..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 22 Juni 2024

WIRO SABLENG EPISODE RAHASIA LUKISAN TELANJANG

 

Rahasia Lukisan Telanjang


WIRO SABLENG 

RAHASIA LUKISAN TELANJANG 

LANGIT terang cerah tiada berawan. Matahari bersinar 

megah. Serombongan burung-burung pipit berarak 

dari arah tenggara lalu lenyap di langit sebelah barat. 

Seorang pemuda gagah berjalan lenggang kangkung 

seenaknya di satu lamping gunung. Keterikan sinar mata–

hari tiada diperdulikannya. Bahkan sambil berjalan itu dia 

bersiul-siul entah membawakan lagu apa. Suara siulannya 

menggema sepanjang jalan seantero lamping gunung. Bila 

seorang tokoh silat dunia persilatan mendengar suara 

siulan yang keras tiada menentu itu, segera dia akan 

maklum bahwa orang yang mengeluarkan siulan itu bukan 

lain daripada Wiro Sableng, pemuda gagah yang bergelar 

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. 

Di satu tempat Wiro hentikan langkahnya. Dia meman–

dang ke bawah. Luar biasa sekali keindahan alam yang 

dilihatnya. Pohon-pohon menghijau di kejauhan. Di utara 

dua buah gunung menjulang tinggi laksana raksasa pen–

jaga negeri. Di barat sebuah sungai laksana seekor ular 

besar meliuk-liuk memantulkan cahaya putih perak karena 

ditimpa sinar matahari. 

Wiro menyeka peluh yang mencucur di keningnya 

dengan ujung sapu tangan putih penutup kepalanya. 

Setelah puas menikmati pemandangan yang indah itu dia 

melanjutkan perjalanan kembali dan kali ini dengan 

mempergunakan ilmu lari Seribu Kaki sehingga dalam 

sekejap saja puluhan tombak sudah dilewatinya. Dia 

berharap akan sampai sesenja-senjanya hari, ke tempat 

tujuan yaitu Goa Belerang. Kiai Bangkalan telah menyu–ruhnya datang. Orang tua sakti itu telah menjanjikan akan 

menurunkan semacam ilmu pengobatan kepadanya. 

Memasuki satu tikungan jalan di dekat kaki gunung, 

Wiro memperlambat larinya. Jalan di tikungan itu sempit 

sekali. Di sebelah kanan terdapat jurang batu yang curam 

terjal serta luas dan dalam. Seseorang yang jatuh ke sana 

jangan harap akan hidup sampai di dasar jurang. Kalaupun 

dia hidup, ke luar dari dasar jurang pasti akan sia-sia! 

Dari memperlambat larinya, tiba-tiba Wiro Sableng 

berhenti. Tepat di tikungan jalan itu dilihatnya duduk men–

cangkung seorang laki-laki tua berambut putih. Badannya 

kurus sekali. Demikian kurusnya hingga keadaannya tak 

ubah seperti tengkorak atau jerangkong hidup! 

Yang membuat Wiro Sableng heran ialah apa yang 

tengah dikerjakan si orang tua tak dikenal itu. Sambil 

duduk mencangkung, orang tua ini menghadapi sebuah 

pigura kain putih yang lebarnya satu meter sedang pan–

jangnya hampir satu setengah meter. Pigura kain putih itu 

disandarkan pada sebuah batu. Di atas terletak sehelai 

daun pisang. Di sebuah daun pisang ini terdapat cairan 

kental berkelompok-kelompok beraneka ragam warnanya. 

Si orang tua membetulkan letak pigura kain putih di 

hadapannya. Kemudian dengan ujung jari telunjuk tangan 

kanan diaduk-aduknya kelompok-kelompok cairan berwar–

na di atas daun pisang. Dengan jari yang berselomotan 

cairan berwarna itu, si orang tua mulai menggurat-gurat di 

atas kain putih. Demikian asyiknya sehingga dia tidak me–

ngetahui agaknya bahwa dia tidak sendirian berada di situ. 

Wiro terus memperhatikan dengan tak bersuara. 

Guratan-guratan yang dibuat si orang tua kelihatannya 

dilakukan seenaknya dan asal-asalan saja. Tapi betapa 

terkejutnya Pendekar 212. Lewat setengah jam kemudian 

di atas kain putih itu, meski belum begitu jelas, terlihat 

gambaran seorang perempuan tengah berbaring di atas 

tempat tidur dalam sebuah kamar yang bagus. Ternyata si 

orang tua adalah seorang pelukis yang lihai tetapi juga 

aneh! Lihai dan aneh karena dia melukis dengan ujung jaritelunjuk, dengan cairan-cairan berwarna yang diletakkan di 

atas daun pisang dan di tempat sepi begitu rupa, di bawah 

teriknya sinar matahari! 

Agar bisa memperhatikan lebih jelas, tapi juga untuk 

tidak mengganggu si orang tua, maka Wiro Sableng 

melompat ke satu batu tinggi dan duduk di situ. Si orang 

tua berdiri dan mundur beberapa langkah untuk meneliti 

lukisannya. 

“Ah... bagus sekali... bagus sekali! Bocah itu tentu akan 

senang melihatnya!” Suara orang tua ini kecil halus seperti 

perempuan. 

Wiro Sableng leletkan lidahnya. Ternyata si orang tua 

telah melukis seorang perempuan telanjang yang berbaring 

di atas sebuah tempat tidur dalam kamar yang bagus. 

Perempuan itu cantik sekali, rambutnya panjang menjela 

ke lantai kamar yang ditutupi permadani. Tubuhnya yang 

tiada tertutup pakaian demikian bagus dan mulusnya. Mau 

tak mau berdebar juga hati Pendekar 212 melihat lukisan 

itu. Aneh orang yang demikian tua mempunyai daya cipta 

yang merangsang begitu rupa. Dan siapa pula bocah yang 

dimaksudnya dalam ucapannya tadi, yang katanya akan 

senang melihat lukisan itu? Seorang bocah hendak melihat 

lukisan perempuan telanjang? Betul-betul keblinger, pikir 

Wiro. Dalam pada itu siapakah manusia ini? 

Sementara itu si orang tua kelihatan menambah 

beberapa guratan pada lukisannya. Wiro Sableng memper–

hatikan terus. Si orang tua tengah menuliskan serangkaian 

kalimat pada sudut kanan sebelah bawah lukisannya. 

Karena jauh Wiro tak dapat membacanya. Penuh rasa ingin 

tahu akan apa yang ditulis si orang tua, Wiro Sableng 

hendak melompat turun. Tapi niatnya dibatalkan karena di 

kejauhan didengarnya suara gemeletak roda kereta 

meningkahi derap kaki-kaki kuda. 

Sesaat kemudian kelihatanlah sebuah kereta putih 

yang ditarik oleh dua ekor kuda meluncur ke arah tikungan. 

Di bagian depan dan sisi kereta ada empat penunggang 

kuda yang berpakaian keprajuritan. Mendekati tikunganrombongan itu bergerak perlahan. 

Si orang tua masih juga asyik dengan lukisannya. 

Apakah dia tidak mendengar suara kedatangan kereta dan 

derap kaki-kaki kuda itu? Bahkan ketika rombongan 

tersebut berhenti di tikungan, si orang tua masih saja tidak 

berpaling. Apakah dia tuli? 

Penunggang kuda di sebelah muka kereta turun dari 

kudanya. Dia memandang sejenak pada lukisan yang 

tersandar di batu lalu dengan sikap hormat menegur si 

orang tua. 

“Bapak, kuharap kau sudi ke pinggir sedikit agar kereta 

bisa lewat.” 

Orang tua itu mencelupkan jari telunjuk tangan kanan–

nya ke cairan berwarna putih di daun pisang lalu melan–

jutkan menulis rentetan kalimat di sudut bawah sebelah 

kanan lukisan. 

Prajurit itu menduga si orang tua tuli. Maka dia 

melangkah ke samping dan menegur lagi lebih keras 

disertai isyarat-isyarat tangan. Tapi tetap saja si orang tua 

tidak mau perduli, bahkan palingkan kepala sedikitpun 

tidak! 

Dari dalam kereta terdengar suara seseorang. 

“Pengawal, ada apakah kereta berhenti?” 

“Kita mendapat sedikit rintangan Raden Mas Cokro,” 

jawab prajurit yang turun dari kuda. 

Dari jendela kereta kemudian keluar kepala seorang 

laki-laki berparas gagah, berkumis rapi dan mengenakan 

belangkon yang bagus. Begitu sepasang mata laki-taki ini 

membentur lukisan di tepi jalan di tikungan itu, maka 

tertariklah hatinya. Dengan segera dia turun dari kereta. 

Digeleng-gelengkan kepalanya. 

“Lukisanmu luar biasa bagusnya, orang tua,” kata laki-

laki ini. 

Untuk pertama kalinya orang tua bertubuh jerangkong 

itu palingkan kepala. Dia tersenyum sedikit pada laki-laki 

berpakaian dan berbelangkon bagus lalu meneruskan lagi 

pekerjaannya.“Orang tua, aku tertarik sekali dengan lukisanmu ini. 

Apakah kau sudi menjualnya?” 

Meski pekerjaannya belum selesai, tapi melihat sikap 

orang demikian jumawa maka si orang tua hentikan 

pekerjaannya, menyeka ujung jarinya lalu berdiri dan 

tersenyum lagi. 

“Terima kasih atas rasa kagummu Raden Mas. Tapi 

sayang, lukisan ini bukan untuk dijual...” 

Raden Mas Cokro menatap paras orang tua itu. 

“Aku sanggup membayar mahal. Kau tetapkan saja 

harganya...” 

Orang tua itu gosok-gosokkan kedua telapak tangannya. 

“Mohon dimaafkan Raden Mas. Lukisan ini tidak dijual. 

Kalau kau sudi, aku bersedia buatkan yang lain.” 

“Tapi aku sangat tertarik pada yang satu ini,” kata 

Raden Mas Cokro. 

“Menyesal sekali...” 

“Akan kubeli lima puluh ringgit.” 

“Maaf Raden Mas...” 

“Seratus ringgit!” 

“Ah... sungguh penghargaanmu besar sekali. Namun 

tak dapat kukabulkan Raden Mas...” 

“Kalau begitu biar kubeli dua ratus ringgit!” 

Raden Mas Cokro mengeluarkan sebuah kantong kain 

dari sakunya sementara keempat pengawalnya saling 

pandang dan kerenyitkan alis keheranan. Meski lukisan itu 

bagus luar biasa tapi dua ratus ringgit belul-betul harga 

yang gila! Dan bila mereka ingat gaji mereka yang tak 

sampai setengah ringgit satu minggu, menciut hati 

keempat prajurit itu! Gilanya pula ditawar semahal itu si 

orang tua kurus kering tidak mau menjual lukisannya! 

“Ini terimalah.” kata Raden Mas Cokro seraya 

mengacungkan kantong yang dipegangnya. Dua ratus uang 

ringgit di dalam kantong itu bergemerincingan suaranya. 

Tapi lagi-lagi si orang tua gelengkan kepala. 

“Walau dibeli seberapa mahalpun, lukisan ini tak dapat 

kujual Raden Mas. Mohon maafmu...”Raden Mas Cokro kelihatan kurang senang dengan 

sikap si orang tua. Maka berkatalah dia, “Apa dengan 

harga semahal itu kau tetap tak mau menjualnya pada 

Adipati Pamekasan?” 

“Ah...” Si orang tua menjura dalam-dalam. “Tak tahunya 

aku tengah berhadapan dengan Adipati Pamekasan,” 

katanya. Dihelanya nafas panjang lalu sambungnya, 

“Benar-benar ini satu kehormatan besar bagiku Adipati 

Cokro. Namun benar-benar pula aku mohon dimaafkan, 

lukisan ini kubuat bukan untuk mau dijual. Aku akan 

buatkan lukisan lain yang lebih bagus untukmu. Dan kau 

tak perlu membayar mahal... Kau pasti tak akan kecewa 

Raden Mas...” 

Tapi Raden Mas Cokro memang sudah kecewa. 

Dibalikkannya tubuhnya lalu melangkah masuk kembali ke 

dalam kereta. 

“Lain kali kalau ada kesempatan aku akan temui kau, 

orang tua. Di mana tempat tinggalmu?” tanya Raden Mas 

Cokro lewat jendela kereta. 

Si orang tua menghela nafas lagi. Sambil tersenyum dia 

menjawab, “Aku seorang pengembara luntang lantung, 

Raden Mas. Aku tak punya tempat kediaman yang tetap. 

Bila lukisan yang kubuat untukmu nanti sudah selesai, aku 

akan antarkan sendiri ke Pamekasan...” 

Raden Mas Cokro betul-betul kecewa dan juga penasa–

ran. Ditutupkannya tirai jendela kereta. Lalu diperintah–

kannya anak buahnya melanjutkan perjalanan! 

Si orang tua kembali duduk mencangkung melanjutkan 

pekerjaannya. 

Di atas batu tinggi Wiro Sableng tak habis pikir dan 

garuk-garuk kepalanya. Dua ratus ringgit! Bukan sedikit! 

Harga tawaran yang semahal itu ditolak oleh si orang tua. 

Betul-betul manusia ini aneh sekali! 

Mendadak Wiro Sableng mendengar suara kaki yang 

berlari cepat. Belum lagi sempat dia berpaling sesosok 

tubuh tahu-tahu telah berdiri di samping si orang tua. 

Hebat sekali gerakan orang ini. Begitu terdengar suaranyabegitu dia muncul di depan mata. Karena manusia ini 

tentunya memiliki kepandaian tinggi, maka Wiro Sableng 

memperhatikan dengan seksama. 

Orang ini berbadan sangat gemuk tapi pendek. 

Demikian gemuknya hingga dagu dan dadanya menjadi 

satu. Manusia tak berleher ini berambut gondrong yang 

dikuncir ke atas. Pakaiannya bagus dan di bagian dada 

terdapat sebuah saku besar empat persegi. Yang tidak 

sedap dipandang ialah wajahnya. Mukanya yang berminyak 

itu bermata lebar merah, hidung besar, bibir tebal dan tak 

bisa mengatup hingga gigi-giginya yang besar serta kuning 

kelihatan menjorok ke luar. 

“Ha... ha... ha. Ini betul-betul satu lukisan yang bagus 

luar biasa!” berkata si gemuk yang baru datang ini. Bola 

matanya yang merah berkilat-kilat meneliti lukisan yang 

tersandar di batu. 

Si orang tua yang tengah meneruskan pekerjaannya 

tidak berpaling. Terus saja dia menuliskan rentetan kata-

kata pada bagian bawah kanan lukisan itu. 

“Orang tua! Lukisan ini harus kau berikan padaku!” kata 

si gemuk dengan suara keras lantang hingga menguman–

dang di seantero lamping gunung dan memantul ke dalam 

jurang batu. Hebat sekali tenaga dalam manusia ini! 

Namun kehebatan ini seperti tiada terasa dan tiada diper–

dulikan oleh si orang tua. Si gemuk pendek melangkah 

mendekati orang tua itu. Dia gusar karena kemunculannya 

di situ dianggap sepi. Bahkan apa yang dikatakannya tadi 

tiada diambil perhatian oleh si orang tua! 

“Orang tua! Apa kau tidak dengar ucapanku tadi?!” 

bentak si gemuk. 

Barulah orang tua itu berpaling. 

Sepasang alis matanya yang putih dan agak jarang naik 

ke atas. Ketika kedua alis itu turun maka sekelumit 

senyum tersungging di bibirnya. 

“Ah, kalau mataku tak salah lihat... bukankah saat ini 

aku tengah berhadapan dengan salah seorang Dua Iblis 

Dari Selatan?”


WIRO SABLENG 

RAHASIA LUKISAN TELANJANG 2

SI GEMUK terkesiap karena tiada menyana kalau 

orang tua kurus kering itu mengetahui dirinya. 

Menurut taksirannya, pastilah si orang tua itu bukan 

manusia sembarangan. 

“Bagus sekali kau kenali aku!” kata si gemuk. “Ini 

membuat aku tak banyak cerewet untuk meminta lukisan 

itu padamu!” 

Si orang tua tertawa panjang. 

Siapakah manusia gemuk itu? Dalam dunia persilatan 

di daerah selatan pada masa itu dikenal dua orang sakti 

bersaudara yang berkepandaian tinggi. Yang seorang 

berbadan kurus kerempeng bermuka jelek menyeramkan. 

Dia berjuluk Iblis Kurus. Yang kedua berbadan gemuk 

pendek juga bermuka buruk seram dan bergelar Iblis 

Gemuk. Dan Iblis Gemuk inilah yang tengah berhadapan 

dengan si orang tua itu! Iblis Gemuk dan Iblis Kurus kedua-

duanya lebih dikenal dengan sebutan Dua Iblis Dari 

Selatan. Di mana ada Iblis Kurus biasanya di situ juga hadir 

Iblis Gemuk. Entah mengapa sekali ini cuma seorang yang 

muncul. Dan dalam dunia persilatan keduanya adalah 

tokoh-tokoh golongan hitam yang berhati jahat sehingga 

pantas sekali julukan ‘Iblis’ itu bagi keduanya! Di samping 

berhati jahat, Iblis Gemuk mempunyai kesukaan mengum–

pulkan barang-barang antik seperti senjata-senjata kuno, 

patung-patung dan lukisan. Pada waktu dia melihat lukisan 

yang dibuat si orang tua maka hatinyapun tertariklah dan 

dia musti mendapatkan lukisan itu. Tentu 

saja bukan 

dengan jalan membeli, tapi menurut caranya sendiri yaitu kekerasan.

Setelah meneliti paras Iblis Gemuk sebentar, maka 

menjawablah si orang tua, “Lukisan ini tak bisa kuberikan 

padamu, atau pada siapapun.” 

“Setelah tahu siapa aku apakah kau berani menolak?!” 

ujar Iblis Gemuk. 

“Ah sudahlah pekerjaanku masih belum selesai. 

Kuharap kau jangan ganggu aku, Iblis Gemuk.” Si orang tua 

memutar kepalanya kembali dan hendak meneruskan 

pekerjaannya. 

Tapi Iblis Gemuk segera membentak keras. 

“Suka atau tidak suka lukisan itu musti kau serahkan 

padaku! Kalau tidak kau akan menyesal orang tua...!” 

Si orang tua menarik nafas dalam. Lalu tanpa menga–

cuhkan Iblis Gemuk lagi dia hendak meneruskan kembali 

pekerjaannya. Marahlah Iblis Gemuk. Dengan tumit kaki 

kirinya hendak didorongnya orang tua itu ke samping. Tapi 

belum lagi tumit itu sampai, si orang tua sudah berkelit dan 

berdiri. 

Iblis Gemuk terkejut Meski acuh tak acuh tapi gerakan–

nya untuk mengenyampingkan orang tua tadi adalah salah 

satu jurus yang dinamakan Menggeser Bukit yang tidak 

mudah untuk dikelit. Ini membuat Iblis Gemuk tambah 

marah dan serta merta pukulkan tangan kirinya ke arah 

dada orang tua yang kurus kering macam jerangkong itu! 

“Manusia tidak tahu diri!” bentak si orang tua mulai 

marah, “Lekas kau pergi dari sini...!” 

“Aku akan pergi tapi sesudahnya menghadiahkan satu 

pukulan padamu dan mendapatkan lukisan itu!” 

Si orang tua menggerendeng lalu papasi jotosan lawan 

dengan lambaikan tangan kanannya ke muka! Iblis Gemuk 

menjadi kaget sewaktu merasakan bagaimana sambaran 

angin yang keluar dari tangan si orang tua membuat bukan 

saja pukulannya membelok ke samping tapi sekaligus 

membuat tubuhnya terhuyung-huyung sampai empat 

lahgkah ke belakang! 

“Orang tua badan tengkorak! Cepat terangkan siapa 

kau sesungguhnya?!” bentak Iblis Gemuk.Si orang tua tertawa pendek. 

“Tak perlu kau tahu namaku. Lekas tinggalkan tempat 

ini sebelum aku betul-betul marah!” 

“Manusia jerangkong sialan! Terpaksa tulang-tulang di 

badanmu kubikin berantakan!” 

Habis berkata begitu Iblis Gemuk segera menyerbu ke 

muka dan kirimkan serangan yang ganas. Dalam tempo 

yang singkat maka terjadilah pertempuran yang hebat di 

tikungan jalan yang sempit itu. Di samping mereka, 

menunggu jurang batu yang luas dan dalam. Salah saja 

membuat gerakan atau terpukul oleh lawan atau terpele–

set, tak ampun lagi pasti akan jatuh ke dalam jurang! 

Pertempuran telah berjalan delapan jurus. 

Wiro geleng-gelengkan kepala. Tak dinyana si orang tua 

yang kurus kering itu memiliki gerakan yang demikian 

sebat dan entengnya. Beberapa kali dia melihat bahwa 

orang tua ini mempunyai peluang untuk menjatuhkan 

tangan jahat terhadap lawannya, namun tiada dipergu–

nakan. Nyatalah bahwa orang tua ini berhati demikian 

polosnya sehingga menghadapi lawan yang terang-

terangan hendak bermaksud buruk kepadanya, dia masih 

belum mau lepaskan tangan keras! 

“Iblis Gemuk! Apakah kau masih belum mau angkat 

kaki dari sini?!” 

“Kunyuk kurus kering! Terima jurus Memukul Gunung 

Menentang Bukit ini!” teriak Iblis Gemuk. Tinju kanannya 

menderu ke arah batok kepala lawan sedang kaki kanan 

serentak dengan itu menendang ke arah dada! Belum lagi 

pukulan dan tendangan itu sampai, anginnya saja sudah 

menderu dahsyat! 

Buukk! 

Terdengar menyusul suara keluhan tinggi. Tubuh Iblis 

Gemuk terbanting ke belakang, punggungnya menghantam 

gundukan batu di atas mana Wiro Sableng duduk, kemu–

dian melosong jatuh duduk di tanah. Nafasnya megap-

megap ketika berdiri. Masih untung dia terbanting ke 

samping kanan, kalau ke samping kiri pastilah akanterlempar masuk jurang dan tamat riwayatnya. 

“Masih belum cukup peringatan yang kuberikan 

padamu Iblis Gemuk?!” tanya si orang tua. 

Iblis Gemuk berkemak kemik. Mukanya pucat. Nyatalah 

dia telah menderita luka di dalam yang cukup parah akibat 

pukulan lawan yang tadi menghantam dada kirinya! 

“Bangsat tua! Kau tunggu di sini! Hari ini juga Dua Iblis 

Dari Selatan akan menunjukkan jalan ke akhirat padamu!” 

Si orang tua tertawa mengekeh. 

“Kau mau panggil kambratmu si Iblis Kurus...? 

Silahkan... silahkan! Masa ada tamu yang bakal datang aku 

hendak pergi tinggalkan tempat ini? Pekerjaankupun 

belum selesai!” 

Iblis Gemuk meludah ke tanah lalu berkelebat tinggal–

kan tempat itu, sedang si orang tua seperti tiada terjadi 

apa-apa kembali meneruskan pekerjaannya! 

Di atas batu yang tinggi Wiro Sableng memutar otaknya 

berusaha mengingat-ingat siapa adanya orang tua yang 

berkepandaian tinggi itu. Belum lagi berhasil mendadak 

entah dari mana datangnya, tahu-tahu Wiro Sableng meli–

hat di bawahnya telah berdiri seorang nenek-nenek berba–

dan bungkuk berambut putih yang mukanya buruk sekali. 

Karena Wiro sama sekali tiada mendengar kedatangan 

perempuan ini nyata sekali dia memiliki ilmu kepandaian 

yang tinggi luar biasa! 

Setelah memperhatikan sejenak lukisan yang tersandar 

di atas batu maka perempuan tua renta ini menegur 

bertanya, “Orang tua, apakah kau melihat dua orang 

kawanku lewat di sini...?” 

Tidak seperti biasanya, sekali ini begitu ditegur maka 

orang tua itu hentikan pekerjaannya dan berpaling. Mata–

nya yang sudah dimakan umur itu meneliti dengan seksa–

ma sedang keningnya berkerenyit. 

“Hanya ada seorang yang lewat di sini barusan,” jawab 

si orang tua. “Iblis Gemuk, apakah dia yang kau 

maksudkan?” 

“Bukan!” jawab perempuan tua itu. Dia melirik padalukisan yang tersandar di batu. “Itu kau yang membuat–

nya?” 

“Betul.” 

“Bagus sekali! Kuharap pada tanggal satu bulan muka 

lukisan itu harus kau bawa ke Gunung Sumpang dan 

menyerahkannya padaku! Kau dengar?” 

“Tentu saja dengar. Tapi menyesal sobat, lukisan ini tak 

bisa kuberikan pada siapa-siapa!” 

“Aku tak perduli!” sentak si perempuan bongkok. 

“Umurmu memang kulihat sudah lanjut! Tapi tentu kau tak 

ingin buru-buru mampus! Karenanya jangan banyak mulut! 

Lukisan ini harus kau bawa ke Gunung Sumpang pada 

tanggal satu bulan di muka!” 

“Tidak mungkin!” 

“Kau membantah?!” 

Orang tua berbadan kurus gelengkan kepala. 

“Jangankan diminta, dibeli pun aku tidak sudi!” 

“Kalau begitu kau ingin cepat-cepat mati!” 

“Sobat, Iblis Gemuk meminta lukisan ini. Aku tidak 

berikan. Adipati Pamekasan berniat membelinya dua ratus 

ringgit, aku tidak jual. Sekarang kau juga menghendakinya. 

Tetap saja aku tak bisa memberikan!” 

“Kalau begitu kau berikanlah nyawamu!” sahut si 

perempuan tua seraya mundur satu langkah dan siap-siap 

untuk kirimkan satu pukulan. 

“Tahan dulu sobat!” ujar si orang tua berbadan kurus. 

“Sesungguhnya ada apakah hingga kau begitu 

menginginkan lukisan itu?!” 

“Itu kau tak perlu tanya! Aku mau lukisanmu habis per–

kara! Ayo, kau mau serahkan apa tidak?!” 

“Lucu! Sungguh lucu!” 

“Apa yang lucu?!” sentak si perempuan bungkuk 

bermuka keriput. 

“Lukisan begini rupa banyak orang yang meng–

inginkannya, apa itu bukan lucu?!” 

“Orang tua, jangan kau banyak cingcong. Lekas serah–

kan lukisan itu kalau tidak nasibmu akan seperti ini!” Habisberkata begitu perempuan tersebut pukulkan tangan 

kirinya ke arah batu di atas mana Wiro Sableng duduk 

sembunyi sejak tadi! 

Byur! 

Sekali pukul saja maka hancurlah bagian dasar batu 

besar yang tinggi itu. Bagian atasnya laksana pohon 

tumbang, rubuh ke bawah dan menggelinding ke dalam 

jurang dengan suara menggemuruh. Wiro sendiri begitu 

merasa bagian bawah batu hancur segera melesat dan 

berpindah ke puncak batu yang lain! 

Si orang tua tarik nafas panjang-panjang dan geleng-

gelengkan kepala. “Pukulan yang bagus luar biasa! Puku–

lan yang hebat!” katanya memuji. Kemudian dipandanginya 

paras perempuan di hadapannya. “Sungguh mataku yang 

telah tua ini tidak bisa mengenali orang! Mulanya aku 

masih bersangsi, tapi melihat pukulan Penghancur Baja

yang kau lepaskan itu tadi kini aku yakin bahwa aku betul-

betul berhadapan dengan Nenek Rambut Putih yang 

terkenal itu!” 

Jika si orang tua kenali nama gelarannya ini tidak 

mengherankan si perempuan bungkuk berambut putih. 

Tapi adalah membuat dia diam-diam merasa kaget sewak–

Ztu si orang tua mengetahui nama pukulan yang tadi 

dilepaskannya! 

“Kalau kau sudah tahu tingginya langit luasnya lautan, 

apakah kau masih banyak cerewet tak mau serahkan 

lukisan itu?!” 

“Langit memang tinggi, laut memang luas! Tapi apakah 

semua itu dapat melebihi tinggi dan luasnya budi manusia 

yang berhati luhur?” 

Terkejut Nenek Rambut Putih mendengar ucapan itu. 

“Lekas beri tahu siapa kau!” sentaknya. 

Si orang tua geleng-gelengkan kepala. 

“Manusia tetap manusia sekalipun dia punya seribu 

nama! Manusia tak perlu agul-agulkan nama terhadap 

sesama manusia. Karena dia dilahirkan tiada bernama...!” 

“Cacing kurus! Aku tak punya waktu lama! Terpaksalukisan itu kuambil sekarang juga!” kata Nenek Rambut 

Putih. Habis berkata demikian laksana kilat dia melompat 

menyambar lukisan perempuan telanjang yang tersandar di 

batu. 

Namun mendadak sontak perempuan tua itu 

merasakan lengan kanannya nyeri seperti orang 

kesemutan! Ternyata si orang tua telah melepaskan satu 

sentilan ujung jari ke arahnya! 

“Jadi kau punya ilmu yang diandalkan hah?!” lengking 

Nenek Rambut Putih. Tanpa sungkan-sungkan lagi dia 

segera menyerang. Maka untuk kesekian kalinya di jalan 

menikung yang sempit itu terjadi lagi pertempuran. Kini 

lebih seru dari pertempuran antara si orang tua dengan 

Iblis Gemuk sebelumnya. Sepuluh jurus berlalu sangat 

cepat. Tubuh kedua orang yang bertempur boleh dikatakan 

lenyap berubah menjadi bayang-bayang. Batu-batu kerikil 

berhamburan, debu jalanan beterbangan. 

Wiro Sableng memperhatikan dengan mata tak berke–

dip. Nenek Rambut Putih gerakannya sangat gesit. Setiap 

pukulan atau tendangan yang dilancarkannya hebat luar 

biasa serta mendatangkan angin yang bersiuran. Tapi 

lawannya juga tak kalah hebat, malah sesudah lewat 

sepuluh jurus Nenek Rambut Putih berhasil didesaknya ke 

tepi jurang! 

“Perempuan tua, jika kau tak mau tinggalkan tempat ini 

secara baik-baik pasti riwayatmu akan tamat di dasar 

jurang sana!” 

Nenek Rambut Putih kertakan rahang-rahangnya. Dia 

melompat ke sebuah batu datar dan dari sini lancarkan 

satu tendangan ganas. Lawannya berkelit gesit ke sam–

ping. Akibatnya tendangan itu melanda sebuah batu di 

hadapan Nenek Rambut Putih. Batu itu hancur berkeping-

keping! Si orang tua badan jerangkong terkejut melihat hal 

ini. Rupa-rupanya lawan benar-benar inginkan jiwanya. 

Maka segera dirubah permainan silatnya. Dalam sekejap 

saja tubuhnya lenyap dan membuat Nenek Rambut Putih 

kebingungan sendiri!Bret! 

Si nenek tersurut mundur. Pakaiannya di pinggang 

robek besar dan kulit badannya terasa dingin sedang di 

hadapannya manusia yang menjadi lawannya tertawa-tawa 

dan menegur, “Kita tak ada permusuhan. Sebaiknya lekas 

tinggalkan tempat ini!” 

Tenggorokan Nenek Rambut Putih kelihatan turun naik. 

Kegemasan nyata sekali terlihat pada parasnya yang tua 

keriputan. Dia menyadari bahwa manusia itu bukan tan–

dingannya. Meski demikian untuk menutupi rasa malunya, 

Nenek Rambut Putih berkata, “Sayang aku tengah mencari 

dua orang sahabatku. Kalau tidak, sampai seribu jurus pun 

aku akan ladeni kau.” 

Si orang tua ganda tertawa. 

“Permusuhan tanpa alasan bisa dicari,” sahutnya 

“Berlalulah...!” 

“Tanggal satu di bulan muka lukisan itu harus sudah 

kau sampaikan ke Gunung Sumpang! Kalau tidak aku dan 

kawan-kawan tak akan memberi ampun padamu, orang 

tua!” 

“Aku tidak punya kesalahan apa-apa padamu. Perlu apa 

minta-minta ampun segala?!” menyahuti si orang tua. Tapi 

Nenek Rambut Putih telah berkelebat dan menghilang dari 

tempat itu! 

Baru saja Nenek Rambut Putih lenyap di balik tikungan 

sebelah kanan, maka dari tikungan sebelah kiri terdengar 

seruan nyaring, “Orang tua keparat! Aku datang untuk 

menagih jiwamu!”


WIRO SABLENG 

RAHASIA LUKISAN TELANJANG 3

TERNYATA yang datang bukan lain daripada Iblis 

Gemuk yang tadi telah bertempur dengan si orang tua 

berbadan kurus. Kali ini dia datang bukan sendirian, 

tapi bersama seorang laki-laki berbadan tinggi yang kurus 

luar biasa, lebih kurus dari si orang tua sendiri. Keadaan 

tubuhnya serta tampangnya yang mengerikan persis 

seperti jerangkong hidup. Seperti Iblis Gemuk, manusia ini 

pun menguncir ke atas rambutnya yang gondrong dan dia 

bukan lain daripada Iblis Kurus, kakak kandung dan kakak 

seperguruan Iblis Gemuk. Iblis Kurus memang memiliki 

ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada Iblis 

Gemuk. Karena itulah Iblis Gemuk telah mencari kakaknya 

itu di kaki gunung dan membawanya ke tempat si orang 

tua melanjutkan pertempuran yang telah terjadi sebelum–

nya! 

Si orang tua yang tadi sudah hendak mencangkung 

untuk melanjutkan pekerjaannya, mendengar suara seruan 

nyaring itu segera berdiri. 

“Hem... kau betul-betul datang menepati janji, Iblis 

Gemuk!” kata si orang tua sambil melirik pada Iblis Kurus. 

Iblis Kurus memandang mencemooh. 

“Adikku, apakah ini manusianya yang telah berani 

turunkan tangan lancang terhadapmu?!” 

“Betul, memang dia bangsatnya!” sahut Iblis Gemuk. 

Iblis Kurus memperhatikan lukisan di belakang si orang 

tua. Lukisan itu memang bagus sekali serta merangsang. 

Tidak salah kalau adiknya demikian tertarik dan meng–

inginkannya. 

“Manusia kurus cacingan macam ini saja kau tidaksanggup menghadapi. Betul-betul membuat nama besarku 

menjadi luntur!” 

Si orang tua tertawa dingin. 

“Tampang dan tubuhmu jauh lebih buruk dari aku, Iblis 

Kurus. Karenanya tak perlu mencela orang lain...” 

“Kakakku, kurasa tak perlu kita bicara panjang lebar 

dengan bangsat tua ini. Mari kita musnahkan dia!” ujar 

Iblis Gemuk. 

Si orang tua tertawa mengekeh. “Nyalimu melembung 

besar kembali Iblis Gemuk! Tentu kau mengandalkan 

kakakmu ini, bukan?!” 

“Orang tua keparat! Ajal sudah di depan mata masih 

bisa bicara sombong!” 

Si orang tua berpaling pada Iblis Kurus lalu berkata, 

“Sobat, nama besar kalian berdua sudah lama kudengar. 

Antara kita tak ada permusuhan...” 

“Sesudah kau berani berlaku lancang terhadap adikku, 

apakah itu bukan berarti permusuhan?!” potong Iblis 

Kurus. 

“Itu salah adikmu sendiri!” sahut orang tua itu dengan 

nada sabar. “Dia inginkan lukisanku. Aku menolak. Dia 

memaksa malah lakukan kekerasan. Salahkah kalau aku 

memberi sedikit pelajaran padanya?!” 

“Tapi tidak seorangpun yang boleh turun tangan 

seenaknya terhadap Dua Iblis Dari Selatan!” tukas Iblis 

Gemuk. 

Si orang tua tertawa mengejek. 

“Sifat manusia memang banyak yang aneh,” katanya. 

“Ingin menggebuk orang lain, tapi digebuk tidak mau!” 

Iblis Kurus rangkapkan tangan di muka dada. 

“Orang tua, sebaiknya kau serahkan saja lukisan itu 

pada adikku. Niscaya kami Dua Iblis Dari Selatan tidak 

akan bikin urusan menjadi panjang!” 

Orang tua itu geleng-gelengkan kepala. 

“Heran,” katanya, “mengapa di dunia ini masih banyak 

manusia-manusia yang ingin memaksakan kehendaknya 

terhadap orang lain...”“Kau mau serahkan lukisan itu atau tidak?!” bentak 

Iblis Kurus. “Kalau begitu lekas terangkan namamu! Aku 

tidak pernah membunuh manusia tanpa tahu nama atau 

julukannya sekalipun manusia tak berguna macam kau!” 

Si orang tua tertawa panjang tapi kali ini tawanya 

bernada rawan. 

“Seharian ini banyak sekali orang-orang yang ingin tahu 

namaku,” katanya. “Padahal semua manusia dilahirkan 

tidak bernama...” 

“Jangan ngaco! Lekas beritahu namamu!” hardik Iblis 

Kurus sambil maju satu langkah. 

Sebagai jawaban maka kali ini orang tua aneh itu 

keluarkan serangkaian nyanyian: 

Puluhan tahun mengembara

Tiada berumah tiada bertempat tinggal

Delapan penjuru angin penuh dengan keindahan 

Bukankah pekerjaan baik, melukis segala yang indah?

Mendengar suara nyanyian itu terkejutlah Dua Iblis Dari 

Selatan. Mereka saling pandang sejenak. 

“Jadi rupanya kaulah Si Pelukis Aneh yang selama ini 

malang melintang dalam dunia persilatan?!” ujar Iblis 

Kurus. Hatinya berdebar juga mengetahui siapa adanya 

manusia di hadapannya, tapi dia tidak takut 

Si orang tua yang memang Si Pelukis Aneh adanya 

mengusap-usap dagunya. 

“Sungguh tiada diduga hari ini Dua Iblis Dari Selatan 

akan berhadapan dengan Si Pelukis Aneh akan pasrahkan 

jiwanya di tanganku!” Si pelukis Aneh tertawa panjang-

panjang. “Rupanya hari ini aku terpaksa mencabut pan–

tangan membunuh yang sejak lama kulakukan. Orang lain 

hendaki jiwaku, mana mungkin aku berpangku tangan...?!” 

“Bagus! Sekarang terima jurus pertama ini kunyuk tua!” 

teriak Iblis Kurus dan dengan serta merta menyerang ke 

muka. 

Dibandingkan dengan Iblis Gemuk yang kepandaiannya 

sudah tinggi maka Iblis Kurus jauh lebih tinggi lagi ilmu 

silatnya. Tahu menghadapi lawan yang tangguh maka IblisKurus keluarkan jurus-jurus terhebat dari ilmu silatnya 

sehingga dalam waktu yang singkat serangannya laksana 

hujan bertubi-tubi melanda tubuh Si Pelukis Aneh! 

Dalam lima jurus pertama Si Pelukis Aneh dibikin 

terdesak hebat. Kesempatan ini dipergunakan oleh Iblis 

Gemuk untuk bergerak mengambil lukisan perempuan 

telanjang yang tersandar di batu! 

Meski dalam keadaan terdesak, si Pelukis Aneh masih 

sempat melihat gerakan lawannya yang satu itu. Maka 

dengan melengking tinggi orang tua ini melompat sejauh 

dua tombak lalu menukik laksana kilat dan lancarkan satu 

tendangan ke arah Iblis Gemuk. 

Iblis Gemuk terpaksa batalkan niatnya untuk mengam–

bil lukisan itu dan buru-buru menyingkir karena angin 

tendangan lawan deras dan bahayanya bukan olah-olah! 

Baru saja Si Pelukis Aneh jejakkan kakinya di tanah, 

maka Iblis Kurus telah menyerbunya dengan dua ten–

dangan, dua pukulan! 

Namun kali ini Si Pelukis Aneh telah rubah permainan 

silatnya. Matanya yang tajam dan penuh pengalaman itu 

sudah melihat kelemahan-kelemahan ilmu silat lawan. 

Maka sekali tubuhnya berkelebat, Iblis Kurus merasakan 

desakan serangan yang hebat sekali membuat dia 

selangkah demi selangkah dan jurus demi jurus terdesak 

hebat. Dia sama sekali tak dapat melihat gerakan lawan 

dan tahu-tahu tangan atau kaki orang tua itu sudah berada 

dekat kepala atau tubuhnya! Hanya dengan mengandalkan 

ilmu meringankan tubuhnya yang sempurnalah maka dia 

masih sanggup elakkan semua serangan lawan itu! Tapi 

sampai beberapa lama dia sanggup bertahan?! 

Iblis Kurus menjadi gemas sekali. Semakin lama se–

akan terdesak dia. Gerakan lawan yang campur aduk tak 

bisa dilihatnya mengacaukan serangan serta jurus-jurus 

pertahanannya yang terlihai. Iblis Kurus keluarkan keringat 

dingin sewaktu dirinya didesak hebat ke tepi jurang! Setiap 

dicobanya untuk melompat ke samping selalu dia berha–

dapan dengan tendangan-tendangan atau jotosan-jotosanlawan yang menyambar di muka hidungnya hingga dia 

terpaksa membatalkan niatnya untuk melompat ke 

samping! Dalam pada itu, detik demi detik tepi jurang 

semakin dekat juga. Dalam jurus pertempuran yang kelima 

belas tepi jurang yang terjal itu hanya tinggal beberapa 

langkah saja lagi di belakangnya! 

“Gemuk! Lekas bantu aku!” teriak Iblis Kurus. 

Mendengar ini Iblis Gemuk yang memang sejak tadi 

sudah punya niat untuk mengeroyok si orang tua yang 

sebelumnya telah menghajarnya segera cabut senjata dari 

balik pakaian. Senjatanya ini berbentuk pedang tapi 

bergerigi seperti gergaji. Karena senjata ini ditimpa dan 

dilapisi emas murni maka sinar kuning kelihatan menderu 

sewaktu pedang itu membabat ke arah punggung Si 

Pelukis Aneh! 

Si Pelukis Aneh yang tengah mendesak gencar Iblis 

Kurus menjadi terkejut sewaktu merasakan sambaran 

angin yang deras datang menerpanya dari belakang! 

Didahului dengan satu lambaian tangan kanan yang 

mendatangkan angin keras, maka Si Pelukis Aneh dengan 

cepat memutar badan menghadapi serangan pedang 

berbentuk gergaji di tangan Iblis Gemuk! 

Kesempatan ini dipergunakan oleh Iblis Kurus untuk 

melompat ke samping menjauhi tepi jurang batu lalu 

dengan cepat mencabut pula senjatanya yang bentuknya 

sama dengan yang di tangan Iblis Gemuk. 

Melihat pengeroyokan curang ini, Wiro Sableng menjadi 

penasaran. Segera dia hendak melompat dari atas puncak 

batu untuk membantu si orang tua. Tapi tindakannya tak 

jadi dilakukan karena pada saat itu dilihat si kakek telah 

berkelebat dan kini di tangannya memegang pelepah 

pisang yang berdaun lebar di mana sebelumnya dia 

meletakkan cairan-cairan aneka warna yang dipergunakan 

untuk melukis! Dengan mempergunakan benda ini sebagai 

senjata maka si orang tua menghadapi kedua lawannya 

dengan hebat luar biasa! Karena daun pisang itu lebar 

sekali, ditambah dengan saluran tenaga dalam yang tinggimaka setiap benda itu berkilat menderulah angin deras 

luar biasa yang menerpa setiap serangan pedang Iblis 

Gemuk dan Iblis Kurus! 

Dua sinar kuning senjata pengeroyok bergulung-gulung 

ganas. Agaknya Dua Iblis Dari Selatan itu mulai mengelu–

arkan jurus-jurus terlihai dari ilmu pedang mereka. 

“Bagus! Bagus! Keluarkan seluruh kepandaianmu! Aku 

mau lihat!” seru Si Pelukis Aneh. Daun pisang di tangannya 

bergerak kian kemari melumpuhkan sama sekali setiap 

jurus serangan yang dilancarkan. 

Yang membuat Pendekar 212 Wiro Sableng jadi 

leletkan lidah ialah karena tak sekalipun pedang-pedang di 

tangan lawan sanggup membuat satu goresan pada daun 

pisang. Dan yang paling luar biasa ialah meski digerakkan 

demikian cepatnya dan dipergunakan sebagai senjata 

namun cairan-cairan aneka warna yang ada di daun pisang 

itu tidak satu tetespun yang tumpah atau meleleh! Benar-

benar luar biasa kehebatan Si Pelukis Aneh! 

Dalam mengagumi kehebatan orang tua itu tiba-tiba 

terdengar pekikan setinggi langit. Ternyata daun pisang di 

tangan Pelukis Aneh telah menerpa dada Iblis Kurus. 

Pedangnya mental sedang tubuhnya terpelanting sampai 

beberapa tombak dan celakanya terus terguling ke tepi 

jurang! Dengan salah satu tangannya Iblis Kurus coba 

memegang sebuah batu runcing yang menonjol di tepi 

jurang. Tapi pukulan daun pisang yang dialiri tenaga dalam 

yang tadi menghantam dadanya telah melumpuhkan sama 

sekali kekuatan Iblis Kurus. Meski dia berhasil memegang 

batu runcing itu dan menahan dirinya agar tidak jatuh ke 

dalam jurang namun sia-sia saja. Sesaat kemudian 

pegangannya terlepas dan tak ampun lagi tubuhnya 

melayang masuk jurang. Batu-batu runcing menantinya di 

dasar jurang! Untuk kedua kalinya terdengar jeritan Iblis 

Kurus. Yang sekali ini lebih mengerikan! 

Melihat kakaknya yang berilmu lebih tinggi menemui 

kematian begitu rupa, Iblis Gemuk jadi bergidik. Berdua dia 

tak sanggup menghadapi Si Pelukis Aneh, apalagi seorangdiri! Maka tanpa pikir panjang dan tanpa tunggu lebih lama 

Iblis Gemuk segera ambil langkah seribu! 

Si Pelukis Aneh tertawa mengekeh. Diambilnya pedang 

Iblis Kurus yang menggeletak di tanah. 

“Orang jahat, matamu sudah tak layak hidup lebih 

lama, Iblis Gemuk!” teriak Si Pelukis Aneh lalu lemparkan 

pedang ke arah Iblis Gemuk yang tancap gas larikan diri! 

Pedang itu menancap tepat di pertengahan punggung Iblis 

Gemuk terus menembus sampai di luar ujung pada 

dadanya! 

Tamatlah riwayat Dua Iblis Dari Selatan! 

Si Pelukis Aneh mengusap mukanya. Ditariknya nafas 

dalam-dalam lalu dia duduk menjelapok di tanah dan 

memandangi lukisannya. Kemudian tanpa palingkan 

kepala dari lukisan itu, dia berseru, “Orang yang sembunyi 

di atas batu tinggi harap turun!” 

Kagetlah Wiro Sableng. 

Pendekar ini garuk-garuk kepalanya. Lalu tanpa 

sungkan-sungkan lagi keluar dari persembunyiannya dan 

melompat turun.


WIRO SABLENG 

RAHASIA LUKISAN TELANJANG 4

PENDEKAR 212 Wiro Sableng jejakkan sepasang kaki 

di tanah tanpa keluarkan sedikit pun suara. Begitu 

dia berdiri di hadapan si orang tua segera dia menj–

ura dan berkata, “Aku yang muda merasa beruntung sekali 

dapat bertemu dengan tokoh silat terkenal di delapan 

penjuru angin.” 

Pelukis Aneh tidak palingkan kepalanya dari lukisan 

yang tengah dipandangnya. 

“Siapa namamu...?” 

“Wiro.” 

“Apa kau punya gelar?” 

Wiro Sableng yang tak mau tonjolkan diri menjawab 

dengan gelengan kepala. 

Lantas Si Pelukis Aneh bertanya lagi, “Kenapa kau 

sembunyi di atas batu sana?” 

“Aku tak ingin mengganggumu, orang tua.” 

“Bagus, kau tahu peradatan juga rupanya.” 

Untuk pertama kalinya Si Pelukis Aneh palingkan wajah 

dan meneliti Wiro Sableng sejurus. Lalu dia memandang 

lagi pada lukisannya dan menggoyangkan kepala. 

“Menurutmu apakah lukisanku ini bagus?” tanya Si 

Pelukis Aneh. 

“Bagus luar biasa,” jawab Wiro Sableng. 

Si Pelukis Aneh tertawa pendek. 

“Kalau lukisan ini kuberikan padamu, apakah kau mau 

menerimanya...?” 

Wiro berpikir sejenak. Adipati Pamekasan telah mena–

war lukisan itu sampai dua ratus ringgit, Si orang tua tidak 

menjualnya. Iblis Gemuk dan Iblis Kurus menemuikematian karena inginkan lukisan itu. Nenek Rambut Putih 

dibikin kelabakan sewaktu memaksakan kehendaknya 

atas lukisan itu. Maka adalah mustahil kalau kini Si Pelukis 

Aneh hendak berikan lukisan perempuan telanjang itu 

kepadanya! 

Wiro menjawab, “Ah, hatimu terlalu baik orang tua. Aku 

yang rendah ini mana berani menerima buah ciptaanmu 

yang bagus luar biasa ini?!” 

Si Pelukis Aneh tertawa dan usap-usap dagunya. 

“Manusia kerap kali tertipu oleh pandangan matanya,” 

berkata Si Pelukis Aneh. “Apa yang kelihatan bagus itu 

belum tentu betul-betul bagus. Bukankah begitu...?” 

Wiro anggukkan kepala. 

“Kau mengangguk! Tapi apa kau bisa beri satu contoh 

daripada sesuatu yang kelihatan bagus namun nyatanya 

buruk?” 

Pertanyaan si orang tua yang tiada terduga membuat 

Wiro Sableng jadi garuk-garuk kepalanya. Di kejauhan 

dilihatnya sebuah gunung hijau membiru. Dia kemudian 

menunjuk ke arah gunung itu. 

“Kau lihat gunung yang jauh itu, orang tua?” 

“Ya... ya..., aku lihat.” 

“Dari sini kelihatannya bagus sekali. Biru kehijauan. 

Tapi coba kita mendekatinya. Gunung yang bagus itu tak 

lebih daripada pohon-pohon besar liar, semak-semak 

belukar, tanah, batu-batu dan lain sebagainya.” 

Pelukis Aneh tertawa. “Kau betul! Otakmu cerdik. Tentu 

kau murid seorang yang bijaksana. Siapakah gurumu orang 

muda?” 

Wiro Sableng tak menjawab. Dia tak bisa menjawab. 

Dia tahu betul kalau gurunya Eyang Sinto Gendeng akan 

marah sekali bila namanya digembar-gembor di luaran. 

Maka akhirnya pemuda ini menjawab dengan senyum-

senyum, “Pengalaman adalah guru yang paling baik dan 

bijaksana bagi setiap manusia...” 

Si Pelukis Aneh kerenyitkan kening dan menatap paras 

si pemuda lekat-lekat. Sesaat kemudian mengumandang–suara tertawa orang tua ini di seantero lamping gunung 

dan jurang batu. 

“Tong kosong selalu berbunyi nyaring. Tong penuh tak 

akan mengeluarkan suara nyaring! Orang berilmu tinggi 

akan bersikap rendah bijaksana, orang berilmu sedikit 

sering jual tampang, jual pamer dan bermulut besar. 

Kuharap saja bocah itu kelak akan mempunyai sifat 

macammu, Wiro!” 

Telah dua kali dengan ini si orang tua menyebut 

‘bocah’. Maka bertanyalah Wiro, “Pelukis Aneh, siapakah 

yang kau maksudkan dengan bocah itu?” 

“Calon muridku!” jawab Si Pelukis Aneh. Kemudian 

ditelitinya lukisan di hadapannya. 

Wiro memperhatikan pula dengan seksama. Lukisan 

perempuan telanjang itu betul-betul bagus luar biasa. 

Betul-betul seperti melihat manusia hidup di depan mata. 

Memandang lama-lama Wiro Sableng menjadi jengah juga. 

“Tadi kulihat Adipati Pamekasan hendak membeli 

lukisan ini sampai dua ratus ringgit. Kenapa kau tidak 

menjualnya?” tanya Wiro. 

Si Pelukis Aneh tertawa. 

“Bacalah tulisan di sudut kanan bawah.” katanya. 

Wiro Sableng baru ingat pada tulisan itu. Tadi waktu 

memandang lukisan matanya hanya terpukau pada tubuh 

telanjang si perempuan cantik saja. Kini diperhatikannya 

bagian yang dikatakan si orang tua. Pada sudut bawah 

sebelah kanan lukisan terdapat tulisan berbunyi: 

Lukisan ini kuwariskan kepada calon muridku: Wira 

Prakarsa.

Wiro manggut-manggut 

“Calon muridmu itu, di manakah sekarang?” 

“Tentu saja di rumahnya.” sahut Si Pelukis Aneh. 

“Umurnya baru sepuluh tahun. Kelak pada umur duabelas 

tahun baru dia kuambil jadi murid.” 

“Lalu apa perlu lukisan perempuan telanjang ini hendak 

kau serahkan padanya?” tanya Wiro tak mengerti, 

“Ah... itu satu hal yang aku tak bisa terangkan, orangmuda.” 

Wiro maklum tentu ada apa-apanya. Namun demikian, 

pendekar ini berkata pula, “Begitu selesai apakah lukisan 

ini akan kau berikan pada calon muridmu itu?” 

Pelukis Aneh gelengkan kepala, “Aku tidak terlalu 

bodoh.” jawabnya. “Sekarang saja orang-orang jahat sudah 

pada memaksa dengan kekerasan untuk inginkan lukisan 

ini. Kalau diberikan saat ini pada bocah itu pasti bisa 

berabe. Nanti pada dua tahun di muka baru kuberikan.” 

“Dua tahun di muka calon muridmu itu baru berumur 

duabelas tahun. Bagaimanapun dia tetap masih disebut 

anak-anak. Apakah memberikan lukisan yang begini 

macam ke padanya bukan merupakan satu hal yang tidak 

pada tempatnya...?!” 

Si Pelukis Aneh tertawa. 

“Aku sudah bilang segala sesuatu yang bagus itu 

seringkali menipu kita. Dan di dalam seribu satu keanehan 

dunia, kita manusia ini tahu apa?!” 

Wiro maklum kalau si orang tua adalah seorang yang 

pandai dan bijaksana. Di samping itu mempunyai sifat 

aneh sehingga tak salah kalau dunia persilatan memberi 

gelar Si Pelukis Aneh kepadanya! 

“Wiro.” berkata Pelukis Aneh. “Kalau aku tak salah raba 

agaknya kau tengah dalam satu perjalanan atau 

pengembaraan. Tengah menuju ke manakah kau 

sebetulnya?” 

Wiro Sableng merasa bimbang untuk mengatakannya 

terus terang bahwa sesungguhnya saat itu dia tengah 

menuju Goa Belerang untuk menemui Kiai Bangkalan. 

Maka pendekar ini menjawab, “Manusia macamku ini 

berjalan hanya sepembawa kaki saja, orang tua.” 

Setelah bicara-bicara beberapa lamanya akhirnya Wiro 

Sableng minta diri dan meneruskan perjalanan. Sampai di 

kaki gunung, matahari bersinar semakin terik. Tanpa 

perdulikan keterikan yang membakar jagat itu, Pendekar 

212 Wiro Sableng teruskan perjalanannya dengan mem–

pergunakan ilmu lari cepatnya, dan sambil bersiul-siul.Ketika dia berada di sebuah kaki bukit, mendadak di 

puncak bukit dilihatnya dua titik kuning laksana bintang 

malam bergerak cepat ke arah selatan. 

Wiro hentikan larinya guna dapat meneliti lebih jelas. 

Dua buah titik itu sangat jauh, tapi Wiro yakin itu adalah 

dua orang manusia yang tengah berlari cepat. Wiro 

memperhatikan terus. Dua titik kuning itu menuruni bukit 

di sebelah selatan terus laksana terbang menuju ke daerah 

berbatu-batu dan terus lagi ke pegunungan di mana 

sebelumnya Wiro berada. Akhirnya dua titik kuning itu 

lenyap di batas pemandangan Pendekar 212 Wiro Sableng. 

Sewaktu Wiro ingat akan Si Pelukis Aneh yang 

ditemuinya di lamping pegunungan itu, mendadak hatinya 

menjadi berdesir, lebih cepat kalau dikatakan berdebar! 

Dua titik kuning itu pasti dua orang berkepandaian tinggi 

yang mempergunakan ilmu lari cepat. Dan keduanya 

mungkin pula orang-orang jahat yang sengaja pergi ke 

gunung itu untuk melakukan perbualan yang tidak baik 

terhadap Si Pelukis Aneh. 

Wiro merutuki dirinya sendiri karena sampai berpikir 

begitu jauh. Diputarnya badannya hendak melanjutkan 

perjalanan namun langkah.yang dibuatnya tertahan-tahan 

olen rasa kebimbangan. Akhirnya Pendekar 212 memba–

likkan diri lalu berlari cepat kejurusan selatan. 

Dua kali peminum teh baru Wiro Sableng sampai ke 

tikungan jalan di lamping gunung. Dan betapa terkejutnya 

Pendekar 212 sewaktu dia sampai di tempat itu! 

Larinya dengan serta merta terhenti. Sepasang kakinya 

laksana dipakukan ke bumi! Matanya menyipit, dada 

menggemuruh, kedua tinju terkepal sedang rahang 

terkatup rapat-rapat! 

“Terkutuk!” desis Pendekar 212. 

Dia berlutut di hadapan tubuh Si Pelukis Aneh yang 

menggeletak di tikungan jalan. Tubuh orang tua ini 

mengerikan sekali. Mulai dari kepala sampai ke kaki 

ditancapi oleh puluhan paku berwarna kuning yang terbuat 

dari besi berlapiskan emas. Benda-benda yang merupakansenjata rahasia hebat ini pastilah mengandung racun yang 

luar biasa jahatnya karena saat itu Wiro melihat tubuh Si 

Pelukis Aneh berada dalam keadaan gembung membiru. 

Yang mengerikan ialah apa yang tercengkeram di 

tangan kanan Si Pelukis Aneh yang sudah tidak bernyawa 

itu. Pada jari-jari tangan kanannya tergenggam sebuah 

kutungan lengan yang tertutup kain kuning! Warna lain ini 

mengingatkan Wiro pada dua titik kuning yang dilihatnya 

sebelumnya. Melihat kepada bentuknya pastilah potongan 

lengan jubah seseorang. Tidak dapat tidak rupanya telah 

terjadi lagi pertempuran di tempat itu antara Si Pelukis 

Aneh dan dua orang berpakaian kuning yang dilihat Wiro di 

kejauhan yaitu sewaktu di kaki bukit sebelah utara. Meski 

menemui kematian di tangan dua pengeroyok namun Si 

Pelukis Aneh masih sanggup membetot putus lengan kiri 

salah seorang lawannya hingga tanggal dan dalam matinya 

masih mencengkeran lengan itu! 

Wiro Sableng tersentak sewaktu dia ingat pada lukisan 

perempuan telanjang. Tapi lukisan itu telah lenyap dari 

situ! Pasti dua manusia berpakaian kuning pengeroyok Si 

Pelukis Aneh itulah yang telah mencurinya! Wiro berdiri 

perlahan. Dia tak berani menyentuh tubuh Si Pelukis Aneh 

meski dirinya kebal terhadap segala macam racun. Dia 

harus menggali sebuah lubang dan mengubur orang tua 

itu. Tengah dia memandang berkeliling mencari tempat 

yang baik mendadak Wiro melihat sepasang kaki kecil 

tersembul di balik unggukan batu yang terletak tak berapa 

jauh dari tepi jurang. 

Cepat-cepat Pendekar 212 melangkah ke batu itu. Di 

sini ditemuinya seorang anak kecil berpakaian compang-

camping, menggeletak tak bergerak. Kepalanya ada benjut 

besar. Sewaktu diperiksa ternyata dia cuma pingsan. 

Setelah ditolong dan diurut-urut dadanya akhirnya anak ini 

siuman. Begitu siuman begitu dia menangis. Tampangnya 

tolol sekali! “Namamu tentu Wira.” tegur Pendekar 212. 

Anak itu hentikan tangis dan seka kedua matanya lalu 

memandang pada Wiro Sableng. Sewaktu dia melihattubuh Si Pelukis Aneh maka anak ini kembali menangis 

lebih keras. Setelah reda Wiro menanyakan bagaimana dia 

sampai berada di tempat itu. 

Dengan terhenti-henti oleh sesenggukan maka si anak 

memberi penuturan. Namanya memang Wira Prakarsa, 

calon murid Si Pelukis Aneh. Katanya dia tengah bermain-

main di depan rumah sewaktu dua orang berpakaian 

kuning bertampang mengerikan mendatanginya. Salah 

seorang dari mereka langsung mendukungnya dan 

membawanya lari luar biasa cepatnya. Sepanjang jalan 

orang yang mendukungnya itu tiada henti menanyakan di 

mana letak pegunungan yang biasanya didatangi oleh 

calon gurunya. Karena tak tahan dipukuli akhirnya dia 

memberi tahu. Dan sewaktu sampai di tempat Si Pelukis 

Aneh maka langsung saja kedua orang berpakaian kuning 

itu menyerang calon gurunya. 

Menurut penuturan si anak lama sekali ketiga orang itu 

bertempur. Kemudian ada sambaran angin yang menye–

rempetnya hingga membuat dia terpelanting. Kepalanya 

membentur batu lalu dia tak ingat apa-apa lagi! 

Wiro maklum kini apa yang telah terjadi. 

“Apa kau pernah melihat kedua orang itu sebelumnya?” 

Wira Prakarsa menggeleng. 

“Tadi kau katakan muka kedua orang itu mengerikan 

sekali. Bisa kau mengatakan apa-apa yang mengerikan 

itu?” 

Si anak seka lagi sepasang matanya lalu menjawab 

dengan masih sesenggukan. “Yang mendukungku matanya 

cuma satu, berewokan. Kawannya juga berewokan, ber–

mata besar merah dan tak punya kuping...” 

Wiro Sableng merenung. Tak pernah dia bertemu 

dengan dua manusia macam itu, juga tak pernah mende–

ngar tentang ciri-ciri mereka sebelumnya. 

“Apakah kau tahu apa yang dibuat gurumu di sini 

sebelum dia meninggal?” 

“Dia melukis. Katanya lukisan itu untukku. Di dalam 

lukisan itu ada...” Si anak tarik kembali lidahnya dan takteruskan bicara. 

“Ada apa...?” tanya Wiro ingin tahu. 

“Tidak, tak ada apa-apanya.” Menyahuti si anak, lalu 

kembali dia menangis. 

Pendekar 212 Wiro Sableng semakin yakin bahwa di 

dalam lukisan itu musti ada apa-apanya. Ada tersembunyi 

satu rahasia besar yang cuma Si Pelukis Aneh dan calon 

muridnya itu yang tahu. Apakah beberapa tokoh silat tahu 

rahasia itu sehingga mereka menginginkan lukisan 

tersebut? Ataukah cuma tertarik pada kebagusan lukisan 

perempuan bertelanjang itu belaka? Tapi agaknya dua 

manusia berpakaian kuning yang telah membunuh Si 

Pelukis Aneh bukan cuma tertarik pada kebagusan lukisan. 

Mungkin sekali mereka telah mengetahui rahasia apa yang 

terkandung dalam lukisan itu! 

Setelah menggali sebuah lobang besar dan mengubur 

Si Pelukis Aneh maka Wiro Sableng mendukung Wira 

Prakarsa lalu membawanya berlari kembali pulang ke 

rumahnya. Ternyata anak ini adalah anak seorang petani 

miskin yang saat itu masih belum kembali dari ladangnya. 

“Wira,” kata Pendekar 212 sambil pegang kepala si 

anak. “Karena pemilik sah lukisan itu adalah kau, maka 

aku akan mencarinya sampai dapat dan mengembalikan–

nya padamu...” 

Anak itu manggut-manggut dengan tampangnya yang 

tolol. Sewaktu meninggalkan si anak, Pendekar 212 tak 

habis pikir bagaimana Si Pelukis Aneh telah memilih anak 

yang begitu tolol untuk calon muridnya. Tapi bila dia ingat 

pula bahwa dia sendiri dulunya adalah seorang anak yang 

tolol geblek maka segala pikiran yang bukan-bukan tentang 

Si Pelukis Aneh maupun anak tadi segera lenyap. 

“Kalau dia tolol karena dia masih anak-anak,” ujar Wiro 

dalam hati. “Aku yang sudah dedengkot begini rupa masih 

sableng! Masih mending anak itu!” 

***

Satu bulan kemudian dunia persilatan dilanda kehebo–

han. Tokoh-tokoh silat terkenal dari delapan penjuru angin 

dan partai-partai persilatan berusaha keras untuk 

mendapatkan sebuah lukisan telanjang yang mengandung 

rahasia besar. Siapa yang berhasil mendapatkan lukisan 

itu dan memecahkan rahasia besar yang tersembunyi pasti 

akan sangat beruntung karena di dalam lukisan itu 

terkandung semacam ilmu silat dan ilmu kesaktian yang 

hebat luar biasa dan sukar dicari tandingannya di delapan 

penjuru angin! 

Mula-mula lukisan itu jatuh ke tangan sepasang Elmaut 

Kuning. Lalu berpindah tangan pada beberapa orang tokoh 

silat. Terakhir sekali kabarnya kembali jatuh ke tangan 

sepasang Elmaut Kuning. Dan dalam tempo satu bulan itu 

telah belasan tokoh silat menjadi korban. Satu partai besar 

hancur lebur semua gara-gara lukisan perempuan telan–

jang yang mengandung rahasia besar itu!


WIRO SABLENG 

RAHASIA LUKISAN TELANJANG 5

PENDEKAR 212 Wiro Sableng tengah berlari di antara 

rapatnya pohon-pohon dan semak belukar di dalam 

sebuah rimba belantara sewaktu satu suara dengan 

santar menggeledek membentaknya. 

“Berhenti!” 

Wiro terkesiap dan hentikan larinya. Belum lagi dia 

sempat berpaling tahu-tahu sesosok tubuh telah berdiri di 

hadapannya. 

Orang ini berjanggut putih yang panjangnya sampai ke 

dada. Selempang kain putih menutupi badannya. Pada sisi 

kiri kanan tergantung dua buah bumbung bambu. 

“Dewa Tuak!” seru Pendekar 212. Hatinya gembira tapi 

juga bersangsi. Manusia di hadapannya kelihatan tambah 

tua dari dulu pertama sekali ditemuinya. Tapi meski demi–

kian masih tetap tegap kuat (Tentang siapa adanya Dewa 

Tuak ini harap baca serial Pendekar 212 yang kedua yaitu: 

Maut Bernyanyi di Pajajaran). Wiro Sableng menjura dalam-

dalam. 

Orang tua di hadapannya tertawa gelak-gelak lalu 

mengangkat salah satu bumbung bambu dan meneguk 

tuak di dalamnya sampai lepas dahaganya. 

Setelah menyeka mulutnya yang berselomotan tuak 

maka Dewa Tuak berkata, “Beratus hari mencarimu, saat 

ini baru bertemu!” 

Diam-diam Wiro mengeluh. Apakah orang tua ini masih 

hendak melaksanakan niatnya tempo hari yaitu memaksa 

menjodohkannya dengan muridnya?! Untuk mengetahuinya 

maka Wiro cepat-cepat bertanya, “Apakah kau masih juga 

hendak memaksakan niatmu tempo hari, Dewa Tuak...?”Dewa Tuak angkat lagi bumbung tuak dan meneguknya 

beberapa kali. Kemudian digelengkan kepalanya perlahan-

lahan. Mukanya kelihatan merah oleh hangatnya minuman 

yang diteguknya itu. Melihat gelengan kepala ini Pendekar 

212 merasa lega sedikit. Namun demikian apa pula 

gerangan yang membuat si orang tua berkata bahwa telah 

beratus hari dia mencari-cari dirinya? 

“Aku tahu... aku tahu dulu itu aku telah berlaku picik! 

Soal jodoh mana bisa dipaksakan?!” Dewa Tuak tertawa 

gelak-gelak. 

“Kalau begitu tengah menuju ke manakah kau saat ini, 

Dewa Tuak?” 

“Kau sendiri tengah menuju ke mana Wiro?” 

Wiro tak mau menceritakan bahwa dia sedang mencari 

lukisan perempuan telanjang yang tengah dihebohkan 

dunia persilatan waktu itu. 

Namun demikian Dewa Tuak telah mengetahuinya dan 

berkata, “Ah, rupanya kau juga telah ikut-ikutan terlibat 

dalam mencari lukisan itu, orang muda?” 

Wiro terkejut. 

“Kunasihatkan padamu agar segera mengundurkan diri 

saja. Lukisan itu hanya mendatangkan malapetaka, lain 

tidak! Belasan tokoh silat telah menemui ajalnya. Satu 

partai besar telah musnah gara-gara lukisan itu! Apa kau 

juga ingin mati percuma hanya karena lukisan telanjang 

itu?!” 

“Tapi lukisan itu ada sangkut pautnya dengan diriku, 

Dewa Tuak...” 

“Eh, sangkut paut bagaimana?” tanya Dewa Tuak 

heran. 

Maka Wiropun menuturkan pertemuannya dengan Si 

Pelukis Aneh serta janjinya terhadap Wira Prakarsa yaitu 

calon murid Si Pelukis Aneh itu. 

Dewa Tuak menarik nafas panjang. 

“Memang, itu sudah menjadi tugasmu orang muda. 

Dunia persilatan tak akan tenteram sebelum lukisan itu 

kembali pada pemiliknya yang sah...”Keduanya berdiam diri sebentar. 

“Dewa Tuak, apakah kau sudah mendengar tentang 

muridmu?” tanya Wiro. 

“Sudah... sudah! Aku gembira melihat dia kini berada 

dan bertapa di Goa Dewi Kerudung Biru. Dia beruntung 

sekali bertemu dan ditolong bahkan diambil murid oleh 

Dewi Kencana Wungu tempo hari. Terakhir sekali aku 

bertemu katanya dia hendak mempersuci diri, mengun–

durkan diri dari segala urusan duniawi.” 

Wiro Sableng termenung mendengar keterangan Dewa 

Tuak itu. Ingat dia akan masa beberapa tahun yang lewat, 

berdua-duaan dengan Anggini, murid Dewa Tuak itu. 

“Sekarang marilah ikut aku,” kata Dewa Tuak. 

“Ikut ke mana Dewa Tuak?” 

“Ikut sajalah.” 

“Terima kasih. Tapi aku ada urusan yang penting. Kau 

sendiri sudah maklum.” 

“Justru aku ajak kau untuk pergi ke satu tempat yang 

ada sangkut pautnya dengan lukisan yang tengah kau cari 

itu!” ujar Dewa Tuak. 

Mendengar ini maka Wiro tidak membantah. Keduanya 

segera meninggalkan tempat itu memasuki lebih dalam 

rimba belantara yang jarang didatangi manusia! 

Menjelang tengah hari kedua orang ini sampai di bagian 

rimba belantara yang paling lebat. Pohon-pohon sangat 

besar dan rapat tumbuhnya. Suasana lengang sunyi 

sedang sinar matahari tak sanggup menembus lebatnya 

daun-daun pohon yang tumbuh di situ. Udara sejuk seperti 

di malam hari layaknya! 

Dewa Tuak melompat ke cabang sebuah pohon yang 

tinggi. Wiro sampai di cabang dan berdiri di samping Dewa 

Tuak, terkejutlah dia. Sekira dua puluh tombak di bawah 

sebelah sana dilihatnya sebuah pondok kayu yang beratap 

rumbia. 

“Pondok siapakah itu?” tanya Wiro. 

Dewa Tuak palangkan jari telunjuk di atas bibir lalu 

dengan suara perlahan dia berbisik, “Ikut aku dan janganluarkan suara!” 

Dewa Tuak lantas melompat ke cabang pohon yang 

lain. Melompat lagi, melompat lagi dan akhirnya mendarat 

di atas wuwungan atap rumbia tanpa keluarkan suara 

sedikitpun. Dalam pada itu Wiro Sableng sudah berada 

pula di sampingnya. Meskipun atap rumbia itu cukup kuat 

namun tanpa mereka mengandalkan ilmu meringankan 

tubuh pastilah atap itu akan roboh! 

Dewa Tuak membungkuk dan dengan hati-hati mem–

buat sebuah lubang di atas atap. Dia memberi isyarat agar 

Wiro melakukan hal yang sama. Maka Wiro pun buat satu 

lubang di atas atap itu. Keduanya kemudian mengintai ke 

dalam pondok. 

Karena di dalam pondok agak gelap maka mula-mula 

Wiro tak melihat apa-apa. Kemudian matanya yang meng–

intai itu melihat seorang perempuan tua berambut hitam 

legam berdiri terbungkuk-bungkuk di sudut pondok. Kedua 

matanya meram tapi mulutnya yang kempot berkomat-

kamit. 

Wiro hendak menanyakan kepada Dewa Tuak siapa 

adanya nenek-nanek itu tapi dia khawatir suaranya 

terdengar oleh si nenek maka lantas dia pergunakan ilmu 

menyusupkan suara. Namun belum sempat dia ajukan 

pertanyaan mendadak pintu pondok terpentang lebar dan 

dua orang masuk ke dalam. Keduanya ternyata nenek-

nenek keriputan berbadan bongkok. Yang satu berambut 

biru, yang kedua berambut putih. Di bahu masing-masing 

memanggul dua sosok tubuh yang agaknya telah ditotok 

kaku tidak berdaya. Melihat si nenek berambut putih 

kagetlah Wiro Sableng karena perempuan tua ini bukan 

lain Nenek Rambut Putih yang sebelumnya telah dilihatnya 

di puncak gunung melawan Si Pelukis Aneh. Dan lainnya itu 

pastilah Nenek Rambut Biru dan Nenek Rambut Hitam! 

“Pemimpin!” ujar Nenek Rambut Biru, “Inilah bangsat-

bangsat yang kau inginkan itu!” 

Nenek Rambut Hitam yang rupanya menjadi pemimpin 

kedua nenek lainnya itu memandang dingin pada kedualaki-laki yang menggeletak di muka kakinya. 

“Buka jalan suara mereka!” perintahnya. 

Nenek Rambut Biru lepaskan totokan pada jalan suara 

kedua orang itu. 

Begitu jalan suaranya terbuka maka salah seorang dari 

dua laki-laki itu membentak, “Iblis betina, kau rupanya 

yang jadi biang racun! Lekas lepaskan totokanku dan 

kawan-kawanku!” 

Nenek Rambut Hitam tertawa melengking-lengking. 

“Ketua Partai Angin Timur, aku akan bebaskan kalian 

berdua jika kau beritahu di mana sarangnya Sepasang 

Elmaut Kuning!” 

Terkejutlah Wiro Sableng. Kalau laki-laki yang seorang 

itu adalah ketua sebuah partai, pastilah ilmunya tinggi 

sekali! Dan dari situ dapat pula diukur tingginya ilmu Nenek 

Rambut Biru dan Rambut Putih yang telah berhasil 

menawan ketua partai itu bersama seorang kawannya. 

“Ada apa kau tanyakan sarang kambratku itu?!” balas 

menanya Ketua Partai Angin Timur. 

“Bedebah! Aku tak suruh kau bertanya setan?!” bentak 

Nenek Rambut Hitam. 

Plaak! 

Tamparan Nenek Rambut Hitam melayang melanda 

sang Ketua, membuatnya tergelimpang dan terguling di 

lantai pondok. Dua buah giginya mencelat mental sedang 

bibirnya pecah! Paras Ketua Partai Angin Timur membesi. 

Nyata kemarahan menggelegak dalam dirinya, tapi karena 

ditolok maka yang bisa dilakukannya ialah memaki habis-

habisan! Nenek Rambut Putih menjambak rambut Ketua 

Partai Angin Timur dan menyentakkannya hingga laki-laki 

itu berdiri kembali di hadapan, pemimpinnya! 

“Lekas terangkan di mana sarang Sepasang Elmaut 

kuning!” hardik Nenek Rambut Hitam. 

Ketua Partai Angin Timur mendengus! 

“Maksudmu untuk mencari lukisan telanjang itu tak 

akan berhasil, iblis betina!” 

“Keparat betul! Kau mau bilang apa tidak?!”

Lagi-lagi Ketua Partai Angin Timur mendengus. “Aku 

tidak tahu!” sahutnya. “Sekalipun tahu aku tak akan bilang 

padamu!” 

Nenek Rambut Hitam marah sekali. Diulurkannya 

tangannya. Sekali remas saja maka hancurlah telapak dan 

jari jari tangan kanan sang Ketua! Laki-laki itu menjerit 

kesakitan dan memaki habis-habisan! Kawannya keluarkan 

keringat dingin. 

“Itu masih belum apa-apa,” ujar Nenek Rambut Hitam. 

“Kalau kau tetap membangkang tak mau kasih kete–

rangan, seluruh tubuhmu akan kubikin hancur! Lekas 

katakan!” 

“Nenek Rambut Hitam, kawanku itu betul-betul tidak 

tahu letak sarangnya Sepasang Elmaut Kuning,” berkata 

kambrat Ketua Partai Angin Timur. 

“Kau tak usah berbacot!” bentak sang nenek. “Kalau 

dia tak tahu kau tentu tahu ya?!” 

Pucatlah wajah laki-laki itu. 

“Ayo lekas kalian katakan! Kalau tidak kalian akan 

disiksa sampai setengah mampus!” teriak Nenek Rambut 

Biru. 

“Nenek Rambut Hitam! Kalian dan kami masing-masing 

satu golongan, kenapa berbuat sejahat ini?” 

Nenek Rambut Hitam tertawa melengking, “Kalau kau 

dan kambratmu tidak mau binasa percuma lekas beri 

keterangan!” 

“Kalian penggal pun kami berdua, tetap aku tak bisa 

kasih keterangan!” 

“Aku mau lihat!” ujar Nenek Rambut Hitam. Sekali dia 

gerakkan tangan kanannya maka tanggallah lengan kiri 

Ketua Partai Angin Timur! Laki-laki ini melolong laksana 

srigala lapar, mengerikan sekali! 

Pendekar 212 Wiro Sableng bergidik. 

“Dewa Tuak, aku tak bisa melihat kekejaman terkutuk 

itu berjalan lebih lama!” kata Wiro. Dia bergerak cepat 

hendak menerobos atap. Tapi lebih cepat dari itu si orang 

tua yang memanggul dua buah bumbung bambu meme–gang lengannya dan menjawab dengan ilmu menyusupkan 

suara seperti yang dilakukan oleh Wiro waktu berkata 

padanya tadi. 

“Biarkan, kita lihat saja! Ketua Partai Angin Timur tidak 

beda dengan tiga orang nenek serta seorang kawannya itu! 

Mereka sama-sama dari golongan hitam tukang bikin 

kejahatan di dunia persilatan! Biar saja mereka saling 

bunuh! Kita menonton saja!” 

“Tapi Ketua Partai Angin Timur berada dalam keadaan 

tak berdaya!” tukas Wiro Sableng. 

“Perduli amat! Sudahlah kita lihat saja!” bentak Dewa 

Tuak pula. 

Wiro Sableng menggerutu dalam hati lalu dia mengintai 

lagi lewat lobang. 

“Ayo! Apa kau masih tidak mau kasih keterangan?!” Si 

Nenek Rambut Hitam membentak. 

Jawaban Ketua Partai Angin Timur adalah suara 

raungan yang mengerikan! 

Nenek Rambut Hitam berpaling pada kawan Ketua 

Partai Angin Timur. 

“Jaliwarsa! Kau tentu tak ingin menerima nasib macam 

kambratmu itu, bukan?!” 

Pucatlah wajah laki-laki yang bernama Jaliwarsa. 

“Apa maksudmu Nenek Rambut Hitam...?” 

“Kau tentu tahu! Lekas katakan di mana tempat 

kediaman Sepasang Elmaut Kuning!” 

“Demi setan aku tidak tahu sama sekali Nenek Rambut 

Hitam...” 

Nenek Rambut Hitam mendengus marah. Dia berpaling 

pada anak buahnya. “Rambut Biru! Cungkil mata kirinya!” 

perintah Nenek Rambut Hitam. 

“Tobat! Jangan...!” teriak Jaliwarsa. 

“Kalau begitu lekas buka mulut!” sentak Nenek Rambut 

Hitam. 

Jaliwarsa menangis macam anak kecil. Meratap 

mengatakan bahwa dia betul-betul tidak tahu di mana 

letak sarang Sepasang Elmaut Kuning.“Tak ada ampun bagimu! Cungkil matanya!” bentak 

Nenek Rambut Hitam. 

Maka Nenek Rambut Biru melompat ke muka. Dua 

buah jarinya menusuk lurus ke mata kiri Jaliwarsa. Ter–

dengar suara mengerikan sewaktu biji mata laki-laki itu 

mencelat bersama semburan darah yang disusul oleh 

suara melolong Jaliwarsa yang laksana gila karena 

kesakitan!


SABLENG 

RAHASIA LUKISAN TELANJANG 6

PEREMPUAN iblis!” teriak ketua Partai Angin Timur 

yang menggeletak di lantai pondok. “Kalian bunuhlah 

kami! Biar kami bisa jadi setan dan mencekik batang 

leher kalian!” 

Nenek Rambut Hitam tertawa mengekeh. 

“Nyalimu boleh juga, kunyuk sialan! Kalian minta 

mampus cepat-cepat, baiklah! Kalian memang tidak ber–

guna hidup lebih lama!” 

Nenek Rambut Hitam pegang kedua kaki Ketua Partai 

Angin Timur dan Jaliwarsa. Sekali kedua tangannya berge–

rak maka mencelatlah tubuh kedua orang laki-laki itu ke 

atas atap. Serentak dengan itu si nenek berseru, “Tukang-

tukang intip keparat, terima ini!” 

Pendekar 212 Wiro Sableng terkejut bukan main. Tak 

sangka kalau si nenek begitu lihai sehingga sudah 

mengetahui kehadirannya bersama Dewa Tuak di atas 

atap! Wiro dan Dewa Tuak cepat melompat ke samping. 

Pada saat itu pula atap pondok bobol dihantam dua tubuh 

yang dilemparkan Nenek Rambut Hitam! Tubuh Ketua 

Partai Angin Timur menghantam sebuah pohon, 

pinggangnya hancur dan jatuh ke tanah tanpa nyawa! 

Kawannya menyangsang sebentar di sebuah pohon lain, 

lalu jatuh bergedebuk di tanah dengan kepala pecah! 

Maklum kalau tiga perempuan tua berbadan bungkuk 

itu sudah mengetahui kedatangannya bersama Wiro, maka 

Dewa Tuak segera melompat turun, masuk ke dalam 

pondok lewat atap yang bobol. Wiro menyusul dan berdiri di 

sampingnya. Kelima orang itu saling menyapu dengan 

pandangan mata masing-masing. Diam-diam ketiga nenekitu mengagumi kegagahan tampang Wiro Sableng 

meskipun kegagahan itu agak dibayangi oleh mimik 

ketololan! Sedang masing-masing mereka sama kerenyi–

tkan kening sewaktu melihat Dewa Tuak membawa dua 

buah bumbung bambu yang agaknya berisi cairan. Cairan 

apa mereka tak bisa menduga. 

“Siapa kau?!” tanya Nenek Rambut Hitam. “Dan kau 

juga?!” katanya sambil goyangkan kepala pada Wiro 

Sableng. 

Dewa Tuak tak segera menjawab melainkan meng–

angkat salah satu dari bumbung bambu dan meneguk 

isinya beberapa kali. Perlu diketahui kedua bumbung itu 

tidak ditutup. Meski dibawa berlari bagaimanapun ken–

cangnya atau dibawa melompat namun satu tetes pun tuak 

itu tidak tumpah. Ini adalah berkat kehebatan tenaga 

dalam Dewa Tuak yang sudah mencapai tingkat kesem–

purnaannya! 

Nenek Rambut Hitam merasa gusar sekali karena 

pertanyaannya tak segera dijawab. Tapi karena maklum 

bahwa si orang tua berjanggut itu bukan seorang yang bisa 

dianggap remeh maka dia cuma memandang saja dengan 

mata mendelik! 

“Sobat-sobatku,” kata Dewa Tuak kepada tiga orang 

nenek, “Sebelum kita bicara-bicara apakah tidak lebih 

bagus kalau kalian mencicipi tuakku ini dulu?” 

Nenek Rambut Hitam terkesiap seketika. Diperhati–

kannya orang tua di hadapannya lebih teliti. Kemudian, 

“Kalau aku tak salah duga, apakah kau manusia yang 

bergelar Dewa Tuak?!” 

Dewa Tuak usut-usut janggutnya yang panjang sampai 

ke dada lalu tertawa dan meneguk lagi tuaknya beberapa 

kali. 

“Aku memang doyan tuak, tapi aku bukan dewa!” 

“Sejak puluhan tahun belakangan ini kau lenyap dari 

dunia persilatan! Tahu-tahu kini muncul unjukkan 

tampang! Tentu ada yang menyebabkannya! Apakah kau 

yang sudah tua karatan ini telah terlibat pula dalam urusanmencari lukisan perempuan telanjang itu?!” 

Dewa Tuak tertawa gelak-gelak. 

“Rupanya di dalam otakmu hanya lukisan itu saja yang 

teringat nenek bangkotan! Kita yang sudah tua-tua begini 

bukan tempatnya lagi mengurus segala macam persoalan 

duniawi!” 

“Lantas perlu apa kau datang ke sini dan mengintip tak 

tahu adat?! Dan cecunguk hijau ini apamu?!” 

Wiro Sableng keluarkan suara bersiul sewaktu dirinya 

disebul cecunguk hijau lalu tertawa geli! 

“Orang muda! Nyalimu cukup besar untuk berani 

tertawa di hadapanku!” 

“Tertawa saja apa susahnya?!” ujar Wiro lalu tertawa 

lagi lebih keras hingga pondok itu terdengar hebat! 

Kagetlah Nenek Rambut Hitam dan kedua anak 

buahnya. Tiada dinyana kalau si anak muda memiliki 

tenaga dalam yang sehebat itu! 

“Kau tanyakan dia?” ujar Dewa Tuak seraya tuding Wiro 

dengan ibu jarinya. “Dia adalah calon mantuku yang tidak 

jadi!” Lalu orang tua ini tertawa bekakakan sampai kedua 

matanya berair. 

Wiro cuma cengar-cengir mendengar ucapan Si Dewa 

Tuak. 

“Cepat terangkan mengapa kau berada di daerah ini?!” 

Saat itu untuk pertama kalinya Nenek Baju Biru buka 

suara, “Pemimpin, bukan tak mungkin bangsat-bangsat ini 

tengah mencuri dengar percakapan kita tadi dengan Ketua 

Partai Angin Timur dan Jaliwarsa. Disangkanya mereka 

akan dapat diam-diam mencuri dengar keterangan sarang 

Sepasang Elmaut Kuning!” 

Nenek Rambut Putih menimpali, “Bukan tak mungkin 

pula mereka tahu banyak tentang soal lukisan itu, 

pemimpin!” 

Ucapan-ucapan anak buahnya itu termakan oleh Nenek 

Rambut Hitam. Maka segera dia memerintah, “Rambut 

Biru! Kau ringkus si tua bangka itu! Dan kau Rambut Putih, 

bekuk cecunguk hijau itu!”Nenek Rambut Biru memang lebih tinggi 

kepandaiannya dari Rambut Putih maka dia disuruh 

meringkus Dewa Tuak. 

“Perempuan-perempuan keriputan! Kalian betul-betul 

tidak tahu adat!” gerutu Dewa Tuak lalu cepat-cepal 

menyingkir ke samping kanan, mengelakkan totokan yang 

dilancarkan Nenek Rambut Biru! Sambil mengelak Dewa 

Tuak angkat bumbung bambunya hingga ujungnya dengan 

tiada terduga menyerang ke arah pinggang lawan! 

Tapi Nenek Rambut Biru tidak berkepandaian rendah! 

Penasaran melihat totokannya lewat, dengan satu jeritan 

keras dia menyerang kembali! Maka terjadilah pertem–

puran yang hebat. 

Nenek Rambut Putih di lain pihak maju menghadapi 

Wiro Sableng. Dengan memandang enteng dia lakukan 

serangan dan sekali menyerang dia yakin akan sanggup 

meringkus si pemuda hidup-hidup. Tapi alangkah terkejut–

nya ketika sambil tertawa lawannya berkelit dengan mudah 

bahkan berkata mengejek, “Ah, jurus seperti ini telah 

kulihat kau pergunakan untuk menyerang Si Pelukis Aneh!” 

“Bocah hijau! Ada hubungan apa kau dengan Si Pelukis 

Aneh?!” tanya Nenek Rambut Putih. 

Wiro tertawa. Bukan dia menjawab pertanyaan si nenek 

malah berkata, “Orang tua semacammu ini sepantasnya 

banyak bikin ibadat dan sucikan diri! Bukannya malang 

melintang bikin kejahatan dan ikut campur segala macam 

urusan duniawi!” 

“Kentut ingusan. Atas nasihatmu itu aku akan 

hadiahkan jurus Ekor Naga Mematuk Cakar Garuda 

Berkiblat! Terimalah!” 

Gerakan si nenek sebat sekali. Tubuhnya tinggal 

bayangan dan tahu-tahu tiga jari tangan kanannya 

menotok ke dada, sedang lima jari kiri mencakar ke arah 

muka. Cakaran yang datangnya lebih dulu itu sebenarnya 

hanya tipuan belaka karena serangan yang sebenarnya 

ialah totokan pada dada! Bila lawan coba hindarkan 

mukanya dari cakaran maka kecepatan totokan tanganakan ditambah dua kali lipat! 

Dan celakanya Pendekar 212 kini kena tertipu! 

Begitu melihat lima jari mencakar di depan hidung dia 

segera buang kepala ke belakang dan kaki kanan menderu 

ke arah si nenek. Namun di saat itu si nenek sudah 

melesat ke samping, sedang tiga jari tangannya dengan 

kecepatan luar biasa menderu ke arah dada Wiro Sableng! 

Penasaran sekali karena dia tahu bahwa totokan yang 

lihai itu tak mungkin dikelit maka Wiro hantamkan tangan 

kanannya dari atas ke bawah! Dua lengan pun beradu! Si 

nenek berseru keras. Dia tersurut sampai dua tombak, 

mukanya pucat bahkan terkejut. 

Nenek Rambut Hitam segera maklum bahwa tenaga 

dalam anak buahnya itu jauh rendahnya dari si pemuda. Ini 

adalah satu hal yang tak pernah disangkanya. Dan ketika 

dia memandang ke lengan Si Rambut Putih, lengan nenek-

nenek itu kelihatan bengkak membiru sedang lengan Wiro 

Sableng hanya berbekas merah sedikit! Kemudian 

dilihatnya pula pertempuran si rambut biru dengan Dewa 

Tuak. Anak buahnya itu tengah dibikin sibuk bahkan 

dipermainkan malah! Gusarlah Nenek Rambut Hitam. 

Segera dia berseru, “Kalian berdua jangan bikin malu aku! 

Kuberi kesempatan tiga jurus lagi! Jika kalian tak bisa 

meringkus kunyuk-kunyuk itu, kalian akan tahu rasa!” 

Mendengar seruan Si Rambut Hitam, Rambut Putih dan 

Rambut Biru jadi takut sekali. Keduanya segera loloskan 

setagen yang melilit di pinggang masing-masing lalu 

menyerang dengan lebih sebat! 

Dua setagen yang merupakan senjata ampuh itu tak 

ubahnya laksana dua ekor ular besar yang meliuk-liuk 

sebat kian kemari, kadang-kadang bergerak cepat mem–

belit pinggang, kadang-kadang menotok jalan darah 

bahkan kadang-kadang mematuk ke arah kedua mata! 

Dan semua itu terjadi bertubi-tubi laksana kilat. Betapapun 

Wiro dan Dewa Tuak percepat gerakan silat mereka, 

namun tetap saja keduanya dibikin terdesak dan tak sang–

gup ke luar dari gulungan setagen lawan!“Setagen sialan,” gerendeng Pendekar 212. Baik dia 

maupun Dewa Tuak kini segera merubah sikap. Kalau tadi 

mereka cuma main-main dan mengejek lawan mereka, 

maka setelah terdesak hebat dan terkurung setagen yang 

berbahaya itu, mereka mulai lancarkan serangan-serangan 

balasan sehingga pertempuran berjalan semakin hebat! 

Dalam tempo yang singkat lima jurus telah lewat. 

Nenek Rambut Hitam penasaran sekali melihat kedua 

anak buahnya tiada sanggup meringkus lawan masing-

masing, padahal tiga jurus yang ditentukannya telah 

berlalu! 

“Kalian berdua mundurlah!” bentaknya marah. 

Nenek Rambut Biru segera melompat mundur. Namun 

karena agak gugup ketakutan oleh bentakan pemimpinnya, 

dia menjadi sedikit lengah dan akibatnya ujung selendang–

nya berhasil ditarik oleh Dewa Tuak sehingga robek! Dewa 

Tuak tertawa gelak-gelak! Di lain pihak Nenek Rambut 

Putih begitu melompat begitu dirasakannya sekujur 

tubuhnya tak sanggup digerakkan. Ketika ditelitinya 

ternyata lawannya telah melibat sekujur badannya dengan 

setagennya sendiri! Pucatlah paras nenek tua ini. Dia 

maklum bahwa pemuda itu berilmu tinggi sekali dan kalau 

bermaksud jahat pastilah sudah sejak tadi dia kena celaka! 

Nenek Rambut Hitam maju ke hadapan kedua orang 

itu. “Bagus!” katanya. “Rupanya kalian memiliki ilmu yang 

diandalkan! Aku mau lihat! Apakah kalian maju berdua 

atau seorang-seorang?!” 

Dewa Tuak mendengus. 

“Bagusnya berdua sekaligus biar lekas kubereskan!” 

Dewa Tuak tertawa lagi dan meneguk tuaknya bebe–

rapa kali. 

“Dengar Rambut Hitam,” kata Dewa Tuak pula. “Main-

main dengan dua orang anak buahmu itu sudah cukup. 

Lain kali saja kau kami hadapi...!” 

“Kentut tua bangka! Katakan saja kau tidak punya nyali 

menghadapi Nenek Rambut Hitam!” 

Dewa Tuak ganda tertawa. Dia berpaling pada WiroSableng dan berkata, “Mari kita pergi!” 

Tapi baru saja dia bergerak Nenek Rambut Hitam sudah 

melompat ke hadapannya dan kirimkan satu serangan 

yang luar biasa dahsyatnya. Kalau saja si orang tua tidak 

bersikap waspada pastilah dadanya akan kena jotosan 

keras dan mukanya disambar cakaran dahsyat! 

Marahlah Dewa Tuak melihat kenekatan si nenek. 

“Dasar tua bangka geblek! Masih saja mengikuti amarah 

membabi buta!” 

“Jangan banyak ribut setan tua! Makan jariku ini!” 

Dengan lebih ganas lagi Nenek Rambut Hitam menyerbu 

ke muka. Lima jari tangan kanan bergerak ke perut sedang 

lima jari tangan kiri mencengkeram ke muka Dewa Tuak. 

Angin serangan ini bukan main derasnya. Dewa Tuak 

memaklumi bahwa dibandingkan dengan kedua anak 

buahnya sekaligus, si nenek yang satu ini jauh lebih 

berbahaya! Dewa Tuak melompat ke belakang dan putar 

kedua bumbung tuaknya. Maka punahlah kedua serangan 

Nenek Rambut Hitam! 

Sebelum si nenek menyerang lagi Dewa Tuak berseru, 

“Wiro kau layanilah perempuan bongkok jelek ini!” 

Terkejutlah Nenek Rambut Hitam dan dua nenek 

lainnya sewaktu Dewa Tuak menyebut nama si pemuda. 

“Manusia-manusia keparat! Kau berani main-main 

terhadapku?!” sentak Nenek Rambut Hitam. 

“Siapa yang main-main? Kau tanya aku jawab!” sahut 

Dewa Tuak. 

“Apakah kau manusianya yang bernama Wiro Sableng?! 

Yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?!” 

tanya Nenek Rambut Hitam. 

“Ah, perlu apa segala macam nama, segala macam 

gelar! Majulah! Kuharap kau yang tua mau memberikan 

sedikit pelajaran padaku si bocah hijau!” sahut Wiro pula. 

Meski Wiro tidak mengaku terus terang siapa dia 

adanya namun Nenek Rambut Hitam yakin bahwa pemuda 

itu memang Wiro Sableng si Pendekar Kapak Maut Naga 

Geni 212! Sejak berbulan-bulan belakangan ini dia telahmendengar tentang munculnya seorang pemuda gagah di 

dunia persilatan, yang bernama Wiro Sableng berjuluk 

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Banyak tokoh silat 

golongan hitam yang berilmu tinggi mati konyol di 

tangannya. Bahkan terakhir sekali, Dewi Siluman Dari Bukit 

Tunggul, kabarnya juga telah menemui kematian di tangan 

pendekar muda ini! Mau tak mau si Nenek Rambut Hitam 

menjadi gentar juga. Untuk mengelakkan baku bantam 

dengan si pemuda tapi tanpa kehilangan muka maka 

Nenek Rambut Hitam berpaling pada Dewa Tuak dan 

berkata lantang, “Kalau kau tak punya nyali untuk 

menghadapiku, sebaiknya segera angkat kaki dari sini!” 

Dewa Tuak yang sudah dapat menduga hati perempuan 

itu tertawa dan berkata, “Aku yang tak punya nyali atau kau 

yang takut hadapi kawanku itu?” 

Nenek Rambut Hitam tertawa bergetar. 

“Orang muda! Tadinya aku hanya berniat untuk 

meringkusmu hidup-hidup! Tapi karena kau begitu berani 

menantangku, terpaksa umurmu cuma sampai hari ini 

saja!” 

Sesudah berkata begitu si nenek menerjang ke muka. 

Wiro bergerak cepat. Mengelak dan lancarkan serangan 

balasan yang anginnya saja membuat si nenek mengeluh! 

Tenaga dalam si pemuda jauh lebih tinggi dari yang 

dimilikinya. Dalam tempo dua jurus Nenek Rambut Hitam 

tak sanggup lagi lancarkan serangan-serangan bahkan 

musti mempertahankan diri dan dalam jurus keempat 

terdesak hebat ke pojok pondok! 

Tiba-tiba si nenek melengking dahsyat! Tubuhnya 

lenyap dan jurus permainan silatnya berubah sama sekali. 

Serangannya gencar tiada terduga. Gerakan kaki dan 

tangannya mendatangkan angin bersiuran dan tipu-tipunya 

berbahaya mematikan! Inilah ilmu silat tangan kosong yang 

dinamakan Ilmu Silat Delapan Kaki Delapan Tangan yang 

telah dipelajari Nenek Rambut Hitam dari mendiang 

gurunya! 

Ilmu Silat Delapan Kaki Delapan Tangan memang patutdikagumi. Nyatanya selama lima jurus Wiro Sableng dibikin 

bingung dan musti berhati-hati. Meski ilmu meringankan 

tubuh serta tenaga dalamnya jauh di atas si nenek namun 

gerakan lawan yang tiada terduga-duga itu mematahkan 

pertahanannya! Dan dua jurus di muka satu hantaman 

telapak tangan si nenek berhasil mampir di dada Pendekar 

212! 

Wiro merasakan dadanya sakit dan nafasnya sesak. Dia 

maklum kalau saja dia tidak lebih tinggi tenaga dalamnya 

dari si nenek pastilah dia akan mendapat luka di dalam 

yang amat berbahaya! 

Di lain pihak Nenek Rambut Hitam tidak kepalang 

tanggung. Dia menyerbu lagi dengan lebih gencar! Tangan 

dan kakinya laksana bertambah menjadi beberapa pasang 

lagi! Dan kembali Wiro Sableng terdesak! Dewa Tuak 

kerenyitkan kening. Hanya sebegitukah kehebatan Pende–

kar 212 sehingga menghadapi ilmu silat si nenek dia 

sudah dibikin kewalahan demikian rupa?! Si nenek sendiri 

juga tiada menyangka bahwa dia akan berhasil memukul 

lawannya. Diam-diam dia merasa berada di atas angin kini! 

Tiba-tiba Wiro menyurut sejauh satu tombak. 

“Ha... ha! Apakah nyalimu sudah lumer orang muda?!” 

ejek Nenek Rambut Hitam. 

“Ah, jangan lekas-lekas berbesar hati sobat tua! Kau 

rasakan dulu pukulanku ini!” sahut Wiro. Serentak dengan 

itu dia sudah alirkan sebagian tenaga dalamnya ke ujung 

tangan kanan. Tangan itu dikepal dan diangkat ke atas. 

Didahului oleh satu bentakan nyaring, Wiro Sableng 

pukulkan tangannya ke arah si nenek. Begitu memukul 

begitu jari-jari tangan yang mengepal membuka kembali! 

Inilah Pukulan Kunyuk Melempar Buah yang tak asing lagi! 

Nenek Rambut Hitam terkejut sekali sewaktu 

merasakan gelombang angin keras laksana batu besar 

melanda ke arahnya. Sambil pukulkan kedua tangannya 

sekaligus untuk menangkis dia cepat-cepat jungkir balik 

lalu membuang diri ke samping! 

Braaak!Dinding pondok di belakang si nenek pecah dan 

berhamburan! Tergetarlah hati Nenek Rambut Hitam 

melihat kehebatan pukulan itu. Setelah tenangkan hatinya 

dia maju menghadapi lawannya kembali. Dan pada saat itu 

untuk pertama kalinya Wiro Sableng membuka jurus 

pertempuran dengan menyerang lebih dahulu! Si nenek 

dibikin gelagapan kini. Serangannya selalu mengenai 

tempat kosong sedang pertahanannya saat demi saat 

semakin mengendur. Bila dia tidak kuat lagi menghadapi 

pemuda itu maka tanpa malu-malu Nenek Rambut Hitam 

lepaskan setagen dan cabut tusuk konde emas dari 

rambutnya! Dengan kedua senjata itu dia menyerang Wiro 

Sableng. 

Setelah bertempur dua jurus maka Wiro segera 

mengetahui bahwa tusuk konde yang kecil di tangan kanan 

si nenek jauh lebih berbahaya daripada setagen di tangan 

kanannya! Semakin lama pertempuran semakin seru. Tiba-

tiba si nenek hentikan gerakannya dan memandang 

bingung karena lawannya lenyap seperti ditelan bumi! 

“Aku di sini, Rambut Hitam!” Terdengar suara Wiro di 

belakangnya! 

Nenek Rambut Hitam kertakkan geraham dan secepat 

kilat membalikkan tubuh. Tapi begitu tubuhnya membalik 

maka, plaaak...! Telapak tangan kanan Wiro Sableng 

menghantam keningnya! Perempuan tua itu melengking 

kesakitan. Tubuhnya mencelat menghantam dinding pon–

dok. Pemandangannya gelap, kepalanya terasa pening 

sedang keningnya sakit bukan main! 

Kedua anak buah Nenek Rambut Hitam terkejut! Belum 

pernah mereka melihat pemimpin mereka dihajar demikian 

rupa! Selama ini tak pernah seorang pun yang sanggup 

menghadapi Nenek Rambut Hitam tanpa mendapat celaka! 

Dan yang membuat mereka lebih terkejut lagi ialah 

sewaktu melihat kening pemimpin mereka. 

“Pemimpin, keningmu!” seru Nenek Rambut Biru. 

Nenek Rambut Hitam usap keningnya. Kening itu sakit 

sekali dan panas, tapi tidak terluka. Namun apakah yangmenyebabkan Rambut Biru demikian terkejutnya? Tak lain 

karena akibat pukulan telapak tangan kanan Wiro tadi kini 

di kening Nenek Rambut Hitam tertera tiga deretan angka 

yaitu 212! 

Dewa Tuak tertawa gelak-gelak dan cegluk... cegluk... 

cegluk, dia lalu teguk tuaknya. 

“Rambut Hitam, sobatku telah hadiahkan tiga buah 

angka di keningmu! Apakah kau masih belum mau meng–

aku kalah?!” 

Berubahlah paras Nenek Rambut Hitam! Dia maklum 

apa yang telah terjadi kini. Pukulan 212 yang menggurat–

kan angka telah menimpa keningnya. Tiga deretan angka 

itu tak akan bisa dihilangkan seumur hidupnya! Nenek 

Rambut Hitam menggerutu macam singa lapar! 

“Anak haram jadah mampuslah!” lengking si nenek. 

Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi ke atas dan 

mulutnya berkomat-kamit. Seluruh pondok itu dengan tiba-

tiba dilanda hawa yang amat dingin menyembilu. Wiro 

sendiri yang tak mengerti apa yang tengah terjadi sampai-

sampai bergeletar tubuhnya dilanda hawa dingin itu. 

Geraham-gerahamnya bergemeletukan. 

Melihat ada kelainan ini secepat kilat Dewa Tuak 

berseru, “Wiro cepat menghindar! Bangsat keriput ini mau 

lepaskan pukulan Salju Kematian!” 

Habis berteriak begitu Dewa Tuak secepat kilat 

meneguk tuaknya. Dalam pada itu Nenek Rambut Hitam 

melengking nyaring dan hantamkan tangan kanannya ke 

arah Wiro dan Dewa Tuak! 

Satu gelombang benda putih yang bentuknya putih 

seperti salju, menderu amat dingin ke arah kedua orang 

itu. Dewa Tuak runcingkan mulutnya yang menggembung 

lalu menyembur ke muka! Terdengar suara laksana air bah 

sewaktu semburan tuak dan pukulan salju kematian saling 

beradu. Bumi seperti mau kiamat. Dewa Tuak cepat tarik 

lengan Wiro Sableng lalu melompat ke atas atap 

menerobos melewati lobang besar. Dari sebuah cabang 

pohon kemudian Wiro melihat bagaimana pondok ituhancur lebur dan setengahnya tertimbun oleh lapisan salju 

putih! 

Wiro memandang berkeliling dengan cepat. Ketiga 

nenek itu tidak kelihatan. Pendekar 212 lalu putar kepala 

ke cabang di samping. Dia terkejut sewaktu melihat Dewa 

Tuak duduk bersila di atas cabang dengan pejamkan mata. 

Wajah orang tua ini pucat sekali. Rupanya bentrokan ilmu 

pukulan tadi telah membuat si orang tua menderita luka di 

dalam yang parah juga. Lama Dewa Tuak bersila seperti 

itu. Sewaktu dia buka kedua matanya kembali, cepat-cepat 

diambilnya sebutir pil dan ditelannya. Sesaat kemudian 

wajahnya yang pucat telah normal lagi seperti biasa! 

Dewa Tuak tarik nafas panjang, geleng-gelengkan 

kepala dan leletkan lidah sewaktu memandang ke pondok 

yang kini tertimbun salju kematian itu! 

“Ternyata benar perempuan busuk itu telah mendapat–

kan ilmu Pukulan Salju Kematian!” kata Dewa Tuak 

seakan-akan pada dirinya sendiri. “Kelihatannya masih 

kurang sempurna. Tapi sudah demikian luar biasa...!” 

Wiro sendiri diam-diam bergidik juga melihat pukulan 

yang bernama Salju Kematian itu. Tenaga dalam Dewa 

Tuak berada jauh di atas Nenek Rambut Hitam, tapi 

pukulan Salju Kematian yang dilepaskan si nenek 

membuat Dewa Tuak menderita luka yang cukup hebat! 

“Meski seseorang memiliki tenaga dalam yang sepuluh 

kali lebih tinggi, tapi jangan coba-coba berani adu kekuatan 

dengan pukulan salju kematian itu.” Dewa Tuak geleng-

geleng kepala kembali. “Aku tak mengerti, bagaimana 

keparat betina itu berhasil memiliki ilmu Salju Kematian. 

Itu adalah salah satu dari beberapa ilmu pukulan yang 

pernah menggetarkan dunia persilatan dan menjadi raja-

raja ilmu pukulan!” 

“Jika ilmu semacam itu dipergunakan untuk kejahatan 

bisa berbahaya,” kata Wiro pula. 

“Itulah yang aku kuatirkan,” desis Dewa Tuak. 

Diam-diam Wiro ingin sekali menghadapi Nenek 

Rambut Hitam itu kembali. Apakah ilmu pukulan SinarMatahari-nya sanggup menghadapi ilmu pukulan Salju 

Kematian itu? 

“Dewa Tuak, apa yang kita buat sekarang?” tanya Wiro. 

“Aku bermaksud meneruskan perjalanan mencari lukisan 

telanjang itu...” 

Tak ada jawaban. 

Wiro berpaling. 

Astaga! 

Dewa Tuak tak ada lagi di sampingnya. Dia mencari-cari 

tapi orang tua itu tiada kelihatan. 

“Dewa Tuak! Di mana kau?!” teriak Wiro memanggil. 

Tetap tak ada jawaban. 

Wiro hendak melompat turun. Tapi tiba-tiba pada 

batang pohon di mana dia berada dilihatnya sebaris tulisan 

‘Pergilah ke Utara!’. 

Pasti itu adalah tulisan Dewa Tuak. Maka tanpa 

menunggu lebih lama Wiro segera melompat dari atas 

pohon.


WIRO SABLENG 

RAHASIA LUKISAN TELANJANG 7

MATA yang cuma sebuah itu memandang tanpa 

berkedip pada lukisan perempuan telanjang yang 

terletak di atas meja. Digelengkannya kepalanya 

lalu dirobahnya letak lukisan itu dan ditelitinya kembali. 

Dirobahnya lagi, ditelitinya lagi, demikian sampai satu jam 

lebih. Akhirnya dia menjadi penasaran sekali dan memaki 

habis-habisan. 

“Keparat betul! Keparat betul!” 

“Mata Picak!” satu suara menegur laki-laki yang 

memaki-maki itu. “Lama-lama kau bisa jadi gila!” 

Elmaut Kuning Mata Picak palingkan kepala dan 

mendelikkan matanya yang cuma satu. 

“Kuping Sumplung! Kau bisanya mengejek saja!” kata si 

Mata Picak. 

“Perlu apa tergesa-gesa? Toh lukisan itu sudah ada di 

tangan kita. Dan lambat laun pasti kita akan berhasil 

membongkar rahasia yang terkandung di dalamnya!” 

“Tolol betul kau Kuping Sumplung!” sentak Mata Picak. 

“Apa kau tidak tahu dunia persilatan kalang kabut? Tokoh-

tokoh persilatan kasak-kusuk mencari-cari lukisan ini? 

Ingat waktu lukisan ini dirampas oleh Awan Langit tempo 

hari? Aku khawatir lukisan yang mengandung ilmu silat 

hebat ini akan dirampas orang lain lagi sebelum kita 

berhasil memecahkan rahasianya!” 

“Tapi marah-marah dan memaki begitu mana mungkin 

kau bakal bisa menecahkannya!” ujar Elmaut Kuning 

Kuping Sumplung. Keduanya bukan lain daripada dua 

tokoh silat golongan hitam yang bergelar Sepasang Elmaut 

Kuning. Merekalah yang telah membunuh Si Pelukis Anehdan melarikan lukisan perempuan telanjang. Lukisan itu 

telah lama berada di tangan mereka namun tak seorang 

pun dari mereka yang berhasil memecahkan rahasianya. 

Lukisan itu telah berpuluh-puluh jam mereka teliti mereka 

jungkir balikkan, namun tetap saja tak dapat mereka 

membongkar rahasia ilmu silat yang menurut keterangan 

terkandung dalam lukisan itu! Jangan-jangan Si Pelukis 

Aneh hanya menipu saja! Lukisan ini tak ada apa-apanya! 

Elmaut Kuning Kuping Sumplung perhatikan lengan 

kirinya yang buntung akibat dibetot putus oleh Si Pelukis 

Aneh sewaktu bertempur beberapa bulan yang lalu! Dia 

kemudian tertawa dingin dan berkata, “Kau sekarang yang 

jadi orang tolol! Kalau lukisan ini tak ada apa-apanya 

masakan orang tua keparat itu sampai-sampai mau 

mengadu jiwa!” 

Elmaut Kuning Mata Picak jambak-jambak rambutnya. 

“Tapi sialan sekali! Masakan sampai saat ini kita tak bisa 

memecahkan rahasianya?!” 

Kuping Sumplung duduk di sebuah bangku batu. 

Ditatapnya sebentar lukisan di hadapannya. Dia sendiri 

sebenarnya heran juga karena sampai sedemikian lama 

tak sanggup membongkar rahasia lukisan tersebut. 

“Apakah kau sudah meneliti kayu pigura lukisan itu?!” 

bertanya Elmaut Kuning Kuping Sumplung. 

“Setiap sudut lukisan ini sudah kuteliti. Juga bagian 

belakangnya!” sahut Mata Picak. 

“Agaknya kita membutuhkan seseorang yang bisa 

membuka rahasia lukisan ini...” desis Kuping Sumplung. 

“Tapi siapa manusianya?!” tanya Mata Picak. “Satu-

satunya manusia yang tahu rahasia lukisan ini adalah Si 

Pelukis Aneh sendiri! Dan dia sudah mampus di tangan 

kita!” 

“Siapa tahu calon muridnya juga mengetahui...” kata 

Kuping Sumplung pula. 

Elmaut Kuning Mata Picak tertegun. “Mungkin juga...” 

desisnya. 

“Kalau begitu kita datangi anak itu kembali dan paksadia memberi keterangan!” ujar Kuping Sumplung seraya 

berdiri dari duduknya. 

“Tempat anak itu ratusan kilo dari sini...” 

“Soal jauh bukan halangan!” potong Kuping Sumplung. 

“Ada hal lain yang aku khawatirkan,” ujar Mata Picak. 

“Apa?” 

“Kalau kita pergi berarti kita harus membawa lukisan 

ini. Dan kau tahu sendiri! Puluhan orang-orang persilatan 

mengincar-incar lukisan ini! Kita bisa konyol sendiri 

dikeroyok beramai-ramai!” 

Elmaut Kuning Kuping Sumplung tertawa dingin. “Apa 

nyalimu sudah keropok?!” ejeknya dengan pencongkan 

hidung. 

Mata Picak menjadi gusar. “Mulutmu kelewat tekebur, 

Kuping Sumplung! Meski kita berilmu tinggi namun aku tak 

mau terlibat dengan manusia-manusia yang membikin kita 

jadi berabe dan tambah urusan! Di lain hal kita musti 

mengakui bahwa di atas kita masih ada tokoh-tokoh 

persilatan yang benar-benar lihai dan kosen! Apakah kau 

mau kehilangan satu lenganmu lagi?!” 

Merah-lah paras Elmaut Kuning Kuping Sumplung. Dia 

balikkan badannya dengan cepat hendak tinggalkan tem–

pat itu. Tapi mendadak di ambang pintu goa langkahnya 

tertahan dan parasnya berubah. 

“Mata Picak! Lekas ke sini!” seru Kuping Sumplung. 

Mata Picak heran mendengar nada seruan kawannya 

itu. Dia melangkah cepat ke pintu goa dan terkejut. Goa di 

mana mereka berada itu terletak di satu dasar lembah 

yang penuh dengan batu-batu besar. Di balik batu-batu 

yang bertebaran di lembah kelihatan banyak sekali orang 

laki-laki yang berseragam hitam. Di tangan masing-masing 

tergenggam sebatang golok besar berbentuk empat segi 

seperti golok penjagal babi! Menurut taksiran Mata Picak, 

orang-orang yang ada di lembah itu semuanya berjumlah 

sekitar duapuluh orang! 

Melihat kepada golok-golok besar empat persegi di 

tangan mereka yang berkilau-kilau ditimpa sinar matahari,melihat pula kepada pakaian seragam hitam yang mereka 

kenakan, Sepasang Elmaut Kuning segera mengenali siapa 

mereka itu adanya. 

“Kroco-kroco sialan ini pasti hendak membalaskan sakit 

hati ketua mereka,” desis Mata Picak. 

“Kurasa demikian. Agaknya mereka belum tahu letak 

tempat kita ini. Apakah perlu kita segera bertindak...?” 

tanya Kuping Sumplung. 

Mata Picak manggut-manggut. Dengan tersenyum aneh 

dia melangkah ke luar dari goa. Kuping Sumplung 

mengikut di belakang. Tiba-tiba Elmaut Kuning Mata Picak 

melesat ke balik sebuah batu besar. Dalam kejap itu pula 

terdengar suara keluhan pendek. Di lain kejap dari balik 

batu itu melesatlah sesosok tubuh berpakaian hitam, 

laksana terbang ke udara dan kemudian jatuh di atas 

sebuah batu besar dalam keadaan tulang belulang hancur 

berantakan! 

Belasan manusia berpakaian hitam-hitam yang ada di 

lembah batu itu terkejut dan lari ke batu besar di mana 

kawan mereka menggeletak mengerikan tanpa nyawa! 

Semuanya terkejut dan berubah paras masing-masing. Dan 

darah mereka tersirap sewaktu di lembah batu itu 

mengumandang dua buah suara tertawa yang 

menggidikkan! Ketika mereka palingkan kepala, semuanya 

melihat dua orang berjubah kuning berewokan berdiri di 

atas sebuah batu yang menjulang lima tombak tingginya! 

“Sepasang Elmaut Kuning!” seru mereka hampir 

serentak. 

Elmaut Kuning Mata Picak dan Kuping Sumplung 

tertawa lagi cekakakan. Tiba-tiba Mata Picak hentikan 

tawanya dan bertanya membentak, “Siapa yang menjadi 

pemimpin rombongan tikus-tikus busuk ini?!” 

Seorang laki-laki berbadan tegap, berkumis melintang, 

dada berbulu, melompat ke muka dan menuding keren. 

“Kalian berdua turunlah untuk menerima kematian!” 

Sepasang Elmaut Kuning saling pandang lalu untuk 

kesekian kalinya tertawa lagi gelak-gelak.“Apakah kau mimpi atau mengigau di siang bolong?!” 

sentak Kuping Sumplung. “Ketuamu sudah mampus di 

tangan kami!” 

“Ketua Perguruan Seberang Kidul boleh lenyap. Tapi 

Perguruan Seberang Kidul tak dapat dimusnahkan dari 

muka bumi ini...!” 

“Kalau begitu kami Sepasang Elmaut Kuning akan 

menggusur Perguruan Seberang Kidul hari ini juga hingga 

cuma tinggal nama!” 

“Tak usah bermulut besar! Lekas turun!” teriak si kumis 

melintang. Dia dan kawan-kawannya adalah anak-anak 

murid Perguruan Seberang Kidul. Ketua mereka telah 

menemui kematian di tangan Sepasang Elmaut Kuning 

gara-gara terlibat dalam perebutan lukisan perempuan 

telanjang! 

“Tikus-tikus busuk! Ketahuilah kalian akan melepas 

jiwa di sini!” teriak Mata Picak dan serentak dengan itu, 

diikuti oleh kambratnya si Kuping Sumplung dia melompat 

ke bawah. 

Belasan laki-laki bersenjata golok besar dan berpakaian 

seragam hitam segera mengurung dan dengan serempak 

menyerbu Sepasang Elmaut Kuning! Maka terjadilah 

pertempuran yang amat hebat di lembah berbatu-batu itu. 

“Kalian mencari mati!” seru Mata Picak. 

“Bangkai kalian akan membusuk di sini! Akan digerogoti 

burung-burung pemakan mayat!” bentak Kuping Sumplung! 

Lalu keduanya dengan berbarengan hantamkan tangan 

kanan ke muka. Dua larik sinar kuning menderu. Puluhan 

benda berwarna kuning yang berbentuk paku beterbangan 

gencar ke arah anak-anak murid Perguruan Seberang Kidul 

yang hendak menuntut balas kematian ketua mereka. 

“Paku Emas Beracun!” pekik anak-anak murid Pergu–

ruan Seberang Kidul. 

Yang berkepandaian tinggi putar golok mereka dengan 

sebat menangkis. Yang lain-lain berserabutan menghindar. 

Tapi serangan senjata rahasia paku emas beracun dari 

kedua tokoh silasanggup ditangkis, sukar dikelit! Dua kelompok anak-anak 

murid Perguruan Seberang Kidul roboh bertumpukan. 

Mereka berkelojotan sebentar lalu diam meregang jiwa! 

Tubuh masing-masing penuh ditancapi paku-paku emas 

beracun! 

Dua belas orang yang masih hidup dengan kalap 

membabi-buta menyerang Sepasang Elmaut Kuning. Dua 

belas golok besar menderu bersirebut cepat! Laksana 

hujan menerpa ke arah dua manusia yang diserang! 

Sepasang Elmaut Kuning ganda tertawa. Keduanya 

hantamkan tangan kembali ke muka. Dan terdengar lagi 

pekikan-pekikan manusia yang dilanda serangan senjata 

rahasia itu. Delapan orang menggeletak roboh! Delapan 

jiwa melayang! 

“Kawan-kawan larilah!” seru seorang dari empat anak 

murid Perguruan Seberang Kidul yang masih hidup. Maka 

serentak dengan itu keempatnya keluar dari kalangan 

pertempuran dan melarikan diri. 

“Mau lari ke mana?!” bentak Mata Picak. “Kalian musti 

ikut sama-sama kawan kalian ke neraka!” Lalu menyusul 

selarik sinar kuning menderu ke punggung keempat orang 

yang lari menyelamatkan jiwa itu. Sinar kuning menyambar! 

Keempatnya mencelat mental dan menjerit, lalu roboh 

menyusul kawan-kawan mereka! 

Seperti yang dikatakan oleh Elmaut Kuning Kuping 

Sumplung tadi, maka kini Perguruan Seberang Kidul betul-

betul hanya tinggal nama saja lagi! 

“Manusia-manusia tolol!” desis Mata Picak seraya 

sapukan pandangannya pada mayat-mayat yang berteba–

ran di atas dan di antara batu-batu di lembah itu. 

Kuping Sumplung sebaliknya bertanya, “Bagaimana? 

Kurasa makin cepat kita berangkat ke tempat anak itu, 

makin baik!” 

“Anak mana maksudmu?” tanya Mata Picak. 

“Calon muridnya si Pelukis Aneh!” 

“Ah, rencanamu itu perlu dipikirkan masak-masak 

dulu!” sahut Mata Picak seraya melangkah ke goa. Dengant golongan hitam itu luar biasa sekali, takhati penasaran Kuping Sumplung melangkah di belakang–

nya. 

Baru saja Mata Picak sampai di mulut goa tiba-tiba 

meledaklah suaranya, “Celaka! Lukisan itu lenyap!” 

Kedua orang itu melesat masuk ke dalam goa! Lukisan 

perempuan telanjang yang sebelumnya terletak di atas 

meja kini tak ada lagi di tempat itu! 

“Bangsat kurang ajar! Siapa yang berani-beranian jadi 

maling di sarangku?!” teriak Mata Picak lari ke luar goa dan 

melompat ke atas sebuah batu yang tinggi. Sewaktu dia 

sampai di atas batu dan memandang berkeliling, di jurusan 

timur dilihatnya sesosok tubuh berlari cepat sekali. Dan 

sosok tubuh itu memboyong sebuah benda empat persegi 

yang bukan lain daripada lukisan perempuan telanjang 

adanya!


WIRO SABLENG 

RAHASIA LUKISAN TELANJANG 8

MANUSIA yang melarikan lukisan perempuan 

telanjang itu bertubuh kecil katai. Dia mengenakan 

jubah merah yang panjang sekali hingga menjela-

jela sepanjang larinya. Debu, pasir, dan batu-batu kerikil 

beterbangan dilanda angin jubah manusia katai ini. 

Hebatnya manusia ini larinya luar biasa cepatnya. Dalam 

sekejap mata, dia sudah ke luar dari dalam lembah batu. 

Pohon-pohon di kiri kanan yang dilaluinya laksana terbang! 

Tiba-tiba dia merasa ada yang mengejar di 

belakangnya. Dia berpaling dan melihat dua manusia 

berjubah kuning laksana kilat berlari ke arahnya. Si katai 

terkesiap dan tancap gas, berlari lebih cepat. 

Lewat sepeminum teh seketika dia menoleh lagi ke 

belakang, kedua pengejarnya ternyata hanya tinggal bebe–

rapa puluh langkah saja lagi! 

Manusia katai ini merutuk. “Celaka! Kedua bangsat itu 

betul-betul lihai!” 

Dan bila kedua pengejar yang bukan lain daripada 

Sepasang Elmaut Kuning adanya hanya tinggal lima belas 

langkah di belakangnya maka si katai segera robah ilmu 

larinya. Gerakan kakinya menjadi lambat dan tidak teratur, 

tapi anehnya bagaimana pun sepasang Elmaut Kuning 

mempercepat lari mereka, tetap jarak mereka tak berobah 

dari lima belas langkah! Itulah ilmu lari yang disebut Seribu 

Kaki Menipu Jarak yang telah dikeluarkan oleh manusia 

katai. Ilmu lari semacam ini hanya beberapa tokoh silat 

saja yang memilikinya! 

“Heran!” kata Elmaut Kuning Kuping Sumplung. “Jarak 

kita demikian dekatnya tapi kenapa tidak bisa mengejarbangsat itu?!” 

“Kurasa dia memiliki ilmu lari Seribu Kaki Menipu 

Jarak,” sahut Mata Picak yang berpengalaman lebih luas 

dan berpemandangan tajam. 

“Berhenti!” teriak Kuping Sumplung. 

Tapi mana si katai mau hentikan larinya! 

Marahlah Mata Picak. Hilang kesabarannya. “Berhenti! 

Kalau tidak aku akan lepaskan pukulan Paku Emas 

Beracun!” 

Tergetarlah hati si katai. Tapi untuk berhenti dia juga 

tidak mau. Dia lari terus dan berusaha memperlebar jarak! 

“Bedebah laknat!” maki Mata Picak. Tangan kanannya 

diangkat ke atas dan dihantamkan ke muka. 

Si katai menoleh sewaktu dirasakannya sambaran 

angin dingin menyambar di belakangnya. Melihat selarik 

sinar kuning dan paku-paku emas menderu ke arahnya 

dengan segera dia jatuhkan diri. Sambil bergulingan dia 

membalas dengan satu pukulan tangan kosong yang 

mendatangkan angin panas yang luar biasa dahsyatnya! 

Sepasang Elmaut Kuning tersirap kaget dan buru-buru 

menghindar. 

“Badan kate, jubah merah panjang dan pukulan angin 

panas! Pastilah maling ini Si Katai Bisu!” teriak Mata Picak. 

Dan ketika dia memandang ke muka, manusia katai itu 

sudah dua puluh tombak jauhnya. Bersama Kuping 

Sumplung dia mengejar kembali! 

Di satu pendakian, mendadak si katai hentikan larinya 

dan kaget sekali. Jalan buntu dan di depannya kini terben–

tang sebuah jurang yang lebar dan tak mungkin untuk 

dilompati. Selain lebar juga dalam dan curam! 

“Ha-ha! Kau mau lari ke mana maling laknat?!” teriak 

Kuping Sumplung. 

Tapi Si Katai Bisu tidak kehilangan akal. Laksana se–

ekor burung walet dia melompat ke cabang sebuah pohon. 

“Turun!” teriak Mata Picak. “Serahkan lukisan itu dan 

berlutut! Niscaya kuselamatkan jiwamu!” 

“Ha-hu... ha-hu... ha-hu!” Si Katai Bisu keluarkan suara.“Ayo turun lekas!” teriak Kuping Sumplung. 

“Ha-hu... ha-hu... ha-hu!” 

“Kurang ajar! Kalau begitu kau mampuslah!” Mata 

Picak angkat tangan kanannya. 

“Ha-hu!” Si Katai Bisu menunjuk ke dadanya lalu 

menunjuk ke lukisan perempuan telanjang kemudian 

tertawa dan mencibir! 

Mata Picak yang tak mengerti apa maksud manusia itu 

siap untuk memukulkan tangannya ke atas. Tiba-tiba Si 

Katai Bisu lindungi dirinya dengan lukisan perempuan 

telanjang! 

Mata Picak terkesiap kaget dan batalkan serangannya. 

Kini dia maklum apa maksud dari gerak-gerik dan sikap Si 

Katai Bisu tadi. Yaitu jika dia meneruskan melancarkan 

pukulan Paku Emas Beracun maka paku-paku itu akan 

merusak lukisan perempuan telanjang karena Si Katai Bisu 

mempergunakan lukisan itu untuk melindungi dirinya! 

Mata Picak memaki hahis-habisan. 

Tiba-tiba Kuping Sumplung melompat ke muka dan 

memukul. 

Braak! 

Pohon di mana Si Katai Bisu berada patah dan tum–

bang. Tapi Si Katai Bisu sudah melompat ke pohon lain! 

“Setan alas!” Mata Picak melesat ke depan dan 

lancarkan satu serangan dari jarak satu tombak. Si Katai 

Bisu dengan ha-hu-ha-hu menghindarkan diri sambil per–

gunakan lukisan perempuan telanjang untuk menangkis 

serangan lawan. Mau tak mau Elmaut Kuning Mata Picak 

tak berani lancarkan serangan yang terlalu ganas terhadap 

lawannya karena khawatir akan merusak lukisan! 

“Kuping Sumplung! Serang bangsat itu dari belakang!” 

teriak Mata Picak marah sekali. 

Elmaut Kuning Kuping Sumplung segera berkelebat dan 

menyerang Si Katai Bisu dari belakang, sedang dari muka 

Mata Picak kembali menyerbu! Namun Si Katai Bisu tidak 

menjadi gugup! Tanpa tedeng aling-aling dia putar lukisan 

perempuan telanjang seputar badannya. Karena lukisan itukini dialiri tenaga dalam oleh Si Katai Bisu maka bukan 

saja putaran lukisan mengeluarkan angin dahsyat sekali, 

tapi juga merupakan serangan balasan yang sekaligus 

memapaki serangan Sepasang Elmaut Kuning! Dalam 

waktu yang singkat sepuluh jurus telah berkecamuk! 

Sepasang Elmaut Kuning menyumpah-nyumpah tak ada 

hentinya. Tiba-tiba Elmaut Kuning Mata Picak mendapat 

akal. Sewaktu pertempuran berjalan seru-serunya dia 

memukul ke bawah ke arah kaki lawan. Pukulan ini 

membuat Si Katai Bisu melompat ke udara. Melihat ini 

dengan cepat Mata Picak menyusul dengan satu serangan 

ke arah selangkangan tapi lukisan lebih cepat lagi menerpa 

ke arah kedua tangannya kemudian berputar lagi ke 

belakang menyambar lengan kiri Kuping Sumplung yang 

hendak menotok punggung Si Katai Bisu! 

Hampir tiga puluh jurus berlalu maka berserulah Elmaut 

Kuning Mata Picak pada kambratnya. 

“Keluarkan jurus Elmaut Menggila!” 

Kedua manusia berjubah kuning itu mundur setombak 

lalu dibarengi dengan jerit pekik dahsyat yang laksana 

merobek gendang-gendang telinga keduanya menyerbu 

kembali dalam satu jurus aneh! 

Lambat laun suara pekik dan jerit yang datangnya dari 

pelbagai penjuru itu membuat Si Katai Bisu menjadi gugup 

dan panik gerakan-gerakan silatnya! 

Tiba-tiba tangan kanan Elmaut Kuning Mata Picak 

memukul ke muka. Si Katai Bisu sambut serangan itu 

dengan sambaran lukisan. Tapi gerakan lawan nyatanya 

hanya tipuan belaka. Karena begitu lukisan menderu 

secepat kilat Mata Picak tarik pulang serangannya dan 

ganti dengan satu tendangan ke arah pinggang. Pada saat 

yang sama dari belakang Elmaut Kuning Kuping Sumplung 

lancarkan pula satu serangan ganas ke arah kepala. 

Si Katai Bisu menggerung lalu membuang diri ke 

samping kanan. Lukisan disabetkan dengan cepat ke 

bawah sedang dengan tangan kanan dia kebutkan bagian 

bawah jubahnya. Serangkum angin merah menyambar kearah Kuping Sumplung membuat manusia ini batalkan 

serangan dan terpaksa melompat selamatkan diri! Di lain 

pihak Elmaut Kuning Mata Picak yang tidak berani adu 

kekuatan dengan lukisan yang menyambar kakinya, 

terpaksa tarik pulang tendangannya. 

Namun Mata Picak menjadi gugup sewaktu melihat 

bagaimana ujung pigura lukisan menyambar ganas ke arah 

matanya tak sanggup dikelit! Satu-satunya jalan untuk 

menyelamatkan matanya hanyalah dengan pergunakan 

lengan untuk menangkis. Ini berarti dia akan merusakkan 

lukisan itu di samping lengannya yang dipakai menangkis 

tentu akan terluka pula! Tapi walau bagaimanapun Elmaut 

Kuning Mata Picak lebih baik melihat lukisan itu rusak, toh 

nanti bisa diperbaiki lagi. Juga merasa lebih baik lengannya 

mendapat luka daripada harus kehilangan matanya yang 

cuma tinggal satu-satunya! Maka diapun angkat lengan 

kirinya dengan cepat. 

Braak! 

Kayu pigura lukisan perempuan telanjang patah dan 

sudutnya menganga. Lengan kiri Elmaut Kuning Mata Picak 

juga patah! Dia mengeryitkan kesakitan kemudian dengan 

kalap menyerbu ke muka kirimkan pukulan Paku Emas 

Beracun! Rasa sakit membuat dia tidak perduli lagi apakah 

pukulannya yang dahsyat itu akan menghancurkan lukisan 

di tangan lawan! 

Melihat datangnya serangan yang dahsyat dari lawan, Si 

Katai Bisu melompat empat tombak dan dari atas 

kebutkan jubah merahnya. Segelombang sinar merah 

laksana topan prahara memapasi serangan Elmaut Kuning 

Mata Picak. Belasan paku kuning beracun yang melesat ke 

arah manusia katai itu luruh, bahkan beberapa di 

antaranya ada yang membalik menyerang Mata Picak 

sendiri, membuat manusia ini dengan cepat menghindar ke 

samping selamatkan diri! 

Si Katai Bisu membalikkan badan dengan cepat 

sewaktu di belakangnya terasa sambaran angin dingin. 

Namun kasip! Belasan paku kuning telah dilepaskanKuping Sumplung! Jaraknya sudah dekat sekali, tak 

mungkin ditangkis tak bisa dikelit! 

Si Katai Bisu menggerung. Dia ambil keputusan untuk 

berjibaku dan tendangan kaki kanannya ke kepala Kuping 

Sumplung sedang tangan kanan mendorong ke muka! 

Sedetik kemudian terdengar jerit tercekik dari Si Katai 

Bisu! Sembilan paku emas beracun menancap di dadanya. 

Tiga di antaranya langsung menembus jantung! Tak ampun 

lagi begitu jatuh di tanah, nafasnya lepas sedang sekujur 

badannya kelihatan menggembung biru! 

Di lain pihak meski dia dapat menyelamatkan kepala–

nya dari tendangan maut Si Katai Bisu namun Elmaut 

Kuning Kuping Sumplung tak sempat menghindarkan diri 

dari sambaran angin pukulan yang dilepaskan Si Katai 

Bisu. Tubuhnya mencelat beberapa tombak. Kalau saja 

tubuh itu tidak membentur patahan pohon yang tadi 

dipukulnya, pasti Elmaut Kuning Kuping Sumplung akan 

melayang ke dasar jurang batu! Kuping Sumplung muntah–

kan darah segar lalu roboh pingsan! 

Mata Picak segera menyambar lukisan yang rusak 

piguranya lalu memanggul tubuh Kuping Sumplung dan 

meninggalkan tempat itu dengan cepat.


AHASIA LUKISAN TELANJANG 9

DI SEBELAH utara kelihatan Gunung Merapi menju–

lang tinggi penuh kemegahan. Hari itu adalah hari ke 

duapuluh satu bulan kedua perjalanan Wiro Sableng 

dalam mencari lukisan perempuan telanjang. Saat itu dia 

tengah menuju ke sebuah kota kecil yang terletak di 

selatan kaki Gunung Merapi. Di satu jalan yang sepi 

Pendekar 212 hentikan larinya dan berjalan seperti biasa. 

Jauh di hadapannya dilihatnya seorang laki-laki tua berpa–

kaian compang-camping berjalan melenggang-lenggok 

dengan seenaknya. Di tangannya ada sebuah kaleng berisi 

batu yang setiap saat diguncang-guncangnya hingga 

mengeluarkan suara bergerontangan. Di ketiak kirinya 

terkempit sebuah tas daun pandan. 

Yang membuat Wiro diam-diam jadi tertegun ialah 

karena dalam dua kejapan mata saja tahu-tahu orang tua 

berpakaian compang-camping itu sudah berada di 

hadapannya. 

Wiro sunggingkan senyum. Tapi orang tua aneh itu terus 

saja melangkah seenaknya dan hendak memapasi Wiro. 

Maka Pendekar 212 pun menegur bertanya, “Orang tua, 

apakah ini jalan yang menuju ke kota Paritsala?” 

Orang tua itu hentikan langkahnya. Tanpa menoleh 

pada si pemuda dia membuka mulut, “Siapa tanya siapa?” 

Lalu tangannya digoyangkan dan kaleng berisi batu 

berbunyi berkerontangan. 

Wiro tersenyum lagi. “Namaku Wiro. Aku dalam perjala–

nan ke Paritsala. Apakah aku menempuh tujuan yang 

betul?” 

Perlahan-lahan orang tua itu putar kepalanya danmemandang Wiro Sableng dari atas sampai ke kaki. 

“Ah... melihat kepada air mukamu rupanya kau tengah 

mengkhawatirkan tentang suatu barang yang hilang...” Dan 

habis berkata begitu orang tua ini kerontang-kerontangkan 

lagi kaleng di tangan kanannya. 

Tentu saja Wiro Sableng terkejut mendengar ucapan si 

orang tua dan menduga-duga siapa adanya manusia ini. 

“Coba ulurkan telapak tangan kirimu!” si orang tua tiba-

tiba memerintah. 

Wiro Sableng meragu seketika. Dia tidak kenal dengan 

orang tua itu dan disuruh ulurkan telapak tangan kirinya. 

Mau apakah? Namun akhirnya karena ingin tahu Wiropun 

ulurkan telapak tangan kirinya. 

Si orang tua memperhatikan telapak tangan itu lalu 

dengan telunjuk tangan kirinya diikutinya guratan-guratan 

garis pada telapak tangan pemuda itu. Wiro Sableng 

terkejut sewaktu jari telunjuk itu menyentuh telapak 

tangannya, telapak tangan itu seperti ditindih oleh sebuah 

batu besar yang ratusan kati beratnya! 

Tahu kalau orang hendak mencoba kekuatannya maka 

Wiro segera kerahkan tenaga dalamnya ke telapak tangan 

kiri itu. Si orang tua terus juga mengikuti garis-garis pada 

telapak tangannya dan Wiro merasa tangannya tergetar 

hebat. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya. Keringat 

dingin berpercikan di keningnya dan sedikit tenaga 

dalamnya ditindih hebat oleh tenaga dalam si orang tua. 

Bagaimanapun dia mempertahankan pastilah telapak 

tangannya akan terpukul ke bawah! Namun di saat itu 

untunglah si orang tua menarik ujung jarinya dan sambil 

batuk-batuk dia berkata, “Orang muda, masa depanmu 

penuh rintangan dan kesulitan-kesulitan. Kulihat garis-garis 

di telapak tanganmu itu penuh dengan garis-garis bahaya 

yang selalu mengikuti perjalanan nasibmu! Tapi kau tak 

perlu khawatir. Bagaimanapun sulitnya, bagaimanapun 

besar bahaya kau kelak akan berhasil melewati 

semuanya.” Orang tua aneh kerontangkan kalengnya 

beberapa kali lalu meneruskan, “Garis percintaanmu tidakbegitu bagus. Ini disebabkan karena kau punya sedikit sifat 

mata keranjang, tidak boleh lihat perempuan cantik...” 

Kaleng berisi batu berkerontang lagi. Wajah Pendekar 

212 kelihatan merah menjengah! 

Dan si orang tua bertanya, “Kau tengah menuju ke 

Paritsala?” 

“Betul orang tua,” jawab Wiro. 

“Kunasihatkan agar dibatalkan saja...” 

“Memangnya ada apakah?” 

“Kesulitan. Kesulitan! Kau selalu ditunggu kesulitan 

dan bahaya di mana-mana...” 

“Tapi seorang kawanku menganjurkan agar pergi ke 

utara...,” kata Wiro yang ingat akan petunjuk yang 

diberikan Dewa Tuak. 

Orang tua itu tertawa tawar sambil kerontang-

kerontangkan kalengnya lalu hendak menindak 

meninggalkan tempat itu. 

“Orang tua, kuucapkan terima kasih atas petunjukmu. 

Sebelum berpisah sudilah kau terangkan namamu...” 

Orang tua itu kerontang-kerontangkan kalengnya dan 

dengan melangkah acuh tak acuh dia meninggalkan Wiro 

Sableng sambil bernyanyi: Orang-orang menyebutku Si 

Segala Tahu. Tapi betapa tololnya aku, namaku sendiri aku 

tidak tahu...

Dua kalimat dalam lagu yang dibawakan orang tua 

aneh itu terus diulang-ulangnya sampai akhirnya dia lenyap 

di kejauhan. 

Wiro Sableng berdiri terlongong-longong. Orang persila–

tan mana yang tak tahu dan tak pernah mendengar 

tentang orang tua aneh yang bernama Segala Tahu itu? 

Ilmu silatnya tinggi tapi jarang dipergunakan. Dia mengem–

bara ke mana-mana tapi jarang bisa ditemui orang. Jika dia 

berpapasan dengan seseorang pastilah dia akan mengata–

kan sesuatu. Dan apa yang dikatakannya itu selalu betul. 

Itulah sebabnya dia diberi nama Segala Tahu oleh orang-

orang dunia persilatan. Wiro merasa beruntung sekali 

dapat bertemu dengan orang tua itu.Dia segera melanjutkan perjalanan. Di satu persim–

pangan jalan dia hendak membelok ke kanan yaitu sesuai 

dengan petunjuk Si Segala Tahu agar jangan terus ke 

Paritsala. Belum lagi dia sempat membelok ke kanan, di 

belakangnya terdengar derap kaki-kaki kuda dan 

gemeletak suara kereta. Wiro berpaling, sepuluh orang 

penunggang kuda hitam memacu kuda masing-masing 

dengan cepat, mengawal sebuah kereta putih yang ditarik 

oleh dua ekor kuda putih. Debu mengepul sepanjang jalan. 

Rombongan itu terdiri dari penunggang-penunggang 

kuda berpakaian hitam. Pada bagian dada baju mereka 

terpampang gambar kepala burung garuda. Pada bagian 

samping kereta putih juga terdapat gambar semacam itu. 

Dan sewaktu Wiro memperhatikan jendela kereta, sekilas 

dilihatnya seraut wajah perempuan muda berparas cantik 

sekali. Kereta lewat dengan cepat tapi Wiro masih terke–

siap melihat paras jelita itu. Mata perempuan itu laksana 

sinar bintang timur di malam cerah! Wiro memandang ke 

jurusan lenyapnya kereta. Dan lupalah Pendekar 212 akan 

ucapan Si Segala Tahu tadi. Tanpa disadarinya dia telah 

menempuh jalan vang ditempuh rombongan itu. 

Hari telah petang sewaktu Wiro Sableng memasuki 

Paritsala. Di hadapan sebuah bangunan berbentuk panjang 

dilihatnya kereta putih tadi. Sepuluh ekor kuda hitam pun 

tertambat di halaman. Karena bangunan itu adalah rumah 

penginapan maka Wiro Sableng pun segera menuju ke 

sana. 

Baru saja Pendekar 212 berdiri di tangga bawah pintu 

penginapan, seorang pelayan muncul. Umurnya sudah 

agak lanjut. 

“Orang muda, apakah kau berniat menginap di sini?” 

“Betul” sahutWiro. 

“Sayang sekali. Seluruh kamar sudah disewa orang...” 

“Seluruh kamar?” ujar Wiro heran. Dia menggoyangkan 

kepalanya ke arah kereta dan kuda-kuda hitam di hala–

man. “Apakah rombongan pemilik kereta itu yang telah 

menempatinya?”“Ya.” 

“Berapakah jumlah kamar di penginapan ini?” 

“Enam belas... Mengapa?” 

“Rombongan itu jumlahnya tidak sampai enam belas 

orang,” kata Wiro. “Pasti ada kamar yang masih kosong 

untukku...” 

“Sudah kubilang semua kamar diambil oleh rombongan 

itu. Majikanku memerintahkan agar menolak siapa saja 

yang hendak menginap di sini...” 

Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya, “Kalau begitu aku 

musti cari penginapan lain,” katanya setengah 

menggerutu. 

“Di sini tak ada lagi penginapan lain.” 

“Hem...” Wiro menggumam. “Terpaksa kau menolong 

menyediakan satu kamar buatku. Gudang buruk-pun tak 

jadi apa.” 

“Tak mungkin orang muda. Seluruh penginapan ini 

sampai ke gudang telah disewa oleh rombongan itu!” 

Wiro Sableng jadi penasaran. 

“Apa kau kira aku tak sanggup membayar sewa untuk 

sebuah gudang tua? Atau kau minta sogok agaknya heh?!” 

Paras orang tua pelayan penginapan itu berubah kesal. 

“Kuharap kau tak usah memaksa-maksa dan bicara 

lantang. Salah-salah kau bisa berabe!” 

Wiro keluarkan suara bersiul. 

“Kenapa bisa jadi berabe, Bapak?” tanya pemuda ini 

“Ah! Tak usah kau banyak tanya!” Pelayan itu putar 

tubuh hendak masuk kembali tapi Wiro mencekal bahunya 

hingga dia tak bisa bergerak. 

“Katakan dulu kenapa bisa jadi berabe!” desis Wiro ke 

telinga pelayan itu. 

Dan si pelayan mendadak merasa kecut sewaktu 

merasakan bagaimana telapak tangan Wiro yang berada di 

bahunya membuat tubuhnya seperti mau amblas ke lantai! 

“Orang muda, seluruh penginapan ini telah disewa oleh 

Ketua Perguruan Garuda Sakti. Dia dan rombongannya 

tengah menuju ke puncak Gunung Merapi. Di sana akandilangsungkan perkawinan anak gadisnya dengan seorang 

pemuda, anak Ketua Perguruan Merapi...” 

Wiro angguk-anggukkan kepalanya. Dia ingat pada 

sekilas bayangan raut wajah gadis jelita yang dilihatnya 

tewat jendela kereta. 

“Sekarang kau lekaslah berlalu dari sini. Kau tahu, 

Ketua Perguruan Garuda Sakti galak luar biasa! Sekali 

dilihatnya ada yang bikin ribut di hadapannya pasti akan 

kena tamparannya. Dan manusia tampangmu ini sekali 

tampar saja pasti kepalamu menggelinding!” 

Wiro tertawa gelak-gelak. 

“Kurang ajar! Siapa yang berani bikin ribut di sini!” Tiba-

tiba satu suara garang membentak dan sesaat kemudian 

seorang laki-laki berbadan tinggi tegap sudah berdiri di 

ambang pintu. Dia berpakaian hitam dan di bagian dada 

bajunya ada gambar kepala burung garuda putih. Dia 

berdiri bertolak pinggang dan beliakkan mata kepada Wiro. 

Pelayan penginapan berdiri dengan muka pucat! 

“Pemuda hina dina! Lekas angkat kaki dari sini! Kalau 

tidak, kupuntir kepalamu sampai putus!” 

“Hak apakah kau mengusirku?!” tanya Wiro dengan 

senyum mengejek. 

Marahlah si tinggi besar. Tangan kanannya dengan 

cepat diulurkan menjambak rambut Wiro Sableng. Begitu 

terjambak segera hendak dipuntirnya. Tapi terkejut si tinggi 

besar ini bukan alang kepalang sewaktu jari-jari tangannya 

yang menjambak itu dirasakannya laksana memegang 

sebuah area batu yang ratusan kati beratnya dan keras 

luar biasa, tak sanggup tangannya memuntir! 

“Mampus!” teriak si tinggi besar itu seraya sentakkan 

tangannya! Sekali menyentak maksudnya hendak ditang–

galkannya kepala Wiro dari badannya, sekurang-kurangnya 

rambut pemuda itu akan berserabutan dari batok 

kepalanya. Tapi apa yang terjadi kemudian betul-betul tak 

diduga oleh si tinggi besar. Belum lagi dia sempat menyen–

takkan tangannya tahu-tahu satu totokan melanda jalan 

darah di dadanya! Si tinggi besar mengeluh tertahan.Sebelum tubuhnya roboh tergelimpang dalam keadaan 

kaku, Wiro cekal kuduk laki-laki itu dan melemparkannya 

ke sebuah pohon di halaman penginapan. Tubuh si tinggi 

besar menyangsrang di antara cabang pohon, tak bisa 

bergerak, tak dapat turun! Orang itu memaki-maki. Wiro 

sebaliknya tertawa gelak-gelak dan tinggalkan tempat itu! 

Sepasang mata yang bersinar-sinar mengintai di balik 

jendela sebuah kamar penginapan dan mengikuti keper–

gian Pendekar 212.


WIRO SABLENG 

RAHASIA LUKISAN TELANJANG 10

KETIKA dia menempuh jalan yang menuju ke luar 

kota, Wiro mendengar suara derap kaki kuda datang 

mendekatinya dari arah belakang. Menyangka 

bahwa yang datang ini adalah kawan-kawan si tinggi besar 

tadi segera Wiro berlindung di balik sebatang pohon. 

Nyatanya si penunggang kuda adalah pelayan penginapan 

tadi. Pelayan ini hentikan kudanya di tengah jalan dan 

memandang kian ke mari. Jelas dilihatnya tadi Wiro berada 

di jalan itu. Tapi tiba-tiba tenyap entah ke mana. 

“Hai! Kau mencari aku?!” tanya Wiro dari balik pohon. 

Si pelayan tergagap kaget Wiro keluar dari balik pohon. 

“Lekas ikut bersamaku!” kata si pelayan. 

“Ikut ke mana?” tanya Wiro heran. 

“Jangan bertanya dulu. Kita tak punya banyak waktu. 

Sebentar lagi anak-anak murid Perguruan Garuda Sakti 

pasti akan datang ke sini! Lekas naik di belakangku!” 

“Aku tak percaya padamu. Mungkin kau mau menipu?!” 

Di kejauhan terdengar derap kaki kuda banyak sekali! 

“Lekaslah!” kata si pelayan lagi. Parasnya pucat tanda 

cemas. 

Akhirnya Wiro melompat juga ke atas punggung kuda di 

belakang si pelayan. “Bapak,” bisik Wiro waktu mereka 

berlalu dengan cepat, “Kalau kau menipuku, aku akan 

gantung kau, kaki ke atas kepala ke bawah!” 

Sesaat kemudian keduanya meninggalkan jalan itu 

dengan cepat. Lewat sepeminum teh pelayan penginapan 

hentikan kudanya di satu tempat. Hari telah senja dan 

berangsur gelap. Wiro Sableng memandang berkeliling. 

Ternyata dia berada di bagian belakang bangunan pengi–napan. Melihat ini Wiro menjadi curiga dan segera cekal 

tangan si pelayan. 

“Jika bukan bermaksud jahat, kenapa kau ajak aku ke 

sini?!” desis Wiro Sableng. 

“Kalau aku betul-betul menipumu kau boleh betot 

batang leherku!” jawab si pelayan. 

Wiro hendak buka suara kembali tapi tak jadi. Pintu 

belakang penginapan terbuka dan dua orang berpakaian 

hitam-hitam dengan gambar kepala burung garuda pada 

dadanya melangkah cepat ke kandang kuda. Dengan 

menunggangi dua ekor kuda, keduanya meninggalkan 

bagian belakang penginapan dan lenyap ditelan kegelapan 

malam. Suara kaki-kaki kuda mereka juga menyusul lenyap 

ditelan hembusan angin malam di kejauhan! 

“Ikut aku!” kata pelayan itu. 

“Tunggu!” jawab Wiro. “Terangkan dulu apa arti semua 

ini!” 

“Orang muda, aku sendiri tidak tahu apa-apa. Aku cuma 

diperintahkan. Percayalah aku tidak menipumu! Siapapun 

tak ada yang bermaksud jahat padamu!” 

“Dari siapa kau terima perintah! Dan apa saja perintah 

itu?!” tanya Wiro Sableng lagi, 

“Kita tak punya waktu banyak. Lekas ikuti aku!” 

Wiro Sableng di belakang si pelayan. Sepasang bola 

matanya berputar liar waspada kian kemari sambil 

melangkah. Mereka masuk lewat dapur penginapan. 

Suasans sunyi senyap. Satu-satunya makhluk hidup yang 

kelihatan ialah seekor kucing yang tengah menggerogoti 

sebuah tulang ayam. Si pelayan dengan hati-hati membuka 

sebuah pintu yang berhubungan dengan ruangan lain di 

bagian belakang penginapan. Ternyata ruangan itu adalah 

sebuah gudang tempat menyimpan segala macam pera–

botan rongsok. Dari sini, pelayan itu membawa Wiro 

Sableng melewati sebuah ruangan lagi dan akhirnya 

mereka sampai di sebuang gang. Pelayan memberi isyarat 

agar Wiro lebih cepat melangkah mengikutinya. 

Lima langkah dari ujung gang yang di kiri kanannyaterdapat deretan pintu-pintu kamar, si pelayan berhenti 

dan berpaling pada Wiro. 

“Bukalah pintu kamar di ujung sebelah kanan itu dan 

masuk ke dalam! Orang yang kau temui di dalam kamar itu 

adalah orang yang memerintah aku!” 

Wiro Sableng hendak menanyakan. Wiro memaki dalam 

hati. Sambil garuk-garuk kepala dia melangkah mendekati 

pintu kamar di ujung kanan. Ketika didorongnya ternyata 

pintu itu tak terkunci. Wiro masuk ke dalam dengan cepat 

dan merapatkan pintu kembali. Begitu sampai di dalam 

kamar, terkesiaplah Pendekar212! 

Di hadapannya berdiri seorang dara berkulit kuning 

langsat, berparas cantik sekali. Kedua matanya bersinar 

laksana bintang timur. Dia berpakaian biru berbunga-

bunga merah yang bagus sekali potongannya. Pada 

rambutnya yang digulung ke atas itu tersisip tusuk konde 

dari emas yang berukir-ukir kepala burung garuda. 

Sang dara melangkah ke dekat Wiro. Dikuncinya pintu 

kamar. Berada sedekat itu Wiro Sableng kembang-kempis 

hidungnya mencium bau harum yang keluar dari sekujur–

nya tubuh sang dara! Dara jelita ini kemudian melangkah 

kembali ke tengah kamar. 

“Saudari apakah artinya ini?” tanya Wiro Sableng. 

Betapapun dia tidak mengerti tapi berdiri di hadapan si 

jelita itu hatinya senang sekali. Tadinya dia menyangka 

akan menemui seorang laki-laki bertampang galak tapi tak 

dinyana kini dia berhadapan seorang gadis jelita. Dan Wiro 

ingat, dara jelita ini adalah gadis dalam kereta putih yang 

dilihatnya di tengah jalan tadi sore! 

“Saudara, apakah kau bisa bicara dengan ilmu menyu–

supkan suara?” si gadis bertanya perlahan. 

Wiro Sableng terkejut “Apaan pula ini?” tanyanya dalam 

hati. Tapi kepalanya dianggukkannya juga. 

Kemudian dengan ilmu menyusupkan suara si gadis 

berkata, “Aku telah saksikan apa yang kau lakukan terna–

dap anak murid ayahku di depan penginapan ini tadi. 

Kurasa kau adalah orang yang bisa menjadi tuanpenolongku...” 

“Hem...,” Wiro garuk-garuk kepalanya. “Pertolongan 

apakah yang bisa kulakukan untukmu? Kalau aku tidak 

salah duga kau adalah anak gadisnya Ketua Perguruan 

Garuda Sakti.” 

Si gadis anggukkan kepala. 

“Aku dan ayah serta sepuluh orang anak-anak muridnya 

tengah dalam perjalanan ke puncak Gunung Merapi...” 

“Pelayan itu mengatakan bahwa kau hendak melang–

sungkan perkawinan di sana dengan anak laki-laki Ketua 

Perguruan Merapi.” 

“Betul, bagus kalau dia mengatakan hingga aku tak 

perlu panjang lebar menerangkannya padamu,” jawab si 

jelita. Lalu sambungnya, “Perkawinanku dengan anak laki-

laki Ketua Perguruan Merapi adalah secara paksa! Ayahku 

yang memaksa. Aku tak kuasa menolak paksaan itu di 

samping aku tak ingin pula menjatuhkan nama besar ayah! 

Di lain hal aku sama sekali tidak mencintai anak Ketua 

Perguruan Merapi. Aku ingin perkawinan ini dibatalkan 

tanpa memberi malu pada ayah dan juga untuk meng–

hindarkan agar jangan sampai ada pertumpahan darah 

antara perguruan ayahku dengan Perguruan Merapi.” 

“Kalau kau tak suka pada anak laki-laki Ketua Pergu–

ruan Merapi dan tak berdaya menolak paksaan ayahmu, 

kenapa tidak larikan diri saja?!” tanya Pendekar 212 pula. 

“Kau lihat sendiri. Selama satu bulan terakhir ini akan-

anak murid ayah menjagaku dengan keras. Ayah sendiri 

bersikap waspada karena mungkin dia sudah dapat 

meraba maksudku hendak lari. Di samping itu aku khawatir 

pihak Perguruan Merapi menuduh ayahkulah yang telah 

sengaja menyembunyikanku. Sebenarnya ayah sendiri 

mendapat tekanan dari mereka.” 

Wiro merenung sejenak. 

“Apakah kau punya kekasih? Seorang pemuda yang 

kau cinta?!” tanya Wiro seenaknya, 

Anak Ketua Perguruan Garuda Sakti itu kelihatan merah 

parasnya. Tapi dengan terus terang dia kemudian angguk–kan kepala. Parasnya kemudian berubah sedih. Dia ber–

kata, “Kekasihku telah ditangkap. Disiksa dan dikurung di 

sebuah goa batu...” 

Dan di mata yang bersinar seperti bintang timur itu Wiro 

Sableng kini melihat dua butir air mata laksana berlian 

mengambang di kelopak mata si gadis. 

“Lantas apakah yang bisa kutolong padamu, Saudari?” 

tanya Wiro. 

“Menolong agar perkawinanku bisa batal!” 

“Aku orang tolol, mana mungkin sanggup melakukan 

itu?” tanya Wiro seraya garuk-garuk kepala. 

“Sekarang bukan saatnya berpura-pura, Saudara. Per–

tolongan dan budi baikmu tak akan kulupakan seumur 

hayat.” 

Wiro berpikir, lalu, “Kau ingin kularikan sekarang?!” 

tanya Wiro mengambil keputusan pendek. 

“Jangan. Ketua Perguruan Merapi akan salah sangka 

dan curiga pada ayah. Bukan mustahil mereka akan 

mengambil jalan kekerasan! Di samping itu nama besar 

ayah akan luntur karena berilmu tinggi dan punya anak 

buah banyak tapi tak sanggup menjaga anak. Apalagi 

menjelang hari-hari perkawinan itu...” 

“Berabe juga kalau begini,” kata Wiro. Dipijit-pijitnya 

keningnya. “Kapan upacara perkawinanmu dilakukan di 

puncak Merapi?” 

“Lusa siang. Jam dua belas tepat!” jawab si gadis. 

Wiro berpikir-pikir lagi. 

“Baiklah,” kata Pendekar 212 kemudian. “Aku sudah 

dapat satu cara yang baik untuk membatalkan perkawi–

nanmu. Aku akan muncul tepat pada saat upacara perni–

kahanmu. Mudah-mudahan kita berhasil. Sebelum pergi 

apakah aku boleh tahu namamu...?” 

Sang dara belum sempat menjawab tiba-tiba pintu 

kamar diketuk orang dengan keras dan di luar terdengar 

suara lantang. 

“Permani! Buka pintu cepat.” 

Kedua orang di dalam kamar terkejut. Paras si gadis pucat pasi. Wiro Sableng memandang berkeliling. Agaknya 

tak mungkin untuk bersembunyi di kamar itu. Tapi begitu 

matanya membentur jendela, Wiro segera melompat. 

Tanpa suara dibukanya jendela itu dan dalam detik itu juga 

dia sudah tenyap di luar sana setelah terlebih dulu 

menutupkan daun jendela kembali! 

“Permani!” 

Ketukan pada pintu kini berganti dengan gedoran-

gedoran. 

Sang dara cepat-cepat membuka pintu kamar. Seorang 

laki-laki bermuka klimis bermata merah dan berbadan 

tinggi tegap masuk ke dalam. Sepuluh kuku-kuku jari 

tangannya berwarna putih dan panjang sekali! Inilah Ketua 

Perguruan Garuda Sakti yang bernama Manik Tunggul. 

Dia memandang sekeliling kamar dengan matanya yang 

besar penuh teliti. Permani berdiri di hadapan laki-laki 

dengan hati berdebar. 

“Kau menyembunyikan seseorang di sini, Permani?!” 

tanya Manik Tunggul. 

Permani tertawa. “Kecurigaan ayah terhadap anak 

sendiri keterlaluan sekali!” kata gadis itu. “Siapa dan untuk 

apa pula aku menyembunyikan seseorang dalam kamar 

ini?!” 

Manik Tunggul memandang ke loteng lalu memeriksa 

setiap sudut kamar bahkan memeriksa kolong tempat 

tidur! 

“Sepuluh orang anak murid ayah mengawalku siang 

malam. Mereka berkepandaian tinggi! Jika seseorang 

masuk ke sini masa mereka tidak tahu?” ujar Permani. 

Manik Tunggul masih belum percaya akan ucapan 

anaknya itu. Dia melangkah ke jendela dan membukanya. 

Di luar suasana sunyi dan gelap. Dua orang anak muridnya 

tampak berdiri di bawah sebuah pohon. Mereka tengah 

berjaga-jaga. Laki-laki ini menutupkan jendela kembali. 

“Permani, menjelang hari perkawinanmu ini kuharap 

kau jangan bikin hal yang bukan-bukan. Jangan beri malu 

ayahmu! Kecuali kalau kau ingin melihat pecahnyapermusuhan antara aku dengan Ketua Perguruan Merapi!” 

“Ayah, meski aku tidak suka pada calon suamiku itu, 

tapi mengingat kepadamu aku tak bisa berbuat lain 

daripada patuh atas segala kemauanmu...” kata Permani 

dengan tundukkan kepala. 

Manik Tunggul tepuk bahu anaknya. 

“Kau anak yang berbakti,” kata Ketua Perguruan Garu–

da Sakti itu kemudian melangkah ke pintu meninggalkan 

kamar. 

*** 

Malam itu di sebuah dangau tua di tengah sawah, Wiro 

Sableng duduk termenung! Usahanya mencari lukisan 

perempuan telanjang masih belum selesai. Mengapa dia 

kini sengaja melibatkan diri dalam urusan orang lain? 

Mengapa dia telah menerima permintaan tolong gadis 

anak Ketua Perguruan Garuda Sakti itu? Bukankah ini 

berarti dia mencari sengketa, menghadapi dua buah Per–

guruan sekaligus?! Wiro Sableng merutuki dirinya sendiri. 

Tiba-tiba dia ingat pada nasihat Si Segala Tahu. Orang tua 

itu telah melarangnya pergi ke Paritsala. Dia tak menghi–

raukannya. Dan kini dia terjerumus dalam persoalan rumit 

penuh bahaya yang sengaja di cari-carinya sendiri! Paras 

jelita dan senyum menggiurkan anak gadis Ketua 

Perguruan Garuda Sakti itulah mungkin yang telah memu–

kaunya hingga bersedia turun tangan berikan bantuan! 

Dan Pendekar 212 teringat pada ucapan Si Segala Tahu, 

“kau punya sifat mata keranjang, tidak boleh lihat perem–

puan cantik...” Wiro menyeringai dan sambil garuk-garuk 

kepala, direbahkannya badannya di lantai dangau.


WIRO SABLENG 

RAHASIA LUKISAN TELANJANG 11

DI PUNCAK Gunung Merapi. 

Sebuah panggung kayu jati yang diberi berukir-ukir 

serta hiasan gaba-gaba dikelilingi oleh sebuah 

panggung besar yang lebih rendah dan berbentuk ling–

karan, mengelilingi panggung kayu jati tadi. Pada bagian 

sebeleh utara panggung berbentuk lingkaran terdapat 

sebuah podium. Di depan podium ini terletaklah sebuah 

pelaminan. Seorang pemuda berpakaian bagus duduk di 

pelaminan ini. Pakaiannya yang bagus, topi tingginya yang 

bertaburan berlian, segala apa yang dipakainya, semua itu 

tak dapat menyembunyikan parasnya yang buruk dan 

cekung. Dialah Sokananta, anak Ketua Perguruan Merapi, 

calon suami Permani! Tamu-tamu yang banyak hadir di situ 

rata-rata adalah orang-orang dunia persilatan dan 

beberapa di antara mereka merupakan tokoh-tokoh yang 

disegani! Sebentar lagi, pengantin perempuan akan dibawa 

naik ke atas podium dan upacara perkawinan segera akan 

dilangsungkan. Sementara menunggu munculnya sang 

pengantin maka Tunggul Manik bicara-bicara dengan calon 

besannya yaitu Bogananta, Ketua Perguruan Merapi. Bila 

upacara pernikahan selesai, para tamu akan dijamu 

makan minum dan sambil menyaksikan pertandingan-per–

tandingan silat yang sengaja diadakan sebagai kebiasaan 

di atas panggung besar kayu jati! 

Tiba-tiba terdengar suara tiupan seratus buah seruling. 

Dari sebuah bangunan keluarlah pengantin perempuan, 

diiringi oleh dayang-dayang. Semua mata yang memandang 

kepada sang pengantin ini tak satupun yang tak memuji 

kecantikan paras Permani! Dilihat kepada rupa memangada juga di antara para tamu yang merasa kurang 

cocoknya kedua pengantin itu. Tapi memandang kepada 

nama besar Ketua Perguruan Merapi maka ketidakcocokan 

itu menjadi sirna. Siapa yang tak kenal dengan Bogananta? 

Siapa yang tak kenal dengan Sokananta yang berilmu 

tinggi?! 

Begitu pengantin perempuan menginjakkan kaki di atas 

panggung di depan podium maka pengantin laki-laki pun 

berdiri dan suara seruling berhenti. Serentak para hadirin 

pun berdiri pula. Upacara pernikahan segera akan 

dilangsungkan, dipimpin oleh seorang tua bernama 

Wararayan. Di kalangan dunia persilatan di masa itu Wara–

rayan sangat terkenal dan telah puluhan kali memimpin 

upacara perkawinan. Siapa-siapa yang dinikahkan di 

bawah pimpinannya pastilah kedua mempelai akan hidup 

bahagia! 

Satu menit telah berlalu. Wararayan belum juga mun–

cul. Para hadirin terutama Bogananta dan Manik Tunggul 

serta Sokananta kelihatan gelisah. Permani yang berdiri 

dengan menundukkan kepala juga tampak gelisah. Tapi 

apa yang digelisahkannya tidak sama dengan apa yang 

digelisahkan orang-orang di situ. Dia gelisah karena sampai 

saat itu orang yang hendak menolongnya belum juga 

kelihatan! Apakah pemuda itu tidak datang? Atau terlam–

bat atau sesat di jalan? Atau mendapat celaka?! 

Telah lewat sepeminum teh. 

Para hadirin mulai berbisik-bisik. Rasa malu yang amat 

sangat membuat kulit muka Manik Tunggul merah laksana 

saga. Apalagi karena dialah yang bertanggung jawab 

mengatur kelancaran upacara pernikahan itu. Di lain pihak 

Bogananta juga kelihatan merah parasnya, tapi bukan 

karena malu melainkan merasa terhina! 

Dalam suasana tegang gelisah itu tiba-tiba dari balik 

sebuah batu karang besar di tepi kawah kelihatan muncul 

seorang berjubah biru. 

Manik Tunggul tersirap kaget. Jubah biru adalah 

pakaian yang biasa dikenakan oleh Wararayan! Apakahmanusia ini Wararayan? Tapi kenapa dia muncul dari balik 

batu karang itu? 

Dan waktu diperhatikan langkah si jubah biru ini, 

terkejutlah Manik Tunggul serta para hadirin. Langkah si 

jubah biru demikian enteng, laksana kapas diterbangkan 

angin! Kemudian bila si jubah biru sudah berada dekat, 

maka tersiraplah darah Manik Tunggul dan semua orang. 

Si jubah biru ternyata bukan Wararayan! Tapi anehnya 

jubah yang dipakainya itu dikenali sekali oleh Manik 

Tunggul sebagai milik Wararayan? Apakah yang telah 

terjadi dengan Wararayan? Di mana orang tua itu berada 

dan siapa pula manusia yang datang ini?! 

Si jubah biru memiliki paras yang dilapisi dengan tanah 

liat. Rambutnya yang gondrong acak-acakkan diikat dengan 

robekan-robekan kain berbagai bentuk dan warna. Di 

tangan kirinya ada sebuah pecahan kaca rias bersudut 

runcing sedang di tangan kanannya menggenggam seba–

tang tombak pendek dari batu hitam yang banyak terdapat 

di sekitar kawah gunung. 

Si jubah biru langsung menuju ke podium. Anak-anak 

murid Perguruan Merapi dan Perguruan Garuda Sakti 

segera hendak turun tangan, tapi ketua masing-masing 

memberi isyarat. Semuanya mundur kembali namun dalam 

posisi mengurung si jubah biru. 

Akan tetapi Permani begitu dia melihat si jubah biru ini, 

meskipun parasnya kotor bercelemongan tanah liat dan 

rambut awut-awutan tak karuan, namun dia masih bisa 

mengenali. Si jubah biru ini bukan lain pemuda gagah yang 

dua hari lalu telah bicara dengan dia di dalam kamar 

penginapan, bukan lain orang yang diharapkannya sebagai 

tuan penolongnya! Hati dara ini lega sedikit. Tapi apa-

apaan dia berbuat macam orang gila begini rupa? 

Tiba-tiba si jubah biru alias Wiro Sableng alias Pendekar 

212 keluarkan suara macam orang tua dan menggigil, 

“Uh... uh... dinginnya! Dingin sekali!” Dan kedua 

tangannya didekapkan di dada sedang geraham-geraham–

nya bergemelesamping itu karena suaranya sengaja dialiri tenaga dalam 

yang hebat, maka suaranya itu menggetarkan liang telinga 

para hadirin, menggetarkan lantai panggung yang mereka 

injak! 

Semua orang heran campur terkejut! 

Hari sepanas itu. Matahari bersinar terik. Bagaimana 

manusia satu ini menggigil begitu rupa dan bilang dingin?! 

“Jubah biru!” bentak Manik Tunggul. “Manusia atau 

setankah kau?!” 

“Hai... aku bicara soal dinginnya hari. Apakah kau tidak 

merasa? Apakah kalian semua di sini tidak kedinginan? 

Uh.. uh...!” 

Semua orang saling pandang. 

“Jubah biru, lekas terangkan siapa kau. Dan dari mana 

kau dapatkan jubah milik Wararayan itu?!” Kembali Manik 

Tunggul buka suara keras. 

Wiro Sableng dengan menahan geli di dalam hati pura-

pura meneliti parasnya di dalam kaca di tangan kiri. 

Kemudian sambil tuding-tudingkan tombak batu hitam di 

tangan kanan dia berkata, “Anak-anakku... kalian semua 

dengarlah!” 

“Persetan manusia edan!” hardik Bogananta beringas. 

“Kau kira kami ini apamu sampai memanggil kami anak-

anakmu?!” 

Si jubah biru tidak ambil perduli. Malah dia tudingkan 

tepat-tepat tongkat hitamnya ke hidung Ketua Perguruan 

Merapi itu. 

“Kalian dengar dulu... jangan ganggu bicaraku. Siapa 

yang bertindak lancang akan celaka seumur hidup. Akan 

dirundung malang selama hayat! Akan dikutuk dewa-dewa 

di khayangan!” Lalu Wiro Sableng pura-pura menggigil 

kedinginan lagi! “Dingin... uh... dingin sekali! Di dasar 

kawah udara hangat tapi di atas sini dingin bukan main! 

Uh...!” 

“Manusia gila! Kalau kau tak segera angkat kaki dari 

sini kutekuk batang lehermu!” ancam Manik Tunggul. 

“Aku bukan manusia... bukan manusia!” kata Wirotukan persis macam orang kedinginan! Dilantang keras hingga setiap orang yang mendengar 

tergetar dadanya! “Aku adalah titisan dewa di khayangan! 

Aku penghuni Gunung Merapi ini. Segala sesuatu yang ada 

dan terjadi di gunung ini di bawah pengawasanku! Kalian 

tahu hai manusia-manusia ceroboh, pesta perkawinan yang 

kalian rayakan di sini tanpa meminta izin pada dewa-dewa 

di khayangan telah membuat dewa-dewa marah semua! 

Kalian hendak dikutuk! Hendak disapu dengan angin topan 

dari puncak Gunung Merapi ini. Tapi dengan memandang 

aku, dewa-dewa masih sanggup beri ampun pada kalian...” 

“Keparat pendusta!” bentak Manik Tunggul. “Kau kira 

kami bisa dikelabui oleh orang gila macammu?!” 

Wiro Sableng menyeringai dan keluarkan suara 

mengekeh. Dalam hatinya dia memaki! 

“Aku pendusta katamu?! Aku orang gila bilangmu...?! 

Kau akan lihat... akan lihat!” kata Wiro pula dengan suara 

keras. Dia melangkah seringan kapas ke tepi kawah yang 

terletak dua puluh tombak dari panggung. Jarak yang 

duapuluh tombak itu dicapainya dengan beberapa kali 

gerakan kaki saja hingga semua orang menjadi tertegun! 

Di tepi kawah Wiro komat-kamitkan mulut. Dalam hati 

dia geli sekali. Kemudian tongkat pendek batu hitam di 

tangan kanannya di acung-acungkan ke udara dan peca–

han kaca rias di putar-putarnya kian kemari! Kemudian 

terdengarlah kumandang suaranya yang menggelegar ke 

dasar kawah dan dipantulkan kembali ke atas. 

“Wahai dewa-dewa di khayangan! Kalian telah 

menyaksi–kan sendiri bagaimana hari ini di hadapanku 

ada manusia-manusia yang hendak mengotori tempatmu 

yang ada di bawah pengawasanku. Kalian dengar sendiri 

bagaimana manusia-manusia itu mengatakan aku sebagai 

pendusta, sebagai tukang kelabuh, sebagai orang gila! 

Demi memandang mukaku, demi menjaga kesucian tem–

pat ini dan demi kebesaran namamu, kuharap perlihat–

kanlah kekuatanmu! Hukumlah mereka...!” 

Wiro putar-putarkan kedua tangannya ke udara. 

“Hukumlah mereka wahai dewa!” seru Wiro lagi danseluruh tenaga dalamnya dialirkan ke ujung kedua tangan. 

Diam-diam Pendekar ini lepaskan pukulan Angin Puyuh. 

Maka mengaunglah suara angin makin keras. Para tamu 

yang bukan orang-orang persilatan tak ampun lagi jatuh 

berpelantingan. Bogananta, Manik Tunggul dan mereka 

yang mengerti silat segera kerahkan tenaga dalam agar 

tidak ikut terpelanting. Tapi makin lama deru angin 

semakin dahsyat dan keras! Hiasan-hiasan dan gaba-gaba 

di atas panggung serta podium tanggal beterbangan, tak 

ketinggalan kain penutup pelaminan. Topi tinggi yang 

dikenakan pengantin laki-laki tak urung mental dan 

kelihatanlah kepalanya yang berambut jarang! 

“Tahan!” teriak Manik Tunggul seraya melompat ke 

muka dan lepaskan satu pukulan tangan kosong ke arah si 

jubah biru! Tapi terkejutnya bukan main dan melabrak 

dirinya sendiri! Dia melompat ke samping dan sesaat 

kemudian dia sudah berada di hadapan Wiro. Pakaiannya 

berkibar-kibar, tubuhnya tergetar dilanda angin puyuh yang 

keluar dari tangan sang Pendekar 212! 

“Jubah biru, hentikan semua ini! Aku mau bicara 

padamu!” Berada sedemikian dekat Manik Tunggul melihat 

bagaimana gerakan kedua tangan dan posisi kedua kaki si 

jubah biru bukan lain daripada sikap seorang ahli silat! 

Maka hatinya yang tadi sedikit tergetar kini menjadi curiga. 

Walau bagaimanapun si jubah biru ini adalah manusia 

biasa seperti dia, bukan dewa atau titisan dewa! 

“Tahan!” teriak Manik Tunggul sekali lagi. “Aku mau 

bicara!” 

Wiro tertawa mengekeh dan mendongak ke langit. 

“Dewa-dewa, aku mohon hentikanlah kemurkaanmu.” 

Maka sesaat kemudian deru angin yang dahsyat itu 

mengendur perlahan dan akhirnya sirna. Tanpa perdulikan 

Manik Tunggul yang ada di sampingnya Wiro melangkah 

kembali ke atas panggung di depan podium sambil tertawa 

mengekeh-ngekeh! 

“Masih untung, masih untung dewa mau mengampuni 

kalian manusia-manusia sombong!” kata Wiro. Dia melirikke samping. Manik Tunggul berada di dekatnya. 

Dan Wiro buka mulut kembali, “Itu baru sepersepuluh 

dari kekuatan dewa. Kalau sampai seperlimanya saja pasti 

kalian semua sudah tak ada di sini! Sudah terbang laksana 

daun kering dan mampus!” 

Wiro komat-kamit dan acungkan pecahan kaca ke 

muka. 

“Sekarang kalian dengar semua!” serunya 

menggeledek. “Dewa telah mengampuni kalian orang-

orang sombong! Tapi dewa juga minta imbalan pengam–

punan itu. Telah lima ratus tahun lebih kawah Gunung 

Merapi tempat dewa yang suci ini tak pernah dibersihkan 

dengan darah suci seorang dara! Telah lima ratus tahun 

lebih khayangan tidak menerima korban suci! Maka hari ini 

dewa memerintahkan aku, dan aku memerintahkan kamu 

semua di sini untuk menyerahkan pengantin perempuan 

kepadaku!” 

Wiro memandang berkeliling. Semua orang dilihatnya 

terkejut. Bogananta, Manik Tunggul dan Sokananta men–

delik memandang kepadanya. Cuma seorang yang keliha–

tan tenang dan berlega hati. Orang ini bukan lain Permani. 

Si gadis sudah maklum kini akan rencana pemuda yang 

menyamar itu. 

“Kalian dengar? Pengantin perempuan harus diserah–

kan padaku...!” Wiro melangkah mendekati Permani. 

Tapi baru satu langkah, Manik Tunggul sudah 

memapasinya. 

“Jubah biru! Aku tidak percaya kau titisannya dewa! Kau 

tidak bisa lain daripada manusia dajal keparat! Kalau kau 

maukan anakku, silahkan! Tapi makan dulu sepuluh kuku 

ini!” Habis berkata begitu Ketua Perguruan Garuda Sakti 

melompat ke muka. Kedua tangannya berkelebat cepat!


WIRO SABLENG 

RAHASIA LUKISAN TELANJANG 12

WIRO Sableng terkejut melihat datangnya serangan 

dua tangan yang mencengkeram dengan dahsyat 

itu. Buru-buru dia melompat ke belakang dan 

kiblatkan tombak batu hitam di tangan kanannya mema–

pasi serangan lawan! 

Kini Manik Tunggul-lah yang terkejut! 

Serangan yang dilancarkannya tadi adalah jurus 

Sepuluh Jari Sakti Menggarap Gunung, merupakan satu 

jurus serangan yang lihai dari ilmu silatnya. Tapi si jubah 

biru mengelakkannya dengan cepat bahkan kalau dia tidak 

cepat menarik pulang kedua tangannya pastilah akan 

dihantam oleh tombak batu di tangan si jubah biru! 

Wiro tertawa mengekeh. 

“Manusia sombong dan kotor hendak melawan titisan 

dewa?I” ejeknya. “Kau akan tahu rasa!” 

Malu bercampur amarah yang meluap Manik Tunggul 

siap menyerang kembali. Tapi di saat itu sesosok tubuh 

melompat ke depan dan satu seruan terdengar, “Ketua 

Perguruan Garuda Sakti, biar aku calon mantumu tunjuk–

kan bakti padamu! Biar aku yang ringkus manusia kentut 

dewa itu!” 

Sreet! 

Sokananta, anak Ketua Perguruan Merapi, si pengantin 

laki-laki yang akan jadi suami Permani cabut pedangnya 

lalu tanpa tedeng aling-aling menyerbu kirimkan satu 

tusukan satu babatan! 

Pendekar 212 tertawa gelak-gelak dan elakkan 

serangan pedang dengan satu putaran tombak batu. 

Dengan penasaran Sokananta susul dua tusukan kilat dandua tebasan sekaligus! 

Wiro putar lagi tombak hitamnya dalam jurus Titiran 

Terbang Ke Langit. 

Melihat gerakan lawan yang memapasi mentah-mentah 

serangannya bukan main dongkolnya Sokananta. Dia ambil 

keputusan untuk adu senjata dan adu tenaga dalam 

sekaligus! 

Trang! Trak! 

Tombak batu hitam di tangan kanan Wiro Sableng 

patah dua. Sebaliknya pedang di tangan Sokananta terle–

pas mental, tangannya tergetar hebat dan pedas membuat 

dia mengerenyit kesakitan. Di lain kejap ketika dia hendak 

melompat menyambar pedangnya terkejutlah putera Ketua 

Perguruan Merapi ini. Pedangnya yang tadi terlepas mental 

ternyata sudah berada di tangan lawannya! Gelaplah muka 

Sokananta ditelan rasa malu dan kegeraman yang 

menyala! 

Bogananta mungkin orang yang paling terkejut di antara 

semua orang! Sokananta adalah anak kandung gem–

blengannya sendiri. Meski tenaga dalamnya masih belum 

mencapai tingkat kesempurnaannya tapi tak bisa dianggap 

ringan, dan di samping itu seluruh ilmu silatnya telah 

dikuasai oleh Sokananta! Bagaimana kini dia bisa 

dipecundangi dalam satu gebrakan itu aja? Untuk tidak 

membuat anaknya kehilangan muka maka Bogananta 

berseru memerintahkan anak-anak buahnya nenyerang si 

jubah biru. Di lain pihak Manik Tunggul segera pula 

memerintahkan anak-anak buahnya. Enam belas orang 

bertomba ke depan podium bukan saja mengurung Wiro 

tapi dengan serentak menyerangnya! 

Pendekar 212 tertawa dan keluarkan suara bersiul. 

Begitu gelombang serangan datang menggempurnya, 

pemuda ini melompat ke udara dan sewaktu menukik 

turun, kembali terdengar jerit empat orang pengeroyok. 

Keempatnya menggelinding ke tanah dalam keadaan 

pingsan. Dan di depan podium, empat orang lainnya berdiri 

mematung karena di totok oleh Wiro dengan bagian

belakang yang tumpul dari patahan tombak batu hitamnya! 

Melihat ini baik Bogananta maupun Manik Tunggul 

segera maklum bahwa si jubah biru bukanlah tandingan 

anak-anak murid mereka. Bahkan ketinggian ilmu silatnya 

belum tentu berada di bawah mereka! 

“Bangsat!” bentak Bogananta marah. “Rupanya kau 

sengaja datang mengacau ke sini! Lekas berlutut atau aku 

akan urus jalan ke akhirat bagimu!” 

Wiro tertawa gelak-gelak. 

“Terhadap titisan dewa kau berani main perintah 

seenaknya! Makan pukulanku ini!” bentak Wiro pura-pura 

marah lalu lancarkan satu pukulan yang sebenarnya hanya 

satu kepura-puraan saja. Dia tiada permusuhan dengan 

semua orang di situ, karenanya dia tak punya niat untuk 

turun tangan jahat! 

Maklum bahwa tenaga dalam lawan hebat luar biasa, 

Bogananta cepat-cepat menghindar sewaktu angin pukulan 

menyambar ke arahnya dan dengan jurus Naga 

Menyelinap Dari Balik Rimba Belantara, Ketua Perguruan 

Merapi ini kembali menyerbu! Wiro tak melihat gerakan 

lawan tahu-tahu tubuhnya sudah berada dekat sekali dan 

tinju kiri kanan sudah berada di depan hidung! 

Hanya sedetik Pendekar 212 terkesiap melihat jurus 

serangan yang tak terduga dari lawan. Sekejap kemudian 

tangan kirinya sudah bergerak dan pecahan kaca rias 

bersudut-sudut runcing melesat ke arah tenggorokan 

Bogananta! 

“Keparat!” maki Bogananta. Dia pergunakan tangan 

kanan memukul kaca itu hingga hancur lebur, sebaliknya 

tinju kiri diteruskannya ke arah muka lawan! Namun 

serangan ini telah berkurang kecepatannya karena 

gerakan yang dibuatnya waktu memukul hancur kaca tadi! 

Dan dengan sendirinya tangan kiri Bogananta menjadi 

makanan yang empuk bagi Pendekar 212. Namun karena 

dia tak punya niat turun tangan jahat maka Wiro cuma tarik 

lengan laki-laki itu, memuntirnya dengan cepat! Begitu 

tubuh Bogananta terputar, Wiro segera menotok pung–gungnya. Keluh kesakitan yang hendak keluar dari 

mulutnya Bogananta sirna di tenggorokannya karena 

tubuhnya keburu kaku dilanda totokan Pendekar212! 

Tercekatlah hati Manik Tunggul. Ilmu silat dan 

kepandaian calon besannya itu dua tingkat lebih tinggi dari 

dia! Berarti adalah mencari konyol kalau dia coba pula 

turun tangan! Tapi agar tidak dicap pengecut, Ketua 

Perguruan Garuda Sakti ini segera lompat ke depan Wiro. 

Begitu menyerang dia keluarkan jurus ilmu silatnya yang 

paling hebat yaitu Seribu Garuda Mengamuk!

Kedua tangan Manik Tunggul terkembang ke samping 

laksana sayap burung garuda. Sekali tubuh kena terpukul 

pasti hancur remuk! Dari mulutnya keluar suara berkuik-

kuik macam suara garuda sedang di samping memukul, 

kedua tangannya secepat kilat bisa berobah menceng–

keram setiap bagian tubuh lawan! 

Satu jurus Pendekar 212 kena dirangsak ke sudut 

panggung dekat para tamu duduk. Tapi memasuki jurus 

kedua sekali berkelebat terdengarlah keluhan Ketua 

Perguruan Garuda Sakti itu. Tubuhnya terhuyung-huyung ke 

muka. Sepasang kakinya laksana tiada bertulang. Tubuh–

nya tergelimpang di panggung. Wiro telah menotok kedua 

urat kakinya sekaligus sehingga Manik Tunggul laksana 

lumpuh tak sanggup berdiri! 

Wiro memandang berkeliling dengan tawa berderai. 

Tamu-tamu dilihatnya dicekam oleh rasa kejut dan takut. 

Inilah saatnya untuk melarikan Permani, pikir Wiro. Segera 

dia hendak melompat ke tempat sang dara. 

Namun dari panggung sebelah timur melesat sesosok 

tubuh berjubah hitam. Lesatannya sangat ringan luar biasa 

dan tanpa suara tahu-tahu dia sudah di atas panggung 

kayu jati! 

Manusia berjubah hitam ini ternyata seorang perem–

puan separuh baya yang berparas cantik sekali. Namun 

sekali melihat sinar matanya, Wiro segera maklum bahwa 

manusia ini di samping tinggi ilmu silatnya juga mempunyai 

hati jahat!Tiba-tiba jubah hitam menunjuk cepat-cepat ke arah 

Wiro Sableng! 

“Manusia yang mengaku titisan dewa, harap datang ke 

hadapanku!” Suara perempuan ini besar parau dan 

menggetarkan liang telinga. Wiro mengagumi kehebatan 

tenaga dalam perempuan ini. Siapakah dia pikir Wiro dan 

tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang yang tak 

boleh dibuat main-main, Pendekar 212 segera melompat 

ke panggung kayu jati! Semua mata kini ditujukan ke 

panggung, pada kedua orang itu! 

“Aku tak suka bikin urusan dengan manusia yang 

sembunyikan tampangnya di balik penyamaran! Lekas 

perlihatkan mukamu yang sebenarnya dan buka jubah biru 

itu!” 

Wiro kaget namun dia tertawa. 

“Kupuji ketajaman matamu! Tapi harap kau suka 

terangkan siapa kau dan apa maksudmu jual lagak di atas 

panggung ini!” 

Tentu saja Si Jubah Hitam marah sekali. Dia tahan 

kemarahannya dan berkata datar, “Ketahuilah, aku datang 

untuk menagih hutang jiwa!” 

“Ohh... kukira kau berdiri di sini hendak membela 

kedua ketua perguruan itu.” 

“Aku tak ada sangkut paut dengan mereka! Aku adalah 

kakak seperguruan Dewi Kala Hijau yang kau bunuh 

beberapa tahun yang lalu!” (Tentang siapa adanya Dewi 

Kala Hijau harap baca serial Wiro Sableng yang berjudul 

Neraka Lembah Tengkorak). 

Kaget Wiro Sableng bukan alang kepalang! 

Dewi Kala Hijau yang pernah dibunuhnya tempo hari 

ilmunya tinggi luar biasa. Dan kini kakak seperguruannya 

datang menuntut balas! Tentu ilmunya lebih hebat lagi! 

Tapi meskipun demikian mana pemuda ini merasa jerih. 

Malah dia tertawa dan berkata, “Kau datang kurang cocok 

waktunya, perempuan gagah. Sekarang bukan saatnya 

menagih segala macam hutang, apalagi hutang jiwa!” 

Dengan acuh tak acuh Wiro bertindak mendekatiPermani, tapi dari samping Sokananta telah memapasi. Di 

tangannya kiri-kanan kini tergenggam dua bilah pedang 

mustika yang berkilauan ditimpa sinar matahari! Begitu 

memapas begitu anak Ketua Perguruan Merapi ini 

kiblatkan kedua senjatanya. Wiro yang maklum bahwa dua 

batang pedang itu bukan pedang biasa tak mau bertindak 

ceroboh. Anginnya saja sudah memerihkan kulitnya. Dia 

melompat mundur mengelak dan pada saat dia berada 

dekat Bogananta secepat kilat Wiro mencabut pedang yang 

tergantung di pinggang kiri Ketua Perguruan Merapi itu! 

Kini sibuklah Sokananta. Dia terdesak hebat ketika 

salah satu pedangnya dibikin mental. Muka pemuda 

berambut jarang ini pucat lesu sewaktu ujung pedang 

ayahnya yang di tangan Wiro menyambar laksana kilat dan 

merobek besar pakaian di bagian dadanya! Dalam dia 

terkesiap kaget dan kecut itu, Wiro lepaskan pukulan 

tangan kosong. Tak sempat mengelak tahu-tahu Soka–

nanta telah merasakan tubuhnya kaku tegang tak bisa 

bergerak lagi! 

“Sudah cukup aku melihat pertunjukanmu!” kata satu 

suara di samping Wiro. “Sekarang kau hadapi Si Jubah 

Hitam.” Sekali mengusap mukanya maka semua orangpun 

gegerlah. Muka yang tadi cantik menawan hati itu kini 

berubah menjadi muka tengkorak yang membuat bulu 

kuduk menggerinding! 

Didahului oleh satu lengkingan dahsyat, Si Jubah Hitam 

pukulkan tangan kanannya ke depan. Gelombang angin 

keras melanda Pendekar 212. Wiro bersuit nyaring dan 

berkelebat dengan cepat tapi dari samping Si Jubah Hitam 

susul dengan pukulan tangan kiri! Pendekar 212 terkurung 

di antara dua angin pukulan sekaligus! 

“Sialan!” maki Wiro. Dengan serta merta pendekar ini 

angkat kedua tangannya dan dorongkan ke muka dalam 

jurus pukulan yang bernama Benteng Topan Melanda 

Samudera! Dua pukulan dahsyat yang mengandung tenaga 

dalam hebat luar biasa saling bergulat tindih menindih! 

Semua orang yang menyaksikan adu kekuatan tenagadalam ini menahan nafas dengan tegang. Jarang sekali 

pertempuran yang begini hebat mereka saksikan! 

Si Jubah Hitam kernyitkan kening tengkoraknya. 

Di kening Wiro sebaliknya kelihatan butiran-butiran 

keringat. 

Braak! 

Lantai kayu jati yang diinjak oleh Pendekar 212 hancur 

roboh! 

“Celaka!” keluh Pendekar 212. Ternyata tenaga dalam 

lawan tidak berada di bawahnya, malah satu dua tingkat 

berada di atasnya! 

Dengan bersuit nyaring Wiro melompat mundur sejauh 

dua tombak lalu jungkir balik sampai tiga kali berturut-turut 

dan jatuhkan diri di lantai dan seterusnya berguling cepat! 

Dengan demikian baru dia berhasil menolak dan melebur 

serangan tenaga dalam Si Jubah Hitam yang sangat 

dahsyat itu! 

“Gila betul!” maki Wiro dalam hati. Kalau dihadapi terus 

manusia bermuka tengkorak ini meski belum tentu dia bisa 

dikalahkan dengan mudah tapi bisa berabe! Maka dengan 

cepat Wiro melompat menyambar tubuh Permani! 

Tapi celaka, begitu tubuh sang dara berada di atas 

bahu kirinya, enam orang telah mengurungnya. Mereka 

adalah tokoh-tokoh silat yang menjadi tamu dan bersaha–

bat baik dengan kedua Ketua Perguruan yang kini berada 

dalam keadaan ditotok tak berdaya! Dengan demikian 

manusia yang mengeroyok Wiro berjumlah tujuh ditambah 

dengan Si Jubah Hitam! 

Si Jubah Hitam tertawa panjang. 

“Enam manusia tak tahu diri! Kalian mundur semua! 

Nyawa pemuda itu hak milikku!” 

“Perempuan muka tengkorak!” jawab seorang di antara 

yang enam sambil melintangkan senjatanya yaitu sebuah 

ruyung perak. “Urusanmu, urusanmu! Kami juga punya 

kewajiban untuk membunuh manusia yang hendak 

menculik anak gadis sahabat kami!” 

“Di hadapan petantang petenteng! Pergilah semua!” 

Si Jubah Hitam yang mengaku bergelar Iblis Tengkorak 

dorongkan kedua tangannya ke muka! Gelombang angin 

yang dahsyat menyambar. Laksana daun-daun kering 

keenam tokoh silat itu terpelanting ke luar panggung! Dua 

orang muntah darah. Empat lainnya melingkar pingsan di 

tanah! 

Sewaktu orang-orang itu bertengkar mulut dan sewaktu 

Iblis Tengkorak menggempur keenam tokoh silat, maka 

kesempatan ini dipergunakan oleh Wiro untuk berlalu 

dengan cepat. Tapi lebih cepat lagi, tahu-tahu Si Jubah 

Hitam Iblis Tengkorak sudah berada di depannya! Dan 

sekaligus lancarkan sejurus serangan ganas! Wiro berkelit 

gesit dan selundupkan satu tendangan ke perut lawan! 

Tapi dengan sigap Iblis Tengkorak hantamkan tangan 

kanannya ke bawah. Karena tenaga dalam lawan lebih 

tinggi, Wiro terpaksa tarik pulang tendangannya dan seba–

gai gantinya kirimkan serangan Kunyuk Melempar Buah. 

“Apakah tak ada ilmu pukulanmu yang lebih berguna?!” 

ejek Iblis Tengkorak. Dan sekali dia kebutkan lengan jubah 

hitamnya maka buyarlah serangan Wiro Sableng yang 

berkekuatan dua per tiga tenaga dalamnya itu! 

“Hebat sekali iblis betina ini!” rutuk Wiro. Tubuh 

Permani diturunkannya, kemudian diiringi oleh satu 

bentakan nyaring dia menyerbu ke muka. Tubuhnya hanya 

merupakan bayang-bayang! Dua gelombang angin pukulan 

melanda Iblis Tengkorak, masing-masing pukulan Orang 

Gila Mengebut Lalat dan pukulan Angin Es. 

Angin besar menderu-deru, mengibarkan jubah hitam 

Iblis Tengkorak. Sedang udara mendadak sontak menjadi 

dingin luar biasa. Semua orang menggigil bergemeletukan 

geraham mereka! 

Tapi Iblis Tengkorak ganda tertawa. 

Dua tangan memukul ke muka. Dua larik sinar hitam 

menggebu! Wiro meraung! Tubuhnya mental sampai empat 

tombak, pakaiannya robek hampir di setiap bagian sedang 

dari hidung dan sela bibirnya kelihatan darah ke luar!Tak ayal lagi Wiro segera telan dua butir pil. Matanya 

beringas galak. Dan sewaktu Iblis Tengkorak datang 

mendekat dengan tertawa, Pendekar 212 segera sambut 

dengan pukulan Sinar Matahari. 

“Aha! Pukulan Sinar Matahari!” seru Iblis Tengkorak. 

“Inilah yang kutunggu!” 

Tangan kanannya bergerak membuat lingkaran, kemu–

dian laksana kilat dihantamkan ke muka! Terdengar suara 

laksana guntur! Satu gelombang angin hitam bergerak 

berputar bergulung-gulung lalu menghantam ke muka 

laksana topan prahara! 

Sinar putih perak pukulan Sinar Matahari yang 

dilepaskan Pendekar 212 tiada berdaya dan terbuntal 

dalam gelungan-gelungan angin hitam pukulan lawan 

untuk kemudian melesat kembali menyerang dirinya 

sendiri, sekaligus bersama serangan angin pukulan lawan! 

Itulah pukulan Raja Angin Mengamuk yang telah dilepas–

kan oleh Iblis Tengkorak! 

“Tobat.” keluh Pendekar 212! Tangan kanannya 

bergerak sebat! Selarik sinar putih yang menyilaukan mata 

berkiblat dan, ... 

Buum! 

Satu letusan yang luar biasa kerasnya terdengar! 

Puncak Gunung Merapi bergetar! 

Suara letusan yang dipantulkan kembali oleh dasar 

kawah tak kalah hebatnya sehingga semua orang di situ 

merasakan dunia laksana mau kiamat! 

Iblis Tengkorak terkejut besar. 

Jantungnya mendenyut sakit sedang kedua lututnya 

agak tertekuk! Ketika dia memandang ke depan dilihatnya 

pemuda itu berdiri dengan tubuh bergetar, muka pucat 

pasi dan sepasang mata merah sedang di tangan kanan–

nya tergenggam sebuah kapak bermata dua, yang gagang–

nya terbuat dari gading dan berbentuk kepala naga-

nagaan! 

Terkesiaplah Iblis Tengkorak melihat kehebatan senjata 

lawan! Kapak Maut Naga Geni 212 nyatanya bukan senjatakosong belaka! Pukulan Raja Angin Mengamuk yang 

dilepaskan tadi adalah pukulan paling hebat dan ganas 

yang dimilikinya! Selama sepuluh tahun memiliki ilmu 

pukulan itu tak satu lawan gagahpun yang sanggup 

menghadapinya! Tapi kini seorang lawan berusia muda 

sekali dengan Kapak Naga Geni 212 berhasil memusnah–

kan pukulannya itu! 

Kedua mata Pendekar 212 terbuka perlahan. Satu 

seringai maut tersungging di bibirnya. Parasnya yang 

selama ini macam paras anak-anak dan tolol kini berubah 

total menggidikkan! Sinar matanya laksana menembus 

tembok baja! 

“Iblis Tengkorak!” desis Wiro Sableng. “Kalau hari ini 

aku tak sanggup memisahkan kepala dan badanmu, 

biarlah aku mengundurkan diri dari dunia persilatan 

selama-lamanya!” 

Sebenarnya pemuda ini sudah terluka di dalam. Tapi 

begitu Kapak Naga Geni 212 berada di tangannya satu 

aliran sejuk keluar dari gagang kapak dan memberi 

kekuatan baru padanya meskipun luka di dalam yang 

dideritanya tidak bisa dikatakan sembuh! 

Perempuan muka tengkorak tertawa dingin. 

“Keluarkan semua ilmu simpananmu. Kalau kau punya 

sepuluh senjata cabut sekaligus agar tidak mati penasa–

ran! Sekali Iblis Tengkorak inginkan nyawa seseorang pasti 

tak bisa lepas. Tak perduli apakah kau punya tiga kepala 

enam tangan!” 

“Manusia sombong! Kalaupun aku mampus di tangan–

mu tapi kejahatan tak akan sanggup menumbangkan 

kebenaran!” 

“Jangan mengigau di siang bolong! Hari ini gelar 

Pendekar Kapak Maut Geni 212 akan kuhapus dari dunia 

persilatan!” 

Iblis Tengkorak menggembor macam kerbau marah. 

Tubuhnya lenyap dan tahu-tahu dua belas serangan telah 

menyerbu Wiro Sableng! 

Yang diserang tak tinggal diam. Begitu Kapak NagaGeni 212 berkiblat maka suara menderu laksana suara 

ribuan tawon merangsang telinga! Sedang dari mulut sang 

pendekar melengking suara siutan nyaring yang tak 

menentu dan menusuk gendang-gendang telinga! 

Kejut Iblis Tengkorak bukan alang kepalang. 

Putaran angin kapak tak sanggup diterobos oleh 

pukulan-pukulan yang dilancarkannya. Sebaliknya angin 

kapak itu memerihkan mata serta kulitnya. Dan ditambah 

pula oleh suara mengaung serta siulan yang tiada henti-

hentinya menusuk liang telinganya, membuat gerakan-

gerakannya kacau balau! 

Dengan penasaran dan kalap, dalam jarak sedekat itu 

Iblis Tengkorak lepaskan pukulan Raja Angin Mengamuk.

Tapi cepat-cepat dia tarik pulang tangan kanannya karena 

jurus putaran kapak yang bernama Pecut Sakti Menabas 

Tugu yang dilancarkan oleh Pendekar 212 hampir saja 

membuat tangan kanannya terbabat putus! 

Semua orang yang menyaksikan tak dapat lagi melihat 

wujud tubuh kedua manusia yang bertempur itu. Menyak–

sikan lama-lama mata mereka menjadi sakit dan kepala 

masing-masing menjadi pusing! 

Telah dua kali Iblis Tengkorak tukar ilmu silatnya 

namun tetap saja dia kena didesak! Tubuhnya telah mandi 

keringat dingin. Tiba-tiba dengan licik manusia muka 

tengkorak ini menyelundup ke belakang tubuh Pendekar 

212 dan dari belakang ini lancarkan satu serangan maut 

yang ganas! 

Tapi Wiro sudah lebih dahulu rasakan datangnya angin 

serangan yang dingin di punggungnya. Dengan lancarkan 

jurus Di Balik Gunung Memukul Halilintar Wiro balikkan 

badan! 

Iblis Tengkorak tak mengira lawannya akan mengetahui 

posisinya dan bisa menyerang secepat itu. Dengan gugup 

dia mengelak. Wiro susul dengan jurus Membuka Jendela 

Memanah Rembulan yang tak asing lagi. Tangan kirinya 

membabat ke pinggang lawan. Jubah hitam masih bisa 

berkelit tapi serangan yang lebih ganas tak dapat dihina darkannya yaitu serangan kapak yang laksana anak panah 

melesat menyambar ke arah batang lehernya! 

Craas! 

Darah memancur. 

Tubuh Iblis Tengkorak roboh ke lantai panggung. Kepa–

lanya menggelinding mengerikan! 

Semua orang menjadi gempar! 

Dan ketika mereka memandang lagi ke atas panggung, 

Wiro Sableng sudah tak ada. Bahkan kemudian mereka 

menyadari bahwa Permani pun tak ada lagi di hadapan 

podium! Untuk kedua kalinya semua orang menjadi 

gempar!


WIRO SABLENG 

RAHASIA LUKISAN TELANJANG 13

INIKAH Goanya?” tanya Wiro seraya melompat turun dari 

punggung kuda. Dalam perjalanan melarikan diri 

bersama Permani mereka berhasil mendapatkan dua 

ekor kuda hitam milik anak-anak murid Perguruan Garuda 

Sakti. 

Permani anggukkan kepala lalu turun pula dari 

kudanya. 

Sebuah batu yang sangat besar menyumpal mulut goa. 

Wiro Sableng kerahkan tenaga dalam. Setelah bekerja 

keras beberapa lamanya baru batu besar itu bisa dising–

kirkan. Didahului oleh Permani keduanya masuk ke 

dalam.Ternyata goa itu cuma delapan tombak dalamnya. 

“Kanda Panuluh!” 

Tiba-tiba mengumandang pekik Permani. Dara ini lak–

sana diburu sctan lari ke depan dan meraung keras. 

Menangis sambil tiada hentinya menyebut nama tadi! 

Wiro Sableng berdiri termangu. 

Seorang pemuda yang berada dalam keadaan menye–

dihkan tersandar ke dinding goa. Tangan dan kakinya 

diikat dengan rantai besi yang dipakukan ke dinding kuat 

sekali. Dia hanya mengenakan sehelai cawat. Sekujur 

tubuhnya penuh oleh guratan-guratan merah yang dalam 

bekas cambukan. Mukanya babak belur. Bibir pecah, pipi 

lecet, sedang kedua mata bengkak menggembung. Pada 

bawah mata dan hidung kelihatan noda-noda darah yang 

telah membeku! Dan Permani menangis memeluki tubuh 

pemuda itu. 

Wiro menggigit bibir. Dia maklum kalau pemuda itu 

sudah tiada bernafas lagi. Tiba-tiba Wiro berteriak,“Jangan!” Dan secepat kilat melompat ke muka 

menangkap tubuh Permani. “Bunuh diri tak ada gunanya!” 

seru Wiro. 

Menyadari bahwa pemuda kekasihnya telah mati maka 

tadi Permani hendak benturkan kepalanya ke dinding goa. 

Untung Wiro masih sempat menghalanginya. 

“Tenanglah Permani,” bisik Wiro coba menghibur. 

“Tidak! Lepaskan aku Wiro! Lepaskan!” teriak sang dara 

keras dan meronta-ronta laksana orang gila! 

“Jangan mengambil jalan sesat!” 

“Tak perlu aku hidup lebih lama! Orang yang kukasihi 

telah tiada!” Lengking Permani. “Lepaskan! Biar aku bunuh 

diri Wiro! Lepaskan!” 

Karena Permani adalah seorang gadis yang mendapat 

didikan ilmu silat dari ayahnya maka dengan susah payah 

baru Wiro berhasil menotok tubuhnya hingga dia lemas dan 

disandarkan ke dinding. Suara tangisnya menyayat hati. 

Wiro melepaskan dengan paksa rantai-rantai yang 

mengikat tangan serta kaki Panuluh lalu membaringkan 

pemuda itu di lantai goa. Permani tutupkan kedua 

matanya, tak tahan melihat keadaan kekasihnya itu. 

“Apakah ayahmu yang melakukan kekejaman ini?” 

tanya Wiro. 

“Sokananta! Dia dan orang-orangnyalah yang 

melakukan!” 

“Bangsat itu akan dapat ganjaran dariku kelak!” desis 

Wiro Sableng. Dia memandang ke luar goa. “Masih ada 

waktu untuk menguburkan jenazahnya petang ini sebelum 

senja datang. Apakah kau bisa menahan hati? Kalau tidak, 

aku tak bisa melepaskan totokanmu...” 

Permani tak menjawab. Suara tangisnya memenuhi 

seluruh goa. Wiro Sableng memanggul mayat Panuluh dan 

membawanya ke luar goa. Satu jam kemudian ketika dia 

masuk, Permani masih juga menangis meskipun kedua 

matanya yang seperti bintang timur itu kini telah menjadi 

bengkak. Wiro duduk bersandar di hadapannya, tak 

berkata apa-apa. Kalau sudah letih tentu dia akan hentikansendiri tangisnya, pikir Wiro. 

Senja telah turun dan malampun tiba. Di luar angin 

malam yang dingin merambas masuk ke dalam goa. Wiro 

merasakan perutnya yang sudah lapar menjadi tambah 

perih oleh hembusan angin dingin itu. 

Bila tangis Permani sudah mereda maka Wiro berkata, 

“Aku akan cari makanan buat kita. Kau tunggulah di sini! 

Berteriak keras-keras kalau ada apa-apa!” 

Kemudian Wiro berdiri dan melangkah. Belum lagi dia 

mencapai mulut goa mendadak di luar sana, dalam 

kegelapan malam didengarnya suara semak belukar 

bergesekan dan suara langkah-langkah kaki yang banyak 

sekali. Sesaat kemudian kelihatanlah beberapa sosok 

manusia bergerak ke arah goa. Wiro yang maklum akan 

datangnya bahaya segera menyongsong ke luar goa. Jika 

terjadi pertempuran satu lawan banyak di dalam goa dia 

bisa kepepet! 

Yang datang berjumlah lima belas orang. Orang 

pertama dikenali Wiro adalah bukan lain dari Sokananta, 

kemudian Bogananta, menyusul Manik Tunggul. Yang lain-

lainnya adalah anak-anak murid Perguruan Merapi dan 

Perguruan Garuda Sakti. Semuanya mencekal pedang! 

Ketika Wiro Sableng memandang ke ujung kanan, samar-

samar di kegelapan malam dilihatnya orang yang keenam 

belas! Orang ini tak dikenal dan tak dilihat sebelumnya 

waktu di puncak Gunung Merapi. Tubuhnya gemuk luar 

biasa seperli bola api, lucunya celana panjang dan bajunya 

sangat kecil sekali, hampir-hampir tak dapat menutupi 

tubuhnya yang macam kerbau buntak itu. Manusia 

berkepala botak ini memegang seuntai tasbih di tangan 

kirinya dan mulutnya senantiasa komat-kamit tak bisa 

diam! 

Tiba-tiba Manik Tunggul melangkah besar-besar ke 

hadapan Wiro dan membentak nyaring, “Mana anakku?!” 

Wiro sunggingkan senyum sinis lalu menunjuk pada 

kuburan baru yang tanahnya masih merah. 

“Tanyakanlah pada makam baru itu!”Terkejutlah Manik Tunggul serta yang lain-lainnya. 

“Bangsat rendah! Anakku kau bunuh?!” Manik Tunggul 

menggeram dan sepuluh kuku-kuku tangannya menyambar 

ke muka tapi dielakkan dengan gesit oleh Wiro. 

“Mari kita satai beramai-ramai jahanam ini!” teriak 

Bogananta seraya kiblatkan pedang dan kirimkan satu 

tusukan ke leher Wiro. Sokananta dan dua belas orang 

lainnya segera menyerbu! Empat belas batang pedang 

berserabutan dan sepuluh jari berkuku panjang mencakar 

dengan ganas! Satu-satunya orang yang tak ikut 

menyerang ialah si gemuk pendek yang memegang tasbih. 

Dia memperhatikan saja sambil mulutnya terus berkomat-

kamit! 

“Tahan!” teriak Wiro sambil melompat mundur ke pintu 

goa. 

Tapi yang menyerangnya terus memburu! 

“Sialan! Kalau kalian tak mau hentikan serangan ini 

jangan menyesal!” 

Bogananta dan yang lain-lainnya tak ambil perduli. 

Wiro cabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari 

pinggangnya. 

Wuut! 

Sinar putih menyilaukan menderu, suara laksana ribuan 

tawon menggerung dan empat anak buah Perguruan 

Merapi menjerit roboh mandi darah. Yang lain-lainnya 

tersurut mundur sampai lima langkah! Mereka menjadi 

kecut dan bimbang untuk menyerbu kembali! 

“Manik Tunggul!” kata Wiro dengan suara keras 

sehingga semua orang mendengar. “Anakmu masih hidup. 

Tapi kehancuran hati yang dideritanya membuat nasibnya 

lebih buruk daripada seseorang yang telah mendahu–

luinya!” 

“Kalau masih hidup di mana dia sekarang?” tanya 

Sokananta lantang. 

“Durjana cacingan tak usah buka mulut! Aku tidak 

bicara pada kau!” tukas Wiro. 

Kelamlah paras Sokananta ditelan kemarahan!“Lalu ini kuburan siapa?!” tanya Manik Tunggul. 

“Jangan pura-pura tidak tahu, Manik Tunggul! Masa kau 

lupa pada seorang pemuda bernama Panuluh, yang 

ditawan dan disiksa setengah mati oleh durjana cacingan 

itu lalu disekap di goa ini sampai akhirnya menemui 

kematian dalam cara yang mengerikan?!” 

Kagetlah Manik Tunggul. Dia berpaling pada Sokananta. 

Tapi saat itu Sokananta sudah membentak Wiro 

kembali, “Lekas katakan di mana calon istriku!” 

Wiro tertawa gelak-gelak. 

“Kekasihnya kau tawan, kau siksa sampai mati! Apakah 

kau masih punya muka untuk mengawini gadis itu?!” 

Rahang Sokananta kelihatan terkatup rapat-rapat. 

Manik Tunggul masih memandang pada Sokananta, 

lalu bertanya, “Calon menantuku, apakah yang diucapkan 

bedebah ini betul?!” 

Sokananta tertawa. “Namanya saja manusia bedebah. 

Masa bicaranya bisa dianggap betul? Setelah dia 

melarikan Permani di depan hidung kita apakah bangsat ini 

masih bisa dipercaya?! Dia hendak mengelabuhi kita dan 

mengadu domba kita satu sama lain!” 

Wiro menggerendeng. “Keparat, dosamu sudah lewat 

takaran! Lekas kau dan kambrat-kambratmu angkat kaki 

dari sini! Kalau tidak kau bakal menjadi manusia pertama 

yang bakal kubelah kepalanya sesudah empat krocomu 

itu!” 

“Bangsat rendah! Jangan kira kali ini kau bisa lolos dari 

liang kubur yang telah kau gali sendiri!” Sokananta 

palingkan kepala ke arah laki-laki gemuk yang memegang 

tasbih. “Tasbih Kumala, kau tunggu apalagi?!” 

Manusia gemuk pendek kepala botak menyeringai. 

Mulutnya dalam menyeringai itu masih terus juga ber–

komat-kamit! Sekali dia bergerak, tubuhnya sudah berada 

di samping Sokananta. 

“Inikah tampang manusianya yang kau minta aku untuk 

membereskannya, Soka?” tanya Tasbih Kumala dengan 

mata menyelidik dari atas ke bawah. Sokanantamengangguk. 

Tasbih Kumala tertawa gelak-gelak. Hebat sekali suara 

tertawanya, laksana merobek langit di malam hari itu! 

Tasbih Kumala melirik pada senjata yang di tangan Wiro 

lalu membentak, “Pemuda bau pupuk! Betul kau orangnya 

yang bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?!” 

“Sobat,” sahut Wiro, “melihat kepada gelarmu pastilah 

kau seorang tokoh silat yang ternama. Aku hormati kau. 

Tapi harap jangan ikut campur urusan orang! Karena kau 

tak kuundang untuk datang ke sini, sebaiknya segera 

angkat kaki!” 

“Bapak moyangmu!” bentak Tasbih Kumala, dia 

melangkah ke muka. 

“Tunggu dulu!” seru Manik Tunggul. “Sebelum kita 

mengeremus budak keparat ini, aku harus tahu dulu 

beberapa hal!” 

“Ah, kau hanya menambah panjang umurnya beberapa 

detik saja, Manik Tunggul!” kata Bogananta. 

“Sokananta, betul kau yang menangkap dan menyiksa 

Panuluh, lalu menyekapnya sampai mati di dalam goa 

ini?!” 

Sokananta jadi beringasan! “Kenapa antara kita musti 

berprasangka yang bukan-bukan?!” 

Wiro menengahi, “Manik Tunggul, kau juga ikut ber–

tanggung jawab atas kematian Panuluh! Kau yang 

memaksa anak gadismu untuk kawin dengan jahanam 

cacingan ini! Kau gila nama besar! Kau pengecut kelas 

satu yang mau menjual anak sendiri karena ditekan oleh 

Ketua Perguruan Merapi...” 

“Tutup mulutmu!” teriak Manik Tunggul marah. 

Tiba-tiba Sokananta berteriak beri komando. Maka 

Bogananta, Tasbih Kumala dan anak-anak murid Perguru–

an Merapi segera menyerbu. Manik Tunggul tetap berdiri 

dengan bimbang. Dua orang anak buahnya karena melihat 

Ketua mereka berdiam diri, tidak berani masuk ke dalam 

pertempuran! 

Mendadak dari dalam goa terdengar seruan perem–puan, “Wiro! Wiro! Kaukah yang bertempur itu? Wiro...!” 

Mengenali bahwa itu adalah suara anaknya yang 

ternyata masih hidup, legalah hati Manik Tunggul dan 

pikiran jernih menyeruak di dalam kepalanya kini. Tiba-tiba 

dia melompat ke muka dan berteriak, “Sokananta 

bajingan! Kaulah yang jadi biang racun! Kau harus 

mampus di tanganku!” 

Sepuluh kuku-kuku jari dengan ganas menyambar 

Sokananta! Karena tak diduga akan diserang sehebat itu 

dan secara tiba-tiba oleh calon mertuanya sendiri maka 

Sokananta yang mengeroyok Wiro Sableng tak punya 

kesempatan untuk mengelak!


WIRO SABLENG 

RAHASIA LUKISAN TELANJANG 14

SEKEJAP lagi sepuluh kuku jari Manik Tunggul akan 

mengeremus hancur muka Sokananta, tiba-tiba, 

Wuut! Sebuah pedang menyambar dahsyat ke arah 

kedua lengan Ketua Perguruan Garuda Sakti itu! 

“Manik Tunggul manusia ular kepala dua! Akulah 

lawanmu!” 

Ketika berpaling ke kanan ternyata yang menyam–

pokkan pedang tadi adalah Bogananta! Mendidihlah darah 

di kepala Manik Tunggul! 

“Bogananta keparat! Kau sama saja dengan anakmu!” 

Maka kedua orang itupun bertempurlah satu lawan 

satu dengan hebatnya. Tapi di samping tenaga dalamnya 

lebih rendah dan lawan bersenjatakan pedang pula maka 

lima jurus kemudian Manik Tunggul-pun kena didesak! 

Di lain pihak Wiro yang dikeroyok oleh Sokananta dan 

Tasbih Kumala serta tujuh orang lainnya berkelebat cepat, 

bertahan dengan hebat dan sekali-sekali lancarkan 

serangan balasan yang ganas! Meski dia telah merobohkan 

dua orang anak murid Perguruan Merapi, namun keada–

annya tak bisa dikatakan di atas angin. Sokananta dan 

yang lain-lainnya bukan apa-apa. Tasbih Kumala-lah yang 

tak bisa dianggap remeh! Setiap senjatanya berkelebat, 

satu gelombang angin yang laksana gunung beratnya 

menerpa Pendekar 212! Dapat dibayangkan bagaimana 

jadinya kalau tubuh seseorang kena dilanda oleh tasbih 

sakti itu! 

Dua jeritan terdengar. Dua anak murid Manik Tunggul 

yang ikut mengeroyok Bogananta mandi darah dilanda 

pedang.Pada jurus keenam tadi dalam pertempuran satu lawan 

satu, Manik Tunggul telah didesak hebat oleh Bogananta. 

Kedua anak buahnya turun membantu dalam jurus 

kesembilan mereka kena dihantam Bogananta. Dan kini 

dalam jurus kesepuluh kembali Manik Tunggul didesak 

hebat! 

Pada saat Wiro Sableng berhasil merobohkan lagi dua 

orang pengeroyoknya, maka pada saat itu pula terdengar 

jeritan Manik Tunggul! 

Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan kedua 

tangan memegangi dada yang robek besar dibabat ujung 

pedang. Darah membanjir. Pada saat tubuhnya melingkar 

di tanah, detik itu pula nyawanya lepas! 

“Jahanam!” teriak Pendekar 212. Dari mulutnya 

terdengar suara bentakan menggeledek. Tubuhnya mele–

sat enam tombak ke samping. Kapak Naga Geni 212 

berkiblat memancarkan sinar putih dan menebar suara 

bergaung. 

“Ayah, awas!” teriak Sokananta. 

Bogananta memang sudah melihat datangnya 

sambaran senjata lawan. Dengan cepat dia angsurkan 

pedang mustikanya ke depan untuk menangkis! 

Trang! 

Terdengar suara senjata beradu. Pedang di tangan 

Bogananta patah dan mental. Di kejap itu pula terdengar 

lolongannya macam kerbau disembelih! Batang lehernya 

hampir putus terbabat mata kapak, tubuhnya roboh ke 

tanah! 

Wuut! 

Satu sambaran angin mendera ke arah punggung 

Pendekar 212. Wiro melompat ke muka dan balikkan 

badan, sekaligus kiblatkan kapak. Yang menyerangnya 

ternyata Tasbih Kumala! 

“Manusia-manusia keparat!” kertak Wiro. “Satu nyawa 

Manik Tunggul harus dibayar dengan nyawa kalian semua!” 

Dari mulut Pendekar 212 kemudian terdengarlah 

kumandang suara siulan yang menggidikkan bulu romaJurus-jurus silatnya dengan serta merta berubah total. Tiga 

pekikan terdengar, menyusul kemudian dua pekikan lagi! 

Lima korban terhampar di tanah! 

Kecutlah nyali Tasbih Kumala dan lebih-lebih 

Sokananta. Hanya mereka berdua kini yang masih hidup! 

Dan itupun tak lama. Dua jurus di muka si gemuk pendek 

Tasbih Kumala keluarkan seruan kesakitan. Lengan 

kanannya yang memegang tasbih terbabat buntung. 

Buntungan bersama tasbih mencelat ke udara! Kapak 

Naga Geni 212 berbalik dan, cras! Terpisahlah kepala dan 

badan Tasbih Kumala! 

Lumerlah nyali Sokananta! 

Tanpa tunggu lebih lama pemuda ini balikkan tubuh 

dan ambil langkah seribu! 

“Jahanam cacingan! Kau mau minggat ke mana?! 

Tempatmu toh di neraka!” 

Wiro gerakkan tangan kirinya. Siap untuk lepaskan 

pukulan Sinar Matahari. Tapi dibatalkannya. Sebagai 

gantinya dia lepaskan satu totokan jarak jauh yang ampuh! 

Tak ampun lagi tubuh Sokananta yang lari kencang itu 

mendadak sontak menjadi kaku tegang! 

Permani meratap memeluki mayat ayahnya. Wiro telah 

melepaskan totokan gadis itu. Kegelapan malam, angin 

dingin yang mencucuki tulang-tulang sungsum, tebaran 

mayat di mana-mana serta suara tangis Permani merupa–

kan hal-hal yang tidak enak bagi Wiro Sableng. 

Setelah menunggu beberapa lamanya Wiro kemudian 

berkata, “Tak ada gunanya tangis itu, Permani. Tak ada 

gunanya membuang-buang air mata lebih banyak! Kejadian 

begini sudah ditakdirkan menjadi nasibmu oleh Yang 

Kuasa. Masuklah ke dalam goa...” 

Gadis itu sadar. Perlahan-lahan dia berdiri dan menyeka 

kedua matanya. Setindak dia hendak melangkah ke mulut 

goa, pandangannya membentur Sokananta yang tegak 

kaku akibat totokan Wiro. Maka menggemuruhlah amarah 

Permani. Dengan segera dia mencabut sebilah keris yang 

tersisip di pinggang ayahnya dan berlari ke arah Sokanantaseraya berteriak, “Bangsat! Kaulah yang jadi biang racun 

segala-galanya!” 

“Permani!” seru Sokananta dengan keras tapi gemetar. 

“Ampunilah selembar nyawaku ini.” 

“Ini ampun untukmu!” teriak Permani garang dan keris 

bereluk tujuh di tangan kanannya dihunjamkannya keras-

keras ke dada pemuda itu. 

Sekejap lagi ujung keris akan menembus dada 

Sokananta, sebuah tangan yang kuat mencekal lengan 

Permani! 

“Lepaskan tanganku!” teriak si gadis kalap. 

Karena Permani seorang yang mempelajari ilmu silat 

serta memiliki tenaga dalam yang cukup ampuh agak 

sukar juga bagi Wiro menahan gadis itu. 

“Dengar Permani! Kematian dengan tusukan keris 

seperti ini terlalu enak baginya!” kata Wiro. “Bangsat ini 

musti diberi ganjaran yang setimpal...!” 

Gelora amarah Permani menyurut. Dua bola matanya 

memandang besar-besar ke arah Wiro. Dan dia kemudian 

maklum apa yang dikatakan Wiro adalah benar. Dilempar–

kannya keris di tangan kanan. Lalu dijambaknya rambut 

Sokananta dan diseretnya ke dalam goa. Dengan rantai-

rantai besi yang dulu pernah mengikat Panuluh, Permani 

membelenggu kedua tangan dan kaki Sokananta. 

“Permani, kau mau bikin apa...?!” tanya Sokananta. 

Keringat dingin membasahi sekujur badannya. 

Gadis itu tak menjawab. Dia lari ke luar goa. Sewaktu 

masuk lagi di tangannya ada seutas akar gantung 

sepanjang satu setengah tombak. Permani putar-putarkan 

akar gantung itu di atas kepalanya. 

“Permani...” 

Suara seruan Sokananta putus dilanda bunyi akar 

gantung yang mendera dadanya. Pakaiannya yang bagus 

robek, kulit dadanya tergurat lecet dan berdarah! Puluhan 

kali di dalam goa itu terdengar suara cambukan-cambukan 

yang dahsyat! Sokananta telah lama pingsan. Parasnya 

hancur tak dapat dikenali lagi dan bergelimang darah.Pakaiannya robek-robek, sekujur kulit badannya pecah-

pecah bermandi keringat dan darah! 

Bila matahari mulai naik di pagi keesokannya, maka di 

depan mulut goa itu kelihatan sebuah kuburan baru lagi. 

Kuburan Manik Tunggul yang berdampingan dengan 

kuburan Panuluh. Di bagian kepala kedua kuburan itu 

diletakkan dua buah batu besar dan pada batu itu dengan 

dua ujung jari-jari tangannya Wiro telah menggurat nama 

kedua orang itu. 

“Kau akan kembali ke kota?” tanya Wiro Sableng yang 

berdiri di samping Permani dan tengah memandangi dua 

kuburan bertanah merah itu. 

Si gadis gelengkan kepalanya. 

“Memang tak ada gunanya ke Paritsala. Lebih baik 

terus langsung pulang ke kota kediamanmu...” 

“Tidak, aku tak akan kembali pulang.” 

Wiro kernyitkan kening. “Lalu...?” 

“Aku akan tinggal di sini. Akan bertapa di goa...” 

Wiro hendak tertawa tapi tak jadi. Dia berkata, “Ibumu 

akan susah bila kau tak kembali...” 

“Setelah ayah meninggal, aku cuma sebatang kara di 

dunia ini...” 

“Jadi ibumu juga sudah meninggal?” 

Permani mengangguk. 

“Kau tak punya kerabat atau saudara?” 

“Tidak...” 

“Tapi hendak bertapa dalam umur semudamu ini betul-

betul belum masanya, Permani. Kau menyia-nyiakan masa 

mudamu dan juga masa depanmu!” 

“Masa muda dan masa depanku tak ada lagi sejak 

orang yang kucintai masuk di bawah tumpukan tanah 

merah itu...” sahut Permani dan butir-butir air mata ber–

jatuhan melewati kelopak kedua matanya. 

Wiro Sableng menghela nafas. Sungguh sayang dara 

secantik ini memutuskan untuk jadi pertapa. Tapi bagai–

mana dia bisa melarang? Diam-diam diperhatikannya 

paras Permani dari samping dan ketika gadis itu memutarkepala ke arahnya, pandangan mereka saling beradu untuk 

beberapa lamanya. 

“Dunianya Panuluh berakhir sampai di tempat ini, 

Wiro,” bisik Permani. “Aku akan tinggal di sini sampai 

akhirnya nanti pada suatu ketika duniaku pun akan 

berakhir pula di sini, di hadapan kuburnya...” 

Wiro Sableng merasa terharu sekali. Betapa agungnya 

nilai-nilai cinta sejati, pikir pemuda ini. 

“Di samping bertapa, aku akan memperdalam ilmu silat 

yang pernah diwariskan ayah...” 

“Itu sudah semestinya...” kata Wiro perlahan. Hatinya 

tetap menyayangkan keputusan gadis itu untuk tinggal di 

goa itu dan bertapa sekalipun sambil memperdalam ilmu 

silatnya. 

“Dunia ini penuh dengan orang-orang jahat. Setiap 

kejahatan kadangkala dibarengi dengan ilmu yang tinggi-

tinggi. Aku khawatir tinggal di sini kau bakal menemui 

nasib buruk...” 

Permani menatap paras pemuda itu sebentar lalu 

tundukkan kepalanya dan untuk beberapa lamanya 

suasana diliputi kesunyian. 

“Aku akan mencuci tangan di anak sungai tak jauh dari 

sini. Sebentar aku kembali...” kata Wiro.


WIRO SABLENG 

RAHASIA LUKISAN TELANJANG 15

KETIKA berjalan kembali ke goa sehabis member–

sihkan tangan dan beberapa bagian tubuhnya Wiro 

tersentak kaget. Telinganya yang tajam mendengar 

suara ribut-ribut seperti suara orang berkelahi yang 

diselingi suara tertawa gelak-gelak! Tanpa membuang 

waktu dia berlari cepat. Begitu sampai di depan goa, 

terkejutlah murid Eyang Sinto Gendeng ini! 

Dilihatnya Permani tengah bertempur melawan seorang 

laki-laki berjubah kuning yang tangannya cuma satu. Sebe–

narnya tak bisa dikatakan pertempuran. Lebih tepat kalau 

dikatakan bahwa Si Jubah Kuning bertangan buntung itu 

tengah mempermain-mainkan Permani serta kurang ajar 

dan sambil tertawa-tawa. Setiap kali dia bergerak tangan 

kanannya meraba ke bagian-bagian tubuh Permani yang 

terlarang hingga gadis ini mengamuk penuh amarah. Tapi 

semua serangannya luput! 

Tak jauh dari tempat terjadinya perkelahian tegak 

berdiri orang kedua, juga berjubah kuning dan cuma punya 

satu mata alias picak! Dia menyaksikan perkelahian itu 

dengan gelak tawa gembira. 

“Ayo Sumplung! Robek saja pakaiannyal Biar mataku 

yang cuma satu ini bisa lihat kebagusan tubuhnya! Ah...! 

Sudah lama mataku tak melihat tubuh telanjang! Ha... ha... 

ha!” 

Di samping si mata picak ini, tersandar ke sebatang 

pohon, kelihatan sebuah lukisan perempuan telanjang. 

Lukisan itu sudah agak kotor dan kayu pigura bagian 

bawahnya ada bekas sambungan! Seperti kawannya, 

diapun memelihara berewok. Kalau tadi Wiro sudahdemikian terkejutnya melihat pertempuran antara Permani 

dan si tangan buntung maka melihat lukisan telanjang itu 

puluhan kali dia lebih terkejut! 

Tak bisa tidak kedua manusia berjubah kuning ini 

adalah Sepasang Elmaut Kuning yang telah membunuh Si 

Pelukis Aneh dan mencuri lukisan perempuan telanjang itu! 

Ditambah dengan menyaksikan apa yang diperbuat si 

tangan buntung terhadap Permani maka menggemuruhlah 

amarah Wiro Sableng. 

“Iblis-iblis kesasar! Dicari-cari tidak ketemu! Sekarang 

tahu-tahu kalian muncul di depan hidungku!” Serentak 

dengan itu Wiro Sableng segera melompat ke hadapan si 

tangan buntung! 

Kedua manusia berjubah kuning itu memang bukan lain 

dari Sepasang Elmaut Kuning adanya. Bagaimana mereka 

bisa sampai ke tempat itu? 

Seperti telah diceritakan sebelumnya, mereka diam di 

sebuah goa yang terletak di lembah berbatu-batu. Karena 

sebegitu jauh mereka belum juga bisa membongkar 

rahasia yang tersembunyi di dalam lukisan perempuan 

telanjang maka keduanya akhirnya memutuskan untuk 

pergi ke kampung tempat kediaman calon murid Si Pelukis 

Aneh yaitu Wira Prakarsa. Mereka menduga anak itu pasti 

mengetahui rahasia tersebut dan kemudian memaksanya 

untuk memberi keterangan! Di samping itu, diam lama-

lama di lembah batu sudah terasa tidak aman bagi 

Sepasang Elmaut Kuning. Anak-anak murid Perguruan 

Seberang Kidul dan Si Katai Bisu telah mengetahui tempat 

persembunyian mereka tersebut. Meski orang-orang itu 

telah berhasil mereka kirim ke akhirat namun bukan tak 

mustahil banyak lagi tokoh-tokoh silat akan mendatangi 

mereka untuk menuntut balas ataupun mencuri lukisan 

yang ada di tangan mereka. Maka keduanyapun berang–

katlah meninggalkan lembah batu. Dalam perjalanan 

mereka melewati tempat di mana Permani berada dan 

yang saat itu tengah berdiri di depan makam Panuluh dan 

ayahnya. Melihat gadis cantik di tengah daerah liar begiturupa, tentu saja Sepasang Elmaut Kuning jadi tertarik. 

Nafsu bejat merangsang keduanya dan Elmaut Kuning 

Kuping Sumplung ‘turun tangan’ lebih dulu hingga akhirnya 

terjadilah pertempuran! 

Sepasang Elmaut Kuning bukan kepalang terkejut 

mereka sewaktu mendengar bentak memaki Wiro Sableng. 

Lebih-lebih Kuping Sumplung yang saat itu tengah 

menjamahi tubuh Permani sambil tertawa mengekeh! Dia 

dengan cepat menyurut mundur sewaktu merasa satu 

angin mendorongnya dengan hebat hingga kalau saja dia 

tidak lekas-lekas kerahkan tenaga dalamnya pastilah akan 

dibuat mencelat mental! 

“Pemuda gondrong hina dina!” bentak Kuping 

Sumplung. “Siapa kau?!” 

“Kau dan kambratmu yang bermata satu itu pastilah 

Sepasang Elmaut Kuning!” 

“Hem... matamu cukup tajam untuk mengenali kami. 

Lekas terangkan siapa kau dan apakah mau mencari 

mampus sengaja membuat kericuhan di sini?!” 

Wiro tertawa mengejek. “Mataku bukan cuma cukup 

tajam mengenali tampang-tampang kalian, tapi juga 

mengetahui bahwa kalianlah bangsat-bangsatnya yang 

telah membunuh Si Pelukis Aneh lalu melarikan lukisan 

perempuan telanjang itu! Dan kini kau yang berkuping 

sumplung bertangan buntung berani bikin kurang ajar 

terhadap kawanku!” 

“Ho... ho, jadi kau adalah kawannya si cantik ini?! Kalau 

begitu biar kau kubikin mampus lebih dulu agar kami 

berdua tak banyak rintangan untuk menikmati tubuhnya 

nanti!” 

Elmaut Kuning Kuping Sumplung tutup ucapannya 

dengan serangan tangan kanan yang hebat dan ber–

kekuatan sepertiga tenaga dalamnya. Satu kali pukul dia 

berharap akan dapat membuat pemuda itu menemui 

ajalnya, sekurang-kurangnya luka parah dan cacat seumur 

hidup! 

Tapi bukan main kejut Kuping Sumplung ketika melihatbagaimana pemuda itu bukan saja berhasil 

mengelakkannya tapi juga ganti membalas dengan satu 

serangan yang ganas! 

Elmaut Kuning Kuping Sumplung melompat ke 

samping. Tangan kanannya kirimkan jotosan angin keras 

sedang kaki kanan serentak dengan itu menendang ke 

pinggang. Inilah jurus yang dinamakan Dua Palu Sakti 

Melanda Mega. Angin serangannya saja hebatnya bukan 

olah-olah! 

Pendekar 212 Wiro Sableng melompat satu setengah 

tombak ke udara. Tendangan maut lawan lewat, sebaliknya 

dengan tangan kirinya Wiro sengaja memapasi lengan 

lawan. Elmaut Kuning Kuping Sumplung kertakkan rahang! 

Seluruh tenaga dalamnya dialirkan ke tangan kanan! 

Sebagai seorang tokoh silat yang ditakuti di delapan 

penjuru angin, Kuping Sumplung merasa bahwa tenaga 

dalamnya jauh lebih tinggi dari lawan. Dia sengaja 

mengambil keputusan untuk bentrokan lengan dengan 

lengan dan memastikan lengan lawannya akan patah! Di 

lain pihak memang bentrokan inilah yang dikehendaki Wiro 

Sableng! 

Sekejap kemudian lengan kedua orang yang bertempur 

itupun beradu! 

Wiro Sableng mengerenyit. Lengannya tergetar sakit. 

Kulitnya keriputan dengan serta merta. Sebaliknya dari 

mulut Elmaut Kuning Kuping Sumplung terdengar suara 

pekik setinggi langit. 

Dia melompat dua tombak ke belakang. Lengannya 

yang beradu kelihatan terkulai bergoyang-goyang! Ternyata 

tulang lengannya telah patah! Untung daging lengan itu 

hanya sebagian saja yang hancur, kalau tidak pasti di saat 

itu juga lengan kanan Kuping Sumplung akan putus dua! 

Namun demikian keadaan Kuping Sumplung adalah parah 

sekali! Tak mungkin baginya untuk meneruskan pertem–

puran! Bahkan mungkin lengannya itu tak bisa diper–

gunakan lagi untuk selama-lamanya! Dengan menggigit 

bibir menahan rasa sakit, Kuping Sumplung totok beberapadi pangkal bahunya. Rasa sakitpun hilang. 

Melihat kambratnya dibikin demikian rupa marahlah 

Elmaut Kuning Mata Picak! Berewoknya meranggas kaku 

karena luapan amarah itu! Di samping marah dia juga 

terkejut karena tidak menyangka bahwa pemuda 

bertampang tolol itu berkepandaian sedemikian tingginya! 

Dengan langkah-langkah besar Mata Picak maju ke 

hadapan Pendekar 212 Wiro Sableng! 

“Budak anjing hina dina!” bentaknya, “Aku tak begitu 

senang membunuh manusia yang aku tidak tahu siapa 

adanya! Lekas terangkan namamu!” 

Wiro tertawa bergelak dan bertolak pinggang. “Bicara–

mu keren sekali, Mata Picak,” sahut Wiro. Dia melirik pada 

Elmaut Kuning Kuping Sumplung yang duduk menjelepok 

di tanah sambil berusaha mengobati lengannya yang 

patah. “Namaku kau tak perlu tahu. Tapi apakah kau kenal 

dengan tiga buah angka ini?!” Habis berkata begitu Wiro 

pukulkan telapak tangan kanannya ke arah dada Mata 

Picak. Selarik angin menyambar panas! 

“Kurang ajar!” maki Mata Picak seraya menyingkir ke 

samping. Dia terkejut ketika mendengar suara jeritan di 

belakangnya. Sewaktu berpaling dilihatnya Kuping Sum–

plung yang menjelepok di tanah terjerongkang ke 

belakang, menggeletak di tanah tanpa bergerak lagi! Dan 

di keningnya yang saat itu menjadi hitam jelas kelihatan 

tiga buah angka putih 212! 

Tergetarlah hati Elmaut Kuning Mata Picak! Sejak 

hampir satu tahun belakangan ini dia telah mendengar 

tentang munculnya seorang pendekar yang berjuluk Pen–

dekar Kapak Maut Naga Geni 212! Belasan tokoh silat 

golongan hitam menemui ajal di tangannya! Bahkan 

banyak pula partai-partai silat yang hancur diobrak-abrik 

Pendekar 212! Pendekar itu sudah merupakan momok 

paling ditakuti oleh tokoh-tokoh silat golongan hitam. Dan 

kini tiada dinyana dia sendiri berhadap-hadapan dengan 

Pendekar 212 itu! Lebih tidak dinyana lagi ialah bahwa 

Pendekar 212 itu adalah seorang pemuda belia bertampang tolol! Dan telah merampas jiwa kawannya, di 

depan mata kepalanya sendiri! 

Mata Picak yang berotak cerdik dan tahu bahwa 

pemuda itu bukan lawan enteng serta mengkhawatirkan 

pula akan lukisan perempuan telanjang, sambil tertawa 

dan berbatuk-batuk berkata, “Ah... ah... dengan seorang 

gagah! Nama besarmu sudah sejak lama kudengar, 

Pendekar 212!” Lalu dengan rangkapkan tangan di muka 

dada dia meneruskan, “Sebenarnya antara kita tak ada 

permusuhan, tak ada silang sengketa bahkan di hari ini 

baru bertemu muka. Gerangan apakah yang membuatmu 

sampai demikian tega merampas nyawa sahabatku?!” 

Wiro tertawa gelak-gelak. 

“Kalau tak ada hujan masakan ada geledek!” kata Wiro. 

“Kambratmu itu telah berani berlaku kurang ajar terhadap 

sahabatku...” 

“Hem...,” Mata Picak menggumam dan tarik nafas 

panjang. “Sahabatku itu memang ceriwis dan tak boleh 

lihat perempuan cantik! Tapi kurasa dia sudah menebus 

kekurangajarannya itu dengan nyawanya sendiri? Sekarang 

antara kita tak ada apa-apa lagi. Aku akan pergi dan di lain 

hari kuharap bisa bertemu dengan kau lagi!” 

“Mana bisa kau pergi seenaknya!” 

Terkejutlah Mata Picak mendengar ucapan Wiro. “Kau 

telah membunuh Si Pelukis Aneh dan mencuri lukisan yang 

tersandar di pohon itu! Untuk itu kau patut menerima 

hukuman!” 

Paras Mata Picak berubah membesi. 

“Agaknya kau punya sangkut paut dan hubungan 

tertentu dengan Si Pelukis Aneh...” 

“Ada hubungan atau tidak, kau tak usah ambil perduli. 

Yang penting kau musti serahkan lukisan itu kepadaku! 

Sedang sebagai hukuman karena telah membunuh Si 

Pelukis Aneh, kau harus cungkil biji matamu yang tinggal 

satu itu!” 

Elmaut Kuning Mata Picak tertawa terbahak-bahak. 

“Aku sudah relakan kematian sobatku. Sekarang kau minta barang yang bukan milikmu. Menyuruh aku mencungkil 

mataku sendiri! Sungguh keterlaluan! Nama besarmu 

terpaksa kulenyapkan dari muka bumi hari ini juga!” 

Begitu selesai bicara Mata Picak menggembor dan 

menerjang ke muka. Dalam sekejap saja kedua orang ini 

sudah terlibat dalam satu pertempuran dahsyat. Gerakan 

Mata Picak hebat sekali, tubuhnya lenyap. Hanya bayangan 

sinar kuning jubahnya saja yang kelihatan menelikung 

mengurung tubuh Pendekar 212! 

Di lain pihak begitu diserang lawan Wiro segera maklum 

bahwa Mata Picak ilmu silat dan kesaktiannya lebih tinggi 

dari Kuping Sumplung. Karenanya dengan berhati-hati Wiro 

melayani lawannya ini. Dalam tempo yang singkat sepuluh 

jurus sudah berlalu! 

Elmaut Kuning Mata Picak membentak nyaring dan 

tukar permainan silatnya dengan jurus-jurus yang disebut 

Elmaut Menggila. Untuk lima jurus lamanya Wiro Sableng 

bertahan mati-matian. Lima jurus kemudian Pendekar 212 

mulai terdesak! Sambil keluarkan suara bersiul Wiro per–

cepat gerakannya tapi dia terkejut ketika di sekelilingnya 

terdengar suara, wutt... wutt... wutt... wutt! Selarik sinar 

hijau melingkarinya dan mengeluarkan angin dingin yang 

menyembilu sekujur tubuh Pendekar 212! 

Wiro tak tahu senjata apa yang di tangan lawan, karena 

gerakan yang dibuat Mata Picak sangat cepat luar biasa! 

Dalam pada itu detik demi detik kekuatan tubuhnya sema–

kin mengendur sedang setiap serangannya senantiasa 

terbendung oleh lingkaran sinar hijau! 

Breet! 

Wiro merasa dadanya laksana dipalu! Dia melompat 

mundur. Parasnya berubah. Pakaian putih di bagian dada–

nya robek besar. Belum sempat dia berbuat sesuatu apa, 

tiba-tiba Mata Picak sudah menyerangnya lagi. Meski 

sekilas tapi Wiro berhasil melihat senjata-senjata di tangan 

lawannya. Senjata itu ternyata adalah sebuah kebutan 

yang terbuat dari bulu-bulu halus berwarna hijau! 

Wuuut!Kebutan itu menderu lagi dengan hebatnya. 

Dua tiga kali Wiro lepaskan pukulan yang mengandung 

tenaga dalam hebat tapi senjata sakti di tangan lawan 

benar-benar mematikan dan membuyarkan pukulan-puku–

lan tangguhnya itu. Wiro mulai memaki-maki dalam hati. 

Suara siulan mengumandang aneh dari sela bibirnya! 

Tangan kanan menyelinap datar kian kemari. Tiba-tiba jari-

jari tangan itu telah berubah menjadi putih dan kuku-

kukunya laksana kilauan perak mendidih! 

“Mata Picak ayo tangkis pukulan Sinar Matahari-ku ini!” 

teriak Wiro Sableng. 

Mendengar nama pukulan itu, Elmaut Kuning Mata 

Picak lipat gandakan tenaga dalamnya dan mendahului 

menyerang. Tapi di saat itu pula Wiro sudah turunkan 

tangan kanannya! 

Wuss! 

Mata Picak terpekik! 

Kebutan di tangannya mental dan hancur bertaburan 

sedang tangan kanannya hangus hitam laksana terbakar! 

Buru-buru manusia ini alirkan tenaga dalamnya ke tangan 

yang terluka, telan sebutir pil dan atur jalan darah! Untuk 

menolak racun pukulan dia kemudian menotok urat besar 

di bahunya! 

Diam-diam Wiro memuji kehebatan daya tahan manusia 

ini. Seseorang yang tersambar pukulan Sinar Matahari

biasanya tak ada ampun lagi, pasti akan menggeletak mati! 

“Anjing hina dina! Bersiaplah untuk mampus!” teriak 

Mata Picak. Mulutnya berkomat-kamit, kedua tangan 

diangkat ke atas dan memancarkan sinar kekuning-

kuningan. Melihat ini Wiro segera cabut Kapak Maut Naga 

Geni 212. 

Lalu Elmaut Kuning Mata Picak pukulkan kedua 

tangannya ke muka. Terdengar suara menderu laksana 

topan prahara. Dua gelombang sinar kuning melesat. 

Puluhan Paku Emas Beracun bertaburan menyambar ke 

arah tubuh Pendekar 212 Wiro Sableng! 

Kapak Naga Geni 212 berkiblat membuat gerakansetengah lingkaran! Sinar putih menyilaukan menggebu ke 

muka memapasi dua gelombang sinar kuning yang 

melesatkan puluhan paku-paku emas beracun. Laksana 

daun kering dihembus angin puting beliung demikianlah 

bermentalannya senjata rahasia sakti Elmaut Kuning Mata 

Picak itu! 

Mata Picak tersirat kaget. Mukanya pucat laksana 

mayat! Selama sepuluh tahun ini tak satu kekuatan 

lawanpun yang sanggup menumbangkan pukulan Paku 

Emas Beracunnya itu demikian hebatnya! Apalagi serangan 

itu tadi dengan mengerahkan seluruh tenaga dalamnya! 

Melihat ini dan memaklumi bahwa naga-naganya dia 

akan mencari penyakit jika meneruskan pertempuran 

maka tak ayal lagi Mata Picak segera melompat mundur, 

menyambar lukisan perempuan telanjang dan larikan diri 

dengan cepat! 

“Hai! Jalan ke neraka bukan ke situ Mata Picak!” seru 

Wiro Sableng. Dia mengejar dengan sebat. Enam langkah 

di belakang lawan Wiro buat gerakan Burung Walet 

Menembus Awan. Tubuhnya melesat di udara dan ketika 

turun tahu-tahu sudah menghadang larinya Mata Picak! 

“Keparat! Mampuslah!” hardik Mata Picak dan 

lepaskan pukulan Paku Emas Beracun dengan tangan 

kirinya! 

Tapi sekali ini dia terlambat! Belum lagi paku-paku itu 

berlesatan, Kapak Naga Geni 212 sudah membabat dan, 

cras! Putuslah lengan kiri Mata Picak! Manusia ini meraung 

kesakitan. Tubuhnya terasa panas. Dari buntungan 

tangannya mengalir hawa aneh yang menggidikkan bulu 

kuduknya. Pasti racun Kapak Naga Geni 212 telah mulai 

menggerayangi tubuhnya! Dengan kalap Mata Picak 

hantamkan lukisan perempuan telanjang ke kepala Wiro 

Sableng. 

Wiro menangkis. 

Braak! 

Kayu lukisan itu hancur berantakan. Bagian bawah dari 

lukisan robek sepanjang setengah jengkal!a Picak makin penasaran dan kirimkan satu 

tendangan kilat ke bawah perut lawan! Kapak Naga Geni 

menderu turun. 

Untuk kedua kalinya terdengar suara cras! 

Untuk kedua kalinya pula terdengar raungan Mata 

Picak. Betisnya telah terbabat putus. Tak ampun lagi 

tubuhnya tergelimpang ke tanah. Beberapa saat lamanya 

dia menggelepar-gelepar macam ikan meregang nyawa. 

Kemudian tubuhnya tak bergerak lagi tanda rohnya 

melayang sudah! 

Wiro Sableng usap-usap lengannya yang dihantam 

pigura lukisan. Lengan itu lecet dan bengkak, tapi tidak 

mengkhawatirkan. Diambilnya lukisan yang terhampar di 

tanah dan kembali ke depan goa. 

Permani tak kelihatan di situ. Tentu di dalam goa, pikir 

Wiro. Dia masuk ke dalam. Tapi sang dara juga tak 

kelihatan. Diperhatikannya Sokananta yang terbelenggu di 

dinding. Sekujur tubuhnya bergelimang darah. Mukanya 

hancur. Ketika didekati dan diperhatikan oleh Wiro, 

ternyata manusia itu sudah tak bernafas lagi! Pembalasan 

yang setimpal telah didapatnya! 

Wiro keluar dari goa dan berseru memanggil Permani. 

Tak ada jawaban. Dia memandang kian kemari. Pada saat 

itulah dilihatnya sederet tulisan di atas tanah. Wiro terkejut 

dan membacanya: “Permani berjodoh untuk jadi muridku, 

pengganti Anggini. Sampai jumpa, Dewa Tuak.”

Membaca tulisan di atas tanah itu, legalah hati Wiro 

Sableng. Dia bersyukur Dewa Tuak melakukan hal itu. 

Bukan saja Permani kelak bakal mendapat pelajaran ilmu 

silat dan ilmu kesaktian yang tinggi, tapi yang lebih penting 

bagi Wiro ialah bahwa gadis itu tak jadi meneruskan 

niatnya untuk hidup sebagai pertapa! 

Wiro mendongak ke langit. Matahari telah tinggi, hampir 

mencapai titik kulminasinya. Wiro kemudian memper–

hatikan lukisan di tangan kirinya. Kayu piguranya telah 

hancur bagian bawah. Wiro berpikir, apakah perlu dia 

memperbaiki kayu pigura yang hancur itu dan menjahitbagian lukisan yang robek, kemudian baru membawanya 

ke tempat kediaman Wira Prakarsa, calon murid Si Pelukis 

Aneh itu? Dia menimbang-nimbang. Lukisan itu selama dua 

bulan belakangan ini telah diperebutkan oleh belasan 

tokoh silat dan beberapa buah partai serta perguruan. 

Membawanya secara terang-terangan pastilah akan 

mencari kesulitan karena lukisan diincar oleh hampir 

semua tokoh-tokoh silat, terutama mereka dari golongan 

hitam! Pendekar 212 garuk-garuk kepala. 

Akhirnya Wiro Sableng mendapat akal. Dibukanya 

keempat sisi kayu pigura lukisan itu satu demi satu. 

Dengan menggulung lukisan itu dan menyimpannya di balik 

pakaian pasti akan aman dalam perjalanan. Ketika kayu 

pigura sudah dilepaskan, ketika Wiro hendak menggulung 

lukisan itu, jari-jari tangannya merasakan kain lukisan itu 

bergeser-geser. Diperhatikannya dengan teliti. Ternyata di 

bawah kain lukisan perempuan telanjang itu, terdapat lagi 

sebuah kain lain yang putih bersih. Tentunya ini sebagai 

alas saja pikir Wiro. Tapi tak sengaja tiba-tiba kain putih di 

bagian bawah itu menjulai ke bawah dan tersingkap. 

Terkesiaplah Wiro Sableng sewaktu melihat bagian 

pada kain yang disangkanya cuma sebagai alas itu ternyata 

terdapat tulisan-tulisan banyak sekali dan juga gambar-

gambar orang bermain silat! Dan ketika diteliti ternyata 

semua tulisan dan gambar-gambar itu adalah sebuah ilmu 

silat aneh yang mengandung jurus-jurus luar biasa 

hebatnya! 

Wiro geleng-gelengkan kepala. Rupanya inilah rahasia 

besar yang disembunyikan Si Pelukis Aneh dalam lukisan 

perempuan telanjang itu. Pantas saja Si Pelukis Aneh tak 

mau menjualnya tempo hari pada Adipati Pamekasan 

meskipun sudah ditawar duaratus ringgit. Sungguh cerdik 

sekali orang tua itu menyembunyikan ilmu silat yang 

hendak diwariskannya pada calon muridnya! Wiro meneliti 

lagi pelajaran silat yang tertulis di kain putih itu. Si Pelukis 

Aneh menamakan ilmu silatnya itu Ilmu Silat Selusin Jurus 

Aneh. Sesuai dengan namanya, maka seluruh pelajaranberjumlah dua belas jurus tapi bisa dipecah-pecah sampai 

puluhan anak jurus! Wiro harus mengakui kehebatan ilmu 

silat yang ditulis oleh Si Pelukis Aneh itu. Tak dapat tidak, 

siapa yang mempelajarinya pasti akan menjadi seorang 

tokoh besar yang dikagumi dalam dunia persilatan! 

Sebagai seorang pendekar berhati polos jujur, Wiro tak 

mau mencuri mempelajari ilmu silat itu. Perlahan-lahan 

digulungnya kedua kain itu sekaligus. Sesaat kemudian 

diapun sudah berlalu dari situ. 


TAMAT

Share:

0 comments:

Posting Komentar