..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 28 Juni 2024

WIRO SABLENG EPISODE KAMANDAKA MURID MURTAD


Kamandaka Si murid murtad


 WIRO SABLENG 

KAMANDAKA SI MURID MURTAD 

 

GEROBAK sapi itu bergerak perlahan. Yang menjadi 

kusirnya seorang lelaki tua berjanggut dan berambut 

putih duduk tenang-tenang saja karena dia memang 

tidak terburu-buru. Di sampingnya duduk seorang dara. 

Rambutnya yang hitam pendek dikuncir ke atas hingga 

wajahnya yang jelita tampak lucu. Gadis ini adalah anak 

tunggal si orang tua berjanggut putih. Dara ini memang ber-

sifat riang ceria. Sepanjang perjalanan dia selalu menyanyi 

kecil sambil menggoyang-goyangkan tangan kanannya 

yang memegang sebuah tongkat bambu. Melihat pakaian 

ringkas warna putih yang dikenakan ayah dan anak ini jelas 

keduanya adalah orang-orang persilatan. 

"Mintari anakku," berkata lelaki tua di atas gerobak 

pada anak gadisnya. "Kalau sampai di tempat pertemuan 

para tokoh silat di Selatan nanti, jangan sekali-kali kau 

berlaku sembrono. Kau duduk saja di sampingku. Jangan 

bicara kalau tidak diminta. Ingat, di situ juga ada Datuk 

Alam Rajo Di Langit, tokoh silat dari tanah Minang yang 

akan membawamu ke Pulau Andalas. Semua ilmu ke-

pandaianku sudah kuwariskan padamu. Selanjutnya Datuk 

Alam yang akan membawamu ke tanah Minang dan 

menggemblengmu di sana. Ingat juga, Datuk itu adalah 

orang tua yang sangat saleh. Karena itu selama di sana 

jangan sekali-kali kau meninggalkan sembahyang." 

Gadis bernama Mintari itu sesaat terdiam mendengar 

kata-kata ayahnya. Tak lama kemudian kembali dia 

menyanyi-nyanyi sambil membolang-balingkan tongkat 

bambunya. 

"Anakku, apakah kau tidak akan mengatakan sesuatu?"bertanya sang ayah. 

Mintari hentikan nyanyiannya, "Saya ada satu per-

tanyaan ayah," ucapnya. 

"Katakanlah anakku." 

"Setahu saya di tanah Jawa ini terdapat banyak sekali 

tokoh-tokoh silat berkepandaian tinggi. Tidak terhitung pula 

orang-orang sakti. Lalu mengapa ayah menginginkan saya 

pergi jauh-jauh ke negeri Minang mengikuti Datuk Alam 

Rajo kalau hanya untuk menempa ilmu silat dan kesakti-

an?" 

Sang ayah tersenyum mendengar ucapan anak gadis-

nya itu. Setelah mendehem beberapa kali diapun men-

jawab. "Pernahkah kau mendengar ujar-ujar yang mengata-

kan: Jauh berjalan banyak yang dilihat. Menuntut ilmu 

kalau perlu sampai di Negeri Cina. Memang ayah tahu 

tidak sedikit orang pandai di tanah Jawa ini. Tapi tanah 

Minang juga dikenal gudang segala ilmu. Di sana kau dapat 

pula mendalami ilmu agama. Dan mengenai Datuk Alam 

Rajo jangan kau anggap enteng dia..." 

"Harap maafkan, saya tidak menganggap enteng orang 

tua satu itu ayah. Jangan ayah salah sangka." 

"Lalu mengapa kau kelihatannya tidak suka pergi 

bersamanya?" 

"Karena sebenarnya saya ingin dekat dengan ayah," 

jawab Mintari. 

Sang ayah tertawa. "Kau bukan anak kecil lagi. Umurmu 

sudah sembilan belas tahun kalau ayah tidak salah ingat. 

Ayah melepasmu dengan segala keikhlasan." 

"Saya tahu ayah," kata Mintari pula. Lalu dipegangnya 

tangan ayahnya seraya berkata. "Kalau saya tidak ada, 

siapa yang mengurus ayah?" 

Ucapan anak gadisnya itu membuat hati si orang tua 

tersentuh. Memang sejak ibu Mintari meninggal dunia 

enam tahun yang lalu, anak gadisnya itulah yang mengurus 

dirinya. Setelah diam sesaat orang tua ini berkata. "Kalau 

kau pergi dan sanggup mengurus diri sendiri, masakan aku 

tua bangka begini tidak sanggup berbuat yang sama...?"Baru saja ayah Mintari berkata begitu tiba-tiba ter-

dengar suara tawa mengekeh menyusul ucapan lantang. 

"Kau betul Ki Pamilin! Orang tua sepertimu harus dapat 

mengurus diri sendiri! Hari ini aku mau lihat apakah kau 

benar-benar bisa mengurus diri sendiri!" 

Ayah dan anak itu sama-sama terkejut dan memandang 

berkeliling. 

"Ayah, ada suara tapi tak kelihatan orangnya!" bisik 

Mintari. 

Ki Pamilin, ayah Mintari berusaha bersikap tenang tapi 

waspada. Dia tahu kalau ada seorang berkepandaian tinggi 

berada di tempat itu. Manusia yang muncul seperti itu 

biasa-nya tidak membawa niat baik. 

"Tenang saja Mintari. Tak ada yang perlu ditakutkan." 

balas berbisik Ki Pamilin. 

Tiba-tiba ada suara angin berdesir disertai berkelebat-

nya satu bayangan. Tahu-tahu sepuluh langkah di tengah 

jalan di hadapan mereka tegak berdiri seorang berpakaian 

dan berdestar serba biru. Bajunya tidak berkancing hingga 

dadanya yang bidang berotot tersingkap lebar. Ki Pamilin 

hentikan gerobak sapinya. 

Yang tegak menghadang di tengah jalan itu ternyata 

seorang pemuda berparas gagah. Hal ini membuat hati si 

orang tua agak tenteram sedikit. Lain halnya dengan 

Mintari. Gadis ini tidak suka melihat perjalanannya 

dihadang oleh seorang tak dikenal yang bersikap sombong. 

"Anak muda, siapakah dirimu. Apa maksud ucapanmu 

tadi?" tanya Ki Pamilin. 

"Aku sudah lama mendengar nama besarmu yang 

menyandang gelar Pendekar Tangan Baja. Hari ini aku ingin 

menjajaki sampai dimana kehebatan sepasang tanganmu. 

Buktikan bahwa kau memang orang tua yang bisa meng-

urus diri sendiri!" Habis berkata begitu pemuda ini meman-

dang pada Mintari. Sepasang bola matanya membesar dan 

membersitkan sinar aneh. Hati Ki Pamilin mendadak 

sontak jadi berdebar. Pengalaman hidup membuat dia 

mengenali arti cahaya yang keluar dari kedua matapemuda itu. 

"Anak muda, hidup bukan mencari lantai terjungkat. 

Ilmu kepandaian bukan untuk membuat silang sengketa." 

"Orang tua, kata-katamu enak di dengar. Apakah itu 

berarti kau tidak punya nyali untuk melayaniku barang 

sejurus dua jurus?" 

Mintari yang sudah sejak tadi merasa jengkel melihat 

tingkah dan mendengar ucapan-ucapan pemuda itu 

membuka mulut bersuara keras. 

"Kami masih ada keperluan yang lebih penting! Mana 

punya waktu melayani pemuda sombong sepertimu!" 

Pemuda di tengah jalan tertawa gelak-gelak. Ditanggal-

kannya destar birunya. Lalu destar ini, dikipas-kipaskannya. 

Saat itu sinar matahari memancar terik dan udara memang 

panas. 

"Adik, suaramu merdu dan wajahmu secantik bidadari. 

Bolehkah aku tahu namamu? Tadipun aku sebetulnya 

sudah kagum mendengar suara nyanyianmu." 

Mintari keluarkan suara mendengus dari hidungnya. 

"Ketepilah. Kami mau lewat!" 

"Adik cantik, percakapan kita bisa diteruskan kemudian. 

Aku ingin mendengar jawaban ayahmu. Apakah dia se-

orang pengecut?" 

"Ayahku bukan seorang pengecut! Dia hanya tidak mau 

mengotori tangan melayani kadal hutan macammu!" jawab 

Mintari. 

Mendengar kata-kata itu kembali pemuda di tengah 

jalan tertawa bergelak. Tetapi dalam tertawa sepasang 

matanya tampak seperti dikobari api. Tiba-tiba tubuhnya 

berkelebat lenyap lalu terdengar suara brett! 

Mintari terpekik. Ki Pamilin berteriak keras. Orang tua 

ini marah sekali. Langsung dia melompat turun dari atas 

gerobak. Tangan kanannya menghantam ke arah dada si 

pemuda. Yang diserang sunggingkan senyum mengejek 

dan angkat tangan ngan kirinya untuk menangkis. 

Buuukk! 

Ki Pamilin yang memang lebih dikenal dengan julukanPendekar Tangan Baja terjajar dua langkah ke belakang. 

Lengan kanannya mendenyut sakit dan tampak merah. 

Wajah orang tua ini jadi berubah. Sebagai seorang tokoh 

silat yang disegani bukan sembarang orang bisa membuat-

nya terjajar seperti itu. 

"Pemuda kurang ajar! Siapa kau sebenarnya, dan apa 

maumu?!" sentak Ki Pamilin. 

Si pemuda kenakan destarnya kembali. Sambil ber-

kacak pinggang dia berkata. "Namaku Kamandaka. Orang 

mengenalku dengan panggilan Pendekar Tangan Halilin-

tar!" 

Mendengar nama dan gelar itu kembali paras Ki Pamilin 

berubah. Dia sempat mundur satu langkah. Yang terpikir 

saat itu adalah keselamatan anak gadisnya. 

Di depannya pemuda yang mengaku bernama Kaman-

daka bergelar Pendekar Tangan Halilintar lagi-lagi sung-

gingkan senyum sinis. 

"Pendekar Tangan Baja berhadapan dengan Pendekar 

Tangan Halilintar! Bukan ini satu pertemuan yang luar 

biasa?!" 

***


2

DiATAS gerobak Mintari rapatkan baju putihnya yang 

robek akibat tarikan kurang ajar Kamandaka. 

Dengan tubuh gemetar oleh amarah gadis ini me-

lompat dari gerobak itu. Dia bermaksud hendak menyerang 

si pemuda. Tetapi hatinya jadi bimbang ketika melihat 

bagaimana ayahnya yang memiliki kepandaian begitu tinggi 

tampak terjajar dalam bentrokan pukulan Tadi. 

"Orang muda, kalau kau benar Kamandaka manusia 

terkutuk yang dicari-cari di tujuh penjuru angin itu, maka 

ketahuilah hari ini hari terakhir bagimu melihat dunia!" 

"Ha ...ha! Ternyata kau bukan seekor macan kertas. 

Kalau kau memang punya nyali mari kita teruskan 

berbincang-bincang dengan tangan dan kaki. Namun 

sebelumnya aku ingin memastikan dulu agar anak gadismu 

ini tidak pergi ke mana-mana!" Habis berkata begitu 

Kamandaka melompat ke hadapan Mintari dan menyergap 

dengan satu totokan. 

Dari samping Ki Pamilin datang menyambar dengan 

pukulan ke arah kepala Kamandaka hingga pemuda ini 

tidak sempat meneruskan totokannya ke tubuh si gadis. 

Serangan yang dilancarkan Ki Pamilin mengandung tenaga 

dalam tinggi, mengeluarkan suara bersiur menggidikkan. 

Namun dengan tenang Kamandaka mengelak. Gerakannya 

mengelak tampak aneh. Tubuhnya berputar membelakangi 

lawan. Lalu tiba-tiba kaki kanannya mencelat ke atas 

seperti tendangan seekor kuda. Kalau Ki Pamilin tidak 

bertindak waspada tendangan dahsyat itu pasti akanmenghantam rahang kanannya! 

Tendangan yang melesat itu kini mendarat pada kayu 

besar yang jadi tambatan sapi penarik. Terdengar suara 

berderak. Kayu itu pecah berantakan mengejutkan sapi 

penarik gerobak. Binatang ini sempat lari beberapa belas 

langkah lalu berhenti dekat kelokan jalan sambil tiada 

henti mengibas-kibaskan ekornya. 

Dengan rahang menggembung Ki Pamilin lancarkan 

serangan. Tubuhnya seperti merunduk. Kedua tangannya 

diulurkan ke depan. Kamandaka melihat bagaimana 

sepasang tangan itu kini berubah menjadi keputih-putihan. 

"Ah, kau mengeluarkan ilmu kesaktian Tangan Baja!" 

seru Kamandaka. Memang inilah yang ditunggu-tunggunya. 

Sudah sejak lama dia mencari-cari orang tua bergelar 

Pendekar Tangan Baja ini hanya sekedar untuk menjajal 

ilmu kepandaiannya. Kini bukan saja dia menemul orang 

yang dicarinya, malah orang ini muncul membawa serta 

anak gadisnya yang cantik jelita. 

Kamandaka menunggu dengan kedua kaki di-

renggangkan. Sepasang lengan di silang di depan dada. 

Ketika kedua lengan ini saling digosokkan maka kelihatan 

jelas warnanya berubah menjadi hitam. Diam-diam Ki 

Pamilin menjadi terkesiap jnga melihat hal ini. Sejak lama 

dia sudah mendengar akan kehebatan dan keganasan 

Pendekar Tangan Halilintar. Dan selama ini belum ada satu 

lawan atau seorang tokoh silatpun yang mampu 

menghadapi pukulan halilintar itu. Karenanya si orang tua 

memutuskan untuk menggempur Kamandaka lebih dulu. 

Didahului dengan satu bentakan keras Ki Pamilin 

dorong-kan kedua tangannya. Dorongan ini perlahan saja. 

Tetapi apa yang terjadi sungguh dahsyat! 

Dari kedua tangan Ki Pamilin seperti menyembur keluar 

dua jalur sinar putih. Inilah sinar baja yang mengandung 

hawa panas. Meskipun hanya berbentuk sinar tetapi ke-

kuatan dan kerasnya tidak beda seperti batangan baja! 

Wus! 

Wus!

Dua sinar menyambar ke arah kepala dan dada 

Kamandaka. 

"Bagus!" Seru si pemuda memuji tapi sebenarnya dia 

jelas hendak mengejek dan memandang rendah lawan. 

Begitu dua sinar baja menderu ke depan Kamandaka 

melompat ke samping. Dari samping dia dorongkan telapak 

tangan kanannya. 

Dua sinar baja laksana dua batangan terdorong ke 

samping. Menghantam sebatang pohon jati. Pohonini 

laksana ditembus tombak raksasa, berderak patah lalu 

tumbang dengan suara menggemuruh. 

Ki Pamilin merasakan dadanya seperti terbakar karena 

geram tetapi bersamaan dengan itu tengkuknya menjadi 

dingin. Selama ini belum pernah dia langsung menyerang 

musuh dengan pukulan Tangan Baja kalau bukan musuh 

yang benar-benar tangguh. Sekali dia mengeluarkan se-

rangan tersebut tak pernah ada lawan yang mampu 

menghindar dari kematian. Kini dia telah melakukan hal itu 

dan ternyata lawan dengan mudah dapat menghindarinya! 

"Luar biasa, dari mana anak semuda ini punya 

kepandaian begini hebat!" kata Ki Pamilin dalam hati. 

Diam-diam dia merasa malu. Selama ini dia telah 

menyandang nama besar sebagai Pendekar Tangan Baja 

dalam dunia persilatan. Ter-nyata hari ini dia tersandung 

oleh seorang yang usianya hanya sepertiga usianya! 

Dengan cepat Ki Pamilin membalik. Kalau tadi dia hanya 

mengerahkan setengah bagian tenaga datam yang dimiliki-

nya, kini dia mengalirkan seluruh tenaga dalamnya pada 

kedua lengannya hingga sepasang tangannya menjadi ber-

kilat. 

"Bagus!" Kamandaka memuji. "Kalau sudah seluruh 

tenaga dalammu kau kerahkan, tunggu apa lagi! Ayo 

hantamlah!" 

"Pemuda ini sombong sekali. Kudengar kejahatan yang 

dilakukannya setinggi langit sedalam lautan! Kalau aku 

tidak membunuhnya hari ini biar aku mengucilkan diri dari 

dunia persilatan untuk selama-lamanya!" Lalu denganrahang terkatup rapat Ki Pamilin dorongkan kedua 

tangannya ke arah Kamandaka. Kini dua larik sinar baja 

yang melesat keluar dari kedua tanangan orang tua itu 

tampak lebih besar dan lebih menyilaukan. Hawa panas 

ikut menyambart 

Ketika Ki Pamilin mengalirkan tenaga dalamnya pada 

kedua tangan, diam-diam Kamandaka telah pula mengatur 

hawa sakti yang berpusat di perutnya, lalu menyalurkannya 

pada kedua tangannya. Sambil menyalurkan hawa sakti 

Kamandaka menyilangkan kedua lengannya di depan dada 

lalu naik ke atas di depan kepala. Kedua tangan pemuda 

ini tampak berubah menjadi hitam. Tiba-tiba dua lengan 

yang bersilang itu membuka lalu dihantamkan ke depan. 

Terdengar suara meledak seperti suara halilintar 

membelah langit. Tanah bergoncang. Pepohonan berderak-

derak seperti hendak tumbang. Satu gelombang sinar 

hitam menggebubu ke depan. 

Dua sinar baja pukulan sakti Ki Pamilin laksana teng-

gelam ditelan gelombang hitam yang dahsyat itu. Orang tua 

ini tersentak kaget. Tubuhnya terdorong keras. Dia ber-

usaha bertahan sambil dorongkan lagi kedua tangannya 

dan merapal aji kesaktian lain untuk memperkuat diri. 

Kamandaka tertawa mengekeh. 

"Keluarkan seluruh ilmumu Pendekar Tangan Baja!" 

katanya. Lalu kedua lengannya yang masih ada di depan 

kepala disilangkan kembali. Saat itu juga terdengar suara 

ledakan dahsyat. Langit laksana hendak runtuh. Tanah 

seperti terbongkar. Ki Pamilin lenyap dalam buntalan sinar 

hitam. Lalu terdengar suara orang tua itu menjerit. 

Tubuh orang tua itu terlempar sampai satu tombak. 

Mukanya tampak putih laksana kain kafan tapi anehnya 

perlahan-lahan berubah menjadi hitam, pertanda bahwa 

pukulan sakti yang dilepaskan Kamandaka selain dialas 

dengan kekuatan tenaga dalam luar biasa juga mengan-

dung racun sangat jahat. 

"Ayah!" 

Mintari terpekik melihat apa yang terjadi dengan ayahnya. Gadis ini memburu. Kamandaka cepat ulurkan tangan 

menyambar pinggang si gadis. 

"Manusia jahanam!" teriak Mintari. Dia berbalik dan 

tongkat bambu di tangan kanannya dihunjamkan ke perut 

Kamandaka. Baju biru Kamandaka tampak berlobang 

besar. Tetapi hebatnya perutnya tidak cidera sedikitpun. 

Malah Mintari merasa ada satu dorongan keras ketika 

ujung tongkat menyentuh perut pemuda itu yang membuat 

tangannya bergetar. 

"Gadis hebat!" seru Kamandaka. "Tunjukan kehebatan-

mu kalau nanti kau berada dalam pelukanku!" 

Mendidih amarah Mintari mendengar kata-kata itu. Dia 

membalik dan kini tongkatnya menusuk kuat-kuat ke mulut 

si pemuda. Sekali ini Kamandaka tidak mau berlaku ayal 

lagi. Perutnya bisa kebal dan sanggup menahan tusukan 

tongkat bambu ataupun senjata tajam. Tetapi pada kedua 

matanya sama sekali tidak ada kekebalan. Selain itu dia 

tahu bahwa gadis itu memiliki kepandaian yang cukup 

tinggi berkat gemblengan ayahnya. 

Kamandaka cepat menggeser kedua kakinya sambil 

miringkan kepalanya ke kiri. Bersamaan dengan itu tangan 

kanannya melesat ke atas menangkap ujung tongkat. 

Begitu ujung tongkat berada dalam genggamannya, 

Kamandaka dengan cepat menariknya. Karena tidak 

sempat melepaskan tongkat itu maka Mintari ikut tertarik 

ke depan. Sebelum dia bisa berbuat sesuatu apa tahu-tahu 

dia sudah berada dalam pelukan Kamandaka. Malah satu 

ciuman si pemuda sempat menyambar pipinya! 

"Jahanam kurang ajarl" Makian itu disertai gerakan 

mencakar ke muka Kamandaka. Tapi Mintari kalah cepat. 

Kamandaka lebih cepat menotok jalan darahnya hingga 

tubuh si gadis kaku tak bisa bergerak lagi. Hanya suaranya 

saja terdengar memaki tak putus-putusnya. 

Sambil tertawa-tawa Kamandaka memanggul tubuh 

Mintari. Salah satu tangannya mengelus-elus tubuh bagian 

bawah belakang gadis itu sehingga semakin keras kutuk 

serapah keluar dari mulut Mintari."Sekarang kau memaki diriku. Tapi lihat sebentar lagi 

kau akan tergila-gila padaku. Berpisah sesaatpun kau tak 

akan mau!" berkata Kamandaka sambil membawa Mintari 

ke arah gerobak sapi. Tubuh gadis ini dibaringkannya di 

lantai gerobak sebelah belakang. 

Dari dalam mulut Ki Pamilin tampak banyak darah 

mengalir. Nafasnya sesak dan dari tenggorokannya ter-

dengar suara seperti ayam dipotong. Samar-samar dia 

melihat Kamandaka memanggul tubuh Mintari ke arah 

gerobak. 

"Ya Tuhan, tolong anakku. Selamatkan dia..." orang tua 

ini hanya bisa memohon dalam hati. Tangannya coba 

diangkat untuk melepaskan pukulan ke arah si pemuda. 

Tetapi kekuatannya sudah punah. Pemandangannya ber-

tambah gelap. Pada saat jantungnya berhenti berdetak, 

nyawanyapun lepas meninggalkan jazad. 

Di atas gerobak Kamandaka berlutut di samping tubuh 

Mintari. Mulutnya menyeringai, nafasnya menderu diburu 

nafsu. Tangan kanannya bergerak. Terdengar suara pakai-

an robek beberapa kali. 

"Manusia jahanaml Iblis! Lepaskan aku! Lepaskan!" 

teriak Mintari. 

"Nanti juga akan kulepaskani Sekarang biar kita 

bersenang-senang dulu!" 

"Lebih baik kau bunuh diriku!" teriak Mintari lalu dia 

menjerit berulang kali. 

Suara jeritan gadis yang terancam kehonmatannya itu 

bukan membuat hiba apalagi takut dalam diri Kamandaka. 

Malah pemuda ini semakin bernafsu. Dibukanya baju dan 

celana birunya. Kedua tangannya meraba kian kemari. 

Ketika dia siap untuk melakukan kebejatan itu tiba-tiba di 

belakangnya terdengar suara derap kaki kuda. Kamandaka 

menoleh ke belakang. 

Dua orang penunggang kuda berseragam perajurit 

Kerajaan mendatangi dengan cepat. Melihat ada gerobak 

berhenti di tengah jalan dan ada suara perempuan men-

jerit dari atas gerobak itu, kedua perajurit ini hentikan kudamasing-masing di samping gerobak. 

Tentu saja keduanya terkejut melihat pemandangan di 

dalam gerobak terbuka itu. 

"Hail Perbuatan gila apa yang kau lakukan ini?!" salah 

seorang perajurit membentak. 

"Siang bolong! Di tengah jalan1" Perajurit yang satu lagi 

ikut menghardik. 

Melihat munculnya dua orang perajurit Kerajaan ini 

Mintari merasa dirinya pasti akan mendapat pertolongan. 

Maka diapun berkata. "Tolong. Tolong selamatkan diriku 

dari manusia durjana ini!" 

Dua perajurit pandangi wajah cantik dan tubuh mulus 

yang menggeletak di atas gerobak itu. Mau tak mau 

keduanya jadi tercekat dan terangsang. Yang satu berulang 

kali membasahi bibirnya dengan ujung lidah. Sedang yang 

satu lagi memandang dengan mata tak berkesip. Yang ter-

akhir ini berpaling pada Kamandaka. 

"Kau tahu kalau kau telah membuat satu kesalahan 

besar yang bisa membuat kepalamu dijirat tali gantungan?" 

Kamandaka diam saja. Dia sudah merasa kalau kedua 

perajurit itu mulai dikobari nafsu. Benar saja karena yang 

satu kemudian berkata. 

"Sobat, jika kau mau membagi-bagi rejeki besar ini pada 

kami berdua, kami tidak akan menangkapmu atau mem-

buat perkara!" 

Kamandaka menyeringai. "Kalau kalian memang 

berminat aku bersedia memenuhi permintaan kalian. 

Malah kalau mau kalian boleh bersenang-senang lebih 

dulu. Naiklah ke atas gerobak ini. Aku mengalah tidak jadi 

apa." 

Mendengar kata-kata Kamandaka itu, dua perajurit tadi 

tanpa tunggu lebih lama segera turun dari kuda dan siap 

naik ke atas kereta. 

"Hus! Tunggu dulu!" kata Kamandaka. "Sebelum naik 

lebih baik kalian tanggalkan dulu semua pakaian yang 

melekat di tubuh kalian Gerobak ini sempit. Akan sulit 

membuka pakaian di sini!""Kau benar!" kata salah seorang perajurit. Lalu tanpa 

malu-malu dia segera menanggalkan pakaiannya. Kawan-

nya tidak mau ketinggalan, segera pula melakukan hal 

yang sama. 

"Nah sekarang kalian sudah siap! Ayo lekas naik ke atas 

gerobak. Aku biar menunggu di dekat pohon sana sambil 

berjaga jaga," kata Kamandaka pula. 

Dua orang perajurit yang tanpa pakaian itu naik ke atas 

gerobak. Namun belum sempat kaki mereka menginjak 

lantai kereta, kedua tangan Kamandaka bergerak me-

mukul. Terdengar suara bergedebuk dua kali. Kedua 

perajurit itu keluarkan jeritan hampir berbarengan. Tubuh 

mereka terbanting ke tanah. Keduanya mengerang 

seketika lalu tak berkutik lagi. Mereka mati dengan muka 

remuk. 

Kamandaka meludah ke tanah. Dia berpaling pada 

Mintari yang tergeletak dengan muka pucat. Kembali gadis 

ini memekik keras. Namun sekali ini tak ada sesuatupun 

yang bisa menghalangi perbuatan terkutuk Kamandaka 

***

3


DiLAMPING bukit Pendekar 212 Wiro Sableng 

hentikan larinya. Sejenak dia tegak berdiam diri lalu 

memandang ke bawah bukit. Lapat-lapat dia men-

dengar suara ringkikan kuda jauh dibawah sana. Murid 

Eyang Sinto Gendeng dari Gunung Gede ini dapat mem-

bedakan mana ringkikan kuda biasa dan mana yang tidak 

biasa. Segera dia menuruni bukit ke arah terdengarnya 

suara ringkikan kuda itu. Dia sengaja mengambil jalan me-

mintas walau harus menempuh bagian bukit yang dirapati 

pepohonan serta semak belukar. Ketika akhirnya Pendekar 

ini sampai di kaki bukit, dia menemui sebuah jalan dan me-

lihat ada bekasbekas jejak roda di tanah. 

Wiro ikuti jejak-jejak roda itu. Belum lama berjalan 

langkahnya mendadak terhenti. Di kejauhan, dekat jalan 

yang menikung tampak sebuah gerobak sapi. Di samping 

kiri gerobak kelihatan dua sosok mayat dengan kepala 

pecah dan tubuh telanjang bulat. Dua helai pakaian 

seragam perajurit kelihatan tercampak di tanah. Tak jauh 

dari situ ada dua ekor kuda. Salah seekor diantaranya 

meringkik tiada henti. Wiro meneruskan langkahnya. Dia 

melihat sosok tubuh ke tiga, menggeletak dekat sebatang 

pohon yang tumbang. Sang pendekar kerenyitkan kening 

dan garuk-garuk kepalanya. Sosok tubuh ketiga ini tak bisa 

dikenali. Sekujur badan dan pakaiannya berwarna hitam 

seolah-olah baru saja keluar dari lumpur jelaga. 

"Ini bukan warna hitam biasa. Orang ini menemui ajal 

akibat racun jahat..." membatin murid Sinto Gendeng. Saatitulah dia mendengar suara erangan halus. Dia berpaling 

ke arah gerobak sapi, tadi gerobak itu dilewatinya begitu 

saja. Suara erangan itu justru datang dari arah gerobak. 

Wiro cepat mendekati gerobak, melompat ke atasnya. 

Kedua kaki Pendekar 212 laksana dipantek ke lantai 

gerobak. Matanya hampir terpejam tak kuasa memandang. 

"Tolong... tolong..." Gadis yang meoggeletak di lantai 

gerobak keluarkan suara kelu. Kedua matanya hanya 

membuka sedikit. Sekujur tubuhnya terutama di bagian 

leher dan dada penuh dengan luka-luka bekas gigitan. 

Sambil membalikkan tubuh Wiro membuka bajunya. 

Dengan pakaian ini ditutupnya tubuh Mintari. Tapi baju itu 

tidak dapat menutupi sekujur tubuh gadis yang malang itu. 

Wiro memandang seputar gerobak. Ada sebuah buntalan di 

bawah tempat duduk kereta sebelah depan. Ketika di-

periksanya dia menemukan sehelai kain warna kuning 

yang cukup lebar. Dengan kain ini ditutupinya tubuh gadis 

itu sedang bajunya dipakainya kernbali. Lalu Wiro mem-

bawa gerobak itu ke tempat yang teduh. 

"Saudari, dapat kau menceritakan apa yang terjadi?" 

Jawaban yang keluar dari mulut Mintari adalah jeritan 

keras. Lalu gadis ini menangis tersengguk-sengguk. Dalam 

hati Pendekar 212 sudah dapat menduga nasib buruk apa 

yang telah menimpa gadis ini. Namun yang jadi pertanyaan 

apa sangkut paut kedua perajurit Kerajaan yang mati 

telanjang serta seorang yang tewas dengan tubuh hitam 

itu. 

"Ayah... Tolong... Ayah..." 

Wiro kerenyitkan kening. Diperhatikannya lagi keadaan 

tubuh gadis yang menggeletak di Iantai gerobak itu. Baru 

dia menyadari kalau tubuh itu berada dalam keadaan ter-

totok. Wiro membungkuk untuk lepaskan totokan itu. 

"Kau...kau siapa...?" Pertanyaan itu keluar dari mulut 

Mintari. Untuk pertama kali si gadis tiba-tiba merasa takut."Jangan takut. Aku kebetulan lewat di tempat ini. Aku 

berusaha menolongmu..." 

Mintari membuka kedua matanya lebih lebar. Peman-

dangannya masih meremang. Dia tak dapat melihat jelas 

wajah orang yang berlutut di sampingnya. Kemudian di-

rasakannya ada sentuhan pada bagian tubuhnya yang 

membuat dia bisa menggerakkan kedua tangan dan kaki-

nya kembali. 

Begitu menyadari totokannya telah lepas, Mintari ber-

usaha melompat berdiri. Tapi terhuyung-huyung dia hampir 

jatuh. Wiro cepat memegang tangannya dan menutupkan 

kain kuning kembali ke tubuh Mintari lalu menyandarkan 

gadis itu ke pinggiran gerobak. Mintari memandang dengan 

mata membeliak padanya. 

"Tenanglah, kau tak usah takut. Aku bukan orang jahat," 

kata Wiro meyakinkan si gadis. 

"Ayah..." Mintari memandang berkeliling. Wiro mengikuti 

pandangannya. 

"Ayahmu ada di sini?" tanya Wiro. 

"Ayah...Manusia itu pasti sudah membunuh ayah..." 

Kemudian gadis ini melihat tubuh hitam yang menggeletak 

dekat pohon. Satu jeritan keluar dari mulutnya. Tubuhnya 

tampak seperti kejang. Wiro berusaha menenangkan gadis 

itu. Di sudut depan gerobak dia melihat sebuah bumbung 

bambu. Ketika dibukanya ternyata berisi air. Air dalam 

bumbung ini segera diminumkannya pada Mintari. Dengan 

susah payah si gadis berusaha meneguk air itu. Sehabis 

minum dia kelihatan agak tenangan. 

"Sekarang kau bisa mengatakan apa yang terjadi?" 

tanya Wiro. 

Mintari tak menjawab. Kain kuning dibungkuskannya 

erat-erat ke tubuhnya lalu dia berusaha turun dari atas 

gerobak. Terhuyung-huyung dia melangkah mendekati se-

sosok tubuh hitam dekat pohon. Wiro melangkah disampingnya. Di depan tubuh hitam itu Mintari hentikan 

langkahnya. Matanya memperhatikan tidak berkesip. 

Kemudian dilihatnya cincin berbatu yang melingkar di jari 

manis tangan kanan. Meskipun sudah hangus namun dia 

masih bisa mengenali cincin itu. 

"Ayah!" jerit Mintari. Kedua kakinya goyah dan tubuhnya 

langsung jatuh. Wiro cepat memegang gadis ini sebelum 

terbanting ke tanah. 

*** 

Hari itu hari kelima di bulan lima, suatu pertemuan 

rahasia diadakan di sebuah rumah tua di kaki Bukit Sedayu 

di kawasan Selatan. Yang bertindak sebagai tuan rumah 

adalah Raden Bintang, bekas Tumenggung yang telah lama 

mengundurkan diri dari segala macam urusan Kerajaan. 

Dalam dunia persilatan dia dikenal dengan julukan Rantai 

Bayangan. Lelaki berusia enam puluh tahun ini konon 

memiliki sebuah senjata aneh. Jika dia membaca mantera 

maka di tangan kanan atau tangan kirinya kelihatan 

muncul dan tergenggam sebuah rantai besi berwarna 

hitam. Rantai ini kelihatan seperti bayangan. Tapi jika di-

pakai untuk, memukul atau menggebuk maka sasarannya 

bisa patah atau hancur remuk seperti terkena hantaman 

rantai sungguhan. 

Di tempat kediamannya pagi itu telah berkumpul hampir 

dua puluh orang tokoh dunia persilatan di Jawa Tengah, 

Timur dan dari Barat. Bahkan salah seorang tamu datang 

jauh-jauh dari Pulau Andalas. Dia adalah seorang kakek 

berdestar dan berpakaian serba hitam. Kedua kaki dan 

pergelangan tangannya dilingkari gelang akar bahar. Dialah 

Datuk Alam Rajo Di Langit seorang tokoh silat yang telah 

punya rencana untuk membawa Mintari ke tempat ke-

diamannya guna digembleng dengan berbagai ilmu kepandaian, silat serta kesaktian dan juga ilmu agama. 

Saat itu masih ada beberapa tokoh silat yang belum 

muncul. Sementara menunggu acara resmi dibuka pada 

siang hari tepat maka para tamu mengobrol berbagai 

macam hal sambil menikmati minuman dan juadah yang 

dihidangkan. Sesekali terdengar suara gelak tertawa. 

Dalam pertemuan itu akan dibicarakan beberapa hal. 

Namun ada satu hal penting yang akan diperbincangkan 

secara amat rahasia. 

Dua orang tamu lagi datang. Setelah menyalami tuan 

rumah keduanya mengambil tempat duduk diantara para 

hadirin. Menjelang tengah hari Raden Bintang berdiri dari 

kursinya. Setelah mendehem beberapa kali dia berkata. 

"Saudara-saudara sekaum persilatan. Saya melihat 

masih ada dua kursi yang kosong. Karena waktu kita 

sempit sedang yang akan dibicarakan dalam perternuan ini 

bukan cuma satu mata acara, lalu mengingat bahwa 

Saudara-saudara tentu harus kembali ke tempat asal 

masing-masing. Bagaimana kalau saya meminta agar 

acara pertemuan dimulai saja secara resmi. Mudah-

mudahan dua tamu yang belum datang akan segera 

muncul di tempat ini." 

"Saya rasa kami semua setuju," menjawab salah se-

orang dari yang hadir. Yang lain-lainnya sama mengiyakan. 

"Terima kasih. Kalau begitu acara bisa segera kita 

mulai," kata Raden Bintang pula dengan senyum gembira 

dan sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya 

satu sama lain. 

Raden Bintang mengambil sebuah palu kayu yang ter-

letak di atas meja. Ketika dia hendak mengetukkan palu ini 

sebagai tanda dimulainya acara tiba-tiba terdengar suara 

bergemeratak. Raden Bintang berpaling ke halaman diikuti 

oleh para hadirin. Sebuah gerobak sapi tampak memasuki 

halaman dengan cepat. Kusirnya seorang pemuda berambut gondrong berpakaian dan berikat kepala putih. 

"Kita kedatangan tamu. Tapi bukan yang diundang," 

kata Raden Bintang. "Di antara yang hadir apakah ada yang 

mengenalinya?" 

Tidak seorang hadirinpun memberikan jawaban. 

Pemuda berambut gondrong turun dari gerobak. Sesaat 

dia memandang agak bimbang pada orang-orang yang ada 

di dalam rumah besar itu. 

Namun akhirnya dia melangkah juga. Di tangga atas 

bangunan dia berhenti dan memberi penghormatan 

dengan menundukkan kepala. 

"Maafkan saya mengganggu. Apakah di sini pertemuan 

para tokoh silat dari tiga kawasan Pulau Jawa?" 

"Sebutkan dulu siapa dirimu anak muda, baru ajukan 

pertanyaan," kata Raden Bintang. 

"Saya Wiro Sableng. Saya datang membawa surat dari 

Eyang Sinto Gendeng. Beliau tidak bisa datang karena ada 

halangan." 

Semua yang hadir di tempat itu termasuk Raden 

Bintang alias Rantai Bayangan sama-sama terkejut men-

dengar nama yang disebutkan. 

"Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!" semua orang 

menyebut gelar itu dalam hati masing-masing. Mereka 

tentu saja sudah lama mendengar nama besar Pendekar 

212 yang berulang kali membuat kegegeran dalam dunia 

persilatan. Dikagumi para tokoh silat golongan putih, 

ditakuti oleh mereka dari golongan hitam dan para pen-

jahat. Selama ini Pendekar 212 mereka anggap selalu 

muncul dan menghilang secara misterius, jarang me-

nampakkan diri secara langsung di depan para tokoh silat. 

Kabarnya bertampang tolol, kadang-kadang suka kurang 

ajar tetapi berhati polos: Semua yang hadir tidak menduga 

kalau Pendekar 212 masih begitu muda dan sangat 

sederhana.Wiro menyerahkan surat titipan gurunya kepada Raden 

Bintang. Tuan rumah bermaksud segera membacanya 

namun urung ketika mendengar Pendekar 212 berkata. 

"Maafkan saya, ada yang lebih penting dari surat itu. 

Seseorang di atas gerobak membutuhkan pertolongan. Di 

atas gerobak juga ada sesosok mayat." 

Semua yang hadir di situ tentu saja menjadi kaget. Be-

berapa di antaranya segera berdiri dan keluar dari rumah 

besar mengikuti Pendekar 212 yang melangkah menuju 

gerobak. 

Mereka yang ikut mendekati gerobak menjadi terkejut 

ketika menyaksikan apa yang ada di dalam gerobak itu. 

Wiro mengangkat tubuh Mintari yang berada dalam keada-

an lemah, terbungkus dengan kain kuning. 

"Gadis ini butuh istirahat dan perawatan. Saya mohon 

disediakan kamar untuknya..." kata Wiro lalu melangkah 

kembali ke arah rumah besar sambil mendukung Mintari. 

Seorang berpakaian hitam menyeruak diantara orang 

banyak. Lalu terdengar suaranya seperti harimau meng-

gereng disusul seruan keras. 

"Mintari! Apa yang terjadi denganmu Nak?!" 

Wiro hentikan langkah dan berpaling. Yang lain-lain ikut 

menoleh. Yang tadi berseru ternyata adalah Datuk Alam 

Rajo Di Langit. Dia mengenali gadis yang berada dalam 

dukungan Pendekar 212 itu. 

"Datuk," ujar Raden Bintang. "Kau mengenali gadis ini?" 

"Namanya Mintari. Dia calon muridku! Atas persetujuan 

ayahnya Ki Pamilin yang bergelar Pendekar Tangan Baja 

aku akan membawanya ke Pulau Andalas! Sungguh tidak 

disangka kalau saat ini aku menemuinya dalam keadaan 

begini. Di mana ayahnya?!" 

"Ya dimana Ki Pamilin? Dia salah seorang tokoh silat 

yang kita undang!" kata Raden Bintang pula. 

"Tokoh silat itu telah jadi korban pembunuhan biadab!"Orang banyak yang ada di tempat itu termasuk tuan 

rumah Raden Bintang menjadi geger. Lalu suasana hening 

beberapa saat lamanya. Dan semua mata kini ditujukan 

pada Pendekar 212 Wiro Sableng yang barusan memberi 

keterangan. 

Wiro menggoyangkan kepalanya ke arah gerobak. Dua 

kali lompat saja Raden Bintang sudah sampai di samping 

gerobak. Matanya membeliak melihat sosok tubuh hitam 

yang menggeletak mengerikan di atas lantai gerobak. 

"Hanya ada satu manusia yang bisa membuat seorang 

menemui ajal seperti ini. Yaitu murid murtad Ketua Partai 

Semeru Raya di Timur Orangnya bernama Kamandaka 

bergelar Pendekar Tangan Halilintar!" 

"Benar, menurut penuturan gadis ini memang orang itu 

yang membunuh ayahnya," kata Wiro pula. 

Kembali tempat itu dilanda kegemparan. 

Salah seorang dari mereka berkata. "Justru acara kita 

paling penting dalam pertemuan ini adalah untuk mem-

bicarakan manusia terkutuk itu! Belum sempat berunding 

kini sudah jatuh lagi satu korban baru!" 

"Dan anak gadis Ki Pamilin ini pasti sudah…" Orang 

yang bicara tidak tega meneruskan ucapannya. 

Seseorang memberi Isyarat agar Wiro mengikutinya. 

Mintari dibawa masuk ke dalam sebuah kamar. Dua orang 

perempuan separuh baya yang sebenarnya adalah juru 

masak untuk menyediakan makanan dalam pertemuan itu 

masuk ke dalam kamar guna merawat Mintari. 

Atas permintaan Raden Bintang, Wiro kemudian me-

nuturkan apa yang diketahuinya yakni mulai ketika 

pertama kali dia menemui para korban sampai pada pen-

jelasan yang disampaikan Mintari sebelum jatuh pingsan. 

Mau tak mau acara pertemuan hari itu ditunda sampai 

jenazah Ki Pamilin diurus dan dimakamkan di halaman 

belakang rumah besar. Menjelang sore semua orang berkumpul kembali di dalam rumah. Raden Bintang berpaling 

pada Pendekar 212. 

"Saya sudah membaca surat Eyang Sinto Gendeng. 

Saya dan tentu semua orang yang ada disini merasa 

menyesal tokoh sakti dari Jawa Barat itu tidak bisa hadir. 

Karenanya dengan segala kehormatan kami mengundang 

Pendekar 212 untuk mewakilinya." 

Kalau sudah begini sikap urakan Wiro jadi keluar. Dia 

masih berdiri tapi kini garuk-garuk kepala. "Maafkan saya," 

katanya. "Kalau tidak salah isi surat itu hanya mengatakan 

bahwa Eyang tidak bisa datang. Beliau tidak memberi 

wewenang pada saya untuk bertindak sebagai wakil pada 

pertemuan para tokoh ini." 

"Pendekar 212 walau Eyang Sinto Gendeng memang 

tidak menuliskan bahwa kau boleh mewakilinya, tapi kami 

semua yang hadir di sini sama menyetujui dan tak ada 

yang keberatan," Kata tuan rumah pula. 

Kembali Pendekar 212 menggaruk kepala. "Mohon 

maaf. Saya merasa tidak punya bobot untuk tegak sama 

tinggi dan duduk sama rendah dengan semua orang 

pandai yang ada di sini. Izinkan saya minta diri..." 

Raden Bintang merasa agak tersinggung. Maka diapun 

cepat berkata ketika dilihatnya Wiro hendak membalik. 

"Pertemuan ini sangat penting. Kita akan membicarakan 

tindakan yang harus diambil terhadap Kamandaka murid 

Partai Semeru Raya itu! Jika dibiarkan semakin banyak 

korban yang jatuh. Kau menyaksikan sendiri bagaimana 

kejinya dia membunuh Ki Pamilin dan merusak kehormat-

an anak gadis orang tua itu. Menghabisi nyawa dua 

perajurit Kerajaan. Bahkan belasan tokoh silat sebelumnya 

telah dihabisinya. Apakah kau ingin berlepas tangan 

saja...?" 

Kalau tadi Raden Bintan yang merasa agak tersinggung, 

kini sebaliknya Pendekar 212 Wiro Sableng yang merasatersinggung dan dipojokkan. 

"Kalau saya tidak ikut dalam perternuan ini bersama 

para tokoh yang saya hormati, bukan berarti saya hanya 

bertopang dagu berlepas tangan. Guru saya Eyang Sinto 

Gendeng mengajarkan bahwa pada saat-saat penting ada 

kalanya seseorang harus lebih banyak bertindak dari pada 

banyak bicara. Kamandaka sudah berbuat jahat menebar 

maut dan kebejatan sejak beberapa bulan lalu. Apa yang 

telah dilakukan orang-orang persilatan? Saya minta diri..." 

Wiro membalikkan badannya dan melangkah cepat 

meninggalkan rumah besar itu tanpa melihat bagaimana 

paras Raden Bintang menjadi kemerahan akibat kata-kata 

yang diucapkannya tadi. Sambil melangkah Pendekar 212 

Wiro Sableng menggerendeng. "Pertemuan... pertemuan! 

Berunding, bicara tak habis-habisnya. Seharusnya sudah 

sejak dulu-dulu mereka melakukan tindakan nyata, bukan 

cuma bicara!" 

Baru saja Wiro mengomel seperti itu di sebelahnya ter-

dengar satu suara. "Kau betul anak muda! Urusan kapiran 

macam begini tidak bakal beres kalau cuma dibicarakan di 

belakang meja sambil minum-minum dan makan-makan. 

Aku ikut bersamamu!" 

Wiro berpaling. Orang yang melangkah di sampingnya 

ternyata adalah orang tua berpakaian serba hitam dan 

memakai gelang bahar pada kaki dan tangannya. Dia 

bukan lain adalah Datuk Alam Rajo di Langit. Tokoh silat 

dari Andalas yang sebelumnya punya rencana membawa 

Mintari ke tempat kediamannya. 

"Orang tua, kau mau ikut aku ke mana?" bertanya Wiro 

sambil terus melangkah. 

"Mencari pemuda keparat bernama Kamandaka itu 

tentu!" 

"Siapa bilang aku saat ini pergi mencarinya?" 

Datuk Alam Rajo Di Langit jadi terkesima dan hentikanlangkahnya. Di depannya Wiro kembali berkata. "Saat ini 

bukankah lebih penting bagimu merawat calon muridmu 

itu? Persoalan Kamandaka biar serahkan saja pada para 

tokoh silat di Tanah Jawa ini." 

Ingat pada Mintari Datuk Alam Rajo Di Langit jadi 

bimbang. Lalu perlahan dia berkata. "Memang sebaiknya 

aku lebih memperhatikan keadaan calon muridku itu." Di-

pegangnya bahu Pendekar 212 lalu orang tua ini balikkan 

tubuh, kembali menuju rumah besar tempat pertemuan. 

Ketika dia sampai di tempat itu kembali ternyata semua 

orang yang ada di situ tengah dilanda kegemparan. 

Terheran-heran Datuk Alam Rajo Di Langit bertanya. 

"Apa yang terjadi? Banyak orang bermuka pucat kulihat. 

Kegemparan apa yang ada di sinil" 

Seseorang menjawab. "Gadis malang bernama Mintari 

itu lenyap di culik orang!" 

"Hah?!" Datuk Alam Rajo Di Langit terbeliak.Dia 

langsung melompat masuk ke dalam rumah, terus menuju 

kamar di mana Mintari dirawat. Yang ditemuinya di kamar 

itu hanya dua orang perempuan separuh baya yang se-

belumnya diperintahkan merawat Mintari. Kedua perempu-

an ini tertegak di sudut kamar dengan muka pucat! 

Datuk Alam Rajo Di Langit dekati kedua perempuan itu. 

"Lekas ceritakan apa yang terjadi!" bentaknya keras dan 

tidak sabaran. 

Dengan suara gemetar salah seorang dari dua 

perempuan itu berkata. "Saya tengah membasuh muka 

dan tubuh gadis itu. Teman saya ini baru saja meletakkan 

sehelai sapu tangan di keningnya yang panas. Tiba-tiba 

jendela di sebelah sana terpentang lebar. Lalu ada sese-

orang masuk seperti bayangan. Dia berkelebat ke atas 

tempat tidur. Tubuh gadis itu dipanggulnya. Lalu dia meng-

hilang lewat jendela." 

"Kalian mengenali siapa orangnya?" Raden Bintangajukan pertanyaan. 

"Gerakannya cepat. Tapi kalau saya tidak salah tangkap 

dia adalah seorang nenek kurus berkulit hitam. Di kepala-

nya ada tusuk kundai..." 

Datuk Alam Rajo Di Langit berpaling pada Raden 

Bintang. Yang lain-lainnya juga berlaku demikian. Saling 

pandang dan saling menduga. 

"Bisa saja tidak mungkin," kata Raden Bintang perlahan. 

"Namun manusia dengan ciri-ciri seperti itu hanva ada 

satu. Sinto Gendeng dari Gunung Gede di Jawab Barat. 

Guru Pendekar Kapak Maut Naga Geni 2l2!" 

"Lekas kita selidiki ke luar!" teriak Datuk Alam Rajo Di 

Langit. "Yang lain-lainnya coba mengejar pemuda murid 

Sinto Gendeng tadi!" 

Semua tetamu yang ada di tempat itu segera berbagi 

menjadi dua rombongan. Satu menyelidiki kemana lenyap-

nya Mintari bersama nenek penculik. Satu rombongan lagi 

mengejar Pendekar 212 Wiro Sableng. 

Namun kedua orang itu telah raib tak dapat lagi dikejar. 

***

4


DALAM sebuah rumah kayu di puncak Gunung 

Semeru lima orang duduk bicara mengelilingl 

sebuah meja bulat. Dari sikap dan air muka mereka 

jelas mereka tengah membicarakan satu masalah yang 

penting. 

Kelima orang itu masing-masing adalah Gamar Seno-

patri, Ketua Partai Semeru Raya yang menyandang gelar 

Dewa Tapak Sakti. Sang Ketua berusia hampir 70 tahun 

tapi keadaan tubuh dan wajahnya seperti baru ber-usia 50 

tahun. Rambutnya baru sedikit yang berwarna putih. Dia 

digelari seperti itu karena kedua telapak tangannya ber-

warna biru, mengandung kesaktian langka di mana dua 

tangan itu sanggup meremukkan benda sekeras apapun. 

Orang ke dua adalah Ageng Seto, Ketua Cabang Partai 

wilayah Utara. Di sebelahnya duduk Ageng Sembodo yang 

merupakan adik Ageng Seto dan menjabat sebagai Ketua 

Cabang Partai wilayah Selatan. Ageng Sembodo adalah 

orang paling muda di antara ke lima orang itu, berusia 35 

tahun dan memiliki wajah gagah. 

Lelaki ketiga adalah Ketua Cabang Partai wilayah Timur, 

bernama Ki Rono Bayu, berusia 76 tahun, jadi lebih tua 

dari sang Ketua Partai Semeru. 

Orang ke empat yaitu Rana Tumalaya, dipercayakan 

sebagai Ketua Cabang Partai wilayah Barat. 

Setelah mengusap wajahnya beberapa kali, Ketua 

Partai Semeru Raya berkata. "Memang sulit dipercaya 

kalau tidak dilihat sendiri. Kamandaka, pemuda yang jadimurid harapan masa depan Partai, dikenal cakap gagah, 

berjiwa penuh kesatria dan memiliki iman yang tinggi. Kini 

diketahui telah menebar angkara murka keji di rimba per-

silatan. Dosanya makin hari makin menggunung. Kalau 

ingatannya tidak terganggu, tidak mungkin dia melakukan 

semua itu. Atau mungkin dia memiliki semacam ilmu yang 

diamalkan secara sesat?" 

"Mungkin sekali begitu Ketua," menyahuti Ki Rono Bayu. 

"Lima orang anak murid Partai Cabang Timur sempat 

menemui Kamandaka di sekitar Karanganyar, tak jauh dari 

kaki sebelah barat Gunung Karangpandan. Karena se-

belumnya sudah saling mengenal maka para murid saya 

tidak sungkan-sungkan menasihati agar Kamandaka 

kembali ke jalan benar dan segera menghadap Ketua 

Partai untuk minta ampun. Namun apa yang mereka terima 

sungguh mengenaskan. Empat orang murid partai dibunuh 

dengan tangan kosong. Yang satu sempat melarikan did. 

Dia memberi tahu bahwa Kamandaka telah memiliki satu 

ilmu kesaktian baru yaitu berupa pukulan Tangan Halili-

ntar. Itu pula konon gelar yang dipakainya kini dalam dunia 

persilatan." 

"Tangan Halilintar!" desis Gamar Senopatri. "Dari mana 

anak itu mendapatkan ilmu kesaktian itu. Apa yang telah 

membuatnya berubah menjadi setan? Membunuh bahkan 

memperkosa!" Ketua Partai Semeru Raya ini geleng-geleng-

kan kepala sambil memegangi kalung baja putih dengan 

perhiasan berbentuk kepala singa. Sepasang mata singa 

ini diberi batu delima merah sehingga kelihatan berkilau-

kilau seperti memantulkan bara api. 

"Seorang pemuka agama di selatan mengetahui tempat 

kediaman Kamandaka. Agaknya sudah saatnya kita harus 

turun tangan..." berucap Ketua Cabang Partai wilayah 

Selatan yaitu Ageng Sembodo. 

Gamar Senopatri alias Dewa Tapak Sakti usapusapkankedua telapak tangannya yang biru satu sama lain. 

"Memang sudah saatnya. Biar aku sendiri yang akan 

menemui anak itu. Membawanya kemari untuk bertobat 

dan menebus segala dosa. Kalau dia tidak mau akan ku-

bunuh di tempat!" 

Baru saja Ketua Partai Semeru Raya itu berkata 

demikian, tiba-tiba, ada suara menyahuti. 

"Ki sanak benar! Murid murtad itu memang patut di-

bunuh. Dipancung kepalanya, dicincang sekujur tubuhnya!" 

Terdengar angin bersiur. Lampu minyak yang tergantung 

di atas meja bergoyang-goyang. Ke lima y orang yang ada di 

ruangan itu cepat berdiri. Mereka berpaling ke kanan. 

Di ambang pintu tegak seorang kakek berdestar dan 

berpakaian serba hitam. Pergelangan tangan dan kakinya 

dilingkari gelang akar bahar. Tampangnya sekeras batu 

karang dan pandangan matanya seperti api menyambar. 

Dia adalah Datuk Alam Rajo Di Langit, tokoh silat dari 

Andalas yang beberapa hari lalu menghadiri pertemuan 

para tokoh silat di Selatan. 

"Tamu terhormat dari mana yang datang tidak memberi 

salam?" tegur Ketua Partai Semeru Raya sekaligus 

menyindir. 

Datuk Alam Rajo Di Langit parasnya tidak berubah 

sedikitpun oleh teguran itu. Kedua matanya menyapu 

dengan cepat satu demi satu enam orang yang ada di 

ruangan itu. 

"Yang mana di antara kalian Ketua Partai Semeru 

Raya?" 

Gamar Senopatri mendehem beberapa kali sebelum 

menjawab. Dari pakaian sang tamu dia segera maklum 

kalau orang itu datang dari seberang. 

"Tamu dari seberang rupanya datang mencari saya. 

Saya Ketua Partai Semeru Raya. Nama saya Gamar 

Senopatri. Siapakah kiranya ki sanak?""Jadi kau rupanya guru Kamandaka. Pemuda bejat yang 

gentayangan malam melintang menebar maut, menculik 

dan memperkosa!" 

Paras Ketua Partai Semeru Raya jadi berubah. Empat 

Ketua Cabang tampak tegang. Selama ini belum ada orang 

yang datang membawa persoalan menyangkut diri Kaman-

daka. 

"Saya memang guru Kamandaka," kata Gamar Seno-

patri. "Terangkan dulu siapa ki sanak dan apa maksud 

kedatangan jauh-jauh ke sini?" 

"Setahuku kau diundang dalam pertemuan para tokoh 

silat di Selatan. Mengapa tidak muncul atau mengirim 

wakil?" 

"Akh, ki sanak rupanya utusan para tokoh silat dalam 

pertemuan itu." 

"Siapa bilang begitu? Aku datang mauku sendiri!" sahut 

Datuk Alam Rajo Di Langit. 

"Kalau begitu silahkan duduk. Mari kita bicara secara 

baik-baik." 

Datuk Alam mendengus. "Siapa sudi duduk dengan 

kalian orang-orang yang tidak bertanggung jawab?!" 

Lima orang disekitar meja tampak marah. Yang empat 

masih bisa menahan diri tapi yang paling muda yaitu Ageng 

Sembodo langsung membentak. 

"Apa maksud ucapanmu orang tua berpakaian hitam?! 

Datang tidak tahu juntrungan! Bicara tidak karuanl Jangan 

salah kalau orang macammu bisa digebuk!" 

Datuk Alam menyeringai. "Orang muda, di negeriku 

manusia bermulut enteng sepertimu sudah lama disingkir-

kan! Kalian orang-orang Partai Semeru hanya bisa bicara 

tapi tidak pernah bertindak! Sahabatku Ki Pamilin bergelar 

Pendekar Tangan Baja dibunuh oleh Kamandaka secara 

keji! Anak gadisnya yang bakal menjadi calon muridku 

diperkosa! Aku datang membawa kabar buruk itu agarkalian segera berbuat sesuatu! Dan tadi kau bilang aku 

datang tanpa juntrungan! Bicara tidak karuan! Orang 

sepertimu seharusnya dirobek mulutnya!" 

Para lima orang Ketua Partai Semeru Raya tampak 

berubah. Ageng Sembodo mengelam wajahnya. 

"Kenapa kalian jadi diam semua? Apa sudah disambat 

hantu bisu?!" sentak Datuk Alam Rajo Di Langit. Dia 

menunjuk tepat-tepat pada Ketua Partai Semeru Raya. 

"Kalau dalam waktu satu bulan kau tidak bisa menangkap 

muridmu dan menghukumnya dengan hukuman mati, aku 

akan muncul lagi di tempat ini. Saat itu seluruh puncak 

Semeru akan aku obrak-abrikl Nyawa kalian tidak ada 

harganya lagi bagiku! Ingat baik-baik!" 

Datuk Alam Rajo Di Langit membalikan tubuh hendak 

pergi. Tapi Gamar Senopatri cepat berkata. 

"Ki Sanak harap mau berlaku hormat sedikit. Walau 

marah dan dendam membara jadi satu, tapi kita orang-

orang tua tentu bisa berkepala dingin. Silakan duduk dulu 

agar kita bisa bicara baik-baik." 

Habis berkata begitu Ketua Partai Semeru Raya ini 

angkat tangan kanannya yang berwarna biru. Satu ke-

kuatan yang tidak terlihat bergerak ke arah sebuah kursi 

kayu. Kursi ini tampak terangkat. Lalu perlahan-lahan 

seperti melayang bergerak mendekati Datuk Alam Rajo Di 

Langit dan turun di sampingnya. 

"Silakan duduk, ki sanak!" kata Gamar Senopatri. Dia 

memberi isyarat pada empat Ketua Cabang. Bersama-

sama mereka kemudian duduk di kursi masing-masing. 

Sesaat Datuk Alam tampak menunjukkan sikap 

bimbang. Namun kemudian akhirnya dia duduk juga di 

kursi itu dan diam-diam mengetahui kalau Ketua Partai 

Semeru Raya sengaja memamerkan kehebatan tenaga 

dalamnya. Kakek ini membatin. "Hemmm.... Mulutnya 

bicara manis tetapi ada segumpal kesombongan di dalamhatinya." 

"Nah sekarang kita bisa bicara panjang lebar mengenai 

muridku si Kamandaka itu," kata Ketua Partai Semeru 

Raya pula. 

"Ah, waktuku sempit. Lagi pula aku sudah memperingat-

kan kalian agar segera turun tangan mencari dan me-

nangkap Kamandaka." 

"Urusan kami dengan Kamandaka adalah urusan guru 

dengan murid. "Urusan dalam Partai. Jadi harap ki sanak 

tidak keliwat mendesak..." 

Sepasang mata Datuk Alam Rajo Di Langit mendelik. 

"Mungkin apa yang ki sanak bilang betul adanya. Tetapi 

apa kata ki sanak menyangkut pembunuhan, penculikkan 

dan perkosaan, yang dilakukan oleh Kamandaka? Apa itu 

bisa dianggap sebagai urusan dalam? Ingat ki sanak. 

Seluruh tokoh rimba persilatan tidak menganggap hal itu 

urusan dalam Partai atau hanya sekedar urusan guru 

dengan murid!" 

Gamar Senopatri dan empat Ketua Partai tak bisa ber-

kata apa-apa. 

"Ada hal lain yang aku rasa kurang sedap. Masakan 

tuan rumah selaku Ketua Partai Semeru Raya yang begini 

besar tega-teganya memberikan kursi reyot pada tamu 

yang datang dari jauh." 

Setelah berkata begitu Datuk Alam Rajo Di Langit 

segera berdiri dan tinggalkan ruangan itu. 

Gamar Senopatri dan empat orang Ketua Cabang Partai 

tentu saja heran mendengar ucapan Datuk Alam Rajo Di 

Langit itu. Mereka segera memburu ke pintu tapi sang 

Datuk Alam Rajo Di Langit sudah lenyap. Padahal puncak 

Semeru di kawasan itu merupakan pedataran yang agak 

luas. 

"Gerakannya luar biasa cepat," kata Gamar Senopatri 

mengagumi. "Sayang dia sama sekali belum mengatakansiapa dirinya." Lalu Ketua Partai Semeru Raya ini berpaling 

ke arah kursi yang tadi sempat diduduki tamunya. 

"Apa yang tidak beres dengan kursi ini? Kursi begini 

kokoh dikatakan reyot!" berkata Ageng Sembodo. Lalu kursi 

kayu itu dipegangnya pada bagian sandaran dan diangkat-

nya. Terjadi hal yang aneh. Sambungan kayu-kayu kursi 

tiba-tiba bertanggalan dan jatuh ke lantai hingga Ageng 

Sembodo kini hanya memegang bagian sandarannya sajal 

"Manusia luar biasa!" mau tak mau pujian itu keluar dari 

mulut sang Ketua Partai. Lalu sambungnya. "Sebaiknya kita 

teruskan pembicaraan." 

Kelima orang itu kembali duduk mengitari meja bundar. 

"Sembodo, tadi kau mengatakan ada orang yang tahu 

letak tempat kediaman Kamandaka," Gamar Senopatri 

membuka pembicaraan. 

"Benar Ketua. Di sebuah goa di pantai Selatan. Sulitnya 

goa ini terletak dibawah laut. Jadi sulit untuk memasuki-

nya. Kalau tidak salah goa itu bernama goa Kranggan." 

"Kalau begitu besok kau dan aku berangkat ke sana." 

"Tunggu dulu Ketua," kata Ki Rono Bayu begitu men-

dengar kata-kata pimpinannya. "Soal maksud Ketua untuk 

turun tangan sendiri tidak kami ragukan. Namun harap 

Ketua jangan tergesa-gesa turun tangan sendiri. Beri dulu 

kesempatan pada kami untuk mendatangi kediaman 

Kamandaka. Jika bertemu akan kami seret dia ke hadapan 

Ketua." 

"Saya setuju pendapat Ki Rono Bayu itu," kata Rana 

Tumalaya. Ke empat orang Ketua Cabang Partai sama 

menyetujui hingga sang Ketua tidak bisa berbuat apa-apa 

lagi: Maka diputuskan bahwa Ageng Sembodo dan Ki Rono 

Bayu akan berangkat ke Selatan besok pagi. Namun se-

belum pertemuan dibubarkan, Ageng Seto mengajukan 

sebuah usul. 

"Setahu saya Kamandaka punya hubungan dekatdengan murid Partai yang bernama Kintani. Bagaimana 

kalau kita manfaatkan kedekatan hubungan itu. Kita minta 

bantuan gadis itu untuk membujuk Kamandaka agar mau 

menyerahkan diri dan ikut secara baik-baik ke puncak 

Semeru ini." 

"Itu pemikiran yang baik," kata Rana Tumalaya. "Entah 

bagaimana pendapat yang lain-lain." 

"Saya tidak setuju. Perjalanan ke Selatan cukup jauh 

dan sulit. Melibatkan Kintani terlalu berbahaya." Yang 

bicara adalah Ageng Sembodo. 

Ketua Partai mengusap dagunya. Dia tidak mau me-

mandang ke arah Ageng Sembodo. Tetapi Ketua Cabang 

Partai yang muda ini sekilas dilihatnya mengalami pe-

rubahan air muka. Gamar Senopatri dan juga semua orang 

yang ada di situ secara diam-diam mengetahui ada 

semacam perlombaan antara Kamandaka dan Ageng 

Sembodo untuk memperebutkan Kintani. Ternyata Kaman-

daka lebih mendapat tempat di hati si gadis. Sejak 

Kamandaka meninggalkan pucak Semeru lalu berbuat se-

gala macam kejahatan di rimba persilatan, Kintani nampak 

sangat terguncang. Sebaliknya Ageng Sembodo merasa 

bahwa kesempatan baginya untuk mendapatkan gadis itu 

jadi terbuka lebar. Bagaimanapun sang Ketua Partai pasti 

tidak akan merelakan Kintani berhubungan lagi dengan 

Kamandaka, apalagi merestui keduanya sebagai suami 

istri. 

"Bagaimana pendapat Ketua?" bertanya Rana Tuma-

laya. 

"Apa yang dikatakan Ageng Sembodo memang benar. 

Perjalanan ke Selatan jauh dan sulit. Namun mengapa 

tidak kita pergunakan kesempatan ini untuk memberikan 

tambahan gemblengan pada Kintani?" Gamar Senopatri 

alias Dewa Tapak Sakti memandang pada para Ketua 

Cabang satu persatu. Karena tidak ada yang bicara makadiapun mengambil keputusan. "Panggil Kintani, saya akan 

bicara padanya." 

Sebenarnya Ageng Sembodo hendak berkata dan ber-

usaha mencegah maksud membawa serta Kintani itu. Dia 

kawatir pertemuan si gadis dengan pemuda yang dicintai-

nya itu akan membawa akibat yang justru malah membuat 

suasana tambah keruh. Tetapi melihat pada air muka 

Ketua Partai, Ageng Sembodo memilih lebih baik dia diam 

saja. Malah dia diam-diam ingin memanfaatkan perjalanan 

itu untuk lebih mendekatkan diri dengan Kintani. 

***

5

BUKIT Selarong hampir tak pernah didatangi orang. 

Selain lerengnya yang terjal dan penuh dengan 

bebatuan, pohon-pohon disitu tumbuh sangat rapat. 

Kabarnya di sekitar situ juga sering terlihat binatang-

binatang buas seperti harimau dan srigala hutan. 

Namun siang itu terlihat kelebatan tubuh seseorang 

yang dengan cepat mendaki bukit, melompat dari batu satu 

ke batu lainnya, menyelinap sebat diantara pepohonan. Dia 

ternyata seorang nenek kurus tinggi berkulit sangat hitam. 

Muka dan matanya cekung. Alisnya putih. Di kepalanya 

yang ditumbuhi rambut jarang berwarna putih ada lima 

buah tusuk kundai perak. Dari ciri-ciri yang disebutkan ini 

jelas si nenek adalah Eyang Sinto Gendeng, guru Pendekar 

212 dari Gunung Gede. 

Si nenek mendekati bukit Slarong sambil memanggul 

sosok tubuh Mintari yang terbungkus kain berwarna 

kuning. Jadi dialah yang telah menculik gadis itu sewaktu 

berada di tempat kediaman Raden Bintang, tokoh silat 

yang bergelar Rantai Bayangan. 

Semakin tinggi ke atas bukit semakin dingin terasa 

udara. Mintari perlahan-lahan sadar dari pingsannya. 

Begitu siuman gadis ini langsung menjerit. Pertama karena 

ingat akan apa yang ketika menyaksikan angkernya wajah 

si nenek yang memanggul melarikannya. 

"Gadis sialan!" Sebagaimana biasa Sinto Gendeng enak 

saja memaki. "Jeritanmu mengejutkanku! Untung aku tidak 

latah dan melemparkanmu ke bawah bukit!'

"Nen... nenek. Kau siapa...?" tanya Mintari. 

"Diam sajalah! Nanti kalau sudah sampai di tempat 

tujuan baru kau boleh bertanya panjang lebar! Tidak baik 

bicara di jalanan. Kalau setan mendengar dan ikut bicara 

baru tahu rasa kau. Hik...hik...hik...!" Si nenek tertawa 

cekikikan. 

Mintari jengkel ada takutpun ada. Hendak menutup 

mulut dia merasa kawatir. Maka diapun bertanya kembali. 

"Kau ini sebetulnya mau bawa aku kemana Nek?" 

"Anak setan!" si nenek gebuk pantat Mintari. "Kalau 

aku bilang diam, jangan berani membuka mulut!" 

Akhirnya terpaksa gadis itu berdiam diri. 

Di salah satu lereng bukit Slarong terdapat sebuah 

telaga kecil berair jernih. Kesinilah Sinto Gendeng mem-

bawa Mintari. Di salah satu tepian telaga terdapat sebuah 

gundukan batu berbentuk goa. Eyang Sinto Gendeng ber-

henti di depan goa dan menurunkan Mintari. Dari kepitan-

nya dia mengeluarkan sebuah bungkusan yang ternyata 

isinya adalah sehelai baju dan celana putih. 

"Nenek...." 

"Lekas kau pakai pakaian itu. Kalau sudah baru nanti 

kita bicara!" Sinto Gendeng memotong ucapan Mintari. 

Mau tak mau gadis itu melakukan juga apa yang dikata-

kan si nenek. Selesai berpakaian dia tegak memperhatikan 

si nenek yang melangkah kakinya ke dalam air telaga. Tiba-

tiba Eyang Sinto Gendeng hentikan langkahnya, berpaling 

memandang Mintari. 

"Nah sekarang kau boleh omong. Bicara dan tanya apa 

saja yang kau mau. Tapi ingat jangan lama dan panjang 

lebar. Aku tidak punya waktu banyak. Aku manusia yang 

lebih banyak berbuat dari pada bicara ngulon-ngidul! Ayo 

buka mulutmu!" 

"Nek... seingat saya, sebelum jatuh pingsan seorang 

pemuda menolong saya...." Apa yang telah dialaminyaterbayang kembali di pelupuk mata Mintari. Gadis ini 

menangis keras dan jatuhkan diri berlutut di tepi telaga. 

"Saya dirusak secara keji. Ayah saya dibunuh. Apa guna-

nya lagi hidup ini...!" Mintari menjerit. Lalu tampak dia 

melompat. Dengan nekad gadis ini berlari cepat ke dinding 

batu di samping goa, siap untuk membenturkan kepalanya! 

"Anak tolol!" teriak Eyang Sinto Gendeng marah. Sekali 

dia berkelebat dia sampai lebih dulu di depan dinding batu. 

Tangan kanannya yang kurus diangkat. Telapak tangannya 

menangkap kening Mintari hingga kepala gadis itu tidak 

sampai membentur dinding batu! 

Si nenek gerakkan tangan kanannya. Mintari terbanting 

ke tepi telaga, menangis keras-keras. 

"Itulah kelemahan perempuan! Cis! Memalukan!" kata 

Sinto Gendeng. "Biasanya hanya menangis, putus asa lalu 

bertindak nekadl Apa kau tidak punya hati untuk merasa 

dan otak untuk berpikir? Kalau punya hati untuk merasa 

dan otak untuk berpikir? Kalau kau mampus apa yang 

akan kau dapat? Sorga tidak neraka pasti! Karena ter-

kutuklah orang-orang yang mati bunuh diri!" 

Mintari mengusap air matanya. Dia memandang pada si 

nenek yang telah menyelamatkan jiwanya. "Maafkan saya 

Nek. Pikiran saya benar-benar kalut. Saya tidak sanggup 

menahan sengsara yang amat berat ini. Tolong beri tahu 

siapa nenek ini adanya. Mengapa membawa saya ke 

tempat ini?" 

Mulut Eyang Sinto Gendeng tampak komat-kamit. 

"Pemuda yang menolongmu itu adalah muridku. Nama-

nya Wiro Sableng. Aku gurunya bernama Sinto Gendeng...!" 

Mintari terkesiap mendengar si nenek menyebut nama-

nama aneh itu. Sableng dan Gendeng! "Ah, aku ber-

hadapan dengan seorang nenek kurang waras rupanya. 

Tapi aku yakin manusia seorang nenek kepandaian tinggi. 

Aku ingat cerita guru tentang seorang nenek sakti yang

diam di puncak Gunung Gede. Jangan-jangan dia ini orang-

nya. Murid itu pasti Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!" 

"Kau mau tanya apa lagi?!" Sinto Gendeng memandang 

dengan mata dibesarkan pada Mintari. 

Si gadis lantas menjawab. 

"Turut cerita yang pernah saya dengar dari guru, apakah 

nenek orang sakti yang diam di puncak Gunung Gede dan 

murid nenek itu bukankah yang dijuluki orang sebagai 

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?" 

"Bagus, otakmu tajam juga. Kalau kau sudah tahu aku 

tidak perlu lagi menjawab pertanyaanmu. Aku bisa mulai..." 

"Tunggu dulu Nek. Saya ingin tahu sebab apa Nenek 

membawa saya kemari," kata Mintari pula. 

"Anak tolol! Justru hal itu yang hendak aku terangkan 

padamu!" berkata Eyang Sinto Gendeng dengan wajah 

merengut. 

"Maafkan kalau saya keliwat mendesak. Tapi per-

temuan dengan seorang tokoh besar dunia persilatan se-

perti Nenek sungguh membuat saya senang...." 

"Dasar anak tolol! Aku membawamu kemari bukan 

untuk bersenang-senang!" 

Melihat Eyang Sinto Gendeng seperti marah, Mintari 

cepat berkata. "Maafkan Nek. Maksud saya...." 

"Sudah! Kau dengan saja apa yang aku bilang. Jawab 

apa yang aku tanya. Mengerti.... " 

"Saya mengerti Nek...." 

"Panggil aku Eyang!" 

"Baik Nek eh Eyang " 

"Kau tahu siapa yang membunuh Ayahmu?" 

"Tahu Eyang." 

"Tahu siapa? Sebutkan orangnya." 

"Kamandaka. Dia murid sesat dan murtad Ketua Partai 

Semeru Raya. Bergelar Tangan Halilintar." 

'"Kau tahu siapa yang merusak kehormatanmu?""Manusia terkutuk yang sama Eyang. Kemahakah itu!" 

"Jadi kau sudah tahu dengan jelas," kata Sinto 

Gendeng. "Lantas apakah aku tidak ingin membalaskan 

sakit hati kematian Ayahmu serta perlakukan keji yang di-

lakukan Kamandaka terhadapmu?" 

"Itu memang tersurat dalam benak dan tergurat dalam 

hati saya Eyang. Tapi manusia itu kepandaiannya tinggi, 

sekali. Ayah saja mati ditangannya." 

"Anak tolol! Kalau Ayahmu tidak mampu apa berarti kau 

juga tidak mampu?!" 

"Saya sudah mencoba Eyang tapi gagal." Jawab Mintari. 

"Satu saat jika kau bertemu lagi dengan Kamandaka, 

kau tak akan gagal. Itu sebabnya aku membawamu 

kemari. Ada satu ilmu pukulan yang harus kau pelajari 

untuk dapat mempercudangi Kamandala." 

"Astaga, rupanya Eyang hendak mengambil saya jadi 

murid!" seru Mintari lalu buru-buru jatuhkan diri berlutut. 

Si nenek tertawa. 

"Siapa bilang aku mengambilmu jadi murid? Muridku 

cukup satu. Si pemuda sableng bernama Wiro itu!" 

Paras Mintari berobah. 

"Seperti kukatakan tadi, kau akan kuberi pelajaran 

menguasai satu ilmu pukulan sakti. Pukulan Sinar 

Matahari…!" 

"Saya pernah mendengar kehebaran pukulan sakti yang 

menggegerkan dunia persilatan itu," kata Mintari pula. 

Di hadapannya Eyang Sinto Gendeng tegak dengan 

kedua kaki dikembangkan. Tangan kanannya diangkat per-

lahan-lahan. Mintari melihat bagaimana tangan itu sampai 

sebatas lengan berubah menjadi putih seperti perak ber-

kilauan. Tiba-tiba si nenek menghantam ke depan. Ter-

dengar suara menderu dahsyat disertai berkiblatnya sinar 

terang benderang dan hawa panas menghampar. Menyusul 

suara menggelegDi depan sana dinding batu yang keras hancur 

berantakan. Mintari sampai leletkan lidah melihat kehebat-

an pukulan sakti itu. Padahal Eyang Sinto Gendeng baru 

kerahkan sepertiga saja dari tenaga dalamnya! 

"Pukulan Sinar Matahari..." kata Sinto Gendeng pada 

dirinya sendiri. "Hebat luar biasa! Tapi tidak mampu 

mengalahkan kehebatan Pukukan Halilintar Kamandaka...! 

Gila! Edan betul!" Paras cekung Sinto Gendeng menunjuk-

kan rasa kecewa yang mendalam. 

"Eyang..." kata Mintari. "Kalau pukulan Sinar Matahari 

tidak mampu mengalahkan Pukulan Halilintar Kamandaka, 

lalu mengapa Eyang hendak mengajarkannya juga pada 

saya?" 

Si nenek menyeringai. "Aku tahu dan aku tidak bodoh! 

Ilmu pukulan Sinar Matahari yang akan kuajarkan padamu 

akan kuberi satu tambahan kekuatan hingga bisa 

menyelusup menggepur ambalas pukulan sakti 

Kamandaka. Namun harus kau ketahui, ilmu pukulan itu 

hanya bisa kau kuasai selama tida puluh hari dan hanya 

bisa kau pergunakan satu kali saja. Setelah tiga puluh hari 

ilmu tersebut akan lenyap. Berarti dalam waktu tiga puluh 

hari kau harus dapat menemukan Kamandaka!" 

Sesaat Mintari terkesiap mendengar kata-kata Sinto 

Gendeng itu. lalu akhirnya terdengar dia berkata. "Terima 

kasih Eyang. Saya akan pelajari ilmu pukulan itu baik-baik." 

"Berdiri di depankul" kata Eyang Sinto Gendeng. "Aku 

mau jajal sampai di mana tingkat tenaga dalammul" 

Mintari tegak dua langkah di hadapan Eyang Sinto 

Gendeng. "Kepalkan tangan kananmu, ulurkan tepat-tepat 

ke hadapanku!" 

Kembali si gadis melakukan apa yang dikatakan si 

nenek. Sinto Gendeng sendiri melakukan hal yang sama 

tapi dengan tangan kiri. Kedua tangan mereka yang 

terkepal saling bersentuhan. "Tekan yang kuat!" kata SintoGendeng. 

Mintari menekankan tangan kanannya ke depan!" 

"Bagus! Sekarang kerahkan seluruh tenaga dalam!" 

Mintari segera kerahkan tenaga dalamnya. Tubuhnya 

sampai ke lengan yang diacungkan tampak bergetar keras. 

Eyang Slnto Gendeng menunggu sampai seluruh kekuatan 

tenaga dalamsi gadis terhimpun di kepalan tangan 

kanannya. Ketika hal itu tercapi baru nenek sakti ini 

mengerahkan tenaga dalamnya. Dia mulai dengan seper-

sepuluh bagian. Naik dua persepuluh. Ketika mencapai 

tingkat seperempatnya, di hadapannya Mintari nampak 

goyang kedua lututnya. Di kening gadis ini memercik 

keringat. Pakaiannya juga basah oleh keringat. Eyang Sinto 

putar kepalan tangan kirinya ke samping kiri. Saat itu pula 

terdengar suara jeritan Mintari. Gadis ini terpental enam 

langkah, jatuh masuk ke dalam telaga. Mukanya tampak 

seputih kertas! 

Dengan cepat Mintari berenang ke tepi telaga. Di 

hadapan Sinto Gendeng dia berkata. "Maafkan saya 

mengecewakan Eyang." 

"Tidak jadi apa. tapi kau perlu meningkatkan tenaga 

dalammu sampai paling tidak dua kali dari yang sekarang 

ini. Kalau kau tidak mampu melakukannya berarti seumur 

hidup kau tidak bakal dapat membuat perhitungan dengan 

Kamandaka!" 

"Jika Eyang mau membimbing, saya akan berusaha 

keras untuk meningkatkan tenaga dalam saya..." 

"Kau butuh waktu paling sedikit dua bulan. Kau harus 

sungguh-sungguh!" 

"Saya akan sungguh-sungguh Eyang. Saya berjanji!" 

Sinto Gendeng menyeringai. "Berjanji lebih bagus dari 

pada bersumpah! Berapa banyak saja manusia yang ber-

sumpah palsu!" 

"Terima kasih Eyang. Kau memberi saya kesempatan...""Sudah, lupakan segala macam peradatan. Kita mulai 

sekarang juga. Duduk bersila di depan mulut goa sana. 

Letakkan kedua tanganmu di atas ujung paha dekat lutut. 

Lalu kerahkan tenaga dalammu dari perut. Tapi jangan di-

alirkan. Tetap di perut dan tahan!" 

***

6

TGA penunggang kuda itu berhenti di tepi pantai. 

Mereka adalah Ki Rono Bayu, Ketua Cabang Partai 

Semeru raya wilayah Timur. Lalu Ageng Sembodo, 

Ketua Cabang wilayah Selatan dan yang ketiga seorang 

gadis berkulit putih. Dia mengenakan pakaian ringkas putih 

dan mengenakan ikat kepala. Wajahnya yang cantik ke-

merahan disengat sinar matahari. Gadis ini adalah anak 

murid Partai yang bernama Kintani. 

"Dimana letak goa Kranggan itu?" bertanya Ki Rono 

Bayu tidak sabaran. 

Ageng Sembodo tidak segera menjawab. Dia me-

mandang ke tengah laut tetapi pandangannya kosong. Dia 

tengah membayangkan pembicaraannya dengan Kintani 

malam tadi. 

Waktu itu mereka berkemah dan membuat api unggun 

di pinggir sebuah anak sungai. Ki Rono Bayu sudah tertidur 

karena keletihan. 

Ageng Sembodo dan Kintani tidak segera bisa tidur. 

Kesempatan ini dipergunakan oleh Ageng Sembodo untuk 

mendekati si gadis. Dia memulai pembicaraan dengan ber-

tanya bagaimana perkembangan ilmu silat serta tenaga 

dalam si gadis. Kintani menjawab ada kemajuan tetapi 

tidak banyak. 

"Kau harus rajin berlatih Kintani. Ketua sangat meng-

harapkan kau menjadi salah seorang murid Partal yang 

bisa diandalkan," kata Ageng Sembodo pula. Lalu dia ber-

tanya. "Apakah kau masih mengngat-ingat Kamandaka?""Dia saudara seperguruan, saudara se Partai. Tentu saja 

tidak ada yang lupa padanya." 

Ageng Sembodo tersenyum. "Kau hanya mengingatinya 

sebagai saudara seperguruan dan saudara se-Partai?" 

"Maksud Ketua Cabang apa?" tanya Kintani. 

"Panggil saja namaku." 

"Baik. Lalu maksud Ageng Sembodo apa?" 

"Aku tahu, semua orang tahu kalau kau ada hubungan 

khusus dengan pemuda itu. Kalian saling mencinta." 

Kintani diam saja walau wajahnya tampak bersemu 

merah. 

"Setelah dia kini menempuh hidup sesat, murtad, apa-

kah kau masih mencintainya Kintani?" 

"Saya yakin ada sesuatu yang menyebabkan dia jadi 

begitu. Saya tahu dia orang baik. Kalau saya bertemu dia, 

hal itu yang perlu saya tanyakan lebih dulu." 

"Justru jika kita bertemu dengan dia, kita tidak punya 

waktu banyak untuk bicara soal lain. Dirinya dikejar dosa 

dan hukum. Ingat hal itu Kintani. Dia bukan anak murid 

Partai lagi. Sekali kita menemuinya dia akan kita seret ke 

hadapan Ketua. Jika dia menolak. Ketua sudah berpesan 

dan memberi wewenang untuk membunuhnya di tempat. 

Kalaupun dia bisa dihadapkan pada Ketua Partai, umurnya 

tak akan lama. Dia akan dijatuhi hukuman mati1" 

Si gadis diam kembali. 

"Dari sekarang kau harus mulai melupakannya Kintani. 

Kalau tidak kau akan hanyut dalam derita batin." 

Kintani masih berdiam diri. 

Ageng Sembodo menggeser duduknya. Dipegangnya 

tangan Kintani seraya berkata. "Kau pasti tahu Kintani. 

Sejak lama aku mencintaimu. Jika kau sudi, masa depan 

yang baik akan menanti kita. Ketua Partai pasti merestui 

hubungan kita." 

Ageng Sembodo menunggu sambil menatap paras sigadis di sebelahnya. 

"Apa jawabmu Kintani?" 

Tak ada jawaban. 

"Aku percaya kau juga menaruh perasaan yang sarna 

terhadapku. Hanya halangan diri Kamandaka yang mem-

buatmu tidak bisa menerima kenyataan itu. Bukankah 

demikian....?" 

"Saya tidak tahu Ageng..." sahut Kintani. 

Ageng Sembodo mendekatkan wajahnya ke wajah si 

gadis. Sesaat lagi hidungnya akan mencium dan menyen-

tuh pipi Kintani, gadis ini jauhkan kepalanya dan lepaskan 

jari-jari tangannya dari pegangan Ageng Sembodo. 

"Saya letih. Saya mengantuk. Besok kita harus melanjut-

kan perjalanan jauh. Sebaiknya kita tidur saja..." 

"Kau pergilah tidur. Aku akan berjaga-jaga sambil me-

mandangi wajahmu yang cantik..." jawab Ageng Sembodo. 

Ki Rono Bayu memandang pada Ageng Sembodo 

dengan perasaan heran. Dalam hati dia membatin. "Aku 

bertanya dia tak menjawab. Matanya tertuju ke arah laut. 

Apa yang ada dalam benak orang ini?" 

"Ageng Sembodo, aku bertanya apa kau tidak men-

dengar?" 

Ageng Sembodo seperti kaget. Dia berpaling pada orang 

tua itu seraya berkata. "Maafkan saya. Mohon per-

tanyaannya diulangi." 

"Saya tadi bertanya dimana letak goa Kranggan sarang 

Kamandaka itu?" Suara Ki Rono Bayu jelas terdengar 

jengkel. 

"Ah... Goa itu rasanya berada di sekitar tempat ini Ki 

Rono. Untuk pastinya kita harus menemui seseorang yang 

tahu betul letak pastinya. Ikuti saya..." 

Ki Rono Bayu dan Kintani mengikuti Ageng Sembodo 

yang memacu kudanya menyusuri pantai ke arah timur. Di 

saw tempat dia membelok ke kiri memasuki sebuahperkampungan nelayan. Di ujung perkampungan Ageng 

Sembodo hentikan kudanya di depan sebuah rumah yang 

saat itu dikeillingi oleh orang banyak. Bau busuk menebar 

dari dalam rumah. 

"Ini rumahnya," kata Ageng Sembodo pada Ki Rono 

Bayu. "Tapi heran, ada apa orang berkerumun di sini?" 

Ageng Sembodo turun dari kudanya dan bertanya pada 

salah seorang yang ada di tempat itu. "Betul ini rumah Suro 

Ampel?" 

Orang yang ditanya mengangguk dan memandang pada 

Ageng Sembodo serta Ki Rono Bayu dan Kintani. Orang-

orang di sekitar situ juga sama memperhatikan mereka. 

"Saudara ini siapa? Apakah bermaksud menemui Suro 

Ampel pemuka agama di kampung ini?" tanya orang yang 

tadi menganggukkan kepalanya. 

"Betul," sahut Ageng Sembodo. "Ada apa orang banyak 

berkerumun di sekitar sini?" tanyanya kemudian. 

"Ada hal-hal yang tidak biasa. Sudah dua hari Suro 

Ampel tidak keluar dari dalam rumahnya. Sejak pagi tadi 

ada bau busuk keluar dari dalam rumah. Kami penduduk 

kampung menaruh curiga. Jangan-jangan sesuatu telah 

terjadi dengan diri Suro Ampel. Kami tengah berunding 

untuk menjebol pintu rumahnya dan memeriksa ke 

dalam..." 

Ageng Sembodo tidak menunggu orang itu mengakhiri 

ucapannya. Dia melompat ke hadapan pintu rumah. Sekali 

tendang saja pintu yang terbuat dari papan itu jebol hancur 

berantakan. Bersamaan dengan Itu bau busuk yang 

menjijikkan keluar lebih santar dari dalam rumah. 

Ada beberapa orang yang ikut masuk ke dalam rumah. 

Mereka langsung hentikan langkah ketika sampai di bagian 

tengah rumah. Di antara kegelapan tampak menggeletak 

sesosok tubuh di lantai. Mukanya tidak bisa dikenali 

karena sudah hancur dan membusuk. Sosok tubuh yangsudah jadi mayat inilah yang mengeluarkan bau busuk. 

Meski mukanya hancur namun dari bentuk tubuh serta 

pakaian yang melekat di tubuh mayat Ageng Sembodo 

segera tahu mayat itu adalah mayat Suro Ampel, orang 

yang dicarinya dan yang tahu letak pasti goa Kranggan. 

Tanpa menunggu lebih lama Ketua Cabang Partai Semeru 

wilayah Selatan ini segera keluar dari tempat itu. Di luar 

diceritakannya apa yang ditemuinya di dalam. 

"Tak ada jalan lain. Kita harus menunggu sampai besok 

pagi. Besok, kalau pasang surut terjadi, saya rasa saya bisa 

mengenali dimana letak goa itu." 

Ki Rono Bayu hanya bisa angkat bahu dengan kesal 

sedang Kintani menghela nafas panjang. Perjalanan itu 

begitu jauh dan meletihkan. Lalu dia tidak dapat mem-

bayangkan apa yang bakal terjadi. 

"Apa pendapatmu Ageng?" tanya Ki Rono Bayu. 

"Apa lagi. Suro Ampel pasti korban keganasan Kaman-

daka." 

"Apa dosa manusia itu?" tanya Kintani. 

"Kamandaka tidak ingin dia memberi tahu letak goa 

Kranggan yang jadi sarangnya," jawab Ageng Sembodo. 

Pantai Selatan luar biasa indahnya ketika sang, surya 

menyembul, mulai menerangi bumi dengan sinarnya yang 

merah kuning kemilau. Air laut berubah laksana hamparan 

permadani emas yang bergoyang- goyang. 

Di tepi pasir Ageng Sembodo tegak bertolak pinggang. 

Matanya tak berkesip memandang ke arah gundukan batu 

yang menyembul dipermukaan air laUt yang kini men-

dangkal dalam keadaan pasang surut. Sore kemarin 

gundukan batu itu tidak kelihatan karena pasang naik 

menutupinya. Dia berpaling pada Ki Rono Bayu dan 

Kintani, lalu berkata. 

"Lihat, itu satu-satunya gundukan batu yang menyembul 

di permukaan laut. Pasti disitu letak goa Kranggan!"KI Rono Bayu tertawa mendengar ucapan Ageng Sem-

bodo itu. "Gundukan batu itu tidak lebih dari gundukan 

batu biasa. Mana mungkin ada goa di situ!" 

"Kita tunggu saja sampai beberapa saat lagi. Akan kita 

lihat kalau air laut sudah sampai ke dasar batu," kata 

Ageng Sembodo yang merasa dicemoohkan. 

Ketiga orang itu menunggu. Makin tinggi matahari naik, 

makin dalam air laut turun. Akhirnya sebuah lobang 

kelihatan dibawah gundukan batu. 

Lobang ini setinggi orang membungkuk dan lebarnya 

hanya cukup untuk sesosok tubuh manusia. 

"Lihat! Itu pasti goanya!" kata Ageng Sembodo. 

Setengah berlari dia menghampirl lobang itu dan 

mengintai ke dalam. Bagian dalam lobang diselimuti 

kegelapan. Cahaya matahari hanya sedikit sekali mampu 

menerangi dari arah yang berlawanan dengan mulut 

lobang. Bagian dalam lobang tampak merupakan suatu 

penurunan. Air laut di dalamnya tertahan oleh sanding batu 

yang menutupi setengah dari lobang. 

Ki Rono Bayu membungkuk dan mengintai ke dalam. 

Dia merasakan sesuatu menyapu wajah dan tubuhnya. 

"Ada angin berhembus dari dalam lobang!" kata orang 

tua ini. "Pertanda di dalam sana ada ruangan yang ber-

hubungan dengan udara luar. Tapi jelas bukan udara 

laut..." 

"Bagaimana Ki Rono mengetahui udara di sana bukan 

udara laut?" tanya Ageng Sembodo pula. 

"Udara laut saat ini masih dingin dan mengandung 

garam. Sedang udara yang kucium terasa hangat dan ber-

bau embun..." 

"Berarti lobang ini berhubungan dengan darattan!" kata 

Ageng Sembodo. 

"Kau benar. Tapi dimana dan bagaimana berhubungan-

nya perlu kita selidiki." Ki Rono Bayu berpaling padaKinanti. 

"Kinanti, kau tunggu di tempat ini. Jangan ke mana-

mana. Aku dan Ageng Sembodo akan memasuki goa dan 

menyelidiki." 

Kinanti mengangguk. "Hati-hatilah dan jangan terlalu 

lama di dalam sana. Saya merasa tidak tenang ditinggal 

sendirian." 

Sebenarnya Ageng Sembodo juga tidak senang dengan 

tindakan Ki Rono Bayu yang mengatur agar mereka berdua 

masuk sedang Kinanti ditinggal sendirian. Dengan meng-

gerendeng dalam hati Ageng Sembodo masuk juga ke 

dalam lobang membungkuk-bungkuk, diikuti oleh Ki Rono 

Bayu di sebelah belakang. Hanya beberapa saat setelah 

kedua orang itu memasuki lobang, di balik gundukan batu 

sebelah kanan tanpa diketahui Kintani bergerak sesosok 

tubuh tanpa suara. 

Begitu hanya tinggal tiga langkah dari Kintani orang ini 

melompat dan menyergap si gadis. Dalam kejutnya dara 

murid Partai Semeru Raya itu hendak berteriak tetapi 

mulutnya disekap hingga dia tidak bisa keluarkan suara 

sedikitpun. Bahkan nafasnya tertahan membuat dadanya 

sesak turun naik. 

Untungnya Kintani tidak hilang akal. Kedua siku 

tangannya dihantamkan ke belakang. 

Bukkkk! 

Bukkkk! 

Dua siku mendarat dengan keras di tubuh orang yang 

menyergapnya. Namun Kintani merasa seperti meng-

hantam kapas! Pukulan-pukulannya itu sama sekali tidak 

membuat orang yang menyergapnya bergeming sedikitpun. 

Bahkan sambil menyeringai orang itu berbisik. 

"Kintani, aku memang sudah menduga kau bakal 

datang mencariku. Aku memang sudah lama merindukan-

mu. Mulai detik ini kau akan ikut kemana aku pergi. Kitatidak akan berpisah selama-lamanya..." 

Dua mata Kintani membeliak besar. Dia mengenali 

suara itu. Dalam dirinya ada rasa terkejut dan takut. 

Namun diam-diam ada juga rasa bahagia. 

"Jika kau berjanji tidak menjerit, akan kulepaskan 

sekapan di mulut dan hidungmu..." Orang yang menyergap-

nya kembali berkata. 

Si gadis angguk-anggukkan kepalanya tanda dia meng-

ikuti tidak akan berteriak. Perlahan-lahan si penyergap 

lepaskan sekapannya. 

Begitu dirinya terasa lepas Kintani secepat kilat me-

nyambar leher dan rambut orang di belakangnya. Sosok 

tubuh itu kemudian ditariknya dan dibantingkannya ke 

arah batu! 

Tubuh yang dibanting lewat punggung itu memang jatuh 

di batu. Namun tidak tergeletak cidera malah sambil ter-

tawa-tawa orang itu duduk bersila di atas batu itu. Kintani 

membalikkan tubuh siap hendak menghantam. Kini 

dengan pukulan sakti mengandung tenaga dalam. Namun 

gerakannya tertahan ketika dia melihat wajah orang itu. 

Sepasang mata mereka saling beradu. 

"Ya Tuhan! Benar dia rupanya!" kata Kintani dalam hati. 

***


7

BIBIR Kintani bergetar ketika menyebut, "Mas Kaman. 

Jadi betul kau tinggal di sini." Pemuda di atas batu 

kembali tertawa. Rambutnya yang gondrong me-

lambai-lambai di tiup angin laut. Wajahnya klimis meski 

pakaian birunya lecak dan basah. Dia tidak mengenakan 

destar. 

"Kintani, dari ucapanmu jelas kalian datang kemari 

untuk menyelidiki..." 

"Jadi Mas Kaman telah melihat Ageng Sembodo dan Ki 

Rono Bayu?" 

"Daerah seluas ribuan tombak ini adalah kekuasaanku. 

Tidak satupun yang lepas dari penglihatanku! Keduanya 

masuk ke liang neraka. Berarti tidak bakal dapat keluar 

lagi!" jawab orang di atas batu yang memang Kamandaka 

alias Tangan Halilintar adanya. 

"Maksud Mas Kaman mereka akan menemui ajal?" 

"Mereka datang mencari mati sendirii Mereka bakal 

mendapatkannya." 

"Jangan Mas Kaman. Jangan dicelakai mereka..." kata 

Kintani memohon. Dia memperhatikan sepasang mata 

pemuda itu. Sepasang mata itu tidak seperti dulu lagi. Dulu 

ada cahaya lembut yang membuat Kintani merasa sejuk 

jika dipandang. Saat ini dia menyaksikan betapa kedua 

mata itu laksana menyambarkan api yang mengerikan. 

"Kalian diutus oleh Ketua Partai bukan?" tanya 

Kamandaka. 

"Benar sekali. Syukur kalau Mas Kaman sudah mengetahuinya." 

"Apa saja perintah yang kalian jalankan?" 

"Ketua dan juga guru kita meminta agar Mas Kaman 

kembali ke puncak Semeru..." 

Kamandaka menyeringai. Dia menengadah ke langit 

lalu tundukkan kepala dan meludah. 

"Enak saja dia memerintah begitu. Mengapa dia tidak 

datang sendiri?" 

"Mas Kaman jangan bicara begitu. Dia adalah Ketua 

dan guru kita!" ujar Kintani. 

"Dulu memang aku pernah menganggap begitu. Meng-

hormati dan mempercayainya sebagai guru dan Ketua 

Partai. Tapi setelah kuketahui siapa dirinya, aku ber-

sumpah akan membunuhnya!" 

"Mas Kaman, apa sesungguhnya yang terjadi dengan 

dirimu? Mengapa kau kini punya jalan pikiran dan berucap 

seperti itu?" 

"Tidak ada yang berubah dengan diriku..." 

"Tapi kau melakukan pembunuhan. Kau menculik dan... 

dan... mem..." 

"Memperkosa!" sambung Kamandaka tidak sabaran. 

"Katakan saja begitu! Itu sebabnya aku dicap sebagai 

murid murtad! Murtad! Kamandaka si murid murtad! 

Sungguh sedap didengar telinga! Ha.., ha... ha ...!" 

"Mas Kaman, apakah kau bersedia ikut bersama kami 

kembali ke puncak Semeru?" tanya Kintani. 

"Mau saja, Kintani. Tapi..." 

"Tapi apa Mas Kaman?" 

"Tak ada yang bakal membawa aku ke sana..." 

"Kami, kami yang akan membawamu ke sana menemui 

guru," kata Kintani pula. 

Kamandaka alias Tangan Halilintar tersenyum. "Kalian 

tak akan pernah kembali ke Semeru. Itu sebabnya ku-

katakan tak akan ada yang membawaku ke sana!""Jadi Mas Kaman hendak membunuh kami? Saya adik 

seperguruanmu di dalam Partai. Ageng Sembodo dan Ki 

Rono Bayu adalah Ketua-Ketua Cabang. Apa kau tega 

mem-bunuh kami?" 

"Setan atau malaikatpun jika berseteru dan membenci-

ku akan ku bunuh!" kata Kamandaka. Perlahan-lahan dia 

turun dari batu, melangkah di air laut yang dangkal meng-

hampiri Kintani. Dulu-dulu jika didekati Kamandaka, 

Kintani selalu merasakan dadanya berguncang keras. Tapi 

guncangan itu justru dirasakannya sangat membahagia-

kan. Kini didekati sambil dipandang tidak bersikap malah 

membuat si gadis merasa ngeri. Kuduknya terasa dingin. 

"Mas Kaman ...Banyak tokoh silat dari berbagai penjuru 

tengah mencari Mas Kaman. Mereka semua punya niat 

untuk menghabisi Mas Kaman. Kalau Mas bisa kembali ke 

Semeru dan minta ampun pada Ketua Gamar Senopati..." 

"Minta ampun? Aku minta ampun pada tua bangka 

keparat itu? Justru dia yang harus minta ampun padaku!" 

"Mas Kaman, mengapa kau sampai berkata begitu?" 

Kamandaka memegang bahu Kintani. "Ikut aku ke 

dalam goa. Jangan berani menolak!" Kamandaka ulurkan 

tangannya. Kintani mundur ketakutan. Kamandaka kelihat-

an jengkel. "Seharusnya begitu tadi aku melihatmu sangat 

layak aku segera membunuhmu! Tapi aku sadar. Ada 

sesuatu dalam hatiku terhadapmu yang kurasakan sejak 

dulu sampai saat ini." 

Paras Kintani tampak kemerahan. "Kalau Mas Kaman 

masih mempunyai perasaan itu, Mas Kaman harus mau 

meluluskan permintaan saya..." 

"Permintaan apa?" tanya Kamandaka. 

Dengan suara perlahan-lahan Kintani berkata. 

"Kembali ke puncak Semeru. Jalani hidup yang lurus dan 

benar!" 

Kamandaka tertawa. "Kau rupanya sudah jadi seorangPendeta atau seorang Ustad atau seorang Resi. Huh!" 

Dipegangnya lengan Kintani erat-erai lalu ditariknya ke 

mulut lobang. "Ikut aku!" 

"Tidak! Jangan..." pekik Kintani. Keduanya saling tarik 

menarik. Tapi Kintani kalah kuat. Selangkah demi selang-

kah dia terseret ke arah lobang di gundukan batu. Di depan 

lobang Kamandaka hentikan tarikannya. Pandangan kedua 

matanya sesaat tampak mesra. Kintani jadi luluh. Ketika 

pemuda itu melingkarkan kedua tangannya di punggung, 

memeluknya, si gadis tidak kuasa menolak. Dia memang 

sudah lama menyukal Kamandaka. Tiada disadarinya dia 

sengaja merebahkan kepalanya di dada Kamandaka. 

"Kau mencintai diriku Kintani. Aku tahu..." bisik Kaman-

daka seraya membelai rambut gadis itu. "Kau akan tinggal 

di sini. Kita hidup sebagai suami istri. Kau dan aku akan 

bahagia. Ha ...ha...ha..." 

"Dia gila berkata begitu..." kata Kintani dalam hati lalu 

menjauhkan kepalanya dari dada si pemuda dan melepas-

kan pelukan Kamandaka. "Jika Mas. Kaman mau kembali 

ke puncak Semeru, jika Ketua Partai merestui, baru saya 

bersedia menjadi istri Mas Kaman..." 

"Kurang ajar! Tidak ada yang bisa mengatur diriku! Juga 

tidak kau!" teriak Kamandaka. Tangan kanannya diangkat 

ke atas. Kintani melihat bagaimana tangan itu sampai ke 

lengan menjadi sangat hitam. Ketika tangan itu dipukulkan 

ke batu, tak ampun lagi setengah dari gundukan batu 

besar di laut dangkal itu menjadi hancur berantakan. 

Akibatnya lobang yang di batu menjadi tambah besar. 

"Pukulan Halilintar..." membatin Kintani dengan wajah 

pucat. Selagi dia terdiam memandangi Kamandaka, 

pemuda ini cepat menyambar pinggangnya. Si gadis di-

panggulnya di bahu kiri lalu dengan membungkuk-bungkuk 

dia memasuki lobang di batu itu. Kintani ingin meronta, 

ingin melepaskan diri. Namun di dalam rasa takutnya adapula bayangan rasa bahagia. Bahagia karena setelah 

sekian lama baru kini dia dapat berjumpa lagi dengan 

pemuda yang selama ini memang dicintainya dan juga di-

ketahuinya memiliki sifat aneh kalau tidak mau dikatakan 

seperti orang kurang waras. Ada bayangan maut pada 

senyumnya. Ada kematian pada sinar matanya. Dengan 

perasaan cinta kasih yang mereka miliki dapatkah dia me-

rendam semua keburukan dan kejahatan pemuda itu. 

Dapatkah dia menguasai Kamandaka? 

"Turunkan saya. Saya bisa berjalan sendiri..." kata 

Kintani. 

"Aku masih kuat memanggulmu sampai ke ujung 

bumipun Kintani! Tapi jika kau mau jalan sendirl dan ber-

janji tidak akan berbuat macammacam itu aku juga sukai" 

Lalu Kamandaka turunkan gadis itu dari bahunya. 

Begitu menginjak tanah Kintani jadi heran. Ternyata 

mereka kini bukan lagi berada dalam sebuah goa atau 

terowongan, melainkan di alam terbuka. Di sebuah tempat 

ketinggian yang ditumbuhi banyak pohon kelapa pendek 

serta penuh batu-batu besar berwarna coklat kemerahan. 

"Di mana kita ini Mas Kaman?" tanya Kintani. 

"Inilah daerah kediamanku. Sebentar lagi kau akan me-

lihat rumah kita. Kau dan aku akan tinggal di sana sampai 

hari kiamat! Ha... ha...ha...!" 

Kini rasa takut dalam diri Kintani melebihi rasa sukanya 

terhadap pemuda itu. Dia coba mengingat-ingat. Waktu 

Kamandaka memanggulnya, pemuda itu melangkah biasa 

tapi cepatnya sama seperti orang berlari. Dia dibawa me-

masuki lobang yang bagian dalamnya berbentuk goa atau 

terowongan. Mula-mula terowongan ini menurun, 

kemudian mendaki dan berputar. Putaran ini membalik ke 

belakang. Berarti kalau sebelumnya mereka bergerak ke 

arah laut, kini dia dibawa membalik ke arah darat setelah 

melewat sebuah lobang yang ditutupi dengan semakbelukar. Sayup-sayup Kintani mendengar suara deburan 

ombak pertanda bahwa tempat itu masih berada dekat 

kawasan laut. 

Kamandaka mendekat dan memegang tangan Kintani. 

"Ikuti aku," kata pemuda ini. "Sebelum kita menuju ke 

rumah, aku harus melakukan sesuatu dulu. Kau datang 

bersama dua binyawak bukan? Nah, kedua binyawak itu 

harus kupersiangi lebih dulu!" 

Kintani tahu sekali. Yang disebut Kamandaka dengan 

nama binyawak itu adalah Ageng Sembodo dan Ki Rono 

Bayu. Membayangkan apa yang dimaksud dengan ucapan 

mempersiangi yang dikatakan Kamandaka tadi, semakin 

dingin tengkuk Kintani. Lengannya di tarik kuat-kuat. Dia 

dibawa melangkah cepat dan sesekali melompat ke atas 

batu-batu besar. Aneh, jika dia melakukannya sendiri 

mungkin belum tentu mampu. Tapi pegangan Kamandaka 

pada lengannya seperti menyalurkan suatu hawa sakti 

hingga tubuhnya terasa lebih enteng dan dengan mudah 

dia mengikuti gerakan pemuda itu. 

"Nah, itu dia dua ekor binyawak yang aku katakan 

padamu!" Tiba-tiba Kamandaka berkata seraya menunjuk 

ke depan. 

Kintani memandang ke arah yang ditunjuk. Di dekat 

sebuah batu besar dilihatnya Ageng Sembodo dan Ki Rono 

Bayu tengah berdiri sambil memandang berkeliling. 

"Binyawak busuk! Kalian mencariku?! Kalian tahu kalau 

berani muncul di sini berarti sama saja mengantar nyawa?" 

Ageng Sembodo dan Ki Rono Bayu terkejut. Mereka 

cepat berpaling. Suara orang berseru itu terdengar cukup 

jauh. Tetapi begitu suaranya sirap orangnya sudah berada 

di depan mereka. Dan bukan hanya sendirian! Tapi ber-

sama Kintani! 

***

8

HANYA beberapa saat setelah Kamandaka alias 

Tangan Halilintar membawa Kintani memasuki goa 

Kranggan, dua sosok tubuh berkelebat di tepi pantai 

dari jurusan yang berlawanan. 

Yang pertama adalah seorang kakek berpakaian serba 

hitam, bergelang bahar dan kedua tangan dan kakinya. Dia 

datang dari jurusan barat. Di tepi pasir dia berhenti 

sejenak. Matanya memperhatikan gundukan batu dengan 

lobang besar di bagian tengahnya yang terletak beberapa 

tombak di sebelah depan. 

"Pasti ini tempatnyal Hemm.... Kamandaka manusia 

bejat murtadl Akhirnya kutemui juga sarangmu! Jangan 

harap kau bisa lolos dari tanganku!" Habis berkata begitu 

orang tua ini berkelebat. Dia melesat di atas air laksana 

terbang dan di lain saat dia sudah berada di atas 

gundukan batu. Tanpa ragu-ragu dia segera hendak 

memasuki lobang yang menjadi pintu goa. Namun ada 

sesuatu yang membentur sudut matanya datang dari arah 

timur laksana seekor burung Rajawali. 

Orang tua ini cepat berpaling. Dia merasakan ada angin 

menyambar. Dengan sigap dia hendak memukul. Namun 

cepat tarik pulang serangannya ketika mengenali siapa 

adanya orang yang ada di hadapannya. 

"Hampir tiga bulan lalu aku meaemuimu di tempat per-

temuan para tokoh silat. Kini kau muncul di sini. Apa 

maksudmu datang ke tempat ini, Pendekar 212?!" tanya 

orang tua berpakaian dan berdestar serba hitam.Yang ditanya garuk-garuk kepala. 

"Mungkin kita punya maksud yang sama, Datuk Alam 

Rajo Di Langit," Jawab Wiro sambil menyeringai. 

"Bagus kalau begitu. Ternyata kau memang benar ter-

masuk manusia yang tidak banyak bicara lebih suka 

berbuat! Tapi aku ingatkan satu hal padamu pendekar 

muda!" 

"Heh, apa yang hendak kau peringatkan pada saya 

Datuk?" 

"Jika kita menemui Kamandaka, ingat baik-baik. Hanya 

aku yang berhak turun tangan! Kau jangan ikut campur!" 

"Mengapa begitu?" tanya Wiro sambil kembali meng-

garuk-garuk kepalanya. 

"Dia telah membunuh sahabatku Ki Pamilin. Dia juga 

telah merusak kehormatan anak Ki Pamilin calon muridku!" 

"Terserah saja padamu Datuk. Kalau kau yang ingin 

maju, biar aku jaga muntahannya saja!" jawab Pendekar 

212 Wiro Sabeleng. 

Datuk Alam Rajo Di Langit masuk ke dalam goa. Wiro 

mengikuti dari belakang. Pada saat bagian dalam goa yang 

berupa terowongan itu berputar membalik, Wiro hentikan 

langkahnya. Otaknya bekerja. "Jika goa ini berputar dan ber 

balik ke belakang, berarti siapa saja yang mengikutinya 

akan menuju kembali ke tepi pantal. Ke arah daratan. 

Lebih baik aku kembali dan menyelidiki bagian pantal yang 

ditutupi oleh bukit-, bukit batu..." 

"Hai! Kau mau ke mana? Mengapa kembali?!" Datuk 

Alam Rajo Di Langit berseru ketika dilihatnya Wiro mem-

balik langkah. 

"Datuk jalanlah terusl Saya mau buang hajat kecil dulu!" 

jawab Wiro. Begitu orang tua itu meneruskan perjalanan-

nya, cepat-cepat Pendekar 212 melangkah menuju mulut 

goa. 

Kita kembali pada kejadian saat Ageng Sembodo dan KiRono Bayu memasuki goa Kranggan. Semakin jauh masuk 

ke dalam semakin tercium baunya hawa daratan. Goa yang 

tadinya gelap redup kini perlahan-lahan menjadi terang. 

Ada sinar di sebelah depan sana. Beberapa ratus langkah 

lagi berjalan akhirnya mereka sampai di hadapan semak 

belukar rapat yang dari celahcelahnya merambas cahaya 

matahari pagi. 

Ki Rono Bayu singkapkan semak belukar dan pe-

pohonan kecil di depannya. Begitu semak belukar tersibak 

terkejutlah orang tua ini. Ternyata di depan mereka 

terbentang satu kawasan bukit batu. Berarti dia dan Ageng 

Sembodo kini berada di daratan! 

"Tipuan sialanl" maki Ki Rono Bayu. Dia segera keluar 

dari dalam goa diikuti Ageng Sembodo. 

Kawasan daerah berbatu-batu itu merupakan suatu 

bukit besar dan tinggi. Dari keadaannya yang sunyi senyap 

Ki Rono Bayu bisa menduga bahwa daerah ini jarang di 

datangi orang luar. Udara terasa sejuk padahal masih 

dekat pantai. 

"Sunyi-sunyi saja...." bisik Ageng Sembodo. Kesunyian ini 

menimbulkan rasa tegang di dalam dirinya. 

Saat itu kedua orang itu berada di dekat batu besar. 

"Kita harus segera menyelidiki tempat ini. Aku merasa pasti 

ini kawasan yang jadi markas atau tempat bersembunyinya 

Kamandaka." 

"Perasaan kita sama. Mari kita mulai menyelidik!" jawab 

Ageng Sembodo. 

Namun baru saja mereka hendak bergerak mendadak 

ada suara membentak. 

"Binyawak busuk! Kalian mencariku?! Kalian tahu kalau 

berani muncul di sini berarti sama saja mengantar 

nyawa?!" 

Dua orang Ketua Cabang Partai Semeru Raya itu cepat 

berpaling. Keduanya langsung terkejut! Di hadapan merekakini tegak Kamandaka. Dan dia tidak seorang diri. Tapi 

bersama Kintani yang dicekalnya tangan kirinya! 

"Kamandaka murid murtad penuh dosal Akhirnya kami 

temui juga kau!" kata Ageng Sembodo setengah berteriak. 

Lalu dilihatnya bagaimana Kamandaka memegang tangan 

gadis yang dicintainya. Maka diapun kembali berteriak. 

"Lepaskan peganganmu pada Kintani. Kintani lekas 

kemari!" 

Si gadis tampak bingung sebaliknya Kamandaka keluar-

kan suara tertawa bergelak. "Ageng Sembodo!" kata 

Kamandaka langsung menyebut nama. Mengingat usia 

yang terpaut cukup jauh dan kedudukan Ageng Sembodo 

sebagai salah satu Ketua Cabang Partai Smeru Raya, 

seharusnya Kamandaka memanggil lelaki itu secara lebih 

hormat. Misalnya dengan panggilan Mas atau Kang Mas. 

Hal ini sudah cukup membuat Ageng Sembodo tambah 

mendidih amarahnya. 

"Dasar manusia tidak berbudi tidak punya peradatan! 

Iblis! Lebih baik kau segera menyerahkan diri. Nyawamu 

masih bisa diperpanjang sampai kau menghadapi Ketua 

Partai!" 

"Budi dan peradatan hanya dipakai oleh orang-orang 

yang suka pamrih dan gila hormat! Sama dengan dirimu! 

Baru jadi Ketua Cabang mulut dan sikapmu seperti semua 

orang ini budakmu! Aku sudah bersumpah untuk menyiangi 

tubuh kalianl Kalian akan kukembalikan ke puncak 

Semeru tanpa kulit dan daging!" 

Kamandaka angkat tangan kanannya sementara 

tangan kiri masih memegangi Kintani. Matanya me-

mandang membara ke arah Ageng Sembodo. 

"Tunggu dulu!" Ki Rono Bayu cepat membuka mulut. 

"Kamandaka, kami datang membawa pesan dari Ketua 

Partai..." 

"Aku tidak perduli kalian membawa pesan apa dan darisiapa. Pokoknya siapa yang berani menginjakkan kaki di 

tempat ini harus mati!" 

"Pesan yang kami bawa itu," kata Ki Rono Bayu me-

neruskan tanpa perdulikan bentakan Kamandaka, "ialah 

membawamu kembali ke puncak Semeru guna menghadap 

Ketua. Aku percaya, apapun dosa yang telah kau buat di 

masa lalu pasti Ketua mau mempertimbangkan hukuman-

nya secara adil!" 

Kamandaka menyeringai. "Jadi kalian berdua tidak lebih 

dari pada dua kacung pembawa pesani Manusia-manusla 

tolol! Mengapa tidak si Gamar Senopatri itu sendiri yang 

datang menemuiku kemari!" 

"Jangan menghina Ketua dan jangan keliwat mendesak, 

Kamandaka!" memperingatkan Ki Rono Bayu yang tampak-

nya mulai kesal. 

"Kalian berdua begitu menghormati Ketua Partai 

Semeru itu! Kalian tidak tahu siapa dia sebenarnya! 

Manusia-manusia tolol yang senang ditipu!" 

"Apa maksudmu dengan ucapan itu?!" Tanya Ageng 

Sembodo membentak. 

"Kau tanyakan saja nanti pada jin laut tempat mayatmu 

akan kulemparkan!" jawab Kamandaka. Dia menarik 

Kinanti ke belakang lalu melompat ke hadapan kedua 

orang Ketua Cabang Partai itu. "Saat kalian untuk mati 

sudah dating!" katanya. 

Ageng Sembodo tidak takut dan menganggap enteng 

Kamandaka. Dia maju menyongsong gerakan lawan. Tapi 

KI Rono Bayu yang sudah berpengalaman dan tahu betul 

kehebatan ilmu andalan Kamandaka cepat berkala. 

"Sudahlah, mengapa kita harus ribut-ribut. Kamandaka 

bagaimanapun kami berdua tidak mau bertindak sendiri 

sendiri. Kami tetap menghormatimu sebagal anak murid 

Partai. Apalagi murid langsung dari Ketua. Banyak manfaat-

nya jika kau mau ikut sama-sama kami ke puncakSemeru." 

"Kalau aku datang ke puncak Semeru, satu-satunya 

yang aku lakukan adalah membunuh manusia keparat ber-

nama Gamar Senopatri alias Dewa Tapak Sakti itu!" 

Kamandaka mundur satu langkah. Kedua tangannya 

diangkat ke atas dan perlahan-lahan disilang. Tapi dia 

belum merapal aji kesaktian yang dimilikinya. Dia ingin 

menjajal kehebatan ilmu silat tangan kosong kedua Ketua 

Cabang ini. 

Didahului satu bentakan nyaring, Kamandaka me-

lompat. Kedua tangannya yang tadi disilang dibentangkan 

ke samping. Menggebuk ke arah Ageng Sembodo dan Ki 

Rono Bayu Kedua serangan ini di arahkan ke masing-

masing kepala lawan. 

Ageng Sembodo yang sejak tadi sudah tidak dapat me-

nahan amarahnya balas menghantam dengan tangan 

kanannya ke arah Kamandaka sedang Ki Rono Bayu lebih 

bertindak hati-hati. Dia tidak mau melakukan bentrokan 

melainkan menghindar ke samping dan setelah membuat 

kuda-kuda kukuh dia baru membalas dengan satu sodokan 

ke arah ulu hati Kamandaka. 

Tiba-tiba Kamandaka hentikan seluruh gerakannya. 

Tubuhnya laksana seekor burung besar yang mengem-

bangkan sayapnya. 

Bukkki 

Bukkk! 

Jotosan Ki Rono Bayu menghantam ulu hati Kamandaka 

dengan keras. Begitu juga pukulan Ageng Sembodo meng-

hajar lengan kiri Kaman- ' daka. Tapi pemuda ini sedikitpun 

tidak bergeming. Malah sambil menyeringai dia memper-

hatikan bagaimana kedua penyerangnya mengerenyit 

kesakitan. 

"Pukul lagi! Cari sasaran yang paling empuk!" ejek 

Kamandaka.Maka kedua lawannyapun tanpa ampun melancarkan 

gebukan bertubi-tubi ke kepala dan tubuhnya. Kamandaka 

masih menyeringai. Tiba-tiba dia keluarkan suara bentakan 

dahsyat. 

Sepasang kakinya membuat gerakan menggeser. Lutut 

ditekuk. Hantamannya yang pertama mendarat di dada Ki 

Rono Bayu. Ketua Cabang Partai yang berusia lanjut ini 

terpekik. Tubuhnya tersandar ke dinding batu. Dari mulut-

nya meleleh darah kental. Tulung dadanya remuk melesak. 

Dia mengalami kesulitan bernafas. Tapi semua ini seperti 

tidak dirasakannya. 

"Manusia iblisl Murid murtad keparat!" kutuk Ki Rono 

Bayu. Dia berpaling pada Ageng Sembodo dan anggukkan 

kepalanya seraya berbisik. "Pukulan Api Biru..." 

Ageng Sembodo maklum apa yang dimaksud si orang 

tua. Cepat dia kempiskan perut dan menghimpun seluruh 

tenaga dalam ke tangan kanan. Kedua Ketua Cabang ini 

sambil menghimpun tenaga dalam hati merapal aji 

kesaktian pukulan Api Biru. Ageng Sembodo dan Ki Rono 

Bayu saling memberi isyarat dengan mata masingmasing. 

Lalu didahului suara bentakan garang kedua Ketua Cabang 

Partai Semeru Raya ini pukulkan tangan kanan masing-

masing. Dua larik sinar biru menderu laksana lempengan 

besi panjang tipis. Siap menggunting dan memutuskan 

leher Kamandakal 

"Pukulan Api Biru!" seru Kamandaka yang mengenali 

pukulan sakti itu. Kedua tangannya segera diangkat. Dua 

lengan bersilang di depan mukanya dan dua lengan ini 

segera berubah jadi hitam. Ketika kedua lengan bersilang 

ini dilepaskan dua larik cahaya hitam berkiblat disertai 

suara meledak seperti suara halilintar menyambar. Hawa 

panas menghampar. Dua larik sinar biru pukulan Ageng 

Sembodo dan Ki Rono Bayu tenggelam dalam cahaya 

hitam Pukulan Halilintar yang dilepaskan Kamandaka. Laluada dua suara letusan susul menyusul. Pekik Ki Rono Bayu 

terdengar duluan. Tubuhnya terlempar jauh. Sekujur 

badannya mulai dari kepala sampai ke kaki tampak 

memutih. Lalu anehnya perlahan-lahan berubah jadi hitam 

gosong! 

Kinanti tidak berani menyaksikan apa yang terjadi 

dengan orang tua Kedua Cabang Partai wilayah Timur itu. 

Dari mulutnya keluar jeritan ketika sinar hitam yang satu 

lagi menghantam ke arah Ageng Sembodo. 

"Mas Kaman! Jangan bunuh dia!" pekik Kinanti. 

Teriakan Kinanti ini membuat kamandaka menarik 

pulang tangannya. Sinar hitam Pukulan Halilintar meredup 

dan akhirnya lenyap sama sekali. 

"Kau inginkan binyawak ini hidup, baik! Satu nyawa 

lolos tak jadi apa. Dia boleh pergi agar bisa memberi tahu 

pada Gamar Senopatri apa yang terjadi di sini. Aku...hek...!" 

Ucapan Kamandaka terhenti. Satu pukulan menghantam 

dadanya! Ketika dia bicara tadi kesempatan ini diperguna-

kan oleh Ageng Sembodo untuk melancarkan pukulan. 

Pukulannya kulannya tepat menghantam dada Kaman-

daka. Pemuda ini tidak bergerak dari tempatnya walau 

memang ada rasa sakit akibat pukulan itu. 

Penasaran Ageng Sembodo lancarkan pukulan lagi 

secara bertubi- tubi. 

"Cukup!" seru Kamandaka tiba-tiba. Tangan kanannya 

dibabatkan dari samping kiri ke kanan. 

Traakk! 

Traakkl 

Ageng Sembodo menjerit setinggi langit. Kedua 

lengannya terkulai patah. Tubuhnya sampai terbungkuk-

bungkuk menahan sakit. Kamandaka tendang pantat 

orang ini. "Kalau kau tidak lekas minggat dari sini, jangan 

kira aku tidak akan membunuhmu. Sekalipun kekasihmu 

ini meminta aku tidak membunuhmu!"Paras Kintani tampak menjadi merah oleh kata-kata 

terakhir Kamandaka itu. 

"Kamandaka!" Ageng Sembodo berucap. "Hari ini aku 

mengaku kalah! Tapi ingat! Lain waktu aku akan datang 

lagi untuk mengambil kepalamu!" 

"Kacung Ketua Partal Semeru Raya!" kata Kamandaka 

seraya mencekal leher pakaian Ageng Sembodo. "Katakan 

pada Ketuamu, jika dia punya nyali aku tunggu dirinya di 

sini. Jika malam bulan purnama di muka dia tidak muncul 

sudah tiba saatnya aku akan mencarinya untuk minta 

nyawa anjingnya! Nah sekarang pergi kau dari sinil" 

Kamandaka tarik kuat-kuat leher pakaian lelaki itu lalu 

melemparkannya ke dinding batu. Karena kedua lengannya 

patah dia sama sekali tidak mampu untuk menahan dirinya 

terbanting ke batu. Ketika tubuhnya terbanting, mukanya 

ikut menghantam batu hingga tulang hidungnya patah dan 

bibirnya pecah! 

"Kintani, ikuti aku. Tinggalkan tempat ini." 

Kintani melirik ke arah Kamandaka. Pemuda ini cepat 

berkata. "Kalau kau bergerak satu langkah saja mengikuti-

nya, akan kubunuh!" ancam Kamandaka. Mau tak mau 

Kintani terpaksa hanya bisa tegak tak bergerak. 

"Manusia keparat! Aku bersumpah akan mem-

bunuhmu!" kutuk Ageng Sembodo. Dia memandang sesaat 

pada mayat Ki Rono Bayu. Ingin dia membawa pergi mayat 

yang gosong hitam itu. Namun dalam keadaan kedua 

tangannya lumpuh cidera begitu rupa di mana berjalan 

sajapun dia mengalami kesulitan dan rasa sakit, mana 

mungkin dia mendukung atau memanggulnya. Tersaruk-

saruk dia tinggalkan tempat itu. 

***

9

KAMANDAKA membawa Kintani ke puncak bukit batu 

paling tinggi. Sampai di atas Kintani melihat sebuah 

bangunan yang bagian depannya berbentuk sebuah 

goa besar namun atapnya ditata seperti atap bangunan 

kayu. Keadaan di sebelah dalam dan bagian luarnya serba 

bersih. Ada bau wewangian keluar dari arah goa batu itu. 

"Ini rumah kita!" kata Kamandaka seraya tangannya 

kembali memegang lengan si gadis. Kintani diam saja. 

"Kau akan tinggal di sini bersamaku, Kintani." 

Baru saja Kamandaka berkata begitu dari dalam goa 

keluar dua orang perempuan. Yang satu masih sangat 

muda. Menurut taksiran Kintani usianya sekitar delapan 

belas tahun. Satunya lagi lebih tua namun jelas belum 

mencapai dua puluh lima tahun. Keduanya memiliki wajah 

cantik. Yang membuat darah Kintani tersirap ialah cara 

kedua perempuan itu berpakaian. Apa yang mereka kena-

kan tidak bisa disebut pakaian karena bagian-bagian tubuh 

mereka hampir tidak terlindung. Bahkan bagian dada dan 

bawah perut tersingkap menusuk pemandangan. 

"Mas Kamandaka! Kami kira kau akan pergi lama. 

Ternyata sudah pulang!" Perempuan yang muda berucap. 

Lalu keduanya hentikan langkah ketika melihat Kaman-

daka ternyata tidak sendiri. Bayangan rasa cemburu jelas 

terlihat diwajah kedua perempuan itu. 

"Siapa mereka?" tanya Kintani berbisik. 

"Kekasih-kekasihku," sahut Kamandaka. "Tapi mulai 

sekarang tidak lagi." Lalu pada kedua perempuan ituKamandaka berkada. "Saat ini juga kalian boleh pergi dari 

sini. Jangan coba kembali!" 

Dua perempuan itu tampak terkejut besar. 

"Mas...? Mengapa tiba-tiba kau mengambil keputusan 

begitu?" tanya perempuan yang tua. 

"Saya tahu!" menyahuti yang muda sambil melirik pada 

Kintani. "Mas Kamandaka telah mendapat seorang kekasih 

baru yang lebih cantik dari kami!" 

"Kalau sudah tahu mengapa tidak segera minggat?!" 

ujar Kamandaka melotot. 

"Kami... kami bersedia membagi tempat bersama dia!" 

berkata perempuan yang muda. 

"Di sini tidak ada tempat lagi bagi kalian berdua. Lekas 

pergi!" 

"Mas Kaman, sebaiknya biar saya yang pergi!" kata 

Kintani pula. Lalu cepat dia membalikkan diri. Tapi Kaman-

daka lebih cepat lagi menjambak rambut gadis itu dan 

mendorongnya ke dalam rumah batu. Pemuda ini kemu-

dian berpaling pada dua orang kekasihnya. 

"Kalau kalian tidak mau pergi jangan menyesal kalau 

wajah kalian akan kurusak dan kuubah jadi wajah setan!" 

Mendengar hal ini keduanya jadi ketakutan. Setelah 

berpandangan sebentar mereka cepat-cepat tinggalkan 

tempat itu di iringi gelak tawa Kamandaka. Puas tertawa 

Kamandaka kembali mendekati Kintani. "Sekarang saatnya 

kita bersenang-senang. Mari masuk ke dalam." 

"Bersenang-senang bagaimana maksud Mas Kaman?" 

"Jangan pura-pura tidak tahu Kintani. Kau tahu aku 

suka padamu dan kau mencintaiku! Dua orang yang ber-

cinta apapun bisa dilakukan! Bukankah kita sekarang me-

rupakan sepasang suami istri?" 

Paras Kintani jadi berubah pusat. "Saya.. saya tidak 

keberatan menjadi istri Mas Kaman. Asalkan kita meng-

hadap, guru dulu. hanya dia yang bisa mewakilkan keduaorang tua kita yang sudah tiada untuk menikahkan kita." 

"Kawin pakai nikah segala kuno!" kata Kamandaka. 

Ditariknya tangan Kintani. Gadis itu setengah diseret 

masuk ke bagian dalam bangunan batu. Ternyata bangun-

an itu cukup luas. Di salah satu bagian terdapat sebuah 

tempat tidur dari batu yang dilapisi tikar jerami lembut. 

Kamandaka mendorong Kintani ke atas tempat tidur itu. 

"Saya tidak mau Mas Kaman. Jangan lakukan itu pada 

saya!" kata Kintani pula. 

"Jika bukan mencariku mengapa kau mau datang jauh-

jauh kemari?" 

"Mas Kaman tadi sudah mendengar ucapan Ageng 

Sembodo dan Ki Rono Bayu. Kami diperintah Ketua..." 

"Lupakan perintah itu!" 

"Saya mohon kita segera pergi menemui Ketua agar 

semua persoalan selesai. Kalau tidak seumur-umur Mas 

Kaman akan jadi orang buruan Partai." 

Kamandakan tertawa gelak-gelak mendengar hal itu. 

"Aku tidak mau bicara lagi tentang Ketua ataupun orang-

orang Partai. Mereka semua adalah calon-calon korbanku! 

Mereka akan segera mampus!" Lalu Kamandaka berusaha 

memeluk dan menciumi gadis itu. Kintani cepat menjauh 

seraya berkata. "Mas Kaman, jika kau betul sayang padaku 

jangan perlakukan aku seperti ini...." 

"Hmmm..." kedua mata Kamandaka berkilat-kilat me-

mandang setiap bagian tubuh Kintani. "Jangan buat aku 

kehilangan kesabaran Kintani." Pemuda itu kembali men-

dekat. 

"Kalau Mas Kaman meneruskan perbuatan keji ini, saya 

terpaksa melawan. Lebih baik saya mati berkelahi di 

tangan Mas Kaman dari pada dinodai!" 

"Begitu? Aku mau lihat sampai di mana kehebatan 

murid Gamar Senopati yang satu ini!" 

Habis berkata begitu Kamandaka lalu tanggalkanpakaian yang melekat ditubuhnya. Kintani sampai terpekik 

menyaksikan hal itu dan mencoba lari keluar. Tapi 

Kamandaka berhasil mengejar dan mendekapnya. Mau tak 

mau Kintani segera menghantam dengan tangan dan kaki. 

Dipukul ditendangi Kamandaka justru diam saja. 

Bahkan tegak tolak pinggang. Dalam keadaan lawan ber-

telanjang bulat seperti itu seperti tentu saja sulit bagi 

Kintani untuk menyerang karena dia sudah tidak kuasa 

menghindari pandangan yang menusuk mata itu. Akhirnya 

dia kembali mencoba tari. Namun lagi-lagi sial. Kali ini 

malah dia harus menerima tamparan dua kali berturut-

turut yang membuatnya terbanting ke lantai batu. Sebelum 

dia sempat bangun Kamandaka telah menyergapnya. 

Tangannya kiri kanan merobek pakaian yang dikenakan 

Kintani. Gadis ini menjerit marah dan menyerang dengan 

kalap. Tetapi sia-sia belaka. Tingkat kepandaiannya jauh di 

bawah Kamandaka. Ketika tenaganya terkuras habis di-

tambah dengan beberapa pukulan yang dihantamkan 

Kamandaka ke tubuhnya, dia hanya bisa tegak tersandar 

ke dinding. Dia tidak punya daya apa-apa lagi selain 

menangis ketika Kamandaka mendukung dan membawa-

nya ke atas tempat tidur batu. 

Kamandaka menyeringai. Sekujur tubuhnya panas ter-

bakar nafsu. Sama sekali tidak ada rasa welas asih dalam 

dirinya padahal gadis itu adalah prang yang pernah di-

kasihinya dan balas menyayanginya. Sesaat lagi Kaman-

daka akan melakukan perbuatan terkutuknya tiba-tiba satu 

bayangan berkelebat masuk dan satu bentakan meng-

guntur di dalam ruangan batu itu! 

"Laknat terkutuk! Memang kau ternyata manusia keji 

biadab! Kau membunuh sahabatku! Kau memperkosa 

calon muridku! Sekarang aden datang untuk mengirimmu 

ke liang narako!" 

Kamandaka melompat dari atas tubuh Kintani. Dihadapannya tegak seorang tua berpakaian dan berdestar 

hitam. Sepasang matanya laksana kilatan api. Kamandaka 

tidak kenal orang ini. Dari pakaian serta bentuk destarnya 

jelas dia bukan orang Jawa. Dari logat bicaranya dia jelas 

orang seberang. 

"Ucapanmu seperti malaikat! Tapi kulihat tampangmu 

seperti setan!" kata Kamandaka mengejek. 

Orang tua di depannya tertawa pendek. "Orang mau 

mampus memang suka bicara ngacok!" katanya. "Coba den

lihat dulu jantungmu!" Si orang tua bergerak sedikit. Tapi 

tahu-tahu tangan kanannya sudah melesat ke arah dada 

kiri Kamandaka. Jari-jari tangan membuat gerakan me-

ngeruk. Si pemuda terkejut dan cepat berkelit. Serangan 

lawan menghantam dinding batu. Terdengar suara batu 

lebur. Berpaling ke kiri Kamandaka melihat bagalmana 

serangan berupa cengkeraman orang tua berpakaian 

hitam itu meremukkan dinding batu hingga di dinding itu 

kini tampak lobang sedalam seperempat jengkal! 

Kamandaka sadar kalau terlambat saja tadi dia 

menghindar jantungnya pasti benar-benar bisa dicongkel 

lawan berdestar hitam bergelang bahar itu! Meskipun 

demikian dia tidak takut. Sambil menyeringai Kamandaka 

maju mendekati. Kedua lengannya disilangkan di depan 

dada tapi dia masih belum mau merapal aji kesaktian 

Halilintar. Didahului oleh suara seperti harimau meng-

gereng Kamandaka melompati lawannya. Kedua tangannya 

dipukulkan serentak. Si orang tua yang adalah Datuk Alam 

Rajo Di Langit terkejut ketika merasakan dua larik angin 

yang menyambar bukan olah-olah dahsyatnya. Bukan saja 

pakaian hitamnya tapi sekujur tubuhnyapun ikut bergetar. 

Kedua lututnya menjadi goyah. Cepat tokoh silat dari An-

dalas ini rubah kuda-kuda kedua kakinya. Tubuhnya 

merunduk Begitu dua angin pukulan lewat, kaki kanannya 

melesat ke atas setinggi dua tombak, menghantam rahangkanan Kamandaka dengan tepat. 

Selagi Kamandaka terpental ke dinding lalu melosoh ke 

lantai batu, kesempatan ini dipergunakan oleh Kintani 

untuk melarikan diri. Sambil melompat dari atas tempat 

tidur batu dia masih sempat menyambar pakaiannya. Di 

luar sadar dia lari keluar bangunan batu dalam keadaan 

masih bertelanjang bulat! 

Meskipun tendangan Datuk Alam Rajo Di Langit 

sanggup membuatnya mental dan jatuh ke pantai namun 

Kamandaka sama sekali tidak cidera. Bahkan rasa 

sakitpun hampir tidak terasa karena terlindung oleh 

kesaktian yang dimilikinya. 

Ketika dia tegak kembali di hadapan sang Datuk, 

sepasang matanya tampak beringas ganas. 

"Anjing tua. Bersiaplah untuk mampus!" 

"Kanciang! Binatang! Waang yang akan mampus lebih 

dulu!" teriak Datuk Alam Rajo Di Langit. Lalu tangan kanan 

dipukulkan ke depan. Ada angin kelabu menyambar, 

menebar bau aneh. Jika lawan sempat menghisap bau 

aneh itu tubuhnya serta merta akan jadi lemas dan jatuh 

tak berdaya. Kamandaka sudah maklum bahaya pukulan 

lawan itu. Dengan cepat dia menyilangkan kedua lengan-

nya dan merapal aji kesaktian Pukulan Halilintar hingga se-

pasang lengan itu menjadi hitam. Begitu lengan yang 

bersilang dibuka serta dipukulkan ke depan, terdengar 

suara menggelegar seperti halilintar menyambar. Ruangan 

batu itu seperti hendak runtuh! Hawa panas menghampar 

dan dua larik sinar hitam menderu ganas, menyambung 

dan meneggelamkan sinar kelabu pukulan Datuk Alam 

Rajo Di Langit. Orang tua ini terdengar menggerung keras. 

Tubuhnya terpelanting ke luar bangunan, jatuh melingkar 

di atas gundukan batu berlumut. Sesaat tubuh itu tampak 

memutih lalu berubah hitam mengepulkan asap mengeri-

kan.Kamandaka bergegas keluar dari banguanan batu. 

Kintani tidak kelihatan. Pemuda ini menyumpah dalam 

hati. Dia melangkah mendekat mayat Datuk Alam lalu di-

tendangnya hingga tubuh hitarn gosong itu terpental dan 

bergulingan ke bawah bukit batu. 

Kamandaka melompat dari satu batu ke batu lainnya. 

Di satu tempat yang ke tinggian dia melihat dua sosok 

tubuh dibalik pepohonan dan berbatu. Secepat kilat dia 

bergerak ke arah sana. 

***

10


KARENA tidak mengikuti terowongan, Pendekar 212 

Wiro Sableng sampai lebih dulu dari Datuk Alam 

Rajo Di Langit. Namun sebelum naik ke puncak 

bukit di mana tempat kediaman Kamandaka alias 

Pendekar Tangan Halilintar terletak, di salah satu lereng 

murid Eyang Sinto Gendeng itu melihat dua orang 

perempuan berlari dari atas' bukit. Walau heran melihat 

ada dua orang perempuan turun dari atas bukit, sebenar-

nya Wiro tidak; mau perduli. Namun dia jadi tertarik 

sewaktu menyaksikan bagaimana pakaian yang dikenakan 

kedua perempuan itu sama sekali tidak dapat dikatakan 

pakaian. Karena hampir tidak satu bagian tubuh 

merekapun yang tertutup utuh oleh pakalan itu! 

Wiro cepat memintas dan menghadang dekat sebuah 

batu besar. 

"Hai!" serunya. "Kalian ini bidadari yang turun dari langit 

atau setan-setan penunggu bukit batu ini yang tengah 

mencari tempat untuk buang hajat!" 

Dua orang gadis terkejut. Sambil berpegangan mereka 

hentikan lari. Melihat yang menegur ternyata seorang 

pemuda berambut gondrong yang tampangnya cakap-

cakap konyol, rasa kejut mereka jadi sirna. Yang tua ber-

bisik pada kawannya. 

"Boleh juga yang satu ini..." 

"Aku lebih suka dia dari pada Kamandaka keparat itu!" 

bisik yang muda. 

"Kenapa bicara sendiri dan tidak menjawab?" tanyaWiro. 

Sambil menahan tawa yang tua berkata. "Mulutmu enak 

saja kalau bicaral Kami tidak tahu kalau di sini ada 

bidadari. Juga tidak tahu kalau bukit batu ini ada setan 

penunggunya! Tapi yang jelas di atas sana ada iblis doyan 

perempuan. Kalau sudah bosan dan dapat yang baru yang 

lama ditendangnya!" 

"Tadi kudengar kalian berbisik menyebut nama sese-

orang. Kamandaka... Benar?!" 

Dua perempuan itu mengangguk. 

"Dia ada di atas sana? Kediamannya di atas sana?!" 

Dua yang ditanya lagi-lagi mengangguk. 

"Kalau begitu aku harus segera menuju ke sana," kata 

Wiro pula. 

"Tunggu dulu!" Perempuan yang tua berkata. "Jangan 

berani-beranian naik ke atas puncak bukit. Kami saja 

hendak dilemparkannya. Apalagi kau! Manusia penghuni 

puncak bukit itu aneh dan luar biasa jahatnya. Dia bisa 

bercinta suatu ketika tapi di lain saat dia bisa membunuh 

seorang gadis cantik tanpa berkesip. Kami hampir saja jadi 

korbannya!" 

Yang muda cepat menyambung. "Dari pada pergi ke 

atas sana, lebih baik turun bersama kami. Aku suka saja 

kau mau bawa ke mana!" 

"Aku juga!" kata perempuan yang satu lagi. 

Pendekar 212 jadi garuk-garuk kepala. Dia harus meng-

akui kedua perempuan itu berparas cantik dan bagian-

bagian tubuhnya yang tersingkap sangat menggiurkan. 

"Kalau kuikuti rayuan mereka, urusanku bisa kapiran!" 

membatin murid, Sinto Gendeng. "Begini saja," katanya. 

"Tunggu aku di kaki bukit! Kalau orang di atas sana tidak 

membunuhku, aku pasti akan menemui kalian!" 

"Siapa sudi menunggu datangnya mayat!" jawab 

perempuan yang tua karena dia sudah merasa pasti Wiroakan dibunuh oleh Kamandaka. Tak ada seorangpun yang 

boleh menginjak tempat kediamannya. Kedua perempuan 

itu cepat tinggalkan tempat itu. Wiro pandangi mereka dari 

belakang sambil membasahi bibir dengan ujung lidah dan 

geleng-geleng kepala. 

Belum lama dia meneruskan menaiki bukit batu itu tiba-

tiba dia melihat lagi seorang perempuan dengan rambut 

tergerai lepas lari dari atas puncak bukit. Sinar matahari 

membuat tubuhnya yang tanpa pakaian seperti berkiiau-

kilau. Dia lari sambil membawa pakaian. 

"Aneh, ada lagi seorang perempuan turun dari atas 

bukit. Yang satu ini malah telanjang polos!" Ketika 

perempuan itu menyelinap lenyap di balik sebuah batu 

besar, Pendekar 212 cepat mendekati. Didapatinya di balik 

batu itu perempuan tadi tengah mengenakan pakaian. 

Ketika selesai dipakai ternyata pakaian itu robek-robek di 

beberapa tempat. "Siapa pula yang satu ini?" pikir Wiro lalu 

dia mendehem keras-keras. 

Gadis di balik batu tersentak kaget. Ketika dilihatnya 

pemuda gondrong itu mendatangi sambil tersenyum-

senyum dia menjadi curiga dan marah. 

"Pemuda kurang ajar! Kau mengintai orang berpakaian!" 

"Maaf Saudari. Jangan salahkan aku kalau sampai 

berada di tempat ini. Kalau tidak ada sesuatu yang luar 

biasa mengapa tadi kau kulihat lari tanpa pakaian? Lalu 

mengapa berpakaian di tempat terbuka ini dan mengapa 

pakaian yang kau kenakan robek-robek? Siapa kau 

Saudari? Apa yang terjadi dengan dirimu? Tadipun aku me-

lihat ada dua orang perempuan lari dari atas bukit dengan 

pakaian tidak senonoh!" 

Karena orang bicara dengan baik dan mengatakan apa 

adanya, perempuan itu yang bukan lain adalah Kintani jadi 

mengendur amarahnya. "Aku Kintani, anak murid Partai 

Semeru Raya.""Berarti kau adalah saudara seperguruan dengan orang 

bernama Kamandaka itu!" 

"Ya, tidak salah. Orangnya ada di atas bukit batu sana. 

Baru saja dia membunuh salah seorang Ketua Cabang 

Partai. Saat ini dia tengah berkelahi melawan seorang tua 

berpakaian serba hitam." 

Secara singat Kintani lalu menerangkan apa yang di-

alaminya, mulai dari saat dia disergap oleh Kamandaka di 

depan mulut goa Kranggan. 

"Ah, pasti Datuk Alam yang tengah dihadapinya..." kata 

Wiro. Dia segera hendak tinggalkan gadis itu. 

"Tunggu," kata Kintani. "Kalau kau tidak keberatan, 

pinjami aku pakaianmu..." 

Wiro garuk-garuk kepalanya tapi ditanggalkannya juga 

pakaiannya. Lalu diberikannya pada Kintani. Si gadis 

segera mengenakan pakaian itu. Karena pakaian itu lebih 

besar dari tubuhnya, dirinya terlindung sampai ke lutut. 

"Terima kasih. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu 

ini." Lalu tanpa menunggu lebih lama gadis itu segera 

tinggalkan tempat itu. 

Kembali murid Sinto Gendeng geleng-geleng kepala. 

Dalam hati dia berkata. "Besar nian rejekiku hari ini. Me-

lihat tiga perempuan cantik. Dua hampir telanjang. Yang 

satu barusan benar-benar telanjang!" 

Ketika Kamandaka sampai di balik batu, Kintani telah 

berlalu sedang Wiro juga telah berkelebat menuju puncak 

bukit. 

"Sialan!" maki Kamandaka. Dia harus memilih, me-

ngejar Kintani atau menyusul pemuda tak dikenal yang lari 

ke arah tempat kediamannya. Kamandaka memilih yang 

terakhir. Tapi dia tidak langsung mengejar melainkan 

menguntit dari belakang. Walaupun tingkat ke.pandaian 

Kamandaka sungguh luar biasa, namun sepasang telinga 

Pendekar 212 se-rta nalurinya tidak bisa ditipu.Memang murid Sinto Gendeng ini tidak mau berpaling. 

Namun dia maklum kalau ada seseorang menguntitnya di 

sebelah belakang. 

Wiro kerenyitkan kening sewaktu sampal di depan 

rumah aneh yang keseluruhannya dibuat dari batu itu dan 

menjadi satu dengan dinding batu besar di puncak bukit. 

Hidungnya kemudian mencium bau seperti daging ter-

bakar. Dia memandang berkeliling. Pandangannya kemudi-

an terpaku pada sesosok tubuh hitam gosong, meng-

geletak di antara dua celah batu besar. Dia lantas ingat 

pada kematian yang sama dialami oleh Ki Pamilin, ayah 

gadis bernama Mintari dulu. 

"Korban keganasan Tangan Halilintar!" kata Wiro dalam 

hati. "Jangan-jangan ini mayatnya Datuk Alam, tokoh silat 

dari pulau Andalas itu!" Wiro merasakan tengkuknya men-

jadi dingin. Dia lalu melangkah menuju bagian depan 

bangunan batu. Baru saja dia hendak melangkah masuk, 

sesiur angin menerpa dari samping. 

"Hemmm...Si penguntit mulai menyerang. Aku yakin dia 

pasti si Kamandaka keparat itu1" 

Tanpa berpaling Pendekar 212 lepaskam pukulan 

Tameng sakti menerpa hujan. Pukulan jarak jauh yang 

menghantam ke arahnya terpental ke atas. Tiba-tiba ada 

bayangan orang berkelebat lalu menyusul deru angin deras 

sekali. 

Wiro alirkan sebagian tenaga dalamnya ke tangan 

kanan lalu memukul ke depan. 

Bukkk! 

Dua lengan beradu keras. 

Murid Sinto Gendeng keluarkan seruan tertahan. Batu 

yang dipijaknya laksana amblas dan tubuhnya mencelat 

sampai dua tombak, terbanting ke sebuah batu besar. 

Tangan kanannya mendenyut sakit. Ketika diperhatikan 

lengannya yang tadi beradu keras dengan lengan sipemukul tampak bengkak kemerahan. Luar biasa! Belum 

pernah Pendekar 212 bentrokan dan langsung cidera 

seperti itu. Sewaktu dia memandang ke depan seorang 

pemuda berwajah cakap tapl menyunggingkan senyum 

maut tegak di depannya. Celakanya manusia ini sama 

sekali tidak mengenakan pakaian! 

Wiro usap-usap lengannya yang cidera. "Heran, apa di 

bukit batu ini semua orang harus tidak pakai pakaian!" 

kata Wiro dalam hati. 

"Hemmmm... Ternyata Pendekar Kapak Maut Naga Geni 

212!" kata pemuda di depan Wiro. 

"Sialan! Bagaimana kunyuk ini mengenaliku!" tanya Wiro 

dalam hati. Dia lupa saat itu dia sama sekali tidak 

mengenakan baju hingga rajah 212 yang ada di dadanya 

terlihat dengan jelas. 

"Nama besarmu menggetarkan delapan penjuru angina! 

Kau memang salah seorang tokoh silat yang aku cari! Kau 

beruntung masuk dalam daftar kematianku, Pendekar 

212! Tapi sebelum mati aku ingin melihat pukulan saktimu 

yang bernama pukulan sinar matahari itu!" Habis berkata 

begitu Kamandaka tertawa gelak- gelak. 

Murid Sinto Gendeng balas tertawa tak kalah kerasnya. 

"Tadi malam aku bermimpi!" katanya sambil cengar-

cengir. "Aku melihat kau terbang ke langit. Kepala ke 

bawah dan pantat menungging ke atas. 

Ada sederetan dibadari menunggumu di lapisan langit 

pertama. Namun pengawal penjaga bidadari mengusirmu 

karena kau datang bertelanjang bulat seperti ini. Memalu-

kan! Dan yang menjijikkan, menurut pengawal kau datang 

sehabis berak belum sempat cebok alias ngepet! 

Ha...ha...ha...ha...!" 

"Jahanam, berani kau mempermainkan aku!" terlak 

Kamandaka marah. "Tunggu aku di sini. Jangan berani 

pergi!" Lalu Kamandaka berkelebat masuk ke dalambangunan batu. Tak lama kemudian dia keluar lagi telah 

mengenakan pakalan biru dan kain pengikat kepala yang 

juga berwarna biru. 

"Ah, ternyata kau tidak jelek-jelek amat!" Wiro sambut 

kedatangan Kamandaka dengan ejekan itu. "Tapi di balik 

tampangmu yang cakap aku melihat bayangan iblis. 

Bayangan mahluk berhati seribu keji seribu jahat!" 

"Jahanam! Jangan pidato! Keluarkan pukulan sinar 

mataharimu!" teriak Kamandaka. 

Wiro tenang saja. Diam-diam dia kerahkan seluruh 

tenaga dalamnya. Dia tahu apa maksud lawan menantang-

nya. Kalau dia melepaskan pukulan Sinar Matahari, pasti 

Kamandaka akan mengeluarkan pukulan Halilintar. Wiro 

maju dua langkah. Dia masih penasaran karena dalam 

gembrakan pertama tadi sudah kena diciderai lawan. Maka 

diapun berkata. "Menurut Ketua Partai Semeru Raya, kau 

bukan saja seorang murid murtad, tapi juga bodoh! Selagi 

digembleng di puncak Semeru katanya kau merupakan 

murid paling bodoh, tapi sombong besar kepala. Apa betul 

begitu sobat?" 

"Anjing kurap! Aku bukan sobatmu!" teriak Kamandaka. 

"Lihat serangan! Kau akan lihat apa aku benar-benar se-

orang bodoh!" 

Belum lagi selesal ucapan itu dua jotosan beruntun 

menderu ke arah dada dan kepala Pendekar 212. Sekali 

ini karena sudah mengerahkan seluruh tenaga dalam 

maka Wiro menangkis serangan lawan dengan pukulkan 

kedua lengannya ke atas. 

Bukkkk! 

Bukkkk! 

Kalau tadi Pendekar 212 yang terpental dan berseru ke-

sakitan maka kali ini Kamandaka yang mencelat sampai 

dua tombak dan terduduk jatuh. Mukanya kelihatan merah 

gelap menahan sakit dan amarah. Kedua tangannya seperti tanggal. 

"Jahanam..." serapahnya. Kakinya ditekuk. Tubuhnya 

tiba-tiba melesat ke depan. Serangan berantai yang di-

lancarkan pemuda ini sungguh berbahaya. Kedua tangan-

nya bukan saja menjotos dan memukul tetapi juga men-

cakar. Satu cakaran sempat melukai dada kiri Pendekar 

212. Tiga guratan dalam yang mengucurkan darah terlihat 

di dada itu. 

Diam-diam Wiro memuji kehebatan pemuda yang jadi 

lawannya ini. Belum pernah dia digempur sehebat itu. Ilmu 

silat yang dipelajarinya dari Sinto Gendeng tidak sanggup 

dipakai untuk bertahan. Terpaksa Wiro keluarkan ilmu silat 

orang gila yang didapatnya dari Tua Gila di pulau Andalas. 

Kamandaka menjadi heran dan juga kalap ketika 

sepuluh jurus menggempur kini jangankan memukul atau 

menendang, menyentuh lawanpun dia sepertl tidak 

mampu! Padahal gerakan silat yang dilakukan Wiro seperti 

orang main-main, seperti orang mabok! Malah dua tiga kali 

jotosan dan tendangan Wiro sempat mampir di tubuhnya 

menimbulkan rasa sakit yang memanggang amarahnya. 

"Jahanam! Baiknya kuhabisi pemuda keparat ini 

sekarang juga!" Pikir Kamandaka. Lalu dia melompat ke 

atas sebuah batu. Kedua kaki direnggangkan. Mata me-

natap tajam ke depan. Tampang membesi. Perlahan-lahan 

kedua tangannya diangkat ke atas. Dua lengan saling ber-

silangan. Mulut bergerak-gerak. 

Di bawah sana Pendekar 212 melihat kedua lengan 

lawan berubah menjadi hitam. 

"Setan alas Itu hendak lepaskan pukulan Halilintar!" 

kata Wiro dalam hati. Segera dia angkat tangan kirinya 

untuk membentengi diri dengan pukulan benteng topan 

melanda samudera. 

Tangan kanan digerakkan ke depan. Pada saat kedua 

lengan Kamandaka berubah menjadi hitam, lengan kananWiro juga berubah memancarkan sinar putih perak 

menyilaukan! 

Kamandaka menyeringai melihat hal itu. Ada semacam 

rasa senang dalam hatinya untuk mencoba pukulan sakti 

setiap tokoh silat yang ditemuinya. Dia sudah lama men-

dengar kehebatan pukulan Sinar Mataharl. Kali ini dia akan 

membuktikannya sendiri. Dua lengan yang bersilang tiba-

tiba dilepas. Serentak dengan Itu terdengar suara seperti 

halilintar merobek udara. Dua larik sinar hitam meng-

gebubu ke arah Pendekar 212 membawa hawa panas luar 

biasa! 

Tenang tapi ada juga rasa tegang di lubuk hatinya murid 

Eyang Sinto Gendeng gerakkan tangan kiri. Pukulan 

benteng topan melanda samudera menderu membentengi 

dirinya. Dari tangan kanan dia melepas pukulan sinar 

matahari. Sinar putih menyilaukan seperti membelah 

langit. Udara sepanas di neraka. 

Dentuman keras seperti gunung meletus laksana 

hendak menghancur luluhkan bukit batu itu ketika sinar 

hitam yang keluar dari tangan Kamandaka beradu dengan 

sinar putih pukulan sakti yang dilepaskan Wiro. Masing-

masing merasakan kedua kaki mereka bergetar hebat dan 

tubuh laksana dipanggang api. Di udara sinar hitam dan 

sinar putih laksana dua ekor naga mengamuk berkelahi 

bergulung-gulung. 

Tiba-tiba Wiro merasakan kedua kakinya goyah dan 

dadanya sakit. Ini satu pertanda bahwa pukulan Benteng 

Melanda Samudera dan pukulan Sinar Matahari tidak 

mampu menahan hantaman pukulan Halilintar! 

"Celaka!" teriak Wiro dalam hati. Terbayang di depan 

matanya tubuh Ki Pamilin dan tubuh Datuk Alam yang 

menemui ajal menghitam gosong! Itulah rupanya nasib 

yang bakal diterimanya saat itu! 

Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar suaraperempuan berseru. 

"Mas Kaman! Saya bersedia jadi istrimu asal, jangan 

bunuh pemuda itu!" 

Kamandaka kenal betul suara itu. Suara Kintani. 

Pemusatan pikirannya jadi terganggu. Hal ini dirasakan 

oleh Wiro karena lututnya yang goyah kembali pulih. 

Namun dia belum mampu menyelamatkan diri dari 

tekanan pukulan sakti lawan. Di udara dilihatnya sinar 

putih pukulan Sinar Matahari semakin redup tenggelam 

dalam sinar hitam pukulan Halilintar. Sesaat sebelum sinar 

putih pukulan saktinya sirna, Pendekar 212 keluarkan 

seruan keras. Tubuhnya melayang ke bawah bukit, ber-

lindung di balik sebuah batu besar. Wuss! 

Pukulan Halilintar menderu. Batu besar tempat Wiro 

berlindung kelihatan mengepul putih lalu berubah menjadi 

hitam dan perlahan-lahan hancur rontok. Tubuh Pendekar 

212 selamat dari serangan maut itu namun dirinya ter-

pental jauh terkena hempasan angin pukulan. Wiro 

terguling-guling ke bawah bukit. Sekujur tubuhnya memar. 

Di keningnya ada luka yang mengucurkan darah. Dadanya 

mendenyut sakit seperti dihimpit batu besar. Dari mulutnya 

meleleh darah. Dia terhempas di kaki bukit batu dalam 

keadaan setengah pingsan setengah sadar. Samar-samar 

dilihatnya ada seseorang berlari ke arahnya, bersimpuh di 

sampingnya dan meletakkan kepalanya di atas pangkuan-

nya. Lalu dia melihat bayangan lain di sampingnya. 

Menyusul suara orang tertawa cekikikan. 

"Anak setan!" Ada suara memanggil memaki. "Itulah 

akibat kalau malang melintang terus-terusan. Tak pernah 

muncul untuk minta tambahan ilmu. Ilmu kesaktian 

manusia sudah semakin tinggi. Sudah bertambah! Ilmumu 

ltu ke itu juga! Sekarang kau rasakan sendiri bagaimana 

rasanya babak belur di hantam orang! Hik.., hik... hik!" 

Di dunia ini hanya ada satu orang yang memanggildirinya dengan sebutan "anak setan". Orang itu adalah 

gurunya sendiri. Eyang Sinto Gendeng. Seperti mendapat 

satu kekuatan, Wiro bangkit dari haribaan orang yang me-

mangkunya. Orang yang memangku berkata. "Tidur saja. 

Kau terluka di dalam cukup parah!" 

Wiro tidak perdulikan. Dia mengenali itu adalah suara 

Kintani gadis yang dipinjaminya baju. Dia tetap bangklt 

bahkan berdiri. Dia memandang ke depan. Benar, memang 

dia. Gurunya! Perlahan-lahan Wiro jatuhkan diri berlutut. 

"Eyang, maafkan muridmu yang selama ini tidak pernah 

meminta petunjukmu! Soalnya murid tidak mau menyusah-

kan Eyang..." 

"Ah, itu kan cuma ucapan seseorang yang pura-pura 

menyesal! Sudah tutup dulu mulutmu!" Nenek tua di depan 

Pendekar 212 menjejalkan sesuatu ke dalam mulut Wiro. 

"Telan cepat kalau kowe masih mau hidup!" katanya. Obat 

sebesar jempol kaki itu dengan susah payah ditelan juga 

oleh Wiro. Kintani kemudian menopang punggungnya, 

menyeka darah di mulutnya. Wajah Wiro yang tadl pucat 

kini tampak mulai segar kembali. Perlahan-lahan dia 

berdiri. 

"Nah kowe sudah sembuh! Ayo ikut aku ke puncak 

bukit! Ada tontonan menarik yang bakal kita saksikan!" 

kata Eyang Sinto Gendeng pula. Dia berpaling ke kiri. Di 

situ tegak seorang gadis jelita, berambut diikat buntut 

kuda. "Kau sudah siap Mintari? Tabahkan hatimul" 

Gadis itu ternyata adalah Mintari, anak Ki Pamilin yang 

bergelar Tangan Baja. Si gadis menatap ke arah Wiro, 

pemuda yang dulu menolongnya. 

"Heran, bagaimana dia bisa muncul bersama Eyang?" 

Who bertanya dalam hati. 

Sinto Gendeng maklum apa yang ada di benak . Wiro. 

Maka diapun berkata. "Saat, ini dia bisa kau anggap se-

bagai adik seperguruanmu, Wiro. Kalau urusannya nantisudah selesai dia kembali ke asalnya. Bukan saudara se-

perguruanmu lagi karena dia memang tak pernah kuangkat 

sebagai murid!" 

"Saya tidak mengerti Eyang..." 

"Nanti kowe juga bakal mengertil" jawab Sinto Gendeng. 

Di kejauhan tampak ada empat orang naik ke puncak 

bukit batu. Gerakan mereka sebat dan cepat. 

"Tontonan menarik akan segera mulal. Ayo ikut aku ke 

puncak bukit!" kata Sinto Gendeng. Keempat orang itu 

segera naik ke puncak bukit batu. Kintani dan Mintari 

sengaja mengapit Wiro yang keadaannya masih agak 

lemah. 

***

11


DiPUNCAK gunung Semeru pagi itu Ketua Partal 

Gamar Senopatri yang bergelar Dewa Tapak Sakti 

duduk dikelilingi oleh Rana Tumalaya Ketua cabang 

wilayah Barat dan Ageng Seto Cabang wilayah Utara. Lalu 

ada dua orang murid Partai yang tingkat kepandaiannya 

hampir mendekati para Ketua Cabang. 

"Malam tadi saya bermimpi. Ada dua ekor burung 

merpati jatuh di pangkuan saya. Yang satu tidak bernafas 

lagi. Mati. Yang satunya megap-megap. Kedua sayapnya 

patah dan kepalanya terluka. Merpati satu ini akhirnya mati 

di pangkuan saya." 

Sang Ketua diam sesaat lalu meneruskan bicaranya. 

"Saya bukan orang yang percaya pada mimpi. Namun 

setiap mimpi mempunyal takbir dan maknanya sendiri-

sendirl. Dua saudara kita Ageng Sembodo dan Ki Rono 

Bayu sudah seminggu meninggalkan kita. Saya menaruh 

kawatir, mimpi tadi malam merupakan pertanda buruk bagi 

kita. Jangan-jangan telah terjadi sesuatu dengan mereka..." 

"Kalau Ketua mengizinkan, saya akan turun gunung 

untuk menyelidik," berkata Ageng Seto. 

Lama Ketua Partai Semeru Raya itu terdiam. Akhirnya 

dia berkata. "Saat ini saya merasa harus pergi ke goa 

Kranggan di Selatan. Bukan saja untuk mencari tahu ke-

adaan dua Ketua Cabang itu, juga untuk langsung mencari 

Kamandaka murid sesat dan murtad itu." 

"Saya akan mendampingi Ketua," kata Ageng Seto pula. 

"Saya jugal" kata Rana Tumalaya.Dua anak murtad murid tingkat tinggi yang ada di situ 

mengatakan hal yang sama pula. 

"Tidak semua bisa pergi. Harus ada yang menunggu d! 

sini guna mengurus segala sesuatunya," kata Gamar 

Senopatri pula. Dia berpaling pada Ageng Seto. "Kau punya 

kepentingan lebih besar untuk Ikut bersama saya. Kau 

harus tahu apa yang terjadi dengan adikmu Ageng 

Sembodo." 

"Terima kasih atas kepercayaan Ketua membawa saya," 

Ageng Seto merasa gembira. 

"Kalian berdua juga ikut saya," kata Ketua Partai se-

lanjutnya seraya menggoyangkan kepala pada dua anak 

murid Partai. Kedua orang ini menundukkan kepala sambil 

mengucapkan terima. kasih. "Dan kau Dimas Rana 

Tumalaya. Kau terpaksa tinggal untuk menjaga dan 

mengurus segala sesuatunya selama kami pergi." 

"Akan saya laksanakan dengan sebaik-baiknya Ketua," 

jawab Rana Tumalaya walau hati kecilnya sebenarnya ingin 

sekali pergi mendampingi Ketua Partai. 

Beberap hari kemudian rombongan dari gunung Semeru 

itu sampai di pantai Selatan di mana terletak goa 

Kranggan. Seperti yang dilakukan Wiro, setelah masuk goa 

dan mengetahul bahwa terowongan di dalamnya membalik 

ke arah daratan, Gamar Senopatri membawa membawa 

orang-orangnya keluar goa dan menempuh jalan darat 

hingga akhimya sampai di bukit batu. Pada saat yang 

bersamaan Eyang Sinto Gendeng dan Mintari sampai pula 

di tempat itu. Tujuan kedua orang ini jelas untuk menuntut 

balas atas kematian ayah Mintari serta kekejian yang 

dilakukan Kamandaka atas dirinya. Seperti dituturkan se-

belumnya Eyang Sinto Gendeng telah menculik Mintari 

selagi berada di rumah kediaman Raden Bintang. Gadis 

malang Ki Pamilin ini dibawanya ke suatu telaga di Bukit 

Slarong. Di sini Mintari diberinya pelajaran meningkatkankekuatan tenaga dalam. Setelah itu diajarinya ilmu sakti 

pukulan Sinar Matahari. Pukulan sakti yang diajarkan si 

nenek pada Mintari memiliki kekuatan lebih hebat dad 

pukulan Sinai Matahari yang telah diwariskannya pada 

muridnya Wiro Sableng. Hal ini karena Sinto Gendeng 

menyadari bahwa pukulan Sinar Mataharl yang lama tidak 

bakal sanggup menumbangkan pukulan Halilintar yang di-

miliki Kamandaka. Namun karena Mintari bukan muridnya 

maka Eyang Sinto Gendeng hanya memberikan kemampu-

an memiliki selama tiga puluh had pada Mintari. Selewat-

nya waktu tersebut kesaktian itu akan lenyap dengan 

sendirinya. Di samping itu Mintari hanya bisa memperguna-

kan ilmu kesaktian itu satu kali saja. 

Di puncak bukit batu Kamandaka tampak melangkah 

mundar-mandir di depan rumah batunya. 

Hatinya geram sekali. Kalau saja tadi Kintani tidak 

muncul dan mengganggu pemusatan pikirannya, pasti 

Pendekar 212 dapat dikalahkannya dan ditambusnya 

sampai gosong dengan pukulan Halilintar. Kini pemuda itu 

lenyap di kaki bukit. Kintani sendiri melarikan diri entah ke 

mana. Rasa geram semakin membakar dirinya ketika dia 

membayangkan tubuh Kintani yang sudah siap untuk 

ditidurinya! 

"Jahanam! Keparat!" maki Kamandaka. 

Selagi dia memaki-maki begitu dari arah Barat lereng 

bukit batu dilihatnya ada empat orang lelaki muncul men-

daki. Di sebelah depan... Kamandaka segera mengenalinya 

dari pakaian yang dikenakannya. 

"Jahanam itu akhirnya muncul juga!" katanya. "Segala 

urusan akan kuselesaikan hari ini! Akan kubuka kedok 

busuk bangsat itu!" 

Tiba-tiba ekor mata Kamandaka melihat ada gerakan 

lain di lamping Timur bukit batu. Di jurusan ini juga ada 

empat orang yang g mendatangi. Dua gadis, satu nenekdan satu lagi seorang pemuda yang dari jauh segera 

dikenalinya yaitu Pendekar 212 Wiro Sableng. Sedang 

salah satu dari gadis yang datang tak pelak lagi adalah 

Kintani. 

"Manusia-manusia celaka! Semua akan kubikin 

mampus!" kertak Kamandaka dalam hati. Lalu dia me-

lompat ke atas batu datar di depan rumah batu. Kedua 

kakinya merenggang sedang kedua tangan dirangkapkan 

di depan dada. Begitu dua rombongan bongan itu sampal 

sekitar sepuluh langkah di depannya Kamandaka lantas 

pentang suara. 

"Selamat datang mahluk-mahluk pencari mati! Siapa di 

antara kalian yang ingin mampus lebih dulu?!" 

Paras empat orang dari gunung Semeru tampak be-

rubah merah sementara Sinto Gendeng dan tiga orang 

anggota rombongannya tenang-tenang saja malah ada 

yang menyengir-nyengir! 

Ketua Partai Semeru Raya menatap paras Kamandaka 

sesaat lalu melirik ke samping. Dia terkejut ketika 

mengenali Sinto Gendeng dan heran melihat mengapa 

Kintani berada bersama rombongan si nenek. . 

"Kamandaka, kami datang jauh jauh bukan untuk 

mencarI kematian," Gamar Senopatri membuka mulut. 

"Kami datang justru untuk menghukummu! Dosamu 

selangit tembus sedalam lautan! Berlututlah minta ampun 

kepada Tuhan sebelum aku menjatuhkan hukuman mati 

atas dirimu di tempat ini juga!" 

Kamandaka tampak melongo. Dia memandang tak ber-

kesip pada Ketua Partai Semeru Raya itu. Lalu perlahan-

lahan tampak dia menekuk kedua kaki seperti hendak 

berlutut. Ternyata pemuda ini hanya pura-pura saja. Justru 

ketika pantatnya bergerak turun tiba-tiba dia keluarkan 

suara kentut yang keras sekali. Sehabis kentut dia tertawa 

gelak-gelak!Dari rombongan yang dipimpin oleh Singo Gendeng, 

terdengar pula suara tertawa bekakakan. Itu adalah suara 

tawa Wiro Sableng yang memang tidak bisa menguasai diri. 

Sinto Gendeng mendelik dan membentak. "Husss! Ku-

robek mulutmu kalau tidak hentikan tawamu!" 

Wiro terpaksa tutup mulutnya. Kedua matanya melirik 

ke kiri kanan yaitu ke arah Kintani dan Mintari. Kintani 

senyum-senyum saja. Sedang Mintari mendongak ke langit 

sambil pejamkan mata. Pasti ada sesuatu yang sangat 

mempengaruhi dirinya saat itu yakni niatnya untuk 

menuntut balas. Mintari turunkan kepalanya dan berbisik 

pada Sinto Gendeng. "Eyang, kalau Ketua Partai Semeru itu 

berhasil membunuh Kamandaka, berarti saya tidak akan 

pernah membalaskan sakit hati dendam kesumat...." 

Si nenek tersenyum. Dia menjawab. "Tidak satu orang-

pun bisa mengalahkan Kamandaka, kecuali kau. Lihat saja 

nanti. Jangan banyak tanya lagi. Siapa yang berani bicara 

nanti kutampar!" 

Mintari dan Kintani kancingkan mulutnya rapat-rapat 

sementara Wiro sambil garuk-garuk kepala berusaha 

menahan ketawa hingga mukanya merah sampai ke 

telinga. 

Di sebelah sana empat wajah orang-orang gunung 

Cemeru tampak merah kelam membesi. 

Gamar Senopatri berkata dengan suara bergetar tanda 

dia berusaha menekan amarah. 

"Orang yang mau mati memang suka berbuat tolol! 

Kami tahu kau pasti telah membunuh Ki Rono Bayu. Dalam 

perjalanan ke mari kami menemui mayat Ageng Sembodo. 

Dosamu tak mungkin diampuni lagi Kamandaka!" 

"Dari tadi kau bicara melulu! Kapan kau mau ber-

tindak?!" Kamandaka berkata lantang. 

"Saat ini juga murid murtad!" jawab Gamar Senopatri. 

"Bagus! Tapi sebelum kau membual hendak membunuhku, biar aku bicara dulu. Agar semua orang tahu 

siapa dirimu sebenarnya. Dan mengapa aku melakukan 

semua kejahatan ini! Tujuanku lain tidak adalah agar satu 

ketika aku dapat berhadapan denganmu. Kini saat yang 

kutunggu sejak beberapa bulan lalu sudah tiba! Bukan aku 

yang bakal menerima kematian. Tapi kau! Sesuai dengan 

kejahatan dan kebusukan yang pernah kau buat dua puluh 

lima tahun silam. Ketika aku baru berusia tiga tahun!" 

Ketika berkata itu Kamandaka berulang kali menudingkan 

telunjuknya ke arah Gamar Senopatri hingga Ketua Partai 

ini tambah merah wajahnya dan bergetar seluruh tubuh-

nya. Sementara bicara kedua mata Kamandaka selalu ter-

tuju pada seuntal kalung baja putih dengan hiasan kepala 

seekor singa yang tergantung di leher sang Ketua. 

Apa yang diucapkan Kamandaka tadi tentu saja mem-

buat Gamar Senopatri terkejut. Bahkan yang lain-lain yang 

ada di tempat itu jadi ikut bertanya-tanya. 

"Gamar Senopatri! Hari ini kubuka kedok busukmu!" 

kata Kamandaka enak saja dia menyebut langsung nama 

orang tua itu. "Dua puluh lima tahun lalu, di hutan Sasakan 

kau pernah menghadang satu keluarga kecil yang tengah 

pindah dari Kaliurang ke Sleman. Kepala rombongan itu 

adalah seorang lelaki bernama Abdi Gontor. Dia bertindak 

sebagai sais pedati sementara istrinya duduk dl sebelah-

nya. Istrinya bernama Widi Sinten. Seorang anak lelaki 

berusia tiga tahun berada di bagian belakang pedati. 

Sampai di sini apa kau bisa ingat Gamar Senopatri?" 

Semua orang saat itu menyaksikan bagaimana wajah 

Ketua Partai Semeru Raya tiba-tiba menjadi pucat pasi 

seputih kain kafan! Mulutnya komat-kamit tapi tidak ada 

suara yang keluar. Dadanya turun naik. 

Di atas batu Kamandaka kembali membuka mulut. 

"Mungkin ingatanmu masih belum pulih. Biar kuteruskan 

ceritaku! Perempuan bernama Widi Sinten itu adalahkekasihmu di masa muda. Namun dia meninggalkanmu 

karena ternyata kau punya lebih dari lima orang kekasih. 

Kau mengkhianati cintanya dan kawin di mana-mana. 

Ketika Widi Sinten kawin dengan Abdi Gontor baru kau 

sadar bahwa sesungguhnya kau benar-benar mencintainya. 

Kau inginkan dirinya lagi tapi sudah terlambat. Rasa 

sayangmu berubah jadi rasa benci sakit hati. Kau cegat 

rombongan mereka di hutan Sasakan. Kau bunuh Abdi 

Gontor. Lalu kau rusak kehormatan Widi Sinten! Sehabis 

diperlakukan secara keji begitu Widi Sinten bunuh diri 

dengan sebilah keris milik suaminya di tempat itu juga!" 

Sampai di situ Kamandaka tampak seperti tidak dapat 

menguasai diri. Tubuhnya bergetar hebat dan suaranya 

ditelan isakan tangis. Sesaat kemudian baru dia bisa 

meneruskan kata-katanya. 

"Kejadian itu disaksikan oleh anak mereka yang berusia 

tiga tahun. Si anak menangis dan takut. Berusaha turun 

dari pedati tapi terjatuh. Kepalanya membentur tanah 

hingga jatuh pingsan. Ketika siuman dia tidak dapat lagi 

mengingat apa yang telah terjadi dengan kedua orang 

tuanya. Entah karena apa kau kemudian mengambil anak 

itu, meminta seseorang mengasuhnya lalu menjadikannya 

murid dalam Partal. Selama lebih dari dua puluh empat 

tahun ingatannya tentang peristiwa itu menjadi gelap. 

Namun enam bulan yang lalu sebuah benda yang tiba-tiba 

dilihatnya membuat dia ingat kembali apa yang terjadi di 

masa lalu itu. Benda itu adalah kalung baja putih yang 

melingkar di lehermu! Kalung itu dilihat si anak waktu kau 

membunuh dan memperkosa ibunya. Kalung itu kemudian 

dilihat anak yang sama enam bulan lalu ketika untuk 

pertama kalinya kau memakainya kembali pada suatu 

upacara kebesaran Partai!" 

Suasana di puncak bukit itu hening seperti di 

pekuburan. Suara anginpun tidak kedengaran. Ketegangantegangan menggantung di udara. Kedua mata Kamandaka 

berkaca-kaca. Suaranya bergetar ketika dia menyambung 

kata-katanya. 

"Kau tahu siapa anak itu Gamar Senopatri? Anak itu 

adalah aku! Kamandaka! Muridmu yang katamu sudah kau 

anggap seperti anak sendiri!" 

Semuanya mata memandang pada Gamar Senopatri. 

Ketua Partai Semeru Raya ini merasakan tenggorokannya 

kering. Di atas kepalanya matahari seperti hanya sejengkal. 

Tubuh dan pakalannya mandi keringat. 

"Ceritaku belum habis Gamari Setelah aku tahu kau 

pembunuh ayahku dan manusia yang merusak ibuku, aku 

pergi meninggalkan Semeru. Aku menghubungi tokoh-

tokoh persilatan minta pandangan mereka apa yang dapat 

aku lakukan. Tak satu orangpun yang mau memberi 

nasihat. Apalagi bertindak menghukummu! Semua mereka 

pengecutl Aku anggap sama saja mereka itu bersekutu 

dengan dirimu! Ketika seorang sakti memberiku ilmu 

pukulan Halilintar, semua tokoh- tokoh silat keparat itu 

kuhabisi satu demi satu. Gadis-gadis kuculik dan ku-

perkosa. Kubayangkan mereka adalah anak gadismu 

sendiri! Lalu aku merencanakan untuk menyamaratakan 

puncak Semeru, menghancurkan Partai Semeru Raya dan 

mematahkan batang lehermu! Orang-orang persilatan 

menganggap aku manusia sesat. Kau menyebut aku murid 

murtad! Mungkin aku sesat dan murtad. Tapi semua 

berpangkal sebab kepadamu! Kau tidak lebih baik dariku 

Gamar Senopatri! Kedokmu sudah kubuka. Berarti 

kematianmu sudah di depan mata! Bersiaplah!" 

Tubuh Ketua Partai Semeru Raya itu tampak ber-

guncang. Ageng Seto dan dua murid Partai cepat me-

megangnya. 

"Tinggalkan saya..." kata Gamar Senopatri pada orang-

orang itu. "Menjauhlah. Aku sudah siap menerima

hukumanku!" 

Ageng Seto maju ke depan. "Kamandaka!" serunya. 

"Kuharap persoalan ini selesal sampai di sini saja. Kami 

akan kembali ke puncak Semeru. Apa yang kau lakukan 

nanti adalah urusan dan tanggung jawabmu sendiri!" Habis 

berseru begitu Ageng Seto memegang bahu Gamar 

Senopatri lalu berbisik. "Ketua, mari kita tinggalkan tempat 

ini." 

Tapi Gamar Senopatri gelengkan kepala. 

Di atas batu Kamandaka tampak menyllangkan kedua 

lengannya. Lengan-lengan Itu berubah menjadi hitam. 

"Ketua! Awas!" Kintani berteriak. Tapi terlambat. 

Suara seperti halilintar memekakkan telinga. Bukit batu 

bergetar hebat. Dua larik sinar hitam menderu menebar 

hawa panas luar biasa. Dua orang anak murid Partai yang 

berada agak jauh masih bisa melompat selamatkan diri. 

Tapi Gamar Senopatri dan Ageng Seto tak mampu berbuat 

suatu apa. Kedua orang Itu hanya keluarkan suara raungan 

pendek. Tubuh mereka terpental jauh. Keduanya menemui 

ajal dalam keadaan tubuh hitam gosong mengepulkan 

asap. Bau daging terbakar menyesakkan nafas dan 

mengidikkan semua orang yang ada di tempat itu. 

Untuk beberapa lamanya Kamandaka masih tegak di 

atas batu datar di depan rumah batu. Eyang Sinto Gendeng 

berpaling pada Mintari dan berkata perlahan. 

"Tontonan bagus sudah selesai. Giliranmu sudah tiba, 

Mintari," kata si nenek. 

Gadis itu mengangguk. "Semoga saya berhasil, Eyang " 

"Jangan kawatir. Kau pasti berhasil!" jawab Sinto 

Gendeng. Lalu dia melangkah menemani gadis itu sampai 

lima belas langkah di hadapan batu datar di mana 

Kamandaka berada sementara Wiro dan Kintani tetap 

berada di tempat semula. 

Kamandaka menatap kosong ketika Mintari tegak didepannya. Dia seperti tidak melihat gadis itu sampai pada 

saat Mintari berkata dengan suara keras. 

"Kamandaka! Kudengar ceritamu tadi cukup mengharu-

kan. Kau pernah kehilangan ingatan selama lebih dari dua 

puluh empat tahun. Tapi apa kau juga hilang ingatan atas 

apa yang kau lakukan terhadap ayahku dan diriku 

beberapa bulan lalu?!" 

"Heh.... Siapa kau? Suaramu lantang dan wajahmu 

cantik!" Otak kotor Kamandaka mulal bekerja rupanya. 

"Beberapa bulan lalu kau membunuh ayahku Ki Pamilin 

bergelar Tangan Baja. Di tempat yang sama kau kemudian 

merusak kehormatanku! Ingat.. ?" 

"Ya, aku memang ingat..." jawab Kamandaka. 

"Lalu sekarang apa maumu? Minta diperkosa lagi?" 

Kamandaka tertawa mengekeh. Tapi jelas tawa itu seperti 

dipaksakan. Dia seperti belum dapat melenyapkan 

keguncangan hatinya saat-saat menjelang dia menghabisi 

Gamar Senopatri tadi. 

"Kejahatan harus dibalas dengan keadilan! Keadilan 

satu-satunya bagimu adalah mati!" teriak Mintari. Lalu dia 

angkat tangan kanannya. Tangan itu sampai sebatas siku 

berubah menjadi putih perak dan sangat menyilaukan. 

Hawa panas terasa mencekam tempat sekitar situ. 

Pendekar 212 Wiro Sableng sempat terkejut melihat hal 

itu. "Gila! Mengapa lengan itu bisa sangat menyilaukan 

seperti itu. Aku sendiri tidak mampu berbuat seperti itu. Ah, 

si Eyang pasti sudah main kayu! Mengajarkan sesuatu 

pada orang lain tapi tidak mengajarkannya padaku!" Baru 

saja saja Wiro mengucapkan kata-kata itu dalam hatinya 

tiba-tiba ada suara menglang di telinganya. 

"Anak setan! Jangan kowe berpikir yang bukan-bukan! 

Kau sendiri yang salah. Selama ini kau hanya senang 

malang melintang. Tidak pernah memikirkan untuk mem-

perdalam serta menambah ilmu kepandaian!"Wiro melirik ke arah si nenek yang tegak tak berapa 

jauh dari tempatnya berdiri. Itu tadi suara si nenek yang 

mempergunakan ilmu bersuara jarak jauh. Wiro hanya bisa 

garuk-garuk kepala. Memandang ke depan dilihatnya 

lengan Mintari semakin memancarkan sinar menyilaukan. 

"Pukulan Sinar Matahari!' seru Kamandaka dengan 

nada serta mimik mengejek. "Siapa yang mengajarkan 

padamu? Pasti nenek jelek itu atau pemuda gondrong 

sebelah sana!" Kamandaka tertawa panjang. "Kumpulkan 

seratus orang yang mampu melancarkan pukulan Sinar 

Matahari. Tak satupun yang akan mampu menghadapi 

pukulan Halilintar!" 

"Takaburmu membawa celaka!" teriak Mintari. Tangan-

nya perlahan-lahan diangkat lebih tinggi. 

"Eh, gadis ini tidak main-main. Sebenarnya sayang kalau 

dia harus kubunuh! Tapi apa boleh buat!" Begitu 

Kamandaka membatin. Lalu dia silangkan kedua 

tangannya di depan kepala. Kedua tangan itu serta merta 

menjadikan hitam. Sambil sunggingkan senyum merendah-

kan, Kamandaka lepaskan silangan kedua tangannya dan 

memukul ke depan. 

Wuss! 

Wuss! 

Dua larik sinar hitam menderu dahsyat disertai suara 

gelegar halihntar. Untuk kesekian kalinya bukit batu itu 

seperti diguncang gempa dan langit seperti mau roboh! 

Mintarl keluarkan pekik keras. Tangan kanannya meng-

hantam ke depan. Hawa panas menggebubu. Selarik sinar 

putih kebiruan menyilaukan menyambar ganas. Ratusan 

bunga api memercik di udara ketika dua larik sinar hitam 

bertemu dengan selarik sinar putih kebiruan. 

Kedua kaki Mintari tampak goyang. Kamandaka menye-

ringai. Kintani dan Wiro menahan nafas. Tapi Sinto 

Gendeng tenang-tenang saja. Malah dari mulutnya terdengar suara dia menyanyi. "Kejar terus, tahan terus.... 

Hitam tak pernah menang dari putih... Kejar terus, tahan 

terus... Hitam tak pernah menang dari putih..." 

Di udara dua larik sinar hitam pukulan Halilintar ber-

usaha menggelamkan sinar putih pukulan Sinar Matahari. 

Namun sekali ini tampak sinar-sinar hitam Itu terdorong ke 

belakang hingga Kamandaka merasakan kedua Iengannya 

bergetar keras. Hal ini tak pernah kejadian sebelumnya. 

Dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya hingga wajahnya 

jadi merah dan sekujur tubuhnya mandi keringat. 

Tiba-tiba Mintari putar telapak tangan kanannya. 

Gerakan ini disusul dengan gerakan mendorong ke depan . 

Wussss! 

Pukulan Sinar Matahari menggebubu laksana topan 

prahara. Dua larik sinar hitam pecah dan bertebaran lalu 

lenyap. Sinar putih terus melabrak ke depan. 

"Jahanam!" Masih terdengar makian Kamandaka. Itu 

adalah ucapannya yang terakhir sebelum tubuhnya terseret 

sinar putih panas dan menyilaukan itu. Pemuda itu 

terbanting ke dinding batu di samping rumah batu. Untuk 

sesaat lamanya tubuhnya yang melepuh matang merah Itu 

laksana dicetak masuk ke dalam dinding batu. Lalu 

perlahan-lahan tubuh itu mencuat keluar dan jatuh 

tergelimpang di atas batu. 

Mintari jatuhkan diri dan tekap mukanya dengan kedua 

tangannya. Sinar putih menyilaukan pada tangan kanannya 

sudah lenyap. Dia menangis terisak-isak. Satu tangan 

memegang bahunya, mengira itu adalah Eyang Sinto 

Gendeng yang memegangnya, gadis ini berkata. "Eyang, 

terima kasih. Saya berhasil Eyang. Terima kasih..." 

"Eyang sudah lenyap entah kemana," jawab satu suara. 

Mintari berpaling. Yang memegang bahunya dan yang 

barusan bicara ternyata adalah Pendekar 212 Wiro 

Sableng. Di sampingnya berdiri Kintani. "Dia sempatberpesan agar aku mengurus kalian berdua. Ah, bagai-

mana ini... Kalian kan bukan anak-anak kecil lagi." 

Perlahan-lahan Mintari berdiri. Dia memandang pada 

Kintani sambil mengusap air matanya. Lalu dia berkata. 

"Bersamamu Wiro, kami mau jadi anak-anak kecil kembali." 

"Tapi kami anak-anak kecil yang nakal. Hingga kau pasti 

bakal kewalahan mengurus kami!" menyambung Kintani. 

Pendekar 212 Wiro Sableng garuk-garuk kepala. Lalu 

dia berdiri di antara kedua gadis itu dan memegang bahu 

mereka. Sambil melangkah Wiro tersenyum-senyum. 

"Apa yang kau tertawakan?" tanya Mintari. 

Ditanya begitu sang pendekar justru malah tertawa 

gelak-gelak. "Aku ingat ketika kalian kutemui lari dari 

puncak bukit nyaris tanpa pakaian sama sekali!" 

Kedua gadis itu terpekik. Lalu cubitan-cubitan menye-

ngat lengan, pinggang dan punggung Pendekar 212 mem-

buat dia kelojotan dan terlonjak-lonjak kian kemari. 

Pembalasan dua gadis itu ternyata tidak sampai di sana 

saja. Dari belakang keduanya menarik celana Wiro ke 

bawah kuat-kuat hingga tubuh bawah sebelah belakang 

pemuda ini tersingkap lebar. Sementara Wiro kalang kabut 

menarik celananya, Mintari dan Kintani telah melarikan diri 

ke bawah bukit. 

"Anak-anak nakal! Kalau dapat kukejar akan kuciumi 

kalian berdua!" teriak Wiro. 

Mintari dan Kintani berhenti lalu lambaikan tangan 

menggoda. Ketika Wiro mengejar keduanya lari kembali 

sambil tertawa terpingkal-pingkal. 


TAMAT



Share:

0 comments:

Posting Komentar