PEMBUNUH DARI JEPANG
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1
Layar perahu yang mengarungi samudera itu ter-
bentang dihembus angin keras. Pagi sudah mengham-
par dalam naungan persada langit yang cukup cerah.
Burung-burung laut beterbangan seolah menyambut
kedatangan perahu yang di kedua ujungnya terdapat
relief besar burung rajawali. Gemuruh ombak laksana
angin yang mengerikan, bergulung-gulung dan beru-
lang kali menabrak dinding perahu.
Di atas perahu itu berdiri tiga sosok tubuh yang
berwajah kaku. Kulit mereka kuning. Mata masing-
masing lelaki itu agak menyipit. Sorotnya tegang. Alis
mereka hitam namun tipis. Mengenakan pakaian ber-
warna merah panjang, dengan pakaian dalam warna
biru. Di pinggang masing-masing orang terselip sebilah
pedang panjang, samurai.
Lelaki yang berkumis tipis dengan ikat kepala
warna merah berkata dingin, agak kaku suaranya, "Pe-
sisir tanah Jawa.... Sebuah tempat yang telah lama
kudengar tetapi sangat asing... tempat kediaman Pen-
dekar Slebor...."
Tak ada yang sahuti kata-katanya. Masing-masing
kembali ditelan kesunyian. Ombak beberapa kali
menghantam dinding perahu besar itu.
Lelaki berkulit kuning itu berkata lagi, lebih din-
gin, "Sebelum kita berangkat meninggalkan negeri sa-
murai, Saburo-san mengatakan, kalau kita harus me-
minta bantuan Pendekar Slebor untuk melacak manu-
sia laknat bernama Nomuro Shasuke, yang diketahui
melarikan diri ke tanah Jawa setelah gagal melukai
Kaisar Tokugawa Lesyasumoto.... Jahanam! Demi De-
wa Matahari! Aku bersumpah, akan kucincang tubuh
manusia celaka itu!"
"Hiedha-san... kita masih asing di tanah Jawa.
Bahkan kita belum tahu seperti apa wajah dan wujud
Pendekar Slebor kendati kita mendapatkan penjelasan
dari Saburo-san tentang ciri-cirinya," kata yang agak
pendek dan berdiri di samping kiri orang yang pertama
bicara tadi. "Kudengar pula... tanah Jawa didiami oleh
orang-orang yang memiliki ilmu tinggi dan aneh. Apa-
kah kau tidak pernah berpikir, bila kedatangan kita
akan membuat orang-orang di tanah Jawa akan terta-
rik?"
Lelaki yang bernama Hiedha Ogawa hanya kelua-
rkan dengusan. Pandangannya tetap lurus ke depan,
tak berkedip sekali pun juga. Tanpa tolehkan kepala
dia menyahut, "Mishima-san... kedatangan kita untuk
memburu manusia celaka itu! Bukan mencari silang
sengketa dengan orang-orang tanah Jawa! Dan kuha-
rap... kita secepatnya bisa bertemu dengan Pendekar
Slebor.... Barangkali, dengan bantuannya kita tak
akan mendapat kesulitan dengan orang-orang di tanah
Jawa...."
Lelaki yang paling pendek di antara mereka men-
ganggukkan kepalanya.
Di antara debur ombak dan suara riangnya bu-
rung-burung manyar, lelaki yang paling tinggi dan ber-
tubuh kurus di antara mereka berkata, "Menurut Sa-
buro-san... pemuda berjuluk Pendekar Slebor cukup
disegani di tanah Jawa! Hiedha-san... apakah kau juga
berpikir seperti itu?"
Hiedha Ogawa mengangguk.
"Ya! Dari cerita yang kudengar dari Saburo-san...
pemuda itu jelas seorang pemuda yang disegani oleh
lawan maupun kawan. Kendati menurutnya pula, pe-
muda itu suka sekali bersikap urakan. Makanya... dia
dijuluki Pendekar Slebor...."
Lelaki bertubuh tinggi itu keluarkan dengusan.
Bibirnya menyiratkan ejekan melecehkan.
"Hhh! Sebuah penghargaan yang sebenarnya tak
patut dilakukan Saburo-san! Tak pantas meninggikan
orang yang lain dengan kita! Para samurai seperti kita,
lebih tinggi derajatnya dari siapa pun juga!"
Kali ini Hiedha Ogawa palingkan kepalanya ke ka-
nan. "Ayothomori-san... apa yang dikatakan oleh Sabu-
ro-san cukup mengena. Ini mungkin disebabkan dia
pernah diselamatkan oleh Pendekar Slebor saat ber-
kunjung ke tanah samurai. Tetapi biar bagaimanapun
juga, kita cukup menghargai petunjuknya. Karena kini
kita tahu, siapa yang bisa kita jadikan pemandu di ta-
nah Jawa...."
(Untuk mengetahui siapa Saburo dan apa yang te-
lah dilakukan Pendekar Slebor di negeri matahari be-
berapa waktu lalu, silakan baca : "Geisha" dan "Raha-
sia Sang Geisha").
Ayothomori kertakkan rahangnya. Dari raut wa-
jahnya yang nampak cukup tegang, dia jelas tak suka
mendengar kata-kata yang memuji Pendekar Slebor.
Diam-diam dalam hatinya dia berjanji, "Hhh! Ingin ku-
lihat seperti apa kepandaian pemuda berjuluk Pende-
kar Slebor itu!"
Hiedha Ogawa berkata lagi, "Tujuan kita ke tanah
Jawa, adalah memburu manusia celaka itu! Mati atau
hidup, kita harus membawanya ke hadapan Kaisar!
Dan satu hal lagi yang perlu diperhitungkan, Nomuro
Shasuke bukanlah lawan yang bisa dipandang sebelah
mata. Dia seorang yang ahli memainkan samurai dan
memiliki kepandaian menyamar. Bahkan dia bisa me-
nerobos masuk ke dalam Istana Kaisar dan mencoba
membunuh Kaisar."
"Sayang saat peristiwa itu terjadi aku masih harus
mengurus para pemberontak di Lembah Aza," sahut
Ayothomori sambil kepalkan tinju kanannya. "Bila saja
aku berada di lingkungan istana, manusia celaka itu
tak akan pernah lolos! Dan kita tak perlu bersusah
payah mengejarnya ke tanah Jawa! Apalagi... harus
mencari Pendekar Slebor! Huh! Bila pemuda itu me-
mang tangguh, dia harus mengalahkanku dulu sebe-
lum kuyakini dia memang patut menjadi pemandu ki-
ta!"
Hiedha Ogawa menatap tajam pada Ayothomori
yang justru keluarkan dengusan.
"Kau nampaknya tidak suka kalau kita meminta
bantuan Pendekar Slebor?"
"Tentu! Biar bagaimanapun juga, derajat kita lebih
tinggi darinya!"
"Jangan meninggikan diri hanya karena derajat!"
Seketika Ayothomori arahkan pandangannya pada
Hiedha. Sorot matanya jelas makin menyiratkan rasa
tidak sukanya pada Pendekar Slebor. Tetapi dia tak
mau membuat urusan dengan Hiedha. Makanya, sege-
ra dialihkan pandangannya ke laut lepas sementara
hatinya merutuk panjang pendek.
Kembali masing-masing orang tak ada yang mem-
buka mulut. Matahari terus merayap naik ke atas.
Laut mulai terang dan air laut serta deburan ombak
bergerak-gerak cepat, memantulkan cahaya matahari,
menabrak dinding perahu hingga oleng dan bergerak
menjauh kembali.
Wajah Hiedha Ogawa menunjukkan rasa tak sa-
bar untuk segera tiba di tanah Jawa. Dia tak bisa me-
maafkan dirinya sendiri, mengingat saat manusia cela-
ka bernama Nomuro Shasuke berhasil menyelinap
dengan menyamar sebagai seorang pengawal. Dan pe-
ristiwa percobaan pembunuhan terhadap Kaisar Toku-
gawa Iesyasumoto berlangsung di depan matanya.
Justru dia tidak tahu saat peristiwa itu terjadi! Bi-
la saja Kaisar tak segera terbangun dari tidurnya dan
berjuang seorang diri menyelamatkan nyawanya, ten-
tunya dia akan menyesali seumur hidup pembantaian
itu.
Perintah penangkapan pun segera dilangsungkan
tanpa diumumkan kembali. Namun dengan kelihaian-
nya, Namuro Shasuke berhasil meloloskan diri.
Hiedha Ogawa berusaha mengejarnya, sampai
kemudian terlihat manusia laknat itu telah menyebe-
rangi lautan dengan mempergunakan perahu layar.
Dikirimlah lima belas orang pengawal untuk mengejar
Nomuro Shasuke. Namun yang kembali hanya seorang
saja. Kendati demikian, berita yang terdengar sudah je-
las. Kalau Nomuro Shasuke menyeberang ke tanah
Jawa.
Nomuro Shasuke dahulunya adalah seorang Pan-
glima perang Kaisar. Namun ambisinya yang ingin
menduduki takhta Kaisar mendorongnya untuk memi-
kirkan bagaimana cara menggulingkan takhta kekaisa-
ran. Dua kali dia mengadakan pemberontakan namun
berhasil dipadamkan. Pada pemberontakan ketiga, di-
ketahui kalau Nomuro Shasuke adalah dalang dari
semua pemberontakan itu.
Manusia itu pun diburu. Namun dia berhasil
menghilangkan jejak dirinya, bahkan tak diketahui be-
rada di mana. Sampai peristiwa percobaan pembunu-
han terhadap Kaisar terjadi. Dari cara yang dilakukan
pembunuh itu, sangat dikenal sekali, kalau itu meru-
pakan cara yang khas yang kerap dilakukan Nomuro
Shasuke.
Hiedha Ogawa teringat akan sahabatnya Saburo.
Maka dia pun mendatangi kawannya itu yang dulu
pernah datang ke tanah Jawa. Dari Saburo lah, Hiedha
mendapatkan keterangan kalau dia bisa meminta ban-
tuan seorang pemuda yang disegani di tanah Jawa
yang bernama Andika dan berjuluk Pendekar Slebor.
Saburo sendiri sebenarnya ingin membantu Hied-
ha untuk melacak jejak pembunuh keparat itu. Namun
Hiedha melarangnya. Setelah melaporkan semua itu
dan meminta izin pada Kaisar, maka berangkatlah
Hiedha menuju ke tanah Jawa bersama Ayothomori
dan Mishima Nobu.
Hening kembali mendiami seisi perahu besar itu.
Mishima berkata, "Aku berharap, apa yang kita
harapkan akan berlangsung sempurna. Dan kehadiran
kita tidak memancing permusuhan dengan orang-
orang di tanah Jawa...."
***
Menjelang matahari bersiap masuk ke peraduan-
nya, perahu yang hampir satu hari satu malam menga-
rungi lautan bebas itu merapat di pesisir timur laut
Jawa. Dengan gerakan yang lincah dan jelas kalau
masing-masing orang memiliki ilmu peringan tubuh
yang cukup tinggi, ketiga samurai itu melompat sebe-
lum perahu betul-betul merapat. Pakaian panjang yang
mereka kenakan beriap saat masing-masing orang
menjejakkan kaki di pasir putih.
Mishima Nobu segera melangkah ke depan. Lalu
dengan cekatan dia menarik perahu itu dan menyem-
bunyikan di balik ranggasan semak di balik sebuah
pohon nyiur.
"Beruntung karena kita tiba menjelang malam,
hingga kehadiran kita tidak terlalu menarik perhatian
orang," kata Hiedha Ogawa sambil memandang ke laut
lepas.
Mishima Nobu berkata, "Hiedha-san... entah men-
gapa yang kupikirkan saat ini bukanlah Nomuro Sha-
suke maupun Pendekar Slebor. Melainkan orang-orang
di tanah Jawa yang kemungkinan besar menganggap
kita sebagai musuh."
"Bila kita bersikap sopan, kurasa mereka tak akan
berlaku jahat kepada kita. Bukankah setiap langkah
kita, ditentukan oleh kita sendiri?"
Sebelum Mishima Nobu menjawab, Ayothomori
sudah membuka mulut, "Hiedha-san... apakah kau te-
tap akan mencari Pendekar Slebor untuk meminta
bantuannya?"
Hiedha menangkap nada tidak suka pada perta-
nyaan itu. Dia tahu, kalau sebenarnya Ayothomori
menunjukkan rasa tidak sukanya dikarenakan tak in-
gin mendapat bantuan dari orang di tanah Jawa ini.
Hanya saja Hiedha berpikiran lain. Dia akan tetap
mencari Pendekar Slebor untuk meminta bantuannya.
Paling tidak, menjadi penunjuk jalan agar tidak salah
melangkah dan memancing silang sengketa dengan
orang-orang di tanah Jawa lainnya.
"Ayothomori-san... dengan berat hati kukatakan,
aku akan tetap mencari dan meminta bantuan Pende-
kar Slebor. Apa yang dikatakan Saburo-san, sudah
menjadikan satu bukti, kalau Pendekar Slebor adalah
orang dari golongan baik-baik. Hingga rasanya tidak
salah bila kita meminta bantuannya..."
Ayothomori hanya keluarkan dengusan pendek.
Matanya yang sipit nampak kian menyipit, menyi-
ratkan ketidaksukaannya mendengar kata-kata Hiedha
Ogawa.
"Hhhh! Akan kubuktikan nanti! Kalau aku mampu
menangkap pemberontak celaka itu tanpa bantuan
Pendekar Slebor!" katanya dalam hati. Lalu sambil me-
nindih geramnya dia berkata, "Untuk saat ini, aku se-
tuju apa yang hendak kita jalankan! Tetapi... aku ya-
kin, justru pemberontak itu akan semakin jauh bila ki-
ta memilih Pendekar Slebor untuk membantu!"
"Kuharap tidak!"
"Pada kenyataannya, harapan terkadang hanya
angan belaka! Faktalah yang menentukan!"
"Saburo-san telah memperkuat keyakinanku da-
lam soal itu!"
"Kau telah terkena ucapan Saburo-san! Peduli se-
tan dengan orang itu! Yang ingin kubekuk dan kucin-
cang dengan samuraiku adalah Nomuro Shasuke!"
Wajah Hiedha Ogawa nampak memerah, tanda dia
mulai tak suka mendengar kata-kata lelaki bertubuh
jangkung itu. Sebelum dia membuka mulut, Mishima
sudah berkata, "Tak perlu kita saling berdebat dalam
soal apakah kita akan meminta bantuan Pendekar Sle-
bor atau tidak. Tetapi pada dasarnya kita harus menja-
lankan apa yang telah kita rencanakan dari pertama.
Suka atau tidak suka, berat atau ringan, kita tetap ha-
rus mencari Pendekar Slebor. Tanpa melupakan tu-
juan utama kita, menangkap Nomuro Shasuke...."
Hening melanda ketiga samurai itu. Ombak terus
bergulung hingga ke pantai, tak pernah kenal lelah
dan tak tahu kapan laut akan menghentikan ombak-
nya.
Kejap kemudian terdengar suara Hiedha Ogawa
yang merasa lebih baik segera berlalu dari situ ketim-
bang melayani setiap ucapan Ayothomori yang jelas-
jelas sudah tidak menyukai Pendekar Slebor, "Ra-
sanya... lebih baik kita segera tinggalkan pesisir pantai
ini!"
Namun sebelum ada yang meninggalkan tempat
itu, mendadak saja terdengar suara ramai yang berna-
da amarah. Kejap itu pula menyerbu sekitar sepuluh
orang lelaki bertelanjang dada. Wajah mereka begitu
beringas. Di tangan masing-masing orang terdapat
bermacam senjata dan mereka meneriakkan, "Bunuh
manusia-manusia celaka itu!"
***
2
Ketiga lelaki dari negeri Sakura itu terdiam dengan
tatapan waspada. Tangan masing-masing orang berada
di samping kanan kiri. Dan dengan gerakan cepat akan
mencabut samurai yang terselip di pinggang kanan
masing-masing.
Sepuluh lelaki bertelanjang baju itu merangsek
maju dengan teriakan-teriakan membahana.
Salah seorang berteriak sambil mengangkat pa-
rangnya tinggi-tinggi, "Jangan beri ampun! Manusia-
manusia celaka dari tanah seberang harus mampus!
Dan sudah tentu mereka adalah gerombolan dari lelaki
celaka yang membunuhi saudara-saudara kita kema-
rin malam!"
Hiedha yang lebih tenang berkata, kendati demi-
kian suaranya agak kaku dan dingin, "Sabar dulu!
Kami baru saja tiba di sini! Dan tidak tahu apa yang
telah terjadi!"
"Dusta!" sahut lelaki yang berusia sekitar tiga pu-
luh tahun, yang tadi bicara. Di tangan kanannya ter-
dapat sebilah parang yang tajam, yang agak berkilat
tertimpa sinar matahari senja. "Selama ini... tak ada
pencuri yang mau mengaku sebagai pencuri! Dan tak
akan pernah ada pembunuh yang mengaku sebagai
pembunuh! Tangkap mereka!"
Habis perintah itu terdengar, masing-masing
orang segera menyerbu ke muka, langsung menya-
betkan senjata mereka pada Hiedha yang berdiri agak
di depan.
Hiedha sendiri cepat melompat ke belakang. Lima
buah parang menyerbu ke arahnya. Tetapi lelaki ini la-
gi-lagi hanya menghindar. Dan tatkala dilihatnya Ayo-
thomori sudah mencabut samurainya, dia berseru,
"Jangan gegabah! Ini hanya salah paham saja!"
Tetapi lelaki bertubuh jangkung yang agak berbe-
da dengan ukuran tubuh orang-orang dari negeri Ma-
tahari, sudah menyabetkan samurainya, lurus ke mu-
ka.
Craaattt!!
Seorang lelaki bertelanjang dada langsung kelua-
rkan teriakan tertahan dengan luka besar di dada. Da-
rah muncrat membanjir bersamaan tubuhnya ambruk
ke pasir pantai.
Melihat nasib malang yang menimpa salah seo-
rang teman mereka, orang-orang yang lain bukannya
menjadi jeri. Mereka justru bergerak lebih ganas lagi.
Hiedha mengeluh dalam hati melihat ketelengasan
yang dilakukan Ayothomori. Dia cepat melompat men-
dekat dan menangkap tangan kanan Ayothomori yang
bersama dengan tangan kirinya sedang menggenggam
hulu samurai.
"Sudah kukatakan, jangan bertindak gegabah!
Tindakanmu hanya makin meruncing urusan!"
Ayothomori cuma keluarkan dengusan. "Apakah
kau pikir kita akan membiarkan diri kita direjam oleh
mereka, hah?! Jangan bertindak bodoh! Manusia-
manusia celaka ini harus mampus secepat angin ber-
hembus!"
"Jangan...."
Kata-kata Hiedha Ogawa terputus tatkala satu
sambaran parang mengarah padanya. Cepat dia me-
lompat ke samping. Lalu dengan gerakan yang cepat
kaki kanannya melayang.
Des!
Dada penyerangnya terhantam telak dan ter
huyung ke belakang. Namun yang tak disangka Hiedha
Ogawa, Ayothomori sudah menerjang ke muka. Me-
nyabetkan kembali samurainya dengan gerakan melin-
tang yang menghantam perut.
Crasss!
Seorang rubuh sudah dengan luka besar terkena
sabetan samurai Ayothomori. Melihat ketelengasan
kawannya yang tak mengenal kasihan itu, Hiedha me-
lompat kembali mendekat.
"Jangan gegabah!"
Ayothomori hanya keluarkan dengusan. Seruan
Hiedha Ogawa justru membuatnya menjadi makin ka-
lap. Dengan ganas dia menerjang ke depan. Mengge-
rakkan samurainya dengan gerakan yang sangat terla-
tih. Setiap kali samurainya bergerak, terdengar kesiur
angin membeset udara.
Tiga orang lelaki bertelanjang dada lainnya am-
bruk dengan luka pada kaki dan tangan. Darah segera
keluar. Tiga orang dari mereka sudah memburu untuk
menolong. Namun harus segera menyingkir karena
Ayothomori sudah menyerang kembali. Keadaan itu la-
gi-lagi tak membuat yang lainnya menjadi surut atau
hentikan serangan. Justru mereka menjadi ganas.
Hiedha yang tak ingin melihat ketelengasan yang
dilakukan Ayothomori sudah melesat ke depan. Ber-
sama Mishima yang sejak tadi hanya menghindar, ke-
duanya memburu.
Dalam tiga kali gebrak saja lima orang lelaki berte-
lanjang dada yang nampaknya para pelayan sudah
ambruk ke tanah. Mereka mengerang kesakitan mera-
sakan tangan dan kaki dihantam pukulan yang dila-
kukan Hiedha Ogawa dan Mishima.
Sementara itu Ayothomori sudah mulai gusar me-
lihat sikap yang dilakukan Hiedha. Lelaki jangkung
berwajah bengis ini benar-benar tersinggung. Baginya,
kekerasan patut dilakukan terhadap bangsa lain. Apa-
lagi tujuan mereka kemari sebenarnya untuk membu-
ru Nomuro Shasuke. Dan orang-orang ini telah menye-
rang mereka tanpa sebab!
Dengan teriakan melengking, Ayothomori melom-
pat ke depan. Samurai yang digenggam dengan kedua
tangannya teracung ke atas dan siap mengayun ke
bawah.
Hiedha terkesiap melihatnya. Dia mencoba me-
lompat untuk halangi niat Ayothomori seraya berseru,
"Ayothomori-san! Tahan!"
Namun gerakan yang dilakukan oleh Ayothomori
lebih cepat dari gerakan Hiedha. Menyusul dengan ga-
nasnya dia mengayunkan samurainya dari atas ke ba-
wah, siap memenggal kepala lelaki bertelanjang dada
yang pertama kali buka suara.
Akan tetapi, sebelum samurai itu menelan kor-
bannya, mendadak saja terdengar suara, "Traaakk!"
Menyusul Ayothomori merasakan kedua tangan-
nya bergetar, tatkala dirasakan sesuatu menghantam
deras samurainya. Saking kagetnya dia sampai surut
dua tindak ke belakang dan keluarkan suara,
"Aaaaakhhh!"
Sementara itu Hiedha Ogawa yang masih bergerak
untuk hentikan niat Ayothomori, tak dapat hentikan
gerakannya. Karena dia sendiri tak menyangka kalau
Ayothomori mendadak terhuyung. Maka tanpa ampun
lagi, tangan kanannya yang tadi sedianya hendak me-
nangkap tangan Ayothomori, mendarat telak pada
punggung lelaki berwajah bengis itu.
Desss!
Ayothomori terhuyung ke samping. Saat dia kua-
sai keadaannya lagi dan hinggap di atas pasir putih,
seketika kepalanya dipalingkan ke arah Hiedha. Pan-
dangannya geram dan menusuk. Tetapi hanya sesaat
dilakukannya. Kejap kemudian dia sudah arahkan
pandangannya ke kanan.
Dilihatnya sebuah kerikil telah berada di atas pa-
sir putih. Sadar kalau kerikil itulah yang tadi mengha-
langi niatnya, darah Ayothomori mendadak naik ke
ubun-ubun. Sebelum dia keluarkan suara dan laku-
kan tindakan apa-apa, mendadak terdengar suara di-
iringi tawa, "Wah, wah! Celaka betul! Betul-betul cela-
ka! Mengapa orang-orang dari negeri Sakura menye-
rang dan membunuh orang-orang yang sebangsa den-
ganku? Busyet betul! Apakah tidak ada niatan lain da-
tang ke tanah Jawa ini selain membunuh!"
***
Bukan hanya ketiga samurai dari Jepang itu saja
yang segera palingkan kepala ke kanan. Lima nelayan
yang terkapar dan perlahan-lahan bangkit berdiri pun
melihat ke kanan. Masing-masing orang melihat seo-
rang pemuda yang sedang melangkah sambil garuk-
garuk kepalanya. Rambut pemuda itu gondrong acak-
acakan. Dia mengenakan pakaian berwarna hijau pu-
pus dan di lehernya melilit kain bercorak catur.
Pemuda yang memiliki alis hitam legam dan me-
nukik laksana kepakan sayap elang ini sudah buka
mulut lagi, "Busyet! Apa kalian sedang melihat Pange-
ran terganteng di dunia? Kok pandangan kalian seperti
ikan mas koki?!"
Ayothomori lebih dulu tersadar dari keterkesi-
maannya melihat kemunculan si pemuda. Dengan ga-
rang dia maju selangkah ke depan. Pandangannya me-
nyipit tajam, memancarkan sorot nafsu membunuh.
Samurainya masih digenggam erat oleh kedua tangan-
nya. Menyusul kata-katanya yang sangat sengit,
"Pemuda celaka! Rupanya kau yang telah memerintahkan orang-orang ini membunuh kami! Bagus!
Kau harus berkenalan denganku!"
Habis kata-katanya, lelaki jangkung berwajah
bengis ini sudah melompat ke depan diiringi pekikan
keras. Samurainya disabetkan dengan gerak lurus dari
atas ke bawah, siap menghantam rengkah kepala si
pemuda. Dan dari caranya bergerak, jelas kalau dia
memandang sebelah mata pada si pemuda.
Tetapi di luar dugaan Ayothomori, pemuda berpa-
kaian hijau pupus itu cuma menggeser kaki kanannya
ke samping, yang saat itu pula sabetan samurainya
luput. Menyadari kalau pemuda ini bukanlah orang
sembarangan, Ayothomori menjadi kian beringas. Ber-
samaan si pemuda bergeser ke kanan, Ayothomori su-
dah menebas dengan ayunan pedang berputar seperti
baling-baling.
Suara angin yang membeset cukup mengerikan.
Tetapi si pemuda justru melompat ke depan. Bahkan
dengan satu gerakan yang cepat, seharusnya si pemu-
da bisa mendaratkan pukulannya ke dada Ayothomori.
Karena lelaki jangkung itu masih harus kuasai kesim-
bangannya.
Tetapi justru si pemuda tak melakukannya. Malah
dia berkata sambil geleng-geleng kepalanya, "Busyet!
Galak betul sih? Apa tidak bisa bertindak kalem sedi-
kit?"
Mengkelap wajah Ayothomori mendengar ejekan
itu. Diiringi teriakan kalap dia menerjang lagi. Samu-
rainya digerakkan berulang kali, membabi-buta. Hing-
ga silangan-silangan cahaya dan suara besetan makin
keras terdengar. Tetapi sampai sejauh itu, dia belum
berhasil mendaratkan samurainya ke tubuh si pemu-
da.
Malah kemudian terdengar kata-kata si pemuda
agak jenuh, "Bosan, ah!"
Lalu sambil hindari hunusan dan sabetan samurai
lawan, dia merangsek maju. Tangan kirinya menjotos
ke muka. Dan jotosan itu hanyalah pancingan belaka.
Justru di saat Ayothomori menarik tubuh ke belakang
dan siap menyabetkan samurainya, dengan gerakan
yang sangat cepat si pemuda sudah tekuk tangan ka-
nannya dan......
Des!
Mendarat telak di dada Ayothomori yang langsung
terhuyung ke belakang. Begitu berhasil berdiri tegak
kembali dia sudah siap untuk menerjang ke muka, te-
tapi suara Hiedha Ogawa menahannya, "Maafkan ka-
mi.... Tuan Pendekar.... Apa yang terjadi ini hanyalah
salah paham belaka...."
Bukannya si pemuda yang menyahut, Ayothomori
yang masih gusar berseru, "Hiedha-san! Aku belum
menghadapinya dengan jurus 'Menjerat Matahari'!"
Hiedha palingkan kepalanya. Sorot matanya begi-
tu tajam menusuk. Jelas kalau lelaki ini sudah gusar
dengan sikap Ayothomori, "Jangan membantah! Sekali
lagi kukatakan, kita datang ke sini bukan mencari si-
lang sengketa dengan para penduduk di sini! Tetapi ki-
ta mengejar Nomuro Shasuke!"
Kendati nampak tidak puas mendengar kata-kata
Hiedha Ogawa, Ayothomori hanya kertakkan rahang-
nya. Pandangannya masih tajam pada si pemuda yang
membalas hanya dengan mengangkat alisnya saja, je-
naka.
Lalu dengan santainya pemuda ini berjalan men-
dekati tiga nelayan yang luka-luka. Sejenak diperik-
sanya luka-luka yang terdapat pada kaki dan tangan
ketiga nelayan itu.
Kejap kemudian diangkat kepalanya dan berseru
pada lima nelayan lainnya yang nampak bersiaga,
"Jangan tegang! Aku perlu kain untuk membebat dan
menahan darah pada tubuh ketiga teman kalian ini!"
Mendengar kata-kata si pemuda, tiga orang dari
mereka segera merobek celana pangsi yang mereka ke-
nakan. Lalu dengan hati-hati menyerahkannya pada si
pemuda, yang dengan cekatan segera membebat luka-
luka pada tubuh tiga teman mereka.
Sementara itu Mishima menarik napas pendek,
tatkala dilihatnya salah seorang dari lima orang ne-
layan yang telah berdiri diam- diam mengambil sebilah
parang yang tergeletak. Lalu dengan gerakan yang ce-
pat dilemparkannya parang itu ke arah Hiedha!
"Mampuslah kau!"
Ayothomori seharusnya dapat segera memapaki
luncuran parang itu karena dia berada di dekat Hiedha
dan kebetulan juga melihatnya. Namun lelaki berwajah
bengis itu malah berlagak tidak tahu.
Mishima sendiri segera bergerak cepat. Kakinya
menendang sebilah parang lain yang tergeletak di atas
pasir putih. Di saat parang itu meluncur, pasir yang
tertendang membuyar.
Traaanggg!
Parang yang meluncur ke arah Hiedha langsung
terpental terhantam parang yang ditendang Mishima.
Hiedha sendiri yang sebenarnya merasakan desir angin
ke arahnya hanya terdiam saja, kendati nampak pan-
dangannya cukup gusar. Tetapi lelaki berkumis tipis
ini berusaha keras untuk tindih amarahnya, karena
tak ingin salah paham yang terjadi di antara mereka
semakin berkembang.
Ayothomori berkata, "Kau lihat itu, hah?! Apakah
manusia semacam itu patut dibiarkan hidup!"
"Diaaammm!" sengat Hiedha Ogawa keras. Kemu-
dian katanya, "Ayothomori-san! Jangan terlalu keras!
Kita datang ke tanah Jawa ini bukan untuk membu-
nuh orang-orang asli di sini! Tetapi untuk menangkap
Nomuro Shasuke!"
Sementara itu, pemuda berpakaian hijau pupus
yang telah selesai membebat luka-luka pada tiga ne-
layan dan melihat gerakan yang dilakukan salah seo-
rang nelayan yang melemparkan parang, diam-diam
membatin, "Dua kali lelaki itu menyebutkan nama
Nomuro Shasuke. Siapakah sebenarnya Nomuro Sha-
suke itu? Dan tadi... sempat kulihat kalau lelaki ber-
tubuh jangkung itu tahu kalau ada luncuran parang
yang mengarah pada lelaki bernama Hiedha. Tetapi dia
justru berlaku bodoh. Hmmm... nampaknya memang
ada sesuatu yang telah terjadi."
Habis membatin begitu, si pemuda berkata, "Meni-
lik cara kalian bicara yang agak terpatah-patah dan
pakaian serta senjata yang kalian gunakan, tentunya
kalian berasal dari negeri Matahari. Sekarang, jelaskan
mengapa kalian datang ke tanah Jawa ini?"
"Tutup mulutmu!" membentak Ayothomori dengan
wajah kian bengis.
Tetapi si pemuda justru cuma nyengir saja. "Bu-
syet! Apakah mulutmu tidak enak kalau tidak mem-
bentak? Lama kelamaan tanganku jadi gatal juga
nih?!"
Ayothomori justru balikkan tubuh. Dengan kedua
kaki terpentang lebar dan kepala agak diangkat dia
berseru gusar, "Mau apa kau, hah?!"
"Kok mau apa? Ya kalau tanganku gatal... jelas di-
garuk! Kok ada manusia tolol seperti kau, ya?" sahut si
pemuda seenak perutnya saja.
Mengkelap wajah Ayothomori mendengar seloro-
han si pemuda. Sebelum dia membuka mulut, Hiedha
Ogawa sudah berkata dengan tubuh agak dibungkuk-
kan, "Maafkan sikap kami, Tuan Pendekar. Kami da-
tang dari negeri Matahari! Namaku Hiedha Ogawa! Ini
kawanku yang bernama Ayothomori! Dan di samping
kananku, bernama Mishima Nobu! Kami memang sen-
gaja datang ke tanah Jawa, karena kami mengejar
pemberontak yang bernama Nomuro Shasuke!"
"Lantas... apa yang terjadi dengan para nelayan
ini?" tanya si pemuda dengan kening berkerut, bertan-
da dia sedang memikirkan sesuatu.
"Begitu kami tiba di sini, mereka tahu-tahu mun-
cul dan menyerang! Tanpa sebab yang kami ketahui!"
"Manusia celaka!" berseru salah seorang dari ne-
layan itu. "Pakai berlagak bodoh! Kau pikir kami tidak
tahu, kalau lelaki yang kemarin malam lakukan pem-
bantaian di kampung kami adalah temanmu, hah?!"
Mendengar ucapan orang, Hiedha terdiam sejenak.
Lain berkata, "Mengapa kau menuduh seperti itu?"
"Orang itu mengenakan pakaian yang sama den-
gan kalian! Membawa samurai dan bersikap begitu ke-
ji! Orang itu kami pergoki sedang memakan ikan-ikan
hasil tangkapan kami! Tatkala kami tegur, dia justru
menyerang kami dengan samurainya! Apakah bukti
semacam itu belum juga membuka mata kalian, kalau
orang itu adalah teman kalian sendiri, hah?!"
Hiedha Ogawa terdiam dulu sebelum berkata da-
lam hati, "Tak salah lagi... jelas dia adalah Nomuro
Shasuke...."
Kemudian katanya dengan agak membungkuk,
"Kalian telah salah menyangka. Orang itu bukanlah
teman kami. Dan sudah barang tentu, orang itulah
yang sedang kami buru hingga kami tiba di tanah Ja-
wa ini. Dia bernama Nomuro Shasuke...."
Lelaki yang bersuara tadi terdiam, kendati demi-
kian wajahnya menyiratkan rasa tidak percaya.
Sementara itu, Mishima yang sejak tadi memper-
hatikan pemuda berpakaian hijau pupus yang di le-
hernya melilit kain bercorak catur perlahan-lahan
mendekati Hiedha dan berbisik, "Hiedha- san... apakah
kau lupa dengan ciri pemuda yang dimaksud oleh Sa-
buro-san? Bukankah ciri-ciri itu persis sama dengan
pemuda di hadapan kita?"
Seperti baru teringat, Hiedha Ogawa segera arah-
kan pandangannya pada si pemuda yang memang tak
lain Andika alias Pendekar Slebor adanya. Cukup lama
dia memperhatikan sampai Andika sendiri merasa jen-
gah.
"Busyet! Apakah dia baru pernah melihat pemuda
yang gantengnya kayak aku ini? Huh! Kalau seorang
gadis yang memperhatikan sih boleh juga, tetapi ini...
bah!" dengus Andika dalam hati.
Dari memperhatikan yang begitu serius, nampak
kepala Hiedha mengangguk-angguk.
"Kau benar, Mishima-san.... Tak salah lagi, sudah
barang tentu pemuda inilah yang dimaksud oleh Sabu-
ro-san," katanya dalam bisikan. "Tetapi sayangnya...
kita berjumpa dalam suasana yang tidak enak seperti
ini...."
Kemudian dengan suara menghormat, Hiedha
berkata, "Tuan Pendekar... apakah salah bila kukata-
kan, anda bernama Andika yang berjuluk Pendekar
Slebor?"
Si pemuda justru kerutkan keningnya dulu sebe-
lum berkata, "Wah! Bagaimana kau bisa tahu? Ru-
panya aku termasuk orang top juga, ya?!"
***
3
Sementara wajah Hiedha Ogawa dan Mishima No-
bu berseri-seri, justru wajah Ayothomori berubah men-
jadi jengkel. Dia yang sejak pertama sudah tidak setu
ju dengan tindakan untuk mencari dan meminta ban-
tuan Pendekar Slebor guna menangkap Nomuro Sha-
suke, kini seperti merasa diinjak-injak karena tadi da-
pat dipecundangi dengan mudah oleh pemuda yang
tak lain Pendekar Slebor adanya.
"Demi Dewa Matahari! Akan ku tantang pemuda
ini bila kudapatkan kesempatan! Sebaiknya, sekarang
ini aku bersikap senang seperti yang ditunjukkan oleh
Hiedha-san dan Mishima-san! Hhhh! Mereka telah
menjadi manusia hina yang merubuhkan martabat
bangsa samurai di hadapan pemuda kampungan ini!"
Terdengar suara Hiedha berkata, "Tak kusangka
kami dapat menemukanmu lebih cepat dari apa yang
kami perkirakan. Andika-san... terimalah salam ka-
mi...."
Andika yang memang jarang sekali berbasa-basi
cuma menggaruk-garuk kepalanya.
"Ceritakan mengapa kalian tiba di sini?" tanya
Andika kemudian.
Hiedha Ogawa tak mau membuang waktu lagi. Dia
segera menceritakan semuanya. Juga disampaikannya
salam Saburo pada Andika.
"Saburo... ah, sahabatku.... Bagaimana kabar dia?
Apakah baik-baik saja?"
Hiedha mengangguk. "Ya! Dia dalam keadaan
baik-baik!"
Andika cuma tersenyum. Lalu diterangkannya apa
yang telah terjadi pada kelima nelayan yang masih hi-
dup, yang sedikit banyaknya mengerti. Lalu mereka
pun mengangkat dua teman mereka yang telah menja-
di mayat dan memapah tiga orang lainnya yang luka-
luka akibat serangan Ayothomori. Salah seorang dari
mereka yang bertubuh tegap dan bernama Indrajit,
memandang gusar pada Ayothomori yang balas me-
mandangnya dengan nafsu membunuh.
"Satu saat... kau akan mendapat ganjaran dari
tindakan keji yang telah kau lakukan," ancam Indrajit
dalam hati. Lalu sambil membopong mayat salah seo-
rang temannya, dia menyusul keempat temannya yang
lain.
Malam semakin datang. Sinar rembulan di ujung
Sana berenang-renang di lautan lepas. Ombak terus
berdebur dan udara kian dingin.
Dalam kesempatan itu, Hiedha Ogawa menguta-
rakan maksudnya untuk meminta bantuan Pendekar
Slebor menangkap Nomuro Shasuke. Andika sendiri
yang sebenarnya tidak suka melihat pandangan dan
perbuatan kejam yang dilakukan oleh Ayothomori cu-
ma menganggukkan kepalanya.
"Aku tidak bisa berjanji banyak. Kendati demikian
akan kucoba untuk membantu kalian. Katakan pada-
ku seperti apa ciri orang yang bernama Nomuro Sha-
suke?"
"Lelaki itu bertampang bengis. Memiliki kepan-
daian tinggi. Wajahnya tak jauh berbeda dengan keba-
nyakan orang Jepang seperti kami. Tetapi pada bahu
kanannya terdapat rajahan matahari berwarna merah.
Satu hal lagi, dia sangat pandai menyamar," sahut
Hiedha.
Andika cuma menganggukkan kepalanya saja. Di-
am-diam dia membatin, "Aku harus mengurus para
nelayan itu. Kulihat tadi pandangan pemuda yang ber-
gerak paling akhir begitu mendendam. Tetapi siapapun
wajar bila mendendam, karena tindakan Ayothomori
sungguh di luar batas." Kemudian sambil pandangi ke-
tiga samurai itu bergantian, Andika berkata, "Kalau
begitu... kita berpisah di sini!"
Habis kata-katanya pemuda urakan dari Lembah
Kutukan itu sudah berkelebat. Sepeninggalnya, Ayo-
thomori membuka mulut gusar, "Hiedha-san! Apakah
orang semacam itu yang kau harapkan bantuannya?
Tidakkah kau lihat sendiri sikapnya yang merasa lebih
jago dari kita?!"
Hiedha Ogawa tidak segera menjawab. Masih di-
pandanginya sosok pemuda berpakaian hijau pupus
yang semakin lama menghilang dari pandangannya.
Menyadari pertanyaannya tak dijawab, Ayothomori
mengulanginya, kali ini lebih keras, "Percuma mengha-
rapkan bantuan pemuda seperti itu! Apa yang barusan
diperlihatkannya kepada kita, sungguh menjengkel-
kan!"
Hiedha Ogawa menyahut tanpa palingkan wajah-
nya, "Biar bagaimanapun juga, kita membutuhkan
bantuannya. Dan aku yakin, seorang pendekar me-
mang tak pernah mau membuat janji, tetapi di dalam
hatinya dia akan membantu tanpa diminta lagi."
"Menilik kata-katamu, kau nampaknya masih te-
tap mengharapkan bantuannya?"
"Ya! Paling tidak ilmu yang dimilikinya cukup
tinggi!" sahut Hiedha Ogawa sambil putar tubuh. Di-
pandanginya Ayothomori lekat-lekat. Lalu terdengar
suaranya agak jengkel, "Bukankah kau sendiri tadi
merasakannya? Dapat dikalahkannya hanya beberapa
kali gebrak!"
Habis kata-katanya, Hiedha Ogawa melangkah
pada arah yang berlawanan dengan arah yang ditem-
puh Pendekar Slebor. Ayothomori yang hendak me-
nyahut, langsung rapatkan mulutnya. Lalu terdengar
rahangnya dikertakkan.
Dia melihat Mishima Nobu yang menggeleng-
gelengkan kepalanya. Seperti mendapatkan kawan
berbagi dia berkata, "Mishima! Aku belum menghada-
pinya dengan mempergunakan jurus 'Menjerat Mata-
hari'!"
Mishima Nobu cuma angkat kedua bahunya. Dan
tanpa bicara sepatah kata pun dia menyusul Hiedha
Ogawa.
Di tempatnya, Ayothomori kepalkan tinju kanan
dan kirinya.
"Keparat! Manusia-manusia keparat! Akan kutun-
jukkan pada kalian, siapa Ayothomori sebenarnya!"
Habis bersuara begitu, lelaki bertubuh jangkung
ini segera menyusul Hiedha Ogawa dan Mishima Nobu.
***
Pada saat yang bersamaan, di sebuah jalan seta-
pak yang jauh dari pesisir pantai itu, satu sosok tubuh
berpakaian merah gombrang dengan pakaian luar se-
perti rompi berwarna kuning, hentikan kelebatannya.
Sepasang mata orang ini sipit dengan alis tipis. Ram-
butnya digelung ke atas, agak menampakkan lebar ke-
ningnya. Bibirnya yang agak memerah, tipis dan seper-
ti membentuk garis lurus, merapat dalam. Di ping-
gangnya melilit kain berwarna putih dengan celana hi-
tam gombrang. Di tangan kirinya tergenggam sebilah
samurai.
Kejap kemudian dia keluarkan dengusan, menyu-
sul suaranya yang terdengar berat dan kaku, "Jaha-
nam! Bila saja aku dapat bertindak lebih cermat, su-
dah tentu Kaisar Tokugawa Iesyasumoto akan mam-
pus di ujung samuraiku! Dua kali aku melakukan
pemberontakan tetapi gagal! Bahkan yang ketiga, di
saat aku turun tangan sendiri pun gagal! Benar-benar
dia memiliki nyawa rangkap!"
Orang yang tak lain Nomuro Shasuke ini kembali
terdiam. Matanya kian menyipit saat pandangannya
mengarah pada segenap penjuru. Di kanan kirinya di-
penuhi jajaran pepohonan dan ranggasan semak belukar.
"Huh! Biar bagaimanapun juga, aku menginginkan
tampuk Kekaisaran! Akulah orang yang pantas me-
mimpin Kekaisaran! Bukan tikus busuk seperti Toku-
gawa Iesyasumoto!"
Wajah lelaki ini kian menegang. Sepasang ma-
tanya makin bertambah menyipit.
"Tak ada jalan lain.... Satu-satunya cara untuk
kembali ke Jepang adalah dengan memupuk segala
rencana dan melatih diri. Aku yakin, Kaisar tak akan
tinggal diam. Dia tentunya telah mengutus orang-
orangnya untuk mengejarku. Hhh! Tanah Jawa begitu
luas... tak akan mudah mereka menemukanku! Apala-
gi aku yakin, orang-orang utusannya tak pernah da-
tang ke tanah Jawa! Tak seperti yang pernah kulaku-
kan sepuluh tahun lalu di saat aku melarikan diri dari
tugas untuk mengatasi pemberontakan penguasa Owa-
ri.... Tak seorang pun yang tahu kalau aku sesung-
guhnya pergi ke tanah Jawa dan kembali lagi dalam
suasana tenang...."
Dari wajahnya yang tegang diselingi nada-nada
amarah, kali ini wajah lelaki berkulit kuning ini nam-
pak agak tenang. Namun kebengisannya semakin
nampak. Sepasang alis tipisnya yang menukik ke ba-
wah seolah bertemu di pangkal hidung, menandakan
betapa kejamnya orang ini.
"Dewi Permata Biru... hmmm, padanyalah aku
akan meminta bantuan...," desisnya lagi. "Tetapi... di
manakah aku bisa menemukan perempuan yang sepu-
luh tahun lalu pernah berjumpa denganku di tanah
Jawa ini? Sungguh bukan suatu urusan yang mudah."
Sesaat lelaki yang gagal membunuh Kaisar Toku-
gawa Iesyasumoto ini terdiam, sebelum mendadak saja
memegang perutnya yang terasa lapar.
"Bila aku berada di sini terus, sudah tentu aku
tak akan bisa menemukan Dewi Permata Biru! Tetapi
pertama-tama... aku harus cari makan dulu!"
Memutuskan demikian, lelaki bengis ini segera
bergerak lagi. Caranya berlari sungguh unik. Tubuh-
nya agak miring ke kanan seolah menepiskan angin,
sementara kedua kakinya bergerak seperti berjingkat.
Dan dia begitu cepat berlari.
Tepat rembulan di tengah-tengah kepala, sepa-
sang kaki Nomuro Shasuke memasuki dusun Bojong
Tunggal. Sebuah dusun yang bila pagi dan siang hari
sangat ramai, namun pada malam hari begitu sunyi.
Di setiap rumah terdapat lampu sentir yang cukup
menerangi bagian depan rumah. Kendati demikian ja-
lan di dusun itu agak sedikit gelap. Namun bagi mata
Nomuro Shasuke yang terlatih, hal itu tidak membuat-
nya menjadi kelimpungan.
"Hmmm... kedatanganku ke sini tak boleh diketa-
hui orang. Kukhawatirkan utusan Kaisar akan tiba di
sini, maka secara tak langsung jejakku akan tercium.
Kalau begitu, aku akan menyelinap mencari makan."
Dengan gerakan yang sangat cepat, lelaki berpa-
kaian merah ini menyelinap ke dinding sebuah rumah
yang paling ujung. Dinding yang terbuat dari bilik itu,
dapat diterobos oleh pandangannya. Dilihatnya dua
sosok tubuh sedang terlelap. Dan di antara dua sosok
tubuh itu terdapat seorang bayi lelaki yang nampak
begitu tenang tidurnya.
"Aku yakin... mereka mempunyai makanan...," de-
sisnya.
Lalu perlahan-lahan Namuro melangkah ke bela-
kang rumah itu. Pintu rumah hanya dikunci dengan
sebuah kayu yang terkait di kanan kiri. Dengan pergu-
nakan samurainya, Nomuro berhasil merobek pintu
yang juga terbuat dari bilik. Lalu dimasukkan tangan-
nya dan diangkat palang pintu itu.
Dengan hati-hati dia menutupnya kembali. Sejenak
lelaki ini memperhatikan sekelilingnya. Diperiksanya
dulu pemilik rumah itu yang masih terlelap sebelum
memeriksa ruangan yang paling dekat dengannya. Be-
gitu dia mendapatkan makanan, lelaki ini segera mela-
hapnya kendati sejenak agak terheran-heran dengan
rasa makanan yang didapatnya.
Selagi Nomuro Shasuke asyik melahap makanan
yang didapatnya, pemilik rumah itu terbangun karena
hendak membuang air. Lelaki bertubuh tegap yang be-
rusia kira-kira dua puluh lima tahun ini, merapikan
kain sarungnya. Tanpa rasa curiga, dia melangkah ke
belakang.
Langkahnya langsung terhenti tatkala melihat satu
sosok tubuh yang membelakanginya. Seketika itu pula
dia membentak, "Heiii! Siapa kau?!"
Nomuro Shasuke terhenyak. Cepat dia putar tu-
buhnya. Lalu dengan gerakan yang sangat cepat pula,
samurainya telah dicabut dan digerakkan melintang ke
arah perut.
Crasss!
Tanpa sempat menghindar maupun berteriak lagi,
tubuh si pemilik rumah langsung rubuh dengan darah
membuyar. Rupanya keributan singkat itu memancing
perhatian istrinya. Dari dalam kamar, perempuan yang
berparas jelita ini berseru, "Kang Pandi! Kang! Ada
apa?!"
Dan dia menjerit tertahan tatkala satu sosok tubuh
telah berdiri di hadapannya. Di tangan lelaki yang
muncul itu terdapat samurai yang di ujungnya ber-
simbah darah. Sadar kalau bahaya maut siap mengan-
camnya, perempuan itu buru-buru bangkit dan ber-
siap melarikan diri.
Akan tetapi, dengan satu lompatan saja, ujung sa-
murai Nomuro Shasuke telah merobek punggung si pe-
rempuan yang langsung terbanting ke tanah. Lalu
dengan kejamnya, lelaki bengis ini membunuh bayi
yang baru berusia lima bulan.
Begitu selesai menghabisi seisi penghuni rumah,
Nomuro Shasuke bermaksud untuk meninggalkan
tempat itu. Tatkala dia tiba di luar, dilihatnya obor-
obor telah menyala. Obor-obor yang dipegang oleh be-
berapa lelaki.
Rupanya keributan di rumah Pandi itu terdengar
oleh tetangga sebelah yang segera terbangun untuk
melihat. Bersamaan lelaki itu keluar, lima orang pe-
ronda tepat melewati jalan itu. Maka bersama-sama
mereka mendatangi rumah Pandi, tepat di saat Nomu-
ro Shasuke membuka pintu.
Nomuro Shasuke keluarkan makian dalam bahasa
Jepang. Tanpa banyak cakap lagi dia segera menerjang
ke depan. Samurainya disabetkan dengan cara men-
gayun, melintang, bahkan dari bawah ke atas.
Tiga orang langsung ambruk dengan bersimbah da-
rah. Tiga orang lainnya mencoba mengurung Nomuro
yang memandang tanpa kedip.
"Benar-benar celaka! Mereka bisa mengenaliku!
Dan bukan itu saja, penduduk yang lain bisa terban-
gun! Aku harus cepat bergerak!"
Sebelum Nomuro Shasuke menjalankan niat, apa
yang dikhawatirkannya terjadi. Karena mendadak saja
puluhan orang telah muncul dengan membawa obor.
Suasana desa yang hening kini menjadi begitu ramai.
Tanpa bertanya lagi, orang-orang yang berdatangan itu
tahu apa yang terjadi, begitu melihat mayat tiga orang
teman mereka dan orang asing yang memegang samu-
rai bersimbah darah. Mereka langsung mengurung
Nomuro yang nampak sedikit panik. Persis seekor ti-
kus yang masuk perangkap kucing.
"Sial! Nasibku sungguh sial!" maki Nomuro dalam
hati. Dia berputar-putar dengan ujung samurai siap
diayunkan. Begitu tiga orang merangsek maju dengan
parang di tangan, segera saja dengan teriakan meng-
guntur, lelaki bengis ini segera mengayunkan samu-
rainya.
Dua orang mengalami nasib naas, langsung am-
bruk dengan perut robek. Melihat keadaan itu, yang
lainnya serentak merangsek maju. Parang-parang
mengayun ke arah Nomuro yang segera menangkis.
Traanggg!
Lalu dengan gerakan yang sangat terlatih dia me-
nyabetkan samurainya berulang kali dengan gerakan
mundur maju dan mata yang berkesiuran cepat.
Tetapi para penduduk dusun itu semakin menjadi
nekat. Mereka terus menyerang dengan disertai teria-
kan-teriakan keras. Nomuro sendiri kendati memiliki
ilmu samurai yang tinggi namun memiliki tenaga yang
terbatas. Tak mungkin dia bisa andalkan kecepatan-
nya bila tenaganya telah terkuras.
Memikirkan soal itu, lelaki kejam ini mencoba
mencari kesempatan untuk lolos. Akan tetapi jelas ti-
dak mudah. Para penduduk sudah tentu tak akan
membiarkannya lolos. Mereka terus mengepung dan
semakin lama semakin dekat sambil ayunkan senjata
di tangan.
Sebisanya Nomuro Shasuke mempertahankan se-
lembar nyawanya. Suara senjata yang beradu semakin
keras terdengar. Kaki kanan Nomuro sendiri telah ter-
sabet parang salah seorang penduduk. Kendati demi-
kian, dia masih ngotot untuk mempertahankan diri
meskipun lambat laun disadarinya kalau nyawanya
akan putus malam ini juga.
Dalam keadaan yang sangat kritis bagi lelaki kejam
itu, mendadak saja menghampar satu gelombang an-
gin dari belakang. Menghantam para penduduk yang
siap merejam tubuh Nomuro.
Saat itu pula sebagian penduduk yang sedang
mengurung Nomuro, berpentalan jauh dengan suara
pekikan. Beberapa orang muntah darah sebelum am-
bruk. Belum lagi yang lainnya menyadari apa yang te-
lah terjadi, satu gelombang angin lainnya yang kelua-
rkan suara menggemuruh sudah menggebrak.
"Menghindar!" salah seorang berseru.
Tetapi terlambat, karena gelombang angin itu telah
mendekat. Tanpa ampun lagi sisa para penduduk itu
berjumpalitan ke belakang dilabrak gelombang angin
yang keras. Nomuro Shasuke sendiri merasa kaget
dengan apa yang terjadi. Sebelum dia sadar sepenuh-
nya, mendadak saja satu sosok tubuh yang keluarkan
aroma harum telah menyambarnya. Lalu dengan gerak
yang sangat cepat melompat ke atap rumah dan berke-
lebat dari satu atap ke atap lain sebelum akhirnya
menghilang.
Sebagian penduduk hanya melihat kalau orang
yang menyelamatkan orang asing itu, di keningnya
terdapat sebuah benda yang pancarkan sinar biru!
***
4
Pendekar Slebor yang tiba di dusun Bojong Tung-
gal dua hari kemudian hanya kertakkan rahangnya
mendengar cerita para penduduk. Diam-diam dia
mendesis dalam hati, "Ciri-ciri yang dikatakan, jelas
mengarah pada Nomuro Shasuke. Kutu monyet! Sam-
pai ke mana pun akan kukejar manusia celaka itu!"
Lalu pemuda urakan dari Lembah Kutukan ini
pun berpamitan. Dari salah seorang penduduk dia
mendapatkan petunjuk kalau pembunuh yang diselamatkan oleh seseorang yang di keningnya terdapat se-
buah benda yang pancarkan sinar biru, bergerak ke
arah timur.
Dengan pergunakan ilmu peringan tubuhnya yang
kesohor, Andika terus berkelebat. Wajah tampannya
tertekuk dalam-dalam mengingat betapa telengasnya
pembunuh dari Jepang itu.
"Huh! Dua kali aku mengalami pengalaman jelek!
Pertama dari tiga samurai yang baru mendarat di Pesi-
sir Laut Jawa! Salah seorang dari mereka lelah menu-
runkan tangan telengas! Kedua, pemberontak dan
pembunuh yang sedang dicari mereka! Tetapi menilik
kekejaman yang terjadi, apa bedanya antara Ayotho-
mori dengan Nomuro Shasuke?"
Pemuda dari Lembah Kutukan ini terus berkelebat
tanpa sekali pan berhenti. Akar yang menyembul ke-
luar dan ranggasan semak belukar dilompatinya den-
gan gerakan ringan.
"Datang ke tanah leluhurku bukannya membawa
persahabatan, tetapi justru menumpahkan darah! Be-
nar-benar manusia celaka!"
Di sebuah tempat yang agak luas dan dipenuhi
dengan pepohonan dan ranggasan semak setinggi da-
da, pemuda tampan yang di lehernya melilit kain ber-
corak catur ini hentikan larinya. Nafasnya agak teren-
gah sedikit. Setelah diatur, nafasnya kembali normal.
Kejap kemudian terdengar suaranya, "Kadal bu-
duk! Akan kujitak kepalanya sampai benjol kalau ber-
hasil kutemukan! Benar-benar manusia...."
"Huh! Bicara sembarangan! Siapa orang yang kau
maksud hendak kau jitak sampai benjol, hah?!" satu
suara dari atas pohon memutus kata-katanya.
Serta-merta Andika segera angkat kepalanya. Dili-
hatnya seorang gadis berambut tergerai panjang se-
dang duduk beruncang kaki di sebuah dahan yang ke
cil. Dari caranya duduk, terlihat kalau si gadis memili-
ki ilmu peringan tubuh. Pandangannya agak tajam pa-
da Andika.
Kalau tadi pemuda berpakaian hijau pupus ini
ngomel-ngomel sendiri, kali ini cengar-cengir.
"Eh! Lagi apa, Non? Nungguin monyet kawin?" se-
lorohnya.
Sepasang mata si gadis makin melotot. Lalu den-
gan ringannya dia melompat turun dan berdiri berjarak
lima langkah dari hadapan Andika. Langsung berkacak
pinggang.
Dari jarak yang cukup dekat itu, Andika bisa me-
lihat betapa cantiknya wajah si gadis. Berbentuk bulat
telur dengan kulit kuning langsat. Hidungnya man-
cung dengan bibir memerah. Alisnya hitam legam. Pa-
da rambutnya yang indah, terdapat ronce bunga melati
dengan sebuah tusuk konde. Bila saja sepasang ma-
tanya tidak sedang melotot, sungguh sangat indah bola
matanya itu.
"Enaknya ngomong! Kau sedang ngapain bicara
ingin bikin benjol kepala orang, hah?! Yang berada di
sini cuma kau dan aku! Kalau kau ingin bikin benjol
kepalaku, jelas akan kuhajar! Huh! Paling-paling yang
akan kau jitak kepalamu sendiri!"
"Busyet! Mulutnya nyinyir betul? Siapa gadis ber-
pakaian biru menyala dengan ikat pinggang putih ini?"
tanya Andika dalam hati. Lalu sambil nyengir dia ber-
kata, "Sudah tentu tak mungkin kujitak kepalaku sen-
diri sampai benjol! Ya... kalau kau tidak mau kujitak
sampai benjol, ya tidak apa-apa! Toh memang bukan
kau yang ingin kubikin benjol! Eh! Aku masih ada
urusan nih! Maklum... orang penting memang suka si-
buk! Sudah ya? Sampai jumpa kapan-kapan!"
Lalu dengan sikap santai, pemuda pewaris ilmu
Pendekar Lembah Kutukan ini segera melangkah. Na
mun baru tiga langkah, si gadis sudah keluarkan ben-
takan, "Meninggalkan lawan bicara seenak jidat sung-
guh perbuatan tidak sopan! Kau patut dihajar!"
Habis seruannya, mendadak saja si gadis gerak-
kan tangan kanannya ke arah Andika. Segera saja
menghampar angin yang keluarkan hawa panas.
Merasakan ada deru angin ke arahnya, Andika
cuma putar tubuh setengah lingkaran.
Wuuuttt!
Hamparan angin yang dilepaskan si gadis lolos da-
ri sasarannya dan melabrak sebatang pohon yang se-
bagian dedaunannya langsung berguguran.
Diserang seperti itu Andika menjadi jengkel juga.
"Apa-apaan ini? Kenal juga tidak, main serang be-
gitu saja! Kalau kena bagaimana, hah?!"
"Ya, kau kesakitan!" sahut si gadis sambil lipat
kedua tangannya di depan dada.
"Brengsek! Bicaramu kok enak betul! Siapa sih
kau sebenarnya?" sungut Andika jengkel.
Gadis yang di rambutnya terdapat ronce bunga
melati ini, menyahut ketus, "Katakan dulu siapa na-
mamu... maka akan kukatakan siapa namaku!"
Andika garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Karena dia sudah jengkel, makanya dia menjawab asal
saja, "Namaku Paradita! Nah, siapa namamu?!"
Sejenak gadis di hadapannya terdiam. Kemudian
berkata, "Namaku Widarti."
"Nah! Kalau masing-masing sudah sebutkan na-
ma, ada urusan apa lagi?"
"Ada yang hendak kutanyakan padamu...,"
"Aku bukan tempat yang tepat untuk bertanya!
Tetapi ya... kalau kau tanyakan apakah aku ganteng
atau tidak, sudah tentu kujawab aku paling ganteng
sedunia"
"Ya, di antara yang jelek!" sahut Widarti sambilmemonyongkan mulutnya.
Andika mendengus. "Bisa juga dia ngomong!" ka-
tanya dalam hati. Lalu berkata, "Apa yang hendak kau
tanyakan?"
"Ada dua pertanyaanku! Pertama... tahukah kau
di mana perempuan berjuluk Dewi Permata Biru bera-
da?"
Kali ini Andika kerutkan keningnya dan memba-
tin, "Dewi Permata Biru? Rasa-rasanya... baru kali ini
kudengar julukan itu. Siapa dia sebenarnya? Dan mau
apa gadis ini bertanya soal perempuan berjuluk Dewi
Permata Biru?"
"Hei, kau tahu tidak?!" seru Widarti tiba-tiba. "Ka-
lau tidak tahu, jangan berlagak tahu! Huh! Kayak
kambing ompong!"
Andika cuma nyengir saja. Lalu menggelengkan
kepalanya. "Kalau aku menggeleng, apakah kau men-
gaku aku orang yang paling ganteng?"
"Keblinger! Pertanyaanku kedua...," tahu-tahu si
gadis memutus kata-katanya sendiri. Lalu dengan
pandangan melecehkan dia berkata, "Hmmm... sudah
pasti kau tidak tahu juga! Huh! Percuma saja!"
"Kalau sudah tahu percuma, mengapa masih me-
maksa?" balas Andika.
"Ya sudah! Kalau kau mau pergi, pergi saja sana!"
"Itu juga lebih baik ketimbang kepalaku jadi pus-
ing!"
"Huh! Bicara sembarangan!"
Andika tertawa pelan. "Coba kau ceritakan pada-
ku, mengapa kau mencari Dewi Permata Biru?"
"Buat apa?"
"Ya... barangkali saja bila aku bertemu dengan-
nya, akan kukatakan kau mencarinya!"
Di luar dugaan Andika, justru si gadis memben-
tak, "Aku ingin membunuhnya bila bertemu dengan
perempuan celaka itu!"
Kali ini Andika benar-benar kerutkan keningnya.
Pandangannya lurus pada Widarti yang mendadak
menjadi tegang.
"Ada sesuatu yang telah terjadi," duga Andika. La-
lu berkata, "Ceritakan padaku... apa yang telah terja-
di?"
Widarti tak segera menjawab. Nafasnya mendadak
memburu. Lalu dengan kedua tinju dikepalkan kuat-
kuat, gadis ini berkata, "Perempuan celaka itu telah
membunuh guruku!"
Lalu tanpa diminta lagi, Widarti menceritakan apa
yang terjadi.
Gadis berpakaian biru menyala ini sebenarnya
murid dari seorang tokoh yang berjuluk Pendekar
Bayangan, yang tinggal di Lembah Bayang-Bayang.
Semenjak kecil, Widarti yang tak pernah mengenal
orangtuanya karena ditemukan oleh Pendekar Bayan-
gan sedang menangis di sebuah hutan, tinggal sekali-
gus berlatih ilmu yang diturunkan oleh Pendekar
Bayangan.
Tatkala Widarti berusia lima belas tahun, dia di-
tinggal oleh Pendekar Bayangan selama dua minggu.
Dan gurunya kembali dalam keadaan luka parah. Dari
cerita gurunya setelah sembuh berkat perawatan Wi-
darti, gadis ini tahu kalau gurunya mempunyai musuh
perempuan berjuluk Dewi Permata Biru.
Permusuhan itu dimulai tatkala Pendekar Bayan-
gan menolak cinta Dewi Permata Biru. Penolakan itu
disebabkan karena Pendekar Bayangan telah mempu-
nyai istri. Tetapi Dewi Permata Biru tak pernah mau
tahu soal itu. Dia tetap bersikeras untuk menjadi istri
Pendekar Bayangan.
Bahkan tatkala Pendekar Bayangan meninggalkan
rumah, Dewi Permata Biru datang dan membunuh istrinya. Kala itu Pendekar Bayangan tinggal di lereng
Bukit Arwah. Bertepatan Dewi Permata Biru keluar da-
ri rumahnya, Pendekar Bayangan muncul. Bahkan
dengan lantangnya Dewi Permata Biru mengatakan ka-
lau dia baru saja membunuh istri Pendekar Bayangan.
Pertarungan sengit terjadi dan kemenangan bera-
da di pihak Pendekar Bayangan. Bila saja Dewi Perma-
ta Biru tidak meraup pasir dan melemparkannya ke
arah Pendekar Bayangan, niscaya perempuan itu akan
tewas saat itu juga. Dengan hati pedih Pendekar
Bayangan menguburkan jenazah istrinya yang kala itu
sedang hamil dua bulan.
Dalam kedukaannya dia berusaha keras untuk
menemukan Dewi Permata Biru. Sampai setahun ke-
mudian dia menemukan Widarti yang kala itu berusia
sekitar dua tahun. Entah mengapa orangtua Widarti
meninggalkannya menangis sendirian di sebuah hu-
tan.
Kehadiran Widarti lambat laun dapat membuat
Pendekar Bayangan melupakan dendamnya pada Dewi
Permata Biru. Namun perempuan yang tetap mencin-
tainya itu, justru datang mencarinya. Dia menantang
Pendekar Bayangan bertarung di Puncak Karimata.
Pertarungan itu berimbang dan masing-masing orang
menderita luka parah. Pada saat itulah Widarti mengo-
bati Pendekar Bayangan.
Dan sekitar sebulan yang lalu, Dewi Permata Biru
muncul kembali di hadapan Pendekar Bayangan. Saat
itu Widarti sedang mandi di sungai. Gadis ini tidak ta-
hu apa yang terjadi kemudian. Dengan akal liciknya,
Dewi Permata Biru yang datang dengan berlagak me-
nyesali segala perbuatannya, berhasil menotok Pende-
kar Bayangan hingga tak mampu bergerak. Saat itulah
dengan kejamnya Dewi Permata Biru menghabisinya.
Lalu dengan tawa puas yang berkumandang lebar,
Dewi Permata Biru berlalu dari sana. Lima kejapan
mata kemudian, Widarti datang. Alangkah terkejutnya
gadis ini mendapati gurunya terkapar penuh luka. Se-
belum menghembuskan nafasnya yang terakhir, Pen-
dekar Bayangan masih dapat mengatakan siapa yang
telah melakukan perbuatan keji itu.
Dengan menindih segala gundah, gadis ini men-
gubur jenazah gurunya. Lalu mulailah dia melakukan
perjalanan untuk mencari Dewi Permata Biru.
"Guru juga mengatakan padaku, agar aku memin-
ta bantuan seseorang," kata si gadis di akhir ceritanya.
Andika cuma manggut-manggut. "Hmmm... secara
tak langsung, aku terlihat dua urusan yang berbahaya.
Pertama mencari pembunuh dari Jepang bernama
Nomuro Shasuke. Dan kedua, sudah tentu aku tak bi-
sa berpangku tangan untuk tidak mencari perempuan
berjuluk Dewi Permata Biru. Hei! Permata Biru? Bu-
kankah menurut para penduduk dusun Bojong Tung-
gal, seorang perempuan yang menyelamatkan Nomuro
Shasuke terdapat sebuah benda yang pancarkan sinar
biru pada keningnya? Jangan-jangan... orang itulah
yang berjuluk Dewi Permata Biru? Tetapi... urusan apa
dia menyelamatkan Nomuro Shasuke?"
Selagi Andika terdiam, Widarti berkata agak keras,
"Hei! Kenapa kau jadi bengong begitu? Kau merasa ka-
sihan padaku, ya? Huh! Aku tidak pernah mau dikasi-
hani!"
Andika buru-buru mengubah sikapnya.
"Tidak, aku tidak merasa kasihan padamu." ka-
tanya segera agar si gadis tidak salah paham. "Widarti,
aku akan mencoba mencari Dewi Permata Biru...."
"Bagus! Dan terus terang, kuucapkan terima kasih
atas niat baikmu itu!"
"Kalau begitu... kita berpisah di sini. Masih ada
urusan yang harus kuselesaikan!"
Widarti cuma menganggukkan kepalanya. Andika
tersenyum sejenak, lalu segera putar tubuh dan berlari
meninggalkan si gadis.
Dan seperti baru ingat akan sesuatu, Widarti ber-
teriak, "Paradita! Kenalkah kau dengan seorang pemu-
da bernama Andika yang berjuluk Pendekar Slebor?!"
Tetapi sosok pemuda dari Lembah Kutukan yang
dikenalnya sebagai Paradita itu, sudah menjauh dan
tak mendengar lagi teriakan Widarti. Tinggal si gadis
yang menghela napas sekarang.
"Hmmm... ke mana lagi harus kucari Dewi Perma-
ta Biru? Juga Pendekar Slebor yang dikatakan Guru
sebelum ajalnya? Aku harus meminta bantuannya!
Huh! Urusan ini benar-benar bikin kepalaku pusing!
Tetapi biar bagaimanapun juga, aku harus tetap mem-
balas perbuatan Dewi Permata Biru!"
Dua kejapan mata kemudian, gadis jelita yang di
rambutnya terdapat ronce bunga melati yang makin
menambah kejelitaannya ini, segera berkelebat ke arah
yang berlawanan yang ditempuh Andika. Tempat itu
langsung digigit sepi.
***
5
Di sebuah gubuk kecil yang terdapat di tengah-
tengah Hutan Bawengan, terdengar desah dan rintihan
manja berbalur kenikmatan. Menyusul suara kikikan
seorang perempuan dan bersuara terengah-engah,
"Luar biasa! Kau masih memiliki kemampuan seperti
dulu, Nomuro-san...."
"Justru kau yang tak pernah berubah, Dewi....
Kau tetap pandai memberikan kenikmatan pada lelaki...," sahut suara kedua yang juga agak tersengal. La-
lu terdengar lagi suaranya, "Begitu bodoh Pendekar
Bayangan yang menolak cintaimu hanya karena telah
mempunyai seorang istri...."
"Hihihi... Nomuro-san.... Kau sengaja membang-
kitkan ingatanku padanya atau memang sekadar bica-
ra? Tetapi sudahlah, manusia itu telah mampus kubu-
nuh sebulan yang lalu. Dan melihat kematiannya, aku
puas, sangat puas...."
Dari dalam gubuk yang diredupi oleh pepohonan
yang menggagalkan sorot matahari senja mengarah
pada gubuk itu, Nomuro Shasuke bangkit dari dipan
bambu yang baru saja dipakainya mengejar kenikma-
tan dengan Dewi Permata Biru. Saat menggerakkan
tangan kanannya, nampak di bahunya sebuah rajahan
matahari berwarna merah.
Sejenak dipandanginya sosok perempuan jelita
yang berusia kira-kira empat puluh lima tahun itu,
yang telentang dalam keadaan telanjang. Dan tak se-
kali pun perempuan ini berusaha menutupi bagian-
bagian tubuhnya yang terbuka lebar.
"Sungguh menyenangkan mempunyai kawan se-
perti perempuan ini. Sungguh menyenangkan pula ka-
rena dia memang sedang dirundung kelaraan karena
cintanya ditolak. Dan biarpun katanya Pendekar
Bayangan telah tewas di tangannya, aku tetap ber-
keyakinan kalau perempuan ini masih memendam cin-
tanya. Huh! Peduli setan! Untuk apa aku memikirkan
soal itu? Yang penting, dia datang tepat di saat aku
membutuhkan bantuannya. Juga... dia dapat dijadi-
kan tempat pelampiasan nafsuku...."
Lalu dengan gerakan yang cepat, lelaki dari Je-
pang ini segera mengenakan pakaiannya kembali. Tan-
gan perempuan yang masih telanjang bulat menggapainya.
"Mau ke mana? Mengapa kau sudah berpakaian?"
Nomuro Shasuke cuma pentangkan senyum.
Dewi Permata Biru berkata lagi, "Apakah kau ti-
dak ingin mengulanginya?"
"Sudah tentu aku masih ingin. Bahkan tak pernah
puas. Seumur hidupku, baru denganmulah ku rasa-
kan kenikmatan surga dunia yang sesungguhnya...."
"Ah, aku jadi malu mendengarnya. Mana mungkin
orang seperti kau tak pernah merasakan kenikmatan
yang diberikan para geisha di Jepang? Kudengar, me-
reka sangat ahli dalam pelayanan yang satu itu...."
"Tidak salah! Tetapi yang menilai tentunya aku,
karena aku yang melakukannya!" sahut Nomuro Sha-
suke sambil tersenyum. Tangan kanannya menjamah
payudara Dewi Permata Biru yang sejenak memejam-
kan matanya saat payudaranya diremas-remas.
"Kau semakin membuatku malu...," sahut perem-
puan yang di keningnya bertengger sebuah permata
yang pancarkan sinar biru, yang dikaitkan ke belakang
kepalanya. Kaitan benang halus itu tak nampak kare-
na disembunyikan di balik lebatnya rambut yang dimi-
likinya.
"Dewi... ada sesuatu yang ingin kubicarakan...,"
kata Nomuro Shasuke kemudian. "Berpakaianlah...."
Dewi Permata Biru mengerling manja. "Nomuro-
san... apakah kau lebih suka aku berpakaian ataukah
seperti keadaan sekarang ini?"
"Sudah tentu seperti sekarang ini. Tetapi, aku
khawatir nafsuku akan naik kembali hingga urusanku
tak akan selesai," sahut Nomuro Shasuke, lalu melan-
jutkan dalam hati, "Hhhh! Dasar perempuan bodoh!
Kau tidak tahu kalau dirimu sedang kumanfaatkan!
Siapa orangnya yang mau meninggalkan tubuh molek
seperti yang kau miliki, hah?! Dasar Pendekar Bayan-
gan saja yang bodoh, yang akhirnya istri dan dirinya
sendiri harus mampus di tangan perempuan ini!"
Sambil tertawa genit perempuan jelita yang di ke-
ningnya terdapat sebuah permata yang pancarkan si-
nar biru itu bangkit. Dia sejenak menggeliat, seolah
hendak menunjukkan payudaranya yang besar dan
kencang itu.
Lalu dengan dibantu oleh Nomuro Shasuke, dia
mengenakan pakaian dalamnya yang berwarna putih.
Lalu mengenakan pakaian luarnya, panjang dan ber-
warna merah menyala. Nomuro sendiri yang kemudian
melilitkan selendang putih ke pinggang ramping Dewi
Permata Biru.
"Sejak semula aku sudah yakin, kau tak mungkin
datang ke tanah Jawa ini sekadar mencariku. Ten-
tunya ada urusan yang sangat penting. Dan kebetulan
sekali, aku tiba di dusun Bojong Tunggal, di saat nya-
wamu akan putus di tangan para penduduk. Nah, ka-
takan apa yang kau hendaki dariku?"
Nomuro Shasuke selain kejam juga termasuk
orang yang memiliki banyak akal licik. Sudah tentu ka-
ta-kata Dewi Permata Biru tadi membuatnya menjadi
jengah. Terburu-buru dia berkata, "Sebetulnya... uru-
sanku datang ke tanah Jawa ini sudah tentu menca-
rimu, Dewi. Aku sangat rindu padamu. Tetapi bila
kuingat kau masih mencintai Pendekar Bayangan, aku
selalu mengurungkan niat untuk datang menjumpai-
mu. Kusadari betul, kalau aku sudah tentu tak akan
mendapatkan cintamu...."
Dewi Permata Biru kembangkan senyum. Kendati
dia tahu kalau lelaki bertampang bengis ini hanya ber-
dusta, tetapi dia senang diperlakukan seperti itu.
"Bukankah sekarang orang yang kucintai sudah
tewas? Dan tentunya kesempatanmu lebih besar, bu-
kan?"
Nomuro Shasuke mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu dikecupnya bibir merah yang menantang di
hadapannya. Setelah itu dia berkata, "Dewi... aku
membutuhkan bantuanmu...."
"Katakan, bantuan apa yang kau butuhkan? Un-
tuk seseorang yang mau mengerti tentang diriku, cin-
taku dan kasihku, aku rela mengorbankan nyawa...."
"Hmmm... sungguh kasihan sebenarnya perem-
puan ini. Sejak lama dia merindukan kasih sayang.
Malangnya dia jatuhkan pilihan pada Pendekar Bayan-
gan yang telah beristri. Tetapi masa bodoh! Aku telah
mendapatkan kesempatan yang memang kucari. Den-
gan kepandaiannya, aku bisa menjalankan semua ren-
canaku. Paling tidak, membunuh orang-orang yang di-
utus Kaisar Tokugawa Iesyasumoto."
Habis membatin begitu, Nomuro segera menceri-
takan apa yang telah dialaminya. Lalu, "Aku yakin,
Kaisar mengutus orang-orangnya untuk menang-
kapku...."
Dewi Permata Biru berkata sambil tersenyum,
"Mengapa kau pusingkan soal itu? Biar kubunuh
orang-orang Kaisar keparatmu itu!"
"Oh! Terima kasih, Dewi! Satu lagi, aku ingin
mendapatkan tempat yang paling aman yang tentunya
menurutmu...."
"Mengapa kau mencari tempat seperti itu? Nomu-
ro-san... tak perlu bersembunyi dari kejaran orang-
orang Kaisar celakamu itu. Kupikir... mereka bukanlah
sebuah kekuatan yang mengerikan...."
"Kau bisa saja berkata demikian. Tetapi aku ya-
kin, Hiedha Ogawa pasti turut andil dalam memburu
nyawaku," kata Nomuro Shasuke dalam hati.
Melihat lelaki beralis tipis ini terdiam, Dewi Per-
mata Biru berkata, "Mengapa kau terdiam? Apakah
kau sekarang sudah tidak memiliki nyali lagi, hah? In-
ikah yang dulu pernah kau banggakan, kalau seorang
samurai sejati pantang menyerah dan lebih baik mati
ketimbang harga dirinya diinjak-injak?"
Mendengar kata-kata yang mengandung ejekan
itu, mata Nomuro semakin menyipit. Tetapi buru-buru
dia tersenyum seraya berkata, "Aku masih tetap me-
ninggikan derajat sebagai seorang samurai yang kumi-
liki. Tetapi aku tak mau tewas lebih dulu sebelum ren-
canaku untuk merebut takhta Kaisar Tokugawa Iesya-
sumoto berhasil kujalankan...."
"Aku sangat paham maksudmu. Hanya saja, men-
gapa kau nampak begitu gelisah?"
"Keparat terkutuk! Lama kelamaan aku tak bisa
tahan amarahku mendengar ucapan sialannya!" maki
Nomuro dalam hati. Tetapi dia justru tersenyum saat
berkata, "Memang ada yang menggelisahkanku."
"Katakan...."
"Aku mendengar kabar, kalau di tanah Jawa ini
ada seorang pemuda yang berjuluk Pendekar Slebor.
Pemuda yang bersahabat dengan Saburo. Dan aku ya-
kin, setelah orang-orang Kaisar mengetahui aku pergi
ke tanah Jawa, mereka akan mendatangi Saburo-san,
untuk mendapatkan petunjuk. Kukira, Saburo-san
tentunya mengatakan kalau Pendekar Slebor lah orang
yang patut dimintai bantuan...."
Dewi Permata Biru lagi-lagi tersenyum.
"Tak perlu khawatir. Aku memang pernah menden-
gar julukan pemuda itu. Tetapi... nampaknya dia bu-
kanlah sebangsa orang yang perlu ditakuti. Demi un-
tuk itu, biar ku urus orang-orang yang mengejarmu,
sekaligus membunuh Pendekar Slebor. Di samping itu,
akan kita susun penyerangan pada Kaisar Tokugawa
Iesyasumoto. Jangan khawatir, aku memiliki beberapa
orang kambrat yang tentunya bersedia membantu. Ter-
lebih lagi, seorang kambrat yang memang mendendam
pada Pendekar Slebor. Tetapi karena aku masih mengurusi soal Pendekar Bayangan, maka aku tak pernah
tertarik dengan segala urusannya pada pemuda dari
Lembah Kutukan itu beberapa minggu lalu. Percaya-
lah... kau akan bisa tidur nyenyak selagi aku masih
berada di sisimu...."
"Aku ingin tahu seperti apa Pendekar Slebor...."
"Kau tak perlu tahu. Sekali lagi kukatakan, kau
akan aman di sini...."
"Oh, terima kasih, Dewi! Terima kasih...," sahut
Nomuro Shasuke sambil merangkul perempuan itu
kembali, yang seketika rebah di atas dipan. Diam-
diam, lelaki dari Jepang ini membatin, "Aku akan men-
cari tahu seperti apa Pendekar Slebor...."
Lalu dengan beringas, dilucutinya seluruh pakaian
yang dikenakan Dewi Permata Biru yang cuma terki-
kik-kikik saja. Malah kedua tangannya yang dihiasi ja-
ri jemari lentik juga berusaha membuka pakaian No-
muro Shasuke.
"Menyenangkan sekali.... Aku sangat suka ini...,"
desisnya sambil mengikik. Tahu-tahu dia berkata, "Te-
tapi ingat, Nomuro-san... aku paling tidak suka dengan
orang yang mengkhianatiku..."
Nomuro Shasuke tak sahuti ucapan Dewi Permata
Biru. Dia terus berusaha mengejar apa yang ingin di-
dapatkannya kembali.
Kejap kemudian, yang terdengar dari gubuk itu
hanyalah desahan napas memburu diselingi ucapan-
ucapan cabul.
***
6
Matahari kembali memunculkan diri dari ufuk timur tatkala Pendekar Slebor tiba di Hutan Bawengan.
Pemuda urakan dari Lembah Kutukan ini sejenak
pandangi sekitarnya sebelum meneruskan larinya me-
masuki Hutan Bawengan.
Angin menggeresek dedaunan, berguguran seolah
menyambut kelebatan tubuhnya. Tepat di tengah-
tengah hutan itu, Andika hentikan larinya. Bukan di-
karenakan dia merasa membutuhkan istirahat karena
dadanya sudah mau pecah, melainkan karena sesuatu
yang menarik perhatiannya.
Pandangannya menatap tak berkedip pada sebuah
gubuk yang berdiri agak miring ke kanan berjarak lima
tombak dari tempatnya berdiri.
Masih pandangi gubuk itu, pemuda yang memiliki
alis hitam legam laksana kepakan sayap elang ini
membatin, "Hmmm... siapakah penghuni gubuk itu?
Kendati sudah agak miring namun nampaknya masih
layak dihuni. Atau... gubuk itu memang tak berpeng-
huni, hanya sebuah gubuk yang dijadikan sebagai
tempat peristirahatan oleh para penebang kayu bela-
ka? Busyet! Kalau cuma ngomong saja, mana aku bisa
tahu siapa penghuni gubuk itu. Sebaiknya... kuperiksa
saja...."
Memutuskan demikian, Andika melangkah men-
dekati gubuk itu. Sejarak lima langkah dia sudah ber-
teriak, "Hoooiii! Ada orang tidak? Kalau ada diam saja,
kalau tidak ada menyahut! Eh! Terbalik, terbalik! Ka-
lau ada orangnya menyahut, kalau tidak ada diam sa-
ja!"
Lalu dengan sikap seenak perutnya, pemuda ini
mendorong pintu gubuk itu sambil berseru, "Maaf nih
ya kalau ada orangnya!"
Tetap tak ada sahutan. Berarti memang tak ada
orang di gubuk itu.
"Hmmm... tidak ada orang. Tetapi... bau apa ini?"
desisnya sambil menggerak-gerakkan cuping hidung-
nya, mengendus. "Ada aroma harum yang tersisa. Me-
nilik aroma harum ini, nampaknya semalam ada yang
menempati gubuk ini. Bisa juga dipastikan kalau yang
singgah di sini pasti seorang perempuan. Lalu perem-
puan seperti apa yang berani-beraninya meninggalkan
gubuk ini? Seorang diri ataukah mempunyai teman?"
Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal. Sambil putar tubuhnya kembali dia membatin,
"Ke mana aku harus menemukan Nomuro Shasuke
dan Dewi Permata Biru? Dua urusan sudah memben-
tang di hadapanku. Mengejar pembunuh dari Jepang
dan mengejar Dewi Permata Biru yang telah turunkan
tangan pada Pendekar Bayangan.... Busyet! Kenapa
begitu banyaknya orang yang suka menurunkan tan-
gan telengas?"
Andika memperhatikan kembali sekelilingnya.
"Kutu monyet! Semakin kupikirkan kok semakin
buntu! Jangan-jangan otakku yang sudah tidak bisa
dipakai lagi! Lebih baik aku... eh, tunggu dulu!"
Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan
ini terdiam. Otaknya diperas memikirkan sesuatu yang
melintas pada benaknya. Lalu diputar tubuhnya lagi,
pandangannya diarahkan pada gubuk di hadapannya.
Cuping hidungnya bergerak-gerak.
"Aroma harum... ya, ya... bukankah apa yang ka-
takan penduduk Bojong Tunggal, selain melihat pe-
rempuan yang menyelamatkan Nomuro Shasuke ter-
dapat sebuah benda yang pancarkan sinar biru, juga
meninggalkan aroma harum? Jangan-jangan... uh! Kok
aku jadi curigaan begini? Siapa tabu kebetulan saja
ada seorang gadis pesolek yang menyinggahi tempat ini
semalam.... Benar-benar kutu busuk! Bawaannya cu-
rigaan terus?!"
Kembali pemuda urakan ini garuk-garuk kepalanya. Lalu diputuskan untuk meninggalkan tempat
itu. Baru tiga langkah dia bergerak, dilihatnya satu so-
sok tubuh berlari cepat ke arahnya. Karena tak mung-
kin lagi untuk menghindari orang itu, Andika akhirnya
sengaja menunggu.
Sementara itu, orang yang berlari ke arahnya sen-
diri nampak terkejut. Saat itu pula dia hentikan la-
rinya. Pandangannya tajam pada Andika yang cuma
tersenyum.
"Aneh! Kalau beberapa hari lalu aku kedatangan
orang-orang dari negeri Matahari, nampaknya seka-
rang aku bertemu dengan orang dari India. Cara ber-
pakaiannya menunjukkan dari mana dia berasal," kata
Andika dalam hati.
Lelaki yang dikepalanya melilit sebuah sorban
warna putih itu tegak tak bergerak. Sepasang matanya
tajam ke arah Andika. Pipinya dipenuhi dengan bulu-
bulu halus. Hidungnya mancung dan agak bengkok.
Dia mengenakan pakaian panjang warna biru yang di
luarnya dilapisi pakaian seperti rompi berwarna hitam.
Di pinggangnya melilit kain berwarna biru pula dan
terselip sebilah golok yang sangat tajam.
Sesaat masing-masing orang tak ada yang buka
suara. Andika sendiri cuma cengar-cengir saja, merasa
lucu melihat cara orang itu berpakaian.
Dan karena tak enak berdiam diri seperti itu, An-
dika pun berkata, "Kenapa berhenti berlari? Apakah
kau memang sengaja mencariku, atau kau berhenti
karena melihatku?"
Lelaki bersorban putih itu tak segera menjawab.
Pandangannya masih tajam. ke arah Andika. Lalu den-
gan suara agak sengau dan terbata-bata dia berkata,
"Tak ada urusanku mencarimu. Tak ada urusanku
berhenti karena melihatmu...."
"Nah, nah! Kok aneh? Kalau begitu kenapa berhenti? Cuma iseng, ya? Atau kau sudah kelelahan?"
Lelaki itu terdiam kembali. Lalu berkata, "Siapa
kau, Anak Muda?"
"Wah! Akhirnya kenalan juga!" sahut Andika ma-
sih cengar-cengir. "Namaku Andika. Nah, kau siapa?"
"Namaku... Pucha Kumar."
"Tepat dugaanku. Dari namanya saja sudah men-
cerminkan dari mana dia berasal. Jangan-jangan... dia
datang ke sini mau jual martabak telor?" seloroh Andi-
ka dalam hati. Lalu berkata, "Apakah tanah India su-
dah tak layak lagi dihuni hingga kau hijrah ke sini, Pu-
cha Kumar? Busyet! Namamu kok tidak enak banget
ya disebut?"
Lelaki bernama Pucha Kumar itu tak hiraukan se-
lorohan Andika. Sikapnya sangat serius, pertanda dia
memang jarang sekali bergurau.
Kemudian katanya, "Aku datang... untuk mencari
seorang pemuda berjuluk Pendekar Slebor...."
Melengak pemuda urakan ini mendengar kata-
kata orang. Kali ini cengirannya langsung lenyap. Te-
tapi ya... dasar urakan, dia kembali nyengir kembali.
"Ada apa kau mencari Pendekar Slebor?" ta-
nyanya.
Bukan jawab pertanyaannya, Pucha Kumar justru
balik bertanya, "Apakah kau mengenalnya?"
"O... sudah tentu! Siapa sih yang tidak kenal pe-
muda yang paling ganteng sedunia itu? Ngomong-
ngomong... kenapa kau mencarinya?"
"Aku membutuhkan bantuan Pendekar Slebor.
Andika, bila kau mengenalnya, tolong beritahukan ke-
padaku, di mana aku dapat menemuinya?"
"Bantuan apa yang kau butuhkan?" tanya Andika
lalu melanjutkan dalam hati, "Persoalan apa lagi yang
dibawa penjual martabak telor ini?"
"Mungkin... kau sudah mendengar tentang seorang pembunuh dari Jepang yang datang ke tanah Ja-
wa ini. Dia bernama Nomuro Shasuke. Beberapa ming-
gu lalu, lelaki itu mendarat di tanah India. Kemuncu-
lannya ternyata justru membuat onar. Dua adik pe-
rempuanku telah diperkosa dan dibunuhnya. Sayang
saat itu aku sedang bertapa hingga gagal menyela-
matkan kedua adik perempuanku. Tetapi, aku tak ber-
diam diri. Kucari manusia celaka itu yang kemudian
kudengar kabar, kalau dia mendarat di tanah Jawa ini.
Telah seminggu lamanya aku berada di sini. Setiap
orang yang kutanyakan soal Nomuro Shasuke tak ada
yang pernah memberikan jawaban memuaskan. Justru
mereka berkata, carilah Pendekar Slebor, maka urusan
akan tuntas...."
"Ah!" Andika menjadi jengah kendati hidungnya
bergerak-gerak bangga. Lalu buru-buru dia berkata,
"Aku memang telah mendengar tentang pembunuh da-
ri Jepang yang bernama Nomuro Shasuke. Bahkan dia
telah membuat keonaran di sebuah dusun. Kini tiga
orang utusan Kaisar Jepang tengah mencarinya...."
"Jahanam terkutuk!" Pucha Kumar kertakkan ra-
hangnya. Wajahnya nampak tegang sekali. Saat dia
melanjutkan kata-katanya, tangan kanannya mengepal
keras, "Manusia celaka itu harus mampus!"
Andika cuma manggut-manggut saja, seolah men-
gikuti getar kemarahan di hati Pucha Kumar.
Kemudian didengarnya lelaki bersorban putih itu
berkata, "Lantas... apakah kau mengenal Pendekar
Slebor?"
"Ya."
"Katakan... di mana dia berada?"
Andika tersenyum. "Kau tak perlu pergi jauh-jauh.
Karena... ya, kebetulan sekali, kalau orang yang kau
cari adalah aku sendiri...."
***
Sesaat Pucha Kumar tak buka suara. Kali ini pan-
dangannya agak menyipit. Andika mendengus dalam
hati begitu menyadari arti pandangan lelaki di hada-
pannya.
"Brengsek! Kok dia kelihatannya tidak percaya
sih?" gerutunya dalam hati.
Lalu didengarnya suara Pucha Kumar, "Aku me-
mang belum pernah mengenal pemuda berjuluk Pen-
dekar Slebor. Tetapi untuk kali ini, aku bisa memper-
cayaimu."
"Lho, tidak percaya juga tidak apa-apa," sahut An-
dika agak jengkel.
Pucha Kumar masih pandangi pemuda di hada-
pannya sebelum berkata, "Baiklah... aku percaya den-
gan siapa kau adanya. Pendekar Slebor... maukah kau
membantuku untuk menemukan di mana Nomuro
Shasuke berada?"
Andika mengangkat kedua bahunya. "Ya, sebe-
narnya kebetulan sekali kalau aku juga sedang menca-
rinya."
"Sudahkah kau bertemu dengannya?" suara Pu-
cha Kumar begitu bernafsu sekali. Dan dia menghela
napas masygul begitu melihat Andika menggeleng.
"Sayang sekali... aku belum menemukannya...."
Lelaki dari India itu mengangguk-anggukkan ke-
pala.
"Ya... sayang sekali...."
"Pucha Kumar... busyet! Betul-betul tidak enak
banget namamu disebut!" seloroh Andika konyol. "Tapi
masa bodohlah! Memang itu sudah namamu, kan? Se-
karang... kita mempunyai kepentingan yang sama
mencari Nomuro Shasuke. Kupikir, sebaiknya kita
berpisah saja di sini...."
"Dan kau mau membantu?"
"Sudah tentu akan kulakukan...."
Lelaki bersorban putih itu rangkapkan kedua tan-
gannya di depan dada. Lalu berkata hormat, "Terima
kasih atas kesediaanmu membantuku, Tuan Pende-
kar...."
"Ya, sudah, sudah! Belum tentu juga berhasil, su-
dah main terima kasih saja!"
Pucha Kumar membungkukkan sedikit tubuhnya
dengan tangan masih merangkap di dada. Dengan si-
kap asal-asal Andika membalas sambil berkata dalam
hati, "Lumayan juga nih...."
Setelah itu, masing-masing orang pun segera me-
langkah ke arah yang berlawanan. Namun baru tiga
langkah mereka bergerak, terdengar suara, "Andika-
san!"
Bukan hanya Andika yang segera hentikan lang-
kah. Pucha Kumar juga berbuat yang sama. Sesaat
nampak wajah lelaki itu berubah melihat siapa yang
muncul. Di kejap lain kedua matanya membuka lebar.
Menyusul bentakannya yang keras, "Manusia keparat!
Katakan padaku, siapa di antara kalian yang bernama
Nomuro Shasuke?!"
***
7
Orang yang memanggil Andika tadi adalah Hiedha
Ogawa, yang telah berdiri berjarak delapan langkah
dari depan. Di kanan kirinya berdiri Mishima Nobu
dan Ayothomori.
Sudah tentu mendengar bentakan yang dikelua-
rkan lelaki berhidung bengkok itu membuat kening
masing-masing orang berkerut.
Andika langsung sadar, kalau kesalahpahaman
bisa terjadi. Makanya dia buru-buru berkata, "Tahan!
Pucha Kumar! Kau salah orang! Tak ada orang yang
bernama Nomuro Shasuke di antara mereka!"
"Andika! Jangan ikut campur urusanku!" seru Pu-
cha Kumar keras. "Katakan padaku, siapa di antara
kalian yang bernama Nomuro Shasuke?!"
Sudah tentu ketiga orang utusan Kaisar Tokugawa
Iesyasumoto itu makin kerutkan kening. Mereka tidak
mengenal orang yang keluarkan bentakan dan lebih
heran lagi karena orang itu menuduh salah seorang di
antara mereka adalah Nomuro Shasuke.
Sementara ketiga utusan Kaisar Jepang itu sedang
keheranan, Andika justru memaki-maki dalam hati,
"Brengsek! Tadi dia bilang meminta bantuanku, seka-
rang aku tak boleh ikut campur! Huh! Setan belang!
Urusan bisa jadi kapiran bila tak segera kuselesaikan!"
Tetapi Pucha Kumar yang nampaknya memang
begitu mendendam, tak mau membuang waktu. Golok
di pinggangnya segera dicabut. Menyusul dengan te-
riakan membahana dia menerjang sambil mengayun-
kan golok dari atas ke bawah. Sasarannya adalah
Hiedha Ogawa yang berada di depan.
"Heiiii!" seru lelaki berkumis tipis itu sambil mem-
buang tubuh ke samping kanan.
Golok yang disabetkan Pucha Kumar rupanya tak
mau tinggal diam lebih lama. Dengan gerakan cepat,
disabetkannya golok itu dari kanan ke kiri, ke arah
Ayothomori lalu ke arah Mishima Nobu, yang masing-
masing orang segera melompat menghindar.
Ayothomori yang memang panasan juga tak mau
tinggal diam. Segera saja dia cabut samurainya. Den-
gan tangan kanan dan kiri menggenggam hulu samu-
rai, dia melompat ke depan dengan cara mengayunkan
dari atas ke bawah.
"Huh! Rupanya kau ingin menantang samurai dari
negeri Matahari?!"
Tranggg!
Ayunan samurainya terhalang oleh gerakan golok
Pucha Kumar yang sedemikian cepat. Habis menangkis
ayunan samurai Ayothomori, Pucha Kumar merunduk.
Dengan cara menyentak maju satu langkah ke ,depan,
didorong goloknya ke arah perut Ayothomori yang se-
gera putar samurainya.
Kembali suara keras terdengar saat dua senjata
itu berbenturan. Menyusul suara angin yang membe-
set setiap kali senjata-senjata itu bergerak. Sementara
itu Hiedha Ogawa dan Mishima Nobu hanya terpaku di
tempatnya. Mereka tak berniat untuk membantu Ayo-
thomori. Namun di dalam hati masing-masing orang,
berharap agar Ayothomori dapat menyelesaikan perta-
rungan itu dengan cepat.
Sementara itu di tempatnya Andika mendengus
dalam hati.
"Berabe! Dasar orang-orang yang panasan!"
Namun sebelum dia bergerak untuk memisahkan
kedua orang itu, sejenak pemuda ini mengerutkan ke-
ningnya. Ada sesuatu yang melintas di benaknya. Akan
tetapi, karena nampaknya pertarungan itu semakin
sengit dan bisa membahayakan masing-masing orang,
Andika memutuskan untuk segera memisahkannya.
Dengan menyambar sebatang ranting kering dan
segera dialiri tenaga dalamnya, pemuda urakan ini
langsung masuk ke kalangan. Ranting itu segera diki-
baskan.
Prak! Prak!
Terdengar suara yang keras saat menghantam go-
lok Pucha Kumar maupun samurai Ayothomori. Na-
mun kedua lelaki yang sama-sama panasan itu tak
mau dipisahkan begitu saja. Mereka langsung merang-
sek kembali.
"Kutu busuk! Ingin kujitak kepala kedua orang
ini!" maki Andika.
Dan dengan cepat dia meluruk ke depan, lalu
memutar tubuh setengah lingkaran. Bersamaan den-
gan itu, dikerahkan tenaga 'Inti Petir' tingkat keempat
belas pada ranting yang dipegangnya. Terdengar suara
salakan petir yang cukup mengejutkan tatkala ranting
yang dipegangnya digerakkan.
Prak! Prak!
Kembali ranting yang mendadak menjadi sangat
keras setelah dialiri tenaga 'Inti Petir' itu menahan se-
rangan golok dan samurai kedua orang yang berta-
rung. Menyusul dengan gerakan yang sangat cepat,
Andika menotok pangkal lengan Pucha Kumar. Semen-
tara tangan kirinya menotok pula pangkal lengan kiri
Ayothomori.
Masing-masing orang terkejut dengan tubuh me-
lengak sesaat dengan langkah terhuyung dan tubuh
yang dirasakan ngilu. Senjata yang dipegang terlepas
begitu saja. Bersamaan dengan itu, Andika yang telah
hinggap kembali di atas tanah berseru, "Tahan! Jangan
bertindak gegabah! Kita bukan bermusuhan! Malah
boleh dikatakan sebagai sahabat! Tetapi bila memang
kalian keras kepala, kalian bisa maju berdua sekaligus
menghadapiku!"
Seruan Andika itu terdengar memang agak som-
bong. Namun pemuda dari Lembah Kutukan ini tidak
bermaksud demikian. Itu dilakukan karena dia sudah
sangat jengkel karena kedua orang yang bertarung itu
tak mau mendengarkan seruannya.
Wajah Pucha Kumar nampak berubah. Dia buru-
buru rangkapkan kedua tangannya. Saat digerakkan
tangan kirinya, terasa agak ngilu sekali. Sebenarnya,
bila saja Andika melakukan totokannya sepenuh hati,
saat itu pula Pucha Kumar bisa muntah darah.
Lain halnya dengan yang dilakukan Pucha Kumar,
Ayothomori justru makin beringas. Dari semula dia
memang tak menyukai Pendekar Slebor. Apalagi bebe-
rapa hari lalu dia dapat dikalahkan oleh pemuda itu
yang baru diketahui kalau pemuda itulah Pendekar
Slebor.
Dan sekarang, pemuda itu mencampuri urusan-
nya. Harga diri Ayothomori merasa diinjak-injak.
Sambil menahan rasa ngilu pada pangkal lengan
kirinya, lelaki bertubuh jangkung ini menuding dengan
tangan kanan, "Andika-san! Jangan turut campur uru-
san ini! Lelaki keparat itu harus mampus di tanganku!"
Andika menggeram jengkel. Tetapi dia berusaha
untuk tindih segala kejengkelannya. Kendati demikian
wajahnya yang biasa cengar-cengir, kali ini berubah
menjadi serius.
"Ayothomori-san! Aku tidak tahu mengapa kau
begitu membenci kepadaku! Tetapi urusan kau me-
mang membenciku atau tidak, aku tidak peduli! Cuma
saja, jangan lagi bertindak telengas di depan mataku!"
Mendengar kata-kata yang tegas itu, Ayothomori
makin meradang. Seraya maju satu langkah, lelaki
jangkung berkulit kuning ini merandek dingin, "Andi-
ka-san! Sikapmu sudah kelewat batas! Sejak pertama
aku memang tak setuju dengan keinginan Hiedha-san
dan Mishima-san untuk meminta bantuanmu mencari
Nomuro Shasuke!"
"Aku tidak peduli! Tetapi perlu kau ketahui, di sini
aku dilahirkan! Ini tanah leluhurku! Siapa pun orang-
nya yang berniat bikin rusak tanah leluhurku ini, ha-
rus berhadapan denganku!"
"Kau menantangku, Andika-san?"
"Tidakkah terbalik apa yang kau tanyakan itu,
hah?!"
"Baik! Aku menantangmu!"
Andika yang sudah jengkel melihat sikap telengas
Ayothomori segera maju satu tindak ke depan.
"Baik! Biar kau puas... kuterima tantanganmu!"
Sementara itu Hiedha Ogawa yang melihat suasa-
na kian memanas, buru-buru berkata, "Andika-san...
tahan segala amarah dalam dadamu...."
Tanpa palingkan kepala Andika menjawab, "Hied-
ha-san... aku masih bisa menahan diri sebenarnya
dengan apa yang dilakukan Ayothomori-san di pesisir
pantai beberapa hari lalu! Tetapi nampaknya, kawan-
mu itu tidak puas dengan sikapku! Biar dia berhada-
pan denganku!"
"Celaka! Urusan bisa menjadi gawat! Mengapa ha-
rus di antara kami yang saling membuka silang seng-
keta? Bila berita ini terdengar oleh manusia pengkhia-
nat itu, bisa-bisa dia tertawa setinggi langit."
Habis membatin begitu, Hiedha Ogawa melangkah
dan berdiri di tengah-tengah Andika dan Ayothomori.
"Andika-san... aku mohon maaf atas sikap Ayo-
thomori-san...," katanya sambil membungkukkan tu-
buh.
Andika menarik napas panjang. Lama dia terdiam
sebelum akhirnya berkata, "Bukan maksudku untuk
memperlihatkan diri! Tetapi aku ingin...."
"Hiedha-san! Mengapa kau bersikap lemah seperti
itu, hah?!" putus Ayothomori. "Biarkan aku bertarung
dengannya! Ingin kulihat... kebisaan apa yang dia mili-
ki!"
Hiedha Ogawa tak pedulikan kata-kata Ayothomo-
ri. Dia berkata lagi pada Andika, "Andika-san... kami
datang untuk meminta bantuanmu... sudah barang
tentu apa yang dilakukan Ayothomori-san sebuah ke-
salahan...."
"Jangan membelanya! Pemuda celaka ini..."
"Tutup mulutmu, Ayothomori-san!" menghardik
Hiedha Ogawa sambil putar tubuh. Wajahnya berubah
menjadi dingin. Pancaran matanya tajam menusuk.
Sesaat Ayothomori nampak melengak. Sesaat pula
dia balas menatap Hiedha Ogawa dengan tatapan ben-
gisnya. Tetapi di saat lain, dia sudah arahkan pandan-
gannya ke samping kanan. Nampak sekali kalau dia
berusaha tindih segala kekesalannya.
"Keparat! Dua kali Hiedha-san menghinaku! Tak
akan ada yang ketiga kalinya! Sungguh perbuatan
yang tak patut dilakukannya! Perbuatan yang meren-
dahkan derajat dan martabat seorang samurai! Ba-
danku sudah terhina! Akan kubalas semua penghi-
naan ini dengan darah!"
Sementara itu Andika sendiri mulai merasa tidak
enak dengan perkembangan yang terjadi. Tetapi apa
yang dilakukannya tadi memang benar. Karena se-
sungguhnya dia tak menyukai sikap telengas Ayotho-
mori.
Lalu katanya sambil membungkuk sedikit, "Hied-
ha-san... maafkan atas kekhilafanku...."
Hiedha Ogawa membuka kedua tangannya seraya
mendekat. Sambil menepuk-nepuk kedua bahu Andika
dia berkata, "Tak perlu kau meminta maaf.... Ini bukan
kesalahanmu. Justru kesalahan Ayothomori sendiri...."
Andika cuma tersenyum padahal dalam hati dia
memaki-maki dirinya sendiri, "Kutu monyet! Kenapa
aku jadi geram begitu ya? Huh! Tetapi... siapa sangka
kalau aku ternyata juga bisa marah? Wah! Ini berita
bagus!"
Kemudian sambil nyengir dan kembali pada sikap
aslinya, pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutu-
kan ini mendekati Ayothomori. Tak dihiraukannya
pandangan menusuk Ayothomori sambil perlihatkan
sinisannya.
Dengan sikap gagah Andika berkata, "Maafkan
atas kekasaranku tadi...."
Ayothomori tak menyahut. Hanya sinisannya yang
semakin lebar. Bagi Andika sendiri orang itu mau me-
maafkannya atau tidak masa bodoh. Yang pasti dia
sudah mengakui kesalahannya.'
Keheningan itu dipecahkan oleh suara Pucha Ku-
mar, "Maaf, maaf... justru akulah yang menyebabkan
semuanya menjadi seperti ini. Terus terang, aku khilaf
dan menyerang kalian begitu saja. Apa yang dilakukan
oleh Ayothomori bukanlah sebuah kesalahan. Dia me-
mang patut melakukannya.... Justru akulah yang se-
harusnya kalian hukum...."
Seolah mendengar ada orang yang berpihak pa-
danya, Ayothomori angkat kepalanya. Memandang pa-
da Pucha Kumar yang sudah berdiri di samping kanan
Pendekar Slebor.
Hiedha Ogawa berkata, "Kawan... tak ada yang sa-
lah di antara kita. Tidak juga Ayothomori-san dan ti-
dak juga kau. Yah, ini mungkin merupakan bumbu da-
lam kehidupan. Bolehkah kami tahu siapa kau
adanya?"
Pucha Kumar segera arahkan pandangan pada
Hiedha Ogawa. Lalu disebutkan nama, asal-usul dan
apa yang dicarinya di tanah Jawa ini.
"Itulah sebabnya, tadi kuserang kalian karena aku
menduga salah seorang di antara kahan adalah pem-
bunuh keji bernama Nomuro Shasuke...."
Hiedha Ogawa menggelengkan kepala.
"Tidak, tidak ada di antara kami yang bernama
Nomuro Shasuke. Sesungguhnya, kami adalah utusan
dari Kaisar Tokugawa Iesyasumoto yang sedang men-
cari manusia celaka itu...."
Wajah Pucha Kumar nampak penuh penyesalan.
"Sekali lagi... maafkan aku...." Lalu dia berkata la-
gi pada Ayothomori, "Kawan... kuhaturkan permintaan
maaf setulusnya padamu...."
Kalau tadi Ayothomori tersenyum karena ada yang
berpihak padanya, kali ini dia mendengus. Lalu den-
gan sikap angkuh lelaki bertubuh jangkung itu me-
langkah ke bawah sebuah pohon. Dan duduk bersan-
dar dengan mata dipejamkan.
Mishima Nobu mendekatinya dan mencoba mene-
nangkan hati kawannya itu. Di lain pihak, Hiedha
Ogawa berkata, "Andika-san... apakah kau sudah
mendapatkan jejak Nomuro Shasuke?"
Andika menggelengkan kepalanya.
"Hiedha-san... pernahkah kau mendengar tentang
seorang tokoh berjuluk Dewi Permata Biru?"
Sesaat kening Hiedha berkerut sebelum akhirnya
menggeleng. "Tidak. Mengapa?"
"Apakah selama ini, kau tahu kalau sesungguhnya
Nomuro Shasuke pernah datang ke tanah Jawa?"
Lagi-lagi kepala Hiedha menggeleng.
Andika berkata lagi, "Menurut perkiraanku, No-
muro Shasuke pernah datang ke tanah Jawa dan saat
ini dia tentunya sedang bersama kambratnya yang ber-
juluk Dewi Permata Biru...."
Sesaat hening melanda masing-masing orang se-
belum akhirnya Hiedha Ogawa membuka mulut, "An-
dika-san... aku baru ingat sekarang.... Ya, ya... bisa ja-
di kala itu dia datang ke tanah Jawa...."
"Ceritakan...."
"Sepuluh tahun yang lalu... terjadi pemberontakan
di Kekaisaran. Semua turun tangan untuk mengatasi
para pemberontak. Dan setelah pemberontakan itu
berhasil diatasi, kami baru sadar kalau Nomuro Sha-
suke tidak ada di antara kami. Saat itu kami berpikir
dia telah tewas dalam pertarungan sengit. Tetapi dua
bulan kemudian, dia muncul kembali dalam keadaan
segar bugar. Menurut ceritanya... dia mengejar sisa-
sisa gerombolan sampai ke Bukit Huy. Dan kami se-
mua percaya dengan penjelasannya. Hmmm... bisa ja-
di, kalau sebenarnya dia justru melarikan diri dari
tanggung jawabnya menuju ke tanah Jawa.... Andika-
san... bagaimana kau bisa menduga kalau Nomuro
Shasuke saat ini sedang bersama-sama Dewi Permata
Biru?"
Andika menceritakan apa yang diketahuinya dari
para penduduk dusun Bojong Tunggal.
Hiedha Ogawa mengepalkan tinjunya. "Nampak-
nya... lelaki celaka itu tengah menghimpun kekuatan-
nya lagi dengan meminta bantuan orang-orang sesat
seperti Dewi Permata Biru...."
Kembali tak ada yang membuka suara. Di bawah
pohon, Mishima Nobu nampaknya berhasil menenang-
kan hati Ayothomori, terbukti lelaki jangkung itu mau
kembali bergabung. Namun tak seorang pun yang ta-
hu, kalau sesungguhnya Ayothomori masih menden-
dam pada Pendekar Slebor.
Lalu terdengar kata-kata Pucha Kumar, "Aku ma-
sih tidak enak dengan tindakan yang kulakukan tadi,
yang hampir saja membuka urusan salah paham di
antara kita, bahkan bisa jadi mengorbankan nyawa bi-
la Andika tidak segera bertindak. Dan kini kita sama-
sama tahu, kalau masing-masing orang sedang mem-
buru Nomuro Shasuke yang menurut Andika telah
bergabung dengan Dewi Permata Biru. Kalau begitu...
aku mohon diri untuk segera mencari Nomuro Sha-
suke...."
Tak ada yang menahan keinginan Pucha Kumar.
Karena sesungguhnya masing-masing orang juga tak
mau membuang waktu untuk meneruskan melacak je-
jak pembunuh dari Jepang itu.
Sepeninggal lelaki dari India itu, Andika berkata,
"Kini kita tahu masalah yang sesungguhnya. Berhati-
hati bila bertemu dengan seorang perempuan yang di
keningnya terdapat sebuah permata yang pancarkan
warna biru...."
Lalu Andika berbisik pada Hiedha Ogawa, "Hied-
ha-san... hati-hati terhadap Ayothomori... aku khawa-
tir dia akan meledak sewaktu-waktu dan membikin
urusan ini jadi berantakan...."
Setelah Hiedha Ogawa menganggukkan kepa-
lanya, Andika meneruskan langkah ke arah yang ber-
lawanan dengan Pucha Kumar.
Sepeninggal pemuda dari Lembah Kutukan itu,
ketiga utusan Kaisar Yokugawa Iesyasumoto segera
meneruskan perjalanan.
Sementara itu, diam-diam Ayothomori berkata,
"Suatu saat... akan kukejutkan kalian... terutama kau,
Pendekar Slebor...."
***
8
Di sebuah tempat yang cukup jauh dari perte-
muan Pendekar Slebor, Pucha Kumar dan tiga orang
utusan Kaisar Tokugawa Iesyasumoto, nampak satu
sosok tubuh menghentikan kelebatannya di sebuah ja-
lan yang dipenuhi bebatuan. Sosok tubuh tinggi kurus
yang mengenakan pakaian warna hitam-hitam terbuka
di bagian dada hingga menampakkan tonjolan tulang-
nya, keluarkan dengusan.
"Keparat! Aku terlambat datang! Pendekar Slebor
telah berhasil mengalahkan kutukan Jala Kunti! Jaha-
nam sialan! Sampai di mana pun juga, akan kucari
pemuda celaka yang ikut campur dalam urusan den-
dam lama kakak seperguruanku itu pada Ki Saptaca-
kra!"
Kembali lelaki tua yang berusia sekitar tujuh pu-
luh tahun ini keluarkan dengusan. Wajah orang ini
demikian mengerikan, karena seperti tak terlapis dag-
ing dan kulit. Begitu kurusnya hingga wajahnya nam-
pak seperti tengkorak belaka. Rambut orang itu pan-
jang tak beraturan. Sepasang matanya menjorok ke
dalam dan pancarkan warna kelabu pekat.
Lagi-lagi dia keluarkan suara dingin, "Dua murid-
ku telah tewas di tangannya! Urusan kutukan Jala
Kunti berhasil digagalkannya! Jahanam keparat! Pe-
muda dari Lembah Kutukan itu semakin membuat ke-
dua tanganku kian gatal untuk mengepruk kepalanya!"
Lalu mendadak saja lelaki kurus ini menggerak-
kan kedua tangannya ke samping kanan dan kiri. Ke-
jap itu pula menghampar dua gelombang angin yang
mengandung hawa panas. Menghantam deras dua
buah batu sebesar kambing jantan.
Blaaarr! Blaaarrr!
Begitu terdengar letupan yang keras, batu besar
itu langsung rengkah. Bukan menjadi pecahan kerikil
yang berpentalan, melainkan menjadi abu yang mem-
bubung ke udara.
Siapakah lelaki tua yang mendendam pada Pen-
dekar Slebor? Dia tak lain adalah Dedemit Tapak Akhi-
rat, guru dari Dua Iblis Lorong Maut. Tatkala terjadi
peristiwa aneh sekaligus mengerikan yang berkaitan
dengan Patung Kepala Singa, Pendekar Slebor memang
terlihat dalam urusan itu. Sementara Dedemit Tapak
Akhirat yang setelah menurunkan ilmunya pada Gen-
dala Maung, langsung turun tangan untuk mencari
Pendekar Slebor.
Namun dia datang agak terlambat, karena dengan
kecerdikan dan kesaktian yang dimilikinya, Pendekar
Slebor berhasil memutuskan segala kutukan perem-
puan sesat bernama Jala Kunti yang mendendam pada
Eyang buyutnya, Ki Saptacakra (Untuk mengetahui
semua peristiwa ini, silakan baca : "Patung Kepala Sin-
ga", "Rahasia Di Balik Abu" dan "Cinta Dalam Kutu-
kan").
Kembali lelaki bertampang layaknya tengkorak ini
keluarkan dengusan.
"Huh! Sampai kapan pun juga, tak akan kubiar-
kan pemuda celaka itu hidup lebih lama!"
Belum lagi habis kata-katanya terdengar, menda-
dak saja terdengar suara agak nyaring dari belakang-
nya, "Tak disangka dan tak dinyana, tak perlu bersu-
sah payah akhirnya bertemu juga di sini! Sungguh
menyenangkan! Dedemit Tapak Akhirat... apakah kau
masih mengenaliku?!"
Seketika itu juga Dedemit Tapak Akhirat paling-
kan kepalanya ke belakang. Sepasang matanya yang
pancarkan sinar kelabu memandang tak berkedip pada
perempuan berparas jelita yang kenakan pakaian war-
na merah menyala dan telah berdiri berjarak lima
langkah dari tempatnya. Perempuan itu langsung pa-
merkan senyum genit. Dan di keningnya terdapat se-
buah permata yang pancarkan sinar warna biru.
Dari sikapnya yang sejak tadi begitu jengkel, kali
ini Dedemit Tapak Akhirat terbahak-bahak.
"Dewi Permata Biru... tak kusangka pula kalau ki-
ta akan bertemu lagi. Kupikir... kau sudah menghilang
setelah cintamu ditolak oleh Pendekar Bayangan?"
Perempuan yang tadi keluarkan suara dan tak lain
memang Dewi Permata Biru adanya maju dua tindak
ke depan.
"Setiap kali bertemu, kau selalu mengingatkanku
pada lelaki keparat itu! Tetapi urusan Pendekar
Bayangan telah kutuntaskan! Lelaki keparat itu telah
mampus di tanganku...."
"Bagus! Kau memang harus kubur dalam-dalam
segala cinta yang pada akhirnya akan menjeratmu
sendiri! Dan sungguh kabar yang menyenangkan men-
dengar Pendekar Bayangan telah mampus! Padahal se-
jak dulu kukatakan padamu, biar aku yang mengurus
nyawa lelaki yang membuatmu lara!"
"Tetapi pada akhirnya... justru dia mampus di
tanganku, bukan?"
"Berarti... hatimu telah setajam duri mawar! Cin-
tamu telah berubah menjadi dendam angkara!"
"Terkadang... aku sendiri tak begitu paham ten-
tang cinta yang kumiliki! Di saat seorang lelaki men-
cintaiku, justru aku tak bisa membalasnya! Tetapi
tatkala aku jatuh cinta setengah mati pada seorang le-
laki, justru lelaki itu yang tak bisa membalas cintaku!
Hanya saja... sudahlah! Kini segala urusan cinta telah
berlalu, begitu jauh!"
Dedemit Tapak Akhirat terbahak-bahak keras
hingga tubuhnya berguncang. Masih tertawa dia ber-
kata, "Kemunculanmu ini sungguh mengejutkan! Dan
rasanya tak mungkin bila kau tak membawa sebuah
urusan! Ada apa?!"
Dewi Permata Biru kerlingkan mata dulu sebelum
berkata, "Tak kusangka juga kalau kau akan keluar
dari tanah terkutuk bernama Puncak Balu-Balu! Apa-
kah kau sudah bosan menyendiri di tempat itu, hah?!"
Tawa Dedemit Tapak Akhirat terputus. Sepasang
matanya menyipit, agak tajam memandang Dewi Per-
mata Biru yang masih tersenyum.
"Kendati usia perempuan ini jauh berbeda dengan
usiaku, tetapi dia adalah salah seorang kambrat yang
setia. Kendati setiap ucapannya terkadang membuatku
ingin menghajarnya, tetapi dia adalah orang yang bisa
diajak bersatu dalam kejahatan."
Habis membatin begitu Dedemit Tapak Akhirat
berkata, "Mengapa harus putar pertanyaan bila masih
ada yang mengganjal? Urusanku meninggalkan Pun-
cak Balu-Balu, adalah urusanku semata! Katakan...
apa keperluanmu?"
Kembali Dewi Permata Biru kerlingkan matanya.
Lidahnya dikeluarkan dan dijilat bibirnya dengan cara
yang merangsang. Dedemit Tapak Akhirat cuma men-
dengus.
"Orang tua... aku membutuhkan bantuanmu...."
"Sudah kuduga!" sahut Dedemit Tapak Akhirat
dengan suara melecehkan. "Kau memang selalu mem-
butuhkan bantuanku!"
"Kurang ajar!" maki Dewi Permata Biru dalam ha-
ti. Tetapi dia tetap tersenyum, "Kupikir aku tak pernah
meminta bantuanmu, Orang Tua! Justru kaulah yang
dulu menawarkan bantuanmu untuk membunuh Pen-
dekar Bayangan! Tetapi sudahlah... apakah kau per-
nah mendengar julukan Pendekar Slebor?"
Mendengar julukan pemuda yang dibencinya, ke-
pala Dedemit Tapak Akhirat sampai menegak. Sepa-
sang matanya yang keluarkan sinar berwarna kelabu
mencorong dalam.
"Mengapa kau sebutkan julukan pemuda yang in-
gin kubunuh!" serunya menyengat.
Sesaat perempuan berpakaian merah menyala itu
kerutkan kening. Saat keningnya berkerut, nampak
permata yang terdapat di keningnya itu semakin terang
bersinar.
"Pemuda yang ingin dibunuhnya? Oh! Apakah
manusia ini memang sedang punya urusan dengan
Pendekar Slebor? Pucuk dicinta ulam pun tiba! Ra-
sanya tak perlu repot-repot aku mengajaknya untuk
bergabung."
Lalu dengan masih kerlingkan matanya Dewi Per-
mata Biru berkata, "Ada urusan apa kau dengan pe-
muda dari Lembah Kutukan itu?"
"Jangan campuri urusanku! Katakan, mengapa
kau mencarinya?!" balas Dedemit Tapak Akhirat ge-
ram.
Dewi Permata Biru tahu betul akan tabiat lelaki
bertampang tengkorak ini. Makanya dia segera mence-
ritakan apa yang dialami dan diinginkannya.
Dilihatnya kepala Dedemit Tapak Akhirat mang-
gut-manggut.
"Hmmm... lalu di mana temanmu yang bernama
Nomuro Shasuke itu?"
"Lelaki itu penasaran ingin tahu seperti apa wajah
Pendekar Slebor. Saat ini dia sedang mencari keteran-
gan tentang pemuda itu, juga mencari tahu tentang
utusan Kaisar Jepang yang mengejarnya ke tanah Ja-
wa."
Dedemit Tapak Akhirat terdiam. Dari raut wajah-
nya jelas dia tak suka mendengar masalah yang diha-
dapi Dewi Permata Biru. Lalu didengarnya perempuan
itu ajukan tanya, "Dedemit Tapak Akhirat... apakah
kau setuju untuk membantuku?"
"Mengapa kau membutuhkan bantuanku? Apakah
kau sudah tak punya nyali untuk menghadapi anak
ingusan itu?"
"Jahanam! Lama kelamaan aku tak bisa menahan
diri untuk tidak segera merobek mulutnya!" maki Dewi
Permata Biru gusar dalam hati. Tetapi lagi-lagi tak di-
tampakkan amarahnya. Sambil tersenyum dia berkata,
"Tak sekali pun aku kehilangan nyali untuk mengha-
dapinya. Tetapi... apakah kau tidak tertarik dengan
rencana sahabatku itu untuk menggulingkan Kaisar
Tokugawa Iesyasumoto?"
"Huh! Untuk apa aku tertarik dengan segala niatan seperti itu? Di tanah Jawa ini, aku sudah memiliki
nama! Barang siapa yang mendengar julukanku, maka
dia akan lari terbirit-birit!" sahut Dedemit Tapak Akhi-
rat keras. Namun sebenarnya diam-diam dia mulai ter-
tarik dengan ajakan itu.
Dan diam-diam pula Dewi Permata Biru tahu ka-
lau lelaki kurus berpakaian hitam-hitam ini tertarik
dengan ajakannya. Karena sekilas dilihatnya kilatan-
kilatan pada sepasang mata Dedemit Tapak Akhirat.
"Tanah Jawa sudah tak membuatku bergairah la-
gi. Kejenuhan itu cukup melanda hatiku setelah Pen-
dekar Bayangan berhasil kubunuh. Kupikir... bila kita
bahu membahu dengan Nomuro Shasuke untuk
menggulingkan Kaisar Tokugawa... maka apa yang se-
lama ini kita dambakan akan tercapai."
"Apa maksudmu?"
"Tidakkah dalam usiamu yang semakin tua itu
menginginkan hidup yang lebih baik lagi? Dikelilingi
oleh harta yang melimpah, jabatan tinggi dan ten-
tunya... gadis-gadis jelita yang dapat menghiburmu?"
Dedemit Tapak Akhirat cuma keluarkan dengu-
san.
"Huh! Urusanku adalah urusanku! Apa yang men-
jadi urusanmu dengan orang Jepang itu adalah uru-
sanmu! Tetapi sungguh kebetulan kita mempunyai la-
wan yang sama! Baik, kita bekerja sama untuk menca-
ri Pendekar Slebor! Tetapi ingat, bila kau berhasil me-
nemukannya, kau tak boleh membunuhnya! Karena
aku ingin mencabik-cabik seluruh tubuhnya sebelum
mampus kubunuh!"
Dewi Permata Biru pamerkan senyumnya.
"Sudah tentu akan kulakukan keinginanmu itu."
"Bagus! Lantas persoalan apa lagi yang hendak
kau bicarakan, hah?!"
"Bagaimana dengan tawaranku untuk membantu
sahabatku mengadakan pemberontakan di Jepang?"
"Aku akan memikirkannya nanti setelah melihat
Pendekar Slebor mampus! Apa lagi?!"
"Justru sekarang hal itu hendak kutanyakan pa-
damu!"
"Tak ada lagi yang perlu dibicarakan!"
Habis sahutannya, Dedemit Tapak Akhirat sudah
putar tubuh. Kejap berikutnya dia sudah berkelebat
cepat. Kendati hanya sekilas, Dewi Permata Biru yakin
kalau dia melihat Dedemit Tapak Akhirat tidak men-
ginjak tanah saat berkelebat.
"Hmmm... urusan satu telah kujalankan dengan
baik. Tak kusangka kalau lelaki tua kurus itu memiliki
dendam yang tinggi pada Pendekar Slebor! Lama kela-
maan niatku jadi berubah. Ingin kulihat seperti apa
kesaktian yang dimiliki pemuda dari Lembah Kutukan
itu...."
Lalu kepalanya ditengadahkan.
"Apa yang dialami Nomuro Shasuke sekarang?
Apakah dia sudah kembali ke Danau Bulan? Atau...
masih melacak jejak Pendekar Slebor?" desisnya dan
tahu-tahu bibirnya tersenyum. "Jangan-jangan... saat
ini dia sedang asyik menggeluti seorang gadis manis
bertubuh montok. Hmmm... sebaiknya aku kembali ke
Danau Bulan...."
***
9
Indrajit mengepalkan tinjunya keras-keras di be-
lakang rumahnya. Ombak bergulung-gulung dahsyat,
perdengarkan suara laksana meriam berdentum.
"Aku tak boleh berdiam diri. Aku tak boleh berpangku tangan," pemuda ini menggeram sendiri. Wa-
jah tampannya dengan kulit agak hitam karena terlalu
banyak berada di lautan, menekuk dalam. Bibirnya
merapat dingin dengan sorot mata gusar.
Menyusul dia kertakkan rahangnya.
"Nomuro Shasuke... pembunuh keparat! Dia harus
mampus!" geramnya lagi.
Tatkala diingat-ingatnya kejadian beberapa ming-
gu lalu, kemarahan kian merajai diri Indrajit. Apalagi
tatkala diingatnya bagaimana lelaki jangkung berkulit
kuning yang membunuh dua orang temannya dengan
telengas.
"Ayothomori... ya, lelaki itu bernama Ayothomo-
ri.... Dari sikap kejamnya, jelas dia tak jauh berbeda
dengan Nomuro Shasuke! Kendati pemuda yang me-
nyelamatkan kami dari tangan maut Ayothomori men-
gatakan itu terjadi karena kesalahpahaman, aku tak
bisa berdiam diri. Sesungguhnya aku bisa membenar-
kan kata-kata Andika. Akan tetapi, darah para saha-
batku telah tertumpah dengan nyawa meregang. Tidak!
Aku tak boleh membiarkan semua ini berlarut-larut!
Manusia-manusia dari negeri Sakura itu harus men-
dapatkan ganjarannya!"
Karena amarah yang telah berbalur menjadi den-
dam, Indrajit memutuskan malam itu juga dia harus
segera berangkat. Lalu dengan cara diam-diam, diper-
siapkannya parang yang diselipkan pada pinggangnya.
Dikenakan pakaiannya yang berwarna putih. Setelah
melirik ibunya yang sudah tua yang tengah terlelap,
dia pun segera berlari meninggalkan dusunnya.
Kendati dibesarkan di perkampungan nelayan, In-
drajit memiliki sedikit kepandaian bela diri, yang di-
ajarkan oleh ayahnya sebelum menghilang di lautan.
Dengan penuh keyakinan dia memantapkan diri untuk
membalas semua perlakuan orang-orang dari seberang
yang menurutnya tak boleh dimaafkan.
Dalam larinya yang tak berniat dihentikan sekejap
pun, Indrajit teringat akan kata-kata pemuda berpa-
kaian hijau pupus.
"Dendam hanya akan membuat kita menjadi buta
hati, buta langkah dan buta bertindak. Dan itu akan
membawa kita pada jurang kehancuran."
Lagi-lagi Indrajit membenarkan kata-kata Andika.
Namun dia justru coba sembunyikan kenyataan itu.
Diingatnya lagi apa yang dikatakan pemuda berambut
gondrong acak-acakan itu.
"Biarlah aku yang mengurus semua ini. Karena
sesungguhnya tiga lelaki Jepang itu tengah memburu
seorang pembunuh yang bernama Nomuro Shasuke...."
Secara tidak langsung, pemuda berpakaian hijau
pupus itu memang menjanjikan kalau dia akan men-
gurusi semua masalah yang terjadi. Namun bagi Indra-
jit, urusan yang telah memutuskan nyawa sahabat-
sahabatnya tak bisa didiamkan begitu saja. Justru
semakin dia coba lupakan, masalah itu semakin ber-
tambah melingkar di benak dan hatinya.
Tepat tengah malam, pemuda gagah ini tiba di se-
buah tempat yang sepi. Hewan-hewan malamlah yang
membuat suasana di tempat yang dipenuhi pepohonan
itu agak ramai. Namun apalah artinya suara-suara
hewan malam bila pada kenyataannya dia tetap seo-
rang diri.
Indrajit yang sejak kecil ditempa oleh kehidupan
laut yang keras, tak merasa takut sedikit pun juga.
Malah dengan kedua mata dibesarkan diperhatikan
sekelilingnya.
Kejap berikutnya terdengar dia berkata, "Memang
sulit mencari pembunuh keparat bernama Nomuro
Shasuke. Tetapi apa pun yang terjadi, aku tak akan
mengurungkan niat yang telah terpatri di hati!"
Karena cukup lama dan cukup jauh berlari, Indra-
jit memutuskan untuk beristirahat dulu. Paling tidak,
dia akan tidur sampai matahari terbit kembali.
Memutuskan demikian, pemuda gagah ini dengan
cekatan memanjat sebuah pohon besar. Menurutnya,
paling aman bila dia tidur di atas pohon. Namun baru
saja dia merebahkan tubuhnya pada dua buah dahan
pohon yang berdekatan, mendadak saja didengarnya
ranting pohon berderak, tanda diinjak oleh seseorang.
Agak terkejut dan dengan dada berdebar, Indrajit
buru-buru bangkit. Disibaknya dedaunan sedikit. Un-
tuk sesaat dia sulit melihat siapa orang yang datang.
Tetapi kejap kemudian, dilihatnya seorang gadis se-
dang celingukan tak jauh dari pohon di mana dia men-
gintip.
"Aneh! Ada seorang gadis yang berani berkeliaran
di tempat sesunyi ini seorang diri. Siapakah gadis itu?
Dan rasanya... sudah tentu gadis itu bukan orang
sembarangan. Karena tak mungkin dia berani berkelia-
ran di hutan ini tanpa memiliki bekal yang berarti."
Gadis yang mengenakan pakaian warna biru den-
gan ikat pinggang putih itu sedang memperhatikan se-
kelilingnya. Di rambutnya terdapat ronce bunga melati
dengan sebuah tusuk konde. Menilik ciri yang ada pa-
da gadis ini, bisa dipastikan kalau dia adalah Widarti,
murid Pendekar Bayangan yang sedang mencari Dewi
Permata Biru.
"Huh! Sulit bagiku menemukan di mana perem-
puan celaka itu berada! Bahkan sampai hari ini, aku
belum juga bertemu dengan Pendekar Slebor! Justru
bertemu dengan pemuda urakan yang bernama Paradi-
ta! Ke mana lagi aku harus melangkah?"
Di atas pohon, Indrajit mengerutkan keningnya.
"Siapa perempuan celaka yang dimaksudnya? Dan
mengapa dia mencari Pendekar Slebor?"
Selagi Indrajit bertanya-tanya dalam hati, menda-
dak saja didengarnya suara membentak, "Orang yang
berada di atas pohon! Lekas turun!"
Tersentak Indrajit mendengar ucapan orang.
Sungguh tak disangkanya, dia yang sejak tadi tak ke-
luarkan suara maupun lakukan gerakan apa-apa,
bahkan sosoknya terhalang oleh rimbunnya dedaunan,
kehadirannya dapat diketahui oleh gadis berpakaian
biru itu.
Karena merasa tak perlu lagi bersembunyi, Indra-
jit pun segera turun. Berjarak dua meter dari pohon
yang dipanjatnya, dia melompat.
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, terdengar
seruan keras Widarti, "Hhh! Ternyata cuma seorang
pemanjat pohon belaka! Katakan padaku, mengapa
kau mengintipku, hah?!"
Sejenak Indrajit gelagapan mendengar bentakan
itu. Lebih gelagapan lagi tatkala disadarinya betapa je-
litanya gadis di hadapannya ini. Sungguh, baru kali ini
Indrajit melihat seorang gadis yang sedemikian jeli-
tanya, dengan bibir memerah dan wajah berbentuk bu-
lat telur. Bahkan pancarkan sinar indah tatkala wajah
jelita itu diterangi sinar rembulan.
Dan karena gelagapnya itulah dia tak segera
membuka mulut, yang justru memancing kemarahan
Widarti.
"Setahuku... orang yang kerjanya hanya mengintip
saja, bukanlah orang baik-baik! Apalagi menilik tam-
pangmu yang tegang begitu!"
Indrajit gelagapan kembali. Kali ini lebih bisa kua-
sai dirinya ketimbang tadi.
"Maaf... aku... aku... sama sekali tidak bermaksud
mengintipmu, Nona.... Hanya kebetulan saja... aku...
aku bersikap seperti itu."
"Nah! Dengan kata-katamu barusan, mengapa kau
masih coba putar kenyataan, hah?!"
Sadar akan kekeliruan bicaranya, Indrajit buru-
buru menyambung, "Maksudku... aku kebetulan hen-
dak tidur. Tetapi... kudengar ranting diinjak dan tak
tahunya... kaulah adanya, Nona...."
Widarti terdiam. Pandangannya lurus memperha-
tikan pemuda di hadapannya.
"Kata-katanya barusan... sepertinya memang
mengandung kejujuran. Nampaknya dia bukanlah seo-
rang pemuda yang tersesat. Bukan pula penebang
kayu yang kemalaman. Hmmm... di pinggangnya ter-
dapat sebilah parang. Dan wajahnya, kendati gugup
namun pandangan matanya seperti menyimpan den-
dam. Ah, mungkin sikapku ini terlalu keras hingga dia
menjadi gugup seperti itu."
Kendati berpikiran demikian, Widarti tetap tak tu-
runkan kewaspadaannya. Seraya maju satu langkah
dia berkata, "Baiklah, kubenarkan apa yang kau kata-
kan. Sekarang beri tahu padaku, mengapa kau berada
di sini?"
Karena tak ingin terjadi salah paham, buru-buru
Indrajit mengatakan sebab-sebab dia berada di situ.
Bahkan disebutkan nama dan asalnya.
Widarti terdiam dulu sebelum berkata, "Namaku
Widarti... aku datang dari Lembah Bayang-Bayang. Se-
telah pandang Indrajit sesaat, gadis ini melanjutkan,
"Kurasa.. tak ada lagi yang perlu dibicarakan."
"Tunggu!" sahut Indrajit menahan. Dan buru-buru
berkata begitu melihat mata si gadis melotot, "Jangan
salah sangka. Maksudku... aku... aku...."
Dan dia justru tak bisa teruskan kalimatnya kare-
na lagi-lagi hatinya seperti diaduk-aduk melihat kecan-
tikan wajah gadis di hadapannya. Sungguh mati, In-
drajit menjadi salah tingkah sendiri.
"Apa yang hendak kau katakan?"
Mendengar pertanyaan itu Indrajit kian gelagapan.
Justru apa yang dikatakannya berlainan dengan yang
diinginkannya, "Tidak, tidak... ya, ya... kita berpisah di
sini...."
Widarti malah kerutkan keningnya.
"Kenapa pemuda ini jadi seperti monyet ke bakar
ekornya? Dia keblingsatan sendiri. Hmmm... mungkin
sikapku memang terlalu keras."
Kembali berpikir demikian, Widarti berkata, "Bila
memang tak ada yang hendak kau bicarakan, memang
sebaiknya kita berpisah. Karena masih ada urusan
yang harus kuselesaikan."
Seperti mendapat petunjuk yang dibutuhkannya,
pemuda itu berkata, "Ya! Urusanmu itu!"
Widarti menatapnya lekat-lekat. Dia berusaha un-
tuk tidak menampakkan kejengkelannya melihat sikap
si pemuda yang justru membuang waktunya.
"Apa maksudmu?"
"Tadi... tadi... kudengar kau sedang mencari Pen-
dekar Slebor, bukan?" tanya Indrajit susah payah. Dan
memaki-maki dirinya sendiri dalam hati, "Brengsek!
Kenapa aku jadi kebingungan seperti ini?!"
"Ya... aku memang mencari Pendekar Slebor."
"Aku mengenalnya."
"Oh!" sesaat Widarti melengak tak menyangka
mendengar kata-kata itu. Lalu dengan suara terdengar
gembira dia berkata, "Benarkah kau mengenalnya?"
Buru-buru Indrajit mengangguk. Segera dicerita-
kan apa yang dialaminya di pesisir pantai.
"Lalu... di manakah Pendekar Slebor berada?"
Kali ini Indrajit menggelengkan kepalanya.
"Sayangnya... setelah itu Pendekar Slebor mening-
galkan dusun kami. Tetapi yang pasti, dia sedang me-
lacak jejak pembunuh dari Jepang bernama Nomuro
Shasuke."
Widarti tak segera membuka mulut. Dia berkata
dalam hati, "Pemuda ini kelihatannya memang jujur.
Dan aku memang membutuhkan bantuan Pendekar
Slebor untuk mencari perempuan terkutuk yang telah
membunuh Guru. Hingga saat ini, aku tidak tahu se-
perti apa ciri Pendekar Slebor. Huh! Beruntung aku
bertemu dengan pemuda ini ketimbang pemuda yang
bernama Paradita waktu itu! Sebaiknya...."
Memutus kata hatinya sendiri, Widarti kemudian
berkata, "Indrajit... aku memang sedang mencari Pen-
dekar Slebor. Terus terang, hingga hari ini aku tidak
tahu seperti apa rupa dan bagaimana ciri-ciri Pendekar
Slebor. Bila kau bersedia... maukah kau berjalan ber-
samaku untuk mencari Pendekar Slebor?"
Sudah tentu ajakan itu sangat menggembirakan
hati Indrajit. Apalagi diam-diam dia telah jatuh hati
pada pandangan pertama terhadap gadis jelita di ha-
dapannya ini. Namun tatkala dia teringat harus men-
cari Nomuro Shasuke, pemuda gagah ini tak segera
menjawab. Hatinya menjadi bimbang.
"Kenapa, Indrajit? Apakah kau keberatan?"
Indrajit menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak... eh, maksudku... aku... aku sedang mem-
punyai urusan dengan pembunuh dari Jepang berna-
ma Nomuro Shasuke. Manusia celaka itu telah mem-
bunuh para sahabatku. Kendati aku tahu ilmunya be-
gitu tinggi, tetapi aku tak perduli. Aku harus memba-
las sakit hati sahabat-sahabatku...."
Widarti tak menjawab. Nampak sekali kalau murid
mendiang Pendekar Bayangan ini sedang berpikir. Se-
telah mendapatkan satu pikiran yang bagus, dia ber-
kata, "Indrajit... bagaimana bila kita sama-sama mela-
cak jejak pembunuh itu?"
"Maksudmu?"
"Di samping mencari Pendekar Slebor, kita juga
mencari orang yang bernama Nomuro Shasuke."
"Sebenarnya... maaf, mengapa kau mencari Pen-
dekar Slebor, Widarti?"
Merasa tak ada salahnya menceritakan urusan
yang sedang dituntaskannya, Widarti segera menceri-
takan semuanya.
"Begitulah.... Aku harus mencari dan meminta
bantuan Pendekar Slebor. Sebelum ajalnya guruku
berpesan untuk meminta bantuannya. Di samping itu,
kendati dengan cara yang licik, Dewi Permata Biru
berhasil membunuh guruku. Dapat kubayangkan ka-
lau perempuan celaka itu memiliki ilmu yang tinggi.
Indrajit... tadi pun kau mengatakan, kalau pembunuh
dari Jepang yang bernama Nomuro Shasuke itu memi-
liki ilmu yang tinggi pula. Bukankah bila kita bersama-
sama, maka kekuatan kita akan bertambah? Paling ti-
dak, kita bisa saling bahu membahu bila kebetulan
bertemu dengan Nomuro Shasuke maupun Dewi Per-
mata Biru. Bagaimana?"
Kali ini wajah Indrajit berseri-seri. Dia mengang-
gukkan kepalanya, agak terburu-buru.
"Kalau memang begitu adanya, aku setuju."
"Bagaimana bila kita memulai perjalanan seka-
rang?" tawar Widarti.
Indrajit melongo dan tak menjawab untuk bebera-
pa saat.
"Kenapa lagi dia?" tanya Widarti dalam hati. Lalu
ajukan tanya, "Ada apa?"
"Aku... terus terang, aku masih lelah," kata Indra-
jit dengan wajah memerah. Beruntunglah dia karena
saat ini sinar rembulan terhalang oleh rimbunnya de-
daunan.
Widarti tersenyum dan berkata, "Kalau begitu...
kita bisa beristirahat dulu. Besok pagi, kita memulai
perjalanan. Bagaimana?"
"Usul yang bagus!" sahut Indrajit lalu berbalik dan
memanjat kembali pohon yang tadi telah dinaikinya.
Kalau Indrajit memanjat, Widarti justru melompat
dengan ringan untuk sampai ke dahan pohon di sebe-
lah pohon yang dinaiki Indrajit. Lalu menyelinap di an-
tara rimbunnya dedaunan.
Pemuda nelayan ini melengak kaget melihat apa
yang dilakukan Widarti.
"Hebat! Dia bisa naik ke pohon itu hanya dengan
sekali melompat! Sungguh luar biasa! Ah... bila saja
dia menjadi istriku tentunya.... Huh! Bodoh! Mana
mungkin dia mau dengan pemuda sepertiku?!"
Kendati berpikir begitu, namun sepanjang malam
Indrajit tak bisa tidur memikirkan kemungkinan itu.
***
10
Pada saat yang bersamaan, dua sosok tubuh tiba
secara serempak di depan sebuah gubuk. Di belakang
gubuk itu terdapat sebuah danau yang berair jernih.
Hewan-hewan malam bernyanyi gembira menyambut
ketenangan malam. Sesaat masing-masing orang sal-
ing pandang.
"Dewi...," yang berada di sebelah kanan berseru.
"Nomuro-san! Rupanya kau baru tiba juga!"
Dua sosok tubuh yang tak lain Nomuro Shasuke
dan Dewi Permata Biru itu tertawa. Lalu melangkah
dan berangkulan. Dengan bernafsu Nomuro Shasuke
menciumi wajah dan bibir Dewi Permata Biru yang
cuma terkikik. Dirasakan bagaimana tangan kanan
dan kiri Nomuro Shasuke merabai seluruh tubuhnya.
Dalam dua kejapan mata saja, dua sosok tubuh
yang berlainan jenis itu sudah dalam keadaan telan-
jang. Mereka mengejar kenikmatan dengan napas
memburu, di atas tanah berumput ditemani sinar
rembulan.
Setelah hampir setengah peminuman teh, masing-
masing orang kemudian tergeletak di atas rumput den-
gan pandangan lurus ke langit. Napas yang tadi mem-
buru kini terdengar satu-satu.
"Nomuro-san... apa saja yang telah kau lakukan
selama dua hari ini?"
"Banyak!"
"Apakah kau sudah bertemu dengan Pendekar
Slebor?" tanya Dewi Permata Biru lagi tanpa bermak-
sud mengenakan pakaiannya kembali.
Nomuro Shasuke mengangguk-anggukkan kepa-
lanya.
"O ya? Apakah kau telah membunuhnya?"
"Tidak!" sahut Nomuro geram. "Saat itu dia ber-
sama seorang lelaki dari India yang bernama Pucha
Kumar! Tetapi aku puas... karena kini aku tahu seperti
apa rupa Pendekar Slebor!"
"Bagaimana kau bisa mengetahuinya?"
"Itu rahasiaku! Dewi... apa yang kuduga ternyata
benar, kalau Kaisar Tokugawa Iesyasumoto telah men-
gutus tiga orang kepercayaannya untuk mengejar-
ku...."
"Dan kau tidak membunuhnya pula?"
"Aku belum mempunyai kesempatan."
"Kesempatan itu akan kau punyai."
"Aku sudah tidak sabar menunggu saat-saat se-
perti itu!" sahut Nomuro Shasuke keras dan dingin.
"Dan kau cuma melakukan hal itu?"
"Tidak!"
"Katakan padaku... apa yang telah kau lakukan?"
Nomuro Shasuke tidak segera menjawab. Dia justru
palingkan kepalanya sejenak pada Dewi Permata Biru.
Lalu sambil memandangi langit kembali dia berka-
ta, "Kau tidak gusar bila kukatakan apa yang telah ku-
lakukan?"
"Sama sekali tidak."
"Aku telah membunuh seorang lelaki tua."
Dewi Permata Biru terkikik. "Gila! apakah otakmu
sudah gila mengatakan aku akan gusar hanya karena
kau telah membunuh seorang lelaki tua? Sudah tentu
tidak! Aku bangga kau melakukannya! Pertanda, kau
telah menjelma kembali menjadi seorang samurai!"
"Aku tetap seorang samurai!"
"Bagus! Kepercayaan dirimu semakin meningkat!"
"Dan aku telah memperkosa cucunya... shisurei
shi masu (maafkan saya)...."
Kali ini senyuman di bibir Dewi Permata Biru ter-
putus. Masing-masing orang terdiam. Yang terdengar
hanyalah suara hewan-hewan malam belaka.
Lalu terdengar suara Dewi Permata Biru agak se-
rak, "Bagus bila kau melakukannya!"
"Ya, dan itu tak ada urusamnya denganmu, Dewi!"
kata Nomuro Shasuke dalam hati. "Bila semua uru-
sanku selesai, aku akan meninggalkanmu, Perempuan
Bodoh!"
Nomuro Shasuke berkata, "Kau tidak cemburu?"
"Sama sekali tidak! Kau boleh menikmati perem-
puan mana saja yang kau inginkan! Nomuro-san...
masihkah kau ingin mengulangi kebersamaan baru-
san?"
Nomuro Shasuke palingkan kepalanya. Sambil
tersenyum tipis dia menggeleng, "Aku masih cukup le-
lah."
"Kalau begitu... kita masuk ke gubuk dulu. Ada
berita gembira yang hendak kukatakan padamu...."
Setelah masing-masing orang berpakaian, kedua
nya pun masuk ke gubuk itu. Dan duduk di sebuah
dipan kecil.
"Apa yang hendak kau katakan?"
"Aku telah berjumpa dengan Dedemit Tapak Akhi-
rat, orang yang kuceritakan padamu beberapa waktu
lalu."
"Bagaimana? Apakah dia bersedia bergabung?"
Dewi Permata Biru kerlingkan matanya. "Dia bu-
kan hanya bersedia bergabung, bahkan dia mempu-
nyai niat untuk membunuh Pendekar Slebor. Karena
sesungguhnya dia memang punya urusan yang tak bi-
sa ditinggalkan pada Pendekar Slebor."
"Sungguh sebuah kebetulan yang sangat menye-
nangkan. Lalu, apakah dia bersedia membantuku un-
tuk lakukan pemberontakan kembali terhadap Kaisar
Tokugawa?"
Kembali perempuan yang di keningnya terdapat
permata yang pancarkan sinar biru itu tersenyum.
"Kendati mulutnya berkata tidak, tetapi aku yakin
hatinya mengiyakan tawaran itu. Orang semacam De-
demit Tapak Akhirat, memang tak pernah mau berte-
rus terang. Tetapi percayalah... dia akan takluk di ba-
wah kakiku dan melakukan sesuai rencana yang telah
kita tentukan."
Lelaki bertampang bengis itu pentangkan senyum.
Sungguh, senyuman yang diperlihatkan tak lebih dari
sinisan belaka. Dan menambah kebengisan wajahnya.
"Kuharap... semuanya memang berjalan seperti
yang kita harapkan."
"Tadi kau katakan... ada seorang lelaki dari India.
Siapa dia?"
Nomuro Shasuke terdiam dulu sebelum menja-
wab, "Aku tidak tahu siapa dia sebenarnya. Tetapi
yang kudengar... dia mencariku, Dewi...."
Ganti Dewi Permata Biru yang terdiam. Bahkan
kening perempuan ini berkerut.
"Apa maksud dia mencarimu?"
Seperti menutupi sesuatu, Nomuro Shasuke lang-
sung mendekap Dewi Permata Biru. Kendati perem-
puan ini nampaknya masih penasaran ingin mengeta-
hui mengapa Pucha Kumar mencari Nomuro Shasuke,
tetapi dia sudah tak peduli. Perempuan yang dulu per-
nah disakiti hatinya sekaligus ditolak cintanya oleh
Pendekar Bayangan, selalu tak pernah puas untuk
menahan nafsu birahinya.
Kejap itu pula perbuatan terkutuk itu terulang la-
gi.
***
Pada saat yang bersamaan tiga utusan Kaisar To-
kugawa Iesyasumoto tiba di sebuah sungai yang airnya
mengalir deras. Suara gemuruh air sungai itu seperti
memecah kesunyian malam. Hiedha Ogawa langsung
menghampiri sungai itu. Dia mencuci tangan, muka
dan minum.
Sementara itu, Mishima Nobu hanya memperhati-
kan sekelilingnya dengan tatapan waspada. Di sebelah
kanannya, Ayothomori sedang memperhatikan Hiedha
Ogawa dengan pandangan menusuk.
Lelaki bertubuh jangkung ini masih marah dengan
sikap Hiedha Ogawa. Terlebih lagi tatkala mengingat,
kalau secara tak langsung Hiedha Ogawa justru mem-
bela Pendekar Slebor. Kebencian Ayothomori pada
Pendekar Slebor semakin menjadi-jadi.
Dia sudah tidak bisa menahan diri lagi untuk per-
gunakan jurus 'Menjerat Matahari' guna menandingi
kehebatan Pendekar Slebor.
Hiedha Ogawa yang sudah selesai mencuci muka
dan minum air sungai itu, mendekati keduanya. Tatka-
la dilihatnya wajah Ayothomori, dia sadar betul akan
ucapan Pendekar Slebor. Kalau sewaktu-waktu lelaki
itu akan meledak dan membahayakan dirinya. Hiedha
Ogawa tak menginginkan hal itu terjadi. Tetapi untuk
membicarakan soal itu saat ini, dia merasa bukanlah
waktu yang tepat. Mengingat mereka masih harus me-
nemukan Nomuro Shasuke. Apalagi sekarang mereka
tahu, seorang lelaki dari India juga mendendam pada
Nomuro Shasuke.
Dengan kata lain, Nomuro Shasuke sudah mengi-
barkan bendera permusuhan yang dalam pada siapa
pun juga.
Hiedha Ogawa mendehem. Lalu berkata, "Urusan
Nomuro Shasuke semakin menyulitkan keadaan kita.
Mishima-san... ternyata apa yang kau khawatirkan
memang terjadi. Kalau kedatangan kita ke sini justru
banyak mengundang kesalahpahaman. Tetapi, itu dis-
ebabkan karena ulah Nomuro Shasuke."
"Hiedha-san... aku juga memikirkan kemungkinan
itu. Tetapi sekarang... aku tak peduli lagi. Kendati aku
masih bisa kendalikan diri dari sikap orang-orang yang
salah paham pada kita, namun lama kelamaan aku tak
bisa menahan diri," sahut Mishima Nobu.
Hiedha Ogawa tak menjawab namun hatinya ber-
kata, "Bila aku tak bersabar-sabar pun aku akan ber-
tindak seperti itu."
Kemudian katanya, "Kupikir, apa yang telah terja-
di itu hanyalah kesalahpahaman saja. Semua ini ada-
lah ulah Nomuro Shasuke."
"Hiedha-san... apakah kau akan tetap berdiam diri
sementara harga diri kita diinjak-injak?" terdengar su-
ara Ayothomori. Bibirnya membentuk sinisan.
Hiedha Ogawa arahkan pandangannya pada lelaki
bertubuh jangkung itu.
"Ayothomori-san... sudah tentu aku tidak pernah
melupakan siapa aku sebenarnya."
"Seorang samurai," kata Ayothomori dengan suara
makin sinis. "Dan apakah seorang samurai seperti
yang kau katakan tadi masih membiarkan diri...."
"Ayothomori-san...," putus Hiedha Ogawa sambil
menarik napas pendek. "Sama sekali aku tak melupa-
kan soal itu. Tetapi perlu diingat, kita tak pernah
punya silang sengketa dengan orang-orang itu kecuali
Nomuro Shasuke. Bahkan... seorang lelaki dari India
bernama Pucha Kumar juga sedang memburunya. Me-
nurut perkiraan Pendekar Slebor sendiri...."
"Mengapa kau selalu meninggikan pendekar dari
tanah Jawa itu, Hiedha-san?" ganti Ayothomori yang
memutus kata-kata Hiedha. Kali ini sikapnya agak
sengit. Setiap kali nama itu disebutkan, darahnya sela-
lu mendidih.
"Tidak! Aku sama sekali tidak meninggikan Pen-
dekar Slebor. Hanya saja, dialah satu-satunya orang
yang bisa kita percaya di sini, Ayothomori-san...."
"Tetapi sikap yang diperlihatkannya justru mem-
buat harga diriku diinjak-injak. Hhh! Terus terang, aku
ingin sekali merasakan kehebatan Pendekar Slebor."
Mishima Nobu tahu kalau sebentar lagi Hiedha
Ogawa akan meledak. Karena sesungguhnya, dia sen-
diri pun tak bisa menahan diri untuk tidak segera
memotong kata-kata Ayothomori.
Makanya lelaki yang bertubuh paling pendek di
antara mereka bertiga ini berkata, "Ayothomori-san...
sebaiknya di antara kita tak perlu ada keributan. Ma-
salah yang kita hadapi ini bukanlah urusan Pendekar
Slebor. Perlu diingat, justru kita yang membawanya
masuk ke dalam urusan Nomuro Shasuke...."
"Itulah kebodohan kita, Mishima-san! Bila sejak
pertama kita tidak memutuskan untuk mencari Pen-
dekar Slebor, kita tak perlu lagi mengurusi soal dia!"
sahut Ayothomori.
"Tetapi satu hal yang terpenting, justru karena ke-
cerdikannyalah kita jadi tahu, kalau Nomuro Shasuke
memiliki seorang kambrat yang berjuluk Dewi Permata
Biru. Sudah tentu perempuan itu bukan perempuan
sembarangan."
"Peduli setan! Demi Dewa Matahari! Siapa pun
yang menghalangiku untuk membunuh Nomuro Sha-
suke, akan kuhadapi dengan sepenuh hati!"
Hiedha Ogawa segera berkata, "Bila kau berkata
demikian, mengapa kau justru membenci Pendekar
Slebor? Bukankah dia sama sekali tak menghalangi
keinginanmu untuk membunuh Nomuro Shasuke?
Bahkan dia bermaksud membantu kita...."
Mendengar kata-kata lelaki berkumis tipis itu, wa-
jah Ayothomori memerah. Sesaat dia gelagapan tak bi-
sa menjawab. Lalu katanya seraya palingkan kepala,
"Aku hanya tak suka urusan ini dicampuri olehnya."
"Atau kau sesungguhnya tak suka setelah dipe-
cundangi dengan mudah oleh Pendekar Slebor?" kata
Hiedha Ogawa dalam hati. Sudah tentu dia tak akan
keluarkan kata-kata itu, karena khawatir akan mem-
buat kegusaran dan kebencian Ayothomori pada Pen-
dekar Slebor semakin menjadi-jadi.
Lalu katanya, "Semenjak kita mendarat di tanah
Jawa ini, kita belum mendapatkan jejak berarti dari
pembunuh keparat itu. Bagaimana bila sekarang kita
berpencar?"
"Bagaimana maksudmu, Hiedha-san?" tanya Mi-
shima Nobu.
Hiedha Ogawa yang memang sudah memikirkan
kemungkinan itu menjelaskan maksudnya, "Lebih baik
kita berpencar. Dengan cara berpencar maka langkah
kita akan semakin panjang dan jauh. Kupikir, kendati
kita seorang diri, kita akan mampu menghadapi No-
muro Shasuke bila bertemu. Ingat, bukankah kita
memiliki semangat seorang samurai?"
Kendati saat berkata-kata Hiedha Ogawa arahkan
pandangannya pada Mishima Nobu, namun telinga
Ayothomori memerah, merasa disentil dengan kata-
kata itu. Dia hanya keluarkan dengusan sebagai tanda
kejengkelannya.
Hiedha Ogawa tak perdulikan sikapnya. Dia ber-
kata lagi, "Bila salah seorang dari kita berhasil mene-
mukan dan mengalahkannya, maka harus mencari
yang lainnya. Tetapi bila gagal mengalahkannya, paling
tidak jejak pembunuh celaka itu sudah diketahui. Te-
rus terang, hingga hari ini belum ada di antara kita
yang melihat Nomuro Shasuke, kendati kehadirannya
di tanah Jawa ini sudah jelas. Kalian paham maksud-
ku?"
Mishima Nobu palingkan kepalanya dulu pada
Ayothomori. Setelah melihat kepala Ayothomori men-
gangguk, dia segera mengangguk pula.
Dan tanpa setahu siapa pun, Ayothomori berkata
dalam hati, "Bila aku menemukan dan berhasil menga-
lahkannya, akan segera kubawa lelaki celaka itu ke
hadapan Kaisar. Dan kukatakan kalau kalian sudah
tak lagi menghiraukan martabat sebagai seorang sa-
murai. Hmmm... luar biasa! Dapat kubayangkan ha-
diah apa yang akan kuterima dari Kaisar."
Setelah masing-masing orang menganggukkan ke-
palanya, Hiedha Ogawa berkata lagi, "Kalau begitu...
aku akan menempuh arah utara. Mishima-san... kau
tempuh arah timur. Sementara Ayothomori-san... me-
nempuh ke arah barat. Tujuh hari dari sekarang, kita
bertemu di daerah selatan. Berhasil atau tidak menda-
patkan pembunuh celaka itu. Bagaimana?"
Ayothomori langsung mengganggukkan kepalanya.
Dan kejap itu pula tanpa keluarkan kata sepatah pun
juga, dia sudah bergerak ke arah barat.
Hiedha Ogawa menarik napas pendek melihat si-
kapnya. Tetapi dia tak mempermasalahkan. Lalu kata-
nya pada Mishima, "Mishima-san... hati-hati...."
Mishima Nobu membungkuk seraya berkata, "Ari-
gatoo gozimashita (terima kasih banyak).... Kau juga
harus berhati-hati, Hiedha-san...."
Hiedha Ogawa menganggukkan kepalanya. Lalu
masing-masing orang segera berkelebat ke arah yang
telah ditentukan, menembus kegelapan malam.
***
11
Menjelang malam telah lewat dua pertiga perjala-
nannya, Pendekar Slebor hentikan langkahnya di se-
buah jalan setapak. Malam menggigit alam. Naungan
mata langit begitu gelap sekali. Sinar rembulan tak
kuasa tembusi tingginya pepohonan.
"Aneh... mengapa aku masih memikirkan soal per-
tarungan antara Pucha Kumar dengan Ayothomori?"
desis pemuda urakan dari Lembah Kutukan ini. Kepa-
lanya digeleng-gelengkan, seperti hendak mencari apa
yang dirasakannya aneh. "Huh! Bukankah seharusnya
aku memikirkan bagaimana caranya menemukan No-
muro Shasuke dan Dewi Permata Biru?"
Sejenak Pendekar Slebor hentikan ucapannya. Te-
tapi di lain saat dia sudah berkata kembali, "Ada sesu-
atu yang aneh... ya, sesuatu yang aneh...."
Diusahakannya untuk menemukan apa yang aneh
itu. Akan tetapi, kendati dia berusaha untuk mengeta-
hui apa yang aneh dalam pikirannya, namun dia gagal
untuk menemukannya.
Tahu-tahu pemuda ini mendengus, "Sudahlah!
Apa pun yang aneh itu toh cuma bikin pusing saja! Le-
bih baik tak kupedulikan lagi!"
Namun lagi-lagi dia terdiam. Kali ini keningnya
benar-benar dikernyitkan.
"Huaaahhh!" tahu-tahu dia berseru begitu. "Bikin
pusing saja!"
Kemudian diarahkan pandangannya ke depan,
yang nampak hanyalah jajaran pepohonan yang masih
disaput kegelagapan. Di kejauhan terdengar suara
ayam jantan berkokok tanda fajar telah mengambang
kembali.
"Semakin kulacak jejak Nomuro Shasuke, semakin
banyak segala masalah yang mesti kupecahkan. Titik
pangkal dari semua ini justru berpulang pada Dewi
Permata Biru. Bila dugaanku benar kalau Nomuro
Shasuke diselamatkan oleh Dewi Permata Biru, berarti
dialah yang harus kucari. Tetapi di mana aku harus
mencarinya? Kutu busuk!"
Sejenak pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah
Kutukan ini memaki-maki dirinya sendiri. Di lain kejap
tahu-tahu dia tertawa.
"Wah! Bodohnya aku ini? Ya masa sih mesti kuca-
ri di kolong kedua kakiku? Jelas saja tidak mungkin!
Dasar dungu! Slebor! Urakan! Memalukan! Segala-
galanya, deh! Lebih baik, aku kembali saja menyusuri
ke mana perginya Nomuro Shasuke yang dibawa oleh
Dewi Permata Biru!"
Memutuskan demikian, Pendekar Slebor segera
berkelebat meninggalkan jalan setapak itu. Sambil
berkelebat dia coba memikirkan keanehan apa yang di-
rasakannya. Namun hingga matahari tepat sepengga-
lan, pemuda ini belum juga berhasil memecahkan apa
yang dipikirkannya.
Dua kejapan kemudian, dia justru hentikan lang-
kahnya tatkala dilihatnya seorang lelaki tua sedang
terbaring di atas tanah berumput.
Dengan hati bertanya-tanya, Andika cepat meng-
hampirinya. Alangkah terkejutnya dia begitu melihat
luka besar di punggung si orang tua.
"Gila! Luka ini seperti sayatan sebuah pedang!"
desisnya.
Lelaki tua yang sedang menderita itu mengangkat
kepalanya. Wajahnya begitu pucat dengan sorot mata
memilukan. Tangannya mengapai-gapai. Andika cepat
memegang tangannya.
"Jangan banyak bergerak dulu, Bapak.... Aku
akan menolongmu...."
"Tidak usah...," sahut si orang tua terpatah-patah.
"Anak muda... tolong cucuku.... Minsari... tolong
dia...."
"Apa yang terjadi?"
Dengan suara yang kian terputus-putus, lelaki tua
itu bercerita. Dia dan cucunya yang bernama Minsari
baru saja kembali dari kotapraja. Karena sudah larut
malam, mereka memutuskan untuk beristirahat sam-
bil menunggu pagi.
Namun begitu mereka baru terlelap, mendadak
saja muncul seorang lelaki bermata sipit. Mendekati
keduanya dengan langkah kaku dan samurai di tan-
gan.
Sadar kalau lelaki yang muncul itu akan memba-
wa bahaya, lelaki tua itu segera bersiaga penuh. Apa
yang diduganya memang benar. Karena begitu melihat
cucunya, lelaki bersamurai itu menghendakinya.
Sudah tentu lelaki tua itu tak mau menuruti pe-
rintah si lelaki. Dan penolakannya justru berakibat
fatal. Dengan ganasnya lelaki bermata sipit itu menya-
betkan samurainya ke punggung si orang tua yang
langsung ambruk. Bersamaan dengan itu terdengar je-
ritan cucunya yang langsung menubruk tubuhnya.
Tetapi dengan kasar lelaki bermata sipit itu mena-
rik sang cucu dan membawa pergi.
"Jahanam terkutuk!" maki Andika dalam hati.
"Siapa lagi orangnya kalau bukan Nomuro Shasuke?!"
Lalu terburu-buru Andika berusaha menyela-
matkan nyawa lelaki tua itu. Tetapi karena sudah ter-
lalu banyak darah yang keluar, lelaki itu pun akhirnya
tewas di pangkuan Andika.
Betapa gusar hati pemuda urakan ini. Rahangnya
mengatup rapat. Kedua pelipisnya bergerak-gerak. La-
lu dengan menahan segala amarahnya dikuburkannya
mayat lelaki tua itu.
Setelah selesai melakukannya, Andika berdiri per-
lahan-lahan. Wajah dan sorot matanya yang biasanya
jenaka, kali ini seolah menguap. Keseriusan dan kete-
gangannya makin menjadi-jadi. Kedua tangannya
mengepal kuat, hingga urat-urat lehernya keluar tanda
dia berada di puncak kemarahannya.
"Keparat! Datang ke tanah leluhurku kau hanya
menyebarkan penyakit dan petaka belaka! Ke mana
pun kau pergi, aku akan tetap mencarimu, Nomuro
Shasuke!"
Kejap berikutnya, pemuda yang di lehernya melilit
sehelai kain bercorak catur segera meninggalkan tem-
pat itu. Hanya sekitar sepenanakan nasi dia berkele-
bat, dilihatnya satu sosok tubuh yang tergantung di
sebuah pohon.
"Terkutuk! Terkutuk!" maki Andika gusar menya-
dari kalau sosok gadis berkebaya lurik itu telah men-
jadi mayat.
Sekali lagi dengan menahan kepedihannya ditu-
runkannya mayat gadis itu. Hanya sekali lihat saja
Andika yakin kalau sebelum matinya gadis ini telah di-
perkosa. Dia juga yakin kalau gadis itu bernama Min-
sari, cucu dari lelaki tua yang baru saja dikuburkan
nya.
"Nomuro Shasuke... kau benar-benar keji dan li-
cik! Kau harus membayar semua perbuatanmu ini!"
desis Andika di hadapan makam yang baru saja di-
buat.
Ketika dia hendak balikkan tubuh, tahu-tahu di
hadapannya telah berdiri satu sosok tubuh tinggi ku-
rus yang mengenakan pakaian hitam-hitam terbuka di
depan dada. Sorot mata sosok tubuh itu pancarkan si-
nar kelabu!
***
Sejenak Pendekar Slebor kerutkan keningnya me-
lihat sosok tua di hadapannya.
"Hebat! Sejak kapan dia berada di belakangku?
Tahu-tahu sudah nongol begitu saja? Hiiii... kalau dia
sebangsa jin, kok ada jin yang jelek begitu ya? Tetapi...
banyak juga kok jin yang bisa mengubah wajahnya mi-
rip tengkorak? Tetapi kalau dia manusia... jangan-
jangan sebangsa mayat hidup?"
Selagi pemuda urakan itu berseloroh konyol dalam
hati, lelaki berpakaian hitam-hitam yang tak lain De-
demit Tapak Akhirat buka mulut, "Pemuda bertam-
pang urakan! Jawab pertanyaanku, apakah kau yang
berjuluk Pendekar Slebor?!"
"Busyet! Kok nada bicaranya angker amat? Jan-
gan-jangan... dia memang sebangsa jin!" kata Andika
dalam hati.
"Jawaab pertanyaankuuu!" suara yang menggun-
tur itu membuat Andika sampai melengak. Bahkan
tanpa sadar dia sampai surut satu tindak ke belakang.
"Bangun-bangun makan nasi sama kue pancong!"
selorohnya sambil menepuk-nepuk dadanya. Lalu ber-
seru, "Hei, Muka Tengkorak! Kalau mau nanya yananya! Jangan main bentak begitu! Untung saja aku
tidak jantungan? Kalau aku langsung 'det' kau mau
ganti nyawaku?!"
Lelaki bertampang tengkorak itu kertakkan ra-
hangnya. Sinar kelabu yang keluar dari sorot matanya,
bertambah pekat, bertanda dia mulai gusar.
Sesungguhnya, Dedemit Tapak Akhirat memang
belum mengenal Pendekar Slebor. Kalaupun dia tahu
tentang Pendekar Slebor, itu diberitahukan oleh mu-
ridnya yang bernama Gendala Maung (baca: "Cinta Da-
lam Kutukan").
"Pemuda lancang! Kau berani bermain-main den-
gan Dedemit Tapak Akhirat, hah?!"
Melengak Andika mendengar julukan itu dis-
ebutkan. Bahkan tanpa sadar dia sampai surut satu
tindak ke belakang.
"Dedemit Tapak Akhirat? Bukankah dia adik se-
perguruan Jala Kunti yang telah tewas di tangan
Eyang Saptacakra? Kutu monyet! Urusanku belum se-
lesai, sudah datang lagi urusan seperti ini! Benar-
benar kutu monyet!"
Di depan Dedemit Tapak Akhirat menggeram
murka. "Dari sikapmu, kau memang ingin mampus!
Bagus! Kukirim kau sekarang ke neraka!"
Habis makiannya, mendadak saja lelaki bertam-
pang tengkorak ini gerakkan tangan kanannya. Serta-
merta menghampar gelombang angin deras yang kelu-
arkan hawa panas ke arah Pendekar Slebor.
Tak mau dirinya mengalami nasib konyol, dengan
gerakan yang cepat Andika melompat ke samping ka-
nan. Serangan yang dilancarkan Dedemit Tapak Akhi-
rat hanya lewat satu jengkal dari tubuhnya.
Di tempatnya, sejenak Dedemit Tapak Akhirat ter-
diam dengan kening dikernyitkan. Lalu terdengar sua-
ranya gusar, "Pantas kau berani berlagak! Rupanya
punya kebisaan pula, hah?!"
Kendati jengkel mendapati dirinya diserang sede-
mikian rupa, Andika masih cengar-cengir saja.
"Kalau aku punya sedikit kebisaan, apakah kau
tiba-tiba menjadi ciut seperti tikus got?!"
Mengkelap wajah Dedemit Tapak Akhirat menden-
gar ejekan itu. Kalau tadi dia hanya kibaskan sebelah
tangannya, kali ini tangan kanan dan kirinya didorong
ke depan.
Dua gelombang angin langsung menderu dahsyat
ke arah Andika. Terkejut bukan alang kepalang pemu-
da dari Lembah Kutukan ini. Serta-merta dia melom-
pat ke samping kiri. Namun belum lagi kedua kakinya
hinggap di atas tanah, menderu hamparan angin yang
menyeret tanah dan langsung timbulkan suara letupan
keras.
"Kura-kura bau!" rutuk Andika dalam hati. Sulit
baginya untuk menghindar kembali. Maka jalan satu-
satunya dia segera gerakkan kedua tangannya yang te-
lah dialiri tenaga 'Inti Petir' tingkat kesepuluh.
Blaaaarrr!
Letupan keras terdengar tatkala dua pukulan itu
bertemu, yang segera rengkahkan tanah dan untuk
beberapa saat menghalangi pandangan. Tatkala semu-
anya sirap, nampak sosok Andika telah terhuyung lima
langkah dari tempat semula. Sementara di tempatnya,
Dedemit Tapak Akhirat masih berdiri dengan kedua
kaki tegak.
Tetapi kedua matanya membuka lebih lebar, kian
pancarkan sinar kelabu yang bertambah pekat.
"Pukulan tenaga 'Inti Petir'!" desisnya seperti leda-
kan. "Jahanam terkutuk! Kau adalah Pendekar Sle-
bor!"
"Wah! Kok kau begitu kaget ya? Kalau aku me-
mang Pendekar Slebor, kau mau apa? Apakah kau
mendadak ciut dan berusaha untuk menjabat dan
mencium tanganku? Ah, aku jadi tidak enak nih! Men-
dingan...."
"Tutup mulutmu!"
Dengan kegusaran yang tinggi, lelaki berparas
tengkorak ini sudah rangkapkan kedua tangannya di
depan dada.
"Kematian sudah di ambang pintu hidupmu, Pen-
dekar Slebor!" serunya dingin. "Kusampaikan pula sa-
lam Dewi Permata Biru untukmu!"
Habis kata-katanya segera ditepuk tangan kanan
dan kirinya hingga terdengar suara menggelegar keras.
Kejap itu pula satu gelombang tenaga dahsyat yang
percikkan sinar merah menggebrak ke arah Pendekar
Slebor.
Terkesiap Andika melihatnya sambil melompat
tatkala dirasakan pula hawa panas yang ditimbulkan
tenaga serangan lawan menyengat tubuhnya.
Bummm!
Tanah di mana dia berpijak tadi langsung rengkah
beterbangan. Bahkan tidak hanya sampai di sana saja.
Dua pohon langsung tumbang dengan dedaunan men-
gering, lalu berguguran saat ambruk ke tanah.
Dedemit Tapak Akhirat yang jelas-jelas tak mau
membuang kesempatan yang ada, sudah merangsek
maju diiringi teriakan membahana. Tangan kanan dan
kirinya digerakkan. Seketika nampak gelombang angin
yang percikkan sinar merah keluar dari tapak kedua
tangannya. Menyusul suara mengerikan laksana sala-
kan guntur.
Blgaaarrr!
Sadar kalau bahaya sudah dekat, Pendekar Slebor
pun tak mau menghindar lagi. Dia tahu, kalau 'Tapak
Akhirat' yang dikeluarkan oleh Dedemit Tapak Akhirat.
Karena sebelumnya, Andika juga pernah bertarung
dengan Gendala Maung, yang merupakan murid dari
lelaki tua berparas tengkorak ini, yang juga memper-
gunakan ilmu 'Tapak Akhirat'.
Namun ilmu kejam itu lebih mengerikan dimain-
kan oleh Dedemit Tapak Akhirat ketimbang oleh Gen-
dala Maung.
Dengan teriakan menambah semangat, Andika
sudah menderu ke depan. Ajian 'Guntur Selaksa' digu-
nakan saat itu pula. Sesaat nampak seluruh tubuh
pemuda dari Lembah Kutukan ini seperti dikelilingi
oleh pernik perak.
Blaaammm! Blaaammm!
Suara menggelegar saat itu pula terdengar menge-
rikan. Nampak sosok Pendekar Slebor terlempar ke be-
lakang dengan deras. Bila saja dia tak segera kuasai
keseimbangannya, maka tak ampun lagi tubuhnya
akan menabrak batu besar di belakangnya.
Sementara itu, Dedemit Tapak Akhirat berdiri te-
gak sambil terbahak-bahak.
"Siapa pun orangnya yang menggagalkan niat ka-
kak seperguruanku untuk membunuh Saptacakra, ha-
rus mampus di tanganku! Apalagi, kau adalah keturu-
nan dari Saptacakra!"
Menyusul lelaki bertampang tengkorak ini kembali
tepukkan tangannya. Serta-merta menderu kembali
serangan yang lebih mengerikan. Hawa panas yang ke-
luar dari ilmu 'Tapak Akhirat' mengeringkan ranggasan
semak belukar. Menyusul menggebahnya gelombang
angin dahsyat yang percikkan sinar merah ke arah
Andika.
"Kutu monyet! Bisa putus nyawaku sekarang ju-
ga!!" makinya dalam hati sambil membuang tubuh ke
samping kanan, bersamaan dengan itu tangan kanan-
nya telah menyambar kain bercorak catur yang melilit
pada lehernya. Begitu kedua kakinya menginjak tanah
kembali, dengan lenturnya tubuh pemuda ini langsung
meluruk. Kain bercorak catur warisan dari Ki Saptaca-
kra di Lembah Kutukan telah digerakkan dengan dipa-
du ajian 'Guntur Selaksa'.
Serta-merta terdengar suara laksana ribuan tawon
murka diiringi gelombang angin raksasa yang mengge-
brak ke arah Dedemit Tapak Akhirat.
Blaaammmm!
Benturan keras terjadi dengan memerciknya sinar
merah ke udara. Masing-masing orang sama keluarkan
pekikan tertahan dan surut tiga tindak ke belakang.
Tatkala berdiri tegak kembali, Andika memegang da-
danya dengan tangan kiri, sementara wajah Dedemit
Tapak Akhirat kian mengkelap.
"Gila!" desis Andika dalam hati. "Ilmu 'Tapak Akhi-
rat' lebih mengerikan di tangannya ketimbang yang
pernah dilakukan Gendala Maung padaku tempo hari!
Celaka betul! Bila tak segera kuselesaikan, Nomuro
Shasuke tentunya sudah semakin sulit kutemukan.
Bisa jadi pula pembunuh dari Jepang itu sudah sebar-
kan petaka yang diturunkan. Hhhh! Aku harus menga-
tasi manusia satu ini!"
Berpikir demikian, pemuda urakan ini segera pu-
tar kain bercorak caturnya di atas kepala. Serta-merta
menderu gelombang angin dahsyat dipadu dengan su-
ara dengusan mengerikan. Bukan hanya dedaunan
yang beterbangan. Ranting dan dahan pohon pun pa-
tah, lalu timbulkan suara berderak-derak saat berta-
brakan satu sama lain. Tanah sejarak satu tombak da-
ri tempat Andika berdiri, membubung ke udara.
Di depan, Dedemit Tapak Akhirat kertakkan ra-
hangnya. Wajahnya terasa seperti ditampar.
"Pantas bila Gendala Maung tak kuasa mengha-
dapi kesaktiannya. Tetapi... pemuda ini jelas bukanlah
tandinganku! Akan kuperlihatkan sesuatu yang membuat kedua matanya terbuka lebih lebar!"
***
12
Habis membatin demikian, dengan teriakan mem-
bahana Dedemit Tapak Neraka menerjang ke depan.
Saat tubuhnya melesat cepat, angin berkesiur keras.
Menyusul kedua tangannya didorong ke depan sebe-
lum akhirnya dirangkapkan, ditepukkan dan serta-
merta melabrakan gelombang angin yang percikkan si-
nar merah.
Di seberang, Pendekar Slebor untuk sesaat melen-
gak. Bahkan tanpa sadar dia keluarkan desisan terta-
han, "Oh!"
Namun di kejap lain, dengan cepat diputar tangan
kanannya yang masih memegang kain bercorak catur.
Bersamaan gemuruh angin dan suara dengungan ke-
ras menderu, tangan kirinya yang telah terangkum
ajian 'Guntur Selaksa' melabrak ganas.
Saat itu pula terdengar suara laksana salakan
guntur marah.
Dua serangan yang sama-sama berada pada pun-
cak paling atas bagi masing-masing pemiliknya berte-
mu.
Blaammmmmm!
Suasana lengang mendadak sontak dibuncah den-
gan terdengarnya ledakan keras tatkala serangan De-
demit Tapak Akhirat bentrok dengan serangan Pende-
kar Slebor. Tempat itu kontan bergetar keras. Rangga-
san semak belukar yang berada di sekitar tempat itu
terabas rata.
Sosok Pendekar Slebor terpental lima langkah ke
belakang, pertanda jelas kalau serangan yang dilan-
carkan oleh Dedemit Tapak Akhirat adalah serangan
yang ganas.
Apa yang dialami pemuda dari Lembah Kutukan
ini ternyata tidak hanya sampai di sana saja. Belum
lagi dia dapat kuasai keseimbangannya dan masih me-
rasakan betapa sakit dada serta kedua lengannya, De-
demit Tapak Akhirat yang hanya surut satu tindak ke
belakang, sudah menggebrak lagi ke depan.
Meski terhuyung, Pendekar Slebor cepat angkat
tangan kirinya untuk memapak pukulan yang datang.
Menyusul dikibaskan kain bercorak caturnya, yang se-
ketika memapak gelombang pukulan Dedemit Tapak
Akhirat.
Gelombang pukulan yang mengarah padanya ter-
sapu keras, lalu mengudara menghantam tempat ko-
song.
Namun bahaya belum selesai. Dedemit Tapak Ak-
hirat yang memang tak menginginkan membuang ke-
sempatan, apalagi dilihatnya Pendekar Slebor sudah
dalam keadaan terdesak, kembali tepukkan kedua
tangannya, disusul dengan tubuhnya mencelat ke de-
pan.
Kali ini Andika benar-benar pucat pasi. Sepasang
matanya seperti hendak melompat keluar. Dalam kea-
daan yang kritis itu, dengan susah payah pemuda pe-
waris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini segera mem-
buang tubuh ke samping kanan. "
"Aku tak boleh mampus dulu! Aku belum kawin!"
serunya keras seperti menambah semangat. Saat dia
membuang tubuh ke samping kanan, kain bercorak
caturnya cepat dilemparkan.
Wuuutttt!
Kain bercorak catur itu melesat laksana meteor.
Sejenak ganti Dedemit Tapak Akhirat yang terkejut.
Begitu kain bercorak catur siap menghajar tubuhnya,
cepat dia putar diri setengah lingkaran. Lalu dengan
cepat disambarnya kain bercorak catur itu.
Tap!
Wuungggg!
Begitu ditangkap kain itu langsung diputar-
putarnya hingga saat itu pula menderu angin ganas
yang mengerikan.
Sejarak tiga tombak dari hadapan lelaki bertam-
pang tengkorak itu, wajah Andika benar-benar pias
laksana tanpa darah. Tubuhnya agak goyah tatkala
berdiri kembali di atas tanah. Disesalinya mengapa dia
sampai melempar kain pusakanya itu. Tetapi bila tadi
dia tidak melemparnya, tak mustahil serangan yang di-
lancarkan Dedemit Tapak Akhirat akan merenggut
nyawanya.
Lelaki kurus yang bajunya terbuka dan menam-
pakkan tonjolan tulang di dadanya itu tertawa keras,
"Hanya begitu saja kehebatan Pendekar Slebor! Huh!
Urusan kecil seperti ini terlalu dibesar-besarkan oleh
Gendala Maung!"'
Sambil menahan ngilu pada dada dan kedua tan-
gannya Andika masih bisa membacot, "Waduh! Ber-
henti dulu deh! Napasku sudah mau putus nih! Ba-
gaimana kalau kita lanjutkan pada ronde berikutnya?
Itu pun kalau kau setuju, lho! Kalau tidak, ya tidak
apa-apa! Wah! Betul-betul busyet! Di matamu itu ter-
dapat batu akik ya? Kok sinarnya makin seram ban-
get?!"
Di seberang, Dedemit Tapak Akhirat yang baru sa-
ja memutuskan tawanya begitu mendengar ejekan An-
dika, makin keras memutar kain bercorak catur.
"Celaka! Selama ini aku memang belum pernah
merasakan kehebatan kain pusakaku sendiri? Namun
akibat yang telah dihasilkannya sering kau kulihat!
Kutu busuk! Apakah aku harus mampus justru pada
senjata mustikaku sendiri?!" maki Andika dalam hati
sambil bersiaga penuh.
Mendapati wajah pemuda berambut acak-acakan
itu bertambah pias, Dedemit Tapak Akhirat kembali
umbar tawanya.
"Sangat disayangkan... kalau pendekar kesohor
yang namanya ditakuti orang, kini harus mampus di
tanganku! Bahkan... pada senjatanya sendiri!"
Dasar urakan, dalam keadaan yang kritis seperti
itu Andika masih juga berseloroh konyol, "Nah, kalau
kau tidak mau melakukannya, kembalikan kain pusa-
kaku itu! Nanti kau baru bunuh aku? Bagaimana?"
"Jahanam! Terimalah kematianmuuu!"
Habis seruannya seraya putar kain bercorak ca-
turnya, Dedemit Tapak Akhirat sudah menderu ke
muka. Serta-merta menghampar gelombang angin rak-
sasa dibalur dengan suara dengungan yang sangat ke-
ras.
Andika yang memang sudah bersiaga kendati te-
naganya sudah mulai terkuras, langsung mengangkat
kedua tangannya. Namun satu gelombang angin tiba-
tiba menyeruak dan mendahului pukulan Andika me-
napak langsung gelombang angin yang keluar dari kain
bercorak catur.
Blaaammmm!
Gelombang angin itu pecah dan membuyar di
angkasa. Tanah di mana bertemunya dua gelombang
angin itu langsung terbongkar, dan menerbangkan
bongkarannya ke udara.
Dedemit Tapak Akhirat berseru keras dengan wa-
jah tegang. Dia segera berkelebat ke samping kiri dari
mana angin yang memapaki serangan dari kain berco-
rak catur yang kini berada di tangannya datang.
Saat itu pula tangan kirinya diangkat tinggi-tinggi,
bersiap untuk lepaskan serangan. Namun begitu sepa-
sang matanya yang pancarkan sinar kelabu meman-
dang ke depan, mendadak saja tangan kirinya terdiam
di udara.
Seperti digantung oleh seutas tali alot yang tak nampak....
SELESAI
Segera menyusul:
SAMURAI BERDARAH
0 comments:
Posting Komentar