..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 21 Juni 2024

WIRO SABLENG EPISODE KERIS TUMBAL WILAYUDA

Keris Tumbal Wilayuda



WIRO SABLENG 

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 

Karya: BASTIAN TITO 

KERIS TUMBAL WILAYUDA 

PROLOG 

SUARA beradunya berbagai macam senjata, suara bentakan garang ganas yang 

menggeledek di berbagai penjuru, suara pekik jerit kematiansera suara mereka yang merintih 

dalam keadaan terluka parah dan menjelang meregang nyawa, semuanya menjadi satu 

menimbulkan suasana maut yang menggidikkan! 

Di mana-mana darah membanjir! Di mana-mana bertebaran sosok-sosok tubuh tanpa 

nyawa! Bau anyir darah memegapkan nafas, menggerindingkan bulu roma! Pertempuran itu 

berjalan terus, korban semakin banyak yang bergelimpangan, mati dalam cara berbagai rupa. 

Ada yang terbabat putus batang lehernya. Ada yang robek besar perutnya sampai ususnya 

menjela-jela. Kepala yang hampir terbelah, kepala yang pecah, dada yang tertancap tombak. 

Kutungan-kutungan tangan serta kaki! 

Di dalam istana keadaan lebih mengerikan lagi. Mereka yang masih setia dan berjuang 

mempertahnkan tahta kerajaan, yang tak mau menyerah kepada kaum pemberontak meski 

jumlah mereka semakin sedikit, terpaksa menemui kematian, gugur dimakan senjata lawan! 

Istana yang pagi tadi masih diliputi suasana ketenangan dan keindahan, kini tak beda 

seperti suasana dalam neraka! Mayat dn darah kelihatan di mana-mana. Pekik jerit kematian 

tiada kunung henti. Perabotan istana yang serba mewah porak poranda. Pihak yang bertahan 

semakin terdesak. Agaknya dalam waktu sebentar lagi mereka akan tersapu rata dengan lantai 

yang dulu licin berkilat tapi kini dibanjiri oleh darah! 

“Wira Sidolepen dan Braja Paksi, menyerahlah!,” teriak seorang laki-laki berbadan 

kekar dan berkumis melintang. Seperti kedua orang yang dibentaknya itu diapun mengenakan 

pakaian perwira kerajaan. 

Bradja Paksi -- kepala balatentara Banten -- menggerang dan balas membentak. 

"Bangsat pemberontak! Meski nyawaku lepas dari tubuh, terhadapmu aku tak akan 

menyerah!”Parit Wulung -- laki-laki yang berkumis melintang itu -- tertawa bergelak. Sebelumnya 

dia adalah perwira pembantu atau wakil kepala balatentara Banten tapi yang hari itu telah 

tersesat dan memberontak terhadap kerajaan ! 

"Mengingat hubungan kita sebagai ipar, aku masih mau tawarkan keselamatan buat roh 

busukmu! Tapi jika kau sendiri yang hendaki kematian, jangan menyesal!” 

Parit Wulung menerjang ke muka. Pedangnya menyambar mengirimkan satu serangan 

yang cepat dan dahsyat. Tapi dengan sebat Bradja Paksi menangkis dengan Pedangnya pula. 

“Trang!” 

Bunga api berkilauan. 

Tangan Parit Wulung tergetar hebat. Dia mundur selangkah namun lawan menyusuli 

dengan dua rangkai serangan berantai yang membuat gembong pemberontak ini terdesak ke 

tiang besar di ujung kanan. Sebagai kepala Balatentara Banten maka ilmu silat dan kesaktian 

Bradja Paksi lebih tinggi dari wakilnya yang memberontak itu. Bagaimanapun cepat dan 

sebatnya Parit Wulung putar pedang tetap saja dia tak bisa ke luar dari serangan-serangan 

lawan, apalagi ketika dengan kalap Bradja Paksi sertai serangan-serangan pedangnya dengan 

pukulan-pukulan tangan kosong. Namun itu tak berjalan lama. 

Seorang berbadan kate, berselempang kain putih yang kulit mukanya sangat hitam dan 

berkilat serta berambut awut-awutan berkelebat ke muka. Tampangnya seperti singa. 

"Parit Wulung! Biar aku yang bereskan bangsat ini!" 

Melihat siapa yang berkata itu maka Parit Wulung dengan tidak menunggu lebih lama 

segera ke luar dari kalangan pertempuran. "Resi Singo Ireng, rnemang dia pantas sekali untuk 

jadi korbanmu! Cepat rampaslah nyawanya!" 

Manusia muka hitam berbadan kate yang bernama Resi Singo Ireng tertawa buruk. 

Tangan kanannya dihantamkan ke muka. Secarik sinar putih melesat ke arah kepala 

balatentara Banten. 

Bradja Paksi lompat tiga tombak ke atas. "Bergundal pemberontak!". makinya. 

"Nyawamu di ujung pedangku!,” Bradja Paksi menukik ke bawah. Pedangnya berkelebat 

cepat sekali. 

"Bret !" 

Robeklah pakaian putih Singo Ireng ! 

Maka marahlah Resi ini. "Manusia hina dina!. Kalau kau punya Tuhan berteriaklah 

menyebut nama Tuhanmu! Ajalmu hanya sampai di sini!". 

Tangan kiri Singo Ireng terangkat tinggi-tinggi ke atas dan kini berwarna hitam legam."Bradja Paksi awas! Itu pukulan wesi item!,” terdangar teriakan seseorang yang tengah 

bertempur dengan segala kehebatannya dekat pintu besar yang menuju ke ruang tengah istana. 

Umurnya sudah agak lanjut namun gerakannya benar-benar tangguh dan. enteng gesit 

mengagumkan! Dia adalah Wira Sidolepen, Patih Kerajaan Banten ! 

Terkejutlah Bradja Paksi mendangar teriakan peringatan itu. Seluruh tenaga dalam 

segera dikerahkan. Pada saat tangan kiri Resi Singo Ireng turun cepat ke bawah maka sinar 

hitam menyambar ke muka. Dan di saat itu pula Bradja Paksi melompat ke samping, putar 

pedang dan hantamkan tangan kiri ke depan. 

Namun meskipun berilmu tinggi, untuk saat itu Bradja Paksi masih belum sanggup 

menerima pukulan wesi item lawan. Tubuhnya mencelat kena disambar sinar hitam, terlempar 

ke dinding istana lalu terhampar di lantai penuh darah tanpa bisa berkutik lagi. Sekujur 

pakaian dan tubuhnya hangus hitam! 

Resi singo Ireng tertawa senang menjijikkan untuk dipandang! 

Melihat kematian Bradja Paksi maka kalaplah patih Wira Sidolepen. Sekali dia 

menerjang, tiga prajurit pemberontak yang menyerangnya berpelantingan dengan tubuh patah-

patah! Sebagai patih kerajaan, tingkat kepandaian Wira Sidolepen memang sudah sempurna 

dan hampir setingkat dengan Singo Ireng. Gesit sekali maka tubuhnya sudah berada di 

hadapan Resi itu. 

"Ha… ha… kau juga mau antarkan nyawa, Wira Sidolepen…” 

"Tak perlu banyak mulut. Terima ini…!" hardik sang patih. Pedangnya bergulung 

dengan sebat. Putaran pedang mengeluarkan angin bersiuran yang melanda tubuh Resi Singo 

Ireng. Terkejutlah Resi ini. Cepat-cepat dia gerakkan badan berkelit. Tahu bahwa tingkat 

kepandaian lawan tidak berada di bawahnya rnaka pagi-pagi Singo Ireng segera keluarkan 

pukulan "wesi ireng"-nya. 

Melihat lawan keluarkan ilmu yang ampuh itu, Wira Sidolepen segera pindahkan 

pedang ke tangan kiri. Mulutnya komat kamit dan jari tangannya mendadak sontak berubah 

rnenjadi putih berkilau. Inilah ilmu pukulan "mutiara penabur nyawa!" Parit Wulung yang 

tahu kehebatan ilmu pukulan ini segera pergunakan ilmu menyusupkan suara memberi 

peringatan pada Singo Ireng. 

"Awas, itu pukulan mutiara penabur nyawa, Resi Singo Ireng !" 

Mendengar ini maka sang Resi lipat gandakan tenaga dalamnya. Dua bentakan nyaring 

sama-sama terdangar menggeledek dari mulut Singo Ireng dan Wira Sidolepen. Sinar hitam 

dan sinar putih berkiblat saling papas.

“Akh....” 

Tubuh patih itu terlempar keras ke tiang istana. Sampai di lantai tubuhnya berkelojotan 

seketika lalu diam tak bergerak tanda nyawanya sudah lepas meninggalkan tubuh. 

Sambil gosok-gosok tangan kirinya. Singo Ireng putar kepala ke pintu di sampingnya. 

Di situ melangkah ke arahnya seorang berselempang kain biru. Mukanya coreng moreng 

berbelang tiga yaitu hitam, kuning dan merah. Rambutnya tersisir licin-lincin ke belakang. 

Inilah dia Resi Macan Seta, kakak kandung Resi Singo Ireng. Kalau Singo Ireng memiliki 

tampang seperti singa maka kakaknya sesuai dengan namanya, memiliki tampang persis 

seperti macan! 

"Kau tak bakal kuat menerima pukulan mutiara penabur nyawa itu Singo Ireng, 

sekalipun kau pergunakan ilmu wesi item! Sekurang-kurangnya kau akan terluka di dalam 

Singo Ireng tertawa buruk! Dia tak berkata apaapa karena maklum bahwa ucapan 

kakaknya itu adalah betul. Dan diam-diam dia bersyukur karena Macan Seta telah 

menolongnya dengan pukulan "sinar surya tenggelam" tadi! 

-- == 0O0 ==

SATU 

PADA abad ke 15, Kerajaan Demak diperintah oleh Baginda Trenggono. Di bawah 

Trenggono maka Demak mencapai puncak kejayaannya. Di masa itu pula adik perempuan 

Trenggono kawin dengan Fatahillah. 

Untuk meluaskan daerah perdagangan serta kekuasaan Demak maka Trenggono 

merasa perlu untuk menduduki Banten. Maka pada tahun 1527, di bawah pimpinan Fatahillah 

menyerbulah balatentara Demak. Banten jatuh, pelabuhan Sunda Kelapa diduduki dan sebagai 

wakil Demak memerintahlah Fatahillah di Banten. Sebenarnya kurang tepat kalau dikatakan 

bahwa Fatahillah bertindak sebagai wakil Trenggono atau wakil kerajaan Demak karena luas 

lingkup kekuasaan serta pengaruh Fatahillah tak ubahnya seperti Raja. Disamping itu, terlepas 

dari Demak, Fatahillah membentuk balatentara tersendiri. Nama Fatahillah menjadi besar dan 

dihormati. Namun demikian kesetiaannya terhadap kerajaan induk yaitu Demak tetap seperti 

sediakala.Sultan Hasanuddin dalam menjalankan roda pemerintahan kerajaan Banten dibantu 

oleh penasihat utama seorang tua bijaksana bernama Mangkubumi Mitra serta patih Wira 

Sidolepen. Disamping itu bantuan kepala balatentara Banten yang bernama Bradja Paksi patut 

pula disebutkan karena segala sesuatu yang bersangkutan dengan keamanan dan keselamatan 

kerajaan terletak pada tanggung jawabnya sepenuhnya. Apalagi mengingat pada masa itu 

sering kali terjadi bentrokan-bentrokan dengan pihak Pajajaran. Bradja Paksi tadinya adalah 

seorang prajurit biasa di kerajaan Demak. Tapi karena keberanian, kejujuran dan 

kepandaiannya maka dia menjadi orang kesayangan Fatahillah. Ketika Fatahillah pindah ke 

Banten, Bradja Paksi ikut serta. Kemudian dia diangkat jadi kepala balatentara Banten. 

Pangkat itu terus dijabatnya sampai pada suatu hari di mana dia terpaksa mengorbankan 

jiwanya sendiri untuk keselamatan kerajaan dan demi kesetiaan pengabdiannya pada atasan! 

Saat itu belum lagi satu bulan Hasanuddin yang muda belia dinobatkan sebagai Sultan 

atau Raja Banten. Baik patih Wira Sidolepen, maupun penasihat tua Mangkubumi Mitra serta 

kepala balatentara Bradja Paksi, ataupun Sultan sendiri, mereka tak satupun yang tahu kalau di 

batang tubuh kerajaan saat itu terdapat musuh dalam selimut yang berbahaya, yang bergerak 

secara diam-diam! 

Dan siapa yang akan menyangka kalau musuh dalam selimut itu adalah Parit Wulung, 

perwira yang menjadi wakil langsung dari kepala balatentara kerajaan! Hubungan Parit 

Wulung dengan Bradja Paksi bukan saja sebagai bawahan dengan atasan, tetapi juga sebagai 

ipar karena adik perempuan Bradja Paksi kawin dengan Parit Wulung. 

Tapi Parit Wulung telah tersesat. Lupa dia bahwa jabatan yang dipangkunya itu adalah 

berkat diangkat atas kebijaksanaan Bradja Paksi. Lupa dia bahwa kerajaan yang telah memberi 

pangkat kedudukan serta kehormatan dan kehidupan mewah. Nafsu hendak berkuasa sendiri, 

nafsu hendak duduk ditakhta kerajaan sebagai Raja telah merangsang segenap hati dari jiwa 

raganya! 

Dalam mencapai usahanya merebut takhta Kesultanan Banten itu sudah barang tentu 

dia tak bisa bergerak sendiri. Disamping itu dia tahu pula bahwa untuk mencari pengikut-

pengikut dari kalangan pihak dalam yaitu perwira-perwira dan menteri-menteri istana tidak 

mungkin karena semua perwira dan menteri, apalagi patih Wira Sidolepen sangatlah setianya 

kepada Kerajaan dan Sultan Hasanuddin. Karenanya maka perwira pengkhianat itupun 

mencari sekutu di luar Banten. Peluang yang sangat baik dilihatnya datang dari kerajaan 

tetangga yaitu Pajajaran. Beberapa perwira Pajajaran secara diam-diam ditemuinya dan

perwira-perwira itu sesudah diberikan janji yang muluk-muluk bersedia mengirimkan ratusan 

prajurit untuk membantu pemberontakan bila saatnya sudah tiba kelak. 

Ratusan prajurit masih belum dirasa mencukupi bagi Parit Wulung. Pengkhianat ini 

kemudian mendatangi seorang sakti yaitu Resi Singo Ireng yang berdiam di pantai selatan. 

Resi ini bukan saja mau membantu maksud busuk Parit Wulung karena dijanjikan akan 

dilimpahkan harta kekayaan yang tiada terkira banyaknya, tapi juga mengikut sertakan kakak 

kandungnya yang juga seorang Resi yaitu Resi Matjan Seta. Matjan Seta diam di Teluk 

Keletawar. Tokoh silat ini baru saja membentuk satu partai silat yang dinamainya Partai Api 

Selatan. Meski keduanya adalah Resi namun mereka telah terperangkap oleh kesenangan 

duniawi sehingga masuk ke datam golongan hitam! 

Pada hari yang telah ditentukan maka pecahlah pemberontakan menggulingkan 

kerajaan itu! Ratusan pasukan dari Pajajaran menyerbu. Pertempuran hebat terjadi di seantero 

Kotaraja dan yang paling hebat adalah sekitar halaman istana. 

Sebentar saja kaum pemberontak sudah membobolkan pertahanan Banten. Istana 

dikepung, prajurit-prajurit pemberontak di bawah pimpinan Parit Wulung, Singo Ireng dan 

Matjan Seta menyerbu ke dalam istana. Menteri-menteri dan orang-orang cerdik pandai yang 

terkurung dan tak dapat diselamatkan semuanya menemui ajal dipancung secara kejam. 

Kepala balatentara Banten, patih Wira Sidolepen dan beberapa orang penting lainnya turut 

serta menjadi korban keganasan kaum pemberontak itu ! 

Banten jatuh sebelum hari rembang petang. Prajurit-prajurit Banten yang masih hidup 

dan terpaksa menyerah bersama-sama rakyat disuruh membersihkan semua mayat-mayat yang 

bergeletakan di setiap pelosok. Sedangkan di satu ruangan dalam istana Banten terjadi 

pertemuan panting. Pertemuan penting ini diketuai oleh Parit Wulung. Yang hadir ialah Resi 

Singo Ireng, Resi Matjan Seta, Karma Dipa dan Djuanasuta. Kedua orang terakhir ini adalah 

penrwira-perwira Pajajaran sekutu Parit Wulung ! 

"Resi Singo Ireng, Resi Matjan Seta dan saudara-saudara Karma Dipa, Djuapasuta. 

Kalian lihat sendiri, berkat kerjasama kita maka apa yang kita rencanakan telah berhasil. Kini 

Banten adalah milik kita bersama. Namun ada beberapa hal yang mengecewakan dilaporkan 

oleh seorang perwira penghubung pihak kita. Sultan Hasanuddin lenyap tak diketahui ke mana 

perginya. Kemungkinan besar bersama penasihat tua Mangkubumi Mitra karena orang tua 

inipun tak diketahui di mana dia berada saat ini…". 

Sampai di situ maka Karma Dipa buka suara. "Kalau mereka hendak melarikan diri 

dari Banten adalah mustahil. Seluruh perbatasan dijaga ketat oleh prajurit-prajurit kita!""Itu betul sekali,” jawab Parit Wulung. "Disamping orang-orang kita terus melakukan 

penyelidikan atas jejak kedua orang itu maka kita juga telah menangkap tiga orang yang 

diduga keras mengetahui di mana bersembunyinya Sultan!" 

Parit Wulung bertepuk tiga kali. Pintu ruangan perundingan terbuka. Seorang 

pengawal masuk. "Bawa ke sini Said Ulon !,” kata Parit Wulung pada pengawal itu. 

Pengawal ke luar dengan cepat. Sesaat kemudian masuk lagi bersama seorang 

kawannya membawa seorang laki-laki tua berambut putih. Dialah Said Ulon, kepala rumah 

tangga istana. Kedua pengawal ke luar lagi. 

"Said Ulon, kau tahu dimana Sultan sembunyi, bukan?!" ujar Parit Wulung. 

Orang tua itu memandang ke muka sebentar. Hatinya geram sekali melihat tampang 

Parit Wulung. Dua orang anaknya telah menjadi korban akibat pemberontakan manusia itu. 

Seperti hendak ditelannya bulat-bulat tubuh Parit Wulung saat ini. Kedua tangannya berusaha 

melepaskan ikatan tali tapi tak berhasil. 

Melihat ini Parit Wulung segera berkata. "Jangan khawatir, kau akan kulepaskan dan 

kujamin keselamatanmu bila memberi keterangan di mana Sultan berada...!" 

"Ya… memang aku tahu...” berkata Said Ulon. 

"Haaaa…” Parit Wulung tertawa lebar. "Di mana?," tanyanya. 

Orang tua itu maju ke hadapan Parit Wulung. "Di sini," katanya. Dan habis 

mengucapkan perkataan itu maka diludahinya muka Parit Wulung! 

"Jahanam hina dina!" suara Parit Wulung menggeledek. 

"Sret!" Pedangnya dicabut dan "cras!” maka putuslah leher Said Ulon. Kepalanya 

menggelinding di lantai tepat di muka pintu. Darah muncrat membasahi permadani yang 

menutupi sebagian dari lantai ruangan ! 

Resi Matjan Seta tertawa mengekeh melihat peristiwa itu. 

Karma Dipa berkata dengan suara datar. "Seharusnya kita tak perlu membunuh 

sekaligus manusia itu, Parit Wulung. Kita bisa siksa dia sampai mengaku di mana adanya 

Sultan Hasanuddin!" 

Parit Wulung tak menjawab. Noda darah dipedangnya disapukannya kepakaian Said 

Ulon lalu dimasukkannya ke dalam sarungnya kembali. Kemudian Parit Wulung bertepuk lagi 

tiga kali. 

Pintu terbuka. Pengawal yang masuk tergagau melihat adanya kepala manusia di muka 

pintu. "Bawa masuk tukang kuda itu!" kata Parit Wulung.Tak lama kemudian pengawal membawa masuk seorang pemuda bermuka pucat pasi. 

Baik Parit Wulung maupun pemuda ini sebelumnya sudah saling mengenal. 

"Siman Tjonet, kau lihat mayat dan kepala di lantai itu?!" 

Siman Tjonet si tukang urus kuda-kuda milik istana mengangguk. 

"Tentunya kau tak ingin bernasib demikian, bukan? Nah coba terangkan di mana 

Sultan bersembunyi...!” 

"Aku tak tahu…". 

"Ah kau musti tahu. Mungkin sekali Sultan telah melarikan diri bersama beberapa 

orang dengan menunggangi kuda. Betul..." 

"Aku tidak tahu..," jawab Siman Tjonet lagi seperti tadi. 

Maka. marahlah Parit Wulung. "Dangar Siman…,” desisnya. "Aku tahu bahwa 

beberapa bulan di muka kau akan kawin. Kalau kau tetap ingin merasakan kenikmatan 

perkawinanmu itu, cepat beri tahu di mana Sultan berada…” 

"Kalau kau kasih keterangan...," menyambung Djuanasuta, "kami akan berikan uang 

serta perhiasan! Kau akan beruntung seumur hidup…" 

"Aku tidak tahu…" 

"Betul-betul tidak tahu...?!" 

"Kalaupun tahu aku tidak akan kasih keterangan pada bergundal pemberontak dan 

pengkhianat macam kau!" 

Parit Wulung tertawa buruk. Pelipisnya bergerak-gerak. Tangan kanannya bersitekan 

pada hulu pedang. "Jangan jadi orang tolol Siman Tjonet!" berkata Karma Dipa sementara 

Resi Matjan Seta dan adiknya asyik-asyik makan buah anggur yang terhidang di atas meja. 

"Bicaralah, kau akan selamat dan jadi orang kaya!" 

Siman Tjonet diam saja. 

"Agaknya kau lebih suka mati daripada hidup senang. Siman…?" tanya Parit Wulung. 

"Disangkanya kalau dia mati akan masuk surga dan ketemu bidadari!" berkata Resi 

Matjan Seta sambil tertawa dan mengunyah buah anggur dalam mulutnya. 

"Aku masuk surga atau tidak itu bukan urusan kalian! Sebaliknya kalian semua kelak 

akan menjadi puntung api neraka!" jawab Siman Tjonet dengan beraninya. 

"Wah… kau benar-benar tidak takut mati, anak muda. Tapi bagaimana kalau sebelum 

mati aku siksa kau lebih dahulu, heh?!" 

"Kalian boleh siksa aku tapi di mana Sultan berada tetap kalian tak bisa tahu!""He... he... he..,” Resi Matjan Seta berdiri dari duduknya. Mulutnya masih mengunyah 

buah anggur. Dia melangkah ke hadapan Siman Tjonet, Tangan kanannya diletakkannya di 

atas kepala pemuda itu. 

"Manusia bermuka setan, pergi!" hardik Siman Tjonet. Pemuda ini pergunakan kaki 

kanannya untuk menendang tulang kering Resi Matjan Seta. Tapi aneh! Kedua kakinya terasa 

sangat berat dan sukar digerakkan. Sementara itu kepalanya yang dipegang terasa panas bukan 

main. Disamping panas kepalanya juga terasa seperti dicucuki oleh ratusan jarum! Dari kepala 

rasa sakit menjalar ke sekujur tubuh si pemuda. 

Pemuda ini merintih kesakitan. Bila rasa sakit tak tertahankan lagi maka mulailah dia 

menjerit-jerit setinggi langit. Betapa mengerikan suara jeritan itu terdangarnya. Peluh dingin 

membasahi seluruh tubuh Siman Tjonet. 

"Masih belum mau bicara?!" bentak Parit Wulung. 

"Pengkhianat terkutuk! Pembalasan akan datang untuk kalian semua!". 

"Bikin mampus dia Resi Matjan Seta!,” perintah Parit Wulung. 

Sang Resi mengekeh, telapak tangannya semakin keras menekan batok kepala pemuda 

tukang kuda. Asap mengepul dari telapak tangan laki-laki sakti itu. 

Jeritan Siman Tjonet terdangar semakin keras dan berubah menjadi suara erangan. 

Dari telinga, dari mata dan dari lubang hidung serta mulutnya mengalir darah kental. Kedua 

lututnya terlipat dan sesaat kemudian tubuh pemuda itu terhempas ke lantai, nyawanya lepas! 

Resi Matjan Seta mengekeh lagi! 

Dan Parit Wulung bertepuk lagi. Maka tawanan yang ketigapun dibawa masuklah. 

Tawanan ini ternyata seorang perempuan muda berparas rupawan. 

Begitu dia masuk ke, ruangan itu maka menjeritlah dia. Kedua tangannya yang tidak 

terikat dipakai untuk menutupi muka dan matanya. Kengerian membuat tubuhnya gemetar 

ketika menyaksikan kepala dan tubuh Said Ulon serta tubuh pemuda tukang kuda! 

Resi Singo Ireng menunda anggur yang hendak disuapkannya ke dalam mulut. 

Matanya menjalari si perempuan muda mulai dari ujung rambut sampai ke kaki. 

"Ah... ah... ah…! Yang satu ini tak boleh dibunuh, Parit Wulung. Dia cukup pantas 

untuk jadi peliharaanku!,” kata Resi bertampang singa itu. 

Parit Wulung tak ambil perhatian ucapan itu. Dia berkata pada si perempuan muda. 

"Suri Intan, kau tak usah khawatir atau takut. Tidak ada yang akan menyakiti kau…” 

"Aku tak percaya pada kalian! Keluarkan aku dari sini!,” teriak perempuan itu. Suri 

Intan adalah istri Braja Paksi kepala balatentara Banten yarig telah gugur dalam

mempertahankan kerajaan. Karena adik Bradja Paksi kawin dengan si pemberontak Parit Wu-

lung maka dengan sendirinya antara Parit Wulung dengan Suri Intan terdapat hubungan 

keluarga yang dekat. 

Parit Wulung coba tersenyum mendangar ucapan perempuan itu. "Suri, apakah kau 

tahu di mana Sultan Hasanuddin bersembunyi? Juga penasihat tua Mangkubumi Mitra...?!" 

Si perempuan tiada peduli dengan pertanyaan itu. "Keluarkan aku dari sini!" teriaknya. 

"Dewiku manis...!"kata Singo Ireng mengetengahi. "Kau akan ke luar dari sini, aku 

yang akan bawa kau dan kita berdua akan senang-senang di tempatku di pantai utara. Tapi apa 

salahnya sebelum pergi kau suka kasih penuturan apa yang kau ketahui mengenai Sultan…" 

"Aku tidak tahu apa-apa mengenai Sultan. Yang aku tahu ialah bahwa kalian semua 

manusia-manusia pengkhianat terkutuk! Balasan Tuhan akan datang kelak atas diri kalian!" 

"Ah... ah... ah! Bicaramu hebat sekali manisku...!" kata Singo Ireng. Dia berdiri dari 

kursinya. Sambil melangkah mendekati Suri Intan dia meneruskan. "Aku suka pada 

peremppan-perempuan yang pandai bicara…". Dia berdiri dua langkah di hadapan Suri Intan. 

Bola matanya berkilat-kilat memandangi perempuan berparas rupawan itu lalu dia berpaling 

pada Parit Wulung. "Aku yakin betul," katanya pada Parit Wulung. "perempuan ini pasti tidak 

dusta dengan keterangannya. Dia tak tahu apa-apa tentang Sultan. Parit Wulung, biar aku 

minta diri saja siang-siang untuk membawa dia ke kamar sebelah.... he... he... he…!" 

"Singo Ireng! Jangan ribut soal lampiaskan nafsu saja. Kita harus cari dulu Sultan 

Hasanuddin sampai dapat...!" Yang bicara ini adalah Matjan Seta, kakak Singo Ireng. 

"Ladalah..," menyahuti Singo Ireng. "Itu urusan kalian. Aku sudah letih. Tubuhku 

pegal-pegal. Perempuan ini pasti lihay sekali memijit. Bukankah begitu dewiku…?" Dan 

Singo Ireng mencubit dagu Suri Intan. 

"Tua bangka hidung belang!" memaki Suri Intan. Tangannya bergerak hendak 

mencakar muka Singo Ireng. Tapi sekali cekal saja maka perempuan itu sudah tak bisa 

berdaya lagi! 

"Lepaskan aku, lepaskan!,” Suri Intan meronta sekuat tenaga. Entah cekalan Singo 

Ireng yang kemudian agak kurang ketat, entah karena rontakan Suri Intan yang memang 

sangat keras maka perempuan itu berhasil melepaskan diri dari cekalan Singo Ireng. Ke-

mudian secepat kilat dia lari ke pintu. Tapi nyatanya pintu dikunci dari luar oleh pengawal. 

Dalam bingung dan ketakutan sementara itu Suri melihat Singo Ireng mendatanginya dengan 

menyeringai dan bola mata berkilat-kilat sedang hidung kembang kempis. 

"Singo Ireng! Biarkan dulu perempuan itu!" bentak Matjan Seta."Sudah diam sajalah Seta!,” menggerendang Singo Ireng. "Sekarang kau terlalu 

banyak ribut, nanti kalau aku lagi asyik kau dobrak pintu kamar dan minta diberi bagian! 

Puh...!" 

Singo Ireng maju ke muka dan ulurkan tangan. "Jangah jamah aku!,” teriak Suri Intan. 

Dia lari seputar ruangan dan Singo Ireng mengejarnya. Mengejar dengan tertawa terkekeh-

kekeh. "Manisku, kenapa musti main kucing-kucingan? Tampangku memang buruk. Tapi 

nantilah, kalau kau sudah rasakan bagaimana pandainya aku di atas tempat tidur, kau akan 

ketagihan… ha... ha... ha...!" 

Suri Intan semakin kepepet ke sudut ruangan.Tiba-tiba terjadilah hal yang tidak diduga 

oleh Singo Ireng dan siapapun yang ada di ruangan itu. 

Suri Intan melompat ke samping, membenturkan kepalanya ke dinding ruangan! 

Semua orang yang ada di ruangan itu sudah biasa dengan segala macam pemandangan maut, 

sudah biasa melihat kematian manusia. Tapi mendangar suara beradunya kepala perempuan 

itu dengan dinding yang keras, menyaksikan bagaimana kemudian Suri lntan terkapar di lantai 

dengan kepala rengkah berlumuran darah, semuanya sama menjadi merinding bulu 

tengkuknya! Suasana di ruangan itu seperti di pekuburan sunyinya! 

Kesunyian itu kemudian dipecahkan oleh suara Matjan Seta. "Aku bilang apa, Singo 

Ireng! Kau lihat sendiri sekarang. Apa kau masih bernafsu terhadap perempuan itu?!" 

Singo Ireng tak menjawab. Diputarnya badannya. Dia duduk kembali ke tempatnya. 

Dan seperti tak ada apa-apa dia mulai lagi mengunyah buah anggur yang terhidang di atas 

meja! 

Sesudah para pengawal diperintahkan menyeret ketiga mayat itu maka Parit Wulung 

melanjutkan pertemuan dengan membuka pembicaraan. 

"Kurasa mengenai Sultan tak perlu kita bicarakan panjang lebar. Cepat atau lambat 

orang-orang kita akan segera menangkapnya. Tapi apa yang menjadi pikiranku ialah 

lenyapnya keris pusaka kerajaan Tumbal yang menjadi syahnya kedudukanku sebagai seorang 

Raja, nanti!" 

"Keris itu pasti dibawa kabur oleh Sultan Hasanuddin!" kata Resi Matjan Seta pula. 

"Mungkin, tapi mungkin pula dicuri atau dilarikan oleh seorang lain!" 

Singo Ireng mengetengahi. "Tanpa keris Tumbal Wilayuda itupun tak akan seorang 

yang bisa menolak penobatanmu sebagai Raja Banten, Parit Wulung! Kecuali kalau mereka 

mau terima nasib digerogoti cacing di liang kubur!"

"Soal itu aku tak khawatir. Tapi dalam hal ini kita berhadapan dengan rakyat. Rakyat 

hanya akan mengakui aku sebagai raja, bila keris Tumbal Wilayuda ada di tanganku!" 

"Kenapa ambil pusing dengan rakyat?,” tukas Singo Ireng. Mereka mau terima atau 

tidak, mereka mau mampus sekalipun, kita tak perlu ambil peduli! Rakyat tidak lebih dari 

domba-domba yang bisa kita halau sesuka hati !" 

"Tapi, disamping itu keris Tumbal Wilayuda adalah satu senjata sakti dan keramat…,” 

ujar Parit Wulung. 

"Sakti aku percaya, tapi kalau dikatakan keramat itu adalah takhyul!,” menyahut Singo 

Ireng. Parit Wulung tak berkata apa-apa namun dalam hati dia merasa tidak senang. Maka 

berkatalah dia. "Aku minta pada kalian, terutama Resi Matjan Seta dan Singo Ireng untuk 

mencari Sultan dan menemukan keris Tumbal Wilayuda itu sampai dapat!" 

Singo Ireng mengunyah anggurnya lambat-lambat lalu berkata. "Ini tak termasuk 

dalam hitungan kita Parit Wulung. Tempo hari kau hanya minta aku dan kakakku membantu 

pemberontakan sampai terlaksana. Kini Banten sudah jatuh dan berada di tangamu, perjanjian 

kita beres dan kami sudah saatnya menerima balas jasa!" 

"Mengenai soal balas jasa Resi berdua tak usah cemas, kalian berdua boleh membawa 

segala harta kekayaan apa saja dari Banten ini sebanyak yang kalian bisa bawa. Tapi bila 

kalian bersedia pula membantu mencari dan menangkap Sultan serta menemukan keris pusaka 

Tumbal kerajaan itu, maka bagian kalian tentu akan lipat ganda !" 

Singo Ireng manggut-manggut. "Baiklah,” katanya. "Soal harta aku tidak begitu 

temahak. Tapi setiap perempuan cantik di Banten ini adalah milikku!" 

-- == 0O0 == -- 

DUA 

HARI itu adalah hari kedua sesudah jatuhnya takhta kerajaan Banten ke dalam tangan 

kaum pemberontak pimpinan Parit Wulung. Suasana di Kotaraja yang sehari sebeIumnya 

senantiasa diliputi kepanikan kini mulai mereda. Namun di mana-mana kelihatan berkeliaran 

tentara-tentara pemberontak sedang di setiap tempat yang dianggap penting terutama di 

sepanjang perbatasan senantiasa dijaga ketat oleh tentara.Pagi itu, pagi ketiga dari berkuasanya kaum pemberontak kelihatanlah dua orang 

berjalan kaki. Yang satu sudah tua dan terbungkuk-bungkuk. Yang satu lagi masih muda. 

Keduanya mengenakan pakaian bertambal-tambal serta kotor. Kulit badan dan muka 

merekapun coreng moreng dan rambut awut-awutan. Dari keadaan kedua orang ini, sepintas 

lalu saja orang segera berkesimpulan bahwa mereka adalah pengemis-pengemis. Dan setiap 

orang yang memapasi mereka tentu saja tak akan mau ambil peduli! Namun siapa nyana kalau 

kedua orang ini adalah dua orang penting yang tengah dicari oleh Parit Wulung dan pentolan-

pentolan pemberontak lainnya! 

Yang tua adalah penasehat istana yaitu Mangkubumi Mintra sedang yang masah sangat 

muda tiada lain daripada Sultan Banten sendiri yakni Hasanuddin! Sewaktu maletusnya 

pemberontakan, sewaktu istana sudah dikepung, dengan melalui jalan rahasia kedua orang ini 

telah berhasil menyelamatkan diri. Dan bukan keselamatan mereka saja yang penting, tapi 

keduanya juga berhasil menyelamatkan keris pusaka tumbal kerajaan yaitu keris Tumbal 

Wilayuda, keris yang menjadi lambang dan ketentuan bahwa siapa pemiliknya maka dialah 

pewaris syah dari takhta kerajaan Banten. Dan juga keris inilah yang pula dicari-cari oleh Parit 

Wulung bersama pemberontak-pemberontak lainnya! Masing-masing mereka sama membawa 

buntalan kecil. Sebenarnya baik Mangkubumi Mintra maupun Sultan Hasanuddin adalah orang-

orang yang berkepandaian silat dan kelas tinggi. Namun menghadapi sekian banyak 

pemberontakan dan demi untuk menyelamatkan keris tumbal kerajaan, keduanya memutuskan 

dengan terpaksa dan berat hati untuk mengundurkan diri. 

Demikianlah, dengan menyamar kedua orang itu meninggalkan Kotaraja. Matahari pagi 

masih belum sanggup memupuskan butiran-butiran embun di daun-daun, namun panasnya 

terasa sudah memerihkan kulit kedua orang itu. Mereka berhasil melewati pintu gerbang 

Kotaraja tanpa halangan sesuatu apa meski pintu gerbang itu dijaga ketat oleh duapuluh orang 

prajurit. 

Si orang tua Mangkubumi Mintra menarik nafas lega demikian juga Sultan. Namun 

penasehat tua ini kemudian berkata dengan perlahan. "Kita masih jauh dari selamat, Sultan. 

Cuma satu pesanku, bila terjadi apa-apa yang tak diingini kau lekaslah menghindar dan lari ke 

tempat keluarganya Wirya Pranata di Ujung Kulon....” 

Si pemuda anggukkan kepala. Namun pada parasnya kelihatan sekelumit rasa jengah 

yang memerahkan kedua pipinya yang kotor itu. lni suatu pertanda bahwa ada sesuatu hubungan 

antara dia dengan keluarga Wirya Pranata di Ujung Kulon itu.Pemuda atau Sultan menghela nafas lagi. "Mudah-mudahan saja kita bisa terus selamat, 

bapak Mangkubumi,” katanya. 

"Memang itulah yang kita harapkan. Semoga Tuhan melindungi kita". Mereka 

mendekati perbatasan kini. Di sepanjang perbatasan dijumpai prajurit yang mengawal semakin 

banyak. Keduanya diperiksa oleh beberapa orang prajurit. Bungkusan masing-masing digeledah. 

Untunglah Sultan Hasanuddin telah menyembunyikan keris Tumbal Wilayuda di dalam lipatan 

pakaiannya yang dikenakannya saat itu ! Dan kedua orang inipun selamat pula dari 

pemeriksaan. Mereka bergegas menjauhi perbatasan. 

"Aman sekarang…" kata Sultan Hasanuddin. Tapi baru saja dia habis berkata begitu 

maka muncullah serombongan pasukan berkuda. Pimpinan rombongan, seorang perwira 

pemberontak lambaikan tangan memberi isyarat berhenti pada anak-anak buahnya. Perwira ini 

membawa kudanya ke hadapan kedua orang tersebut." 

"Pengemis-pengemis hina dina!,” bentak perwira itu. "Apa kalian lihat dua orang 

pelarian melintas di sini? Keduanya adalah Mangkubumi Mintra penasihat istana dan Sultan 

Hasanuddin". Sambil bertanya begitu mata sang perwira menyorot meneliti kedua orang di 

hadapannya. 

Si orang tua menjawab . "Tak satu orangpun yang kami lihat, Yang mulia…” 

Jawaban yang hormat dan mempergunakan tutur kata yang halus tinggi dari si orang tua 

mencurigakan sang perwira. Biasanya pengemis-pengemis macam mereka bicara dalam bahasa 

rendahan. Maka, terbitlah sekelumit kecurigaan di hati perwira itu. "Kami akan geledah kalian!" 

katanya, 

"Ah…, kami hanya pengemis-pengemis yang hina dan terlantar. Apa untungnya 

menggeledah kami?" 

"Memang tak perlu menggeledah manusia-manusia ini raden,” berkata seorang prajurit 

yang berada di samping sang perwira. "Hanya akan mengotorkan tangan saja! Bau mereka 

sangat menusuk hidung!" 

Si perwira memang menganggap betul katakata bawahannya itu. Tapi bila sepasang 

matanya yang tajam melihat bagaimana telapak dan jari-jari tangan kedua orang yang 

dihadapannya sangat halus, bukan seperti tapak dan jari-jari tangan yang biasa dilihatnya pada 

diri pengemis-pengemis maka memerintahlah dia. "Tangkap manusia-manusia hina dina ini!" 

Mangkubumi Mintra yang tahu bahwa penyamamaran mereka pasti akan terbuka, tanpa 

membuang waktu segera maju ke muka dan berkata "Kalian keterlaluan, manusia-manusia

macam kamipun masih hendak kalian ganggu!" Bentakan ini, adalah juga terdorong rasa 

dendam kesumat terhadap kaum pemberontak. 

"Kurang ajar kau berani bicara kasar terhadapku huh!" dengus perwira itu dan segera 

hunus pedangnya sementara setengah lusin bawahannya segera mengurung mereka. 

Mangkubumi Mintra tidak tinggal diam. Dari balik pakaian pengemisnya dikeluarkannya 

sebilah pedang. 

"Hemm… bagus! Sekarang lebih jelas siapa kau adanya kunyuk tua hina-dina!" 

Perwira itu tetakkan pedangnya ke kepala Mangkubumi Mintra. Si orang tua membentak 

nyaring dan mundur beberapa langkah sementara enam prajurit lainnya begitu cabut pedang 

masing-masing segera pula menyerbu. 

Mangkubumi Mintra putar pedang dengan deras. Sinar pedang bergulung-gulung. 

Trang… trang… trang... trang Terdengar suara beradunya pedang susul menyusul! Waktu 

pedangnya beradu dengan pedang prajurit-prajurit, Mangkubumi Mintra tak terasa suatu apa, 

tapi ketika membentur senjata sang perwira maka terkejutlah orang tua itu. Tangannya tergetar 

keras. dan panas! Mangkubumi Mintra mengeluh. Nyatanya sang perwira mempunyai kepandai-

an tingkat atas! 

Maka berserulah Mangkubumi Mintra pada Su1tan Hasanuddin. "Sultan larilah 

selamatkan diri. Biar aku yang hadapi bergundal-bergundal pemberontak ini!" 

"Tidak!" jawab Sultan Hasanuddin. "Mati hihidup kita berdua, bapak!" 

"Jangan bodoh Sultan! Lari kataku!". Si orang tua putar pedangnya lebih sebat. Seorang 

lawan yang mengurung menjerit keras dan melompat nanar dengan dada robek dimakan ujung 

pedang! 

"Keparat!,” maki perwira pemberontak. Dia melompat dari kudanya. Sambil melompat, 

laksana seekor alap-alap dia mengirimkan serangan ganas. 

Pedangnya menderu memepas ke arah batang leher Mangkubumi Mintra. Di saat itu si 

orang tua sedang menangkis serangan seorang prajurit. Tangkisan ini terpaksa dibatalkannya 

dengan melompat dan sebagai gantinya pedangnya diputar untuk menangkis pedang si perwira! 

Tapi si perwira rupanya memiliki ilmu pedang dari Cabang Pantai Selatan yang terkenal 

tangguh karena dengan tak terduga dan sangat cepat sekali serangan yang tadi merupakan satu 

tebasan dengan tiba-tiba sekali berubah menjadi satu tusukan tajam dan cepat! 

Si perwira tertawa mengekeh. Itulah jurus mematikan dari ilmu pedang yang dianutnya, 

yang dinamakan jurus "menabas gunung menusuk bukit!"Tentu saja tangkisan Mangkubumi Mintra tidak mempunyai arti apa-apa. Orang tua ini 

cepat rubah posisi senjatanya namun sia-sia karena ujung pedang lawan lebih dahulu 

menghunjam di dadanya! Maka terdengarlah keluhan mengerikan dari tenggorokan orang tua 

malang itu. 

Di saat itu, Sultan Hasanuddin sudah berhasil ke luar dari kurungan prajurit-prajurit 

pemberontak dan meskipun hatinya berat namun dia terpaksa melarikan diri, bukan saja untuk 

menyelamatkan diri sendiri, tapi juga menyelamatkan keris pusaka Tumbal Wilayuda demi 

untuk menegakkan kembali kelak Kerajaan Banten! Namun sewaktu telinga mendengar keluhan 

Mangkubumi Mintra, Sultan hentikan lari dan putar badan. Maka naik pitamlah dia ketika me-

nyaksikan bagaimana orang tua itu tersungkur di tanah bermandikan darah. 

"Pemberontak-pemberontak durjana! Aku mengadu jiwa dengan kalian!,” seru Sultan 

Hasanuddin. Dia menyerbu ke muka namun belum lagi dia melancarkan serangan maka 

terdengarlah suara mengaung seperti suara tawon. Enam benda putih aneh dan berbentuk 

bintang yang berkilauan melesat deras ke arah pemberontak-pemberontak. Lima prajurit pem-

berontak coba hindarkan diri atau menangkis benda itu namun tiada ampun! Kelimanya menjerit 

keras, rebah ke tanah, kelojotan seketika lalu kaku tegang tiada nyawa! 

Perwira pemberontak dalam terkejutnya dan dengan kepandaiannya yang lebih tinggi 

pergunakan pedang untuk memapaki benda bintang berkilau itu. 

"Trang !" 

Tampang perwira itu menjadi pucat. Pedangnya memang bisa membuat mental benda 

maut yang menyerangnya namun senjatanya sendiri putung dua dihantam benda tersebut ! 

Baik sang perwira maupun Sultan Hasanuddin serentak putar kepala ke arah atas pohon 

besar dari arah mana datangnya senjata-senjata rahasia tadi. 

"Iblis keparat di atas pohon turunlah! Jangan sembunyikan diri!,” bentak sang perwira. 

Sebagai jawaban terdengar suara tertawa bergelak kemudian sesosok tubuh dengan 

entengnya melayang turun ke tanah dari atas pohon besar itu. Nyatanya dia adalah seorang 

pemuda bertampang keren dan berambut gondrong. Umurnya mungkin tiada banyak beda 

dengan Sultan sendiri. Saat itu bajunya tiada terkancing dan angin yang bertiup agak kencang 

menyibak-nyibakkan baju putihnya sehingga jelaslah kelihatan angka 212 tertera di dada 

kanannya Pendekar 212. 

Melihat si pemuda ini menghadapinya dengan tertawa mengejek demikian rupa maka 

membentaklah perwira tadi. "Rupanya kau masih belum tahu dengan siapa berhadapan! Masih 

belum tahu apa akibat campur tanganmu dalam uru...” Ucapan sang perwira cuma sampai disitu. Hampir tak kelihatan Pendekar 212 telah gerakkan tangan dan lemparkan bintang 212 ke 

arah perwira pemberontak yang sedang bicara itu. Maka "heggg,” terdengarlah suara tercekik 

dari rangkungan si perwira ketika senjata rahasia 212 dengan tepatnya masuk ke dalam mulut. 

Senjata rahasia itu lenyap dan darah segera muncrat ke luar dari mulut sang perwira. Nasibnya 

kemudian tidak beda dengan nasib bawahannya yang terdahulu! 

Sultan Hasanuddin segera dekati Pendekar 212. "Saudara, kau telah tolong. Aku…” 

Pendekar 212 memberi isyarat. Dia melangkah cepat dan membungkuk di hadapan 

Mangkubumi Mintra. Ternyata orang tua itu masih bernafas satu-satu. Mulutnya bergerak-gerak. 

"Sultan… mungkin dia mau bicara padamu,” memberi tahu Pendekar 212 atau Wiro 

Sableng. Mendengar itu Sultan Hasanuddin segera pula berlutut di samping tubuh si orang tua 

Mangkubumi Mintra dengan sisa-sisa tenaga yang ada buka kedua matanya yang berbinar-binar. 

Bila pandangannya menyentuh paras Sultan Hasanuddin maka tersenyumlah dia. 

"Sultan, kau tak apa-apa...?" 

"Tidak bapak…". Sultan membelai rambut orang tua itu dan menyeka keringat di 

keningnya. Keringat dan kening itu sangat dingin seperti es. 

"Syukurlah..," desis Mangkubumi Mintra. "Aku yakin di bawahmu Kerajaan Banten 

yang syah akan bisa ditegakkan kembali…" 

Sultan Hasanuddin mengangguk. Dia hendak mengatakan sesuatu tapi tak jadi karena 

dilihatnya orang tua itu memalingkan kepalanya kepada pemuda yang telah menolongnya. 

"Pendekar muda... aku gembira kau datang. Lebih gembira lagi karena kau telah berhasil 

menyelamatkan Sultan. Tuhan kelak akan membalas jasamu yang besar ini...” Orang tua itu 

terhenti bicaranya sejenak. Agaknya dia tengah mengumpulkan tenaga baru dari sisa-sisa 

tenaganya yang terakhir. Lalu mulutnya terbuka kembali. 

"Yang pasti adalah, bila takhta Banten telah kembali pada pemiliknya yang syah, maka 

Kerajaan dan rakyat Banten tak akan melupakan pertolongan atau jasamu ini...” 

Pendekar 212 coba tersenyum. Dia tahu bahwa keadaan orang tua itu tak mungkin lagi 

untuk ditolong. Maka berkatalah dia. "Menyesal orang tua, aku tak bisa berbuat sesuatu apa 

dengan lukamu…” 

"Ah diriku yang sudah rongsokan ini tak perlu diambil peduli. Aku gembira menemui 

kematian dengan cara begini rupa… Gembira karena di saat menjelang kematian ini aku telah 

dapat melihat sinar terang bahwa Banten pasti akan kembali kepada pewarisnya yang syah…" 

Mangkubumi memutar matanya pada Sultan Hasanuddin. Mulutnya terbuka untuk 

mengatakan sesuatu namun malaekat maut meminta nyawanya lebih dahulu. Air mata

menggenang di kedua mata Sultan Hasanuddin. Digigitnya bibir sendiri untuk menahan 

keluarnya suara isakan. 

Tiba-tiba kening Pendekar 212 kelihatan mengerenyit. Kepalanya diputar ke jurusan 

timur. "Ada apa…?" tanya Sultan yang saat itu masih belum mendengar suara apa-apa. 

"Cecunguk-cecunguk pemberontak itu kurasa...” ujar Pendekar 212. 

Beberapa ketika kemudian barulah Sultan mendengar suara derap kaki kuda yang 

banyak sekali, mendatangi ke arah di mana mereka berada saat itu. Disusul beberapa saat lagi 

maka diantara pohon-pohon dan semak-semak belukar tinggi kelihatanlah kira-kira dua puluh 

prajurit pemberontak yang dipimpin oleh seorang berselempang kain putih bermuka sangat 

hitam dan berambut gondrong acak-acakan. "Sultan, tinggalkan tempat ini cepat!" 

"Tidak bisa sobat! Mangkubumi Mintra terbujur begini rupa dan adalah pengecut sekali 

meninggalkan kau seorang diri. Apalagi kau adalah tuan penolongku !,” membantah Sultan 

ketika dia diminta pergi. "Ini bukan soal pengecut Sultan! Yang penting adalah keselamatan 

dirimu dan keselamatan keris Tumbal Wilayuda yang ada di tanganmu." 

Tentu saja Sultan Hasanuddin menjadi kaget mendengar ucapan Pendekar 212. Sewaktu 

pertama kali pemuda itu memanggilnya dengan sebutan "Sultan" dia telah terkejut dan kini 

bahkan dia mengetahui pula bahwa keris Tumbal Wilayuda berada di tangannya! 

Sementara itu rombongan penunggang-penunggang kuda semakin dekat. Wiro Sableng 

atau Pendekar 212 berkata lagi. "Pergilah cepat sebelum terlambat! Soal jenazah orang tua ini 

aku yang akan urus. Selama gunung masih hijau, kelak kita akan bertemu kembali!" 

Mendengar itu dan lagi memang tak ada lain hal yang bisa diperbuatnya maka Sultan 

Hasanuddin segera tinggalkan tempat itu. 

Begitu dia lenyap di balik semak-semak maka dua puluh prajurit pemberontak di bawah 

pimpinan si muka hitam sampai di tempat itu. Dia memberi isyarat. Prajurit-prajurit menyebar. 

Dan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 kini terkurung di tengah lingkaran dua puluh prajurit 

bersenjata lengkap, di bawah pimpinan seorang tokoh silat yang kosen! 

-- == 0O0 ==

TIGA


DIKURUNG begitu rupa Pendekar 212 tetap tenang-tenang saja seperti saat itu cuma 

dua sendirian saja berada di situ. Si muka hitam yang tak lain Resi Singo Ireng kaki tangan Parit 

Wulung adanya, menyapu tebaran-tebaran mayat di hadapannya dengan pandangan sedingin 

salju. Yang agak mengherankan Resi muka hitam ini ialah mengapa di antara mayat-mayat 

pasukan Parit Wulung juga terdapat mayat Mangkubumi Mintra. Tak mungkin si pemuda 

rambut gondrong itu yang telah menebar mayat kecuali jika dia mempunyai dendam kesumat 

terhadap kedua belah pihak yaitu pihak pasukan dan Mangkubumi Mintra. Disamping itu 

dengan adanya mayat si orang tua tergeletak di situ, pastilah sebelumnya Sultan Hasanuddin 

juga berada di situ! Singo lreng memang berpikiran tajam. Melihat kepada pakaian 

Mangkubumi Mintra tahulah dia bahwa penasihat istana itu berusaha melarikan diri dari Banten 

dengan menyamar sebagai pengemis! 

"Mana Sultan?" bertanya Singo Ireng derrgan suara lantang kasar. 

Pendekar 212 tidak menjawab. Malahan dia memandang seperti tiada melihat apa-apa 

berada-disekelilingnya saat itu! Dia menengadah ke atas memperhatikan matahari yang menaik 

tinggi. 

Melihat sikap yang sangat menghina ini, apa lagi di hadapan sekian banyaknya prajurit 

tentu saja Resi Singa Ireng menjadi sangat penasaran serta malu. Mukanya yang hitam kelihatan 

semakin tambah hitam. "Bocah gondrong! Apa kau tuli atau gagu? Orang bertanya tidak 

dijawab?!" 

Pendekar 212 masih tidak menyahut. Malah kini jari-jari tangan kirinya mencungkil-

cungkil tepi lubang hidungnya kemudian dia berbangkis dua kali berturut-turut! 

"Keparat!" bentak Singo Ireng dengan- suara menggeledek. 

"Eeeeh… kau memaki pada siapakah?!" bertanya Pendekar 212 sambil putar kepala 

seperti baru saat itu disadarinya bahwa dia tidak berada sendirian di tempat itu! 

"Prajurit-prajurit! Tangkap bocah edan ini perintah Resi Singo Ireng dengan geramnya. 

Maka dua puluh prajurit pemberontak melompat turun dari kuda masing-masing, hunus 

senjata dan bergerak cepat mendekati Pendekar 212. 

"Bergundal pemberontak," berseru Wiro Sableng atau Pendekar 212. "Kalau kau ingin 

tangkap aku mengapa tidak turun tangan sendiri?!" 

Di saat itu dua puluh prajurit sudah menyerbu untuk menangkap Pendekar 212. 

"Kalian kunyuk-kunyuk pemberontak hanya datang minta digebuk!" ujar Pendekar 212 

dengan tersenyum. Tapi bila senyumnya itu putus maka mengumandanglah bentakan dahsyat.Lima prajurit yang paling dekat dan hendak turun tangan menangkapnya terpelanting dan 

bergetimpangan di tanah tiada nyawa lagi! 

Tersiraplah darah Resi Singo Ireng! Tiada disangkanya pemuda gondrong bertampang 

bodoh itu mempunyai kehebatan demikian rupa! Maka berserulah dia! "Tak perlu budak hina 

dina ini ditangkap hidup-hidup. Cincang di tempat!" 

Maka lima belas senjata tajam berkiblat ke arah Pendekar 212. 

"Heiyaaah !" 

Tubuh Siro Sableng mencelat tiga tombak ke atas, Seluruh serangan senjata lawan lewat 

di bawah kakinya. Detik senjata-senjata itu menderu memapas angin kosong maka detik itu pula 

dengan kecepatan yang hampir tak sanggup disaksikan oleh mata Pendekar 212 menukik ke 

bawah merampas pedang salah seorang prajurit. Dan ketika pedang itu menderu laksana kitiran 

maka lima prajurit meregang nyawa mandi darah, dua lainnya luka parah! 

Dalam kejutnya menyaksikan gebrakan yang dahsyat itu Resi Singo Ireng melihat satu 

bayangan berkelebat ke arahnya. Dia tarik tali kekang kuda dengan cepat. Namun sebelum 

binatang tunggangannya itu sempat bergerak, tubuh kuda ini sudah angsrok ke tanah! Keempat 

kakinya terbabat putus. Binatang ini berguling di tanah melejang-lejangkan kakinya yang 

buntung dan meringkik tiada henti! Untung saja Resi yang kosen ini Cepat menyadari apa yang 

terjadi sehingga lekas-lekas dia melompat ke samping dan berdiri dengan muka kelam membesi, 

mata menyorot! 

Pendekar 212 tertawa gelak-gelak sementara prajurit-prajurit yang masih hidup dengan 

nyali menciut segera menjauhi ini pemuda yang dianggap mereka sangat berbahaya. 

"Pemuda gondrong! Kehebatanmu cukup untuk dikagumi! Tapi bila kau tahu dengan 

siapa saat ini berhadapan, maka lekaslah berlutut minta ampun!" berkata Singo Ireng. 

"Uh! Sama manusia jelek macam kau buat apa perlu takut!". ujar Wiro Sableng dan 

tawanya semakin menjadi-jadi! 

"Ah... kalau begitu kau sebutkanlah nama! Terhadap manusia-manusia yang punya 

sedikit ilmu, aku tidak begitu senang jika membunuhnya tanpa tahu namanya terlebih dahulu!" 

"Kalau butuh namaku aku tak keberatan. Majulah biar kutulis dijidatmu!" kata Wiro 

Sableng pula sambil acungkan jari telunjuk! 

Menggeramlah sang Resi bermuka hitam itu. Selama dunia terbentang, selama malang 

melintang dalam dunia persilatan, baru hari itulah dia dihina dan direndahkan terus-terusan oleh 

seseorang! Oleh seorang yang berusia jauh lebih muda dari padanya. Dari balik pakaian Resi inikeluarkan sebuah senjata berbentuk aneh yaitu sebuah besi panjang yang ujungnya berbentuk 

Iingkaran. 

"Kalau kau punya senjata pusaka, sebaiknya lekas keluarkan supaya mampus tidak 

rnenyesal!" 

"Tak perlu banyak cerewet!" semprot Pendekar 212. "Majulah! Senjataku cukup pedang 

butut milik cecungukmu yang sudah mampus itu!" 

Resi Singo Ireng yang berbadan kate ini segera maju dan hamburkan serangan dahsyat. 

Senjata anehnya mengeluarkan suara menderu, menimbulkan angin yang deras dan tajam. Ujung 

senjata yang berbentuk lingkaran itu berubah laksana ratusan banyaknya! Searang lawan yang 

berilmu tanggung dan bermata tidak awas akan sulit membedakan mana lingkaran senjata yang asli 

dan mana yang bukan. Dalam lawan kebingungan maka senjata itu akan menyeruak lewat kepalanya 

dan sekali putar saja pastilah patah dan putus batang leher dibuatnya! Inilah kehebatan senjata sang 

Resi dari pantaiselatan itu! 

Namun yang dihadapi Singo Ireng dihari itu bukanlah seorang lawan berilmu tanggung, 

bukan seorang pemuda yang hanya mengenal sejurus dua ilmu silat! Begitu senjata lawan membadai 

menghampiri kepalanya, Wiro Sableng cepat merunduk dan selinapkan satu tusukan deras kearah 

perut sang Resi! 

Kaget Singo Ireng bukan olah-olah! Cepat dia undur dua langkah dan papasi pertengahan 

senjata lawan dengan tongkat besi lingkarannya. 

"Trang" ! 

Dua senjata beradu 

Karena senjata ditangan Singo Ireng adalah senjata mustika sedang pedang ditangan Wiro 

hanya pedang biasa maka patahlah pedang itu! Tapi sebaliknya Singo Ireng merasakan bagaimana 

tangannya tergetar hebat dan panas pada bentrokan itu! Maklumlah dia bahwa pemuda itu 

mempunyai tingkat tenaga dalam yang hebat sekali! Karenanya sang Resi tanpa memberi peluang 

segera lancarkan serangan-serangan dahsyat! Sengaja dikeluarkannya jurus-jurus yang hebat yaitu 

jurus "memetik bunga membelah buah" lalu disusul dengan jurus "delapan gunung meletus gegap 

gempita"! Diserang dengan dua jurus ini berikut pecahan-pecahannya yang tak kalah dahsyat maka 

Pendekar 212 menjadi repot juga. 

Namun bila dia sudah mempercepat gerakannya, bila suara siulan sudah menggema melesat 

dari sela bibirnya maka kelihatanlah kini bagaimana Resi Singo Ireng menjadi terdesak. Meski 

terdesak, Resi ini dengan segala kelihayannya sanggup pertahankan diri sampai sepuluh jurus 

dimuka!"Manusia bermuka jelek! Permainan silatmu baleh juga. Tapi apa kau sanggup menerima 

pukulanku ini?!" tanya Pendekar 212. Kedua tangannya diangkat tinggi-tinggi ke atas, kedua mata 

dipejam. Kemudian kedua tangan itu mulai berputar-putar dengan sebat! Maka menggemuruhlah 

suara angin. Debu dan pasir beterbangan, membuat gelap pemandangan! 

"Pukulan angin puyuh!" seru Resi Singo Ireng sambil bersurut mundur. Mulutnya komat 

kamit membaca aji penangkis. Kedua kakinya melesak kedalam tanah sampai dua dim! 

Tubuhnya tergetar hebat. Pakaian putih serta rambutnya yang awut-awutan berkibar-kibar! 

Tiba-tiba Pendekar 212 Wiro Sableng hantamkan kedua tangannya kemuka. Tubuh 

Singo Ireng mencelat kebelakang sampai lima tombak. Ketika dia berdiri maka tubuhnya 

terbungkuk tertatih-tatih, hidungnya kembang kempis tanda nafasnya memburu tak teratur. 

Nyatalah bahwa Resi kosen ini telah menderita luka parah didalam akibat pukulan Wiro Sableng 

tadi. Senjatanya mental entah kemana! Wiro tertawa mengekeh. 

Sebaliknya lawannya menggeram laksana harimau terluka. Mulut terkatup rapat-rapat, 

rahang bertonjolan, pelipis bergerak-gerak sedang mata menyorot merah! 

"Pemuda, hari ini aku Resi Singo Ireng biarlah mengadu jiwa pada kau!". Sang Resi 

angkat tangan kirinya tinggi-tinggi. Detik demi detik tangannya itu menjadi hitam legam. 

Tangan ini bergetar karena seluruh tenaga dalamnya dipusatkan kesitu! 

Wiro Sableng tertawa mengejek. "Rupanya kau sengaja mau bunuh diri manusia kate 

bertampang jelek! Dalam keadaan terluka di dalam, melancarkan pukulan demikian rupa kau 

akan konyol sendiri!". 

Singo Ireng memang memaklumi hal itu. Tapi dia sudah kepalang tanggung, sudah 

teramat malu dan sudah meluap amarahnya! "Aku mati tapi kau juga mampus ditanganku, 

keparat!" bentaknya.. Maka tangan kirinyapun turun kebawah dengan cepat. Selarik sinar hitam 

yang menggidikkan menyambar kearah Pendekar 212! Itulah ilmu pukulan "wesi item" yang 

telah membinasakan Braja Paksi, kepala balatentara Banten! 

Pendekar 212 melompat ke atas sampai enam tombak. Angin pukulan "wesi item" terasa 

panas seperti mau melumerkan kedua kakinya. Pendekar ini gigit bibir menahan perih lalu 

1ancarkan serangan balasan yaitu pukulan yang tak asing lagi. "kunyuk melempar buah"! 

Di seberang sana tubuh Resi Singo Ireng kelihatan jungkir balik kemudian jatuh duduk 

di tanah dan muntah darah, lalu rebah tiada sadarkan diri! 

Sebenarnya pukulan "kunyuk melempar buah" itu belum tentu akan mencelakai sang 

Resi. Namun karena dalam keadaan terluka di dalam dia telah rnelancarkan pukulan yang keras

dengan mengandalkan seluruh tenaga dalam maka dia rasa sendiri akibatnya. Masih untung 

nyawanya tidak terbang! 

Wiro Sableng tertawa mengekeh. Dia melangkah mendekati tubuh Resi itu. Prajurit-

prajurit yang masih hidup, yang dedikkan mata melihat bagaimana jago mereka dibikin babak 

belur demikian rupa segera bersurut menjauh. 

"Resi muka arang!,” kata Pendekar 212. "Kau tanya siapa aku. Inilah kutuliskan aku 

punya nama!". Dan habis berkata demikian pendekar ini segera guratkan angka 212 dikulit 

kening yang hitam dari Singo Ireng. Kemudian nendekar ini berdiri kembali. "Kerak-kerak 

pemberontak!,” katanya pada perajurit-perajurit yang masih hidup. "Kalian boleh menggotong 

manusia bermuka pantat kuali ini ke Kotaraja! Jika hari ini aku tiada cabut nyawanya dan nyawa 

kalian, maka di lain hari bila bertemu kembali jangan harap aku akan lepaskan nyawa kalian! 

Sampaikan ini padanya bila dia sudah siuman!". Dan sesudah bicara demikian Wiro Sableng 

segera tinggalkan tempat itu dengan membawa mayat Mangkubumi Mintra. 

-- == 0O0 == -- 

EMPAT 

DENGAN hati penuh duka sedih mengenang kematian Mangkubumi Mintra yang sengaja 

korbankan nyawa untuk selamatkan dirinya, Sultan Hasanuddin berlari sepanjang tepi rimba 

belantara dikaki bukit. Perjuangan memang membutuhkan pengorbanan. Dan ini bukan saja 

menambah besarnya dendam kesumat di hati Sultan terhadap Parit Wulung dan benggolan-

benggolan pemberontak lainnya tapi juga mempertebal tekatnya bahwa disuatu ketika dia pasti akan 

kembali ke Banten dan membangun Kerajaan Banten yang syah! 

Menjelang senja dia mencapai sebuah kota kecil yang terletak di timur Banten. Kota ini 

bernama Asoka. Dulunya hanya merupakan pangkalan-pangkalan pemberhentian para pedagang 

dari pelbagai penjuru sekitar situ. Kemudian pedagang-pedagang itu banyak yang mendirikan 

gudang-gudang untuk barang-barang dagangannya, kemudiannya lagi mereka juga mendirikan 

rumah-rumah sehangga lambat laun dari pangkalan dagang maka berobahlah Asoka menjadi sebuah 

kota. Sebagai kota dagang tentu saja sepanjang hari Asoka selalu sibuk. Kesibukan dan keramaian 

ini terus berlangsung sampai jauh malam.

Sehabis mendapatkan sebuah penginapan, Sultan mengelilingi kota melihat-lihat keramaian 

dan mengisi perut disatu kedai. Ketika bulan sabit di atas langit tertutup oleh awan tebal berwarna 

gelap maka Sultanpun kembali kepenginapannya. Matanya yang tajam segera melihat adanya 

ketidakberesan dalam kamar dimana dia menginap. Seperai agak kusut bantal-bantal tidak terletak 

ditempatnya semula sedang bungkusan kecil yang berisi beberapa potong pakaian serta sejumlah 

uang yang diletakkannya di kolong tempat tidur nyata sekali bekas dibuka dan digeledah orang. 

Namun tidak sepotong barang-barangnyapun yang hilang! 

Sultan merasa masygul. Dia memandang berkeliling. Di dinding sebelah sana terdapat 

sebuah jendela. Jendela itu masih tetap sebagaimana tadi ditinggalkannya. Tak ada tanda-tanda 

bekas pengrusakan. Siapa gerangan yang telah masuk ke dalam kamar dan melakukan 

penggeledahan? Mungkin seseorang, mungkin beberapa orang? Kalau dia atau mereka itu dari 

golongan si tangan panjang atau pencuri, mengapa tidak sepotong barang dan tak sepeser 

uangnyapun yang hilang? Kekhawatiran Sultan Hasanuddin semakin besar karena dia ber-

kesimpulan bahwa siapapun manusianya yang telah memasuki kamarnya pastilah untuk mencari 

dan mencuri keris pusaka Tumbal Wilayuda! 

Sultan Hasanuddin merasa bersyukur karena sewaktu pergi tadi dia telah membawa keris 

tumbal kerajaan itu. Kalau tidak pastilah senjata itu sudah lenyap dilarikan orang! 

Malam itu Sultan sengaja tidur dengan mematikan lampu minyak di dalam kamarnya. 

Matanya hampir terpicing ketika lapat-lapat sepasang telinganya mendengar suara gemerisik di atas 

loteng bangunan. Suara itu pasti sekali bukan suara kucing. Sultan pasang telinganya lebih tajam. 

Suara gemerisik tadi lenyap dan kini dia hanya mendengar suara rintik-rintik hujan gerimis di luar 

sana. Perlahan-lahan Sultan pejamkan matanya kembali. Tapi ketika hampir pulas matanya itu 

terpicing, suara gemerisik tadi didengarnya kembali. Kali ini Sultan bangun dari pembaringan dan 

melangkah kesudut kamar. Dia menunggu dengan tangan kanan menempel erat-erat dihulu pedang. 

Tiba-tiba pintu kamar terbuka! Sultan terkejut. Dia ingat betul bahwa pintu kamar itu 

telah dikuncinya tadi, bagaimana kini bisa terbuka semudah itu tanpa suara dan siapakah yang 

nlembukanya?! Sultan tak menunggu lebih lama. Sesosok tubuh manusia yang sangat pendek 

masuk mengendap-endap ke dalam. Manusia ini memakai jubah panjang. Karena tubuhnya yang 

kate maka jubahnya menjela-jela sampai kelantai. Tiba-tiba orang itu putar tubuh ke kiri dan 

melompat. Sebuah benda besar ditangannya yaitu sebilah golok empat persegi panjang menderu 

ke arah dimana Sultan berdiri. Sultan sendiri yang saat itu memang sudah siap siaga cabut 

pedangnya dengan cepat dan menangkis! 

"Trang"!

Bunga api memercik. Karena kamar itu gelap maka sinar percikan bunga api menjadi 

terang sekali dan menerangi kedua muka manusia yang berada disitu. Keduanya saling meneliti 

paras lawan masing-masing! 

Terkesiaplah Sultan Hasanuddin ketika melihat bagaimana wajah manusia yang 

dihadapinya itu seramnya bukan main. Rambutnya kaku berdiri laksana ijuk. Manusia ini 

memelihara berewok yang meranggas lebat. Alisnya tebal, sepasang matanya besar merah. 

Bibirnya sumbing dan dua buah giginya yang besar tersembul keluar. Manusia ini boleh di-

katakan tiada mernpunyai hidung karena daging hidungnya sama rata dengan pipinya yang 

cekung! Dan bau badannya yang busuk sangat menusuk hidung! 

"Manusia buruk! Jika kau tidak tinggalkan kamar ini dengan cepat, jangan menyesal bila 

kukirim ke akhirat!" ancam Sultan. 

Manusia bermuka seram itu tertawa dingin. 

Dia hembuskan nafasnya yang busuk kemuka. Sultan tutup jalan nafas di hidung dan 

untuk kedua kalinya pergunakan pedang guna menangkis serangan lawan. Tapi kali ini keadaan 

tidak seperti tadi Iagi. Meski Sultan sanggup menangkis senjata lawan namun pedangnya sendiri 

terlepas mental, tangannya tergetar hebat. Tiba-tiba satu tangan mendorongnya hingga dia 

terbanting dengan keras ke dinding! 

Ketika dia imbangi diri kembali, kaget Sultan tiada kepalang. Matanya membeliak 

menyaksikan bagaimana keris Tumbal Wilajuda kini sudah berada di tangan manusia bermuka 

seram itu! 

"Maling hina dina! Kembalikan kerisku!" teriak Sultan. 

Simuka buruk hamburkan tertawa mengekeh. "Masih untung aku hanya minta kerismu 

ini, dan bukan nyawamu!". Habis berkata begini manusia muka seram itu sekali gerakkan badan 

tubuhnya menerjang ke muka mendobrak jendela untuk kemudian lenyap lewat jendela yang 

ambruk itu dikegelapan malam! 

"Pencuri terkutuk!". Sultan melesat pula ke luar jendela. Dia masih sempat melihat 

bayangan pencuri itu di balik sebuah gudang tua dan segera mengejar ke situ. Kejar mengejar itu 

berjalan hanya sebentar saja karena sejurus kemudian si pencuri lenyap seperti gaib ditelan 

bumi! 

Sultan berdiri gemas memandang berkeliling. Ke mana dia harus mengejar dan mencari 

si pencuri di malam buta begini? Apakah manusia tangan panjang itu bukan salah seorang pula 

dari kaki tangan Parit Wulung?!Tengah kebingungan begitu rupa tiba-tiba Sultan menangkap suara bentakan-bentakan 

orang yang tengah berkelahi. Cepat Sultan lari ke balik sebuah bengkel kuda dan dalam 

kegelapan dilihatnyalah dua manusia tengah bertempur dengan hebat. Salah seorang tiada lain 

dari pada si pencuri yang tengah dicari-carinya sedang orang yang kedua sesudah diperhatikan 

dengan teliti ternyata dia adalah pemuda rambut gondrong yang pagi tadi telah menolongnya di 

perbatasan. 

"Sobat! Serahkan pencuri terkutuk ini padaku!" seru Sultan. 

"Ah... selamat jumpa Sultan," menjawab si rambut gondrong alias Pendekar 212. 

"Tak perlu kotorkan tangan pada manusia bau bangkai ini...!" 

"Dia mencuri kerisku, sobat!" memberi tahu Sultan. 

"Aku tahu. Biar aku yang ringkus dia!" 

Begitu mendengar si pemuda yang menyerangnya memanggil "Sultan" 'terhadap laki-

laki yang datang itu terkejutlah si mulut sumbing. Dibalik terkejut hatinya juga senang. "Ha... 

ha... jadi saat ini aku berhadapan dengan Sultan dan tukang pukulnya? Bagus! Kerisnya aku 

sudah dapat, kini Sultannya sendiri datang antarkan diri untuk ditangkap hidup-hidup. Pasti aku 

mendapat hadiah berlipat ganda dari Parit Wulung..." 

"Hem... jadi betul dugaanku bahwa kau kaki tangannya bangsat pemberontak itu huh?! 

Terima pukulanku ini, pencuri hina dina!" 

Sultan lepaskan tiga pukulan sekaligus! Tapi yang diserang ganda tertawa dan kebutkan 

lengan pakaiannya yang bertambal-tambal. Serangkum angin dahsyat rnenyerang ke arah 

Sultan. Namun angin pukulan itu buyar di tengah jalan, kena dihantam angin pukulan lain yang 

datang dari samping! 

Si muka seram menggerong. "Agaknya malam ini Pengemis Bibir Sumbing musti 

rampas dua jiwa sekaligus!". 

Sultan tersurut sewaktu mendengar manusia kate itu kenalkan diri. Pendekar 212 sendiri 

juga terkejut. Nama Pengemis Bibir Sumbing memang sudah sejak lama terkenal sepanjang 

pesisir Jawa Barat. Bersama dua orang lainnya maka Pengemis Bibir Sumbing dikenal sebagai 

pemegang pucuk pimpinan Perkumpulan Pengemis Darah Hitam! Tiba-tiba Pengemis Bibir 

Sumbing lemparkan golok besarnya ke arah Pendekar 212. Senjata ini dengan mudah bisa 

dielakkan. Begitu habis lemparkan golok, Pengemis Bibir Sumbing acungkan kedua tangan 

datar-datar ke muka dengan telapak tangan menghadap ke atas. 

"Telapak tangan minta sedekah nyawa!,” seru Pendekar 212 begitu dia kenali pukulan 

yang bakal dilancarkan lawan."Sultan mundurlah!,” serunya kemudian memperingatkan. 

Tapi disaat itu Pengemis Bibir Sumbing sudah mencelat ke muka dan membagi-bagi 

serangan telapak tangannya pada Pendekar 212 dan Sultan! 

Tahu bahwa pukulan lawan sangat berbahaya maka Pendekar 212 segera hantamkan 

tangan kanannya ke muka. Gelombang angin deras memukul ke arah Pengemis Bibir Sumbing. 

Meski tubuhnya sendiri kemudian terpelanting sampai tiga tombak oleh serangan lawan namun 

Pengemis Bibir Sumbing sebelumnya masih sanggup hantamkan telapak tangannya ke dada 

Sultan! 

Sultan Hasanuddin mengetuh tinggi. Tubuhnya bergoncang, dadanya seperti melesak. 

Terbungkuk-bungkuk dia berbatuk. Darah segar menyembur! 

Pendekar 212 bersuit keras! Tubuhnya lenyap pada detik Pengemis Bibir Sumbing coba 

lepaskan pukulan "telapak tangan minta sedekah nyawa" untuk kedua kalinya. 

"Sultan, cepat telan pil ini!" teriak Wiro Sableng. 

Sultan Hasanuddin sambuti pil yang dilemparkan Pendekar 212 lalu menelannya dengan 

cepat Kemudian segera duduk bersila mengatur jalan darah serta pernafasan, juga alirkan tenaga 

dalam kebagian yang terluka. 

Disaat Wiro Sableng berkelabat maka lenyaplah tubuhnya dari penglihatan Pengemis 

Bibir Sumbing. Karena hanya terdengar suaranya saja, maka Pengemis Bibir Sumbing kembali 

lancarkan pukulan ganas dua kali berturut-turut ke arah suara lawan. Tapi Pendekar 212 tidak 

bodoh dan Pengemis Bibir Sumbing salah perhitungan. . 

"Plaak"! 

Pengemis Bibir Sumbing terpental empat tombak ke belakang. Kepalanya serasa pecah 

sedang kulit keningnya laksana terbakar! Dan pada kulit keningnya itu kini kelihatan tiga buah 

angka 212! Pengemis Bibir Sumbing meluap amarahnya. Tanpa hiraukan rasa sakitnya pada 

keningnya dia menerpa kemuka kirimkan lima pukulan empat tendangan! Pendekar 212 

mendengus dan bersiul nyaring. Tangan kanan menghantam ke muka. Angin pukulan menderu, 

menyusup di antara serangan lawan! 

Untuk kedua kalinya Pengemis Bibir Sumbing terpental. Kali ini sampai delapan tombak 

dan kali ini terus terguling ke tanah dengan mulut memuntah darah! Tamatlah riwayatnya! 

Sultan yang menyaksikan pertempuran hebat itu dalam sakitnya leletkan lidah penuh kagum! 

Pendekar 212 mendekati mayat Pengemis Bibir Sumbing, memgambil keris Tumbal 

Wilayuda lalu menyerahkan kemhali pada Sultan."Keris pusaka bagus! Karena senjata ini banyak yang ingini sebaiknya disimpan lebih 

hati-hati, Sultan". 

Sultan menghela nafas panjang. "Terima kasih,” katanya. "Dua kali kau telah 

menolongku sahabat. Siapakah engkau?" 

"Namaku Wiro Sableng,” jawab Pendekar 212. "Kalau aku boleh kasih nasihat, baiknya 

kau tak usah kembali kepenginapan, tapi segera teruskan perjalanan". 

"Mengapa begitu?" tanya Sultan. 

"Terlalu banyak manusia-manusia macam Pengemis Bibir Sumbing ini yang mencarimu 

dan inginkan keris Tumbal Wilayuda". 

Sultan merenung sejurus. "Terima kasih atas nasihatmu, sahabat! Karena kau telah 

berbuat baik kepadaku, perbuatan baik yang tak bakal kulupakan sebagai budi besarmu, 

bagaimana kalau aku tawarkan agar ikut bersamaku meneruskan perjalanan?" 

"Ah... itu satu kehormatan besar bisa seiring denganmu, Sultan" jawab Pendekar 212 

ramah. "Tapi harap maafkan.. Aku masih banyak urusan. Namun demikian, aku berjanji tidak 

akan berada jauh dari padamu…” 

"Kalau begitu baiklah, aku tidak memaksa',” ujar Sultan. Dari balik pakaian samarannya 

yang bertambal-tambal dikeluarkannya sebuah benda yang bercahaya. Diserahkannya benda itu 

kepada Pendekar 212 tapi sang pendekar tak berani menyambutinya. 

"Sobat, terimalah!" kata Sultan pula. 

"Benda apakah ini Sultan?" 

"Terimalah dulu". 

Wiro menerimanya. 

Benda itu ternyata sebuah bintang bersudut delapan yang terbuat dari emas dan di 

tengah-tengahnya dihiasi dengan sebutir berlian yang berkilauan. "Benda itu adalah bintang 

utama Kerajaan Banten, yang diserahkan kepada siapa saja yang telah membuat jasa terhadap 

Raja dan rakyat Banten, Wiro..." 

"Ah... mana aku pantas terima hadiah ini Sultan?" kata Wiro Sableng pula dengan ke-

rendahan. 

Tapi sultan memaksakan juga agar Pendekar 212 menerima anugerah itu. Wiro 

menyimpan benda tersebut baik-baik dibalik pakaiannya. "Terima kasih,” katanya. 

"Lalu karena penyamaraanmu sebagai pengemis sudah diketahui oleh golongan rampok 

dan penjahat, sebaiknya ditukar saja, Sultan" 

"Aku memang sudah merencana begitu" kata Sultan pula.

Sekali lagi mereka saling ucapkan terima kasih. Pendekar 212 menjura minta diri dan 

keduanyapun berpisahlah. 

-- == 0O0 == -- 

LIMA 

KELUARGA Wirja Pranata adalah keluarga bangsawan besar di Ujung Kulon. Selagi 

muda antara Wirja Pranata dan Fatahillah terdapat jalinan persahabatan yang erat sehingga di 

suatu ketika kedua sahabat itu berjanji bahwa bila mereka nanti salah satu memiliki anak laki--

laki dan anak perempuan, dikemudian hari kelak keduanya akan dijodohkan. 

Puteri bangsawan Wirja Pranata yaitu Anjarsari memang sudah lama tahu bahwa dirinya 

dijodohkan dengan Raja Banten. Namun sampai sebegitu jauh belum pernah sekalipun dia 

bertemu muka dengan calon suaminya itu. Dan ketika Sultan Hasanuddin muncul di sore hari itu 

maka terkejutlah bangsawan Wirja Pranata. 

"Sultan, apakah yang telah terjadi ? Mengapa datang tanpa pengiring dan dalam pakaian 

begini rupa?” 

Sultan Hasanuddin menggigit bibir menahan gelora hatinya. Sesudah apa yang 

menggejolaki hatinya berkurang maka mulailah dia beri penuturan. 

Hal itu mengejutkan seluruh keluarga bangsawan Wirja Pranata, termasuk Anjarsari 

yang curi mendengar penuturan itu dari balik dinding kamar tidurnya. 

Beberapa lamanya kesunyian menyeling. Bangsawan Wirja Pranata dan isterinya duduk 

termanggu tanpa bisa berkata apa-apa. Sultan sendiri juga terdiam beberapa Iamanya. Ketika 

Sultan dipersilahkan kebelakang untuk membersihkan diri maka diamdiam Anjarsari mencuri 

intip dari sela pintu. Hatinya berdebar dan darahnya berdebur-debur. Ah, nyatanya Sultan yang 

bakal suaminya itu seorang pemuda yang berparas gagah berkulit kuning halus, hampir sehalus 

kulit perempuan! Hatinya berbunga-bunga. Kapan ayah atau ibunya akan menyuruhnya keluar 

dan berkenalan dengan Sultan? Dan mengingat ini dada si gadis semakin menggemuruh. Ketika 

dia menghadap ke kaca maka jelaslah kelihatan bagaimana parasnya ke merah-merahan! 

Ketika senja berlalu dan hari beralih menjadi malam maka barulah Anjarsari disuruh 

keluar oleh ibunya. Pertemuan dengan Sultan benar-benar membuat lututnya gemetar, tapi juga 

membuat hatinya mekar. Gadis ini tundukkan kepala, parasnya bersemu merah. Sultan sendiri

juga tundukkan kepala. Apa yang dikatakan ayahnya bahwa calon isterinya adalah seorang gadis 

cantik sekarang menjadi kenyataan. Diam-diam pemuda ini melirik dengan sudut matanya. 

Bangsawan Wirja Pranata berbatuk-batuk. Lalu bertanyalah dia pada calon mantunya itu 

. "Apakah rencana Sultan selanjutnya?" 

"Saya merencanakan untuk pergi ke. Demak dan minta bantuan pasukan serta 

persenjataap selengkapnya....." 

"Itu tepat sekali,” kata Wirja Pranata. “Tapi mengingat Demak masih jauh dari sini dan 

Sultan membawa keris pusaka pula maka sebaiknya Sultan jangan pergi seorang diri" 

Ucapan calon mertuanya itu memang dirasa betul sekali oleh Sultan. Dan diam-diam dia 

teringat pada Wiro Sableng, si pemuda sakti yang telah dua kali menolongnya. Kalau pemuda 

itu berada bersamanya saat itu tentu dia tak usah khawatir bahaya apapun. 

Sebagai orang tua yang tahu di hati anak muda dan juga pernah muda, tak lama 

kemudian Wirja Pranata bersama isterinya mengundurkan diri ke dalam kamar. Maka kini 

tinggallah kedua orang itu. Suasana lain sekali jadinya kini. Suasana itu sungguh tidak enak, tapi 

tidak enak yang enak! Rasa begini rupa baik oleh Anjarsari maupun oleh Sultan sendiri tak 

pernah dialaminya sebelumnya. Cuma sudut-sudut mata mereka saja yang sekali-sekali mencuri 

pandang. Ketika Anjarsari melirik untuk kesekian kalinya maka pada detik itu pula Sultan 

mengerling. Beradulah dua kerlingan mata itu! Anjarsari cepat-cepat menundukkan kepalanya 

menyembunyikan paras yang semu kemerahan! 

Kesunyian masih juga berjalan terus sampai beberapa lamanya. Tiada satupun yang 

berani untuk membuka pembicaraan. Sultan sendiri merasa tenggorokannya seperti tersekat, 

lidahnya seperti kelu dan mulutnya terkancing! 

Namun pada akhirnya Sultan Hasanuddin membuka mulutnya juga. "Kalau tiada terjadi 

pengkhianatan Parit Wulung, mungkin sampai hari ini belum ada kesempatan bagi kita untuk 

bertemu, Sari...” 

"Ya... hemm..., saya sangat terkejut meindengar berita buruk itu, kakak,” berkata Anjar-

sari agak gugup. Kemudian. "Apakah kakak akan segera berangkat ke Demak...?" 

Sultan mengangguk. 

"Memang lebih cepat lebih baik. Ramanda di Cirebon sudah mendapat tahu peristiwa di 

Banten...?" 

"Mudah-mudahan sudah karena ada kukirimkan seorang utusan ke sana". Kemudian 

untuk menghilangkan pembicaraan yang berjalan kaku itu maka Sultan mengajak Anjarsari 

keluar rumah. Di luar ternyata malam itu berpemandangan indah. Bulan purnama empat belahari bersinar terang, bintang-bintang bertaburan di langit yang biru cerah. Banyak dan sering 

sudah kedua remaja itu melihat bulan purnama pada malam-malam terang bulan sebelumnya 

namun bagi mereka tiada seindah malam itu. 

Di samping gedung besar bangsawan Wirja Pranata terdapat sebuah taman kecil. Di 

dalam taman terletak satu bangku panjang. Kedua remaja ini melangkah seiring ke bangku itu. 

Mendadak Sultan putar kepalanya ketika sepasang telinganya yang tajam dalam kesunyian itu 

mendengar suara bergeresek di atas genting. Sesosok bayangan hitam kelihatan berkelebat ialu 

lenyap di bagian atap gedung yang lain. Meski demikian cepat lenyapnya namun Sultan masih 

sempat melihat bahwa di tangan kirinya sosok tubuh hitam itu memegang sebuah benda yang 

berbentuk keris. 

"Celaka!" kata Sultan dalam hati. Dia berseru dengan keras. "Berhenti!" Tapi bayangan 

sosok tubuh tadi sudah sejak lama lenyap. Ketika disusul kehalaman samping juga tak kelihatan 

lagi. Dalam kebingungannya Sultan sampai lupakan Anjarsari. Dia lari masuk ke dalam gedung, 

terus ke kamar dan melihat bagaimana kasur pembaringan berada dalam keadaan tak karuan. 

Ketika ditariknya kasur itu di bagian kepala tempat tidur, maka keris Tumbal Wilayuda yang 

sebelumnya disimpannya di sana, kini sudah tiada lagi! Lenyap! Dan pastilah sosok tubuh yang 

melarikan diri tadi yang telah mencurinya! 

"Pencuri keparat!" maki Sultan. Dia lari lagi keluar. Ketika sampai di halaman samping 

terkejutlah dia. Anjarsari tak ada lagi di dalam taman! Lenyap! 

"Anjar!" memanggil Sultan. "Anjarsari!" serunya lagi. Tapi tiada jawaban! 

Maka di malam itu hebohlah seisi gedung bangsawan Wirja Pranata. Sultan sendiri 

sesudah memberikan penuturan, singkat segera berkelebat meninggalkan gedung. Keris 

Tumbal Wilayuda lenyap! Tapi kekhawatirannya lebih lagi terhadap Anjarsari yang hilang 

secara aneh itu. Maka dia memutuskan menyelidiki lenyapnya Anjarsari lebih dahulu lalu baru 

mencari jejak si pencuri keris Tumbal Wilayuda! 

Sesaat sesudah kepergian Sultan, Wirja Pranata berkelabat pula ke arah yang 

berlawanan. 

Malam dingin dan angin agak kencang bertiupnya. Wirja Pranata adalah seorang 

bangsawan yang "mempunyai isi" juga. Dalam waktu yang singkat dengan ilmu larinya yang 

sempurna dia telah sampai di luar kota. Karena daerah luar kota merupakan daerah pesawangan 

datar di tambah bulan bersinar terang maka dengan mudah di ujung pesawangan Wirja Pranata 

dapat melihat dua sosok tubuh manusia tengah berlari kencang. Yang di belakang sebat sekali 

larinya dan dalam waktu yang singkat berhasil menyusul yang di muka. Kemudian kelihata

terjadi pertempuran! Tanpa menunggu lebih lama bangsawan Wirja Pranata segera lari ke sana. 

Dia sampai ketika pertempuran tengah berjalan hebat-hebatnya. Kedua orang yang bertempur 

adalah seorang pemuda berambut gondrong berpakaian putih. Gerakannya gesit sekali dan 

menimbulkan angin bersiuran. Lawannya adalah seorang laki-laki jangkung kurus bermuka 

sangat seram berpakaian hitam. Salah satu matanya sangat besar sedang yang lain hanya 

merupakan sebuah rongga hitam cekung yang sangat menggidikkan. Gerakannya juga tak kalah 

hebat dari lawannya. Pakaiannya bertambal-tambal. 

"Berhenti!" seru Wirja Pranata. 

Tapi yang bertempur tidak ambil perduli. Yang bermuka seram malahan lancarkan 

empat serangan dahsyat yang menimbulkan angin tajam dan panas! 

Pemuda rambut gondrong berseru nyaring, lompatkan diri ke udara lalu menukik lagi 

seraya hantamkan tangan kanan ke muka. Angin laksana badai menderu menyerang si muka 

seram. 

"Pukulan kunyuk melempar buah!,” seru si muka seram kaget. Buru-buru dia kebatkan 

lengan pakaian hitamnya. Tapi tubuhnya terduduk di tanah karena angin pukulan lawan 

nyatanya lebih dahsyat. Pemuda rambut gondrong sendiri tersurut ke belakang beberapa 

langkah, dadanya terasa sakit. 

"Manusia muka setan ini ilmunya tinggi sekali dan berbahaya!,” membatin si pemuda. 

Sebaliknya si muka setan yang tahu bahwa lawannya adalah seorang yang sangat 

tangguh segera berseru pada Wirja Pranata. "Sobat! Kenapa diam saja?! Bukankah 

kedatanganmu kemari untuk mencari pencuri keris? Inilah bangsat malingnya! Ayo tunggu apa 

lagi, mari kita labrak!" 

Si pemuda tertawa dingin. Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Ketika tangan itu 

turun, segelombang angin menggebubu menyerang tubuh si muka setan dari atas ke bawah! 

Manusia ini segera kebutkan kedua ujung lengan bajunya. Pemuda gondrong sampai melesak 

kedua kakinya sedalam dua senti ke tanah sedang si muka setan terguling di tanah tapi cepat 

bangun lagi! 

Diam-diam si pemuda rambut gondrong terkejut. 

Pukulan yang dilancarkan tadi bukan sembarang dan mempergunakan hampir sepertiga 

tenaga dalamnya tapi lawan ternyata tidak apa-apa malahan bisa bangkit kembali! 

"Wirja Pranata!" berseru si muka setan. "Kalau kau inginkan keris kembali lekas bantu 

aku meringkus maling busuk ini! Apa kau tidak lihat pinggangnya menggembung? Keris itu 

disembunyikannya di sana!"

"Orang tolol!,” maki si pemuda. ''Kenapa terpengaruh omongan manusia muka setan 

ini?! -Dialah Yang mencuri keris Tumbal Wilayuda!" 

Wirja Pranata jadi bingung. Tapi karena sudah terlanjur maka dia teruskan juga 

serangannya. Pernuda rambut gondrong tiada hentinya memaki. 

"Bangsawan Wirja Pranata, sebaiknya mundurlah! Jangan sampai tertipu maling yang 

berteriak pencuri ini!” 

Meski terkejut karena si gondrong ketahui nmaanya namun Wirja Pranata terus juga 

lancarkan serangan-serangan. Si rambut gondrong menggereng. Tiba-tiba bersuit keras. Kedua 

tangannya diangkat tinggi-tinggi ke atas dan diputar-putar. Dia menghadap tepat-tepat pada 

manusia muka setan. Dan manusia ini terkejut sekali "Pukulan angin puyuh!,” serunya, dengan 

wajah tegang. Cepat-cepat dia keruk kantong baju hitamnya, lompat empat tombak dan begitu 

tangannya keluar dari saku maka melesatlah lima benda bersinar hitam ke arah si pemuda. 

"Paku Darah Hitam!,” seru Wirja Pranata ombil surut kebelakang. Hatinya meragu akan 

siapa sebenarnya manusia muka seram itu. 

“Hemm... jadi kau anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam?" gertak pemuda 

rambut gondrong. Sekali dia hantamkan tangan kanan ke muka maka luruhlah paku-paku biru 

itu ke tanah! Ketika dia hendak menyerang kembali si muka setan sudah lenyap! 

-- == 0O0 == -- 

ENAM 

DENGAN sangat penasaran Pendekar 212 putar tubuh. "Kalau kau tidak bertindak 

gegabah pasti pencuri keparat itu sudah kena diringkus!". 

Memang meski hatinya bimbang tapi Wirja Pranata sendiri juga meragu terhadap diri 

Wiro Sableng. "Kau siapa?!" tanyanya. 

"Sudah, saat ini bukan tempatnya untuk bertanya jawab!". Pendekar 212 segera 

berkelebat ke arah larinya si muka setan yang diduganya adalah seorang anggota Perkumpulan 

Pengemis Darah Hitam. Namun dibelakangnya terdengar suara berseru. 

“Tunggu! Berhenti dulu!" 

Karena tahu yang berseru adalah Wirja Pranata maka Wiro tidak ambil perduli 

melainkan lari terus. Namun sesaat kemudian berdesing sejumlah senjata rahasia menyerang kearahnya. Dengan beringas Pendekar 212 putar tubuh dan kebutkan tangan. Senjata-senjata 

rahasia itu berpelantingan. Dan pada ketika itu pula Wirja Pranata sudah berdiri dihadapannya. 

"Jika kau orang baik-baik mengapa tidak berani sebutkan nama terangkan diri?! Pastilah 

kau bangsanya kaki tangan gotongan hitam!". 

Wiro Sableng jadi betul-betul penasaran kini. "Manusia tidak tahu diri! Tidak tahu 

membedakan mana yang putih dan mana yang hitam! Tidak tahu dirinya tengah ditolong, malah 

mencap orang seenaknya! Kalau bukan mengingat bahwa kau calon mertuanya Sultan, aku 

sudah tampar kau punya mulut! Sekarang pergilah!". Wiro gerakkan kedua tangannya. Dan 

tahu-tahu terdoronglah tubuh Wirja Pranata ke belakang sampai empat tombak! Wirja Pranata 

rupanya menjadi kalap. Melihat pemuda rambut gondrong itu hendak angkat kaki kembali 

maka segera dia hunus keris dan dengan cepat kirimkan lima tusukan sekaligus! 

hati sambil hindarkan diri dengan cepat. 

Di lain saat maka tiba-tiba muncullah satu bayangan manusia. 

"Tahan!" 

Kedua orang yang bertempur, yang sama-sama mengenali suara pendatang baru itu 

segera hentikan pertempuran. 

Pendekar 212 putar kepala pada si pendatang lalu berkata. "Sultan, semangat calon 

mertuamu memang hebat! Nyalinya besar tapi sayang pikirannya keliwat pendek!". 

Merahlah paras Wirja Pranata tapi dia juga heran mengetahui bahwa si rambut gondrong 

mengenali Sultan Hasanuddin. Sultan kemudian memperkenalkan kedua orang itu. Barulah saat 

itu Wiro menjura hormat. 

Dengan batuk-batuk Wirja Pranata bertanya pada Sultan. "Bagaimana dengan Anjarsari, 

apakah berhasil ditemui...?" 

Sultan menundukkan paras kecewa lalu gelengkan kepala dengan pelahan. 

“Terkutuk! Terkutuk!,” maki Wirja Pranata dalam hati. Kedua tangannya terkepal 

membentuk tinju. Tentu saja laki-laki ini sangat mengkhawatirkan keselamatan diri anak 

gadisnya itu. 

Dalam pada itu Pendekar 212 mengetengahi. "Bapak Wirja, kau kembalilah ke Ujung 

Kulon. Kami berdua segera akan mengejar bangsat pencuri itu,” 

''Aku turut bersama kalian!" kata Wirja Pranata dengan hati keras. 

"Bapak,” ujar Sultan, "saya tahu bagaimana perasaan dan kecemasan hati Bapak 

terhadap keselamatan Anjarsari. Sayapun lebih kawatir lagi. Tapi percayalah, bersama sahabatini saya pasti akan dapat mencari Anjarsari dan menemukan keris Tumbal Wilayuda serta 

membekuk bangsat-bangsat pencuri itu!". 

"Kalau kau berkata begitu, baiklah". Wirja Pranata akhirnya mengalah. Maka sesudah itu 

Wiro Sableng dan Sultan Hasanuddinpun berlalu dengan cepat. 

Ketika hari pagi kedua orang itu masih juga belum berhasil meneemui jejak pencuri yang 

mereka cari. Dengan perasaan lesu mereka sampai ke sebuah kota bernama Parangwilis. Seperti 

Asoka maka Parangwilis adalah juga sebuah kota dagang yang besar. Bau makanan yang harum 

menghambur keluar dari sebuah warung nasi. Kedua orang inipun masuklah ke dalam warung 

tersebut. Karena rambutnya yang gondrong dan potongan tubuh yang kekar dari Wiro Sableng 

serta tampang yang gagah dari Sultan Hasanuddin maka kedua orang ini tentu saja menarik 

perhatian isi warung. Tapi tanpa acuh Wiro dan Sultan terus saja menyantap makanan mereka. 

Mendadak suasana dalam warung nasi itu menjadi sunyi hening laksana dipekuburan! 

Wiro Sableng dan Sultan segera merasakan perubahan ini. Sultan putar kepala memandang 

berkeliling sedang Wiro Sableng putar bola matanya memandang cepat ke beberapa jurus. 

Dari pintu muka warung masuk seorang berpakaian kotor compang camping dan 

bertambal-tambal. Dari pintu belakang dua orang lagi, kemudian dari jendela di samping kiri 

kanan masing-masing dua orang lainnya! Muka-muka mereka rata-rata menunjukkan 

kebengisan, rambut kusut masai, kumis serta janggut kasar meranggas! 

Beberapa orang tamu yang sedang makan dalam warung, melihat gelagat yang tidak baik 

ini segera jauhkan diri ke pojok. Sultan dan Pendekar 212 karena merasa tidak ada sangkut paut 

apa-apa dengan kesepuluh manusia itu tanpa ambil perduli terus menyantap hidangan mereka. 

Tiba-tiba salah seorang yang datang dari pintu depan hantamkan tangan kananya ke 

muka. Angin deras melanda meja makan di hadapan Wiro serta Sutan. Meja kayu yang besar 

dan berat itu tak ampun lagi mental melabrak dinding warung. Piring serta gelas di atasnya 

berpelantingan pecah! Namun di saat itu pula baik Pendekar 212 maupun Sultan telah me-

lompat ke samping dan berdiri saling memunggungi ! 

Serentak dengan itu maka sepuluh manusia yang berpakaian compang-camping sudah 

mengurung keduanya dengan rapat. 

"Berhari-hari dicari baru kini kutemui!,” kata laki-laki yang tadi melabrak meja dengan 

pukulannya yang hebat. 

"Kalian siapa?,” tanya Sultan sambil bersiap sedia menjaga segala kemungkinan. Di 

belakang di dengarnya Wiro Sableng mulai bersiul-siul seenaknya

Orang tadi mengekeh. Gigi-giginya hitam dan di sudut bibirnya terselip segumpal susur 

tembakau. "Kami adalah anggota-anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam!,” jawab orang 

itu. 

Terkejutlah Sultan. "Kami berdua tidak merasa punya silang sengketa dengan kalian, 

mengapa datang mengganggu?" 

Anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu mengekeh lagi. "Jangan jual bacot 

mengatakan tiada silang-sengketa. Salah seorang dari kalian telah membunuh pemimpin kami 

Pengemis Bibir Sumbing!" 

"Oh, jadi kalian anak-anak buahnya manusia jahat itu? Setiap manusia jahat akan menemui 

ajalnya secara buruk! Kalian pergilah semua!" 

Anggota Pengemis Darah Hitam semburkan susurnya ke muka Sultan. Meski cuma susur 

tapi bahayanya besar sekali karena mengandung tenaga dalam! Dengan cepat Sultan hantamkan 

tangan kanannya ke depan, maka mentallah susur itu. 

Sebagian dari air susur menjiprat ke muka beberapa orang anggota Perkumpulan Pengemis 

Darah Hitam termasuk laki-laki yang telah menyemburkan susur itu tadi! Maka marahlah dia! Dan 

segera membentak! 

"Tangkap Sultan hidup-hidup! Yang gondrong itu cincang sampai lumat!" 

Sembilan pengemis yang diberi komando segera menyerbu ke muka. Tubuh Sultan dan 

Wiro Sableng lenyap. Hanya suara tertawa Pendekar 212 ini saja yang terdengar. Dan sesaat 

kemudian terdengarlah suara . "bluk . . . . bluk .... bluk ... bluk . . .” 

Empat anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam mencelat dan menggeletak di tanah 

tanpa nyawa! Sekali lagi Pendekar 212 berkelebat dan dua lawan lagi mental ke luar kedai! 

Melihat ini pengemis yang tadi berikan komando segera keluarkan senjatanya berupa 

sebuah cambuk yang berwarna hitam. Melihat ini maka tiga anggota lainnya yang masih hidup 

segera pula keluarkan cambuk masing-masing. Dan sesaat kemudian maka laksana hujan 

menggeletarlah cambuk-cambuk itu ke arah Wiro Sableng dan Sultan. Suasana tiada ubah seperti 

halilintar. Kedai itu seakan-akan hendak hancur Iuluh tenggelam oleh suara cambuk! Dan di saat 

itu tak ada satu tamu lainpun yang masih. berani berada di dalam warung sedang pemilik warung 

sendiri sudah kabur entah ke mana! 

Sultan melompat ke samping kiri untuk hindarkan cambuk salah seorang lawan. Begitu 

terhindar segera dia kirimkan serangan balasan namun dua cambuk lainnya tahu-tahu sudah 

melibat kedua tangannya! Bagaimanapun dicoba oleh Sultan untuk lepaskan diri namun sia-sia 

saja.

Di tain pihak Pendekar 212 coba keluarkan diri dari hantaman-hantaman cambuk dua 

orang lawannya yang datang laksana hujan! Tapi memang permainan cambuk empat anggota 

Perkumpulan Pengemis Darah Hitam ini hebat sekali. Sementara Sultan di sebelah sana sudah 

kena diringkus dan di seret ke pintu muka. Pendekar 212 dibikin sibuk dan kepepet ke bagian 

belakang warung. 

Geram sekali Wiro Sableng lompat tiga tombak ke atas lalu menukik ke bawah seraya 

membagi serangan tangan kiri kanan kepada dua orang lawannya. 

Angin pukulan Pendekar 212 membuat kedua orang itu hanya terdorong seketika karena 

kebutan cambuknya yang begitu dahsyat sanggup membendung hampir sebagian besar angin 

pukulan Wiro ! 

Dengan penasaran Pendekar 212 begitu sampai ke tanah kembali segera menyambar 

sebuah bangku panjang. Dengan bangku panjang sebagai senjatanya maka mengamuklah 

Pendekar 212. Cambuk hitam anggota Pengemis Dara.h Hitam betul-betul luar biasa. Senjata 

keduanya mendera bangku hitam beberapa kali. Dan hancurlah bangku hitam itu ! 

Wiro Sableng menggerung. Kedua tangannya bergetar dan dinaikkan tinggi-tinggi ke 

atas. 

"Wut! Wutt.....!” 

Warung nasi itu berderak derik! Kedua lawan coba putar dan pecutkan cambuk mereka 

lebih deras lagi namun angin yang menyambar dari lengan Pendekar 212 tak sanggup lagi 

mereka tahan. Laksana topan kedua orang itu bermentalan kian ke mari. Cambuk mereka 

terlepas dan tiba-tiba. "krraakkk !" Warung nasi itupun robohlah! 

Sesaat kemudian bangunan ini ambruk, maka Pendekar 212 sudah melabrak dinding dan 

lolos ke luar. Dua orang anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam yang tadi sudah konyol 

tersambar pukulan "angin puyuh" Pendekar 212 tertimbun mentahmentah! 

Di luar warung yang rubuh, Pendekar 212 bingung sendiri karena melihat Sultan 

bersama dua orang anggota Pengemis Darah Hitam sudah lenyap. Dia segera minta beberapa 

keterangan pada orang-orang di luar kemana lenyapnya ketiga orang itu. 

"Kawanmu kena diringkus dan dilarikan ke jurusan sana,” kata seseorang sambil 

menunjuk ke ujung jalan. Maka tanpa membuang waktu Wiro Sableng segera mengejar ke arah 

yang ditunjukkan. 

-- == 0O0 ==

TUJUH 

PADA masa itu di Jawa Barat telah sejak lama berdiri sebuah perkumpulan yang 

bernama Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Anggotanya terdiri dari pengemis-pengemis 

yang tersebar di seluruh pelosok dan di setiap kota. Setiap anggota perkumpulan mempunyai 

sebuah pecut hitam dan rata-rara memiliki ilmu silat yang tinggi. Tentu saja karena hampir 

setiap tempat dan daerah anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam ada maka segala sesuatu 

peristiwa besar dan rahasia dengan, sendirinya diketahui oleh mereka. Demikian juga dengan 

peristiwa jatuhnya Banten ke tangan pemberontak dan lenyapnya Sultan serta keris Tumbal 

Wilayuda. Yang terakhir sekali mereka juga mengetahui hubungan Sultan dengan Andjarsari. 

Maka pucuk Pimpinan Perkumpulan segera menyebar anak-anak buahnya untuk mendapatkan 

keris Tumbal Wilayuda mencari Sultan serta menculik Andjarsari! 

Demikian besarnya hasrat mereka untuk berhasil dalam rencana tersebut maka sampai-

sampai salah seorang dari pucuk pimpinan yang terdiri dari tiga pengemis berkepandaian tinggi, 

memutuskan untuk turun tangan. Pucuk pimpinan yang seorang ini ialah Pengemis Bibir 

Sumbing! Sebagaimana yang telah dituturkan sebelumnya, ketika Sultan bermalam di satu 

penginapan maka Pengemis Bibir Sumbing telah mendatanginya dan hampir berhasil membawa 

kabur keris Tumbal Wilayuda jika saja saat itu Pendekar 212 tidak muncul memberikan 

bantuan. Bukan saja Pengemis Bibir Sumbing tiada berhasil dengan niatnya untuk mencuri keris 

pusaka tumbal kerajaan tapi dia juga terpaksa serahkan jiwa! Dibanding dengan dua pucuk 

pimpinan lainnya yaitu Pengemis Mata Buta dan Pengemis Kaki Pincang maka memang 

kepandaian Pengemis Bibir Sumbing jauh lebih rendah sehingga setelah bertempur beberapa 

gebrakan secara hebat maka akhirnya Pengemis Bibir Sumbing menemui ajalnya di tangan 

Pendekar 212. 

Namun bahaya yang mengancam Sultan serta keris pusaka itu tidak sampai di sana saja. 

Ketika Sultan bermalam di rumah Wirya Pranata, seorang anggota Perkumpulan Pengemis Darah 

Hitam telah berhasil melarikan keris tersebut selagi Sultan berada di taman dengan calon istrinya 

Andjarsari! Dan Andjarsari sendiri kemudian juga telah diculik pula oleh salah seorang anggota 

lain Perkumpulan Pengemis Darah Hitam! 

Adapun markas atau sarang Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu, terletak di dalam 

hutan belantara Riungslaksa. Maka ke sanalah anggota-anggota perkumpulan yang telah berhasil 

membawa orang yang mereka culik dan keris yang berhasil dicuri. Selama beberapa hari itu keduapucuk pimpinan Perkumpulan Pengemis Darah Hitam menanti-nanti juga akan hasil pekerjaan 

anggota-anggota mereka. 

"Ah, lama betul sekali ini anggota-anggota kita menjalankan tugasnya…,” berkata 

Pengemis Mata Buta. Tubuhnya tinggi kurus macam tonggak. Pipinya cekung, rambutnya panjang 

tergerai macam perempuan, sedang kedua matanya hanya merupakan dua buah rongga dalam 

yang hitam sehingga dapat dibayangkan betapa mengerikannya wajah manusia ini! 

"Ya… lama sekali,” jawab Pengemis Kaki Pincang seraya menghela nafas dalam. Di sela 

bibirnya terselip sebuah pipa yang bau tembakaunya busuk sekali! Manusia ini bermuka licin dan 

berkulit sangat pucat laksana mayat! Kaki kanannya pincang. "Bahkan Pengemis Bibir 

Sumbingpun tidak kelihatan mata hidungnya sampai saat ini!" 

"Pengemis Bibir Sumbing macam orang yang tidak percaya saja dengan anggota-anggota 

kita sampai-sampai mau turun tangan sendiri…" 

"Ah.., dia memang dari dulu begitu sifatnya," kata Pengemis Kaki Pincang pula. 

"Saudara Pengemis Mata Buta, apakah menurutmu…” 

Belum habis bicara Pengemis Kaki Pincang maka di luar terdengar seruan. "Para Ketua, 

lihat apa yang aku bawa!" 

Dan sesaat kemudian muncullah seorang anggota Perkumpulan yang berbadan tegap 

kekar. Dibahunya terpanggul sesosok tubuh perempuan muda. Sosok tubuh perempuan ini bukan 

lain Andjarsari, dibaring.

kannya di atas lantai di hadapan kaki kedua pucuk pjmpinan 

Perkumpulan. Saat itu Andjarsari tak dapat bergerak dan juga tidak sadarkan diri karena telah di-

totok. 

Tentu saja sangat gembira hati kedua Ketua Perkumpulan itu. 

"Jasamu kepada Perkumpulan cukup besar Lah Simpong," kata Pengemis Kaki Pincang 

seraja gosok-gosok kedua telapak tangannya. 

Cuping hidung anggota Perkumpulan yang bernama Lah Simpong kelihatan membesar 

dan bergerak-gerak tanda suka cita hatinya. 

"Percayalah, para Ketua," kata Lah Simpong pula. "Dengan berhasilnya gadis ini kita 

tawan, Sultan pasti akan datang ke sini dan kita dengan mudah bisa meringkusnya." 

"Betul sekali!" kata Pengemis Mata Buta dan Pengemis Kaki Pincang hampir berbarengan. 

Lah Simpong yang dulunya adalah seorang peminta-minta di kota Menes basahkan bibir 

dengan ujung lidah, "Para ketua," katanya "Apa aku boleh terima uang jasa sekai-

ang...?!" 

"Tentu…!" jawab pengemis Kaki Pincang. Dari balik pinggang dikeluarkannya sebuah 

kantong kulit dan ditemparkannya ke hadapan Lah Simpong. Benda itu jatuh denganmengeluarkan suara berdering di muka kaki Lah Simpong. Dengan. menyeringai gembira maka 

Lah Simpong segera membungkuk dan mengambil kantong uang itu. Dan pada saat itu pulalah 

di luar terdengar seruan seseorang. "Apa artinya hasil yang dibawa Lah Simpong dibandingkan 

dengan apa yang kami bawa ini wahai Para Ketua Perkumpulan?!" 

Dua sosok tubuh mencelat masuk lewat jendela. Ketika mendarat dilantai sedikitpun 

kaki mereka tiada mengeluarkan suara! Baik Pengemis Kaki Pincang maupun Pengemis Mata 

Buta yang meskipun buta tapi mempunyai perasaan dan pendengaran yang tajam luar biasa 

sama-sama bergembira. 

"Siapa yang kalian bawa itu?" tanya Pengemis Mata Buta. 

"Sultan! Sultan!" kata Pengemis Kaki Pincang sambil melompat dari kursinya. 

Pengemis Mata Buta tertawa girang. Dari balik sabuknya dia keluarkan dua buah 

kantong kulit yang besar. "Ini terima!" katanya. Dua orang anggota Pengemis Darah Hitam tadi 

segera menyambutinya. Mereka menjura girang lalu mau putar diri dari situ namun seseorang 

yang melompat masuk lewat pintu muka mengejutkan mereka! 

"Aha... bawaanku memang bukan manusia bernyawa! Bawaanku juga tidak besar cuma 

kecil sekal ! Tapi justru apa yang kubawa ini merupakan satu tanda bahwa siapa pemiliknya 

adalah mempunyai hak untuk menjadi raja di Banten!" 

Pengemis Mata Buta dan Pengemis Kaki Pincang meloncat dari kursi masing-masing ! 

"Mata Picak! Apakah kau berhasil mencuri keris Tumbal Wilayuda?!" seru Pengemis 

Mata Buta dengan nada gembira. 

Anggota Perkumpulan yang bermata buta sebelah dan bertampang angker itu tertawa 

mengekeh. Nama sebenarnya tak satu anggota atau pemimpin perkumpulan yang tahu. Karena 

itu dia dipanggil dengan gelaran Mata Picak. Di bandingkan dengan Pengemis Bibir Sumbing 

maka kepandaian Mata Picak tiga tingkat lebih tinggi, ditambah lagi bahwa dia mempunyai 

keistimewaan tersendiri yaitu mempunyai senjata rahasia paku beracun! Kepandaiannya ini juga 

diturunkannya kepada anggota perkumpulan termasuk para pucuk pimpinan sehingga lambat 

laun senjata rahasia itupun disebut "paku darah hitam,” sesuai dengan nama perkumpulan 

mereka. Dengan ketinggian ilmu silat ditambah dengan kelihayannya memainkan senjata rahasia 

"paku darah hitam" maka sebenarnya Mata Picak adalah lebih tepat untuk menjadi pimpinan 

perkumpulan daripada Pengemis Bibir Sumbing. Namun Pengemis Bibir Sumbing sudah be-

lasan tahun memasuki Perkumpulan bahkan dialah yang mula-mula mempunyai prakarsa untuk 

mendirikan Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu! 

"Kita pesta tuak malam ini!" seru Pengentis Mata Buta."Pesta tuak dan anggur!,” menimpali Pengemis Kaki Pincang. 

Kedua pimpinan Perkumpulan itu sama-sama mengeluarkan sebuah kantung uang dan 

melemparkannya ke hadapan Mata Picak. Memang inilah yang ditunggu-tunggu oleh si Mata 

Picak. Dengan segera kedua kantung uang itu disambutinya. Dia menjura. Belum lagi sempat 

dia berdiri tegak dari menjuranya itu maka dari pintu muka masuklah seorang anggota Per-

kumpulan. Mukanya tak kalah bengis angker, namun di saat itu tampang itu kelihatan sedikit 

pucat, lesu dan kuyu! 

Pengemis Kaki Pincang kerutkan kening melihat anggotanya ini. Tak biasanya 

Kuntawana berparas semurung itu. Maka bertanyalah dia. "Kabar apakah yang agaknya kau 

bawa dari luar rimba, Kutawana?!" 

"Hemm… Kutawana juga sudah kembali?" ujar Pengemis Mata Buta. 

Anggota yang baru datang itu menjura. Dihelanya nafas panjang lalu berkatalah dia . 

"Aku membawa kabar buruk, para Ketua...” 

"Kabar buruk bagaimana?" tanya Pengemis Kaki Pincang sementara yang lain-lainnya 

juga tujukan perhatian terhadap Kuntawarna. 

"Kemarin aku memasuki kota Asoka. Kota itu tengah berada dalam kegemparan karena 

menemukan sesosok mayat di belakang bengkel kuda Ketika aku menyeruak diantara orang 

banyak ternyata mayat itu adalah mayat Ketua Pengemis Bibir Surnbing!" 

Terkejutlah semua orang. 

"Ada keanehan dalam cara matinya…". 

"Keanehan bagaimana maksudmu?!" tanya Pengemis Mata Buta. 

Kulit keningnya hitam, dadanya biru. Sedang pada kulit kening yang hitam itu tertera 

tiga buah angka. Angka 212!" 

Terjadilah perubahan pada air muka pucuk pimpinan Perkumpulan Pengemis Darah 

Hitam. Pengemis Kaki Pincang memandang pada pengemis Mata Buta. Pengemis Mata Buta 

sendiri di saat itu merenung. "Bagaimana pendapatmu, Ketua Pengemis Mata Buta?" bertanya 

Pengemis Kaki Pincang. 

Sejurus lamanya barulah menjawab Pengemis Mata Buta itu. Nada suaranya kentara 

berubah sekali kali ini. "Sesudah hampir empat puluh tahun menghilang tak tentu rimbanya, 

ternyata dia muncul kem-bali. Dia adalah momok yang menakutkan bagi tokoh-tokoh silat 

golongan hitam macam kita ini, Ketua Kaki Pincang. Pastilah dia muncul untuk kembali 

menghancurkan golongan kita seperti empat puluh tahun yang lalu itu…""Maksudmu Pendekar 212 Kapak Maut Naga Geni si Sinto Gendeng itu...?!" tanya 

Pengemis Kaki Pincang. 

"Siapa lagi!" 

“Ah... kalau dia memang muncul untuk maksud yang seperti masa lampau, dia salah 

perhitungah! Dunia persilatan dulu tidak sama dengan dunia persitatan masa sekarang! 

Golongan hitam banyak maju pesat, banyak mempunyai tokoh-tokoh kosen serta lihay dan 

sakti! Sinto Gendeng boleh datang kemari. Dan itu berarti dia antarkan nyawa sendiri!" 

Pengemis Mata Buta menarik nafas dalam, "Kita tak bisa menganggap enteng momok 

perempuan itu, Ketua Kaki Pincang,” kata Pengemis Mata Buta pula. "Ketahuilah, kedua 

mataku yang buta ini, dialah yang telah mengoreknya dulu…". 

Kagetlah Pengemis Kaki Pincang. Matanya mendelik dan dipandanginya paras rekannya 

itu. Akhirnya dia memandang ke jurusan lain karena merinding juga kuduknya memandang 

lama-lama pada rongga rongga mata yang menggidikkan itu! 

Suasana hening seketika. Dan keheningan itu dipecahkan oleh bentakan Pengemis Mata 

Buta. "Kuntawana, apa yang kau telah lakukan terhadap mayat Ketua Pengemis Bibir 

Sumbing...?!" 

Terkejutlah Kuntawana. 

"Jawab! Apa sesudah kau temui lantas kau tinggal begitu saja....?!" 

"Ketua… di saat itu mayat Ketua Pengemis Bibir Sumbing dikerumuni oleh banyak 

orang. Di antaranya beberapa prajurit kerajaan. Tak mungkin bagiku…” 

"Tutup mulut! Kesalahanmu besar! Kau dipecat sebagai anggota Perkumpulan!" 

Muka Kuntawana menjadi pucat. "Ketua…” 

"Diam! Lekas angkat kaki dari sini!" 

"Para Ketua…''. 

"Diam! Berlalulah sebelum amarahku lebih memuncak!" bentak Pengemis Mata Buta. 

Kuntawana menyuruh mundur. "Aku bersedia kembali ke Asoka untuk mengambil 

mayat Ketua Bibir Sumbing…” 

"Tak perlu," jawab Pengemis Mata Buta tetap keras. "Aku bisa suruh anggota yang 

lain!". 

Maka membesilah paras Kuntawana. "Baik, aku akan pergi tapi serahkan dulu uang 

jasaku". "Kurang ajar! Kau berani bicara seenaknya demikian rupa?! Ini bagianmu!". 

Pengemis Mata Buta kebutkan lengan jubah hitamnya. Satu gelombang angin dahsyat 

melanda ke arah Kuntawana. Terkejutlah Kuntawana. Dia tahu betul pukulan yang dilancarkan

leh si Mata Buta itu. Pukulan "seribu topan!"! Dengan cepat Kuntawana melompat ke atas 

namun dia tak bisa melompat tinggi karena bangunan di mana mereka berada mempunyai loteng 

yang rendah! 

"Celaka, mampuslah aku!" kata Kuntawana di dalam hati. 

Namun pada detik yang berbahaya itu dari jendela samping satu larikan sinar merah 

menyambar memapaki angin pukulan seribu topan dan kejapan itu juga buyarlah pukulan 

Pengemis Mata Buta dan selamatlah Kuntawana! 

Pengemis Mata Buta seorang yang mempunyai perasaan luar biasa. Sepasang telinganya 

bukan saja tajam tapi juga merupakan sebagai sepasang mata baginya. 

Dia menoleh ke jendela. "Keparat yang suka ikut campur urusan orang, coba perlihatkan 

diri!" bentaknya. 

Di diluar terdengar suara tertawa bergelak. Sesaat kemudian sesosok tubuh berjubah 

merah dan berkerundung kain merah dengan gerakan yang sangat sebat dan enteng sudah 

menjejakkan kaki di lantai ruangan! 

"Iblis Pencabut Sukma!" teriak Pengemis Kaki Pincang berbarengan dengan anggota-

anggota Perkumpulan lainnya! Wajah mereka mengkerut tegang! 

-- == 0O0 == -- 

DELAPAN 

ORANG berkerundung merah keluarkan suara tertawa mengekeh kembali. Pengemis 

Mata Buta rangkapkan kedua tangannya di muka dada. "Kiranya lblis Pencabut Sukma! 

Pantas keras dan hebat angin pukulannya! Tapi gerangan apakah yang membuat kau datang 

ke sini serta mencampuri urusan Perkumpulan kami?!" 

Laki-laki berkerundung yang merupakan Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut 

Sukma lagi-lagi tertawa mengekeh. "Ketua-ketua Perkumpulan Pengemis Darah Hitam, 

kuharap tanpa banyak bicara segeralah serahkan Keris Tumbal Wilayuda, Sultan Hasanuddin 

dan gadis itu kepadaku....!". 

"Eh... ini suatu hal yang tidak kami sangka! Rupanya kau juga inginkan semua itu 

heh...?”"Hidung kerbau!," maki Iblis Pencabut Sukma. "Aku bilang jangan banyak bicara! 

Serahkan cepat! Atau seluruh Perkumpulanmu akan kulabrak?!" 

"Ah.... Kalau tak salah kita ini masih sama-sama satu golongan. Kenapa harus bikin 

persoalan begini rupa? Semua manusia berhak memang memiliki keris dan kedua manusia 

yang kau katakan itu! Dan pihakku telah perhasil menguasainya, kau terlambat. Itu adalah 

salahmu sen....." 

"Katakan saja kau tak mau menyerahkan apa yang aku minta!,” memotong lblis 

Pencabut Sukma. 

"Untuk mendapatkan semua itu pihakku sampai korbankan salah seorang ketuanya! 

Sekarang kau seenaknya meminta! Aturan macam mana yang kau pakai?!" kata Pengemis 

Kaki Pincang. 

"Kaki Pincang kau menentukan kematianmu sendiri dengan bicara macam begitu..!" 

Pengemis Kaki Pincang tertawa tawar. "Orang lain mungkin takut pada kau! Tapi aku 

Pengemis Kaki Pincang boleh dicoba nyalinya!". lblis Pencabut Sukma tertawa gelak-gelak. 

Kedua kakinya merenggang. "Dalam satu jurus kau akan konyol ke akherat Pengemis Kaki 

Pincang!" 

"Coba saja, aku mau lihat!" kata Pengemis Kaki Pincang dengan tertawa menghina. 

Sementara itu telinganya mendengar suara rekannya si Mata Buta yang disampaikan dengan 

ilmu menyusupkan suara. "Ketua Kaki Pincang, hati-hatilah. Manusia ini berbahaya....". 

Ketika Iblis Pencabut Sukma angkat tangan kanan ke atas, dan ketika Pengemis Kaki 

Pincang pusatkan tenaga dalamnya ke tangan kiri tiba-tiba Kuntawana melompat antara 

tengah-tengah kedua Orang itu. 

"Manusia sontoloyo! Kau juga minta dikirim keakhirat?!" bentak Iblis Pencabut 

Sukma. Kuntawana menghadap pada Pengemis Mata Buta dan Kaki Pincang. "Para Ketua, 

harap perkenankan aku melayani dajal berkerudung ini sebagai penebus kesalahanku!". 

"Hem…". Pengemis Mata Buta merenung. "Baiklah. Kaki Pincang, kau mundurlah!" 

 Maka Pengemis Kaki Pincangpun mundurlah sedang Kuntawana segera cabut 

cambuk hitamnya. Iblis Pencabut Sukma menyeringai. "Manusia tampangmu cukup tiga 

langkah saja kulayani!". katanya. 

Kuntawana putar cambuknya dengan sebat. 

Iblis Pencabut Sukma maju satu langkah. 

Kuntawana tiba-tiba lepaskan pukulan tangan kiri, sesudah itu laksana hujan 

cambuknya bergelegaran ke arah lawan.Iblis Pencabut Sukma majukan langkah kedua. Jari-jari tangan kanannya terbentang ke 

muka seperti hendak mencaakar sedang tangan kiri mengebut menahan serangan lawan. Pada 

detik dia buat langkah ketiga maka tangan kanannya ditarik ke belakang dengan keras! Inilah 

yang disebut ilmu pukulan pencabut sukma! 

Kuntawana merasakan badannya seperti tersedot! Isi perutnya seperti dibetot! 

"Huah!" 

Sesaat kemudian anggota Pengemis Darah Hitam inipun muntah darahlah! Tubuhnya 

terkapar di lantai tanpa nyawa! 

Berdeburlah darah para anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Pengemis Kaki 

Pincang dan Pengemis Mata Buta tergetar hati masing-masing! Kuntawana adalah anggota 

Perkumpulan yang ilmu kepandaiannya tidak rendah. Tapi Iblis Pencabut Sukma 

membunuhnya hanya dalam tiga langkah! Iblis Pencabut Sukma tengadahkan muka dan tertawa 

bekakakan menegakkan bulu roma!. 

"Siapa yang tidak senang melihat mampusnya kroco itu boleh maju segera!,” katanya. 

Kemudian dia berpaling pada dua orang pimpinan Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. 

Sepasang matanya kelihatan menyorot berkilat. "Kalian berdua masih belum mau serahkan apa-

apa yang aku minta?!". 

Sebelum kedua Ketua Pengemis Darah Hitam berikan jawaban sesosok tubuh dengan 

gerakan enteng melompat, ke hadapan dua Ketua Pengemis Darah Hitam. 

"Para Ketua, perkenankanlah aku Lah Simpong untuk membasmi iblis yang kesasar 

ini!" 

Pengemis Mata Buta tidak memberikan sahutan. Dia tahu kepandaian Lah Simpong 

memang lebih tinggi dari Kuntawana, tapi untuk menghadap lblis Pencabut Sukma, tingkat 

kepandaian Lah Simpong masih belum dapat diharapkan. Sebaliknya Pengemis Kaki Pincang 

setelah merenung sejurus, lalu anggukkan kepala dan berkata, "Baiklah, tapi hati-hati. Manusia 

ini benar-benar ganas seperti iblis!" 

Setelah diperkenankan begitu rupa maka Lah Simpong segera putar badan. Cambuk di 

tangan kiri, sebuah toya besi di tangan kanan maka diapun maju ke arah Iblis Pencabut Sukma. 

Iblis Pencabut Sukma menyeringai di balik kerundung kain merahnya. "Rupanya Para 

Ketua Perkumpulan Pengemis Darah Hitam lebih suka korbankan anggotanya dari pada maju 

sendiri!" 

"Jangan banyak mulut manusia iblis! Lihat cambuk!"Cambuk hitam di tangan kiri Lah Simpong berkelebat. Suaranya menggelegar macam 

petir. Ujung cambuk dengan sangat cepat, sukar dilihat oleh mata biasa, mendera ke muka si 

kerudung merah! Sebelum serangan ini sampai, Lah Simpong susul dengan serangan toya besi 

hitam. Kedua ujung toya menderu berubah seperti ratusan banyaknya dan menyerang keselusin 

bagian tubuh Iblis Pencabut Sukma! 

Yang diserang terkekeh-kekeh. "Keluarkan seuruh kepandaianmu, Lah Simpong! Kalau 

tidak setengah jurus di muka kau akan jadi mayat!". 

"Tubuhmu yang akan terkapar lebih dulu, iblisl". Ujung cambuk menyambar dengan 

dahsyat ke muka Iblis Pencabut Sukma sementara toya besi sedetik lagi pasti akan menghancur 

luluhkan tulang-tulang anggota Iblis Pencabut Sukma! 

Tapi pada kejapan mata itu Iblis Pencabut Sukma kebutkan lengan jubah merahnya. Selarik 

angin pukulan yang hebat menyusup di antara deraan cambuk dan terus melabrak Lah Simpong. 

Tubuh anggota Pengemis Darah Hitam ini jatuh duduk di lantai. Mukanya pucat laksana mayat. Dia 

berusaha bangun. Tubuhnya tertatih-tatih tanda dia terluka parah di dalam! 

"Sekarang pasrahkan ajalmu, Lah Simpong!". Iblis Pencabut Sukma angkat tangan 

kanannya lalu ditarik ke belakang dengan cepat! Tubuh Lah Simpong seperti ditarik besi berani, 

tersedot sampai dua tombak ke muka, lalu jatuh menelungkup. Darah membuih dimulutnya. 

Ajalnya sampai! 

Putihlah wajah dua Ketua Perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Para anggota yang lain 

berdiri laksana kaku. Mereka merasa seperti nyawa mereka sendiri yang lepas waktu menyaksikan 

kernatian Lah Simpong itu! 

"Keganasanmu sudah keliwatan sekali, Iblis Pencabut Sukma!,” kata Pengemis Kaki 

Pincang. "Jangan harap kau bakal bisa tinggalkan tempat ini dengan selamat!". Pengemis Kaki 

Pincang maju dua langkah. "Mulailah, Iblis,” tantangnya. 

Iblis Pencabut Sukma tertawa dingin. 

Pengemis Kaki Pincang mendengus. "Kau tidak punya nyali untuk memulai?! Kalau begitu 

sambut pukulanku ini!". 

Pengemis Kaki Pincang angkat tangan kanan. Namun dua anggota Perkumpulan melompat 

ke tengah kalangan. Mereka adalah dua kakak beradik Sepasang Cakar Garuda yang dulunya 

merupakan fakir-fakir miskin di kaki gunung Salak, tapi yang kemudiannya berhasil diseret oleh 

Pengemis Kaki Pincang untuk masuk ke dalam Perkumpulan Pengernis Darah Hitam. 

"Para Ketua, kalau untuk membereskan manusia ini, serahkan pada kami!,” kata Sepasang 

Cakar Garuda yang tertua.Meskipun darahnya sudah mendidih namun Pengemis Kaki Pincang yang percaya akan 

kemampuan kedua anggotanya itu segera bersurut mundur! 

"Bereskanlah cepat!,” katanya. 

"Ah lagi-lagi bangsa-bangsa kroco yang disuruh maju!" menghina Iblis Pencabut Sukma. 

"Kroco atau apa, tapi ketahuilah nyawamu hanya beberapa kejapan mata saja Iblis!" 

1blis Pencabut Sukma mendengus. "Sombongnya!,” katanya. 

Dan disaat itu cambuk-cambuk lawan sudah menderu laksana topan, menyerang ke arah 

leher dan kaki, lalu bergantian secara teratur dan cepat membabat ke dada dan ke perut! Dalam 

seketika saja maka Iblis Pencabut Sukma sudah terbungkus serangan cambuk yang bergelegaran 

itu. Jubah Merah dan kerudungnya berkibar-kibar karena kerasnya sambaran cambuk hitam kedua 

lawan! 

"Hemm... permainan cambuk kalian boleh juga! Tapi aku mau lihat apa bisa menerima 

pukulan menendang langit menjungkir awan ini?!". 

Habis berkata demikian Iblis Pencabut Sukma tendangkan kaki kiri ke muka dan 

hantamkan telapak tangan karian dari bawah ke atas! 

Disaat itu pula maka menggelindinglah kedua anggota Perkumpulan Pengemis Darah 

Hitam itu. Tapi begitu terhampar begitu keduanya bangun lagi meskipun dengan keluarkan 

keringat dingin dan sama menyadari bahwa diri mereka di bagian dalam terluka parah! 

Keduanya sama-sama menggerung. Cambuk hitam mendera ganas. Sedang tangan kiri 

yang membentuk cakar burung garuda dengan kecepatan yang luar biasa menyambar ke muka 

dan ke dada Iblis Pencabut Sukma! 

"Oh jadi kalian adalah Sepasang Cakar Garuda huh?!" ujar Iblis Pencabut Sukma yang 

kenali permainan silat kedua lawannya. 

Sebaliknya dua anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu rupanya tidak mau 

kasih hati lagi. Serangan-serangan mereka yang dahsyat itu mereka susuli dengan empat buah 

tendangan sekaligus! Iblis Pencabut Sukma bersuit keras! Serasa mau pecah gendang-gendang 

telinga mendengarnya! Begitu suitannya lenyap maka dari tangan kirinya menyambarlah sinar 

merah yang menyeruak laksana kipas menyerang Sepasang Cakar Garuda sekaligus! Kedua 

anggota Perkumpulan Pengemis Darah Hitam itu mencelat ke loteng, satu amblas dan 

menyangsrang di papan loteng sedang yang satu lagi jatuh bergedebukan ke lantai. Tubuh 

keduanya merah matang laksana daging panggang! 

Pengemis Kaki Pincang tahan nafas. "Pukulan kipas merah,” membatin ketua Pengemis 

Darah Hitam ini sedang Pengemis Mata Buta meskipun tidak dapat melihat namun perasaannya

yang tajam serta pendengarannya yang luar biasa, diam-diam juga mengetahui ilmu pukulan 

apa yang telah dilepaskan lawan! 

Ruangan itu sehening di kuburan. 

Sekali lagi Iblis Pencabut Sukma menengadah dan keluarkan suara tertawa bekakakan. 

Dari arah pintu melangkah enteng seorang anggota Perkumpulan Pengemis Darah 

Hitam. Tubuhnya tinggi kekar. Tampangnya seram. Kumis dan janggutnya tajam meranggas 

sedang salah satu matanya picak. 

"Para Ketua, izinkan aku si Mata Picak membuat perhitungan dengan manusia itu!". 

Baik Pengemis Kaki Pincang maupun Pengemis Mata Buta sama-sama manggutkan 

kepala. Mata Picak adalah anggota yang paling tinggi ilmunya dan mempunyai kelihayan 

dalam memainkan senjata rahasia "paku darah hitam". Karena itu Ketua-ketua Perkumpulan 

pengemis Darah Hitam sama mempercayakan bahwa anggota mereka yang berilmu tinggi ini 

sanggup mengalahkan lawan yang tangguh itu. 

Mata Picak putar tubuh menghadapi Iblis Pencabut Sukma. 

"Iblis Pencabut Sukma," dia berkata, "aku Pengemis Mata Picak mohon diberi beberapa 

jurus Relajaran dari kau!" 

"Aha... Mata Picak, kau punya peradatan sedikit. Bagus aku ampunkan jiwamu! Tapi 

lekas korek kau punya biji mata lalu tinggalkan, tempat ini!" 

Gigi-gigi dan geraham Pengemis Mata Picak bergemeletakan. "Kepongahanmu setinggi 

langit Iblis Pencabut Sukma. Tapi apa kau kira kau punya nyawa rangkap!". 

lblis Pencabut Sukma tertawa bergelak. 

“Dikasih keampunan malah menantang!" 

"Sudahlah! Tiada guna bicara panjang lebar padamu! Mulailah!". 

-- == 0O0 == -- 

SEMBILAN 

“KARENA kau yang minta dikirim keakhirat, maka kau mulailah lebih dulu, Mata 

Picak!" kata Iblis Pencabut Sukma dengan jumawa. 

Mendengar ini Pengemis Mata Picak tidak sungkan-sungkan lagi. Laksana terbang, 

tubuhnya melesat ke muka. Empat tendangan menderu, enam pukulan membadai!Diam-diam Iblis Pencabut Sukma terkejut juga melihat kehebatan lawan yang satu ini. 

Dia membentak garang dan berkelebat cepat. Tubuhnyapun lenyap! Kelebatan tubuhnya 

mengeluarkan angin deras yang membendung keseluruhan serangan lawan. Penuh penasaran 

Pengemis Mata Picak keruk saku bajunya yang bertambal-tambal. 

"Lihat paku!" serunya. 

Dua belas buah paku hitam yang beracun melesat menyerang dua belas bagian tubuh 

Iblis Pencabut Nyawa. Manusia berkerudung ini menggerung dan kebutkan kedua tangannya. 

Maka terdengarlah jeritan Pengemis Mata Picak. Enam dari paku darah hitamnya yang beracun 

berbalik dan menembus tubuhnya sedang enam lainnya mental ke loteng! 

Terbeliaklah mata Pengemis Kaki Pincang dan anggota-anggota Perkumpulan lainnya 

yang masih hidup sedang Pengemis Mata Buta yang tidak punya mata kelihatan wajahnya 

mengkerut tegang. 

"Iblis Pencabut Sukma," buka suara Pengemis Mata Buta. "Kita sama-sama satu 

golongan hitam. Antara pihakku dan pihakmu tiada permusuhan. Mengapa turun tangan sampai 

seganas ini....?!" 

"Ah, aku bosan mendengar bicaramu yang itu ke itu juga! Walau bagaimanapun aku 

tidak sudi disama ratakan satu golongan dengan kau! Aku beri waktu lima kejapan mata 

bagimu dan rekanmu si pincang untuk merenung dan memenuhi permintaanku..." 

Lima kejapan matapun lewat dalam suasana hening tegang. 

"Kalian manusia-manusia keras kepala dan dogol geblek!" bentak Iblis Pencabut 

Sukma, "Lihat ini!" 

Sepasang tangannya terpentang ke muka dan dua larik sinar merah yang menyeruak 

seperti kipas menggebubu ke arah tiga belas orang anggota Perkumpulan Pengemis Darah 

Hitam. Pengemis Kaki Pincang dan Pengemis Mata Buta terkejut. Buru-buru keduanya 

hantamkan tangan untuk memapasi namun luput! Di seberang sana tiga belas anggota 

Perkumpulan Pengemis Darah Hitam mencelat ke dinding dan jatuh bertumpukan tanpa nyawa. 

Tubuh mereka matang merah laksana dipanggang! 

Maka murkalah kedua pucuk pimpinan perkumpulan Pengemis Darah Hitam. Keduanya 

maju berbarengan. 

"He... he, dua tokoh silat yang katanya lihay dan terkenal nyatanya hanya nama-nama 

kosong belaka, menyerang main keroyok!,” kata Iblis Pencabut Sukma dengan suara lantang.Pengemis Mata Buta, meskipun tokoh silat jahat golongan hitam, tapi mendengar ini 

segera bersurut mundur dan berkata . "Saudara Pengemis Kaki Pincang, bereskan biang 

malapetaka ini!". 

"Tak usah khawatir, Saudara Mata Buta,” menyahut Pengemis Kaki Pincang. "Tapi aku 

tidak begitu senang maenghadapi manusia yang sembunyikan muka dibalik kerudung!". 

Habis berkata begini, dengan keluarkan jurus "garuda sakti,” maka berkelebatlah 

Pengemis Kaki Pincang. Demikian cepat gerakannya sehingga tak terduga sama sekali oleh 

Iblis Pencabut Sukma. 

"Sreet" ! 

Maka robek dan tanggallah kerudung merah Iblis Pencabut Sukma! Dan terkejutlah 

Pengemis Kaki Pincang. Muka Iblis Pencabut Sukma nyatanya benar-benar menyeramkan 

seperti iblis. Keseluruhan mukanya hancur oleh bopeng-bopeng yang besar-besar (bopeng = 

burik). Kedua matanya sangat besar dan menjorok ke muka serta jereng (juling). Hidungnya 

hampir sebesar telapak tangan dan pesek lebar menutupi pipinya yang cekung. Bibirnya sangat 

tebal dan tak bisa dikatupkan sehingga kelihatanlah gigi-giginya yang besar-besar dan busuk! 

Kejut Pengemis Kaki Pincang hanya seketika. Menyusul terdengar suara tertawanya 

membahak. "Aha... kiranya Iblis Pencabut Sukma bermuka terlalu buruk, lebih buruk dari iblis 

sungguhan! Pantas sembunyikan muka dibalik kerudung!". 

Iblis Pencabut Sukma mendongak ke atas. Hidungnya keluarkan suara mendengus. 

"Jangan harap kau bisa selamat dalam tiga jurus, setan alas!,” bentaknya. 

Dan disaat itu Pengemis Kaki Pincang sudah melayang sebat ke mukanya. Dua tangan 

terpentang kemudian membuat enam serangan beruntun yang disusul oleh empat tendangan 

dahsyat! 

Iblis Pencabut Sukma mengaum macam harimau lapar. Sekali dia berkelebat maka 

lenyaplah tubuhnya dan pada sekejapan mata kemudian sinar merah berbentuk kipas 

menggelombang menyerang Pengemis Kaki Pincang. 

"Saudara Kaki Pincang! Hati-hatilah....!". memperingatkan Pengemis Mata Buta. 

"Ah, cuma pukulan picisan begini siapa yang takut!" sahut Pengemis Kaki Piricang 

seraya lompat tiga tombak ke atas. Serangan lawan berhasil dielakkan oleh Pengemis Kaki 

Pincang. Dengan geram Iblis Pencabut Sukma lompatkan diri pula ke udara seraya lancarkan 

jurus "menendang langit menjungkir awan". Karena jurus ini mempergunakan lebih dari 

setengah bagian tenaga dalamnya, maka tak ampun Pengemis Kaki Pincang mencelat ke atas 

panglari (loteng). Loteng bobol! Beringas sekali, sesudah berhasil lepaskan diri dari jepitapapan-papan loteng, Pengemis Kaki Pincang cabut pipa besarnya dari balik pakaian yang 

bertambal-tambal! Sekali menyedot, sekali menghembus maka melesatlah asap pipa yang pekat 

kelabu dan mengandung racun ganas! 

"Ilmu rongsokan macam ini tak perlu dipertontonkan padaku, Kaki Pincang!,” ejek Iblis 

Pencabut Sukma. Tangan kanannya diangkat ke atas lalu ditarik ke belakang! Pukulan pencabut 

sukma! Pengemis Kaki Pincang dengan cepat kerahkan tenaga dalamnya. Tapi apa daya. Dia 

tak bisa selamatkan diri. Isi perutnya serasa dibetot, nafasnya serasa disedot dan "puah...!". 

Pengemis Kaki Pincang muntah darah. Laksana daun kering tubuhnya yang tak 

bernyawa itu melayang ke bawah dan terhampar di lantai! Perkataan Iblis Pencabut Sukma 

yang menyatakan bahwa dia akan membunuh lawan dalam tiga jurus, kini terbukti! 

Dengan tengadahkan mukanya yang seram itu Iblis Pencabut Sukma tertawa panjang 

laksana serigala lapar di malam buta! 

Mengkerutlah wajah Pengemis Mata Buta. 

Urat-urat lehernya menggelembung. Pelipisnya bergerak-gerak sedang rahang-rahangnya 

bertonjolan. "Pengemis Mata Buta, hanya kau yang tinggal kini! Apa masih berkeras kepala untuk 

tidak mau serahkan apa yang kuminta...?!". 

Pengemis Mata Buta rangkapkan tangan di muka dada. Kehebatan Iblis Pencabut Sukma 

memang luar biasa. Setelah merenung sejenak maka buka suaralah dia. 

"Iblis Pencabut Sukma, sekalipun kau punya tiga kepala enam tangan, jangan harap aku 

tidak bernyali untuk melawanmu. Juga jangan harap aku akan kabulkan permintaan gilamu!" 

"Akh... kalau begitu kasihan sekali! Perkumpulan Pengemis Darah Hitam rupanya sudah 

ditakdirkan para iblis musti musnah hari ini!". 

"Perkumpulan Pengemis Darah Hitam tidak musnah! Sebaiknya bersiaplah untuk 

menghadap setan neraka, manusia iblis! Manusia iblis macammu memang tempatnya pantas di 

neraka!". 

Habis berkata demikian maka Pengemis Mata Buta masukkan tangan kanan ke balik jubah 

bertambal-tambalnya. Begitu tangan keluar maka bergemerlaplah sinar hitam sebilah pedang. 

Tergetar juga Iblis Pencabut Sukma melihat sinar senjata ini. 

"Jika kau punya senjata bagusnya lekas dikeluarkan, Iblis!" berkata Pengemis Mata Buta. 

"Untuk menghadapi manusia buta macam kau, perlu apa pakai senjata segala?! Majulah, tanganku 

sudah gatal-gatal untuk mencabut nyawamu!". 

"Jangan mimpi Iblis!" bentak Pengemis Mata Buta. Sekali dia melompat ke muka maka 

berkiblatlah taburan sinar hitam darisambaran pedangnya!Dan... "Plak" 

Tubuh Iblis Pencabut Sukma terdorong beberapa langkah kebelakang! 

Terkejutlah Pengemis Mata Buta ketika mengetahui bahwa lawannya tidak mendapat satu 

celaka apapun akibat ilmu pukulan "telapak tangan minta sedekah" yang sangat diandalkannya itu, 

padahal dalam ilmu pukulan ini dia sudah melatih diri sampaisepuluh tahun! 

Rasa terkejut dan kecewa melihat pukulannya hampa belaka membuat dalam kejapan itu 

Pengemis Mata Buta menjadisedikit lengah. Dan kesempatan ini tiada disia-siakan oleh lawan. 

Iblis Pencabut Sukma kirimkan satu tendangan ke perut lawan. Tak ampun lagi Pengemis 

Mata Buta jatuh duduk terkapar di lantai. Belum lagi dia sempat bangun maka lawan sudah 

gerakkan tangan lancarkan pukulan "pencabut sukma"! 

Pengemis Mata Buta merasakan adanya kekuatan dahsyat yang menyedot tubuhnya, segera 

dia buang diri ke samping. Tapi kasip. Perutnya terbetot menggelegak. Darah segar menyembur 

dari mulut. Tubuhnya kelojotan seketika. Sebelum meregang nyawa, manusia ini masih bisa keruk 

saku jubahnya dan lemparkan selusin paku darah hitam ke arah lawan. Ini tiada artinya bagi Iblis 

Pencabut Sukma. Dengan satu kebutan lengan baju maka mentallah paku-paku beracun itu! 

Selama beberapa ketika terdengarlah suara tertavva Iblis Pencabut Sukma. Tertawa yang 

membuat kedua matanya yang juling menjadi basah oleh air mata. 

Manusia bermuka seram bopeng ini kemudian membungkuk di hadapan Pengemis Mata 

Buta. Tangannya menggeledah di balik jubah bertambal-tambal mencari keris Tumbal 

Wilayuda. Bila bertemu segera diselipkan dibalik pinggangnya. Kemudian dia melangkah ke 

hadapan sosok tubuh Anjarsari yang saat itu tiada sadarkan diri karena telah ditotok jalan 

darahnya sewaktu dilarikan oleh Lah Simpong. 

Iblis Pencabut Sukma memandang dengan mata berkilat-kilat ke tubuh Anjarsari yang 

pakaiannya berada dalam keadaan tak menentu. Dia menyeringai penuh arti. Dibelainya pipi 

gadis itu. Betapa lembut dan halusnya. Dirabanya dadanya. Menggeletar tubuh Iblis Pencabut 

Sukma. Kalau tidak ingat bahwa dia musti lekas-lekas meninggalkan tempat itu maulah dia 

mengikuti segala lampiasan nafsunya. Dipanggulnya tubuh gadis itu di bahu kiri kemudian dia 

melangkah ke hadapan Sultan yang terbujur di lantai dan juga dalam keadaan tak berdaya 

karena ditotok. 

Sewaktu Iblis Pencabut Jiwa membungkuk pula untuk mengempit tubuh Sultan, tiba-

tiba berkelebatlah sesosok bayangan biru dan tahu-tahu tubuh Sultan disambar lalu dibawa lari! 

Kejut Iblis Pencabut Sukma tentu saja tiada terlukiskan. 

"Kurang ajar! Hai, berhenti!" teriaknya memerintah.

Tapi bayangan biru itu terus kabur tancap gas. Dengan geram Iblis Pencabut Sukma 

lemparkan tiga puluh jarum merah ke arah simanusia berjubah biru. Yang diserang, tanpa 

menoleh lambaikan tangan kirinya. Ketiga puluh jarum merah itupun mental laksana disapu 

topan! 

Iblis Pencabut Sukma angkat kaki coba mengejar. Tapi bayangan biru sudah lenyap. 

"Setan alas,” memaki dia. "pasti perempuan laknat itu lagi!". 

-- == 0O0 == -- 

SEPULUH 

LARINYA manusia berjubah biru itu sangat cepat sekali laksana angin. Sampai di satu 

puncak bukit, dia berhenti dan lepaskan totokan di tubuh Sultan. Begitu siuman Sultan tentu 

saja sangat terkejut mendapatkan dirinya dikempit oleh seseorang. Ketika dia coba meneliti 

paras orang itu ternyata dia mengenakan kerudung biru. Bau tubuhnya harum semerbak, 

seharum bunga melati yang tengah mekar diambang senja! Sultan merenung sejurus. Otaknya 

berputar mengingat apa yang telah terjadi atas dirinya sebelumnya. Kemudian dicobanya 

melepaskan diri dari kempitan manusia jubah biru itu untuk turun ke tanah. Tapi bagaimanapun 

kerasnya dia gerakkan badan, tetap saja dia tiada sanggup lepaskan diri. 

"Saudara, kau siapakah?,” bertanya Sultan. 

Orang itu tiada menyahut melainkan menjelajahi seantero kaki bukit dengan sepasang 

matanya yang bening. 

"Saudara, kau tentu orang yang telah menolong aku. Tapi siapakah engkau adanya? 

Mohon agar diriku diturunkan,” berkata Sultan Hasanuddin. Orang itu tetap tak menyahut. 

Kemudian dia berkelebat lagi dan tubuhnya lari lagi laksana angin ke arah sebelah timur. 

"Saudara, jika kau tak terangkan siapa kau, tidak menjadi apa. Tapi aku mohon agar 

diturunkan,” berkata Sultan setelah dirinya diajak lari kira-kira setengah jam lamanya. 

Si jubah biru lari terus. 

Dengan rasa penasaran Sultan berkata. "Jika kau tidak mau turunkan aku, terpaksa aku 

berlaku kasar terhadapmu!." 

Namun si jubah biru berkerudung biru tetap tak perdulikan ucapan yang mengancam itu. 

Maka Sultanpun gerakkan tangan kanannya untuk menyikut pinggang manusia jubah biru ituTapi anehnya berkali-kali dia lakukan hal itu maka tak satu hantaman sikunyapun yang berhasil 

mengenai sasarannya. 

"Pasti ini manusia sakti luar bisa!" membathin Sultan Hasanuddin. "Saudara, aku ini mau 

dibawa ke mana?" bertanya pula Sultan. 

Agaknya manusia berkerudung kain habis kesabarannya karena ditanya terus menerus. 

"Kau terlalu cerewet, lihat sajalah!". 

“Heh...?!” 

Sultan menjadi kaget. Betapa tidak karena orang yang membawa larinya itu ternyata 

adalah seorang perempuan! Meski suaranya agak membentak namun kemerduannya tiada sirna. 

"Pantas badannya berbau harum..," kata Sultan dalam hati. Dan bila dia menyadari bahwa dirinya 

di kempit dan dibawa lari demikian rupa tentu saja Sultan menjadi malu dan tidak enak. Dia me-

ronta-ronta lagi. Tapi tetap tak berhasil. 

Mereka kemudian memasuki sebuah rimba belantara. Di tengah rimba belantara ini 

terdapat sebuah goa dan ke dalam goa itulah si kerudung biru membawa Sultan. Ternyata di 

dalam goa tiada beda terangnya dengan udara di luar. Gua ini panjang dan mempunyai beberapa 

lorong yang bercabang-cabang, dan makin ke dalam makin menurun. 

Akhirnya mereka berhenti di satu ruang yang berbentuk kamar empat persegi. Disinilah 

baru si jubah biru melepaskan dan menurunkan Sultan. Sultan berdiri dan memandang 

berkeliling. 

Di salah satu dinding Sultan membaca sebuah tulisan yang berbunyi GOA DEWI 

KERUDUNG BI RU, Sultan jadi kaget dan memandang lekat-lekat ke paras si kerudung biru 

yang hanya sepasang matanya yang bening dan berkilat saja yang kelihatan. 

"Jadi saat ini aku berhadapan dengan Dewi Kerudung Biru…?,” kata Sultan pelahan. Tapi 

hatinya agak meragu. 

Di dalam ruangan itu terdapat dua buah batu hitam. Dewi Kerudung Biru pergi duduk ke 

salah satu batu lalu berpaling pada Sultan. 

"Silahkan duduk Sultan," katanya mempersilahkan. 

"Terima kasih," Sultan duduk. "Saudari, kau belum menjawab apakah kau yang selama 

ini dikenal di dunia persilatan dengan nama julukan Dewi Kerudung Biru...?". 

Yang ditanya tertawa merdu berderai laksana taburan mutiara yang berjatuhan ke ubin. 

"Itu tak perlu yang kau tanyakan lagi, kau sudah baca apa yang tertulis di dinding itu, 

bukan?". Dalam berkata begitu sepasang matanya tiada berkesip memandangi paras Sultan,"Ah kalau begitu sungguh tak terduga pertemuan ini. Terima kasih atas pertolonganmu 

Dewi Kerudung Biru...," kemudian sambungnya. "karena kau telah membawa aku ke sini, 

tentulah kau mempunyai maksud tertentu....". 

"Betul" membenarkan Dewi Kerudung Biru. "Aku tahu banyak apa yang telah terjadi 

dengan dirimu...,” 

"Terima kasih kalau Dewi telah mau ambil perhatian terhadap diriku. Mohon petunjuk 

selanjutnya.....” 

"Kau harus cepat pergi ke Demak dan menemui Sultan Trenggono untuk meminta 

bantuan. Kembalilah ke Banten dengan membawa sejumlah pasukan .......". 

"Memang itu sudah menjadi rencanaku Dewi,” kata Sultan pula. 

"Ya, tapi pasukan saja tidak cukup. Parit Wulung mempunyai benggolan-benggolan silat 

golongan hitam yang sakti....''. 

"Mohon petunjuk dari Dewi...". 

"Sebelum pergi kau harus tinggal selama satu hari di sini untuk kuturunkan beberapa ilmu 

silat....". Sultan gembira sekali. "Tapi," katanya. "waktu yang sesingkat itu apakah bisa berhasil 

baik?!". 

"Yang penting dasar-dasarnya, kemudian baru latihannya dan terakhir pelaksanaannya...” 

Sultan mengangguk. "Aku haturkan rasa hormat terhadapmu, Dewi. Mulai hari ini kau 

adalah guruku,” kata Sultan pula. 

Dewi Kerudung Biru geleng-gelengkan kepala. "Diriku tak perlu dihormati. Dan kuharap 

kau jangan salah sangka. Kalau aku wariskan beberapa ilmu kepandaian padamu bukan berarti aku 

telah menjadi guru dan kau telah menjadi murid....". 

"Jadi.....?" tanya Sultan heran. 

"Semuanya adalah semata-mata untuk menolongmu, Sultan". 

"Terima kasih. Aku tak akan melupakan kebaikanmu ini. Demikian juga dengan rakyat 

Banten kelak. Cuma, untuk mengenang wajah penolongku, untuk mengukirnya dalam ingatanku, 

bolehkah aku melihat paras aslimu, Dewi Kerudung Biru…?". 

Dewi Kerudung Biru tertawa lagi seperti mutiara jatuh berderai ke lantai. Merdu sekali 

suara itu membuat Sultan semakin tambah ingin untuk melihat wajah yang ada dibalik kerudung 

itu. 

Namun suara tertawa yang merdu itu segera lenyap ketika di mulut gua terdengar suara 

ribut-*

ribut. 

"Pasti perempuan itu telah membawa Sultan ke sini! Ayo kita selidiki ke dalam!".Dan sesaat kemudian empat sosok tubuh berjubah merah dan berkerudung merah muncul di 

ruangan itu. Sultan terkejut sedang Dewi Kerudung Biru mendengus di balik kerudungnya. 

Salah seorang dari anggota Iblis Pencabut Sukma berseru dan menunjuk ke muka. "Lihat! 

Tidak salah keterangan Wakil Ketua kita Sultan bersama dia!" 

Anggota Iblis Pencabut Sukma yang lain, yaitu yang berbadan tinggi langsing melangkah 

ke muka. "Perempuan laknat! Lekasserahkan rnanusia itu pada kami!".. 

"He... he.... berani memaki berani mampus kunyuk kerudung merah!" kata Dewi Kerudung 

Biru pula. 

"Betina edan, kau andalkan apakah berani berkata demikian?!" membentak si tinggi 

langsing. "Sebaiknya sebutkan nama masing-masing kalian! Aku tidak biasa membunuh kroco-

kroco tanpa tahu namanya!". 

Si tinggi langsing tertawa hambar. Sambil mendongak dan tepuk-tepuk dada dia berkata . 

"Namaku Siralaya. Gelarku Tangan Perenggut Jiwa....!” 

"Hem..bagus… bagus. Gelaranmu boleh juga. Tapi aku anya apakah kau akan maju 

seorang diri atau berempat sekaligus?!" 

Merahlah muka Tangan Perenggut Jiwa. 

"Perempuan sedeng, sambut seranganku ini!" 

Tangan Perenggut Jiwa pukulkan tangan kanannya. Berbarengan dengan itu Dewi 

Kerudung Biru dorongkan pula tangan kirinya ke depan. Si jangkung langsing Tangan Perenggut 

Jiwa terkejut ketika bagaimana angin pukulannya kena didorong oleh angin pukulan lawan 

sehingga membalik menyerangnya! Cepat-cepat dia menghindar kesamping. 

"Siralaya, kau minggirlah. Biar aku yang selesaikan dajal betina ini!". Anggota Iblis 

Pencabut Sukma yang kedua melangkah ke muka. 

"Sebutkan namamu!" bentak Dewi Kerudung Biru. 

"Namaku tidak perlu. Tapi gelarku adalah Si Penggoncang Langit!". 

"Ho... ooo.... gelarmu keliwatan sekali sehingga tidak cocok dengan tubuhmu yang 

kontet itu! Bagusnya kau pakai gelar Kodok Buduk!" mengejek Dewi Kerudung Biru. 

Mulut Si Penggoncang Langit berkemik. Sekali kedua tangannya bergerak maka dua 

gelombang angin yang menggetarkan ruangan itu melesat ke arah Dewi Kerudung Biru. 

Hebatnya, sang Dewi yang saat itu masih tetap duduk di atas batu keluarkan tertawa 

menghina dan kebutkan tangan kanannya. Maka runtuhlah angin pukulan Si Penggoncang 

Langit!Penasaran sekali anggota Perkompulan Iblis Pencabut Sukma ini melompat ke muka. Dua 

tangan terpentang lebar dan bergerak bersamaan dalam satu gerakan yang sukar dilihat oleh mata! 

"Manusia busuk macam kau tidak pantas dekat-dekat padaku!" bentak Dewi Kerudung 

Biru. Tangan kanannya memukul. Si Penggoncang Langit mencelat empat tombak terguling di 

tanah, mengeluarkan suara seperti orang muntah, tapi yang keluar dari mulutnya adalah semburan 

darah segar! 

Dalam keadaan begini Si Penggoncang Langit segera keruk saku jubah merahnya, 

keluarkan sebuah pil, menelannya dengan cepat lalu bersemedi pula dengan cepat dalam cara 

yang aneh yaitu kepala ke bawah kaki ke atas! 

Melihat dua kawannya dibikin kalah mentah-mentah maka majulah anggota Perkumpulan 

Iblis Pencabut Sukma yang ketiga. Manusia ini berbadan gemuk. 

"Dewi Kerudung Biru, aku tak akan kasih tahu nama juga tak perlu sebutkan gelaranku 

padamu. Tapi jika kau berpemandangan dan berpengalaman luas lihat seranganku ini!". Sigemuk 

ini menutup kata-katanya dengan gerakkan dua tangannya. Maka enam pisau terbang merah 

melayang ke arah enam bagian tubuh. Dewi Kerudung Biru! Diam-diam Sultan terkejut melihat 

kehebatan serangan pisau ini. Dia khawatir kalau Dewi Kerudung Biru tak sanggup mengelakkan 

keenam pisau itu sekaligus! 

Tapi anehnya yang diserang ganda tertawa semerdu perindu. Pisau terbang yang pertama 

ditangkapnya dengan tangan kanan. Kemudian senjata ini dipergunakannya untuk menangkis 

lima pisau terbang lainnya sehingga pisau yang di tangan maupun yang ditangkisnya patah dua 

dan bermentalan! 

Terbeliaklah mata keempat anggota Iblis Pencabut Sukma itu. Lebih-lebih Si Pisau 

Terbang. Selama hidup baru kali ini dia melihat serangan pisau-pisau terbangnya dihancurkan 

demikian rupa! Dan dalam terkejutnya itu dia melihat Dewi Kerudung Biru lemparkan kuntungan 

pisau kearahnya. Cepat-cepat Si Pisau Terbang berkelit tapi luput! Kuntungan pisau masih 

sempat menyambar telinga kirinya. Dan putuslah daun telinga laki-laki itu! Senjata makan tuan! 

Darah berlelehan. Dewi Kerudung Biru tertawa cekikikan! 

Kalap sekali maka berserulah Si Pisau Terbang. "Kawan-kawan mari kita kermus dajal 

betina ini!". 

Maka menyerbulah keempat anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma itu. Melihat 

sang Dewi dikeroyok begitu rupa Sultan Hasanuddin tak tinggal diam. Dia menerjang ke muka 

dan lancarkan satu serangan cepat ke arah Tangan Perenggut Jiwa. Namun disaat itu Dewi

Kerudung Biru menyibakkan badannya kesamping dengan berkata. "Sultan, kau tenang-tenang 

sajalah. Tak perlu susah-susah mengotorkan diri terhadap kroco-kroco bau tengik ini!". 

Sultan merasa tidak senang. Walau bagaimanapun saktinya Si Kerudung Biru namun 

pengeroyokan curang demikian rupa bertentangan dengan hati kesatrianya. Untuk kali kedua dia 

hendak menyerbu kembali. Namun disaat itu, terdengar jeritan Si Penggoncang Langit. Tubuhnya 

mencelat ke atas ruangan batu. Kepalanya hancur. Belum lagi tubuh Si Penggoncang Langit 

sampai ke lantai maka terdengar pekik anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma yang kedua. 

Tulang dadanya melesak ke dalam, iga-iganya putus! 

Si Pisau Terbang dan Tangan Perenggut Jiwa mengamuk habis-habisan. Dua puluh jurus 

berlalu sangat cepat. Dalam dua puluh jurus itu keduanya terus menerus mendesak Dewi 

Kerudung Biru dengan hebat. Ruangan bergoncang laksana dilanda lindu! Tiba-tiba Dewi 

Kerudung Biru melengking keras. "Iblis-iblis bau kentut! Minggatlah ke neraka!". 

Sepasang tangan sang Dewi yang halus tapi mengandung hawa kematian yang dahsyat 

membagi serangan dalam jurus dahsyat bernama "sepasang tangan menebar maut". 

Si Pisau Terbang dan Tangan Perenggut Jiwa tiada kesempatan lagi untuk mengelak. 

Menangkis mereka tiada punya nyali. Menghadapi maut di depan mata ini maka menjeritlah 

keduanya! 

Namun disaat itu pula dari luar terdengar suara menggeledek. "Manusia yang berani 

menghina anggota Perkumpulan adalah korbanku yang kedua ratus!". Begitu suara habis maka 

dua larik sinar merah yang panas menyembur ke arah Dewi Kerudung Biru! 

-- == 0O0 == -- 

SEBELAS 

SULTAN melompat ke samping untuk hindarkan sambaran sinar merah sedang Dewi 

Kerudung Biru sebaliknya malah pentang kedua tangan dan mendorong ke muka. Pertemuan yang 

dahsyat dari dua aliran pukulan menimbulkan goncangan yang hebat laksana dunia ini mau kiamat! 

Dewi Kerudung Biru berdiri tergontai seketika sedang lawan yang lepaskan pukulan tadi, 

yang saat itu hendak masuk ke dalam goa, terdorong kembali keluar mulut goa kena diterpa angin 

pukulan Dewi Kerudung Biru!Sesaat kemudian ketika manusia yang di luar goa itu masuk ke dalam ternyata dia adalah 

Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma. Di belakangnya menyusul satu lusin anggota 

lainnya. 

Dengan marah, Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma itu membentak. "Pisau Terbang dan 

Tangan Perenggut Jiwa, kalian memalukan saja tidak sanggup menghadapi betina galak ini. Biar 

aku yang jinakkan dia!". 

Habis berkata begitu maka Iblis Pencabut Sukma segera lancarkan jurus "menendang langit 

menjungkir awan"! Tidak sampai di situ saja maka dia susul serangan itu dengan taburan pukulan 

kipas merah! Betul-betul dua jurus yang sangat menggetarkan dan luar biasa! 

Dewi Kerudung Biru berkelebat cepat. Mulutnya terbuka. 

"Huaaah....!". 

Dari mulut sang Dewi menyembur sinar biru yang dahsyat. 

Iblis Pencabut Sukma terkejut. Bukan saja dua jurus serangannya tadi menjadi buyar, tapi 

serangan lawan dengan hebatnya terus menyerang kearahnya. 

"Asap kencana biru!,” seru Iblis Pencabut Sukma dengan kaget. Cepat sekali dia melesat 

enam tombak ke atas. Sewaktu turun dia sudah cabut sebilah pedang merah kemudian sambil 

menyerang dia berteriak. "Anak-anak, ayo tunggu apa lagi?!". Mendengar ini maka semua anggota 

Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma segera menyerbu. Sultan lagi-lagi hendak turut membantu sang 

Dewi, namun setiap saat dia gerakkan badan, setiap kali pula Dewi Kerudung Biru mendorongnya 

ke belakang sehingga dia tak bisa berbuat apa-apa! 

Dewi Kerudung Biru sungguh luar biasa dalam bertahan dan menyerang. Namun lawan-

lawannya banyak sekali, apalagi di bawah pimpinan Wakil Ketua mereka! Sesudah tiga puluh jurus 

berlalu maka sang Dewi mulai terdesak. Dua anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma berhasil 

ditewaskannya namun serangan-serangan lawan bukannya mengendur melainkan bertambah 

dahsyat. Diam-diam Sultan menjadi gelisah. Kali ini sang Dewi pasti tak bisa bertahan lebih dari 

sepuluh jurus lagi, pikirnya. Maka pada saat Dewi Kerudung Biru sibuk menghadapi lawannya, 

terbungkus oleh sinar pedang merah dengan cepat Sultan menerjang ke muka. Bantuan Sultan 

dalam lima jurus di muka sanggup mengimbangi lawan-lawan yang lihay itu. Namun lambat laun 

mulai mengendor. Bersama sang Dewi kembali keduanya terdesak! 

Dewi Kerudung Biru semburkan lagi "asap kencana biru"nya. Namun angin pedang merah 

di tangan Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma dengan hebatnya berhasil 

membuyarkan asap sakti itu!"Betina galak! Sekarang terimalah kematianmu!" bentak Iblis Pencabut Sukma. Dia 

memberi isyarat pada anak-anak buahnya. Berbarengan mereka sama angkat tangan kanan ke atas 

siap untuk lancarkan pukulan "pencabut sukma". Satu pukulan "pencabut sukma,” saja dahsyatnya 

bukan main, apalagi sekaligus duabelas pukulan, dapat dibayangkan bagaimana luar biasa 

kehebatannya! Dewi Kerudung Biru pentang kedua lengannya dan putar tubuh laksana baling-

baling. Mulutnya tiada henti menghembus-hembus mengeluarkan asap biru. Satu detik lagi maka 

duabelas tangan lawanpun ditarik ke belakang! 

Dalam suasana yang diliputi seribu ketegangan itu, tiba-tiba mengaunglah suara seperti 

suara seribu tawon mendengung. Di antara dengungan itu melengking pula suara siulan yang 

disusul oleh berkiblatnya seputaran sinar putih menyilaukan mata! 

Tiga anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma, termasuk Tangan Perenggut Jiwa 

terpekik dan rebah ke lantai mandi darah. Selarik sinar putih yang disertai raungan dahsyat kembali 

berkiblat dan Wakil Ketua Perkumpulan Pencabut Sukma dan anak-anak buahnya terpaksa 

batalkan serangan dan melompat ke satu pojok. 

"Pendekar 212!" terdengar seruan Sultan begitu dia kenali siapa adanya pendatang baru itu. 

Dewi Kerudung Biru sendiri memandang pada Wiro Sableng dengan sinar mata yang berkilat-kilat. 

Di balik pandangan mata itu seperti ada sesuatu yang disembunyikannya. Wakil Ketua 

Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma dan anggota-anggota lainnya memandang menyorot penuh 

amarah. 

Pendekar 212 Wiro Sableng sunggingkan senyum di wajahnya yang keren sedang tangan 

kanannya mempermainkan Kapak Maut Naga Geni 212. Melihat pada angka 212 yang tertera pada 

dua mata kapak di tangan si pemuda maka berkatalah Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut 

Sukma, sambil melintangkan pedang di muka dada. "Jadi kaukah yang selama ini dijuiuki Pendekar 

212 itu...?!". 

Jawaban Wiro Sableng hanya tertawa mengekeh. 

"Orang gendeng, apa kau sudah bosan hidup mau campur urusan orang lain....?!,” tanya 

Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma. 

"Atau mungkin masih belum tahu tengah berhadapan dengan siapa saat ini?!" ujar Si Pisau 

Terbang. 

"Siapapun kalian adanya tak lebih dari babi-babi cacingan yang diberi berjubah dan 

berkerudung merah!,” ejek Pendekar 212 pula!Marahlah Si Pisau Terbang. Tanpa banyak cerita dia lepaskan sekaligus selusin pisau 

terbang beracun ke arah Pendekar 212. Wiro Sableng gerakkan Kapak Maut Naga Geni 212 

membuat setengah lingkaran. 

"Tring... tring.... tring...". 

Kedua belas pisau terbang itu musnah patah-patah. Melototlah mata Si Pisau Terbang. Dia 

menyurut undur dua langkah. 

"Pisau Terbang, kau minggirlah. Biar aku yang antarkan manusia bosan hidup ini ke pintu 

gerbang akhirat!” 

Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma maju dua langkah. Sultan Hasanuddin 

dengan ilmu menyusupkan suara beri peringatan pada Pendekar 212. "Sobat, hati-hatilah 

terhadapnya. Dia saktisekali!"' 

Begitu peringatan Sultan berakhir maka Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma telah lancarkan 

serangan pedang merah dalam jurus yang luar biasa. Jurus ini sekaligus merupakan empat tebasan 

dan empat tusukan! 

"Ah cuma ilmu pedang picisan saja mau diandalkan," Ejek Wiro. Kapak Naga Geni 

ditangannya menderu. Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma tiada berani mengadu 

senjata. Hatinya tergetar ketika merasakan bagaimana sinar putih senjata lawan membuat 

pedangnya tak bisa bergerak leluasa. Manusia ini membatin. "Celaka, paling lama aku hanya bisa 

layani si keparat ini dalam dua puluh lima jurus!". Dan dia segera putar otak untuk cari kesempatan 

larikan diri! 

Pendekar 212 yang tahu gelagat lawan segera lancarkan serangan ganas. Wakil Ketua 

Perkumpulan. Iblis Pencabut Sukma angsurkan pedang merah kemuka untuk menangkis karena 

bertindak berkelit tiada punya kesempatan lagi. 

"Trang"! 

Maka patahlah pedang merah Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma itu! 

Keringat dingin memercik di kening manusia iblis ini! Nyalinya lumer! Sambil angkat tangan 

kanannya tinggi-tinggi ke atas untuk lepaskan pukulan yang sangat diandalkannya yaitu pukulan 

pencabut sukma, maka dia berseru pada sisa-sisa anak buahnya. 

"Kalian jangan mematung saja! Marisama kita bereskan anjing kurap ini!'". 

Maka delapan anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma dengan membentak dahsyat 

segera menerjang ke muka dan langsung lancarkan pukulan pencabut sukma! 

"Wiro! Awas! Mereka hendak lepaskan pukulan pencabut sukma!" seru Dewi Kerudung 

Biru. Bahwasanya sang Dewi mengetahui namanya inilah satu hal yang mengejutkan Pendekar 212

Wiro Sableng! Keterkejutan ini membuat dia menjadi lengah seperempatan detik. Dan itu sudah 

cukup bagi Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma serta anak-anak buahnya! 

"Mampuslah!" 

Dewi Kerudung Biru menjerit! Sultan sendiri pucat lesi parasnya Tiba-tiba Pendekar 212 

meraung laksana halilintar. Dia melompat ke muka Kapak naga Geni 212 menderu. Empat suara 

pekikan seperti mau memecahkan anak telinga. Empat anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma 

terkapar dengan tubuh hampir kuntung! Pendekar 212 ayunkan Kapak Naga Geni 212 sekali lagi 

namun disaat itu Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukmat dan sisa-sisa anak buahnya 

sudah lenyap larikan diri keluar goa. 

Pendekar 212 bediri nanar. Sultan melompat ke muka dan merangkul tubuh Wiro. Di balik 

kerudungnya Dewi Kerudung Biru menggigit bibir. Sepasang matanya yang jeli dipejamkan.Wiro 

ambil sebutir pil dari saku pakaiannya lalu ditelan dengan cepat. Dewi Kerudung Biru kemudian 

berdiri dan kedua tangannya ditekankan ke bahu Pendekar 212 untuk alirkan tenaga dalam guna 

bantu menyembuhkan luka yang diderita Pendekar itu. Namun sesaat kemudian Pendekar 212 

mengerang halus lalu pingsan tiada sadarkan diri! 

-- == 0O0 == -- 

DUA BELAS 

SULTAN cemas sekali melihat keadaan Pendekar 212 demikian rupa. Bersama Dewi 

Kerudung Biru, Wiro dibaringkan di lantai, kepalanya diganjal dengan sehelai kain yang 

dilipat-lipat. 

"Dewi, apakah… apakah dia…?" Sultan tak bisa meneruskan pertanyaannya. 

Dewi Kerudung Biru hela nafas. "Sebenarnya aku yang salah karena aku telah berseru 

memanggil namanya tadi," berkata perempuan itu. Dihelanya lagi satu kali nafas dalam. "Tapi 

lukanya tak begitu parah. Besok pagi dia sudah sembuh kembali. Untung saja berilmu tinggi, 

kalau tidak keseluruhan isi perutnya pasti akan berbusai ke luar dari mulut." 

"Dewi, kau tahu nama pemuda ini. Apakah kalian pernah kenal sebelumnya...?" 

Dewi Kerudung Biru elakkan pertanyaan itu dengan balik menanya. "Kau sendiri punya 

hubungan apa dengan dia…?"Maka Sultan Hasanuddin menuturkan mulai pertama kali dia kenal dan ditolong oleh 

Pendekar 212. Mendengar itu kembali sepasang mata Dewi Kerudung Biru berkilat-kilat. Dan 

hal ini diam-diam diperhatikan oleh Sultan sehingga dia merasa yakin pastilah ada hubungan 

apa-apa antara Dewi Kerudung Biru dengan Pendekar 212 sebelumnya. Tapi untuk bertanya 

lebih jauh Sultan merasa segan. 

"Dia memang sakti sekali, Sultan,” berkata sang Dewi. "Sikapnya kadang-kadang lucu 

tapi juga menyakitkan hati. Bahkan banyak orang yang menyangka dia kurang sehat pikiran. 

Tapi hatinya sepolos permata, seputih kertas, jujur. Beberapa tokoh persilatan telah 

meramalkan bahwa kelak dikemudian hari dia bakal merajai dunia persilatan…" 

Sultan Hasanuddin manggut-manggut. 

"Sultan, dalam hal ini kita tak punya waktu lama. Aku akan ajarkan padamu beberapa 

jurus ilmu silat dan ilmu asap kencana biru… " 

"Aku haturkan ribuan terima kasih Dewi," kata Sultan dengan gembira. 

"Silakan duduk bersila dan pejamkan mata," Dewi Kerudung Biru berkata. 

Sultan menurut. Dia duduk bersila dan pejamkan mata. Dewi Kerudung Biru kemudian 

salurkan tenaga dalamnya ke tubuh Sultan melalui pundak. Selesai menerima saluran tenaga 

dalam itu Sultan merasakan tubuhnya sangat enteng dan segar bugar. "Sekarang aku akan 

ajarkan padamu dua jurus ilmu silat. Dua jurus ilmu silat ini hanya empat orang yang pernah 

memilikinya. Yaitu Pendekar Seberang Lor, Resi Warajana, Dewi Kencana Wungu. Ketiganya 

sudah meninggal. Aku adalah pewarisnya yang keempat dan bila kuajarkan dua jurus itu 

kepadamu maka kau adalah perwaris yang kelima! Jurus yang pertama ialah jurus naga kepala 

seribu mengamuk. Yang kedua, jurus Cakar garuda emas. Keduanya merupakan jurus-jurus 

yang sukar dicari bandingannya dalam dunia persilatan. Jika kau benar-benar meyakininya, per-

cayalah tidak sembarang musuh bisa melayanimu." 

"Terima kasih Dewi… ribuan terima kasih. Jadi kalau begitu Dewi adalah murid dari 

Dewi Kencana Wungu…?" 

Sang Dewi mengangguk. "Mari kita mulai,” katanya. 

Karena Sultan sebelumnya sudah mempunyai dasar ilmu silat yang tinggi juga maka 

kedua jurus yang diajarkan padanya itu dengan mudah dan cepat bisa dipahaminya. Dewi 

Kerudung Biru gembira sekali. Kemudian kepada Sultan diajarkan pula ilmu Asap 

kencana biru. Ilmu ini agak sukar mula-mula dipahami oleh Sultan namun karena 

tekunnya beberapa jam kemudian dia berhasil juga menguasainya."Kecerdasanmu luar biasa sekali, Sultan,” kata Dewi Kerudung Biru. "Malam ini, 

sampai esok pagi teruslah berlatih." 

"Nasihat Dewi akan kuperhatikan,” jawab Sultan. Dan malam itu, seorang diri 

Sultan melatih diri. Dewi Kerudung Biru sementara itu duduk bersemadi. Meskipun dia 

pejamkan mata namun bila ada jurus-jurus yang agak salah dilakukan oleh Sultan dia me-

ngetahuinya dan segera menegur ! 

Keesokan paginya… 

Di luar gua burung-burung berkicau bersahut-sahutan menyambut kedatangan pagi 

yang ditandai munculnya sang surya di ufuk timur. Di dalam gua Sultan tengah duduk 

berhadap-hadapan dengan Dewi Kerudung Biru. 

"Yakini dan pelajari terus ilmu-ilmu yang telah kau milik itu Sultan. Kelak 

kemudian hari kau akan buktikan sendiri kemanfaatannya. Sekarang, selagi hari masih 

pagi, selagi udara masih segar, maka segeralah berangkat ke Demak. Dalam semediku 

malam tadi aku mendapat sedikit renungan petunjuk dari Yang Kuasa bahwa kekuasaan 

kaum pemberontak yang kini bercokol di Banten tidak akan lama....” 

Sultan mengangguk. Dia memandang pada tubuh Pendekar 212 yang sampai saat 

itu masih juga terbaring dalam pingsannya. "Bagaimana dengan sshabatku ini, Dewi? 

Kalau bisa aku ingin berangkat bersama-sama dia...” 

Dewi Kerudung Biru menggeleng. "Dalam rencana untuk menumpas kaum 

pemberontak, dalam usaha menegakkan yang benar dan menghancurkan yang bathil, 

kalian berdua sama satu tekat dan satu hati. Namun dalam mencapainya masing-masing 

kalian mempunyai cara tersendiri. Harap kau bisa merenungi hal ini, Sultan…” 

Sultan Hasanuddin termenung sejenak. Memang ucapan Dewi Kerudung Biru itu 

dapat dipahaminya. 

Dia memandang lagi pada Wiro Sableng. "Apakah dia akan segera siuman dan 

sembuh kembali, Dewi?" bertanya Sultan. 

Sang Dewi mengangguk. 

"Mengenai diri Andjarsari dan keris Tumbal Wilayuda, bisakah kau memberi 

petunjuk…?" 

"Andjarsari diculik oleh komplotan Iblis Pencabut Sukma, Keris Tumbal Wilayuda 

juga mereka yang mencurinya…” 

"Kalau begitu,” kata Sultan dengan kepalkan tinju. "aku akan cari sarang 

mereka...!"Dewi Kerudung Biru gelengkan kepala. "Selain besar bahayanya juga kau mesti 

pergi ke Demak sekarang juga Sultan." 

"Aku tidak takut mati!,” kata Sultan jantan. "Aku rela korbankan jiwa demi 

tegakkan Kerajaan Banten yang syah kembali." 

"Aku puji hati kesatriaan dan kecintaanmu pada Kerajaan Banten, Sultan. Tapi 

ingat, agaknya caramu untuk mencapai rencana itu hanya dengan mengikuti kehendak hati 

sendiri. Salah-salah kau bisa celaka dan Banten tetap dikuasai oleh kaum pemberontak 

Parit Wulung." 

"Kalau begitu katamu, aku menurut,” ujar Sultan Hasanuddin akhirnya. "Tapi 

sebelum pergi perkenankanlah aku melihat parasmu." 

Dewi Kerudung Biru menggeleng. "Sayang, masih belum.saatnya aku 

mengabulkan permintaanmu Sultan. Harap dimaafkan." 

Sultan Hasanuddin menghela nafas dalam. Dia ucapkan lagi rasa terima kasih yang 

sebesar-besarnya. 

"Jasa dan pertolonganmu akan kuingat, akan dikenang oleh rakyat Banten. Disatu ketika 

aku akan datang lagi menyambangimu, Dewi,” Sultan memanggut memberi hormat lalu 

meninggalkan tempat itu. 

Kira-kira tiga kali sepeminuman teh lamanya Sultan meninggalkan Goa Dewi 

Kerudung Biru maka dihadapan jalan yang ditempuhnya tahu-tahu muncullah tiga orang 

penunggang kuda. Ketiganya berjubah dan berkerudung kain merah darah. Anggota-anggota 

Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma!” 

Sesaat kemudian merekapun berhadap-hadapanlah. 

Anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Suma yang paling muka buka suara membentak, 

"Lekas mengaku, apa kau Sultan Banten yang melarikan diri itu?!" 

Kawannya yang lain menyela. "Melihat kepada tampangnya pasti tidak salah lagi! Ayo 

kawan-kawan mari kita berebut pahala meringkus manusia ini!" 

Maka ketiga anggota Perkumpullan Iblis itu pun melompatlah dari kuda masing-

masing. Sambil melompat ketiganya sekaligus keluarkan jurus warisan Ketua mereka yang 

dinamai "tiga pasang lengan meremas tangkai bunga teratai" Yang satu datang dari atas, yang 

kedua dari depan dan yang terakhir dari belakang! Tapi Sultan yang sekarang jauh berbeda de-

ngan Sultan sehari sebelumnya. 

Sekali Sultan membentak maka terpentanglah kedua tangannya yang mana disusul 

dengan gerakan sebat laksana ribuan ekor naga menyengat kian ke mari !

Melihat ini, terkejutlah ketiga penyerang. Buru-buru mereka batalkan serangan jurus 

pertama dan menyusul dengan jurus "memukul kasur menggeprak bantal!" Ini adalah satu jurus 

yang cukup lihay. Anggota Perkumpulan Iblis yang di atas hantamkan dua telapak tangannya 

sekaligus sedang yang di depan dan di belakang kirimkan pukulan keras ke dada dan ke 

punggung. Tak ayal lagi Sultan segera praktekkah ilmu yang baru diyakininya dari Dewi 

Kerudung Biru yaitu keluarkan jurus "cakar garuda emas!" 

"Brettt... bret!" 

"Kurang ajar! Matipun kau masih cukup pantas untuk diserahkan kepada Ketua kami!" 

bentak anggota Perkumpulan Iblis yang sempat selamatkan diri. Dia memberi isyarat pada dua 

kawannya. Serentak ketiganya menyerbu dan angkat tangan kanan tinggi-tinggi. Namun 

sebelum pukulan "pencabut sukma" itu sempat mereka laksanakan. Sultan buka mulutnya dan 

asap biru menggebubu ke arah ketiga penyerangnya. 

"Asap kencana biru!" seru salah seorang anggota Perkumpulan Iblis dengan terkejut. 

Buru-buru dia tutup jalan nafas. Tapi dua orang kawannya terlambat. Begitu tercium oleh 

keduanya kepulan asap biru yang mengandung racun itu maka hancurlah pembuluh-pembuluh 

darah dan pecahlah paru-paru mereka. Keduanya mati di situ juga! 

"Pemuda, ada hubungan apa kau dengan Dewi Kerudung Biru? Apakah kau 

muridnya?!" bentak anggota Perkumpulan Iblis yang masih hidup. 

Sultan kertakkan rahang. Tubuhnya berkelebat. Dua tangan terpentang lebih dahsyat 

dari yang pertama tadi dan "brak"! Hancurlah mulut yang membentak itu! Tubuh anggota 

Perkumpulan Iblis itu kelojotan sebentar lalu kaku tegang untuk selamalamanya ! 

-- == 0O0 == -- 

TIGA BELAS 

KETIKA Wiro Sableng,

siuman dari pingsannya dirasakannya kepalanya dipangku oleh 

satu paha yang panas sedang hidungnya mencium bau harum menyegarkan. Dibukanya matanya 

dan pandangannya membentur sebuah wajah yang ditutupi kerudung kain biru. Terkejutlah 

pemuda ini. Cepat-cepat dia bangun dan berdiri. Di balik kerudungnya, Dewi Kerudung Biru 

menjadi kemerah-merahan pipinya.Wiro Sableng memandang berkeliling. Ruangan itu telah bersih dari mayat-mayat 

anggota Pepkumpulan IbIis Pencabut Sukma. Sultan sendiri tiada kelihatan.

"Kemana dia...?!" 

tanya Wiro. 

"Dia siapa...?" 

"Sultan!" 

"Sudah pergi pagi tadi. Pergi ke Demak!" Pendekar 212 memandang lama-lama ke muka 

yang ditutup kerudung itu. Suara perempuan di hadapannya ini rasanya pernah didengar dan 

dikenalinya sebelumnya tapi lupa di mana! 

Ketika ingat bahwa perempuan itulah yang telah menolongnya, maka Pendekar 212-pun 

segera menjura. 

"Dewi Kerudung Biru, aku haturkan-terima kasih atas pertolonganmu. Di lain hari kelak 

aku akan balas budi baikmu itu." 

"Aku tak mengharapkan balasan apa-apa…". Dan Dewi Kerudung Biru memandang ke 

jurusan lain ketika untuk kesekian kalinya mata Pendekar 212 memperhatikan sepasang matanya 

lakat-Iekat. Dadanya bergetar. Ditahannya gelora hatinya. 

Melihat sikap sang Dewi, ingat bahwa dia pernah mengenali suara perempuan itu 

sebelumnya maka inginlah Wiro melihat paras di balik kerudung itu. Namun diajukannya dulu 

pertanyaan. "Dewi, mungkin kau bisa memberi petunjuk di mana Andjarsari dan keris Tumbal 

Wilayuda berada…?" 

"Andjarsari diculik oleh komplotan Iblis Pencabut Sukma. Keris Tumbal Wilayuda juga 

ada pada mereka. Kau harus cepat turun tangan Pendekar 212!" 

"Tapi dunia begini luas, dimana aku akan cari mereka?" 

"Komplotan itu bersarang di Lembah Batu Pualam...!” 

"Terima kasih atas keteranganmu Dewi,” Wiro merenung sejenak. Tiba-tiba dia ingat 

sesuatu. "Dewi Kerudung Biru, sewaktu aku bertempur melawan anggota komplotan itu kau telah 

berseru menyebut namaku. Tahu dari manakah...?" 

Tergetarlah hati sang Dewi mendengar pertanyaan ini. Dengan memandang kejurusan 

lain menjawablah dia . "Nama seorang pendekar tentu saja dikenal sampai ke mana-mana…" , 

"Aku bukan pendekar apa-apa..,” kata Wiro merendah. "Dan terus terang saja aku rasa-

rasa pernah bertemu dengan kau sebelumnya. Aku masih bisa ingat dan mengenali suaramu…" 

Dewi Kerudung Biru tundukkan wajah. Matanya yang jeli dan bercahaya kini kelihatan 

redup dan diambangi air mata. Ditekannya perasaannya yang menggelora. Dikerahkannya tenaga 

dalamnya agar tidak gemetar suaranya. "Tidak . . . kita tak pernah bertemu sebelumnya Pendekar212. Dan di dunia ini mungkin saja ada beberapa manusia yang punya suara hampir bersamaan . . 

. ." 

Wiro Sableng maju satu langkah. 

"Dewi, kalau kau tak mau berterus terang, kasihlah tahu saja siapa namamu sebenarnya." 

"Kau sudah tahu." 

"Ah… Dewi Kerudung Biru itu hanya nama gelaran belaka…,” jawab Wiro pula. 

"Di lain hari mungkin aku baru bisa beri tahu nama. Sekarang harap kau suka 

tinggalkan tempat ini. 

Tapi pemuda itu tetap berkeras. "Dengar Dewi, setiap orang yang pernah menolong aku, 

musti kuketahui siapa dia adanya. Kalau kau tak mau kasih tahu nama tak apa. Namun apakah 

kau juga tak sudi buka kerudung itu sebentar dan memperlihatkan paras…?" 

Dewi Kerudung Biru menghela nafas. "Itu juga tak perlu. Kau akan menyesal…" 

"Menyesal kenapa?" 

"Kau akan terkejut karena mukaku sangat buruk dan mengerikan…". 

"Muka yang buruk tapi hati yang polos dan berbudi seribu kali lebih baik dari wajah 

bagus dan hati busuk jahat." 

"Permintaanmu tak dapat kukabulkan,” kata Dewi Kerudung Biru dengan ketegasan 

yang dipaksakan. 

Pendekar 212 maju lebih dekat. "Kalau begitu..,” katanya, "harap maafkan karena aku 

terpaksa melakukan ini". Wiro ajukan tangan hendak membuka kerudung penutup wajah. 

"Apakah seorang ksatria bersikap sekurang ajar dan tak tahu peradatan?!,” bentak Dewi 

Kerudung Biru. 

Tangan Wiro tertahan seketika. Tapi karena perempuan itu dilihatnya tiada menjauhkan 

kepalanya maka diteruskannya niatnya. 

“Sret!” 

Terbukalah kerudung biru itu! 

Dan terbeliaklah mata Pendekar 212. 

“Anggini.!,” serunya. 

Ternyata paras di balik kerudung itu adalah paras seorang gadis jelita. Gadis jelita yang 

dulu pernah dikenal oleh Pendekar 212 sebagai murid Dewa Tuak! (Baca. "Maut Berjanji di 

Pajajaran"). 

Untuk beberapa lamanya kemudian Wiro Sableng hanya bisa berdiri terlongong-

longong sedang Anggini sendiri tundukkan kepalanya coba menyembunyikan sepasang 

matanya yang berkaca-kaca dan juga sembunyikan parasnya yang membayangkan perasaanserta gelora hatinya. Selama beberapa bulan dia telah berkelana untuk mencari Pendekar 212 

dan baru hari itu mereka jumpa dalam satu suasana yang tak terduga! 

"Apakah dia dapat memaklumi bagaimana perasaan hatiku terhadapnya?" membathin 

Anggini atau Dewi Kerudung Biru. 

"Ini adalah satu hal yang tak terduga. Anggi...ni…,” desis Wiro. 

Anggini anggukkan kepala. "Ya, suatu hal yang tak terduga..,” suaranya yang rawan 

ditindihnya dengan tenaga dalam sehingga getaran hatinya tiada kentara oleh si pemuda. 

"Tapi ini adalah juga merupakan hal yang menggembirakan,” ujar Pendekar 212 pula. 

"Ilmumu maju pesat sekali. Siapa yang menduga kalau Dewi Kerudung Biru itu nyatanya 

adalah engkau sendiri…?!" 

Karena Anggini diam saja dan masih tundukkan kepala maka bertanyalah Wiro. "Aku 

tak mengerti, mengapa tadi kau sengaja mengatakan parasmu buruk…” 

"Ah..... Anggini tarik nafas dalam. 

Pendekar 212 merenung sejenak. Terkenang dia pada satu malam beberapa bulan yang 

lewat ketika dia berada berdua-duaan dengan Anggini yaitu sehabis pertempuran di Gua 

Sanggreng. 

"Selama waktu ini tentu kau telah menuntut ilmu pada seorang guru sakti. Bukankah 

demikian…?" 

Anggini mengangguk. 

"Rupanya kau kurang begitu senang dengan pertemuan ini, Anggini?" tanya Wiro 

Sableng. 

"Jangan menduga yang bukan-bukan, Wiro..,” jawab Anggini dan dalam hatinya dia 

menambahkan. "Kalau kau tahu perasaanku terhadapmu…" 

Setelah termanggu sejurus maka berkatalah Wiro. "Malam menjelang pagi tempo hari 

itu menyesal aku terpaksa meninggalkan kau... Apakah kau sudah kembali dan bertemu dengan 

gurumu Dewa Tuak...?" 

Dewi Kerudung Biru menggeleng. 

"Kenapa . . .?" 

"Mana mungkin aku kembali jika tidak memenuhi perintahnya tempo hari...?" Habis 

mengucapkan kata-kata itu memerahlah kedua pipi Anggini karena jengah. 

Wiro Sableng tertawa. "Ho-oh, jadi rupanya cerita itu masih belum juga selesai sampai 

sekarang... Wiro geleng-gelengkan kepala.” (Sebagaimana diketahui-dalam buku "Maut Ber-

nyanyi di Pajajaran,” guru Anggini yaitu Dewa Tuak berniat keras untuk menjodohkan Angginidengan Pendekar 212. Tentu saja Pendekar 212 tidak mau. Setelah terjadi beberapa jurus 

pertempuran yang sengaja ditimbulkan oleh Dewa Tuak kemudian memerintahkan Anggini 

untuk mencari Pendekar 212 dan muridnya itu tidak diperkenankan kembali kepertapaan, 

kecuali dengan membawa Pendekar 212 sebagai calon suaminya ! 

"Semustinya kau kembali ke tempat gurumu, Anggini. Siapa tahu dia telah merubah 

niatnya yang kurang bisa diterima itu...!" 

"Aku tahu sifat guruku, Wiro. Sekali dia kasih perintah tak bakal ditariknya kembali! 

Dari jika aku tak bisa melaksanakan perintahnya pulang ke pertapaan berarti hanya untuk 

terima hukuman. 

"Dan karena itu kau tak kembali-kembali kesana . . . ?" . 

"Ya,” lalu tanpa diminta gadis itupun memberi penuturan. "Pagi sesudah kau pergi itu, 

aku terus mencarimu sampai berbulan-bulan hingga pada suatu hari aku bertemu dengan dua 

orang penunggang kuda berkerudung dan berjubah merah. Ternyata dia adalah Ketua 

Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma dan seorang anak buahnya. Kau sudah lihat bagaimana ke-

ganasan komplotan mereka. Meskipun tak ada silang sengketa namun mereka dengan sengaja 

mencari gara-gara hendak meringkusku. Anak buah Iblis itu berhasil kubunuh tapi untuk 

menghadapi Ketua Iblis Pencabut Suma aku tiada mampu. Dalam keadaan ditotok kemudian 

diriku dilarikan ke sarang mereka di Lembah Batu Pualam, Aku dimasukkan ke sebuah 

kamar…" 

Sampai di sini Anggini tak meneruskan kalimatnya. Ditelannya nafasnya beberapa kali. 

Air mata yang sejak tadi mengambang ke pipinya yang kemerahan. Wiro sendiri merasa 

dadanya dan nafasnya seperti menyesak. Mungkin selama ini baru kali di saat itulah dia berada 

dalam suatu keadaan yang serius demikian rupa. Sifat dan sikapnya yang selama ini selalu lucu 

jenaka lenyap ditelan gelombang perasaan setelah mendengar penuturan Anggini, penuturan 

yang masih belum habis. 

Dengan menguatkan hatinya maka Anggini kemudian meneruskan penuturan. "Ketua 

Iblis Pencabut Sukma laknat itu hendak meperkosaku. Kemudian diriku akan diteruskannya 

pada bawahan-bawahannya. Tapi Tuhan masih melindungiku. Sebelum Ketua Perkumpulan 

laknat itu berhasil melampiaskan maksud terkutuknya, seorang nenek-nenek sakti menerobos 

masuk ke dalam kamar dan melarikanku…" 

Anggini menarik nafas dalam seketika lalu meneruskan. "Ternyata nenek-nenek sakti 

itu adalah Dewi Kencana Wungu. Aku dibawanya kepertapaannya dan diambilnya menjadi 

murid. Sekarang beliau sudah tiada. Sudah meninggal…"Lama kesunyian menjelang. 

"Apakah rencanamu untuk masa mendatang…?" bertanya Pendekar 212. 

"Aku sendiri masih belum tahu. Tapi yang pasti ialah aku harus membuat perhitungan 

dengan Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma itu…" 

"Agaknya kita mempunyai tujuan yang sama yaitu sama-sama menghancurkan 

komplotan terkutuk itu." 

Lagi-lagi kesunyian menyeling. 

"Anggini..,” kata Wiro memecah kesunyian itu. "Sekali ini pertemuan kita tak bisa 

berjalan lama...” 

''Kau memang selatu tidak menginginkan pertemuan lama-lama denganku..,” kata 

Anggini atau Dewi Kerudung Biru. 

Pendekar 212 letakkan tangan kirinya di bahu Kanan Anggini. Perawan itu merasakan 

ada hawa aneh yang nikmat dan menenangkan hati mengalir ditubuhnya. 

"Aku sudah bilang tadi bahwa pertemuan ini sangat menggembirakan. Namun kita 

harus sama memaklumi bahwa aku harus menyelamatkan Andjarsari dan merebut kembali 

Keris Tumbal Wilayuda. Di lain hari kelak aku pasti akan menyambangimu di sini…" 

Anggini terdiam. Dipermainkannya kain biru yang tadi merupakan kerudung wajahnya. 

"Aku pergi sekarang, Anggini…" 

"Wiro…,” suara Anggini tersekat ditenggorokan. 

Langkah Pendekar 212 tertahan. Dipandanginya paras jelita di hadapannya. Kemudian 

dilihatnya bagaimana gadis itu menggerakkan tangannya, meremas jari-jari tangannya yang 

diletakkan di bahu. Sekelumit getaran menjalari darah muda Pendekar 212. Dia membungkuk 

dan mencium kening Anggini. Ketika kepalanya hendak ditariknya kembali tiba-tiba gadis itu 

merangkul lehernya erat sekali. 

"Wiro... Wiro... jangan pergi dulu…" bisik Anggini. Nafas mereka saling menghembusi 

wajah masing-masing. Wiro membelai pipi yang halus lembut itu. Ketika Anggini 

memejamkan matanya, Pendekar 212 menempelkan bibirnya ke bibir Anggini. Betapa 

hangatnya pertemuan sepasang bibir itu. Mula-mula bibir itu diam membeku seperti mati. 

Kemudian rangsangan mulai membuat getaran-getaran pada permukaan kulit bibir masing-

masing. Dan bila sudah demikian, maka sepasang bibir itupun mulai menari-nari, saling lumas 

melumas. Keduanya berpagutan erat-erat seperti tak hendak dilepaskan untuk selama-lamanya. 

"Wiro… aku cinta padamu, Wiro. Aku cinta padamu..,” bisik Anggini berulang kali. 

"Hemm..,” Pendekar 212 menggumam. Digigitnya bibir perawan itu.


"Kaupun cinta padaku bukan...?" 

"Hemmm…,” Wiro menggumam lagi. 

"Jawab Wiro. Katakanlah…,” Dan tanpa disadari saat itu tubuh keduanya sudah 

terbaring berpagutan di lantai. 

"Wiro . . . ." 

"Tiba-tiba di ruangan itu meledaklah suara tertawa yang dahsyat. 

"Ha... ha... sungguh satu pemandangan yang asyik untuk dilihat! Teruskan… 

teruskanlah! Pendekar 212, kenapa tidak kau telanjangi saja tubuh gadis itu?! Itu seribu kali 

lebih nikmat… Ha… ha... ha!" 

Seorang lain kemudian menyambungi suara yang pertama itu. 

"Pendekar 212 nyatanya hanya seorang Pendekar Cabul. Tapi tak apa! Sebelum dikirim 

ke liang kubur tak apa kalau diberi kesempatan dulu bercumbu rayu! Di liang kubur kau hanya 

akan bercumbu dan tidur dengan cacing!" 

Baik Pendekar 212 Wiro Sableng maupun Anggini sama-sama terkejut. Keduanya 

melompat cepat. Anggini merapikan jubah birunya yang terbuka di bagian dada ! 

-- == 0O0 == -- 

EMPAT BELAS 

DI PINTU ruangan berdiri berkacak pinggang dua manusia bermuka buruk angker. 

Yang berselempang kain putih mukanya hitam macam pantat kuali, rambut awut-awutan, tam-

pangnya seperti singa dan dia bukan lain Resi Singo Ireng! Di keningnya tertera tiga angka 212. 

Di sampingnya berselempang kain biru berdiri kakaknya yaitu Resi Macan Seta yang 

tampangnya persis seperti macan. Kulit mukanya coreng moreng belang tiga, kuning, merah 

dan hitam! Kedua pentolan pemberontak kaki tangan Parit Wulung ini telah diperintahkan oleh 

Parit Wulung untuk mencari kembali Keris Tumbal Wilayuda. Dan hari itu mereka sampai di 

Goa Dewi Kerudung Biru di mana mereka telah dapat mencium jejak Pendekar 212. Bukan saja 

kedua Resi ini berprasangka bahwa Keris Tumbal Wiiayuda sudah berada di tangan Pendekar 

212, tapi Resi Singo Ireng sendiri memang mempunyai dendam kesumat terhadap Pendekar 

212 yaitu sewaktu dibikin muntah darah dalam pertempuran di perbatasan Kerajaan Bantentempo hari. Dan dendam kesumat itu masih dibawanya ke mana-mana sampai saat itu dikulit 

keningnya di mana tertera angka pukulan 212! 

"Siapa mereka, Wiro ?,” tanya Anggini dengan ilmu menyusupkan suara. 

"Dua manusia keparat yang membantu Parit Wulung si pemberontak terhadap Banten!,” 

menyahuti Pendekar 212." 

"Eeee… eee... eee. Kenapa acara kalian tidak diteruskan?,” bertanya Resi Singo Ireng 

dengan nada mengejek. 

Pendekar 212 menyengir. "Bicaramu keren sekali manusia muka pantat Kuali. 

Tentunya kau andalkan manusia muka harimau yang disampingrnu itu, huh?!"

Mata Resi Macan Seta membeliak garang. "Pentang kau punya mata, bukalah lebar-

lebar agar tahu dengan siapa berhadapan!" bentaknya. 

"Ah, manusia jelek macammu perlu apa aku kenali. Lagi pula, melihat kepada 

tampangmu, aku kawatir apa kau betul-betul manusia atau harimau jadi-jadian!,” Habis 

berkata begitu maka Pendekar 212 tertawa mengakak. 

"Pemuda besar mulut, aku mau lihat apakah kau sanggup menerima pukulanku ini?" 

bentak Resi Matjan Seta. Kata-kata ini ditutup dengan menghantam tangan kanannya ke 

muka. Maka bertaburlah sinar merah kekuningan ke arah Wiro dan Anggini. Pukulan "siaar 

surya tenggelam." . 

Pendekar 212 dan Anggini melompat ke samping Anggini sementara itu dengan cepat 

mengenakan kembali kerudung birunya. 

Kejut Resi Macan Seta bukan kepalang ketika melihat Pendekar 212 dan si gadis 

sanggup mengelakkan serangannya yang ampuh tadi. Nyatalah bahwa nama Pendekar 212 

bukan kosong belaka. Tidak disesalkan kalau tempo hari adiknya dapat dipecundangi!

Ketika melihat si gadis mengenakan kerudung kejut Resi Matjan.Seta dan Singo Ireng 

lebih-lebih lagi. 

"Kiranya kita berhadapan pula dengan Dewi Kerudung Biru, saudaraku Singo Ireng!". 

kata Matjan Seta. 

"Betul, tapi sang dewi ini biar aku bekuk hidup-hidup. Tampang dan, tubuhnya yang 

montok lumayan sekali untuk dikekapi sehari semalam!" 

Marahlah Wiro mendengar ucapan Singo Ireng itu. "Manusia pantat kuali, angka 212 

di keningmupun belum sanggup kau hapus, sekarang sudah berani-beranian unjuk gigi!" 

Si Singo Ireng tidak ambil peduli ucapan Wiro Sableng tapi segera menyerang Dewi 

Kerudung Biru. Sengaja dikeluarkannya jurus "memetik bunga memotes tangkainya". Jurusini ialah satu jurus meringkus lawan yang didahului oleh satu totokan jarak jauh yang 

dahsyat! 

Namun dugaan Singo Ireng bahwa dia akan sanggup membekuk hidup-hidup, Dewi 

Kerudung Biru dalam satu jurus hebat itu meleset besar! Dewi Kerudung Biru sambuti 

serangannya dengan jurus "naga kepala seribu mengamuk!" 

Kaget sekali jadinya Resi Singo Ireng ketika menyaksikan bagaimana kedua tangan 

lawan berkelebat sangat cepat naik turun membabat ke samping dan berputar bergelung, 

menyerang ke arahnya. 

Selama malang melintang membuat kejahatan di dunia persilatan baru kali ini dia 

menghadapi jurus aneh ini! Sebaliknya Resi Matjan Seta yang punya lebih banyak 

pengalaman segera berseru. "Singo lreng, awas itu pukulan naga kepala seribu mengamuk!" 

Mendengar ini tersurutlah Resi Singo Ireng. Cepat-cepat dia kemudian melompat ke udara 

ketika menukik ke bawah dia lancarkan empat tendangan empat pukulan. Dalam sekejapan 

saja kedua orang itu sudah terlibat dalam jurus-jurus yang dahsyat. 

"Manusia muka coreng moreng! Apa hanya kalian berdua saja yang datang antarkan 

nyawa ke mari…?" tanya Pendekar 212 pada Matjan Seta. 

"Bocah gila!" bentak Matjan Seta marah sekali sehingga mukanya yang coreng 

moreng itu semakin menyeramkan. 

“Jika kau tidak kepingin mampus, sebaiknya lekas serahkan Keris Tumbal Wilayuda 

dan beri tahu di mana Sultan berada. Niscaya kau punya nyawa akan aku ampunkan!" 

Pendekar 212 bersiul keras. 

"Kau bukan Tuhan yang bisa mengampunkan manusia! Sebaiknya kupertemukan saja 

kau lekas-lekas dengan malaekat maut!" 

Resi Macam Seta mengaum macam harimau terluka. Tubuhnya berkelebatan dan 

lenyap. Angin dahsyat laksana angin prahara menderu ke arah Pendekar 212. Secepat kilat 

Pendekar 212 jatuhkan diri dari berguling di lantai. Tangan kanannya memukul ke atas! 

Pukulan Matjan Seta yang tidak mengenai sasarannya terus melanda dinding batu. Dinding itu 

pecah! Tetapi sebaliknya Resi ini merasakan bagaimana tubuhnya terasa seperti diangkat ke 

atas dan satu angin tajam menyakiti kulit kakinya. Ketika dia memandang ke muka Pendekar 

212 sudah tak ada dihadapannya. 

"Aku di sini, Matjan Seta!" 

Matjan Seta putar tubuh ke belakang. Begitu tubuhnya berputar begitu dan melihat satu 

gumpalan angin yang kerasnya laksana baja menderu ke arahnya. Resi ini tak ayal lagimelompat empat tombak ke udara. Mendadak didengarnya suara siulan dekat sekali di 

telinganya. Dia hantamkan tangannya ke samping. Tapi.... 

"Bluk!" 

Resi Matjan Seta terpelanting ke lantai. Tulang punggungnya serasa remuk. Dia 

kerahkan tenaga dalamnya dengan cepat ke bagian yang kena dipukul lawan lalu atur jalan 

nafas. Ketika dia berdiri lurus-lurus kembali, muka macannya kelihatan bertambah angker. 

Kedua kakinya terpentang lebar. Tubuhnya sedikit membungkuk ke muka. Kedua tangannya 

yang diangkat ke atas kelihatan bergetar. Wiro maklum bahwa lawannya memusatkan seluruh 

tenaqa dalamnya pada dua tangan itu, dengan segera pendekar ini bersiap-siap pula! 

Tangan kanan Resi Matjan Seta kelihatan berwarna merah kekuningan. Lebih merah 

dan lebih kuning dari yang tadi. Pendekar 212 tahu bahwa lawannya bakal lepaskan lagi 

pukulan "sinar surya tenggelam" tapi yang lebih hebat dari yang pertama tadi. Dan ketika 

melirik pada tangan kiri sang Resi, tangan itupun kini berwarna sangat merah dan mengepulkan 

asap merah! 

Dua pukulan sekaligus tak bisa dianggap enteng! Pendekar 212 tidak mau ambil risiko. 

Segera tangan kanannya ditinggikan ke atas. Dan cepat sekali lengan sampai ke jari-jari tangan 

kanan itu menjadi sangat putih dan menyilaukan laksana perak ditimpa sinar matahari ! 

Mata Resi Matjan Seta membeliak melihat hal itu. "Pukulan sinar matahari!,” keluhnya 

dengan hati tergetar. "Benar-benar pemuda rambut gondrong ini memiliki ilmu kesaktian yang 

tinggi luar biasa! Apakah dia benar-benar telah mewarisi seluruh ilmu kepandaian Eyang Sinto 

Gendeng…?,” demikian Matjan Seta membathin. 

Namun percaya, bahwa dua, pukulannya yaitu pukulan "inti api" dan pukulan "sinar 

surya tenggelam" akan dapat mengimbangi pukulan lawan maka dengan serta merta dia 

hantamkan kedua tangannya ke muka. Dua gelombang sinar merah pun menderu ke arah 

Pendekar 212. 

Pendekar 212 tunggu sampai dua gelombang sinar itu berada di pertengahan jarak 

antara dia dan lawan. Dan sedetik kemudian tangan kanannyapun turunlah ke bawah. Selarik 

sinar putih yang sangat panas dan menyilaukan menggebubu melabrak dua gelombang sinar 

merah, 

"Bumm !" 

Ruangan batu itu tergoncang hebat. Dinding batu angsrok, Lantai longsor sedang bagian 

atas ambruk! Terdengar keluhan maut Resi Matjan Seta. Di saat yang rasanya seperti mau 

kiamat itu Pendekar 212 berkelebat cepat menyambar tubuh Dewi Kerudung Biru dan dilarikan


ke luar goa. Sesaat mereka sampai di luar goa maka runtuhlah Goa Dewi Kerudung Biru. Resi 

Singo Ireng yang tak sempat selamatkan diri, mati tertimbun bersama saudaranya Resi Matjan 

Seta. Di luar goa Pendekar 212 dan Dewi Keradung Biru saling berangkulan. 

"Anggini… sangat disesalkan tempatmu yang bagus menjadi hancur runtuh. Tapi 

sebagiannya masih bisa kau pergunakan...” 

Anggini mengangguk. Disembunyikannya wajahnya di dada yang bidang itu. 

"Anggini,” kata Wiro lagi. Dilepaskannya pelukannya. "Waktuku tak banyak lagi. Aku 

harus segera ke Lembah Batu Pualam tempat bersarangnya Perkumpulan Iblis Pencabut 

Sukma..... Sampai jumpa lagi, Anggini". 

"Aku ikut Wiro....!" seru gadis itu, Tapi Pendekar 212 sudah lenyap dari hadapannya. 

Gadis itu termanggu sejurus. Tapi kemudian segera pula dia berkelebat meninggalkan 

tempat itu. 

-- == 0O0 == -- 

LIMA BELAS

LEMBAH Batupualam….. 

Lembah ini dikelilingi oleh pegunungan batu pualam yang berkilauan ditimpa sinar 

sang surya. Di mana-mana bahkan sampai ke dasar lembah terdapat gundukan-gundukan batu 

pualam putih. Di tengah dasar lembah kelihatan sebuah gedung besar bertingkat dua yang 

keseluruhannya mulai dari lantai sampai ke atap terbuat dari batu pualam. Gedung ini indah 

sekali bentuknya. Di beberapa bagian di luar dan di dalam gedung batu pualam ini terdapat 

ukiran-ukiran yang bagus sehingga sesungguhnya tak pantaslah bila gedung itu menjadi markas 

atau sarangnya komplotan terkutuk Iblis Pencabut Sukma! 

Pendekar 212 berdiri di ujung timur tepi lembah, berlindung di balik sebuah onggokan 

batu pualam. Dari tempatnya berada dilihatnya gedung itu sepi-sepi saja. Tak ada seorangpun 

anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma yang kelihatan. 

Dengan berlindung di balik gugusan-gugusan dan puing-puing batu pualam, Pendekar 

212 mulai menuruni lembah. Dia sampai di dasar lembah kini. Jarak antaranya dengan gedung 

batu pualam kurang lebih tiga puluhan tombak. Wiro melompat ke balik gugusan batu pualam yang lain, melompat lagi ke kiri, lalu ke kiri lagi sehingga jaraknya kini dengan gedung itu 

hanya sekira sepuluh tombak. 

Pintu depan gedung terbuka lebar-lebar, demikian juga jendela-jendela di tingkat bawah 

serta atas. Anehnya sampai saat itu suasana masih sunyi senyap seperti tadi. "Mungkin ada 

perundingan di dalam sana…,” pikir Pendekar 212. Dia memutuskan untuk menunggu sampai 

kira-kira sepeminum teh. Sementara itu di tingkat kedua gedung batu pualam..... 

Di sebuah ruangan rahasia kelihatan empat manusia berjubah dan berkerudung merah. 

Salah satu di antaranya jubah dan kerudungnya lebih merah dari yang lain-lain. Dialah Ketua 

Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma. Dia duduk di sebuah kursi, membelakangi sebuah mimbar. 

Dihadapannya duduk tiga orang, satu di antaranya ialah Wakil Ketua Perkumpulan. Yang dua 

anggota anggota Perkumpulan yang berilmu tinggi. Di pangkuan Wakil Ketua Perkumpulan 

saat itu terbaring tubuh Anjarsari. 

Ketua Iblis Pencabut Sukma manggutkan kepala dan Wakilnya segera berdiri. Tubuh 

Andjarsari diletakkannya di kursi lalu dia melangkah kehadapan Ketua dan menjura. 

"Ketua, harap dimaafkan bila aku menjalankan tugas dan kembali ke sini agak 

terlambat. Ada beberapa rintangan di tengah jalan…” 

"Kau berhasil mendapatkan Keris Tumbal Wilajuda?!" bertanya sang Ketua. Suaranya 

berat serak laksana palu godam. 

Wakil Ketua angguKkan kepala lalu keluarkan sebilah keris yang keseluruhannya mulai 

dari sarung sampai ke kerisnya terbuat dari emas. Karena senjata ini senjata mustika maka 

dengan sendirinya memancarkan sinar kuning yang terang! Mata Ketua Iblis Pencabut Sukma 

berkilat-kilat melihat senjata itu. Begitu diterumanya diperhatiKannya sejurus lalu di-

masukkannya ke batik pinggang. 

"Apalagi yang kau bawa?!" tanya sang Ketua. Wakilnya putar tubuh sedikit dan 

menuding pada tubuh Andjarsari yang didudukkan di kursi. "Gadis itu adalah calon isteri Sultan 

Hasanuddin. Aku berhasil menculiknya.......” 

"Sultan sendiri bagaimana . . . . . . , ?". 

“Aku juga sebenarnya hampir berhasil menculik dia waktu berada disarang 

Perkumpulan Pengemis Darah Hitam tapi tahu-tahu sesosok bayangan biru melarikannya. 

Ketika kuikuti jejaknya ternyata bayangan biru itu adalah Dewi Kerudung Biru. Perempuan 

dajal itu hampir berhasil kutamatkan riwayatnya bersama beberapa orang anggota jika seorang 

pemuda gila bergelar Pendekar 212 tidak muncul di situ!""Hem... memang akhir-akhir ini kudengar kabar selentingan tentang munculnya seorang 

pendatang baru yang aneh dalam dunia persilatan...." 

Ketua Iblis Pencabut-Sukma usap-usap dagunya yang tersembunyi di batik kerudung 

itu. Lalu tanyanya. "Jadi kau dan anak-anak buah tak sanggup membereskan pendekar itu?". 

"Manusia itu sakti sekali. Dia memiliki sebuah kapak bermata dua..... Kapak Maut Naga 

Geni 212!" 

"Hanya sebuah kapak buat penebang pohon saja kau takuti.... Bagaimana dengan Per-

kumpulan Pengemis Darah Hitam....?" 

"Mulanya, karena merasa bahwa kita masih satu golongan dan aliran dengan mereka, 

aku minta agar keris, Andjarsari dan Sultan diserahkan secara baik-baik. Tapi mereka 

membangkang. Terpaksa tak satupun yang aku kasih hidup...." 

"Itu bagus!," kata Ketua Iblis Pencabut Sukma "Dalam waktu dua atau tiga hari dimuka, 

kita akan segera berangkat ke Banten! Sampai saat ini secara tidak langsung, dengan adanya 

Keris Tumbal Wilajuda di tangan kita maka Banten sudah milik kita. Dan sebagai balas jasamu, 

kau boleh ambil itu gadis!". 

Gembiralah hati sang Wakil mendengar itu. Sesaat sesudah sang Ketua meninggalkan 

ruangan disusul oleh dua orang anggota kelas satu tadi maka Wakil iblis Pencabut Sukma segera 

memboyong tubuh Andjarsari ke dalam kamarnya yang terletak dipaling ujung gedung tingkat 

kedua. 

Sepeminum teh telah lewat. 

Wiro mengintai lagi dari balik gugusan batu pualam. Gedung masih tetap sunyi senyap. 

Dengan rasa tak sabar segera pemuda ini kerahkan ilmu mengentengi tubuh dan laksana seekor 

alap-alap melesat ke atas atap gedung batu pualam tingkat kedua. Bagian atas gedung ini rata 

licin. Dan di sebelah sana beberapa tombak jauhnya, dua orang berjubah dan berkerudung merah 

tengah asyik bermain dam. Begitu sudut mata mereka melihat adanya bayangan sesosok tubuh di 

atas atap itu segera keduanya putar kepala. 

"Hai!" seru salah seorang dari mereka. "Siapa kau ?!,” membentak yang kedua. Pendekar 

212 melintangkan jari tetunjuk tangan 

kirinya di atas bibir. "Sssst............. desisnya. Kemudian dengan tiba-tiba tangan kanannya 

dihantamkan ke muka. Tak ampun lagi kedua manusia berjubah merah itu rebah di atas atap 

dengan menyembur darah sedang papan serta buah dam mental di udara jauh sekali. 

Pendekar 212 geli sendiri. Dia memandang berkeliling. Kemudian lapat-lapat dari ujung 

atas sebelah sana didengarnya suara jeritan perempuan. Dengan cepat pemuda ini lari ke ujung atap. Di bawah atap, persis di atas sebuah jendela terdapat beberapa buah lobang angin. Dari 

salah satu lobang angin ini Wiro mengintai ke dalam gedung! Dan mendidihlah darah Pendekar 

212 sewaktu menyaksikan apa yang terpampang di dalam kamar di bawah atap itu. 

Andjarsari berada dalam keadaan hampir tak berpakaian. Rambutnya yang panjang kusut 

masai menjela-jela. Gadis ini megap-megap dan menjerit-jerit serta meronta. Tapi tak kuasa sama 

sekali untuk menyingkirkan tubuh Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma yang 

menghimpitnya dari atas! 

Tidak membuang waktu lagi Pendekar 212 melompat turun dan melabrak jendela kamar 

dengah satu tendangan kaki kiri. 

Kejut Wakil Ketua Perkumpulan Iblis itu bukan alang kepalang! Jendela kamar dilihatnya 

hancur berantakan dan sedetik kemudian sesosok tubuh melayang memasuki kamar! 

"Bangsat rendah!" memaki manusia bermuka angker itu. Secepat kilat dia melompat dari 

tempat tidur dan menyambar jubah merahnya. Dia tak sempat mengenakan kerudungnya karena 

pada saat itu Pendekar 212 sudah menyerang dengan ganas! 

Wakil Ketua Iblis Pencabut Sukma sambuti serangan lawan dengan jurus "menendang 

langit menjungkir awan". Begitu hebatnya jurus ini sehingga Pendekar 212 terpaksa tahan 

kegeramannya untuk melanjutkan serangan. Dan kesempatan ini dipergunakan oleh Wakil Ketua 

Iblis Pencabut Sukma untuk lari ke luar kamar! 

"Jalan lari satu-satunya bagimu hanyalah ke neraka manusia durjana!,” bentak Pendekar 

212 lalu memburu dengan sebat. 

Wakil Ketua itu melarikan diri ke sebuah ruangan besar yang di setiap dindingnya 

terdapat lima buah pintu. Begitu injakkan kaki di ruangan ini dia segera berteriak. "Anggota-

anggota Perkumpulan! Gedung ini kebobolan bahaya! Lekas ke luar!" 

Serentak dengan itu maka dua puluh pintu di empat dinding ruangan terbuka lebar dan 

melompatlah dua puluh anggota Perkumpulan. Kesemuanya berjubah dan berkerudung merah 

dan mencekal sebilah pedang merah! Wakil Ketua Perkumpulan sendiri cabut sebuah rujung 

emas dari balik jubahnya. . 

"Cincang pemuda sedeng ini!,” Wakil Ketua beri komando. Kata-katanya ini ditutup 

dengan sambarkan rujung emasnya ke arah Pendekar 212! Masih dalam jarak beberapa tombak 

maka angin pukulan rujung telah menyambar dengan dahsyat ke arah Pendekar 212. Hampir 

bersamaan pula dengan itu maka dua puluh anggota Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma 

menyerbu pula! Duapuluh batang pedang merah berkiblat! Hanya sekejapan mata saja maka 

terbungkuslah Pendekar 212 dalam hujan pedang dan sambaran rujung!Murid Eyang Sinto Gendeng ini menggerung dahsyat. Dengan cepat dia jatuhkan diri ke 

lantai. Begitu jatuh di lantai dua tangannya dihantamkan nembentuk dua lingkaran. Dua 

lingkaran sinar putih panas yang menyilaukan mata menggelombang. Dimana-mana terdengar 

pekikan kematian. Lebih dari separoh anak buah komplotan Iblis Pencabut Sukma terkapar di 

lantai ruangan dengan tubuh hangus tersambar ilmu pukulan "sinar matahari" Pendekar 212! 

Melihat ini mereka yang masih hidup menjadi lumer nyalinya dan mulai pikir-pikir 

untuk undurkan diri. Namun tentu saja mereka juga takut pada pimpinan, terlebih lagi ketika. 

Wakil Ketua mereka membentak. "Ayo! Kalian tak perlu takut! Mari gempur lagi dengan jurus 

menabas gunung menusuk bukit mendobrak bendungan! 

Selama beberapa tahun belakangan ini boleh dikatakan jarang sekali Perkumpulan Iblis 

Pencabut Sukma mengeluarkan jurus "menabas gunung menusuk bukit mendobrak bendungan" 

itu. Kecuali dalam menghadapi lawan yang benar-benar luar biasa tinggi ilmu silat dan 

kesaktiannya. Dan hari itu bila mereka mengeluarkan jurus yang dahsyat itu nyatalah bahwa 

lawan yang mereka hadapi benar-benar hebat! Dan memang begitu kenyataannya! 

Pendekar 212 sendiri begitu dengar nama jurus ini tak ayal lagi segera cabut Kapak 

Maut Naga Geni 212. Selama ini dia cuma pernah dengar dan mengetahui nama jurus yang 

terdiri dari empat untaian kata-kata. Kini lawan menyerangnya dengan jurus enam untaian kata-

kata. Pastilah ini suatu jurus yang luar biasa! 

Maka begitu lawan menyerbu, Pendekar 212 sudah putar Kapak Maut Naga Geni 212-

nya. Lolong kematianpun bergemalah untuk kedua kalinya di ruangan itu! Enam anggota 

Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma menggeletak mandi darah. Dua orang yang masih hidup, 

ditambah dengan Wakil Ketua Perkumpulan yang saat itu masih memegangi rujung emasnya 

tapi yang sudah kuntung karena diterabas Kapak Pendekar 212, saling berikan isyarat. Dua 

anggota yang masih hidup ini melompati Wiro dan kirimkan empat serangan berantai sekaligus. 

Wakil Ketua mereka sendiri melompat kesebuah pintu dan menekan satu tombol rahasia! 

Pada detik Pendekar 212 menerabas tubuh kedua lawannya dengan Kapak Maut, maka 

pada detik itu pula tiba-tiba lantai yang dipijaknya terbuka ke samping. Tak ampun lagi 

tubuhnyapun melayang jatuh ke dalam sebuah ruangan sedalam dua puluh tombak sedang 

lantai ruangan yang tadi membuka kini secara aneh tertutup oleh jalur-jalur besi sebesar lengan 

"Ha... ha... ha...!" Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma tertawa bekakakan. 

"Sekalipun kau punya sepuluh kepala dua puluh tangan dan kaki jangan harap kau bisa ke luar 

dari perangkap ini Pendekar 212!""Manusia sialan!" maka Pendekar 212 sangat geram dan penasaran. Dihantamkannya 

tangan kanannya ke atas. Sinar putih berkiblat. Lantai ruangan di atasnya hancur runtuh tapi 

jalur-jalur besi yang menutup lobang perangkap sedikitpun tidak berobah. Wakil Ketua 

Perkumpulan sendiri saat itu dengan cepat sudah menghindar ke samping kemudian dari balik 

jubahnya dia keluarkan sebuah lonceng kecil. Begitu lonceng dibunyikan maka muncullah 

Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma diiringi oleh dua orang anggota klas satu yang 

berkepandaian sangat tinggi. 

Menyaksikan kematian banyak sekali anak buahnva maka menggerenglah Ketua 

Perkumpulan ini. Mukanya yang tersembunyi dibalik kerudung mengkerut tegang, matanya 

berkilat-kilat. Dia melangkah kehadapan sang Wakil. 

"Sesudah seluruh anggota mampus begini rupa baru kau bunyikan lonceng memanggil 

aku? Bagus betul perbuatanmu!" 

Gemetarlah lutut Wakil Ketua mendengar bentakan atasannya itu. "Tapi Ketua, manusia 

itu sakti luar biasa. Namun demikian aku telah berhasil meringkusnya! Lihatlah ke bawah 

sana!" 

"Keberhasilanmu tetap tidak dapat menghindari hukuman yang bakal kau terima kelak!" 

desis Ketua Perkumpulan. Dia melangkah ke tepi perangkap. Namun secepat kilat bersurut 

mundur karena dari dasar perangkap menggebu segumpal angin dahsyat. Atap gedung batu 

pualam yang tadi telah hancur dilanda pukulan sinar matahari kini kembali berpelantingan! 

"Kurang ajar!,” bentak Ketua Perkumpulan. Tangan kanannya dipukulkan ke dasar 

perangkap. Dan menderulati lima lusin jarum merah! Tapi lagi-lagi Ketua Perkumpulan ini 

dikejutkan ketika angin sedahsyat badai membuat jarum-jarum beracunnya itu menderu 

kembali ke atas! Jika tidak lekas pula dia menghindar dari tepi perangkap pastilah senjata 

makan tuan! 

"Budak hina dina! Kau boleh keluarkan seribu ilmu tapi jangan harap kau bakal ke luar 

hidup-hidup dari dalam perangkap ini!" 

Habis berkata begitu dengan ibu jari kaki kanannya Ketua Perkumpulan IbIis Pencabut 

Sukma menginjak sebuah tombol di salah satu sudut perangkap sebelah atas! Di dasar 

perangkap, secara aneh dinding terangkat kira-kira sejengkal dan laksana air bah dari keempat 

celah dinding itu berserabutanlah ratusan binatang berbisa seperti ular, kelabang, lipan dan 

kalajengking! Semuanya menyerbu menyerang Pendekar 212! 

Murid Eyang Sinto Gendeng melompat dua tombak. Begitu tubuhnya mengapung di 

udara tangan kirinya segera mengambil batu api 212 dari balik pinggang. Sekali batu api danKapak Naga Geni 212 diadu maka lidah apipun menderulah ke lantai perangkap. Seluruh 

binatang berbisa itu tak satupun yang hidup. Semuanya terbakar musnah dengan mengeluarkan 

bau yang tak nyaman dan memegapkan jalan nafas. 

Pendekar 212 tidak menunggu lebih lama. Jika di luar dengan ilmu mengentengi tubuh 

dia bisa melompat sampai tiga puluhan tombak lebih, mengapa di dalam perangkap yang cuma 

sedalam dua puluh tombak itu dia tak bisa? Cuma yang dikhawatirkannya ialah jika dia tak dapat 

menerobos atau menghancurkan jalur-jalur besi di atas perangkap itu dengan Kapak Maut Naga 

Geni 212-nya ! 

Di atas sana tiba-tiba dilihatnya Ketua dan Wakil Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut 

Sukma kembali mendekati tepi perangkap. Pendekar 212 segera hantamkan tangan ke atas 

mengirim pukulan matahari dan serentak dengan itu dia melompat ke udara. Kapak Naga Geni 

212 diputar dengan sebat! 

"Trang... trang... trang...!" 

Ternyata Kapak Naga Geni 212 mampu menghancurkan jalur-jalur besi penutup 

perangkap. Pendekar 212 tertawa gembira dan berdiri dengan berkacak tangan kiri dipinggang 

sementara empat lawannya di ruangan itu diam-diam menjadi ngeri melihat kehebatan pemuda 

ini! 

Dari kerudung dan jubahnya yang lebih merah laksana darah. Pendekar 212 segera 

mengenali yang mana adanya Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma. Maka berkatalah 

pemuda ini dengan membentak. "Lekas serahkan Keris Tumbal Wilajuda. Dan jika kalian 

berjanji untuk kembali ke jalan yang benar niscaya aku masih mau memberi ampun!" 

Ketua Perkumpulan tertawa mendengus. "Usia masih seumur jagung, tubuh masih bau 

amisnya orok, mungkin tidurpun masih ngompol tapi sudah berani bicara membentak dan 

memerintah dihadapanku!" 

"Ucapanmu tidak lucu Ketua Perkumpulan Iblis! Ringkas kata kau mau serahkan Keris 

Tumbal Wilajuda atau tidak?!" 

Perlahan-lahan Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma angkat tangannya ke udara. 

Gerakannya ini diikuti oleh Wakil dan dua anggotanya. 

"Baik!,” katanya, "aku akan serahkan Keris Tumbal Wilajuda padamu, tapi serahkan dulu 

kau punya jiwa!" 

Habis berkata demikian maka empat tanganpun sama-sama ditarik melancarkan pukulan 

yang sangat diandalkan oleh Perkumpulan mereka yaitu pukulan pencabut sukma!


Dalam keadaan lengah seperti di Goa Dewi Kerudung Biru tempo hari mungkin empat 

pukulan sakti itu akan menamatkan riwayat Pendekar 212. Tapi kali ini keadaan berlainan, 

apalagi saat itu Wiro memegang pula Kapak Maut Naga Geni 212 ditangan! 

Begitu empat angin maut membetot ke arah badannya maka Pendekar 212 berseru 

nyaring! Tubuhnya lenyap! Menyusul suara siulan melengking dan Kapak Maut Naga Geni 212 

membuat putaran putih yang sebat sekali, angin yang ke luar dari Kapak sakti itu melanda hebat 

tarikan angin maut keempat musuh. Dan setengah jurus kemudian dua anggota klas satu 

Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma sama menjerit keras! Tubuh mereka rebah ke lantai. Yang 

satu berbusaian isi perutnya, yang satu lagi hampir putus batang lehernya ! 

Ketua dan Wakil Perkumpulan terkutuk sama-sama tersurut! "Apa kau masih belum mau 

serahkan apa yang kuminta?!" bentak Pendekar 212. 

"Aku bilang serahkan nyawamu lebih dulu, budak hina!" balas membentak Ketua Iblis. 

"Manusia tolol, dikasih ampun malah minta mampus!" Gusar sekali Pendekar 212 

jadinya. Tubuhnya berkelebat untuk kesekian kalinya. Kali ini dalam jurus "membuka jendela 

memanah rembulan". Kapak Naga Geni mula-mula menderu sebat ke samping. Dan 

terdengarlah jerit kematian Wakit Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma. Ketua 

Perkumpulan tersirap dan melompat mundur ketika melihat Wakilnya terhuyung-huyung 

dengan dada mandi darah lalu jatuh duduk di lantai! Namun Pendekar 212 betul-betul tidak 

mau memberikan kesempatan lagi. Kapaknya terus menyelesaikan jurus yang dibuat dan kini 

membabat deras ke udara! 

Ketua Perkumpulan terkutuk itu melolong setinggi langit! Dagunya terbabat putus 

berikut sebagian kerudungnya sekaligus! Tubuhnya terbanting ke dinding! Ketika Kapak Maut 

Naga Geni hendak membalik lagi guna menamatkan riwayat Ketua Perkumpulan durjana itu 

maka tahu-tahu melesatlah sesosok tubuh manusia dan terdengar satu seruan. 

"Bangsat yang satu ini adalah bagianku, Wiro!". 

-- == 0O0 == -- 

ENAM BELAS 

PENDEKAR 212 berpaling yang datang ternyata Dewi Kerudung Biru alias Anggini ! 

"Ah, kau rupanya Anggini. Betul, memang tepat sekali kalau kau yang cabut nyawa 

anjing manusia terkutuk ini! Kau selesaikanlah perhitungan lamamu!”Ketika Pendekar 212 bicara ini, Ketua Perkumpulan Iblis pergunakan kesempatan untuk 

menghambur ke pintu. Tapi secepat kilat Wiro angsurkan kaki kirinya menyerimpung 

pergelangan salah satu kaki Ketua Perkumpulan Iblis itu. Tak ampun lagi tubuhnya tersungkur 

ke lantai! 

"Cepat bangun, manusia iblis agar cepat pula kuantarkan kau punya nyawa menghadap 

penjaga neraka!,” bentak Dewi Kerudung Biru! 

Perlahan-lahan Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma berdiri. Tiba-tiba dia 

hantamkan satu pukulan ke arah Dewi Kerudung Biru. Tapi tenaga pukulannya ini sudah 

banyak berkurang akibat luka didagunya yang mengandung bisa dan bisa mana mulai menjalar 

kesegenap pembuluh darahnya! 

Melihat lawan memukul, Dewi Kerudung Biru berkelit cepat dan kirimkan serangan 

balasan yaitu jurus naga kepala seribu mengamuk! Terkejutlah Ketua Perkumpulan Iblis 

melihat jurus yang dahsyat ini. Dia melompat mundur tiga tombak dan berseru. "Dewi 

Kerudung Biru, antara kau dan aku tiada permusuhan, mengapa kita musti bertempur begini 

rupa?!" 

Dewi Kerudung Biru tertawa dingin sedingin salju. "Kau lupa pada seorang gadis yang 

hendak kau perkosa beberapa bulan yang lalu?!" Dewi Kerudung Biru membuka kerudung 

penutup wajahnya! "Apa kau masih lupa dan tidak kenali aku?!" 

Terkejutlah Ketua Iblis Pencabut Sukma melihat paras gadis dihadapannya. Namun rasa 

terkejutnya ini tiada lama. Anggini kembali menyerbu. 

Kali ini dalam jurus "cakar garuda emas". Kedua tangannya terpentang. 

"Breet!" Kuku-kuku yang panjang dari gadis itu menyambar dada sang Ketua. Dan tidak 

sampai di sana saja, Anggini buka mulutnya lebar-lebar. 

"Huaah!" 

Menyemburlah asap kencana biru ke arah Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma. 

Manusia ini menjerit. Tubuhnya terhuyung-huyung. Ketika dia rebah ke lantai maka sekujur 

badannya menjadi sangat biru! Tamatlah riwayat manusia yang paling terkutuk dan ganas itu. 

Belum puas sampai di situ, Anggini maju mendekati mayat laki-laki itu lantas menendang 

kepalanya. Tubuh Ketua Perkumpulan Iblis Pencabut Sukma mencelat enam tombak kepalanya 

hancur! 

"Kau hebat sekali, Anggini,” memuji Pendekar 212 seraya melangkah mendekati mayat 

Ketua Iblis Pencabut Sukma. Ketika digeledah di balik pinggangnya diketemukan Keris Tumbal 

Wilajuda!"Apa yang harus kita lakukan selanjutnya Wiro?,” bertanya Dewi Kerudung Biru atau 

Anggini. 

Pendekar 212 merenung beberapa lamanya lalu menjawab. "Setelah Keris Tumbal 

kerajaan ini berhasil diketemukan, kurasa ada baiknya aku segera menemui Sultan Banten". 

"Mengapa begitu?,” tanya Anggini. "Bukankahkau sendiri sudah tahu bahwa Sultan 

Hasanuddin pergi ke Demak untuk meminta bantuan balatentara dari Sultan Trenggono guna 

mengusir kaum pemberontak yang kini bercokol di Banten?" 

"Betul, namun saat ini aku ada rencana baru. Rencanaku ini akan sangat banyak 

mengurangi korban-korban yang tiada berdosa.....” 

"Aku tak mengerti maksudmu,” kata Anggini pula. I 

Pendekar 212 tersenyum. "Kau akan mengerti setelah menyaksikannya sendiri nanti. 

Sementara aku menyusul Sultan ke Demak, kuharap kau sudi pergi keperbatasan dan menunggu 

kedatangan kami di sana…” 

Bagi Anggini adalah lebih disukainya bila dia bisa ikut bersama-sama dengan pemuda itu. 

Namun setelah berpikir sejurus akhirnya dia menganggukkan kepala. 

"Sampai jumpa Anggini,” kata Pendekar 212 seraya memegang bahu gadis itu. 

Anggini meremas seketika jari-jari si pemuda dan sebelum tubuhnya lebih dijalari gelora 

darah muda maka Pendekar 212 segera meninggalkan tempat itu. 

Meskipun satu hari terlambat namun dengan ilmu larinya yang sangat lihai, Wiro berhasil 

mendahului Sultan. Hasanuddin yang berangkat ke Demak dengan menunggangi seekor kuda. 

Wiro menunggu kedatangan Sultan di jalan luar kota sebelah timur. Tentu saja Sultan 

Hasanuddin sangat terkejut dan heran bertemu dengan pemuda sahabatnya itu. 

"Sahabat, bagaimana kau tahu-tahu sudah muncul di sini?" tanya Sultan seraya turun dari 

kuda. Dengan ringkas Wiro Sableng segera berikan keterangan. Selesai memberikan 

keterangan maka dikeluarkannyalah Keris Tumbal Wilayuda dan diserahkannya pada 

Sultan. 

Berseri-serilah paras Sultan Hasanuddin. "Sahabat jasamu sungguh tak dapat 

diukur dengan luasnya laut, dengan tingginya gunung. Aku berterima kasih betul 

kepadamu…” 

Wiro memotong ucapan Sultan dengan berkata. "Sultan sebelum memasuki kota 

dan menemui Sultan Trenggono perkenankanlah aku memberikan sedikit rencana....” 

"Boleh saja. Silahkan" kata Sultan seraya sisipkan Keris Tumbal Wilajuda 

dibalik pinggang pakaian. "Dengan membawa balatentra Demak ke Banten berarti akan


pecah lagi peperangan dan pertumpahan darah di Banten. Sultan tentu lebih tahu dariku 

bahwa akibat peperangan yang paling buruk ialah jatuhnya beban penderitaan, serta 

kesengsaraan dipundaknya rakyat jelata....” 

"Betul, dalam hal ini aku memang sedapat-dapatnya berusaha agar penduduk 

jangan sampai banyak yang jatuh korban,” kata Sultan pula. 

Wiro mengangguk. "Di samping itu, sebagian besar dari prajurit-prajurit 

pemberontak tiada lain hanya merupakan alat mati yang bisa dikutak kutik oleh atasan! 

Di hati kecil mereka sendiri mungkin tak ingin melakukan pertumpahan darah itu. Tapi 

demi tugas dari atasan, mereka terpaksa melakukan peperangan yang kejam itu. Jadi 

letak tanggung jawab, atau biang racun dari segala kemusnihan dan penderitaan itu tiada 

lain terletak di tangan pentolan-pentolan tinggi pemberontak! Nah, manusia-manusia 

inilah yang harus kita lenyapkan lebih dulu…. yang dibawah soal mudah..Apalagi dua 

bergundalnya pembantu Parit Wulung yaitu Resi Singo Ireng serta Macan Seta telah 

menemui ajal!"

"Apa yang kau katakan itu semua adalah benar sobat,” kata Sultan. "Tapi aku 

masih belum melihat bagaimana caramu yang tepat dan baik dalam merebut kembali 

takhta kerajaan dengan menghindarkan pertumpahan darah...." 

"Kalau Sultan bisa memberikan sedikit kepercayaan kepadaku, pastilah aku akan 

bersedia melaksanakannya... Maka Pendekar 212-pun menuturkan rencananya 

selengkapnya. 

-- == 0O0 == -- 

TUJUH BELAS 

MALAM itu di satu ruangan rahasia Parit Wulung, Karma Dipa, Djuanasuta dan seorang 

tokoh terkemuka dari Partai Api Setan yaitu suatu partai silat yang dipimpin oleh Resi Matjan Serta 

tengah melakukan perundingan penting. Tokoh silat ini adalah murid terpandai dari Matjan Seta 

yang telah mewarisi seluruh kepandaian Resi itu. Namanya Rana Tikusila. Dia dan selusin anggota 

partai lainnya sengaja diminta datang ke Banten oleh Parit Wulung untuk memperkuat 

kedudukannya dan menjaga segala sesuatu yang tak diingini. Seperti Matjan Seta, muka merekapun 

coreng moreng. Parit Wulung yang duduk dikepala meja segera buka bicara. "Saudara-saudara

pertemuan ini adalah penting sekali sehubungan dengan Keris Tumbal Wilajuda. Sampai seka[ang 

kita masih belum berhasil menemukannya sedang Sultan sendiri tak diketahui jejaknya. Resi Singo 

Ireng dan Resi Matjan Seta tidak pula kunjung ada kabar beritanya. Aku berharap…” 

Parit Wulung tiba-tiba hentikan ucapannya. Dia memandang ke sebuah alat rahasia disudut 

ruangan. Alat itu kelihatan bergerak-gerak. 

"Saudara-saudara bersiaplah,” kata Parit Wulung. Ada tamu yang tak diundang rupanya 

mendengarkan perundingan kita ini di atas loteng!" 

Dan baru saja Parit Wulung selesai mengucapkan kalimat itu, dua lembar papan loteng 

terbuka dan sesosok tubuh laksana seekor alap-alap melayang turun. Suara kedua kakinya sama 

sekali tiada terdengar sewaktu menjajaki lantai! 

Rana Tikusila, Karma Dipa dan Djuanasuta segera cabut senjata. Parit Wulung sendiri 

berdiri dari kursi dan membentak. 

"Manusia atau setan! Apakah kau punya nyawa rangkap berani datang ke sini?!" 

Tamu tak diundang itu keluarkan, suara bersiul yang tak asing lagi yang menandakan bahwa 

dia bukan lain daripada Pendekar 212 adanya. 

"Kau terlalu menghina padaku, Parit Wulung,” menyahuti Pendekar 212. Dia melirik sedikit 

ketika melihat Rana Tikusila melangkah kehadapannya dengan pedang melintang. 

"Lekas katakan apa maksud kedatanganmu ke sini!,” kata Tikusila seraya angkat tinggi-

tinggi tangan kanannya yang memegang pedang. 

"Aku adalah utusan pribadi Sultan Hasanuddin!". 

Maka terkejutlah semua yang , hadir di tempat itu. Dari balik pakaiannya Pendekar 212 

keluarkan segulung kertas dan melemparkan benda itu yang tepat jatuh memalang di atas gelas tuak, 

dihadapan Parit Wulung. 

"Silahkan baca,” kata Pendekar 212 pula. Parit Wulung keretakkan rahang melihat sikap 

yang merendahkan ini tapi gulungan surat di atas gelas diambil dan dibacanya juga. 

Parit Wulung, 

Aku berikan kesempatan padamu untuk menyerahkan diri bersama 

bergundal-bergundal pemberontak lainnya malam ini. Maksud busukmu 

untuk menduduki takhta kerajaan Banten secara tidak syah di atas lumuran 

darah sekian banyak rakyat dan prajurit Banten serta sekian banyak 

pembesar-pembesar istana yang tak berdosa akan sia-sia saja ! , 

Keris Tumbal Witajuda walau bagaimanapun tak bakal kau dapat. Dua 

cecunguk pembantumu yaitu Resi Singo Ireng dan Matjan Seta telah 

menemui ajalnya.

Jika kalian menyerah, hukuman yang bakal dijatuhkan tidak begitu berat. 

Tapi bila kalian membangkang, kepala kalian jadi imbalannya karena walau 

bagaimanapun yang bathil tak akan bisa mengalahkan yang hak, kejahatan 

tak akan bisa mengalahkan, kebenaran ! 

Ingat, waktumu cuma sampai malam ini ! 

Tertanda 

SULTAN HASANUDDIN 

Mengelam wajah Parit Wulung membaca surat itu. Namun kemudian keluarlah suara 

tertawanya bergelak. Diserahkannya surat itu pada Karma Dipa, Karma Dipa meneruskan pada 

Djuanasuta dan Djuanasuta meneruskan lagi pada Rana Tikusila. Dan ruangan itu kemudian 

pecahlah oleh suara tertawa bergelak keempat manusia itu. 

Wiro sendiri mengerendeng dalam hatinya. "Kau utusan Sultan yang tampangmu macam 

orang hutan!" kata Rana Tikusila, "aku mau tanya, Sultanmu itu andalkan apakah sampai berani 

membuat surat ancaman macam begini rupa ?!" 

Wiro tertawa gelak-gelak. "Kau keliwat menghina sobat!" katanya. "Coba lihat ke kaca besar 

di dinding sana, tampangmu yang coreng moreng macam orang gila itu jauh lebih buruk dari 

padaku! Kurasa kalau orang tuamu bukannya macan jadi-jadian pastilah macan kesurupan!" 

Maka marahlah Rana Tikusila rnendengar hinaan ini. 

"Sret,” dicabutnya sebilah pedang lalu dengan, cepat kirimkan satu tusukan mematikan ke 

arah dada Pendekar 212. Tusukan ini adalah sebagian dari jurus paling tangguh dalam ilmu pedang 

Partai Api Setan dan dinamakan jurus "anak panah menembus rembulan!" Selama menghadapi 

lawan-lawan tangguh jarang dari mereka yang sanggup mengelakkannya Kalaupun berhasil maka 

biasanya tak akan mampu untuk mengelakkan jurus susulan yang dinamakan "gendewa menyambar 

puncak gunung". 

Tapi hari itu Rana Tikusila ketemu batunya. Tusukannya tiada tersangka hanya mengenai 

tempat kosong karena berhasil dikelit oleh Pendekar 212. Dengan penasaran dan juga malu pada 

kolega-koleganya di ruangan itu maka,Tikusila segera susul dengan jurus "gendewa menyambar 

puncak gunung". Pedangnya membalik membabat ke arah pinggang lawan! 

Namun nasib anak buah Partai Api Setan ini lebih buruk lagi. Dengan kecepatan yang sukar 

dilihat mata, Pendekar 212 berhasil memukul sambungan siku Tikusila. Pedang mental ke udara, 

Tikusila sendiri meraung kesakitan! Dan sesaat kemudian pedangnya sudah berada di tangan 

Pendekar 212! 

Mata Parit Wulung dan dua orang lainnya membeliak besar. Rana Tikusila sendiri pucat pasi 

wajahnya, memercik keringat dingin di keningnya!

"Aku datang ke sini bukan untuk membuat keributan tapi hanya sekedar menyampaikan 

surat Sultan Banten! Aku minta jawaban sekarang juga apakah. kalian sudi menyerah atau tidak?!" 

Parit Wulung merampas surat yang dipegang oleh Rana Tikusila lalu merobek-robeknya. 

"Ini jawaban kami!" kata Parit Wulung pula serta melemparkan robekan surat ke muka Wiro 

Sableng. Pendekar muda ini, tiup robekan surat-surat itu hingge bertebaran di lantai. 

"Besok pagi jangan harap kalian masih bercokol di dalam istana ini.....” 

"Saudara-saudara, sangkap manusia yang satu ini!". Parit Wulung beri perintah. 

Pendekar 212 tertawa mengekeh. Pedang di tangan kanan dilemparkannya ke lampu 

besar yang menerangi ruangan itu. Dengan serta merta gelaplah suasana dan secepat kilat Wiro 

melompat ke atas loteng, lenyap dikegelapan malam. 

Ketika pagi tiba maka gemparlah seluruh penduduk Kotaraja. Bagaimanakah tidak. Di 

halaman depan istana berjejer, bergantungan di tiang langkan muka lima belas manusia yang 

sudah menjadi mayat. Mata semuanya mendelik, lidah terjulur dan pada kening masing-masing 

tertera tiga angka yang tak asing lagi yaitu angka 212 ! 

Kelima belas manusia yang telah menemui ajal dengan cara yang aneh ini ialah Rana 

Tikusila bersama dua belas anggota Partai Api Setan, Djuanasuta dan Karma Dipa, dua pentolan 

pemberontak dari Pajajaran! 

Pada masing-masing leher kelima belas mayat itu tergantung secarik kertas yang 

bertuliskan: 

Kepada kalian telah diberikan syarat keampunan untuk menyerah. 

Tapi kalian sengaja memilih kematian macam begini. Kalian lupa bahwa 

kebathilan akan selalu hancur oleh yang hak. 

Kepada para perajurit dan rakyat Banten yang masih setia pada 

Sultan, hari ini adalah hari kebebasan Banten dari cengkeraman kaum 

pemberontak ! 

Tertanda 

SULTAN HASANUDDIN 

Di balik kegemparan yang menyungkupi setiap diri manusia yang ada di Banten maka 

berbagai pertanyaan timbul pula dikalangan mereka. Siapakah yang telah membunuh dan 

menggantung kelima belas manusia itu? Apakah arti angka 212 dikening mayat-mayat. Apakah 

ada hubungannya dengan peristiwa terbunuhnya beberapa prajurit pemberontak diperbatasan 

tempo hari? Apakah Sultan masih hidup dan, surat itu benar-benar ditandatangani olehnya? 

Kalau betul masih hidup di mana dia berada sekarang? Kemudian di mana pula Resi Singo Ireng serta Matjan Seta yang menjadi pentolan pembantu utama Parit Wulung? Kalau betul Sultan 

sudah muncul kembali dan turun tangan, mengapa Parit Wulung sendiri tidak digantung?! 

Di dalam suasana yang serba membingungkan dan penuh tanda tanya tak terjawab itu 

sekelumit harapan timbul di kalangan rakyat bahwa mereka betul-betul akan bebas dari kaum 

pernberontak. Sekelumit harapan ini ditunjang pula oleh sebagian besar balatentara Banten 

yang sesungguhnya masih setia pada Sultan. Dan dari hanya sekelumit harapan untuk bebas 

maka menjadilah satu tekat bulat untuk angkat senjata menumbangkan kekuasaan yang tidak 

syah itu. Lagi pula satu-satunya pentolan pemberontak yang masih bercokol di istana saat itu 

cuma tinggal Parit Wulung seorang. Yang lain-lainnya sudah menemui kematian. Singo Ireng 

dan Matjan Seta sudah sejak seminggu lenyap, mungkin juga kini cuma tinggal nama saja! 

Sementara itu di dalam istana begitu menyaksikan lima belas mayat yang digantung itu, 

sekujur tubuh Parit Wulung laksana diserang demam panas dingin. Mukanya sepucat salju. 

Tengkuknya sedingin es. Siapakah yang punya kerja menggantungi pembantu-pembantu 

utamanya demikian rupa? Dugaannya keras pada pemuda yang datang malam tadi! Dalam 

kebingungan dan kengeriannya Parit Wulung sampai lupa untuk memerintahkan agar lima belas 

mayat yang digantung itu diturunkan! 

Bila dia berhasil menguasai dirinya kembali maka diperintahkannyalah beberapa 

kelompok pasukan untuk melakukan pembersihan di seluruh Kotaraja dan menyelidik ke 

perbatasan. Namun sebelum pasukan-pasukan itu bergerak, maka sebagian dari balatentara yang 

masih setia pada Sultan bersama-sama dengan rakyat yang membawa berbagai macam senjata 

sudah menyerbu laksana air bah. Harapan untuk bebas dari kaum pemberontak, tekat bulat untuk 

menegakkan kembali Kerajaan Banten yang syah serta pembalasan dendam kesumat atas sanak 

saudara dan karib kerabat yang mati ditumpas kaum pemberontak tempo hari, itulah semua yang 

membuat mereka tanpa diberi komando lagi, menyerbu dengan dahsyatnya ! 

Dan pada saat pertempuran berkecamuk hebat maka melesatlah tiga sosok tubuh 

manusia dari wuwungan istana. Yang pertama seorang perempuan berkerudung biru, yang 

kedua seorang pemuda berambut gondrong bertampang gagah dan yang ketiga adalah Sultan 

sendiri! Maka semangat tempur para penegak keadilan itupun berlipat gandalah! 

Parit Wulung dan beberapa orang sisa-sisa pembantunya yang berkepandaian tinggi 

bertahan mati-matian di dalam kurungan kira-kira tiga puluh prajurit dan empat puluh rakyat 

jelata. Ketika Sultan, Dewi Kerudung Biru dan Pendekar 212 maju pula ke tengah gelanggang, 

maka hanya beberapa gebrakan saja tewaslah pembantu-pembantu utama Parit Wulung! 

Manusia pengkhianat besar ini dengan putus asa coba bunuh diri dengan hantamkan pedang kekepalanya. Tapi Pendekar 212 lebih cepat merampas senjata itu. Sultan dan Dewi Kerudung 

Biru kemudian meringkus Parit Wulung! Maka hari itu tamatlah riwayat kekuasaan kaum 

pemberontak di bawah pimpinan pengkhianat Parit Wulung dan kawan-kawannya! 

Di mana-mana hanya tebaran mayat yang kelihatan. Di mana-mana hanya suara- gegap 

gempita rakyat dan prajurit-prajurit yang terdengar menyambut kemenangan dan mengeluk-

elukan Sultan Hasanuddin. 

Kemudian diantara rakyat dan prajurit-prajurit Banten banyak yang berteriak. "Gantung 

Parit Wulung!” 

"Cincang tubuhnya sampai lumat!" 

"Hukum picis pengkhianat itu !" 

"Bakar saja hidup-hidup!" teriak kelompok yang lain! 

Sementara itu di langkan istana, di bawah lima belas mayat yang masih tergantung 

berputar-putar di tiup angin pagi, pendekar 212 dan Dewi Kerudung Biru berdiri dihadapan 

Sultan. 

"Sultan kami rasa segala sesuatunya sudah selesai kini. Kami berdua mohon diri....” 

Sultan terkejut. "Tidak bisa!,” kata Sultan setengah berteriak. 

"Kalian berdua musti tinggal dulu di sini beberapa lamanya. Bahkan aku sudah punya 

rencana untuk mengangkat kau sebagai Kepala Balatentara Banten merangkap Pengawal 

Pribadiku, Wiro!". 

Wiro dan Anggini tersenyum. "Hatimu mulia sekali Sultan,” sahut Pendekar 212. "Tapi 

kami berdua adalah orang-orarig persilatan yang suka bertualang. Di lain hari kita akan berjumpa 

dan berkumpul lagi..." 

Sultan merasa kecewa.. Hatinya juga sangat terharu. "Kalian berdua telah berjasa besar 

terhadap Kerajaan dan rakyat Banten. Aku harus umumkan hai ini sekarang juga dihadapan 

rakyat....” 

"Ah, jangan.... tak usah Sultan" kata Anggini dan Wiro pula. 

Sultan mengambil sebuah benda berbentuk bintang bersudut delapan dengan sebuah 

berlian besar di tengahnya. "Anggini,” kata Sultan pada Dewi Kerudung Biru, "benda ini adalah 

bintang utama Kerajaan Banten yang hanya diserahkan pada siapa saja yang telah berjasa pada 

Kerajaan dan Raja Banten. Ini juga sebagai tanda bahwa yang memegangnya adalah sahabat Raja 

dan rakyat Banten. Terimalah....'' 

"Sultan... mana bisa aku yang rendah dan sama sekali tidak membuat jasa apa-apa musti 

menerima bintang penghargaan begitu rupa....?""Terimalah Anggini. Pada Wiro juga sebelumnya telah pernah kuberikan...." 

Dengan malu-malu Anggini kemudian menerima jaga bintang bersudut delapan bermata 

berlian yang terbuat dari emas itu, Tiba-tiba Sultan ingat sesuatu. "Andjarsari, bagaimana 

Andjarsari ...... ?" 

"Dirinya tak perlu dikhawatirkan Sultan,” menjawab Dewi Kerudung Biru. "Saat ini dia 

masih berada di Lembah Batu Pualam dalam keadaan tak kurang suatu apa. Seorang pengemudi 

kereta dan dua prajurit utama telah kami suruh ke sana untuk menjemputnya....” 

"Ah, jasa kalian berdua benar-benar setinggi langit sedalam lautan. Aku betul-betul 

berterima kasih...” 

Pendekar 212 tersenyum. "Bukan kepada kami sebenarnya kau harus berterima kasih 

Sultan. Tapi kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita manusia hanya hamba-hamba Tuhan, hanya 

alat Tuhan yang cuma sanggup berusaha sedang ketentuan tetap ditanganNya.......” 

Sultan manggut-manggut. Dari balik pakaiannya dikeluarkannya Keris Tumbal Wilajuda. 

Dengan ujung senjata itu digoresnya kedua telapak tangannya sehingga mengeluarkan darah. 

"Kuharap kalian berdua juga suka menggores telapak tangan masing-masing…" 

Anggini dan Wiro saling pandang. "Untuk apa kah Sultan?" tanya Wiro pula. 

"Gores sajalah,” desak Sultan. 

Kedua orang itu kemudian sama menggores telapak tangan masing-masing. Wiro 

menggores telapak tangan kanan sedang Anggini tangan kiri. Sultan kemudian menempelkan erat-

rat telapak tangan kanannya ke telapak tangan kanan Wiro sedang telapak tangan kiri ke telapak 

kiri Anggini. Kemudian kedua tangannya diacungkan tinggi-tinggi ke udara. Dan karena tak dapat 

membendung lagi perasaan hatinya maka berserulah Raja Banten ini. 

"Saudara-saudaraku para prajurit dan rakyat Banten! Hari ini di bawah penyaksian kalian, 

aku mengangkat saudara terhadap dua orang yang telah berjasa besar terhadap kita sekalian...." 

"Sultan!" seru Pendekar 212. "Kami .

ini hanya manusia-manusia rendah jelata, bagaimana 

kau sudi mengangkat saudara…” 

Sultan tersenyum. "Darahku dan darah kalian telah bercampur. Tadi kau menyebut 

nama Tuhan, apakah ada perbedaan aniara aku dan kalian sebagai manusia di mata 

Tuhan....?!" 

Dan Sultan berseru lagi. "Yang di sebelah kananku ini adalah Pendekar 212 Wiro 

Sableng dan yang berkerudung adalah Dewi Kerudung Biru Anggini !'' ` 

Maka untuk kesekian kalinya tardengarlah gegap gempitanya suara orang banyak yang 

menyambut ucapan Sultan itu. Dan ketika sekilas Sultan memandang ke arah timur, maka

berserilah parasnya. Nun jauh di sana, di lereng bukit, kelihatan meluncur sebuah kereta. 

Kereta yang membawa Andjarsari, calon permaisurinya. 


T A M A T

Share:

Related Posts:

0 comments:

Posting Komentar