"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 25 Agustus 2025

PENDEKAR KEMBAR EPISODE KORBAN KITAB LELUHUR

Korban Kitab Leluhur

 


Hak cipta dan copy right pada penerbit di bawah lin-

dungan undang-undang.

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau 

seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.


1


EMBUN pagi bertaburan di atas daun-daun jati. 

Hutan jati itu menyebar di sepanjang kaki Bukit Ga-

rong. Tak tahu siapa yang menanam pohon-pohon jati 

yang tinggi dan besar-besar itu, yang jelas di hutan itu 

ada pondok berpagar bambu tinggi dan rapat. Hanya 

ada satu pondok yang dibangun di Bukit Garong yang 

puncaknya tak begitu tinggi itu.

Pondok tersebut adalah tempat hunian bagi 

seorang tokoh tua berusia sekitar tujuh puluh tahun. 

Tokoh itu sebenarnya beraliran putih, tapi karena 

gayanya sedikit nyentrik, kadang orang menyangka ia 

tokoh aliran hitam. Dulu tokoh tua yang gemar kena-

kan jubah abu-abu itu bermusuhan dengan Pendekar 

Kembar, namun sejak ia tahu siapa Pendekar Kembar, 

ia menjadi bersahabat dan sering saling membantu, 

(Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Dendam 

Asmara Liar").

Hantu Muka Tembok sudah dianggap seperti 

orangtua sendiri bagi Raka Pura dan Soka Pura; si 

Pendekar Kembar itu. Rasa hormat dan sungkan bagi 

dua pemuda tampan itu sering ditujukan kepada Han-

tu Muka Tembok. Beberapa saran dari tokoh tua yang 

bernama asli Ki Gumarah sering dipakai oleh Raka dan 

Soka. Termasuk saran untuk tinggalkan gadis cantik 

yang bernama Anggani.


"Kalian berdua pergilah ke petilasan Keraton 

Kencana Windu untuk mencari Daun Astagina itu. 

Anggani biar tinggal di sini. Kujamin gadis itu tak akan 

celaka sedikit pun. Kalian tak perlu khawatir, Anggani 

akan tetap utuh sampai kalian datang lagi kemari."

Si gadis cantik bertubuh langsing dengan dada 

sekal itu ajukan protes begitu mendengar saran Hantu 

Muka Tembok.

"Mengapa aku harus tinggal di sini, Paman 

Gumarah?! Aku ingin ikut mereka!"

"Banyak orang yang masih beranggapan bahwa 

kau gadis yang mengidap penyakit 'Hantu Lanang'. 

Kau dianggap penyebar penyakit maut bagi laki-laki 

yang habis kencan denganmu. Mereka tidak tahu, 

bahwa semua itu adalah fitnah si Wajah Malaikat un-

tuk mencelakakan dirimu. Jadi, sebaiknya kau menye-

pi dulu di sini, sampai anggapan orang-orang luntur 

dengan sendirinya dan mereka tahu bahwa semua itu 

hanya ulah si Wajah Malaikat."

"Kurasa saran Ki Gumarah ada benarnya, Ang-

gani," ujar Raka Pura. "Jika kau keluyuran dengan be-

bas, maka orang yang menganggapmu sebagai penye-

bar penyakit maut itu akan berusaha membunuhmu. 

Mungkin kau memang bisa mengelak atau orang itu 

sendiri yang terbunuh oleh ilmumu. Tetapi itu na-

manya menyebar kematian yang sia-sia, Anggani."

"Kurasa kau bisa bebas ke mana-mana jika su-

asananya sudah adem," timpal Soka Pura, si Pendekar 

Kembar bungsu.

Hantu Muka Tembok tambahkan kata, "Kau di 

sini ditemani oleh Bujang Bodo dan Wisnu Galang. 

Kau tidak sendirian, dan kau tidak mungkin kesepian."

"Kalau Wisnu Galang macam-macam padamu, 

gibas saja dia!" bisik Soka Pura.

"Tak mungkin muridku berani macam-macam


pada Anggani," ujar Hantu Muka Tembok yang men-

dengar bisikan Soka tadi. "Aku akan wanti-wanti pada 

Wisnu Galang, jika ia berani macam-macam pada Ang-

gani, akan ku hukum seberat-beratnya dan kuanggap 

murid murtad! Dia tak akan berani jika kau sudah 

bersikap tegas begitu." Hantu Muka Tembok seakan 

memberi jaminan yang dapat dipercaya oleh kedua be-

lah pihak.

Anggani mempertimbangkan sesaat. Terbayang 

amukan orang-orang yang termakan fitnahnya si Wa-

jah Malaikat itu. Ia yakin, masih ada beberapa orang 

yang berusaha menangkap atau membunuhnya, kare-

na ia dianggap oleh mereka sebagai gadis penyebar pe-

nyakit terkutuk, yang dapat membunuh seorang lelaki 

dalam waktu singkat jika selesai berkencan dengan-

nya. Padahal semua itu hanya isu belaka. Wajah Ma-

laikat yang sebarkan isu itu, karena Wajah Malaikat 

merasa kewalahan mengejar Anggani untuk dibunuh, 

(Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Perawan 

Bukit Jalang").

Wisnu Galang yang baru saja datang dari ber-

buru ayam hutan, mendukung saran gurunya terha-

dap Anggani. Bahkan ia mengingatkan kepada Anggani 

tentang ancaman bahaya dari Sirih Duda.

"Beberapa orang Perguruan Pedang Biara, ter-

masuk Sirih Duda, Pujar Wuni, dan yang lainnya, su-

dah telanjur menganggap dirimu sebagai gadis penye-

bar penyakit terkutuk itu. Jadi, untuk saat sekarang 

ini, jika mereka melihatmu. pasti akan berusaha mem-

bunuhmu. Maka ada baiknya jika kau tak muncul du-

lu di kancah persilatan sampai akhirnya mereka tahu 

dengan sendirinya bahwa kabar tentang dirimu itu 

hanya siasat busuknya si Wajah Malaikat. Tinggallah 

dulu beberapa saat di sini, Anggani. Aku akan mene-

manimu."


"Tapi awas jika kau berbuat yang bukan-bukan 

terhadap Anggani!" ancam Soka Pura yang waktu itu 

sempat bentrok dengan Wisnu Galang, murid tunggal 

si Hantu Muka Tembok itu.

Wisnu Galang nyengir mendengar ancaman itu, 

antara malu dan rikuh.

"Aku bukan Wisnu yang kemarin, Soka! Per-

cayalah, Anggani tidak akan ku colek sedikit pun, ke-

cuali dalam keadaan terpaksa."

"Terpaksa atau tidak, kalau kau berani colek 

dia, kuhajar di depan gurumu sendiri, Wisnu!" ancam 

Soka.

"Lho, maksudnya terpaksa, misalnya dia di 

panggil oleh Guru tapi tidak mendengar, terpaksa ku 

colek lengannya dan kuberi tahu agar ia memenuhi 

panggilan Guru. Begitu maksudku! Jangan melotot du-

lu kau!" Wisnu Galang bersungut-sungut.

"Tapi jangan lama-lama perginya, ya Soka?" bi-

sik Anggani dengan wajah murung. Rupanya gadis itu 

merasa berat jika berpisah terlalu lama dengan Soka. 

Mungkin hatinya ada minat untuk dekati si cowok 

tampan itu. Ia belum tahu bahwa Soka ibaratnya play-

boy cap kutu busuk. Sosor sana, sosor sini, sudah me-

rupakan kebutuhan rutin bagi dirinya.

Berbeda dengan kakak kembarnya: Raka Pura. 

Pemuda-yang satu ini memang kalem dan tidak rakus 

terhadap perempuan. Bahkan cenderung dingin terha-

dap rayuan gadis mana pun Juga.

"Bujang, kau tinggal di sini dulu menemani 

Anggani, ya?" ujar Raka, karena ia paling cepat akrab 

dengan teman lelaki ketimbang terhadap seorang wani-

ta.

"Apakah setelah kau mendapatkan Daun Asta-

gina kau akan mampir ke sini untuk menjemputku?"

"Ya. Setelah urusanku selesai, aku pasti kemari


lagi."

Bujang Bodo sendiri sebenarnya merasa berat 

ditinggal Raka. Pemuda lugu dan polos itu akan mera-

sa senang jika mengikuti perjalanan Pendekar Kembar, 

karena ia punya cita-cita ingin menjadi seorang pende-

kar, pembela kebenaran, pembela kaum yang lemah, 

pembela mertuanya jika ia kelak punya kesempatan 

menikah. Walaupun ia tak punya ilmu apa-apa, kecua-

li 'Siulan Maut' warisan neneknya, tapi kemauannya 

untuk menjadi orang baik-baik cukup besar. Dengan 

mengikuti pengembaraan si Pendekar Kembar, Bujang 

Bodo merasa mendapat banyak pengetahuan dan pen-

galaman tentang hidup dan kehidupan, terutama liku-

liku di dunia persilatan.

Tapi karena Raka Pura menyuruhnya tinggal di 

pondok Hantu Muka Tembok, maka tak ada yang bisa 

diperbuat lagi oleh Bujang Bodo kecuali patuh dengan 

perintah tersebut. Ia tak berani menentang, karena ta-

kut mengecewakan Raka dan tak akan diajak berkela-

na lagi.

Ketika matahari mulai merayap tinggalkan ca-

krawala timur, kedua pemuda tampan yang gagah per-

kasa itu mulai langkahkan kaki menuju petilasan Ke-

raton Kencana Windu. Kedua pemuda berbaju bun-

tung putih dan celananya juga putih itu sama-sama 

berwajah penuh semangat. Tekadnya mencari Daun 

Astagina sangat bulat, tak ada benjolnya sedikit pun. 

Karena daun itulah yang akan sembuhkan ibu angkat 

mereka: Nyi Padmi, yang sekarang sedang menderita 

kelumpuhan akibat pukulan beracun dari si Wajah 

Malaikat yang telah dihancurkan oleh Pendekar Kem-

bar sendiri itu, (Baca serial Pendekar Kembar dalam 

episode: "Perawan Bukit Jalang").

Perjalanan demi kebaikan memang tak pernah 

mulus. Begitu halnya yang dialami oleh si Pendekar


Kembar. Perjalanan itu bermula terhenti karena ke-

munculan seorang pemuda yang sama sekali belum 

dikenal oleh Raka maupun Soka.

Pemuda bertubuh kurus itu langsung saja ber-

lutut di depan Pendekar Kembar dengan wajah tegang 

dan napas terengah-engah. Ia ayunkan kepalanya 

sampai menyentuh tanah beberapa kali sambil bersu-

jud di depan Raka Pura dan adiknya.

Dilihat dari raut wajahnya dan cucuran kerin-

gatnya, pemuda kurus berpakaian biru garis-garis pu-

tih itu pasti sedang dalam ketakutan yang amat besar. 

Sepertinya ia sedang melarikan diri dari kejaran seseo-

rang atau sesuatu yang menakutkan baginya. "To-

long... tolong aku, Teman. Tolong... aku ditolong.... Aku 

beb... beb... belum ingin mati semuda ini, Teman. 

Oooh, tolonglah aku...."

"Hei, hentikan ayunan kepalamu itu, nanti ta-

nahnya jadi kotor!" ujar Soka Pura sambil menahan ge-

li dalam hatinya.

"Tolong... aku, oh... oh... aku bisa mati kalau 

begin! caranya!" sambil si pemuda berambut pendek 

tapi mengenakan ikat kepala kuning itu menengok ke 

belakang. Sepertinya ia sangat khawatir akan terkejar 

oleh lawannya. Nafasnya terengah-engah dan cepat se-

perti seekor anjing habis disuruh ikut pacuan arena.

"Apa yang terjadi pada dirimu, Sobat?" tegur 

Raka Pura setelah berhasil menghentikan ayunan ke-

pala pemuda kurus itu dengan menyodorkan batu di 

depan si pemuda berikat kepala kuning itu. Dengan 

melihat ada batu tepat di tanah tempat keningnya be-

radu beberapa kali itu, si pemuda segera hentikan ge-

rakannya.

"Edan! Kau pikir aku harus mati dengan cara 

membenturkan kepalaku dengan batu itu?"

Raka Pura sunggingkan senyum kalem. Ia me


mang selalu tampil kalem namun punya kharisma le-

bih tinggi dari adiknya; si Soka Pura yang bandel itu.

"Pertama aku ingin tahu siapa kau sebenarnya, 

Sobat?" tanya Raka Pura sambil jongkok karena pe-

muda kurus itu masih duduk bersimpuh di tanah.

"Nam... namaku... Panji Doyok. Ooh... tolonglah 

aku! Aku bisa mati kalau tak ada yang menolongnya," 

si pemuda kurus itu mulai bernada seperti perempuan.

Manja.

Karena sang kakak jongkok di sebelah kiri Panji 

Doyok, maka Soka segera jongkok di sebelah kanan 

pemuda kurus itu sambil ajukan tanya dengan tepuk 

pundak satu kali. Plok...!

"Tenang, Kawan.... Tak perlu buru-buru kepin-

gin mati. Kiamat masih jauh."

"Siapa yang kepingin buru-buru mati?! Justru 

aku tak mau mati sekarang!" sergah Panji Doyok.

"Jelaskan apa persoalannya sampai kau ngos-

ngosan seperti hantu dikejar anjing begini, Panji 

Doyok?"

"Be... begini...!" tiba-tiba kata-kata Panji Doyok 

terhenti seketika dan matanya terbelalak, memandang 

wajah Raka dan Soka di kanan kirinya.

"Hahhh...?!"

"Ssssh... tenang, tenang. Kalem saja, Doyok!" 

ujar Raka, tapi justru membuat Panji Doyok melompat 

berdiri dan mundur dua langkah. Wajahnya kian tam-

pak tegang, penuh rasa takut.

"Kem... kem... kembar? Ka... kalian kembar?!"

Rupanya si Panji Doyok baru sadar bahwa ke-

dua orang yang dimintai tolong itu berwajah kembar. 

Dan keadaan itu membuatnya sangat ketakutan se-

hingga ia merasa harus segera menjauhi si kembar 

berwajah tampan itu.

"Ya, kami memang Pendekar Kembar. Kena


pa?!" ujar Soka sambil berdiri dan berkerut dahi den-

gan heran.

"Oooh, tidaak...!" Panji Doyok segera berlari ke 

arah lain, seolah-olah ia melihat sepasang hantu yang 

sangat menyeramkan.

"Hei, hei...!" Soka Pura mencegat, dengan satu 

lompatan sudah ada di depan langkah Panji Doyok. 

Pemuda bersabuk kain merah itu menarik napas satu 

kali dalam satu sentakan rasa takut.

"Haaaahhhh..?!"

Ia ingin lari ke arah lain, namun kepergok Raka 

dan langkah pun terhenti seketika. Kini si pemuda 

bersenjata sebilah pisau di pinggangnya itu meman-

dang ke sana-sini dengan nanar berkesan panik. Soka 

Pura saling pandang sebentar dengan kakaknya yang 

sama-sama merasa heran melihat ketakutan Panji 

Doyok.

Akhirnya Raka berhasil membujuk Panji Doyok 

agar tenang dan meyakinkan diri bahwa mereka bukan 

orang yang perlu ditakuti. Panji Doyok dibawanya ke 

bawah pohon yang cukup teduh. Tapi pemuda itu ma-

sih diliputi rasa takut hingga gemetaran.

Raut wajahnya tampak pucat, menandakan ra-

sa takutnya itu serius. Bukan sekadar akting saja.

"Kami memang anak kembar," kata Raka Pura. 

"Tapi mengapa kau sangat ketakutan begitu kau sadar 

bahwa kami anak kembar?! Tolong dijelaskan sebelum 

kepala adikku itu jadi pusing. Sebab dia kalau sedang 

pusing sering menelan manusia hidup-hidup!"

"Ooooh...?!" pekik Panji Doyok semakin takut. 

"Ap... apakah... apakah kalian juga keluarga mereka?!"

"Mereka siapa maksudmu?" tanya Soka.

"Hmmm, hmmm..." Panji Doyok menelan na-

fasnya beberapa kali untuk menenangkan getaran da-

lam dadanya. Mata memandang ke sana-sini, terutama


ke arah dari mana ia datang tadi. Pandangan mata itu 

masih mempunyai kecemasan yang membuatnya gu-

gup.

"Mer... mereka mau... mau membunuhku!" "Me-

reka siapa?!" sentak Soka jengkel. Panji Doyok terlon-

jak kaget dan semakin gemetaran lagi. "Sau... sauda-

ra... saudara...." "Bicaralah dengan tenang, jangan se-

perti orang mau kasih sambutan begitu; pakai 

'saudara-saudara' segala. Ini bukan rapat lurah, ta-

hu?" omel Soka yang tak sabar menghadapi kegugupan 

Panji Doyok. "Mak... mak... mak...." "Ada apa dengan 

emak mu?!" tanya Raka serius.

"Bukan. Hmmmm... mak... maksudku..." "Oh

mau ngomong 'maksudku'," ujar Raka kepada adiknya. 

"Kukira mau ceritakan emaknya." "Maksudku... aku 

mau dibunuh oleh saudara kalian yang sekarang se-

dang mengejar-ngejarku," lanjut Panji Doyok.

"Kami tak punya saudara lagi. Kami lahir hanya 

berdua saja. Aku yang bernama Raka dan dia Soka,

"Jad... jadi kalian... kalian bukan termasuk me-

reka?"

"Mereka itu siapa maksudmu, jelaskan!" sergah 

Soka sambil mendorong dada Panji Doyok. Agaknya 

Soka sangat tak sabar menghadapi kepanikan Panji 

Doyok yang tidak segera menjelaskan perkara sebe-

narnya. Rasa penasaran Soka membuat pemuda itu 

gemas, rasa-rasanya ingin meremas-remas mulut si 

Panji Doyok. Hanya saja, sebelum Panji Doyok berkata 

lagi, tiba-tiba dari arah tempat datangnya Panji Doyok 

tadi muncul dua orang yang sama-sama mengenakan 

jubah lengan panjang warna merah jambu. 

"Nah, dia orangnya! Hajar dia!" 

"Tunggu...!"

Kedua orang yang ingin maju menyerang Panji 

Doyok segera hentikan langkah karena Raka Pura se


gera menghadang di depan langkah mereka. Panji 

Doyok bersembunyi di belakang Soka dengan tubuh 

semakin gemetaran. Sementara itu, Raka dan Soka 

sama-sama segera terbengong memandang kedua 

orang yang baru saja datang itu mempunyai wajah 

kembar dan potongan tubuh serta pakaian yang sama.

Ternyata mereka adalah dua gadis cantik yang 

sama-sama punya potongan rambut berponi depan, 

panjang rambutnya hanya sepundak lewat sedikit. Me-

reka adalah dua gadis kembar yang juga terperangah 

begitu melihat Raka dan Soka. Kedua gadis itu sama-

sama mengenakan kutang hijau tipis dan kain penu-

tup bagian bawahnya juga berwarna hijau tipis. Apa 

yang ditutupi kain-kain hijau itu tampak membayang 

samar-samar, menggoda iman membangkitkan keusi-

lan. Tak heran jika Soka akhirnya tersenyum tipis den-

gan mata nakalnya melirik ke arah dada sekal si gadis 

kembar itu.

"Rupanya kau yang ingin menjadi pembela mal-

ing keparat itu, hah?" ujar salah seorang dari kedua 

gadis itu.

"Maling?! Siapa yang maling?! tanya Raka ka-

lem.

"Jangan banyak mulut kau! Hiaaah...!" Salah 

seorang dari mereka menyerang dengan tebasan pe-

dang ke arah leher Raka Pura. Tentu saja tebasan itu 

mengejutkan Pendekar Kembar, sehingga Raka Pura 

segera meliukkan badan ke samping sambil kakinya 

berkelebat menendang gadis penyerangnya. Buukh...! 

Tendangan itu tepat kenai perut lawan. Namun si gadis 

bagal tak punya rasa sakit sama sekali. Tendangan itu 

dicuekin saja, ia justru menghujamkan pedang ke arah 

perut Raka.

Suuut...!

Raka Pura melompat pendek ke samping dengan tubuh sedikit berputar sehingga pedang itu menu-

suk udara kosong. Dan pada saat itu telapak tangan 

Raka punya kesempatan menyodok rahang kanan si 

gadis. Bet, plaaak...!

Si gadis terpelanting karena kerasnya sodokan 

tangan Raka itu. Tapi anehnya ia tak menyeringai ke-

sakitan. Padahal pipinya sempat menjadi merah akibat 

sodokan tangan itu. Ia justru memainkan pedangnya 

dengan cepat, menebas ke sekeliling tubuhnya sambil 

melangkah maju dekati Raka.

Sementara itu, gadis yang satunya melangkah 

pelan-pelan memutari dari seberang pohon. Rupanya 

ia ingin menyerang Panji Doyok atau Soka dari arah 

belakang. Tetapi gerakannya diketahui oleh Soka, se-

hingga Soka segera berpaling ke arahnya sambil terse-

nyum. Gadis itu tak mau membalas senyuman Soka, 

tapi justru melompat lakukan terjangan bersama pe-

dang dihujamkan ke arah dada Soka. Wuuut...!

Soka Pura segera lepaskan jurus 'Tangan Batu'-

nya. Kedua tangan yang menggenggam disodokkan ke 

depan dan keluarkan tenaga dalam besar. Biasanya bi-

sa membuat pohon tumbang. Wuuut, brrruuk...! Tapi 

anehnya gadis itu hanya terpental dan jatuh terbanting 

tanpa merasakan sakit sedikit pun. Buktinya ia cepat 

bangkit dan melompat kembali dengan tendangan kaki 

menyamping.

"Hiaaaat...!"

Plak. Plak...! Soka menangkis tendangan itu 

dengan kedua tangan. Lalu, tubuhnya memutar cepat 

dan kakinya melayang bagai menyabet ke atas. Wees...! 

Plak...! Gadis itu juga berhasil menangkis tendangan 

Soka dengan tangan kiri.

Pedang segera disabetkan untuk merobek 

punggung Soka. Tapi dengan cepat Soka yang me-

munggunginya itu melompat ke depan, kedua kakinya



menendang ke belakang. Wut, bhuuuk...! Kedua ten-

dangan seperti kuda binal itu tepat kenai perut si ga-

dis. Tentu saja gadis itu terpental ke belakang karena 

tendangan itu bertenaga cukup besar. Brruuss...! Si 

gadis jatuh di semak-semak dekat Raka.

Melihat Raka sedang menggeliatkan tubuhnya 

ke sana-sini untuk hindari tebasan pedang gadis yang 

satunya lagi, maka gadis yang jatuh di semak dekat 

Raka itu segera menyabetkan pedangnya ke betis Ra-

ka. Beet...!

Tapi kaki Soka Pura segera menendang batu 

kecil. Tuuus...! Batu pun melesat dengan cepat dan 

bermuatan tenaga dalam yang tadi disalurkan lewat 

kaki oleh Soka.

Teess...!

"Auuuh!" gadis itu memekik ketika pergelangan 

tangannya terkena batu sebesar kelereng itu. Pedang 

yang mau dipakai menyabet betis Raka itu terlepas se-

ketika. Tapi si gadis tidak merasakan sakit. Pekikan-

nya tadi ternyata adalah pekikan rasa kaget atas sen-

takan batu yang tak diduga-duga itu.

Wuuut...! Soka melompat dan berguling di re-

rumputan, lalu menyambar pedang si gadis. Tebbb...!

Seeet...! Pedang itu ditodongkan di dada si ga-

dis. Kontan gadis itu hentikan gerakan dalam keadaan 

baru mau merangkak.

"Bergerak sama dengan kuburan!" ujar Soka 

mengancam dalam senyuman. Si gadis memandang 

bagai menyimpan dendam.

Pada saat itu, ternyata Raka Pura berhasil me-

nangkap tangan gadis lawannya. Tangan berpedang itu 

segera dipuntir ke belakang dan si gadis dipepetkan ke 

pohon.

"Kupatahkan tanganmu kalau kau masih mau 

menyerangku!"


Gadis itu tidak mengaduh sedikit pun, hanya 

memendam geram kedongkolan yang lebih besar lagi. 

Raka pun akhirnya membentak dengan tangan si gadis 

yang terpelintir itu disentakkan ke atas bagai mau di-

patahkan.

"Lepaskan pedangmu! Lepas...!" sambil tubuh si 

gadis makin dipepetkan ke pohon. Mau tak mau si ga-

dis melepaskan pedangnya karena memang urat peng-

genggam pada jari-jarinya menjadi kendor dengan sen-

dirinya begitu tangan disentakkan ke atas. Raka segera 

menyambar pedang itu dan menodongkan ke leher si 

gadis yang segera berbalik ingin menyerang Raka, na-

mun tak jadi karena gerakan penodongan itu lebih ce-

pat dan membatasi langkahnya. Si gadis hanya mera-

pat dengan pohon dan memandangi ujung pedang 

yang terarah ke lehernya.

"Kalau kalian ingin mencelakai kami, kami pun 

akan tega mengirim kalian ke jalan raya neraka lewat 

kuburan masing-masing. Paham?!" gertak Raka Pura 

yang tak mendapat reaksi apa pun dari si gadis.

Raka melirik Soka, ternyata Soka juga berhasil 

mengancam lawannya dengan pedang milik lawan. Me-

reka saling melirik, saling anggukkan kepala kecil, ba-

gai memberi isyarat. Kejap kemudian mereka sama-

sama mundur dan saling berdekatan.

"Agaknya gadis kembar itu tak punya rasa sakit 

sedikit pun?" bisik Soka kepada kakaknya.

"Iya! Mungkin itulah kehebatan si gadis kembar 

ini?!" balas Raka dalam bisikan.

"Sekarang bagaimana ini?! Habisi saja mereka?"

"Mulutmu kalau bicara jangan sembarangan! 

Kalau aku setuju dengan usulmu itu, belum tentu kau 

benar-benar tega menghabisi mereka!" gerutu Raka da-

lam bisikan.

"Tega saja, kalau menghabisinya pakai bibir!"


"Kepalamu ngepul!" maki Raka dengan bersun-

gut-sungut.

Akhirnya Pendekar Kembar sepakat untuk 

kembalikan pedang kedua gadis itu sebagai tanda per-

damaian. Mereka sama-sama membuang pedang ke 

arah kedua gadis tersebut. Wes, wes...! Juuubs, 

juubs...! Kedua pedang sama-sama menancap di ta-

nah, satu jengkal dari kaki masing-masing pemiliknya.

"Kalau kami komplotan orang jahat, nyawa ka-

lian sudah melayang saat ini!" ujar Raka. Soka menim-

pali dengan konyol.

"Setidaknya saat ini kalian tidak akan berbusa-

na lagi."

"Ssst...! Jangan bicara begitu, disangkanya kita 

pemerkosa!" bisik Raka. Maka si Pendekar Kembar 

bungsu pun segera meralat kata-katanya tadi.

"Maksudku, pakaian kalian bisa ku cabik-cabik 

dengan pedang kalian sendiri tadi. Kalian bisa ku te-

lanjangi dengan jurus pedang kami. Tapi, heh, heh, 

heh... kami tak berani lakukan, karena... karena tentu 

masalahnya jadi lain lagi jika sampai kalian berdua 

kami telanjangi dengan jurus pedang... hik, hik!"

Kedua gadis kembar itu saling pandang seben-

tar, kemudian memungut pedang mereka dan masih 

menggenggamnya di tangan masing-masing, seakan

siap menyerang dengan pedang itu jika hal itu diperlu-

kan sewaktu-waktu.

"Siapa kalian sebenarnya?!" ujar gadis berka-

lung emas dengan bandul batu merah delima sebesar 

kacang tanah. Sikapnya masih bermusuhan, tapi tidak 

seganas tadi. Agaknya mereka saling mengakui kehe-

batan si Pendekar Kembar tampan itu, sehingga mere-

ka perlu menunda gebrakan pertama, dan sedang 

mempersiapkan gebrakan kedua sebagai langkah balas 

dendam atas kekalahan mereka baru saja tadi.


Gadis yang berkalung emas dengan bandul ba-

tu hijau giok sebesar kacang tanah itu segera menim-

pali kata-kata saudara kembarnya tadi.

"Jangan dulu kalian merasa bangga karena da-

pat patahkan serangan kami. Itu tadi hanya gebrakan 

salam kenal saja. Belum gebrakan yang sesungguh-

nya!"

"O, ya? Kalau begitu kalian masih menyimpan 

jurus-jurus maut yang akan membuat kami ta-

kuuuut...!" ujar Soka sambil menggeliat seperti pera-

wan ketakutan. Raka terpaksa menahan tawa dalam 

hati melihat adiknya berlagak seperti banci kesiangan 

itu.

"Hmm...," si gadis berkalung merah mencibir. 

"Tak kusangka maling keparat itu punya tukang pukul 

setampan ini!"

"Ssst...! Jangan bicara soal tampan, Tolol!" ser-

gah gadis yang satunya dalam bisikan yang sampai di 

telinga Raka dan Soka. Pendekar Kembar pun sama-

sama tersenyum dan saling lirik dengan lagak konyol.

Kedua gadis itu segera saling mencibir sinis. Si 

gadis pemakai kalung hijau pun berkata dengan ketus, 

seakan muak sekali dengan lagak kedua pemuda kem-

bar tampan rupa itu.

"Rupanya kalian yang jadi tukang tadahnya, 

ya?!"

"Kau pikir kami berdua ini ember buat mena-

dah air hujan?!" sergah Soka Pura dengan senyum di-

kulum. Entah seberapa banyak ia mengulumnya, yang 

jelas kedua gadis kembar itu saling memandangi

Soka dan Raka secara berganti-gantian. Selain 

masih sama-sama pegangi pedang terhunus, wajah 

mereka juga tampak masih diliputi kemarahan, se-

hingga kecantikannya nyaris tak terlihat.

Gadis kembar itu akhirnya saling senggol


senggolan siku. Mereka saling lirik, seperti bicara pa-

kai bahasa wajah. Yang satu menggelengkan kepala, 

yang satu mengangguk sesekali dengan dahi berkerut.

"Rupanya gadis inilah yang disangka saudara 

kita oleh si Panji Doyok itu," bisik Raka Pura kepada 

adiknya.

"Iya. Sebab kedua gadis itu tampaknya juga 

anak-anak kembar. Cantik-cantik, ya?"

Raka menatap adiknya dengan bersungut-

sungut, kemudian melengos tak mau komentari peni-

laian sang adik. Ia menatap kedua gadis kembar itu 

dengan sikap kalem dan wajah tampak tenang sekali.

"Dengar, Nona-nona genit! Aku dan adikku tak 

punya hubungan apa-apa dengan si Panji Doyok itu! 

Kami justru sedang mencari tahu persoalan yang di 

hadapi oleh Panji Doyok, lalu kalian datang."

"Jadi... kalian bukan komplotan maling keparat 

itu?!" salah seorang bicara dengan nada mulai lunak.

"Kalau kami komplotannya, tentu saja kalian 

berdua sudah kami sikat sejak tadi!" ujar Soka me-

nimpali ucapan kakaknya.

"Hmm, kau pikir kami tak pernah sikatan?!" 

ujar gadis satunya lagi dengan mencibir sinis. "Hei, 

dengar ya, Tokek sawah... di rumah kami punya ba-

nyak sikat gigi. Setiap hari kami menyikat gigi tiga kali, 

itu kalau kami tak lupa. Jadi kalian tak perlu sikat 

kami, mungkin justru kalianlah yang perlu kami sikat 

dengan pedang kami ini!"

"Hei, lihat...?! Maling keparat itu sudah tak ada 

di sini!" seru gadis berkalung merah. Raka dan Soka 

juga terkejut dan segera mencari dengan pandangan 

mata mereka. Ternyata Panji Doyok memang sudah tak 

ada di tempat itu. Mereka tak tahu Panji Doyok telah 

kabur saat mereka tadi saling baku hantam.

"Ke mana si bodong tadi?!" gumam Raka bernada geram di samping adiknya.

Sebelum Soka mengomentari gumam kakak-

nya, tiba-tiba gadis berkalung merah mengacungkan 

pedang di depan Soka. Pedang itu diarahkan tepat di 

ulu hati Soka.

"Kalian harus bertanggung jawab!"

"Bertanggung jawab bagaimana?! Apakah kau 

hamil kok minta tanggung jawab dari kami?"

"Kalian yang membuat maling itu lolos, Tolol!" 

bentak gadis itu dengan berang. Soka sempat kaget 

dan mengkerut sambil mundur karena didesak mata 

pedang.

*

* *

2


KEDUA gadis kembar cantik itu sama-sama 

mendesak Raka dan Soka sebagai pihak yang harus 

bertanggung jawab atas lolosnya Panji Doyok. Raka 

dan Soka saling bisik dalam ancaman pedang kedua 

gadis kembar itu. Tak ada rasa takut sedikit pun pada 

diri Pendekar Kembar, walau mereka tetap angkat tan-

gan agar gadis-gadis itu tidak nekat menghujamkan 

pedang ke tubuh mereka. "Psst...!"

Raka melirik adiknya.

"Sebenarnya mereka hanya ingin minta ban-

tuan kita untuk menangkap Panji Doyok itu!"

"Ya, aku tahu hal itu. Kita pura-pura menyang-

gupi tanggung jawab itu, agar kita tahu bagaimana 

persoalan yang sebenarnya."

"Tapi kita harus segera mencari Daun Astagina 

untuk...."


"Aku tahu, aku tahu...!" potong Raka dalam bi-

sikan. "Tapi gadis ini akan jadi penghambat kita jika 

kita pergi begitu saja! Kurasa... tak seberapa sulit 

mengatasi persoalan yang agaknya membuat mereka 

kewalahan itu."

"Jangan kasak-kusuk!" bentak yang kalungnya 

berbatu hijau. "Bicaralah yang jelas! Sanggup atau ti-

dak!"

"Sanggup apanya?" sahut Soka ingin tertawa 

geli.

"Sanggup menangkap pencuri keparat itu atau 

tidak?!" sentak si pemakai kalung berbatu hijau itu.

"Kalau kami tidak sanggup menangkap pencuri 

itu bagaimana?" tanya Soka memancing dengan se-

nyum menghias di bibirnya.

"Kalau kalian tak sanggup, kami akan segera 

menggali dua liang untuk mengubur kalian. Tapi kalau 

kalian sanggup menangkap pencuri jahanam itu...."

"Apa hadiahnya?" potong Soka.

Kedua gadis saling pandang sebentar. Kemu-

dian yang memakai kalung berbatu merah itu perden-

garkan suaranya dengan tegas, namun tidak seketus 

tadi, walau masih berbau sinis.

"Tidak ada hadiah untuk penangkapan! Tapi 

kami akan berikan sesuatu yang bermanfaat untuk ka-

lian."

"Oh, kedengarannya menyenangkan sekali," 

ujar Soka, lalu ia melirik kakaknya dan kedipkan sebe-

lah mata dengan konyol. Raka diam saja tanpa reaksi, 

masih tampak tenang dan kalem.

"Kami akan bantu kalian menangkap pencuri 

itu," ujar Soka. "Tapi lebih dulu kami minta dua sya-

rat. Pertama, kalian harus anggap kami bukan musuh 

melainkan sepasang sahabat. Kedua, kami harus tahu 

nama kalian. Setelah itu kami akan sebutkan nama


kami sebagai Soka dan Raka," sambil Soka menuding 

kakaknya.

Raka menimpali, "Tapi jika kalian tidak mau 

penuhi dua syarat itu, kami akan melawan kalian 

sampai nyawa kalian tak tersisa sedikit pun! Dan in-

gat... jika kalian tak mau perkenalkan nama kalian, 

maka adikku tak akan sebutkan nama kami berdua!"

Kedua gadis itu saling pandang, lama-lama me-

reka sama-sama tersenyum kaku dan kecil sekali. Me-

reka sempat menilai Pendekar Kembar adalah dua pe-

muda bodoh yang sudah sebutkan namanya tapi me-

rasa ingin sembunyikan nama itu. Padahal Raka dan 

Soka sengaja mengawali perkenalkan nama lebih dulu 

dengan cara seperti tadi. Agaknya kedua gadis itu mu-

lai kehilangan rasa muaknya terhadap Pendekar Kem-

bar.

Bayang-bayang kedamaian mulai membias da-

lam pandangan mata kedua gadis itu. Kemudian yang 

kenakan kalung berbatu merah itu perdengarkan sua-

ranya tanpa nada ketus di dalamnya, namun masih 

berkesan penuh ketegasan.

"Kalian bisa memanggilku: Ayunda, dan dia... 

Adinda!"

"Pasti dia adik kembar mu!" ujar Soka sambil 

menunjuk yang berkalung hijau.

"Kalau kau pemuda cerdas, kau akan tahu 

bahwa aku adalah adiknya, karena namaku Adinda," 

jawab si kalung hijau.

Pedang mereka segera dimasukkan ke dalam 

sarung pedang masing-masing. Tindakan itu melam-

bangkan sebagai langkah perdamaian yang dilakukan 

oleh kedua gadis kembar: Ayunda dan Adinda. Sikap 

itu disambut dengan senyum ramah dan menawan da-

ri kedua pemuda tampan itu. Walau senyum Raka tak 

selebar senyuman Soka, tapi wajahnya memancarkan


ketenangan yang bersahabat, sehingga Ayunda sempat 

menggeragap karena pandangan matanya bertabrakan 

dengan tatapan mata Raka Pura.

"Tolong jelaskan tentang si Panji Doyok itu!" 

ujar Raka menutupi kecanggungannya sendiri.

"Bukankah tadi sudah ku jelaskan bahwa dia 

adalah pencuri yang sedang kami kejar?!" sahut Adin-

da.

"Ya, tapi kami belum tahu apa yang dicuri oleh 

Panji Doyok itu."

"Kitab pusaka milik keluarga kami," jawab 

Ayunda. Sang adik menambahkan penjelasan tersebut.

"Kitab itu bernama Kitab Jayasakti, berisi ten-

tang jurus-jurus sakti aliran silat keluarga kami."

Ayunda menambahkan pula, "Kitab Jayasakti 

tak boleh dimiliki dan dipelajari oleh orang lain yang 

bukan keturunan dari Eyang Buyut Gardamoyang."

"Bagaimana Jika sampai ada yang pelajari isi 

kitab itu?! Apa akibatnya?" tanya Soka Pura kepada 

Ayunda.

Gadis itu tidak menjawab, tapi tangan kanan-

nya segera menyentak ke depan dalam keadaan tela-

pak tangan terbuka tengadah. Ia bagai menghantam 

sesuatu yang ada di tanah depannya, walaupun tanah 

itu sebenarnya kosong tanpa batu dan pohon kecuali 

rumput.

Tapi dari tangan kanan Ayunda segera keluar 

sinar merah kecil yang melesat dan menghantam ta-

nah kosong itu. Sinar merah yang sebesar telur bu-

rung puyuh itu segera meletup tanpa bunyi keras.

Bluub...!

Kemudian tanah tersebut berasap. Asap warna 

abu-abu itu dengan cepat menggumpal menjadi ba-

nyak, makin lama semakin besar, besar, dan besar se-

kali. Akhirnya membentuk sesosok makhluk bertubuh


tinggi, besar, wajah menyeramkan. Makhluk itu ber-

mata lebar, berdaun telinga runcing. Mulutnya yang 

lebar dan besar itu mempunyai taring tajam dan pan-

jangnya melebihi dagu.

Pendekar Kembar sempat mundur beberapa 

langkah dengan tercengang-cengang. Wajah kepala se-

dikit mendongak karena makhluk gundul itu mempu-

nyai tinggi tubuh hampir mencapai puncak pohon. Ke-

dua kakinya panjang setinggi ukuran tubuh Raka dan 

Soka. Ia hanya mengenakan cawat hitam dengan kulit 

tubuh abu-abu dan seperti retak-retak. Tapi kedua 

tangannya mempunyai jari-jari besar dan berkuku 

runcing tajam.

"Jin...?!" gumam Raka Pura dengan wajah te-

gang. Makhluk itu pun menyeringai dengan keluarkan 

suara aneh yang membuat bulu kuduk merinding.

"Hheeeggrrr...!" sambil kedua tangannya te-

rangkat bagai siap menerkam lawan. Matanya yang le-

bar dan merah itu memandang Ayunda, seakan me-

nunggu perintah dari gadis itu.

Adinda sentakkan tangannya seperti yang dila-

kukan kakak kembarnya tadi. Tapi sang kakak mela-

rangnya dengan menarik lengan adiknya.

"Tak perlu. Cukup aku saja yang membuktikan 

kepada mereka," ujar Ayunda.

Gadis itu segera memandang Raka dan Soka, 

ternyata Pendekar Kembar sudah berada di dekat po-

hon besar, seolah-olah bersiap untuk berlindung di 

sana. Ayunda maju beberapa langkah untuk bicara 

kepada Raka.

"Hanya orang yang pelajari Kitab Jayasakti 

yang bisa kalahkan ilmu ini!"

"Ooo... ja... jadi untuk itulah kitab pusaka itu 

jangan sampai dipelajari oleh pihak lain?!"

"Benar! Hanya keturunan Eyang Buyut Garda


moyang saja yang diizinkan pelajari isi kitab itu!" sahut 

Adinda.

Ayunda menambahkan kata, "Adikku juga bisa 

keluarkan jin seperti Lawakopang itu. Tapi dia punya 

jln perempuan dan ganas. Kapan saja makhluk itu bi-

sa kami perintahkan untuk membunuh lawan, atau 

menghancurkan sebuah istana dalam waktu singkat."

"Gila!" gumam Soka bagai bicara pada diri sen-

diri.

"Mengapa tidak kau bunuh saja si Panji Doyok 

tadi dengan menyuruh jin Lawakopang-mu itu?" ujar 

Raka.

Ayunda gelengkan kepala. "Kitab itu tak boleh 

tersentuh oleh mayat atau orang mati. Jika sampai 

tersentuh orang mati, kitab itu akan musnah terbakar 

dan tidak bisa diwariskan kepada keturunan kami ke-

lak."

"Karena itulah kami hanya akan tangkap si 

Panji Doyok itu dan mendesaknya agar serahkan kem-

bali Kitab Jayasakti," timpal Adinda.

"Heeeggrrr...!"

Blam, blam...!

Bum! berguncang ketika kaki jin Lawakopang 

menghentak ke tanah dua kali. Seakan ia tak sabar 

menunggu tugas.

"Tidak, Lawakopang! Tidak ada pekerjaan apa 

pun untukmu. Kembalilah!"

Ayunda sentakkan tangan kanannya dengan te-

lapak tangan terbuka. Jin Lawakopang itu segera bera-

sap. Makin lama asapnya makin tebal dan telapak tan-

gan Ayunda bagaikan menyedot asap tersebut.

Zyuuurrrp...!

Jin dan asap lenyap, masuk ke dalam tangan 

Ayunda. Tapi tangan itu tetap mulus dan tak mening-

galkan bekas kepulan asap apa pun. Yang tertinggal


hanya aroma bau tengik, seperti aroma di dalam gu-

dang yang lembab.

Ayunda berbalik arah, kini menatap Raka kem-

bali.

"Kitab itu harus kami dapatkan sebelum maling 

yang kau sebut namanya sebagai Panji Doyok itu sem-

pat mempelajari isinya."

"Apakah kau tahu siapa Panji Doyok itu?!" 

tanya Raka kepada Ayunda.

Adinda yang menyahut, "Yang kami ketahui, 

dia adalah orang Tanah Keramat!"

"Tanah Keramat?! Hmmm... baru sekarang aku 

mendengar nama itu," ujar Soka seperti bicara pada 

kakaknya.

Adinda jelaskan lagi, "Tanah Keramat adalah 

sebuah perkampungan seperti desa layaknya. Tapi 

penduduknya, dari yang kecil sampai yang tua, dari 

yang perempuan maupun yang lelaki, semua pencuri, 

pencopet, penjambret, dan perampok!"

"Di sana juga banyak pelacur!" sahut Ayunda.

"O, ya...?!" Soka terperangah dalam senyum. 

Raka melirik dongkol.

"Girang amat kau!"

Adinda menyahut, "Mungkin penjelasan kakak 

ku yang terakhir itu adalah kabar gembira bagi adikmu 

itu!"

"Eh, hmm... adikku memang tukang membe-

rantas pelacur! Dia pernah membantai delapan pelacur 

dalam semalam."

"O, ya? Dengan apa dia membantainya?"

"Tentu saja dengan pedangnya!" jawab Raka.

"Pedang yang mana?!" sahut Adinda.

Raka sedikit menggeragap. ia memandang Soka 

dan Soka menjadi tertawa. Ia menertawakan kakaknya 

yang bingung menjawab pertanyaan seperti itu.


"Maksudku," sergah Adinda, "Pedang yang di 

pinggangnya atau pedang yang ada padamu, Raka?!"

"Oh, ya... tentu saja pedang miliknya sendiri!" 

jawab Raka dengan hembusan napas lega.

"Aku punya dua pedang pusaka!" sahut Soka 

dengan konyol. Raka Pura menyodokkan sikunya ke 

pinggang sang adik dengan wajah memendam rasa ri-

sih atas ucapan Soka itu.

"Maksudku... maksudku dua pedang pusaka 

itu sekarang menjadi milikku, satunya lagi menjadi mi-

lik Raka!" sambil telunjuk Soka menuding Pedang Tan-

gan Matahari yang terbuat dari kristal bening itu. Ke-

mudian ia cengar-cengir sendiri sambil buang muka.

"Bagaimana dengan Panji Doyok tadi?!" sahut 

Raka mengalihkan percakapan setelah Adinda menci-

bir begitu mendengar kata-kata Soka tadi.

"Apakah kalian yakin dia pencurinya?!"

"Tentu saja! Sebab dia yang keluar dari peka-

rangan rumah kami tadi malam, menjelang fajar," ja-

wab Ayunda.

"Tapi aku tak lihat dia membawa kitab atau 

benda apa pun!" kata Raka. Lalu ia bertanya kepada 

adiknya, "Kau melihat apa yang dibawa Panji Doyok 

tadi, Raka?"

Soka menggeleng. "Tak ada yang dibawanya!"

"Pasti disembunyikan di balik bajunya atau... 

ah, entahlah. Sebagai maling pasti dia lebih pandai da-

ripada kita!"

Adinda berujar lagi, "Jika seluruh penduduk 

Tanah Keramat pelajari isi kitab itu, dapat kau 

bayangkan apa jadinya dunia ini? Mereka pasti akan 

salah gunakan ilmu tersebut!"

"Iya juga, ya?!" gumam Raka lalu termenung 

memikirkannya.


3


SETELAH Raka jelaskan bahwa ia dan Soka se-

dang kebingungan mencari Daun Astagina yang dulu 

pernah tumbuh di petilasan Keraton Kencana Windu, 

maka si gadis kembar pun segera saling pandang den-

gan dahi berkerut. Mereka saling berbisik pelan sekali, 

membuat Raka dan Soka saling beradu pandang den-

gan wajah menyimpan keheranan.

Akhirnya Ayunda berujar kepada Pendekar 

Kembar.

"Baru saja aku dan adikku mengambil keputu-

san untuk membantu kalian, asal kalian membantu 

kami menemukan kembali Kitab Jayasakti itu."

"Sebelumnya aku berterima kasih atas kese-

diaanmu membantu kami," ujar Raka yang matanya 

tidak senakal Soka itu.

"Sesungguhnya ingin kukatakan padamu, Ra-

ka, bahwa Daun Astagina sudah tak ada dl petilasan 

Keraton Kencana Windu. Pohon itu telah ikut hancur 

bersama hancurnya negeri tersebut. Taman Astamarta 

telah terkubur ke dalam tanah bersama tanamannya 

akibat peperangan negeri itu melawan Laskar Laut Be-

rantai."

"Dari mana kau tahu?!"

"Kakekku adalah Juru taman di keraton itu 

yang lolos dari maut pada saat terjadi penyerbuan 

Laskar Laut Berantai," jawab Ayunda, tapi tampaknya 

Pendekar Kembar sangsi dengan penjelasan tersebut.

Adinda segera angkat bicara, "Untuk meyakin-

kan kalian, sebaiknya tetaplah pergi ke petilasan Kera-

ton Kencana Windu. Menurut Kakek, istana Keraton 

Kencana Windu menghadap ke utara. Di belakang ke-

raton itu ada taman yang dinamakan Taman Astamarta. Dan di taman itulah pohon Astagina tumbuh den-

gan subur. Jika kalian ingin mencarinya, carilah di re-

runtuhan bagian selatan!"

"Jadi kami sekarang harus menuju ke utara, 

begitu maksudmu?" tanya Raka.

"Benar. Dan kalian tetap akan melewati Tanah 

Keramat, desa para pencuri itu!" jawab Adinda.

Ayunda menambahkan kata, "Tapi aku yakin 

kalian tak akan dapatkan daun itu!"

Setelah diam sesaat, Raka Pura segera bertanya 

kepada Ayunda.

"Jika benar katamu, kami tidak akan menda-

patkan daun itu, lalu ke mana kami harus mencari 

Daun Astagina itu?!"

Ayunda melirik adiknya sebentar, lalu sebelum 

ia bicara sang adik lebih dulu perdengarkan suaranya 

yang bernada tegas.

"Di rumah kami, Kakek sempat menanam bibit 

pohon Astagina. Pohon itu sekarang masih tumbuh di 

samping rumah kami. Tapi hanya satu pohon saja."

"O, benarkah di tempatmu ada pohon Astagi-

na?!" Soka tampak sangsi namun berdebar-debar pe-

nuh harap juga.

"Kami akan berikan daunnya kepada kalian, ji-

ka kalian sudah mendapatkan kitab pusaka yang kami 

kejar itu, dan... tentu saja kalian ingin buktikan kata-

kata kami untuk pergi ke petilasan Keraton Kencana 

Windu, bukan? Pergilah dulu ke sana dan carilah daun 

itu. Jika tak ada, kalian boleh datang kepada kami 

dengan membawa Kitab Jayasakti untuk ditukar den-

gan tiga lembar Daun Astagina!"

Pendekar Kembar saling beradu pandang, sea-

kan sama-sama ragu dalam mengambil langkah. Se-

mentara Raka tampaknya mempertimbangkan keputu-

san itu dengan serius, Soka Pura sempatkan bertanya


kepada Ayunda.

"Mengapa kalian tak merasa takut jika kitab 

pusaka itu akhirnya akan kami pelajari sendiri setelah 

kami berhasil merampasnya dari tangan pencurinya?!"

"Karena kami yakin kalian memang Pendekar 

Kembar yang sedang ramai dibicarakan oleh para to-

koh di rimba persilatan! Sebagai sepasang pendekar, 

kami percaya kalian tak akan menjadi pengkhianat ba-

gi seorang sahabat!"

"Bagaimana kalau ternyata kami hanya menga-

ku-aku sebagai Pendekar Kembar?!"

Ayunda menyahut, "Itu tak mungkin! Karena 

baru saja kami ingat bahwa mereka membicarakan 

Pendekar Kembar yang berpedang kristal. Dan kulihat 

pedang kalian itu adalah pedang kristal. Jadi kami 

percaya bahwa kalian memang Pendekar Kembar yang 

sebenarnya."

Ayunda segera memberi isyarat kepada adiknya 

dengan kedipan mata. Sang adik anggukkan kepala ti-

pis. Kemudian mereka mundur bersama. Ayunda sege-

ra berkata mewakili adiknya.

"Selamat jalan! Kita jumpa lagi di Lembah Sa-

ga!"

Blaaas, blaas...!

"Hei, tunggu! Tung...!"

Tangan Soka segera dicekal kakaknya. Ia tak 

jadi mengejar kedua gadis yang segera melesat pergi 

tinggalkan mereka.

"Tak perlu dikejar!" ujar Raka.

"Tapi kita belum tahu di mana mereka tinggal! 

Jika kita benar-benar gagal dapatkan daun itu dari pe-

tilasan keraton tersebut, lalu bagaimana kita bisa 

sampai ke tempat tinggal mereka?!"

"Lembah Saga! Apakah kau tak dengar Ayunda 

sebutkan Lembah Saga?!"


"Apakah itu tempat tinggal mereka?!" Soka gan-

ti bertanya.

"Kalau belum digusur, kurasa memang di Lem-

bah Saga itulah rumah mereka berdua," jawab Raka 

dengan kalem. "Yang penting sekarang kita periksa du-

lu keadaan di petilasan keraton tersebut."

"Berarti kita harus melewati Tanah Keramat?!"

"Mungkin memang harus begitu. Tapi apakah 

menurutmu kita perlu ikut campur dapatkan Kitab 

Jayasakti?!"

Soka Pura angkat bahu sambil melangkah lan-

jutkan perjalanan.

"Jika kitab itu memang bisa ditukar dengan 

Daun Astagina, apa salahnya kalau kita dapatkan dulu 

kitab tersebut?!"

Sambil tetap melangkah Raka Pura pun berka-

ta, "Bagaimana jika kedua gadis kembar itu menipu ki-

ta? Kitab sudah kita dapatkan tapi mereka tidak bisa 

memberi kita daun tersebut?!"

"Ku rontokkan gigi mereka!"

"Kau tega merontokkannya?"

Pendekar Kembar bungsu nyengir kuda.

"Tentu saja mulut mereka harus diberi pelaja-

ran dengan kecupan ku dulu, baru giginya dirontok-

kan!"

"Otakmu tak jauh dari cumbuan!" gerutu Raka 

Pura.

"Sebab otakku dekat dengan mulut. Kalau otak 

ku dekat pantat, mungkin aku akan sering bicara ten-

tang jamban!"

"Jorok!" sentak Raka dalam gerutunya. Raka 

Pura hanya tertawa cekikikan.

"Hentikan tawamu!" sergah Raka dalam nada 

masih seperti orang menggerutu. Tapi Soka Pura ma-

sih cekikikan.


"Hentikan tawamu, kataku!" Raka melotot ke-

pada adiknya. Sang adik buang muka, menutup mulut 

dan berusaha hentikan tawanya. Karena Raka saat itu 

hentikan langkah, maka Soka pun hentikan langkah 

dan kini ia berada di belakang kakaknya bagai sedang 

sembunyikan tawa. Tapi sebenarnya ia sudah tidak 

cekikikan lagi. Hanya saja, Raka segera berpaling dan 

tampak berang kepada adiknya.

"Tuli kau! Kubilang hentikan tawamu!"

"Aku sudah tidak tertawa, Bego!" bentak Soka.

"Hmmm...?!" Raka berkerut dahi. "Kalau begitu 

siapa yang cekikikan itu?!"

"Maksudmu...?!" Soka terperanjat, ia segera 

menelengkan kepala untuk menangkap suara yang di 

maksud kakaknya.

Ternyata memang benar. Ada suara cekikikan 

samar-samar. Arahnya di sebelah kanan mereka; Sua-

ra cekikikan itu membuat Soka segera tersenyum, ka-

rena ia telah membayangkan sesuatu yang cukup 

menggelitik bagi hatinya.

"Raka, kau mau memeriksa semak-semak di 

bawah pohon sebelah sana?!" sambil Soka menunjuk 

tempat yang dimaksud.

"Mengapa aku harus memeriksanya?"

"Karena di sanalah sumber suara cekikikan 

yang kita dengar ini. Periksalah semak-semak itu lewat 

atas pohon dan jangan timbulkan suara apa pun. Aku 

akan menunggumu di sini!"

"Ah...!" Raka mendesah tak setuju, ia ingin te-

ruskan langkah.

Pundak Raka dicekal oleh adiknya. Sang kakak 

memandang dengan cemberut, sang adik justru nyen-

gir dengan maksud tertentu.

"Siapa tahu yang cekikikan di semak-semak 

sana adalah Panji Doyok! Periksalah dulu sana. Apa


kau tak berani memeriksa persembunyian seorang 

pencuri?!"

"Kau meremehkan keberanian ku?!" sambil Ra-

ka menuding dengan hati dongkol. Sang adik hanya 

angkat bahu sambil tetap nyengir. Raka pun segera 

bergegas memeriksa semak tersebut, karena ia tak 

mau dianggap pengecut oleh adiknya.

Wuuuut...! Dalam satu sentakan napas ia telah 

melayang naik dan hinggap di salah satu pohon. Ke-

mudian dengan menggunakan jurus peringan tubuh-

nya yang dinamakan jurus 'Badai Terbang', Raka me-

lesat dari pohon ke pohon tanpa timbulkan bunyi ge-

merusuk dan tanpa membuat daun-daun bergerak 

oleh sentuhan kakinya. Dalam sekejap ia sudah berada 

di pohon dekat semak-semak yang timbulkan suara 

cekikikan itu. Sedangkan Soka Pura hanya cengar-

cengir pandangi kakaknya sambil duduk di atas se-

bongkah akar yang menyerupai seonggok batu di ba-

wah pohon.

"Suara cekikikan itu jelas suara seorang pe-

rempuan," ujar Soka dalam hati. "Kurasa di sana ada 

perempuan yang sedang bercumbu. Raka pasti kaget 

begitu melihat perempuan sedang dicumbu. Mungkin 

malahan ia akan jatuh menimpa mereka yang sedang 

bercumbu. Hik, hik, hik, hik...! Biar tahu rasa dia! Jadi 

lelaki kok selalu takut sama cumbuan! Banci itu na-

manya!"

Pendekar Kembar sulung memang selalu hinda-

ri kemesraan. Ia tak pernah tampak tertarik kepada 

seorang gadis secantik apa pun. Bahkan memegang 

tangan seorang gadis, jika bukan karena harus meno-

long luka si gadis, tak pernah dilakukan oleh Raka.

Berbeda dengan Soka. Tak perlu tunggu gadis 

naksir dan mendekatinya ia sudah lebih dulu nyosor 

tanpa ragu-ragu. Perbedaan sifat itulah yang membuat



Soka kelihatan lebih konyol sedangkan Raka tampak 

lebih serius dan berkharisma. Perbedaan itu pula yang 

sering dimanfaatkan Soka untuk menggoda kakaknya 

dengan hal-hal yang bersifat seronok atau ngeres.

Soka menduga kakaknya tak akan betah men-

gintip orang bercumbu di semak-semak itu. Tapi nya-

tanya Soka harus menunggu beberapa saat lamanya. 

Seharusnya Raka sudah kembali sejak tadi dan me-

maki-maki dirinya. Tapi mengapa sampai kaki Soka 

semutan dipakai untuk duduk, Raka belum kembali 

dari tempat pengintaiannya?

Rasa penasaran membuat Soka akhirnya ber-

gegas menyusul sang kakak walau suara cekikikan itu

sudah tak terdengar. Ia jadi ingin tahu, apa yang 

membuat kakaknya betah mengintai orang bercumbu:

Suut, wees...! Soka Pura pun melesat melalui 

dahan demi dahan tanpa timbulkan suara. Sampai di 

pohon tempat kakaknya tadi tampak mengintai orang 

di balik semak-semak itu, Soka Pura hentikan lang-

kahnya dan memandang ke bawah.

Ternyata di balik semak itu ada seorang nenek 

berusia sekitar tujuh puluh tahun yang sedang mem-

buka kotak permata dan menghitung butiran intan 

permata yang ada di dalam kotak tersebut. Nenek itu 

didampingi oleh gadis jelita berwajah mungil yang ikut 

membantu sang nenek menghitung butiran intan per-

mata dan perhiasan lainnya yang sangat berharga.

Soka segera mendekati Raka yang ada di dahan 

lain. Gerakannya sangat pelan agar tak timbulkan sua-

ra dan merontokkan daun yang dapat membuat nenek 

dan gadis mungil itu memandang ke atas pohon.

"Ssst...!" Raka memberi isyarat dengan menem-

pelkan telunjuknya ke bibirnya sendiri. Kemudian ia 

mendekati telinga adiknya dan berbisik sangat pelan.

"Sepertinya mereka habis mencuri kotak per


mata milik orang kaya, entah dari mana!"

Soka ganti berbisik di telinga kakaknya.

"Apa yang mereka bicarakan sejak tadi?"

"Mereka menyebut-nyebut nama Panji Doyok! 

Agaknya perempuan tua itu adalah neneknya Panji 

Doyok."

"Dan si gadis cantik mungil itu siapa?" "Adik-

nya Panji Doyok!"

"Ah, apa benar?! Wajah mereka tak mirip. Wa-

jah Panji Doyok lebih hancur daripada wajah gadis 

itu."

"Tapi si nenek tadi bilang 'mudah-mudahan ka-

kakmu berhasil'. Berarti gadis itu adalah adiknya Panji

Doyok. Karena si gadis pun segera menjawab: "Kang 

Doyok tak pernah gagal dalam menjalankan tugas apa 

pun dari nenek'. Kurasa mereka memang keluarga 

pencuri!"

Soka manggut-manggut, lalu diam sesaat. Sete-

lah itu berbisik kembali kepada kakaknya.

"Tangkap saja, yuk?!"

"Kita tak punya urusan dengan mereka!"

"Tapi kitab itu?! Kitab Jayasakti itu pasti sudah 

berhasil dicuri Panji Doyok. Jika nenek dan adiknya 

kita tangkap, kita jadikan sandera, Panji Doyok pasti 

mau serahkan kitab tersebut kepada kita. Lalu kitab 

itu dapat kita tukar dengan Daun Astagina dari Ayun-

da."

"Ssst...! Lihat, ada beberapa orang berlari me-

nuju kemari!" sambil mata Raka memandang ke arah 

timur. Tampak empat orang bersenjata sedang menuju 

ke tempat sang nenek dan cucu gadisnya sedang 

menghitung permata.

Soka Pura segera mencolek lengan kakaknya.

"Raka, lihat di sebelah barat sana!"

"Ooh...?!" Raka memandang tempat yang ditunjuk Soka. "Tiga orang berkuda?! Hmmm... dilihat dari 

pakaian dan pedang mereka yang bagus, aku yakin 

mereka para prajurit dari sebuah istana. Dan, heiii... 

lihat di sebelah selatan itu!"

"Astaga! Delapan orang berkuda sedang menuju 

kemari?! Oh, dari mana mereka sebenarnya?!"

"Kurasa mereka mengejar nenek dan cucu ga-

disnya yang telah mencuri kotak permata itu!"

"Tapi dari mana mereka tahu kalau nenek dan 

gadis itu bersembunyi di balik semak bawah kita ini?!"

"Ya, memang aneh! Dari mana mereka tahu ba-

rang curian itu ada di sini, ya?!" gumam Raka pelan 

sekali.

"Haruskah kita bertindak?!"

"Mau bertindak apa kita?" Raka ganti bertanya, 

karena keduanya sama-sama bingung.

"Wajah orang-orang yang kemari itu tampaknya 

kejam-kejam, Raka!"

"Iya! Sepertinya tiap orang bernafsu untuk 

membunuh!"

"Kasihan gadis mungil itu," gumam Soka Pura 

sambil menatap ke bawah, memandang gadis berbibir 

mungil yang mengenakan pakaian serba kuning gad-

ing.

Sebelum suara orang-orang itu tertangkap te-

linga si gadis dan neneknya yang berjubah abu-abu 

itu, Soka Pura segera ajukan gagasannya kepada sang 

kakak.

"Kita selamatkan kedua orang ini, biar dia mau 

bantu kita untuk dapatkan kitab itu!"

"Bagaimana caranya?!"

"Totok mereka! Akan kutotok keduanya dengan 

jurus 'Totok Pikun'- ku. Lalu, kita bawa lari mereka ke 

selatan, tinggalkan kotak perhiasan tersebut. Biar di-

temukan oleh para pengejarnya. Tapi kedua orang ini


selamat dari amukan mereka!"

Setelah diam selama satu helaan napas, Raka 

pun anggukkan kepala.

"Kau bawa lari neneknya, aku yang bawa lari 

gadis mungil itu!" ujar Soka.

"Hei, aku ini kakakmu! Kau selalu mengakali 

ku terus!"

Belum sempat Raka lanjutkan bisik-bisiknya, 

Soka Pura sudah berkelebat turun lebih dulu. Dengan 

menggunakan jurus 'Jalur Badai', ia mampu bergerak 

cepat sekali dan tangannya menotok tengkuk sang ne-

nek, menyusul menotok tengkuk sang gadis.

Wuuut...! Tes, tes...!

Keduanya segera Jatuh lemas tanpa bisa berte-

riak. Soka, Pura segera memanggul si gadis mungil, 

sementara itu Raka meluncur turun bagai seekor bu-

rung camar yang gesit. Weess...! Wuuut...!

Sang nenek disambarnya, kemudian Pendekar 

Kembar segera sama-sama gunakan jurus 'Jalur Ba-

dai', berkelebat ke selatan. Masing-masing membawa 

beban di atas pundak mereka. Sedangkan kotak per-

hiasan dan isinya mereka tinggalkan begitu saja.

*

* *


4


RUPANYA para wajah angker baik yang berku-

da maupun yang jalan kaki adalah orang-orang sebuah 

kadipaten yang memang ditugaskan memburu pencuri 

kotak permata. Kotak permata itu milik permaisuri 

sang adipati yang dicuri oleh kedua orang itu dari 

'dalem kadipaten'. Sang adipati mengutus beberapa


orangnya, termasuk seorang 'pawang maling' yang 

mampu melacak ke mana larinya barang curian itu.

Orang berkuda yang mengenakan jubah putih 

dengan rambut dan jenggot telah memutih itulah si 

'pawang maling', yang melacak larinya pencuri serta 

barang curiannya dengan menggunakan ketajaman in-

dera keenamnya. Mereka menemukan kotak perhiasan 

di batik semak, tapi kedua pencurinya telah dibawa la-

ri oleh Pendekar Kembar. Mulanya Pendekar Kembar 

sempat hentikan langkah di kejauhan untuk melihat 

siapa mereka-mereka itu. Setelah mengetahui bahwa 

mereka memang orang-orang yang bertugas mengejar 

pencuri, maka kedua pemuda tampan itu bergegas te-

ruskan pelariannya untuk selamatkan si gadis mungil 

dan neneknya.

"Mau dibawa ke mana rongsokan ini?!" tanya 

Raka kepada adiknya sambil memanggul sang nenek 

kurus berambut abu-abu itu. "Kita cari sebuah gua!"

"Kalau begitu kita harus ke kaki bukit cadas 

itu!" sambil Raka menuding bukit cadas yang tak sebe-

rapa tinggi dan tampak dari tempat mereka berhenti 

sebentar itu.

Mereka segera bergegas ke sana dengan meng-

gunakan jurus 'Jalur Badai". Kecepatan gerak yang 

melebihi kecepatan badai yang paling cepat itu mem-

buat mereka segera tiba di bawah bukit cadas terse-

but. Ternyata di sana memang ada tempat yang layak 

untuk istirahat. Sebuah rongga yang menyerupai gua 

berpintu lebar terdapat di kaki bukit cadas itu. Rongga 

itu tidak terlalu dalam, tidak punya lorong lain, dan 

dapat dilihat dengan jelas dari jalanan depannya, ka-

rena tak ada tanaman selain rumput jenis lumut.

Rongga itu memang tidak dalam, sekitar dela-

pan langkah dari batas tanah berumput. Tapi pan-

jangnya lebih dari lima belas langkah. Langit-langitnya


agak rendah. Jika Raka berdiri dan tangannya diulur-

kan ke atas, maka ujung jari tengahnya dapat menyen-

tuh langit-langit rongga tersebut.

Sang nenek dan cucunya diletakkan di atas ta-

nah datar yang kering, letaknya sedikit berjauhan. 

Sementara Raka memeriksa keadaan sekeliling dengan 

pandangan matanya, Soka Pura pandangi si gadis can-

tik berambut pendek namun kenakan ikat kepala me-

rah.

"Kecantikannya sungguh menggemaskan!" gu-

mam hati Soka Pura sambil tersenyum sendiri. "Wajah 

ini seperti wajah boneka yang lucu dan menghadirkan 

rasa senang tersendiri di dalam hati siapa pun yang 

memandangnya. Hmmm... bibirnya benar-benar mem-

buatku ingin menggigitnya dengan lembut. Hidungnya 

kecil tapi bangir. Tubuhnya pun tak terlalu kurus, 

bahkan berkesan ramping namun padat. Kurasa dia 

masih berusia sekitar delapan belas tahun. Sayang se-

kali cantik-cantik begini tapi kerjanya mencuri."

"Hei, sudah! Jangan berkhayal jorok!" tegur Ra-

ka sambil mendorong kepala adiknya dari belakang. 

Sang adik nyengir sambil garuk-garuk kepala tanpa 

gatal.

"Bagaimana keadaan sekeliling tempat ini?"

"Aman! Entah kalau bagian atas bukit. Mung-

kin ada harimaunya atau...."

"Apakah menurutmu orang-orang itu akan 

mengejar kemari?"

"Kurasa mereka hanya menyelamatkan kotak 

perhiasan itu saja! Jika kotak perhiasan itu sudah me-

reka dapatkan, mereka tak mau sulit-sulit lagi untuk 

memburu pencurinya."

"Tadi sempat kudengar salah satu dari mereka 

ada yang menyebut nama 'Kanjeng Adipati Lumban', 

apakah itu nama pemilik kotak perhiasan tersebut?!"



"Mungkin saja. Tapi yang jelas sekarang aku 

ingin bertanya padamu; kalau sudah begini lantas kita 

mau apa?!"

"Tunggu mereka sadar, baru kita tanyakan ten-

tang Panji Doyok itu!"

"Seharusnya kau tadi jangan menotoknya terla-

lu keras. Tak perlu sampai dibuat pingsan begini, cu-

kup kau buat lemas seperti biasanya itu!"

"Tak sengaja. Habis sambil bergerak cepat, ja-

dinya ya terlalu keras begini."

"Apakah tidak sebaiknya...," kata-kata Raka 

terhenti seketika begitu mereka mendengar suara le-

dakan yang menggema tak terlalu keras itu.

Blaaang...!

"Ada yang bertarung di sekitar sini, Raka?!" 

sentak Soka Pura dengan tegang.

"Ya. Biarkan saja. Itu urusan mereka."

"Siapa tahu ada hubungannya dengan Panji 

Doyok?!"

"Jadi maksudmu kau suruh aku mengintip per-

tarungan itu?!"

"Aku tidak menyuruh, tapi kalau kau tidak ke-

beratan, aku menyarankan tengoklah siapa yang ber-

tarung itu!"

Raka Pura tidak menjawab tapi hanya bersun-

gut-sungut dengan gerutu tak jelas. Ia keluar dari lo-

rong dan memandang sekeliling dengan tanpa niat 

pergi menengok pertarungan. Soka Pura segera dekati 

kakaknya.

"Hei, kalau ternyata yang bertarung itu adalah 

Panji Doyok dengan orang yang mau merebut Kitab 

Jayasakti itu, bagaimana? Kalau ternyata Panji Doyok 

mati, lalu kitab dibawa lari lawannya itu, bagaimana? 

Kita kehilangan jejak dan tak tahu siapa orang yang te-

lah merampas kitab dari tangan Panji Doyok. Untuk


itu, kurasa memang perlu kau tengok sebentar. Jika 

bukan Panji Doyok, kembalilah kemari dan tak perlu 

ikut campur urusan mereka. Kau setuju?!"

Raka Pura renungi pendapat adiknya itu. Bebe-

rapa saat kemudian ia menarik napas dan berkata ke-

pada sang adik.

"Suara pertarungan itu tampaknya dari balik 

bukit cadas ini. Aku akan menengoknya dengan men-

daki bukit ini!"

"Itu bagus, Raka!"

Kemudian sang kakak pun pergi menengok per-

tarungan dengan mendaki bukit yang tak seberapa 

tinggi itu. Beberapa kali lompatan membuat Raka su-

dah tiba di atas bukit tersebut dan bergerak turun me-

lalui lereng seberangnya. Sementara itu, Soka Pura

cengar-cengir karena merasa geli atas keberhasilannya 

membujuk sang kakak agar mau pergi. Sementara 

sang kakak pergi, ia dapat menikmati kecantikan si 

gadis mungil itu dengan bebas, tanpa teguran dan 

gangguan dari sang kakak.

Raka Pura tidak sadar kalau dirinya telah dua 

kali 'dikerjain' oleh adiknya. Ia menganggap saran 

adiknya itu tak punya maksud apa-apa di balik buju-

kan tersebut. Raka Pura hanya memikirkan, siapa 

yang bertarung dan di mana letak pertarungan mere-

ka.

Ternyata letak pertarungan tidak sulit ditemu-

kan. Begitu menuruni lereng bukit cadas itu, Raka me-

lihat ada dua orang bertarung di tanah datar, di kaki 

bukit cadas itu. Tanah datar yang mempunyai pepoho-

nan berjarak renggang itu memang sangat ideal untuk 

sebuah pertarungan. Tapi Raka yakin, mereka yang 

bertarung tidak sengaja mencari tempat selayak itu.

Raka pun segera menyelinap di balik pohon tak 

begitu besar. Kehadirannya sebagai pengintai perta


rungan tak ingin dilihat oleh siapa pun. Dari balik po-

hon itu ia dapat memandang dengan bebas ke arah 

dua orang yang saling beradu kekuatan tenaga dalam 

dengan masing-masing mendorong menggunakan ke-

dua tangan dari jarak lima langkah.

"Siapa mereka itu?!" gumam hati Raka dengan 

mempertajam penglihatannya. Untuk lebih jelas lagi, 

Raka berkelebat pindah tempat. Wuuz...! Dalam seke-

jap ia sudah berada di balik pohon lebih dekat lagi.

"Ooo..., rupanya lelaki brewok itu adalah si Iblis 

Bangor?!" gumam hati Raka, karena ia mulai ingat ten-

tang seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun 

bertubuh besar, brewokan, alisnya tebal dan lebar. 

Sangar. Orang berpakaian serba hitam itu bersenjata 

golok lebar. Tapi agaknya kala itu ia belum mau meng-

gunakan goloknya.

Iblis Bangor pernah terlibat urusan dengan So-

ka, bahkan Raka pernah melihat Iblis Bangor tertawa 

terus karena terkena totokan si Biang Tawa. Jika tak 

disembuhkan oleh Biang Tawa, maka lelaki besar itu 

akan tertawa terus sampai akhirnya mati. Untung pa-

da waktu itu Biang Tawa segera melepaskan totokan-

nya, sehingga lelaki itu tak sempat mati, namun sem-

pat jera berhadapan dengan Biang Tawa, (Baca serial 

Pendekar Kembar dalam episode: "Gua Mulut Naga" 

dan "Gairah Sang Pembantai").

"Tetapi siapa perempuan yang menjadi lawan 

Iblis Bangor itu?!" pikir Raka Pura. Ia merasa asing 

dengan perempuan berusia sekitar dua puluh enam 

tahun itu yang mempunyai rambut kuning pirang di-

gulung sebagian, sisanya meriap ke bawah.

Perempuan itu mempunyai kecantikan yang 

matang dengan jubah lengan panjang warna jingga 

dengan pakaian dalamnya warna abu-abu. Si cantik 

bertubuh tinggi dan sekal itu tampaknya merasa tak


gentar sedikit pun berhadapan dengan Iblis Bangor 

yang lebih besar darinya. Di pinggangnya juga terselip 

senjata berupa cambuk, tapi agaknya ia belum mau 

gunakan senjata tersebut. Mungkin mereka masih in-

gin mengandalkan kekuatan tenaga dalam untuk tum-

bangkan lawan yang masing-masing saling mengang-

gap remeh itu.

Ketika mereka beradu kekuatan tenaga dalam 

dengan menggunakan kedua tangan seperti saling do-

rong dari jarak jauh itu, Raka Pura melihat si gadis 

mulai terdesak. Kedua kakinya yang merendah mulai 

bergeser ke belakang dengan tubuh bergetar.

"Hheeaaahh...!"

Iblis Bangor segera kerahkan tenaga dan kedua 

tangannya akhirnya menyentak lurus. Pada saat itu 

pula tubuh perempuan bermata coklat itu terpental ke 

belakang dan jatuh berguling-guling. Menyedihkan se-

kali.

"Sampurgina! Kalau kau tak mau menyerah-

kannya, maka sekarang juga aku akan bertindak seba-

gai El Maut untuk mencabut nyawamu!"

"Sampurgina...?!" gumam Raka Pura. "Seper-

tinya aku pernah mendengar nama itu. Tapi di mana 

dan siapa sebenarnya perempuan bernama Sampurgi-

na itu?!"

Raka Pura urungkan niatnya untuk pergi. Ia 

berbalik memandang ke arah pertarungan lagi. Tepat 

ketika ia memandang ke arah pertarungan, tubuh Iblis 

Bangor sedang menerjang Sampurgina yang baru saja 

mau bangkit. Wuuuut...! Brruusk...!

Sreeet...! Iblis Bangor mencabut golok besarnya 

sebelum Sampurgina sempat mencabut cambuknya.

"Wah, matilah perempuan itu! Pasti mati dibe-

lah golok si Iblis Bangor!" ujar Raka dalam hatinya ke-

tika ia memperhatikan ke arah pertarungan lagi. "Kasihan. Agaknya Iblis Bangor tak beri kesempatan ke-

pada lawannya untuk mencabut senjata! Tak tega juga 

hatiku melihat perempuan itu di ambang ajal begitu."

Terdengar suara besar Iblis Bangor yang berna-

da kasar itu mengawali ayunan golok lebarnya ke tu-

buh Sampurgina.

"Rupanya kau memang lebih baik memilih mati, 

Sampurgina! Terimalah ajalmu ini! Heeaat...!"

Deess...!

"Aaaakh...!" Iblis Bangor tersentak, tubuhnya 

yang sedang melompat hendak tebaskan goloknya itu 

melayang ke samping dan jatuh berdebam seperti 

nangka busuk. Buuukh...

"Aaaakh...! Bangsaaaat..!"

Teriaknya dengan wajah menyeringai kesakitan. 

Rupanya pada saat itu Pendekar Kembar sulung telah 

menggunakan jurus 'Tangan Batu' untuk menahan 

niat Iblis Bangor membunuh Sampurgina. Dengan sen-

takkan dua tangan ke depan dalam keadaan meng-

genggam, maka tenaga dalam Raka melesat dan meng-

hantam sekitar lambung si Iblis Bangor. Tenaga dalam 

besar itu yang membuat tubuh Iblis Bangor mampu 

terlempar ke samping.

Wuuut...! Raka Pura segera tampakkan diri pa-

da saat Sampurgina telah berdiri dan mencabut cam-

buknya. Ketika perempuan itu melihat lawannya jatuh, 

ia segera akan melecutkan cambuknya yang berujung 

logam runcing itu.

"Tahan!" sergah Raka Pura sambil mengangkat 

tangannya. Perempuan itu menatapnya dengan wajah 

masih tampak menyimpan murka. Gerakannya terhen-

ti karena merasa heran melihat kemunculan pemuda 

tampan yang bertubuh tegap dan kekar, serta berani 

mencampuri pertarungan itu.

Sampurgina segera berkerut dahi, lalu gerakan


tangan yang ingin melecutkan cambuk itu diturunkan. 

Ia menggumam di sela nafasnya yang terengah-engah.

"Rupanya kau ada di sini, Pendekar Kembar?!"

Kini ganti Raka yang merasa heran terhadap 

teguran Sampurgina.

"Sejak kapan dia mengenalku?" tanyanya dalam 

hati. Namun hal itu ia tangguhkan dulu, karena Iblis 

Bangor segera bangkit dan menggeram dengan ma-

tanya yang lebar itu memandang ke arah Raka penuh 

kemarahan terpendam.

"Raka Pura...! Bangsat juga kau, hah?! Menga-

pa kau menyerangku?!"

"Aku hanya ingin hentikan niatmu membunuh

lawan yang tak berdaya, Iblis Bangor!"

"Aku masih berdaya!" sentak Sampurgina seba-

gai protes terhadap kata-kata Raka Pura. Tapi protes 

itu tak dihiraukan oleh Raka, karena ia segera dekati 

Iblis Bangor.

"Kurangilah keganasanmu sedikit, Iblis Ban-

gor!"

"Hhrrrmmm...!" Iblis Bangor menggeram dengan 

gemas sekali. Ia segera teringat tentang si Biang Tawa.

"Celaka! Jangan-jangan anak ini datang bersa-

ma adiknya dan si Biang Tawa juga. Wah, kacau kalau 

begini! Bisa-bisa aku mati tertawa sampai nungging-

nungging, seperti waktu itu?!" pikir Iblis Bangor. Nya-

linya mulai turun karena ingatan masa lalunya.

"Sebaiknya aku harus segera pergi dan me-

nangguhkan urusan dengan Sampurgina ini! Akan ku-

serang dari belakang si Sampurgina, terutama jika su-

dah tidak bersama si Pendekar Kembar dan Biang Ta-

wa keparat itu!"

Menurut Raka dan Sampurgina, si Iblis Bangor 

diam mematung terlalu lama karena celoteh dalam ha-

tinya tadi. Raka sendiri tampak memberi kesempatan


kepada Iblis Bangor untuk bicara dengannya. Tapi 

Sampurgina memanfaatkan kesempatan itu untuk me-

lecutkan cambuknya ke tubuh Iblis Bangor.

Namun baru saja ia mengangkat tangannya un-

tuk ayunkan cambuk panjang itu, Raka Pura segera 

memandang dengan sentakkan wajah berpaling cepat 

dan tegas. Seet...! Matanya memandang Sampurgina 

dengan tajam. Rupanya pandangan tajam itu membuat 

hati Sampurgina menjadi gundah, akhirnya nyali pun 

mulai turun, karena ia tahu persis siapa pemuda itu. 

Tangan pun tak jadi mengayunkan cambuk. Tapi na-

pas terbuang lepas, menandakan kejengkelan hatinya 

atas larangan tak langsung itu.

"Sampurgina!" geram Iblis Bangor. "Hati-hatilah 

kau! Aku akan selalu mengincar mu dan menunggu 

kelengahan mu!"

Setelah berkata begitu, Iblis Bangor langsung 

melesat pergi dan membuat Sampurgina dan Raka Pu-

ra menyimpan perasaan heran dalam hatinya. Teruta-

ma si perempuan berhidung mancung itu, tak me-

nyangka sama sekali kalau Iblis Bangor akan pergi be-

gitu saja tanpa mencoba melawan Raka Pura.

"Barangkali sebelum ini ia pernah bertemu Ra-

ka dan dibuat babak belur, sehingga ia merasa jera ji-

ka harus berhadapan dengan Pendekar Kembar ini!"

pikir Sampurgina yang masih pandangi kepergian Iblis 

Bangor sampai orang besar itu lenyap dari pandangan 

mata.

"Sampurgina," terdengar Raka Pura menegur-

nya dengan nada tenang namun berkharisma. "Dari 

mana kau mengenaliku sebagai Pendekar Kembar?!"

Sampurgina palingkan wajah, pandangi raut 

tampan yang berada dalam jarak tiga langkah darinya 

itu.

"Mungkin kau memang belum mengenalku, tapi


aku pernah melihatmu bertarung dengan bekas ratu 

ku."

"Siapa ratu yang kau maksud itu?" "Ratu Cum-

bu Laras!"

"Oh...?" Raka Pura seperti tersengat puntung 

rokok. Kaget dan mulai menatap dengan lebih tajam 

dari sebelumnya. Bayangan dendam masa lalu yang 

sebenarnya sudah padam itu sedikit mengepul hangat 

kembali dalam jiwanya.

Terbayang saat pertarungannya dengan Ratu 

Cumbu Laras yang membantai seluruh keluarga Pen-

dekar Kembar ketika mereka baru saja lahir itu. Ter-

bayang pula saat sang Ratu berhadapan dengan seseo-

rang yang ternyata adalah ayah kandung Pendekar 

Kembar itu, (Baca serial Pendekar Kembar dalam epi-

sode: "Setan Cabul").

Napas yang ditarik panjang-panjang merupa-

kan cara meredakan dendam bagi si Pendekar Kembar 

sulung itu. Ia merasa tak perlu mengingat-ingat den-

dam yang sudah terlampiaskan itu. Kini yang penting 

baginya adalah segera tinggalkan si perempuan cantik 

itu, karena ia harus segera temui adiknya yang sedang 

menjaga pasangan pencuri nenek dan cucu itu.

"Jadi kau bekas anak buahnya Ratu Cumbu 

Laras?!"

"Ya. Tapi sebelum sang Ratu berhasil kau tum-

bangkan bersama adikmu itu, aku sudah pergi darinya 

dan bukan lagi anak buah perempuan itu."

"Ooo...," Raka menggumam datar dan manggut-

manggut kecil. Matanya memandangi wajah Sampur-

gina sebentar, kemudian segera beralih ke arah lain, 

walau ia tahu Sampurgina menatapnya tanpa berkedip 

dan tanpa cahaya permusuhan. Cambuknya sudah di-

gulung dan diselipkan pada ikat pinggangnya sebelah 

kanan. Sewaktu-waktu mudah di cabut dan disentak


kan dalam satu lecutan maut.

"Mengapa kau mencampuri pertarungan ku 

dengan Iblis Bangor tadi, Pendekar Kembar?!"

"Hanya sekadar tak tega melihat kau mati dibe-

lah pakai golok besarnya itu. Ah, sudahlah. Lupakan 

kelancanganku ikut campur dalam pertarungan kalian 

tadi!"

Raka Pura bergegas pergi, meninggalkan Sam-

purgina begitu saja. Si perempuan merasa masih ingin 

bicara dengan pemuda tampan itu. Ia segera melompat 

dalam gerakan bersalto melintasi kepala Raka Pura. 

Wuuk...! Jleeg...! Kedua kakinya segera mendarat di 

depan langkah Raka, membuat langkah

Pendekar Kembar sulung itu terhenti seketika.

"Maaf, aku sengaja menahan kepergianmu ka-

rena ada sesuatu yang ingin kutanyakan...."

"Tentang apa?!" dahi Raka berkerut sedikit. Si-

kapnya terasa dingin bagi Sampurgina, karena me-

mang begitulah Raka bersikap di depan perempuan 

cantik yang selalu menatapnya dengan maksud lain.

Sampurgina sunggingkan senyum menawan. 

Raka menghembuskan napas menahan rasa kesal di 

hatinya. Matanya memandang ke arah lain sambil ber-

kata bagai bicara pada diri sendiri.

"Cepat katakan jika ada yang ingin kau kata-

kan. Tanyakan jika ada yang ingin kau tanyakan. Wak-

tuku sangat sedikit dan harus lakukan pekerjaan lain."

"Mengapa kau berada di sini, Raka?" "Apa per-

lunya kau mengetahui tujuanku?"

"Barangkali aku bisa membantumu jika kau 

ada kesulitan di sini. Aku sangat kenai daerah ini, ka-

rena aku sering berkeliaran di sini. Tempat ini tak jauh 

dari tempat tinggalku. Kau bisa mampir jika kau mau."

"Terima kasih. Aku tak punya kesulitan apa-

apa. Pikirkanlah kesulitanmu sendiri, karena kudengar


Iblis Bangor akan selalu mengincar kelengahan mu!"

"Itu persoalan kecil"

"Persoalan kecil?! Dia sampai tega ingin mem-

bunuhmu, masih kau anggap persoalan kecil?!"

"Maksudku... hmmm... maksudku itu bisa ku 

atasi walau kau tadi tak muncul. Jangan remehkan 

kemampuanku, Raka!"

"Aku hanya mengingatkan agar kau waspada 

karena Iblis Bangor mengancam kelengahan mu!"

"Baik. Terima kasih atas saran dan peringatan 

mu itu."

"Kalau boleh ku tahu, mengapa ia sampai ingin 

membunuhmu?"

Agaknya pertanyaan ini merupakan hal yang 

diharapkan oleh Sampurgina. Harapan tersebut sebe-

narnya adalah rasa ingin bicara lebih lama lagi dengan 

Raka. Sebab hati Sampurgina mulai tertarik dengan 

ketampanan serta kegagahan si Pendekar Kembar su-

lung itu. Ia ingin lakukan pendekatan agar dapat lebih 

dekat lagi dengan pemuda yang tadi sempat mendesir-

kan hatinya itu.

"Persoalannya cuma sepele," ujar Sampurgina. 

"Aku dituduh mencuri sebuah kitab pusaka, padahal 

dia sendiri yang mencurinya!"

"Kitab pusaka?!" Raka Pura mulai tertarik den-

gan mempertegang wajahnya. "Kitab pusaka apa mak-

sudmu?"

"Kitab Jayasakti, milik keluarga Gardamoyang!"

"Ooh...?!" Raka semakin terkejut, seperti disen-

gat kalajengking lubang hidungnya.

"Kau tahu tentang kitab itu rupanya," pancing 

Sampurgina sambil memandang dengan lembut, dan 

senyum pun hadir dalam kelembutan.

"Hmmm... yah, sedikit tahu," jawab Raka tak 

mau blak-blakan. "Aku hanya pernah mendengar na


ma kitab itu, entah kapan dan entah di mana."

"Iblis Bangor telah mencuri kitab itu, sementara 

ia menuduhku sebagai pencurinya. Itu hanya alasan 

untuk membunuhku, karena dulu aku pernah melukai 

mendiang istrinya!"

Raka Pura diam termenung sebentar. Hatinya 

berkata, "Iblis Bangor menuduh Sampurgina mencuri 

kitab itu? Sementara itu Sampurgina sendiri berang-

gapan kitab itu dicuri oleh Iblis Bangor? Oh, mereka 

tidak tahu bahwa pencurinya adalah si Panji Doyok?! 

Haruskah kukatakan pada perempuan ini siapa pen-

curi kitab itu sebenarnya?!"

Sampurgina punya kesempatan banyak untuk 

pandangi si pemuda yang mengagumkan hati itu. Di-

amnya Raka adalah kesempatan emas bagi Sampurgi-

na untuk menikmati ketampanan dan kegagahan Pen-

dekar Kembar sulung itu. Ia sedikit menggeragap keti-

ka Raka Pura mengangkat wajahnya yang tadi meng-

hadap ke samping, kini menatapnya kembali.

"Apakah kau kenal dengan pemuda bernama 

Panji Doyok?!" tanya Raka Pura sebagai pancingan.

Sampurgina tersenyum, setengah geli.

"Tentu saja aku kenal dengan bocah tolol itu! 

Karena aku kenal dengan neneknya yang bernama: 

Nyai Gantari alias si Tupai Siluman."

Hati Raka pun berkata, "Kalau begitu nenek 

berjubah hitam itu adalah si Tupai Siluman?!"

"Aku cukup kenal dengan keluarga Panji 

Doyok, karena... karena mendiang kakak Panji Doyok 

adalah bekas suamiku!"

"Ooo...," Raka Pura manggut-manggut, bagai 

menemukan kelegaan.

"Apakah kau senang si Bunga Dewi?" pancing 

Sampurgina dalam senyum yang menggoda.

"Bunga Dewi itu siapa?!"


"Srigita, adiknya Panji Doyok yang cantik jelita, 

mungil imut-imut menggemaskan itu."

Raka Pura kerutkan dahi dan membatin, "O, 

jadi gadis itu bernama Srigita alias si Bunga Dewi?!"

Tapi kesan yang timbul dari wajah Raka Pura 

adalah kesan orang yang sedang kebingungan dan me-

rasa asing dengan nama tersebut. Akhirnya Sampurgi-

na lebih mendekat lagi dan berkata dengan suara pe-

lan.

"Kalau kau ingin sekali menemui Panji Doyok, 

sekarang ikut ke rumahku! Panji Doyok pasti datang

ke rumah untuk menemuiku. Aku ada janji padanya 

untuk mengajarkan beberapa jurus simpanan ku ke-

padanya di sore ini."

"Bagaimana jika kuminta bantuanmu mengan-

tarku sampai ke rumah Panji Doyok sendiri?"

"Percuma. Kau tak akan bertemu dengannya. 

Panji Doyok pasti sudah menunggu di rumahku."

Raka Pura sempat bimbang sesaat.

"Kita berangkat sekarang, Raka! Nanti jika dia 

menungguku terlalu lama, dia akan pergi dan pasti 

ngeluyur ke tempat yang sulit dipastikan. Yang jelas 

tak akan pulang ke rumah, sebab ia sedang takut me-

nerima hukuman dari neneknya. Panji Doyok lakukan 

kesalahan dan akan dihukum oleh Nyai Gantari! Seka-

ranglah saatnya untuk bertemu dengannya jika kau 

benar-benar membutuhkan bantuannya, Raka!" bujuk 

Sampurgina membuat Pendekar Kembar sulung sema-

kin bimbang.

"Kalau kau tak mau, aku akan segera pergi dan 

kita berpisah sampai di sini, Raka!"

Kata-kata itu seperti ancaman yang makin 

menjengkelkan bagi Raka Pura.

"Haruskah aku langsung menemui Panji Doyok 

dan meminta kitab itu dl kembalikan?! Atau aku harus


menemui Soka dulu dan membawa Soka untuk... oh, 

tapi bagaimana dengan nenek dan adik si Panji Doyok 

itu? Aduh, bagaimana ini? Yang jelas aku tak mau 

Sampurgina mengetahui bahwa Kitab Jayasakti sudah 

ada di tangan Panji Doyok! Bisa-bisa akan dirampas 

sendiri oleh Sampurgina dan dipelajarinya. Sebab...."

Kecamuk hati Raka terhenti, karena tiba-tiba ia 

segera sadar dan terkejut melihat Sampurgina sudah 

melangkah agak jauh darinya.

"Raka...! Cepatlah kalau mau ikut ke rumah-

ku!" seru Sampurgina membuat Raka terbengong di 

tempat.

*

* *

5


JURUS totokan yang membuat pikun orang itu 

ternyata justru membuat Soka dalam kesulitan yang 

menjengkelkan. Nyai Gantari dan si Bunga Dewi telah 

siuman dari pingsan mereka. Tapi mereka menjadi pi-

kun dan tidak ingat apa-apa.

Ketika mereka siuman, Soka Pura menjadi pu-

sat pandangan mata mereka. Jika mereka tidak men-

genal Soka dan merasa heran melihat Soka ada di de-

pan mereka, itu adalah hal yang wajar. Tapi jika mere-

ka tak tahu tentang Panji Doyok itu adalah hal yang 

menjengkelkan.

"Jadi kau tidak kenal dengan Panji Doyok, 

Nek?" "Panji Doyok itu makanan apa, Nak?" tanya Nyai 

Gantari, si Tupai Siluman. Soka ingin tertawa, tapi ju-

ga ingin marah karena kepikunan si nenek itu.

"Kau juga tidak mengenal Panji Doyok?!" tanya


Soka kepada Bunga Dewi.

Gadis itu menggeleng. "Namaku bukan Panji 

Doyok," katanya.

"Aku memang tidak mengatakan namamu Panji 

Doyok! Aku menanyakan, apakah kau kenal dengan 

orang yang bernama Panji Doyok?!"

"Orang mana itu, Kang?" tanya Bunga Dewi 

dengan wajah polos, seperti gadis tolol. Soka Pura am-

bil napas panjang untuk menahan rasa kesal di ha-

tinya.

"Siapa namamu sebenarnya?" tanya Soka ke-

pada Bunga Dewi.

"Namaku..?! Namakuuu...," Bunga Dewi berpi-

kir, mencoba mengingat-ingat dengan susah payah se-

kali.

"Enaknya namaku siapa, ya Kang?"

"Uuh...!" Soka mendengus jengkel. Ia kembali 

kepada sang nenek yang duduk melamun sambil me-

mijit-mijit kakinya.

"Nek, apakah kau tak ingat siapa namamu dan 

siapa nama cucumu yang cantik itu?"

"Cucu...?" si nenek berkerut dahi. Ia segera 

memandang Bunga Dewi. "Apakah dia cucuku?!"

"Ya. Dia memang cucumu!"

"Sejak kapan aku beranak dan anakku punya 

keturunan?!" gumamnya seperti bicara pada diri sendi-

ri.

Soka Pura semakin jengkel karena Raka belum 

kembali. Padahal ia ingin bertimbang rasa dengan ka-

kaknya dalam menghadapi kepikunan kedua orang itu. 

Jurus 'Totok Pikun' itu benar-benar menghapus inga-

tan kedua orang tersebut tentang pribadinya maupun 

kehidupan masa lalu mereka. Bahkan mereka juga 

menyangkal ketika Soka menjelaskan bahwa mereka

telah mencuri kotak perhiasan milik seseorang yang


diduga adalah seorang adipati atau seorang raja. Sang 

nenek justru bertanya, "Kotak perhiasan itu isinya 

apa?"

"Isinya ya perhiasan?! Masa' isinya getuk?!" 

sentak Soka dengan jengkel.

"Brengsek si Raka ini! Ke mana saja dia?! Ke-

napa tidak segera pulang?! Jangan-jangan dia meli-

batkan diri dalam pertarungan itu?!"

Sebenarnya bukan hal yang sulit bagi Soka un-

tuk memulihkan kesehatan kedua orang itu. Sangat 

mudah bagi Pendekar Kembar bungsu itu untuk men-

gembalikan ingatan kedua orang tersebut. Karena ju-

rus penyembuhannya yang bernama 'Sambung Nyawa' 

bisa dipakai untuk menyegarkan seluruh urat saraf 

sampai ke otak seseorang. Kepikunan yang timbul ka-

rena lambatnya jalan darah menuju saraf ingatan da-

pat menjadi lancar kembali setelah keduanya meneri-

ma penyembuhan 'Sambung Nyawa'.

Tetapi Soka pun ingat, jika mereka dalam kea-

daan sehat dan ingatannya normal, maka mereka akan 

membahayakan jiwa Soka. Tentunya sang nenek akan 

menjadi murka jika mengetahui dirinya di bawa ke 

tempat itu dalam keadaan kotak perhiasan hasil cu-

rian mereka tidak dibawa. Sang nenek maupun si ga-

dis cantik itu tidak akan mau tunjukkan di mana Panji 

Doyok berada. Bisa-bisa mereka berdua menyerang 

Soka karena dianggap musuh yang membahayakan. 

Terlebih jika Soka mulai bicara tentang Kitab Jayasakti 

yang dicuri Panji Doyok, pasti si nenek akan melin-

dungi Panji Doyok dengan pertaruhkan nyawanya.

"Kurang ajar si Raka! Sudah hampir petang 

masih belum kembali! Aku tak tahu apa yang harus 

kulakukan jika begini. Ku tinggalkan saja mereka ber-

dua di sini? Oh, jangan! Kasihan sekali. Mereka pasti 

akan terpisah dan tak tahu jalan pulang."


Soka berpikir cukup lama, sementara matahari 

semakin tenggelam di langit barat. Sisa cahayanya ma-

sih sempat meremang di permukaan bumi, namun se-

bentar lagi akan lenyap dan berganti petang.

"Aduh, bodohnya aku ini!" sambil Soka mene-

pak kepalanya sendiri. Rupanya ia mendapat gagasan 

baru yang dapat dijadikan jalan keluar dari kesulitan-

nya saat itu.

"Sebaiknya mereka berdua ku sembuhkan den-

gan jurus Sambung Nyawa'. Begitu ingatan mereka pu-

lih kembali, kepikunan mereka telah hilang, kukata-

kan saja pada mereka bahwa aku menemukan mereka 

dalam keadaan terkapar karena serangan orang-orang 

berkuda. Orang-orang itu pergi dengan membawa ko-

tak permata curian mereka itu."

Soka Pura tersenyum sendiri. "Setidaknya den-

gan cara begitu, mereka akan merasa berhutang jasa 

padaku dan tidak menyerangku. Aku akan mengaku 

sebagai sahabat barunya Panji Doyok dan menyela-

matkan Panji Doyok dari kejaran Ayunda dan Adinda. 

Brengsek! Mengapa tidak dari tadi gagasan itu muncul 

dalam pikiranku. Uuh... dasar tolol aku ini!"

Soka Pura segera lakukan rencana tersebut 

Sang nenek dibujuk agar duduk bersila bersebelahan 

dengan si gadis. Kemudian, kedua tangan Soka ditem-

pelkan di tengkuk mereka, karena pengobatan mema-

kai jurus 'Sambung Nyawa' tak boleh terhalang selem-

bar benang pun. Dan untuk mempercepat datangnya 

daya ingat, pengobatan harus dilakukan melalui teng-

kuk, karena dekat dengan otak.

Beberapa kejap setelah kedua tangan Soka me-

nempel di tengkuk mereka, tangan itu mulai meman-

carkan cahaya ungu. Cahaya ungu tersebut bagai me-

resap dalam tubuh kedua orang tersebut. Kejap beri-

kutnya, seluruh tubuh kedua orang itu memancarkan


cahaya ungu bening, sementara Soka telah mele-

paskan tangannya dari tengkuk mereka. Tangan Soka 

sendiri sudah tidak menyala ungu lagi. Tubuh nenek 

dan cucunya itu pun nantinya akan tidak menyala un-

gu lagi, dan itu pertanda kesehatan serta daya ingat 

mereka telah pulih seperti sedia kala.

Soka menunggu di luar gua dengan gelisah. Se-

sekali matanya memandang ke lereng puncak bukit 

cadas itu, mengharap kemunculan sang kakak. Tapi 

yang diharapkan ternyata tidak muncul-muncul juga, 

padahal alam mulai meremang mendekati petang. So-

ka gelisah sekali memikirkan kakaknya.

Soka Pura tak tahu bahwa Raka akhirnya me-

mutuskan untuk ikut ke rumah Sampurgina. Keputu-

san itu diambil mengingat Kitab Jayasakti yang ada di 

tangan Panji Doyok harus lebih dulu dapat diambil 

olehnya sebelum diketahui oleh Sampurgina atau pi-

hak lain. Bila perlu, Raka akan membujuk Panji Doyok 

untuk pergi bersama di suatu tempat sepi tanpa Sam-

purgina. Di tempat sepi itu ia dapat mendesak Panji 

Doyok, bila perlu mengancamnya agar pemuda kurus 

itu serahkan Kitab Jayasakti.

Sampurgina tak tahu rencana yang tersusun 

dalam benak Raka Pura. Ia hanya merasakan debaran 

indah selama berjalan dengan Raka. Debaran indah itu 

menggelitik hasratnya karena benaknya menyusun 

rencana sendiri, yaitu rencana menikmati kehangatan 

si pemuda tampan tersebut.

"Tapi agaknya dia pemuda yang dingin terha-

dap perempuan," ujar Sampurgina membatin. "Sejak 

tadi tak kulihat kenakalan matanya atau tangannya. 

Jangan-jangan ia menolak ajakan bercumbu ku?"

Raka Pura tidak tahu bahwa Sampurgina bu-

kan perempuan baik-baik. Ia adalah mata-mata Nyai 

Keramat Malam yang menjadi penguasa Pulau Sambang.

Sejak lari dari kekuasaan mendiang Ratu Cum-

bu Laras, Sampurgina bergabung dengan orang-orang 

Pulau Sambang. Ia menjadi pengikut Nyai Keramat 

Malam, tokoh aliran hitam yang bertekad ingin mem-

bentuk satu kekuatan untuk menyerang raja-raja di 

tanah Jawa. Sampurgina mendapat kepercayaan seba-

gai mata-mata Pulau Sambang yang ditanam di tanah 

Jawa.

Dua-tiga kali dalam satu bulan Sampurgina ha-

rus melaporkan hasil kerjanya ke Pulau Sambang, 

atau jika kebetulan Nyai Keramat Malam ada urusan di 

tanah Jawa, ia selalu sempatkan diri singgah ke pon-

doknya Sampurgina yang sengaja dipakai tempat per-

singgahan sang Nyai jika sedang ke tanah Jawa, (Baca 

serial Pendekar Kembar dalam episode: "Cumbuan 

Menjelang Ajal").

Tak heran jika Sampurgina selalu membayang-

kan kehangatan bercumbu dengan Raka, karena me-

mang perempuan itu mengisi hari-hari kosongnya den-

gan bermesraan bersama pria mana pun yang sesuai 

seleranya. Raka Pura adalah pria yang sangat sesuai 

dengan seleranya, sehingga sepanjang perjalanan me-

nuju pondoknya, Sampurgina selalu membayangkan 

kehangatan pemuda tampan dan bertubuh kekar itu.

"Sikapnya yang dingin ini dapat membuatku 

marah jika ia menolak bercumbu denganku. Aku su-

dah telanjur berharap sekali. Hmmm..., sebaiknya ku-

gunakan 'Getah Puber' untuk memancing gairahnya 

nanti. Kalau dia sudah terkena pengaruh 'Getah Puber' 

maka ia tak akan sempat menolak ajakan bercumbu 

ku. Tak seorang pun dapat hindari kekuatan racun 

'Getah Puber' pemberian Nyai Keramat Malam itu. Bi-

sa-bisa pemuda menggairahkan ini tak mau lepas dari 

pelukanku selama tiga hari tiga malam jika sudah ter


kena pengaruh racun 'Getah Puber'. Hik, hik, hik...!" 

Sampurgina tertawa sendiri dalam hatinya.

Mereka tiba di rumah Sampurgina ketika ma-

tahari belum tenggelam. Cahaya yang memancar ke 

bumi adalah cahaya senja yang remang-remang Sua-

sana seperti itu menimbulkan kesangsian di hati Raka 

Pura.

"Sesore inikah Panji Doyok ingin berlatih bebe-

rapa Jurus dari Sampurgina?!"

Kesangsian itu segera hilang, karena Sampur-

gina yang telah mempersilakan Raka untuk masuk ke 

rumahnya itu mengatakan, bahwa Panji Doyok jika 

berlatih dengannya sampai malam hari, kadang hingga 

tengah malam. Menurut perempuan itu, Panji Doyok 

berkemauan keras sekali untuk bisa kuasai jurus-

jurus yang dimiliki Sampurgina.

Tetapi di dalam hatinya, Sampurgina tertawa 

cekikikan sendiri.

"Siapa yang sudi ajarkan setengah jurus pun 

kepada anak tolol itu? Bahkan aku muak jika melihat 

bekas adik iparku itu datang kemari. Ia hanya akan 

timbulkan kesulitan saja bagiku! Ah, persetan dengan 

si Panji Doyok. Yang penting aku sudah berhasil mem-

bujuk Raka untuk singgah ke sini. Bisa saja aku nanti 

berlagak ngomel Jika Raka menanyakan kedatangan 

Panji Doyok. Hmmm... biar sampai fajar menyingsing, 

tak mungkin anak itu datang kemari, karena neneknya 

sudah melarang kedua cucunya berhubungan dengan-

ku! Persetan dengan si Tupai Siluman itu! Yang pent-

ing aku sudah mendapatkan dua keberhasilan yang 

gemilang ini!"

Sambil berceloteh begitu di dalam hatinya, 

Sampurgina menyiapkan minuman untuk sang tamu 

istimewa. Agar tak timbulkan kesan buruk dalam peni-

laian Raka, Sampurgina sengaja tidak menyuguhkan


tuak atau pun arak kepada Pendekar Kembar sulung 

itu. Ia berlagak terbiasa minum teh poci buatan sendi-

ri. Namun kali ini, selain menyediakan teh poci yang 

kental dengan gula batu sebagai pemanisnya, Sampur-

gina juga membawa dua cangkir teh untuk acara ma-

lam itu.

"Jika kurang, kau bisa tambahkan minuman-

mu dari poci ini!" ujar Sampurgina saat menyajikan 

dua cangkir teh dan satu poci kecil teh kental.

"Seharusnya kau tak perlu repot-repot begini. 

Jika aku haus, aku akan berterus terang meminta air 

kendi padamu."

"Oh, Raka... air kendi akan membuat perutmu 

kembung. Tapi air teh yang masih segar akan mem-

buat peredaran darahmu menjadi lancar dan badan 

menjadi sehat. Ayo, minumlah, sambil menunggu Panji 

Doyok muncul. Biasanya saat-saat seperti ini dia su-

dah muncul. Mungkin ada sesuatu yang harus diker-

jakan lebih dulu di tempat lain."

Raka Pura tidak langsung meminum teh terse-

but. Padahal hati Sampurgina sudah berharap agar teh 

yang disuguhkan segera diminum oleh Pendekar Kem-

bar sulung, karena Sampurgina sudah memasukkan 

'Getah Puber' ke dalam cangkir teh yang disuguhkan di 

depan Raka itu. Getah itu dimasukkan dan dicampur-

kan dalam teh tersebut saat Sampurgina meraciknya 

di dapur.

'Getah Puber' merupakan getah dari tanaman 

yang hanya ada di Pulau Sambang. Bentuknya seperti 

butiran jagung berwarna putih bening. Getah

itu mengandung racun yang membangkitkan 

gairah kemesraan pada diri orang yang meminumnya.

Getah itu mudah larut di dalam air apa saja, ti-

dak menimbulkan bau dan warna apa pun. Sampurgi-

na mempunyai banyak 'Getah Puber' yang sering digunakan untuk membuat pria pasangannya bergairah te-

rus selama tiga hari. Setelah tiga hari, pengaruh racun 

dalam 'Getah Puber' yang telah diminum seseorang 

akan hilang. Gairah yang timbul pada diri orang terse-

but akan normal kembali, sebagaimana aslinya.

Rumah itu sebenarnya berupa sebuah pondok 

yang dibangun di dalam hutan tak terlalu lebat. Din-

dingnya terbuat dari kayu-kayu belahan yang tampak 

kokoh dan tersusun rapat serta rapi. Hutan di lereng 

bukit itu mempunyai udara cukup dingin, sehingga 

sering menimbulkan kerinduan bercinta bagi Sampur-

gina jika terpaksa bermalam sendirian di dalam pon-

doknya.

"Raka, bisa kau kutinggal membersihkan badan 

sebentar?"

"Silakan!"

"Atau kau mau ikut ke kamar mandi?" pancing 

Sampurgina. Pancingan itu hanya ditertawakan oleh 

Raka. Tawa sinis yang pendek mewakili perasaan Raka 

yang kala itu masih dingin dan tidak berminat untuk 

berbuat macam-macam terhadap seorang perempuan 

cantik berdada montok seperti Sampurgina itu.

"Kurasa aku harus bersihkan badan sendiri.

Silakan minum teh mu biar tak terlalu dicekam 

udara dingin begini!" ujar Sampurgina, lalu meninggal-

kan Raka yang duduk bersila di atas balai-balai bam-

bu. Balai-balai itu dilapisi dengan tikar tebal yang da-

pat dijadikan sebagai alas tidur yang empuk. Agaknya 

Sampurgina juga sudah memperhitungkan tempat 

yang akan dipakai bercumbu nanti, sehingga secara 

tak sadar Raka Pura telah digiring agar duduk di balai-

balai tersebut. Padahal tak jauh dari situ ada bangku 

panjang dan sebuah meja.

"Kutunggu beberapa saat kalau Panji Doyok tak 

muncul, lebih baik aku kembali ke bukit cadas. Kurasa


adikku masih menunggu di gua itu bersama Nyai Gan-

tari dan si Bunga Dewi itu," pikir Raka Pura sambil 

matanya memandangi teh hangat yang dihidangnya di 

depannya.

Ketika pemuda itu bermaksud Ingin meminum 

teh tersebut, ia agak kecewa melihat tepian cangkir se-

dikit geripis. Kebetulan cangkir itu mempunyai bentuk 

dan warna yang sama dengan cangkir teh untuk Sam-

purgina. Cangkir teh di seberang mempunyai tepian 

yang masih utuh.

Raka Pura paling pantang makan atau minum 

menggunakan perabot yang mempunyai kerusakan 

walau sedikit pun. Ia merasa lebih baik makan mema-

kai daun daripada menggunakan piring geripis atau re-

tak sedikit. Menurutnya, makan atau minum menggu-

nakan perabot yang geripis atau ada kerusakan sedikit 

pun dapat mendatangkan kesialan selama sehari pe-

nuh. Karenanya, Raka pun segera menukar cangkirnya 

dengan cangkir yang ada di seberang poci.

Ketika Sampurgina kembali menemuinya dalam 

keadaan badan telah bersih dan menyebarkan aroma 

wangi melati, hati perempuan itu mulai tersenyum gi-

rang karena matanya melihat air minum di depan Ra-

ka sudah berkurang separuh bagian. Ia pun meneguk 

air teh yang ada di cangkir bagiannya. Ia tak tahu 

cangkir itu sudah ditukar, sehingga ia telah menelan 

jebakannya sendiri. Kelemahan Sampurgina adalah 

kurang teliti terhadap hal-hal kecil seperti tepian cang-

kir yang geripis itu.

Petang pun tiba, bahkan sudah mulai merayap 

menjadi malam yang memancarkan cahaya pucat ka-

rena rembulan muncul seperempat bagian di balik 

awan. Sampurgina berlagak gelisah menunggu keda-

tangan Panji Doyok. Sesekali ia berjalan ke pintu, me-

longok ke arah luar. Padahal ia mempunyai kegelisa


han lain di dalam hatinya.

"Gila! Kenapa Raka belum tampak bergairah 

padaku?! Hmm... mungkin perlu pancingan yang sedi-

kit mesra. Sebaiknya ia kuajak duduk di luar saja 

sambil menikmati cahaya rembulan."

Raka Pura merasa tak keberatan untuk berada 

di luar pondok, karena ia memang bermaksud ingin 

tinggalkan pondok itu jika beberapa saat lagi Panji 

Doyok belum muncul juga. Tapi anggapan Sampurgina 

berbeda dengan maksud hati Raka Pura. Perempuan 

itu menyangka Raka Pura sudah mulai di pengaruhi 

oleh racun 'Getah Puber' karena mau diajak keluar 

rumah, menikmati cahaya rembulan yang mendatang-

kan suasana romantis tersendiri bagi Sampurgina.

"Sebenarnya malam bercahaya remang begini 

adalah malam yang indah untuk berduaan. Bukankah 

begitu, Raka?"

Pemuda itu hanya tersenyum kecil dan berke-

san dingin. Sampurgina mendekat dan meraba pung-

gung Raka yang membuat pemuda itu hampir saja ter-

lonjak kaget. Tapi ia segera kuasai diri, dan berlagak 

tenang, walau hatinya mulai gelisah karena merasa risi 

diusap punggungnya oleh seorang perempuan sema-

tang Sampurgina.

"Dulu ketika suamiku masih hidup, setiap ma-

lam bercahaya rembulan begini, kami selalu menikma-

tinya dengan kemesraan," ujar Sampurgina pelan. "Ta-

pi sejak ia tewas di tangan lawannya, malam berca-

haya rembulan seperti ini tak pernah ku nikmati den-

gan kemesraan lagi."

"Seharusnya kau segera menikah saja."

"Tak ada pria yang mau denganku, mungkin 

karena aku sudah janda. Sekalipun ada, aku tak suka 

dengan pria itu," sambil berkata demikian, tangan 

Sampurgina mengusap punggung Raka pelan-pelan


membuat pemuda itu merinding dan berdebar-debar 

ketakutan. Raka tak punya reaksi apa-apa, karena ia 

sedang menahan rasa malu dan menyembunyikan rasa 

muaknya.

Akhirnya ketika tangan Sampurgina merayap 

sampai ke bawah, Raka Pura merasa tak mampu lagi 

berlagak tenang. Ia harus segera pergi sebelum perem-

puan itu lebih berani lagi menjamah tempat tertentu.

"Kurasa Panji Doyok tidak datang malam Ini. 

Aku harus segera pergi menemui adikku! Doa me-

nungguku di suatu tempat."

"Mengapa tak bermalam di sini saja?! Aku akan 

kesepian kalau kau tak bermalam di sini, Raka," ujar 

Sampurgina dengan nada manja, sambil tangan Raka 

diusapnya semakin lembut.

"Aku tak pernah bilang kalau mau bermalam di 

sini! Mungkin lain kali saja!" Raka mulai bicara tegas 

sebagai tanda ia menahan rasa dongkol dalam hatinya.

"Raka... kau tak tertarik untuk bersamaku di 

malam ini?"

Raka semakin gusar. Ia tak suka perempuan 

yang mendesak mulai bicara tentang kesepian, kencan, 

cumbuan, dan sebagainya.

Sementara itu, Sampurgina menjadi heran ka-

rena Raka masih tetap dingin, bahkan gairahnya sen-

diri makin meluap-luap. Sampurgina menjadi sangat 

merindukan pelukan dan kemesraan seorang lelaki. 

Darahnya mengalir deras mendesirkan hati membang-

kitkan hasrat untuk bercumbu. Ia mencoba menahan 

Raka, merayunya dengan kata dan sentuhan asmara. 

Tapi Pendekar Kembar sulung tetap tak tertarik sedikit 

pun. Akhirnya pemuda itu nekat pergi tinggalkan pon-

dok tersebut.

"Rakaaa...," rengek Sampurgina dengan hati 

sedih dan ingin menangis, karena racun 'Getah Puber'


telah bekerja dalam darahnya dan membuat gairahnya 

berkobar-kobar.

Gerakan Raka yang terlalu cepat itu membuat 

Sampurgina merasa kehilangan harapan dalam seke-

jap. Maka timbul niatnya untuk mengejar Raka dan 

mendapatkan kemesraan sebagai pemuas gairahnya 

yang telah membuat napas menjadi sesak, dada men-

jadi sakit, dan kepala menjadi pening.

"Cambuk ku...?! Oh, aku harus membawa cam-

buk ku! Kalau Raka tetap menolak, terpaksa akan ku-

gunakan kekerasan agar ia mau melayaniku. 

Aduuuh...! Celaka kalau begini! Mengapa jadi aku yang 

bergairah sekali. Oooh... hasratku ingin disentuh lelaki 

begitu besar! Jangan-jangan aku salah minum teh?" 

pikir Sampurgina sambil bergegas masuk ke pondok 

untuk mengambil cambuknya.

Namun ketika ia sudah siapkan cambuk dl 

pinggang, mendadak lututnya menjadi gemetar sekali 

karena hasrat ingin memperoleh kenikmatan begitu 

kuat menyerang sekujur tubuhnya.

"Ooooh...!" Sampurgina mengerang dalam desah 

sambil menjamah tubuhnya sendiri. Bayangan keme-

sraan Raka semakin menambah dahsyatnya racun itu 

dan sangat menyiksa hatinya.

Sampurgina jatuh terduduk di tepi balai-balai 

bambu itu. Matanya meredup dengan bibir digigit keti-

ka tangannya semakin tak mampu menahan gejolak 

gairahnya, sehingga tangan itu menyusup ke sela-sela 

keindahan tubuhnya.

Cambuk dilepas, jubah pun dicopotnya. Ikat 

pinggang dari kain ikut dilepaskan. Apa yang mengikat 

pada tubuhnya dilepas semua, sehingga tangannya 

semakin leluasa menjamah bagian-bagian yang dapat 

timbulkan kenikmatan.

"Ooouh...! Raka... kembalilah kemari. Oouh,


aku butuh sekali sentuhanmu, Raka! Oooh... aku bu-

tuh sekali kemesraan seorang lelaki. Uuuuh...!"

Perempuan itu mengerang sendiri dengan tu-

buh menggeliat dalam jamahan tangannya. Keringat 

dinginnya mulai keluar, sebagai tanda bahwa gairah-

nya semakin membesar dan tak terkendalikan lagi.

Pada saat itu, tiba-tiba seseorang muncul di 

depan pintu dengan menghunus golok lebarnya. Sua-

ranya sempat menyentak mengejutkan Sampurgina.

"Sampurgina! Modar kau malam ini juga, Kepa-

rat!"

"Oooh...?! Ib... Iblis Bangor...?!" Sampurgina 

terperangah.

Melihat perempuan itu sudah tanpa jubah dan 

pembungkus dadanya yang montok itu sudah jatuh ke 

lantai, Iblis Bangor menjadi tertegun juga dengan mata 

tak bisa berkedip.

Sebagai duda yang sudah lama tak menyentuh 

istrinya, Iblis Bangor berdebar-debar juga melihat kea-

daan Sampurgina yang nyaris polos total itu.

Tubuh mulus, dada montok, wajah dicekam 

gairah, ternyata telah memancing gairah si Iblis Ban-

gor. Lelaki bertubuh tinggi-besar itu akhirnya mende-

kat dengan pelan-pelan.

"Sampurgina!" seruan itu tidak sekeras tadi. 

Golok yang telah dihunus itu belum diangkat ke atas.

"Oouh... uuhhff...!" Sampurgina semakin meng-

geliat, ia tak bisa mempedulikan kehadiran seorang 

musuh, tak bisa membedakan antara musuh dan ke-

kasih.

"Sam... Sampurgina...," suara Iblis Bangor ma-

kin pelan dan bergetar. Ia juga semakin dekat dan me-

natap nanap sambil menjilati bibirnya sendiri.

"Ouhh, sssh... Iblis Bangor, oouh... mendekat-

lah kemari dan lepaskan bajumu, lekas.... Uuuukh...,"


Sampurgina merengek, sementara Iblis Bangor buru-

buru melepaskan bajunya, menjatuhkan meletakkan 

goloknya di tepian dipan itu.

"Oouh, peluklah aku... peluklah aku...!"

"Sam... Sam... Sam, oouh...!"

Rupanya ancaman Iblis Bangor memang dibuk-

tikan. Ia berlagak lari dari pertarungan, namun sebe-

narnya mengintai Sampurgina dari kejauhan. Bahkan 

ia sudah cukup lama berada di balik semak pepohonan 

bambu di samping pondok Sampurgina itu. Ketika ia 

melihat Raka pergi, maka saat itulah niatnya untuk 

membunuh Sampurgina segera dilaksanakan.

Hanya saja, ketika ia nekat masuk ke dalam 

pondok tersebut, ternyata keadaan menjadi lain. Sam-

purgina yang telah termakan racun 'Getah Puber' men-

jadi tak bisa membedakan mana lawan dan mana ka-

wan. Hasratnya yang telah meluap-luap tak bisa di-

bendung lagi itu membuatnya girang ketika melihat 

kemunculan lelaki bertubuh tinggi-besar itu.

"Ooh, celaka! Kurasa aku benar-benar salah 

minum air teh itu. Racun dari 'Getah Puber' telah 

mengenai ku sendiri! Terbukti aku masih ingin me-

nikmati kehangatan si Iblis Bangor ini walaupun entah 

sudah berapa kali aku melambung tinggi sampai ke 

puncak kemesraan ku!" pikir Sampurgina di sela per-

gumulan asmara seorang lawan yang seharusnya di-

bunuh.

"Ooh, bahaya besar kalau begini," ujar batin pe-

rempuan itu. "Jika tidak segera ku telan obat pena-

warnya, bisa-bisa selama tiga hari tiga malam aku se-

lalu bercumbu dengan si Iblis Bangor yang besar ini! 

Oouuh... tapi sekarang sedang nikmat... jangan ku pu-

tuskan dulu kemesraan ini. Ooouh... gila!"


6


SEANDAINYA Raka tidak segera tinggalkan ru-

mah Sampurgina, maka ia akan mengalami dua keru-

gian besar. Kerugian pertama, bisa jadi ia terkena je-

bakan asmara dari perempuan yang sudah bergairah 

besar itu. Mungkin saja Sampurgina sadari kekeli-

ruannya dan mengulangi jebakan dalam air teh itu 

hingga kenai Raka. Kerugian kedua, ia akan kehilan-

gan jejak adiknya yang pada saat itu bergegas pergi ke 

Tanah Keramat.

Soka Pura berhasil kelabuhi Nyai Gantari dan 

Srigita alias Bunga Dewi, sehingga kedua nenek-cucu 

itu merasa berhutang budi kepada Soka Pura. Mereka 

menyangka diselamatkan oleh Soka dari ancaman 

maut para pengejar kotak perhiasan milik istri adipati 

yang mereka curi itu.

"Kalau saja tak ada dirimu, Nak," ujar Nyai 

Gantari, "Mungkin nyawa kami sudah melayang di 

tangan para pengejar itu! Terbukti kami sampai tak 

sadar bahwa diriku dan cucuku sudah pingsan cukup 

lama akibat serangan yang tak kuketahui dari mana 

dan kapan datangnya itu."

"Nenek," ujar si cantik mungil Bunga Dewi. "Ku 

rasa perlu ditanyakan mengapa pemuda itu mencari 

Kang Panji, Nek."

"O ya... benar juga pertanyaan cucuku ini, Soka 

Pura," ujar Nyai Gantari mewakili cucunya, sebab sang 

cucu jarang mau bicara kepada Soka. Wajahnya sering 

ditundukkan atau membuang pandangan mata ke 

arah lain. Gadis itu seperti menyimpan rasa malu dan 

sungkan kepada Soka, sehingga tak mau beradu pan-

dang lebih dari dua helaan napas.

"Mengapa kau mencari cucuku; si Panji Doyok


itu?!" tanya Nyai Gantari.

"Sebagai seorang teman, aku merasa perlu 

membantu Panji Doyok, Nek. Sebab, kudengar Panji 

Doyok sedang dikejar-kejar oleh orang yang tak ku ta-

hu siapa orang tersebut. Aku perlu penjelasan dari 

Panji Doyok agar aku bisa melabrak orang tersebut."

"Hmm, ya... benar juga pendapatmu, Soka Pu-

ra. Tapi... entah siapa orang yang memburu Panji itu. 

Terlalu berani orang itu."

"Nenek, sebaiknya kita bawa saja pemuda ini ke 

rumah. Kurasa Kang Panji sudah sampai rumah, Nek!"

"Baiklah, Bunga Dewi! Tapi aku tak tahu apa-

kah Soka Pura mau singgah ke rumah kita atau tidak. 

Tanyakanlah sendiri, Srigita!"

"Kau saja yang menanyakan, Nek," ujar si gadis 

dengan menunduk dan bersuara pelan sekali.

"Kurasa aku tak keberatan jika kalian mau me-

nerimaku sebagai tamu. O, ya... tapi aku harus menca-

ri kakakku dulu, Nyai Gantari. Aku tak berani pergi

sebelum Raka Pura datang!"

"Hmmm..., kalau begitu, sebaiknya kita cari du-

lu kakakmu di seberang bukit ini. Bukankah kau tadi 

bilang bahwa kakakmu menengok pertarungan di se-

berang bukit?!"

"Benar, Nyai. Tapi bagaimana jika dia tak ada di 

sana?! Mau tak mau aku harus mencarinya dulu!"

"Akan kubantu mencarikan kakakmu sebagai 

balas budi ku kepadamu, Nak!"

Tanah di balik bukit cadas segera disusuri oleh 

mereka. Beruntung cahaya rembulan masih bersinar 

walau hanya seperempat bagian, tapi bisa sedikit men-

jadi penerang pandangan mata mereka dalam mencari 

Raka Pura. Perjalanan mencari Raka itu dilakukan 

dengan pelan-pelan dan penuh ketelitian.

Akhirnya mereka bertemu dengan Raka Pura


saat arah langkah kaki mereka mulai menuju ke Ta-

nah Keramat. Seandainya Raka terlambat sedikit, ma-

ka Pendekar Kembar bungsu tak akan dapat temukan 

dirinya dengan mudah, terutama jika Soka sudah be-

rada di Tanah Keramat.

Bunga Dewi memandang Raka Pura dengan ke-

san terkagum-kagum, karena wajah Raka ternyata be-

nar-benar serupa dengan wajah Soka Pura. Bunga De-

wi pun akhirnya berbisik kepada neneknya.

"Jangan-jangan mereka adalah Pendekar Kem-

bar yang sedang ramai dibicarakan orang itu, Nek?"

Sang nenek berkerut dahi merenungkan du-

gaan cucunya itu. Sebab sejak tadi Soka memang tidak 

menyinggung-nyinggung gelarnya sebagai Pendekar 

Kembar bungsu, sehingga sang nenek dan Bunga Dewi 

belum mengetahui siapa sebenarnya Soka Pura itu. 

Maka setelah Soka ngomel kepada kakaknya dan men-

jelaskan siasat yang digunakan untuk memulihkan in-

gatan nenek dan cucunya itu, Nyai Gantari pun segera 

ajukan tanya kepada kedua pemuda itu.

"Apakah kalian yang bergelar Pendekar Kem-

bar?!"

"Hmmm, ehhh...," Raka ragu-ragu menjawab.

"Benar, Nyai Gantari!" jawab Soka cepat, ia tak 

ragu-ragu dalam memberi Jawaban supaya tidak tim-

bul kesan yang mencurigakan dalam hati nenek dan 

adiknya Panji Doyok itu. Ternyata jawaban itu mem-

buat sang nenek terkekeh-kekeh, merasa bangga bisa 

mengenal Pendekar Kembar. Bahkan wajah si gadis 

cantik yang sejak tadi tak punya senyum itu, kali ini 

mulai tampak senyumnya walau tak terlalu kentara 

karena keremangan cahaya rembulan. Rupanya cucu 

dan nenek itu merasa bangga setelah tahu bahwa Panji 

Doyok berhasil punya kenalan sepasang pendekar 

yang ilmunya sedang menjadi bahan pujian para tokoh


rimba persilatan itu.

Namun sang nenek segera terperanjat ketika 

Raka Pura ceritakan pertemuannya dengan Sampurgi-

na. Bahkan Bunga Dewi menatap dengan kesan ku-

rang simpati setelah Raka jelaskan bahwa ia di ajak 

Sampurgina ke rumah perempuan itu untuk menung-

gu kemunculan Panji Doyok.

"Doyok tak mungkin datang ke rumah Sampur-

gina!" ujar Nyai Gantari. "Aku sudah mewanti-wanti 

padanya agar jangan berhubungan lagi dengan Sam-

purgina, karena perempuan itu adalah perempuan ja-

lang. Setiap lelaki kalau bisa dicobai semua kehanga-

tannya!"

"Kurasa pemuda ini juga telah mencicipi ke-

hangatan tubuh Yu Sampurgina, Nek," bisik Bunga 

Dewi yang didengar oleh Raka maupun Soka.

"Jangan menyangka ku begitu, Bunga Dewi!"

Nyai Gantari menukas, "Kurasa dugaan cucuku 

benar. Karena setiap lelaki, apalagi setampan dan se-

gagah dirimu, jika sudah masuk ke dalam pondoknya 

si Sampurgina, tak mungkin bisa lolos dari incaran 

gairahnya. Sebab, setahuku Sampurgina mempunyai 

racun 'Getah Puber' yang dapat membuat setiap lelaki 

tergila-gila padanya dan selalu ingin bercumbu den-

gannya."

"Tapi buktinya aku bisa meninggalkan perem-

puan itu!" bantah Raka sambil melangkah bersama 

menuju ke Tanah Keramat. "Dia sendiri yang tampak-

nya bergairah padaku dan... ah, kurasa memang dia 

perempuan jalang! Kalau aku tak segera pergi, mung-

kin saja aku akan terkena jebakan racun 'Getah Puber' 

itu."

"Cantikkah dia, Raka?"

"Sampurgina adalah perempuan cantik dan 

menggairahkan," sahut Nyai Gantari. "Aku tahu persis


tentang dia, karena dulu mendiang kakaknya Panji 

Doyok adalah mantan suaminya. Tapi tetap saja Sam-

purgina bercengkerama dengan lelaki lain di belakang 

suaminya!"

"Dasar perempuan liar dia itu, Nek!" geram 

Bunga Dewi bernada ketus.

Soka Pura cengar-cengir sendiri, lalu berbisik 

kepada Raka.

"Di mana tinggalnya perempuan itu?"

"Mau apa kau?!" hardik Raka kepada adiknya.

"Mau melabraknya Jika kau sampai dinodai 

olehnya," Jawab Soka Pura mengalihkan prasangka 

sang kakak, kemudian ia tertawa kecil dengan menu-

tup mulutnya sendiri dan berpaling ke arah lain.

Tepat ketika Soka Pura berpaling ke arah lain 

itulah ia melihat sekelebat sinar yang menuju ke arah 

mereka. Sinar hijau itu melesat dengan cepat berben-

tuk seperti bintang jatuh dari langit.

"Awaaas...!" pekik Soka Pura sambil ia melom-

pat ke samping. Lompatan itu disertai dengan senta-

kan tangan kanannya yang membentuk cakar tengku-

rap. Dari tangan itu keluar sinar merah berbentuk se-

perti piringan bergerigi yang memercikkan bunga api. 

Sedangkan Raka dan yang lain pun saling berlompatan 

menyebar arah.

Sinar merah dari jurus 'Mata Bumi'-nya Pende-

kar Kembar bungsu itu melesat cepat dan tepat mem-

bentur sinar hijau yang mirip bintang jatuh itu.

Blegaaarrr...!

Ledakan dahsyat membahana memecah su-

nyinya malam. Pohon-pohon bergetar, daun-daun ber-

guguran, tanah pun terasa guncang bagai dilanda 

gempa kecil. Ledakan itu membuat Soka Pura terlem-

par dan jatuh ke semak ilalang. Bruuuss...!

Melihat adiknya terpelanting sejauh lima lang


kah dari tempatnya semula, Pendekar Kembar sulung 

segera berkelebat memburu bayangan yang tadi men-

geluarkan sinar hijau itu. Wuuuz...! Jurus 'Jalur Ba-

dai' digunakan, sehingga kecepatan gerak Raka Pura 

seperti orang menghilang.

Bunga Dewi yang merunduk di balik pohon tak 

jauh dari Raka sempat terperangah kaget, karena ia 

menyangka Raka Pura dapat menghilang bagai ditelan 

bumi.

"Edan! Dia itu manusia apa setan sebenar-

nya?!" gumam hati Bunga Dewi. Ia tak sempat mela-

porkan hal itu kepada neneknya, karena tiba-tiba me-

reka dikejutkan oleh suara ledakan dari seberang sa-

na, tempat Raka Pura mengejar bayangan yang hendak 

melarikan diri itu.

Blaaar...! Rupanya di sana Pendekar Kembar 

sulung beradu kekuatan tenaga dalam dengan mele-

paskan sinar putihnya dari jurus 'Cakar Matahari'. Si-

nar putih menyerupai mata pisau runcing itu meng-

hantam sinar hijau yang seperti tadi. Ledakannya tak 

sedahsyat ledakan pertama, namun agaknya cukup 

berbahaya bagi lawannya. Sang lawan terlempar cukup 

jauh dan membentur sebatang pohon dengan keras.

Brrruuk...!

"Heeehhk...!" terdengar suaranya memekik ter-

tahan. Raka Pura segera mengejar orang tersebut sebe-

lum orang tersebut punya kesempatan untuk bangkit 

dan melarikan diri.

Wuuut! Raka mencengkeram pakaian orang itu, 

kemudian dibawanya lari dengan gunakan jurus 'Jalur 

Badai' lagi. Wuuuzzz...! Dalam sekejap Raka Pura su-

dah berada di tempat Nyai Gantari dan cucunya berlari 

memandangi pertarungan tak jelas itu. Jleeeg...! 

Brrruk...! Sang lawan dijatuhkan begitu saja di depan 

Nyai Gantari, sementara Soka Pura segera mendekati


dengan satu lompatan kecil.

Sesaat setelah mereka memandangi orang ter-

sebut di bawah keremangan sinar rembulan, Nyai Gan-

tari pun segera kenali orang itu.

"Edan kau, Dirgayana!"

Ucapan sang nenek itu mengejutkan Raka dan 

Soka, karena mereka pun mengenal nama Dirgayana. 

Pandangan mata mereka dipertegas lagi, dan ternyata 

pemuda berpakaian biru itu adalah Dirgayana. Ia ada-

lah pemuda yang pernah dipergoki Soka Pura sedang 

bercinta dengan Bintari Ayu, (Baca serial Pendekar 

Kembar dalam episode: "Gadis Penyebar Cinta").

"Apa maksudmu menyerang kami, Dirgayana?!" 

gertak Soka sambil mencengkeram baju pemuda ber-

kulit tipis itu dan menariknya hingga Dirgayana berdi-

ri.

Bunga Dewi tiba-tiba mendekat, dan tangannya 

menampar Dirgayana yang bertubuh kekar dan berwa-

jah tampan itu. Plook...! Setelah itu Bunga Dewi

kembali ke tempat semula. Hal itu membuat 

Soka Pura menjadi terbengong sekejap.

"Gila gadis itu!" ujarnya membatin. "Tahu tahu 

datang, main tampar seenaknya, lalu pergi lagi! Apa 

maksudnya?!"

Dirgayana sendiri dalam keadaan menahan ra-

sa sakit akibat gelombang ledakan tadi menghantam 

dadanya. Begitu kuatnya gelombang ledakan yang be-

rada dalam jarak dekat dengannya itu. Sehingga tu-

lang dadanya terasa patah semua. Napas si Dirgayana 

pun menjadi sesak, sehingga ia tak bisa bicara untuk 

sesaat.

"Rupanya kau mengenal pemuda ini, Nyai Gan-

tari?!" ujar Raka Pura sambil menatap Dirgayana yang 

masih dicengkeram bajunya oleh Soka Pura.

"Dia pemuda Tanah Keramat juga! Biasanya ia


bersikap baik padaku, karena ia sedang naksir cucuku 

ini," sang nenek melirik Bunga Dewi. Sang cucu me-

nyahut dengan ketus.

"Aku tak sudi."

"Aku juga tak sudi," timpal Nyai Gantari see-

naknya, lalu segera dekati Dirgayana. Cengkeraman 

Soka terpaksa dilepas, seakan member! kesempatan 

kepada Nyai Gantari untuk menanyai Dirgayana.

"Mengapa kau menyerang kami, Dirgayana?! 

Siapa yang kau serang sebenarnya?!"

"Ak... aku disuruh orang, Nyai. Uuukh...!" Ia 

menyeringai menahan rasa sakit. Ternyata dadanya 

menjadi lebih sakit lagi jika dipakai bicara. Namun 

Dirgayana memaksakan diri agar bisa bicara demi me-

lindungi nama baiknya di depan Bunga Dewi yang se-

dang ditaksirnya itu.

"Siapa yang menyuruhmu?!" tanya Nyai Ganta-

ri. Dirgayana tidak langsung menjawab, seperti sedang 

mempertimbangkan jawaban yang harus dikeluarkan 

dari mulutnya.

Nyai Gantari yang sejak tadi tampak tenang 

dan kalem, tidak seliar tokoh tua aliran hitam lainnya 

itu, kali ini mencekal lengan kekar Dirgayana sambil 

mengulangi pertanyaannya.

"Siapa yang menyuruhmu, Dirgayana?!"

"Aaoow...!" Dirgayana memekik kesakitan. Soka 

dan kakaknya sempat terperanjat melihat tangan Nyai 

Gantari yang memegang lengan Dirgayana itu berasap, 

dan lengan pemuda itu tampak menghangus di tempat 

yang tergenggam tangan Nyai Gantari. Karena itulah 

Dirgayana memekik kesakitan dengan suara nyaris hi-

lang karena tertutup rasa sakit.

"Jawablah pertanyaanku, Bocah bagus!" desak 

Nyai Gantari.

"Ak... aku disuruh oleh... oleh Sampurgina...."


"Sampurgina?!" Nyai Gantari dan Raka hampir 

bergumam bersama. Bunga Dewi cepat-cepat menatap 

Dirgayana dengan sorot pandangan mata penuh keta-

jaman.

"Kapan dia menyuruhmu?!" tanya Raka dengan 

nada ragu-ragu, sepertinya ia ingin bertanya pada di-

rinya sendiri. Tetapi Dirgayana segera menjawab

dengan suara berat, karena masih harus me-

nahan rasa sakit akibat luka bakar di lengannya. Wa-

lau Nyai Gantari sudah lepaskan genggamannya, tapi 

lengan itu masih kepulkan asap tipis pertanda masih 

tetap terbakar.

"Ta... tadi siang ia bertemu denganku, lalu me-

nyuruhku menghabisi keluarga Panji Doyok, termasuk 

Panji Doyok sendiri. Jika... jika aku berhasil lakukan 

tugas itu, maka dia akan menemui seseorang agar aku 

diangkat menjadi murid orang itu. Setidaknya bisa 

mendapat dua-tiga ilmu andalan yang ingin kumiliki."

"Busuk sekali hatimu!" geram Bunga Dewi, 

membuat Dirgayana tak berani memandang kecuali 

hanya menunduk dengan sedih dan rasa takut.

"Jelaskan semuanya, nanti kusembuhkan lu-

kamu!" perintah si Tupai Siluman.

"Aku... aku mencoba mencari Panji Doyok, tapi 

tak berhasil kutemukan. Dan... dan ketika kulihat ka-

lian, ku coba untuk lepaskan serangan maut ku, siapa 

tahu nasibku sedang mujur dan kenai dirimu. Teruta-

ma dirimu, Nek. Tapi... tapi ternyata Pendekar Kembar 

lebih tangkas dan bisa mematahkan seranganku. Aku 

bermaksud melarikan diri dan tak mau coba-coba lagi, 

hanya saja... nasibku sedang buruk, sehingga aku 

berhasil ditangkap dan dibawa lari."

"Siapa orang yang ingin kau temui sebenarnya? 

Sehebat apakah dia, sampai kau tertarik untuk men-

jadi muridnya?"


Dirgayana tak segera menjawab, Ia tampak ra-

gu-ragu. Tapi ketika tangannya hendak dicekal lagi 

oleh Nyai Gantari, Dirgayana ketakutan, lalu buru-

buru memberikan jawaban.

"Oorr... orang itu adalah... Nyai Keramat Ma-

lam."

"Oo, jadi kau ingin jadi muridnya penguasa Pu-

lau Sambang?!" gumam Nyai Gantari sambil manggut-

manggut. Sementara itu, Raka dan Soka saling pan-

dang, karena mereka pernah dengar nama itu.

"Aku sudah mengatakan semuanya, Nek. Kura-

sa... kurasa aku sudah menebus kebodohan ku yang 

mau diperalat oleh Sampurgina. Ku mohon kau mau 

mengobati luka bakar ku ini...," ujar Dirgayana sambil 

menyodorkan luka bakar di lengannya yang masih ke-

pulkan asap tipis itu.

"Jangan obati dia, Nek!" sentak Bunga Dewi 

dengan nada benci. Hal itu membuat Dirgayana men-

jadi semakin sedih, lalu pemuda itu mencoba ajukan 

pembelaan atas dirinya.

"Percuma saja... aku... aku mau berterus terang 

kalau kau masih tak mau mengampuni kesalahanku, 

Bunga Dewi. Ak... aku benar-benar menyesal dan me-

rasa dibodohi oleh Sampurgina. Kurasa pengakuan ku 

ini adalah bukti atas penyesalan dan permintaan maaf 

ku kepada kalian."

"Pengakuanmu bukan karena penyesalan, tapi 

karena kegagalan!" geram Bunga Dewi. "Dan kau takut 

kalau mati terbakar pelan-pelan oleh genggaman ne-

nek ku, sehingga kau mengatakan semuanya itu! 

Hmmm, dasar manusia sampah!"

Sang nenek rupanya tak tega melihat Dirgayana 

menyeringai menahan rasa sakit. Maka ia pun melu-

dahi luka bakar di lengan pemuda itu.

"Cuihh...!"


Joooss...! Luka itu keluarkan suara mendesis 

keras, seperti bara api dimasukkan dalam air. Luka 

tersebut pun segera mengering sambil semakin kepul-

kan asap lebih banyak lagi. Ketika asap itu lenyap, 

maka luka pun kering dan hanya meninggalkan belang 

putih berbentuk jari tangan sang nenek.

Soka Pura dan Raka sama-sama menyimpan 

rasa kagum atas kedahsyatan ludah Nyai Gantari yang 

dapat untuk sembuhkan luka seajaib itu. Namun hal 

yang terpenting bagi Raka bukan ajaibnya ludah Nyai 

Gantari, melainkan nama Nyai Keramat Malam yang 

ada hubungannya dengan Sampurgina. Maka, Raka 

pun ajukan tanya kepada Dirgayana.

"Apa alasan Sampurgina ingin membunuh ke-

luarga Panji Doyok?"

*

* *

7


SAYANG sekali Dirgayana benar-benar tak 

mengetahui alasan Sampurgina yang menghendaki 

kematian keluarga Panji Doyok. Dugaan yang timbul 

adalah perang dingin yang selama ini terjadi antara 

Sampurgina dengan Nyai Gantari. Tetapi Raka yakin 

dengan dugaan tersebut.

"Jika benar begitu, mengapa tidak dari dulu-

dulu saja Sampurgina membantai Nyai Gantari, Bunga 

Dewi, dan Panji Doyok?! Mengapa baru sekarang ini?"

Soka Pura yang mendengarkan kata-kata ka-

kaknya itu akhirnya hanya angkat pundak tanda tak 

mengerti dengan jelas perkara itu. Yang ada dalam be-

nak Soka kalau itu adalah segera dapat bertemu dengan Panji Doyok dan bicara tentang Kitab Jayasakti. 

Karena ia ingin segera dapatkan Daun Astagina sece-

patnya, agar sakit yang diderita ibu angkatnya di pun-

cak Gunung Merana itu tidak berlarut-larut.

Dirgayana dibebaskan dengan satu ancaman 

maut dari Nyai Gantari.

"Pergilah sana dan Jangan lagi temui kami. Se-

kali lagi kau coba celakai kedua cucuku atau diriku 

sendiri, maka tak ada ampun lagi bagimu. Kau akan 

kukirim ke liang kubur dalam keadaan hangus sepa-

ruh badanmu. Paham?!"

"Ap... apakah tak ada pengampunan untukku, 

Nek?" ucap Dirgayana dengan nada sedih.

"Ini sudah pengampunan! Kalau aku tidak 

mengampunimu, sekarang juga kau sudah tidak ber-

nyawa!"

Akhirnya mereka tiba di rumah Nyai Gantari 

dalam keadaan sudah lewat tengah malam, hampir fa-

jar. Dirgayana sudah memisahkan diri sejak tadi, takut 

ancaman Nyai Gantari. Dan ketika mereka tiba di ru-

mah tersebut, ternyata Panji Doyok masih belum pu-

lang. Rumah dalam keadaan kosong.

Raka Pura dan adiknya sama-sama terbengong 

melihat keadaan rumah Nyai Gantari. Ternyata rumah 

tersebut dibangun dengan dinding bata halus. Pagar-

nya dari tembok kekar. Perabotnya cukup mewah. 

Sungguh tak diduga sang nenek berjubah hitam lusuh 

dengan cucunya yang hanya berkalung manik-manik 

kecil itu ternyata tinggal di sebuah rumah yang bagus 

dan berkesan mahal. Biasanya rumah dan perabot se-

mewah itu dimiliki oleh keluarga bangsawan atau ke-

luarga saudagar yang kaya.

"Semua ini dari hasil mencuri?" tanya Soka ke-

pada Bunga Dewi.

"Kami tak punya pekerjaan lain kecuali mencuri," jawab Bunga Dewi sebagai pengganti kata membe-

narkan dugaan Soka tadi. Maka Pendekar Kembar pun 

geleng-geleng kepala dengan merasa heran dan kagum.

"Kau sudah kaya begini, apakah tak punya niat 

untuk berhenti mencuri, Bunga?"

"Mencuri adalah adat kebiasaan bagi kami. Jika 

ada orang yang tinggal di sini tapi tidak mencuri, maka 

ia akan malu dan dikucilkan."

"Benar-benar perkampungan edan ini na-

manya!" gumam Raka Pura.

Bunga Dewi menambahkan, "Kalau mau tidak 

mencuri lagi, jangan tinggal di sini. Kami harus pindah 

di lain tempat."

"Apakah kau tak ingin pindah di lain tempat?"

"Mau pindah ke mana lagi aku, sementara di 

sini aku punya rumah bagus dan hidup dengan kecu-

kupan dari hasil mencuri?!"

Pendekar Kembar tak bisa bicara lagi. Agaknya 

mencuri atau mencopet dan sejenisnya merupakan ba-

gian dari mereka, sudah mendarah daging dan meru-

pakan hal yang biasa.

"Ada semacam tradisi atau tata cara di dalam 

kehidupan kami," ujar sang nenek menjelaskan. "Siapa 

bisa mencuri, mencopet, merampok, tanpa melukai 

orang dan tanpa membunuh korbannya, itu baru sua-

tu hal yang patut mendapat pujian dari seluruh ma-

syarakat Tanah Keramat ini. Masyarakat di sini selalu 

diwanti-wanti oleh para leluhurnya agar jangan mem-

bunuh korban, jangan melukai korban, dan satu lagi... 

jangan tertangkap oleh korban. Siapa yang tertangkap 

akan menjadi bahan cemoohan dan hinaan bagi yang 

lain."

Raka dan Soka sama-sama tersenyum getir 

sambil geleng-geleng kepala. Percakapan itu tak terasa 

membawa mereka ke ujung pagi. Tak ada kantuk sedikit pun yang hinggap pada diri mereka. Agaknya tidak 

tidur semalam suntuk sudah bukan hal baru lagi bagi 

Nyai Gantari maupun cucunya.

"Biasanya kami tidur siang hari dan melek ma-

lam hari."

"Manusia kalong!" gumam Raka sambil tertawa 

kecil.

Tawa itu segera lenyap, bukan karena dipan-

dangi oleh Bunga Dewi secara diam-diam, tapi karena 

gedoran pintu yang terdengar beruntun dan menga-

getkan mereka.

"Bunga...! Bunga...! Neeek...!"

"Itu suara Panji Doyok!" sentak si Tupai Silu-

man. Bunga Dewi segera bergegas membukakan pintu

untuk kakaknya.

"Kaaang...?!" suara Bunga Dewi terdengar ber-

nada kaget bercampur cemas. Yang lainnya pun men-

jadi ikut terperanjat kaget ketika Panji Doyok buru-

buru masuk dan jatuh ke lantai dalam keadaan tan-

gannya mendekap perut yang berdarah.

"Panji, apa yang terjadi?!" tegur sang nenek 

dengan wajah mulai tegang. Pendekar Kembar hanya 

bisa terpaku di tempat memandangi perut Panji Doyok 

yang jebol itu.

"Seseorang... telah berusaha membunuhku, 

Nek," ujar Panji Doyok dengan suara lemah, tubuhnya 

pun menjadi lemas dan sang nenek menyangga tubuh 

itu dari belakang.

"Siapa yang ingin membunuhmu, Kang? Sia-

pa?!" Bunga Dewi tampak gusar.

"Katakan, Panji! Siapa yang melukaimu separah 

ini?!" desak sang nenek.

"Ib... Iblis Bangor, Nek...!"

"Ooh...?!" Raka Pura terkejut, segera teringat 

pertarungan Iblis Bangor dengan Sampurgina.


"Keparat si Iblis Bangor!" geram Nyai Gantari.

Soka sempat bicara kepada Panji Doyok yang 

terperanjat mengetahui kedua pemuda kembar itu ter-

nyata ada di rumahnya.

"Bukankah kau melarikan diri ketika aku dan 

kakakku sedang menghadapi si gadis kembar itu?!"

"Be... benar, tapi... tapi setelah itu aku bertemu 

dengan Iblis Bangor, ia menyerangku dengan goloknya. 

Tapi ketika kukatakan bahwa aku tidak mencuri ben-

da itu, ia pun segera pergi dan membiarkan diriku ter-

kapar dengan perut robek begini...."

Raka Pura berbisik kepada adiknya, "Pertarun-

gan Sampurgina dan Iblis Bangor, menurut pengakuan 

Sampurgina, adalah karena mereka saling tuduh seba-

gai pencuri Kitab Jayasakti."

"Begitukah?!"

"Ya. Iblis Bangor mendesak Sampurgina agar 

serahkan kitab yang dicuri perempuan itu, tapi perem-

puan itu mengaku di depanku bahwa pencurinya ada-

lah Iblis Bangor sendiri."

"Kurasa luka Panji ada hubungannya dengan 

kitab itu! Sebaiknya cobalah kau tanyakan kepadanya, 

Raka!"

"Aku lagi yang bekerja?! Mengapa bukan kau 

sendiri yang menanyakannya?! Apakah mulutmu su-

dah tak berguna lagi untuk bicara? Apakah mulutmu 

hanya untuk ciuman saja?!" omel Raka dengan jengkel, 

karena sejak tadi disuruh-suruh terus oleh adiknya. 

Sang adik hanya nyengir sambil garuk-garuk kepala, 

kemudian mendekati Panji Doyok yang dipindahkan 

oleh neneknya ke atas dipan.

"Nyai Gantari, sebaiknya sembuhkan dulu lu-

kanya itu baru kita bicara lebih banyak dengannya," 

saran Soka Pura kepada sang nenek. Tapi perempuan 

itu hanya memandang Soka sebentar, lalu menatap


Panji Doyok kembali.

Bunga Dewi segera berbisik kepada Soka, "Lu-

dah nenek hanya bisa dipakai untuk sembuhkan luka 

yang datang dari Jurus 'Tapak Neraka'-nya. Ludah itu 

tak bisa sembuhkan luka lain."

"Oooo...," Soka Pura manggut-manggut. Ia meli-

rik kakaknya yang ada di belakang Bunga Dewi.

Pendekar Kembar sulung segera berkata den-

gan suara agak keras.

"Kurasa adikku bisa sembuhkan luka itu, Nyai 

Gantari."

Perempuan tua itu pun segera menatap Soka 

lagi. Soka bersungut-sungut melirik kakaknya. Akhir-

nya ia berkata kepada Nyai Gantari dengan nada ka-

lem.

"Memang bisa saja aku menyembuhkannya. 

Tapi aku minta satu syarat, kembalikan Kitab Jaya-

sakti pada pemiliknya."

Kini perempuan tua maupun yang masih muda 

itu menatap kaget kepada Soka Pura, sedangkan Panji 

Doyok memandang dengan mata sayu dan wajah pu-

cat. Ia banyak kehilangan darah.

"Dari mana kau tahu tentang kitab itu, Soka?" 

tanya si Tupai Siluman.

"Aku membutuhkan Daun Astagina untuk 

mengobati Ibuku...."

"Daun itu sudah tidak tumbuh lagi di permu-

kaan bumi ini!" sahut Nyai Gantari.

"Masih ada orang yang menanam pohon Asta-

gina, dan orang itu adalah kakeknya Ayunda. Tetapi 

Ayunda hanya akan memberikan daun tersebut jika 

aku bisa mengembalikan kitab pusaka milik leluhur-

nya yang dicuri oleh Panji Doyok!"

"Ti... tidak! Aku tidak mencurinya. Sumpah! 

Oukh...!" Panji Doyok ngotot, namun akhirnya mengerang kesakitan sambil mendekap lukanya.

"Akan kusembuhkan lukamu, Panji. Kau akan 

kubantu, tapi ku mohon kau mau membantuku juga," 

ujar Soka Pura dengan nada bersahabat.

Nyai Gantari segera berujar kepada Panji 

Doyok, "Untuk kali ini, demi keselamatan nyawamu, 

kurasa... kita terpaksa mengalah, Panji."

"Tapi... tapi aku tidak mencuri kitab itu, Nek!"

"Bukankah kau kutugaskan mencurinya?!"

"Be... benar. Tapi aku tak sempat mencurinya, 

Nek. Ketika aku tiba di rumah keluarga gadis kembar 

itu, ternyata sudah ada orang yang lebih dulu masuk 

ke dalam rumah itu dan keluar dengan membawa ki-

tab tersebut. Ia berlari melompati pagar tinggi... dan 

aku tak sempat mengejarnya. Ka... karena penghuni 

rumah itu segera memergoki diriku berada di dalam 

halaman rumah mereka. Aku segera melarikan diri pu-

la, tapi mereka mengejarku dan menyangka aku telah 

mencuri kitab tersebut."

"Siapa orang yang keluar dari rumah itu sebe-

lum kau melakukan tugasmu?" tanya Nyai Gantari.

"Sam... Sampurgina, Nek!"

"Ooh...?!" Raka Pura terperanjat dengan mata 

melebar beradu pandang dengan adiknya.

"Benarkah kitab itu telah lebih dulu dicuri oleh 

Sampurgina, Kang?" tanya Bunga Dewi bernada sang-

si.

"Benar! Dan... dan ketika aku melarikan diri, 

aku sempat kepergok dengan iblis Bangor. Tapi ia be-

lum memaksaku untuk serahkan kitab tersebut. 

Mungkin ia mendengar kabar dari kedua gadis kembar 

itu tentang tuduhan pencuri kitab yang ditujukan pa-

daku. Maka ketika aku lolos dari gadis kembar pada 

saat Raka dan Soka menghadapinya, aku segera diha-

dang oleh Iblis Bangor, ia memaksaku untuk serahkan


kitab tersebut. Dan... ia menggeledah ku serta merobek 

perutku. Lalu... lalu kukatakan bahwa kitab itu sudah 

dicuri oleh Sampurgina! Sumpah, aku tidak sempat 

mencurinya!"

Raka Pura mendekati adiknya dan bicara pelan, 

walau ia sadar ucapannya akan terdengar oleh Bunga 

Dewi dan Nyai Gantari.

"Pantas Iblis Bangor ngotot ingin membunuh 

Sampurgina, rupanya dia yakin betul dengan penga-

kuan Panji Doyok."

"Tapi mengapa Sampurgina bilang padamu 

bahwa yang mencuri kitab itu adalah Iblis Bangor?!"

"Biasa... mengalihkan perhatian ke orang lain 

untuk selamatkan diri dari kecurigaan ku."

"Kalau begitu kita harus segera temui si Sam-

purgina! Kau masih ingat tempat tinggalnya?"

Bunga Dewi menyahut, "Aku tahu jalan terce-

pat menuju ke pondoknya Sampurgina!"

"Kau mau mengantarkan kami, Bunga!" "Asal 

kau sembuhkan dulu kakakku ini!" jawab Bunga Dewi.

Tak ada pilihan lain, Soka Pura akhirnya sem-

buhkan luka menganga lebar di perut Panji Doyok 

dengan jurus 'Sambung Nyawa'-nya yang mencen-

gangkan Nyai Gantari dan cucunya. Dalam hati sang 

Nyai menaruh rasa hormat dan salut kepada anak 

muda yang mampu menutup luka Panji Doyok hingga 

tak meninggalkan bekas sedikit pun.

"Benar-benar tinggi ilmunya! Pantas banyak 

orang memuji dan membicarakan tentang kemuncu-

lannya sebagai sepasang Pendekar Kembar?!" gumam 

hati Nyai Gantari alias si Tupai Siluman itu.

Bunga Dewi tak ingkar janji. Ia segera mengan-

tar Pendekar Kembar ke pondoknya Sampurgina ketika 

siang mulai datang. Dalam perjalanan itu, Raka Pura 

sempat menemukan kesimpulan tentang tindakan Dirgayana yang diperintahkan untuk membunuh keluarga 

Panji Doyok.

"Rencana itu terpikirkan oleh Sampurgina sete-

lah ia mendapatkan kitab tersebut. Sebab pasti ia tahu 

bahwa tindakannya itu diketahui oleh Panji Doyok. Ia 

khawatir Panji Doyok menyebarkan rahasia pencuri Ki-

tab Jayasakti, maka ia menyuruh Dirgayana untuk 

menghabisi Panji Doyok dan adik serta neneknya. 

Dengan begitu, tak akan ada yang tahu bahwa Sam-

purgina-lah yang mencuri kitab tersebut. Setidaknya ia 

bebas dari kejaran pemilik kitab itu."

"Sayang sekali orang yang disuruhnya adalah 

pemuda tolol yang tak punya ilmu memadai untuk tu-

gas itu," ujar Bunga Dewi.

"Semuanya sudah berlalu, untuk apa diingat 

lagi," sahut Soka Pura. "Yang penting adalah menemui 

Sampurgina dan mendapatkan kitab itu secepatnya!"

"Tak lama lagi kita sampai dl pondoknya Sam-

purgina," ujar Bunga Dewi.

Apa yang dikatakan Bunga Dewi memang be-

nar. Tak berapa lama kemudian, mereka tiba di pon-

dok Sampurgina. Raka masih ingat betul dengan ru-

mah di tengah hutan itu.

Tetapi ketika mereka tiba di pondok tersebut, 

ternyata Sampurgina tidak ada di tempat. Mereka ju-

stru dikejutkan oleh sesuatu yang mereka temukan di 

samping bangunan kayu itu. Sesosok tubuh terbujur 

dalam keadaan bermandi darah. Mereka segera menja-

di tegang karena mereka mengenal siapa orang yang 

terluka parah den dalam keadaan sekerat itu.

"Iblis Bangor...?!" pekik Raka dengan wajah te-

gang. Ia lebih dulu dekati orang berbadan besar yang 

terluka parah akibat tebasan senjata tajam di bagian 

dada dan punggungnya itu.

Iblis Bangor masih bisa bicara walau dengan


suara pelan sekali.

"Sam... Sampurgina licik...." "Sampurgina...?" 

gumam Raka pelan. "Di... dia habis... memeras kepua-

san diriku, lalu... tiba-tiba ia mengambil golokku dan 

membabat ku pada saat aku sedang tertidur. 

Uuukh...!" "Ke mana dia sekarang?!" "Per... pergi me-

nemui... menemui Nyai Keramat Malam... untuk se-

rahkan... Kitab Jayasakti yang... berhasil dicurinya 

itu...."

Bunga Dewi segera menyahut, "Kalau begitu dia 

pasti ada di Pantai Tangkur!" "Pasti dl sana?!"

"Ya, karena tempat itu sering dipakainya untuk 

lakukan adakan pertemuan dengan Nyai Keramat ma-

lam."

"Kejar dia sebelum kitab itu jatuh ke tangan 

Nyai Keramat Malam!" seru Raka Pura.

"Hei, tapi bagaimana dengan nasib si Iblis Ban-

gor ini?!" ujar Soka Pura.

"Bantu dia selamatkan nyawanya dari luka itu, 

Soka!"

"Aku lagi...?!"

Tapi Raka Pura segera menarik lengan Bunga 

Dewi, "Antarkan aku ke Pantai Tangkur. Carl jalan ter-

dekat dari sini!"

"Hei, kalian tidak menungguku?" seru Soka 

dengan bingung.

"Susul aku di Pantai Tangkur!" seru Raka Pura 

sambil bergegas pergi bersama Bunga Dewi.

"Sial!" gerutu Soka Pura, ganti 'dikerjain' oleh 

kakaknya. Mau tak mau ia lakukan penyembuhan du-

lu untuk selamatkan nyawa Iblis Bangor. Jurus 

'Sambung Nyawa' digunakan lagi. Dan ketika tubuh 

Panji Doyok telah memancarkan cahaya ungu, pertan-

da tinggal menunggu saat pemulihan pada bagian yang 

luka, Pendekar Kembar bungsu buru-buru meninggal


kannya. Ia segera menggunakan jurus 'Jalur Badai'-

nya untuk menyusul sang kakak.

Tepat ketika Raka dan Bunga Dewi tiba di Pan-

tai Tangkur, tampak si Sampurgina sedang berbicara 

dengan seorang perempuan tua berjubah hijau tua, 

bertubuh kurus, keriput, dan bermata cekung. Ram-

but putihnya dikonde di tengah kepala, sisanya meriap 

tipis.

"Itu mereka!" bisik Bunga Dewi. "Perempuan 

tua tak lain adalah Nyai Keramat Malam!"

"Tetaplah berlindung di balik batu ini. Aku 

akan menemui mereka!" ujar Raka Pura, kemudian ia 

melesat dengan cepat bagaikan menghilang. Tahu-tahu 

ia sudah muncul di belakang Nyai Keramat Malam 

yang sedang menerima kitab berwarna hijau dari Sam-

purgina.

"Tugasku sudah selesai untuk persoalan kitab

ini, Nyai!"

"Bagus! Kau memang orangku yang patut ku 

percaya dan menjadi andalan ku, Sampurgina!"

Begitu tiba di tempat itu, Raka Pura langsung 

menyambar kitab itu. Wuuus...! Tapi tangan Nyai Ke-

ramat Malam berhasil selamatkan kitab itu dengan 

menariknya ke belakang. Raka yang gagal sambar ki-

tab itu segera berkata,

"Sebaiknya kembalikan kitab itu pada pemilik-

nya, Nyai!"

Tentu saja kedua perempuan itu menjadi kaget. 

Nyai Keramat Malam segera memandang Raka Pura 

dengan tajam, sementara Sampurgina terperangah me-

lihat Raka tiba-tiba ada di pantai tersebut.

"Pendekar Kembar...?!" ucap Sampurgina lirih 

sekali.

Nyai Keramat Malam menggeram. "Keparat kau, 

Pendekar Kembar! Jangan coba-coba mencampuri


urusanku ini, Bocah ingusan!"

"Aku tidak mencampuri, hanya ingin meminta 

kembali Kitab Jayasakti itu!"

"Ini yang kukembalikan padamu. Heeiah...!"

Nyai Keramat Malam melepaskan pukulan ber-

sinar biru. Wuuut...! Raka sudah siap, sehingga den-

gan mudahnya ia menghantam sinar biru itu dengan 

jurus 'Mata Bumi'-nya yang berupa sinar merah seperti 

piringan bergerigi itu. Claaap...!

Blegaaarrr...!

Ledakan dahsyat terjadi sangat mengguncang-

kan alam sekitarnya. Beberapa batu karang sempat re-

tak karena gelombang ledakan yang menyebar kuat. 

Sampurgina sendiri terlempar sejauh enam langkah 

dan jatuh terbanting di pasir pantai. Demikian pula 

Nyai Keramat Malam yang tersentak dan terlempar ke 

belakang tanpa bisa menjaga keseimbangan tubuh. Ki-

tab berwarna hijau itu terpental ke atas, lepas dari 

genggaman sang Nyai. Padahal waktu itu Raka Pura 

sendiri juga terhempas ke belakang dan jatuh di dekat 

perairan pantai. Bruuusk...!

Kitab yang melayang di udara itu segera disam-

bar oleh seseorang yang baru saja tiba dan melesat be-

gitu cepat. Wuuut...! Teb...!

Orang itu segera bersalto satu kali. Wuk...! Lalu 

mendaratkan kakinya dengan mantap. Jleeg...!

"Soka!" seru Pendekar Kembar sulung yang ba-

ru saja bangkit. "Cepat bawa lari kitab itu!"

"Bagaimana dengan si nenek tua itu?!"

"Biar kuurus dial"

"Tak bisa! Kau terlalu lamban menurutku, Ra-

ka!" ejek sang adik.

"Heaaat...!" Nyai Keramat Malam segera sentak-

kan kakinya dan tubuhnya melayang bagaikan terbang 

dengan kedua tangan memancarkan sinar merah pijar.


Dari tangan itu segera keluar puluhan jarum yang me-

nyerupai bunga api. Zrrraaak...!

"Soka, awaaas...!" seru Raka Pura melihat adik-

nya terancam bahaya.

Soka Pura sentakkan kaki dan tubuhnya mele-

sat tinggi serta dalam kecepatan seperti orang menghi-

lang. Slaaap...! Jarum-jarum membara itu tak ada 

yang mengenai tubuh Soka, melainkan justru meng-

hancurkan bongkahan karang besar yang ada di tepi 

perairan pantai.

Jegaaarrr...!

Bongkahan karang sebesar rumah itu menjadi 

debu hitam dalam sekejap. Tetapi pada saat itu, Soka 

Pura yang masih melayang ke atas segera berjungkir 

balik dan meluncur ke bawah dalam keadaan menu-

kik. Clap, clap...!

Sinar putih seperti pisau runcing keluar dari 

tangannya. Jurus 'Cakar Matahari' digunakan untuk 

menyerang Nyai Keramat Malam. Perempuan tua yang 

baru saja ingin menapakkan kakinya ke tanah itu tak 

sempat menghindari dua sinar tersebut. Akibatnya, 

kedua sinar itu menghantam pundak dan lengan Nyai 

Keramat Malam tanpa ledakan sedikitpun. Cuuurb, 

cuuurb...!

"Haaakh...!" Nyai Keramat Malam mengejang 

sesaat. Tubuhnya menjadi hitam kering, matanya me-

rah menyeramkan.

"Ooukh...!" Nyai Keramat Malam akhirnya jatuh 

berlutut. Ia mengerahkan tenaga dalamnya untuk me-

nahan luka, namun tak berhasil. Akhirnya ia pun 

tumbang, terkapar dalam keadaan tubuhnya menjadi 

kering bagaikan arang, untuk kemudian tidak berna-

pas lagi.

Melihat Nyai Keramat Malam tewas di tangan 

Soka, Sampurgina segera melarikan diri dan tak berani


melakukan bela pati atas kematian sang penguasa Pu-

lau Sambang itu.

"Sampurgina lari!" seru Bunga Dewi.

"Biarkan dia lari! Nanti akan bertemu dengan 

Iblis Bangor dan mereka akan bikin perhitungan sendi-

ri!" ujar Soka Pura.

Akhirnya Pendekar Kembar bergegas pergi ke 

Lembah Saga untuk serahkan Kitab Jayasakti itu. Me-

reka pergi ke Lembah Saga tetap dengan diantarkan 

oleh Bunga Dewi sebagai penunjuk jalan ke sana.

Ternyata gadis kembar itu menepati janjinya. 

Kitab Jayasakti ditukar dengan empat lembar Daun 

Astagina. Daun itu dibawa ke puncak Gunung Merana, 

dan ternyata memang dapat dipakai sembuhkan Nyi 

Padmi yang sudah berhari-hari seperti mayat hidup 

akibat terkena pukulan beracun 'Sengat Peri' dari si 

Wajah Malaikat.

Kesembuhan Nyi Padmi merupakan kebang-

gaan tersendiri bagi kedua anak angkatnya itu. Nyi 

Padmi pun mengharapkan agar Pendekar Kembar ti-

dak buru-buru turun gunung, karena kerinduannya 

terhadap kedua anak angkat itu masih belum terselesaikan.


                               SELESAI


Segera terbit:

PEDANG BULAN MADU

























Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive