"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 25 Agustus 2025

PENDEKAR KEMBAR EPISODE PERAWAN BUKIT JALANG

Perawan Bukit Jalang



1


KABUT yang biasa melapisi puncak Gunung 

Merana tidak segelap biasanya. Pertengahan lereng 

gunung justru dilapisi kabut tebal. Tapi puncaknya ti-

dak. Entah mengapa kabut tak mau bergumul sampai 

puncak. Yang jelas keadaan itu membuat puncak Gunung Merana berhasil diterobos oleh sinar matahari.

Sang surya yang lakukan terobosan ke puncak 

gunung itu menyusup lewat celah-celah dedaunan. 

Keadaan itu membuat puncak Gunung Merana menja-

di cerah. Kecerahan tersebut mempengaruhi hati dua 

insan yang sedang berjalan-jalan di sekitar sebuah 

makam tua. Makam itulah yang selama ini dijaga oleh 

mereka hingga mereka hidup berpasangan dengan me-

sra di puncak Gunung Merana.

Makam itu tidak lain adalah makam tokoh du-

nia persilatan masa lalu yang dikenal dengan julukan 

si Dewa Kencan alias Eyang Mangkuranda. Kesetiaan 

seorang murid membuat makam itu dijaganya sepan-

jang hari, sekalian sang murid mengasingkan diri dari 

rimba persilatan ke puncak Gunung Merana itu. Murid 

tersebut kini sedang berduaan dengan lawan jenisnya,

Dua sosok yang sedang berjalan dengan mesra 

itu tak lain adalah si Pawang Badai bersama istrinya; 

Nyi Padmi. Sekalipun Pawang Badai sudah berusia se-

kitar enam puluh tahun, dan Nyi Padmi sudah berusia 

sekitar lima puluh tahun, namun cinta kasih mereka 

masih terjalin dengan harmonis, hangat namun tidak 

seronok.

Sekalipun mereka sampai setua itu belum dika-

runiai keturunan, namun mereka sudah merasa cukup 

bahagia dengan memiliki dua anak angkat yang kini 

telah tumbuh dewasa dan menjadi sepasang pendekar


yang dikenal dengan nama Pendekar Kembar.

"Sudah empat purnama si Kembar tidak me-

nengok kita. Aku rindu sekali dengan mereka," ujar Nyi 

Padmi dengan membiarkan tangan suaminya merang-

kul dari samping kanan.

"Aku pun merindukan mereka. Tapi percayalah, 

mereka pasti pulang dalam beberapa waktu lagi. Mere-

ka tentu merindukan kita juga," ujar si Pawang Badai 

dengan nada menghibur.

"Aku takut Raka dan Soka lupa kepada kita."

"Itu tidak mungkin, karena kita tahu persis wa-

tak mereka yang tak mudah melupakan orang-orang 

yang pernah berjasa kepada mereka berdua. Jangan 

punya pikiran seperti itu, nanti hatimu semakin ter-

siksa oleh kecemasanmu sendiri."

"Haruskah aku berpikir tentang dirimu terus?"

"Apakah diriku sudah membosankan untuk 

menjadi buah pikiranmu?"

Nyi Padmi tertawa kecil. Pawang Badai meman-

dang dengan senyum seperti masa mudanya, yaitu se-

nyum yang selalu menggetarkan hati si gadis putri seo-

rang Tumenggung yang bernama Rara Padmi itu.

Nyi Padmi mencubit lengan suaminya yang su-

dah berkeriput itu. Tawa kecilnya berkepanjangan, 

menandakan hatinya sedang ceria. Hanya saja, sayang 

sekali keceriaan itu harus segera berakhir karena tiba-

tiba mereka sama-sama melihat sekelebat bayangan 

melesat tak jauh dari samping kiri mereka.

Weees...!

Pawang Badai segera melompat ke depan bersi-

kap melindungi istrinya. Kedua matanya segera men-

gikuti kelebatan bayangan yang melintas serong menu-

ju ke hutan depan. Tapi tangan si Pawang Badai sudah 

siap melepaskan pukulan jarak jauh jika sampai 

bayangan itu menyerang mereka.


"Cepat masuk ke pondok!" perintah Pawang 

Badai kepada istrinya.

Rupanya bayangan itu berkelebat menjauhi 

mereka, sepertinya sedang menghindar sebuah keja-

ran. Hanya saja, ketika Nyi Padmi sedang bergegas 

masuk ke pondoknya, ia tak tahu kalau dari arah 

samping muncul seberkas sinar kuning emas yang me-

lesat cepat dalam bentuk seperti bintang berekor. 

Claaap...! Dees...!

"Aahk...!" Nyi Padmi terpekik, pinggangnya ter-

kena sinar kuning emas itu.

"Hahh...?!" Pawang Badai terperanjat melihat is-

trinya limbung memutar dan akhirnya jatuh terkapar. 

Brruk...!

"Padmii...!" sentak Pawang Badai dengan mata 

membelalak tegang. Ia segera menghampiri istrinya 

yang sudah hampir mencapai halaman pondok mereka 

itu. Sang istri pun terkapar dengan suara mengerang 

sebentar, kemudian diam tak bergerak dan tak bersua-

ra lagi.

Wees, wees...!

Pawang Badai yang nyaris meluapkan mur-

kanya itu sempat menahan diri karena melihat bayan-

gan lain yang melintas di sela-sela pepohonan. Bayan-

gan itu berkelebat ke arah kepergian bayangan yang 

pertama.

"Berhenti kau, Keparat!" sentak Pawang Badai, 

kemudian dengan cepat tangan kanannya mengibas 

bagai melemparkan pisau. Wuuut...! Kejap berikut an-

gin besar datang dan berhembus dengan cepat. 

Wuurrss...!

Glegaaar...!

Hembusan angin kencang itu dibarengi kilatan 

cahaya terang bagaikan petir dilemparkan. Tanah 

menjadi bergetar, sebagian ada yang longsor. Pohon


pohon tumbang karena dihempas angin besar yang ke-

luar dari jurus kibasan tangan si Pawang Badai. Bebe-

rapa pohon yang tumbang itu ada yang terpental ter-

cabut dari akarnya dan menerjang tanaman lainnya. 

Puncak Gunung Merana bagian barat bagai dilanda 

kiamat.

Dua bayangan yang tadi melesat dan segera tak 

terlihat itu tak diketahui nasibnya. Hanya saja, si Pa-

wang Badai sempat melihat bayangan yang terakhir 

melesat tak jauh darinya itu terlempar oleh hembusan 

angin membadai setelah berada di kejauhan sana.

Melihat keadaan istrinya membuka mata dan 

mengangakan mulut tanpa bergerak, Pawang Badai 

sempat ragu-ragu dalam bertindak. Ia ingin mengejar 

bayangan terakhir yang menurutnya telah melepaskan 

jurus maut dan mengenai istrinya itu. Namun ketika 

denyut nadi sang istri terasa masih ada, maka ia ba-

talkan niat untuk mengejar bayangan tersebut. Ia 

mengutamakan lakukan pertolongan demi selamatkan 

nyawa sang istri. Karena keadaan tubuh sang istri kala 

itu sudah mulai membiru dengan wajah sepucat 

mayat. Pawang Badai segera membawa istrinya masuk 

ke pondok.

Sementara itu, badai yang dilemparkan tadi te-

lah mulai reda. Tinggal gema gemuruhnya yang masih 

terdengar bagai menerjang sampai ke kaki Gunung 

Merana itu.

Setelah diperiksa, ternyata keadaan luka Nyi 

Padmi sangat berbahaya. Tubuhnya bukan saja men-

jadi biru memar, namun disertai dengan bintik-bintik 

merah. Bintik-bintik merah itu adalah darah yang mu-

lai keluar dari pori-pori kulit perempuan tua itu.

"Keparat! Ini pukulan racun 'Sengat Peri'. Siapa 

pemiliknya, aku pun tahu! Tapi mengapa ia menyerang 

istriku?!" pikir Pawang Badai sambil memandangi kea


daan tubuh istrinya yang memprihatinkan itu.

"Inti darahnya mulai menghangus. Harus sege-

ra ku padamkan dengan 'Hawa Badai Salju' yang ada 

padaku jika aku tak ingin kehilangan istri tercinta! Wa-

laupun 'Hawa Badai Salju' tidak mungkin bisa mema-

damkan seluruh inti darah yang terbakar, setidaknya 

dapat menghambat keganasan racun 'Sengat Peri' itu!"

Tokoh tua yang sebenarnya sudah tak ingin 

ikut campur di rimba persilatan lagi itu termenung 

berkepanjangan memikirkan nasib istrinya. Ia tak bisa 

menghilangkan racun 'Sengat Peri'. Ia hanya bisa 

memperlambat cara kerja racun itu saja. Tetapi tidak 

mungkin selamanya Nyi Padmi hanya akan menerima 

'Hawa Badai Salju' saja.

Di ujung renungannya itu, tiba-tiba Pawang 

Badai mendengar suara rintihan di tempat yang cukup 

jauh.

Suara rintihan itu terdengar samar-samar tim-

bul tenggelam, seakan bisa terdengar jika angin ber-

tiup ke arah pondok.

Nalurinya yang mengatakan ada seseorang 

yang dalam bahaya dan sangat menderita, segera 

menggerakkan hatinya untuk segera mencari orang 

terse but. Suara rintihan itu dilacaknya, semakin lama 

semakin jelas jenisnya.

"Perempuan mana yang merintih di sebelah sa-

na itu?!" pikir Pawang Badai sambil melangkah mele-

wati hutan yang telah hancur akibat sapuan angin ba-

dai tadi. Tokoh tua berambut abu-abu sepanjang 

punggung dengan jenggot dan kumis abu-abunya pula 

itu segera hentikan langkah setelah jelas betul dari 

mana datangnya suara rintihan itu.

Mata yang memancarkan wibawa itu akhirnya 

menemukan seorang gadis yang separo tubuhnya ter-

timpa pohon besar dan dalam keadaan banyak luka di


tubuhnya. Si jubah putih bertongkat hitam itu segera 

dekati gadis yang malang.

"Diakah yang memiliki pukulan racun 'Sengat 

Perl' itu?! Oh, sepertinya hati kecilku tak mempercayai 

dugaanku sendiri. Kurasa bukan gadis ini. Tapi men-

gapa ia ada di sini?!" pikir Pawang Badai.

Seorang gadis cantik bertubuh langsing me-

nampakkan wajah derita. Agaknya ia ikut terhempas 

badai dan membentur ke sana-sini, hingga akhirnya 

tumbang tak berkutik karena sebatang pohon menim-

pa bagian perutnya. Batang pohon yang tumbang itu 

cukup besar. Pawang Badai memperkirakan, jika see-

kor buaya yang tertimpa pohon itu, pasti buaya terse-

but akan mati. Tetapi gadis itu tidak. Ia masih hidup.

Itu menandakan bahwa gadis berjubah coklat 

muda itu bukan sembarang gadis. Setidaknya ia mem-

punyai ilmu tenaga dalam yang mampu menahan tu-

buhnya dari gencetan pohon besar tersebut. Hanya sa-

ja tenaga dalamnya itu tak mampu mendorong batang 

pohon itu, mungkin karena yang ia miliki hanya sisa 

dari tenaga dalam yang nyaris habis itu.

"Too... long... aku, Pak Tua...," ucapnya dengan 

wajah cantik yang menyeringai. Kulit wajahnya yang 

sebenarnya kuning langsat itu kini telah menjadi me-

rah kebiru-biruan karena saluran darahnya tergencet 

pohon besar tersebut.

Pawang Badai segera mengganjal pohon itu 

dengan tongkatnya. Tenaga dalamnya dikerahkan den-

gan tak kentara, karena urat-uratnya tak kelihatan 

menegang.

Tongkat yang disodokkan ke sisi kanan tubuh 

si gadis itu segera diangkat dengan gerakan pelan-

pelan dan pandangan matanya tertuju pada tongkat 

tersebut. Ternyata tongkat sebesar pergelangan tan-

gannya itu mampu menopang batang pohon yang be


sar. Batang pohon itu terangkat pelan-pelan dengan 

tongkat digenggam satu tangan.

Setelah tongkat itu mampu menopang pohon 

besar dalam ketinggian sebatas perut, kaki Pawang 

Badai segera menendang pelan betis si gadis. Duuhk...! 

Tapi tenaga yang keluar dari kaki itu cukup besar, se-

hingga si gadis terdorong dan berguling-guling bebera-

pa kali.

"Aaahk...!"

Pawang Badai tak hiraukan pekikan si gadis. 

Yang ia tahu, si gadis sudah berhasil disingkirkan dari 

bawah batang pohon tersebut. Maka tongkatnya segera 

ditarik dan batang pohon itu jatuh ke tanah kembali. 

Brruuk...! Tanah di sekitarnya bergetar sedikit, namun 

tak ada dahan pohon yang menimpa tubuh si gadis.

Gadis itu mengerang sebentar, kemudian terku-

lai lemas dalam keadaan tengkurap. Rupanya sang ga-

dis telah kehabisan tenaga, untung belum kehabisan 

nafas, sehingga Pawang Badai segera membawa ke 

pondoknya dalam keadaan si gadis masih pingsan.

Gadis berjubah coklat muda dengan celana 

panjang dan pinjung penutup dadanya yang sekal 

berwarna ungu itu segera diobati oleh Pawang Badai. 

Tindakan itu bukan semata-mata dilakukan karena 

rasa manusiawi semata, namun juga untuk mengeta-

hui siapa gadis itu dan mengapa sampai berada di 

puncak Gunung Merana. Hawa murni yang disalurkan 

ke tubuh si gadis dengan cara menempelkan dua te-

lunjuk ke leher si gadis, membuat gadis itu makin la-

ma bukan saja menjadi siuman, namun juga semakin 

merasa sehat. Sekalipun ia belum bisa bangkit, namun 

sudah bisa bicara dan melihat siapa orang yang meno-

longnya.

"Siapa kau sebenarnya?!" tanya si Pawang Ba-

dai dengan nada tegas dan berwibawa.


"Aku... aku adalah Anggani, murid mendiang 

Nyai Pundilamis dari Bukit Jalang."

"Pundilamis...?!" gumam Pawang Badai dengan 

kerutkan dahi. sepertinya ia mengenal nama itu. "Kau 

tadi bilang 'mendiang' Nyai Pundilamis?! Apakah Pun-

dilamis sudah tewas?!"

"Benar, Pak Tua! Apakah kau mengenal men-

diang guruku itu?!"

"Ya, aku kenal dengan beliau. Tapi baru seka-

rang kudengar si Pundilamis meninggal."

"Karena memang baru tiga hari yang lalu beliau

tewas, Pak Tua!" ujar Anggani dengan wajah tampak 

bersedih.

"Perguruan kami diserang oleh orang-orang 

Rawa Geni. Pada mulanya kami bisa bertahan, dua 

kali serang orang-orang Rawa Geni berhasil kami sapu 

habis. Sampai ketuanya sendiri; si Warok Koncer tewas 

di tangan guruku," tutur Anggani dengan kata-kata 

yang belum selancar biasanya.

Pawang Badai menyimak sambil sesekali meli-

rik keadaan istrinya yang terbaring di balai-balai bam-

bu tak jauh darinya. Hati Pawang Badai selalu teriris 

pedih manakala ia melirik istrinya dan menyadari sang 

istri bagaikan patung bernyawa yang tak mampu ge-

rakkan apa-apa.

"Tetapi perguruanku menjadi hancur, rata den-

gan tanah, dan tak ada yang hidup satu pun kecuali 

diriku, setelah kakaknya Warok Koncer muncul laku-

kan balas dendam kepada pihak kami."

"Siapa kakaknya Warok Koncer itu?!"

"Si Wajah Malaikat!"

Pawang Badai terperanjat, pandangan matanya 

terkesip, seolah-olah nama Wajah Malaikat membuat 

bulu kuduknya merinding seketika. Rupanya Pawang


Badai cukup kenal dengan nama tersebut, sehingga 

detak jantung bertambah cepat diburu oleh dendam 

yang tersembunyi di balik relung hatinya.

"Ternyata dugaanku benar! Dia masih hidup!" 

gumam Pawang Badai dengan mata memandang ham-

pa.

"Apakah kau juga kenal dengan si Wajah Ma-

laikat, Pak Tua?!"

"Aku sangat mengenalnya, Nak," jawab Pawang 

Badai, suaranya cukup pelan dan datar. 

"Dia itulah orang yang mengejarku, Pak Tua! 

Dia tak ingin orang Bukit Jalang ada yang hidup. Se-

dangkan satu-satunya orang yang masih hidup adalah 

diriku. Maka ia mengejarku dan aku berlari terus sam-

pai ke sini...."

"Tentu saja kau tidak akan mampu menandingi 

ilmunya si Wajah Malaikat!"

"Aku menyadari hal itu, Pak Tua! Sekalipun 

aku berhasil lolos dari pukulan mautnya yang bersinar 

kuning emas itu, tapi aku tetap merasa bahwa ia bu-

kan tandinganku. Karena aku lari dan lari terus tanpa 

arah yang pasti."

Pawang Badai tarik napas. Ia baru menyadari 

bahwa bayangan pertama yang tadi dilihatnya berkele-

bat itu adalah bayangan si Anggani yang dikejar oleh 

Wajah Malaikat. Pawang Badai tak merasa sangsi sedi-

kit pun dengan pengakuan Anggani, sebab pengakuan 

itu sangat masuk akal. Jika si Wajah Malaikat sudah 

menggunakan ilmu pukulan jarak jauh yang mengan-

dung racun 'Sengat Peri', maka jarang sekali ada la-

wannya yang masih bisa menyelamatkan diri.

Jika sampai Anggani berhasil lolos dari puku-

lan beracun itu, berarti Anggani punya ilmu yang cu-

kup lumayan. Setidaknya punya kelincahan gerak 

yang patut dipuji. Atau karena gadis itu memang se


dang bernasib mujur.

"Aku kenal dengan si Wajah Malaikat. Semula 

aku sangsi melihat istriku terkena pukulan beracun 

'Sengat Peri'. Aku tahu pukulan seperti itu hanya dimi-

liki oleh si Wajah Malaikat. Tapi, kusangka si Wajah 

Malaikat sudah tewas beberapa tahun yang lalu dalam 

peristiwa penyerangan orang Pulau Demit ke Muara 

Bangke, tempat si Wajah Malaikat berkuasa. Tapi ter-

nyata dia masih hidup."

Pawang Badai menatap istrinya sebentar, hati 

berdesir sedih pedih lagi. Saat itu, Anggani mencoba 

bangkit dan ia berhasil duduk di tempat dengan kaki 

melonjor. Matanya ikut memandang Nyi Padmi yang 

ada di balai-balai bambu seberang.

"Berarti pukulan racun 'Sengat Peri' itu sebe-

narnya ditujukan untukmu, Anggani. Namun ternyata 

meleset dan mengenai istriku. Padahal racun itu tak 

bisa ditawarkan kecuali dengan menggunakan 'Daun 

Astagina'," sambung Pawang Badai. "Sedangkan yang 

namanya 'Daun Astagina' hanya ada di Taman Asta-

marta. Taman itu sendiri sekarang sudah rata dengan 

tanah."

"Maaf, Pak Tua...," potong Anggani. "Taman As-

tamarta itu di mana?"

"Di Keraton Kencana Windu. Sedangkan Kera-

ton Kencana Windu sudah dihancurkan oleh prajurit 

dari Laut Berantai. Keraton dan tamannya sudah dira-

takan dengan tanah."

"Jadi sekarang sudah tak ada?"

"Aku tak tahu dengan pasti; apakah pohon As-

tagina itu masih ada di sana atau ikut rata dengan ta-

nah," jawab Pawang Badai tampak bimbang.

"Kasihan istrimu itu, Pak Tua...," ujar Anggani. 

"Gara-gara aku melarikan diri ke sini, beliau menjadi 

korban pukulan ganas si Wajah Malaikat! Aku merasa


bersalah, Pak Tua."

Mendengar nada bicara Anggani yang penuh 

sesal itu, Pawang Badai segera mengusap rambut pan-

jang gadis itu.

"Sebenarnya bukan salahmu, karena kau tak 

sengaja membuat istriku celaka!"

"Tapi... tapi aku merasa sebagai penyebab ben-

cana yang dialami istrimu itu, Pak Tua. Aku tak tahu,

apa yang harus kulakukan jika sudah begini keadaan-

nya."

"Yang jelas, si Wajah Malaikat pasti masih hi-

dup." 

"Dari mana kau tahu? Menurutku dia sudah 

tewas karena badai dahsyat yang tiba-tiba muncul ta-

di," ujar Anggani dengan polos, karena ia tidak tahu 

bahwa badai itu datang dari tangan si Pak Tua yang 

ada di depannya.

"Wajah Malaikat pasti masih hidup, karena ia 

punya jurus peringan tubuh yang dinamakan 'Serat 

Mayat', tubuhnya bisa tembus benda keras apa pun 

dalam satu helaan napas yang tertahan."

"Agaknya kau sangat tahu tentang si Wajah 

Malaikat itu, Pak Tua?!"

"Karena semasa mudaku, kami pernah bersa-

habat. Tapi sejak ku tahu dia ikut aliran hitam, aku 

memisahkan diri, dan sering bentrok dengannya," ja-

wab Pawang Badai.

"Kalau boleh ku tahu," kata Anggani setelah 

menggumam kecil dan manggut-manggut."... siapa se-

benarnya dirimu ini, Pak Tua?"

"Apakah mendiang gurumu; Nyai Pundilamis 

tak pernah bercerita padamu tentang seseorang yang 

bernama Pawang Badai?"

"O, ya! Mendiang Guru memang pernah berceri-

ta tentang pemuda yang ditaksirnya semasa beliau


masih muda. Namun pemuda itu jual mahal dan ak-

hirnya Guru membencinya. Pemuda itu adalah si Pa-

wang Badai."

"Tapi aku tidak membenci gurumu," ujar Pa-

wang Badai.

Anggani menatap Pawang Badai dengan berke-

rut. Ia mulai curiga, dan akhirnya memastikan kecuri-

gaannya itu dengan sebuah kesimpulan.

"Kalau begitu, kaulah yang bernama Pawang 

Badai itu?!"

"Kesimpulanmu tak salah, Anggani," jawab Pa-

wang Badai dengan nada berwibawa namun juga 

berkesan bijaksana.

Anggani terkesip, sedikit sentakkan tubuh 

mundur.

"Apakah kau ingin ikut membenci ku juga, 

Nak?"

Anggani diam sebentar, lalu menjawab pelan, 

"Ku rasa itu tak perlu kulakukan. Kebencian Guru ke-

pada mu karena urusan pribadi, Ki Pawang Badai. Aku 

tak perlu ikut campur. Apalagi kau telah menyela-

matkan nyawaku dari gencetan pohon tadi, tak ada 

alasan bagiku untuk membenci mu. Justru aku ingin 

membalas kebaikanmu. Tunjukkan padaku apa yang 

harus kulakukan untuk menolong istrimu itu, Ki Pa-

wang Badai?!"

"Jika begitu maumu, carilah anak kembar ka-

mi."

"Siapa namanya?"

"Raka Pura dan Soka Pura alias si Pendekar 

Kembar!"

"Ooh... jadi... jadi Pendekar Kembar itu anak-

mu, Ki?" Anggani semakin kaget, karena ia sering 

mendengar nama Pendekar Kembar yang sedang jadi 

bahan pembicaraan para tokoh di rimba persilatan itu.


"Ya, mereka adalah anak angkat kami. Carilah 

mereka dan beri tahukan keadaan ibu mereka di sini. 

Jika perlu, suruh mereka mencari Daun Astagina' se-

cepatnya!"

"Akan kulakukan, Ki. Tapi bagaimana jika aku 

gagal menemukan mereka? Atau bagaimana jika mere-

ka gagal menemukan 'Daun Astagina' itu?!"

Pawang Badai diam, matanya memandang jauh 

bagai menerawang. Namun wajah tuanya mulai tam-

pak cemas. Mungkin ia membayangkan, bagaimana ji-

ka Pendekar Kembar tak berhasil mencari 'Daun Asta-

gina' yang merupakan tanaman paling langka itu?

*

* *

2


SEORANG pemuda berwajah tampan baru saja 

memasuki kedai milik Ki Sawangan. Pemuda berbaju 

buntung warna putih dengan celananya yang putih ju-

ga itu didampingi oleh seorang pemuda lain yang ber-

wajah tak begitu tampan, namun berkesan polos dan 

lugu. Pemuda yang satu itu berambut pendek, tidak 

sepanjang rambut si pemuda berbaju putih itu. Pemu-

da lugu itu berbaju coklat tua dengan celana biru dan 

berkalung ketapel. Tubuhnya kurus, tidak sekekar dan 

segagah pemuda yang menyelipkan pedang kristal di 

pinggang kirinya.

Mereka tak lain adalah Raka Pura, si Pendekar 

Kembar sulung bersama Bujang Bodo. Tentu saja yang 

bernama Raka Pura adalah yang tampan, sedangkan 

yang bernama Bujang Bodo adalah yang memiliki wa-

jah simpang siur itu. Mereka saling berkenalan ketika


si Bujang Bodo menemukan gadis Estigina alias si Pu-

tri Awan dalam keadaan bugil dan tak berdaya akibat 

nyaris diperkosa oleh almarhum Bima Sura, (Baca 

serial Pendekar Kembar dalam episode: "Iblis Pemburu 

Wanita"). Sejak itulah Bujang Bodo selalu mengikuti 

Raka Pura, seakan menjadi pelayan si Pendekar Kem-

bar sulung itu.

Mereka baru saja pulang mengantar Estigina ke 

Perguruan Merak Yudha, karena gadis cantik itu ada-

lah putri sang ketua perguruan tersebut. Sedangkan 

Pendekar Kembar bungsu yang dikenal dengan nama 

Soka Pura gadis bernama Rara Wulan, putri tunggal 

Adipati Darmadikan yang hobi minggat dan nyaris 

menjadi korban kebejatan si Bima Sura itu. Jika Raka 

Pura pergi mengantar si Putri Awan dengan didampingi 

Bujang Bodo, maka Soka Pura pergi mengantar Rara 

Wulan dengan didampingi Bandar Getih, karena Ban-

dar Getih memang pelayannya Rara Wulan.

Di dalam kedai yang cukup besar untuk uku-

ran warung makan tingkat desa itu, beberapa pasang 

mata memperhatikan kemunculan Raka Pura. Sosok 

pemuda bertubuh tegap dan gagah itu membuat mere-

ka berkesimpulan bahwa pemuda tersebut pasti bukan 

pemuda tanpa ilmu. Ada yang memandang kagum, ada 

pula yang memandang dengan rasa iri, terutama bagi 

mereka yang punya tubuh kurus dan wajah beranta-

kan.

Tapi Raka tidak pedulikan pandangan mata 

mereka. Dengan tenangnya ia duduk di bangku sudut 

berhadapan dengan Bujang Bodo. Pedang kristalnya 

diletakkan di bangku panjang sebelah kirinya.

"Mau makan apa?" tanya Raka Pura kepada 

Bujang Bodo bernada menawari.

"Apa sajalah, tak perlu mewah-mewah. Pang-

gang ayam juga boleh."


"Itu namanya mewah!" sentak Raka Pura den-

gan nada pelan dan berkesan canda. Bujang Bodo tan-

pa senyum dan bahkan berkerut dahi. "O, jadi pang-

gang ayam itu termasuk makanan mewah? Bagaimana 

kalau panggang semut?"

"Nah, itu baru makanan murah!" ujar Raka Pu-

ra sambil perpanjang senyum dan tawa yang mirip 

orang menggumam. Setelah memesan makanan dan 

minuman yang mereka inginkan, Bujang Bodo segera 

duduk merenung tak peduli diperhatikan oleh Raka 

Pura.

"Hei, jangan melamun. Nanti ayam mu mati."

"Ayam ku memang sudah mati sejak kakek ti-

dak punya uang buat beli lauk pauk," ujar Bujang Bo-

do.

"Mengapa sejak pulang dari Perguruan Merak 

Yudha kau kulihat sering melamun, Bujang Bodo? Apa 

yang kau pikirkan sebenarnya?"

"Estigina," jawab Bujang Bodo dengan polos 

tanpa ragu ataupun malu. Jawaban itu membuat Raka 

Pura semakin lebarkan senyum, karena ia tahu si Bu-

jang Bodo tampaknya naksir dengan Estigina. Padahal 

menurut Raka Pura, wajah Estigina dengan Bujang 

Bodo seperti pinang dibelah pakai linggis. Estigina pi-

nang yang utuh, Bujang Bodo pinang yang hancur dan 

bonyok.

"Kurasa tak perlu terlalu berpikir tentang gadis 

itu, Bujang Bodo. Dunia ini tidak selebar daun kelor."

"Iya. Kalau selebar daun kelor, lantas kalau aku 

mau cuci muka di mana?"

"Artinya, bukan hanya Estigina gadis yang ada 

di dunia ini. Masih banyak yang lainnya. Kau masih 

punya kesempatan memilih gadis yang lain untuk di-

jadikan kekasihmu."

Bujang Bodo memandang Raka Pura. "Kau


sangka aku ingin menjadi kekasihnya Estigina?" "Jadi 

mengapa kau melamunkan diri gadis itu?"

"Kamu memang bodoh," ujar Bujang Bodo se-

perti orang menggerutu. Suaranya pelan namun jelas 

didengar oleh Raka Pura.

"Mengapa gadis itu tak kau izinkan untuk ikut 

berkelana bersamamu, Raka?! Padahal dia ingin sekali 

selalu bersamamu ke mana saja kau pergi."

"Dia punya kaki dan bisa berkelana sendiri ke 

mana dia mau."

"Dia maunya bersamamu! Dia itu sangat cinta 

kepadamu, Raka. Tapi kau menolaknya secara tak 

langsung dan mengecewakan hatinya."

Raka tersenyum kecil. "Itu hanya dugaanmu 

saja. Lupakanlah!"

"Tidak, Raka! Itu bukan dugaanku, tapi penga-

kuan langsung dari Estigina sendiri. Dia bilang begitu 

padaku. Dia sampai bilang padaku: Belahlah dadaku 

kalau kau tak percaya bahwa aku mencintai Raka, Bu-

jang Bodo...."

"Lalu sudah kau belah dadanya?"

"Boro-boro membelah dadanya, memegangnya 

saja aku tak berani!" Bujang Bodo bersungut-sungut 

membuat Raka Pura tertawa pelan.

Mereka menikmati santapan yang dipesan 

sambil membicarakan gadis putri adipati itu. Sebenar-

nya Raka tahu bahwa gadis itu menaruh hati padanya. 

Tapi hati Raka belum bisa tergerak sehingga belum bi-

sa menerima cinta si gadis. Hanya saja, hal itu tidak 

pernah dikatakan kepada Estigina karena Raka Pura 

takut menyakiti hati gadis itu.

Agaknya Bujang Bodo sangat berharap Raka 

Pura berjodohan dengan Estigina. Menurutnya, pasan-

gan itu Sangat cocok dan serasi, seperti sandal jepit ki-

ri dan kanan. Cocok. Tapi agaknya ia ikut kecewa karena Raka Pura tak mau menerima gadis itu dalam ha-

tinya.

"Kalau aku punya wajah tampan sepertimu, ku 

sambar si Estigina itu!" ujar Bujang Bodo.

"Bukankah wajahmu sudah tampan?"

"Jangan menghina! Aku sadar wajahku morat-

marit tak karuan bentuknya, sampai-sampai aku sen-

diri sering bingung membedakan wajahku dengan 

tengkuk ku!"

Raka Pura hampir tersedak karena ingin terta-

wa mendadak mendengar ucapan Bujang Bodo yang 

seakan diucapkan secara serius itu. Pada saat Bujang 

Bodo ingin bicara lagi, tiba-tiba niatnya diurungkan 

karena pandangan matanya mengarah kepada seseo-

rang yang baru saja muncul di kedai itu. Raka Pura 

tak melihatnya karena ia memunggungi arah pintu 

masuk kedai.

Orang yang baru saja datang itu berseru den-

gan suara lantang.

"Saudara-saudara... lihatlah kemari!"

Beberapa pengunjung kedai memandang ke 

arah lelaki berpakaian serba hitam dan berbadan be-

sar itu. Kumisnya yang lebat menjadi pusat perhatian 

mereka, karena kumis itu mempunyai dua warna; pu-

tih dan hitam.

"Lihat, aku membawa sekantong uang...," ia 

menunjukkan kantong putih kusam yang digenggam 

dengan tangan kanannya.

"Kantong ini berisi uang sejumlah... hitung 

sendiri saja nanti!" ujarnya lagi dengan wajah ceria.

"Uang ini akan menjadi milik kalian, apabila 

kalian berhasil menangkap si Perawan Bukit Jalang!"

"Perawan Bukit Jalang?!" gumam mereka saling 

pandang dan saling bersahutan.

"Siapa pun yang bisa menangkap Perawan Bukit Jalang, dan membawanya ke Muara Bangke untuk 

di serahkan kepada ketuaku, maka ia akan menda-

patkan uang ini!"

Cring, cring, cring...! Kantong berisi uang itu 

sengaja diayun-ayunkan agar terdengar suaranya dan

menarik perhatian mereka. Salah seorang dari mereka 

berkata kepada temannya.

"Wah, banyak sekali. Bisa buat makan selama 

tujuh turunan."

"Apalagi kalau tidak dipakai-pakai, bisa awet 

sampai tujuh puluh turunan."

Bujang Bodo menendang kaki Raka memberi 

isyarat agar Raka memandang ke arahnya. Kemudian 

dengan suara berbisik, Bujang Bodo berkata, "Bisa bi-

kin kita kaya, Raka."

"Apanya?" Raka berlagak bodoh.

"Uang itu!" sentak Bujang Bodo dalam bisikan. 

"Kita cari si Perawan Bukit Jalang dan tangkaplah 

orang itu, maka kau akan mendapatkan hadiah seba-

nyak itu, Raka! Kau bisa kaya, dan aku bisa numpang 

kaya juga."

"Kita belum tahu apa kesalahan si Perawan 

Bukit Jalang sampai nyawanya disayembarakan oleh 

pihak Muara Bangke. Aku sendiri belum tahu siapa 

penguasa Muara Bangke itu."

"Kalau tak salah ingatanku, penguasa Muara 

Bangke itu adalah si Wajah Malaikat. Tapi sebaiknya 

akan ku coba menanyakannya kepada orang itu."

"Sst...! Tak usah! Kita tak perlu ikut campur 

hal-hai seperti itu, Bujang."

"Aah, kau ini...!" Bujang Bodo bersungut-

sungut tampak kecewa. Tapi sebentar kemudian ada 

seorang pengunjung kedai yang ajukan tanya kepada 

si pembawa sekantong uang itu.

"Sobat!" kata orang itu sambil berdiri. "Kalau


tak salah kau adalah orangnya si Wajah Malaikat, pen-

guasa Muara Bangke itu?!"

"Benar! Tepat sekali dugaanmu, Saudara! Hah, 

hah, hah...!"

"Kalau boleh ku tahu, mengapa Perawan Bukit 

Jalang harus ditangkap dan diserahkan kepada ketua 

mu?!"

"Perawan Bukit Jalang adalah gadis yang licin 

seperti belut. Ia sukar ditangkap, tapi mudah dibunuh 

jika kalian sudah berhadapan dengannya. Ilmunya tak 

seberapa tinggi. Cuma licin saja gadis itu."

"Yang kutanyakan, alasannya! Apa alasannya 

sehingga Perawan Bukit Jalang harus ditangkap?!"

"O, begini...," orang berpakaian serba putih itu 

maju beberapa langkah mendekati orang yang ber-

tanya.

"Beberapa waktu yang lalu, Perawan Bukit Ja-

lang bertamu ke Muara Bangke. Ketuaku menerimanya 

dengan baik-baik. Tapi pada malam hari, ia mencari 

mangsa dan bercinta dengan salah seorang pengawal 

benteng Muara Bangke. Pagi harinya, pengawal itu 

menggelepar-gelepar di depan ketua kami. Setelah di-

periksa, ternyata darahnya telah bercampur dengan 

racun yang tidak bisa ditangkal dengan apa pun. Ra-

cun itu membusukkan darah dalam waktu singkat, la-

lu menewaskan pengawal kami itu. Sedangkan si Pe-

rawan Bukit Jalang telah hilang lenyap entah pergi ke 

mana." 

"Dari mana asal racun itu?"

"Dari mana lagi kalau bukan dari keringatnya si 

Perawan Bukit Jalang. Jadi jelasnya, Perawan Bukit 

Jalang harus dibunuh karena ia adalah perempuan 

yang punya penyakit amat berbahaya. Jika tidak dibu-

nuh, maka pria mana pun yang bersentuhan dengan-

nya akan ketularan penyakitnya dan akan segera mati


terserang racun dalam tubuh si Perawan Bukit Ja-

lang!"

"Mengapa gadis itu tidak mati? Padahal justru 

dia yang punya penyakit. Mestinya dia mati."

"Menurut ketuaku, racun itu hanya bisa beker-

ja dalam tubuh seorang lelaki, tapi tidak mematikan ji-

ka berada dalam tubuh seorang perempuan. Penyakit 

itulah yang dinamakan penyakit 'Hantu Lanang'. Ka-

barnya, sampai sekarang penyakit 'Hantu Lanang' be-

lum ada obatnya. Sedangkan si Perawan Bukit Jalang 

'itu pasti akan menyebarkan penyakit itu dengan ber-

ganti-ganti pasangan kencannya dengan jalan berpelu-

kan. Dapat kalian bayangkan, jika ia berbuat begitu di 

sana-sini maka cepat atau lambat kaum lelaki di dunia 

ini akan habis binasa terbunuh oleh penyakit terse-

but."

"Ooo...," mereka menggumam dan manggut-

manggut, lalu masing-masing saling berkasak-kusuk 

sesama teman sendiri. Yang tidak membawa teman 

menjadi punya teman karena ikut nimbrung dalam 

percakapan mereka.

"Sebarkan pula sayembara ini kepada yang 

lain!" ujar si lelaki berkumis dua warna itu. "Bahkan 

jika ada yang memberi tahu... hanya memberi tahu sa-

ja... di mana si Perawan Bukit Jalang itu bersembunyi, 

maka ia pun akan mendapatkan hadiah dari ketua 

kami. Tentunya tidak sebanyak ini, karena hanya 

modal congor saja, tidak mengerahkan tenaga untuk 

menangkapnya. Kalian bisa datang langsung ke Muara 

Bangke, atau menghubungi ku. O, ya... namaku Bran-

dal Komeng! Jika kalian melihat si Perawan Bukit Ja-

lang dan tak berani menangkapnya sendiri, jangan 

sungkan-sungkan menghubungi ku. Kita dapat me-

nangkapnya secara ramai-ramai, lalu hadiahnya dapat 

kita bagi bersama!"


Brandal Komeng segera pergi mencari tempat 

berkumpul orang yang lainnya. Rupanya si Brandal 

Komeng memang ditugaskan untuk menyebarkan ka-

bar tersebut dengan membawa sekantong uang sebagai 

pemancing semangat mereka.

Salah seorang yang terpancing semangatnya 

adalah Bujang Bodo.

"Kalau kau tak mau menangkapnya," katanya 

kepada Raka Pura. "Aku sendiri yang akan menangkap 

si Perawan Bukit Jalang itu."

"Kau pikir yang bernama Perawan Bukit Jalang 

bukan orang berilmu?! Belum sempat mendekat kau 

bisa-bisa sudah tak bernyawa lagi!"

"Yah, setidaknya aku bisa menjadi mata-mata 

untuk memberitahukan kepada si Brandal Komeng itu 

di mana Perawan Bukit Jalang berada. Toh begitu saja 

aku bisa mendapat hadiah."

Raka Pura tersenyum kecil. Ia meneguk minu-

mannya.

"Kita harus segera bertindak, Raka. Jangan ter-

lalu lama di kedai ini!"

"Ku ingatkan padamu, jangan gegabah, Bujang 

Bodo! Jangan terpancing oleh maut yang menganga di 

depanmu. Kalau kau mati, lalu siapa lagi yang akan 

menjadi bodoh? Tak ada. Jadi menurutku, kau tak 

perlu ikut campur urusan itu supaya jangan mati dan 

supaya tetap ada yang bodoh."

"Ah, kau mengecilkan kemampuanku, Raka!" 

Bujang Bodo bersungut-sungut. "Aku punya jurus si-

ulan maut! Aku bisa membuat Perawan Bukit Jalang 

itu tunduk padaku dan mau kuserahkan kepada si 

Wajah Malaikat!"

Raka manggut-manggut. "Memang, kau me-

mang punya jurus atau ilmu siulan, dan memang 

hanya ilmu warisan nenekmu itulah yang kau punyai.


Selebihnya tak ada. Tapi bagaimana jika ternyata si 

Perawan Bukit Jalang itu adalah perempuan budek?!"

"Budek...?!" Bujang Bodo berkerut dahi. "Wah,

kalau perempuan itu tuli, repot juga. Siulanku tak 

akan di dengarnya!" ujarnya, lalu si Bujang Bodo itu 

termenung memikirkan hal itu dengan serius sekali.

"Apakah kau sudah tahu yang bernama Pera-

wan Bukit Jalang?"

"Aku belum pernah bertemu, tapi sepertinya 

aku pernah mendengar namanya dibicarakan orang."

"Apalagi kau belum pernah tahu seperti apa 

orangnya, mana mungkin kau bisa menangkap si Pe-

rawan Bukit Jalang itu?!"

"Tapi kalau tidak segera ditangkap, nanti dia 

juga membunuhku, Raka. Sebab aku adalah seorang 

lelaki!"

"Asal kau tidak tidur dengannya, mana mung-

kin dia bisa membunuhmu dengan penyakitnya itu? 

Kalau ada lelaki yang terbunuh karena penyakitnya, 

itu adalah kesalahan si lelaki itu sendiri. Karena itu-

lah, jangan tidur dengan sembarang perempuan biar 

tak terkena penyakit terkutuk itu!"

"Tapi... bagaimana kalau ternyata Perawan Bu-

kit Jalang berhasil merayu Soka; adikmu?"

Raka Pura menjadi sedikit tegang. Hatinya me-

nyimpan kecemasan, karena ia tahu bahwa Soka, 

adiknya, sangat mudah terbujuk oleh rayuan seorang 

gadis. Bahkan sang adik yang bandel itu mudah ha-

nyut dalam cumbuan mesra seorang perempuan.

Raka mulai mengkhawatirkan keselamatan 

adiknya. Jika Soka bertemu dengan Perawan Bukit Ja-

lang dan mereka akhirnya bercinta, maka penyakit itu 

akan menular ke tubuh Soka dan bisa jadi Soka akan 

kehilangan nyawa seperti cerita si Brandal Komeng 

tentang


pengawal benteng Muara Bangke itu.

"Kalau begitu, kita cari si Perawan Bukit Jalang 

itu sekarang juga, Bujang! Aku tak ingin adikku men-

jadi korban penyakit terkutuk itu!" ujar Raka Pura 

dengan penuh semangat, dan Bujang Bodo menjadi 

kegirangan.

*

* *

3


SIANG berganti malam, malam berganti pagi, 

dan pagi pun mulai merayap menuju slang kembali. 

Sang matahari bukan saja menyinari dedaunan dan 

batu-batu di kaki bukit, tapi juga menyinari dua sosok 

yang sedang bertarung dengan sengitnya di tanah tak 

bertuan.

Dua sosok yang bertarung itu semula hanya 

mengandalkan ketangkasan dan kekuatan tenaga da-

lamnya tanpa senjata. Namun ketika pertarungan se-

makin sengit, dua sosok yang bertarung itu mulai 

menggunakan senjata masing-masing. Yang satu ber-

senjata pedang, yang satunya lagi bersenjata kipas ba-

ja. Ujung-ujung kipas itu membentuk keruncingan 

yang mampu merobek dada lawannya.

Mereka yang bertarung saling mempertahankan 

nyawa itu adalah dua orang perempuan yang punya 

usia sedikit berbeda. Yang bersenjata pedang tampak 

lebih muda lima tahun dari lawannya yang berusia se-

kitar dua puluh delapan tahun itu. Kecepatan gerak 

mereka nyaris seimbang, tinggal tergantung kelenga-

han masing-masing. Dan agaknya si perempuan yang


bersenjata kipas baja berwarna putih mengkilap itu 

sedikit lengah pada saat ia melepaskan tendangan 

memutar, sehingga lawannya yang segera berguling ke 

depan itu berhasil lepaskan tendangan ke atas dan te-

pat kenai pinggul lawan. Duuhk...!

Brruk...! Si jubah hijau dan bawahan merah 

terjungkal, keseimbangan tubuhnya tak berhasil diper-

tahankan. Namun ia segera berguling dan dengan 

menggunakan tangan kirinya yang menyentak di ta-

nah, tubuhnya berhasil melayang naik dengan kipas 

dibentangkan di depan dada. Wees...! Jleeg...!

Begitu kakinya menapak di tanah, lawannya 

datang menyerang dengan pedang ditusukkan ke de-

pan beberapa kali, namun berhasil ditangkis dengan 

kipas bajanya.

Suut, trang, suut, trang, wees...! Trak...! 

Weer...! Si pemegang kipas yang berjubah hijau itu me-

lompat ke sisi lain, jauhi lawannya yang ingin mene-

baskan pedangnya kembali. Sang lawan yang berjubah 

coklat berpinjung penutup dada warna ungu itu tak 

jadi menebaskan pedangnya. Namun ia berdiri dengan 

kuda-kuda kokoh yang siap serang atau siap diserang. 

Pedangnya terangkat lurus ke depan di samping kepa-

lanya.

"Majulah kalau kau ingin mati di tanganku, Si-

rih Duda!"

"Jangan merasa bangga dulu dengan dirimu. 

Jangan panggil aku Sirih Duda kalau tak bisa melum-

puhkan dirimu, Perawan Bukit Jalang! Hiaaat...!"

Perempuan berjubah hijau itu melayang bagai-

kan terbang setinggi kepala lawannya. Sang lawan pun 

tak mau diam saja. Ia segera sentakkan kakinya ke ta-

nah dan tubuhnya pun melesat tinggi menerjang si ju-

bah hijau. Wuuss...! Pedangnya ditebaskan ke arah 

kepala si jubah hijau.


Bet, bet...! Trang, trang...!

Blaaarrr...!

Jubah hijau hantamkan telapak tangan kirinya 

ke dada lawannya ketika kipasnya berhasil menangkis 

pedang lawan. Tapi telapak tangan itu ternyata segera 

disambut oleh genggaman tangan lawan yang juga ber-

tenaga dalam cukup besar, sehingga dua tenaga dalam 

itu saling berbenturan dan timbulkan suara ledakan 

yang cukup menggelegar. Keduanya sama-sama ter-

pental ke belakang, tubuh mereka melayang-layang 

tanpa keseimbangan badan.

Brruuk...! Breeek...!

Keduanya sama-sama jatuh terbanting yang 

membuat sepasang mata buru-buru memejamkan ma-

ta karena merasa kasihan kepada kedua perempuan 

itu. Sepasang mata yang memperhatikan dari balik po-

hon itu adalah milik seorang pemuda berwajah tam-

pan, gagah dan kekar. Rambutnya yang putih dililit 

sabuk kain warna merah. Sabuk kain itu dipakai me-

nyelipkan sebuah pedang yang tampak mewah dan ke-

ren, yaitu pedang yang terbuat dari semacam kaca, se-

jak dari gagang pedang, sampai pada mata pedang dan 

sarung pedangnya juga terbuat dari kaca berukir.

Senjata itulah yang dinamakan Pedang Tangan 

Malaikat alias Pedang Kristal. Hanya Pendekar Kembar 

yang memiliki sepasang Pedang Tangan Malaikat. Jika 

pedang itu diselipkan di pinggang kiri, berarti peme-

gang pedang itu adalah si Pendekar Kembar sulung 

alias si Raka Pura, sang kakak. Tapi pedang tersebut 

ternyata ada di pinggang kanan, menandakan akan di-

cabut sewaktu-waktu dengan gunakan tangan kiri. Je-

las pemegangnya adalah pemuda bertangan kidal. Sia-

pa lagi pemuda tampan bertangan kidal selain si Soka 

Pura, Pendekar Kembar bungsu, adik kembar Raka 

Pura. Tentu saja wajahnya sama persis dengan kakak

nya. Pakaian dan penampilannya juga sama persis. 

Yang membuat beda adalah letak pedang mereka itu.

Rupanya Soka Pura sudah sejak tadi berada di 

balik pohon itu mengintip pertarungan kedua perem-

puan tersebut. Namun ia belum tahu apa masalah 

yang membuat kedua perempuan itu saling beradu ke-

saktian, karena ketika la tiba di balik pohon itu, perta-

rungan sudah dimulai dengan cukup seru.

"O, rupanya yang berjubah hijau itu bernama 

Sirih Duda, dan yang berjubah coklat dengan penutup 

dada dan celana panjangnya berwarna ungu itu berju-

luk Perawan Bukit Jalang?! Hmmm... baru sekarang 

aku melihat wajah-wajah mereka yang menurutku 

cantik-cantik itu. Hanya saja, Sirih Duda punya kecan-

tikan yang lebih matang dan sepertinya lebih pengala-

man dalam menghadapi seorang lelaki ketimbang si 

Perawan Bukit Jalang," ujar Soka Pura dalam hatinya.

Ia masih belum mau turut campur urusan ke-

dua wajah cantik itu sebelum tahu persis persoalan 

yang dipertarungkan. Karenanya ia hanya bisa me-

mandang dengan mata sesekali mengecil tanda ngeri 

melihat salah satu akan terkena senjata-senjata ber-

bahaya itu.

Bahkan kali ini Soka Pura sempat memejamkan 

mata dan melengos ke samping ketika Sirih Duda ter-

jungkal ke depan ketika punggungnya berhasil disam-

bar oleh tendangan kaki lawan yang berputar cepat itu. 

Brruus...! Sirih Duda terbanting menyedihkan sekali.

Seandainya si Perawan Bukit Jalang benar-

benar ingin membunuh Sirih Duda, saat itulah ia 

punya kesempatan menancapkan pedangnya ke pung-

gung Sirih Duda yang berusaha bangkit lagi dengan 

merangkak pelan-pelan. Tapi agaknya Perawan Bukit 

Jalang tak benar-benar berniat mengakhiri riwayat hi-

dup Sirih Duda, sehingga gadis itu hanya diam dalam


posisi pasang kuda-kuda kokoh penuh waspada.

"Jika masih kurang puas, cepat bangkit dan 

hadapi aku lagi, Sirih Duda," seru Perawan Bukit Ja-

lang dari jarak lima langkah.

"Seharusnya Sirih Duda menyerah saja," ujar 

hati Soka. "Sejak tadi ia terkena serangan lawannya. 

Tampaknya ia tak bisa ungguli Ilmu si Perawan Bukit 

Jalang itu. Tapi kenapa Sirih Duda masih ngotot saja?! 

Padahal secara tak langsung ia sudah diberi kesempa-

tan untuk perpanjang umur oleh Perawan Bukit Ja-

lang. Bodoh amat Sirih Duda itu. Bandel!"

Sirih Duda tegak kembali. Nafasnya yang ter-

engah-engah sedikit berkurang setelah ia dibiarkan 

berdiri dengan kedua kaki sedikit merenggang dan 

hanya dipandangi oleh Perawan Bukit Jalang yang su-

dah mengendurkan kuda-kudanya, namun pedangnya 

masih digenggam kuat-kuat. Kapan saja dapat diguna-

kan untuk menangkis serangan lawan.

"Sirih Duda, kuberi kesempatan sekali lagi; ce-

pat pergi dan tak perlu menggangguku lagi!"

"Tak semudah itu kau menyuruhku pergi!"

Sirih Duda bicara dengan ketus dan sungging-

kan senyum sinis. Ia melangkah ke samping, sambil 

matanya masih tetap memandang lawannya dengan ta-

jam. Agaknya ia sedang menunggu kelengahan sang 

lawan untuk lepaskan serangan yang dapat melum-

puhkan gadis berjubah coklat muda itu.

"Mengapa kau jadi sangat membenci ku, Sirih 

Duda! Bukankah kita sebelumnya adalah sahabat 

yang tak punya masalah apa-apa?! Bukankah kau ta-

hu siapa diriku sebenarnya?"

"Ya, aku tahu kau murid unggulan dari pergu-

ruan mu. Tapi perguruanmu sekarang sudah hancur, 

tak ada salahnya jika ku manfaatkan dirimu untuk 

kepentingan pribadiku! Sebaiknya kau menyerah saja,


Perawan Bukit Jalang. Aku sendiri tak tega jika harus 

membunuhmu. Lebih baik kau kuserahkan kepada si 

Wajah Malaikat dan nasibmu tergantung di tangan si 

Penguasa Muara Bangke itu. Aku hanya membutuh-

kan uang hadiah yang dijanjikannya bagi siapa pun 

yang bisa menangkap dan menyerahkan dirimu kepa-

danya! Sekali lagi ku tegaskan, aku butuh uang itu un-

tuk suatu keperluan!"

"Hanya karena uang kau rela mengorbankan 

persahabatan kita, Sirih Duda?!"

"Karena aku sudah bosan hidup miskin! Aku 

ingin kaya dan bisa membeli pria mana saja yang 

kuinginkan!" jawab Sirih Duda dengan senyum sinis, 

tanpa malu-malu lagi, seakan justru merasa bangga ji-

ka rencananya diketahui oleh sahabatnya itu.

"Jika tekadmu sudah seperti itu, terpaksa ku

tegaskan hatiku untuk menyelesaikan pertarungan ini. 

Jangan salahkan diriku jika kau harus kehilangan 

nyawa hari ini, Sirih Duda!"

"Itu tak mudah, Perawan Bukit Jalang! Kau bo-

leh bangga di antara saudara perguruanmu, karena 

kau memang paling unggul dan diandalkan sebagai 

benteng perguruan oleh gurumu! Tapi di depanku kau 

tak bisa lagi berbangga diri seperti itu!"

"Bersiaplah ke neraka, Teman Serakah!" geram 

Perawan Bukit Jalang. Kaki kirinya ditarik ke belakang 

sedikit, kuda-kuda siap serang dipasang. pedang pun 

mulai diangkat kembali dengan genggaman makin 

kencang.

Sirih Duda diam sejenak, tangan kirinya ber-

sandar pada sebatang pohon. Sepertinya ia sedang 

mempertimbangkan sesuatu hingga perlu merenung 

sesaat.

Tiba-tiba suaranya terdengar lantang, "Kalau 

aku mau melepaskan dirimu, apa yang akan kau per


buat dari kebaikanku nanti, Perawan Bukit Jalang?!"

Gadis berambut panjang lepaskan posisi kuda-

kudanya. Nafasnya terhempas panjang, karena merasa 

sahabatnya sudah mulai akan sadar atas kekeliruan 

langkahnya itu.

"Sirih Duda, kau adalah sahabatku sejak dulu. 

Sudah lama kita saling bersahabat dan hidup dengan 

damai. Tentu saja aku ingin menjaga perdamaian di 

antara kita berdua dan saling membantu jika kita 

punya kesulitan! Aku tak mungkin bisa melupakan di-

rimu, Sirih Duda."

"Tapi nyawamu terancam oleh si Wajah Malai-

kat! Sebentar lagi kau pasti akan pergi meninggalkan 

diriku, dan aku tak punya sahabat lagi. Karenanya, 

sebelum kau pergi, kau akan ku manfaatkan untuk 

memburu kepentingan pribadiku. Toh walaupun aku 

mundur dan tetap bersahabat denganmu, kau tetap 

akan ditangkap oleh orang-orang yang memburu ha-

diah besar dari si Wajah Malaikat itu!"

"Tak dapatkah kau membantuku menghalau 

mereka?!"

"Apakah kau butuh bantuanku?!" "Mengapa ti-

dak?! Sekarang aku sendirian, tanpa perguruan lagi, 

sementara adikku masih belum berhasil kutemukan di 

mana dia berada. Kaulah satu-satunya saudaraku, Si-

rih Duda."

Setelah diam lagi beberapa saat, Sirih Duda 

akhirnya merentangkan kedua tangannya sambil me-

langkah maju.

"Maafkan aku, Perawan Bukit Jalang...."

Si gadis bertubuh langsing itu akhirnya me-

nyambut pelukan Sirih Duda dengan segenap hati 

memaafkan kesalahan Sirih Duda. Hanya saja, ketika 

Perawan Bukit Jalang Ingin menyambut pelukan itu, 

tiba-tiba kipas Sirih Duda menyentak ke depan dalam


keadaan terkatup dan sekeping mata pisau berujung 

runcing keluar dari kipas tersebut. Craak...! Wuuut! 

Jrrub...!

"Aaahk...!" Perawan Bukit Jalang terpekik den-

gan suara tertahan. Matanya melebar dan mulutnya 

ternganga. Mata pisau itu menghujam ke ulu hatinya, 

menembus pinjung penutup dadanya yang ungu itu. 

Sedangkan Sirih Duda melompat mundur dengan ce-

pat sambil mencabut pisau di ujung kipasnya dari ulu 

hati Perawan Bukit Jalang.

"Haah, hah, hah, hah, hah...! Akhirnya kau 

berhasil kulumpuhkan juga, Gadis Tolol!" seru Sirih 

Duda dengan tertawa kegirangan tanpa rasa sesal se-

dikit pun.

"Kau tak akan mampu menahan racun dari pi-

sauku ini, Gadis Tolol!"

Sirih Duda sengaja makin menjauh, menunggu 

jatuhnya si Perawan Bukit Jalang yang terhuyung-

huyung mempertahankan kekuatannya. Namun agak-

nya racun dari pisau itu telah menyerang sekujur tu-

buhnya dan melumpuhkannya, hingga Perawan Bukit 

Jalang akhirnya jatuh berlutut sambil mendekap lu-

kanya dengan tangan kiri yang berlumur darah.

"Licik!" geram Soka Pura dari persembunyian-

nya. "Sirih Duda tidak pantas dijadikan seorang saha-

bat, karena dia berjiwa pengkhianat!"

Terdengar suara Sirih Duda berseru di sela ta-

wa kegembiraannya.

"Hidup atau mati sama saja bagi si Wajah Ma-

laikat. Siapa pun yang bisa serahkan dirimu dalam 

keadaan hidup atau mati tetap akan dapatkan hadiah 

besar dari si Wajah Malaikat! Sebab itulah akhirnya 

aku harus membuang nyawamu dulu daripada repot-

repot menangkapmu, Perawan Bukit Jalang!"

"Kejam sekali kau!" tiba-tiba Soka Pura berseru


sambil keluar dari persembunyiannya. Ia melangkah 

cepat ke arah Perawan Bukit Jalang, namun pandan-

gan matanya ditujukan kepada Sirih Duda.

"Baru sekarang kulihat orang yang begitu ke-

jamnya terhadap sahabatnya sendiri!"

"Hei, siapa kau, Bocah Tampan?!" Sirih Duda 

justru menyapa dengan senyum berbinar-binar, kare-

na ketampanan dan kegagahan Soka Pura membuat 

hatinya mulai berdebar indah.

Perawan Bukit Jalang jatuh terpuruk dengan 

suara rintihan kecil yang memanjang. Hati Soka Pura 

tak tega, ia segera berlutut di samping gadis itu.

"Bertahanlah, Nona! Aku akan sembuhkan lu-

kamu itu dan setelah itu hajarlah sahabatmu yang 

layak sebagai seorang pengkhianat itu!"

"Hei, jangan sentuh gadis berpenyakit berba-

haya itu! Kau akan mati tertular penyakitnya, Bocah 

Ganteng!"

Tapi Soka Pura tetap meraih tubuh Perawan 

Bukit Jalang. Sekalipun belum tahu kehebatan Soka, 

tapi Sirih Duda merasa cemas dan takut kalau pemuda 

tampan itu benar-benar bisa sembuhkan lukanya Pe-

rawan Bukit Jalang. Maka serta-merta ia menerjang 

Soka Pura dengan satu lompatan cepat.

"Dasar bandel kau! Hiaaah...!"

Wuuuss...!

Soka Pura cepat sentakkan lengannya ke atas 

sambil berdiri. Plak...! Kaki perempuan berjubah hijau 

itu berhasil ditangkis dengan lengan yang melintang. 

Sentakan lengan itu cukup kuat, sehingga kaki Sirih 

Duda bagai terlempar ke atas dan membuat tubuhnya 

berjungkir balik. Wuuuk...!

Tapi kaki Soka Pura segera menendangnya dan 

kena telak di punggung Sirih Duda. Buuhk...!

Wweeerr...! Tubuh si jubah hijau terpental jauh


dan membentur pohon dengan kuat. Bruus...!

"Aaow...!" Sirih Duda pun memekik kesakitan.

"Kau benar-benar manusia tanpa perasaan se-

dikit pun!"

Sirih Duda menjadi berang. Ia cepat bangkit 

dan sodokkan kipasnya dalam keadaan terkatup. So-

dokan kipas itu melepaskan sinar putih perak yang 

mengarah ke dada Soka Pura. Claap...!

Tapi si Pendekar Kembar bungsu tidak mau ka-

lah sigap. Ia segera sentakkan telapak tangannya ke 

depan dan seberkas sinar merah seperti cakram berge-

rigi melesat dengan cepat, memercikkan bunga api di 

sekelilingnya. Claap...! Sinar merah itu akhirnya berta-

brakan dengan sinar putih lurus dari tangan Sirih Du-

da.

Jegaaarrr...!

Ledakan yang terjadi sangat dahsyat. Soka Pu-

ra sempat tersentak mundur tiga langkah, hampir saja 

jatuh karena sentakan gelombang ledakan tadi. Na-

mun ia segera tegak kembali dan mampu menjaga ke-

seimbangan tubuhnya.

Tetapi Sirih Duda mengalami nasib yang men-

genaskan. Ia jatuh terkapar karena gelombang ledakan 

itu dan tubuhnya terdorong ke belakang sejauh dela-

pan langkah. Sreeettt...! Proook...!

"Aaahk...!" Sirih Duda memekik keras ketika 

kepalanya membentur batu sebesar kepala kerbau. 

Tubuhnya terasa sakit semua karena menjadi memar. 

Rupanya gelombang ledakan yang membawa udara 

panas tadi lebih banyak menghempas ke arah Sirih 

Duda, sehingga perempuan itu merasa seperti dihem-

bus udara panas yang menyengat sekujur tubuhnya.

Ketika Sirih Duda merintih kesakitan sambil 

menggeliat lemas, Soka Pura segera mengangkat tubuh 

Perawan Bukit Jalang yang telah pucat pasi dan dingin


itu. Pedang si gadis pun dibawanya pula, kemudian 

Soka membawa lari gadis itu, mencari tempat aman 

untuk sembuhkan luka si gadis malang itu.

Wuuuzz...! Gerakan cepat dari jurus 'Jalur Ba-

dai' membuat Sirih Duda tidak mengetahui ke mana 

arah kepergian si pemuda tampan. Yang ia ketahui 

hanyalah tempat kosong dan sisa darah dari lawannya. 

Sirih Duda akhirnya berteriak keras-keras mengetahui 

lawannya telah lenyap tak diketahui arah kepergian-

nya.

"Jahanaaaaammmmm...!!"

Teriakan itu adalah teriakan kejengkelan atas 

kegagalannya menangkap si Perawan Bukit Jalang. 

Namun dalam hatinya ia bersumpah untuk mencari 

Perawan Bukit Jalang ke setiap jengkal tanah di per-

mukaan bumi ini. Ia tak tahu bahwa Perawan Bukit 

Jalang sudah berada bersama Pendekar Kembar bung-

su.

"Akan kubunuh keduanya! Kuhancurkan mere-

ka berdua tanpa peduli lagi dengan hadiah dari si Wa-

jah Malaikat! Ini sudah merupakan dendam pribadiku 

yang amat kecewa dengan tindakan si tolol bermuka 

tampan itu! Puih...!" geram Sirih Duda sambil berjalan

terhuyung-huyung karena harus menahan rasa sakit 

di sekujur tubuhnya.

*

* *

4


SEBENARNYA Soka tak ingin melepaskan jurus 

'Mata Bumi'-nya kepada lawan yang tak seberapa 

tangguh. Tapi karena serangan sinar putih dari Sirih


Duda tadi sangat membahayakan dan Soka butuh 

waktu secepatnya untuk menolong Perawan Bukit Ja-

lang itu, maka jurus 'Mata Bumi' terpaksa dilepaskan-

nya. Jika Soka terlambat melakukan pengobatan ter-

hadap gadis itu dengan menggunakan jurus pengoba-

tan 'Sambung Nyawa' itu, maka nyawa si gadis benar-

benar tak bisa tersambung lagi, alias mati.

Jurus pengobatan 'Sambung Nyawa' membu-

tuhkan sentuhan langsung antara kulit dengan kulit, 

yaitu telapak tangan Soka harus menyentuh kulit tu-

buh si Perawan Bukit Jalang tanpa ada penyekat se-

lembar benang pun. Kala itu telapak tangan Soka sen-

gaja ditempelkan di dada si gadis, di atas pinjung pe-

nutup dada. Sedikit gumpalan dada yang tersembul 

mulus itu sempat dirasakan menghangat di telapak 

tangan Soka.

Namun pikiran Soka segera dialihkan kepada 

kekuatan Inti gaibnya yang dipadu dengan hawa murni 

dari pernapasannya.

Telapak tangan itu segera memancarkan ca-

haya ungu. Cahaya ungu itu bagai meresap ke dalam 

tubuh Perawan Bukit Jalang. Maka tubuh gadis itu 

pun mulai memancarkan cahaya ungu pula. Sekujur 

tubuh menjadi kemilau warna ungu. Telapak tangan 

Soka segera diangkat dan tidak memancarkan cahaya 

ungu lagi, tapi tubuh si gadis masih memancarkan ca-

haya ungu.

Sayang si gadis kala itu masih belum siuman, 

sehingga ia tak mengetahui perubahan yang terjadi 

pada tubuhnya. Cahaya ungu itu bagaikan mengering-

kan luka dengan cepat, bahkan mengembalikan kulit 

dan daging yang rusak karena tikaman pisau beracun 

milik Sirih Duda tadi. Luka di ulu hati menjadi rapat 

kembali. Lenyap tanpa bekas. Hal itu diketahui oleh 

Soka, karena pemuda itu sengaja mengintipnya den


gan menyingkapkan pinjung penutup dada ketika ca-

haya ungu itu telah pudar dari tubuh si gadis.

Kini keadaan Perawan Bukit Jalang telah nor-

mal kembali. Utuh seperti sediakala, seperti tak pernah 

tergores benda apa pun. Tapi kain penutup dadanya 

masih tetap bolong sebagai tanda bekas luka di tempat 

tersebut. Soka pun buru-buru merapikan pinjung pe-

nutup dada itu agar tak diketahui oleh si gadis bahwa 

pinjungnya pernah disingkapkan oleh Soka.

"Mulus dan montok juga gadis ini," pikir Soka 

dengan usil. "Tak terlalu besar, namun agaknya cukup 

kencang dan iih... gemes aku jadinya. Kalau kuremas 

sekarang, jangan-jangan dia segera siuman. Malu se-

kali kalau sampai ketahuan," sambil mata Soka yang 

nakal itu menatap ke arah gumpalan bukit di dada si 

gadis.

Benar juga kekhawatiran Soka Pura tadi. Kare-

na beberapa saat kemudian, gadis itu segera siuman 

dan terkejut mendapatkan dirinya sudah berada di da-

lam sebuah gua yang tak punya lorong tembus. Gua 

itu penuh dengan batu-batu setinggi perut orang de-

wasa. Namun ada beberapa tempat yang kering dan 

datar. Di tempat yang kering dan datar itulah, Soka 

membaringkan si gadis. Cahaya matahari masuk mela-

lui beberapa lubang yang ada di langit-langit gua yang 

cukup tinggi itu, sehingga keadaan di dalam gua terse-

but cukup terang.

Si gadis segera pandangi Soka dengan dahi 

berkerut dan duduknya mundur hingga bersandar pa-

da sebongkah batu. Soka Pura hanya tersenyum-

senyum ketika beradu pandang selama tiga helaan na-

pas. Si gadis sempat merenungi keadaan dirinya se-

bentar yang sudah merasa segar dan tak punya luka 

sedikit pun itu.

"Kurasa dialah penolongku," pikir Perawan Bukit Jalang. "Tapi mengapa lukaku hilang sama sekali?! 

Apakah pemuda itu juga yang menghilangkan luka-

ku?!"

Si gadis pandangi tangannya yang masih ber-

lumur darah dari lukanya yang tadi. Pada saat itu So-

ka Pura segera perdengarkan suaranya untuk menga-

wali suatu percakapan.

"Tak jauh dari gua ini ada sungai kecil. Kau bi-

sa mencuci tanganmu di sungai kecil itu. Kalau kau 

mau, akan kuantar sekarang juga."

"Siapa kau sebenarnya?" tanya si gadis dengan 

pandangan mata berkesan penuh curiga.

"Kau tak perlu curiga padaku. Aku telah mem-

bawamu kemari agar Sirih Duda tidak mengganggu 

masa pengobatan yang kulakukan pada lukamu tadi."

"Yang kutanyakan, siapa kau?!" si gadis sedikit 

menghardik.

"Namaku Soka Pura. Kau bisa memanggilku 

Soka saja, atau ditambah kata 'sayang' di belakangnya 

juga tak jadi masalah bagiku."

Perawan Bukit Jalang terkesip. Semakin tajam 

sorot matanya dalam pandangi si Pendekar Kembar

bungsu itu. Lalu mata itu melirik ke arah pedang di 

pinggang Soka.

"Hmrnm.... Pedang Tangan Malaikat?!" gumam 

si gadis membuat Soka Pura terperanjat.

"Hei, kau mengetahui nama pedangku ini ru-

panya?"

"Di mana kakakmu; si Raka Pura itu?" tanya 

Perawan Bukit Jalang sambil berdiri dan menyarung-

kan pedangnya.

"Kau... kau juga kenal dengan kakakku; Raka 

Pura itu?! Oh, tak kusangka kau mengenalnya?!"

"Lebih dari itu," ujar Perawan Bukit Jalang. Kali 

ini nadanya tak seketus tadi. Hanya mempunyai aksen-aksen ketegasan dalam tiap ucapannya.

"Aku juga kenal dengan orangtua angkat ka-

lian; Ki Pawang Badai dan Nyi Padmi!"

"Ooh...?!" Soka semakin terkejut, kali ini justru 

tak ada senyum di bibirnya, karena ia merasa benar-

benar heran terhadap gadis yang baru kali itu dijum-

painya. Bahkan nama Perawan Bukit Jalang pun baru 

sekarang didengarnya.

"Siapa kau sebenarnya?!" Soka ganti bertanya.

"Aku adalah Perawan Bukit Jalang. Nama asli-

ku Anggani...."

"Siapa?! Anggiri?!"

"Anggani!" tegas gadis itu. "Anggiri adalah nama 

adikku!"

"Oh, jadi Anggiri alias si Perawan Hutan itu 

adik mu?!"

"Benar! Rupanya kau kenal dengan adikku 

itu?!"

"Ya, tentu saja aku kenal dengan Perawan Hu-

tan, karena kami bertiga pernah bersama-sama menu-

ju ke sebuah tempat yang kami anggap keramat. Aku 

dan Raka mendapatkan pusaka Pedang Tangan Malai-

kat ini sedangkan Perawan Hutan itu si Anggiri men-

dapatkan Bunga Ratu Jagat," sambil benak Soka 

membayangkan seraut wajah cantik yang menurutnya 

memang punya kemiripan dengan si Perawan Bukit Ja-

lang itu. Hanya bedanya, si Perawan Hutan mempu-

nyai dagu yang dekik, sedangkan Perawan Bukit Ja-

lang tidak, (Baca serial Pendekar Kembar dalam epi-

sode: "Goa Mulut Naga").

"Bunga apa?!"

"Bunga Ratu Jagat!" ulang Soka. Kemudian So-

ka jelaskan khasiat keramat Bunga Ratu Jagat itu, 

yang akan membuat si Perawan Hutan akan menjadi 

seorang ratu. Pemilik bunga keramat itu akan dihor


mati, disegani dan dikagumi setiap orang, di samping 

menjadi seorang ratu seumur hidup.

"Sekarang di mana adikku itu?!" tanya Perawan 

Bukit Jalang.

"Aku tak tahu di mana dia sekarang. Dan... 

sungguh tak kusangka kalau kau adalah kakaknya si 

Perawan Hutan! Dia tak pernah bilang padaku kalau 

punya adik secantik dirimu, Anggani."

Gadis itu tersipu malu dan menutupnya den-

gan cara buang muka, melangkah ke pintu gua dan 

menatap ke arah luar sebentar. Dari sana ia perden-

garkan suaranya yang bening dan enak didengar itu.

"Sejak kecil, aku dan Anggiri memang selalu 

bertengkar. Ketika remaja kami saling bermusuhan 

dan saling tak mengakui punya saudara kandung."

"Mengapa sampai terjadi permusuhan seperti 

itu?"

"Ah, kurasa itu karena jiwa kanak-kanak kami 

saja," jawab Anggani dengan nada kesal. "Kami berpi-

sah sejak kedua orangtua kami tiada. Kami saling 

mencari Guru untuk dapatkan ilmu, dan ilmu itu akan 

kami gunakan untuk saling menyerang jika sewaktu-

waktu kami jumpa. Tapi setelah semakin dewasa se-

makin terbuka pikiran dan hatiku untuk tidak mem-

biarkan permusuhan ini berkelanjutan. Masa kanak-

kanak biarlah berlalu, tidak sewajarnya jika kami sal-

ing mendendam hanya karena masa kanak-kanak. Se-

karang aku merasa mempunyai seorang adik dan ingin 

bertemu dengannya. Namun... bencana itu terjadi se-

belum aku berhasil temukan si Anggiri."

"Bencana apa maksudmu?" desak Soka Pura 

semakin ingin tahu.

Kemudian, Anggani menceritakan peristiwa

pembantaian di perguruannya yang dilakukan oleh si 

Wajah Malaikat. Soka Pura cepat dapat menyimpulkan


apa sebab Sirih Duda bernafsu sekali untuk menang-

kap si Perawan Bukit Jalang.

Cerita gadis itu sampai pada pelariannya ke 

puncak Gunung Merana dan tak lupa menceritakan 

pertemuannya dengan si Pawang Badai. Maka, Soka 

Pura pun menjadi terkejut seketika begitu mendengar 

ibu angkatnya terluka oleh pukulan beracun 'Sengat 

Peri' dari si Wajah Malaikat.

"Aku ditugaskan oleh Ki Pawang Badai untuk 

mencari kalian berdua. Kalian ditugaskan mencari 

'Daun Astagina' untuk mengobati racun dalam tubuh 

Nyi Padmi!"

"Keparat si Wajah Malaikat!" geram Soka Pura 

dengan kedua tangan menggenggam kuat-kuat mena-

han kemarahannya mendengar ibu angkatnya dilukai.

"Akan kubalas tindakan si Wajah Malaikat!"

"Bukan pembalasan yang diperintahkan oleh 

ayah angkat kalian, tapi mencari 'Daun Astagina'. Itu 

tugas kalian yang paling utama!" tegas Anggani mewa-

kili perintah dari Pawang Badai.

"Di mana kakakmu sekarang?" tanya Anggani.

"Tak tahu," jawab Soka sedikit kaku karena 

masih dipengaruhi kemarahan dalam hatinya. "Aku 

akan mencari Raka dan memberitahukan hal ini!"

"Boleh aku mendampingimu?!"

"Apakah ayahku mengutus mu untuk men-

dampingi ku?"

"Memang tidak! Tapi aku merasa bersalah, ka-

rena melarikan diri ke puncak Gunung Menara, se-

hingga akibatnya ibumu yang menjadi menderita begi-

tu. Aku ingin menebus rasa bersalah ku dengan ikut 

mencarikan 'Daun Astagina' ke bekas petilasan Taman 

Astamarta!"

Soka Pura hanya memandang dengan mata 

masih dibayang-bayangi kemarahan terhadap si Wajah


Malaikat. Tetapi sorot pandangan mata Anggani mem-

buat api kemarahan yang membayang di mata Soka 

menjadi padam sedikit demi sedikit. Hati Soka pun tak 

bisa bersikap keras kepala kemauan Perawan Bukit 

Jalang.

Akhirnya, ia hanya angkat pundak ketika Ang-

gani ingin ikut mencari Daun Astagina' yang menurut 

penjelasan si Pawang Badai itu berbentuk segi delapan 

itu.

"Sirih Duda adalah murid dari Perguruan Mata 

Sewu," ujar Perawan Bukit Jalang ketika Soka Pura 

menanyakan tentang Sirih Duda.

"Perguruan itu menjalin hubungan baik dengan 

perguruanku. Tapi ketika perguruanku diserang oleh si 

Wajah Malaikat, mereka tak ada yang ikut campur 

membela kami."

"Apa sebabnya?" tanya Soka Pura sambil me-

langkah tinggalkan gua tersebut.

"Karena mereka takut dengan murka si Wajah 

Malaikat. Barangkali jika kami berurusan dengan per-

guruan lain, Perguruan Mata Sewu bisa membantu pi-

hak kami. Tapi dalam berurusan dengan si Wajah Ma-

laikat, pihak Perguruan Mata Sewu tak mau ikut terli-

bat. Mereka tahu bahwa kekuatan mereka tak mung-

kin dapat kalahkan kekuatan si Wajah Malaikat!"

"Ooo... begitu," gumam Soka sambil manggut-

manggut. "Yang ku herankan, mengapa Sirih Duda 

sampai tega memutuskan persahabatan denganmu 

hanya karena mengejar uang hadiah dari si Wajah Ma-

laikat?!"

"Sirih Duda perempuan yang selalu gatal den-

gan sentuhan tangan lelaki. Cita-citanya pernah diuta-

rakan padaku."

"Apa cita-citanya?!"

"Menjadi orang kaya dan bisa membeli semua


lelaki yang ada di muka bumi ini! Terutama yang su-

dah menjadi duda."

"O, ya?!" sambil Soka setengah tertawa. "Men-

gapa dia menyukai lelaki yang sudah duda?"

"Menurutnya, pengalaman lelaki yang sudah 

duda lebih banyak daripada yang masih perjaka."

"Pengalaman dalam hal apa?" desak Soka sam-

bil memancing hasrat Anggani. Tapi gadis itu segera 

merasa dipancing, sehingga ia tak mau menjawab per-

tanyaan tersebut.

"Bagaimana jika tidak bisa temukan kakakmu?" 

Anggani alihkan pembicaraan dengan ganti bertanya. 

Soka Pura yang menyadari hal itu hanya tersenyum, 

namun tetap memberikan jawaban dengan suara pe-

lan.

"Aku akan mencari daun itu sendiri. Jika hari 

ini kita tidak menemukan Raka, esok kita akan be-

rangkat menuju reruntuhan Keraton Kencana Windu."

"Aku setuju, sebab...," kata-kata itu terhenti se-

cara mendadak. Perawan Bukit Jalang melompat sam-

bil berseru, "Awass...!"

Wuut...! Jleeg...! Tahu-tahu ia sudah ada di 

atas pohon, berdiri di sebatang dahan besar dengan 

mata memandang lebar ke arah Soka Pura.

Rupanya ada seberkas sinar yang melesat dari 

arah kanan Anggani. Sinar merah itu berbentuk seper-

ti bintang dan besarnya seukuran buah duku. Pada 

saat Anggani melompat naik ke atas pohon, Soka Pura 

segera miringkan badannya sampai hampir berbalik 

arah secara total. Wees...! Sinar merah itu meluncur 

cepat di depan hidung Soka Pura.

Blaaar...! Sebatang pohon menjadi sasaran si-

nar merah tersebut. Pohon itu pun tumbang dengan 

timbulkan bunyi gemuruh dan mengepulkan asap sa-

mar-samar. Bagian yang terkena sinar merah tidak


hancur, melainkan menjadi berlubang dan hangus be-

rasap.

Slaap...! Soka Pura segera berkelebat ke balik 

pohon yang satunya. Ia berlindung di sana, sementara 

Anggani memandang ke arah datangnya sinar merah 

tadi.

"Hiaaah...!" teriak Anggani sambil sentakkan 

kedua jarinya. Dari kedua jari itu melesat sinar biru 

lurus ke arah semak-semak.

Jegaaar...! Ledakan terjadi ketika sinar itu 

menghantam semak-semak berbatu. Namun orang 

yang diincarnya sudah melesat lebih dulu dengan satu 

lompatan melayang tinggi dan bersalto dua kali dengan 

cepat. Wuk, wuk...!

Jleeg...! Orang itu daratkan kakinya dengan si-

gap dan kokoh, ia berdiri tepat berhadapan dengan 

Soka Pura. Wajah pemuda tampan itu menjadi tegang 

dengan mata terbelalak lebar.

"Dewi Binal...?!" sapa Pendekar Kembar bungsu 

dengan nada terheran-heran.

Gadis berwajah cantik yang mengenakan jubah 

tanpa lengan warna biru itu hanya mendesis ketus dan 

sinis. Soka Pura keluar dari balik pohon, karena ia 

kenal betul dengan gadis yang rambut panjangnya di-

ikat ke belakang itu. Dewi Binal bukan orang asing lagi 

bagi Soka, karena mereka pernah saling menukar ke-

mesraan dengan cucunya Tabib Kubur dari Bukit 

Gamping itu, (Baca serial Pendekar Kembar dalam epi-

sode: "Setan Cabul").

Wuut, wrrr... jleeg!

Melihat Soka Pura mengenal gadis itu dan ia 

sendiri juga mengenalinya. Maka Anggani segera turun 

dari atas pohon. Kedua gadis berusia hampir sebaya 

itu segera beradu pandangan mata dengan tajam. Pe-

rawan Bukit Jalang melangkah pelan, arahnya mende


kati Soka Pura.

"Mengapa kau menyerangku, Dewi Binal?!" 

tanya Perawan Bukit Jalang dengan suara menyentak 

menandakan kemarahannya. Dewi Binal menatap den-

gan mata mengecil bagai memancarkan kebencian. Ia 

tidak menjawab pertanyaan Anggani, melainkan justru 

bicara kepada Soka Pura.

"Ternyata serendah itu pergaulan mu, Soka! 

Sama sekali tak kusangka kalau kau masih doyan 

dengan gadis berpenyakit menular macam dia!" sambil 

tangannya menuding Anggani.

"Jaga mulutmu, Dewi Binal!" sentak Anggani.

Soka Pura bingung, pandangannya berganti-

gantian arah; kepada Anggani, lalu kepada Dewi Binal.

"Apa maksudmu, Dewi Binal?!"

"Apakah kau masih belum mengetahui bahwa 

gadis itu punya penyakit yang dapat membusukkan 

darahmu jika kau lakukan kencan dengannya?! Semua 

orang kini telah tahu, bahwa Perawan Bukit Jalang itu 

mengidap penyakit 'Hantu Lanang' yang dapat mem-

bunuh kaum lelaki dalam waktu singkat melalui ken-

cannya!"

"Dusta!" teriak Perawan Bukit Jalang. "Mulut-

mu memang layak ditumbuk sampai hancur, Dewi Bi-

nal! Hiaaah...!"

Wees...! Perawan Bukit Jalang menerjang Dewi 

Binal dengan pukulan tangan kanannya. Namun pu-

kulan tersebut berhasil ditangkis oleh Dewi Binal den-

gan menghadangkan telapak tangan kirinya. Plaak...!

Tangan Dewi Binal menggenggam, bagai ingin 

meremas tangan lawannya, namun tangan itu segera 

berkelebat memutar dengan cepat dan Anggani terpe-

lanting, lalu jatuh terbanting. Wuut...! Brruk...!

"Heeaah...!" Dewi Binal bermaksud menginjak 

leher Anggani yang jatuh terkapar. Tapi kakinya yang


sudah mengandung tenaga dalam itu tiba-tiba ditang-

kap oleh kedua tangan Anggani. Teeb...! Kemudian te-

lapak tangan itu dipulirnya ke kiri dengan cepat. 

Krek...!

"Aahk...!"

Brruk...! Dewi Binal pun jatuh terbanting. Kaki 

Anggani segera diangkat dan tumitnya ingin dihan-

tamkan ke dada Dewi Binal. Wuut...! Des, des, plak...!

Dewi Binal menangkisnya dengan sapuan kaki, 

sehingga kedua gadis itu saling menyerang dan me-

nangkis dengan kecepatan kaki dalam keadaan seten-

gah berbaring di tanah. Setiap ada yang mau berdiri 

selalu jatuh kembali karena kakinya disambar oleh 

kaki lawan.

"Hentikan! Hentikaaan...!" teriak Soka Pura 

yang bingung memihak itu. Baginya, Dewi Binal tetap 

sahabatnya, walau ia tahu dirinya sering mengecewa-

kan Dewi Binal karena sering kepergok bersama pe-

rempuan lain. Padahal Dewi Binal naksir berat pa-

danya.

Sementara itu, Perawan Bukit Jalang juga sa-

habatnya yang baru dan bahkan sebagai orang berja-

sa, karena menyampaikan amanat dari Pawang Badai 

tentang keadaan sang ibu angkat yang harus segera di-

tolong dengan 'Daun Astagina' itu. Tentang penyakit 

yang diderita Anggani, Soka sendiri belum mengetahui. 

Keterangan Dewi Binal bisa dianggap kenyataan bisa 

pula dianggap fitnah semata, mengingat Dewi Binal 

punya rasa cemburu jika Soka berdua bersama gadis 

lain.

"Hiaaah...!"

"Heeeaaat...!"

Kali ini kedua gadis itu melayang di udara dan 

saling beradu pukulan bertenaga dalam dari jarak de-

kat. Mereka sama-sama bergerak dengan cepat dan


sukar dilihat oleh mata manusia biasa.

Plak, plak, des, plak, blaaarr...!

Ledakan terjadi setelah kedua tangan gadis itu 

saling beradu di udara. Keduanya sama-sama terpen-

tal ke belakang dan saling jatuh terguling guling akibat 

sentakan tenaga dalam yang saling beradu tadi.

"Edan semua!" geram Soka Pura. Kemudian ia 

berseru dengan berdiri di tengah-tengah jarak antara 

Dewi Binal dan Anggani.

"Pukullah aku! Serang aku saja jika kalian tak 

mau berhenti! Ayo, serang aku!"

"Heeeaaat...!"

"Hiaaat...!"

Kedua gadis itu sama-sama mencabut pedang 

dan saling melayang ke pertengahan jarak. Soka Pura 

menjadi kebingungan melihat kehadiran kedua gadis 

dari kedua arah.

"Gila! Mereka benar-benar mau menyerangku?!"

Wuuk, wuuk...! Pendekar Kembar bungsu sege-

ra bersalto ke belakang dua kali.

Trang, tring, trang, trang...!

Soka Pura menjadi jengkel melihat mereka be-

radu pedang. Maka dengan cepat ia pergunakan jurus 

'Cakar Matahari', berupa sinar putih berbentuk seperti 

pisau yang keluar dari tangan berbentuk cakar teng-

kurap. Claap...! Sinar putih itu menghantam pertenga-

han kedua pedang yang sedang saling beradu dengan 

memercikkan bunga api.

Blegaaar...! Kedua pedang tersentak dan tangan 

pemegangnya ikut tersentak pula. Akibat sentakan 

kuat itu membuat kedua gadis terlempar ke belakang 

dan masing-masing jatuh terbanting.

Soka Pura sempat heran melihat pedang mere-

ka tak ada yang pecah. Berarti pedang itu dialiri keku-

atan tenaga dalam. Seandainya tidak, maka pedang itu


akan pecah karena dihantam sinar putih berbentuk pi-

sau runcing itu.

"Jika kalian tak mau hentikan pertarungan, 

aku akan melumpuhkan kalian berdua!" seru Soka Pu-

ra mengancam.

Dewi Binal bangkit lebih dulu dengan napas te-

rengah-engah dan wajah memancarkan kemarahan.

"Aku tak peduli dengan ancamanmu! Gadis itu 

harus dibunuh agar tak menyebarkan penyakit berba-

haya bagi kaum lelaki! Kau sendiri pasti telah tertular 

penyakit terkutuk itu, Soka!"

"Hentikan omong kosong mu itu, Dewi Binal!" 

bentak Soka dengan jengkel. Ia mendekati Dewi Binal, 

memunggungi Perawan Bukit Jalang.

"Dari mana kau tahu kalau Anggani mengidap 

penyakit seperti itu?!"

"Orang-orang Muara Bangke sedang menca-

rinya untuk dibunuh, karena salah seorang dari mere-

ka telah menjadi korban penyakit 'Hantu Lanang'-nya 

si gadis terkutuk itu!" seru Dewi Binal dengan berani.

"Kau terkecoh oleh tipuan mereka, Dewi Binal! 

Anggani memang dicari oleh si Wajah Malaikat karena 

persoalan perguruannya! Bukan karena penyakit!"

"Kau yang bodoh, Soka! Kau pasti telah tertipu 

oleh pengakuan gadis terkutuk itu!"

Soka Pura sempat ragu, karena wajah Dewi Bi-

nal tampak serius sekali. Tak ada kesan membohon-

ginya. Namun Soka Pura masih tetap menghadang di 

depan Dewi Binal dalam jarak dua langkah.

"Minggir! Akan kulenyapkan penyakit laknat 

itu! Kalau kau masih membelanya, terpaksa aku tega 

melukaimu dengan pedangku, Soka!" gertak Dewi Bi-

nal sambil mengacungkan pedangnya ke arah dada 

Soka Pura.

Tanpa setahu Soka dan si Perawan Bukit Ja


lang, tiba-tiba muncul sekelebat bayangan yang segera 

melepaskan totokan jarak jauh ke arah Anggani. 

Dees...! Gadis itu segera mengejang tak bisa bergerak, 

lalu bayangan itu berkelebat menyambar Anggani den-

gan kecepatan tinggi. Wees...!

"Ooh...?!" Dewi Binal terperanjat dengan tata-

pan mata tertuju pada arah bayangan yang melesat 

sambil membawa Anggani.

Soka Pura curiga melihat perubahan wajah De-

wi Binal. Ia segera berpaling ke belakang.

"Haah...?!" Soka terkejut melihat Anggani sudah 

tak ada di tempat, sedangkan senjata gadis itu jatuh

tergeletak di rerumputan.

"Ke mana dia?!" tanyanya membentak kepada 

Dewi Binal.

"Aku tak tahu!" jawab Dewi Binal sambil melen-

gos dengan ketus. Soka Pura segera memeriksa kea-

daan sekitarnya. Tapi ia tak menemukan si Perawan 

Bukit Jalang.

"Hmm...! Melihat pedangnya tak ikut dibawa 

pergi, kurasa Anggani tidak melarikan diri namun ada 

yang membawanya lari!" pikir Soka Pura. Ia segera 

memandang ke arah Dewi Binal.

"Siapa yang membawanya lari?! Ke mana arah-

nya?!"

"Biar saja ia diserahkan kepada si Wajah Ma-

laikat! Apa pedulimu terhadapnya?!"

"Ke mana arah kepergiannya?! Katakan!" ben-

tak Soka tak sabar lagi.

"Aku tak tahu!" Dewi Binal balas membentak, 

kemudian ia berkelebat pergi begitu saja. Wees...!

"Dewi...! Dewi Binal!" seru Soka, namun seruan 

itu tak dihiraukan oleh Dewi Binal. Soka pura mengge-

ram jengkel sekali. Pedang Anggani diambilnya, namun 

segera menjadi bingung menentukan langkahnya.


"Mengejar Dewi Binal atau mengejar Anggani?!" 

gumamnya dengan nada menggeram. "Sial! Dewi Binal 

pasti tahu siapa orang yang membawa lari Anggani! 

Tapi agaknya ia tak mau sebutkan padaku. Percuma 

saja aku mengejar Dewi Binal jika ia tak mau katakan 

siapa orang yang menyambar Anggani. Tapi jika aku 

harus mengejar Anggani, ke mana aku harus melang-

kah?! Puih! Setan alas! Siapa orang yang membawa lari 

Anggani sebenarnya?!"

Soka Pura benar-benar dongkol sendiri. Ia 

hanya bisa mengetahui, bahwa orang itu pasti berilmu 

tinggi. Terbukti dalam waktu singkat dapat menghilang 

dari pandangan mata Soka. Jika bukan tokoh berilmu 

peringan tubuh cukup tinggi dan punya gerakan cepat 

yang hebat pula, tak mungkin orang itu dapat lenyap 

dalam waktu singkat. Tapi siapa orang itu, Soka tak 

bisa memperkirakannya.

*

* *

5


KALAU saja Soka Pura tidak bertemu Anggani 

sebelumnya, mungkin ia akan percaya dengan kata-

kata Dewi Binal tentang adanya penyakit 'Hantu La-

nang' itu. Dan kalau saja Soka tidak bertemu dengan 

Anggani, mungkin ia akan terkejut melihat Ibu ang-

katnya terkapar karena racun 'Sengat Peri'.

Padahal rencana Soka Pura, pulang dari men-

gantar Rara Wulan, ia ingin menemui kedua orangtua 

angkatnya di puncak Gunung Merana. Oleh karena 

itu, si Bandar Getih yang ingin ikut dengannya ditolak, 

sebab ia tak ingin banyak orang tahu tentang makam


eyang gurunya yang dijaga oleh Pawang Badai dan Nyi 

Padmi itu.

Tapi karena ia sudah mendengar kabar tentang 

sakitnya sang ibu angkat, maka ia tak perlu pulang ke 

puncak Gunung Merana, karena hal itu hanya akan 

buang-buang waktu saja. Ia harus segera mencari 

'Daun Astagina' di bekas Keraton Kencana Windu, baik 

bersama Raka maupun tanpa Raka.

Tetapi perkara hilangnya Perawan Bukit Jalang 

sempat mengganggu kepastian langkahnya. Sebab ba-

gaimanapun juga, Soka Pura menaruh rasa percaya

sepenuhnya terhadap apa yang dikatakan Pe-

rawan Bukit Jalang itu. Ia merasa perlu membantu 

gadis itu lebih dulu, karena hanya Perawan Bukit Ja-

lang yang sudah diberi tahu arah tempat petilasan 

Taman Astamarta di antara reruntuhan Keraton Ken-

cana Windu.

Tetapi ke mana arah yang harus ditempuh un-

tuk mengejar si penculik Perawan Bukit Jalang itu? 

Soka sama sekali tak mengetahui arah tersebut. Satu-

satunya jalan hanya mengejar Dewi Binal dan mende-

sak gadis itu agar menjelaskan siapa pelakunya dan ke 

mana arah pelariannya. Bila perlu, Soka akan gunakan 

kekerasan, walau setelah itu ia akan meminta maaf 

kepada Dewi Binal.

Pengejaran Soka terhadap Dewi Binal terhenti 

karena suara-suara aneh di balik semak ilalang tinggi. 

Suara aneh itu adalah tawa cekikikan seorang perem-

puan yang mengundang khayalan ngeres bagi otak So-

ka Pura.

"Jangan di situ, ah...! Di sini saja! Hik, hik, 

hik...!"

Suara itulah yang membuat Soka menjadi pe-

nasaran dan ingin mengintip apa yang terjadi di balik 

semak ilalang tinggi, di bawah pohon besar sejenis beringin liar. Tak jauh dari pohon besar itu ada pohon 

lain yang berdaun rimbun. Soka Pura segera naik ke 

pohon tersebut dengan menggunakan lompatan ilmu 

peringan tubuhnya. Wuuut...! Jleeg...! Dalam sekejap 

saja ia sudah berada di pohon berdaun rindang itu.

Dari atas pohon itu, Soka Pura dapat melihat 

dengan jelas apa yang terjadi di balik semak ilalang 

tinggi.

Ia sempat terperangah ketika mengetahui di ba-

lik ilalang tinggi itu terdapat dua insan yang sedang 

berkasih-kasihan. Kedua insan yang tampak sudah di-

buai oleh keindahan itu tak menyadari bahwa diri me-

reka sedang diintai oleh sepasang mata dari atas po-

hon seberang.

"Kurang ajar! Rupanya dia yang dapat rezeki 

nomplok!" ujar hati Soka Pura sambil memperhatikan 

seorang pemuda yang masih berpakaian lengkap. Pa-

kaian pemuda itu dari kain kuning emas, bajunya tan-

pa lengan.

Soka Pura sangat mengenali pemuda berusia 

sekitar dua puluh tujuh tahun yang berambut ikal se-

bahu itu. Kain putih berhias benang emas masih dike-

nakan sebagai ikat kepala si pemuda bersenjata cam-

buk coklat yang ujungnya seperti duri ikan. Pemuda 

tinggi, gagah, dan berotot itu tak lain adalah si Wisnu 

Galang, muridnya Hantu Muka Tembok, (Baca serial

Pendekar Kembar dalam episode: "Gairah Sang Pem-

bantai").

"Tapi siapa perempuan yang berusia sekitar 

dua puluh lima tahun itu?! Sepertinya baru sekarang 

aku melihat wajah cantik bermata sayu dengan tahi la-

lat di dagu," gumam Soka Pura dalam hatinya.

Perempuan berdada besar itu juga masih men-

genakan jubah merah tanpa lengan dengan pinjung 

penutup dada dan kain bagian bawahnya berwarna biru tua. Tubuhnya tampak sekal dengan pinggul yang 

meliuk tajam dan menonjol padat.

Agaknya perempuan berambut disanggul itu 

menyukai kenakalan bibir Wisnu Galang, sehingga ia 

membiarkan lehernya dipagut-pagut oleh bibir Wisnu 

Galang. Bahkan ketika kecupan penuh gairah dari 

Wisnu Galang merayap ke belahan dadanya, perem-

puan itu masih membiarkannya, hanya mengerang da-

lam helaan napas memburu.

"Uuuhk... aaaahhh ... Wisnuuu...," ucapnya 

bercampur desah. Ia juga membiarkan Wisnu Galang 

melepaskan jubahnya, bahkan tangan perempuan itu 

ikut melepaskan baju Wisnu Galang. Kemudian tangan 

tersebut mengusap-usap dada Wisnu Galang dengan 

sentuhan yang diresapi.

"Auh! Jangan sampai ke dalam. Geli, ah! Hik, 

hik, hik!" sambil perempuan itu mendorong wajah 

Wisnu Galang yang ingin menelusupkan bibirnya ke 

dalam pinjung penutup dada.

"Geli sedikit tapi rasanya selangit, Pijar Wuni," 

bujuk Wisnu Galang.

"Aku tidak mau, ah!" si gadis merengek manja.

"Kenapa tak mau?"

"Nanti aku tak kuat menahan... menahan 

anu...." "Menahan apa?" desak Wisnu Galang sambil 

tertawa kecil dan mencubit dagu Pijar Wuni.

"Tak kuat menahan keinginanku sendiri, hik, 

hik, hik, hik...."

"Apa keinginanmu akan ku turuti, Pijar Wuni," 

sambil berkata demikian, tangan Wisnu Galang sudah 

menelusup di balik penutup dada. Si gadis menggeliat-

geliat dengan tangan juga ikut merayapi tubuh Wisnu 

Galang dalam keadaan sama-sama duduk.

"Betul kau akan menuruti keinginanku?"

"Aku tak pernah ingkar janji, Pijar Wuni!"


"Termasuk mau menangkapkan si Perawan Bu-

kit Jalang untuk kuserahkan kepada si Wajah Malai-

kat?"

"Itu pekerjaan paling mudah bagiku."

"Juga menuruti... menuruti tuntutan gairah-

ku?"

"Itu lebih mudah kulakukan, Pijar Wuni!"

"Oh, Wisnu... aku suka dengan lelaki yang 

punya pengertian sepertimu."

"Aku juga sangat berselera jika ada di samping 

perempuan secantik kau, Pijar Wuni."

"Kalau begitu, Wisnu... ooh... ambillah apa yang 

ingin kau ambil dariku! Ambillah semuanya, Wisnu...," 

sambil Pijar Wuni akhirnya melepaskan pinjung penu-

tup dadanya yang berwarna biru itu.

Tess...! Penutup itu lepas dan tampaklah gua 

gumpalan besar yang pekat menantang dengan ujung-

ujungnya yang penuh keberanian, seakan tak sabar 

untuk menunggu serangan dari lawannya.

Wisnu Galang pun akhirnya menelusupkan wa-

jahnya di pertengahan dada besar itu. Lidahnya mulai 

menirukan lidah seekor ular. Ujung-ujung bukit dis-

ambar dengan lidah itu, membuat gadis bernama Pijar 

Wuni itu mengerang dan mendesis-desis dicekam 

keindahan asmaranya.

Rupanya perempuan yang masih tergolong mu-

da itu pandai memainkan irama cinta. Ia mempunyai 

gerakan yang berirama dan mengayunkan jiwa mereka 

berdua, sehingga mereka serasa seperti berada di 

awang-awang. Perahu cinta melaju terus, mengikuti 

irama keindahan yang didayung oleh Wisnu Galang 

untuk mencapai puncak asmara. Mereka tak peduli-

kan keringat mengucur napas menyembur, yang pent-

ing keindahan itu mereka nikmati dan mereka resapi 

dalam linangan rasa bahagia yang tiada tara.


Termasuk si penonton gelap yang ada di atas 

pohon, juga mengucurkan keringat dingin menyaksi-

kan adegan panas itu, karena debar-debar jantungnya 

bagaikan memompa darah agar mengalir dengan de-

ras. Kaki si penonton di atas pohon itu menjadi geme-

tar, namun matanya tak mau menyingkir dari peman-

dangan menggairahkan itu. Tak heran jika si penonton 

di atas pohon terpaksa berpegangan pada dahan di 

atasnya karena takut tergelincir dan jatuh dari atas 

pohon tersebut.

"Setan! Bikin badanku jadi panas-dingin begi-

ni!" gerutu si penonton yang tak lain adalah Soka Pura 

itu.

Pemuda bandel itu mengikuti adegan tersebut 

hingga selesai. Ia masih berada di atas pohon dan 

memperhatikan ke arah dua insan yang saling 

melepas lelah karena habis mengarungi samudera cin-

ta hingga si wanita mencapai puncak keindahan bebe-

rapa kali. Percakapan yang terjadi di antara mereka 

didengar jelas oleh Soka Pura, karena keadaan Soka 

Pura sangat dekat dengan mereka. Hanya saja karena 

tertutup kerimbunan pohon dan sengaja tak bergerak 

sejak tadi, maka keberadaannya itu tidak diketahui 

oleh Wisnu Galang dan Pijar Wuni.

"Kau ternyata lebih hebat dari bekas suamiku 

yang dulu, Wisnu," ujar Pijar Wuni yang ternyata su-

dah janda itu.

"Kau suka dengan kehebatanku?"

"Oh, ya... aku suka sekali! Tapi lebih suka lagi 

jika kau bisa tangkap si Perawan Bukit Jalang dan 

menyerahkannya padaku. Akan kuserahkan perawan 

itu kepada si Wajah Malaikat, lalu jika hadiahnya su-

dah ku terima, kita bisa hidup bersama di sebuah ru-

mah di atas bukit yang sepi, hanya kita berdua yang 

memilikinya. Hik, hik, hik, hik...!"

"Dalam waktu dekat kau akan mendapatkan 

buronan itu, Pijar Wuni!"

"Tapi hati-hati...."

"Apakah kau sangsi dengan ilmuku? Kau sang-

ka aku akan dikalahkan oleh si Perawan Bukit Jalang 

itu?!"

"Bukan soal ilmumu! Aku percaya, ilmumu le-

bih tinggi dari si Perawan Bukit Jalang itu. Tapi... tapi 

dia cantik dan menggairahkan lho! Nanti kau terpikat 

sendiri padanya?!"

"Itu tak mungkin, Pijar Wuni!"

"Mungkin saja!" sambil Pijar Wuni bersungut-

sungut manja. "Perawan Bukit Jalang itu pandai me-

rayu. Nanti kau terpikat rayuannya, lalu bercumbu 

dengannya. Iih... Jijik aku!"

"Tak mungkin itu kulakukan, Pijar Wuni!"

"Kalau kau sudah bercumbu dengannya, aku 

tak mau kencan denganmu lagi. Aku takut tertular pe-

nyakitnya. Kau sendiri akan segera mati karena darah 

mu cepat menjadi busuk Jika sampai kau bercumbu 

dengannya seperti denganku tadi."

"Tidak, Pijar! Tidak akan kulakukan hal itu. 

Percayalah padaku!"

Soka Pura sempat berpikir dalam ketermenun-

gannya. "Sudah tiga orang yang mengatakan Anggani 

mempunyai penyakit menular yang dapat membunuh 

kaum lelaki jika habis kencan dengannya. Apakah 

memang begitu keadaan nasib si Perawan Bukit Jalang 

itu? Kasihan amat Jika benar dia menderita penyakit 

terkutuk itu." Hati Soka mulai diliputi sedikit kebim-

bangan. Tapi mengapa mereka ingin serahkan Perawan 

Bukit Jalang kepada si Wajah Malaikat?! Jangan-

jangan apa yang diceritakan Anggani tentang pengeja-

ran si Wajah Malaikat kepadanya itu memang benar-

benar terjadi?! Lalu, apa hubungannya dengan penya


kit yang menular itu?"

Soka Pura kembali menyimak suara-suara me-

reka yang sudah saling mengenakan pakaian masing-

masing. Suara Pijar Wuni lebih jelas daripada suara 

Wisnu Galang.

"Kau sudah tahu si Perawan Bukit Jalang itu, 

bukan?"

"Ya, sudah! Aku pernah bertemu dengannya ti-

ga kali, saat aku menemui temanku yang menjadi mu-

rid seperguruannya Perawan Bukit Jalang itu," jawab 

Wisnu Galang.

"Kalau begitu, aku menunggu kabar darimu. 

Temui aku di padepokan perguruanku. Tapi kuminta 

sembunyikan dulu perempuan itu jika sudah berhasil 

kau lumpuhkan!"

"Akan kulakukan sesuai permintaanmu, Pijar 

Wuni, asalkan kau pun menuruti permintaanku."

"Oh, tentu saja, Wisnu. Kapan saja kau ingin-

kan kehangatan ku, aku siap melayanimu. Malahan 

mungkin aku yang mengejar-ngejarmu untuk mereguk 

secawan anggur kenikmatan darimu seperti tadi. Hik, 

hik, hik... indah sekali, Wisnu!"

Pemuda murid Hantu Muka Tembok itu hanya 

ikut tertawa geli sambil tangannya meremas nakal. Si 

janda memekik genit, lalu hamburkan tawanya yang 

berkesan mesum.

"Sekarang... apakah aku harus mengantarmu 

sampai ke padepokan?"

"Oh, tak perlu! Lebih baik kau segera mencari 

Perempuan Bukit Jalang itu, aku akan pulang ke pa-

depokan. Kupersiapkan tenaga dan kesehatan ku un-

tuk berlayar lagi denganmu, Wisnu!"

Cup...! Pijar Wuni memberi ciuman hangat di 

pipi Wisnu Galang. Namun si pemuda membalas di ba-

gian bibir. Maka bibir mereka pun saling melumat lagi


dengan lembut, seakan mereka tak ingin segera berpi-

sah.

Ketika kecupan bibir mereka saling lepas, mata 

mereka saling pandang dalam iringan senyum keme-

sraan, maka terdengarlah suara Wisnu Galang ajukan 

tanya kepada Pijar Wuni.

"Ke mana aku harus mencari Perawan Bukit 

Jalang jika perguruannya sudah hancur?!"

"Tadi sebelum kita bertemu, aku melihat ia ber-

lari ke utara dikejar oleh Sirih Duda. Tapi aku yakin, 

Sirih Duda tak mungkin mampu menangkapnya, kare-

na Perawan Bukit Jalang punya ilmu lebih tinggi dari 

Sirih Duda. Pasti mereka masih bertarung di daerah 

utara sana!"

"Mengapa kau tak membantu Sirih Duda?! Bu-

kankah kalian seperguruan?!"

"Memang. Tap! dalam hal penangkapan atas di-

ri Perawan Bukit Jalang. kami melakukannya secara 

diam-diam. Aku sendiri tak menyangka kalau Sirih 

Duda yang menjadi sahabat Perawan Bukit Jalang itu 

ternyata bernafsu juga untuk menangkap gadis berpe-

nyakit terkutuk itu. Aku pun tak ingin ada yang men-

getahui rencanaku ini, karena aku takut dikecam atau 

disalahkan oleh guruku. Karena itu, jangan membawa 

Perawan Bukit Jalang ke perguruan. Jika ia sudah kau 

tangkap dan kau lumpuhkan, sembunyikan dulu di 

suatu tempat, lalu jemputlah aku di padepokan."

Soka Pura sempat membatin, "Ke utara...?!" Ia 

berpikir sesaat. "Benarkah gadis itu ada di utara? Ta-

pi... mungkin yang dilihat Pijar Wuni tadi adalah saat 

Anggani belum bertarung melawan Sirih Duda. Kurasa 

si Pijar Wuni belum tahu kalau Anggani sudah dl bawa

lari oleh seseorang. Hmm... sebaiknya kuikuti saja 

langkah si Wisnu Galang secara diam-diam."


6


PENDEKAR Kembar bungsu masih mengikuti 

Wisnu Galang dengan hati-hati. Wisnu Galang yang 

sudah berpisah dengan Pijar Wuni tampak berseman-

gat sekali dalam langkahnya. Mungkin karena ia mem-

bayangkan hadiah kemesraan yang begitu nikmat dari 

Pijar Wuni, sehingga rasa-rasanya ia ingin cepat-cepat 

menangkap Perawan Bukit Jalang.

Tetapi langkah Wisnu Galang sendiri terhenti 

mendadak begitu ia mendengar suara senjata beradu: 

traaang, traaang...! "Hiaaaatt...!" Blaaarrr...!

Jelas suara itu adalah suara pertarungan. Da-

lam benak Wisnu Galang terbayang si Perawan Bukit 

Jalang sedang menghadapi pihak lain yang tentunya 

juga ingin menangkapnya untuk diserahkan kepada si 

Wajah Malaikat. Sebab, sebelum Wisnu Galang bercin-

ta dengan Pijar Wuni, ia sudah mendengar kabar ten-

tang sayembara yang diadakan oleh si Wajah Malaikat 

itu.

Semula Wisnu Galang juga tertarik untuk da-

patkan hadiah uang banyak dari si Wajah Malaikat. 

Namun setelah bertemu Pijar Wuni dan merasakan ke-

nikmatan janda montok itu, Wisnu Galang memilih 

hadiah yang datang dari Pijar Wuni. Baginya, jika ia 

menyerahkan Perawan Bukit Jalang kepada Pijar Wu-

ni, ia justru akan mendapatkan hadiah ganda. Selain 

bisa memanfaatkan hadiah uang bersama-sama Pijar 

Wuni, ia juga dapatkan hadiah kenikmatan dari pe-

rempuan tersebut. Kapan saja ia inginkan kenikmatan 

itu, dengan mudah ia akan memperolehnya.

Tetapi pertarungan yang dihampirinya itu ter-

nyata bukan pertarungan antara Perawan Bukit Jalang 

dengan pihak yang ingin menangkapnya. Wisnu Ga


lang sempat terbengong sesaat ketika mengetahui sia-

pa yang bertarung. Bahkan Soka Pura yang diam-diam 

mengikuti dari pohon ke pohon juga tertegun sekejap 

begitu mengetahui siapa yang bertarung saat itu.

"Dewi Binal...?!" gumam Wisnu Galang. "Sial! 

Ku sangka si Perawan Bukit Jalang, ternyata Dewi Bi-

nal menghadapi... hmm, siapa ketiga orang berkumis 

itu?! Agaknya mereka bernafsu sekali untuk tumbang-

kan Dewi Binal?!"

Sementara itu, hati Soka Pura berkata lain.

"Kebetulan sekali, ternyata dia ada di sini. Tapi 

mengapa ia berhadapan dengan tiga orang berwajah 

angker itu? Siapa mereka sebenarnya?! Hmmm, keliha-

tannya Wisnu Galang akan turun tangan. Sebaiknya 

aku tak perlu ikut campur dulu, kecuali jika Wisnu 

Galang dan Dewi Binal sudah tak sanggup melawan ti-

ga orang tersebut."

Ketiga orang yang bersenjata golok itu menye-

rang Dewi Binal secara bersama-sama dari tiga penju-

ru; kanan, kiri, dan depan.

Wuuurss...!

Dewi Binal sentakkan kaki ke tanah dan tu-

buhnya pun meluncur naik dengan cepat. Wuuut...! 

Prak, trang...!

Tiga orang itu saling bacok sendiri. Untung tak 

ada yang terluka, karena senjata mereka saling ber-

benturan satu dengan yang lain. Sedangkan Dewi Bi-

nal segera menjejak pohon yang ada dalam jangkauan 

kakinya. Duuk...! Wees...! Tubuhnya pun melesat ke 

lain arah. Kemudian daratkan kedua kakinya dengan 

kokoh dalam jarak enam langkah dari ketiga penye-

rangnya itu.

"Keparat! Jangan hanya bisa loncat sana-sini 

seperti kutu kupret kau, hah?" bentak si kumis berba-

ju hijau tua itu.


"Habis! saja dia, tak perlu ditangkap hidup-

hidup!" ujar si kumis berpakaian serba merah.

"Serang bersama! Heeeaaat...!" si kumis berpa-

kaian hitam itu berteriak sambil lakukan lompatan 

bersalto ke arah Dewi Binal. Tetapi kedua temannya 

yang ingin segera melompat juga tiba-tiba terpelanting 

jatuh dengan keadaan menyedihkan. Karena tiba-tiba 

kaki kedua orang itu tersangkut sesuatu yang me-

layang dari belakang mereka.

Ctaaar...!

Cambuk si Wisnu Galang berkelebat, langsung 

berhasil menyengkat kaki kedua orang tersebut. Wuus, 

brruss...! "Ayaooow...!" "Bangsaaaat...!"

Pekik mereka yang jatuh akibat lilitan cambuk 

yang segera disentakkan ke belakang itu. Sementara si 

baju hitam yang sudah melayang menyerang Dewi Bi-

nal itu segera tebaskan goloknya ke arah gadis itu. 

Namun dengan cepat Dewi Binal memutar tubuh den-

gan pedangnya berkelebat melingkari badannya. 

Wees...! Trang, trang...!

Bhaaak...!

"Heeekkhh...!" orang itu terpekik dengan suara 

tertahan, dadanya terkena tendangan kaki Dewi Binal 

yang nyelonong cepat secara tiba-tiba dan sangat di 

luar dugaan itu. Akibatnya, bukan saja dada terasa in-

gin jebol dan tulangnya bagaikan remuk, namun orang 

itu juga terpental dan jatuh terduduk menindih kepala 

si baju merah yang tersungkur akibat sengatan cam-

buk Wisnu Galang.

Bluuk...!

"Aaooow...!! Monyet kurap kau! Minggiiirrr...!"

Si baju hitam buru-buru bangkit setelah me-

nyadari ia telah menduduki kepala temannya sendiri. 

Si baju merah pun segera berdiri dengan marah sekali. 

Temannya hampir saja dibacok dengan golok di tangannya.

"Jahanam busuk kau! Hihh...!"

"Hei, ini aku!" seru si baju hitam sambil menyi-

langkan goloknya di atas kepala untuk menahan baco-

kan golok si baju merah. Traang...!

"Bangsat kurap! Kenapa kau timpa kepalaku?! 

Sakit sekali, tahu?!"

"Aku tak sengaja! Aku ditendang olehnya dan, 

uuh... dadaku terasa mau jebol dan remuk semua tu-

langnya!" sambil orang tersebut segera sedikit mem-

bungkuk dengan wajah menyeringai menahan sakit. Si 

baju merah tak jadi marah pada orang itu.

"Rupanya kita kedatangan tamu lain! Lihat si 

pemuda umbelan itu!" seru orang yang berbaju hijau. 

Maka pandangan kedua temannya segera tertuju ke-

pada Wisnu Galang yang sudah lakukan lompatan 

bersalto dua kali hingga kini ia berada empat langkah 

di sebelah kiri Dewi Binal.

"Wisnu Galang, pergilah! Ini urusanku, biar 

kuurus sendiri."

"Siapa mereka, Dewi Binal?!"

"Orang Muara Bangke!"

"Utusannya si Wajah Malaikat?!"

"Benar! Mereka ngotot tetap ingin menang-

kapku. Mereka sangka aku adalah si Perawan Bukit 

Jalang!"

"Ooo...," Wisnu Galang tersenyum kecil sambil 

manggut-manggut. Di tangannya masih tergenggam

cambuk coklat yang ujungnya berduri. Duri itu 

tadi sempat melukai pergelangan kaki si baju hijau, 

namun luka tersebut tak dihiraukan oleh si baju hijau. 

Ia belum sadar bahwa luka itu mempunyai racun yang 

dapat membuntungkan kakinya dalam beberapa waktu 

jika tak segera terobati.

Si kumis berbaju hijau segera berseru kepada


Wisnu Galang.

"Hei, Babi Panggang...! Jika kau sayang nya-

wamu, menyingkirlah dari sini dan jangan campuri 

urusan kami!"

Si baju hitam menimpali, "Atau bergabunglah 

dengan kami untuk menangkap Perawan Bukit Jalang 

itu! Kau akan mendapat hadiah tersendiri dari kami, 

Bocah Kudisan!"

Wut, wut, taaarr...!

Wisnu Galang justru lecutkan cambuknya keti-

ka si baju hitam ingin melangkah maju. Lecutan cam-

buk itu membuat si baju hitam mundur dengan satu 

lompatan. Jleeg...!

"Aaaoww...!" si baju merah menjerit lagi karena 

kakinya terinjak tumit si baju hitam yang melompat 

mundur.

Plaaak...! Kepala si baju hitam ditabok kuat-

kuat oleh si baju merah hingga menggeloyor ke samp-

ing.

"Babi sinting kau ini! Tadi menduduki kepala-

ku, sekarang menginjak kakiku!"

"Aku tak sengaja, Goblok!" "Kau yang goblok! 

Lain kali taruh matamu di pantat dan di kaki!"

"Sudah, sudah...!" sentak si baju hijau mele-

rainya. "Kau tak perlu marah. Dia tak sengaja!"

"Tak sengaja ya tak sengaja, tapi kakiku sakit 

sekali, tahu?!"

"Anggap saja amal!"

"Amal kok dua kali, kepala dan kaki!" gerutu si 

baju merah. Mereka segera kembali memandang Dewi 

Binal dan Wisnu Galang. Wajah-wajah angker itu tam-

pak semakin angker sejak kemunculan Wisnu Galang 

yang amat tak disukai oleh mereka itu.

"Siapa kau, Anak Kadal?! Beraninya kau men-

campuri urusan kami! Tidak tahukah kau, bahwa kami adalah utusan dari Muara Bangke untuk menang-

kap Perawan Bukit Jalang itu?!" seru si baju hijau.

"Buka matamu lebar-lebar!" ujar Wisnu Galang. 

"Gadis di sampingku ini adalah si Dewi Binal, murid 

dari Tabib Kubur! Dia bukan Perawan Bukit Jalang!"

"Aku sendiri bermusuhan dengan si Perawan 

Bukit Jalang! Karena dia telah berhasil merayu keka-

sihku dan membuat kekasihku memihaknya!" timpal 

Dewi Binal dengan suara keras.

"Kau pikir kami orang-orang bodoh yang bisa 

dikelabuhi?!" sentak si baju hijau.

"Hanya dia yang bodoh!" ujar si baju merah 

menu ding temannya yang tadi menindih kepala dan 

menginjak kakinya itu.

"Kalian salah sangka!" sentak Wisnu Galang. 

"Kalau kalian tetap ngotot, aku akan mewakili Dewi 

Binal untuk membuat kulit kalian terkelupas dengan 

cambuk ku ini!"

Ketiga orang itu akhirnya saling berkasak-

kusuk saling berhadapan.

"Sekarang baru kuingat, wajah cantik itu me-

mang pernah kulihat bersama-sama si Tabib Kubur 

menuju Bukit Gamping!" bisik orang berpakaian hitam 

itu.

"Mengapa tidak kau katakan sejak tadi?!" sen-

tak si baju merah dengan masih bernada berang. Tan-

gannya menjulekkan kepala si baju hitam hingga kepa-

la itu tersentak ke belakang.

"Aku lupa! Lupa sama sekali!"

Orang berbaju hijau berkata, "Lalu ke mana 

perginya si Perawan Bukit Jalang itu?! Menurut kete-

rangan Sirih Duda yang terluka tadi, katanya dia me-

nuju ke arah sini bersama seorang pemuda tampan?!"

"Ssst...! Si bocah gendeng pembawa cambuk itu 

juga pemuda tampan," bisik baju merah.


"Iya, tapi gadis itu bukan Perawan Bukit Ja-

lang! Aku baru ingat sekarang, bahwa dia cucunya si 

Tabib Kubur! Kita hampir saja salah tangkap!" bisik si 

baju hitam.

"Kau memang keparat busuk!" maki si baju me-

rah kepada si baju hitam. "Kalau begitu, kita cari pe-

rawan itu ke tempat lain saja! Jangan buang-buang 

waktu!"

Rupanya tadi mereka bertiga bertemu dengan 

Sirih Duda yang terluka di kepala dan sekujur tubuh-

nya menjadi memar itu. Mereka mengenal Sirih Duda 

dan menanyakan tentang Perawan Bukit Jalang. Sirih 

Duda menjelaskan arah kepergian Anggani yang diba-

wa lari oleh Soka Pura. Ketiga orang itu menuju ke 

arah yang dimaksud Sirih Duda. Ketika mereka berte-

mu dengan Dewi Binal, mereka langsung menduga se-

bagai Perawan Bukit Jalang. Mereka memang belum 

pernah bertemu dengan si Perawan Bukit Jalang, 

hanya mendengar ciri-cirinya saja: cantik, montok, dan 

menggairahkan sekali bagi kaum lelaki.

Setelah si baju hitam yang ingatannya segera 

mengenali siapa Dewi Binal, maka mereka pun segera 

pergi tanpa pamit meninggalkan Wisnu Galang dan 

Dewi Binal. Gadis itu mendengus kesal sambil mema-

sukkan pedang ke sarungnya.

"Hmmm...! Pergi begitu saja tanpa meminta 

maaf padaku! Dasar orang-orang bejat!" gerutu Dewi 

Binal yang membuat Wisnu Galang tertawa kecil.

"Dewi Binal, apakah kau juga mencari Perawan 

Bukit Jalang untuk diserahkan kepada si Wajah Ma-

laikat?!" tanya Wisnu Galang sambil menggulung cam-

buk menjadi tiga lingkaran dan menyelipkan gagang-

nya ke pinggang kiri.

"Semula aku memang mencarinya, tapi bukan 

untuk memburu hadiah dari si Wajah Malaikat!"


"Lalu, untuk apa kau mencarinya?"

"Kudengar dia mengidap penyakit berbahaya 

yang bisa membusukkan darah lelaki jika lelaki itu 

berhasil diajak kencan olehnya. Aku khawatir kalau 

Soka Pura terjebak oleh kecantikan dan rayuannya. 

Maka aku ingin sekali membunuh Perawan Bukit Ja-

lang itu agar tak mencelakai Soka Pura. Tapi... ketika 

aku bertemu dengan Soka Pura yang benar-benar ber-

sama Perawan Bukit Jalang itu, agaknya Soka memi-

hak gadis itu! Sebelum aku sempat membunuh Pera-

wan Bukit Jalang, tiba-tiba ia sudah disambar dan di-

bawa lari oleh seseorang setelah ditotok lebih dulu."

"O, jadi sekarang si Perawan Bukit Jalang su-

dah ditangkap oleh seseorang?! Hmmm... kalau boleh 

ku tahu, siapa orang yang berhasil menangkap gadis 

itu, Dewi Binal?!"

"Untuk apa kau tanyakan?!"

"Aku ingin merebutnya!"

"Hmm...!" Dewi Binal mencibir sinis. "Kau tak 

akan mampu melawan orang itu, Wisnu Galang!"

"Siapa bilang aku tak mampu! Siapa pun 

orangnya, aku harus tetap merebut Perawan Bukit Ja-

lang untuk kuserahkan kepada...," Wisnu Galang diam 

seketika, karena ia tak ingin rahasia hubungannya 

dengan Pijar Wuni diketahui oleh Dewi Binal. Hampir 

saja ia keceplosan mengatakan hal itu, sehingga ia bu-

ru-buru hentikan ucapannya. Kejap berikut ia kembali 

perdengarkan suara setelah menarik napas panjang.

"Katakan saja siapa orang yang membawa lari 

Perawan Bukit Jalang itu, Dewi Binal!"

"Aku sudah tidak berurusan lagi dengannya. 

Karena dengan tertangkapnya Perawan Bukit Jalang di 

tangan orang tersebut, aku yakin ia akan diserahkan 

kepada si Wajah Malaikat. Dan di tangan si Wajah Ma-

laikat, gadis itu pasti mati. Aku cukup lega jika gadis


itu telah mati, karena ia tidak akan mencelakai Soka 

Pura. Kulihat, Soka belum tertular penyakitnya itu, ka-

rena keadaannya masih sehat-sehat saja saat kami 

bertemu!"

"Soal kau masih ingin mengejar gadis itu atau 

tidak lagi, tapi aku punya kepentingan sendiri dengan-

nya. Tolong katakan, siapa orang yang telah berhasil 

menangkap si Perawan Bukit Jalang itu, Dewi Binal!" 

tegas Wisnu Galang dengan sedikit merasa dongkol ka-

rena jawaban Dewi Binal tidak sesuai dengan perta-

nyaannya.

Tapi kali ini Dewi Binal memberi jawaban yang 

diinginkan Wisnu Galang. Dewi Binal bicara sedikit pe-

lan, namun masih sempat tertangkap oleh pendenga-

ran Soka Pura yang ada di atas pohon dengan dua pe-

dang terselip di pinggang kanan-kiri, satu miliknya, sa-

tu lagi milik Anggani.

"Wisnu Galang, kurasa kau sangat kenal den-

gan orang yang menangkap Perawan Bukit Jalang itu, 

tapi aku yakin kau tak akan mampu merebut dari tan-

gannya, kecuali dengan bujukan!"

"Sial!" geram Wisnu Galang. "Aku hanya minta 

kau menyebutkan siapa orang itu! Bukan meminta sa-

ran mu!"

"Orang itu adalah si Hantu Muka Tembok, gu-

rumu sendiri!"

"Hahh...?!" Wisnu Galang terbelalak kaget, ke-

dua matanya melotot bagai mau loncat dari kedalaman 

rongganya.

Diam-diam si Pendekar Kembar bungsu juga 

merasa terkejut mendengar nama Hantu Muka Tem-

bok di sebutkan oleh Dewi Binal. Namun ia masih bisa 

menguasai ketenangannya. Bahkan ia manggut-

manggut sambil tersenyum lega, karena kini ia sudah 

mengetahui siapa orang yang membawa lari Anggani.

"Wisnu Galang, aku tak punya banyak waktu 

untuk bicara denganmu! Jika kau ingin merebut Pera-

wan Bukit Jalang, rebutlah dia dari tangan gurumu 

sendiri! Aku akan segera pulang ke Bukit Gamping!"

Dewi Binal bergegas pergi, tapi sempat dicekal 

pundaknya oleh Wisnu Galang.

"Ehh, hmmm... apakah kau tahu ke mana arah 

kepergian guruku itu, Dewi?!"

"Kejarlah ke timur!" jawab Dewi Binal dengan 

singkat, lalu segera melesat pergi tinggalkan Wisnu 

Galang yang tertegun sejenak.

Sementara itu, Soka Pura mulai sunggingkan 

senyum lega. Kini ia tahu ke mana arah yang harus di-

tuju. Tentunya si Wisnu Galang lebih tahu ke mana 

arah gerakan gurunya, sehingga Soka Pura merasa le-

bih baik tetap menjadi penguntit Wisnu Galang.

"Hmm, tak kusangka ternyata si Hantu Muka 

Tembok juga inginkan hadiah besar dari si Wajah Ma-

laikat?!" gumam Soka sambil bergegas mengikuti Wis-

nu Galang.

*

* *

7


RUPANYA Wisnu Galang segera berlari ke arah 

kediaman gurunya; di Bukit Garong. Wisnu Galang 

punya keyakinan kuat, bahwa Perawan Bukit Jalang 

belum dibawa ke Muara Bangke, karena hari sudah 

menjelang sore dan sang Guru pasti akan mengutus 

muridnya untuk serahkan gadis itu kepada si Wajah 

Malaikat.

"Guru pasti akan merasa malu jika ikut-ikutan


ingin meraih hadiah itu," pikir Wisnu Galang. "Seti-

daknya Guru pasti akan mengutusku menyerahkan 

Perawan Bukit Jalang dan mengambil hadiahnya dari 

tangan si Wajah Malaikat! Tentu saja hadiah tersebut 

harus segera kuserahkan kepada guru. Tapi, aah... 

aku tak kekurangan akal."

Wisnu Galang tersenyum sendiri membayang-

kan rencananya.

"Jika gadis itu sudah diserahkan padaku, akan 

ku sembunyikan di suatu tempat dan kuberi tahu ke-

pada Pijar Wuni bahwa aku telah berhasil menangkap 

Perawan Bukit Jalang. Lalu, biar si Pijar Wuni yang 

menyerahkan Perawan Bukit Jalang kepada si Wajah 

Malaikat. Kalau Guru menanyakannya, kujawab saja 

bahwa Perawan Bukit Jalang berhasil meloloskan diri 

entah ke mana. Paling-paling aku dicaci maki oleh 

Guru. Tapi aku mendapat dua keuntungan, uang dan 

kemesraan. Heh, heh, heh, heh...."

Soka Pura tak tahu apa yang diucapkan hati 

Wisnu Galang. Ia hanya mengikuti pemuda berpakaian 

kain emas itu dengan hati-hati sekali. Setiap gerakan-

nya selalu dijaga agar tidak timbulkan suara sedikit 

pun. Jaraknya juga diatur agar tak timbulkan kecuri-

gaan di hati Wisnu Galang. Soka Pura masih mampu 

imbangi gerakan cepat Wisnu Galang, bahkan jika ia 

mau, ia dapat mendahului kecepatan gerak si murid 

Hantu Muka Tembok itu.

Tepat ketika mereka berada di kaki Bukit Ga-

rong, Wisnu Galang segera percepat pelariannya, kare-

na ia melihat sang Guru hendak mendaki bukit terse-

but. Lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun dan 

bertubuh kurus itu tampak memanggul seorang gadis 

cantik berjubah coklat. Gadis itulah si Perawan Bukit 

Jalang yang masih dalam keadaan kaku seperti patung 

batu akibat tertotok jalan darahnya, hingga tak bisa


bergerak sedikit pun.

"Guruuu...!" panggil Wisnu Galang dengan se-

ruan keras. Tokoh tua berjubah abu-abu dengan wajah 

lonjong berkepala gundul bagian tengah itu segera 

hentikan langkah begitu mendengar seruan muridnya. 

Wisnu Galang buru-buru hampiri sang Guru, tanpa 

mengetahui bahwa seseorang sedang mengikutinya da-

ri kejauhan.

Kakek beralis putih dengan ketinggian tubuh 

yang termasuk jangkung itu segera pandangi kedatan-

gan muridnya. Ia meletakkan tubuh Anggani ke bawah 

pohon. Gadis itu tetap kaku dan disandarkan seperti 

sebatang gedebong pisang.

"Guru, kau telah mendapatkan si Perawan Bu-

kit Jalang, rupanya?! Wah, kebetulan sekali! Kita pasti 

akan kaya, Guru! Si Wajah Malaikat menyediakan ha-

diah besar untuk orang yang menangkap gadis itu!"

"Hmm...! Lantas mengapa kau berseri-seri dan 

cengar-cengir di depanku?!" ujar sang Guru dengan 

mata memandang tajam kepada muridnya.

"Aku bersedia membawa gadis itu ke Muara 

Bangke sekarang juga, Guru! Kurasa sebelum petang 

tiba, aku sudah bisa sampai ke Muara Bangke dan 

menyerahkan gadis itu kepada si Wajah Malaikat!"

Sebelum si Hantu Muka Tembok yang kali ini 

tidak membawa tongkatnya itu mengatakan sesuatu 

kepada murid tunggalnya, tiba-tiba Soka Pura segera 

muncul dari persembunyiannya. Ia melesat cepat dan 

tahu-tahu sudah berada di antara Wisnu Galang dan 

Hantu Muka Tembok. Wuuzz...! Jleeg...!

"Raka...?!" sentak Wisnu Galang dengan kaget.

"Aku Soka, bukan Raka!" tegas Soka Pura den-

gan senyum berkesan sinis. Wisnu Galang segera ingat 

penjelasan Dewi Binal tentang kebersamaan Soka den-

gan Perawan Bukit Jalang itu. Maka di hati Wisnu Galang segera timbul kecemasan terhadap kemunculan 

Soka Pura.

"Pasti ia akan merebut Perawan Bukit Jalang 

itu." ujar Wisnu Galang dalam hatinya. Ia pun segera 

bergeser untuk lakukan pencegahan jika sewaktu-

waktu Soka Pura menyambar tubuh Anggani yang ber-

sandar di pohon dalam kemiringan mirip orang berdiri 

santai itu.

"Ki Gumarah," sapa Soka Pura kepada Hantu 

Muka Tembok dengan memanggil nama asli Pak Tua 

itu. "Dan kau juga, Wisnu Galang.... Kuharap kalian 

tidak menjadi tersinggung kata-kataku. Kemunculan-

ku di kaki bukit ini adalah untuk mengambil Anggani, 

alias si Perawan Bukit Jalang itu!"

"Kurasa kau perlu beradu nyawa denganku, 

Soka Pura!" ujar Wisnu Galang dengan nada ketus. 

"Enak saja kau ingin merebut gadis itu dari tangan gu-

ruku! Kau sangka mudah melakukannya selama Wis-

nu Galang, murid Eyang Guru Hantu Muka Tembok ini 

masih bisa berdiri dengan kedua kakinya?!"

"Wisnu Galang, kau tidak tahu apa yang sebe-

narnya terjadi pada diri Perawan Bukit Jalang itu. Ma-

ka, biarlah kubawa pergi gadis itu, dan mohon izinmu 

pula, Ki Gumarah!"

"Tidak bisa! Aku yang akan membawa Perawan 

Bukit Jalang ke Muara Bangke!" sentak Wisnu Galang 

dengan lantang.

"Aku yang akan membawanya pergi agar tak 

mengganggu kalian atau siapa pun!" tegas Soka Pura.

Hantu Muka Tembok segera berkata dengan 

nada tegas.

"Tidak seorang pun kuizinkan membawa pergi 

gadis ini!"

"Guru, banyak orang mengetahui bahwa gadis 

itu punya penyakit berbahaya dalam kencannya! Mohon Guru lebih hati-hati agar tidak ketularan penyakit 

berbahaya itu, Guru!"

“Justru karena kudengar ia mempunyai penya-

kit 'Hantu Lanang', maka aku harus merawat dan me-

lindungi keselamatan jiwa murid sahabatku ini."

"Ja... jadi kau membawa lari gadis itu bukan 

untuk menukarkannya dengan hadiah besar dari si 

Wajah Malaikat, Guru?!"

"Mendiang Nyai Pundilamis adalah sahabatku! 

Sekarang ia telah tiada, perguruannya telah dihancur-

kan Si Wajah Malaikat. Mau tak mau aku harus turun 

tangan untuk selamatkan gadis ini! Tak kuizinkan si 

Wajah Malaikat menyentuh sehelai rambutnya pun! 

Apalagi kalian berdua hanya akan merusak suasana 

saja!"

"Tapi... tapi dia bukan gadis yang berpenyakit 

berbahaya, Ki Gumarah! Aku dan dia punya kepentin-

gan tersendiri yang menyangkut hidup dan matinya 

ibuku; Nyi Padmi, di puncak Gunung Merana itu," tu-

tur Soka Pura sambil melangkah lebih dekat lagi. Han-

tu Muka Tembok segera bergeser lebih mendekati so-

sok tubuh si Perawan Bukit Jalang.

Hantu Muka Tembok memandang kedua wajah 

anak muda itu secara bergantian. Langkah Wisnu Ga-

lang yang mendekati Anggani disusul oleh gurunya 

yang merasa cemas akan tindakan muridnya.

"Ki Gumarah, kuharap lepaskan totokan Ang-

gani, biar ia bicara sendiri padamu!" ujar Soka Pura 

sambil bergeser sedikit demi sedikit ke arah gadis yang 

mirip patung batu itu.

"Guru, sebaiknya segera saja gadis ini kubawa 

ke Muara Bangke sebelum Pendekar Kembar itu men-

gacaukan rencana kita!" desak Wisnu Galang sambil ia

bergegas untuk memanggul Perawan Bukit Jalang. 

Sang Guru segera berseru dengan suara menyentak.


"Jangan sentuh gadis itu, Wisnu!"

Sentakan sang Guru membuat Wisnu Galang 

terkejut dan tak berani lanjutkan tindakannya. Ia me-

mandang Hantu Muka Tembok dengan wajah mem-

bendung rasa kesal.

"Apakah Guru akan serahkan gadis ini kepada 

Soka Pura?! Apakah Guru lebih percaya kepada Soka 

daripada terhadap diriku? Aku muridmu sendiri, 

Guru!" Wisnu Galang menepuk dadanya.

Soka Pura segera menyahut, "Gadis itu me-

mang dalam bahaya, Ki Gumarah! Dia dikejar-kejar 

oleh si Wajah Malaikat, karena hanya dialah satu-

satunya murid Nyai Pundilamis yang masih hidup. Aku 

berusaha ingin selamatkan dia dari ancaman maut si 

Wajah Malaikat!"

"Omong kosong dia, Guru!" sahut Wisnu Ga-

lang. "Dia ingin memanfaatkan Perawan Bukit Jalang 

untuk perkaya diri sendiri, Guru! Jangan mudah per-

caya dengan omongannya!"

Agaknya Wisnu Galang mulai tak sabar dan 

memendam kejengkelan kepada Soka Pura. Ia sangat 

khawatir jika gurunya terpengaruh omongan Soka, se-

hingga akhirnya ia berkata kasar kepada Soka Pura.

"Soka, kalau kau tetap nekat ingin memiliki ga-

dis ini, kau akan kubuat seperti babi panggang di de-

pan guruku. Sekarang juga!"

"Wisnu!" hardik sang Guru. "Tak tahukah kau 

bicara kepada siapa, hah?"

"Aku tidak tahu jika terpaksa harus beradu 

nyawa untuk pertahankan Perawan Bukit Jalang ini, 

Guru!"

"Aku tidak setuju dengan caramu!" tegas Hantu 

Muka Tembok.

"Ki Gumarah," sela Soka Pura. "Sejujurnya ku-

katakan padamu, Wisnu Galang ingin sekali dapatkan


Perawan Bukit Jalang bukan untuk diserahkan kepada 

si Wajah Malaikat. Dia tampak ngotot sekali ingin 

membawa Anggani, karena gadis itu akan diserahkan 

kepada Pijar Wuni! Ia akan mendapatkan kehangatan 

dan kemesraan dari Pijar Wuni yang baru saja tadi di-

rasakan kehebatan goyang pinggulnya si janda montok

itu!"

"Bangsat! Jaga mulutmu kalau tak ingin kuro-

bek dengan cambuk ku, Soka!"

Sreet...! Wisnu Galang mencabut cambuknya. 

Ia tampak kaget dan menjadi berang sekali, karena tak 

menyangka Soka mengetahui rencana dalam hatinya 

itu. Ia sangat takut jika gurunya mempercayai kata-

kata Soka Pura. Lebih-lebih sang Guru segera mena-

nyakan kebenaran ucapan Pendekar Kembar bungsu 

itu.

"Benarkah apa yang dikatakannya, Wisnu?!"

"Tidak, Guru! Soka hanya menyebar fitnah di 

depanmu, Guru!"

"Tapi mengapa dia tahu bahwa kau sedang 

mengincar Pijar Wuni, seperti yang kau katakan pada-

ku beberapa hari yang lalu, Wisnu?!"

"Hmm, eeh... itu hanya kebetulan saja, Guru!"

"Ya, memang hanya kebetulan saja," sahut So-

ka Pura. "Maksudku, kebetulan saja aku mendengar 

suara cekikikan di balik semak ilalang, dan ketika ku 

intip ternyata kau sedang bercinta dengan Pijar Wuni!"

"Jahanam kau!"

"Wisnu, jangaaan...!!" teriak Hantu Muka Tem-

bok. Lalu ia menyambar muridnya. Wuuus...! Tapi 

sang murid menghindari sambaran itu sambil mele-

cutkan cambuk ke arah Soka Pura.

Wuuut, ctaarrr...!

Soka Pura melompat ke kiri lebih dulu sebelum 

cambuk Wisnu Galang berkelebat bagai ingin membelah kepalanya dari atas.

Lompatan Soka Pura itu disusul dengan senta-

kan kedua tangan yang menggenggam. Sentakan itu 

menimbulkan tenaga dalam yang keluar dari kedua 

genggaman tersebut. Tenaga dalam tanpa sinar akhir-

nya menerjang dada Wisnu Galang.

Buuhk...!

"Hehhg...!!" Wisnu Galang terlempar ke bela-

kang bagai diseruduk banteng. Ia jatuh terkapar den-

gan napas tercengap-cengap. Jurus 'Tangan Batu' dari 

Soka Pura yang biasa dipakai untuk menumbangkan 

pohon besar, kali ini melanda nasib Wisnu Galang. 

Wajah murid Hantu Muka Tembok itu menjadi merah 

dan dadanya membekas biru memar.

Hantu Muka Tembok tak sempat menghadang 

datangnya tenaga dalam dari Soka, akhirnya ia hanya 

bisa terbengong melihat muridnya tumbang dengan 

napas tersentak-sentak.

"Cukup, Soka!" bentak Ki Gumarah alias si 

Hantu Muka Tembok.

"Muridmu perlu diberi pelajaran, Ki Gumarah."

"Aku masih jadi gurunya, jadi aku masih ber-

hak memberi pelajaran apa saja kepadanya, termasuk 

pelajaran menggambar, menulis, dan menampar kebo-

dohannya! Kalau kau masih menyerangnya, aku tak 

segan-segan menghajarmu juga, Soka!"

Mengingat antara Hantu Muka Tembok dan 

Pawang Badai pernah menjalin suatu persahabatan 

yang baik, Soka merasa tidak sedang ditantang, me-

lainkan sedang diperingati oleh orang tua yang dihor-

mati. Soka Pura pun tak berani lepaskan serangan lagi 

ke Wisnu Galang. Ia justru mendekati pemuda berpa-

kaian kuning emas itu.

"Biar kusembuhkan dia, Ki!" ujarnya sambil 

melintas di depan Hantu Muka Tembok.


Hantu Muka Tembok sendiri segera melepaskan 

totokan Anggani, karena setelah dipertimbangkan ter-

nyata ia memang butuh keterangan saat itu juga dari 

mulut si Perawan Bukit Jalang. Setidaknya ia butuh 

keterangan yang mendukung kata-kata Soka Pura tadi.

Namun pada saat itu, sekelebat bayangan da-

tang menerjang Hantu Muka Tembok dengan kecepa-

tan tinggi. Wuuus...! Dees...!

Hantu Muka Tembok kaget, tak sempat meng-

hindar karena cepatnya gerakan bayangan tersebut. 

Namun tangannya sudah berhasil menotokkan dua jari 

ke leher Anggani, membuat Anggani pun segera bebas 

dari totokannya.

Brruuk...! Anggani jatuh begitu bebas dari toto-

kan. Namun ia segera bangkit dan memandang Hantu 

Muka Tembok yang terbanting di semak-semak sebe-

rangnya.

Bruuusk...!

Soka Pura yang baru saja akan mengobati Wis-

nu Galang menjadi tersentak kaget dan ia tak jadi 

jongkok, melainkan segera berdiri tegak kembali. Ma-

tanya memandang liar ke arah bayangan yang berkele-

bat menerjang Hantu Muka Tembok itu.

Bayangan itu segera menyambar Perawan Bukit 

Jalang. Wuut...! Tetapi Soka Pura segera gunakan ju-

rus 'Jalur Badai'-nya yang lebih cepat dari gerakan 

bayangan tadi. Wuuuzzz...!

Slaap...! Tangan Anggani disambar oleh Soka 

Pura, dan gadis itu terlepas dari genggaman orang 

yang tadi menerjang Hantu Muka Tembok itu. Tahu-

tahu Soka Pura sudah memeluk Anggani di kejauhan 

sana.

"Auh, lepaskan aku!" Anggani meronta. Namun 

ketika ia sadar yang memeluknya Soka, gerakan me-

rontanya menjadi dikurangi.


"Soka...?! Oh.... Paman Hantu Muka Tembok 

terjerembab di sana dan, ooh... itu dia! Dia sudah ber-

diri!" Anggani berseru, "Paman...! Paman Gumarah...?!"

"Anggani, perhatikan orang berjubah hitam 

yang tadi hampir menyambar mu itu!"

"Ooh, dia... dia si Wajah Malaikat?!" gumam 

Anggani dengan tegang ketika matanya menatap ke 

arah lelaki tua berambut putih namun berjubah hitam. 

Badannya kurus, tapi kukunya tajam. Matanya cekung 

dan bibirnya pecah-pecah.

Wajah angker yang tadi sempat tersentak ke be-

lakang pohon akibat sambaran tangan Soka segera 

tampakkan diri lebih jelas lagi.

Rupanya selain menyebarkan sayembara untuk 

menangkap Perawan Bukit Jalang, si Wajah Malaikat 

juga berkeliaran sendiri mencari Anggani. Dendam 

atas kematian adiknya membuat Wajah Malaikat be-

lum puas jika murid mendiang Nyai Pundilamis masih 

ada yang tersisa. Ia harus membunuhnya hingga tak 

ada lagi keturunan dan murid dari Nyai Pundilamis 

yang hidup di permukaan bumi ini.

"Biar kuhadapi dia, Anggani. Berlindunglah di 

tempat yang aman!" bisik Soka Pura.

Pada saat itu, Hantu Muka Tembok berseru ke-

pada si jubah hitam yang memandang ke arah Soka 

Pura dengan tajam itu.

"Wajah Malaikat! Hadapilah aku! Mereka masih 

anak-anak. Kita sama-sama sudah bau tanah! Mari ki-

ta tentukan siapa yang lebih dulu masuk ke liang ku-

bur, daripada kau memburu si Perawan Bukit Jalang 

itu!"

Si Wajah Malaikat berpaling menatap Hantu 

Muka Tembok. Pandangan matanya sangat menye-

ramkan, seperti mata malaikat yang siap mencabut 

nyawa siapa pun yang menjadi penentangnya. Tapi

Hantu Muka Tembok yang nafasnya sempat ngos-

ngosan akibat terjangan tadi tak merasa takut sedikit 

pun. Ia justru melangkah lebih dekat, ke tempat yang 

datar.

"Hantu Muka Tembok, selama ini tak seorang 

pun berani halangi niatku. Mengapa kau bermaksud 

menghalangiku membunuh Perawan Bukit Jalang itu? 

Apakah kau sudah bosan hidup dalam ketuaan, hah?!" 

geram si Wajah Malaikat dengan suaranya yang serak.

"Pundilamis adalah sahabatku. Aku berhak 

membela dan menyelamatkan seorang muridnya yang 

bukan tandinganmu, Wajah Malaikat!"

"Kalau begitu, kukirim kau ke neraka sekarang 

juga, Tua Sekarat!"

Wuuut...! si Wajah Malaikat menggerakkan 

tangannya bagai merobek udara. Bertepatan dengan 

gerakan begitu, dari kuku-kuku jarinya keluar sinar 

kecil-kecil warna hijau yang menyergap Hantu Muka 

Tembok. Craaappp...!

Hantu Muka Tembok segera sentakkan kedua 

tangannya dengan kedua kaki merenggang dan meren-

dah. Wuuut...! Dari kedua telapak tangannya keluar 

asap hitam yang menggumpal di udara depannya. 

Gumpalan asap tersebut menahan gerakan sinar hijau, 

memercikkan bunga-bunga api sesaat, kemudian me-

ledak dengan gelombang daya sentak menyebar kuat 

ke berbagai arah.

Blegaaarrr...!

Hantu Muka Tembok terlempar dan jatuh ba-

gaikan dibanting dalam jarak lima langkah dari tem-

patnya semula. Soka Pura dan Anggani pun ikut terpe-

lanting karena sentakan daya ledak yang menyebar ta-

di. Mereka terhuyung-huyung ke belakang dan saling 

berpegangan hingga keduanya tak sampai jatuh. Se-

mentara itu, si Wajah Malaikat tetap berdiri tegak dan


kokoh, seakan tak goyah sedikit pun oleh gelombang 

ledakan tersebut.

Clap, clap...! Tiba-tiba dari mata cekung si Wa-

jah Malaikat keluar dua larik sinar merah sebesar lidi. 

Sinar itu mengarah ke tubuh Hantu Muka Tembok 

yang sedang hendak berdiri.

"Celaka!" pekik Soka dengan suara tertekan. Ia 

menjadi tegang sekali melihat dua sinar meluncur ke 

tubuh Hantu Muka Tembok, sebab saat itu Hantu Mu-

ka Tembok belum siap menghadapi serangan lawan.

Posisi Soka dan Anggani yang ada di samping 

membuat Soka punya kesempatan untuk menghantam 

dua sinar merah itu sebelum kenai tubuh Hantu Muka 

Tembok. Hanya saja, agaknya Soka terlambat men-

gambil keputusan. Karena sebelum ia bergerak, lebih 

dulu Anggani sentakkan kedua tangannya ke depan. 

Masing-masing tangannya mempunyai dua jari yang 

mengeras. Dan dari masing-masing dua jari itu melesat 

sinar biru yang bergerak cepat dan keduanya berhasil 

menghantam sinar merah dari mata si Wajah Malaikat.

Clap, clap...! Jegaaar, jegaaar...!

Hantu Muka Tembok terlempar ke belakang 

dan jatuh terbanting lagi. Gelombang ledakan itu me-

nyebarkan tenaga kuat hingga pohon pun sempat re-

tak dan nyaris tumbang.

Melihat sinar merahnya dipatahkan oleh sinar 

biru dari arah samping, si Wajah Malaikat segera ber-

paling ke samping dengan gerakan kepala cepat. 

Seet...! Kedua matanya tertuju kepada Anggani.

Soka Pura menarik pundak Anggani sambil me-

langkah maju. Kini pemuda itu ada di depan Anggani, 

menghadap ke arah si Wajah Malaikat.

"Anak muda, ku ingatkan padamu, jika kau tak 

mau menyingkir maka kau akan menemui ajalmu se-

karang juga!"


"Perawan Bukit Jalang bukan tandinganmu, 

Wajah Malaikat! Akulah tandinganmu!" tegas Soka Pu-

ra.

"Menyingkir saja, Soka!" seru sebuah suara dari 

arah pohon samping. "Percuma kau lindungi gadis 

yang mempunyai penyakit berbahaya itu!"

Mata Soka Pura dan mata si Wajah Malaikat 

memandang ke arah si pemilik suara, demikian pula 

Anggani. Hati Soka tersentak kaget, karena si pemilik 

suara itu ternyata adalah kakak kembarnya sendiri, 

Raka Pura. Agaknya ia baru saja datang di tempat itu 

karena mendengar suara ledakan tadi. Ia datang ber-

sama si Bujang Bodo. Namun mereka tak segera ber-

gabung kepada Soka. Raka hanya diam di kejauhan, 

bersandar pada pohon dengan santai.

"Raka...! Apa maksudmu berkata begitu?!"

Raka berseru dari tempatnya, "Perawan Bukit 

Jalang adalah penyebar penyakit 'Hantu Lanang'. Jika 

kau bersentuhan dengannya, kau akan mati membu-

suk!"

"Siapa bilang?!"

"Brandal Komeng, utusan dari Muara Bangke, 

mengatakan demikian di depan orang-orang sambil 

menawarkan hadiah sekantong uang bagi orang yang 

bisa menangkap Perawan Bukit Jalang!"

"Bohong! Itu tidak benar!" teriak Anggani. "Ku-

rasa itu ulah si wajah babi itu agar setiap orang mem-

buru ku!" sambil Anggani menuding si Wajah Malaikat. 

Yang dituding tampak semakin berang, namun tak di-

tonjolkan keberangannya.

"Wajah Malaikat, benarkah Anggani punya pe-

nyakit seperti yang kau sebarluaskan itu?!" tanya Soka 

Pura.

"Lebih parah dari yang kau dengar! Untuk itu 

pergilah dan jangan halangi aku! Akan kulenyapkan


sumber penyakit itu!"

"Soka, jangan percaya dengan kata-katanya! 

Aku tak punya penyakit apa pun!" ujar Anggani den-

gan napas terengah-engah. "Jika kau sangsi dengan 

pengakuanku dan lebih percaya padanya, biarlah ku-

hadapi sendiri si wajah babi itu!" sambil Anggani ber-

gegas maju. Namun tangan Soka Pura merentang, 

menghalangi langkah Anggani.

"Akan kubereskan masalah ini, Anggani! Berga-

bunglah dengan kakakku di sana!" bisik Soka dengan 

mata tetap memandang ke arah si Wajah Malaikat.

"Soka...!" seru Pendekar Kembar sulung. "Ting-

galkan saja gadis itu! Buat apa cari penyakit?! Kalau 

mau cari penyakit yang ringan-ringan saja, contohnya; 

panu, kadas, cacingan, dan yang lainnya!"

"Jangan menyindir ku, Raka!" sentak Bujang 

Bodo. "Punggungku memang berpanu, tapi tidak ba-

nyak!"

Soka Pura tak hiraukan seruan Raka dan Bu-

jang Bodo. Matanya tetap tertuju pada si Wajah Malai-

kat. Sekalipun Hantu Muka Tembok telah bangkit 

kembali dan terhuyung-huyung mendekati pohon, tapi 

Soka Pura tetap memancing perhatian si Wajah Malai-

kat agar tertuju ke arahnya.

"Wajah Malaikat, kuharap kau membuang den-

dam mu kepada murid mendiang Nyai Pundilamis ini! 

Jika kau masih nekat ingin menghabisi nyawa Angga-

ni, aku akan merampungkan masa hidupmu sampai di 

sini saja!" seru Soka Pura yang hanya ditertawakan 

oleh Raka sambil geleng-geleng kepala.

Tanpa banyak bicara, si Wajah Malaikat segera 

melesat dengan cepat menerjang Soka Pura. Wuuus...! 

Anggani melompat ke samping, sementara Soka men-

coba menahan terjangan lawan dengan menghadang-

kan kedua lengannya ke depan. Brruus...!


Rupanya terjangan itu melebihi terjangan see-

kor banteng. Tenaga Soka tak mampu menahan gera-

kan tubuh si Wajah Malaikat yang melayang cepat itu. 

Ia terpental dan jatuh terbanting dalam jarak lima 

langkah ke belakang.

Sebelum ia sempat bangkit, Wajah Malaikat se-

gera bertindak melepaskan tendangannya ke arah wa-

jah Soka Pura. Plok...!

"Aaow...!" Soka memekik, karena tangan yang 

di pakai menangkis tendangan itu tersentak ke bela-

kang dan kenai wajahnya sendiri dengan keras. Ia ber-

jungkir balik di tanah beberapa kali.

Seet...! Kedua lutut Soka yang bersimpuh itu 

menghentak dan membuat tubuhnya segera melesat 

naik pada saat si Wajah Malaikat lepaskan pukulan 

bersinar hijau lurus ke arahnya. Sinar hijau itu akhir-

nya kenai tanah dan tanah pun menjadi berhamburan 

ke mana-mana. Blaaarr...! Wuuurss...!

Soka Pura tak hiraukan tanah yang menjadi 

berlubang besar itu. Ia segera menjejak pohon yang 

ada dalam jangkauan kakinya. Deeess...! Wuuut...! Tu-

buhnya melayang ke arah lain dengan gerakan bersal-

to. Wuk, wuk...!

Jleeg...! Ia daratkan kakinya membelakangi si 

Wajah Malaikat dalam jarak dekat. Tapi Wajah Malai-

kat mengetahui keberadaannya. Ia segera kirimkan 

tendangan ke belakang dan punggung Soka yang be-

lum tegak sekali dalam berdirinya itu sudah menjadi 

sasaran kaki lawannya dengan telak. Buuhk ..!

"Uuhk...!" Soka Pura terlempar ke depan dan 

berguling-guling kembali di tanah.

Melihat adiknya dihajar oleh si Wajah Malaikat, 

Raka Pura geleng-geleng kepala sambil berdecak.

"Payah kau Soka," gumamnya lirih, kemudian 

ia melangkah bagaikan berjalan santai mendekati arah


pertarungan.

Plak, plak, plak...!

Soka Pura adu kecepatan pukulan dengan si 

Wajah Malaikat. Setiap benturan tulang lengan dengan 

tulang lengan mengeluarkan asap putih dan percikan 

bunga api, bagaikan baja beradu dengan baja.

Namun dalam satu kesempatan, tangan si Wa-

jah Malaikat punya kesempatan bagus untuk menyo-

dokkan telapak tangannya ke wajah Soka Pura. 

Ploook...!

"Auuut...!" Soka Pura tersentak ke belakang 

dan terhuyung-huyung sambil menutupi wajahnya 

yang bagai ditabok dengan lempengan baja. Bibir Soka 

pun pecah dan berdarah.

Wajah Malaikat merentangkan kedua tangan-

nya. Telapak tangannya mulai berasap kuning. Tapi 

pada saat itu, Raka Pura datang dengan gerakan ber-

plik-plak cepat, jungkir balik menggunakan kedua tan-

gannya. Plak, plak, plak, plak, jleeg...! Ia tiba dl bela-

kang Wajah Malaikat.

Saat itu, si jubah hitam segera berpaling ke be-

lakang dan ingin hantamkan tapak tangan kanannya. 

Tapi Raka Pura mendahului dengan tendangan kaki 

lurus ke depan. Wuuut...! Dees...!

"Uuhk...!" Wajah Malaikat mendelik seketika, 

karena ulu hatinya terkena telak tendangan Raka Pura 

yang bertenaga dalam cukup besar itu.

Dengan cepat Raka memutar tubuh dan me-

layangkan tendangannya lagi secara beruntun. Plok, 

plok, plok, plok! Wajah si jubah hitam menjadi sasaran 

tendangan beruntun itu.

Buuhk...! Tendangan terakhir kenai dada si 

Wajah Malaikat yang masih menggeragap itu. Tendan-

gan tersebut membuat tubuh si Wajah Malaikat ter-

lempar ke belakang dan jatuh terduduk dalam jarak


enam langkah dari tempatnya semula. Brruuk...!

"Bangsaatt...!" geram si Wajah Malaikat sambil 

cepat-cepat bangkit. Kemudian ia melepaskan pukulan 

bersinar kuning emas. Claaap...! Wees...!

"Awas! Pukulan "Sengat Peri'...!!" teriak Anggani

dari samping Hantu Muka Tembok.

Sinar kuning yang meluncur ke arah Raka Pura 

itu mempunyai gerakan sangat cepat. Tapi pada saat 

itu, Soka yang sudah mencabut pedang kristalnya se-

jak tadi segera melemparkan pedang itu ke arah depan 

perut kakaknya. Wees...!

"Heahh...!" tangannya mengeras dengan jari 

terbuka seperti pada waktu melempar. Pedang itu ber-

henti di udara, depan perut Raka. Tepat pada saat itu 

sinar kuning emas itu hendak menghantam perut Ra-

ka, tapi terhalang pedang. Akibatnya sinar kuning 

emas itu kenai pedang kristal dan cahayanya meman-

tul balik ke arah si Wajah Malaikat. Claaap...!

"Hahh...?!" Wajah Malaikat mendelik. Ia ingin 

melompat tapi terlambat. Pinggang kirinya terkena si-

nar kuning yang memantul balik itu. Jeebs...!

"Aaaahhk...!" teriaknya dengan tubuh menge-

jang.

Padahal saat itu Raka Pura sudah siapkan pu-

kulan jurus 'Mata Bumi'. Tangannya sudah telanjur 

mengeras, dan akhirnya pukulan itu dilepaskan juga 

ketika si Wajah Malaikat mengejang di tempat. 

Claap...! Sinar merah seperti piring bergerigi itu akhir-

nya menghantam leher kiri si Wajah Malaikat.

Blaaarrr...!

Tak pelak lagi, leher itu pun hancur dihantam 

sinar merah dari pukulan 'Mata Bumi'-nya Raka Pura. 

Saat itu, Soka sentakkan tangannya yang mengeras 

tadi ke belakang. Suuut...! Dan pedangnya yang tadi 

berhenti di depan perut Raka itu melesat mundur dan


tertangkap oleh tangannya kembali. Teeb...!

Raka Pura menghempaskan napas panjang, 

memandang kesal kepada Soka. Sementara Soka me-

natap ke arah si Wajah Malaikat yang sudah tak punya 

wajah lagi karena hancur terkena pukulan 'Mata Bumi' 

tadi.

"Lain kali jangan bikin repot aku!" kata Raka. 

"Kalau mau unjuk kebolehan di depan gadis, jangan 

melibatkan diriku!"

"Aku tidak menyuruhmu membantuku!" bantah 

Soka sambil bersungut-sungut.

"Memang tak menyuruh! Tapi kau tak boleh 

sampai dihajar sedemikian rupa. Itu sama saja kau 

menyuruh ku turun tangan!" omel Raka Pura sambil 

memandang ke arah Wisnu Galang yang masih terka-

par namun tak mati itu.

"Kenapa dia?!" tanyanya kepada Soka.

"Biasa. Manja!" jawab Soka Pura, yang segera 

menyambut kedatangan Anggani.

"Syukurlah kau selamat, Soka," ujar Anggani 

sambil memeluk Soka membuat Raka mencibir sinis. 

Soka yang mulutnya masih berdarah itu hanya terse-

nyum, namun segera terpekik karena senyumannya 

membuat bibir yang pecah semakin perih. Raka dan 

Bujang Bodo menertawakannya, demikian pula Angga-

ni. Sedangkan Hantu Muka Tembok sibuk mengobati 

muridnya yang tadi terkena pukulan jarak jauhnya 

Soka itu.

Anggani menjelaskan perkara sebenarnya di 

depan Raka dan Hantu Muka Tembok, sementara Wis-

nu Galang sudah mulai siuman setelah ditangani Soka 

Pura. Pendekar Kembar sulung kaget mendengar Ibu 

angkatnya terluka oleh pukulan bersinar kuning emas 

seperti tadi. Anggani pun jelaskan amanat dari Pawang 

Badal yang dititipkan padanya.


"Kalau begitu, sekarang juga kita berangkat ke 

petilasan Taman Astamarta itu!" ujar Raka dengan wa-

jah tegang.

"Hari sudah hampir petang," ujar Hantu Muka 

Tembok. "Bermalamlah dulu ke pondokku. Esok kalian 

bisa menuju ke sana. Akan ku jelaskan jalan menuju 

ke petilasan Taman Astamarta itu!"

Maka tak ada pilihan yang lebih tepat lagi bagi 

Pendekar Kembar kecuali menuruti saran Hantu Muka Tembok.


                          SELESAI


Segera terbit:

KORBAN KITAB LELUHUR























 

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive