"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 11 Agustus 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE RANTAI NAGA SILUMAN

Rantai Naga Siluman



RANTAI NAGA SILUMAN

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

Sebagian atau seluruh isi buku ini

Tanpa izin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Slebor

Dalam Episode:

Rantai Naga Siluman

128 hal.


1


Hamparan angin melingkar yang perden-

garkan suara mengerikan itu menggebrak ke arah 

Pendekar Slebor. Kontan anak muda urakan dari 

Lembah Kutukan ini dongakkan kepala. Kejap 

kemudian dia sudah buat gerakan melompat ke 

kiri. Namun di luar dugaannya, angin melingkar 

yang dilepaskan pemuda berpakaian biru gelap 

itu sudah mengurungnya, perdengarkan suara 

kian mengerikan dan seperti hendak merejam jan-

tung.

"Monyet pitak!" geram Pendekar Slebor 

dengan kepala tegak. Sambil miringkan tubuh, 

tangan kanannya yang telah dialiri tenaga 'Inti Pe-

tir' digerakkan ke depan.

Menyusul suara salakan petir yang terden-

gar, suara letupan keras pun mengudara.

Blaaaamm!

Hamparan angin melingkar yang dile-

paskan Manusia Sepuluh Siluman punah terhan-

tam pukulan tenaga 'Inti Petir'! Sesaat sosok Pen-

dekar Slebor surut dua tindak ke belakang, na-

mun kejap itu pula dia telah kuasai keseimban-

gannya. Di luar dugaannya, angin melingkar yang 

telah ambyar tadi, mendadak kembali menyatu 

saat Manusia Sepuluh Siluman rangkapkan ke-

dua tangan di depan dada dengan cara ditepuk.

Tak mau mengalami nasib sial, pemuda 

pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini su-

dah lepaskan pukulan tenaga 'Inti Petir' tingkat

kelima.

Untuk kedua kalinya terdengar letupan 

yang sangat keras. Masing-masing orang surut ti-

ga tindak ke belakang.

Manusia Sepuluh Siluman yang geram ka-

rena orang yang dicarinya justru berada di hada-

pannya, kertakkan rahang. Paras pemuda tampan 

berhati sombong dan kejam ini mengeras.

Seperti telah disinggung pada episode: "Ra-

hasia Sebelas Jari", Pendekar Slebor yang baru 

saja lepas dari maut yang diturunkan Iblis Kela-

bang, menghentikan larinya di hadapan bukit ka-

pur yang menjulang tinggi. Otaknya diputar un-

tuk mencari ke mana lenyapnya Gadis Kayangan. 

Baru saja dia hendak meneruskan langkah, men-

dadak muncul Manusia Sepuluh Siluman yang 

menanyakan tentang Kiai Alas Ireng dan dirinya 

sendiri.

Pendekar Slebor yang sadar kalau Manusia 

Sepuluh Siluman adalah salah seorang yang ten-

tunya ingin tahu tentang Rahasia Sebelas Jari, 

mencoba memuslihatinya. Dia memang berhasil 

melakukan hal itu. Namun kehadiran Setan 

Cambuk Api yang mendadak, membuat Manusia 

Sepuluh Siluman segera hentikan langkah. Den-

gan geram pemuda sombong murid Raja Siluman 

ini memandang ke arah Pendekar Slebor!

"Monyet buduk! Kenapa sih harus muncul 

nenek berpakaian batik kusam itu? Huh! Urusan 

makin jadi kapiran saja!" dengus Pendekar Slebor 

sambil melirik perempuan tua berpakaian batik 

kusam yang memandangnya tajam.

Di lain pihak, Manusia Sepuluh Siluman 

yang diperintahkan gurunya untuk mengetahui 

isi Rahasia Sebelas Jari dan sekaligus menda-

patkan Rantai Naga Siluman, memandang tak 

berkedip. Paras pemuda ini memerah, tanda ke-

marahan makin melanda.

"Terkutuk! Bila saja perempuan tua yang di 

tangan kanannya tergenggam cambuk berlidah ti-

ga itu tidak muncul, sudah tentu aku termakan 

oleh ucapan busuk pemuda berpakaian hijau pu-

pus ini! Keparat! Orang yang berkepentingan telah 

ada di hadapanku, sudah tentu tak akan kule-

watkan kesempatan!!"

Habis membatin demikian, Manusia Sepu-

luh Siluman menyeringai lebar lalu berkata, "Kau 

sungguh pandai berdusta! Sayangnya, kedus-

taanmu tak berumur panjang! Sama dengan hi-

dupmu sendiri yang akan mampus di bawah ka-

kiku!"

Kendati sadar kalau bahaya membentang 

di hadapannya, Pendekar Slebor cuma mengga-

ruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Kalau kau merasa seperti itu ya sudah! 

Aku sih tidak merasa apa-apa!"

Mendengar ucapan yang bernada santai, 

kemarahan makin membludak di dada Manusia 

Sepuluh Siluman. Namun dia masih berusaha 

tindih kemarahan, karena dia ingin tahu lebih 

dahulu tentang Rahasia Sebelas Jari.

Sambil maju dua langkah ke muka, pemu-

da yang di pinggangnya melilit seutas tali ini be-

rucap, "Nyawamu hanya tinggal beberapa kejap

lagi! Katakan padaku, apa isi dari Rahasia Sebe-

las Jari?!"

Mendengar ucapan si pemuda, Setan Cam-

buk Api yang sejak tadi berdiam diri dan coba 

mencari tahu ada urusan apa Pendekar Slebor 

dengan pemuda berjuluk Manusia Sepuluh Silu-

man ini, segera palingkan kepala dan agak mene-

gak.

"Rahasia Sebelas Jari! Hem... seperti du-

gaanku, kalau berita itu tentunya telah menyebar. 

Bagus! Aku dapat petik keuntungan sekarang! 

Tak perlu aku turun tangan! Akan kubiarkan Ma-

nusia Sepuluh Siluman bertarung dengan Pende-

kar Slebor! Atau paling tidak, aku mengetahui pu-

la tentang Rahasia Sebelas Jari! Sungguh sebuah 

keuntungan yang tak pernah kusangka."

Memutuskan demikian, perempuan tua

bersenjatakan cambuk berlidah tiga ini, surutkan 

langkah agak menjauh ke belakang. Dia berdiri 

tegak dengan pandangan tak berkedip ke depan.

Sementara itu, Pendekar Slebor mengeluh 

dalam hati.

"Benar-benar celaka! Urusan masih terus 

masalah Rahasia Sebelas Jari yang hingga seka-

rang masih membingungkanku. Sebenarnya, tak 

ada waktu bagiku untuk meladeni kedua orang 

ini. Aku masih harus menemukan Gadis Kayan-

gan. Tetapi sudah tentu tak akan mudah kulaku-

kan. Hemm... kulihat Setan Cambuk Api menye-

ringai terus menerus. Kutu landak! Jelas kalau 

dia akan mendapatkan keuntungan dari urusan-

ku dengan Manusia Sepuluh Siluman!"

Begitu mendengar suara rahang dikertak-

kan, Andika menghentikan kata batinnya. Sambil 

menindih rasa tidak tenang, dia berucap pada 

Manusia Sepuluh Siluman, "O... jadi cuma uru-

san Rahasia Sebelas Jari yang membuatmu jadi 

beringas seperti itu?! Apakah kau diperintahkan 

oleh Kiai Alas Ireng untuk mengetahui semua 

ini?"

"Tutup mulutmu! Manusia celaka itu akan-

tiba gilirannya untuk mampus di tanganku!" sen-

gat Manusia Sepuluh Siluman keras dengan wa-

jah kaku.

Andika mengangkat kedua bahunya.

"Tak perlu gusar begitu, dong. Ingat lho, 

orang pemarah itu cepat tua!"

Makin meradang kemarahan Manusia Se-

puluh Siluman mendengar ucapan orang yang 

bernada santai.

"Jahanam! Katakan cepat!!"

"Beres! Aku akan mengatakannya!" kata 

Andika sambil tersenyum. Satu pikiran singgah di 

benaknya. Lalu dengan sikap santai dia buka mu-

lut, "Aku tahu, isi Rahasia Sebelas Jari akan me-

mudahkan orang untuk mendapatkan Rantai Na-

ga Siluman bila berhasil memecahkan rahasia itu. 

Dan tentunya, kau juga menginginkan Rantai Na-

ga Siluman bukan?"

"Jangan berbelit-belit!" makin tak sabar 

Manusia Sepuluh Siluman. Namun dia menahan 

keinginannya untuk menyerang. Karena bila pe-

muda itu tewas di tangannya, berarti akan lenyaplah harapannya untuk mendapatkan Rantai

Naga Siluman. Dan itu berarti, menyerahkan diri 

pada gurunya, si Raja Siluman!

"Aku cuma mencoba menyadarkanmu saja. 

Soal Rahasia Sebelas Jari, kupikir bukanlah soal 

yang agak merumitkan bila kau mengetahuinya. 

Tetapi... bukankah ada orang lain di sini? Nah! 

Bila kukatakan, berarti bukan hanya kau seorang 

yang tahu. Tetapi, ya... kau tahu sendiri deh apa 

yang kumaksudkan!"

Seketika Manusia Sepuluh Siluman paling-

kan kepala pada Setan Cambuk Api yang kertak-

kan rahangnya begitu mendengar ucapan Pende-

kar Slebor. Wajah perempuan tua berpakaian ba-

tik kusam ini mengeras. Dia sadar kalau Pende-

kar Slebor mencoba memancing perhatian Manu-

sia Sepuluh Siluman pada dirinya.

"Jahanam terkutuk! Pemuda dari Lembah 

Kutukan itu seperti menemukan cara yang tepat 

untuk hindari gempuran pemuda berjuluk Manu-

sia Sepuluh Siluman! Hem... menilik dua kali 

benturan yang terjadi barusan, nampaknya pe-

muda itu mampu menandingi Pendekar Slebor! 

Kecerdikan Pendekar Slebor harus dibayar den-

gan kelicikan!"

Di lain pihak, pemuda berikat kepala biru 

membatin dengan pandangan masih mengarah 

pada Setan Cambuk Api.

"Aku tak tahu apakah Pendekar Slebor 

mencoba memuslihatiku. Tetapi, apa yang dika-

takannya memang benar. Bila demikian adanya, 

bisa jadi perempuan itu akan mendahuluiku un-

tuk mendapatkan Rantai Naga Siluman, setelah

Pendekar Slebor memberi tahu tentang isi dari 

Rahasia Sebelas Jari. Hemmm... aku tak tahu 

apakah aku yang bodoh atau Pendekar Slebor 

yang cerdik. Tapi...."

Memutus kata batinnya sendiri, Manusia 

Sepuluh Siluman buka mulut pada Setan Cam-

buk Api, "Perempuan hina! Kendati kedatangan-

mu membuka kedua mataku siapa adanya orang 

yang kucari, tetapi kuharap kau menyingkir dari 

sini! Masih kuhargai nyawamu untuk tidak kuca-

but, karena kau telah menyadarkanku tentang 

Pendekar Slebor!"

Mendengar ucapan orang, Setan Cambuk 

Api kertakkan rahangnya. Harga diri perempuan 

tua berpakaian batik kusam ini langsung terseret. 

Keinginannya untuk dapat petik keuntungan dari 

pertarungan antara Pendekar Slebor dengan Ma-

nusia Sepuluh Siluman, langsung pupus.

Dengan suara keras dia membentak, "Aku 

punya urusan dengan pemuda setan itu! Kendati 

aku tak ada urusan denganmu, tetapi justru kau 

yang lebih baik menyingkir!!"

Selain memiliki ilmu tinggi, Manusia Sepu-

luh Siluman juga memiliki kesombongan yang 

tiada batas. Dia bukan hanya tersinggung men-

dengar ucapan orang. Tetapi, dia sudah langsung 

buka serangan ke arah Setan Cambuk Api.

"Akan kubuka kedua matamu untuk tahu 

siapa adanya orang!!"

Wusss!!

Angin melingkar yang keluar dari dorongan 

tangan kanannya menggebrak ke arah Setan

Cambuk Api. Suara yang diperdengarkan gelom-

bang angin melingkar itu sungguh mengerikan.

Setan Cambuk Api sendiri sudah tentu tak 

mau tinggal diam.

Sambil kertakkan rahangnya, serta-merta 

digerakkan cambuk berlidah tiganya. 

Cltaaarr!! 

Suara nyaring membedah udara, menyusul 

tiga gelombang angin menderu ganas.

Blaaammm!!

Tiga gelombang angin yang keluar dari 

ujung cambuk berlidah tiga itu, menghantam 

hamparan angin melingkar yang dilepaskan Ma-

nusia Sepuluh Siluman.

Terdengar suara geraman Manusia Sepu-

luh Siluman, menyusul dia membuang tubuh ke 

samping kanan. Hal itu dilakukan karena satu ge-

lombang angin yang keluar dari ujung cambuk 

berlidah tiga Setan Cambuk Api terus melabrak 

ke arahnya!

Blaarrr!!

Gelombang angin itu menghantam tanah di 

mana tadi Manusia Sepuluh Siluman berdiri. 

Kontan tanah itu membuyar di udara. Beberapa 

batu kapur bergulingan.

"Jahanam keparat!" maki Manusia Sepuluh 

Siluman dingin. Kesombongannya benar-benar te-

rusik.

Mendadak sontak dia palingkan kepala ke 

arah Pendekar Slebor.

"Setelah perempuan tua celaka itu kuurus, 

tinggal giliranmu! Melarikan diri dari hadapanku,

tak akan dapat kau lakukan!!"

Andika yang diam-diam takjub melihat se-

rangan yang dilakukan masing-masing orang tadi, 

mengangkat kedua bahunya.

"Ya, terserah kau saja, ah! Pokoknya buk-

tikan dulu deh! Tapi ngomong-ngomong... jangan 

terlalu lama! Aku tidak punya waktu banyak nih!"

Dari pandangannya yang mengarah pada 

Pendekar Slebor, Manusia Sepuluh Siluman alih-

kan pandangannya pada Setan Cambuk Api. Se-

saat pemuda yang di pinggangnya melilit seutas 

tali ini terdiam. Sepasang matanya memandang 

tak berkedip. Kilatan nafsu membunuh berkobar-

kobar pada riakan mata hitamnya.

"Perempuan celaka! Kau telah bertindak to-

lol! Kuberi kesempatan hidup ternyata kau meno-

laknya! Berarti... kukirim nyawamu ke neraka se-

karang!!"

Habis ucapannya, sosoknya mencelat ke 

depan diiringi teriakan mengguntur. Tangan ka-

nan kirinya digerakkan. Dua gelombang angin 

melingkar mendahului gerakan tubuhnya.

Wrrrr! Wrrrr!!!

Di seberang, Setan Cambuk Api yang tadi 

gagalkan serangan Manusia Sepuluh Siluman pa-

da dirinya, bahkan membuat pemuda sombong 

itu harus menghindar, sudah melesat ke depan 

diiringi teriakan keras. 

"Kau yang akan menyesali tindakan bo-

dohmu ini!!"

Cltaaarr!!

Cambuk berlidah tiganya langsung kelua

rkan suara yang mengerikan begitu digerakkan. 

Menyusul keluar tiga lesatan angin laksana to-

pan.

Blaaamm!!

Manusia Sepuluh Siluman kertakkan ra-

hangnya begitu angin melingkar yang dilepaskan-

nya lagi-lagi terhantam buyar. Belum lagi dia lan-

carkan serangan balasan, Setan Cambuk Api su-

dah kembali gerakkan cambuk berlidah tiganya.

Cltaaarrr!!

Kontan Manusia Sepuluh Siluman urung-

kan niat dan membuang tubuh ke samping ka-

nan. Saat kembali berdiri tegak dan agak men-

jauh, dilihatnya tanah yang tadi dipijaknya telah 

bergaris tiga buah sedalam satu jengkal.

Makin meradang Manusia Sepuluh Silu-

man mendapati kalau lawan bukanlah orang yang 

dapat dipandang sebelah mata.

"Perempuan hina!!"

Tak mau sahuti ucapan orang, Setan Cam-

buk Api sudah gerakkan lagi cambuk berlidah ti-

ga dengan kerahkan setengah tenaga dalamnya.

Cltaaarrr!!

Suara yang terdengar begitu mengerikan 

sekali, disusul dengan lesatan tiga angin laksana 

anak panah saat cambuk itu digerakkan.

Manusia Sepuluh Siluman coba memapaki 

dengan serangan balasannya. Dan dia harus be-

nar-benar menjaga jarak, begitu melihat serangan 

Setan Cambuk Api agak berubah. Karena lidah 

cambuk di bagian tengah melesat lebih dulu siap 

hantam kepalanya.

Ketika pemuda sombong ini bergerak ke ki-

ri, lidah cambuk bagian kiri sudah mencecar ke 

arahnya.

Cltaaarr!!

"Laknat!" maki Manusia Sepuluh Siluman 

geram. Diam-diam dia menyadari, kalau dia telah 

terpancing ucapan Pendekar Slebor. "Setan terku-

tuk! Mengapa aku tak berpikir panjang tadi? Su-

dah tentu Pendekar Slebor berusaha alihkan per-

hatianku dari apa yang kuinginkan! Keparat! 

Urusan telah kubuka dengan perempuan celaka 

itu! Tetapi biar bagaimanapun juga, perempuan 

celaka itu tak akan pernah kubiarkan hidup!"

Sementara itu, Pendekar Slebor cuma 

memperhatikan saja.

"Gadis Kayangan belum kutemukan hingga 

sekarang. Masalah Rahasia Sebelas Jari pun be-

lum berhasil kupecahkan. Hemm... mumpung ke-

dua manusia ini sedang serang satu sama lain, 

sebaiknya kupergunakan kesempatan untuk me-

ninggalkan tempat ini. Tetapi, aku tak ingin salah 

seorang dari mereka celaka. Biar bagai-manapun 

juga, mereka hanya terpaku dengan nafsu sera-

kah. Kupikir, nafsu itu dapat diubah bila salah 

seorang dari mereka mau melakukannya."

Di lain pihak, kemarahan Manusia Sepuluh 

Siluman semakin menjadi-jadi. Mendadak saja 

dia menderu dengan keganasan yang luar biasa. 

Serangan demi serangannya nampak kacau ba-

lau. Namun bila terkena, tak dapat dibilang lagi 

akibatnya.

Kendati menghadapi serangan yang lebih

ganas dari sebelumnya, Setan Cambuk Api masih 

dapat mengimbangi. Bahkan dia pun membalas 

tak kalah ganas. Hingga saat itu pula banyak 

ranggasan semak yang terpapas dan beterbangan, 

disusul muncratnya tanah ke udara. Bahkan gu-

gusan batu kapur berjatuhan dari bukit kapur.

Tidak hanya sampai di sana saja yang dila-

kukan Setan Cambuk Api. Karena diiringi teria-

kan penambah semangat, mendadak saja si ne-

nek angkat tangan kanannya yang memegang 

cambuk. Kejap kemudian diputar-putarnya ke 

udara, hingga saat itu pula terdengar suara yang 

keras dan memekakkan telinga. Sementara ge-

lombang angin yang keluar perdengarkan suara 

mengerikan.

Bahkan Andika yang sejak tadi hanya 

memperhatikan, harus kerahkan tenaga dalam 

untuk hindari gempuran gelombang angin yang 

keluar dari cambuk berlidah tiga itu.

Namun yang dilakukan Manusia Sepuluh 

Siluman justru sangat mengejutkan, lain dari se-

belumnya. Dia sama sekali tidak menghindari se-

tiap serangan yang datang padanya. Bahkan ber-

kali-kali tubuhnya terhantam. Memekik keras dan 

terhuyung, lalu melesat lagi dengan wajah kian 

meradang.

Di tempatnya Pendekar Slebor mendengus.

"Busyet! Tuh orang kok bodoh benar ya? 

Sudah tahu tidak mampu mengimbangi Setan 

Cambuk Api, dia malah makin beringas. Bodoh-

nya, dia seperti membiarkan dirinya dihantami te-

rus menerus! Tapi, sungguh patut dipuji. Dia

memiliki tubuh kedot, hingga terus menerus me-

nyerang."

Yang dilakukan Manusia Sepuluh Siluman 

memang mengundang tanya. Saat lancarkan se-

rangan, pemuda sombong ini seakan baru perta-

ma kali bertarung. Dia seolah hilang perhitungan 

dari setiap serangan yang dilakukannya. Bahkan 

serangannya pun tak tentu arahnya.

Bila Setan Cambuk Api berada di kanan, 

dia justru menyerang ke kiri. Sudah tentu itu be-

rarti sasaran empuk dari cambuk berlidah tiga si 

nenek.

Hingga satu saat, nampak Setan Cambuk 

Api mencelat ke depan. Cambuk berlidah tiganya 

digerakkan diiringi teriakan melecehkan, "Huh! 

Kau tak patut untuk turut memperebutkan Ran-

tai Naga Siluman!"

Di tempatnya, Andika yang telah lontarkan 

satu kecerdikan yang diperlihatkan, mengurung-

kan niat untuk segera meninggalkan tempat itu.

Anak muda urakan ini tak mau kalau sa-

lah seorang dari keduanya terluka hebat. Ma-

kanya, kendati tahu kalau Manusia Sepuluh Si-

luman tak akan berpikir dua kali untuk menca-

but nyawanya, dia tetap memutuskan untuk me-

nyelamatkan Manusia Sepuluh Siluman.

Namun sebelum dilakukan maksud, men-

dadak terdengar suara dingin, "Biarkan perem-

puan tua itu membuang tenaganya! Bila kau te-

tap tak mengatakan isi dari Rahasia Sebelas Jari, 

maka nyawamu akan kukirim ke neraka!!"


2


Pada saat yang bersamaan, di sebuah tem-

pat yang agak terbuka dan cukup jauh dari tem-

pat Pendekar Slebor berada, empat pasang mata 

sedang memandang pada orang berjubah hitam 

yang baru muncul. Pancaran mata masing-

masing orang mengandung arti yang hanya mere-

ka mengerti sendiri.

Sementara yang dipandang nampak tenang 

saja. Dia seorang lelaki selengah baya berjubah 

hitam. Parasnya tirus dihiasi kulit tipis. Sepasang 

matanya sipit, namun kilatan sinarnya begitu 

menusuk sekali. Seluruh rambut yang tumbuh di 

kepala dan wajahnya berwarna putih.

Orang yang lak lain Kiai Alas Ireng ini ke-

luarkan suara, "Hmmm... nampaknya kehadiran-

ku justru menghentikan keramaian yang telah 

terjadi. Aku tak tahu apakah harus meminta 

maaf, atau ikut dalam keramaian ini."

Dua orang lelaki berambut dikepang dua 

dan memiliki paras sama satu sama lain saling 

pandang. Perasaan kedua orang berpakaian abu-

abu ini mendadak tidak tenang melihat kehadiran 

Kiai Alas Ireng.

Sementara itu, perempuan berpakaian dan 

berkerudung merah alihkan pandangannya pada 

lelaki berpakaian serba hitam yang tak jauh da-

rinya. Sejenak dia tak berucap seperti memikir-

kan kata. Di kejap lain dia berkata pada lelaki 

berkuncir kuda itu.

"Sangga Rantek! Aku tak pernah suka den-

gan kehadiran orang yang mengganggu kesenan-

ganku! Apakah kau punya pikiran yang sama?!" 

aju si perempuan sambil melirik pada Kiai Alas 

Ireng yang sedang lipat kedua tangan di depan 

dada.

Orang berpakaian hitam yang di kedua 

pergelangan tangannya terdapat gelang-gelang 

duri ini, tak menjawab. Pandangannya tetap ditu-

jukan pada lelaki berjubah hitam.

Diam-diam orang yang memang Sangga 

Rantek adanya ini membatin, "Tadi... salah seo-

rang si Kembar Parang Maut mendesiskan nama 

siapa orang yang baru datang ini. Kiai Alas Ireng. 

Hemm... rasa-rasanya, aku pernah mendengar 

nama manusia ini. Seorang tokoh yang kepan-

daiannya tak bisa dipandang sebelah mata. Aku 

belum dapat memutuskan tindakan apa yang ku-

lakukan, kendati kehadirannya memang cukup 

mengejutkan."

Berpikir demikian Sangga Rantek berkata. 

"Iblis Rambut Emas! Sesungguhnya aku juga 

punya pikiran yang sama. Tapi, kita belum tahu 

apa maksud orang!"

"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" tanya 

perempuan berpakaian dan berkerudung merah.

"Kita menunggu apa yang hendak dilaku-

kannya!"

Sudah tentu Kiai Alas Ireng langsung ter-

bahak-bahak. Tawa yang diperdengarkannya be-

gitu menyentak gendang telinga. Sementara 

keempat orang itu segera alirkan tenaga dalam

masing-masing ke telinga, sosok gadis jelita ber-

pakaian biru muda yang tergeletak di atas tanah 

berumput tersentak. Keluhannya terdengar. Gadis 

berkepang dua itu dalam keadaan tertotok. Dan 

sudah tentu dia tak dapat alirkan tenaga dalam 

pada gendang telinganya.

Seiring tawa Kiai Alas Ireng yang belum pu-

tus juga, si gadis yang tak lain Gadis Kayangan 

adanya, terbeliak-beliak dengan keluhan berulang 

kali. Tiga tarikan napas berikutnya, dia sudah ja-

tuh pingsan karena tak kuasa menahan gelom-

bang tawa yang menyakitkan itu.

Sebelum kehadiran Kiai Alas Ireng di tem-

pat ini, si Kembar Parang Maut berhasil menculik 

Gadis Kayangan. Bermula masing-masing orang 

melihat dua sosok tubuh yang berkelebat. Agung 

Gaganda memutuskan untuk mengejar kedua 

orang itu. Dia berhasil meyakinkan diri kalau 

orang yang dikejar adalah orang yang memang 

mereka cari.

Pertarungan antara Agung Gaganda den-

gan Pendekar Slebor pun terjadi, hingga muncul-

nya Iblis Kelabang. Agung Gaganda yang tahu ke-

saktian Iblis Kelabang tak mau bertindak gega-

bah. Dia langsung meninggalkan tempat itu.

Pada saat yang hampir bersamaan adik 

kembarnya, Alung Gaganda, hendak memperma-

lukan Gadis Kayangan. Namun munculnya Agung 

Gaganda yang yakin kalau gadis itulah yang dili-

hatnya bersama dengan Pendekar Slebor, keingi-

nan Alung Gaganda putus. Dengan maksud men-

jadikan Gadis Kayangan sebagai sandera, kedua

nya menjauh hingga bertemu dengan Sangga 

Rantek dan Iblis Rambut Emas.

Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas 

yang juga telah mendengar tentang Rahasia Sebe-

las Jari dan mengetahui siapa adanya si gadis, 

bermaksud untuk merebutnya dari tangan si 

Kembar Parang Maut. Dan tatkala pertarungan 

berjalan seru, muncullah Kiai Alas Ireng (Baca: 

"Rahasia Sebelas Jari").

Tawa Kiai Alas Ireng terputus. Menyusul 

seraya maju dua tindak ke muka, lelaki yang te-

lah memerintahkan Iblis Kelabang untuk mencari 

tahu tentang Rahasia Sebelas Jari sekaligus 

membunuh Pendekar Slebor, berkata, "Ucapan 

yang kudengar sungguh sangat membuatku lebih 

bergairah. Tetapi, juga sangat mengejutkan. Tak 

ada yang kuinginkan selain, gadis itu!"

Sangga Rantek yang juga menginginkan 

Gadis Kayangan berkata, suaranya masih dibuat 

wajar, "Rupanya, semua yang hadir di sini me-

mang menginginkan gadis itu. Dan tentunya, ini 

berhubungan dengan Pendekar Slebor. Bila boleh 

tahu, ada urusan apa kau dengan Pendekar Sle-

bor."

"Bicaramu seakan telah memperlihatkan 

apa yang kau inginkan. Tapi, aku pun tak mau 

menutup diri, karena kupikir kita semua ten-

tunya telah mendengar berita tentang Rahasia 

Sebelas Jari, bukan? Dan tentunya ini berhubun-

gan dengan Rantai Naga Siluman. Bila memang 

masih mencoba untuk menutup diri, kupikir tak 

akan ada gunanya."

"Tepat dugaanku, kalau dia menginginkan 

Rantai Naga Siluman. Dan tentunya dia tahu ten-

tang gadis ini yang ada hubungannya dengan 

Pendekar Slebor. Hemmm, sebaiknya kugali 

keuntungan di sini."

Habis memikir demikian, Sangga Rantek 

berkata, "Kalau begitu, semua yang berada di sini 

memang memiliki tujuan yang sama! Dengan kata 

lain, berakhir untuk membunuh Pendekar Slebor! 

Bagaimana bila kutawarkan satu pertimbangan 

lain?" 

Kiai Alas Ireng menyeringai lebar.

"Apa yang hendak kau tawarkan?"

"Bagaimana bila kita bergabung untuk 

membunuh Pendekar Slebor?"

Kembali terdengar tawa Kiai Alas Ireng 

yang sangat keras. Di sela-sela tawanya dia beru-

cap, "Biasanya, orang yang mengajak bergabung 

tentunya mencoba mengeruk keuntungan pribadi! 

Bila kau mau mengatakan apa yang bisa kau da-

patkan dari tawaranmu sendiri, mungkin aku bi-

sa mempertimbangkannya."

Memerah wajah Sangga Rantek mendengar 

ejekan orang. Sesaat lelaki berpakaian serba hi-

tam ini terdiam. Sepasang pelipisnya nampak 

bergerak-gerak tanda dia tak mampu sembunyi-

kan lagi amarahnya.

Sementara itu, Iblis Rambut Emas mengge-

ram.

"Jahanam! Ucapannya bukan hanya me-

nyentil Sangga Rantek, tetapi aku juga merasa 

dihujam sembilu! Cukup mengherankan sebenar

nya, mengapa Sangga Rantek menawarkan hal 

seperti itu? Apakah dia telah mengetahui siapa 

adanya orang hingga nampak berlaku bodoh?"

Tak sanggup menindih geramnya, Iblis 

Rambut Emas berkata dingin, "Keuntungan yang 

akan didapat tak perlu dipercakapkan di sini! Bila 

memang kau tak menyetujui tawaran itu, silakan 

menyingkir!"

Kiai Alas Ireng menggeleng-gelengkan kepa-

la.

"Perempuan berambut emas! Apakah kau 

juga akan mendapatkan keuntungan pribadi dari 

yang ditawarkan temanmu itu? Bila memang de-

mikian adanya, mengapa harus menutup diri?!"

Semakin geram Iblis Rambut Emas men-

dengar ucapan orang. Karena sudah tak kuasa 

menindih geramnya lagi, dia berucap, "Tak ada 

keuntungan yang dapat dipetik sebelum membu-

nuhmu!!"

Habis ucapannya, perempuan berkerudung 

merah yang sudah dilanda marah, siap menerjang 

ke depan. Tapi, Sangga Rantek menahan.

Serentak Iblis Rambut Emas beliakkan ma-

tanya pada Sangga Rantek.

"Jangan gegabah. Kau belum tahu siapa 

dia," bisik Sangga Rantek yang tak mau mencari 

masalah dengan teman seperjalanannya yang se-

sungguhnya pernah menginginkan nyawanya ini.

Melihat apa yang dilakukan Sangga Ran-

tek, Kiai Alas Ireng tertawa lebar.

"Mengapa harus kau tahan gerakan pe-

rempuan itu, hah?! Kupikir, tak ada salahnya bila

dia hendak melemaskan otot!!"

Sementara makin bergolak amarah yang 

ada di dada Iblis Rambut Emas, Sangga Rantek 

berkata, "Apa yang dikatakan temanku ini, bu-

kanlah satu urusan yang menarik! Bila kau hen-

dak laksanakan maksud, silakan bawa gadis itu!"

Sambil tertawa Kiai Alas Ireng melangkah 

mendekati sosok Gadis Kayangan yang pingsan. 

Dengan sekali hentakkan kaki kanannya, sosok 

Gadis Kayangan terlontar ke atas. Dengan sigap 

disambut dan dipanggulnya.

"Bagus bila kau mengerti gelagat! Dan se-

belum aku berlalu, kuperingatkan pada kalian 

semua yang berada di sini! Jangan coba-coba ikut 

campur dalam urusan yang kulakukan! Terutama 

untuk mengetahui tentang Rahasia Sebelas Jari! 

Bila saja kulihat ada yang tidak mengindahkan 

ucapanku, jangan harapkan dia akan lolos dari 

maut yang akan kuturunkan!"

Habis ucapannya, sambil tertawa-tawa, 

Kiai Alas Ireng melangkah ke arah timur. Sosok 

Gadis Kayangan tetap berada di pundaknya.

Sepeninggal Kiai Alas Ireng, Iblis Rambut 

Emas langsung buka mulut, "Sangga Rantek! Aku 

tak paham apa yang barusan kau lakukan?! Kau 

bukan hanya telah merendahkan harga dirimu 

sendiri, tetapi juga seperti telah menjilat telapak 

kaki orang itu!"

Menggeram Sangga Rantek dengan pan-

dangan melotot.

"Kau yang berlaku bodoh! Mungkin kau 

memang belum tahu siapa adanya orang! Tetapi

perlu kukatakan, kalau kau hanya akan sanggup 

menandinginya tiga gebrakan!!"

"Setan! Jangan merendahkanku!" mera-

dang Iblis Rambut Emas mendengar ucapan yang 

melecehkannya. Sangga Rantek mendengus.

"Seharusnya kau berterima kasih! Karena 

secara tidak langsung kau telah kutolong dari 

kematian!"

"Huh! Boleh kau berucap seperti itu! Tetapi 

suatu saat, kau akan melihat kalau lelaki keparat 

itu tak lebih dari cacing busuk belaka di tangan-

ku!!" geram Iblis Rambut Emas. Lalu terlihat mu-

lutnya berkemak-kemik tapi tak ada suara yang 

keluar.

Sangga Rantek tak peduli omongan Iblis 

Rambut Emas. Tatkala ditangkapnya dua sosok 

tubuh berkelebat menjauh, segera dipalingkan 

kepala.

Rupanya, si Kembar Parang Maut yang se-

jak kehadiran Kiai Alas Ireng tak membuka mu-

lut, memutuskan untuk berlalu dari sana. Kedua 

orang ini memang telah tahu kehebatan Kiai Alas 

Ireng. Karena lima tahun yang lalu, mereka di-

buat porak poranda oleh lelaki berjubah hitam 

itu. Dan ketimbang mati konyol, mereka merasa 

lebih baik tak buka ucapan.

Sangga Rantek tak lakukan tindakan apa-

apa untuk menahan kepergian dua lelaki berpa-

kaian abu-abu. Karena sebenarnya yang dituju 

hanyalah Gadis Kayangan. Tetapi sekarang Gadis 

Kayangan telah dibawa oleh Kiai Alas Ireng.

Sesungguhnya, Sangga Rantek juga tak

dapat menahan diri melihat sikap dan tindakan 

melecehkan dari Kiai Alas Ireng. Namun dia ma-

sih berpikir jernih. Karena bila dia memutuskan 

untuk bertarung, tak mustahil nyawanya akan 

putus.

Sangga Rantek lebih memikirkan jalan lain 

untuk keluar dari perangkap yang akan diturun-

kan Kiai Alas Ireng. Dan dia tak ingin membuang 

tenaga sia-sia. Kalaupun sebelumnya harus ben-

trok dengan si Kembar Parang Maut untuk mem-

perebutkan Gadis Kayangan, karena dia yakin 

dapat mengalahkan mereka.

Tetapi menghadapi Kiai Alas Ireng yang 

pernah didengar kesaktiannya, sudah tentu dia 

akan berpikir dua kali. Kendati demikian, hatinya 

pun tak kalah gusarnya. Dia berjanji, dengan cara 

apa pun, kelak dia akan membalas sekaligus 

mengalahkan Kiai Alas Ireng.

Untuk saat ini lebih baik mengalah. Karena 

Pendekar Slebor-lah yang dituju, kendati bila dia 

berhasil menyandera Gadis Kayangan, maka selu-

ruh yang diinginkannya akan dicapai dengan mu-

dah. Tetapi bila dia bersikeras untuk menahan 

keinginan Kiai Alas Ireng semuanya akan beran-

takan.

Ancaman yang dikeluarkan Kiai Alas Ireng 

memang sempat bikin nyalinya ciut. Namun itu 

hanya sekejap. Karena dia akan tetap mencari 

Pendekar Slebor, selain membunuhnya juga un-

tuk mengetahui tentang isi Rahasia Sebelas Jari. 

Rantai Naga Siluman, adalah yang menjadi tujuan 

terakhir.

Selagi dia terdiam begitu, Iblis Rambut 

Emas yang masih tak menyukai tindakan Sangga 

Rantek berkata gusar, "Kenapa kau diam, hah?! 

Apakah setelah mendapat ancaman dari Kiai Alas 

Ireng lantas kau memutuskan semua maksud?"

Sangga Rantek segera palingkan kepala.

"Jahanam sial! Perempuan ini benar-benar 

minta dihajar! Sungguh aku tak mengerti, men-

gapa aku bisa tetap bersama-sama dengan pe-

rempuan celaka ini! Semua bermula karena aku 

tertarik untuk bergabung dengannya, guna men-

dapatkan potongan pedang perak yang berada di 

tangan Pendekar Slebor. Huh! Sepeninggalku dari 

Pulau Hitam pun aku masih tetap bersama-sama 

perempuan kapiran ini!" katanya dalam hati lalu 

berucap

"Jangan melecehkanku! Aku pun tak akan 

mundur menghadapi Kiai Alas Ireng! Menghadapi 

siapa pun juga yang menghalangi seluruh renca-

naku!"

"Tetapi kau telah berlaku seperti kelinci 

terperangkap lima ekor serigala!" Iblis Rambut 

Emas memaki lagi. Perempuan berkerudung me-

rah ini masih tidak puas melihat sikap Sangga 

Rantek.

Sangga Rantek kertakkan rahangnya.

"Dengar aku sekarang! Yang diinginkannya 

hanyalah Gadis Kayangan! Bila kita menghalangi, 

maka kita bukan hanya akan mampus hari ini, 

tapi gagal mendapatkan apa yang kita inginkan! 

Kau pikir, aku akan mundur setelah ancaman 

Kiai Alas Ireng? Huh! Kau akan melihatnya kelak,

kalau lelaki itu tak lain hanya seseorang yang 

menang lebih dulu dan kalah dengan siksaan 

yang cukup pedih!"

Habis ucapannya, Sangga Rantek segera 

berkelebat ke arah yang dilalui Kiai Alas Ireng. 

Dia masih geram akan sikap Iblis Rambut Emas.

Sementara itu, Iblis Rambut Emas masih 

tegak di tempatnya. Hati perempuan ini tidak te-

rima mendengar ucapan Sangga Rantek. Karena 

dengan kata lain, Sangga Rantek telah mengecil-

kannya. Sepasang pelipisnya bergerak-gerak. Ke-

dua rahangnya mengembung seolah menyimpan 

amarah yang dalam.

Sambil hembuskan napas dengan cara me-

nyentak, dia mendesis, "Huh! Niatku tetap sama 

sejak semula! Selain membunuhmu, aku juga 

akan membunuh Pendekar Slebor! Tetapi, tena-

gamu masih dapat kupergunakan hingga sampai 

saat ini aku belum turunkan tangan! Dan satu 

saat, justru kau yang akan terkejut melihat apa 

yang akan kulakukan!"

Dengan dada masih dikobar amarah, pe-

rempuan berkerudung merah ini segera hempos 

tubuh. Kejap itu pula dia telah melesat menyusul 

Sangga Rantek.

***

3


Di hadapan bukit kapur yang menebarkan

bau menusuk hidung, Pendekar Slebor segera pa-

lingkan kepalanya ke kanan. Kejap itu pula nam-

pak pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Ku-

tukan ini surutkan langkah satu tindak ke bela-

kang. Kepalanya menegak dengan sepasang mata 

membuka lebih lebar. Mulutnya menganga lebar. 

(Awas tuh, Bor! Entar ada laler masuk lagi!).

Seolah ada kekuatan yang menariknya, 

kembali dipalingkan kepalanya ke depan. Dilihat-

nya bagaimana Setan Cambuk Api sedang mence-

car hebat Manusia Sepuluh Siluman.

Laksana tak tertarik dengan pertarungan 

dahsyat itu, Andika kembali palingkan pandan-

gannya ke kanan. Dia ucak-ucak kedua matanya 

seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. 

Namun biarpun diucak seribu kali, pemandangan 

yang ada di hadapannya tetap tak berubah!

"Monyet pitak! Apa yang telah terjadi?" de-

sisnya dengan kening kian dikernyitkan.

Seperti orang linglung, dia kembali mem-

perhatikan pertarungan Setan Cambuk Api yang 

makin ganas mencecar Manusia Sepuluh Silu-

man. Bahkan dari ujung lidah-lidah cambuknya, 

telah melesat bola-bola api sebesar kepalan tan-

gan orang dewasa. Si perempuan nampak begitu 

bersemangat. Tawanya berulang kali terdengar.

Manusia Sepuluh Siluman nampak terke-

jut bukan alang kepalang. Dia masih berusaha 

untuk hindari sergapan bola-bola api lawan. Na-

mun, dia nampaknya telah kehilangan banyak te-

naga. Hingga lak mampu lagi untuk menghindar.

Kejap itu pula tubuhnya terkepung koba

ran api dan terbakar hidup-hidup. Dari naungan 

api yang berkobar-kobar, terdengar jeritan yang 

sangat menyayat.

Terbahak-bahak Selan Cambuk Api melihat 

hasil perbuatannya. Perempuan tua ini seolah 

hendak perlihatkan keberhasilannya pada selu-

ruh dunia.

"Itulah akibatnya bila berani menantang 

Setan Cambuk Api!" desisnya keras.

Namun lain halnya dengan Andika. Anak 

muda tampan itu masih terbengong-bengong den-

gan kedua mata melotot. Berulang kali pandan-

gannya diarahkan pada sosok Setan Cambuk Api 

yang sedang tertawa, dan orang yang berdiri ber-

jarak lima langkah di kanannya. Makin dilaku-

kan, semakin bingung anak muda ini.

Bagaimana tidak, karena dia melihat ba-

gaimana Setan Cambuk Api sedang mencecar he-

bat Manusia Sepuluh Siluman yang akhirnya ter-

bakar oleh bola-bola apinya.

Akan tetapi orang yang tadi menyapa dan 

berdiri berjarak lima langkah di samping kanan-

nya, adalah sosok Manusia Sepuluh Siluman!

"Monyet pitak! Bagaimana ini bisa terjadi?! 

Bagaimana mungkin mendadak saja Manusia Se-

puluh Siluman menjadi dua orang? Kutu landak! 

Jangan-jangan dia kembar? Yang menghadapi Se-

tan Cambuk Api adalah saudara kembarnya, se-

mentara di saat aku terpaku memperhatikan per-

tarungan itu, yang lainnya muncul! Busyet! Ma-

kin kapiran saja urusan!" maki anak muda ura-

kan ini dengan hati diliputi tanya. Keningnya berkerut saat pandangi Manusia Sepuluh Siluman 

yang berdiri di samping kanannya.

Pemuda yang tadi menggeram dingin pa-

danya, berkata lagi. "Perempuan tua celaka itu te-

lah mendapatkan apa yang diinginkannya! Biar 

dia terpaku pada rasa puas yang melandanya! Ki-

ni, katakan tentang isi Rahasia Sebelas Jari pa-

daku!"

Andika yang masih keheranan melihat ke-

jadian di hadapannya, terdiam sesaat.

"Aneh! Ini benar-benar aneh! Kalau me-

mang yang sudah menjadi mayat itu adalah sau-

dara kembarnya, mengapa dia masih mengurusi 

soal Rahasia Sebelas Jari? Mengapa tak ada tan-

da-tanda kegusaran untuk membalas kematian-

nya? Aneh! Apa yang sebenarnya terjadi?"

Karena Pendekar Slebor tak buka mulut, 

Manusia Sepuluh Siluman menggeram lagi.

"Waktumu tidak lama, Pendekar Slebor! 

Katakan cepat sebelum nyawamu kucabut!"

Entah mengapa Andika merasa tidak enak 

sekarang. Dia berusaha untuk mencari jalan ke-

luar dari dua sosok Manusia Sepuluh Siluman 

yang dilihatnya.

Lalu sambil garuk-garuk kepalanya yang 

tidak gatal, dia berkata, "Heran! Kok tahu-tahu 

kau ada dua sih? Kau bersaudara kembar ya?"

Bukan sahuti ucapan orang, Manusia Se-

puluh Siluman kertakkan rahangnya. Tinju ka-

nan kirinya mengeras.

"Sekali lagi kuminta, katakan tentang Ra-

hasia Sebelas Jari!!"

Andika masih memperhatikan sosok di ha-

dapannya. Diam-diam diliriknya Setan Cambuk 

Api yang masih menyeringai puas. Dan yang 

mengherankan anak muda ini, karena Setan 

Cambuk Api seolah tak menyadari pemuda ber-

pakaian biru gelap yang sedang merangsek dingin 

padanya.

"Kalau boleh dibilang menakjubkan, ini le-

bih dari sekadar menakjubkan. Nenek berpakaian 

batik kusam itu nampaknya telah puas dengan 

hasil yang dia capai. Entah apa yang ada dipiki-

rannya. Tapi yang mengherankan, mengapa dia 

seolah tak me... oh!"

Memutus kata batinnya sendiri, anak mu-

da urakan ini terdiam dengan kening makin di-

kernyitkan. Wajahnya nampak begitu serius seka-

li.

Di seberang, Manusia Sepuluh Siluman 

menggeram dingin.

"Jahanam betul! Pemuda itu tetap tak mau 

mengatakan tentang isi Rahasia Sebelas Jari! Bila 

menuruti kata hatiku, sudah tak sabar rasanya 

ingin membunuhnya! Tapi, bila kulakukan seran-

gan, Setan Cambuk Api tentunya sadar kalau 

yang diserangnya tadi bukanlah aku, melainkan 

pandangan sekilas dari ilmu Siluman yang ku-

perlihatkan. Keparat busuk! Aku tak mau me-

nunggu terlalu lama. Bila Pendekar Slebor tak 

mau mengatakannya juga, terpaksa harus kuse-

rang dia. Sementara Setan Cambuk Api akan 

kuurus dengan ilmu 'Pati Raga Ganyang Jiwa'."

Memutuskan demikian, pemuda sombong

ini maju dua tindak ke muka. Bersamaan dia me-

langkah, Andika mengangkat kepalanya.

Anak muda urakan ini tak hiraukan tata-

pan dingin dari sepasang mata milik Manusia Se-

puluh Siluman. Diam-diam dia berkata dalam ha-

ti,

"Menilik sikap Setan Cambuk Api, dia bu-

kan hanya tidak menyadari atau berpikir kalau 

orang yang diserangnya bukanlah Manusia Sepu-

luh Siluman. Bahkan dia juga tidak melihat so-

soknya yang berhadapan denganku. Bila memang 

Manusia Sepuluh Siluman bersaudara kembar, 

rasanya tak mungkin dia masih melibatkan diri 

dalam urusan Rahasia Sebelas Jari. Tentunya dia 

akan meradang gusar untuk membalas kematian 

saudara kembarnya. Kalau begitu... berarti...." 

Andika memutus kala batinnya saat terdengar 

suara geraman di hadapannya. Sambil pandangi 

Manusia Sepuluh Siluman yang kian terbawa ra-

dang amarah, dia meneruskan kata batinnya, 

"Kesimpulanku jelas sekarang, kalau pemuda itu 

memiliki ilmu bangsa Siluman...."

Manusia Sepuluh Siluman rupanya sudah 

tak dapat kuasai amarahnya.

Dia segera membentak gusar, "Waktu yang 

kutetapkan telah habis! Berarti kematian akan 

kau terima, Pendekar Slebor!!" 

Habis bentakannya, pemuda yang tak bo-

leh sedikit pun tersinggung ini sudah mencelat ke 

depan disertai teriakan mengguntur.

Andika sendiri segera palangkan kedua 

tangannya di atas kepala.

Buk! Buk!!

Benturan keras terjadi. Sosok anak muda 

urakan ini tergontai-gontai ke belakang. Di sebe-

rang, Manusia Sepuluh Siluman mundur dengan 

sepasang mata terbeliak.

"Gila! Aku seperti menghantam baja yang 

sangat kuat! Peduli setan! Lebih baik pemuda itu 

kubunuh, hingga semua urusan tuntas! Berarti, 

tak ada yang akan mengetahui apa isi dari Raha-

sia Sebelas Jari dan tak akan ada yang berhasil 

mendapatkan Rantai Naga Siluman!"

Setelah kerahkan separo tenaga dalamnya, 

Manusia Sepuluh Siluman menggebrak lagi. Dua 

hamparan angin melingkar menyapu ke arah kaki 

Pendekar Slebor.

Sementara itu, Setan Cambuk Api yang 

langsung palingkan kepala tatkala Manusia Sepu-

luh Siluman lancarkan serangan pada Pendekar 

Slebor terkesiap. Tanpa sadar dia surut dua tin-

dak ke belakang disertai pekikan kecil, 

"Oh!"

Kejap itu pula sepasang matanya dipen-

tangkan, diucak-ucak dan dibuka lebih lebar lagi. 

Dari rasa terkejutnya, lamat-lamat dia mengge-

ram dingin.

"Jahanam keparat! Apa yang lelah kulaku-

kan tadi?! Siapa orang yang kuserang?! Bagaima-

na mungkin pemuda sombong itu masih dalam 

keadaan segar bugar?! Terkutuk! Terkutuk! Pa-

dahal aku telah kehilangan separo tenaga dalam-

ku! Jahanam! Lebih baik kuperhatikan dulu per-

tarungan keduanya sebelum kuurus masing

masing orang!!"

Memutuskan demikian, perempuan tua 

berpakaian batik kusam ini agak mundur lima 

langkah ke belakang. Hatinya masih direjam 

tanya sekaligus kemarahan yang semakin naik. 

Disadarinya betul kalau dia telah ditipu orang.

Dalam keadaan masih heran dan meradang 

itu, mendadak saja Setan Cambuk Api tersentak, 

tatkala merasakan satu gelombang angin mende-

ru ke arahnya.

Segera dia buang tubuh untuk hindari ter-

jangan maut. Namun gelombang angin melingkar 

telah menggebrak kembali. Kali ini sangat sempit 

waktu yang dimilikinya untuk hindari gebrakan 

gelombang angin melingkar itu.

Makanya dia segera gerakkan tangan ka-

nannya yang memegang cambuk berlidah tiga. 

Dalam keadaan murka, Setan Cambuk Api eelah 

keluarkan ilmu yang membuat lidah-lidah cam-

buknya lontarkan bola-bola api yang keluar suara 

mengerikan.

Orang yang tadi lancarkan serangan bu-

kannya menghindar, justru terus mencelat maju.

Sekali lihat, Setan Cambuk Api dapat 

meyakini kalau orang itu seketika akan mampus 

terbakar. Namun....

Astaga! Sosok orang berpakaian biru gelap 

itu terus mencelat ke arahnya sementara bola-

bola api yang dilepaskannya nyeplos begitu saja!

"Gila! Apa yang terjadi?!" geramnya makin 

kebingungan.

Karena, sosok orang yang menyerangnya

tak lain adalah Manusia Sepuluh Siluman. Se-

mentara orang yang saat ini membuat Pendekar 

Slebor kalang kabut, juga Manusia Sepuluh Silu-

man!

Seperti yang telah direncanakannya, Ma-

nusia Sepuluh Siluman memang tak mau mem-

buang waktu lagi. Kegeramannya makin menjadi-

jadi, terutama terhadap Pendekar Slebor yang te-

tap tak mau membuka mulut. Dia telah perguna-

kan ilmu 'Pati Raga Ganyang Jiwa' yang membuat 

sosoknya dapat menjelma menjadi dua orang dan 

masing-masing memiliki kekuatan yang sama. 

Lain halnya dengan ilmu yang pernah diperli-

hatkannya saat bertarung dengan Kiai Alas Ireng.

Saat itu, Manusia Sepuluh Siluman telah 

pergunakan salah satu ilmu Siluman yang dimili-

kinya, 'Balik Mata Timbul Asap', ilmu yang juga 

membuat sosoknya menjadi dua, namun tak da-

pat lakukan serangan. Ilmu ini lebih banyak dite-

kankan untuk mengelabui pandangan lawan dan 

menguras tenaga lawan.

Di lain pihak Pendekar Slebor sendiri men-

cang-mencongkan mulutnya dengan kejengkelan 

yang kian menggunung. Di samping itu, pemuda 

yang di lehernya melilit kain bercorak catur ini 

juga masih mencemaskan keadaan Gadis Kayan-

gan yang hingga sekarang belum diketahui, di 

mana murid mendiang Pemimpin Agung itu bera-

da.

Karena rasa tak tenang itulah dia mencoba 

untuk meninggalkan pertarungan. Tetapi sudah 

tentu hal itu tidak mudah dilakukannya. Karena

Manusia Sepuluh Siluman yang semakin mera-

dang tak mau membuang kesempatan lagi.

Hatinya lelah geram. Pertama, dia hampir 

saja dikelabui orang yang dicarinya. Kedua, orang 

itu tak mau buka mulut untuk katakan tentang 

isi Rahasia Sebelas Jari.

Makanya, serangan demi serangan yang di-

lancarkannya bertambah ganas. Andika sendiri 

telah keluarkan ajian 'Guntur Selaksa' hingga tu-

buhnya saat ini dilingkupi pernik perak.

Namun yang mengejutkannya, karena ajian 

'Guntur Selaksa' yang dipergunakannya tak 

membawa hasil yang diharapkan. Bahkan dengan 

mudahnya berulang kali dapat dipatahkan Manu-

sia Sepuluh Siluman yang kian ganas menyerang.

"Monyet pitak! Kura-kura burik! Bagaima-

na ini bisa terjadi?" desis Andika sambil perguna-

kan ilmu peringan tubuhnya untuk hindari ser-

gapan serangan lawan. "Tadi saat menghadapi Se-

tan Cambuk Api dia seperti kehilangan bentuk se-

rangannya, bahkan berkali-kali dapat dikalahkan. 

Bahkan dia harus pergunakan ilmunya yang en-

tah apa namanya untuk menghadapi Setan Cam-

buk Api. Tapi sekarang, kekuatannya seolah ber-

lipat ganda. Busyet! Dia seperti memiliki satu ke-

senangan tersendiri mempermainkan lawan-

lawannya sebelum dia bunuh! Landak buduk! Dia 

seperti memiliki dua kepribadian!"

Sementara Pendekar Slebor dibuat tung-

gang langgang dengan aliran darah yang bertam-

bah kacau, Setan Cambuk Api harus berulangkali 

perdengarkan pekikannya. Karena sosok Manusia

Sepuluh Siluman yang menghadapinya, lain den-

gan yang pertama tadi terjadi.

Manusia Sepuluh Siluman yang ini benar-

benar memiliki keanehan yang luar biasa. Setiap 

kali Setan Cambuk Api lancarkan serangan, sosok 

Manusia Sepuluh Siluman terus menggebrak ga-

nas dan setiap kali itu pula serangan Setan Cam-

buk Api nyeplos bila mengenai sosoknya.

Keadaan ini bukan hanya membuat si ne-

nek menjadi kaget, tapi juga kalang kabut. Buti-

ran keringat telah hiasi rangkaian kulit keriput-

nya. Wajahnya pucat dan sesekali terdengar peki-

kannya yang keras.

Bahkan satu ketika, kedua kakinya tersa-

pu gelombang angin melingkar yang dilepaskan 

Manusia Sepuluh Siluman. Kontan tubuh si ne-

nek terbanting keras. Belum lagi dia berdiri, ber-

samaan suara angin dan dengungan ribuan ta-

won murka dari sebelah kanan, serangan berikut 

yang dilancarkan orang yang telah menghantam 

jatuh dirinya, telah menggebrak kembali.

Laksana tanpa darah wajah Setan Cambuk 

Api. Kedua bola matanya membesar dipenuhi ki-

latan ketakutan.

Namun sebelum maut menerpanya, men-

dadak saja satu sosok tubuh berpakaian hijau 

pupus telah menyambarnya. Dengan pencalan 

kaki kanan sosok yang tak lain Pendekar Slebor 

adanya ini, sudah mencelat meninggalkan tempat 

itu.

Manusia Sepuluh Siluman yang menyerang 

Pendekar Slebor menggeram gusar. Dia tak menyangka kalau pemuda itu lelah loloskan lilitan 

kain bercorak catur pada lehernya, yang langsung 

digerakkan dan serta-merta menderu gelombang 

angin dahsyat yang menyeret tanah dan rangga-

san semak belukar!

Di saat Manusia Sepuluh Siluman meng-

hindar sambil perdengarkan geramannya, Pende-

kar Slebor yang melihat bahaya sedang mengan-

cam Selan Cambuk Api, segera melompat untuk 

selamatkan si nenek yang sebenarnya mengingin-

kan nyawanya

Sementara itu, serangan yang dilancarkan 

oleh Manusia Sepuluh Siluman yang menyerang 

Setan Cambuk Api, menghantam tanah di mana 

tadi sosok si nenek ambruk. Kontan tanah itu 

muncrat ke udara dan membentuk lubang yang 

cukup besar.

Sosok Manusia Sepuluh Siluman ini tak 

lakukan tindakan apa-apa. Malah sosoknya tegak 

dengan kepala terangkat.

Lain halnya dengan sosok Manusia Sepu-

luh Siluman yang menyerang Pendekar Slebor ta-

di. Parasnya jelas tak kuasa sembunyikan kema-

rahan yang makin membludak.

"Jahanam! Ke mana pun kau pergi, kau tak 

akan lepas dari tanganku, Pendekar Slebor!"

Habis menggeram demikian, mendadak sa-

ja pemuda sombong ini mengarahkan pandan-

gannya pada sosok Manusia Sepuluh Siluman 

yang masih tegak berdiri.

Dan mendadak saja keanehan terjadi, ka-

rena sosok Manusia Sepuluh Siluman yang ditatapnya, lenyap tanpa bekas.

Setelah tarik napas pendek, Manusia Sepu-

luh Siluman keluarkan desisan, "Kau telah ber-

tindak bodoh di hadapanku, Pendekar Slebor! 

Kau tetap akan kubunuh! Peduli setan kau akan 

mengatakan atau tidak tentang Rahasia Sebelas 

Jari!! Kau akan mampus di tanganku! Kau akan 

mampus, Pendekar Slebor!!"

Masih meneriakkan keinginan untuk mem-

bunuh Pendekar Slebor, Manusia Sepuluh Silu-

man gerakkan bahu kanan kirinya. Mendadak so-

soknya berkelebat, ke arah perginya Pendekar 

Slebor yang membawa sosok Setan Cambuk Api!

Lima kejapan mata berikutnya, nampak sa-

tu sosok tubuh keluar dari balik batu kapur besar 

yang terdapat di bukit kapur. Orang yang baru 

keluar ini memiliki postur tubuh yang tinggi. Tak 

mengenakan pakaian hingga menampakkan ton-

jolan otot-ototnya. Paras wajahnya yang dihuni 

oleh anggota wajah serba besar ini nampak kaku. 

Dari wujudnya yang menyeramkan itu, ada se-

suatu yang sangat menarik perhatian. Orang 

tinggi besar itu berkulit hijau dari atas hingga 

bawah!

Untuk sesaat orang tinggi besar berkulit hi-

jau ini tak buka mulut. Sorot matanya tetap ka-

ku, sekaku parasnya. Kejap kemudian terlihat dia 

angguk-anggukkan kepala.

"Pendekar Slebor.... Berarti, pemuda yang 

kujumpai waktu itu adalah orang yang kucari. Te-

tapi, mengapa dia tak mau mengatakan yang se-

sungguhnya? Mengapa harus berdusta kepada

ku?"

Orang berkulit hijau ini sejenak terdiam. 

Tak ada perubahan apa pun di wajahnya kendati 

saat itu dia seperti tengah mendapatkan apa yang 

dicarinya.

"Apakah Pendekar Slebor menganggapku 

sebagai salah seorang yang ingin tahu tentang 

Rahasia Sebelas Jari? Hemm, mungkin karena 

itulah dia berdusta padaku. Tapi itu bukan masa-

lah yang besar bagiku. Biar bagaimanapun juga, 

aku harus menemuinya. Aku harus menceritakan 

tentang Rantai Naga Siluman. Dan nampaknya 

tak perlu kuceritakan padanya, kalau banyak 

orang-orang yang memburunya untuk mengeta-

hui Rahasia Sebelas Jari yang jelas sasarannya 

adalah, Rantai Naga Siluman."

Kembali orang tinggi besar berkulit hijau 

ini terdiam. Parasnya tetap kaku. Kejap berikut-

nya, tanpa buka mulut lagi, orang yang tak lain 

Kala Ijo ini sudah melangkah. Dan setiap kali dia 

melangkah, tanah seakan bergetar!

***

4


Bayangan yang berkelebat menembus ma-

lam yang datang itu sangat cepat sekali. Dan sa-

mar-samar terlihat kalau di pundak orang yang 

berkelebat itu nampak satu sosok tubuh yang 

terkulai, laksana orang tak berdaya.

Namun sebenarnya tidak. Karena sosok 

tubuh yang berada dalam bopongan orang yang 

berkelebat itu sebenarnya segar bugar, bahkan 

dapat menghajar orang yang membopongnya. 

Namun orang yang membopongnya telah menotok 

urat kaku dan urat suaranya, hingga dia bukan 

hanya tak dapat gerakkan anggota tubuh, tetapi 

juga tak mampu keluarkan suara.

Kendati demikian, dia dapat memaki-maki 

dalam hati.

"Jahanam sial! Terkutuk! Tak akan pernah 

aku berterima kasih meskipun dia telah menye-

lamatkanku!"

Orang yang berkelebat itu hentikan keleba-

tannya di sebuah persimpangan. Sejenak orang 

yang bukan lain Pendekar Slebor ini memandang 

ke sekelilingnya, seolah menentukan ke arah ma-

na yang harus dituju.

"Kadal buntung! Urusan yang kuhadapi ini 

makin membentang saja! Rahasia Sebelas Jari be-

lum berhasil kupecahkan, juga Gadis Kayangan 

belum dapat kuketemukan! Monyet pitak! Apa 

yang harus kulakukan sekarang?"

Diarahkan pandangannya ke depan. Nam-

pak kegelapan malam seakan sukar ditembus 

oleh pandangannya.

Anak muda urakan dari Lembah Kutukan 

ini membatin lagi, "Tak seharusnya kuselamatkan 

Setan Cambuk Api dari serangan ganas Manusia 

Sepuluh Siluman. Tetapi, aku tak ingin perem-

puan yang kutahu menginginkan nyawaku ini te-

was di hadapanku. Dan mengenai Manusia Sepuluh Siluman sendiri, cukup merepotkan sekaligus 

mengejutkan. Ilmu yang diperlihatkannya benar-

benar mengerikan. Aku yakin dia tak bersaudara 

kembar dan itu berarti, dia memiliki ilmu yang 

membuatnya dapat menjadi dua orang. Entah 

pengelabuan mata saja, atau memang ada, aku 

tidak dapat memastikan. Tetapi kulihat, dia me-

miliki dua kepribadian."

Sejenak anak muda ini hentikan kata ba-

tinnya. Angin malam berhembus dingin, mengge-

raikan rambutnya yang gondrong. Beberapa helai 

daun kering beterbangan.

"Sebaiknya, kutinggalkan saja Setan Cam-

buk Api di sini. Aku harus tetap mencari Gadis 

Kayangan."

Memutuskan demikian, Pendekar Slebor 

menurunkan sosok Setan Cambuk Api. Si nenek 

sesat ini pentangkan sepasang matanya lebih le-

bar. Kilatan amarah begitu penuh di matanya. Te-

tapi karena dia tak dapat gerakkan tubuh mau-

pun keluarkan suara, yang bisa dilakukan hanya 

telentang dengan mata melotot.

Andika cuma nyengir saja melihatnya. 

Sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal 

dia berkata, "Maaf nih. Nek! Terpaksa kau kuting-

galkan di sini! Bukannya jahat, tapi kan lama ke-

lamaan aku jadi kelelahan juga memikul tubuh-

mu yang berat! Heran! Kau ini kelihatan renta

dan aku yakin kurus kering! Tapi kok, bobot tu-

buhmu berat amat ya? Kebanyakan dosa tuh!"

Makin melotot Setan Cambuk Api menden-

gar kata-kata Pendekar Slebor. Mulutnya hanya

dapat keluarkan suara 'ah' dan 'uh' saja.

Andika yakin kalau ucapan yang hendak 

dikeluarkan Setan Cambuk Api adalah ucapan 

kemarahan. Tetapi dasar urakan, anak muda ini 

justru dekatkan telinganya dengan tangan kanan 

mengembang di belakang telinganya.

"Apa? Kau bilang apa? Kerasan dikit, dong? 

O... kau mengatakan terima kasih! Tidak usah, 

ah! Tidak perlu berterima kasih? Apa? Kau sung-

guh-sungguh? Ya, sudah kalau begitu! Kuterima 

deh terima kasihmu! Tapi maaf nih ya, aku tak 

bisa lama-lama berada di sini! Yuk, cabut dulu!"

Tanpa hiraukan perempuan tua berpa-

kaian batik kusam yang masih keluarkan suara 

'ah' dan 'uh', Pendekar Slebor sudah berlari me-

ninggalkan tempat itu. Dia akan tetap mencari 

Gadis Kayangan, sembari memecahkan Rahasia 

Sebelas Jari.

Sepeninggal Pendekar Slebor, Setan Cam-

buk Api yang masih belum dapat gerakkan tubuh 

maupun keluarkan ucapan, masih tergeletak di 

atas tanah berumput. Kegeraman perempuan tua 

ini semakin menjadi-jadi.

Tak ada sedikit pun rasa terima kasihnya 

pada Pendekar Slebor, kendati pemuda itu telah 

menyelamatkannya. Dia tetap akan membunuh 

pemuda urakan itu. Cepat atau lambat, dia tak 

peduli sama sekali.

"Terkutuk! Kau bukan hanya memperma-

lukanku dengan tindakanmu, Pendekar Slebor! 

Tetapi menghinaku habis-habisan! Tak akan per-

nah kubiarkan kau hidup lebih lama!!" geram perempuan sesat ini dalam hati.

Dia berusaha kerahkan tenaga dalamnya 

untuk lepaskan totokan yang dilakukan Pendekar 

Slebor. Namun tenaga dalamnya seolah mampet, 

kalaupun dia mampu kerahkan, hanya sedikit se-

kali yang keluar hingga dia tak mampu untuk 

membebaskan diri dari totokan yang dilakukan 

pemuda dari Lembah Kutukan itu.

"Keparat! Satu saat... satu saat kau akan 

mohon ampun di bawah kakiku, Pend... oh!!" ma-

kian dalam hati yang dilakukan Selan Cambuk 

Api terputus. Karena mendadak saja dia dapat ge-

rakkan tubuhnya. Bahkan suara 'oh' tadi, lepas 

keluar dari mulutnya.

Terburu-buru perempuan bersenjatakan 

cambuk berlidah tiga ini bangkit.

"Setan alas! Rupanya Pendekar Slebor sen-

gaja menotokku hanya untuk sementara! Sung-

guh satu totokan yang sangat hebat! Karena da-

pat diatur kapan terlepasnya! Jahanam terkutuk! 

Dia menghinaku! Dia menghinaku!!"

Lalu disambungnya dengan teriakan berta-

lu-talu yang membedah alam, "Kau harus mam-

pus di tanganku, Pendekar Slebor!! Kau harus 

mampus!!!"

Kejap berikutnya, perempuan berpakaian 

batik kusam ini sudah berkelebat meninggalkan 

tempat itu dengan sejuta dendam pada Pendekar 

Slebor.

***

Dua hari berlalu sudah.

Ketika Pendekar Slebor tiba di tepi sebuah 

sungai, sinar matahari telah tampakkan bias-

biasnya di ufuk timur. Suara riakan air sungai 

tak terlalu keras. Udara masih cukup dingin. Di 

depan sana, kabut masih menggumpal. Embun 

masih bergayut di daun-daun. Tempat di mana 

Pendekar Slebor berdiri sekarang, cukup banyak 

ditumbuhi ranggasan semak belukar.

Sejenak anak muda ini menatap aliran 

sungai yang jernih. Beberapa buah batu me-

nyembul keluar.

"Air terus mengalir hingga tiba ke laut. 

Bersatu dengan hunian seluruh air dari berbagai 

tempat. Nampaknya, kehidupan ini tak jauh ber-

beda dengan aliran air. Kehidupan terus melang-

kah dan melangkah, terus menjauh yang terka-

dang berada dalam kegembiraan namun tak 

urung berada dalam kesedihan. Dan kelak, bila 

kehidupan ini berakhir, maka orang akan ber-

kumpul di satu tempat...," desisnya dengan tata-

pan tak berkedip pada aliran air sungai.

Namun begitu kepalanya kejatuhan sehelai 

daun, mendadak saja anak muda ini menepuk ji-

datnya.

"Busyet! Apa aku ini memiliki bakat jadi 

seorang penyair? Hebat juga tuh! Sayangnya, tak 

ada yang mendengar sih?!" desisnya sambil nyen-

gir sendiri.

Kejap berikutnya, dia melangkah ke depan. 

Lalu berjongkok di depan sungai itu. Dibasuh 

mukanya yang terasa agak lengket. Lalu diminumnya air sungai itu.

Sambil mendesah dia berdiri kembali. 

"Sulit bagiku menentukan ke mana lang-

kah yang harus kutempuh. Gadis Kayangan tetap 

menjadi tujuanku. Aku harus mengetahui kea-

daannya. Apakah saat ini dia dalam keadaan se-

lamat atau justru sedang mengalami nasib sial? 

Kutu landak! Sebaiknya, kucoba untuk kembali 

memikirkan tentang Rahasia Sebelas Jari!"

Setelah pandangi sekelilingnya, pemuda 

pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini sege-

ra melangkah ke bawah sebuah pohon. Dia du-

duk bersandar sambil menikmati sinar lembut 

matahari yang baru beranjak naik.

Sejenak matanya memandang ke depan. 

Melihat gugusan gunung yang permai. Masih 

nampak kabut putih menaunginya, hingga mem-

buat gunung-gunung itu nampak semakin indah.

"Rahasia Sebelas Jari," desis Pendekar Sle-

bor sambil hela napas. "Sebuah rahasia yang 

menjelimet. Akan kucoba lagi untuk merangkai-

kannya. Eyang Mega Tantra hanya mengatakan 

ada sebelas jari di dalam jiwa, satu jari adalah ti-

tik kemuliaan. Bila kukaitkan dengan jari-jari tan-

gan dan kaki, nampaknya sangat sulit. Hem... ba-

gaimana bila kukaitkan kembali dengan manu-

sia? Dan salah seorang manusia itu memiliki dua 

kepribadian. Yang satu buruk dan yang satu lagi 

pribadi mulia. Kalau demikian, kata sebelas jari 

itu cuma samaran belaka. Samaran dari jumlah 

sepuluh orang dan satu orang memiliki kepribadian rangkap."

Anak muda urakan ini sejenak hentikan 

ucapan. Keningnya nampak berkerut tanda dia 

memikirkan lebih lanjut masalah Rahasia Sebelas 

Jari.

"Sebelum Gadis Kayangan berpisah den-

ganku, secara bercanda dia mengatakan tentang 

sepuluh orang dan salah seorang memiliki dua 

kepribadian. Berarti secara tidak langsung, ber-

jumlah sebelas orang. Dua kepribadian... oh!"

Terkejut akan pikiran yang ada di benak-

nya, kepala pemuda tampan berambut gondrong 

ini menegak. Dia tidak lagi bersandar di batang 

pohon itu. Keningnya kembali nampak berkerut, 

hingga sepasang alisnya yang hitam legam dan 

menukik laksana kepakan sayap elang, makin 

menukik.

"Dua kepribadian? Bukankah secara tidak 

sengaja aku memiliki pikiran yang sama tatkala 

melihat pertarungan Manusia Sepuluh Siluman 

dengan Setan Cambuk Api. Kalau memang du-

gaanku ini benar, berarti Manusia Sepuluh Silu-

man adalah orang yang berkepentingan dalam 

urusan ini. Hemm... apakah dia mengetahuinya?"

Sejenak kembali diputuskan ucapan, lalu 

kelihatan Pendekar Slebor menggeleng-gelengkan 

kepala.

"Kalau memang ini jawaban dari Rahasia 

Sebelas Jari, siapakah orang yang berjumlah se-

puluh itu sebenarnya, orang yang tentunya ber-

keinginan keras untuk mengetahui tentang Raha-

sia Sebelas Jari sekaligus mendapatkan Rantai 

Naga Siluman? Sebaiknya kupikirkan dulu."

Dengan dada dipenuhi semangat, Andika 

perlahan-lahan berkata, "Yang jelas terlihat dalam 

urusan ini, aku, Gadis Kayangan, Manusia Sepu-

luh Siluman, dan Setan Cambuk Api. Lalu ada... 

Iblis Kelabang, yang menurutnya diperintah oleh 

Kiai Alas Ireng. Hemm... berarti ada enam orang 

sekarang. Lalu, orang yang bernama Agung Ga-

ganda. Lantas... siapa lagi yang tiga orang? Kutu 

mati! Sudah buntu sampai di sini! Berarti... bu-

kan itu rahasia dari sebelas jari. Karena seharus-

nya... hei! Bagaimana dengan Sangga Rantek dan 

Iblis Rambut Emas? Bukankah dia sebelumnya 

berada di Pulau Hitam? Bisa jadi dia ikut campur 

dalam urusan ini pula. Ya, bisa jadi. Berarti su-

dah sembilan orang. Lalu, siapa yang satunya la-

gi? Oh! Kala Ijo! Ya, orang yang sebelumnya ham-

pir mencelakakan Gadis Kayangan. Berarti tepat 

sudah sepuluh orang. Dan Manusia Sepuluh Si-

luman merupakan kunci dari urusan ini! Luar bi-

asa! Hebat juga nih otakku!!"

Dengan wajah membiaskan kepuasan ka-

rena merasa berhasil memecahkan Rahasia Sebe-

las Jari, Pendekar Slebor tersenyum-senyum sen-

dirian.

"Kalau begitu... aku harus mencari Manu-

sia Sepuluh Siluman. Tapi apa iya dia termasuk 

orang yang dimaksud dengan kalimat satu jari 

adalah titik kemuliaan? Kok, orang kayak begitu 

mulia sih? Atau jangan-jangan... aku salah men-

gambil kesimpulan? Kerbau bunting! Nyasar lagi 

nih kesimpulanku akhirnya! Dan bagaimana bila 

ternyata semua orang yang terlihat dalam urusan

ini bukan berjumlah sepuluh, melainkan sebelas? 

Kalau memang begitu, siapa yang dimaksudkan 

dalam kalimat satu jari adalah titik kemuliaan?"

Kalau tadi Andika kelihatan bersemangat, 

kali ini dia menggaruk-garuk kepalanya yang ti-

dak gatal.

"Monyet pitak! Berarti gagal nih menuju 

Manusia Sepuluh Siluman, yang sebelumnya ku-

duga adalah kunci dari urusan yang makin kapi-

ran ini!"

Lalu terlihat mulutnya mencang-mencong 

tapi tak ada suara yang keluar.

"Ketimbang kepalaku jadi pusing sementa-

ra aku belum tahu apa yang dialami Gadis 

Kayangan, lebih baik aku meneruskan saja untuk 

mencarinya. Huh! Sejak semula aku memang tak 

mau berjalan bersama dengannya, karena bisa 

bikin urusan! Tapi sekarang, setelah dia tidak 

bersamaku lagi, justru aku yang kebingungan un-

tuk mengetahui keadaannya? Monyet pitak!!"

Perlahan-lahan anak muda urakan ini 

bangkit dari duduknya. Menepuk-nepuk pantat-

nya yang sedikit berdebu. Pandangannya diangkat 

ke depan. Matahari semakin panjang tebarkan si-

narnya yang mulai terasa menyengat.

"Lebih baik, cabut dulu ah!" desisnya sete-

lah puas memandang ke depan.

Memutuskan demikian, anak muda be-

rambut gondrong acak-acakan ini segera melang-

kah ke samping kanan. Namun baru saja dia ber-

gerak delapan langkah, mendadak saja dia henti-

kan langkah. Karena dirasakan tanah yang dipijaknya seperti bergetar.

Terlihat bagaimana burung-burung yang 

tadi bermain, kini beterbangan entah ke mana.

"Busyet! Apa ada gajah yang datang ke si-

ni? Menilik getaran tanah yang kurasakan, nam-

paknya gajah itu tidak sedang mengamuk. Tapi, 

gajah apa yang iseng mendatangi tempat ini?" de-

sis Andika sambil putar tubuh. Sepasang telinga 

dan matanya dibuka lebar-lebar.

Debuk! Debuk!

Suara langkah yang membuat tanah berge-

tar itu nampak semakin dekat.

"Busyet! Ini sih bukan gajah? Tentunya ada 

orang yang datang. Tapi siapa orang yang lang-

kahnya sedemikian keras ini. Apakah... kutu lan-

dak! Kala Ijo!"

Bersamaan dia desiskan nama itu, menda-

dak saja ranggasan semak belukar di samping ki-

rinya menguak. Lalu muncul satu sosok tubuh 

tinggi besar tanpa mengenakan pakaian. Orang 

yang baru muncul ini berkulit hijau! 

***

5


"Busyet! Ini sih memang benar-benar bu-

kan gajah? Tapi rajanya orang!" kata Andika da-

lam hati sambil pandangi orang yang baru mun-

cul itu. Dan saat itu pula dia bersiaga untuk 

menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan.

Orang yang baru muncul dari balik rangga-

san semak belukar memang Kala Ijo adanya. 

Orang yang memiliki anggota tubuh serba besar 

ini terdiam. Sepasang matanya yang membulat 

besar, memandang tak berkedip ke arah Pendekar 

Slebor. Sosoknya tetap kaku dan tegang.

Untuk beberapa lama tak ada yang kelua-

rkan suara. Masing-masing orang seolah me-

nunggu yang lainnya bicara. Beberapa helai daun 

berguguran dihembus angin.

Suasana lengang itu dipecahkan oleh Kala 

Ijo yang bersuara besar, "Anak muda! Biasanya 

aku tak menyukai orang yang pernah mencoba 

berdusta atau memuslihatiku! Apalagi dilakukan 

secara sengaja! Tapi kali ini, kucoba untuk men-

gubah kebiasaanku sendiri!"

Di tempatnya, wajah Andika sejenak beru-

bah. Perasaannya mendadak jadi tidak enak.

"Wah! Dari ucapannya barusan, jelas kalau 

dia tahu siapa aku sebenarnya! Monyet buduk! 

Bisa kacau nih! Waktuku akan makin terbuang 

banyak bila harus meladeni raksasa hijau ini! Te-

tapi, apa yang bisa kulakukan lagi selain tetap 

berada di sini dan tentunya harus meladeninya 

lagi?"

Habis membatin demikian, sambil garuk-

garuk kepalanya yang tidak gatal, pemuda yang di 

lehernya melilit kain bercorak catur ini nyengir. 

Lalu berkata, "Kau ini ngomong apa sih? Kok, ti-

dak tahu juntrungannya! Apa kau tidak bisa bica-

ra yang lebih jelas sedikit?"

Dengan wajah tetap kaku, Kala Ijo sejenak

pandangi anak muda yang masih nyengir itu. La-

lu dia buka mulut lagi, "Anak muda! Aku tahu 

siapa orang yang kucari, dan ternyata kau 

adanya! Jadi sekarang, jangan coba-coba memus-

lihatiku lagi!"

"Kampret! Benar-benar jadi berabe nih!" 

Andika merutuk dalam hati. Lalu berkata, "Iya 

deh, aku mengaku! Memang aku kok orang yang 

berjuluk Pendekar Slebor!" Menyusul dia men-

dengus, "Bah! Slebor! Kok enak saja orang menju-

lukiku slebor! Apa tidak ada kata yang bagusan 

lagi?!"

"Ya, engkaulah Pendekar Slebor!" sahut Ka-

la Ijo puas, namun paras wajahnya tetap tidak be-

rubah.

"Kalau kau sudah tahu aku orang yang kau 

cari, ya sudah! Permisi deh!"

Lalu dengan enaknya, anak muda urakan 

ini berbalik dan melangkah. Namun mendadak 

saja dia membuang tubuh ke samping kanan dis-

ertai makian, "Gajah bau!!"

Segera dia berbalik disertai rutukannya 

sewot, "Apa-apaan sih kau ini? Kalau mau menye-

rang bilang-bilang dong? Lagian, apa sih maumu? 

Kan kau sudah tahu aku orang yang kau cari! Ka-

lau sudah tahu, ya sudah! Main serang saja! Da-

sar tidak tahu aturan!!"

Kala Ijo yang tadi gerakkan tangan kanan-

nya untuk menahan langkah Andika, tetap berdiri 

tegak. Parasnya tetap tak berubah. Sepasang ma-

tanya tetap tak berkedip. Wajahnya semakin 

nampak kaku.

"Keadaan sangat genting. Bulan purnama 

akan muncul dalam beberapa hari lagi! Bila be-

lum menuntaskan urusan, maka Rantai Naga Si-

luman akan mencelat keluar dan membuat rimba 

persilatan akan kacau! Tak seorang pun yang da-

pat kendalikan Rantai Naga Siluman bila belum 

didapatkan sebelum pada waktunya, atau tepat 

pada waktunya!"

Mendengar ucapan orang, Andika menin-

dih rasa jengkelnya, Dia memandang tak berkedip 

pada raksasa hijau itu.

"Menilik ucapannya, nampaknya dia tahu 

tentang Rantai Naga Siluman. Tetapi waktu itu, 

dia berkehendak untuk mengetahui tentang Ra-

hasia Sebelas Jari. Apa ini bukan hanya sekadar 

kata-kata dusta saja?"

Sebelum Andika membuka mulut, Kala Ijo 

sudah berkata lagi, "Aku tidak tahu apa yang ada

dalam pikiranmu! Tetapi, aku minta dengan san-

gat kau mau mengatakan tentang isi dari Rahasia 

Sebelas Jari!"

"Nah! Mulai lagi tuh! Dasar otak udang!"

Habis memaki dalam hati, Andika berkata, 

"Kalau aku tidak mau mengatakan Rahasia Sebe-

las Jari, apa yang akan kau lakukan? Berjoget ria 

di hadapanku?"

Paras Kala Ijo semakin kaku. Lalu sua-

ranya yang besar terdengar lagi, kali ini lebih din-

gin, "Biasanya, aku tak menyukai bila ada orang 

yang menantangku! Tetapi kali ini, aku akan ber-

sabar."

"Busyet! Dua kali dia berkata seperti itu!

Pertama akan marah bila tahu dia didustai orang. 

Kedua, bila ada yang menantangnya! Tetapi sikap 

yang diperlihatkannya justru semakin membua-

tku penasaran!"

Kemudian Andika berkata, "Iya, iya! Kau 

memang termasuk orang yang sabar! Tetapi, maaf 

ya, aku tak bisa mengatakan tentang isi dari Ra-

hasia Sebelas Jari!"

"Sekali lagi kukatakan, aku tak tahu apa 

yang kau pikirkan! Tetapi dari ucapanmu baru-

san, jelas kau coba untuk tutupi semua yang ada! 

Baiklah! Aku sendiri tidak terlalu merasa ingin 

tahu tentang isi dari Rahasia Sebelas Jari yang 

dikatakan Eyang Mega Tantra kepadamu! Seka-

rang, akan kuceritakan tentang Rantai Naga Si-

luman! Karena, aku mencarimu, untuk menceri-

takan tentang rantai sakti itu!"

Wajah Andika nampak berubah. Kepalanya 

sedikit ditegakkan. Corong matanya tak berkedip 

pada Kala Ijo.

'"Kepalaku makin jadi puyeng memikirkan 

apa maunya orang ini! Dia bersikap benar-benar 

aneh! Kalau sebelumnya begitu ngotot untuk 

mencariku dan mengetahui tentang isi dari Raha-

sia Sebelas Jari, kali ini dia nampak bersikap te-

nang! Lantas, apa maksudnya hendak mengata-

kan tentang Rantai Naga Siluman? Siapa dia se-

benarnya?"

Banyak pikiran yang melintas di benak 

anak muda ini. Namun karena ingin tahu kelan-

jutan dari sikap Kala Ijo, dia berkata, "Terus te-

rang, aku tak paham maksudmu"

"Kau tak perlu memahaminya, kau hanya 

kuminta untuk mendengarkan ucapanku!"

Dengan berlagak acuh, Andika berkata, "Si-

lakan deh!"

Kala Ijo sejenak palingkan pandangan pada 

sebelah kirinya. Menembus ke kejauhan. Sambil 

melangkah dua tindak ke depan lamat-lamat dia 

berkata,

"Mungkin... kau akan merasa heran atau 

boleh dikatakan tidak percaya, kalau aku adalah 

turunan terakhir dari orang yang berhubungan 

dengan Rantai Naga Siluman. Seluruh keluarga 

yang kumiliki, semuanya bertubuh besar dan 

berkulit hijau."

Kembali dia terdiam. Lalu berkata, "Rantai 

Naga Siluman adalah sebuah benda pusaka yang 

dimiliki oleh leluhurku yang mendapatkan sebu-

tan, Raja Seluruh Kala. Sebelum rimba persilatan 

menjadi sedemikian rupa, leluhurku adalah orang 

yang ditakuti siapa pun juga. Karena selain me-

miliki kesaktian yang tinggi, dia juga memiliki se-

buah senjata sakti yang dikenal dengan sebutan 

Rantai Naga Siluman. Tak ada yang berani men-

gusik keluargaku hingga turunannya yang terak-

hir. Namun sesuatu yang mengerikan justru ter-

jadi dari dalam."

Kala Ijo terdiam lagi. Sepasang matanya 

yang biasanya tak berkedip, kali ini mengerjap-

ngerjap seperti ada pikiran yang mengganggunya.

Setelah terdengar desahannya, dia beru-

cap, "Seorang pamanku berniat untuk menda-

patkan Rantai Naga Siluman. Dan niatan itu baru

terlaksana setelah matinya leluhurku. Dia menga-

takan, kalau leluhurku memberikan hak waris 

Rantai Naga Siluman padanya. Kami semua tak 

ada yang berani membantah, karena wasiat yang 

diberikan leluhur sangat kami junjung tinggi 

meskipun sesungguhnya ada perasaan curiga 

akan wasiat yang diturunkan kepada pamanku 

itu. Selain dikenal sebagai orang yang beranga-

san, pamanku juga seorang yang sangat kejam. 

Dan di bawah perintahnya, keluarga besar Kala 

menjadi porak poranda.

Lantas terjadilah satu kudeta dari dalam 

sendiri. Beberapa orang pamanku yang lain ber-

gabung untuk menghentikan kekejaman paman-

ku yang telah mendapatkan Rantai Naga Siluman 

itu. Namun tak ada yang berhasil melakukannya, 

bahkan beberapa orang mati karena kesaktian 

Rantai Naga Siluman.

Namun kejadian itu tidak membuat pa-

man-pamanku yang lain menjadi jera. Mereka te-

tap menyusun rencana untuk mengalahkan pa-

manku yang kejam itu.

Hingga suatu ketika, tatkala diadakan pes-

ta besar, salah seorang pamanku berhasil men-

campuri racun pada arak pamanku yang kejam 

itu. Dia memang tak segera mati karena memiliki 

kesaktian tinggi. Namun karena dikeroyok akhir-

nya dia tewas. Dan yang sangat mengerikan, ka-

rena melempar Rantai Naga Siluman entah ke 

mana. Bahkan dia telah keluarkan satu ucapan 

rahasia yang berhubungan dengan Rahasia Sebe-

las Jari dan berkaitan dengan cara mendapatkan

Rantai Naga Siluman…"

Kala Ijo menarik napas panjang.

Andika yang kian tertarik mendengar penu-

turan Kala Ijo, ajukan tanya, "Dan kau tidak tahu

tentang isi dari ucapan rahasia itu?"

"Aku adalah keturunan terakhir. Semua itu 

diceritakan oleh salah seorang pamanku yang ak-

hirnya meninggal dunia karena sakit. Biar kusele-

saikan dulu ceritaku. Selain mengucapkan kata 

rahasia itu, pamanku yang kejam mengatakan, 

bila tak ada yang berhasil mendapatkan Rantai 

Naga Siluman selama lima ratus tiga puluh dua 

purnama, maka senjata itu akan muncul ke du-

nia. Bukan hanya akan mengacaukan kehidupan 

keluarga kala, tetapi juga mengacaukan rimba 

persilatan."

"Busyet! Mengapa bisa begitu?" 

Kala Ijo arahkan pandangannya pada An-

dika. Setelah mendesah dia berucap, "Karena, 

Rantai Naga Siluman memiliki kesaktian sendiri. 

Dia seolah dapat digerakkan oleh satu tenaga 

sakti untuk mengacaukan apa saja yang diingin-

kan, padahal tidak. Karena dia dapat bergerak 

sendiri."

"Wah! Mengerikan sekali!"

"Sangat mengerikan. Dan terhitung dari 

sekian purnama yang diucapkan oleh pamanku 

yang kejam itu sebelum ajalnya, purnama bulan 

ini adalah purnama yang kelima ratus tiga puluh 

dua. Berarti, bila tak ada yang berhasil menda-

patkan, maka ucapan yang sekaligus kutukan itu 

akan terjadi."

Andika menahan napas karena tegang. 

Lamat-lamat dihembuskan napasnya.

"Benar-benar sesuatu yang baru kudengar, 

Dan begitu mengerikan. Tetapi, bagaimana ceri-

tanya Eyang Mega Tantra bisa tahu semua ini? 

Bukankah ini rahasia keluarga Kala?"

Seperti mengetahui apa yang ada dalam pi-

kiran Andika, Kala Ijo berkata, "Dan satu hal lagi 

yang patut kau ketahui, sebelum ajalnya, paman-

ku yang kejam itu juga mengatakan, kalau seo-

rang anak manusia akan mengetahui di mana 

Rantai Naga Siluman berada. Namun dia tidak 

tahu apa yang harus dilakukannya. Kendati de-

mikian, aku telah berusaha menemukan anak 

manusia itu yang kemudian kuketahui bernama 

Eyang Mega Tantra. Maksudku mencarinya, un-

tuk mengetahui tentang isi dari Rahasia Sebelas 

Jari. Paling tidak, aku dapat berusaha memecah-

kan sekaligus mendapatkan kembali Rantai Naga 

Siluman sebelum urusan menjadi membentang 

lebar."

Di seberang nampak Andika mengangguk-

anggukkan kepala.

"Mungkin ini mengapa Eyang Mega Tantra 

mengetahui tentang Rahasia Sebelas Jari. Dan se-

telah mendengar ceritanya, apakah aku lantas 

harus mengatakan tentang isi Rahasia Sebelas 

Jari? Karena bisa saja dia berdusta padaku den-

gan menceritakan sesuatu yang omong kosong 

belaka. Busyet! Jadi fusing nih!"

Sesaat tak ada yang keluarkan suara. Kala 

Ijo nampak masih terbawa arus ingatannya sendiri. Sedangkan Andika berpikir lagi, "Tetapi tak ada 

salahnya bila kukatakan tentang isi dari Rahasia 

Sebelas Jari. Biar bagaimanapun juga, purnama 

bulan ini sudah dekat sementara aku belum ber-

hasil mendapatkan memecahkan Rahasia Sebelas 

Jari secara pasti. Tetapi, apa ini tidak akan men-

celakakanku sendiri?"

Sebelum Andika memutuskan mengatakan 

atau tidak isi dari Rahasia Sebelas Jari, Kala Ijo 

sudah berkata, "Anak muda... aku yakin kau me-

ragukan ucapanku. Tetapi kali ini, perasaanku 

sudah lega karena telah mengatakan tentang ra-

hasia yang bertahun-tahun kupendam ini. Dan 

sekarang, aku berharap pada dirimu, agar kau 

berhasil mendapatkan Rantai Naga Siluman sebe-

lum purnama mendatang tiba."

Andika segera mengangkat kepalanya.

"Wah! Jadi tidak enak nih!" desisnya dalam 

hati. Lalu katanya sambil nyengir, "Kala Ijo! Aku 

tidak tahu apakah aku dapat mempercayai uca-

panmu atau tidak. Tetapi kendati demikian, aku 

akan menga...."

Kala Ijo menggeleng-gelengkan kepalanya, 

yang seolah isyarat bagi Andika untuk menghen-

tikan ucapannya.

"Tak perlu kau katakan padaku. Hanya 

kuminta, kau mau melakukan apa yang kuha-

rapkan tadi."

Tak tahu harus berbuat apa, Andika yang 

menjadi tidak enak, cuma terdiam.

Lamat-lamat terlihat Kala Ijo menghela na-

pas panjang. Wajah kakunya nampak agak berubah. Lantas, tanpa berucap sepatah kata lagi, 

orang bertubuh tinggi besar berkulit hijau itu su-

dah melangkah meninggalkan Andika.

Debuk! Debuk!

Setiap kali kakinya terangkat dan memijak 

tanah lagi, terdengar suara yang keras dan tanah 

agak bergetar.

Karena tak tahu harus berkata apa, Pende-

kar Slebor hanya termangu di tempatnya. Sampai 

sosok Kala Ijo menghilang dia masih terdiam.

Setelah itu barulah dia mendesah, "Urusan 

memang makin membentang panjang. Rantai Na-

ga Siluman, merupakan sebuah senjata sakti 

yang sangat mengerikan. Dia memiliki kekuatan 

sendiri tanpa harus digerakkan oleh siapa pun 

juga. Tetapi, apakah dapat kupercaya cerita Kala 

Ijo? Apakah tidak mungkin kalau dia coba me-

ngelabuiku? Hanya saja, sikapnya tadi, tidak 

memaksaku untuk mengatakan tentang isi dari 

Rahasia Sebelas Jari. Buju buneng! Makin jadi 

puyeng kepalaku!!"

Sejenak anak muda ini geleng-gelengkan 

kepala. Dan sebelum dia lakukan tindakan apa-

apa, terdengar suara yang cukup keras, "Alung 

Gaganda! Bukankah terbukti ucapanku kalau 

pemuda setan itu selamat dari tangan Iblis Kela-

bang?!"

"Kau benar, Agung Gaganda! Kini tiba 

saatnya untuk mengetahui tentang Rahasia Sebe-

las Jari dan mengkerat tubuhnya hingga sekecil-

kecilnya sebelum banyak orang yang datang ke 

sini!"

Serta-merta Andika palingkan kepala ke 

kanan. Kejap itu pula kakinya surut satu tindak 

ke belakang melihat dua bayangan abu-abu mun-

cul di hadapannya. Yang sekarang berdiri dengan 

sepasang kaki agak dibuka dan tatapan menco-

rong ganas.

Di tempatnya, untuk sejenak Andika arah-

kan pandangan bergantian pada dua orang yang 

baru muncul itu.

"Busyet! Jadi dia kembar?! Tetapi, yang 

mana yang pernah bertarung denganku sebelum-

nya?!"

***

6


Pada saat yang bersamaan, satu sosok tu-

buh berpakaian semerah darah hentikan larinya 

di sebuah jalan setapak. Diedarkan pandangan ke 

seantero tempat. Yang nampak hanyalah jajaran 

pepohonan tinggi dan ranggasan semak belukar 

setinggi dada.

Sejenak perempuan berambut putih yang 

dikelabang ini atur napasnya. Dadanya yang tipis 

rata nampak turun naik. Sebuah kalung kelabang 

bergerak mengikuti aturan napasnya.

"Terkutuk! Selain memiliki kesaktian yang 

patut dikagumi, Pendekar Slebor juga memiliki 

kecerdikan yang luar biasa! Bila saja dia tidak 

melarikan diri saat bentrok denganku, dapat ku

pastikan tugas yang diberikan Kiai Alas Ireng se-

lesai kujalankan! Tetapi masih untung aku dapat 

mengetahui isi dari Rahasia Sebelas Jari!"

Sejenak perempuan berambut putih dike-

labang ini terdiam. Sepasang matanya meman-

dang ke kejauhan.

"Waktu sepuluh hari yang kujanjikan pada 

Kiai Alas Ireng untuk mengetahui isi Rahasia Se-

belas Jari dan membunuh Pendekar Slebor, ting-

gal tiga hari lagi. Aku harus secepatnya menun-

taskan tugas yang diberikannya. Bila gagal, dapat 

kupastikan kalau dia akan marah besar. Sesung-

guhnya, aku dapat mengalahkannya. Tetapi, dia 

masih menanam budi yang harus segera kucabut 

dengan jalankan seluruh perintahnya. Setelah itu 

aku dapat meninggalkannya tanpa silang sengke-

ta."

Perempuan yang bukan lain Iblis Kelabang 

adanya ini, tarik napas pendek. Perasaannya 

mendadak tidak tenang bila dia belum berhasil 

membunuh Pendekar Slebor. Padahal beberapa 

hari lalu, dia hampir berhasil membunuh Pende-

kar Slebor. Tetapi pemuda itu telah keburu me-

ninggalkannya di saat pandangannya tertutup 

muncratan tanah (Silakan baca "Rahasia Sebelas 

Jari").

Dan setelah mencoba mencari ke mana 

perginya Pendekar Slebor, perempuan ini gagal 

menemukan di mana anak muda urakan itu be-

rada.

Mendadak saja keterdiaman Iblis Kelabang 

diusik oleh satu gerakan. Pendengarannya yang

tajam menangkap gerakan yang berkelebat ke 

arahnya.

Seketika dia putar tubuh untuk lihat siapa 

adanya orang. Begitu orang yang berkelebat nam-

pak sosoknya, paras Iblis Kelabang berubah te-

gang. Bahkan tanpa sadar dia surut satu tindak 

ke belakang.

"Celaka! Sebelum waktunya aku telah ber-

jumpa dengan lelaki ini kembali! Tetapi, aku tak 

perlu panik. Bukankah waktu yang kujanjikan se-

lama sepuluh hari? Lagi pula, aku sudah menge-

tahui tentang isi dari Rahasia Sebelas Jari."

Dengan tindih rasa tegangnya, Iblis Kela-

bang menunggu kehadiran orang yang telah dili-

hat kelebatannya.

Orang yang berkelebat itu segera hentikan 

langkah begitu melihat sosok perempuan berpa-

kaian panjang semerah darah. Di tangan kanan 

orang berjubah hitam ini tergolek satu sosok tu-

buh berpakaian biru muda.

Orang yang tak lain Kiai Alas Ireng ini 

langsung buka mulut, "Kulihat dari kejauhan kau 

sejak tadi berada di sini! Apakah kau memang 

menunggu kedatanganku?"

Iblis Kelabang untuk sesaat tenangkan du-

lu gemuruh hatinya. Setelah itu dia berucap, "Ka-

lau boleh dikatakan menunggu, aku memang me-

nunggu setelah melihat kelebatan tubuhmu, Kiai 

Alas Ireng."

"Apakah sikap menunggumu ini sehubun-

gan dengan tugas yang kuberikan?"

"Bila memang boleh dikatakan demikian,

memang ada hubungannya."

"Jangan berbelit-belit!!" hardik Kiai Alas 

Ireng.

Kendati memiliki ilmu lebih tinggi dari Kiai 

Alas Ireng, Iblis Kelabang yang pernah disela-

matkan lelaki berjubah hitam itu saat bertarung 

dengan Panembahan Agung, justru tundukkan 

kepalanya.

Melihat sikap si perempuan, Kiai Alas Ireng 

mendengus. Dia telah dapat menebak apa yang 

tersirat di benak Iblis Kelabang.

Kemudian katanya geram, "Karena kau 

menjanjikan waktu sepuluh hari dan sekarang 

belum waktunya, maka kau kubebaskan dari ke-

matian!!"

Masih tundukkan kepala Iblis Kelabang 

berkata, "Salah satu tugas yang kau berikan telah 

kuketahui."

Sepasang mata lelaki berjubah hitam yang 

sipit itu, nampak agak terbuka. Sejenak dia tak 

bersuara, hanya pandangi Iblis Kelabang saja.

"Katakan!"

Masih tetap tundukkan kepala dan suara 

menghormat, perempuan yang selalu meninggi-

kan balas budi dan tak peduli apakah dia harus 

membalasnya dengan cara melakukan kebaikan 

atau kejahatan ini berkata, "Rahasia Sebelas Jari 

telah kuketahui dari mulut Pendekar Slebor sen-

diri. Tetapi sayang, aku gagal membunuhnya!"

"Peduli setan! Katakan sekarang!"

"Rahasia Sebelas Jari yang kudengar dari 

Pendekar Slebor berisi: ada orang yang jari tangannya berjumlah sebelas, lalu jari kakinya ber-

jumlah sebelas. Bila dijumlahkan menjadi dua pu-

luh dua jari. Di antara jari-jari itu adalah dua yang 

palsu."

Terdiam Kiai Alas Ireng mendengar ucapan 

Iblis Kelabang. Lalu katanya bersemangat, "Kata-

kan sekali lagi."

Tetap dengan kepala tertunduk, Iblis Kela-

bang mengulangi lagi apa yang barusan dikata-

kannya.

Nampak kepala Kiai Alas Ireng mengang-

guk-angguk. Ada senyuman puas dibibirnya. Na-

mun hanya sesaat. Karena di saat lain senyuman 

itu putus.

Kemudian dia berkata agak keras, "Aku in-

gin kau membunuh Pendekar Slebor!!"

Kali ini perlahan-lahan Iblis Kelabang ang-

kat kepalanya.

"Aku telah berhutang budi padamu, Kiai 

Alas Ireng. Apa pun yang kau perintahkan, akan 

kulaksanakan sepenuh hatiku!"

"Bagus! Sekarang menyingkir dari sini!"

"Aku hendak bertanya, siapakah gadis 

yang nampak dalam keadaan tertotok itu?"

Kiai Alas Ireng mendengar pertanyaan 

orang. Namun dia membuka mulut juga, menceri-

takan siapa si gadis yang tak lain Gadis Kayangan 

adanya.

"Setahuku, gadis ini ada hubungannya 

dengan Pendekar Slebor! Sekarang kutambahkan 

tugasmu! Beritakan tentang Gadis Kayangan yang 

ada padaku ini, hingga Pendekar Slebor akan

muncul untuk mencarinya!! Katakan pula, kalau 

dia harus menukarkan nyawanya dengan Rantai 

Naga Siluman! Kutunggu dia di Lembah Kalisu-

ra!!"

Patuh Iblis Kelabang menganggukkan ke-

pala. Dilihatnya bagaimana wajah lelaki bermata 

sipit itu demikian cerah. Sedikit banyaknya, Iblis 

Kelabang merasa telah membalas sebagian budi 

yang telah ditanamkan pada Kiai Alas Ireng.

Bila saja waktu itu Kiai Alas Ireng tidak 

muncul menyambar dan membawanya lari, 

mungkin dia telah tewas di tangan Panembahan 

Agung. Dan Iblis Kelabang tetap akan menun-

taskan dendam lamanya pada Panembahan 

Agung. Dia juga telah mendengar tentang mun-

culnya Dewa Lautan Timur yang mendendam pa-

da Panembahan Agung. Didengarnya pula kalau 

Dewa Lautan Timur menderita kegagalan (Untuk 

mengetahui siapa Dewa Lautan Timur silakan ba-

ca episode: "Pedang Buntung" hingga "Tabir Pulau 

Hitam").

Namun hingga saat ini, Iblis Kelabang be-

lum mau turuti dendamnya untuk membunuh 

Panembahan Agung. Bila dia sudah tuntaskan 

segala budi yang ditanam Kiai Alas Ireng, barulah 

dia akan turuti dendamnya.

Di seberang, Kiai Alas Ireng nampak toleh-

kan kepala pada Gadis Kayangan yang berada da-

lam tentengan tangan kanannya.

"Hem... setelah kudapatkan gadis ini, dia 

telah siuman dari pingsannya. Totokan yang dila-

kukan mungkin oleh si Kembar Parang Maut atau

Sangga Rantek atau Iblis Rambut Emas, telah 

kubuka. Dan dia telah kutotok dengan totokanku 

sendiri. Gadis ini akan kujadikan sandera yang 

berarti. Dan nampaknya... aku akan menda-

patkan satu permainan yang sangat menarik. Per-

mainan yang tak akan pernah kulupakan seumur 

hidupku. Biar bagaimanapun juga, akan kupe-

cahkan Rahasia Sebelas Jari yang barusan diper-

dengarkan Iblis Kelabang. Rantai Naga Siluman 

harus kudapatkan! Aku telah merencanakan se-

suatu yang akan menggemparkan rimba persila-

tan bila Rantai Naga Siluman berada di tangan-

ku!"

Habis membatin demikian, Kiai Alas Ireng 

angkat kepalanya. Menyipit dia memandang Iblis 

Kelabang.

"Apa lagi yang kau tunggu di sini, hah?! 

Apakah kau ingin kutempeleng?!"

Mendengar ucapan yang dapat membang-

kitkan kemarahan orang secara seketika, Iblis Ke-

labang tetap bersikap hormat. Dia rangkapkan 

dulu kedua tangannya di depan dada, sebelum 

melangkah meninggalkan tempat itu.

Sepeninggal Iblis Kelabang, Kiai Alas Ireng 

mendengus geram.

"Sebentar lagi, semua yang kurencanakan 

akan tercapai! Beruntung aku punya kaki tangan 

seperti Iblis Kelabang!"

Habis membatin demikian, tangan kirinya 

mencolek pipi Gadis Kayangan. Si pemilik pipi itu 

melotot gusar, namun tak dapat gerakkan tubuh 

maupun keluarkan suara.

Melihat sikap Gadis Kayangan, Kiai Alas 

Ireng tertawa lebar. "Tak ada gunanya kau bersi-

kap penuh amarah denganku, Anak Manis. Kau 

adalah jaminan yang diinginkan siapa pun untuk 

memancing Pendekar Slebor! Bila Pendekar Slebor 

masih ingin melihat kau hidup tanpa kurang sua-

tu apa, dia harus berhasil mendapatkan Rantai 

Naga Siluman! Karena kau akan kutukarkan den-

gan Rantai Naga Siluman!!"

Kembali terbuka mulut lelaki berjubah hi-

tam ini perdengarkan tawa yang kencang. Sekali 

dia hempos tubuh, sosoknya sudah melesat ce-

pat.

Di dalam tentengan tangan kanannya, Ga-

dis Kayangan yang dalam keadaan tertotok mem-

batin resah. Dia sadar apa yang akan terjadi. Dis-

esalinya mengapa dia harus merajuk di saat Pen-

dekar Slebor menggodanya.

Tetapi tatkala ingatannya dibawa menge-

nang Pendekar Slebor, murid mendiang Pemimpin 

Agung ini sesaat merasa tenang. Dia seakan me-

rasa Pendekar Slebor telah berada di sisinya, 

kembali melontarkan setiap gurauannya yang 

mau tak mau memancing senyuman atau tawa. 

Sedikit banyaknya dia yakin Pendekar Slebor 

akan datang menolongnya.

Namun yang menjadi pertanyaannya, 

sanggupkah pemuda urakan yang diam-diam di-

cintainya itu menolongnya?

***

7


Kembali ke tempat di mana Pendekar Sle-

bor berada, nampak anak muda urakan itu se-

dang garuk-garuk kepalanya sambil memandang 

dua orang lelaki berpakaian abu-abu panjang. Pa-

ras masing-masing orang tak berbeda satu sama 

lain. Di pinggang keduanya terdapat sebuah pa-

rang besar. Rambut mereka dikepang dua.

Untuk sejenak tak ada yang perdengarkan 

suara. Dua orang yang baru muncul itu bukan 

lain adalah si Kembar Parang Maut. Agung Ga-

ganda yang terdapat bekas luka pada lengan ka-

nannya namun tertutup pakaian panjangnya, 

berdiri di sebelah kiri. Pandangannya menyi-

ratkan kebencian yang luar biasa.

Sedangkan adik kembarnya si Alung Ga-

ganda memandang dengan penuh kesiagaan. Dia 

memang belum pernah berjumpa dengan Pende-

kar Slebor. Lain halnya dengan Agung Gaganda 

yang pernah bertarung dengan Pendekar Slebor, 

harus lari sipat kucing tatkala muncul Iblis Kela-

bang.

Suasana sunyi itu dipecahkan oleh suara 

kertakkan rahang, menyusul suara Agung Ga-

ganda, "Tak ada lagi yang mengganggu urusanku 

sekarang! Bila kau masih ingin selamat, katakan 

tentang isi Rahasia Sebelas Jari!"

Andika yang sebenarnya bermaksud untuk 

melacak jejak Gadis Kayangan, terdiam. Sekejap 

dia hanya angkat sepasang alisnya saja. Kejap berikut nampak keningnya berkerut, tanda dia me-

mikirkan sesuatu.

"Hem... tak kusangka kalau Agung Gagan-

da memiliki saudara kembar. Dengan begitu, jum-

lah orang yang terlihat dalam urusan ini adalah 

sebelas orang! Bukan sepuluh! Dan nampaknya 

dua kepribadian yang dimiliki oleh Manusia Sepu-

luh Siluman, bukanlah rahasia di balik sebelas 

jari. Semuanya sudah tepat. Sebelas jari. Sebelas 

orang. Satu jari adalah titik kemuliaan. Berarti, 

bukan Manusia Sepuluh Siluman yang jadi titik. 

Mungkin di antara kesebelas orang itu memiliki 

jiwa mulia. Tetapi yang mana? Dan apakah...."

"Agung Gaganda! Apakah kau akan ber-

diam diri sementara dia tetap menutup mulut?!" 

sentak Alung Gaganda memecah kesunyian, seka-

ligus memutus kata batin Pendekar Slebor. Sepa-

sang pelipis lelaki yang berwajah mirip dengan 

Agung Gaganda ini, bergerak-gerak sementara 

mulutnya sunggingkan seringaian melecehkan.

Mendengar ucapan adik kembarnya, Agung 

Gaganda maju dua tindak ke muka. Pandangan-

nya lurus tak berkedip.

"Waktu yang kuberikan tak banyak! Cepat 

katakan tentang isi dari Rahasia Sebelas Jari!!"

Bukannya sahuti ucapan orang, anak mu-

da urakan itu nyengir. Diam-diam dia teruskan 

jalan pikirannya, "Melihat kemunculan Agung Ga-

ganda yang baru kuketahui bersaudara kembar 

ini, keyakinanku tentang rahasia sebelas jari se-

belumnya, jadi agak goyah. Tak ada orang yang 

memiliki dua kepribadian kalau begitu. Akan ku

coba sekarang untuk mengarahkan pikiran pada 

kesimpulan kedua. Sebelas jari itu berarti, sebe-

las orang. Dan salah seorang dari sebelas orang 

adalah yang dimaksud dengan titik kemuliaan. 

Tetapi, siapa orang yang dituju pada kata titik 

kemuliaan? Apakah Kala Ijo, mengingat cerita 

tentang dirinya yang nampaknya berhubungan 

erat dengan Rantai Naga Siluman?"

Di seberang, Agung Gaganda kertakkan ra-

hangnya. Lelaki ini telah murka karena dua kali 

ucapannya tidak dianggap. Dia melirik pada 

Alung Gaganda. Lalu nampak kepalanya diang-

gukkan yang disambut dengan anggukan pula 

oleh Alung Gaganda.

Kejap itu pula, secara bersamaan masing-

masing orang sudah mencelat ke depan. Tidak 

tanggung lagi, parang besar yang merupakan sen-

jata masing-masing orang, sudah dikiblatkan.

Wuuttt! Wuuttt!,

Kibasan kedua parang itu perdengarkan 

suara membeset yang menggidikkan.

Di tempatnya, pikiran Andika langsung 

terputus. Segera anak muda ini dongakkan kepa-

la, menyusul dia membuang tubuh ke belakang.

"Wah! Bilang-bilang dong kalau mau me-

nyerang!" makinya keras. Dalam hati dia meru-

tuk, "Aku seakan berada dalam lingkaran orang-

orang terkutuk yang selalu meninggikan kejaha-

tan yang mereka lakukan! Huh! Waktu yang ku-

miliki terasa kian sempit. Purnama sudah men-

dekat, sementara aku belum tahu keadaan Gadis 

Kayangan!!"

Dua parang besar itu kembali digerakkan, 

bersamaan tangan kiri masing-masing pemilik pa-

rang dorong tangan ke depan.

Dua gelombang angin yang menderu secara

bersamaan, lebih dulu menggebrak, menyeret ta-

nah dan rerumputan. Membuat Andika berseru 

kaget dan terburu-buru liukkan tubuh.

Namun belum lagi dia hinggap di tanah 

dengan sempurna, bersamaan terdengar suara 

berdebur, dua parang besar itu telah siap bacok 

kepalanya!

"Monyet karbitan!"

Bersamaan makian yang diperdengarkan-

nya, Andika justru merangsek ke depan. Tangan 

kanan kirinya dipalangkan ke atas. Karena tu-

buhnya telah merangsek maju, makanya yang di-

tahan bukanlah kedua parang itu. Melainkan per-

gelangan tangan kanan masing-masing penye-

rangnya.

Buk! Buk!

Namun yang mengejutkan, justru Andika 

yang surut ke belakang dengan pergelangan tan-

gan yang terasa disengat kalajengking. Belum lagi 

dia sadar sepenuhnya, si Kembar Parang Maut 

sudah menderu dengan cara melompat setengah 

lingkaran.

Agung Gaganda masuk dari arah kanan se-

raya kibaskan parang besarnya, sementara adik 

kembarnya berkelebat dari arah kiri.

Jurus yang diperlihatkan si Kembar Parang 

Maut, memang jurus perpaduan. Bila hanya dila-

kukan oleh seorang saja di antara mereka, hasil

nya tak terlalu mengerikan. Namun karena me-

mang jurus itu harus dilakukan oleh dua orang, 

akibatnya benar-benar mengerikan.

Dalam keadaan terkurung seperti itu, pa-

ras Andika berubah. Kejap itu pula dialirkan te-

naga 'Inti Petir'.

Disusul dengan menyentakkan tangan ka-

nan kirinya ke atas, dilakukan setelah maju den-

gan cepat sejauh tiga langkah.

Terdengar suara salakan petir secara ber-

samaan tatkala tangan kanan kirinya disentak-

kan. Melihat si pemuda lakukan satu serangan 

yang nampak berbahaya, si Kembar Parang Maut 

justru lipatgandakan tenaga dalamnya.

Akan tetapi mereka kecele, karena senta-

kan tangan kanan kiri Andika bukan dimaksud-

kan untuk memapaki, melainkan hanya memanc-

ing belaka.

Karena begitu tangan kanan kirinya diang-

kat, si Kembar Parang Maut hanya mengkonsen-

trasikan serangan pada kibasan parang masing-

masing. Hingga bagian perutnya terbuka.

Dan itulah yang dilakukan oleh Andika. 

Dengan gerakan yang luar biasa cepat, dia justru 

liukkan tubuh ke belakang lagi.

Wuutt! Wuuttt!

Dua parang besar lawan hanya menerkam 

angin belaka.

Bersamaan dengan itu, Andika sudah 

mendorong masuk jotosannya.

Menyusul suara salakan petir menggema....

Buk! Buk!

Dua jotosannya telak menghantam perut 

dua lelaki berpakaian abu-abu panjang. Kontan 

masing-masing orang terjengkang ke belakang 

dengan teriakan cukup keras.

Agung Gaganda yang pernah bertarung 

dengan Pendekar Slebor dan tahu bagaimana ke-

saktian yang dimiliki anak muda itu, hanya me-

ringis kecil saat berdiri tegak kembali. Karena, dia 

telah alirkan tenaga dalam pada perutnya di saat 

telah masuk ke kancah pertarungan. Namun pa-

rasnya meradang murka.

Sementara itu, Alung Gaganda yang sejak 

bertarung tadi menganggap ringan anak muda 

berpakaian hijau pupus itu, tidak menamengkan 

dirinya terlebih dulu. Maka akibatnya, dia lang-

sung melengak. Disusul darah segar muncrat dari 

mulutnya.

Melihat keadaan yang menimpa adik kem-

barnya, kemarahan Agung Gaganda makin mera-

dang tinggi.

"Jahanam keparat! Seharusnya aku dan 

Alung Gaganda tak dapat dipecundangi dengan 

mudah seperti ini! Tapi, pemuda setan itu menye-

rang bukan hanya mengandalkan ilmu yang dimi-

likinya saja, tetapi juga kecerdikan yang tinggi! 

Dia bergerak seperti menanti sela yang dapat di-

pakai untuk lancarkan serangan! Terkutuk! Dia 

tetap bungkam! Dan itu berarti harus mampus!"

Habis membatin demikian, setelah kertak-

kan rahangnya kuat-kuat, serta-merta dia sudah 

menderu maju kembali. Tangan kirinya digerak-

kan ke atas ke bawah menyusul disentakkan kedepan. Kesiuran angin angker lebih dulu mengge-

brak sebelum jotosannya itu mencari sasaran.

Andika yang merasa tak perlu meladeni si 

Kembar Parang Maut, membuang tubuh ke samp-

ing, disusul sentakkan tangan kanannya. Suara 

laksana salakan petir terdengar keras sebelum 

tangan kanannya berbenturan dengan tangan kiri 

Agung Gaganda.

Dess!

Kontan masing-masing orang surut tiga 

tindak ke belakang. Agung Gaganda yang sudah 

dilanda kemarahan tinggi, sudah mencelat lagi 

begitu tubuhnya berdiri tegak. Dia ulangi lagi se-

rangan serupa. Namun kali ini parang besarnya 

sudah diayunkan. Kalaupun dia tak lakukan se-

rangan sebelumnya dengan kibaskan parang be-

sarnya lagi, ini dikarenakan dia harus alirkan te-

naga dalam pada tangan kanannya.

Wuussss!!

Serta-merta menggebrak gelombang angin 

yang menyeret tanah dan rerumputan ke arah 

Pendekar Slebor.

Anak muda tampan urakan ini mendengus, 

begitu menyadari kalau Agung Gaganda benar-

benar berjibaku. Dia coba untuk hindari gelom-

bang angin ganas itu, namun dia pun harus 

menghadapi sabetan parang Agung Gaganda.

Tak ada jalan lain yang dapat dilakukan 

Andika selain merangsek maju. Dia lebih dulu sa-

pukan kaki kanannya. Dengan cara seperti itu, 

secara tak langsung dia telah hindari gelombang 

angin yang dilepaskan Agung Gaganda. Dan sapuan kaki kanannya yang menyeret tanah, mem-

buat Agung Gaganda mau tak mau melompat. Se-

cara tidak langsung, dia terpaksa mengurungkan 

ayunan parang besarnya!

Selagi lelaki itu melompat, Andika mencelat 

ke depan. Jotosan tangan kanannya dilepaskan.

Desss!!

Untuk kedua kalinya Agung Gaganda ter-

hantam telak jotosan yang mengandung tenaga 

'Inti Petir'. Tapi kali ini, karena Andika sudah 

alirkan tenaga 'Inti Petir' tingkat ketujuh, mau tak 

mau Agung Gaganda terhuyung ke belakang. Da-

lam keadaan terhuyung nampak sepasang pipinya 

menggembung. Bersamaan dia tak mampu kuasai 

keseimbangan, dia muntah darah.

Alung Gaganda yang masih merasa kesaki-

tan, cepat bergerak untuk menangkap sosok ka-

kak kembarnya. Namun karena keadaannya sen-

diri belum pulih benar, mau tak mau dia pun ter-

huyung dan ambruk bersamaan.

Melihat hal itu, Andika yang tak lagi lan-

carkan serangan, cuma nyengir. Selorohan ura-

kannya kontan terdengar, "Wah! Pada main gen-

dong-gendongan ya? Kalau diperkenankan sih, 

aku juga mau ikutan!!"

Merasa terhina akan ucapan orang, Agung 

Gaganda tak lagi hiraukan keadaannya. Segera 

dia bangkit dengan kepala disentakkan keras-

keras ke kanan kiri. Kejap itu pula dia sudah me-

rangsek ganas. Teriakannya mengguntur. Alung 

Gaganda sendiri sudah bergerak pula menyusul.

Namun dua gebrakan yang dilakukan mas

ing-masing orang, tak membawa hasil yang berar-

ti bagi Pendekar Slebor. Karena Pendekar Slebor 

dengan mudah menghindarinya. Bila saja pemuda 

pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini ingin 

turunkan tangan telengas, maka dengan mudah 

akan dilakukannya.

Akan tetapi dia hanya menghindar saja 

tanpa membalas. Lama kelamaan, sikap yang di-

perlihatkannya ini justru diartikan lain oleh si 

Kembar Parang Maut. Mereka menganggap anak 

muda itu sengaja mempermainkan, dan itu berar-

ti menghina!

Makin ganas masing-masing orang lancar-

kan serangan. Parang di tangan keduanya seakan 

memiliki satu tenaga hingga berkiblat ke mana 

saja Andika berada. Berulang kali suara membe-

set udara terdengar cukup keras.

"Busyet! Benar-benar tak tahu diuntung!" 

Andika memaki sewot dalam hati. Tetapi anak 

muda ini tetap tak lancarkan serangan balasan. 

Dia justru berusaha mencari sela untuk mening-

galkan pertarungan.

Karena dia berkeyakinan, bila dia balas 

menyerang, maka urusan akan makin berkem-

bang panjang. Namun berusaha untuk mening-

galkan pertarungan, nampaknya bukanlah sesua-

tu yang mudah dilakukan.

"Kambing gundul! Manusia-manusia ini 

benar-benar tidak tahu malu! Huh! Apa aku ha-

rus menurunkan tangan telengas?!" maki anak 

muda ini makin dongkol.

Dan sebelum dia dapat tentukan saat yang

tepat untuk meninggalkan si Kembar Parang 

Maut, mendadak saja menggebrak dua gelombang 

angin yang perdengarkan suara bergemuruh.

Kontan Pendekar Slebor surutkan langkah 

ke belakang. Namun yang menjadi sasaran dua 

gelombang angin itu bukanlah dirinya. Melainkan 

si Kembar Parang Maut.

Dua lelaki berpakaian abu-abu panjang 

yang hanya menujukan serangan pada Pendekar 

Slebor, seolah tak menyadari sambaran dua ge-

lombang angin tadi. Maka tanpa ampun lagi, mas-

ing-masing orang telak terhantam gelombang ga-

nas itu.

"Aaaakhhh!!"

Terdengar jeritan secara bersamaan me-

nyusul masing-masing orang tergontai-gontai ke

belakang. Parang besar yang mereka pegang, ter-

lepas ke dalam sungai yang hasilkan suara ber-

debur cukup keras.

Dan tubuh yang tergontai-gontai itu akhir-

nya ambruk ke tanah dengan cara seperti terpe-

lanting.

Sesaat nampak masing-masing orang ber-

kejut-kejut disertai keluhan kesakitan. Tiga tari-

kan napas berikutnya, gerakan tubuh tanpa sa-

dar yang menandakan kesakitan dari si Kembar 

Parang Maut terhenti. Kepala masing-masing 

orang tergolek. Darah mengalir dari mulut dan 

hidung. Namun, nyawa mereka telah minggat dari 

tubuh.

Di lain pihak, Pendekar Slebor yang tadi 

surutkan langkah dan sesungguhnya tidak mau

melihat kematian terjadi di hadapannya, terkejut 

bukan alang kepalang. Karena tak menyangka ka-

lau ada satu serangan yang membokong si Kem-

bar Parang Maut, dia gagal menyelamatkan kedua 

orang kembar itu.

Hanya sekali lihat saja, dia yakin si Kembar 

Parang Maut telah tewas.

Perasaannya mendadak menjadi geram. 

Dengan sorot mata tajam, dia berpaling ke samp-

ing kanan, dari mana datangnya gelombang angin 

yang mengerikan tadi.

Namun yang mengejutkan, tak ada tanda-

tanda akan munculnya orang. Serentak pandan-

gannya diedarkan. Hatinya mendadak terasa tak 

enak.

"Aneh! Siapa orang yang telah lancarkan 

serangan ganas itu? Kalau memang orang ini 

termasuk salah seorang yang ingin tahu tentang 

Rahasia Sebelas Jari, tentunya serangan akan di-

lancarkan kepadaku. Tetapi, mengapa kedua 

orang itu yang jadi sasaran? Apakah...."

Terputus kata-kata Pendekar Slebor, tatka-

la terdengar suara dari belakangnya, "Sudah ku-

katakan aku tak ingin melihatnya lagi! Tetapi me-

lihatnya lagi, bertanda dia tak indahkan apa yang 

pernah kukatakan!"

Serentak Pendekar Slebor putar tubuh. Di-

pikirnya akan ada yang muncul, namun tak seo-

rang pun yang kelihatan.

"Kampret! Siapa orang itu?! Tapi, suaranya 

seperti pernah kudengar!" desisnya.

Baru habis desisannya, satu sosok tubuh

berpakaian panjang berwarna semerah darah, 

perlahan-lahan muncul dari balik ranggasan se-

mak belukar. Paras orang yang baru muncul ini 

nampak dingin sekali. Pancaran matanya menyi-

ratkan kematian yang akan diterima Pendekar 

Slebor. Rambutnya yang dikelabang bergerak di 

saat dia maju tiga langkah ke muka.

"Sekarang... kematian ada di tanganmu, 

Pendekar Slebor!" desis orang ini yang tak lain Ib-

lis Kelabang adanya.

Sejenak Pendekar Slebor seperti tersedak. 

"Busyet! Dia lagi! Urusan akan makin jadi pan-

jang!" desisnya.

Di saat Pendekar Slebor mendesis dengan 

hati tidak tenang, di saat Iblis Kelabang meman-

dang penuh kemuakan, mendadak terdengar sua-

ra dari samping kiri,

"Kau boleh bicara seperti itu! Tetapi, aku 

juga menginginkan nyawanya!!"

***

8


Bukan hanya Pendekar Slebor yang paling-

kan kepala, perempuan berambut dikelabang itu 

pun lakukan hal yang sama. Berjarak delapan 

langkah dari keduanya, telah berdiri satu sosok 

tubuh dengan kedua tangan dilipat di depan da-

da. Kepala orang yang tadi bicara ini agak terang-

kat, sepasang matanya tajam menusuk pada Pendekar Slebor.

Sementara itu, Pendekar Slebor sendiri me-

rutuk dalam hati, "Kampret bau! Kenapa dia lagi 

yang muncul? Busyet! Jadi kering nih tenggoro-

kanku!"

Orang yang baru datang perdengarkan 

dengusan.

"Kau ini, kau tak akan dapat lolos dari tan-

ganku, Pendekar Slebor!" desisnya dingin. Lalu 

pandangannya dialihkan pada Iblis Kelabang. "Pe-

rempuan berpakaian merah! Lebih baik menying-

kir! Biarkan aku teruskan urusan dengan pemu-

da celaka itu!!"

Mendengar ucapan yang bernada meleceh-

kannya, sudah tentu Iblis Kelabang yang berniat 

membunuh Pendekar Slebor menjadi murka. Kon-

tan dia putar tubuh.

Sejenak perempuan ini pandangi pemuda 

berpakaian biru gelap, yang saat ini sedang me-

nyeringai.

"Jahanam! Gayanya membuat tanganku 

gatal untuk mengepruk kepalanya!" makinya da-

lam hati. Lalu berkata, "Orang muda! Aku juga 

punya urusan yang sama dengan pemuda setan 

itu! Bagaimana bila kau yang kuminta harus me-

nyingkir?!"

Pemuda yang di keningnya melingkar ikat 

kepala berwarna sama dengan pakaiannya, men-

dengus. Lamat-lamat tangannya yang dilipat di 

dada tadi diturunkan, kali ini berada di ping-

gangnya, yang melilit sebuah tali sebesar ibu jari.

"Dengarkan ucapanku! Jangan membuang

nyawa sia-sia di hadapanku!!"

Makin mengkelap Iblis Kelabang melihat 

sikap si pemuda.

"Katakan, siapa kau adanya?!"

"Panggil aku dengan julukan Manusia Se-

puluh Siluman!!"

"Heem... julukannya cukup mengkederkan 

orang. Tapi sikapnya, membuatku tak tahan lagi 

untuk merobek mulutnya! Hanya sekarang, akan 

kubiarkan dia bertarung dengan Pendekar Slebor! 

Paling tidak, aku tak akan banyak membuang te-

naga!"

Memutuskan demikian, Iblis Kelabang pa-

lingkan kepalanya pada Pendekar Slebor.

"Urusan yang terjadi di antara kita, boleh 

ditunda sekarang! Tetapi nampaknya, pemuda 

yang mengaku berjuluk Manusia Sepuluh Silu-

man ini, akan membuat hidupmu akan berakhir 

sampai di sini!!"

Sementara Pendekar Slebor mendengus, 

Manusia Sepuluh Siluman perlihatkan senyuman. 

Secara tidak langsung, dia menganggap kalau pe-

rempuan berpakaian semerah darah itu jeri ter-

hadapnya.

Lalu didengarnya lagi ucapan si perempuan 

pada Pendekar Slebor, "Kau mampus di tangan-

nya, akan membuatku senang! Bila pun kau tidak 

mampus, kau harus tetap berhadapan denganku! 

Tetapi yang perlu kusampaikan, kau harus mem-

pertahankan selembar nyawa busukmu darinya!!"

Andika yang sebenarnya sudah jengkel, 

cuma menyahut ringan, "Heran deh! Kok kau begitu mengkhawatirkanku!"

Sepasang mata Iblis Kelabang menyipit.

"Karena bila kau mampus, kau tak akan 

dapat menyelamatkan nyawa Gadis Kayangan!"

Sampai surut satu tindak ke belakang An-

dika mendengar ucapan Iblis Kelabang. Sesaat dia 

seperti kehilangan akal. Bahkan mulutnya terka-

tup rapat.

Melihat kalau pemuda urakan itu sedang 

cemas, Iblis Kelabang berkata lagi, "Nyawa Gadis 

Kayangan hanya dapat ditukar dengan Rantai Na-

ga Siluman! Bila kau gagal mendapatkannya, ma-

ka gadis itu akan tewas secara mengerikan!!"

Kendati saat ini Andika sedang terkejut, 

cemas sekaligus marah, namun dia masih dapat 

kendalikan diri untuk tidak perlihatkan sikap 

yang sesungguhnya.

Sambil nyengir dia berkata, "Kalau aku su-

dah mendapatkan Rantai Naga Siluman, di mana 

akan kutukarkan dengan Gadis Kayangan?!"

"Lembah Kalisura!" sahut Iblis Kelabang te-

gas. Lalu terlihat dia menyeringai. Sambil geleng-

kan kepalanya dia berkata, "Tetapi aku tidak ya-

kin kau dapat melakukannya, karena... nyawamu 

berada di ujung tanduk sekarang!"

"Maksudmu... aku akan kalah dengan Ma-

nusia Sepuluh Siluman? Wah! Lihat dulu dong!"

Di lain pihak, Manusia Sepuluh Siluman 

yang tadi sudah bangga karena merasa yakin ka-

lau perempuan berpakaian semerah darah itu 

ngeri terhadapnya, menggeram mendengar uca-

pan Pendekar Slebor.

Serentak dia angkat bicara, "Perempuan 

berambut kelabang! Apakah kau belum juga me-

nyingkir dari hadapanku, karena kau ingin mam-

pus?!"

Serta-merta Iblis Kelabang palingkan kepa-

lanya. Tatapannya begitu dingin sekali. Sesaat dia 

tak keluarkan suara.

"Jahanam sial! Ucapannya benar-benar 

membuat darahku mendidih! Tetapi, tugas yang 

diberikan Kiai Alas Ireng, secara tidak langsung 

telah ditanggulangi oleh pemuda keparat ini! Huh! 

Entah mengapa aku justru berharap dia yang 

mampus di tangan Pendekar Slebor!!"

Habis membatin begitu, suaranya terden-

gar geram, "Lakukan apa yang kau inginkan!!"

Seraya maju dua tindak ke muka, Manusia 

Sepuluh Siluman membentak, "Menyingkir!!"

Iblis Kelabang makin dongakkan kepala. 

Matanya pancarkan sinar berkilat-kilat tanda dia 

hampir tak kuasa menahan amarahnya lagi. Na-

mun karena merasa tak perlu membunuh Pende-

kar Slebor untuk saat ini, kejap berikutnya Iblis 

Kelabang sudah berkelebat. Dia berkeyakinan 

kuat, kalau Pendekar Slebor akan mempertahan-

kan selembar nyawanya. Apalagi saat ini, pemuda 

itu harus menyelamatkan Gadis Kayangan.

Dua pemuda yang berusia tak jauh berbe-

da itu, saat ini saling pandang dengan geram. Ma-

tahari semakin meninggi. Hawa kian bertambah 

panas. Dan di hati Manusia Sepuluh Siluman, ge-

jolak hawa panas bertanda amarah makin tinggi, 

sudah tak kuasa dibendung lagi.

Kali ini dia seperti tak hiraukan apa tu-

juannya semula yang diinginkan dari Pendekar 

Slebor. Dia lebih ingin melihat Pendekar Slebor 

tewas di tangannya. Kesombongan yang dimili-

kinya makin kuat melingkar di hatinya.

"Pendekar Slebor! Kita teruskan pertarun-

gan kita yang tertunda!!"

Anak muda urakan dari Lembah Kutukan 

itu cuma nyengir saja, padahal diam-diam dia 

membatin gelisah, "Celaka! Keadaan Gadis 

Kayangan saat ini sungguh membahayakan! Mo-

nyet buduk! Bila langkahku selalu tertahan seper-

ti ini, apakah aku bisa mendapatkan Rantai Naga 

Siluman?!"

Makin geram Manusia Sepuluh Siluman 

karena ucapannya tak mendapatkan sahutan. 

Tanpa menunggu lebih lama lagi, pemuda som-

bong ini telah mencelat ke depan. Angin meling-

kar mendahului celatan tubuhnya.

Di tempatnya, Andika mendengus. Anak 

muda ini pun tak mau membuang waktu. Lang-

sung dia menderu maju. Suara salakan petir ter-

dengar keras. 

Blaaarrr!!

Angin melingkar yang dilepaskan Manusia 

Sepuluh Siluman pecah berantakan. Menyusul....

Buk! Buk!

Dua lengan yang telah dialiri tenaga dalam 

bertemu. Seketika masing-masing orang surut ti-

ga tindak ke belakang. Namun yang mengejutkan, 

karena mendadak saja Manusia Sepuluh Siluman 

telah tepukkan kedua tangannya di atas kepala!

Gdreengg!!

Suara keras seketika terdengar. Andika 

sendiri sampai alirkan tenaga dalamnya ke telin-

ga. Saat itu pula kedua matanya seperti melompat 

keluar. Karena mendadak saja dia melihat sosok 

Manusia Sepuluh Siluman menjelma menjadi tiga 

orang!

Masing-masing orang bersedekap dengan 

kedua kaki agak dibuka!

"Kutu monyet! Ketika dia menyerang Setan 

Cambuk Api, dia telah membuat dirinya menjadi 

dua orang! Tetapi sekarang, dia menjelma menjadi 

tiga! Jelas dia tidak memiliki saudara kembar, se-

perti halnya si Kembar Parang Maut yang telah 

tewas! Ini memang sebuah ilmu!!"

Salah seorang dari Manusia Sepuluh Silu-

man yang berdiri di tengah, perlihatkan serin-

gaian.

"Kali ini, jangan harap kau dapat melo-

loskan diri!"

Di seberang, Andika sedang memikirkan ja-

lan keluar dari sosok Manusia Sepuluh Siluman 

yang menjelma menjadi tiga orang.

"Salah satu dari wujud itu, tentunya sosok 

Manusia Sepuluh Siluman yang asli! Tetapi, yang 

manakah? Apakah yang barusan berucap?! Bila 

memang...."

Belum habis kata-kata Pendekar Slebor, 

mendadak sosok Manusia Sepuluh Siluman yang 

berada di sebelah kanan mendesis dingin, "Kau 

tak akan mampu untuk mengalahkan Manusia 

Sepuluh Siluman!"

Kontan pupus dugaannya. Bahkan yang 

berada di sebelah kiri sudah buka mulut, "Jalan 

keluar sangat sempit sekarang! Tak ada lagi ke-

sempatan di depan mata!"

Baru menutup mulut sosok Manusia Sepu-

luh Siluman yang berada di sebelah kiri ini, sosok 

Manusia Sepuluh Siluman yang berada di tengah 

dan di sebelah kanan sudah menggempur ke arah 

Andika!

Angin melingkar yang keluarkan suara 

menggidikkan menggebrak.

Andika sadar kalau dia harus mengalahkan 

sosok Manusia Sepuluh Siluman yang asli. Na-

mun ketiga sosok Manusia Sepuluh Siluman ini 

benar-benar tak dapat dibedakan sama sekali!

Hingga mau tak mau dia pun harus beru-

saha untuk menghadapinya. Masing-masing so-

sok Manusia Sepuluh Siluman yang telah meng-

gempur, benar-benar ganas dan mengerikan.

Hanya dalam beberapa kejap saja, tempat 

itu sudah menjadi porak poranda. Letupan demi 

letupan terdengar keras. Andika sendiri nampak 

agak kalang kabut. Setiap kali dia lepaskan se-

rangan balasan, setiap kali pula serangan itu pu-

nah. Belum lagi salah seorang dari sosok Manusia 

Sepuluh Siluman merangsek maju secara bergan-

tian!

"Kutu landak! Aku bukan hanya bisa 

mampus nih! Tetapi mampus dengan tubuh ter-

cacak!!" maki Pendekar Slebor. Parasnya berubah 

pucat.

Mendadak saja dia putar tubuh ke bela

kang. Saat hinggap kembali di atas tanah, nam-

pak seluruh tubuhnya diliputi pernik perak. Ru-

panya anak muda tampan ini telah keluarkan 

ajian 'Guntur Selaksa'.

Di seberang, tiga sosok Manusia Sepuluh 

Siluman tak pedulikan perubahan itu. Mereka te-

rus merangsek masuk. Andika sendiri sudah ber-

kelebat ke depan.

Suara gelegar guntur terdengar sangat ke-

ras.

Blaaarrr!!

Tiga gelombang angin melingkar yang dile-

paskan tiga sosok Manusia Sepuluh Siluman 

langsung punah. Berhasil memutuskan serangan 

lawan, Andika terus merangsek masuk.

Bersamaan suara gelegar guntur terdengar 

lagi, jotosan tangan kanannya mendarat telak pa-

da sosok Manusia Sepuluh Siluman yang menye-

rang dari sebelah kanan. Sosok orang ini tergon-

tai-gontai ke belakang. Nampak wajahnya merin-

gis seperti menahan sakit.

Namun... astaga!

Sosok Manusia Sepuluh Siluman yang me-

nyerang dari sebelah kanan ini telah berdiri tegak 

dan lancarkan serangan kembali tanpa kurang 

suatu apa.

"Kampret!" maki Andika dalam hati. Wa-

jahnya semakin tegang. Dia terus berusaha men-

gatasi serangan demi serangan yang datang. Na-

mun karena ketiga sosok Manusia Sepuluh Silu-

man memiliki kekuatan yang sama, akhirnya mau 

tak mau dia harus surutkan langkah.

Bahkan sosok Manusia Sepuluh Siluman 

yang menyerang dari sebelah kiri, telah sapukan 

kaki kanannya. 

Des!

Tepat mengenai tulang kering Andika. Anak 

muda ini mengaduh pelan dan berdiri agak sem-

poyongan. Bersamaan dengan itu, dua sosok Ma-

nusia Sepuluh Siluman lainnya, telah menderu 

diiringi teriakan mengguntur.

Seketika menegak kepala anak muda ini 

sementara tubuhnya masih tergontai-gontai. Sa-

dar kalau maut akan menjemputnya, segera dilo-

loskan lilitan kain bercorak catur dari lehernya. 

Langsung dikibaskan.

Wrrrrr!!

Satu gelombang angin raksasa yang per-

dengarkan suara mendengung laksana ribuan ta-

won murka, menderu ganas. Menyeret tanah dan 

ranggasan semak belukar.

Dua sosok Manusia Sepuluh Siluman yang 

sedang lancarkan serangan, melengak kaget. Me-

reka berusaha untuk hindari labrakan gelombang 

angin mengerikan itu. Namun karena datangnya 

lebih cepat, maka tubuh dua sosok Manusia Se-

puluh Siluman terlempar ke belakang.

Bersamaan dengan itu, sosok Manusia Se-

puluh Siluman yang tadi berhasil membuat Andi-

ka tergontai-gontai sudah lancarkan serangan pu-

la.

Andika yang memang tak mau bertindak 

ayal, segera alirkan ajian 'Guntur Selaksa' pada 

kain bercorak catur yang dipegangnya. Seketika

terdengar suara gelegar guntur yang mengerikan! 

Disusul dengan gelombang angin raksasa.

Kontan sosok Manusia Sepuluh Siluman 

terhempas ke belakang begitu terhantam.

Seperti yang dialami dua sosok Manusia 

Sepuluh Siluman yang telah terbanting ambruk, 

sosok Manusia Sepuluh Siluman yang ini pun 

ambruk pula.

Di tempatnya, Andika yang agak terengah-

engah mencoba mengatur napas. Dengan pung-

gung tangan kiri, dihapusnya keringat yang men-

galir.

Kejap kemudian, dia tolehkan kepala kare-

na terdengar suara tepukan orang. Hanya sekali, 

namun begitu keras.

Rupanya, sosok Manusia Sepuluh Siluman 

yang berada di samping kanan, telah tepukkan 

tangannya. Bersamaan dengan itu, dua sosok 

Manusia Sepuluh Siluman lainnya telah menjadi 

asap!

"Heemm... berarti yang berada di sebelah 

kananlah sosoknya yang asli," desis Andika den-

gan masih agak terengah.

Di seberang, Manusia Sepuluh Siluman te-

lah berdiri. Nampak dia harus kuasai keseimban-

gannya sebelum berdiri tegak. Pancaran matanya 

tajam menyorot.

"Jahanam sial! Kain bercorak catur itu je-

las bukan kain sembarangan! Tentunya sebuah 

kain sakti! Secara tidak langsung, dia telah pu-

nahkan ilmu Siluman 'Rubah Jasad Enam Mata' 

ini, karena mengenai bahuku sebelah kanan, di

mana kelemahan dari ilmu ini! Keparat!! Aku te-

tap tak akan mundur!!"

Habis membatin geram seperti itu, pemuda 

sombong ini sudah buka mulut, "Jangan ber-

bangga dulu kau berhasil memunahkan ilmuku 

yang satu ini! Kau...."

"Siapa yang bangga? Aku saja heran! Kok 

kau bisa kukalahkan ya?" sambar Andika memu-

tus kata-kata Manusia Sepuluh Siluman.

Di depan, pemuda berikat kepala biru gelap 

ini menggeram. Mendadak dia rentangkan tangan 

kanan kirinya ke samping. Menyusul diusap selu-

ruh tubuhnya.

"Busyet! Jenis ilmu Siluman apa lagi yang 

akan diperlihatkannya kali ini? Waktuku benar-

benar akan terbuang banyak! Padahal... nanti 

malam adalah saat purnama yang ditunggu! Te-

tapi sampai saat ini, aku belum berhasil menda-

patkan Rantai Naga Siluman! Ada dua urusan 

yang mengerikan! Pertama, Rantai Naga Siluman 

yang dikatakan Kala Ijo, akan mengamuk bila tak 

berhasil didapatkan pada saat purnama bulan ini! 

Kedua, nyawa Gadis Kayangan pun berada di 

ujung tanduk! Kura-kura bau! Apa yang harus 

kulakukan sekarang?!"

Sementara Andika membatin demikian, 

Manusia Sepuluh Siluman nampak masih terus 

mengusapi seluruh tubuhnya dengan kedua tela-

pak tangannya.

Lamat-lamat terlihat kedua tangannya mu-

lai ditumbuhi bulu-bulu lebat.

"Oh!" desis Andika terkejut. "Aku harus

mendahului menyerang sebelum dia berhasil 

mengeluarkan ilmu Silumannya yang satu ini!!"

Memutuskan demikian, Andika sudah 

menggebrak maju. Kain bercorak caturnya diki-

baskan dengan segera.

Di seberang, Manusia Sepuluh Siluman 

yang masih mengusapi seluruh tubuhnya melen-

gak. Mau tak mau dia hentikan gerakan tangan-

nya yang mengusapi tubuhnya. Segera dipalang-

kan kedua tangannya yang telah dipenuhi bulu-

bulu tebal.

Namun sambaran gelombang angin yang 

berasal dari kain bercorak catur, telah mendo-

rongnya. Terlempar lima langkah pemuda berpa-

kaian biru gelap ini.

Manusia Sepuluh Siluman yang semula be-

rusaha untuk keluarkan ilmu Siluman 'Jasad Ha-

rimau', untuk kedua kalinya terbanting kembali 

di atas tanah.

Namun kesombongan telah melingkupi di-

rinya kuat-kuat. Dengan menahan rasa sakit, di-

loloskan tali yang melingkari pinggangnya. Sete-

lah ditiup segera dilemparkan ke arah Pendekar 

Slebor!

Tali yang hanya sebesar ibu jari itu men-

dadak berubah menjadi ular cobra yang mendesis 

mengerikan. Andika yang merasa kalau kain ber-

corak catur yang dimilikinya mampu menanggu-

langi ilmu Siluman yang dimiliki Manusia Sepu-

luh Siluman, langsung menggerakkannya lagi.

Ular cobra jelmaan dari tali itu kontan ter-

lempar ke belakang dan menghantam sebuah pohon yang langsung tumbang karena terseret ge-

lombang angin dari kain bercorak catur. Saat ular 

cobra itu jatuh, seketika berubah ke wujud asal-

nya menjadi seutas tali!

Melihat berulangkali ilmu Siluman yang di-

keluarkannya dapat dipatahkan, paras Manusia 

Sepuluh Siluman benar-benar pias. Kesombongan 

yang dimilikinya telah luntur. Susah payah dia 

berusaha bangkit.

"Tak guna bila kuteruskan maksud Seka-

rang! Lebih baik menyingkir!" desisnya dalam ha-

ti. 

Lalu dengan suara geram dia berkata, 

"Pendekar Slebor! Saat ini aku mengaku kalah! 

Tetapi lain kali... kita akan berjumpa lagi!!"

Di tempatnya, Andika cuma mengangkat 

sepasang alis hitamnya saja.

"Terserah deh!" 

Lalu dilihatnya Manusia Sepuluh Siluman 

mendengus. Setelah itu, sosoknya berbalik dan 

berkelebat meninggalkan tempat itu.

Sepeninggalnya, Pendekar Slebor menarik 

napas lega.

"Urusan seperti baru dimulai. Sulit bagiku 

untuk mendapatkan Rantai Naga Siluman sebagai 

penukar nyawa Gadis Kayangan! Tetapi biar ba-

gaimanapun juga, aku akan tetap ke Lembah Ka-

lisura! Barangkali aku masih bisa menyelamatkan 

Gadis Kayangan!"

Diaturnya napas perlahan-lahan sembari 

melilitkan kembali kain bercorak catur pada lehernya.

"Rahasia Sebelas Jari hingga saat ini belum 

kudapatkan jawaban yang tepat. Bila memang se-

belas jari itu berarti sebelas orang dan titik kemu-

liaan itu dimiliki oleh salah seorang dari sebelas 

orang, siapakah orang itu? Wah! Bikin pusing ke-

palaku saja!!"

Mendadak anak muda urakan ini tertawa.

"Jangan-jangan, aku nih yang dimaksud 

sebagai orang mulia! Hahaha... busyet! Tidak ta-

hu malu betul!"

Lalu perlahan-lahan kepalanya dipalingkan 

ke arah perginya Iblis Kelabang tadi.

Setelah tarik napas, segera dihempos tu-

buhnya. Hanya dua kejapan mata saja, sosoknya 

sudah lenyap dari pandangan.

***

Dan tanpa sepengetahuan siapa pun, men-

dadak saja tanah yang berada di tengah-tengah 

Pulau Hitam meledak. Ledakannya begitu dah-

syat. Pasir-pasir hitam menyembur ke udara. Pu-

lau Hitam yang selalu gelap itu seolah bertambah 

gelap tatkala pasir-pasir hitam itu masih beter-

bangan.

Samar-samar mulai terlihat pendaran sinar 

bening di antara pasir-pasir hitam yang menguda-

ra. Tatkala pasir-pasir hitam itu mulai luruh, si-

nar bening itu semakin terang.

Lalu terlihat sebuah rantai yang pancarkan 

sinar bening. Kekuatan sinar bening itu seakan 

menerangi sebagian Pulau Hitam yang selalu diliputi kegelapan.

Mendadak saja rantai itu berputar sangat 

kuat, sehingga saat itu pula Pulau Hitam seraya 

dilanda gempa sangat dahsyat. Angin yang ditim-

bulkan oleh rantai yang tak lain Rantai Naga Si-

luman, serasa memporak-porandakan Pulau Hi-

tam. Menderu-deru angker dengan suara ribut.

Samar-samar nampak dua patahan pedang 

yang sebelumnya tertimbun pasir-pasir hitam itu. 

Menyusul dua patahan pedang buntung mencelat 

entah ke mana.

Keanehan yang terjadi bukan hanya men-

cekam, tetapi mengerikan!

Dan... astaga!

Seperti ada satu kekuatan yang menyen-

taknya, Rantai Naga Siluman mendadak saja 

mencelat. 

Wuuunggg!!

Suaranya sangat angker. Dan nampak ak-

hirnya Rantai Naga Siluman hilang dari pandan-

gan. Meninggalkan Pulau Hitam yang porak po-

randa!

Kelebatan Rantai Naga Siluman yang ber-

sinar terang benderang itu, memancing perhatian 

dua sosok tubuh yang berada di sebuah hutan. 

Seketika masing-masing orang angkat kepala.

***

9


"Gila! Benda apa yang berkelebat cepat dan 

berbentuk rantai itu?" desis orang yang mengena-

kan pakaian dan berkerudung merah.

"Rantai katamu?" desis orang yang menge-

nakan pakaian hitam. Menyusul dia berseru ke-

ras, "Iblis Rambut Emas! Rantai katamu? Gila! 

Tak salah lagi! Benda itu tentunya Rantai Naga 

Siluman!!"

Orang yang bicara tadi yang tak lain Iblis 

Rambut Emas adanya sejenak pandangi orang 

yang bicara kedua yang sudah bisa dipastikan 

Sangga Rantek adanya.

"Dicari sulit ditemukan! Saat kehilangan je-

jak justru muncul! Kita susul!"

Habis kata-katanya, perempuan berambut 

emas yang ditutupi kerudung merah ini sudah 

berkelebat. Menyusul Sangga Rantek menghem-

pos tubuh.

Pancaran sinar bening di udara tertangkap 

oleh pandangan masing-masing orang. Dan ini 

membuat keduanya semakin bersemangat dan 

kerahkan ilmu peringan tubuh masing-masing.

Melewati hutan yang panjang itu, kedua-

nya hentikan gerakan. Karena berjarak sepuluh 

langkah, nampak rantai yang pancarkan sinar 

bening itu berhenti, mengapung di udara.

"Iblis Rambut Emas! Jelas itu adalah Ran-

tai Naga Siluman! Kita coba untuk mengambil-

nya!

Habis kata-katanya, Sangga Rantek sudah 

menyergap. Iblis Rambut Emas yang sejak semula 

memang mempunyai niat busuk, mendadak men-

dorong tangan kanannya ke arah Sangga Rantek!

Seketika menghampar satu gelombang an-

gin kuat. Mendengar gebrakan angin dari bela-

kang, Sangga Rantek segera balikkan tubuh. Wa-

jahnya melengak dan....

Desss!! 

Kontan tubuhnya terhuyung ke belakang 

disertai pekikan tertahan. Saat ambruk di atas 

tanah, lemah Sangga Rantek menuding pada Iblis 

Rambut Emas yang sedang tersenyum.

"Kau...."

"Keputusan telah kubuat! Kau tak kuper-

lukan lagi, Sangga Rantek! Tak mungkin ada dua 

orang yang memiliki Rantai Naga Siluman! Maka 

kuputuskan, akulah pemiliknya!!"

"Jahanam!" maki Sangga Rantek sambil be-

rusaha berdiri.

Namun Iblis Rambut Emas telah dorong 

kedua tangannya lagi. Sebisanya Sangga Rantek 

menghindar. Akan tetapi, karena tubuhnya telah 

terkena hantaman sebelumnya, dia tak mampu 

untuk hindari dua gelombang angin tadi.

Maka tanpa ampun lagi, tubuhnya telak 

terhantam dan terlempar ke belakang. Lontaran 

deras tubuhnya baru terhenti setelah menabrak 

sebatang pohon. Terdengar suara 'krak' yang cu-

kup keras. Disusul terpelantingnya sosok Sangga 

Rantek ke depan.

Orang ini berusaha untuk angkat kepa

lanya. Dari hidung dan mulutnya telah mengalir 

darah segar. Namun dia tak kuasa lagi untuk hi-

dup lebih lama.

"Jahanam terkutuk... kau akan... mampus 

secara mengerikan...."

Hanya itu yang bisa dikatakannya sebelum 

mampu untuk selama-lamanya.

Iblis Rambut Emas cuma pentangkan se-

ringaian.

"Akulah yang berhak memiliki Rantai Naga 

Siluman!!" desisnya puas.

Lalu perlahan-lahan dia mendekati Rantai 

Naga Siluman yang masih mengapung di udara. 

Kepuasan nampak membayang di wajahnya. Na-

mun mendadak saja kepuasan itu putus, diganti 

keterkejutan yang sangat nyata!

Karena, mendadak saja sinar bening yang 

terpancar dari Rantai Naga Siluman sudah me-

lingkarinya. Dirasakan hawa yang sangat panas 

menerpa.

Menggeliat seraya berusaha lepaskan diri, 

Iblis Rambut Emas berusaha kerahkan tenaga da-

lamnya. Namun lingkupan sinar bening itu ber-

tambah kuat. 

Dan semakin lama bertambah panas.

Melolong setinggi langit Iblis Rambut Emas 

yang gagal mengerahkan tenaga dalamnya!

Tiga kejapan mata kemudian, perlahan-

lahan, lilitan sinar bening yang mendadak menja-

di sangat panas itu mengendor dan menghilang. 

Brukkk!

Kontan ambruk sosok Iblis Rambut Emas.

Pakaian dan kerudung yang dikenakannya telah 

hangus. Begitu pula dengan sekujur tubuhnya. 

Bahkan, wajahnya pun tak bisa dikenali lagi.

Kejap itu pula, Rantai Naga Siluman berke-

lebat kembali.

***

Pendekar Slebor terus berkelebat sedemi-

kian cepat. Dia memang belum tahu di mana 

Lembah Kalisura berada. Namun dia terus berlari 

mengejar waktu. Bayangan sosok Gadis Kayangan 

makin membias di benaknya, dan ini membuat-

nya begitu resah.

Di sebuah tempat, dia sempat bertanya di 

mana Lembah Kalisura berada. Setelah mendapat 

petunjuk yang berarti, kembali anak muda pewa-

ris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini berkele-

bat. Hatinya semakin dipilin rasa gelisah.

"Tak akan pernah kumaafkan diriku bila 

Gadis Kayangan celaka!" desisnya. Keringat Su-

dah membasahi sekujur tubuhnya. Tetapi dia tak 

bermaksud untuk berhenti sekali pun.

Tatkala malam memasuki persada, hati 

anak muda ini semakin gelisah.

"Purnama telah tiba kendati masih belum 

terang bersinar! Mungkin, inilah akhir dari perja-

lananku. Tak bisa kutentukan yang mana lebih 

dulu harus kutuntaskan, karena urusan terjadi 

secara bersamaan? Monyet buduk!"

Terus anak muda ini berkelebat dengan ha-

ti bertambah tak menentu. Napasnya mulai terputus-putus. Dadanya yang dibuncah kegelisahan 

seperti hendak meledak!

Lima belas tarikan napas berikutnya, dia 

hentikan larinya. Pandangannya tak berkedip ke 

depan. Dilihatnya sebuah lembah yang meng-

hampar luas di hadapannya.

"Inikah Lembah Kalisura?" desisnya. 

Lagi-lagi tak hiraukan keadaan dirinya 

yang mulai kelelahan, Andika berkelebat mende-

kati lembah yang terpentang di hadapannya. Dari 

atas, dapat dilihatnya kalau lembah itu tak ubah-

nya sebuah danau luas yang kering.

Dan dilihatnya dua sosok tubuh telah ber-

diri di tengah-tengah lembah. Andika memicing-

kan matanya. Sesaat nampak dia melengak tatka-

la pandangannya menangkap satu sosok tubuh 

yang tergolek di antara kedua orang itu.

"Melihat sosoknya, jelas yang seorang ada-

lah Iblis Kelabang! Tetapi, siapa orang yang men-

genakan jubah hitam itu? Jangan-jangan... dialah 

orang yang telah memerintahkan Iblis Kelabang 

untuk membunuhku? Kiai Alas Ireng!"

Untuk beberapa saat anak muda ini tak ke-

luarkan suara. Perlahan-lahan diatur napasnya. 

Setelah dirasakan tidak lagi memburu seperti ta-

di, segera dia berlari menuruni lembah!

Kedua orang yang diduga Pendekar Slebor 

memang benar. Mereka tak lain Iblis Kelabang 

dan Kiai Alas Ireng. Sementara sosok tubuh yang 

tergeletak bukan lain Gadis Kayangan adanya!

Dua pasang mata milik manusia-manusia 

sesat itu segera menangkap kelebatan sosok tubuh yang semakin lama semakin mendekat.

Iblis Kelabang segera kertakkan rahangnya, 

"Heemm... rupanya dia berhasil lolos dari serga-

pan Manusia Sepuluh Siluman! Entah dia berha-

sil mengalahkannya, atau memang berhasil melo-

loskan diri!"

Sementara itu, Pendekar Slebor yang berla-

ri menuruni lembah telah hentikan larinya dan 

berdiri sejarak delapan langkah dari hadapan 

masing-masing orang.

Sepasang mata Gadis Kayangan yang da-

lam keadaan tertotok, membiaskan kegembiraan.

Kiai Alas Ireng maju satu tindak ke muka.

"Selamat datang, Pendekar Slebor!"

Pendekar Slebor mengangkat tangan ka-

nannya dengan sikap santai. Padahal diam-diam 

dia tengah memikirkan bagaimana caranya me-

nyelamatkan Gadis Kayangan. Karena, Rantai Na-

ga Siluman yang dikehendaki orang-orang itu be-

lum ada di tangannya!

Dia berkata pada Iblis Kelabang, "Perem-

puan berpakaian semerah darah! Apakah lelaki 

itu yang kau maksudkan sebagai Kiai Alas 

Ireng?!"

"Yang sopan kalau bicara!!" hardik Iblis Ke-

labang dingin.

Pendekar Slebor cuma mengangkat kedua 

bahunya. Kiai Alas Ireng berkata dingin, "Kau li-

hat sosok gadis itu, bukan?! Kau bisa menda-

patkannya bila kau menyerahkan Rantai Naga Si-

luman!"

"Inilah yang membingungkanku! Hingga

saat ini aku belum berhasil mendapatkan Rantai 

Naga Siluman! Dan purnama telah datang! Berar-

ti...."

"Jawab pertanyaan orang!!" hardik Iblis Ke-

labang memutus kata batin Pendekar Slebor.

Segera Andika mengangkat kepalanya dan 

berkata, "Kalau soal Rantai Naga Siluman sih 

gampang! Tetapi bukankah sudah jadi peraturan, 

satu ditukar satu?!"

"Perlihatkan rantai itu kepadaku!!" bentak 

Kiai Alas Ireng.

"Wah! Kau pikir aku ini berotak bodoh? 

Sudah tentu Rantai Naga Siluman kusembunyi-

kan di satu tempat!"

"Jangan dusta!" bergetar tubuh Kiai Alas 

Ireng.

"Kalau tidak percaya ya sudah! Kau tidak 

akan mendapatkan Rantai Naga Siluman bila kau 

bersikeras dengan ucapan bodohmu itu!!"

"Jangan berlaku bodoh!" menghardik Iblis 

Kelabang. Dia tak pernah suka kalau Kiai Alas 

Ireng dipermainkan seperti itu. Perempuan yang 

telah masuk pada lingkaran hutang budi dan rela 

melakukan apa saja demi membalas hutang budi 

itu, sudah maju dua langkah ke muka.

Nampak dia sudah siap untuk lancarkan 

serangan. Tapi ditahan oleh Kiai Alas Ireng.

Lelaki bermata sipit ini sejenak pandangi 

Pendekar Slebor yang sedang memikirkan cara 

terbaik untuk menyelamatkan Gadis Kayangan.

Lamat-lamat terdengar suara Kiai Alas 

Ireng, "Aku tahu apa yang sedang kau permain

kan! Malam ini adalah malam purnama yang te-

lah ditentukan! Bila tak ada orang yang berhasil

mendapatkan Rantai Naga Siluman, maka benda 

itu akan mengamuk! Tetapi sukar ditentukan, 

apakah di saat purnama datang, atau sudah se-

tengah perjalanan waktu yang lebih tepat untuk 

munculnya Rantai Naga Siluman! Bila memang 

kau telah memiliki benda itu, kita tunggu sampai

purnama tepat berada di atas kepala kita!"

"Monyet pitak! Lelaki berjubah hitam ini le-

bih cerdik dari Iblis Kelabang! Secara tidak lang-

sung, dia mendesakku untuk menunjukkan Ran-

tai Naga Siluman! Aku juga tidak tahu kapan te-

patnya Rantai Naga Siluman akan muncul, yang 

pasti purnama malam ini! Huh! Siapa sih orang 

yang dimaksud dengan titik kemuliaan?"

Tak mendengar sahutan orang, Kiai Alas 

Ireng yang memang bermaksud menekan Pende-

kar Slebor terbahak-bahak.

"Kau tak berkata, berarti.... Rantai Naga Si-

luman belum kau dapatkan!! Itu artinya...." Kaki 

kanan Kiai Alas Ireng terangkat, tepat pada kepa-

la Gadis Kayangan yang segera pejamkan mata, 

"Dia akan mampus!!"

"Tunggu!" tahan Andika separuh gelisah. 

"Kau menang! Rantai Naga Siluman berada di ba-

lik pohon dari mana aku datang tadi!!"

"Ambil dan berikan padaku, maka gadis ini 

akan selamat!!"

"Landak busuk! Apa yang harus kulakukan 

sekarang?! Rantai Naga Siluman belum kuda-

patkan! Dan jelas lelaki berjubah hitam itu tak

akan pernah berpikir dua kali untuk membunuh 

Gadis Kayangan! Apakah...."

Mendadak saja terdengar suara menden-

gung yang sangat keras dari arah timur. Serentak 

orang-orang yang berada di Lembah Kalisura pa-

lingkan kepala.

Lamat-lamat mereka melihat sinar bening 

yang mengembang, seolah terangi Lembah Kalisu-

ra. Menyusul nampak sebuah benda di hamparan 

sinar bening itu.

"Gila! Benda apa itu?!" desis Iblis Kelabang 

tak berkedip.

Kiai Alas Ireng sendiri berkata, "Apakah 

ada orang yang datang ke sini dan perlihatkan il-

munya kepada kita?!"

Lain dari sikap Iblis Kelabang dan Kiai Alas 

Ireng yang kebingungan, Pendekar Slebor justru 

melengak.

"Rantai Naga Siluman," desisnya dalam ha-

ti. Anak muda ini sebelumnya memang telah me-

lihat benda sakti itu di Pulau Hitam (Baca : "Tabir 

Pulau Hitam").

Benda yang berbentuk rantai yang perli-

hatkan sinar bening itu terus menderu dan ak-

hirnya melayang-layang di atas kepala masing-

masing orang.

Suara yang diperdengarkan sungguh me-

mekakkan telinga. Dan sinar bening yang terang 

itu telah terangi Lembah Kalisura.

Tak ada yang keluarkan suara sama sekali. 

Masing-masing orang begitu takjub melihat keha-

diran benda aneh itu.

Menyusul terdengar suara Kiai Alas Ireng, 

"Gila! Apakah benda itu yang disebut Rantai Naga 

Siluman?!"

Iblis Kelabang sejenak pandangi Kiai Alas 

Ireng, lalu pandangi lagi pada Rantai Naga Silu-

man yang kali ini telah bergerak membentuk ling-

karan kecil dan gerakannya berada di atas kepala 

Pendekar Slebor! Pendekar Slebor sendiri menda-

dak menjadi ngeri. 

"Busyet! Mungkin waktu yang telah diten-

tukan telah tiba! Rantai Naga Siluman telah ke-

luar dengan sendirinya! Dan nampaknya... akulah 

korban pertama dari kesaktian Rantai Naga Silu-

man! Atau, sudah ada orang yang mendahului-

ku?!"

Berpikir demikian, berhati-hati Pendekar 

Slebor surutkan langkah tiga tindak ke belakang. 

Namun rantai yang perlihatkan sinar bening te-

rang benderang itu seakan mengikutinya. Tetap 

berputar di atas kepala.

"Kutu kupret!" maki Andika dengan pera-

saan tak menentu. Diam-diam dia kerahkan tena-

ga 'Inti Petir' tingkat pamungkas, bersiap bila se-

suatu yang tak diinginkan terjadi. Dan apa yang 

ditunggunya memang terjadi. Karena mendadak 

saja Rantai Naga Siluman melayang turun ke 

arahnya.

Wunggg!!

Kontan Andika dorongkan kedua tangan-

nya di atas kepala. Terdengar dua kali salakan pe-

tir yang keras. Namun yang mengejutkan, karena 

rantai itu seakan tak terpengaruh dengan sentakan kuat kedua tangan Andika. Padahal, tiga 

buah pohon bukan hanya akan langsung tum-

bang, tetapi juga menjadi serpihan bila terkena 

tenaga 'Inti Petir' tingkat pamungkas!

Bukan main gelagapannya anak muda ini, 

apalagi Rantai Naga Siluman mulai masuk pada 

kedua tangannya yang terangkat tadi. Terburu-

buru Andika hendak loloskan kedua tangannya. 

Namun tatkala dirasakan dia tak mengalami apa-

apa, diurungkan niatnya.

Dan anehnya, rantai yang tadi masuk ke

kedua tangannya, mendadak melompat dan me-

lingkar pada lehernya!

"Oh! Apa yang terjadi?! Mengapa jadi begi-

ni?!" desis Andika bingung. Dia sama sekali tak 

merasakan apa-apa. Bahkan seharusnya dia silau 

karena sinar bening itu tepat menerpa sepasang 

matanya. Namun, pandangannya tetap tak men-

galami perubahan.

Lamat-lamat Andika mulai menyadari, ka-

lau dia sama sekali tidak terganggu. Diam-diam 

dia berpikir, "Sungguh sesuatu yang di luar du-

gaanku! Begitu mengejutkan! Mengapa tahu-tahu 

Rantai Naga Siluman muncul dan berada pada-

ku? Apakah... busyet! Apakah sesungguhnya du-

gaanku tentang Rahasia Sebelas Jari adalah te-

pat?! Kalau memang begitu, berarti, akulah orang 

yang dimaksud dalam kata titik kemuliaan. Tetapi 

apa iya?!"

Sementara Andika masih menduga-duga 

apa yang terjadi, di seberang Kiai Alas Ireng ber-

pandangan dengan Iblis Kelabang. Sebelumnya,

kedua orang ini juga menduga kalau Rantai Naga 

Siluman telah muncul dengan sendirinya dan 

akan perlihatkan kesaktiannya pada siapa saja, 

karena tak seorang pun yang berhasil memecah-

kan tentang Rahasia Sebelas Jari.

Diam-diam pula, kedua orang itu sebenar-

nya sudah bersiap untuk mengambil langkah se-

ribu. Namun begitu dilihatnya kalau Rantai Naga 

Siluman menyantel di leher Pendekar Slebor, se-

gera mereka urungkan niat.

"Jahanam! Berarti apa yang dikatakan pe-

muda ini tadi benar! Kalau Rantai Naga Siluman 

berada di balik pohon yang dikatakannya! Tetapi, 

mengapa tadi dia kelihatan seperti kebingungan?" 

mendesis Iblis Kelabang-Sementara itu, Kiai Alas 

Ireng segera mendekati sosok Gadis Kayangan 

yang tergeletak. Pandangannya lurus pada Andi-

ka.

"Rantai Naga Siluman berada di depan ma-

ta! Benda itu harus kudapatkan. Dan gadis ini 

adalah kunci dari semua keinginan yang telah 

kususun!!"

Habis membatin demikian, lelaki berwajah 

tirus yang dihiasi kulit tipis ini berkata sambil 

menyeringai, 

"Kau telah bicara benar rupanya! Dan ini 

adalah kesempatan baik untuk mengadakan satu

pertukaran! Apakah kau sudah siap, Pendekar 

Slebor?"

Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah 

Kutukan yang masih kebingungan dengan hadir-

nya Rantai Naga Siluman yang ternyata berpihak

padanya, cuma mengangkat kepalanya saja.

"Aku tak tahu mengapa jadi begini?" desis-

nya. Memang, sesungguhnya rahasia dari Rahasia 

Sebelas Jari adalah seperti yang diduga Andika. 

Anak muda itu telah berhasil memecahkan ten-

tang Rahasia Sebelas Jari. Namun dia belum ber-

hasil menentukan siapakah orang yang dimak-

sudkan dalam kata titik kemuliaan.

Dan secara main-main, Andika telah me-

nentukan dirinya sendirilah yang dimaksudkan 

sebagai titik kemuliaan. Karena memang dialah 

orang yang memiliki hati lebih mulia dari sebelas 

orang yang terlibat urusan Rantai Naga Siluman.

Secara tidak langsung Andika telah berha-

sil memecahkan tentang Rahasia Sebelas Jari! 

Itulah sebabnya, Rantai Naga Siluman muncul 

dan berpihak padanya.

Terdengar suara Kiai Alas Ireng memecah 

kesunyian, "Serahkan Rantai Naga Siluman, ma-

ka gadis ini akan tetap hidup!!"

Andika mendesah pendek. "Mungkin ini 

memang kesempatan...."

"Kuhitung sampai tiga! Satu... Dua... ti...."

"Tunggu!" seru Andika yang membuat kaki 

kanan Kiai Alas Ireng yang siap menginjak hancur 

kepala Gadis Kayangan terhenti.

Seketika Kiai Alas Ireng mengangkat kepa-

lanya. Dengan senyuman mengejek dia berkata, 

"Bagus bila kau mengerti gelagat! Serahkan pada-

ku benda itu!!"

Andika menarik napas dan menghem-

buskannya perlahan-lahan.

"Bila kuserahkan Rantai Naga Siluman ini, 

tentunya urusan akan jadi kapiran! Tetapi bila 

tak kuserahkan, dapat kupastikan Kiai Alas Ireng 

tak mau lagi menunda keinginannya untuk mem-

bunuh Gadis Kayangan!"

Sejenak anak muda ini putuskan kata ba-

tinnya sendiri. Lalu sambungnya, "Terpaksa ini 

harus kulakukan...."

***

10


Memutuskan demikian, setelah menghela 

napas pendek, Andika loloskan Rantai Naga Silu-

man yang menyantel di lehernya. Diam-diam dia 

terkejut tatkala merasakan seperti layaknya me-

megang kapas belaka. Karena, benda yang masih 

pancarkan sinar bening itu seperti tak memiliki 

bobot!

Di seberang, melihat tanda-tanda kalau 

anak muda di hadapannya akan serahkan rantai 

sakti yang diinginkannya, diam-diam Kiai Alas 

Ireng tersenyum.

"Hemm... setelah kudapatkan Rantai Naga 

Siluman, gadis ini tetap akan kubunuh! Juga pe-

muda setan itu!"

Andika sendiri sejenak memandang dulu 

pada Gadis Kayangan, yang nampak berusaha 

memberi isyarat dengan matanya agar Andika 

jangan melakukannya. Namun Andika yang tak

ingin kejadian buruk dialami gadis itu, mendadak 

berkata, "Bebaskan dia!"

Kiai Alas Ireng tertawa. "Itu berarti kau 

membuatku untuk segera memutuskan niat! 

Baik! Kubunuh gadis ini sekarang juga!!"

"Tunggu!" seru Andika untuk kedua ka-

linya. Lalu dilemparkannya Rantai Naga Siluman, 

"Terimalah!" 

Wuuungg!

Begitu dilempar, benda sakti yang terus 

pancarkan sinar bening meluncur ke arah Kiai 

Alas Ireng. Kiai Alas Ireng bermaksud untuk sege-

ra menangkapnya.

Namun mendadak saja satu gelombang an-

gin yang perdengarkan suara dengungan laksana 

ribuan tawon murka sudah menggebrak keras. 

Kontan lelaki berjubah hitam ini angkat kepala. 

Sejurus kemudian dia palangkan sepasang tan-

gannya di depan dada disertai tahanan tenaga da-

lam.

Namun gelombang angin besar yang keluar 

dari kain bercorak catur yang tadi dikibaskan An-

dika, terus melabrak lelaki berjubah hitam itu. 

Serta-merta sosoknya terlempar ke belakang. Se-

telah tergontai-gontai beberapa saat, lelaki berwa-

jah tirus ini berdiri tegak dengan kertakkan ra-

hang. Dadanya dirasa nyeri.

Di lain pihak, Iblis Kelabang yang juga ter-

kejut melihat apa yang dilakukan Andika sudah 

melompat ke depan diiringi makian keras, "Terku-

tuk!!"

Andika sesaat melengak dan langsung su

rutkan langkah. Kejap berikutnya dia siap gerak-

kan kembali kain pusaka warisan Ki Saptacakra, 

sang Pendekar Lembah Kutukan.

Namun yang mengejutkan, sebelum Andika 

lakukan maksud, mendadak saja Rantai Naga Si-

luman yang tadi dilemparkannya kearah Kiai Alas 

Ireng berbalik pulang ke arahnya. Secara tiba-tiba 

pula, hawa yang panas luar biasa menguar!

"Gila! Rantai itu mendadak menyerangku?!" 

desis Andika kaget dan berusaha untuk menang-

kapnya.

Lagi-lagi sesuatu yang mengejutkan terjadi. 

Karena hawa panas yang dirasakannya hanya se-

kejap. Namun apa yang dialami Iblis Kelabang 

benar-benar mengejutkan.

Perempuan berambut dikelabang ini sama 

sekali tidak menyangka kalau secara tiba-tiba, 

Rantai Naga Siluman yang berbalik dan seperti 

hendak menyerang Pendekar Slebor, justru men-

garah padanya!

"Celaka!" desisnya terkejut. Terburu-buru 

dia lompat ke belakang. Namun hawa panas yang 

berpendar dahsyat itu, telah menghanguskan pa-

kaian yang dikenakannya. Dan sekarang perem-

puan ini hanya kenakan pakaian dalam saja.

Keadaan yang membuat paras Iblis Kela-

bang harus berubah memerah, ternyata tidak 

hanya terjadi sampai di sana saja. Karena men-

dadak sinar bening yang terpancar dari Rantai 

Naga Siluman, telah melingkupinya, melilitnya 

hingga dia melolong keras. Hawa panas yang tak 

terkira membakarnya hingga rambut perempuan

ini seketika rontok!

Andika yang tak menyangka keadaan itu, 

bermaksud untuk menolong Iblis Kelabang. Na-

mun dia harus urungkan niat karena hawa panas 

itu dirasakannya kembali.

Hal ini membuatnya harus surutkan lang-

kah kembali. Dipandanginya bagaimana Iblis Ke-

labang terus berteriak setinggi langit menahan ra-

sa sakit yang tak terkira. Hanya beberapa kejap 

saja nampak tubuhnya mulai menghitam. Tatkala 

perlahan-lahan lilitan sinar bening yang keluar 

dari Rantai Naga Siluman menghilang, sosok pe-

rempuan ini ambruk! Dan langsung menjadi 

mayat! Dari tubuhnya yang hangus itu, keluar 

asap yang berbau tidak sedap.

Di seberang, Kiai Alas Ireng yang juga tak 

menyangka akan hal itu, menjadi ciut. Tetapi 

hanya sesaat. Karena begitu dilihatnya sosok Ga-

dis Kayangan yang masih tergeletak di atas tanah, 

dia cepat menyergap ke depan.

Tidak tanggung lagi, kaki kanannya lang-

sung diangkat dan siap diinjakkan pada kepala si 

gadis!

"Heiii!!" Andika terkesiap melihat apa yang 

akan dilakukan Kiai Alas Ireng.

Kendati sadar waktu yang dimiliki tak me-

mungkinkan untuk menyelamatkan Gadis Kayan-

gan, namun dia berusaha untuk melakukannya!

Tetapi sudah tentu gerakan menginjak 

yang dilakukan Kiai Alas Ireng lebih cepat dari ge-

rakannya! Namun sebelum maut menimpa Gadis 

Kayangan, mendadak saja satu sinar bening telah

menderu angker.

Wuuunggg!!

Gelombang angin menderu dipadu dengan 

sinar bening yang meluncur.

Sambaran gelombang angin dan sinar ben-

ing yang keluar dari Rantai Naga Siluman itu, 

membuat sosok Andika terpental. Sementara ge-

lombang angin dan sinar bening itu terus mende-

ru, menghajar kaki kanan Kiai Alas Ireng!

Kontan terdengar lolongan yang sangat ke-

ras, sementara kaki kanan Kiai Alas Ireng hancur 

berantakan! Muncratan darah yang keluar men-

genai paras Gadis Kayangan yang melengak ka-

get. Tetapi karena saat ini dia tak bisa keluarkan 

suara dan gerakkan tubuh, maka yang bisa dila-

kukan hanyalah memejamkan sepasang matanya 

saja!

Sementara itu, sosok Kiai Alas Ireng ter-

huyung, lalu terpelanting. Dia kelojotan disertai 

lolongan keras. Kaki kanannya sebatas lutut telah 

hilang!

Andika lagi-lagi terkejut melihat apa yang 

terjadi. Dia tak ingin nasib naas yang menimpa 

Iblis Kelabang menimpa pula lelaki berjubah hi-

tam itu.

Tanpa sadar anak muda ini berseru, "Ta-

han!"

Sungguh aneh, karena Rantai Naga Silu-

man yang kembali keluarkan gelombang angin 

dan lilitan sinar bening, mendadak terhenti. Ge-

lombang angin dan sinar bening itu lenyap sama 

sekali. Namun Rantai Naga Siluman yang kini

mengapung itu tetap pancarkan sinar bening.

Ketegangan yang sesaat tadi sempat mem-

buat panik Andika, perlahan-lahan mereda.

"Cerita Kala Ijo memang benar. Rantai Na-

ga Siluman seolah digerakkan oleh orang yang 

memilikinya. Padahal benda sakti itu bergerak 

sendiri. Tetapi tadi, saat aku secara tak sengaja 

berseru, benda itu seolah memiliki naluri hidup 

sendiri. Berarti... mungkin memang akulah orang 

yang berhak memilikinya. Tetapi tidak, benda itu 

harus kuserahkan pada Kala Ijo."

Setelah membatin demikian, anak muda 

urakan ini segera mendekati Gadis Kayangan. Di-

periksanya sesaat tubuh gadis itu sebelum dibuka 

totokan yang dilakukan Kiai Alas Ireng padanya. 

Setelah mengejut sesaat, Gadis Kayangan yang te-

lah terbebas dari totokan Kiai Alas Ireng, justru 

merangkul Andika.

Gadis perkasa ini bukan hanya membuat 

Andika gelagapan, tetapi juga kebingungan. Apa-

lagi melihat gadis itu menangis.

Tetapi Andika mendiamkannya saja.

Justru Gadis Kayangan yang akhirnya 

menjadi malu sendiri. Buru-buru dia melepaskan 

rangkulannya dengan wajah tertunduk, memerah.

Andika cuma nyengir saja. Lalu bergerak 

cepat menuju sosok Kiai Alas Ireng yang masih 

kelojotan. Segera ditotoknya tubuh lelaki berju-

bah hitam itu hingga tak bergerak. Dengan gera-

kan sangat cepat, dia menotok urat-urat pada pa-

ha lelaki itu hingga lama kelamaan darah yang 

keluar dari kakinya yang telah kutung, terhenti.

Sesaat dipandanginya lelaki itu yang kare-

na tak kuasa menahan rasa sakit akhirnya jatuh 

pingsan.

Dihela napas perlahan.

"Aku tidak tahu, apakah urusan Rantai 

Naga Siluman sudah berakhir di sini atau tidak. 

Tetapi, aku akan tetap menyerahkan benda itu 

pada Kala Ijo, karena dialah orang yang berhak."

Setelah membuka totokannya pada Kiai 

Alas Ireng yang masih pingsan, anak muda ura-

kan ini perlahan-lahan mendekati Rantai Naga Si-

luman yang masih mengapung. Tanpa ada masa-

lah, diambilnya benda itu lalu dikalungkan.

Setelah itu, dengan pergunakan sebatang 

ranting, Andika menguburkan mayat Iblis Kela-

bang. Lalu didekatinya Gadis Kayangan.

"Aku tidak tahu apakah yang kulakukan 

ini benar atau tidak. Tetapi, lebih baik kau ikut 

denganku untuk mencari Kala Ijo, untuk menye-

rahkan Rantai Naga Siluman ini padanya."

Gadis Kayangan yang baru terbebas dari 

malapetaka beruntun yang mengerikan, hanya 

menganggukkan kepala. Lalu perlahan-lahan ber-

diri.

Setelah pandangi wajah pemuda di hada-

pannya, dia pun segera mengikuti langkah pemu-

da tampan dari Lembah Kutukan itu....


SELESAI



Segera terbit!!!

KALUNG SETAN

























 

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive