..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 29 Juni 2024

WIRO SABLENG EPISODE BETINA PENGHISAP DARAH

Betina Penghisap Darah



Betina Penghisap Darah 



DUA ORANG penunggang kuda itu menuruni lembah Batusilang dengan cepat. Di sebelah 

depan adalah seorang lelaki berdestar hitam, berpakaian sederhana dan berusia sekitar 40 tahun. 

Di belakangnya mengikuti lelaki muda berpakaian bagus yang di kepalanya ada topi tinggi 

berwarna merah dengan pinggiran kuning, emas, pertanda dia adalah seorang berpangkat. 

Dua kuda tunggangan melewati sebuah telaga kecil dan akhirnya sampai di hadapan sebuah 

rumah berdinding kayu beratap rumbia. 

"Ini tempatnya," kata lelaki berdestar hitam seraya hentikan kudanya. Lalu dia melompat 

turun sementara yang satu lagi memandang berkeliling dan tetap di atas punggung kudanya. 

Orang berdestar melangkah menuju pintu rumah dan mendorong daun pintu yang ternyata tidak 

dikunci. Terdengar suara berkereketan. Orang itu masuk ke dalam. Tak lama kemudian dia keluar 

lagi. 

"Rumah ini kosong. Dia masih belum datang rupanya." 

Orang berpakaian bagus di atas kuda mengangguk. Dia memandang lagi berkeliling. "Kalau 

memang belum datang aku bisa menunggu, Turangga. Sekalian kita bisa istirahat. Yang aku 

kawatirkan dia benar-benar tidak datang. Kau tertipu, aku tertipu!" 

"Saya yakin dia pasti datang Tumenggung Purboyo. Silahkan Tumenggung turun dan masuk 

ke dalam. Menunggu sambil istirahat." 

Orang yang dipanggil dengan sebutan Tumenggung itu turun dari kudanya. Dia melangkah 

ke pintu hendak masuk ke dalam rumah. Namun langkahnya tertahan karena saat itu di bibir 

lembah terdengar suara ringkik kuda. Tumnggung Purboyo dan Turangga berpaling, memandang 

ke arah Timur lembah Batusilang. Di kejauhan kelihatan seekor kuda putih berlari menuruni 

lembah. Penunggarignya seorang berpakaian ungu. 

"Ia datang Tumenggung." kata Turangga gembira."Hemm..." bergumam Tumenggung Purboyo. Wajahnya juga tampak berseri. "Dia 

menepati janji. Tidak sia-sia kita meninggalkan Kotaraja jauh-jauh sampai di sini." 

"Tadipun saya sudah bilang. Dia pasti datang." 

"Sekali lagi aku ingatkan padamu Turangga. Jaga rahasia ini baik-baik. Tidak satu orangpun 

boleh tahu. Kedua orang tuaku. Orang-orang Istana, apalagi tunangan dan calon mertuaku! Kalau 

kejadiari ini sampai bocor, aku cuma ingin membunuh satu orang. Kau!" 

Turangga menyeringai. "Saya sudah mengabdi lebih dari dua puluh tahun pada keluarga 

Tumenggung. Masakan saya hendak membocorkan rahasia? Dulupun saya pernah muda 

Tumenggung." 

Penunggang kuda yang datang dari arah Timur lembah itu semakin dekat. Tumenggung 

Purboyo mengangkat kepalanya sedikit. "Hemm... Orangnya masih jauh. Tapi bau 

wewangiannya sudah tercium sampai ke sini." 

Turangga ikut-ikutan menengadahkan kepala dan menghirup dalam-dalam. Memang benar. 

Dia juga dapat mencium wanginya tubuh orang yang datang itu. 

Kuda putih akhirnya sampai di depan rumah dan berhenti di hadapan kedua lelaki itu. 

Tumenggung Purboyo terkesiap untuk beberapa saat lamanya. "Turangga tidak berdusta. Gadis 

ini benar-benar luar biasa. Tak pernah aku melihat dara secantik ini. Ah, kalau saja aku belum 

bertunangan pasti aku tak akan ragu mengambilnya sebagai istri!" begitu Tumenggung ini 

membatin. 

Di sana, di atas kuda putih duduk seorang dara berwajah cantik sekali. Tubuhnya yang putih 

mulus terbungkus oleh pakaian berwarna ungu. Rambutnya yang panjang berhias sebuah pita 

juga berwarna ungu. Lalu pada lehernya melingkar sehelai selendang lagi-lagi berwarna ungu. 

Sepasang mata sang Tumenggung tak berkesip memperhatikan dara itu mulai dari kepala sampai 

ke kaki. 

Sadar kalau dia membuat orang menunggu lama, Tumenggung Purboyo membuka topinya 

dan memberi penghormatan dengan menganggukkan kepala. 

"Maafkan, saya sampai lupa mempersilahkan turun dan masuk ke dalam rumah."Dara di atas kuda tersenyum. Senyumannya seperti panah asmara yang datang menyambar 

membuat Tumenggung Purboyo tambah blingsatan sementara Turangga tertegak sambil 

membasahi bibirnya dengan ujung lidah berulang kali. Lalu Turangga cepat-cepat membuka 

pintu sementara dara berbaju ungu turun dari kudanya dibantu oleh Tumenggung Purboyo. 

"Perjalanan yang begini jauh pasti tidak menyenangkan. Ditambah dengan keadaan di sini. 

Rumah kayu buruk ini tidak pantas untuk seorang cantik jelita seperti... Ah, maafkan saya. Saya 

belum tahu namanya." 

Dara itu kembali tersenyum. 

"Saya datang tidak bernama. Dan akan pergi tidak bernama..." 

Dalam herannya Tumenggung Purboyo cepat-cepat berkata. "Kalau begitu biar saya panggil 

Dewi saja? Boleh...?" 

"Kalau itu memang cukup pantas mengapa tidak boleh?" Suara sang dara seindah bulu 

perindu, menyejukkan hati Tumenggung Purboyo tapi sekaligus juga membakar panas darah di 

tubuhnya. Dia mengikuti gadis itu melangkah menuju ke pintu. Di ambang pintu si gadis 

berhenti dan memandang ke dalam. 

Rumah papan itu berlantai kayu hitam dan sangat bersih. Di sebelah kiri ada sebuah meja 

diapit dua buah kursi. Di atas meja terdapat seperangkat tempat minum. Lalu di bagian tengah 

terletak sebuah ranjang dengan tilamnya yang indah dan bantal-bantal yang empuk. Semua ini 

telah disiapkan Turangga sehari sebelumnya. 

"Maafkan kalau keadaan dan isi rumafi ini tidak berkenan di hall Dewi," kata Tumenggung 

Purboyo. Hidungnya mencium dalam-dalam. Bau wangi tubuh dan pakaian si gadis membuatnya 

ingin menerkam gadis itu saat itu juga. 

"Saya suka semua yang ada di sini…" kata si gadis seraya melangkah masuk ke dalam. 

"Saya gembira mendengar hal itu," kata Tumenggung Purboyo dan mengikut masuk. 

Gadis berbaju ungu sesaat masih memandang sekeliling kamar lalu dia duduk di tepi ranjang. 

Jantung Tumenggung Purboyo seperti berhenti berdetak. 

"Dewi tentu haus. Biar saya ambilkan minuman.""Tidak usah. Saya tidak punya waktu banyak. Tapi saya berjanji akan memberikan kepuasan 

pada Tumenggung. Siapa tahu lain kali Tumenggung mau lagi bertemu dengan saya…" 

"Melihat keadaan Dewi, terus terang tiap haripun saya ingin bertemu. Hanya saja keadaan 

memaksa saya harus mengatur waktu sebaik-baiknya. 

"Saya mengerti," kata Dewi. "Apakah Tumenggung tidak akan menutupkan pintu?" 

"Ah, saya lupa." Tumenggung Purboyo cepatcepat menutup pintu. 

"Apakah pembantu Tumenggung di luar sana bisa dipercaya?" 

"Dewi tak usah takut. Turangga bersedia mati jika saya suruh. Dia sangat setia..." 

"Sekarang hanya kita berdua di kamar ini. Tidakkah Tumenggung hendak memeluk saya?" 

tanya gadis berpakaian serba ungu. Senyumnya membuat sang Tumenggung seperti dibuai 

ayunan sorga. Segera saja dia melangkah ke hadapan si gadis. Kedua tangannya merangkul erat 

punggung gadis itu. Hidungnya menyelusur di lehernya yang putih jenjang dan harum. 

"Saya tidak menyangka kalau orang yang bernama Tumenggung Purboyo ini masih begini 

muda dan gagah. Tadinya saya mengira pasti sudah tua renta tapi masih genit dan suka daun 

muda..." Si gadis terdengar tertawa perlahan. Lalu balas merangkul tubuh lelaki itu. 

"Saya tidak cukup pantas untuk gadis secantik Dewi," kata Tumenggung Purboyo pula. 

"Tolong bukakan pakaian saya," bisik si gadis. 

Tumenggung Purboyo merasakan sekujur tubuhnya bergetar panas. Cepat-cepat kedua 

tangannya meluncur ke bagian depan tubuh sang dara. Tidak terlihat oleh Tumenggung Purboyo 

gadis itu tampak tersenyum aneh. Lalu kedua tangannya yang merangkul perlahan-lahan bergerak 

ke atas. Bersarnaan dengan itu terjadi perubahan aneh pada sepuluh jari tangannya yang halus 

bersih. Dari ujung-ujung jari mencuat keluar kuku-kuku panjang berwarna merah. Pada ujung-

ujung kuku terdapat sebuah lobang kecil sebesar lobang jarum. 

Sepuluh jari tangan itu terus bergerak ke atas, mencapai bahu dan kini bergeser ke arah leher 

Tumenggung Purboyo pada saat dia tengah sibuk membuka kancing-kancing pakaian ungu sang 

dara. 

Mendadak ada suara tertawa aneh menggidikkan. Gerakan tangan Tumenggung Purboyotiba-tiba terhenti. Bukan oleh suara tawa itu. Tapi oleh sepuluh kuku panjang berlubang yang 

mencengkeram dan menusuk dalam di batang lehernya. Darah muncrat! Kedua mata sang 

Tumenggung mendelik. Dia merasa darah di sekujur tubuhnya seperti disedot. Satu jeritan keras 

menggeledek keluar dari mulut Tumenggmg ini. Lalu tubuhnya mendadak sontak lemas seperti 

tidak bertulang lagi. Ketika cengkeraman pada lehernya lepas, tubuhnya tak ampun lagi jatuh 

terbanting ke lantai kayu hitam! 

Di luar rumah, begitu mendengar teriakan tumenggung Purboyo kagetnya Turangga bukan 

kepalang. Tanpa pikir panjang lagi dia segera melabrak dan menjebol pintu. Begitu pintu 

terpentang segera dia melompat masuk. Begitu masuk begitu kedua kakinya seperti dipantek ke 

lantai. Sekujur tubuhnya bergetar ketakutan. Mata melotot dan muka seputih kertas. 

Di lantai di hadapannya tergeletak sosok tubuh Tumenggung Purboyo. Pada lehernya yang 

berlumuran darah kelihatan lobang-lobang mengerikan. Kedua matanya terbeliak. Di dekat 

ranjang tegak gadis cantik berbaju ungu itu yang sekarang di mata Turangga seperti telah berobah 

menjadi setan yang mengerikan! 

Gadis itu tegak dengan baju tersingkap hingga payudaranya kelihatan menyembul. Dia 

berdiri sambil menyeringai dan menjilati jari-jari tangannya kanan kiri yang bersimbah darah. 

Wajahnya yang cantik penuh noda darah terutama di bagian mulut. Ketika menyeringai gigi-

giginya yang sebelumnya putih kini tampak merah oleh lapisan darah! "Ya Tuhan, apa yang 

terjadi! Manusia atau ibliskah yang berdiri di depanku ini?" kata Turangga dalam hati. 

"Kacung Tumenggung yang setia. Apa yang kau saksikan?" 

Tentu saja Turangga tidak mampu menjawab pertanyaan itu. Ketika dilihatnya gadis berbaju 

ungu itu bergerak mendekatinya tanpa pikir panjang lagi Turangga segera putar tubuh dan meng-

hambur ke luar kamar. Di belakangnya terdengar sang dara keluarkan suara tertawa melengking 

lalu melompat mengejar. 

Turangga lari ke kudanya. Dia berlaku cerdik. Dia tidak lari mendaki ke arah tebing lembah 

yang terbuka melainkan menyusup ke bagian lembah yang ditumbuhi pepohonan dan semak 

belukar lebat yaitu di sebelah belakang rumah kayu."Lolos…" desis berbaju ungu. Walaupun bisa tapi dia tidak berusaha mengejar. Dia 

melangkah ke arah kuda putihnya. Dari mulutnya masih terdengar suara tertawa melengking 

tinggi mengerikan. 

***


MINUM air jahe hangat dan manis malam-malam dingin begitu terasa nikmat sekali. Sementara 

menunggu datangnya minuman itu Wiro menyantap singkong rebus. Sambil mengunyah dia 

memandang berkeliling. Saat itu di kedai kecil di pinggiran desa itu hanya ada tiga orang tamu. 

Pertama dirinya sendiri lalu seorang lelaki separuh baya yang duduk sambil mengangkat kaki 

seenaknya, lalu seorang tamu lagi yang duduk menunduk, mengenakan pakaian seperti jubah. Di 

kepalanya ada semacam kerudung hingga wajahnya tidak kelihatan. 

Pemilik kedai yang merangkap pelayan datang membawakan air jahe hangat dan meletakkan 

minuman itu di atas meja di depan Wiro. Tak sabar menunggu dinginnya minuman Wiro 

menuangkan air jahe itu di atas tadah. Ketika dia hendak memegang tadah murid Eyang Sinto 

Gendeng ini jadi kaget. Tadah itu bergerak dan bergeser ke kiri hingga tak terpegang. 

"Ah, mungkin mataku yang sudah lamur!" kata Wiro menyalahi dirinya sendiri. 

Diulurkannya tangannya kembali untuk memegang tadah berisi jahe itu. Hampir tersentuh tiba-

tiba kembali tadah itu bergerak. Kali ini berpindah ke kanan. Gerakan tadah ini berpindah cukup 

cepat namun air jahe di atasnya sama sekali tidak bergoyang apalagi tumpah! 

Wiro mernandang berkeliling. Pandangannya kemudian tertuju pada pemilik kedai. 

"Ada apa 'Den?" tanya pemilik kedai itu melihat tamunya seperti bingung. 

"Tidak. Tidak ada apa-apa..." jawab Wiro. Dia memandang lagi berkeliling. 

Diperhatikannya tamu yang duduk angkat kaki di sebelahnya. Orang ini asyik menghirup kopi 

dan mengunyah pisang goreng. Wiro berpaling ke kanan. Tamu berkerudung itu juga tampak 

asyik menyantap makanannya lalu menghirup kopinya kuat-kuat hingga mengeluarkan suara. 

"Brengsek! Apa sebenarnya yang terjadi di tempat ini? Ada setan yang jahil mengganggu 

tamu?" Karena jengkel merasa dipermainkan Wiro keluarkan ucapan. "Setan konyol, aku makan 

dan minum membayar. Jadi jangan berani mempermainkan. Jika mau ikut minum silahkanduduk unjukkan diri. Jangan mengganggu seperti ini!" 

"Eh, Raden bicara apa dan sama siapa?" tanya pemilik kedai. 

Wiro garuk-garuk kepala. "Tidak... Saya tidak bicara apa-apa..." jawab Wiro. 

Pemilik kedai jadi heran. "Jangan-jangan tamu satu ini otaknya kurang beres. Sejak masuk 

tadi dia sudah cengar-cengir cengengesan. Sebentar-sebentar garuk-garuk kepala. Kini malah 

ngomong sendirian!" 

Wiro duduk tak berkesip memandangi tadah berisi air jahe itu. Dia melirik pada minuman 

dalam gelas. "Coba kupegang gelasnya. Apa bisa bergerak juga," kata pemuda ini dalam hati. Lalu 

tangan kanannya diulurkan. Hanya sedikit saja lagi jari-jarinya akan menyentuh badan gelas, tiba-

tiba gelas berisi air jahe hangat itu bergerak menjauh! Berubahlah paras Pendekar 212. 

"Ada orang pandai mempermainkanku. Tapi siapa...?" Dua tamu yang ada di situ jelas tidak 

bergerak asyik dengan makanan dan minuman masing-masing. Si pemilik kedai juga tengah 

mengangkat gorengan pisang dari kuali besar. "Setan... Jangan-jangan benar-benar ada setan di 

kedai ini!" Wiro gigit bibirnya. Dia memandang lagi pada air jahe di atas tadah. "Coba kutipu," 

katanya dalam hati. Kedua tangannya pura-pura diturunkan ke bawah. Tapi baru sampai di 

pinggang dengan cepat diangkatnya kembali. Sekaligus bergerak ke arah tadah di atas meja. "Biar 

kupecahkan sekalianl" kata Wiro dalam hati saking jengkelnya. 

Namun tiba-tiba sekali tadah itu melayang ke atas mengarah muka Wiro. Air jahe hangat di 

atasnya menyiprat membasahi seluruh wajah sang pendekarl Mata disiram air jahe hangat tentu 

saja sakitnya bukan kepalang! Wiro sampai terpekik dan terlompat dari duduknya. Dua tamu di 

samping kirinya sampai ternganga karena kaget sedang tamu satunya lagi hanya menoleh sedikit 

lalu meneruskan meneguk kopinya. 

"Ada apa Raden?" tanya pemilik kedai. Ketika dilihatnya muka Wiro basah dan pemuda ini 

menggosok-gosok kedua matanya tiada henti. Sedang di lantai tadah gelas pecah berantakan. "Ah, 

itulah Raden. Minuman masih panas sudah mau diminum. Mbok ya sabar ditunggu sampai 

dingin..." 

"Mbok sabar... Mbok sabar!" gerutu Wiro dalam hati. "Mukaku serasa tebal, mataku pedasenak saja bicara mbok... mbok." 

Pemilik kedai itu tidak memperhatikan Wiro karena salah satu tamunya telah berdiri dan 

membayar. Selesai melayani tamunya pemilik kedai bertanya. "Mau tadah baru lagi Den" 

"Tidak usah!" jawab Wiro. "Biar panas-panas aku sanggup menenggak air jahe ini!" Lalu 

saking jengkelnya Wiro teguk air jahe dalam gelas yang masih panas. Mulutnya sampai ternganga 

kepedasan dan lidahnya terjulur-julur. Dari dalam sakunya dikeluarkannya uang pembayar 

makanan dan minuman lalu diulurkannya. Tapi orang kedai tidak mau menerimanya. Wiro jadi 

tambah mengkal. 

"Tidak mau dibayar?" bentaknye sambil mengusap mata kirinya yang masih terasa perih. 

"Anu Den..." 

"Anu... anu! Anumu nanti aku guyur sama air jahe panas baru tahu! Ayo ambil uangnya!" 

"Anu Den. Tidak perlu. Sudah dibayar." 

"Sudah dibayar? Siapa yang membayar? Jangan main-main!" kata Wiro dengan keras. 

"Itu, tamu berjubah tadi..." menjawab pemilik kedai. 

Wiro berpaling ke kanan. Tamu yang duduk di situ sudah tidak ada lagi. "Berjubah dan 

pakai kerudung itu?" 

"Betul Den." 

Wiro garuk-garuk kepalanya. "Wajahnya tak sempat kulihat. Kenalpun rasanya aku tidak. 

Mengapa dia membayarkan makanan dan minumanku? Aneh!" 

"Tamu tadi, kau kenal padanya? Sering mampir ke kedai ini?" tanya Wiro. 

Orang kedai menggeleng. "Baru sekali ini saya melihatnya Den." 

"Situ tadi sempat lihat wajahnya?" tanya Wiro pula. 

"Hanya sekilas. Wajahnya seram amat..." 

"Seram bagaimana?" 

"Mukanya seperti tengkorak dan sangat hitam. Kedua matanya sangat cekung..." 

"Jangan-jangan dia memang setan!" kata Wiro. 

"Apa kata Raden, Setan? Puluhan tahun berjualan di sini belum pernah ada setan di sekitarsini Den. Tapi... Raden mungkin betul. Orang tadi mungkin setan... atau hantu..." 

"Coba perlihatkan uang bayarannya tadi," kata Wiro. 

Orang kedai keruk saku pakaiannya. Ketika tangannya diulurkan dan genggamannya dibuka, 

pucatlah wajahnya melihat apa yang ada ditangannya. Bukan sekeping uang logam. Tapi sebuah 

batu kecil! 

Tubuh pemilik kedai itu kini tampak gemetaran. 

Jelas dia sangat ketakutan. Dengan suara terputus-putus dia berkata. "Maafkan, saya tidak 

menerima tamu lagi. Saya harus menutup kedai ini cepatcepat sebelum setan tadi kembali lagi!" 

Wiro geleng-geleng kepala. "Kalau begitu ambil saja uang ini. Sekalian bayaran makanan dan 

minuman orang berjubaah tadi. Sialan! Malah kini aku yang membayarkan! Dasar setan!" 

Wiro meletakkan uangnya di atas meja lalu cepat-cepat setengah berlari dia berkelebat ke 

jurusan perginya orang berjubah tadi. Tak lama berlari Wiro berhasil mengejar orang berjubah 

itu. Tapi aneh, tinggal dalam jarak sekitar lima tombak, bagaimanapun dia mempercepat larinya 

mengejar tetap saja dia tidak dapat mendekati orang itu. Wiro kerahkan tenaga dalam, ilmu 

meringankan tubuh serta ilmu larinya. Dia hanya mampu maju mendekat sekitar empat tombak 

setelah itu tidak mampu berbuat apa-apa lagi. 

"Saudara berjubah! Hai! Tunggu dulu! Berhenti!" Wiro berteriak memanggil. Matanya 

memperhatikan kedua kaki orang di depannya. Ternyata kedua kaki itu menjejak tanah. Bergerak 

seperti melangkah tapi memiliki kecepatan seperti orang berlari! "Ah dia manusia biasa juga. 

Bukan setan!" kata Wiro melihat kenyataan itu. 

Orang yang dipanggil acuh saja. Jangankan berhenti, berpalingpun tidak. 

"Sialan!" maki Wiro dalam hati. Dia mempercepat larinya. Tetap saja dia tidak dapat 

memperpendek jarak. Dia mencari akal. "Biar kubuat marah dia!" Lalu kembali Wiro berteriak. 

"Manusia jahat penipu! Membayar dengan batu! Mengapa pergunakan ilmu untuk menipu orang 

kecil!" 

Orang di depan Wiro keluarkan suara tawa mengekeh. Lalu tubuhnya lenyap. Wiro hentikan 

lari. Memandang berkeliling. Hatinya mulai was-was. "Kalau benar tadi itu bukan manusia tapisetan, mati aku dicekiknya di tempat sunyi ini!" Lalu Wiro bersiap membentengi diri dengan 

pukulan sakti. 

Baru saja kumandang suara tawa itu lenyap dalam kegelapan malam, tiba-tiba satu benda 

melayang turun dari atas cabang sebuah pohon. Wiro menyingkir namun benda yang jatuh itu 

cepat sekali mendekap leher dan dagunya. Dia merasa seperti ada satu sosok tubuh yang 

menduduki bahunya. Wiro membungkuk, berusaha membantingkan sosok tubuh yang 

menduduki bahu dan memagut lehernya itu. Namun tubuh itu laksana lengket jadi satu dengan 

tubuhnya. 

"Keparat sialan!" maki Pendekar 212. Dia kerahkan tenaga dalam lalu menggebuk ke 

belakang. Dia sengaja lepaskan pukulan sakti dalam jurus yang bernama "dibalik gunung 

memukul halilintar.'' 

***

PUKULAN ukulan yang bisa menghancurkan tembok batu itu mengeluarkan suara menderu. 

Namun bukan saja pukulan itu tidak mengenai sasaran orang yang mendekam dibahunya, malah 

lengan kanannya kena ditangkap. Belum sempat Wiro, membuat gerakan susulan untuk 

melepaskan cekalan orang samb,il menghantam dengan tangan kiri, mendadak lengannya ditarik 

keras ke depan. Tubuhnya ikut terseret. Kalau dia tidak ikuti daya tarik seretan itu dan jatuhkan 

diri di tanah lalu bergulingan, niscaya Wiro akan terbanting dada atau muka lebih dulu mencium 

tanah! 

Dengan cepat Wiro bangkit berdiri. Begitu berdiri satu sosok tubuh tahu-tahu sudah tegak di 

depannya. Serta merta dia hendak menghantam. Orang didepannya keluarkan suara tertawa 

mengekeh. Seperti mengenali suara tawa itu, Wiro tarik pulang tangannya yang barusan hendak 

memukul. Kakinya menyurut satu langkah. 

"Siapa kau!" bentak Pendekar 212. 

"Anak goblok! Kalau musuh beneran yang membokongmu, pasti kau sudah mampus dari 

tadi!" Orang di depannya menanggalkan jubah di tubuhnya. Di balik jubah itu kini kelihatan satu 

tubuh kurus tinggi mengenakan kebaya dalam dan panjang dekil. Wiro keluarkan seruan tertahan. 

Tapi dia belum pasti. Tempat itu gelap sekali. Ketika orang di hadapannya melemparkan 

kerudung yang menutupi wajahnya baru sang pendekar benarbenar mengenali dan berteriak. 

"Eyang Sinto Gendeng!" 

Ternyata orang itu adalah guru Pendekar 212 sendiri. Nenek sakti dari Gunung Gede 

bernama Sinto Gendeng. Wiro cepat hendak jatuhkan diri memberi penghormatan. Si nenek 

tertawa dan tarik pemuda itu hingga dia kembali berdiri. 

"Guru, maafkan murid. Says tidak tahu kalau..." 

"Anak setan! Dirimu sudah kumaafkan"Jadi Eyang rupanya yang tadi mempermainkan tadah minuman di kedai itu!" 

Si nenek menyeringai. 

"Nek, kau muncul secara mendadak lengkap dengan segala keanehanmu. Tentu ada 

sesuatu…" 

"Nah otakmu ternyata masih jalan. Dengar, memang ads satu hal penting yang ingin 

kubicarakan denganmu. Kau sudah dengar kegegeran yang terjadi dalam rimba persilatan sejak 

tiga bulan terakhir ini?" 

"Banyak yang terjadi Eyang. Kegegeran yang mans maksud Eyang?" tanya Wiro. 

"Sompret! Kau masih bisa bertanya. Apa saja yang kau lakukan selama ini? Bertualang 

mencari anak perempuan orang?!" Sepasang mata Sinto Gendeng tampak berkilat-kilat. 

Wiro garuk-garuk kapalanya. Kalau tidak benarbenar ads satu peristiwa besar pasti gurunya 

tidak semarah itu. Untuk beberapa saat lamanya pemuda ini hanya bisa tertegak dengan mulut 

terkancing. 

"Kau masih ingat kakek konyol peminum tuak yang bergelar Dewa Tuak?" 

"Tentu saya ingat kakek satu Itu Eyang. Ada apa dengan dirinya. Apakah dia sudah 

mendahului kita?" tanya Wiro. 

"Anak setan! Enak saja kau menyebut orang sudah mati!" bentak Eyang Sinto Gendeng 

marah. 

"Orang tua itu bakal mengalami kesulitan dan malu besar. Gara-gara perbuatan murid 

tunggalnya. Gadis Anggini itu!" 

Pares Wiro jadi berubah. "Kesulitan dan malu besar. Ah... Agaknya sesuatu sudah terjadi atas 

diri gadis itu. Eyang, maafkan saya ... Apakah, maksud Eyang apakah gadis itu tahu-tahu 

bunting?' 

Hampir si nenek hendak menampar muka muridnya itu. 

"Kau benar-benar anak setan! Dari mana kau punya pikiran murid Dews Tuak bunting! Kau 

yang membuatnya bunting? Edan!" 

"Lalu, lalu apa yang sebenarnya telah terjadi Eyang?'"Anggini telah menjadi iblis doyan darah! Dia membunuh dimana-mana lalu menghisap 

darah korbannya!" 

"Ya Tuhan!" mengucap Wiro. "Saya memang mendengar tentang munculnya seorang gadis 

yang dijuluki Betina Penghisap Darah. Saya tengah menyelidiki manusia satu itu. Murid tidak 

tahu kalau Betina penghisap Darah adalah Anggini, murid Dews Tuak! Bagaimana saya bisa 

mempercayai hal ini?!" 

"Kau tak perlu mempercayainya. Bukti-bukti sudah lebih dari cukup. Banyak orang yang 

mengenali dirinya. Sekarang yang kau lakukan adalah mencarinya lalu menyeretnya ke hadapan 

Dewa Tuak untuk menerima hukuman. Kalau sampai orang-orang rimba persilatan yang turun 

tangan kau tahu sendiri akibatnya. Mereka akan membunuh gadis itu sampai lumat daging dan 

tulang-tulangnya. 

Sesaat Wiro terdiam. "Saya tidak habis pikir. Gadis yang begitu baik. Murid yang sangat 

cerdas dan periang. Bagaimana tahu-tahu berubah menjadi mahluk haus darah? 

"Banyak hal yang bisa membuat manusia berubah. Aku akan menemui Dewa Tuak. Kau 

pergi mencari gadis itu..." 

Wiro tegak termangu-mangu. 

"Anak setan! Kau dengar ucapanku tidak?" 

"Saya dengar Eyang. Saya akan mencarinya sampai dapat." Jawab Wiro. 

"Tapi ingat satu hal! Jangan kau main gila!" 

"Main gila bagaimana maksud Eyang?" tanya Wiro pula. 

"Aku tahu gadis itu punya hati terhadapmu dan cantik. Dan kau sendiri... He... he... he... 

Coba katakan bagaimana perasaanmu terhadapnya!" 

Wiro jadi salah tingkah. 

"Saya sudah sangat lama tidak bertemu. Dia memang cantik. Saya sangat menghormat Dewa 

Tuak. Bagaimana mungkin..." 

"Anak pandir! Selama laut masih biru dan gunung masih hijau tak ada yang tidak mungkin 

di dunia ini! Karena itu aku ingatkan padamu. Jika kau mengambil keputusan terhadap gadis itujangan sampal hatimu mendua. Apalagi sampai kau sempat dirayunya. Sekali kau bisa dikuasainya 

berarti ajalmu sudah di mata. Kau dengar itu!" 

"Saya dengar Eyang," jawab Wiro. 

"Sudah! Aku pergi sekarang. Aku akan menemui tua bangka peminum tuak itu!" 

"Eyang, saya ada usul…" Wiro berkata cepat ketika dilihatnya si nenek hendak berkelebat 

pergi. 

"Kalau usulmu masuk akal coba katakana!" 

"Bagaimana kalau saya yang pergi menemul Dewa Tuak dan Eyang yang mencari Anggini." 

Kedua mata Sinto Gendeng membeliak seperti hendak melompat dari rongga matanya yang 

sangat cekung. Wajahnya yang angker seperti tengkorak itu kelihatan tambah menggidikkan. 

"Usulmu usul kurang ajar!" kata si nenek. Tangannya bergerak hendak menampar muka 

muridnya itu. 

Wiro tak berusaha menghindari tamparan itu. Dia tetap tegak tak bergerak, hanya air 

mukanya saja yang kelihatan tersenyum. 

"Maafkan saya Eyang. Bukan maksud saya mengajari..." katanya. 

Si nenek tarik tangannya, tak jadi menampar. "Sudah, pergi sana! Makin lama kau petatang-

peteteng di hadapanku, makin gatal tanganku hendak menamparmu!" 

"Saya pergi Eyang..." kata Wiro sambil membungkuk. 

Ketika dia hendak melangkah pergi terdengar si nenek memanggil. 

"Ada apa Eyang...?" 

"Kau punya duit?" 

"Maksud Eyang?" 

"Maksudku kau punya bekal uang...?" 

"Engg... ada Eyang." 

"Anak sombong! kalau kau tak punya uang bilang saja! Jangan sok!" Dari balik pakaian 

dekilnya si nenek keluarkan sebuah kantong kecil terbuat dari kain. Kantong itu dilemparkannya 

ke arah Wiro. Terdengar suara berdering. Mau tak mau Wiro segera menanggapi kantong itu.Ketika kantong berada dalam genggamannya, sang guru sudah tak ada lagi di tempat itu! 

"Mulutnya konyol, tapi hatinya baik dan polos..." kata Wiro. Sambil menimang-nimang 

kantong berisi uang itu pendekar 212 berpikir. Apa betul Anggini murid Dewa Tuak yang cantik 

dan yang dikenalnya sangat baik itu tiba-tiba telah berubah menjadi makhluk doyan darah hingga 

dijuluki Betina Penghisap Darah? Kalau bukan gurunya yang memberi tahu, sulit baginya 

mempercayai. Wiro menarik nafas panjang. Malam mulai dingin. Pendekar ini akhirnya 

tinggalkan tempat itu. 

***

RIMBA belantara itu sunyi senyap, redup menggidikkan. Mencari seorang manusia di tempat 

seperti itu sama saja dengan mencari seekor semut di rerumputan. Setelah setengah harian 

berkeliaran dalam rimba akhirnya wajah seram Eyang Sinto Gendeng yang tegang menggidikkan 

kelihatan menyeringai. Dia mendongakkan kepala beberapa lama, mencium dalam-dalam lalu 

tertawa mengekeh. 

"Dewa Tuak! Aku sudah dapat mencium harumnya bau tuakmu. Buat apa masih 

berseMbunyi? Hik...hik.... hik!" 

Belum habis si nenek tertawa tiba-tiba dari atas sebatang pohon besar melayang jatuh sebuah 

benda bulat panjang. Ternyata benda ini adalah sebuah tabung bambu sepanjang tiga kaki. 

Tabung bambu ini jatuh demikian rupa dengan bagian bawahnya melesat ke arah batok kepala si 

nenek. Jelas ini merupakan satu serangan yang mematikan! 

Di dalam tabung bambu itu menebar bau sangat harum dari tuak yang memenuhi tabung 

sampai ujung teratas. Walau penuh tapi ketika melayang jatuh isinya tidak sedikitpun muncrat 

atau tumpah ke luar. Berarti orang yang melemparkan tabung bambu berisi tuak itu benar-benar 

memiliki kepandaian luar biasa! 

"Walah! Belasan tahun tidak bertemu malah kini mau menghancurkan kepalaku! Sungguh 

keterlaluan!" berteriak Sinto Gendeng. Dia miringkan kepala serta bahunya sedikit. Begitu tabung 

lewat disampingnya segera ditangkapnya. Kepala ditengadahkan sambil menempel ujung bambu 

sebelah atas ke bibirnya. Lalu cegluk... cegluk si nenek meneguk tuak dalam bambu berlelehan 

membasahi dagu dan pakalannya. 

"Ah, tuak setan ini makin nikmat saja dari tahun ke tahun! Pasti diramu dengan daun ganja!" 

Sinto Gendeng teguk lagi tuak dalam bambu sampai mukanya yang menyeramkan seperti 

tengkorak itu kelihatan menjadi merah. Tubuhnya terasa panas dan kedua lututnya mulaibergetar. 

"Gila! Masakan aku bisa mabuk hanya minum beberapa teguk minuman setan ini?!" kata si 

nenek. Lalu dia memandang berkeliling. "Dewa Tuak! Kalau belum juga kau menampakkan diri 

kupecahkan tabung bambu keparat ini!" Sinto Gendeng berteriak mengancam. 

Saat itu di atas pohon meledak suara tawa bergelak. 

"Tua bangka bodoh! Sudah tahu tidak tahan minuman keras mengapa kau meneguknya 

dengan rakus?!" 

Suara itu juga datang dari atas pohon. Lalu terdengar suara dedaunan pohon berkeresek. Ber-

samaan dengan itu sesosok tubuh melayang turun sambil terus mengumbar suara tawa. 

Di lain kejab sosok tubuh itu sudah berdiri terbungkuk-bungkuk di hadapan Sinto Gendeng. 

Dia ternyata seorang kakek-kakek berjanggut putih sepanjang dada. Pakaiannya kain biru yang di-

selempangkan seperti pakaian seorang Biksu. Dipunggungnya tergantung sebuah tabung bambu 

berisi tuak yang bentuknya sama dengan tabung bambu yang saat itu dipegang Sinto Gendeng. 

"Sinto, lama tidak bertemu ternyata kau tambah jelek saja!" si kakek yang bukan lain adalah 

tokoh sakti bergelar Dewa Tuak itu angkat bicara lalu tertawa mengekeh. 

"Nasibmu tidak lebih baik, Dewa Tuak!" menyahuti Sinto Gendeng. "Tubuhmu semakin 

reot dan tampangmu tambah peot! Tua bangka sepertimu ini seharusnya sudah dijadikan umpan 

cacing di liang kubur! Hik...hik....hik...." 

Kakek nenek tokoh dunia persilatan itu sama-sama tertawa. Si kakek hentikan tawanya lebih 

dulu. "Sebaiknya kau jangan terlalu banyak minum tuak kayangan itu. Aku tidak kawatir kalau 

kau sampai mabuk Sinto. Tapi yang aku takutkan nanti kau bisa ngompol terus-terusan tujuh 

hari tujuh malam!" Dewa Tuak ulurkan tangannya mengambil tabung bambu. 

"Ala, minuman busuk begini saja, siapa yang mau minum terlalu banyak!" Sinto Gendeng 

lemparkan tabung bambu yang dipegangnya. Tabung itu melesat melintang ke arah si kakek, 

kedua kakinya agak tersurut sedikit. Tapi dadanya selamat dari hantaman tabung bambu miliknya 

sendiri. 

Kalau ada orang pandai ke tiga yang menyaksikan kejadian itu, maka dia akan segera memaklumi bahwa tenaga dalam dan kepandaian si nenek tidak berada di bawah Dewa Tuak, malah 

mungkin sedikit lebih tinggi. Kalau sebelumnya Dewa Tuak melemparkan tabung bambu dari 

atas pohon dalam keadaan membujur ke bawah maka tadi si nenek melemparkan tabung bambu 

yang sama dalam keadaan melintang dan tuak di dalamnya sedikipun tidak tumpah! 

Dewa Tuak tancapkan ujung tabung bambu sebelah bawah ke tanah, lalu dia melompat dan 

duduk di ujung tabung bambu sebelah atas. Begitu duduk terdengar bagian bawah perutnya 

berbunyi! Buuttttt! Si kakek kentut! 

"Sekarang mari kita bicara. Ada keperluan apa kau mencariku Sinto?" bertanya Dewa Tuak. 

"Tunggu!" Sepasang mata Sinto Gendeng melotot tak berkesip memandang Dewa Tuak. 

Kakek ini seperti hendak ditelannya. "Kau barusan kentut di mulut tabung berisi tuak itu. 

Sebelumnya aku sudah meneguk minuman celaka itu. Apakah sebelumnya kau juga sering kentut 

di mulut tabung?!" 

Dewa Tuak tertawa bergelak. "Apa perlu kujawab?!" katanya menyahuti. 

"Kurang ajar! Kakek setan! Kau memberi aku minum tuak yang sudah kau kentuti!" Marah 

Sinto Gendeng bukan alang kepalang. Dia menyumpah-nyumpah sambil meludah berulang kali. 

Lalu tubuhnya berkelebat seraya kirimkan satu hantaman ke arah Dewa Tuak. Angin hantaman 

itu dahsyatnya bukan main. Dewa Tuak tahu betul kalau si nenek kini benar-benar marah. Dia 

cepat menyingkir sambil cepat-cepat mencabut tabung bambu menyambut serangan Sinto 

Gendeng. 

Si nenek ternyata hanya melakukan serangan tipuan. Karena begitu lawan berkelit, 

serangannya berubah dan kini menjarah ke arah perut Dewa Tuak. 

Bukkk! 

Byuuur! 

Dewa Tuak terpental dan jatuh duduk di tanah, tersandar ke sebatang pohon. Sebaliknya 

Sinto Gendeng tegak terhuyung-huyung sambil mengusapi muka tengkoraknya yang basah kuyup 

oleh semburan tuak kayangan yang tadi disemburkan si kakek. 

Dewa Tuak tahu betul. Jika tadi si nenek benar-benar menyerangnya saat itu pasti perutnyasudah bobol dihantam pukulan dan nyawanya tak akan tertolong. Sebaliknya Sinto Gendeng juga 

menyadari. Kalau si kakek sungguhan membalas serangannya dengan semburan tuak, saat itu pasti 

mukanya sudah hancur dan nyawanya putus! 

Dewa Tuak tarik nafas panjang lalu tertawa gelak-gelak. Sehabis tertawa dia teguk tuaknya 

dan memandang pada Sinto Gendeng. "Dua tua bangka edan bercanda dalam rimba belantara. 

Padahal mungkin ada satu perkara besar yang harus dihadapi!" 

"Syukur kita sama-sama tahu diri!" kata Sinto Gendeng sambil terus mengeringkan mukanya 

yang basah kuyup. "Apa yang kau ucapkan tadi memang betul. Ada satu perkara besar yang 

sedang aku hadapi!" 

"Ah!" Dewa Tuak menggeser duduknya hingga lebih enak bersandar ke batang pohon di 

belakangnya. "Katakan apa perkara besar itu sahabatku!" 

"Sebelum aku menyampaikan aku ingin bertanya lebih dulu. Aku tidak melihat Anggini 

muridmu. Bagaimana keadaannya dan dimana dia saat ini?" 

"Anak itu, dia kuharap baik-baik saja..." 

"Kuharap katamu? Berarti dia tidak ada bersamamu?" 

"Betul Sinto, dia pergi sekitar empat bulan lalu...." 

"Kau tahu pergi ke mana?" 

"Katanya ingin menyambangi beberapa sahabatnya. Siapa tahu mungkin juga dia tengah 

mencari muridmu yang sableng itu!" 

"Tidak... Dia tidak mencari Wiro. Tapi tengah melakukan sesuatu yang telah menggegerkan 

rimba persilatan. Empat bulan lalu dia meninggalkanmu. Jika dihitung-hitung memang cocok 

waktunya dengan semua apa yang terjadi!" 

"Eh, kau bicara apa ini Sinto? Apa yang telah dilakukan muridku Anggini?" 

"Kau pernah mendengar manusia berjuluk Betina Penghisap Darah yang gentayangan sejak 

tiga bulan lalu di mana-mana? Melakukan pembunuhan lalu menghisap darah korbannya secara 

keji!" 

"Aku memang sudah mendengar kemunculan manusia biadab itu. Lalu apa hubungankeparat itu dengan muridku Anggini?" bertanya Dewa Tuak. 

"Betina Penghisap Darah ternyata adalah Anggini! Muridmu sendiri!" 

Terbeliak mata Dewa Tuak. Kalau saat itu ada petir menyambar di depan hidungnya 

mungkin tidak akan seperti itu dia terkejut. 

"Kau tidak sedang sinting Sinto?" 

"Sialan! Siapa yang sinting!" 

"Kau juga tidak ngaco atau bicara dusta?!" 

"Edan! Aku tidak mabok! Mana mungkin ngaco dan dusta!" 

"Kau tidak memfitnah?!" 

"Sompret kau Dewa Tuak!" 

"Lalu bagaimana kau bisa mengatakan Betina Penghisap Darah itu adalah muridku?" 

"Beberapa tokoh silat mengatakan begitu. Dua diantaranya melihat sendiri. Yang terakhir 

seorang pembantu Tumenggung di Kotaraja menceritakan ciri-ciri Betina Penghisap Darah itu. 

Semua cocok dengan ciri-ciri muridmu. Wajahnya, pakaiannya. Semuanya! Nah kau mau bilang 

apa lagi?!" 

Dewa Tuak seperti dihenyakkan ke tanah. Untuk beberapa lamanya dia duduk terdiam. 

"Kalau bukan kau sendiri yang datang membawa berita ini dan mengatakannya padaku, aku tak 

bakalan percaya," berucap Dewa Tuak. Suaranya perlahan dan bergetar. "Apa yang terjadi dengan 

anak itu...?" 

"Aku kawatir dia telah terperangkap dalam satu ilmu sesat. Ilmu yang mewajibkannya harus 

membunuh dan menghisap darah manusia. Setahuku korban-korbannya hanya orang-orang 

tertentu. Para bangsawan, para pejabat, tokoh-tokoh silat. Umumnya semua mereka itu masih 

muda-muda. Lelaki atau perempuan..." 

"Gusti Allah..." Dewa Tuak mengucap. Dia memandang pada Sinto Gendeng. "Apa yang 

harus kulakukan Sinto? Dunia persilatan pasti mengutukku habis-habisan. Maluku hendak 

disembunyikan kemana?" 

"Kau harus mencari anak itu. Membuatnya bertobat lalu menghukumnya. Kalau tidak kausendiri yang turun tangan, maka pembalasan orang-orang persilatan akan sangat mengerikan. Aku 

tak bisa membantumu Dewa Tuak." 

"Apakah dia demikian saktinya hingga tak seorangpun selama tiga bulan ini sanggup menga-

lahkannya?" 

"Bekal ilmu silat dan kesaktian yang kau berikan padanya sudah cukup membuat dia menjadi 

seorang tokoh muda yang disegani. Apalagi kalau dia mendapat tambahan ilmu setan yang sulit 

dipercaya kehebatannya! Lihat saja, mengapa dia harus minum darah setiap korban yang dibunuh-

nya? Pasti itu menjadi salah satu keharusan jika dia ingin menguasai terus ilmu yang climilikinya!" 

"Anggini..." Dewa Tuak menyenut nama murianya dengan nada penuh penyesalan. 

Perlahan-lahan kakek ini berdiri. Dari balik pakaian birunya dikeluarkannya sebuah benda lalu dia 

berkata pada Sinto Gendeng. 

"Sahabatku, kau menjadi saksi tunggal. Aku bersumpah akan mencari anak itu dan 

membunuhnya. Jika dalam tempo empat puluh hari aku tidak berhasil melakukannya atau aku 

sampai dikalahkannya, aku lebih baik memilih mati dari pada harus menanggung malu yang 

menyengsarakan!" 

Habis berkata begitu Dewa Tuak masukkan benda yang dipegangnya ke dalam mulut. Sinto 

Gendeng hendak mencegah tapi terlambat. 

"Dewa Tuak! Apa yang kau telan itu?!" 

"Racun kematian!" jawab Dewa Tuak dengan tegar, "Racun itu akan bekerja pada hari ke 

empat puluh satu dari sekarang. Jika aku tidak berhasil mencari anak itu. Atau berhasil tapi tak 

sanggup meringkus dan membunuhnya, maka pada hari ke empat puluh satu aku sudah pasrah 

menemui kematian." 

"Jangan tolol! Aku tahu kau pasti memiliki obat penangkal racun itu di balik pakaianmu. 

Ayo lekas kau telan obat penangkal itu!" 

Dewa Tuak menggeleng. 

"Aku sudah memutuskan lebih baik mati di hari ke empat puluh satu itu. Dari pada 

menanggung malu besar!""Tua bangka bodoh! Mengapa kau jadi begini tolol dan ikut-ikutan sesat?" 

"Terus terang aku sudah terlalu lama hidup di dunia ini. Usiaku sudah lebih dari delapan 

puluh tahun. Buat apa menghabiskan sisa hidup dengan menanggung malu? Lebih baik mati 

berkalang tanah!" 

Sinto Gendeng terdiam. Dia tidak bisa menyalahkan Dewa Tuak kalau sampai berbuat 

seperti itu. 

"Kau sendiri apa yang hendak kau lakukan Sinto? Sebagai salah seorang sesepuh dunia per-

silatan yang ikut menentukan hitam putihnya masa depan dunia persilatan, apakah kau tidak akan 

turun tangan?" 

"Aku lebih banyak memandang pada persahabatan kita. Lagi pula tua bangka sepertiku ini 

sepantasnya tidak boleh terlalu banyak mengurusi masalah dunia. Aku sudah minta muridku 

Wiro Sableng untuk mencarinya lalu membawanya padamu. Hanya itu yang bisa kulakukan..." 

"Terima kasih sahabat...." kata Dewa Tuak. Kedua matanya tampak berkaca-kaca. "Di ujung 

usiaku ini, sebetulnya aku ingin menghabiskan sisa hidupku dengan tinggal di satu tempat yang 

sunyi dan tenang. Namun nasibku mengatakan lain..." Dewa Tuak menarik nafas dalam. 

Sinto Gendeng mengangguk-angguk. "Kita memang hidup di dunia ini," katanya. "Tapi 

kehendak Tuhan lebih banyak menentukan dari kemauan kita sendiri!" 

Dewa Tuak ambil tabung bambu yang dipangkuannya. Isi tabung itu diteguknya sampai 

habis. Seperti belum puas diambilnya tabung satu lagi yang tergantung di punggungnya. Lalu isi 

tabung inipun ditenggaknya sampai habis. Perutnya tampak melembung. Sekujur tubuh terutama 

mukanya kelihatan merah seperti udang rebus. Kedua matanya juga tampak merah sekali. 

Perlahan-lahan kakek ini berdiri. 

"Kita berpisah di sini Sinto. Kalau umur sama panjang aku merasa senang dapat bertemu de-

nganmu lagi..." 

"Itu juga menjadi keinginanku. Selesaikan urusanmu dengan baik." 

Dewa Tuak mengangguk. Sekali dia berkelebat dirinyapun lenyap dari tempat itu.

****


ROMBONGAN orang-orang yang berburu itu memacu kuda masing-masing menuju ke Timur. 

Di satu tempat, sebelum memasuki hutan sasaran, Kepik Kuntolo hentikan kuda seraya 

mengangkat tangan memberi tanda. 

Pangeran Panji Kenanga dan orang-orang yang ada di belakang penunjuk jalan itu segera 

hentikan kuda. 

"Ada apa Kepik?" tanya Pangeran Panji Kenanga seraya membetulkan letak busur dan 

kantong panah di pinggangnya. 

"Saya mengusulkan sebaiknya kita tidak memasuki hutan ini. Tapi mencari hutan lain saja 

Pangeran." 

"Heh?!" Pangeran Panji merasa heran mendengar ucapan pembantunya itu. "Alasan apa kau 

berkata begitu Kepik?" 

"Saya baru ingat Pangeran. Pihak Istana telah menetapkan kawasan hutan Kemikir ini 

sebagai daerah berbahaya tingkat tiga." 

"Daerah berbahaya tingkat tiga. Hemm...Aku baru mendengarnya. Apa yang telah terjadi? 

Ada bahaya apa dalam rimba belantara ini yang membuat wajahmu kulihat jadi berubah pucat!" 

"Hutan Kemikir diketahui sebagai salah satu daerah gentayangannya mahluk yang dijuluki 

Betina Penghisap Darah!" 

"Ah...! Itu rupanya yang ada dalam benakmu! Cerita isapan jempol begitu siapa yang mau 

percaya?" Pangeran Panji lalu tertawa gelak-gelak. Anggota rombongan lain yang terdiri dari tiga 

orang pengawal dan tiga orang kawan-kawan sebaya sang Pangeran ikut-ikutan tertawa. 

Salah seorang kawan Pangeran Panji berkata. "Akan kita lihat! Kalau benar ada mahluk itu 

dalam hutan sana, apakah dia sanggup menahan panah dan tombak Pangeran Panji Kenanga!" 

"Kudengar..." kata salah seorang kawan sang Pangeran yang lain, "Makhluk berjuluk seram

itu adalahseorang gadis cantik jelita. Nah, kita muda-muda dan gagah semua. Masakan tidak 

satupun yang akan ditaksirnya?" 

Kembali tempat itu menjadi ramai oleh gelak tawa semua orang kecuali Kepik Kuntolo yang 

kelihatan tetap tegang. 

"Kepik," kata Pangeran Panji Kenanga pula. "Hutan Kemikir diketahui paling banyak babi 

hutannya. Nah apa bukan ini hanya siasat para pejabat tertentu di Istana yang tidak mau orang 

lain masuk kemari dan menghabisi babi-babi hutan itu hingga mereka takut nanti tidak kebagian 

lagi?!" 

Kepik Kuntolo tidak menjawab. Yang menyahuti malah Jaka Dolok, salah seorang pemuda 

sahabat sang Pangeran. "Apa yang Pangeran katakan itu mungkin benar. Sudahlah, mengapa kita 

harus berlama-lama di tempat ini. Biar aku yang duluan masuk ke dalam hutan. Kalau bertemu 

gadis jelita itu akan aku suruh dia tolong memasakkan hasil buruan kita!" 

Pangeran Panji tertawa. Digebraknya kudanya mengikuti Jaka Dolok. Yang lain-lain segera 

pula bergerak. Kepik Kuntolo sesaat merasa bimbang. Akhirnya diapun mengikuti rombongan itu 

masuk ke dalam hutan. 

Setelah beberapa lama jauh masuk ke dalam hutan dan masih belum menemui binatang 

buruan, Pangeran Panji berkata. "Aneh, pada kemana semua babi di hutan ini? Satupun tak 

kelihatan mata hidungnya..." 

Baru saja sang Pangeran berkata begitu tibatiba lapat-lapat terdengar suara perempuan me-

nyanyikan pantun. 

Hutan Kemikir banyak babinya 

Babi diburu diambil dagingnya 

Kasihan babi mahluk tak berdosa 

Hendak melawan tak punya daya 

Kalau dibiarkan pemburu bersuka-suka 

Pesta mereka tak akan pernah berhenti 

Kutolong babi dari derita 

Biarlah pemburu kuhukum mati"Eh, nyanyian itu seperti ditujukan pada kita?" ujar Pangeran Panji seraya memandang pada 

orang-orang dalam rombongannya. Yang dipandangi tenang-tenang saja malah ada yang 

tersenyum sementara Kepik Kuntolo tampak gelisah. "Kita harus mencari tahu siapa perempuan 

yang menyanyi itu." 

"Suaranya merdu. Orangnya pasti ayu!" kata Jaka Dolok. "Ayo kita mencarinya." 

Joko Dolok kembali memimpin rombongan memasuki hutan lebih jauh ke dalam. Kini 

rombongan itu bergerak ke arah datangnya suara nyanyian tadi. Kepik Kuntolo yang mati 

ketakutan menunggangi kudanya paling belakang. Sekali-sekali dia menoleh ke belakang, merasa 

seolah-olah ada orang atau pandangan mata yang mengikuti gerak gerik rombongan itu. 

Tujuh ekor kuda tunggangan mendadak menunjukkan sikap aneh. Binatang-binatang ini 

seperti tak mau melangkah maju. Dari mulut mereka keluar suara mendesis. Lalu. satu demi satu 

mereka mulai meringkik. 

"Tenang! Tenang...!" kata Pangeran Panji menenangkan kudanya sambil mengusap leher 

binatang Itu. Yang lain-lain melakukan hal yang sama hingga tujuh ekor kuda tunggangan itu 

kembali tenang dan berhenti meringkik tetapi tetap saja tak mau bergerak. 

Tiba-tiba terdengar Jaka Dolok berseru sambil menunjuk ke depan dan hentikan kudanya. 

"Lihat!" 

Semua anggota rombongan sama hentikan kuda dan memandang ke arah yang ditunjuk. Di 

atas cabang terpendek sebatang pohon kelihatan duduk seorang gadis berwajah cantik sekali 

mengenakan pakaian ungu. Sehelai selendang yang juga berwarna ungu tergelung di lehernya. Dia 

duduk bersandar ke batang pohon sedang kedua kakinya dilunjurkan sepanjang cabang yang 

didudukinya. Suara nyanyiannya sirap dan kedua matanya memandang ke arah lain seolah tidak 

mau memperhatikan ke datangan rombongan Pangeran Panji. Yang mengherankan Pangeran 

Panji dan kawan-kawannya ialah ketika melihat di bawah cabang pohon di mana sang dara 

duduk, berkeliaran lebih dari selusin babi hutan dan anak-anaknya yang gemukgemuk. Binatang 

ini berkerumun di bawah pohon seolah-olah binatang peliharaan yang menunggu tuannya. 

"Kepik Kuntolo!" kata Pangeran Panji pada penunjuk jalan. "Ini orangnya yang kau sebutBetina Penghisap Darah itu?" 

"Saya... Saya tidak dapat memastikan Pangeran." jawab Kepik Kuntolo karena melihat 

kecantikan si gadis seperti itu hatinya tentu saja bimbang untuk memastikan bahwa gadis itu 

adalah mahluk jahat penghisap darah yang selama ini dikabarkan gentayangan di hutan Kemikir. 

Pangeran Panji tersenyum. Dia memandang pada Jaka Dolok dan berkata dengan suara per-

lahan. "Memang terasa aneh kalau ada gadis secantik ini berada dalam rimba belantara. Lalu babi-

babi hutan itu seperti binatang peliharaannya. Berkeliaran di bawah pohon tempat dia duduk. 

Apa pendapatmu Jaka?" 

"Saat ini yang ingin kulakukan ialah menyapa dirinya lalu berkenalan. Setelah itu... He.... 

he... he. Kalau aku yang mendapatkannya lebih dulu jangan kalian mengiri." Jaka Dolok 

kedipkan matanya. Kudanya dimajukan sampai ke bawah pohon. Binatang ini tidak mau 

bergerak. Dengan susah payah akhirnya Jaka Dolok berhasil juga membuat kuda ini maju 

beberapa langkah. Kini kepala Jaka Dolok tepat berada di depan cabang pohon tempat dara 

berbaju ungu duduk. 

"Gadis cantik di atas pohon. Namaku Jaka Dolok. Katakan siapa namamu, mengapa berada 

di rimba ini. Apakah babi-babi hutan ini peliharaanmu. Lalu yang paling penting apakah aku 

boleh berkenalan denganmu?" 

Si gadis yang sejak tadi memandang ke arah kejauhan palingkan kepalanya. Dia memandang 

ke bawah. Jaka Dolok kini dapat melihat wajah itu sepenuhnya. Benar-benar cantik sekali hingga 

dia jadi terkesiap. Namun dalam terpesona begitu pemuda ini melihat ada kilatan sinar aneh pada 

sepasang mata sang dara. 

"Hai...!" kata Jaka Dolok. Dia coba tersenyum. Tangan kanannya diulurkan ke atas hendak 

meraba betis si gadis yang tersembul putih dan mulus. Si gadis angkat kakinya hingga tangan Jaka 

Dolok hanya meraba cabang pohon. 

"Para pemburu telah tiba. Saat hukuman dijatuhkan!" Gadis di atas pohon terdengar berkata. 

"Eh, aku bertanya. Kau malah bicara apa?" kembali Jaka Dolok membuka mulut. 

"Pertanyaanmu banyak sekali! Gerakan tanganmu tidak sopan! Pergilah!" kata gadis

berpakaian ungu di atas cabang pohon. Tiba- tiba kaki kanannya borgerak cepat sekali. 

Wuuut! 

"Jaka awas!"teriakPanji Kenanga yang melihat apa yang terjadi dari kejauhan. 

Bukkk! 

Teriakan itu terlambat sebagaimana terlambatnya Jaka Dolok menghindarkan kepalanya dari 

tendangan kaki gadis di atas pohon. Tubuhnya terpental sewaktu kepalanya dihantam tendangan 

dan terkapar jatuh satu langkah dari hadapan rombongan Pangeran Panji. Tujuh ekor kuda 

meringkik keras. Tubuh Jaka Dolok tidak berkutik lagi. Kepalanya sebelah kanan hancur 

mengerikan! 

"Gadis keparat! Apa yang kau lakukan terhadap temanku?!" teriak Panji Kenanga marah. 

"Kau sudah melihat sendiri, mengapa masih bertanya?" menyahuti si gadis di atas pohon. 

Mendengar jawaban itu kemarahan Pangeran Panji jadi menggelegak. Dicabutnya tombak 

besi yang tersisip di kantong pada leher kudanya. Seniata ini kemudian digebukkannya ke arah si 

gadis. 

Traakk! 

Hantaman tombak besi hanya mengenai cabang pohon hingga berderak patah. Sedang si 

gadis sendiri saat itu sudah melompat dari duduknya. Tubuhnya melayang ke atas. Begitu turun 

kakinya menendang lagi. Kali ini tombak di tangan Pangeran Panji yang jadi sasaran hingga 

senjata itu mental. Selagi sang Pangeran merasakan pedas pada telapak dan jari-jari tangan 

kanannya, dari atas tiba-tiba dara berbaju ungu itu melayang turun. Kedua tangannya meluncur 

ke arah batang leher Pangeran Panji. 

"Pangeran awas!" teriak tiga pengawal dan dua temannya berbarengan. 

"Astaga! Lihat! Sepuluh jarinya mengeluarkan kuku panjang merah!" salah seorang anggota 

rombongan kembali berteriak. 

Saat itu Pangeran Panji telah siap mencabut golok yang tersisip di pinggangnya. Namun dia 

hanya sempat memegang gagang senjata ini. Sepuluh kuku merah yang ada lobang-lobangnya 

menancap di tenggorokannya. Tubuhnya terangkat ke atas. Pangeran Panji berteriak keras.Matanya membeliak. Lidahnya terjulur. Darah mengucur deras dari sepuluh lobang pada lehernya 

yang ditembus sepuluh kuku merah. Tapi lebih banyak lagi darah yang tersedot lewat ujung-

ujung kuku berlubang itu! 

Pangeran Panji hanya mampu menggeliat-geliat beberapa saat. Tubuh itu kemudian tampak 

terkulai. Ketika cengkeraman dilepas, tubuh Pangeran Panji jatuh ke bawah dan menyangsang 

diatas serumpunan semak belukar. Untuk kesekian kalinya kuda-kuda yang ada disitu 

mengeluarkan suara ringkikan keras. 

"Dia... dia benar-benar mahluk berjuluk Betina Penghisap Darah itu..." kata Kepik Kuntolo, 

dengan suara gemetar dan muka pucat. Karena tidak dapat lagi menahan rasa takutnya penunjuk 

jalan ini putar kudanya dan menghambur lari dari tempat itu. 

Dua orang pemuda kawan Pangeran Panji yang ada dalam rombongan sebenarnya juga 

sudah dilanda rasa takut. Namun salah seorang dari mereka masih berusaha berteriak pada tiga 

orang pengawal agar segera membunuh gadis berpakaian ungu itu. Tiga pengawal segera 

menghunus senjata. Dua mencabut golok, satu menyiapkan tombak. Mereka melompat turun 

dari kuda masing-masing. 

Gadis berbaju ungu berdiri dengan kaki terkembang. Mulutnya dan lidahnya sibuk menjilaii 

kedua tangannya yang berlumuran darah. 

Dua golok dan satu tombak berkelebat. Si gadis keluarkan suara tertawa panjang. Tubuhnya 

berputar membelakangi ke tiga penyerang. Tiga orang pengawal menyangka gadis itu hendak 

melarikan diri. Tapi mereka tersentak kaget begitu laksana kilat kaki kanan lawan melesat 

menghantam kepala mereka satu persatu. Ketiganya mencelat dan terhempas di tanah saling 

tindih. Masing-masing mengeluarkan suara erangan pendek. Tangan atau kaki mereka menggeliat 

sesaat setelah itu ketiganya tak bergeming lagi! 

Dua orang pemuda yang ada di tempat itu putus nyali mereka. Tidak tunggu lebih lama 

keduanya sepera memutar kuda untuk melarikan diri. Gadis berpakaian ungu tertawa melengking. 

"Kalian mau lari kemana?!" teriaknya. Tubuhnya melesat ke atas cabang pohon. Tepat paaa 

saat aua pemuda berkuda lewat di bawahnya, dia melompat turun. Kaki kanan menendang,tangan kiri memukul. 

Bukkk! 

Pemuda di sebelah kanan hancur dadanya dan remuk jantungnya. Darah membersit keluar 

dari tubuhnya yang melayang terpental. Pemuda kedua siap menerima kematian begitu jotosan 

tangan kanan gadis berbaju ungu menderu ke arah batok kepalanya. Tiba-tiba terdengar suara 

orang berteriak. 

"Anggini! Jangan!" 

Sebutan nama itu tidak mengejutkan si gadis. Yang membuat dia kaget adalah keras dan 

membahananya suara teriakan tadi pertanda orang yang berteriak memiliki tenaga dalam sangat 

tinggi. Suara teriakan itu membuat gadis berpakaian ungu tarik pulang serangannya. Pemuda di 

atas kuda sadar kalau dirinya diselamatkan oleh teriakan yang tiba-tiba tadi, secepat kilat 

menggebrak kudanya dan lari dari tempat itu. 

Seorang pemuda berpakaian dan berikat kepala putih berkelebat muncul di antara tebaran 

mayat. Dia memandang pada gadis berbaju ungu dengan rasa tidak percaya. Tengkuknya bergidik 

ketika melihat kedua tangan gadis itu berlumuran darah. Darah juga kelihatan menempel di 

mulut dan wajahnya 

"Anggini! Kenapa kau lakukan ini semua?!" 

"Siapa kau!" bentak gadis berbaju ungu. Kedua matanya memandang tak berkesip. 

"Ah, kau tak mengenali diriku lagi? Aku Wiro. Murid Eyang Sinto Gendeng dari Gunung 

Gede. Gurumu Dewa Tuak dan guruku saling bersahabat. Kita memang sudah sangat lama tidak 

pemah bertemu!" 

Mulut yang berlumuran darah itu kelihatan menyeringai. "Untung kau datang sekarang. 

Kalau tadi-tadi selagi aku masih haus pasti darahmu akan kuminum! Tapi lain kali, jika kau 

berani muncul lagi di hadapanku akan kuhisap seluruh darah yang ada ditubuhmu!" 

Habis berkata begitu gadis berbaju ungu ini berpaling pada belasan ekor babi hutan dan 

anak-anaknya yang masih berkerumun di bawah pohon, Aneh, binatang-binatang itu sama sekali 

seperti tidak terusik oleh apa yang terjadi di tempat itu."Kalian sudah selamat! Pergilah!" berkata gadis berbaju ungu lalu lambaikan tangannya. Ada 

satu gelombang angin menyapu tubuh babi-babi hutan itu. Serentak, seperti tersadar binatang-

binatang itu keluarkan suara melenguh lalu lari beriringan masuk ke dalam bagian hutan yang 

lebih lebat. 

Si gadis melirik ke arah pemuda di sampingnya. Tubuhnya bergerak dan tahu-tahu dia sudah 

berkelebat dari tempat itu. 

"Anggini! Tunggu!" teriak Wiro sambil mengejar. 

Satu gelombang angin sedingin es menghantam Pendekar 212. Wiro berseru kaget dan cepat 

menyingkir. Sambaran angin dingin yang masih sempat menyapu tubuhnya sebelah kanan mem-

buat dia menjadi kaku beberapa saat dan tidak mampu meneruskan mengejar! 

***

PENDEKAR 212 kerahkan tenaga dalam yang mengandung hawa panas ke bagian tubuhnya 

yang kaku dilanda pukulan hawa dingin tadi. 

"Luar biasa!" katanya dalam hati. "Eyang mewariskan pukulan angin es padaku. Tapi untuk 

menundukkan musuh dengan pukulan itu membutuhkan waktu. Sebaliknya Anggini mampu 

melakukannya dengan sangat cepat. Dewa Tuak setahuku tidak memiliki ilmu pukulan hawa 

dingin seperti itu. Pasti gadis ini mempelajarinya dari orang lain!" Wiro garuk-garuk kepala. Dia 

menghela nafas ketika memperhatikan mayat-mayat yang bergelimpangan di tanah. "Heran, 

kenapa gadis itu berubah menjadi ganas dan jahat? Apa yang dialaminya?" Wiro melangkah 

mendekati mayat pengawal yang saling tumpang tindih.Kembali dia memperhatikan mayat sang 

Pangeran. "Yang satu ini kelihatannya bukan pemuda sembarangan." Wiro membungkuk dan 

menarik kalung yang masih melingkar di leher yang hancur mengerikan itu. Ketika diperhatikan-

nya kalung itu terkejutlah murid Sinto Gendeng. 

Dia mengenali kalung seperti itu hanya dimiliki dan dipakai oleh putera-putera Istana. 

"Pemuda satu ini pasti seorang Pangeran...." kata Wiro. "Sri Baginda tentu tidak akan tinggal 

diam. Anggini pasti akan dikejar sampai ke ujung dunia sekalipun. Dan Dewa Tuak akan terseret-

seret.... Apa yang yang sekarang harus kulakukan? Mengurusi mayat-mayat sebegini banyak? Biar 

setan-setan hutan saja yang mengurus mereka!" kata Wiro lalu tinggalkan tempat itu. Rasa 

penasaran membuat dia bergerak ke arah lenyapnya Anggini tadi. Dia mencoba untuk mengejar 

gadis itu walau sadar kalau saat itu si gadis sudah berada jauh. 

***

BERITA yang disampaikan Kepik Kuntolo dan pemuda kawan Pangeran Panji yang selamat 

membuat geger Istana. Sri Baginda langsung memanggil beberapa Perwira Tinggi. Dua orang 

tokoh silat Istana yang kebetulan sedang mengadakan pertemuan di Istana ikut mendampingi 

para Perwira Itu. Mereka adalah Ki Ageng Timur yang dikenal dengan gelar Si Gelang Setan dan 

Ki Sambar Tringpali berjuluk Si Cangklong Maut. Kedua tokoh silat Istana ini sama berusia di 

atas 70 tahun dan telah mengabdi lebih dari 40 tahun hingga mereka sangat disegani baik di 

dalam maupun di luar Istana. 

Abdi Jalakdiri, pemuda teman Pangeran Panji yang berhasil lolos dari tangan Betina 

Penghisap Darah, melaporkan bahwa dia sempat menyaksikan munculnya seorang pemuda 

berambut gondrong, berpakaian dan berikat kepala putih. Pemuda ini memanggil Betina 

Penghisap Darah dengan nama Anggini. Sedang si pemuda sempat didengarnya memperkenalkan 

diri sebagai Wiro. Jelas kedua orang itu saling mengenal. 

"Satu bernama Anggini. Satunya lagi Wiro," mengulang Sri baginda lalu berpaling pada dua 

orang tokoh silat Istana. "Kalian pernah mendengar nama-nama itu?" 

"Dalam dunia persilatan hanya ada satu orang bernama Wiro," kata Ki Sambar Tringgali. 

Dia digelari Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Murid tunggal seorang nenek sakti di 

Gunung. Gede. Setahu saya dia tidak termasuk kelompok orang jahat. Tapi manusia bisa saja 

berubah." 

"Aku minta kalian menangkap orang itu. Tangkap hidup-hidup. Seret ke hadapanku. Bunuh 

di tempat kalau dia melawan!" 

"Akan kami lakukan Sri Baginda," kata Ki Sambar Tringgali alias Si Cangklong Maut. Lalu 

disedotnya cangklongnya (pipa) dalam-dalam. 

"Bagaimana dengan si pembunuh sendiri. Gadis dajal berjuluk Betina Penghisap Darah itu! 

Namanya sudah diketahui. Anggini. Apa diantara kalian ada yang kenal atau tahu menahu 

tentang dirinya?" 

"Saya tidak berani memastikan. Tapi dari ciri-ciri warna pakaian yang dikenakannya saya bisa 

menduga. Saya harap tidak meleset," menjawab Ki Ageng Timur alias Si Gelang Setan. Dipinggangnya tergantung lima buah besi pipih tajam berbentuk gelang yang menjadi andalannya 

dan membuat dia menyandang gelar yang angker itu. "Sri Baginda ingat pada seorang tokoh silat 

disegani bernama Dewa Tuak?" 

"Tentu saja. Orang tua itu pernah beberapa kali membantu Kerajaan menghadapi kaum 

pemberontak dan para penyerang dari seberang. Apa hubungan Dewa Tuak dengan Anggini?" 

"Gadis penghisap darah itu adalah murid Dewa Tuak," jawab Ki Ageng Timur. 

Terkejutlah Sri Baginda mendengar hal itu. "Dunia benar-benar telah berubah!" katanya. 

"Yang putih dan baik bisa berubah menjadi hitam dan jahatl Kalian harus mencari gadis itu. 

Memandang diri Dewa Tuak kita seharusnya tidak boleh bertindak keras. Tapi mengingat nyawa 

puteraku telah direnggutnya secara keji, aku perintahkan kalian mencari dan membunuh gadis itu! 

Kemudian cari Dewa Tuak dan perintahkan dia menghadapku!" 

Atas kehendak Sri baginda tiga kelompok besar dibentuk. Kelompok pertama yang 

ditugaskan untuk mengambil mayat Pangeran Panji Kenanga dan kawan-kawannya serta 

pengawal hutan Kemikir. Kelompok ini cukup dipimpin oleh seorang Perwira Muda. 

Kelompok kedua dipimpin oleh Ki Ageng Timur dan Ki Sambar Tringgali. Mereka 

ditugaskan untuk mencari Anggini dan Pendekar 212. Dalam kelompok ini ikut serta Kepik 

Kuntolo si penunjuk jalan dan abdi Jalakdiri kawan Pangeran Panji. Kelompok ke tiga dikepalai 

oleh seorang Perwira Tinggi dengan tugas mencari Dewa Tuak. 

Karena Anggini dan Pendekar 212 sebelumnya diketahui berada di hutan Kemikir maka 

Kelompok pertama dan kelompok kedua secara bersamaan segera berangkat menuju rimba 

belantara itu. 

Setelah mayat-mayat yang ditemukan dalam hutan dimasukkan ke dalam beberapa peti mati, 

rombongan yang dipimpin Ki Sambar Tringgali dan Ki Ageng Timur segera melanjutkan 

perjalanan menembus lebih jauh ke dalam hutan Kemikir. Kepik Kuntolo, menunjuk jalan yang 

sebelumnya menemani Pangeran Panji berburu ikut dalam rombongan ini ditunjuk sebagai 

petunjuk jalan karena dia yang mengetahui seluk beluk hutan tersebut. 

Saat itu matahari mulai menggelincir ke titik tenggelamnya. Setelah berunding beberapaketika rombongan memutuskan untuk meneruskan perjalanan dan baru berhenti kalau kegelapan 

benar-benar tidak memungkinkan untuk ditembus pandangan mata. Tepat ketika matahari 

lenyap di ufuk Barat, rombongan mendengar suara gemercik air di kejauhan. 

"Kita berada dekat aliran anak sungai Opak Kemikir," menerangkan Kepik Kuntolo. 

"Kalau begitu kita berkemah di dekat anak sungai itu," kata Ki Sambar Tringgali. 

Kepik Kuntolo mengangguk dan meneruskan bergerak di depan rombongan. Tak berapa 

lama kemudian di kegelapan yang temaram kelihatan sebuah jeram pendek. Air sungai yang jatuh 

dari bagian atas jeram inilah yang tadi mereka dengar suara gemericiknya. 

"Ah, ternyata kita sudah keduluan orang," kata Kepik Kuntolo. 

"Betul, memang kelihatan ada seseorang di dekat jeram sana," berkata Ki Ageng Timur 

sambil menatap jauh ke arah jeram anak sungai Opak Kemikir yang mulai gelap. 

"Astaga!" terdengar Abdi Jalakdiri berucap. 

"Ada apa?" tanya Ki Sambar Tringgali cepat. 

"Orang di dekat jeram itu! Dia adalah pemuda yang saya terangkan. Yang mengaku bernama 

Wiro dan memanggil gadis berpakaian ungu itu sebagai Anggini!" 

"Kau tidak salah lihat anak muda?" tanya Ki Ageng Timur. 

"Tidak. Itu memang dia. Saya mengenali rambutnya yang gondrong!" jawab Abdi Jalakdiri. 

"Kalau begitu lekas kurung daerah sekitar jeram!" perintah Ki Ageng Timur. 

Dua puluh orang perajurit yang ikut dalam rombongan itu, dibawah seorang Perwira Muda 

segera bergerak dalam kegelapan. Mereka sudah terlatih baik hingga dalam waktu singkat, tanpa 

mengeluarkan suara daerah sekitar jeram dimana pemuda berambut gondrong itu berada sudah 

dikurung rapat. Masing-masing perajurit mencekal golok panjang atau pedang berkeluk. Ki Ageng 

Timur dan Ki Sambar Tringgali melompat turun dari kuda masing-masing. Kepik Kunolo dan 

Abdi Jalakdiri juga turun dari tunggangan mereka. Namun kedua orang ini tetap di tempat, tidak 

bergerak mengikuti langkah dua tokoh silat Istana yang berjalan cepat menuju jeram anak sungai 

Opak Kemikir.

***

PENDEKAR 212 bukan tidak tahu kalau saat itu dia tidak sendiri lagi di sekitar jeram. Semula 

dia menyangka gerakan-gerakan yang didengarnya didalam gelap adalah gerakan Anggini yang 

tengah dikejarnya dan mungkin kembali menemuinya. Namun ketika diketahuinya bahwa tidak 

hanya ada satu orang berada di tempat itu, melainkan lebih dari dari dua puluh orang, murid 

Sinto Gendeng segera bersiap-siap penuh waspada. Dia membatalkan membasuh mukanya 

dengan air sungai. 

"Harap berikan jawaban. Apakah kami berhadapan dengan Pendekar 212 murid Sinto 

Gendeng dari Gunung Gede?!" Satu suara menegur. Wiro berpaling. Diam-diam dia terkejut 

karena ternyata orang yang bertanya itu sudah berada demikian dekat dengan dia. Hanya terpisah 

sekitar tujuh langkah dan ternyata seorang tua berjubah kelabu, berikat pinggang merah. Pada ikat 

pinggangnya mencantel lima buah gelang pipih terbuat dari besi. Orang tua ini tidak sendirian. 

Disampingnya tegak pula seorang tua lainnya, mengenakan baju hitam. Kedua tangan 

dirangkapkan di depan dada sedang dimulutnya terselip sebuah cangklong yang mengepulkan 

asap terus-terusan. Wiro melirik. Paling tidak sekitar dua puluh orang dilihatnya mendekam 

dalam gelap, mengurung tempat itu. 

"Orang tua, harap beri tahu dulu siapa yang bertanya dan ada keperluan apa mengajukan 

pertanyaan?" 

Semula Ki Ageng Timur hendak marah melihat orang tidak menjawab pertanyaannya tapi 

malah balik mengajukan pertanyaan. Namun kawan di sebelahnya cepat menyahuti. 

"Kawanku ini bernama Ki Ageng Timur, bergelar Si Gelang Setan. Aku sendiri Ki Sambar 

Tringgali berjuluk Si Cangklong Maut. Kami adalah utusan Istana dengan tugas menangkap 

dirimu jika kau benar Pendekar 212 Wiro Sableng!" 

"Saya memang bernama Wiro. Mengenai gelaran Pendekar 212 itu tidak perlu dibesar

besarkan. Ada persoalan apa Istana mengutus kalian orang-orang tua yang gagah menangkap 

diriku? Kesalahan apa yang telah saya lakukan terhadap kerajaan?" 

"Kawanmu gadis berbaju ungu bernama Anggini itu telah membunuh Pangeran Panji 

Kenanga, putera Sri baginda!" Terdengar jawaban dari belakang kedua orang tua itu. Yang bicara 

ternyata adalah Abdi Jalakdiri, sahabat Pangeran Panji. 

"Hemmmm... Begitu!" Wiro garuk-garuk kepala sambil memandangi dua wajah orang tua di 

depannya. "Kalau memang kawanku yang membunuh Pangeran Panji, kenapa aku yang hendak 

kalian tangkap?" 

"Satu orang berbuat jahat, kawannya patut diamankan!" sahut Ki Ageng Timur. 

Wiro menyeringai. "Aturan dari mana yang menogatakan begitu Ki Ageng Timur. Jika 

kawanmu Ki Sambar Tringgali berbuat jahat, apakah kau mau juga ikut-ikutan ditangkap?l" 

Paras Ki Ageng Timur menjadi merah dalam gelapnya malam. "Sudah! Kau jangan banyak 

mulut. Sebelum kami tangkap katakan dulu di mana teman perempuanmu yang telah membunuh 

putera Sri Baginda itu?!" 

"Mana saya tahu! Sayapun sedang dalam mengejarnya!" 

"Kalau kau mengejarnya, kau pasti tahu kemana dia melarikan diri!" sentak Ki Ageng Timur. 

Wiro kembali menyeringai. "Saya seperti bertanya jawab dengan anak kecil. Saya tahu 

sahabat saya itu telah melakukan pembunuhan-pembunuhan keji. Sayapun mendapat tugas untuk 

menangkapnya. Tapi tidak untuk menghadapkannya pada Sri baginda, melainkan membawanya 

ke hadapan gurunyal" 

"Kau tidak akan berhasil melakukan hal itu, Pendekar 212. Karena saat ini juga kau harus 

menyerahkan diri. Jika kau mau menyerah secara tanpa perlawanan, aku berjanji tidak akan ada 

segores lukapun diderita tubuhmu!" 

"Kalau saya melawan?" tanya Wiro pada Ki Ageng Timur. 

"Tubuhmu akan kami cincang sampai lumat!" 

"Ah! Mengerikan sekali!" ujar Wiro sambil sunggingkan senyum dan garuk-garuk kepalanya. 

"Kalau kalian minta keterangan tentang sahabat saya itu, saya rasa itu adalah satu hal yang wajar.Tapi kalau kalian menyuruh saya menyerah dan mencincang jika melawan..." Wiro hentikan 

ucapannya lalu tertawa gelak-gelak. "Hutan ini memang banyak hantu dan setannya. Saya kawatir 

kalian semua sudah pada kena kesambat hingga meracau dan hendak melakukan tindakan yang 

bukan-bukan!" 

"Pendekar bermulut lancangl" bentak Ki Ageng Timur. "Rupanya kau memang minta 

dicincang!" Lalu orang tua bergelar Si Gelang Setan ini loloskan lima gelang besi pipih dari ikat 

pinggangnya. Tanpa banyak cerita lagi sebuah dari senjata itu dilemparkannya ke arah Pendekar 

212! 

Besi hitam pipih berbentuk gelang itu menoeru dalam gelapnya malam, hampir tak terlihat. 

Suaranya menderu seperti angin punting beliung dan mengarah ke leher Wiro. 

Pendekar 212 jatuhkan diri. Karena dia berada di bagian anak sungai yang dangkal maka 

waktu jatuh sekaligus dia memukulkan telapak tangan kanannya ke atas air. Air sungai muncrat 

melesat ke arah Ki Ageng Timur. Orang tua ini tak menyangka akan diberi perlawanan seperti itu 

tidak sempat menghindar. Akibatnya muka dan jubah kelabunya basah terkena cipratan air. Ki 

Ageng Timur memaki habis-habisan. Dia mengangkat tangan kanannya. Gelang besi yang tadi 

tidak mengenai sasarannya secara aneh berputar membalik ke arah Wiro, kini menyerang dari 

belakang. Inilah kshebatan senjata gelang besi pipih itu hingga tidak percuma Ki Ageng Timur 

dijuluki Si Gelang Setan. Sulit bagi lawan untuk mencari selamat dari senjata anehnya ini. 

Selagi gelang besi pertama menderu dari belakang, Ki Ageng Timur lepaskan gelang kedua. 

Kini Pendekar 212 diserang dari belakang dan dari depan. Saat itu Wiro tengah bangkit berdiri. 

Gelang besi pertama yaitu yang datang dari belakang melesat ke arah batok kepalanya. Sedang 

yang di sebelah depan menyambaf ke arah perutnya. 

Satu-satunya jalan bagi Wiro untuk mencari selamat adalah dengan membuang diri ke sam-

ping. Akibataya tubuhnya tercebur masuk ke dalam sungail Tapi adalah lebih baik basah kuyup 

dari pada ditambus gelang besi pipih itu dari belakang dan dari depan. 

Begitu serangannya lagi-lagi luput, Ki Ageng Timur angkat kedua tangannya. Seperti tadi 

secara aneh dua gelang maut itu membalik kembali dan untuk beberapa lamanya berputar-putardiatas permukaan air. Hal ini membuat Pendekar 212 tidak bisa mengeluarkan dirinya dari dalam 

air sungai! Kecuali kalau dia mau ditabas oleh dua gelang pipih yang luar biasa tajamnya itu. 

"Sialan!" maki Wiro. Dia kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. Lalu dalam keadaan 

menelentang di dalam air dia lepaskan pukulan "Segulung ombak menerpa karang" dengan 

pengerahan tenaga dalem tinggi! 

Byuur! 

Air sungai muncrat disambar angin pukulan. 

Dua buah gelang di atas permukaan air tampak bergetar keras lalu terpental. Wiro cepat 

melompat ke luar dari dalam air. Masih dalam keadaan setengah membungkuk dia lepaskan lagi 

satu pukulan tangan kosong yaitu pukulan 'kilat menyambar puncak gunung." 

Ki Ageng Timur berseru kaget ketika melihat dua buah gelang besi pipihnya sanggup dibuat 

mental. Tapi dia tidak kawatir karena begitu mental, dua buah gelang maut itu berputar di udara 

laiu melesat ke arah Wiro kembali! Yang membuat dia terkejut adalah ketika menerima pukulan 

kedua yang laksana petir menyambar panas ke arah dirinya. Oranq tua ini lekas melompat setinggi 

dua tombak untuk selamatkan diri. 

Wiro sendiri terkejut bukan kepalang ketika dilihatnya dua buah senjata lawan dengan 

dahsyat kembali menyerang dirinya. 

"Setan!" maki Wro. Terpaksa dia jatuhkan diri dan kembali tercebur ke dalam air. Tidak 

menunggu lebih lama murid Sinto Gendeng ini segera cabut Kapak Maut Naga Geni 212 dari 

pinggangnya. Begitu senjata mustika sakti ini dibabatkan ke atas, semua orang yang ada di tempat 

itu jadi terkejut ketika mendengar suara menderu seperti ribuan tawon mengamuk. Air sungai 

kembali muncrat dan kali ini membasahi hampir semua orang yang ada di tempat itu. 

Traang! Traang! 

Kapak Maut Naga Geni 212 membentur dua gelang maut. Wiro merasakan tangannya yang 

memegang kapak tergetar keras. Gagang senjata itu hampir terlepas dari tangannya. Sebaliknya 

dua buah gelang besi milik Ki Ageng Timur patah dua dan bermentalan di udara! 

Ki Ageng Timur sendiri sampai berseru kaget saking tidak percaya melihat apa yang terjadidengan kedua senjata yang sangat diandalkannya itu. Selama ini kalaupun ada lawan yang 

sanggup menangkis serangan gelang mautnya maka senjata itu hanya bisa dibuat mental tapi tidak 

dapat dibuat patah berantakan seperti yang kini disaksikannya , sendiri. Selain marah; tokoh silat 

Istana itu juga merasa malu. Maka sekaligus dia loloskan tiga gelang maut yang masih mencantel 

di pinggangnya. Tiga gelang ini kemudian dilemparkan ke arah Wiro yang saat itu sudah 

melompat ke tepi anak sungai. Suara deru tiga buah gelang maut itu laksana topan yang datang 

menggila dari laut. 

Ternyata saat itu Wiro bukan hanya menghadapi serangan tiga buah gelang maut, tetapi Ki 

Sambar Tringgali rupanya telah mulai turun tangan membantu kawannya. Orang tua satu ini 

berpandangan tajam. Melihat apa yang barusan terjadi dia cukup sadar kalau Ki Ageng Timur 

tidak akan begitu mudah untuk mengalahkan Pendekar 212. Maka dia sedot cangklongnya 

dalam-dalam. Asap yang terkumpul di mulut dan leher serta dadanya dihembuskan ke depan, ke 

arah Wiro. Terjadilah hal yang luar biasa. 

Asap berwarna kelabu itu bergulung membuntal-buntal, menyungkup ke arah kepalanya 

hingga pemandangannya tertutup padahal saat itu pula tiga buah gelang besi pipih yang 

dilepaskan Ki Ageng Timur melesat ke arah kepala, dada dan kakinya! Di samping itu asap ini 

mengeluarkan hawa aneh yang bukan saja memerihkan mata dan kulit tetapi jika sempat 

memasuki jalan napas akan menyerbu masuk ke dalam paru-paru dan membuat tubuh menjadi 

lemas dengan seketika! 

Wiro yang sudah maklum kalau asap caklong orang tua berbaju hitam itu sama berbahayanya 

dengan serangan tiga buah gelang besi dengan cepat putar Kapak Maut Geni 212 di sekeliling 

tubuhnya. 

Ki Ageng Timur yang tadi sudah melihat kedahsyatan senjata di tangan Pendekar 212 tentu 

saja tidak mau kehilangan gelang besinya yang kini hanya tinggal tiga. Segera orang tua ini angkat 

ke dua tangannya. Tiga buah gelang besi yang melesat di udara bergeser bertebaran hingga selamat 

dari sapuan Kapak Maut Naga Geni 212 di tangan Wiro. Walau Wiro terhindar dari serangan 

gelanggelang besi itu namun asap cangklong yang dihembuskan Ki Sambar Tringgali ternyataberhasil menyusup lolos dari terpaan senjata saktinya. Matanya terasa perih. Kulit muka dan kulit 

tubuhnya laksana dicucuki oleh puluhan jarum-jarum halus. 

"Celaka!" keluh murid Eyang Sinto Gendeng. Dia melompat menjauhi serangan asap. 

Namun terlambat. Walaupun hanya sedikit dia telah sempat menghirup hawa aneh asap kelabu 

itu. Tubuhnya mendadak terasa lemas. Dengan nekad dia kerahkan tenaga dalamnya sebaryak 

mungkin ke tangan kiri lalu lepaskan pukulan "sinar matahari" ke arah Ki Sambar Tringgali. 

Orang tua ini berseru kaget. Karena menyangka asap cangklongnya pasti akan merobohkan 

lawan maka dia berlaku sedikit ayal dan wuutt! Sinar menyilaukan dan panas luar biasa menyam-

bar ke arahnya. Ki Sambar Tringgali cabut cangklongnya dari mulut. Sambil melompat ke 

belakang dia pukulkan pipanya itu. Angin keras menggebubu dari mulut cangklong disertai 

melesatnya ratusan serpihan-serpihan tembakau bernyala. Benda-benda panas yang sanggup 

menembus daging tubuh dan menyusup sampai ke tulang ini musnah berantakan dihantam 

gelombang putih panas pukulan sinar matahari. Tangan Ki Sambar Tringgali yang memegang 

cangklong tergetar keras. Sambil berteriak marah orang tua itu melompat tinggi-tinggi. Dia 

seperti melayang di atas jalur panas pukulan sinar matahari danhantamkan kepala cangklongnya 

ke arah kepala Pendekar 212. Saat itu Wiro sendiri pandangannya masih terhalang oleh kepulan 

asap kelabu sedang tubuhnya terasa semakin lemas. Selagi dia berusaha mengatur jalan nafas dan 

peredaran darah saat itu pula hantaman cangklong datang. Di saat yang sama tiga buah gelang 

besi maut milik Ki Ageng Timur kembali gentayangan mencari sasaran di tiga bagian tubuhnyal 

"Celaka! Mati aku sekarang!" jerit Wiro dalam hati. Dengan sisa tenaganya yang ada 

diangkatnya Kapak Naga Geni 212 ke atas lalu disapukannya. Bersamaan dengan itu dia 

rundukkan kepala berusaha menghindari hantaman cangklong di tangan ki Sambar Tringgali. 

Trang! 

Sebuah dari tiga gelang besi berhasil ditangkis, dibuat mental berpatahan. Tapi yang dua lagi 

terus melesat ke arah kepala dan kakinya. Pada saat Wiro kehabisan daya untuk menyelamatkan 

jiwanya tiba-tiba dari arah belakangnya berkelebat satu bayangan ungu. Lalu terdengar suara pekik 

dahsyat seolah membelah gelapnya langit malam. Bersamaan dengan itu di udara melesat banyaksekali benda-benda panjang berwarna hitam disertai menebarnya bau amis. Di lain kejap 

terdengar jeritan Ki Ageng Timur disusul oleh leritan Ki Sambar Tringgali, menyusul pula jeritan-

jeritan lainnya hingga tempat itu hiruk pikuk oleh suara jeritan. Ringkikan kudapun kemudian 

terdeiiyar tiada henti! 

Wiro jatuh terduduk di tanah. Kapak Naga Geni 212 tergeletak di pangkuannya. Kedua 

matanya terbuka besar-besar untuk dapat menyaksikan apa gerangan yang terjadi. Tengkuk murid 

Sinto Gendeng ini menjadi sedingin es ketika diketahuinya bahwa benda-benda panjang yang tadi 

lewat di atas kepala dan di kiri kanannya adalah ular-ular berwarna hitam sepanjang satu tombak, 

Binatang-binatang yang tidak diketahui dari mana datangnya ini melesat menyerang dan 

mematuk semua lawan-lawannya. Tak satu orangpun bisa lolos dari patukan berbisa ular-ular itu. 

Ki Ageng Timur dan Ki Sambar Tringgali dipagut dan dipatuk oleh lima ekor ular. Keduanya 

menjerit-jerit tiada henti sam pai akhirnya roboh ke tanah dan tewas! Puluhan perajurit yang ikut 

dalam rombongan itu juga termasuk Kepik Kuntolo serta Abdi Jalakdiri ikut menjadi korban 

serangan ular. Tak satupun yang lolos dari maut yang datang secara mendadak tidak terduga ini. 

"Ya Tuhan, apapun yang terjadi seseorang telah menolongku!" kata Wiro. Dia berpaling ke 

belakang dan masih sempat melihat berkelebatnya satu sosok tubuh berpakaian ungu. 

"Anggini!" seru Wiro. Namun sosok tubuh itu telah lenyap di kegelapan. Ketika Wiro 

memandang ke depan kembali matanya jadi mendelak. Puluhan ular yang tadi menyerbu lawan-

lawannya kini tidak kelihatan iagi sementara dua puluh lima mayat manusia bergeletak di 

hadapannya penuh mengerikan! Saking lemasnya Wiro rebahkan diri menelentang. Kapak Naga 

Geni 212 diletakkannya di depan hidungnya guna menyedot hawa jahat atau racun yang sempat 

masuk ke,dalam tubuhnya. 

***

SUARA-SUARA jeritan kematian yang terdengar susul menyusul serta suara ringkikan kuda yang 

menggetarkan rimba belantara di permulaan malam yang gelap itu membuat seorang tua ber-

janggut putih dan membawa dua buah tabung bambu berisi tuak terkesiap sesaat. Dia berada di 

pinggiran hutan Kemikir. 

"Kalau tidak kuselidiki tidak puas hatiku!" kata orang tua ini dalam hati. Dia berkelebat 

masuk ke dalam hutan. Meskipun gelapnya hutan bukan alang kepalang, ditambah beban dua 

buah tabung tuak yang dibawanya, namun orang tua ini sanggup bergerak cepat diantara 

pepohonan dan semak belukar hingga akhirnya dia sampai di dekat jeram anak sungai Opak 

Kemikir. 

Dalam kegelapan dilihatnya banyak sekali sosok tubuh berkaparan di tanah. Ketika dia 

hendak mendekati, telinganya menangkap suara hembusan angin. Orang tua ini berpaling. 

Darahnya tersirap. Dia melihat berkelebat dan lenyapnya cepat sekali satu sosok tubuh. Namun 

meskipun hanya sesaat matanya yang tajam masih sempat mengenali sosok tubuh dan warna 

pakaian orang itu. 

"Anggini!" seru si orang tua yang bukan lain adalah Dewa Tuak. Dia mengejar ke arah 

lenyapnya sosok tubuh tadi. Mengejar kira-kira hampir sepeminuman teh di dalam rimba 

belantara yang gelap itu akhirnya Dewa Tuak berhasil mengejar orang di depannya. 

"Ah! Benar kau rupanya Anggini!" kata Dewa Tuak begitu berdiri menghadang di depan 

gadis berbaju ungu dengan nafas terengah-engah. 

"Orang tua buruk! Kau bicara dengan siapa?" gadis di depannya membentak, membuat si 

orang tua tersirap. Dengan mata mendelik Dewa Tua berkata. 

"Muridku, hutan ini memang gelap. Tapi mustahil kau tidak mengenali aku gurumu 

sendiri!'Anggini tertawa tinggi. 

"Di dunia ini memang banyak orang gila. Tapi tidak ada yang segilamu. Muncul dan 

mengigau mengatakan aku muridmu!. Hik... hik...hik... Pergilah, jangan membuat aku marah. 

Biar kuanggap saja kau sudah pikun dan matamu sudah lamur. Hingga tidak mengenali dan 

menganggap aku muridmu!" 

Dewa Tuak jadi penasaran. Dia melangkah mendekati muridnya. Si gadis justru bersurut 

mundur menjauhi orang tua itu. Dalam jarak terpisah delapan langkah dia membentak. "Kalau 

kau berani datang lebih dekat, kuputus nyawamu!' 

Dewa Tuak hentikan langkahnya. 

"Anggini, apa yang terjadi denganmu muridku? Setan mana yang masuk dan menguasai 

dirimu!' 

"Tua bangka keparat! Kau minta mati roasih belum beranjak dari hadapanku!" 

"Anggini! Aku yakin ada sesuatu yang t:dak beres dalam dirimu! Di dekat jeram aku 

menemus puluhan manusia berkaparan jadi mayat! Pasti kau yang membunuh mereka! Kau juga 

yang membunuhi beberapa tokoh silat dan menghisap darahnya. Kau juga yang membunuh 

Tumenggung Purboyo. Di Kotaraja aku menyirap kabar kematian Pangeran Panji. Pasti kau yang 

punya pekerjaan!" 

"Tua bangka buruk! Kalau kau sudah tahu apa yang hendak kau lakukan?!" 

"Kau layak menerima hukuman atas dosa-dosa beratmu itu!" 

Anggini kembali perdengarkan suara tertawa panjang. 

"Orang tual Aku tidak kenal siapa kau..." 

"Setan membalikkan matamu dan iblis mengacaukan otakmu!" sergah Dewa Tuak. 

"Dengar tua bangka keparat! Kalau kau segera menyingkir dari hadapanku kuampuni 

selembar jiwa busukmu. Tapi kalau kau masih berdiri di depanku sampai hitungan ketiga, 

terpaksa akan kuhisap darahmu sampai habis!" 

"Ah! Jadi benar rupanya apa yang aku dengar. Kau telah berubah menjadi seorang gadis iblis 

penghisap darah!"

"Satu!" teriak Anggini. 

Dewa Tuak tidak bergerak di tempatnya. 

"Dua!" 

"Dewa Tuak menyeringai, masih tak beranjak. 

"Tiga!" Anggini meneriakkan hitungan terakhir. 

Orang tua itu mendelik dan menggembor. 

Anggini berkelebat ke arah Dewa Tuak. Tangan kanannya dipukulkan. Angin sedingin es 

menyapu tubuh orang tua itu dan terkejutlah Dewa Tuak. Sekujur tubuhnya mendadak menjadi 

dingin kaku! 

Cepat-cepat orang tua ini ambil salah satu bumbung bambunya dan teguk tuak di dalamnya 

sampai tubuhnya terasa panas dan dia bisa mengusir hawa dingin yang membungkus dirinya. Rasa 

kaku yang menguasai dirinya serta merta lenyap. 

"Eh, tua bangka ini ternyata memiliki kepandaian tinggi. Kalau kuhisap darahnya pasti 

tenaga dalamku akan berlipat ganda!" Anggini membatin dalam hati. Lalu didahului teriakan 

nyaring gadis ini kembali menyerbu. 

Dewa Tuak tidak tinggal diam. Tuak yang masih bersisa di dalam mulutnya disemburkan ke 

arah muridnya. Anggini terkejut dan cepat menghindar. Salah satu lengan bajunya masih sempat 

tersambar beberapa tetes tuak hingga kelihatan berlubang-lubang. 

"Tua bangka kurang ajar! Terima kematianmu!" teriak Anggini marah. Sepuluh jari 

tangannya dipentang ke depan dan sepuluh kuku merah panjang mencuat keluar dari ujung-

ujung jarinya. Menyambar ke arah batang leher Dewa Tuak. 

Karena keliwat bernafsu untuk membunuh dan menyedot darah orang tua itu, Anggini tidak 

sempat melihat bagaimana Dewa Tuak memutar tabung bambunya lalu menyodokkan benda itu 

ke perutnya! 

Dukkk! 

Anggini menjerit. Tubuhnya terpental dan jatuh duduk di tanah. Tapi didahului oleh suara 

bentakan menggidikkan dia melompat bangkit dan menyerang ke arah orang tua itu kembali.Dewa Tuak terkejut bukan main. Hantaman ujung bumbung bambunya tadi seharusnya 

membuat Anggini luka parah dan patah tulang serta menjadikannya tidak berdaya. Tapi nyatanya 

gadis itu sanggup melompat bangkit dan menyerangnya dengan ganas kembali. Dewa tuak cepat 

melompat ketika lima jari tangan Anggini menyambar ke arah lehernya. Tapi gerakannya agak 

terlambat. 

Brett! 

Pakaian birunya sempat terenggut dan robek besar di bagian leher. Kulit lehernya bahkan 

ikut tergaris luka dan mengucurkan darah. Sepasang mata Anggini berkilat-kilat melihat cucuran 

darah itu. Lidahnya terjulur beberapa kali membasahi bibir. Tenggorokannya terasa kering. 

Hasrat untuk meneguk darah orang tua itu jadi berkobar-kobar. Didahului oleh suara jeritan 

keras kembali gadis ini menyerang dengan kedua tangan dipentang ke depan. 

"Sepasang tangan anak ini sangat berbahaya!" kata Dewa Tuak dalam hati. Tangannya 

bergerak ke pinggang. Ketika tangan itu digerakkan untuk kedua kalinya, didalam gelap meluncur 

selarik benda aneh, membuntal dan bergulung menyambar ke arah ke dua tangan Anggini. Benda 

ini bukan lain adalah benang sutera halus yang merupakan salah satu senjata andalan si orang tua. 

Benang ini melesat dalam kecepatan luar biasa dan segera menggulung mengikat kedua 

pergeiangan tangan Anggini. Dewa Tuak menggerakkan lagi tangannya. Benang sutera terulur 

semakin panjang dan terus melibat sampai ke bahu, terus lagi sampai ke tubuh Angginit 

Membuat gadis itu terikat tak berdaya! 

Dewa Tuak menarik nafas lega. Akhirnya berhasil juga dia meringkus murid yang telah 

menebarkan mala petaka besar itu. Dia melangkah maju. Tapi tiba-tiba di depannya Anggini 

keluarkan suara tertawa panjang. Di saat yang sama sebuah benda panjang hitam melesat seolah-

olah melayang jatuh dari langit. Anggini tertawa lagi. Mulutnya dibuka lebar-lebar. Benda yang 

melayang ke bawah itu masuk ke dalam mulutnya dan lenyap! 

Uewa tuak tidak dapat memastikan benda apa yang masuk ke dalam mulut muridnya itu. 

Die juga tidak bisa menduga ilmu apa sebenarnya kini yang dimiliki Anggini. 

Lalu dilihatnya sang murid membuka mulutnya lebar-lebar. Dari dalam mulut itu

menyeruak keluar kepala dan tubuh seekor ular hitam. 

"Ya Tuhan! Jadi ular rupanya yang masuk ke dalam mulutnya tadi!" kata Dewa Tuak dengan 

mata melotot! 

Anggini tertawa. Ketika tawanya lenyap terdengar dia berkata. "Dewi lepaskan ikatanku!" 

Ular hitam didalam mulut meluncur keluar lalu kepalanya bergerak cepat. Mulutnya mematuk 

kian kemari. Dalam waktu cepat sekali seluruh ikatan benang sutera sakti yang membuat Anggini 

tidak berdaya berputusan. Kedua tangan dan sekujur badannya kini bebas dari ikatan benang 

sutera itu. 

Dewa Tuak sampai ternganga dan mendelik besar saking tidak percayanya melihat apa yang 

terjadi. Kedua kakinya menyurut mundur. 

"Saatmu untuk mati tua bangka keparat!" kata Anggini. Dia mengusap tubuh ular hitam 

yang sebagian badannya masih berada di dalam mulut dan lehernya. "Dewi! Bunuh orang tua 

itu!" perintahnya pada sang ular. Binatang ini menegakkan kepalanya. Dari mulutnya terdengar 

suara mendesis. Lidahnya yang berwarna merah berkelebatan mengerikan. "Dewi! Kau tunggu apa 

lagi?!" bentak Anggini. 

Ular dalam mulutnya meluncur keluar. 

"Anggini! Jangan!" tiba-tiba ada satu teriakkan menggeledek. 

Mulut si gadis terkancing, menahan gerakan tubuh ular hitam yang hendak melesat ke arah 

Dewa Tuak. Gadis ini berpaling ke arah datangnya suara teriakan tadi., Dari dalam gelap 

dilihatnya muncul pemuda berpakaian putih dan berambut gondrong itu. 

"Kurang ajar! Dia muncul lagi!" kata Anggini dalam hati. Dia memutar tubuh menghadapi 

pemuda itu. Dielusnya tubuh ular yang ada dalam m,ilutnya. "Dewi! Sasaranmu berubah. Bunuh 

pemuda itu!" 

Ular hitam didalam mulut kembali tegakkan kepalanya. Begitu dia melesat, pemuda 

berambut gondrong mendahului menghantam. Dari tangan kanannya berkiblat sinar putih 

menyilaukan. Hawa panas seperti hendak membakar tempat itu. 

Bummm!

Rimba berlantara berguncang keras. 

Si pemuda cepat menyambar tubuh Dews tuak dan melarikinnya dalam gelap. Orang tua ini 

berusaha melepaskan diri sambil memaki panjang pendek. 

"Aku belum mau jadi pengecut! Mengapa kau larikan aku?!" 

"Jangan jadi orang tolol Dewa Tuak!" 

"Murid sesat itu harus diringkus dan dihukum!" teriak Dews Tuak. 

"Saat ini kita belum sanggup melawannya! Dia memiliki senjata ular-ular hitam yang lebih 

ganas dari iblis!" 

"Sialan! Tuak murniku pasti akan menghancurkan binatang-binatang celaka itu" 

"Bagaimana kalau tidak? Tubuhmu yang tua rongsokan ini akan dipatuknya—jadi saringan!" 

"Sialan! Enak saja kau mengatakan aku orang tua rongsokan!" Dewa Tuak memukul bahu 

pemuda yang melarikannya itu. "Heh, kau mau melarikan aku sampai sejauh mana Pendekar 

212?" 

"Sabar saja. Kita harus mencari tempat yang aman. Jauh dari muridmu yang doyan darah 

itu!" 

"Aku tidak mengerti bagaimana Anggini bisa jadi begitu!" 

"Sama. Sayapun tidak mengerti. Sebelumnya dia juga hendak membunuh saya ... " 

"Ya Tuhan..." mengucap Dews Tuak. "Semoga kau mengampuni dosa muridku itu." 

"Tuhan pasti mehgampuni dosa muridmu Dewa Tuak. Tapi dunia persilatan dan Raja tidak 

akan mengampuninya. Anggini telah membunuh Pangeran Panji, salah seorang putera Sri 

baginda yang paling dikasihi!" 

"Celaka muridku. Celaka tua bangka ini. Ah, mungkin umpama tadi betul, Wiro. Aku 

memang tua bangka rongsokan yang lebih bagus mampus saja saat ini!" 

Wiro tertawa bergelak. Dia turunkan tubuh Dewa Tuak dari panggulannya. 

"Walau rongsokan tubuhmu ternyata berat juga Dewa Tuak. Berlari jauh memanggulmu 

membuat saya haus. Saya minta tuakmu!" Lalu tanpa banyak cerita lagi Wiro ambil salah satu 

tabung berisi tuak milik orang tua itu. Cegluk... cegluk... cegluk. Tuak itu disikatnya sampaimukanya jadi merah. Tangannya gemetaran ketika mengembalikan bumbung bambu. 

Dews Tuak mengekeh. "Anak sok jago! Aku saja tidak berani meneguk tuak sekaligus 

sebanyak yang kau lakukan!" 

"Aku mabok!" kata Wiro seraya menyandarkan diri ke sebatang pohon. 

"Kau bukan cuma mabok! Kau juga sudah ngompol terkencing- kencing!" 

"Apa?!" Wiro turunkan tangannya dan meraba ke bawah perutnya. Bagian bawah celananya 

ternyata memang terasa hangat dan basah! "Sialan!" makinya. 

"Dewa Tuak kembali tertawa mengekeh. 

"Dewa Tuak! Jangan tertawa keliwat keras. Kalau muridmu sempat mendengar pasti dia akan 

muncul di sini membawa ularnya dan mernbunuh kita berdua!" 

Cup! Dewa Tuak tutup mulutnya dengan telapak tangan kanan. Suara tawanya serta merta 

lenyap. Rimba belantara itu kini tenggelam dalam kegelapan dan kesunyisenyapan. 

Sesaat kemudian terdengar suara Dewa Tuak berbisik. 

"Pendekar 212, aku tidak betah di tempat gelap begini. Rasanya seperti tikus dalam tanah 

saja. Aku harus pergi dari sini. Akan kucari lagi anak itu." 

"Jangan tolol. Sebelum tahu kelemahannya kau tak bakal bisa meringkusnya," kata Wiro. 

"Jika ditunggu sampai kita tahu kelemahannya dan baru turun tangan, rasanya sampai 

kiamat belum tentu diketahui rahasia kelemahannya. Modalku sekarang hanya nekad saja. 

Mukaku sudah dicelemongnya dengan lumpur busuk. Aku malu besar menghadapi dunia 

persilatan. Aku harus pergi, tapi sebelum pergi ada satu hal yang hendak kutanyakan padamu." 

"Hal apa?" tanya Wiro. 

"Kau tahu, hal ini dulu pernah aku bicarakan dengan gurumu Sinto Gendeng. Tapi nenek 

konyol itu tidak mau menjawab secara terus terang. Katanya terserah pada dirimu..." 

Wiro merasa dadanya berdebar. Diam-diam dia sudah dapat menduga hal apa yang hendak 

dikatakan oleh Dewa Tuak. 

"Dengar, ini menyangkut perjodohanmu dengan Anggini. Setelah kejadian ini rasanya aku 

tidak terlalu mau mendesak. Bagaimana dengan dirimu? Apakah kau masih menyukai muridkuyang telah sesat itu?" 

Wiro garuk-garuk kepalanya. 

"Kalaupun suka atau tidak suka, rasanya hal itu tidak pada tempatnya kita bicarakan sekarang 

Dewa Tuak. Usaha kita paling penting adalah menyelamatkan dunia persilatan. Lalu kalau masih 

ada kesempatan mungkin kita masih bisa menolong Anggini. Jika dia selamat ada satu hal yang 

bakal jadi hukumannya seumur-umur. Dia harus menyendiri. Dia akan dikucilkan oleh dunia 

persilatan. Lalu bahaya balas dendam dari keluarga atau karib kerabat orang-orang yang pernah 

dibunuhnya akan membayanginya seumur hidup. Belum terpikirkan apa yang bakal dilakukan 

pihak Kerajaan!" 

Dewa Tuak menarik nafas dalam. Akhirnya dia berkata. "Aku harus pergi sekarang..." 

Karena tak mungkin mencegah, Pendekar 212 terpaksa diam saja. Dewa Tuak menepuk 

bahu Wiro. Sekali dia berkelebat sosok :tbuhnyapun lenyap dalam kegelapan. 

Beberapa lamanya Pendekar 212 masih duduk tersandar di batang pohon itu. Bayangan 

wajah Anggini menyeruak dipelupuk matanya. Dalam hati dia berkata. "Memang sulit mencari 

gadis secantik dirinya. Tapi apa lagi artinya kecantikan itu kalau dirinya tiba-tiba telah berubah 

menjadi mahluk ibis penghisap darah!" Wiro terdiam sesaat. "Heh, kalau mencari kelemahannya 

tidak mungkin, apakah juga tidak mungkin mencari penyebab mengapa Anggini berubah menjadi 

manusia jahat penghisap darah? Rasanya mungkin penyelidikan bisa dimulai dari situ. Tapi 

berapa lama baru bisa diketahui sementara banyak korban lagi yang jatuh ditangannya!" Wiro 

garuk-garuk kepala kembali. Dengan Wiro huyung-huyung dia bangkit berdiri. 

***

PERTUNJUKAN reog Ponorogo itu selesai. Semua penonton satu demi satu meninggalkan tanah 

lapang luas. Saat itu hari telah rembang petang. Sinar sang surya tidak lagi terik panas seperti 

sebelumnya. Pendekar 212 masih duduk dibangku kecil penjual kopi manis pikulan. Dia hendak 

mengulurkan tangan mengambil sebuah pisang rebus ketika tiba-tiba pandangannya membentur 

sosok tubuh seorang gadis berpakaian ungu yang berada di ujung lapangan sana. Gadis ini tengah 

melepaskan ikatan seekor kuda yang ditambatkan pada sebatang pohon. "Anggini," desis Wiro. 

Dia segera berdiri. Meletakkan uang di atas bangku yang tadi didudukinya lalu lari ke ujung 

lapangan. Dia sampai di tempat itu sesaat setelah gadis berbaju ungu itu memacu kudanya. Wiro 

memandang berkeliling. Seorang pemuda dilihatnya tengah mengiring seekor kuda. Cepat Wiro 

mendekati orang ini. Dia langsung melompat ke atas punggung kuda itu. 

"Hai! Apa-apaan ini?!" teriak pemuda pemilik kuda. 

"Kupinjam sebentar kudamu! Nanti juga aku kembalikan!" Lalu Wiro menepuk tangan si 

pemuda yang memegang tali kekang. Begitu tali kekang terlepas murid Sinto Gendeng segera 

memacu binatang ini ke jurusan lenyapnya gadis berbaju ungu tadi. Di belakangnya pemuda 

pemilik kuda berteriak tiada henti. 

"Pencuri kuda!! Pencuri kuda!" 

Di pinggiran kota Pendekar 212 kehilangan jejak orang yang dikejarnya. Terpaksa dia 

memacu kudanya ke tempat ketinggian. Di sebuah lereng bukit Wiro memandang berkeliling. 

Jauh di sebelah Timur kelihatan seorang penunggang kuda bergerak menyusuri sebuah kali kecil. 

Wiro segera menuruni bukit, mengambil jalan memotong hingga akhirnya dia berhasil berada di 

belakang si gadis. 

"Anggini!" teriak Wiro.Penunggang kuda berpakaian ungu di sebelah depan berpaling lalu hentikan kudanya. Wiro 

sampai di hadapan gadis itu. 

"Wiro..." si gadis menyebut nama pemuda itu. 

Pendekar 212 tersenyum. Dipandanginya wajah sang dara sesaat. Mata yang selama ini 

dilihatnya selalu menyorotkan sinar menggidikkan kini tampak memandang lembut kepadanya. 

"Anggini, kita harus bicara. Turun dari kudamu. Kita cari tempat yang baik untuk bicara." 

Anggini gelengkan kepalanya. 

"Aku tidak mau bicara…" 

"Kenapa? Kau tahu bahaya yang mengancam dirimu?" 

"Bahaya apa?" tanya si gadis. 

"Jangan pura-pura. Semua orang sudah tahu siapa dirimu sejak tiga bulan terakhir ini! Semua 

orang ingin membunuhmu! Gurumu Dewa Tuak mencarimu ingin menghukummu. Orang-

orang Kerajaan juga mencarimu dan mungkin akan menggantungmu!" 

Anggini menatap dalam-dalam ke mata Pendekar 212 hingga membuat pemuda itu sesaat 

jadi terdiam. 

"Lama tidak bertemu, kukira tadinya kau ingin membicarakan urusan perjodohan itu. Tahu-

tahu kini kau membicarakan hal-hal yang tidak kumengerti!" 

"Kau ini benar-benar aneh Anggini..." 

"Kau yang aneh Wiro!" 

"Dengar, kita harus bicara!' 

"Tidak!" 

Wiro garuk-garuk kepalanya. Ditatapnya wajah gadis itu. Dipandanginya sekujur tubuh 

Anggini. Dia tidak melihat selendang ungu tergulung di leher si gadis. Dulu, pada salah satu 

ujung selendang cutera ungu itu, Wiro telah menggurat dengan ujung jarinya angka 212 sebelum 

mereka berpisah. 

"Mana selendang ungumu Anggini?" tanya Wiro. 

Si gadis meraba dadanya. "Hilang," jawab si gadis."Hilang? Berarti kau tidak menjaganya baikbaik..." 

"Buat apa menjaga selendang itu? Orang yang pernah mengguratkan angka kenangan tidak 

pernah memperdulikan aku!" 

Wiro jadi ternganga. "Ah, rupanya dia memang ada hati terhadapku. Dan kini kelihatan 

marahnya. 

"Anggini, dengar. Hal itu bisa kita bicarakan kemudian. Sekarang ketahuilah. Aku mendapat 

tugas untuk membawamu pada gurumu Dewa Tuak!" 

"Membawaku pada guruku? Memangnya ada apa?!" 

"Anggini, jangan berpura-pura terus-terusan. Dirimu dalam bahaya! Kembali pada gurumu 

berarti kau masih bisa selamat..." 

"Diriku dalam bahaya...?" Anggini bertanya sambil tertawa. 

"Ada banyak orang-orang persilatan yang ingin membunuhmu! Pihak Kerajaan juga 

mencarimu! Apa kau masih hendak berpura-pura?!" 

"Kasihan..." tiba-tiba Anggini berkata. 

"Kasihan… Apa yang kasihan." tanya Wiro heran. 

"Aku tidak menyangka, lama tidak bertemu begitu bertemu kulihat ada sesuatu yang tidak 

beres dengan otakmu! Bicaramu tidak karuan!" 

Tampang Pendekar 212 tampak menjadi merah. "Aku…" Dia tidak bisa meneruskan 

ucapannya. Dalam hatinya berkata. "Mungkin benar ada ajaran ilmu sesat yang merasuk dalam 

tubuh gadis ini. Pada saat dia kumat dia berubah menjadi gadis iblis penghisap darah. Pada saat 

dia kembali pada dirinya yang asli, dia akan jadi seperti ini." 

"Aku akan pergi dan jangan coba mengejarku! Kalau kau bertemu dengan guruku, katakan 

pada orang tua itu tidak perlu mencariku! Bukankah dulu aku pergi dengan seizinnya?" 

"Betul! Mungkin itu betul! Tetapi sesuatu telah terjadi dengan dirimu. Kau telah 

terjerumus... Kau telah melakukan satu perbuatan sesat yang memalukan!" 

"Wiro! Kau menuduhku telah berbuat aib?!" bentak Anggini. Dalam marahnya gadis ini 

tangsung menampar Wiro hingga pinggiran bibir Pendekar 212 luka dan berclarah!Dari air muka Anggini yang kelihatan berubah jelas terlihat ada tanda penyesalan atas apa 

yang telah dilakukannya. Namun sesaat kemudian gadis ini telah menyentakkan tali kekang 

kudanya dan menghambur pergi dari tempat itu. Wiro mana mau tinggal diam. Dia segera 

mengejar. Keduanya memacu kuda masing-masing saling bersisian. Di sebuah jembatan bambu 

yang melintasi sungai, Wiro terpaksa memberi jalan lebih dulu pada kuda Anggini, karena 

jembatan yang kecil itu tidak mungkin dilalui secara berdampingan. 

"Aku sudah bilang jangan mengejarku Wiro!" teriak Anggini. 

"Aku juga sudah bilang akan membawamu ke pada gurumu Anggini! Aku tidak ingin sesuatu 

terjadi atas dirimu!" 

"Pemuda keras kepala!" teriak si gadis marah. Tangan kanannya mengeruk ke saku pakaian 

ungunya. Dari tangan itu kemudian melesat dua buah senjata rahasia berupa paku perak 

sepanjang setengah jengkal. Senjata rahasia ini mendarat tepat pada lutut depan kiri kanan kuda 

yang ditunggangi Wiro. Binatang ini meringkik keras lalu jatuh terjerambab ke depan. Pendekar 

212 cepat melompat. Dia jungkir balik di udara. Ketika kedua kakinya menyentuh tanah kembali 

Anggini sudah lenyap! 

Wiro hanya bisa geleng-geleng kepala. Digaruknya rambutnya dengan kesal berulang kali. 

"Masih untung kudaku yang dihantamnya dergan senjata rahasia itu. Kalau dia sempat 

mengeluarkan ular-ular peliharaannya itu celakalah diriku!" 

***

10 

LEBIH dari tiga bulan sebelumnya, suatu peristiwa aneh telah terjadi. Saat itu hujan turun luar 

biasa lebatnya. Sesekali kilat menyambar dan guntur menggelegar. 

Air sungai menimbulkan arus deras. Bagianbagian tanah yang leguk terendam air. Beberapa 

rumah yang terlalu dekat dengan sungai tak ampun lagi roboh dan diseret arus ke hilir. 

Dalam derasnya curahan hujan dan gelapnya cuaca malam serta dinginnya udara yang seperti 

mencucuk sampai ke tulang sungsum, sebuah benda bulat dan panjang berwarna hitam berkilat 

meluncur sepanjang sungai yang tengah banjir. Sulit untuk memastikan benda apa adanya ini. 

Tetapi ketika kilat menyambar sekali lagi dan tanah menjadi terang benderang, walaupun sekilas 

telah terlihat apa adanya benda yang meluncur itu. Ternyata seekor ular besar berwarna hitam. 

Namun ada keanehan luar biasa yang membuat orang akan bergidik dan lari ketakutan setengah 

mati jika melihat kepala ular ini. Ternyata binatang ini tidak memiliki kepala sebagai seekor ular 

melainkan berbentuk kepala manusia! Kepala seorang nenek tua berwajah cekung keriput dengan 

rambut putih riapriapan basah oleh air hujan! 

Di sebuah tikungan binatang aneh ini berhenti melata. Kepalanya ditegakkan. Dia 

memandang ke tengah sungai seperti menembus pemandangan yang gelap dan tertutup curahan 

hujan lebat. Sesaat kemudian binatang ini meluncur ke tepi sungai yang banjir besar lalu masuk 

ke dalam sungal dan meluncur menuju ke seberang. Luar biasa! Tubuhnya yang besar berat itu 

tidak tenggelam ke dalam air. Kepalanya tegak dan arus air sungai yang deras tidak mampu 

menyeretnya ke hilir. 

Sampai di seberang sungai ular berkepala manusia ini melata cepat memasuki sebuah hutan 

belantara dan menghilang di kegelapan. Di kejauhan lapat-lapat terdengar suara lolongan srigala 

hutan. Serombongan srigala hutan yang terdiri dan tiga srigala jantan dan seekor srigala betina lari 

dalam kegelapan malam. Tujuan mereka adalah arah sungai, berlawanan dengan arah yang dilaluioleh ular berkepala manusia tadi. Di suatu tempat srigala-srigala hutan ini saling bertemu dengan 

ular berkepala manusia tadi. Keempat srigala itu segera menyalak terus menerus dan mengelilingi 

ular berkepala manusia. Tiba-tiba serentak keempat srigala itu menerkam ke depan. Kepala ular 

yang berbentuk kepala nenek angker itu keluarkan suara berdesis. Lidahnya terjulur. Bersamaan 

dengan itu ekornya melesat berputar. 

Plaak! Plaak! Plaak! Plaak! 

Empat ekor srigala hutan meraung panjang. Tubuh mereka terlempar jauh berkaparan jatuh 

di tanah yang becek. Tak satupun diantara mereka yang masih bergerak atau berkutik. Keempat 

binatang ini mati dengan kepala hancur dihantam ekor ular berkepala manusia itu. 

Seperti tidak ada kejadian apa-apa, ular hitam besar itu kembali melata cepat memasuki 

rimba belantara sementara hujan perlahan-lahan mulai mereda. Di sebuah lobang dekat akar 

sebatang pohon besar ular berkepala manusia ini meluncur masuk dan lenyap. Tak lama 

kemudian dia sudah berada di sebuah goa tanah yang besar dan ter letak di bagian hutan yang 

tanahnya agak tinggi. Di lantai goa bertebaran banyak sekali berbagai macam bunga-bungaan dan 

ruangan dalam goa itu berbau harum semerbak. 

Ular hitam berkepala nenek berambut putih meluncur ke dinding sebelah kiri lalu meluncur 

dengan sebagian tubuhnya tersandar ke dinding goa. 

Mulut si nenek tampak komat-kamit entah melafatkan apa. Kemudian perlahan-lahan kedua 

matanya dipejamkan. Lalu terdengar mulutnya berkata. 

"Maha Ratu, saya sudah siap..." 

Di luar goa kilat kembali menyambar dan guntur menggelegar: Dinding-dinding dan lantai 

goa bergetar. Beberapa bagian tanah berjatuhan ke bawah. Pada saat itulah ada cahaya terang 

datang dari arah mulut goa. Si nenek buka kedua matanya. Dia mengernyit silau. Dia tidak dapat 

melihat dengan jelas. Apa yang kemudian muncul dilihatnya secara samar-samar. 

Yang muncul adalah seekor ular yang luar biasa besarnya. Lingkaran tubuhnya lebih dari 

sepemelukan tangan. Binatang ini berwarna hitam pekat berbintik-bintik kuning. Ada beberapa 

keanehan pada diri binatang ini. Dia tidak melata atau meluncur di tanah melainkan berjalankarena dia memiliki sebentuk anggota seperti sepasang kaki kecil. Di bagian dadanya ada dua 

anggota tubuh serupa sepasang tangan. Pada tangan sebelah kanan mahluk ini memegang sebuah 

tongkat kaca yang mengeluarkan cahaya. Cahaya inilah yang menerangi goa dan menyilaukan 

pandangan mata si nenek ular. Bagian kepala dari ular besar hitam berbintik kuning ternyata juga 

berupa kepala seorang perempuan. Kalau ular hitam yang tersandar ke dinding goa memiliki 

kepala berupa seorang nenek buruk berambut hitam riap-riapan maka ular yang datang membawa 

tongkat kaca bercahaya itu memiliki kepala berupa seorang perempuan muda cantik luar biasa. 

Kulit wajahnya putih halus. Sepasang alisnya hitam melengkung seperti bulan sabit. Hidungnya 

mancung, pipinya kemerah-merahan sedang bibirnya merah seperti delima merekah. Di atas 

kepalanya yang berambut hitam, terletak sebuah mahkota kecil. 

Pada wajah yang cantik itu juga terlihat bayangan wibawa dan keagungan yang tinggi. Kalau 

tidak melihat pada bentuk tubuhnya setiap lelaki yang memandang pastilah akan terperangah dan 

bisa jatuh cinta! Inilah mahluk yang dipanggil si nenek bertubuh ular dengan nama Maha Ratu. 

"Gintani Aruranti, benar kau sudah siap?" 

Nenek bertubuh ular bungkukkan kepalanya hingga dagunya menempel ke dada ularnya. 

"Saya sudah siap Maha Ratu," katanya. 

"Aku gembira mendengar hal itu. Tapi aku juga bersedih karena sebentar lagi kita akan 

berpisah. Selama empat puluh tahun lebih kau mengabdi padaku tanpa cacat dan kesalahan. Aku 

menjanjikan padamu bahwa dihari kemudian kau akan kuberikan tempat yang baik..." 

"Terima kasih Maha Ratu..." kata Gintani Aruranti lalu kembali dia membungkuk. 

"Sebelum kita berpisah, sesuai ketentuan dan sumpah yang mengikat dirimu sejak empat 

puluh tahun silam, kau harus memberi tahu dan menyebut nama seorang gadis yang kelak akan 

meneruskan pengabdianmu. Kau tahu sesuai ketentuan gadis itu haruslah anak atau orang yang 

ada pertalian darahnya dengan dirimu." 

Di luar kilat menyambar dan geledek menggetarkan goa itu. Tanah di bagian atas goa 

kembali berguguran! 

"Mengenai hal yang satu ini Maha Ratu, harap maafkan saya. Maha Ratu tahu sendiri kalausaya tidak pernah bersuami, tidak mempunyai anak. Maha Ratu juga tahu kalau saya tidak punya 

sanak tidak punya kadang dan saudara. Saya hidup sebatang kara..." 

Goa itu sunyi sesaat. 

"Aku memang tahu semua keadaan diri dan pribadimu Gintani Aruranti. Kalau memang 

sudah begitu keadaannya terpaksa aku menurut ketentuan para sesepuh untuk mencari sendiri 

seorang gadis yang pantas meneruskan pengabdianmu. Mungkin kau bisa memberi suatu nama 

atau mengatakan siapa gadisnya?" 

"Maafkan saya Maha Ratu. Saya serahkan bagaimana baiknya saja pada Maha Ratu..." 

Maha Ratu bertubuh ular tetapi berwajah cantik selangit itu pejamkan kedua matanya dan 

merenung sejenak. Dalam sikap seperti itu wajahnya kelihatan tambah cantik. Perlahan-lahan 

kedua mata yang dipejamkan terbuka kembali. 

"Kita mendapat petunjuk dari para sesepuh, Gintani. Kau hanya menyebutkan, satu warna 

yang sangat kau sukai. Urusan selanjutnya para sesepuh dan aku yang akan mengatur." 

"Sebuah warna, Maha Ratu?" 

"Ya, kau katakan sebuah warna yang sangat kau sukai. Mungkin merah, biru, atau mungkin 

putih..." 

"Saya... Sejak kecil saya suka dengan warna ungu Maha Ratu," kata Gintani Aruranti, si 

nenek bertubuh ular. 

"Bagus. Itu sudah cukup. Sekarang bersiaplah untuk berpisah. Pejamkan matamu." 

Sesuai perintah Maha Ratu nenek bertubuh ular itu pejamkan kedua matanya. Perlahan-

lahan Maha Ratu angkat tangan kanannya yang memegang tongkat kaca. Bibirnya yang merah 

bagus bergetar. Sepertinya dia tengah melafatkan sesuatu. Lalu tangan yang memegang tongkat 

kaca itu diputar secara tiba-tiba ke kanan. Saat itu juga satu larik sinar putih dan sangat panas 

melesat ke arah tubuh nenek Gintani Aruranti. Dimulai dari kepala terus ke bagian badan dan 

terus ke perut lalu terus lagi ke bagian ekor, sosok si nenek perlahan-lahan mencair leleh. Sesaat 

kemudian kepala dan tubuh itu berubah menjadi seonggok debu. Memanjang membujur dilantai 

goa. Lalu perlahan-lahan onggokan debu kelabu itu saling bergeser dan menyatu hingga menjadiGADIS berwajah cantik itu merasa heran. Menurut perhitungannya sudah cukup lama dia ber-

jalan tetapi aneh mengapa belum sampai-sampai juga ke rumahnya. Akhirnya dia berhenti di tepi 

jalan dan memandang berkeliling. 

"Heran, dimana aku berada saat ini. Segaia sesuatunya serba asing..." 

Selagi dia kebingungan di tepi jalan seperti itu sementara sebentar lagi hari akan segera 

malam di kejauhan terlihat sebuah kereta. Begitu dekat ternyata saisnya adalah seorang gadis 

berwajah luar biasa cantiknya dan mengenakan pakaian warna ungu. Pada lehernya tergelung 

sehelai selendang yang juga berwarna ungu. Sais kereta hentikan kudanya di depan gadis yang 

duduk di tepi jalan. 

"Gadis bunga desa yang cantik, kau kelihatan seperti orang bingung. Ada apakah maka 

duduk termenung di tepi jalan. Sebentar lagi hari akan malam. Tidakkah kau takut berada 

sendirian di tempat yang sepi ini?" 

Gadis di tepi jalan berdiri. Sesaat dipandanginya gadis di atas kereta dengan penuh rasa 

kagum. "Kau cantik sekali... Pakaianmu sangat bagus. Juga selendangmu. Siapakah kau ini 

sahabat?" 

Gadis di atas kereta tertawa lebar. "Kau memanggilku sahabat. Aku gembira mendengarnya. 

Kau juga seorang gadis cantik. Kau suka pakaianku ini?" 

"Tentu saja suka. Tapi orang miskin sepertiku ini entah kapan bakal bisa punya pakaian 

sebagusmu itu. Mungkin hanya tinggal mimpi seumur hidup ..." 

Sais cantik jelita itu tersenyum."Kau akan mendapatkan baju seperti ini. Jika kau memang mau naiklah ke alas kereta. 

Dudun di sampingku. Aku akan mengantarkan kau pulang ke rumahmu..." 

"Terima kasih. Kau baik sokali." Ditawari sebaik itu si gadis di tepi jalan segera naik ke atas 

kereta dan duduk di samping sais yang cantik itu. Tanpa disadarinya gadis ini duduk tersandar 

dan akhirnya pejamkan mata tertidur. Dia tidak tahu berapa lama dia telah tertidur. Ketika dia 

bangun didapatinya dirinya berada disebuah lembah sunyi, tergeletak diatas lantai reruntuhan 

sebuah candi tua. Di sekitarnya bertebaran berbagai macam bunga yang menebar bau harum. Saat 

itu sang surya baru saja terbit di sebelah Timur. 

"Di mana aku ini...?" tanya si gadis pada dirinya sendiri sambil memandang berkeliling. 

Ketika dia mencoba bangkit terkejutlah dia. Kedua tangannya cepat menutupi auratnya di.bagian 

dada. Astaga! Ternyata dia dapatkan dirinya berada dalam keadaan tanpa pakaian sama sekali! 

"Ya Tuhan! Apa yang terjadi dengan diriku!" kata si gadis setengah menjerit dan juga kela-

bakan. "Bagaimana aku akan pulang ke rumah dalam keadaan seperti ini?!" 

Tiba-tiba satu suara terdengar seolah menjawab ucapan gadis itu. 

"Tidak, kau tidak akan pernah pulang ke rumah seumur hidupmu Anggini!" 

***


11 

GADIS di bekas reruntuhan candi itu terkejut dan memandang berkeliling. Tidak dilihatnya 

seorang lainpun di tempat itu. Tapi jelas tadi dia mendengar suara. Suara perempuan! 

"Siapa yang bicara..." tanya si gadis ketakutan. 

"Aku Maha Ratu. Aku sahabat dan pemimpinmu. Hanya padaku kau harus menurut 

perintah. Hanya padaku kau harus mengabdi... Kau mengerti Anggini?" 

Si gadis tidak menjawab. Lalu ada satu sambaran angin menyapu wajahnya. Sesaat peman-

dangannya berkunang lalu mendadak dia merasakan satu kesegaran luar biasa dalam dirinya. 

"Kau sekarang mengerti Anggini?" 

"Saya mengerti Maha Ratu," jawab gadis itu. 

"Kalau begitu sebagai tanda tunduk dan pengabdian membungkuklah tiga kali!" kata suara 

tanpa rupa. 

Anggini membungkuk tiga kali. Ketika berdiri lurus-lurus kembali dia ingat sesuatu. Suara 

itu! 

"Maha Ratu... Saya mengenali suararrtu. Bukankah kau gadis yang mengajakku naik kereta 

bersama?" 

Terdengar suara tertawa perlahan. "Kau cerdik dan daya ingatmu tajam. Yang kau lihat 

sebagai sais kereta itu memang penjelmaan diriku. Sekarang kita bersahabat. Tapi sebagai 

pemimpin ada jarak antara kita. Kau harus tunduk pada diriku. Karena kau hanya bisa hidup 

sesuai dengan petunjuk dan perintahku!" 

Angin di penghujung sore memasuki malam itu bertiup keras. Anggini tampak gemetaran 

kedinginan. 

"Kau kedinginan Anggini. Sudah saatnya mengenakan pakaian..." 

"Tapi saya mengalami hal aneh Maha Ratu. Sebelumnya saya yakin sekali saya mengenakanpakaian. Tahu-tahu kini mengapa saya berada dalam keadaan seperti ini!" 

"Tak usah kawatir... Melangkahlah ke reruntuhan tangga depan candi. Di undakan sebelah 

tengah kau akan menemukan sehelai baju dan celana ungu. Juga sebuah selendang berwarna 

ungu..." 

"Baju, celana dan selendang. Terima kasih. Tapi Maha Ratu..." 

"Tetapi apa Anggini?'° 

"Apakah tidak ada pakaian dalamnya...?" 

Maha Ratu yang tidak kelihatan terdengar tertawa panjang. "Aku juga perempuan sepertimu 

Anggini. Jadi tahu apa kebutuhanmu. Jangan takut. Dalam lipatan pakaian itu kau akan 

menemukan pakaian dalam..." 

"Terima kasih kalau begitu Maha Ratu." 

"Nah sekarang pergilah ke reruntuhan tangga. Kenakan pakaian ungu itu cepat." 

Mengendap-endap sambil menutupi auratnya dengan kedua tangan Anggini melangkah ke 

tempat yang dikatakan. 

Betul saja. Di undakan tangga ke lima dia melihat pakaian ungu terlipat rapi. Ketika lipatan 

dibuka memang ditemuinya pula pakaian dalam seperti yang dikatakan Maha Ratu. Cepat-cepat 

Anggini mengenakan semuanya itu. Selesai berpakaian dia tegak sambil memegangi selendang. 

"Cantik sekali kau dalam pakaian ungu itu Anggini. Lingkarkan selendang itu di lehermu. 

Jangan dipegang saja..." 

Anggini melingkarkan selendang ungu dilehernya. 

"Dengar baik-baik Anggini. Pakaian ungu itu bukan pakaian biasa. Kau tidak perlu mencuci 

atau menggantinya seumur hidup. Pakaian itu akan selalu berbau wangi. Wewangian itu akan 

melekat pula pada dirimu. Kau akan mampu hidup tanpa makan atau minum selama kau 

kehendaki..." 

Anggini terheran-heran mendengar kata-kata itu. "Maha Ratu, setahu saya setiap yang hidup 

harus dan butuh makan atau minum." 

"Kau benar Anggini. Tapi dirimu sekarang mahluk hidup yang luar biasa. Kau hanya akanhidup dengan minum darah manusia lainnya. Kau mampu hidup lebih dari seratus tahun! Tanpa 

minum darah manusia kau akan menjadi tua keriputan dan akan menemui kematian!" 

"Maha Ratu, mana mungkin says melakukan hal itu. Mana mungkin saya minum darah 

manusia!" 

"Ingat Anggini. Jika kau mau hidup terus hal itu harus kau lakukan. Di samping itu jangan 

lupa aku adalah pemimpinmu yang harus kau ikuti tanpa berani membantah! Kau dengar hal itu 

Anggini?!" 

"Saya dengar Maha Ratu... Tapi bagaimana caranya saya minum darah manusia?" tanya 

Anggini dengan suara gemetar. 

"Mudah saja sahabatku. Coba kau luruskan sepuluh jari tanganmu!" 

Anggini luruskan sepuluh jari tangannya. 

''Perhatikan baik-baik ke sepuluh jari tanganmu itu!" 

Anggini memperhatikan jari-jarinya sendiri dengan dada berdebar. Tiba-tiba dia melihat hal 

yang aneh. Dari ujung-ujung jarinya seperti tumbuh mencuat keluar kuku yang lancip itu 

kelihatan sebentuk lobang sebesar lobang jarum. 

"Maha Ratu... Apa yang terjadi?" Anggini bertanya ketakutan. 

"Aku akan terangkan sahabatku. Setiap kau meluruskan semua jari-jari tanganmu, maka 

kukukuku merah panjang itu akan tumbuh keluar. Orang yang akan kau hisap darahnya tinggal 

kau cengkeram saja bagian tubuhnya. Yang paling cepat adalah di bagian leher. Begitu kuku-

kukumu menancap, darah orang itu akan terhisap dengan sendirinya sampai akhirnya dia 

menggelepar mati!" 

"Saya merasa ngeri Maha Ratu. Saya takut!" 

"Kau sahabatku! Kau tidak boleh takut..." 

"Maha Ratu, bagaimana says melenyapkan kuku-kuku merah ini?" 

"Sangat mudah Anggini. Kau cukup menekukkan jari-jari tanganmu sedikit saja. Sepuluh 

kuku itu akan menghilang. Kau cobalah!" 

Anggini menekukkan jari-jari tangannya. Benar saja. Kesepuluh kuku merah panjang runcingyang ada di ujung jarinya serta merta lenyap! 

"Ada satu hal yang harus kau ingat Anggini. Korban yang harus kau hisap darahnya hanya 

terdiri dari dua jenis manusia, laki atau perempuan. Jenis pertama adalah orang-orang muda 

berwajah gagah. Dengan minum darahnya kau akan menjadi kuat dan awet muda sepanjang 

usiamu. Jenis kedua ialah orang-orang atau tokoh-tokoh persilatan. Jika kau berhasil menyedot 

darah mereka maka kau akan menjadi seorang berkekuatan luar biasa, memiliki tenaga dalam 

tinggi yang tidak bisa dikalahkan oleh siapapun. Selain itu selendang yang ada di lehermu bisa kau 

pergunakan sebagai satu senjata yang hebat. Kau bisa menggebuk hancur kepala seekor kerbau 

atau membobolkan tembok dengan selendang itu. Selain itu dalam tubuhmu saat ini sudah ada 

satu ilmu kesaktian bernama salju pusaka dewa. Dengan ilmu itu sekali kau memukul lawanmu 

akan menjadi kaku tegang dan akhirnya mati kedinginan. Jika kau ingin mengeluarkan ilmu itu, 

kau cukup hanya mengucapkan kata-kata "salju pusaka dewa." 

"Terima kasih Maha Ratu. Saya berterima kasih kau telah memberi saya ilmu yang hebat..." 

"Masih ada ilmu lain yang jauh lebih hebat sahabatku. Dan kau akan memilikinya!" 

"Ilmu apakah itu Maha Ratu?" tanya Anggini. 

"Kau lihat saja dan jangan merasa takutl" Maha Ratu mengangkat tangannya yang 

memegang tongkat kaca lalu meniup ke depan. Terdengar suara berdesir ramai sekali. Sesaat 

kemudian Anggini melihat belasan ekor ular hitam gentayangan laksana terbang berputar-putar 

disertai bau amis di dalam goa itu. Tubuh gadis ini mulai menggigil dan wajahnya sepucat kertas. 

"Kataku tidak usah takut. Ular-ular itu adalah sahabat-sahabatmu..." 

"Sahabat-saha...bat saya Maha Ratu?" 

"Betul! Mereka akan muncul jika kau memanggil. Memanggilnya cukup dalam hati saja 

dengan berucap. Para Dewi datanglah! Maka mereka akan datang. Sekarang coba kau ucapkan 

panggilan itu dalam hati." 

Anggini ragu sesaat. Kemudian dalam hati dia berkata juga. "Para Dewi datanglah!" 

Kembali terdengar riuh. Ular-ular yang melayang di dalam goa itu tiba-tiba melesat dan 

menempel ke tubuh Anggini. Tak ampun lagi gadis ini menjerit ketakutan dan berusahamelemparkan binatang-binatang yang bergayut di sekujur tubuhnya mulai di leher, dada, 

pinggang dan sampai ke kaki. Malah ada satu yang bertengger dan bergelung di atas kepalanya! 

"Jangan lakukan itu Anggini. Tenang saja. Mereka tidak akan menyakitimu!" 

Anggini berdiri dengan tubuh gemetaran. 

"Sekarang dengar baik-baik," kata Maha Ratu pula. "Jika kau berada dalam bahaya yang 

tidak bisa kau hadapi, panggil para Dewi itu. Jika kau menyebut para Dewi maka mereka akan 

datang dalam jumlah banyak. Jika kau memanggil Dewi saja maka yang muncul adalah salah 

seekor dari mereka. Begitu mereka dipanggil, ular-ular itu akan melesat dan bergayutan 

ditubuhmu. Kemudian jika kau suruh mereka menyerang musuhmusuhmu maka mereka akan 

melesat mematuk siapa saja sampai mati! Kau mengerti Anggini?" 

"Saya mengerti Maha Ratu. Tapi bagaimana caranya menyuruh mereka pergi saat ini? Saya 

masih takut. Sangat takut." 

"Katakan begini: Para Dewi silahkan pergi! Cukup dalam hati saja." 

"Para Dewi silahkan pergi..." kata Anggini dalam hati. 

Belasan ular yang bergelung di tubuh gadis berpakaian ungu itu serta merta menggeliat lalu 

melesat lenyap entah kemana! 

Anggini menarik nafas lega. Sekujur tubuh dan pakaiannya basah oleh keringat. 

"Anggini aku segera akan pergi. Ada yang ingin kau katakan atau kau tanyakan?" 

''Saat ini saya ingin melihat wajah Maha Ratu," jawab Anggini. 

Sang Maha Ratu tertawa. "Kita akan sering bertemu seperti ini Anggini. Namun untuk 

melihatku kau hanya punya kesempatan sekali dalam sepuluh tahun! Kalau tidak ada pertanyaan 

lain aku akan pergi sekarang juga!" 

"Tunggu, ada satu pertanyaan lagi Maha Ratu. Mengapa saya harus hidup dengan cara 

seperti ini? Membunuh orang lalu menghisap darahnya!" 

"Jawabannya adalah bahwa kau sudah ditakdirkan menerima nasib seperti itu!" 

"Masih ada satu pertanyaan lagi Maha Ratu..." 

"Katakan lekas!""Apakah saya boleh berumah tangga? Maksud saya mempunyai seorang suami?!" 

"Tentu saja Anggini. Tapi ada satu perjanjian. Pertama kau tidak boleh punya anak. sebelum 

kau mempunyai tiga suami. Kedua pada tahun ketiga setiap perkawinanmu kau harus membunuh 

suamimu dan menghisap darahnya! Jika kau ingin kau boleh kawin lagi sesukamu. Tapi harus 

selalu ingat akan perjanjian yang sudah ditentukan itul" 

"Maha Ratu..." 

"Aku tidak ingin mendengar pertanyaanmu lagi. Membungkuk tiga kali jika aku pergi. Nah 

aku pergi sekarang!" 

Anggini membungkuk tiga kali berturut-turut. Di kejauhan terdengar suara lolongan anjing 

panjang menggidikkan. Perlahan-lahan gadis itu melangkah. Astaga. Dia merasakan gerakan 

tubuh dan langkahnya ringan sekali! 

***

12 

PERTEMUAN rahasia itu berlangsung di kaki Gunung Merbabu. Dihadiri oleh sepuluh tokoh 

silat termasuk Dewa Tuak dan Pendekar 212 Wiro Sableng. Ikut hadir utusan Kerajaan dari 

kotaraja. 

"Sri Baginda memerintahkan agar kita melakukan segala daya untuk dapat menangkap gadis 

iblis berjuluk Betina Penghisap Darah itu, hidup atau mati!" kata utusan Istana dalam pertemuan 

itu. 

"Aku mengiusulkan agar dibuat jebakan-jebakan hingga gadis iblis itu terpancing dan keluar. 

Selama ini kita memburunya di mana-mana tapi ia lenyap tanpa jejak. Tahu-tahu dia sudah 

muncul di tempat lain melakukan pembunuhan!" kata seorang tokoh silat dari Selatan. Dia 

melirik pada Dewa Tuak dengan pandangan penuh kebencian. 

"Aku setuju. Tapi harus diingat. Bahayanya sangat besar," kata Dewa Tuak lalu meneguk 

tuaknya dari dalam tabung bambu hingga berlelehan di dagunya. 

"Kau gurunya! Kau yang bertanggung jawab! Kau sendiri yang harus menghadapi muridmu 

celaka itu!" 

Dewa Tuak mengelus janggutnya dan tidak berkata apa-apa. 

Maka mereka yang hadir kemudian sibuk mengatur cara-cara menjebak penjahat tunggal 

berjuluk Betina Penghisap Darah itu. Ketika pertemuan rahasia berakhir dan mereka yang hadir 

siap meninggalkan tempat itu setelah menerima tugas masing-masing, tiba-tiba di luar terdengar 

suara berkerontangan beberapa kali berturut-turut. 

"Suara apa itu?" tanya seorang tokoh silat. 

"Aku curiga. Jangan-jangan itu tipu daya yang dilakukan oleh Betina Penghisap Darah!" kata 

utusan Kerajaan. Semua yang hadir saling berpandangan. Langsung tempat itu menjadi sunyi. 

Ketegangan menggantung di udara.Dewa Tuak memandang pada Wiro. Orang tua ini kedipkan matanya. Wiro balas mengedip. 

Di luar sana kembali terdengar suara berkerontangan. Suasana dalam ruangan itu semakin tegang. 

Ketegangan ini tiba-tiba dirobek oleh suara Dewa Tuak dan Wiro Sableng. Keduanya sudah tahu 

siapa yang ada di luar sana. Tawa Dewa Tuak dan Wiro Sableng karuan saja membuat semua 

orang menjadi gusar dan mendelik memandang ke arah kedua orang ini! 

Utusan dari Istana menggebrak meja seraya membentak. "Apa yang lucu! Sebetulnya kalian 

berdua tidak pantas berada di tempat ini! Aku curiga kalian berkomplot dengan gadis iblis itu!" 

Dewa Tuak dan Wiro bangkit dari kursi masing-masing. Dewa Tuak memandang pada 

utusan Kerajaan itu lalu berkata perlahan. "Kau hanya seorang utusan. Kita semua disini 

berunding mencari cara untuk dapat menangkap muridku hidup atau mati!" 

"Betul! Jika kau tidak pernan mengambil gadis itu jadi murid, bencana seperti ini tidak akan 

pernah terjadi!" ujar utusan kerajaan pula dengan mata mendelik. 

Dewa Tuak tersehyum. Dia teguk tuaknya beberapa kali sebelum menjawrab. "Kau merasa 

tidak perlu kehadiran kami berdua tidak jadi apa!" Lalu Dewa Tuak memberi isyarat pada 

Pendekar 212. Kedua orang itu melangkah ke pintu. Saat itu di luar sana kembali terdengar-suara 

berkerontangan. Keras sekali tanda suara itu blerada tepat di depan pintu. 

Sewaktu pintu dibuka, di luar kelihatan tegak seorang tua berpakaian compang-camping. 

Wajahnya tidak kelihatan karena tertutup caping bambu yang lebar. Di tangan kanannya ada 

sebuah kaleng rombeng berisi batu. Kaleng inilah yang mengeluarkan suara berkerontang berisik 

ketika si orang tua menggoyang-goyangkannya. Di tangan kirinya orang bercaping ini memegang 

sebatang tongkat kayu sedang dibahunya dia menyandan? sebuah kantong butut. 

"Sahabatku Kakek Segala Tahu, kau datang di waktu yang sangat tepat!" berkata Dewa Tuak. 

"Tapi saat ini kau tidak beruntung. Di dalam sana tidak ada yang akan menyediakan kopi hangat 

untukmu! Mari kita cari kedai saja. Kita minum di sana sambil ngobrol!" 

"Sahabatku Dewa Tuak! Belasan tahun kita tidak bertemu! Apa kau baik-baik saja?" bertanya 

si caping lebar. Ternyata uia auaiah tokoh silat tingkat tinggi yang memiliki segala macam ilmu 

pengetahuan dan punya keahlian meramal yang biasa dipanggil dengan sebutan Kakek SegalaTahu. 

"Aku sedang ditimpa musibah!" 

"Musibah apa gerangan?" 

"Sudah nantilah aku ceritakan." Jawab Dewa Tuak. 

"Aku kemari memang tidak mencari kopi hangat. Harumnya bau tuakmu menyambar 

hidungku dari jauh. Itu sebabnya aku kemari! Aku minta tuakmu barang sedikit!" 

Kakek Segala Tahu pergunakan tongkat kecilnya untuk memukul bumbung bambu yang 

dipegang Dewa Tuak di tangan kiri. Luar biasa sekali. Bumbung bambu itu melayang ke atas 

dengan bagian mulutnya menungging ke bawah. Dengan ujung tongkatnya Kakek Segala Tahu 

menahan bibir tabung. Sementara tuak mengucur ke bawah Dewa Tuak berseru keget. Tentu saja 

dia tak mau tuaknya tumpah percuma. Tapi apa yang terjadi kemudian membuat dia tertawa 

gelak-gelak! 

Bagitu tuak mengucur jatuh Kakek Segala Tahu tanggalkan caping bambunya. Curahan tuak 

ditampungnya dengan caping bambu itu. Setelah penuh, ujung tongkat ditangan kirinya 

disentakkan. Bumbung bambu melayang ke arah Dewa Tuak. Kakek berjanggut putih ini cepat 

menyambuti tabungnya. Memandang ke depan dilihatnya Kakek Segala Tahu asyik meneguk 

tuak harum itu dari pinggiran caping. 

Karena kepala dan mukanya tidak terlindung lagi dari caping lebar, semua orang yang ada 

disitu kecuali Dewa Tuak dan Pendekar 212 Wiro Sableng terkesiap kaget. Ternyata si kakek 

berpakaian compang camping itu bermata buta! 

"Sahabat, sudah habis hausmu?!" tanya Dewa Tuak ketika dilihatnya tuak secaping sudah 

habis diteguknya. 

"Sudah... sudah. Enak sekali rasanya!" jawab Kakek Segala Tahu lalu enak saja capingnya 

yang masih basah itu disungkupkannya kembali ke atas kepalanya. Kemudian dipegangnya lengan 

Dewa Tuak seraya berkata. 

"Aku mendengar kau dan anak sableng ini tidak dibutuhkan kehadirannya disini. Apalagi 

aku kakek-kakek berbaju rombeng, bau dan buta! Ah, lebih baik aku buru-buru pergi sebelumkena usir pula." 

Wiro garuk-garuk kepala lalu memegang lengan Kakek Segala Tahu. "Kita pergi sama-sama, 

Kek!" kata sang pendekar. 

"Ya, ya kita, ngobrol di kedai saja. Akan kuramalkan pada kalian di mana bisa menemui 

Betina Penghisap Dajah itu. Lalu akan kuceritakan pada kalian siapa dia sebenarnyal Ayo, mari 

kita berangkat!" 

Ketigar orang itu, Dewa Tuak, Wiro dan si Kakek Segala Tahu segera tinggalkan tempat itu. 

Kakek Segala Tahu melangkah sambil menggoyang-goyangkan kalengnya. 

"Tunggu!" 

Utusan dari Istana berseru lalu mengejar. Dia menghadang langkah Kakek Segala Tahu. 

"Orang tua, aku minta kau mengatakan semua apa yang kau ketahui tentang gadis iblis itu 

sekarang jugal Sekaligus harap terangkan apa maksudmu dengan ucapan hendak menerangkan 

siapa dia sebenarnya!" 

Kakek Segala Tahu menyeringai. Dengan ujung tongkatnya dia naikkan pinggiran depan 

caping di kepalanya. Lalu ujung tongkat itu ditudingkannya tepat-tepat ke muka Utusan Kerajaan 

itu hingga hampir menyentuh hidungnya. 

"Kau tidak membutuhkan dua orang sahabatku ini. Berarti kau tidak membutuhkan aku 

sahabat mereka! Menyingkirlah! Masakan tega menghadang langkah orang buta sepertiku!" 

"Kalau kau tidak mau memberi keterangan, aku anggap kau berserikat dengan gadis iblis itu! 

teriak sang utusan. 

"Baik, aku akan bicara. Tapi kau bicara duluan. Aku mau dengar!" kata Kakek Segala Tahu 

seraya menggoyangkan tongkatnya sedikit. 

Sang utusan membuka mulutnya. Tapi tak ada suara yang keluar. Astaga! Dia tiba-tiba saja 

menjadi gagu. Dia coba gerakkan kedua tangannya. Kedua Kakinya. Gila sekujur tubuhnya 

ternyata telah kaku. Ternyata Kakek Segala Tahu telah menotoknya dengan satu gerakan kilat 

yang tidak terlihat! 

"Anak sableng!" kata Kakek Segala Tahu pada Wiro. "Sebutkan siapa nama orang sombongbiar aku ingat kesombongannya seumur hidup!" 

"Namanya Raden Mas Pertolo Sembito, Kek!" jawab Wiro. 

"Oooo... Raden Mas rupanya dia. Kukira Ikan Mas...!" Kakek Segala Tahu tertawa gelak-

gelak lalu melangkah pergi digandeng oleh Wiro dan Dewa Tuak. Orang-orang yang ada di situ 

tidak berani menghalangi. Mereka hanya menyesali mengapa hal yang tidak enak itu terjadi. Dan 

mereka semua diam-diam menyalahi utusan Kerajaan, yang bertindak terlalu gegabah terhadap 

tokoh-tokoh silat tingkat tinggi yang biasanya memang suka bersifat aneh! 

***

13 

K AKEK Segala Tahu berjalan di tengah diapit oleh Dewa Tuak dan Pendekar 212 Wiro Sableng. 

Si Kakek goyang-goyangkan terus kaleng rombengnya sedang Dewa Tuak tidak habis-habisnya 

tertawa dan sesekali sambil jalan dia meneguk tuaknya. Pendekar 212 melangkah mengiringi dua 

orang tua itu sambit cengar-cengir. 

Tiba-tiba Kakek Segala Tahu hentikan menggoyang kelengnya. 

"Ada apa sahabatku?" tanya Dewa Tuak sementara Wiro juga memasang telinga. 

"Aku mendengar suara derap kaki kuda di kejauhan. Mungkin masih di sebelah Utara sana, 

di kaki bukit," menerangkan Kakek Segala Tahu. 

Saat itu Wiro dan Dewa Tuak memang sudah mendengar suara derap kaki kuda itu, namun 

antara terdengar dan tidak. Berarti jelas bahwa kakek berpakaian compang-camping itu 

mempunyai pendengaran jauh lebih tajam dari kedua orang tersebut. 

"Sebaiknya kita bersembunyi di balik semak-semak. Mengintai siapa yang bakal lewat di 

tempat in!" kata Wiro. 

"Aku setuju usul anak sableng ini," menyahuti Kakek Segala Tahu. "Sambil menunggu yang 

lewat mungkin aku bisa menerangkan sedikit apa yang ku ketahui mengenai diri gadis berjuluk 

Betina Penghisap Darah itu." 

Dewa Tuak dan Wiro lalu membimbing Kakek Segala Tahu ke balik semak belukar rapat di 

tepi jalan. 

"Kek, sekarang coba kau ceritakan apa yang kau ketahui tentang Betina Penghisap Darah 

itu." kata Wiro begitu mereka duduk menjelepok di tanah, mendekam di balik semak belukar. 

"Yang aku ingin tahu apa betul gadis iblis itu adalah muridku si Anggini!" kata Dewa Tuak 

yang duduk bersila sambil memangku tabung bambu berisi tuak. 

"Tenang, jangan kesusu bertanya," jawab Kakek Segala Tahu. "Sebetulnya gadis itu bukanmanusia jahat…" 

"Heh!!" Dewa Tuak dan Wiro sama-sama keluarkan seruan heran. "Apa katamu?" bertanya 

Dewa Tuak. 

"Tunggu dulu. Bicaraku belum habis kalian sudah memotong!" 

"Kami heran. Nyata-nyata gadis itu menebar maut. Membunuh dan menghisap darah 

korbannya. Bagaimana kau bisa bilang dia bukan manusia jahat?!" ujar Dewa Tuak. 

"Dengar dulu. Dia memang bukan manusia jahat. Dia hanya kejatuhan nasib sengsara. 

Terkena sumpah turunan yang dibuat oleh orang lain…" 

Wiro garuk-garuk kepala dan menyeringai. "Ini baru cerita!" katanya. "Teruskan Kek!" 

"Kejahatan seperti itu biasanya dilakukan oleh orang yang makan sumpah. Mungkin dulu 

kakek atau neneknya memiliki semacam ilmu hitam. Untuk memelihara ilmu itu biasanya ada 

ketentuan berupa sumpah yaitu dia harus membunuh dan menghisap darah manusia tertentu. 

Kemudian jika batas waktu kehidupannya habis maka dia harus menurunkan ilmu tersebut pada 

anaknya. Jika dia tidak punya anak pada saudaranya. Jika dia tidak punya saudara maka harus ada 

seorang lain yang dijadikan pewaris..." 

"Aku mengerti sekarang!" kata Dewa Tuak dengan nada masgul. "Orang yang punya ilmu 

itu tidak punya anak tidak punya saudara. Sumpahnya dijatuhkan pada diri muridku Anggini 

yang tidak tahu apa-apa! Kurang ajar! Setan keparat!" Dewa Tuak tampak marah sekali. 

"Dewa Tuak," kata Wiro. "Sekarang baru saya mau bicara denganmu. Sebenarnya beberapa 

waktu lalu saya telah bertemu dengan muridmu itu. Memang saya melihat keanehan pada dirinya. 

Tapi sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa dia benar-benar telah menjadi gadis momok 

penghisap darah. Dia kelihatannya seperti tidak sadar siapa dirinya. Dia malah tidak tahu apa 

yang terjadi dalam rimba persilatan. Dia seolah-olah tidak merasa pernah melakukan kejahatan 

yang sangat mengerikan itu. Saya coba bicara dengannya tapi dia malah mendamprat saya. 

Mengatakan otak saya tidak beres. Ketika dia begitu saja hendak pergi, saya berusaha mencegah. 

Tapi dia menciderai-kaki-kaki kuda tunggangan saya dengan senjata rahasianya dan lenyap!" 

"Aneh, apa sebenarnya yang terjadi dengan muridku itu!" kata Dewa Tuak sambil geleng

geleng kepala. 

"Ada satu hat lagi. Saya tidak melihat dia membawa selendang ungu yang merupakan salah 

satu senjata andalannya. Menurut Anggini selendang itu hilang. Aneh! Sebelumnya saya melihat 

selendang itu ada padanya. Yaitu sehabis dia melakukan pembantaian terhadap Ki Sambar 

Tringgali dan Ki Ageng Timur. Kau sendiri juga ada di situ dan sempat hendak dibunuhnya, 

Dewa Tuak!" 

"Bukan main. Keanehan apa yang tengah menyengsarakan diriku ini sebenarnya…" keluh 

Dewa Tuak. 

"Kalian akan segera mendapat jawabnya sobat-sobatku!" kata Kakek Segala Tahu sambil 

membuka capingnya dan mengibas-kipaskan topi bambu lebar itu kemukanya. "Dugaanmu 

hampir betul. Sebelum aku sampai pada diri muridmu akan kukatakan dulu bahwa yang jadi 

biang kerok semua ini adalah seorang manusia yang sudah sejak lama mati tetapi hidup dalam 

penjelmaan seekor ular berkepala manusia. Dia dikenal dengan papggilan Maha Ratu. Sebenarnya 

dia adalah bekas kekasihmu di masa muda yang pernah kau kecewakan! Rohnya muncul untuk 

membalaskan sakit hati terhadapmu, sahabatku Dewa Tuak." 

Dewa Tuak terlonjak melihat mendengar katakata Kakek Segala Tahu itu. Sementara Wiro 

ternganga dan memandang berganti-ganti pada kedua orang tua yang duduk di hadapannya. 

"Bekas kekasihku...?" ujar Dewa Tuak. "Yang mana? Yang namanya siapa? Aku punya 

banyak kekasih di masa muda!" kata Dewa Tuak blak-blakan. 

"Yang aku maksud adalah Juminten Dorojalu," jawab Kakek Segala Tahu. 

"Juminten Dorojalu!" seru Dewa Tuak. Kembali tubuhnya terlonjak. 

"Maha Ratu memang berusaha mencari muridmu. Tapi yang didapatnya gadis lain. Gadis itu 

kemudian..." Ucapan Kakek Segala Tahu terpotong. Suara derap kaki kuda yang tadi terdengar di 

kejauhan kini menderu keras tanda sudah dekat. Tak lama kemudian serombongan orang berkuda 

berjumlah lebih dua puluh orang muncul. Di depan sekali adalah seorang yang mengenakan topi 

tinggi berwajah garang dengan kumis melintang dan janggut meranggas. Dia adalah Tumage 

Jarandiku seorang pembantu Patih Kerajaan yang sangat dipercaya dan memiliki kepandaiantinggi. Konon dikabarkan dialah kelak yang bakal dipercayai menduduki jabatan Patih jika Patih 

yang sekarang mengundurkan diri dari jabatannya karena uzur. Di sebelah belakang bergerak 

empat orang tokoh silat Istana. Lalu menyusul beberapa Perwira Tinggi dan Perwira Muda 

Kerajaan. Di sebelah belakang mengikuti sekitar selusin perajurit bersenjata lengkap. Masing-

masing anggota rombongan ini membawa peluit yang digantungkan di leher. 

Beberapa puluh langkah dari tempat Dewa Tuak dan dua orang lainnya itu bersembunyi 

Tumage Jarandiku hentikan kudanya. Lalu terdengar dia berkata. "Kita akan segera sampai di 

tempat sasaran. Mata-mata sudah meyakinkan bahwa gadis itu berada di. kawasan ini. Aku 

menduga berat dia hendak mencari korban di kalangan orang-orang yang menghadiri pertemuan 

rahasia itu. Aku kawatir akan keselamatan Dimas Pertolo Sembito. Saat kita menebar melakukan 

pengurungan. Beri tanda dengan tiupan peluit jika kalian melihatnya!" Lalu seusai dengan yang 

sudah diatur sebelumnya rombongan itu meninggalkan tempat itu, menebar jadi beberapa 

kelompok yang masingmasing terdiri dari dua orang. 

Dibalik semak belukar. "Tokoh-tokoh penting dari Istana muncul secara tiba-tiba. Padahal 

sebelumnya sudah ada utusan Kerajaan di sekitar sini. Hemm…" Kakek Segala Tahu diam 

sejenak baru menyambung ucapannya. Tadi mereka bicara tentang seorang gadis. Besar dugaanku 

gadis yang dimaksudkan adalah Betina Penghisap Darah itu!" 

"Muridku Anggini!" kata Dewa Tuak pula. 

"Bukan," menyahuti Kakek Segala Tahu. "kau lihat saja nanti. Mari kita kembali ke tempat 

pertemuan tadi! Kurasa di sana semua keanehan berdarah ini akan berakhir… " Si kakek bangkit 

berdiri. Diikuti oleh Dewa Tuak dan Wiro Sableng. 

Ketika mulai melangkah Dewa Tuak sesaat tertegun dan pegangi dada kirinya. "Ada apa 

Dewa Tuak?" tanya Wiro. 

"Ini adalah hari ke 39. Berarti umurku hanya tinggal sehari lagi!" sahut Dewa Tuak. 

"Eh, kenapa kau bicara begitu? Apa yang telah kau lakukan sahabatku?" tanya Kakek Segala 

Tahu sambil hentikan langkah pula. 

"Aku telah bersumpah untuk dapat menangkap muridku yang sesat itu dalam waktu 40 hari.Kalau tidak aku sudah siap untuk mati. Aku telah menelan racun yang akan membunuhku pada 

akhir hari ke 40!" 

"Kau nekad! Gila!" semprot Kakek Segala Tahu sementara Wiro juga tampak terkejut bukan 

main. 

"Aku belum gila atau nekad. Hanya tak bakal tahan menanggung malu jika anak itu tidak 

aku bunuh!" 

"Kau bilang umurmu hanya tinggal satu hari. Apakah kau juga membawa obat penawarnya?" 

Dewa Tuak mengangguk. "Ada," katanya. "Yang penting sekarang kita segera ke tempat 

pertemuan itu!" 

Ke tiga orang itu segera bergegas meninggalkan tempat itu. 

***


14 

BEGITU Kakek Segala Tahu, Wiro dan Dewa Tuak berlalu, mereka yang tadi menghadiri 

pertemuan rahasia bertindak cepat untuk membebaskan Pertolo Sembito dari totokannya. Yang 

paling dekat adalah seorang tokoh silat dari Selatan berjuluk Si Kaki Besi. Orang ini berusia 

sekitar setengah abad. Ke~!ua kakinya mulai dari pangkal paha berwarna hitam, memiliki 

kekuatan seperti besi. Tembok bisa dihantamnya sampai jebol. Pohon dapat ditumbangkannya 

dengan sekali tendang saja. Apalagi jika dia menghantam tubuh manusial 

Baru saja Si Kaki Besi mengulurkan tangan hendak melepaskan totokan di tubuh utusan dari 

Istana itu, tiba-tiba satu bayangan ungu berkelebat. Tahu-tahu tubuh Pertolo Sembito seperti 

disambar burung besar dan kelihatan dibawa terbang ke atas sebatang pohon dan ditegakkan pada 

salah satu cabangnya. Di sebelahnya berdiri seorang gadis berpakaian serba ungu dan sehelai 

selendang ungu melingkar di lehernya. 

"Gadis iblis! Betina Penghisap Darah!" seru beberapa orang hampir bersamaan. Karuan saja 

tempat itu jadi diliputi suasana tegang. Semua orang yang ada di sana jadi tercekat. 

Lalu terdengar suara tiupan peluit panjang, disusul oleh tiupan peluit lainnya dari berbagai 

penjuru. Dalam waktu singkat belasan kelompok masing-masing terdiri dari dua orang 

bermunculan di tempat itu. 

"Kangmas Tumage Jarandiku!" seru Si Kaki Besi. "Syukur kau datang. Lihat! Kita sudah 

menemukan dan mengurung gadis iblis pembunuh Pangeran Panji itu! Dia di atas sana!" 

Rombongan yang baru datang sama melihat ke atas pohon. 

Di atas pohon gadis berbaju ungu memandang dengan dingin pada orang-orang di 

bawahnya. Lalu dia tertawa cekikikan. Di kejauhan seperti menyambuti terdengar suara lolongan 

anjing. Tangan kanan Betina Penghisap Darah yang memegang bahu utusan Kerajaan dan seperti 

orang merangkul tiba-tiba bergerak ke leher Pertolo Sembito."Lihat jari-jari tangannya!" Seseorang di bawah pohon berteriak. 

Di atas pohon lima jari tangan kanan gadis berbaju ungu tampak mengeluarkan kuku-kuku 

panjang runcing berwarna merah. Ketika lima kuku itu dihunjamkan ke leher utusan Kerajaan 

yang masih dalam keadaan tertotok itu, darah kelihatan muncrat! Semua orang yang ada di bawah 

pohon tertegun bergidik. Tubuh Pertolo Sembito tampak bergetar keras. Betina Penghisap darah 

telah menyedot seluruh darah yang ada dalam tubuh lelaki itu. Tubuh orang ini kelihatan seperti 

terkulai. Ketika cengkeraman kuku dilepaskan Pertolo Sembito tak ampun lagi melayang ke 

bawah, jatuh bergedebukan di tanah! 

Serta merta tempat itu dilanda kegegeran. Di atas pohon Betina Penghisap Darah tampak 

menyeringai sambil menjilati jari-jarinya yang berlumuran darah. Kedua matanya memandang ke 

bawah siap mencari dan menentukan korban berikutnya. Matanya memperhatikan Tumage 

Jarandiku. "Hemm... Manusia satu ini kelihatan seperti orang berpangkat. Kepandaiannya tentu 

tidak rendah. Tapi aku lebih suka pada yang memiliki kaki hitam itu. Ilmunya pasti lebih tinggi. 

Jika kusedot darahnya ilmu kesaktianku pasti akan berlipat ganda." Begitu Iblis Penghisap Darah 

berpikir. Maka diapun siap-siap melompat turun untuk menyambar Si Kaki Besi. Tapi saat itu 

dibawah pohon Tumage Jarandiku justru telah memberi isyarat pada orang-orang berkepandaian 

tinggi di sekitarnya. 

"Gadis iblis! Dosamu sudah lewat takaran!" Sudah saatnya kau harus dibunuh! Mayatmu 

akan kami cincang lalu kami bakar!" Teriak Tumage Jarandiku. 

Sekali lagi dia memberi isyarat maka bersama dua orang tokoh silat ditambah dua orang 

Perwira Tinggi dia melesat ke atas, ke arah cabang pohon di mana Betina Penghisap Darah tegak 

berdiri, siap-siap hendak melompat turun menyambar Si Kaki Besil 

"Bagus! Kalian punya nyali rupanya! Tentu darah kalian sedap kutegukl?-teriak Betina 

Penghisap Darah. Gadis ini lepaskan gulungan setendang ungu yang melingkar di lehernya. Sekali 

dia mengebutkan selendang yangsalah satu ujungnya itu ada guratan angka 212, maka angin 

laksana topan prahara menderu. Dua orang Perwira yang ikut melompat ke atas pohon berseru 

kaget. Tubuh mereka mencelat ke bawah begitu kena tamparan angin pukulan. Yang satu terkaparpatah pinggang, meregang nyawa sambil mengerang tiada henti. Satunya lagi langsung tak 

berkutik karena kepalanya pecah sewaktu jatuh menghantam tanah. Hanya Tumage Jarandiku 

serta dua orang tokoh silat lainnya masih mampu menerobos terpaan angin pukulan yang dahsyat 

itu. Namun tetap saja mereka agak terhuyung-huyung walau berhasil mencapai cabang pohon di 

mana Betina Penghisap Darah berdiri sambil tertawa-tawa. 

Luar biasanya begitu mereka sampai di cabang pohon, semuanya jadi terkejut karena 

dapatkan gadis iblis itu tidak ada lagi di tempat itu! Memandang ke bawah terkejutlah mereka 

semua. Saat itu si gadis telah berada di bawah sana tengah menyerang Si Kaki Besi yang dibantu 

oleh dua orang tokoh silat Istana dan selusin perajurit Kerajaan! 

Gerakan-gerakan silat Betina Penghisap Darah sungguh luar biasa. Dalam beberapa gebrakan 

saja tiga orang perajurit tersungkur roboh kena hantamannya. Seorang Perwira Muda kemudian 

terpental disambar ujung selendang ungunya. Mata kirinya pecah. Raungan Perwira Muda ini 

membuat susana jadi tambah tegang. 

Melihat orang-orang si pihaknya menemui ajal bergelimpangan Si Kaki Besi jadi marah dan 

mengamuk. Tubuhnya melayang dan melompat sebat. Kedua kakinya kirimkan tendangan susul 

menyusul. Yang diarah adalah bagian-bagian kematian lawan yaitu kepala, tenggorokan dan dada! 

Mendapat serangan dahsyat itu Betina Penghisap Darah jadi terkesiap juga. Dia hantamkan 

selendangnya ke arah perut Si Kaki Besi. Yang diserang cepat melompat dan balas menghantam 

dengan tendangan kaki kanan. Ujung selendang tak ampun lagi saling beradu dengan tendangan 

itu. 

Bukk! 

Betina Penghisap Darah keluarkan seruan pendek. Tangan kanannya bergetar dan ujung 

selendangnya terpental ke samping. Di lain pihak Si Kaki Besi tampak terhuyung-huyuag hampir 

jatuh. Kaki kanannya sakit bukan kepalang hingga dia tegak terpincang-pincang. Masih untung 

dilihatnya kakinya tidak cidera. 

Mendapat perlawanan keras begitu rupa Betina Penghisap Darah berteriak keras. Selendang 

ungu kembali dikebutnya sedang tangannya sebelah kiri melepaskan pukulan-pukulan aneh yangmenebar hawa dingin. 

Beberapa orang perajurit dan seorang Perwira Tinggi menjerit keras kena hantaman 

selendang. Yang lain-lain termasuk Si Kaki Besi terkejut besar ketika mereka merasakan hawa tiba-

tiba menjadi sangat dingin hingga tubuh mereka serasa kaku. Perajurit- perajurit Kerajaan yang 

ilmu kepandaian mereka paling rendah langsung tak bisa bergerak. 

Semuanya tertegak tegang kaku. Sekujur tubuh bergetar, rahang menggembung dan gigi-gigi 

bergemeletukan. Gadis berbaju ungu itu telah lepas kan pukulan sakti bernama "salju pusaka 

dewa". 

Si Kaki Iblis dan beberapa tokoh silat lainnya maklum kalau lawan memiliki ilmu aneh yang 

menimbulkan hawa dingin dan bisa membuat kaku sekujur tubuh serta anggota badan, cepat-

cepat alirkan darah dan tenaga dalam hawa panas. Begitu mereka terbebas dari kekakuan kembali 

mereka menyerbu si gadis. Kali ini beberapa di antaranya sudah menghunus senjata sakti yang 

mereka miliki. Hanya Si Kaki Besi saja yang masih tetap mengandalkan kedua kakinya. 

Di atas pohon sementara itu Tumage Jarandiku keluarkan teriakan keras yang merupakan 

syarat. Diikuti oleh tokoh-tokoh silat yang ada di cabang pohon dia segera melesat ke bawah. Di 

bawah sana, beberapa orang tokoh silat Istana yang tadi tidak sempat ikut melesat ke atas pohon 

kini telah ikut mengurung Betina Penghisap Darah. Gadis ini sekarang dikeroyok hampir oleh 

dua puluh orang. Beberapa diantaranya adalah tokoh-tokoh silat berkepandaian tinggi. Serta 

merta dirinya terdesak. Nyawanya terancam. Namun gadis itu tampak tenang-tenang saja malah 

terus menghadapi para pengeroyoknya sambil tersenyum-senyum tapi tetap saja wajahnya seram 

mengerikan karena bercelemongan darah Pertolo Sembito yang tadi telah jadi korbannya pertama 

kali. Dalam keadaan perkelahian berkecamuk hebat demikian rupa itulah rombongan Dewa 

Tuak, Kakek Segala tahu dan Pendekar 212 Wiro Sableng sampai di tempat itu. Ketiganya masih 

sempat merasakan hawa dingin aneh yang mencucuk sampai ke tulang sumsum. 

"Anak sesat! Itu dia!" kata Dewa Tuak dengan sangat marah. "Sebentar lagi dia akan 

menemui ajal di tangan para pengeroyok! Kalau aku tidak segera turun tangan bisa-bisa aku 

keduluan orangorang itu. Anggini harus mati di tanganku!"Dewa Tuak hendak melompat ke arah kalangan pertempuran. Tapi Kakek Segala Tahu cepat 

memegang lengannya lalu berpaling pada pendekar 212. 

"Anak Sableng, coba kau katakan dulu padaku apa yang terjadi!" kata Kakek Segala Tahu. 

***

15 

WIRO menggaruk kepalanya. "Anggini, murid Dewa Tuak di keroyok hampir oleh dua puluh 

orang. Dia mempertahankan diri hanya mengandalkan selendang ungu dan pukulan-pukulan 

sakti di tangan kanan. Agaknya..." 

"Tunggu dulu!" potong Kakek Segala Tahu. "Sebelumnya kau mengatakan bahwa ketika kau 

bertemu dengan Anggini, gadis itu bilang selendang yang pernah kau berikan padanya hilang. 

Mengapa tahu-tahu kini selendang itu ada di tangannya?" 

"Ini memang satu hal yang saya tidak mengerti Kek," jawab Wiro. 

"Dia pasti berdusta! Mungkin takut kau akan memintanya kembali!" Dewa Tuak ikut bicara. 

"Aku tak bisa menunggu lebih lama! Aku harus segera turun tangan. Anak itu harus kuhukum 

mati dengan tanganku sendiri. Lepaskan peganganmu!" Dewa Tuak menepiskan tangan Kakek 

Segala Tahu yang memegang tengannya. Pada saat itu pula terdengar satu suara bentakan keras 

disusul dengan berkelebatnya satu bayangan ungu. 

"Gadis durjana! Kau mencemarkan namaku! Terima kematianmu!" 

Lalu sepuluh buah senjata rahasia berbentuk paku perak dengan kepanjangan setengah 

jengkal melesat di udara, menghantam ke arah sepuluh bagian tubuh Betina Penghisap Darah! 

"Hai! Aku mengenali suara orang yang barusan berteriak itu!" seru Dewa Tuak dan cepat 

berpaling. "Astaga! Kenapa jadi begini!" 

"Saya juga mengenali suara itu! Lihat! Gila!" seru Wiro. "Kenapa bisa jadi dua? Apa 

kembar!?" 

"Sialan! Aku tak bisa melihat! Wiro! Lekas katakan apa yang terjadi? Apa yang jadi dua?!" 

berseru Kakek Segala Tahu. Kalau sejak tadi mendiamkan saja kaleng rombengnya kini dia kini 

dia goyang-goyangkan benda itu hingga mengeluarkan suara berkerontangan! 

"Ada dua dara berpakaian serba ungu, berwajah hampir mirip satu sama lain. Cuma satumemegang selendang, satunya tidak!" Wiro menerangkan dengan cepat. Kakek Segala Tahu 

angkat bagian depan caping bambunya sedikit lalu berkata. "Apa kataku! Aku memang sudah 

duga! Dewa Tuak! Salah satu dari gadis berpakaian ungu itu adalah muridmu! Kau harus tahu 

mana muridmu yang sebenarnya dan mana gadis yang kejatuhan sumpah turun temurun lewat 

Maha Ratu!" 

Dewa Tuak terbelalak. "Aku bisa pusing!" katanya. "Keduanya hampir tidak berbeda satu 

sama lain. Biar aku teguk dulu tuakku!" Habis berkata begitu Dewa Tuak teguk tuak dalam 

bambu sampai wajahnya menjadi merah. 

Di depan sana gadis berbaju ungu yang mendapat serangan senjata rahasia dari gadis ber-

pakaian ungu lainnya pukulkan tangan kirinya serta sebatkan selendang ungunya. Delapan senjata 

rahasia berbentuk paku mental. Tiga diantaranya menghantam para pengeroyoknya. Satu 

tertembus tepat di keningnya hingga roboh saat itu juga. Dua menjerit ketika paku-paku perak itu 

menembus dada dan perut masing-masing. Dua paku perak lainnya sempat merobek ujung 

selendang di tangan kanan si dara berbaju ungu dan satunya lagi menyambar bahu pakaiannya 

hingga robek besar. Marahlah gadis ini! Di dahului dengan teriakan melengking keras dia 

membuat gerakan demikian rupa untuk dapat membebaskan diri dari para pengeroyoknya. 

Tujuannya kini adalah menyerang gadis berbaju ungu yang barusan datang dan membunuhnya! 

Tetapi celakanya para pengeroyok tidak memberi kesempatan. Sepasang mata gadis berbaju ungu 

itu tampak berapi-api. Mulutnya terkatup rapat-rapat. 

"Dewa Tuak! Apa kau masih belum dapat mengenali mana gadis berbaju ungu muridmu?" 

bertanya Kakek Segala Tahu. 

"Sulit kalau aku tidak bisa mendekat!" 

"Barusan aku mendengar ada yang melepas senjata rahasia. Kau lihat siapa yang 

melakukan?!" bertanya Kakek Segala Tahu. 

"Astaga!" seru Wiro. "Bukankah Anggini memiliki senjata rahasia berupa paku perak seperti 

yang tadi dilepaskan gadis baju ungu yang barusan datang? Berarti gadis ini adalah muridmu 

Dewa Tuak!"Dewa Tuak berseru kaget. "Aku sudah pikun. Mustinya aku bisa menerka sendiri tadi! Wiro, 

kau betul! Yang barusan datang ini adalah muridku Anggini!" 

"Apa kataku!" ujar Kakek Segala Tahu. "Sebelumnya aku sudah menduga kalau muridmu 

tidak melakukan kejahatan biadab itu. Bukan dia yang jadi Betina Penghisap Darah. Hanya saja 

buktinya belum di dapat. Kini rahasia besar itu sudah mulai tersingkap. Gadis yang memegang 

selendang harus dibunuh. Dialah Betina Penghisap Darah yang sebenarnya. Maha Ratu sengaja 

menyarukan dirinya sebagai anak muridmu. Namamu tercemar lalu kau akan membunuh 

muridmu sendiri atau si betina itu yang akan membunuh kalian berdua, guru dan murid! Kalau 

itu terjadi berarti terbalas dendam kesumat Maha Ratu alias Juminten Dorojalu kekasihmu di 

masa muda dulu!" 

Bergetar sekujur tubub. De.wa Tuak mendengar hal itu. Tiba-tiba di kalangan pertempuran 

terdengar suara jeritan-jeritan mengerikan. Benda-benda aneh berlesatan di udara. 

"Ada apa lagi ini!?" tanya Kakek Segala Tahu. 

Sementara itu orang-orang yang sejak tadi mengeroyok gadis berbaju ungu itu menjadi heran 

ketika mereka melihat munculnya gadis berbaju ungu lain yang memiliki wajah mirip. Siapa gadis 

satu ini, lalu yang mana di antara mereka sebenarnya adalah Betina Penghisap Darah? 

"Kangmas Jarandiku, bagaimana ini?" tanya Si Kaki Besi. 

"Jangan tolol! Jangan tertipu. Orang yang kita keroyok ini adalah Betina Penghisap Darah 

sebenarnya! Kita sudah saksikan dia membunuh Pertolo Sembito dan menghisap darahnya! 

Rapatkan kurungan!" 

Mendengar teriakan Tumage Jarandiku itu, Si Kaki Besi dan yang lain-lainnya segera 

memperketat kurungan dan menempur lawan tunggal mereka mati-matian! 

Wiro menggaruk kepalanya. Selintas pikiran muncul si benaknya. "Dua gadis berwajah mirip 

berpakaian sama. Bisa muncul bahaya besar pada did murid Dewa Tuak!" Wiro lalu buka baju 

putihnya dan berkelebat ke arah gadis baju ungu yang barusan datang. "Anggini! Lekas kau pakai 

bajuku ini! Jika nanti orang-orang tidak bisa lagi membedakan mana dirimu dan mana gadis iblis 

itu, nyawamu pasti terancam!"Gadis berbaju ungu di hadapan Wiro yang memang adalah Anggini murid Dewa Tuak 

adanya mengerti jalan pikiran pemuda itu. Cepat-cepat dia mengenakan baju putih yang 

diberikan Pendekar 212 lalu mengikuti Wiro bergabung dengan Dewa Tuak dan Kakek Segala 

Tahu. 

"Guru, maafkan muridmu ini. Saya..." 

"Sudah, sudah! Lupakan segala macam peradatan. Aku merasa ada sesuatu yang hebat tengah 

terjadi di kalangan pertempuran. Aku mencium bau amis! Wiro lekas katakan apa yang terjadi!" 

kata Kakek Segala Tahu pula. 

Saat itu gadis berjuluk Betina Penghisap Darah berada dalam keadaan terdesak dan 

terkurung rapat oleh para pengeroyok. Beberapa kali dia mencoba menerobos guna dapat 

menyerang Anggini yang asli namun selalu gagal. Maka dalam marahnya dia lalu merapal ajian 

memanggil ular-ular peliharaannya. 

"Para Dewi, datanglah!" 

Begitu rapal diucapkan maka terdengar suara bersiur riuh sekali disertai bau amis. Seolah-

olah datang dari langit, belasan ekor ular hitam melesat ke arah si gadis lalu menempel dan 

bergelantungan di badannya. Ada yang bergelung di leher, dada, pinggang atau kaki. Dua ekor 

ular malah mendekam di atas kepalanya. Melihat hal ini tentu saja para pengeroyok menjadi 

bergidik. Dengan ketakutan mereka melangkah mundur. Yang tadinya belum menghunus senjata 

kini mencabut senjata masing-masing. 

"Sahabat-sahabatku, serang dan bunuh mereka!" perintah Betina Penghisap Darah pada ular-

ular itu. Semua binatang ini lepaskan gelungannya, mendesis keras dan tiba-tiba mereka berlesatan 

ke arah para pengeroyok. Terjadilah hal yang mengerikan. Puluhan pengeroyok yang berusaha 

melarikan diri diserang oleh ular-ular jejadian itu. Ada yang digelung hingga hancur luluh tulang 

leher atau dadanya. Namun kebanyakan menemui ajal karena langsung dipatuk! Beberapa tokoh 

silat seperti Tumage Jarandiku dan Si Kaki Besi berusaha membunuh binatang-binatang yang 

menyerang mereka dengan senjata. Ternyata ular-ular itu tidak mempan di bacok apalagi 

pukulan! Keduanyapun mati berkaparan dengan belasan patukan berbisa melanda kepala dantubuh mereka! 

"Maut! Ganas! Aku mencium bau maut! Aku merasakan adanya kematian yang ganas! Wiro 

lekas ceritakan apa yang terjadi!" kata Kakek Segala Tahu tak tahan lagi. 

Ketika kemudian Wiro menerangkan, orang tua ini berubah wajahnya. "Itu adalah ular-ular 

jejadian milik Maha Ratu. Pada gilirannya ular-ular iblis itu pasti akan menyerang kita!" 

Wiro terkejut. "Apa yang harus kita lakukan?" tanya Pendekar 212 sementara Anggini juga 

mulai jadi bergidik dan cepat berjaga-jaga. Dewa Tuak tampak tegang. Dia siapkan tabung 

tuaknya. Di depan sana pedataran pertempuran telah menjadi rata. Puluhan mayat 

bergelimpangan. Ada yang saling tumpang tindih. Gadis berpakaian ungu tegak berkacak 

pinggang sementara ular-ular yang tadi disuruh menyerang dan membunuh kini kembali 

bergayutan di tubuhnya. 

"Sayang, para tokoh silat itu ikut mati semua hingga aku tak dapat menghisap darah 

mereka!" kata si gadis dalam hati. Mulutnya menyeringai. Perlahan-lahan dia berpaling ke arah 

Dma Tuak, Kakek Segala tahu dan Pendekar 212 Wiro Sableng serta Anggini yang tegak di 

kejauhan. 

"Gadis itu memandang ke arah kita." bisik wiro. 

"Ah... Giliran kita hendak dijadikannya korban!" kata Kakek Segala Tahu. "Ular-ular 

jahanam itu! Kita harus dapat melawannya. Tapi bagaimana...? Bagaimana!?" 

Sementara itu si gadis mulai berjalan melangkahi tumpukan mayat. Bergerak ke arah empat 

orang itu. Wiro segera cabut Kapak Naga Geni 212 dan memegangnya erat-erat di tangan kanan. 

Sedang tangan kiri sudah bergetar dengan aliran tenaga dalam yang tinggi. Dia sudah menyiapkan 

pukulan "sinar matahari" di tangan itu. Anggini sudah menggenggam selusin senjata rahasia paku 

peraknya. 

Kakek Segala Tahu gelengkan kepala. "Ular-ular itu tidak bakal mempan dengan segala 

macam senjata yang saat ini kalian pegang..." katanya. 

"Lalu apakah kita akan mampus percuma tanpa perlawanan?" tukas Dews Tusk. 

Betina Penghisap Darah melangkah terus sambil menyeringai. Ular-ular di tubuhnyaengeluarkan suara berdesis-desis dan menebar bau amis. 

"Kalian semua sudah siap mampus?" tanya gadis iblis itu lalu hentikan langkah. Wajahnya 

yang cantik jelita telah berubah jadi seseram setan, apalagi masih bercelemongan darah! 

"Ceiaka! Aku masih belum menemukan cara untuk menghadapi ular-ular itu." kata Kakek 

Segala Tahu. "Otakku seperti buntu!" 

"Kek! Goyangkan kaleng rombengmu! Siapa tahu kau bisa segera dapat petunjuk." bisik 

Wiro. 

Kakek Segala Tahu mendongak. Lalu diangkatnya tangan kanannya tinggi-tinggi dan 

goyangkan kaleng yang dipegangnya. 

Gadis berbaju ungu di hadapan mereka tertawa bergelak. 

"Rupanya kau ingin mengantar kematian diri dan teman-temanmu dengan nyanyian kaleng 

rombeng begitu rupa. Hik.., hik... hik…" 

"Sialan! Dia menghina kalengku!" kata Kakek Segala Tahu. Tiba-tiba dia susul ucapannya. 

"Ular! Binatang itu paling takut dengan api! Kita bisa membunuhnya dengan api!" 

Paras Dewa Tuak berubah. "Tuak murniku bisa kujadikan api! Sahabat, kupinjam dulu 

tongkat bututmu!" 

Tanpa menunggu jawaban orang Dewa Tuak, segera mengambil tongkat kayu di tangan kiri 

Kakek Segala Tahu. Lalu dirobeknya ujung pakaiannya sendiri dan digulungkannya pada ujung 

tongkat. Ujung tongkat itu kemudian dicelupkannya ke dalam tuak dalam tabung bambu. 

"Api, kita butuh api!" kata Dewa Tuak. Matanya membentur Kapak Naga Geni 212 di 

tangan Wiro. "Heh, apa kau membawa batu hitam pasangan senjata mustika itu?" 

Wiro segera mengerti dan cepat keluarkan batu hitam yang tersimpan di pinggangnya. Tanpa 

disuruh dia segera menghantamkan batu hitam ke salah satu mata kapak. Bunga api memercik 

terang. Dewa Tusk dekatkan ujung tongkat yang telah digulung kain dan dicelup tuak. Serta 

merta api menyambar dan membakar ujung tongkat seperti sebuah obor! 

Di depan sana Betina Penghisap Darah tertawa tergelak. "Kalian kira api itu bisa menakuti 

ular-ularku? Bisa membunuh binatang-binatang ini?"Dewa Tuak dan Kakek Segala Tahu tercekat. "Iblis itu betul. Bagaimana kalau binatang 

jejadian itu tidak mempan api?" bisik Kakek Segala Tahu. 

"Berarti kita semua akan mati di tempat ini!" jawab Wiro dengan muka mulai pucat. 

Dewa Tuak teguk tuaknya sampai mulutnya penuh. Minuman itu tidak terus ditelannya 

melainkan tetap dibiarkannya di dalam mulut. Tangan kirinya memegang tongkat yang ujungnya 

dikobari api. 

Betina Penghisap Darah keluarkan suara lengkingan. 

"Semua lekas berlindung di belakangku!" perintah Dewa Tuak. Kakek Segala Tahu dan 

Anggini segera melakukan apa yang diperintahkan. Hanya Wiro yang masih tegak di sebelah 

kanannya. "Kau sudah ingin segera mampus?" bentak Dewa Tuak. 

"Mungkin api kapak dan batu bisa menolong seperti api tuakmu!" jawab Pendekar 212. 

"Kau coba saja. Kalau gagal kau tanggung sendiri akibatnya!" 

"Sahabat-sahabatku! Serang dan bunuh keempat orang itu!" tiba- tiba gadis berpakaian ungu 

berikan perintah. 

Ular-ular yang bergelayutan di tubuhnya tegakkan kepala dan mendesis keras. Tiba-tiba 

binatang ini melesat ke depan. Dews Tuak segera semburkan tuaknya. Begitu menyambar api di 

ujung tongkat, tuak yang disemburkan itu berubah menjadi buntalan api yang bergulung-gulung 

menyambut serangan belasan ekor ular hitam. Di sebelah Dewa Tuak Pendekar 212 segera pula 

gosokkan batu hitam sakti dengan mata Kapak Maut Naga Geni 212. Gelombang api yang sangat 

panas menderu dan menyambar ke arah ular-ular yang datang menyerangl 

Ular-ular hitam Itu seperti tahu datangnya bahaya dengan cepat merubah gerakan serangan 

mereka. Ada yang melesat ke atas lalu menukik meneruskan serangan. Ada pula yang membelok 

ke kiri atau ke kanan lalu kembali menyerang. 

Wiro dan Dewa Tuak menjadi sibuk. Kakek Segala Tahu coba menghantam dengan 

kekuatan tenaga dalam yang dahsyat sementara Anggini mulai melepaskan senjata rahasianya. 

Untuk sementara serangan-serangan ular itu masih dapat ditahan oleh kobaran api sedang 

pukulan sakti Kakek Segala Tahu dan senjata rahasia Anggini tidak mempan. Lalu sampai

seberapa lama Dewa Tuak dan Wiro bisa bertahan? Bagaimana kalau tuak dalam dua buah tabung 

itu akhirnya habis dan Wiro keletihan menghantamkan kapak dan batu hitam terus menerus? 

Ular-ular hitam dengan cerdik melayang-layang di udara, berputar-putar mencari kesempatan. 

Suatu ketika binatang ini kembali menyerbu. Dewa Tuak dan Wiro semburkan api tapi celakanya 

salah seekor masih sempat menerobos. gelombang api lalu mematuk paha kiri Kakek Segala Tahu. 

Orang tua ini berteriak kesakitan dan roboh ke tanah. Wiro tendang tubuh ular yang tadi 

mematuk. Binatang ini hanya mencelat mental tapi sama sekali tidak cidera! Begitu mental 

binatang ini menyerang kembali. Dews Tuak terpaksa menyemburkan lagi dengan tuak berapi. 

"Celaka! Tuakku tinggal sedikit." kata Dewa Tuak. 

Betina Penghisap Darah tertawa bergelak mendengar ucapan itu. 

Sementara itu ketika tubuhnya tergelimpangan roboh, sepasang mata Kakek Segala Tahu 

seolah-olah diberi penglihatan aneh lewat daya ingatnya yang luar biasa. Dalam kebutaannya dia 

membayangkan Pendekar 212 memegang Kapak Maut Naga Geni 212. Dia seolah-olah melihat 

adanya lobang-lobang pada gagang senjata mustika itu. 

"Pendekar 212! Suling! Ular-ular itu... Senjatamu... Senjatamu...senjatamu…" Ucapan 

Kakek Segala Tahu hanya sampai di situ. Orang tua ini jatuh terkulai dan pingsan. Namun murid 

Eyang Sinto Gendeng sudah maklum apa yang ingin dikatakan oleh si kakek. Segera dia 

melompat ke cabang sebatang pohon. Di sini dia duduk bersila dan dekatkan gagang kapak yang 

berbentuk kepala naga itu ke mukanya. Ketika Wiro mendekatkan bibir naga ke bibirnya sendiri, 

ular-ular hitam yang melayang di udara menunggu kesempatan tiba-tiba melesat ke arahnya. 

Melihat sang pendekar dalam bahaya Dews Tuak cepat semburkan tuaknya sambil meletakkan 

tongkat berapi di depan mulut. Tuak murni menyerribur membentuk gelombang api yang 

d8hsyat membuat ular-ular hitam Itu terpaksa mundur. Anggini lepaskan lagi sepuluh senjata 

rahasia. Tapi paku- paku perak itu mental berjatuhan ke tanah begitu mengenai tubuh ular-ular 

hitam. 

Di atas pohon Wiro susun jari-jari tangannya pada enam buah lobang di gagang Kapak Maut 

Naga geni 212. Senjata mustika ini memang bisa dijadikan sebagai sebuah seruling sakti. Begitudia meniup dengan mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya, menggeledeklah suara melengking 

yang membuat semua telinga menjadi sakit. Dews Tuak dan Anggini cepat tutup kedua 

telinganya dengan telapak tangan. Betina Penghisap Darah coba bertahan tapi akhirnya terpaksa 

juga menutup jalan pendengarannya dengan menusukkan ujung-ujung jari ke dalam liang 

telinganya kiri kanan. Ular-ular hitam yang melayang-layang di udara tampak terlonjak lalu 

dongakkan kepala. Makin keras suara tiupan "Seruling" yang dimainkan Wiro semakin kacau 

gerakan-gerakan binatang ini di udara. Daun-daun pepohonan tampak bergerak-gerak. Beberapa 

di antaranya mulai luruh berjatuhan ke tanah! 

Perlahan-lahan Wiro rubah tiupan serulingnya. Kalau tadi melengking tinggi rendah tidak 

karuan, kini nadanya tetap tinggi tetapi membawakan lagu aneh. Ular-ular hitam yang melayang-

layang dl udara tampak melenggak-lenggok jinak mengikuti irama seruling yang ditiup Wiro. 

Tetapi dari telinga dan mulut mata mereka kelihatan keluar tetesan tetesan darah tanda binatang-

binatang ini tidak bisa bertahan terhadap getaran-getaran tiupan suling yang memang dahsyat itu. 

Satu demi satu ular-ular hitam itu melayang turun ke bawah dan akhirnya berjatuhan di 

tanah. Tampaknya binatang ini seperti mabok. Namun sesaat kemudian mereka melata di tanah 

menuju pohon di mana Wiro duduk meniup Kapak Maut Naga Geni 212. Belasan ular 

kemudian merayap di batang pohon naik mendekati cabang di mana murid Sinto Gendeng 

berada. Tentu saja Dewa Tuak dan Anggini menjadi cemas. Apalagi Pendekar 212 sendiri. 

Kuduknya menjadi dingin. Sekujur tubuhnya mandi keringat. Tapi dia terus saja meniup 

serulingnya malah menarribah kekuatan tenaga dalamnya. Kini belasan ular hitam itu telah 

mencapai cabang tempat Wiro duduk. Mereka meniti cabang naik ke atas pangkuan Wiro, 

bergelung ke berbagai bagian tubuh pemuda itu. Walau tidak satupun yang menggigit atau 

mematuk namun Wiro yang sudah tidak sanggup menahan rasa takut akhirnya terkencing-

kencing. 

Di bawah pohon Dewa Tuak dan Anggini terheran-heran melihat apa yang terjadi. Belasan 

ular hitam besar itu hanya bergelung-gelung dan berputar-putar di sekitar tubuh Wiro. Mereka 

kelihatan menjadi jinak. Di bagian lain di bawah pohon Betina Penghisap Darah menjadi marahmelihat kejadian itu. Dia berteriak pada ular-ular memberi perintah. 

"Para Dewi! Bunuh pemuda yang meniup suling itu!" 

Kalau sebelumnya begitu mendengar perintah binatang jejadian itu langsung menyerbu dan 

mematuk korbannya maka kali ini perintah itu seperti tidak mereka dengar. Ular-ular ini terus 

saja bergayut menggelungi tubuh Wiro. Malah ada yang menjilati tubuhnya yang bertelanjang 

dada itu! 

Melihat hal ini Betina Penghisap Darah menjadi tambah marah. Dia turunkan kedua 

tangannya yang dipakai menutupi telinga. Justru ini adalah satu kesalahan yang mencelakakannya. 

Begitu liang telinganya tidak terlindung lagi, suara lengkingan seruling yang ditiup Wiro langsung 

menusuk ke dalam telinganya. Dess! Dess! Gendang-gendang telinganya kiri kanan pecah! Darah 

mengalir ke luar. Gadis ini berteriak kesakitan dan berusaha menekap kedua telinganya kembali. 

Tentu saja sudah terlambat. Kedua matanyapun kini tampak kelihatan berubah merah. 

Pemandangannya seperti tertutup kabut. Lalu darah kelihatan pula menetes dari dua lobang 

hidungnya. Sesaat sebelum dia roboh Betina Penghisap Darah pukulkan ke dua tangannya ke arah 

Wiro. 

Dua gelombang angin dingin menderu. Pukulan salju pusaka dewa menggebubu. Udara 

menjadi sangat dingin. Wiro merasakan tenggorokannya tercekik. Tiupan sulingnya sesaat 

terhenti oleh pengaruh hawa dingin luar biasa itu. Jika hal ini terjadi berlama-lama, ular-ular 

hitam itu akan terbebas dari pengaruh tiupan seruling dan pasti akan menyerbu serta membunuh 

siapa saja yang ads di situl Namun saat itu dari samping Dewa Tuak dan Anggini sama-sama 

lancarkan serangan. Dewa Tuak semburkan minumannya melewati kobaran api di ujung tongkat. 

Satu gelombang api menderu ke arah Betina Penghisap Darah. Selagi dia berusaha melompat 

menghindari sambaran api, sepuluh senjata rahasia paku perak yang dilepaskan Anggini melesat 

menghantam tubuhnya. Hanya tiga yang bisa dielakkannya. Tujuh lainnya menancap tepat di 

berbagai bagian tubuhnya. Saat yang sama gelombang api kembali menyambar. 

Wuss! 

Betina Penghisap Darah menjerit keras. Tubuhnya sesaat tampak melayang ke atas sini kobaran api. Ketika tubuh itu terhempas ke tanah keadaannya sudah jadi gosong menghitam. 

"Selendangku!" seru Anggini seraya memburu. Tapi selendang pemberian Wiro itu telah ikut 

jadi abu! 

Di atas pohon Wiro merasakan rasa tercekik pada tenggorokannya lenyap. Serta merta die 

meniup sulingnya kembali. Hal ini membuat Dewa Tuak dan Anggini terpaksa menutup liang 

telinga mereka kembali. Satu demi satu ular-ular hitam yang meliliti tubuh Pendekar 212 

berjatuhan ke tanah. Binatang ini menggeliat-geliat beberapa lamanya lalu terjadilah hal yang 

aneh. Belasan ular itu berubah menjadi jejeran debu hitam memanjang, lalu debu hitam ini 

berubah menjadi asap putih yang perlahan-lahan naik ke udara dan akhirnya lenyap dari 

pemandangan! 

Wiro turunkan Kapak Maut Naga Geni 212 dari bibirnya. Dia memandang ke bawah. 

Senjata mustika itu disisipkannya ke pinggangnya. Due kali die menggaruk kepala baru pendekar 

ini melompat turun ke tanah. Wiro melangkah cepat mendekati Dews Tuak dan Anggini yang 

tengah memeriksa keadaan Kakek Segala Tahu yang seat itu masih berada dalam keadaan pingsan. 

Luka bekas patukan di paha kiri kakek kelihatan telah membengkak dan berwarna kebiruan. Wiro 

segera keluarkan Kapak saktinya kembali. Salah satu mata kapak di letakkannya di bagian paha 

yang kena patuk. Lalu murid Sinto Gendeng ini mulai kerahkan tenaga dalamnya untuk 

menyedot racun yang ads deism tubuh orang tua itu. Perlahan-lahan darah kental keluar dari 

lobang luka. Mula-mula warnanya tampak hitam, lalu berubah agak kebiru-biruan. Setelah 

beberapa lama darah itu berubah lagi menjadi merah. Wiro menarik nafas lega. Dia hentikan 

pengerahan tenaga dalam. Racun di tubuh kakek Segala Tahu telah dikuras keluar. Begitu dirinya 

bebas dari pengaruh racun yang bisa membunuhnya, Kakek Segala Tahu tampak menggeliat. 

Kedua matanya terbuka. Lalu dia bangkit dan duduk di tanah. 

"Heh, habis jalan-jalan kemana aku ini...?" katanya sambil memandang berkeliling. Lagaknya 

seperti orang yang tidak buta saja! 

"Lagakmu keren amat!" kata Dewa Tuak. Dia angsurkan bumbung bambunya. "Ini tuakku 

masih ada sedikit. Minumlah agar darah di tubuhmu benar-benar segar. Kau tahu, kau hampirsaja jalan-jalan ke neraka!" 

Kakek Segala Tahu ambil tabung bambu itu lalu meneguk isinya sampai habis! Hal ini tentu 

saja membuat Dewa Tuak jadi jengkel penasaran tapi hanya bisa geleng-geleng kepala! "Apakah 

semuanya sudah berakhir?" tanya Kakek Segala Tahu sambil berdiri. "Aku tidak lagi mendengar 

suara ular-ular itu gentayangan di udara. Juga tidak ada bau amis..." 

"Semuanya memang sudah berakhir Kek…" kata Wiro. 

"Eh, mana kaleng rombengku!" berseru Kakek Segala Tahu. "Aku boleh tidak makan seratus 

hari! Tapi aku tidak bisa hidup tanpa kaleng itu!" 

"Ini kalengmu Kek," kata Anggini seraya menyorongkan kaleng milik si kakek ke dalam 

genggaman orang tua itu. 

"Ah... Terima kasih..." Kakek Segala Tahu lalu goyang-goyangkan kalengnya hingga 

mengeluarkan suara berisik. Lalu dia berpaling pada Dewa Tuak dan berkata. "Kau sudah 

bertemu dengan muridmu. Kau sudah tahu kalau bukan dia yang jadi Betina Penghisap darah itu. 

Apakah kau sudah menelan obat penghancur racun dalam tubuhmu?" 

Dewa Tuak berseru kaget. 

"Astaga! Kalau tidak kau ingatkan aku hampir terlupa!" Dewa Tuak cepat meraba saku 

pakaiannya. Sebelah kiri, lalu sebelah kanan. "Celaka! Obat itu hilang!" serunya dengan muka 

pucat. "Matilah diriku!" 

"Hilang atau kau lupa meletakkannya di mana..." kata Kakek Segala Tahu pula. 

"Kau menyembunyikannya?!" menuduh Dewa Tuak. 

Kakek Segala Tahu tertawa mengekeh. "Buat apa aku menyembunyikan obat tak berguna 

bagiku itu?" 

Dewa Tuak jadi kelabakan. Ketika dia tidak juga menemukan obat penangkal racun yang 

telah ditelannya itu, orang tua ini akhirnya duduk terhenyak di tanah. 

"Kalian pergi saja. Biar aku menunggu ajal di sini!" kata Dewa Tuak dengan suara lemas. Dia 

memperhatikan dua tabung bambu tuaknya yang telah kosong dengan tatapan mata sedih. Tiba-

tiba pada salah satu pantat tabung dia melihat sebuah benda menempel."Sialan! Memang aku yang lupa!" kata Dewa Tuak sambil menepuk keningnya. Dia 

melompat dan mengambil benda yang menempel pada bagian bawah tabung bambu. Benda ini 

adalah segumpal lilin lembut. Begitu gumpalan lilin dibuka, di dalamnya kelihatan sebuah benda 

hitam bulat sebesar ujung jari kelingking. Dewa Tuak segera menelan benda hitam itu yang 

bukan lain adalah obat untuk penangkal racun yang telah ditelannya empat puluh hari yang lalu. 

"Dewa Tuak, kau yakin benda yang barusan kau telan benar-benar obat pemusnah racun 

yang ada dalam tubuhmu?" bertanya Wiro. 

"Eh, apa maksudmu?" tanya Dewa Tuak dengan wajah berubah. Diam-diam dia jadi merasa 

takut kalau-kalau yang barusan di telannya memang bukan obat itu. 

"Tidak, saya tidak ada maksud apa-apa," sahut Wiro. "Saya hanya kawatir kalau-kalau yang 

kau telan tadi bukannya obat tapi tahi kambing bulat bulat!" 

"Sialan! Anak kurang ajar!" maki Dewa Tuak. 

Wiro, Anggini dan Kakek Segala Tahu tertawa gelak-gelak. 


TAMAT


Share:

0 comments:

Posting Komentar