1
KABUT yang biasa melapisi puncak Gunung
Merana tidak segelap biasanya. Pertengahan lereng
gunung justru dilapisi kabut tebal. Tapi puncaknya ti-
dak. Entah mengapa kabut tak mau bergumul sampai
puncak. Yang jelas keadaan itu membuat puncak Gunung Merana berhasil diterobos oleh sinar matahari.
Sang surya yang lakukan terobosan ke puncak
gunung itu menyusup lewat celah-celah dedaunan.
Keadaan itu membuat puncak Gunung Merana menja-
di cerah. Kecerahan tersebut mempengaruhi hati dua
insan yang sedang berjalan-jalan di sekitar sebuah
makam tua. Makam itulah yang selama ini dijaga oleh
mereka hingga mereka hidup berpasangan dengan me-
sra di puncak Gunung Merana.
Makam itu tidak lain adalah makam tokoh du-
nia persilatan masa lalu yang dikenal dengan julukan
si Dewa Kencan alias Eyang Mangkuranda. Kesetiaan
seorang murid membuat makam itu dijaganya sepan-
jang hari, sekalian sang murid mengasingkan diri dari
rimba persilatan ke puncak Gunung Merana itu. Murid
tersebut kini sedang berduaan dengan lawan jenisnya,
Dua sosok yang sedang berjalan dengan mesra
itu tak lain adalah si Pawang Badai bersama istrinya;
Nyi Padmi. Sekalipun Pawang Badai sudah berusia se-
kitar enam puluh tahun, dan Nyi Padmi sudah berusia
sekitar lima puluh tahun, namun cinta kasih mereka
masih terjalin dengan harmonis, hangat namun tidak
seronok.
Sekalipun mereka sampai setua itu belum dika-
runiai keturunan, namun mereka sudah merasa cukup
bahagia dengan memiliki dua anak angkat yang kini
telah tumbuh dewasa dan menjadi sepasang pendekar
yang dikenal dengan nama Pendekar Kembar.
"Sudah empat purnama si Kembar tidak me-
nengok kita. Aku rindu sekali dengan mereka," ujar Nyi
Padmi dengan membiarkan tangan suaminya merang-
kul dari samping kanan.
"Aku pun merindukan mereka. Tapi percayalah,
mereka pasti pulang dalam beberapa waktu lagi. Mere-
ka tentu merindukan kita juga," ujar si Pawang Badai
dengan nada menghibur.
"Aku takut Raka dan Soka lupa kepada kita."
"Itu tidak mungkin, karena kita tahu persis wa-
tak mereka yang tak mudah melupakan orang-orang
yang pernah berjasa kepada mereka berdua. Jangan
punya pikiran seperti itu, nanti hatimu semakin ter-
siksa oleh kecemasanmu sendiri."
"Haruskah aku berpikir tentang dirimu terus?"
"Apakah diriku sudah membosankan untuk
menjadi buah pikiranmu?"
Nyi Padmi tertawa kecil. Pawang Badai meman-
dang dengan senyum seperti masa mudanya, yaitu se-
nyum yang selalu menggetarkan hati si gadis putri seo-
rang Tumenggung yang bernama Rara Padmi itu.
Nyi Padmi mencubit lengan suaminya yang su-
dah berkeriput itu. Tawa kecilnya berkepanjangan,
menandakan hatinya sedang ceria. Hanya saja, sayang
sekali keceriaan itu harus segera berakhir karena tiba-
tiba mereka sama-sama melihat sekelebat bayangan
melesat tak jauh dari samping kiri mereka.
Weees...!
Pawang Badai segera melompat ke depan bersi-
kap melindungi istrinya. Kedua matanya segera men-
gikuti kelebatan bayangan yang melintas serong menu-
ju ke hutan depan. Tapi tangan si Pawang Badai sudah
siap melepaskan pukulan jarak jauh jika sampai
bayangan itu menyerang mereka.
"Cepat masuk ke pondok!" perintah Pawang
Badai kepada istrinya.
Rupanya bayangan itu berkelebat menjauhi
mereka, sepertinya sedang menghindar sebuah keja-
ran. Hanya saja, ketika Nyi Padmi sedang bergegas
masuk ke pondoknya, ia tak tahu kalau dari arah
samping muncul seberkas sinar kuning emas yang me-
lesat cepat dalam bentuk seperti bintang berekor.
Claaap...! Dees...!
"Aahk...!" Nyi Padmi terpekik, pinggangnya ter-
kena sinar kuning emas itu.
"Hahh...?!" Pawang Badai terperanjat melihat is-
trinya limbung memutar dan akhirnya jatuh terkapar.
Brruk...!
"Padmii...!" sentak Pawang Badai dengan mata
membelalak tegang. Ia segera menghampiri istrinya
yang sudah hampir mencapai halaman pondok mereka
itu. Sang istri pun terkapar dengan suara mengerang
sebentar, kemudian diam tak bergerak dan tak bersua-
ra lagi.
Wees, wees...!
Pawang Badai yang nyaris meluapkan mur-
kanya itu sempat menahan diri karena melihat bayan-
gan lain yang melintas di sela-sela pepohonan. Bayan-
gan itu berkelebat ke arah kepergian bayangan yang
pertama.
"Berhenti kau, Keparat!" sentak Pawang Badai,
kemudian dengan cepat tangan kanannya mengibas
bagai melemparkan pisau. Wuuut...! Kejap berikut an-
gin besar datang dan berhembus dengan cepat.
Wuurrss...!
Glegaaar...!
Hembusan angin kencang itu dibarengi kilatan
cahaya terang bagaikan petir dilemparkan. Tanah
menjadi bergetar, sebagian ada yang longsor. Pohon
pohon tumbang karena dihempas angin besar yang ke-
luar dari jurus kibasan tangan si Pawang Badai. Bebe-
rapa pohon yang tumbang itu ada yang terpental ter-
cabut dari akarnya dan menerjang tanaman lainnya.
Puncak Gunung Merana bagian barat bagai dilanda
kiamat.
Dua bayangan yang tadi melesat dan segera tak
terlihat itu tak diketahui nasibnya. Hanya saja, si Pa-
wang Badai sempat melihat bayangan yang terakhir
melesat tak jauh darinya itu terlempar oleh hembusan
angin membadai setelah berada di kejauhan sana.
Melihat keadaan istrinya membuka mata dan
mengangakan mulut tanpa bergerak, Pawang Badai
sempat ragu-ragu dalam bertindak. Ia ingin mengejar
bayangan terakhir yang menurutnya telah melepaskan
jurus maut dan mengenai istrinya itu. Namun ketika
denyut nadi sang istri terasa masih ada, maka ia ba-
talkan niat untuk mengejar bayangan tersebut. Ia
mengutamakan lakukan pertolongan demi selamatkan
nyawa sang istri. Karena keadaan tubuh sang istri kala
itu sudah mulai membiru dengan wajah sepucat
mayat. Pawang Badai segera membawa istrinya masuk
ke pondok.
Sementara itu, badai yang dilemparkan tadi te-
lah mulai reda. Tinggal gema gemuruhnya yang masih
terdengar bagai menerjang sampai ke kaki Gunung
Merana itu.
Setelah diperiksa, ternyata keadaan luka Nyi
Padmi sangat berbahaya. Tubuhnya bukan saja men-
jadi biru memar, namun disertai dengan bintik-bintik
merah. Bintik-bintik merah itu adalah darah yang mu-
lai keluar dari pori-pori kulit perempuan tua itu.
"Keparat! Ini pukulan racun 'Sengat Peri'. Siapa
pemiliknya, aku pun tahu! Tapi mengapa ia menyerang
istriku?!" pikir Pawang Badai sambil memandangi kea
daan tubuh istrinya yang memprihatinkan itu.
"Inti darahnya mulai menghangus. Harus sege-
ra ku padamkan dengan 'Hawa Badai Salju' yang ada
padaku jika aku tak ingin kehilangan istri tercinta! Wa-
laupun 'Hawa Badai Salju' tidak mungkin bisa mema-
damkan seluruh inti darah yang terbakar, setidaknya
dapat menghambat keganasan racun 'Sengat Peri' itu!"
Tokoh tua yang sebenarnya sudah tak ingin
ikut campur di rimba persilatan lagi itu termenung
berkepanjangan memikirkan nasib istrinya. Ia tak bisa
menghilangkan racun 'Sengat Peri'. Ia hanya bisa
memperlambat cara kerja racun itu saja. Tetapi tidak
mungkin selamanya Nyi Padmi hanya akan menerima
'Hawa Badai Salju' saja.
Di ujung renungannya itu, tiba-tiba Pawang
Badai mendengar suara rintihan di tempat yang cukup
jauh.
Suara rintihan itu terdengar samar-samar tim-
bul tenggelam, seakan bisa terdengar jika angin ber-
tiup ke arah pondok.
Nalurinya yang mengatakan ada seseorang
yang dalam bahaya dan sangat menderita, segera
menggerakkan hatinya untuk segera mencari orang
terse but. Suara rintihan itu dilacaknya, semakin lama
semakin jelas jenisnya.
"Perempuan mana yang merintih di sebelah sa-
na itu?!" pikir Pawang Badai sambil melangkah mele-
wati hutan yang telah hancur akibat sapuan angin ba-
dai tadi. Tokoh tua berambut abu-abu sepanjang
punggung dengan jenggot dan kumis abu-abunya pula
itu segera hentikan langkah setelah jelas betul dari
mana datangnya suara rintihan itu.
Mata yang memancarkan wibawa itu akhirnya
menemukan seorang gadis yang separo tubuhnya ter-
timpa pohon besar dan dalam keadaan banyak luka di
tubuhnya. Si jubah putih bertongkat hitam itu segera
dekati gadis yang malang.
"Diakah yang memiliki pukulan racun 'Sengat
Perl' itu?! Oh, sepertinya hati kecilku tak mempercayai
dugaanku sendiri. Kurasa bukan gadis ini. Tapi men-
gapa ia ada di sini?!" pikir Pawang Badai.
Seorang gadis cantik bertubuh langsing me-
nampakkan wajah derita. Agaknya ia ikut terhempas
badai dan membentur ke sana-sini, hingga akhirnya
tumbang tak berkutik karena sebatang pohon menim-
pa bagian perutnya. Batang pohon yang tumbang itu
cukup besar. Pawang Badai memperkirakan, jika see-
kor buaya yang tertimpa pohon itu, pasti buaya terse-
but akan mati. Tetapi gadis itu tidak. Ia masih hidup.
Itu menandakan bahwa gadis berjubah coklat
muda itu bukan sembarang gadis. Setidaknya ia mem-
punyai ilmu tenaga dalam yang mampu menahan tu-
buhnya dari gencetan pohon besar tersebut. Hanya sa-
ja tenaga dalamnya itu tak mampu mendorong batang
pohon itu, mungkin karena yang ia miliki hanya sisa
dari tenaga dalam yang nyaris habis itu.
"Too... long... aku, Pak Tua...," ucapnya dengan
wajah cantik yang menyeringai. Kulit wajahnya yang
sebenarnya kuning langsat itu kini telah menjadi me-
rah kebiru-biruan karena saluran darahnya tergencet
pohon besar tersebut.
Pawang Badai segera mengganjal pohon itu
dengan tongkatnya. Tenaga dalamnya dikerahkan den-
gan tak kentara, karena urat-uratnya tak kelihatan
menegang.
Tongkat yang disodokkan ke sisi kanan tubuh
si gadis itu segera diangkat dengan gerakan pelan-
pelan dan pandangan matanya tertuju pada tongkat
tersebut. Ternyata tongkat sebesar pergelangan tan-
gannya itu mampu menopang batang pohon yang be
sar. Batang pohon itu terangkat pelan-pelan dengan
tongkat digenggam satu tangan.
Setelah tongkat itu mampu menopang pohon
besar dalam ketinggian sebatas perut, kaki Pawang
Badai segera menendang pelan betis si gadis. Duuhk...!
Tapi tenaga yang keluar dari kaki itu cukup besar, se-
hingga si gadis terdorong dan berguling-guling bebera-
pa kali.
"Aaahk...!"
Pawang Badai tak hiraukan pekikan si gadis.
Yang ia tahu, si gadis sudah berhasil disingkirkan dari
bawah batang pohon tersebut. Maka tongkatnya segera
ditarik dan batang pohon itu jatuh ke tanah kembali.
Brruuk...! Tanah di sekitarnya bergetar sedikit, namun
tak ada dahan pohon yang menimpa tubuh si gadis.
Gadis itu mengerang sebentar, kemudian terku-
lai lemas dalam keadaan tengkurap. Rupanya sang ga-
dis telah kehabisan tenaga, untung belum kehabisan
nafas, sehingga Pawang Badai segera membawa ke
pondoknya dalam keadaan si gadis masih pingsan.
Gadis berjubah coklat muda dengan celana
panjang dan pinjung penutup dadanya yang sekal
berwarna ungu itu segera diobati oleh Pawang Badai.
Tindakan itu bukan semata-mata dilakukan karena
rasa manusiawi semata, namun juga untuk mengeta-
hui siapa gadis itu dan mengapa sampai berada di
puncak Gunung Merana. Hawa murni yang disalurkan
ke tubuh si gadis dengan cara menempelkan dua te-
lunjuk ke leher si gadis, membuat gadis itu makin la-
ma bukan saja menjadi siuman, namun juga semakin
merasa sehat. Sekalipun ia belum bisa bangkit, namun
sudah bisa bicara dan melihat siapa orang yang meno-
longnya.
"Siapa kau sebenarnya?!" tanya si Pawang Ba-
dai dengan nada tegas dan berwibawa.
"Aku... aku adalah Anggani, murid mendiang
Nyai Pundilamis dari Bukit Jalang."
"Pundilamis...?!" gumam Pawang Badai dengan
kerutkan dahi. sepertinya ia mengenal nama itu. "Kau
tadi bilang 'mendiang' Nyai Pundilamis?! Apakah Pun-
dilamis sudah tewas?!"
"Benar, Pak Tua! Apakah kau mengenal men-
diang guruku itu?!"
"Ya, aku kenal dengan beliau. Tapi baru seka-
rang kudengar si Pundilamis meninggal."
"Karena memang baru tiga hari yang lalu beliau
tewas, Pak Tua!" ujar Anggani dengan wajah tampak
bersedih.
"Perguruan kami diserang oleh orang-orang
Rawa Geni. Pada mulanya kami bisa bertahan, dua
kali serang orang-orang Rawa Geni berhasil kami sapu
habis. Sampai ketuanya sendiri; si Warok Koncer tewas
di tangan guruku," tutur Anggani dengan kata-kata
yang belum selancar biasanya.
Pawang Badai menyimak sambil sesekali meli-
rik keadaan istrinya yang terbaring di balai-balai bam-
bu tak jauh darinya. Hati Pawang Badai selalu teriris
pedih manakala ia melirik istrinya dan menyadari sang
istri bagaikan patung bernyawa yang tak mampu ge-
rakkan apa-apa.
"Tetapi perguruanku menjadi hancur, rata den-
gan tanah, dan tak ada yang hidup satu pun kecuali
diriku, setelah kakaknya Warok Koncer muncul laku-
kan balas dendam kepada pihak kami."
"Siapa kakaknya Warok Koncer itu?!"
"Si Wajah Malaikat!"
Pawang Badai terperanjat, pandangan matanya
terkesip, seolah-olah nama Wajah Malaikat membuat
bulu kuduknya merinding seketika. Rupanya Pawang
Badai cukup kenal dengan nama tersebut, sehingga
detak jantung bertambah cepat diburu oleh dendam
yang tersembunyi di balik relung hatinya.
"Ternyata dugaanku benar! Dia masih hidup!"
gumam Pawang Badai dengan mata memandang ham-
pa.
"Apakah kau juga kenal dengan si Wajah Ma-
laikat, Pak Tua?!"
"Aku sangat mengenalnya, Nak," jawab Pawang
Badai, suaranya cukup pelan dan datar.
"Dia itulah orang yang mengejarku, Pak Tua!
Dia tak ingin orang Bukit Jalang ada yang hidup. Se-
dangkan satu-satunya orang yang masih hidup adalah
diriku. Maka ia mengejarku dan aku berlari terus sam-
pai ke sini...."
"Tentu saja kau tidak akan mampu menandingi
ilmunya si Wajah Malaikat!"
"Aku menyadari hal itu, Pak Tua! Sekalipun
aku berhasil lolos dari pukulan mautnya yang bersinar
kuning emas itu, tapi aku tetap merasa bahwa ia bu-
kan tandinganku. Karena aku lari dan lari terus tanpa
arah yang pasti."
Pawang Badai tarik napas. Ia baru menyadari
bahwa bayangan pertama yang tadi dilihatnya berkele-
bat itu adalah bayangan si Anggani yang dikejar oleh
Wajah Malaikat. Pawang Badai tak merasa sangsi sedi-
kit pun dengan pengakuan Anggani, sebab pengakuan
itu sangat masuk akal. Jika si Wajah Malaikat sudah
menggunakan ilmu pukulan jarak jauh yang mengan-
dung racun 'Sengat Peri', maka jarang sekali ada la-
wannya yang masih bisa menyelamatkan diri.
Jika sampai Anggani berhasil lolos dari puku-
lan beracun itu, berarti Anggani punya ilmu yang cu-
kup lumayan. Setidaknya punya kelincahan gerak
yang patut dipuji. Atau karena gadis itu memang se
dang bernasib mujur.
"Aku kenal dengan si Wajah Malaikat. Semula
aku sangsi melihat istriku terkena pukulan beracun
'Sengat Peri'. Aku tahu pukulan seperti itu hanya dimi-
liki oleh si Wajah Malaikat. Tapi, kusangka si Wajah
Malaikat sudah tewas beberapa tahun yang lalu dalam
peristiwa penyerangan orang Pulau Demit ke Muara
Bangke, tempat si Wajah Malaikat berkuasa. Tapi ter-
nyata dia masih hidup."
Pawang Badai menatap istrinya sebentar, hati
berdesir sedih pedih lagi. Saat itu, Anggani mencoba
bangkit dan ia berhasil duduk di tempat dengan kaki
melonjor. Matanya ikut memandang Nyi Padmi yang
ada di balai-balai bambu seberang.
"Berarti pukulan racun 'Sengat Peri' itu sebe-
narnya ditujukan untukmu, Anggani. Namun ternyata
meleset dan mengenai istriku. Padahal racun itu tak
bisa ditawarkan kecuali dengan menggunakan 'Daun
Astagina'," sambung Pawang Badai. "Sedangkan yang
namanya 'Daun Astagina' hanya ada di Taman Asta-
marta. Taman itu sendiri sekarang sudah rata dengan
tanah."
"Maaf, Pak Tua...," potong Anggani. "Taman As-
tamarta itu di mana?"
"Di Keraton Kencana Windu. Sedangkan Kera-
ton Kencana Windu sudah dihancurkan oleh prajurit
dari Laut Berantai. Keraton dan tamannya sudah dira-
takan dengan tanah."
"Jadi sekarang sudah tak ada?"
"Aku tak tahu dengan pasti; apakah pohon As-
tagina itu masih ada di sana atau ikut rata dengan ta-
nah," jawab Pawang Badai tampak bimbang.
"Kasihan istrimu itu, Pak Tua...," ujar Anggani.
"Gara-gara aku melarikan diri ke sini, beliau menjadi
korban pukulan ganas si Wajah Malaikat! Aku merasa
bersalah, Pak Tua."
Mendengar nada bicara Anggani yang penuh
sesal itu, Pawang Badai segera mengusap rambut pan-
jang gadis itu.
"Sebenarnya bukan salahmu, karena kau tak
sengaja membuat istriku celaka!"
"Tapi... tapi aku merasa sebagai penyebab ben-
cana yang dialami istrimu itu, Pak Tua. Aku tak tahu,
apa yang harus kulakukan jika sudah begini keadaan-
nya."
"Yang jelas, si Wajah Malaikat pasti masih hi-
dup."
"Dari mana kau tahu? Menurutku dia sudah
tewas karena badai dahsyat yang tiba-tiba muncul ta-
di," ujar Anggani dengan polos, karena ia tidak tahu
bahwa badai itu datang dari tangan si Pak Tua yang
ada di depannya.
"Wajah Malaikat pasti masih hidup, karena ia
punya jurus peringan tubuh yang dinamakan 'Serat
Mayat', tubuhnya bisa tembus benda keras apa pun
dalam satu helaan napas yang tertahan."
"Agaknya kau sangat tahu tentang si Wajah
Malaikat itu, Pak Tua?!"
"Karena semasa mudaku, kami pernah bersa-
habat. Tapi sejak ku tahu dia ikut aliran hitam, aku
memisahkan diri, dan sering bentrok dengannya," ja-
wab Pawang Badai.
"Kalau boleh ku tahu," kata Anggani setelah
menggumam kecil dan manggut-manggut."... siapa se-
benarnya dirimu ini, Pak Tua?"
"Apakah mendiang gurumu; Nyai Pundilamis
tak pernah bercerita padamu tentang seseorang yang
bernama Pawang Badai?"
"O, ya! Mendiang Guru memang pernah berceri-
ta tentang pemuda yang ditaksirnya semasa beliau
masih muda. Namun pemuda itu jual mahal dan ak-
hirnya Guru membencinya. Pemuda itu adalah si Pa-
wang Badai."
"Tapi aku tidak membenci gurumu," ujar Pa-
wang Badai.
Anggani menatap Pawang Badai dengan berke-
rut. Ia mulai curiga, dan akhirnya memastikan kecuri-
gaannya itu dengan sebuah kesimpulan.
"Kalau begitu, kaulah yang bernama Pawang
Badai itu?!"
"Kesimpulanmu tak salah, Anggani," jawab Pa-
wang Badai dengan nada berwibawa namun juga
berkesan bijaksana.
Anggani terkesip, sedikit sentakkan tubuh
mundur.
"Apakah kau ingin ikut membenci ku juga,
Nak?"
Anggani diam sebentar, lalu menjawab pelan,
"Ku rasa itu tak perlu kulakukan. Kebencian Guru ke-
pada mu karena urusan pribadi, Ki Pawang Badai. Aku
tak perlu ikut campur. Apalagi kau telah menyela-
matkan nyawaku dari gencetan pohon tadi, tak ada
alasan bagiku untuk membenci mu. Justru aku ingin
membalas kebaikanmu. Tunjukkan padaku apa yang
harus kulakukan untuk menolong istrimu itu, Ki Pa-
wang Badai?!"
"Jika begitu maumu, carilah anak kembar ka-
mi."
"Siapa namanya?"
"Raka Pura dan Soka Pura alias si Pendekar
Kembar!"
"Ooh... jadi... jadi Pendekar Kembar itu anak-
mu, Ki?" Anggani semakin kaget, karena ia sering
mendengar nama Pendekar Kembar yang sedang jadi
bahan pembicaraan para tokoh di rimba persilatan itu.
"Ya, mereka adalah anak angkat kami. Carilah
mereka dan beri tahukan keadaan ibu mereka di sini.
Jika perlu, suruh mereka mencari Daun Astagina' se-
cepatnya!"
"Akan kulakukan, Ki. Tapi bagaimana jika aku
gagal menemukan mereka? Atau bagaimana jika mere-
ka gagal menemukan 'Daun Astagina' itu?!"
Pawang Badai diam, matanya memandang jauh
bagai menerawang. Namun wajah tuanya mulai tam-
pak cemas. Mungkin ia membayangkan, bagaimana ji-
ka Pendekar Kembar tak berhasil mencari 'Daun Asta-
gina' yang merupakan tanaman paling langka itu?
*
* *
2
SEORANG pemuda berwajah tampan baru saja
memasuki kedai milik Ki Sawangan. Pemuda berbaju
buntung warna putih dengan celananya yang putih ju-
ga itu didampingi oleh seorang pemuda lain yang ber-
wajah tak begitu tampan, namun berkesan polos dan
lugu. Pemuda yang satu itu berambut pendek, tidak
sepanjang rambut si pemuda berbaju putih itu. Pemu-
da lugu itu berbaju coklat tua dengan celana biru dan
berkalung ketapel. Tubuhnya kurus, tidak sekekar dan
segagah pemuda yang menyelipkan pedang kristal di
pinggang kirinya.
Mereka tak lain adalah Raka Pura, si Pendekar
Kembar sulung bersama Bujang Bodo. Tentu saja yang
bernama Raka Pura adalah yang tampan, sedangkan
yang bernama Bujang Bodo adalah yang memiliki wa-
jah simpang siur itu. Mereka saling berkenalan ketika
si Bujang Bodo menemukan gadis Estigina alias si Pu-
tri Awan dalam keadaan bugil dan tak berdaya akibat
nyaris diperkosa oleh almarhum Bima Sura, (Baca
serial Pendekar Kembar dalam episode: "Iblis Pemburu
Wanita"). Sejak itulah Bujang Bodo selalu mengikuti
Raka Pura, seakan menjadi pelayan si Pendekar Kem-
bar sulung itu.
Mereka baru saja pulang mengantar Estigina ke
Perguruan Merak Yudha, karena gadis cantik itu ada-
lah putri sang ketua perguruan tersebut. Sedangkan
Pendekar Kembar bungsu yang dikenal dengan nama
Soka Pura gadis bernama Rara Wulan, putri tunggal
Adipati Darmadikan yang hobi minggat dan nyaris
menjadi korban kebejatan si Bima Sura itu. Jika Raka
Pura pergi mengantar si Putri Awan dengan didampingi
Bujang Bodo, maka Soka Pura pergi mengantar Rara
Wulan dengan didampingi Bandar Getih, karena Ban-
dar Getih memang pelayannya Rara Wulan.
Di dalam kedai yang cukup besar untuk uku-
ran warung makan tingkat desa itu, beberapa pasang
mata memperhatikan kemunculan Raka Pura. Sosok
pemuda bertubuh tegap dan gagah itu membuat mere-
ka berkesimpulan bahwa pemuda tersebut pasti bukan
pemuda tanpa ilmu. Ada yang memandang kagum, ada
pula yang memandang dengan rasa iri, terutama bagi
mereka yang punya tubuh kurus dan wajah beranta-
kan.
Tapi Raka tidak pedulikan pandangan mata
mereka. Dengan tenangnya ia duduk di bangku sudut
berhadapan dengan Bujang Bodo. Pedang kristalnya
diletakkan di bangku panjang sebelah kirinya.
"Mau makan apa?" tanya Raka Pura kepada
Bujang Bodo bernada menawari.
"Apa sajalah, tak perlu mewah-mewah. Pang-
gang ayam juga boleh."
"Itu namanya mewah!" sentak Raka Pura den-
gan nada pelan dan berkesan canda. Bujang Bodo tan-
pa senyum dan bahkan berkerut dahi. "O, jadi pang-
gang ayam itu termasuk makanan mewah? Bagaimana
kalau panggang semut?"
"Nah, itu baru makanan murah!" ujar Raka Pu-
ra sambil perpanjang senyum dan tawa yang mirip
orang menggumam. Setelah memesan makanan dan
minuman yang mereka inginkan, Bujang Bodo segera
duduk merenung tak peduli diperhatikan oleh Raka
Pura.
"Hei, jangan melamun. Nanti ayam mu mati."
"Ayam ku memang sudah mati sejak kakek ti-
dak punya uang buat beli lauk pauk," ujar Bujang Bo-
do.
"Mengapa sejak pulang dari Perguruan Merak
Yudha kau kulihat sering melamun, Bujang Bodo? Apa
yang kau pikirkan sebenarnya?"
"Estigina," jawab Bujang Bodo dengan polos
tanpa ragu ataupun malu. Jawaban itu membuat Raka
Pura semakin lebarkan senyum, karena ia tahu si Bu-
jang Bodo tampaknya naksir dengan Estigina. Padahal
menurut Raka Pura, wajah Estigina dengan Bujang
Bodo seperti pinang dibelah pakai linggis. Estigina pi-
nang yang utuh, Bujang Bodo pinang yang hancur dan
bonyok.
"Kurasa tak perlu terlalu berpikir tentang gadis
itu, Bujang Bodo. Dunia ini tidak selebar daun kelor."
"Iya. Kalau selebar daun kelor, lantas kalau aku
mau cuci muka di mana?"
"Artinya, bukan hanya Estigina gadis yang ada
di dunia ini. Masih banyak yang lainnya. Kau masih
punya kesempatan memilih gadis yang lain untuk di-
jadikan kekasihmu."
Bujang Bodo memandang Raka Pura. "Kau
sangka aku ingin menjadi kekasihnya Estigina?" "Jadi
mengapa kau melamunkan diri gadis itu?"
"Kamu memang bodoh," ujar Bujang Bodo se-
perti orang menggerutu. Suaranya pelan namun jelas
didengar oleh Raka Pura.
"Mengapa gadis itu tak kau izinkan untuk ikut
berkelana bersamamu, Raka?! Padahal dia ingin sekali
selalu bersamamu ke mana saja kau pergi."
"Dia punya kaki dan bisa berkelana sendiri ke
mana dia mau."
"Dia maunya bersamamu! Dia itu sangat cinta
kepadamu, Raka. Tapi kau menolaknya secara tak
langsung dan mengecewakan hatinya."
Raka tersenyum kecil. "Itu hanya dugaanmu
saja. Lupakanlah!"
"Tidak, Raka! Itu bukan dugaanku, tapi penga-
kuan langsung dari Estigina sendiri. Dia bilang begitu
padaku. Dia sampai bilang padaku: Belahlah dadaku
kalau kau tak percaya bahwa aku mencintai Raka, Bu-
jang Bodo...."
"Lalu sudah kau belah dadanya?"
"Boro-boro membelah dadanya, memegangnya
saja aku tak berani!" Bujang Bodo bersungut-sungut
membuat Raka Pura tertawa pelan.
Mereka menikmati santapan yang dipesan
sambil membicarakan gadis putri adipati itu. Sebenar-
nya Raka tahu bahwa gadis itu menaruh hati padanya.
Tapi hati Raka belum bisa tergerak sehingga belum bi-
sa menerima cinta si gadis. Hanya saja, hal itu tidak
pernah dikatakan kepada Estigina karena Raka Pura
takut menyakiti hati gadis itu.
Agaknya Bujang Bodo sangat berharap Raka
Pura berjodohan dengan Estigina. Menurutnya, pasan-
gan itu Sangat cocok dan serasi, seperti sandal jepit ki-
ri dan kanan. Cocok. Tapi agaknya ia ikut kecewa karena Raka Pura tak mau menerima gadis itu dalam ha-
tinya.
"Kalau aku punya wajah tampan sepertimu, ku
sambar si Estigina itu!" ujar Bujang Bodo.
"Bukankah wajahmu sudah tampan?"
"Jangan menghina! Aku sadar wajahku morat-
marit tak karuan bentuknya, sampai-sampai aku sen-
diri sering bingung membedakan wajahku dengan
tengkuk ku!"
Raka Pura hampir tersedak karena ingin terta-
wa mendadak mendengar ucapan Bujang Bodo yang
seakan diucapkan secara serius itu. Pada saat Bujang
Bodo ingin bicara lagi, tiba-tiba niatnya diurungkan
karena pandangan matanya mengarah kepada seseo-
rang yang baru saja muncul di kedai itu. Raka Pura
tak melihatnya karena ia memunggungi arah pintu
masuk kedai.
Orang yang baru saja datang itu berseru den-
gan suara lantang.
"Saudara-saudara... lihatlah kemari!"
Beberapa pengunjung kedai memandang ke
arah lelaki berpakaian serba hitam dan berbadan be-
sar itu. Kumisnya yang lebat menjadi pusat perhatian
mereka, karena kumis itu mempunyai dua warna; pu-
tih dan hitam.
"Lihat, aku membawa sekantong uang...," ia
menunjukkan kantong putih kusam yang digenggam
dengan tangan kanannya.
"Kantong ini berisi uang sejumlah... hitung
sendiri saja nanti!" ujarnya lagi dengan wajah ceria.
"Uang ini akan menjadi milik kalian, apabila
kalian berhasil menangkap si Perawan Bukit Jalang!"
"Perawan Bukit Jalang?!" gumam mereka saling
pandang dan saling bersahutan.
"Siapa pun yang bisa menangkap Perawan Bukit Jalang, dan membawanya ke Muara Bangke untuk
di serahkan kepada ketuaku, maka ia akan menda-
patkan uang ini!"
Cring, cring, cring...! Kantong berisi uang itu
sengaja diayun-ayunkan agar terdengar suaranya dan
menarik perhatian mereka. Salah seorang dari mereka
berkata kepada temannya.
"Wah, banyak sekali. Bisa buat makan selama
tujuh turunan."
"Apalagi kalau tidak dipakai-pakai, bisa awet
sampai tujuh puluh turunan."
Bujang Bodo menendang kaki Raka memberi
isyarat agar Raka memandang ke arahnya. Kemudian
dengan suara berbisik, Bujang Bodo berkata, "Bisa bi-
kin kita kaya, Raka."
"Apanya?" Raka berlagak bodoh.
"Uang itu!" sentak Bujang Bodo dalam bisikan.
"Kita cari si Perawan Bukit Jalang dan tangkaplah
orang itu, maka kau akan mendapatkan hadiah seba-
nyak itu, Raka! Kau bisa kaya, dan aku bisa numpang
kaya juga."
"Kita belum tahu apa kesalahan si Perawan
Bukit Jalang sampai nyawanya disayembarakan oleh
pihak Muara Bangke. Aku sendiri belum tahu siapa
penguasa Muara Bangke itu."
"Kalau tak salah ingatanku, penguasa Muara
Bangke itu adalah si Wajah Malaikat. Tapi sebaiknya
akan ku coba menanyakannya kepada orang itu."
"Sst...! Tak usah! Kita tak perlu ikut campur
hal-hai seperti itu, Bujang."
"Aah, kau ini...!" Bujang Bodo bersungut-
sungut tampak kecewa. Tapi sebentar kemudian ada
seorang pengunjung kedai yang ajukan tanya kepada
si pembawa sekantong uang itu.
"Sobat!" kata orang itu sambil berdiri. "Kalau
tak salah kau adalah orangnya si Wajah Malaikat, pen-
guasa Muara Bangke itu?!"
"Benar! Tepat sekali dugaanmu, Saudara! Hah,
hah, hah...!"
"Kalau boleh ku tahu, mengapa Perawan Bukit
Jalang harus ditangkap dan diserahkan kepada ketua
mu?!"
"Perawan Bukit Jalang adalah gadis yang licin
seperti belut. Ia sukar ditangkap, tapi mudah dibunuh
jika kalian sudah berhadapan dengannya. Ilmunya tak
seberapa tinggi. Cuma licin saja gadis itu."
"Yang kutanyakan, alasannya! Apa alasannya
sehingga Perawan Bukit Jalang harus ditangkap?!"
"O, begini...," orang berpakaian serba putih itu
maju beberapa langkah mendekati orang yang ber-
tanya.
"Beberapa waktu yang lalu, Perawan Bukit Ja-
lang bertamu ke Muara Bangke. Ketuaku menerimanya
dengan baik-baik. Tapi pada malam hari, ia mencari
mangsa dan bercinta dengan salah seorang pengawal
benteng Muara Bangke. Pagi harinya, pengawal itu
menggelepar-gelepar di depan ketua kami. Setelah di-
periksa, ternyata darahnya telah bercampur dengan
racun yang tidak bisa ditangkal dengan apa pun. Ra-
cun itu membusukkan darah dalam waktu singkat, la-
lu menewaskan pengawal kami itu. Sedangkan si Pe-
rawan Bukit Jalang telah hilang lenyap entah pergi ke
mana."
"Dari mana asal racun itu?"
"Dari mana lagi kalau bukan dari keringatnya si
Perawan Bukit Jalang. Jadi jelasnya, Perawan Bukit
Jalang harus dibunuh karena ia adalah perempuan
yang punya penyakit amat berbahaya. Jika tidak dibu-
nuh, maka pria mana pun yang bersentuhan dengan-
nya akan ketularan penyakitnya dan akan segera mati
terserang racun dalam tubuh si Perawan Bukit Ja-
lang!"
"Mengapa gadis itu tidak mati? Padahal justru
dia yang punya penyakit. Mestinya dia mati."
"Menurut ketuaku, racun itu hanya bisa beker-
ja dalam tubuh seorang lelaki, tapi tidak mematikan ji-
ka berada dalam tubuh seorang perempuan. Penyakit
itulah yang dinamakan penyakit 'Hantu Lanang'. Ka-
barnya, sampai sekarang penyakit 'Hantu Lanang' be-
lum ada obatnya. Sedangkan si Perawan Bukit Jalang
'itu pasti akan menyebarkan penyakit itu dengan ber-
ganti-ganti pasangan kencannya dengan jalan berpelu-
kan. Dapat kalian bayangkan, jika ia berbuat begitu di
sana-sini maka cepat atau lambat kaum lelaki di dunia
ini akan habis binasa terbunuh oleh penyakit terse-
but."
"Ooo...," mereka menggumam dan manggut-
manggut, lalu masing-masing saling berkasak-kusuk
sesama teman sendiri. Yang tidak membawa teman
menjadi punya teman karena ikut nimbrung dalam
percakapan mereka.
"Sebarkan pula sayembara ini kepada yang
lain!" ujar si lelaki berkumis dua warna itu. "Bahkan
jika ada yang memberi tahu... hanya memberi tahu sa-
ja... di mana si Perawan Bukit Jalang itu bersembunyi,
maka ia pun akan mendapatkan hadiah dari ketua
kami. Tentunya tidak sebanyak ini, karena hanya
modal congor saja, tidak mengerahkan tenaga untuk
menangkapnya. Kalian bisa datang langsung ke Muara
Bangke, atau menghubungi ku. O, ya... namaku Bran-
dal Komeng! Jika kalian melihat si Perawan Bukit Ja-
lang dan tak berani menangkapnya sendiri, jangan
sungkan-sungkan menghubungi ku. Kita dapat me-
nangkapnya secara ramai-ramai, lalu hadiahnya dapat
kita bagi bersama!"
Brandal Komeng segera pergi mencari tempat
berkumpul orang yang lainnya. Rupanya si Brandal
Komeng memang ditugaskan untuk menyebarkan ka-
bar tersebut dengan membawa sekantong uang sebagai
pemancing semangat mereka.
Salah seorang yang terpancing semangatnya
adalah Bujang Bodo.
"Kalau kau tak mau menangkapnya," katanya
kepada Raka Pura. "Aku sendiri yang akan menangkap
si Perawan Bukit Jalang itu."
"Kau pikir yang bernama Perawan Bukit Jalang
bukan orang berilmu?! Belum sempat mendekat kau
bisa-bisa sudah tak bernyawa lagi!"
"Yah, setidaknya aku bisa menjadi mata-mata
untuk memberitahukan kepada si Brandal Komeng itu
di mana Perawan Bukit Jalang berada. Toh begitu saja
aku bisa mendapat hadiah."
Raka Pura tersenyum kecil. Ia meneguk minu-
mannya.
"Kita harus segera bertindak, Raka. Jangan ter-
lalu lama di kedai ini!"
"Ku ingatkan padamu, jangan gegabah, Bujang
Bodo! Jangan terpancing oleh maut yang menganga di
depanmu. Kalau kau mati, lalu siapa lagi yang akan
menjadi bodoh? Tak ada. Jadi menurutku, kau tak
perlu ikut campur urusan itu supaya jangan mati dan
supaya tetap ada yang bodoh."
"Ah, kau mengecilkan kemampuanku, Raka!"
Bujang Bodo bersungut-sungut. "Aku punya jurus si-
ulan maut! Aku bisa membuat Perawan Bukit Jalang
itu tunduk padaku dan mau kuserahkan kepada si
Wajah Malaikat!"
Raka manggut-manggut. "Memang, kau me-
mang punya jurus atau ilmu siulan, dan memang
hanya ilmu warisan nenekmu itulah yang kau punyai.
Selebihnya tak ada. Tapi bagaimana jika ternyata si
Perawan Bukit Jalang itu adalah perempuan budek?!"
"Budek...?!" Bujang Bodo berkerut dahi. "Wah,
kalau perempuan itu tuli, repot juga. Siulanku tak
akan di dengarnya!" ujarnya, lalu si Bujang Bodo itu
termenung memikirkan hal itu dengan serius sekali.
"Apakah kau sudah tahu yang bernama Pera-
wan Bukit Jalang?"
"Aku belum pernah bertemu, tapi sepertinya
aku pernah mendengar namanya dibicarakan orang."
"Apalagi kau belum pernah tahu seperti apa
orangnya, mana mungkin kau bisa menangkap si Pe-
rawan Bukit Jalang itu?!"
"Tapi kalau tidak segera ditangkap, nanti dia
juga membunuhku, Raka. Sebab aku adalah seorang
lelaki!"
"Asal kau tidak tidur dengannya, mana mung-
kin dia bisa membunuhmu dengan penyakitnya itu?
Kalau ada lelaki yang terbunuh karena penyakitnya,
itu adalah kesalahan si lelaki itu sendiri. Karena itu-
lah, jangan tidur dengan sembarang perempuan biar
tak terkena penyakit terkutuk itu!"
"Tapi... bagaimana kalau ternyata Perawan Bu-
kit Jalang berhasil merayu Soka; adikmu?"
Raka Pura menjadi sedikit tegang. Hatinya me-
nyimpan kecemasan, karena ia tahu bahwa Soka,
adiknya, sangat mudah terbujuk oleh rayuan seorang
gadis. Bahkan sang adik yang bandel itu mudah ha-
nyut dalam cumbuan mesra seorang perempuan.
Raka mulai mengkhawatirkan keselamatan
adiknya. Jika Soka bertemu dengan Perawan Bukit Ja-
lang dan mereka akhirnya bercinta, maka penyakit itu
akan menular ke tubuh Soka dan bisa jadi Soka akan
kehilangan nyawa seperti cerita si Brandal Komeng
tentang
pengawal benteng Muara Bangke itu.
"Kalau begitu, kita cari si Perawan Bukit Jalang
itu sekarang juga, Bujang! Aku tak ingin adikku men-
jadi korban penyakit terkutuk itu!" ujar Raka Pura
dengan penuh semangat, dan Bujang Bodo menjadi
kegirangan.
*
* *
3
SIANG berganti malam, malam berganti pagi,
dan pagi pun mulai merayap menuju slang kembali.
Sang matahari bukan saja menyinari dedaunan dan
batu-batu di kaki bukit, tapi juga menyinari dua sosok
yang sedang bertarung dengan sengitnya di tanah tak
bertuan.
Dua sosok yang bertarung itu semula hanya
mengandalkan ketangkasan dan kekuatan tenaga da-
lamnya tanpa senjata. Namun ketika pertarungan se-
makin sengit, dua sosok yang bertarung itu mulai
menggunakan senjata masing-masing. Yang satu ber-
senjata pedang, yang satunya lagi bersenjata kipas ba-
ja. Ujung-ujung kipas itu membentuk keruncingan
yang mampu merobek dada lawannya.
Mereka yang bertarung saling mempertahankan
nyawa itu adalah dua orang perempuan yang punya
usia sedikit berbeda. Yang bersenjata pedang tampak
lebih muda lima tahun dari lawannya yang berusia se-
kitar dua puluh delapan tahun itu. Kecepatan gerak
mereka nyaris seimbang, tinggal tergantung kelenga-
han masing-masing. Dan agaknya si perempuan yang
bersenjata kipas baja berwarna putih mengkilap itu
sedikit lengah pada saat ia melepaskan tendangan
memutar, sehingga lawannya yang segera berguling ke
depan itu berhasil lepaskan tendangan ke atas dan te-
pat kenai pinggul lawan. Duuhk...!
Brruk...! Si jubah hijau dan bawahan merah
terjungkal, keseimbangan tubuhnya tak berhasil diper-
tahankan. Namun ia segera berguling dan dengan
menggunakan tangan kirinya yang menyentak di ta-
nah, tubuhnya berhasil melayang naik dengan kipas
dibentangkan di depan dada. Wees...! Jleeg...!
Begitu kakinya menapak di tanah, lawannya
datang menyerang dengan pedang ditusukkan ke de-
pan beberapa kali, namun berhasil ditangkis dengan
kipas bajanya.
Suut, trang, suut, trang, wees...! Trak...!
Weer...! Si pemegang kipas yang berjubah hijau itu me-
lompat ke sisi lain, jauhi lawannya yang ingin mene-
baskan pedangnya kembali. Sang lawan yang berjubah
coklat berpinjung penutup dada warna ungu itu tak
jadi menebaskan pedangnya. Namun ia berdiri dengan
kuda-kuda kokoh yang siap serang atau siap diserang.
Pedangnya terangkat lurus ke depan di samping kepa-
lanya.
"Majulah kalau kau ingin mati di tanganku, Si-
rih Duda!"
"Jangan merasa bangga dulu dengan dirimu.
Jangan panggil aku Sirih Duda kalau tak bisa melum-
puhkan dirimu, Perawan Bukit Jalang! Hiaaat...!"
Perempuan berjubah hijau itu melayang bagai-
kan terbang setinggi kepala lawannya. Sang lawan pun
tak mau diam saja. Ia segera sentakkan kakinya ke ta-
nah dan tubuhnya pun melesat tinggi menerjang si ju-
bah hijau. Wuuss...! Pedangnya ditebaskan ke arah
kepala si jubah hijau.
Bet, bet...! Trang, trang...!
Blaaarrr...!
Jubah hijau hantamkan telapak tangan kirinya
ke dada lawannya ketika kipasnya berhasil menangkis
pedang lawan. Tapi telapak tangan itu ternyata segera
disambut oleh genggaman tangan lawan yang juga ber-
tenaga dalam cukup besar, sehingga dua tenaga dalam
itu saling berbenturan dan timbulkan suara ledakan
yang cukup menggelegar. Keduanya sama-sama ter-
pental ke belakang, tubuh mereka melayang-layang
tanpa keseimbangan badan.
Brruuk...! Breeek...!
Keduanya sama-sama jatuh terbanting yang
membuat sepasang mata buru-buru memejamkan ma-
ta karena merasa kasihan kepada kedua perempuan
itu. Sepasang mata yang memperhatikan dari balik po-
hon itu adalah milik seorang pemuda berwajah tam-
pan, gagah dan kekar. Rambutnya yang putih dililit
sabuk kain warna merah. Sabuk kain itu dipakai me-
nyelipkan sebuah pedang yang tampak mewah dan ke-
ren, yaitu pedang yang terbuat dari semacam kaca, se-
jak dari gagang pedang, sampai pada mata pedang dan
sarung pedangnya juga terbuat dari kaca berukir.
Senjata itulah yang dinamakan Pedang Tangan
Malaikat alias Pedang Kristal. Hanya Pendekar Kembar
yang memiliki sepasang Pedang Tangan Malaikat. Jika
pedang itu diselipkan di pinggang kiri, berarti peme-
gang pedang itu adalah si Pendekar Kembar sulung
alias si Raka Pura, sang kakak. Tapi pedang tersebut
ternyata ada di pinggang kanan, menandakan akan di-
cabut sewaktu-waktu dengan gunakan tangan kiri. Je-
las pemegangnya adalah pemuda bertangan kidal. Sia-
pa lagi pemuda tampan bertangan kidal selain si Soka
Pura, Pendekar Kembar bungsu, adik kembar Raka
Pura. Tentu saja wajahnya sama persis dengan kakak
nya. Pakaian dan penampilannya juga sama persis.
Yang membuat beda adalah letak pedang mereka itu.
Rupanya Soka Pura sudah sejak tadi berada di
balik pohon itu mengintip pertarungan kedua perem-
puan tersebut. Namun ia belum tahu apa masalah
yang membuat kedua perempuan itu saling beradu ke-
saktian, karena ketika la tiba di balik pohon itu, perta-
rungan sudah dimulai dengan cukup seru.
"O, rupanya yang berjubah hijau itu bernama
Sirih Duda, dan yang berjubah coklat dengan penutup
dada dan celana panjangnya berwarna ungu itu berju-
luk Perawan Bukit Jalang?! Hmmm... baru sekarang
aku melihat wajah-wajah mereka yang menurutku
cantik-cantik itu. Hanya saja, Sirih Duda punya kecan-
tikan yang lebih matang dan sepertinya lebih pengala-
man dalam menghadapi seorang lelaki ketimbang si
Perawan Bukit Jalang," ujar Soka Pura dalam hatinya.
Ia masih belum mau turut campur urusan ke-
dua wajah cantik itu sebelum tahu persis persoalan
yang dipertarungkan. Karenanya ia hanya bisa me-
mandang dengan mata sesekali mengecil tanda ngeri
melihat salah satu akan terkena senjata-senjata ber-
bahaya itu.
Bahkan kali ini Soka Pura sempat memejamkan
mata dan melengos ke samping ketika Sirih Duda ter-
jungkal ke depan ketika punggungnya berhasil disam-
bar oleh tendangan kaki lawan yang berputar cepat itu.
Brruus...! Sirih Duda terbanting menyedihkan sekali.
Seandainya si Perawan Bukit Jalang benar-
benar ingin membunuh Sirih Duda, saat itulah ia
punya kesempatan menancapkan pedangnya ke pung-
gung Sirih Duda yang berusaha bangkit lagi dengan
merangkak pelan-pelan. Tapi agaknya Perawan Bukit
Jalang tak benar-benar berniat mengakhiri riwayat hi-
dup Sirih Duda, sehingga gadis itu hanya diam dalam
posisi pasang kuda-kuda kokoh penuh waspada.
"Jika masih kurang puas, cepat bangkit dan
hadapi aku lagi, Sirih Duda," seru Perawan Bukit Ja-
lang dari jarak lima langkah.
"Seharusnya Sirih Duda menyerah saja," ujar
hati Soka. "Sejak tadi ia terkena serangan lawannya.
Tampaknya ia tak bisa ungguli Ilmu si Perawan Bukit
Jalang itu. Tapi kenapa Sirih Duda masih ngotot saja?!
Padahal secara tak langsung ia sudah diberi kesempa-
tan untuk perpanjang umur oleh Perawan Bukit Ja-
lang. Bodoh amat Sirih Duda itu. Bandel!"
Sirih Duda tegak kembali. Nafasnya yang ter-
engah-engah sedikit berkurang setelah ia dibiarkan
berdiri dengan kedua kaki sedikit merenggang dan
hanya dipandangi oleh Perawan Bukit Jalang yang su-
dah mengendurkan kuda-kudanya, namun pedangnya
masih digenggam kuat-kuat. Kapan saja dapat diguna-
kan untuk menangkis serangan lawan.
"Sirih Duda, kuberi kesempatan sekali lagi; ce-
pat pergi dan tak perlu menggangguku lagi!"
"Tak semudah itu kau menyuruhku pergi!"
Sirih Duda bicara dengan ketus dan sungging-
kan senyum sinis. Ia melangkah ke samping, sambil
matanya masih tetap memandang lawannya dengan ta-
jam. Agaknya ia sedang menunggu kelengahan sang
lawan untuk lepaskan serangan yang dapat melum-
puhkan gadis berjubah coklat muda itu.
"Mengapa kau jadi sangat membenci ku, Sirih
Duda! Bukankah kita sebelumnya adalah sahabat
yang tak punya masalah apa-apa?! Bukankah kau ta-
hu siapa diriku sebenarnya?"
"Ya, aku tahu kau murid unggulan dari pergu-
ruan mu. Tapi perguruanmu sekarang sudah hancur,
tak ada salahnya jika ku manfaatkan dirimu untuk
kepentingan pribadiku! Sebaiknya kau menyerah saja,
Perawan Bukit Jalang. Aku sendiri tak tega jika harus
membunuhmu. Lebih baik kau kuserahkan kepada si
Wajah Malaikat dan nasibmu tergantung di tangan si
Penguasa Muara Bangke itu. Aku hanya membutuh-
kan uang hadiah yang dijanjikannya bagi siapa pun
yang bisa menangkap dan menyerahkan dirimu kepa-
danya! Sekali lagi ku tegaskan, aku butuh uang itu un-
tuk suatu keperluan!"
"Hanya karena uang kau rela mengorbankan
persahabatan kita, Sirih Duda?!"
"Karena aku sudah bosan hidup miskin! Aku
ingin kaya dan bisa membeli pria mana saja yang
kuinginkan!" jawab Sirih Duda dengan senyum sinis,
tanpa malu-malu lagi, seakan justru merasa bangga ji-
ka rencananya diketahui oleh sahabatnya itu.
"Jika tekadmu sudah seperti itu, terpaksa ku
tegaskan hatiku untuk menyelesaikan pertarungan ini.
Jangan salahkan diriku jika kau harus kehilangan
nyawa hari ini, Sirih Duda!"
"Itu tak mudah, Perawan Bukit Jalang! Kau bo-
leh bangga di antara saudara perguruanmu, karena
kau memang paling unggul dan diandalkan sebagai
benteng perguruan oleh gurumu! Tapi di depanku kau
tak bisa lagi berbangga diri seperti itu!"
"Bersiaplah ke neraka, Teman Serakah!" geram
Perawan Bukit Jalang. Kaki kirinya ditarik ke belakang
sedikit, kuda-kuda siap serang dipasang. pedang pun
mulai diangkat kembali dengan genggaman makin
kencang.
Sirih Duda diam sejenak, tangan kirinya ber-
sandar pada sebatang pohon. Sepertinya ia sedang
mempertimbangkan sesuatu hingga perlu merenung
sesaat.
Tiba-tiba suaranya terdengar lantang, "Kalau
aku mau melepaskan dirimu, apa yang akan kau per
buat dari kebaikanku nanti, Perawan Bukit Jalang?!"
Gadis berambut panjang lepaskan posisi kuda-
kudanya. Nafasnya terhempas panjang, karena merasa
sahabatnya sudah mulai akan sadar atas kekeliruan
langkahnya itu.
"Sirih Duda, kau adalah sahabatku sejak dulu.
Sudah lama kita saling bersahabat dan hidup dengan
damai. Tentu saja aku ingin menjaga perdamaian di
antara kita berdua dan saling membantu jika kita
punya kesulitan! Aku tak mungkin bisa melupakan di-
rimu, Sirih Duda."
"Tapi nyawamu terancam oleh si Wajah Malai-
kat! Sebentar lagi kau pasti akan pergi meninggalkan
diriku, dan aku tak punya sahabat lagi. Karenanya,
sebelum kau pergi, kau akan ku manfaatkan untuk
memburu kepentingan pribadiku. Toh walaupun aku
mundur dan tetap bersahabat denganmu, kau tetap
akan ditangkap oleh orang-orang yang memburu ha-
diah besar dari si Wajah Malaikat itu!"
"Tak dapatkah kau membantuku menghalau
mereka?!"
"Apakah kau butuh bantuanku?!" "Mengapa ti-
dak?! Sekarang aku sendirian, tanpa perguruan lagi,
sementara adikku masih belum berhasil kutemukan di
mana dia berada. Kaulah satu-satunya saudaraku, Si-
rih Duda."
Setelah diam lagi beberapa saat, Sirih Duda
akhirnya merentangkan kedua tangannya sambil me-
langkah maju.
"Maafkan aku, Perawan Bukit Jalang...."
Si gadis bertubuh langsing itu akhirnya me-
nyambut pelukan Sirih Duda dengan segenap hati
memaafkan kesalahan Sirih Duda. Hanya saja, ketika
Perawan Bukit Jalang Ingin menyambut pelukan itu,
tiba-tiba kipas Sirih Duda menyentak ke depan dalam
keadaan terkatup dan sekeping mata pisau berujung
runcing keluar dari kipas tersebut. Craak...! Wuuut!
Jrrub...!
"Aaahk...!" Perawan Bukit Jalang terpekik den-
gan suara tertahan. Matanya melebar dan mulutnya
ternganga. Mata pisau itu menghujam ke ulu hatinya,
menembus pinjung penutup dadanya yang ungu itu.
Sedangkan Sirih Duda melompat mundur dengan ce-
pat sambil mencabut pisau di ujung kipasnya dari ulu
hati Perawan Bukit Jalang.
"Haah, hah, hah, hah, hah...! Akhirnya kau
berhasil kulumpuhkan juga, Gadis Tolol!" seru Sirih
Duda dengan tertawa kegirangan tanpa rasa sesal se-
dikit pun.
"Kau tak akan mampu menahan racun dari pi-
sauku ini, Gadis Tolol!"
Sirih Duda sengaja makin menjauh, menunggu
jatuhnya si Perawan Bukit Jalang yang terhuyung-
huyung mempertahankan kekuatannya. Namun agak-
nya racun dari pisau itu telah menyerang sekujur tu-
buhnya dan melumpuhkannya, hingga Perawan Bukit
Jalang akhirnya jatuh berlutut sambil mendekap lu-
kanya dengan tangan kiri yang berlumur darah.
"Licik!" geram Soka Pura dari persembunyian-
nya. "Sirih Duda tidak pantas dijadikan seorang saha-
bat, karena dia berjiwa pengkhianat!"
Terdengar suara Sirih Duda berseru di sela ta-
wa kegembiraannya.
"Hidup atau mati sama saja bagi si Wajah Ma-
laikat. Siapa pun yang bisa serahkan dirimu dalam
keadaan hidup atau mati tetap akan dapatkan hadiah
besar dari si Wajah Malaikat! Sebab itulah akhirnya
aku harus membuang nyawamu dulu daripada repot-
repot menangkapmu, Perawan Bukit Jalang!"
"Kejam sekali kau!" tiba-tiba Soka Pura berseru
sambil keluar dari persembunyiannya. Ia melangkah
cepat ke arah Perawan Bukit Jalang, namun pandan-
gan matanya ditujukan kepada Sirih Duda.
"Baru sekarang kulihat orang yang begitu ke-
jamnya terhadap sahabatnya sendiri!"
"Hei, siapa kau, Bocah Tampan?!" Sirih Duda
justru menyapa dengan senyum berbinar-binar, kare-
na ketampanan dan kegagahan Soka Pura membuat
hatinya mulai berdebar indah.
Perawan Bukit Jalang jatuh terpuruk dengan
suara rintihan kecil yang memanjang. Hati Soka Pura
tak tega, ia segera berlutut di samping gadis itu.
"Bertahanlah, Nona! Aku akan sembuhkan lu-
kamu itu dan setelah itu hajarlah sahabatmu yang
layak sebagai seorang pengkhianat itu!"
"Hei, jangan sentuh gadis berpenyakit berba-
haya itu! Kau akan mati tertular penyakitnya, Bocah
Ganteng!"
Tapi Soka Pura tetap meraih tubuh Perawan
Bukit Jalang. Sekalipun belum tahu kehebatan Soka,
tapi Sirih Duda merasa cemas dan takut kalau pemuda
tampan itu benar-benar bisa sembuhkan lukanya Pe-
rawan Bukit Jalang. Maka serta-merta ia menerjang
Soka Pura dengan satu lompatan cepat.
"Dasar bandel kau! Hiaaah...!"
Wuuuss...!
Soka Pura cepat sentakkan lengannya ke atas
sambil berdiri. Plak...! Kaki perempuan berjubah hijau
itu berhasil ditangkis dengan lengan yang melintang.
Sentakan lengan itu cukup kuat, sehingga kaki Sirih
Duda bagai terlempar ke atas dan membuat tubuhnya
berjungkir balik. Wuuuk...!
Tapi kaki Soka Pura segera menendangnya dan
kena telak di punggung Sirih Duda. Buuhk...!
Wweeerr...! Tubuh si jubah hijau terpental jauh
dan membentur pohon dengan kuat. Bruus...!
"Aaow...!" Sirih Duda pun memekik kesakitan.
"Kau benar-benar manusia tanpa perasaan se-
dikit pun!"
Sirih Duda menjadi berang. Ia cepat bangkit
dan sodokkan kipasnya dalam keadaan terkatup. So-
dokan kipas itu melepaskan sinar putih perak yang
mengarah ke dada Soka Pura. Claap...!
Tapi si Pendekar Kembar bungsu tidak mau ka-
lah sigap. Ia segera sentakkan telapak tangannya ke
depan dan seberkas sinar merah seperti cakram berge-
rigi melesat dengan cepat, memercikkan bunga api di
sekelilingnya. Claap...! Sinar merah itu akhirnya berta-
brakan dengan sinar putih lurus dari tangan Sirih Du-
da.
Jegaaarrr...!
Ledakan yang terjadi sangat dahsyat. Soka Pu-
ra sempat tersentak mundur tiga langkah, hampir saja
jatuh karena sentakan gelombang ledakan tadi. Na-
mun ia segera tegak kembali dan mampu menjaga ke-
seimbangan tubuhnya.
Tetapi Sirih Duda mengalami nasib yang men-
genaskan. Ia jatuh terkapar karena gelombang ledakan
itu dan tubuhnya terdorong ke belakang sejauh dela-
pan langkah. Sreeettt...! Proook...!
"Aaahk...!" Sirih Duda memekik keras ketika
kepalanya membentur batu sebesar kepala kerbau.
Tubuhnya terasa sakit semua karena menjadi memar.
Rupanya gelombang ledakan yang membawa udara
panas tadi lebih banyak menghempas ke arah Sirih
Duda, sehingga perempuan itu merasa seperti dihem-
bus udara panas yang menyengat sekujur tubuhnya.
Ketika Sirih Duda merintih kesakitan sambil
menggeliat lemas, Soka Pura segera mengangkat tubuh
Perawan Bukit Jalang yang telah pucat pasi dan dingin
itu. Pedang si gadis pun dibawanya pula, kemudian
Soka membawa lari gadis itu, mencari tempat aman
untuk sembuhkan luka si gadis malang itu.
Wuuuzz...! Gerakan cepat dari jurus 'Jalur Ba-
dai' membuat Sirih Duda tidak mengetahui ke mana
arah kepergian si pemuda tampan. Yang ia ketahui
hanyalah tempat kosong dan sisa darah dari lawannya.
Sirih Duda akhirnya berteriak keras-keras mengetahui
lawannya telah lenyap tak diketahui arah kepergian-
nya.
"Jahanaaaaammmmm...!!"
Teriakan itu adalah teriakan kejengkelan atas
kegagalannya menangkap si Perawan Bukit Jalang.
Namun dalam hatinya ia bersumpah untuk mencari
Perawan Bukit Jalang ke setiap jengkal tanah di per-
mukaan bumi ini. Ia tak tahu bahwa Perawan Bukit
Jalang sudah berada bersama Pendekar Kembar bung-
su.
"Akan kubunuh keduanya! Kuhancurkan mere-
ka berdua tanpa peduli lagi dengan hadiah dari si Wa-
jah Malaikat! Ini sudah merupakan dendam pribadiku
yang amat kecewa dengan tindakan si tolol bermuka
tampan itu! Puih...!" geram Sirih Duda sambil berjalan
terhuyung-huyung karena harus menahan rasa sakit
di sekujur tubuhnya.
*
* *
4
SEBENARNYA Soka tak ingin melepaskan jurus
'Mata Bumi'-nya kepada lawan yang tak seberapa
tangguh. Tapi karena serangan sinar putih dari Sirih
Duda tadi sangat membahayakan dan Soka butuh
waktu secepatnya untuk menolong Perawan Bukit Ja-
lang itu, maka jurus 'Mata Bumi' terpaksa dilepaskan-
nya. Jika Soka terlambat melakukan pengobatan ter-
hadap gadis itu dengan menggunakan jurus pengoba-
tan 'Sambung Nyawa' itu, maka nyawa si gadis benar-
benar tak bisa tersambung lagi, alias mati.
Jurus pengobatan 'Sambung Nyawa' membu-
tuhkan sentuhan langsung antara kulit dengan kulit,
yaitu telapak tangan Soka harus menyentuh kulit tu-
buh si Perawan Bukit Jalang tanpa ada penyekat se-
lembar benang pun. Kala itu telapak tangan Soka sen-
gaja ditempelkan di dada si gadis, di atas pinjung pe-
nutup dada. Sedikit gumpalan dada yang tersembul
mulus itu sempat dirasakan menghangat di telapak
tangan Soka.
Namun pikiran Soka segera dialihkan kepada
kekuatan Inti gaibnya yang dipadu dengan hawa murni
dari pernapasannya.
Telapak tangan itu segera memancarkan ca-
haya ungu. Cahaya ungu itu bagai meresap ke dalam
tubuh Perawan Bukit Jalang. Maka tubuh gadis itu
pun mulai memancarkan cahaya ungu pula. Sekujur
tubuh menjadi kemilau warna ungu. Telapak tangan
Soka segera diangkat dan tidak memancarkan cahaya
ungu lagi, tapi tubuh si gadis masih memancarkan ca-
haya ungu.
Sayang si gadis kala itu masih belum siuman,
sehingga ia tak mengetahui perubahan yang terjadi
pada tubuhnya. Cahaya ungu itu bagaikan mengering-
kan luka dengan cepat, bahkan mengembalikan kulit
dan daging yang rusak karena tikaman pisau beracun
milik Sirih Duda tadi. Luka di ulu hati menjadi rapat
kembali. Lenyap tanpa bekas. Hal itu diketahui oleh
Soka, karena pemuda itu sengaja mengintipnya den
gan menyingkapkan pinjung penutup dada ketika ca-
haya ungu itu telah pudar dari tubuh si gadis.
Kini keadaan Perawan Bukit Jalang telah nor-
mal kembali. Utuh seperti sediakala, seperti tak pernah
tergores benda apa pun. Tapi kain penutup dadanya
masih tetap bolong sebagai tanda bekas luka di tempat
tersebut. Soka pun buru-buru merapikan pinjung pe-
nutup dada itu agar tak diketahui oleh si gadis bahwa
pinjungnya pernah disingkapkan oleh Soka.
"Mulus dan montok juga gadis ini," pikir Soka
dengan usil. "Tak terlalu besar, namun agaknya cukup
kencang dan iih... gemes aku jadinya. Kalau kuremas
sekarang, jangan-jangan dia segera siuman. Malu se-
kali kalau sampai ketahuan," sambil mata Soka yang
nakal itu menatap ke arah gumpalan bukit di dada si
gadis.
Benar juga kekhawatiran Soka Pura tadi. Kare-
na beberapa saat kemudian, gadis itu segera siuman
dan terkejut mendapatkan dirinya sudah berada di da-
lam sebuah gua yang tak punya lorong tembus. Gua
itu penuh dengan batu-batu setinggi perut orang de-
wasa. Namun ada beberapa tempat yang kering dan
datar. Di tempat yang kering dan datar itulah, Soka
membaringkan si gadis. Cahaya matahari masuk mela-
lui beberapa lubang yang ada di langit-langit gua yang
cukup tinggi itu, sehingga keadaan di dalam gua terse-
but cukup terang.
Si gadis segera pandangi Soka dengan dahi
berkerut dan duduknya mundur hingga bersandar pa-
da sebongkah batu. Soka Pura hanya tersenyum-
senyum ketika beradu pandang selama tiga helaan na-
pas. Si gadis sempat merenungi keadaan dirinya se-
bentar yang sudah merasa segar dan tak punya luka
sedikit pun itu.
"Kurasa dialah penolongku," pikir Perawan Bukit Jalang. "Tapi mengapa lukaku hilang sama sekali?!
Apakah pemuda itu juga yang menghilangkan luka-
ku?!"
Si gadis pandangi tangannya yang masih ber-
lumur darah dari lukanya yang tadi. Pada saat itu So-
ka Pura segera perdengarkan suaranya untuk menga-
wali suatu percakapan.
"Tak jauh dari gua ini ada sungai kecil. Kau bi-
sa mencuci tanganmu di sungai kecil itu. Kalau kau
mau, akan kuantar sekarang juga."
"Siapa kau sebenarnya?" tanya si gadis dengan
pandangan mata berkesan penuh curiga.
"Kau tak perlu curiga padaku. Aku telah mem-
bawamu kemari agar Sirih Duda tidak mengganggu
masa pengobatan yang kulakukan pada lukamu tadi."
"Yang kutanyakan, siapa kau?!" si gadis sedikit
menghardik.
"Namaku Soka Pura. Kau bisa memanggilku
Soka saja, atau ditambah kata 'sayang' di belakangnya
juga tak jadi masalah bagiku."
Perawan Bukit Jalang terkesip. Semakin tajam
sorot matanya dalam pandangi si Pendekar Kembar
bungsu itu. Lalu mata itu melirik ke arah pedang di
pinggang Soka.
"Hmrnm.... Pedang Tangan Malaikat?!" gumam
si gadis membuat Soka Pura terperanjat.
"Hei, kau mengetahui nama pedangku ini ru-
panya?"
"Di mana kakakmu; si Raka Pura itu?" tanya
Perawan Bukit Jalang sambil berdiri dan menyarung-
kan pedangnya.
"Kau... kau juga kenal dengan kakakku; Raka
Pura itu?! Oh, tak kusangka kau mengenalnya?!"
"Lebih dari itu," ujar Perawan Bukit Jalang. Kali
ini nadanya tak seketus tadi. Hanya mempunyai aksen-aksen ketegasan dalam tiap ucapannya.
"Aku juga kenal dengan orangtua angkat ka-
lian; Ki Pawang Badai dan Nyi Padmi!"
"Ooh...?!" Soka semakin terkejut, kali ini justru
tak ada senyum di bibirnya, karena ia merasa benar-
benar heran terhadap gadis yang baru kali itu dijum-
painya. Bahkan nama Perawan Bukit Jalang pun baru
sekarang didengarnya.
"Siapa kau sebenarnya?!" Soka ganti bertanya.
"Aku adalah Perawan Bukit Jalang. Nama asli-
ku Anggani...."
"Siapa?! Anggiri?!"
"Anggani!" tegas gadis itu. "Anggiri adalah nama
adikku!"
"Oh, jadi Anggiri alias si Perawan Hutan itu
adik mu?!"
"Benar! Rupanya kau kenal dengan adikku
itu?!"
"Ya, tentu saja aku kenal dengan Perawan Hu-
tan, karena kami bertiga pernah bersama-sama menu-
ju ke sebuah tempat yang kami anggap keramat. Aku
dan Raka mendapatkan pusaka Pedang Tangan Malai-
kat ini sedangkan Perawan Hutan itu si Anggiri men-
dapatkan Bunga Ratu Jagat," sambil benak Soka
membayangkan seraut wajah cantik yang menurutnya
memang punya kemiripan dengan si Perawan Bukit Ja-
lang itu. Hanya bedanya, si Perawan Hutan mempu-
nyai dagu yang dekik, sedangkan Perawan Bukit Ja-
lang tidak, (Baca serial Pendekar Kembar dalam epi-
sode: "Goa Mulut Naga").
"Bunga apa?!"
"Bunga Ratu Jagat!" ulang Soka. Kemudian So-
ka jelaskan khasiat keramat Bunga Ratu Jagat itu,
yang akan membuat si Perawan Hutan akan menjadi
seorang ratu. Pemilik bunga keramat itu akan dihor
mati, disegani dan dikagumi setiap orang, di samping
menjadi seorang ratu seumur hidup.
"Sekarang di mana adikku itu?!" tanya Perawan
Bukit Jalang.
"Aku tak tahu di mana dia sekarang. Dan...
sungguh tak kusangka kalau kau adalah kakaknya si
Perawan Hutan! Dia tak pernah bilang padaku kalau
punya adik secantik dirimu, Anggani."
Gadis itu tersipu malu dan menutupnya den-
gan cara buang muka, melangkah ke pintu gua dan
menatap ke arah luar sebentar. Dari sana ia perden-
garkan suaranya yang bening dan enak didengar itu.
"Sejak kecil, aku dan Anggiri memang selalu
bertengkar. Ketika remaja kami saling bermusuhan
dan saling tak mengakui punya saudara kandung."
"Mengapa sampai terjadi permusuhan seperti
itu?"
"Ah, kurasa itu karena jiwa kanak-kanak kami
saja," jawab Anggani dengan nada kesal. "Kami berpi-
sah sejak kedua orangtua kami tiada. Kami saling
mencari Guru untuk dapatkan ilmu, dan ilmu itu akan
kami gunakan untuk saling menyerang jika sewaktu-
waktu kami jumpa. Tapi setelah semakin dewasa se-
makin terbuka pikiran dan hatiku untuk tidak mem-
biarkan permusuhan ini berkelanjutan. Masa kanak-
kanak biarlah berlalu, tidak sewajarnya jika kami sal-
ing mendendam hanya karena masa kanak-kanak. Se-
karang aku merasa mempunyai seorang adik dan ingin
bertemu dengannya. Namun... bencana itu terjadi se-
belum aku berhasil temukan si Anggiri."
"Bencana apa maksudmu?" desak Soka Pura
semakin ingin tahu.
Kemudian, Anggani menceritakan peristiwa
pembantaian di perguruannya yang dilakukan oleh si
Wajah Malaikat. Soka Pura cepat dapat menyimpulkan
apa sebab Sirih Duda bernafsu sekali untuk menang-
kap si Perawan Bukit Jalang.
Cerita gadis itu sampai pada pelariannya ke
puncak Gunung Merana dan tak lupa menceritakan
pertemuannya dengan si Pawang Badai. Maka, Soka
Pura pun menjadi terkejut seketika begitu mendengar
ibu angkatnya terluka oleh pukulan beracun 'Sengat
Peri' dari si Wajah Malaikat.
"Aku ditugaskan oleh Ki Pawang Badai untuk
mencari kalian berdua. Kalian ditugaskan mencari
'Daun Astagina' untuk mengobati racun dalam tubuh
Nyi Padmi!"
"Keparat si Wajah Malaikat!" geram Soka Pura
dengan kedua tangan menggenggam kuat-kuat mena-
han kemarahannya mendengar ibu angkatnya dilukai.
"Akan kubalas tindakan si Wajah Malaikat!"
"Bukan pembalasan yang diperintahkan oleh
ayah angkat kalian, tapi mencari 'Daun Astagina'. Itu
tugas kalian yang paling utama!" tegas Anggani mewa-
kili perintah dari Pawang Badai.
"Di mana kakakmu sekarang?" tanya Anggani.
"Tak tahu," jawab Soka sedikit kaku karena
masih dipengaruhi kemarahan dalam hatinya. "Aku
akan mencari Raka dan memberitahukan hal ini!"
"Boleh aku mendampingimu?!"
"Apakah ayahku mengutus mu untuk men-
dampingi ku?"
"Memang tidak! Tapi aku merasa bersalah, ka-
rena melarikan diri ke puncak Gunung Menara, se-
hingga akibatnya ibumu yang menjadi menderita begi-
tu. Aku ingin menebus rasa bersalah ku dengan ikut
mencarikan 'Daun Astagina' ke bekas petilasan Taman
Astamarta!"
Soka Pura hanya memandang dengan mata
masih dibayang-bayangi kemarahan terhadap si Wajah
Malaikat. Tetapi sorot pandangan mata Anggani mem-
buat api kemarahan yang membayang di mata Soka
menjadi padam sedikit demi sedikit. Hati Soka pun tak
bisa bersikap keras kepala kemauan Perawan Bukit
Jalang.
Akhirnya, ia hanya angkat pundak ketika Ang-
gani ingin ikut mencari Daun Astagina' yang menurut
penjelasan si Pawang Badai itu berbentuk segi delapan
itu.
"Sirih Duda adalah murid dari Perguruan Mata
Sewu," ujar Perawan Bukit Jalang ketika Soka Pura
menanyakan tentang Sirih Duda.
"Perguruan itu menjalin hubungan baik dengan
perguruanku. Tapi ketika perguruanku diserang oleh si
Wajah Malaikat, mereka tak ada yang ikut campur
membela kami."
"Apa sebabnya?" tanya Soka Pura sambil me-
langkah tinggalkan gua tersebut.
"Karena mereka takut dengan murka si Wajah
Malaikat. Barangkali jika kami berurusan dengan per-
guruan lain, Perguruan Mata Sewu bisa membantu pi-
hak kami. Tapi dalam berurusan dengan si Wajah Ma-
laikat, pihak Perguruan Mata Sewu tak mau ikut terli-
bat. Mereka tahu bahwa kekuatan mereka tak mung-
kin dapat kalahkan kekuatan si Wajah Malaikat!"
"Ooo... begitu," gumam Soka sambil manggut-
manggut. "Yang ku herankan, mengapa Sirih Duda
sampai tega memutuskan persahabatan denganmu
hanya karena mengejar uang hadiah dari si Wajah Ma-
laikat?!"
"Sirih Duda perempuan yang selalu gatal den-
gan sentuhan tangan lelaki. Cita-citanya pernah diuta-
rakan padaku."
"Apa cita-citanya?!"
"Menjadi orang kaya dan bisa membeli semua
lelaki yang ada di muka bumi ini! Terutama yang su-
dah menjadi duda."
"O, ya?!" sambil Soka setengah tertawa. "Men-
gapa dia menyukai lelaki yang sudah duda?"
"Menurutnya, pengalaman lelaki yang sudah
duda lebih banyak daripada yang masih perjaka."
"Pengalaman dalam hal apa?" desak Soka sam-
bil memancing hasrat Anggani. Tapi gadis itu segera
merasa dipancing, sehingga ia tak mau menjawab per-
tanyaan tersebut.
"Bagaimana jika tidak bisa temukan kakakmu?"
Anggani alihkan pembicaraan dengan ganti bertanya.
Soka Pura yang menyadari hal itu hanya tersenyum,
namun tetap memberikan jawaban dengan suara pe-
lan.
"Aku akan mencari daun itu sendiri. Jika hari
ini kita tidak menemukan Raka, esok kita akan be-
rangkat menuju reruntuhan Keraton Kencana Windu."
"Aku setuju, sebab...," kata-kata itu terhenti se-
cara mendadak. Perawan Bukit Jalang melompat sam-
bil berseru, "Awass...!"
Wuut...! Jleeg...! Tahu-tahu ia sudah ada di
atas pohon, berdiri di sebatang dahan besar dengan
mata memandang lebar ke arah Soka Pura.
Rupanya ada seberkas sinar yang melesat dari
arah kanan Anggani. Sinar merah itu berbentuk seper-
ti bintang dan besarnya seukuran buah duku. Pada
saat Anggani melompat naik ke atas pohon, Soka Pura
segera miringkan badannya sampai hampir berbalik
arah secara total. Wees...! Sinar merah itu meluncur
cepat di depan hidung Soka Pura.
Blaaar...! Sebatang pohon menjadi sasaran si-
nar merah tersebut. Pohon itu pun tumbang dengan
timbulkan bunyi gemuruh dan mengepulkan asap sa-
mar-samar. Bagian yang terkena sinar merah tidak
hancur, melainkan menjadi berlubang dan hangus be-
rasap.
Slaap...! Soka Pura segera berkelebat ke balik
pohon yang satunya. Ia berlindung di sana, sementara
Anggani memandang ke arah datangnya sinar merah
tadi.
"Hiaaah...!" teriak Anggani sambil sentakkan
kedua jarinya. Dari kedua jari itu melesat sinar biru
lurus ke arah semak-semak.
Jegaaar...! Ledakan terjadi ketika sinar itu
menghantam semak-semak berbatu. Namun orang
yang diincarnya sudah melesat lebih dulu dengan satu
lompatan melayang tinggi dan bersalto dua kali dengan
cepat. Wuk, wuk...!
Jleeg...! Orang itu daratkan kakinya dengan si-
gap dan kokoh, ia berdiri tepat berhadapan dengan
Soka Pura. Wajah pemuda tampan itu menjadi tegang
dengan mata terbelalak lebar.
"Dewi Binal...?!" sapa Pendekar Kembar bungsu
dengan nada terheran-heran.
Gadis berwajah cantik yang mengenakan jubah
tanpa lengan warna biru itu hanya mendesis ketus dan
sinis. Soka Pura keluar dari balik pohon, karena ia
kenal betul dengan gadis yang rambut panjangnya di-
ikat ke belakang itu. Dewi Binal bukan orang asing lagi
bagi Soka, karena mereka pernah saling menukar ke-
mesraan dengan cucunya Tabib Kubur dari Bukit
Gamping itu, (Baca serial Pendekar Kembar dalam epi-
sode: "Setan Cabul").
Wuut, wrrr... jleeg!
Melihat Soka Pura mengenal gadis itu dan ia
sendiri juga mengenalinya. Maka Anggani segera turun
dari atas pohon. Kedua gadis berusia hampir sebaya
itu segera beradu pandangan mata dengan tajam. Pe-
rawan Bukit Jalang melangkah pelan, arahnya mende
kati Soka Pura.
"Mengapa kau menyerangku, Dewi Binal?!"
tanya Perawan Bukit Jalang dengan suara menyentak
menandakan kemarahannya. Dewi Binal menatap den-
gan mata mengecil bagai memancarkan kebencian. Ia
tidak menjawab pertanyaan Anggani, melainkan justru
bicara kepada Soka Pura.
"Ternyata serendah itu pergaulan mu, Soka!
Sama sekali tak kusangka kalau kau masih doyan
dengan gadis berpenyakit menular macam dia!" sambil
tangannya menuding Anggani.
"Jaga mulutmu, Dewi Binal!" sentak Anggani.
Soka Pura bingung, pandangannya berganti-
gantian arah; kepada Anggani, lalu kepada Dewi Binal.
"Apa maksudmu, Dewi Binal?!"
"Apakah kau masih belum mengetahui bahwa
gadis itu punya penyakit yang dapat membusukkan
darahmu jika kau lakukan kencan dengannya?! Semua
orang kini telah tahu, bahwa Perawan Bukit Jalang itu
mengidap penyakit 'Hantu Lanang' yang dapat mem-
bunuh kaum lelaki dalam waktu singkat melalui ken-
cannya!"
"Dusta!" teriak Perawan Bukit Jalang. "Mulut-
mu memang layak ditumbuk sampai hancur, Dewi Bi-
nal! Hiaaah...!"
Wees...! Perawan Bukit Jalang menerjang Dewi
Binal dengan pukulan tangan kanannya. Namun pu-
kulan tersebut berhasil ditangkis oleh Dewi Binal den-
gan menghadangkan telapak tangan kirinya. Plaak...!
Tangan Dewi Binal menggenggam, bagai ingin
meremas tangan lawannya, namun tangan itu segera
berkelebat memutar dengan cepat dan Anggani terpe-
lanting, lalu jatuh terbanting. Wuut...! Brruk...!
"Heeaah...!" Dewi Binal bermaksud menginjak
leher Anggani yang jatuh terkapar. Tapi kakinya yang
sudah mengandung tenaga dalam itu tiba-tiba ditang-
kap oleh kedua tangan Anggani. Teeb...! Kemudian te-
lapak tangan itu dipulirnya ke kiri dengan cepat.
Krek...!
"Aahk...!"
Brruk...! Dewi Binal pun jatuh terbanting. Kaki
Anggani segera diangkat dan tumitnya ingin dihan-
tamkan ke dada Dewi Binal. Wuut...! Des, des, plak...!
Dewi Binal menangkisnya dengan sapuan kaki,
sehingga kedua gadis itu saling menyerang dan me-
nangkis dengan kecepatan kaki dalam keadaan seten-
gah berbaring di tanah. Setiap ada yang mau berdiri
selalu jatuh kembali karena kakinya disambar oleh
kaki lawan.
"Hentikan! Hentikaaan...!" teriak Soka Pura
yang bingung memihak itu. Baginya, Dewi Binal tetap
sahabatnya, walau ia tahu dirinya sering mengecewa-
kan Dewi Binal karena sering kepergok bersama pe-
rempuan lain. Padahal Dewi Binal naksir berat pa-
danya.
Sementara itu, Perawan Bukit Jalang juga sa-
habatnya yang baru dan bahkan sebagai orang berja-
sa, karena menyampaikan amanat dari Pawang Badai
tentang keadaan sang ibu angkat yang harus segera di-
tolong dengan 'Daun Astagina' itu. Tentang penyakit
yang diderita Anggani, Soka sendiri belum mengetahui.
Keterangan Dewi Binal bisa dianggap kenyataan bisa
pula dianggap fitnah semata, mengingat Dewi Binal
punya rasa cemburu jika Soka berdua bersama gadis
lain.
"Hiaaah...!"
"Heeeaaat...!"
Kali ini kedua gadis itu melayang di udara dan
saling beradu pukulan bertenaga dalam dari jarak de-
kat. Mereka sama-sama bergerak dengan cepat dan
sukar dilihat oleh mata manusia biasa.
Plak, plak, des, plak, blaaarr...!
Ledakan terjadi setelah kedua tangan gadis itu
saling beradu di udara. Keduanya sama-sama terpen-
tal ke belakang dan saling jatuh terguling guling akibat
sentakan tenaga dalam yang saling beradu tadi.
"Edan semua!" geram Soka Pura. Kemudian ia
berseru dengan berdiri di tengah-tengah jarak antara
Dewi Binal dan Anggani.
"Pukullah aku! Serang aku saja jika kalian tak
mau berhenti! Ayo, serang aku!"
"Heeeaaat...!"
"Hiaaat...!"
Kedua gadis itu sama-sama mencabut pedang
dan saling melayang ke pertengahan jarak. Soka Pura
menjadi kebingungan melihat kehadiran kedua gadis
dari kedua arah.
"Gila! Mereka benar-benar mau menyerangku?!"
Wuuk, wuuk...! Pendekar Kembar bungsu sege-
ra bersalto ke belakang dua kali.
Trang, tring, trang, trang...!
Soka Pura menjadi jengkel melihat mereka be-
radu pedang. Maka dengan cepat ia pergunakan jurus
'Cakar Matahari', berupa sinar putih berbentuk seperti
pisau yang keluar dari tangan berbentuk cakar teng-
kurap. Claap...! Sinar putih itu menghantam pertenga-
han kedua pedang yang sedang saling beradu dengan
memercikkan bunga api.
Blegaaar...! Kedua pedang tersentak dan tangan
pemegangnya ikut tersentak pula. Akibat sentakan
kuat itu membuat kedua gadis terlempar ke belakang
dan masing-masing jatuh terbanting.
Soka Pura sempat heran melihat pedang mere-
ka tak ada yang pecah. Berarti pedang itu dialiri keku-
atan tenaga dalam. Seandainya tidak, maka pedang itu
akan pecah karena dihantam sinar putih berbentuk pi-
sau runcing itu.
"Jika kalian tak mau hentikan pertarungan,
aku akan melumpuhkan kalian berdua!" seru Soka Pu-
ra mengancam.
Dewi Binal bangkit lebih dulu dengan napas te-
rengah-engah dan wajah memancarkan kemarahan.
"Aku tak peduli dengan ancamanmu! Gadis itu
harus dibunuh agar tak menyebarkan penyakit berba-
haya bagi kaum lelaki! Kau sendiri pasti telah tertular
penyakit terkutuk itu, Soka!"
"Hentikan omong kosong mu itu, Dewi Binal!"
bentak Soka dengan jengkel. Ia mendekati Dewi Binal,
memunggungi Perawan Bukit Jalang.
"Dari mana kau tahu kalau Anggani mengidap
penyakit seperti itu?!"
"Orang-orang Muara Bangke sedang menca-
rinya untuk dibunuh, karena salah seorang dari mere-
ka telah menjadi korban penyakit 'Hantu Lanang'-nya
si gadis terkutuk itu!" seru Dewi Binal dengan berani.
"Kau terkecoh oleh tipuan mereka, Dewi Binal!
Anggani memang dicari oleh si Wajah Malaikat karena
persoalan perguruannya! Bukan karena penyakit!"
"Kau yang bodoh, Soka! Kau pasti telah tertipu
oleh pengakuan gadis terkutuk itu!"
Soka Pura sempat ragu, karena wajah Dewi Bi-
nal tampak serius sekali. Tak ada kesan membohon-
ginya. Namun Soka Pura masih tetap menghadang di
depan Dewi Binal dalam jarak dua langkah.
"Minggir! Akan kulenyapkan penyakit laknat
itu! Kalau kau masih membelanya, terpaksa aku tega
melukaimu dengan pedangku, Soka!" gertak Dewi Bi-
nal sambil mengacungkan pedangnya ke arah dada
Soka Pura.
Tanpa setahu Soka dan si Perawan Bukit Ja
lang, tiba-tiba muncul sekelebat bayangan yang segera
melepaskan totokan jarak jauh ke arah Anggani.
Dees...! Gadis itu segera mengejang tak bisa bergerak,
lalu bayangan itu berkelebat menyambar Anggani den-
gan kecepatan tinggi. Wees...!
"Ooh...?!" Dewi Binal terperanjat dengan tata-
pan mata tertuju pada arah bayangan yang melesat
sambil membawa Anggani.
Soka Pura curiga melihat perubahan wajah De-
wi Binal. Ia segera berpaling ke belakang.
"Haah...?!" Soka terkejut melihat Anggani sudah
tak ada di tempat, sedangkan senjata gadis itu jatuh
tergeletak di rerumputan.
"Ke mana dia?!" tanyanya membentak kepada
Dewi Binal.
"Aku tak tahu!" jawab Dewi Binal sambil melen-
gos dengan ketus. Soka Pura segera memeriksa kea-
daan sekitarnya. Tapi ia tak menemukan si Perawan
Bukit Jalang.
"Hmm...! Melihat pedangnya tak ikut dibawa
pergi, kurasa Anggani tidak melarikan diri namun ada
yang membawanya lari!" pikir Soka Pura. Ia segera
memandang ke arah Dewi Binal.
"Siapa yang membawanya lari?! Ke mana arah-
nya?!"
"Biar saja ia diserahkan kepada si Wajah Ma-
laikat! Apa pedulimu terhadapnya?!"
"Ke mana arah kepergiannya?! Katakan!" ben-
tak Soka tak sabar lagi.
"Aku tak tahu!" Dewi Binal balas membentak,
kemudian ia berkelebat pergi begitu saja. Wees...!
"Dewi...! Dewi Binal!" seru Soka, namun seruan
itu tak dihiraukan oleh Dewi Binal. Soka pura mengge-
ram jengkel sekali. Pedang Anggani diambilnya, namun
segera menjadi bingung menentukan langkahnya.
"Mengejar Dewi Binal atau mengejar Anggani?!"
gumamnya dengan nada menggeram. "Sial! Dewi Binal
pasti tahu siapa orang yang membawa lari Anggani!
Tapi agaknya ia tak mau sebutkan padaku. Percuma
saja aku mengejar Dewi Binal jika ia tak mau katakan
siapa orang yang menyambar Anggani. Tapi jika aku
harus mengejar Anggani, ke mana aku harus melang-
kah?! Puih! Setan alas! Siapa orang yang membawa lari
Anggani sebenarnya?!"
Soka Pura benar-benar dongkol sendiri. Ia
hanya bisa mengetahui, bahwa orang itu pasti berilmu
tinggi. Terbukti dalam waktu singkat dapat menghilang
dari pandangan mata Soka. Jika bukan tokoh berilmu
peringan tubuh cukup tinggi dan punya gerakan cepat
yang hebat pula, tak mungkin orang itu dapat lenyap
dalam waktu singkat. Tapi siapa orang itu, Soka tak
bisa memperkirakannya.
*
* *
5
KALAU saja Soka Pura tidak bertemu Anggani
sebelumnya, mungkin ia akan percaya dengan kata-
kata Dewi Binal tentang adanya penyakit 'Hantu La-
nang' itu. Dan kalau saja Soka tidak bertemu dengan
Anggani, mungkin ia akan terkejut melihat Ibu ang-
katnya terkapar karena racun 'Sengat Peri'.
Padahal rencana Soka Pura, pulang dari men-
gantar Rara Wulan, ia ingin menemui kedua orangtua
angkatnya di puncak Gunung Merana. Oleh karena
itu, si Bandar Getih yang ingin ikut dengannya ditolak,
sebab ia tak ingin banyak orang tahu tentang makam
eyang gurunya yang dijaga oleh Pawang Badai dan Nyi
Padmi itu.
Tapi karena ia sudah mendengar kabar tentang
sakitnya sang ibu angkat, maka ia tak perlu pulang ke
puncak Gunung Merana, karena hal itu hanya akan
buang-buang waktu saja. Ia harus segera mencari
'Daun Astagina' di bekas Keraton Kencana Windu, baik
bersama Raka maupun tanpa Raka.
Tetapi perkara hilangnya Perawan Bukit Jalang
sempat mengganggu kepastian langkahnya. Sebab ba-
gaimanapun juga, Soka Pura menaruh rasa percaya
sepenuhnya terhadap apa yang dikatakan Pe-
rawan Bukit Jalang itu. Ia merasa perlu membantu
gadis itu lebih dulu, karena hanya Perawan Bukit Ja-
lang yang sudah diberi tahu arah tempat petilasan
Taman Astamarta di antara reruntuhan Keraton Ken-
cana Windu.
Tetapi ke mana arah yang harus ditempuh un-
tuk mengejar si penculik Perawan Bukit Jalang itu?
Soka sama sekali tak mengetahui arah tersebut. Satu-
satunya jalan hanya mengejar Dewi Binal dan mende-
sak gadis itu agar menjelaskan siapa pelakunya dan ke
mana arah pelariannya. Bila perlu, Soka akan gunakan
kekerasan, walau setelah itu ia akan meminta maaf
kepada Dewi Binal.
Pengejaran Soka terhadap Dewi Binal terhenti
karena suara-suara aneh di balik semak ilalang tinggi.
Suara aneh itu adalah tawa cekikikan seorang perem-
puan yang mengundang khayalan ngeres bagi otak So-
ka Pura.
"Jangan di situ, ah...! Di sini saja! Hik, hik,
hik...!"
Suara itulah yang membuat Soka menjadi pe-
nasaran dan ingin mengintip apa yang terjadi di balik
semak ilalang tinggi, di bawah pohon besar sejenis beringin liar. Tak jauh dari pohon besar itu ada pohon
lain yang berdaun rimbun. Soka Pura segera naik ke
pohon tersebut dengan menggunakan lompatan ilmu
peringan tubuhnya. Wuuut...! Jleeg...! Dalam sekejap
saja ia sudah berada di pohon berdaun rindang itu.
Dari atas pohon itu, Soka Pura dapat melihat
dengan jelas apa yang terjadi di balik semak ilalang
tinggi.
Ia sempat terperangah ketika mengetahui di ba-
lik ilalang tinggi itu terdapat dua insan yang sedang
berkasih-kasihan. Kedua insan yang tampak sudah di-
buai oleh keindahan itu tak menyadari bahwa diri me-
reka sedang diintai oleh sepasang mata dari atas po-
hon seberang.
"Kurang ajar! Rupanya dia yang dapat rezeki
nomplok!" ujar hati Soka Pura sambil memperhatikan
seorang pemuda yang masih berpakaian lengkap. Pa-
kaian pemuda itu dari kain kuning emas, bajunya tan-
pa lengan.
Soka Pura sangat mengenali pemuda berusia
sekitar dua puluh tujuh tahun yang berambut ikal se-
bahu itu. Kain putih berhias benang emas masih dike-
nakan sebagai ikat kepala si pemuda bersenjata cam-
buk coklat yang ujungnya seperti duri ikan. Pemuda
tinggi, gagah, dan berotot itu tak lain adalah si Wisnu
Galang, muridnya Hantu Muka Tembok, (Baca serial
Pendekar Kembar dalam episode: "Gairah Sang Pem-
bantai").
"Tapi siapa perempuan yang berusia sekitar
dua puluh lima tahun itu?! Sepertinya baru sekarang
aku melihat wajah cantik bermata sayu dengan tahi la-
lat di dagu," gumam Soka Pura dalam hatinya.
Perempuan berdada besar itu juga masih men-
genakan jubah merah tanpa lengan dengan pinjung
penutup dada dan kain bagian bawahnya berwarna biru tua. Tubuhnya tampak sekal dengan pinggul yang
meliuk tajam dan menonjol padat.
Agaknya perempuan berambut disanggul itu
menyukai kenakalan bibir Wisnu Galang, sehingga ia
membiarkan lehernya dipagut-pagut oleh bibir Wisnu
Galang. Bahkan ketika kecupan penuh gairah dari
Wisnu Galang merayap ke belahan dadanya, perem-
puan itu masih membiarkannya, hanya mengerang da-
lam helaan napas memburu.
"Uuuhk... aaaahhh ... Wisnuuu...," ucapnya
bercampur desah. Ia juga membiarkan Wisnu Galang
melepaskan jubahnya, bahkan tangan perempuan itu
ikut melepaskan baju Wisnu Galang. Kemudian tangan
tersebut mengusap-usap dada Wisnu Galang dengan
sentuhan yang diresapi.
"Auh! Jangan sampai ke dalam. Geli, ah! Hik,
hik, hik!" sambil perempuan itu mendorong wajah
Wisnu Galang yang ingin menelusupkan bibirnya ke
dalam pinjung penutup dada.
"Geli sedikit tapi rasanya selangit, Pijar Wuni,"
bujuk Wisnu Galang.
"Aku tidak mau, ah!" si gadis merengek manja.
"Kenapa tak mau?"
"Nanti aku tak kuat menahan... menahan
anu...." "Menahan apa?" desak Wisnu Galang sambil
tertawa kecil dan mencubit dagu Pijar Wuni.
"Tak kuat menahan keinginanku sendiri, hik,
hik, hik, hik...."
"Apa keinginanmu akan ku turuti, Pijar Wuni,"
sambil berkata demikian, tangan Wisnu Galang sudah
menelusup di balik penutup dada. Si gadis menggeliat-
geliat dengan tangan juga ikut merayapi tubuh Wisnu
Galang dalam keadaan sama-sama duduk.
"Betul kau akan menuruti keinginanku?"
"Aku tak pernah ingkar janji, Pijar Wuni!"
"Termasuk mau menangkapkan si Perawan Bu-
kit Jalang untuk kuserahkan kepada si Wajah Malai-
kat?"
"Itu pekerjaan paling mudah bagiku."
"Juga menuruti... menuruti tuntutan gairah-
ku?"
"Itu lebih mudah kulakukan, Pijar Wuni!"
"Oh, Wisnu... aku suka dengan lelaki yang
punya pengertian sepertimu."
"Aku juga sangat berselera jika ada di samping
perempuan secantik kau, Pijar Wuni."
"Kalau begitu, Wisnu... ooh... ambillah apa yang
ingin kau ambil dariku! Ambillah semuanya, Wisnu...,"
sambil Pijar Wuni akhirnya melepaskan pinjung penu-
tup dadanya yang berwarna biru itu.
Tess...! Penutup itu lepas dan tampaklah gua
gumpalan besar yang pekat menantang dengan ujung-
ujungnya yang penuh keberanian, seakan tak sabar
untuk menunggu serangan dari lawannya.
Wisnu Galang pun akhirnya menelusupkan wa-
jahnya di pertengahan dada besar itu. Lidahnya mulai
menirukan lidah seekor ular. Ujung-ujung bukit dis-
ambar dengan lidah itu, membuat gadis bernama Pijar
Wuni itu mengerang dan mendesis-desis dicekam
keindahan asmaranya.
Rupanya perempuan yang masih tergolong mu-
da itu pandai memainkan irama cinta. Ia mempunyai
gerakan yang berirama dan mengayunkan jiwa mereka
berdua, sehingga mereka serasa seperti berada di
awang-awang. Perahu cinta melaju terus, mengikuti
irama keindahan yang didayung oleh Wisnu Galang
untuk mencapai puncak asmara. Mereka tak peduli-
kan keringat mengucur napas menyembur, yang pent-
ing keindahan itu mereka nikmati dan mereka resapi
dalam linangan rasa bahagia yang tiada tara.
Termasuk si penonton gelap yang ada di atas
pohon, juga mengucurkan keringat dingin menyaksi-
kan adegan panas itu, karena debar-debar jantungnya
bagaikan memompa darah agar mengalir dengan de-
ras. Kaki si penonton di atas pohon itu menjadi geme-
tar, namun matanya tak mau menyingkir dari peman-
dangan menggairahkan itu. Tak heran jika si penonton
di atas pohon terpaksa berpegangan pada dahan di
atasnya karena takut tergelincir dan jatuh dari atas
pohon tersebut.
"Setan! Bikin badanku jadi panas-dingin begi-
ni!" gerutu si penonton yang tak lain adalah Soka Pura
itu.
Pemuda bandel itu mengikuti adegan tersebut
hingga selesai. Ia masih berada di atas pohon dan
memperhatikan ke arah dua insan yang saling
melepas lelah karena habis mengarungi samudera cin-
ta hingga si wanita mencapai puncak keindahan bebe-
rapa kali. Percakapan yang terjadi di antara mereka
didengar jelas oleh Soka Pura, karena keadaan Soka
Pura sangat dekat dengan mereka. Hanya saja karena
tertutup kerimbunan pohon dan sengaja tak bergerak
sejak tadi, maka keberadaannya itu tidak diketahui
oleh Wisnu Galang dan Pijar Wuni.
"Kau ternyata lebih hebat dari bekas suamiku
yang dulu, Wisnu," ujar Pijar Wuni yang ternyata su-
dah janda itu.
"Kau suka dengan kehebatanku?"
"Oh, ya... aku suka sekali! Tapi lebih suka lagi
jika kau bisa tangkap si Perawan Bukit Jalang dan
menyerahkannya padaku. Akan kuserahkan perawan
itu kepada si Wajah Malaikat, lalu jika hadiahnya su-
dah ku terima, kita bisa hidup bersama di sebuah ru-
mah di atas bukit yang sepi, hanya kita berdua yang
memilikinya. Hik, hik, hik, hik...!"
"Dalam waktu dekat kau akan mendapatkan
buronan itu, Pijar Wuni!"
"Tapi hati-hati...."
"Apakah kau sangsi dengan ilmuku? Kau sang-
ka aku akan dikalahkan oleh si Perawan Bukit Jalang
itu?!"
"Bukan soal ilmumu! Aku percaya, ilmumu le-
bih tinggi dari si Perawan Bukit Jalang itu. Tapi... tapi
dia cantik dan menggairahkan lho! Nanti kau terpikat
sendiri padanya?!"
"Itu tak mungkin, Pijar Wuni!"
"Mungkin saja!" sambil Pijar Wuni bersungut-
sungut manja. "Perawan Bukit Jalang itu pandai me-
rayu. Nanti kau terpikat rayuannya, lalu bercumbu
dengannya. Iih... Jijik aku!"
"Tak mungkin itu kulakukan, Pijar Wuni!"
"Kalau kau sudah bercumbu dengannya, aku
tak mau kencan denganmu lagi. Aku takut tertular pe-
nyakitnya. Kau sendiri akan segera mati karena darah
mu cepat menjadi busuk Jika sampai kau bercumbu
dengannya seperti denganku tadi."
"Tidak, Pijar! Tidak akan kulakukan hal itu.
Percayalah padaku!"
Soka Pura sempat berpikir dalam ketermenun-
gannya. "Sudah tiga orang yang mengatakan Anggani
mempunyai penyakit menular yang dapat membunuh
kaum lelaki jika habis kencan dengannya. Apakah
memang begitu keadaan nasib si Perawan Bukit Jalang
itu? Kasihan amat Jika benar dia menderita penyakit
terkutuk itu." Hati Soka mulai diliputi sedikit kebim-
bangan. Tapi mengapa mereka ingin serahkan Perawan
Bukit Jalang kepada si Wajah Malaikat?! Jangan-
jangan apa yang diceritakan Anggani tentang pengeja-
ran si Wajah Malaikat kepadanya itu memang benar-
benar terjadi?! Lalu, apa hubungannya dengan penya
kit yang menular itu?"
Soka Pura kembali menyimak suara-suara me-
reka yang sudah saling mengenakan pakaian masing-
masing. Suara Pijar Wuni lebih jelas daripada suara
Wisnu Galang.
"Kau sudah tahu si Perawan Bukit Jalang itu,
bukan?"
"Ya, sudah! Aku pernah bertemu dengannya ti-
ga kali, saat aku menemui temanku yang menjadi mu-
rid seperguruannya Perawan Bukit Jalang itu," jawab
Wisnu Galang.
"Kalau begitu, aku menunggu kabar darimu.
Temui aku di padepokan perguruanku. Tapi kuminta
sembunyikan dulu perempuan itu jika sudah berhasil
kau lumpuhkan!"
"Akan kulakukan sesuai permintaanmu, Pijar
Wuni, asalkan kau pun menuruti permintaanku."
"Oh, tentu saja, Wisnu. Kapan saja kau ingin-
kan kehangatan ku, aku siap melayanimu. Malahan
mungkin aku yang mengejar-ngejarmu untuk mereguk
secawan anggur kenikmatan darimu seperti tadi. Hik,
hik, hik... indah sekali, Wisnu!"
Pemuda murid Hantu Muka Tembok itu hanya
ikut tertawa geli sambil tangannya meremas nakal. Si
janda memekik genit, lalu hamburkan tawanya yang
berkesan mesum.
"Sekarang... apakah aku harus mengantarmu
sampai ke padepokan?"
"Oh, tak perlu! Lebih baik kau segera mencari
Perempuan Bukit Jalang itu, aku akan pulang ke pa-
depokan. Kupersiapkan tenaga dan kesehatan ku un-
tuk berlayar lagi denganmu, Wisnu!"
Cup...! Pijar Wuni memberi ciuman hangat di
pipi Wisnu Galang. Namun si pemuda membalas di ba-
gian bibir. Maka bibir mereka pun saling melumat lagi
dengan lembut, seakan mereka tak ingin segera berpi-
sah.
Ketika kecupan bibir mereka saling lepas, mata
mereka saling pandang dalam iringan senyum keme-
sraan, maka terdengarlah suara Wisnu Galang ajukan
tanya kepada Pijar Wuni.
"Ke mana aku harus mencari Perawan Bukit
Jalang jika perguruannya sudah hancur?!"
"Tadi sebelum kita bertemu, aku melihat ia ber-
lari ke utara dikejar oleh Sirih Duda. Tapi aku yakin,
Sirih Duda tak mungkin mampu menangkapnya, kare-
na Perawan Bukit Jalang punya ilmu lebih tinggi dari
Sirih Duda. Pasti mereka masih bertarung di daerah
utara sana!"
"Mengapa kau tak membantu Sirih Duda?! Bu-
kankah kalian seperguruan?!"
"Memang. Tap! dalam hal penangkapan atas di-
ri Perawan Bukit Jalang. kami melakukannya secara
diam-diam. Aku sendiri tak menyangka kalau Sirih
Duda yang menjadi sahabat Perawan Bukit Jalang itu
ternyata bernafsu juga untuk menangkap gadis berpe-
nyakit terkutuk itu. Aku pun tak ingin ada yang men-
getahui rencanaku ini, karena aku takut dikecam atau
disalahkan oleh guruku. Karena itu, jangan membawa
Perawan Bukit Jalang ke perguruan. Jika ia sudah kau
tangkap dan kau lumpuhkan, sembunyikan dulu di
suatu tempat, lalu jemputlah aku di padepokan."
Soka Pura sempat membatin, "Ke utara...?!" Ia
berpikir sesaat. "Benarkah gadis itu ada di utara? Ta-
pi... mungkin yang dilihat Pijar Wuni tadi adalah saat
Anggani belum bertarung melawan Sirih Duda. Kurasa
si Pijar Wuni belum tahu kalau Anggani sudah dl bawa
lari oleh seseorang. Hmm... sebaiknya kuikuti saja
langkah si Wisnu Galang secara diam-diam."
6
PENDEKAR Kembar bungsu masih mengikuti
Wisnu Galang dengan hati-hati. Wisnu Galang yang
sudah berpisah dengan Pijar Wuni tampak berseman-
gat sekali dalam langkahnya. Mungkin karena ia mem-
bayangkan hadiah kemesraan yang begitu nikmat dari
Pijar Wuni, sehingga rasa-rasanya ia ingin cepat-cepat
menangkap Perawan Bukit Jalang.
Tetapi langkah Wisnu Galang sendiri terhenti
mendadak begitu ia mendengar suara senjata beradu:
traaang, traaang...! "Hiaaaatt...!" Blaaarrr...!
Jelas suara itu adalah suara pertarungan. Da-
lam benak Wisnu Galang terbayang si Perawan Bukit
Jalang sedang menghadapi pihak lain yang tentunya
juga ingin menangkapnya untuk diserahkan kepada si
Wajah Malaikat. Sebab, sebelum Wisnu Galang bercin-
ta dengan Pijar Wuni, ia sudah mendengar kabar ten-
tang sayembara yang diadakan oleh si Wajah Malaikat
itu.
Semula Wisnu Galang juga tertarik untuk da-
patkan hadiah uang banyak dari si Wajah Malaikat.
Namun setelah bertemu Pijar Wuni dan merasakan ke-
nikmatan janda montok itu, Wisnu Galang memilih
hadiah yang datang dari Pijar Wuni. Baginya, jika ia
menyerahkan Perawan Bukit Jalang kepada Pijar Wu-
ni, ia justru akan mendapatkan hadiah ganda. Selain
bisa memanfaatkan hadiah uang bersama-sama Pijar
Wuni, ia juga dapatkan hadiah kenikmatan dari pe-
rempuan tersebut. Kapan saja ia inginkan kenikmatan
itu, dengan mudah ia akan memperolehnya.
Tetapi pertarungan yang dihampirinya itu ter-
nyata bukan pertarungan antara Perawan Bukit Jalang
dengan pihak yang ingin menangkapnya. Wisnu Ga
lang sempat terbengong sesaat ketika mengetahui sia-
pa yang bertarung. Bahkan Soka Pura yang diam-diam
mengikuti dari pohon ke pohon juga tertegun sekejap
begitu mengetahui siapa yang bertarung saat itu.
"Dewi Binal...?!" gumam Wisnu Galang. "Sial!
Ku sangka si Perawan Bukit Jalang, ternyata Dewi Bi-
nal menghadapi... hmm, siapa ketiga orang berkumis
itu?! Agaknya mereka bernafsu sekali untuk tumbang-
kan Dewi Binal?!"
Sementara itu, hati Soka Pura berkata lain.
"Kebetulan sekali, ternyata dia ada di sini. Tapi
mengapa ia berhadapan dengan tiga orang berwajah
angker itu? Siapa mereka sebenarnya?! Hmmm, keliha-
tannya Wisnu Galang akan turun tangan. Sebaiknya
aku tak perlu ikut campur dulu, kecuali jika Wisnu
Galang dan Dewi Binal sudah tak sanggup melawan ti-
ga orang tersebut."
Ketiga orang yang bersenjata golok itu menye-
rang Dewi Binal secara bersama-sama dari tiga penju-
ru; kanan, kiri, dan depan.
Wuuurss...!
Dewi Binal sentakkan kaki ke tanah dan tu-
buhnya pun meluncur naik dengan cepat. Wuuut...!
Prak, trang...!
Tiga orang itu saling bacok sendiri. Untung tak
ada yang terluka, karena senjata mereka saling ber-
benturan satu dengan yang lain. Sedangkan Dewi Bi-
nal segera menjejak pohon yang ada dalam jangkauan
kakinya. Duuk...! Wees...! Tubuhnya pun melesat ke
lain arah. Kemudian daratkan kedua kakinya dengan
kokoh dalam jarak enam langkah dari ketiga penye-
rangnya itu.
"Keparat! Jangan hanya bisa loncat sana-sini
seperti kutu kupret kau, hah?" bentak si kumis berba-
ju hijau tua itu.
"Habis! saja dia, tak perlu ditangkap hidup-
hidup!" ujar si kumis berpakaian serba merah.
"Serang bersama! Heeeaaat...!" si kumis berpa-
kaian hitam itu berteriak sambil lakukan lompatan
bersalto ke arah Dewi Binal. Tetapi kedua temannya
yang ingin segera melompat juga tiba-tiba terpelanting
jatuh dengan keadaan menyedihkan. Karena tiba-tiba
kaki kedua orang itu tersangkut sesuatu yang me-
layang dari belakang mereka.
Ctaaar...!
Cambuk si Wisnu Galang berkelebat, langsung
berhasil menyengkat kaki kedua orang tersebut. Wuus,
brruss...! "Ayaooow...!" "Bangsaaaat...!"
Pekik mereka yang jatuh akibat lilitan cambuk
yang segera disentakkan ke belakang itu. Sementara si
baju hitam yang sudah melayang menyerang Dewi Bi-
nal itu segera tebaskan goloknya ke arah gadis itu.
Namun dengan cepat Dewi Binal memutar tubuh den-
gan pedangnya berkelebat melingkari badannya.
Wees...! Trang, trang...!
Bhaaak...!
"Heeekkhh...!" orang itu terpekik dengan suara
tertahan, dadanya terkena tendangan kaki Dewi Binal
yang nyelonong cepat secara tiba-tiba dan sangat di
luar dugaan itu. Akibatnya, bukan saja dada terasa in-
gin jebol dan tulangnya bagaikan remuk, namun orang
itu juga terpental dan jatuh terduduk menindih kepala
si baju merah yang tersungkur akibat sengatan cam-
buk Wisnu Galang.
Bluuk...!
"Aaooow...!! Monyet kurap kau! Minggiiirrr...!"
Si baju hitam buru-buru bangkit setelah me-
nyadari ia telah menduduki kepala temannya sendiri.
Si baju merah pun segera berdiri dengan marah sekali.
Temannya hampir saja dibacok dengan golok di tangannya.
"Jahanam busuk kau! Hihh...!"
"Hei, ini aku!" seru si baju hitam sambil menyi-
langkan goloknya di atas kepala untuk menahan baco-
kan golok si baju merah. Traang...!
"Bangsat kurap! Kenapa kau timpa kepalaku?!
Sakit sekali, tahu?!"
"Aku tak sengaja! Aku ditendang olehnya dan,
uuh... dadaku terasa mau jebol dan remuk semua tu-
langnya!" sambil orang tersebut segera sedikit mem-
bungkuk dengan wajah menyeringai menahan sakit. Si
baju merah tak jadi marah pada orang itu.
"Rupanya kita kedatangan tamu lain! Lihat si
pemuda umbelan itu!" seru orang yang berbaju hijau.
Maka pandangan kedua temannya segera tertuju ke-
pada Wisnu Galang yang sudah lakukan lompatan
bersalto dua kali hingga kini ia berada empat langkah
di sebelah kiri Dewi Binal.
"Wisnu Galang, pergilah! Ini urusanku, biar
kuurus sendiri."
"Siapa mereka, Dewi Binal?!"
"Orang Muara Bangke!"
"Utusannya si Wajah Malaikat?!"
"Benar! Mereka ngotot tetap ingin menang-
kapku. Mereka sangka aku adalah si Perawan Bukit
Jalang!"
"Ooo...," Wisnu Galang tersenyum kecil sambil
manggut-manggut. Di tangannya masih tergenggam
cambuk coklat yang ujungnya berduri. Duri itu
tadi sempat melukai pergelangan kaki si baju hijau,
namun luka tersebut tak dihiraukan oleh si baju hijau.
Ia belum sadar bahwa luka itu mempunyai racun yang
dapat membuntungkan kakinya dalam beberapa waktu
jika tak segera terobati.
Si kumis berbaju hijau segera berseru kepada
Wisnu Galang.
"Hei, Babi Panggang...! Jika kau sayang nya-
wamu, menyingkirlah dari sini dan jangan campuri
urusan kami!"
Si baju hitam menimpali, "Atau bergabunglah
dengan kami untuk menangkap Perawan Bukit Jalang
itu! Kau akan mendapat hadiah tersendiri dari kami,
Bocah Kudisan!"
Wut, wut, taaarr...!
Wisnu Galang justru lecutkan cambuknya keti-
ka si baju hitam ingin melangkah maju. Lecutan cam-
buk itu membuat si baju hitam mundur dengan satu
lompatan. Jleeg...!
"Aaaoww...!" si baju merah menjerit lagi karena
kakinya terinjak tumit si baju hitam yang melompat
mundur.
Plaaak...! Kepala si baju hitam ditabok kuat-
kuat oleh si baju merah hingga menggeloyor ke samp-
ing.
"Babi sinting kau ini! Tadi menduduki kepala-
ku, sekarang menginjak kakiku!"
"Aku tak sengaja, Goblok!" "Kau yang goblok!
Lain kali taruh matamu di pantat dan di kaki!"
"Sudah, sudah...!" sentak si baju hijau mele-
rainya. "Kau tak perlu marah. Dia tak sengaja!"
"Tak sengaja ya tak sengaja, tapi kakiku sakit
sekali, tahu?!"
"Anggap saja amal!"
"Amal kok dua kali, kepala dan kaki!" gerutu si
baju merah. Mereka segera kembali memandang Dewi
Binal dan Wisnu Galang. Wajah-wajah angker itu tam-
pak semakin angker sejak kemunculan Wisnu Galang
yang amat tak disukai oleh mereka itu.
"Siapa kau, Anak Kadal?! Beraninya kau men-
campuri urusan kami! Tidak tahukah kau, bahwa kami adalah utusan dari Muara Bangke untuk menang-
kap Perawan Bukit Jalang itu?!" seru si baju hijau.
"Buka matamu lebar-lebar!" ujar Wisnu Galang.
"Gadis di sampingku ini adalah si Dewi Binal, murid
dari Tabib Kubur! Dia bukan Perawan Bukit Jalang!"
"Aku sendiri bermusuhan dengan si Perawan
Bukit Jalang! Karena dia telah berhasil merayu keka-
sihku dan membuat kekasihku memihaknya!" timpal
Dewi Binal dengan suara keras.
"Kau pikir kami orang-orang bodoh yang bisa
dikelabuhi?!" sentak si baju hijau.
"Hanya dia yang bodoh!" ujar si baju merah
menu ding temannya yang tadi menindih kepala dan
menginjak kakinya itu.
"Kalian salah sangka!" sentak Wisnu Galang.
"Kalau kalian tetap ngotot, aku akan mewakili Dewi
Binal untuk membuat kulit kalian terkelupas dengan
cambuk ku ini!"
Ketiga orang itu akhirnya saling berkasak-
kusuk saling berhadapan.
"Sekarang baru kuingat, wajah cantik itu me-
mang pernah kulihat bersama-sama si Tabib Kubur
menuju Bukit Gamping!" bisik orang berpakaian hitam
itu.
"Mengapa tidak kau katakan sejak tadi?!" sen-
tak si baju merah dengan masih bernada berang. Tan-
gannya menjulekkan kepala si baju hitam hingga kepa-
la itu tersentak ke belakang.
"Aku lupa! Lupa sama sekali!"
Orang berbaju hijau berkata, "Lalu ke mana
perginya si Perawan Bukit Jalang itu?! Menurut kete-
rangan Sirih Duda yang terluka tadi, katanya dia me-
nuju ke arah sini bersama seorang pemuda tampan?!"
"Ssst...! Si bocah gendeng pembawa cambuk itu
juga pemuda tampan," bisik baju merah.
"Iya, tapi gadis itu bukan Perawan Bukit Ja-
lang! Aku baru ingat sekarang, bahwa dia cucunya si
Tabib Kubur! Kita hampir saja salah tangkap!" bisik si
baju hitam.
"Kau memang keparat busuk!" maki si baju me-
rah kepada si baju hitam. "Kalau begitu, kita cari pe-
rawan itu ke tempat lain saja! Jangan buang-buang
waktu!"
Rupanya tadi mereka bertiga bertemu dengan
Sirih Duda yang terluka di kepala dan sekujur tubuh-
nya menjadi memar itu. Mereka mengenal Sirih Duda
dan menanyakan tentang Perawan Bukit Jalang. Sirih
Duda menjelaskan arah kepergian Anggani yang diba-
wa lari oleh Soka Pura. Ketiga orang itu menuju ke
arah yang dimaksud Sirih Duda. Ketika mereka berte-
mu dengan Dewi Binal, mereka langsung menduga se-
bagai Perawan Bukit Jalang. Mereka memang belum
pernah bertemu dengan si Perawan Bukit Jalang,
hanya mendengar ciri-cirinya saja: cantik, montok, dan
menggairahkan sekali bagi kaum lelaki.
Setelah si baju hitam yang ingatannya segera
mengenali siapa Dewi Binal, maka mereka pun segera
pergi tanpa pamit meninggalkan Wisnu Galang dan
Dewi Binal. Gadis itu mendengus kesal sambil mema-
sukkan pedang ke sarungnya.
"Hmmm...! Pergi begitu saja tanpa meminta
maaf padaku! Dasar orang-orang bejat!" gerutu Dewi
Binal yang membuat Wisnu Galang tertawa kecil.
"Dewi Binal, apakah kau juga mencari Perawan
Bukit Jalang untuk diserahkan kepada si Wajah Ma-
laikat?!" tanya Wisnu Galang sambil menggulung cam-
buk menjadi tiga lingkaran dan menyelipkan gagang-
nya ke pinggang kiri.
"Semula aku memang mencarinya, tapi bukan
untuk memburu hadiah dari si Wajah Malaikat!"
"Lalu, untuk apa kau mencarinya?"
"Kudengar dia mengidap penyakit berbahaya
yang bisa membusukkan darah lelaki jika lelaki itu
berhasil diajak kencan olehnya. Aku khawatir kalau
Soka Pura terjebak oleh kecantikan dan rayuannya.
Maka aku ingin sekali membunuh Perawan Bukit Ja-
lang itu agar tak mencelakai Soka Pura. Tapi... ketika
aku bertemu dengan Soka Pura yang benar-benar ber-
sama Perawan Bukit Jalang itu, agaknya Soka memi-
hak gadis itu! Sebelum aku sempat membunuh Pera-
wan Bukit Jalang, tiba-tiba ia sudah disambar dan di-
bawa lari oleh seseorang setelah ditotok lebih dulu."
"O, jadi sekarang si Perawan Bukit Jalang su-
dah ditangkap oleh seseorang?! Hmmm... kalau boleh
ku tahu, siapa orang yang berhasil menangkap gadis
itu, Dewi Binal?!"
"Untuk apa kau tanyakan?!"
"Aku ingin merebutnya!"
"Hmm...!" Dewi Binal mencibir sinis. "Kau tak
akan mampu melawan orang itu, Wisnu Galang!"
"Siapa bilang aku tak mampu! Siapa pun
orangnya, aku harus tetap merebut Perawan Bukit Ja-
lang untuk kuserahkan kepada...," Wisnu Galang diam
seketika, karena ia tak ingin rahasia hubungannya
dengan Pijar Wuni diketahui oleh Dewi Binal. Hampir
saja ia keceplosan mengatakan hal itu, sehingga ia bu-
ru-buru hentikan ucapannya. Kejap berikut ia kembali
perdengarkan suara setelah menarik napas panjang.
"Katakan saja siapa orang yang membawa lari
Perawan Bukit Jalang itu, Dewi Binal!"
"Aku sudah tidak berurusan lagi dengannya.
Karena dengan tertangkapnya Perawan Bukit Jalang di
tangan orang tersebut, aku yakin ia akan diserahkan
kepada si Wajah Malaikat. Dan di tangan si Wajah Ma-
laikat, gadis itu pasti mati. Aku cukup lega jika gadis
itu telah mati, karena ia tidak akan mencelakai Soka
Pura. Kulihat, Soka belum tertular penyakitnya itu, ka-
rena keadaannya masih sehat-sehat saja saat kami
bertemu!"
"Soal kau masih ingin mengejar gadis itu atau
tidak lagi, tapi aku punya kepentingan sendiri dengan-
nya. Tolong katakan, siapa orang yang telah berhasil
menangkap si Perawan Bukit Jalang itu, Dewi Binal!"
tegas Wisnu Galang dengan sedikit merasa dongkol ka-
rena jawaban Dewi Binal tidak sesuai dengan perta-
nyaannya.
Tapi kali ini Dewi Binal memberi jawaban yang
diinginkan Wisnu Galang. Dewi Binal bicara sedikit pe-
lan, namun masih sempat tertangkap oleh pendenga-
ran Soka Pura yang ada di atas pohon dengan dua pe-
dang terselip di pinggang kanan-kiri, satu miliknya, sa-
tu lagi milik Anggani.
"Wisnu Galang, kurasa kau sangat kenal den-
gan orang yang menangkap Perawan Bukit Jalang itu,
tapi aku yakin kau tak akan mampu merebut dari tan-
gannya, kecuali dengan bujukan!"
"Sial!" geram Wisnu Galang. "Aku hanya minta
kau menyebutkan siapa orang itu! Bukan meminta sa-
ran mu!"
"Orang itu adalah si Hantu Muka Tembok, gu-
rumu sendiri!"
"Hahh...?!" Wisnu Galang terbelalak kaget, ke-
dua matanya melotot bagai mau loncat dari kedalaman
rongganya.
Diam-diam si Pendekar Kembar bungsu juga
merasa terkejut mendengar nama Hantu Muka Tem-
bok di sebutkan oleh Dewi Binal. Namun ia masih bisa
menguasai ketenangannya. Bahkan ia manggut-
manggut sambil tersenyum lega, karena kini ia sudah
mengetahui siapa orang yang membawa lari Anggani.
"Wisnu Galang, aku tak punya banyak waktu
untuk bicara denganmu! Jika kau ingin merebut Pera-
wan Bukit Jalang, rebutlah dia dari tangan gurumu
sendiri! Aku akan segera pulang ke Bukit Gamping!"
Dewi Binal bergegas pergi, tapi sempat dicekal
pundaknya oleh Wisnu Galang.
"Ehh, hmmm... apakah kau tahu ke mana arah
kepergian guruku itu, Dewi?!"
"Kejarlah ke timur!" jawab Dewi Binal dengan
singkat, lalu segera melesat pergi tinggalkan Wisnu
Galang yang tertegun sejenak.
Sementara itu, Soka Pura mulai sunggingkan
senyum lega. Kini ia tahu ke mana arah yang harus di-
tuju. Tentunya si Wisnu Galang lebih tahu ke mana
arah gerakan gurunya, sehingga Soka Pura merasa le-
bih baik tetap menjadi penguntit Wisnu Galang.
"Hmm, tak kusangka ternyata si Hantu Muka
Tembok juga inginkan hadiah besar dari si Wajah Ma-
laikat?!" gumam Soka sambil bergegas mengikuti Wis-
nu Galang.
*
* *
7
RUPANYA Wisnu Galang segera berlari ke arah
kediaman gurunya; di Bukit Garong. Wisnu Galang
punya keyakinan kuat, bahwa Perawan Bukit Jalang
belum dibawa ke Muara Bangke, karena hari sudah
menjelang sore dan sang Guru pasti akan mengutus
muridnya untuk serahkan gadis itu kepada si Wajah
Malaikat.
"Guru pasti akan merasa malu jika ikut-ikutan
ingin meraih hadiah itu," pikir Wisnu Galang. "Seti-
daknya Guru pasti akan mengutusku menyerahkan
Perawan Bukit Jalang dan mengambil hadiahnya dari
tangan si Wajah Malaikat! Tentu saja hadiah tersebut
harus segera kuserahkan kepada guru. Tapi, aah...
aku tak kekurangan akal."
Wisnu Galang tersenyum sendiri membayang-
kan rencananya.
"Jika gadis itu sudah diserahkan padaku, akan
ku sembunyikan di suatu tempat dan kuberi tahu ke-
pada Pijar Wuni bahwa aku telah berhasil menangkap
Perawan Bukit Jalang. Lalu, biar si Pijar Wuni yang
menyerahkan Perawan Bukit Jalang kepada si Wajah
Malaikat. Kalau Guru menanyakannya, kujawab saja
bahwa Perawan Bukit Jalang berhasil meloloskan diri
entah ke mana. Paling-paling aku dicaci maki oleh
Guru. Tapi aku mendapat dua keuntungan, uang dan
kemesraan. Heh, heh, heh, heh...."
Soka Pura tak tahu apa yang diucapkan hati
Wisnu Galang. Ia hanya mengikuti pemuda berpakaian
kain emas itu dengan hati-hati sekali. Setiap gerakan-
nya selalu dijaga agar tidak timbulkan suara sedikit
pun. Jaraknya juga diatur agar tak timbulkan kecuri-
gaan di hati Wisnu Galang. Soka Pura masih mampu
imbangi gerakan cepat Wisnu Galang, bahkan jika ia
mau, ia dapat mendahului kecepatan gerak si murid
Hantu Muka Tembok itu.
Tepat ketika mereka berada di kaki Bukit Ga-
rong, Wisnu Galang segera percepat pelariannya, kare-
na ia melihat sang Guru hendak mendaki bukit terse-
but. Lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun dan
bertubuh kurus itu tampak memanggul seorang gadis
cantik berjubah coklat. Gadis itulah si Perawan Bukit
Jalang yang masih dalam keadaan kaku seperti patung
batu akibat tertotok jalan darahnya, hingga tak bisa
bergerak sedikit pun.
"Guruuu...!" panggil Wisnu Galang dengan se-
ruan keras. Tokoh tua berjubah abu-abu dengan wajah
lonjong berkepala gundul bagian tengah itu segera
hentikan langkah begitu mendengar seruan muridnya.
Wisnu Galang buru-buru hampiri sang Guru, tanpa
mengetahui bahwa seseorang sedang mengikutinya da-
ri kejauhan.
Kakek beralis putih dengan ketinggian tubuh
yang termasuk jangkung itu segera pandangi kedatan-
gan muridnya. Ia meletakkan tubuh Anggani ke bawah
pohon. Gadis itu tetap kaku dan disandarkan seperti
sebatang gedebong pisang.
"Guru, kau telah mendapatkan si Perawan Bu-
kit Jalang, rupanya?! Wah, kebetulan sekali! Kita pasti
akan kaya, Guru! Si Wajah Malaikat menyediakan ha-
diah besar untuk orang yang menangkap gadis itu!"
"Hmm...! Lantas mengapa kau berseri-seri dan
cengar-cengir di depanku?!" ujar sang Guru dengan
mata memandang tajam kepada muridnya.
"Aku bersedia membawa gadis itu ke Muara
Bangke sekarang juga, Guru! Kurasa sebelum petang
tiba, aku sudah bisa sampai ke Muara Bangke dan
menyerahkan gadis itu kepada si Wajah Malaikat!"
Sebelum si Hantu Muka Tembok yang kali ini
tidak membawa tongkatnya itu mengatakan sesuatu
kepada murid tunggalnya, tiba-tiba Soka Pura segera
muncul dari persembunyiannya. Ia melesat cepat dan
tahu-tahu sudah berada di antara Wisnu Galang dan
Hantu Muka Tembok. Wuuzz...! Jleeg...!
"Raka...?!" sentak Wisnu Galang dengan kaget.
"Aku Soka, bukan Raka!" tegas Soka Pura den-
gan senyum berkesan sinis. Wisnu Galang segera ingat
penjelasan Dewi Binal tentang kebersamaan Soka den-
gan Perawan Bukit Jalang itu. Maka di hati Wisnu Galang segera timbul kecemasan terhadap kemunculan
Soka Pura.
"Pasti ia akan merebut Perawan Bukit Jalang
itu." ujar Wisnu Galang dalam hatinya. Ia pun segera
bergeser untuk lakukan pencegahan jika sewaktu-
waktu Soka Pura menyambar tubuh Anggani yang ber-
sandar di pohon dalam kemiringan mirip orang berdiri
santai itu.
"Ki Gumarah," sapa Soka Pura kepada Hantu
Muka Tembok dengan memanggil nama asli Pak Tua
itu. "Dan kau juga, Wisnu Galang.... Kuharap kalian
tidak menjadi tersinggung kata-kataku. Kemunculan-
ku di kaki bukit ini adalah untuk mengambil Anggani,
alias si Perawan Bukit Jalang itu!"
"Kurasa kau perlu beradu nyawa denganku,
Soka Pura!" ujar Wisnu Galang dengan nada ketus.
"Enak saja kau ingin merebut gadis itu dari tangan gu-
ruku! Kau sangka mudah melakukannya selama Wis-
nu Galang, murid Eyang Guru Hantu Muka Tembok ini
masih bisa berdiri dengan kedua kakinya?!"
"Wisnu Galang, kau tidak tahu apa yang sebe-
narnya terjadi pada diri Perawan Bukit Jalang itu. Ma-
ka, biarlah kubawa pergi gadis itu, dan mohon izinmu
pula, Ki Gumarah!"
"Tidak bisa! Aku yang akan membawa Perawan
Bukit Jalang ke Muara Bangke!" sentak Wisnu Galang
dengan lantang.
"Aku yang akan membawanya pergi agar tak
mengganggu kalian atau siapa pun!" tegas Soka Pura.
Hantu Muka Tembok segera berkata dengan
nada tegas.
"Tidak seorang pun kuizinkan membawa pergi
gadis ini!"
"Guru, banyak orang mengetahui bahwa gadis
itu punya penyakit berbahaya dalam kencannya! Mohon Guru lebih hati-hati agar tidak ketularan penyakit
berbahaya itu, Guru!"
“Justru karena kudengar ia mempunyai penya-
kit 'Hantu Lanang', maka aku harus merawat dan me-
lindungi keselamatan jiwa murid sahabatku ini."
"Ja... jadi kau membawa lari gadis itu bukan
untuk menukarkannya dengan hadiah besar dari si
Wajah Malaikat, Guru?!"
"Mendiang Nyai Pundilamis adalah sahabatku!
Sekarang ia telah tiada, perguruannya telah dihancur-
kan Si Wajah Malaikat. Mau tak mau aku harus turun
tangan untuk selamatkan gadis ini! Tak kuizinkan si
Wajah Malaikat menyentuh sehelai rambutnya pun!
Apalagi kalian berdua hanya akan merusak suasana
saja!"
"Tapi... tapi dia bukan gadis yang berpenyakit
berbahaya, Ki Gumarah! Aku dan dia punya kepentin-
gan tersendiri yang menyangkut hidup dan matinya
ibuku; Nyi Padmi, di puncak Gunung Merana itu," tu-
tur Soka Pura sambil melangkah lebih dekat lagi. Han-
tu Muka Tembok segera bergeser lebih mendekati so-
sok tubuh si Perawan Bukit Jalang.
Hantu Muka Tembok memandang kedua wajah
anak muda itu secara bergantian. Langkah Wisnu Ga-
lang yang mendekati Anggani disusul oleh gurunya
yang merasa cemas akan tindakan muridnya.
"Ki Gumarah, kuharap lepaskan totokan Ang-
gani, biar ia bicara sendiri padamu!" ujar Soka Pura
sambil bergeser sedikit demi sedikit ke arah gadis yang
mirip patung batu itu.
"Guru, sebaiknya segera saja gadis ini kubawa
ke Muara Bangke sebelum Pendekar Kembar itu men-
gacaukan rencana kita!" desak Wisnu Galang sambil ia
bergegas untuk memanggul Perawan Bukit Jalang.
Sang Guru segera berseru dengan suara menyentak.
"Jangan sentuh gadis itu, Wisnu!"
Sentakan sang Guru membuat Wisnu Galang
terkejut dan tak berani lanjutkan tindakannya. Ia me-
mandang Hantu Muka Tembok dengan wajah mem-
bendung rasa kesal.
"Apakah Guru akan serahkan gadis ini kepada
Soka Pura?! Apakah Guru lebih percaya kepada Soka
daripada terhadap diriku? Aku muridmu sendiri,
Guru!" Wisnu Galang menepuk dadanya.
Soka Pura segera menyahut, "Gadis itu me-
mang dalam bahaya, Ki Gumarah! Dia dikejar-kejar
oleh si Wajah Malaikat, karena hanya dialah satu-
satunya murid Nyai Pundilamis yang masih hidup. Aku
berusaha ingin selamatkan dia dari ancaman maut si
Wajah Malaikat!"
"Omong kosong dia, Guru!" sahut Wisnu Ga-
lang. "Dia ingin memanfaatkan Perawan Bukit Jalang
untuk perkaya diri sendiri, Guru! Jangan mudah per-
caya dengan omongannya!"
Agaknya Wisnu Galang mulai tak sabar dan
memendam kejengkelan kepada Soka Pura. Ia sangat
khawatir jika gurunya terpengaruh omongan Soka, se-
hingga akhirnya ia berkata kasar kepada Soka Pura.
"Soka, kalau kau tetap nekat ingin memiliki ga-
dis ini, kau akan kubuat seperti babi panggang di de-
pan guruku. Sekarang juga!"
"Wisnu!" hardik sang Guru. "Tak tahukah kau
bicara kepada siapa, hah?"
"Aku tidak tahu jika terpaksa harus beradu
nyawa untuk pertahankan Perawan Bukit Jalang ini,
Guru!"
"Aku tidak setuju dengan caramu!" tegas Hantu
Muka Tembok.
"Ki Gumarah," sela Soka Pura. "Sejujurnya ku-
katakan padamu, Wisnu Galang ingin sekali dapatkan
Perawan Bukit Jalang bukan untuk diserahkan kepada
si Wajah Malaikat. Dia tampak ngotot sekali ingin
membawa Anggani, karena gadis itu akan diserahkan
kepada Pijar Wuni! Ia akan mendapatkan kehangatan
dan kemesraan dari Pijar Wuni yang baru saja tadi di-
rasakan kehebatan goyang pinggulnya si janda montok
itu!"
"Bangsat! Jaga mulutmu kalau tak ingin kuro-
bek dengan cambuk ku, Soka!"
Sreet...! Wisnu Galang mencabut cambuknya.
Ia tampak kaget dan menjadi berang sekali, karena tak
menyangka Soka mengetahui rencana dalam hatinya
itu. Ia sangat takut jika gurunya mempercayai kata-
kata Soka Pura. Lebih-lebih sang Guru segera mena-
nyakan kebenaran ucapan Pendekar Kembar bungsu
itu.
"Benarkah apa yang dikatakannya, Wisnu?!"
"Tidak, Guru! Soka hanya menyebar fitnah di
depanmu, Guru!"
"Tapi mengapa dia tahu bahwa kau sedang
mengincar Pijar Wuni, seperti yang kau katakan pada-
ku beberapa hari yang lalu, Wisnu?!"
"Hmm, eeh... itu hanya kebetulan saja, Guru!"
"Ya, memang hanya kebetulan saja," sahut So-
ka Pura. "Maksudku, kebetulan saja aku mendengar
suara cekikikan di balik semak ilalang, dan ketika ku
intip ternyata kau sedang bercinta dengan Pijar Wuni!"
"Jahanam kau!"
"Wisnu, jangaaan...!!" teriak Hantu Muka Tem-
bok. Lalu ia menyambar muridnya. Wuuus...! Tapi
sang murid menghindari sambaran itu sambil mele-
cutkan cambuk ke arah Soka Pura.
Wuuut, ctaarrr...!
Soka Pura melompat ke kiri lebih dulu sebelum
cambuk Wisnu Galang berkelebat bagai ingin membelah kepalanya dari atas.
Lompatan Soka Pura itu disusul dengan senta-
kan kedua tangan yang menggenggam. Sentakan itu
menimbulkan tenaga dalam yang keluar dari kedua
genggaman tersebut. Tenaga dalam tanpa sinar akhir-
nya menerjang dada Wisnu Galang.
Buuhk...!
"Hehhg...!!" Wisnu Galang terlempar ke bela-
kang bagai diseruduk banteng. Ia jatuh terkapar den-
gan napas tercengap-cengap. Jurus 'Tangan Batu' dari
Soka Pura yang biasa dipakai untuk menumbangkan
pohon besar, kali ini melanda nasib Wisnu Galang.
Wajah murid Hantu Muka Tembok itu menjadi merah
dan dadanya membekas biru memar.
Hantu Muka Tembok tak sempat menghadang
datangnya tenaga dalam dari Soka, akhirnya ia hanya
bisa terbengong melihat muridnya tumbang dengan
napas tersentak-sentak.
"Cukup, Soka!" bentak Ki Gumarah alias si
Hantu Muka Tembok.
"Muridmu perlu diberi pelajaran, Ki Gumarah."
"Aku masih jadi gurunya, jadi aku masih ber-
hak memberi pelajaran apa saja kepadanya, termasuk
pelajaran menggambar, menulis, dan menampar kebo-
dohannya! Kalau kau masih menyerangnya, aku tak
segan-segan menghajarmu juga, Soka!"
Mengingat antara Hantu Muka Tembok dan
Pawang Badai pernah menjalin suatu persahabatan
yang baik, Soka merasa tidak sedang ditantang, me-
lainkan sedang diperingati oleh orang tua yang dihor-
mati. Soka Pura pun tak berani lepaskan serangan lagi
ke Wisnu Galang. Ia justru mendekati pemuda berpa-
kaian kuning emas itu.
"Biar kusembuhkan dia, Ki!" ujarnya sambil
melintas di depan Hantu Muka Tembok.
Hantu Muka Tembok sendiri segera melepaskan
totokan Anggani, karena setelah dipertimbangkan ter-
nyata ia memang butuh keterangan saat itu juga dari
mulut si Perawan Bukit Jalang. Setidaknya ia butuh
keterangan yang mendukung kata-kata Soka Pura tadi.
Namun pada saat itu, sekelebat bayangan da-
tang menerjang Hantu Muka Tembok dengan kecepa-
tan tinggi. Wuuus...! Dees...!
Hantu Muka Tembok kaget, tak sempat meng-
hindar karena cepatnya gerakan bayangan tersebut.
Namun tangannya sudah berhasil menotokkan dua jari
ke leher Anggani, membuat Anggani pun segera bebas
dari totokannya.
Brruuk...! Anggani jatuh begitu bebas dari toto-
kan. Namun ia segera bangkit dan memandang Hantu
Muka Tembok yang terbanting di semak-semak sebe-
rangnya.
Bruuusk...!
Soka Pura yang baru saja akan mengobati Wis-
nu Galang menjadi tersentak kaget dan ia tak jadi
jongkok, melainkan segera berdiri tegak kembali. Ma-
tanya memandang liar ke arah bayangan yang berkele-
bat menerjang Hantu Muka Tembok itu.
Bayangan itu segera menyambar Perawan Bukit
Jalang. Wuut...! Tetapi Soka Pura segera gunakan ju-
rus 'Jalur Badai'-nya yang lebih cepat dari gerakan
bayangan tadi. Wuuuzzz...!
Slaap...! Tangan Anggani disambar oleh Soka
Pura, dan gadis itu terlepas dari genggaman orang
yang tadi menerjang Hantu Muka Tembok itu. Tahu-
tahu Soka Pura sudah memeluk Anggani di kejauhan
sana.
"Auh, lepaskan aku!" Anggani meronta. Namun
ketika ia sadar yang memeluknya Soka, gerakan me-
rontanya menjadi dikurangi.
"Soka...?! Oh.... Paman Hantu Muka Tembok
terjerembab di sana dan, ooh... itu dia! Dia sudah ber-
diri!" Anggani berseru, "Paman...! Paman Gumarah...?!"
"Anggani, perhatikan orang berjubah hitam
yang tadi hampir menyambar mu itu!"
"Ooh, dia... dia si Wajah Malaikat?!" gumam
Anggani dengan tegang ketika matanya menatap ke
arah lelaki tua berambut putih namun berjubah hitam.
Badannya kurus, tapi kukunya tajam. Matanya cekung
dan bibirnya pecah-pecah.
Wajah angker yang tadi sempat tersentak ke be-
lakang pohon akibat sambaran tangan Soka segera
tampakkan diri lebih jelas lagi.
Rupanya selain menyebarkan sayembara untuk
menangkap Perawan Bukit Jalang, si Wajah Malaikat
juga berkeliaran sendiri mencari Anggani. Dendam
atas kematian adiknya membuat Wajah Malaikat be-
lum puas jika murid mendiang Nyai Pundilamis masih
ada yang tersisa. Ia harus membunuhnya hingga tak
ada lagi keturunan dan murid dari Nyai Pundilamis
yang hidup di permukaan bumi ini.
"Biar kuhadapi dia, Anggani. Berlindunglah di
tempat yang aman!" bisik Soka Pura.
Pada saat itu, Hantu Muka Tembok berseru ke-
pada si jubah hitam yang memandang ke arah Soka
Pura dengan tajam itu.
"Wajah Malaikat! Hadapilah aku! Mereka masih
anak-anak. Kita sama-sama sudah bau tanah! Mari ki-
ta tentukan siapa yang lebih dulu masuk ke liang ku-
bur, daripada kau memburu si Perawan Bukit Jalang
itu!"
Si Wajah Malaikat berpaling menatap Hantu
Muka Tembok. Pandangan matanya sangat menye-
ramkan, seperti mata malaikat yang siap mencabut
nyawa siapa pun yang menjadi penentangnya. Tapi
Hantu Muka Tembok yang nafasnya sempat ngos-
ngosan akibat terjangan tadi tak merasa takut sedikit
pun. Ia justru melangkah lebih dekat, ke tempat yang
datar.
"Hantu Muka Tembok, selama ini tak seorang
pun berani halangi niatku. Mengapa kau bermaksud
menghalangiku membunuh Perawan Bukit Jalang itu?
Apakah kau sudah bosan hidup dalam ketuaan, hah?!"
geram si Wajah Malaikat dengan suaranya yang serak.
"Pundilamis adalah sahabatku. Aku berhak
membela dan menyelamatkan seorang muridnya yang
bukan tandinganmu, Wajah Malaikat!"
"Kalau begitu, kukirim kau ke neraka sekarang
juga, Tua Sekarat!"
Wuuut...! si Wajah Malaikat menggerakkan
tangannya bagai merobek udara. Bertepatan dengan
gerakan begitu, dari kuku-kuku jarinya keluar sinar
kecil-kecil warna hijau yang menyergap Hantu Muka
Tembok. Craaappp...!
Hantu Muka Tembok segera sentakkan kedua
tangannya dengan kedua kaki merenggang dan meren-
dah. Wuuut...! Dari kedua telapak tangannya keluar
asap hitam yang menggumpal di udara depannya.
Gumpalan asap tersebut menahan gerakan sinar hijau,
memercikkan bunga-bunga api sesaat, kemudian me-
ledak dengan gelombang daya sentak menyebar kuat
ke berbagai arah.
Blegaaarrr...!
Hantu Muka Tembok terlempar dan jatuh ba-
gaikan dibanting dalam jarak lima langkah dari tem-
patnya semula. Soka Pura dan Anggani pun ikut terpe-
lanting karena sentakan daya ledak yang menyebar ta-
di. Mereka terhuyung-huyung ke belakang dan saling
berpegangan hingga keduanya tak sampai jatuh. Se-
mentara itu, si Wajah Malaikat tetap berdiri tegak dan
kokoh, seakan tak goyah sedikit pun oleh gelombang
ledakan tersebut.
Clap, clap...! Tiba-tiba dari mata cekung si Wa-
jah Malaikat keluar dua larik sinar merah sebesar lidi.
Sinar itu mengarah ke tubuh Hantu Muka Tembok
yang sedang hendak berdiri.
"Celaka!" pekik Soka dengan suara tertekan. Ia
menjadi tegang sekali melihat dua sinar meluncur ke
tubuh Hantu Muka Tembok, sebab saat itu Hantu Mu-
ka Tembok belum siap menghadapi serangan lawan.
Posisi Soka dan Anggani yang ada di samping
membuat Soka punya kesempatan untuk menghantam
dua sinar merah itu sebelum kenai tubuh Hantu Muka
Tembok. Hanya saja, agaknya Soka terlambat men-
gambil keputusan. Karena sebelum ia bergerak, lebih
dulu Anggani sentakkan kedua tangannya ke depan.
Masing-masing tangannya mempunyai dua jari yang
mengeras. Dan dari masing-masing dua jari itu melesat
sinar biru yang bergerak cepat dan keduanya berhasil
menghantam sinar merah dari mata si Wajah Malaikat.
Clap, clap...! Jegaaar, jegaaar...!
Hantu Muka Tembok terlempar ke belakang
dan jatuh terbanting lagi. Gelombang ledakan itu me-
nyebarkan tenaga kuat hingga pohon pun sempat re-
tak dan nyaris tumbang.
Melihat sinar merahnya dipatahkan oleh sinar
biru dari arah samping, si Wajah Malaikat segera ber-
paling ke samping dengan gerakan kepala cepat.
Seet...! Kedua matanya tertuju kepada Anggani.
Soka Pura menarik pundak Anggani sambil me-
langkah maju. Kini pemuda itu ada di depan Anggani,
menghadap ke arah si Wajah Malaikat.
"Anak muda, ku ingatkan padamu, jika kau tak
mau menyingkir maka kau akan menemui ajalmu se-
karang juga!"
"Perawan Bukit Jalang bukan tandinganmu,
Wajah Malaikat! Akulah tandinganmu!" tegas Soka Pu-
ra.
"Menyingkir saja, Soka!" seru sebuah suara dari
arah pohon samping. "Percuma kau lindungi gadis
yang mempunyai penyakit berbahaya itu!"
Mata Soka Pura dan mata si Wajah Malaikat
memandang ke arah si pemilik suara, demikian pula
Anggani. Hati Soka tersentak kaget, karena si pemilik
suara itu ternyata adalah kakak kembarnya sendiri,
Raka Pura. Agaknya ia baru saja datang di tempat itu
karena mendengar suara ledakan tadi. Ia datang ber-
sama si Bujang Bodo. Namun mereka tak segera ber-
gabung kepada Soka. Raka hanya diam di kejauhan,
bersandar pada pohon dengan santai.
"Raka...! Apa maksudmu berkata begitu?!"
Raka berseru dari tempatnya, "Perawan Bukit
Jalang adalah penyebar penyakit 'Hantu Lanang'. Jika
kau bersentuhan dengannya, kau akan mati membu-
suk!"
"Siapa bilang?!"
"Brandal Komeng, utusan dari Muara Bangke,
mengatakan demikian di depan orang-orang sambil
menawarkan hadiah sekantong uang bagi orang yang
bisa menangkap Perawan Bukit Jalang!"
"Bohong! Itu tidak benar!" teriak Anggani. "Ku-
rasa itu ulah si wajah babi itu agar setiap orang mem-
buru ku!" sambil Anggani menuding si Wajah Malaikat.
Yang dituding tampak semakin berang, namun tak di-
tonjolkan keberangannya.
"Wajah Malaikat, benarkah Anggani punya pe-
nyakit seperti yang kau sebarluaskan itu?!" tanya Soka
Pura.
"Lebih parah dari yang kau dengar! Untuk itu
pergilah dan jangan halangi aku! Akan kulenyapkan
sumber penyakit itu!"
"Soka, jangan percaya dengan kata-katanya!
Aku tak punya penyakit apa pun!" ujar Anggani den-
gan napas terengah-engah. "Jika kau sangsi dengan
pengakuanku dan lebih percaya padanya, biarlah ku-
hadapi sendiri si wajah babi itu!" sambil Anggani ber-
gegas maju. Namun tangan Soka Pura merentang,
menghalangi langkah Anggani.
"Akan kubereskan masalah ini, Anggani! Berga-
bunglah dengan kakakku di sana!" bisik Soka dengan
mata tetap memandang ke arah si Wajah Malaikat.
"Soka...!" seru Pendekar Kembar sulung. "Ting-
galkan saja gadis itu! Buat apa cari penyakit?! Kalau
mau cari penyakit yang ringan-ringan saja, contohnya;
panu, kadas, cacingan, dan yang lainnya!"
"Jangan menyindir ku, Raka!" sentak Bujang
Bodo. "Punggungku memang berpanu, tapi tidak ba-
nyak!"
Soka Pura tak hiraukan seruan Raka dan Bu-
jang Bodo. Matanya tetap tertuju pada si Wajah Malai-
kat. Sekalipun Hantu Muka Tembok telah bangkit
kembali dan terhuyung-huyung mendekati pohon, tapi
Soka Pura tetap memancing perhatian si Wajah Malai-
kat agar tertuju ke arahnya.
"Wajah Malaikat, kuharap kau membuang den-
dam mu kepada murid mendiang Nyai Pundilamis ini!
Jika kau masih nekat ingin menghabisi nyawa Angga-
ni, aku akan merampungkan masa hidupmu sampai di
sini saja!" seru Soka Pura yang hanya ditertawakan
oleh Raka sambil geleng-geleng kepala.
Tanpa banyak bicara, si Wajah Malaikat segera
melesat dengan cepat menerjang Soka Pura. Wuuus...!
Anggani melompat ke samping, sementara Soka men-
coba menahan terjangan lawan dengan menghadang-
kan kedua lengannya ke depan. Brruus...!
Rupanya terjangan itu melebihi terjangan see-
kor banteng. Tenaga Soka tak mampu menahan gera-
kan tubuh si Wajah Malaikat yang melayang cepat itu.
Ia terpental dan jatuh terbanting dalam jarak lima
langkah ke belakang.
Sebelum ia sempat bangkit, Wajah Malaikat se-
gera bertindak melepaskan tendangannya ke arah wa-
jah Soka Pura. Plok...!
"Aaow...!" Soka memekik, karena tangan yang
di pakai menangkis tendangan itu tersentak ke bela-
kang dan kenai wajahnya sendiri dengan keras. Ia ber-
jungkir balik di tanah beberapa kali.
Seet...! Kedua lutut Soka yang bersimpuh itu
menghentak dan membuat tubuhnya segera melesat
naik pada saat si Wajah Malaikat lepaskan pukulan
bersinar hijau lurus ke arahnya. Sinar hijau itu akhir-
nya kenai tanah dan tanah pun menjadi berhamburan
ke mana-mana. Blaaarr...! Wuuurss...!
Soka Pura tak hiraukan tanah yang menjadi
berlubang besar itu. Ia segera menjejak pohon yang
ada dalam jangkauan kakinya. Deeess...! Wuuut...! Tu-
buhnya melayang ke arah lain dengan gerakan bersal-
to. Wuk, wuk...!
Jleeg...! Ia daratkan kakinya membelakangi si
Wajah Malaikat dalam jarak dekat. Tapi Wajah Malai-
kat mengetahui keberadaannya. Ia segera kirimkan
tendangan ke belakang dan punggung Soka yang be-
lum tegak sekali dalam berdirinya itu sudah menjadi
sasaran kaki lawannya dengan telak. Buuhk ..!
"Uuhk...!" Soka Pura terlempar ke depan dan
berguling-guling kembali di tanah.
Melihat adiknya dihajar oleh si Wajah Malaikat,
Raka Pura geleng-geleng kepala sambil berdecak.
"Payah kau Soka," gumamnya lirih, kemudian
ia melangkah bagaikan berjalan santai mendekati arah
pertarungan.
Plak, plak, plak...!
Soka Pura adu kecepatan pukulan dengan si
Wajah Malaikat. Setiap benturan tulang lengan dengan
tulang lengan mengeluarkan asap putih dan percikan
bunga api, bagaikan baja beradu dengan baja.
Namun dalam satu kesempatan, tangan si Wa-
jah Malaikat punya kesempatan bagus untuk menyo-
dokkan telapak tangannya ke wajah Soka Pura.
Ploook...!
"Auuut...!" Soka Pura tersentak ke belakang
dan terhuyung-huyung sambil menutupi wajahnya
yang bagai ditabok dengan lempengan baja. Bibir Soka
pun pecah dan berdarah.
Wajah Malaikat merentangkan kedua tangan-
nya. Telapak tangannya mulai berasap kuning. Tapi
pada saat itu, Raka Pura datang dengan gerakan ber-
plik-plak cepat, jungkir balik menggunakan kedua tan-
gannya. Plak, plak, plak, plak, jleeg...! Ia tiba dl bela-
kang Wajah Malaikat.
Saat itu, si jubah hitam segera berpaling ke be-
lakang dan ingin hantamkan tapak tangan kanannya.
Tapi Raka Pura mendahului dengan tendangan kaki
lurus ke depan. Wuuut...! Dees...!
"Uuhk...!" Wajah Malaikat mendelik seketika,
karena ulu hatinya terkena telak tendangan Raka Pura
yang bertenaga dalam cukup besar itu.
Dengan cepat Raka memutar tubuh dan me-
layangkan tendangannya lagi secara beruntun. Plok,
plok, plok, plok! Wajah si jubah hitam menjadi sasaran
tendangan beruntun itu.
Buuhk...! Tendangan terakhir kenai dada si
Wajah Malaikat yang masih menggeragap itu. Tendan-
gan tersebut membuat tubuh si Wajah Malaikat ter-
lempar ke belakang dan jatuh terduduk dalam jarak
enam langkah dari tempatnya semula. Brruuk...!
"Bangsaatt...!" geram si Wajah Malaikat sambil
cepat-cepat bangkit. Kemudian ia melepaskan pukulan
bersinar kuning emas. Claaap...! Wees...!
"Awas! Pukulan "Sengat Peri'...!!" teriak Anggani
dari samping Hantu Muka Tembok.
Sinar kuning yang meluncur ke arah Raka Pura
itu mempunyai gerakan sangat cepat. Tapi pada saat
itu, Soka yang sudah mencabut pedang kristalnya se-
jak tadi segera melemparkan pedang itu ke arah depan
perut kakaknya. Wees...!
"Heahh...!" tangannya mengeras dengan jari
terbuka seperti pada waktu melempar. Pedang itu ber-
henti di udara, depan perut Raka. Tepat pada saat itu
sinar kuning emas itu hendak menghantam perut Ra-
ka, tapi terhalang pedang. Akibatnya sinar kuning
emas itu kenai pedang kristal dan cahayanya meman-
tul balik ke arah si Wajah Malaikat. Claaap...!
"Hahh...?!" Wajah Malaikat mendelik. Ia ingin
melompat tapi terlambat. Pinggang kirinya terkena si-
nar kuning yang memantul balik itu. Jeebs...!
"Aaaahhk...!" teriaknya dengan tubuh menge-
jang.
Padahal saat itu Raka Pura sudah siapkan pu-
kulan jurus 'Mata Bumi'. Tangannya sudah telanjur
mengeras, dan akhirnya pukulan itu dilepaskan juga
ketika si Wajah Malaikat mengejang di tempat.
Claap...! Sinar merah seperti piring bergerigi itu akhir-
nya menghantam leher kiri si Wajah Malaikat.
Blaaarrr...!
Tak pelak lagi, leher itu pun hancur dihantam
sinar merah dari pukulan 'Mata Bumi'-nya Raka Pura.
Saat itu, Soka sentakkan tangannya yang mengeras
tadi ke belakang. Suuut...! Dan pedangnya yang tadi
berhenti di depan perut Raka itu melesat mundur dan
tertangkap oleh tangannya kembali. Teeb...!
Raka Pura menghempaskan napas panjang,
memandang kesal kepada Soka. Sementara Soka me-
natap ke arah si Wajah Malaikat yang sudah tak punya
wajah lagi karena hancur terkena pukulan 'Mata Bumi'
tadi.
"Lain kali jangan bikin repot aku!" kata Raka.
"Kalau mau unjuk kebolehan di depan gadis, jangan
melibatkan diriku!"
"Aku tidak menyuruhmu membantuku!" bantah
Soka sambil bersungut-sungut.
"Memang tak menyuruh! Tapi kau tak boleh
sampai dihajar sedemikian rupa. Itu sama saja kau
menyuruh ku turun tangan!" omel Raka Pura sambil
memandang ke arah Wisnu Galang yang masih terka-
par namun tak mati itu.
"Kenapa dia?!" tanyanya kepada Soka.
"Biasa. Manja!" jawab Soka Pura, yang segera
menyambut kedatangan Anggani.
"Syukurlah kau selamat, Soka," ujar Anggani
sambil memeluk Soka membuat Raka mencibir sinis.
Soka yang mulutnya masih berdarah itu hanya terse-
nyum, namun segera terpekik karena senyumannya
membuat bibir yang pecah semakin perih. Raka dan
Bujang Bodo menertawakannya, demikian pula Angga-
ni. Sedangkan Hantu Muka Tembok sibuk mengobati
muridnya yang tadi terkena pukulan jarak jauhnya
Soka itu.
Anggani menjelaskan perkara sebenarnya di
depan Raka dan Hantu Muka Tembok, sementara Wis-
nu Galang sudah mulai siuman setelah ditangani Soka
Pura. Pendekar Kembar sulung kaget mendengar Ibu
angkatnya terluka oleh pukulan bersinar kuning emas
seperti tadi. Anggani pun jelaskan amanat dari Pawang
Badal yang dititipkan padanya.
"Kalau begitu, sekarang juga kita berangkat ke
petilasan Taman Astamarta itu!" ujar Raka dengan wa-
jah tegang.
"Hari sudah hampir petang," ujar Hantu Muka
Tembok. "Bermalamlah dulu ke pondokku. Esok kalian
bisa menuju ke sana. Akan ku jelaskan jalan menuju
ke petilasan Taman Astamarta itu!"
Maka tak ada pilihan yang lebih tepat lagi bagi
Pendekar Kembar kecuali menuruti saran Hantu Muka Tembok.
SELESAI
Segera terbit:
KORBAN KITAB LELUHUR
0 comments:
Posting Komentar