..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 27 Juni 2024

WIRO SABLENG EPISODE MAYAT HIDUP GUNUNG KLABAT

Mayat Hidup Gunung Klabat



Mayat Hidup Gunung Klabat


INI SATU PEMANDANGAN yang mengerikan bagi siapa saja yang 

menyaksikan. Bagaimana tidak. Di malam buta ketika tak ada rembulan 

dan langit tidak pula berbintang, dibawah kepekatan yang menghitam 

gelap disertai hembusan angin mencucuk dingin, ditambah dengan 

turunnya hujan rintik-rintik, seekor kuda putih berlari kencang menuju 

puncak Gunung Klabat. Sambil lari binatang ini tiada hentinya 

keluarkan suara meringkik keras dari sela mulutnya yang berbusa.

Di atas punggung kuda putih itu membelin-tang sesosok tubuh 

yang sudah tidak bernyawa lagi. Sesosok mayat seorang lelaki 

separuhbaya berambut panjang sebahu dengan luka bekas bacokan 

pada pangkal lehernya. Sebagian wajah dan leher serta dadanya 

dibasahi oleh darah yang masih hangat tanda orang ini belum begitu 

lama menemui ajalnya.

Di belakang mayat yang membelintang di atas punggung kuda itu, 

duduk seorang perempuan berwajah bulat, berpakaian merah. 

Rambutnya yang panjang tergerak lepas dan berkibar-kibar ditiup 

angin. Perempuan inilah yang memacu kuda itu dengan segala 

kemampuan yang ada. Dia menunggang kuda putih sambil air mata 

mengucur membasahi kedua pipinya yang merah.

Betapapun mengerikan melihat berkelebatnya tiga mahluk itu 

dalam kegelapan malam namun mereka bukanlah setan atau mahluk 

jejadian. Ketiganya tetap mahluk ciptaan Tuhan, dua dalam keadaan 

hidup dan satu sudah jadi mayat!

Menjelang dinihari, kuda putih itu mencapai puncak gunung yang 

sangat curam dan perjalanan tak mungkin diteruskan dengan 

menunggangi binatang itu. Menyadari hal itu, perempuan muda 

penunggang kuda cepat melompat turun, menarik sosok mayat lelaki 

lalu memanggulnya di bahu kanan. Sebelum pergi, dia memegang leher 

binatang itu dan berkata

“Putih! Kau tetap disini. Tunggu sampai aku kembali!”

Seperti mengerti ucapan orang, kuda putih itu meringkik keras, 

lalu tundukkan kepalanya, menyusup mencari rerumputan liar diantara 

semak belukar.

Setengah berlari perempuan muda itu memanggul mayat di bahu 

kanannya menuju puncak gunung sementara di timur langit mulai 

tampak membersitkan sinar kekuning-kuningan tanda tak lama lagi 

sang surya akan kembali muncul menerangi bumi Tuhan.

Di puncak gunung yang temaram itu udara semakin keatas terasa 

dingin. Tapi perempuan yang memanggul mayat itu justru telah basah 

kuyup pakaian merahnya. Sekujur tubuhnya sakit dan letih bukan 

kepalang bahkan kedua kakinya laksana kaku dan sukar untuk diajakberlari lebih cepat. Namun kekerasan hatinyalah yang membuat 

perempuan itu terus bersikeras mendaki sampai ke puncak teratas 

Gunung Klabat. Dan tepat ketika sang surya tampak menyembul di ufuk 

timur, dia sampai di puncak gunung. Matanya memandang ke arah 

sebuah pondok kayu beratap ijuk, satu-satunya bangunan di tempat itu. 

Dia langsung melangkah naik ke atas langkan berlantai papan dan 

mengetuk pintu yang tertutup.

“Bapak Tua Walalangi, bukakan pintu. Saya datang dari jauh 

membawa berita buruk! Saya memerlukan bantuanmu!” Lalu 

perempuan itu kembali mengetuk pintu, lebih keras dari tadi.

Di dalam terdengar suara tempat tidur berderik. Disusul suara 

orang berdehem beberapa kali. Kemudian terdengar langkah-langkah 

kaki menuju ke pintu. Sesaat kemudian pintu itu terbuka dengan 

mengeluarkan suara berkereke-tan.

“Tamu dari mana yang muncul pagi-pagi buta begini?!” Satu suara 

lebih dulu terdengar baru menyusul muncul orangnya dari balik daun 

pintu.

Orang ini ternyata adalah seorang kakek berwajah tirus, berambut 

putih panjang sebahu tapi jarang, mengenakan baju lengan panjang dan 

celana gombrong putih.

“Saya Sulami Tangkario datang dari selatan Gunung Klabat

“Tangkario. Hem... Aku pernah dekat dengan nama keluarga 

Tangkario. Tapi...” Si orang tua dongakkan kepalanya. Cuping 

hidungnya sesaat tampak mengembang.

“Hemmm... Aku mencium bau mayat...” desisnya kemudian

“Bapak Tua Walalangi,” perempuan yang mendukung jenazah 

berkata dengan heran.

“Apakah sejak tadi kau tidak melihat saya memanggul mayat di 

bahu kanan...” Perempuan ini memandangi wajah orang tua itu lekat-

lekat. Kemudian terdengar suaranya agak tertahan : “Astaga, Bapak 

Tua... Kedua matamu ternyata buta! Harap maafkan orang

Ternyata Bapak tua bernama Walalangi itu memang buta nyalang 

sepasang matanya yang berwarna kelabu. Dia mengangguk perlahan 

lalu ulurkan tangan meraba kepala mayat. Tangannya kemudian turun 

kebawah, sampai di leher berhenti beberapa ketika. Ada darah hangat 

dan licin terasa membasahi jari-jarinya dan dia dapat meraba luka 

bacokan di leher mayat.

“Siapa yang berbuat sekejam ini...” katanya dengan suara 

tercekat. “Kau telah mendukung mayat itu cukup jauh tentunya. 

Letakkan di lantai dan katakan apa kau punya hubunganmu dengan 

mayat yang kau bawa kemari ini!”

Sulami Tangkario perlahan-lahan dan dengan sangat hati-hati 

menurunkan mayat di bahu kanannya lalu membujurkannya di lantai 

langkan yang bertutupkan tikar jerami. Dia duduk bersimpuh di depan 

mayat, mengusap air mata yang membasahi pipinya baru menjawab 

pertanyaan orang tua tadi.“Siapa yang membunuhnya saya tidak mengetahui dengan jelas, 

Bapak Tua. Saya hanya bisa menduga. Ketika suami saya sedang tidur, 

tiba-tiba sebuah golok besar secara aneh melesat, menembus langit-

langit kamar, langsung menghantam pangkal lehernya. Saya berusaha 

mengejar si pembunuh ke atas atap setelah lebih dulu mencabut golok. 

Tapi siapapun pembunuhnya dia telah lebih dulu raib...”

“Jadi yang kau bawa ini adalah jenazah suamimu sendiri, 

Sulami?”

“Betul Bapak Tua...”

“Siapakah nama suamimu, perempuan malang?”

“Mararanta Tangkario...” Jawab Sulami.

Paras si orang tua tampak berubah. “Jadi... Mararanta. Ah, dia 

masih salah satu cucu-cucuku yang bertebaran di Minahasa ini... 

Sulami, ceritakan apa yang terjadi...”

“Saya sudah menceritakannya tadi Bapak Tua Walalangi.”

“Betul. Tapi kau belum menerangkan apa latar belakang semua 

kejadian ini. Suamimu bukan manusia sembarangan. Seorang pendekar 

yang memiliki kepandaian tinggi. Hampir mustahil kalau ada orang yang 

mampu membokongnya sekalipun dalam keadaan tidur. Kalau itu 

terjadi, berarti ada orang berkepandaian sangat tinggi yang 

melakukannya!”

“Sayapun menduga demikian Bapak Tua,” sahut Sulami 

Tangkario. Lalu perempuan ini menuturkan. “Enam bulan yang lalu 

saya bertemu pertama kali dengan Mararanta. Waktu itu dia baru saja 

kembali dari tanah Jawa. Mungkin kami berjodoh lalu melangsungkan 

pernikahan. Setelah nikah satu bulan saya melihat ada satu kelainan 

dalam diri Mararanta. Dia sering bersikap seperti ketakutan. Seperti ada 

sesuatu atau seseorang yang selalu membayanginya. Berkali-kali saya 

tanya dia tidak mengaku. Namun dua minggu yang lalu akhirnya dia 

menceritakan bahwa di Jawa dia telah bentrokan dengan seorang 

pendekar berkepandaian tinggi sekali. Karena tidak mungkin 

menghadapinya, Mararanta akhirnya cepat-cepat kembali ke Minahasa. 

Namun dia merasa seperti ada seseorang atau makhluk aneh yang 

mengikutinya

“Suamimu menerangkan apa sebab musabab bentrokan itu dan 

siapa orang yang menjadi lawannya?” bertanya Bapak Tua Walalangi.

“Menurut suami saya waktu berada di Jawa dia sempat mengawini

seorang gadis bernama Mlnari. Gadis itu ternyata adalah kekasih 

seorang pendekar berkepandaian tinggi: Namun Minari sendiri tidak 

menyukai pendekar itu. Itulah sebabnya dengan seizin kedua orang 

tuanya Minari kawin lari dengan Mararanta. Tapi Minari kemudian 

diculik sedang Mararanta sendiri dikejar-kejar. Dalam keadaan sangat 

terancam jiwanya Mararanta melarikan diri. Dia berusaha mencari 

Minari terlebih dahulu, ketika sia-sia akhirnya dia kembali ke Minari 

terlebih dahulu, ketika sia-sia akhirnya dia kembali ke Minahasa...” 

Sulami terdiam sejenak. Setelah menyeka air mata yang masihmengucur dia melanjutkan. “Malam tadi, begitu saya tidak berhasil 

mengejar’ si pembunuh, saya cepat kembali ke dalam kamar. Saya 

dapati Mararanta dalam keadaan sekarat. Namun sebelum 

menghembuskan nafas dia sempat meninggalkan pesan...”

Bapak Tua Walalangi usap dagunya yang licin lalu bertanya : “Apa 

pesan suamimu itu Sulami?”

“Dia minta agar jenazahnya dibawa kemari dan diperlihatkan pada 

Bapak Tua. Dia juga mengatakan bahwa yang membunuhnya adalah 

kekasih Minari. Dan katanya lagi... Dia tak akan tenteram di dalam 

kubur sebelum dapat membalaskan sakit hati dendam kesumat 

pembunuhan keji atas dirinya ini!”

Paras si orang tua kembali berubah. Kali ini lama dia berdiam 

seperti merenung. “Begitu katanya...? Ah, sungguh satu pesan yang 

berat. Tapi apa lagi yang disampaikannya sebelum meninggal?”

“Mohon maaf Bapak Tua...” kata Sulami. Dan bulu kuduknya 

mendadak saja jadi merinding. “Dia berkata bahwa hanya Bapak Tualah 

yang bisa menolongnya untuk membalaskan sakit hati itu. Dia minta 

agar Bapak Tua memberi kehidupan sementara padanya agar dia dapat 

mencari si pembunuh...”

“Ya Tuhan... Mengapa cucuku ini meninggalkan pesan berat 

begini macam...?” Membatin Walalangi. Lalu dia berkata: “Ketahuilah 

Sulami, aku bukan Tuhan bukan Malaikat. Aku tidak berkemampuan 

memenuhi pesanan mendiang suamimu. Apalagi memberikan 

kehidupan sementara seperti yang dikatakannya sebelum menghembus-

kan nafas...”

“Itulah yang saya tidak mengerti Bapak Tua. Jika pesannya saya 

abaikan dan langsung menguburkannya, saya khawatir di liang kubur 

keadaannya tidak tenteram seperti yang dikatakannya. Dan lebih dari 

itu, yang paling saya takutkan, arwahnya akan gentayangan menjadi 

setan penasaran, menimbulkan kegegeran dan keonaran dimana-

mana... Semua saya serahkan pada Bapak Tua. Hanya saya tak ingin 

suami saya tersiksa di alam barzah kalau sampai pesannya tidak 

dikabulkan...” Walalangi terduduk di depan mayat Mararanta Tangkario. 

Berkali-kali orang tua ini mengusap wajahnya yang mendadak saja jadi 

keluarkan keringat dingin.

“Sulami... Menurutmu Mararanta meninggal karena ada sebilah 

golok yang secara aneh mencuat dari langit-langit kamar...”

“Betul sekali Bapak Tua.”

“Apakah senjata itu ada kau bawa?”

“Saya memang membawanya Bapak Tua...” jawab Sulami 

Tangkario. Lalu dari balik bun-talannya dia mengeluarkan sebilah golok 

tanpa sarung. Sebagian dari badan golok itu terlapis oleh darah yang 

telah membeku. Darah suaminya! Perempuan ini serahkan senjata itu 

ke tangan Walalangi.

Si orang tua pergunakan sepuluh jari-jari tangannya untuk 

meraba badan golok dan juga gagangnya sementara wajahnyaditengadahkan dan air mukanya tampak membesi.

“Ini memang golok Jawa...” kata Walalangi sesaat kemudian. 

“Dapat diketahui dari bentuk badan dan potongan gagangnya. Senjata 

ini mengandung racun jahat. Lebih cepat dimusnahkan lebih baik!”

Orang tua itu remaskan lima. jari tangan kanannya ke gagang 

golok. Gagang yang terbuat dari kayu besi itu terdengar bederak hancur! 

Lalu sepuluh jari tangannya bergerak di atas badan golok. Traak... 

traakk... tring...I Golok beracun itu hancur menjadi patah tiga. Dengan 

tangan kanannya Walalangi lalu melemparkan patahan golok jauh ke 

puncak gunung sebelah selatan.

Lalu sambil memegang kepala Sulami orang tua ini berkata: 

“Mararanta cucuku. Berarti kau juga cucuku. Aku tidak berkekuatan 

untuk memenuhi permintaanmu dan pesan mendiang suamimu. Tapi 

kalau Tuhan mengizinkan biarlah aku menanggung segala dosa dan 

memenuhi permintaan Mararanta...”

Mendengar itu Sulami lalu jatuhkan kepalanya ke pangkuan si 

orang tua. Walalangi usap-usap kepala perempuan itu lalu berkata: “Ada 

satu hal yang harus kau lakukan sebelum aku dapat memenuhi pesan 

suamimu itu, Sulami...”

“Mohon Bapak tua mengatakannya,” ujar Sulami pula.

“Apakah kalian tinggal di dekat sungai, di dekat laut atau di dekat 

danau...?”

“Kami tinggal di pinggir danau Tondano, Bapak Tua...”

“Kalau begitu kembalilah ke sana. Ambil air danau Tondano, 

masukkan dalam tujuh tabung bambu. Siapkan juga tujuh bungkus 

kembang tujuh rupa. Paling lambat dalam waktu dua hari kau sudah 

kembali kesini membawa benda-benda itu semua...”

“Saya akan melakukannya Bapak Tua. Saya akan berangkat 

sekarang juga...I” kata Sulami Tangkario seraya hendak berdiri.

“Tunggu dulu cucuku...” kata si orang tua sambil memegang bahu 

Sulami.

“Kau belum mengatakan siapa orang Jawa berkepandaian tinggi 

yang menjadi lawan bentrokan suamimu itu...”

“Kalau saya tidak salah ingat, suami saya menyebut namanya 

sebagai Pangeran Matahari!”

“Pangeran Matahari...” mengulang Walalangi dengan suara 

berdesis. “Cucuku, kelihatannya kita akan menghadapi musuh yang 

sangat tinggi kepandaiannya. Jangan lupa berdoa agar Tuhan 

melindungi dan membantu kita...”


2


BEGITU TIGA ORANG penduduk desa itu selesai menimbun tanah 

kuburan, orang tua itu anggukkan kepala, menyerahkan sebuah 

bungkusan kecil dan berkata: “Kalian bertiga boleh pergi...”

Tiga orang itu ambil cangkul masing-masing lalu tinggalkan 

tempat itu. Namun sebelum berjalan lebih jauh salah seorang dari 

mereka berkata: “Aku berkata melihat ada keanehan pada upacara 

penguburan jenazah tadi!”

“Acaranya sangat sederhana. Orang tua itu melafatkan doa tiada 

henti sewaktu kita menimbun kubur. Apanya yang aneh...?” tanya 

kawannya.

“Apakah kau tidak melihat tujuh batangan bambu berisi air lalu 

tujuh kembang terbungkus dalam daun...? Disini ada adat kebiasaan 

atau upacara seperti itu!”

Orang desa ke tiga akhirnya ikut membuka mulut. “Memang aku 

setuju kalau ada keanehan. Bagaimana kalau kita kembali dan 

mengintip apa yang dilakukan orang tua dan perempuan muda itu 

selanjutnya...?”

Dua kawannya menyetujui. Maka tiga orang desa itu tinggalkan 

pacul masing-masing di suatu tempat lalu kembali menuju ke tempat 

pemakaman.

Sementara itu di puncak gunung. Walalangi ambil tujuh buah 

tabung berisi danau Tondano. Satu demi satu tabung bambu itu 

ditancapkannya di atas tanah makam yang merah, lurus mulai dari 

kepala terus ke arah kaki. Setelah itu dia menyiapkan sebuah 

pendupaan, membakar potongan-potongan kayu kecil dalam pendupaan 

dan menebar bubuk kemenyan. Seantero tempat itu kini diselimuti asap 

dan tebaran bau kemenyan yang harum tapi terasa mencekam.

Dengan kedua tangannya Walalangi pe-gangi ujung tabung bambu 

sambil mulutnya tiada henti mengucapkan kalimat-kalimat panjang 

yang tak jelas terdengar oleh Sulami. Selesai memegangi tabung bambu 

yang ke tujuh di bagian kaki kubur, Walalangi kembali ke bagian kepala. 

Disini dia mencelupkan tangan kanannya kedalam bambu berisi air. 

Lalu tangan itu dikeluarkan dan air dicipratkannya ke atas kubur. 

Demikian dilakukannya sampai tujuh kali.

Selesai itu orang tua tersebut ambil bungkusan daun berisi 

kembang tujuh rupa. Bungkusan dibuka dan kembang di dalamnya 

bukan ditebar diatas makam melainkan dimasukkan ke dalam tabung 

bambu pertama, Demikian dilakukannya berturut-turut pada enam 

tabung lainnya dan enam bungkus bunga.

“Sulami...” Walalangi melangkah mendekati istri cucunya itu. 

“Dengar baik-baik... Apapun yang terjadi, apapun yang kelak kausaksikan jangan sekali-kali mengeluarkan suara sedikit-pun! Jika itu 

sampai dilanggar, usahaku untuk memenuhi permintaan suamimu akan 

sia-sia belaka. Kau dengar itu Sulami...?”

Sulami menjawab dengan anggukan kepala. Lidahnya terasa 

terlalu tercekat untuk bisa menjawab. Walalangi memutar tubuhnya, 

kembali melangkah ke bagian kepala kuburan. Disini dia tegak dengan 

kedua tangan diangkat tinggi-tinggi ke udara. Telapak tangan 

dikembangkan. Dari mulutnya keluar ucapan: “Ya Tuhan pengusaha, 

seluruh alam dan isinya. Tanpa kami mengutarakan lagi sesungguhnya 

engkau telah mengetahui apa yang kami inginkan, apa yang si mati 

inginkan. Kami harap kau berkenan mengabulkannya ya Tuhan. Jika 

permintaan dan perbuatan kami ini merupakan satu dosa besar di 

mataMu, mohon ampunanMu dan biarlah saya sendiri yang 

menanggung segala dosanya!”

Selesai mengucapkan kalimat-kalimat itu dengan suara keras, lalu 

Walalangi meneruskan kata-katanya dengan suara perlahan seperti 

bergumam. Kembali Sulami Tangkario tidak dapat mendengar apa 

sebenarnya yang dilafalkan orang tua itu. Namun sesaat kemudian dia 

mendengar suara aneh dari dalam liang kubur yang baru saja ditimbun. 

Bulu kuduknya berdiri. Matanya tak berkedip memandang ke arah 

kubur suaminya. Tujuh batang bambu yang menancap di tanah merah 

tampak bergerak, bergoyang-goyang sehingga air yang ada di dalamnya 

sesekali muncrat keluar!

Ketika gerak dan goyangan itu akhirnya berhenti, dari tujuh mulut 

bambu kini keluar masing-masing segulung asap tipis berwarna kelabu. 

Tujuh gelungan asap ini saling berangkulan dan bergabung jadi satu 

membentuk satu gulungan asap yang besar. Ketika Sulami 

memperhatikan lebih lanjut terkejutlah perempuan muda ini. Gulungan 

asap kelabu itu sedikit demi sedikit berubah menjadi bentuk sosok 

tubuh manusia. Mula-mula samar-samar seperti sosok di balik kabut. 

Namun lambat laun semakin jelas, semakin kentara dan akhirnya sosok 

itu benar-benar berbentuk tubuh manusia! Dan manusia yang muncul 

dari asap ini bukan lain adalah suaminya sendiri! Mararanta Tangkario!

Kalau tidak ingat pesan si orang tua mungkin saat itu Sulami 

telah memekik keras. Dia kancingkan mulutnya rapat-rapat malah 

letakkan tangan kanan di atas bibirnya agar jangan sampai 

mengeluarkan suara sedikitpun.

Mararanta Tangkario tegak dengan kedua tangan lurus disamping 

badan. Kepalanya mengarah ke tirfiur dan pandangan matanya lurus ke 

depan, hampir tidak berkesip. Wajahnya agak pucat dan bibirnya sedikit 

kebiruan. Pada lehernya tampak luka besar bekas bacokan. Darah 

mengotori sebagian muka, leher dan pakaiannya. Dan pakaian itu 

adalah pakaian yang dikenakannya ketika dia mati terbunuh!

“Mararanta... Kau dengar suaraku menyebut namamu?” Walalangi 

bertanya dengan suara bergetar karena hampir tak kuasa menahan 

gelegak dalam dadanyaMararanta si mayat hidup tampak mengangguk. Anggukannya 

perlahan dan sangat kaku.

“Ketahuilah bahwa hidupmu saat ini adalah bangkit dari alam 

kematian, merupakan kehidupan sementara. Bila apa yang menjadi 

niatmu telah tercapai, maka kau harus kembali ke puncak Gunung 

Klabat ini dan beristirahat untuk selama-lamanya. Tapi jika kau 

menyalahi tujuan-mu semula, yakni mempergunakan hidup 

sementaramu ini untuk maksud lain, bukan untuk kepentingan yang 

semula kau katakan sebelum ajalmu, maka kau tak akan pernah 

kembali dan berkubur disini secara wajar. Seumur dunia, sampai 

kiamat kau akan hidup terkatung-katung antara dua alam yakni dunia 

dan akhirat. Dan diantara dua alam itu kau akan tersiksa amat sangat! 

Karenanya lakukan apa yang kau inginkan semula, lalu kembali kemari. 

Kau dengar Mararanta...?”

Kembali Mararanta mengangguk.

“Bagus. Tapi aku ingin mendengar suaramu. Kau mendengar 

Mararanta...?”

“Sa... ya... men... de...ngar...” terdengar jawaban Mararanta 

Tangkario. Suaranya aneh. Seperti datang jauh dari dalam sumur 

angker, kaku dan lamban tanpa irama sama sekali!

“Sekarang kau boleh pergi cucuku. Pergilah ke tanah Jawa. 

Lakukan apa yang kau inginkan. Balaskan sakit hatimu! Jangan 

menyimpang dari itu!”

Kembali si mayat hidup itu anggukkan kepala. Tampak kakinya 

bergerak turun dari tanah kuburan. Begitu menginjak tanah di samping 

kuburan, sosok tubuh Mararanta tiba-tiba saja menjadi lenyap seperti 

ditelan bumi.

Walalangi merasakan dadanya bergoncang keras. Sulami tiba-tiba 

saja merasakan lututnya goyah dan perempuan ini langsung roboh ke 

tanah.

Tiga orang penduduk desa yang mengintai di kejahuan, lari 

menghambur ketakutan ketika melihat sosok mayat hidup itu bergerak 

melangkah. Salah satu diantara mereka malah ada yang sampai 

terkencing-kencing!


3


SEPERTI MELEDEK anak rusa itu tegak memandang ke arah pemuda 

yang mengejarnya lalu kibas-kibaskan ekornya yang hanya sepanjang 

jari telunjuk. Orang yang mengejar bergerak dua langkah lalu diam. 

Anak rusa itu maju pula dua langkah lalu diam. Begitu dikejar kembali, 

dengan cekatan binatang ini melompat dan menghambur ke balik semak 

belukar. Tapi dia tidak terus lari. Di balik semak belukar ini dia 

mengintai-intai ke arah pengejarnya. Ketika orang itu datang mendekat, 

dia sengaja menunggu. Baru dalam jarak hanya tinggal tiga langkah 

lagi, anak rusa itu melompat dan lari masuk ke dalam hutan jati.

“Binatang brengsek. Aku ingin menangkapmu bukan untuk 

kupanggang dan kulahapi Hanya sekedar untuk jadi sahabat mainan! 

Tapi kalau kau meledekku begini rupa, jangan harap aku masih mau 

berniat baik! Dagingmu tentu harum dan segar untuk dilahap.” Maka si 

pengejar lalu terus masuk ke dalam hutan jati di arah lenyapnya anak 

rusa tadi. Namun setelah beberapa lama mencari kesana-kemari dia tak 

berhasil menemui binatang itu. Jangankan menemuinya, mendapatkan 

jejaknya sajapun tidak. Dengan kesal pemuda itu akhirnya memutuskan 

untuk keluar saja dari hutan itu. Namun baru saja dia memutar tubuh 

mendadak gerakannya tertahan. Jauh di dalam hutan, lapat-lapat dia 

mendengar seperti ada suara orang mengerang dan menangis.

Sesaat pemuda ini tegak tak bergerak, sipilkan kedua matanya, 

memandang ke arah hutan jati sebelah dalam dan memasang telinga 

lebih tajam.

“Jangan-jangan itu suara dedemit atau mahluk jejadian yang 

hendak menjebak lalu mencelakakan diriku...” berkata si pemuda dalam 

hati. Dia segera putar tubuh kembali. Tapi tak jadi lagi. “Suara itu 

sepertinya suara tangis sendu manusia sungguhan... Tak ada salahnya 

aku menyelidik sebentar.” Lalu pemuda ini akhirnya masuk kembali ke 

dalam hutan jati. Langkahnya dituntun oleh suara erang bercampur 

tangis yang makin jauh dia masuk ke dalam hutan jati, semakin jelas 

suara itu terdengar. Akhirnya, setelah berjalan menembus hutan cukup 

jauh pemuda itu temukan sebuah rumah kecil terbuat dari papan kasar. 

Satu-satunya pintu dan satu-satunya jendela rumah tertutup rapat. 

Justru suara erang bercampur tangis itu datang dari dalam rumah!

Setelah meneliti keadaan di sekitar rumah papan dan 

sekelilingnya, lalu menunggu beberapa ketika, akhirnya pemuda tadi 

melangkah cepat menuju pintu rumah papan. Ketika didorong terdengar 

suara berkereketan. Pintu itu ternyata tidak dikunci.

Di dalam rumah suasana gelap redup. Sedikitnya cahaya yang 

merambas masuk lewat pintu yang terbuka membuat pemuda yang 

barusan masuk masih bisa melihat apa yang ada dalam rumah ditengah hutan belantara itu. Untuk beberapa lamanya si pemuda tegak 

seperti terpaku. Kedua matanya membesar tak berkesip.

“Demi Tuhan! Kejahatan apa yang terjadi di tempat ini...?!” desis si 

pemuda.

Di dalam rumah papan itu hanya terdapat sebuah ranjang papan 

yang beralaskan tikar jerami. Di atasnya terbaring sesosok tubuh 

seorang perempuan dengan rambut sembrawut acak-acakan. Tubuhnya 

mengenakan pakaian kuning muda yang nyaris tidak berbentuk lagi 

karena penuh robek disana sini dan tak sanggup lagi menyembunyikan 

auratnya yang kuning langsat. Walaupun kotor dan berada dalam 

keadaan sangat menderita, namun kesengsaraan itu tak dapat 

menyembunyikan kecantikan wajah perempuan itu.

Hampir di sekujur badannya, terutama di bagian leher, dada dan 

pangkal paha penuh dengan tanda-tanda merah seperti tanda gigitan. 

Kedua tangannya terpentang dan masing-masing ibu jari tangan itu 

diikat dengan-sehelai tali halus. Ujung tali yang lain diikatkan pada 

kaki-kaki tempat tidur. Kedua kakinya juga mengalami hal sama. Ibu-

ibu jari kaki diikat ke kaki tempat tidur. Dan di salah satu ujung kaki 

perempuan ini tampaklah anak rusa yang tadi di kejar si pemuda, tegak 

menunduk sambil menjilati kaki kiri perempuan yang terikat di atas 

tempat tidur itu!

“Ah, disini kau rupanya...,” berucap si pemuda. Anak rusa itu 

mengangkat kepalanya, memandang sebentar pada si pemuda lalu 

kembali meneruskan menjilati kaki kiri perempuan itu.

Kalau saja bukan dalam keadaan seperti itu, menyaksikan sosok 

tubuh perempuan muda yang cantik dan nyaris telanjang di atas 

ranjang begitu mungkin pemuda yang barusan masuk ke dalam rumah 

akan tergoncang juga imannya. Namun apa yang disaksikannya saat itu 

adalah satu kekejaman!

“Tolong... Demi Tuhan... tolong diriku! Lepaskan aku dari 

malapetaka ini. Tolong Rupanya perempuan yang terikat diatas ranjang 

menyadari kalau ada seseorang masuk ke dalam rumah.

Tanpa pikir panjang lagi pemuda itu cepat bertindak untuk 

memutus empat utas tali yang mengikat kedua tangan dan kaki 

perempuan itu. Tapi betapa terkejutnya ketika dia mendapatkan tidak 

sanggup memutus tali-tali itu ataupun membuka buhulnya dengan 

tangan kosong. Ditelitinya ke empat tali itu. Baru disadarinya kalau 

empat tali tersebut bukan tali-tali biasa. Maka diapun kerahkan tenaga 

dalam pada kedua tangannya. Lalu mencoba lagi. Tetap saja empat tali 

itu tak satupun yang bisa dibikin putus! Hampir kehabisan akal pemuda 

itu terduduk di lantai rumah sambil garuk-garuk kepala.

“Tak ada jalan lain...” si pemuda berkata. Tangan kanannya 

menyelusup ke balik pinggang pakaian. Sesaat kemudian sinar terang 

memenuhi rumah papan yang sempit itu. Empat kali sinar terang 

berkelebat dan empat kali terdengar suara tras... tras... trassss! Empat 

tali pengikatpun putus. Setelah putus baru buhul yang mengikat ibu jarikaki dan tangan bisa dibuka. Perlahan-lahan si pemuda simpan kembali 

senjatanya berupa kapak bermata dua ke balik pakaian!

Begitu terlepas dari ikatan tali-tali celaka itu, perempuan di atas 

ranjang keluarkan pekik halus, gulingkan diri ke samping hingga jatuh 

ke lantai. Tubuhnya tampak hampir tiada daya. Mungkin sudah lebih

dari dua hari dia diikat seperti itu tanpa makan ataupun diberi minum. 

Namun sepasang matanya masih memancarkan pandangan dengan 

sorotan tajam. Dan pandangan itu ditujukan tanpa berkedip pada 

pemuda yang barusan telah menolongnya.

“Pergi... pergi dari sini. Sebelum manusia durjana itu muncul...” 

terdengar perempuan itu berkata. Suaranya setengah berbisik.

Anak rusa yang tadi menjilati kakinya di atas tempat tidur, kini 

telah melompat pula dan rapatkan tubuhnya ke pinggang perempuan 

itu.

Pemuda yang barusan menolong memang membaui adanya 

bahaya di tempat itu. Namun sebelum pergi dia harus mengetahui dulu 

siapa adanya perempuan muda itu dan mengapa sampai berada dalam 

keadaan seperti itu di rumah papan di tengah rimba belantara itu.

“Saudari... Katakan siapa dirimu? Mengapa • kau berada di 

tempat ini. Siapa yang melakukan kekejaman ini...!”

“Aku... Namaku Minari... Aku diculik sejak empat belas bulan 

yang lalu. Dipindah dari satu tempat ke tempat lain. Akhirnya... 

akhirnya aku di bawa ke tempat ini. Namun manusia keparat itu tidak 

lagi memberiku makan dan minum. Dia hanya meniduriku. Dia ingin 

aku mati secara perlahan-lahan... Dia manusia biadab. Ganas! Lebih 

ganas dari setan dan iblis! Lekas... Kita... kita harus pergi dari sini. 

Keparat itu bisa muncul setiap saat... Tolong... Bawa diriku dari tempat 

celaka ini. Saudara tolonglah lekas...”

“Ya... Kita akan pergi. Aku akan menolongmu. Tapi katakan dulu 

siapa manusia biadab yang memperlakukan dirimu seperti ini?” 

bertanya si pemuda lalu memegang tubuh perempuan itu dan 

menggendongnya.

“Manusia itu, seorang manusia berhati iblis. Dia menyebut dirinya 

sebagai...”

Belum lagi perempuan itu sempat mengakhiri ucapannya tiba-tiba 

braakkk!!

Rumah papan itu bergoyang keras. Dinding di sebelah kiri ambrol 

berantakan dan sesosok tubuh melesat masuk dari dinding yang hancur 

itu!

Perempuan dalam dukungan si pemuda menjerit keras, menyebut 

sebuah nama. Dia seperti berusaha hendak turun dari gendongan 

namun tidak mampu. Akhirnya dia hanya bisa menjerit kembali.


4


PEMUDA BERPAKAIAN PUTIH yang menggendong perempuan muda itu 

menatap dengan pandangan tercekat pada sosok tubuh yang barusan 

masuk menerobos dinding papan. Di hadapannya, terpisah di seberang 

tempat tidur tegak berdiri seorang lelaki separuh baya dengan luka 

menganga di pangkal lehernya. Noda darah membasahi sebagian muka, 

leher serta bajunya. Orang ini tegak seperti patung, memandang lurus 

ke depan, tanpa berkedip. Satu cara memandang yang luar biasa aneh 

karena si pemuda merasa pandangan mata orang itu seolah-olah 

menembus batok kepalanya, bahkan menembus dinding di belakangnya! 

Dan mukanya yang pucat itu serta bibir yang membiru mendatangkan 

rasa ngeri bagi siapa saja yang memandangnya!

“Saudari...,” berbisik si pemuda. “Inikah manusianya yang telah 

menculik dan mencelakaimu...?”

Dada Minari tampak turun naik. Dia menggeleng. Dia coba 

membuka mulut tapi yang keluar kembali teriakan keras. Dia berteriak 

menyebut nama : “Kakak Mararanta!” Perempuan itu berusaha turun 

tapi si pemuda masih terus menggendongnya.

“Mi... na... ri... is... tri... ku A... ku... da... tang un... tuk... mem... 

ba... wa... mu... per... gi... “

Orang diseberang tempat tidur keluarkan suara berkata yang 

aneh. Suaranya seperti datang dari jauh, laksana keluar dari sumur 

dalam dan kata-katanya terbata-bata kaku, seolah-olah dia memiliki 

lidah yang kelu. Setiap patan kata yang diucapkannya terdengar begitu 

lamban dan agaknya dia mengeluarkan ucapan itu dengan susah payah.

“Kakak! Bawa aku bersamamu... Tapi, kau terluka kakak 

Mararanta...” Perempuan dalam gendongan berkata.

“Tu... run... kan... is... tri... ku! Le... tak... kan di... tem... pat... ti... 

dur... La... lu... kau... ber... siap... lah... un... tuk... ma... ti!

Si pemuda terkejut. “Saudari... jadi kau istri lelaki itu...?” 

tanyanya.

Minari anggukkan kepalanya berkali-kali. “Turunkan aku... 

Lakukan apa yang dikatakannya...” dia mampu bicara juga akhirnya.

Dengan perasaan masih sangat tercekat pemuda itu akhirnya 

turunkan perempuan yang digendongnya. Lalu di seberang sana 

dilihatnya lelaki yang dipanggil dengan nama Mararanta tadi angkat 

tangan kanannya. Caranya mengangkat tangan itupun aneh. 

Gerakannya lurus-lurus seolah-olah dia tidak memiliki siku sedang 

kedua matanya tampak memancarkan sinar aneh!

“Kakak Mararanta...! Jangan...! Pemuda itu orang baik! Dia telah 

menolongku!” berteriak Minari ketika dilihatnya lelaki yang pernah 

menjadi suaminya itu hendak melancarkan serangan.Gerakan tangan yang kaku berhenti dan sesaat tangan kanan itu 

masih bergantung lurus di udara. Lalu tubuh itu membungkuk kaku. 

Tangan kiri diulurkan. Lalu dengan cara yang aneh, tapi cepat sekali 

tubuh Minari yang ada di atas tempat tidur terangkat dan tahu-tahu 

sudah tersadar di bahu kirinya.

“Kakak... kau terluka... Kau...” Minari tak sanggup meneruskan 

ucapannya. Tubuhnya terlalu lemas. Dalam keadaan seperti itu 

perempuan muda ini akhirnya pingsan di bahu lelaki yang pernah 

menjadi suaminya dan kemudian terpisah sejak lebih dari setahun yang 

silam.

“A... ku... ti... dak... per... ca... ya... pa... da... mul Kau... te... lah... 

men... ce... la... kai... is... tri... ku! Kau... Kau... ha... rus... mati... di... 

ta... ngan... ku!”

Pemuda di seberang tempat tidur seharusnya menjadi marah dan 

meradang dituduh telah mencelakai Minari. Tapi anehnya pandangan 

mata angker lelaki di hadapannya itu membuat dirinya seperti 

kehilangan segala daya untuk marah atau membentak. Dengan suara 

bergetar dia berkata: “Saudara... Kau boleh tidak percaya padaku. Tapi 

kau harus percaya pada apa yang diucapkan istrimu itu. Kalau memang 

benar dia istrimu! Siapa kau sebenarnya...? Mengapa ada luka besar di 

lehermu. Gerakanmu serba kaku. Ucapanmu terputus-putus.

“A... ku... Ma... yat... Hi... dup... Gu... nung... Kla... bat!U... cap... 

an... is... tri... ku... ting... gal... u... cap... an... A... ku... li... * hat... sen... 

di... ri... kau... hen... dak... me... la... ri... kan... Mi... na... ri! Kau... pas... 

ti... ka... ki... ta... ngan... ma... nu... sia... ke... pa... rat... ber... na... 

ma... Pa... nge... ran...Ma... ta... ha... ri... itu!... Ka... ta... kan... di... 

ma... na... dur... ja... na... i... tu... ber... a... da...!”

“Mayat Hidup Gunung Klabat? Kau menyebut dirimu begitu...?” si 

pemuda memandang dengan tajam mulai dari kepala sampai ke kaki 

lelaki di hadapannya seolah-olah baru saat itu dia melihatnya. “Apa... 

apa betul kau mayat hidup... Gila! Bagaimana ada mayat hidup!” Namun 

dalam hatinya pemuda itu merasa semakin tercekat. Wajah yang pucat 

tiada berdarah dan bibir yang biru itu... Memang begitulah keadaan 

mayat. Tapi mayat hidup! Sulit dipercaya. “Paling tidak manusia satu ini 

bangsa orang gendeng juga!” Begitu si pemuda membatin. Lalu, “Hai! 

Tadi menyebut nama Pangeran Matahari? Betul kau barusan menyebut 

nama Pangeran Matahari?!”

“A... ku... bi... ca... ra... Kau... men... de... ngar... Aku... ti... dak... 

bi... su... kau... ti... dak... tu... li...” si Mayat Hidup Gunung Klabat alias 

Mararanta Tangkario menjawab.

“Kita sama-sama tidak tuli dan tidak bisu. Karena itu kau dengar 

penjelasanku baik-baik. Aku bukan kaki tangan Pangeran Matahari. 

Dimana dia berada aku tidak tahu. Akupun sudah lama mencari-cari 

keparat itu!”

“Kau... dus... ta... A... ku... tak... per... ca... ya... pa... da... mu... 

A... ku... tak... per... ca... ya... pa... da... o... rang... Ja... wa...!”“Eh, mulutmu kurang ajar amat Mayat Hidup! Jangan menyebut-

nyebut nama orang Jawa segala! Istrimu sendiri juga orang Jawa!” teriak 

si pemuda.

“Is... tri... ku... o... rang... Ja... wa... yang... ba... ik...,” jawab 

Mayat Hidup Gunung Klabat. Lalu tangannya membuat gerakan kaku, 

bergerak lurus seperti palang. Dan ketika tangan itu tepat mengarah 

kejurusan si pemuda, bahu kanan Mayat Hidup Gunung Klabat tampak 

seperti disentakkan. Lalu saat itu juga terdengar suara deru angin yang 

hebat. Rumah itu laksana neraka karena tiba-tiba saja seantero tempat 

menjadi panas luar biasa! Pemuda yang mendapat hantaman angin 

keras panas itu cepat-cepat jatuhkan diri ke lantai. Saat itu pula 

terdengar suara ledakan keras.

Rumah papan seperti dihantam topan. Hancur berantakan 

berkeping-keping ke udara bersama tempat tidur kayu. Sebagian dari 

kayu-kayu rumah itu tampak seperti hangus. Si pemuda sendiri ikut 

terlempar ke udara lalu jatuh tepat dibawah sebatang pohon jati tua 

dalam keadaan tidak sadarkan diri. Beberapa bagian tubuhnya tampak 

luka-luka. Pakaian putihnya robek dan pipi kirinya baret! Mararanta

Tangkario bersama Minari dan anak kijang lenyap dari tempat itu!


5


KETIKA PEMUDA YANG pingsan itu siuman dan membuka kedua 

matanya, pertama sekali yang dilihatnya adalah dua buah kaki yang 

mengenakan kasut terbuat dari kulit. Di sebelah atas dua kaki itu 

memakai sehelai celana hitam. Lalu di sebelah dada atas lagi tampak 

baju yang juga berwarna hitam. Di bagian dada baju terpampang 

gambar puncak gunung berwarna biru melambangkan gunung Merapi. 

Pada latar belakang gambar gunung berwarna biru itu tertera gambar 

matahari merah dengan guratan-guratan berwarna kuning 

melambangkan sinar matahari.

Si pemuda yang terkapar di akar pohon jati itu bukakan kedua 

matanya lebih lebar. Kini dia dapat melihat tampang manusia 

berpakaian hitam itu lebih jelas. Orang ini memiliki kening tinggi yang 

diikat dengan sehelai kain merah. Dagunya kukuh dan rahangnya 

menonjol. Keseluruhan wajahnya membersitkan kekerasan, keangkuhan 

atau kecongkakan. Dan dia kenali siapa adanya manusia ini!

Sebelum pemuda ini berusaha bangun, orang berpakaian hitam 

keluarkan suara tertawa dan cepat sekali tahu-tahu kaki kanannya 

sudah menginjak tenggorokan pemuda berpakaian putih yang 

tergelimpang di tanah!

“Kita bertemu kembali Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Dan 

kita sama-sama tidak menyukai pertemuan ini, bukan...?!”

Pemuda berpakaian putih yang ternyata adalah Wiro Sableng 

murid Eyang Sinto Gen-deng dari Gunung Gede menyumpah dalam hati: 

“Bangsat ini menginjak leherku! Bagaimana aku bisa menjawab 

ucapannya! Sialan!”

Diam-diam dengan cepat Pendekar 212 kerahkan tenaga dalam ke 

tangannya kiri-kanan. Lalu seperti gunting, dia hantamkan kedua 

tangannya secara menyilang ke arah betis orang yang menginjak 

lehernya. Untuk mencegah agar orang itu tidak menghujamkan kaki dan 

menghancurkan lehernya, Wiro tendangkan kaki kanan ke arah 

selangkangan lawan!

Si baju hitam mendengus dan keluarkan ucapan mengejek: 

“Bagus! Kau membuat gerakan yang tepat Pendekar 212! Kalau tidak 

lehermu pasti sudah kuhancurkan dan nyawamu melayang ke akhirat!” 

Lalu karena diapun tak ingin kaki kanannya putus seolah-olah dibabat 

oleh gunting raksasa, maka orang ini jejakkan kaki kirinya dan disaat 

itu juga tubuhnya melesat ke udara setinggi dua tombak. Dia membuat 

jungkir balik di udara satu kali lalu melayang turun dengan kedua kaki 

menjejak tanah lebih dahulu.

Tanpa tunggu lebih lama Wiro Sableng lipat kedua lututnya lalu 

melompat bangun dan tegak sambil pasang kuda-kuda.Lelaki berbaju hitam dengan gambar gunung dan matahari di 

dadanya menyeringai. “Hem... tak pernah aku melihat keadaanmu 

seburuk hari ini, Pendekar 212! Pakaianmu robek-robek seperti pakaian

gembel. Kulitmu luka-luka dan pipimu baret besar! Apakah kau barusan 

lari terbirit-birit di kejar setan hutan jati ini? Atau ada musuh yang 

sempat menghajarmu babak belur...?”

Murid Sinto, Gendeng balas menyeringai. Kedua tangan 

dirangkapkan di depan dada.

“Pangeran Matahari! Lama tak bertemu apakah kau barusan 

datang dari neraka atau liang kubur?! Tubuhmu sebusuk mayat dan

mulutmu sebau comberan. Kau pasti menyesal mengapa tidak 

membunuh musuh bebuyutanmu ini ketika tadi aku masih pingsan!”

“Mengambil nyawamu semudah aku membalikkan telapak tangan 

pendekar sableng! Aku memang tidak membunuhmu karena perlu 

beberapa keterangan...!”

“Ah, aku sudah tahu keterangan apa yang kau inginkan. Dan 

jawabanku adalah semudah aku membalikkan telapak tangan untuk 

cebok...!Ha... ha... ha...!”

Walau mukanya jadi merah oleh ejekan itu, tapi mulut Pangeran 

Matahari masih bisa sunggingkan seringai.

“Keterangan pertama! Ceritakan padaku bagaimana kau bisa 

sampai di tempat ini! Keterangan, kedua, apa yang terjadi dengan 

rumah papan milikku! Siapa yang membuatnya porak-poranda seperti 

ini. Keterangan ketiga dimana gadis berpakaian kuning yang 

sebelumnya terikat di atas ranjang kayu! Nah itu saja! Lekas berikan 

keterangan padaku!”

“Mudah saja... Mudah saja...!” sahut Pendekar 212 seraya usap-

usapkan telapak tangannya satu sama lain. “Keterangan pertama! Aku 

sampai ke mari sepembawa kedua kakiku, tapi juga karena mendengar 

ada yang mengerang dan menangis di dalam hutan jati ini. Ketika 

rumah papan kutemui dan kumasuki ternyata di dalamnya ada seorang 

perempuan dalam keadaan sangat menderita, terbaring di atas tempat 

tidur dengan dua tangan dan dua kaki terikat! Dan aku tahu Pangeran 

Matahari... Kau yang punya pekerjaan biadab itu!”

“Dugaanmu tepat!” sahut Pangeran Matahari lalu tertawa gelak-

gelak. “Lanjutkan keteranganku sampai habis!”

“Keterangan kedua!” ujar Wiro melanjutkan. “Yang merubah 

rumah papanmu menjadi puing-puing tak berguna ini adalah seorang 

yang menyebut dirinya Mayat Hidup Gunung Klabat...”

“Mayat Hidup Gunung Klabat? Nama edan apa pula itu...? ujar 

Pangeran Matahari. “Jangan-jangan kau hanya mengarang...”

“Edan atau tidak, tapi aku menyaksikan makhluk itu. Ujudnya 

seperti manusia biasa. Ada luka besar masih menganga dan belum 

kering darahnya di pangkal lehernya. Dia menuduhku telah menculik 

dan berlaku keji terhadap perempuan yang terikat di atas tempat tidur. 

Karena itu dia lalu menyerangku dengan pukulan sakti. Pukulan ituyang menghancurkan rumah papanmu... Kau tentu ingin tahu siapa 

nama Mayat Hidup Gunung Klabat itu bukan...? Kau pasti kenal 

padanya...”

“Jangan menyuruh aku menduga-duga tak karuan. Lekas beri 

tahu siapa nama orang itu jika kau memang sudah tahu!” bentak 

Pangeran Matahari pula.

“Namanya Mararanta Tangkario! Orang yang istrinya kau culik, 

lalu kau bawa dari satu tempat ke tempat lain...”

“Apa katamu...?!” ujar Pangeran Matahari dengan mata melotot. 

“Mararanta Tangkario sudah mati terbunuh oleh dukun suruhanku! 

Bagaimana mungkin tahu-tahu bisa hidup kembali?!”

“Justru disitulah letak masalahnya. Bagaimana orang sudah mati 

bisa hidup kembali? Tapi aku bertemu sendiri dengan dirinya ketika dia 

hendak membawa istrinya. Wajahnya pucat pasi, bibirnya biru dan dia 

memiliki pukulan sakti luar biasa!”

“Jadi manusia bernama Mararanta Tangkario itu yang 

menghancurkan rumahku, menghajarmu sampai babak belur begini dan 

menculik Minari...?!”

“Kau sudah menjawab sendiri pertanyaanmu!” Sahut Pendekar 

212 pula. “Dan ketahuilah... Mayat Hidup Gunung Klabat itu muncul 

untuk mencari dan membunuhmu!”

“Dia boleh datang menemuiku jika minta mampusl Tapi sulit 

kupercaya jika orang yang sudah mati seperti Mararanta itu bisa hidup 

dan menjelma kembali...!”

“Kau tanyakan sendiri jika bertemu dengannya!” ujar Wiro seraya 

menyeringai.

Pangeran Matahari merenung sejenak lalu berkata: “Pendekar 

212! Antara kita banyak silang sengketa dan dendam lama yang harus

diselesaikan. Tapi karena ada urusan besar yang tengah kuhadapi 

aku bersedia menunda urusan kita sampai beberapa waktu. Apalagi kau 

telah memberi keterangan yang sangat penting padaku...”...~

Wiro tertawa kecil. “Di lain saat jika bertemu lagi, kau harus 

membayar penundaan penyelesaian hutang-piutang ini dengan 

bunganya...”

“Manusia sableng, kau tak usah takut! Bunga itu akan kubayar 

dua kali lipat! Aku harus mengejar mereka sekarang juga!” Habis 

berkata begitu Pangeran Matahari dorongkan telapak tangan kirinya ke 

arah Wiro. Murid Sinto Gen-deng cepat rundukkan kepala. Sinar biru 

berkelebat ganas di atas kepalanya, menghantam pohon jati tua di 

belangnya hingga patah dan tumbang menggemuruh.

Pendekar 212 tidak mau kalah. Begitu serangan lawan berhasil 

dielakkannya dan Pangeran Matahari dilihatnya berkelebat ke kanan, 

murid

Sinto Gendeng ini balas menghantam dengan tangan kiri. Suara 

menggemuruh laksana ada batu besar menggelinding, menghantam ke 

arah Pangeran Matahari. Inilah pukulan sakti bernama “kunyumelempar buah”!

Pangeran Matahari melompat setinggi satu tombak ke atas sambil 

kebutkan lengan baju hitamnya.

Whuuutt!

Serangan Wiro musnah. Dia merasa ada denyutan cukup 

mengagetkan membalik menghantam dadanya, membuat pendekar ini 

cepat-cepat menyingkir ke samping. Di lain pihak sang Pangeran sendiri 

buru-buru menarik pulang tangannya ketika di dengarnya ada suara 

ber-kerebetan. Ketika dilihatnya ternyata ujung lengan kiri pakaian 

hitamnya itu telah robek!


6


KETIKA MINARI siuman dari pingsannya, didapatinya dirinya terbaring 

diatas rerumputan. Dengan siisah payah dia mencoba duduk. Begitu 

duduk dan memandang berkeliling, tercekatlah perempuan ini. Ternyata 

dia berada di sebuah bukit yang lerengnya penuh ditumbuhi berbagai 

bunga. Walaupun cuma bunga-bungaan liar namun pemandangan 

disitu indah sekali. Lebih terkejut lagi dia sewaktu menyadari bahwa 

kini dia tidak lagi mengenakan pakaian biru muda yang kelihatannya 

masih baru. Sehelai itu sekujur tubuhnya yang sebelumnya kotor kini 

tampak bersih sedang rambutnya yang awut-awutan kini tersisir rapi.

Siapa yang melakukan semua ini...? Siapa yang menggantikan 

pakaiannya, siapa yang membersihkan tubuhnya? Astaga! Jika ada yang 

mengganti pakaian dan membersihkan tubuhnya pastilah orang itu 

telah membuka pakaiannya, melihat sekujur auratnya tanpa tutupan 

sama sekali...! Memikir sampai disitu Minari merasakan tubuhnya 

bergetar dan wajahnya merah karena jengah.

Perempuan ini memandang berkeliling. Saat itulah dia melihat 

disampingnya, diatas sehelai daun terdapat beberapa macam buah-

buahan. Ada jambu air, jambu kelutuk dan manggis hutan. Disebelah 

buah-buahan ini terletak daun yang dibentuk demikian rupa seperti 

mangkok dan didalamnya ada air jernih.

Sesaat Minari masih terheran-heran. Namun rasa lapar serta 

dahaga membuat dia segera saja melahap jambu air lalu meneguk air 

dalam daun. Ketika dia meletakkan daun itu ke atas rumput, saat itulah 

dia ingat. Dan dia memandang berkeliling seraya memanggil.

“Mararanta... Kakak Mararanta? Dimana kau...?”

Terdengar suara berdesir. Minari berpaling ke belakang, di arah 

mana terdapat sekolompok pohon berdaun rimbun. Dari atas salah satu 

pohon itu melayang turun satu sosok tubuh, langsung tegak di hadapan 

Minari.

“Kakak...!” seru Minari ketika dikenalinya orang itu adalah 

suaminya, Mararanta Tangkario. Sesaat dia menatap paras lelaki itu 

dengan matanya yang bening bersinar. Lalu dia beringsut maju dan 

peluk pinggang lelaki itu. “Kau, kaukah yang menggantikan pakaianku, 

kaukah yang menyediakan buah-buah serta air minum itu kakak? Kau 

jugakah yang membersihkan tubuhku...” Minari mendongak dan melihat 

Mararanta anggukkan kepalanya dengan gerakan yang kaku. “Kau 

terluka kakak. Apa yang terjadi atas dirimu. Keadaanmu sangat tidak 

terawat. Lukamu itu harus diobati. Mukamu pucat sekali dan bibirmu 

biru...” Ucapan Minari tidak putus-putus karena menyaksikan keadaan 

suami yang terpisah selama empat belas bulan itu sungguh sangat 

menyedihkan. “Kakak Mararanta, mengapa kau jadi begini? Mengapakau menghilang sekian lama. Aku telah jadi korban penculikan manusia 

terkutuk Pangeran Matahari itu Minari menutup wajahnya dengan 

kedua tangan dan mulai menangkis.

“Ja... di... be... nar... bang... sat... i... tu... men... cu... lik... mu...”

“Kakak... Suaramu! Mengapa berubah seperti ini?!” kejut Minari. 

Lalu dia ingat bahwa diapun sempat mendengar suara Mararanta 

sewaktu berada di rumah papan di hutan jati. Suara yang aneh, kaku 

dan lamban seolah-olah datang dari jauh.

“A... ku... me... mang... te... lah... ber... u... bah... Mi... na... ri... 

A... ku... bu... kan... Ma... ra... ran... ta... sua... mi... mi... mu... yang... 

du... lu. A... ku... te... lah... ma... ti...”

“Mati...?” ujar Minari. “Tidak! Kau tidak mati! Kau harus tetap 

hidup seperti yang kulihat saat ini! Kita harus berkumpul kembali... I”

“Ti... dak... mung... kin... is... tri... ku...”

“Tidak mungkin bagaimana? Dengar, kita tinggalkan tempat ini. 

Kita segera berangkat ke Kartoyudo. Aku akan mengobati lukamu. Aku 

akan merawatmu sampai sembuh...”

Mararanta membuat gerakan menggeleng yang kaku dan aneh. 

“Ki... ta.;. ti... dak... ber... kum... pul... is... tri... ku... Ki... ta... ber... a... 

da... di... du... a... lam... yang... ber... beda.”

“Ah! Kau pasti berada dalam keadaan sakit berat, kakak 

Mararanta. Cara bicaramu aneh. Apa yang kau ucapkan tidak karuan...”

“Mi... na... ri... A... ku... se... be... nar... nya... su... dah... ma... ti... 

So... sok... ku... sa... at... ini... a... da... lah... so... sok... ma... yat... hi... 

dup... A... ku... Ma... yat... Hi...dup... Gu... nung... Kla... bat... I”

Meskipun saat itu tubuhnya masih terlalu lemah namun seperti 

mendapat satu kekuatan baru, Minari tegak dari duduknya dan 

menatap Mararanta Tangkario mulai dari ujung rambut sampai kekaki. 

Muka yang sangat pucat tiada berdarah itu. Bibir yang membiru. Lalu 

sepasang mata yang cekung dengan pandangan kosong tapi seperti 

menembus. Dan luka di leher yang mengerikan itu I

“Kau sakit kakak. Kau sakit...” desis Minari.

Mararanta tidak menjawab. Kedua matanya memandang tak 

berkedip. Lambat-lambat rasa takut mulai merayapi diri perempuan itu.

“Kakak... kau ikut aku ke Kartoyudo sekarang juga”

“Ti... dak... Mi... na... ri... Kau... yang... i... kut... a... ku... men... 

ca... ri... Pa... nge... ran... dur... ja... na... i...tu...!”

“Mencari Pangeran Matahari bukan soal mudah. Dia datang dan 

pergi seperti setani Kalaupun kau berhasil menemuinya, kau tak 

mungkin melawannya. Ilmu kepandaiannya tinggi sekali...”

“Ma... ra... ran... ta... yang... du... lu... me... mang... ti... dak... 

sang... gup... me... la... wan... Pa... nge... ran... Ma... ta... ha... ri... Ta... 

pi... Ma... ra... ran... ta... Ma... yat... Hi... dup... pas... ti... mam... pu... 

me... nga... lah... kan... nya.”

“Ada yang tak beres dengan diri suamiku ini. Ya Tuhan, tolong 

diriku. Tolong dirinya... Aku tak percaya pada pengakuannya bahwadirinya adalah Mayat Hidup. Mana mungkin hal itu bisa terjadi. Atau... 

Apakah aku harus mengujinya?”

Memikir sampai disitu Minari mengambil sebutir jambu kelutuk 

lalu memberikannya pada Mararanta seraya berkata: “Makanlah, kau 

pasti lapar.”

Mararanta menggeleng kaku. “Ma... yat... ti... dak... a... da... 

yang... ma... kan...” katanya.

“Kalau begitu minumlah...” kata Minari pula ingin menguji lebih 

lanjut. Dia membungkuk mengambil air dalam gulungan daun.

Kembali Minari melihat Mararanta menggeleng. “Ma... yat... ti... 

dak... a... da... yang... mi... num...” ucapnya.

“Kakak! Kau ini...! Aku melihat kau terluka dan dalam keadaan 

menderita! Tapi aku tak percaya kau sudah mati! Aku tak percaya kau 

adalah mayat hidup. Demi Tuhan! Sandiwara atau permainan apa yang 

tengah kau lakukan ini?!”

“Mi... na... ri... A... ku... ti... dak... mem... per... ma... in... kan... 

mu. Ji... ka... kau... ti... dak... per... ca... , li... hat... ka... ki... ku

Mendengar ucapan itu Minari langsung memandang ke bawah ke 

arah kedua kaki Mararanta Tangkario. Dan terkejutlah perempuan ini. 

Wajahnya seputih kertas Kedua kaki lelaki itu sama sekali tidak 

menginjak rumput! Tidak menginjak tanah! Langsung Minari roboh 

tidak sadarkan diri lagi.

* * *


7


BAGIAN DEPAN RUMAH PANGGUNG itu hanya diterangi sebuah lampu 

minyak kecil yang digantung di bawah talang air. Cahayanya tidak dapat 

menerangi serambi rumah yang luas dimana saat itu seorang lelaki 

berpakaian hitam duduk diatas sebuah kursi goyang terkantuk-kantuk. 

Kursi goyang dari kayu itu mengeluarkan suara berderik-derik. Orang 

yang duduk diatasnya membenarkan letak kain sarung yang 

menyelubungi kedua kakinya agar terlindung dari gigitan nyamuk. 

Sesekali dia menguap lebar-lebar. Walau kantuknya berat namun dia 

tak dapat tidur. Dan memang dia tak boleh tidur karena tugasnya

adalah berjaga-jaga.

Di langit bulan setengah lingkaran nampak redup tertutup awan. 

Di kejauhan terdengar suara anjing menggonggong. Pada saat itulah 

lelaki di atas kursi goyang mendadak membuka kedua matanya lebar-

lebar karena entah kapan munculnya sesosok tubuh lelaki yang men-

dukung tubuh seorang perempuan tahu-tahu tampak berdiri di sudut 

serambi yang paling gelap.

“Aneh kata lelaki di kursi goyang dalam hati. “Tadi mataku 

memang terpicing, tapi telingaku tak akan lolos menangkap suara 

apapun. Bagaimana mungkin orang itu bisa naik ke serambi tanpa aku 

mendengar langkahnya sewaktu menginjak tangga dan juga sewaktu 

berjalan dilantai serambi ini. Dengan memanggul beban seberat itu 

hentikan kakinya pasti akan lebih keras. Dia tahu-tahu saja berada di 

ujung serambi sana...”

“Siapa disana?!” lelaki berbaju hitam bertanya dengan suara 

menghardik.

‘Yang ditanya tidak menjawab. Bergerakpun tidak. Si penjaga 

turun dari kursi goyang, ikatkan kain sarung ke pinggang. Sambil 

tangan kanannya meraba hulu golok yang tersisip di pinggang kirinya 

dia perhatikan orang yang tegak di ujung serambi sana. Namun 

kegelapan tidak mungkin baginya untuk melihat dengan jelas, apalagi 

mengenali siapa adanya orang itu. Karenanya dia lalu pergi mengambil 

lampu minyak di bawah cucuran atap. Sambil mengacungkan lampu 

minyak tinggi-tinggi dia menghampiri orang yang tegak di ujung 

serambi.

Begitu sampai dihadapan sosok itu dan cahaya lampu menerangi 

wajah serta sebagian tubuh orang termasuk orang yang digendongnya, 

tersiraplah darah si penjaga. Seumur hidup belum pernah dia melihat 

tampang yang begini angker, apalagi ada luka besar di pangkal lehernya. 

Wajah manusia itu begitu pucat, kedua matanya nyalang besar tapi tak 

pernah berkedip. Bibirnya hitam kebiruan dan hembusan nafasnya 

menusuk tajam.Ki sanak... Kau siapa... Apa maksud kedatanganmu?” bertanya si 

penjaga. Hati kecilnya mendadak saja merasa yakin bahwa dia tidak 

berhadapan dengan manusia.

“A... pa... kah... di... si... ni... ru... mah... Ki... Du... kun... Su... 

ra... Man... ja... ngan?”

Kembali si penjaga tersurut mundur. Kali ini karena mendengar 

suara orang itu. “Manusia aneh... Suaranya seperti datang dari jurang 

yang dalam. Kaku... terbata-bata...”

“A... ku... ber... ta... nya! Me... nga... pa... ti... dak... men... ja... 

wab...?”

“Betul, ini memang rumah kediaman Ki Dukun Surah Manjangan. 

Ahl Ki sanak rupanya datang hendak berobat. Siapakah yang sakit? Ki 

sanak sendiri atau orang yang ki sanak dukung...? Kulihat ada luka 

besar di pangkal leher ki sanak...”

“Ti... dak... per... lu... ba... nyak... ber... tanya. Le... kas... pang... 

gil... kan... du... kun... ke... pa... rat... itu...”

Mendengar majikannya disebut dengan kata-kata dukun keparat, 

marahlah si penjaga. “Manusia bermuka pucatl Jaga mulutmu. Kalau 

sampai Ki Dukun mendengar bagaimana mulutmu sekurang ajar itu 

menyebut dirinya, bisa-bisa kau meninggalkan tempat ini melangkah 

seperti anjing!”

Si muka pucat mendengus. Hembusan nafas membersit dari 

mulut dan hidungnya. Si penjaga merasakan kedua matanya menjadi 

sangat perih. Cepat-cepat orang ini mundur beberapa langkah.

“Ka... lau... kau... ti... dak... le... kas... m... mang... gil... du... 

kun... ja... ha... nam... itu... ku... po... rak... po... ran... da... kan... ru... 

mah... i... ni!”

“Kurang ajar!” bentak si penjaga. Walau hatinya sejak tadi sudah 

kecut namun mendengar kata-kata orang yang hendak memporak 

porandakan rumah itu, marahlah dia. “Jika kau datang meminta obat, 

kau akan mendapatkan dari Ki Dukun. Tapi jika kau bicara yang 

bukan-bukan malah mengancam segala, berarti nyawamu hanya tinggal 

beberapa kejapan saja!”

Lelaki yang mendukung sosok tubuh perempuan, yang bukan 

lain adalah Mararanta Tangkario alias Mayat Hidup Gunung Klabat

gembungkan mulutnya lalu meniup ke depan. Si penjaga berseru kaget 

ketika merasakan ada angin kencang yang menghantam ke arahnya. 

Cepat-cepat dia melompat ke kiri. Dirinya memang selamat tapi ada 

suara braak di sebelah belakang. Ketika berpaling tampak salah satu 

bagian dinding kayu rumah hancur berantakan! Kemudian si penjaga ini 

menyadari kalau lampu minyak yang tadi dipegangnya di tangan kiri 

telah terlepas mental dan jatuh di lantai. Minyak yang berceceran di 

lantai kayu serta merta dijilat api!

“Keparat kurang ajar! Kau memang minta mati!” teriak si penjaga. 

Dia gulung kain sarungnya lalu cabut golok yang tersisip dipinggang 

kiri. Tanpa menunggu lebih lama dia ayunkan senjatanya, membabat kearah pinggang si muka pucat.

Dari mulut Mayat Hidup Gunung Klabat terdengar suara 

menggerang. Tangan kanannya di ulurkan. Si penjaga menjerit keras 

ketika pergelangan tangannya tahu-tahu sudah dicekal lawan. Dan 

bukan hanya dicekal. Detik itu juga terdengar berderak. Tulang 

lengannya dicengkeram hancur hingga tangan itu kini terkulai dan golok 

yang tadi dipegangnya terlepas jatuh ke lantai!

Sambil melolong kesakitan si penjaga putar tubuh, masuk 

menghambur ke dalam rumah lewat pintu tertutup yang ditendangnya 

dengan keras. Ruang panggung itu ternyata panjang sekali. Di kiri 

kanan berderet-deret kamar-kamar yang tertutup. Di sebelah ujung 

terdapat sebuah kamar berpintu hitam dengan gambar sebuah 

pendupaan putih serta bara api merah lengkap dengan asap di sebelah 

atasnya.

Penjaga itu lari menuju pintu hitam tersebut. Di depan pintu dia 

berseru: “Ki Dukun! Ada pengacau muncul disini! Harap kau lekas 

keluar dan bertindak...!”

Tak ada sahutan dari balik pintu hitam. Ketika berpaling si 

penjaga melihat manusia bermuka pucat itu mendatangi semakin dekat. 

Sementara itu di langkan rumah kobaran api semakin besar... Karena 

tak tahan sakit serta ketakutan setengah mati akhirnya dia mendobrak 

pintu hitam dan melompat masuk ke dalam. Bau kemenyan menyambar 

keluar.

Di balik pintu itu ternyata adalah sebuah ruangan besar yang 

sangat redup karena hanya diterangi sebuah lampu minyak kecil. Lantai 

ruangan ditutup dengan permadani berwarna merah tua. Di tengah-

tengah terhampar sebuah batu hitam berbentuk lonjong dan pipih. Di 

atas batu ini duduk bersila seorang kakek yang hanya mengenakan 

sehelai cawat berwarna putih. Tubuhnya kurus sekali hingga tulang

belulangnya menonjol jelas. Mukanya cekung, begitu juga kedua 

matanya yang terpejam memiliki rongga yang dalam serta kehitaman. 

Diatas kepalanya yang berambut kasar dan acak-acakan seperti ijuk ada 

sebuah pendupaan berwarna putih yang baranya menyala terang dalam 

gelap. Karena ditaburi kemenyan, asap pendupaan ini menebar bau 

yang harum dan tajam ke seluruh ruangan.

Yang hebatnya, di atas pendupaan yang menyala dan menebar 

asap kemenyan melintang sebilah golok. Apa yang tengah dilakukan 

oleh kakek berwajah angker ini?

Di dalam ruangan itu tidak ada perabot lain, kecuali puluhan 

macam senjata tajam yang digantung ke dinding. Mulai dari berbagai 

jenis pisau kecil dan besar, berbagai bentuk golok serta pedang, sampai 

pada tombak yang memiliki satu, dua atau tiga mata.

Si penjaga jatuhkan dirinya di depan kakek yang tampaknya 

tengah bersemedi sambil menjunjung pendupaan menyala itu.

“Wakanto... Kau mengganggu pekerjaanku!” Tiba-tiba kakek yang 

duduk di atas batu membuka mulut. “Nyawa yang harus aku ambilmalam ini menjadi gagal. Berarti nyawamu gantinya...”

Selesai mengucapkan kata-kata itu, golok di atas pendupaan tiba-

tiba tampak bergerak naik lalu perlahan-lahan manukik ke arah penjaga 

rumah panggung bernama Wakanto. Melihat hal ini pucatlah wajah 

penjaga itu. Cepat-cepat dia berseru.

“Ki Dukun, maafkan diriku!” seru sipenjaga sambil letakkan 

keningnya di atas batu di hadapan kaki si kakek. “Aku tidak bermaksud 

mengganggumu. Tapi ada pengacau datang ke rumah ini! Dia menyebut 

namamu dengan kurang ajar. Ketika aku hendak menghajarnya dia 

menghancurkan pergelangan tanganku! Lihat... kau lihat sendiri Ki 

Dukun...” Wakanto angkat tangan kanannya yang telah hancur 

tulangnya.

Ki Dukun Sura Manjangan tidak menyahut tapi tahu-tahu kaki 

kirinya melesat dan dukk! Tubuh Wakanto terpental, tersandar ke 

dinding. Dia mengeluh pendek lalu roboh melingkar di lantai. Pingsan.

“Masih untung nyawamu tidak kuambil...” Ki Dukun berkata. 

Golok yang tadi menukik ke arah si penjaga kini tampak naik kembali, 

lalu perlahan-lahan turun ke atas pendupaan!

Bersamaan dengan itu sepasang mata si kakek tampak terbuka. 

Yang pertama dilihatnya adalah sosok Mayat Hidup Gunung Klabat 

masuk ke dalam ruangan itu sambil mendukung Minari. Lalu kobaran 

api yang membakar kamar pertama di deretan sebelah kanan.

Dari rahang sang dukun terdengar suara gerahamnya 

bergemeletakan tanda ada kemarahan yang menggelegak dalam dirinya. 

Sepasang matanya memancarkan sinar aneh. Meskipun dia ingin sekali 

mengetahui siapa adanya orang yang memiliki luka besar dilehernya itu 

dan siapa pula perempuan yang didukungnya, apa maksud kedatangan-

nya, namun hawa amarah yang lebih menguasai dirinya membuat dia 

lebih ingin cepat-cepat membunuh orang di hadapannya itu detik juga!

“Kekuatan dari segala kekuatan. Kekuasaan dari segala 

kekuasaan. Singkirkan manusia di hadapanku ini!” Ki Dukun Sura 

Manjangan berucap.

Saat itu juga gotok melintang di atas pendupaan secara aneh 

bergerak ke atas, ujungnya berputar senjatanya ini melesat ke arah 

dada kanan si mayat Hidup Mararanta Tangkario!

* * *


8


MAYAT HIDUP GUNUNG KLABAT menggereng dan gerakkan tangan 

kanannya. Golok yang melesat ke dadanya tahu-tahu disambar dan 

dicengkeramnya. Lalu terdengar suara trak... trak... trak... Golok besar 

itu berubah menjadi empat potong. Salah satu potongan yaitu bagian 

ujung golok yang runcing masih tergenggam di tangannya. Lalu seperti 

melahap sepotong kerupuk, ujung golok ini dimasukkannya ke dalam 

mulut. Dia mengunyah. Krak... krak... krak... 

Berubahlah paras pucat Ki Dukun Sura Man-jangan. Tubuhnya 

yang duduk bersila di atas batu perlahan-lahan terangkat naik ke atas 

sampai setengah tombak. Lalu kedua kakinya yang terlipat diturunkan 

ke bawah. Kini dia berdiri tegak di atas batu pipih yang selama ini 

didudukinya. Sepasang matanya memandang tidak berkedip pada wajah 

Mayat Hidup Gunung Klabat.

Hampir separuh dari hidupnya Ki Dukun Sura Manjangan 

menjadikan dirinya sebagai manusia yang mempergunakan ilmu hitam 

untuk menjagai belasan bahkan puluhan manusia. Ilmunya tidak 

mengajarkan rasa takut apa pun dalam dirinya. Namun saat itu untuk 

pertamakalinya dia merasa merinding. Jika ada manusia yang mampu 

menguyah ujung golok beracun, maka berarti dia bukan berhadapan 

dengan manusia!

“Orang tak dikenal, katakan siapa kau dan apa maksud 

kedatanganmu kemari?!”

Pertanyaan Ki Dukun belum sempat terjawab. Di sebelah depan 

rumah panggung terdengar suara berderak. Kobaran api telah 

memusnahkan sebagian dari serambi dan salah satu kamar. Bangunan 

di bagian itu roboh dengan suara menggemuruh.

“Kurang ajar! Kau telah mencelakai pembantuku! Kau juga yang 

membakar rumahku! Sekarang biar tubuhmu yang kubakar!”

Habis berkata begitu Ki Dukun Sura Manjangan gerakkan 

kepalanya. Pendupaan yang sejak tadi masih bertengger di kepalanya 

yang ditutupi rambut kasar acak-acakan melesat ke depan. Dari mulut 

pendupaan bukan saja menghambur bara panas tapi juga lidah api yang 

menyambar ke arah Mayat Hidup Gunung Klabat!

Yang diserang sedikitpun tidak berusaha menghindar. Begitu 

lidah api dan hamburan bara panas hanya tinggal dua jengkal saja dari 

tubuh dan kepalanya. Mayat Hidup usap mukanya lalu menerpa ke 

depan. Lidah api dan bara-bara merah itu tertahan di udara seperti 

menabrak tembok. Mayat Hidup kemudian menghembus keras. Maka 

terjadilah hal yang luar biasa! Lidah api memecah menjadi puluhan 

banyaknya. Bersama-sama dengan bara yang menyala, lidah-lidah api 

itu menyambar ke depan. Sebagian menyerang Ki Dukun SurahManjangan sendiri, sebagiannya lagi menyebar lantai dan dinding serta 

langit-langit ruangan! Saat itu juga kamar besar itu dilanda kobaran api!

Ki Dukun Sura Manjangan berteriak kaget dan marah. Sebagian 

rambutnya sempat disambar lidah api. Kakek ini melesat ke samping, 

melabrak dinding ruangan. Lalu lewat dinding yang jebol itu dia 

melompat ke luar, sampai di halaman samping rumah panggung yang 

diterangi kobaran api besar yang telah membakar sebagian rumah di 

sebelah depan!

Sekujur tubuh Ki Dukun bergeletar. Kagetnya masih belum 

hilang. Rasa cemas bercampur amarah masih membakar dirinya. Ingin 

dia menghajar manusia itu habis-habisan, mencabik-cabik tubuhnya 

bahkan mungkin meminum darahnya! Tapi bagaimana caranya? 

Bagaimana dia mampu melakukan hal itu? Tampaknya dia berhadapan 

dengan makhluk yang memiliki kesaktian luar biasa. Namun dalam hati 

kecilnya dia sempat bertanya. Jika orang memang datang untuk 

meminta pertolongan, meminta pengobatan, mengapa dia telah 

mencelakai pembantunya, membakar rumahnya dan bahkan 

mencelakai dirinya. Bahkan dia hampir pasti makhluk itu bermaksud 

merampas nyawanya.

“Dia bukan lawanku!” kata Ki Dukun dalam hati. “Lebih baik 

menyelamatkan diri!” Lalu Ki Dukun Sura Manjangan memutar tubuh, 

siap menghambur lari ke bagian halaman yang gelap. Namun baru saja 

dia bergerak setengah langkah, kakek ini melengak kaget karena tahu-

tahu si muka pucat yang mendukung sosok tubuh perempuan itu sudah 

menghadang di depannya, menyeringai dan menggereng.

“Celaka!” seru Ki Dukun dalam hati. Dia berputar ke kiri dan 

melompat kabur. Namun kembali tahu-tahu makhluk itu sudah berada 

di hadapannya!

“Hai! Dengar! Siapa kau sebenarnya... Apa yang kau inginkan 

dariku?!” tanya Ki Dukun dengan suara bergetar ketakutan. Ki Dukun 

melihat mulut makhluk di hadapannya itu bergerak. Lalu dia 

mendengar suara yang aneh menyeramkan.

“A... ku... Ma... yat... Hi... dup... Gu... nung... Kla... bat... Sa... tu... 

ming... gu... la... lu... kau... per... gu... na... kan... il... mu... hi... tam... 

mu... Kau... ki... rim... go... lok... ter... bang... be... ra... cun... mem... 

bu... nuh... ku...”

“Aku tidak kenal padamu! Aku merasa tak pernah 

mencelakaimu...” Ki Dukun terdiam sesaat. Lalu dengan suara semakin 

bergetar dia bertanya: “Si... apa namamu? Katakan asal usulmu...”

“A... ku... Ma... ra... ran... ta... Tang... ka... rio... da... ri... Mi... 

na... ha... sa... Se... se... o... rang... te... lah... me... nyu... ruh... mu... 

un... tuk... mem... bu... nuh... ku! Kau... bo... leh... dus... ta... Ta... pi... 

a... ku... da... tang... un... tuk... mem... ba... las... ke... ma... tian... ku! 

A... ku... mau... min... ta... nya...wa... mu...!”

Mendengar kata-kata itu paras angker Ki Dukun Sura Manjangan 

jadi berubah seputih kain kafan; “Mararanta Tangkario... Mayat HidupGunung Klabat! Ah, dia rupanya! Tapi jika dia memang sudah mati, 

mengapa bisa muncul begini rupa. Lalu siapa perempuan yang 

didukungnya ini...?”

Mayat Hidup Gunung Klabat maju satu langkah lalu dongakkan 

kepala, memperlihatkan luka besar yang mengoyak pangkal lehernya.

“Ja... ngan... be... ra... ni... dus... ta. Ba... co... kan... go... lok... 

ja... ha... nam... mu... bi... sa... kau... li... hat... sen... di... ri... di... le... 

her... ku! Se... se... o... rang... mem... ba... yar... mu... Pa... nge... ran... 

Ma... ta... ha... ri... ”

“Aku... aku...” Ki Dukun Sura Manjangan sadar kalau dia tak 

mungkin berkelit, makhluk bermuka pucat ini agaknya sudah tahu 

segala-galanya. “Dengar... Aku hanya... menjalankan pekerjaanku. 

Segala dosa dan kesalahan orang yang meminta yang menanggung. 

Begitu perjanjian. Jadi kau harus mencari Pangeran Matahari. Bukan 

aku...!”

Si muka mayat menyeringai. “Ka... ta... kan... di... ma... na... Pa... 

nge... ran... ter... ku... tuk... itu...ber... a... da...”

“Sulit mencarinya. Tapi jika kuberi tahu... apakah kau bersedia 

melepaskan diriku... Kau telah membakar rumahku. Pembantuku saat 

ini pasti sudah mati dimakan api. Apakah itu belum cukup...?”

“Ka... ta... kan... sa... ja... di... ma... na... Pa... nge... ran.;. i... tu... 

ber... a... da...”

Tangan kanan Mayat Hidup Gunung Klabat bergerak dan tahu-

tahu Ki Dukun merasakan lehernya sudah kena dicengkeram. Lehernya 

terjulur dan matanya terbeliak. Dia berusaha berontak tapi malah 

tubuhnya diangkat tinggi-tinggi ke atas!

“Jangan! Jangan bunuh aku!” Aku akan katakan dimana manusia 

itu bisa ditemui!” seru Ki dukun dengan suara tercekik-cekik. Tubuhnya 

kemudian diturunkan. Keringat dingin membasahi sekujur badannya 

yang hanya mengenakan cawat putih itu.

“Pangeran itu... Satu hari dalam satu bulan... dia pasti berada di 

sebuah Keraton kecil miliknya, terletak di kaki bukit Rasikembar di 

selatan Imogiri... Tempat ini sulit dicari karena terletak dalam hutan 

lebat dan jarang didatangi manusia

Ki Dukun Sura Manjangan merasa lega ketika merasakan 

makhluk di depannya lepaskan cengkeraman di lehernya.

“Ba... gus... Kau... su... dah... mem... be... ri... ta... hu... Se... ka... 

rang... kau... per... gi... lah... du... luan... Tung... gu... ma... ji... kan... 

mu... i... tu... di... ne... ra... ka...”

“A... apa... maksudmu...?” bertanya Ki Dukun Sura Manjangan.

Sebagai jawaban Mayat Hidup Gunung Klabat hantamkan tangan 

kanannya ke dada si kakek. Terdengar suara berderak hancurnya tulang 

dada dan patahnya tulang-tulang iga sang dukun. Jantungnya pecah. 

Darah menyembur dari mulutnya. Tubuhnya terpental sampai tiga 

tombak, terkapar di tanah tanpa nyawa lagi.

Di atas sebatang pohon seorang pemuda berpakaian putih yangdengan susah payah selalu mengikuti jejak perjalanan makhluk dari 

liang kubur itu gelengkan kepala sambil garuk-garuk rambutnya...”

“Sepuluh orang sakti seperti guruku Sinlo Gendeng ditambah 

sepuluh Dewa Tuak dan sepuluh Tua Gila mungkin tak akan dapat 

mengalahkan makhluk ini... Pangeran Matahari, kau tunggulah. Dia 

pasti akan muncul mencabut nyawamu.” Sesaat pemuda itu merenung. 

“Apa betul dia orang mati kemudian bisa menjelma menjadi mayat 

hidup? Sulit kupercaya... Kalau kemunculannya hanya untuk 

membalaskan sakit hati dendam kesumat itu wajar-wajar saja.

Tapi kalau kemudian dia jadi betah hidup didunia ini dan 

gentayangan menimbulkan keonaran... celakalah dunia persilatan I”

Ketika dilihatnya Mayat Hidup Gunung Klabat meninggalkan 

tempat itu bersama istri dalam dukungannya, pemuda diatas pohon 

yang bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng segera melompat 

turun dan kembali mengikuti perjalanan makhluk itu secara diam-diam. 

Seringkali Wiro ketinggalan atau kehilangan jejak. Dia tidak mampu 

berada dalam jarak yang dekat karena makhluk itu berlari seperti 

terbang dan kedua kakinya tak pernah menginjak bumi. Lagi pula sang 

pendekar tidak berani berada terlalu dekat. Kawatir kalau-kalau yang 

diikuti mengetahui kalau dirinya dikuntit orang. Jika ini sampai terjadi 

dan dia diserang, pasti bencana besar. Sampai saat itu Pendekar 212 

masih belum mampu untuk mengetahui dimana letak kelemahan 

makhluk ini. Disamping itu dia merasa kasihan dan cemas akan nasib 

yang menimpa perempuan muda bernama Minari itu. Meskipun jelas dia 

adalah istri Mararanta, tapi bagaimana mungkin mereka meneruskan 

hidup sebagai suami istri. Satu manusia sungguhan dan satunya lagi 

makhluk mati yang hidup dan gentayangan secara aneh!

MALAM ITU mereka berhenti di sebuah bekas reruntuhan candi. 

Minari sengaja berpura-pura tidur. Tapi diam-diam dia memperhatikan 

gerak-gerik Mararanta Tangkario, suaminya yang sekarang berada 

dalam kehidupan yang sulit dipercayanya. Lelaki itu duduk di atas 

sebuah batu besar, tapi kedua kakinya tetap mengambang, tak pernah 

menginjak tanah. Rasa takut yang menguasai dirinya selama berhari-

hari membuat dia seperti hendak gila. Betapapun dia mencintai 

suaminya tapi bukan berarti dia bisa hidup dengan makhluk seperti itu. 

Mararanta sendiri telah menceritakan bahwa dirinya adalah mayat 

hidup! Dan ini memang dibuktikannya. Sampai hari itu Minari tak 

pernah melihat Mararanta makan atau minum. Dirinya pun tak pernah 

disentuhnya kecuali ketika mendukungnya dan membawanya berlari. 

Sudah beberapa kali Minari mengambil keputusan nekad untuk 

melarikan diri. Tetapi Mararanta seperti dapat membaca hatinya. Lelaki 

itu selalu mengawasi dirinya, baik siang maupun malam. Dan satu hal 

lagi yang membuat sulit bagi Minari untuk lari ialah Mararanta tak 

pernah tidur.

Kesunyian malam berlalu dalam bungkusan udara dingin. Minarihampir benar-benar tertidur ketika ada sebuah kerikil kecil jatuh 

mengenai pipinya. Dibukanya kedua matanya. Mararanta dilihatnya 

masih duduk di atas batu tadi, membelakanginya. Kemudian disamping 

kanan dia seperti melihat bayangan seseorang di balik sebuah arca 

buntung. Dipandanginya arca itu tanpa berkedip. Ah, mungkin hanya 

perasaannya saja. Tak ada apa-apa dekat arca itu. Tapi batu barusan 

jatuh di pipinya? Minari akhirnya pejamkan matanya kembali. Namun 

baru kelopak matanya menutup setengah, dia melihat ada tangan yang 

melambai dibalik arca buntung itu. Minari buka kedua matanya lebar-

lebar kembali. Saat itulah dia melihat sosok tubuh dan kepala muncul 

di balik arca. Karena jarak arca dan tempatnya berbaring tidak berapa 

jauh, selain itu rembulan yang dua pertiga bulat cukup menerangi 

tempat itu, Minari walaupun samar-samar masih sempat melihat dan 

mengenali orang itu.

“Pemuda itu kata Minari dalam hati. “Dia yang menolongku di 

pondok kayu dalam hutan sebelum Mararanta muncul... Dia ternyata

mengikutiku sampai kesini... Pasti dia bermaksud menolongku... 

Sayang... dia tak akan bisa melakukannya...” Tengah Minari berkata-

kata dalam hati seperti itu, pemuda dibalik arca lemparkan sebuah 

benda ke arah Minari. Benda ini ternyata segulung kertas dan jatuh 

tepat di samping kepala Minari.

Minari cepat-cepat mengambil kertas itu dan menyembunyikannya 

di balik dada pakaiannya, tepat pada saat Mararanta bergerak bangkit 

dari batu. Dia memandang berkeliling, lalu berpaling pada Minari.

“Ki... ta... ta... hu... si... tu... ti... dak... ti... dur...”

Tentu saja Minari terkejut mendengar kata-kata itu.

“Kakak... aku hampir tertidur... Tapi aku lihat kakak berdiri. Kau 

juga perlu istirahat kakak. Kau perlu tidur...” kata Minari pula. Lalu 

perempuan ini jadi merinding sendiri. Bagaimana kalau Mararanta 

benar-benar tidur dan berbaring disampingnya!

“Ma... yat... ti... dak... per... nah... ti... dur...” terdengar jawaban 

Mararanta Tangkario. Dia memandang lagi berkeliling. “Ki... ta... a... 

da... de... ngar... bu... nyi... ba... tu... ja...tuh... Bu... nyi... ben... da... 

me... la... yang!”

“Pendengaran kakak terlalu tajam. Aku tidak mendengar bunyi 

apa-apa...” sahut Minari.

“Ma... yat... hi... dup... ti... dak... bi... sa... di... ti... pu...” kata 

Mararanta pula. “A... ku... ma... u... me... nye... li... dik...” Lalu dia 

bergerak cepat ke arah arca buntung.

“Celaka kalau pemuda itu masih berada di-sana...” kata Minari 

dalam hati. Dilihatnya Mararanta sudah sampai ke dekat arca besar 

tanpa kepala itu, memandang kian kemari, tapi tidak melihat atau 

menemukan apa-apa. Mayat hidup bergerak ke jurusan lain. Melihat 

gerakan tubuh yang melayang kian kemari tanpa menginjak tanah itu, 

Minari jadi ngeri sendiri. Kemudian dilihatnya Mararanta kembali ke 

tempatnya“Sudah kubilang, telingamu terlalu tajam kakak. Tak ada makhluk 

apapun di tempat ini, kecuali kita berdua...”

Mararanta tak berkata apa-apa dan kembali duduk di atas batu. 

Esok paginya ketika mendapat kesempatan pergi membersihkan diri di 

sebuah mata air, Minari keluarkan gulungan kertas yang 

disembunyikannya di dada pakaian lalu membukanya. Di atas kertas 

kecil itu ternyata ada tulisan berbunyi:

Meskipun dia adalah suamimu, Tapi aku khawatir keselamatanmu 

terancam Besok malam jika kau dengar suara lolongan srigala, minta dia 

untuk menyelidik Begitu dia lengah, aku akan melarikanmu

Wiro

“Jadi namanya Wiro kata Minari dalam hati. “Aku memang ingin 

melarikan diri, apalagi ada yang mau membantu. Tapi apakah pemuda 

itu sanggup, menolong...?”

Minari campakkan kertas itu ke dalam air. Kertas sesaat 

mengambang dan terbawa arus menuju ke sebuah kali kecil dangkal 

yang dasarnya berbatu-batu. Pada sebuah tonjolan batu kertas itu 

tertahan. Satu tangan kemudian mengambilnya, meskipun kertas itu 

basah namun apa yang tertulis di atasnya masih bisa dibaca jelas. Dan 

yang mengambil serta membaca kertas itu bukan lain adalah Mayat 

Hidup Gunung Klabat!


9


SEJAK SORE LANGIT tampak mendung. Menjelang malam hujan turun 

rintik-rintik. Mayat Hidup Gunung Klabat sadar, bagaimanapun 

cepatnya dia berlari, tak mungkin dia akan sampai ke tempat tujuan di 

selatan Imogiri malam itu. Lagi pula Minari perlu istirahat. Dan yang 

paling penting malam ini dia harus dapat menjebak pemuda bernama 

Wiro itu. Ketika dia menghantamnya di rumah papan di hutan jati, dia 

menyangka pemuda itu sudah menemui ajal, hancur bersama rumah 

itu. Ternyata dia masih hidup dan masih nekad hendak menolong 

Minari, hendak mengambil istrinya dari tangannya.

Di kejauhan tampak sebuah teratak, yaitu gubuk ditengah daerah 

perladangan yang biasa dipergunakan para petani untuk beristirahat 

atau makan siang. Mararanta Tangkario segera menuju teratak ini, dan 

membaringkan Minari di lantai. Dari dalam kantong perbekalan 

Mararanta mengeluarkan sebungkus makanan lalu diletakkannya di 

samping Minari.

“Kau... per... lu... ma... kan... is... tri... ku”

“Aku tidak lapar kakak...” sahut Minari. Perempuan ini berada 

dalam keadaan tegang. Sesuai dengan surat yang telah dibuangnya di 

mata air, malam itu pemuda bernama Wiro akan menolongnya. Akan 

berhasilkah pemuda itu melarikannya? Jika sampai tertangkap basah 

oleh Mararanta, mampukah dia menghadapinya? Kesaktian yang 

dimiliki Mararanta bukan kesaktian manusia biasa. Tapi kesaktian dari 

alam aneh yang tidak satu manusia hiduppun bisa menguasainya! Dulu 

dia memang mempunyai kepandaian silat serta kesaktian yang tinggi. 

Namun semua kehebatannya itu tidak berkutik di hadapan Pangeran 

Matahari. Namun kini dia muncul dalam bentuk kehidupan lain, yang 

sulit diterima akal dan juga mengerikan. Dan kini dia memiliki 

kesaktian yang luar biasa hebatnya.

“Ka... lau... kau... ti... dak... mau... ma... kan... ti... dur... lah... 

Be... sok... pa... gi... pa... gi... se... ka... li... ki... ta... lan... jut... kan... 

per... ja... lan... an...” kata Mararanta pula.

“Kakak... Jika urusanmu dengan Pangeran Matahari selesai, apa 

yang akan kau lakukan...?” bertanya Minari.

“A... ku... a... kan... ba... wa... kau... ke... Mi... na... ha... sa... Ki... 

ta... a... kan... ber... kum... pul... la... gi... Se... ba... gai... sua... mi... is... 

tri...”

Bulu kuduk Minari merinding mendengar kata-kata itu.

“Menurutmu, kita berada dalam dua alam yang berbeda tak 

mungkin berkumpul...”

“A... ku... pu... nya... ca... ra... a... gar... kita... ber... a... da... di... 

a... lam... yang... sa... ma...”“Caranya?” tanya Minari.

Mayat Hidup Gunung Klabat menyeringai. Belum sempat Minari 

mendengar jawabannya tiba-tiba dikejauhan terdengar suara lolongan. 

Lolongan srigalal Itulah tanda dari si pemuda. Minari merasakan 

sekujur badannya tegang dan detak jantungnya berdegup lebih cepat.

“Suara lolongan srigala... Kau mendengarnya kakak...?” tanya 

Minari dengan suara tercekat. Mayat Hidup Gunung Klabat

mengangguk.

“Aku takut... Kau harus berjaga-jaga. Kau... sebaiknya menyelidik 

dan membunuh binatang itu sebelum dia berada lebih dekat ke tempat 

ini

Mayat Hidup Gunung Klabat memandang sesaat pada Minari, 

membuat perempuan ini merasa seperti putus nyawanya.

“A... ku... a...: kan... me... nye... Ii... dik... Aku... a... kan... ba... 

wa... ke... pa... la... sri... ga... la... i... tu... a... gar... kau... me... Ii... hat... 

sen... di... ri...”

“Jangan, tak usah. Kau bunuh saja begitu ketemu. Jangan dibawa 

kepalanya kemari...” kata Minari pula.

Di kejauhan kembali terdengar suara lolongan srigala. Mayat 

Hidup Gunung Klabat menyeringai, lalu melangkah cepat ke arah 

terdengarnya suara lolongan srigala.

“Ma... nu... sia... pe... ni... pu... Kau... a... kan... mam... pus... da... 

lam... ke... ne... kad... an.mu!”

Cepat sekali dia sudah berada di tempat dimana dia tadi 

mendengar datangnya suara lolongan itu, tetapi secepat dia datang, 

secepat itu pula dia memutar tubuh dan berbalik kembali menuju ke 

teratak. Hanya saja, sesuatu menarik perhatiannya di tengah jalan. Dia 

melihat sesosok tubuh berpakaian putih mendekam di balik sebatang 

pohon besar.

“Hem... i... tu... pas... ti... pe... mu... da... bang... sat itu. A... kan... 

ku... han... cur... kan... dia... ber... sa... ma... po... hon... i... tu!”

Mayat Hidup Gunung Klabat angkat tangan kanannya. Pundak 

kanan membuat gerakan menyentak. Bersamaan dengan itu tangannya 

menghantam. Terdengar suara menderu seperti ada topan menyerbu. 

Batang pohon besar di depan sana hancur berantakan lalu tumbang 

dengan suara menggemuruh. Beberapa pohon disekitarnya ikut terseret 

dan mental berpatahan.

Mayat Hidup Gunung Klabat melompat ke arah pohon besar yang 

tumbang, memandang berkeliling. Dia melihat robekan-robekan pakaian 

putih, tapi sama sekali tidak menemui hancuran tubuh manusia, tidak 

melihat muncratan darah!

“Ke... pa... rat... itu... me... ni... pu... ku!” menggereng Mayat 

Hidup Gunung Klabat. “Bang... sat...! Ja... ngan... ha... rap... bi... sa... 

lo... los... da... ri... ta... ngan... ku!”

Lalu secepat kilat dia berkelebat ke arah teratak.BEGITU MARARANTA meninggalkan teratak, Pendekar 212 yang 

sembunyi di balik serumpun keladi hutan cepat keluar dan melompat ke 

atas teratak. Minari hampir menjerit saking kagetnya.

Wiro cepat tekap mulut perempuan ini. “Jangan mengeluarkan 

suara. Apa kau cukup kuat untuk berlari...?”

Minari menggeleng.

“Kalau begitu biar kudukung!”

Lalu murid Eyang Sinto Gendeng itu turun dari atas teratak, 

menarik tubuh Minari dan mendukung perempuan itu di bahu kirinya. 

Tanpa membuang waktu lagi Pendekar 212 segera melompat ke bagian 

yang gelap. Namun alangkah kagetnya pendekar ini ketika tiba-tiba di 

depannya berkelebat satu bayangan. Angin yang menyambar dari sosok 

bayangan itu membuat dia terhuyung ke kiri. Untuk imbangi diri sambil 

memasang kuda-kuda Wiro cepat melompat ke kanan. Bersamaan 

dengan itu dia siapkan tenaga dalamnya ke tangan kanan sambil 

merapat aji kesaktian pukulan sinar matahari.

Mayat Hidup Gunung Klabat! makhluk itu kini tegak di hadapan 

Wiro dengan dua kaki yang tak menginjak bumi terpentang lebar. 

Mulutnya menyeringai menyeramkan!

Sebelumnya Wiro telah menghadapi Mayat Hidup Gunung Klabat 

dan menerima pukulan dahsyat yang luar biasa panasnya. Dia juga 

sempat menyaksikan bagaimana Mararanta membunuh Ki Dukun Sura 

Manjangan hanya sekali hantam saja. Mau tak mau dia harus berjaga-

jaga. Yang mengherankannya adalah mengapa makhluk itu begitu cepat 

muncul kembali dan menghadangnya?!

“Ba... gus... ba... gus! Du... a... ma... nu... sia... ber... kom... plot... 

me... ni... pu... ku. Sa... tu... se... ge... ra... mam... pus... Sa... tu... nya... 

a... kan... men... da... pat... hu... ku... man... be... rat... da... ri... ku...!”

Mayat Hidup Gunung Klabat angkat tangan kanannya. Serta 

merta hawa panas menebar di tempat itu. Sambil menggerakkan pula 

tangan kanannya Pendekar 212 berseru : “Mararanta! Jika kau 

menyerangku dengan pukulan sakti mengandung hawa panas itu berarti 

kau akan membunuh istrimu sendiri!”

Wiro merasakan tubuh Minari menggigil di atas dukungannya. 

Perempuan ini ketakutan setengah mati. “Tenang saudari... jangan 

takut. Jangan membuat gerakan apa-apa...” berbisik Wiro.

Di hadapannya Mayat Hidup Gunung Klabat menyeringai. “Kau... 

be... nar... Is... tri... peng... khi... a... nat... itu... be... lum... sa... at... 

nya... ma... ti... A... ku... ha... rus... meng... hu... kum... nya... le... bih... 

du... lu... I”

“Kakak Mararanta!” Minari berseru seraya angkat kepalanya. “Aku 

tidak mengkhianatimu. Aku...”

“Tu... run... da... ri... ba... hu... o... rang... i... tu... Ber... ja... lan... 

ke... a... rah... ku!”

Minari jadi bingung dalam takutnya. Ketika dia hendak meluncur 

turun, Wiro segera membentak : “Jangan dengar kata-katanya. Sekalikau kembali kepadanya, kau tak akan bisa diselamatkan lagi Minari!”

“Ma... nu... sia... be... jat...! A... pa... kau... tak... da... pat... pe... 

rem... pu... an... lain... ma... ka... me... la... ri... kan... is... tri... o... 

rang...?! Kau... sa... ma... sa... ja... be... jat... nya... de... ngan... Pa... 

nge... ran... Ma... ta... ha... ri!”

“Aku tidak melarikan istrimu, Mararanta. Kau dan dia tak 

mungkin berkumpul lagi sebagai suami istri. Kau harus menyadari hal 

itu!” menjawab Wiro.

“Kau... pan... dai... men... ca... ri... da... lih! A... pa... ke... pen... 

ting... an... mu... men... cam... pu... ri... u... rus... an... ka... mi... sua... 

mi... is... tri...”

“Mararanta, kau sendiri mengetahui dirimu bukan manusia lagi, 

tapi mayat yang dihidupkan. Jika kau terus menginginkan Minari 

berada bersamamu, berarti kau akan menyiksa dirinya dengan 

penderitaan dan rasa takut seumur hidupnya. Atau kau memang 

menginginkan kematiannya?!”

“Di... a... te... lah... ber... sa... lah... Ber... khia... nat... ter... ha... 

dap... ku. Ber... arti... me... mang... ha... rus... ku... bu... nuh. Ta... pi... 

se... ka... rang... be... lum... sa... at... nya... Di... a... ha... rus... ku... 

hu... kum... le... bih... du... lu... IA... ku... su... dah... mem... ba... ca... 

su... rat... ra... ha... sia... yang... kau... ki... rim... kan... pa... da... Mi... 

na... ri... Ka... lian... ber... dua... ma... sih... ma... u... ber... ke... lit...?!”

Wiro dan Minari terkejut bukan kepalang. Dan saat itu di hadapan 

mereka Mararanta terdengar menggereng keras. Tangan kanannya 

bergerak, tetapi tidak menghantam atau melepaskan pukulan apa-apa. 

Malah tubuhnya di lain kejap berkelebat lenyap dan sedikit kemudian 

terdengar pekik Minari. Wiro merasakan perempuan itu terbetot dari 

atas bahunya. Maka tanpa menunggu lebih lama Pendekar 212 

menghantam ke arah bayangan Mayat Hidup Gunung Klabat yang 

dilihatnya berkelebat di depannya.

Hawa panas menerpa. Tempat yang gelap itu menjadi terang 

benderang ketika pukulan sinar matahari menghantam dahsyat 

menyilaukan!

Saat itu Mayat Hidup Gunung Klabat berhasil menjambak rambut 

Minari. Dalam keadaan menjerit-jerit perempuan ini dikempitnya di 

ketiak kiri. Ketika pukulan sakti sinar matahari menghantam ke 

arahnya, dia sama sekali tidak berusaha menghindar ataupun 

menangkis. Wiro jadi terkesima karena khawatir pukulannya akan 

menciderai Minari.

Tiba-tiba Mararanta gembungkan mulut dan meniup ke depan!

Terdengar suara berdentum. Tanah bergetar seperti dilanda lindu. 

Laksana menghantam tembok baja yang atos pukulan sinar matahari 

membalik menyapu ke arah Pendekar 212!

“Ya Tuhan!” Murid Sinto Gendeng mengucap keras. Jatuhkan diri 

ke tanah. Ketika pukulan sinar matahari menyambar dengan ganas, tak 

ada jalan lain untuk selamatkan diri. Pendekar ini hantamkan keduatangan bahkan kedua kakinya ke atas.

Benteng topan melanda samudera! itulah pukulan sakti yang 

dilepaskan Wiro untuk menyelamatkan dirinya dari pukulan sinar 

matahari yang tadi dilepaskannya sendiri.

Terjadilah satu hai yang hebat. Dua benturan menggelegar susul 

menyusul di tempat itu. Sosok Mayat Hidup Gunung Klabat terbanting 

ke tanah. Minari yang dikempitnya di ketiak kiri terlepas lalu terguling 

jatuh ke arah tanah yang terjal. Begitu menyadari dirinya terlepas, 

perempuan ini kumpulkan segala tenaga yang ada lalu lari sekencang-

kencangnya. Dia tak perduli ke arah mana larinya. Yang penting lari 

sekencang mungkin dan sejauh mungkin, terlepas dari cengkeraman 

Mararanta. Bagaimanapun dia mencintai lelaki itu, apalagi pernah pula 

menjadi suaminya, namun kenyataan yang dihadapinya kini serta 

keanehan yang mengerikan yang terjadi atas diri lelaki itu membuatnya 

tak ada jalan lain dari pada berusaha menyelamatkan diri!

Minari lari terus sekencang yang bisa dilakukannya sampai 

akhirnya kedua kakinya terasa goyah dan dadanya sesak mendenyut. 

Larinya kini tersaruk-saruk, akhirnya perempuan ini tersandung dan 

jatuh terjerembab. Sebelum tubuhnya mencium tanah, satu tangan 

merangkul bahunya. Minari berpaling lalu menjerit keras ketika 

mengenali siapa adanya yang mencekal dirinya. Perempuan ini akhirnya 

pingsan dalam keadaan kehabisan tenaga dan sangat takut!

Sambil bangkit terhuyung-huyung Mayat Hidup Gunung Klabat 

memandang berkeliling. Minari dan Wiro Sableng sama sekali tidak 

kelihatan. Mayat hidup ini menggereng keras dan kepalkan kedua 

tinjunya. Dia berkelebat kian kemari, mementang mata memasang 

telinga. Tetap saja dia tidak menemukan kedua orang itu. Juga tidak 

terdengar suara apa-apa selain tiupan angin yang terasa dingin, 

makhluk ini mendongak ke atas. Hidungnya menghirup dalam-dalam. 

“Di... a... ma... sih... be... lum... ja... uh... Ma... sih... be... lum... ja... 

uh...” Lalu Mayat Hidup Gunung Klabat berkelebat ke jurusan dimana 

dia bisa membaui tubuh Minari karena sekian lama selalu saling 

berdekatan.

Apa yang terjadi dengan Pendekar 212 Wiro Sableng? Ketika 

pukulan sinar matahari datang menyapu dan dia menghantam dengan 

pukulan benteng topan melanda samudera, dua dentuman yang dahsyat 

membuat tubuhnya terlempar jauh, terguling ke sebuah jurang sedalam 

lima tombak di ujung peladangan. Pakaiannya robek-robek, kulitnya 

lecet dan luka berkelu-kuran. Dan begitu dia terhempas di dasar jurang, 

pendekar ini muntahkan darah segar. Sepasang tangan dan kedua 

kakinya seperti lumpuh. Beberapa kali dia mencoba bangkit tapi rubuh 

kembali. Akhirnya dalam keadaan tak berdaya seperti, itu, Wiro hanya 

bisa tergeletak menunggu nasib. Dia tidak menyadari justru dengan 

jatuh ke dalam jurang inilah dia selamat dari tangan Mayat Hidup Gunung


10


PANGERAN MATAHARI MENGISAP pipa gading yang berisi tembakau 

bercampur candu itu panjang-panjang. Kedua matanya sampai 

terpejam-pejam saking merasa nikmat. Beberapa kali bola matanya 

berputar-putar kemudian dia berpaling pada perempuan yang terbaring 

menelungkup dalam keadaan tanpa busana di sebelahnya.

“Apa enaknya menghisap tembakau seperti itu...?” bertanya 

perempuan itu. “Sulit menerangkan. Kau harus mencobanya sendiri. 

Mau?”

Yang ditanya menggeleng.

“Menghisap tembakau campur candu, jika tahu takarannya yang 

tepat akan membuat seseorang menjadi sehat dan perkasa... Kau 

merasakan sendiri malam tadi bukan? Ha... ha... ha... ”

Perempuan itu menggigit bahu Pangeran Matahari lalu merangkul 

tubuh lelaki itu seraya berbisik : “Kau memang kuat sekali Pangeran. 

Malam tadi... ah, malu aku mengatakan. Aku hampir-hampir menangis 

kewalahan...”

Pangeran Matahari tertawa gelak-gelak mendengar ucapan itu. 

Lalu mencabut pipanya dan berkata : “Akupun tidak menyangka kau 

begitu hebat melayaniku, Nyiruni. Biasanya aku hanya tinggal satu hari 

di Keraton ini. Tapi bersamamu, aku akan tambah satu hari lagi... Ha... 

ha... ha!”

“Kau suka tinggal di Keraton kecil ini?”

“Suka sekali, asal kau tetap berada disini Pangeran. Tidak 

meninggalkan aku sampai berbulan-bulan...”

“Ah, aku orang banyak urusan dan kepentingan...”

“Urusan dan kepentingan dengan perempuan-perempuanmu yang 

cantik-cantik lainnya...!” kata Nyiruni seraya cemberut.

“Eh... kau yang paling cantik diantara semua perempuan yang 

kukenal. Dan paling ganas di atas ranjang...!”

Mendengar ucapan itu Nyiruni langsung bangkit dan menindih 

tubuh sang Pangeran, Terangsang oleh tubuh yang bagus dan mulus itu 

Pangeran Matahari letakkan pipa gadingnya di meja kecil di samping 

tempat tidur. Baru saja dia hendak menggumuli tubuh Nyiruni tiba-tiba 

diluar terdengar suara genta tiga kali berturut-turut.

Pangeran Matahari terkejut dan angkat tubuh Nyiruni ke samping.

“Ada apa Pangeran...?”

“Jika penjaga menarik genta tiga kali berturut-turut berarti ada 

bahaya mengancam Keratonku!”

“Ah, siapa manusianya yang berani berbuat macam-macam 

terhadapmu, Pangeran? Biarkan saja para pengawalmu yang 

menyelesaikan segala urusan diluar sana. Aku ingin kita bersenangsenang, tidak turun dari atas ranjang ini sampai besok pagi!”

Di luar sana kembali terdengar suara genta tiga kali berturut-

turut. Pangeran Matahari melompat dari atas ranjang, tidak perdulikan 

panggilan manja penuh birahi Nyiruni. Dia mengenakan pakaian 

hitamnya dengan cepat lalu berpaling pada Nyiruni yang menelentang 

bugil di atas ranjang. “Kau tetap disini. Tunggu sampat aku kembali. 

Urusanku tak akan lama!”

“Ennggg...” Nyiruni masih berusaha bermanja-manja. Tapi sang 

Pangeran sudah melangkah ke pintu sambil mengikatkan kain merah ke 

keningnya.

Sesuai dengan sifatnya yang biasa mengagulkan diri sebagai 

pendekar segala cerdik, segala akal, segala ilmu, segala licik dan segala 

congkak, Pangeran Matahari tidak langsung menuju ke bagian depan 

Keraton kecil yang terletak di rimba belantara di kaki bukit Rasikembar 

di selatan Imogiri. Dia justru pergi ke bagian belakang Keraton lalu 

melompat ke atas atap bangunan. Dari sini dia akan dapat melihat 

dengan jelas segala sesuatu yang ada di halaman Keratonnya. Tapi 

begitu dia berada di atas atap, kagetlah sang pangeran. Seorang pemuda 

berambut gondrong yang tak asing lagi dilihatnya duduk bersila enak-

enakan di atas atap sambil mengunyah sebuah jagung bakar. Sebuah 

jagung lagi dipegangnya ditangan kiri.

“Kurang ajar, jadi kau rupanya yang hendak membuat keributan 

di tempat kediamanku! Apa masih belum kapok...? Apa sudah begitu 

ingin buru-buru mampus pendekar sableng...?!”

Pemuda gondrong berpakaian putih robek-robek serta banyak 

bekas luka di tubuh dan wajahnya, tersenyum lebar dan angkat tangan

kirinya yang memegang jagung. Dengan mulut masih penuh dia berkata: 

“Tenang... jangan cepat-cepat naik darah Pangeran! Bukan aku yang 

mau membuat keonaran disini! Tapi ada orang lain! Dan aku mau 

menyaksikan bagaimana dia akan membantai tubuhmu!”

“Keparat! Apa maksudmu Pendekar 212?! Siapa orang yang 

katamu hendak membantaiku itu?!” bentak Pangeran Matahari dengan 

marah hingga rahangnya tampak menonjol dan pelipisnya bergerak-

gerak.

“Ssst... Jangan bicara keras-keras. Nanti kedengaran si tukang 

bantai itu!” ujar pemuda berpakaian putih yang bukan lain adalah 

Pendekar 212 Wiro Sableng. “Ini, kau makan dulu jagung bakar ini. 

Rasanya enak, manis gurih dan masih panas!” Lalu seenaknya Wiro 

lemparkan jagung yang di tangan kirinya ke arah Pangeran Matahari. 

Karena lemparan jagung itu mengarah ke mata kanannya dan jika 

dibiarkan bisa mencelakai dirinya, mau tak mau Pangeran Matahari 

terpaksa cepat-cepat menyambuti jagung bakar itu dengan mata 

membeliak,

“Sudah, makan saja dulu jagung itu! Kalau perut kenyang, tentu 

kau akan lebih senang menghadapi musuh yang datang!” ujar Wiro pula 

lalu tertawa mengekeh tapi perlahan-lahan.“Bangsat!” maki Pangeran Matahari. Jagung bakar yang 

dipegangnya di tangan kanan hendak dibantingkannya ke atas atap. 

Tapi tangannya ditarik kembali. Lalu seperti orang kelaparan jagung 

bakar itu digerogotinya dengan cepat. Sebentar saja jagung itu hanya 

tinggal bonggolnya!

“Nah, begitu baru hebat!” Wiro acungkan jempol tangan kirinya. 

“Sekarang kau majulah ke ujung atap sana. Kau akan melihat siapa 

pembantai yang sedang menunggumu di halaman Keraton!”

Masih dengan mata melotot dan rahang menggembung, Pangeran 

Matahari melangkah ke ujung atap. Wiro jatuhkan tubuhnya sama rata 

dengan atap ketika Pangeran Matahari melompatinya. Begitu sampai di 

ujung atap dan memandang ke halaman di bawahnya, terkejutlah 

Pangeran Matahari menyaksikan pemandangan di bawah sana!

Empat orang pengawal Keraton bergeletakan di tanah. Dua 

dengan kepala pecah, dua lagi dengan dada dan perut jebol! Bukan ke-

matian empat pengawal itu yang membuatnya terkesiap. Tapi justru dia 

melengak ketika melihat siapa yang berdiri diantara empat mayat!

“Aneh, aku tidak mendengar pekik mereka! Dan orang yang tegak 

diantara mayat-mayat itu...?” Pangeran Matahari usap matanya sampai 

pedas. “Mararanta Tangkario! Mana mungkin! Ki Dukun,Sura 

Manjangan bukankah sudah membunuhnya beberapa waktu lalu...?” 

Pangeran Matahari seolah bicara pada dirinya sendiri.

“Dukunmu yang pandai mengirimkan golok terbang pembunuh 

sampai ke seberang lautan itu sudah digasaknya sampai mampus 

beberapa hari lalu, Pangeran...!” Satu suara terdengar disamping sang 

Pangeran. Tanpa berpaling Pangeran Matahari sudah tahu kalau yang 

bicara adalah Pendekar 212 Wiro Sableng.

“Bagaimana kau bisa tahu?!” Pangeran Matahari bertanya tidak 

percaya.

“Aku menyaksikannya sendiri!” sahut Wiro. 

“Dia sudah mampus! Mana mungkin bisa hidup lagi!”

“Dia memang sudah mampus! Lihat bekas luka bacokan yang 

mematikan di lehernya serta darah kering yang menodai pakaiannya. Itu 

pertanda bahwa dukunmu itu memang telah menyelesaikan tugasnya 

membunuh manusia bernama Mararanta Tangkario itu. Namun ada 

satu kekuatan lain diluar akal manusia yang mampu 

menghidupkannya. Ingat kejadian beberapa waktu lalu? Dialah yang 

telah menghancurkan rumah papan milikmu lalu melarikan Minari! Saat 

ini kau lihat sendiri, perempuan yang jadi istrinya itu didukungnya di 

bahu kiri!”

“Bangsat! Dulu dia melarikan diri ketika kuhajar habis-habisan! 

Kalau dia memang mayat yang dihidupkan. Rupanya hendak minta mati 

kedua kali!”

“Pangeran, jangan menganggap enteng lawanmu itu. Dulu di 

masih merupakan manusia biasa. Saat ini mungkin setengah setan 

setengah iblis! Kau tak bakal menang menghadapinya. Itulah sebabnyatadi kuberikan jagung bakar itu agar kau bisa mati dengan perut 

kenyang! Di liang kubur atau di neraka tak ada yang akan memberikan 

makan, apalagi jagung bakar segurih itu padamu. Ha... ha... ha...!”

“Sialan, anjing kurap!” maki Pangeran Matahari. “Kau saksikan 

bagaimana aku akan melumat tubuh mahluk itu bersama istrinya! 

Kalau keduanya sudah mampus, giliranmu akan kuhajar sampai 

bangkaimu hanya tinggal tulang dan daging tak berbentuk!”

“Ah, mauku kau mampus di tanganku Pangeran. Tapi buat apa 

bercapai tangan kalau ada yang lebih mampu melakukannya. Aku 

hanya tinggal menonton saja! Ha... ha... ha!”

“Keparat kau, Pendekar 212! Kau tunggu giliranmu! Jangan kabur 

dari sini!”

Sehabis mendamprat begitu Pangeran Matahari langsung 

melompat turun ke halaman Keratota kecil. Gerakannya sebat kedua 

kakinya menyentuh tanah tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Begitu 

berhadapan dengan Mararanta Tangkario, Pangeran Matahari langsung 

menyapu orang itu dengan pandangan mata tajam dan ketika melihat 

bagaimana disiang bolong itu kedua kaki Mararanta Tangkario sama 

sekali tidak menginjak tanah, berdesirlah darah Pangeran Matahari. 

“Jadi benar yang kulihat ini bukan manusia!”

“Pa... nge... ran... Ma... ta... ha... ri! Kau... ber... ha... sil... mem... 

bu... nuh... ku... se... ca... ra... ke... ji... pe... nge... cut... Si... ang... i... 

ni... a... ku... da... tang... un... tuk... me... ngam... bil... nya... wa... mu” 

Mayat Hidup Gunung Klabat langsung membuka mulut begitu melihat 

Pangeran Matahari berada di hadapannya.

Sang Pangeran tentu saja tercekat ketika mendengar suara orang 

itu. Aneh mengerikan. Tapi kecongkakannya masih bisa membuatnya 

ajukan pertanyaan.

“Katakan dulu kau ini benar mayat hidup yang gentayangan 

untuk menuntut balas...?”

“Kau... ti... dak... bu... ta... Ke... ja... ha... tan... mu... sa... ngat... 

ke... ji... Kau... men... cu... lik... is... tri... ku... mem... per... ko... sa... 

nya...”

“Lalu apakah saat ini kau datang untuk mengantarkan istrimu, 

menyuguhkannya padaku? Ha... ha...! Aku tidak perlu lagi perempuan 

busuk itu Mararanta! Nikmatilah sendiri olehmu!”

“Ma... nu... sia... dur... ja... na... ber... da... rah... bi... na... tang... 

ber... ha... ti... ib... lisi A... jal... mu... su... dah... sam... pai...!”

Mayat Hidup Gunung Klabat lalu meniup keras-keras dan 

bersamaan dengan itu tangan kanannya dihantamkan ke arah Pangeran 

Matahari.

Kagetlah sang Pangeran ketika merasakan bagaimana halaman itu 

berubah seperti dibakar kobaran api. Hawa.panas yang luar biasa 

disertai dorongan yang dahsyat membuatnya berteriak keras, melompat 

setinggi tiga tombak, lalu dari atas dia lepaskan pukulan sakti bernama 

pukulan Gerhana Matahari!


11


SINAR KUNING, MERAH DAN HITAM berkiblat, menderu ke arah 

Mayat Hidup Gunung Klabat. Bumi seperti dipanggang saking panasnya. 

Siapa saja yang kena tersambar angin pukulan sakti itu pastilah akan 

hangus tubuhnya. Kalau sampai terkena telak maka dia akan mati 

dengan tubuh gosong! Namun Mayat Hidup Gunung Klabat tidak 

perdulikan serangan berbahaya yang bisa membawa maut itu. Udara 

panas yang keluar dari serangan lawan baginya suatu hal yang biasa. 

Malah ketika tiga sinar itu menyambar tubuhnya, dia jentikan lima 

jarinya ke udara. Lima sinar putih terang benderang menyambar ganas.

Bummm! Bummm! Buuuummmm!

Terdengar suara ledakan tiga kali berturut-turut ketika tiga dari 

lima sinar terang yang keluar dari jari-jari tangan Mayat Hjdup Gunung 

Klabat menghantam berantakan tiga sinar sakti pukulan Gerhana 

Matahari yang dilepaskan Pangeran Matahari. Sisa dua sinar lagi terus 

menyambar mencari sasaran di tubuh sang Pangeran.

Kaget Pangeran Matahari bukan olah-olah. Dengan muka pucat 

dan berseru tegang dia jatuhkan diri ke tanah, lewat diantara dua 

sambaran sinar serangan lawan lalu bergulingan di tanah. Waktu 

bergulingan dia sengaja membuat gerakan menyamping. Pertama agar 

dapat melihat gerakan lawan berikutnya, kedua karena dia ingin cepat-

cepat membereskan lawan ganas itu dengan pukulan sakti berikutnya 

yakni pukulan Telapak Merapi.

Pangeran Matahari berguling sambil angkat kedua tangannya 

yang mengepal. Lalu mendorong dalam gerakan perlahan. Terdengar 

suara bersuit keras. Mayat Hidup Gunung Klabat tersentak ketika ada 

dua hawa sakti yang luar biasa panasnya tanpa kelihatan bayangan 

atau sinarnya menggebu menelikungnya. Yang pertama menerpa ke 

arahnya, yang kedua menyambar ke arah Minari yang ada di bahu

kirinya.

Melihat orang hendak mencelakai istrinya, marahlah Mayat Hidup 

Gunung Klabat. Tangan kanannya diangkat ke atas, lututnya menekuk. 

Tubuhnya yang seperti membungkuk itu tiba-tiba berputar seperti 

titiran, bersamaan dengan itu tangan kanannya menghantam tiga 

kali,berturut-turut. Terdengar suara menggelegar susul menyusul. Di 

udara tampak tiga kilatan menyilaukan laksana petir menyambar. Dua 

menghantam pukulan sakti Pangeran Matahari, yang ketiga melabrak ke 

arah sang Pangeran sendiri. Meskipun Pangeran Matahari masih 

sanggup menyelamatkan diri dari serangan maut itu, namun tubuhnya 

terbanting tunggang-langgang oleh gelegar dahsyat tadi. Dia jatuhterkapar di tanah dengan dada mendenyut sakit dan wajahnya yang 

angkuh kini tampak sepucat kertas.

Kilatan seperti petir yang ke tiga lewat diatas tubuh Pangeran 

Matahari, terus menghantam atap Keraton kecil dimana Pendekar 212 

berada. Atap yang terbuat dari genting itu hancur berantakan dan 

Pendekar 212 sendiri tak ampun lagi terperosok jatuh ke dalam 

bangunan Keraton.

Hebatnya murid Sinto Gendeng ini jatuh tepat di jurusan kamar 

Pangeran Matahari, tepat di atas ranjang dimana saat itu Nyiruni masih

terbaring bugil sambil enak-enakan menyantap sebuah jeruk besar.

Karuan saja perempuan cantik ini terpekik kaget sementara 

Pendekar 212 Wiro Sableng juga tak kalah kejutnya. Tapi begitu melihat 

wajah cantik tanpa pakaian itu diapun tertawa lebar. Perempuan ini 

pastilah salah satu perempuan penghibur Pangeran Matahari, pikir 

Wiro.

“Siapa kau...?” tanya Wiro.

“Kau yang siapa?!” balik bertanya Nyiruni dengan suara keras dan 

setengah ketakutan karena masih belum hilang kagetnya.

“Aku salah seorang pengawal Pangeran. Saat ini dia tengah 

berkelahi melawan musuh kelas berat. Dia minta aku menjagamu. Kau 

tak perlu takut. Tampangku tidak lebih jelek dari Pangeran itu, bukan?”

“Memang kau... hem... Kau lebih ganteng dari Pangeran Matahari. 

Tapi bajumu kotor, robek-robek dan tubuhmu dekil...” jawab Nyiruni.

“Ah, kalau begitu aku perlu mandi dulu. Ada kamar mandi di 

tempat ini...?” tanya Wiro. Lalu enak saja dia membuka baju putihnya.

Nyiruni hendak mendamprat. Tapi begitu melihat tubuh sang 

pendekar yang kekar penuh otot serta ada rajah 212 di dadanya, 

perempuan yang pada dasarnya memang bangsa jalang ini diam saja. 

Dia menunjuk ke sebuah pintu berwarna kuning muda dan berkata: 

“Dibalik pintu itu ada sebuah kolam. Kau boleh membersihkan dirimu 

disana. Tapi awas. Sekali Pangeran mengetahui perbuatanmu ini, 

jantungmu akan dibetotnya!”

Wiro tertawa sambil garuk-garuk kepala. Dia lari menuju pintu 

kuning dan membukanya. Betul saja, di balik pintu itu terdapat sebuah 

ruangan berbentuk kebun kecil. Di tengah kebun ada sebuah kolam dan 

di atas kolam ada sebuah pancuran yang selalu mengucurkan air jernih 

dan sejuk. Murid Sinto Gendeng tanggalkan pakaiannya lalu mencebur 

masuk ke dalam kolam. Dia baru saja membasahi kepalanya ketika tiba-

tiba pintu kuning terbuka dan seseorang masuk. Pendekar 212 

terbelalak.

“Jika Pangeran mengetahui perbuatanmu, bukan jantungku yang 

dibetotnya, tapi jantungmu yang akan dicopotnya!” kata Wiro. Lalu 

sepasang kaki mulus Nyiruni masuk ke dalam kolam. “Edan diluar sana 

orang berkelahi mati-matian, kita disini...”

“Kita juga mati-matian...!” jawab Nyiruni lalu membenamkan 

tubuhnya ke dalam air KETIKA PENDEKAR 212 keluar dari dalam Keraton menuju ke 

halaman depan dilihatnya perkelahian antara Mararanta Tangkario alias 

Mayat Hidup Gunung Klabat melawan Pangeran Matahari berkecamuk 

dengan hebat. Sang Pangeran telah menghujani lawannya dengan 

pukulan-pukulan sakti namun jangankan membuat lawan roboh, 

bahkan dirinya semakin lama semakin terdesak!

“Heran, ilmu dan kekuatan iblis apa yang dimiliki si Mararanta 

ini?!” pertanyaan itu selalu muncul dalam hati Pangeran Matahari. 

Setelah belasan jurus menyerang dan menghantam satu hal yang tak 

pernah dilakukannya selama ini dalam menghadapi berbagai musuh 

maka akal licik mulai muncul di benak Pangeran Matahari. Dia sengaja 

mendesak dengan serangan berantai, ketika Mayat Hidup membalas 

dengan ganas, Pangeran Matahari sengaja mentalkan dirinya sambil 

menjerit keras lalu roboh berguling-guling di tanah.

Wiro Sableng terbeliak menyaksikan kejadian itu. “Ah... akhirnya 

sampai juga ajalnya desis Wiro. Lalu dilihatnya Mayat Hidup Gunung 

Klabat bergerak mendekati sosok tubuh Pangeran Matahari yang 

terkapar di tanah sambil masih terus mendukung tubuh Minari yang 

berada dalam keadaan pingsan. Namun ketika hanya tinggal satu 

langkah dari hadapan tubuh Pangeran Matahari, tiba-tiba tubuh itu 

bergerak. Sang Pangeran yang diam-diam telah menyiapkan diri dengan 

tenaga cfalam penuh, hantamkan kedua tangannya. Tangan kiri 

melepas pukulan Gerhana Matahari sedang tangan kanan lepaskan 

pukulan Merapi Meletus!

“Bang... sat... Ii... cik!” teriak Mayat Hidup Gunung Klabat. 

Mulutnya meniup dan tangan kanannya dihantamkan kebawah!

Desss!

Bukkk!

Bummm... bummm!

Tanah dan pasir beterbangan. Sebuah lobang besar lagi kelihatan 

di halaman Keraton itu.

Mayat Hidup Gunung Klabat terpental dua tombak. Tapi hebatnya 

dia tidak cidera sedikit-pun bahkan Minari yang didukungnya tidak 

terlepas seolah-olah menempel ke bahunya.

Sebaliknya Pangeran Matahari tampak terkapar menelentang. 

Dadanya seperti ditusuk besi-besi tajam. Dia sadar kalau pukulan 

lawan, walaupun agak meleset telah mematahkan beberapa tulang 

iganya! Sekujur tubuhnya mendadak sontak dijalari hawa panas. 

Dadanya mendenyut sakit. Dan saat itu dilihatnya Mayat Hidup Gunung 

Klabat melangkah menghampirinya!

“Kalau dia menghantam, aku tak punya daya untuk menghindar. 

Apa yang dikatakan Pendekar 212 memang benar! Makhluk ini memiliki 

kekuatan dan kesaktian luar biasa. Ah... tamatlah riwayatku hari ini...!” 

Pangeran Matahari berpaling ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng. Saat 

itu dilihatnya pendekar itu tegak di depan tangga Keraton sambilmengangkat kedua tangannya ke atas. Dua telapak tangan 

dikembangkan lalu diputar.

“Apa pula yang dikerjakan pendekar sableng itu. Aku sudah mau 

dibantai orang, dia masih saja berbuat yang bukan-bukan!” rutuk 

Pangeran Matahari.

Putaran kedua tangan Wiro mula-mula perlahan. Lalu makin lama 

makin kencang, makin kencang dan udara di tempat itu mendadak 

mengalami perobahan! Hawa dingin disertai tiupan angin yang seperti 

seruling menggantikan udara yang tadinya terasa panas. Mayat Hidup 

Gunung Klabat yang dasar kesaktiannya adalah hawa panas, kini 

merasakan tubuhnya jadi menggigil. Kedua kakinya menjadi berat 

untuk dilangkahkan. Semakin dipaksanya, semakin beringas dan marah 

dia maka semakin keras hawa dingin menerpa dirinya. Sekujur 

badannya basah kuyup oleh cairan sedingin es yang kemudian seperti 

membeku membuat dia tak bisa menggerakkan bagian tubuhnya lagi. 

Dicobanya meniup. Otot mulutnyapun ternyata sudah kaku!

Lain halnya dengan Pangeran Matahari.

Walaupun dirinya kini terlepas dari ancaman maut Mayat Hidup 

Gunung Klabat, namun keadaan Pangeran Matahari lebih tersiksa. Di 

sebelah luar sekujur tubuhnya seperti beku dilapisi cairan dingin. 

Sebaliknya di sebelah dalam ada hawa panas menggarang akibat 

pukulan Mayat Hidup Gunung Klabat tadi. Setiap nafas yang ditariknya

membuat dadanya mendenyut sakit. Dari mulutnya terdengar suara 

menggigil diseling oleh suara mengerang kesakitan.

Apakah sebenarnya yang terjadi. Dari mana datangnya hawa 

dingin, yang membungkus tubuh Mayat Hidup dan Pangeran Matahari 

itu?

Seperti diketahui, dari sang guru Eyang Sinto Gendeng, Pendekar 

212 Wiro Sableng mendapat warisan beberapa pukulan sakti. Salah satu 

diantaranya adalah pukulan aneh yang tidak langsung ditujukan pada 

lawan, tetapi dilakukan demikian rupa hingga udara secara tiba-tiba 

menjadi sangat dingin dan lawan akan menjadi kaku dibawa tindihan 

udara dingin itu. Tubuhnya akan basah kuyup oleh lapisan air sedingin 

es! Ilmu pukulan itu yang bernama angin es itulah yang dikeluarkan 

oleh Pendekar 212 Wiro Sableng. Karena baik Mayat Hidup maupun 

Pangeran Matahari memiliki dasar kesaktian yang sama yaitu bertumpu 

pada hawa panas, maka dengan sendirinya keduanya tidak terbiasa 

dengan hawa dingin. Akibatnya mereka akan lebih cepat dikuasai oleh 

pukulan angin es yang membuat Pangeran Matahari jatuh pingsan 

dalam keadaan kaku sementara Mayat Hidup berubah menjadi mayat 

kaku tak kuasa bergerak, tak kuasa berbicara. Minari, yang berada 

dalam keadaan pingsan dan tak tahu apa-apa itu terbungkus air es.

Pada saat keadaan seperti itulah tiba-tiba ada sosok tubuh 

melayang laksana orang berjalan di atas awan atau di balik kabut. 

Orang ini kelihatan samar-samar sekali, antara ada dan tiada. Dia 

mengenakan baju putih dengan panjang celana putih gombrong.Rambutnya yang putih mehjela bahu melambai-lambai di tiup angin.

“Pendekar muda, cukup sudah kau memberi pelajaran pada 

cucuku. Harap kau suka menghentikan serangan hawa sedingin salju 

ini!”

Yang bicara ternyata adalah orang tua yang kelihatan samar-

samar. Suaranya seperti datang dari jauh tetapi cukup jelas. Wiro 

memandang ke jurusan si orang tua.

“Manusia bayangan... Siapa kau adanya?!” Wiro bertanya. “Kau 

menyebut seseorang sebagai cucumu. Siapa...? Mararanta Tangkario 

alias Mayat Hidup Gunung Klabat itu...?”

“Benar sekali pendekar muda...”

Wiro melangkah lebih dekat. “Astaga... Ke dua matamu buta, 

orang tua! Dan sosok tubuhmu bukanlah sosok tubuh sebenarnya... 

Apakah kau juga sebangsa mayat hidup?!”

“Tidak, aku bukan mayat hidup seperti cucuku ini. Aku hanya 

mengandalkan kekuasaan dari Tuhan untuk mengirimkan bayang-

bayang tubuhku ke tempat ini...”

“Luar biasa!” ujar Wiro sambil goleng-goleng kepala.

Orang tua itu tersenyum. “Bagi Tuhan tak ada yang luar biasa, 

anak muda. Namaku Walalangi... Aku datang untuk membawa cucu dan 

sekaligus muridku ini kembali ke Minahasa...”

“Dan juga membawa perempuan di atas bahunya itu...?”

Si orang tua gelengkan kepala. “Justru disitulah letak kesalahan 

cucuku satu ini. Tujuannya untuk datang ke tanah Jawa adalah untuk 

membalaskan sakit hati dendam kesumat pada manusia bernama 

Pangeran Matahari itu. Namun dia membawa serta maksud lain yang 

menyalahi aturan...”

“Apakah itu...?” tanya Wiro.

“Aku katakan sejujurnya. Pertama dia ingin memiliki kembali 

perempuan yang perhah jadi istrinya. Padahal itu tak mungkin terjadi 

karena mereka berada di dua alam yang berbeda. Kedua setelah 

memiliki kesaktian luar biasa dalam hati kecil cucuku ada terniat 

keinginan untuk menguasai dunia persilatan di tanah Jawa ini. 

Padahal... janji semula begitu urusannya selesai dia harus kembali ke 

bentuknya semula. Kembali ke alamnya semula, alam barzah... Karena 

telah melanggar perjanjian, saat ini dia tak mampu lagi melakukan 

pembalasan terhadap Pangeran Matahari...”

Orang tua itu tersenyum dan gelengkan kepalanya. “Tuhan lebih 

tahu dari kita tentang segala urusan dendam kesumat. Kita manusia 

jangan sekali-kali merasa lebih pandai dari Tuhan. Aku merasa 

menyesal telah memenuhi permintaan cucuku ini, juga permintaan 

istrinya yang di Minahasa. Yaitu agar rohnya bisa dibangkitkan lagi 

untuk melakukan pembalasan

“Orang tua, kalau kau ingin membawa cucumu itu kembali, lebih 

cepat akan lebih baik... Kasihan rohnya berada dalam keadaan seperti 

ini...” kata Wiro pula.Walalangi mengangguk. Dia mengusap punggung. Minari. Dari 

tubuh perempuan itu keluar kepulan asap tanda ada hawa panas yang 

dialirkan si orang tua ke tubuh Minari. Saat itu juga hawa dingin serta 

cairan es yang membungkus tubuh Minari menjadi pupus dan terdengar 

suara perempuan itu mengerang. Walalangi menurunkan tubuh Minari 

dari atas bahu Mararanta Tangkario lalu menyerahkannya pada Wiro 

seraya berkata : “Bawalah dia pergi dari tempat ini. Penderitaannya 

sudah cukup banyak...”

Wiro mendukung Minari yang masih belum siuman sepenuhnya 

itu di bahu kirinya. Lalu dilihatnya si orang tua mengusap punggung

Mararanta Tangkario. Kembali ada asap yang mengepul. Sosok Mayat 

Hidup itu tampak bergerak. Lalu si orang tua cepat memegang. bahunya 

dan berkata: “Cucuku Mararanta, saatmu untuk kembali ke puncak 

Klabat...”

Mayat Hidup itu anggukkan kepala. Lalu sesaat dia berpaling ke 

arah Minari dan pandangi kepala perempuan itu. Wiro jadi terkesiap 

ketika dia melihat dari kedua mata Mayat Hidup ada air mata yang jatuh 

berderai. Melihat kejadian ini mau tak mau hatinya menjadi luruh 

karena haru. Mayat saja masih punya perasaan, mengapa manusia 

tidak...? Itu yang terpikir dalam hati Pendekar 212 saat itu.

“Cucuku... saatnya kau pergi...” terdengar suara orang tua 

bernama Walalangi.

Mayat Hidup Gunung Klabat perlahan-lahan memutar tubuhnya. 

Lalu dalam gerakan seperti melayang sosoknya berkelebat ke udara, 

makin tinggi, makin tinggi dan akhirnya lenyap.

Si orang tua menarik nafas lega, dia berpaling pada Wiro dan 

berkata.

“Giliranku minta diri...” Lalu dia menjura dalam-dalam. Wiro 

membalas dengan menjura lebih dalam.

Ketika dia meluruskan badannya kembali, orang tua itu sudah tak 

ada lagi disitu.

Pendekar 212 garuk-garuk kepalanya.

“Ilmu mengirimkan bayang-bayang tubuh yang dimiliki orang tua 

itu sungguh luar biasa...” katanya sambil geleng-geleng kepala. “Banyak 

orang sakti mandraguna di tanah Jawa ini, namun tanah lain ternyata 

juga menyimpan rahasia kesaktian yang aneh-aneh dan sulit dicari 

tandingannya. Benar kata orang-orang persilatan, di luar langit masih 

ada langit lagi!”

Wiro melangkah tinggalkan bagian depan Keraton kecil. Ketika 

sampai di hadapan Pangeran Matahari yang pingsan karena kesaktian 

hawa dingin yang tadi dilepas oleh Wiro, murid Sinto Gendeng ini 

tersenyum. “Pangeran, walau saat ini telingamu tidak mendengar, 

antara kita berdua kini sudah impas. Kau tidak membunuhku ketika 

aku pingsan dihantam Mayat Hidup Gunung Klabat itu. Dan sekarang 

akupun tidak membunuhmu ketika kau pingsan. Di lain hari, jika kita 

bertemu lagi ceritanya tentu lain lagi...”Lalu sang pendekar memandang ke arah Keraton. Terbayang 

olehnya wajah dan tubuh Nyiruni yang saat itu tentu masih terbadai 

tertidur keletihan. Wiro menyengir sendiri lalu lanjutkan langkahnya.


TAMAT

Share:

0 comments:

Posting Komentar