Hak cipta dan copy right pada penerbit di bawah lin-
dungan undang-undang.
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.
1
EMBUN pagi bertaburan di atas daun-daun jati.
Hutan jati itu menyebar di sepanjang kaki Bukit Ga-
rong. Tak tahu siapa yang menanam pohon-pohon jati
yang tinggi dan besar-besar itu, yang jelas di hutan itu
ada pondok berpagar bambu tinggi dan rapat. Hanya
ada satu pondok yang dibangun di Bukit Garong yang
puncaknya tak begitu tinggi itu.
Pondok tersebut adalah tempat hunian bagi
seorang tokoh tua berusia sekitar tujuh puluh tahun.
Tokoh itu sebenarnya beraliran putih, tapi karena
gayanya sedikit nyentrik, kadang orang menyangka ia
tokoh aliran hitam. Dulu tokoh tua yang gemar kena-
kan jubah abu-abu itu bermusuhan dengan Pendekar
Kembar, namun sejak ia tahu siapa Pendekar Kembar,
ia menjadi bersahabat dan sering saling membantu,
(Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Dendam
Asmara Liar").
Hantu Muka Tembok sudah dianggap seperti
orangtua sendiri bagi Raka Pura dan Soka Pura; si
Pendekar Kembar itu. Rasa hormat dan sungkan bagi
dua pemuda tampan itu sering ditujukan kepada Han-
tu Muka Tembok. Beberapa saran dari tokoh tua yang
bernama asli Ki Gumarah sering dipakai oleh Raka dan
Soka. Termasuk saran untuk tinggalkan gadis cantik
yang bernama Anggani.
"Kalian berdua pergilah ke petilasan Keraton
Kencana Windu untuk mencari Daun Astagina itu.
Anggani biar tinggal di sini. Kujamin gadis itu tak akan
celaka sedikit pun. Kalian tak perlu khawatir, Anggani
akan tetap utuh sampai kalian datang lagi kemari."
Si gadis cantik bertubuh langsing dengan dada
sekal itu ajukan protes begitu mendengar saran Hantu
Muka Tembok.
"Mengapa aku harus tinggal di sini, Paman
Gumarah?! Aku ingin ikut mereka!"
"Banyak orang yang masih beranggapan bahwa
kau gadis yang mengidap penyakit 'Hantu Lanang'.
Kau dianggap penyebar penyakit maut bagi laki-laki
yang habis kencan denganmu. Mereka tidak tahu,
bahwa semua itu adalah fitnah si Wajah Malaikat un-
tuk mencelakakan dirimu. Jadi, sebaiknya kau menye-
pi dulu di sini, sampai anggapan orang-orang luntur
dengan sendirinya dan mereka tahu bahwa semua itu
hanya ulah si Wajah Malaikat."
"Kurasa saran Ki Gumarah ada benarnya, Ang-
gani," ujar Raka Pura. "Jika kau keluyuran dengan be-
bas, maka orang yang menganggapmu sebagai penye-
bar penyakit maut itu akan berusaha membunuhmu.
Mungkin kau memang bisa mengelak atau orang itu
sendiri yang terbunuh oleh ilmumu. Tetapi itu na-
manya menyebar kematian yang sia-sia, Anggani."
"Kurasa kau bisa bebas ke mana-mana jika su-
asananya sudah adem," timpal Soka Pura, si Pendekar
Kembar bungsu.
Hantu Muka Tembok tambahkan kata, "Kau di
sini ditemani oleh Bujang Bodo dan Wisnu Galang.
Kau tidak sendirian, dan kau tidak mungkin kesepian."
"Kalau Wisnu Galang macam-macam padamu,
gibas saja dia!" bisik Soka Pura.
"Tak mungkin muridku berani macam-macam
pada Anggani," ujar Hantu Muka Tembok yang men-
dengar bisikan Soka tadi. "Aku akan wanti-wanti pada
Wisnu Galang, jika ia berani macam-macam pada Ang-
gani, akan ku hukum seberat-beratnya dan kuanggap
murid murtad! Dia tak akan berani jika kau sudah
bersikap tegas begitu." Hantu Muka Tembok seakan
memberi jaminan yang dapat dipercaya oleh kedua be-
lah pihak.
Anggani mempertimbangkan sesaat. Terbayang
amukan orang-orang yang termakan fitnahnya si Wa-
jah Malaikat itu. Ia yakin, masih ada beberapa orang
yang berusaha menangkap atau membunuhnya, kare-
na ia dianggap oleh mereka sebagai gadis penyebar pe-
nyakit terkutuk, yang dapat membunuh seorang lelaki
dalam waktu singkat jika selesai berkencan dengan-
nya. Padahal semua itu hanya isu belaka. Wajah Ma-
laikat yang sebarkan isu itu, karena Wajah Malaikat
merasa kewalahan mengejar Anggani untuk dibunuh,
(Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Perawan
Bukit Jalang").
Wisnu Galang yang baru saja datang dari ber-
buru ayam hutan, mendukung saran gurunya terha-
dap Anggani. Bahkan ia mengingatkan kepada Anggani
tentang ancaman bahaya dari Sirih Duda.
"Beberapa orang Perguruan Pedang Biara, ter-
masuk Sirih Duda, Pujar Wuni, dan yang lainnya, su-
dah telanjur menganggap dirimu sebagai gadis penye-
bar penyakit terkutuk itu. Jadi, untuk saat sekarang
ini, jika mereka melihatmu. pasti akan berusaha mem-
bunuhmu. Maka ada baiknya jika kau tak muncul du-
lu di kancah persilatan sampai akhirnya mereka tahu
dengan sendirinya bahwa kabar tentang dirimu itu
hanya siasat busuknya si Wajah Malaikat. Tinggallah
dulu beberapa saat di sini, Anggani. Aku akan mene-
manimu."
"Tapi awas jika kau berbuat yang bukan-bukan
terhadap Anggani!" ancam Soka Pura yang waktu itu
sempat bentrok dengan Wisnu Galang, murid tunggal
si Hantu Muka Tembok itu.
Wisnu Galang nyengir mendengar ancaman itu,
antara malu dan rikuh.
"Aku bukan Wisnu yang kemarin, Soka! Per-
cayalah, Anggani tidak akan ku colek sedikit pun, ke-
cuali dalam keadaan terpaksa."
"Terpaksa atau tidak, kalau kau berani colek
dia, kuhajar di depan gurumu sendiri, Wisnu!" ancam
Soka.
"Lho, maksudnya terpaksa, misalnya dia di
panggil oleh Guru tapi tidak mendengar, terpaksa ku
colek lengannya dan kuberi tahu agar ia memenuhi
panggilan Guru. Begitu maksudku! Jangan melotot du-
lu kau!" Wisnu Galang bersungut-sungut.
"Tapi jangan lama-lama perginya, ya Soka?" bi-
sik Anggani dengan wajah murung. Rupanya gadis itu
merasa berat jika berpisah terlalu lama dengan Soka.
Mungkin hatinya ada minat untuk dekati si cowok
tampan itu. Ia belum tahu bahwa Soka ibaratnya play-
boy cap kutu busuk. Sosor sana, sosor sini, sudah me-
rupakan kebutuhan rutin bagi dirinya.
Berbeda dengan kakak kembarnya: Raka Pura.
Pemuda-yang satu ini memang kalem dan tidak rakus
terhadap perempuan. Bahkan cenderung dingin terha-
dap rayuan gadis mana pun Juga.
"Bujang, kau tinggal di sini dulu menemani
Anggani, ya?" ujar Raka, karena ia paling cepat akrab
dengan teman lelaki ketimbang terhadap seorang wani-
ta.
"Apakah setelah kau mendapatkan Daun Asta-
gina kau akan mampir ke sini untuk menjemputku?"
"Ya. Setelah urusanku selesai, aku pasti kemari
lagi."
Bujang Bodo sendiri sebenarnya merasa berat
ditinggal Raka. Pemuda lugu dan polos itu akan mera-
sa senang jika mengikuti perjalanan Pendekar Kembar,
karena ia punya cita-cita ingin menjadi seorang pende-
kar, pembela kebenaran, pembela kaum yang lemah,
pembela mertuanya jika ia kelak punya kesempatan
menikah. Walaupun ia tak punya ilmu apa-apa, kecua-
li 'Siulan Maut' warisan neneknya, tapi kemauannya
untuk menjadi orang baik-baik cukup besar. Dengan
mengikuti pengembaraan si Pendekar Kembar, Bujang
Bodo merasa mendapat banyak pengetahuan dan pen-
galaman tentang hidup dan kehidupan, terutama liku-
liku di dunia persilatan.
Tapi karena Raka Pura menyuruhnya tinggal di
pondok Hantu Muka Tembok, maka tak ada yang bisa
diperbuat lagi oleh Bujang Bodo kecuali patuh dengan
perintah tersebut. Ia tak berani menentang, karena ta-
kut mengecewakan Raka dan tak akan diajak berkela-
na lagi.
Ketika matahari mulai merayap tinggalkan ca-
krawala timur, kedua pemuda tampan yang gagah per-
kasa itu mulai langkahkan kaki menuju petilasan Ke-
raton Kencana Windu. Kedua pemuda berbaju bun-
tung putih dan celananya juga putih itu sama-sama
berwajah penuh semangat. Tekadnya mencari Daun
Astagina sangat bulat, tak ada benjolnya sedikit pun.
Karena daun itulah yang akan sembuhkan ibu angkat
mereka: Nyi Padmi, yang sekarang sedang menderita
kelumpuhan akibat pukulan beracun dari si Wajah
Malaikat yang telah dihancurkan oleh Pendekar Kem-
bar sendiri itu, (Baca serial Pendekar Kembar dalam
episode: "Perawan Bukit Jalang").
Perjalanan demi kebaikan memang tak pernah
mulus. Begitu halnya yang dialami oleh si Pendekar
Kembar. Perjalanan itu bermula terhenti karena ke-
munculan seorang pemuda yang sama sekali belum
dikenal oleh Raka maupun Soka.
Pemuda bertubuh kurus itu langsung saja ber-
lutut di depan Pendekar Kembar dengan wajah tegang
dan napas terengah-engah. Ia ayunkan kepalanya
sampai menyentuh tanah beberapa kali sambil bersu-
jud di depan Raka Pura dan adiknya.
Dilihat dari raut wajahnya dan cucuran kerin-
gatnya, pemuda kurus berpakaian biru garis-garis pu-
tih itu pasti sedang dalam ketakutan yang amat besar.
Sepertinya ia sedang melarikan diri dari kejaran seseo-
rang atau sesuatu yang menakutkan baginya. "To-
long... tolong aku, Teman. Tolong... aku ditolong.... Aku
beb... beb... belum ingin mati semuda ini, Teman.
Oooh, tolonglah aku...."
"Hei, hentikan ayunan kepalamu itu, nanti ta-
nahnya jadi kotor!" ujar Soka Pura sambil menahan ge-
li dalam hatinya.
"Tolong... aku, oh... oh... aku bisa mati kalau
begin! caranya!" sambil si pemuda berambut pendek
tapi mengenakan ikat kepala kuning itu menengok ke
belakang. Sepertinya ia sangat khawatir akan terkejar
oleh lawannya. Nafasnya terengah-engah dan cepat se-
perti seekor anjing habis disuruh ikut pacuan arena.
"Apa yang terjadi pada dirimu, Sobat?" tegur
Raka Pura setelah berhasil menghentikan ayunan ke-
pala pemuda kurus itu dengan menyodorkan batu di
depan si pemuda berikat kepala kuning itu. Dengan
melihat ada batu tepat di tanah tempat keningnya be-
radu beberapa kali itu, si pemuda segera hentikan ge-
rakannya.
"Edan! Kau pikir aku harus mati dengan cara
membenturkan kepalaku dengan batu itu?"
Raka Pura sunggingkan senyum kalem. Ia me
mang selalu tampil kalem namun punya kharisma le-
bih tinggi dari adiknya; si Soka Pura yang bandel itu.
"Pertama aku ingin tahu siapa kau sebenarnya,
Sobat?" tanya Raka Pura sambil jongkok karena pe-
muda kurus itu masih duduk bersimpuh di tanah.
"Nam... namaku... Panji Doyok. Ooh... tolonglah
aku! Aku bisa mati kalau tak ada yang menolongnya,"
si pemuda kurus itu mulai bernada seperti perempuan.
Manja.
Karena sang kakak jongkok di sebelah kiri Panji
Doyok, maka Soka segera jongkok di sebelah kanan
pemuda kurus itu sambil ajukan tanya dengan tepuk
pundak satu kali. Plok...!
"Tenang, Kawan.... Tak perlu buru-buru kepin-
gin mati. Kiamat masih jauh."
"Siapa yang kepingin buru-buru mati?! Justru
aku tak mau mati sekarang!" sergah Panji Doyok.
"Jelaskan apa persoalannya sampai kau ngos-
ngosan seperti hantu dikejar anjing begini, Panji
Doyok?"
"Be... begini...!" tiba-tiba kata-kata Panji Doyok
terhenti seketika dan matanya terbelalak, memandang
wajah Raka dan Soka di kanan kirinya.
"Hahhh...?!"
"Ssssh... tenang, tenang. Kalem saja, Doyok!"
ujar Raka, tapi justru membuat Panji Doyok melompat
berdiri dan mundur dua langkah. Wajahnya kian tam-
pak tegang, penuh rasa takut.
"Kem... kem... kembar? Ka... kalian kembar?!"
Rupanya si Panji Doyok baru sadar bahwa ke-
dua orang yang dimintai tolong itu berwajah kembar.
Dan keadaan itu membuatnya sangat ketakutan se-
hingga ia merasa harus segera menjauhi si kembar
berwajah tampan itu.
"Ya, kami memang Pendekar Kembar. Kena
pa?!" ujar Soka sambil berdiri dan berkerut dahi den-
gan heran.
"Oooh, tidaak...!" Panji Doyok segera berlari ke
arah lain, seolah-olah ia melihat sepasang hantu yang
sangat menyeramkan.
"Hei, hei...!" Soka Pura mencegat, dengan satu
lompatan sudah ada di depan langkah Panji Doyok.
Pemuda bersabuk kain merah itu menarik napas satu
kali dalam satu sentakan rasa takut.
"Haaaahhhh..?!"
Ia ingin lari ke arah lain, namun kepergok Raka
dan langkah pun terhenti seketika. Kini si pemuda
bersenjata sebilah pisau di pinggangnya itu meman-
dang ke sana-sini dengan nanar berkesan panik. Soka
Pura saling pandang sebentar dengan kakaknya yang
sama-sama merasa heran melihat ketakutan Panji
Doyok.
Akhirnya Raka berhasil membujuk Panji Doyok
agar tenang dan meyakinkan diri bahwa mereka bukan
orang yang perlu ditakuti. Panji Doyok dibawanya ke
bawah pohon yang cukup teduh. Tapi pemuda itu ma-
sih diliputi rasa takut hingga gemetaran.
Raut wajahnya tampak pucat, menandakan ra-
sa takutnya itu serius. Bukan sekadar akting saja.
"Kami memang anak kembar," kata Raka Pura.
"Tapi mengapa kau sangat ketakutan begitu kau sadar
bahwa kami anak kembar?! Tolong dijelaskan sebelum
kepala adikku itu jadi pusing. Sebab dia kalau sedang
pusing sering menelan manusia hidup-hidup!"
"Ooooh...?!" pekik Panji Doyok semakin takut.
"Ap... apakah... apakah kalian juga keluarga mereka?!"
"Mereka siapa maksudmu?" tanya Soka.
"Hmmm, hmmm..." Panji Doyok menelan na-
fasnya beberapa kali untuk menenangkan getaran da-
lam dadanya. Mata memandang ke sana-sini, terutama
ke arah dari mana ia datang tadi. Pandangan mata itu
masih mempunyai kecemasan yang membuatnya gu-
gup.
"Mer... mereka mau... mau membunuhku!" "Me-
reka siapa?!" sentak Soka jengkel. Panji Doyok terlon-
jak kaget dan semakin gemetaran lagi. "Sau... sauda-
ra... saudara...." "Bicaralah dengan tenang, jangan se-
perti orang mau kasih sambutan begitu; pakai
'saudara-saudara' segala. Ini bukan rapat lurah, ta-
hu?" omel Soka yang tak sabar menghadapi kegugupan
Panji Doyok. "Mak... mak... mak...." "Ada apa dengan
emak mu?!" tanya Raka serius.
"Bukan. Hmmmm... mak... maksudku..." "Oh
mau ngomong 'maksudku'," ujar Raka kepada adiknya.
"Kukira mau ceritakan emaknya." "Maksudku... aku
mau dibunuh oleh saudara kalian yang sekarang se-
dang mengejar-ngejarku," lanjut Panji Doyok.
"Kami tak punya saudara lagi. Kami lahir hanya
berdua saja. Aku yang bernama Raka dan dia Soka,
"Jad... jadi kalian... kalian bukan termasuk me-
reka?"
"Mereka itu siapa maksudmu, jelaskan!" sergah
Soka sambil mendorong dada Panji Doyok. Agaknya
Soka sangat tak sabar menghadapi kepanikan Panji
Doyok yang tidak segera menjelaskan perkara sebe-
narnya. Rasa penasaran Soka membuat pemuda itu
gemas, rasa-rasanya ingin meremas-remas mulut si
Panji Doyok. Hanya saja, sebelum Panji Doyok berkata
lagi, tiba-tiba dari arah tempat datangnya Panji Doyok
tadi muncul dua orang yang sama-sama mengenakan
jubah lengan panjang warna merah jambu.
"Nah, dia orangnya! Hajar dia!"
"Tunggu...!"
Kedua orang yang ingin maju menyerang Panji
Doyok segera hentikan langkah karena Raka Pura se
gera menghadang di depan langkah mereka. Panji
Doyok bersembunyi di belakang Soka dengan tubuh
semakin gemetaran. Sementara itu, Raka dan Soka
sama-sama segera terbengong memandang kedua
orang yang baru saja datang itu mempunyai wajah
kembar dan potongan tubuh serta pakaian yang sama.
Ternyata mereka adalah dua gadis cantik yang
sama-sama punya potongan rambut berponi depan,
panjang rambutnya hanya sepundak lewat sedikit. Me-
reka adalah dua gadis kembar yang juga terperangah
begitu melihat Raka dan Soka. Kedua gadis itu sama-
sama mengenakan kutang hijau tipis dan kain penu-
tup bagian bawahnya juga berwarna hijau tipis. Apa
yang ditutupi kain-kain hijau itu tampak membayang
samar-samar, menggoda iman membangkitkan keusi-
lan. Tak heran jika Soka akhirnya tersenyum tipis den-
gan mata nakalnya melirik ke arah dada sekal si gadis
kembar itu.
"Rupanya kau yang ingin menjadi pembela mal-
ing keparat itu, hah?" ujar salah seorang dari kedua
gadis itu.
"Maling?! Siapa yang maling?! tanya Raka ka-
lem.
"Jangan banyak mulut kau! Hiaaah...!" Salah
seorang dari mereka menyerang dengan tebasan pe-
dang ke arah leher Raka Pura. Tentu saja tebasan itu
mengejutkan Pendekar Kembar, sehingga Raka Pura
segera meliukkan badan ke samping sambil kakinya
berkelebat menendang gadis penyerangnya. Buukh...!
Tendangan itu tepat kenai perut lawan. Namun si gadis
bagal tak punya rasa sakit sama sekali. Tendangan itu
dicuekin saja, ia justru menghujamkan pedang ke arah
perut Raka.
Suuut...!
Raka Pura melompat pendek ke samping dengan tubuh sedikit berputar sehingga pedang itu menu-
suk udara kosong. Dan pada saat itu telapak tangan
Raka punya kesempatan menyodok rahang kanan si
gadis. Bet, plaaak...!
Si gadis terpelanting karena kerasnya sodokan
tangan Raka itu. Tapi anehnya ia tak menyeringai ke-
sakitan. Padahal pipinya sempat menjadi merah akibat
sodokan tangan itu. Ia justru memainkan pedangnya
dengan cepat, menebas ke sekeliling tubuhnya sambil
melangkah maju dekati Raka.
Sementara itu, gadis yang satunya melangkah
pelan-pelan memutari dari seberang pohon. Rupanya
ia ingin menyerang Panji Doyok atau Soka dari arah
belakang. Tetapi gerakannya diketahui oleh Soka, se-
hingga Soka segera berpaling ke arahnya sambil terse-
nyum. Gadis itu tak mau membalas senyuman Soka,
tapi justru melompat lakukan terjangan bersama pe-
dang dihujamkan ke arah dada Soka. Wuuut...!
Soka Pura segera lepaskan jurus 'Tangan Batu'-
nya. Kedua tangan yang menggenggam disodokkan ke
depan dan keluarkan tenaga dalam besar. Biasanya bi-
sa membuat pohon tumbang. Wuuut, brrruuk...! Tapi
anehnya gadis itu hanya terpental dan jatuh terbanting
tanpa merasakan sakit sedikit pun. Buktinya ia cepat
bangkit dan melompat kembali dengan tendangan kaki
menyamping.
"Hiaaaat...!"
Plak. Plak...! Soka menangkis tendangan itu
dengan kedua tangan. Lalu, tubuhnya memutar cepat
dan kakinya melayang bagai menyabet ke atas. Wees...!
Plak...! Gadis itu juga berhasil menangkis tendangan
Soka dengan tangan kiri.
Pedang segera disabetkan untuk merobek
punggung Soka. Tapi dengan cepat Soka yang me-
munggunginya itu melompat ke depan, kedua kakinya
menendang ke belakang. Wut, bhuuuk...! Kedua ten-
dangan seperti kuda binal itu tepat kenai perut si ga-
dis. Tentu saja gadis itu terpental ke belakang karena
tendangan itu bertenaga cukup besar. Brruuss...! Si
gadis jatuh di semak-semak dekat Raka.
Melihat Raka sedang menggeliatkan tubuhnya
ke sana-sini untuk hindari tebasan pedang gadis yang
satunya lagi, maka gadis yang jatuh di semak dekat
Raka itu segera menyabetkan pedangnya ke betis Ra-
ka. Beet...!
Tapi kaki Soka Pura segera menendang batu
kecil. Tuuus...! Batu pun melesat dengan cepat dan
bermuatan tenaga dalam yang tadi disalurkan lewat
kaki oleh Soka.
Teess...!
"Auuuh!" gadis itu memekik ketika pergelangan
tangannya terkena batu sebesar kelereng itu. Pedang
yang mau dipakai menyabet betis Raka itu terlepas se-
ketika. Tapi si gadis tidak merasakan sakit. Pekikan-
nya tadi ternyata adalah pekikan rasa kaget atas sen-
takan batu yang tak diduga-duga itu.
Wuuut...! Soka melompat dan berguling di re-
rumputan, lalu menyambar pedang si gadis. Tebbb...!
Seeet...! Pedang itu ditodongkan di dada si ga-
dis. Kontan gadis itu hentikan gerakan dalam keadaan
baru mau merangkak.
"Bergerak sama dengan kuburan!" ujar Soka
mengancam dalam senyuman. Si gadis memandang
bagai menyimpan dendam.
Pada saat itu, ternyata Raka Pura berhasil me-
nangkap tangan gadis lawannya. Tangan berpedang itu
segera dipuntir ke belakang dan si gadis dipepetkan ke
pohon.
"Kupatahkan tanganmu kalau kau masih mau
menyerangku!"
Gadis itu tidak mengaduh sedikit pun, hanya
memendam geram kedongkolan yang lebih besar lagi.
Raka pun akhirnya membentak dengan tangan si gadis
yang terpelintir itu disentakkan ke atas bagai mau di-
patahkan.
"Lepaskan pedangmu! Lepas...!" sambil tubuh si
gadis makin dipepetkan ke pohon. Mau tak mau si ga-
dis melepaskan pedangnya karena memang urat peng-
genggam pada jari-jarinya menjadi kendor dengan sen-
dirinya begitu tangan disentakkan ke atas. Raka segera
menyambar pedang itu dan menodongkan ke leher si
gadis yang segera berbalik ingin menyerang Raka, na-
mun tak jadi karena gerakan penodongan itu lebih ce-
pat dan membatasi langkahnya. Si gadis hanya mera-
pat dengan pohon dan memandangi ujung pedang
yang terarah ke lehernya.
"Kalau kalian ingin mencelakai kami, kami pun
akan tega mengirim kalian ke jalan raya neraka lewat
kuburan masing-masing. Paham?!" gertak Raka Pura
yang tak mendapat reaksi apa pun dari si gadis.
Raka melirik Soka, ternyata Soka juga berhasil
mengancam lawannya dengan pedang milik lawan. Me-
reka saling melirik, saling anggukkan kepala kecil, ba-
gai memberi isyarat. Kejap kemudian mereka sama-
sama mundur dan saling berdekatan.
"Agaknya gadis kembar itu tak punya rasa sakit
sedikit pun?" bisik Soka kepada kakaknya.
"Iya! Mungkin itulah kehebatan si gadis kembar
ini?!" balas Raka dalam bisikan.
"Sekarang bagaimana ini?! Habisi saja mereka?"
"Mulutmu kalau bicara jangan sembarangan!
Kalau aku setuju dengan usulmu itu, belum tentu kau
benar-benar tega menghabisi mereka!" gerutu Raka da-
lam bisikan.
"Tega saja, kalau menghabisinya pakai bibir!"
"Kepalamu ngepul!" maki Raka dengan bersun-
gut-sungut.
Akhirnya Pendekar Kembar sepakat untuk
kembalikan pedang kedua gadis itu sebagai tanda per-
damaian. Mereka sama-sama membuang pedang ke
arah kedua gadis tersebut. Wes, wes...! Juuubs,
juubs...! Kedua pedang sama-sama menancap di ta-
nah, satu jengkal dari kaki masing-masing pemiliknya.
"Kalau kami komplotan orang jahat, nyawa ka-
lian sudah melayang saat ini!" ujar Raka. Soka menim-
pali dengan konyol.
"Setidaknya saat ini kalian tidak akan berbusa-
na lagi."
"Ssst...! Jangan bicara begitu, disangkanya kita
pemerkosa!" bisik Raka. Maka si Pendekar Kembar
bungsu pun segera meralat kata-katanya tadi.
"Maksudku, pakaian kalian bisa ku cabik-cabik
dengan pedang kalian sendiri tadi. Kalian bisa ku te-
lanjangi dengan jurus pedang kami. Tapi, heh, heh,
heh... kami tak berani lakukan, karena... karena tentu
masalahnya jadi lain lagi jika sampai kalian berdua
kami telanjangi dengan jurus pedang... hik, hik!"
Kedua gadis kembar itu saling pandang seben-
tar, kemudian memungut pedang mereka dan masih
menggenggamnya di tangan masing-masing, seakan
siap menyerang dengan pedang itu jika hal itu diperlu-
kan sewaktu-waktu.
"Siapa kalian sebenarnya?!" ujar gadis berka-
lung emas dengan bandul batu merah delima sebesar
kacang tanah. Sikapnya masih bermusuhan, tapi tidak
seganas tadi. Agaknya mereka saling mengakui kehe-
batan si Pendekar Kembar tampan itu, sehingga mere-
ka perlu menunda gebrakan pertama, dan sedang
mempersiapkan gebrakan kedua sebagai langkah balas
dendam atas kekalahan mereka baru saja tadi.
Gadis yang berkalung emas dengan bandul ba-
tu hijau giok sebesar kacang tanah itu segera menim-
pali kata-kata saudara kembarnya tadi.
"Jangan dulu kalian merasa bangga karena da-
pat patahkan serangan kami. Itu tadi hanya gebrakan
salam kenal saja. Belum gebrakan yang sesungguh-
nya!"
"O, ya? Kalau begitu kalian masih menyimpan
jurus-jurus maut yang akan membuat kami ta-
kuuuut...!" ujar Soka sambil menggeliat seperti pera-
wan ketakutan. Raka terpaksa menahan tawa dalam
hati melihat adiknya berlagak seperti banci kesiangan
itu.
"Hmm...," si gadis berkalung merah mencibir.
"Tak kusangka maling keparat itu punya tukang pukul
setampan ini!"
"Ssst...! Jangan bicara soal tampan, Tolol!" ser-
gah gadis yang satunya dalam bisikan yang sampai di
telinga Raka dan Soka. Pendekar Kembar pun sama-
sama tersenyum dan saling lirik dengan lagak konyol.
Kedua gadis itu segera saling mencibir sinis. Si
gadis pemakai kalung hijau pun berkata dengan ketus,
seakan muak sekali dengan lagak kedua pemuda kem-
bar tampan rupa itu.
"Rupanya kalian yang jadi tukang tadahnya,
ya?!"
"Kau pikir kami berdua ini ember buat mena-
dah air hujan?!" sergah Soka Pura dengan senyum di-
kulum. Entah seberapa banyak ia mengulumnya, yang
jelas kedua gadis kembar itu saling memandangi
Soka dan Raka secara berganti-gantian. Selain
masih sama-sama pegangi pedang terhunus, wajah
mereka juga tampak masih diliputi kemarahan, se-
hingga kecantikannya nyaris tak terlihat.
Gadis kembar itu akhirnya saling senggol
senggolan siku. Mereka saling lirik, seperti bicara pa-
kai bahasa wajah. Yang satu menggelengkan kepala,
yang satu mengangguk sesekali dengan dahi berkerut.
"Rupanya gadis inilah yang disangka saudara
kita oleh si Panji Doyok itu," bisik Raka Pura kepada
adiknya.
"Iya. Sebab kedua gadis itu tampaknya juga
anak-anak kembar. Cantik-cantik, ya?"
Raka menatap adiknya dengan bersungut-
sungut, kemudian melengos tak mau komentari peni-
laian sang adik. Ia menatap kedua gadis kembar itu
dengan sikap kalem dan wajah tampak tenang sekali.
"Dengar, Nona-nona genit! Aku dan adikku tak
punya hubungan apa-apa dengan si Panji Doyok itu!
Kami justru sedang mencari tahu persoalan yang di
hadapi oleh Panji Doyok, lalu kalian datang."
"Jadi... kalian bukan komplotan maling keparat
itu?!" salah seorang bicara dengan nada mulai lunak.
"Kalau kami komplotannya, tentu saja kalian
berdua sudah kami sikat sejak tadi!" ujar Soka me-
nimpali ucapan kakaknya.
"Hmm, kau pikir kami tak pernah sikatan?!"
ujar gadis satunya lagi dengan mencibir sinis. "Hei,
dengar ya, Tokek sawah... di rumah kami punya ba-
nyak sikat gigi. Setiap hari kami menyikat gigi tiga kali,
itu kalau kami tak lupa. Jadi kalian tak perlu sikat
kami, mungkin justru kalianlah yang perlu kami sikat
dengan pedang kami ini!"
"Hei, lihat...?! Maling keparat itu sudah tak ada
di sini!" seru gadis berkalung merah. Raka dan Soka
juga terkejut dan segera mencari dengan pandangan
mata mereka. Ternyata Panji Doyok memang sudah tak
ada di tempat itu. Mereka tak tahu Panji Doyok telah
kabur saat mereka tadi saling baku hantam.
"Ke mana si bodong tadi?!" gumam Raka bernada geram di samping adiknya.
Sebelum Soka mengomentari gumam kakak-
nya, tiba-tiba gadis berkalung merah mengacungkan
pedang di depan Soka. Pedang itu diarahkan tepat di
ulu hati Soka.
"Kalian harus bertanggung jawab!"
"Bertanggung jawab bagaimana?! Apakah kau
hamil kok minta tanggung jawab dari kami?"
"Kalian yang membuat maling itu lolos, Tolol!"
bentak gadis itu dengan berang. Soka sempat kaget
dan mengkerut sambil mundur karena didesak mata
pedang.
*
* *
2
KEDUA gadis kembar cantik itu sama-sama
mendesak Raka dan Soka sebagai pihak yang harus
bertanggung jawab atas lolosnya Panji Doyok. Raka
dan Soka saling bisik dalam ancaman pedang kedua
gadis kembar itu. Tak ada rasa takut sedikit pun pada
diri Pendekar Kembar, walau mereka tetap angkat tan-
gan agar gadis-gadis itu tidak nekat menghujamkan
pedang ke tubuh mereka. "Psst...!"
Raka melirik adiknya.
"Sebenarnya mereka hanya ingin minta ban-
tuan kita untuk menangkap Panji Doyok itu!"
"Ya, aku tahu hal itu. Kita pura-pura menyang-
gupi tanggung jawab itu, agar kita tahu bagaimana
persoalan yang sebenarnya."
"Tapi kita harus segera mencari Daun Astagina
untuk...."
"Aku tahu, aku tahu...!" potong Raka dalam bi-
sikan. "Tapi gadis ini akan jadi penghambat kita jika
kita pergi begitu saja! Kurasa... tak seberapa sulit
mengatasi persoalan yang agaknya membuat mereka
kewalahan itu."
"Jangan kasak-kusuk!" bentak yang kalungnya
berbatu hijau. "Bicaralah yang jelas! Sanggup atau ti-
dak!"
"Sanggup apanya?" sahut Soka ingin tertawa
geli.
"Sanggup menangkap pencuri keparat itu atau
tidak?!" sentak si pemakai kalung berbatu hijau itu.
"Kalau kami tidak sanggup menangkap pencuri
itu bagaimana?" tanya Soka memancing dengan se-
nyum menghias di bibirnya.
"Kalau kalian tak sanggup, kami akan segera
menggali dua liang untuk mengubur kalian. Tapi kalau
kalian sanggup menangkap pencuri jahanam itu...."
"Apa hadiahnya?" potong Soka.
Kedua gadis saling pandang sebentar. Kemu-
dian yang memakai kalung berbatu merah itu perden-
garkan suaranya dengan tegas, namun tidak seketus
tadi, walau masih berbau sinis.
"Tidak ada hadiah untuk penangkapan! Tapi
kami akan berikan sesuatu yang bermanfaat untuk ka-
lian."
"Oh, kedengarannya menyenangkan sekali,"
ujar Soka, lalu ia melirik kakaknya dan kedipkan sebe-
lah mata dengan konyol. Raka diam saja tanpa reaksi,
masih tampak tenang dan kalem.
"Kami akan bantu kalian menangkap pencuri
itu," ujar Soka. "Tapi lebih dulu kami minta dua sya-
rat. Pertama, kalian harus anggap kami bukan musuh
melainkan sepasang sahabat. Kedua, kami harus tahu
nama kalian. Setelah itu kami akan sebutkan nama
kami sebagai Soka dan Raka," sambil Soka menuding
kakaknya.
Raka menimpali, "Tapi jika kalian tidak mau
penuhi dua syarat itu, kami akan melawan kalian
sampai nyawa kalian tak tersisa sedikit pun! Dan in-
gat... jika kalian tak mau perkenalkan nama kalian,
maka adikku tak akan sebutkan nama kami berdua!"
Kedua gadis itu saling pandang, lama-lama me-
reka sama-sama tersenyum kaku dan kecil sekali. Me-
reka sempat menilai Pendekar Kembar adalah dua pe-
muda bodoh yang sudah sebutkan namanya tapi me-
rasa ingin sembunyikan nama itu. Padahal Raka dan
Soka sengaja mengawali perkenalkan nama lebih dulu
dengan cara seperti tadi. Agaknya kedua gadis itu mu-
lai kehilangan rasa muaknya terhadap Pendekar Kem-
bar.
Bayang-bayang kedamaian mulai membias da-
lam pandangan mata kedua gadis itu. Kemudian yang
kenakan kalung berbatu merah itu perdengarkan sua-
ranya tanpa nada ketus di dalamnya, namun masih
berkesan penuh ketegasan.
"Kalian bisa memanggilku: Ayunda, dan dia...
Adinda!"
"Pasti dia adik kembar mu!" ujar Soka sambil
menunjuk yang berkalung hijau.
"Kalau kau pemuda cerdas, kau akan tahu
bahwa aku adalah adiknya, karena namaku Adinda,"
jawab si kalung hijau.
Pedang mereka segera dimasukkan ke dalam
sarung pedang masing-masing. Tindakan itu melam-
bangkan sebagai langkah perdamaian yang dilakukan
oleh kedua gadis kembar: Ayunda dan Adinda. Sikap
itu disambut dengan senyum ramah dan menawan da-
ri kedua pemuda tampan itu. Walau senyum Raka tak
selebar senyuman Soka, tapi wajahnya memancarkan
ketenangan yang bersahabat, sehingga Ayunda sempat
menggeragap karena pandangan matanya bertabrakan
dengan tatapan mata Raka Pura.
"Tolong jelaskan tentang si Panji Doyok itu!"
ujar Raka menutupi kecanggungannya sendiri.
"Bukankah tadi sudah ku jelaskan bahwa dia
adalah pencuri yang sedang kami kejar?!" sahut Adin-
da.
"Ya, tapi kami belum tahu apa yang dicuri oleh
Panji Doyok itu."
"Kitab pusaka milik keluarga kami," jawab
Ayunda. Sang adik menambahkan penjelasan tersebut.
"Kitab itu bernama Kitab Jayasakti, berisi ten-
tang jurus-jurus sakti aliran silat keluarga kami."
Ayunda menambahkan pula, "Kitab Jayasakti
tak boleh dimiliki dan dipelajari oleh orang lain yang
bukan keturunan dari Eyang Buyut Gardamoyang."
"Bagaimana Jika sampai ada yang pelajari isi
kitab itu?! Apa akibatnya?" tanya Soka Pura kepada
Ayunda.
Gadis itu tidak menjawab, tapi tangan kanan-
nya segera menyentak ke depan dalam keadaan tela-
pak tangan terbuka tengadah. Ia bagai menghantam
sesuatu yang ada di tanah depannya, walaupun tanah
itu sebenarnya kosong tanpa batu dan pohon kecuali
rumput.
Tapi dari tangan kanan Ayunda segera keluar
sinar merah kecil yang melesat dan menghantam ta-
nah kosong itu. Sinar merah yang sebesar telur bu-
rung puyuh itu segera meletup tanpa bunyi keras.
Bluub...!
Kemudian tanah tersebut berasap. Asap warna
abu-abu itu dengan cepat menggumpal menjadi ba-
nyak, makin lama semakin besar, besar, dan besar se-
kali. Akhirnya membentuk sesosok makhluk bertubuh
tinggi, besar, wajah menyeramkan. Makhluk itu ber-
mata lebar, berdaun telinga runcing. Mulutnya yang
lebar dan besar itu mempunyai taring tajam dan pan-
jangnya melebihi dagu.
Pendekar Kembar sempat mundur beberapa
langkah dengan tercengang-cengang. Wajah kepala se-
dikit mendongak karena makhluk gundul itu mempu-
nyai tinggi tubuh hampir mencapai puncak pohon. Ke-
dua kakinya panjang setinggi ukuran tubuh Raka dan
Soka. Ia hanya mengenakan cawat hitam dengan kulit
tubuh abu-abu dan seperti retak-retak. Tapi kedua
tangannya mempunyai jari-jari besar dan berkuku
runcing tajam.
"Jin...?!" gumam Raka Pura dengan wajah te-
gang. Makhluk itu pun menyeringai dengan keluarkan
suara aneh yang membuat bulu kuduk merinding.
"Hheeeggrrr...!" sambil kedua tangannya te-
rangkat bagai siap menerkam lawan. Matanya yang le-
bar dan merah itu memandang Ayunda, seakan me-
nunggu perintah dari gadis itu.
Adinda sentakkan tangannya seperti yang dila-
kukan kakak kembarnya tadi. Tapi sang kakak mela-
rangnya dengan menarik lengan adiknya.
"Tak perlu. Cukup aku saja yang membuktikan
kepada mereka," ujar Ayunda.
Gadis itu segera memandang Raka dan Soka,
ternyata Pendekar Kembar sudah berada di dekat po-
hon besar, seolah-olah bersiap untuk berlindung di
sana. Ayunda maju beberapa langkah untuk bicara
kepada Raka.
"Hanya orang yang pelajari Kitab Jayasakti
yang bisa kalahkan ilmu ini!"
"Ooo... ja... jadi untuk itulah kitab pusaka itu
jangan sampai dipelajari oleh pihak lain?!"
"Benar! Hanya keturunan Eyang Buyut Garda
moyang saja yang diizinkan pelajari isi kitab itu!" sahut
Adinda.
Ayunda menambahkan kata, "Adikku juga bisa
keluarkan jin seperti Lawakopang itu. Tapi dia punya
jln perempuan dan ganas. Kapan saja makhluk itu bi-
sa kami perintahkan untuk membunuh lawan, atau
menghancurkan sebuah istana dalam waktu singkat."
"Gila!" gumam Soka bagai bicara pada diri sen-
diri.
"Mengapa tidak kau bunuh saja si Panji Doyok
tadi dengan menyuruh jin Lawakopang-mu itu?" ujar
Raka.
Ayunda gelengkan kepala. "Kitab itu tak boleh
tersentuh oleh mayat atau orang mati. Jika sampai
tersentuh orang mati, kitab itu akan musnah terbakar
dan tidak bisa diwariskan kepada keturunan kami ke-
lak."
"Karena itulah kami hanya akan tangkap si
Panji Doyok itu dan mendesaknya agar serahkan kem-
bali Kitab Jayasakti," timpal Adinda.
"Heeeggrrr...!"
Blam, blam...!
Bum! berguncang ketika kaki jin Lawakopang
menghentak ke tanah dua kali. Seakan ia tak sabar
menunggu tugas.
"Tidak, Lawakopang! Tidak ada pekerjaan apa
pun untukmu. Kembalilah!"
Ayunda sentakkan tangan kanannya dengan te-
lapak tangan terbuka. Jin Lawakopang itu segera bera-
sap. Makin lama asapnya makin tebal dan telapak tan-
gan Ayunda bagaikan menyedot asap tersebut.
Zyuuurrrp...!
Jin dan asap lenyap, masuk ke dalam tangan
Ayunda. Tapi tangan itu tetap mulus dan tak mening-
galkan bekas kepulan asap apa pun. Yang tertinggal
hanya aroma bau tengik, seperti aroma di dalam gu-
dang yang lembab.
Ayunda berbalik arah, kini menatap Raka kem-
bali.
"Kitab itu harus kami dapatkan sebelum maling
yang kau sebut namanya sebagai Panji Doyok itu sem-
pat mempelajari isinya."
"Apakah kau tahu siapa Panji Doyok itu?!"
tanya Raka kepada Ayunda.
Adinda yang menyahut, "Yang kami ketahui,
dia adalah orang Tanah Keramat!"
"Tanah Keramat?! Hmmm... baru sekarang aku
mendengar nama itu," ujar Soka seperti bicara pada
kakaknya.
Adinda jelaskan lagi, "Tanah Keramat adalah
sebuah perkampungan seperti desa layaknya. Tapi
penduduknya, dari yang kecil sampai yang tua, dari
yang perempuan maupun yang lelaki, semua pencuri,
pencopet, penjambret, dan perampok!"
"Di sana juga banyak pelacur!" sahut Ayunda.
"O, ya...?!" Soka terperangah dalam senyum.
Raka melirik dongkol.
"Girang amat kau!"
Adinda menyahut, "Mungkin penjelasan kakak
ku yang terakhir itu adalah kabar gembira bagi adikmu
itu!"
"Eh, hmm... adikku memang tukang membe-
rantas pelacur! Dia pernah membantai delapan pelacur
dalam semalam."
"O, ya? Dengan apa dia membantainya?"
"Tentu saja dengan pedangnya!" jawab Raka.
"Pedang yang mana?!" sahut Adinda.
Raka sedikit menggeragap. ia memandang Soka
dan Soka menjadi tertawa. Ia menertawakan kakaknya
yang bingung menjawab pertanyaan seperti itu.
"Maksudku," sergah Adinda, "Pedang yang di
pinggangnya atau pedang yang ada padamu, Raka?!"
"Oh, ya... tentu saja pedang miliknya sendiri!"
jawab Raka dengan hembusan napas lega.
"Aku punya dua pedang pusaka!" sahut Soka
dengan konyol. Raka Pura menyodokkan sikunya ke
pinggang sang adik dengan wajah memendam rasa ri-
sih atas ucapan Soka itu.
"Maksudku... maksudku dua pedang pusaka
itu sekarang menjadi milikku, satunya lagi menjadi mi-
lik Raka!" sambil telunjuk Soka menuding Pedang Tan-
gan Matahari yang terbuat dari kristal bening itu. Ke-
mudian ia cengar-cengir sendiri sambil buang muka.
"Bagaimana dengan Panji Doyok tadi?!" sahut
Raka mengalihkan percakapan setelah Adinda menci-
bir begitu mendengar kata-kata Soka tadi.
"Apakah kalian yakin dia pencurinya?!"
"Tentu saja! Sebab dia yang keluar dari peka-
rangan rumah kami tadi malam, menjelang fajar," ja-
wab Ayunda.
"Tapi aku tak lihat dia membawa kitab atau
benda apa pun!" kata Raka. Lalu ia bertanya kepada
adiknya, "Kau melihat apa yang dibawa Panji Doyok
tadi, Raka?"
Soka menggeleng. "Tak ada yang dibawanya!"
"Pasti disembunyikan di balik bajunya atau...
ah, entahlah. Sebagai maling pasti dia lebih pandai da-
ripada kita!"
Adinda berujar lagi, "Jika seluruh penduduk
Tanah Keramat pelajari isi kitab itu, dapat kau
bayangkan apa jadinya dunia ini? Mereka pasti akan
salah gunakan ilmu tersebut!"
"Iya juga, ya?!" gumam Raka lalu termenung
memikirkannya.
3
SETELAH Raka jelaskan bahwa ia dan Soka se-
dang kebingungan mencari Daun Astagina yang dulu
pernah tumbuh di petilasan Keraton Kencana Windu,
maka si gadis kembar pun segera saling pandang den-
gan dahi berkerut. Mereka saling berbisik pelan sekali,
membuat Raka dan Soka saling beradu pandang den-
gan wajah menyimpan keheranan.
Akhirnya Ayunda berujar kepada Pendekar
Kembar.
"Baru saja aku dan adikku mengambil keputu-
san untuk membantu kalian, asal kalian membantu
kami menemukan kembali Kitab Jayasakti itu."
"Sebelumnya aku berterima kasih atas kese-
diaanmu membantu kami," ujar Raka yang matanya
tidak senakal Soka itu.
"Sesungguhnya ingin kukatakan padamu, Ra-
ka, bahwa Daun Astagina sudah tak ada dl petilasan
Keraton Kencana Windu. Pohon itu telah ikut hancur
bersama hancurnya negeri tersebut. Taman Astamarta
telah terkubur ke dalam tanah bersama tanamannya
akibat peperangan negeri itu melawan Laskar Laut Be-
rantai."
"Dari mana kau tahu?!"
"Kakekku adalah Juru taman di keraton itu
yang lolos dari maut pada saat terjadi penyerbuan
Laskar Laut Berantai," jawab Ayunda, tapi tampaknya
Pendekar Kembar sangsi dengan penjelasan tersebut.
Adinda segera angkat bicara, "Untuk meyakin-
kan kalian, sebaiknya tetaplah pergi ke petilasan Kera-
ton Kencana Windu. Menurut Kakek, istana Keraton
Kencana Windu menghadap ke utara. Di belakang ke-
raton itu ada taman yang dinamakan Taman Astamarta. Dan di taman itulah pohon Astagina tumbuh den-
gan subur. Jika kalian ingin mencarinya, carilah di re-
runtuhan bagian selatan!"
"Jadi kami sekarang harus menuju ke utara,
begitu maksudmu?" tanya Raka.
"Benar. Dan kalian tetap akan melewati Tanah
Keramat, desa para pencuri itu!" jawab Adinda.
Ayunda menambahkan kata, "Tapi aku yakin
kalian tak akan dapatkan daun itu!"
Setelah diam sesaat, Raka Pura segera bertanya
kepada Ayunda.
"Jika benar katamu, kami tidak akan menda-
patkan daun itu, lalu ke mana kami harus mencari
Daun Astagina itu?!"
Ayunda melirik adiknya sebentar, lalu sebelum
ia bicara sang adik lebih dulu perdengarkan suaranya
yang bernada tegas.
"Di rumah kami, Kakek sempat menanam bibit
pohon Astagina. Pohon itu sekarang masih tumbuh di
samping rumah kami. Tapi hanya satu pohon saja."
"O, benarkah di tempatmu ada pohon Astagi-
na?!" Soka tampak sangsi namun berdebar-debar pe-
nuh harap juga.
"Kami akan berikan daunnya kepada kalian, ji-
ka kalian sudah mendapatkan kitab pusaka yang kami
kejar itu, dan... tentu saja kalian ingin buktikan kata-
kata kami untuk pergi ke petilasan Keraton Kencana
Windu, bukan? Pergilah dulu ke sana dan carilah daun
itu. Jika tak ada, kalian boleh datang kepada kami
dengan membawa Kitab Jayasakti untuk ditukar den-
gan tiga lembar Daun Astagina!"
Pendekar Kembar saling beradu pandang, sea-
kan sama-sama ragu dalam mengambil langkah. Se-
mentara Raka tampaknya mempertimbangkan keputu-
san itu dengan serius, Soka Pura sempatkan bertanya
kepada Ayunda.
"Mengapa kalian tak merasa takut jika kitab
pusaka itu akhirnya akan kami pelajari sendiri setelah
kami berhasil merampasnya dari tangan pencurinya?!"
"Karena kami yakin kalian memang Pendekar
Kembar yang sedang ramai dibicarakan oleh para to-
koh di rimba persilatan! Sebagai sepasang pendekar,
kami percaya kalian tak akan menjadi pengkhianat ba-
gi seorang sahabat!"
"Bagaimana kalau ternyata kami hanya menga-
ku-aku sebagai Pendekar Kembar?!"
Ayunda menyahut, "Itu tak mungkin! Karena
baru saja kami ingat bahwa mereka membicarakan
Pendekar Kembar yang berpedang kristal. Dan kulihat
pedang kalian itu adalah pedang kristal. Jadi kami
percaya bahwa kalian memang Pendekar Kembar yang
sebenarnya."
Ayunda segera memberi isyarat kepada adiknya
dengan kedipan mata. Sang adik anggukkan kepala ti-
pis. Kemudian mereka mundur bersama. Ayunda sege-
ra berkata mewakili adiknya.
"Selamat jalan! Kita jumpa lagi di Lembah Sa-
ga!"
Blaaas, blaas...!
"Hei, tunggu! Tung...!"
Tangan Soka segera dicekal kakaknya. Ia tak
jadi mengejar kedua gadis yang segera melesat pergi
tinggalkan mereka.
"Tak perlu dikejar!" ujar Raka.
"Tapi kita belum tahu di mana mereka tinggal!
Jika kita benar-benar gagal dapatkan daun itu dari pe-
tilasan keraton tersebut, lalu bagaimana kita bisa
sampai ke tempat tinggal mereka?!"
"Lembah Saga! Apakah kau tak dengar Ayunda
sebutkan Lembah Saga?!"
"Apakah itu tempat tinggal mereka?!" Soka gan-
ti bertanya.
"Kalau belum digusur, kurasa memang di Lem-
bah Saga itulah rumah mereka berdua," jawab Raka
dengan kalem. "Yang penting sekarang kita periksa du-
lu keadaan di petilasan keraton tersebut."
"Berarti kita harus melewati Tanah Keramat?!"
"Mungkin memang harus begitu. Tapi apakah
menurutmu kita perlu ikut campur dapatkan Kitab
Jayasakti?!"
Soka Pura angkat bahu sambil melangkah lan-
jutkan perjalanan.
"Jika kitab itu memang bisa ditukar dengan
Daun Astagina, apa salahnya kalau kita dapatkan dulu
kitab tersebut?!"
Sambil tetap melangkah Raka Pura pun berka-
ta, "Bagaimana jika kedua gadis kembar itu menipu ki-
ta? Kitab sudah kita dapatkan tapi mereka tidak bisa
memberi kita daun tersebut?!"
"Ku rontokkan gigi mereka!"
"Kau tega merontokkannya?"
Pendekar Kembar bungsu nyengir kuda.
"Tentu saja mulut mereka harus diberi pelaja-
ran dengan kecupan ku dulu, baru giginya dirontok-
kan!"
"Otakmu tak jauh dari cumbuan!" gerutu Raka
Pura.
"Sebab otakku dekat dengan mulut. Kalau otak
ku dekat pantat, mungkin aku akan sering bicara ten-
tang jamban!"
"Jorok!" sentak Raka dalam gerutunya. Raka
Pura hanya tertawa cekikikan.
"Hentikan tawamu!" sergah Raka dalam nada
masih seperti orang menggerutu. Tapi Soka Pura ma-
sih cekikikan.
"Hentikan tawamu, kataku!" Raka melotot ke-
pada adiknya. Sang adik buang muka, menutup mulut
dan berusaha hentikan tawanya. Karena Raka saat itu
hentikan langkah, maka Soka pun hentikan langkah
dan kini ia berada di belakang kakaknya bagai sedang
sembunyikan tawa. Tapi sebenarnya ia sudah tidak
cekikikan lagi. Hanya saja, Raka segera berpaling dan
tampak berang kepada adiknya.
"Tuli kau! Kubilang hentikan tawamu!"
"Aku sudah tidak tertawa, Bego!" bentak Soka.
"Hmmm...?!" Raka berkerut dahi. "Kalau begitu
siapa yang cekikikan itu?!"
"Maksudmu...?!" Soka terperanjat, ia segera
menelengkan kepala untuk menangkap suara yang di
maksud kakaknya.
Ternyata memang benar. Ada suara cekikikan
samar-samar. Arahnya di sebelah kanan mereka; Sua-
ra cekikikan itu membuat Soka segera tersenyum, ka-
rena ia telah membayangkan sesuatu yang cukup
menggelitik bagi hatinya.
"Raka, kau mau memeriksa semak-semak di
bawah pohon sebelah sana?!" sambil Soka menunjuk
tempat yang dimaksud.
"Mengapa aku harus memeriksanya?"
"Karena di sanalah sumber suara cekikikan
yang kita dengar ini. Periksalah semak-semak itu lewat
atas pohon dan jangan timbulkan suara apa pun. Aku
akan menunggumu di sini!"
"Ah...!" Raka mendesah tak setuju, ia ingin te-
ruskan langkah.
Pundak Raka dicekal oleh adiknya. Sang kakak
memandang dengan cemberut, sang adik justru nyen-
gir dengan maksud tertentu.
"Siapa tahu yang cekikikan di semak-semak
sana adalah Panji Doyok! Periksalah dulu sana. Apa
kau tak berani memeriksa persembunyian seorang
pencuri?!"
"Kau meremehkan keberanian ku?!" sambil Ra-
ka menuding dengan hati dongkol. Sang adik hanya
angkat bahu sambil tetap nyengir. Raka pun segera
bergegas memeriksa semak tersebut, karena ia tak
mau dianggap pengecut oleh adiknya.
Wuuuut...! Dalam satu sentakan napas ia telah
melayang naik dan hinggap di salah satu pohon. Ke-
mudian dengan menggunakan jurus peringan tubuh-
nya yang dinamakan jurus 'Badai Terbang', Raka me-
lesat dari pohon ke pohon tanpa timbulkan bunyi ge-
merusuk dan tanpa membuat daun-daun bergerak
oleh sentuhan kakinya. Dalam sekejap ia sudah berada
di pohon dekat semak-semak yang timbulkan suara
cekikikan itu. Sedangkan Soka Pura hanya cengar-
cengir pandangi kakaknya sambil duduk di atas se-
bongkah akar yang menyerupai seonggok batu di ba-
wah pohon.
"Suara cekikikan itu jelas suara seorang pe-
rempuan," ujar Soka dalam hati. "Kurasa di sana ada
perempuan yang sedang bercumbu. Raka pasti kaget
begitu melihat perempuan sedang dicumbu. Mungkin
malahan ia akan jatuh menimpa mereka yang sedang
bercumbu. Hik, hik, hik, hik...! Biar tahu rasa dia! Jadi
lelaki kok selalu takut sama cumbuan! Banci itu na-
manya!"
Pendekar Kembar sulung memang selalu hinda-
ri kemesraan. Ia tak pernah tampak tertarik kepada
seorang gadis secantik apa pun. Bahkan memegang
tangan seorang gadis, jika bukan karena harus meno-
long luka si gadis, tak pernah dilakukan oleh Raka.
Berbeda dengan Soka. Tak perlu tunggu gadis
naksir dan mendekatinya ia sudah lebih dulu nyosor
tanpa ragu-ragu. Perbedaan sifat itulah yang membuat
Soka kelihatan lebih konyol sedangkan Raka tampak
lebih serius dan berkharisma. Perbedaan itu pula yang
sering dimanfaatkan Soka untuk menggoda kakaknya
dengan hal-hal yang bersifat seronok atau ngeres.
Soka menduga kakaknya tak akan betah men-
gintip orang bercumbu di semak-semak itu. Tapi nya-
tanya Soka harus menunggu beberapa saat lamanya.
Seharusnya Raka sudah kembali sejak tadi dan me-
maki-maki dirinya. Tapi mengapa sampai kaki Soka
semutan dipakai untuk duduk, Raka belum kembali
dari tempat pengintaiannya?
Rasa penasaran membuat Soka akhirnya ber-
gegas menyusul sang kakak walau suara cekikikan itu
sudah tak terdengar. Ia jadi ingin tahu, apa yang
membuat kakaknya betah mengintai orang bercumbu:
Suut, wees...! Soka Pura pun melesat melalui
dahan demi dahan tanpa timbulkan suara. Sampai di
pohon tempat kakaknya tadi tampak mengintai orang
di balik semak-semak itu, Soka Pura hentikan lang-
kahnya dan memandang ke bawah.
Ternyata di balik semak itu ada seorang nenek
berusia sekitar tujuh puluh tahun yang sedang mem-
buka kotak permata dan menghitung butiran intan
permata yang ada di dalam kotak tersebut. Nenek itu
didampingi oleh gadis jelita berwajah mungil yang ikut
membantu sang nenek menghitung butiran intan per-
mata dan perhiasan lainnya yang sangat berharga.
Soka segera mendekati Raka yang ada di dahan
lain. Gerakannya sangat pelan agar tak timbulkan sua-
ra dan merontokkan daun yang dapat membuat nenek
dan gadis mungil itu memandang ke atas pohon.
"Ssst...!" Raka memberi isyarat dengan menem-
pelkan telunjuknya ke bibirnya sendiri. Kemudian ia
mendekati telinga adiknya dan berbisik sangat pelan.
"Sepertinya mereka habis mencuri kotak per
mata milik orang kaya, entah dari mana!"
Soka ganti berbisik di telinga kakaknya.
"Apa yang mereka bicarakan sejak tadi?"
"Mereka menyebut-nyebut nama Panji Doyok!
Agaknya perempuan tua itu adalah neneknya Panji
Doyok."
"Dan si gadis cantik mungil itu siapa?" "Adik-
nya Panji Doyok!"
"Ah, apa benar?! Wajah mereka tak mirip. Wa-
jah Panji Doyok lebih hancur daripada wajah gadis
itu."
"Tapi si nenek tadi bilang 'mudah-mudahan ka-
kakmu berhasil'. Berarti gadis itu adalah adiknya Panji
Doyok. Karena si gadis pun segera menjawab: "Kang
Doyok tak pernah gagal dalam menjalankan tugas apa
pun dari nenek'. Kurasa mereka memang keluarga
pencuri!"
Soka manggut-manggut, lalu diam sesaat. Sete-
lah itu berbisik kembali kepada kakaknya.
"Tangkap saja, yuk?!"
"Kita tak punya urusan dengan mereka!"
"Tapi kitab itu?! Kitab Jayasakti itu pasti sudah
berhasil dicuri Panji Doyok. Jika nenek dan adiknya
kita tangkap, kita jadikan sandera, Panji Doyok pasti
mau serahkan kitab tersebut kepada kita. Lalu kitab
itu dapat kita tukar dengan Daun Astagina dari Ayun-
da."
"Ssst...! Lihat, ada beberapa orang berlari me-
nuju kemari!" sambil mata Raka memandang ke arah
timur. Tampak empat orang bersenjata sedang menuju
ke tempat sang nenek dan cucu gadisnya sedang
menghitung permata.
Soka Pura segera mencolek lengan kakaknya.
"Raka, lihat di sebelah barat sana!"
"Ooh...?!" Raka memandang tempat yang ditunjuk Soka. "Tiga orang berkuda?! Hmmm... dilihat dari
pakaian dan pedang mereka yang bagus, aku yakin
mereka para prajurit dari sebuah istana. Dan, heiii...
lihat di sebelah selatan itu!"
"Astaga! Delapan orang berkuda sedang menuju
kemari?! Oh, dari mana mereka sebenarnya?!"
"Kurasa mereka mengejar nenek dan cucu ga-
disnya yang telah mencuri kotak permata itu!"
"Tapi dari mana mereka tahu kalau nenek dan
gadis itu bersembunyi di balik semak bawah kita ini?!"
"Ya, memang aneh! Dari mana mereka tahu ba-
rang curian itu ada di sini, ya?!" gumam Raka pelan
sekali.
"Haruskah kita bertindak?!"
"Mau bertindak apa kita?" Raka ganti bertanya,
karena keduanya sama-sama bingung.
"Wajah orang-orang yang kemari itu tampaknya
kejam-kejam, Raka!"
"Iya! Sepertinya tiap orang bernafsu untuk
membunuh!"
"Kasihan gadis mungil itu," gumam Soka Pura
sambil menatap ke bawah, memandang gadis berbibir
mungil yang mengenakan pakaian serba kuning gad-
ing.
Sebelum suara orang-orang itu tertangkap te-
linga si gadis dan neneknya yang berjubah abu-abu
itu, Soka Pura segera ajukan gagasannya kepada sang
kakak.
"Kita selamatkan kedua orang ini, biar dia mau
bantu kita untuk dapatkan kitab itu!"
"Bagaimana caranya?!"
"Totok mereka! Akan kutotok keduanya dengan
jurus 'Totok Pikun'- ku. Lalu, kita bawa lari mereka ke
selatan, tinggalkan kotak perhiasan tersebut. Biar di-
temukan oleh para pengejarnya. Tapi kedua orang ini
selamat dari amukan mereka!"
Setelah diam selama satu helaan napas, Raka
pun anggukkan kepala.
"Kau bawa lari neneknya, aku yang bawa lari
gadis mungil itu!" ujar Soka.
"Hei, aku ini kakakmu! Kau selalu mengakali
ku terus!"
Belum sempat Raka lanjutkan bisik-bisiknya,
Soka Pura sudah berkelebat turun lebih dulu. Dengan
menggunakan jurus 'Jalur Badai', ia mampu bergerak
cepat sekali dan tangannya menotok tengkuk sang ne-
nek, menyusul menotok tengkuk sang gadis.
Wuuut...! Tes, tes...!
Keduanya segera Jatuh lemas tanpa bisa berte-
riak. Soka, Pura segera memanggul si gadis mungil,
sementara itu Raka meluncur turun bagai seekor bu-
rung camar yang gesit. Weess...! Wuuut...!
Sang nenek disambarnya, kemudian Pendekar
Kembar segera sama-sama gunakan jurus 'Jalur Ba-
dai', berkelebat ke selatan. Masing-masing membawa
beban di atas pundak mereka. Sedangkan kotak per-
hiasan dan isinya mereka tinggalkan begitu saja.
*
* *
4
RUPANYA para wajah angker baik yang berku-
da maupun yang jalan kaki adalah orang-orang sebuah
kadipaten yang memang ditugaskan memburu pencuri
kotak permata. Kotak permata itu milik permaisuri
sang adipati yang dicuri oleh kedua orang itu dari
'dalem kadipaten'. Sang adipati mengutus beberapa
orangnya, termasuk seorang 'pawang maling' yang
mampu melacak ke mana larinya barang curian itu.
Orang berkuda yang mengenakan jubah putih
dengan rambut dan jenggot telah memutih itulah si
'pawang maling', yang melacak larinya pencuri serta
barang curiannya dengan menggunakan ketajaman in-
dera keenamnya. Mereka menemukan kotak perhiasan
di batik semak, tapi kedua pencurinya telah dibawa la-
ri oleh Pendekar Kembar. Mulanya Pendekar Kembar
sempat hentikan langkah di kejauhan untuk melihat
siapa mereka-mereka itu. Setelah mengetahui bahwa
mereka memang orang-orang yang bertugas mengejar
pencuri, maka kedua pemuda tampan itu bergegas te-
ruskan pelariannya untuk selamatkan si gadis mungil
dan neneknya.
"Mau dibawa ke mana rongsokan ini?!" tanya
Raka kepada adiknya sambil memanggul sang nenek
kurus berambut abu-abu itu. "Kita cari sebuah gua!"
"Kalau begitu kita harus ke kaki bukit cadas
itu!" sambil Raka menuding bukit cadas yang tak sebe-
rapa tinggi dan tampak dari tempat mereka berhenti
sebentar itu.
Mereka segera bergegas ke sana dengan meng-
gunakan jurus 'Jalur Badai". Kecepatan gerak yang
melebihi kecepatan badai yang paling cepat itu mem-
buat mereka segera tiba di bawah bukit cadas terse-
but. Ternyata di sana memang ada tempat yang layak
untuk istirahat. Sebuah rongga yang menyerupai gua
berpintu lebar terdapat di kaki bukit cadas itu. Rongga
itu tidak terlalu dalam, tidak punya lorong lain, dan
dapat dilihat dengan jelas dari jalanan depannya, ka-
rena tak ada tanaman selain rumput jenis lumut.
Rongga itu memang tidak dalam, sekitar dela-
pan langkah dari batas tanah berumput. Tapi pan-
jangnya lebih dari lima belas langkah. Langit-langitnya
agak rendah. Jika Raka berdiri dan tangannya diulur-
kan ke atas, maka ujung jari tengahnya dapat menyen-
tuh langit-langit rongga tersebut.
Sang nenek dan cucunya diletakkan di atas ta-
nah datar yang kering, letaknya sedikit berjauhan.
Sementara Raka memeriksa keadaan sekeliling dengan
pandangan matanya, Soka Pura pandangi si gadis can-
tik berambut pendek namun kenakan ikat kepala me-
rah.
"Kecantikannya sungguh menggemaskan!" gu-
mam hati Soka Pura sambil tersenyum sendiri. "Wajah
ini seperti wajah boneka yang lucu dan menghadirkan
rasa senang tersendiri di dalam hati siapa pun yang
memandangnya. Hmmm... bibirnya benar-benar mem-
buatku ingin menggigitnya dengan lembut. Hidungnya
kecil tapi bangir. Tubuhnya pun tak terlalu kurus,
bahkan berkesan ramping namun padat. Kurasa dia
masih berusia sekitar delapan belas tahun. Sayang se-
kali cantik-cantik begini tapi kerjanya mencuri."
"Hei, sudah! Jangan berkhayal jorok!" tegur Ra-
ka sambil mendorong kepala adiknya dari belakang.
Sang adik nyengir sambil garuk-garuk kepala tanpa
gatal.
"Bagaimana keadaan sekeliling tempat ini?"
"Aman! Entah kalau bagian atas bukit. Mung-
kin ada harimaunya atau...."
"Apakah menurutmu orang-orang itu akan
mengejar kemari?"
"Kurasa mereka hanya menyelamatkan kotak
perhiasan itu saja! Jika kotak perhiasan itu sudah me-
reka dapatkan, mereka tak mau sulit-sulit lagi untuk
memburu pencurinya."
"Tadi sempat kudengar salah satu dari mereka
ada yang menyebut nama 'Kanjeng Adipati Lumban',
apakah itu nama pemilik kotak perhiasan tersebut?!"
"Mungkin saja. Tapi yang jelas sekarang aku
ingin bertanya padamu; kalau sudah begini lantas kita
mau apa?!"
"Tunggu mereka sadar, baru kita tanyakan ten-
tang Panji Doyok itu!"
"Seharusnya kau tadi jangan menotoknya terla-
lu keras. Tak perlu sampai dibuat pingsan begini, cu-
kup kau buat lemas seperti biasanya itu!"
"Tak sengaja. Habis sambil bergerak cepat, ja-
dinya ya terlalu keras begini."
"Apakah tidak sebaiknya...," kata-kata Raka
terhenti seketika begitu mereka mendengar suara le-
dakan yang menggema tak terlalu keras itu.
Blaaang...!
"Ada yang bertarung di sekitar sini, Raka?!"
sentak Soka Pura dengan tegang.
"Ya. Biarkan saja. Itu urusan mereka."
"Siapa tahu ada hubungannya dengan Panji
Doyok?!"
"Jadi maksudmu kau suruh aku mengintip per-
tarungan itu?!"
"Aku tidak menyuruh, tapi kalau kau tidak ke-
beratan, aku menyarankan tengoklah siapa yang ber-
tarung itu!"
Raka Pura tidak menjawab tapi hanya bersun-
gut-sungut dengan gerutu tak jelas. Ia keluar dari lo-
rong dan memandang sekeliling dengan tanpa niat
pergi menengok pertarungan. Soka Pura segera dekati
kakaknya.
"Hei, kalau ternyata yang bertarung itu adalah
Panji Doyok dengan orang yang mau merebut Kitab
Jayasakti itu, bagaimana? Kalau ternyata Panji Doyok
mati, lalu kitab dibawa lari lawannya itu, bagaimana?
Kita kehilangan jejak dan tak tahu siapa orang yang te-
lah merampas kitab dari tangan Panji Doyok. Untuk
itu, kurasa memang perlu kau tengok sebentar. Jika
bukan Panji Doyok, kembalilah kemari dan tak perlu
ikut campur urusan mereka. Kau setuju?!"
Raka Pura renungi pendapat adiknya itu. Bebe-
rapa saat kemudian ia menarik napas dan berkata ke-
pada sang adik.
"Suara pertarungan itu tampaknya dari balik
bukit cadas ini. Aku akan menengoknya dengan men-
daki bukit ini!"
"Itu bagus, Raka!"
Kemudian sang kakak pun pergi menengok per-
tarungan dengan mendaki bukit yang tak seberapa
tinggi itu. Beberapa kali lompatan membuat Raka su-
dah tiba di atas bukit tersebut dan bergerak turun me-
lalui lereng seberangnya. Sementara itu, Soka Pura
cengar-cengir karena merasa geli atas keberhasilannya
membujuk sang kakak agar mau pergi. Sementara
sang kakak pergi, ia dapat menikmati kecantikan si
gadis mungil itu dengan bebas, tanpa teguran dan
gangguan dari sang kakak.
Raka Pura tidak sadar kalau dirinya telah dua
kali 'dikerjain' oleh adiknya. Ia menganggap saran
adiknya itu tak punya maksud apa-apa di balik buju-
kan tersebut. Raka Pura hanya memikirkan, siapa
yang bertarung dan di mana letak pertarungan mere-
ka.
Ternyata letak pertarungan tidak sulit ditemu-
kan. Begitu menuruni lereng bukit cadas itu, Raka me-
lihat ada dua orang bertarung di tanah datar, di kaki
bukit cadas itu. Tanah datar yang mempunyai pepoho-
nan berjarak renggang itu memang sangat ideal untuk
sebuah pertarungan. Tapi Raka yakin, mereka yang
bertarung tidak sengaja mencari tempat selayak itu.
Raka pun segera menyelinap di balik pohon tak
begitu besar. Kehadirannya sebagai pengintai perta
rungan tak ingin dilihat oleh siapa pun. Dari balik po-
hon itu ia dapat memandang dengan bebas ke arah
dua orang yang saling beradu kekuatan tenaga dalam
dengan masing-masing mendorong menggunakan ke-
dua tangan dari jarak lima langkah.
"Siapa mereka itu?!" gumam hati Raka dengan
mempertajam penglihatannya. Untuk lebih jelas lagi,
Raka berkelebat pindah tempat. Wuuz...! Dalam seke-
jap ia sudah berada di balik pohon lebih dekat lagi.
"Ooo..., rupanya lelaki brewok itu adalah si Iblis
Bangor?!" gumam hati Raka, karena ia mulai ingat ten-
tang seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun
bertubuh besar, brewokan, alisnya tebal dan lebar.
Sangar. Orang berpakaian serba hitam itu bersenjata
golok lebar. Tapi agaknya kala itu ia belum mau meng-
gunakan goloknya.
Iblis Bangor pernah terlibat urusan dengan So-
ka, bahkan Raka pernah melihat Iblis Bangor tertawa
terus karena terkena totokan si Biang Tawa. Jika tak
disembuhkan oleh Biang Tawa, maka lelaki besar itu
akan tertawa terus sampai akhirnya mati. Untung pa-
da waktu itu Biang Tawa segera melepaskan totokan-
nya, sehingga lelaki itu tak sempat mati, namun sem-
pat jera berhadapan dengan Biang Tawa, (Baca serial
Pendekar Kembar dalam episode: "Gua Mulut Naga"
dan "Gairah Sang Pembantai").
"Tetapi siapa perempuan yang menjadi lawan
Iblis Bangor itu?!" pikir Raka Pura. Ia merasa asing
dengan perempuan berusia sekitar dua puluh enam
tahun itu yang mempunyai rambut kuning pirang di-
gulung sebagian, sisanya meriap ke bawah.
Perempuan itu mempunyai kecantikan yang
matang dengan jubah lengan panjang warna jingga
dengan pakaian dalamnya warna abu-abu. Si cantik
bertubuh tinggi dan sekal itu tampaknya merasa tak
gentar sedikit pun berhadapan dengan Iblis Bangor
yang lebih besar darinya. Di pinggangnya juga terselip
senjata berupa cambuk, tapi agaknya ia belum mau
gunakan senjata tersebut. Mungkin mereka masih in-
gin mengandalkan kekuatan tenaga dalam untuk tum-
bangkan lawan yang masing-masing saling mengang-
gap remeh itu.
Ketika mereka beradu kekuatan tenaga dalam
dengan menggunakan kedua tangan seperti saling do-
rong dari jarak jauh itu, Raka Pura melihat si gadis
mulai terdesak. Kedua kakinya yang merendah mulai
bergeser ke belakang dengan tubuh bergetar.
"Hheeaaahh...!"
Iblis Bangor segera kerahkan tenaga dan kedua
tangannya akhirnya menyentak lurus. Pada saat itu
pula tubuh perempuan bermata coklat itu terpental ke
belakang dan jatuh berguling-guling. Menyedihkan se-
kali.
"Sampurgina! Kalau kau tak mau menyerah-
kannya, maka sekarang juga aku akan bertindak seba-
gai El Maut untuk mencabut nyawamu!"
"Sampurgina...?!" gumam Raka Pura. "Seper-
tinya aku pernah mendengar nama itu. Tapi di mana
dan siapa sebenarnya perempuan bernama Sampurgi-
na itu?!"
Raka Pura urungkan niatnya untuk pergi. Ia
berbalik memandang ke arah pertarungan lagi. Tepat
ketika ia memandang ke arah pertarungan, tubuh Iblis
Bangor sedang menerjang Sampurgina yang baru saja
mau bangkit. Wuuuut...! Brruusk...!
Sreeet...! Iblis Bangor mencabut golok besarnya
sebelum Sampurgina sempat mencabut cambuknya.
"Wah, matilah perempuan itu! Pasti mati dibe-
lah golok si Iblis Bangor!" ujar Raka dalam hatinya ke-
tika ia memperhatikan ke arah pertarungan lagi. "Kasihan. Agaknya Iblis Bangor tak beri kesempatan ke-
pada lawannya untuk mencabut senjata! Tak tega juga
hatiku melihat perempuan itu di ambang ajal begitu."
Terdengar suara besar Iblis Bangor yang berna-
da kasar itu mengawali ayunan golok lebarnya ke tu-
buh Sampurgina.
"Rupanya kau memang lebih baik memilih mati,
Sampurgina! Terimalah ajalmu ini! Heeaat...!"
Deess...!
"Aaaakh...!" Iblis Bangor tersentak, tubuhnya
yang sedang melompat hendak tebaskan goloknya itu
melayang ke samping dan jatuh berdebam seperti
nangka busuk. Buuukh...
"Aaaakh...! Bangsaaaat..!"
Teriaknya dengan wajah menyeringai kesakitan.
Rupanya pada saat itu Pendekar Kembar sulung telah
menggunakan jurus 'Tangan Batu' untuk menahan
niat Iblis Bangor membunuh Sampurgina. Dengan sen-
takkan dua tangan ke depan dalam keadaan meng-
genggam, maka tenaga dalam Raka melesat dan meng-
hantam sekitar lambung si Iblis Bangor. Tenaga dalam
besar itu yang membuat tubuh Iblis Bangor mampu
terlempar ke samping.
Wuuut...! Raka Pura segera tampakkan diri pa-
da saat Sampurgina telah berdiri dan mencabut cam-
buknya. Ketika perempuan itu melihat lawannya jatuh,
ia segera akan melecutkan cambuknya yang berujung
logam runcing itu.
"Tahan!" sergah Raka Pura sambil mengangkat
tangannya. Perempuan itu menatapnya dengan wajah
masih tampak menyimpan murka. Gerakannya terhen-
ti karena merasa heran melihat kemunculan pemuda
tampan yang bertubuh tegap dan kekar, serta berani
mencampuri pertarungan itu.
Sampurgina segera berkerut dahi, lalu gerakan
tangan yang ingin melecutkan cambuk itu diturunkan.
Ia menggumam di sela nafasnya yang terengah-engah.
"Rupanya kau ada di sini, Pendekar Kembar?!"
Kini ganti Raka yang merasa heran terhadap
teguran Sampurgina.
"Sejak kapan dia mengenalku?" tanyanya dalam
hati. Namun hal itu ia tangguhkan dulu, karena Iblis
Bangor segera bangkit dan menggeram dengan ma-
tanya yang lebar itu memandang ke arah Raka penuh
kemarahan terpendam.
"Raka Pura...! Bangsat juga kau, hah?! Menga-
pa kau menyerangku?!"
"Aku hanya ingin hentikan niatmu membunuh
lawan yang tak berdaya, Iblis Bangor!"
"Aku masih berdaya!" sentak Sampurgina seba-
gai protes terhadap kata-kata Raka Pura. Tapi protes
itu tak dihiraukan oleh Raka, karena ia segera dekati
Iblis Bangor.
"Kurangilah keganasanmu sedikit, Iblis Ban-
gor!"
"Hhrrrmmm...!" Iblis Bangor menggeram dengan
gemas sekali. Ia segera teringat tentang si Biang Tawa.
"Celaka! Jangan-jangan anak ini datang bersa-
ma adiknya dan si Biang Tawa juga. Wah, kacau kalau
begini! Bisa-bisa aku mati tertawa sampai nungging-
nungging, seperti waktu itu?!" pikir Iblis Bangor. Nya-
linya mulai turun karena ingatan masa lalunya.
"Sebaiknya aku harus segera pergi dan me-
nangguhkan urusan dengan Sampurgina ini! Akan ku-
serang dari belakang si Sampurgina, terutama jika su-
dah tidak bersama si Pendekar Kembar dan Biang Ta-
wa keparat itu!"
Menurut Raka dan Sampurgina, si Iblis Bangor
diam mematung terlalu lama karena celoteh dalam ha-
tinya tadi. Raka sendiri tampak memberi kesempatan
kepada Iblis Bangor untuk bicara dengannya. Tapi
Sampurgina memanfaatkan kesempatan itu untuk me-
lecutkan cambuknya ke tubuh Iblis Bangor.
Namun baru saja ia mengangkat tangannya un-
tuk ayunkan cambuk panjang itu, Raka Pura segera
memandang dengan sentakkan wajah berpaling cepat
dan tegas. Seet...! Matanya memandang Sampurgina
dengan tajam. Rupanya pandangan tajam itu membuat
hati Sampurgina menjadi gundah, akhirnya nyali pun
mulai turun, karena ia tahu persis siapa pemuda itu.
Tangan pun tak jadi mengayunkan cambuk. Tapi na-
pas terbuang lepas, menandakan kejengkelan hatinya
atas larangan tak langsung itu.
"Sampurgina!" geram Iblis Bangor. "Hati-hatilah
kau! Aku akan selalu mengincar mu dan menunggu
kelengahan mu!"
Setelah berkata begitu, Iblis Bangor langsung
melesat pergi dan membuat Sampurgina dan Raka Pu-
ra menyimpan perasaan heran dalam hatinya. Teruta-
ma si perempuan berhidung mancung itu, tak me-
nyangka sama sekali kalau Iblis Bangor akan pergi be-
gitu saja tanpa mencoba melawan Raka Pura.
"Barangkali sebelum ini ia pernah bertemu Ra-
ka dan dibuat babak belur, sehingga ia merasa jera ji-
ka harus berhadapan dengan Pendekar Kembar ini!"
pikir Sampurgina yang masih pandangi kepergian Iblis
Bangor sampai orang besar itu lenyap dari pandangan
mata.
"Sampurgina," terdengar Raka Pura menegur-
nya dengan nada tenang namun berkharisma. "Dari
mana kau mengenaliku sebagai Pendekar Kembar?!"
Sampurgina palingkan wajah, pandangi raut
tampan yang berada dalam jarak tiga langkah darinya
itu.
"Mungkin kau memang belum mengenalku, tapi
aku pernah melihatmu bertarung dengan bekas ratu
ku."
"Siapa ratu yang kau maksud itu?" "Ratu Cum-
bu Laras!"
"Oh...?" Raka Pura seperti tersengat puntung
rokok. Kaget dan mulai menatap dengan lebih tajam
dari sebelumnya. Bayangan dendam masa lalu yang
sebenarnya sudah padam itu sedikit mengepul hangat
kembali dalam jiwanya.
Terbayang saat pertarungannya dengan Ratu
Cumbu Laras yang membantai seluruh keluarga Pen-
dekar Kembar ketika mereka baru saja lahir itu. Ter-
bayang pula saat sang Ratu berhadapan dengan seseo-
rang yang ternyata adalah ayah kandung Pendekar
Kembar itu, (Baca serial Pendekar Kembar dalam epi-
sode: "Setan Cabul").
Napas yang ditarik panjang-panjang merupa-
kan cara meredakan dendam bagi si Pendekar Kembar
sulung itu. Ia merasa tak perlu mengingat-ingat den-
dam yang sudah terlampiaskan itu. Kini yang penting
baginya adalah segera tinggalkan si perempuan cantik
itu, karena ia harus segera temui adiknya yang sedang
menjaga pasangan pencuri nenek dan cucu itu.
"Jadi kau bekas anak buahnya Ratu Cumbu
Laras?!"
"Ya. Tapi sebelum sang Ratu berhasil kau tum-
bangkan bersama adikmu itu, aku sudah pergi darinya
dan bukan lagi anak buah perempuan itu."
"Ooo...," Raka menggumam datar dan manggut-
manggut kecil. Matanya memandangi wajah Sampur-
gina sebentar, kemudian segera beralih ke arah lain,
walau ia tahu Sampurgina menatapnya tanpa berkedip
dan tanpa cahaya permusuhan. Cambuknya sudah di-
gulung dan diselipkan pada ikat pinggangnya sebelah
kanan. Sewaktu-waktu mudah di cabut dan disentak
kan dalam satu lecutan maut.
"Mengapa kau mencampuri pertarungan ku
dengan Iblis Bangor tadi, Pendekar Kembar?!"
"Hanya sekadar tak tega melihat kau mati dibe-
lah pakai golok besarnya itu. Ah, sudahlah. Lupakan
kelancanganku ikut campur dalam pertarungan kalian
tadi!"
Raka Pura bergegas pergi, meninggalkan Sam-
purgina begitu saja. Si perempuan merasa masih ingin
bicara dengan pemuda tampan itu. Ia segera melompat
dalam gerakan bersalto melintasi kepala Raka Pura.
Wuuk...! Jleeg...! Kedua kakinya segera mendarat di
depan langkah Raka, membuat langkah
Pendekar Kembar sulung itu terhenti seketika.
"Maaf, aku sengaja menahan kepergianmu ka-
rena ada sesuatu yang ingin kutanyakan...."
"Tentang apa?!" dahi Raka berkerut sedikit. Si-
kapnya terasa dingin bagi Sampurgina, karena me-
mang begitulah Raka bersikap di depan perempuan
cantik yang selalu menatapnya dengan maksud lain.
Sampurgina sunggingkan senyum menawan.
Raka menghembuskan napas menahan rasa kesal di
hatinya. Matanya memandang ke arah lain sambil ber-
kata bagai bicara pada diri sendiri.
"Cepat katakan jika ada yang ingin kau kata-
kan. Tanyakan jika ada yang ingin kau tanyakan. Wak-
tuku sangat sedikit dan harus lakukan pekerjaan lain."
"Mengapa kau berada di sini, Raka?" "Apa per-
lunya kau mengetahui tujuanku?"
"Barangkali aku bisa membantumu jika kau
ada kesulitan di sini. Aku sangat kenai daerah ini, ka-
rena aku sering berkeliaran di sini. Tempat ini tak jauh
dari tempat tinggalku. Kau bisa mampir jika kau mau."
"Terima kasih. Aku tak punya kesulitan apa-
apa. Pikirkanlah kesulitanmu sendiri, karena kudengar
Iblis Bangor akan selalu mengincar kelengahan mu!"
"Itu persoalan kecil"
"Persoalan kecil?! Dia sampai tega ingin mem-
bunuhmu, masih kau anggap persoalan kecil?!"
"Maksudku... hmmm... maksudku itu bisa ku
atasi walau kau tadi tak muncul. Jangan remehkan
kemampuanku, Raka!"
"Aku hanya mengingatkan agar kau waspada
karena Iblis Bangor mengancam kelengahan mu!"
"Baik. Terima kasih atas saran dan peringatan
mu itu."
"Kalau boleh ku tahu, mengapa ia sampai ingin
membunuhmu?"
Agaknya pertanyaan ini merupakan hal yang
diharapkan oleh Sampurgina. Harapan tersebut sebe-
narnya adalah rasa ingin bicara lebih lama lagi dengan
Raka. Sebab hati Sampurgina mulai tertarik dengan
ketampanan serta kegagahan si Pendekar Kembar su-
lung itu. Ia ingin lakukan pendekatan agar dapat lebih
dekat lagi dengan pemuda yang tadi sempat mendesir-
kan hatinya itu.
"Persoalannya cuma sepele," ujar Sampurgina.
"Aku dituduh mencuri sebuah kitab pusaka, padahal
dia sendiri yang mencurinya!"
"Kitab pusaka?!" Raka Pura mulai tertarik den-
gan mempertegang wajahnya. "Kitab pusaka apa mak-
sudmu?"
"Kitab Jayasakti, milik keluarga Gardamoyang!"
"Ooh...?!" Raka semakin terkejut, seperti disen-
gat kalajengking lubang hidungnya.
"Kau tahu tentang kitab itu rupanya," pancing
Sampurgina sambil memandang dengan lembut, dan
senyum pun hadir dalam kelembutan.
"Hmmm... yah, sedikit tahu," jawab Raka tak
mau blak-blakan. "Aku hanya pernah mendengar na
ma kitab itu, entah kapan dan entah di mana."
"Iblis Bangor telah mencuri kitab itu, sementara
ia menuduhku sebagai pencurinya. Itu hanya alasan
untuk membunuhku, karena dulu aku pernah melukai
mendiang istrinya!"
Raka Pura diam termenung sebentar. Hatinya
berkata, "Iblis Bangor menuduh Sampurgina mencuri
kitab itu? Sementara itu Sampurgina sendiri berang-
gapan kitab itu dicuri oleh Iblis Bangor? Oh, mereka
tidak tahu bahwa pencurinya adalah si Panji Doyok?!
Haruskah kukatakan pada perempuan ini siapa pen-
curi kitab itu sebenarnya?!"
Sampurgina punya kesempatan banyak untuk
pandangi si pemuda yang mengagumkan hati itu. Di-
amnya Raka adalah kesempatan emas bagi Sampurgi-
na untuk menikmati ketampanan dan kegagahan Pen-
dekar Kembar sulung itu. Ia sedikit menggeragap keti-
ka Raka Pura mengangkat wajahnya yang tadi meng-
hadap ke samping, kini menatapnya kembali.
"Apakah kau kenal dengan pemuda bernama
Panji Doyok?!" tanya Raka Pura sebagai pancingan.
Sampurgina tersenyum, setengah geli.
"Tentu saja aku kenal dengan bocah tolol itu!
Karena aku kenal dengan neneknya yang bernama:
Nyai Gantari alias si Tupai Siluman."
Hati Raka pun berkata, "Kalau begitu nenek
berjubah hitam itu adalah si Tupai Siluman?!"
"Aku cukup kenal dengan keluarga Panji
Doyok, karena... karena mendiang kakak Panji Doyok
adalah bekas suamiku!"
"Ooo...," Raka Pura manggut-manggut, bagai
menemukan kelegaan.
"Apakah kau senang si Bunga Dewi?" pancing
Sampurgina dalam senyum yang menggoda.
"Bunga Dewi itu siapa?!"
"Srigita, adiknya Panji Doyok yang cantik jelita,
mungil imut-imut menggemaskan itu."
Raka Pura kerutkan dahi dan membatin, "O,
jadi gadis itu bernama Srigita alias si Bunga Dewi?!"
Tapi kesan yang timbul dari wajah Raka Pura
adalah kesan orang yang sedang kebingungan dan me-
rasa asing dengan nama tersebut. Akhirnya Sampurgi-
na lebih mendekat lagi dan berkata dengan suara pe-
lan.
"Kalau kau ingin sekali menemui Panji Doyok,
sekarang ikut ke rumahku! Panji Doyok pasti datang
ke rumah untuk menemuiku. Aku ada janji padanya
untuk mengajarkan beberapa jurus simpanan ku ke-
padanya di sore ini."
"Bagaimana jika kuminta bantuanmu mengan-
tarku sampai ke rumah Panji Doyok sendiri?"
"Percuma. Kau tak akan bertemu dengannya.
Panji Doyok pasti sudah menunggu di rumahku."
Raka Pura sempat bimbang sesaat.
"Kita berangkat sekarang, Raka! Nanti jika dia
menungguku terlalu lama, dia akan pergi dan pasti
ngeluyur ke tempat yang sulit dipastikan. Yang jelas
tak akan pulang ke rumah, sebab ia sedang takut me-
nerima hukuman dari neneknya. Panji Doyok lakukan
kesalahan dan akan dihukum oleh Nyai Gantari! Seka-
ranglah saatnya untuk bertemu dengannya jika kau
benar-benar membutuhkan bantuannya, Raka!" bujuk
Sampurgina membuat Pendekar Kembar sulung sema-
kin bimbang.
"Kalau kau tak mau, aku akan segera pergi dan
kita berpisah sampai di sini, Raka!"
Kata-kata itu seperti ancaman yang makin
menjengkelkan bagi Raka Pura.
"Haruskah aku langsung menemui Panji Doyok
dan meminta kitab itu dl kembalikan?! Atau aku harus
menemui Soka dulu dan membawa Soka untuk... oh,
tapi bagaimana dengan nenek dan adik si Panji Doyok
itu? Aduh, bagaimana ini? Yang jelas aku tak mau
Sampurgina mengetahui bahwa Kitab Jayasakti sudah
ada di tangan Panji Doyok! Bisa-bisa akan dirampas
sendiri oleh Sampurgina dan dipelajarinya. Sebab...."
Kecamuk hati Raka terhenti, karena tiba-tiba ia
segera sadar dan terkejut melihat Sampurgina sudah
melangkah agak jauh darinya.
"Raka...! Cepatlah kalau mau ikut ke rumah-
ku!" seru Sampurgina membuat Raka terbengong di
tempat.
*
* *
5
JURUS totokan yang membuat pikun orang itu
ternyata justru membuat Soka dalam kesulitan yang
menjengkelkan. Nyai Gantari dan si Bunga Dewi telah
siuman dari pingsan mereka. Tapi mereka menjadi pi-
kun dan tidak ingat apa-apa.
Ketika mereka siuman, Soka Pura menjadi pu-
sat pandangan mata mereka. Jika mereka tidak men-
genal Soka dan merasa heran melihat Soka ada di de-
pan mereka, itu adalah hal yang wajar. Tapi jika mere-
ka tak tahu tentang Panji Doyok itu adalah hal yang
menjengkelkan.
"Jadi kau tidak kenal dengan Panji Doyok,
Nek?" "Panji Doyok itu makanan apa, Nak?" tanya Nyai
Gantari, si Tupai Siluman. Soka ingin tertawa, tapi ju-
ga ingin marah karena kepikunan si nenek itu.
"Kau juga tidak mengenal Panji Doyok?!" tanya
Soka kepada Bunga Dewi.
Gadis itu menggeleng. "Namaku bukan Panji
Doyok," katanya.
"Aku memang tidak mengatakan namamu Panji
Doyok! Aku menanyakan, apakah kau kenal dengan
orang yang bernama Panji Doyok?!"
"Orang mana itu, Kang?" tanya Bunga Dewi
dengan wajah polos, seperti gadis tolol. Soka Pura am-
bil napas panjang untuk menahan rasa kesal di ha-
tinya.
"Siapa namamu sebenarnya?" tanya Soka ke-
pada Bunga Dewi.
"Namaku..?! Namakuuu...," Bunga Dewi berpi-
kir, mencoba mengingat-ingat dengan susah payah se-
kali.
"Enaknya namaku siapa, ya Kang?"
"Uuh...!" Soka mendengus jengkel. Ia kembali
kepada sang nenek yang duduk melamun sambil me-
mijit-mijit kakinya.
"Nek, apakah kau tak ingat siapa namamu dan
siapa nama cucumu yang cantik itu?"
"Cucu...?" si nenek berkerut dahi. Ia segera
memandang Bunga Dewi. "Apakah dia cucuku?!"
"Ya. Dia memang cucumu!"
"Sejak kapan aku beranak dan anakku punya
keturunan?!" gumamnya seperti bicara pada diri sendi-
ri.
Soka Pura semakin jengkel karena Raka belum
kembali. Padahal ia ingin bertimbang rasa dengan ka-
kaknya dalam menghadapi kepikunan kedua orang itu.
Jurus 'Totok Pikun' itu benar-benar menghapus inga-
tan kedua orang tersebut tentang pribadinya maupun
kehidupan masa lalu mereka. Bahkan mereka juga
menyangkal ketika Soka menjelaskan bahwa mereka
telah mencuri kotak perhiasan milik seseorang yang
diduga adalah seorang adipati atau seorang raja. Sang
nenek justru bertanya, "Kotak perhiasan itu isinya
apa?"
"Isinya ya perhiasan?! Masa' isinya getuk?!"
sentak Soka dengan jengkel.
"Brengsek si Raka ini! Ke mana saja dia?! Ke-
napa tidak segera pulang?! Jangan-jangan dia meli-
batkan diri dalam pertarungan itu?!"
Sebenarnya bukan hal yang sulit bagi Soka un-
tuk memulihkan kesehatan kedua orang itu. Sangat
mudah bagi Pendekar Kembar bungsu itu untuk men-
gembalikan ingatan kedua orang tersebut. Karena ju-
rus penyembuhannya yang bernama 'Sambung Nyawa'
bisa dipakai untuk menyegarkan seluruh urat saraf
sampai ke otak seseorang. Kepikunan yang timbul ka-
rena lambatnya jalan darah menuju saraf ingatan da-
pat menjadi lancar kembali setelah keduanya meneri-
ma penyembuhan 'Sambung Nyawa'.
Tetapi Soka pun ingat, jika mereka dalam kea-
daan sehat dan ingatannya normal, maka mereka akan
membahayakan jiwa Soka. Tentunya sang nenek akan
menjadi murka jika mengetahui dirinya di bawa ke
tempat itu dalam keadaan kotak perhiasan hasil cu-
rian mereka tidak dibawa. Sang nenek maupun si ga-
dis cantik itu tidak akan mau tunjukkan di mana Panji
Doyok berada. Bisa-bisa mereka berdua menyerang
Soka karena dianggap musuh yang membahayakan.
Terlebih jika Soka mulai bicara tentang Kitab Jayasakti
yang dicuri Panji Doyok, pasti si nenek akan melin-
dungi Panji Doyok dengan pertaruhkan nyawanya.
"Kurang ajar si Raka! Sudah hampir petang
masih belum kembali! Aku tak tahu apa yang harus
kulakukan jika begini. Ku tinggalkan saja mereka ber-
dua di sini? Oh, jangan! Kasihan sekali. Mereka pasti
akan terpisah dan tak tahu jalan pulang."
Soka berpikir cukup lama, sementara matahari
semakin tenggelam di langit barat. Sisa cahayanya ma-
sih sempat meremang di permukaan bumi, namun se-
bentar lagi akan lenyap dan berganti petang.
"Aduh, bodohnya aku ini!" sambil Soka mene-
pak kepalanya sendiri. Rupanya ia mendapat gagasan
baru yang dapat dijadikan jalan keluar dari kesulitan-
nya saat itu.
"Sebaiknya mereka berdua ku sembuhkan den-
gan jurus Sambung Nyawa'. Begitu ingatan mereka pu-
lih kembali, kepikunan mereka telah hilang, kukata-
kan saja pada mereka bahwa aku menemukan mereka
dalam keadaan terkapar karena serangan orang-orang
berkuda. Orang-orang itu pergi dengan membawa ko-
tak permata curian mereka itu."
Soka Pura tersenyum sendiri. "Setidaknya den-
gan cara begitu, mereka akan merasa berhutang jasa
padaku dan tidak menyerangku. Aku akan mengaku
sebagai sahabat barunya Panji Doyok dan menyela-
matkan Panji Doyok dari kejaran Ayunda dan Adinda.
Brengsek! Mengapa tidak dari tadi gagasan itu muncul
dalam pikiranku. Uuh... dasar tolol aku ini!"
Soka Pura segera lakukan rencana tersebut
Sang nenek dibujuk agar duduk bersila bersebelahan
dengan si gadis. Kemudian, kedua tangan Soka ditem-
pelkan di tengkuk mereka, karena pengobatan mema-
kai jurus 'Sambung Nyawa' tak boleh terhalang selem-
bar benang pun. Dan untuk mempercepat datangnya
daya ingat, pengobatan harus dilakukan melalui teng-
kuk, karena dekat dengan otak.
Beberapa kejap setelah kedua tangan Soka me-
nempel di tengkuk mereka, tangan itu mulai meman-
carkan cahaya ungu. Cahaya ungu tersebut bagai me-
resap dalam tubuh kedua orang tersebut. Kejap beri-
kutnya, seluruh tubuh kedua orang itu memancarkan
cahaya ungu bening, sementara Soka telah mele-
paskan tangannya dari tengkuk mereka. Tangan Soka
sendiri sudah tidak menyala ungu lagi. Tubuh nenek
dan cucunya itu pun nantinya akan tidak menyala un-
gu lagi, dan itu pertanda kesehatan serta daya ingat
mereka telah pulih seperti sedia kala.
Soka menunggu di luar gua dengan gelisah. Se-
sekali matanya memandang ke lereng puncak bukit
cadas itu, mengharap kemunculan sang kakak. Tapi
yang diharapkan ternyata tidak muncul-muncul juga,
padahal alam mulai meremang mendekati petang. So-
ka gelisah sekali memikirkan kakaknya.
Soka Pura tak tahu bahwa Raka akhirnya me-
mutuskan untuk ikut ke rumah Sampurgina. Keputu-
san itu diambil mengingat Kitab Jayasakti yang ada di
tangan Panji Doyok harus lebih dulu dapat diambil
olehnya sebelum diketahui oleh Sampurgina atau pi-
hak lain. Bila perlu, Raka akan membujuk Panji Doyok
untuk pergi bersama di suatu tempat sepi tanpa Sam-
purgina. Di tempat sepi itu ia dapat mendesak Panji
Doyok, bila perlu mengancamnya agar pemuda kurus
itu serahkan Kitab Jayasakti.
Sampurgina tak tahu rencana yang tersusun
dalam benak Raka Pura. Ia hanya merasakan debaran
indah selama berjalan dengan Raka. Debaran indah itu
menggelitik hasratnya karena benaknya menyusun
rencana sendiri, yaitu rencana menikmati kehangatan
si pemuda tampan tersebut.
"Tapi agaknya dia pemuda yang dingin terha-
dap perempuan," ujar Sampurgina membatin. "Sejak
tadi tak kulihat kenakalan matanya atau tangannya.
Jangan-jangan ia menolak ajakan bercumbu ku?"
Raka Pura tidak tahu bahwa Sampurgina bu-
kan perempuan baik-baik. Ia adalah mata-mata Nyai
Keramat Malam yang menjadi penguasa Pulau Sambang.
Sejak lari dari kekuasaan mendiang Ratu Cum-
bu Laras, Sampurgina bergabung dengan orang-orang
Pulau Sambang. Ia menjadi pengikut Nyai Keramat
Malam, tokoh aliran hitam yang bertekad ingin mem-
bentuk satu kekuatan untuk menyerang raja-raja di
tanah Jawa. Sampurgina mendapat kepercayaan seba-
gai mata-mata Pulau Sambang yang ditanam di tanah
Jawa.
Dua-tiga kali dalam satu bulan Sampurgina ha-
rus melaporkan hasil kerjanya ke Pulau Sambang,
atau jika kebetulan Nyai Keramat Malam ada urusan di
tanah Jawa, ia selalu sempatkan diri singgah ke pon-
doknya Sampurgina yang sengaja dipakai tempat per-
singgahan sang Nyai jika sedang ke tanah Jawa, (Baca
serial Pendekar Kembar dalam episode: "Cumbuan
Menjelang Ajal").
Tak heran jika Sampurgina selalu membayang-
kan kehangatan bercumbu dengan Raka, karena me-
mang perempuan itu mengisi hari-hari kosongnya den-
gan bermesraan bersama pria mana pun yang sesuai
seleranya. Raka Pura adalah pria yang sangat sesuai
dengan seleranya, sehingga sepanjang perjalanan me-
nuju pondoknya, Sampurgina selalu membayangkan
kehangatan pemuda tampan dan bertubuh kekar itu.
"Sikapnya yang dingin ini dapat membuatku
marah jika ia menolak bercumbu denganku. Aku su-
dah telanjur berharap sekali. Hmmm..., sebaiknya ku-
gunakan 'Getah Puber' untuk memancing gairahnya
nanti. Kalau dia sudah terkena pengaruh 'Getah Puber'
maka ia tak akan sempat menolak ajakan bercumbu
ku. Tak seorang pun dapat hindari kekuatan racun
'Getah Puber' pemberian Nyai Keramat Malam itu. Bi-
sa-bisa pemuda menggairahkan ini tak mau lepas dari
pelukanku selama tiga hari tiga malam jika sudah ter
kena pengaruh racun 'Getah Puber'. Hik, hik, hik...!"
Sampurgina tertawa sendiri dalam hatinya.
Mereka tiba di rumah Sampurgina ketika ma-
tahari belum tenggelam. Cahaya yang memancar ke
bumi adalah cahaya senja yang remang-remang Sua-
sana seperti itu menimbulkan kesangsian di hati Raka
Pura.
"Sesore inikah Panji Doyok ingin berlatih bebe-
rapa Jurus dari Sampurgina?!"
Kesangsian itu segera hilang, karena Sampur-
gina yang telah mempersilakan Raka untuk masuk ke
rumahnya itu mengatakan, bahwa Panji Doyok jika
berlatih dengannya sampai malam hari, kadang hingga
tengah malam. Menurut perempuan itu, Panji Doyok
berkemauan keras sekali untuk bisa kuasai jurus-
jurus yang dimiliki Sampurgina.
Tetapi di dalam hatinya, Sampurgina tertawa
cekikikan sendiri.
"Siapa yang sudi ajarkan setengah jurus pun
kepada anak tolol itu? Bahkan aku muak jika melihat
bekas adik iparku itu datang kemari. Ia hanya akan
timbulkan kesulitan saja bagiku! Ah, persetan dengan
si Panji Doyok. Yang penting aku sudah berhasil mem-
bujuk Raka untuk singgah ke sini. Bisa saja aku nanti
berlagak ngomel Jika Raka menanyakan kedatangan
Panji Doyok. Hmmm... biar sampai fajar menyingsing,
tak mungkin anak itu datang kemari, karena neneknya
sudah melarang kedua cucunya berhubungan dengan-
ku! Persetan dengan si Tupai Siluman itu! Yang pent-
ing aku sudah mendapatkan dua keberhasilan yang
gemilang ini!"
Sambil berceloteh begitu di dalam hatinya,
Sampurgina menyiapkan minuman untuk sang tamu
istimewa. Agar tak timbulkan kesan buruk dalam peni-
laian Raka, Sampurgina sengaja tidak menyuguhkan
tuak atau pun arak kepada Pendekar Kembar sulung
itu. Ia berlagak terbiasa minum teh poci buatan sendi-
ri. Namun kali ini, selain menyediakan teh poci yang
kental dengan gula batu sebagai pemanisnya, Sampur-
gina juga membawa dua cangkir teh untuk acara ma-
lam itu.
"Jika kurang, kau bisa tambahkan minuman-
mu dari poci ini!" ujar Sampurgina saat menyajikan
dua cangkir teh dan satu poci kecil teh kental.
"Seharusnya kau tak perlu repot-repot begini.
Jika aku haus, aku akan berterus terang meminta air
kendi padamu."
"Oh, Raka... air kendi akan membuat perutmu
kembung. Tapi air teh yang masih segar akan mem-
buat peredaran darahmu menjadi lancar dan badan
menjadi sehat. Ayo, minumlah, sambil menunggu Panji
Doyok muncul. Biasanya saat-saat seperti ini dia su-
dah muncul. Mungkin ada sesuatu yang harus diker-
jakan lebih dulu di tempat lain."
Raka Pura tidak langsung meminum teh terse-
but. Padahal hati Sampurgina sudah berharap agar teh
yang disuguhkan segera diminum oleh Pendekar Kem-
bar sulung, karena Sampurgina sudah memasukkan
'Getah Puber' ke dalam cangkir teh yang disuguhkan di
depan Raka itu. Getah itu dimasukkan dan dicampur-
kan dalam teh tersebut saat Sampurgina meraciknya
di dapur.
'Getah Puber' merupakan getah dari tanaman
yang hanya ada di Pulau Sambang. Bentuknya seperti
butiran jagung berwarna putih bening. Getah
itu mengandung racun yang membangkitkan
gairah kemesraan pada diri orang yang meminumnya.
Getah itu mudah larut di dalam air apa saja, ti-
dak menimbulkan bau dan warna apa pun. Sampurgi-
na mempunyai banyak 'Getah Puber' yang sering digunakan untuk membuat pria pasangannya bergairah te-
rus selama tiga hari. Setelah tiga hari, pengaruh racun
dalam 'Getah Puber' yang telah diminum seseorang
akan hilang. Gairah yang timbul pada diri orang terse-
but akan normal kembali, sebagaimana aslinya.
Rumah itu sebenarnya berupa sebuah pondok
yang dibangun di dalam hutan tak terlalu lebat. Din-
dingnya terbuat dari kayu-kayu belahan yang tampak
kokoh dan tersusun rapat serta rapi. Hutan di lereng
bukit itu mempunyai udara cukup dingin, sehingga
sering menimbulkan kerinduan bercinta bagi Sampur-
gina jika terpaksa bermalam sendirian di dalam pon-
doknya.
"Raka, bisa kau kutinggal membersihkan badan
sebentar?"
"Silakan!"
"Atau kau mau ikut ke kamar mandi?" pancing
Sampurgina. Pancingan itu hanya ditertawakan oleh
Raka. Tawa sinis yang pendek mewakili perasaan Raka
yang kala itu masih dingin dan tidak berminat untuk
berbuat macam-macam terhadap seorang perempuan
cantik berdada montok seperti Sampurgina itu.
"Kurasa aku harus bersihkan badan sendiri.
Silakan minum teh mu biar tak terlalu dicekam
udara dingin begini!" ujar Sampurgina, lalu meninggal-
kan Raka yang duduk bersila di atas balai-balai bam-
bu. Balai-balai itu dilapisi dengan tikar tebal yang da-
pat dijadikan sebagai alas tidur yang empuk. Agaknya
Sampurgina juga sudah memperhitungkan tempat
yang akan dipakai bercumbu nanti, sehingga secara
tak sadar Raka Pura telah digiring agar duduk di balai-
balai tersebut. Padahal tak jauh dari situ ada bangku
panjang dan sebuah meja.
"Kutunggu beberapa saat kalau Panji Doyok tak
muncul, lebih baik aku kembali ke bukit cadas. Kurasa
adikku masih menunggu di gua itu bersama Nyai Gan-
tari dan si Bunga Dewi itu," pikir Raka Pura sambil
matanya memandangi teh hangat yang dihidangnya di
depannya.
Ketika pemuda itu bermaksud Ingin meminum
teh tersebut, ia agak kecewa melihat tepian cangkir se-
dikit geripis. Kebetulan cangkir itu mempunyai bentuk
dan warna yang sama dengan cangkir teh untuk Sam-
purgina. Cangkir teh di seberang mempunyai tepian
yang masih utuh.
Raka Pura paling pantang makan atau minum
menggunakan perabot yang mempunyai kerusakan
walau sedikit pun. Ia merasa lebih baik makan mema-
kai daun daripada menggunakan piring geripis atau re-
tak sedikit. Menurutnya, makan atau minum menggu-
nakan perabot yang geripis atau ada kerusakan sedikit
pun dapat mendatangkan kesialan selama sehari pe-
nuh. Karenanya, Raka pun segera menukar cangkirnya
dengan cangkir yang ada di seberang poci.
Ketika Sampurgina kembali menemuinya dalam
keadaan badan telah bersih dan menyebarkan aroma
wangi melati, hati perempuan itu mulai tersenyum gi-
rang karena matanya melihat air minum di depan Ra-
ka sudah berkurang separuh bagian. Ia pun meneguk
air teh yang ada di cangkir bagiannya. Ia tak tahu
cangkir itu sudah ditukar, sehingga ia telah menelan
jebakannya sendiri. Kelemahan Sampurgina adalah
kurang teliti terhadap hal-hal kecil seperti tepian cang-
kir yang geripis itu.
Petang pun tiba, bahkan sudah mulai merayap
menjadi malam yang memancarkan cahaya pucat ka-
rena rembulan muncul seperempat bagian di balik
awan. Sampurgina berlagak gelisah menunggu keda-
tangan Panji Doyok. Sesekali ia berjalan ke pintu, me-
longok ke arah luar. Padahal ia mempunyai kegelisa
han lain di dalam hatinya.
"Gila! Kenapa Raka belum tampak bergairah
padaku?! Hmm... mungkin perlu pancingan yang sedi-
kit mesra. Sebaiknya ia kuajak duduk di luar saja
sambil menikmati cahaya rembulan."
Raka Pura merasa tak keberatan untuk berada
di luar pondok, karena ia memang bermaksud ingin
tinggalkan pondok itu jika beberapa saat lagi Panji
Doyok belum muncul juga. Tapi anggapan Sampurgina
berbeda dengan maksud hati Raka Pura. Perempuan
itu menyangka Raka Pura sudah mulai di pengaruhi
oleh racun 'Getah Puber' karena mau diajak keluar
rumah, menikmati cahaya rembulan yang mendatang-
kan suasana romantis tersendiri bagi Sampurgina.
"Sebenarnya malam bercahaya remang begini
adalah malam yang indah untuk berduaan. Bukankah
begitu, Raka?"
Pemuda itu hanya tersenyum kecil dan berke-
san dingin. Sampurgina mendekat dan meraba pung-
gung Raka yang membuat pemuda itu hampir saja ter-
lonjak kaget. Tapi ia segera kuasai diri, dan berlagak
tenang, walau hatinya mulai gelisah karena merasa risi
diusap punggungnya oleh seorang perempuan sema-
tang Sampurgina.
"Dulu ketika suamiku masih hidup, setiap ma-
lam bercahaya rembulan begini, kami selalu menikma-
tinya dengan kemesraan," ujar Sampurgina pelan. "Ta-
pi sejak ia tewas di tangan lawannya, malam berca-
haya rembulan seperti ini tak pernah ku nikmati den-
gan kemesraan lagi."
"Seharusnya kau segera menikah saja."
"Tak ada pria yang mau denganku, mungkin
karena aku sudah janda. Sekalipun ada, aku tak suka
dengan pria itu," sambil berkata demikian, tangan
Sampurgina mengusap punggung Raka pelan-pelan
membuat pemuda itu merinding dan berdebar-debar
ketakutan. Raka tak punya reaksi apa-apa, karena ia
sedang menahan rasa malu dan menyembunyikan rasa
muaknya.
Akhirnya ketika tangan Sampurgina merayap
sampai ke bawah, Raka Pura merasa tak mampu lagi
berlagak tenang. Ia harus segera pergi sebelum perem-
puan itu lebih berani lagi menjamah tempat tertentu.
"Kurasa Panji Doyok tidak datang malam Ini.
Aku harus segera pergi menemui adikku! Doa me-
nungguku di suatu tempat."
"Mengapa tak bermalam di sini saja?! Aku akan
kesepian kalau kau tak bermalam di sini, Raka," ujar
Sampurgina dengan nada manja, sambil tangan Raka
diusapnya semakin lembut.
"Aku tak pernah bilang kalau mau bermalam di
sini! Mungkin lain kali saja!" Raka mulai bicara tegas
sebagai tanda ia menahan rasa dongkol dalam hatinya.
"Raka... kau tak tertarik untuk bersamaku di
malam ini?"
Raka semakin gusar. Ia tak suka perempuan
yang mendesak mulai bicara tentang kesepian, kencan,
cumbuan, dan sebagainya.
Sementara itu, Sampurgina menjadi heran ka-
rena Raka masih tetap dingin, bahkan gairahnya sen-
diri makin meluap-luap. Sampurgina menjadi sangat
merindukan pelukan dan kemesraan seorang lelaki.
Darahnya mengalir deras mendesirkan hati membang-
kitkan hasrat untuk bercumbu. Ia mencoba menahan
Raka, merayunya dengan kata dan sentuhan asmara.
Tapi Pendekar Kembar sulung tetap tak tertarik sedikit
pun. Akhirnya pemuda itu nekat pergi tinggalkan pon-
dok tersebut.
"Rakaaa...," rengek Sampurgina dengan hati
sedih dan ingin menangis, karena racun 'Getah Puber'
telah bekerja dalam darahnya dan membuat gairahnya
berkobar-kobar.
Gerakan Raka yang terlalu cepat itu membuat
Sampurgina merasa kehilangan harapan dalam seke-
jap. Maka timbul niatnya untuk mengejar Raka dan
mendapatkan kemesraan sebagai pemuas gairahnya
yang telah membuat napas menjadi sesak, dada men-
jadi sakit, dan kepala menjadi pening.
"Cambuk ku...?! Oh, aku harus membawa cam-
buk ku! Kalau Raka tetap menolak, terpaksa akan ku-
gunakan kekerasan agar ia mau melayaniku.
Aduuuh...! Celaka kalau begini! Mengapa jadi aku yang
bergairah sekali. Oooh... hasratku ingin disentuh lelaki
begitu besar! Jangan-jangan aku salah minum teh?"
pikir Sampurgina sambil bergegas masuk ke pondok
untuk mengambil cambuknya.
Namun ketika ia sudah siapkan cambuk dl
pinggang, mendadak lututnya menjadi gemetar sekali
karena hasrat ingin memperoleh kenikmatan begitu
kuat menyerang sekujur tubuhnya.
"Ooooh...!" Sampurgina mengerang dalam desah
sambil menjamah tubuhnya sendiri. Bayangan keme-
sraan Raka semakin menambah dahsyatnya racun itu
dan sangat menyiksa hatinya.
Sampurgina jatuh terduduk di tepi balai-balai
bambu itu. Matanya meredup dengan bibir digigit keti-
ka tangannya semakin tak mampu menahan gejolak
gairahnya, sehingga tangan itu menyusup ke sela-sela
keindahan tubuhnya.
Cambuk dilepas, jubah pun dicopotnya. Ikat
pinggang dari kain ikut dilepaskan. Apa yang mengikat
pada tubuhnya dilepas semua, sehingga tangannya
semakin leluasa menjamah bagian-bagian yang dapat
timbulkan kenikmatan.
"Ooouh...! Raka... kembalilah kemari. Oouh,
aku butuh sekali sentuhanmu, Raka! Oooh... aku bu-
tuh sekali kemesraan seorang lelaki. Uuuuh...!"
Perempuan itu mengerang sendiri dengan tu-
buh menggeliat dalam jamahan tangannya. Keringat
dinginnya mulai keluar, sebagai tanda bahwa gairah-
nya semakin membesar dan tak terkendalikan lagi.
Pada saat itu, tiba-tiba seseorang muncul di
depan pintu dengan menghunus golok lebarnya. Sua-
ranya sempat menyentak mengejutkan Sampurgina.
"Sampurgina! Modar kau malam ini juga, Kepa-
rat!"
"Oooh...?! Ib... Iblis Bangor...?!" Sampurgina
terperangah.
Melihat perempuan itu sudah tanpa jubah dan
pembungkus dadanya yang montok itu sudah jatuh ke
lantai, Iblis Bangor menjadi tertegun juga dengan mata
tak bisa berkedip.
Sebagai duda yang sudah lama tak menyentuh
istrinya, Iblis Bangor berdebar-debar juga melihat kea-
daan Sampurgina yang nyaris polos total itu.
Tubuh mulus, dada montok, wajah dicekam
gairah, ternyata telah memancing gairah si Iblis Ban-
gor. Lelaki bertubuh tinggi-besar itu akhirnya mende-
kat dengan pelan-pelan.
"Sampurgina!" seruan itu tidak sekeras tadi.
Golok yang telah dihunus itu belum diangkat ke atas.
"Oouh... uuhhff...!" Sampurgina semakin meng-
geliat, ia tak bisa mempedulikan kehadiran seorang
musuh, tak bisa membedakan antara musuh dan ke-
kasih.
"Sam... Sampurgina...," suara Iblis Bangor ma-
kin pelan dan bergetar. Ia juga semakin dekat dan me-
natap nanap sambil menjilati bibirnya sendiri.
"Ouhh, sssh... Iblis Bangor, oouh... mendekat-
lah kemari dan lepaskan bajumu, lekas.... Uuuukh...,"
Sampurgina merengek, sementara Iblis Bangor buru-
buru melepaskan bajunya, menjatuhkan meletakkan
goloknya di tepian dipan itu.
"Oouh, peluklah aku... peluklah aku...!"
"Sam... Sam... Sam, oouh...!"
Rupanya ancaman Iblis Bangor memang dibuk-
tikan. Ia berlagak lari dari pertarungan, namun sebe-
narnya mengintai Sampurgina dari kejauhan. Bahkan
ia sudah cukup lama berada di balik semak pepohonan
bambu di samping pondok Sampurgina itu. Ketika ia
melihat Raka pergi, maka saat itulah niatnya untuk
membunuh Sampurgina segera dilaksanakan.
Hanya saja, ketika ia nekat masuk ke dalam
pondok tersebut, ternyata keadaan menjadi lain. Sam-
purgina yang telah termakan racun 'Getah Puber' men-
jadi tak bisa membedakan mana lawan dan mana ka-
wan. Hasratnya yang telah meluap-luap tak bisa di-
bendung lagi itu membuatnya girang ketika melihat
kemunculan lelaki bertubuh tinggi-besar itu.
"Ooh, celaka! Kurasa aku benar-benar salah
minum air teh itu. Racun dari 'Getah Puber' telah
mengenai ku sendiri! Terbukti aku masih ingin me-
nikmati kehangatan si Iblis Bangor ini walaupun entah
sudah berapa kali aku melambung tinggi sampai ke
puncak kemesraan ku!" pikir Sampurgina di sela per-
gumulan asmara seorang lawan yang seharusnya di-
bunuh.
"Ooh, bahaya besar kalau begini," ujar batin pe-
rempuan itu. "Jika tidak segera ku telan obat pena-
warnya, bisa-bisa selama tiga hari tiga malam aku se-
lalu bercumbu dengan si Iblis Bangor yang besar ini!
Oouuh... tapi sekarang sedang nikmat... jangan ku pu-
tuskan dulu kemesraan ini. Ooouh... gila!"
6
SEANDAINYA Raka tidak segera tinggalkan ru-
mah Sampurgina, maka ia akan mengalami dua keru-
gian besar. Kerugian pertama, bisa jadi ia terkena je-
bakan asmara dari perempuan yang sudah bergairah
besar itu. Mungkin saja Sampurgina sadari kekeli-
ruannya dan mengulangi jebakan dalam air teh itu
hingga kenai Raka. Kerugian kedua, ia akan kehilan-
gan jejak adiknya yang pada saat itu bergegas pergi ke
Tanah Keramat.
Soka Pura berhasil kelabuhi Nyai Gantari dan
Srigita alias Bunga Dewi, sehingga kedua nenek-cucu
itu merasa berhutang budi kepada Soka Pura. Mereka
menyangka diselamatkan oleh Soka dari ancaman
maut para pengejar kotak perhiasan milik istri adipati
yang mereka curi itu.
"Kalau saja tak ada dirimu, Nak," ujar Nyai
Gantari, "Mungkin nyawa kami sudah melayang di
tangan para pengejar itu! Terbukti kami sampai tak
sadar bahwa diriku dan cucuku sudah pingsan cukup
lama akibat serangan yang tak kuketahui dari mana
dan kapan datangnya itu."
"Nenek," ujar si cantik mungil Bunga Dewi. "Ku
rasa perlu ditanyakan mengapa pemuda itu mencari
Kang Panji, Nek."
"O ya... benar juga pertanyaan cucuku ini, Soka
Pura," ujar Nyai Gantari mewakili cucunya, sebab sang
cucu jarang mau bicara kepada Soka. Wajahnya sering
ditundukkan atau membuang pandangan mata ke
arah lain. Gadis itu seperti menyimpan rasa malu dan
sungkan kepada Soka, sehingga tak mau beradu pan-
dang lebih dari dua helaan napas.
"Mengapa kau mencari cucuku; si Panji Doyok
itu?!" tanya Nyai Gantari.
"Sebagai seorang teman, aku merasa perlu
membantu Panji Doyok, Nek. Sebab, kudengar Panji
Doyok sedang dikejar-kejar oleh orang yang tak ku ta-
hu siapa orang tersebut. Aku perlu penjelasan dari
Panji Doyok agar aku bisa melabrak orang tersebut."
"Hmm, ya... benar juga pendapatmu, Soka Pu-
ra. Tapi... entah siapa orang yang memburu Panji itu.
Terlalu berani orang itu."
"Nenek, sebaiknya kita bawa saja pemuda ini ke
rumah. Kurasa Kang Panji sudah sampai rumah, Nek!"
"Baiklah, Bunga Dewi! Tapi aku tak tahu apa-
kah Soka Pura mau singgah ke rumah kita atau tidak.
Tanyakanlah sendiri, Srigita!"
"Kau saja yang menanyakan, Nek," ujar si gadis
dengan menunduk dan bersuara pelan sekali.
"Kurasa aku tak keberatan jika kalian mau me-
nerimaku sebagai tamu. O, ya... tapi aku harus menca-
ri kakakku dulu, Nyai Gantari. Aku tak berani pergi
sebelum Raka Pura datang!"
"Hmmm..., kalau begitu, sebaiknya kita cari du-
lu kakakmu di seberang bukit ini. Bukankah kau tadi
bilang bahwa kakakmu menengok pertarungan di se-
berang bukit?!"
"Benar, Nyai. Tapi bagaimana jika dia tak ada di
sana?! Mau tak mau aku harus mencarinya dulu!"
"Akan kubantu mencarikan kakakmu sebagai
balas budi ku kepadamu, Nak!"
Tanah di balik bukit cadas segera disusuri oleh
mereka. Beruntung cahaya rembulan masih bersinar
walau hanya seperempat bagian, tapi bisa sedikit men-
jadi penerang pandangan mata mereka dalam mencari
Raka Pura. Perjalanan mencari Raka itu dilakukan
dengan pelan-pelan dan penuh ketelitian.
Akhirnya mereka bertemu dengan Raka Pura
saat arah langkah kaki mereka mulai menuju ke Ta-
nah Keramat. Seandainya Raka terlambat sedikit, ma-
ka Pendekar Kembar bungsu tak akan dapat temukan
dirinya dengan mudah, terutama jika Soka sudah be-
rada di Tanah Keramat.
Bunga Dewi memandang Raka Pura dengan ke-
san terkagum-kagum, karena wajah Raka ternyata be-
nar-benar serupa dengan wajah Soka Pura. Bunga De-
wi pun akhirnya berbisik kepada neneknya.
"Jangan-jangan mereka adalah Pendekar Kem-
bar yang sedang ramai dibicarakan orang itu, Nek?"
Sang nenek berkerut dahi merenungkan du-
gaan cucunya itu. Sebab sejak tadi Soka memang tidak
menyinggung-nyinggung gelarnya sebagai Pendekar
Kembar bungsu, sehingga sang nenek dan Bunga Dewi
belum mengetahui siapa sebenarnya Soka Pura itu.
Maka setelah Soka ngomel kepada kakaknya dan men-
jelaskan siasat yang digunakan untuk memulihkan in-
gatan nenek dan cucunya itu, Nyai Gantari pun segera
ajukan tanya kepada kedua pemuda itu.
"Apakah kalian yang bergelar Pendekar Kem-
bar?!"
"Hmmm, ehhh...," Raka ragu-ragu menjawab.
"Benar, Nyai Gantari!" jawab Soka cepat, ia tak
ragu-ragu dalam memberi Jawaban supaya tidak tim-
bul kesan yang mencurigakan dalam hati nenek dan
adiknya Panji Doyok itu. Ternyata jawaban itu mem-
buat sang nenek terkekeh-kekeh, merasa bangga bisa
mengenal Pendekar Kembar. Bahkan wajah si gadis
cantik yang sejak tadi tak punya senyum itu, kali ini
mulai tampak senyumnya walau tak terlalu kentara
karena keremangan cahaya rembulan. Rupanya cucu
dan nenek itu merasa bangga setelah tahu bahwa Panji
Doyok berhasil punya kenalan sepasang pendekar
yang ilmunya sedang menjadi bahan pujian para tokoh
rimba persilatan itu.
Namun sang nenek segera terperanjat ketika
Raka Pura ceritakan pertemuannya dengan Sampurgi-
na. Bahkan Bunga Dewi menatap dengan kesan ku-
rang simpati setelah Raka jelaskan bahwa ia di ajak
Sampurgina ke rumah perempuan itu untuk menung-
gu kemunculan Panji Doyok.
"Doyok tak mungkin datang ke rumah Sampur-
gina!" ujar Nyai Gantari. "Aku sudah mewanti-wanti
padanya agar jangan berhubungan lagi dengan Sam-
purgina, karena perempuan itu adalah perempuan ja-
lang. Setiap lelaki kalau bisa dicobai semua kehanga-
tannya!"
"Kurasa pemuda ini juga telah mencicipi ke-
hangatan tubuh Yu Sampurgina, Nek," bisik Bunga
Dewi yang didengar oleh Raka maupun Soka.
"Jangan menyangka ku begitu, Bunga Dewi!"
Nyai Gantari menukas, "Kurasa dugaan cucuku
benar. Karena setiap lelaki, apalagi setampan dan se-
gagah dirimu, jika sudah masuk ke dalam pondoknya
si Sampurgina, tak mungkin bisa lolos dari incaran
gairahnya. Sebab, setahuku Sampurgina mempunyai
racun 'Getah Puber' yang dapat membuat setiap lelaki
tergila-gila padanya dan selalu ingin bercumbu den-
gannya."
"Tapi buktinya aku bisa meninggalkan perem-
puan itu!" bantah Raka sambil melangkah bersama
menuju ke Tanah Keramat. "Dia sendiri yang tampak-
nya bergairah padaku dan... ah, kurasa memang dia
perempuan jalang! Kalau aku tak segera pergi, mung-
kin saja aku akan terkena jebakan racun 'Getah Puber'
itu."
"Cantikkah dia, Raka?"
"Sampurgina adalah perempuan cantik dan
menggairahkan," sahut Nyai Gantari. "Aku tahu persis
tentang dia, karena dulu mendiang kakaknya Panji
Doyok adalah mantan suaminya. Tapi tetap saja Sam-
purgina bercengkerama dengan lelaki lain di belakang
suaminya!"
"Dasar perempuan liar dia itu, Nek!" geram
Bunga Dewi bernada ketus.
Soka Pura cengar-cengir sendiri, lalu berbisik
kepada Raka.
"Di mana tinggalnya perempuan itu?"
"Mau apa kau?!" hardik Raka kepada adiknya.
"Mau melabraknya Jika kau sampai dinodai
olehnya," Jawab Soka Pura mengalihkan prasangka
sang kakak, kemudian ia tertawa kecil dengan menu-
tup mulutnya sendiri dan berpaling ke arah lain.
Tepat ketika Soka Pura berpaling ke arah lain
itulah ia melihat sekelebat sinar yang menuju ke arah
mereka. Sinar hijau itu melesat dengan cepat berben-
tuk seperti bintang jatuh dari langit.
"Awaaas...!" pekik Soka Pura sambil ia melom-
pat ke samping. Lompatan itu disertai dengan senta-
kan tangan kanannya yang membentuk cakar tengku-
rap. Dari tangan itu keluar sinar merah berbentuk se-
perti piringan bergerigi yang memercikkan bunga api.
Sedangkan Raka dan yang lain pun saling berlompatan
menyebar arah.
Sinar merah dari jurus 'Mata Bumi'-nya Pende-
kar Kembar bungsu itu melesat cepat dan tepat mem-
bentur sinar hijau yang mirip bintang jatuh itu.
Blegaaarrr...!
Ledakan dahsyat membahana memecah su-
nyinya malam. Pohon-pohon bergetar, daun-daun ber-
guguran, tanah pun terasa guncang bagai dilanda
gempa kecil. Ledakan itu membuat Soka Pura terlem-
par dan jatuh ke semak ilalang. Bruuuss...!
Melihat adiknya terpelanting sejauh lima lang
kah dari tempatnya semula, Pendekar Kembar sulung
segera berkelebat memburu bayangan yang tadi men-
geluarkan sinar hijau itu. Wuuuz...! Jurus 'Jalur Ba-
dai' digunakan, sehingga kecepatan gerak Raka Pura
seperti orang menghilang.
Bunga Dewi yang merunduk di balik pohon tak
jauh dari Raka sempat terperangah kaget, karena ia
menyangka Raka Pura dapat menghilang bagai ditelan
bumi.
"Edan! Dia itu manusia apa setan sebenar-
nya?!" gumam hati Bunga Dewi. Ia tak sempat mela-
porkan hal itu kepada neneknya, karena tiba-tiba me-
reka dikejutkan oleh suara ledakan dari seberang sa-
na, tempat Raka Pura mengejar bayangan yang hendak
melarikan diri itu.
Blaaar...! Rupanya di sana Pendekar Kembar
sulung beradu kekuatan tenaga dalam dengan mele-
paskan sinar putihnya dari jurus 'Cakar Matahari'. Si-
nar putih menyerupai mata pisau runcing itu meng-
hantam sinar hijau yang seperti tadi. Ledakannya tak
sedahsyat ledakan pertama, namun agaknya cukup
berbahaya bagi lawannya. Sang lawan terlempar cukup
jauh dan membentur sebatang pohon dengan keras.
Brrruuk...!
"Heeehhk...!" terdengar suaranya memekik ter-
tahan. Raka Pura segera mengejar orang tersebut sebe-
lum orang tersebut punya kesempatan untuk bangkit
dan melarikan diri.
Wuuut! Raka mencengkeram pakaian orang itu,
kemudian dibawanya lari dengan gunakan jurus 'Jalur
Badai' lagi. Wuuuzzz...! Dalam sekejap Raka Pura su-
dah berada di tempat Nyai Gantari dan cucunya berlari
memandangi pertarungan tak jelas itu. Jleeeg...!
Brrruk...! Sang lawan dijatuhkan begitu saja di depan
Nyai Gantari, sementara Soka Pura segera mendekati
dengan satu lompatan kecil.
Sesaat setelah mereka memandangi orang ter-
sebut di bawah keremangan sinar rembulan, Nyai Gan-
tari pun segera kenali orang itu.
"Edan kau, Dirgayana!"
Ucapan sang nenek itu mengejutkan Raka dan
Soka, karena mereka pun mengenal nama Dirgayana.
Pandangan mata mereka dipertegas lagi, dan ternyata
pemuda berpakaian biru itu adalah Dirgayana. Ia ada-
lah pemuda yang pernah dipergoki Soka Pura sedang
bercinta dengan Bintari Ayu, (Baca serial Pendekar
Kembar dalam episode: "Gadis Penyebar Cinta").
"Apa maksudmu menyerang kami, Dirgayana?!"
gertak Soka sambil mencengkeram baju pemuda ber-
kulit tipis itu dan menariknya hingga Dirgayana berdi-
ri.
Bunga Dewi tiba-tiba mendekat, dan tangannya
menampar Dirgayana yang bertubuh kekar dan berwa-
jah tampan itu. Plook...! Setelah itu Bunga Dewi
kembali ke tempat semula. Hal itu membuat
Soka Pura menjadi terbengong sekejap.
"Gila gadis itu!" ujarnya membatin. "Tahu tahu
datang, main tampar seenaknya, lalu pergi lagi! Apa
maksudnya?!"
Dirgayana sendiri dalam keadaan menahan ra-
sa sakit akibat gelombang ledakan tadi menghantam
dadanya. Begitu kuatnya gelombang ledakan yang be-
rada dalam jarak dekat dengannya itu. Sehingga tu-
lang dadanya terasa patah semua. Napas si Dirgayana
pun menjadi sesak, sehingga ia tak bisa bicara untuk
sesaat.
"Rupanya kau mengenal pemuda ini, Nyai Gan-
tari?!" ujar Raka Pura sambil menatap Dirgayana yang
masih dicengkeram bajunya oleh Soka Pura.
"Dia pemuda Tanah Keramat juga! Biasanya ia
bersikap baik padaku, karena ia sedang naksir cucuku
ini," sang nenek melirik Bunga Dewi. Sang cucu me-
nyahut dengan ketus.
"Aku tak sudi."
"Aku juga tak sudi," timpal Nyai Gantari see-
naknya, lalu segera dekati Dirgayana. Cengkeraman
Soka terpaksa dilepas, seakan member! kesempatan
kepada Nyai Gantari untuk menanyai Dirgayana.
"Mengapa kau menyerang kami, Dirgayana?!
Siapa yang kau serang sebenarnya?!"
"Ak... aku disuruh orang, Nyai. Uuukh...!" Ia
menyeringai menahan rasa sakit. Ternyata dadanya
menjadi lebih sakit lagi jika dipakai bicara. Namun
Dirgayana memaksakan diri agar bisa bicara demi me-
lindungi nama baiknya di depan Bunga Dewi yang se-
dang ditaksirnya itu.
"Siapa yang menyuruhmu?!" tanya Nyai Ganta-
ri. Dirgayana tidak langsung menjawab, seperti sedang
mempertimbangkan jawaban yang harus dikeluarkan
dari mulutnya.
Nyai Gantari yang sejak tadi tampak tenang
dan kalem, tidak seliar tokoh tua aliran hitam lainnya
itu, kali ini mencekal lengan kekar Dirgayana sambil
mengulangi pertanyaannya.
"Siapa yang menyuruhmu, Dirgayana?!"
"Aaoow...!" Dirgayana memekik kesakitan. Soka
dan kakaknya sempat terperanjat melihat tangan Nyai
Gantari yang memegang lengan Dirgayana itu berasap,
dan lengan pemuda itu tampak menghangus di tempat
yang tergenggam tangan Nyai Gantari. Karena itulah
Dirgayana memekik kesakitan dengan suara nyaris hi-
lang karena tertutup rasa sakit.
"Jawablah pertanyaanku, Bocah bagus!" desak
Nyai Gantari.
"Ak... aku disuruh oleh... oleh Sampurgina...."
"Sampurgina?!" Nyai Gantari dan Raka hampir
bergumam bersama. Bunga Dewi cepat-cepat menatap
Dirgayana dengan sorot pandangan mata penuh keta-
jaman.
"Kapan dia menyuruhmu?!" tanya Raka dengan
nada ragu-ragu, sepertinya ia ingin bertanya pada di-
rinya sendiri. Tetapi Dirgayana segera menjawab
dengan suara berat, karena masih harus me-
nahan rasa sakit akibat luka bakar di lengannya. Wa-
lau Nyai Gantari sudah lepaskan genggamannya, tapi
lengan itu masih kepulkan asap tipis pertanda masih
tetap terbakar.
"Ta... tadi siang ia bertemu denganku, lalu me-
nyuruhku menghabisi keluarga Panji Doyok, termasuk
Panji Doyok sendiri. Jika... jika aku berhasil lakukan
tugas itu, maka dia akan menemui seseorang agar aku
diangkat menjadi murid orang itu. Setidaknya bisa
mendapat dua-tiga ilmu andalan yang ingin kumiliki."
"Busuk sekali hatimu!" geram Bunga Dewi,
membuat Dirgayana tak berani memandang kecuali
hanya menunduk dengan sedih dan rasa takut.
"Jelaskan semuanya, nanti kusembuhkan lu-
kamu!" perintah si Tupai Siluman.
"Aku... aku mencoba mencari Panji Doyok, tapi
tak berhasil kutemukan. Dan... dan ketika kulihat ka-
lian, ku coba untuk lepaskan serangan maut ku, siapa
tahu nasibku sedang mujur dan kenai dirimu. Teruta-
ma dirimu, Nek. Tapi... tapi ternyata Pendekar Kembar
lebih tangkas dan bisa mematahkan seranganku. Aku
bermaksud melarikan diri dan tak mau coba-coba lagi,
hanya saja... nasibku sedang buruk, sehingga aku
berhasil ditangkap dan dibawa lari."
"Siapa orang yang ingin kau temui sebenarnya?
Sehebat apakah dia, sampai kau tertarik untuk men-
jadi muridnya?"
Dirgayana tak segera menjawab, Ia tampak ra-
gu-ragu. Tapi ketika tangannya hendak dicekal lagi
oleh Nyai Gantari, Dirgayana ketakutan, lalu buru-
buru memberikan jawaban.
"Oorr... orang itu adalah... Nyai Keramat Ma-
lam."
"Oo, jadi kau ingin jadi muridnya penguasa Pu-
lau Sambang?!" gumam Nyai Gantari sambil manggut-
manggut. Sementara itu, Raka dan Soka saling pan-
dang, karena mereka pernah dengar nama itu.
"Aku sudah mengatakan semuanya, Nek. Kura-
sa... kurasa aku sudah menebus kebodohan ku yang
mau diperalat oleh Sampurgina. Ku mohon kau mau
mengobati luka bakar ku ini...," ujar Dirgayana sambil
menyodorkan luka bakar di lengannya yang masih ke-
pulkan asap tipis itu.
"Jangan obati dia, Nek!" sentak Bunga Dewi
dengan nada benci. Hal itu membuat Dirgayana men-
jadi semakin sedih, lalu pemuda itu mencoba ajukan
pembelaan atas dirinya.
"Percuma saja... aku... aku mau berterus terang
kalau kau masih tak mau mengampuni kesalahanku,
Bunga Dewi. Ak... aku benar-benar menyesal dan me-
rasa dibodohi oleh Sampurgina. Kurasa pengakuan ku
ini adalah bukti atas penyesalan dan permintaan maaf
ku kepada kalian."
"Pengakuanmu bukan karena penyesalan, tapi
karena kegagalan!" geram Bunga Dewi. "Dan kau takut
kalau mati terbakar pelan-pelan oleh genggaman ne-
nek ku, sehingga kau mengatakan semuanya itu!
Hmmm, dasar manusia sampah!"
Sang nenek rupanya tak tega melihat Dirgayana
menyeringai menahan rasa sakit. Maka ia pun melu-
dahi luka bakar di lengan pemuda itu.
"Cuihh...!"
Joooss...! Luka itu keluarkan suara mendesis
keras, seperti bara api dimasukkan dalam air. Luka
tersebut pun segera mengering sambil semakin kepul-
kan asap lebih banyak lagi. Ketika asap itu lenyap,
maka luka pun kering dan hanya meninggalkan belang
putih berbentuk jari tangan sang nenek.
Soka Pura dan Raka sama-sama menyimpan
rasa kagum atas kedahsyatan ludah Nyai Gantari yang
dapat untuk sembuhkan luka seajaib itu. Namun hal
yang terpenting bagi Raka bukan ajaibnya ludah Nyai
Gantari, melainkan nama Nyai Keramat Malam yang
ada hubungannya dengan Sampurgina. Maka, Raka
pun ajukan tanya kepada Dirgayana.
"Apa alasan Sampurgina ingin membunuh ke-
luarga Panji Doyok?"
*
* *
7
SAYANG sekali Dirgayana benar-benar tak
mengetahui alasan Sampurgina yang menghendaki
kematian keluarga Panji Doyok. Dugaan yang timbul
adalah perang dingin yang selama ini terjadi antara
Sampurgina dengan Nyai Gantari. Tetapi Raka yakin
dengan dugaan tersebut.
"Jika benar begitu, mengapa tidak dari dulu-
dulu saja Sampurgina membantai Nyai Gantari, Bunga
Dewi, dan Panji Doyok?! Mengapa baru sekarang ini?"
Soka Pura yang mendengarkan kata-kata ka-
kaknya itu akhirnya hanya angkat pundak tanda tak
mengerti dengan jelas perkara itu. Yang ada dalam be-
nak Soka kalau itu adalah segera dapat bertemu dengan Panji Doyok dan bicara tentang Kitab Jayasakti.
Karena ia ingin segera dapatkan Daun Astagina sece-
patnya, agar sakit yang diderita ibu angkatnya di pun-
cak Gunung Merana itu tidak berlarut-larut.
Dirgayana dibebaskan dengan satu ancaman
maut dari Nyai Gantari.
"Pergilah sana dan Jangan lagi temui kami. Se-
kali lagi kau coba celakai kedua cucuku atau diriku
sendiri, maka tak ada ampun lagi bagimu. Kau akan
kukirim ke liang kubur dalam keadaan hangus sepa-
ruh badanmu. Paham?!"
"Ap... apakah tak ada pengampunan untukku,
Nek?" ucap Dirgayana dengan nada sedih.
"Ini sudah pengampunan! Kalau aku tidak
mengampunimu, sekarang juga kau sudah tidak ber-
nyawa!"
Akhirnya mereka tiba di rumah Nyai Gantari
dalam keadaan sudah lewat tengah malam, hampir fa-
jar. Dirgayana sudah memisahkan diri sejak tadi, takut
ancaman Nyai Gantari. Dan ketika mereka tiba di ru-
mah tersebut, ternyata Panji Doyok masih belum pu-
lang. Rumah dalam keadaan kosong.
Raka Pura dan adiknya sama-sama terbengong
melihat keadaan rumah Nyai Gantari. Ternyata rumah
tersebut dibangun dengan dinding bata halus. Pagar-
nya dari tembok kekar. Perabotnya cukup mewah.
Sungguh tak diduga sang nenek berjubah hitam lusuh
dengan cucunya yang hanya berkalung manik-manik
kecil itu ternyata tinggal di sebuah rumah yang bagus
dan berkesan mahal. Biasanya rumah dan perabot se-
mewah itu dimiliki oleh keluarga bangsawan atau ke-
luarga saudagar yang kaya.
"Semua ini dari hasil mencuri?" tanya Soka ke-
pada Bunga Dewi.
"Kami tak punya pekerjaan lain kecuali mencuri," jawab Bunga Dewi sebagai pengganti kata membe-
narkan dugaan Soka tadi. Maka Pendekar Kembar pun
geleng-geleng kepala dengan merasa heran dan kagum.
"Kau sudah kaya begini, apakah tak punya niat
untuk berhenti mencuri, Bunga?"
"Mencuri adalah adat kebiasaan bagi kami. Jika
ada orang yang tinggal di sini tapi tidak mencuri, maka
ia akan malu dan dikucilkan."
"Benar-benar perkampungan edan ini na-
manya!" gumam Raka Pura.
Bunga Dewi menambahkan, "Kalau mau tidak
mencuri lagi, jangan tinggal di sini. Kami harus pindah
di lain tempat."
"Apakah kau tak ingin pindah di lain tempat?"
"Mau pindah ke mana lagi aku, sementara di
sini aku punya rumah bagus dan hidup dengan kecu-
kupan dari hasil mencuri?!"
Pendekar Kembar tak bisa bicara lagi. Agaknya
mencuri atau mencopet dan sejenisnya merupakan ba-
gian dari mereka, sudah mendarah daging dan meru-
pakan hal yang biasa.
"Ada semacam tradisi atau tata cara di dalam
kehidupan kami," ujar sang nenek menjelaskan. "Siapa
bisa mencuri, mencopet, merampok, tanpa melukai
orang dan tanpa membunuh korbannya, itu baru sua-
tu hal yang patut mendapat pujian dari seluruh ma-
syarakat Tanah Keramat ini. Masyarakat di sini selalu
diwanti-wanti oleh para leluhurnya agar jangan mem-
bunuh korban, jangan melukai korban, dan satu lagi...
jangan tertangkap oleh korban. Siapa yang tertangkap
akan menjadi bahan cemoohan dan hinaan bagi yang
lain."
Raka dan Soka sama-sama tersenyum getir
sambil geleng-geleng kepala. Percakapan itu tak terasa
membawa mereka ke ujung pagi. Tak ada kantuk sedikit pun yang hinggap pada diri mereka. Agaknya tidak
tidur semalam suntuk sudah bukan hal baru lagi bagi
Nyai Gantari maupun cucunya.
"Biasanya kami tidur siang hari dan melek ma-
lam hari."
"Manusia kalong!" gumam Raka sambil tertawa
kecil.
Tawa itu segera lenyap, bukan karena dipan-
dangi oleh Bunga Dewi secara diam-diam, tapi karena
gedoran pintu yang terdengar beruntun dan menga-
getkan mereka.
"Bunga...! Bunga...! Neeek...!"
"Itu suara Panji Doyok!" sentak si Tupai Silu-
man. Bunga Dewi segera bergegas membukakan pintu
untuk kakaknya.
"Kaaang...?!" suara Bunga Dewi terdengar ber-
nada kaget bercampur cemas. Yang lainnya pun men-
jadi ikut terperanjat kaget ketika Panji Doyok buru-
buru masuk dan jatuh ke lantai dalam keadaan tan-
gannya mendekap perut yang berdarah.
"Panji, apa yang terjadi?!" tegur sang nenek
dengan wajah mulai tegang. Pendekar Kembar hanya
bisa terpaku di tempat memandangi perut Panji Doyok
yang jebol itu.
"Seseorang... telah berusaha membunuhku,
Nek," ujar Panji Doyok dengan suara lemah, tubuhnya
pun menjadi lemas dan sang nenek menyangga tubuh
itu dari belakang.
"Siapa yang ingin membunuhmu, Kang? Sia-
pa?!" Bunga Dewi tampak gusar.
"Katakan, Panji! Siapa yang melukaimu separah
ini?!" desak sang nenek.
"Ib... Iblis Bangor, Nek...!"
"Ooh...?!" Raka Pura terkejut, segera teringat
pertarungan Iblis Bangor dengan Sampurgina.
"Keparat si Iblis Bangor!" geram Nyai Gantari.
Soka sempat bicara kepada Panji Doyok yang
terperanjat mengetahui kedua pemuda kembar itu ter-
nyata ada di rumahnya.
"Bukankah kau melarikan diri ketika aku dan
kakakku sedang menghadapi si gadis kembar itu?!"
"Be... benar, tapi... tapi setelah itu aku bertemu
dengan Iblis Bangor, ia menyerangku dengan goloknya.
Tapi ketika kukatakan bahwa aku tidak mencuri ben-
da itu, ia pun segera pergi dan membiarkan diriku ter-
kapar dengan perut robek begini...."
Raka Pura berbisik kepada adiknya, "Pertarun-
gan Sampurgina dan Iblis Bangor, menurut pengakuan
Sampurgina, adalah karena mereka saling tuduh seba-
gai pencuri Kitab Jayasakti."
"Begitukah?!"
"Ya. Iblis Bangor mendesak Sampurgina agar
serahkan kitab yang dicuri perempuan itu, tapi perem-
puan itu mengaku di depanku bahwa pencurinya ada-
lah Iblis Bangor sendiri."
"Kurasa luka Panji ada hubungannya dengan
kitab itu! Sebaiknya cobalah kau tanyakan kepadanya,
Raka!"
"Aku lagi yang bekerja?! Mengapa bukan kau
sendiri yang menanyakannya?! Apakah mulutmu su-
dah tak berguna lagi untuk bicara? Apakah mulutmu
hanya untuk ciuman saja?!" omel Raka dengan jengkel,
karena sejak tadi disuruh-suruh terus oleh adiknya.
Sang adik hanya nyengir sambil garuk-garuk kepala,
kemudian mendekati Panji Doyok yang dipindahkan
oleh neneknya ke atas dipan.
"Nyai Gantari, sebaiknya sembuhkan dulu lu-
kanya itu baru kita bicara lebih banyak dengannya,"
saran Soka Pura kepada sang nenek. Tapi perempuan
itu hanya memandang Soka sebentar, lalu menatap
Panji Doyok kembali.
Bunga Dewi segera berbisik kepada Soka, "Lu-
dah nenek hanya bisa dipakai untuk sembuhkan luka
yang datang dari Jurus 'Tapak Neraka'-nya. Ludah itu
tak bisa sembuhkan luka lain."
"Oooo...," Soka Pura manggut-manggut. Ia meli-
rik kakaknya yang ada di belakang Bunga Dewi.
Pendekar Kembar sulung segera berkata den-
gan suara agak keras.
"Kurasa adikku bisa sembuhkan luka itu, Nyai
Gantari."
Perempuan tua itu pun segera menatap Soka
lagi. Soka bersungut-sungut melirik kakaknya. Akhir-
nya ia berkata kepada Nyai Gantari dengan nada ka-
lem.
"Memang bisa saja aku menyembuhkannya.
Tapi aku minta satu syarat, kembalikan Kitab Jaya-
sakti pada pemiliknya."
Kini perempuan tua maupun yang masih muda
itu menatap kaget kepada Soka Pura, sedangkan Panji
Doyok memandang dengan mata sayu dan wajah pu-
cat. Ia banyak kehilangan darah.
"Dari mana kau tahu tentang kitab itu, Soka?"
tanya si Tupai Siluman.
"Aku membutuhkan Daun Astagina untuk
mengobati Ibuku...."
"Daun itu sudah tidak tumbuh lagi di permu-
kaan bumi ini!" sahut Nyai Gantari.
"Masih ada orang yang menanam pohon Asta-
gina, dan orang itu adalah kakeknya Ayunda. Tetapi
Ayunda hanya akan memberikan daun tersebut jika
aku bisa mengembalikan kitab pusaka milik leluhur-
nya yang dicuri oleh Panji Doyok!"
"Ti... tidak! Aku tidak mencurinya. Sumpah!
Oukh...!" Panji Doyok ngotot, namun akhirnya mengerang kesakitan sambil mendekap lukanya.
"Akan kusembuhkan lukamu, Panji. Kau akan
kubantu, tapi ku mohon kau mau membantuku juga,"
ujar Soka Pura dengan nada bersahabat.
Nyai Gantari segera berujar kepada Panji
Doyok, "Untuk kali ini, demi keselamatan nyawamu,
kurasa... kita terpaksa mengalah, Panji."
"Tapi... tapi aku tidak mencuri kitab itu, Nek!"
"Bukankah kau kutugaskan mencurinya?!"
"Be... benar. Tapi aku tak sempat mencurinya,
Nek. Ketika aku tiba di rumah keluarga gadis kembar
itu, ternyata sudah ada orang yang lebih dulu masuk
ke dalam rumah itu dan keluar dengan membawa ki-
tab tersebut. Ia berlari melompati pagar tinggi... dan
aku tak sempat mengejarnya. Ka... karena penghuni
rumah itu segera memergoki diriku berada di dalam
halaman rumah mereka. Aku segera melarikan diri pu-
la, tapi mereka mengejarku dan menyangka aku telah
mencuri kitab tersebut."
"Siapa orang yang keluar dari rumah itu sebe-
lum kau melakukan tugasmu?" tanya Nyai Gantari.
"Sam... Sampurgina, Nek!"
"Ooh...?!" Raka Pura terperanjat dengan mata
melebar beradu pandang dengan adiknya.
"Benarkah kitab itu telah lebih dulu dicuri oleh
Sampurgina, Kang?" tanya Bunga Dewi bernada sang-
si.
"Benar! Dan... dan ketika aku melarikan diri,
aku sempat kepergok dengan iblis Bangor. Tapi ia be-
lum memaksaku untuk serahkan kitab tersebut.
Mungkin ia mendengar kabar dari kedua gadis kembar
itu tentang tuduhan pencuri kitab yang ditujukan pa-
daku. Maka ketika aku lolos dari gadis kembar pada
saat Raka dan Soka menghadapinya, aku segera diha-
dang oleh Iblis Bangor, ia memaksaku untuk serahkan
kitab tersebut. Dan... ia menggeledah ku serta merobek
perutku. Lalu... lalu kukatakan bahwa kitab itu sudah
dicuri oleh Sampurgina! Sumpah, aku tidak sempat
mencurinya!"
Raka Pura mendekati adiknya dan bicara pelan,
walau ia sadar ucapannya akan terdengar oleh Bunga
Dewi dan Nyai Gantari.
"Pantas Iblis Bangor ngotot ingin membunuh
Sampurgina, rupanya dia yakin betul dengan penga-
kuan Panji Doyok."
"Tapi mengapa Sampurgina bilang padamu
bahwa yang mencuri kitab itu adalah Iblis Bangor?!"
"Biasa... mengalihkan perhatian ke orang lain
untuk selamatkan diri dari kecurigaan ku."
"Kalau begitu kita harus segera temui si Sam-
purgina! Kau masih ingat tempat tinggalnya?"
Bunga Dewi menyahut, "Aku tahu jalan terce-
pat menuju ke pondoknya Sampurgina!"
"Kau mau mengantarkan kami, Bunga!" "Asal
kau sembuhkan dulu kakakku ini!" jawab Bunga Dewi.
Tak ada pilihan lain, Soka Pura akhirnya sem-
buhkan luka menganga lebar di perut Panji Doyok
dengan jurus 'Sambung Nyawa'-nya yang mencen-
gangkan Nyai Gantari dan cucunya. Dalam hati sang
Nyai menaruh rasa hormat dan salut kepada anak
muda yang mampu menutup luka Panji Doyok hingga
tak meninggalkan bekas sedikit pun.
"Benar-benar tinggi ilmunya! Pantas banyak
orang memuji dan membicarakan tentang kemuncu-
lannya sebagai sepasang Pendekar Kembar?!" gumam
hati Nyai Gantari alias si Tupai Siluman itu.
Bunga Dewi tak ingkar janji. Ia segera mengan-
tar Pendekar Kembar ke pondoknya Sampurgina ketika
siang mulai datang. Dalam perjalanan itu, Raka Pura
sempat menemukan kesimpulan tentang tindakan Dirgayana yang diperintahkan untuk membunuh keluarga
Panji Doyok.
"Rencana itu terpikirkan oleh Sampurgina sete-
lah ia mendapatkan kitab tersebut. Sebab pasti ia tahu
bahwa tindakannya itu diketahui oleh Panji Doyok. Ia
khawatir Panji Doyok menyebarkan rahasia pencuri Ki-
tab Jayasakti, maka ia menyuruh Dirgayana untuk
menghabisi Panji Doyok dan adik serta neneknya.
Dengan begitu, tak akan ada yang tahu bahwa Sam-
purgina-lah yang mencuri kitab tersebut. Setidaknya ia
bebas dari kejaran pemilik kitab itu."
"Sayang sekali orang yang disuruhnya adalah
pemuda tolol yang tak punya ilmu memadai untuk tu-
gas itu," ujar Bunga Dewi.
"Semuanya sudah berlalu, untuk apa diingat
lagi," sahut Soka Pura. "Yang penting adalah menemui
Sampurgina dan mendapatkan kitab itu secepatnya!"
"Tak lama lagi kita sampai dl pondoknya Sam-
purgina," ujar Bunga Dewi.
Apa yang dikatakan Bunga Dewi memang be-
nar. Tak berapa lama kemudian, mereka tiba di pon-
dok Sampurgina. Raka masih ingat betul dengan ru-
mah di tengah hutan itu.
Tetapi ketika mereka tiba di pondok tersebut,
ternyata Sampurgina tidak ada di tempat. Mereka ju-
stru dikejutkan oleh sesuatu yang mereka temukan di
samping bangunan kayu itu. Sesosok tubuh terbujur
dalam keadaan bermandi darah. Mereka segera menja-
di tegang karena mereka mengenal siapa orang yang
terluka parah den dalam keadaan sekerat itu.
"Iblis Bangor...?!" pekik Raka dengan wajah te-
gang. Ia lebih dulu dekati orang berbadan besar yang
terluka parah akibat tebasan senjata tajam di bagian
dada dan punggungnya itu.
Iblis Bangor masih bisa bicara walau dengan
suara pelan sekali.
"Sam... Sampurgina licik...." "Sampurgina...?"
gumam Raka pelan. "Di... dia habis... memeras kepua-
san diriku, lalu... tiba-tiba ia mengambil golokku dan
membabat ku pada saat aku sedang tertidur.
Uuukh...!" "Ke mana dia sekarang?!" "Per... pergi me-
nemui... menemui Nyai Keramat Malam... untuk se-
rahkan... Kitab Jayasakti yang... berhasil dicurinya
itu...."
Bunga Dewi segera menyahut, "Kalau begitu dia
pasti ada di Pantai Tangkur!" "Pasti dl sana?!"
"Ya, karena tempat itu sering dipakainya untuk
lakukan adakan pertemuan dengan Nyai Keramat ma-
lam."
"Kejar dia sebelum kitab itu jatuh ke tangan
Nyai Keramat Malam!" seru Raka Pura.
"Hei, tapi bagaimana dengan nasib si Iblis Ban-
gor ini?!" ujar Soka Pura.
"Bantu dia selamatkan nyawanya dari luka itu,
Soka!"
"Aku lagi...?!"
Tapi Raka Pura segera menarik lengan Bunga
Dewi, "Antarkan aku ke Pantai Tangkur. Carl jalan ter-
dekat dari sini!"
"Hei, kalian tidak menungguku?" seru Soka
dengan bingung.
"Susul aku di Pantai Tangkur!" seru Raka Pura
sambil bergegas pergi bersama Bunga Dewi.
"Sial!" gerutu Soka Pura, ganti 'dikerjain' oleh
kakaknya. Mau tak mau ia lakukan penyembuhan du-
lu untuk selamatkan nyawa Iblis Bangor. Jurus
'Sambung Nyawa' digunakan lagi. Dan ketika tubuh
Panji Doyok telah memancarkan cahaya ungu, pertan-
da tinggal menunggu saat pemulihan pada bagian yang
luka, Pendekar Kembar bungsu buru-buru meninggal
kannya. Ia segera menggunakan jurus 'Jalur Badai'-
nya untuk menyusul sang kakak.
Tepat ketika Raka dan Bunga Dewi tiba di Pan-
tai Tangkur, tampak si Sampurgina sedang berbicara
dengan seorang perempuan tua berjubah hijau tua,
bertubuh kurus, keriput, dan bermata cekung. Ram-
but putihnya dikonde di tengah kepala, sisanya meriap
tipis.
"Itu mereka!" bisik Bunga Dewi. "Perempuan
tua tak lain adalah Nyai Keramat Malam!"
"Tetaplah berlindung di balik batu ini. Aku
akan menemui mereka!" ujar Raka Pura, kemudian ia
melesat dengan cepat bagaikan menghilang. Tahu-tahu
ia sudah muncul di belakang Nyai Keramat Malam
yang sedang menerima kitab berwarna hijau dari Sam-
purgina.
"Tugasku sudah selesai untuk persoalan kitab
ini, Nyai!"
"Bagus! Kau memang orangku yang patut ku
percaya dan menjadi andalan ku, Sampurgina!"
Begitu tiba di tempat itu, Raka Pura langsung
menyambar kitab itu. Wuuus...! Tapi tangan Nyai Ke-
ramat Malam berhasil selamatkan kitab itu dengan
menariknya ke belakang. Raka yang gagal sambar ki-
tab itu segera berkata,
"Sebaiknya kembalikan kitab itu pada pemilik-
nya, Nyai!"
Tentu saja kedua perempuan itu menjadi kaget.
Nyai Keramat Malam segera memandang Raka Pura
dengan tajam, sementara Sampurgina terperangah me-
lihat Raka tiba-tiba ada di pantai tersebut.
"Pendekar Kembar...?!" ucap Sampurgina lirih
sekali.
Nyai Keramat Malam menggeram. "Keparat kau,
Pendekar Kembar! Jangan coba-coba mencampuri
urusanku ini, Bocah ingusan!"
"Aku tidak mencampuri, hanya ingin meminta
kembali Kitab Jayasakti itu!"
"Ini yang kukembalikan padamu. Heeiah...!"
Nyai Keramat Malam melepaskan pukulan ber-
sinar biru. Wuuut...! Raka sudah siap, sehingga den-
gan mudahnya ia menghantam sinar biru itu dengan
jurus 'Mata Bumi'-nya yang berupa sinar merah seperti
piringan bergerigi itu. Claaap...!
Blegaaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi sangat mengguncang-
kan alam sekitarnya. Beberapa batu karang sempat re-
tak karena gelombang ledakan yang menyebar kuat.
Sampurgina sendiri terlempar sejauh enam langkah
dan jatuh terbanting di pasir pantai. Demikian pula
Nyai Keramat Malam yang tersentak dan terlempar ke
belakang tanpa bisa menjaga keseimbangan tubuh. Ki-
tab berwarna hijau itu terpental ke atas, lepas dari
genggaman sang Nyai. Padahal waktu itu Raka Pura
sendiri juga terhempas ke belakang dan jatuh di dekat
perairan pantai. Bruuusk...!
Kitab yang melayang di udara itu segera disam-
bar oleh seseorang yang baru saja tiba dan melesat be-
gitu cepat. Wuuut...! Teb...!
Orang itu segera bersalto satu kali. Wuk...! Lalu
mendaratkan kakinya dengan mantap. Jleeg...!
"Soka!" seru Pendekar Kembar sulung yang ba-
ru saja bangkit. "Cepat bawa lari kitab itu!"
"Bagaimana dengan si nenek tua itu?!"
"Biar kuurus dial"
"Tak bisa! Kau terlalu lamban menurutku, Ra-
ka!" ejek sang adik.
"Heaaat...!" Nyai Keramat Malam segera sentak-
kan kakinya dan tubuhnya melayang bagaikan terbang
dengan kedua tangan memancarkan sinar merah pijar.
Dari tangan itu segera keluar puluhan jarum yang me-
nyerupai bunga api. Zrrraaak...!
"Soka, awaaas...!" seru Raka Pura melihat adik-
nya terancam bahaya.
Soka Pura sentakkan kaki dan tubuhnya mele-
sat tinggi serta dalam kecepatan seperti orang menghi-
lang. Slaaap...! Jarum-jarum membara itu tak ada
yang mengenai tubuh Soka, melainkan justru meng-
hancurkan bongkahan karang besar yang ada di tepi
perairan pantai.
Jegaaarrr...!
Bongkahan karang sebesar rumah itu menjadi
debu hitam dalam sekejap. Tetapi pada saat itu, Soka
Pura yang masih melayang ke atas segera berjungkir
balik dan meluncur ke bawah dalam keadaan menu-
kik. Clap, clap...!
Sinar putih seperti pisau runcing keluar dari
tangannya. Jurus 'Cakar Matahari' digunakan untuk
menyerang Nyai Keramat Malam. Perempuan tua yang
baru saja ingin menapakkan kakinya ke tanah itu tak
sempat menghindari dua sinar tersebut. Akibatnya,
kedua sinar itu menghantam pundak dan lengan Nyai
Keramat Malam tanpa ledakan sedikitpun. Cuuurb,
cuuurb...!
"Haaakh...!" Nyai Keramat Malam mengejang
sesaat. Tubuhnya menjadi hitam kering, matanya me-
rah menyeramkan.
"Ooukh...!" Nyai Keramat Malam akhirnya jatuh
berlutut. Ia mengerahkan tenaga dalamnya untuk me-
nahan luka, namun tak berhasil. Akhirnya ia pun
tumbang, terkapar dalam keadaan tubuhnya menjadi
kering bagaikan arang, untuk kemudian tidak berna-
pas lagi.
Melihat Nyai Keramat Malam tewas di tangan
Soka, Sampurgina segera melarikan diri dan tak berani
melakukan bela pati atas kematian sang penguasa Pu-
lau Sambang itu.
"Sampurgina lari!" seru Bunga Dewi.
"Biarkan dia lari! Nanti akan bertemu dengan
Iblis Bangor dan mereka akan bikin perhitungan sendi-
ri!" ujar Soka Pura.
Akhirnya Pendekar Kembar bergegas pergi ke
Lembah Saga untuk serahkan Kitab Jayasakti itu. Me-
reka pergi ke Lembah Saga tetap dengan diantarkan
oleh Bunga Dewi sebagai penunjuk jalan ke sana.
Ternyata gadis kembar itu menepati janjinya.
Kitab Jayasakti ditukar dengan empat lembar Daun
Astagina. Daun itu dibawa ke puncak Gunung Merana,
dan ternyata memang dapat dipakai sembuhkan Nyi
Padmi yang sudah berhari-hari seperti mayat hidup
akibat terkena pukulan beracun 'Sengat Peri' dari si
Wajah Malaikat.
Kesembuhan Nyi Padmi merupakan kebang-
gaan tersendiri bagi kedua anak angkatnya itu. Nyi
Padmi pun mengharapkan agar Pendekar Kembar ti-
dak buru-buru turun gunung, karena kerinduannya
terhadap kedua anak angkat itu masih belum terselesaikan.
SELESAI
Segera terbit:
PEDANG BULAN MADU
0 comments:
Posting Komentar