..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 28 Juni 2024

WIRO SABLENG EPISODE MISTERI DEWI BUNGA MAYAT

Misteri Dewi Bunga Mayat



WIRO SABLENG 

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 

Karya: BASTIAN TITO 

MISTERI DEWI BUNGA MAYAT 

SATU 

DI DALAM KEDAI yang tak seberapa besar itu hawa terasa 

hangat dan pengap padahal di luar hujan rintik-rintik dan angin 

bertiup cukup keras. Pendekar 212 Wiro Sableng seharusnya sudah 

sejak tadi meninggalkan kedai dengan perut kenyang. Namun seorang 

dara berwajah manis yang setiap mata lelaki tak mau berkesip 

memandangnya, membuat murid Sinto Gendeng itu tak beranjak dari 

bangku yang didudukinya. 

Si jelita itu makan dengan tenang di sudut kedai. Kepalanya 

hampir selalu tertunduk. Namun dari tempatnya duduk Wiro bisa 

melihat hampir keseluruhan wajah yang cantik itu. Sang dara 

mengenakan pakaian putih sebentuk kebaya panjang dengan kancing 

besar-besar yang tebuat dari kain putih. Dia tidak mengenakan kain 

panjang sebagaimana biasanya orang memakai kebaya, tetapi 

mengenakan sehelai celana panjang sebatas betis juga berwarna 

putih. Sebagian betisnya yang tersembul tampak kukuh walaupun 

tidak menyembunyikan kemulusan dan kelembutan serta keputihan 

sebagai betis seorang dara. 

Di luar kedai udara malam terasa dingin dan suasana tampak 

tenang sunyi. Namun jika kita memalingkan kepala kea rah pohon 

besar di halaman sebelah kedai, tampaklah empat orang lelaki muda 

mendekam dalam gelap bebayangan pohon, duduk tak bergerak di 

atas kuda masing-masing. Seekor kuda putih tertambat tak jauh darisana. Lalu masih ada seekor kuda lagi di samping kedai yang tidak 

terikat dan berjalan perlahan-lahan mencari rerumputan. 

“Sudah kukatakan sebaiknya kita masuk saja ke dalam kedai 

itu. Kita tak tahu sampai berapa lama dia berada disana sementara 

kita kedinginan disini…” salah seorang pemuda penunggang kuda 

membuka mulut. 

“Gandring! Jangan bicara tolol!” temannya membentak 

perlahan. “Aki Sukri pemilik kedai itu kenal kita. Apa kau mau 

mencari penyakit kalau kemudian dia bertindak menjadi saksi?!” 

Gandring yang dibentak diam saja. Seorang kawan yang lain 

berkata sambil menyeringai, “Kenapa udara dingin jadi persoalan? 

Bukankah nanti kita semua bisa berhangat-hangat dengan si jelita 

itu?!” 

“Sebenarnya siapakah calon korban kita kali ini?!“ bertanya 

lelaki ke empat yang duduk di punggung kuda sambil menghisap 

sebatang rokok kawung. 

“Soal siapa dia atau siapa namanya kurasa tidak perlu. Yang 

penting, sore tadi kita sudah melihat bagaimana wajahnya secantik 

bidadari. Kulitnya kuning mulus seperti kulit puteri kerajaan. Lalu 

pinggangnya yang ramping sedang dada serta pinggulnya yang begitu 

besar…!” Pemuda yang bicara ini membasahi bibirnya dengan ujung 

lidah sementara tenggorokan tiga kawannya tampak bergerak-gerak 

tanda mereka sama menelan air liur. “Seperti biasa, aku pemimpin 

diantara kita berempat. Jadi pantas kalau nanti aku yang lebih dulu 

menikmatinya. Ha…ha…ha…!” Pemuda itu tertawa perlahan 

sementar tiga kawannya tampak merengut. 

“Jumpadi… Kau selalu mementingkan diri sendiri. Dalam 

segala hal selalu ingin duluan, dalam pembagian selalu ingin lebih 

besar. Sekali-sekali kami anak buahmu pantas juga mendapat 

perolehan lebih besar dan tidak cuma mendapatkan bekasmu!”Pemuda bernama Jumpadi berpaling. “Bladu…! Kau rupanya 

punya niat hendak mengambil kedudukan pimpinan dari tanganku?!” 

bertanya Jumpadi dengan mata melotot. Yang ditanya diam saja. 

Jumpadi meneruskan, “Aku sudah berapa kali mengatakan. Jika ada 

di antara kalian ingin jadi pimpinan rombongan kita silakan saja. 

Tapi harus melewati mayatku lebih dulu. Jika ada yang tidak suka 

dan ingin mengundurkan diri, juga aku persilakan. Satu pergi ada 

sepuluh orang yang ingin bergabung denganku!” 

“Sudahlah, kenapa kalian jadi bertengkar. Lihat ke kedai. Ada 

orang melangkah keluar!” berkata pemuda bernama Ambalit. 

Mendengar ucapannya itu tiga pemuda lainnya serta merta palingkan 

kepala ke arah pintu kedai. Di ambang pintu yang masih terkena 

cahaya lampu minyak dari dalam kedai kelihatan melangkah keluar 

seorang berpakaian serba putih. 

“Memang dia yang kita tunggu-tunggu!” kata Jumpadi. Lalu 

pada ketiga temannya dia berkata, “Kita tetap tenang saja. Jangan 

memperlihatkan sikap yang mencurigakan. Tunggu sampai dia naik 

ke atas kudanya dan pergi. Jika aku bergerak baru kalian ikut 

bergerak. Awas, jangan berani mendahuluiku!” 

Empat pasang mata memperhatikan dara berpakaian putih 

keluar dari dalam kedai, melangkah ke arah kudanya yang tertambat 

di halaman depan. Dia melangkah seperti tidak melihat ada empat 

penunggang kuda mendekam di bawah pohon besar yang gelap. 

Dengan tenang dia melepaskan tambatan kudanya lalu naik ke atas 

punggung binatang berwarna putih ini. 

Sesaat setelah sang dara berlalu baru Jumpadi menarik tali 

kekang kuda tunggangannya. Tiga kawannya langsung membedal 

kuda masing-masing. 

Di pintu pondok Pendekar 212 Wiro Sableng sempat melihat 

gerakan empat penunggang kuda itu. Selain dia sendiri memang ingin 

mengikuti gadis berkebaya putih tadi, empat orang lelaki 

penuunggang kuda yang barusan berlalu membuat hatinya jadicuriga. Wiro memandang berkeliling. Celakanya dia tidak memiliki 

kuda. Bagaimana harus mengejar orang-orang itu? Ketika dia 

memandang berkeliling sekali lagi, dilihatnya ada seekor kuda di 

halaman samping tengah asyik merumput di kegelapan malam. 

Tanpa pikir panjang lagi Wiro langsung menghampiri binatang ini, 

mengusap tengkuknya lalu melompat ke atas punggungnya. 

Di saat yang bersamaan dari pintu kedai keluar Aki Sukri 

pemilik kedai yang sekaligus si empunya kuda. Melihat kudanya 

dibedal orang diapun berteriak sambil mengejar. “Hai! Kudaku! 

Jangan kau larikan! Maling….! Pencuri kuda!” 

“Aku tidak mencuri! Aku hanya meminjam kudamu!” teriak 

Wiro lalu menghambur lenyap di kegelapan malam. 

Aki Sukri yang sudah tua tentu saja tak mungkin mengejar. 

Marah dan penasaran dia mengambil batu dan melempar ke arah 

Wiro. Tapi yang dilempar sudah menghilang di kejauhan. 

Gadis berpakaian putih itu meskipun tahu ada orang-orang 

mengejarnya tetap saja menunggangi kuda dengan sikap tenang 

bahkan seperti santai. Dalam waktu cepat empat pemuda itu berhasil 

mendekatinya. Saat itulah sang dara menyentakkan tali kekang 

tunggangannya. Kuda putih itu laksana anak panah melesat dari 

busurnya, melompat sebat meinggalkan para pengejar. Empat 

pemuda jadi penasaran. Mereka memacu kuda, meneruskan 

pengejaran sekencang-kencangnya. Hampir keempatnya mendekati si 

gadis dan mencapai kuda putih itu, tiba-tiba si gadis kembali 

menggebrak tunggangannya meninggalkan empat pemuda jauh di 

belakang. 

“Kurang ajar!” maki Jumpadi. Pemuda ini kenal betul seluk 

beluk jalan yang ditempuhnya, termasuk daerah sekitar situ. Maka 

diapun berteriak pada tiga kawannya, “Gadis itu sengaja 

mempermainkan kita! Ambil jalan sebelah kanan. Kita pasti bisa 

memotong jalannya sebelum dia mencapai jembatan bambu di Kali 

Wates!”Maka empat kuda itu tampak membelok ke kanan, menyusuri 

kaki bukit kecil terus menuju selatan. Dalam waktu singkat mereka 

berhasil mencapai jembatan bambu yang dikatakan Jumpadi tadi. Di 

sini mereka berjejer dua di sisi kiri, dua di sisi kanan. Sebentar lagi 

dara berbaju putih itu pasti akan muncul. 

Di kejauhan memang terdengar suara kaki kuda dipacu 

mendatangi. Sesaat kemudian tampak penunggang berpakaian putih 

tapi kudanya berwarna coklat kehitaman. 

“Bangsat! Bukan dara itu!” kertak Jumpadi marah. Yang 

muncul ternyata adalah seorang pemuda berpakaian putih, berambut 

gondrong dan bukan lain adalah murid Sinto Gendeng! Ketika 

Jumpadi hendak memaki lagi, di belakang mereka terdengar suara 

kuda meringkik. 

Heran tapi juga terkejut Jumpadi dan tiga kawannya palingkan 

kepala. Astaga! Apa yang mereka lihat! Di jalan di seberang jembatan 

bambu tampak seekor kuda putih dan penunggangnya tegak 

membelakangi. 

“Itu dia!” seru Ambalit. 

“Aneh! Bagaimana mungkin dia sampai di seberang sana lebih 

dulu dari kita?!” Jumpadi berkata penuh heran. 

“Jumpadi, lihat! Gadis itu mengunggangi kudanya perlahan-

lahan. Seperti sengaja menunggu kita!” berkata Bladu. 

“Dia bukan menunggu, tapi benar-benar mempermainkan kita!” 

ujar Gandring. 

Rahang Jumpadi menggembung. “Saat ini dia bisa 

mempermainkan kita. Tapi lihat nanti! Nanti aku yang akan 

mempermainkannya sampai dia menjerit minta ampun!” 

Habis berkata begitu Jumpadi menggebrak kudanya. Tiga 

pemuda lainnya menyusul mengejar. Dan di belakang mereka 

Pendekar 212 Wiro Sableng kembali mengikuti. Celakanya kuda yangditunggangi Wiro tidak mampu berlari cepat dan dalam perjalanannya 

sudah beberapa kali membuang kotorannya. 

“Binatang sontoloyo!” maki Wiro. “Kotoranmu saja yang banyak. 

Larimu seperti siput!” 

* * *


DUA 

KEJAR MENGEJAR ANTARA dara berbaju dan berkuda putih 

dengan empat pemuda itu berlansung terus hampir sepeminuman teh 

sementara dengan kuda bututnya Wiro masih terus mengikuti walau 

tertinggal jauh di belakang. 

“Jumpadi, lihat!” Gandring tiba-tiba berseru. “Gadis yang kita 

kejar itu mengambil jalan ke kanan, mengarah ke bukit!” 

“Kalau dia menuju ke sana memangnya mengapa?!” sentak 

Jumpadi yang saat itu tengah jengkel karena masih belum berhasil 

mendekati apalagi menangkap dara yang tengah mereka kejar. 

“Itu jalan menuju pekuburan Batuwungkur!” menyahuti 

Gandring. 

“Ke nerakapun aku akan tetap mengejarnya!” kata Jumpadi 

pula. “kalau kau dan yang lainnya merasa takut, kembali saja! Biar 

aku sendiri meneruskan pengejaran! Tapi awas! Jangan nanti kalian 

ribut-ribut karena tidak mendapat bagian!” Lalu Jumpadi 

menggebrak kudanya agar lari lebih kencang. 

Batuwungkur memang sebuah daerah pekuburan yang terletak 

di sebuah bukit yang cukup tinggi. Walaupun hari malam dan hujan 

turun rintik-rintik saat itu, namun karena pekuburan merupakan 

kawasan yang terbuka, dengan jelas tampak dara berbaju putih 

bersama kudanya berhenti di salah satu bagian pekuburan, 

menghadap ke arah utara dari mana para pengejarnya akan segera 

muncul. Tak lama kemudian empat pemuda itu sudah kelihatan di 

arah masuk pekuburan. 

Sang dara mengelus kepala kuda putihnya beberapa kali lalu 

berbisik, “Kuda, kau pergilah. Aku kedatangan tamu yang harus 

kulayani sebaik-baiknya…”Kuda putih itu seolah mengerti, geserkan pipinya ke tangan 

sang dara lalu tinggalkan tempat itu. Saat itu udara di bukit dingin 

sekali. Di beberapa bagian tampak kabut menutupi pemandangan. 

Tak lama kemudian empat pemuda pengejar sampai di 

pekuburan Batuwungkur. Sesaat mereka berhenti di arah jalan 

masuk dan memandang ke depan. 

“Gadis itu jelas menuju ke pekuburan ini!” desis Jumpadi. 

“Tapi aneh orang dan kudanya sama sekali tidak kelihatan…?! Tak 

mungkin dia bersembunyi. Sama sekali tak ada tempat untuk 

berlindung…” 

Jumpadi memandang pada tiga temannya lalau berkata, “Ikuti 

aku…” 

Dengan perlahan-lahan ke empat orang itu memasuk daerah 

pekuburan. Jumpadi di sebelah depan, tiga kawannya mengikuti 

dengan rasa was-was. Sampai di bagian tengah pekuburan masih 

belum terlihat orang yang mereka cari. 

Kabut di sebelah timur bukit perlahan-lahan turun ke tanah. 

Saat itulah keempat pemuda tadi sama melihat dara berbaju putih itu 

duduk di atas sebuah batu, di bawah sebatang pohon kemboja kecil. 

Disampingnya ada sederetan makam. Makam yang paling dekat 

sudah sangat rusak kayu nisannya sehingga tak bisa terbaca siapa 

nama penghuninya. 

“Jumpadi… Gadis itu ada di sebelah sana. Duduk di bawah 

pohon kemboja…” bisik Bladu. 

“Aku sudah melihatnya!” jawab Jumpadi. Lalu tidak seperti 

kawan-kawannya yang merasa was-was, dengan hati yang sudah 

terbakar nafsu dia membawa kudanya ke arah gadis berbaju putih 

duduk di bawah pohon. Tiga pemuda lain sesaat saling pandang. 

Akhirnya ketiganya bergerak juga mengikuti.Pada saat itulah terdengar suara orang menyanyi. Nyanyian itu 

seperti datang dari kejauhan tetapi cukup jelas masuk ke dalam 

telinga empat pemuda tadi. 

Jika hidup di dunia tidak berguna 

Kematian memang lebih pantas bagi manusia 

Ada yang mati karena nasib sengsara 

Tapi banyak yang mati karena sengaja mencari sengsara 

Jumpadi dan kawan-kawannya terhenti sesaat begitu 

mendengar suara nyanyian itu. 

“Siapa yang menyanyi…?” bisik Ambalit. 

“Itu suara perempuan. Mungkin gadis yang duduk dekat 

makam itu yang menyanyi…” menyahuti Bladu. Suaranya bergetar 

tanda ada rasa takut dalam dirinya. 

“Tak ada setan di sini! Yang menyanyi jelas dara berbaju putih 

itu!” ujar Jumpadi lalu kembali bergerak ke arah gadis yang duduk di 

atas batu, tidak menmperdulikan ucapan Gandring yang mengatakan 

bahwa dia tidak melihat kuda putih milik gadis itu. 

“Tidak disangka! Kau bukan saja cantik jelita tapi ternyata juga 

pandai menyanyi…” Jumpadi berucap begitu sampai di hadapan sang 

dara yang duduk membelakanginya. Punggung dan pinggulnya 

tampak lebar sementara pinggangnya begitu tamping. Rambutnya 

yang panjang tergerai lepas di bahu. 

Tanpa berpaling terdengar si gadis bertanya, “Kau suka 

nyanyianku tadi rupanya…?” 

“Tentu saja! Siapa orangnya yang tidak suka mendengar suara 

semerdu buu perindu dari seorang jelita secantik bidadari…!” 

“Ah, apakah kau pernah melihat bidadari…?” bertanya si gadis 

masih tidak memalingkan kepala ataupun memutar duduknya. 

“Belum. Tapi jika memang ada aku yakin bidadari itu secantik 

dirimu. Namaku Jumpadi. Siapakah namamu…?”

“Kau sudah menganggap aku bidadari. Panggil saja aku dengan 

nama itu. Hai… tadi kau bilang suka mendengar nyanyianku. Apa 

kau ingin mendengarkannya sekali lagi…?” 

Jumpadi memandang pada tiga kawannya yang saat itu sudah 

berjejer di sampingnya. “Tentu… tentu saja aku suka mendengar 

nyanyianmu tadi.” 

“Hanya kau sendiri? Bagaimana dengan tiga kawanmu 

lainnya?” 

Jumpadi menoleh pada tiga kawannya dan menganggukkan 

kepala memberi isyarat. Maka Bladu, Ambalit, dan Gandring 

langsung menjawab, “Kami bertiga juga ingin mendengar suara 

merdu nyanyianmu tadi…” 

“Bagus. Jangan cuma mendengarkan saja tapi juga coba kalian 

resapi makna nyanyian itu…” berkata gadis baju putih. Lalu kembali 

dia menyanyi seperti tadi. 

Jika hidup di dunia tidak berguna 

Kematian memang lebih pantas bagi manusia 

Ada yang mati karena nasib sengsara 

Tapi banyak yang mati karena sengaja mencari sengsara 

Begitu suara nyanyian sirap, tempat itu berada dalam 

kesunyian sebelum tiba-tiba kembali terdengar suara sang dara 

berkata. 

“Kalian sudah mendengar nyanyianku. Sekarang katakan apa 

maksud kalian mengejarku dan menemuiku di tempat ini…” 

“Ah…hem… Kami empat pemuda yang suka bersedekah, 

memberi derma pada sesama, terutama pada gadis secantikmu ini…” 

jawab Jumpadi sambil menyeringai. 

“Maksudmu..?” 

“Maksudku kami suka sekali memberi sedekah kenikmatan 

hidup. Itulah sebabnya kami mengejarmu…“Hem… begitu? Kenikmatan hidup macam apa yang kau 

maksudkan? Bicaralah yang jelas agar aku mengerti…” 

“Aku dan kawan-kawan akan membawamu ke satu tempat 

yang indah…” 

”Tempat yang indah? Apakah tempat ini menurut kalian tidak 

indah? Cobalah kalian memandang berkeliling!” 

Jumpadi dan kawan-kawannya jadi tercekat mendengar kata-

kata si gadis itu. Bladu lalu membuka mulut. 

“Tempat indah yang kamu maksudkan itu bukan di sini. Tapi 

satu tempat dimana kita bisa bersenang-senang…” 

Saat itu Jumpadi sudah turun dari kudanya dan melangkah 

mendekati. 

Tiba-tiba terdengar suara si gadis tertawa. Tawa yang membuat 

Jumpadi hentikan langkahnya. 

“Bersenang-senang… Manusia selalu ingin bersenag-senang. 

Walau terkadang tidak sadar bahwa dibalik kesenangan itu 

bersembunyi kesengsaraan…” 

“Ah, kami tidak akan menyengsarakan gadis secantikmu, 

bidadariku…” ujar Jumpadi pula. 

Lalu dengan satu gerakan kilat dan tiba-tiba pemuda ini 

tusukkan dua jari tangan kanannya untuk menotok punggung sang 

dara. Namun mendadak Jumpadi keluarkan seruan tertahan. Satu 

hawa yang mengandung kekuatan aneh seperti mendorong tangan 

kanannya sehingga dia tidak mampu melakukan totokan. Pemuda ini 

tidak mampu melakukan totokan. Pemuda ini lantas kerahkan 

tenaga. Akibatnya kii bukan saja tangannya yang terpental tapi 

tubuhnya juga terdorong sampai dua langkah. Sementara sang dara 

sendiri kembali perdengarkan suara tertawa. Lalu perlahan-lahan dia 

berdiri dari batu yang didudukinya, muemutar tubuh menghadapi 

Jumpadi dan tiga kawannya yang masih berada di atas punggung 

kuda masing-masing.Sikap sang dara yang tegak dengan kaki terkembang dan 

tangan diletakkan di pinggangnya, membuat empat pemuda itu 

tambah blingsatan. Ambalit dan dua kawannya segera melompat 

turun dari kuda mereka. 

“Betulkah kalian hendak bersenang-senang bersamaku..?” tiba-

tiba sang dara ajukan pertanyaan blak-blakan yang membuat 

pemuda itu jadi terbeliak, dan lebih terbeliak lagi ketika mereka 

melihat bagaimana jari-jari tangan kiri sang dara membuka dua 

kancing teratas kebaya putihnya. Kelihatanlah dadanya yang putih 

membusung. Jumpadi yang berdiri paling depan malah bisa melihat 

celah diantara kedua payudaranya yang ketat. 

Menghadapi hal yang tidak terduga yaitu bahwa ternyata sang 

dara mengerti maksud mereka malah kini siap membuka pakaiannya, 

Jumpadi memberi isyarat pada tiga kawannya. 

“Kalian bertiga tunggu di tempat jauh…” Tapi tiga pemuda 

hanya melangkah mundur sejauh dua tombak. 

Jumpadi berpaling pada sang dara kembali dan berkata, “Jika 

bidadariku sudah mengerti maksud kami, disinipun kita bisa 

bersenang-senang. Bukankah katamu tadi tempat ini juga indah…?” 

Sang dara tersenyum dan anggukkan kepala. 

Jari tangannya membuka kancing ketiga. Jumpadi merasa 

seperti dipanggang nafsu. Tangannya bergerak hendak meraba dada 

gadis di depannya tapi si gadis mundur seraya berkata, “Tunggu… 

Tidakkah kau mencium bau sesuatu…?” 

Jumpadi mengendus. Lalu gelengkan kepala. “Bau apa? Aku 

tidak mencium bau apa-apa..!” jawabnya sementara kedua matanya 

tidak lepas dari dada yang tersingkap. 

“Cobalah mengendus lebih dalam…” bisik si gadis dengan suara 

lirih yang membuat Jumpadi jadi luruh tapi juga tambah bernafsu.Jumpadi mendongak ke atas lalu mencium lama-lama dan 

dalam-dalam. Ketika kepalanya diturunkan dia berkata, “Ya… aku 

mencium sesuatu. Bau… bau… bunga…” 

“Ah, penciumanmu ternyata tajam. Tapi bau bunga apa? 

Dapatkah kau mengatakannya…?” 

“Itu bau bunga… bunga kenanga!” 

“Kau betul! Kau menyebutnya bunga kenanga. Aku 

menyebutnya bunga orang mati. Bunga mayat!” 

Habis berkata begitu sang dara keluarkan tawa. Mula-mula 

perlahan tapi lama-lama semakin keras. 

Di hadapannya, Jumpadi yang sudah kelangsangan menahan 

nafsu kembali mendekat dan berbisik, “Bidadariku, mari kita pindah 

ke bawah pohon di sebelah sana. Di situ tanahnya lebih rata…” 

Sang dara tersenyum dan menggeliat. Gerakan tubuhnya ini 

membuat bajunya yang tidak terkancing tambah tersingkap lebar. 

Jumpadi tak tahan lagi. Serta merta saja tubuh gadis itu 

diterkamnya. Jumpadi yang dilanda nafsu sama sekali tidak melihat 

bagaimana wajah cantik jelita yang tadi tersenyum kini tiba-tiba 

berubah. Senyum lenyap dan wajah itu kini membersitkan 

kebengisan luar biasa! Senyum berubah dengan seringai maut! 

Hampir tak kelihatan gadis itu gerakkan tangan kanannya. 

Sebuah benda berwarna kuning melesat. Bau bunga kenanga yang 

sangat tajam menebar di udara malam. Lalu terdengar pekik 

Jumpadi!


TIGA 

PEMUDA BERNAMA JUMPADI itu roboh ke tanah dan tak 

berkutik lagi. Tiga kawannya berteriak kaget lalu sama-sama 

memburu. Dan bergidiklah mereka melihat apa yang terjadi. Jumpadi 

menggeletak melintang di atas makam. Dia telah jadi mayat. 

Mukanya berlumuran darah. Kedua matanya mencelet. Diantara 

lumuran darah itu tampak menancap sekuntum bunga kenanga 

kuning. Dan disaat itu pula udara di situ dibuncah oleh bau bunga 

kenanga! 

Ambalit, Gandring, dan Bladu memandang melotot ke arah 

dara berbaju putih. Si gadis tegak dongakkan kepala. Dari sela 

bibirnya yang merah mendesau suara tawa. Mula-mula perlahan lalu 

makin keras dan panjang. Meski jelas yang berdiri di hadapan mereka 

adalah seorang gadis cantik jelita namun saat itu tiga pemuda tadi 

merasakan bulu tengkuk berdiri dan mereka seperti melihat setan 

kepala tujuh! 

“Dewi Bunga Mayat!” teriak mereka bersamaan. Lalu serentak 

ketiganya melompat jauh dan putar tubuh ambil langkah seribu. 

Di belakang mereka terdengar suara tertawa panjang. “Kalian 

hendak lari kemana? Mengapa lari…? Bukankah maksud kalian 

hendak bersenang-senang bersamaku malam ini? Hik…hik…hik…!” 

Mendengar ucapan itu, tiga pemuda sama lari tunggang 

langgang. Tapi baru lari beberapa belas langkah tahu-tahu ada 

bayangan menyambar di hadapan mereka dan dara berbaju kebaya 

putih itu tiba-tiba sudah menghadang sambil terus keluarkan suara 

tertawa cekikikan. 

“Dewi Bunga Mayat! Maafkan kami! Ampuni selembar nyawa 

kami!” berkata Ambalit seraya jatuhkan diri berlutut. 

“Benar Dewi, ampuni dosa kami! Kami tidak tahu kalau kau 

adalah Dewi Bunga Mayat…” berkata pula Bladu seraya jatuhkan dirisementara Gandring ikut-ikutan berlutut tapi tak mampu keluarkan 

kata-kata hanya manggut-manggut dengan mata melotot. 

“Ha…ha…! Kalian minta ampun setelah nama kalian tertera di 

pintu akhirat! Terlambat… terlambat!“ ujar dara berbaju putih yang 

dipanggil dengan sebutan Dewi Bunga Mayat. “Bersiaplah untuk 

menerima kematian!” 

“Dewi, jangan!” ratap Ambalit. 

Saat itu sang dewi sudah angkat tangan kanannya. 

“Kawan-kawan!” tiba-tiba Gandring berkata, “daripada mati 

percuma lebih baik berusaha mempertahankan hidup!” Lalu pemuda 

ini keluarkan goloknya. Dua kawannya yang tadi sudah merasa tidak 

punya harapan hidup lagi, melihat apa yang dilakukan Gandring jadi 

muncul keberaniannya dan segera pula mencabut senjata masing-

masing. Bladu menghunus sebilah keris sedang Ambalit mencabut 

sebatang besi yang ujungnya penuh tonjolan runcing seprti penggada. 

“Ha…ha…! Kailan pemuda-pemuda pemberani! Majulah 

berbarengan agar cepat aku membereskan kalian!” seru Dewi Bunga 

Mayat. 

Ambalit, Bladu dan Gandring melompat menyergap. Tiga 

senjata berkelebat. Saat itu justru terdengar suara orang membentak. 

“Manusia-manusia pengecut! Terhadap seorang dara kalian 

berani main keroyok!” 

Satu bayangan berkelebat. Gandring terdorong hampir jatuh. 

Bladu terpelintir sempoyongan sedang Ambalit menggerung kesakitan 

sambil pegangi bibirnya yang pecah terkena jotosan keras. Lima 

giginya rontok! 

Dewi Bunga Mayat yang barusan hendak menghantamkan 

tangan kanannya hentikan gerakan dan mundur dua langkah. Di 

hadapannya tegak seorang pemuda berambut gondrong. Pemuda 

inilah yang tadi membuat dua orang penyerangnya terpelanting dan 

seorang lagi pecah mulutnya. Dewi Bunga Mayat ingat, pemuda iniadalah yang ada dalam kedai yang selalu memperhatikanya. Dia tidak 

ada sangkut paut dengan pemuda itu dan merasa jengkel karena 

berani mencampuri urusannya. Sebelum sang dewi sempat 

membentak si gondrong telah lebih dulu menjura seraya berkata, 

“Maafkan kalau aku membuatmu marah. Aku tidak bermaksud 

mencampuri urusanmu. Aku hanya tidak suka melihat tiga pengecut 

ini mengeroyokmu!” 

“Kalaupun mereka mengeroyokku apa kau kira mereka bisa 

mengalahkanku?! Menyentuh tubuhku sajapun mereka tidak bakal 

mampu! Lalu apa pasalmu masuk dalam kalangan perkelahian?!” 

Wiro tak bisa menjawab dan hanya garuk-garuk kepala. 

“Menyingkirlah! Atau kaupun ingin kubunuh bersama tiga 

pemuda laknat itu?!” sentak Dewi Bunga Mayat. 

“Ah, aku bukan orang yang termasuk dalam nyanyianmu! Aku 

bukan manusia mencari sengsara!” jawab Wiro lalu cepat-cepat 

mengundurkan diri menjauh. 

“Apakah kalian sudah siap untuk mampus?!” Dewi Bunga 

Mayat membentak. 

Tiga pemuda yang sudah lumer nyalinya apalagi yang bernama 

Ambalit yang cidera berat mulutnya, tanpa tunggu lebih lama lagi 

segera putar tubuh ambil langkah seribu. 

Sang dara tertawa tinggi. Ketika tawa itu lenyap dan wajahnya 

berubah bengis, bersamaan dengan itu Wiro melihat tangan 

kanannya bergerak tiga kali berturut-turut. Bau harum bunga 

kenanga bertebar di udara malam. Tiga benda melesat di kegelapan 

malam. Di depan sana tiga pemuda yang menyelamatkan diri 

terdengar menjerit lalu roboh malang melintang di atas tanah 

kuburan. Tak satupun yang berkutik dan bernafas lagi. Mereka 

menemui ajal dengan punggung, tengkuk, dan batok kepala ditancapi 

bunga kenanga alias bunga mayat!Pendekar 212 leletkan lidah, memandang ternganga ke arah 

gadis berbaju putih itu. Tiba-tiba dia jadi tergagap ketika sang dara 

berpaling ke arahnya seraya mengangkat tangan. 

“Sekarang kau juga harus bersiap menerima kematian pemuda 

gondrong! Susul kawan-kawanmua itu!” 

“Hei! Tunggu!” seru Wiro seraya mundur dua langkah. “Aku 

bukan komplotan empat pemuda yang barusan kau bunuh!” 

“Siapa percaya pada dirimu?!” Dewi Bunga Mayat menghardik 

sambil memandang melotot. 

“Aku tidak suruh kau percaya! Tapi aku bicara sejujurnya!” 

ujar Wiro dan balas melotot. Dua pasang mata yang sama-sama 

melotot saling beradu pandang. Sang dewi angkat tangan kanannya. 

* * *


EMPAT 

WAJAH YANG CANTIK jelita itu berubah menjadi bengis. 

Pendekar 212 Wiro Sableng tahu apa artinya ini. Maut! Namun entah 

mengapa dia tidak berusaha menyelamatkan diri dengan menyingkir 

atau melompat. Juga sama sekali tidak mengerahkan tenaga dalam 

dan menyisipkan pukulan sakti untuk menghadapi serangan lawan 

yang mematikan. Murid Sinto Gendeng ini berdiri tidak bergerak 

seolah-olah pasrah. Hanya sepasang matanya yang membesar 

memandang tak berkesip tepat-tepat ke dalam mata gadis di 

hadapannya. 

Dewi Bunga Mayat merasakan ada hawa aneh yang menyambar 

dari sepasang mata pemuda di hadapannya, masuk ke dalam 

tubuhnya lewat sepasang matanya sendiri dan membuat getaran-

getaran aneh di dadanya. Semakin dia memandang marah pada 

pemuda itu, semakin tidak keruan jantungnya. 

“Aneh…! Apa yang terjadi dengan diriku?! Mengapa aku hanya 

mampu menunjukkan sifat keras tetapi hati kecilku sendiri tidak 

berkata begitu. Sepasang matanya itu… aku tak sanggup 

memandangnya. Siapa pemuda ini sebenarnya…!” Rentetan kata-kata 

itu menggema dalam lubuk hati sang dewi. Perlahan-lahan dia 

turunkan tangan kanannya yang tadi siap melancarkan serangan 

maut. Bunga kenanga kuning yang tadi ada dalam genggaman 

tangannya jatuh tercampak ke atas tanah pekuburan. 

Pendekar 22 menarik nafas lega dan tersenyum. 

“Terima kasih, kau tak jadi membunuhku…” ujar Wiro. 

“Saat ini tidak, tapi lain kali mungkin saja!” jawab Dewi Bunga 

Mayat kembali galak. “Sekarang katakan apa keperluanmu datang ke 

tempat ini. Kau sebelumnya kulihat ada di kedai Aki Sukri…” 

“Itu betul…” 

“Kau mengikutiku ke tempat ini!”“Itu juga betul…!” jawab Wiro. 

“Kalau begitu jelas kau kawan dari empat pemuda yang sudah 

jadi bangkai ini!” 

“Itu yang tidak betul!” 

Sang dara kerenyitkan kening. Dalam keadaan tidak mengerti 

dan tidak percaya seperti itu dimata Wiro wajahnya tampak jadi lebih 

cantik. 

“Aku tidak percaya!” 

“Aku tidak suruh kau musti percaya saudari… Eh, bagaimana 

aku harus memanggilmu. Aku tak tahu namamu. Kudengar orang-

orang itu memanggilmu dengan gelar Dewi Bunga Mayat. Apa aku 

harus memanggilmu begitu juga? Atau Dewi saja…? Bisa juga Bunga 

saja. Eh… tentu tidak dengan sebutan Mayat saja…” Wiro tertawa 

dan lihat wajah gadis di depannya menjadi merah. 

“Maafkan aku. Aku hanya bergurau. Aku akan panggil kau 

dengan nama Bunga… Itu nama paling indah di dunia. Sesuai 

dengan kecantikan orangnya…” 

Sang dara tidak memberikan reaksi apa-apa. 

Wiro garuk-garuk kepala lalu bertanya, “Boleh aku tahu 

mengapa kau diberi gelar dan disebut sebagai Dewi Bunga Mayat? Itu 

bukan nama sembarangan. Dan senjatamu membunuh ke empat 

pemuda itu. Kuntuman bunga kenanga! Kau pasti seorang pendatang 

baru berkepandaian luar biasa dalam dunia persilatan…!” 

“Kau sudah menjawab sendiri pertanyaanmu. Aku tidak punya 

waktu lama. Sekarang lekas katakan siapa dirimu!” 

“Namaku Wiro Sableng. Aku orang tersesat dari Gunung Gede.” 

“Hemmm… Sableng sama dengan Gendeng. Gendeng sama 

dengan Sinting. Sinting sama dengan Gila! Jadi pemuda macam 

begitulah kau rupanya!” 

“Ah… kira-kira begitulah!” jawab Wiro lalu tertawa gelak-gelak.

Dalam hatinya Dewi Bunga Mayat membatin. “Manusia aneh 

yang satu ini mungkin konyol, mungkin juga memang sinting!” 

Lalu sang dewi mendongak ke langit malam yang gelap. Seolah-

olah membaca sesuatu di atas sana mulutnya terdengar berkata, 

“Namamu Wiro Sableng… kau datang dari Gunung Gede. Gurumu 

seorang nenek sakti mandraguna bernama Sinto Gendeng. 

Sahabatmu setumpuk tapi orang yang tak suka padamu bertumpuk-

tumpuk…” 

“Apakah kau…” Wiro memotong. 

“Aku belum selesai membaca riwayatmu! Jangan bertanya 

dulu!” membentak dara itu. Lalu dia menengadah ke atas kembali. 

“Sahabatmu setumpuk tapi orang yang tak suka padamu bertumpuk-

tumpuk. Kau membekali dirimu dengan senjata semacam kapak 

aneh. Tubuhmu tidak mempan racun selama senjata itu menempel di 

badanmu. Kau tidak suka minuman keras tapi kau suka menggoda 

perempuan. Kau…” 

Sang dewi tidak teruskan ucapannya. 

“Ah.. bacaanmu sudah habis rupanya. Sekarang biar aku yang 

ganti membaca!” kata Wiro. Lalu pemuda ini lakukan sikap seperti 

sang dara, mendongak ke langit dan mulai berucap. 

“Langit malam gelap gulita… 

Udara dibungkus kesejukan embun yang siap turun 

Di tempat ini bertaburan makam anak manusia 

Ada yang sudah terkubur 

Tapi ada empat yang masih malang melintang 

Empat yang menemui ajal karena sengaja menacari sengsara 

Aku berdiri di sini 

Tapi tidak sendiri 

Di hadapanku tegak seorang dara…”

“Kau ini melawak atau tengah membaca syair…” Dewi Bunga 

Mayat memotong penasaran. 

“Aku belum selesai membaca! Jangan memotong dulu!” Wiro 

membentak, persis seperti yang tadi dilakukan oleh sang dewi. 

Melihat hal ini mau tak mau sang dara jadi gelengkan kepala dan 

diam-diam merasa geli. Senyum menyeruak di bibirnya yang merah. 

Wiro melanjutkan ‘bacaannya’. 

“Di hadapanku tegak seorang dara 

Berbaju putih berwajah jelita 

Saat ini dia tersenyum 

Tersenyum entah untuk siapa 

Mungkin untuk para penghuni makam 

Mungkun juga untuk empat pemuda yang sudah putus nyawa 

Syukur-syukur kalau senyum itu untukku 

Si jelita tidak bernama 

Yang kupanggil dengan nama Indah, Bunga 

Memiliki kepandaian luar biasa 

Syukur-syukur kalau aku bisa jadi sahabatnya…. 

Ah, bacaanku sudah selesai….” 

Wiro palingkan kepalanya. Dilihatnya sang dara masih 

tersenyum. Lalu diapun tertawa gelak-gelak. 

Dewi Bunga Mayat membuka mulut, “Syairmu bagus, Cuma 

sayang aku tidak mau bersahabat denganmu…” 

“Ah nasibku memang jelek kalau begitu. Kau tidak mau karena 

aku sableng, sinting… gendeng… gila…?” 

Dewi Bunga Mayat tidak menjawab tapi dalam hatinya dia 

berkata, “Kau memang mungkin sinting. Tapi bukan itu alasanku 

tidak suka bersahabat denganmu. Aku tidak bisa mengatakannya…” 

“Apakah kita bisa bertemu lagi, Bunga?”Sang dara mendengar pertanyaan itu dan berpaling pada Wiro. 

Dia menatap wajah mpemuda itu sesaat lalu menjawab, “Aku tidak 

tahu. Sekarang aku ingin meninggalkan tempat ini. Kau silakan pergi 

duluan….” 

“Tidak, aku tetap disini. Kalau kau memang ingin pergi, 

pergilah. Aku berdiri disini memperhatikan kepergianmu… Tapi 

sebelum kau pergi kancingkan dulu bajumu. Salah-salah kau bisa 

masuk angin…” 

Paras sang dara jadi merah. Seolah baru sadar akan keadaan 

dadanya yang sejak tadi tersingkap, cepat-cepat dia membalik dan 

kancingkan kebaya putihnya. 

“Manusia satu ini benar-benar kurang ajar, konyol dan juga 

keras kepala. Bagaimana ini, bagaimana aku harus menyuruhnya 

pergi…?” membatin bingung sang dara dalam hati. “Hanya kabut 

yang bisa menolongku. Kabut… turunlah lebih banyak. Tolong aku…” 

Dan terjadilah hal yang aneh. Seolah-olah ucapannya mujarab 

sekali saat itu tiba-tiba saja kabut turun banyak sekali. 

Pemandangan di pekuburan menjadi sangat terbatas. 

Ketika sekelompok kabut menyaputi tempat dimana mereka 

berdiri, meskipun hanya terpisah dekat namun Wiro mendadak tak 

dapat lagi melihat sosok Dewi Bunga Mayat. Lalu sesaat kemudian 

ketika kabut pupus, dara itu tak ada lagi ditempatnya berdiri! 

Wiro terkesiap. Memandang berkeliling. Menyusuri seluruh 

daerah pekuburan itu dengan kedua matanya yang tajam. Tapi sang 

dara tetap saja tidak kelihatan lagi. 

“Tidak mungkin dia bisa pergi secepat itu!” Wiro memandang 

lagi. “Eh, kuda putihnya yang tadi ada di ujung sana juga lenyap! 

Gadis aneh. Gelarnya juga aneh. Senjatanya lebih aneh… hanya 

sekuntum bunga kenanga. Yang juga mengherankan bagaimana dia 

tahu banyak tentang diriku. Apakah sewaktu mendongak ke langitdia memang benar-benar membaca seperti membaca sesuatu…? Ah 

tak masuk akal!” 

Wiro memandang ke tanah. Bunga kenanga yang tadi hendak 

dilemparkan ke arahnya masih tampak tercampak di tanah. Murid 

Sinto Gendeng membungkuk mengambil bunga itu, menciumnya 

sesaat lalu memasukkannya ke dalam saku baju putihnya. Saat itu 

terdengar kuda meringkik membuat sang pendekar tersentak kaget 

dan memaki lalu tinggalkan pekuburan Batuwungkur itu. 

Baru dua langkah bertindak tiba-tiba ekor mata Pendekar 212 

melihat ada sesuatu bergerak di kegelapan disamping kirinya. Dia 

cepat berpaling. Tapi tak kelihatan apa tau siapa-siapa. Hanya 

kegelapan yang membungkus pekuburan itu. Makam-makam 

berderet-deret. Ada yang terurus baik dan utuh, ada yang sudah tak 

karuan lagi dan tanpa batu nisan. Lapat-lapat di kejauhan terdengar 

suara burung malam. Angin bertiup dingin. 

“Mataku mungkin bisa ditipu. Tapi perasanku tidak!” kata 

murid Sinto Gendeng dalam hati. “Ada orang atau makhluk disekitar 

pekuburan ini. Mendekam disatu tempat, bersembunyi mengintai 

gerak-gerikku! Lebih baik aku terus berjalan. Jika orang itu berniat 

jahat dia akan tahu rasa…!” Lalu Wiro kerahkan tenaga dalam ke 

tangan kanan. 

* * *


LIMA 

WIRO MELANGKAH EMPAT tindak. Pada langkah ke lima, tiba-

tiba di udara malam yang gelap dan dingin di atas pekuburan 

Batuwungkur itu melesat suara suitan keras dari arah samping 

kanan. Suara duitan ini disambut elh suara sutian lain dari arah 

depan. Lalu suara suitan ketiga melegkinda ri arah samping kiri. 

Ketika Pendekar 212 hentikan langkahnya, tiga sosok bayangan 

tampak berkelebat sebat dan tahu-tahu tiga sosok aneh sudah 

mengrungnya dari arah muka dan kiri kanan. Murid Sinto Gendeng 

dari Gunung Gede ini angkat tangan kanannya, siap menghantam. 

Tapi gerakanya serta merta tertahan ketika melihat siapa yang saat 

itu mengurungnya. 

Tiga sosok tubuh itu adalah ternyata tiga manusia katai 

permpuan. Pakaian dan tampang mereka serta rambut yang dikuncir 

membuat ketiganya tampak lucu. Tapi dibalik kelucuan itu 

tersembunyi satu kenagkeran yang mematikan. Wajah tiga 

perempuan cebol ini membekal maut. Ketika ketiganya menyeringai 

kelihatan bahwa mereka memiliki gigi-gigi kecil yang berwarna hitam 

berkilat. 

“Dimana dia?!” tiba-tiba si cebol di sebelah depan membentak. 

Suaranya nyaring tapi kecil. 

“Eh… Kaku bertanya siapa pada siapa?!” tanya Wiro. 

“Kami bertanya dia padamu!” 

“Dia siapa?!” tanya Wiro pula. 

“Jangan berpura-pura!” seru si cebol perempuan sebelah kanan 

kiri menghardik. “Barusan dia ada disini. Berbincang-bincang 

denganmu! Dan kau berani berpura-pura tidak tahu!” 

“Kawan-kawan!” membuka mulut perempuan katai di seebelah 

kiri. “Kalau dia jelas-jelas kawan orang yang kita cari, mengapa harusmembuang waktu bertanya jawab. Kita bereskan saja dia saat ini 

juga!” 

“Setuju!” teriak si katai di sebelah depan. 

Terdengar tiga jeritan dahsyat. Tiga tubuh pendek itu laksana 

bola melesat ke arah Wiro Sableng. Tiga serangan maut menebar! 

“Wong edan!” teriak Pendekar 212 ketika dilihatnya serangan 

tiga manusia katai itu benar-benar ingin membunuhnya. Mereka 

memegang senjata berbentuk clurit kecil di tangan kiri masing-

masing. Ternyata ketiga maunia katai permpuan ini sama-sama kidal. 

Senjata itu berkilat-kilat dan menderu dalam gelapnya malam. 

Manusia katai di sebelah depan membabatkan clurit kecilnya 

ke arah batang leher Pendekar 212. yang di samping kiri menyapu ke 

perut sedang yang di sebelah kanan menghunjamkan serangan ke 

selangkangan pendekar ini! Tiga serangna mematikan itu disertai 

dengan pekik jerit memkakkan telinga. Agaknya tiga manusia katai 

ini sengaja berteriak begitu agar lawan terpengaruh dan lengah. 

Murid Eyang Sinto Gendeng angkat kedua tangannya 

menghantam dengan pukulan sakti bernama ‘dinding angin 

berhembus tindih menindih’ 

Terdengar suara seperti angin putting beliung di atas 

pekuburan itu. Tiga manusia katai yang lancarkan serangan sambil 

melompat tampak seperti hendak tersapu tunggang langgang. Namun 

sambil terus berteriak ketiganya berjungkir balik di udara lalu 

membalik sambil membabat kembali dengan senjata masing-masing. 

Tapi tampaknya mereka tidak sanggup menembus hantaman angin. 

Ketiganya kerahkan tenaga berusaha keras mnerobos dinding angin 

yang tidak kelihatan. Mereka tampak seperti mengapung di udara. 

Pakaian dan rambut berkibar-kibar. Mata membeliak dan mulut 

berteriak-teriak. 

Wiro terus kerahkan tenaga dalamnya. Bebrapa kali tangannya 

kiri kanan dihantamkan agar dapat menghempaskan tiga penyerangitu tapi tetpa saja musuh-musuh katai itu bertahan di udara. Masih 

untung ketiganya berada di sebelah depan. Kalau ada yang 

menyerang dari belakang pasti akan bobol pertahanan murid Sinto 

Gendeng. 

Keringat bercucuran dari punggung dan wajah Wiro Sableng. 

Tiga perempuan katai masih terus mengapung dan mencoba 

menembus pertahanannya. Dan tiba-tiba setelah bertahan sekian 

lama. Astaga! Salah seorang dari mereka berhasil lolos menerobos 

dinding angin! 

Breet! 

Clurit kecil membabat di perut Wiro, merobek pakaian 

putihnya. 

“Kurang ajar!” maki Pendekar 212 lalu melopat mundur dengan 

muka pucat. 

Lompatan mundur yang dilakukannya membuat tiga 

pengeroyok seperti tersedot. Tiga manusia katai itu kembali 

menggempur. Dan kini pertahan dinding angin Pendekar 212 benar-

benar jebol! 

Tiga manusia katai melesat. Tiga clurit berkiblat. Wiro 

memukul dengan pukulan ”kunyuk melempar buah.” Tangan 

kanannya menghantam membentuk tinju. Begitu lengan melurus 

lima jari dibuka. Maka menderulah gelombang angin laksana 

gumpalan batu besar. 

Tiga musuh katai berterak keras. Namun hanya satu yang kena 

dihantam. Yang satu terpental sejauh dua tombak, bergulingan di 

tanah lalu diam tak berkutik. Mati dengan kepala pecah! 

Dua manusia katai lainnya terus merangsak masuk ke dalam 

pertahanan Wiro yang sudah ambruk. 

“Celaka! Matilah aku!” keluh Wiro. Dalam keadaan sulit begitu 

rupa dia masih bisa memukul tangan si katai di sebelah kanan. Luar 

biasa! Tangan si katai yang kecil itu membuat Wiro terpental tigalangkah, hampir jatuh duduk. Justru di saat inilah yang secara tidak 

sengaja meyelamatkan nyawanya dari serangan si katai yang satu 

lagi. Clurit membabat di depan hidungnya sementara lawan yang tadi 

beradu lengan dengannya jatuh bergdebuk sambil menjerit-jerit dan 

berusah mencari cluritnya yang mental dalam kegelapan malam. 

“Manusia-manusia katai edan! Tidak ada silang sengketa kau 

hendak membunuhku!” teriak Wiro. 

“Kami belum membunuhmu manusia bangsat! Tapi kau telah 

membunuh seorang saudara kami! Dan kawanmu yang kami cari 

sebelumnya telah membunuh satu-satunya kakak lelaki kami!” 

“Soal kematian kakak lelakimu itu aku tidak tahu, tidak ada 

sangkut pautnya denganku! Pergi kalian dari sini sebelum aku 

menciderai atau membunuhm kalian!” 

“Enak benar bicaramu! Kami akan pergi kalau usus dan 

jantungmu sudah kami korek dari tubuhmu!” 

“Makhluk-makhluk tidak tahu diri! Jangan kira aku tidak tega 

membedol kantong nasi kalian!” teriak Wiro lalu keluarkan senjata 

mustika saktinya yaitu Kapak Maut Naga Geni 212. 

Kilauan sepasang mata kapak yang angker ternyata tidak 

membuat jeri dua manusia katai itu. 

Yang satu malah mengejek, “Senjata mainan! Siapa takut!” 

yang bicara ini sudah menemukan cluritnya yang tadi jatuh. 

Lalu cepat luar biasa keduanya menyerbu. 

Trang… trang…! 

Belum lagi Pendekar 212 sempat mengayunkan senjatanya, 

dua clurit kecil secara sengaja tidak terduga dan cepat sekali sudah 

menelikkung gagang kapak dan begitu dua manusia katai itu 

membetot, Wiro merasa seperti tangannya ditarik oleh dua raksasa! 

Kapak Naga Geni 212 terlepas dari pegangannya, langsung disambut 

oleh si katai di sebelah kanan. Begitu dapatkan kapak si katai ini 

berteriak pada yang satunya.Adikku! Lupakan dulu balas dendam. Kita mendapat rejeki 

besar. Lekas tinggalkan tempat ini!” dia tertawa cekikikan. 

Sang adik juga tertawa cekikikan. Lalu didahului oleh jeritan 

keras, keduanya membalik untuk larikan diri. Tapi baru saja mereka 

sempat membuat setengah gerakan berputar mendadak terdengar 

suara berdesing disertai harumnya bunga kenanga. Lantas dua 

manusia katai ini terdengar memkik keras mengerikan. Kepala 

masing-masing terhempas ke belakang seolah-olah dihantam tembok 

keras. 

Dua manusia katai itu langsung roboh terjengkang. Kapak 

Naga Geni 212 terguling ke tanah. 

“Eh, apa yang terjadi…?” tanya Wiro keheranan. Ketika dia 

mendekati dua mayat manusia katai itu, tertegunlah murid Sinto 

Gendeng ini. Dua manusia katai itu menemui ajal dengan sekuntum 

bunga kenanga kuning menancap di kening masing-masing! 

“Bunga…” desis Wiro. “Kau ada di sini. Kau menolongku…” 

Wiro menunggu kalau-kalau ada jawaban. Tapi hanya kesunyian dan 

siliran angin malam yang terdengar. 

Wiro memandang berkeliling. Tapi dia tidak melihat dara yang 

berjuluk Dewi Bunga Mayat itu. Pemuda ini geleng-gelengkan kepala. 

“Dara hebat. Kepandaian luar biasa! Menolong tanpa memperlihatkan 

diri… Aku harus berterima kasih padanya.” 

Lalu pemuda ini berteriak, “Bunga, aku berterima kasih atas 

pertolonganmu!” Wiro seklai lagi memandang berkeliling. Ketika dia 

merasa tak bakal mendapat jawaban apalagi melihat Dewi Bunga 

Mayat kembali maka dipungutnya Kapak Naga Geni 212 yang 

tercampak di tanah, disimpannya di balik pakaiannya. 

* * *


ENAM 

PONDOK KAYU DI DASAR lembah itu tampak tidak berbeda 

seperti sebulan lalu ketika dia mengunjungi terakhir kali. Pintu dan 

satu-satunya jendela tampak tertutup. Tapi dia tahu bahwa di dalam 

sana ada seorang penghuni. 

Perempuan muda berpakaian ringkas warna biru itu berpaling 

pada pemuda yang menunggang kuda disampingnya. 

“Kangmas.. Kau…” 

“Sudah berapa kali kukatakan. Kalau kita Cuma berdua aku 

tidak suak kau memanggilku dengan sebutan itu. Panggil namaku…” 

“Maafkan aku kang.. Maffkan aku Sadewo..” kata perempuan 

berpakaian biru. “Kau tidak ingin turun ke lembah menemuinya?” 

Pemuda bernama Sadewo menggeleng. “Kau saja yang pergi. 

Aku menunggu disini.” Lalu pemuda itu menyerahkanbungkusan 

kain yang dipanggulnya. 

Setelah menerima dan menyandang bungkusan itu dibahunya, 

dara berbaju biru menarik tali kekang kudanya, lalu perlahan-lahan 

dia mulai menurini jalan setapak yang berbatu-batu. 

Di depan pondok dia turun dari kuda, menambatkan binatang 

itu lalu melangkah menuju pintu. Dia mengetuk dulu lalu berucap 

keras-keras. 

“Ayah, akuk datang…” 

Dengan tangan kirinya dia mendorong pintu. Terdengar suara 

berkereketan. Begitu pintu terbuka kelihatan seorang lelaki berambut 

putih, bertubuh kurus dan berwajah pucat duduk bersila di lantai 

pondok. Usianya berlum enampuluh tahun, tahun wajahnya 

kelihatan seperti wajah kakek delapan puluh tahun. Orang ini duduk 

bersila pejamkan mata seperti tengah bersemedi. Ketika pintu 

terbuka, perlahan-lahan kedua matanya juga terbuka. Diamemandang pada gadis di depan pintu lalu menganggukan kepala 

perlahan sekali. 

Gadis itu masuk ke dalma pondok, berlutut di hadapan lelaki 

tua itu dan mencium keningnya. Setalh itu diletakkannya bungkusan 

kain yang dibawanya di lantai. 

“Semua keperluan ayah ada dalam bungkusan…” 

Yang dipanggil ayah kembali mengangguk. 

“Apakah ayah ada baik-baik saja selama satu bulan ini?” 

bertanya si gadis yang dijawab juga dengan anggukan. 

Sunyi sesaat. 

“Suamimu mengantar…?” tiba-tiba orang tua itu bertanya. 

“Ya, dia mengantar. Dia menunggu di atas lembah…” 

“Terima kasih, kau sudah membawakan apa-apa yang aku 

perlukan. Kau boleh pergi sekarang…” 

“Ayah, sudah tiga bulan kau berada di tempat ini. Memencilkan 

diri. Kapan semua ini akan ayah akhiri…?” 

“Mungkin tak akan pernah ku akhirii Suntini. Atau mungkin 

hanya kematian yang mengakhiri semua ini…” 

“Ayah tidak boleh berkata begitu…” suara perempuan bernama 

Suntini itu kini terdengar tersendat dan sepasang matanya tampak 

mulai berkaca-kaca. “Ayah mesti segera pulang. Rumah besar kita 

sepi tanpa ayah…” 

“Kau boleh pergi sekarang, Suntini…” 

“Jika memang itu yang ayah kehendaki….” Kata Suntini pula 

seraya berdiri. Dia mencium kening lelaki itu. Tetesan air matanya 

jatuh membasahi wajah si orang tua. 

“Sebelum kau pergi, adakah sesuatu yang hendak kau 

katakan…?” sang ayah bertanya. 

Suntini terdiam. 

“Ada…?“Tidak ada ayah…” 

“Jangna berdusta. Nada suaramu menyatakan ada sesuatu 

yang hendak kau katakan. Tapi kau sengaja menyembunyikannya…” 

Ketika Suntini tidak juga menjawab, lelaki itu lalu ajukan 

pertanyaan, “Apakah dia masih sering mendatangimu…?” 

Paras Suntini berubah. Perempuan muda ini tundukkan kepala 

lalu berkata, “Malam Jum’at Kliwon dua minggu yang lalu ayah. Dia 

memang muncul. Memandang padaku dengan pandangan dingin lalu 

pergi. Kangmas Sadewo juga melihat beberapa kali…” 

“Waktu muncul dia tidak mengatakn atau mengisyaratkan 

sesuatu…?” bertanya sang ayah. 

Suntini menggeleng. 

“Anakku dengarlah baik-baik. Selama dia muncul tidak 

mengganggumu atau siapa saja di sekitarmu ambil sikap diam saja. 

Jangan mengusir, jangna mengatakan sesuatu. Ini semua kodrat 

Tuhan. Kita tak bisa melawan kehendakNya. Ketahuilah… Tadi 

malam dia juga muncul disini. Tegak di bawah pohon di luar sana, 

memandang ke pondok ini tapi tak berusaha masuk atau 

menemuiku. Kalau aku ada kesempatan menjenguk makam ibumu, 

aku akan berusaha untuk menlihatnya. Selam ini apakah kau dan 

suamimu pernah menjenguknya?” 

“Aku takut ayah. Benar-benar takut melakukan hal itu…” 

jawab Suntini. 

“aku mengerti perasaanmu. Kau boleh pergi sekarang. Lain 

bulan kau tak perlu datang kemari mengantarkan apa-apa. Aku bisa 

memenuhi kebutuhanku sendiri…” 

“Berarti ayah tidak akan pulang ke rumah?” 

“Aku tidak tahu anakku,” jawab orang tua yang duduk bersila 

itu lalu menarik nafas panjang. 

Suntini berdiri, melangkah ke pintu dan lenyap dibalik daun 

pintu yang ditutupkan. Di dalam pondok sang ayah pejamkan keduamatanya. Namun kali ini diantara sela kelopak matanya kelihatan 

ada tetes air mata yang menyeruak. 

Ketika Suntini samapi diatas lembah, dia terkejut dan 

keluarkan seruan tertahan sewaktu melihat Sadewo, suaminya, 

tergeletak meelungkup di tanah. Suntini melompat turun dari kuda 

dan cepat membalikkan tubuh Sadewo. 

“Kangmas… Kau kenapa kangmas..?!” memanggil Suntini 

sambil mengusap wajah suaminya berulang kali. Wajah itu tampak 

pucat seperti baru saja mengalami suat goncangan hebat. Suntini 

letakkan telinganya di atas dada Sadewo. Masih terdengar suara 

detakan jantung. Perempuan ini merasa lega sedikit lalu dia memijat 

beberapa bagian tubuh suaminya. Tak selang berapa lama kedua 

mata Sadewo perlahan-lahan kelihatan terbuka. Begitu terbuka lelaki 

muda ini melompat terduduk dan memandang berkeliling dengan 

wajah ketakutan. 

“Ada apa, Sadewo…? Siapa yang kau cari…? Kau melihat 

sesuatu..?” bisik Suntini dengan lebih kelu dan ikut-ikutan 

memandang berkeliling sementara dadanya berdebar keras. 

“Dia.. dia tadi muncul di dekat batu besar sana…” terdengar 

Sadewo menyahut. Suaranya gemetar. 

Suntini memandang ke arah batu besar yang ditunjuk 

suaminya. Memandang berkeliling ke tempat lain. Dia tidak melihat 

siapa-siapa. 

“Dia… biasanya dia hanya memandang dari kejauhan. Tapi 

sekali ini dia melangkah mendatangiku. Dia begitu dekat denganku 

Suntini, membuatku ketakutan setengah mati. Dia seperti hendak 

membuka mulut mengatakan sesuatu. Tapi saat itu ada suara kaki 

kuda mendatangi. Mungkin sekali kuda tunggangmu. Lalu aku ajtuh 

pingsan…



TUJUH 

DUA HARI SETELAH peristiwa di bukit Batuwungkur, Pendekar 

212 Wiro Sableng mengunjungi kedai Aki Sukri. Dia duduk memencil 

di sudut kedai sampai larut malam. Ketika pemilik kedai bersiap 

untuk menutup kedainya mau tak mau akhirnya pendekar itu berdiri 

dari bangkunya. 

“Anak muda, kau seperti tengah menunggu seseorang di kedai 

ini…” berkata pemilik kedai ketika Wiro memberikan uang 

pembayaran. 

“Ah, matamu tajam juga orang tua. Bagaimana kau bisa tahu?” 

bertanya Wiro. 

“Setiap saat kau selalu memandang ke pintu. Dan kau tampak 

kecewa jika ada tamu masuk tetapi bukan orang yang kau nantikan. 

Kau berjanji dengan seseorang?” 

Wiro menggeleng. 

“Lalu siapa yang kau harapkan muncul di kedai ini?” tanya Aki 

Sukri. 

“Aki , dua malam lalu aku mampir disini. Kau ingat…?” 

“Aku ingat. Karena malam itu kemudai diketahui ada empat 

mayat menggeletak di pekuburan Batuwungkur. Mereka mati dengan 

kembang aneh menanca di muka dan badan…” 

“Kau ingat dara jelita berpakaian putih yang juga ada di 

kedaimu malam itu…?’ 

“Aku ingat seklai!” jawab Aki Sukri. 

“Kau kenal padanya? Atau mungkin tahu dimana aku bisa 

menemuinya?” 

Pemilik kedai menatapa wajah Pendekar 212 sesaat lalu 

gelengkan kepala. “Wajah cantik itu memang seperti pernah kulihat 

sebelumnya. Tapi entah dimana dan entah kapan. Waktu dia adadisini aku tak berani bertanya. Kelihatannya dia seperti tidak mau 

diusik…” 

“Dia memang bukan dari sembarangan…” kata Wiro pula. 

“maksudmu, anak muda?” tanya Aki Sukri. 

“Empat pemuda jahat yang mati di pekuburan Batuwungkur 

itu, dialah yang membunuhnya!” 

“Apa katamu?!” dua mata Aki Sukri membelalak. 

“Dia adalah Dewi Bunga Mayat!” 

“Ah!” tubuh pemilik kedai tersentak dan wajahnya menjadi 

pucat. 

“Kau seperti orang ketakutan. Ada apa…?!” 

“Jadi… jadi dara itulah yang tengah kau cari?!” suara Aki Sukri 

bergetar. “Anak muda lekas pergi. Aku segera menutup kedai ini. 

Aku… kau tahu…” suara Aki Sukri perlahan sepreti berbisik. “Kalau 

memang dara itu manusia yang berjuluk Dewi Bunga Mayat, hati-

hatilah anak muda. Dia sanggup membunuh manusai tanpa 

berkedip. Kepandaiannya tinggi. Kabarnya saat ini dia jadi momok 

nomor sati di wilayah Jawa Tengah ini!” 

“Momok katamu? Gadis secantik itu kau katakan momok?!” 

“Dia muncul seperti setan. Lenyap seperti setan. Membunuh 

disana-sini… Apa itu bukan momok?!” 

Wiro tertawa bergelak. “Kepandaiannya tinggi luar biasa itu 

memang berul. Dia membunuh tanpa berkesip itu juga betul. Tapi dia 

bukan setan! Dia hanya membunuh orang-orang jahat! Kau tahu 

empat pemuda yang jadi korbannya itu? Apa yang hendak mereka 

lakukan? Hendak memperkosanya beramai-ramai…!” 

“Ah, karena dia kawanmu tentu saja kau membelanya. Tapi 

sudahlah. Aku akan menutup kedai. Lekas pergi. Aku tak mau kau 

datang-datang lagi kemari, anak muda. Aku tidak mencari urusan…!”“Justru jika kau melarang begitu berarti kau mencari urusan!” 

tukas Wiro. “Jika kau tak mau kedatanganku, tutup saja kedai ini 

selama-lamanya!” 

“Aku berjualan mencari makan. Tidak mau cari urusan…” 

“Bagus kalau begitu. Katakan, apakah gadis kawanku itu 

sering datang kemari?” 

“Tidak. Baru sekali itu dia datang kesini,” jawab Aki Sukri. 

“Kalau dia muncul lagi, katakan padanya. Aku sahabatnya 

berama Wiro Sableng mencarinya. Kau dengar pesan itu, Aki?!” 

“Aku dengar anak muda. Dan akan aku sampaikan padanya…” 

jawab pemilik kedai pula. 

* * 

Dari kedai Aki Sukri, Pendekar 212 dengan menunggang kuda 

menuju pekuburan Batuwungkur. Kesunyian dan kegelapan malam 

menyambut kedatangannya. Angin berhembus dingin dan dikejauhan 

terdengar suara burung malam bersahut-sahutan beberapa kali. 

Murid Sinto Gendeng duduk di batu hitam dimana dulu Bunga 

pernah duduk. Dia duduk seprti merenung. Entah mengapa 

perasaannya jadi seperti ini. Perasaan yang sebelumnya tak pernah 

terjadi seumur hidupnya. Dia selalu teringat padaBunga. Hampi tak 

sekejapanpun dia melupakan gadis itu. Dia rindu untuk bertemu tak 

tahu harus mencari kemana. Itulah sebabnya malam-malam begitu 

dia mendatangi pekuburan dengan harapan bisa bertemu lagi. 

Kalaupun tidak bertemu paling tidak dia telah bisa melepas 

kerinduannya dengan melihat tempat yang pernah didatangi sang 

dara. Tempat dimana mereka pernah berdua-dua. Dan dia kini duduk 

di batu yang pernah diduduki Bunga“Bunga…” bisik kalbu Pendekar 212. “Dimana kau...? Dimana 

aku bisa menemuimu, Bunga…?” 

Wiro mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, 

memandang berkeliling lalu menghela nafas dalam-dalam. 

“Apakan ini namanya cinta…?” bisik hati sang pemuda. “Ah… 

Aku tak percaya!tapi mengapa aku selalu ingat padanya. Mengapa 

ada persaan rindu bertumpuk dihatiku. Gila betul!” 

Dalam perjalanan hidupnya tentu saja Pendekar 212 telah 

bertemu dengan banyak gadis berwajah cantik. Namun semua berlalu 

tanpa perasaan apa-apa. Berlainan sekali dengan yang satu ini. 

Padahal baru dua hari lalu dia melihat dan bertemu. Dan kini ada 

rasa rindu mencucuk hatinya. 

“Gila!” kata Wiro pula sambil meukul lututnya sendiri. Kedua 

tangannya mengeruk ke dalam saku baju. Tangan yang kanan 

memegang sesuatu. Ketika dikeluarkannya ternyat itu adalah bunga 

kenanga senjataBunga yang dua malam lalu dipungutnya. 

“Aneh..,” desis Wiro memperhatikan dan menimang bunga 

kenanga. “Bunga ini mengapa tidak layu…? Keharumannya tidak 

berbeda seperti pertama kali aku memungutnya…” lalu bunga 

kenanga itu dibawanya ke hidungnya, diciumnya lama-lama penuh 

perasaa. “Bunga… aku mencarimu. Aku ingin bertemu…” Wiro bicara 

sendirian. 

Malam berlalu bertambah sunyi dan bertambah dingin. Tanpa 

disadarinya Pendekar 212 jatuh tidur dalam keadaan terduduk di 

atas batu. 

“Wiro…” 

Satu suara memanggil. Pendekar 212 kenal sekali suara itu. 

Suara orang yang dirinduinya, yang selama ini dicari-carinya. Begitu 

berpaling dilihatnya dara itu tersenyum padanya. 

“Bunga…”“Aku sudah lama menunggumu di sini, Wiro…” kata Bunga 

seraya melangkah mendekati. 

Wiro datang menyongsong. Keduanya saling bergenggaman 

tangan. “Aku mencarimu setengah mati…” 

“Setengah mati? Ah, masa…?” 

“Setengah mati karena rindu. Kangen… Kau tidak kangen 

padaku, Bunga…?” 

“Tidak…,” jawab sang dara lalu tertawa cekikikan. “Tentu saja 

aku juga kangen padamu, Wiro…” 

“Berarti kau senang bersahabat denganku?!” tanya Wiro seraya 

menatap dalam-dalam ke sepasang mata si gadis. 

Bunga mengangguk. “Aku suka bersahabat denganmu…” 

“Tapi…” 

“Tapi apa, Wiro…?” 

“Aku tak ingin hubungan kita hanya sampai pada jalinan 

persahabatan saja.” 

“Maksudmu Wiro….?” 

“Aku… aku tidak tahu persaan apa yang ada dalam diriku sejak 

pertama kali aku melihatmu. Kurasa aku mencintaimu, Bunga. Ya 

betul. Aku mencintaimu…!” 

Paras Bunga berubah. Dia seperti ketakutan. Diremasnya jari-

jari tangan pemuda itu tapi kemudian dilepaskannya. 

“Kau mencintaiku Wiro…? Jangan… jangan mencintaiku 

Wiro…” Bunga melangkah mundur. 

“Mengapa aku tidak boleh mencintaimu Bunga? Percayalah, 

aku tidak berdusta dan tidak mempermainkanmu…?” 

“Demi Tuhan, jangan mencintaiku Wiro… Cinta berarti 

kematian bagi diriku…” Suara Bunga tersendat. Wiro melihat ada air 

mata menetes di kedua pipi dara itu.Kau menangis, Bunga…” bisik Wiro dan melangkah mendekat. 

Tapi yang didekati semakin menjauh. Melangkah mundur. 

“Bunga, kau mau kemana…?” Wiro mengejar. 

“Jangan kejar aku Wiro… jangan…” 

“Bunga, jangan mundur. Ada jurang di belakangmu!” teriak 

Wiro. 

Dara itu berpaling ke belakang. Tapi terlambat. Kaki kanannya 

terpeleset dan tubuhnya melayang jatuh ke dalam jurang yang dalam. 

Pekiknya mengumandang. Tapi teriakan Wiro lebih keras lagi. 

“Bunga…!!” 

Pendekar 212 tersentak dan dapatkan dirinya terduduk di atas 

batu hitam diantara makam di pekuburan Batuwungkur. 

“Ah… bermimpi aku rupanya…” kata pemuda ini termangu-

mangu. Di tangan kanannya maih tergenggam bunga kenanga senjata 

Dewi Bunga Mayat. 

“Bunga ini… Tadi aku menciumnya. Lalu jatuh tertidur dan 

bermimpi. Apakah… apakah hanya ini satu-satunya cara aku dapat 

bertemu dengan dia? Hanya dalam mimpi?” 

Pendekar 212 merasa kelesuan menjalari seluruh tubuhnya. 

Perlahan-lahan dia berdiri, memandang berkeliling. Lalu melangkah 

ke tempat dia menambatkan kudanya. Bunga kenanga dengan penuh 

hati-hati dimasukkannya ke dalam saku bajunya. 

* * *

DELAPAN 

SATU PEMANDANGAN ANEH jika sebuah kereta tertutup yang 

jelek itu dikawal oleh hampir dari dua lusin orang berkuda. Bahkan 

diantara mereka tampak lima orang prajurit dan seorang perwira 

muda. Kereta yang ditarik dua ekor kuda itu menderu kencang di 

jalan berdebu. Matahari sore berwarna merah kuning keemasan. 

Rombongan bergerak cepat menuju ke selatan yakni arah Kotaraja. 

Namun saat itu mereka tidak akan keburu mencapai tujuan sebelum 

pagi. Kotaraja masih sangat jauh dan jalan yang idtempuh bertambah 

sulit serta buruk. 

Selain lima prajurit dan seorang perwira muda itu maka 

anggota rombongan lainnya adalah orang-orang berseragam pakaian 

dan ikat kepala merah. Semua mereka memlihara berewok dan kumis 

yang meranggas tidak diurus. Tampang mereka tak satupun yang 

lumayan. Semua menunjukkan muka galak beringas. 

Di sebelah depan memacu kudanya seorang lelaki berpakaian 

merah dengan tubuh kurus tinggi luar biasa. Hampir mencapai satu 

setengah tombak. Berewok dan kumisnya yang lebat 

menyembunyikan wajahnya yang bopeng. Matanya besar dan merah. 

Dia adalah Kunto Pasirawang bergelar Datuk Hantu Merah, dikenal 

sebagai Ketua Komplotan Hantu Merah. 

Dalam dunia persilatan komplotan yang dipimpinnya ini 

terkenal sebagai komplotan bayaran yang melakukan apa saja asal 

mendapat bayaran. Yaitu mulai dari merampok, menculik sampai 

membunuh. Belakangan komplotan ini dikenal pula sebagai penyedia 

perempuan-perempuan lacur di berbagai kota termasuk Kotaraja. 

Bahkan ada selentingan Datuk Hantu Merah sengaja mengirimkan 

perempuan-perempuan cantik pada pejabat-pejabat tertentu di 

Istana. Itulah sebabnya selama sekian tahun komplotan bejatnya itutidak pernah dikejar apalagi ditumpas. Beberapa orang Adipati 

diketahui tunduk dan ikut bekerjasama dengan sang datuk. 

Siapakah sang datuk ini sebenarnya? Menurut mereka yang 

tahu, konon Kunto Pasirawang dulunya adalah salah seorang 

kepercayaan seorang Pangeran di Keraton Timur. Kemudian 

ketahuan bahwa dia bersifat culas, suka menggelapkan barang-

barang berharga, mencuri barang-barang pusaka. Dua kejahatan itu 

masih bisa dimaafkan oleh sang Pangeran, namun ketika Kunto 

Pasirawang diketahui pula suka mengganggu anak istri orang maka 

dia dipecat dari jabatannya dan di usir dari gedung sang Pangeran. 

Selama dua tahun Kunto Pasirawang malang melintang 

ditengah lautan menjadi bajak. Bosan di laut dia turun ke darat 

membentuk Komplotan Hantu Merah dan malang melintang 

menimbulkan malapetaka. 

Enam orang berseragam pasukan Kerajaan itu sebenarnya 

adalah prajurit-prajurit dan perwira palsu. Mereka sengaja 

mengenakan pakaian anggota pasukan Kerajaan untuk mengelabui 

dan menjaga kalau sewaktu-waktu ada kesulitan dengan petugas 

Kadipaten atau Kerajaan. Lalu apakah isi kereta buruk yang mereka 

kawal begitu ketat? Uang, harta perhiasan atau senjata baru? 

Isi kereta itu bukan lain adalah perempuan-perempuan culikan 

dari beberapa daerah di selatan. Rata-rata mereka masih sangat 

muda. Ada yang ikut secara suka rela karena dijanjikan pekerjaan di 

Kotaraja. Namun banyak yang diculik dari rumah orang tua mereka! 

Sinar surya semakin redup tanda akan segera masuk ke tempat 

tenggelamnya. Jalan yang ditempuh mulai gelap. Orang berseragam 

perwira muda yang sebenarnya adalah anak buah Datuk Hantu 

Merah memacu kudanya mendekati sang ketua lalu bicara keras-

keras diantara bisingnya derap kaki kuda dan gemeletak suara roda 

kereta.“Ketua, anggota rombongan kelihatan sudah pada letih! Malam 

ini sebaiknya kita berhenti dan istirahat di hutan Jatiroto. Besok 

sebelum matahari terbit baru meneruskan perjalanan ke Kotaraja. 

Menjelang tengah hari kita akan sampai disana…! Bagaimana 

pendapatmu?” 

“Aku tahu apa yang sebenarnya yang ada di otakmu. Wulung 

Kingkit!” sahut Datuk Hantu Merah menyeringai. 

“Apa maksudmu Ketua…?” tanya perwira muda palsu bernama 

Wulung Kingkit itu. 

“Sebelum gadis-gadis itu diserahkan pada mucikari di Kotaraja, 

kau akan memilih salah satu diantaranya lalu bersenang-senang 

malam ini! Bukan begitu…?!” 

Wulung Kingkit hanya bisa balas menyeringai. 

“Tapi jangan khawatir Wulung! Usulmu kuterima!” Datuk 

Hantu Merah tertawa bergelak lalu dia mendahului membelok 

memasuki jalan menuju hutan Jatiroto. 

Di suatu tempat yang agak datar malam itu rombongan 

Komplotan Hantu Merah berhenti. Enam buah obor dinyalakan. 

Empat buah kemah besar didirikan. Setelah itu pintu belakang kereta 

dibuka. Dua puluh gadis keluar dengan wajah letih dan tubuh 

keringatan. Mereka dikumpulkan di dua tenda lalu diberi makan 

seadanya. Masing-masing mereka ditemani oleh anggota komplotan 

tanpa bisa menampik. 

Banyak diantara gadis ini yang mulai curiga dan ketakutan, 

meminta agar boleh naik ke dalam kereta kembali. Tapi permintaan 

itu tidak dikabulkan, malah banyak diantara mereka mulai dijejali 

tuak keras. 

Datuk Hantu Merah berbaring ditemani dua gadis yang 

ketakutan setengah mati. Salah satu diantaranya mulai menangis. 

“Anak bagus! Sekarang kau menangis. Nanti kalau sudah 

merasa kau akan berlutut minta tambah. Ha… ha… ha..!” Sang datuktertawa bekakakan, teguk tuaknya lalu merangkul dan menciumi dua 

gadis yang dikempitnya di kiri kanan. 

Kemudian manusia tinggi kurus bermuka bopeng dan 

berewokan ini mulai menunjukkan kebejatannya. Gadis disebelah 

kirinya dipaksanya membuka pakaian. Kesempatan ini dipergunakan 

oleh gadis yang tadi menangis untuk lari keluar tenda. Tapi sang 

datuk lebih cepat. Begitu berhasil menangkap gadis ini langsung 

seluruh pakaiannya dirobek-robek. Lalu gadis itu di bantingkannya 

ke alas tenda. Selagi berada dalam keadaan terlentang tak berdaya, 

Datuk Hantu Merah menindih tubuhnya. 

Saat itulah terdengar suara ribut-ribut di luar. Lalu ada 

seseorang berteriak, “Ketua! Ada yang tidak beres! Lekas keluar!” 

“Bangsat rendah! Apa yang tidak beres! Apa kalian tidak bisa 

menyelesaikannya sendiri?! Keparat!” teriak sang datuk dari dalam 

tenda. 

“Dua orang anggota ditemui mati!” terdengar orang di luar 

berteriak memberi tahu. 

“Anjing betul!” menyumpah Datuk Hantu Merah. Cepat dia 

mengenakan celana dan pakaiannya lalu menyembul keluar tenda. 

“Ada apa hah?!” sentaknya pada anggota komplotan yang tegak 

di depan tenda. 

Yang ditanya menunjuk ke arah kiri. Saat itu tampak beberapa 

anggota Komplotan Hantu Merah menggotong dua orang kawan 

mereka yang sudah jadi mayat lalu meletakkannya di hadapan sang 

ketua. 

Datuk Hantu Merah kerenyitkan kening ketika melihat mayat 

dua anak buahnya itu. Mereka mati dengan leher hampir putus. 

“Apa yang terjadi? Bagaimana mereka bisa digorok begini rupa 

tanpa ada yang tahu?!” bertanya Datuk Hantu Merah.“Mayatnya kami temui di dalam tenda sebelah sana ketika 

beberapa gadis di dalam tenda berpekikan lalu berhamburan lari 

keluar,” menerangkan salah seorang anggota komplotan. 

“Apa ada yang melihat siapa pembunuh mereka?!” bertanya 

perwira muda bernama Wulung Kingkit yang juga sudah ada 

ditempat itu. 

“Yang melihat adalah dua gadis di dalam tenda. Tapi kedua 

gadis itu kabur entah kemana!” 

“Bangsat rendah! Pasang lebih banyak obor dan cari gadis-

gadis yang melarikan diri itu!” Datuk Hantu Merah berpaling pada 

Wulung Kingkit. “Kau dan anak buahmu segera lakukan 

penyelidikan! Pembunuh itu harus dicari sampai dapat!” 

Belum sempat Wulung Kingkit menjawab, tiba-tiba terdengar 

suara dari dalam kereta. 

“Kalian tidak usah susah-susah mencari, aku pembunuh dua 

anggota komplotan bejat itu ada di sini!” 

Lalu braak! 

Pintu kereta terdengar ditendang hingga mental berantakan. 

Dari dalam kereta keluar seorang pemuda berambut gondrong sambil 

bertolak pinggang. Dia bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng. 

Wulung Kingkit segera hunus goloknya. Para anggota 

komplotan lainnya juga melakukan hal yang sama, segera mencekal 

senjata masing-masing. Ketika lebih dari selusin orang hendak 

menyerbu, Datuk Hantu Merah berseru. 

“Tahan! Sebelum dia kita cincang, aku ingin tahu siapa bangsat 

gondrong ini adanya.” Lalu sang ketua maju empat langkah dan 

membentak. 

“Gondrong! Katakan siapa dirimu! Mengapa berani membunuh 

dua anak buahku?!” 

“Namaku Wiro Sableng! Aku membunuh dua anjing itu karena 

dia hendak memperkosa dua gadis tak berdaya! Ketahuilah, masihbanyak orang-orang di sini yang bakal menemui kematian karena 

dosa terkutuk yang sama! Termasuk kau dedengkotnya!” 

Marahlah Ketua Komplotan Hantu Merah itu mendengar 

dirinya disebut dedengkot. Maka, diapun berteriak memberi perintah. 

“Bunuh bangsat gondrong ini! Cincang sampai lumat!” 

Selusin orang bergerak. Selusin senjata berkelebat. 

Saat itu terlihat sinar menyilaukan menyambar dibarengi suara 

mengaung macam ratusan tawon mengamuk. Lalu… 

Trang…! 

Trang…! 

Trang…! 

Suara senjata beradu susul menyusul yang ditingkahi oleh 

suara jeritan-jeritan kematian! 

Empat anggota Komplotan Hantu Merah tergelatak roboh 

mandi darah. Lalu menyusul dua orang lagi. Melihat ini enam orang 

lainnya menjadi ciut nyalinya. Hendak melompat mundur mereka 

takut pada sang ketua. Kalau maju terus pasti menerima nasib sama 

seperti enam kawan mereka itu! 

Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar teriakan Ketua 

Komplotan Hantu Merah. 

“Mundur semua! Biar aku yang mematahkan batang lehernya! 

Akan kubetot jantung dan isi perutnya!” 

Dari mulut sang datuk terdengar suara berkeretekan rahang 

dan gerahamnya yang saling beradu. Matanya merah membara. 

Berewoknya dan kumis tebalnya berjingkrak. Dia melompat ke 

hadapan Pendekar 212 dengan tangan kosong. 

Melihat orang tak bersenjata murid Sinto Gendeng ini segera 

simpan Kapak Maut Naga Geni 212. Waktu itulah Wulung Kingkit 

berbisik pada ketuanya.“Ketua, kalau aku tidak salah manusia bernama Wiro Sableng 

ini adalah pendekar yang menyandang gelar Pendekar Kapak Maut 

Naga Geni 212. Aku merasa sangat pasti setelah melihat senjatanya 

tadi!” 

“Aku tak pernah dengar nama dan gelar itu! Sekalipun setan 

dihadapanku aku tidak takut. Kau kepinggirlah Wulung Kingkit!” 

“Jangan, Ketua. Biar aku saja yang bicara padanya. Aku akan 

menawarkan sesuatu padanya asal kita bias selamat…!” 

“Aku baru tahu kau sepengecut itu Wulung Kingkit!” bentak 

Datuk Hantu Merah dengan mata melotot. 

“Ketua, ini bukan soal pengecut atau apa. Manusia satu ini 

bukan lawan kita…!” 

Datuk Hantu Merah tertawa dan usap berewoknya sesaat lalu 

mendorong Wulung Kingkit ke samping. Tapi saat itu Wulung Kingkit 

yang sudah tahu apa yang bakal terjadi cepat mendahului melompat 

ke hadapan Wiro Sableng. 

“Pendekar 212, aku bicara membawa usul. Habisi semua 

perkara antara kita. Tinggalkan tempat ini dan kau boleh membawa 

semua gadis itu!” 

Wiro keluarkan siulan keras lalu tertawa lebar. 

“Usul yang menggiurkan perwira palsu!” jawab Wiro. 

Wulung Kingkit terkesiap. “Bagaimana bangsat ini tahu aku 

perwira palsu…?” dia bertanya dalam hati. 

“Pendekar, apa yang aku usulkan adalah atas nama Kerajaan… 

Kau boleh tidak menghormati diriku dan kami semua. Tapi kau wajib 

menghormati Kerajaan!” 

Wiro tertawa bergelak. 

“Perwira tengik! Ternyata otakmu bukan cuma bisa berpikir 

keji, tapi juga pandai mengatur rencana licik! Kalau kau mau 

memberikan kepala Komplotan Hantu Merah padaku, baru aku mau 

membuat urusan ini selesai!Mendengar ucapan Wiro itu, Datuk Hantu Merah menggembor 

marah. Dia menerjang ke depan. Kali ini Wulung Kingkit tidak mau 

mencegah lagi. Dia cepat menyingkir ke samping dan diam-diam 

mulai berpikir untuk melarikan diri. 

* * *

SEMBILAN 

Tegak berhadapan-hadapan begitu rupa tinggi Pendekar 212 

hanya sampai sebahu Datuk Hantu Merah. Tangan sang datuk yang 

panjang melesat ke arah batang leher Wiro. Pendekar 212 cepat 

menunduk lalu hantamkan tinjunya ke perut lawan. 

Buukk! 

Jotosan itu tepat mendarat di perut Datuk Hantu Merah. Mata 

orang ini membeliak besar dan mukanya yang bopeng mengerenyit. 

Tapi tubuh dan kakinya tidak bergeming sedikitpun! 

Wiro memukul sekali lagi. Saat inilah tangan kiri sang datuk 

berkelebat laksana pentungan menabas dari kiri ke arah batang leher 

Wiro sementara tangan kanannya bersiap-siap untuk menggebrak 

yaitu jika Wiro membuat gerakan menangkis atau menghindar. 

“Bangsat ini tahan pukulan rupanya. Aku mau lihat apa dia 

tahan yang satu ini.” Membatin Wiro lalu dia jatuhkan diri berlutut. 

Tangan kiri lawan menyambar di atas kepalanya. Tangan kanan yang 

berusaha menggapai ke depan dipukulnya dengan tangan kiri. Dua 

lengan beradu keras. Tetap saja si tinggi kurus itu tidak bergeming 

walau mukanya jelas mengerenyit menahan sakit. Wiro pergunakan 

kesempatan. Tangan kanannya meluncur ke depan menarik keras-

keras celana merah sang datuk yang memang tidak terkancing betul. 

Lalu dengan tangan kirinya Wiro mendorong tubuh Datuk Hantu 

Merah. Karena kedua kakinya tertahan oleh celana yang merosot, 

sang datuk hilang keseimbangan lalu, Brukk! Dia jatuh terduduk di 

tanah! 

Sesaat Wiro hendak menghantam kepala lawannya, di bagian 

lain terdengar jeritan-jeritan keras. Anggota Komplotan Hantu Merah 

Nampak lari kian kemari menyelamatkan diri. Namun banyak 

diantara mereka yang jatuh bergelimpangan di tanah dan menemui 

ajal dalam keadaan mengerikan. Ada yang perutnya jebol, ada yangmukanya hancur! Wiro mengendus dalam-dalam. Dia mencium bau 

sesuatu….! 

“Bau itu…” desis Wiro. “Bau bunga kenanga!” 

Lalu dia dikejutkan oleh satu sosok tubuh yang jatuh di 

sampingnya. Ternyata adalah sosok tubuh Wulung Kingkit si perwira 

palsu. Mukanya tampak berlumuran darah dan di mata kirinya 

menancap bunga kenanga! 

Baik Wiro maupun Datuk Hantu Merah sama-sama mengenali 

bunga itu. Sang datuk yang hendak melabrak dengan satu serangan 

tangan kosong serta merta batalkan niatnya. 

“Bunga mayat…” desis sang datuk. Dia melompat berdiri sambil 

tarik keatas celana merahnya dengan susah payah. “Dewi Bunga 

Mayat!” desisnya lagi penuh ketakutan. Dia tidak lagi perdulikan 

Wiro. Wiropun tidak lagi perdulikan manusia satu itu. Yang ada 

dalam benaknya saat itu adalah Bunga si dara jelita. Jadi dia ada 

disini! 

“Bunga! Bunga…!” teriak Wiro berulang kali. Dalam kegelapan 

malam dia melihat seorang berpakaian serba putih menunggangi 

kuda putih. “Bunga!” memanggil Wiro. Akhirnya ditemuinya juga 

gadis yang dicari-carinya selama ini. Dia berlari ke arah kuda dan 

penunggangnya. Namun saat itu si penunggang telah menggebrak 

kuda putihnya mengejar Datuk Hantu Merah yang tengah melarikan 

diri. Begitu terkejar si penunggang jambak rambut sang datuk lalu 

menyeretnya beberapa belas langkah. Begitu melewati sebatang 

pohon besar kepala itu langsung dihantamkannya ke badan pohon. 

Praakkk! 

Kelapa dan pohon beradu. Tak ampun kepala itu pecah dan 

menggeletak mengerikan ketika si penunggang kuda 

melemparkannya ke tanah. 

“Bunga!” teriak WiroOrang diatas kuda putih menoleh. Lambaikan tangan sambil 

tersenyum lalu membedal kudanya. 

“Bunga!” teriak Wiro lagi. Kelabakan dia mencari kuda yang 

bisa dibedal. Begitu dapat, Wiro langsung mengejar kuda putih dan 

Dewi Bunga Mayat si penunggangnya! 

Keluar dari hutan Jatiroto sang dewi ternyata melarikan 

kudanya ke daerah persawahan dan berhenti di sebuah bangunan 

kecil di tepi sawah tepat dekat sebuah mata air. 

Wiro sampai pula di bangunan kecil itu dan dapatkan Bunga 

telah duduk di dalam, memandang padanya sambil tersenyum. 

Seperti lupa diri Wiro langsung melompat merangkul sang dara. 

“Bunga… Aku mencarimu berhari-hari. Rasanya seperti mau 

gila tidak melihatmu….” berucap Wiro. 

“Seperti mau gila berarti belum gila benaran kan?!” ujar Bunga. 

“Ah, kau masih tega mempermainkanku! Kemana saja kau 

selama ini… Bagaimana kau tahu-tahu bisa muncul di hutan 

Jatiroto?” 

“Eh, pertanyaanmu banyak amat! Apakah semua itu sangat 

penting bagimu…?” 

“Tentu saja penting! Kini aku menemuimu. Jangan harap aku 

akan melepaskanmu Bunga. Aku akan ikut kemana kau pergi…!” 

Perlahan-lahan Bunga melepaskan pelukan Wiro. Sambil 

menatap mata pemuda itu dia berkata, “Tidak mungkin Wiro. Tidak 

mungkin kau mengikuti kemana aku pergi…” 

“Tidak mungkin bagaimana? Bukankah aku sudah bilang kalau 

aku mencintaimu. Eh…” ucapan Wiro terputus. 

“Mengapa kau tidak meneruskan kata-katamu , Wiro? Apa kau 

menyesal telah mengakui isi hatimu…?”

“Aku berjanji Bunga. Demi cintaku padamu…” 

“Dan cintaku padamu…” sahut Bunga. 

“Ah! Jadi… kau juga mencintaiku Bunga…?” Tanya Wiro. 

“Aku… aku tidak bisa menipu perasaanku sendiri. Aku tak 

mungkin melawan kodrat…” jawab sang dara lalu mengusap leher 

kudanya dan tinggalkan tempat itu. 

Wiro merasakan kesejukan dalam dirinya mendengar kata-kata 

itu. Dia mengikuti kepergian Bunga dengan pandangan mata dan 

senyuman sampai akhirnya sang dara lenyap dikejauhan dalam 

kegelapan malam yang menjelang pagi itu. 

* * *

SEPULUH 

SORE ITU SUNTINI dan suaminya duduk bersama Menak 

Tunggoro sang ayah sambil menikmati teh manis hangat di langkan 

samping rumah besar kediaman mereka. 

“Ayah, kami berdua benar-benar gembira melihat ayah kembali 

berkumpul lagi di rumah besar ini…” berkata Suntini. 

Menak Tunggoro tersenyum. 

“Besar kegembiraan kalian berdua, lebih besar lagi rasa 

gembiraku, Suntini…” 

“Lalu apakah lusa ayah akan menghadap Adipati untuk 

menerima jabatan yang ditawarkan beliau…?” yang bertanya adalah 

Sadewo, sang menantu. 

“Itu yang masih jadi pikiranku. Kalau aku datang berarti 

setengahnya aku bisa dianggap sudah menerima jabatan itu. Padahal 

rasanya aku belum siap…” 

“Diterima atau tidak sebaiknya ayah tetap datang. Paling tidak 

ayah sudah menghormati tawaran dan menghormati Adipati.” 

“Ucapan Kangmas Sadewo memang betul ayah. Ayah harus ke 

sana menmui Adipati. Mungkin ayah perlu bertukar pikiran dengan 

beliau…” 

Menak Tunggoro tertawa dan memegang tangan anak 

perempuannya itu. “Sudah maghrib…” katanya. “Aku harus 

sembahyang dulu…” 

Orang tua ini berdiri. Sesaat dia ingat sesuatu. “Ayah melihat 

banyak orang berjaga-jaga di sekitar rumah kita ini. Ada apakah?” 

Menak Tunggoro berpaling pada menantunya. 

“Tidak ada apa-apa, ayah. Sekedar untuk berjaga-jaga dari 

maling saja…” jawab sang menantu.“Ah, sudah banyak maling rupanya di pinggiran kota ini!?” 

Menak Tunggoro mengangguk-angguk lalu masuk ke dalam. 

* * 

Udara malam itu terasa panas. Di atas ranjang di dalam kamar 

mereka, suami istri Suntini dan Sadewo tengah bermesraan. 

“Setiap kau terlambat datang bulan, aku selalu merasa gembira 

karena mengira kita bakal dikaruniai anak… Ternyata sampai saat ini 

masih belum…” berkata Sadewo sambil mengelus perut istrinya yang 

putih. Suntini menggeliat kegelian. Dia merangkul tubuh suaminya 

erat-erat dengan tangan dan kakinya. Ketika dia menaikkan 

kepalanya, tak sengaja dia memandang ke arah jendela yang 

hordengnya tersingkap. Saat itulah dia melihat ada sosok seseorang 

memperhatikan ke arah dalam kamar. Langsung wajah Suntini 

menjadi pucat dan sekujur tubuhnya bergeletar. 

Mula-mula Sadewo mengira tubuh istrinya bergeletar karena 

rangsangan birahi. Namun ketika dilihatnya kedua mata Suntini 

melotot ke arah jendela kamar dan mulutnya bergerak-gerak tapi tak 

ada suara yang keluar, Sadewo cepat berpaling ke arah yang 

dipandang istrinya. 

“Dia.. dia datang lagi…” bisik Suntini. Suaranya seperti kelu. 

Lelaki itu serta merta melompat dan mengenakan pakaiannya 

dengan cepat. Sebuah kelewang yang tergantung di dinding kamar di 

sambarnya. Lalu dia membuka pintu dan lari keluar. 

“Mas Sadewo! Jangan tinggalkan aku mas! Aku takut!” teriak 

Suntini. 

Tapi Sadewo terus lari keluar. Saat itu sosok yang tadi tegak di 

luar jendela sudah lenyap. Sadewo lari ke langkan depan rumahdimana terdapat kentongan kayu. Kentongan itu dipukulnya berulang 

kali sampai enam orang lelaki bertubuh tegap muncul dihadapannya. 

“Lekas siapkan obor dan kuda! Makhluk itu muncul lagi! 

Malam ini kita harus membuatnya kapok! Membunuhnya!” 

“Tapi kalau makhluk itu makhluk halus seperti katamu ‘den, 

bagaimana mungkin kita bisa membunuhnya?!” tanya salah seorang 

yang datang menghadap. 

“Diam! Kau tahu apa! Turut saja perintah! Ki Dukun telah 

mengatur segala sesuatunya! Kita tinggal menjalankan! Lekas 

siapkan obor dan kuda!” teriak Sadewo marah. 

Enam orang itu segera berlalu. Tak lama kemudian mereka 

kembali membawa tujuh ekor kuda dan tujuh buah obor menyala. 

Sadewo melompat ke atas salah seekor kuda, mengambil 

sebuah obor lalu memberi isyarat agar enam orang pembantunya 

mengikutinya. 

Sadewo memimpin rombongan berkuda itu menuju bagian 

pinggir selatan kota. 

“Masih belum kelihatan den. Apa raden merasa pasti makhluk 

itu lari ke jurusan sini?” 

“Ki Dukun yang berkata begitu…” sahut Sadewo. Dia memacu 

kudanya terus. Tak lama kemudian mereka memasuki satu jalan 

menurun. Di depan mereka terdapat sebuah jembatan bambu yang 

melintang di atas sebuah jurang dalam. Dulunya jurang itu 

merupakan sebuah aliran sungai. Namun karena tidak dialiri air lagi, 

sungai dalam itu berubah menjadi jurang. 

“Raden!” tiba-tiba salah seorang dari enam pembantu berteriak 

seraya menunjuk ke depan. “Lihat, Raden! Makhluk itu ada di depan 

sana!” 

Semua kepala dipalingkan ke arah yang ditunjuk. Memang 

benar. Di depan sana, beberapa belas tombak dari jembatan bambutampak penunggang kuda putih tegak tak bergerak seolah-olah 

sengaja menunggu mereka. 

“Kejar!” Perintah Sadewo. “Ingat! Begitu kalian berhasil 

mengejar, tusukkan obor ini ke kepala dan tubuh orang itu! Dia pasti 

kapok! Mati konyol dimakan api dan tidak akan mengganguku lagi! 

Jalan!” 

Tujuh kuda melompat ke depan menuruni jalan menuju 

jembatan bambu. Saat itu kuda putih di depan sana tampak bergerak 

pula, melewati jembatan bambu dengan perlahan-lahan. Sepertinya 

sengaja menunggu rombongan Sadewo di sebelah belakang. Ketika 

melewati jembatan bambu, orang berkuda putih keluarkan sebuah 

benda dari sebuah kantong dekat leher kuda. Ternyata segulung tali 

besar yang ujungnya ada kaitan besinya. Tali ditebar dan diputar-

putar. Sesaat akan keluar dari jembatan bambu, tali itu melesat ke 

bawah dan besi pengaitnya bergelung di sebuah tiang bambu yang 

menjadi pusat daya tahan berat jembatan. 

Di sebelah belakang tujuh penunggang kuda menderu di atas 

jembatan. Saat itulah penunggang kuda putih keluarkan tawa 

cekikikan. Dia menggebrak kuda tunggangannya. Kuda putih itu 

melompat kencang. Tali berkait besi tersentak dan langsung menarik 

tiang bambu di kolong jembatan. Begitu tiang berderak patah, tak 

ampun lagi goyahlah bambu-bambu penopang lainnya. Jembatan 

bambu itu langsung runtuh berderak. Tujuh peunggang kuda 

bergemuruh jatuh ke dalam jurang. Suara ringkik kuda dan suara 

jeritan tujuh orang itu menjadi satu merobek kesunyian malam 

secara teramat mengerikan. 

Lalu sunyi. Penunggang kuda putih campakkan tali yang 

dipegangnya ke tanah. Dia berlalu sambil menabur tawa cekikikan 

penuh kepuasan! 

* * *

SEBELAS

SORE TADI JENAZAH Raden Sadewo dan enam orang lelaki 

yang menjadi korban jatuh ke dalam jurang telah dimakamkan. Atas 

permintaan istrinya, jenazah tidak dikubur di pemakaman 

Batuwungkur yang terletak cukup jauh dari Sleman tempat kediaman 

almarhum, tapi dimakamkan di pekuburan Kebalentoro di tenggara 

kota. 

Malam itu suasana di gedung kediaman Menak Tunggoro 

kelihatan sunyi senyap. Hanya sebuah lampu minyak saja yang 

tampak menyala di bagian belakang rumah besar. Penghuninya 

mungkin telah lelap keletihan karena siangnya melakukan berbagai 

upacara sampai saat terakhir pemakaman Raden Sadewo. 

Dalam kesunyian dan kegelapan itu tiba-tiba tampak jendela 

bekas kamar almarhum terbuka. Lalu satu sosok menyelinap keluar, 

bergegas menuju halaman belakang. Disini dia masuk ke dalam 

kandang kuda. Tak lama kemudian orang tadi tampak keluar sambil 

menuntun seekor kuda. Di luar halaman rumah besar baru dia naik 

ke punggung kuda dan memacu binatang itu ke arah barat Sleman. 

Ki Dukun Sambarekso tersentak kaget dari tidurnya ketika ada 

yang mengetuk pintu rumahnya keras sekali. Dia terduduk di tepi 

ranjang dan memasang telinga. Suara ketukan itu kini dibarengi oleh 

suara orang memanggil. 

“Ki Dukun! Lekas buka pintu! Aku perlu bicara denganmu! Ki 

Dukun Sambar! Buka Pintu!” 

Itu suara perempuan! 

Orang tua hampir tujuh puluh tahun ini tapi masih bertubuh 

kekar bangkit dari ranjangnya, bergegas keluar kamar. Setelah 

menyalakan lampu minyak di ruangan depan dia langsung membuka 

pintu. Begitu pintu terbuka, sebatang golok tahu-tahu sudahmelintang di tenggorokannya! Membuat dia melangkah mundur 

ketakutan dan akhirnya punggungnya tertahan dinding rumah. 

“Den ayu Suntini…” desis Ki Dukun ketika dia mengenali siapa 

adanya yang menempelkan golok ke lehernya. “Kau datang malam-

malam begini dan mengancamku dengan sebilah golok, ada 

apakah…?!” 

“Kau tahu suamiku meninggal karena kecelakaan masuk 

jurang?!” sentak perempuan yang memegang golok yang ternyata 

adalah Suntini, puteri Menak Tunggoro, bekas istri almarhum 

Sadewo. 

“Aku tahu, den ayu…” 

“Kejadian itu adalah karena kesalahamu!” 

“Ke… kesalahanku? Aku tidak mengerti?!” 

“Kau akan mengerti kalau lehermu sudah ku sembelih!” 

“Tunggu! Jangan den ayu…! Jangan menuduhku begitu…” 

“Jangan berani berdusta! Beberapa waktu lalu suamiku pernah 

datang padamu meminta petunjuk….” 

“Betul den ayu. Itu memang betul. Dia memberi tahu adanya 

gangguan atas dirimu dan dirinya sejak tiga bulan terakhir ini. Aku 

memberi perunjuk dan sebuah jimat untuk keselamatan…” 

“Dan karena petunjuk serta jimatmu itu suamiku mati masuk 

jurang bersama enam pembantunya! Kau harus tebus nyawa 

suamiku dengan nyawa tua bangkamu!” Golok ditangan Suntini 

menekan. Ki Dukun terpekik dan darah mengucur dari luka di 

lehernya. 

“Den ayu… jangan… jangan bunuh diriku. Kurasa… kurasa 

suamimu melakukan kesalahan. Jangan-jangan dia melakukannya 

tidak sesuai petunjukku….” 

“Tidak sesuai petunjuk bagaimana…?!” sentak Suntini.“Waktu suami den ayu datang terakhir aku pernah 

memesankan, jika dia hendak menghadapi si penggangu, dia musti 

berada dalam keadaan suci…” 

“Suci? Suci bagaimana…?” 

“Dirinya harus dalam keadaan bersih. Kalau sebelumnya dia 

perhan berhubungan badan dengan den ayu maka dia harus mandi 

basah lebih dulu. Kalau tidak… itulah bahayanya…” 

“Kau dusta! Kau sengaja mencari dalih agar bisa cuci tangan! 

Biar kubunuh kau saat ini juga!” 

“Kalau kau bunuh diriku, berarti kau tak akan pernah bebas 

dari si pengganggu itu! Aku masih ada cara lain untuk menolongmu 

den ayu!” tiba-tiba Ki Dukun berkata. 

Suntini yang hendak menekankan goloknya dalam-dalam ke 

leher si orang tua urungkan niatnya. Dengan mendelik dia 

membentak, “Apa yang ada dalam otakmu, Ki Dukun?!” 

“Aku punya senjata rahasia bernama Pisau Daun Sirih. Dengan 

senjata itu kau bisa menyingkirkan si penggangu. Asal kau mau dan 

benar-benar mengikuti petunjukku…” 

“Baik kuberi kau kesempatan sekali lagi. Jika tidak berhasil 

jangan harap kau bisa lolos dari kematian!” Suntini turunkan 

tangannya yang memegang golok. Ki Dukun merasa lega. Sepasang 

mata orang tua itu tiba-tiba tampak berkilat seperti memancarkan 

sesuatu. Pandangannya menembus ke mata Suntini. 

“Ada satu syarat yang harus kau penuhi terlebih dulu den 

ayu…” kata Ki Dukun perlahan. 

“Jangan takut, kalau berhasil pasti akan kuberi hadiah uang!” 

“Tidak, bukan uang. Ku inginkan dirimu…” Dari mata Ki 

Dukun menyambar kembali kilatan cahaya aneh itu. Seperti orang 

terkena sihir Suntini hanya diam saja ketika si orang tua mulai 

membukai pakaiannya. Di lain saat perempuan muda ini sudahberada dalam keadaan polos dan mengikuti saja ketika Ki Dukun 

membimbingnya ke dalam kamar! 

* * *


DUA BELAS 

MATAHARI BARU SAJA tenggelam ketika Wiro masuk ke dalam 

kedai. Aku Sukri si pemilik kedai segera mendatanginya dan hendak 

mengatakan sesuatu. Tapi Wiro cepat memegang bahu Aki Sukri, 

menekannnya sedikit hingga pemilik kedai itu mengerenyit kesakitan. 

“Aku tahu kau tidak suka melihat kedatanganku. Tapi jangan 

banyak bicara. Ini uang. Terima!” berkata Wiro lalu masukkan dua 

keping uang ke dalam saku si pemilik kedai. 

Mau tak mau Aki Sukri menerima saja uang itu lalu bertanya, 

“Kau tidak ingin memesan makanan atau minuman?” 

“Tidak, aku akan menunggu seorang sahabat! Nanti saja kalau 

dia sudah datang…” jawab Wiro. 

“Sahabat yang kau maksudkan itu, apakah dia dara temo hari? 

Yang katamu bergelar Dewi Bunga Mayat?” tanya Aki Sukri dengan 

wajah berubah. 

“Siapa dia kau tak usah tahu. Lihat saja nanti siapa yang 

datang!” habis berkata begitu Wiro lalu duduk di sudut kedai yang 

agaknya kegelapan. 

Malam terasa merayap sangat perlahan. Sampai menjelang 

tengah malam Wiro masih duduk di tempatnya dalam keadaan 

terkantuk-kantuk. Dan orang yang ditunggunya masih belum 

muncul. 

Aki Sukri mendatangi sang pendekar lalu berkata, “Maafkan, 

aku bukan mengusir. Tapi kedai ini sudah mau kututup, anak 

muda…” 

“Orang yang kutunggu masih belum datang. Tunggu sebentar 

lagi, Aki…” 

Aki Sukri keruk saku bajunya dan keluarkan dua keping uang 

yang tadi diberikan Wiro, lalu letakkan di atas meja.“Ini uangmu. Ambil kembali dan pergi dari sini…” 

Pendekar 212 tersenyum. Dengan tangan kirinya didorongnya 

pemilik kedai itu seraya berkata, “Orang yang ku nanti sudah datang. 

Kau tak usah menceloteh lagi, Aki. Siapkan dua kopi hangat…” 

Aki Sukri berpaling ke arah pintu. Saat itu dilihatnya seorang 

dara berwajah cantik berpakaian putih melangkah masuk, 

melangkah menuju sudut dimana Wiro menunggu sambil berdiri. 

Pemilik kedai ini mengenali dan ingat betul, dara ini adalah dara yang 

tempo hari datang ke kedainya, yang menurut si anak muda bergelar 

Dewi Bunga Mayat! Betul dia rupanya yang datang! Penuh rasa takut 

Aki Sukri menyiapkan dua cangkir kopi. 

“Kau pasti sudah kesal karena lama menunggu…” kata Bunga 

lalu duduk dekat-dekat di samping Wiro. 

Pendekar 212 pegang tangan Bunga dan menjawab, “Seratus 

tahunpun aku bersedia menunggumu. Aku tahu kau pasti akan 

datang Bunga. Aku sudah memesan kopi panas untuk kita berdua…” 

“Aih aku tidak pengopi. Tapi tak apa. Malam ini malam 

istimewa bagi kita berdua. Aku akan minum kopi hangat 

bersamamu…” 

“Setuju! Malam ini malam istimewa bagi kita berdua. Kau mau 

aku memesan makanan…?” 

“Tidak usah. Kopi saja sudah cukup…” 

“Apakah kau baik-baik saja selama beberapa hari ini?” tanya 

Wiro. 

“Ya… ya. Kau sendiri bagaimana?” balik bertanya Bunga. 

“Ah, aku selalu ingat-ingat dirimu. Susah kalau sudah jatuh 

cinta begini…!” 

Wiro lantas tertawa sedang wajah Bunga tampak kemerahan. 

Wiro angkat tangan kanan si gadis yang dipegangnya lalu diciumnya 

berulang kali. 

Saat itu terdengar suara orang berdehemAki Sukri datang membawa dua cangkir kopi. Wiro tersipu 

malu, Bunga tundukkan kepala. Dua cangkir kopi diletakkan di atas 

meja. 

“Bunga aku punya satu rencana besar…” 

“Rencana besar apa, Wiro?” 

“Rencana ini ada kaitanya dengan hubungan kita…” 

“Hem… katakan maksudmu…” 

“Aku akan menemui orang tuamu!” 

“Eh, untuk keperluan apa?!” tanya Bunga heran. 

“Aku hendak melamarmu!” jawab Pendekar 212 tanpa tedeng 

aling-aling. 

Tentu saja Bunga jadi terkejut. Dia seperti hendak tertawa 

gelak-gelak, namun akhirnya gadis jelita ini tundukkan kepala. 

“Aku… aku sekarang baru sadar kalau kau memang 

bersungguh-sungguh…” ucap Bunga perlahan. 

“Astaga! Apa kau kira selama ini aku mempermainkanmu? 

Katakan, kapan aku bisa ketemu kedua orang tuamu. Besok…? Eh, 

rumahmupun aku belum tahu! Bagaimana ini?!” Wiro memandang 

lekat-lekat ke wajah jelita itu. 

“Ibuku sudah lama meninggal Wiro….” 

“Maafkan aku…” kata Wiro lalu garuk-garuk kepala. “Tapi 

ayahmu masih ada ‘kan?” 

Bunga mengangguk. 

“Kalau begitu aku akan menemuinya. Bolehkah…?” 

Bunga menatap paras pemuda itu sesaat, lalu mengangguk 

perlahan. Wiro kembali meremas dan menciumi tangan kanan Bunga. 

Hatinya berbunga-bunga. Dadanya seperti mau meledak karena 

kegirangan. 

“Sekarang katakan di mana rumahmu…” bsisk Pendekar 212. 

“Kapan kau mau datang, Wiro…?“Makin lekas makin baik. Besok…?” 

“Datanglah ke Sleman. Cari rumah Raden Menak Tunggoro. Itu 

ayahku…” 

“Raden Menak Tunggoro. Nama hebat! Ayahmu pasti seorang 

yang hebat!” kata Wiro pula. “Lalu namamu sendiri siapa? Kalau aku 

ketemu ayahmu, aku harus bilang mau bertemu siapa…?” 

Sang dara tersenyum. “Namaku Suci…” bisiknya ke telinga 

Wiro. 

“Suci… Nama bagus. Nama indah sekali…” ujar Wiro. Lalu 

diciumnya kembali jari-jari tangan sang dara. “Eh, sebaiknya kita 

teguk kopi ini. Jangan sampai dingin…” 

Suci ulurkan tangan memegang cangkir. Wiro melakukan hal 

yang sama. Sesaat sebelum sepasang muda mudi yang dilanda cinta 

ini mendekatkan cangkir ke bibir masing-masing dan meneguk kopi 

hangat itu, tiba-tiba mereka mendengar suara sesuatu di atap kedai. 

“Aku mendengar suara sesuatu berdesing berputar-putar di 

atas atap…” ujar Pendekar 212 sambil turunkan cangkir dan 

meletakkannya di atas meja sementara Bunga masih memegangi 

cangkir kopinya di depan dada. 

“Aku juga mendengar…” menjawab Bunga. Wajahnya jelas 

tampak berubah. 

“Aku mencium bau seperti kemenyan terbakar…” bisik Wiro 

lagi. 

“Aku juga mencium bau itu…” bisik Bunga. Suaranya bergetar. 

Tiba-tiba suara mendesing itu terdengar tambah nyaring lalu 

sebuah benda menerobos atap kedai yang terbuat dari rumbia! Benda 

ini langsung melesat ke arah kepala Bunga yang duduk di samping 

Wiro. 

Bunga melompat berdiri. Cangkir di tangan kanannya terlepas. 

Kopi hangat menyirami dada, perut dan bagian bawah kebaya 

putihnya. Melihat bahaya besar mengancam Bunga, Pendekar 212cepat dorong gadis itu ke samping lalu tangan kanannya 

dihantamkan ke atas benda yang menukik melesat dari atas atap! 

Sinar putih berkiblat menyilaukan. Kedai itu seperti diamuk 

gempa dan hawa panas laksana membakar. Tidak tanggung-tanggung 

Wiro telah lepaskan pukulan ‘sinar matahari’ demi menyelamatkan 

orang yang dicintainya. 

Atap kedai jebol dan terbakar karena hantaman sinar matahari. 

Benda yang tadi melesat terpental kesamping dan jatuh tergeletak di 

atas meja. Meskipun sanggup dibuat mental tapi ternyata benda itu 

tidak patah atau hancur, apalagi leleh dihantam pukulan ‘sinar 

matahari’. Wiro dan bunga memandang membelalak pada benda di 

atas meja itu. Benda ini adalah sebuah pisau aneh, badan dan 

matanya berbentuk daun sirih. Kelihatannya terbuat dari tembaga 

merah yang seluruh badannya penuh ukiran tulisan-tulisan aneh. 

Pada gagangnya yang juga terbuat dari tembaga terikat sehelai kain 

putih. Di dalam kain putih ini terdapat beberapa keping kemenyan! 

Inilah Pisau Daun Sirih kiriman Ki Dukun Sambarekso! 

Kedua muda-mudi itu baru sadar ketika mereka mendengar 

pekik jerit Aki Sukri yang kalang kabut mendapatkan kedainya 

terbakar. 

“Bunga…” Wiro pegang lengan gadis itu, “cepat keluar dari 

tempat ini…” Lalu dipagutnya pinggang sang dara. Sebelum lari 

keluar kedai, Bunga masih sempat menyambar Pisau Daun Sirih 

diatas meja. 

Di satu tempat di halaman belakang kedai keduanya berhenti 

berlari dan memandang ke arah kedai Aki Sukri yang terbkaar akibat 

hantaman pukulan ‘sinar matahari’ 

“Kasihan pemilik kedai itu. Aku harus mengganti 

kerugiannya…” Karena tak ada jawaban dari Bunga, Wiro berpaling. 

Saat itu dilihatnya si gadis berdiri tidak bergerak. Kedua matanya

terpejam. Pisau Daun Sirih yang dipegangnya di tangan kanan 

diangkat ke depan mulutnya lalu Bunga meniup tiga kali. 

“Eh, apa yang tengah kau lakukan Bunga…?” tanya Wiro. 

Bunga mengangkat Pisau Daun Sirih tinggi-tinggi di atas 

kepalanya. Lalu terdengar dia membentak, “Pergi! Kembali ke asalmu! 

Minum darah asal leluhurmu!” 

Habis membentak begitu, Bunga lemparkan Pisau Daun Sirih 

ke udara. Senjata iu melesat dan lenyap dalam kegelapan malam! 

“Wiro, kita berpisah disini…” terdengar Bunga berucap. 

“Eh… Aku…” 

“Besok kau akan datang ke rumahku, bukan?” 

“Ya, tapi malam ini…” 

“Aku harus pergi Wiro,” kata Bunga pula lalu memeluk 

Pendekar 212. keduanya saling berangkulan seperti tidak mau 

dipisahkan lagi. Peluk rangkul dan kecupan saling bergantian 

sementara di sebelah sana Aki Sukri masih kalang kabut berusaha 

memadamkan api yang membakar kedainya. 

* * 

Ki Dukun Sambarekso tersentak dari samadinya. Telinganya 

menangkap suara mendesing dikejauhan. Makin keras, makin keras 

tanda tambah dekat. Sesaat dia mengenali suara desingan itu, 

pucatlah wajah sang dukun, dia melompat sambil berseru keras. 

“Pergi! Pergi! Bukan disini sasaranmu! Bukan disini asalmu! 

Bukan disini leluhurmu! Pergi!” 

Suara berdesing semakin keras. Lalu terdengar suara jebolnya 

atap bangunan disusul melesatnya sebuah benda! Benda ini langsungmengarah Ki Dukun. Si orang tua menjerit keras untuk kedua 

kalinya. 

“Pergi!” teriaknya. “Bukan disini asalmu! Bukan disini 

sasaranmu. Bukan… aakhhhhh!!!” 

Pisau daun sirih menancap di tenggorokan ki dukun 

sambarekso. Tubuhnya langsung roboh terjengkang. Kedua kakinya 

kelojotan beberapa kali. Lalu diam tak berkutik lagi. Orang tua 

tukang santet ini menemui ajal dengan mata mendelik. Darah 

mengucur dari tenggorokannya yang ditembus senjata rahasia 

miliknya sendiri. Anehnya darah ini tidak berwarna merah tetapi 

hitam pekat! 

* * *


TIGA BELAS 

SORE ITU DENGAN PAKAIAN sangat bersih dan rapi Pendekar 

212 Wiro Sableng berangkat ke Sleman. Tidak sulit baginya mencari 

rumah kediaman Raden Menak Tunggoro. Seorang pelayan muda 

menemuinya dan menanyakan maksud kedatangannya. 

“Namaku Wiro Sableng. Aku datang dari jauh guna menemui 

Raden Menak Tunggoro. Apakah beliau ada di rumah…?” 

“Majikan saya memang ada di rumah. Bisakah saya 

menanyakan maksud kedatangan raden…?” tanya si pelayan pula. 

“Aku hem… Aku datang untuk melamar anaknya,” jawab Wiro 

polos. 

Terkejutlah si pelayan. “Melamar anaknya…?” dia mengulang. 

“Betul! Melamar anaknya!” 

“Ah, pemuda ini pasti gendeng. Den ayu Suntini baru kemarin 

ditinggal mati suaminya. Kini dia datang melamar!” berkata si 

pelayan dalam hatinya. Tapi dia meminta agar sang tamu menunggu. 

Dia akan menemui Raden Menak Tunggoro untuk memberi tahu 

kedatangannya. 

Akan Raden Menak Tunggoro yang saat itu masih berada dalam 

suasana berkabung dan sangat letih tentu saja sangat terkejut 

mendengar penjelasan sang pelayannya. 

“Orang gila dari mana yang kesasar ke rumah ini!” katanya 

jengkel. Tapi dia keluar juga dari kamarnya menuju ruang depan. 

Pendekar 212 Wiro Sableng menjura memberi hormat. 

“Apakah saya berhadapan dengan Raden Menak Tunggoro?” 

Wiro menyapa dengan sopan. 

“Betul. Siapa engkau anak muda? Pelayan mengatakan bahwa 

engkau datang hendak melamar anakku?!” 

Wiro tersenyum dan garuk-garuk kepalanya

“Memang betul begitu. Harap maafkan kalau saya berlaku 

lancang. Sebelumnya saya sudah bicara dengan putri bapak. Dia 

menyetujui agar saya datang kemari menemui bapak untuk 

meyampaikan lamaran…” 

Raden Menak Tunggoro menatap pemuda dihadapannya lama-

lama lau berkata, “Putriku Suntini maksudmu…?” 

Wiro menggeleng. 

“Bukan, bukan yang bernama Suntini. Tapi Bunga…” kata Wiro 

pula. 

“Bunga…? Tak ada anak gadisku yang bernama seperti itu…” 

“Ah,” Wiro tepuk keningnya. “maksud saya Suci…” katanya 

cepat. 

Berubahlah paras Menak Tunggoro. “Suci…?” desisnya 

mengulang. Kedua matanya kini memandangi Wiro dari kepala 

sampai ke kaki. “Kau tidak keliru, anak muda…?” 

“Maksud bapak, tidak ada gadis yang bernama Suci disini…?” 

“Anak muda, masuklah…” Menak Tunggoro memegang bahu 

Wiro, mengajaknya masuk ke dalam dan mempersilakannya duduk di 

ruangan tamu. 

Wiro memandang berkeliling. Lalu berpaling pada Menak 

Tunggoro. “Bapak belum menjawab pertanyaan saya tadi. Betul tak 

ada…” 

“Kapan kau bertemu dengan Suci? Katamu kau sebelumnya 

sudah bicara dengan dia…” Menak Tunggoro memotong ucapan Wiro. 

“Malam tadi. Di kedai Aki Sukri. Apakah dia tidak 

menceritakan pada bapak bagaimana dirinya hampir saja jadi korban 

senjata rahasia…” 

“Tunggu dulu anak muda. Coba kau katakan sekali lagi! Kau 

bertemu dengan Suci malam tadi di kedai Aki Sukri. Betul begitu?!”“Betul!” jawab Wiro. Dia mulai tidak mengerti ucapan-ucapan 

dan pertanyaan orang di hadapannya ini. 

“Apakah sebelumnya… kau juga pernah bertemu dengan 

Suci…?” 

“Beberapa kali. Dia gadis hebat. Kepandaiannya luar biasa. Dia 

sanggup membunuh lawan hanya dengan setangkai bunga kenanga! 

Itu yang membuat saya kagum. Tidak heran kalau orang-orang 

menyebutnya dengan gelaran Dewi Bunga Mayat…!” 

“Hah!” Menak Tunggoro terlompat dari kursinya. “Suci…” desis 

orang tua ini. “Bagaimana mungkin…?!” 

“Apa yang bagaimana mungkin, bapak?” tanya Wiro pula. 

“Tidak mungkin anak muda. Tidak mungkin kau telah bertemu 

dengan anakku Suci. Tidak mungkin dia yang dijuluki Dewi Bunga 

Mayat itu…” 

“Saya tidak berdusta bapak. Atau apakah saya perlu 

bersumpah?!” tanya Wiro lagi. “Saya benar-benar tidak mengerti 

semua ucapan-ucapan bapak….” 

“Tentu! Pasti kau tidak mengerti anak muda. Aku juga tidak 

mengerti! Karena Suci anakku telah meninggal dunia tiga bulan lalu!” 

“Apa?!” kini Pendekar 212 yang tersentak kaget dan terlompat 

dari kursinya. “Bapak bergurau agaknya…?” 

Menak Tunggoro menutup wajahnya dengan kedua telapak 

tangan. Kepalanya degeleng-gelengkan beberapa kali. 

“Aku tidak bergurau anak muda! Aku juga tidak berdusta. Ya 

Tuhan…. Mengapa semua ini bisa terjadi? Dosa apa yang aku buat 

sehingga nasib anak-anakku tidak karuan begini rupa..?!” 

“Bapak…” Wiro tak bisa meneruskan kata-katanya. Dia 

melangkah ke pintu. “Orang tua ini mungkin saja berdalih karena 

tidak suka aku menjadi suami anaknya. Tapi aku melihat keanehan 

dibalik semua ini…”Saat itu tiba-tiba Menak Tunggoro berdiri. “Anak muda, jika 

kau tidak percaya mari ikut aku. Aku akan antarkan kau ke kubur 

puteriku itu!” 

Wiro mengerenyit. “Katakan dimana Suci dikubur kalau dia 

memang betul-betul sudah meninggal dunia…” 

“Di pekuburan Batuwungkur!” jawab Menak Tunggoro. 

Wiro Sableng terbelalak. 

“Kalau begitu memang perlu kita kesana sekarang juga 

sebelum hari malam. Kau harus membuktikan. Kau harus 

menunjukkan kuburnya!” Suara Wiro bergetar. Tengkuknya 

mendadak saja menjadi dingin dan sekujur tubuhnya keringatan. 

Ketika dia membalik mendahului keluar dari ruangan itu, dia 

melihat seorang lelaki tua melangkah terbungkuk-bungkuk menuruni 

tangga langkan depan rumah besar. “Orang tua itu…. Aku tahu dia 

sejak tadi mendengarkan pembicaraan. Siapa dia…?” bertanya Wiro 

dalam hati. 

Selagi dia tegak dengan kepala penuh tanda tanya seperti itu, 

Menak Tunggoro muncul diatas kereta terbuka. Dia memberi isyarat 

pada Wiro agar lekas naik. Lalu setelah Wiro naik, kusir segera 

mencambuk kuda penarik kereta. Saat itu sang surya bersinar merah 

keemasan tanda tak lama lagi akan segera tenggelam. 

* * *


EMPAT BELAS 

Roda-roda kereta bergemeletakan ketika memasuki tanah 

pekuburan Batuwungkur. “Berhenti di sini!” kata Menak Tunggoro. 

Lalu turun dari kereta sementara Wiro sudah melompat duluan. 

Dadanya berdebar keras seolah-olah ada sesuatu yang hendak 

meledak dari dalam! 

Menak Tunggoro memberi isyarat agar mengikutinya di 

hadapan sebuah makam yang ditumbuhi sepokok pohon kemboja 

kecil orang tua ini berhenti. 

Astaga! Wiro segera mengenali, itu adalah makam dimana dia 

pernah melihat Bunga berdiri lalu lenyap diantara bayang-bayang 

kabut malam. Batu hitam yang pernah didudukinya juga ada disitu. 

Matanya bergerak ke arah papan nisan yang mulai lapuk. Lutut 

Pendekar 212 goyah ketika matanya melihat tulisan hitam 

bertuliskan Suci di papan nisan itu! 

“Bapak…” Wiro berpaling ke arah Menak Tunggoro. 

“Kalau kau tanyakan bagaimana ini bisa terjadi akupun tak 

tahu jawabannya…” 

“Tapi bagaimana saya bisa percaya kalau ini benar-benar 

makam Suci. Lalu siapa gadis yang saya temui selama ini…? Gadis 

cantik berkebaya putih…” 

“Itulah pakaian yang dikenakannya ketika dia meninggal!” kata 

Menak Tunggoro. “Sesuai pesannya, dia minta agar dikubur dalam 

peti dengan kebaya putih dan celana panjang putih lalu baru 

digulung dengan kain kafan. Ini bukan kebiasaan menguburkan 

jenazah seperti itu. Tapi Suci sendiri yang berpesan begitu…” 

“Bapak… Kau mengizinkan kalau makam ini dibongkar? Saya 

hanya ingin melihat bahwa jenazah didalamnya benar-benar Suci…”“Aku tidak mengizinkan makam anakku dibongkar. Demi 

Tuhan tak ada seorangpun yang boleh melakukan hal itu!” kata 

Menak Tunggoro setengah berteriak. 

“Kalau begitu biarlah aku pergi saja. Biar semua kejadian ini 

berpangkal dan berujung pada keanehan! Kenaehan yang tidak 

pernah terungkap…..” 

Wiro berbalik dan ketika dia hendak melangkah didengarnya 

Menak Tunggoro berkata, “ Tunggu… Aku akan panggilkan penggali-

penggali makam…!” Lalu orang tua itu berseru memanggil kusir 

kereta. 

Tak lama kemudian tiga orang penggali makam datang ke 

tempat itu. Dua orang membawa pacul, datu membawa sendokan 

besar seperti sekop. Sementara sang surya sudah hampir masuk ke 

ufuk tenggelamnya. Daerah pekuburan Batauwungkur mulai 

temaram. 

“Lekas gali sebelum malam turun!” ujar Wiro pada tiga 

penggali. Dengan tangannya ikut menyibakkan tanah galian. 

Tak! 

Salah satu pacul membentur benda keras. 

Wiro tak tahan lagi. Dia segera terjun masuk ke dalam lobang 

kubur. Sekop di tangan penggali kubur diambilnya lalu dia sendiri 

melakukan penggalian dengan hati berdebar sampai akhirnya dia 

melihat kayu penutup sebuah peti mati! 

Dua orang penggali makam melompat ke atas. Menyusul 

penggali yang ketiga. Ada satu keanehan yang membuat mereka 

merasa ngeri ketika melihat penutup peti mati yang ternyata masih 

dalam keadaan utuh, hanya rusak sedikit di beberapa sudut. 

Kini tinggal Wiro sendirian dalam makam itu, dia mendongak 

ke atas, pada Menak tunggoro. 

“Bapak, izinkan saya membuka peti mati ini?!”Menak Tunggoro tampak tegang. Lalu orang tua ini anggukkan 

kepalanya. 

Di dalam kubur Wiro pergunakan sekop untuk menguit tepi kiri 

peti mati. Karena beberapa bagian yang sudah lapuk, tidak sulit 

membuka penutup peti mati itu. Begitu peti terbuka menebarlah bau 

harum bunga kenanga! Wiro seperti terpukau. Tangannya gemetar, 

lututnya goyah. Dikuatkan hatinya. Dibukanya tutup peti mati itu 

lebih lebar, lebih lebar hingga akhirnya tersingkap keseluruhannya! 

Menak Tunggoro dan tiga penggali kubur sama-sama keluarkan 

seruan tercekat. Wiro sendiri untuk beberapa lamanya tertegun 

seperti patung! 

Dalam peti mati yang terbuka lebar itu kini terpampang satu 

keanehan luar biasa yang sulit diterima akal. Sosok mayat di dalam 

peti mati itu tampak utuh seperti seorang yang sedang tidur. Dan 

sosok mayat ini adalah sosok mayat Suci! Wajahnya pucat tapi 

kecantikannya tetap nyata. Dia mengenakan kebaya panjang dan 

celana panjang putih. Disekitarnya berserakan robekan kain kafan 

yang sudah melapuk. 

Yang membuat Pendekar 212 Wiro Sableng terbelalak adalah 

ketika dia melihat bagaimana pada dada, bagian perut dan bagian 

sebelah bawah kebaya putih yang dikenakan mayat Suci jelas terlihat 

bekas tumpahan kopi! Kopi yang tertumpah ketika malam tadi terjadi 

serangan pisau daun sirih di kedai Aki Sukri! 

“Suci…” bisik Wiro. “Keanehan atau keajaiban apa yang kau 

berikan padaku. Aku tak percaya bahwa kau benar-benar sudah 

tiada. Kalaupun itu memang kenyataan ketahuilah bahwa dirimu ada 

dalam hatiku….” Wiro merasakan kedua matanya menjadi panas. 

Kalau sebelumnya ada perasaan takut berada dalam kubur itu 

dan menyaksikan mayat Suci, kini semua rasa takut itu lenyap tidak 

berbekas. Diangkat tangannya, dipegangnya tangan Suci yang 

bersilang di atas perut. Lalu ditundukkannya kepalanya untukmencium kening dan kedua pipi Suci. Terakhir sekali dikecupnya 

bibir mayat itu. Lalu terdengar suara isaknya. Inilah untuk pertama 

kali dalam hidupnya Pendekar 212 menangis, sementara empat orang 

di atas sana tampak bergidik melihat apa yang tadi dilakukan 

pemuda itu. 

“Suci…” Wiro berbisik ke telinga mayat. “Aku akan pergi. 

Tidurlah dengan tenang. Bagiku kau tak pernah mati. Aku membawa 

cinta kasih kita yang berpadu rindu dalam diri ini kemanapun aku 

pergi. Kalau aku rindu akan kucium bunga kenanga yang ada dalam 

sakuku. Aku pergi Bunga… Aku pergi Suci…” 

Wiro Sableng usap kedua matanya lalu tutupkan penutup peti 

mati. Perlahan-lahan dia naik ke atas. Ketika sampai di atas hari 

sudah gelap. Tiga penggali makam kembali bekerja. Kali ini untuk 

menimbun tanah kubur yang tadi digali. Ketika pekerjaan itu selesai, 

Menak Tunggoro memegang bahu sang pendekar lalu berkata. 

“Sekarang kau melihat sendiri kenyataan ini, anak muda. 

Kenyataan yang kita semua tak akan bisa mengerti. Inilah kekuasaan 

Gusti Allah…” Orang tua itu diam sesaat. “Aku akan segera kembali 

ke Sleman. Kau ikut…?” 

“Terima kasih. Saya akan tetap disini malam ini…” jawab Wiro 

pula. 

Menak Tunggoro diikuti tiga penggali makam tinggalkan tempat 

itu. Kini tinggal Wiro sendirian, tegak termangu di hadapan Suci. 

Tiba-tiba telinganya mendengar suara bergemerisik di sebelah kiri. 

Sekali lompat saja murid Sinto Gendeng ini berkelebat ke arah 

setumpukan semak belukar. 

“Ampun! Jangan pukul diriku!” terdengar suara orang 

berteriak. Wiro cekal leher pakaian orang itu. Ternyata dia adalah 

orang tua bungkuk yang dilihat Wiro di gedung kediaman Menak 

Tunggoro.“Apa yang kau lakukan disini?!” bentak Wiro antara marah dan 

heran. “Kau sengaja memata-matai diriku! Siapa yang menyuruh?!” 

“Aku… Aku tidak memata-mataimu… juga tak ada yang 

menyuruh…” berkata orang tua itu. 

“Lalu apa maksudmu mengikut sampai kesini, sembunyi 

dibalik semak belukar…?” 

“Aku… aku bermaksud baik, anak muda. Ada sesuatu yang 

ingin kuceritakan padamu. Aku… aku merasa kasihan padamu…” 

“Tambah satu lagi keanehan di tempat ini!” ujar Wiro. “apa 

yang hendak kau ceritakan padaku, orang tua?” 

“Tentang riwayat orang yang kau cintai itu…” 

Wiro pandang wajah tua keriput itu sesaat lalu berkata, “Kalau 

kau memang punya cerita, ceritakanlah…” 

“Aku bekerja sebagai pelayan di rumah Raden Menak Tunggoro 

sejak lima puluh tahun lalu. Apa yang terjadi di rumah besar itu 

kuketahui semuanya. Juga tentang kematian Suci tiga bulan yang 

lalu. Dia mati tidak wajar….” 

“Tidak wajar bagaimana?” 

“Suci yang malang itu mati diracun oleh Sadewo atas suruhan 

Suntini, adiknya sendiri…” 

Tentu saja Wiro jadi terkesiap mendengar keterangan itu. 

Untuk beberapa lamanya dia tidak bisa berkata apa-apa sampai si 

orang tua bungkuk meneruskan ceritanya. 

“Sebenarnya Suci bukan anak kandung Raden Menak 

Tunggoro. Dia adalah anak pungut karena selama enam tahun kawin 

Raden Menak Tunggoro tidak dapat anak dari istrinya. Tapi setelah 

satu tahun mengambil Suci jadi anak angkat, tahu-tahu istrinya 

mengandung. Lalu lahirlah Suntini. Kedua kaka beradik tiri itu sama-

sama menjadi dewasa dengan kenyataan bahwa Suci jauh lebih 

cantik dari adik tirinya.”“Sebagai remaja puteri, Suci memiliki seorang kekasih yaitu 

Sadewo. Celakanya, Sadewo ini dicintai setengah mati oleh Suntini. 

Untuk merusak hubungan Suci dengan Sadewo, Suntini lalu 

menceritakan siapa sebenarnya Suci. Pemuda itu ternyata menjadi 

bimbang dan akhirnya tenggelam dalam rayuan Suntini yang 

memang seorang gadis licik. Untuk menyingkirkan Suci maka Sadewo 

disuruhnya meracun Suci dengan janji bahwa jika mereka kawin 

nanti setengah dari kekayaan ayahnya akan diserahkan pada 

Sadewo. Dan Sadewo lalu meracun Suci. Itu terjadi tiga bulan lalu….” 

“Nah, itulah yang bisa kuceritakan padamu anak muda. Apa 

yang terjadi selanjutnya kau sendiri sudah tahu…. Selamat tinggal 

anak muda. Aku harus pergi sekarang…” 

“Terima kasih orang tua. Keteranganmu sangat berharga 

bagiku…” jawab Wiro lalu memutar tubuhnya dan duduk di atas batu 

hitam di samping makam. 

Angin malam bertiup dingin. Kegelapan semakin memekat. 

Pendekar 212 duduk tak bergerak. Di telinganya terngiang kembali 

kata-kata balasan yang diucapkan Suci…. 

“Aku berjanji Bunga. Demi cintaku padamu…” 

“Dan cintaku padamu…” 


T A M A T

Share:

0 comments:

Posting Komentar