..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 21 Juni 2024

WIRO SABLENG EPISODE DENDAM ORANG ORANG SAKTI

Dendam Orang Orang Sakti




WIRO SABLENG 

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 

Karya: Bastian Tito 

DENDAM ORANG-ORANG SAKTI 

SATU

LUKA besar di bekas kutungan tangan kanannya itu membuat tenaganya semakin 

lama semakin mengendur. Kalau tadi dengan segala tenaga yang ada macam manusia dikejar 

setan dia melarikan diri dari pekuburan Djatiwalu itu, maka kini jangankan lari, berjalan 

melangkahpun dia sudah tidak sanggup. Tubuhnya terhuyung-huyung. Nafasnya megap-

megap seperti mau sekarat! 

Saat itu dia berada di tepi sebuah jurang. Dalam larinya tadi dia tak memperhatikan 

lagi ke mana tujuannya sehingga di mana dia berada saat itu adalah satu tempat yang jarang 

didatangi manuisia. Sunyi senyap mencengkam menegakkan bulu roma. Matanya yang 

berkunang-kunang, pemandangannya yang semakin mengelam dan daya tenaga yang sudah 

habis sampai ke batasnya membuat tubuhnya tak ampun lagi jatuh terperosok ke dalam jurang 

ketika salah satu kakinya terserandung di bebatuan yang menonjol di tepi jurang. 

Masih untun jurang itu bukanlah jurang batu, tapi jurang yang penuh ditumbuhi semak 

belukar. Tubuhnya menggelinding ke bawah membentur semak belukar mengait ranting-

ranting pepohonan rendah. Sakit tubuhnya bukan main, apalagi bekas luka kutungan di tangan 

kanannya. Ketika dia terhampar di dasar jurang, dia tiada sadarkan diri lagi! 

Bila dia sadarkan diri maka saat itu matahari sudah hamper tenggelam. Keadaan di 

dasar jurang sunyi itu gelap dan dingin karena pantulan sinar matahari yang terakhir tidak 

sampai menyaputi dasar jurang di mana dia berada. Dia berpikir-pikir di mana dia terbujur 

saat itu. Kemudian denyutan rasa sakit yang amat sangat pada bahu kanannya yang bunting 

dan masih melelehkan darah itu, membuat dia ingat segala sesuatunya apa yang telah terjadi. 

Dia – Kalingundil – beberapa jam yang lalu telah bertempur melawan seorang pemuda 

sakti bernama Wiro Sableng. Dalam pertempuran itu bukan saja dia terpaksa melarikan diri 

tapi juga terpaksa kehilangan tangan kanannya karena telah dibetot puntung oleh lawannyaDan mengingat ini, diantara rasa sakit yang tiada terkirakan, memerih pula rasa dendam 

kesumat yang amat sangat. Walau bagaimanapun dia musti dapat meneruskan hidupnya, 

meski cuma bertangan sebelah. Meski bagaimanapun dia harus dapat membalaskan dendam 

kesumat akibat perbuatan pemuda Wiro Sableng yang telah membuat dia cacat seumur hidup 

itu. 

Ketika kedua matanya melihat bintang-bintang yang bermunculan di langit di atasnya 

barulah disadarinya bahwa hari sudah menjadi malam. Kalingundil tahu bahwa semalam-

malaman itu dia tak akan bisa terus terbujur di situ. Dipalingkannya kepalanya ke kanan. 

Hanya semak belukar dan pohon-pohon berdaun lebar yang dilihatnya dalam kegelapan. 

Kemudian dipalingkannya pula kepalanya ke samping kiri. Mula-mula juga hanya kegelapan 

yang dilihat lelaki itu. Namun samar-samar kemudian diantara semak belukar dalam 

kegelapan itu matanya masih dapat melihat satu legukan batu di dasar jurang. Jaraknya 

dengan tempat dia terbujur saat itu kira-kira sepuluh tombak. Dari pada terbujur di tempat 

terbuka begitu, Kalingundil berpikir lebih baik pindah tempat ke cegukan batu itu. 

Tapi dengan keadaan dan kekuatan badan seperti itu tidak mudah bagi Kalingundil 

untuk berpindah tempat. Jangankan untuk berdiri, merangkakpun tidak bisa. Jangankan utnuk 

beringsut, bergerak sedikitpun sekujur tubuhnya terasa sakit bukan main, tulang-tulang 

anggotanya serasa bertanggalan! Namun dengan keyakinan penuh untuk bisa menyelamatkan 

diri, dengan mengumpulkan segala sisa tenaga yang masih ada, seingsut demi seingsut 

akhirnya berhasil juga Kalingundil mencapai legukan batu itu. Ternyata legukan ini adalah 

mulut sebuah goa. Dan pada saat itu dia berhasil mencapai mulut goa itu, untuk kedua kalinya 

Kalingundil jatuh pingsan kembali. 

Kalingundil sadarkan diri pada keesokan paginya. Beberapa jam sesudah matahari 

terbit. Anehnya tubuhnya terasa lebih mendingan dibandingkan dengan keadaan hari kemarin. 

Kalingundil tak habis pikir, kenapa hal ini bisa terjadi. Bahkan ketika dia coba menggerakkan 

badan dirasakannya kekuatannya yang malam tadi sudah habis sampai ke batas terakhir kini 

mulai berangsur kembali. Dia duduk bersandar ke dinding goa. Pada saat itulah dirasakannya 

bahwa dari dalam goa keluar semacam hawa yang lembab ngilu-ngilu kuku. Hawa inilah 

agaknya yang telah mempengaruhi keadaan diri Kalingundil yang telah memberikan 

kepulihan kekuatan kepadanya. 

Kemudian sewaktu dia memandang meneliti ke dinding goa di sekelilingnya, samar-

samar, tertutup oleh debu yang menebal, tergugus oleh ketuaan zaman, Kalingundil melihat 

banyak sekali tulisan-tulisan. Tulisan-tulisan ini kacau balau tak teratur, tapi bila dibaca dandisambung satu persatu, akan merupakan rentetan kalimat yang memberi pengertian pelajaran 

ilmu silat! Semakin lebar Kalingundil membuka kedua matanya. Apa yang dibaca olehnya itu 

memang sulit dimengerti mula-mula, ini lain tidak karena tulisan itu menerangkan tentang 

pelajaran silat yang memang mempunyai dasar-dasar aneh serta tak diketahui dari cabang 

aliran mana. Semakin naik matahari, semakin baikan terasa oleh Kalingundil keadaan 

badannya. 

Dengan mebungkuk-bungkuk dan tertatih-tatih, setelah habis dibacanya sekalian apa 

yang tertulis dibagian goa sebelah luar itu maka Kalingundil memasuki goa lebih jauh. 

Semakin ke dalam semakin terasa hawa lembab yang hangat-hangat ngilu-ngilu kuku tadi. 

Menghirup udara itu Kalingundil merasakan tubuhnya segar, dadanya lega. Dan semakin ke 

dalam semakin banyak banyak dilihat Kalingundil tulisan-tulisan. Apa yang tertulis kini 

adalah mengenai pelajaran ilmu pedang yang aneh dan tak pernah didengar oleh Kalingundil 

sebelumnya. Tapi sayang sebagian besar tulisan-tulisan yang bersifat pelajaran itu sudah tidak 

kelihatan atau kabur tak dapat dibaca lagi. 

Hawa hangat ngilu-ngilu kuku semakin santar terasa. Kalingundil terus juga masuk ke 

dalam goa itu sampai akhirnya langkahnya terhenti pada satu pemandangan yang hampir tak 

dapat dipercayainya. 

Goa itu berakhir pada sebuah telaga kecil. Telaga ini lebih tepat disebut kolam karena 

tepinya dikelilingi oleh batu-batu. Air telaga berwarna biru gelap dan mengepulkan asap 

kebiruan. Asap inilah yang berhawa hangat ngilu-ngilu kuku dam mempunyai kekuatan ajaib 

yang menyegarkan tubuh Kalingundil! Di tengah kolam itu terdapat sebuah batu licin yang 

juga berwarna biru dan diatas batu ini terletak sebuah pedang yang telah buntung, yang 

panjangnya cuma dua jengkal. Seperti air kolam dan batu licin, senjata ini juga berwarna dan 

memancarkan sinar biru. Mengapa pedang itu tinggal buntung sedemikian rupa, kemana 

bagian yang lancip lainnya? Dan mengapa sampai benda itu berada di situ? 

Berdiri beberapa lama di tepi kolam itu Kalingundil merasakan badannya semakin 

segar. Sedang ketika diteliti luka di bahu kanannya yang buntung itu, luka itupun 

kelihatannya lebih sembuhan dari saat-saat sebelumnya. 

“Air kolam ini mengandung khasiat yang hebat..,” pikir Kalingundil. Dia 

membungkuk untuk menyiduknya dan sekaligus untuk melihat lebih dekat pedang buntung 

yang di atas batu. Namun setengah membungkuk, gerakannya terhenti. Di dinding goa di 

sebelah belakang kolam, di balik kepulan asap samar-samar terlihat barisan huruf-huruf yang 

sudah agak sukar untuk dibaca tapi masih dapat dikira-kirakan oleh Kalingundil.

Di situ tertulis: 

GOA INI “GOA SILUMAN BIRU” 

KOLAM INI “KOLAM SILUMAN BIRU,” 

PEDANG DI ATAS BATU “PEDANG SILUMAN BIRU,” 

CUMA SAYANG KINI HANYA TINGGAL HULU DAN BUNTUNG, 

SIAPA BISA MENDAPATKAN UJUNG PEDANG YANG HILANG DAN 

MENYAMBUNGNYA, 

SIAPA YANG MEMPELAJARI ILMU PEDANG DALAM GOA INI, AKAN 

MENJADI “RAJA PEDANG” SEUMUR HIDUPNYA. 

Membaca rangkaian kalimat itu, Kalingundil kemudian memandang berkeliling. Apa-

apa yang telah dibacanya tadi sejak dari mulut goa sampai ke tepi kolam yaitu tulisan-tulisan 

di dinding goa semuanya memang merupakan suatu ilmu silat dan ilmu pedang yang aneh. 

Segala sesuatu yang ditemuinya di dalam goa itu memberikan kenyataan kepada Kalingundil 

bahwa dulunya goa itu adalah tempat kediaman seorang sakti yang bersenjatakan pedang 

bernama “Pedang Siluman Biru” itu. Tapi kenapa pedang itu kini hanya tinggal begitu rupa, 

dan ke mana buntungnya yang lain? 

Untuk keda kalinya Kalingundil membungkuk. Dengan tangan kirinya dijangkaunya 

pedang Siluman Biru. Pada detik jari-jari tangannya memegang hulu senjata itu maka aneh 

sekali mengalirlah suatu aliran yang membuat kekuatan Kalingundil dan keadaan tubuhnya 

benar-benar pulih seperti sediakala! Bahkan bukan itu saja, kini tubuhnya juga terasa lebih 

enteng. Dan ketika dicobanya menyiduk air kolam, lebih banyak kekuatan-kekuatan dan 

keanehan-keanehan baru yang dialaminya! 

Kalingundil gembira sekali. 

Tanpa menunggu lebih lama dia berlutut di tepi kolam dan berkata: “Pemilik Goa 

Siluman Biru, dimanapun kau berada, siapapun kau adanya, aku Kalingundil mengucapkan 

terima kasih karena apa yang ada dalam goamu ini telah menyembuhkan aku dari sakit dan 

luka yang aku alami. Hari ini aku – Kalingundil – mengharapkan segala kerelaanmu untuk 

sudi mengangkat kau sebagai guru. Apa-apa yang tertulis di goamu ini akan kupelajari dengan 

tekun…” 

Demikianlah mulai hari itu dengan seorang diri dia menekuni setiap apa yang tertulis 

di dinding goa. Ilmu silat dan ilmu pedang yang coba dipelajarinya seorang diri itu yang 

hilang dan tak terbaca sehingga dari keseluruhan Ilmu Pedang Siluman yang dipelajari 

Kalingundil, hanya sepertiganya saja yang berhasil didapat dan difahami oleh Kalingundil. 

Namun demikian itupun sudah luar biasa sekali. Sehingga empat bulan kemudian ketika dia 

keluar dari Goa Siluman itu, maka Kalingundil yang kini sudah berobah seratus delapan puluhderajat dalam ilmu persilatan! Dan ini menambah keyakinan Kalingundil bahwa dia akan 

berhasil menuntutkan sakit hatinya terhadap pendekar 212, Wiro Sableng! 

-- == 0O0 == -- 

DUA 

MENCARI seorang musuh di daratan pulau Jawa yang luas bukan suatu pekerjaan 

mudah. Ratusan kilometer harus dijalani, puluhan bukit harus didaki dan dituruni, belasan 

sungai musti diarungi, diseberangi belasan rimba belantara harus dimasuki dan diantara 

semua itu puluhan halangan harus dihadapi. Halangan atau bahaya yang ditimbulkan alam 

sendiri serta yang ditimbulkan oleh manusia-manusia yang hidup dalam itu, terutama sekali 

dalam rimba dunia persilatan! Mungkin berbulan-bulan, mungkin pula bertahun-tahun baru 

musuh besar itu berhasil dicari. Tapi sebaliknya mungkin pula itu tak pernah berhasil, 

mungkin si pencari musuh besar itu akan tertimpa bahaya lebih dahulu dalam perjalanan dan 

meregang nyawa sebelum dendam kesumat terbalaskan. 

Kalingundil tahu semua itu. Tapi dia tidak khawatir. Dengan ilmu baru yang kini 

dimilikinya, meski tidak sempurna, dia yakin akan sanggup untuk menghadapi segala sesuatu 

dalam perjalanannya mencari Wiro Sableng pendekar 212, musuh besar yang telah membuat 

tangannya buntung, yang telah membuat dia cacat seumur hidup! Disamping itu Kalingundil 

memang sudah punya rencana tersendiri untuk menjelaskan persoalan dendamnya dengan 

pendekar 212. Dia yakin akan dapat menemui pemuda sakti itu dan dia yakin pula bahwa 

rencana besarnya untuk menuntut balas akan berhasil! 

Pertama sekali ditemuinya Mahesa Birawa atau Suranyali di Pajajaran karena terakhir 

sekali diketahuinya bekas pemimpin dan guru silatnya itu tengah berada di kerajaan itu. 

Namun sampai di sana Kalingundil kecewa besar. Bahkan juga dendam yang ada di dalam 

hatinya jadi tiada terkirakan bahwa Mahesa Birawa telah menemui ajalnya, mati ditangan 

Wiro Sableng, sewaktu terjadi pemberontakan besar-besaran tempo hari. 

Dengan segala dendam kesumat yang semakin dalam berurat berakarnya itu 

Kalingundil meninggalkan Pajajaran. Diseberanginya sungai Kendang, diteruskannya 

perjalanan ke bukit Siharuharu yang terletak tak berapa jauh dari kaki gunung. 

Pada masa itu di puncak bukit Siharuharu terdapat sebuah perguruan silat yang 

bernama Perguruan Teratai Putih. Perguruan ini baru tiga tahun berdiri tapi sudah

mendapat nama tenar di di sapanjang daerah perbatasan Jawa barat dan Jawa Timur. Bukan 

saja karena Perguruan Teratai Putih ini didirikan untuk menolong kaum yang lemah dan 

menghancurkan golongan hitam penimbul segala kebejatan dan malapetaka serta kemaksiatan 

tapi juga adalah karena perguruan silat ini dipimpin oleh seorang tokoh yang sejak sepuluh 

tahun belakangan ini mendapat nama tenar dalam dunia persilatan. Tokoh ini ialah 

Wirasokananta, seorang tokoh silat yang berumur lebih dari setengah abad. 

Pada saat itu Wirasokananta berada di puncak Gunung Galunggung tengah bertapa 

memperdalam ilmu bathin dan dan mempersuci diri dari segala kekhilafan-kekhilafan dan 

dosa-dosa yang pernah dibuatnya selama hidupnya. Pimpinan perguruan diserahkannya pada 

murid tertua, terpandai dan yang paling dipercayainya yaitu Gagak Kumara. 

Perguruan Teratai Putih saat itu kelihatan diselimuti suasana ketenangan. Di dalam 

rumah besar murid-murid perguruan yang berjumlah delapan orang, enam laki-laki dan dua 

perempuan duduk bersila dengan khidmat mendengarkan apa uyang tengah dibacakan oleh 

Gagak Kumara yaitu sebuah kitab yang ditulis oleh guru mereka, mengenai sastra hidup, 

kerohanian, kebathinan dan keduniaan. 

Suara Gagak Kumara terang dan jelas, sedap didengarnya sehinga setiap nasihat dan 

pelajaran yang dibacakannya dapat segera dimengerti oleh saudara-saudara seperguruannya 

yang tujuh orang itu. 

“Dalam hidup ini…,” membaca Gagak Kumara, “setiap manusia akan dan musti 

melalui tiga tahap kehidupan. Pertama saat atau dimana dia dilahirkan dari rahim ibunya ke 

atas dunia ini. Kedua tahap selama umur kehidupannya di dunia dan ketiga tahap dia 

meninggalkan dunia ini, kembali pada asalnya atau mati….”. 

Samapi di situ pembacaan Gagak Kumara maka di luar rumah besar terdengar suara 

tertawa bergelak yang disusul dengan ucapan: “Tepat… tepat… sekali! Lahir, hidup dan mati! 

Dibrojotkan ke duni malang melintang di dunia ini, dan akhirnya mampus! Ha… ha… ha….”. 

Tentu saja suara yang lantang mengumandang berisi tenaga dalam yang tinggi dan 

yang bernada menghina ini mengejutkan semua anak murid Perguruan Teratai Putih, 

termasuk Gagak Kumara sendiri! Semuanya sama memalingkan kepala ke pintu pada saat 

mana seorang laki-laki berpakaian lusuh, kotor, bermuka angker dan tangna kanannya 

buntung berdiri diambang pintu. 

“Sasudara, kau siapa…?” Tanya Gagak Kumara sesudah meneliti sebentar diri tamu 

tak dikenal itu. Dia tetap duduk tenang di tempatnya dengan kitab masih terus di atas 

pangkuannya.“Tak perlu tanya dulu!,” menyahuti laki-laki diambang pintu seraya menyeringai 

buruk. “Bicaraku belum habis…!” 

Beberapa orang diantara murid-murid Perguruan Teratai Putih kelihatan menjadi 

penasaran dan menggeser duduk mereka. Namun dengan membrei isyarat diam-diam Gagak 

Kumara memberi kisikan agar jangan bertindak dulu. 

Dan orang yang diambang pintu meneruskan ucapannya. Terlebih dahulu dengan jari 

telunjuk tangan kirinya ditunjukkannya kitab yang ada dipangkuan Gagak Kumara. “Apa 

yang tertulis di sana, apa yang kau baca tadi betul sekali! Lahir, hidup, mati! Tapi apa kalian 

di sini tahu bahwa segala apa yang tertulis dan apa yang dibaca tadi itu hari ini akan kalian 

alami sendiri…?” 

“Apa maksudmu saudara?,” tanya Gagak Kumara. Masih tetap dengan tenang dan 

tidak beringasan. 

Si tangan buntung tertawa mengekeh. “Percuma saja kalau kalian memiliki kitab itu, 

percuma saja kalian memilikinya kalau kalian tidak tahu apa mkasud kata-kataku! Kalian 

sudah dilahirkan, kalian sudah pernah hidup malang melintang di dunia ini, tapi kalian masih 

belum pernah merasakan kematian, belum pernah mencoba mampus! Nah… hari ini, untuk 

membuktikan kebenaran isi kitab butut itu, aku –Kalingundil – akan bersedia menolong 

kalian untuk mengetahui bagaimana rasanya mampus itu! Ha… ha… ha…!” 

Maka kini berdirilah Gagak Kumara dari duduknya. Kitab yang dipangkuannya dilipat 

dan diserahkan pada salah seorang saudara seperguruannya. 

“Saudara,” kata Gagak Kumara pula. “Di dunia ini memang banyak orang-orang yang 

berotak miring. Aku khawatir kau adalah salah seorang dari mereka dan kesasar datang ke 

sini!” 

Kekehan Kalingundil terhenti. Mukanya membesi. Rahang-rahangnya bergemeletuk. 

Tangan kirinya bergerak ke pinggang dan sekejapan mata kemudian tangan itu telah 

memegang sebilah pedang buntung yang memancarkan sinar biru. Pedang Siluman Biru! 

Sekali lihat saja, meski senjata itu buntung, namun murid-murid Perguruan Teratai 

Putih sama memaklumi bahwa pedang yang ditangan manusia tak dikenal dan mengaku 

bernama Kalingundil itu adalah sejenis senjata sakti, sekalipun puntung tapi tetap berbahaya! 

Tiba-tiba Kalingundil berteriak nyaring. Tubuhnya melompat ke muka, pedang 

buntung bergerak, sinar biru membabat ke samping dan kini tidak sungkan-sungkan lagi 

melepaskan pukulan tangan kosong yang mengandung tenaga dalam yang tinggi. Namunbetapa terkejutnya Gagak Kumara ketika sambaran pedang buntung di tangan lawannya 

membuat angin pukulan tenaga dalamnya terpental ke samping! 

“Saudara-saudara!,” seru salah seorang anak murid Perguruan Teratai Putih. “Manusia 

kesasar macam begini tak perlu dihadapi satu demi satu. Mari kita tumpas beramai-ramai!” 

“Semuanya tetap ditempat!,” teriak Gagak Kumara. “Walau bagaimanapun kita harus 

jaga naman Perguruan dan jangan mencemarkan nama guru! Pegang teguh sifat ksatria dunia 

per…”. Kata-kata Gagak Kumara tak dapat diteruskan karena saat itu Kalingundil kembali 

datang menyerang dalam satu jurus yang aneh. Bagaimanapun Gagak Kumara yang sudah 

berilmu tinggi ini mengelak namun tetap saja ujung yang buntung dari pedang biru di tangan 

lawan berhasil membabat pakaiannya dan menggores kulit dadanya! Pada detik goresan itu 

maka Gagak Kumara merasakan badannya menjadi panas. 

Kalingundil terkekeh. 

“Pedang buntung ini Pedang Siluman Biru… mengandung racun yang jahat. Dalam 

tiga jam nyawamu akan melayang! Ha… ha… ha…!”. 

Terkejutlah Gagak Kumara. Demikian juga saudara-saudara seperguruannya yang 

lain. Gagak Kumara cabut sebilah keris dari pingganngnya. Saudara-saudara seperguruannya 

yang lainpun segera cabut keris pula dan kali ini Gagak Kumara tidak berkata apa-apa lagi. 

Maka delapan anak murid Perguruan Teratai Putih dengan sebilah keris di tangan masing-

masing mengurung Kalingundil yang bersenjatakan sebilah pedang buntung sakti itu! 

Kalingundil hanya tertawa buruk melihat hal ini. 

“Sebaiknya kalian bunuh diri saja dari pada mampus di ujung patahan Pedang 

Siluman-ku ini!” 

“Pedang Siluman…,” desis anak-anak murid Perguruan Teratai Putih dalam hati. 

Mereka pernah mendengar tentang kehebatan pedang ini dari guru mereka. Tapi dikabarkan 

sejak beberapa tahun yang silam pedang itu lenyap dan kini muncul dalam keadaan buntung, 

tapi benar-benar tidak mempengaruhi kehebatannya! Namun apapun senjata yang di tangan 

lawan saat itu anak-anak murid Wirasokananta tidak mempunyai rasa gentar atau kecut 

sedikitpun! 

Kedelapannya menyerbu ke muka. Delapan keris berkiblat kearah delapan bagian dari 

tubuh Kalingundil! Yang diserang menyeringai lalu membentak keras. Tubuhnya berkelebat, 

sinar biru dari pedangnya menderu seputar badan! Tiga jeritan terdengar hampir bersamaan 

dan tiga saudara seperguruan Gagak Kumara roboh mandi darah, nyawanya putus di situ juga

Gagak Kumara kertakkan geraham. Darahnya mendidih oleh amarah. Namun goresan 

luka telah membuat tubuhnya menjadi kehilangan tenaga. Dikerahkannya seluruh tenaga 

dalam yang ada di tubuhnya. Dan mengamuklah gagak Kumara dengan segala kehebatannya. 

Namun permainan pedang lawan benar-benar hebat, sulit dan sukar diduga jurus-jurusnya. 

Satu jurus dimuka, dua orang saudara seperguruannya lagi roboh tanpa nyawa. Melihat ini 

Gagak Kumara segera berseru pada dua orang saudara seperguruannya yang perempuan. 

“Wurnimulan, Nyiratih… kalian segeralah tinggalkan tempat ini! Cepat lari 

selamatkan diri…!” 

Tapi kedua gadis itu meski betina adalah betina yang berhati jantan! Wurnimulan 

menyahuti: “Hidup mati kita bersama kakak Gagak Kumara!.” Gadis ini itu berkelebat cepat 

dan kirimkan satu tusukan cepat ke leher lawan. 

Kalingundil tertawa. Dielakkannya tusukan keris itu dengan miringkan badan dan di 

saat itu pula kaki kirinya bergerak. 

“Bluk!” 

Saudara seperguruan Gagak Kumara laki-laki yang terakhir terpelanting ke dinding. 

Tulang dadanya melesak ke dalam dihantam tendangan Kalingundil. Jantung dan paru-

parunya pecah! Nyawanya lepas! 

Gagak Kumara sendiri saat itu sudah kehabisan tenaga. Luka di dadanya dan racun 

pedang siluman sangat mempengaruhi keadaan tubuhnya ke segenap pembuluh darah! Dia 

tahu sebentar lagi dia pasti akan menyusul saudara-saudara seperguruannya yang lain. Karena 

itu sekali lagi dia berseru memberi ingat: “Wurnimulan! Nyiratih! Larilah sebelum 

terlambat!” 

“Gadis-gadis caritik ini tak akan bisa pergi jauh! Nasib kematian kalian sudah ada di 

ujung Pedang Siluman-ku! Tapi sebelum mati keduanya akan kuhadiahkan dunia terlebih 

dahulu!” 

Kalingundil tertawa mengekeh! Gagak Kumara yang tahu maksud dan arti kata-kata 

lawannya itu untuk kesekian kalinya berteriak memberi ingat namun kedua gadis itu tak mau 

ambil perduli malahan menyerang dengan hebat! Kalingundil mengelak gesit beberapa kali. 

Kemudian dengan kecepatan yang luar biasa, dengan mempergunakan hulu belakang senjata 

di tangan kirinya laki-laki itu menotok Wurnimulan dan Nyiratih! Keduanya kini kaku tak 

bergerak. Tahu malapetaka apa yang bakal menimpa kedua saudara seperguruannya itu, 

dengan sisa tenaga yang ada, dengan segala kehebatan yang masih dimilikinya Gagak 

Kumara menyerbu Kalingundil dari samping.

Yang diserang sambil putar badan berkata: “Ajalmu sudah di depan mata, maut sudah 

di depan hidung! Baiknya bunuh diri saja…!” 

“Terima kerisku lebih dulu, manusia durjana! Kami tidak ada permusuhan dengan 

kau. Kenapa kekejamanmu lewat takaran macam begini…?!” 

“Akh… sudahlah! Biar mulutmu kututup saja saat ini!,” kata Kalingundil pula. 

Pedang Siluman Biru membabat ke perut Gagak Kumara, dialakkan dengan melompat 

oleh murid Wirasokananta itu namun begitu melompat, senjata lawan kembali memburu lebih 

cepat, kini menderu ke muka Gagak Kumara, tak sanggup lagi dikelit oleh laki-laki ini! 

-- == 0O0 == -- 

TIGA 

USAHA terakhir yang dilakukan Gagak Kumara untuk menyelamatkan dirinya ialah 

melintangkan keris dimukanya. Pedang Siluman Biru buntung terus membabat, senjata 

masing-masing beradu keras, bunga api memercik dan keris Gagak Kumara patah dua sedang 

senjata lawan terus membabat mukanya! 

Murid tertua dari Perguruan Teratai Putih itu terhuyung ke belakang. Mukanya banjir 

oleh darah dan mengerikan sekali. Perlahan-lahan lututnya tertekuk dan pinggangnya meliuk. 

Gagak Kumara terduduk di lantai, sebelum tergelimpang dan menghembuskan nafas 

penghabisan, buntungan keris yang masih tergenggam di tangannya dengan segala tenaga 

yang ada dilemparkannya ke arah Kalingundil. Tapi serangan yang hampir tiada artinya ini 

dengan mudah dielakkan oleh Kalingundil. 

Kalingundil tertawa mengekeh. Noda darah yang membasahai Pedang Siluman Biru 

yang buntung itu disekakannya kembali ke balik pinggang. Kemudian laki-laki ini memutar 

tubuh. Sepasang matanya kini berkilat-kilat memandangi tubuh dan paras Wurnimulan serta 

Nyiratih yang saat itu berdiri kaku tak berdaya karena ditotok tadi. 

“He… he… he… kalian berdua tak perlu mati buru-buru….,” kata Kalingundil. Ujung 

lidahnya dijulurkannya untuk membasahi bibirnya. Dia melangkah mendekati Wurnimulan. 

Tangan kirinya bergerak dan “bret!” Robeklah baju perguruan yang dipakai oleh gadis itu. 

Dadanya terbuka lebar, putih dan mulus padat. Kalingundil menjadi terbakar tubuhnya oleh 

nafsu yang menggelegak. Tangan kirinya bergerak lagi…. bergerak lagi… bergerak lagi….

SEMENTARA itu di puncak Gunung Galunggung… 

Dalam tapanya yang sudah berjalan sembilan belas hari itu tiba-tiba saja 

Wirasokananta tak dapat meneruskan memusatkan segenap jalan pikirannya. Satu demi satu 

panca inderanya mulai terganggu. Walau bagaimanapun usahanya untuk memusatkan pikiran 

dan tenaga bathin serta menutup segenap pancainderanya namun sia-sia saja. Semuanya 

membuyar kembali. Semakin dipaksanya semakin sulit. Mau tak mau akhirnya tokoh silat 

yang sudah setengah abad ini umurnya terpaksa buka kedua matanya yang sejak sembilan 

belas hari telah dipejamkannya. 

Kedua matanya itu memandang jauh ke muka, memandang ke luar pintu goa dimana 

dia bertapa. Segala apa yang dilihatnya saat itu, rimba belantara, bukit sunga, matahari, langit 

dan awan… semuanya masih seperti sebelumnya dia datang ke situ, tak ada perubahan. 

Namun hatinya tidak enak, nalurinya membawanya ke satu hrasat yang mendebarkan dada 

dan menggelisahkan dirinya. Dan meski ujud kenyataan dari benda-benda dihadapannya yang 

dapat dilihatnmya dari puncak Gunung Galunggung itu tiada perubahan, namun orang tua 

yang sudah banyak pengalaman dan mengecap ragam kehidupan itu tahu, bahwa dibalik 

semua itu pasti telah terjadi apa-apa di dunia luar sana. Diusapnya wajahnya dengan kedua 

tangannya. Dia merenung, sejurus kemudian perlahan-lahan turun dari batu hitam di mana dia 

sebelumnya duduk bertapa. Batu hitam yang diduduki orang tua ini kelihatan berbekas leguk. 

Ini cukup memberi pertanda bagaimana kehebatan tenaga dalan dan luar Wirasokananta. 

Diusapnya lagi mukanya. “Mungkin ada apa-apa terjadi di Perguruan…,” kata 

Wirasokananta dalam hatinya. Dengan mempergunakan ilmu lari “seribu angin” maka sekali 

berkelebat lenyaplah sosok tubuh orang tua itu dari mulut goa dan kemudian kelihatanlah dia 

berlari menuruni puncak Gunung Galunggung cepat sekali laksana angin! 

Karena sangat terkejutnya, di ambang pintu rumah besar itu sampai-sampai 

Wirasokananta berdiri mematung untuk beberapa lamanya! Kemudian tubuh yang mematung 

ini sekujurnya jadi bergetar. 

“Demi Tuhan… siapakah yang punya pekerjaan ini?,” desisnya.”Dosa besa apakah 

yang telah kami perbuat sampai menerima malapetaka begini rupa…?” 

Murid-muridnya bergeletakan di mana-mana. Semuanya tanpa nyawa dan 

bergelimang darah. Namun apa yang sangat menusuk mata Ketua Perguruan Teratai Putih itu 

ialah akan keadaan diri dua orang murid perempuannya, Wurnimulan dan Nyiratih. Keduanya 

menggeletak di lantai rumah besar tanpa tertutup selembar benangpun. Keris milik masing

masing menancap ditenggorokan dan darah mengelimangi hampir sekujur tubuh kedua gadis 

itu, dari leher sampai ke dada terus ke selangkangan…. 

Wirasokananta pejamkan kedua matanya, tak tahan memandangi lebih lama apa yang 

membentang dihadapannya itu. Bagaimana juga.dikuatkannya hatinya, namun air mata meleleh 

juga dari. sela-sela kelopak mata yang dipejamkannya itu. Tenggorokannya turun naik menahan 

keluarnya suara isakan. Beberapa tahun dia telah mendidik kedelapan muridnya itu, beberapa tahun 

mereka telah berjuang bersama-sama untuk menegakkan kebenaran dan menghancurkan 

kebathilan beberapa tahun mereka bersama-sama telah berjuang untuk menghancurkan 

kemaksiatan dan memusnahkan kebejatan serta kejahatan. Namun hari ini mereka semua menemui 

nasib semacam itu. Menemui kematian dengan cara yang mengenaskan di luar dugaan 

Wirasokananta. 

Dalam masih pejamkm kedua matanya itu. Ke t ua Pe r gur u a n Te r a t a i Putih ini 

coba berpikir dan menduga-duga siapakah kiranya manusia yang telah menjatuhkan malapetaka 

yang begini kejam terhadap anak-anak muridnya, tak bisa diduganya, tak bisa dipikirkannya 

karena seingatnya dia tak pernah mempunyaiseorang musuhpun dalam dunia persilatan. 

Wirasokananta membuka kedua matanya kembali. Pada saat inilah, di balik pandangan 

matanya yang masih digenangi air mata itu pandangannya membentur buku besar buah tulisannya 

sendiri yang dipantek dengan sebilah keris milik salah seorang muridnya! Serentetan kalimat -- 

yang ditulis dengan darah -- tertera dikulit buku itu. 

Kepada Ketua: 

“ Perguruan Teratai Putih “ 

Kalau ingin menuntut balas kematian murid-muridmu 

datanglah ke puncak Gunung Tangkuban perahu pada hari 

13 bulan 12. 

Pendekar Kapak Maut 

Naga Geni 

______212______

WIRO SABLENG 

Mata yang digenangi air mata dari Wirasokananta menyipit, membuat air mata yang tadi 

mengambang menjadi turun meleleh membasahi pipinya. 

Ingatannya kembali pada masa puluhan tahun yang silam: Dulu, dunia persilatan memang 

pemah dibikin geger oleh seorang tokoh utama yang digjaya tiada tandingan. Tokoh yang telah 

merajai dunia persilatan selama bertahun-tahun ini adalah Eyang Sinto Gendeng, seorang pendekar 

perempuan yang bersenjatakan sebuah kapak sakti bernama Kapak Maut Naga Geni 212. Namanya 

harum dikalangen tokoh-tokoh silat golongan putih karena Pendekar 212 adalah pembasmi

kejahatan dan penolong kaum lemah. Sedang bagi golongan hitam, tokoh ini sudah barang tentu 

menjadi momok besar yang sangat ditakuti!. 

Pada masa kehidupan Pendekar 212 itu, di mana saat itu Wirasokananta masih belum 

mendirikan Perguruan Teratai Putih, karena sama-sama dari golongan putih yang sehaluan dalam 

perjuangan maka dengan sendirinya tiada permusuhan atau silang sengketa antara dia dengan 

Pendekar 212. 

Tapi hari ini terjadi peristiwa berdarah itu, peristiwa maut yang diakhiri dengan 

meninggalkan pucuk surat tantangan, dan surat ini justru ditandatangani dengan nama 

“Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212”…! Tentu saja ini satu hal yang tidak dimengerti 

Wirasokananta. Kemudian apa pula arti dan hubungannya nama. “Wiro Sableng” itu ?! 

Ketua Perguruan Teratai Putih itu coba merenung. 

Renungannya ini menyangkut pada masa puluhan tahun yang silam itu. Di masa 

dunia persilatan geger oleh kehebatannya Pendekar 212, tiba-tiba entah kemana perginya 

Pendekar 212 lenyap! Tentang kelenyapannya ini banyak tokoh-tokoh persilatan 

memberikan tanggapan, Mungkin Pendekar 212 sendiri yang sengaja lenyap mengundurkan 

diri dari dunia persilatan, mungkin juga tokoh itu telah menemui kematiannya dengan cara 

yang tak bisa diduga, meski tanggapan yang kemudian ini agak diselimuti rasa keragu-

raguan. 

Tapi kini dengan adanya kejadian maut di Perguruan Teratai Putih itu, 

Wirasokananta merasa yakin bahwa sesuatu memang telah terjadi dengan diri Eyang Sinto 

Gendeng atas Pendekar 212. Dia berkesimpulan bahwa Pendekar 212 dalam satu 

pertempuran hebat dan tak diketahui oleh dunia luar telah dikalahkan oleh seorang 

pendatang baru bernama Wiro Sableng. Kemungkinan sekali Pendekar 212 menemui 

ajalnya di tangan Wiro Sableng itu, merampas Kapak Maut Naga Geni 212 yang kemudi-

annya malang melintang di dunia persilatan dengan memakai gelar Pendekar Kapak Maut 

Naga Geni 212! 

Dan kelanjutan renungan Ketua Perguruan Teratai Putih itu ialah siapa manusia 

Wiro Sableng ini sebenarnya. Nama itu satu nama baru baginya. Namun meski nama baru 

satu hal diyakini oleh Wirasokananta bahwa dengan itu manusia baik dia maupun Perguruan 

Teratai Putih, tak pernah mempunyai permusuhan dan menanam dendam kesumat! Apa 

yang menjadi latar belakang pembunuhan besar-besaran atas murid-muridnya benar-benar 

sangat gelap bagi Wirasokananta. Dan bila matanya membentur lagi tulisan berdarah yang 

menyatakan tantangan itu, benar-benar Ketua Perguruan Teratai Putih ini merasa dibakar

hatinya! Bulan 12 masih sembilan bulan lagi! Apakah dia akan menunggu sampai sekian 

lama untuk kemudian baru bertemu muka dan membuat perhitungan dengan Wiro Sableng? 

Ataukah detik itu juga ia meninggalkan Perguruan dan mencari musuh durjana itu ? 

Namun, Wirasokananta tahu, bahwa apa yang musti dilakukannya saat itu ialah 

menguburkan jenazah-jenazah ke delapan orang muridnya di halaman Perguruan. 

-- == 0O0 == -- 

EMPAT 

ANTARA sungai Cidangkelok di sebelah timur dan sungai Cimanuk di sebelah 

barat, terbentanglah satu daerah yang sangat subur. Ladang-ladang menghijau oleh hasil 

yang menakjubkan. Sawah-sawah menguning laksana hamparan permadani emas. 

Lumbung-lumbung padi petani penuh, tak akan habis dimakan selama satu dua tahun. 

Penduduknya sendiri hidup dalam tingkat kehidupan yang jauh lebih tinggi dibandingkan 

dengan penduduk daerah sekitar lainnya. Mereka sehat-sehat, ramah dan rajin bekerja. 

Desa Bojongnipah adalah desa yang paling utama pada daerah yang membentang 

antara sungai Cidangke!ok dan sungai Cimanuk itu. Hasil ladang, hasil sawah dan hasil tebat-

tebat pemeliharaan ikan penduduk tumpah ruah tiada terkirakan dan desa ini dikepalai oleh 

seorang Lurah yang bijaksana dan cakap bernama Ki Lurah Kundrawana. Begitu bijaksana 

dan pandainya Ki Lurah Kundrawana mengatur desa dan penduduknya sehingga banyak 

Lurah-lurah dari desa lain yang datang untuk meminta bantuan Kundrawana dalam hal yang 

ada hubungannya dengan kehidupan penduduk , dan pengaturan hidup agar bisa makmur serta 

tenteram. 

Di satu malam yang mendung gelap dan berangin kencarig dingin, Ki Lurah 

Kundrawana masih kelihatan duduk-duduk di langkan rumahnya yang sederhana, bercakap-

cakap dengan isterinya Warih Sinten. Di sela bibir Ki Lurah Kundrawana yang sudah 

berumur empat puluh lima tahun itu terselip sebuah pipa yang api tembakaunya hampir mati. 

“Dingin di luar ini, kakang…,” kata Warih Sinten sambil, merapatkan kainnya yang agak me-

nyingkapkan betisnya yang putih bagus. 

“Ya. Tampaknya mau hujan. Kita masuk saja…,” sahut Ki Lurah Kundrawana seraya 

berdiri.Namun belum lagi kedua suami isteri itu melangkah ke pintu mendadak sekali tiga 

sosok bayangan hitam berkelebat. Tubuh mereka rata-rata tinggi kekar dan tampang-tampang 

mereka buruk serta angker ! 

Melihat ini, Ki Lurah Kundrawana yang tahu gelagat segera ulurkan tangan kanan ke 

pinggang di mana kerisnya tersisip. Namun dengan kecepatan yang luar biasa salah seorang 

dari manusia-manusia berpakaian hitam itu tahu-tahu sudah melintangkan sebatang golok di 

batang leher. Ki Lurah Kundrawana! Warih Sinten yang hendak berteriak ditekap mulutnya 

oleh laki-laki yang laini 

Ki Lurah Kundrawana maklum bahwa ketiga orang itu tentulah dari satu komplotan 

rampok terkutuk. Tapi ini adalah untuk pertama kalinya desanya didatangi rampok-rampok 

macam begini pada hal sejak selama dalam pegangannya desa senantiasa aman tenteram. 

Namun demikian Ki Lurah Kundrawana dengan mempertenang diri coba bicara. 

“Kalian siapa, ada maksud apa datang ke sini…?!” 

Orang yang melintang golok di leher Lurah Bojongnipah itu menyeringai 

menggidikan. Giginya yang tersungging kelihatan hitam, sehitam pakaian yang 

dikenakannya. 

“Aha… bagus kau tanya begitu. Tapi sebelum aku berikan jawaban kau musti ingat 

satu hal. Jika kau banyak tingkah dan membantah segala apa yang kami perintahkan, jangan 

menyesal bila melihat anak laki-lakimu yang tidur di dalam sana ku pantek di tiang rumah!” 

Terkejutlah Ki Lurah Kundrawana. Warih Sinten sendiri menggigil. Laki-laki 

berpakaian hitam menyeringai lagi. 

“Sekarang tentang siapa kami. Kau pernah dengar nama Komplotan Tiga Hitam dari 

Kali Comel?” 

Paras Ki Lurah Kundrawana memucat. 

“Saat ini kau berhadapan dengan mereka, Kundrawana. Aku Tapak Luwing adalah 

pemimpin mereka !” 

Ki Lurah Kundrawana tahu betul dan sering mendengar tentang Komplotan Tiga 

Hitam dari Kali Comel itu. Mereka adalah tiga rampok jahat dan ganas yang malang 

melintang disepanjang Kali Comel bahkan sampai ke perbatasan. Kali Comel jauh sekali dari 

desa Bojongnipah, kenapa tiga manusia bejat ini bisa sampai ke sini, demikian pikir 

Kundrawana. 

'Tapak Luwing! Kalau kau mau merampok, lakukanlah! Bawa apa yang kalian bisa 

ambil dan berlalu dari sini dengan cepat !”Kepala Komplotan Tiga Hitam itu tertawa. “Kami selama ini memang dikenal sebagai 

perampok. Tapi dengan Ki Lurah Kundrawana, hari ini kami datang bukan untuk melakukan 

perampokan!” 

Tentu saja ucapan ini mengherankan Ki Lurah Kundrawana. “Jadi apa mau kalian ?!” 

tanyanya. 

“Kami datang untuk bikin perjanjian dengan kau !” 

“Perjanjian apa…?” 

“Mulai hari ini, kau musti tunduk kepada segala apa yang kami atur dan perintahkan, 

mengerti!” 

Ki Lurah Kundrawana menelan ludahnya. “Aturan dan perintah macam mana 

maksudmu?” tanyanya. Sementara itu diam-diam tangan kanannya kembali bergerak dan 

menyusup ke pinggangnya: Kepala desa Bojongnipah ini sudah bertekat bulat untuk 

melakukan perlawanan meski saat itu golok Tapak Luwing masih menempel di batang 

lehernya sedang isterinya sendiri masih disekap oleh salah seorang anak buah Tapak 

Luwing”. 

Ki Lurah Kundrawana berhasil memegang hulu kerisnya. Secepat kilat senjata itu 

ditusukkannya ke perut Tapak Luwing. Namun Kepala Komplotan Tiga Hitam ini tidaklah 

sebodoh dan selengah yang diperkirakan oleh Ki Lurah Kundrawana. Sekali tangan 

kanannya bergerak turun menyapu ke bawah maka terdengarlah suara beradunya senjata dan 

percikan bunga api. Disusul oleh jeritan tertahan dari Warih Sinten, yang mulutnya disekap. 

Golok Tapak Luwing membuat mental keris di tangan Ki Lurah Kundrawana sedang 

ibu jari laki-laki ikut terbabat putus ujungnya sampai ke kuku. Ki Lurah Kundrawana 

merintih kesakitan. Darah mengucur dari ibu jarinya yang putus. Sementara itu golok Tapak 

Luwing telah menempel kembali pada batang lehernya ! 

“Agaknya kau minta batang lehermu cepat-cepat ditebas huh?,” bentak Tapak 

Luwing. 

“Tebaslah, aku tidak takut! Kalian manusia, manusia lak….” 

Tamparan tangan kiri Kepala Komplotan Tiga Hitam itu menghajar pipi 

Kundrawana. Pandangannya berkunang, pipinya merah sekali dan sudut bibirnya pecah 

berdarah!

“Masih mau buka mulut?!” tanya Tapak Luwing. 

Ki Lurah Kundrawana menggeram dalam hatinya. Tapi tak berkata apa-apa. 

“Kau mau dengar dan turut perintahku atau pilih mati?!”“Aku tidak takut mati! Isteriku juga tidak takut mati” jawab Ki Lurah pula. 

Tapak Luwing menyeringai. “Kalian memang tak takut mati. Tapi apa kalian 

sanggup menyaksikan anakmu yang di dalam sana kubikin menggelinding kepalanya di 

lantai ini?!” 

Ki Lurah Kundrawana terdiam. 

Tapak Luwing kemudian mendorong, laki-laki itu ke dalam dan memerintahkan 

duduk di kursi. “Demi nyawamu dan nyawa keluargamu, ada bagusnya kita bicara baik-

baik Ki Lurah! Dengar, mulai hari ini ke atas kau harus tunduk kepadaku. Aku tanya 

kapan pemungutan pajak penduduk kau lakukan setiap bulan…?” 

Ki Lurah Kundrawana tak mengerti maksud pertanyaan ini tapi dia menjawab juga: 

“Hari Senin minggu pertama”. 

“Bila pajak-pajak itu sudah terkumpul, ke mana kau serahkan?,” tanya Tapak 

Luwing lagi. 

“Pada Adipati di Linggajati dan Adipati itu kemudian meneruskannya ke 

Kotaraja”. 

“Hem… begitu ... Itu satu aturan yang bagus. Tapi mulai penarikan pajak bulan 

yang akan datang jumlah pajak yang harus dipungut adalah sepuluh kali lebih besar dari 

yang sudah-sudah…!” 

Ki Lurah Kundrawana terkejut. 

Dia tambah terkejut lagi ketika Tapak Luwing menyambung kalimatnya tadi: 

“Pajak itu harus kau pungut tiga kali dalam satu bulan! Mengerti…?!” 

“Aturan macam mana ini ?!” 

“Tak usah tanya aturan macam mana, yang penting lakukan perintahku!,” sahut 

Tapak Luwing, 

“Kau tak bisa berbuat seenaknya, Tapak Luwing! Salah-salah kau bisa berurusan 

dengan Adipati Linggajati, bisa berurusan dengan Kerajaan!” 

“Urusan dengan Adipati, itu urusanmu, juga urusan dengan Kerajaan. Tapi jika kau 

berani mengadukan hal ini kepada siapa saja, kulabrak seluruh keluargamu! Mengerti?!” 

“Kalian bisa melabrak keluargaku. Tapak Luwing, tapi kalian tak bisa melabrak 

Adipati dan Kerajaan!” 

“Aku sudah bilang urusan dengan Adipati adalah urusanmu, juga dengan 

Kerajaan! Aku hanya tahu bahwa tiga kali dalam satu bulan aku harus terima sejumlahuang yang besarnya sepuluh kali besar pajak yang kau pungut selama ini dari penduduk 

desa!” 

“Keterlaluan! Keterlaluan kau Tapak Luwing! Tak satu pendudukpun yang 

sanggup membayar pajak sekian besarnya itu !” 

“Penduduk di sini kaya-kaya! Punya sawah, punya ladang, punya kerbau, sapi, 

kambing dan ayam serta itik!!” 

“Tapi sepuluh kali, mana mereka…” 

Tapak Luwing memotong dengan cepat: “Apa aku musti paksa kau memungut 

lima belas kali lebih banyak, atau dua puluh kali?!” 

“Aku tak akan lakukan perintahmu ini Tapak Luwing! Aku tak sanggup memeras 

rakyat!” 

“Perduli amat! Kalau tak saggup memeras rakyat apa kau sanggup menyaksikan 

kematian anak laki-laki mu?” 

Kalau Kepala Komplotan Tiga Hitam itu sudah mengancam demikian rupa, mau 

tak mau Ki Lurah Kundrawana terdiam bungkam. 

Tapak Luwing menggoyangkan kepalanya pada anak buahnya yang berdiri dekat 

pintu. Melihat isyarat ini laki-laki itu segera masuk ke dalam kamar tidur Ki Lurah 

Kundrawana. Kundrawana berdiri dari kursinya. “Kau mau buat apa…!,” bentaknya. 

Tapak Luwing mendorong laki-laki itu hingga Kundrawana terduduk kembali ke 

kursi. Tak lama kemudian anak buah Tapak Luwing yang masuk kamar muncul di 

ruangan itu kembali dengan mendukung anak laki-laki Ki Lurah Kundrawana. Anak 

laki-laki ini baru berumur empat tahun. Dalam di dukung itu dia masih tertidur nyenyak, 

tak tahu apa yang terjadi atas dirinya. 

Kecemasan segera terbayang diparas Warih Sinten dan Kundrawana. 

“Kalian mau bikin apa dengan anakku?!” tanya Kundrawana. 

“Selama kau mengikuti perintahku, anakmu akan selamat tak kurang suatu apa. 

Dia kubawa untuk sementara sebagai jaminan bahwa kau tidak akan mengadukan 

persoalan ini pada siapa pun! Kau dengar Ki Lurah Kundrawana!” 

Laki-laki itu tak menjawab. 

“Dengar?!” ulang Tapak Luwing membentak. Ki Lurah Kundrawana mau tak mau 

terpaksa mengangguk pelahan. 

“Hasil-hasil pungutan pajak itu selambat-lambatnya harus kau serahkan kepadaku 

satu hari sesudah terkumpulnya. Antarkan ke satu pondok tua di persimpangan jalan yang

menuju ke Linggajati. Aku sendiri yang akan menunggu kau di sana pada tengah hari 

tepat!” 

“Aku tak akan mengantarkannya!” kata Ki Lurah Kundrawana. “Silahkan datang 

sendiri kesini!” 

Tapak Luwing tertawa dingin. “Jangan lupa keselamatan anakmu, Ki Lurah,” 

katanya. Kemudian Kepala Komplotan Tiga Hitam dari. Kali Comel ini berikan isyarat 

dan bersama kedua anak buahnya segera meninggalkan rumah Ki Lurah. Kundrawana. 

-- == 0O0 == -- 

LIMA 

SEMALAM-MALAMAN itu Warih Sinten tiada hentinya menangis. Matanya sudah merah 

dan bengkak. Ki Lurah. Kundrawana sendiri yang juga tak bisa tidur, melangkah mundar mandir tak 

berketentuan. Hatinya gelisah dan cemas, memikirkan diri anaknya yang telah dibawa oleh komplotan 

Tapak Luwing. Tapi hatinya juga gemas dan geram tiada terperikan! 

Baginya keselamatan diri dan isterinya tidak begitu penting jika dia ingat nasib anak laki-

lakinya itu, anak satu-satunya yang mereka miliki. Dan soal pajak itu, benar-benar membuat Ki Lurah 

Kundrawana seperti mau gila memikirkannya. Dia tak akan bisa mengadukan persoalan ini pada 

Adipati di Linggajati atau kepada Raja demi keselamatan anaknya. Satu-satunya jalan hanyalah 

mengikuti aturan dan perintah gila Tapak Luwing. Tapi bagaimana nanti sikap rakyat terhadapnya? 

Bukan saja pajak itu sangat berat bagi mereka, tapi penduduk .pasti akan mencapnya sebagai tukang 

peras dan mungkin akan timbul kemarahan di kalangan penduduk! 

Kalau dia musti memungut sepuluh kali jumlah pajak yang harus diserahkan pada Tapak 

Luwing, maka ditambah dengan yang harus diserahkan pada Adipati di Linggajati akan menjadi 

sebelas kali dari yang sudah-sudah! Kalau tidak ingat-ingat kepada Tuhan maulah Lurah Bojongnipah 

itu ambil kerisnya dan menusuk diri dengan senjata itu! Namun dia tahu ini bukanlah penyelesaian 

yang baik. 

Keesokan paginya terpaksa juga dia melalui seorang pembantunya mengirimkan kabar 

berkeliling penduduk desa bahwa mulai bulan depan pemungutan pajak besarnya sebelas kali dari 

yang sudah-sudah. Ini adalah sesuai dengan garis kebijaksanaan Raja demi untuk, pembangunan danmemelihara balatentara yang kuat, demikian alasan yang dibuat-buat oleh Ki Lurah Kundrawana 

untuk menutupi apa yang sebenarnya. 

Bila berita itu sudah sampai ke seluruh pelosok maka dalam sikap penduduk Bojongnipah 

mulai kelihatan pertentangan-pertentangan. Rata-rata mereka mengatakan bahwa ini adalah satu 

penindasan. satu pemerasan terang-terangan. Demi pembangunan dan demi balatentara yang kuat 

apakah rakyat harus dkekik lehernya dengan pajak yang besar tiada terkirakan lihat gandanya itu?! 

Beberapa orang tua-tua desa menemui Ki Lurah Kundrawana tapi Ki Lurah tak bersedia 

berhadapan dengan mereka. Orang tua-tua desa tentu saja heran kali melihat sikap Lurah mereka yang 

dulunya itu begitu baik bijaksana dan ramah tapi kini, jangankan untuk bicara tentang persoalan 

kenaikan pajak itu, bahkan untuk bertemu sajapun dia tidak mau! Disamping itu ketika mereka berada 

di rumah Ki Lurah, telinga mereka mendengar terus-terusan suara tangis Warih Sinten, isteri Lurah. 

Ada apa pula dengan diri perempuan itu? Betul-betul banyak hal yang tidak mengerti orang tua-tua 

desa saat itu! Dan ketika tiba saat pemungutan pajak yang pertama, banyak di antara.penduduk yang 

tak mau membayar. Dengan menekan pertentangan yang senantiasa melekat dihatinya Ki Lurah 

terpaksa mengancam orang-orang itu. Siapa-siapa penduduk yang tak mau membayar pajak dalam 

jumlah yang telah ditentukan, akan ditangkap dan dibawa ke Kotaraja! Akhirnya terpaksa juga 

penduduk membayar. 

Dalam pemungutan pajak-yang kedua terjadi kekacauan namun masih sanggup 

diatasi oleh Ki Lurah Kundrawana. Menjelang pemungutan pajak yang ketiga Ki Lurah 

Kundrawana mendengar kabar bahwa penduduk akan mengadakan pemberontakan! Laki-

laki ini tak bisa menyalahkan penduduk. Suatu malam dengan diam-diam pergilah Ki Lurah 

Kundrawana ke Linggajati untuk menemui Adipati Boga Seta. Kepada Adipati ini 

dilaporkannya segala apa yang terjadi. Boga Seta kelihatan terkejut sekali. Ketika Ki Lurah 

Kundrawana minta diri, Boga Seta berjanji akan mengirimkan serombongan pasukan 

Kadipaten selekas mungkin. Namun menjelang semakin dekatnya hari pemungutan pajak 

yang ketiga itu tak satu prajurit Kadipatenpun yang muncul! 

Ki Lurah Kundrawana kehabisan akal, betul-betul bingung. Sementara itu tanda-

tancia bakal terjadinya pemberontakan semakin jelas dan santar. Dalam kebingungannya di 

waktu yang sempit itu Ki Lurah Kundrawana akhimya berhasil menemui Tapak Luwing di 

luar desa. 

“Ada keperluan apa, kau menemui aku, Ki Lurah ?” bertanya Tapak Luwing sambil 

menggerogoti daging panggang yang barusan dipanggang oleh anak-anak buahnya. Saat itu 

Tiga Hitam dari kali Comel berada di pinggiran hutan.“Ada kesulitan katamu ? Hem… Apa kau tahu bahwa besok adalah hari pemungutan 

uang pajak itu dan lusanya menyerahkan pada kami di persimpangan jalan yang menuju ke 

Linggajati?” 

“Aku tahu Tapak Luwing. Justru kesulitan ini ada sangkut pautnya dengan 

pemerasanmu!” jawab Ki Lurah Kundrawana pula. 

Tapak Luwing tertawa dan melemparkan tulang daging yang dimakannya ke dekat 

kaki kepala desa Bojongnipah itu. 

“Tentang kesulitan ini, apakah kau sudah pergi kepada Adipati Boga Seta di 

Linggajati?,” Tanya Tapak Luwing seraya tertawa dan berdiri dari duduknya di batang kayu 

tumbang. 

Ki Lurah Kundrawana terkejut dan berubah parasnya. Dalam hati dia bertanya-tanya 

apakah kepala perampok ini mengetahui kepergiannya ke Linggajati menemui Adipati 

Boga Seta itu? 

Suara tertawa Tapak Luwing semakin keras. Tampangnya kelihatan tambah angker 

dan tiba-tiba, tak terduga oleh Ki Lurah Kundrawana, tamparan tangan kanan kepala 

rampok itu mendarat di pipinya. 

“Tapak Luwing kau…” 

“Plak!” 

Untuk kedua kalinya tamparan Tapak Luwing menghajar muka Kundrawana. 

“Berbacot lagi,” bentaknya, “Kurobek mulutmu!”. 

“Tapi Tapak Luwing…” 

“Aku sudah bilang agar jangan mengadukan persoalan ini kepada siapapun! Dan kau 

telah pergi kepada Adipati Boga Seta! Apa kau lupa hukuman yang bakal diterima 

anakmu?!” 

Maka pucatlah muka Ki Lurah Kundrawana! 

“Kau… kau apakan anakku, Tapak Luwing…? 

“Sekarang kau ketakutan sendiri ya? Sialan! Adipati Boga Seta telah rnengirimkan 

lima orang prajuritnya ke Bojongnipah, tapi aku telah mencegatnya ditengah jalan dan 

kelimanya telah menemui ajal akibat kebodohanmu!” 

“Anakku… anakku bagaimana…?” tanya Ki Lurah Kundrawana setengah menangis 

setengah merengek! 

“Aku masih berbaik hati untuk kasih ampun kesalahanmu kali ini! Di lain hari, 

jangan harap aku bakal mau memaafkan kauLegalah dada Ki Lurah Kundrawana. Tapi jika dia mau berpikir panjang sedikit dan 

tidak keliwat gelisah maka dia akan melihat adanya keganjilan dengan ucapan Tapak 

Luwing hari ini dengan tiga minggu yang lalu. Dulu Tapak Luwing mengancam akan 

membunuh anaknya bila dia mengadu kepada Adipati atau Raja. Dan dia telah mengadukan 

hal itu kepada Adipati Boga Seta dan anehnya Tapak Luwing mau memberikan ampun 

kepadanya, padahal dengan demikian persoalan kejahatannya bukan saja telah sampai ke 

tangan Adipati tapi pasti akan diteruskan ke Kotaraja, apalagi sesudah pembunuhan atas 

lima prajurit Kadipaten itu ! 

“Sekarang terangkan mengenai kesulitan yang kau katakan itu, Ki Lurah!,” kata 

Tapak Luwing pula. 

“Penduduk desa akan melakukan pemberontakan besok kalau aku masih juga 

memungut pajak gila itu!,” kata Ki Lurah Kundrawana pula. 

“Begitu? Dulu kau bilang tidak takut mampus! Kini ada bahaya yang mengancam 

jiwamu kenapa terbirit mencari aku…?!” 

Ki Lurah Kundrawana mengatupkan rahangnya rapat-rapat. 

“Kembalilah ke Bojongnipah. Ki Lurah, Besok kami akan datang ke sana…” berkata 

Tapak Luwing. 

“Kuharap jangan sampai terjadi kekerasan”. 

“Soal itu urusan kami. Kau tak perlu ikut campurl,” kata Tapak Luwing pula. 

“Bisa aku ketemu anakku, Tapak Luwing ?” tanya Ki Lurah Kundrawana. 

“Kali ini tidak dulu,” jawab kepala rampok itu. Kepala desa Bojongnipah itu 

termenung sejurus. Kemudian dengan langkah gontai dia berjalan ke kudanya dan naik ke 

atas punggung binatang itu 

Sebelum berlalu Ki Lurah Kundrawana bertanya, 'Tapak Luwing, sampai kapan 

kebejatanmu ini kau timpakan padaku…?” 

Tapak Luwing tertawa. “Tak usah banyak tanya ! Lebih baik pikirkan.nasibmu 

besok hari. Mungkin penduduk desa sudah mencincang tubuhmu sebelum kami datang…!” 

* * * 

DI pelosok-pelosok desa terdengar kokokan-kokokan ayam bersahut-sahutan. 

Puncak dinginnya malam telah lewat dan kesegaran pagi yang ditandai oleh terangnyalangit di ufuk timur menyatakan bahwa malam sudah sampai ke ujungnya untuk 

digantikan kini oleh kehadiran pagi. 

Ki Lurah Kundrawana menyalakan tembakau pipanya. Mukanya sudah cekung dan 

matanya kelihatan kuyu sedang parasnya pucat. Namun dibalik keredupan wajahnya itu 

tersembunyi sesuatu yang seperti menyala. Sesuatu itu ialah amarah dan rasa geram yang 

tiada terperikan! 

Di sedotnya pipa itu. Mulutnya terasa tak enak. Dia meludah ke tanah lewat langkan. 

Sejak dulu apalagi sejak beberapa hari terakhir ini lidahnya memang terasa tidak enak, pahit. 

Makannya boleh dikatakan dapat dihitung suapnya. Semakin terang harisemakin gelisah dia, semakin 

kuatir Lurah Bojongnipah ini. Yang dikhawatirkannya ialah kalau-kalau penduduk akan datang lebih 

dahulu dari pada Tiga Hitam dari Kali Comel! Sebentar-sebentar matanya memandang ke luar 

halaman. Namun segala sesuatunya dipagi itu masih diliputi oleh kesunyian. Dan kesunyian ini pula 

justru tidak menyenangkan hati Ki Lurah Kundrawana ! 

Ditempelkannya lagi ujung pipa ke bibirnya. Disedotnya dalam-dalam kemudian 

dihembuskannya asap pipa itu. Sekali lagi dia meludah ke tanah lalu mengusap-usap bibimya. 

Dia terkejut dan memutar kepalanya mendengar langkah-langkah kaki di belakangnya. Yang 

datang temyata isterinya sendiri. Badan perempuan ini sudah jauh susut, lebih kurus dari dahulu. 

Seperti suaminya, parasnya juga pucat. Warih Sinten seorang perempuan berwajah ayu, namun 

keayuan itu kini tiada kelihatan lagi karena tertutup mendung kegelisahan. Gelisah memikirkan nasib 

anaknya, gelisah memikirkan nasib suaminya jika sebentar lagi pen.duduk benar-benar datang. 

Hari itu adalah hari pemungutan pajak yang ketiga. Semestinya pembantu Lurah Bojongnipah 

yang biasa berkeliling di seluruh desa memungut pajak itu sudah datang. Tapi kali ini tak kelihatan 

mata hidungnya. Bagaimana dia akan berani memunculkan diri jika sudah tahu kalau hari ini 

penduduk akan berontak!. 

“Mudah-mudahan saja penduduk tidak datang…” 

Ki Lurah Kundrawana menggigit bibirnya. Dia tahu bicara isterinya itu hanya sekedar bicara 

saja. Memang apa yang diharapkan isterinya itu juga menjadi harapannya. Namun dia tahu betul 

bahwa harapan itu adalah satu hal yang mustahil! Rakyat akan datang. Penduduk akan datang! Dia 

tahu, dia pasti! 

Warih Sinten memandang lagi ke luar halaman. Lalu berkata lagi: “Kalaupun mereka datang, 

kurasa kita tak bisa lagi menyembunyikan kebejatan ketiga manusia terkutuk itu, Kakang! Kita musti 

katakan terusterang pada penduduk sebelum penduduk membunuh kita beramai-ramai!”“Nyawaku tak ada harganya, Warih…,” ujar Ki Lurah Kundrawana. “Demi segala-galanya 

aku rela mati! Tapi percuma saja arti kematian jtu, kalau keselamatan jiwa anak tunggal kita sendiri 

akan tersia-sia pula....” 

Kesepian berjalan beberpa lamanya. 

Tiba-tiba. 

“Kakang…”. Warih Sinten memegang lehernya dengan kedua tangan. “Mereka… mereka 

datang…” 

Ki Lurah Kundrawana mengangkat kepalanya dan memandang ke luar halaman. Apa yang 

dikatakan isterinya memang betul. Serombongan laki-laki penduduk, desa kelihatan rnuncul di 

tikungan jalan dibalik pohon-pohon bambu. Rombongan yang muncul ini merupakan kepala saja dari 

barisan penduduk yang jumlahnya tak kurang dari seratus orang. Dari jauh tak kelihatan mereka 

membawa senjata. Tapi Ki Lurah Kundrawana tahu bahwa di antara mereka pasti, ada yang 

membawa dan menyembunyikan senjata! 

Sesaat kemudian halaman luas itupun penuhlah oleh penduduk desa. Suasana 

menjadi bising kini. Ki Lurah Kundrawana dan isteranya berdiri mematung di atas fangkan. 

Hanya kedua bola mata mereka yang berputar memandangi penduduk Bojongnipah itu. 

Seorang di antara penduduk kemudian menyeruak ke muka dan naik ke langkan, 

berdiri beberapa langkah dihadapan Kundrawana. Kundrawana kenal baik dengan laki-laki 

ini. Dia adalah seorang petani yang diam di desa sebelah timur. Namanya Kratomlinggo. 

Sewaktu laki-laki ini bertindak naik ke langkan, maka suasana di tempat itu sehening di 

pekuburan. 

“Ki Lurah…, Kratomlinggo buka mulut merobek keheningan itu. “Kau tentu sudah 

tahu maksud kedatangan kami bukan…?” 

Kundrawana tak menjawab. Pada wajah Kratomlinggo dilihatnya senyum mengejek. 

“Ketahuilah bahwa aku berdiri dihadapanmu saat ini adalah, sebagai wakil dari sekian 

banyak penduduk Bojongnipah…,” Kratomlinggo menunding ke belakang lalu meneruskan: 

“penduduk Bojongnipah yang sejak satu bulan belakangan ini telah menjadi korban 

pemerasan, korban penindasan, korban pengisapan, dkekik oleh pajak sebelas kali lipat! 

Penduduk Bojongnipah…” 

“Saudara Kratomlinggo,” memotong Ki Lurah Kundrawana. “Ringkaskan saja 

bicaramu. Katakanlah apa yang kalian mau”. 

Dan lagi-lagi Kundrawana melihat senyum mengejek tersungging di mulut 

Kratomlinggo.“Apa mau kami…? Itu semua sudah kami katakan pada saat pertama kali kau 

memungut pajak gila itu!” 

“Aku pribadi memang tak ingin berbuat begitu. Tapi ini adalah perintah atasan. 

Perintah Raja, untuk pembangunan dan pemeliharaan pasukan…” 

“Perintah atasan tinggal perintah atasan! Apakah kalau atasan menyuruh kau cebur 

ke sumur lantas kau akan berbuat begitu? Nyemplung ke sumur?! Setiap perintah harus 

berdasarkan pertimbangan otak Ki Lurah!” 

Merah muka Kundrawana. 

Sementara itu Warih Sinten mulai menangis terisak-isak. 

“Saudara Krato, mungkin pemungutan pajak itu hanya bersifat sementara saja…” 

“Ya sementara! Sementara! Baru dihentikan bila semua penduduk Bojongnipah ini 

mati dkekik pajak ?1”. 

“Aku tahu pajak sebesar itu memang berat…” 

“Kalau berat mengapa dilaksanakan?!” tukas Kratomlinggo. 

Ki Lurah Kundrawana lagi-lagi menggigit bibirnya. lngin saja saat itu dia 

mengatakan apa sesungguhnya yang menjadi latar belakang dari pemungutan pajak itu. 

Ingin saja saat itu dia menerangkan siapa sebenarnya yang menjadi dalang pemungutan 

pajak gila itu! Tapi bila diingatnya anak tunggalnya yang ada di tangan Tiga Hitam dari 

Kali Comel itu… 

“Kami penduduk desa Bojongnipah ingin agar peraturan pajak gila itu dkabut 

kembali!” berkata Kratomlinggo. 

“Aku tak punya wewenang untuk melakukan hal itu, saudara Krato”. 

“Kau bisa menyampaikan kepada Adipati di Linggajati. Adipati meneruskannya ke 

Kotaraja. Dan kalau kau tidak mau melakukan hal itu, kami tidak ragu-ragu untuk bertindak 

berdasarkan apa yang kamirasa benar…!” 

“Apakah inisuatu ancaman?” 

“Kau boleh bilang begitu., Ki Lurah!” 

“Saudara Krato…,” terdengar suarar Warih Sinten. “Kau… kau dan semua penduduk 

Bojongnipah tidak tahu… tidak tahu…” 

“Kami lebih dari tahu!” geretus Kratomlinggo. “Meskipun apa yang kini kami ketahui itu 

adalah hal yang tak pernah kami duga! Kami tahu bahwa suamimu, Ki Lu.rah Kundrawana tak lebih 

dari seorang tukang peras! Yang menjilat ke atas dan menggilas ke bawah! Yang cari nama ke atas 

dan menjerat leher penduduk di bawah! Kami lebih dari ta….”“Kuharap bicara sepantasnyalah Kratomlinggol” memotong Ki Lurah Kundrawana karena 

panas hati dan telinganya mendengar dkap sebagai penjilat dan pemeras demikian rupa. 

Kratomlinggo berpaling ke arah orang banyak. Kemudian dia tertawa bergelak. Sementara itu 

salah seorang pendduk berteriak: “Buat apa bicara sepanjang lebar dengan biang lintah darat itu?! 

Sumpal saja mulutnya dengan golok !” 

Kratomlinggo berpaling pada Kundrawana kembali. “Kau dengar teriakan itu Ki Lurah?” 

tanyanya. 

Mulut Kundrawana komat kamit. “Kalau kalian ingin pajak itu dkabut, silahkan. pergi sendiri 

menghadap Raja di Kotaraja…” 

“Lantas, apa perlunya kau jadi Lurah disini'?!” teriak seorang penduduk pula. 

“Apa hanya untuk ongkang-ongkang ?!” teriak penduduk yang lain. 

“Ongkang-ongkang dan memeras?!” teriak yang lain lagi. 

“Kemudian penduduk lainnya berteriak pula: “Kami tidak percaya ini aturan dari Raja! 

Bukan mustahil pajak itu adalah aturan gila yang, kau buat sendiri!” . 

Masih banyak lagi teriakan-teriakan yang membuat muka Kundrawana menjadi merah dan 

tebal rasanya: Telinganya berdesing. “Kratomlinggo, kuharap kau bawalah orang-orang itu 

meninggalkan tempat ini,” kata Kundrawana. 

“Begitu ...?,” ujar Kratomlinggo dengan lontarkan senyum sinis. “Kami semua baru akan 

pergisesudah kau menyatakan blak-b!akan bahwa mulai saat ini aturan pajak gila itu dkabut!” 

“Tak satupun yang bisa mencabut segala keputusan Raja!,” jawab Kundrawana. Suaranya 

saja yang keras namun ucapannya itu sama sekali tiada dengan kesungguhan hati. 

“Kalau begitu agaknya kami terpaksa menggunakan kekerasan…” 

“Kau menentang Kerajaan, Kratomlinggo?” tanya Ki Lurah Kundrawana. Pertanyaan yang 

setengah menggertak ini dimaksudkannya untuk dapat ke luar dari keadaan yang terdesak saat itu. 

Namun jawaban Kratomlinggo adalah lontaran seringai mengejek. “Jangan takuti 

penduduk Bojongnipah dengan kata-kata Kerajaan, Ki Lurah! Kamisemua yakin bahwa pajak gila 

itu adalah kau punya bisa! Kerajaan selama ini selalu bertindak adil dan bijaksana…!” 

Kratomlinggo melangkah kehadapan Ki Lurah Kundrawana dengan kedua tinju terkepal. 

Beberapa penduduk Bojongnipah melangkah pula naik ke ataslangkan. 

Ki Lurah Kundrawana mundur beberapa langkah ke belakang. Warih Sinten menjerit. 

“Kratomlinggo, kau… kalian mau bikin apa…?” 

“Kami coba minta keadilan dengan cara wajar, tapi kau maukan kekerasan…!” jawab 

Kratomlinggo. Tangan kanannya bergerak.Tiba-tiba terdengar ringkikan kuda dan suara hiruk pikuk. Penduduk di halaman muka 

berhamburan.cerai berai. 

“Atas nama Kerajaan, yang tidak mau mati, minggirlah !” 

Terdengar jeritan beberapa orang yang terserampang kuda ! 

* * * 

TIGA penunggang kuda melompat dari punggung kuda masing-masing. Gerakan mereka 

enteng sekali dan sekejapan mata saja ketiganya sudah berada antara Kratomlinggo dan Ki Lurah 

Kundrawana. Ketiganya berpakaian seragam prajurit dan tampang-tampang mereka angker buruk. 

Baik Ki Lurah Kundrawana maupun Kratomlinggo dan penduduk Bojongnipah, semuanya sama 

terkejut. Dalam keterkejutannya itu Ki Lurah Kundrawana merasa lega juga karena dia segera 

mengenali ketiga orang itu tak lain adalah Tapak Luwinng dan dua orang anak buahnya! Namun apa 

yang tidak dimengerti oleh Lurah Bojongnipah itu ialah mengapa ketiga orang komplotan rampok itu 

mengenakan pakaian keprajuritan. 

Sementara itu Tapak Luwing yang berdiri tepat dihadapan Kratomlinggo dengan bertolak 

pinggang dan membentak maju ke muka: “Kami prajurit-prajurit Kadipaten Linggajati! Kamu jadi 

biang keribuan disini ya?!” 

Terkejutlah Kratomlinggo dan penduduk Bojongnipah sedang Ki Lurah Kundrawana dan 

isterinya merutuk dalam hati melihat betapa lihaynya Kompolotan Tiga Hitam itu menjalankan peran 

sebagai prajurit-prajurit Kadipaten palsu untuk mengelabui mata penduduk dan juga 

menyembunyikan rahasia besar latar belakang pemerasan mereka! Kratomlinggo menindih rasa 

terkejutnya. Dia merasa tak perlu takut terhadap ketiga prajurit Kadipaten itu bahwa bukankah ini 

kesempatan di mana dia bisa sekaligus menerangkan pemerasan pajak yang dilakukan oleh 

Kundrawana itu? 

“Saudara,” kata Kratomlinggo, “jika kalian adalah prajurit-prajurit Kadipaten, kebetulan 

sekali kalau begitu…! 

“Kebetulan apa maksudmu?!” bentak Tapak Luwing. 

Kratomlinggo kemudian menerangkan sejelas-jelasnya mengenai soal pajak itu kepada 

Tapak Luwing. Namun dia begitu kaget ketika mendengar jawaban Tapak Luwing. 

“Jadi kau sengala pimpin penduduk Bojongnipah untuk mengikuti maumu sendiri?! Untuk 

menepuh jalan kekerasan! Ini namanya, satu pemberontakan! Ini namanya satu penantangan

terhadap Kerajaan, satu pembangkangan terhadap peraturan-perraturan Raja karena soal pajak itu 

memang datang dari Raja disampaikan melalui Adipati di Linggajati!” 

“Tapi mengapa hanya penduduk Bojongnipah saja yang dipajaki segila ini!,” kata salah 

seorang penduduk yang berdiri disamping Kratomlinggo: “Ya, desa-desa lain tidak!” seru yang lain 

dari luar halaman. 

“Kamu semua tahu apa!” semprot Tapak Luwing. “Ini adalah keputusan Raja! Bojongnipah 

yang subur tak bisa disamakan dengan desa-desa lain. Karenanya sudah pantas kalau dibebani pajak 

yang agak besaran…” 

“Agak besaran…,” gerendeng seorang penduduk mengejek. 

Kratomlinggo kemudian mengetengahi suasana panas itu. “Kami merasa sama sekali tidak 

menentang Raja, sama sekali tidak membangkang apalagi memberontak. Kami hanya inginkan agar 

pajak dikembalikan sebesar yang lama…” 

“Tapak Luwing meludah ke lantai langkan. “Kau memang biang racun pemberontak yang 

pintar omong! Terhadap Lurah kalian, kalian boleh bicara kasar dan seenaknya, tapi terhadap kami 

prajurit-prajurit Kadipaten jangan coba-coba! Pimpin seluruh penduduk untuk angkat kaki dari sini ! 

Cepat!” 

Maka berkatalah Kratomlinggo: “Kami penduduk Bojongnipah datang ke sini untuk 

menegakkan keadilan. Kalau kami harus angkat kaki dari sini maka keadilan itu musti sudah berhasil 

ditegakkan!” 

“Hem... begitu…?”. Tapak Luwing menyeringai. Gigi-giginya yang hitam kecoklatan serta 

besar-besar ketihatan menjijikkan. “Sebelum kau dan yang lain-lainnya menegakkan keadilan itu, 

coba terima tangan kananku ini !” 

Sesudah berkata demikian Tapak Luwing hantamkan tangan kanannya ke dada 

Kratomlinggo. Yang dipukul dengan cepat melompat ke samping. 

Namun ! “Buukk !” 

Tangan kiri Tapak Luwing bersarang di perut Kratomlinggo. Nyatanya pukulan tangan kanan 

Tapak Luwing tadi hanyalah satu tipuan belaka! Kratomtinggo melintir dan terjajar ke belakang. 

Perutnya sakit-

 sekali, mualseperti mau muntah, nafasnya menyesak. 

Laki-laki ini rupanya bukanlah hanya sekedar seorang petani saja, namun juga seorang yang 

pernah mempelajari ilmu silat. Dengan cepat dia atur nafas dan jalan darah. Lalu dengan sebat 

rnenyerang ke muka. Enam orang penduduk ikut menyertai serangannya inir Maka dengan demikian 

pertempuranpun pecahlah.Empat penduduk terjerongkang ke lantai langkan. Dua pingsan, dua lagi patah tulang iganya 

serta terlepas sambungan sikunya. Sedang Kratomlinggo terhempas ke tiang langkan. Dadanya kena 

dipukul oleh Tapak Luwing. Dia berusaha berdiri mengimbangi badan kembali dan siap melancarkan 

serangan balasan. Tapi apa lacur, belum lagi kakinya menindak pemandangannya sudah gelap dan 

dari mulutnya bermuntahan darah kental berbuku-buku! Sesaat kemudian tubuh laki-laki ini 

tergelimpang ke lantai! 

Melihat ini sebagian penduduk menjadi kalap. Mereka menyerbu berserabutan ke atas 

langkan dengan berbagai macam senjata. 

“Siapa yang mau mampus, majulah!” teriak Tapak Luwing seraya melintangkan golok. 

Mereka yang menyerbu menjadi ragu-ragu kini namun beberapa orang diantaranya yang tetap 

kalap menyerang dengan membabi buta. Maka terjadilah hal yang mengerikan. Orang-orang ini 

bergelimpangan bermandikan darah, dibabat dan dipapas oleh senjata Tapak Luwing dan 

anak-anak buahnya! Yang lain-lainnya kini tak berani lagi bertindak lebih jauh meskipun 

jumlah mereka jauh lebih banyak! 

Warih Sinten sudah sejak lama lari ke dalam rumah sambil menjerit-jerit ketakutan 

sedang Kundrawana menggigit bibir dan pejamkan mata melihal kengerian itu. Kalau saja 

tidak ingat akan keselamatan anaknya, sudah sejak tadi dia mencabut keris dan turut 

menyerbu! 

“Siapa lagi yang mau berkenalan dengan golokku, silahkan maju!,” kata Tapak 

Luwing tolakkan tangan kirinya ke pinggang kiri. 

Tapak Luwing tertawa. “Nah, kalau kalian masih belum punya nyali untuk masuk 

ke liang kubur, gotong kunyuk-kunyuk yang malang melintang di langkan rumah ini 

kemudian angkat kaki dari sini cepat !” 

Kemarahan penduduk meluap-luap. Namun apa yang terjadi di depan mata mereka 

membuat nyali mereka menjadi ciut dan bulu kuduk meremang. Ki Lurah Kundrawana 

sendiri berdiri mematung. Rahangnya terkatup rapat-rapat. Kegeramannya tiada 

terlukiskan. Kebenciannya terhadap Tiga Hitam dari Kali Comel tiada terkirakan lagi! 

Namun seperti penduduk Bojongnipah, dia juga tak dapat berbuat suatu apa! 

Penduduk menggotong Kratomlinggo dan korban-koban lainnya. Sebelum mereka 

berlalu berserulah Tapak Luwing. 

“Aku tak ingin melihat keonaran macam begini untuk kedua kalinya, kecuali kalau 

kalian sendiri yang sengaja minta dibereskan macam kawan-kawan kalian itu! Siapa yang 

mau berontak boleh saja! Golakku memang sudah sejak lama haus darah!”Tak ada yang menyahuti ucapan Tapak Luwing itu. 

Dan Tapak Luwing yang menyamar sebagai prajurit Kadipaten itu berseru lagi: 

“Jangan lupa, paling lambat tengah hari besok, kalian semua sudah harus melunasi pajak 

itu! Jika ada yang membantah untuk membayarnya, kalian cukup tahu apa akibatnya!” 

ketika seturuh penduduk Bojongnipah sudah meninggalkan tempat itu maka Tapak 

Luwing menyarungkan goloknya kembali dan berpaling pada Ki Lurah Kundrawana. 

“Kau harus berterima kasih padaku yang telah selamatkan kau punya batang leher, 

Ki Lurah...!” Ki Lurah Kundrawana berkemik. Rahang-rahangnya bertonjolan. Tapak 

Luwing tertawa mengekeh. “Selambat-lambatnya senja besok uang pungutan pajak harus 

sudah kau antarkan ke pondok tua dipersimpangan jalan yang menuju ke Linggajati!” 

Kundrawana masih diam. 

“Eh, apa kau sudah tuli!” tanya Tapak Luwing. 

Dan Lurah Bojongnipah itu masih juga diam. Maka membentaklah Tapak 

Luwing. “Kamu tuli hah?!” 

“Aku tidak tuli, Tapak Luwing…” 

“Lalu mengapa ditanya diam saja? Mungkin gagu?!” 

Dua orang anak buah Tapak Luwing cengar cengir. 

“Sesenja-senjanya hari uang itu sudah harus ku terima. Kau dengar…?!” . 

“Bagaimana kalau penduduk tak mau membayamya ?” 

“Aku tak perlu pertanyaan itu! Bayar atau tidak bayar, pokoknya besok aku cuma tahu terima 

uang!” 

Tapak Luwing memberi isyarat pada kedua anak buahnya. Ketiganya menuruni langkan 

rumah dan melangkah menuju ke kuda masing-masing. 

Malam itu, dengan segala daya dan sedikit ilmu pengetahuan yang dimilikinya, Kratomlinggo 

berhasil menyembuhkan luka di dalam yang dideritanya akibat pukulan Tapak Luwing. Pada 

dasarnya bukan daya dan pengetahuan silat Kratomlinggolah yang menolong melainkan adalah 

karena pukulan Tapak Luwing pagi tadi tidak mempergunakan keseluruhan tenaga dalamnya. 

Dendam terhadap Tapak Luwing dan kawan-kawannya, kebencian yang tak terkendalikan 

terhadap Ki Lurah Kundrawana serta pajak yang tetap harus dibayar esok hari, semuanya itu 

bertumpuk menjadi satu sehingga malam itu, rneskipun baru saja sembuh dari luka namun tekat 

Kratomlinggo sudah bulat untuk berangkat ke Kotaraja! Niatnya ini diberitahukannya pada beberapa 

kawannya. Dan malam itu bersama empat orang lainnya, dengan menunggangi kuda maka 

berangkatlah Kratomlinggo ke Kotaraja.Malam gelap. Sinar bintang dan cahaya bulan sabit tak dapat mengalahkan kegelapan itu. 

Kratomlinggo dan empat orang kawannya memacu kuda masing-masing, melewati sebuah tikungan 

dan sampai disebuah jembatan yang menghubungkan kedua tepisebuah anak sungai. 

Pada saat itu pulalah Kratomlinggo dan kawan-kawannya melihat serombangan penunggang 

kuda di seberang jembatan. Mereka berjumlah tiga orang dan ketiganya menghentikan kuda di 

seberang jembatan itu. Melihat gelagat yang tidak baik ini. Kratomlinggo segera hentikan kudanya.di 

tengah-tengah jembatan dan memberi isyarat pada keempat kawannya. Malam memang gelap namun 

mata Kratomlinggo masih sanggup, mengenali penunggang kuda yang paling depan dihadapannya. 

Manusia itu ternyata adalah prajurit Kadipaten yang siang tadi menanganinya!. 

“Celaka,” bisik Kratomlinggo. “Bagaimana bangsat-bangsat Kadipaten ini bisa tahu 

keberangkatanku ke Kotaraja?!” Sampai saat itu baik dia mau pun kawan-kawannya sama sekali 

masih tidak mengetahuisiapa ketiga manusia yang menghadang di ujung jembatan itu! 

Penunggang kuda sebelah muka yang tiada lain dari Tapak Luwing adanya tertawa 

mengekeh. “Rupanya pelajaran dan peringatanku siang tadi masih belum cukup huh!,” sentak Tapak 

Luwing. Kratomlinggo -

tak menjawab. Namun dia diam tangan kanannya menyelinap ke balik 

pinggang meraba hulu golok. Hal yang sama dilakukan juga oleh keempat kawannya. Dan di 

seberang jembatan kembali terdengar kekehan Tapak Luwing. 

Begitu kekehannya berhenti maka terdengar bentakannya. “Kalian kunyuk-kunyuk mau ke 

mana?!” 

“Kami tak ada permusuhan dengan kalian. Karena itu minggirlah, beri jalan…” kata 

Kratomlinggo pula. 

“Minta jalan? Boleh… lewatlah!,” kata Tapak Luwing pula sambil pinggirkan kudanya. 

Dipersilahkan begitu rupa malah membuat Kratomlinggo dan kawan-kawannya menjadi terpatung, 

tak bergerak di punggung kuda masing-masing. “Ayo, kenapa tidak mau lewat?!,” tanya Tapak 

Luwing. 

Kratomlinggo bimbang. 

Dan Tapak Luwing buka suara lagi: “Kalau begttu roh busuk kalian yang akan lewat 

jembatan ini !” 

“Sret !” 

Tapak Luwing cabut goloknya. Terdengar lagi dua kali suara “sret” yaitu dari golok-golok 

yang dkabut oleh anak buah Tapak Luwing. Melihat ini Kratomlinggo dan kawan-kawannya segera 

pula menghunus golok masing-masing !“Aku tahu kalian hendak ke Kotaraja…,” berkata Tapak Luwing seraya larik tali kudanya, 

“Tapi ketahuilah hanya roh-roh busuk kalian yang akan menghadap Raja di istana!” 

Dalam jarak dua tombak, dengan satu sentakan keras maka kuda Tapak Luwing melompat ke 

muka. Dua anak buahnya menyusul. Tiga golok berkelebat di bawah cahaya redup bulan sabit. Lima 

golok menyambutinya ! 

“Trang ..... trang ..... trang….!” 

Bunga api memercik. Suara beradunya golok-golok itu disusul oleh seruan kesakitan. Dua 

kawan Kratomlinggo rebah dari atas punggung kuda. Yang satu terbabat perutnya, yang lain puntung 

lengan kanannya! 

Dalam gebrakan kedua, Tiga Hitam dari Kali Comel yang saat itu masih mengenai pakaian, 

prajurit-prajurit Kadipaten, kembali mengirimkan serangan hebat tanpa memberikan kesempatan pada 

lawan! Dua orang lagi menjerit dan roboh, tubuh salah satu dari padanya kemudian kecebur ke dalam 

sungai. Kratomlinggo sendiri dibikin terjerongkang dari atas punggung kuda, goloknya lepas. Masih 

untung sarripaisaat itu dia belum cidera apa-apa. Dan memaklumi bahwa untuk melawan terus adalah 

satu kesia-siaan maka laki-laki inisegara putar tubuh ambil langkah seribu! 

Tapak Luwing tertawa bergelak. “Dasar manusia kintel! Kamu mau lari ke mana?!” Dari 

balik sabuknya kepala Komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel ini keluarkan sebilah pisau belati. 

Senjata ini melesat dengan mengeluarkan suara berdesing! Kratomlinggo yang tak tahu dirinya 

tengah dikejar maut, terusjuga lari. 

Hanya satu jengkal saja lagi belati yang mengandung racun itu akan menancap di 

punggungnya maka pada saat itu pulalah dari jurusan semak belukar gelap di tepi sungai melesat 

sebuah benda berbentuk bintang berwarna putih perak ! 

“Tring !” 

Bunga api memercik. 

Bukan saja benda berbentuk bintang ini berhasil membuat pisau beracun Tapak Luwing 

mental, tapi juga membuat pisau itu patah dua ! 

Terkejutlah Tapak Luwing. Lupa dia pada niatnya hendak membunuh Kratomlinggo. Dengan 

serta merta diputarnya tubuhnya. Matanya yang tajam telah melihat dari arah mana datangnya 

sambaran benda putih perak berbentuk bintang itu. Dan memakilah kepala Komplotan Tiga Hitam 

dari Kali Comel itu. 

“Setan alas yang ikut campur urusan orang ke luar dari persembunyianmu dan terima pisau-

pisau ku ini !”

Habis bilang demikian Tapak Luwing lemparkan sekaligus tiga bilah pisau beracunnya ke 

arah semak belukar di kegelapan. 

Terdengar suara siulan yang disusul oleh suara tertawa bergelak. 

“Aku di sini bung! Kenapa serang tempat kosong?!,” kata, manusia yang muncukan diri itu 

dengan nada mengejek. 

“Bangsat betul!,” maki Tapak Luwing. Di lemparkannya lagi dengan tangan kiri 

sepasang pisau belati ke arah laki-laki yang berdirisekira enam tombak di tepi sungai. 

-- == 0O0 == -- 

ENAM 

ORANG yang berdiri di tepi sungai sambuti serangan itu dengan melambaikan tangan 

kirinya. Sekali lambaisaja maka kedua pisau beracun itupun mentallah. 

Kaget Tapak Luwing membuat- laki-laki ini keluarkan seruan tertahan. 

“Manusia yang sengaja cari penyakit, siapa kau!” tanyanya membentak dan diam-diam 

memberikan isyarat pada kedua anak buahnya untuk bersiap-siap dan mengambil posisi 

mengurung. 

Yang ditanya. “Ada ribut-ribut apa di sini?!”. 

“Ee kunyuk gondrong!,” maki salah seorang, anak buah Tapak Luwing. “Kau berani. bicara 

edan sama prajurit-prajurit Kadipaten?!” 

“Oh.... jadi kalian prajurit-prajurit Kadipaten…”. Laki-laki di tepi sungai, keluarkan suara 

mendengus. “Setahuku prajurit-prajurit Kadipaten tidak suka urusan kekerasan, apalagi membunuh 

manusia begini rupa…!”. 

Sementara itu. Kratomlinggo yang tadi hendak larikan diri, mendengar ada keributan baru 

di belakangnya perlahan-lahan palingkan kepala lalu putar tubuh dan berhenti di belakang sebuah 

pohon. Apa yang disaksikannya kemudian sungguh tidak diduganya. 

“Kita tak perlu sembunyikan siapa kita terhadap monyet bermuka manusia ini!'', kata Tapak 

Luwing. 

“Nah, terus terang lebih bagus!” menimpali laki-laki di tepi sungai. “Katakan saja siapa 

kalian!”.

“Sebelum tahu siapa kami sebaiknya lekas-lekaslah berlutut minta ampun!” kata Tapak 

Luwing pongah. 

“Eh, kenapa begitu?''. 

Karena menyangka bahwa Kratomlinggo sudah larikan diri dan tak ada lagi di tempat 

itu, maka berkatalah Tapak Luwing;”Ketahuitah. Tiga Hitam dari Kali Comel tidak pernah 

membiarkan terus bernafasnya seorang biang runyam yang ikut campur urusan!” 

“Ooo… jadi kalian Tiga Hitam dari Kali Comel, rampok-rampok ganas tiada kernanusiaan 

itu? Pantas… pantas tampang-tampang kalian hitam macam arang…” 

“Haram jadah! Terima golokku!,” teriak anak buah Tapak. Luwing yang di samping 

kanan. Dengan gerakan enteng dia melompat dari punggung kuda, derngan sebat goloknya 

berkelebat ke arah batok kepala laki-laki muda yang berdiri tetap tenang malahan dengan 

tertawa-tawa! 

Tiba-tiba dengan kecepatan yang luar biasa laki-laki muda itu melompat ke belakang. 

Serangan anak buah Tapak Luwing mengenai tempat kosong. Karena begitu kesusu dan sebatnya 

maka laki-laki itu jadi terhuyung-huyung sendiri. Sebelum dia sempat mengimbangi badan, satu 

tendangan menghantam pantatnya! 

“Manusia tidak tahu peradatan! Orang bicara dipotong seenaknya! Rasakan sendiri 

olehmu!” 

Melihat kawan dan anak buahnya dipermainkan begitu rupa sampai tersungkur di tanah. 

Tapak Luwing dan anak buahnya yang satu lagi segera loncat dari kuda. 

“Beri tahu namamu lebih dulu, kunyuk!,” bentak Tapak Luwing. 

“Kalau tidak rohmu akan 

minggat percuma!” 

“Bicaramu terlalu tinggi! Kalau mau tahu namaku majulah…!”. 

Dengan tertawa bergelak Tapak Luwing menyerbu ke muka. Sambaran goloknya deras 

sedang tangan kirinya laksana palu godam membabat ke arah ulu hati lawan. Inilah jurus “angin 

mengamuk pohon tumbang” yang memang bukan olah-olah dahsyatnya. 

“Ah, rupanya kau punya ilmu yang diandalkan juga eh?” ejek lawan yang diserang. Dia 

merunduk untuk elakkan sambaran golok lalu lompat ke samping guna hindarkan sodokan tinju 

lawan dan dengan secepat kilat kemudian tangan kanannya yang terbuka menyeruak di antara 

kedua serangan lawan tadi, menderas ke arah kening Tapak Luwing. 

Kepala Tiga Hitam dari Kali Comel itu bukan orang yang berilmu rendah. Kalau tidak 

percuma saja dia menjadi kepala komplotan yang ditakuti selama bertahun-tahun disepanjang 

Kali Comel dan perbatasan.Dengan sebat, dengan keluarkan bentakan dahsyat Tapak Luwing membuat satu gerakan 

yang luar biasa. Tubuhnya mencelat satu tombak ke atas dan dalam lompatan itu kaki kanannya 

menderu muka lawan dan disaat yang sama pula dari sebelah belakang menderu golok anak buah 

Tapak Luwing ke arah punggung laki-laki muda itu. 

Yang diserang bersiul. “Akh… kalian rupanya betul-betul maui jiwaku! Tapi kurasa saat ini 

belum waktunya!”. Pemuda ini berkelebat. Lututnya menekuk kedua tangannya berputar seperti kitir 

dan: “bluk ....... buk”!. 

Anak buah Tapak Luwing terjerongkang ke belakang, muntah darah dan menggeletak,di 

tanah. Tapak Luwing sendiri merintih kesakitan sewaktu lengan lawan menghantam tepat tulang 

keringnya! 

Di saat itu anak buah Tapak Luwing yang tadi ditendang pantatnya sudah bangun kembali-

dan dengan ganas lancarkan serangan dahsyat. Namun nasibnya juga sial. Sekali lawannya berkelebat 

maka goloknya kena dihantam sikut lawan! Yang satu inipun roboh pula menyusul kawannya 

Merasakan sakit pada kakinya, melihat kedua anak buahnya dibuat begitu rupa, benar-benar 

Tapak Luwing hampir-hampir merasa seperti orang mimpi. Apakah agaknya kali, ini komplotan yang 

dipimpinnya menemui “batunya”? Selama bertahun-tahun bertualang dan menjadi Pemimpin 

Komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel baru hari itu dia melihat dengan mata kepala sendiri 

bagaimana kedua anak buahnya dibikin menggeletak hanya dalam satu gebrakan saja! Bahkan dia 

sendiri merasakan pula bekas tangan lawannya. Lawan yang masih muda belia dan sama sekali tidak 

dikenalnya. 

Dengan penuh geram_Tapak Luwing salurkan tenaga dalamnya lewat lengan kanan terus 

kegolok sedang tangan kirinya saat itu sudah memegang tiga pisau beracun. Kedua kakinya 

terpentang, pinggangnya sedikit membungkuk ke muka. Tangan yang memegang pisau dinaikkan ke 

atas agak ke belakang sedang tangan kanan memegang golok lurus-lurus ke muka. 

“Kenalkah kau jurusini, pemuda keparat?!”. 

“Ah… hanya jurus -- menyebar bunga menusuk buah -- nenek-nenek keriputpun bisa 

mengenalnya!,” sahut si pemuda. 

Bukan saja Tapak Luwing menjadi geram diajek demikian rupa namun dia juga kaget 

melihat bahwa lawannya bisa menerka jurus yang bakal dikeluarkannya itu! 

Untuk menutupi keterkejutannya Tapak Luwing berkata: “Kau sudah tahu nama jurus ini, baik 

sekali!. Tapi juga ketahuilah ini adalah jurus kematianmu! Bagusnya kasih tahu namamu sekarang 

juga agar kau mampustidak dengan penasaran!”. 

“Sudahlah…. jangan banyak bacot! Buktikanlah kehebatan jurus yang kau andalkan itu!”.

Tapak Luwing tertawa dingin. Tubuhnya semakin membungkuk. Hampir tak kelihatan dia 

menggerakkan tangan kirinya maka tiga pisau yang dipegangnya tahu-tahu sudah meluncur sebat 

sekali ke arah si pemuda. Yang pertama menjurus batang leher, yang kedua mencuit ke dada dan yang 

terakhir menggebubu ke bawah perut! 

Bukan saja daya lesat pisau itu hebat sekali mengingat hanya di lemparkan dengan tangan kiri, 

namun juga tempat-tempat yang diserangnya juga adalah tempat-tempat yang berbahaya mematikan. 

Pada detik pisau-pisau beracun itu melesat ke muka, pada saat itu pulaTapak Luwing 

menerjang dan putar goloknya dengan sebat. Dorongan angin golok yang. menderu menambah 

kencangnya daya lesat tiga pisau itu. Maka itulah jurus “menyebar bunga rnenusuk buah”. Pisau dan 

golok datang susul menyusul! 

“Akh jurusmu ini boleh juga!,” kata si pemuda. “Tapi coba terima dulu telapak tanganku!”. 

Si pemuda pukulkan tangan kirinya ke muka. Angin dahsyat melanda dan mementalkan ketiga 

pisau. Tapak Luwing berseru kaget karena dua dari pisau itu akibat dorongan angin pukulan 

lawan berbalik menyerang ke arahnya. Mau tak mau Tapak Luwing terpaksa pergunakan 

goloknya untuk meruntuhkan dua pisau itu. 

“Tring..... tring!” 

Dua pisau beracun patah-patah dan terlempar jauh. Gerakan untuk menangkis dua 

pisau ini membuat Tapak L.uwing melupakan pertahanan dirinya seketika. Ketika dia 

memasang kuda-kuda baru maka telapak tangan kanan lawan sudah berada dekat sekali ke 

kepalanya. Kepala Tiga Hitam dari Kali Comel ini pergunakan goloknya untuk membabat 

lengan lawan namun kurang cepat karena lengan kiri si pemuda lebih cepat menyusup 

membentur sambungan sikunya. 

“Krak”! 

“Plak”! 

Tapak Luwing mengeluh dan huyung kebelakang. 

Lengannya patah. 

Keningnya yang kena dihantam telapak tangan lawan sakit dan panas bukan main. 

Pada kulit kening itu kini kelihatan tertera angka 212! Tapak Luwing coba alirkan tenaga 

dalam dan atur jalan darahnya. Namun kekuatannya seperti punah. Keringat dingin 

membasahi sekujur tubuhnya. Keningnya panas, sakit dan pemandangannya berkunang, 

lututnya gontai! 

“Keparat…,” desis Tapak Luwing. 

“Ee… masih bisa memaki?”“Kalau hari ini aku kena kau celakai jangan anggap kau sudah mempecundangi aku, 

orang muda. Suatu hari kelak aku akan mencarimu dan mematahkan batang lehermu!”. 

Tapak Luwing ambil tiga pisau terbang dengan tangan kirinya. Cepat sekali senjata 

itu dilemparkannya ke arah si pemuda lalu secepat itu pula dia putar tubuh untuk larikan 

diri. Si pemuda melompat ke samping. Dua pisau lewat di kiri kanannya. Pisau ketiga 

diluruhkannya dengan lambaian tangan kiri! Kemudian sambil totokkan dua jari tangan 

kanannya mengirimkan totokan jarak jauh berserulah si pemuda: “Kenapa pergi buru-buru?! 

Bicaraku tadi padamu belum habis!” 

Kontan saat itu juga tubuh Tapak Luwing menjadi kaku tegang tak bisa bergerak 

lagi! Si pemuda tertawa dan berpaling pada pohon besar di tepi sungai. 

“Saudara yang sembunyi di belakang pohon. keluarlah. Aku mau bicara juga dengan 

kau!”. 

Kratomlinggo, yang berdiri di belakang pohon itu terkejut. Namun karena tahu 

bahwa itu pemuda bukanlah dari golongan jahat maka tanpa ragu-ragu dia segera keluar. 

Lagi pula penuturan Tapak Luwing tadi yang mengaku bahwa dia.dan kawan-kawannya 

adalah Komplotan Tiga Hitam dari Kalkomel membuat dia merasa perlu melakukan pe-

nyelidikan lebih jauh. 

“Saudara, apakah yang telah terjadi di sini sebelumnya dengan kau dan kawan-

kawan...?”. 

“Panjang ceritanya, saudara. Tapi sebelumnya kalau aku boleh tahu siapa 

namamu…?” 

“Aku Wiro…,” jawab si pemuda. 

“Aku Kratomlinggo. Aku dan kawan-kawanku yang malang itu sama-sama dari desa 

Bojongnipah. Kami bermaksud pergi ke Kotaraja…” 

Maka Kratomlinggopun menuturkan segala sesuatunya, mulai dari soal pajak gila yang dilarik 

oleh Ki Lurah Kundrawana sampai dengan kematian keempat kawannya itu. 

Wiro atau Wiro Sableng alias Pendekar 212 geleng-gelengkan kepalanya. “Aku memang 

sudah lama dengar nama Komplotan bejat mereka. Yang satu ini kalau tak salah bernama Tapak 

Luwing. Pantas saja selama beberapa waktu terakhir ini tak kelihatan mereka malang melintang di 

sepanjang Kali Comel. Rupanya tengah bikin kejahatan disini…”. 

“Dan pastilah penjahat-penjahat ini bekerjasama atau jadi- kaki tangan Ki Lurah 

Kundrawana…”

“Boleh jadi,” sahut pendekar 212. “Tapi mungkin juga merekalah biang runyam yang 

melakukan pemerasan terhadap Ki Lurah!” 

Kratomlinggo mengangguk. 

“Supaya jelas biar bangsat yang satu ini kita tanyai,” kata Wiro Sableng pula. Dia melangkah 

mendekati Tapak Luwing untuk melepasakan totokan di tubuh kepala Komplotan Tiga Hitam itu. 

Namun baru saja satu tindak dia melangkah tiba-tiba sekali berkelebatlah satu sosok tubuh dari 

kegelapan. Makhluk ini langsung meraih pinggang Tapak Luwing dan membopong melarikannya! 

Kratomlinggo terkejut 

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 berteriak: “Maling tengik! Berhenti!”. 

Sebagai jawaban, terdengar suara tertawa bekakakan dari orang yang melarikan Tapak Luwing 

itu. 

“Wiro Sableng, pemuda gendeng!Jangan sangka cuma kau sendiri yang jago dan sakti di jagat 

ini! Aku tunggu kau besok siang di Rawasumpang! Kuharap kau punya nyali unhuk menerima 

undangan kematianmu ini! Ha… ha… ha …!” 

“Sompret betul! Siapa kau! Berhentil”. 

“Besok siang. Wiro!” “ 

Dengan,

geram pendekar 212 lepaskan pukulan “kunyuk melempar buah”! ke arah manusia 

tak dikenal itu! Deru angin yang tiada terkirakan dahsyatnya menyerang si orang asing. Pada saat itu 

pula terlihat selarik sinar biru. Dan angin pukulan Wiro Sableng terbendung laksana membentur 

dinding baja! Terkejutlah pendekar 212. Pukulan yang dilancarkannya tadi disertai hampir sepertiga 

dari tenaga dalamnya. Namun manusia yang tak dikenal itu berhasil meruntuhkan pukulan tersebut! 

Besarlah dugaan Wiro Sableng bahwa orang yang memboyong Tapak Luwing itu adalah guru 

Tapak Luwing., setidak-tidaknya kakak seperguruannya. Atau mungkin juga seorang sakti dari 

golongan hitam yang berkawan dengan Tapak Luwing. 

-- = 0O0 == -- 

TUJUH 

HALAMAN rumah lurah bojongnipah penuh oleh penduduk. Suasana malam terang 

benderang oleh puluhan obor. Agaknya penduduk Bojongnipah sudah tak dapat menahan kesabarannya lagi untuk mencincang dengan segala senjata yang mereka bawa, kedua manusia yang saat 

itu terikat ke tiang langkan rumah. Mereka tiada lain daripada anak-anak buah Tapak Luwing yang 

telah dirobohkan oleh Pendekar 212. Keduanya telah siuman. Di samping terikat ke tiang, keduanya 

juga berada dalam pengaruh totokan Wiro Sableng. 

Kratomlinggo berdiri disamping Ki Lurah Kundrawana. Beberapa tombak dari mereka berdiri 

tenang-tenang Wiro Sableng. Kratomlinggo barusan saja menerangkan apa yang diketahuinya tentang 

kedua orang itu kepada Ki Lurah dan juga apa yang telah terjadi di tepisungai dekat jembatan. 

Bola mata Ki Lurah Kundrawaana pulang balik memandangi Wiro Sableng dan kedua anak 

buah Tapak Luwing. Saat itu Lurah Bojongnipah ini tak dapat lagi menahan hati dan mengendalikan 

amarahnya. Untuk sesaat lupa dia bahwa anaknya masih berada di dalam tawanan Tapak Luwing dan 

Tapak Luwing sendirisaat itu tidak berhasil ditangkap! 

“Saudara-saudaraku se-Bojongnipah…,” kata Kundrawana seraya maju beberapa langkah ke 

hadapan penduduk yang berdesak-desakan. “Sekarang kurasa sudah waktunya untuk menerangkan 

kepada kalian apa sesungguhnya latar belakang timbulnya pajak gila itu! Aku dengan hati hancur dan 

seribu satu kepahitan telah terpaksa menerima segala kata-kata dan cap yang kalian lemparkan 

padaku! Kalian mencap aku sebagai tukang peras, aku telah terima. Kalian cap aku sebagai lintah 

darat, sebagai tukang tindas... sebagai ini, sebagai itu, semuanya aku terima! Namun hari ini, malam 

ini kalian terimalah juga satu penuturan dariku, satu kenyataan yang menyebabkan terjadinya 

pemungutan pajak berat itu. Dulu aku pernah berkata bahwa pajak itu dipungut atas perintah Raja! 

Untuk pembangunan dan pemeliharaan balatentara Kerajaan. Kini kuakui itu semua hanya alasan 

belaka, hanya dusta besar yang aku karang-karang demi untuk menyelamatkan keluargaku dan juga 

menyelamatkan kalian semua dari keganasan dan kejahatan yang kalian tidak ketahui ...” 

PendudukBojongnipah saling pandang memandang satu sama lain penuh ketidak mengertian. 

Ki Lurah Kundrawana menyapu wajah mereka seketika lalu meneruskan bicaranya. 

“Tadi kalian sudah dengar semua keterangan Kratomlinggo. Ini satu kenyataan bagus yang 

dengan sendirinya telah mencuci diriku. Tapi biar aku beri penjelasan lebih lengkap. Dua manusia 

yang terikat itu adalah anak buah Komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel, komplotan rampok-rampok 

bejat yang dikepalai oleh Tapak Luwing yang berhasil melarikan diri ditolong oleh seorang tak 

dikenal. Jadi ketiganya sama sekali bukanlah prajurit-prajurit Kadipaten seperti yang mereka sengaja 

menyamar pagi tadi! Tiga minggu yang lewat, di satu malam mereka telah datang ke rumahku dan 

memaksaku untuk menarik pajak sepuluh kali lebih besar dari yang sudah-sudah. Jadi berarti aku harus 

menarik pajak sebanyak sebelas kali terhadap kalian. Yang sepuluh bagian harus kuserahkan padamereka sedang yang satu bagian sebagaimana biasa diserahkan ke Linggajati di mana Adipati 

Linggajati kemudian meneruskan ke Kotaraja… 

Aku coba untuk melawan. Tapi disamping mereka bertiga berilrnu tinggi aku tak bisa berbuat 

apa-apa karena anakku satu-satunya mereka bawa! Anakku akan mereka bunuh kalau pajak itu tidak 

aku pungut dari penduduk di sini! Kalian bisa merasakan dan mengetahui sendiri kini. Tak ada jalan 

lain bagiku untuk membantah, kecuali kalau ingin putera tunggalku rnenemui kematiannya…!”. 

Suasana malam sesepi dipekuburan kini! Penduduk sama menganga dan terlongong-longong. 

Tentu saja hal ini tiada diduga sama sekali oleh mereka. Dan serentak pula dengan itu maka 

menggelegaklah kemarahan penduduk. Ketika seseorang di antara mereka berseru: “Cincang dua 

bangsat ini!,” maka menyerbulah penduduk Bojongnipah dengan senjata masing-masing. Namun 

disaat itu pendekar 212 maju ke muka danberseru nyaring. Sengaja seruannya itu disertai tenaga dalam 

untuk mempengaruhi. penduduk yang tengah marah itu. 

“Saudara-saudara, jangan ceroboh! Kunyuk-kunyuk ini akan dapat bagiannya juga! Tapi 

kalian harus ingat pada nasib anak Lurah kalian! Karena itu biarkan aku bicara sebentar dengan salah 

satu dari mereka… !” 

Kalau saja penduduk tidak mendapat keterangan dari Kratomlinggo siapa adanya pemuda 

berambut gondrong itu, pastilah penduduk tak akan mau ambil perduli akan ucapan Wiro Sableng, lagi 

pula tenaga dalam si pemuda diam-diam sudah meresap mempengaruhi mereka! 

Wiro mendekati anak buah Tapak Luwing yang terikat di tiang langkan sebelah kanan. 

“Namamu siapa, sobat?,” tanyanya. 

Laki-laki itu diam saja. Hanya kedua bola matanya berputar menyorot melontarkan 

pandangan sangat membenci dan mendendarn. 

“Eeeh rupanya bekastanganku membuat kau jadi tuli, huh!”. 

“Keparat! Tak usah banyak bicara… Kelak hari pembalasan dari pemimpinku Tapak Luwing 

akan tiba! Kalian semua disini akan dikirim ke neraka!”. 

Wiro Sableng menyeringai. 

“Mungkin kau dan kawanmu yang akan lebih dahulu dkincang penduduk sampai lumat!” kata 

Wiro Sableng pula. “Tak usah banggakan pemimpinmu! Dia sudah kabur bersama seorang 

kawannya!”. 

Keterangan ini mengejutkan kedua anak buah Tapak Luwing. Memang sejak mereka siuman 

tadi mereka tidak melihat pemimpin mereka dan tak tahu berada di mana. 

Dan Wiro berkata lagi: “Aku mempunyai dugaan bahwa kau ada sangkut pautnya dengan 

Adipati di Linggajati. Katakan saja terusterang .... Anak buah Tapak Luwing diam.“Katakan!,” bentak Wiro. 

Sebaliknya laki-laki itu meludah ke lantai. “Beset saja mulutnya!,” teriak Kratomlinggo yang 

sudah tak sabaran. 

“Kau tak mau kasih keterangan?” tanya pendekar 212. 

Anak buah Tapak Luwing itu meludah sekali lagi ke lantai langkan! 

Wiro tertawa. 

Dijangkaunya sebuah obor yang dipegang oleh seorang penduduk. 

“Pernah rasa panasnya api?,” tanya pendekar ini dengan tertawa-tawa. “Tampang-

tampang macammu ini akan lebih keren bila disundut begini rupa!”. 

Wiro Sableng lantas menyorongkan api obor ke muka laki-laki itu. Anak buah 

Tapak Luwing tak sanggup gerakkan kepalanya karena tertotok. Keluhan kesakitan 

terdengar tiada henti. Udara malam kini berbau hangusnya bulu mata, alis dan sebagian 

rambut laki-laki itu. Kulit mukanya kelihatan merah terbakar. 

“Mau sekali lagi?!,” tanya Wiro dengan tertawa-tawa. 

“Aku bersumpah kalau lepas akan membunuhmu dan tujuh keturunanmu!,” kata 

anak buah Tapak Luwing penuh penasaran. 

“Jangan ngaco! Kau tak akan lepas dari sini. Kalaupun lepas mungkin cuma rohmu 

saja! Dan aku belum punya keturunan…!”. Pendekar muda itu tertawa mengekeh. Mau tak 

mau orang banyak yang menyaksikan itu jadi ikut-ikutan geli. 

“Ayo, katakan apa hubunganmu dengan Adipati Linggajatit,” bentak Wiro seraya 

mendekatkan api obor ke muka laki-laki itu. 

“Tak ada hubungan apa-apa…!,” jawab anak buah Tapak Luwing. 

“Ah… ini satu kebohongan atau kedustaan?!”. 

“Aku tidak dusta. Tidak bohong!”. 

“Lantas apa perlumu pagi tadi menyamar bertiga-tiga menjadi prajurit-prajurit 

Kadipaten…?”. 

“Itu bukan urusanmu!”. 

“Oh begitu? Memang bukan urusanku. Tapi urusan api obor ini!”. Dan sekali lagi 

api obor menjilati muka laki-laki itu. Dia menjerit-jerit. Wiro rnenunggu sampai beberapa 

detik di muka. “Mau kasih keterangan apa tidak?” tanyanya. 

“Aku akan terangkan… !” berkata juga laki-laki itu pada akhirnya. 

Wiro tersenyum. Dilariknya obor kembali. “Nah bicaralah. Biar kerasan agar semua 

orang dengar!Maka anak buah Tapak Luwing itupun memberikan penuturan: “Adipati Seta Boga 

dari Linggajati mengirimkan seorang utusan pada kami. Dia telah membuat rencana untuk 

melakukan pemerasan di sini. Kami ditawarkannya pekerjaan untuk menarik pajak itu 

dengan perjanjian hasilnya dibagi dua. Pemimpin kami menerimanya dan… dan…”. 

“Sudah. Itu sudah cukup terang!” kata Wiro Sableng pula. 

Ki Lurah Kundrawana maju ke muka. “Jadi ini semua dibiangi oleh Adipati Seta 

Boga ...?”. 

“Ya...”. 

“Kita harus tangkap Adipati itu!” teriak penduduk. 

“Gantung saja bersama kunyuk-kunyuk yang dua ini!” teriak yang lain. 

Pendekar 212 angkat tangan kirinya. “Soal Adipati itu serahkan padaku,” katanya. 

“Yang penting kini ialah menyelamatkan anak laki-laki Ki Lurah…”. 

Tersiraplah darah Ki Lurah Kundrawana bila dia ingat kembali akan anaknya. 

Dijambaknya rambut anak buah Tapak Luwing. “Anakku di mana kalian sekap?!” 

tanyanya. 

Laki-laki itu tertawa buruk. Sangat buruk, apalagi melihat mukanya yang hangus 

dan merah mengelupas. “Jangan harap anakmu akan selamat Kundrawana!” 

Kundrawana menyentakkan kepala laki-laki itu. “Dimana?!”. 

“Mungkin sudah mampus di tangan pemimpinku!” 

Kundrawana mengambil obor dari tangan Wiro Sableng. Anak buah Tapak Luwing 

menjerit keras ketika obor itu disodokkan ke mata kanannya, Mata itu pecah dan darah 

meleleh di kulit mukanya yang mengelupas hangus! 

“Kedua matanya akan kubikin buta keparat! Kecuali, kalau kau segera 

menerangkan di mana anakku kalian sekap!”. 

Laki-laki itu sebenarnya menyadari bahwa kalau sudah tertangkap demikian rupa 

dirinya tak akan mungkin lagi bisa selamat. Adalah percuma saja baginya untuk 

memberikan keterangan. Namun dalam diri manusia yang berkeadaan seperti anak buah 

Tapak Luwing saat itu, walau bagaimanapun senantiasa selalu terdapat sekelumit harapan 

untuk bisa menyelamatkan diri sehingga ancaman matanya akan dibutakan kedua-duanya 

itu mau tak mau mengerikannya juga! 

Maka diapun memberikan keterangan : “Anak itu disekap di satu kuil tua di Parit 

Kulon…Lega sedikit hati Kundrawana. “Tapi,” katanya, “bila aku datang ke sana anakku 

tidak ada atau kutemui dia dalam keadaan sudah mati jangan harap kau bisa melihat dunia 

ini sampai esok lusa!”. Kini pendekar 212 yang buka suara : “Saudara-saudara apapun 

yang kalian lakukan terhadap dua kunyuk ini, itu bukan urusanku lagi. Tapi sedapat-

dapatnya jangan diapa-apakan dulu dia sebelum anak Ki Lurah ketemu dalam keadaan 

selamat. Soal Adipati Seta Boga di Linggajati, serahkan padaku. Besok kalian bisa 

mengambil sosok tubuhnya di Kadipaten Linggajati. Cuma aku tak dapat memastikan 

apakah dalam keadaan masih bernafas atau tidak. Itu tergantung pada sikapnya sendiri! 

Sekiranya dia masih hidup, ada baiknya kalian giring saja ke Kotaraja… Nah, selamat 

tinggal!”. 

“Saudara tunggu dulu!” seru Kratomlinggo dan Kundrawana hampir berbarengan. 

Namun Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 sudah berkelebat lewat langkan, lewat 

kepala-kepala penduduk Bojongnipah lalu lenyap ditelan kegelapan malam. 

* * * 

HANYA sebentar suasana sepi menyeling. Bila bayangan sosok tubuh pendekar 

212 sudah lenyap ditelan kegelapan malam maka lupalah penduduk Bojongnipah akan 

pesan pendekar itu. Beramai-ramai mereka menyerbu kedua anak buah Tapak Luwing 

yang berada dalam keadaan tak berdaya, terikat ketiang langkan dan tertotok. Puluhan 

senjata laksana hujan bertubi-tubi mampir ke kepala dan tubuh kedua orang itu. Tiada 

terdengar suara jeritan kedua orang ini, rintihanpun tidak! Mereka telah menemui nasib 

pembalasan atas kejahatan mereka. Keduanya menghembuskan nafas dengan tubuh mandi 

darah dan muka hancur tak bisa dikenali lagi. _ 

Ki Lurah Kundrawana tidak menyaksikan lagi apa yang diperbuat penduduk 

Bojongnipah itu. Bersama Kratomlinggo dan tiga orang lainnya, dengan menunggangi kuda, dia 

meninggalkan Bojongnipah menuju Parit Kulon, sebuah pesawangan yang jarang didatangi manusia, 

terletak kira-kira ernpat kilometer dari desa. Satu-satunya bangunan di Parit Kulon adalah kuil tua yang 

diterangkan anak buah Tapak Luwing. Karenanya meskipun malam tak sukar untuk mencarinya. 

Ki Lurah Kundrawana menyalakan obor yang dibawa. Diiringi oleh keempat orang lainnya dia 

masuk ke dalam kuil tua itu. Meski dia menemui anaknya dalam keadaan menyedihkan namun 

Kundrawana merasa. lega dan gembira karena anak satu-satunya itu ternyata masih bernafas. Anaknvatidur di ubin kotor dengan pakaian yang juga kotor. Tubuhnya kurus dari parasnya pucat karena tak 

terurus. Tangan dan kakinya diikat. Kundrawana bertutut lalu memeluk anaknya itu. Kratomlinggo 

membuka tali yang mengikat tangan serta kaki si anak yang saat itu sudah bangun. Tetesan air mata 

mengalir di pipi Ki Lurah Kundrawana. Tapi air mata kali ini adalah air mata gembira. 

Sementara itu di tempat lain .... 

Tapak Luwing merasa tubuhnya yang kaku karena ditotok itu dibawa lari dalam kegelapan 

malam oleh seseorang. Bila sinar bulan yang tidak begitu terang menyeruaki pohon-pohon sepanjang 

jalan yang mereka lalui dan menyinari paras laki-laki itu samar-samar. Tapak Luwing terheran dan 

berpikir-pikir. Laki-laki yang membawanya berlari itu tidak dikenalnya sama sekali. Siapa dia dan ke 

mana manusia ini mau membawanya! Kemudian apakah dia seorang yang akan menolongnya atau 

bukan? Tapi melihat gelagat dan ucapannya terhadap pemuda berambut gondrong tadi Tapak Luwing 

bisa sedikit memastikan bahwa laki-laki ini tidak bermaksud jahat terhadapnya. Diam-diam hatinya 

merasa lega. Maka bertarryalah dia: “Sobat, kau siapakah?”. 

“Jangan banyak tanya dulu!” menjawab orang yang memanggulnya. Suaranya besar dan 

parau, larinya laksana angin. 

“Kita ini kemanakah?,” tanya Tapak Luwing lagi. 

“Aku bilang jangan bertanya apa-apa dulu. Apa tidak mengerti?!” 

Tapak Luwing penasaran sekali. Namun dia menurut dan menutup mulutnya. Sepanjang 

perjalanan itu, satu hal saja yang diketahui oleh Tapak Luwing tentang orang yang memanggul dan 

membawa larinya yaitu laki-laki itu puntung tangan kanannya sampai sebatas bahu! 

Ketika sampai di sebuah telaga kecil akhirnya laki-laki bertangan buntung itu menghentikan 

larinya. Tapak Luwing diturunkan dan disandarkan ke sebatang pohon di tepi telaga. Kemudian 

dilepaskannya totokan di tubuh Tapak Luwing. 

“Atur nafas dan jalan darahmu. Kerahkan tenaga dalam!” berkata si tangan buntung. 

Tapak Luwing segera melakukan hal itu. Tidak disuruhpun memang semustinya dia sudah 

bermaksud demikian, sesuai dangan setiap ajaran ilmu silat dari aliran dan golongan manapun. 

Kemudian dengan tangannya yang cuma satu laki-laki itu dangan cekatan mengobati lengan 

Tapak Luwing yang patah dan membalutnya dangan secarik kain. 

“Aku berhutang budi dan nyawa padamu sobat,” kata Tapak Luwing. 

Laki-laki yang menolongnya tertawa. “Ada hutang ada piutang…,” katanya di antara 

tertawanya, “ada budi ada balas”. 

“Maksudmu sobat?” tanya Tapak Luwing. “Di satu hari kelak pertolongan yang 

kuberikan padamu ini akan kutagih…”.Tapak Luwing kerenyitkan kening. “Tidak kau tagihpun, jika ada kesempatan aku pasti 

akan membalasnya. Bahkan jika aku sudah sembuh dan kau bersedia ikut ke Kali Comel, aku 

akan hadiahkan kepadamu harta benda, perhiasan dan uang seberapa saja kau suka” 

Si tangan buntung menyeringai. Gigi-giginya hitam kecoklatan. “Aku tidak butuh 

semua itu,” desisnya. Dipegangnya balutan di lengan Tapak Luwing. Sesaat kemudian Tapak 

Luwing merasakan aliran tenaga dalam yang ampuh merembas ke dalam tubuhnya. Tubuhnya 

menjadi segar kini dan rasa sakit pada lengannya yang patah itu berkurang. 

“Terima kasih,” kata Tapak Luwing. “Apa sudah boleh aku kenal padamu. Aku Tapak 

Luwing...” 

“Aku tahu siapa kau. Aku sudah lama dengar tentang komplotanmu yang malang 

melintang di sepanjang Kali Comel. Dan ketika tahu bahwa kau berada di sekitar sini, timbul 

satu maksud untuk menemuimu”. 

“Apakah maksud itu?” bertanya Tapak Luwing. “Tadi aku sudah bilang, ada hutang 

ada piutang, ada budi ada balas. Satu hari kelak aku membutuhkan tenagamu…!”. 

“Jangan kawatir, aku pasti bersedia. Tapi untuk keperluan apakah?”. 

“Kau tak usah tahu untuk keperluan apa. Kau nanti akan tahu juga. Dengar, nanti pada 

hari tigabelas bulan dua belas kau harus dating ke Gunung Tangkuban Perahu…” 

“Gunung Tangkuban Perahu…?”. 

“Ya. Masih kira-kira delapan bulan dari sekarang. Dan satu hal harus kau ingat. Jangan 

sekali-kali coba kembali ke desa Bojongnipah untuk buat perhitungan dengan Ki Lurah 

Kundrawana, salah-salah kau bisa ketemu dangan bangsat yang telah mencelakaimu tadi! 

Walau bagaimanapun untuk saat ini kau tak akan mampu menghadapinya! Ada saat untuk 

menyelesaikan urusan dangan dia. Karena itu kau musti datang ke Tangkuban Perahu pada 

hari tiga belas bulan dua belas nanti. Dengar?” 

Tapak Luwing mengangguk. “Kau tahu siapa bangsat itu agaknya?,” dia bertanya. 

“Angka pengenalnya telah dituliskannya dikeningmu”. 

Terkejutlah Tapak Luwing. Dirabanya keningnya. Tak ada rasa sakit tapi memang kulit 

kening itu agak kesat dari sebelumnya. 

“Berkacalah ke telaga itu”. 

Tapak Luwing merangkak ke tepi telaga. Dia membungkuk dekat-dekat ke air telaga 

yang jernih itu dan di bawah penerangan sinar bintang-bintang serta bulan sabit samar-samar 

dilihatnya tertera tiga buah angka. Angka 2 1 2 ! Tapak Luwing memandang keheran-heranan 

pada si tangan buntung lalu memperhatikan lagi mukanya di air telaga. Diusapnya keningnya.

Diusapnya lagi sampai beberapa kali tapi angka 212 itu tidak mau hilang. Dibasahinya 

keningnya dangan air telaga lalu diusapnya lagi berulang kali. Tetap saja angka 212 itu tidak 

mau hilang! 

“Dengan. apapun dan cara bagaimanapun angka itu tak akan bisa pupus dari 

keningmu Tapak Luwing! Angka itu ditera dengan telapak tangan yang mengandung tenaga 

dalam dan kesaktian yang luar biasa. Sekalipun kulit keningmu dikelupas sampai ke batok 

kepalamu maka pada tulang batok kepalamupun angka itu sudah meresap!” 

“Siapa sesungguhnya manusia muda berambut gondrong dengan angka pengenal 212 

itu…” tanya Tapak Luwing pula. 

“Namanya Wiro Sableng. Dia sakti sekali…” jawab si tangan buntung. “Tapi,” 

katanya kemudian menambahkan, “dihari tiga belas bulan dua belas nanti, kelak ajalnya 

akan sampai!”. 

Diam-diam, meskipun si tangan buntung tidak menerangkan tapi Tapak Luwing tahu, 

kini bahwa antara si tangan buntung dan pemuda rambut gondrong yang telah 

mencelakainya itu terdapat sangkut paut dendam kesumat. 

“Selama waktu delapan bulan mendatang,” berkata lagi si tangan buntung, 

“kuanjurkan kepadamu untuk berlatih ilmu silat yang telah kau miliki agar lebih hebat.” 

Tapak Luwing mengangguk. 

Si tangan buntung berkata: “Sekarang kita berpisah. Jangan lupa hari tiga belas bulan 

dua belas itu. Dan jangan coba-coba untuk tidak memenuhi perintahku ini…” 

“Kau mau kemana sobat?” 

“Urusanku masih banyak…” 

“Tapi kau masih belum menerangkan namamu”. 

“Namaku Kalingundil!” 

-- == 0O0 == -- 

DELAPAN 

LINGGARJATI sudah agak sepi ketika dia sampai ke sana karena hari sudah menje-

lang larut malam dan udara dingin mencucuki kulit tubuh sampai ke tulang-tulang. Di 

sebuah kedai dia berhenti untuk membasahi tenggorokan dan menghangatkan tubuhnyadengan segelas bandrek. Di kedai ini juga dia telah menanyakan di mana letak tempat 

kediaman Adipati Seta Boga. 

Tak sukar mencari tempat kediaman Adipati Seta Boga. Rumahnya adalah sebuah 

gedung yang paling bagus dan paling besar di Linggarjati. Saat itu gedung tersebut berada 

dalam suasana tenang tenteram. Dua orang pengawal berdiri di pintu masuk dan di ruang 

tamu kelihatan beberapa orang laki-laki. Rupanya Adipati Seta Boga tengah menerima 

beberapa orang tamu. 

Laki-laki itu melangkah seenaknya di depan kedua pengawal Kadipaten. “Di sini 

rumahnya Adipati Seta Boga ?” tanyanya pada salah seorang pengawal. 

“Betul. Ada apa…?” balik menanya si pengawal. 

“Ah tidak apa-apa. Aku cuma tanya…,” jawab si pemuda. Digaruknya rambutnya 

yang gondrong. 

“Adipatinya ada .... ?” 

“Ada sedang merierima tamu. Kau siapa? Perlu apa tanya-tanya…?” 

“Cuma tanya,” jawab si pemuda. Digaruknya lagi rambutnya lalu tanpa bilang apa-

apa dia melanjutkan langkahnya. 

“Sialan . . . ,” maki pengawal itu. 

Yang dimaki jalan terus. 

Pengawal yang satu berkata “orang gendeng…” Keduanya memandang sampai 

pemuda tadi lenyap di tikungan jalan yang gelap. 

Setengah jam kemudian, ketika pemuda itu kembali maka tamu-tamu di Kadipaten 

sudah tak kelihatan lagi. Lampu besar di ruang depan sudah diganti dengan lampu kecil. 

Melihat kedatangan si pemuda dan yang seperti tadi berhenti di depan mereka maka 

membentaklah salah seorang dari pengawal. 

“Orang sinting! Ada apa kau datang lagi ke sini?!” 

“Pergi sebelum kepalamu kupentung dengan gagang tombak ini!,” menghardik yang 

seorang lagi. 

Si pemuda menyeringai. 

“Dengar sobat-sobatku,” katanya. Kedua tangannya diacungkan ke muka. Jari-jari 

telunjuk dan jari jari tengah diluruskan. “Kalian lihat jari-jari tanganku ini .... ?,” tanyanya. 

“Kunyuk gendeng! Berlalulah atau kuremukkan kepalamu!” bentak pengawal sambil 

acungkan tombaknya.“Ah… jangan buru-buru marah tak karuan. Bicaraku masih belum habis!,” menyahuti 

si pemuda tanpa acuhkan ancaman pengawal. Jari jari tangannya masih diluruskan. “Coba 

kalian hitung jari-jari tangan yang kuacungkan ini,” katanya. 

Tentu saja kedua pengawal jadi tambah mengkal melihat tingkah dan mendengar 

ucapan si pemuda. Maka dua gagang tombakpun meluncur deras ke kepala pemuda itu. 

Namun lebih cepat lagi dari luncuran kedua tombak itu, maka kedua tangan si pemuda tahu-

tahu sudah menotok urat di pangkal leher pengawal-pengawal. Kontan keduanya menjadi 

gagu dan kaku menegang. 

Si pemuda tertawa. Kedua pengawal itu sekaligus dipanggulnya di bahu kiri kanan 

kemudian dimasukinya halaman Kadipaten. Pengawal-pengawal yang dipanggul kemudian 

dilemparkannya ke kandang kuda di belakang rumah. Lewat pintu belakang dia masuk ke 

dalam gedung Kadipaten yang saat itu belum dikunci. Seorang perempuan separuh umur, 

yang bekerja sebagat pembantu rumah tangga dan yang saat itu tengah mencuci piring 

terkejut melihat munculnya seorang pemuda berambut gondrong yang tak dikenalnya. Dan 

pemuda itu tersenyum kepadanya. 

“Kau... kau siapa...?” tanyanya. 

Si pemuda masih senyum. Tangan kirinya dilambaikan. Selarik angin tajam 

menyambar ke leher si perempuan. Perempuan ini hendak berteriak. Namun saat itu 

mulutnya sudah gagu, lidahnya sudah kelu sedang tubuhnya tak bisa lagi digerakkan akibat 

totokan jarak jauh yang lihay sekali. Si pemuda kemudian memasukkan perempuan itu ke 

dalam sebuah bilik kosong di bagian belakang gedung. 

Saat itu Adipatit Seta Boga tengah membuang hajat kecil di kamar mandi. Ketika dia 

masuk kembali ke dalam gedung maka terkejutlah Adipati Linggarjati ini. Betapa tidak! 

Di atas kursi goyang, di mana dia sering dudak bila melepaskan lelah, kini dilihatnya 

duduk enak-enakan sambil memejam-mejamkan mata seorang pemuda berbadan kekar dan 

berambut gondrong yang sama sekali tidak dikenalnya! 

“Setan atau manusia dari mana yang kesasar ke gedungku ini…?” ujar Adipati Seta 

Boga di dalam hati. Dan pemuda di atas kursi terus juga menggoyang-goyangkan badannya dan 

kedua matanya masih dipejamkan. 

“Siapa kau?!” bentak Adipati itu dengan suara menggeledek dan menggema di empat dinding 

ruangan. 

Kursi goyang itu bergoyang-goyang juga. Pemuda yang duduk di atasnya masih terus duduk 

enak-enakan dan memejamkan mata. Geram sekali Adipati Seta Boga jadinya. Dengan langkah besarbesar dia maju mendekat kursi goyang dan orang yang mendudukinya. Telapak tangan kanan 

terkembang dan detik itu juga maka melayanglah tamparannya! 

Beberapa saat lagi tangan kanan itu akan mendarat di pipi si pemuda tiba-tiba si pemuda 

bukakan kedua matanya. Dan seperti alas kursi itu mempunyai per yang melesatkan si pemuda ke atas 

demikianlah tubuh pemuda itu melayang enteng sampai dua tombak dari kursi yang didudukinya! Dan 

sebagai akibatnya maka tangan kanan Adipati Seta Boga kini menghantam sandaran kursi goyang. 

Sandaran kursi itu pecah. Kayunya berkeping-keping berantakan. Dapat dibayangkan bagaimana jika 

seandainya tamparan itu mendarat di pipi si pemuda karena tamparan itu tidak boleh tidak tentu 

mengandung tenaga dalam yang luar biasa! 

“Ah.... kau rupanya Seta Boga…,” kata si pemuda sambil mengusap matanya. “Aku sedang 

enak-enakan tidur, kau mengganggu saja…!” 

“Anjing kurap kenapa kau bisa kesasar ke mari? Apa minta ditebas batang lehermu?!,” radang 

Adipati Seta Boga. Geram sekali dia. Selama menjadi Adipati baru hari ini ada seseorang yang 

memanggilnya dengan “Seta Boga,” saja ! 

Sipemuda tertawa dan seperti tak ada hal apa-apa dia duduk kembali seenaknya di atas kursi 

goyang, kembali bergoyang-goyang dan memejamkan matanya. 

“Setan alas betul!,” damprat Seta Boga. Sekali kaki kanannya bergerak maka mental dan 

hancurlah kursi goyang itu. Tapisi pemuda sekejapan sebelum itu sudah melompat dan berdiri disudut 

ruangan dekat sebuah meja kecil. 

“Kursi bagus ditendang sampai hancur. Kau sudah sinting rupanya Seta Boga?,” tanya si 

pemuda sambil menyengir. 

Sementara itu karena suara ribut-ribut di ruang tengah maka istri Seta Boga ke luar dan 

disamping heran dia juga terkejut melihat apa yang terjadi. 

“Kakang ada apakah? Siapa manusia ini?!” tanya perempuan itu. 

“Pergi, panggil pengswal!,” teriak Seta Boga pada istrinya. Perempuan itu berteriak 

memanggil pengawal. Namun tiada pengawal yang datang. Dua pengawal Kadipaten sebelumnya 

sudah dibikin “mendengkur” oleh si pemuda di kandang kuda! 

Kegeraman Seta Boga tak terkirakan lagi ketika dilihatnya pemuda berambut gondrong itu 

mengambil sebatang serutu miliknya dan dalam kotak serutu yang terletak di atas meja kecil di sudut 

ruangan lalu menyalakannya sekaligus!Rahang-rahang Seta Boga bertonjolan. Jari-jari tangan kanannya diremas-remaskannya satu 

sama lain. Sesaat kemudian kelihatanlah jari-jari tangan itu menjadi merah. Warna merah terus 

menjalar sampaisebatas siku. 

“Anjing kurap yang kesasar, hari ini terima nasibmu harus mampus oleh pukulan wesi 

geniku!” Tangan kanan yang merah itu dipukulkan ke muka. Selarik angin yang tidak terkirakan 

panasnya menggebubu ke arah si pemuda. 

Tubuh si pemuda berkelebat. 

“Wuss!” 

“Brak!” 

Istri Seta Boga menjerit. 

Dinding di muka mana pemuda itu tadi berdiri hancur berlubang dan menjadi hitam hangus! 

Orang yang diserang kelihatan disudut ruangan sebelah kanan, asyik-asyikan menyedot serutu! 

Dada Seta Boga menjadi sesak oleh amarah yang meluap. “Siapa kau sebenarnya ?!” bentak 

Adipati Linggarjati ini, 

Si pemuda batuk-batuk lalu cabut serutunya dari sela bibir. “Namaku ... ?,” ujarnya. “Masakan 

kau tidak tahu ?!” 

“Setan alas .... !” 

Si pemuda tertawa menanggapi makian itu. 

“Namaku Tapak Luwing,” katanya. “Aku datang untuk menyerahkan sebagian dari uang 

pungutan pajak di desa Bojongnipah. Ini terimalah…!” 

Si pemuda mengeruk saku bajunya. Sesuatu dalam genggamannya kemudian dilemparkannya 

ke arah Adipati Seta Boga. Laki-laki ini cepat menghindar dan lambaikan tangan kanannya. Benda 

yang dilemparkan ternyata adalah kira-kira selusin kalajengking yang saat itu sudah mati dan 

bertebaran di lantai. Istri Seta Boga memekik lalu lari ke dalam kamar. Si pemuda tertawa bekakakan! 

Adipati Seta Boga tak menunggu lebih lama menyambar sebuah tombak yang dipanjang di 

dinding. Dengan senjata ini dia kemudian menyerang si pemuda! Si pemuda tenang-tenang selipkan 

serutunya ke bibir, menghisapnya dengan cepat lalu menghembuskan asapnya ke arah Seta Boga. 

Adipati ini terpaksa melompat ke samping sekali lagi karena asap serutu itu mengandung tenaga dalam 

dan menyambar ke arah kedua matanya! 

Dari samping kini Seta Boga melancarkan serangan. Tombak di tangannya membabat kian 

kemari. Tangan kiri melakukan pukulan-pukulan tangan kosong jarak jauh beberapa kali berturut-

turut! Inilah jurus “kitiran dan alu sabung menyabung” Jurus ini biasanya dilaksanakan dengan 

memakai pedang. Tapi dengan tombakpun kehebatannya tidak olah-olahTapi betapa terkejutnya Seta Boga ketika si pemuda dengan tertawa-tawa berkata : “Ah, cuma 

jurus kitiran dan alu sabung menyabung, siapa takut? Sambuti serangan balasan ini, Seta Boga!” 

Demikianlah, meskipun diserang tapi si pemuda bukannya mengelak malahan menyambut 

dengan serangan pula! 

“Ini jurus membuka jendela memanah rembulan Seta Boga!,” kata si pemuda. Lengan kirinya 

dipukulkari melintang dari atas ke bawah sedang tangan kanan meluncur ke atas dalam gerakan yang 

cepat sekali dan sukar dilihat oleh mata ! 

“Ngek” 

“Buk !” 

Tombak di tangan Seta Boga terlepas mental karena lengannya kena dibabat oleh lengan 

lawan. Suara ngek yang ke luar dari tenggorokannya adalah akibat urat besar di bawah dagunya telah 

kena ditotok oleh sipemuda. Di saat itu pula tubuhnya tak bergerak lagi alias kaku tegang! Karena 

sebelum ditotok Seta Boga telah menyeringai kesakitan akibat benturan lengan lawan maka di saat 

tubuhnya menjadi kaku itu, mimik parasnya sungguh tak sedap untuk dipandang! 

Si pemuda cabut serutu dari sela bibirnya don meniupkan asap serutu itu ke muka 

Seta Boga. “Sayang sekali,” katanya. “Jurus kitiran dan alu sabung menyabungmu terpaksa 

bertekuk lutut di bawah jurus membuka jendela memanah rembulan-ku…”. 

Ditiupkannya lagi asap serutu ke muka Seta Boga. Totokan pada urat besar di bawah 

dagu Seta Boga tetah melumpuhkan tubuhnya, membuat mulutnya menjadi gagu dan, 

perasaannya menjadi tumpul. Cuma telinganya saja saat itu yang masih sanggup mendengar. 

Maka berkatalah si pemuda. “Dengar Seta Boga… besok Ki Lurah Kundrawana dan 

penduduk Bojongnipah akan datang ke sini. Kalau nasibmu baik kau akan mereka seret ke 

hadapan Raja di Kotaraja. Tapi kalau nasibmu buruk, mereka akan mengeremusmu beramai-

ramai! Dan sebelum aku pergi, terima hadiah kenang-kenangan ini dariku....”. 

Si pemuda acungkan jari telunjuk tangan kanannya. Dengan mempergunakan ujung 

jari itu diguratnya tiga buah angka di kening Seta Boga, 212 ...! 

Ketika pada keesokan harinya Ki Lurah Kundrawana dan dua lusin penduduk 

Bojongnipah bersenjata lengkap datang ke gedung Kadipaten di Linggarjati, mereka heran 

menemui gedung itu dalam keadaan kosong. Tak satu manusiapun ada di dalamnya. 

“Pasti Adipati keparat itu sudah melarikan diri!,” Kata Kundrawana geram. 

Tiba-tiba terdengar seseorang berteriak dari belakang gedung. Ketika Kundrawana 

dan yang lain-lainnya pergi ke belakang gedung mereka hampir tak percaya dengan 

penglihatan mereka. Lima orang kelihatan berdiri tak bergerak-gerak di kandang kuda. Disebelah muka adalah Adipati Seta Boga dan istrinya. Di kiri kanan mereka pengawal-

pengawal Kadipaten dan di sebelah belakang perempuan yang menjadi pembantu rumah 

tangga! Ketika diperiksa kelimanya masih dalam keadaan bernafas dan ditotok urat darah 

mereka. 

Ki l:urah Kundrawana memandang pada angka 212 yang tertera di kening Adipati 

Seta Boga. “Dua satu dua . . . . ,” desisnya. Dia hanya goleng-goleng kepala lalu 

memerintah: “Perempuan-perempuan dan pelayan lepaskan totokannya. SetaBoga kita seret 

ke Kotaraja!” 

* * * 

Pendekar kapak maut naga geni 212 Wiro Sableng melangkah pelahan menuju ke 

tepi sungai. Di tempat yang agak kelindungan dia membuka pakaian dan mandi 

membersihkan diri Sambil mandi itu kadang-kadang dia tertawa sendiri bila mengingat 

kejadian malam tadi di Kadipaten Linggarjati. Mungkin pagi itu Kundrawana sudah sampai 

di Linggajati, mungkin masih dalam perjalanan. Satu manusia jahat, satu kejahatan telah 

berakhir. Tapi pendekar 212 tahu bahwa selama dunia terbentang, selama itu pula kejahatan 

tak pernah akan berakhir ! 

Selesai mandi badannya terasa segar. Matahari sudah mulai tinggi. Suara siulan ke 

luar dari sela bibirnya sedang pikirannya mengingat-ingat pertempurannya dengan Tapak 

Luwing dan laki-laki yang telah melarikan Tapak Luwing serta menantangnya itu. 

Tantangan ini mengingatkannya pada pertempurannya di Gua Sanggreng dengan 

Bergola Wungu tempo hari. Kali ini untuk kedua kalinya dia ditantang. Siapa pula gerangan 

kali ini yang menantangnya ? 

“Hidup ini memang penuh tantangan? Tantangan yang timbul dari diri kita sendiri 

dan dari diri manusia-manusia lain… Sungguh gila kehidupan ini! Tapi kegilaan inilah yang 

mendatangkan kenikmatan…”. Maka siulan pendekar 212 itu semakin meninggi dan 

melengking membawakan lagu tak menentu. 

Tentang diri manusia yang telah melarikan Tapak Luwing itu hanya dua hal yang 

diketahui oleh Wiro Sableng. Pertama, dalam kegelapan malam dia melihat bahwa manusia 

itu buntung tangan kanannya. Kedua, ketika dia melancarkan pukulan kunyuk melempar 

buah dengan mempergunakan sepertiga bagian dari tenaga dalamnya, manusia bertangan 

buntung itu telah menyambuti pukulan tersebut dengan selarik sinar biru! Dan pukulankunyuk melempar buah telah terbendung oleh selarik sinar biru itu! Ini membawa pertanda 

bahwa si tangan buntung itu siapapun adanya pastilah memiliki ilmu yang tinggi. Pendekar 

212 menduga manusia ini mungkin sekali guru atau kakak seperguruan Tapak Luwing. 

Dikenakannya pakaiannya kembali dan diteruskannya perjalanannya. 

Rawasumpang satu daerah tandus penuh rawa-rawa maut yang menghisap setiap 

benda apa saja yang masuk ke dalamnya. Daerah ini terletak empat kilo di sebelah timur 

Linggajati. Kesinilah Wiro Sableng menuju. 

Angin dari utara bertiup kencang membuat pakaian dan rambutnya yang gondrong 

berkibar-kibar. Dia memandang ke bawah. Pedataran luas penuh rawa-rawa maut itu sunyi 

sepi. Tak satu manusiapun yang dilihatnya. Wiro memandang ke langit. Matahari tengah 

bergerak dalam gerakan yang tidak kelihatan menuju ke titik tertingginya. 

Tiba-tiba dari arah timur terdengar suara bergelak yang santar sekali! Pendekar kita 

berpaling ke arah itu. Sesosok tubuh laksana anak panah berlari kencang sekali di pedataran 

luas di sela-sela tebaran rawa-rawa. Begitu suara gelaknya hilang maka tubuhnya sudah 

berada di bawah bukit di mana pendekar 212 berada. Bukit itu tidak berapa tinggi dan dalam 

jarak sejauh itu Wiro Sableng segera dapat mengenali siapa adanya manusia yang bertangan 

buntung itu. 

“Kalau dia yang menjadi penantangku malam tadi, pastilah dia telah memiliki ilmu 

yang tinggi dan sangat diandalkan…,” kata Wiro Sableng dalam hati. “Tapi...,” ujarnya lagi, 

“bagaimana mungkin dalam tempo beberapa bulan saja kepandaiannya sudah seluar biasa 

ini...?”. 

“Manusia yang merasa bernama Wiro Sableng, merasa bergelar Pendekar Kapak 

Maut Naga Geni 212, turunlah! Atau aku yang musti naik ke atas bukit itu?!”. Terdengar 

suara laki-laki di bawah bukit. 

Pendekar kita keluarkan suara bersiul. 

“Tikus buduk cacingan kalau sudah jadi kucing dapur memang berabe!,” katanya. 

“Ada kabar apa kau mengundang aku ke sini kucing dapur...?”. 

Paras Kalingundil kelam membesi. Dengan suara keras dia menyahuti: “Tadinya aku 

kira kau tak punya nyali untuk datang ke sini pendekar edan! Hitungan kita tempo hari 

masih belum selesai…” 

“Oho, jadi untuk maksud itukah kau kehendaki pertemuan ini? Bagus sekali 

Kalingundil. Memang urusan yang belum selesai harus diselesaikan. Benang kusut harus 

diurai baik-baik kembali!”.“Tepat sekali,” jawab Kalingundil. “Cuma satu hal pendekar gila. Kalingundil yang 

dulu tidak sama dengan yang kau lihat hari ini!”. 

Wiro Sableng tertawa bergelak. “Tentu saja. Tadipun aku sudah bilang bahwa dari 

tikus buduk cacingan kau sudah berubah menjadi kucing dapur. Tapi kau tak banyak 

berbeda Kalingundil! Tanganmu yang dulu buntung sekarang masih tetap buntung! 

Seharusnya kau cari tukang kayu yang pandai untuk membuat tangan palsu…!”. 

Mendidih darah di kepala Kalingundil. Tangan kirinya bergerak, memukul ke atas. 

Setiup angin biru deras menyambar ke arah Wiro Sableng. Pendekar itu lompat ke samping 

dengan sebat dan menyaksikan bagaimana tanah bukit tempatnya berdiri tadi terpupus 

berhamburan laksana longsor dihantam angin pukulan Kalingundil! Diam-diam Wiro 

Sableng menjadi kagum juga terhadap lawannya itu. Kepada siapakah Kalingundil telah 

menuntut ilmu selama beberapa bulan ini? 

“Pendekar gila, jangan petatang peteteng juga! Turunlah ke pedataran rawa-rawa 

ini!,” teriak Kalingundil. “Turun untuk terima kematianmu!”. 

“Setiap undangan baik dan buruk pantang kuelakkan, Kalingundil,” sahut Wiro 

Sableng. Laksana seekor burung garuda dia melompat ke bawah. 

Dalam keadaan tubuh melayang di udara itu, Kalingundil kirimkan tiga pukulan 

tangan kosong sekaligus, beruntun hebat sekali. Pendekar 212 sambut pukulan ini dengan 

pukulan “benteng topan melanda samudera”! 

Maka beradulah pukulan-pukulan dahsyat yang mengandung tenaga dalam yang 

tinggi itu sehingga menimbulkan suara meletus hebat. Untuk sesaat pendekar 212 merasakan 

tubuhnya yang melayang di udara laksana tertahan oleh sebuah dinding yang tak kelihatan 

sedang di bawah sana Kalingundil melesak kedua kakinya sampai dua dim ke dalam tanah! 

Sungguh pendekar 212 tidak menyangka kehebatan tenaga dalam Kalingundil 

berlipat ganda banyak sekali dari beberapa bulan yang lalu! Di lain pihak Kalingundil 

sendiri mengeluh dalam hati. Waktu melancarkan tiga pukulan beruntun tadi dia telah 

mengerahkan tiga perempat bagian tenaga dalamnya: Meski dia telah memiliki ilmu silat, 

yang aneh dan tinggi mutunya namun nyatanya lawan itu masih lebih tangguh! 

Kalingundil kertakkan geraham. 

“Pemuda gila, terima pukulan jotos siluman biru ini!,” bentak Kalingundil. Tangan 

kanannya dipukulkan ke muka. Sinar biru berkiblat menyambar ke arah pendekar 212 yang 

saat itu baru saja injakkan kaki kanannya di tanah dekat tepian rawa!Pendekar kita lompat setinggi empat tombak dan dari atas ganti mengirimkan 

pukulan balasan yang tak kalah hebatnya. 

Pukulan angin menimbulkan suara seperti ratusan seruling yang ditiup secara 

bersamaan. Debu berputar-putar ke udara, lumpur rawa-rawa seperti mendidih. Kalingundil 

kerahkan tenaga dalamnya ke kaki untuk mempertahankan diri. Tubuhnya bergetar dilanda angin 

pukulan lawan namun sepasang kakinya laksana baja tetap bertahan ditempatnya. Penasaran sekali, 

dengan membentak. Pendekar 212 lipat gandakan tenaga dalamnya dalam pukulan itu! 

Kini Kalingundil tak dapat lagi bertahan dengan segala kehebatan yang dimilikinya itu. Kedua 

kakinya laksana akar pohon berserabutan dari dalam tanah, terlepas dari pertahanannya. Tubuhnya 

terhuyung keras ke belakang ke arah rawa-rawa maut. Dihantamkannya tangannya ke muka untuk 

membendung angjn pukulan lawan dan serentak dengan itu dia jungkir balik di udara melompati 

sebuah rawa kecil dan berdiri di bagian lain dari pedataran! Dengan demikian kedua manusia itu 

berhadapan satu sama lain. terpisah oleh sebuah rawa-rawa! 

Laki-laki bertangan buntung itu tertawa dingin. Tangan kirinya bergerak ke balik pakaian.. 

Sesaat kemudian di tangan kiri itu tergenggam sebuah pedang buntung yang berwarna biru. Meskipun 

buntung, melihat kepada kilauan sinar biru dari senjata itu Wiro Sableng maklum bahwa pedang di 

tangan lawannya adalah sebuah pedang mustika. 

“Kau lihat pedang ini, pemuda edan?!” bentak Kalingundil. “Nyawamu ada diujung senjata 

ini!”. Pendekar 212 tertawa mengekeh. 

“Orang dan. senjatanya sama saja! Sama-saama buntung!” mengejek murid Eyang Sinto 

Gendang itu, 

Merah padam muka Kalingundil. 

“Mengejek memang mudah. Tapi ketahuilah, membunuhmu dengan senjata ini jauh lebih 

mudah lagi!,” kata Kalingundil pula. “Buka matamu lebar-lebar orang gila dan lihat ini!”. 

Kalingundil menyapukan pedang buntungnya ke arah rawa-rawa di hadapannya. Lumpur rawa 

itu muncrat ke atas sampai tujuh tombak. Sebagian besar menyibak laksana terbelah sehingga dasar 

rawa yang hitam legam terlihat jelas beberapa detik lamanya ! 

“Senjata hebat,” ujar Wiro Sableng dalam hati. “Dalam keadaan buntung demikian luar 

biasanya. Apalagi kalau dalarn keadaan. Sempurna. Bagaimana ini kucing dapur dapatkan senjata 

itu...?” 

“Kau sudah lihat pendekar gila?!,” terdengar bentakan Kalingundil. 

“Senjatamu boleh juga, Kalingundil. Tapi dari pada dipakai buat kejahatan lebih baik ditempa 

untuk membikin sambungan tangan palsumu!”.

Marahlah Kalingundil. Disapukannya senjata itu ke arah pendekar 212. Maka berkiblatlah 

sinar biru yang menyilaukan! 

Pendekar 212 tidak bodoh. Dengan cepat dialirkannya tenaga dalamnya ke kedua telapak 

tangan. Dia melompat ke udara. 

“Ciat!” 

Didahului oleh bentakan yang menggeledek itu maka Wiro Sableng lepaskan pukulan dinding 

angin berhembus tindih menindih. Begitu pukulan ini melesat memapasi serangan lawan maka Wiro 

susul dengan pukulan kunyuk melempar buah yang perbawanya disertai aliran tenaga dalam sampai 

setengah bagian dari yang dimilikinya! 

Pukukan yang pertama membuat serangan Kalingundil tertahan laksana menumbuk dinding 

karang yang atos. Pukulan yang kedua bukan saja membuat buyar sinar biru dari pukulan Kalingundil, 

tapi sekaligus melabrak pukulan tersebut sehingga kini Kalingundil yang berada dalam keadaan 

diserang! Ini memaksa Kalingundil menyingkir dua tombak ke samping. Kemudian tanpa membuang 

waktu lebih lama laki-laki ini menerjang ke muka. Pedangnya membabat deras, sinar biru yang 

menghamburkan hawa dingin serta tajam menyambar ke arah pendekar 212! 

Wiro Sableng membentak nyaring! Suara bentakannya ini membuat gendang-gendang telinga 

Kalingundil tergetar. Pedangnya melabrak ke arah perut lawan tapi dalam kejapan itu pula lawannya 

berkelabat dan lenyap dari pemandangan! Penasaran sekali Kalingundil putar pedang buntungnya 

demikian rupa. Maka sinar birupun bergulung-gulung mengurung Wiro Sableng!. 

Sebagaimana kebiasaan pendekar 212, dalam setiap pertempuran yang mulai menghebat maka 

disaat itu pula mulai terdengar suara siulannya melengking-lengking membawakan lagu tak menentu! 

Tubuhnya hanya merupakan bayang-bayang kini. Karena sukar untuk menentukan mana tubuh yang 

sebenarnya dan mana yang hanya baying-bayang, maka hampir keseluruhan serangan-serangan 

Kalingundil menghantam tempat kosong. Namun demikian memang permainan silat siluman yang 

didapat Kalingundil di Gua Siluman tempo hari meskipun cuma sepertiganya saja yang dikuasainya, 

benar-benar patut dikagumi. 

Pendekar 212 tahu bahwa lawannya sampai dua puluh jurus dimukapun tak akan dapat 

mendesaknya, apalagi melukainya. Tapi di samping itu, pihaknya sendiri sukar pula melakukan 

serangan balasan karena setiap serangan yang dilancarkan Kalingundil merupakan jurus pertahanan! 

Demikianlah kehebatan ilmu silat siluman yang dimiliki oleh manusia bertangan buntung itu! 

Tapi adalah percuma saja Wiro Sableng menjadi murid dan digembleng selama tujuh belas 

tahun oleh nenek-nenek sakti Eyang Sinto Gendeng kalau dia tak bisa menghadapi lawan begitu rupa 

satu lawan satu!

Maka Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 segera robah permainan silatnya. Jurus-jurus 

yang tak terduga dari Kalingundil dihadapinya dengan jurus-jurus tak teratur yang gerabak gerubuk 

kian kemari. Kedua tangannya terkembang di kedua sisi laksana sayap burung garuda sedang dari 

mulutnya senantiasa terdengar suara siulan melengking yang menyamaki liang telinga Kalingundil! 

Saat itu kedua orang ini sudah bertempur sampai tiga puluh jurus! Sungguh hebat! Tiga puluh 

jurus seperti tidak terasa! Dan kini kentara sekali bagaimana Kalingundil terdesak hebat. 

Bagaimanapun Kalingundil mempercepat jurus-jurus permainan silatnya, bagaimanapun dia 

merobah gerakan-gerakannya dan mengamuk laksana banteng terluka, namun tetap saja dia berada 

dibawah angin, malahan kini terdesak ke arah rawa-rawa maut! 

“Ha... ha.... rupanya jalan ke nerakamu harus melaluirawa-rawa maut ini, Kalingundil!”. 

“Budak hina dina jangan ngaco! Sambut bintang silumanku ini!”. 

Sambil melompat jauh, dengan masih memegang pedang buntung, Kalingundil gunakan 

tangan kirinya untuk mengirimkan selusin benda berbentuk bintang yang berwarna biru ke 

arah lawannya. 

“Akh... mainan anak-anak ini kenapa musti dipertontonkan?!” ejek pendekar 212. 

Tangan kanannya diputar ke udara. Serangkum angin puyuh menggebubu dan bintang-

bintang siluman itupun berhamburanlah kian ke mari tiada mengenai sasarannya. 

Pada detik Wiro Sableng gunakan tangannya untuk menyambuti senjata rahasia 

lawan maka kesempatan ini dipergunakan oleh Kalingundil untuk melompat ke seberang 

rawa-rawa kecil. 

“Kucing dapur! Kau mau lari ke mana....?!” teriak Wiro Sableng. 

Sebagai jawaban Kalingundil lemparkan segulung benda putih ke arah pendekar 212. 

Mulanya Wiro menyangka benda itu sebuah senjata rahasia, tapi ketika diketahuinya hanya 

secarik kertas putih yang digulung maka segera ditangkapnya dan di saat itu pula 

Kalingundil pergunakan kesempatan sekali lagi untuk melompat jauh lalu dengan ilmu 

larinya yang lihay ditinggalkannya tempat itu. 

Wiro tidak punya maksud untuk mengejar laki-laki bertangan buntung itu. Dengan 

penuh tanda tanya dibukanya gulungan kertas di tangannya. Ternyata selembar surat yang 

ditujukan oleh Kalingundil kepadanya. 

Cacat di tubuhku tak akan terlupa seumur hidup. Kematian 

kawan-kawanku dan kematian Mahesa Birawa tak akan 

terlupa selama hayat. Semua itu kau yang menjadi biang 

sebab.Hari pembalasan akan tiba! Berani berbuat berani tanggung 

jawab! 

Hari tiga belas bulan dua belas kutunggu kau di puncak 

Gunung Tangkuban Perahu. Kalau kau tak punya nyali 

untuk datang lebih baik bunuh diri sekarang juga! 

Pendekar 212 penasaran sekali. Diremasnya surat itu. “Sialan betul kucing dapur 

itu!,” gerendang Wiro Sableng. Dia lari ke bukit. Namun bayangan Kalingundil sudah tak 

kelihatan lagi. 

Tantangan yang dibuat Kalingundil di Rawasumpang itu hanyalah sekedar untuk 

menjajaki sampai di mana kehebatan ilmu silat silumannya bisa menghadapi musuh 

besarnya itu. Nyatanya Wiro Sableng masih tetap jauh lebih digjaya dari dia. Namun dia 

tidak kecewa. Pada hari yang telah direncanakannya itu, kelak dendam kesumatnya akan 

kesampaian. Dan sekaligus di Rawasumpang itu dia te!ah menyampaikan surat undangan 

kematian bagi musuh besamya itu. Dia yakin pendekar 212 akan datang ke puncak Gunung 

Tangkuban Perahu! 

-- == 0O0 == -- 

SEMBILAN 

PUNCAK Gunung Halimun…. 

Puncak gunung ini kelihatan diselimuti awan putih. Bila angin barat bertiup maka beraraklah 

awan itu kejurusan timur dan Puncak Gunang Halimun kembali kelihatan dengan jelas dan megah. 

Selewatnya tengahari, sesosok tubuh berlari laksana angin, menuju ke puncak gunung. 

Semakin ke puncak udara semakin sejuk serta segar. Laki-laki itu mempercepat larinya seakan-akan 

tak sabar untuk lekas-lekas sampai ke tempat yang ditujunya. Maka lewat sepeminuman teh 

sarnpailah dia ke puncak tertinggi dari gunung itu. 

Dia memandang berkeliling. Kernana mata memandang hanya bebatuan saja yang 

kelihatan. Mulai dari kerikil-kerikil kecil sampai kepada unggukan-unggukan batu besar sebesar-

besar rumah! Di kaki-kaki batu-batu besar yang rata-rata licin berlumut itu tumbuh rumput-rumput 

liar. Laki-laki itu bertangan bunting. Dia tak lain adalah Kalingundil. Mengapa dia berada di puncak 

gunung ini ialah dalam meneruskan rencana besarnya yaitu membalaskan dendam kesumat terhadap 

pendekar 212 Wiro Sableng.Kalingundil dengan gerakan yang enteng melompat ke salah satu batu besar. Seseorang yang 

tidak memiliki ilmu meringani tubuh yang ampuh pasti tak akan sanggup mernbuat lompatan lihay 

itu, kalaupun dapat mungkin begitu menginjak batu, kakinya akan terpeleset karena lincinnya lumut! 

Kalingundil memandang keseantero puncak gunung yang telah mati itu. Di antara unggukan-

unggukan batu-batu rnaka di tengah-tengah kelihatanlah kawah yang besar yang sudah padam. 

Kawah ini berbentuk kerucut dan dalarn sekali. Kalingundil melompat lagi ke batu besar 

yang lebih tinggi. Sekali lagi dilayangkannya pandangannya ke seantero puncak gunung. Bila dia 

sudah yakin betul bahwa tempat kediaman orang yang hendak ditemuinya itu bukalah di permukaan 

puncak gunung maka segeralah dia melompat ke tepi kawah. Dari sini dia terus turun ke dalam 

kawah. 

Selain dalam, kawah Gunung Halimun sukar sekali untuk dituruni. Tapi Kalingundil dengan 

cekatannya lompat sana lompat sini sehingga dalam waktu yang singkat dia sudah berada di 

dasar kawah. 

Udara di dalam dasar kawah gunung ini pengap dan menyesakkan pernafasan. Karenanya 

Kalingundil segera atur jalan nafasnya. Begitu dirinya dapat menguasai kepengapan, itu maka dia 

segera meneliti keadaan dasar kawah di mana dia berada. Luas dasar kawah yang merupakan pusat 

kerucut itu hanya beberapa kali lebih besar dari sebuah sumur. Seluruh dasar kawah merupakan pasir 

campur tanah yang sudah membeku den mengerasselama berabad-abad sesudah gunung itu meletus. 

Putaran bola mata Kalingundil terhenti pada sebuah lobang yang besarnya selebar bahu manusia. 

Laki-laki ini segera mendekati lobang itu. Menelitinya sesaat lalu tanpa ragu-ragu segera 

memasukinya. Mula-mula dia hanya bisa merangkak. Tapi semakin ke dalam lobang itu semakin 

besar sehingga dari merangkak kini dia dapat membungkuk-bungkuk dan akhirnya berjalan seperti 

biasa. 

Kalingundil sampai ke sebuah ruang empat persegi berdindingkan batu-batu hitam yang kasar. 

Dari keempat sudut ruangan ini keluar empat liukan asap tipis yang berwarna hitam. Begitu, 

hidungnya mencium bau yang disebar oleh asap ini mendadak sontak kepala Kalingundil menjadi 

pusing. Cepat-cepat Kalingundil kerahkan tenaga dalam dan tutup jalan nafasnya. 

Kalingundil tahu bahwa ruangan batu itu bukanlah ruangan buntu. Tapi matanya tiada melihat 

adanya pintu atau sebuah celahpun. Laki-laki ini menengadah ke atas. Maka kelihatanlah di langit-

langit ruangan sebuah liang tangga batu. Dia memandang berkeliling lalu enjot kedua kaki dan 

melompat ke tepi liang, terus menaiki tangga batu. Anehnya, bagaimanapun tingginya ilmu 

mengentengi tubuh yang dimilikinya namun setiap iangkah yang dibuatnya di tangga batu itu berbunyi 

dan bergema keras!Begitu sampai di anak tangga yang teratas maka sampailah Kalingundil ke satu ruangan putih 

yang sangat bersih. Demikian bersih dan berkilatan putihnya dinding-dinding serta lantai dan langit-

langit ruangan itu, sehingga tak ubahnya seperti berada disatu ruangan kaca. 

Tepat di tengah-tengah ruangan terdapat sebuah batu besar dan di atas batu besar ini sesosok 

tubuh laksana patung tengah bersemedi jungkir balik, kaki ke atas kepala ke bawah di atas batu. Sosok 

tubuh ini mengenakan sehelai kain putih yang dibalutkart sekujur badan mulai dari betis sampai ke 

dada. Kepala dan paras orang yang bersemedi tiada kelihatan karena tertutup oleh janggut putih yang 

panjang, hampir menyamai panjangnya rambut yang menjulai di lantai dan juga berwarna putih! 

Sungguh hebat cara manusia ini bersemedi! 

Namun pandangan Kalingundil segera terbagi pada seekor harimau besar belang tiga yang 

berbaring di samping laki-laki yang tengah bersemedi. Begitu melihat kemunculan Kalingundil, 

makhluk ini berdiri dan menggereng. Mututnya membuka lebar. Gigi dan taringnya kelihatan besar-

besar serta runcing mengerikan. Didahului dengan auman yang dahsyat dan menggetarkan ruangan 

putih itu maka melompatlah binatang itu. Kedua kaki terpentang ke muka, kuku-kuku yang tajam dan 

panjang siap merobek tubuh Kalingundil! 

Kalingundil yang maklum bahwa harimau itu bukan binatang biasa tapi peliharaan seorang 

sakti dengan cepat segera melompat ke samping hindarkan diri. Namun meskipun demikian 

cepatnya, sang harimau lebih cepat lagi! Laksana seorang jago silat kawakan, masih melayang di udara 

binatang itu putar tubuh, ekornya berkelebat! 

Ekor yang panjang laksana cambuk itu menghantam bahu Kalingundil yang buntung. 

Pakaiannya robek. Bahunya sakit tiada terkirakan. Kalingundil kerahkan tenaga dalam dan disaat itu 

terpaksa segera melompat pula ke samping karena si belang sudah menyerangnya kembali! 

Hanya dengan berkelabat-kelabat cepat dan sigaplah maka Kalingundil berhasil mengelakkan 

setiap serangan. Dia menghitung-hitung, sampai saat itu telah dua puluh jurus dia bertempur 

menghadapi sang harimau. Dan selama itu Kalingundil terus-terusan bersikap mengelak, sama sekali 

tak mau menyerang! Kalau dia mengelak terus, di satu ketika mungkin sekali harirmau itu berhasil 

juga mengoyak daging tubuhnya! Kalau dia melawan, sedangkan binatang itu adalah peliharaan orang 

sakti dengan siapa dia ingin bertemu dan bicara! Inilah yang menyulitkan Kalingundil! Dan sementara 

dia bertempur demikian rupa, orang yang bersemedi masih juga terus bersemedi, seperti tiada 

terganggu, seperti tak mengetahui adanya pertempuran yang dahsyat itu! 

Satu-satunya jalan bagi Kalingundil untuk tidak mendapat celaka dan tidak mencelakai ialah 

meninggalkan ruangan putih itu, menghindar keluar untuk sementara, menunggu sampai orang yang 

bersemedi menyelesaikan semedinya.Maka ketika harimau itu mengaum dan menyerang, Kalingundil jatuhkan diri ke lantai lalu 

bergulingan ke arah tangga. Pada saat harimau itu hendak menubruknya sekali lagi. Kalingundil sudah 

lenyap ke bawah tangga… 

Telah tiga hari Kalingundil menunggu di dasar kawah itu. Telah tiga kali pula dia masuk ke 

dalam ruang putih dan mengintai dari balik anak tangga teratas, namun sampai saat itu orang yang 

bersemedi masih juga belum meninggalkan batu persemediannya. 

Menunggu sampai satu minggupun bagi Kalingundil bukan suatu apa, tapi yang 

menyusahkannya ialah untuk mendapatkan bahan makanan selama hari-hari penungguan itu. 

Empat hari kemudian, pada kali yang ke tujuh Kalingundil mengintai dari balik anak tangga, 

orang itu dilihatnya masih juga bersemedi. Dengan hati kesal Kalingundil menuruni tangga kembali. 

Tapi begitu dia keluar dari liang tangga dan sampai di ruang bawah maka mendadak terdengar suara 

menggema dariruang putih. 

“Manusia yang berani-beranian menginjakkan kaki kotor di tempatku cepat datang 

menghadap untuk terima hukuman!”. 

Terkesiap Kalingundil mendengar ini. 

“Ayo cepat! Tunggu apa lagi?!,” kata suara dariruang putih. 

Kalingundil memutar langkahnya kembali. Dalam melangkah kembali ke liang tangga, 

terdengar lagi suara tadi. 

“Hemm… seorang bertangan buntung macammu sungguh tak pantas masuk ke tempatku! 

Hukumanmu lipat ganda hai manusia!”. 

Tentu saja Kalingundil terkejut mendengar ini. Bagaimana orang di dalam ruangan putih itu 

bisa mengetahui bahwa tubuhnya cacat? Meski dia sakti luar biasa tapi mereka belum pernah bertemu 

muka dan tak mungkin menurut pikiran Kalingundil orang itu mengetahui hal keadaan dirinya! 

Kalingundil lupa bahwa dinding dan langit-langit ruangan putih di atas sana tak ubahnya seperti kaca 

sehingga orang yang ada diruangan putih akan mudah melihat siapa saja yang ada diruang bawah! 

Kalingundil melompat ke atas dengan gerakan enteng lalu menaiki tangga. Ketika dia muncul 

diruangan putih anehnya harimau yang berbaring tidak lagi menyerangnya. Sedang manusia 

berselempang kain putih masih tetap berdiri dengan kepala di atas batu kaki ke atas! Seperti hari-hari 

sebelumnya parasnya masih tertutup oleh julaian janggut putihnya yang panjang menjela-jela. 

Meski. harimau belang tiga itu tidak rnenyerangnya, namun Kalingundil berdiri dengan 

waspada. “Kau siapa?!” membentak si kepala ke bawah kaki ke atas. 

“Namaku Kalingundil. Apakah saat ini aku berhadapan dengan Begawan 

Sitaraga?,” tanyaKalingundil setelah terangkan dia punya nama.Yang ditanya tak menjawab melainkan ajukan pertanyaan: “Perlu apa kau datang 

mengotori tempatku ini, manusia tangan buntung?!”. 

“Harap dimaafkan kalau kedatanganku rnengotori tempatmu. Tapi sesungguhnya 

aku tiada maksud demikian,” kata Kalingundil pula. “Aku...” 

“Sudah! Jangan berbacot juga! Melangkahlah lebih dekat untuk terima 

hukumanmu!”. 

Sebaliknya justru Kalingundil hentikan langkah. Diperhatikannya manusia yang 

berdiri jungkir balik di atas batu itu. 

“Melangkah lebih dekat!” bentak orang itu. Suaranya menggaung di ruangan putih 

sedang harimau di sampingnya menggeram tak kalah hebat. “Begawan…”. 

Kalingundil putuskan kalimatnya. Kaki kiri manusia dihadapannya dilihatnya 

bergerak. Serangkum angin yang sangat deras melanda ke arah Kalingundil. Ruangan itu 

bergetar. Dengan jungkir balik secepat yang bisa dilakukannya Kalingundil berhasil 

elakkan serangan dahsyat itu! 

Terdengar suara gelak mengekeh. “Pantas... pantas kau berani petatang peteteng 

datang ke sini untuk bikin kotor tempatku. Rupanya kau memiliki ilmu yang diandalkan 

juga! Aku mau lihat apakah kau juga sanggup mempertahankan diri dengan jurus kaki 

selaksa baja ini?!”. 

Kepala yang di atas batu itu berputar. Kedua kaki bergerak. Tahu kalau dirinya 

hendak diserang lagi dengan tendangan jarak jauh yang lebih dahsyat dari tadi, 

Kalingundil cepat mendahului berseru. 

“Begawan! Tahan! Aku datang membawa kabar untukmu!”. 

Oleh ucapan yang lantang ini maka orang.

itu hentikan maksudnya untuk kirimkan 

serangan: “Aku tidak kenal padamu! Kabar apa yang kau bawa?! Cepat katakan!” 

hardiknya. Dia masih juga berdiri, dengan kepala ke bawah kaki ke atas seperti tadi. 

“Kabar ini kabar buruk Begawan…” 

“Sialan! Buruk atau baik cepat katakan! Jangan habiskan, kesabaranku monyet 

alas!” 

Kalingundil pada dasarnya sangat tidak senang mendengar kata-kata makian seperti 

itu. Namun dia menjawab juga. “Sobat kentalmu Mahesa Birawa menemui kematiannya di 

tangan seorang manusia keparat…” 

Tubuh di atas batu kelihatan bergerak dan tahu-tahu manusia itu kini sudah tegak 

dengan kedua kakinya di atas batu. Maka kini kelihatannya parasnya yang sejak tadi

tertutup oleh geraian janggut putih panjang. Kulit mukanya sangat pucat seperti tiada 

berdarah. Pipinya cekung dan rongga matanya lebih cekung lagi membuat wajahnya 

angker sekali untuk dipandang. Rambutnya putih panjang sampai ke bahu sedang 

janggutnya menjulai sampai ke perut. 

Kalingundil menjura memberi hormat. “Jadi betul saat ini aku berhadapan dengan 

Begawan Sitaraga..?” tanyanya. 

Si muka pucat. tidak ambil perduli pertanyaan itu. 

“Siapa yang bunuh dia dan dari mana kau bisa tahu?!” 

Kalingundil segera buka mulut berikan keterangan. “Mahesa Birawa dan beberapa 

orang Adipati memimpin sejumlah batatentara untuk memerangi Pajajaran. Tapi mereka kalah. 

Semua Adipati menemui ajalnya. Mahesa Birawa sendiri tewas di tangan seorang pemuda sakti “ 

Maka kelihatanlah kerutan-kerutan muncul di paras Begawan Sitaraga yang membuat 

parasnya menjadi tambah angker. Kedua matanya menyipit, pandangannya setajam mata pedang! 

Rencana untuk memerangi Pajajaran memang dia sudah tahu lama bahkan sebagaimana 

perundingannya dengan Mahesa Birawa, dia sendiri telah menjanjikan akan turun tangan membantu 

pemberontakan Mahesa Birawa karena memang sejak lama dia mempunyai dendam kesumat dengan 

keluarga istana Pajajaran! Di puncak Gunung Halimun dia hanya menunggu kabar dari Mahesa 

Birawa kapan penyerangan dilakukan. Tapi hari ini datang seseorang yang membawa kabar bahwa 

pemberontakan gagal dan Mahesa Birawa sendiri menemui kematian! Tehtu saja ini tak bisa 

dipercayainya. 

“Aku tidak percaya pada kau punya bicara, manusia tangan buntung!” bentak Begawan 

Sitaraga. 

“Demi apapun aku berani sumpah bahwa aku tidak dusta, Begawan” jawab Kalingundil 

dengan suara merendah meskipun hatinya gusar karena dipanggil dengan nama “manusia tangan 

buntung” itu. 

“Namamu siapa…” 

“Kalingundil”. 

“Punya hubungan apa kau dengan Mahesa B irawa?”. 

“Dia adalah pemimpin dan sobat kentalku sejak tahunan, Begawan…” 

“Baik! Tapi aku tidak tahu apa itu betul atau tidak. Jawab pertanyaanku untuk membuktikan 

kebenaran keteranganmu! Siapa nama Mahesa Birawa sebenarnya…?”. 

Kalingundil tertawa. “Kau keliwat tidak percaya pada pihak sendiri, Begawan…”. 

“Siapa akui kau pihakku...? Tampangmu yang jelek inipun baru kali ini aku lihat!”.Kalingundil menggerutu dalam hati. 

“Ayo jawab pertanyaanku! Siapa nama asli Mahesa Birawa?!”. 

“Suranyali!” jawab Kalingundil. 

“Hem…” Sitaraga merenung, “Mahesa Birawa seorang berkepandaian tinggi. Tidak semudah 

itu untuk merenggut nyawanya…” 

“Di luar langit ada langit lagi Begawan! Kesaktian pemuda tandingannya melebihi kesaktian-

nya…”. 

Begawan Sitaraga kerutkan kening. 

Dan Kalingundil teruskan ucapannya. “Aku sendiri pernah menghadapinya. Masih untung 

cuma tanganku yang dimintanya, bukan nyawaku!” 

“Ho-o… jadi maksudmu datang ke sini untuk mengadu dan merengek macam anak kecil agar 

aku turun tangan…?”. 

Merah muka Kalingundil. “Itu adalah terserah padamu Begawan. Sebagai sobat dan bekas 

pemimpinku, aku telah cari pemuda yang membunuh Mahesa Birawa. Namun dia lebih tinggi ilmu 

silatnya dan lebih tinggi…”. 

“Siapa nama bangsat itu?!” tanya Sitaraga pula. 

“Wiro Sableng. Tapi dia lebih dikenal dengan julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 

212...” 

Mendengar ini maka terkejutlah Begawan Sitaraga. “Kau bilang dia bergelar Pendekar Kapak 

Maut Naga Geni 212…?”. 

“Ya…” 

“Kalau begitu dia adalah nenek-nenek keriput si Sinto Gendeng!”. 

“Tidak... dia adalah seorang pemuda. Masih sangat muda, bahkan tampangnya macam anak-

anak, berambut gondrong dan berotak miring sinting!” 

Sitaraga merenung lagi. Kemudian desisnya: “Kalau begitu mungkin sekali dia adalah murid 

nenek-nenek itu yang diam di puncak Gunung Gede. Tapi setahuku Sinto Gendeng tidak punya murid 

sejak puluhan tahun berselang…” Sitaraga tarik nafas dalam. “Kalau betul dia murid Sinto Gendeng, 

tidak salah Mahesa Birawa dipecundangi…” Sitaraga memandang jauh ke muka seperti 

pandangannya itu mau menembus dinding putih di belakang Kalingundil. 

Melihat ini maka Kalingundil mulai masukkan jarum hasutannya. “Sewaktu aku bertempur 

dengan dia di Rawasumpang aku beri peringatan bahwa kelak sobat-sobat Mahesa Birawa yang terdiri 

dari tokoh-tokoh silat utama akan turun tangan untuk menuntut balas. Dan Wiro Sableng mengumbarbahwa terhadap siapapun dia tidak takut! Bahkan dia menantang untuk bikin perhitungan di puncak 

Gunung Tangkuban Perahu pada hari tigabelas bulan duabelas nanti!”. 

Mata Begawan Sitaraga menyipit lagi. “Pongah betul,” desisnya. “Rupanya sudah kepingin 

cepat-cepat merasakan gelapnya liang kubur! Sudah cepat-cepat ingin minggat ke neraka!”. 

“Betul Begawan. Bukan saja kepongahannya itu yang menyakitkan hati, tapi tantangannya itu 

adalah juga sangat menghina dan tiada memandang sebelah matapun terhadap tokoh-tokoh silat utama 

macam Begawan....”. 

Sitaraga manggut-manggut. “Manusia-manusia macam begitu musti dilenyapkan dengan 

lekas. Kalau tidak akan menjadi biang runyam golongan dan aliran kita....” 

Hati Kalingundil menjadi gembira karena tahu hasutannya sudah menyamaki dan mengobari 

dendam serta amarah Begawan itu. 

“Tantangan itu...,” kata Kalingundil pula meneruskan hasutannya, “sekaligus menghina 

terhadap guru Mahesa Birawa yang diam di Gunung Lawu... Aku bermaksud untuk menemuinya dan 

meminta langkah-langkah yang segera akan kita laksanakan”. 

“Kalau cuma untuk memecahkan batok kepala pemuda sedeng itu, aku sendiripun 

menyanggupinya!”

“BetulBegawan. Tapi untuk tidak mengecewa kan guru Mahesa Birawa di kemudian hari, ada 

baiknya kematian muridnya itu diberi tahu...'' 

“ltu urusanmu,” jawab Sitaraga. Matanya. memandang tepat-tepat ke pinggang Kalingundil. 

Sesungguhnya sejak tadi matanya itu memperhatikan secara diam-diam ke pinggang Kalingundil. 

“Coba aku mau lihat apa yang kau simpan di balik pinggangmu,” katanya tiba-tiba. 

Kalingundil kaget sekali. Dia melirik ke pinggangnya. Dia telah menyimpan senjatanya baik-

baik namun mata Sitaraga yang tajam masih sanggup mengetahuinya. 

“Ah, tidak apa-apa Begawan. Cuma…” 

“Cuma apa?!” Sitaraga pelototkan mata. 

“Cuma sebilah pedang buruk…” sahut Kalingundil. 

“Keluarkan!” 

“Begawan....” 

“Jangan banyak bicara. Keluarkan!” 

Kalau bukan berhadapan dengan Begawan Sitaraga dan kalau tidak mengingat kepada 

rencana besarnya, maka pastilah saat itu Kalingundil akan beset mulut manusia yang 

dihadapannya itu. Dia memang mengharapkan bantuan Sitaraga tapi kalau dirinya dianggap 

remeh terus menerus dan dihina dimaki serta dibentak, siapa yang bisa sabarkan diri?! .“Kau membangkang Kalingundil?!” 

Penasaran sekali Kalingundil cabut Pedang Siluman buntungnya. Maka sinar birupun 

memancarlah di ruangan putih itu. Begawan Sitaraga terkejut. 

“Pedang Siluman Biru..,” desisnya. Dia di samping terkejut juga heran melihat pedang 

sakti itu kini hanya merupakan sebuah puntungan belaka. “Dari mana kau dapat senjata itu? 

Bagaimana bisa buntung? Apakah kau muridnya Siluman Biru?!” 

Kalingundil menyeringai mendengar pertanyaan-pertanyaan menyerocos itu. “Itu 

semua adalah urusanku Begawan. Yang penting hari ini kita telah berjumpa dan kau telah 

mengetahui nasib Mahesa Birawa. Sampai bertemu di puncak Gunung Tangkuban Perahu!”. 

Kalingundil berkelebat ke arah tangga. 

“Tunggu!” teriak Sitaraga. 

Tapi Kalingundil tak mau ambil perduli. 

Maka marahlah Begawan Sitaraga. “Kalau tidak memikir kau bekas anak buah Mahesa 

Birawa, sudah terlalu pantas aku minta nyawamu, Kalingundil! Tapi saat ini cukup kau 

tinggalkan saja salah satu dari daun telingamu!” 

Sebuah senjata rahasia melesat ke arah telinga kanan Kalingundil. Laki-laki ini segera 

lambaikan tangan kirinya. Tapi celaka senjata rahasia itu tak sanggup dibuat mental dengan 

pukulan tenaga dalam! Terpaksa Kalingundil cabut pedang saktinya kembali. Namun gerakan 

ini tentu saja sudah terlambat! 

Kalingundil mengeluh kesakitan. Darah membasahi pipi dan bahu pakaiannya. Daun 

telinganya sebelah kanan terbabat buntung oleh senjata rahasia Sitaraga! Kalau tidak 

mengingat-ingat akan rencana pembalasan dendamnya, maulah Kalingundil menyerang 

Begawan itu dengan kalap, lebih-lebih ketika didengarnya kekehandak Sitaraga yang menusuk 

liang telinganya! 

Dalam waktu yang singkat Kalingundil sudah berada di luar Kawah Gunung Halimun. 

Dibersihkannya darah yang membasahi pipi kemudian dengan sehelai kain dibalutnya 

kepalanya tepat pada batasan telinga yang buntung. Kemudian diambilnya sebuah pil lalu 

ditelan untuk menolak racun senjata rahasia Sitaraga itu. 

Di dasar kawah Gunung Halimun, tak lama sesudah Kalingundil lenyap, kembali 

Sitaraga merenung. 

Siapa Kalingundil sebenarnya masih agak samar baginya. Tapi itu tidak begitu penting. 

Yang menjadi tanda tanya besar ialah siapa itu pemuda yang bergelar Pendekar Kapak Maut 

Naga Geni 212? Apa betul murid Sinto Gendeng? Kalau Kalingundil telah menghadapinyadengan Pedang Siluman dan berhasil dikalahkan oleh si pemuda, maka sudah dapat dijajaki oleh 

Sitaraga sampai di mana ketinggian ilmu pendekar 212 itu! Ini membuat dia ingin lekas-lekas 

berhadapan dengan sang pendekar muda. Namun dia musti menunggu beberapa bulan di muka sampai 

saat yang ditentukan yaitu hari tigabelas bulan duabelas! 

* * * 

SIAPA penduduk desa bukit tunggul yang tidak tahu dengan Asih Permani. Tanyakan pada 

yang tua-tua, mereka akan tahu, tanyakan pada yang muda-muda mereka akan lebih dari tahu. 

Tanyakan pada anak-anak kecil yang mengangon bebek atau menggembala kerbau, mereka juga akan 

tahu. Jika.ditanyakan bagaimana paras Asih Permani maka semua mulut akan memuji. Semua mulut 

akan mengatakan: Asih Permani gadis yang tercantik se-Bukit Tunggul. Mukanya bujur telur. 

Hidungnya kecil mancung bak daun tunggal. Bibirnya seperti delima merekah, merah dan segar. 

Matanya bening bercahaya laksana bintang di angkasa raya. Dagunya seperti lebah bergantung, leher 

jenjang dan suaranya halus merdu, serasa digelitik liang telinga jika kita mendengar suara Asih 

Permani. Dan keseluruhan tubuhnya yang montok padat itu dibungkus oleh kulit yang halus mulus. 

Asih Permani memang cantik seperti perbandingan di atas. Kawannya sesama gadis di desa 

Bukit Tunggul banyak yang merasa iri dengan kecantikan yang dimiliki gadis itu. Pemuda-pemuda 

banyak yang tergila. Tapisemua mereka bertepuk sebelah tangan. Karena pada bulan di muka, tepat di 

waktu bulan rembulan empat belas hari. Asih Permani akan dinikahkan dengan Ranggasastra, anak 

lurah Bukit Tunggul. Memang di samping kaya raya, banyak harta dan sawah berlimpah kerbau 

berkandang, maka Ranggasastra cocok dan pantas menjadi suami Asih Permani. Pemuda ini gagah. 

Badannya tegap, hatinya polos dan ramah kepada setiap orang. Sehingga kalau bersanding dengan 

Asih Permani di pelaminan nanti tentulah tak ubahnya seperti pinang dibelah dua! 

Semakin lama, semakin dekat juga hari pernikahan itu. Tentu sama dapat dibayangkan 

bagaimana perasaan kedua calon pengantin itu menjelang hari perkawinan mereka. Hari yang 

bersejarah dan tak dilupakan seumur hidup mereka. Hari di mana mereka akan sama-sama membuka 

suatu “rahasia kebahagiaan hidup”. 

Saat itu Ranggasastra tengah duduk-duduk di depan rumahnya memandangi bintang-bintang 

yang bertaburan. Entah mengapa malam itu hatinya gelisah saja. Dan dia tak tahu apa sebenarnya yang 

digelisahkannya itu. Larut matam baru dia dapat tertidur. Tapi menjelang fajar dia tersentak. 

Ranggasastra adalah seorang yang pernah menuntut ilmu silat dan kesaktian pada seorang guru di 

pantai utara. Nalurinya menyatakan bahwa ada seseorang lain di dalam kamarnya saat itu. Dibukanyakedua kelopak matanya. Dia terkejut melihat sesosok tubuh manusia sangat kate berdiri dekat tempat 

tidur. Manusia ini berkepala botak sudah licin berkilat ditimpa kelap-kelip sinar lampu pelita dalam 

kamar. 

Manusia kate ini memiliki hidung yang sangat besar. Hidungnya yang besar itu seperti 

mau menutupi mukanya yang kecil. Ketika dia menyeringai dan mengeluarkan suara 

mendesau, maka kelihatanlah giginya yang cuma satu di sebelah atas. 

Ranggasastra segera melompat dari tempat tidur. 

“Manusia kate! Siapa kau?!” bentak si pemuda. Matanya meneliti manusia 

dihadapannya dengan tajam. Dan meskipun cahaya lampu minyak di dalam kamar tidak begitu 

terang, namun Ranggasastra dapat melihat bahwa manusia kate itu mempunyai telapak kaki 

yang lebar dan besar sekali. Tapak kaki itu sampai sebatas mata kaki sama sekali tidak 

merupakan tapak kaki manusia, tapi seperti kaki seekor gajah! 

“He... he... he…”. Manusia kate berkaki besar tertawa berkemik. “Kau manusianya 

yang bernama Ranggasastra, yang bakal jadi penganten minggu depan...?!”. 

Tentu saja apa yang ditanyakan manusia itu, mengejutkan Ranggasastra. “Itu bukan 

urusanmu! Jawab dulu siapa kau!” 

“He... he... he…”. Tamu tak diundang itu mengekeh lagi. “Maksudmu untuk menjadi 

penganten, untuk menjadi suami Asih Permani tidak akan kesampaian Ranggasastra...!”. 

“Manusia kate, jangan ngaco pagi-pagi buta!,” bentak Ranggasastra dengan marah. 

“Keluar dari kamarku!”. Pemuda itu kepalkan tinjunya. 

“Kau tak akan pernah menjamah tubuh Asih Permani, anak muda. Karena mulai detik 

ini ke atas, dia adalah milikku dan akan kubawa ke mana aku suka, akan kuperbuat apa aku 

senang!”. Manusia kate ini mengekeh lagi. 

“Kalau kau mau mengigau, pergilah mengigau di liang kubur!”. Habis berkata 

demikian Ranggasastra menerjang ke muka. Tinju kanannya menderu! Tapi dia hanya 

memukul tempat kosong. Hampir tak terlihat oleh matanya, manusia kate itu telah berkelebat 

dan lenyap dari pemandangannya! 

Tinggal seorang diri di dalam kamar Ranggasastra merasa seperti orang yang tertidur 

dan tersentak oleh mimpi. Digosok-gosoknya kedua matanya dengan telapak tangan berulang 

kali. Tidak, dia tidak mimpi! Dia yakin betul bahwa dia tidak mimpi! Dan ketika dia 

memandang ke lantai kamar yang terbuat dari papan, maka pada lantai itu jelas dilihatnya 

bekas-bekas telapak kaki manusia kate tadi.Ketika ingat akan ucapan-ucapan orang kate berkepala sulah tadi maka khawatirlah 

Ranggasastra. Segera dijangkaunya tongkat besi berujung runcing yang tersisip di dinding. 

Senjata ini adalah pemberian gurunya. Tanpa menunggu lebih lama, pemuda ini segera 

tinggalkan rumahnya menuju ke desa sebelah timur di mana terletak rumah orang tua Asih 

Permani. 

Sepuluh tombak akan sampai ke halaman muka rumah gadis calon isterinya, mendadak 

Ranggasastra melihat sesosok tubuh melompat keluar dari jendela samping rumah! Sosok 

tubuh ini tak lain dari manusia kate yang telah mendatanginya tadi. Dan pada bahu manusia itu 

kelihatan sosok tubuh seorang perempuan. Meskipun halaman samping gelap tapi 

Ranggasastra tahu betul, perempuan yang dipanggul itu adalah calon isterinya. Asih Permani! 

“Bangsat rendah! Pencuri busak! Lepaskan perempuan itu!,” bentak Ranggasastra. 

Si kate kepala sulah tertawa dingin. “Sekali aku bilang bahwa gadis ini jadi milikku, 

tak satu manusia lainpun yang bisa menghalanginya!”. 

“Kalau begitu terpaksa kukermus kepalamu!”. Maka tongkat besi di tangan 

Ranggasastra menderu ke kepala si kate. Gesit sekali yang diserang melompat ke samping. 

Ranggasastra susul dengan satu tusukan ke dada kiri. Namun dengan kecepatan yang luar 

biasa orang kate itu gerakkan kaki kanannya! 

Tendangan yang keras menghajar tangan kanan si pemuda. Besi panjangnya lepas. 

Tangannya hancur dan jeritan kesakitan keluar dari mulut Ranggasastra. Pemuda ini 

terhuyung sebentar lalu mental sampai beberapa tombak ketika tendangan lawan terus 

menyerempet perutnya! Perut si pemuda robek besar. Tubuhnya menggeletak tanpa nyawa. 

Si kate tertawa buruk. 

“Maling hina dina!! Nyawamu di ujung golokku!” teriak seseorang yang melompat 

dari dalam rumah lewat jendela. 

Si kate berkepala botak cepat putar badan pada saat sebuah golok berkiblat memapasi 

batok kepalanya! 

“He... he... Kau juga inginkan mampus Ki Lurah!” ujar si kate. Manusia yang 

menyerangnya itu adalah Tanuwira, ayah Asih Permani. 

“Kau yang akan mampus lebih dahulu manusia laknat!”. Golok Tanuwira berkelebat 

lagi. Tapi si kate sungguh luar biasa. Serangan itu dihadapinya dengan tertawa tawar. Sekali 

dia gerakkan kaki kanannya maka hancurlah dada Ki Lurah Tanuwira. 

Si kate tertawa mengekeh.“Calon mantu dan calon mertua sama-sama bernasib sial! Kasihan…”. Dihirupnya 

udara segar menjelang pagi itu sejurus lenyaplah dia dari tempat itu. 

* * * 

KETIKA dia sampai kepertapaannya di puncak Gunung Lawu maka terkejutlah 

manusia kate berkepala botak itu sewaktu melihat ada seorang bertangan buntung yang tak 

dikenalnya berdiri dekat pintu. Orang yang bertangan buntung agaknya juga terkejut melihat 

kedatangan si kepala botak yang membawa seorang gadis cantik di pundak kirinya. Tapi dia 

cepat-cepat menjura. 

“Pastilah saat ini aku berhadapan dengan tokoh silat terkemuka yang bernama Tapak 

Gajah…” 

Laki-laki kate yang memang bernama Tapak Gajah turunkan tubuh Asih Permani 

dari pundaknya. Matanya meneliti tajam orang di hadapannya lalu bertanya: “Kau sendiri 

siapa? Apakah datang kesini membawa maksud baik atau buruk?”. Sambil bertanya 

demikian Tapak Gajah memperhatikan telinga kanan tamunya yang juga buntung tiada 

berdaun. 

“Namaku Kalingundil. Aku datang dengan maksud baik, tapi membawa berita 

buruk”. 

“Aku tidak kenal padamu sebelumnya. Berita buruk apakah yang kau bawa...?” tanya 

Tapak Gajah. 

Maka Kalingundil segera mulai pasang jarum penghasutnya. “Pembunuhan atas diri 

seorang murid adalah satu hal yang pahit bagi gurunya! Begitu pahit sehingga menanamkan 

dendam kesumat…”. 

“Jangan bicara berbelit!,” potong Tapak Gajah. “Katakan langsung berita buruk itu!” 

“Muridmu dibunuh orang, Tapak Gajah…” 

Berubahlah paras si tubuh kate kepala sulah. Sedang Kalingundil saat itu melirik 

memperhatikan Asih Permani yang berdiri tak bergerak, “Pastilah tubuhnya ditotok'', pikir 

Kalingundil dan dalam hatinya dia bertanya-tanya: “Siapa gerangan gadis cantik ini…”. 

Sesak nafas Kalingundil melihat kejelitaan Asih Permani. 

“Aku mempunyai beberapa orang murid yang telah turun ke dalam rimba persilatan. 

Murid yang mana yang kau maksudkan?!” tanya Tapak Gajah. 

Kalingundil memalingkan mukanya kepada laki-laki itu kembali. “Mahesa Birawa...”“Aku tak punya murid bernama Mahesa Birawa!” berkata Tapak Gajah. 

Kalingundil kaget. Dia berpikir-pikir seketika. Kemudian dia ingat. “Maksudku 

muridmu Suranyali…” 

Sekali lagi berubah paras Tapak Gajah. Di hatinya timbul kesyakwasangkaan. 

“Apakah kau bicara, ngelantur atau bagaimana...?”. 

“Demi setan dan iblis aku tidak bicara dusta, Tapak Gajah!”. 

“Suranyali bukan manusia sembarangan. Ilmu kesaktiannya tinggi!” 

“Tapi manusia yang membunuhnya lebih sakti lagi!”. 

“Siapa ?!” 

“Pendekar 212....”. 

Tapak Gajah merenung. Kedua tangannya terkepal. “Kau dusta Pendekar 212 Sinto 

Gendeng sudah sejak puluhan tahun lenyapkan diri dari dunia persilatan!”. 

“Tapi....” 

“Tutup mulut! Terima hukuman dariku bangsat bermulut bohong!”. 

Tapak Gadjah hantamkan kaki tangannya ke muka. 

“Wutt !” 

Angin sedahsyat badai yang ke luar dari tendangan itu lebih dahulu menyerang ke 

arah Kalingudil sebelum tendangannya sendiri sampai ! 

Kalingundil tak mau ambil risiko. Dia berteriak nyaring dan lompat delapan tombak 

ke udara. 

“Byur!”

Kaligundil palingkan kepala ke belakang. Tersekat rasanya tenggorokannya sewaktu 

melihat bagaimana angin tendangan Tapak Gadjah menghancurkan batu besar di 

belakangnya! 

Sewaktu manusia kate itu hendak lancarkan serangan kedua Kalingundi cepat 

berseru: “Tahan! Kita berada di pihak yang sama!” 

Tapak Gadjah tarik serangannya. 

“Apa maksudmu kita di pihak yang sama huh?” 

“Aku adalah bekas anak buah Suranyali sewaktu kami masih sama-sama di 

Jatiwalu!” 

“Jangan coba kelabui aku!,” membentak Tapak Gadjah. 

“Perlu dan untung apa aku mengelabuimu!” baias membentak Kalingundil dengan 

beringas.“Berikan bukti bahwa muridku yang satu itu benar-benar dibunuh orang!” 

Kalingundil tertawa dingin. “Tidak mau percaya pada orang sepihak akan merugikan 

diri sendiri Tapak Luwing…” Lalu Kalingundil memberikan keterangan selengkapnya. 

Kini mulai kelihatan bayangan rasa percaya di paras Tapak Gadjah. Namun apa yang 

meragukannya ialah keterangan Kalingundil mengenai Pendekar 212 Wiro Sableng. Satu-

satunya kesimpulan bagi Tapak Gadjah ialah bahwa pemuda bernama Wiro Sableng itu 

adalah murid Sinto Gendeng. 

“Golongan hitam memang sejak dulu menaruh dendam pada itu nenek-nenek 

sialan…,” ujar Tapak Gadjah pula. “Tapi sebelum kami bersepakat untuk menghabiskan 

jiwanya, dia sudah lenyapkan diri! Kini muridnya muncul dan membunuh muridku! Benar-

benar laknat!” 

“Aku sendiri telah tantang dia di Rawasumpang demi untuk menuntut balas kematian 

Suranyali atau Mahesa Birawa. Tapi… itu pemuda keparat memang luar biasa tinggi 

ilmunya. Kalau aku kalah dalam pertempuran di Rawasumpang itu bukan suatu apa tapi ada 

satu hal yang benar-benar menyakiti hatiku Tapak Gadjah…” 

Kalingundil menunjukkan paras yang mengandung dendam. Sepasang matanya 

memandang lurus-lurus jauh ke muka. . 

“Katakan apa yang menyakiti hatimu itu!,” kepingin tahu Tapak Gadjah. 

“Sebelum mengundurkan diri dari Rawasumpang aku bilang pada itu pemuda keparat 

bahwa kelak pembalasan dari guru Sunranyali akan tiba! Pemuda itu ketawa bekakakan dan 

berkata bahwa sekalipun ada seribu guru Suranyali, akan diterabasnya sama rata dengan 

tanah!” 

Rahang-rahang TapakGadjah mengembung. “Begitu keparat itu bilang…?” 

Kalingundil manggut. 

“Meski dia murid si Sinto Gendeng, tapi jangan merasa sudah setinggi langit 

kepandaiannya! Katakan di mana bangsat itu berada! Aku Tapak Gadjah akan pecahkan 

kepalanya!” 

“Kau tak perlu susah-susah mencarinya Tapak Gadjah,” menjawab Kaligundil. 

“Bukankah tadi aku sudah katakan bahwa dia sudah umbar mulut menentangmu? Katanya 

dia tunggu kau pada hari tigabelas bulan duabelas di puncak Gunung Tangkuban Perahu!” 

“Anjing kurap betul itu manusia!”. Tapak Gadjah meludah ke tanah.Dan Kalingundil berkata lagi: “Beberapa tokoh silat utama yang ditantang pendekar 

212 itu juga telah kuberi tahu! Mereka sudah memastikan untuk datang ke Tangkuban 

Perahu guna mengkeremus si pemud !” 

“Seribu tokoh utama boleh datang ke sana. Namun kematian anjing kurap itu aku 

yang tentukan!” Kaligundil manggut-manggut. Hatinya gembira. Memang itulah yang 

diharapkannya. Sudah terbayang bagaimana akan berhasilnya dia purrya rencana nanti. 

Seorang diri dia memang tak sanggup untuk menghadapi Wiro Sableng. Tapi kalau Tapak 

Gadjah, Begawan Sitaraga, Wirasokananta. dan Tapak Luwing yang berkumpul jadi satu 

untuk membuat perhitungan, tiga Pendekar 212-pun tak bakal sanggup! 

“Aku gembira mendengar keputusanmu itu. Tapak Gadjah. Akupun pasti pula akan 

datang ke puncak Tangkuban Perahu…” 

Tapak Gadjah tertawa dingin. “Kalau kau punya nyali tapi punya sedikit ilmu untuk 

diandalkan sebaiknya tak usah datang ke sana!” 

Merah padam paras Kalingundil. 

“Sekarang aku tak ada urusan lagi dengan kau! Silakan angkat kaki dari sini!” bentak 

Tapak Gadjah. 

Kelingundil melirik pada Asih Permani. Kemudian katanya pada Tapak Gadjah: 

“Jangan terlalu memandang rendah terhadap sesama kawan Tapak Gadjah. Aku memang tidak 

dikenal dalam dunia persilatan tapi untuk menghancurkan batu besar sepertimu tadi, aku 

masih sanggup!”. Kalingundil gerakkan tangan kanannya ke pingaang. Kemudian selarik sinar 

biru melesat ke arah batu besar yang terletak sekira sembilan tombak dari hadapannya. 

“Byur!” 

Batu itu hancur berkeping-keping dan bayangan Kalingundil sendiri sesudah itu lenyap 

dari pemandangan! 

Terkejutlah Tapak Gadjah! Tiada disangkanya kalau manusia bertangan buntung 

bertelinga sumpung itu memiliki kehebatan demikian rupa! Tapi manusia kate ini tidak 

berpikir lebih lama. Begitu matanya membentur paras dan tubuh Asih Permani maka lupalah 

dia pada Kalingundil. Segera diboyongnya gadis itu ke dalam pertapaan. Apa yang kemudian 

dilakukannya terhadap gadis suci itu tak seorang manusiapun yang tahu. Namun pada hari itu 

satu kesucian telah lenyap dirampas oleh kebejatan! 

-- == 0O0 ==

SEPULUH 

PUNCAK gunung tangkuban perahu. Hari tigabelas bulan duabelas… 

Angin dari utara bertiup kencang, mengalahkan tiupan angin barat yang menghembus 

sepoi-sepoi basah. Puncak Gunung Tangkuban Perahu diselimuti kesunyian abadi. Tapi hari 

itu agaknya kesunyian abadi itu akan sirna oleh kedatangan manusia-manusia pembuat per-

hitungan. Akan pupus di landa dendam kesumat orang sakti! Kawah gunung yang lebar 

mengepulkan tiada henti asap tipis berbau belerang. 

Beberapa puluh kaki dari tepi kawah berderet pohpn-pohon cemara berdaun lebat 

subur, menjulang tinggi dan lurus! Saat itu matahari pagi sudah naik tepat antara titik tertinggi 

dan titik permulaan terbitnya. 

Angin utara bertiup lagi dengan kencang, Daun-daun pohon cemara melambai-lambai. 

Dan diantara kerisikan-kerisikan geseran daun pohon-pohon cemara itu maka terdengarlah 

suara siulan yang mengumandangi seluruh puncak Gunung Tangkubanperahu. Suara siulan itu 

juga seperti mau menggelegaki kawah belerang dan menampar-nampar kabut belerang yang 

meliuk-liuk kepermukaan kawah. Suara siulan itu tidak teratur, tidak membawakan sebuah 

lagu atau tembang, nadanya tak menentu. Namun ketidakteraturan dan ketidakmenentuan itu 

anehnya bila didengar dengan seksama akan merupakan suatu lagu aneh bernada ajaib! Suara 

siulan itu membuat pendengarnya akan terkatung-katung ke dalam satu dunia khayal. Tapi di 

pagi yang menjelang siang itu di puncak Gunung Tangkuban Perahu itu tak satu orang pun yang 

ada selain manusia yang mengeluarkan suara siulan tadi. Dan siapakah manusia ini adanya? 

Suara siulan itu datang dari pohon cemara yang paling tinggi tanda bahwa manusianyapun 

berada di sana. Dan manusia ini tiada lain dari pada Wiro Sableng, si Pendekar Kapak Maut Naga 

Geni 212! Mengapa dia sampai berada di puncak gunung itu adalah sehubungan dengan tantangan 

musuh lamanya Kalingundil. Namun pendekar muda itu sampaisaat itu tak pernah menyangka bahwa 

yang bakal ditemuinya di puncak gunung itu kelak bukan hanya Kalingundil seorang tapi juga 

beberapa tokoh dunia persilatan yang terkenalserta sakti! 

Wiro terus juga bersiul-siul sambil sekali-sekali layangkan pandangannya ke seantero puncak 

gunung. Sepi dan suasana tenang-tenang saja. Dilayangkannya pandangan ke kaki dan lereng gunung. 

Juga segala sesuatunya masih diselimuti kesunyian dan ketenangan. Dua kali sepeminuman teh lewat. 

Telinga pendekar 212 yang tajam dan terlatih baik itu sayup-sayup mendengar suara sesuatu. Segera 

pemuda ini hentikan siulannya. Kepalanya diputar ke arah timur puncak gunung dari mana datangnya suara itu. Masih belum kelihatan apa-apa tapi suara yang didengarnya tambah nyaring. Beberapa 

ketika kemudian dari balik gundukan tanah keras tepi kawah sebelah timur kelihatan muncul kepala 

seseorang, menyusul dada dan badannya. Sosok tubuh manusia ini ternyata bukanlah Kalingundil 

karena tangannya tidak buntung! 

“Lain yang ditunggu, lain yang datang !” desis Wiro Sableng dalam hati. Kedua matanya terus 

memandang tak berkesip pada manusia yang baru datang ini. Orang ini dilihatnya memandang 

berkeliling agaknya mencari-cari sesuatu, mungkin mencari seseorang. Umurnya sudah lanjut. 

Menurut taksiran Wiro paling rendah lima puluh tahun. Meskipun tua tapi tubuhnya kekar. Pada 

pinggangnya kelihatan tersisip sebilah keris emas. Dari gerak geriknya yang enteng dan tenang Wiro 

tahu bahwa orang tua ini pastilah seorang yang menguasai ilmu silat dari tingkat tinggi. 

“Mungkin sekali dia diam di sekitar puncak gunung Tangkuban Perahu atau mungkin pula 

kedatangannya ke situ hanya satu kebetulan saja dengan hari di mana aku akan membuat perhitungan 

dengan Kalingundil…,” demikianlah Pendekar 212 berpikir-pikir di dalam hatinya. Sementara itu si 

orang tua tak dikenal dilihatnya berdiri di tepi kawah memandang ke bawah lalu memutar tubuh dan 

menjelajahi seluruh permukaan gunung dengan sepasang matanya yang kecil tetapi tajam. Kemudian 

orang tua ini pada akhirnya melangkah ke arah deretan pohon-pohon cemara dan di sini duduk 

melepaskan lelah. Wiro maklum kini bahwa orang tua ini datang ke situ adalah mencariseseorang dan 

ketika orang itu tak ditemuinya dia memutuskan untuk menunggu. Karena merasa tak punya urusan 

dengan si orang tua. Wiro tetap saja berada di tempatnya, di atas pohon cemara tinggi. 

Matahari bergerak juga menuju ke puncak tertingginya. Wiro masih terus memperhatikan si 

orang tua. Mendadak diputarnya kepalanya ke arah selatan. Sesosok tubuh kelihatan berkelebat. 

Kedatangan manusia ini boleh dikatakan tidak terdengar atau tak tertangkap oleh telinga Wiro 

Sableng. Nyatanya kehebatan ilmu lari dan ilmu mengentengkan tubuhnya. Apa yang menarik 

pendekar 212 ialah bahwa manusia ini bukanlah Kalingundil yang tengah ditunggunya! 

Orang ini berbadan kate. Kepalanya sulah licin dan berkilat-kilat ditimpa sinar matahari. 

Kedua telapak kakinya bukan saja lebar tapi juga tebalseperti kaki gajah. Tiba-tiba pendekar 212 ingat 

akan keterangan gurunya Eyang Sinto Gendeng. Menurut gurunya itu di puncak Gunung Lawu 

berdiam seorang tokoh silat utama bernama Tapak Gadjah. Kehebatan Tapak Gadjah ialah telapak 

pada sepasang kakinya yang berbentuk kaki gajah. Jangankan manusia, batupun kalau ditendang akan 

hancur lebur. Dan memang pada saat itu Wiro menyaksikan sendiri bagaimana tanah gunung yang 

diinjak kedua kaki laki-laki itu meninggalkan bekas amblas sampaisetengah dim! 

“Mungkin sekali manusia ini adalah Tapak Gadjah,” membatin Wiro Sableng. “Tapi kenapa 

pula dia jauh-jauh bisa muncul disini...?”Selagi dia membatin begitu rupa Wiro Sableng terkejut pula melihat bagaimana siorang tua? 

yang duduk di bawah pohon cemara tiba-tiba berdiri tegak menyambuti kedatangan simanusia kate! 

kedua orang itu saling pandang seketika. Sekali melompat maka si kate sudah berada dua tombak di 

hadapan si orang tua berkeris emas! Kembali keduanya saling pandang dan meneliti. Kemudian 

terdengar suara si kate membentak. 

“Jadi kau sudah datang duluan pendekar gila Wiro sableng?! Rupanya memang kau betul-

betul ingin mati lekas-lekas!” Kemarahan yang meluap membuat Tapak Gadjah lupa akan keterangan 

Kalingundil bahwa Wiro Sableng adalah seorang muda! Bukan saja siorang tua nampak terkejut dan 

heran, tapi Pendekar 212 di atas puncak pohon cemara jedi kernyitkan kulit kening waktu mendengar 

bentakan si manusia kate itu ! 

Sebelum si orang tua sempat bicara maka si kate sudah bertanya dengan membentak: 

“Mampus cara mana yang kau kehendaki Pendekar 212! Aku Tapak Gadjah segera 

melaksanakannya!” 

“Kalau betul aku berhadapan dengan Tapak Gadjah, tokoh silat terkenal dari Gunung Lawu 

saat ini…,” menyahutisi orang tua, “maka dugaanmu meleset sekali!” 

Tapak Gadjah pelototkan mata. “Meleset bagaimana maksudmu?” Dan Tapak Gadjah ingat

akan keterangan Kalingundil. Lalu diajukan pertanyaan: “Apakah kau bukannya Wiro Sableng si 

manusia geblek bergelar Pendekar 212 itu...?!” 

Si orang tua gelengkan kepata. “Aku adadalah Wirasokananta, Ketua Perguruan Teratai Putih 

di bukit Siharuharu…” 

“Ah... tak disangka datang dari jauh kiranya akan berjumpa dengan tokoh silat ternama,” 

Tapak Gadjah pula ramah. Mengingat Wiasokananta adalah tokoh silat dari golongan putih dating dia 

sendiri dari golongan hitam maka bertanyalah Tapak Gadjah: “Gerangan apakah yang membuat 

Ketua Perguruan Teratai Putih sampai datang ke sini...” 

“Panjang ceritanya Tapak Gadjah,” menyahutisi orang tua berkeris emas. “Ringkasrrya adalah 

untuk mencari den memenuhi undangan seorang manusia bejat bernama Wiro Sableng bergelar 

Pendekar 212!” 

“'Ah... ah... ah...! Kalau begitu kita sama-sama datang untuk maksud yang serupa. Dan pastilah 

mempunyai tujuan terakhir yang serupa-pula yaitu menamatkan riwayat manusia terkutuk itu. 

Bukankah demikin?” 

Meskipun heran bagaimana Tapak Gadjah bias tahu hal itu namun Wirasokananta 

mengangguk juga.“Maksud sama, tujuan terakhir sama tapi latar belakang tentu lain. Kalau aku boleh 

tanya, apakah sebabnya Ketua Perguruan Teratai Putih sampai turun tangan dan bukan 

menyuruh anak-anak murid Perguruan...?” 

“Semua murid-muridku musnah di tangan manusia laknat itu! Dua diantaranya 

diperkosa!” jawab Wirasokananta. Suaranya bergetar. Kemudian dituturkannyalah apa yang 

telah menimpa Perguruan dan murid-muridnya. 

Di atas pohon cemara Pendekar 212 Wiro Sableng pentang telinga buka mata tak 

berkesip. Penuturan Wirasokananta tentu saja sangat mengejutkannya. 

Semenjak turun gunung bukan saja dia tidak pernah mendengar nama Perguruan 

Teratai Putih, bahkan bertemu muka dengan Wirasokanantapun baru hari ini. Dan hari ini pula 

Ketua Perguruan itu menuturkan bahwa dia -- Wiro Sableng -- telah melakukan pembunuhan 

besar-besaran atas diri murid-murid Perguruan Teratai Putih! Ini adalah satu hal yang sama 

sekali tidak benar! Kalau ini bukan satu kekeliruan tentu ini adalah fitnah. Dan bila ini juga 

bukan fitnah, apakah yang telah menyebabkan Wirasokananta merasa yakin bahwa Pendekar 

212 lah yang telah memusnahkan Perguruannya ? 

“Nasibmu dan nasibku rupanya tidak banyak beda Ketua Teratai Putih,” terdengar 

suara Tapak Gadjah. “Muridku Suranyali juga kunyuk sedeng itu yang membunuh!” 

Kini tahulah Wiro Sableng. Tapak Gadjah rupanya adalah guru Suranyali alias Mahesa 

Birawa ! “Tapi muridmu cuma seorang yang mati di tangannya sedang aku keseluruhannya,” 

menjahuti Wirasokananta. 

“Yang penting bukan soal jumlah. Ketua Teratai Putih. Yang penting ialah bahwa 

kunyuk sedeng itu seorang manusia bejat yang musti kita lenyapkan dari muka bumi ini!” 

Wirasokananta mengangguk. 

Tapak Gadjah hendak buka mulutnya kembali. Tapi batal karena saat itu sudut 

matanya melihat sesosok tubuh berkelebat dan tahu-tahu sudah berada di hadapan mereka. 

“Siapa lagi yang datang ini…?” membatin Wiro Sableng. 

Sedang sesat kemudian didengarnya suara Tapak Gadjah berkata sambil menjura: 

“Sungguh pertemuan yang tak terduga. Tokoh silat dari Gunung Halimun kenapa bisa muncul 

di sini…?” 

Orang yang baru datang tertawa lebar. Dia berpakaian kain putih. Rambutnya panjang 

diriap seperti perempuan, janggutnya menjela sampai ke perut. Rambut dan janggut itu 

berwarna putih dan melambai-lambai tertiup angin.“Kau sendiri mengapa bisa nongkrong di sini…?” balik menanya si janggut putih, dia 

melirik pada Wirasokananta. 

Tapak Gadjah mula-mula perkenalkan si janggut putih pada Wirasokananta. Ternyata 

si janggut putih itu adalah Begawan Sitaraga, seorang sakti dari Gunung Halimun. 

Setelah mendengar penuturan Tapak Gadjah yang juga sekalian menuturkan tentang 

Wirasokananta maka Sitaraga tarik nafas dalam dan berkata “Betul-betul tak bisa diduga kalau 

kedatangan kita ke sini tiga-tiganya adalah membawa maksud yang sama! Aku kenal baik 

dengan Mahesa Birawa. Aku telah berjanji untuk membantu perjuangannya menghancurkan 

Pajajaran karena memang aku tejak lama punya permusuhan dengan itu Kerajaan! Tapi 

nyatanya Mahesa mendahului aku! Ini kuketahui dari seorarg anak buahnya yang datang 

ke tempatku! Rupanya sebelum pecah perang Mahesa ada mengirim kurir. Kurir itu 

tertangkap peronda Pajajaran!” 

Kesunyian menyeling seketika. Di atas pohon camera Wiro Sableng masih tak 

bergerak di tempatnya. Dengan munculnya ketiga orang itu dan dengan penuturan masing-

masing mereka Wiro kini bisa menjajaki bahwa ada sesuatu yang tak bares. Dan ketidak 

beresan ini ditimpakan kepadanya. Siapa yang menjadi dalang ketidakberesan ini tak susah 

untuk diterka yaitu Kalingundil ! Tapi Kalingundil sendiri ke mana mana? Yakin bahwa 

bukan hanya tiga orang itu saja yang bakal muncul maka Wiro memutuskan untuk 

menunggu. Dugaannya rnemang betul. Lewat sepeminum teh maka dari jurusan barat 

kelihatanlah dua soaok tubuh berlari cepat laksana angina! Yang satu bertangan buntung 

dan segera dikenali oleh Wiro Sableng sebagai Kalingundil adanya. Yang seorang lagi 

pendekar 212 lupa-lupa ingat. Tapi metihat angka 212 pada keningnya Wiro baru ingat 

bahwa manusia ini adalah Tapak Luwing, kepala komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel 

yang tempo hari bertempur melawannya tapi kemudian dilarikan oleh Kalingundil! 

Begitu sampai dihadapan Tapak Gadjah, Wirasokananta dan Begawan Sitaraga 

keduanya segera menjura. Kalingundil memandang berkeliling. “Harap maafkan kalau 

kami datang agak terlambat”. Dia memandang lagi berkeliling. Orang-orang yang 

diundangnya sudah lengkap. “Pendekar gila itu masih belum muncul!” 

Tapak Luwing berdehem. “Aku mempunyai firasat bahwa itu manusia tak 

bernyali untuk datang antarkan nyawa kemari!” 

“Kalau dia berani menantang, dia berani datang,” menyahuti Kalingundil. 

“Kita tunggu saja,” buka suara Begawan Sitaraga.“Dan kalaupun nanti ternyata silaknat itu tidak muncul, ke pintu nerakapun aku 

akan cari dia!” berkata Ketua Perguruan Teratai Putih. 

Gembira sekali Kalingundil mendengar katakata Wirasokananta itu. Nyatalah 

bagaimana dendam kesumat si orang tua terhadap Wiro Sableng. 

Sementara itu dari atas pohon cemara pendekar 212 Wiro Sableng memperhatikan 

ke bawah dengan seksama. Kini tak ada keragu-raguan lagi bahwa segala sesuatunya 

sampai tiga tokoh silat utama itu berada di sana adalah Kalingundil yang punya rencana. 

Lima orang yang akan dihadapinya. Kalingundil dan Tapak Luwing sudah bisa dijajakinya 

ketinggian ilmu kedua orang itu, tapi bagaimana dengan tiga orang lainnya? Sanggupkah 

dia menghadapi mereka berlima sekaligus? Pendekar 212 diam-diam tarik nafas dalam. 

Dia memandang ke langit. Matahari sudah sampai ke puncak tertingginya. Apakah dia 

segera unjukkan diri atau menunggu sampai saat yang dirasakannya tepat? 

Di saat itu di bawah didengamya suara Tapak Gadjah berkata: “Aku masih belum 

yakin kalau kunyuk ingusan itu benar-benar murid Sinto Gendeng. Itu nenek-nenek keriput 

sudah sejak lama minggat dari dunia persilatan...!” 

Panaslah hati Wiro Sableng mendenger gurunya, disebut demikian rupa. Tiada 

terasakan lagi, didorong oleh naluri yang telah membuat dia menjadi bisa maka keluarlah 

suara siulan dari sela bibirnya. 

Lima manusia di bawah pohon terkejut dan.menengadah ke atas. 

“Kurang ajar, rupanya kunyuk sedeng itu sudah lama mendekam di atas!,” maki 

Kalingundil. 

“Pendekar gila turunlah untuk terima mampus!” teriak Wirasokananta. 

Pendekar 212 tertawa bergelak. “Ketua Perguruan Teratai Putih, aku kasihan pada 

kau! Tidak tahu bahwa kau telah kena dikelabui oleh manusia tangan buntung itu!” 

Kalingundil cepat membentak. “Agaknya kau memilih kematian di atas pohon itu. 

Wiro Sableng?! Memang pohon itu cukup tinggi untuk mempercepat roh busukmu terbang 

ke neraka!” 

Wiro tertawa lagi seperti tadi. 

“Biar aku paksakan dia turun !” buka mulut Tapak Luwing. Tangan kanannya 

bergerak. Maka tiga pisau terbang beracun melesat ke puncak pohon cemara di mana 

pendekar 212 herada ! 

* * *

TAPAK Luwing! Kalau merasa sudah berilmu tinggi, biar kukembalikan pisaumu!” 

teriak Wiro dari atas pohon. 

Sesaat sesudah dia berkata begitu maka menderulah angin deras. Tiga pisau terbang 

kembali ke bawah menyerang pemiliknya sendiri! 

Dua buah masih sanggup dielakkan oleh Tapak Luwing tapi yang ketiga sangat cepat 

sekali meleset ke arah batok kepalanya. 

“Awas!” seru Begawan Sitaraga. Sekali dia lambaikan tangan maka mentallah pisau 

itu dan Tapak Luwing yang diam-diam keluarkan. keringat dingin terlepaslah dari bahaya 

kematian! 

Wiro Sableng kini tertawa membahak. “Kau terlalu bodoh untuk ikut-ikutan datang 

ke mari Tapak Luwing ! Seharusnya saat ini kau cuci kaki dan pergi tidur!” 

Saat itu Wirasokananta tak dapat lagi menahan kesabarannya. Dengan tangan kanan 

dipukulnya batang pohon cemara. 

“Kraaak!” 

Pohon itu tumbang. 

Wiro melompat ke samping dan melayang ke bawah dengan gerakan enteng. Sambil 

melayang itu dia berkata: “Musuh penantang cuma satu, mengapa sekarang bisa jadi lima? 

Apakah kau bisa beranak, Kalingundil?” Lalu pada tiga tokoh silat utama itu Wiro berseru: 

“Kalian sudah tua bangka masih saja mau derigan urusan dunia dan nafsu membunuh! Apa 

tidak malu kena dihasut oleh kunyuk tangan buntung itu?” 

“Jangan banyak bacot manusia gelo! Ajalmu hanya tinggal sekejapan mata saja!” 

bentak Tapak Gadjah. Dia maju ke muka dan kirimkan tendangan kaki kanan di saat 

Pendekar 212 masih juga belum menjejakkan kaki di tanah! 

Angin tendangan kerasnya bukan main. Debu beterbangan. Untuk menjajaki sampai 

kemana kehebatan tenaga dalam lawan Wiro sengaja tidak mengelak tapi memapasi 

serangan tersebut dengan lancarkan pukulan “kunyuk melernpar buah”. Ketika dua angin 

pukulan itu beradu terkejutlah Tapak Gadjah! Kedua kakinya melesak sampai tiga senti ke 

tanah sedang angin tendangannya yang sanggup menghancurkan batu itu buyar! Ternyata 

tenaga dalam Pendekar 212 tidak berada di bawahnya! 

Dengan membuat dua kali jungkir balik di udara, pada jungkiran yang ketiga Wiro 

sudah berdiri di atas kedua kakinya. Lima manusia dihadapannya segera mengurung.“Kalian kunyuk-kunyuk tua bangka apa tidak malu main keroyok begini rupa?!” 

Pendekar 212 masih sanggup bertanya sambil sunggingkan senyum mengejek. 

“Seekor anjing kurap macam kau sudah terlalu pantas untuk dijagal bersama-sama!” 

menyahuti Wirasokananta. 

“Ah, kau orang tua... Rupanya masih belum tahu kalau dikelabui orang lain! Demi 

kebenaran aku sama sekali tak pernah mendatangi Perguruanmu. Apa yang terjadi di 

Perguruanmu aku tidak tahu menahu. Itu semua adalah fitnah. Seseorang lain yang 

bertanggung jawab. Kurasa manusianya adalah si tangan buntung ini!,” Wiro menuding ke 

arah Kalingundil. 

“Ha... ha! Bukan saatnya untuk cuci tangan pendekar gila!” seru kalingundil seraya 

main-mainkan pedang buntung di tangan kirinya. “Tak perlu kambing hitamkan orang lain! 

Tak perlu lempar batu sembunyi tangan....!” 

“Aku memsng tak mengambinghitamkan kau orang buntung. Tapi eoba berkaca di 

cermin Begawan Sitaraga, kau akan melihat bagaimana tampangmu memang persis seperti 

kambing!”. 

Merah padam muka Kalingundil. 

Wiro tertawa mengekeh. 

Begawan Sitaraga yang merasa dihina segera maju ke muka. “Sobat-sobat, tak perlu 

bicara panjang lebar dengan orang sedeng ini! Mari kita kermus dia!”. Habis berkata begitu 

Sitaraga gerakkan tangannya. Sinar putih yang panas dan menyilaukan menyambar ke arah 

muka Wiro Sableng. Begitu matanya tersambar sinar tersebut gelaplah pemandangan 

pendekar 212. 

“Celaka!” kata Wiro dalam hati. Tenaga dalamnya dialirkan ke kepala dan dia 

melompat cepat ke salah satu pohon cemara untuk berlindung dari serangan lawan. 

Tapak Gajah juga tidak berdiam diri. Tendangannya menggebubu. Pohon cemara 

patah dah disaat itu Wiro sudah berpindah ke tempat lain. Dengan mata masih terpejam dia 

putar kedua tangannya di udara. Maka menderulah angin pukulan “benteng topan melanda 

samudera”. Meski pukulan ini hanya mempergunakan sebagian tenaga dalam karena yang 

sebagian masih tetap dialirkan ke muka tapi kehebatannya cukup membuat lima penyerang 

hindarkan diri ke samping. Ketika matanya dibuka kembali maka pemandangannya sudah 

terang seperti semula. 

Begawan Sitaraga terkejut ketika melihat kedua mata lawannya tidak menjadi buta 

oleh kilapan sinar cerminnya. Di lain pihak Wiro menganggap bahwa senjata yang palingberbahaya di antara penyerang-penyerangnya ialah cermin di tangan Sitaraga itu. Maka dia 

memutuskan untuk menghancurkan senjata itu terlebih dahulu. 

Namun dikurung lima begitu rupa tidak mudah bagi Wiro Sableng untuk 

melaksanakan niatnya. Serangan lima tawan bertubi-tubi. Setiap dia coba untuk 

menghancurkan senjata di tangan Sitaraga maka pedang Kalingundil atau golok Tapak 

Luwing atau keris emas ataupun tendangan Tapak Gajah datang pula menyerangnya, 

kadangkala berbarengan sekaligus! Dengan bergerak gesit, dengan lancarkan serangan-

serangan balasan, dengan hanya bertangan kosong itu, pendekar 212 cuma sanggup bertahan 

sampai duabelas jurus. Jurus-jurus selanjutnya dia didesak hebat Golok besar empat peregi 

berkali-kali membabat ke arah dada dan perutnya. Sinar biru Pedang Siluman di tangan 

Kalingundil tiada henti berkiblat ke sekujur tubuhnya sedang keris emas Wirosokananta 

laksana hujan mengirimkan tusukan-tusukan mematikan. Dan di antara itu tendangan-

tendangan Tapak Gajah tiada terkirakan ditambah yang paling berbahaya cermin di tangan 

Sitaraga berkata-kali menyambar kemukanya, masih untung sanggup dialakkannya! 

Jurus kelima belas murid Eyang Sinto Gendeng itu terdesak ke tepi kawah. Sinar 

cermin menyambar kemukanya. Di saat itu pula tendangan Tapak Gajah menyeruak ke arah 

selangkangan. Dari atas menderu Pedang Siluman Biru, keris emas menikam ke dada dan 

golok besar Tapak Luwing menggebubu ke perut! 

“Tamatlah riwayatmu pemuda gila!” teriak Kalingundil. 

“Jangan lupa sampaikan salamku pada setan-setan neraka!” menimpali Wirasokananta. 

“Bret”! 

Ujung Pedang Siluman Biru menyambar lewat dada, merobek pakaian pendekar 212! 

“Sialan!” maki Wiro Sableng. 

“Memakilah sekenyangmu setan alas! Setan-setan neraka memang paling suka pada 

manusia-manusia tukang maki macammu!” teriak Kalingundil. 

Wiro Sableng kertakkan geraham. Kedua pipinya menggembung. Sedetik kemudian 

meledaklah bentakan yang keras, demikian kerasnya sehingga menggema sampai ke dasar 

kawah Gunung Tangkuban Perahu! Tubuh pendekar 212 lenyap! Serentak dengan itu 

terdengarlah suara siulan yang melengking-lengking. Dan di antara lengkingan siulan itu 

menderu suara laksana ratusan tawon, mendengung menyamaki liang telinga! Sinar putih 

bergulung-gulung! Lima penyerang tersurut mundur. 

“Kapak Naga Geni!” seru Begawan Sitaraga ketiga melihat senjata di tangan Wiro 

Sableng. Belum lagi habis gaung seruannya itu sudah menyusul suara jeritan setinggi langit.Satu tubuh angsrok terpelanting di tanah mandi darah, kepala terbelah dua! Korban Maut Naga 

Geni 212 yang pertama itu ialah Tapak Luwing! 

“Kurung biar rapat!” teriak Tapak Gajah. Dia melompat tinggi. Kedua kakinya 

menendang susul menyusul. Dua senjata lainnya menderu pula ke arah Wiro Sableng. 

“Ketua Perguruan Teratai Putih!” berseru pendekar 212. “Antara kau dan aku tak ada 

permusuhan. Sebaiknya undurkan diri saja!” 

“Jangan bicara melangit pemuda sedeng! Delapan arwah muridku minta roh 

busukmu!”. Wirasokananta percepat tusukan kerisnya. Maka keris emas, Pedang Siluman Biru 

dan Kapak Naga Geni 212 beradu dengan mengeluarkan suara nyaring. 

Wirasokananta berseru kaget. Tangannya tergetar hebat dan pedas panas. Keris 

saktinya terlepas mental. Cepat-cepat Ketua Perguruan Teratai Putih ini melompat mundur. 

Kalingundil sendiri tak kalah kagetnya. Bagian yang tajam dari pedang buntungnya gompal 

sedang tangannya menjadi seperti kaku. Kalau tidak sinar cermin Sitaraga menyambar ke 

arah lawan pastilah Kapak Maut Naga Geni 212 membabat perutnya. Kalingundil keluarkan 

keringat dingin! 

Suara siulan Pendekar 212 kini sekali-sekali diselingi oleh suara tawa mengekeh! 

Tubuhnya hampir tak kelihatan lagi. Kapak Naga Geni mengaung mencari maut. Keempat 

lawan menjadi sibuk. Merasa mulai terdesak, Tapak Gadjah segera keruk saku pakaiannya. 

Tanpa memberi peringatan lagi tokoh silat ini segera lepaskan seratus senjata rahasia yang 

berupa jarum-jarum hitam ke arah Wiro Sableng. Tapi angin putaran Kapak Naga Geni yang 

ampuh sekaligus meluruhkan jarum-jarum beracun itu. Malahan Tapak Gajah dan kawan-

kawan menjadi sibuk karena harus mengelakkan jarum-jarum hitam yang terdorong berbalik 

menyerang mereka sendiri! 

“He.. he.. he..,” Pendekar 212 tertawa mengekeh. “Wirasokananta, untuk 

penghabisan kali aku kasih peringatan padamu. Mundur atau mampus dengan percuma!”. 

Ketua Perguruan Teratai Putih menjadi bimbang. Dia membatin “Adakah seorang 

musuh yang sehebat ini sampai memberi dua kali peringatan kepadaku?”. 

“Wirasokananta jangan bodoh!” teriak Kalingundil. “Manusia yang telah membunuh 

delapan muridmu, ape hendak kau lepaskan begitu sa… akh.....” 

Kata-kata Kalingundil tak sampai pada ujungnya. Salah satu dari mata kapak di 

tangan Wiro Sableng membabat putus lengan kirinya. Tangan dan pedang buntung mental 

masuk kawah. Darah muncrat. Laki-laki ini terhuyung ke belakang kesakitan. Akhirnyaketika dia kehabisan darah nafasnya megap-megap dan dia jatuh menelentang di tanah tapi 

belum mati! 

Tapak Gajah dan Begawan Sitaraga tertegun seketika. Namun sesaat kemudian 

serentak pula keduanya menyerang sebat. Serangan ini disambut dengan siutan dan tawa 

mengejek oleh Wiro Sabteng. “Kalian berdua adalah tokoh-tokoh silat dari golongan hitam! 

Manusia-manusia macam kalian pantas menjadi umpan cacing di liang neraka!”. 

Pendekar 212 putar kapaknya. 

“Buyar!” 

Cermin di tangan Sitaraga pecah berhamburan. Begawan itu keluarkan seruan 

tertahan dan memandang senjatanya yang hancur dengan rasa tak percaya. 

“Begawan awas!” teriak Tapak Gajah. Tapi terlambat! 

Kapak Maut Naga Geni 212 datangnya tiada sanggup lagi untuk dielakkan. 

“Crras”! 

Putuslah leher Begawan Sitaraga. Darah seperti air mancur muncrat ke udara. Kepala 

yang buntung mengelinding seperti bola terus masuk ke dalam kawah Gunung Tangkuban 

Perahu! 

Melihat kematian sobatnya ini, si kate kepala sulah Tapak Gajah menciut nyalinya! 

Tanpa buang waktu dia segera putar tubuh. 

“Eit orang kate, mau minggat ke mana?!” Wiro Sableng berseru. “Ayo berhenti!”. 

Tapi mana Tapak Gajah mau berhenti. Malahan ini manusia tancap gas dan lari 

lintang pukang. Wiro menyeringai. Tangan kanannya bergerak menekan bagian dekat hulu 

kapak yang berbentuk kepala naga-nagaan. Maka mengaunglah 212 batang jarum putih 

beracun ke arah Tapak Gajah. Tapak Gajah coba melompat ke samping namun dia kurang 

cepat. Hampir keseluruhan jarum-jarum putih itu menembus daging tubuhnya. Tapak Gajah 

meraung setinggi langit! Begitu racun jarum merembas jantungnya maka tubuhnya kelojotan 

seketika lalu menggeletak di tanah tanpa bergerak lagi! 

Wirasokananta leletkan lidah melihat kehebatan pendekar; tapi diam-diam bulu 

tengkuknya merinding karena ngeri! Sedang ketika dia berpaling pada pendekar itu, 

dilihatnya Wiro Sableng berdiri sambil garuk-garuk rambutnya yang gondrong! Wiro tarik 

nafas dalam lalu putar tubuh dan memandang pada Wirasokananta. “Ketua Perguruan 

Teratai Putih,” katanya. “Kenyataan yang kita tidak saksikan dengan mata kepala sendiri 

adalah terlalu sukar untuk dipercaya. Demikian juga dengan peristiwa di perguruanmu.Sama sekali tak ada sangkut pautnya denganku! Aku yakin manusia inilah yang jadi biang 

racun!”. 

Wiro mendekati Kalingundil yang tengah megap-megap. Dari dalam sakunya 

dikeluarkannya sebuah pil. Dia senyum-senyum dan menimang-nimang obat itu. “Kau masih 

inginkan hidup Kalingundil?” tanyanya. 

Kalingundil diam saja. 

“Obat ini bisa menyembuhkan lukamu dan memunahkan racun Kapak Naga Geni 

yang mengalir di darahmu. Aku akan berikan kepadamu jika kau menerangkan dan mengaku 

bahwa kaulah yang telah membunuh delapan anak murid Perguruan Teratai Putih...”. 

Kalingundil masih diam. 

“Kau tak mau hidup..... ?”. 

Kalingundil memandang dengan matanya yang berbinar-binar pada pil di tangan 

Wiro. Dalam diri setiap manusia yang tengah meregang nyawa akan selalu datang harapan 

untuk dapat terus hidup. Demikian juga dengan Kalingundil. 

“Masukkan dulu pil itu ke dalam mulutku,” katanya. 

Wiro memasukkan obat itu ke dalam mulut Kalingundil dan Kalingundil cepat-cepat 

menelannya. “Sekarang terangkan cepat!”. 

Kalingundil buka mulut mengakui apa-apa yang telah diperbuatnya terhadap 

Perguruan Teratai Putih. Akan Wirasokananta begitu mendengar penuturan tersebut, tak 

dapat lagi menahan luapan amarahnya. Tanpa banyak cerita dengan kaki kanan 

ditendangnya Kalingundil. Demikian kerasnya sehingga tak ampun lagi tubuh Kalingundil 

mencelat beberapa tombak ke udara dan malang baginya tubuhnya terlempar tepat ke kawah. 

Masih terdengar jeritan laki-laki itu menggaung ketika tubuhnya melayang ke bawah 

sebelum amblas di dalam kawah belerang! 

Sekali lagi pendekar 212 hela nafas dalam dan berpaling pada Wirasokananta. Satu 

senyum terlukis di bibir pendekar muda itu. Ketua Teratai Putih belas tersenyum. 

“Orang muda, apakah kau betul-betul muridnya Sinto Gendeng?”. 

“Ah.... murid siapapun aku butan menjadi soal, Ketua Perguruan Teratai Purih” 

menyahuti Pendekar 212. “Orang-orang mencap aku pemuda edan, sinting, gila, geblek... 

Kurasa memang suatu ketika kegilaan itu ada perlunya. Hanya manusia-rnanusia gila 

semacam kita inilah yang sanggup membunuh manusia-manusia bejat dan menghancurkan 

kebejatan. Coba saja kau pikir mana ada manusia waras mau membunuh sesama 

manusia...?”.

Wirasokananta tertawa. “Ucapanmu benar juga, pendekar,” katanya. 

Wiro mendongak ke langit. “Ah, matahari sudah tinggi. Banyak urusan baru yang 

menunggu kita. Ketua Perguruan Teratai Putih, pertemuan kita hanya sampai di sini. Aku 

senang bisa berkenalan dengan kau. Semoga kita bisa jumpa lagi....”. 

“Pendekar 212, tunggu dulu...!” seru Wirasokananta. Tapi percuma saja. Sang 

pendekar saat itu sudah berkelebat dan lenyap! Wirasokananta goleng-goleng kepala. 

“Pemuda hebat sikapnya seperti betul-betul gila tapi hatinya polos, ilmunya……. ah, aku 

yang sudah tua ini mungkin tak pernah bisa mencapai ilmu setinggi yang dimilikinya. Belum 

lagi sempat mengucapkan terima kasih, dia sudah lenyap...” 

Wirasokananta memandang ke dasar kawah lalu mengikuti jejak Wiro Sableng 

meninggalkan tempat itu. 

T A M A T

Share:

0 comments:

Posting Komentar