tiba binatang itu 

menukik laksana sebuah anak panah, 

menghujam ke pertengahan lembah dan lenyap 

tak kelihatan lagi. 

“Aneh...” membatin Wiro. “Bagaimana 

burung itu bisa lenyap seperti ditelan bumi? 

Mungkin...” Wiro Melompat dari duduknya. Lalu 

pendekar ini lari ke pertengahan lembah, ke

arah mana tadi dilihatnya burung menukik 

turun dari udara dan lenyap. 

Sesaat ketika dia sampai di tempat di mana 

sebelumnya dengan pasti tampak burung 

menukik lenyap, Wiro. jadi garuk-garuk kepala 

dan memaki. Di situ memang terdapat sebuah 

lobang. Tapi hanya lobang kecil cukup untuk 

satu ekor dua ekor burung. Dan burung tadi 

memang ada dalam lobang itu. Binatang ini 

segera terbang ke udara ketika Wiro datang 

lebih dekat. Jengkel dan kesal Wiro memandang 

berkeliling. Lobang kecil di tanah batu kapur itu 

ditendangnya. Tiba-tiba tiga buah lobang 

seukuran tubuh manusia menganga aneh di kiri 

kanan Wiro. Tiga sosok tubuh melesat keluar. 

Ternyata ketiganya adalah anak-anak kecil, satu 

perempuan dua lelaki. Ketiganya berusia sekitar 

tujuh sampai delapan tahun. Masing-masing 

berpakaian seperti prajurit-prajurit kerajaan, 

membawa tombak dan perisai. Tombak dan 

perisai itu adalah yang biasa dipergunakan oleh 

prajurit-prajurit kerajaan dalam ukuran 

sebenarnya hingga tampak terlalu besar bagi 

ketiga anak itu. Tapi anehnya ketiganya tidak 

menunjukkan tanda-tanda keberatan membawa 

tombak panjang dan perisai besar itu. 

“Kalian bertiga keluar dari dalam tanah! 

Kalian ini bangsa tikus, cacing tanah atau 

manusia benar ?!” bertanya Wiro keheranan. 

Anak perempuan di samping kanan tampak

membesarkan bola matanya. 

“Tua bangka tidak tahu peradatan!” Anak 

perem--puan itu membentak. “Sebagai tamu 

kau tak layak bertanya tapi justru harus 

memperkenalkan diri!” 

“Aha... Ini baru hebat!” seru Wiro lalu dia 

berlutut hingga kepalanya sama tinggi dengan si 

anak perempuan. Setengah melucu Wiro 

berkata: “Nah, sekarang kita sama-sama tinggi 

kawan! Bagaimana pendapatmu?” 

Anak perempuan itu tidak menjawab 

apalagi tertawa. Matanya memandang tak 

berkesip pada Wiro. Mulutnya terbuka sedikit. 

Terdengar suaranya mendesis. 

“Tamu sinting. Apakah sudah siap untuk 

menerima kematian?” 

“Heh...?” Wiro berpaling dan jadi terkejut 

ketika dapatkan anak lelaki yang satu sudah 

tegak di samping kanannya dengan ujung 

tombak hampir melekat di batang lehernya! 

“Gila! Bagaimana aku tidak sempat melihat 

gerakannya dan tahu-tahu kini sudah 

membokong?” 

“Tamu sinting! Coba lihat sebelah kiri!” Si 

anak perempuan berkata. 

Wiro berpaling. Astaga! Anak lelaki kedua 

ternyata juga sudah menodongkan ujung 

tombak besarnya ke batang leher bagian kiri! 

“Hai! Apa-apaan ini?!” tanya Wiro Sableng. 

Dia menggerakkan tangan untuk menggaruk

kepala. Namun dari kiri kanan, dua perisai atau 

tameng besar dihimpitkan ke tubuhnya hingga 

dia tidak bisa bergerak. Benar-benar 

mengherankan. Bagaimana dua anak kecil 

begitu rupa memiliki kekuatan demikian hingga 

dia terjepit di tengah-tengah. Semula hendak 

dicobanya meloloskan diri dengan kekerasan 

adu kekuatan. Namun Wiro tak tega kalau dua 

anak lelaki itu sampai cidera. Maka dia pun 

hanya diam dan berteriak bertanya. Anak 

perempuan di depannya menunjuk tepat-tepat 

dengan jari kelingking kiri. Demikian dekatnya 

hingga hidung Wiro Sableng hampir tersentuh. 

“Lekas katakan siapa namamu. Datang dari 

mana dan apa kepentinganmu datang ke 

lembah ini!” 

“Gadis cilik, lagakmu hebat sekali. Tapi baik 

aku akan menjawab pertanyaanmu!” sahut Wiro 

sambil menyengir. “Namaku Wiro Sableng! Aku 

barusan datang dari Kuto Gede. Aku datang 

kemari untuk mencari Goa Selarong. Aku haus 

dan juga lapar! Nah, apa laporanku bisa 

diterima?!” 

“Soal kau haus atau lapar bukan urusan 

krmi! Lekas katakan mengapa kau mencari Goa 

Selarong?” Anak perempuan itu bertanya. 

Suaranya keras dan tegas. Tampaknya dia 

memang tidak main-main. 

“Seseorang menyuruhku datang ke goa itu,” 

menjelaskan Wiro.“Seseorang siapa? Setan? Hantu... Tuyul? 

Rampok atau pengemis?” bertanya lagi si anak 

perempuan yang membuat Pendekar 212 

mengulum senyum menahan tawa. 

“Orang itu bernama Resi Mandra Botama…” 

“Ada apa kau mencari resi itu? Urusan baik 

atau urusan jahat?” 

“Mana aku tahu. Sang resi sendiri yang 

meminta aku datang.” Berdasarkan pertanyaan 

terakhir yang diajukan gadis kecil itu Wiro 

segera maklum bahwa daerah sekitar situ, 

walaupun dia masih belum melihat adanya goa, 

pastilah daerah kediaman orang yang telah 

menyelamatkan dan melarikan Nawang Suri. 

Hatinya puas dan kini dia akan 

mempermainkan dan mengganggu ketiga anak 

kecil itu. Tertama si gadis yang di depannya. 

Maka diapun berkata “Mengenai urusanku 

dengan sang resi kau anak-anak ingusan tak 

perlu tahu. Tapi aku ada membawa tiga 

permainan dan tiga kotak gula-gula. Pasti 

mainan dan gula-gula itu bukan untuk kalian!” 

Tiga anak itu saling pandang sesaat. Wiro 

menyeringai. 

“Kami harus menggeledah tubuhmu!” Si 

gadis tiba-tiba memutuskan. 

“Boleh saja!” sahut Wiro. “Tapi buat apa 

susah-susah. Biar kutanggalkan seluruh 

pakaianku. Kalau aku sudah telanjang baru 

kalian puas!”“Dan aku juga membawa tiga ekor tikus 

besar. Kotor dan bau! Ketiganya pantas untuk 

kalian. Seorang satu!” 

“Ih...!” Kini ketiga bocah itu sama-sama 

menunjukkan sikap jijik. 

“Katakan, apakah kalian tahu di mana Goa 

Selarong? Di mana aku bisa menemukan Resi 

Mandra Botama?” 

“Kau membawa barang busuk dan kotor. 

Maksud kedatanganmu terselubung tanda 

membawa itikad yang tidak baik. Lekas pergi 

dari sini!” 

“Begitu? Baiklah. Tapi sebelum pergi aku 

akan lepaskan tiga ekor tikus besar busuk dan 

kotor itu. Biar kalian digigitnya satu persatu!” 

“Ternyata maksudmu memang jahat! Biar 

kau kami bunuh saat ini juga!” Habis berkata 

begitu si gadis memberi isyarat pada dua 

kawannya. 

Dua anak lelaki yang ada di kiri kanan Wiro 

segera tusukkan tombak masing-masing ke 

leher pendekar itu. 

Saat itulah Wiro kerahkan tenaga. Tangan 

kiri kanan mendorong keras ke samping, 

menekan tameng yang menjepitnya. Kedua anak 

lelaki itu mencelat mental. Tapi mereka tidak 

jatuh atau terguling di tanah. Begitu terpental, 

keduanya tampak jungkir balik, mendarat di 

tanah dengan kedua kaki lebih dulu lalu 

langsung menyerbu. Si anak gadis cilik taktinggal diam. Dia pun telah menerkam dengan 

satu tusukan tombak ke perut Wiro Sableng 

“Hebat!” seru Wiro memuji polos karena 

kagum melihat gerakan ketiga anak itu. 

Ternyata gerakan mereka bukan gerakan asal 

saja. Tapi jelas gerakan jurus-jurus ilmu silat. 

Meskipun gerakan tersebut belum disertai 

kekuatan tenaga dalam, namun jika berlku 

lengah sedikit saja dapat menimbulkan bahaya. 

Wiro sendiri yang semula hendak melayani 

secara asal-asalan kini harus bertindak hati-

hati. Pertama dia tidak ingin mendapat cidera , 

apalagi tertusuk tombak. Kedua, jika 

menghadapi secara sungguhan dan 

membalasnya dengan kekerasan, mana tega dia 

melukai tiga bocah yang bersikap tegas tapi 

tetap bersikap dengan segala kelucuannya 

sebagai anak-anak. 

Setelah mengelak kian kemari akhirnya 

Wiro dapat akal. Cara terbaik menghadapi 

ketiga lawan cilik ini ialah menotok mereka 

terlebih dahulu. Maka Wiro pun mempercepat 

gerakannya. 

Namun seolah-olah tahu apa yang ada 

dalam benak pendekar tersebut, ketiga bocah 

itu pergunakan tameng di tangan kiri masing-

masing untuk melindungi diri. Karena jengkel 

akhirnya Wiro memutuskan untuk 

menghancurkan tameng kayu berlapis besi tipis 

itu. Hanya saja sebelum hal itu sempatdilakukannya tiba-tiba terdengar suara keluar 

dari tiga lobang di tanah batu kapur. 

“Prajurit-prajuritku! Cukup sudah 

sambutan yang kalian berikan. Antarkan tamu 

itu kedepanku!” 

Serta-merta tiga anak kecil itu melompat 

keluar dari kalangan pertempuran. Ketiganya 

tegak membentuk barisan dan menjura kepada 

Wiro Sableng. 

“Ah! Pertunjukan atau sandiwara apa lagi 

yang hendak kalian lakukan!” ujar Wiro sambil 

usap-usap luka di pipinya. 

Si gadis kecil menjawab mewakili kawan-

kawannya. 

“Junjungan kami ternyata bersedia 

menemui paman raden. Silahkan mengikuti 

kami…..” 

Wiro Sableng karuan saja jadi tertawa 

terbahak ketika dirinya dipanggil dengan 

sebutan paman raden. Sementara itu dua bocah 

lelaki telah menyelinap masuk dan lenyap ke 

dalam dua lobang di kiri kanan. Si gadis kecil 

menunjuk ke lobang yang di tengah seraya 

berkata dengan sikap hormat: “Silahkan paman 

raden. Kita masuk lewat lobang itu...” 

“Lewat lobang sekecil itu? Dan masuk ke 

mana?” tanya Wiro heran. 

“Lobangnya tidak kecil!” jawab si gadis. 

“Lihat!” Lalu dengan ujung tombaknya pinggiran 

lobang ditusuk-tusuk berulang kali hinggalobang itu menjadi besar dan dapat dimasuki 

ukuran dua orang dewasa sekaligus. Ketika 

melihat Wiro masih tegak terheran-heran si 

gadis berkata: “Bukankah paman raden hendak 

bertemu junjungan kami. Resi Mandra Bo-

tama? Nah, mau menunggu apa lagi?” 

“Hemmm... Jadi kau dan dua kawanmu tadi 

itu adalah prajurit-prajurit sang resi.” Wiro 

manggut-manggut. “Baiklah. Aku percaya 

padamu.” Lalu tanpa ragu-ragu pemuda ini 

melompat turun ke dalam lobang. Begitu 

kakinya menginjak tanah lobang, tubuhnya 

langsung merosot meluncur. Ternyata bagian 

dalam lobang itu seperti sebuah tabung 

peluncur yang bagian bawah dinding-

dindingnya keras dan licin. Karen gelap Wiro 

tidak dapat melihat apa-apa. Dia mendengar, 

gadis kecil telah ikut meluncur di belakangnya. 

Terowongan di bawah tanah itu cukup 

panjang. Beberapa saat kemudian Wiro melihat 

sinar terang di bawah sana. Tak lama setelah 

itu tubuhnya meluncur melewati sebuah pintu 

aneh lalu merosot terjun memasuki sebuah 

ruangan besar berwarna putih yang diterangi 

banyak lampu minyak. Begitu dia masuk ke 

dalam ruangan itu, disusul oleh gadis cilik tadi, 

pintu di belakangnya terhempas keras dan 

menutup.


DUA ANAK lelak menyerang Wiro ternyata 

sudah berada dalam ruangan itu, duduk bersila 

dihadapan seorang kakek bermuka kelimis 

lonjong dengan janggut pendek di dagunya. 

Orang tua ini mengenakan pakaian hitam, 

berikat kepala dan berikat pinggang kain putih. 

Meski sudah lanjut tapi rambutnya yang 

panjang masih berwarna hitam. Kakek ini 

duduk bersila diatas sehelai tikar kulit harimau 

yang kepalanya telah dikeringkan dan 

menghadap ke arah Wiro dengan mulut 

menganga. Di belakangnya tampak sebuah 

pembaringan dimana tampak terbujur sesosok 

tubuh yang bukan lain adalah tubuh Nawang 

Suri. 

Gadis cilik dibelakang Wiro cepat 

melangkah ke hadapan si orang tua dan duduk 

bersila disamping dua kawannya. 

“Junjungan, tamu sudah kami antar 

kehadapanmu. Apakah kami tetap berada di 

ruangan ini atau menunggu di taman...” 

“Taman...?” Wiro memandang heran 

berkeliling. Dimana pula ada taman di ruangan 

dibawa h tanah itu? Dan dia tidak melihat 

pentu lain selain tiga pintu yang berhubungan 

dengan tiga terowongan jalan masuk tadi. 

Sang junjungan menganggukkan kepala 

pada gadis cilik itu tetapi sepasang matanya

tetap mengarah pada Pendekar 212 Wiro 

Sableng. Pandangan mata itu begitu tajam dan 

sangat berwibawa, membuat pendekar kita 

merasa risih. 

“Kalian tetap berada disini sampai urusan 

kita dengan tamu ini selesai. Harap kalian 

pindah duduk ke sebelah kanan. Beri tempat 

pada tamu kita untuk duduk dihadapanku. 

Tiga anak itu beringsut ke bagian kanan 

ruangan. Lalu kakek berpakaian hitam memberi 

isyarat pada Wiro agar dia pindah duduk lebih 

dekat kehadapannya. Meski merasa tidak enak, 

Wiro menurut saja dan berkata: “Nah orang tua. 

Siapapun kau adanya, saya sudah datang 

memenuhi permintaanmu. Harap terang kan 

segala maksud.” 

Orang tua itu tersenyum. Tapi hanya sedikit 

dan sekejap saja. Sesaat kemudian wajahnya 

kembali serius. 

“Kurasa aku tak perlu memperkenalkan diri 

lagi. Kau sudah tahu pasti siapa diriku dari 

pembicaraan kasak kusuk orang-orang kerajaan 

itu. Juga penjelasan dan perajurit-perajuritku di 

luar lobang...” 

“Saya tahu kau adalah Resi Mandra 

Botama. Tak lebih dari itu.” Menjawab Wiro. 

Si orang tua mengangguk. Lalu tanpa 

diminta dia menjelaskan “Dulu aku adalah 

pendamping dan penasihat raja. Dan raja saat 

itu adalah ayah Nawang Suri, gadis yang telahbeberapa kali kau selamatkan. 

Untuk semua perbuatanmu itu aku 

mengucapkan banyak terima kasih. Kelak hari 

ini juga akan kubalas semua jerih payahmu….” 

“Ah, apapun yang saya lakukan tidak ada 

niat untuk minta balas jasa...” jawab Wiro. Dia 

memanjangkan leher memandang ke arah 

pembaringan. “Gadis itu...bagaimana 

keadaannya?” 

“Tangannya yang patah sudah dibalut Luka 

dalam bekas pukulan sudah diobati. Paling 

tidak membutuhkan waktu setengah bulan 

untuk menyembuhkan luka dalam itu dan tiga 

bulan untuk menyambung kembali tulang 

lengan yang patah...Kini dia tertidur nyenyak”. 

“Kasihan dia. Saya sudah berkali-kali 

menasihatkan agar jangan berlaku nekad...” 

“Gadis itu tidak nekad!” memotong Resi 

Mandra Botama. “Apa yang diperlihatkannya 

adalah satu keberanian sejati, jiwa satria 

membela hak dan demi kewajiban!.” 

Wiro terdiam. Dia tak mau berdebat soal 

urusan orang-orang ini. Jalan pikiran mereka 

jelas berbeda. Setelah berpikir sejenak dia baru 

berkata memberi pendapat. 

“Saya tidak ingin mencampuri urusan 

kalian, apalagi yang menyangkut kerajaan. 

Hanya saja kalau saya boleh memberikan 

pendapat, dan harap maaf kalau pendapat saya 

keliru, apapun yang hendak kalian lakukanharus di piker masak-masak. Keadaan di luar 

sana sudah sangat jauh berbeda. Kalian 

berjuang, tapi perjuangan kalian akan sia-sia 

karena kalian tidak ada beda dengan sebuah 

perahu kecil menyongsong badai gelombang 

yang dahsyat. Mengapa persoalan hidup tidak di 

lupakan saja dan memilih jalan hidup yang 

tenang tentram ?” 

Orang tua itu tersenyum lagi. Tapi segera 

pula wajahnya menunjukkan keseriusan 

kembali. 

“Pendapatmu mungkin benar. Tapi jangan 

lupa badai gelombang yang bagaimanapun 

besarnya suatu saat pasti akan reda. Dan saat 

itulah yang kami tunggu untuk bergerak 

kembali...” 

“Berarti pertumpahan darah tak akan 

pernah berhenti!” ujar Wiro pula. 

“Itu memang sudah aturan kehidupan di 

dunia...” menyahuti sang resi. 

Wiro menggeleng. 

“Kenapa kau menggeleng?” 

“Manusia hadir di dunia ini untuk mengatur 

dunia. Bukan dunia yang harus mengaturnya!” 

Resi Mandra Botama terdiam tapi bibirnya 

bergetar. 

“Resi, sebaiknya urusan itu tidak usah kita 

bica-kan karena hanya akan mengundang 

perdebatan yang tak putus-putusnya. Jika jalan 

pikiranmu kau anggap betul, tak ada yangmelarangmu untuk melakukan apa saja. 

Tentunya segala akibat dan tanggung jawab 

berada di pundakmu. Sekarang mungkin kau 

lebih baik menerangkan mengapa meminta saya 

datang ke goa ini….” 

“Pertama, seperti kukatakan tadi untuk 

mengu capkan rasa terima kasih karena kau 

telah menolong puteri raja kami Nawang Suri. 

Namun ada hal yang lebih penting lagi. Apakah 

kau bersedia kawin dengan gadis itu?” 

Wiro Sableng melengak kaget dan ternganga 

mendengar ucapan itu. 

“Kau terkejut anak muda?” tanya si orang 

tua. 

“Tentu saja,” jawab Wiro. “Pertanyaanmu 

gi...aneh!” Hampir saja pendekar ini hendak 

mengucapkan kata gila. 

Tapi sang resi langsung menyambung 

dengan pertanyaan: “Apa yang menurutmu gila 

atau aneh?” 

“Bagaimana kau enak saja menanyakan hal 

itu padahal kau bukan orang tua gadis itu...” 

“Saat ini kedudukanku lebih kurang sama 

dengan orang tuanya....” 

“Lain dari pada itu, bagaimanapun juga 

Nawang Suri adalah puteri raja sedangkan aku 

hanya seorang pemuda gelandangan yang dicap 

orang sinting dimana-mana. 

Resi Mandra Botama tertawa lebar. Ini 

pertama kali Wiro melihat orang tua itu tertawademikian. Keduanya duduk terpisah lebih dari 

tiga langkah. Tapi seperti bisa memulur 

memanjang, tangan kana sang resi tahu-tahu 

sudah menepuk-tapu bahu Wiro dengan sikap 

yang tampak ramah. Tapi sebaiknya Wiro 

merasa bahunya seperti dijatuhi batu-batu 

besar. Kalau dia tidak lekas-lekas kerahkan 

tenaga tubuhnya pasti sudah terbanting ke 

lantai. Dia maklum kalau orang tengah 

mengujinya 

“Anak muda apa bedanya puteri atau putera 

raja dengan orang kebanyakan? Ingat, tadi kau 

mengatakan bahwa kita lahir ke dunia untuk 

mengatur dunia ini agar jangan sampai dunia 

mengatur kita. Nah bukankah itu cocok dengan 

ujar-ujarmu itu...?” 

“Mungkin tapi tidak untuk yang satu ini. 

Segala sesuatunya tentu ada pengecualian. 

Bagaimanapun juga tak mungkin saya berani 

menerima pemintaanmu itu. Saya mohon maaf. 

Kalau urusan sudah selesai saya mohon diri 

Resi Mandra Botama menarik tangannya 

dari bahu Wiro. 

“Urusan yang satu itu kuanggap belum 

selesai. Aku memberi waktu satu setengah 

tahun padamu untuk memberikan jawaban…” 

“Ah...kenapa urusan jadi gila macam 

begini?!” membatin Wiro. Di depannya kembali 

terdengar si orang tua berkata. 

“Anak muda, sementara urusanperjodohanmu dengan puteri rajaku ditunda 

dulu, aku ada satu permintaan. Entah kau sudi 

menolong atau tidak...” 

“Apakah itu?” 

“Keris Mustiko Geni,” sahut sang tesi Kini 

ha nya tinggal sarungnya saja yang ada pada 

kami. Keris nya telah dirampas orang-orang 

kerajaan. Dapatkah kau membantu 

mengembalikan senjata lambang tahta kerajaan 

itu?” 

“Saya tidak dapat memastikan. Tapi jika itu 

permintaanmu saya akan mencoba,” jawab 

Wiro. Lalu dia berdiri karena ingin cepat-cepat 

meninggalkan tempat itu. 

“Kau sangat kesusu anak muda?” bertanya 

Resi Mandra Botama. Walau Wiro telah berdiri 

dia tetap saja duduk di atas tikar kulit harimau. 

“Maafkan, saya memang harus pergi. Saya 

gembira bisa bertemu denganmu...” 

“Jangan buru-buru pergi dulu, anak muda. 

Ada sesuatu untukmu!” 

“Resi, ingat, saya tidak meminta balas jasa 

apa-apa. Saya tidak mengandung niat inginkan 

pamrih...” 

“Ini tak ada hubungan dengan soal 

kebaikanmu menolong Nawang Suri. Ini semata-

mata pemberian dariku karena aku suka 

padamu...” 

Lalu dari balik pakaian hitamnya Resi 

Mandra Botama mengeluarkan dua buah benda.Benda-benda itu diletakkannya diatas kulit 

harimau di hadapannya. Besarnya sekira 

setelapak tangan, berbentuk bulat yang 

berlobang dibagian tengahnya dan mempunyai 

sudut runcing sebanyak tujuh buah. Satu 

berwarna merah satu lagi berwarna putih. 

“Ini adalah Sepasang Cakra Dewa.” berkata 

Resi itu. “Yang berwarna merah Cakra Jantan 

dan yang putih Cakra Betina. Kau boleh 

mengambil yang merah 

“Terima kasih Resi Mandra. Mohon maaf, 

saya tak berani menerima pemberianmu...” kata 

Wiro seraya membungkuk. 

“Jangan membuat aku tersinggung anak 

muda: Aku tidak bermaksud menyogokmu!” 

Sang resi tampak agak marah. 

“Saya tidak mengatakan demikian atau 

bermaksud begitu,” sahut Wiro. 

“Cakra ini bukan senjata sembarangan. Bila 

mengenai sasaran atau serangan meleset dia 

akan berbalik kembali. Setiap sudut runcingnya 

memiliki racun mematikan yang tidak luntur 

sampai seratus abad. 

Ambillah yang merah ini. Aku berikan 

dengan tulus ikhlas...” 

Karena Wiro Sableng masih tak mau 

menerima akhirnya Resi Mandra Botama 

menyisipkan Cakra Dewa yang putih lalu berdiri 

dan melangkah mundur ke sudut ruangan. 

“Kau akan saksikan kehebatan senjata ini,anak muda!’” kata sang resi. Lalu sekali tangan 

kanannya bergerak, Cakra Dewa putih melesat 

ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Suaranya 

bergaung aneh. 

Terkejut mendapat serangan tak terduga itu 

Wiro berseru kaget dan cepat-cepat rundukkan 

kepala. Cakra Dewa berdesing dan membabat 

putus rambut yang melingkar di bawah telinga 

kiri Pendekar 212. Begitu serangan tidak 

mengenai sasaran, senjata itu berputardiudara 

lalu membalik ke arah Resi Mandra Botama. 

Orang tua ini cepat menangkapnya dan 

memasukkannya kembali ke balik pakaiannya. 

“Orang tua, kau hendak membunuhku...” 

kata Wiro masih belum sirap kaget dan bergetar 

suaranya. 

Sang resi tertawa. Tidak mudah membunuh 

pendekar sepertimu, anak muda,” katanya. Lalu 

dia memberi isyarat pada ketiga “prajuritnya”. 

Tiga anak kecil yang duduk di sebelah 

kanan ruangan cepat berdiri, melangkah ke 

dinding sebelah belakang. Menekan salah satu 

bagian dinding. Secara aneh dinding itu 

menguak ke samping. Sebuah pintu terbuka. 

“Selamat jalan anak muda...” kata Resi 

Mandra Botama. 

“Terima kasih Resi Mandra. Saya minta diri. 

Sekali lagi terima kasih…..” 

Sebelum keluar dari ruangan itu Wiro 

melangkah dulu mendekati pembaringan.Setelah menatap wajah Nawang Suri sebentar 

lalu dia melangkah ke pintu. Di ambang pintu 

dengan tersenyum lebar dia menegur tiga anak 

itu. 

“Kalian bertiga benar-benar hebat. Aku 

kagum pada kalian. Kalau ada kesempatan, lain 

kali apakah mau meneruskan permainan di 

lembah batu kapur tadi….?” 

“Tentu saja paman raden. Asalkan 

junjungan kami memberi izin” jawab ketiga 

anak itu berbarengan. Lalu mereka menekan 

dinding belakang dan menutup kembali. 

“Aneh... dunia ini memang penuh 

keanehan!” katanya pada diri sendiri. Ternyata 

lobang kediaman Resi Mandra Botama di 

sebelah kiri berdampingan dengan bukit yang 

subur. Jika orang berada di taman itu, tak 

satupun yang bakal mengetahui bahwa pada 

samping batu yang tertutup rumput terdapat 

sebuah pintu rahasia. “Pantas orang-orang 

Kerajaan tak pernah berhasil menemukan 

tempat persembunyian ini...” 

Dari balik pinggangnya Wiro keluarkan 

Cakra Dewa berwarna merah. Sesaat benda itu 

ditimang-timangnya. Beberapa belas langkah 

dihadapannya ada sebatang pohon. Tanpa pikir 

panjang Cakra Dewa itu dilemparkannya ke 

arah pohon. Menancap tepat di pertengahan 

batang. Begitu menancap secara aneh senjata 

ini melejit keluar dan kembali ke arah WiroCepat-cepat Wiro menangkap benda itu, 

memperhatikannya penuh kagum lalu 

menyimpannya baik-baik kembali. Ketika dia 

hendak melangkah pergi, sekilas dia 

memandang lagi ke arah pohon yang tadi 

ditancapi Cakra Dewa. Tengkuknya merinding. 

Seluruh pohon itu mulai dari batang sampai ke 

daun dilihatnya berubah membiru! “Racun 

ganas! Benar-benar ganas!” Pendekar 212 

geleng-geleng kepala lalu tinggalkan tempat itu.


“Bagaimana keadaannya...?” tanya Ki Rawe 

Jembor. 

Ahli pengobatan yang menjadi pimpinan 

gelengkan kepala. Wajahnya murung. “Saat ini 

kita hanya bisa mencegah tiga buah jarum yang 

menembus tubuhnya tidak terbawa larut oleh 

aliran darah sampai ke jantung. Kami 

melakukan beberapa totokan. 

Ki Rawe Jembor kepalkan tinju kanannya. 

“Kalian bertiga harus menemukan jalan 

menyembuhkannya. Jika ada pihak lain yang 

bisa membantu jangan segan-segan minta 

tolong!” 

“Akan kami perhatikan pesanmu itu, 

Ki Rawe.” 

“Apakah kalian ada melihat Raden Mas 

Cokro Ningrat?” 

Dua orang menggelengkan kepala. Orang 

ketiga menjawab “Tidak.” 

“Baiklah. Rawat sobatku itu baik-baik. 

Nanti aku segera kembali.” Keluar dari kamar Ki 

Rawa Jembor segera memeriksa seluruh istana 

guna mencari Raden Mas Cokro. Setelah merasa 

pasti orang itu tak ada di istana maka dia 

segera menuju ke tempat kediamannya. 

Ternyata di rumah pun Cokro Ningrat tidak ada. 

Ketika dia hendak meninggalkan tempat itu 

seorang lelaki berkuda tiba-tiba mendatangi.

Sebelum Ki Rawe membentak orang ini sudah 

bicara. 

“Saya diutus oleh Raden Cokro Ningrat. 

Hulubalang diminta datang menemuinya di satu 

tempat. Harap mengikuti saya….” 

Pelipis Ki Rawe Jembor bergerak-gerak. 

Rahangnya menggembung. Walaupun Cokro 

Ningrat adalah Kepala Pasukan Kerajaan dan 

dalam keadaan negeri kacau seperti itu dia 

memegang kendali tertinggi, namun masih ada 

Patih Wulung Kerso atasannya. 

“Ada keperluan apa Raden Cokro memanggil 

aku? Dan mengapa ke satu tempat rahasia, 

bukan ke istana?” bertanya Ki Rawe Jembor. 

“Saya tidak tahu, Hulubalang. Saya hanya 

diperintahkan saja...” 

“Baik, tapi kau ikut aku dulu ke istana. Ada 

sesuatu yang harus kukerjakan. Baru nanti kita 

sama-sama menemui Raden Mas Cokro Ningrat. 

“Tidak bisa begitu Hulubalang. Raden Cokro 

meminta agar Hulubalang ikut saya sekarang 

ju...” 

Plaak!! 

Satu tamparan mendarat di wajah 

penunggang kuda itu. Bibirnya pecah. Dua 

giginya tanggal dan tubuhnya terpental dari 

punggung kuda tunggangannya. 

“Sekali lagi kau berani bicara sembrono, 

kupatah-kan batang lehermu!!” sentak Ki Rawe 

Jembor. Lalu dia berangkat kembali menuju

istana. Utusan Raden Cokro terpaksa mengikuti 

sambil tiada hentinya mengeluh kesakitan. 

Ketika ingat Patih Wulung Kerso, saat itu 

juga Ki Rawe Jembor merasa perlu kembali ke 

istana. Dia memang tidak suka pada sang patih 

namun lenyapnya Wulung Kerso begitu saja 

membuat dia diam-diam merasa kawatir. 

Disusul dengan menghilangnya Cokro Ningrat 

yang tahu-tahu kemudian mengirim seorang 

utusan. Apakah yang terjadi di balik semua ini? 

Ada satu lagi yang dikawatirkan hulubalang 

tertinggi istana ini. Yaitu keselamatan Pangeran 

Purbaya. Pangeran inilah satu-satunya yang 

berhak dinobatkan jadi raja karena dia putra 

tertua dari istri pertama Sri Baginda. Hanya 

saja otaknya kurang cerdas dan kegemarannya 

berjudi dan menyabung ayam sangat tidak 

pantas bagi seorang caloan raja. Tapi siapa 

pengganti yang lain? Belum lagi urusan 

mengenai pemakaman Sri Baginda yang tewas 

di tangan Nawang Suri. Sungguh banyak hal 

yang harus dihadapi Ki Rawe Jembor saat itu. 

Disamping tanda tanya besar apakah bala 

tentara pemberontak yang sudah cerai berai itu 

akan muncul kembali di bawah pimpinan 

Nawang Suri, dibantu oleh Resi Mandra 

Botama? Lalu kalau pemuda sableng itu ikut-

ikutan muncul suasana pasti bertambah tak 

karuan. 

Sesampainya di istana Ki Rawe Jembor

memerintahkan tiga puluh anggota pasukan 

pengawal istana untuk mencari Pati Wulung 

Kerso. Tak lama kemudian dia menerima kabar 

sang patih ditemui telah jadi mayat dalam 

kamar penyimpanan barang-barang dan senjata 

pusaka istana. Ketika Ki Rawe Jembor datang 

sendiri ke kamar itu untuk menyaksikan, 

hatinya tercekat. Sekujur tubuh dan wajah 

Patih Wulung Kerso tampak hangus kehitaman. 

Siapapun yang membunuh patih kerajaan itu 

pastilah mempergunakan Keris Mustiko Geni. 

Karena hanya senjata itulah satu-satunya yang 

memiliki kemampuan ganas seperti itu. Raja 

dan Patih tewas! Sungguh satu malapetaka dan 

bencana besar bagi Kerajaan! 

Terduduk di sudut ruangan, Ki Rawe 

Jembor ingat pada utusan Cokro Ningrat yang 

berada dan menunggu di halaman istana. Dia 

berpikir-pikir apakah akan menemui Kepala 

Pasukan Kerajaan itu atau menemui Pangeran 

Purbaya lebih dulu. 

Akhirnya Ki Rawe Jembor memutuskan 

untuk menemui Pangeran Purbaya. Pangeran 

ini berada di ruangan besar istana di mana 

jenazah Sri Baginda dibaringkan. Dikelilingi 

oleh istri pertama. Istri-istri lainnya, para selir, 

pejabat tinggi istana termasuk putra dan 

putrinya. Seratus prajurit di bawah pimpinan 

lima perwira mengawal ruangan ruangan besar 

itu. Ki Rawe Jembor melangkah ke belakang

kursi di mana Pangeran Purbaya duduk. 

Mendengar bisikan orang tua itu pangeran 

berdiri dan melangkah mengikuti. Dalam 

sebuah kamar mereka mengadakan 

pembicaraan empat mata. Pembicaraan itu 

adalah niat Ki Jembor agar Pangeran Purbaya 

segera dinobatkan menjadi raja sebelum Sri 

Baginda dimakamkan esok. Malam itu juga 

pengumuman akan disampaikan ke seluruh 

kerajaan dan upacara resmi tapi singkat akan 

diadakan di depan jenazah Sri Baginda. 

Pangeran Purbaya menyetujui usul Ki Rawe 

Jembor. Keduanya keluar dari dalam kamar. 

Pangeran Purbaya di sebelah depan, Ki Rawe 

mengikuti di sebelah belakang. Antara kamar di 

mana sebelumnya kedua orang itu berbicara 

dengan ruangan besar di mana jenazah Sri 

Baginda disemayamkan berjarak sekitar dua 

ratus langkah. Mereka harus melewati gang 

yang diapit kamar-kamar, membelok ke kanan 

baru sampai di ruangan besar. 

Sesaat sebelum mencapai ujung gang tiba-

tiba pintu kamar di sebelah kiri terbuka. 

Seseorang berpakaian ringkas aneh, bertopeng 

kain menghambur keluar. Di tangan kanannya 

tergenggam sebuah senjata yang secara aneh 

pula dibungkus dengan kain. Dengan senjata 

terbungkus ini orang tersebut langsung 

menyerang Pangeran Purbaya!. 

Seperti dituturkan. Pangeran Purbayabukanlah seorang yang cerdas. Selain itu dalam 

usia muda 19 tahun dia tidak pula memiliki 

kepandaian silat, apalagi yang namanya tenaga 

dalam atau kesaktian. Karenanya ketika 

mendapat serangan itu dia hanya bisa berseru 

kaget, bersurut mundur sambil dekap-kan 

kedua tangan di muka dada. 

“Bangsat kesasar!” teriak Ki Rawe Jembor. 

Dia melompat ke depan menyergap penyerang 

bertopeng dengan satu pukulan tangan kosong 

mengandung tenaga dalam tinggi. 

Si penyerang seolah-olah tersentak kaget 

melihat Hulubalang istana kelas satu ada di 

situ. Serangannya terhadap Pangeran Purbaya 

terpaksa dibatalkan dan kini dia berusaha 

menyelamatkan diri dari pukulan ganas yang 

dilancarkan Ki Rawe Jembor. Begitu berhasil 

menghindar si penyerang membalikkan diri, 

masuk kembali ke dalam kamar dari mana tadi 

dia keluar dan membantingkan pintu di 

belakangnya. Ki Rawe Jembor mengejar sambil 

lepaskan sekali lagi pukulan tangan kosong. 

Pintu jati yang kokoh itu hancur berkeping-

keping. Ketika masuk ke dalam kamar, ternyata 

kamar itu kosong. Di sebelah kanan kelihatan 

jendela terpentang lebar. Ki Rawe Jembor 

mengejar ke jendela tapi di luar sana hanya 

kegelapan yang menyambut. 

“Hemm...” bergumam Ki Rawe Jembor. 

“Seseorang menginginkah kematian diriPangeran Purbaya. Keadaan di istana ini 

semakin tidak karuan. Kutogede jelas-jelas 

dalam cengkaman bencana…..” 

Tanpa menutup jendela itu kembali, orang 

tua ini keluar dari kamar. Didapatinya Pangeran 

Purbaya duduk tersandar di lantai. Mukanya 

masih pucat. Ki Rawe tolong membangunkan 

sang pangeran lalu mengantarkannya kembali 

ke ruang besar tempat Sri Baginda 

disemayamkan. Setelah itu dia memanggil 

perwira-perwira yang bertugas, menceritakan 

apa yang barusan terjadi dan mengatakan 

sementara riaden Cokro Ningrat belum 

diketahui berada di mana, dia sendiri yang akan 

mengambil alih tugas pimpinan sebagai Kepala 

Pasukan Kerajaan. Dia memerintahkan 

penjagaan di luar dan di dalam istana diperlipat 

ganda. Keselamatan keluarga istana harus 

diperhatikan. 

“Aku akan meninggalkan istana barang 

beberapa lama. Kalian atur persiapan 

penobatan Pangeran Purbaya, termasuk 

pemberitahuan pada seluruh lapisan rakyat. 

Sebentar lagi pagi akan tiba. Sebelum matahari 

naik aku pasti sudah kembali!” Begitu Ki Rawe 

Jembor memberikan pesan, lalu lewat jalan 

samping dia pergi menemui utusan Cokro 

Ningrat yang menunggunya sejak tadi. 

Di sebelah timur langit mulai tampak 

terang-terang tanah tapi di tepi hutan yangterletak di sebelah barat Kutogede keadaan 

masih diselimuti kepekatan menghitam disertai 

udara dingin yang masih mencucuk. 

Tak lama memasuki hutan, dalam 

kegelapan tampak sebuah rumah kayu. 

Bangunan ini bertingkat dua. Bagian atas 

tampak gelap gulita tapi cii sebelah bawah ada 

sinar lampu menyeruak di antara celah-celah 

dinding papan. 

Ki Rawe Jembor berpaling pada orang di 

sampingnya. 

“Raden Cokro menungguku di bangunan 

itu?” tanya si orang tua. 

Penunggang kuda disebelahnya 

mengangguk. Dia hendak mengatakan sesuatu 

tapi tidak kesampaian karena saat itu juga Ki 

Rawe Jembor telah menotok tubuhnya hingga 

tak dapat bicara, tak dapat bergerak. Ki Rawe 

lemparkan sosok tubuh yang kaku itu ke dalam 

semak belukar lalu mengusir kuda yang kini tak 

bertuan lagi itu. Dia sendiri kemudian turun 

dari kuda, menyelinap dibalik-balik pepohonan 

dan semak belukar, bergerak mendekati 

bangunan bertingkat dua. 

Tinggal sejarak enam langkah dari dinding 

bangunan sebelah kanan tiba-tiba dari tingkat 

atas berdesing belasan anak panah. 

Ki Rowo Jembor mengutuk dalam hati. Dia 

cepat menyelinap ke balik pohon besar. 

“Kurang ajar! Jadi si Cokro Ningrat sengajahendak menjebak dan membunuhku di tempat 

ini! Kau tunggulah! Lehermu akan kupatahkan 

lebih dahulu!” Habis memaki dalam hati begitu 

hulubalang kelas satu ini berteriak; “Cokro 

Ningrat keparat! Jika kau seorang jantan 

keluarlah! Tunjukkan dirimu dan katakan apa 

maumu sebenarnya!” 

Sunyi sesaat. Tak ada jawaban. Tapi tiba-

tiba di dalam rumah sebelah bawah terlihat ada 

gerakan gerakan. Lebih dari satu orang di 

tempat itu. Menyusul terdengar seruan 

bertanya. 

“Siapa di luar sana?!” 

“Aku Ki Rawe Jembor! Hulubalang Pertama 

Kerajaan! Bukankah kau meminta aku datang 

kemari. Dan tampaknya kau sengaja memasang 

jebakan!” 

“Ah...!” terdengar suara kaget dari dalam 

bangunan. “Kami kesalahan! Kami kira kau 

seorang penyusup!” 

Pintu rumah terpentang. Sesosok tubuh 

tampak tegak di ambang pintu dan melangkah 

keluar. Ki Rawe Jembor segera mengenali. 

Orang itu adalah Raden Cokro Ningrat. Sambil 

menyiapkan pukulan tangan kosong yang dialiri 

tenaga dalam penuh Ki Rawe Jembor keluar 

dari balik pohon. Dengan hati-hati dia 

menyongsong Raden Cokro yang berjalan ke 

arahnya. 

“Cokro! Mengapa Kau menyuruh orangorang di atas sana memanahku?!” tanya Ki 

Rawe Jembor begitu tegak berhadap-hadapan 

dengan Raden Cokro.


KAMI KELIRU!”Sahut Raden Cokro Ningrat. 

 “Mohon maafmu kangmas Jembor. 

Sebelumnya aku terlah memberi perintah 

menyerang siapa saja yang mendekati tempat 

ini, kecuali dua penunggang kuda. Maksudku 

kau dan utusanku itu. Ternyata kau muncul 

sendirian. Kau tak apa-apa? Heran, apa 

utusanku tidak menemuimu?” 

 “Orang itu memang menemuiku….” 

 “Nah, dimana dia sekarang?” 

 “Sudah kulemparkan ke dalam semak di 

belakang sana!” sahut Ki Rawe Jembor. “Raden 

Cokro! Terus terang aku tidak suka tindak 

tandukmu ini. Ada apa sebenarnya?!” 

“Mari kita bicara di dalam kangmas 

Jembor,” sahut Raden Cokro. Lalu tanpa 

menunggu jawaban lagi dia membalikkan tubuh 

dan melangkah masuk ke dalam rumah. 

Meski hatinya semakin jengkel namun Ki 

Rawe Jembor mengikuti langkah Kepala 

Pasukan itu. Tapi tangan kanannya diam-diam 

tetap dialiri kekuatan tenaga dalam penuh 

sedang tangan kiri siap selalu mencabut tombak 

bermata tiga yang tersembunyi di balik 

pakaiannya. 

Begitu masuk di dalam rumah Raden Cokro 

menutupkan pintu. Ki Rawe Jembor 

memandang sekeliling ruangan. Di situ adasebuah meja dengan lampu minyak besar di 

atasnya. Lampu ini menerangi tiga wajah angker 

yang duduk di belakang meja. Sekali lihat saja 

Ki Rawe Jembor segera mengenali siapa ketiga 

manusia itu. 

Yang pertama seorang kakek bermuka tirus. 

Sebelah mukanya berwarna putih sebelah 

lainnya hitam. Bagian putih itu adalah akibat 

tumpahan air panas. Namanya Ronggo 

Sampenan, dikenal sebagai seorang dukun jahat 

yang diam di Gunung Merbabu. 

Orang kedua bertubuh tinggi besar berperut 

buncit. Mukanya bulat berminyak tertutup oleh 

cambang bawuk serta kumis lebat. Sepasang 

matanya sangat besar dan berwarna merah. 

Kepalanya ditutup dengan kain warna merah. 

Dia membawa senjata secara aneh. Senjatanya 

yakni sebilah golok bermata dua, diikatkan ke 

leher dan digantung seperti memakai kalung. 

Inilah Warok Tumo Item, raja diraja kaum 

perampok yang malang melintang di seantero 

Jawa Tengah dan bermukim di sebuah hutan di 

kaki tenggara Gunung Sumbing. 

Lelaki ketiga bermuka bopeng. Kedua 

matanya yang besar tampak menyeramkan 

karena ada lapisan putih yang menutupi bagian 

bola mata yang hitam. Sepintas orang ini seperti 

memiliki mata putih tanpa bola mata. Dia 

mengenakan rompi tak berkancing hingga 

dadanya yang berotot dan penuh di tumbuhi

bulu selalu dalam keadaan terbuka. Di lehernya 

tergantung sebuah lonceng yang terbuat dari 

tembaga di sepuh emas. Manusia satu ini 

dikenal dengan julukan Lonceng Maut. 

“Raden Cokro... tidak sangka kalau kau ter 

nyata kenal dengan orang-orang ini,” berkata Ki 

Rawe Jembor. Hatinya mulai terasa tidak enak. 

Tiga manusia itu jelas bukan orang baik-baik. 

“Bukan hanya kenal kangmas Jembor. 

Justru mereka adalah kawan-kawanku sejak 

lama. Kawanku berarti kawanmu juga. Bukan 

begitu para sobat?” 

Warok Tumo Item menyeringai mendengar 

ucapan Cokro Ningrat. Lonceng Maut 

mengangyuk. Sebaliknya Ronggo Sampenan 

hanya diam saja. 

“Tak usah sungkan-sungkan kangmas 

Jembor. Silahkan ambil tempat duduk. Malam 

ini kita akan mengadakan perundingan penting. 

Tetapi satu hal harus diingat. Keputusan harus 

diambil cepat. Sebelum matahari muncul di 

timur...” 

Perasaan Ki Rawe Jembor semakin tidak 

enak... Dia berkata: “Aku memang tak punya 

waktu Raden Cokro. Aku harus kembali ke 

Kotaraja. Kurasa tempatmu pun di sana. 

Banyak masalah yang harus kita pecahkan...” 

“Kangmas Jembor betul. Banyak masalah di 

istana yang harus kita pecahkan. Tapi masalah 

yang kita hadapi saat ini justru paling penting.Yang akan menetukan kelanjutan kehidupan 

kerajaan…..” 

Hulubalang istana itu menatap paras Raden 

Cokro sesaat. Lalu dia mengambil tempat duduk 

di salah satu kursi yang kosong. Walaupun 

matanya masih tetap menatap Raden Cokro 

namun ekor matanya melirik ke sudut ruangan 

di mana tergantung sehelai kain berwarna 

gelap, berukuran pendek dan berbentuk aneh. 

“Silahkan kau memberi keterangan akan 

maksudmu Raden Cokro,” kata Ki Rawe 

Jembor. 

“Kangmas mengetahui, keadaan kerajaan 

saat ini dalam kekalutan. Meskipun pasukan 

pemberontak berhasil kita hancurkan dan 

Empu Soka Panaran tewas, tapi pasti bahaya 

tidak berhenti sampai di sana. Apalagi Nawang 

Suri dan Resi Mandra Botama masih hidup. 

Masalah yang paling besar adalah wafatnya Sri 

Baginda. Puncak kekuasaan tak ada yang 

mengendalikan. Jika ini berlangsung berlarut 

karut bencana besar akan muncul! Karena itu 

perlu segera diangkat seorang pimpinan baru. 

Perlu sekali dinobatkan seorang raja baru…” 

“Hal itu sudah kusadari benar Raden 

Cokro,” berkata Ki Rawe Jembor. 

“Aku bersyukur dan merasa gembira kalau 

kangmas menyadari hal itu. Karenanya, 

mengingat Keris Mustiko Geni berhasil 

kuamankan saat ini berada di tanganku, aku

tidak merasa sungkan untuk mengatakan 

bahwa besok pagi ke seluruh pelosok kerajaan 

akan segera penobatan diriku sebagai raja….” 

Ki Rawe Jembor terkejut bukan main 

mendengar kata-kata Kepala Pasukan Kerajaan 

itu. Tapi orang tua yang cerdik ini tak mau 

memperlihatkan rasa terkejutnya pada air 

mukanya. 

“Kau tak memberi jawaban apa-apa 

kangmas...” berkata Cokro Ningrat seraya 

melayangkan pandangan berarti pada Ronggo 

Sampenan, Warok Tumo Item dan Lonceng 

Maut. 

“Niatmu untuk mengatas namakan 

keselamatan kerajaan patut kupuji Raden 

Cokro. Hanya saja Sekalipun Keris Mustiko Geni 

lambang tahta kerajaan ada di tanganmu, 

namun menurut garis silsilah yang berhak 

menjadi raja adalah Pangeran Purbaya...” 

“Pangeran Purbaya?!” Membuka mulut 

dukun jahat Ronggo Sampenan. Lalu dia 

tertawa gelak-gelak. “Pemuda tolol berotak 

miring itu hendak dijadikan raja? Bisa kiamat 

Kutogede!” 

“Kangmas Jembor, kau dengar sendiri 

pendapat sobat kita Ronggo Sampenan. Apa itu 

tidak cukup bagimu untuk menunjang diriku 

jadi raja?” 

“Lagi pula,” ikut bicara si muka bopeng 

Lonceng Maut. “Mengapa kita harus meributkansoal silsilah. Ketika kita dulu menumbangkan 

kekuasaan raja lama dan mengangkat raja baru 

soal keturunan hanyalah urusan orang tolol dan 

gila…” 

“Betul sekali,” kata Cokro Mingrat. “Aku 

percaya kangmas Jembor akan berada di pihak 

kami. Sebagai balas jasa, kelak jabatan Kepala 

Pasukan Kerajaan akan kuberikan pada 

kangmas 

Sebagai tokoh persilatan Ki Rawe Jembor 

tidak tertarik akan segala macam jabatan. Terus 

terang dia tidak suka sejak lama terhadap 

Raden Cokro Ningrat. Apalagi saat ini ada rasa 

kecurigaan terhadap diri Kepala Pasukan itu 

sehubungan dengan kematian Patih Wulung 

Kerso dan adanya usaha penyergapan dan 

pembunuhan terhadap Pangeran Purbaya. 

“Apakah Raden mengetahui kalau Patih 

Wulung Kerso telah meninggal dunia?” 

“Astaga? Bagaimana hal itu bisa terjadi?!” 

Raden Cokro tampak terkejut tapi Ki Rawe 

Jembor tahu betul itu adalah satu kepura-

puraan belaka. Sementara itu tiga orang lainnya 

tampak tenang-tenang saja. 

“Dia tewas dibunuh seseorang yang 

mempergunakan senjata sakti!” 

“Pembunuhan lagi!” seru Raden Cokro 

seraya berdiri dan menggebrak meja dengan 

tangan kirinya. “Apakah sudah diketahui siapa 

pembunuhnya?”“Saat ini memang belum. Tapi nanti juga 

bakal ketahuan!” sahut Ki Rawe Jembor. 

“Nah, kangmas lihat sendiri betapa 

kacaunya keadaan di istana. Kalau tidak lekas 

ditangani bencana besar akan menimpa 

Kutogede…” 

“Bencana sebenarnya sudah jatuh. Hanya 

kiamat saja yang belum!” menyahuti Ki Rawe 

Jembor. 

“Kalau begitu kangmas saya mintakan 

tolong untuk menyusun rencana pemberitahuan 

penobatan saya besok pagi. Upacara pun akan 

kuserahkan padamu untuk mengaturnya.” 

“Hal itu tak mungkin dilakukan Raden. 

Sebelum pagi tiba Pangeran Purbaya sudah 

dinobatkan jadi raja.” 

Raden Cokro Ningrat terkejut. Kali ini 

benar-benar terkejut. Sekali lagi dia tegak dari 

kursinya. 

“Kalau begitu...” terdengar suara Lonceng 

Maut berkata sambil permainkan lonceng 

kuning yang tergantung di lehernya. “Sudah 

saatnya kita harus menyerbu istana sekarang 

juga!” 

“Aku harap hal itu tidak kalian lakukan!” 

kata Ki Rawe Jembor dengan tegas seraya 

berdiri dan melangkah ke pintu. 

“Tunggu dulu, sampean mau pergi ke 

mana?” bertanya Ronggo Sampenan. 

“Aku akan kembali ke Kutogede.”“Ah, jangan membuat tiga sahabat kita ini 

tersinggung kangmas Jembor!” ujar Raden 

Cokro lalu menyusul ke pintu yang tengah 

dibuka Hulubalang istana itu. Lonceng Maut, 

Ronggo Sampenan dan Warok Tumo Item 

serentak bangkit dari kursi masing-masing lalu 

bergerak menuju ke pintu. Cara mereka berdiri 

di sekitar Ki Rowo Jember jelas mengambil 

sikap mengurung. 

“Kurasa aku tidak menyinggung siapapun. 

Aku hanya minta jangan ada yang melakukan 

hal-hal tidak pada tempatnya di saat kerajaan 

mengalami kekacauan begini rupa. Dan khusus 

padamu Raden Cokro, kuharap kau suka 

mengembalikan Keris Mustiko Geni padaku. 

Senjata itu harus berada di istana.” 

Raden Cokro Ningrat tersenyum. 

“Jika begitu permintaan kangmas, baiklah!” 

katanya. Lalu dari balik pakaiannya 

dikeluarkannya Keris Mustiko Geni. Senjata ini 

terbungkus kain. Melihat hal ini berubalah 

paras Ki Rawe Jembor. 

“Jadi, kaulah rupanya yang malam tadi 

mencoba menyergap dan membunuh Pangeran ‘ 

Purbaya! Bukankah keris berselubung kain itu 

juga yang kau pergunakan? Sengaja keris sakti 

kau bungkus dalam kain agar tidak mudah 

diketahui senjata apa yang ada di tanganmu!” 

“Pikiranmu cerdik, matamu sungguh tajam. 

Sudah mengetahui begitu mengapa masihbersikap tidak bersahabat?!” berkata Lonceng 

Maut. 

“Kalau kami tidak segan-segan membunuh 

seorang calon raja apa artinya nyawa manusia 

seperti-mu!” menimpali dukun jahat Ronggo 

Sampenan lalu mengambil sejumput tembakau 

dari dalam kantong pakaiannya dan mulai 

mengunyahnya. Ki Rawe Jembor maklum kalau 

orang ini memang suka mengunyah tembakau. 

Tapi dia juga tahu benar bahwa tembakau itu 

kerap digunakan sebagai senjata. Bila di 

sembur dapat menghancurkan bagian tubuh 

manusia dan kalau kena mata pasti pecah dan 

buta. 

“Kangmas Ki Rawe Jembor, kuminta agar 

kau berada di pihak kami. Kita sama-sama ke 

istana.” Raden Cokro berkata sedang tangannya 

menahan daun pintu hingga Hulubalang utama 

kerajaan itu tak dapat membukanya. 

“Kita berada di pihak yang berlainan Raden. 

Beri aku jalan. Buka pintu itu...” 

Melihat Ki Rawe Jembor sukar dibujuk 

maka Lonceng Maut membuka mulut: “Tak 

perlu kita meminta seperti pengemis pada 

manusia tak berguna ini!” 

“Betul!” Menimpali Ronggo Sampenan. 

“Jikadia tak mau tinggal bersama kita, biar 

nyawanya saja yang ditinggalkan di sini!” 

Habis berkata begitu dukun jahat ini 

semburkan tembakau di dalam mulutnya ke

arah muka Ki Rawe Jembor. Hulubalang utama 

yang telah berjaga-jaga ini dengan sigap 

rundukkan tubuh. Semburan tembakau lewat 

di atas kepalanya, menancap di dinding papan. 

Ki Rawe Jembor tak tinggal diam, tangan kanan 

yang sejak tadi sudah dialiri tenaga dalam 

dihantamkan ke arah Ronggo Sampenan. 

Meleset dan angin pukulan melabrak meja 

hingga terguling dan ambruk berantakan. 

Lampu minyak di atas meja ikut terbalik segera 

membentuk kobaran api. Perkelahian pecah 

sementar bangunan di mana mereka berada 

mulai ikut terbakar. 

Bagaimanapun hebatnya Ki Rawe Jembor 

namun menghadapi empat lawan tangguh 

begitu rupa, dalam keadaan tubuh penuh luka, 

memar dan menghitam akibat racun Keris 

Mustiko Geni, akhirnya dia menemui ajal. 

Tubuhnya kemudian ikut terbakar oleh kobaran 

api yang memusnahkan seluruh bangunan kayu 

itu.


10 

MENJELANG pagi. Sang surya masih belum 

terlihat menyembul meski langit di sebelah 

timur mulai tampak kemerahan. Di ruangan 

besar istana satu upacara besar siap 

dilangsungkan. Yakni penobatan Pangeran 

Purbaya sebagai Raja. Di ruangan itu pula 

dibaringkan dua jenazah. Yang pertama jenazah 

Sri Baginda dan satunya lagi jenazah Patih 

Wulung Kerso. 

Pangeran Purbaya duduk di sebelah kursi 

besar berukir kepala harimau pada dua 

lengannya dan burung garuda pada 

sandarannya yang tinggi. Di kiri kanannya tegak 

mengapit masing-masing seorang perwira 

berpakaian kebesaran perang, lengkap dengan 

tameng dan tombak sedang pedang tersisip di 

pinggang. Di kiri kanan duduk berderet-deret 

para pejabat dan petinggi kerajaan. Sedang di 

belakang kursi Pangeran Purbaya duduk 

ibundanya, saudara-saudaranya, para istri dan 

selir Sri Baginda. Di sebelah belakang lagi 

serombongan pemain gamelan menembangkan 

lagu-lagu sedih. 

Suara gamelan berangsur perlahan dan 

akhirnya sirna ketika dari sebuah pintu muncul 

keluar seorang gadis membawa baki emas, 

melangkah setindak demi setindak menuku 

tempat duduk Pangeran Purbaya. Disampingnya mengawal empat prajurit. 

Menyusul dua orang tua berjubah putih. 

Keduanya adalah pejabat-pejabat Istana paling 

tua yang di percayakan utuk memimpin 

upacara penobatan itu. 

Di atas baki yang dibawa gadis itu, terletak 

sehelai kain merah putih terlipat rapi yang 

berumbai-umbai pada keempat ujungnya. Di 

atas kain inilah terletak mahkota emas 

bertahtakan intan mutu manikam. Seseorang di 

sudut ruangan menyerukan kata-kata puji 

syukur dan Tuhan Yang Maha Esa. 

Gadis pembawa mahkota sampai di 

hadapan Pangeran Purbaya. Bersama seluruh 

rombongan dia menjura membungkukkan diri 

sementara semua yang hadir di ruangan itu 

telah berdiri. 

Dua orang tua berjubah putih maju ke 

depan. Yang di sebelah kanan mengulurkan 

tangan menyentuh mahkota sedang yang 

sebelah kiri mendongak seraya berkata lantang: 

“Segala puji syukur untuk Allah Tuhan Yang 

Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tuhan 

Yang mempunyai semua kekuasaan di 

Kata-kata itu terputus mendadak karena 

dari ruangan sebelah depan istana tiba-tiba 

menerobos tiga sosok tubuh. Yang satu 

berkelebat cepat dan tanpa dapat dicegah 

langsung menyambar mahkota yang ada di atas 

baki emas. Gadis pembawa baki terpekik danterdorong jatuh. Dua kakek berjuah ikut 

terpelanting. Tentu saja suasan menjadi 

gempar. Pangeran Purbaya terduduk pucat di 

kursi besar. Dua orang perwira yang 

mengawalnya segera berindak cepat. Menerjang 

ke depan. Salah seorang ayunkan tombak 

sambil membentak : “Rampok-rampok dari 

mana yang berani berbuat kurang ajar! 

Menganggu jalannya upcara penobatan!”. 

“Trang…” 

Tusukan tombak tertahan oleh sambaran 

golok bermata dua. Tombak itu patah dua 

sedang sang perwira kemudian terdengar 

menjerit ketika golok yang tadi menangkis kini 

menancap di perutnya! 

“Kami bukan perampok!” salah satu dari 

tiga orang yang menerobos masuk berteriak 

seraya melompat ke atas sebuah meja. “Kalian 

semua dengar! Kami datang untuk 

menyelamatkan kerajaan dari bencana! Musuh 

berada di mana-mana. Acara penobatan ini 

tetap diteruskan tetapi yang akan jadi raja 

bukan Pangeran Purbaya! Siapa yang berani 

menantang nasibnya akan sama dengan perwira 

itu!” 

Sesaat suasana menjadi hening seperti di 

pekuburan. Ketegangan menggantung di udara. 

Tapi hanya sesaat. Suasana gempar tak 

terkendalikan lagi. Beberapa prajurit dan 

perwira-perwira istana coba menyerbu. Tapi siasia. Sebagian orang yang hadir di tempat itu 

menyingkir dengan suara gaduh. Belasan 

pejabat ikut menjauh. Orang-orang perempuan 

termasuk ibunda Pangeran Purbaya dilarikan ke 

ruangan lain. Pangeran itu sendiri berhasil 

menyelinap dalam kekacauan dan lenyap dari 

ruangan. 

Orang yang tegak di atas meja kembali 

berteriak. “Kalian semua tetap di tempat! 

Kalian...” 

Sebatang anak panah melesat dari arah 

jendela di samping kanan, mengarah ke dada 

orang yang tegak di atas meja. Namun dengan 

hebat sekali dia menggerakkan tangan. Anak 

panah itu mencelat mental. Lalu dia menyambar 

sebilah tombak yang terus dilemparkan ke arah 

jendela. Di belakang jendela terdengar suara 

memekik lalu sosok tubuh roboh. Seorang 

perwira yang tadi melepaskah panah itu 

menemui ajalnya. 

Orang di atas meja berteriak sambil 

berkacak pinggang. “Ada lagi yang hendak coba 

membokong?!” 

Suasana kembali sunyi tapi ketegangan 

semakin memuncak. 

Siapakah tiga manusia yang barusan 

muncul mengacaukan jalannya upacara besar 

di istana itu? Mereka bukan lain adalah Warok 

Tumo Item, Ronggo Sampenan sedang yang 

tegak di atas meja adalah si Bopeng Lonceng

Maut. 

“Kalian semua dengar! Hari ini kerajaan 

akan mendapatkan seorang raja baru! Seorang 

raja gagasi perkasa! Yang akan melindungi 

kerajaan dari bencana keruntuhan dan 

peperangan. 

Lalu Lonceng Maut mengembangkan 

tangannya ke arah langkan istana. Di situ 

tampak berdiri Raden Cokro Ningrat dalam 

pakaian kebesaran seorang raja. Dia melangkah 

menuju kursi besar di ruangan upacara. Di 

tangan kanannya dia menggenggam Keris 

Mustiko Geni yang memancarkan sinar merah, 

keris sakti mandraguna lambang tahta kerajaan 

yang telah merenggut sekian banyak jiwa. 

Warok Tumo Item yang tegak memegang 

mahkota di samping kursi, begitu Raden Cokro 

sampai di hadapannya segera meletakkan 

mahkota itu di atas kepala Raden Cokro. Saat 

itulah dari dalam menghambur seorang 

perempuan sambil berteriak. 

“Manusia-manusia rendah! Pengkhianat 

busuk!” Perempuan ini ternyata adalah kanjeng 

ratu ibunda Pangeran Purbaya. Entah 

bagaimana setelah tadi disingkirkan ke tempat 

aman, dia berhasil meloloskan diri. Dan kini dia 

menghambur ke arah Raden Cokro sambil 

menghunus sebilah pisau besar. 

Ronggo Sampenan cepat datang 

menyongsong dan mendekap perempuan itu

“Semua orang dengar!” teriak ibunda 

Pangeran Purbaya. “Jangan berdiam diri saja! 

Tangkap, bunuh dan usir manusia-manusia 

pengkhianat itu! Mereka bukan hendak 

menyelamatkan kerajaan. Tapi peram-pok-

perampok bejat!” 

Seperti mendapat semangat maka sejumlah 

pejabat, prajurit dan perwira-perwira istana 

segera menyerbu Raden Cokro Ningrat dan tiga 

kambratnya. Namun semua itu tentu saja 

merupakan kesia-siaan. Dalam waktu yang 

singkat ruangan besar Istana itu telah berubah 

menjadi ajang kematian. Mayat bergeletakan 

dimana-mana. Darah membasahi dinding dan 

lantai. Suara pekik kematian dan erangan 

mereka yang meregang nyawa membuat tempat 

itu seperti neraka


11 

PERMAISURI yang malang itu terbaring di 

tempat tidur kayu. Dia masih saja sesenggukan 

walaupun kedua matanya telah belut dan 

merah karena terus-menerus menangis sehri 

semalam. 

“Tak pernah kusangka nasib kita akan 

seburuk ini, Purbaya” terdengar suara 

perempuan itu di antara isakannya. 

Pangeran Purbaya yang duduk di lantai di 

sudut ruangan batu yang merupakan penjara 

itu tak memberi reaksi apa-apa. Tubuhnya 

tampak kuyu dan wajahnya pucat seperti tidak 

berdarah. 

“Ayahmu dibunuh. Tahta dirampas. Entah 

bagaimana nasib kita dalam waktu sehari dua 

ini. Entah bagaimana pula dengan nasib 

saudara-saudara kita lainnya. Raden Cokro 

benar-benar manusia setan...” 

Pangeran Purbaya menghela nafas dalam. 

“Mungkin semua ini sudah takdir Gusti Allah, 

ibunda...” katanya kemudian. 

Sang ibunda bangkit dari tidurnya da 

menatap tajam pada putranya. “Ucapanmu 

hanya menunjukkan kelemahan hatimu. 

Seorang putra mahkota tidak boleh berkata 

seperti itu…..” 

Purbaya gelengkan kepala. “Saat ini aku 

bukan lagi putera mahkota. Kita berdua sudahjadi orang tahanan. Tadi malam saya bermimpi 

bertemu ayah. Mungkin itu satu pertanda 

bahwa dalam waktu dekat kita akan 

menyusulnya. Para pengkhianat yang sekarang 

berkuasa pasti akan menggantung kita cepat 

atau lambat 

Mendengar kata-kata puteranya itu sang 

permaisuri semakin keras tangisnya. “Kita tidak 

tahu, apakah ayahmu dikubur secara wajar 

atau jenazahnya mungkin dibuang begitu saja 

ke dalam jurang ...” 

Terdengar rantai pintu besi ruangan batu 

itu digeser orang. Sesaat kemudian pintu 

terbuka. Dua prajurit masuk ke dalam. Tapi 

tidak masuk secara wajar karena tubuh 

keduanya kemudian dibantingkan ke dinding 

hingga terkapar pingsan di lantai. Di ruangan 

itu muncul orang ketiga yang membuat baik 

Pangeran Purbaya maupun bekas permaisuri 

raja jadi terkejut. Pangeran Purbaya cepat 

berdiri. 

“Mengapa kau berada di sini! Bukankah 

kau orangnya yang membantu gadis 

pemberontak itu?!” 

Orang yang dibentuk menyeringai. “Kau 

benar Pangeran, dulu aku membantunya 

karena dia kuanggap sahabat. Tapi pagi-pagi 

buta ini aku datang kemari untuk menolongmu. 

“Jangan percaya pada pemuda gila ini, 

Purbaya!” Permaisuri memberi peringatan.“Memang siapa yang percaya padamu. Kau 

tidak lebih baik dari empat keparat yang kini 

menguasai istana dengan Cokro Ningrat sebagai 

dedengkotnya!” 

“Dengar kalian berdua. Kita tak punya 

banyak waktu. Di luar sudah tersedia sebuah 

kereta yang akan membawa kalian ke satu 

tempat. Dari tempat itu akan disebar 

pengumuman bahwa kalian berdua masih 

hidup. Bilamana rakyat sudah mengetahui hal 

ini maka urusan dengan empat manusia 

keparat itu serahkan padaku. Jika nasib kita 

mujur dan Tuhan memberi perlindungan serta 

berkahNya,, kau akan mendapatkan tahta 

Kerajaan yang menjadi hakmu itu... Tapi aku 

ada syarat…” 

Ibu dan anak saling berpandangan. 

Keduanya tetap tidak percaya pada pemuda 

gondrong yang ada di hadapan mereka, yang 

bukan lain adalah Pendekar Kapak Maut Naga 

Geni 212 Wiro Sableng. 

“Sampai saat ini orang-orang itu masih 

terlena dalam pesta pora. Ini kesempatan baik 

untuk meninggalkan tempat ini. Mari!” 

Wiro menepuk bahu Purbaya. Tepukan ini 

seperti memberi semangat pada sang pangeran. 

Purbaya memegang lengan ibunya. Bertiga 

mereke menyusup melewati lorong-lorong gelap 

di bawah istana dan akhirnya sampai di tembok 

timur. Dua orang prajurit tampak tegak dekatsepbuah pintu kecil. Ternyata keduanya adalah 

orang-orang yang telah diatur oleh Wiro dan 

berlima mereka menyelinap menuju kereta yang 

telah menunggu di luar tembok. 

Begitu masuk ke dalam kereta. Pangeran 

Purbaya dan ibunya terkejut melihat sesosok 

tubuh menggeletak di lantai kereta, ketika 

diamati ternyata orang ini adalah Imo Gantra, 

bekas Hulubalang Kedua Kerajaan. Dia masih 

berada dalam keadaan lumpuh akibat 

hantaman jarum. 

“Sebelum menyusup ke tempat tahanan 

kalian, aku berhasil menemukan dia dan 

membawanya ke dalam kereta lebih dulu. 

Seperti dengan kalian, dengan dia pun aku 

mengikat sebuah syarat…..” 

Mendengar ucapan Wiro itu Pangeran 

Purbaya bertanya: “Apa syarat yang kau 

maksudkan itu...?” 

“Syarat enteng saja. Kalian kubantu 

mendapatkan tahta kerajaan kembali, tapi Keris 

Mustiko Geni akan kubawa...” 

“Mana mungkin begitu!” tukas ibunda 

Pangeran Purbaya sementara kereta meluncur 

dengan cepat. “Keris itu adalah lambang ikatan 

tahta kerajaan yang tak bisa dipisah-pisahkan. 

Siapa pemiliknya dia yang berhak jadi raja...” 

“Jangan tolol!” jawab Wiro. “Jika seorang 

jembel kudisan di pasar Kliwon memiliki senjata 

itu, apakah dia bisa jadi raja?!”Ibu dan anak terdiam. 

“Apa perjanjianmu dengan paman Imo 

Gantra?” bertanya Pangeran Purbaya. 

“Kalian harus mengatakan dulu, setuju atau 

tidak dengan syarat tadi...” 

“Aku setuju saja!” jawab Pangeran Purbaya 

tanpa pikir panjang. Sang ibu hendak membuka 

mulut namun akhirnya memutuskan untuk 

tidak membantah. 

“Nah, perjanjianku dengan orang tua 

bermuka cekung ini ialah, aku akan 

mengeluarkan tiga jarum yang mendekam di 

tubuhnya. Setelah sembuh dia harus 

membantuku menggasak empat keparat yang 

sekarang bercokol di istana!” 

“Kau telah mencelakainya, apakah paman 

Imo Gantra menyetujui syaratmu itu?” tanya 

Pangeran Purbaya. 

Dari lantai kereta terdengar jawaban Imo 

Gantra. 

Suaranya perlahan saja karena tubuhnya 

yang lumpuh memang berada dalam keadaan 

lemas. “Aku memang sudah menyetujui syarat 

pemuda gila itu….” 

Kalian tak perlu berdebat lagi. Segala 

sesuatunya didunia ini bisa diatur. Ingat itu 

baik-baik...” 

Tapi ibunda Pangeran Purbaya msih belum 

puas. Dia bertanya. “Setelah kau mendapatkan 

Keris Mustiko Geni, apa yang hendak kaulakukan dengan senjata itu?” 

“Akan kuberikan pada seseorang. Tapi 

jangan ditanya siapa orangnya. Yang jelas 

senjata itu tidak akan dipergunakan lagi untuk 

menambah noda darah dalam Istana….” 

“Aku percaya padamu. Jalan hidup manusia 

memang aneh. Terus terang sebenarnya aku 

tidak berapa suka jadi Raja. Lebih enak jadi 

perjaka yang bisa keluyuran ke mana-mana...” 

“Anak tolol!” bentak bekas permaisuri ketika 

mendengar ucapan puteranya itu. “Sekali lagi 

kau bicara tak karuan akan kutampar mulutmu 

Purbaya!” 

Wiro tertawa lebar dan berkata: 

“Bagaimanapun, tidak sopan menampar 

seorang calon raja!” Dia menjenguk keluar. “Kita 

hampir sampai...” katanya. 

... 

MESKIPUN lobang tempat jarum menyusup 

sangat kecil dan hampir tertutup, namun 

dengan keahliannya Wiro Sableng dapat 

menemukan yakni pada bagian bahu kiri, 

pinggang kiri dan perut Imo Gantra: Disaksikan 

oleh Pangeran Purbaya dan ibundanya Wiro 

keluarkan Kapak Naga Geni 212. Badan kapak 

yang berkilauan itu ditempelkannya pada setiap 

lubang bekas jarum menembus di tubuh Imo 

Gantra. Kemudian Wiro kerahkan tenaga dalam 

untuk menyedot. Inilah pekerjaan yang paling 

susah. Sekujur tubuhnya bergetar dan mandikeringat. Biasanya tenaga dalam dipergunakan 

untuk melancarkan pemindahan kekuatan dari 

dalam keluar seperti memukul atau melepaskan 

pukulan tangan kosong yang mengandung ajian 

kesaktian. Hal itu sudaha lumprah bagi seorang 

jago-jago silat kelas tingkat tinggi. Tetapi adalah 

jarang dan sulit sekali jika tenaga dalam itu 

dipergunakan secara berkebalikan yakni 

menghimpun kekuatan untuk menarik atau 

menyedot. 

Wiro Sableng terduduk di sudut ruangan 

dengan nafas turun naik. Tiga buah jarum 

senjata rahasia yang sebelumnya 

dihantamkannya ke tubuh Imo Gantra kini 

tampak melekat pada badan kapak, berwarna 

merah karena terlapis darah. 

Di atas lantai tanah yang dialasi jerami, Imo 

Gantra tampak menggerakkan tubuhnya yang 

tadinya lumpuh. Lalu perlahan-lahan dia 

mencoba duduk dan berhasil. 

“Makan ini...” kata Wiro seraya 

melemparkan obat berbentuk butiran. Imo 

Gantra cepat-cepat menelan obat itu. Wiro 

berpaling pada dua prajurit yang tegak di pintu. 

“Kalian sudah siap?” tanya Wiro. 

“Kami akan pergi sekarang.” 

“Bagus! Sebarkan surat selebaran itu ke 

seluruh pelosok Kutogede. Kalian tak perlu 

kembali kemari, tapi langsung bergabung 

dengan siapa saja yang bersedia ikut di pihakkita. Jasamu tentu tak akan dilupakan oleh 

Pangeran Purbaya...!” 

Dua prajurit itu menjura. Keduanya naik ke 

punggung dua ekor kuda yang membawa 

masing-masing sekantong besar surat selebaran 

berisi pemberitahuan bahwa Permaisuri dan 

Pangeran Purbaya masih hidup dan berada di 

tempat yang aman. Orang-orang yang telah 

merampas takhta secara paksa akan mendapat 

hukumannya. Rakyat dan seluruh pasukan 

yang setia pada Pangeran Purbaya dan 

Permaisuri diminta bersiap-siap untuk 

menyerbu istana.



12 

SAMBUTAN rakyat terhadap surat selebaran 

itu ternyata tidak terduga dan luar biasa sekali. 

Meskipun mereka tidak tahu dimana Pangeran 

Purbaya dan Permaisuri dan juga belum ada 

yang bertindak sebagai pimpinan, namun 

berbagai senjata di tangan,dalam jumlah ratusn 

bahkan ribuan berbondong-bondong menuju 

Istana. 

Pasukan kerajaan dan pasukan pengawal 

istana yang melihat kejadian ini segera bersiap 

siaga. Ada yang langsung melapor ke dalam, 

tetapi sebagian besar di antara mereka justru 

banyak yang menyeberang dan bergabung, 

disambut dengan tempik sorak gegap gempita 

oleh rakyat. 

Di dalam istana, di mana Raja dan tiga 

konconya masih saja asyik berpesta pora, 

seorang prajurit datang menemui Warok Tumo 

Item dan menceritakan apa yang sedang terjadi 

di luar istana. Lalu kepada Warok itu 

diserahkannya surat selebaran yang banyak 

bertebaran di kalangan rakyat sampai ke 

pelosok-pelosok Kutogede. Oleh Warok Tumo 

Item, surat tersebut diperlihatkannya pada 

Raden Cokro yang kini telah mengangkat diri 

sebaga Raja dengan gelar Raden Mas Haryo Ing 

Alaga Cokro Ningrat. 

Cokro Ningrat meneguk dulu segelasminuman keras, pemandangannya berkunang-

kunang tapi dia masih dapat membaca apa yang 

tertulis di surat sele baran itu. Selesai membaca 

dia tertawa mengekeh. 

“Hanya sebuah surat edan! Apa yang 

ditakutkan?! Orang-orang yang penasaran itu 

tak punya kekuatan untuk melakukan apapun. 

Apalagi hendak menyerbu kemari….” 

’Tapi di luar istana ribuan rakyat sudah 

siap dengan senjata di tangan!” kata Warok 

Tumo Item. 

“Kalau begitu kau pimpin pasukan. Bunuh 

semua mereka yang berani melawan!” 

“Betul! Bunuh semua!” Yang bicara adalah 

si bopeng Lonceng Maut yang duduk 

berdampingan dengan dukun jahat Ronggo 

Sampenan. Keduanya juga sudah sama-sama 

terpengaruh oleh minuman keras. 

“Kalian bertiga enak-enakan di sini 

berpesta-pora. Aku disuruh menghadapi para 

penyerbu. Puah! Biar saja orang lain yang 

melakukan!” Lalu Warok Tumo Item memanggil 

seorang perwira dan memerintahkan 

’Tak mungkin dilakukan Warok...” kata sang 

perwira. “Balatentara yang masih ada di istana 

tinggal beberapa belas orang saja. Yang lain 

sudah menyeberang ke pihak musuh….” 

“Perduli amat berapa kekuatanmu! Angkat 

senjata dan usir para perusuh itu. Kalau 

mereka melawan cincang saja!” bentak WarokTumo Item. 

Dalam bingungnya perwira tadi pergi jua 

menemui sisa-sisa prajurit yang ada di istana. 

Ternyata ada dua puluh satu orang yang bisa 

dikumpulkan. Namun begitu mereka sampai di 

luar istana, mereka bukannya menyerang 

melainkan bergabung dengan rakyat. Praktis 

tak ada seorang prajuritpun lagi yang berada 

dalam lingkungan istana. Para hamba sahaya 

dan petugas-petugas dalam istana pun satu 

demi satu meninggalkan tempat itu karena 

kawatir mendapat celaka bila penyerbuan 

terjadi. 

“Sepi! Mengapa sepi! Mana pelayan?! Mana 

minuman?!” teriak Cokro Ningrat. Mahkota 

emas tak pernah ditanggalkan sejak saat 

pertama diletakkan di atas kepalanya. 

“Orang-orang gila itu agaknya sudah pergi 

semua!” berkata Ronggo Sampenan sambil 

memandang berkeliling. 

“Tapi masih ada dua orang gila di sini!” 

Tiba-tiba terdengar suara dari arah kiri ruangan 

besar. Serentak keempat orang itu sama 

palingkan kepala... Dan di situ mereka melihat 

Pendekar 212 Wiro Sableng tegak bersama Imo 

Gantra. Wiro dengan Kapak Maut Naga Geni 

212 di tangan kanan sedang Imo Gantra 

mencekal dua golok besar di tangan kiri dan 

kanan. 

“Dua orang gila kesasar!” teriak CokroNingrat. 

Meskipun terpengaruh oleh minuman keras 

namun tiga orang lainnya yang berada bersama 

sang raja cepat membaca situasi. Lonceng Maut 

segera loloskan loncengnya yang tergantung di 

leher. Begitu juga Warok Tumo Item cepat-cepat 

loloskan golok bermata duanya. Sedang Ronggo 

Sampenan keluarkan tembakau, berkomat 

kamit mengunyah tembakau itu sementara 

tangan kirinya memegang seutas tali aneh 

sepanjang dua meter berwarna merah. Melihat 

ini Cokro Ningrat segera pula keluarkan Keris 

Mustiko Geni dari pinggangnya. 

“Jika kalian mau menyerah secara baik-

baik, kerajaan akan mengampunkan semua 

kesalahan kalian. Tapi jika kalian melawan 

maka bersiaplah untuk mati!” 

Keempat orang itu tertawa gelak-gelak 

mendengar kata-kata Imo Gantra tadi. 

“Dia menyebut-nyebut kerajaan. Kerajaan 

yang mana yang dimaksudkannya?!” ujar Cokro 

Ningrat. Lalu sambungnya: “Apakah kalian 

tidak sadar kalau saat ini tengah berhadapan 

dengan Raja bergelar Raden Mas Haryo Ing 

Alaga Cokro Ningrat?! Lekas berlutut minta 

ampun. Mungkin aku masih bersedia 

mengambil kalian berdua menjadi jongos dan 

perawat kuda!” 

Keempatnya kembali tertawa gelak-gelak. 

“Kita serbu saja mereka sekarang. Selagimasih dipengaruhi minuman keras...” Berbisik 

Imo Gantra. 

’Tenang saja. Siapa di antara mereka yang 

berbahaya?” balas berbisik Wiro Sableng. 

“Si muka bopeng itu. Senjatanya yang 

berbentuk lonceng bisa mengganggu 

pendengaran dan mengacaukan gerakan. Lalu 

tembakau di mulut orang berpakaian biru-biru 

itu. Tapi tali di tangan kirinya lebih berbahaya. 

Si Gendut berewokan itu memang hebat tapi 

permainan goloknya tak usah ditakutkan. Yang 

penting hati-hati terhadap Cokro Ningrat. Dia 

memegang Keris Mustiko Geni 

“Kalau begitu dia yang harus kita bereskan 

lebih dahului” kata Wiro pula. Tangan kirinya 

bergerak ke pinggang, di masa dia menyimpan 

senjata aneh pemberian Resi Mandra Botama. 

Cakra Dewa! Inilah saat yang tepat untuk 

menjajal kehebatan senjata itu. 

“Astaga! Itu Cakra Dewa jantan!” ujar Imo 

Gantra ketika dia melihat apa yang ada di 

tangan kiri Wiro Sableng. “Dari mana kau 

dapatkan senjata itu?!” 

“Bukan saatnya untuk bercerita...” 

“Kalau begitu kenapa tidak lekas kau hajar 

mereka satu per satu?!” 

“Sebentar. Tenang saja. Sebentar lagi Imo!” 

ujar Wiro. Lalu dia bertanya pada keempat 

orang itu. “Jadi kalian tak mau menyerah? Dan 

memilih mampus percuma?”Cokro Ningrat tegak dari kursinya. 

Tubuhnya agak terhuyung walau hanya sesaat. 

“Sobat-sobatku! Bunuh dua monyet kesasar 

itu!” Sang Raja berteriak berikan perintah. 

“Diberi susu minta racun! Terimalah ini!” 

balas membentak Wiro. Tangan kirinya 

bergerak. Cakra Dewa melesat mengeluarkan 

suara bergaung menyambar ke arah Cokro 

Ningrat. Percuma pada kekuatan Keris Mustiko 

Geni, Cokro Ningrat tidak merasa gentar 

mendapat serangan itu. Dia tusukkan senjata 

mustika itu ke udara. Sinar merah berkiblat 

disertai hawa panas menebar. Cakra dewa 

tampak bergetar. Hawa sakti yang keluar dari 

Keris Mustiko Geni membuat senjata itu 

mengapung ke atas namun selewatnya 

sambaran hawa, Cakra Dewa kembali menukik. 

Cokro Ningrat membentak marah dan cepat 

run-dukkan kepala. Cakra Dewa lewat di atas 

ubun-ubunnya, menghantam tembok ruangan 

hingga membentuk lobang besar dan berubah 

warna menjadi kebiruan. Sesaat senjata itu 

seperti hendak tenggelam menembus tembok, 

namun di lain kejap melesat kembali ke arah 

Wiro Sableng. Sang pendekar yang terkagum-

kagum melihat kehebatan senjata itu hampir 

terlupa menangkapnya kembali. 

Lonceng Maut, Warok Tumo Item dan 

Ronggo Sampenan sementara itu berlompatan 

menyerbu. Suara lonceng menggema luar biasanyaringnya diruangan yang besar itu. Gendang-

gendang telinga hendak mau robek dan jantung 

berdenyut aneh dibuatnya. Dari mulut Ronggo 

Sampenan keluar semburan tembakau 

menghantam ke arah Wiro dan Imo Gatra. Lalu 

menyusul sambaran tali merah yang 

dihantamkan. Ketika tali itu memukul di udara, 

terdengar suara petir menyambar disusul 

dengan memerciknya api di ujung tali! Warok 

Tumo Item sudah pula ayunkan golok bermata 

duanya hingga lengkaplah kehebatan serbuan 

tiga tokoh silat itu. 

“Imo, kau tahan dulu tiga bergajul ini!” ujar 

Wiro yang seenaknya saja menyebut nama si 

kakek muda cekung yang jauh lebih tua dari 

padanya. 

Imo Gantra memang sudah siap menunggu. 

Dua golok di tangannya kiri kanan menderu 

membentuk dua lingkaran besar. Satu 

menyabung ke arah semburan tembakau 

Ronggo Sampenan, satunya lagi memapasi 

serangan golok tunggal Warok Tumo Item, 

Baik Wiro maupun Imo Gantra begitu 

mendengar suara lonceng merobek telinga 

masing-masing, keduanya segera menutup 

indera pendengaran dengan aliran tenaga 

dalam. Suara lonceng tetap bergema, tetapi 

tidak menyakitkan lagi. 

“Bangsat-bangsat rendah! Kalian minta 

mampus!” Terdengar bentakan Cokro Ningrat.Dia memburu dengan Keris Mustiko Geni. Wiro 

Sableng segera menyongsong. Tapi untuk 

membantu Imo Gantra, sebelum bergerak dia 

lebih dulu sapukan Kapak Maut Naga Geni 212 

ke arah Lonceng maut. Kakek muka bopeng ini 

tersentak kaget ketika suara menderu seperti 

ribuan tawon mengamuk yang keluar dari 

senjata lawan menindih kehebatan lonceng 

kuningnya. Pakaian dan rambutnya berkibar-

kibar. Tubuhnya seperti ditindih batu besar. 

Ketika dia nekat merangsek terus sambil 

hantamkan senjatanya yang berbentuk lonceng 

itu, Wiro kirimkan satu tendangan keaarah 

tulang rusuknya. Ronggo Sampenan pukulkan 

loncengnya ke bawah. Tapi Wiro sudah tarik 

pulang kakinya dan kini kembali Kapak Maut 

Naga Geni 212 membalik menyapu setengah 

lingkaran. 

“Edan!” teriak si bopeng ketika dia 

merasakan ada sinar putih perak menyambar 

panas luar biasa. Kalau dia tidak lekas 

bertindak mundur, perutnya sudah kena 

disambar mata kapak. 

Kleneng! 

Longceng di tangan orang itu terbelah dua. 

Satu belahan mental dan menancap di loteng 

ruangan. Sepotongnya lagi masih tergenggam di 

tangan pemiliknya! Dan potongan ini terpaksa 

dilepaskan karena loncengan itu seperti telah 

berubah laksana bara api akibat aliran panasyang datang dari Kapak Naga Geni 212. Lonceng 

Maut kibas-kibaskan tangannya yang tampak 

melepuh! Kejadian ini cukup membuat Loneeng 

Maut-menjadi leleh nyalinya dan berpikir dua 

kali apakah dia akan terus melanjutkan 

perkelahian itu. Sementara itu Imo Gantra 

mendapat lawan seimbang yakni Warok Tumo 

Item. Namun karena kepala rampok ganas itu 

berdua dengan si dukun jahat Ronggo 

Sampenan maka sangat berat bagi Imo Gantra 

untuk melayani keduanya sekaligus. 

Setelah berhasil melumpuhkan Lonceng 

Maut, Pendekar 212 Wiro Sableng melompat ke 

arah Cokro Ningrat. Tangan kirinya bergerak 

seperti hendak melemparkan Cakra Dewa. 

Cokro Ningrat acungkan Keris Mustiko Geni ke 

depan untuk melindungi diri. Namun gerakan 

Wiro hanya tipuan belaka. Selagi bagian bawah 

lawan terbuka, murid Sinto Gendeng dari 

Gunung Gede itu baru benar-benar melakukan 

lemparan. Cakra Dewa membeset di udara. 

Cokro Ningrat menjerit keras. Tubuhnya 

berputar. Cakra Dewa menancap di perutnya, 

kemudian melesat kembali, membalik ke arah 

Wiro. Tampak seperti ada asap tipis kebiruan 

mengepul di perut sang raja. Wiro menangkap 

dan menyimpan Cakra Dewa lalu memburu ke 

arah Cokro Ningrat yang saat itu jatuh berlutut 

di lantai. Sekujur tubuhnya terutama di bagian 

bibir tampak membiru. Itulah jahatnya racunCakra Dewa. Sekali lagi bekas Kepala Pasukan 

Kerajaan ini menjerit. Tubuhnya kemudian 

terkapar menelungkup. Keris Mustiko Geni 

lepas dari genggamannya. Mahkota emas 

tanggal dari kepalanya dan berguling ke arah 

kaki Wiro. Dengan tangan kirinya Wiro 

mengambil mahkota sedang tangannya cepat 

memungut Keris Mustiko Geni. Dengan hati-

hati keris tak bersarung itu diselipkan ke 

pinggang sedang mahkota emas dikenakan 

seenaknya di kepalanya. 

“Kami menyerah!” teriak Ronggo Sampenan 

ketika tali merahnya dibabat putus oleh Kapak 

Naga Geni 212. Sisa potongan tali yang 

dipergunakannya sebagai senjata itu dibuang ke 

lantai. Warok Tumo Item juga ikut-ikutan 

membuang goloknya namun nasibnya malang. 

Gerakannya yang agak lamban keburu 

didahului tusukan golok Imo Gantra. Ketika 

golok lawan menusuk dadanya, dia sendiri tak 

memegang senjata lagi. Tubuhnya terhuyung. 

Darah mengucur membasahi lantai. Kedua 

tangan Warok Tumo Item menggapai-gapai ke 

udara seperti berusaha berpegangan pada 

sesuatu: Tapi dia hanya memegang angin. 

Tubuhnya jatuh.terduduk di atas kursi raja, 

tapi belum sempat menyentuh kursi itu 

tendangan Wiro membuat dia terpelanting dan 

terkapar di tanah. 

Melihat Ronggo Sampenan mengambil sikap

menyerah, Imo Gantra cepat menotok orang ini. 

Sementara itu di luar istana terdengar suara 

gegap gempita. Ratusan orang menyerbu 

masuk. Di depan sekali tampak Pangeran 

Purbaya bersama ibundanya. Wiro masukkan 

Kapak Naga Geni 212 ke balik pakaian lalu 

tinggalkan ruangan ini dan menyongsong 

Pangeran Purbaya di tangga istana. 

“Semuanya sudah berakhir Pangeran. Aku 

minta diri sekarang….” 

“Apakah kau sudah mendapatkan Keris 

Mustiko Geni?” tanya sang pangeran. 

“Wiro mengangguk sambil menepuk 

pinggangnya. Lalu dia menjura pada Pangeran 

Purbaya dan ibunya. Ketika dia hendak 

berkelebat pergi Pangeran itu tiba-tiba berseru. 

“Hai! Kau sudah kuberikan Mustiko Geni. 

Jangan ambil pula mahkota emasku!” 

Wiro tersentak kaget. “Astaga! Mohon 

maafmu Sri Baginda. Aku sampai kelupaan!” 

kata Wiro lalu cepat-cepat mencopot mahkota 

yang masih berada di kepalanya. Orang banyak 

tertawa lebar. Ibunda Pangeran Purbaya 

membisikkan sesuatu pada puteranya. Sang 

pangeran lalu berkata: “Pendekar, kau. tidak 

kami izinkan pergi. Kau harus menetap di 

Kutogede karena kami memutuskan untuk 

mengangkatmu sebagai Kepala Pasukan 

Kerajaan!”

Wiro Sableng garuk-garuk kepala. 

“Terima kasih atas kepercayaanmu Sri 

Baginda... Tapi...” Wiro goyang-goyangkan 

tangan kanannya. “Itu tidak termasuk dalam 

perjanjian kita sebelumnya!” Lalu sekali 

berkelebat dia telah lenyap di antara ratusan 

rakyat yang berkerumun di tempat itu. 

“Pemuda itu aneh, kadang-kadang 

menjengkelkan!” ujar Pangeran Purbaya. 

“Dinobatkan pun aku belum. Enak saja dia 

menyebutku Sri Baginda...” 

“Ya, dia memang seperti sinting. Tapi 

hatinya polos!” Memuji sang ibunda. 

“Tiba-tiba seseorang berteriak. 

“Gotong raja kita ke singgasananya!” 

Lalu puluhan manusia bergerak berebutan 

untuk menggotong Pangeran Purbaya dan 

mendudukannya di atas kursi besar. Imo 

Gantra tegak menarik nafas lega. Kelak kakek 

ini diangkat menjadi Patih Kerajaan. 


TAMAT

Share:

0 comments:

Posting Komentar