RANTAI NAGA SILUMAN
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
Sebagian atau seluruh isi buku ini
Tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
Dalam Episode:
Rantai Naga Siluman
128 hal.
1
Hamparan angin melingkar yang perden-
garkan suara mengerikan itu menggebrak ke arah
Pendekar Slebor. Kontan anak muda urakan dari
Lembah Kutukan ini dongakkan kepala. Kejap
kemudian dia sudah buat gerakan melompat ke
kiri. Namun di luar dugaannya, angin melingkar
yang dilepaskan pemuda berpakaian biru gelap
itu sudah mengurungnya, perdengarkan suara
kian mengerikan dan seperti hendak merejam jan-
tung.
"Monyet pitak!" geram Pendekar Slebor
dengan kepala tegak. Sambil miringkan tubuh,
tangan kanannya yang telah dialiri tenaga 'Inti Pe-
tir' digerakkan ke depan.
Menyusul suara salakan petir yang terden-
gar, suara letupan keras pun mengudara.
Blaaaamm!
Hamparan angin melingkar yang dile-
paskan Manusia Sepuluh Siluman punah terhan-
tam pukulan tenaga 'Inti Petir'! Sesaat sosok Pen-
dekar Slebor surut dua tindak ke belakang, na-
mun kejap itu pula dia telah kuasai keseimban-
gannya. Di luar dugaannya, angin melingkar yang
telah ambyar tadi, mendadak kembali menyatu
saat Manusia Sepuluh Siluman rangkapkan ke-
dua tangan di depan dada dengan cara ditepuk.
Tak mau mengalami nasib sial, pemuda
pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini su-
dah lepaskan pukulan tenaga 'Inti Petir' tingkat
kelima.
Untuk kedua kalinya terdengar letupan
yang sangat keras. Masing-masing orang surut ti-
ga tindak ke belakang.
Manusia Sepuluh Siluman yang geram ka-
rena orang yang dicarinya justru berada di hada-
pannya, kertakkan rahang. Paras pemuda tampan
berhati sombong dan kejam ini mengeras.
Seperti telah disinggung pada episode: "Ra-
hasia Sebelas Jari", Pendekar Slebor yang baru
saja lepas dari maut yang diturunkan Iblis Kela-
bang, menghentikan larinya di hadapan bukit ka-
pur yang menjulang tinggi. Otaknya diputar un-
tuk mencari ke mana lenyapnya Gadis Kayangan.
Baru saja dia hendak meneruskan langkah, men-
dadak muncul Manusia Sepuluh Siluman yang
menanyakan tentang Kiai Alas Ireng dan dirinya
sendiri.
Pendekar Slebor yang sadar kalau Manusia
Sepuluh Siluman adalah salah seorang yang ten-
tunya ingin tahu tentang Rahasia Sebelas Jari,
mencoba memuslihatinya. Dia memang berhasil
melakukan hal itu. Namun kehadiran Setan
Cambuk Api yang mendadak, membuat Manusia
Sepuluh Siluman segera hentikan langkah. Den-
gan geram pemuda sombong murid Raja Siluman
ini memandang ke arah Pendekar Slebor!
"Monyet buduk! Kenapa sih harus muncul
nenek berpakaian batik kusam itu? Huh! Urusan
makin jadi kapiran saja!" dengus Pendekar Slebor
sambil melirik perempuan tua berpakaian batik
kusam yang memandangnya tajam.
Di lain pihak, Manusia Sepuluh Siluman
yang diperintahkan gurunya untuk mengetahui
isi Rahasia Sebelas Jari dan sekaligus menda-
patkan Rantai Naga Siluman, memandang tak
berkedip. Paras pemuda ini memerah, tanda ke-
marahan makin melanda.
"Terkutuk! Bila saja perempuan tua yang di
tangan kanannya tergenggam cambuk berlidah ti-
ga itu tidak muncul, sudah tentu aku termakan
oleh ucapan busuk pemuda berpakaian hijau pu-
pus ini! Keparat! Orang yang berkepentingan telah
ada di hadapanku, sudah tentu tak akan kule-
watkan kesempatan!!"
Habis membatin demikian, Manusia Sepu-
luh Siluman menyeringai lebar lalu berkata, "Kau
sungguh pandai berdusta! Sayangnya, kedus-
taanmu tak berumur panjang! Sama dengan hi-
dupmu sendiri yang akan mampus di bawah ka-
kiku!"
Kendati sadar kalau bahaya membentang
di hadapannya, Pendekar Slebor cuma mengga-
ruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Kalau kau merasa seperti itu ya sudah!
Aku sih tidak merasa apa-apa!"
Mendengar ucapan yang bernada santai,
kemarahan makin membludak di dada Manusia
Sepuluh Siluman. Namun dia masih berusaha
tindih kemarahan, karena dia ingin tahu lebih
dahulu tentang Rahasia Sebelas Jari.
Sambil maju dua langkah ke muka, pemu-
da yang di pinggangnya melilit seutas tali ini be-
rucap, "Nyawamu hanya tinggal beberapa kejap
lagi! Katakan padaku, apa isi dari Rahasia Sebe-
las Jari?!"
Mendengar ucapan si pemuda, Setan Cam-
buk Api yang sejak tadi berdiam diri dan coba
mencari tahu ada urusan apa Pendekar Slebor
dengan pemuda berjuluk Manusia Sepuluh Silu-
man ini, segera palingkan kepala dan agak mene-
gak.
"Rahasia Sebelas Jari! Hem... seperti du-
gaanku, kalau berita itu tentunya telah menyebar.
Bagus! Aku dapat petik keuntungan sekarang!
Tak perlu aku turun tangan! Akan kubiarkan Ma-
nusia Sepuluh Siluman bertarung dengan Pende-
kar Slebor! Atau paling tidak, aku mengetahui pu-
la tentang Rahasia Sebelas Jari! Sungguh sebuah
keuntungan yang tak pernah kusangka."
Memutuskan demikian, perempuan tua
bersenjatakan cambuk berlidah tiga ini, surutkan
langkah agak menjauh ke belakang. Dia berdiri
tegak dengan pandangan tak berkedip ke depan.
Sementara itu, Pendekar Slebor mengeluh
dalam hati.
"Benar-benar celaka! Urusan masih terus
masalah Rahasia Sebelas Jari yang hingga seka-
rang masih membingungkanku. Sebenarnya, tak
ada waktu bagiku untuk meladeni kedua orang
ini. Aku masih harus menemukan Gadis Kayan-
gan. Tetapi sudah tentu tak akan mudah kulaku-
kan. Hemm... kulihat Setan Cambuk Api menye-
ringai terus menerus. Kutu landak! Jelas kalau
dia akan mendapatkan keuntungan dari urusan-
ku dengan Manusia Sepuluh Siluman!"
Begitu mendengar suara rahang dikertak-
kan, Andika menghentikan kata batinnya. Sambil
menindih rasa tidak tenang, dia berucap pada
Manusia Sepuluh Siluman, "O... jadi cuma uru-
san Rahasia Sebelas Jari yang membuatmu jadi
beringas seperti itu?! Apakah kau diperintahkan
oleh Kiai Alas Ireng untuk mengetahui semua
ini?"
"Tutup mulutmu! Manusia celaka itu akan-
tiba gilirannya untuk mampus di tanganku!" sen-
gat Manusia Sepuluh Siluman keras dengan wa-
jah kaku.
Andika mengangkat kedua bahunya.
"Tak perlu gusar begitu, dong. Ingat lho,
orang pemarah itu cepat tua!"
Makin meradang kemarahan Manusia Se-
puluh Siluman mendengar ucapan orang yang
bernada santai.
"Jahanam! Katakan cepat!!"
"Beres! Aku akan mengatakannya!" kata
Andika sambil tersenyum. Satu pikiran singgah di
benaknya. Lalu dengan sikap santai dia buka mu-
lut, "Aku tahu, isi Rahasia Sebelas Jari akan me-
mudahkan orang untuk mendapatkan Rantai Na-
ga Siluman bila berhasil memecahkan rahasia itu.
Dan tentunya, kau juga menginginkan Rantai Na-
ga Siluman bukan?"
"Jangan berbelit-belit!" makin tak sabar
Manusia Sepuluh Siluman. Namun dia menahan
keinginannya untuk menyerang. Karena bila pe-
muda itu tewas di tangannya, berarti akan lenyaplah harapannya untuk mendapatkan Rantai
Naga Siluman. Dan itu berarti, menyerahkan diri
pada gurunya, si Raja Siluman!
"Aku cuma mencoba menyadarkanmu saja.
Soal Rahasia Sebelas Jari, kupikir bukanlah soal
yang agak merumitkan bila kau mengetahuinya.
Tetapi... bukankah ada orang lain di sini? Nah!
Bila kukatakan, berarti bukan hanya kau seorang
yang tahu. Tetapi, ya... kau tahu sendiri deh apa
yang kumaksudkan!"
Seketika Manusia Sepuluh Siluman paling-
kan kepala pada Setan Cambuk Api yang kertak-
kan rahangnya begitu mendengar ucapan Pende-
kar Slebor. Wajah perempuan tua berpakaian ba-
tik kusam ini mengeras. Dia sadar kalau Pende-
kar Slebor mencoba memancing perhatian Manu-
sia Sepuluh Siluman pada dirinya.
"Jahanam terkutuk! Pemuda dari Lembah
Kutukan itu seperti menemukan cara yang tepat
untuk hindari gempuran pemuda berjuluk Manu-
sia Sepuluh Siluman! Hem... menilik dua kali
benturan yang terjadi barusan, nampaknya pe-
muda itu mampu menandingi Pendekar Slebor!
Kecerdikan Pendekar Slebor harus dibayar den-
gan kelicikan!"
Di lain pihak, pemuda berikat kepala biru
membatin dengan pandangan masih mengarah
pada Setan Cambuk Api.
"Aku tak tahu apakah Pendekar Slebor
mencoba memuslihatiku. Tetapi, apa yang dika-
takannya memang benar. Bila demikian adanya,
bisa jadi perempuan itu akan mendahuluiku un-
tuk mendapatkan Rantai Naga Siluman, setelah
Pendekar Slebor memberi tahu tentang isi dari
Rahasia Sebelas Jari. Hemmm... aku tak tahu
apakah aku yang bodoh atau Pendekar Slebor
yang cerdik. Tapi...."
Memutus kata batinnya sendiri, Manusia
Sepuluh Siluman buka mulut pada Setan Cam-
buk Api, "Perempuan hina! Kendati kedatangan-
mu membuka kedua mataku siapa adanya orang
yang kucari, tetapi kuharap kau menyingkir dari
sini! Masih kuhargai nyawamu untuk tidak kuca-
but, karena kau telah menyadarkanku tentang
Pendekar Slebor!"
Mendengar ucapan orang, Setan Cambuk
Api kertakkan rahangnya. Harga diri perempuan
tua berpakaian batik kusam ini langsung terseret.
Keinginannya untuk dapat petik keuntungan dari
pertarungan antara Pendekar Slebor dengan Ma-
nusia Sepuluh Siluman, langsung pupus.
Dengan suara keras dia membentak, "Aku
punya urusan dengan pemuda setan itu! Kendati
aku tak ada urusan denganmu, tetapi justru kau
yang lebih baik menyingkir!!"
Selain memiliki ilmu tinggi, Manusia Sepu-
luh Siluman juga memiliki kesombongan yang
tiada batas. Dia bukan hanya tersinggung men-
dengar ucapan orang. Tetapi, dia sudah langsung
buka serangan ke arah Setan Cambuk Api.
"Akan kubuka kedua matamu untuk tahu
siapa adanya orang!!"
Wusss!!
Angin melingkar yang keluar dari dorongan
tangan kanannya menggebrak ke arah Setan
Cambuk Api. Suara yang diperdengarkan gelom-
bang angin melingkar itu sungguh mengerikan.
Setan Cambuk Api sendiri sudah tentu tak
mau tinggal diam.
Sambil kertakkan rahangnya, serta-merta
digerakkan cambuk berlidah tiganya.
Cltaaarr!!
Suara nyaring membedah udara, menyusul
tiga gelombang angin menderu ganas.
Blaaammm!!
Tiga gelombang angin yang keluar dari
ujung cambuk berlidah tiga itu, menghantam
hamparan angin melingkar yang dilepaskan Ma-
nusia Sepuluh Siluman.
Terdengar suara geraman Manusia Sepu-
luh Siluman, menyusul dia membuang tubuh ke
samping kanan. Hal itu dilakukan karena satu ge-
lombang angin yang keluar dari ujung cambuk
berlidah tiga Setan Cambuk Api terus melabrak
ke arahnya!
Blaarrr!!
Gelombang angin itu menghantam tanah di
mana tadi Manusia Sepuluh Siluman berdiri.
Kontan tanah itu membuyar di udara. Beberapa
batu kapur bergulingan.
"Jahanam keparat!" maki Manusia Sepuluh
Siluman dingin. Kesombongannya benar-benar te-
rusik.
Mendadak sontak dia palingkan kepala ke
arah Pendekar Slebor.
"Setelah perempuan tua celaka itu kuurus,
tinggal giliranmu! Melarikan diri dari hadapanku,
tak akan dapat kau lakukan!!"
Andika yang diam-diam takjub melihat se-
rangan yang dilakukan masing-masing orang tadi,
mengangkat kedua bahunya.
"Ya, terserah kau saja, ah! Pokoknya buk-
tikan dulu deh! Tapi ngomong-ngomong... jangan
terlalu lama! Aku tidak punya waktu banyak nih!"
Dari pandangannya yang mengarah pada
Pendekar Slebor, Manusia Sepuluh Siluman alih-
kan pandangannya pada Setan Cambuk Api. Se-
saat pemuda yang di pinggangnya melilit seutas
tali ini terdiam. Sepasang matanya memandang
tak berkedip. Kilatan nafsu membunuh berkobar-
kobar pada riakan mata hitamnya.
"Perempuan celaka! Kau telah bertindak to-
lol! Kuberi kesempatan hidup ternyata kau meno-
laknya! Berarti... kukirim nyawamu ke neraka se-
karang!!"
Habis ucapannya, sosoknya mencelat ke
depan diiringi teriakan mengguntur. Tangan ka-
nan kirinya digerakkan. Dua gelombang angin
melingkar mendahului gerakan tubuhnya.
Wrrrr! Wrrrr!!!
Di seberang, Setan Cambuk Api yang tadi
gagalkan serangan Manusia Sepuluh Siluman pa-
da dirinya, bahkan membuat pemuda sombong
itu harus menghindar, sudah melesat ke depan
diiringi teriakan keras.
"Kau yang akan menyesali tindakan bo-
dohmu ini!!"
Cltaaarr!!
Cambuk berlidah tiganya langsung kelua
rkan suara yang mengerikan begitu digerakkan.
Menyusul keluar tiga lesatan angin laksana to-
pan.
Blaaamm!!
Manusia Sepuluh Siluman kertakkan ra-
hangnya begitu angin melingkar yang dilepaskan-
nya lagi-lagi terhantam buyar. Belum lagi dia lan-
carkan serangan balasan, Setan Cambuk Api su-
dah kembali gerakkan cambuk berlidah tiganya.
Cltaaarrr!!
Kontan Manusia Sepuluh Siluman urung-
kan niat dan membuang tubuh ke samping ka-
nan. Saat kembali berdiri tegak dan agak men-
jauh, dilihatnya tanah yang tadi dipijaknya telah
bergaris tiga buah sedalam satu jengkal.
Makin meradang Manusia Sepuluh Silu-
man mendapati kalau lawan bukanlah orang yang
dapat dipandang sebelah mata.
"Perempuan hina!!"
Tak mau sahuti ucapan orang, Setan Cam-
buk Api sudah gerakkan lagi cambuk berlidah ti-
ga dengan kerahkan setengah tenaga dalamnya.
Cltaaarrr!!
Suara yang terdengar begitu mengerikan
sekali, disusul dengan lesatan tiga angin laksana
anak panah saat cambuk itu digerakkan.
Manusia Sepuluh Siluman coba memapaki
dengan serangan balasannya. Dan dia harus be-
nar-benar menjaga jarak, begitu melihat serangan
Setan Cambuk Api agak berubah. Karena lidah
cambuk di bagian tengah melesat lebih dulu siap
hantam kepalanya.
Ketika pemuda sombong ini bergerak ke ki-
ri, lidah cambuk bagian kiri sudah mencecar ke
arahnya.
Cltaaarr!!
"Laknat!" maki Manusia Sepuluh Siluman
geram. Diam-diam dia menyadari, kalau dia telah
terpancing ucapan Pendekar Slebor. "Setan terku-
tuk! Mengapa aku tak berpikir panjang tadi? Su-
dah tentu Pendekar Slebor berusaha alihkan per-
hatianku dari apa yang kuinginkan! Keparat!
Urusan telah kubuka dengan perempuan celaka
itu! Tetapi biar bagaimanapun juga, perempuan
celaka itu tak akan pernah kubiarkan hidup!"
Sementara itu, Pendekar Slebor cuma
memperhatikan saja.
"Gadis Kayangan belum kutemukan hingga
sekarang. Masalah Rahasia Sebelas Jari pun be-
lum berhasil kupecahkan. Hemm... mumpung ke-
dua manusia ini sedang serang satu sama lain,
sebaiknya kupergunakan kesempatan untuk me-
ninggalkan tempat ini. Tetapi, aku tak ingin salah
seorang dari mereka celaka. Biar bagai-manapun
juga, mereka hanya terpaku dengan nafsu sera-
kah. Kupikir, nafsu itu dapat diubah bila salah
seorang dari mereka mau melakukannya."
Di lain pihak, kemarahan Manusia Sepuluh
Siluman semakin menjadi-jadi. Mendadak saja
dia menderu dengan keganasan yang luar biasa.
Serangan demi serangannya nampak kacau ba-
lau. Namun bila terkena, tak dapat dibilang lagi
akibatnya.
Kendati menghadapi serangan yang lebih
ganas dari sebelumnya, Setan Cambuk Api masih
dapat mengimbangi. Bahkan dia pun membalas
tak kalah ganas. Hingga saat itu pula banyak
ranggasan semak yang terpapas dan beterbangan,
disusul muncratnya tanah ke udara. Bahkan gu-
gusan batu kapur berjatuhan dari bukit kapur.
Tidak hanya sampai di sana saja yang dila-
kukan Setan Cambuk Api. Karena diiringi teria-
kan penambah semangat, mendadak saja si ne-
nek angkat tangan kanannya yang memegang
cambuk. Kejap kemudian diputar-putarnya ke
udara, hingga saat itu pula terdengar suara yang
keras dan memekakkan telinga. Sementara ge-
lombang angin yang keluar perdengarkan suara
mengerikan.
Bahkan Andika yang sejak tadi hanya
memperhatikan, harus kerahkan tenaga dalam
untuk hindari gempuran gelombang angin yang
keluar dari cambuk berlidah tiga itu.
Namun yang dilakukan Manusia Sepuluh
Siluman justru sangat mengejutkan, lain dari se-
belumnya. Dia sama sekali tidak menghindari se-
tiap serangan yang datang padanya. Bahkan ber-
kali-kali tubuhnya terhantam. Memekik keras dan
terhuyung, lalu melesat lagi dengan wajah kian
meradang.
Di tempatnya Pendekar Slebor mendengus.
"Busyet! Tuh orang kok bodoh benar ya?
Sudah tahu tidak mampu mengimbangi Setan
Cambuk Api, dia malah makin beringas. Bodoh-
nya, dia seperti membiarkan dirinya dihantami te-
rus menerus! Tapi, sungguh patut dipuji. Dia
memiliki tubuh kedot, hingga terus menerus me-
nyerang."
Yang dilakukan Manusia Sepuluh Siluman
memang mengundang tanya. Saat lancarkan se-
rangan, pemuda sombong ini seakan baru perta-
ma kali bertarung. Dia seolah hilang perhitungan
dari setiap serangan yang dilakukannya. Bahkan
serangannya pun tak tentu arahnya.
Bila Setan Cambuk Api berada di kanan,
dia justru menyerang ke kiri. Sudah tentu itu be-
rarti sasaran empuk dari cambuk berlidah tiga si
nenek.
Hingga satu saat, nampak Setan Cambuk
Api mencelat ke depan. Cambuk berlidah tiganya
digerakkan diiringi teriakan melecehkan, "Huh!
Kau tak patut untuk turut memperebutkan Ran-
tai Naga Siluman!"
Di tempatnya, Andika yang telah lontarkan
satu kecerdikan yang diperlihatkan, mengurung-
kan niat untuk segera meninggalkan tempat itu.
Anak muda urakan ini tak mau kalau sa-
lah seorang dari keduanya terluka hebat. Ma-
kanya, kendati tahu kalau Manusia Sepuluh Si-
luman tak akan berpikir dua kali untuk menca-
but nyawanya, dia tetap memutuskan untuk me-
nyelamatkan Manusia Sepuluh Siluman.
Namun sebelum dilakukan maksud, men-
dadak terdengar suara dingin, "Biarkan perem-
puan tua itu membuang tenaganya! Bila kau te-
tap tak mengatakan isi dari Rahasia Sebelas Jari,
maka nyawamu akan kukirim ke neraka!!"
2
Pada saat yang bersamaan, di sebuah tem-
pat yang agak terbuka dan cukup jauh dari tem-
pat Pendekar Slebor berada, empat pasang mata
sedang memandang pada orang berjubah hitam
yang baru muncul. Pancaran mata masing-
masing orang mengandung arti yang hanya mere-
ka mengerti sendiri.
Sementara yang dipandang nampak tenang
saja. Dia seorang lelaki selengah baya berjubah
hitam. Parasnya tirus dihiasi kulit tipis. Sepasang
matanya sipit, namun kilatan sinarnya begitu
menusuk sekali. Seluruh rambut yang tumbuh di
kepala dan wajahnya berwarna putih.
Orang yang lak lain Kiai Alas Ireng ini ke-
luarkan suara, "Hmmm... nampaknya kehadiran-
ku justru menghentikan keramaian yang telah
terjadi. Aku tak tahu apakah harus meminta
maaf, atau ikut dalam keramaian ini."
Dua orang lelaki berambut dikepang dua
dan memiliki paras sama satu sama lain saling
pandang. Perasaan kedua orang berpakaian abu-
abu ini mendadak tidak tenang melihat kehadiran
Kiai Alas Ireng.
Sementara itu, perempuan berpakaian dan
berkerudung merah alihkan pandangannya pada
lelaki berpakaian serba hitam yang tak jauh da-
rinya. Sejenak dia tak berucap seperti memikir-
kan kata. Di kejap lain dia berkata pada lelaki
berkuncir kuda itu.
"Sangga Rantek! Aku tak pernah suka den-
gan kehadiran orang yang mengganggu kesenan-
ganku! Apakah kau punya pikiran yang sama?!"
aju si perempuan sambil melirik pada Kiai Alas
Ireng yang sedang lipat kedua tangan di depan
dada.
Orang berpakaian hitam yang di kedua
pergelangan tangannya terdapat gelang-gelang
duri ini, tak menjawab. Pandangannya tetap ditu-
jukan pada lelaki berjubah hitam.
Diam-diam orang yang memang Sangga
Rantek adanya ini membatin, "Tadi... salah seo-
rang si Kembar Parang Maut mendesiskan nama
siapa orang yang baru datang ini. Kiai Alas Ireng.
Hemm... rasa-rasanya, aku pernah mendengar
nama manusia ini. Seorang tokoh yang kepan-
daiannya tak bisa dipandang sebelah mata. Aku
belum dapat memutuskan tindakan apa yang ku-
lakukan, kendati kehadirannya memang cukup
mengejutkan."
Berpikir demikian Sangga Rantek berkata.
"Iblis Rambut Emas! Sesungguhnya aku juga
punya pikiran yang sama. Tapi, kita belum tahu
apa maksud orang!"
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanya
perempuan berpakaian dan berkerudung merah.
"Kita menunggu apa yang hendak dilaku-
kannya!"
Sudah tentu Kiai Alas Ireng langsung ter-
bahak-bahak. Tawa yang diperdengarkannya be-
gitu menyentak gendang telinga. Sementara
keempat orang itu segera alirkan tenaga dalam
masing-masing ke telinga, sosok gadis jelita ber-
pakaian biru muda yang tergeletak di atas tanah
berumput tersentak. Keluhannya terdengar. Gadis
berkepang dua itu dalam keadaan tertotok. Dan
sudah tentu dia tak dapat alirkan tenaga dalam
pada gendang telinganya.
Seiring tawa Kiai Alas Ireng yang belum pu-
tus juga, si gadis yang tak lain Gadis Kayangan
adanya, terbeliak-beliak dengan keluhan berulang
kali. Tiga tarikan napas berikutnya, dia sudah ja-
tuh pingsan karena tak kuasa menahan gelom-
bang tawa yang menyakitkan itu.
Sebelum kehadiran Kiai Alas Ireng di tem-
pat ini, si Kembar Parang Maut berhasil menculik
Gadis Kayangan. Bermula masing-masing orang
melihat dua sosok tubuh yang berkelebat. Agung
Gaganda memutuskan untuk mengejar kedua
orang itu. Dia berhasil meyakinkan diri kalau
orang yang dikejar adalah orang yang memang
mereka cari.
Pertarungan antara Agung Gaganda den-
gan Pendekar Slebor pun terjadi, hingga muncul-
nya Iblis Kelabang. Agung Gaganda yang tahu ke-
saktian Iblis Kelabang tak mau bertindak gega-
bah. Dia langsung meninggalkan tempat itu.
Pada saat yang hampir bersamaan adik
kembarnya, Alung Gaganda, hendak memperma-
lukan Gadis Kayangan. Namun munculnya Agung
Gaganda yang yakin kalau gadis itulah yang dili-
hatnya bersama dengan Pendekar Slebor, keingi-
nan Alung Gaganda putus. Dengan maksud men-
jadikan Gadis Kayangan sebagai sandera, kedua
nya menjauh hingga bertemu dengan Sangga
Rantek dan Iblis Rambut Emas.
Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas
yang juga telah mendengar tentang Rahasia Sebe-
las Jari dan mengetahui siapa adanya si gadis,
bermaksud untuk merebutnya dari tangan si
Kembar Parang Maut. Dan tatkala pertarungan
berjalan seru, muncullah Kiai Alas Ireng (Baca:
"Rahasia Sebelas Jari").
Tawa Kiai Alas Ireng terputus. Menyusul
seraya maju dua tindak ke muka, lelaki yang te-
lah memerintahkan Iblis Kelabang untuk mencari
tahu tentang Rahasia Sebelas Jari sekaligus
membunuh Pendekar Slebor, berkata, "Ucapan
yang kudengar sungguh sangat membuatku lebih
bergairah. Tetapi, juga sangat mengejutkan. Tak
ada yang kuinginkan selain, gadis itu!"
Sangga Rantek yang juga menginginkan
Gadis Kayangan berkata, suaranya masih dibuat
wajar, "Rupanya, semua yang hadir di sini me-
mang menginginkan gadis itu. Dan tentunya, ini
berhubungan dengan Pendekar Slebor. Bila boleh
tahu, ada urusan apa kau dengan Pendekar Sle-
bor."
"Bicaramu seakan telah memperlihatkan
apa yang kau inginkan. Tapi, aku pun tak mau
menutup diri, karena kupikir kita semua ten-
tunya telah mendengar berita tentang Rahasia
Sebelas Jari, bukan? Dan tentunya ini berhubun-
gan dengan Rantai Naga Siluman. Bila memang
masih mencoba untuk menutup diri, kupikir tak
akan ada gunanya."
"Tepat dugaanku, kalau dia menginginkan
Rantai Naga Siluman. Dan tentunya dia tahu ten-
tang gadis ini yang ada hubungannya dengan
Pendekar Slebor. Hemmm, sebaiknya kugali
keuntungan di sini."
Habis memikir demikian, Sangga Rantek
berkata, "Kalau begitu, semua yang berada di sini
memang memiliki tujuan yang sama! Dengan kata
lain, berakhir untuk membunuh Pendekar Slebor!
Bagaimana bila kutawarkan satu pertimbangan
lain?"
Kiai Alas Ireng menyeringai lebar.
"Apa yang hendak kau tawarkan?"
"Bagaimana bila kita bergabung untuk
membunuh Pendekar Slebor?"
Kembali terdengar tawa Kiai Alas Ireng
yang sangat keras. Di sela-sela tawanya dia beru-
cap, "Biasanya, orang yang mengajak bergabung
tentunya mencoba mengeruk keuntungan pribadi!
Bila kau mau mengatakan apa yang bisa kau da-
patkan dari tawaranmu sendiri, mungkin aku bi-
sa mempertimbangkannya."
Memerah wajah Sangga Rantek mendengar
ejekan orang. Sesaat lelaki berpakaian serba hi-
tam ini terdiam. Sepasang pelipisnya nampak
bergerak-gerak tanda dia tak mampu sembunyi-
kan lagi amarahnya.
Sementara itu, Iblis Rambut Emas mengge-
ram.
"Jahanam! Ucapannya bukan hanya me-
nyentil Sangga Rantek, tetapi aku juga merasa
dihujam sembilu! Cukup mengherankan sebenar
nya, mengapa Sangga Rantek menawarkan hal
seperti itu? Apakah dia telah mengetahui siapa
adanya orang hingga nampak berlaku bodoh?"
Tak sanggup menindih geramnya, Iblis
Rambut Emas berkata dingin, "Keuntungan yang
akan didapat tak perlu dipercakapkan di sini! Bila
memang kau tak menyetujui tawaran itu, silakan
menyingkir!"
Kiai Alas Ireng menggeleng-gelengkan kepa-
la.
"Perempuan berambut emas! Apakah kau
juga akan mendapatkan keuntungan pribadi dari
yang ditawarkan temanmu itu? Bila memang de-
mikian adanya, mengapa harus menutup diri?!"
Semakin geram Iblis Rambut Emas men-
dengar ucapan orang. Karena sudah tak kuasa
menindih geramnya lagi, dia berucap, "Tak ada
keuntungan yang dapat dipetik sebelum membu-
nuhmu!!"
Habis ucapannya, perempuan berkerudung
merah yang sudah dilanda marah, siap menerjang
ke depan. Tapi, Sangga Rantek menahan.
Serentak Iblis Rambut Emas beliakkan ma-
tanya pada Sangga Rantek.
"Jangan gegabah. Kau belum tahu siapa
dia," bisik Sangga Rantek yang tak mau mencari
masalah dengan teman seperjalanannya yang se-
sungguhnya pernah menginginkan nyawanya ini.
Melihat apa yang dilakukan Sangga Ran-
tek, Kiai Alas Ireng tertawa lebar.
"Mengapa harus kau tahan gerakan pe-
rempuan itu, hah?! Kupikir, tak ada salahnya bila
dia hendak melemaskan otot!!"
Sementara makin bergolak amarah yang
ada di dada Iblis Rambut Emas, Sangga Rantek
berkata, "Apa yang dikatakan temanku ini, bu-
kanlah satu urusan yang menarik! Bila kau hen-
dak laksanakan maksud, silakan bawa gadis itu!"
Sambil tertawa Kiai Alas Ireng melangkah
mendekati sosok Gadis Kayangan yang pingsan.
Dengan sekali hentakkan kaki kanannya, sosok
Gadis Kayangan terlontar ke atas. Dengan sigap
disambut dan dipanggulnya.
"Bagus bila kau mengerti gelagat! Dan se-
belum aku berlalu, kuperingatkan pada kalian
semua yang berada di sini! Jangan coba-coba ikut
campur dalam urusan yang kulakukan! Terutama
untuk mengetahui tentang Rahasia Sebelas Jari!
Bila saja kulihat ada yang tidak mengindahkan
ucapanku, jangan harapkan dia akan lolos dari
maut yang akan kuturunkan!"
Habis ucapannya, sambil tertawa-tawa,
Kiai Alas Ireng melangkah ke arah timur. Sosok
Gadis Kayangan tetap berada di pundaknya.
Sepeninggal Kiai Alas Ireng, Iblis Rambut
Emas langsung buka mulut, "Sangga Rantek! Aku
tak paham apa yang barusan kau lakukan?! Kau
bukan hanya telah merendahkan harga dirimu
sendiri, tetapi juga seperti telah menjilat telapak
kaki orang itu!"
Menggeram Sangga Rantek dengan pan-
dangan melotot.
"Kau yang berlaku bodoh! Mungkin kau
memang belum tahu siapa adanya orang! Tetapi
perlu kukatakan, kalau kau hanya akan sanggup
menandinginya tiga gebrakan!!"
"Setan! Jangan merendahkanku!" mera-
dang Iblis Rambut Emas mendengar ucapan yang
melecehkannya. Sangga Rantek mendengus.
"Seharusnya kau berterima kasih! Karena
secara tidak langsung kau telah kutolong dari
kematian!"
"Huh! Boleh kau berucap seperti itu! Tetapi
suatu saat, kau akan melihat kalau lelaki keparat
itu tak lebih dari cacing busuk belaka di tangan-
ku!!" geram Iblis Rambut Emas. Lalu terlihat mu-
lutnya berkemak-kemik tapi tak ada suara yang
keluar.
Sangga Rantek tak peduli omongan Iblis
Rambut Emas. Tatkala ditangkapnya dua sosok
tubuh berkelebat menjauh, segera dipalingkan
kepala.
Rupanya, si Kembar Parang Maut yang se-
jak kehadiran Kiai Alas Ireng tak membuka mu-
lut, memutuskan untuk berlalu dari sana. Kedua
orang ini memang telah tahu kehebatan Kiai Alas
Ireng. Karena lima tahun yang lalu, mereka di-
buat porak poranda oleh lelaki berjubah hitam
itu. Dan ketimbang mati konyol, mereka merasa
lebih baik tak buka ucapan.
Sangga Rantek tak lakukan tindakan apa-
apa untuk menahan kepergian dua lelaki berpa-
kaian abu-abu. Karena sebenarnya yang dituju
hanyalah Gadis Kayangan. Tetapi sekarang Gadis
Kayangan telah dibawa oleh Kiai Alas Ireng.
Sesungguhnya, Sangga Rantek juga tak
dapat menahan diri melihat sikap dan tindakan
melecehkan dari Kiai Alas Ireng. Namun dia ma-
sih berpikir jernih. Karena bila dia memutuskan
untuk bertarung, tak mustahil nyawanya akan
putus.
Sangga Rantek lebih memikirkan jalan lain
untuk keluar dari perangkap yang akan diturun-
kan Kiai Alas Ireng. Dan dia tak ingin membuang
tenaga sia-sia. Kalaupun sebelumnya harus ben-
trok dengan si Kembar Parang Maut untuk mem-
perebutkan Gadis Kayangan, karena dia yakin
dapat mengalahkan mereka.
Tetapi menghadapi Kiai Alas Ireng yang
pernah didengar kesaktiannya, sudah tentu dia
akan berpikir dua kali. Kendati demikian, hatinya
pun tak kalah gusarnya. Dia berjanji, dengan cara
apa pun, kelak dia akan membalas sekaligus
mengalahkan Kiai Alas Ireng.
Untuk saat ini lebih baik mengalah. Karena
Pendekar Slebor-lah yang dituju, kendati bila dia
berhasil menyandera Gadis Kayangan, maka selu-
ruh yang diinginkannya akan dicapai dengan mu-
dah. Tetapi bila dia bersikeras untuk menahan
keinginan Kiai Alas Ireng semuanya akan beran-
takan.
Ancaman yang dikeluarkan Kiai Alas Ireng
memang sempat bikin nyalinya ciut. Namun itu
hanya sekejap. Karena dia akan tetap mencari
Pendekar Slebor, selain membunuhnya juga un-
tuk mengetahui tentang isi Rahasia Sebelas Jari.
Rantai Naga Siluman, adalah yang menjadi tujuan
terakhir.
Selagi dia terdiam begitu, Iblis Rambut
Emas yang masih tak menyukai tindakan Sangga
Rantek berkata gusar, "Kenapa kau diam, hah?!
Apakah setelah mendapat ancaman dari Kiai Alas
Ireng lantas kau memutuskan semua maksud?"
Sangga Rantek segera palingkan kepala.
"Jahanam sial! Perempuan ini benar-benar
minta dihajar! Sungguh aku tak mengerti, men-
gapa aku bisa tetap bersama-sama dengan pe-
rempuan celaka ini! Semua bermula karena aku
tertarik untuk bergabung dengannya, guna men-
dapatkan potongan pedang perak yang berada di
tangan Pendekar Slebor. Huh! Sepeninggalku dari
Pulau Hitam pun aku masih tetap bersama-sama
perempuan kapiran ini!" katanya dalam hati lalu
berucap
"Jangan melecehkanku! Aku pun tak akan
mundur menghadapi Kiai Alas Ireng! Menghadapi
siapa pun juga yang menghalangi seluruh renca-
naku!"
"Tetapi kau telah berlaku seperti kelinci
terperangkap lima ekor serigala!" Iblis Rambut
Emas memaki lagi. Perempuan berkerudung me-
rah ini masih tidak puas melihat sikap Sangga
Rantek.
Sangga Rantek kertakkan rahangnya.
"Dengar aku sekarang! Yang diinginkannya
hanyalah Gadis Kayangan! Bila kita menghalangi,
maka kita bukan hanya akan mampus hari ini,
tapi gagal mendapatkan apa yang kita inginkan!
Kau pikir, aku akan mundur setelah ancaman
Kiai Alas Ireng? Huh! Kau akan melihatnya kelak,
kalau lelaki itu tak lain hanya seseorang yang
menang lebih dulu dan kalah dengan siksaan
yang cukup pedih!"
Habis ucapannya, Sangga Rantek segera
berkelebat ke arah yang dilalui Kiai Alas Ireng.
Dia masih geram akan sikap Iblis Rambut Emas.
Sementara itu, Iblis Rambut Emas masih
tegak di tempatnya. Hati perempuan ini tidak te-
rima mendengar ucapan Sangga Rantek. Karena
dengan kata lain, Sangga Rantek telah mengecil-
kannya. Sepasang pelipisnya bergerak-gerak. Ke-
dua rahangnya mengembung seolah menyimpan
amarah yang dalam.
Sambil hembuskan napas dengan cara me-
nyentak, dia mendesis, "Huh! Niatku tetap sama
sejak semula! Selain membunuhmu, aku juga
akan membunuh Pendekar Slebor! Tetapi, tena-
gamu masih dapat kupergunakan hingga sampai
saat ini aku belum turunkan tangan! Dan satu
saat, justru kau yang akan terkejut melihat apa
yang akan kulakukan!"
Dengan dada masih dikobar amarah, pe-
rempuan berkerudung merah ini segera hempos
tubuh. Kejap itu pula dia telah melesat menyusul
Sangga Rantek.
***
3
Di hadapan bukit kapur yang menebarkan
bau menusuk hidung, Pendekar Slebor segera pa-
lingkan kepalanya ke kanan. Kejap itu pula nam-
pak pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Ku-
tukan ini surutkan langkah satu tindak ke bela-
kang. Kepalanya menegak dengan sepasang mata
membuka lebih lebar. Mulutnya menganga lebar.
(Awas tuh, Bor! Entar ada laler masuk lagi!).
Seolah ada kekuatan yang menariknya,
kembali dipalingkan kepalanya ke depan. Dilihat-
nya bagaimana Setan Cambuk Api sedang mence-
car hebat Manusia Sepuluh Siluman.
Laksana tak tertarik dengan pertarungan
dahsyat itu, Andika kembali palingkan pandan-
gannya ke kanan. Dia ucak-ucak kedua matanya
seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Namun biarpun diucak seribu kali, pemandangan
yang ada di hadapannya tetap tak berubah!
"Monyet pitak! Apa yang telah terjadi?" de-
sisnya dengan kening kian dikernyitkan.
Seperti orang linglung, dia kembali mem-
perhatikan pertarungan Setan Cambuk Api yang
makin ganas mencecar Manusia Sepuluh Silu-
man. Bahkan dari ujung lidah-lidah cambuknya,
telah melesat bola-bola api sebesar kepalan tan-
gan orang dewasa. Si perempuan nampak begitu
bersemangat. Tawanya berulang kali terdengar.
Manusia Sepuluh Siluman nampak terke-
jut bukan alang kepalang. Dia masih berusaha
untuk hindari sergapan bola-bola api lawan. Na-
mun, dia nampaknya telah kehilangan banyak te-
naga. Hingga lak mampu lagi untuk menghindar.
Kejap itu pula tubuhnya terkepung koba
ran api dan terbakar hidup-hidup. Dari naungan
api yang berkobar-kobar, terdengar jeritan yang
sangat menyayat.
Terbahak-bahak Selan Cambuk Api melihat
hasil perbuatannya. Perempuan tua ini seolah
hendak perlihatkan keberhasilannya pada selu-
ruh dunia.
"Itulah akibatnya bila berani menantang
Setan Cambuk Api!" desisnya keras.
Namun lain halnya dengan Andika. Anak
muda tampan itu masih terbengong-bengong den-
gan kedua mata melotot. Berulang kali pandan-
gannya diarahkan pada sosok Setan Cambuk Api
yang sedang tertawa, dan orang yang berdiri ber-
jarak lima langkah di kanannya. Makin dilaku-
kan, semakin bingung anak muda ini.
Bagaimana tidak, karena dia melihat ba-
gaimana Setan Cambuk Api sedang mencecar he-
bat Manusia Sepuluh Siluman yang akhirnya ter-
bakar oleh bola-bola apinya.
Akan tetapi orang yang tadi menyapa dan
berdiri berjarak lima langkah di samping kanan-
nya, adalah sosok Manusia Sepuluh Siluman!
"Monyet pitak! Bagaimana ini bisa terjadi?!
Bagaimana mungkin mendadak saja Manusia Se-
puluh Siluman menjadi dua orang? Kutu landak!
Jangan-jangan dia kembar? Yang menghadapi Se-
tan Cambuk Api adalah saudara kembarnya, se-
mentara di saat aku terpaku memperhatikan per-
tarungan itu, yang lainnya muncul! Busyet! Ma-
kin kapiran saja urusan!" maki anak muda ura-
kan ini dengan hati diliputi tanya. Keningnya berkerut saat pandangi Manusia Sepuluh Siluman
yang berdiri di samping kanannya.
Pemuda yang tadi menggeram dingin pa-
danya, berkata lagi. "Perempuan tua celaka itu te-
lah mendapatkan apa yang diinginkannya! Biar
dia terpaku pada rasa puas yang melandanya! Ki-
ni, katakan tentang isi Rahasia Sebelas Jari pa-
daku!"
Andika yang masih keheranan melihat ke-
jadian di hadapannya, terdiam sesaat.
"Aneh! Ini benar-benar aneh! Kalau me-
mang yang sudah menjadi mayat itu adalah sau-
dara kembarnya, mengapa dia masih mengurusi
soal Rahasia Sebelas Jari? Mengapa tak ada tan-
da-tanda kegusaran untuk membalas kematian-
nya? Aneh! Apa yang sebenarnya terjadi?"
Karena Pendekar Slebor tak buka mulut,
Manusia Sepuluh Siluman menggeram lagi.
"Waktumu tidak lama, Pendekar Slebor!
Katakan cepat sebelum nyawamu kucabut!"
Entah mengapa Andika merasa tidak enak
sekarang. Dia berusaha untuk mencari jalan ke-
luar dari dua sosok Manusia Sepuluh Siluman
yang dilihatnya.
Lalu sambil garuk-garuk kepalanya yang
tidak gatal, dia berkata, "Heran! Kok tahu-tahu
kau ada dua sih? Kau bersaudara kembar ya?"
Bukan sahuti ucapan orang, Manusia Se-
puluh Siluman kertakkan rahangnya. Tinju ka-
nan kirinya mengeras.
"Sekali lagi kuminta, katakan tentang Ra-
hasia Sebelas Jari!!"
Andika masih memperhatikan sosok di ha-
dapannya. Diam-diam diliriknya Setan Cambuk
Api yang masih menyeringai puas. Dan yang
mengherankan anak muda ini, karena Setan
Cambuk Api seolah tak menyadari pemuda ber-
pakaian biru gelap yang sedang merangsek dingin
padanya.
"Kalau boleh dibilang menakjubkan, ini le-
bih dari sekadar menakjubkan. Nenek berpakaian
batik kusam itu nampaknya telah puas dengan
hasil yang dia capai. Entah apa yang ada dipiki-
rannya. Tapi yang mengherankan, mengapa dia
seolah tak me... oh!"
Memutus kata batinnya sendiri, anak mu-
da urakan ini terdiam dengan kening makin di-
kernyitkan. Wajahnya nampak begitu serius seka-
li.
Di seberang, Manusia Sepuluh Siluman
menggeram dingin.
"Jahanam betul! Pemuda itu tetap tak mau
mengatakan tentang isi Rahasia Sebelas Jari! Bila
menuruti kata hatiku, sudah tak sabar rasanya
ingin membunuhnya! Tapi, bila kulakukan seran-
gan, Setan Cambuk Api tentunya sadar kalau
yang diserangnya tadi bukanlah aku, melainkan
pandangan sekilas dari ilmu Siluman yang ku-
perlihatkan. Keparat busuk! Aku tak mau me-
nunggu terlalu lama. Bila Pendekar Slebor tak
mau mengatakannya juga, terpaksa harus kuse-
rang dia. Sementara Setan Cambuk Api akan
kuurus dengan ilmu 'Pati Raga Ganyang Jiwa'."
Memutuskan demikian, pemuda sombong
ini maju dua tindak ke muka. Bersamaan dia me-
langkah, Andika mengangkat kepalanya.
Anak muda urakan ini tak hiraukan tata-
pan dingin dari sepasang mata milik Manusia Se-
puluh Siluman. Diam-diam dia berkata dalam ha-
ti,
"Menilik sikap Setan Cambuk Api, dia bu-
kan hanya tidak menyadari atau berpikir kalau
orang yang diserangnya bukanlah Manusia Sepu-
luh Siluman. Bahkan dia juga tidak melihat so-
soknya yang berhadapan denganku. Bila memang
Manusia Sepuluh Siluman bersaudara kembar,
rasanya tak mungkin dia masih melibatkan diri
dalam urusan Rahasia Sebelas Jari. Tentunya dia
akan meradang gusar untuk membalas kematian
saudara kembarnya. Kalau begitu... berarti...."
Andika memutus kala batinnya saat terdengar
suara geraman di hadapannya. Sambil pandangi
Manusia Sepuluh Siluman yang kian terbawa ra-
dang amarah, dia meneruskan kata batinnya,
"Kesimpulanku jelas sekarang, kalau pemuda itu
memiliki ilmu bangsa Siluman...."
Manusia Sepuluh Siluman rupanya sudah
tak dapat kuasai amarahnya.
Dia segera membentak gusar, "Waktu yang
kutetapkan telah habis! Berarti kematian akan
kau terima, Pendekar Slebor!!"
Habis bentakannya, pemuda yang tak bo-
leh sedikit pun tersinggung ini sudah mencelat ke
depan disertai teriakan mengguntur.
Andika sendiri segera palangkan kedua
tangannya di atas kepala.
Buk! Buk!!
Benturan keras terjadi. Sosok anak muda
urakan ini tergontai-gontai ke belakang. Di sebe-
rang, Manusia Sepuluh Siluman mundur dengan
sepasang mata terbeliak.
"Gila! Aku seperti menghantam baja yang
sangat kuat! Peduli setan! Lebih baik pemuda itu
kubunuh, hingga semua urusan tuntas! Berarti,
tak ada yang akan mengetahui apa isi dari Raha-
sia Sebelas Jari dan tak akan ada yang berhasil
mendapatkan Rantai Naga Siluman!"
Setelah kerahkan separo tenaga dalamnya,
Manusia Sepuluh Siluman menggebrak lagi. Dua
hamparan angin melingkar menyapu ke arah kaki
Pendekar Slebor.
Sementara itu, Setan Cambuk Api yang
langsung palingkan kepala tatkala Manusia Sepu-
luh Siluman lancarkan serangan pada Pendekar
Slebor terkesiap. Tanpa sadar dia surut dua tin-
dak ke belakang disertai pekikan kecil,
"Oh!"
Kejap itu pula sepasang matanya dipen-
tangkan, diucak-ucak dan dibuka lebih lebar lagi.
Dari rasa terkejutnya, lamat-lamat dia mengge-
ram dingin.
"Jahanam keparat! Apa yang lelah kulaku-
kan tadi?! Siapa orang yang kuserang?! Bagaima-
na mungkin pemuda sombong itu masih dalam
keadaan segar bugar?! Terkutuk! Terkutuk! Pa-
dahal aku telah kehilangan separo tenaga dalam-
ku! Jahanam! Lebih baik kuperhatikan dulu per-
tarungan keduanya sebelum kuurus masing
masing orang!!"
Memutuskan demikian, perempuan tua
berpakaian batik kusam ini agak mundur lima
langkah ke belakang. Hatinya masih direjam
tanya sekaligus kemarahan yang semakin naik.
Disadarinya betul kalau dia telah ditipu orang.
Dalam keadaan masih heran dan meradang
itu, mendadak saja Setan Cambuk Api tersentak,
tatkala merasakan satu gelombang angin mende-
ru ke arahnya.
Segera dia buang tubuh untuk hindari ter-
jangan maut. Namun gelombang angin melingkar
telah menggebrak kembali. Kali ini sangat sempit
waktu yang dimilikinya untuk hindari gebrakan
gelombang angin melingkar itu.
Makanya dia segera gerakkan tangan ka-
nannya yang memegang cambuk berlidah tiga.
Dalam keadaan murka, Setan Cambuk Api eelah
keluarkan ilmu yang membuat lidah-lidah cam-
buknya lontarkan bola-bola api yang keluar suara
mengerikan.
Orang yang tadi lancarkan serangan bu-
kannya menghindar, justru terus mencelat maju.
Sekali lihat, Setan Cambuk Api dapat
meyakini kalau orang itu seketika akan mampus
terbakar. Namun....
Astaga! Sosok orang berpakaian biru gelap
itu terus mencelat ke arahnya sementara bola-
bola api yang dilepaskannya nyeplos begitu saja!
"Gila! Apa yang terjadi?!" geramnya makin
kebingungan.
Karena, sosok orang yang menyerangnya
tak lain adalah Manusia Sepuluh Siluman. Se-
mentara orang yang saat ini membuat Pendekar
Slebor kalang kabut, juga Manusia Sepuluh Silu-
man!
Seperti yang telah direncanakannya, Ma-
nusia Sepuluh Siluman memang tak mau mem-
buang waktu lagi. Kegeramannya makin menjadi-
jadi, terutama terhadap Pendekar Slebor yang te-
tap tak mau membuka mulut. Dia telah perguna-
kan ilmu 'Pati Raga Ganyang Jiwa' yang membuat
sosoknya dapat menjelma menjadi dua orang dan
masing-masing memiliki kekuatan yang sama.
Lain halnya dengan ilmu yang pernah diperli-
hatkannya saat bertarung dengan Kiai Alas Ireng.
Saat itu, Manusia Sepuluh Siluman telah
pergunakan salah satu ilmu Siluman yang dimili-
kinya, 'Balik Mata Timbul Asap', ilmu yang juga
membuat sosoknya menjadi dua, namun tak da-
pat lakukan serangan. Ilmu ini lebih banyak dite-
kankan untuk mengelabui pandangan lawan dan
menguras tenaga lawan.
Di lain pihak Pendekar Slebor sendiri men-
cang-mencongkan mulutnya dengan kejengkelan
yang kian menggunung. Di samping itu, pemuda
yang di lehernya melilit kain bercorak catur ini
juga masih mencemaskan keadaan Gadis Kayan-
gan yang hingga sekarang belum diketahui, di
mana murid mendiang Pemimpin Agung itu bera-
da.
Karena rasa tak tenang itulah dia mencoba
untuk meninggalkan pertarungan. Tetapi sudah
tentu hal itu tidak mudah dilakukannya. Karena
Manusia Sepuluh Siluman yang semakin mera-
dang tak mau membuang kesempatan lagi.
Hatinya lelah geram. Pertama, dia hampir
saja dikelabui orang yang dicarinya. Kedua, orang
itu tak mau buka mulut untuk katakan tentang
isi Rahasia Sebelas Jari.
Makanya, serangan demi serangan yang di-
lancarkannya bertambah ganas. Andika sendiri
telah keluarkan ajian 'Guntur Selaksa' hingga tu-
buhnya saat ini dilingkupi pernik perak.
Namun yang mengejutkannya, karena ajian
'Guntur Selaksa' yang dipergunakannya tak
membawa hasil yang diharapkan. Bahkan dengan
mudahnya berulang kali dapat dipatahkan Manu-
sia Sepuluh Siluman yang kian ganas menyerang.
"Monyet pitak! Kura-kura burik! Bagaima-
na ini bisa terjadi?" desis Andika sambil perguna-
kan ilmu peringan tubuhnya untuk hindari ser-
gapan serangan lawan. "Tadi saat menghadapi Se-
tan Cambuk Api dia seperti kehilangan bentuk se-
rangannya, bahkan berkali-kali dapat dikalahkan.
Bahkan dia harus pergunakan ilmunya yang en-
tah apa namanya untuk menghadapi Setan Cam-
buk Api. Tapi sekarang, kekuatannya seolah ber-
lipat ganda. Busyet! Dia seperti memiliki satu ke-
senangan tersendiri mempermainkan lawan-
lawannya sebelum dia bunuh! Landak buduk! Dia
seperti memiliki dua kepribadian!"
Sementara Pendekar Slebor dibuat tung-
gang langgang dengan aliran darah yang bertam-
bah kacau, Setan Cambuk Api harus berulangkali
perdengarkan pekikannya. Karena sosok Manusia
Sepuluh Siluman yang menghadapinya, lain den-
gan yang pertama tadi terjadi.
Manusia Sepuluh Siluman yang ini benar-
benar memiliki keanehan yang luar biasa. Setiap
kali Setan Cambuk Api lancarkan serangan, sosok
Manusia Sepuluh Siluman terus menggebrak ga-
nas dan setiap kali itu pula serangan Setan Cam-
buk Api nyeplos bila mengenai sosoknya.
Keadaan ini bukan hanya membuat si ne-
nek menjadi kaget, tapi juga kalang kabut. Buti-
ran keringat telah hiasi rangkaian kulit keriput-
nya. Wajahnya pucat dan sesekali terdengar peki-
kannya yang keras.
Bahkan satu ketika, kedua kakinya tersa-
pu gelombang angin melingkar yang dilepaskan
Manusia Sepuluh Siluman. Kontan tubuh si ne-
nek terbanting keras. Belum lagi dia berdiri, ber-
samaan suara angin dan dengungan ribuan ta-
won murka dari sebelah kanan, serangan berikut
yang dilancarkan orang yang telah menghantam
jatuh dirinya, telah menggebrak kembali.
Laksana tanpa darah wajah Setan Cambuk
Api. Kedua bola matanya membesar dipenuhi ki-
latan ketakutan.
Namun sebelum maut menerpanya, men-
dadak saja satu sosok tubuh berpakaian hijau
pupus telah menyambarnya. Dengan pencalan
kaki kanan sosok yang tak lain Pendekar Slebor
adanya ini, sudah mencelat meninggalkan tempat
itu.
Manusia Sepuluh Siluman yang menyerang
Pendekar Slebor menggeram gusar. Dia tak menyangka kalau pemuda itu lelah loloskan lilitan
kain bercorak catur pada lehernya, yang langsung
digerakkan dan serta-merta menderu gelombang
angin dahsyat yang menyeret tanah dan rangga-
san semak belukar!
Di saat Manusia Sepuluh Siluman meng-
hindar sambil perdengarkan geramannya, Pende-
kar Slebor yang melihat bahaya sedang mengan-
cam Selan Cambuk Api, segera melompat untuk
selamatkan si nenek yang sebenarnya mengingin-
kan nyawanya
Sementara itu, serangan yang dilancarkan
oleh Manusia Sepuluh Siluman yang menyerang
Setan Cambuk Api, menghantam tanah di mana
tadi sosok si nenek ambruk. Kontan tanah itu
muncrat ke udara dan membentuk lubang yang
cukup besar.
Sosok Manusia Sepuluh Siluman ini tak
lakukan tindakan apa-apa. Malah sosoknya tegak
dengan kepala terangkat.
Lain halnya dengan sosok Manusia Sepu-
luh Siluman yang menyerang Pendekar Slebor ta-
di. Parasnya jelas tak kuasa sembunyikan kema-
rahan yang makin membludak.
"Jahanam! Ke mana pun kau pergi, kau tak
akan lepas dari tanganku, Pendekar Slebor!"
Habis menggeram demikian, mendadak sa-
ja pemuda sombong ini mengarahkan pandan-
gannya pada sosok Manusia Sepuluh Siluman
yang masih tegak berdiri.
Dan mendadak saja keanehan terjadi, ka-
rena sosok Manusia Sepuluh Siluman yang ditatapnya, lenyap tanpa bekas.
Setelah tarik napas pendek, Manusia Sepu-
luh Siluman keluarkan desisan, "Kau telah ber-
tindak bodoh di hadapanku, Pendekar Slebor!
Kau tetap akan kubunuh! Peduli setan kau akan
mengatakan atau tidak tentang Rahasia Sebelas
Jari!! Kau akan mampus di tanganku! Kau akan
mampus, Pendekar Slebor!!"
Masih meneriakkan keinginan untuk mem-
bunuh Pendekar Slebor, Manusia Sepuluh Silu-
man gerakkan bahu kanan kirinya. Mendadak so-
soknya berkelebat, ke arah perginya Pendekar
Slebor yang membawa sosok Setan Cambuk Api!
Lima kejapan mata berikutnya, nampak sa-
tu sosok tubuh keluar dari balik batu kapur besar
yang terdapat di bukit kapur. Orang yang baru
keluar ini memiliki postur tubuh yang tinggi. Tak
mengenakan pakaian hingga menampakkan ton-
jolan otot-ototnya. Paras wajahnya yang dihuni
oleh anggota wajah serba besar ini nampak kaku.
Dari wujudnya yang menyeramkan itu, ada se-
suatu yang sangat menarik perhatian. Orang
tinggi besar itu berkulit hijau dari atas hingga
bawah!
Untuk sesaat orang tinggi besar berkulit hi-
jau ini tak buka mulut. Sorot matanya tetap ka-
ku, sekaku parasnya. Kejap kemudian terlihat dia
angguk-anggukkan kepala.
"Pendekar Slebor.... Berarti, pemuda yang
kujumpai waktu itu adalah orang yang kucari. Te-
tapi, mengapa dia tak mau mengatakan yang se-
sungguhnya? Mengapa harus berdusta kepada
ku?"
Orang berkulit hijau ini sejenak terdiam.
Tak ada perubahan apa pun di wajahnya kendati
saat itu dia seperti tengah mendapatkan apa yang
dicarinya.
"Apakah Pendekar Slebor menganggapku
sebagai salah seorang yang ingin tahu tentang
Rahasia Sebelas Jari? Hemm, mungkin karena
itulah dia berdusta padaku. Tapi itu bukan masa-
lah yang besar bagiku. Biar bagaimanapun juga,
aku harus menemuinya. Aku harus menceritakan
tentang Rantai Naga Siluman. Dan nampaknya
tak perlu kuceritakan padanya, kalau banyak
orang-orang yang memburunya untuk mengeta-
hui Rahasia Sebelas Jari yang jelas sasarannya
adalah, Rantai Naga Siluman."
Kembali orang tinggi besar berkulit hijau
ini terdiam. Parasnya tetap kaku. Kejap berikut-
nya, tanpa buka mulut lagi, orang yang tak lain
Kala Ijo ini sudah melangkah. Dan setiap kali dia
melangkah, tanah seakan bergetar!
***
4
Bayangan yang berkelebat menembus ma-
lam yang datang itu sangat cepat sekali. Dan sa-
mar-samar terlihat kalau di pundak orang yang
berkelebat itu nampak satu sosok tubuh yang
terkulai, laksana orang tak berdaya.
Namun sebenarnya tidak. Karena sosok
tubuh yang berada dalam bopongan orang yang
berkelebat itu sebenarnya segar bugar, bahkan
dapat menghajar orang yang membopongnya.
Namun orang yang membopongnya telah menotok
urat kaku dan urat suaranya, hingga dia bukan
hanya tak dapat gerakkan anggota tubuh, tetapi
juga tak mampu keluarkan suara.
Kendati demikian, dia dapat memaki-maki
dalam hati.
"Jahanam sial! Terkutuk! Tak akan pernah
aku berterima kasih meskipun dia telah menye-
lamatkanku!"
Orang yang berkelebat itu hentikan keleba-
tannya di sebuah persimpangan. Sejenak orang
yang bukan lain Pendekar Slebor ini memandang
ke sekelilingnya, seolah menentukan ke arah ma-
na yang harus dituju.
"Kadal buntung! Urusan yang kuhadapi ini
makin membentang saja! Rahasia Sebelas Jari be-
lum berhasil kupecahkan, juga Gadis Kayangan
belum dapat kuketemukan! Monyet pitak! Apa
yang harus kulakukan sekarang?"
Diarahkan pandangannya ke depan. Nam-
pak kegelapan malam seakan sukar ditembus
oleh pandangannya.
Anak muda urakan dari Lembah Kutukan
ini membatin lagi, "Tak seharusnya kuselamatkan
Setan Cambuk Api dari serangan ganas Manusia
Sepuluh Siluman. Tetapi, aku tak ingin perem-
puan yang kutahu menginginkan nyawaku ini te-
was di hadapanku. Dan mengenai Manusia Sepuluh Siluman sendiri, cukup merepotkan sekaligus
mengejutkan. Ilmu yang diperlihatkannya benar-
benar mengerikan. Aku yakin dia tak bersaudara
kembar dan itu berarti, dia memiliki ilmu yang
membuatnya dapat menjadi dua orang. Entah
pengelabuan mata saja, atau memang ada, aku
tidak dapat memastikan. Tetapi kulihat, dia me-
miliki dua kepribadian."
Sejenak anak muda ini hentikan kata ba-
tinnya. Angin malam berhembus dingin, mengge-
raikan rambutnya yang gondrong. Beberapa helai
daun kering beterbangan.
"Sebaiknya, kutinggalkan saja Setan Cam-
buk Api di sini. Aku harus tetap mencari Gadis
Kayangan."
Memutuskan demikian, Pendekar Slebor
menurunkan sosok Setan Cambuk Api. Si nenek
sesat ini pentangkan sepasang matanya lebih le-
bar. Kilatan amarah begitu penuh di matanya. Te-
tapi karena dia tak dapat gerakkan tubuh mau-
pun keluarkan suara, yang bisa dilakukan hanya
telentang dengan mata melotot.
Andika cuma nyengir saja melihatnya.
Sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal
dia berkata, "Maaf nih. Nek! Terpaksa kau kuting-
galkan di sini! Bukannya jahat, tapi kan lama ke-
lamaan aku jadi kelelahan juga memikul tubuh-
mu yang berat! Heran! Kau ini kelihatan renta
dan aku yakin kurus kering! Tapi kok, bobot tu-
buhmu berat amat ya? Kebanyakan dosa tuh!"
Makin melotot Setan Cambuk Api menden-
gar kata-kata Pendekar Slebor. Mulutnya hanya
dapat keluarkan suara 'ah' dan 'uh' saja.
Andika yakin kalau ucapan yang hendak
dikeluarkan Setan Cambuk Api adalah ucapan
kemarahan. Tetapi dasar urakan, anak muda ini
justru dekatkan telinganya dengan tangan kanan
mengembang di belakang telinganya.
"Apa? Kau bilang apa? Kerasan dikit, dong?
O... kau mengatakan terima kasih! Tidak usah,
ah! Tidak perlu berterima kasih? Apa? Kau sung-
guh-sungguh? Ya, sudah kalau begitu! Kuterima
deh terima kasihmu! Tapi maaf nih ya, aku tak
bisa lama-lama berada di sini! Yuk, cabut dulu!"
Tanpa hiraukan perempuan tua berpa-
kaian batik kusam yang masih keluarkan suara
'ah' dan 'uh', Pendekar Slebor sudah berlari me-
ninggalkan tempat itu. Dia akan tetap mencari
Gadis Kayangan, sembari memecahkan Rahasia
Sebelas Jari.
Sepeninggal Pendekar Slebor, Setan Cam-
buk Api yang masih belum dapat gerakkan tubuh
maupun keluarkan ucapan, masih tergeletak di
atas tanah berumput. Kegeraman perempuan tua
ini semakin menjadi-jadi.
Tak ada sedikit pun rasa terima kasihnya
pada Pendekar Slebor, kendati pemuda itu telah
menyelamatkannya. Dia tetap akan membunuh
pemuda urakan itu. Cepat atau lambat, dia tak
peduli sama sekali.
"Terkutuk! Kau bukan hanya memperma-
lukanku dengan tindakanmu, Pendekar Slebor!
Tetapi menghinaku habis-habisan! Tak akan per-
nah kubiarkan kau hidup lebih lama!!" geram perempuan sesat ini dalam hati.
Dia berusaha kerahkan tenaga dalamnya
untuk lepaskan totokan yang dilakukan Pendekar
Slebor. Namun tenaga dalamnya seolah mampet,
kalaupun dia mampu kerahkan, hanya sedikit se-
kali yang keluar hingga dia tak mampu untuk
membebaskan diri dari totokan yang dilakukan
pemuda dari Lembah Kutukan itu.
"Keparat! Satu saat... satu saat kau akan
mohon ampun di bawah kakiku, Pend... oh!!" ma-
kian dalam hati yang dilakukan Selan Cambuk
Api terputus. Karena mendadak saja dia dapat ge-
rakkan tubuhnya. Bahkan suara 'oh' tadi, lepas
keluar dari mulutnya.
Terburu-buru perempuan bersenjatakan
cambuk berlidah tiga ini bangkit.
"Setan alas! Rupanya Pendekar Slebor sen-
gaja menotokku hanya untuk sementara! Sung-
guh satu totokan yang sangat hebat! Karena da-
pat diatur kapan terlepasnya! Jahanam terkutuk!
Dia menghinaku! Dia menghinaku!!"
Lalu disambungnya dengan teriakan berta-
lu-talu yang membedah alam, "Kau harus mam-
pus di tanganku, Pendekar Slebor!! Kau harus
mampus!!!"
Kejap berikutnya, perempuan berpakaian
batik kusam ini sudah berkelebat meninggalkan
tempat itu dengan sejuta dendam pada Pendekar
Slebor.
***
Dua hari berlalu sudah.
Ketika Pendekar Slebor tiba di tepi sebuah
sungai, sinar matahari telah tampakkan bias-
biasnya di ufuk timur. Suara riakan air sungai
tak terlalu keras. Udara masih cukup dingin. Di
depan sana, kabut masih menggumpal. Embun
masih bergayut di daun-daun. Tempat di mana
Pendekar Slebor berdiri sekarang, cukup banyak
ditumbuhi ranggasan semak belukar.
Sejenak anak muda ini menatap aliran
sungai yang jernih. Beberapa buah batu me-
nyembul keluar.
"Air terus mengalir hingga tiba ke laut.
Bersatu dengan hunian seluruh air dari berbagai
tempat. Nampaknya, kehidupan ini tak jauh ber-
beda dengan aliran air. Kehidupan terus melang-
kah dan melangkah, terus menjauh yang terka-
dang berada dalam kegembiraan namun tak
urung berada dalam kesedihan. Dan kelak, bila
kehidupan ini berakhir, maka orang akan ber-
kumpul di satu tempat...," desisnya dengan tata-
pan tak berkedip pada aliran air sungai.
Namun begitu kepalanya kejatuhan sehelai
daun, mendadak saja anak muda ini menepuk ji-
datnya.
"Busyet! Apa aku ini memiliki bakat jadi
seorang penyair? Hebat juga tuh! Sayangnya, tak
ada yang mendengar sih?!" desisnya sambil nyen-
gir sendiri.
Kejap berikutnya, dia melangkah ke depan.
Lalu berjongkok di depan sungai itu. Dibasuh
mukanya yang terasa agak lengket. Lalu diminumnya air sungai itu.
Sambil mendesah dia berdiri kembali.
"Sulit bagiku menentukan ke mana lang-
kah yang harus kutempuh. Gadis Kayangan tetap
menjadi tujuanku. Aku harus mengetahui kea-
daannya. Apakah saat ini dia dalam keadaan se-
lamat atau justru sedang mengalami nasib sial?
Kutu landak! Sebaiknya, kucoba untuk kembali
memikirkan tentang Rahasia Sebelas Jari!"
Setelah pandangi sekelilingnya, pemuda
pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini sege-
ra melangkah ke bawah sebuah pohon. Dia du-
duk bersandar sambil menikmati sinar lembut
matahari yang baru beranjak naik.
Sejenak matanya memandang ke depan.
Melihat gugusan gunung yang permai. Masih
nampak kabut putih menaunginya, hingga mem-
buat gunung-gunung itu nampak semakin indah.
"Rahasia Sebelas Jari," desis Pendekar Sle-
bor sambil hela napas. "Sebuah rahasia yang
menjelimet. Akan kucoba lagi untuk merangkai-
kannya. Eyang Mega Tantra hanya mengatakan
ada sebelas jari di dalam jiwa, satu jari adalah ti-
tik kemuliaan. Bila kukaitkan dengan jari-jari tan-
gan dan kaki, nampaknya sangat sulit. Hem... ba-
gaimana bila kukaitkan kembali dengan manu-
sia? Dan salah seorang manusia itu memiliki dua
kepribadian. Yang satu buruk dan yang satu lagi
pribadi mulia. Kalau demikian, kata sebelas jari
itu cuma samaran belaka. Samaran dari jumlah
sepuluh orang dan satu orang memiliki kepribadian rangkap."
Anak muda urakan ini sejenak hentikan
ucapan. Keningnya nampak berkerut tanda dia
memikirkan lebih lanjut masalah Rahasia Sebelas
Jari.
"Sebelum Gadis Kayangan berpisah den-
ganku, secara bercanda dia mengatakan tentang
sepuluh orang dan salah seorang memiliki dua
kepribadian. Berarti secara tidak langsung, ber-
jumlah sebelas orang. Dua kepribadian... oh!"
Terkejut akan pikiran yang ada di benak-
nya, kepala pemuda tampan berambut gondrong
ini menegak. Dia tidak lagi bersandar di batang
pohon itu. Keningnya kembali nampak berkerut,
hingga sepasang alisnya yang hitam legam dan
menukik laksana kepakan sayap elang, makin
menukik.
"Dua kepribadian? Bukankah secara tidak
sengaja aku memiliki pikiran yang sama tatkala
melihat pertarungan Manusia Sepuluh Siluman
dengan Setan Cambuk Api. Kalau memang du-
gaanku ini benar, berarti Manusia Sepuluh Silu-
man adalah orang yang berkepentingan dalam
urusan ini. Hemm... apakah dia mengetahuinya?"
Sejenak kembali diputuskan ucapan, lalu
kelihatan Pendekar Slebor menggeleng-gelengkan
kepala.
"Kalau memang ini jawaban dari Rahasia
Sebelas Jari, siapakah orang yang berjumlah se-
puluh itu sebenarnya, orang yang tentunya ber-
keinginan keras untuk mengetahui tentang Raha-
sia Sebelas Jari sekaligus mendapatkan Rantai
Naga Siluman? Sebaiknya kupikirkan dulu."
Dengan dada dipenuhi semangat, Andika
perlahan-lahan berkata, "Yang jelas terlihat dalam
urusan ini, aku, Gadis Kayangan, Manusia Sepu-
luh Siluman, dan Setan Cambuk Api. Lalu ada...
Iblis Kelabang, yang menurutnya diperintah oleh
Kiai Alas Ireng. Hemm... berarti ada enam orang
sekarang. Lalu, orang yang bernama Agung Ga-
ganda. Lantas... siapa lagi yang tiga orang? Kutu
mati! Sudah buntu sampai di sini! Berarti... bu-
kan itu rahasia dari sebelas jari. Karena seharus-
nya... hei! Bagaimana dengan Sangga Rantek dan
Iblis Rambut Emas? Bukankah dia sebelumnya
berada di Pulau Hitam? Bisa jadi dia ikut campur
dalam urusan ini pula. Ya, bisa jadi. Berarti su-
dah sembilan orang. Lalu, siapa yang satunya la-
gi? Oh! Kala Ijo! Ya, orang yang sebelumnya ham-
pir mencelakakan Gadis Kayangan. Berarti tepat
sudah sepuluh orang. Dan Manusia Sepuluh Si-
luman merupakan kunci dari urusan ini! Luar bi-
asa! Hebat juga nih otakku!!"
Dengan wajah membiaskan kepuasan ka-
rena merasa berhasil memecahkan Rahasia Sebe-
las Jari, Pendekar Slebor tersenyum-senyum sen-
dirian.
"Kalau begitu... aku harus mencari Manu-
sia Sepuluh Siluman. Tapi apa iya dia termasuk
orang yang dimaksud dengan kalimat satu jari
adalah titik kemuliaan? Kok, orang kayak begitu
mulia sih? Atau jangan-jangan... aku salah men-
gambil kesimpulan? Kerbau bunting! Nyasar lagi
nih kesimpulanku akhirnya! Dan bagaimana bila
ternyata semua orang yang terlihat dalam urusan
ini bukan berjumlah sepuluh, melainkan sebelas?
Kalau memang begitu, siapa yang dimaksudkan
dalam kalimat satu jari adalah titik kemuliaan?"
Kalau tadi Andika kelihatan bersemangat,
kali ini dia menggaruk-garuk kepalanya yang ti-
dak gatal.
"Monyet pitak! Berarti gagal nih menuju
Manusia Sepuluh Siluman, yang sebelumnya ku-
duga adalah kunci dari urusan yang makin kapi-
ran ini!"
Lalu terlihat mulutnya mencang-mencong
tapi tak ada suara yang keluar.
"Ketimbang kepalaku jadi pusing sementa-
ra aku belum tahu apa yang dialami Gadis
Kayangan, lebih baik aku meneruskan saja untuk
mencarinya. Huh! Sejak semula aku memang tak
mau berjalan bersama dengannya, karena bisa
bikin urusan! Tapi sekarang, setelah dia tidak
bersamaku lagi, justru aku yang kebingungan un-
tuk mengetahui keadaannya? Monyet pitak!!"
Perlahan-lahan anak muda urakan ini
bangkit dari duduknya. Menepuk-nepuk pantat-
nya yang sedikit berdebu. Pandangannya diangkat
ke depan. Matahari semakin panjang tebarkan si-
narnya yang mulai terasa menyengat.
"Lebih baik, cabut dulu ah!" desisnya sete-
lah puas memandang ke depan.
Memutuskan demikian, anak muda be-
rambut gondrong acak-acakan ini segera melang-
kah ke samping kanan. Namun baru saja dia ber-
gerak delapan langkah, mendadak saja dia henti-
kan langkah. Karena dirasakan tanah yang dipijaknya seperti bergetar.
Terlihat bagaimana burung-burung yang
tadi bermain, kini beterbangan entah ke mana.
"Busyet! Apa ada gajah yang datang ke si-
ni? Menilik getaran tanah yang kurasakan, nam-
paknya gajah itu tidak sedang mengamuk. Tapi,
gajah apa yang iseng mendatangi tempat ini?" de-
sis Andika sambil putar tubuh. Sepasang telinga
dan matanya dibuka lebar-lebar.
Debuk! Debuk!
Suara langkah yang membuat tanah berge-
tar itu nampak semakin dekat.
"Busyet! Ini sih bukan gajah? Tentunya ada
orang yang datang. Tapi siapa orang yang lang-
kahnya sedemikian keras ini. Apakah... kutu lan-
dak! Kala Ijo!"
Bersamaan dia desiskan nama itu, menda-
dak saja ranggasan semak belukar di samping ki-
rinya menguak. Lalu muncul satu sosok tubuh
tinggi besar tanpa mengenakan pakaian. Orang
yang baru muncul ini berkulit hijau!
***
5
"Busyet! Ini sih memang benar-benar bu-
kan gajah? Tapi rajanya orang!" kata Andika da-
lam hati sambil pandangi orang yang baru mun-
cul itu. Dan saat itu pula dia bersiaga untuk
menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan.
Orang yang baru muncul dari balik rangga-
san semak belukar memang Kala Ijo adanya.
Orang yang memiliki anggota tubuh serba besar
ini terdiam. Sepasang matanya yang membulat
besar, memandang tak berkedip ke arah Pendekar
Slebor. Sosoknya tetap kaku dan tegang.
Untuk beberapa lama tak ada yang kelua-
rkan suara. Masing-masing orang seolah me-
nunggu yang lainnya bicara. Beberapa helai daun
berguguran dihembus angin.
Suasana lengang itu dipecahkan oleh Kala
Ijo yang bersuara besar, "Anak muda! Biasanya
aku tak menyukai orang yang pernah mencoba
berdusta atau memuslihatiku! Apalagi dilakukan
secara sengaja! Tapi kali ini, kucoba untuk men-
gubah kebiasaanku sendiri!"
Di tempatnya, wajah Andika sejenak beru-
bah. Perasaannya mendadak jadi tidak enak.
"Wah! Dari ucapannya barusan, jelas kalau
dia tahu siapa aku sebenarnya! Monyet buduk!
Bisa kacau nih! Waktuku akan makin terbuang
banyak bila harus meladeni raksasa hijau ini! Te-
tapi, apa yang bisa kulakukan lagi selain tetap
berada di sini dan tentunya harus meladeninya
lagi?"
Habis membatin demikian, sambil garuk-
garuk kepalanya yang tidak gatal, pemuda yang di
lehernya melilit kain bercorak catur ini nyengir.
Lalu berkata, "Kau ini ngomong apa sih? Kok, ti-
dak tahu juntrungannya! Apa kau tidak bisa bica-
ra yang lebih jelas sedikit?"
Dengan wajah tetap kaku, Kala Ijo sejenak
pandangi anak muda yang masih nyengir itu. La-
lu dia buka mulut lagi, "Anak muda! Aku tahu
siapa orang yang kucari, dan ternyata kau
adanya! Jadi sekarang, jangan coba-coba memus-
lihatiku lagi!"
"Kampret! Benar-benar jadi berabe nih!"
Andika merutuk dalam hati. Lalu berkata, "Iya
deh, aku mengaku! Memang aku kok orang yang
berjuluk Pendekar Slebor!" Menyusul dia men-
dengus, "Bah! Slebor! Kok enak saja orang menju-
lukiku slebor! Apa tidak ada kata yang bagusan
lagi?!"
"Ya, engkaulah Pendekar Slebor!" sahut Ka-
la Ijo puas, namun paras wajahnya tetap tidak be-
rubah.
"Kalau kau sudah tahu aku orang yang kau
cari, ya sudah! Permisi deh!"
Lalu dengan enaknya, anak muda urakan
ini berbalik dan melangkah. Namun mendadak
saja dia membuang tubuh ke samping kanan dis-
ertai makian, "Gajah bau!!"
Segera dia berbalik disertai rutukannya
sewot, "Apa-apaan sih kau ini? Kalau mau menye-
rang bilang-bilang dong? Lagian, apa sih maumu?
Kan kau sudah tahu aku orang yang kau cari! Ka-
lau sudah tahu, ya sudah! Main serang saja! Da-
sar tidak tahu aturan!!"
Kala Ijo yang tadi gerakkan tangan kanan-
nya untuk menahan langkah Andika, tetap berdiri
tegak. Parasnya tetap tak berubah. Sepasang ma-
tanya tetap tak berkedip. Wajahnya semakin
nampak kaku.
"Keadaan sangat genting. Bulan purnama
akan muncul dalam beberapa hari lagi! Bila be-
lum menuntaskan urusan, maka Rantai Naga Si-
luman akan mencelat keluar dan membuat rimba
persilatan akan kacau! Tak seorang pun yang da-
pat kendalikan Rantai Naga Siluman bila belum
didapatkan sebelum pada waktunya, atau tepat
pada waktunya!"
Mendengar ucapan orang, Andika menin-
dih rasa jengkelnya, Dia memandang tak berkedip
pada raksasa hijau itu.
"Menilik ucapannya, nampaknya dia tahu
tentang Rantai Naga Siluman. Tetapi waktu itu,
dia berkehendak untuk mengetahui tentang Ra-
hasia Sebelas Jari. Apa ini bukan hanya sekadar
kata-kata dusta saja?"
Sebelum Andika membuka mulut, Kala Ijo
sudah berkata lagi, "Aku tidak tahu apa yang ada
dalam pikiranmu! Tetapi, aku minta dengan san-
gat kau mau mengatakan tentang isi dari Rahasia
Sebelas Jari!"
"Nah! Mulai lagi tuh! Dasar otak udang!"
Habis memaki dalam hati, Andika berkata,
"Kalau aku tidak mau mengatakan Rahasia Sebe-
las Jari, apa yang akan kau lakukan? Berjoget ria
di hadapanku?"
Paras Kala Ijo semakin kaku. Lalu sua-
ranya yang besar terdengar lagi, kali ini lebih din-
gin, "Biasanya, aku tak menyukai bila ada orang
yang menantangku! Tetapi kali ini, aku akan ber-
sabar."
"Busyet! Dua kali dia berkata seperti itu!
Pertama akan marah bila tahu dia didustai orang.
Kedua, bila ada yang menantangnya! Tetapi sikap
yang diperlihatkannya justru semakin membua-
tku penasaran!"
Kemudian Andika berkata, "Iya, iya! Kau
memang termasuk orang yang sabar! Tetapi, maaf
ya, aku tak bisa mengatakan tentang isi dari Ra-
hasia Sebelas Jari!"
"Sekali lagi kukatakan, aku tak tahu apa
yang kau pikirkan! Tetapi dari ucapanmu baru-
san, jelas kau coba untuk tutupi semua yang ada!
Baiklah! Aku sendiri tidak terlalu merasa ingin
tahu tentang isi dari Rahasia Sebelas Jari yang
dikatakan Eyang Mega Tantra kepadamu! Seka-
rang, akan kuceritakan tentang Rantai Naga Si-
luman! Karena, aku mencarimu, untuk menceri-
takan tentang rantai sakti itu!"
Wajah Andika nampak berubah. Kepalanya
sedikit ditegakkan. Corong matanya tak berkedip
pada Kala Ijo.
'"Kepalaku makin jadi puyeng memikirkan
apa maunya orang ini! Dia bersikap benar-benar
aneh! Kalau sebelumnya begitu ngotot untuk
mencariku dan mengetahui tentang isi dari Raha-
sia Sebelas Jari, kali ini dia nampak bersikap te-
nang! Lantas, apa maksudnya hendak mengata-
kan tentang Rantai Naga Siluman? Siapa dia se-
benarnya?"
Banyak pikiran yang melintas di benak
anak muda ini. Namun karena ingin tahu kelan-
jutan dari sikap Kala Ijo, dia berkata, "Terus te-
rang, aku tak paham maksudmu"
"Kau tak perlu memahaminya, kau hanya
kuminta untuk mendengarkan ucapanku!"
Dengan berlagak acuh, Andika berkata, "Si-
lakan deh!"
Kala Ijo sejenak palingkan pandangan pada
sebelah kirinya. Menembus ke kejauhan. Sambil
melangkah dua tindak ke depan lamat-lamat dia
berkata,
"Mungkin... kau akan merasa heran atau
boleh dikatakan tidak percaya, kalau aku adalah
turunan terakhir dari orang yang berhubungan
dengan Rantai Naga Siluman. Seluruh keluarga
yang kumiliki, semuanya bertubuh besar dan
berkulit hijau."
Kembali dia terdiam. Lalu berkata, "Rantai
Naga Siluman adalah sebuah benda pusaka yang
dimiliki oleh leluhurku yang mendapatkan sebu-
tan, Raja Seluruh Kala. Sebelum rimba persilatan
menjadi sedemikian rupa, leluhurku adalah orang
yang ditakuti siapa pun juga. Karena selain me-
miliki kesaktian yang tinggi, dia juga memiliki se-
buah senjata sakti yang dikenal dengan sebutan
Rantai Naga Siluman. Tak ada yang berani men-
gusik keluargaku hingga turunannya yang terak-
hir. Namun sesuatu yang mengerikan justru ter-
jadi dari dalam."
Kala Ijo terdiam lagi. Sepasang matanya
yang biasanya tak berkedip, kali ini mengerjap-
ngerjap seperti ada pikiran yang mengganggunya.
Setelah terdengar desahannya, dia beru-
cap, "Seorang pamanku berniat untuk menda-
patkan Rantai Naga Siluman. Dan niatan itu baru
terlaksana setelah matinya leluhurku. Dia menga-
takan, kalau leluhurku memberikan hak waris
Rantai Naga Siluman padanya. Kami semua tak
ada yang berani membantah, karena wasiat yang
diberikan leluhur sangat kami junjung tinggi
meskipun sesungguhnya ada perasaan curiga
akan wasiat yang diturunkan kepada pamanku
itu. Selain dikenal sebagai orang yang beranga-
san, pamanku juga seorang yang sangat kejam.
Dan di bawah perintahnya, keluarga besar Kala
menjadi porak poranda.
Lantas terjadilah satu kudeta dari dalam
sendiri. Beberapa orang pamanku yang lain ber-
gabung untuk menghentikan kekejaman paman-
ku yang telah mendapatkan Rantai Naga Siluman
itu. Namun tak ada yang berhasil melakukannya,
bahkan beberapa orang mati karena kesaktian
Rantai Naga Siluman.
Namun kejadian itu tidak membuat pa-
man-pamanku yang lain menjadi jera. Mereka te-
tap menyusun rencana untuk mengalahkan pa-
manku yang kejam itu.
Hingga suatu ketika, tatkala diadakan pes-
ta besar, salah seorang pamanku berhasil men-
campuri racun pada arak pamanku yang kejam
itu. Dia memang tak segera mati karena memiliki
kesaktian tinggi. Namun karena dikeroyok akhir-
nya dia tewas. Dan yang sangat mengerikan, ka-
rena melempar Rantai Naga Siluman entah ke
mana. Bahkan dia telah keluarkan satu ucapan
rahasia yang berhubungan dengan Rahasia Sebe-
las Jari dan berkaitan dengan cara mendapatkan
Rantai Naga Siluman…"
Kala Ijo menarik napas panjang.
Andika yang kian tertarik mendengar penu-
turan Kala Ijo, ajukan tanya, "Dan kau tidak tahu
tentang isi dari ucapan rahasia itu?"
"Aku adalah keturunan terakhir. Semua itu
diceritakan oleh salah seorang pamanku yang ak-
hirnya meninggal dunia karena sakit. Biar kusele-
saikan dulu ceritaku. Selain mengucapkan kata
rahasia itu, pamanku yang kejam mengatakan,
bila tak ada yang berhasil mendapatkan Rantai
Naga Siluman selama lima ratus tiga puluh dua
purnama, maka senjata itu akan muncul ke du-
nia. Bukan hanya akan mengacaukan kehidupan
keluarga kala, tetapi juga mengacaukan rimba
persilatan."
"Busyet! Mengapa bisa begitu?"
Kala Ijo arahkan pandangannya pada An-
dika. Setelah mendesah dia berucap, "Karena,
Rantai Naga Siluman memiliki kesaktian sendiri.
Dia seolah dapat digerakkan oleh satu tenaga
sakti untuk mengacaukan apa saja yang diingin-
kan, padahal tidak. Karena dia dapat bergerak
sendiri."
"Wah! Mengerikan sekali!"
"Sangat mengerikan. Dan terhitung dari
sekian purnama yang diucapkan oleh pamanku
yang kejam itu sebelum ajalnya, purnama bulan
ini adalah purnama yang kelima ratus tiga puluh
dua. Berarti, bila tak ada yang berhasil menda-
patkan, maka ucapan yang sekaligus kutukan itu
akan terjadi."
Andika menahan napas karena tegang.
Lamat-lamat dihembuskan napasnya.
"Benar-benar sesuatu yang baru kudengar,
Dan begitu mengerikan. Tetapi, bagaimana ceri-
tanya Eyang Mega Tantra bisa tahu semua ini?
Bukankah ini rahasia keluarga Kala?"
Seperti mengetahui apa yang ada dalam pi-
kiran Andika, Kala Ijo berkata, "Dan satu hal lagi
yang patut kau ketahui, sebelum ajalnya, paman-
ku yang kejam itu juga mengatakan, kalau seo-
rang anak manusia akan mengetahui di mana
Rantai Naga Siluman berada. Namun dia tidak
tahu apa yang harus dilakukannya. Kendati de-
mikian, aku telah berusaha menemukan anak
manusia itu yang kemudian kuketahui bernama
Eyang Mega Tantra. Maksudku mencarinya, un-
tuk mengetahui tentang isi dari Rahasia Sebelas
Jari. Paling tidak, aku dapat berusaha memecah-
kan sekaligus mendapatkan kembali Rantai Naga
Siluman sebelum urusan menjadi membentang
lebar."
Di seberang nampak Andika mengangguk-
anggukkan kepala.
"Mungkin ini mengapa Eyang Mega Tantra
mengetahui tentang Rahasia Sebelas Jari. Dan se-
telah mendengar ceritanya, apakah aku lantas
harus mengatakan tentang isi Rahasia Sebelas
Jari? Karena bisa saja dia berdusta padaku den-
gan menceritakan sesuatu yang omong kosong
belaka. Busyet! Jadi fusing nih!"
Sesaat tak ada yang keluarkan suara. Kala
Ijo nampak masih terbawa arus ingatannya sendiri. Sedangkan Andika berpikir lagi, "Tetapi tak ada
salahnya bila kukatakan tentang isi dari Rahasia
Sebelas Jari. Biar bagaimanapun juga, purnama
bulan ini sudah dekat sementara aku belum ber-
hasil mendapatkan memecahkan Rahasia Sebelas
Jari secara pasti. Tetapi, apa ini tidak akan men-
celakakanku sendiri?"
Sebelum Andika memutuskan mengatakan
atau tidak isi dari Rahasia Sebelas Jari, Kala Ijo
sudah berkata, "Anak muda... aku yakin kau me-
ragukan ucapanku. Tetapi kali ini, perasaanku
sudah lega karena telah mengatakan tentang ra-
hasia yang bertahun-tahun kupendam ini. Dan
sekarang, aku berharap pada dirimu, agar kau
berhasil mendapatkan Rantai Naga Siluman sebe-
lum purnama mendatang tiba."
Andika segera mengangkat kepalanya.
"Wah! Jadi tidak enak nih!" desisnya dalam
hati. Lalu katanya sambil nyengir, "Kala Ijo! Aku
tidak tahu apakah aku dapat mempercayai uca-
panmu atau tidak. Tetapi kendati demikian, aku
akan menga...."
Kala Ijo menggeleng-gelengkan kepalanya,
yang seolah isyarat bagi Andika untuk menghen-
tikan ucapannya.
"Tak perlu kau katakan padaku. Hanya
kuminta, kau mau melakukan apa yang kuha-
rapkan tadi."
Tak tahu harus berbuat apa, Andika yang
menjadi tidak enak, cuma terdiam.
Lamat-lamat terlihat Kala Ijo menghela na-
pas panjang. Wajah kakunya nampak agak berubah. Lantas, tanpa berucap sepatah kata lagi,
orang bertubuh tinggi besar berkulit hijau itu su-
dah melangkah meninggalkan Andika.
Debuk! Debuk!
Setiap kali kakinya terangkat dan memijak
tanah lagi, terdengar suara yang keras dan tanah
agak bergetar.
Karena tak tahu harus berkata apa, Pende-
kar Slebor hanya termangu di tempatnya. Sampai
sosok Kala Ijo menghilang dia masih terdiam.
Setelah itu barulah dia mendesah, "Urusan
memang makin membentang panjang. Rantai Na-
ga Siluman, merupakan sebuah senjata sakti
yang sangat mengerikan. Dia memiliki kekuatan
sendiri tanpa harus digerakkan oleh siapa pun
juga. Tetapi, apakah dapat kupercaya cerita Kala
Ijo? Apakah tidak mungkin kalau dia coba me-
ngelabuiku? Hanya saja, sikapnya tadi, tidak
memaksaku untuk mengatakan tentang isi dari
Rahasia Sebelas Jari. Buju buneng! Makin jadi
puyeng kepalaku!!"
Sejenak anak muda ini geleng-gelengkan
kepala. Dan sebelum dia lakukan tindakan apa-
apa, terdengar suara yang cukup keras, "Alung
Gaganda! Bukankah terbukti ucapanku kalau
pemuda setan itu selamat dari tangan Iblis Kela-
bang?!"
"Kau benar, Agung Gaganda! Kini tiba
saatnya untuk mengetahui tentang Rahasia Sebe-
las Jari dan mengkerat tubuhnya hingga sekecil-
kecilnya sebelum banyak orang yang datang ke
sini!"
Serta-merta Andika palingkan kepala ke
kanan. Kejap itu pula kakinya surut satu tindak
ke belakang melihat dua bayangan abu-abu mun-
cul di hadapannya. Yang sekarang berdiri dengan
sepasang kaki agak dibuka dan tatapan menco-
rong ganas.
Di tempatnya, untuk sejenak Andika arah-
kan pandangan bergantian pada dua orang yang
baru muncul itu.
"Busyet! Jadi dia kembar?! Tetapi, yang
mana yang pernah bertarung denganku sebelum-
nya?!"
***
6
Pada saat yang bersamaan, satu sosok tu-
buh berpakaian semerah darah hentikan larinya
di sebuah jalan setapak. Diedarkan pandangan ke
seantero tempat. Yang nampak hanyalah jajaran
pepohonan tinggi dan ranggasan semak belukar
setinggi dada.
Sejenak perempuan berambut putih yang
dikelabang ini atur napasnya. Dadanya yang tipis
rata nampak turun naik. Sebuah kalung kelabang
bergerak mengikuti aturan napasnya.
"Terkutuk! Selain memiliki kesaktian yang
patut dikagumi, Pendekar Slebor juga memiliki
kecerdikan yang luar biasa! Bila saja dia tidak
melarikan diri saat bentrok denganku, dapat ku
pastikan tugas yang diberikan Kiai Alas Ireng se-
lesai kujalankan! Tetapi masih untung aku dapat
mengetahui isi dari Rahasia Sebelas Jari!"
Sejenak perempuan berambut putih dike-
labang ini terdiam. Sepasang matanya meman-
dang ke kejauhan.
"Waktu sepuluh hari yang kujanjikan pada
Kiai Alas Ireng untuk mengetahui isi Rahasia Se-
belas Jari dan membunuh Pendekar Slebor, ting-
gal tiga hari lagi. Aku harus secepatnya menun-
taskan tugas yang diberikannya. Bila gagal, dapat
kupastikan kalau dia akan marah besar. Sesung-
guhnya, aku dapat mengalahkannya. Tetapi, dia
masih menanam budi yang harus segera kucabut
dengan jalankan seluruh perintahnya. Setelah itu
aku dapat meninggalkannya tanpa silang sengke-
ta."
Perempuan yang bukan lain Iblis Kelabang
adanya ini, tarik napas pendek. Perasaannya
mendadak tidak tenang bila dia belum berhasil
membunuh Pendekar Slebor. Padahal beberapa
hari lalu, dia hampir berhasil membunuh Pende-
kar Slebor. Tetapi pemuda itu telah keburu me-
ninggalkannya di saat pandangannya tertutup
muncratan tanah (Silakan baca "Rahasia Sebelas
Jari").
Dan setelah mencoba mencari ke mana
perginya Pendekar Slebor, perempuan ini gagal
menemukan di mana anak muda urakan itu be-
rada.
Mendadak saja keterdiaman Iblis Kelabang
diusik oleh satu gerakan. Pendengarannya yang
tajam menangkap gerakan yang berkelebat ke
arahnya.
Seketika dia putar tubuh untuk lihat siapa
adanya orang. Begitu orang yang berkelebat nam-
pak sosoknya, paras Iblis Kelabang berubah te-
gang. Bahkan tanpa sadar dia surut satu tindak
ke belakang.
"Celaka! Sebelum waktunya aku telah ber-
jumpa dengan lelaki ini kembali! Tetapi, aku tak
perlu panik. Bukankah waktu yang kujanjikan se-
lama sepuluh hari? Lagi pula, aku sudah menge-
tahui tentang isi dari Rahasia Sebelas Jari."
Dengan tindih rasa tegangnya, Iblis Kela-
bang menunggu kehadiran orang yang telah dili-
hat kelebatannya.
Orang yang berkelebat itu segera hentikan
langkah begitu melihat sosok perempuan berpa-
kaian panjang semerah darah. Di tangan kanan
orang berjubah hitam ini tergolek satu sosok tu-
buh berpakaian biru muda.
Orang yang tak lain Kiai Alas Ireng ini
langsung buka mulut, "Kulihat dari kejauhan kau
sejak tadi berada di sini! Apakah kau memang
menunggu kedatanganku?"
Iblis Kelabang untuk sesaat tenangkan du-
lu gemuruh hatinya. Setelah itu dia berucap, "Ka-
lau boleh dikatakan menunggu, aku memang me-
nunggu setelah melihat kelebatan tubuhmu, Kiai
Alas Ireng."
"Apakah sikap menunggumu ini sehubun-
gan dengan tugas yang kuberikan?"
"Bila memang boleh dikatakan demikian,
memang ada hubungannya."
"Jangan berbelit-belit!!" hardik Kiai Alas
Ireng.
Kendati memiliki ilmu lebih tinggi dari Kiai
Alas Ireng, Iblis Kelabang yang pernah disela-
matkan lelaki berjubah hitam itu saat bertarung
dengan Panembahan Agung, justru tundukkan
kepalanya.
Melihat sikap si perempuan, Kiai Alas Ireng
mendengus. Dia telah dapat menebak apa yang
tersirat di benak Iblis Kelabang.
Kemudian katanya geram, "Karena kau
menjanjikan waktu sepuluh hari dan sekarang
belum waktunya, maka kau kubebaskan dari ke-
matian!!"
Masih tundukkan kepala Iblis Kelabang
berkata, "Salah satu tugas yang kau berikan telah
kuketahui."
Sepasang mata lelaki berjubah hitam yang
sipit itu, nampak agak terbuka. Sejenak dia tak
bersuara, hanya pandangi Iblis Kelabang saja.
"Katakan!"
Masih tetap tundukkan kepala dan suara
menghormat, perempuan yang selalu meninggi-
kan balas budi dan tak peduli apakah dia harus
membalasnya dengan cara melakukan kebaikan
atau kejahatan ini berkata, "Rahasia Sebelas Jari
telah kuketahui dari mulut Pendekar Slebor sen-
diri. Tetapi sayang, aku gagal membunuhnya!"
"Peduli setan! Katakan sekarang!"
"Rahasia Sebelas Jari yang kudengar dari
Pendekar Slebor berisi: ada orang yang jari tangannya berjumlah sebelas, lalu jari kakinya ber-
jumlah sebelas. Bila dijumlahkan menjadi dua pu-
luh dua jari. Di antara jari-jari itu adalah dua yang
palsu."
Terdiam Kiai Alas Ireng mendengar ucapan
Iblis Kelabang. Lalu katanya bersemangat, "Kata-
kan sekali lagi."
Tetap dengan kepala tertunduk, Iblis Kela-
bang mengulangi lagi apa yang barusan dikata-
kannya.
Nampak kepala Kiai Alas Ireng mengang-
guk-angguk. Ada senyuman puas dibibirnya. Na-
mun hanya sesaat. Karena di saat lain senyuman
itu putus.
Kemudian dia berkata agak keras, "Aku in-
gin kau membunuh Pendekar Slebor!!"
Kali ini perlahan-lahan Iblis Kelabang ang-
kat kepalanya.
"Aku telah berhutang budi padamu, Kiai
Alas Ireng. Apa pun yang kau perintahkan, akan
kulaksanakan sepenuh hatiku!"
"Bagus! Sekarang menyingkir dari sini!"
"Aku hendak bertanya, siapakah gadis
yang nampak dalam keadaan tertotok itu?"
Kiai Alas Ireng mendengar pertanyaan
orang. Namun dia membuka mulut juga, menceri-
takan siapa si gadis yang tak lain Gadis Kayangan
adanya.
"Setahuku, gadis ini ada hubungannya
dengan Pendekar Slebor! Sekarang kutambahkan
tugasmu! Beritakan tentang Gadis Kayangan yang
ada padaku ini, hingga Pendekar Slebor akan
muncul untuk mencarinya!! Katakan pula, kalau
dia harus menukarkan nyawanya dengan Rantai
Naga Siluman! Kutunggu dia di Lembah Kalisu-
ra!!"
Patuh Iblis Kelabang menganggukkan ke-
pala. Dilihatnya bagaimana wajah lelaki bermata
sipit itu demikian cerah. Sedikit banyaknya, Iblis
Kelabang merasa telah membalas sebagian budi
yang telah ditanamkan pada Kiai Alas Ireng.
Bila saja waktu itu Kiai Alas Ireng tidak
muncul menyambar dan membawanya lari,
mungkin dia telah tewas di tangan Panembahan
Agung. Dan Iblis Kelabang tetap akan menun-
taskan dendam lamanya pada Panembahan
Agung. Dia juga telah mendengar tentang mun-
culnya Dewa Lautan Timur yang mendendam pa-
da Panembahan Agung. Didengarnya pula kalau
Dewa Lautan Timur menderita kegagalan (Untuk
mengetahui siapa Dewa Lautan Timur silakan ba-
ca episode: "Pedang Buntung" hingga "Tabir Pulau
Hitam").
Namun hingga saat ini, Iblis Kelabang be-
lum mau turuti dendamnya untuk membunuh
Panembahan Agung. Bila dia sudah tuntaskan
segala budi yang ditanam Kiai Alas Ireng, barulah
dia akan turuti dendamnya.
Di seberang, Kiai Alas Ireng nampak toleh-
kan kepala pada Gadis Kayangan yang berada da-
lam tentengan tangan kanannya.
"Hem... setelah kudapatkan gadis ini, dia
telah siuman dari pingsannya. Totokan yang dila-
kukan mungkin oleh si Kembar Parang Maut atau
Sangga Rantek atau Iblis Rambut Emas, telah
kubuka. Dan dia telah kutotok dengan totokanku
sendiri. Gadis ini akan kujadikan sandera yang
berarti. Dan nampaknya... aku akan menda-
patkan satu permainan yang sangat menarik. Per-
mainan yang tak akan pernah kulupakan seumur
hidupku. Biar bagaimanapun juga, akan kupe-
cahkan Rahasia Sebelas Jari yang barusan diper-
dengarkan Iblis Kelabang. Rantai Naga Siluman
harus kudapatkan! Aku telah merencanakan se-
suatu yang akan menggemparkan rimba persila-
tan bila Rantai Naga Siluman berada di tangan-
ku!"
Habis membatin demikian, Kiai Alas Ireng
angkat kepalanya. Menyipit dia memandang Iblis
Kelabang.
"Apa lagi yang kau tunggu di sini, hah?!
Apakah kau ingin kutempeleng?!"
Mendengar ucapan yang dapat membang-
kitkan kemarahan orang secara seketika, Iblis Ke-
labang tetap bersikap hormat. Dia rangkapkan
dulu kedua tangannya di depan dada, sebelum
melangkah meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal Iblis Kelabang, Kiai Alas Ireng
mendengus geram.
"Sebentar lagi, semua yang kurencanakan
akan tercapai! Beruntung aku punya kaki tangan
seperti Iblis Kelabang!"
Habis membatin demikian, tangan kirinya
mencolek pipi Gadis Kayangan. Si pemilik pipi itu
melotot gusar, namun tak dapat gerakkan tubuh
maupun keluarkan suara.
Melihat sikap Gadis Kayangan, Kiai Alas
Ireng tertawa lebar. "Tak ada gunanya kau bersi-
kap penuh amarah denganku, Anak Manis. Kau
adalah jaminan yang diinginkan siapa pun untuk
memancing Pendekar Slebor! Bila Pendekar Slebor
masih ingin melihat kau hidup tanpa kurang sua-
tu apa, dia harus berhasil mendapatkan Rantai
Naga Siluman! Karena kau akan kutukarkan den-
gan Rantai Naga Siluman!!"
Kembali terbuka mulut lelaki berjubah hi-
tam ini perdengarkan tawa yang kencang. Sekali
dia hempos tubuh, sosoknya sudah melesat ce-
pat.
Di dalam tentengan tangan kanannya, Ga-
dis Kayangan yang dalam keadaan tertotok mem-
batin resah. Dia sadar apa yang akan terjadi. Dis-
esalinya mengapa dia harus merajuk di saat Pen-
dekar Slebor menggodanya.
Tetapi tatkala ingatannya dibawa menge-
nang Pendekar Slebor, murid mendiang Pemimpin
Agung ini sesaat merasa tenang. Dia seakan me-
rasa Pendekar Slebor telah berada di sisinya,
kembali melontarkan setiap gurauannya yang
mau tak mau memancing senyuman atau tawa.
Sedikit banyaknya dia yakin Pendekar Slebor
akan datang menolongnya.
Namun yang menjadi pertanyaannya,
sanggupkah pemuda urakan yang diam-diam di-
cintainya itu menolongnya?
***
7
Kembali ke tempat di mana Pendekar Sle-
bor berada, nampak anak muda urakan itu se-
dang garuk-garuk kepalanya sambil memandang
dua orang lelaki berpakaian abu-abu panjang. Pa-
ras masing-masing orang tak berbeda satu sama
lain. Di pinggang keduanya terdapat sebuah pa-
rang besar. Rambut mereka dikepang dua.
Untuk sejenak tak ada yang perdengarkan
suara. Dua orang yang baru muncul itu bukan
lain adalah si Kembar Parang Maut. Agung Ga-
ganda yang terdapat bekas luka pada lengan ka-
nannya namun tertutup pakaian panjangnya,
berdiri di sebelah kiri. Pandangannya menyi-
ratkan kebencian yang luar biasa.
Sedangkan adik kembarnya si Alung Ga-
ganda memandang dengan penuh kesiagaan. Dia
memang belum pernah berjumpa dengan Pende-
kar Slebor. Lain halnya dengan Agung Gaganda
yang pernah bertarung dengan Pendekar Slebor,
harus lari sipat kucing tatkala muncul Iblis Kela-
bang.
Suasana sunyi itu dipecahkan oleh suara
kertakkan rahang, menyusul suara Agung Ga-
ganda, "Tak ada lagi yang mengganggu urusanku
sekarang! Bila kau masih ingin selamat, katakan
tentang isi Rahasia Sebelas Jari!"
Andika yang sebenarnya bermaksud untuk
melacak jejak Gadis Kayangan, terdiam. Sekejap
dia hanya angkat sepasang alisnya saja. Kejap berikut nampak keningnya berkerut, tanda dia me-
mikirkan sesuatu.
"Hem... tak kusangka kalau Agung Gagan-
da memiliki saudara kembar. Dengan begitu, jum-
lah orang yang terlihat dalam urusan ini adalah
sebelas orang! Bukan sepuluh! Dan nampaknya
dua kepribadian yang dimiliki oleh Manusia Sepu-
luh Siluman, bukanlah rahasia di balik sebelas
jari. Semuanya sudah tepat. Sebelas jari. Sebelas
orang. Satu jari adalah titik kemuliaan. Berarti,
bukan Manusia Sepuluh Siluman yang jadi titik.
Mungkin di antara kesebelas orang itu memiliki
jiwa mulia. Tetapi yang mana? Dan apakah...."
"Agung Gaganda! Apakah kau akan ber-
diam diri sementara dia tetap menutup mulut?!"
sentak Alung Gaganda memecah kesunyian, seka-
ligus memutus kata batin Pendekar Slebor. Sepa-
sang pelipis lelaki yang berwajah mirip dengan
Agung Gaganda ini, bergerak-gerak sementara
mulutnya sunggingkan seringaian melecehkan.
Mendengar ucapan adik kembarnya, Agung
Gaganda maju dua tindak ke muka. Pandangan-
nya lurus tak berkedip.
"Waktu yang kuberikan tak banyak! Cepat
katakan tentang isi dari Rahasia Sebelas Jari!!"
Bukannya sahuti ucapan orang, anak mu-
da urakan itu nyengir. Diam-diam dia teruskan
jalan pikirannya, "Melihat kemunculan Agung Ga-
ganda yang baru kuketahui bersaudara kembar
ini, keyakinanku tentang rahasia sebelas jari se-
belumnya, jadi agak goyah. Tak ada orang yang
memiliki dua kepribadian kalau begitu. Akan ku
coba sekarang untuk mengarahkan pikiran pada
kesimpulan kedua. Sebelas jari itu berarti, sebe-
las orang. Dan salah seorang dari sebelas orang
adalah yang dimaksud dengan titik kemuliaan.
Tetapi, siapa orang yang dituju pada kata titik
kemuliaan? Apakah Kala Ijo, mengingat cerita
tentang dirinya yang nampaknya berhubungan
erat dengan Rantai Naga Siluman?"
Di seberang, Agung Gaganda kertakkan ra-
hangnya. Lelaki ini telah murka karena dua kali
ucapannya tidak dianggap. Dia melirik pada
Alung Gaganda. Lalu nampak kepalanya diang-
gukkan yang disambut dengan anggukan pula
oleh Alung Gaganda.
Kejap itu pula, secara bersamaan masing-
masing orang sudah mencelat ke depan. Tidak
tanggung lagi, parang besar yang merupakan sen-
jata masing-masing orang, sudah dikiblatkan.
Wuuttt! Wuuttt!,
Kibasan kedua parang itu perdengarkan
suara membeset yang menggidikkan.
Di tempatnya, pikiran Andika langsung
terputus. Segera anak muda ini dongakkan kepa-
la, menyusul dia membuang tubuh ke belakang.
"Wah! Bilang-bilang dong kalau mau me-
nyerang!" makinya keras. Dalam hati dia meru-
tuk, "Aku seakan berada dalam lingkaran orang-
orang terkutuk yang selalu meninggikan kejaha-
tan yang mereka lakukan! Huh! Waktu yang ku-
miliki terasa kian sempit. Purnama sudah men-
dekat, sementara aku belum tahu keadaan Gadis
Kayangan!!"
Dua parang besar itu kembali digerakkan,
bersamaan tangan kiri masing-masing pemilik pa-
rang dorong tangan ke depan.
Dua gelombang angin yang menderu secara
bersamaan, lebih dulu menggebrak, menyeret ta-
nah dan rerumputan. Membuat Andika berseru
kaget dan terburu-buru liukkan tubuh.
Namun belum lagi dia hinggap di tanah
dengan sempurna, bersamaan terdengar suara
berdebur, dua parang besar itu telah siap bacok
kepalanya!
"Monyet karbitan!"
Bersamaan makian yang diperdengarkan-
nya, Andika justru merangsek ke depan. Tangan
kanan kirinya dipalangkan ke atas. Karena tu-
buhnya telah merangsek maju, makanya yang di-
tahan bukanlah kedua parang itu. Melainkan per-
gelangan tangan kanan masing-masing penye-
rangnya.
Buk! Buk!
Namun yang mengejutkan, justru Andika
yang surut ke belakang dengan pergelangan tan-
gan yang terasa disengat kalajengking. Belum lagi
dia sadar sepenuhnya, si Kembar Parang Maut
sudah menderu dengan cara melompat setengah
lingkaran.
Agung Gaganda masuk dari arah kanan se-
raya kibaskan parang besarnya, sementara adik
kembarnya berkelebat dari arah kiri.
Jurus yang diperlihatkan si Kembar Parang
Maut, memang jurus perpaduan. Bila hanya dila-
kukan oleh seorang saja di antara mereka, hasil
nya tak terlalu mengerikan. Namun karena me-
mang jurus itu harus dilakukan oleh dua orang,
akibatnya benar-benar mengerikan.
Dalam keadaan terkurung seperti itu, pa-
ras Andika berubah. Kejap itu pula dialirkan te-
naga 'Inti Petir'.
Disusul dengan menyentakkan tangan ka-
nan kirinya ke atas, dilakukan setelah maju den-
gan cepat sejauh tiga langkah.
Terdengar suara salakan petir secara ber-
samaan tatkala tangan kanan kirinya disentak-
kan. Melihat si pemuda lakukan satu serangan
yang nampak berbahaya, si Kembar Parang Maut
justru lipatgandakan tenaga dalamnya.
Akan tetapi mereka kecele, karena senta-
kan tangan kanan kiri Andika bukan dimaksud-
kan untuk memapaki, melainkan hanya memanc-
ing belaka.
Karena begitu tangan kanan kirinya diang-
kat, si Kembar Parang Maut hanya mengkonsen-
trasikan serangan pada kibasan parang masing-
masing. Hingga bagian perutnya terbuka.
Dan itulah yang dilakukan oleh Andika.
Dengan gerakan yang luar biasa cepat, dia justru
liukkan tubuh ke belakang lagi.
Wuutt! Wuuttt!
Dua parang besar lawan hanya menerkam
angin belaka.
Bersamaan dengan itu, Andika sudah
mendorong masuk jotosannya.
Menyusul suara salakan petir menggema....
Buk! Buk!
Dua jotosannya telak menghantam perut
dua lelaki berpakaian abu-abu panjang. Kontan
masing-masing orang terjengkang ke belakang
dengan teriakan cukup keras.
Agung Gaganda yang pernah bertarung
dengan Pendekar Slebor dan tahu bagaimana ke-
saktian yang dimiliki anak muda itu, hanya me-
ringis kecil saat berdiri tegak kembali. Karena, dia
telah alirkan tenaga dalam pada perutnya di saat
telah masuk ke kancah pertarungan. Namun pa-
rasnya meradang murka.
Sementara itu, Alung Gaganda yang sejak
bertarung tadi menganggap ringan anak muda
berpakaian hijau pupus itu, tidak menamengkan
dirinya terlebih dulu. Maka akibatnya, dia lang-
sung melengak. Disusul darah segar muncrat dari
mulutnya.
Melihat keadaan yang menimpa adik kem-
barnya, kemarahan Agung Gaganda makin mera-
dang tinggi.
"Jahanam keparat! Seharusnya aku dan
Alung Gaganda tak dapat dipecundangi dengan
mudah seperti ini! Tapi, pemuda setan itu menye-
rang bukan hanya mengandalkan ilmu yang dimi-
likinya saja, tetapi juga kecerdikan yang tinggi!
Dia bergerak seperti menanti sela yang dapat di-
pakai untuk lancarkan serangan! Terkutuk! Dia
tetap bungkam! Dan itu berarti harus mampus!"
Habis membatin demikian, setelah kertak-
kan rahangnya kuat-kuat, serta-merta dia sudah
menderu maju kembali. Tangan kirinya digerak-
kan ke atas ke bawah menyusul disentakkan kedepan. Kesiuran angin angker lebih dulu mengge-
brak sebelum jotosannya itu mencari sasaran.
Andika yang merasa tak perlu meladeni si
Kembar Parang Maut, membuang tubuh ke samp-
ing, disusul sentakkan tangan kanannya. Suara
laksana salakan petir terdengar keras sebelum
tangan kanannya berbenturan dengan tangan kiri
Agung Gaganda.
Dess!
Kontan masing-masing orang surut tiga
tindak ke belakang. Agung Gaganda yang sudah
dilanda kemarahan tinggi, sudah mencelat lagi
begitu tubuhnya berdiri tegak. Dia ulangi lagi se-
rangan serupa. Namun kali ini parang besarnya
sudah diayunkan. Kalaupun dia tak lakukan se-
rangan sebelumnya dengan kibaskan parang be-
sarnya lagi, ini dikarenakan dia harus alirkan te-
naga dalam pada tangan kanannya.
Wuussss!!
Serta-merta menggebrak gelombang angin
yang menyeret tanah dan rerumputan ke arah
Pendekar Slebor.
Anak muda tampan urakan ini mendengus,
begitu menyadari kalau Agung Gaganda benar-
benar berjibaku. Dia coba untuk hindari gelom-
bang angin ganas itu, namun dia pun harus
menghadapi sabetan parang Agung Gaganda.
Tak ada jalan lain yang dapat dilakukan
Andika selain merangsek maju. Dia lebih dulu sa-
pukan kaki kanannya. Dengan cara seperti itu,
secara tak langsung dia telah hindari gelombang
angin yang dilepaskan Agung Gaganda. Dan sapuan kaki kanannya yang menyeret tanah, mem-
buat Agung Gaganda mau tak mau melompat. Se-
cara tidak langsung, dia terpaksa mengurungkan
ayunan parang besarnya!
Selagi lelaki itu melompat, Andika mencelat
ke depan. Jotosan tangan kanannya dilepaskan.
Desss!!
Untuk kedua kalinya Agung Gaganda ter-
hantam telak jotosan yang mengandung tenaga
'Inti Petir'. Tapi kali ini, karena Andika sudah
alirkan tenaga 'Inti Petir' tingkat ketujuh, mau tak
mau Agung Gaganda terhuyung ke belakang. Da-
lam keadaan terhuyung nampak sepasang pipinya
menggembung. Bersamaan dia tak mampu kuasai
keseimbangan, dia muntah darah.
Alung Gaganda yang masih merasa kesaki-
tan, cepat bergerak untuk menangkap sosok ka-
kak kembarnya. Namun karena keadaannya sen-
diri belum pulih benar, mau tak mau dia pun ter-
huyung dan ambruk bersamaan.
Melihat hal itu, Andika yang tak lagi lan-
carkan serangan, cuma nyengir. Selorohan ura-
kannya kontan terdengar, "Wah! Pada main gen-
dong-gendongan ya? Kalau diperkenankan sih,
aku juga mau ikutan!!"
Merasa terhina akan ucapan orang, Agung
Gaganda tak lagi hiraukan keadaannya. Segera
dia bangkit dengan kepala disentakkan keras-
keras ke kanan kiri. Kejap itu pula dia sudah me-
rangsek ganas. Teriakannya mengguntur. Alung
Gaganda sendiri sudah bergerak pula menyusul.
Namun dua gebrakan yang dilakukan mas
ing-masing orang, tak membawa hasil yang berar-
ti bagi Pendekar Slebor. Karena Pendekar Slebor
dengan mudah menghindarinya. Bila saja pemuda
pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini ingin
turunkan tangan telengas, maka dengan mudah
akan dilakukannya.
Akan tetapi dia hanya menghindar saja
tanpa membalas. Lama kelamaan, sikap yang di-
perlihatkannya ini justru diartikan lain oleh si
Kembar Parang Maut. Mereka menganggap anak
muda itu sengaja mempermainkan, dan itu berar-
ti menghina!
Makin ganas masing-masing orang lancar-
kan serangan. Parang di tangan keduanya seakan
memiliki satu tenaga hingga berkiblat ke mana
saja Andika berada. Berulang kali suara membe-
set udara terdengar cukup keras.
"Busyet! Benar-benar tak tahu diuntung!"
Andika memaki sewot dalam hati. Tetapi anak
muda ini tetap tak lancarkan serangan balasan.
Dia justru berusaha mencari sela untuk mening-
galkan pertarungan.
Karena dia berkeyakinan, bila dia balas
menyerang, maka urusan akan makin berkem-
bang panjang. Namun berusaha untuk mening-
galkan pertarungan, nampaknya bukanlah sesua-
tu yang mudah dilakukan.
"Kambing gundul! Manusia-manusia ini
benar-benar tidak tahu malu! Huh! Apa aku ha-
rus menurunkan tangan telengas?!" maki anak
muda ini makin dongkol.
Dan sebelum dia dapat tentukan saat yang
tepat untuk meninggalkan si Kembar Parang
Maut, mendadak saja menggebrak dua gelombang
angin yang perdengarkan suara bergemuruh.
Kontan Pendekar Slebor surutkan langkah
ke belakang. Namun yang menjadi sasaran dua
gelombang angin itu bukanlah dirinya. Melainkan
si Kembar Parang Maut.
Dua lelaki berpakaian abu-abu panjang
yang hanya menujukan serangan pada Pendekar
Slebor, seolah tak menyadari sambaran dua ge-
lombang angin tadi. Maka tanpa ampun lagi, mas-
ing-masing orang telak terhantam gelombang ga-
nas itu.
"Aaaakhhh!!"
Terdengar jeritan secara bersamaan me-
nyusul masing-masing orang tergontai-gontai ke
belakang. Parang besar yang mereka pegang, ter-
lepas ke dalam sungai yang hasilkan suara ber-
debur cukup keras.
Dan tubuh yang tergontai-gontai itu akhir-
nya ambruk ke tanah dengan cara seperti terpe-
lanting.
Sesaat nampak masing-masing orang ber-
kejut-kejut disertai keluhan kesakitan. Tiga tari-
kan napas berikutnya, gerakan tubuh tanpa sa-
dar yang menandakan kesakitan dari si Kembar
Parang Maut terhenti. Kepala masing-masing
orang tergolek. Darah mengalir dari mulut dan
hidung. Namun, nyawa mereka telah minggat dari
tubuh.
Di lain pihak, Pendekar Slebor yang tadi
surutkan langkah dan sesungguhnya tidak mau
melihat kematian terjadi di hadapannya, terkejut
bukan alang kepalang. Karena tak menyangka ka-
lau ada satu serangan yang membokong si Kem-
bar Parang Maut, dia gagal menyelamatkan kedua
orang kembar itu.
Hanya sekali lihat saja, dia yakin si Kembar
Parang Maut telah tewas.
Perasaannya mendadak menjadi geram.
Dengan sorot mata tajam, dia berpaling ke samp-
ing kanan, dari mana datangnya gelombang angin
yang mengerikan tadi.
Namun yang mengejutkan, tak ada tanda-
tanda akan munculnya orang. Serentak pandan-
gannya diedarkan. Hatinya mendadak terasa tak
enak.
"Aneh! Siapa orang yang telah lancarkan
serangan ganas itu? Kalau memang orang ini
termasuk salah seorang yang ingin tahu tentang
Rahasia Sebelas Jari, tentunya serangan akan di-
lancarkan kepadaku. Tetapi, mengapa kedua
orang itu yang jadi sasaran? Apakah...."
Terputus kata-kata Pendekar Slebor, tatka-
la terdengar suara dari belakangnya, "Sudah ku-
katakan aku tak ingin melihatnya lagi! Tetapi me-
lihatnya lagi, bertanda dia tak indahkan apa yang
pernah kukatakan!"
Serentak Pendekar Slebor putar tubuh. Di-
pikirnya akan ada yang muncul, namun tak seo-
rang pun yang kelihatan.
"Kampret! Siapa orang itu?! Tapi, suaranya
seperti pernah kudengar!" desisnya.
Baru habis desisannya, satu sosok tubuh
berpakaian panjang berwarna semerah darah,
perlahan-lahan muncul dari balik ranggasan se-
mak belukar. Paras orang yang baru muncul ini
nampak dingin sekali. Pancaran matanya menyi-
ratkan kematian yang akan diterima Pendekar
Slebor. Rambutnya yang dikelabang bergerak di
saat dia maju tiga langkah ke muka.
"Sekarang... kematian ada di tanganmu,
Pendekar Slebor!" desis orang ini yang tak lain Ib-
lis Kelabang adanya.
Sejenak Pendekar Slebor seperti tersedak.
"Busyet! Dia lagi! Urusan akan makin jadi pan-
jang!" desisnya.
Di saat Pendekar Slebor mendesis dengan
hati tidak tenang, di saat Iblis Kelabang meman-
dang penuh kemuakan, mendadak terdengar sua-
ra dari samping kiri,
"Kau boleh bicara seperti itu! Tetapi, aku
juga menginginkan nyawanya!!"
***
8
Bukan hanya Pendekar Slebor yang paling-
kan kepala, perempuan berambut dikelabang itu
pun lakukan hal yang sama. Berjarak delapan
langkah dari keduanya, telah berdiri satu sosok
tubuh dengan kedua tangan dilipat di depan da-
da. Kepala orang yang tadi bicara ini agak terang-
kat, sepasang matanya tajam menusuk pada Pendekar Slebor.
Sementara itu, Pendekar Slebor sendiri me-
rutuk dalam hati, "Kampret bau! Kenapa dia lagi
yang muncul? Busyet! Jadi kering nih tenggoro-
kanku!"
Orang yang baru datang perdengarkan
dengusan.
"Kau ini, kau tak akan dapat lolos dari tan-
ganku, Pendekar Slebor!" desisnya dingin. Lalu
pandangannya dialihkan pada Iblis Kelabang. "Pe-
rempuan berpakaian merah! Lebih baik menying-
kir! Biarkan aku teruskan urusan dengan pemu-
da celaka itu!!"
Mendengar ucapan yang bernada meleceh-
kannya, sudah tentu Iblis Kelabang yang berniat
membunuh Pendekar Slebor menjadi murka. Kon-
tan dia putar tubuh.
Sejenak perempuan ini pandangi pemuda
berpakaian biru gelap, yang saat ini sedang me-
nyeringai.
"Jahanam! Gayanya membuat tanganku
gatal untuk mengepruk kepalanya!" makinya da-
lam hati. Lalu berkata, "Orang muda! Aku juga
punya urusan yang sama dengan pemuda setan
itu! Bagaimana bila kau yang kuminta harus me-
nyingkir?!"
Pemuda yang di keningnya melingkar ikat
kepala berwarna sama dengan pakaiannya, men-
dengus. Lamat-lamat tangannya yang dilipat di
dada tadi diturunkan, kali ini berada di ping-
gangnya, yang melilit sebuah tali sebesar ibu jari.
"Dengarkan ucapanku! Jangan membuang
nyawa sia-sia di hadapanku!!"
Makin mengkelap Iblis Kelabang melihat
sikap si pemuda.
"Katakan, siapa kau adanya?!"
"Panggil aku dengan julukan Manusia Se-
puluh Siluman!!"
"Heem... julukannya cukup mengkederkan
orang. Tapi sikapnya, membuatku tak tahan lagi
untuk merobek mulutnya! Hanya sekarang, akan
kubiarkan dia bertarung dengan Pendekar Slebor!
Paling tidak, aku tak akan banyak membuang te-
naga!"
Memutuskan demikian, Iblis Kelabang pa-
lingkan kepalanya pada Pendekar Slebor.
"Urusan yang terjadi di antara kita, boleh
ditunda sekarang! Tetapi nampaknya, pemuda
yang mengaku berjuluk Manusia Sepuluh Silu-
man ini, akan membuat hidupmu akan berakhir
sampai di sini!!"
Sementara Pendekar Slebor mendengus,
Manusia Sepuluh Siluman perlihatkan senyuman.
Secara tidak langsung, dia menganggap kalau pe-
rempuan berpakaian semerah darah itu jeri ter-
hadapnya.
Lalu didengarnya lagi ucapan si perempuan
pada Pendekar Slebor, "Kau mampus di tangan-
nya, akan membuatku senang! Bila pun kau tidak
mampus, kau harus tetap berhadapan denganku!
Tetapi yang perlu kusampaikan, kau harus mem-
pertahankan selembar nyawa busukmu darinya!!"
Andika yang sebenarnya sudah jengkel,
cuma menyahut ringan, "Heran deh! Kok kau begitu mengkhawatirkanku!"
Sepasang mata Iblis Kelabang menyipit.
"Karena bila kau mampus, kau tak akan
dapat menyelamatkan nyawa Gadis Kayangan!"
Sampai surut satu tindak ke belakang An-
dika mendengar ucapan Iblis Kelabang. Sesaat dia
seperti kehilangan akal. Bahkan mulutnya terka-
tup rapat.
Melihat kalau pemuda urakan itu sedang
cemas, Iblis Kelabang berkata lagi, "Nyawa Gadis
Kayangan hanya dapat ditukar dengan Rantai Na-
ga Siluman! Bila kau gagal mendapatkannya, ma-
ka gadis itu akan tewas secara mengerikan!!"
Kendati saat ini Andika sedang terkejut,
cemas sekaligus marah, namun dia masih dapat
kendalikan diri untuk tidak perlihatkan sikap
yang sesungguhnya.
Sambil nyengir dia berkata, "Kalau aku su-
dah mendapatkan Rantai Naga Siluman, di mana
akan kutukarkan dengan Gadis Kayangan?!"
"Lembah Kalisura!" sahut Iblis Kelabang te-
gas. Lalu terlihat dia menyeringai. Sambil geleng-
kan kepalanya dia berkata, "Tetapi aku tidak ya-
kin kau dapat melakukannya, karena... nyawamu
berada di ujung tanduk sekarang!"
"Maksudmu... aku akan kalah dengan Ma-
nusia Sepuluh Siluman? Wah! Lihat dulu dong!"
Di lain pihak, Manusia Sepuluh Siluman
yang tadi sudah bangga karena merasa yakin ka-
lau perempuan berpakaian semerah darah itu
ngeri terhadapnya, menggeram mendengar uca-
pan Pendekar Slebor.
Serentak dia angkat bicara, "Perempuan
berambut kelabang! Apakah kau belum juga me-
nyingkir dari hadapanku, karena kau ingin mam-
pus?!"
Serta-merta Iblis Kelabang palingkan kepa-
lanya. Tatapannya begitu dingin sekali. Sesaat dia
tak keluarkan suara.
"Jahanam sial! Ucapannya benar-benar
membuat darahku mendidih! Tetapi, tugas yang
diberikan Kiai Alas Ireng, secara tidak langsung
telah ditanggulangi oleh pemuda keparat ini! Huh!
Entah mengapa aku justru berharap dia yang
mampus di tangan Pendekar Slebor!!"
Habis membatin begitu, suaranya terden-
gar geram, "Lakukan apa yang kau inginkan!!"
Seraya maju dua tindak ke muka, Manusia
Sepuluh Siluman membentak, "Menyingkir!!"
Iblis Kelabang makin dongakkan kepala.
Matanya pancarkan sinar berkilat-kilat tanda dia
hampir tak kuasa menahan amarahnya lagi. Na-
mun karena merasa tak perlu membunuh Pende-
kar Slebor untuk saat ini, kejap berikutnya Iblis
Kelabang sudah berkelebat. Dia berkeyakinan
kuat, kalau Pendekar Slebor akan mempertahan-
kan selembar nyawanya. Apalagi saat ini, pemuda
itu harus menyelamatkan Gadis Kayangan.
Dua pemuda yang berusia tak jauh berbe-
da itu, saat ini saling pandang dengan geram. Ma-
tahari semakin meninggi. Hawa kian bertambah
panas. Dan di hati Manusia Sepuluh Siluman, ge-
jolak hawa panas bertanda amarah makin tinggi,
sudah tak kuasa dibendung lagi.
Kali ini dia seperti tak hiraukan apa tu-
juannya semula yang diinginkan dari Pendekar
Slebor. Dia lebih ingin melihat Pendekar Slebor
tewas di tangannya. Kesombongan yang dimili-
kinya makin kuat melingkar di hatinya.
"Pendekar Slebor! Kita teruskan pertarun-
gan kita yang tertunda!!"
Anak muda urakan dari Lembah Kutukan
itu cuma nyengir saja, padahal diam-diam dia
membatin gelisah, "Celaka! Keadaan Gadis
Kayangan saat ini sungguh membahayakan! Mo-
nyet buduk! Bila langkahku selalu tertahan seper-
ti ini, apakah aku bisa mendapatkan Rantai Naga
Siluman?!"
Makin geram Manusia Sepuluh Siluman
karena ucapannya tak mendapatkan sahutan.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, pemuda som-
bong ini telah mencelat ke depan. Angin meling-
kar mendahului celatan tubuhnya.
Di tempatnya, Andika mendengus. Anak
muda ini pun tak mau membuang waktu. Lang-
sung dia menderu maju. Suara salakan petir ter-
dengar keras.
Blaaarrr!!
Angin melingkar yang dilepaskan Manusia
Sepuluh Siluman pecah berantakan. Menyusul....
Buk! Buk!
Dua lengan yang telah dialiri tenaga dalam
bertemu. Seketika masing-masing orang surut ti-
ga tindak ke belakang. Namun yang mengejutkan,
karena mendadak saja Manusia Sepuluh Siluman
telah tepukkan kedua tangannya di atas kepala!
Gdreengg!!
Suara keras seketika terdengar. Andika
sendiri sampai alirkan tenaga dalamnya ke telin-
ga. Saat itu pula kedua matanya seperti melompat
keluar. Karena mendadak saja dia melihat sosok
Manusia Sepuluh Siluman menjelma menjadi tiga
orang!
Masing-masing orang bersedekap dengan
kedua kaki agak dibuka!
"Kutu monyet! Ketika dia menyerang Setan
Cambuk Api, dia telah membuat dirinya menjadi
dua orang! Tetapi sekarang, dia menjelma menjadi
tiga! Jelas dia tidak memiliki saudara kembar, se-
perti halnya si Kembar Parang Maut yang telah
tewas! Ini memang sebuah ilmu!!"
Salah seorang dari Manusia Sepuluh Silu-
man yang berdiri di tengah, perlihatkan serin-
gaian.
"Kali ini, jangan harap kau dapat melo-
loskan diri!"
Di seberang, Andika sedang memikirkan ja-
lan keluar dari sosok Manusia Sepuluh Siluman
yang menjelma menjadi tiga orang.
"Salah satu dari wujud itu, tentunya sosok
Manusia Sepuluh Siluman yang asli! Tetapi, yang
manakah? Apakah yang barusan berucap?! Bila
memang...."
Belum habis kata-kata Pendekar Slebor,
mendadak sosok Manusia Sepuluh Siluman yang
berada di sebelah kanan mendesis dingin, "Kau
tak akan mampu untuk mengalahkan Manusia
Sepuluh Siluman!"
Kontan pupus dugaannya. Bahkan yang
berada di sebelah kiri sudah buka mulut, "Jalan
keluar sangat sempit sekarang! Tak ada lagi ke-
sempatan di depan mata!"
Baru menutup mulut sosok Manusia Sepu-
luh Siluman yang berada di sebelah kiri ini, sosok
Manusia Sepuluh Siluman yang berada di tengah
dan di sebelah kanan sudah menggempur ke arah
Andika!
Angin melingkar yang keluarkan suara
menggidikkan menggebrak.
Andika sadar kalau dia harus mengalahkan
sosok Manusia Sepuluh Siluman yang asli. Na-
mun ketiga sosok Manusia Sepuluh Siluman ini
benar-benar tak dapat dibedakan sama sekali!
Hingga mau tak mau dia pun harus beru-
saha untuk menghadapinya. Masing-masing so-
sok Manusia Sepuluh Siluman yang telah meng-
gempur, benar-benar ganas dan mengerikan.
Hanya dalam beberapa kejap saja, tempat
itu sudah menjadi porak poranda. Letupan demi
letupan terdengar keras. Andika sendiri nampak
agak kalang kabut. Setiap kali dia lepaskan se-
rangan balasan, setiap kali pula serangan itu pu-
nah. Belum lagi salah seorang dari sosok Manusia
Sepuluh Siluman merangsek maju secara bergan-
tian!
"Kutu landak! Aku bukan hanya bisa
mampus nih! Tetapi mampus dengan tubuh ter-
cacak!!" maki Pendekar Slebor. Parasnya berubah
pucat.
Mendadak saja dia putar tubuh ke bela
kang. Saat hinggap kembali di atas tanah, nam-
pak seluruh tubuhnya diliputi pernik perak. Ru-
panya anak muda tampan ini telah keluarkan
ajian 'Guntur Selaksa'.
Di seberang, tiga sosok Manusia Sepuluh
Siluman tak pedulikan perubahan itu. Mereka te-
rus merangsek masuk. Andika sendiri sudah ber-
kelebat ke depan.
Suara gelegar guntur terdengar sangat ke-
ras.
Blaaarrr!!
Tiga gelombang angin melingkar yang dile-
paskan tiga sosok Manusia Sepuluh Siluman
langsung punah. Berhasil memutuskan serangan
lawan, Andika terus merangsek masuk.
Bersamaan suara gelegar guntur terdengar
lagi, jotosan tangan kanannya mendarat telak pa-
da sosok Manusia Sepuluh Siluman yang menye-
rang dari sebelah kanan. Sosok orang ini tergon-
tai-gontai ke belakang. Nampak wajahnya merin-
gis seperti menahan sakit.
Namun... astaga!
Sosok Manusia Sepuluh Siluman yang me-
nyerang dari sebelah kanan ini telah berdiri tegak
dan lancarkan serangan kembali tanpa kurang
suatu apa.
"Kampret!" maki Andika dalam hati. Wa-
jahnya semakin tegang. Dia terus berusaha men-
gatasi serangan demi serangan yang datang. Na-
mun karena ketiga sosok Manusia Sepuluh Silu-
man memiliki kekuatan yang sama, akhirnya mau
tak mau dia harus surutkan langkah.
Bahkan sosok Manusia Sepuluh Siluman
yang menyerang dari sebelah kiri, telah sapukan
kaki kanannya.
Des!
Tepat mengenai tulang kering Andika. Anak
muda ini mengaduh pelan dan berdiri agak sem-
poyongan. Bersamaan dengan itu, dua sosok Ma-
nusia Sepuluh Siluman lainnya, telah menderu
diiringi teriakan mengguntur.
Seketika menegak kepala anak muda ini
sementara tubuhnya masih tergontai-gontai. Sa-
dar kalau maut akan menjemputnya, segera dilo-
loskan lilitan kain bercorak catur dari lehernya.
Langsung dikibaskan.
Wrrrrr!!
Satu gelombang angin raksasa yang per-
dengarkan suara mendengung laksana ribuan ta-
won murka, menderu ganas. Menyeret tanah dan
ranggasan semak belukar.
Dua sosok Manusia Sepuluh Siluman yang
sedang lancarkan serangan, melengak kaget. Me-
reka berusaha untuk hindari labrakan gelombang
angin mengerikan itu. Namun karena datangnya
lebih cepat, maka tubuh dua sosok Manusia Se-
puluh Siluman terlempar ke belakang.
Bersamaan dengan itu, sosok Manusia Se-
puluh Siluman yang tadi berhasil membuat Andi-
ka tergontai-gontai sudah lancarkan serangan pu-
la.
Andika yang memang tak mau bertindak
ayal, segera alirkan ajian 'Guntur Selaksa' pada
kain bercorak catur yang dipegangnya. Seketika
terdengar suara gelegar guntur yang mengerikan!
Disusul dengan gelombang angin raksasa.
Kontan sosok Manusia Sepuluh Siluman
terhempas ke belakang begitu terhantam.
Seperti yang dialami dua sosok Manusia
Sepuluh Siluman yang telah terbanting ambruk,
sosok Manusia Sepuluh Siluman yang ini pun
ambruk pula.
Di tempatnya, Andika yang agak terengah-
engah mencoba mengatur napas. Dengan pung-
gung tangan kiri, dihapusnya keringat yang men-
galir.
Kejap kemudian, dia tolehkan kepala kare-
na terdengar suara tepukan orang. Hanya sekali,
namun begitu keras.
Rupanya, sosok Manusia Sepuluh Siluman
yang berada di samping kanan, telah tepukkan
tangannya. Bersamaan dengan itu, dua sosok
Manusia Sepuluh Siluman lainnya telah menjadi
asap!
"Heemm... berarti yang berada di sebelah
kananlah sosoknya yang asli," desis Andika den-
gan masih agak terengah.
Di seberang, Manusia Sepuluh Siluman te-
lah berdiri. Nampak dia harus kuasai keseimban-
gannya sebelum berdiri tegak. Pancaran matanya
tajam menyorot.
"Jahanam sial! Kain bercorak catur itu je-
las bukan kain sembarangan! Tentunya sebuah
kain sakti! Secara tidak langsung, dia telah pu-
nahkan ilmu Siluman 'Rubah Jasad Enam Mata'
ini, karena mengenai bahuku sebelah kanan, di
mana kelemahan dari ilmu ini! Keparat!! Aku te-
tap tak akan mundur!!"
Habis membatin geram seperti itu, pemuda
sombong ini sudah buka mulut, "Jangan ber-
bangga dulu kau berhasil memunahkan ilmuku
yang satu ini! Kau...."
"Siapa yang bangga? Aku saja heran! Kok
kau bisa kukalahkan ya?" sambar Andika memu-
tus kata-kata Manusia Sepuluh Siluman.
Di depan, pemuda berikat kepala biru gelap
ini menggeram. Mendadak dia rentangkan tangan
kanan kirinya ke samping. Menyusul diusap selu-
ruh tubuhnya.
"Busyet! Jenis ilmu Siluman apa lagi yang
akan diperlihatkannya kali ini? Waktuku benar-
benar akan terbuang banyak! Padahal... nanti
malam adalah saat purnama yang ditunggu! Te-
tapi sampai saat ini, aku belum berhasil menda-
patkan Rantai Naga Siluman! Ada dua urusan
yang mengerikan! Pertama, Rantai Naga Siluman
yang dikatakan Kala Ijo, akan mengamuk bila tak
berhasil didapatkan pada saat purnama bulan ini!
Kedua, nyawa Gadis Kayangan pun berada di
ujung tanduk! Kura-kura bau! Apa yang harus
kulakukan sekarang?!"
Sementara Andika membatin demikian,
Manusia Sepuluh Siluman nampak masih terus
mengusapi seluruh tubuhnya dengan kedua tela-
pak tangannya.
Lamat-lamat terlihat kedua tangannya mu-
lai ditumbuhi bulu-bulu lebat.
"Oh!" desis Andika terkejut. "Aku harus
mendahului menyerang sebelum dia berhasil
mengeluarkan ilmu Silumannya yang satu ini!!"
Memutuskan demikian, Andika sudah
menggebrak maju. Kain bercorak caturnya diki-
baskan dengan segera.
Di seberang, Manusia Sepuluh Siluman
yang masih mengusapi seluruh tubuhnya melen-
gak. Mau tak mau dia hentikan gerakan tangan-
nya yang mengusapi tubuhnya. Segera dipalang-
kan kedua tangannya yang telah dipenuhi bulu-
bulu tebal.
Namun sambaran gelombang angin yang
berasal dari kain bercorak catur, telah mendo-
rongnya. Terlempar lima langkah pemuda berpa-
kaian biru gelap ini.
Manusia Sepuluh Siluman yang semula be-
rusaha untuk keluarkan ilmu Siluman 'Jasad Ha-
rimau', untuk kedua kalinya terbanting kembali
di atas tanah.
Namun kesombongan telah melingkupi di-
rinya kuat-kuat. Dengan menahan rasa sakit, di-
loloskan tali yang melingkari pinggangnya. Sete-
lah ditiup segera dilemparkan ke arah Pendekar
Slebor!
Tali yang hanya sebesar ibu jari itu men-
dadak berubah menjadi ular cobra yang mendesis
mengerikan. Andika yang merasa kalau kain ber-
corak catur yang dimilikinya mampu menanggu-
langi ilmu Siluman yang dimiliki Manusia Sepu-
luh Siluman, langsung menggerakkannya lagi.
Ular cobra jelmaan dari tali itu kontan ter-
lempar ke belakang dan menghantam sebuah pohon yang langsung tumbang karena terseret ge-
lombang angin dari kain bercorak catur. Saat ular
cobra itu jatuh, seketika berubah ke wujud asal-
nya menjadi seutas tali!
Melihat berulangkali ilmu Siluman yang di-
keluarkannya dapat dipatahkan, paras Manusia
Sepuluh Siluman benar-benar pias. Kesombongan
yang dimilikinya telah luntur. Susah payah dia
berusaha bangkit.
"Tak guna bila kuteruskan maksud Seka-
rang! Lebih baik menyingkir!" desisnya dalam ha-
ti.
Lalu dengan suara geram dia berkata,
"Pendekar Slebor! Saat ini aku mengaku kalah!
Tetapi lain kali... kita akan berjumpa lagi!!"
Di tempatnya, Andika cuma mengangkat
sepasang alis hitamnya saja.
"Terserah deh!"
Lalu dilihatnya Manusia Sepuluh Siluman
mendengus. Setelah itu, sosoknya berbalik dan
berkelebat meninggalkan tempat itu.
Sepeninggalnya, Pendekar Slebor menarik
napas lega.
"Urusan seperti baru dimulai. Sulit bagiku
untuk mendapatkan Rantai Naga Siluman sebagai
penukar nyawa Gadis Kayangan! Tetapi biar ba-
gaimanapun juga, aku akan tetap ke Lembah Ka-
lisura! Barangkali aku masih bisa menyelamatkan
Gadis Kayangan!"
Diaturnya napas perlahan-lahan sembari
melilitkan kembali kain bercorak catur pada lehernya.
"Rahasia Sebelas Jari hingga saat ini belum
kudapatkan jawaban yang tepat. Bila memang se-
belas jari itu berarti sebelas orang dan titik kemu-
liaan itu dimiliki oleh salah seorang dari sebelas
orang, siapakah orang itu? Wah! Bikin pusing ke-
palaku saja!!"
Mendadak anak muda urakan ini tertawa.
"Jangan-jangan, aku nih yang dimaksud
sebagai orang mulia! Hahaha... busyet! Tidak ta-
hu malu betul!"
Lalu perlahan-lahan kepalanya dipalingkan
ke arah perginya Iblis Kelabang tadi.
Setelah tarik napas, segera dihempos tu-
buhnya. Hanya dua kejapan mata saja, sosoknya
sudah lenyap dari pandangan.
***
Dan tanpa sepengetahuan siapa pun, men-
dadak saja tanah yang berada di tengah-tengah
Pulau Hitam meledak. Ledakannya begitu dah-
syat. Pasir-pasir hitam menyembur ke udara. Pu-
lau Hitam yang selalu gelap itu seolah bertambah
gelap tatkala pasir-pasir hitam itu masih beter-
bangan.
Samar-samar mulai terlihat pendaran sinar
bening di antara pasir-pasir hitam yang menguda-
ra. Tatkala pasir-pasir hitam itu mulai luruh, si-
nar bening itu semakin terang.
Lalu terlihat sebuah rantai yang pancarkan
sinar bening. Kekuatan sinar bening itu seakan
menerangi sebagian Pulau Hitam yang selalu diliputi kegelapan.
Mendadak saja rantai itu berputar sangat
kuat, sehingga saat itu pula Pulau Hitam seraya
dilanda gempa sangat dahsyat. Angin yang ditim-
bulkan oleh rantai yang tak lain Rantai Naga Si-
luman, serasa memporak-porandakan Pulau Hi-
tam. Menderu-deru angker dengan suara ribut.
Samar-samar nampak dua patahan pedang
yang sebelumnya tertimbun pasir-pasir hitam itu.
Menyusul dua patahan pedang buntung mencelat
entah ke mana.
Keanehan yang terjadi bukan hanya men-
cekam, tetapi mengerikan!
Dan... astaga!
Seperti ada satu kekuatan yang menyen-
taknya, Rantai Naga Siluman mendadak saja
mencelat.
Wuuunggg!!
Suaranya sangat angker. Dan nampak ak-
hirnya Rantai Naga Siluman hilang dari pandan-
gan. Meninggalkan Pulau Hitam yang porak po-
randa!
Kelebatan Rantai Naga Siluman yang ber-
sinar terang benderang itu, memancing perhatian
dua sosok tubuh yang berada di sebuah hutan.
Seketika masing-masing orang angkat kepala.
***
9
"Gila! Benda apa yang berkelebat cepat dan
berbentuk rantai itu?" desis orang yang mengena-
kan pakaian dan berkerudung merah.
"Rantai katamu?" desis orang yang menge-
nakan pakaian hitam. Menyusul dia berseru ke-
ras, "Iblis Rambut Emas! Rantai katamu? Gila!
Tak salah lagi! Benda itu tentunya Rantai Naga
Siluman!!"
Orang yang bicara tadi yang tak lain Iblis
Rambut Emas adanya sejenak pandangi orang
yang bicara kedua yang sudah bisa dipastikan
Sangga Rantek adanya.
"Dicari sulit ditemukan! Saat kehilangan je-
jak justru muncul! Kita susul!"
Habis kata-katanya, perempuan berambut
emas yang ditutupi kerudung merah ini sudah
berkelebat. Menyusul Sangga Rantek menghem-
pos tubuh.
Pancaran sinar bening di udara tertangkap
oleh pandangan masing-masing orang. Dan ini
membuat keduanya semakin bersemangat dan
kerahkan ilmu peringan tubuh masing-masing.
Melewati hutan yang panjang itu, kedua-
nya hentikan gerakan. Karena berjarak sepuluh
langkah, nampak rantai yang pancarkan sinar
bening itu berhenti, mengapung di udara.
"Iblis Rambut Emas! Jelas itu adalah Ran-
tai Naga Siluman! Kita coba untuk mengambil-
nya!
Habis kata-katanya, Sangga Rantek sudah
menyergap. Iblis Rambut Emas yang sejak semula
memang mempunyai niat busuk, mendadak men-
dorong tangan kanannya ke arah Sangga Rantek!
Seketika menghampar satu gelombang an-
gin kuat. Mendengar gebrakan angin dari bela-
kang, Sangga Rantek segera balikkan tubuh. Wa-
jahnya melengak dan....
Desss!!
Kontan tubuhnya terhuyung ke belakang
disertai pekikan tertahan. Saat ambruk di atas
tanah, lemah Sangga Rantek menuding pada Iblis
Rambut Emas yang sedang tersenyum.
"Kau...."
"Keputusan telah kubuat! Kau tak kuper-
lukan lagi, Sangga Rantek! Tak mungkin ada dua
orang yang memiliki Rantai Naga Siluman! Maka
kuputuskan, akulah pemiliknya!!"
"Jahanam!" maki Sangga Rantek sambil be-
rusaha berdiri.
Namun Iblis Rambut Emas telah dorong
kedua tangannya lagi. Sebisanya Sangga Rantek
menghindar. Akan tetapi, karena tubuhnya telah
terkena hantaman sebelumnya, dia tak mampu
untuk hindari dua gelombang angin tadi.
Maka tanpa ampun lagi, tubuhnya telak
terhantam dan terlempar ke belakang. Lontaran
deras tubuhnya baru terhenti setelah menabrak
sebatang pohon. Terdengar suara 'krak' yang cu-
kup keras. Disusul terpelantingnya sosok Sangga
Rantek ke depan.
Orang ini berusaha untuk angkat kepa
lanya. Dari hidung dan mulutnya telah mengalir
darah segar. Namun dia tak kuasa lagi untuk hi-
dup lebih lama.
"Jahanam terkutuk... kau akan... mampus
secara mengerikan...."
Hanya itu yang bisa dikatakannya sebelum
mampu untuk selama-lamanya.
Iblis Rambut Emas cuma pentangkan se-
ringaian.
"Akulah yang berhak memiliki Rantai Naga
Siluman!!" desisnya puas.
Lalu perlahan-lahan dia mendekati Rantai
Naga Siluman yang masih mengapung di udara.
Kepuasan nampak membayang di wajahnya. Na-
mun mendadak saja kepuasan itu putus, diganti
keterkejutan yang sangat nyata!
Karena, mendadak saja sinar bening yang
terpancar dari Rantai Naga Siluman sudah me-
lingkarinya. Dirasakan hawa yang sangat panas
menerpa.
Menggeliat seraya berusaha lepaskan diri,
Iblis Rambut Emas berusaha kerahkan tenaga da-
lamnya. Namun lingkupan sinar bening itu ber-
tambah kuat.
Dan semakin lama bertambah panas.
Melolong setinggi langit Iblis Rambut Emas
yang gagal mengerahkan tenaga dalamnya!
Tiga kejapan mata kemudian, perlahan-
lahan, lilitan sinar bening yang mendadak menja-
di sangat panas itu mengendor dan menghilang.
Brukkk!
Kontan ambruk sosok Iblis Rambut Emas.
Pakaian dan kerudung yang dikenakannya telah
hangus. Begitu pula dengan sekujur tubuhnya.
Bahkan, wajahnya pun tak bisa dikenali lagi.
Kejap itu pula, Rantai Naga Siluman berke-
lebat kembali.
***
Pendekar Slebor terus berkelebat sedemi-
kian cepat. Dia memang belum tahu di mana
Lembah Kalisura berada. Namun dia terus berlari
mengejar waktu. Bayangan sosok Gadis Kayangan
makin membias di benaknya, dan ini membuat-
nya begitu resah.
Di sebuah tempat, dia sempat bertanya di
mana Lembah Kalisura berada. Setelah mendapat
petunjuk yang berarti, kembali anak muda pewa-
ris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini berkele-
bat. Hatinya semakin dipilin rasa gelisah.
"Tak akan pernah kumaafkan diriku bila
Gadis Kayangan celaka!" desisnya. Keringat Su-
dah membasahi sekujur tubuhnya. Tetapi dia tak
bermaksud untuk berhenti sekali pun.
Tatkala malam memasuki persada, hati
anak muda ini semakin gelisah.
"Purnama telah tiba kendati masih belum
terang bersinar! Mungkin, inilah akhir dari perja-
lananku. Tak bisa kutentukan yang mana lebih
dulu harus kutuntaskan, karena urusan terjadi
secara bersamaan? Monyet buduk!"
Terus anak muda ini berkelebat dengan ha-
ti bertambah tak menentu. Napasnya mulai terputus-putus. Dadanya yang dibuncah kegelisahan
seperti hendak meledak!
Lima belas tarikan napas berikutnya, dia
hentikan larinya. Pandangannya tak berkedip ke
depan. Dilihatnya sebuah lembah yang meng-
hampar luas di hadapannya.
"Inikah Lembah Kalisura?" desisnya.
Lagi-lagi tak hiraukan keadaan dirinya
yang mulai kelelahan, Andika berkelebat mende-
kati lembah yang terpentang di hadapannya. Dari
atas, dapat dilihatnya kalau lembah itu tak ubah-
nya sebuah danau luas yang kering.
Dan dilihatnya dua sosok tubuh telah ber-
diri di tengah-tengah lembah. Andika memicing-
kan matanya. Sesaat nampak dia melengak tatka-
la pandangannya menangkap satu sosok tubuh
yang tergolek di antara kedua orang itu.
"Melihat sosoknya, jelas yang seorang ada-
lah Iblis Kelabang! Tetapi, siapa orang yang men-
genakan jubah hitam itu? Jangan-jangan... dialah
orang yang telah memerintahkan Iblis Kelabang
untuk membunuhku? Kiai Alas Ireng!"
Untuk beberapa saat anak muda ini tak ke-
luarkan suara. Perlahan-lahan diatur napasnya.
Setelah dirasakan tidak lagi memburu seperti ta-
di, segera dia berlari menuruni lembah!
Kedua orang yang diduga Pendekar Slebor
memang benar. Mereka tak lain Iblis Kelabang
dan Kiai Alas Ireng. Sementara sosok tubuh yang
tergeletak bukan lain Gadis Kayangan adanya!
Dua pasang mata milik manusia-manusia
sesat itu segera menangkap kelebatan sosok tubuh yang semakin lama semakin mendekat.
Iblis Kelabang segera kertakkan rahangnya,
"Heemm... rupanya dia berhasil lolos dari serga-
pan Manusia Sepuluh Siluman! Entah dia berha-
sil mengalahkannya, atau memang berhasil melo-
loskan diri!"
Sementara itu, Pendekar Slebor yang berla-
ri menuruni lembah telah hentikan larinya dan
berdiri sejarak delapan langkah dari hadapan
masing-masing orang.
Sepasang mata Gadis Kayangan yang da-
lam keadaan tertotok, membiaskan kegembiraan.
Kiai Alas Ireng maju satu tindak ke muka.
"Selamat datang, Pendekar Slebor!"
Pendekar Slebor mengangkat tangan ka-
nannya dengan sikap santai. Padahal diam-diam
dia tengah memikirkan bagaimana caranya me-
nyelamatkan Gadis Kayangan. Karena, Rantai Na-
ga Siluman yang dikehendaki orang-orang itu be-
lum ada di tangannya!
Dia berkata pada Iblis Kelabang, "Perem-
puan berpakaian semerah darah! Apakah lelaki
itu yang kau maksudkan sebagai Kiai Alas
Ireng?!"
"Yang sopan kalau bicara!!" hardik Iblis Ke-
labang dingin.
Pendekar Slebor cuma mengangkat kedua
bahunya. Kiai Alas Ireng berkata dingin, "Kau li-
hat sosok gadis itu, bukan?! Kau bisa menda-
patkannya bila kau menyerahkan Rantai Naga Si-
luman!"
"Inilah yang membingungkanku! Hingga
saat ini aku belum berhasil mendapatkan Rantai
Naga Siluman! Dan purnama telah datang! Berar-
ti...."
"Jawab pertanyaan orang!!" hardik Iblis Ke-
labang memutus kata batin Pendekar Slebor.
Segera Andika mengangkat kepalanya dan
berkata, "Kalau soal Rantai Naga Siluman sih
gampang! Tetapi bukankah sudah jadi peraturan,
satu ditukar satu?!"
"Perlihatkan rantai itu kepadaku!!" bentak
Kiai Alas Ireng.
"Wah! Kau pikir aku ini berotak bodoh?
Sudah tentu Rantai Naga Siluman kusembunyi-
kan di satu tempat!"
"Jangan dusta!" bergetar tubuh Kiai Alas
Ireng.
"Kalau tidak percaya ya sudah! Kau tidak
akan mendapatkan Rantai Naga Siluman bila kau
bersikeras dengan ucapan bodohmu itu!!"
"Jangan berlaku bodoh!" menghardik Iblis
Kelabang. Dia tak pernah suka kalau Kiai Alas
Ireng dipermainkan seperti itu. Perempuan yang
telah masuk pada lingkaran hutang budi dan rela
melakukan apa saja demi membalas hutang budi
itu, sudah maju dua langkah ke muka.
Nampak dia sudah siap untuk lancarkan
serangan. Tapi ditahan oleh Kiai Alas Ireng.
Lelaki bermata sipit ini sejenak pandangi
Pendekar Slebor yang sedang memikirkan cara
terbaik untuk menyelamatkan Gadis Kayangan.
Lamat-lamat terdengar suara Kiai Alas
Ireng, "Aku tahu apa yang sedang kau permain
kan! Malam ini adalah malam purnama yang te-
lah ditentukan! Bila tak ada orang yang berhasil
mendapatkan Rantai Naga Siluman, maka benda
itu akan mengamuk! Tetapi sukar ditentukan,
apakah di saat purnama datang, atau sudah se-
tengah perjalanan waktu yang lebih tepat untuk
munculnya Rantai Naga Siluman! Bila memang
kau telah memiliki benda itu, kita tunggu sampai
purnama tepat berada di atas kepala kita!"
"Monyet pitak! Lelaki berjubah hitam ini le-
bih cerdik dari Iblis Kelabang! Secara tidak lang-
sung, dia mendesakku untuk menunjukkan Ran-
tai Naga Siluman! Aku juga tidak tahu kapan te-
patnya Rantai Naga Siluman akan muncul, yang
pasti purnama malam ini! Huh! Siapa sih orang
yang dimaksud dengan titik kemuliaan?"
Tak mendengar sahutan orang, Kiai Alas
Ireng yang memang bermaksud menekan Pende-
kar Slebor terbahak-bahak.
"Kau tak berkata, berarti.... Rantai Naga Si-
luman belum kau dapatkan!! Itu artinya...." Kaki
kanan Kiai Alas Ireng terangkat, tepat pada kepa-
la Gadis Kayangan yang segera pejamkan mata,
"Dia akan mampus!!"
"Tunggu!" tahan Andika separuh gelisah.
"Kau menang! Rantai Naga Siluman berada di ba-
lik pohon dari mana aku datang tadi!!"
"Ambil dan berikan padaku, maka gadis ini
akan selamat!!"
"Landak busuk! Apa yang harus kulakukan
sekarang?! Rantai Naga Siluman belum kuda-
patkan! Dan jelas lelaki berjubah hitam itu tak
akan pernah berpikir dua kali untuk membunuh
Gadis Kayangan! Apakah...."
Mendadak saja terdengar suara menden-
gung yang sangat keras dari arah timur. Serentak
orang-orang yang berada di Lembah Kalisura pa-
lingkan kepala.
Lamat-lamat mereka melihat sinar bening
yang mengembang, seolah terangi Lembah Kalisu-
ra. Menyusul nampak sebuah benda di hamparan
sinar bening itu.
"Gila! Benda apa itu?!" desis Iblis Kelabang
tak berkedip.
Kiai Alas Ireng sendiri berkata, "Apakah
ada orang yang datang ke sini dan perlihatkan il-
munya kepada kita?!"
Lain dari sikap Iblis Kelabang dan Kiai Alas
Ireng yang kebingungan, Pendekar Slebor justru
melengak.
"Rantai Naga Siluman," desisnya dalam ha-
ti. Anak muda ini sebelumnya memang telah me-
lihat benda sakti itu di Pulau Hitam (Baca : "Tabir
Pulau Hitam").
Benda yang berbentuk rantai yang perli-
hatkan sinar bening itu terus menderu dan ak-
hirnya melayang-layang di atas kepala masing-
masing orang.
Suara yang diperdengarkan sungguh me-
mekakkan telinga. Dan sinar bening yang terang
itu telah terangi Lembah Kalisura.
Tak ada yang keluarkan suara sama sekali.
Masing-masing orang begitu takjub melihat keha-
diran benda aneh itu.
Menyusul terdengar suara Kiai Alas Ireng,
"Gila! Apakah benda itu yang disebut Rantai Naga
Siluman?!"
Iblis Kelabang sejenak pandangi Kiai Alas
Ireng, lalu pandangi lagi pada Rantai Naga Silu-
man yang kali ini telah bergerak membentuk ling-
karan kecil dan gerakannya berada di atas kepala
Pendekar Slebor! Pendekar Slebor sendiri menda-
dak menjadi ngeri.
"Busyet! Mungkin waktu yang telah diten-
tukan telah tiba! Rantai Naga Siluman telah ke-
luar dengan sendirinya! Dan nampaknya... akulah
korban pertama dari kesaktian Rantai Naga Silu-
man! Atau, sudah ada orang yang mendahului-
ku?!"
Berpikir demikian, berhati-hati Pendekar
Slebor surutkan langkah tiga tindak ke belakang.
Namun rantai yang perlihatkan sinar bening te-
rang benderang itu seakan mengikutinya. Tetap
berputar di atas kepala.
"Kutu kupret!" maki Andika dengan pera-
saan tak menentu. Diam-diam dia kerahkan tena-
ga 'Inti Petir' tingkat pamungkas, bersiap bila se-
suatu yang tak diinginkan terjadi. Dan apa yang
ditunggunya memang terjadi. Karena mendadak
saja Rantai Naga Siluman melayang turun ke
arahnya.
Wunggg!!
Kontan Andika dorongkan kedua tangan-
nya di atas kepala. Terdengar dua kali salakan pe-
tir yang keras. Namun yang mengejutkan, karena
rantai itu seakan tak terpengaruh dengan sentakan kuat kedua tangan Andika. Padahal, tiga
buah pohon bukan hanya akan langsung tum-
bang, tetapi juga menjadi serpihan bila terkena
tenaga 'Inti Petir' tingkat pamungkas!
Bukan main gelagapannya anak muda ini,
apalagi Rantai Naga Siluman mulai masuk pada
kedua tangannya yang terangkat tadi. Terburu-
buru Andika hendak loloskan kedua tangannya.
Namun tatkala dirasakan dia tak mengalami apa-
apa, diurungkan niatnya.
Dan anehnya, rantai yang tadi masuk ke
kedua tangannya, mendadak melompat dan me-
lingkar pada lehernya!
"Oh! Apa yang terjadi?! Mengapa jadi begi-
ni?!" desis Andika bingung. Dia sama sekali tak
merasakan apa-apa. Bahkan seharusnya dia silau
karena sinar bening itu tepat menerpa sepasang
matanya. Namun, pandangannya tetap tak men-
galami perubahan.
Lamat-lamat Andika mulai menyadari, ka-
lau dia sama sekali tidak terganggu. Diam-diam
dia berpikir, "Sungguh sesuatu yang di luar du-
gaanku! Begitu mengejutkan! Mengapa tahu-tahu
Rantai Naga Siluman muncul dan berada pada-
ku? Apakah... busyet! Apakah sesungguhnya du-
gaanku tentang Rahasia Sebelas Jari adalah te-
pat?! Kalau memang begitu, berarti, akulah orang
yang dimaksud dalam kata titik kemuliaan. Tetapi
apa iya?!"
Sementara Andika masih menduga-duga
apa yang terjadi, di seberang Kiai Alas Ireng ber-
pandangan dengan Iblis Kelabang. Sebelumnya,
kedua orang ini juga menduga kalau Rantai Naga
Siluman telah muncul dengan sendirinya dan
akan perlihatkan kesaktiannya pada siapa saja,
karena tak seorang pun yang berhasil memecah-
kan tentang Rahasia Sebelas Jari.
Diam-diam pula, kedua orang itu sebenar-
nya sudah bersiap untuk mengambil langkah se-
ribu. Namun begitu dilihatnya kalau Rantai Naga
Siluman menyantel di leher Pendekar Slebor, se-
gera mereka urungkan niat.
"Jahanam! Berarti apa yang dikatakan pe-
muda ini tadi benar! Kalau Rantai Naga Siluman
berada di balik pohon yang dikatakannya! Tetapi,
mengapa tadi dia kelihatan seperti kebingungan?"
mendesis Iblis Kelabang-Sementara itu, Kiai Alas
Ireng segera mendekati sosok Gadis Kayangan
yang tergeletak. Pandangannya lurus pada Andi-
ka.
"Rantai Naga Siluman berada di depan ma-
ta! Benda itu harus kudapatkan. Dan gadis ini
adalah kunci dari semua keinginan yang telah
kususun!!"
Habis membatin demikian, lelaki berwajah
tirus yang dihiasi kulit tipis ini berkata sambil
menyeringai,
"Kau telah bicara benar rupanya! Dan ini
adalah kesempatan baik untuk mengadakan satu
pertukaran! Apakah kau sudah siap, Pendekar
Slebor?"
Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah
Kutukan yang masih kebingungan dengan hadir-
nya Rantai Naga Siluman yang ternyata berpihak
padanya, cuma mengangkat kepalanya saja.
"Aku tak tahu mengapa jadi begini?" desis-
nya. Memang, sesungguhnya rahasia dari Rahasia
Sebelas Jari adalah seperti yang diduga Andika.
Anak muda itu telah berhasil memecahkan ten-
tang Rahasia Sebelas Jari. Namun dia belum ber-
hasil menentukan siapakah orang yang dimak-
sudkan dalam kata titik kemuliaan.
Dan secara main-main, Andika telah me-
nentukan dirinya sendirilah yang dimaksudkan
sebagai titik kemuliaan. Karena memang dialah
orang yang memiliki hati lebih mulia dari sebelas
orang yang terlibat urusan Rantai Naga Siluman.
Secara tidak langsung Andika telah berha-
sil memecahkan tentang Rahasia Sebelas Jari!
Itulah sebabnya, Rantai Naga Siluman muncul
dan berpihak padanya.
Terdengar suara Kiai Alas Ireng memecah
kesunyian, "Serahkan Rantai Naga Siluman, ma-
ka gadis ini akan tetap hidup!!"
Andika mendesah pendek. "Mungkin ini
memang kesempatan...."
"Kuhitung sampai tiga! Satu... Dua... ti...."
"Tunggu!" seru Andika yang membuat kaki
kanan Kiai Alas Ireng yang siap menginjak hancur
kepala Gadis Kayangan terhenti.
Seketika Kiai Alas Ireng mengangkat kepa-
lanya. Dengan senyuman mengejek dia berkata,
"Bagus bila kau mengerti gelagat! Serahkan pada-
ku benda itu!!"
Andika menarik napas dan menghem-
buskannya perlahan-lahan.
"Bila kuserahkan Rantai Naga Siluman ini,
tentunya urusan akan jadi kapiran! Tetapi bila
tak kuserahkan, dapat kupastikan Kiai Alas Ireng
tak mau lagi menunda keinginannya untuk mem-
bunuh Gadis Kayangan!"
Sejenak anak muda ini putuskan kata ba-
tinnya sendiri. Lalu sambungnya, "Terpaksa ini
harus kulakukan...."
***
10
Memutuskan demikian, setelah menghela
napas pendek, Andika loloskan Rantai Naga Silu-
man yang menyantel di lehernya. Diam-diam dia
terkejut tatkala merasakan seperti layaknya me-
megang kapas belaka. Karena, benda yang masih
pancarkan sinar bening itu seperti tak memiliki
bobot!
Di seberang, melihat tanda-tanda kalau
anak muda di hadapannya akan serahkan rantai
sakti yang diinginkannya, diam-diam Kiai Alas
Ireng tersenyum.
"Hemm... setelah kudapatkan Rantai Naga
Siluman, gadis ini tetap akan kubunuh! Juga pe-
muda setan itu!"
Andika sendiri sejenak memandang dulu
pada Gadis Kayangan, yang nampak berusaha
memberi isyarat dengan matanya agar Andika
jangan melakukannya. Namun Andika yang tak
ingin kejadian buruk dialami gadis itu, mendadak
berkata, "Bebaskan dia!"
Kiai Alas Ireng tertawa. "Itu berarti kau
membuatku untuk segera memutuskan niat!
Baik! Kubunuh gadis ini sekarang juga!!"
"Tunggu!" seru Andika untuk kedua ka-
linya. Lalu dilemparkannya Rantai Naga Siluman,
"Terimalah!"
Wuuungg!
Begitu dilempar, benda sakti yang terus
pancarkan sinar bening meluncur ke arah Kiai
Alas Ireng. Kiai Alas Ireng bermaksud untuk sege-
ra menangkapnya.
Namun mendadak saja satu gelombang an-
gin yang perdengarkan suara dengungan laksana
ribuan tawon murka sudah menggebrak keras.
Kontan lelaki berjubah hitam ini angkat kepala.
Sejurus kemudian dia palangkan sepasang tan-
gannya di depan dada disertai tahanan tenaga da-
lam.
Namun gelombang angin besar yang keluar
dari kain bercorak catur yang tadi dikibaskan An-
dika, terus melabrak lelaki berjubah hitam itu.
Serta-merta sosoknya terlempar ke belakang. Se-
telah tergontai-gontai beberapa saat, lelaki berwa-
jah tirus ini berdiri tegak dengan kertakkan ra-
hang. Dadanya dirasa nyeri.
Di lain pihak, Iblis Kelabang yang juga ter-
kejut melihat apa yang dilakukan Andika sudah
melompat ke depan diiringi makian keras, "Terku-
tuk!!"
Andika sesaat melengak dan langsung su
rutkan langkah. Kejap berikutnya dia siap gerak-
kan kembali kain pusaka warisan Ki Saptacakra,
sang Pendekar Lembah Kutukan.
Namun yang mengejutkan, sebelum Andika
lakukan maksud, mendadak saja Rantai Naga Si-
luman yang tadi dilemparkannya kearah Kiai Alas
Ireng berbalik pulang ke arahnya. Secara tiba-tiba
pula, hawa yang panas luar biasa menguar!
"Gila! Rantai itu mendadak menyerangku?!"
desis Andika kaget dan berusaha untuk menang-
kapnya.
Lagi-lagi sesuatu yang mengejutkan terjadi.
Karena hawa panas yang dirasakannya hanya se-
kejap. Namun apa yang dialami Iblis Kelabang
benar-benar mengejutkan.
Perempuan berambut dikelabang ini sama
sekali tidak menyangka kalau secara tiba-tiba,
Rantai Naga Siluman yang berbalik dan seperti
hendak menyerang Pendekar Slebor, justru men-
garah padanya!
"Celaka!" desisnya terkejut. Terburu-buru
dia lompat ke belakang. Namun hawa panas yang
berpendar dahsyat itu, telah menghanguskan pa-
kaian yang dikenakannya. Dan sekarang perem-
puan ini hanya kenakan pakaian dalam saja.
Keadaan yang membuat paras Iblis Kela-
bang harus berubah memerah, ternyata tidak
hanya terjadi sampai di sana saja. Karena men-
dadak sinar bening yang terpancar dari Rantai
Naga Siluman, telah melingkupinya, melilitnya
hingga dia melolong keras. Hawa panas yang tak
terkira membakarnya hingga rambut perempuan
ini seketika rontok!
Andika yang tak menyangka keadaan itu,
bermaksud untuk menolong Iblis Kelabang. Na-
mun dia harus urungkan niat karena hawa panas
itu dirasakannya kembali.
Hal ini membuatnya harus surutkan lang-
kah kembali. Dipandanginya bagaimana Iblis Ke-
labang terus berteriak setinggi langit menahan ra-
sa sakit yang tak terkira. Hanya beberapa kejap
saja nampak tubuhnya mulai menghitam. Tatkala
perlahan-lahan lilitan sinar bening yang keluar
dari Rantai Naga Siluman menghilang, sosok pe-
rempuan ini ambruk! Dan langsung menjadi
mayat! Dari tubuhnya yang hangus itu, keluar
asap yang berbau tidak sedap.
Di seberang, Kiai Alas Ireng yang juga tak
menyangka akan hal itu, menjadi ciut. Tetapi
hanya sesaat. Karena begitu dilihatnya sosok Ga-
dis Kayangan yang masih tergeletak di atas tanah,
dia cepat menyergap ke depan.
Tidak tanggung lagi, kaki kanannya lang-
sung diangkat dan siap diinjakkan pada kepala si
gadis!
"Heiii!!" Andika terkesiap melihat apa yang
akan dilakukan Kiai Alas Ireng.
Kendati sadar waktu yang dimiliki tak me-
mungkinkan untuk menyelamatkan Gadis Kayan-
gan, namun dia berusaha untuk melakukannya!
Tetapi sudah tentu gerakan menginjak
yang dilakukan Kiai Alas Ireng lebih cepat dari ge-
rakannya! Namun sebelum maut menimpa Gadis
Kayangan, mendadak saja satu sinar bening telah
menderu angker.
Wuuunggg!!
Gelombang angin menderu dipadu dengan
sinar bening yang meluncur.
Sambaran gelombang angin dan sinar ben-
ing yang keluar dari Rantai Naga Siluman itu,
membuat sosok Andika terpental. Sementara ge-
lombang angin dan sinar bening itu terus mende-
ru, menghajar kaki kanan Kiai Alas Ireng!
Kontan terdengar lolongan yang sangat ke-
ras, sementara kaki kanan Kiai Alas Ireng hancur
berantakan! Muncratan darah yang keluar men-
genai paras Gadis Kayangan yang melengak ka-
get. Tetapi karena saat ini dia tak bisa keluarkan
suara dan gerakkan tubuh, maka yang bisa dila-
kukan hanyalah memejamkan sepasang matanya
saja!
Sementara itu, sosok Kiai Alas Ireng ter-
huyung, lalu terpelanting. Dia kelojotan disertai
lolongan keras. Kaki kanannya sebatas lutut telah
hilang!
Andika lagi-lagi terkejut melihat apa yang
terjadi. Dia tak ingin nasib naas yang menimpa
Iblis Kelabang menimpa pula lelaki berjubah hi-
tam itu.
Tanpa sadar anak muda ini berseru, "Ta-
han!"
Sungguh aneh, karena Rantai Naga Silu-
man yang kembali keluarkan gelombang angin
dan lilitan sinar bening, mendadak terhenti. Ge-
lombang angin dan sinar bening itu lenyap sama
sekali. Namun Rantai Naga Siluman yang kini
mengapung itu tetap pancarkan sinar bening.
Ketegangan yang sesaat tadi sempat mem-
buat panik Andika, perlahan-lahan mereda.
"Cerita Kala Ijo memang benar. Rantai Na-
ga Siluman seolah digerakkan oleh orang yang
memilikinya. Padahal benda sakti itu bergerak
sendiri. Tetapi tadi, saat aku secara tak sengaja
berseru, benda itu seolah memiliki naluri hidup
sendiri. Berarti... mungkin memang akulah orang
yang berhak memilikinya. Tetapi tidak, benda itu
harus kuserahkan pada Kala Ijo."
Setelah membatin demikian, anak muda
urakan ini segera mendekati Gadis Kayangan. Di-
periksanya sesaat tubuh gadis itu sebelum dibuka
totokan yang dilakukan Kiai Alas Ireng padanya.
Setelah mengejut sesaat, Gadis Kayangan yang te-
lah terbebas dari totokan Kiai Alas Ireng, justru
merangkul Andika.
Gadis perkasa ini bukan hanya membuat
Andika gelagapan, tetapi juga kebingungan. Apa-
lagi melihat gadis itu menangis.
Tetapi Andika mendiamkannya saja.
Justru Gadis Kayangan yang akhirnya
menjadi malu sendiri. Buru-buru dia melepaskan
rangkulannya dengan wajah tertunduk, memerah.
Andika cuma nyengir saja. Lalu bergerak
cepat menuju sosok Kiai Alas Ireng yang masih
kelojotan. Segera ditotoknya tubuh lelaki berju-
bah hitam itu hingga tak bergerak. Dengan gera-
kan sangat cepat, dia menotok urat-urat pada pa-
ha lelaki itu hingga lama kelamaan darah yang
keluar dari kakinya yang telah kutung, terhenti.
Sesaat dipandanginya lelaki itu yang kare-
na tak kuasa menahan rasa sakit akhirnya jatuh
pingsan.
Dihela napas perlahan.
"Aku tidak tahu, apakah urusan Rantai
Naga Siluman sudah berakhir di sini atau tidak.
Tetapi, aku akan tetap menyerahkan benda itu
pada Kala Ijo, karena dialah orang yang berhak."
Setelah membuka totokannya pada Kiai
Alas Ireng yang masih pingsan, anak muda ura-
kan ini perlahan-lahan mendekati Rantai Naga Si-
luman yang masih mengapung. Tanpa ada masa-
lah, diambilnya benda itu lalu dikalungkan.
Setelah itu, dengan pergunakan sebatang
ranting, Andika menguburkan mayat Iblis Kela-
bang. Lalu didekatinya Gadis Kayangan.
"Aku tidak tahu apakah yang kulakukan
ini benar atau tidak. Tetapi, lebih baik kau ikut
denganku untuk mencari Kala Ijo, untuk menye-
rahkan Rantai Naga Siluman ini padanya."
Gadis Kayangan yang baru terbebas dari
malapetaka beruntun yang mengerikan, hanya
menganggukkan kepala. Lalu perlahan-lahan ber-
diri.
Setelah pandangi wajah pemuda di hada-
pannya, dia pun segera mengikuti langkah pemu-
da tampan dari Lembah Kutukan itu....
SELESAI
Segera terbit!!!
KALUNG SETAN
0 comments:
Posting Komentar