..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 25 Juni 2024

WIRO SABLENG EPISODE PETAKA GUNDIK JELITA

Petaka Gundik Jelita



Petaka Gundik Jelita


SATU 

Hutan kecil itu terletak di teluk yang sangat sepi. Hanya deburan ombak terdengar 

menderu di pasir sepanjang siang dan malam hari. Ombak yang begitu ganas 

membuat teluk itu hampir tak pernah didatangi manusia termasuk nelayan pencari 

ikan. 

 Tersembunyi di balik kerapatan pepohonan dan semak belukar terdapat sebuah 

pondok kayu beratap ijuk. Bangunan ini cukup besar, memiliki dua kamar serta 

langkan lebar. Dua orang tampak duduk di langkan, berhadap-hadapan satu sama lain. 

Untuk beberapa saat lamanya tak satupun dari mereka membuka mulut bersuara. 

 Duduk di sebelah kanan di dekat pintu adalah seorang tua berambut sangat 

putih, berkulit hitam, mengenakan pakaian berupa selempang kain kuning muda. 

Parasnya yang keriput dimakan usia tampak tenang walau benak dan lubuk hatinya 

disamaki berbagai pikiran dan perasaan. Di hadapannya duduk bersila seorang 

pemuda berpakaian putih, berbadan langsing dan berkulit puith halus. Rambutnya 

yang hitam agak tersuruk oleh ikat kepala putih. Meskipun dia berpakaian cara laki-

laki, namun keelokan paras dan kehalusan kulitnya tak dapat menyembunyikan bahwa 

sebenarnya pemuda ini adalah seorang gadis berusia sekitar delapan belas tahun. 

 “Empu, kau tadi hendak membicarakan sesuatu. Tapi sejak tadi kau hanya 

berdiam diri….” Terdengar suara gadis elok paras. 

 “Terus terang sebelumnya percakapan ini sudah kupersiapkan. Namun pada 

waktu tiba saatnya terasa tenggorokanku menjadi kering dan lidah seperti kelu,” kata 

orang tua yang dipanggil dengan sebutan Empu. “Nawang Suri, ketahuilah, sejak kita 

tersingkir dari Kotaraja lama, sejak orang tuamu terbunuh, sejak sanak saudara handai 

taulan dan semua pejabat pengasuh dimusnahkan, sejak itu pula aku hampir-hampir 

hilang rasa percaya diri…..” 

 “Tapi Empu!” sang dara bernama Nawang Suri cepat memotongnya. “Selama 

ini justru empu selalu menanamkan semangat percaya diri padaku. Selalu 

mengobarkan api keberanian dan tekad bulat bahwa suatu ketika semua yang musnah 

itu akan kita dapatkan kembali. Adalah aneh kalau sekarang empu bicara lain….” 

 Si orang tua itu batuk-batuk beberapa kali lalu mengaanggukkan kepalanya. 

“Aku sudah tua Nawang dan aku bukan manusia yang dapat menyembunyikan 

kenyataan. Sikap dan semangatku hanya akan sampai sejauh batas usiaku yang 

tinggal tidak berapa lama lagi. Sebaliknya semangat dan tekadmu masih harus 

menempuh jalan jauh dan sulit. Karena itulah aku selalu mengobarkannya dalam hati 

sanubarimu. Jalan yang akan kau tempuh tidak mudah apalagi mengingat kau seorang 

gadis muda usia. Namun menyadari bahwa kau sebenarnya adalah satu-satunya 

kekuatan yang tingal, yang memiliki hak sebagai pewaris Kerajaan lama yang 

dimusnahkan oleh penguasa yang sekarang, maka kau harus mempunyai keyakinan, 

keberanian serta tekad bulat. Bahwa apapun yang terjadi kau harus mendapatkan 

kembali hakmu yakni tahta Kerajaan yang hilang. Kau harus dan memang hakmu 

kelak untuk menjadi Ratu penguasa di delapan penjuru angin tanah kelahiranmu ini. 

siapa yang telah memusnahkan orang tua dan saudara-saudaramu harus ganti 

dimusnahkan. Tahta yang hilang harus kembali ke tanganmu. Kau satu-satunya yang 

berhak muridku. Seperti kukatakan tadi, jalan untuk mencapai itu tidak mudah. 

Musuh begitu kuat dan besar. Namun dengan bekal kepandaian yang kau miliki akuyakin kau akan berhasil mendapatkan tahta yang hilang itu. Aku berdoa pada Dewa 

semoga pada saat kau dinobatkan menjadi Ratu, aku yang tua ini masih diberikan 

umur panjang untuk menyaksikannya. Hanya satu hal yang harus kau ingat Nawang. 

Ilmu kepandaian yang betapapun tingginya tidak ada manfaatnya bilamana tidak 

disertai akal pikiran dan kecerdikan. Lakukan rencana yang telah kita susun dengan 

sebaik-baiknya. Jika kau nanti meninggalkan teluk ini bersikaplah selalu hati-hati. 

Aku tahu pasti mata-mata penguasa berkeliaran di mana-mana. Sebelum kita berdua 

mereka temukan dan tumpas, mereka tidak merasa aman. Hindari jalan-jalan umum. 

Jangan pernah bicara dengan siapapun. Masuklah ke Kuto Gede pada malam hari. 

Ingat, satu-satunya yang harus kau cari dan temui adalah Gama Manyar seorang ahli 

ukir-ukiran perak. Sepertiku dia sebenarnya juga seorang empu. Nama sebenarnya 

Empu Soka Panaran….” 

 Lama Nawang Suri terdiam sebelum akhirnya berkata “Semua pesan dan 

petunjuk empu akan aku ikuti. Kalau murid boleh bertanya kapan aku harus berangkat 

ke Kuto Gede?” 

 “Malam ini!” jawab Empu Andiko Pamesworo. 

 “Malam ini? Begitu cepat?” tanya Nawang Suri hampir tak percaya. 

 “Pekerjaan yang harus kita lakukan memang jenis pekerjaan gerak cepat. 

Berlama-lama berarti hanya memberi kesempatan pada penguasa untuk lebih leluasa 

menyusun kekuatan!” 

 “Jika begitu kata empu, aku akan melakukannya.” Jawab Nawang Suri dengan 

hati bulat. “Kalau bertemu dengan Empu Soka Panaran, apa yang murid harus 

katakan padanya?” 

 “Kau tak perlu bicara atau mengatakan apa-apa. Dia sudah maklum arti 

kedatanganmu. Ingat baik-baik Nawang. Selalu bersikap hati-hati. Jangan bicara 

dengan sipapun. Usahakan untuk tidak bertemu dengan siapapun sebelum mencapai 

Kuto Gede. Juga jangan percaya pada siapapun!” 

 “Saya akan ingat hal itu baik-baik, empu saya minta diri untuk 

mempersiapkan segala sesuatu….” 

 “Tunggu dulu Nawang,” ujar Empu Andiko Pamesworo. Dari balik selempang 

pakaian putihnya orang tua ini mengeluarkan sebilah keris berhulu dan bersarung 

emas. Senjata ini memancarkan sinar kuning yag angker. Empu Andiko mencium 

keris itu tiga kali berturut-turut. Lalu meletakkannya di atas pangkuannya. 

 “Ini adalah Mustiko Geni, pusaka tunggal Kerajaan semasa ayahmu 

memerintah. Siapa yang memilikinya dialah yang berhak akan tahta kerajaan. Ini 

bukan senjata biasa Nawang. Keris ini memiliki keampuhan luar biasa karena sakti. 

Bila kau cabut daari sarungnya akan terpancar sinar merah dan hawa sepanas api akan 

membersit. Jarang lawan yang sanggup menghadapinya. Karenanya kau hanya boleh 

mempergunakan bilamana dalam keadaan terdesak sekali….” 

 Kagum Nawang Suri mendengar keterangan sang empu. Matanya tak berkedip 

memandang senjata yang ada di atas pangkuan itu. 

 “Ambillah Nawang….” Kata Empu Andiko. 

 “Keris…..Mustiko Geni itu untuk saya empu?” tanya Nawang Suri hampir tak 

percaya. 

 Aku tidak memberikannya padamu Nawang. Keris ini adalah milikmu sebagai 

pewaris tunggal Kerarjaan. Selama ini aku hanya tolong menyimpan…..” 

 Dengan dua tangan gemetar Nawang Suri mengambil senjata itu dari atas 

pangkuan sang empu. Aneh. Mustiko Geni ternyata enteng sekali. Pada saat dara 

memegang keris sakti tersebut, detik itu pula Empu Andiko Pamesworo menjatuhkan 

diri bersimpuh.Nawang Suri tersentak kaget. 

 “Empu, mengapa kau menyembahku?!” tanya sang dara. 

 Si orang tua tersenyum. “Karena kaulah pewaris tunggal Kerajaan yang syah. 

Karena kau adalah Ratuku kepada siapa aku berakti!” 

 Nawang Suri menggigit bibirnya lalu berkata perlahan “Seperti katamu empu. 

Perjalanan masih jauh. Belum saatnya siapapun menyembahku. Aku saat ini hanya 

manusia biasa, tak lebih seperti engkau sendiri….” 

 Ketika Empu Andiko Pamesworo mengangkat wajahnya tampaklah air mata 

telah membasahi pipinya yang cekung. “Muridku, sifat dan tutur bicaramu sangat 

menyerupai Sri Baginda, mendiang ayahmu…..”


DUA 

Hanya beberapa saat saja setelah Nawang Suri meninggalkan pondok di teluk, 

dalam kegelapan malam, di bawah udara dingin mengandung garam di bawah deru 

ombak yang berdebur di atas pasir, tiga sosok tampak berkelebat cepat laksana 

bayang-bayang. 

 Tiga sosok tubuh ini bergerak menuju pondok. Salah seorang mengintip lewat 

celah dinding, dua lainnya berjaga-jaga. Yang mengintip kemudian kembali menemui 

dua kawannya. 

 “Di kamar yang ada lampu menyala kulihat empu itu. Seroang diri. Kita 

berhasil mencapai tujuan. Tapi orang yang kita cari mungkin tak ada di sini!” 

 “Sebelum pondok itu digeledah mana mungkin kita tahu dia ada di dalam atau 

tidak!” menyahuti kawannya. Agaknya dia yang menjadi pimpinan dari tiga manusia 

dalam gelap itu. 

 “Kita akan menyelidik sekarang atau menunggu sampai pagi?” bertanya orang 

ketiga. 

 “Jangan tolol!” desis sang pemimpin. “Apa yang bisa dilakukan malam ini 

haus dilakukan sekarang juga!” Lalu dia memberi isyarat. Lelaki pertama berkelebat 

ke arah pintu belakang pondok. Orang kedua laksana seekor burung alap-alap tanpa 

menimbulkan suara sedikitpun melesat ke atas atap pondok yang terbuat dari 

tumpukan ijuk tetbal. Yang berlaku sebagai pemimpin melangkah mendekati pintu 

depan. Siapapun manusianya yang ada di dalam pondok itu jelas tak akan mungkin 

lolos atau keluar tanpa diketahui. 

 “Andiko Pamesworo!” si pemimpin berseru. Suaranya keras meskipun hampir 

larut oleh suara deburan ombak di teluk. “Kami orang-orang Kerajaan berada di sini. 

Lekas keluar bersama muridmu!” 

 Lampu di dalam pondok serta merta padam. Kegelapan semakin mencekam 

tempat itu. 

 “Orang-orang Kerajaan!” terdengar suara Empu Andiko Pamesworo dari 

dalam bangunan kayu “Lima tahun berlalu. Akhirnya kalian datang juga. Aku 

memang sudah bosan menunggu. Tiga orang tamu yang datang bersama angin dan 

kegelapan malam, silahkan masuk….” 

 Tiga orang yang mengaku orang-orang Kerajaan itu diam-diam menjadi kaget. 

Masih berada di dalam pondok yang gelap, bagaimana sang empu mengetahui kalau 

mereka berjumlah tiga orang! 

 Lelaki di atas atap tampak mengangkat tangan, siap untuk menghantam. 

Kawannya yang tegak di pintu depan memberi isyarat agar tidak bertindak kesusu. 

Lalu dia berseru “Empu tua! Jangan kau berani berlaku tidak sopan terhadap kami! 

Mempersilahkan masuk tapi semua pintu tak ada yang dibuka! Menyuruh masuk tapi 

rumah dalam gelap gulita!” 

 “Ha….ha….ha….!” Terdengar Empu Andiko Pamesworo tertawa. “Menuduh 

aku si tua bangka berlaku tidak sopan. Lalu apakah kalian bertiga punya sopan 

santun? Mendatangi tumah orang di tengah malam buta sambil berteriak-teriak! Satu 

menghadang di pintu belakang, satu lagi memanjat di atas atap. Lainnya menunggu di 

pintu depan! Tuan rumah mana yang suka berbasa-basi dengan kalian?!” 

 Marahlah ketiga tamu dalam gelap itu. Yang di pintu depan membentak.Masih untung kami datang dan berteriak memberitahumu! Seharusnya 

pondok butut ini kami bakar dulu baru bicara! Atau kau bersikap sombong karena 

belum tahu siapa kamu bertiga….?” 

 Tak ada jawaban dari dalam. Empu Andiko tahu kalau yang datang ada tiga 

orang tapi mungkin tidak tahu siapa-siapa ketiganya. 

 “Aku Buto Celeng dan dua saudaraku Luwak Celeng serta Gagak Celeng! 

Kami datang untuk menangkapmu dan muridmu!” 

 Dengan memberi tahu siapa mereka si pemimpin yakni Buto Celeng mengira 

akan membuat sang empu menjadi takut lantas keluar tunjukkan diri. Tapi dari dalam 

justru terdengar suara ejekan menghina. 

 “Ah, tiga ekor celeng rupanya! Kasihan, malam-malam buta begini kalian 

tersesat sampai ke teluk! Kalau begitu tunggulah sampai pagi. Kalau hari sudah terang 

tentulah kalian tahu jalan pulang!” 

 “Tua bangka kurang ajar!” Buto Celeng marah sekali. “Diberi kesempatan 

jelas-jelas minta mati!” Dia lalu memberi isyarat pada Gagak Celeng yang ada di atas 

atap. Sesaat kemudian nampak api berkobar di atap yang terbuat dari ijuk itu. dalam 

waktu singkat kobaran api melahap seluruh atap terus merambat ke dinding kayu. 

Ketika seluruh bangunan telah dimakan api, lalu rubuh tinggal puing-puing hitam saja, 

tiga orang itu melangkah mengitari reruntuhan pondok. Mereka tidak menemukan 

Empu Andiko Pamesworo ataupun tulang belulangnya di antara reruntuhan. Selagi 

mereka mencari-cari dari sebelah kiri terdengar suara menegur. 

 “Aku di sini! Mengapa mencari di situ….?!” 

 Kagetlah Buto Celeng dan dua saudaranya. Bagaimana mungkin sang empu 

menyelinap keluar dari dalam pondok yang dilalap api tanpa mereka lihat atau 

ketahui?! 

 “Empu Andiko!” bentak Buto Celeng. “Umurmu tidak lama! Lekas katakan di 

mana anak itu kau sembunyikan!” 

 “Siapa menyembunyikan siapa?!” 

 “Keparat! Siapa lagi kalau bukan muridmu bernama Nawang Suri itu yang 

kami cari!” hardik Gagak Celeng. Dialah tadi yang membakar pondok kediaman sang 

empu. 

 “Oh, muridku itu….” ujar sang empu. “Aku akan memberitahu di mana dia 

berada kalau saat ini juga kalian bisa menggantikan pondokku yang kalian bakar! 

Sanggup…..?!” 

 “Kau bicara ngacok!” membentak Luwak Celeng. “Kau akan mendapat 

pondok baru di akhirat!” 

 Empu Andiko tertawa. “Kalian tidak akan menemukan Nawang Suri di sini. 

Dia sudah lama pergi…..” 

 “Pendusta!” bentak Buto Celeng. 

 “Lekas beritahu di mana gadis itu berada!” menghardik Gagak Celeng. 

 “Sudah kukatakan dia tak ada di sini.” 

 “Kalau begitu terpaksa kami membunuhmu saat ini juga!” mengancam Buto 

Celeng. 

 Si orang tua itu tidak takut akan ancaman itu menjawab sambil tersenyum. 

“Seharusnya kalian para perampas tahta Kerajaan sudah membunuhku empat tahun 

silam! Malam ini kalian akan menyesal tidak melakukan hal itu!” 

 “Adik-adikku!” seru Buto Celeng. “Tua bangka ini memang tak layak 

dibiarkan hidup lebih lama!” begitu selesai bicara Buto Celeng meelsat ke depan 

diikuti oleh dua saudaranya. Dalam gelap malam dan udara dingin pecahlah 

perkelahian di tempat itu.

Buto Celeng dan dua adiknya adalah tokoh-tokoh silat istana tingkat ketiga. 

Seperti diketahui tidak mudah menjadi tokoh silat di kalangan Kerajaan. Karenanya 

walaupun cuma berada di tingkat tiga deretan hulubalang terpercaya namun tingkat 

kepandaian tersebut tidak sembarangan orang bisa mendapatkannya. Dengan kata lain 

ilmu silat yang dimiliki tiga bersaudara Celeng itu berada pada tingkat tinggi. Apalagi 

mereka berjumlah tiga orang. Maka arus serangan mereka dalam gebrakan pertama 

sudah berarti kematian bagi Empu Andiko Pamesworo. Tak dapat tidak orang tua 

yang malang ini akan menemui ajal dengan kepala pecah atau dada remuk atau perut 

jebol! 

 Akan tetapi betapa terkejutnya ketiga tokoh silat Istana tersebut ketika dengan 

gerakan tenang tapi gesit. Laksana hembusan asap tubuh sang empu meliuk dan 

berhasil mengelakkan tiga serangan maut mereka! 

 “Bagus! Keluarkan seluruh kepandaianmu agar tidak mampus penasaran!” 

teriak Gagak Celeng coba menutupi rasa kagetnya. Lalu seperti seekor burung 

tubuhnya melesat ke atas. Tangan dan kaki menyebar serangan susul menyusul. 

 Kembali dengan satu gerakan tenang dan gesit Empu Andiko berkelebat ke 

samping. Tubuhnya miring ke kiri dan kaki kanannya tiba-tiba sekali menendang ke 

arah pinggang Gagak Celeng. Kalau saja dari kiri kanan tidak datang Buto Celeng dan 

Luwak Celeng menyerbu dan memaksa sang empu tarik kakinya yang menendang 

sambil mundur, maka sudah dapat dipastikan pinggang Gagak Celeng akan termakan 

tendangan. 

 “Bangsat tua ini ternyata boleh juga!” berbisik Luwak pada Buto. 

 “Kita harus mengurung dan menggempurnya habis-habisan. Lama-lama 

masakan tenaganya tidak melorot. Kita harus memaksanya bergerak cepat terus 

menerus hingga kehabisan tenaga!” 

 Ucapan Buto Celeng itu diterima dua saudaranya. Ketiganya kembali 

menyerang. Kali ini dengan lebih gencar. Angin pukulan dan tendangan menderu-

deru menggempur Empu Andiko. Dengan mengandalkan jurus-jurus bertahan yang 

ampuh sampai delapan jurus di muka orang tua itu berhasil membendung serangan 

tiga pengeroyok. Namun hal ini membuat dia tidak berkesempatan melakukan 

serangan balasan. Agaknya tiga tokoh silat istana itu mulai mengetahui di mana letak 

kelemahan jurus-jurus silat si orang tua. Dalam keadaan kepepet Empu Andiko tiba-

tiba keluarkan suara pekik seperti seruling melengking, membuat tiga lawan sesaat 

tercekat. Sebelum ketiganya pulih dari pengaruh pekikan aneh itu Empu Andiko 

Pamesworo berhasil menghantam dada Luwak Celeng dengan jotosan tangan kiri 

yang amat keras. 

 Luwak Celeng terpelanting empat langkah, jatuh terduduk di tanah. Mulutnya 

terasa panas dan asin. Ketika meludah, yang jatuh ke tanah adalah cairan darah! 

Menahan sakit dengan kalap Luwak Celeng bangkit berdiri dan di tangan kanannya 

kini tergenggam sebilah pedang bermata dua. Tampaknya senjata ini bukan senjata 

biasa karena dalam gelap memancarkan sinat keputihan. 

 Wutt! 

 Pedang di tangan Luwak Celeng menyambar. 

 Wutt! 

 Wutt! 

 Ternyata ada dua pedang lagi yang datang menyambar susul menyusul. Empu 

Andiko melompat selamatkan diri dari sambaran tiga senjata itu. Di hadapannya, tiga 

bersaudara Celeng tegak memegang pedang berbentuk sama dengan tampang bengis. 

 “Kalian orang-orang Kerajaan ternyata tikus-tikus pengecut!” ujar Empu 

Andiko. Diam-diam dia menekan rasa kawatirnya. Sambaran angin tiga pedang tadimembuat dia maklum bahwa tiga senjata musuh itu akan menimbulkan kesulitan 

baginya. “Pengecut! Mengeroyok dan andalkan senjata!” 

 “Kalau kau punya senjata keluarkanlah!” hardik Luwak Celeng. 

 “Senjataku ini!” Empu Andiko. Dia melompat ke kiri. Sesaat kemudian di 

tangannya sudah terpegang sepotong balok puing bangunan rumahnya yag terbakar. 

Ujung balok itu masih merah membara. “Manusia-manusia pengecut! Ayo maju! 

Kalian tunggu apa lagi!” 

 Buto Celeng meludah ke tanah. Luwak berteriak garang. Gagak sudah 

mendahului menyerbu. Justru dia disambut dengan sodokan ujung balok membara. 

Ketika pedangnya dipakai untuk menghantam balok itu, puing-puing berapi muncrat 

bertebaran, menghantam muka dan pakaiannya. Gagak Celeng berteriak kesakitan 

lalu mengamuk marah. Dua saudaranya ikut berteriak berang. Tiga pedang kembali 

berserabutan dalam gelapnya malam. Serangan tiga pengeroyok itu mengarah bagian-

bagian yang sulit hingga Empu Andiko menjadi sibuk. Setelah empat jurus lagi 

berlalu orang tua ini menyadari bahwa tenaganya mulai terkuras. Gerakannya yang 

semula tenang tetapi gesit kini tampak lamban. Dua sambaran pedang berhasil 

merobek pakaian putihnya. 

 “Ha….ha! Sebentar lagi kulit dan dagingmu yang akan kami robek-robek!” 

teriak Luwak Celeng. Dari mulutnya semakin banyak darah mengucur. Sebenarnya 

saat itu rasa sakit di dadanya hampir tak tertahankan lagi. Tapi kobaran api dendam 

dan kemarahan membuat dia berubah seperti setan dan mengamuk habis-habisan. 

 “Empu Andiko!” berseru Buto Celeng. “Jika kau mau memberitahu di mana 

Nawang Suri berada, kami bertiga akan mengampuni nyawamu!” 

 Sang Empu menyeringai. Dia tahu betul sifat culas orang-orang Kerajaan itu. 

tak bisa dipercaya. Dia tak akan memberitahu apapun yang terjadi. Diberitahu atau 

tidak dia yakin ajalnya akan sampai juga malam itu. 

 “Siapa sudi minta ampun pada kaki tangan penumpas biadab!” Empu Andiko 

balas berteriak. 

 “Kalau begitu benar-benar kau memilih mati!” 

 “Aku tidak takut mati. Tapi paling tidak satu di antara kalian harus 

menyertaiku ke liang kubur!” teriak Empu Andiko lagi. Balok di tangannya berputar 

aneh. Menghantam ke arah punggung Luwak Celeng. Orang yang diamuk kamarahan 

itu seperti tidak menyadari bahaya yang mengancamnya. Ketika Gagak 

memperingatkan, dia membuat gerakan yang salah yaitu merunduk. Akibatnya balok 

berapi menghantam batang lehernya. 

 Terdengar dua kali suara kraak dalam waktu hampir bersamaan. Kraak yang 

pertama adalah suara patahnya ujung balok sedang kraak yang kedua suara patahnya 

batang leher Luwak Celeng! 

 Berhasilnya dia membunuh seorang lawan ternyata harus dibayar mahal oleh 

Empu Andiko, yakni dengan nyawanya sendiri. Baru saja dia membalikkan badan 

untuk mengahadapi dua lawan yang datang menyerang, dua ujung pedang tahu-tahu 

sudah diarahkan kepadanya. Satu menempel tepat di batang tenggorokan, satu lagi 

dipertengahan dada. 

 “Kami masih bersedia mengampunimu!” kata Buto Celeng menyeringai. 

 “Ya!” ujar Gagak. “Lekas katakan di mana Nawang Suri berada!” 

 “Tanyakan nanti pada mayatku!” jawab Empu Andiko tenang dan dingin. 

 “Kalau begitu nyawamu memang tidak tertolong lagi!” kertak Buto Celeng. 

Ujung pedang yang dipegangnya ditusukkan kuat-kuat menembus tenggorokan. Di 

saat yang sama Gagak Celeng hujamkan ujung senjatanya ke dada si orang tua. Tubuhyang seperti disatai itu tergelimpang rubuh begitu keduanya menarik pedang masing-

masing. 

 “Kita harus bergerak cepat!” kata Buto Celeng sambil membersihka 

senjatanya dari noda darah. “Besar dugaanku Nawang Suri belum lama meninggalkan 

tempat ini.” 

 “Sementara kau pergilah dulu. Bagaimanapun ktia tak bisa meninggalkan 

mayat Luwak seperti ini…..” ujat Gagak Celeng. 

 “Aku tahu. Tapi kita tak banyak waktu. Gadis itu harus diringkus secepatnya. 

Besok pagi kita suruh orang mengambil jenazah Luwak.” 

 Gagak terpaksa menyetujui ucapan saudaranya itu. Keduanya kemudian 

berkelebat menerobos hutan gelap.


TIGA 

“Hujan gila!” maki orang itu dalam hati seraya mempercepat larinya dalam 

kegelapan. Meski rimba belantara itu cukup lebat namun tidak mampu membendung 

curahan hujan yang begitu deras. Sebentar saja sekujur tubuh dan pakaian orang itu 

sudah basah kuyup. Dia membetulkan letak buntalan perbekalan di punggungnya 

sesaat, lalu lari kembali ke jurusan barat laut. Sebentar-sebentar dia meraba kumis 

tibpis yang menghias bibirnya. Dia merasa lega ketika akhirnya keluar dari hutan kini 

bebukitan kecil yang merupakan bukit sawah membentang di hadapannya. 

 Udara terasa dingin, apalagi dalam keadaan basah kuyup seperti itu. 

Sebelumnya tak pernah dia berlari sejauh itu namun sedikitpun dia tak merasa letih. 

Dengan lincah dia berlari di atas pematang-pematang sawah yang cukup untuk 

pemijakan kaki serta licin pula. Meskipun tidak letih namun ketika melihat sebuah 

dangau di ujung persawahan, orang ini akhirnya pergi duduk di sana. Dia tak perlu 

merasa cepat-cepat dalam perjalanan itu. Bukankah dia tak akan memasuki Kuto 

Gede besok siang. Tapi sesuai petunjuk dia akan menunggu sampai malam, baru 

memasuki kota kecil itu bila dirasakannya sudah aman. 

 Setelah merasa cukup lama duduk di dangau itu, orang tersebut melompat 

turun dan melanjutkan perjalanan. Baru saja dia berlari beberapa langkah lapat-lapat 

didengarnya suara orang berlari di kejauhan. Ada lebih dari satu orang yang berlari ke 

jurusannya dan sangat cepat. Ketika berpaling benar saja. Di lihatnya dua orang lelaki 

berlari mendatangi. Yang sebelah depan malah terdengar berseru. 

 “Kisanak! Berhenti dulu!” 

 Orang berkumis terus saja berlari. Malah berusaha lebih cepat hingga kedua 

orang d belakangnya tertinggal. 

 “Hai tunggu! Jangan takut! Kami bukan begal! Kami hanya ingin bertanya!” 

Orang di sebelah belakang kembali berteriak. Dia dan kawannya mempercepat lari 

masing-masing. Orang di sebelah depan akhirnya berhenti. Tapi dia tegak 

membelakangi hingga ketika kedua orang itu sampai, mereka terpaksa 

mengelilinginya lalu tegak berhadap-hadapan. 

 “Dengar, kami bukan begal atau rampok. Kami hanya ingin bertanya. Kisanak 

muda ini dari mana dan hendak menuju ke mana?” 

 Yang ditanya geleng-gelengkan kepala dan goyang-goyangkan tangan. 

 “Ah, kenapa tak mau menjawab?” Lelaki di sebelah kanan yang bukan lain 

adalah Buto Celeng bertanya. “Kami ingin bertanya apakah kisanak melihat seseorang 

melintas daerah ini?” 

 Kembali yang ditanya goyangkan tangan dan kepala. Dari mulutnya terdengar 

suara “A…aa….uu…..u….” 

 “Pemuda ini gagu!” tanya Gagak Celeng pada saudaranya. 

 “Kelihatannya begitu,” ujar Buto Celeng. “Jadi kau tidak melihat siapa-siapa 

lewat di sini?” 

 “Aa….aa….uuuuu….uuuuu” 

 “Sudahlah! Kau boleh pergi sana!” kata Gagak Celeng. 

 Pemuda berkumis itu manggut-manggut lalu berlari pergi. 

 “Kenapa kau suruh pergi dia?” tanya Buto Celeng agak jengkel. 

 “Habis kita mau bikin apa? Ditanyapun dia tak bisa menjawab!” 

 “Setahuku orang gagu sekaligus tuli. Pemuda tadi kelihatannya seperti tidak 

tuli,” ujar Buto Celeng.“Apa pentingnya tuli atau tidak. Lagi pula seseorang bisa saja menderita gagu 

setelah dewasa….” 

 “Hemmm…..” Buto Celeng usap-usap dagunya. “Aku menaruh curiga pada 

pemuda itu. Tidakkah kau lihat kumisnya tipis tapi cukup lebat. Padahal dagunya 

polos dan kedua pipinya licin. Kulitnya sehalus kulit perempuan. Lalu suaranya. 

Memang seperti orang gagu. Namun seolah menyenbunyikan sesuatu….” 

 “Kau melantur saja. Ayo kita lanjutkan perjalanan!” kata Gagak Celeng. 

 “Tidak!” sahut Buto tegas. “Aku akan mengejar pemuda halus itu!” Lalu tanpa 

tunggu lebih lama dia melesat mengejar pemuda di depan sana. Mau tak mau adiknya 

terpaksa mengikuti. 

 “Hai orang muda! Tunggu!” panggil Buto Celeng sambil lari dan kerahkan 

seluruh tenaga serta kepandaian mengejar. Tidak seperti tadi, kali ini meskipun sudah 

diteriaki beberapa kali, pemuda berkumis terus saja tetap lari dan ternyata Buto dan 

Gagak Celeng cukup menemui kesulitan untuk memperpendek jarak. 

 “Kau lihat sendiri!” kata Buto pada adiknya. “Jika dia seorang pemuda jembel 

gelandangan biasa masakan bisa lari secepat itu!” 

 “Kau betul! Kita kejar terus!” membenarkan Gagak Celeng. 

 “Aku kelupaan membawa senjata rahasia. Kau ada membekali diri?” 

 “Aku juga tidak. Tapi aku ada membawa sebilah pisau pendek. Biar kuhantam 

dengan pisau ini!” Gagak Celeng keluarkan sebilah pisau pendek dari pinggangnya 

dan siap melemparkan senjata ini. 

 “Arahkan ke kaki kanannya atau kirinya! Aku ingin menangkap monyet itu 

tanpa banyak cidera!” berkata Buto Celeng. 

 Gagak Celeng gerakkan tangan kanannya. Pisau pendek mencuat di udara, 

emmbelah kegelapan malam, melesat ke arah kaki kanan pemuda yang berlari. 

 Seperti terpeleset tiba-tiba pemuda di depan sana jatuh terguling. Tubuh dan 

pakaiannya yang basah kini penuh dengan tanah dan lumpur sawah. Buntalannya 

mental entah kemana. Ketika dia bangkit dengan cepat, satu telapak kai menekan 

keningnya dengan kuat. 

 “Aa…uu…aaa….aaaa” 

 “A-u….auuuuuu!” sentak Buto Celeng. “Aku mau tahu apakah kau benar-

benar gagu!” Lalu Buto keluarkan pedangnya, langsung ditusukkan ke perut si 

pemuda. Namun setengah jengkal dari perut tusukannya ditahan. Jika pemuda ini 

benar-benar gagu dia hanya akan mengeluarkan suara a-u….a-u. Tapi jika dia hanya 

berpura-pura gagu maka niscaya akan menjerit. 

 “Aaaaa…….uuuuu…….uuuuu…….aaaaa……uuuuu!” Pemuda itu goyang-

goyangkan kedua tangannya. Kedua kaki menghempas-hempas. Tapi injakan kaki 

kanan Buto Celeng berat dan keras. 

 “Bangsat! Kau mungkin memang gagu! Tapi perlihatkan dulu siapa dirimu 

sebenarnya!” Habis berkata begitu tangan kiri Buto Celeng melesat ke bawah hidung 

si pemuda. 

 Sret! 

 Kumis tipis di bagian sisi kiri bibir si pemuda terlepas tanggal! 

 “Apa kataku!” seru Buto Celeng sementara Gagak melongo tak percaya! 

 “Sekarang coba kuperiksa rambutmu!” kembali Buto Celeng keluarkan suara 

keras. Dan tangan kirinya berkelebat ke arah kain putih penutup dan ikat kepala si 

pemuda. Sebelum maksudnya kesampaian untuk menarik ikat kepala tak terduga tiba-

tiba si pemuda keluarkan bentakan keras. Tangan kanannya memukul ke samping. 

 Buto Celeng menjerit kesakitan. Kaki kanannya seperti dihantam pentungan 

besi. Mungkin tulang keringnya sudah remuk saat itu!


EMPAT 

“Jahanam keparat!” bentak Gagak Celeng marah. “Kau apakan saudaraku!” Lalu 

diapun cabut pedang mata dua dari pinggang, langsung membacok ke bawah. Bagian 

tajam pedang hanya menghantam lumpur pematang sawah karena orang yang dibacok 

dengan gerakan luar biasa telah lebih dulu melompat dan kini tegak dengan 

memasang kuda-kuda kukuh. 

 “Bangsat! Katakan siapa kau sebenarnya!” hardik Buto celeng. Rahangnya 

bertonjolan sedang kedua pelipisnya bergerak-gerak saking geramnya. 

 Pemuda yang ditanya tak menjawab ataupun bergerak. Dia tetap tegak 

memasang kuda-kuda. Memperhatikan kedudukan kuda-kuda si pemuda. Gagak 

Celeng berbisik pada saudaranya “Jelas keparat ini memiliki kepandaian silat. Aku 

curiga jangan-jangan dia orang yang kita cari-cari! Lihat saja muka dan kulitnya 

seperti perempuan. Kalau tidak menyembunyikan sesuatu mengapa tadi dia memakai 

kumis palsu!” 

 “Akupun menduga demikian,” balas berbisik Buto Celeng. “Biar kita lihat apa 

dia betul seorang pemuda, atau perempuan, ataupun banci!” 

 Habis berkata begitu Buto Celeng tusukkan pedang di tangan kanannya ke 

arah dada pemuda di hadapannya. Gerakannya ini sebenarnya hanyalah tipuan belaka 

karena begitu lawan mengelak, Buto Celeng ulurkan tangan kiri untuk menjambret 

kain putih penutup kepala si pemuda! 

 Tubuh yang membuat gerakan mengelak mendadak menendang ke depan 

sewaktu tangan kiri Buto Celeng menyambar. Tokoh silat tingkat tiga istana ini tidak 

tinggal diam. Sadar gerakannya menjambret tidak kesampaian maka kembali 

pedangnya beraksi. Senjata ini membabat deras ke arah kaki yang menendang. 

Bersamaan dengan itu dari samping kanan Gagak Celeng ikut menggempur dengan 

satu tusukan ke sisi kiri si pemuda. 

 Terjadilah hal yang luar biasa. Tubuh si pemuda mendadak sontak seperti 

melejit ke udara. Dua hantaman pedang menggempur tempat kosong. Begitu 

tubuhnya melayang tutun, si pemuda sebar serangan berupa tendangan berantai, 

masing-masing mengarah batok kepala Buto dan Gagak Celeng. 

 Meskipun tersentak kaget melihat ilmu meringankan tubuh serta serangan 

lawan namun dua tokoh silat istana itu masih dapat mengelak. Malah begitu lawan 

baru saja menginjakkan kedua kaki di pematang sawah, mereka kembali menyerbu 

dengan sebat. Sambil melancarkan serangan deras, Buto Celeng berbisik pada 

saudaranya. “Perhatikan gerakan si pemuda itu Gagak. Banyak sekali persamaannya 

dengan ilmu Empu Andiko Pamesworo! Aku curiga, bahkan hampir pasti pemuda ini 

adalah orang yang kita cari!” 

 “Tadipun aku sudah menduga!” menjawab Gagak Celeng. “Kita gempur terus. 

Jangan beri kesempatan! Desak dia agar masuk ke dalam sawah berlumpur!” 

 “Aku punya akal lain. Kita akan segera lihat apakah dia benar orang yang kita 

cari atau bukan!” 

 “Apa yang hendak kau lakukan?” tanya Gagak Celeng pula. 

 Sambil terus bolang-balingkan pedangnya menyerang lawan, Buto Celeng 

tiba-tiba berteriak. 

 “Anak muda muka pucat! Jangan kira kami tidak tahu siapa kau adanya! Jika 

kau tak lekas menyerahkan diri niscaya kau akan menyusul gurumu ke akhirat!Ketahuilah kami adalah utusan dari istana! Sarang kediaman gurumu telah kami temui 

malam ini! dan Empu Andiko Pamesworo sudah kami bunuh!” 

 Paras pemuda berpakaian penuh lumpur itu mendadak tampak berubah. Dia 

membuat gerakan melompat mundur. 

 “Manusia keparat! Kau membunuh Empu Andiko katamu……?!” 

 Buto Celeng tertawa bergelak. 

 “Lihat! Ternyata dia tidak gagu!” 

 “Dan suaranya seperti suara perempuan!” menyambung Gagak Celeng. 

 “Betul! Dia memang perempuan! Dan dia pastilah Nawang Suri, puteri raja 

yang berusaha menyusun pemberontakan!” 

 Si pemuda nampak tercekat. Karena terkejut mendengar kata-kata Buto 

Celeng tadi, dia telah membuka suara yang berarti membuka rahasia diri dan 

penyamarannya. 

 “Ha….ha! Kau tidak bisa lari dari kami Nawang Suri! Kau hanya punya satu 

pilihan. Tertangkap hidup-hidup atau menyusul gurumu!” 

 “Manusia-manusia durjana! Jika kalian benar telah membunuh Empu, kalian 

akan rasakan pembalasanku saat ini juga!” 

 Buto Celeng dan Gagak Celeng sambut ucapan lawan dengan tawa bergelak 

lalu sama-sama menghamburkan serangan pedang. Mereka membuat gerakan-gerakan 

menjepit karena masih bermaksud untuk menangkap lawan hidup-hidup. Tetapi 

ketika lawan yang bertangan kosong itu bertahan dan balas menyerang dengan nekad, 

mau tak mau keduanya tidak memperhitungkan lagi apapun yang terjadi. Gerakan 

pedang mereka berubah menjadi ganas hingga bagaimanapun hebat pertahanan si 

pemuda cepat atau lambat bahaya maut pasti akan melandanya! 

 Pada jurus kesembilan belas dalam satu gebrakan hebat Buto Celeng 

membabat ke arah kepala lawan. Di saat yang sama satu tusukan deras datang dari 

depan, dilakukan oleh Gagak Celeng. Lawan yang dikeroyok merunduk untuk 

elakkan tebasan Buto Celeng. Tapi karena sekaligus dia harus melompat mundur 

untuk selamatkan perut dari tusukan Gagak Celeng maka gerakan merunduknya agak 

terlambat. 

 Breet! 

 Kain putih penutup kepala robek besar. Rambut hitam panjang yang tadi 

tergelung di bali kain itu tergerai keluar. Kini si pemuda tak dapat lagi 

menyembunyikan bahwa dirinya sebenarnya adalah seorang gadis remaja. Dan dia 

bukan lain memang Nawang Suri! 

 “Ha….ha! Kedokmu benar-benar sudah terbuka Nawang Suri!” seru Buto 

Celeng. Pegangannya pada hulu pedang semakin diperketat. Serangannya dan 

serangan adiknya bertambah ganas. 

 Dalam kegelapan malam di tempat terbuka di pesawahan itu tiba-tiba 

berkelebat pancaran sinar merah. Serentak dengan itu dua tokoh silat istana tadi 

merasakan ada hawa panas yang menyambar. Keduanya seperti terdorong ke 

belakang oleh satu kekuatan dahsyat yang tidak kelihatan. Memandang ke arah tangan 

kanan Nawang Suri, terkejutlah keduanya dan berseru hampir bersamaan. 

 “Keris Mustiko Geni!” 

 Kedua tokoh silat istana ini merasakan dada masing-masing bergetar keras. 

Keris Mustiko Geni bukan saja merupakan senjata tumbal dan lambang tahta kerajaan, 

tetapi sekaligus merupakan satu senjata sakti luar biasa. Dan kini senjata itu ada di 

tangan lawan! Mereka memang juga telah diperintahkan untuk mendapatkan keris 

tersebut, namun sama sekali tidak menyangka kalau senjata sakti mandraguna itu 

ternyata berada di tangan Nawang Suri.“Celaka Buto…..” berbisik Gagak celeng. “Kau lihat senjata itu?” 

 “Kita harus berhati-hati Gagak. Keluarkan jurus-jurus empat simpai menjerat 

laba-laba…..” 

 Jurus yang barusan dikatakan Buto Celeng itu adalah jurus terhebat dari ilmu 

pedang mereka dan selama ini jarang sekali mereka keluarkan. Kini menghadapi 

lawan yang memegang senjata sakti, keduanya tak mau ambil resiko. Didahului oleh 

bentakan garang dari mulut Buto, dua bersaudara itu kembali menyerbu. Dua pedang 

berkelebat dalam udara malam yang dingin, mengeluarkan deru berkesiuran 

menggidikkan. Sesuai dengan nama jurusnya maka kehebatannya memang bukan 

olah-olah. Dua batang pedang seperti berobah menjadi empat dan membentuk sisi 

empat persegi hingga Nawang Suri seperti laba-laba terkurung dalam sebuah kotak 

maut! 

 “Mampus!” teriak Buto Celeng. Pedang di tangannya membabat ke leher. 

 “Putus nyawamu!” teriak Gagak Celeng tak kalah garang dan pedangnya 

menusuk ke dada. 

 Dalam gelap malam tiba-tiba membeset sinar merah. Udara di tempat itu 

mendadak menjadi panas. 

 “Awas hantaman keris!” memberi ingat Buto celen. Tapi terlambat. 

 Trang….trang…..! 

 Bunga api memercik dalam gelapnya malam. Buto dan Gagak Celeng 

merasakan tangan masing-masing tergetar keras. Ada hawa sangat panas menghantam 

ke arah mereka seperti memanggang. Keduanya melompat mundur empat langkah. 

Ketika memperhatikan pedang di tangan mereka tersentak kaget dan pucat. Kedua 

senjata itu telah patah buntung disambar Keris Mustiko Geni! Luar biasa dan hampir 

tak dapat dipercaya oleh tokoh istana itu. 

 “Bagaimana sekarang? Kalian masih inginkan menangkapmu?!” bertanya 

Nawang Suri dengan nada mengejek. 

 “Gadis pemberontak! Apa kau kira kami takut?!” bentak Buto Celeng. Tapi 

untuk sesaat dia tetap saja tak bergerak di tempatnya. Lalu dia berbisik pada 

saudaranya. “Gagak, kita harus merampas keris itu lebih dulu. Kalau tidak bisa 

berabe! Kau menyerang dari kanan, aku dari kiri.” 

 Dua tokoh silat istana itu dengan andalkan ilmu meringankan tubuh tingkat 

tinggi yang mereka miliki berkelebat cepat. Masing-masing juga kerahkan tenaga 

dalan pada dua tangan. Memang hanya dengan mengandalkan kecepatan gerakan 

serta kekuatan tenaga mereka bisa menghadapi lawan yang memegang senjata sakti 

luar biasa itu. Meskipun demikian ternyata tetap saja Buto dan Gagak Celeng 

mengalami kesulitan. Setiap keris menyambar, sinar merah berkiblat menggidikkan 

dan hawa panas memapas ke arah keduanya. Setelah beberapa kali mencoba dan tetap 

gagal keduanya merubah siasat. Sambil menjaga jarak untuk menghindarkan tusukan 

atau sambaran keris, Buto dan Gagak Celeng lepaskan pukulan-pukulan tangan 

kosong jarak jauh. Sekaligus mereka mengurung rapat karena bagaimanapun juga 

mereka tak ingin Nawang Suri lolos. Justru hal ini yang membuat mereka menjadi 

celaka. 

 Pada jurus kedua puluh satu Nawang Suri tampak seperti tergelincir di 

pematang sawah. Tubuhnya miring ke kiri. Melihat ini Gagak Celeng tidak sia-siakan 

kesempatan. Dia memburu dengan tendangan kaki kanan ke dada sang dara. Di saat 

itu pula Nawang Suri membuat gerakan membalik sambil sabatkan keris Mustiko 

Geni. Terdengar pekik Gagak Celeng ketika senjata sakti itu menggurat dadanya 

dalam dan deras. Tubuhnya terhuyung-huyung. Kalau tak lekas ditopang oleh Buto 

Celeng pasti tercebur ke dalam lumpur sawah. Namun di lain kejap Buto Celeng sertamerta lepaskan tubuh saudaranya itu. Tubuh Gagak Celeng terasa panas seperti bara. 

Pakaian dan kulitnya tampak hangus kehitaman. Gagak Celeng menjerit sekali lagi. 

Nyawanya lepas. Kedua kakinya tertekuk dan dia jatuh terjerambab ke dalam sawah! 

 “Gagak!” teriak Buto Celeng memanggil dan hendak memburu. Tapi dia 

terpaksa menjauh karena saat itu Nawang Suri kirimkan satu tikaman ke arahnya. 

Tengkuk Buto Celeng terasa dingin. Rasa takut menggerayangi dirinmya. Berdua 

dengan Gagak saja dia tak sanggup menghadapi anak murid Empu Andiko 

Pamesworo itu, apalagi seorang diri. Tak ada jalan lain. Dia terpaksa berispa-siap cari 

kesempatan untuk melarikan diri. Namun pada saat kesempatan muncul mendadak 

terdengar suara seruan dari arah timur. 

 “Sungguh memalukan! Dua tokoh silat istana berkepandaian tinggi tidak 

mampu membereskan seorang gadis kecil!” 

 Begitu seruan lenyap, sesosok tubuh muncul dari kegelapan malam dan tegak 

di kanan Buto Celeng.


LIMA 

Merasa dihina Buto Celeng semula hendak membentak marah. Tapi sewaktu dia 

berpaling dan melihat siapa adanya orang yang barusan datang itu langsung saja dia 

tegak dengan sikap hormat. 

 “Ah, kiranya orang gagah Sindu Kalasan tokoh kelas satu bergelar Datuk 

Tongkat Dari Selatan!” 

 Orang yang ditegur batuk-batuk beberapa kali. Dia berdiri dengan tangan kiri 

berkacak pinggang sedang tangan kanan menimang-nimang sebuah tongkat bambu 

sepanjang tujuh jengkal. Tongkat bambu ini berwarna kuning dan besarnya hanya 

sejari telunjuk. 

 Diam-diam Buto Celeng merasa gembira. Dalam keadaan seperti iu siapa yang 

tidak senang melihat munculnya kawan sendiri. Datuk Tongkat adalah tokoh silat 

istana pertama dan merupakan orang ketiga dari hulubalang istana. 

 “Melihat pada senjata yang ada di tangannya aku sudah bisa meraba.” Sahut 

Datuk Tongkat seraya timang-timang tongkat bambu halus yang ada di tangan 

kanannya. “Bukankah dia Nawang Suri, orang yang harus ditangkap hidup atau 

mati?” 

 “Betul sekali Datuk. Aku dan saudara-saudaraku berhasil menemukan tempat 

kediaman gurunya di teluk. Empu Andiko telah kami bunuh walau untuk itu adikku 

Luwak Celeng terpaksa menemui kematian pula. Dan barusan adikku yang lain yaitu 

Gagak Celeng menemui ajal di tangan gadis ini!” 

 “Sungguh malang nasibmu Buto. Kehilangan dua saudara dalam satu malam. 

Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang…..?” 

 Buto Celeng terkesiap. Tak dapat dia menjawab pertanyaan Datuk Tongkat itu. 

 “Kau ingin menangkap Nawang Suri hidup atau mati, tetapi tak mampu. Betul 

begitu kan?” 

 Paras Buto Celeng berubah kemerahan. Dia batuk-batuk beberapa kali sekedar 

menghilangkan rasa malu dan penasaran. Tapi otaknya sangat cerdik. Dia cepat 

menjawab. 

 “Siapa bilang aku tak dapat menangkap Nawang Suri? Dengan bantuan tokoh 

sehebatmu pasti itu bisa dilakukan! Bukankah ini tugas semua para hulubalang 

istana?” 

 Datuk Tongkat alias Sindu Kalasan tertawa mengekeh. Dia tahu betul. Di 

antara tiga kakak beradik Celeng, Buto adalah yang paling lihay kepandaiannya tapi 

juga paling cerdik dan licin. 

 Sambil ketuk-ketukkan tongkatnya ke tanah pematang sawah sang datuk 

menjawab “Kalau cuma bocah cilik seperti gadis itu mengapa harus kita berdua Buto. 

Kau menyingkirlah. Biar aku sendiri yang membereskannya. Tapi ingat satu hal….!” 

 “Hal apakah itu, Datuk?” tanya Buto Celeng tak enak. 

 “Pada saat aku berhasil menangkap gadis itu hidu-hidup lalu membawanya ke 

hadapan Sri Baginda di istana, sekali-kali kau jangan mempunyai perasaan bahwa kau 

andil dalam kerja besar menangkap anak pemberontak ini…..” 

 “Maksud Datuk….?” 

 “Maksudku jelas! Kau tak akan menerima pahala apa-apa…..!” 

 “Tapi…..” 

 “Tutup mulutmu Buto Celeng! Jangan sampai aku mengusirmu dari tempat 

ini!” bentak Datuk Tongkat.“Datuk! Kita sama-sama orang dalam istana. Kenapa kau bicara seperti itu? 

soal pahala, Sri Baginda nanti yang akan memutuskan. Sri Baginda seorang bijaksana. 

Bagaimanapun dia tentu tahu dan tak akan melupakan jasa para pembantunya!” 

 “Begitu…..?” ujar Datuk Tongkat menyeringai. Kembali dia ketuk-ketukkan 

tongkatnya ke tanah. 

 Setiap dia membuat ketukan, Nawang Suri yang berdiri beberapa langkah dari 

hadapannya merasakan tanah pesawahan itu seperti bergetar. Getaran itu menjalar ke 

kedua kakinya, terasa aneh seperti hendak melumpuhkan. Cepat sang dara ini kuatkan 

hati dan kerahkan tenaga dalam. Tadi dia telah mendengar Buto Celeng menyebut 

orang berpakaian lurik hitam bergaris coklat dan berblangkon aneh terbuat dari kain 

beludru itu sebagai tokoh kelas satu istana. Berarti dia berhadapan dengan seorang 

berkepandaian tinggi luar biasa. Hatinya merasa tidak enak. Tapi tidak enak berarti 

takut. Dengan tengan gadis in tetap menunggu di tempatnya. 

 “Bocah cilik. Aku berbaik hati memberikan pilihan padamu. Menyerah secara 

baik-baik dan kubawa ke Kuto Gede atau kugebuk dulu baru mau ikut…..!” 

 Nawang Suri sunggingkan senyum mengenjek. Lalu gadis ini menjawab. 

 “Manusia berblangkon bludru! Jika kau tadi sudah tahu namaku berarti kau 

sudah tahu berhadapan dengan siapa. Seharusnya kau dan juga monyet satu itu 

berlutut memberi hormat. Karena akulah pewaris tunggal dan syah dari tahta kerajaan 

yang dirampas oleh tuan besarmu yang sekarang berkuasa di Kuto Gede itu!” 

 “Gadis lancang tak tahu diri!” bentak Buto Celeng. Sedang Datuk Tongkat 

Dari Selatan tampak terkesiap mendengar ucapan Nawang Suri. Namun kemudian 

terdengar suara tawanya mengekeh. 

 “Malam hampir pagi….” Kata sang datuk pula. “Dan kau masih larut dalam 

mimpi Nawang Suri! Nah serahkanlah dirimu baik-baik tanpa perlawanan!” 

 “Siapa sudi menyerah! Kalau kau memang punya nama besar tangkaplah 

diriku!” 

 Habis berkata begitu Nawang Suri sebatkan Keris Mustiko Geni di tangan 

kanannya ke depan. Sinar merah menyambar disertai terpaan hawa panas. 

 Datuk Tongkat Dari Selatan yang maklum kehebatan senjata di tangan sang 

dara bersurut mundur. 

 “Ha….ha! Malam ini aku berkesempatan membuat dua jasa besar bagi 

kerajaan. Pertama menangkap anak pemberontak, kedua merampas Keris Mustiko 

Geni!” 

 “Ternyata kau yang mimpi Datuk pengkhianat! Kau inginkan keris ini, 

ambillah!” seru Nawang Suri ditutup dengan sambaran sinar merah dari bawah ke kiri 

ke atas kanan. Hawa panas menebar menggidikkan. 

 Untuk kedua kalinya Datuk Tongkat Dari Selatan menghindar cepat. Hanya 

kali ini sambil mengelak selamatkan perut dan dadanya dari sambaran keris sakti sang 

datuk yang merupakan orang ketiga teratas dalam barisan hulubalang istana, dia 

sekaligus putar tongkat bambu kuningnya yang halus. Benda itu seperti berubah 

menjadi tujuh batang disertai suara bersiur aneh, sangat cepat menyambar ke arah 

Keris Mustiko Geni. 

 Nawang Suri yang percaya penuh akan kehebatan senjata di tangannya, 

apalagi hanya menghadapi sebatang tongkat bambu, putar pergelangan tangannya. 

Ujung keris laksana kilat menusuk tenggorokan Datuk Tongkat. 

 Yang diserang tampak tenang. Kaki kanannya melangkah ke depan. Tubuhnya 

dimiringkan ke belakang. Tongkatnya melesat ke atas dan cepat sekali tahu-tahu 

sudah menempel di badan keris “Lepas!” terdengar seruan sang datuk. Tangannya yang memegang tongkat 

disentakkan ke belakang. 

Nawang Suri berseru kaget. Tangna kanannya terasa seperti kesemutan. Jari-

jarinya menggeletar membuat genggamannya pada hulu keris mengendur. Sementara 

itu ujung tongkat lawan terasa seperti merekat badan keris. Ketika tongkat 

disentakkan, tak ampun lagi Keris Mustiko Geni ikut terpental dan melayang ke 

udara. 

Datuk Tongkat tertawa mengekeh. 

Buto Celeng leletkan lidah karena kagum. 

Nawang Suri kembali berteriak. Tapi dia cepat sadar tanggap dan melompat 

ke udara untuk menjemput kerisnya. Hanya saja gerakannya kalah cepat dengan 

lompatan Datuk Tongkat. Sang lawan telah lebih dahulu melesat ke udara dan tangan 

kanannya cepat sekali menyambat ke arah hulu keris. Tapi sebelum tangan itu sempat 

menyentuh Mustiko Geni, satu siulan membeset di langit malam. Dan sebuah tangan 

tahu-tahu berkelebat lebih cepat, memapas senjata sakti itu dari sergapan Nawang 

Suri maupun Datuk Tongkat. 

Dan bukan itu saja. Gerakan sosok tubuh yang tahu-tahu muncul di tempat itu 

membuat Nawang Suri terpental ke tanah sedang sang datuk terhuyung empat 

langkah! 

“Keparat!” teriak Datuk Tongkat marah. “Siapa berani mencampuri urusan 

orang?!” 

Dia hantamkan tongkatnya ke tanah. Tapi hanya mengenai tampat kosong!


ENAM 

Saat itu malam telah menjelang fajar menyingsing. Di kejauhan langit sebelah 

timur tampak mulai terang kemerahan. Keadaan di pesawahan meskipun masih 

diselimuti kegelapan namun dalam jarak sampai sepuluh langkah seseorang masih 

dapat melihat cukup jelas orang lain di hadapannya. 

 Memandang ke depan Datuk Tongkat, Buto celeng dan Nawang Suri melihat 

seorang pemuda berpakaian putih-putih dan berambut gondrong tagak menyeringai 

sambil memegang Keris Mustiko Geni di tangan kanannya. 

 “Pemuda kurang ajar! Siapa kau berani-beranian ikut campur urusan orang!” 

membentak Datuk Tongkat. Lelaki berusia enam puluh tahun ini marah bukan main. 

Namun sebagai orang pandai yang banyak pengalaman dia tak mau gegabah. Jika 

seseorang berhasil mendahului kecepatan gerakannnya bahkan sekaligus sempat 

membuatnya terhuyung, berarti orang itu memiliki tingkat kepandaian yang bukan 

main-main. 

 “Manusia lancang ini harus dihajar! Datuk biar aku yang memberi pelajaran 

padanya!” yang bicara adalah Buto Celeng. Suaranya keras hampir berteriak. 

 “Bagus Buto, kau berilah pelajaran padanya!” kata Datuk tongkat. Diam-diam 

dia sengaja memberi kesempatan pada Buto Celeng padahal tujuan sebenarnya adalah 

untuk melihat sampai di mana kehebatan pemuda yang barusan muncul, dan begitu 

muncul berhasil merebut keris sakti. 

 Dengan sikap garang Buto Celeng melompat. Tangan kanannya bergerak 

menyambar rambut si pemuda untuk dijambak sementara tangan kanan kirimkan 

jotosan ke dada. 

 Buukk! 

 Tinju Buto celeng tepat melabrak dada pemuda baju putih. Tapi anehnya 

justru dialah yang kemudian jatuh terjengkang, melintan di atas pematang sawah 

sambil merintih pegangi tangan kanannya yang tampak lecet. Sementara pemuda yang 

barusan dihantam tetap tegak tak bergeming malah masih menyeringai seperti tadi! 

 Malu, kesakitan dan merasa seperti dipermainkan membuat Buto Celeng naik 

darah. Dia bangkit berdiri. Begitu tegak diahantamkan kaki kanan ke selangkangan si 

pemuda. Yang diserang keluarkan siulan nyaring lalu kaki kirinya melesat ke depan, 

mengangkat betis Buto Celeng kuat-kuat ke atas. Akibatnya tak ampun lagi Buto 

Celeng melintir dan terlempar ke dalam sawah berlumpur. Tubuhnya jatuh 

menelungkup, sekujur muka dan tubuhnya sebelah depan habis bercelemongan. 

 Datuk Tongkat Dari Selatan alias Sindu Kalasan gigit-gigit bibirnya. Kalau 

tidak menyaksikan sendiri tentu dia tak akan percaya ada seorang tokoh silat istana 

kelas tiga di buat mainan oleh seorang pemuda tak dikenal. 

 “Orang muda, kau belum menjawab pertanyaanku. Katakan siapa dirimu….!” 

Datuk Tongkat buka suara kembali. 

 Bukan menjawab sebaliknya pemuda yang ditanya malah membalik 

membelakangi sang datuk, lalu melangkah ke hadapan Nawang Suri. 

 “Adik, apakah keris ini milikmu….?” 

 Sesaat Nawang Suri diam saja. Kemudian dia menganggukkan kepala. 

 “Ini senjata bagus. Harganya tak ternilai dan kehebatannya pasti luar biasa. 

Ambillah dan simpan baik-baik. Jangan sampai kelihatan bangsa pencuri atau 

perampok seperti dua monyet itu…..”Karena si pemuda bicara dengan suara keras seenaknya saja tentu kata-

katanya itu terdengar oleh Datuk Tongkat. 

 “Keparat! Kau benar-benar mencari penyakit pemuda edan….!” 

 Tapi untuk sesaat Datuk Tongkat tidak tampak bergerak dari tempatnya. 

Orang ini benar-benar cerdik. Dia sudah sanggup menilai kehebatan pemuda tak 

dikenal itu. Lalu saat itu dilihatnya Nawang Suri telah pula memegang Keris Mustiko 

Geni. Kalau dia menyerang berarti bukan pemuda itu yang mencari penyakit, tapi 

dirinya sendiri. Maka dengan tubuh menggeletar menahan marah dia tetap berdiri di 

tempatnya. 

 “Saudara budi pertolonganmu tak kulupakan. Siapakah kau sebenarnya?” 

Nawang Suri ajukan pertanyaan. 

 Yang ditanya tertawa dan garuk-garuk kepala. “Aku cuma seorang pemuda 

pengangguran dan luntang-lantung. Datang jauh dari Gunung Gede….” 

 “Siapapun kau adanya kau tentu punya nama….” 

 “Aku Wiro Sableng….” 

 “Nama aneh!” desis Nawang Suri. 

 “Begitulah adanya. Monyet itupun menyebutku pemuda edan. Nah, aku tak 

lebih dari itu. Adik, kau tentu dalam perjalanan jauh. Kau sudah dapatkan kerismu 

kembali. Mengapa tidak segera pergi meninggalkan tempat ini.” 

 “Eit! Tunggu dulu! Aku datang kemari untuk menangkapmu dan menyita 

keris itu. Jika kau memang ingin pergi boleh saja. Tapi tinggalkan nyawa dan Mustiko 

Geni!” 

 Yang bersuara adalah Datuk Tongkat. 

 “Ho….ho!” Wiro Sableng tertawa mengejek. “Cakapmu hebat nian kawan! 

Siapa kau yang mengaku memiliki nyawa dan harta orang lain?” 

 “Aku Sindu Kalasan. Bergelar Datuk Tongkat Dari Selatan. Hulubalang ketiga 

dari istana Kota Gede!” 

 “Hmmmm….. begitu?” ujar Wiro Sableng seperti tak acuh padahal Datuk 

Tongkat mengira pasti si pemuda akan terkejut bahkan jerih mengetahui siapa dia 

adanya. 

 “Seorang tokoh silat tinggi istana beraninya melawan perempuan. Dan 

ternyata tidak mampu menghadapi gadis ingusan seperti itu!” 

 Wajah Datuk Tongkat Dari Selatan menjadi merah padam. Wiro Sableng 

tanpa memperdulikan sang datuk, membalik dan melangkah mendekati Nawang Suri. 

“Mengapa belum pergi? Tinggalkan tempat ini. Jika tua bangka berbelangkon aneh 

itu menghalangimu aku akan memberi pelajaran padanya!” 

 Wiro melihat ada pancaran rasa tidak senang di wajah sang dara. Sesaat 

setelah menatap wajah si pemuda, Nawang Suri lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. 

namun Datuk Tongkat cepat memapas sambil hantamkan tongkatnya ke tangan 

Nawang Suri yang memegang senjata mustika. Maksudnya untuk memukul jatuh 

keris itu tidak kesampaian karena dari samping dua tangan yang kokoh menelikung 

pinggangnya, membuat tubuhnya terpuntir. Ketika dia merasakan tubuhnya hendak 

dilemparkan ke dalam sawah berlumpur Datuk Tongkat tusukkan tongkat bambu 

kuningnya ke perut Wiro. Ini adalah satu serangan yang benar-benar mematikan. 

Bukan saja perut sang pendekar muda itu akan bobol, tapi tongkat akan terus 

menembus sampai ke belakang punggungnya! 

 “Mampus!” seru Datuk Tongkat. 

 Tapi dia kecele. 

 Dengan kecepatan luar biasa Wiro jatuhkan diri ke tanah dan menyelusup di 

bawah selangkangan lawan. Bagitu sang datuk berada di belakangnya, tanpa menolehWiro lepaskan satu jotosan keras ke pinggang Datuk Tongkat. Terdengar sang datuk 

mengeluh kesakitan. Sebelum tubuhnya terhuyung ke depan, dia masih sempat 

hantamkan tumit kiri ke bahu lawan hingga Wiropun terjerambab namun cepat 

mengimbangi diri, membuat lompatan dan dilain saat sudah tegak berdiri. 

 Saat itu Datuk Tongkat telah pula berdiri. Tubuhnya bergetar menahan gejolak 

amarah. Seumur hidup baru hari ini dia kena ditempelak lawan, seorang pemuda yang 

tidak dipandangnya sebelah mata! 

 “Orang muda! Kau telah membuat kesalahan besar terhadap Kerajaan!” 

 “Begitu?” seringai Wiro. “Coba katakan apa kesalahanku!” 

 “Pertama, kau berani mencampuri urusan seorang petinggi istana! Kedua kau 

berani melawan dan menciderai dua tokoh silat istana yaitu aku dan Buto Celeng! 

Dan ketiga, ini kesalahanmu yang besar yang tak bisa diampunkan! Kau menolong 

seorang pemberontak besar. Berarti pada dirimu juga jatuh cap sebagai pemberontak! 

Untuk semua itu kau layak dibunuh!” 

 Wiro Sableng manggut-manggut beberapa kali lalu tertawa gelak-gelak. “Jalan 

pikiran, pertimbangan dan ucapan seseorang memang bisa saja berbeda. Tapi tidak 

disangka kalau hari ini aku berhadapan dengan seorang hulubalang istana yang 

mempunyai jalan pikiran, pertimbangan bahkan ucap keputusan yang benar-benar 

gila!” 

 “Jangan terlalu menghina, keparat!” bentak Datuk Tongkat. 

 “Tunggu dulu! Ucapanku belum habis!” balas menghardik Pendekar 212. 

“Aku tidak ada urusan dengan segala macam pemberontak. Aku tidak merasa telah 

membuat kesalahan pada segala macam kerajaan. Semua yang kulakukan semata 

adalah tindakan membela keadilan. Mana bisa aku berpangku tangan melihat seorang 

perempuan hendak dicelakai oleh seorang berkepandaian tinggi!” 

 “Alasan kuno! Jangan menganggap kau seorang kesatria sejati! Kepentingan 

kerajaan adalah lebih utama dari kepentingan pribadi. Apapun alasannya!” 

 “Lalu…..?” tanya Wiro pula. 

 “Kau harus mampus sebelum matahari muncul pagi ini!” 

 “Tua bangka ngacok!” maki Wiro. Lalu tanpa perdulikan orang dia balikkan 

diri untuk meninggalkan tempat itu. 

 Tapi Datuk tongkat yang sudah tidak dapat lagi menahan amarah dan 

kesabarannya sudah melompat kirimkan serangan dengan tongkat bambunya. Senjata 

ini ditusukkan ke depan. Namun setengah jalan mendadak berubah menjadi sambaran 

pulang balik, merupakan gebukan pada tubuh Wiro kiri kanan! 

 Tentu saja Wiro tak bisa berdiam diri melihat serangan ganas ini. Setelah 

membuat lompatan mundur untuk hindarkan hantaman lawan, pendekar ini lepaskan 

satu pukulan tangan kosong dengan kekuatan seperempat tenaga dalam. Dia terkejut 

ketika angin pukulan yang deras itu dihantam punah oleh angin deras yang keluar dari 

tongkat lawan. Tak dapat tidak hulubalang istana tingkat ketiga itu telah mengerahkan 

lebih dari setengah tenaga dalamnya. Maka begitu pukulannya luput Wiro bersiap 

lepaskan pukulan susulan. Tapi Datuk tongkat menyongsong lebih cepat. Tongkatnya 

langsung dihantam ke arah tangan kanan si pemuda hingga Wiro terpaksa tarik pulang 

pukulannya sambil melangkah ke samping. Justru tongkat sang datuk secara aneh 

tiba-tiba membabat ke bawah lengannya dan bret! 

 Baju putih Pendekar 212 Wiro Sableng robek besar! 

 Hal ini membuat Wiro bersurut mundur sambil usap dadanya. Untung ujung 

tongkat hanya menyambar pakaiannya, tak sampai menggurat atau melukai kulit dan 

daging dadanya. Hal ini sudah cukup membuat murid Sinto Gendeng dari Gunung

Gede ini harus mengambil keputusan. Akan terus melayani sang datuk atau pergi saja 

dari situ, mengabil sikap mengalah. 

 Sebaliknya, keberhasilannya merobek pakaian lawan membuat Datuk Tongkat 

Dari Selatan jadi bersemangat dan berkeyakinan, apapun tingkat kepandaian yang 

dimiliki si pemuda, dia pasti dapat membereskan pemuda itu. apalagi Buto Celeng 

yang masih terkapar di tepi sawah sempat berteriak membakar “Bunuh dia Datuk! 

Pemuda keparat itu harus dibunuh!” 

 “Kau dengar itu anak muda? Umurmu tak lama lagi….!” Ujar Datuk Tongkat. 

Lalu kembali dia menyerbu. Tongkatnya beputar aneh mengeluarkan deru keras dan 

siuran angin kencang. Wiro berkelebat cepat. Pada satu kesempatan yang tidak disia-

siakannya pemuda ini lepaskan pukulan “Benteng Topan Melanda Samudera.” 

 Datuk Tongkat terkejut ketika dia mendengar suara angin menggemuruh 

seolah-olah tampat itu diserang angin puyuh yang dahsyat. Dia sabetkan tongkat 

bambunya ke depan. Kuda-kuda kedua kakinya diperkuat. Ketika merasakan 

tubuhnya tak bisa bertahan dan hampir terseret angin kencang itu maka dia 

hantamkan tangan kiri ke arah lawan dengan pengandalan tenaga dalam yang ada. 

 Terjadilah hal yang hebat. Daerah persawahan itu bergetar seperti dihantam 

lindu. Air dan lumpur beterbangan ke udara. Datuk Tongkat berseru keras. Dia 

melompat ke atas menghindari hantaman angin deras yang menerpa. Tapi begitu 

melompat begitu tubuhnya terseret dan tunggang langgang di udara. Terpental jatuh 

masuk ke dalam lumpur sawah. Dadanya mendenyut sakit. Pemandangannya 

berkunang-kunang. Dia mencoba berdiri. Tapi kedua kakinya terasa goyah dan tak 

sanggup diluruskan. Akhirnya dengan nafas megap-megap hulubalang ketiga istana 

ini hanya bisa merangkak dalam lumpur, berusaha menggapai tepi pematang sawah. 

 Wiro sendiri meskipun tidak jatuh tapi sekujur tubuhnya sampai ke rambut 

penuh berselomotan lumpur sawah. 

 “Keparat! Jangan lari kau!” teriak Datuk Tongkat ketika dilihatnya Wiro 

Sableng melangkah meninggalkan tempat itu sementara matahari telah muncul di 

ufuk timur dan daerah pesawahan itu kini menjadi terang. 

 Wiro usap lumpur yang menempel di wajah dan pakaiannya. Lumpur yang 

memenuhi telapak tangannya kini kemudian dilemparkannya ke arah sang datuk, tepat 

menghantam pipi dan mata kirinya, membuat sang datuk menggerung bukan saja 

karena sakit tapi lebih dari itu karena amarah dan penasaran bukan kepalang. Seumur 

hidup baru sekali ini dia dihantam babak belur seperti itu. 

 Tak berhasil mencegah Wiro meninggalkan tempat itu akhirnya Datuk 

Tongkat berteriak pada Buto Celeng. 

 “Bantu aku mencari tongkat bambuku!” Senjata andalannya itu terlepas dan 

mental entah ke mana sewaktu angin pukulan sakti Wiro melabrak dirinya tadi.


TUJUH 

 

Meskipun hari malam dan gelap namun tidak sulit bagi Nawang Suri untuk 

mencari rumah kediaman Gama Manyar alias Empu Soka Panaran yang terletak di 

pinggiran Kuto Gede. Apalagi di pintu pekarangan depan rumah besar yang berbentuk 

gapura itu jelas terlihat sebuah bendera kecil berbentuk segi tiga warna biru. Itulah 

tanda utama yang menjadi petunjuk. 

 Sesaat setelah memperhatikan keadaan sekelilingnya Nawang Suri cepat 

memasuki pintu halaman, naik ke serambi rumah. Tanpa ragu-ragu dia mendorong 

pintu kayu hitam dan menyelinap masuk ke dalam. Begitu dia menutup pintu, seorang 

lelaki tua berpakaian putih dan berkain sarung biru, meletakkan lempengan perak 

yang dipegangnya ke atas meja lalu dengan cepat dia berdiri dari kursi, menyongsong 

Nawang Suri. 

 “Saya memang sudah punya firasat. Kalau Raden Ayu akan muncul malam 

ini.” Lalu orang tua yang rambutnya dikonde di atas kepala itu jatuhkan diri berlutut 

seraya berkata “Saya Soka Panaran menghaturkan hormat dan bakti pada junjungan 

Ratu Nawang Suri……” 

 Nawang Suri merasa tidak enak. Dia memandang ke kiri dan kanan lalu 

berkata “Empu, harap berhati-hati atas sikap dan ucapanmu. Jika ada yang mendengar 

kita bisa celaka……” 

 “Ah, maafkan saya. Saya terlalu gembira bertemu muka dengan Den Ayu 

hingga melupakan kerahasiaan. Saya hanya seorang diri di sini….” 

 “Saya tahu. Tapi harap jangan lupa kalau dinding dan atap itu terkadang 

mempunyai telinga!” 

 “Petunjuk Den Ayu itu akan saya perhatiken,” ujar Gama Manyar seraya 

merunduk. Dia memang mempunyai kebiasaan kalau bicara kata kan disebutnya 

sebagai ken. 

 “Berdirilah empu….” Kata Nawang Suri yang merasa belum saatnya dihormat 

seperti itu. 

 Gama Manyar berdiri lalu membawa Nawang Suri duduk ke sebuah kursi. 

“Duduklah….. Perjalanan jauh tentu membuat Den Ayu kecapaian. Minumlah 

dahulu…..” Lalu orang tua ini menuangkan air putih dari dalam kendi tanah ke 

sebuah cangkir. Nawang Suri menghabiskan isi cangkir itu. Dia memandang 

berkeliling. Di mana-mana dia melihat berbagai ukiran terbuat dari perak. 

 “Saya lihat Den Ayu tidak melakukan penyamaran sebagaimana mestinya….” 

Terdengar Gama Manyar berkata. 

 Nawang Suri mengusap mulutnya di sebelah bawah hidung. Sejak kumis 

palsunya dijambret dalam perkelahian di sawah malam kemarin memang 

penyamarannya hanya tinggal pakaian lelaki dan kain putih penutup kepala. Jika 

orang benar-benar memperhatikan maka kenyataan bahwa dia seorang perempuan 

akan lebih cepat dapat diduga. 

 “Apakah Den Ayu menemui kesulitan di jalan?” bertanya Gama Manyar 

karena ucapan tadi tidak mendapatkan jawaban. 

 “Memang ada berita buruk empu,” sahut Nawang Suri. Lalu dia menceritakan 

kematian Empu Andiko Pamesworo seperi yang dikatakan Buto Celeng. Tentu saja 

Gama Manyar terkejut mendengar hal ini. dia berusaha keras menahan dan 

membendung air mata agar tidak keluar.“Tidak disangka dia yang lebih muda ternyata mendahuluiku….” Kata sang 

empu perlahan. 

 “Saya berhasil membunuh salah seorang dari mereka. Yang bernama Gagak 

Celeng. Tapi kemudian muncul seorang tua berbelangkon beludru. Dia mengaku 

tokoh atau hulubalang istana tingkat ketiga. Buto Celeng menyebut namanya Sindu 

Kalasan. Bergelar Datuk Tongkat Dari Selatan….” 

 Paras Gama Manyar alias Empu Soka Panaran berubah ketika Nawang Suri 

menyebutkan nama itu. 

 “Apa yang kemudian yang terjadi Den Ayu?” tanyanya degan nada cemas. 

 “Dia hampir saja berhasil merampas Keris Mustiko Geni kalau saja tidak 

muncul seorang penolong…..” 

 “Keris itu, apakah tetap berada padamu?” 

 Nawang Suri mengangguk dan menepuk pinggang pakaiannya di balik mana 

Keris Mustiko Geni tersisip. 

 “Syukur Gusti….” Kata Gama Manyar lega. “Senjata itu bukan saja 

merupakan senjata mustika sakti. Tapi yang paling penting itu adalah pelambang tahta 

kerajaan. Pewaris dan pemegang hanya dialah yang berhak atas tahta, berarti hanya 

dia yang boleh menjadi Raja atau Ratu!” Gama Manyar diam sebentar. Lalu dia 

berkata “Tadi Den Ayu menyebut tentang seorang penolong….” 

 “Ya, dia menyelamatkan Mustiko Geni dari tangan Datuk Tongkat. Sebelum 

saya disuruh pergi masih sempat saya melihat dia menghajar Buto Celeng sampai 

setengah mati….” 

 “Siapakah orang itu Den Ayu? Apakah dia ada meninggalkan nama?” 

 “Seorang pemuda edan berambut gondrong…..” 

 “Pemuda edan…..?” 

 “Katanya namanya Wiro Sableng dan dia pemuda luntang-lantung 

pengangguran dari gunung Gede…..” 

 Mendengar disebutnya nama itu Gama Manyar tertegak dari kursinya dan 

menatap tajam pada Nawang Suri. 

 “Ada apakah empu?” tanya sang dara. Dia agak heran melihat sikap orang tua 

itu. 

 “Wiro Sableng katamu Den Ayu. Benar?” 

 “Benar. Memangnya kenapa empu?” 

 “Ah…ah….ah….” Gama Manyar geleng-gelengkan kepala lalu perlahan-

lahan duduk kembali ke kursinya. “Den Ayu, ketahuilah sebenarnya kau sudah sangat 

beruntung ditolong oleh pemuda itu. Tidak sembarang orang bisa bertemu dengannya 

dan mendapat pertolongannya. Dia memang muncul dan malang melintang secara 

tiba-tiba dan seenaknya….” 

 “Siapa pemuda itu sebenarnya empu?” tanya Nawang Suri. 

 “Dia murid seorang nenek sakti di Gunung Gede. Dia seorang pendekar 

dengan nama besar. Bergelar Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Ilmu silat dan 

kesaktiannya luar biasa. Betapapun tingginya kepandaian Datuk Tongkat, tetap saja 

dia tak bakal menang menghadapi pendekar nomor satu itu.” 

 Karena memang belum pernah nama besar Wiro Sableng maka Nawang Suri 

berkata “Siapapun pemuda itu adanya saya tak suka padanya, empu!” 

 “Eh, kenapa kau berkata begitu Den Ayu? Bukankah dia telah menanam budi 

pertolongan padamu?” 

 “Soal budi pertolongannya yang besar tentu saja saya tak akan melupakan dan 

kelak akan saya balas. Tetapi dia menganggap remeh saya!”“Menganggap remeh bagaimana….?’ Tanya Empu Sok Panaran yang dalam 

penyamarannya telah berganti nama menjadi Gama Manyar. 

 “Dia menyebut saya sebagai gadis ingusan! Keterlaluan!” 

 Si orang tua itu tertawa panjang.”Itu tentu saja karena dia tidak mengetahui 

siapa kau adanya Den Ayu. Seperti katamu tadi, pendekar itu memang suka edan-

edanan. Konyol. Tapi sebenarnya dia adalah seorang berhati polos. Suka menolong. 

Nama besarnya muncul dalam dunia persilatan setelah dia menghancurkan manusia-

manusia dan memusnahkan perserikatan-perserikatan jahat. Menghantam tokoh-tokoh 

silat golongan hitam!” 

 “Apakah dia berada di pihak kita atau bagaimana?” tanya Nawang Suri pula. 

 “Setahuku dia tidak pernah berpihak pada satu golongan. Pegangan hidupnya 

adalah berpihak pada kebenaran dan keadilan….” 

 “Kalau begitu apakah ada kemungkinan kita meminta bantuannya?” 

 “Sulit bagi saya untuk mengatakan ya. Saya tahu betul. Pendekar semacam dia 

sering kali bersikap aneh. Jika dia ingin menolong, dia akan turun tangan tanpa 

diminta. Tapi kalau diminta justru malah belum tetu dilakukannya….” 

 “Jika demikian tak usah kita membicarakannya lebih panjang.” 

 “Den Ayu betul. Sebelum kemari apakah sahabat tuaku Empu Andiko ada 

memberi petunjuk apa yang akan kita lakukan untuk menghancurkan kerajaan dan 

pada akhirnya membunuh Sri Baginda?” 

 Nawang Suri mengangguk. “Sebetulnya cara yang hendak ditempuh itu 

kurang berkenan di hati saya, empu. Namun mengingat kita tidak mempunayi 

kekuatan, tidak memiliki bala tentara dan para pendukung terpecah-pecah serta saling 

berjauhan tanpa ada pimpinan, maka untuk sementara saya bersedia menempuh cara 

itu. pada saatnya nanti tetap kita harus menggalang kekuatan berupa bala tentara….” 

 “Saya mengerti maksud Den Ayu. Dan saya menurut serta setuju sekali. Saya 

telah menghubungi beberapa orang tertentu di Kuto Gede. Tapi selagi masa hangat 

begini rupa, Den Ayu tahu sendiri bagaimana besarnya bahaya menghubungi orang-

orang itu. Karenanya rencana yang sudah kita tetapkan harus terlebih dahulu 

dijalankan…..” 

 “Kapan kita mulai Empu?” 

 “Dua hari lagi Den Ayu. Seorang penting akan datang kemari. Dia adalah 

korban kita yang pertama.” 

 “Siapakah dia empu?” 

 “Pangeran Onto Wiryo. Putera Sri Baginda dari istrinya yang kedua. Saat ini 

dia memegang jabatan Kepala Pasukan Kuto Gede. Ada kabar dia akan diangkat jadi 

Kepala Pasukan Kerajaan…..” 

 Nawang Suri mengusap-usap dagunya yang halus. “Dia memang cukup pantas 

untuk jadi korban pertama….” Katanya perlahan. Jari-jari tangannya tampak terkepal. 

Tanda tekadnya sangat bulat dan kukuh.


DELAPAN 

Siang itu rombongan orang berkuda memasuki halaman rumah Gama Manyar, ahli 

ukir barang-barang perak terkenal di seluruh Kuto Gede. Di depan sekali seorang 

lelaki muda berusia sekitar tiga puluh tahun, berpakaian mentereng, lengkap dengan 

sebilah keris tersisip di pinggang. Lima orang lainnya berpakaian pasukan kerajaan 

bertindak sebagai pengiring dan pengawal. 

 Lelaki muda berpakaian mewah itu turun dari kudanya diikuti oleh lima 

pengawal. 

 “Kalian tunggu di luar sini. Aku tak akan lama…..” kata si lelaki muda. 

Kelima pengirngnya menjura patuh. Dengan langkah besar dan tegap lelaki tadi 

masuk ke dalam rumah. Di pintu depan Gama Manyar keluar menyongsong. 

 “Paman Gama, apakah pesananku tempo hari sudah selesai?” sang tamu 

ajukan pertanyaan. 

 Gama Manyar menjura hormat sebelum menjawab. 

 “Sudah siap Raden. Hanya menurut saya kalau mungkin bisa diberi satu hari 

lagi saya akan memperhalus beberapa bagian yaitu pada bagian sayap dan ekornya. 

Tapi silahkan Pangeran masuk dahulu….” 

 “Ya, ambillah barang itu. Aku perlu melihatnya dahulu!” 

 Gama Manyar memberi jalan pada tamunya lalu menutup pintu kembali. 

 Setelah mempersilahkan sang tamu masuk maka diapun melangkah ke tengah 

ruangan, memanjangkan lehernya ke pintu ruang tengah seraya berseru. 

 “Ratih….! Bawa kemari pesanan Pangeran Onto Wiryo. Beliau sudah datang 

untuk melihatnya….” 

 Pangeran Onto Wiryo hendak menanyakan sesuatu namun mulutnya 

terkancing ketika di pintu ruangan tengah muncul sesosok tubuh yang elok, 

dilengkapi paras cantik jelita mempesona. Kedua bahunya yang tidak tertutup sangat 

halus dan putih, dihias uraian rambut hitam berkilat dan menebar bau harum. Yang 

muncul ini datang membawa sebuah ukiran perak berbentuk seekor burung garuda 

mengembangkan sayap. Di punggung binatang ini duduk dengan sikap gagah seorang 

berpakaian perwira tinggi dengan tangan kanan memegang sebilah tombak. Melihat 

paras perwira pada ukiran perak itu jelaslah mirip Pangeran Onto Wiryo, sang tamu. 

 Sepasang mata sang pangeran tidak tertuju pada ukiran burung garuda dan 

patung dirinya di atas punggung binatang itu, tetapi tertancap pada sang dara yang 

membawanya. 

 “Ratih….” Kata Gama Manyar. “Ini Pangeran Onto Wiryo. Kepala pasukan 

Kotaraja. Beri hormat padanya…..” 

 Sang dara yang dipanggil dengan nama Ratih, yang bukan lain adalah Nawang 

Suri membungkuk dalam-dalam. Ketika hendak mengambil sikap duduk di lantai, 

sang pangeran yang sejak tadi terpana terpesona cepat membungkuk, memegang 

bahunya dan menyuruhnya berdiri kembali. Ketika Pangeran Onto Wiryo berpaling 

pada Gama Manyar, orang tua ini segera maklum akan arti pandangan itu. maka 

diapun memberi keterangan. 

 “Harap maafkan Pangeran. Saya tak pernah menerangkan kalau saya masih 

memiliki seorang anak keponakan. Dia baru saja datang dari pantai utara. Saat ini dia 

hidup sebatang kara. Kedua orang tuanya dan seorang adik lelakinya menemui ajal 

sebulan yang lalu akibat gunung longsor. Itulah sebabnya saya memintanya datang 

kemari dan tinggal di sini sambil membantu pekerjaan saya….”Pangeran Onto Wiryo mengangguk-angguk. Kedua matanya hampir tak 

berkesip. 

 “Apakah Pangeran tidak hendak melihat dulu ukiran itu….?’ 

 Sang pangeran yang hampir terlupa akan maksud kedatangannya ke tempat itu 

seperti tersentak lalu cepat-cepat mengambil ukiran perak dari tangan Ratih. Sewaktu 

mengambil benda itu, Gama Manyar jelas melihat bagaimana jari-jari tangan sang 

pangeran sengaja mengelus jari-jari Nawang Suri. 

 Pangeran Onto Wiryo memperhatikan ukiran burung garuda dan dirinya hanya 

sebentar saja. 

 “Bagus! Sangat bagus! Tak perlu diperhatikan lagi paman Gama! Aku cukup 

senang menerimanya!” Lalu mata sang pangeran kembali mengerling Ratih. Sesaat 

kemudian dia berkata “Paman Gama, aku ingin berbicara sesuatu denganmu….” 

 Orang tua juru ukir sudah maklum maksud sang pangeran. Dia memberi 

isyarat pada Nawang Suri sambil berkata “Masuklah Ratih….” 

 Ratih menjura hormat pada sang pangeran lalu cepat-cepat masuk ke dalam.

 “Paman Gama, kau yakin keponakanmu itu belum bersuami. Betul?” 

 “Betul pangeran…..” 

 “Bagus! Kalau begitu tak ada halangan bagiku untuk mengambilnya jadi 

istri…..!” 

 Gama Manyar tempak terkejut. Walau ini sebenarnya lebih merupakan satu 

kepura-puraan belaka. 

 “Pangeran bergurau agaknya…..” 

 “Aku tidak bergurau paman!” 

 Orang tua itu tertawa. “Dengar pangeran. Keponakanku hanya seorang 

turunan rakyat jelata. Bahkan tidak berayah dan tidak beribu lagi. Mana pantas 

dirinya dijadikan istri pangeran?” 

 “Soal pantas atau tidak bukan urusan. Lagi pula bagiku itu merupakan hal 

yang pantas. Lebih dari pantas. Terus terang baru sekali ini aku melihat gadis secantik 

dia…..” 

 “Ah, pengeran baru sekali ini saja melihatnya. Belum tentu dia bisa menjadi 

istri yang baik…..” 

 “Paman….” Kata Pangeran Onto Wiryo. “Sebagai seorang perajurit mataku 

sangat tajam. Aku tahu dan yakin sekali, keponakanmu itu seorang yang baik. 

Katakan padanya aku akan mengambilnya jadi istri!” 

 “Secepat itukah pangeran?” 

 “Lebih cepat lebih baik!” 

 “Ah, saya tak berani mengatakan pada Ratih…..” ujar Gama Manyar lalu 

pura-pura termenung. 

 “Jika begitu biar aku yang bilang padanya!” 

 “Pangeran terlalu mendesak. Berilah waktu dua hari pada saya. Di saat yang 

baik akan saya sampaikan pada gadis itu maksud pangeran…..” 

 “Dua hari terlalu lama. Satu hari saja! Besok, siang seperti ini aku akan datang 

lagi kemari….” Dari dalam sabuk besar di pinggangnya Pangeran Onto Wiryo 

mengeluarkan empat keping mata uang perak dan menyerahkannya pada si orang tua. 

“Ini untuk pembayar ukiran…..” 

 “Tapi ongkosnya hanya dua keping uang perak pangeran.” 

 “Aku tahu. Yang dua keping adalah sekedar pemberian dariku.” 

 “Terima kasih. Pangeran baik sekali….” 

 “Nah, aku pergi sekarang. Ingat paman Gama. Besok siang aku akan datang 

lagi kemari….“Sebelum pangeran pergi saya ada beberapa permintaan…..” 

 “Ah, katakanlah. Kau ingin pinjam uang atau apa?” 

 Si orang tua mengeleng. “Permintaan saya, apakah pangeran bisa datang 

besok seorang diri saja?” 

 “Tentu ! kenapa harus begitu paman?” tanya Pangeran Onto Wiryo. 

 “Saya tak ingin orang lain ikut tahu akan maksud pangeran…..” 

 “Itu soal mudah. Aku akan datang sendiri ke mari. Tanpa pengawal. Kalau 

perlu dengan pakaian biasa!” 

 “Itu lebih baik pangeran. Ketahuilah, sebenarnya Ratih sudah pernah 

dicalonkan oleh kedua orang tuanya dengan seorang pemuda di Kemukus…..” 

 “Lupakan pemuda itu paman. Aku ini jelas sejuta kali lebih baik dari dia…..” 

 “Saya tahu pangeran. Satu lagi, tentunya kalau nanti Pangeran jadi mengawini 

keponakan saya, urusan dengan dua istri pangeran yang sekarang janganlah sampai 

menjadi pangkal silang sengketa di antara keluarga.” 

 “Ha….ha…..ha…..! Sampai berapa aku punya istri tak ada yang bisa ikut 

campur. Baik Sri Baginda, apalagi kedua istriku …..” 

 “Kalau bagitu senang hati saya mendengarnya,” kata Gama Manyar pula lalu 

mengantarkan Pangeran Onto Wiryo sampai di pintu pagar halaman.


SEMBILAN 

Keesokan harinya, tepat pada saat sang surya mencapai titik tertingginya di atas 

bumi, Kepala Pasukan Kotaraja Pangeran Onto Wiryo muncul di rumah juru ukir 

Gama Manyar. Sesuai permintaan si orang tua, Pangeran ini datang berkuda seorang 

diri dan tidak mengenakan pakaian keperwiraan. 

 “Paman Gama, aku sudah datang. Mana keponakanmu. Tentunya saat ini aku 

akan menerima berita menggembirakan!” kata Pangean Onto Wiryo begitu 

berhadapan dengan Gama Manyar. 

 “Tak lama setelah pangeran pergi hari kemarin, saya telah menemui Ratih dan 

menceritakan apa yang menjadi maksud pangeran. Dia tidak memberikan kata putus. 

Tapi percayalah pangeran, Ratih pasti bersedia menjadi istri pangeran. Hanya saja 

katanya dia ingin bicara langsung dengan pangeran…..” 

 “Kalau begitu panggil dia kemari agar segala pembicaraan dapat dilakukan 

secara cepat,” kata Pangeran Onto Wiryo pula penuh tidak sabar. 

 “Gadis itu tidak ada di sini,” menjelaskan Gama Manyar. 

 Kedua mata Pangeran Onto Wiryo membesar dan alisnya naik terjungkat. 

“Apa maksudmu Paman? Keponakanmu tak ada di sini?’ 

 “Betul…. Menjelang siang tadi dia pergi ke telaga Tegal Parang di timur Kuto 

Gede. Dia menunggu di sana dan berpesan agar pangeran datang menemuinya di situ. 

Dia sengaja memilih tempat tersebut karena bisa bicara bebas. Tak ada yang melihat, 

tak ada yang mendengar…..Apakah pangeran berkenan datang ke situ menemuinya?” 

 Pangeran Onto Wiryo tertawa lebar. 

 “Tentu saja! Tentu saja aku akan menemuinya di telaga itu!” jawabnya. Lalu 

tanpa menunggu lebih lama dia cepat-cepat meninggalkan rumah Gama Manyar, 

membedal kudanya kencang-kencang menuju ke timur. 

 Tegal Parang merupakan sebuah telaga kecil tetapi dalam. Di sekelilingnya 

terdapat batu-batu besar berwarna hitam, lali pohon-pohon tinggi berdaun lebat. 

Daun-daun yang aneka warna dari pepohonan memantul ke dalam air hingga air 

telaga itu terlihat seperti berwarna-warni. 

 Ketika sampai di sana, Pangeran Onto Wiryo segera melihat sesosok tubuh 

yang elok duduk di atas sebuah batu, membelakanginya. Pengeran ini melompat turun 

dari kudanya, langsung mendapatkan perempuan yag duduk di atas batu. 

 “Sudah lamakah kau menungguku di sini Ratih…..?” pangeran menegur. 

 Orang di atas baru yang memang adalah Ratih alias Nawang Suri menjura 

hormat, namun dia tidak turun dari batu besar itu. Pangeran Onto Wiryo ikut duduk di 

atas batu, dekat sekali dengan Ratih hingga dia dapat mencium bau harum yang 

keluar dan menebar dari tubuh serta rambut sang dara. 

 “Indah sekali pemandangan di telaga ini,” kata sang pangeran. 

 “Apakah pangeran sering datang kemari?” tanya Ratih. 

 “Aku sering lewat di sekitar sini namun tak pernah mampir, apalagi duduk-

duduk di batu seperti saat ini…” 

 “Apakah pangeran tidak marah karena berlancang diri menyuruh pangeran 

datang kemari?” 

 “Kalau aku marah, aku tak akan datang. Lagi pula yang akan kutemui adalah 

calon istriku sendiri!” 

 Ratih tersenyum, membuat sang pangeran tambah mabuk kepayang. “Jadi 

pangeran rasa pasti kalau saya suka dan bersedia menjadi istri pangeran yang ketiga

“Aku merasa pasti. Eh, memang kenapa sampai kau bertanya begitu? 

Mungkin….?” Pangeran Onto Wiryo merasa tak enak. Matanya memandang tak 

berkedip lalu tangannya menjamah bahu putih halus Ratih. 

 Kembali sang dara tersenyum. “Saya ingin memperlihatkan sesuatu. 

Bolehkan…..?’ 

 “Tentu, tentu saja. Apa ang ingin kau perlihatkan Ratih?” mendadak saja 

darah sang pangeran terasa panas dan dadanya berdebar. Tangannya yang memegang 

bahu turun mengusap bagian bawah leher Ratih. 

Tangan kanan Ratih saat itu turun ke pinggang memegang setagennya, makin 

keras debar jantung sang pangeran. Gadis ini hendak membuka pakaiannya. 

Lalu…..ingin memperlihatkan auratnya? Namun Ratih sama sekali tidak membuka 

gulungan setagen itu dia mengeluarkan sebilah keris. Lalu diperlihatkan pada 

Pangeran Onto Wiryo seraya bertanya “Tahukah pangeran, apa yang ada di tangan 

saya ini?” 

 “Keris! Sebilah keris!” sahut Pangeran Onto Wiryo. 

 “Maksudnya saya keris apa? Biasanya setiap senjata itu selalu diberi 

nama…..dapatkah pangeran menerangkannya?” 

 Pangeran Onto Wiryo memang pernah mendengar tentang Keris Mustiko Geni. 

Tapi seumur hidup dia belum pernah melihatnya. Karenanya tentu saja diatak tahu 

nama keris yang diperihatkan Ratih. 

 “Sulit bagiku menerka keris itu. Apakah itu penting? Dan ada hubungannya 

dengan maksudku mengambilmu jadi istri?” 

 “Betul sekali pangeran. Senjata ini ada hubungannya dengan maksud pangeran 

itu….” 

 “Kau….kau akan memberikannya padaku atau bagaimana?” tanya Pangeran 

Onto Wiryo. Makin lama makin tak mengerti dia apa yang sedang dituju oleh gadis 

jelita itu. 

 “Apakah pangeran ingin memilikinya?’ bertanya Ratih. 

 “Ah….kau baik sekali. Aku benar-benar sangat terkesan akan sifat pribadi 

dirimu, Ratih. Tapi aku tak menginginkan keris itu. aku menginginkan dirimu…..” 

jari-jari tanan sang pangeran yang mengelus-elus leher sang dara bergerak turun, 

menyapu di bagian dada yang membusung lembut. 

 “Pangeran belum melihat badan keris ini. Akan saya perlihatkan pada 

pangeran,” kata Ratih lalu perlahan-lahan mencabut keris Mustiko Geni dari 

sarungnya. 

 Begitu keris keluar dari sarangnya, sinar merah memancar menyilaukan dan 

hawa panas membersit membuat Pangeran Onto Wiryo terkesiap dan bergerak 

mundur, menatap senjata itu dengan pandangan kagum. 

 “Senjata luar biasa!” katanya memuji. Ini pasti senjata sakti…..” 

 “Benar pangeran. Ini memang senjata sakti. Dan akan saya buktikan 

kesaktiannya!” selesai berkata begitu, tiba-tiba Ratih alias Nawang Suri menusukkan 

Keris Mustika Geni ke dada Pangeran Onto Wiryo. Pangeran ini berseru kaget dan 

cepat menepis dengan tangan kanannya. Meskipun dia dapat menyelamatkan dada 

namun lengannya tersayat dalam. Darah mengucur deras. Hawa sangat panas seperti 

memenggang tubuhnya. Pangeran ini menjerit kesakitan. Kulit tubuhnya perlahan-

lahan tampak menghitam. Pakaiannya berubah kecoklatan seperti hangus. Pangeran 

Onto Wiryo menjerit terus. Karena tak sanggup lagi menahan hawa panas yang 

membakar tubuhnya, dia lari menceburkan diri ke dalam telaga Tegal Parang. Namun 

air telaga yang sejuk itu tak dapat melenyapkan hawa panas tersebut. Tubuh sang 

pangeran nempak menggeliat. Tangan dan kakinya melejang-lejang. Asap mengepuldari tubuh itu tak beda sebuah benda panas dicelupkan ke dalam air. Tak lama 

kemudian tubuh itu tak bergerak lagi dan perlahan-lahan tenggelam lenyap dari 

permukaan telaga. 

 Ratih alias Nawang Suri jatuhkan diri, berlutut di tepi telaga seraya 

mengacungkan Keris Mustiko Geni yang masih terbungkus darah. Dari mulutmya 

terdengar ucapan. 

 “Ayah…..ibu! Korban pertama jatuh sudah! Doakan agar anakmu dapat 

melanjutkan pembalasan agar sakit hati dan dendam berkesumat terbalaskan. Agar 

tahta Kerajaan kembali ke tangan kita……” 

 Masih ada beberapa patah kata lagi sebenarnya akan diucapkan gadis itu. 

namun telinganya yang tajam mendengar suara semak belukar terkuat, disusul oleh 

langkah-langkah kaki datang mendekat. Nawang Suri melompat bangkit dan 

membalik. Keris Mustiko Geni siap di tangan. 

 “Kau!” seru gadis itu ketika melihat siapa yang tegak di depannya. 

 “Kau juga!” balas orang yang barusan datang. “Apa yang kau perbuat di 

sini…..?’ 

 “Kau tak layak bertanya yang bukan urusanmu!” Dalam hatinya Nawang Suri 

bertanya-tanya apakah pemuda di hadapannya itu tahu atau menyaksikan apa yang 

terjadi. 

 “Kau betul. Aku tak layak mencampuri urusanmu. Hanya saja tadi aku 

mendengar suara orang menjerit-jerit….. dari arah sekitar sini.” 

 “Mungkin hanya pendengaranmu yang menipu diri sendiri. Tak ada yang 

menjerit di sini. Barangkali juga suara setan yang kau dengar. Lagi pula bukankah kau 

sendiri mengaku berotak miring. Jadi apapu yang kau dengar hanya perasaan belaka!” 

 Pemuda di hadapan Nawang Suri yang bukan lain adalah Wiro Sableng 

tertawa bergelak. 

 “Ya, beginilah nasib orang sableng. Tapi aku melihat darah di keris mustika 

itu. Eh, kau masih saja main-main dengan benda itu. Bukankah sudah kukatakan agar 

disimpan baik-baik…..?” 

 Nawang Suri memasukkan Keris Mustiko Geni ke dalam sarungnya tanpa 

membersihkan noda darah. Lalu menyimpannya di balik setagen. 

 “Nah, sudah kusimpan!” katanya. “Sekarang kau pergilah dari sini. Antara kita 

tidak ada apa-apa lagi!” 

 “Eh, mentang-mentang kau kini berdandan dan berpakaian cantik bagus…..” 

 Nawang Suri tak lagi mengacuhkan Wiro. Dia melangkah ke balik serumpun 

semak belukar. Dari balik semak-semak ini dia mengambil sebuah buntalan. Dari 

buntalan dikeluarkannya sehelai pakaian dan celana putih, juga sehelai sapu tangan 

besar berwarna putih yang biasa dipakai untuk ikatan atau penutup kepala. Dengan 

cepat Nawang Suri mengenakan pakaian putih itu. Lalu menyingsingkan kainnya 

tinggi-tinggi sehinga kakinya sampai sebatas pertengahan paha terlihat jelas dan 

membuat sepasang mata Wiro Sableng terbuka lebar-lebar menyaksikan 

pemandangan ini. Sebaliknya seperti tak acuh Nawang Suri terus saja mengenakan 

celana panjang putih. Selesai berpakaian dia menutupi kepalanya dengan sapu tangan. 

Lalu dari kantong baju putih diambilnya sebuah kumis palsu, langsung dipasangnya 

di bawah hidung. 

 Sambil garuk-garuk kepala Wiro Sableng berkata “Kau ini mestinya seorang 

pemain sandiwara yang cekatan!” 

 “Dengar sableng…..!” kata Nawang Suri. Sikapnya tegas tapi justru membuat 

Wiro tak dapat menahan tawa. “Aku akan meninggalkan tempat ini. Awas kalau kau 

berani mengikuti!“Kau benar-benar gadis aneh! Apa arti semua ini……?!” tanya Wiro. 

Tapi dia tak mendapat jawaban. Sang dara berkelebat dan lenyap di balik belukar 

tinggi. Ketika Wiro bergerak hendak mengejar, sebuah benda laksana anak panah 

melesat menyambar ke arah kepalanya. Cepat-cepat pendekar ini merunduk 

selamatkan diri. Benda itu ternyata patahan sebuah ranting kayu. 

 “Gadis aneh tapi nekad!” desis Wiro.


SEPULUH 

Hari pertama lenyapnya Pangeran Onto Wiryo mulai mendatangkan keresahan di 

kalangan istana, termasuk Sri Baginda, Kepala Pasukan Kerajaan dan tentu saja anak 

istrinya. Siang hari kedua ketika sang pangeran masih juga belum muncul, keresahan 

itu berubah menjadi kecurigaan. Jangan-jangan sesuatu telah terjadi dengan dirinya. 

Lalu hal ini dihubungkan dengan keadaan kerajaan yang masih belum aman karena 

diketahui ada kelompok-kelompok pemberontak yang berusaha menimbulkan 

kekacauan. Sembilan kelompok pasukan segera dibentuk untuk melakukan pencarian. 

Pagi hari ketiga mayat pangeran Onto Wiryo diketemukan terapung di telaga Tegal 

Parang. Kotaraja dan seluruh kerajaan menjadi gempar. 

 Mayat sang pangeran ditemukan dalam keadaan rusak menggembung namun 

masih dapat dikenali. Apalagi di tepi telaga kemudian ditemukan pula kuda 

tunggangannya. Yang menjadi pertanyaan mengapa saat itu Pangeran Onto Wiryo 

hanya mengenakan pakaian biasa. Lalu bekas luka pada tangannya menguatkan 

dugaan bahwa pangeran ini menemui ajal bukan karena kecelakaan biasa, tapi 

seseorang telah membunuhnya, lalu melemparkan mayatnya ke dalam telaga. 

Kerajaan berkabung selama dua minggu! 

 Sebelum jenazah dimakamkan keesokan harinya, terlebih dahulu 

disemayamkan di pendopo besar istana. Ratusan pejabat tinggi kerajaan termasuk 

para adipati dari berbagai penjuru datang melayat. Bahkan di bawah penjagaan ketat 

rakyat jelata juga diberikan kesempatan untuk menyatakan rasa duka cita mereka. 

Sementara itu para pimpinan pasukan dibantu oleh tokoh-tokoh silat istana secara 

diam-diam melakuan penyelidikan sebab musabab kematian Pangeran Onto Wiryo. 

 Larut malam sebelum Sri Baginda masuk ke peraduannya Patih Kerajaan 

diminta datang menghadap. Sesuai dengan suasana yang dihadapi sang patih menduga 

bahwa pemanggilan itu tentu saja ada seluk beluknya dengan upacara pemakaman 

besok. Namun alangkah terkejutnya patih ini karena Sri Baginda hanya bicara sedikit, 

lalu menanyakan sesuatu. 

 “Paman Patih, sewaktu orang banyak diberi kesempatan melayat, aku melihat 

seorang tua berpakaian serba putih, yang kukenal dengan nama Gama Manyar. Ahli 

ukir barang-barang perak. Apakah kau melihatnya siang tadi…..?’ 

 Patih Wulung Kerso yang sudah berusia lanjut mengangguk. “Tentu saja saya 

melihatnya, Sri Baginda.” 

 “Apakah kau juga melihat gadis berparas cantik yang datang bersamanya?’ 

tanya Sri Baginda lagi. 

 “Ya, saya melihat gadis itu.” 

 “Siapakah gadis itu Paman Patih?” 

 “Tak sempat saya selidiki. Kehadirannya memang menarik banyak perhatian 

karena kejelitaan parasnya dan kehalusan kulitnya. Apakah Sri Baginda menaruh 

kecurigaan terhadap gadis itu atau terhadap Gama Manyar?” 

 Raja tersenyum dan mengusap-usap dagunya yang ditumbuhi bulu-bulu kasar. 

“Jauh dari itu paman. Baru kali ini aku melihat perawan secantik itu. Kurasa dia 

merupakan perempuan tercantik di seluruh kerajaan….. Apa pendapatmu Paman?” 

 “Saya rasa begitu Sri Baginda,” menjawa sang patih. 

 “Aku ingin menambah perbendaharaan isi keputren.” 

 Mendengar kata-kata sang raja, Patih Wulung Kerso angkat kepala. Kini dia 

tahu apa sebenarnya maksud Sri Baginda memanggilnya. Sungguh tidak habis pikirpatih tua ini. Dalam suasana berkabung begitu rupa, malah jenazah Pangeran Onto 

Wiryo masih belum dimakamkan, sang ayah, Raja di kerajaan itu telah memikirkan 

bahkan tertarik pada seorang gadis dan bermaksud mengawininya. Dunia hampir 

kiamat agaknya! 

 “Kenapa kau terdiam Paman Patih?” Sri Baginda bertanya. 

 “Ah….. Saya perlu petunjuk lebih lanjut Sri Baginda.” Kata Patih Wulung 

Kerso. 

 “Aku ingin mengambil gadis itu. Apa kau masih belum jelas?” 

 “Sebagai istri atau gundik, Sri Baginda?” 

 Raja tertawa lebar. “Menurutmu bagaimana?” 

 “Sebagai istri tentu saja tidak mungkin. Karena maaf Sri Baginda. Sri Baginda 

sudah punya empat istri. Berarti sebagai gundik saja…..” 

 “Bagus kalau kau mengerti begitu. Sekarang kau kutugaskan untuk 

emnghubungi Gama Manyar, menyelidiki siapa adanya gadis itu dan sekaligus 

mengatakan maksudku mengambilnya sebagai gundik……” 

 “Saya akan melakukannya Sri Baginda. Namun harap maaf mengingat kita 

masih dalam suasana berkabung, apa maksud itu tidak bisa ditunda sampai empat 

belas hari?’ 

 “Empat belas hari terlalu lama Paman patih. Besok selesai upacara 

pemakaman kau utus seseorang untuk memanggil Gama Manyar dan sampaikan 

maksudku. Katakan pada orang tua itu, apapun hubungan gadis itu dengan dirinya itu 

satu kehormatan baginya. Kelak dia akan kuangkat jadi juru ukir istana. Berarti dia 

akan menerima sejumlah tunjangan setiap bulan dari istana…..” 

 “Kalau begitu titah Baginda, saya akan melaksanakannya. Saya mohon diri. 

Hari hampir pagi……” 

 Sebagai seorang patih ternyata Wulung Kerso bukan seorang yang bisa 

menahan rahasia. Maksud Sri Baginda hendak mengambil gadis yang datang bersama 

Gama Manyar sebagai gundik dituturkannya pada beberapa pejabat istana. Salah 

seoerang yang akhirnya mengetahui hal itu adalah Sindu Kalasan, tokoh silat yang 

dikenal dengan gelar Datuk Tongkat Dari Selatan. 

 “Sebagai seorang Raja tentu saja Sri Baginda bisa berbuat begitu,” kata Datuk 

Tongkat berbisik-bisik pada Patih Wulung Kerso. Saat itu mereka bersama yang lain-

lainnya berada di pendopo di mana jenazah Pangeran Onto Wiryo bafu saja selesai 

dimandikan. “Hanya, apakah tidak perlu asal usul gadis itu diselidiki lebih dulu?” 

 “Seharusnya memang demikian. Namun mengingat dia datang bersama Gama 

Manyar, orang tua yang termasuk dalam daftar bersih, maka hal itu rasanya bisa 

dilupakan. Hanya menurutku waktunya yang kurang tepat. Terlalu tergesa-gesa 

memikirkan gundik jelita. Padahal puteranya dikuburpun belum!” 

 Datuk Tongkat hanya tersenyum kecil mendengar kata-kata sang patih. 

Sebentar-sebentar dia meraba pinggangnya. 

 “Kelihatannya kau kurang sehat……” 

 “Sakit pinggangku kambuh lagi,” jawab sang datuk. Padahal rasa sakit di 

pinggangnya itu adalah bekas hantaman pukulan Wiro Sableng beberapa hari lalu. 

Setelah berpikir-pikir sejenak Datuk Tongkat berkata “Terus terang gadis itu memang 

cantik sekali. Kulitnya halus luar biasa. Rambutnya yang hitam tebal dan panjang 

membuat mata lelaki tak bisa lepas dari memandangi wajah dan auratnya. Tak salah 

kalau Sri Baginda sangat terpikat. Aku rasa-rasanya pernah melihat gadis itu 

sebelumnya. Tapi sulit kuingat di mana dan kapan…Patih Wulung Kerso menepuk-nepuk bahu sang datuk seraya berkata “Itu 

hanya rasa-rasamu Datuk. Begitu sifat lelaki jika melihat perempuan cantik. Aku 

kawatir kaupun terpikat…..” 

 “Kau betul. Tapi siapa yang berani bersaing dengan Sri Baginda?’ 

 

 Menjelang rembang petang setelah siangnya dilakukan pemakaman jenazah 

Pangeran Onto Wiryo, seorang utusan Ptih Kerajaan datang ke tempat kediaman juru 

ukir Gama Manyar. 

 “Pak juru ukir, kau diminta datang menghadap Patih Wulung Kerso sekarang 

juga,” sang utusan menyampaikan pesan. Diam-diam Nawang Suri ikut 

mendengarkan pembicaraan dari ruangan sebelah. 

 “Jika Patih Kerajaan menyuruh menghadap pasti ada sesuatu yang penting. 

Mungkin menyangkut soal ukir-mengukir. Apakah sebagai utusan kau mengetahui 

maksud Patih Kerajaan memanggilku?” bertanya Gama Manyar. Baginya 

pemanggilan dirinya hanya berarti dua. Dirinya dicurigai. Atau jeratnya sewaktu 

membawa Nawang Suri melayat ke istana sudah tepat mengenai diri Sri Baginda yang 

diketahuinya memang seorang lelaki mata keranjang. 

 “Saya hanya seorang suruhan pak juru ukir. Mana saya tahu maksud Patih. 

Harap bapak ikut saya sekarang. Kereta sudah disiapkan di luar……” 

 “Kereta?” membatin Gama Manyar. “Hmmmmm……. Kalau begitu mungkin 

sekali jeratku sudah mengena. Jika bukan untuk satu berita yang kutunggu-tunggu 

mana mungkin patih mengirimkan keret untuk menghormatiku. Jika aku dicurigai 

pasti serombongan pasukan sudah mengurung rumah ini!” 

 Gama Manyar menganggukkan kepala pada utusan yang datang. “Baiklah, 

sebelum pergi aku akan memberitahukan keponakanku dulu,” katanya. 

 Beberapa saat sebelum matahari terbenam, Gama manyar kembali, diantar 

dengan sebuah kereta. Begitu masuk ke rumah, Nawan Suri langusng menemuinya. Si 

orang tua mengintai dari balik jendela. Setelah memastikan orang yang tadi 

mengantarnya telah pergi jauh baru dia membalik dan berkata “Sungguh tidak 

kusangka. Rencana kita akan terlaksana lebih cepat dari yang diduga. Jerat yang kita 

pasang telah mengena!” 

 “Apa yang telah terjadi Empu?” 

 “Sri Baginda melihat Den Ayu sewaktu melayat kemarin. Tadi sore Patih 

Wulung Kerso meminta saya menghadap. Memberi tahu kalau Sri Baginda telah 

memutuskan mengambil Den Ayu sebagai gundiknya……” 

 “Kalau begitu kita harus menyusun rencana lebih terperinci. Pertama 

mengatur saat yang tepat kapan saya harus membunuh Raja. Lalu kapan orang-orang 

kita menyerbu istana mengambil alih kekuasaan……” Nawang Suri nampak sangat 

bersemangat. 

 “Karena waktu hanya sedikit, kita harus bertindak cepat Den Ayu. Malam ini 

juga saya akan menemui orang-orang kita di Susukan. Sri Baginda akan memboyong 

Den Ayu ke istana dua hari di muka. Pada malam pertama dia memasuki kamar Den 

Ayu, itulah saatnya dia harus dibunuh. Saya nanti akan membuatkan peta istana 

hingga Den Ayu bisa mudah menyelinap melarikan diri. Menjelang pagi Den Ayu 

sudah harus muncul kembali memimpin orang-orang kita merebut istana…..” 

 “Bagaimana dengan tugas juru masak rahasia? Apakah dia mampu 

menyiapkan racun untuk tokoh-tokoh istana?”“Orang kita yang satu ini tampaknya penggugup. Saya sudah menarik dia dari 

istana sebelum kedoknya terbuka. Berarti kita tetap mulai dengan membunuh Raja 

lebih dulu.” 

 “Pasukan yang akan menyerbu istana. Apakah jumlahnya cukup kuat?” 

 “Jumlah pasukan kita memang tidak besar Den Ayu. Namun unsur dadakan 

selagi mereka berada dalam suasana geger akibat kematian Raja membuat kita 

berpeluang besar untuk mengambil alih kekuasaan….” 

 “Kalau begitu empu segera saja berangkat ke Susukan.” 

 “Memang saya akan segera berangkat saat ini juga. Menurut Patih Wulung 

Kerso, atas kehendak Raja dia akan mengirim beberapa orang petugas untuk menjaga 

rumah dan sekitarnya malam ini. Saya pergi sekarang Den Ayu….” 

 “Baik empu. Hati-hatilah….” Kata Nawang Suri. Secepatnya orang tua itu 

keluar, dia segera menutup pintu. Di dalam kamarnya Nawang Suri mengambil Keris 

Mustiko Geni danmencabut senjata ini dari sarungnya. Sinar merah menerangi kamar. 

“Keris sakti, kau akan mendapat tugas besar. Setelah itu kau akan kembali menjadi 

lambang dan tumbal tahta kerajaan!” 

 Gadis itu cepat sarungkan senjata mustika itu kembali ketika di luar 

didengarnya suara derap kaki-kaki kuda mendatangi. Tak lama kemudian terdengar 

suara ketukan di pintu. Nawang Suri menyelipkan Mustiko Geni di pinggang lalu 

keluar dari kamar. 

 Ketika pintu depan dibuka, sesosok tubuh tinggi besar tegak di hadapan 

Nawang Suri. Orang ini langsung menjura hormat dan dengan kepala agak tertunduk 

dia berkata. 

 “Gusti Ayu…. Saya diperintahkan Patih Kerajaan untuk memimpin penjagaan 

di sini malam ini. Saya Buto Celeng, datang bersama dua orang bawahan….” 

 Selesai berkata begitu baru orang tersebut mengangkat kepalanya. Setelah 

jelas-jelas dia melihat wajah gadis di hadapannya maka Buto Celeng berseru kaget 

seraya mundur “Bukankah….. bukankah gusti ayu…. Kau….! Kau gadis 

pemberontak malam itu! Kau Nawang Suri…..!” 

 Kata-kata Buto Celeng hanya sampai di situ. Pada detik Buto Celeng 

mengetahui siapa dirinya, Nawang Suri mencabut Mustiko Geni dan secepat kilat 

menusukkannya ke dada kiri tokoh silat istana kelas tiga itu. dua orang perajurit yang 

ikut bersama Buto Celeng dan berada di tangga rumah tentu saja terkejut 

menyaksikan kejadian itu. Keduanya melompati tangga memburu. Namun merekapun 

disambut dengan tusukan-tusukan senjata sakti hingga menemui ajal menyusul Buto 

Celeng. Mayat ketiga orang itu dinaikkan ke atas kuda tunggangan masing-masing. 

Setelah berganti pakaian Nawang Suri menunggu sampai malam turun lebih gelap, 

lalu dalam kegelapan malam tiga kuda bersama tiga mayat itu dibawanya ke arah 

timur di mana terdapat sebuah jurang di tepi belantara. 

 Sebelum Buto Celeng dilemparkannya ke dalam jurang ersama mayat dua 

perajurit itu, Nawang Suri menyelipkan sepucuk kertas ke dalam saku pakaian Buto 

Celeng. Dengan seringai puas gadis ini kemudian tinggalkan tempat itu. Di kejauhan 

terdengar suara anjing melolong. Dinginnya udara mulai menucucuk persendian.


SEBELAS 

Ketika malam itu Patih Wulung Kerso melaporkan pada Sri Baginda bahwa 

seorang pencari kayu menemukan mayat Buto Celeng dan dua perajurit di dalam 

jurang di tepi hutan belantara Jatilameh, sang raja tampaknya tak begitu tertarik. Dia 

yang sedang kasmaran malah menanyakan keadaan Ratih calon gundiknya itu. 

sewaktu diberitahu Ratih tak kurang suatu apa, Sri Baginda tertawa cerah. 

 “Syukur calon gundikku itu berada dalam keadaan baik-baik. Kuharap agar 

kau mengatur membawanya malam ini juga ke istana…..” 

 “Sri Baginda,” ujar Wulung Kerso. “Apakah itu tidak terlalu cepat? Kita 

masih belum menujuh hari atas berpulangnya putera Sri Baginda Pangeran Onto 

Wiryo…..” 

 “Soal gundikku dan puteraku tak ada sangkut pautnya. Lakukan apa yang 

kuperintahkan. Atau kau ingin membantah Paman Patih?” 

 “Maafkan saya Sri Baginda. Bukan maksud saya berani membantah. Saya 

hanya menyampaikan sesuatu yang saya rasa baik. Saya hanya menurut perintah. 

Bagaimana dengan mayat Buto Celeng dan dua perajurit itu……?” 

 “Bagaimana apa lagi? Urus penguburannya. Habis perkara. Kurasa mereka 

bertiga berkeluyuran malam tadi. Bukannya berjaga-jaga di rumah Gama 

Manyar……” 

 “Menurut Den Ayu Ratih mereka tak pernah sampai ke rumahnya…..” 

 “Jelas itu satu bukti lagi. Mereka keluyuran. Dihadang para pemberontak yang 

menyelinap ke dalam Kotaraja dan dibunuh!” 

 “Mungkin begitu Sri Baginda. Namun orang-orang kita masih terus 

melakukan penyelidikan apa sebenarnya yang terjadi. Ada sesuatu ditemukan dalam 

saku pakaian Buto Celeng.” 

 “Sesuatu apa?” 

 “Sepucuk surat. Agaknya dalam istana banyak musuh dalam selimut. Untuk 

jelasnya silahkan Sri Baginda membaca surat yang ditemukan dalam saku Buto 

Celeng ini…..” Lalu Patih Wulung Kerso menyerahkan sepucuk surat yang sudah 

lecak dan kotor. 

 

Mendapatkan dimas Sindu Kalasan. 

 Dengan tewasnya Empu Andiko Pamesworo kekuatan kita jelas berkurang. 

Karenanya kita harus bergerak cepat sesuai dengan rencana. Sebelum aku mati, aku 

ingin Raja perampas tahta kerajaan itu menemui ajalnya. Harap dimas segera 

menghubungi orang-orang kita untuk menentukan hari penyerbuan. Jangan lupa 

mencari tambahan kekuatan baru, terutama dari pihak tokoh-tokoh silat istana. 

Jabatan patih tetap menjadi bagian dimas kelak 

 Tertanda 

 Resi Mulyorejo. 

 Kedua mata Sri Baginda terbelalak dan memandang tak berkedip pada 

Wulung Kerso. 

 “Jadi……Jadi….”“Sri Baginda sudah membaca semua. Saya tinggal menunggu perintah…..” 

kata Patih Wulung Kerso ketika melihat Sri Baginda gagap dan merah wajahnya. 

 “Panggil hulubalang pertama dan kedua. Bawa dua lusin perajurit! Tangkap 

keparat itu sekarang juga. Dan besok pagi gantung dia di alun-alun agar semua 

melihat apa akibat bagi seseorang yang menjadi musuh dalam selimut!” 

 “Perintah saya lakukan Sri Baginda. Saya mohon diri!” kata Patih Wulung 

Kerso. 

 “Tunggu dulu!” seru Raja. “Resi keparat bernama Mulyorejo itu! Kukira 

sudah mampus dia! Ternyata masih hidup. Apa sampai saat ini orang-orangmu masih 

belum mengetahui di mana tempat persembunyiannya?” 

 “Manusia satu itu sulit dilacak. Licin seperti belut…..” 

 “Sudah! Sudah! Pergi lakukan tugasmu paman Patih. Aku tak mau dengar 

cerita panjag lebar tentang kehebatan Resi keparat itu. yang perlu menangkap dan 

memancungnya! Lalu satu hal jangan lupa! Ratih, gadis yang akan jadi gundik baruku 

harus berada di istana malam ini juga. Aku sudah memerintahkan kepala rumah 

tangga istana menyiapkan sebuah kamar baru di ujung kanan keputrenan….” 

 “Baik Sri Baginda. Semua perintah akan saya lakukan….” Kata Patih Wulung 

Kerso lalu menjura dan berlalu dari hadapan sang raja. 

 Sebagai tokoh silat tingkat tinggi istana Sindu Kalasan alias Datuk Tongkat 

Dari Selatan mendapat tempat kediaman dalam lingkungan bangunan-bangunan 

istana. Rumahnya, sebuah gedung kecil tapi mewah terletak di sebelah timur pintu 

gerbang. Dia tengah duduk berangin-angin di langkan gedeung sambil mendengar 

nyanyian seorang kawula ketika rombongan utusan Patih Wulung Kerso muncul, 

langsung menyerahkan surat yang ditemukan dalam saku pakaian Buto Celeng. 

 “Ini fitnah busuk keparat!” teriak Datuk Tongkat seraya menggebrak meja 

kayu di hadapannya hingga hancur berkeping-keping. Surat itu diremasnya lalu 

dibantingnya ke lantai. Sepasang matanya membelalak menatap dua orang yang tegak 

di hadapannya sambil melipat sepasang tangan masing-masing di depan dada. 

 “Kalian berdua adalah sahabat-sahabatku! Kalian pasti tidak mau 

mempercayai isi surat itu bukan…..?” kembali sang datuk bicara. 

 “Apa yang tersirat itulah yang nyata dimas Sindu.” Menjawab kakek 

berpakaian biru berikat pinggang putih yang tegak memegang seuntai tasbih hijau. 

Muluntya senantiasa komat-kamit melafalkan sesuatu. Dia adalah Ki Rawe Jembor, 

hulubalang barisan pertama yang memiliki kepandaian dua tingkat di atas Datuk 

Tongkat dan merupakan pimpinan dari seluruh tokoh silat istana yang mengabdikan 

diri pada kerajaan. 

 Di sebelah Ki Rawe Jembor berdiri seorang lelaki berwajah pucat angker. 

Kedua pipi dan rongga matanya sangat cekung. Dia dikenal dengan nama Imo Gantra, 

merupakan hulubalang barisan kedua dan memiliki kepandaian satu tingkat di bawah 

Ki Rawe Jembor atau satu tingkat di atas Datuk Tongkat. 

 Perlahan-lahan Sindu Kalasan tegak dari kursi yang didudukinya. Dadanya 

turun naik tanda perasaannya berkobar. Dia memandang berganti-ganti pada kedua 

tokoh di hadapannya lalu berkata. “Kalian tidak bicara banyak. Jadi…..apakah kalian 

datang untuk menangkapku? Menangkap sahabat sendiri?!” 

 “Antara kita tetap sebagai sahabat-sahabat tak terpisahkan dimas Sindu,” 

menyahuti Imo Gantra. “Hanya dalam soal tugas harap kau suka memisahkan 

persahabatan dan kenyataan.”“Kami harap kau ikut secara baik-baik. Di hadapan Sri Baginda kau akan 

berusaha membelamu.” 

 Datuk Tongkat menyeringai sinis mendengar kata-kata Ki Rawe Jembor itu. 

“Jika kalian berniat membelaku, kalian tak akan sampai datang kemari! Tidak 

kusangka, sahabat-sahabat yang kukira sejati malam ini menunjukkan belangnya. Jika 

kalian hendak menangkapku silahkan!” 

 Habis berkata begitu Datuk Tongkat berteriak keras. Tubuhnya melesat ke atas, 

meelwati antara bahu Imo Gantra dan Ki Rawe Jembor dan sampai di taman gedung. 

Dua lusin perajurit yang sejak tadi berjaga-jaga segera mengurung sementara Imo 

Gantra dan Ki Rawe Jembor sudah berkelebat dan tegak mengapit sang datuk. 

 “Dimas Sindu. Aku anjurkan agar kau menyerah secara baik agar tak ada 

darah yang tertumpah!” 

 Datuk Tongkat tertawa panjang. “Mulutmu sungguh manis. Tapi hatimu 

palsu! Aku lebih suka memilih mati bergenang darah dari pada menyerah!” Sepasang 

mata Datuk Tongkat membelalak liar. Pada saat itulah dia melihat sebuah kereta 

terbuka memasuki pintu gerbang dikawal oleh enam perajurit di bwah pimpinan 

seorang perwira. 

 Ketika melihat gadis cantik yang duduk di atas kereta terbuka itu, entah 

bagaimana mendadak saja ingatan sang datuk kembali pada peristiwa perkelahian di 

malam hari di daerah pesawahan. Darah sang datuk tersirap. Wajahnya menunjukkan 

rasa kaget amat sangat. Kalau pada malam sang dara melayat dia masih belum ingat 

siapa adanya dara itu tapi saat ini mendadak saja ingatannya pulih kembali. Gadis di 

atas kereta itu, yang diketahuinya hendak diambil gundik oleh Sri Baginda, 

sesungguhnya adalah musuh besar kerajaan yang sedang dicari-cari. Yaitu bukan lain 

ratu pemberontak Nawang Suri! 

 Nawang Suri sendiri merasakan dadanya berdebar sewaktu melihat Datuk 

Tongkat memandang tak berkedip ke arahnya. 

 “Celaka kalau dia sampai mengenaliku,” membathin Nawang Suri. “Aku 

datang kemari terlalu cepat. Ternyata datuk itu belum ditangkap. Surat palsu yang 

kuselipkan di kantong Buto Celeng pasti datang terlambat ke tangan raja…..” 

 Nawang Suri palingkan wajahnya, menghindari pandangan Datuk Tongkat. 

Namun jalan pikiran sang datuk justru tampak jernih. Dia ingat ketika memeriksa 

mayat Buto Celeng dan dua anak buahnya, ketiga orang itu menemui ajal dengan 

badan hangus hitam. Berarti luka-luka yang dideritanya akibat tikaman senjata sakti. 

Dan kini dia tahu. Senjata sakti apalagi kalau bukan Keris Mustiko Geni?! 

 “Gadis pemberontak! Kau mau kemana!” berteriak Datuk Tongkat lalu 

melompat ke arah kereta. Tentu saja para perajurit dan hulubalang istana yang 

mengurung cepat memapaki gerakannya. 

 “Kalian semua dengar! Gadis ini adalah Nawang Suri, ratu pemberontak! Kita 

harus menangkapnya!” berteriak Datuk Tongkat. 

 Imo Gantra mendengus. “Jangan coba mengalihkan perhatian dimas Sindu! 

Justru kaulah yang harus kami tangkap detik ini juga!” 

 “Tolol! Kalian tidak kenal siapa dia! Aku pernah bentrokan dengan dia. Gadis 

ini adalah Nawang Suri, ratu pemberontak yang dicari-cari. Dia memiliki Mustiko 

Geni!” 

 Ki Rawe Jembor tertawa sinis. “Pemberontak tak menuduh pemberontak! 

Dimas Sindu, kau tahu siapa gadis itu? Dia adalah calon gundik Sri Baginda. Kuharap 

mulutmu jangan ketelepasan bicara yang tidak-tidak!” 

 “Kalian boleh mencincang aku! Tapi tangkap dulu gadis itu!” teriak Datuk 

Tongkat marah dan sangat penasaran karena ucapannya.Ki Rawe Jembor memberi isyarat. Belasan perajurit dan Imo Gantra kembali 

menyerbu. Terpaksa Datuk Tongkat menghadapi orang-orang ini dan putar tongkat 

bambunya dengan sebat. Dua perajurit terpekik dan terjengkang. Seorang roboh 

dengan dada mengucurkan darah akibat tusukan tongkat bambu, satunya lagi 

merangkak di tanah sambil mengerang karena tulang selangkangannya patah. 

 Meskipun orang-orang yang ada di situ tidak mempercayai kata-kata Datuk 

Tongkat, namun dalam hatinya Nawang Suri yang duduk di atas kereta merasa tak 

enak. Keadaannya kini sangat terancam. Dia harus mengambil satu keputusan. Selagi 

para tokoh silat itu sibuk hendak menangkap Datuk Tongkat dia harus mengambil 

keputusan, sekaligus melakukannya. Tangannya bergerak perlahan ke arah pinggang. 

Di situ tersembunyi keris sakti Mustiko Geni. 

 Di saat itu pula di pintu gerbang pekarangan istana terdengar suara siulan. 

Sesosok tubuh berkelebat lalu laksana seekor burung hinggap di atas tembok istana, 

duduk berjuntai menyaksikan perkelahian seru antara para tokoh silat istana. Menurut 

orang yang duduk di atas tembok ini, dalam waktu singkat sang datuk pasti akan 

konyol dilabrak sereangan-serangan yang begitu banyak. Ketika berpaling ke arah kiri 

diapun tampak tercengang melihat siapa dara yang duduk di atas kereta terbuka. 

 “Gadis itu! kini dia ada pula di sini! Kalau dia benar pemberontak, berarti dia 

berada di sarang harimau! Nekad! Berani betul dia! Apa yang hendak dilakukannya di 

sini. Tapi eh, dia duduk di atas kereta diiringi para pengawal. Bagaimana 

mungkin…..?” Karena tak habis pikir orang yang duduk di atas tembok itu geleng-

gelengkan kepala lalu garuk rambutnya beberapa kali. Inilah ciri-ciri Pendekar Kapak 

Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng!


DUA BELAS 

Sri Baginda duduk terkantuk-kantuk di atas kursi sambil menyedot pipa panjang. 

Bau tembakau yang dibakar memenuhi ruangan besar. Di sebelah kirinya duduk Patih 

Wulung Kerso. Di sebelah kanan berdiri Raden Cokroningrat, Kepala Pasukan 

Kerajaan. 

 “Gundikku itu masih belum juga datang. Dan aku mendengar suara ribut-ribut 

di luar sana…..” kata Sri Baginda pula setelah labih dulu menghembuskan asap 

pipanya jauh-jauh ke udara. 

 “Sebentar lagi Den Ayu gundik Sri Baginda itu pasti sampai,” menjawab 

Cokro Ningrat. “Dan suara ribut-ribut di luar itu adalah suara perkelahian mereka 

yang sedang menangkap Datuk Tongkat.” 

 “Hanya menangkap seekor monyet pengkhianat saja mengapa begitu riuhnya 

seperti tontonan pasar malam!” kata Sri Baginda. Dengan rasa tak sabar dia 

menyerahkan pipanya pada seorang ponggawa lalu bangkit dari kursi, melangkah ke 

langkan depan istana diikuti oleh Wulung Kerso dan Cokro Ningrat. 

 Sewaktu Sri Baginda sampai di tangga depan istana perkelahian tengah 

berlangsung seru. Datuk Tongkat Dari Selatan tampak berlumuran darah di wajahnya 

sebelah kanan akibat hantaman tasbih hijau KI Rawe Jembor yang tepat menghantam 

mata kanannya hinnga pecah dan mengucurkan darah. Dalam keadaan terluka begini 

sang datuk mengamuk seperti harimau kemasukan setan. Dia sudah maklum tak bakal 

bisa lolos dari kepungan dua tokoh silat dan delapan perajurit itu. karenanya dia 

berjibaku. Mati tak jadi apa asal paling tidak salah seorang dari dua tokoh silat istana 

itu juga harus meregang nyawa di tangannya. Tongkat sang datuk menderu ganas. 

Menusuk dan memukul ke pelbagai penjuru. Namun di jurus itu dia hanya mampu 

menghantam dua orang perajurit saja sementara gempuran serangan atas dirinya 

semakin membahayakan. Pada saat itulah dengan mata kirinya yang masih utuh 

Datuk Tongkat melihat Sri Baginda muncul di tangga istana sementara kereta yang 

membawa Nawang Suri juga sampai di depan tangga dan berhenti di hadapan sang 

raja. 

 “Sri Baginda!” berteriak Datuk Tongkat seraya melompat mendekati tangga 

istana. “Awas! Gadis di atas kereta itu adalah Nawang Suri! Pemberontak yang 

selama ini dicari-cari…..!” 

 Ucapan Sindu Kalasan alias Datuk Tongkat hanya sampai di situ. Untuk kedua 

kalinya tasbih hijau di tangan Ki Rawe Jembor berdesing ganas, menghantam batok 

kepala Dauk Tongkat hingga manusia yang pernah membaktikan dirinya pada istana 

ini harus menemui ajal di tangan kawannya sendiri! Datuk Tongkat terkapar di ujung 

tangga istana denan kepala pecah! Serta merta perkelahianpun berhenti. 

 Kejadian yang mengerikan itu agaknya sama sekali tidak begitu menarik 

perhatian sang raja. Dia memalingkan kepala ke arah perawan cantik jelita yang 

duduk di atas kereta, yang sebentar lagi akan diboyongkan ke dalam kamar istana. Dia 

sendiri yang akan memegang rangan Ratih, membantunya turun dari kereta lalu 

membawanya masuk ke dalam istana. Namun maksud sang raja tak pernah 

kesampaian. Dari atas kereta terdengar suara pekik menggelegar, mengejutkan semua 

orang. Selagi semua orang terkesiap kaget, tubuh Nawang Suri tampak melompat. 

Sinar merah tiba-tiba membersit di sertai hawa panas menebar angker.“Keris Mustiko Geni!” teriak Imo Gantra, Raden Cokro Ningrat dan Patih 

Wulung Kerso, juga Ki Rawe Jembor ketika semua mereka melihat benda yang 

tergenggam di tangan Ratih, calon gundik yang sebenarnya adalah Nawang Suri, 

musuh besar kerajaan. Semua orang memburu. Namun jarak mereka dari raja terpisah 

cukup jauh. Selagi Sri Baginda tercekat tak mengerti apa yang sebenarnya telah dan 

akan terjadi, keris sakti di tangan Nawang Suri telah menghujam dalam di 

pertengahan dadanya! 

 “Gusti Allah! Celakalah Kerajaan!” seru Ki Rawe Jembor menyaksikan raja 

berlumuran darah sambil memegangi dada, tertegak gontai lalu roboh di anak tangga 

kedua. 

 “Sri Baginda tewas!” berseru Imo Gantra. 

 Semua yang menyaksikan bagaimana tubuh Sri Baginda sesaat berkelojotan, 

matanya membeliak. Dari mulutnya keluar ludah membuih lalu sekujur tubuhnya 

tampak menghitam seperti hangus! 

 Dalam keadaan seperti itu Nawang Suri membalikkan diri menghadap orang-

orang itu seraya mengacungkan Keris Mustiko Geni yang berlumuran darah ke atas. 

 “Kalian semua dengar!” teriak gadis ini. wajahnya buas dan matanya berapi-

api. “Keris Mustiko Geni dalam genggamanku! Berarti tahta kerajaan ada dalam 

tanganku! Tahta memang menjadi hakku karena raja kalian sebelumnya telah 

merampas dari ayahku! Kalian harus tunduk semua padaku! Aku Nawang Suri ratu 

penguasa di negeri ini!” 

 “Gadis nekad!” terdengar seruan dari tembok istana. Nawang Suri melirik dan 

melihat Wiro Sableng duduk di atas tembok itu. gadis ini mengomel dalam hati 

namun dia kembali menghadapi orang-orang itu. dia harus menguasai keadaan dengan 

cepat. Hanya saja Ki Rawe Jembor dan Imo Gantra merupakan orang tokoh pertama 

yang tak bisa dibuat tunduk. Dengan tasbih diputar di tangan kanan Ki Rawe Jembor 

maju mendekat seraya berkata “Gadis pemberontak! Kau telah membunuh raja! 

Nyawamu tak bisa diampuni!” 

 Wutt!! 

 Tasbih hijau berkelebat. Sinar hijau berkiblat, membuat Nawang Suri 

terhuyung dan cepat mundur seraya menangkis dengan Keris Mustiko Geni. Di kakek 

yang maklum akan kehebatan senjata di tangan lawan tak berani melakukan 

bentrokan. Dengan cerdik dia berkelit lalu menggempur lagi dari samping. Sementara 

itu Imo Gantra, Cokro Ningrat, sembilan perwira dan puluhan perajurit telah 

melakukan pengurungan lalu mulai merangsak maju. Betapapun tingginya kepandaian 

Nawang Suri, sekalipun senjata sakti tergenggam dalam tangannya namun 

menghadapi sekian banyak musuh benar-benar bukan tandingannya. Apalagi pakaian 

yang dikenakannya saat itu yakni kebaya dan kain panjang tidak memungkinkannya 

untuk bergerak leluasa. Dalam waktu dua jurus saja gadis ini sudah terdesak hebat. 

Dalam jurus ketiga Keris Mustiko Geni terlepas dari tangannya. Senjata mustika sakti 

ini cepat disambar Patih Wulung Kerso. Nawang Suri sendiri melompat mundur 

sambil pegangi tulang lengan kanannya yang patah dihantam tasbih Ki Rawe Jembor! 

 “Kalian mau membunuhku?!” teriak Nawang Suri sambil bersandar ke tiang 

besar langkan istana. “Aku tidak takut mati! Matipun bukan satu kesia-siaan bagiku! 

Yang penting aku telah membalaskan sakit hati ayah bundaku! Membunuh raja 

kalian! Perampas tahta kerajaan milik syah ayahku!” 

 Dua buah pedang, satu tombak, satu jotosan berkekuatan tenaga dalam tinggi 

ditambah satu hantaman tasbih sakti berebut cepat melabrak tubuh Nawang Suri. 

Sang dara yang memang nekad dan merasa tidak takut malah sengaja menghadang 

kematian dengan tabah.“Gadis nekad! Benar-benar nekad! Gila!” 

 Terdengar teriakan jengkel dari arah tembok halaman istana. Bersamaan 

dengan itu menderu suara aneh laksana ribuan tawon mengamuk. Sinar putih perak 

menyilaukan berkiblat. 

 Traang…..trang…..trang! 

 Dua pedang dan satu tombak terbabat putus. Masing-masing pemegangnya 

terpental dan terpaksa lepaskan senjata mereka yang telah puntung karena gagang-

gagang senjata itu mendadak sontak terasa panas seperti terbakar! Imo Gantra 

kucurkan keringat dingin. Kalau dia tak lekas menarik pulang pukulannya, tangan 

kanannya akan cacat putus seumur hidup! Ki Rawe Jembor berseru tegang. Wajahnya 

pucat ketika dapatkan tasbih saktinya kini tinggal seutas benang. Butiran-butiran 

tasbih hijau melayang ke udara, jatuh bertebaran di langkan istana. 

 Di depan sosok tubuh Nawang Suri kini tegak seorang pemuda berambut 

gondrong sambil memegang sebilah senjata aneh yakni sebilah kapak bermata dua. 

 “Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212!” seru Imo Gantra dan Ki Rawe 

Jembor. Mereka berdua belum pernah bertemu dengan Wiro Sableng. Tetapi melihat 

senjata yang ada dalam genggaman murid Sinto Gendeng dari gunung Gede ini 

keduanya segera maklum siapa adanya pemuda itu. kalau tadi mereka hendak 

bertindak garang maka kini terpaksa menahan diri. 

 “Pendekar 212! Tidak disangka seorang bernama besar sepertimu ternyata 

membantu pemberontak!” menegur Ki Rawe Jembor. 

 “Aku tidak merasa dibantu oleh siapapun!” berteriak Nawang Suri. 

 Wir menyeringai dan melirik sekilas pada sang dara, lalu menimpali. “Aku 

memang tidak membantunya!” 

 “Lalu mengapa muncul dan mencampuri urusan kami orang-orang kerajaan?!” 

kertak Imo Gantra. 

 Wiro garuk-garuk kepala. “Itulah susahnya jadi manusia seperti aku ini. aku 

bertindak tanpa memperdulikan siapa adanya gadis ini. Aku hanya tak ingin melihat 

darah tertumpah dalam ketidak adilan. Seorang gadis ingusan seperti ini hendak 

kalian bunuh beramai-ramai!” 

 “Pemuda lancang! Berani kau mengatakan aku!” 

 Wutt 

 Nawang Suri hantamkan jotosan tangan kiri ke punggung Wiro Sableng. 

Pendekar ini cepat berkelit ke samping. Tangan kirinya bergerak mengirimkan satu 

totokan. Detik itu juga Nawang Suri merasakan tubuhnya kaku tegang. 

 “Gadis itu bukan gadis ingusan pendekar,” kata Ki Rawe Jembor dengan 

pelipis bergerak-gerak dan suara bergetar. “Dia adalah gembong pemberontak! Dia 

telah membunuh raja kami!” 

 “Kalau begitu kalian uruslah jenazah Sri Baginda!” sahut Wiro pula. Lalu 

dengan gerakan cepat dia mendukung tubuh Nawang Suri di bahu kirinya, sementara 

sang dara tidak hentinya berteriak-teriak marah. 

 “Hendak kau bawa ke mana gadis pemberontak itu…..?” kata Ki Rawe 

Jembor. 

 “Kemana aku ingin membawanya itu bukan urusan kalian. Aku minta jalan 

dengan segala hormat!” 

 Imo Gantra mendengus. “Nama besarmu kami hormati. Tapi jangan kira kami 

takut untuk melakukan sesuatu!” Habis berkata begitu Imo Gantra memberi isyarat. 

Bersama Ki Rawe Jembor, sembilan perwira tinggi termasuk kepala pasukan Cokro 

Ningrat, ditambah lagi lusinan perajurit, segera menyerbu. Wiro sapukan Kapak Maut 

Naga Geni 212 ke depan. Semua yang menyerang jadi kalang kabut dan berserabut


mundur. Namun sebatang tombak sempat menusuk bahu kiri Nawang Suri hingga 

gadis ini menjerit kesakitan lalu pingsan melihat darahnya sendiri. 

 “Kalau kalian bersikeras dan tak mau menahan diri, darah akan lebih banyak 

mengucur di langkan istana ini!” 

 Ancaman Wiro itu membuat Imo Gantra dan Ki Rawe Jembor saling pandang. 

Akhirnya Ki Rawe Jembor berkata “Kau boleh pergi. Tapi gadis pemberontak itu 

tetap harus kau tinggalkan di sini!” 

 “Kalian orang-orang kerajaan mau menang sendiri! Ayah dan Ibu gadis ini 

telah kalian bunuh! Tahta kerajaan kalian rampas! Apa itu masih belum cukup?!” 

 “Jika kau berpendapat demikian maka biar aku mengadu jiwa denganmu!” 

Imo gantra tak dapat menahan diri lagi dan siap melompati Pendekar 212 Wiro 

Sableng. 

 Namun Ki Rawe Jembor cepat memegang bahunya dan membisikkan sesuatu. 

Imo Gantra meskipun masih penasaran tampak agak kendur amarahnya. 

 “Pendekar 212!” kata Ki Rawe Jembor. “Saat ini kami perbolehkan kau dan 

gadis itu pergi. Tapi ingat satu hal. Kami tak akan tinggal diam. Kalian berdua tak 

bisa lari jauh! Pembalasan kami labih kejam dari siksa neraka!” 

 Wiro Sableng manggut-manggut sambil menyeringai. “Aku akan ingat baik-

baik ucapanmu itu, orang tua. Tapi satu hal dariku, kalian ingat pula baik-baik 

ucapanku ini. apa yang telah terjadi hari ini kuanggap selesai dan berakhir sampai di 

sini. Tak ada silang sengketa baru atau segala dendam kesumat. Tapi jika kalian kelak 

melakukan sesuatu terhadap salah satu dari kami, berarti kalian membuka pintu 

neraka untuk kalian sendiri!” Habis berkata begitu Pendekar 212 Wiro Sableng 

keluarkan siulan panjang, membuat beberapa kali lompatan dan lenyap dari halaman istana. 


TAMAT

Share:

0 comments:

Posting Komentar