"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 08 Agustus 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE DEWA LAUTAN TIMUR

Dewa LAUTAN TIMUR

 


Episode I: PEDANG BUNTUNG

Episode II: DEWA LAUTAN TIMUR 


DEWA LAUTAN TIMUR

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia. Jakarta

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Slebor dalam episode:

Dewa Lautan Timur 112 hal.


1


Di salah satu ruangan Pesanggrahan Bayu Api, 

suasana makin menyepi. Tak seorang pun yang 

membuka suara. Masing-masing orang dicekam 

pikiran dan kebingungan.

Keheningan itu dipecahkan oleh suara orang yang 

baru datang, "Orang tua... mengapa kau berpakaian 

seperti yang kukenakan? Dan wajahmu... mengapa 

begitu mirip sekali denganku?"

Orang yang duduk bersila di hadapan Pendekar 

Slebor dan Gadis Kayangan, rangkapkan kedua 

tangannya di depan dada. Laki berucap sopan pula, 

"Sobat... justru aku yang tak mengerti... mengapa 

pakaian yang kita kenakan dan wajah kita mirip 

satu sama lain? Siapakah kau sebenarnya?"

Orang yang baru datang menyahut tak kalah 

sopannya, "Namaku Purwacaraka dan orang-orang 

menjuluki ku Panembahan Agung! Siapakah kau 

adanya?"

"Begitu pula denganku. Nama dan julukanku 

adalah yang barusan kau sebutkan tadi."

Selagi kedua orang yang satu sama lain berwajah 

mirip dan masing-masing mengaku bernama 

Purwacaraka dan berjuluk Panembahan Agung, 

Andika yang sudah berdiri menggaruk-garuk 

kepalanya tidak mengerti.

"Kutu monyet! Apa-apaan ini? Mengapa ada dua

orang yang mengaku berjuluk Panembahan Agung?

Yang manakah Panembahan Agung yang 

sesungguhnya? Apakah yang sejak semula berbicara 

denganku dan Gadis Kayangan, ataukah orang yang

baru datang? Kampret mati! Sudah tentu tak 

mungkin kedua-duanya adalah Panembahan Agung! 

Tetapi yang mana yang asli? Dan siapa yang palsu?"

Sementara itu Winarsih atau yang dijuluki Andika 

Gadis Kayangan, hanya memperhatikan kedua orang 

tua itu secara bergantian. Satu sama lain berwajah 

dan bersikap mirip. Bahkan tatkala Panembahan 

Agung yang sejak Semula berbicara dengan mereka 

berdiri, tinggi mereka pun sama.

"Oh, Mengapa jadi begini?" desisnya galau. Dan 

hatinya mendadak tidak enak. Terlebih lagi tatkala 

menyadari kalau potongan pedang masih dipegang 

oleh Panembahan Agung yang sejak semula 

berbicara dengannya. Dia yakin salah satu dari 

kedua Panembahan Agung itu palsu. Tetapi 

menentukan yang mana yang asli dan yang mana 

yang palsu, bukanlah sesuatu yang mudah.

Sebelumnya, Winarsih memang terlebih dulu 

datang ke Pesanggrahan Bayu Api ketimbang 

Andika. Padahal seharusnya Andika yang datang 

terlebih dahulu. Karena dia harus menakut-nakuti 

tiga lelaki berpakaian hitam gombrang yang diupah 

oleh seseorang bersorban kuning untuk menjarah 

harta Panembahan Agung, terpaksa dia tak segera 

ke Pesanggrahan Bayu Api.

Sebelumnya Andika memang sudah memper–

kirakan ke mana perginya Winarsih atau Gadis 

Kayangan tatkala tak dijumpai di tempatnya semula. 

Makanya, dia tak terlalu merasa heran ketika 

bertemu dengan Gadis Kayangan di Pesanggrahan 

Bayu Api ini. Tetapi Gadis Kayangan yang memang 

belum dapat memutuskan apakah pemuda 

berpakaian hijau pupus itu kawan atau lawan,

terpaksa mengusir Andika. Setelah itu dia segera 

mendatangi Pesanggrahan Bayu Api.

Kedatangannya disambut oleh Panembahan 

Agung dan di saat percakapan terjadi, mendadak 

saja Panembahan Agung mengangkat tangan ke 

atas. Saat itu pula satu sosok tubuh yang ternyata 

Pendekar Slebor, meluncur jatuh.

Pendekar Slebor yang selain penasaran ingin 

mengetahui lebih lanjut tentang urusan dua 

potongan pedang, menceritakan tentang tiga lelaki 

berpakaian hitam gombrang yang diperintahkan oleh 

orang bersorban kuning untuk menjarah harta milik 

Panembahan Agung.

Dan selagi percakapan itu terjadi, semua 

dikejutkan dengan satu sapaan halus. Lebih terkejut 

lagi tatkala yang menyapa itu adalah sosok orang 

yang sangat mirip dengan Panembahan Agung yang 

duduk bersila di hadapan sepasang remaja itu 

(Untuk lebih jelasnya, silakan baca: "Pedang 

Buntung").

Saat ini Panembahan Agung yang baru datang, 

sedang berkata sopan setelah memandang 

Panembahan Agung yang satunya lagi, "Kawan... 

mengapa kau harus menyamar sebagai diriku? 

Apakah kau lupa, kalau tindakanmu itu sangat 

tidak menyenangkan."

Panembahan Agung yang di tangan kanannya 

tergenggam potongan pedang yang dibalut kain 

pulih berkata, tak kalah sopannya. "Maaf... justru 

aku hendak bertanya... "Mengapa kau melakukan 

hal seperti ini?"

"Bagaimana mungkin aku menyamar sebagai 

diriku sendiri kalau memang akulah Panembahan

Agung."

"Begitu pula denganku. Kawan... tidak baik 

melakukan tindakan seperti ini. Tetapi. kau boleh 

mengatakan, keuntungan apa yang hendak kau raih 

dengan menyamar sebagai diriku?"

"Maafkan aku.... Justru aku hendak menanyakan 

hal itu padamu...."

Di lain pihak, Pendekar Slebor sedang 

menggaruk-garuk kepalanya. Anak muda urakan 

dari Lembah Kutukan ini, diam-diam bersiaga 

penuh. Karena dia yakin, salah seorang dari mereka 

adalah palsu dan tentunya menghendaki sesuatu.

Namun, siapa yang asli dan siapa yang palsu? 

Bahkan suara satu sama lain begitu mirip terdengar.

Jangankan Andika yang baru kali ini mengenal 

wujud dan sosok Panembahan Agung, orang yang 

telah mengenal sebelumnya pun tak akan mampu 

membedakan satu sama lain.

"Monyet pitak! Urusan lebih melebar lagi! Ah, 

potongan pedang yang merupakan pangkal dari 

semua itu berada di tangan Panembahan Agung 

yang sejak tadi berbicara denganku. Bisa jadi dia 

yang palsu, dan sebenarnya menyamar sebagai 

Panembahan Agung karena tahu kalau Gadis 

Kayangan akan menyerahkan potongan pedang itu 

padanya. Tetapi bisa juga aku salah, karena 

sesungguhnya memang dialah Panembahan Agung. 

Kadal buntung! Harimau bangkai! Bagaimana

caranya aku membedakan mereka?"

Garuk-garuk kepala sendiri anak muda ini.

Winarsih sendiri masih memperhatikan kedua 

orang tua yang satu sama lain tak ada bedanya, 

dengan kening yang semakin dikernyitkan.

Sementara itu Panembahan Agung yang baru 

datang berkata lagi, tetap sopan kendati dibaluri

sedikit kemarahan, "Kawan... aku tak mau 

memperuncing urusan. Lebih baik kau katakan 

siapa dirimu sebenarnya...."

Panembahan Agung yang satunya lagi berkata, 

"Maafkan aku.... Aku tak ingin bertindak tidak 

sopan. Tetapi nampaknya, apa yang kau lakukan 

sudah tentu tak akan mungkin kumaafkan. 

Menyamar menyerupai seseorang sudah tentu 

bermaksud buruk. Lebih baik katakan yang 

sebenarnya, biar urusan tak berlarut-larut."

"Kawan... sungguh semua ini sangat mengejutkan 

ku. Seperti biasa, aku selalu berjalan-jalan di 

padang rumput di belakang Pesanggrahan Bayu Api 

ini. Dan selalu kembali bila matahari sudah 

sepenggalah. Apakah kau tidak berpikir, kalau aku 

sangat terkejut karena ada tamu yang datang. Lebih 

terkejut lagi tatkala ada orang yang menyerupaiku."

Panembahan Agung yang memegang potongan 

pedang dibalut kain putih menggeleng-gelengkan 

kepalanya. Bibirnya tersenyum saat berkata, 

"Kebetulan... malam tadi keadaan tak begitu baik, 

hingga aku tak menjalankan kebiasaanku seperti 

biasa."

"Kawan... kesabaran seseorang ada batasnya." 

Kembali Panembahan Agung yang sebelumnya

berbicara panjang lebar dengan Andika dan 

Winarsih mengangguk-anggukkan kepala.

Andika yang masih berusaha untuk menentukan 

yang mana sesungguhnya Panembahan Agung 

membatin lagi, "Aku baru ingat sekarang. Bukankah 

tiga lelaki berpakaian hitam gombrang itu

mengatakan, kalau Panembahan Agung memiliki 

kebiasaan berjalan-jalan pada malam Kamis Legi di 

padang rumput di belakang pesanggrahan ini. Dan 

rasanya... orang tua yang sekarang telah diserahkan 

potongan pedang oleh Gadis Kayangan, sejak semula 

gadis ini datang, dia sudah berada di sini. Tetapi 

tadi dia mengatakan sedang tidak enak badan. 

Sebaiknya...."

Memutus kata batinnya sendiri, Andika berkata 

sambil nyengir, "Busyet! Baru aku tahu kalau kalian 

ini manusia kembar! Tetapi setahuku, kalau orang 

kembar itu tentunya memiliki sedikit perbedaan 

yang dapat diketahui oleh orang yang telah 

mengenal lama. Sayangnya, aku dan Gadis 

Kayangan baru mengenal kalian. Di samping itu, 

aku yakin, orang yang telah mengenal kalian lebih 

lama juga akan merasa kebingungan, karena bukan 

hanya sosok dan wajah kalian yang serupa, suara 

kalian pun tak jauh berbeda. Nah! Yang merasa 

palsu tunjuk tangan deh!"

Usul konyol yang dilontarkan Pendekar Slebor 

sudah tentu tak akan dilakukan oleh kedua orang 

yang mengaku sebagai Panembahan Agung. Bahkan 

bila diminta yang asli tunjuk tangan pun, rasanya 

terlalu riskan dilakukan oleh orang tua sebijaksana 

keduanya.

Andika tertawa sendiri setelah menyadari 

kekonyolannya. Lalu kalanya, "Kalau begini caranya, 

bagaimana kami bisa tahu siapa Panembahan Agung 

yang sesungguhnya? Mengaku anak kembar kalian 

tidak! Mengaku yang palsu juga tidak! Atau... begini 

saja deh! Orang tua, aku minta maaf sebelumnya. 

Kuharap kau mau menyerahkan potongan pedang

itu kepadaku...."

Panembahan Agung yang berdiri di sebelah kiri 

yang memegang kain putih berisi potongan pedang 

itu terdiam sejenak. Setelah memperhatikan benda 

yang dipegangnya, dia segera menyerahkan pada 

Andika.

"Anak muda... apa yang hendak kau lakukan?"

Andika nyengir sebelum menjawab, "Jangan salah 

sangka nih ya? Juga jangan tersinggung! Mungkin 

ini jalan satu-satunya yang terbaik agar urusan 

dapat diselesaikan secepatnya, kendati sebenarnya 

aku tidak sabar ingin menjitak siapa orang yang 

berani lakukan tindakan brengsek seperti ini! Nah! 

Siapa yang dapat mengatakan isi potongan pedang 

ini kepadaku?"

"Sudah tentu aku dapat mengalakannya," kata 

Panembahan Agung yang berdiri di sebelah kiri.

"Begitu pula denganku. Bukankah potongan 

pedang itu telah lama berada di tanganku? Sudah 

tentu aku sangat mengenalnya. Dan sedikit 

banyaknya, aku juga mengetahui isi potongan 

pedang yang berada di tangan adik seperguruanku 

yang berjuluk Pemimpin Agung," kata Panembahan 

Agung yang berada di sebelah kanan. Kemudian 

lanjutnya pada Winarsih, "Anak gadis... aku tahu 

kalau potongan pedang itu sebelumnya berada di 

tanganmu. Sekarang... ceritakan padaku apa yang 

telah terjadi pada gurumu?"

Winarsih yang masih terheran-heran dengan 

pemandangan yang ada di hadapannya seperti 

tergugu, seolah dia tak bisa membuka mulut lagi.

Andika yang segera berkata, "Pemimpin Agung 

telah tewas di tangan Sangga Rantek. Dan potongan

pedang yang sebuah lagi, yang merupakan Pedang 

Buntung, berada di tangan manusia itu."

Panembahan Agung yang baru datang itu 

menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tak kusangka kalau dia akan bernasib sial 

seperti itu. Ah... padahal aku belum menceritakan 

apa yang selama ini kurahasiakan. Ah, dia tentunya 

tak pernah mendengar tentang Laksmi Harum."

Mendengar ucapan Panembahan Agung ini, anak 

muda urakan yang berotak encer itu langsung 

berpikir, "Laksmi Harum. Menurut Panembahan 

Agung yang sejak tadi bercakap-cakap denganku, 

tak seorang pun yang mengetahui cerita tentang 

Laksmi Harum karena selama ini dipendamnya. 

Tetapi, Panembahan Agung yang baru datang telah 

mengetahuinya. Menilik keadaan sudah tentu 

keduanya memang Panembahan Agung, hanya tak 

mungkin keduanya benar-benar Panembahan 

Agung. Berarti... oh! Tak salah! Sudah pasti yang 

seorang lagi adalah Dewa Lautan Timur. Tetapi yang 

mana? Celaka! Bila ternyata dugaanku benar, 

urusan akan semakin repot! Tetapi sungguh hebat 

Dewa Lautan Timur yang mempunyai dendam 

setinggi langit pada Panembahan Agung ternyata 

masih dapat menahan dendamnya. Aku yakin, itu 

dilakukan karena dia sedang menikmati permainan 

yang diciptakannya."

Cukup lama tak ada yang membuka mulut 

sebelum Panembahan Agung yang baru datang 

berkata, "Anak muda... mengapa kau tak 

melanjutkan ucapanmu? Bila menuruti kata hatiku, 

aku tak bisa menahan diri lebih lama untuk mencari 

tahu siapa lelaki tua di hadapanku yang menyamar

sebagai diriku?"

Sebelum Andika menyahut, Panembahan Agung 

yang berdiri di sebelah kiri berkata setelah menghela 

napas masygul, "Urusan ini memang harus 

dituntaskan. Karena aku tak ingin ada orang yang 

menyamar sebagai diriku yang justru akan 

bertindak sembrono dengan membawa namaku 

dalam perbuatannya. Anak muda... lakukanlah apa 

yang hendak kau kerjakan."

Pemuda yang di lehernya melilit kain bercorak 

catur ini pandangi dulu masing-masing orang 

sebelum mendekati Gadis Kayangan. Lalu sambil 

nyengir dia berkata, "Maaf nih, ah! Aku mau berbisik 

dulu!"

Gadis Kayangan yang masih keheranan nampak 

menurut saja tatkala Andika membisiki sesuatu. 

Lalu terlihat kepalanya berpaling dengan pandangan 

terbuka.

"Kau...."

"Itu hanya dugaanku. Nah, sekarang kau lakukan 

apa yang kuminta tadi."

Gadis jelita berkepang dua ini masih pandangi 

Andika beberapa saat, sebelum akhirnya berkata 

sopan pada dua orang Panembahan Agung yang 

masih berdiri di hadapannya, "Kakek... maafkan 

sikapku ini. Terus terang, aku bingung menentukan 

siapakah di antara kakek yang benar-benar kakak 

seperguruan guruku. Aku harus menjalankan apa 

yang diminta oleh Pendekar Slebor."

Habis kala-katanya, gadis ini segera berkelebat 

keluar dari Pesanggrahan Bayu Api. Wajahnya 

masih diliputi tanya yang ingin segera didapatkan 

jawabannya.

Setelah itu Andika berkata, "Nah! Sekarang 

tinggal kita bertiga! Sekarang... kita sama-sama tahu 

kalau titik gambar yang tergambar pada dua potong 

pedang bila disatukan akan menuju ke Pulau Hitam. 

Kupikir kalian juga mengetahuinya. Yang ingin 

kuketahui, dapatkah kalian menuju ke Pulau Hitam 

tanpa bantuan titik-titik gambar yang tergambar 

pada dua potongan pedang bila disatukan?"

Dua orang yang mengaku sebagai Panembahan 

Agung sama-sama tak buka mulut. Sikap mereka 

tak menunjukkan rasa terkejut, khawatir atau 

marah diperlakukan seperti itu oleh Pendekar 

Slebor. Tetap tenang dengan wajah dan sorot mata 

yang menyiratkan kebijaksanaan tulus.

Dan serempak masing-masing orang 

menganggukkan kepala.

Panembahan Agung yang berdiri di sebelah kiri 

berkata, "Bagiku... tak jadi masalah. Karena semua 

untuk kedamaian di antara kita."

Yang di sebelah kanan menyusulkan kata, "Begitu 

pula denganku. Bila menuruti keadaan, aku sudah 

tak kuasa menahan diri. Tetapi, aku telah jenuh 

dengan segala pertikaian yang terjadi di antara 

sesama. Biarlah urusan ini kau yang menyele–

saikannya, Anak Muda."

"Kalau kalian tidak tersinggung dan memang 

bersedia... tunggu sebentar!!"

Mendadak saja Andika menggerakkan tangan 

kanannya ke atas. Tahu-tahu sebuah genting telah 

pecah dan menjadi delapan bagian. Yang enam buah 

dibiarkan jatuh ke lantai yang menimbulkan suara 

cukup keras, sementara yang dua lagi ditangkap 

dengan hanya pergunakan tangan kanannya saja.

Sebelum dia berkata, diselipkan potongan pedang 

yang terbalut kain putih ke balik pakaiannya, "Dan 

tentunya, bila kalian berhasil tiba di Pulau Hitam, 

sulit bagiku mengenali kalian! Maksudku, yang 

mana yang lebih dulu berada di sini, dan yang mana 

yang datang belakangan! Jadi, kalian kuhadiahkan 

tanda mata!" Dan dasar urakan, dia menyambung 

konyol, "Ingat Iho, dijual tidak laku! Tetapi kalau 

masih nekat mau menukarkan dengan sebungkus 

nasi uduk, ya terserah!"

Kemudian dengan pergunakan jari telunjuknya, 

diukir dua pecahan genting itu dengan huruf 'PS'. 

Yang satu diberi penekanan hingga agak menghitam.

"Nah! Sekali lagi maaf nih! Bukannya merasa 

ngetop makanya kuukir dua huruf awal dari 

julukanku! Tetapi ya... ini hanya sebagai tanda 

pengenal saja! Biar aku tidak semakin bingung bila 

berjumpa dengan kalian!"

Dan mendadak saja Andika melempar dua 

pecahan genting itu sekaligus.

Wiiingg!! Wiiinggg!!

Tap! Tap!

Tanpa bergeser dari tempatnya, masing-masing

orang yang mengaku sebagai Panembahan Agung 

telah menyambar pecahan-pecahan genting yang 

telah terukir huruf PS".

"Ayo, anak-anak! Perlihatkan pada Bapak!!" 

Panembahan Agung yang berdiri di sebelah kiri 

tersenyum geli melihat tingkah Pendekar Slebor. 

Sambil menggeleng-gelengkan kepala dia 

menunjukkan pecahan genting itu. Huruf 'PS' yang 

tertera tak begitu menghitam. Sementara 

Panembahan Agung yang berdiri di sebelah kanan

mendapatkan pecahan genting bertuliskan huruf 

'PS' yang agak menghitam.

"Sekarang... kalian sudah mendapatkan tanda 

masing-masing! Nah! Segera cabut deh menuju ke 

Pulau Hitam!! Ingat, waktunya hanya dua minggu!"

Makin lebar senyuman geli Panembahan Agung 

yang berdiri di sebelah kiri. Sementara Panembahan 

Agung yang mendapatkan pecahan genting 

bertuliskan huruf 'PS' agak menghitam, sudah 

melesat keluar. Gerakannya sangat cepat.

"Kek! Mengapa kau tak segera pergi?" usik Andika 

sambil perlihatkan cengirannya.

Panembahan Agung yang berdiri di hadapannya 

tersenyum. "Aku akan pergi sekarang!"

Lalu dengan langkah ringan dia segera keluar dari 

tempat itu. Diam-diam orang tua ini membatin, "Aku 

tahu siapa orang yang menyamar sebagai diriku. 

Memang dia orangnya. Apa yang diceritakan pemuda 

dari Lembah Kutukan itu memang benar. Tetapi, 

aku ingin melihat kecerdikannya. Lagi pula... orang 

yang menyamar seperti diriku tak lakukan tindakan 

apa-apa. Entah apa yang direncanakannya."

Sepeninggal dua orang yang mengaku sebagai 

Panembahan Agung, anak muda dari Lembah 

Kutukan ini menggaruk-garuk kepalanya yang tidak 

gatal.

"Busyet! Edan juga pikiranku! Bagaimana kalau 

keduanya berhasil mencapai Pulau Hitam sementara 

aku sendiri masih belum tahu di mana tempat itu? 

Monyet pitak! Kenapa aku tidak mikir-mikir dulu 

sih!!"

Selagi Andika membatin gemas begitu, satu sosok

tubuh berpakaian biru muda yang tak lain Winarsih

alias Gadis Kayangan, berkelebat masuk dan 

langsung bertanya, "Bagaimana, Andika?"

Andika yang sebenarnya bingung akan usulnya 

sendiri mengacungkan jempolnya, "Beres!"

"Apa yang kau lakukan?"

"Kuminta agar mereka menuju ke Pulau Hitam."

"Pulau Hitam? Oh! Bagaimana kalau keduanya 

tiba di Pulau Hitam sementara kau sendiri tidak 

tahu di mana pulau itu berada?" seru Gadis 

Kayangan.

"Itulah! Itulah yang kupikirkan!!"

"Huh! Dasar gemblung!!"

Dimaki seperti itu anak muda ini cuma nyengir 

saja. Lalu katanya, "Kita harus mencari Sangga 

Rantek untuk mendapatkan potongan pedang 

satunya lagi."

Winarsih cuma mendengus. "Berikan potongan 

pedang itu padaku!"

Masih nyengir Andika memberikannya seraya 

berseloroh konyol, "Wah! Cantik-cantik kok 

cemberut?! Nanti tidak ada yang mau lagi!!"

"Biarin!!" seru Winarsih seraya berkelebat keluar 

dari tempat itu.

Andika mengangkat kedua bahunya. Bila saja dia 

tahu kalau hati gadis itu berbunga-bunga karena 

dibilang cantik, sudah pasti dia akan meledeknya 

terus menerus,

"Huh! Urusan jadi panjang!"

Lalu dia segera menyusul Winarsih.

***

2


Setelah tiga kali penanakan nasi berlalu, dua 

sosok tubuh tiba di Pesanggrahan Bayu Api. Masing-

masing orang segera berhenti berlari. Pandangan 

keduanya tertuju pada Pesanggrahan Bayu Api.

"Sangga Rantek...," berkata perempuan yang 

mengenakan jubah dan kerudung merah, "Sejak kita 

bertemu dengan manusia celaka bernama Kasma 

Matur yang akhirnya mampus kubunuh, tak kita 

jumpai bangunan lain kecuali bangunan yang ada di 

hadapan kita. Apakah kau berpikir kalau bangunan 

itulah yang disebut Pesanggrahan Bayu Api?"

Lelaki setengah baya berpakaian serba hitam 

hanya mengangguk, tanpa palingkan kepalanya dari 

bangunan besar sejarak sepuluh tombak dari tempat 

mereka berdiri.

Setelah terdiam beberapa saat, barulah dia buka 

mulut, "Jelas kalau memang tempat itulah yang 

disebut Pesanggrahan Bayu Api. Tempat tinggal 

Panembahan Agung, kakak seperguruan dari 

Pemimpin Agung."

"Apakah kau berpikir kalau Pendekar Slebor 

berada di Sana?" tanya si perempuan lagi.

"Kuharapkan demikian biar urusan cepat selesai."

Perempuan berjubah dan berkerudung merah 

yang rambutnya berwarna keemasan katupkan 

mulut. Tetapi diam-diam dia berkata dalam hati, 

"Bagus bila memang demikian adanya. Setelah 

kubunuh pemuda dari Lembah Kutukan itu dan 

kudapatkan potongan pedang padanya, akan 

kubunuh juga lelaki sialan ini. Dengan begitu secara

tak langsung aku telah mendapatkan jejak menuju 

ke Pulau Hitam."

Si perempuan yang nampaknya memiliki niat 

busuk pada teman seperjalanannya ini tak lain 

adalah Iblis Rambut Emas, sementara lelaki yang di 

kedua pergelangan tangannya melingkar gelang-

gelang duri adalah Sangga Rantek.

Saat ini Iblis Rambut Emas berlagak tidak tahu 

kalau sebuah potongan pedang yang bila disatukan 

dengan yang dimiliki oleh Gadis Kayangan akan 

tergambar titik-titik yang jelas menuju ke Pulau 

Hitam, ada pada Sangga Rantek. Setelah bertarung 

singkat dengan Pendekar Slebor yang saat itu 

menyelamatkan Gadis Kayangan dari maut, Iblis 

Rambut Emas memainkan peranannya dengan 

mengatakan kalau Pendekar Slebor telah 

membunuh kekasihnya, padahal selama ini, tak 

seorang lelaki pun yang berniat menjadi kekasih 

perempuan kejam itu.

Bahkan Iblis Rambut Emas berlagak tidak tahu, 

kalau Pemimpin Agung tewas di tangan Sangga 

Rantek.

Sementara itu, Sangga Rantek yang merasa Iblis 

Rambut Emas tidak mengetahui apa yang telah 

dimiliki dan dilakukannya, merasa mendapatkan 

kesempatan untuk membunuh Pendekar Slebor. 

Karena sebelumnya, dia pun telah merasakan 

kesaktian anak muda dari Lembah Kutukan itu.

Masing-masing orang pun berkeyakinan kalau 

Pendekar Slebor dan Winarsih menuju ke 

Pesanggrahan Bayu Api. Di tengah jalan, mereka 

berjumpa dengan Kasma Matur, salah seorang yang 

telah diberi upah oleh Dewa Lautan Timur untuk

menjarah harta milik Panembahan Agung (Baca 

serial Pendekar Slebor dalam episode: "Pedang 

Buntung").

Sangga Rantek berkata, "Kita segera ke sana! 

Kepung tempat itu! Dan ingat... bukan hanya 

Pendekar Slebor yang akan kita hadapi! Tetapi juga 

Panembahan Agung!"

Iblis Rambut Emas melirik lelaki berhidung 

bengkok dan bermata bergelambir itu, "Huh! Tak 

perlu aku bersusah payah mencari kedua manusia 

itu! Tujuanku adalah dua bilah potongan pedang. 

Biar kunyuk ini yang mencarinya."

Habis membatin begitu, perempuan kejam 

berpakaian putih ini menganggukkan kepala.

"Kau ke sebelah kanan, aku ke sebelah kiri!"

Lalu tanpa menunggu sahutan orang, Iblis 

Rambut Emas sudah berkelebat ke arah kiri 

Pesanggrahan Bayu Api. Sangga Rantek mendengus 

dulu sebelum bergerak ke arah kanan.

Apa yang dilakukan kemudian oleh Iblis Rambut 

Emas memang sangat menyakitkan bila diketahui 

Sangga Rantek, apalagi saat ini sebenarnya dia 

tengah diperalat. Karena begitu sosok Sangga 

Rantek tak nampak, dia justru bersembunyi di balik 

sebuah pohon.

"Hhh! Tak perlu bersusah payah. Kukhawatirkan 

kalau Pendekar Slebor telah mengetahui kedatangan 

kami. Lebih baik menunggu apa yang akan 

dilakukan oleh Sangga Rantek."

Sementara itu lelaki berpakaian serba hitam 

mulai menyelinap masuk ke dalam Pesanggrahan 

Bayu Api. Dia tak meninjau bagian kiri karena 

dipikirnya itu akan dilakukan oleh Iblis Rambut

Emas.

Setelah menjelajahi segenap tempat dengan 

kesiagaan penuh, Sangga Rantek akhirnya 

memutuskan kalau tempat itu tak berpenghuni.

"Aneh! Apakah berita tentang Panembahan Agung 

yang berdiam di Pesanggrahan Bayu Api hanya 

berita angin belaka? Tak ada tanda-tanda di mana 

dia berada! Juga tak ada tanda-tanda kalau 

Pendekar Slebor ataupun Winarsih berada di sini! 

Jahanam keparat! Berarti pengejaranku sia-sia 

belaka! Huh! Dengan hanya pergunakan sebuah 

potongan pedang, sangat sulit kulakukan untuk 

menuju ke Pulau Hitam! Tetapi... aku yakin, titik-

titik yang tergambar pada dua potongan pedang, 

berawal dari pedang yang kupegang! Karena pedang 

ini adalah hulunya! Berarti... lebih baik 

kupergunakan kesempatan ini untuk 

mempelajarinya sejenak! Paling tidak, aku akan 

menuju ke Pulau Hitam!"

Memutuskan demikian, di samping juga merasa 

Iblis Rambut Emas masih sibuk menjelajahi tempat 

di bagian kiri, Sangga Rantek segera keluar dari 

tempat itu.

Setelah meyakinkan diri kalau Iblis Rambut Emas 

tidak mengintai perbuatannya, di balik ranggasan 

semak belukar, dengan hati-hati Sangga Rantek 

mengeluarkan kain hitam pembungkus Pedang 

Buntung bagian hulu.

Hati-hati pula ditelusurinya titik-titik yang ada 

pada Pedang Buntung itu. Cukup lama dilakukan 

sebelum akhirnya dia menganguk-anggukkan 

kepala.

"Dari titik-titik yang jelas ini, nampaknya aku

harus menuju ke arah barat. Tiba pada sebuah air 

terjun, aku harus mengarah sedikit ke barat daya. 

Ada dua buah bukit yang menjadi patokan. 

Sayang... hanya sampai di sana saja yang 

kuketahui. Tetapi paling tidak, aku sudah 

mendapatkan arah menuju ke Pulau Hitam."

Kembali lelaki berhidung bengkok ini 

membungkus kembali potongan pedang itu. Lalu 

diselipkannya ke pinggangnya. Setelah itu dia keluar 

lagi dari balik ranggasan semak menuju ke halaman 

depan Pesanggrahan Bayu Api.

Tak lama dia tiba, Iblis Rambut Emas pun 

muncul.

"Bagaimana?" tanyanya.

"Gagal!"

"Begitu pula denganku!" sahut Iblis Rambut 

Emas. "Jahanam keparat! Biar bagaimanapun juga, 

aku harus mendapatkan Pendekar Slebor! Pemuda 

celaka itu harus mampus di tanganku!!"

Sangga Rantek yang tetap menyangka kalau 

tujuan yang dilakukan perempuan jelita bermata 

kejam ini untuk membunuh Pendekar Slebor segera 

berkata, "Sangat sulit menentukan di mana dia 

berada. Bahkan Panembahan Agung pun tak 

kuketahui berada di mana. Tetapi, aku akan tetap 

memburunya!!"

Seperti orang kebingungan Iblis Rambut Emas 

ajukan tanya, "Lalu, apa yang akan kita lakukan?"

Sangga Rantek menatap lekat-lekat perempuan di 

hadapannya sambil membatin. "Perempuan keparat 

ini semakin membuatku yakin kalau dia memang 

tidak tahu tentang Pedang Buntung yang berada di 

tanganku! Bagus! Dengan kata lain, aku akan tetap

dapat mempergunakan kepandaiannya! Tak ada 

salahnya bila dia kuajak mengikuti arah dari titik-

titik yang tergambar pada Pedang Buntung ini! Toh 

dia tidak tahu ke mana arah yang akan kutuju!"

Berpikir demikian, Sangga Rantek berkata, "Kita 

tetap berkeinginan membunuh Pendekar Slebor! 

Kalau begitu... kita coba melacak jejaknya!" Habis 

kata-katanya, Sangga Rantek segera berkelebat ke 

arah barat.

Di lain pihak, Iblis Rambut Emas terdiam dengan 

kening berkerut. "Aneh, nampaknya dia begitu yakin 

dengan arah yang ditujunya. Padahal, bila memang 

Pendekar Slebor sebelumnya berada di tempat ini, 

belum tentu arah barat yang dituju. Kemungkinan 

lain... hmm... jangan-jangan... dia telah mempelajari 

titik-titik yang terdapat pada Pedang Buntung yang 

dimilikinya. Bagus! Aku akan berlaku bodoh dengan 

tidak mengetahui ke mana arah yang dituju! Luar 

biasa! Kau memang sangat cerdik, Iblis Rambut 

Emas!"

Sambil tersenyum puas memuji kecerdikannya 

sendiri, perempuan berkerudung merah ini segera 

menyusul Sangga Rantek ke arah barat.

***

Lelaki tinggi kurus berpakaian kuning-kuning itu 

hentikan langkahnya tatkala sepasang matanya 

yang menjorok agak ke dalam menangkap dua 

kelebatan tubuh tak jauh dari tempatnya berdiri. 

Dia beruntung karena saat ini dirinya agak tertutup 

oleh ranggasan semak belukar setinggi dada.

Sejenak lelaki ini tak berkedip memperhatikan

sebelum mendesis kaget, "Gila! Apakah aku tak 

salah lihat? Bukankah kedua orang itu Sangga 

Rantek dan Iblis Rambut Emas? Luar biasa! Sejak 

kapan dua manusia celaka itu bersahabat?!"

Sejenak lelaki berpakaian kuning-kuning yang tak 

lain Ki Pasu Suruan terdiam. Otaknya nampak 

berkerut memikirkan pemandangan yang dilihatnya.

Setahunya, kendati satu golongan, Sangga Rantek 

dan Iblis Rambut Emas bukanlah orang yang satu 

sama lain mempunyai hubungan baik. Kalaupun 

sekarang dilihatnya keduanya bersama-sama, 

tentunya sesuatu yang luar biasa.

"Iblis Rambut Emas memiliki hati busuk dan otak 

licik! Tak mustahil sebenarnya kalau dia sedang 

memperalat atau memainkan satu sandiwara 

sehingga Sangga Rantek mau berjalan bersamanya! 

Sementara Sangga Rantek, walau terkadang masih 

memiliki otak yang cemerlang, dia juga dapat 

bertindak tolol! Terutama bila ada orang yang 

memujinya! Dan tentunya ada sesuatu yang terjadi 

di antara mereka hingga masing-masing orang dapat 

berjalan bersama! Hmmm... hendak ke mana kedua 

orang itu?!"

Kembali salah seorang dari Dua Manusia Goa Se 

tan yang sedang menuju ke Pesanggrahan Bayu Api 

ini

terdiam. Kejap berikutnya dia mendesis lagi, "Aku 

menjadi ragu untuk menuju ke Pesanggrahan Bayu 

Api. Dua orang yang kubunuh itu memang 

menunjukkan arah ini menuju ke Pesanggrahan 

Bayu Api. Huhh! Apakah aku harus mengikuti 

keduanya untuk mengetahui apa yang dia lakukan?"

Lagi-lagi orang ini terdiam sebelum berkata

dengan kedua tinju mengepal, "Huh!! Pendekar 

Slebor telah membunuh adik seperguruanku! Dialah 

orang yang memiliki dua potongan pedang yang 

selama bertahun-tahun hendak dimiliki oleh Guru! 

Bahkan Guru harus mengorbankan nyawanya di 

tangan Pemimpin Agung!! Tidak! Tak perlu aku 

mengikuti keduanya! Tujuanku tetap Pendekar 

Slebor!! Akan kucabik-cabik tubuh pemuda itu 

sebelum mampus kubunuh!"

(Untuk mengetahui urusannya dengan Pendekar 

Slebor dan dua lelaki berpakaian hitam gombrang 

yang lak lain Dirgo Kantas dan Suronto Kakak yang 

dibunuhnya, baca: "Pedang Buntung").

Habis ucapannya, lelaki berpakaian kuning-

kuning ini segera berkelebat melanjutkan langkah. 

Namun baru dua tombak dia bergerak, mendadak 

dihentikan kelebatannya.

Serta-merta diarahkan pandangannya pada 

bayangan hitam dan merah yang semakin menjauh.

"Ihhhh! Naluriku mengatakan kalau keduanya 

baru saja meninggalkan Pesanggrahan Bayu Api! 

Dan sepertinya tak mendapatkan hasil apa-apa! 

Jangan-jangan... masing-masing orang mempunyai 

niatan untuk mendapatkan potongan pedang? Oh! 

Sebaiknya kuikuti saja ke mana kedua orang itu 

pergi! Barangkali saja akan membawaku pada 

tujuan yang kuinginkan."

Memutuskan demikian, Ki Pasu Suruan segera 

hempos tubuh mengikuti perginya dua orang itu.

***

3


Hari kembali lagi menjelmakan diri menjadi pagi. 

lautan sinar surya begitu indah ditemani langit yang 

membiru cemerlang. Burung-burung beterbangan 

kian kemari disertai kicaunnnya yang merdu.

Sebuah ranggasan semak menyeruak, menyusul 

munculnya sosok Pendekar Slebor dan Gadis 

Kayangan. Dan masing-masing orang perhatikan

sekelilingnya yang sepi, yang dihiasi beberapa buah 

pohon besar serta ranggasan semak belukar. Sejarak 

lima puluh tombak ke muka, terlihat hamparan 

rumput yang indah.

Lalu terdengar suara Gadis Kayangan, "Andika! 

Rasanya tak mungkin kita segera menuju ke Pulau 

Hitam, karena kita tak memiliki titik-titik pertama 

yang terdapat pada Pedang Buntung yang berada di 

tangan Sangga Rantek!"

Sejenak Andika melirik gadis di samping kirinya 

sebelum berkata, "Kau betul! Tetapi ya... aku sudah 

telanjur yakin sih dengan meminta dua Panembahan 

Agung itu untuk menuju ke Pulau Hitam. Jadi... 

mau tak mau kita harus berusaha untuk mencapai 

Pulau Hitam."

Terdengar dengusan Gadis Kayangan. Lalu 

katanya, "Salahmu sendiri! Tetapi terpaksa kuakui 

kalau usulmu itu memang usul yang terbaik!"

Kontan Andika palingkan kepala. Senyum 

konyolnya mengembang.

"Wah! Bagus deh kalau kau setuju dengan 

gagasan ku itu! Yah... maklumlah... otakku lagi 

encer. Tapi... kadang-kadang saja, kok."

Gadis Kayangan tak hiraukan si pemuda yang 

memuji dirinya sendiri. Dia teringat saat Andika 

berbisik mengatakan kalau dia harus menunggu di 

luar Pesanggrahan Bayu Api selagi anak muda itu 

menyelesaikan urusan dengan dua Panembahan 

Agung. Makanya dia berkata, "Andika... apakah kau 

tidak salah mengatakan, salah seorang dari Kakek 

Panembahan Agung adalah Dewa Lautan Timur?"

Anak muda urakan itu menganggukkan kepala. 

"Tidak! Aku tidak asal ngomong. Ingatkah kau apa 

yang diceritakan Panembahan Agung yang pertama 

kali berbicara dengan kita tentang masa lalunya? 

Dia mengatakan, tak seorang pun yang mengetahui 

masa lalunya itu. Bahkan gurumu sendiri tidak. 

Hanya kita yang tahu karena dia telah 

menceritakannya. Akan tetapi... seseorang 

mengetahui persoalan itu." "Dewa Lautan Timur 

maksudmu?" "Tidak salah!" sahut Andika serius. 

Lalu nyengir. "Tak kusangka kalau kau pandai juga 

ya?" Winarsih keluarkan dengusan keras. 

"Brengsek!" makinya dalam hati. Lalu berkata, 

"Karena Dewa Lautan Timur adalah orang yang 

terlihat dalam urusan asmara masa lalu 

Panembahan Agung, jadi kau menduga salah 

seorang dari kedua orang itu adalah Dewa Lautan 

Timur?"

"Pintar lagi!"

Winarsih lak menghiraukan godaan Andika. Dia 

ajukan tanya, "Tetapi... yang mana di antara mereka 

adalah Dewa Lautan Timur?"

"Itulah yang sulit! Soalnya, masing-masing orang 

tahu persis urusan masa lalu yang terjadi! Dewa 

Lautan Timur mencintai Laksmi Harum! Tetapi dia

gagal mendapatkannya karena dulu dikenal sebagai 

pemuda berotak jahat! Panembahan Agung lebih 

beruntung lagi kendati sebelumnya dia mencoba 

menolak untuk memperistri Laksmi Harum! Nah! 

Hanya kedua orang itu saja yang tahu urusan 

masing-masing! Dugaanku, salah seorang dari 

mereka adalah Dewa Lautan Timur! Jangan 

tanyakan yang mana Panembahan Agung 

sesungguhnya dan yang mana Dewa Lautan Timur?"

"Bukankah kita tahu, kalau Dewa Lautan Timur 

masih memiliki dendam pada Panembahan Agung? 

Bahkan dia yang telah menyuruh tiga lelaki 

berpakaian hitam gombrang yang kau ceritakan, 

untuk menjarah harta milik Panembahan Agung? 

Kalau begitu... mengapa Panembahan Agung palsu 

itu tidak menyerang Panembahan Agung yang asli?"

"Itu tak bisa kutebak mengapa. Hanya saja... 

kemungkinannya seperti ini. Panembahan Agung 

palsu atau yang kemungkinan besar adalah Dewa 

Lautan Timur, memang sengaja mencoba untuk 

mengacaukan pikiran di antara kita. Paling tidak, 

dia berharap kita akan bersimpati padanya 

sementara kita akan menyerang Panembahan Agung 

yang palsu. Lainnya aku tidak tahu."

"Bila memang demikian adanya, mengapa Dewa 

Lautan Timur datang paling akhir?"

"Hei!! Jadi kau menyangka Panembahan Agung 

yang asli yang pertama kali bicara dengan kita?"

Gadis Kayangan meragu, lalu perlahan-lahan 

gelengkan kepalanya.

"Aku tidak tahu. Kau sendiri?" "Wah! Kok tanya 

aku, sih? Aku sendiri bingung! Bila memang kau 

mengatakan Panembahan Agung yang asli adalah

orang yang pertama bicara dengan kita, aku punya 

sedikit alasan untuk membantahnya. Karena, 

sebelumnya aku mengetahui kebiasaan 

Panembahan Agung dari tiga lelaki berpakaian hitam 

gombrang yang diberi upah oleh Dewa Lautan Timur 

untuk menjarah harta milik Panembahan Agung, 

kalau Panembahan Agung suka berjalan-jalan di 

padang rumput di belakang rumahnya setiap Kamis 

malam. Terus terang, semula aku tak ingat akan hal 

itu, karena tak kupikirkan akan muncul seorang 

Panembahan Agung lainnya."

Andika menarik napas dulu sebelum 

melanjutkan, "Kendati Panembahan Agung yang 

bercakap-cakap pertama dengan kita mengatakan 

alasan saat itu keadaannya kurang enak, aku tak 

bisa mempercayainya begitu saja. Dan bila memang 

Panembahan Agung yang datang belakangan adalah 

yang palsu tentunya dia memang telah menyelidiki 

kebiasaan Panembahan Agung yang asli. Tetapi, aku 

tak bisa memutuskan siapa yang palsu dan siapa 

yang asli."

"Lantas... bagaimana bila keduanya berhasil 

mencapai Pulau Hitam sementara kita tak akan 

pernah sampai ke sana?"

"Jangan bersikap meragu. Kita pasti akan sampai 

ke sana. Bukankah bila kita memiliki keyakinan, 

maka itu sudah menjadi modal utama dalam setiap 

langkah?"

"Huh! Bicaramu sok seperti seorang guru!"

Andika nyengir sambil garuk-garuk kepalanya 

yang tidak gatal. Lalu katanya, "Bila yang kau 

khawatirkan terjadi... kupikir antara Panembahan 

Agung dan Dewa Lautan Timur akan terjadi

pertarungan yang sangat dahsyat di Pulau Hitam."

"Huh! Kau sendiri sih yang sok yakin!!"

"Habis... aku harus bagaimana lagi? Yang 

kukemukakan itu adalah gagasanku yang terbaik, 

Iho?!"

Winarsih cemberut. Namun dalam hati diam-diam 

dikaguminya juga kecerdikan pemuda tampan 

berambut gondrong acak-acakan ini. Memang, yang 

terjadi itu begitu membingungkan. Tak terkecuali 

Pendekar Slebor yang berotak seencer bubur pun 

akan kebingungan (Yeee... kan ceritanya Pendekar 

Slebor memang lagi kebingungan?).

Sesaat tak ada yang buka suara. Angin pagi 

berhembus sejuk. Kemudian terdengar suara anak 

muda konyol dari Lembah Kutukan ini, "Gadis 

Kayangan...."

"Namaku Winarsih!"

"Bodo, ah! Kau lebih pantas kusebut Gadis 

Kayangan!" sahut Andika cuwek. Lalu melanjutkan, 

"Bolehkah kulihat potongan pedang itu?"

"Kau sudah melihatnya saat Panembahan Agung 

yang berbicara pertama dengan kita membukanya."

"Maksudku... aku ingin melihat titik-titik gambar

yang tergambar pada potongan pedang itu." 

"Untuk apa?"

"Ya... barangkali saja akan membawa kita ke 

Pulau Hitam."

"Percuma! Karena awal perjalanan menuju ke 

Pulau Hitam, tergambar pada Pedang Buntung yang 

sekarang berada pada Sangga Rantek!"

"Tetapi kan... bisa kulihat dulu? Boleh, nggak? 

Boleh, nggak?" kata Andika dengan kata-kata yang 

terakhir diayunkan,

Tertawa sendiri Winarsih melihat sikap konyol 

Pendekar Slebor. Lalu diserahkannya potongan 

pedang yang dibungkus kain putih itu.

Setelah menarik napas, perlahan-lahan Andika 

membukanya. Diperhatikan dengan seksama titik-

titik gambar yang tertera pada potongan pedang itu. 

Titik-titik jelas yang membujur ke atas. Sementara 

Winarsih sendiri ikut memperhatikan.

Cukup lama kedua remaja itu mempelajari titik-

titik gambar yang tertera pada potongan pedang 

yang dipegang Andika.

Lalu terdengar kata-kata Andika, "Memang sulit 

menduga secara rinci arah yang kita tuju karena 

kita tidak memiliki petunjuk pada potongan pedang 

satunya lagi. Tetapi menurutlku... titik-titik gambar 

di potongan pedang ini berada di arah selatan. Bila 

kita telusuri ke belakang, nampaknya kita harus 

menemukan sebuah lembah yang cukup curam, 

entah lembah apa namanya. Ada dua ukiran pohon 

di sini. Dan kita harus masuk dari arah kiri. Berarti 

agak ke barat. Hmmm... tak bisa lagi kita tebak arah 

sebelumnya. Tetapi... yang pasti, kita harus datang 

dari arah barat lalu menuju ke arah selatan."

"Arah barat yang kita tempuh tentunya akan 

memberikan berbagai petunjuk, Andika. Dan sulit 

bagi kita menentukan arah bagian barat yang mana 

yang harus kita tuju. Maksudku, jalan yang benar-

benar menuju ke Pulau Hitam."

"Kau betul."

"Berarti... kita tak bisa menelusuri arah barat 

untuk tiba di Pulau Hitam." 

“Kau betul lagi."

"Dan yang paling pokok... kita akan tersesat

sebelum menuju ke Pulau Hitam." 

"Betul lagi."

"Apakah... kau ini! Kok sejak tadi betul-betul 

terus?!" pelotot Gadis Kayangan gemas, "Pikir dong 

yang benar?"

"Lho? Memang begitu adanya, kok. Apa yang kau 

kemukakan tidak salah." "Lantas bagaimana?"

"Bukankah kita bisa mencoba, langsung 

mengarah ke selatan?" aju Andika tersenyum.

Gadis Kayangan mengerutkan keningnya. 

"Maksudmu?"

"Dari arah yang tergambar di potongan pedang 

ini, Pulau Hitam berada di bagian selatan. Berarti... 

kita coba langsung menuju ke selatan."

"Andika... bukankah arah selatan juga masih 

banyak yang harus kita pertimbangkan?"

Sebelum Andika buka mulut, Gadis Kayangan 

sudah berseru, "Jangan bilang betul lagi!"

Ngakak gede-gede anak muda urakan ini. Gadis 

Kayangan yang semula sudah gemas man tak mau 

tertawa juga. Diam-diam, dia merasakan 

ketentraman bersama pemuda konyol urakan ini. 

Dan entah mengapa pula, kecemasan serta 

kebingungan yang melingkupinya selama ini, lamat-

lamat sirna.

Sambil menikmati perasaan gembiranya, murid 

mendiang Pemimpin Agung ini bertanya, 

"Bagaimana dengan penjelasanmu?"

"Kita memang akan menuju ke selatan. Paling 

tidak, kita akan mendapatkan tanda dua buah 

pohon berdekatan sebelum menemukan lembah 

yang curam. Setelah itu...."

"Kita terus menuju ke selatan sampai bertemu

tempat yang bernama Pulau Hitam." "Pintar!"

"Kalau begitu... kita berangkat sekarang?"

Andika membungkus kembali potongan pedang 

itu dengan kain putih. Lalu menyerahkannya lagi 

pada Gadis Kayangan.

"Kita isi perut dulu sebelum berangkat."

Habis kata-katanya, anak muda urakan ini segera 

berkelebat meninggalkan Gadis Kayangan. Perasaan 

tenang di hati gadis berkepang dua ini semakin 

menjadi-jadi. Dia tersenyum tatkala melihat 

bayangan hijau pemuda tampan itu menghilang dari 

pandangan.

Lalu berhati-hati dia berjalan mendekati sebuah 

pohon rindang dan duduk bersandar di bawahnya. 

Angin semilir membelai wajah jelitanya.

Dikenangnya lagi perjumpaannya dengan anak 

muda berpakaian hijau pupus itu. Dan disesalinya 

mengapa dia mencurigai anak muda itu sebelumnya. 

Tetapi sekarang, perasaan tenteram kian 

menyelimuti hatinya. Paling tidak, dia sudah 

mengutarakan maafnya di depan Panembahan 

Agung.

Ternyata dalam kesendirian yang cukup 

membingungkannya, masih ada orang lain yang 

akan mengisi hatinya. Bahkan mulai mengusap-

ngusap relung hatinya yang terdalam, hingga 

perasaannya seperti berada di awang-awang.

"Aneh! Apakah ini pertanda aku jatuh cinta?" 

desisnya bingung dan senang.

Lalu dibayangkannya kembali wajah, sikap dan 

perbuatan Pendekar Slebor. Apalagi begitu teringat 

kekonyolan yang dilakukan anak muda itu di saat 

berkata-kata. Makin dibayangkan, makin

terkembang senyuman di bibir gadis jelita berkepang 

dua itu.

Dan dia tak sadar tatkala seorang lelaki tua 

mengenakan pakaian kuning gombrang dengan 

sorban kuning menghiasi kepalanya yang lonjong, 

telah berdiri sejarak lima langkah dari hadapannya. 

Pandangan lelaki tua bermata kelabu ini 

memandang tak berkedip pada gadis yang masih 

bersandar di bawah pohon.

Tahu-tahu dia keluarkan dengusan.

Melengak gadis jelita ini mendengar dengusan

orang. Seketika dia angkat kepala dan kejap 

berikutnya kontan dia berdiri. Menyusul dia 

membentak, "Siapa kau?!"

***

4


Orang bersorban kuning itu perlihatkan 

seringaiannya. Entah kenapa Gadis Kayangan 

merasa hatinya seperti diremas kuat. Rasa ngeri 

sedikit membalurinya melihat wajah yang tak 

ubahnya setan belaka.

Perlahan dan sambil tindih kengeriannya, gadis 

jelita berkepang dua ini menyingkir agak kiri. Bila 

terjadi sesuatu yang tidak diinginkannya, sungguh 

berbahaya karena di belakangnya berdiri tegak 

sebatang pohon.

Kejap kemudian didengarnya suara lelaki tua itu, 

dingin dan menusuk, "Gadis Kayangan! Sebuah 

julukan yang patut kau sandang mengingat

kecantikan wajah mu! Julukan itu akan kubiarkan 

melekat pada dirimu tanpa merusak segala 

keindahan yang ada padamu! Tetapi... kau harus 

menyerahkan potongan pedang kepadaku sebagai 

gantinya!!"

Seketika lenyap rasa ngeri yang timbul begitu saja 

melihat wajah setan di hadapannya. Gadis yang 

memang agak panasan ini, langsung dapat menduga 

kalau lelaki tua bersorban kuning di hadapannya 

mempunyai maksud tidak baik.

Namun mendadak saja dia urungkan niat untuk 

keluarkan suara. Mulutnya mengatup rapat. 

Pandangannya agak menyipit, tak berkedip. Ada 

sesuatu yang melintas di benaknya.

Sambil pandangi kakek tinggi kurus bersorban 

kuning di hadapannya, diam-diam gadis ini 

membatin, "Orang tua ini bersorban kuning. Apakah 

bukan dia orangnya yang diceritakan Andika? Atau 

yang dikenal dengan julukan Dewa Lautan Timur. 

Oh! Kalau memang begini adanya, mungkinkah dia 

yang menyamar sebagai Panembahan Agung? Aku 

harus berhati-hati.".

Di depan, orang yang memang tak lain Dewa 

Lautan Timur, orang yang mempunyai dendam 

setinggi langit pada Panembahan Agung, 

mendengus.

"Anak gadis! Terlalu sayang untuk merusak wajah 

jelitamu itu! Tetapi tak pernah kulontarkan perintah 

sebanyak dua kali! Berikan potongan pedang itu!!"

Winarsih masih terdiam dengan pikiran berjalan, 

"Bila kuhadapi... sudah tentu aku tak akan menang. 

Tetapi, aku juga tak mau menyerahkan potongan 

pedang ini padanya. Oh! Mengapa Andika lama

sekali?"

Tatkala dilihatnya Dewa Lautan Timur yang telah 

meradang hendak buka mulut, buru-buru Winarsih 

berkata, "Orang tua... kau salah menduga kalau 

mengatakan aku memiliki potongan pedang itu!"

Bukannya gusar mendengar jawaban orang, Dewa 

Lautan Timur terbahak-bahak keras hingga kedua 

bahu kurusnya agak berguncang.

"Luar biasa! Baru kali ini ada yang berani 

berdusta di hadapanku! Anak gadis! Katakan sekali 

lagi! Kau seperti mengusap-usap kedua telingaku 

ini!!"

Wajah Winarsih agak memucat sekarang. Tetapi 

sudah telanjur basah, bila dia berdiam justru akan 

semakin memancing kemarahan lelaki di 

hadapannya ini. Berarti dia memang harus 

melanjutkan kebohongannya. Paling tidak, 

menunggu sampai Andika muncul.

"Mana mungkin aku berani berdusta di hadapan 

lelaki agung seperti kau ini! Bila aku berbuat 

demikian, berarti aku menggali lubang kuburku 

sendiri!"

Tawa keras Dewa Lautan Timur mendadak 

terputus. Sepasang mata kelabunya seperti 

memancarkan cahaya yang lebih pekat saat 

memandang tak berkedip pada Winarsih.

"Katakan!!"

"Gila! Mengapa tadi kukatakan seperti itu? Ah, 

urusan jadi membuatku serba salah! Padahal saat

ini seluruh rencana telah matang untuk menuju ke 

Pulau Hitam! Telah kusampaikan amanat Guru 

untuk menjumpai Panembahan Agung! Namun 

tanpa disangka, ada seorang lagi yang berlaku dan

berwajah mirip dengan Panembahan Agung sehingga 

sulit dibedakan! Dan sekarang... aku harus 

berhadapan dengan lelaki tua keparat yang menurut 

Andika adalah orang yang menyamar sebagai 

Panembahan Agung! Brengsek betul!!"

Habis membatin demikian, harga diri Winarsih 

yang sudah tersinggung terangkat naik. Tanpa 

hiraukan bahaya telah membentang di hadapannya, 

gadis ini berseru keras, "Apa yang akan kau lakukan 

bila aku tidak mau mengalakannya, hah?! Apa pula 

yang akan kau lakukan bila memang ternyata 

potongan pedang itu ada padaku?!"

"Berarti... kau akan menemui kematian!!"

Kejap itu pula tangan kanan lelaki bersorban 

kuning sudah terangkat. Bersamaan tangan yang 

diangkat itu, mendadak saja menggebrak gelombang 

angin berkekuatan tinggi. Menyeret tanah saat 

menggempur ke arah Gadis Kayangan.

Kendati Winarsih sudah bersiaga penuh, namun 

dia dibuat terkejut pula. Karena gempuran 

gelombang angin itu sangat cepat. Terburu-buru dia 

membuang tubuh ke samping kanan.

Blaaammm!!

Pohon besar yang berdiri tegak di belakangnya, 

terhajar gelombang angin itu. Daun-daunnya 

seketika berguguran. Beberapa dahan dan ranting 

patah berhamburan. Menyusul pohon itu bergetar 

kuat, lalu tumbang menimbulkan suara 

menggemuruh.

Di tempatnya, Winarsih terkesiap dengan dada 

naik turun.

"Gila! Gelombang angin itu seperti 

mempermainkan apa yang dihajarnya! Seperti

lakukan sebuah siksaan sebelum memukul roboh! 

Aku harus berhati-hati!!"

Di seberang, Dewa Lautan Timur putar tubuh 

menghadapi Winarsih kembali. Pandangannya 

menusuk tajam. Kedua tangannya mengepal kuat.

"Kau akan menyesali kekurangajaranmu ini, Anak 

Gadis!!"

Menyusul kembali diangkat tangan kanannya ke 

atas. Lagi-lagi bersamaan tangannya diangkat, satu 

hamparan angin mengerikan melabrak. Disusul

dengan hamparan angin lainnya.

"Ohhh!!" terdengar pekikan tertahan Gadis 

Kayangan. Dia mencoba untuk memapakinya. 

Namun begitu disadari kalau dia tak akan mampu 

papaki gelombang angin yang kedua, diputuskan 

untuk membuang tubuh kembali secara 

bergulingan.

Blaaarr! Blaaarrr!!!

Beruntung terdengar dua letupan keras 

menghantam dua bagian tanah yang berbeda. Dan 

langsung muncrat ke udara menghalangi 

pandangan.

Tatkala semuanya luruh kembali, nampaklah dua 

buah lubang yang cukup besar serta keluarkan 

asap. Sementara itu, Winarsih yang telah kembali 

berdiri tanpa disadarinya tubuhnya bergetar. Wajah 

pucatnya dihiasi keringat dingin yang mengalir 

Kedua bola matanya mengerjap-ngerjap tak ubahnya 

seekor kelinci yang masuk perangkap seekor 

serigala.

"Celaka! Mengapa aku tadi sempat mengkhayal 

yang bukan-bukan hingga tak mengetahui 

kehadirannya? Bila saja aku...."

Terdengar bentakan Dewa Lautan Timur 

memutus kata batin si gadis, "Kau akan menyesali 

semua tindakanmu ini, Anak Gadis! Tetapi... masih 

kupertimbangkan untuk tidak mencabut nyawamu 

bila menyerahkan potongan pedang itu! Hanya saja, 

tanpa kau serahkan pun aku akan dapat 

merebutnya! Dan satu permainan yang menarik 

telah ada di benakku!!" Lalu dia terbahak-bahak.

Di depan, Winarsih yang agak terengah-engah 

terkejut. Dia sadar arti 'permainan' yang diucapkan 

Dewa Lautan Timur.

"Jahanam keparat! Tak akan pernah kubiarkan 

lelaki tua itu menjamah tubuhku!!"

Habis memaki dalam hati, Winarsih membentak, 

"Kau terlalu banyak bermimpi! Mengapa tidak segera 

kau buktikan untuk mendapatkan potongan pedang 

itu? Tetapi sudah kukatakan, kau akan membawa 

kekecewaan yang dalam karena benda yang kau cari 

tidak berada padaku!!"

Terbahak-bahak Dewa Lautan Timur. Lalu 

merandek dingin, "Kau hendak mengatakan kalau 

potongan pedang itu berada di tangan pemuda 

berjuluk Pendekar Slebor? Ha ha ha... sangat 

menyenangkan sekali permainan yang kau berikan! 

Anak gadis... sejak tadi aku sudah melihat kalian 

berdua di sini! Dan pemuda itu telah menyerahkan 

kembali potongan pedang ke tanganmu, bukan? 

Atau... kau masih mau mungkir lagi?"

"Oh!" terkesiap Winarsih hingga tanpa sadar dia 

surut satu tindak ke belakang. "Gila! Jadi sejak aku 

masih bersama Andika di sini, dia sudah mengintip? 

Jahanam keparat!"

"Mengapa kau membisu seribu bahasa?!

Beruntung nasib Pendekar Slebor karena dia 

memutuskan untuk mencari makanan! Padahal, aku 

sudah siap untuk menghancurkan kalian berdua! 

Anak gadis... tentunya kau tak menyangsikan 

kepandaian anak muda dari Lembah Kutukan itu, 

bukan? Dan aku yakin, kalau anak muda itu 

sebenarnya telah tahu kedatanganku! Karena takut 

menghadapiku, dia sengaja memberikan kembali 

potongan pedang kepadamu! Bahkan berlagak 

untuk mencari pengisi perut! Padahal... dia mencoba 

menghindarkan kematian yang aku turunkan! 

Sayang sekali! Kau berwajah cantik tetapi mudah 

dipermainkan orang seperti itu!"

"Tidak! Tak mungkin Andika melakukan hal itu! 

Jelas kalau dia memang tidak tahu menahu 

kehadiran manusia sesat ini!" yakin Winarsih dalam 

hati.

Dewa Lautan Timur yang sengaja mengacaukan 

perasaan si gadis berkata lagi, "Dan herannya, kau 

masih menunggu serta berharap kehadirannya? 

Bodoh! Sungguh bodoh! Lebih baik kau tinggalkan 

pemuda seperti itu! Kita bersama-sama menuju ke 

Pulau Hitam dan memecahkan segala rahasia yang 

ada di sana!!"

"Terkutuk! Tutup mulutmu!!" geram gadis 

berkepang dua ini dan langsung mendorong kedua 

tangannya ke depan. Dia tak mau lagi mendengar 

kata-kata berbisa Dewa Lautan Timur. Jurus 

'Matahari Tebar Sinar' telah dilepaskannya. Serta-

merta udara di sekitar sana berubah menjadi panas.

Namun lelaki berkepala lonjong itu hanya 

terbahak-bahak saja. Tanpa menggeser 

kedudukannya, dia hanya mengangkat tangan

kanannya saja.

Blaaammm!!

Gelombang angin panas yang dilepaskan 

Winarsih langsung pecah bermuncratan terhantam 

gelombang angin yang keluar dari gerakan tangan 

kanan Dewa Lautan Timur. Bahkan disusul dengan 

gemuruh angin laksana topan menghantam pesisir.

"Heiiii!!"

Memucat wajah Winarsih. Selain mendapati 

serangannya terhantam putus, dia juga terkejut 

melihat gebrakan berikutnya yang dilakukan Dewa 

Lautan Timur.

Sebisanya dia membuang tubuh. Sementara 

tanah di mana si gadis berdiri tadi, langsung 

membentuk sebuah lubang sedalam satu tombak 

dan keluarkan asap begitu terhantam gelombang 

angin pukulan Dewa Lautan Timur, yang sejak tadi 

lancarkan atau memapaki serangan Winarsih tetapi 

tak bergeser dari tempatnya.

Sejarak sepuluh langkah di muka, Gadis 

Kayangan berdiri sempoyongan seraya membatin 

resah, "Tak mungkin aku menghadapinya... tak 

mungkin aku menjauhinya.... Oh! Mengapa Andika 

belum muncul juga? Jangan-jangan... yang 

dikatakan lelaki tua celaka itu benar adanya? Dia 

memang sengaja... tidak! Tidak mungkin Andika 

melakukan tindakan keji seperti itu! Dia memang 

tidak tahu kalau Dewa Lautan Timur akan muncul! 

Tetapi... mengapa sampai saat ini dia belum hadir 

juga? Tak mungkin dia belum mendapatkan 

makanan sebagai pengisi perut...."

Sementara itu Dewa Lautan Timur tersenyum 

aneh.

"Hmmm... bila aku berhasil mengacaukan 

perasaan gadis ini, semuanya akan berhasil. Menilik 

sampai sekarang Pendekar Slebor belum muncul 

juga, sudah tentu nenek celaka itu berhasil 

menghadangnya. Mudah-mudahan dia dapat 

membunuhnya...," katanya dalam hati. Lalu 

menyambung, "Untuk apa kau harapkan 

kedatangan Pendekar Slebor? Lebih baik ikut 

denganku! Kita bunuh Panembahan Agung 

bersama-sama!"

Teringat akan Panembahan Agung, Gadis 

Kayangan berseru, "Manusia terkutuk! Berani-

beraninya kau menyamar sebagai kakekku!!"

Mendengar ucapan si gadis, nampak Dewa 

Lautan Timur melengak kaget. Seketika keningnya 

nampak berkerut.

"Menyamar sebagai Panembahan Agung? Huh! 

Pantang bagiku untuk melakukannya! Manusia 

keparat itu akan mampus di tanganku! Dia 

beruntung ketika tadi aku tiba di Pesanggrahan 

Bayu Api, manusia itu tak ada di sana! Tetapi... 

justru nasibku yang beruntung karena melihat kau 

dan Pendekar Slebor berada di sini! Dan aku yakin... 

bila saja aku mau lebih bersabar menunggu, akan 

terjadi pemandangan asyik masyuk di hadapanku!!"

Winarsih terdiam dengan napas turun naik. Dia 

membatin, "Aneh! Mendengar ucapannya, jelas dia 

memang baru berada di sini. Kalau begitu... apakah 

yang dipikirkan Andika salah? Kalau bukan 

manusia ini yang menyamar sebagai Panembahan 

Agung? Tetapi alasan yang diberikan Andika dapat 

diterima dan masuk akal. Huh! Tidak! Dia hanya 

mencoba untuk mengacaukan keadaan! Lebih baik

bertarung sampai darah penghabisan ketimbang 

menyerah begitu saja!"

Memutuskan demikian dan himpun segenap 

kekuatannya, mendadak saja Gadis Kayangan 

melesat ke depan seraya keluarkan jurus 'Matahari 

Tebar Sinar'.

Namun seperti tadi, Dewa Lautan Timur hanya 

mengangkat tangan kanannya saja. Begitu serangan

Gadis Kayangan putus di tengah jalan, tangan 

kirinya langsung diangkat.

Memekik tertahan gadis berbaju biru muda ini. 

Tak mungkin dia dapat memapaki serangan itu, juga 

untuk menghindarinya. Maka tanpa ampun lagi, 

dadanya telak terhantam gelombang angin yang 

dilepaskan Dewa Lautan Timur.

"Aaaakhhhh!!"

Kontan gadis ini terseret dua tombak ke belakang. 

Begitu ambruk di atas tanah, dia langsung jatuh 

pingsan.

Terbahak-bahak Dewa Lautan Timur melihatnya.

"Semuanya akan berhasil seperti yang 

kurencanakan...."

Lalu dengan langkah perlahan, dihampirinya 

sosok gadis jelita yang pingsan itu. Sejenak 

dipandanginya sekujur tubuh Gadis Kayangan.

Saat itu pula sepasang matanya berbinar-binar 

penuh kilatan birahi. Sambil menjilat bibirnya 

sendiri, lelaki tua berkepala lonjong ini meraba 

sekujur tubuh Winarsih. Lalu dimasukkan tangan 

kanannya di bagian pinggang sebelah kiri si gadis. 

Diambilnya potongan pedang yang dibungkus kain 

putih. Dibukanya sejenak untuk melihat isinya 

sebelum dimasukkan ke balik pinggangnya sendiri.

Kembali diperhatikan sekujur tubuh gadis jelita

ini.

"Hmmm... Pendekar Slebor belum muncul juga. 

Berarti nenek itu memang berhasil. Bagus... akan 

kulewati waktu untuk menikmati kehangatan tubuh 

gadis ini...."

Sambil menyeringai lebar, tangan kurus Dewa 

Lautan Timur bersiap untuk membuka pakaian 

Winarsih satu persatu. Namun baru saja tangan itu 

bergerak, mendadak saja dirasakan satu hamparan 

angin dingin menggebrak dari arah kanan.

"Heiii!!" mendongak Dewa Lautan Timur seraya 

melompat ke belakang.

Belum lagi disadarinya apa yang terjadi, 

mendadak saja satu sosok tubuh berpakaian hitam 

compang-camping telah berkelebat dan menyambar 

sosok Winarsih.

Keterkejutan Dewa Lautan Timur cuma sesaat. 

Karena di saat lain dia sudah mendorong tangan 

kanannya disertai makian, "Berhenttiiii!!"

Wuuuttt!

Namun bayangan hitam compang-camping itu, 

hanya menggerakkan tangan kirinya ke belakang. 

Wuss!! Blaaammm!!

Kalau tadi gelombang angin yang dilepaskannya 

tak bisa dipatahkan Winarsih, kali ini serangannya 

dapat diputuskan oleh si bayangan hitam. Bahkan 

mendadak saja terlihat Dewa Lautan Timur 

melompat ke samping kanan. Menyusul terdengar 

suara letupan yang menghantam tanah di mana tadi 

dia berpijak.

Sementara itu, si bayangan hitam telah lenyap 

dari pandangan.

"Jahanam terkutuk!" maki kakek bersorban 

kuning ini geram. Kedua tangannya dikepal erat-erat 

dengan tubuh bergetar tanda kemarahan menjalari 

seluruh aliran darahnya. "Siapa orang itu? 

Wajahnya sulit sekali kulihat! Gerakannya laksana 

dedemit belaka! Keparat sial!"

Lalu dihentakkan kaki kanannya ke tanah untuk 

lampiaskan kesalnya. Kontan tanah itu langsung 

amblas hingga ke dengkul. Saat ditarik kembali, 

tanah itu membuyar ke udara dan segera terbentuk 

lubang yang cukup lebar.

"Setan alas! Ada manusia yang berani lancang 

bermain-main denganku! Huh! Untuk saat ini, 

kulupakan siapa dia! Urusanku tetap dengan 

Panembahan Agung! Dengan potongan pedang ini, 

akan kucapai Pulau Hitam! Ingin kuketahui ada 

rahasia apa di pulau itu!"

Mendadak kepalanya diarahkan ke kiri dari mana 

dia datang tadi.

"Kupikir... tak perlu lagi kutunggu nenek celaka 

itu! Biarlah dia berurusan dengan Pendekar Slebor! 

Mampus pun aku tak peduli!"

Habis kata-katanya, dibukanya kain putih 

pembungkus potongan pedang. Diperhatikan dengan 

seksama, sampai kemudian terlihat kepalanya 

mengangguk-angguk.

"Hmmm... ke arah barat! Tetapi sebaiknya, 

kubunuh Sangga Rantek yang memiliki Pedang 

Buntung, yang merupakan hulu dari potongan 

pedang yang sekarang berada di tanganku ini!" 

desisnya sambil membungkus dan memasukkan 

kembali benda itu.

Kejap kemudian, dia sudah berkelebat ke arah

barat.

***

5


Sebenarnya apa yang alami Pendekar Slebor 

sehingga dia belum kembali juga ke tempat Gadis 

Kayangan? Setelah meninggalkan Gadis Kayangan 

untuk mencari makanan pengisi perut, anak muda 

urakan ini gagal menemukan pohon yang buahnya 

dapat dimakan. Yang tumbuh di tempat itu, rata-

rata pohon trembesi.

"Busyet! Kenapa tidak ada pohon buahnya? Apa 

dulu tidak ada orang yang iseng sehabis memakan 

buah bijinya dibuang sembarangan dan akhirnya 

tumbuh? Monyet Udik!!"

Selagi Andika memaki-maki sendiri sambil garuk-

garuk kepalanya yang tidak gatal, dilihatnya dua 

ekor kelinci bergerak cepat dari satu gerumbulan 

semak ke semak yang lainnya. Berbinar Andika 

dengan senyuman mengembang, Segera saja anak 

muda ini mengejar kelinci-kelinci itu,

Namun rupanya kelinci-kelinci itu paham kalau 

mereka sedang diburu, Mereka langsung masuk ke 

dalam lubang yang tak diketahui di mana 

tempatnya, Tinggal Andika yang cuma nyengir 

bercampur gemas,

"Busyet! Aku dipermainkan kelinci! Awas! Kalau 

kutangkap, akan kupanggang kalian!! Tapi... he he 

he... seharusnya kalian mengerti dong, aku kan lagi 

lapar nih! Bukannya bermaksud menghentikan

umur kalian, tapi kan aku lapar! Ayo dong... 

keluar... keluar...."

(Ealah, Bor, Bor, kok kagak tau malu sih?)

Lalu diedarkan pandangan ke sekelilingnya, 

mencoba mencari buruan lain. Tetapi sejauh itu, 

jangan kelinci-kelinci tadi yang tak juga keluar, 

burung-burung yang biasanya banyak beterbangan 

pun seolah tak diketahui di mana mereka saat ini.

"Monyet pitak! Kalau begini caranya, bakalan 

keroncongan nih!!" sungutnya agak jengkel.

Tatkala disadarinya kalau dia cukup lama telah 

meninggalkan Gadis Kayangan, Andika memutuskan 

untuk menemuinya kembali. Dia berharap agar 

gadis itu belum membayangkan makanan enak yang 

akan mengisi perutnya.

Baru saja dia berbalik, mendadak saja kepalanya 

menegak. Di hadapannya telah berdiri seorang 

perempuan tua berusia sekitar enam puluh tahun. 

Wajah perempuan itu bulat telur dan dihiasi 

rangkaian kulit keriput. Rambutnya panjang tak 

beraturan, Mengenakan pakaian batik kusam, Di 

tangannya terdapat cambuk berlidah tiga,

"Eh, busyet! Dari mana munculnya perempuan 

tua ini? Iih! Tampangnya kok seram amat?" desis 

Andika dalam hati.

Di depan, si nenek buka mulut dengan 

pandangan tak berkedip, suaranya nyaring dan tak 

enak didengar, "Hhh! Jadi kau rupanya pemuda 

yang berjuluk Pendekar Slebor! Kupikir, sekali 

melihatmu saja orang akan ngeri! Tidak tahunya, 

kau hanya sebangsa keroco belaka!"

Mendengar ucapan orang, pemuda yang di 

lehernya melilit kain bercorak catur ini cuma

mengangkat sepasang alis hitam legamnya. Tukikan 

sepasang alis laksana kepakan sayap elang itu, 

semakin menukik tajam saat di gerakkannya.

Terdengar lagi suara si nenek, "Begitu bodoh 

kalau kakek celaka itu menyuruhku menghadapi 

pemuda seperti kau ini! Padahal, anak yang baru 

bisa buang ingus dapat mengalahkanmu hanya 

dalam tiga jurus!!"

"Ah, masa?" sahut Andika sambil tersenyum dan 

diam-diam membatin, "Datangnya perempuan ini 

tak kuketahui sama sekali. Bertanda kalau dia 

memiliki ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi. 

Dari ucapannya, jelas kalau dia memiliki maksud 

tidak baik. Hmmm... siapa dia sebenarnya?"

Si nenek maju dua tindak ke muka. Tangan 

kanannya yang memegang cambuk berlidah tiga, 

menuding ke muka, "Berlutut di hadapanku, maka 

yang kuminta hanya kedua tanganmu!!"

"Nah, nah! Berlutut saja kau masih menginginkan 

kedua tanganku! Kalau aku masih berdiri... kau 

menginginkan apa?"

Mengkelap wajah si nenek mendengar selorohan 

Pendekar Slebor. Bibir peotnya berkomat-kamit 

tanpa keluarkan suara. Kejap kemudian, baru dia 

membentak, "Terlalu banyak omong! Kau tak akan 

dapat kembali pada temanmu yang berjuluk Gadis 

Kayangan!"

Terkesiap Andika mendengar ucapan orang. 

Tetapi hanya sebentar karena kemudian dia sudah 

tersenyum-senyum. Kendati demikian, dia berkata 

cemas dalam hati, "Mendengar ucapannya, jelas 

sekali kalau nenek ini mengetahui aku bersama 

Gadis Kayangan. Bisa jadi kalau dia sebelumnya

memang membuntutiku. Tetapi, mengapa justru aku 

yang dikejar? Mengapa dia tidak muncul di saat aku 

masih bersama dengan Gadis Kayangan? Dan lagi... 

jangan-jangan... ada sesuatu yang telah terjadi pada 

Gadis Kayangan?"

Berpikir demikian pemuda pewaris ilmu Pendekar 

Lembah Kutukan ini berkata, "Wah! Kau kok bisa 

tahu semuanya. Nek? Apakah kau seorang peramal? 

Kalau memang iya, tolong dong ramalin aku, nih? 

Umur berapa aku akan kawin?!"

Si nenek mendengus gusar. Tetapi sejurus 

kemudian mulutnya pentangkan senyum aneh. 

"Kakek celaka itu tentunya sudah menikmati tubuh

si gadis sekarang! Benar-benar busuk! Dia 

menyuruhku untuk membunuh pemuda ini 

sementara dia asyik bersenang-senang! Huh! Bila 

aku tidak mencintainya, tak akan mau aku 

diperintah seperti ini! Seharusnya, dia langsung 

mencari dan membunuh Panembahan Agung! Tetapi 

justru banyak...."

Memutus kata batinnya sendiri, si nenek sudah 

keluarkan bentakan, "Tak ada waktu lagi untuk 

saling buka diri! Bersiaplah untuk mampus!!"

"Eit, eit! Tunggu dulu, ah! Aku kan belum tahu 

namamu! Sebutkan dong!!"

Di seberang bibir keriput si nenek membentuk 

seringaian. Wajahnya bertambah mengerikan. Dia 

berpikir, pemuda berbaju hijau pupus bertanya 

seperti itu, karena jeri menghadapinya. Karena 

diingatnya betul, didaerah utara siapa pun yang 

mendengar julukannya, langsung berpikir sepuluh 

kali untuk menghadapinya. Lalu dengan suara 

pongah dia berucap, "Kenang aku dengan julukan

Setan Cambuk Api!"

"Nah! Begitu, dong! Kan aku bisa mengukir nama 

mu di batu nisanmu!!"

Belum habis ucapan Andika terdengar, si nenek 

yang mengaku berjuluk Setan Cambuk Api ini sudah 

menerjang ganas diiringi teriakan keras.

"Kucabik-cabik tubuhmu!!"

Cltaaarr!!

Cambuk berlidah tiganya langsung keluarkan 

suara yang mengerikan begitu digerakkan. Menyusul 

keluar tiga lesatan angin laksana anak panah.

Di tempatnya, sejenak Pendekar Slebor melengak 

dan kejap itu pula dia melompat ke samping kanan. 

Saat kembali berdiri tegak, dilihatnya tanah yang 

tadi dipijaknya telah bergaris tiga buah sedalam 

satu jengkal. Sementara itu, pada pohon trembesi 

yang ada di belakangnya, segera terbentuk tiga buah 

bolongan sebesar ibu jari!

Melengak anak muda urakan ini sambil geleng-

geleng kepala. Lalu diarahkan pandangannya pada 

Setan Cambuk Api yang tengah menyeringai.

"Jadi benaran nih kau mau membunuhku. Nek? 

Bilang dong kalau mau membunuhku! Kan aku tadi 

tidak perlu menghindar! Kau juga sih yang salah 

tidak bilang-bilang!"

Putus senyuman di bibir Setan Cambuk Api. 

Tubuh nya yang agak membungkuk mendadak 

terlihat menegak.

"Pemuda keparat! Kusesali hidupku selama ini 

bila tak dapat membunuhmu!!"

Kembali digerakkannya cambuk berlidah tiga 

dengan kerahkan setengah tenaga dalamnya.

Cltaaarrr!!

Suara yang terdengar begitu mengerikan sekali, 

disusul dengan lesatan tiga angin laksana anak 

panah saat cambuk itu digerakkan.

"Ah, Nek! Jangan begitu yakin! Kau sepertinya 

bersumpah tuh! Dan kau akan menyesali hidupmu 

selama ini!" sahut Andika sambil membuang tubuh. 

Dia memang belum mau lakukan serangan balasan. 

Ini dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut 

siapakah Setan Cambuk Api. Di samping itu, dia 

juga hendak mengukur kepandaian yang dimiliki si 

nenek.

Tetapi yang mengejutkan, kalau tadi dia dapat 

menghindar dengan mudah, kali ini dia justru 

seperti monyet kebakar ekornya. Karena lidah-lidah 

cambuk si nenek tidak bergerak secara bersamaan 

seperti yang pertama.

Kali ini, lidah cambuk di bagian tengah melesat 

lebih dulu siap bantam kepala Andika. Dan begitu si 

anak muda bergerak ke kanan, lidah cambuk bagian 

kanan sudah mencecar ke arahnya.

Cltaaarr!!

"Lho, lho? Kok begini nih?!" dengusnya dan 

dengan pencalan satu kaki dia melompat ke 

belakang.

Bersamaan dengan itu, Setan Cambuk Api 

kembali menggerakkan cambuknya disertai ucapan, 

"Tubuhmu akan tercabik-cabik, Pendekar Slebor!!"

Dasar konyol, anak muda itu masih sempat 

berucap, "Ah, masa?! Yang benar? Kan jadi malu 

kalau ternyata tidak jadi tercabik-cabik!"

Ucapannya itu semakin membuat Setan Cambuk 

Api bertambah bernafsu. Beruntun perempuan tua 

ini menggerakkan cambuknya. Hingga saat itu pula

banyak ranggasan semak yang terpapas dan 

beterbangan, disusul muncratnya tanah ke udara. 

Bahkan lima buah pohon sudah bolong tiga buah 

terkena sambaran angin laksana lesatan anak 

panah.

Tidak hanya sampai di sana saja yang 

dilakukannya. Karena mendadak saja si nenek 

angkat tangan kanannya yang memegang cambuk. 

Kejap kemudian diputar-putarnya ke udara, hingga 

saat itu pula terdengar suara 'cltar' berulangkali. 

Keras dan memekakkan telinga.

Andika sendiri harus berhati-hati dan 

menghindar kesana kemari karena lesatan angin 

laksana anak panah berulangkali terjadi.

Menyusul sesuatu yang membuat sepasang mata 

anak muda urakan ini membuka lebih lebar. Karena 

perlahan-lahan dilihatnya kobaran api pada tiga 

lidah cambuk yang dipegang si nenek.

Melihat perubahan wajah Pendekar Slebor, Setan 

Cambuk Api terkikik dengan senyuman aneh.

"Sekarang... ajal sudah ada di depan matamu, 

Pendekar Slebor?!"

Lagi-lagi Pendekar Slebor menyahut konyol, "Ah, 

masa?!" (Busyet! Senang banget lo Bor, bilang 

begituan! Lagi mode kali ya?).

Tak mau membuang waktu lagi, Setan Cambuk

Api sudah menggebrak ke depan seraya kibaskan 

cambuk berlidah tiganya. Saat itu pula melesat tiga 

buah api sebesar kepalan orang dewasa ke arah 

Pendekar Slebor.

Siingg! Siiingg! Siiinnngg!!!

Kalau tadi Pendekar Slebor hanya menghindar, 

kali ini dia langsung menerjang ke depan. Tenaga

'Inti Petir' tingkat ke sembilan telah dipergunakan. 

Saat digerakkan kedua tangannya guna papaki tiga 

bungkahan api, terdengar salakan petir yang cukup 

keras.

Pyaar!! Pyaarr! Pyaarr!!

Kontan tiga bungkahan api sebesar kepalan 

tangan itu punah. Namun itu bukanlah akhir dari 

gebrakan yang dilakukan Setan Cambuk Api. Karena 

lidah-lidah cambuknya telah mengancam Pendekar 

Slebor.

Terkesiap anak muda ini sambil buang tubuh ke 

belakang.

Cltaarr!! Citaarr! Cltaarr!!

Tiga kali suara keras itu terdengar dan terlihat 

tanah kembali membentuk garis lurus sedalam 

pergelangan tangan.

Mendapati gebrakan yang dilakukannya gagal, 

Setan Cambuk Api bertambah beringas. Kali ini dia 

langsung gerakkan cambuknya lebih cepat. Kejap itu 

pula beruntun menderu bongkahan-bongkahan api 

sebesar kepalan tangan.

Menghadapi hujan bola-bola api itu, mau tak mau 

Andika kewalahan juga. Pukulan yang mengandung 

tenaga 'Inti Petir' pun harus ditambah kecepatannya. 

Bahkan tatkala dipergunakan ilmu peringan 

tubuhnya, dia juga harus dibuat tunggang langgang.

"Kutu monyet!!" maki anak muda ini melihat si 

nenek terkikik-kikik dan menggerakkan cambuknya 

laksana anak kecil bermain yoyo.

"Ternyata kau tak memiliki kemampuan yang 

berarti!!"

Eh, lagi-lagi dia nyahut, "Ah, masa?"

Keberingasan Setan Cambuk Api semakin

menjadi-jadi. Sementara di tempat itu, api-api yang 

gagal ditahan oleh Andika, telah membakari 

ranggasan semak belukar dan rerumputan. Hingga 

udara di sekitar tempat itu kontan memanas dengan 

asap mcngepul yang dapat halangi pandangan.

"Monyet burik! Kalau begini keadaannya, bisa 

mampus juga nih! Sia-ul betul!!"

Sambil menambah kecepatannya untuk hindari 

hujan bola-bola api dan sambaran cambuk berlidah 

tiga, Andika sudah menyambar kain bercorak catur 

yang melilit manja di lehernya.

Begitu dikibaskan, kontan menderu gelombang 

angin dahsyat diiringi suara dengungan laksana 

ribuan lebah yang menyerang sebuah desa.

Kontan bola-bola api yang keluar dari ujung-

ujung lidah cambuk si nenek, putus di tengah jalan. 

Bahkan terlontar ke belakang sebelum akhirnya 

padam.

Bersamaan dengan itu, Pendekar Slebor 

mengibas-kan kembali kain bercorak catur. Kali ini 

bukan ke arah Setan Cambuk Api. Melainkan ke 

belakang.

Seketika api-api yang telah membakari sekitar 

tempat itu padam. Bahkan ranggasan semak dan 

tanah tercabut dan beterbangan. Menyusul dua 

buah pohon langsung tumbang terkena sambaran 

gelombang angin dahsyat yang keluar dari kain 

bercorak catur.

Di lain pihak si nenek sendiri harus terhuyung 

tiga tindak tatkala tersambar gelombang angin 

raksasa yang keluar dari kain bercorak catur.

"Nek! Sebenarnya aku tak ingin lakukan tindakan 

seperti ini! Tetapi kau terlalu memaksa!!"

"Tutup mulutmu!!" bentak Setan Cambuk Api. 

Dan tanpa pedulikan betapa mengerikannya 

gelombang angin yang keluar dari kain bercorak 

catur yang dipegang Pendekar Slebor, dia sudah 

melesat ke depan seraya gerakkan cambuk berlidah 

tiganya berulang kali.

Melihat tindakan si nenek yang bertambah 

beringas, Andika cuma menggeleng-geleng.

"Keras kepala betul nih nenek!! Huh! Urusan 

nenek ini memang tidak terlalu merepotkan! Tetapi 

aku ingin tahu mengapa dia menyerangku? Dan aku 

yakin, kalau dia diperintah seseorang melakukan 

tindakan ini! Lagi pula... oh! Aku harus melihat 

keadaan Gadis Kayangan!"

Berpikir demikian, serentak pemuda berambut

gondrong acak-acakan ini melompat ke depan seraya 

mengibaskan kain bercorak catur.

Kontan puluhan bola-bola api yang keluar dari 

cambuk si nenek dilahap padam oleh gelombang 

angin kain bercorak catur. Andika yang memang 

ingin melihat keadaan Gadis Kayangan, langsung 

melompat ke depan begitu dilihatnya Setan Cambuk 

Api terhuyung ke belakang.

Tangan kirinya digerakkan. Deess!!

Jotosannya telak bersarang di dada Setan 

Cambuk Api. Kalau sebelumnya perempuan tua itu 

hanya terhuyung, kali ini tubuhnya langsung 

tersuruk ke belakang dan baru berhenti setelah 

menabrak sebuah pohon.

Bila saja pendekar kita ini mau bertindak 

telengas, sudah tentu dengan mudah dia akan 

mengirim nyawa si nenek ke neraka. Tetapi, pemuda 

kita ini berhati mulia kendati sifat konyolnya nggak

ketulungan lagi.

Dia cuma berseru sebelum berkelebat kembali 

menemui Gadis Kayangan di tempat semula, "Nek! 

Lain kali kita ketemu lagi ya? Siapa tahu wajahmu 

sudah mulus!!"

Setan Cambuk Api menggeram setinggi langit. Dia 

mencoba untuk bangkit, akan tetapi langsung 

tersuruk kembali ke belakang dengan dada terasa 

sakit.

"Jahanam keparat!! Tak kusangka kalau 

Pendekar Slebor memiliki kesaktian yang begitu 

tinggi! Tadi kupikir, dia hanyalah sebangsa keroco 

belaka! Huuh! Mau-maunya aku diperintah kakek 

celaka itu untuk menghadapinya, sementara dia 

sendiri tentunya sedang asyik menggarap Gadis 

Kayangan!!"

Habis memaki-maki geram seperti itu, dengan 

kerahkan sisa-sisa tenaganya, Setan Cambuk Api 

rangkapkan kedua tangannya di depan dada.

Dua kejap kemudian, tempat itu sudah dilanda 

sepi.

***

6


Di tempat semula, rasa khawatir Andika semakin 

menjadi-jadi tatkala dari jarak lima tombak melihat 

tempat itu telah porak poranda. Ditambah 

kecepatannya berlari. Dan semakin dekat, hatinya 

semakin tak menentu.

Saat hentikan larinya di dekat sebuah lubang

yang masih keluarkan asap, hanya sekali lihat saja 

pemuda tampan ini tahu kalau Gadis Kayangan 

sudah tak berada di tempatnya.

"Oh! Apa yang terjadi? Di mana Gadis Kayangan 

sekarang?" desisnya dengan hati tak menentu. Lalu 

perlahan-lahan dia melangkah mengitari tempat itu. 

"Ah, tentunya telah terjadi satu pertarungan yang 

sengit. Melihat keadaan tak menentu ini, 

nampaknya Gadis Kayangan tak berdaya! Monyet 

gundul! Aku yakin kehadiran Setan Cambuk Api 

memang hanya sengaja untuk menahanku, 

sementara orang yang entah siapa, telah 

mendapatkan Gadis Kayangan! Celaka! Apa yang 

dialami oleh gadis itu sekarang?"

Kembali Pendekar Slebor terdiam sambil 

memperkirakan siapa gerangan orang yang telah 

muncul di hadapan Gadis Kayangan. Lalu nampak 

kepalanya digeleng-gelengkan pertanda dia tak 

dapat menduga lebih jauh.

"Ah... tak akan pernah kumaafkan diriku bila 

terjadi sesuatu padanya. Paling tidak, hidupnya saat 

ini adalah tanggung jawabku. Cacing pita! Masih 

banyak urusan-urusan lain. Dan sekarang, gadis itu 

telah bilang!!"

Terdiam Pendekar Slebor dengan perasaan kian 

tak menentu. Tetapi menyesali semua yang terjadi, 

bukanlah satu jalan keluar. Mencoba mengubah apa 

yang telah terjadi ke arah yang lebih baik, itulah 

yang harus dilakukan.

"Urusan dua Panembahan Agung harus ku 

selesaikan. Pulau Hitam harus kudapatkan. Mudah-

mudahan Gadis Kayangan tak mengalami satu 

masalah apa pun. Sebaiknya, kucoba menuju kePulau Hitam. Untung masih kuingat titik-titik yang 

tergambar pada potongan pedang di tangan Gadis 

Kayangan. Potongan pedang? Oh! Jangan-jangan... 

orang yang datang berkeinginan mendapatkan 

potongan pedang itu. Sangga Rantek-kah orangnya?"

Diperas segala pikiran yang ada di benaknya. 

Tetapi semuanya buntu.

"Tak ada jalan lain, aku harus menelusuri jejak 

menuju ke Pulau Hitam. Mudah-mudahan aku tak 

keliru melangkah karena Pedang Buntung yang 

merupakan titik awal dari langkah, berada di tangan 

Sangga Rantek."

Memutuskan demikian, pemuda yang sedang 

mencemaskan keadaan Gadis Kayangan, segera 

bergerak ke arah barat.

***

Hamparan langit saat ini seperti memantulkan 

seluruh sinar matahari, hingga bumi laksana 

disengat dalam-dalam. Saat ini raja siang telah tiba 

di puncak kepala. Angin yang berhembus begitu 

panas hingga membuat orang ingin minum banyak-

banyak.

Namun dua sosok tubuh yang terus berlari 

melalui padang rumput yang luas, tak hiraukan 

keadaan itu.

Perempuan berjubah dan berkerudung merah 

yang berlari di sebelah kiri, membatin setelah 

perhatikan lelaki berpakaian serba hitam yang 

berlari di sebelah kanannya, "Aku semakin yakin... 

kalau manusia keparat ini memang sedang 

membawaku menuju ke Pulau Hitam. Berarti... dia

telah pergunakan kesempatan untuk melihat 

potongan pedang tatkala masih berada di 

Pesanggrahan Bayu Api. Hmmm... aku akan tetap 

berlaku tidak tahu apa yang diinginkannya."

Si perempuan yang tak lain Iblis Rambut Emas 

terus percepat larinya, mengikuti lari Sangga 

Rantek. Sekujur tubuh perempuan berambut 

keemasan ini dihiasi oleh butiran keringat. Yang 

dialami Sangga Rantek pun tak jauh berbeda.

Lelaki berhidung bengkok dan bermata 

bergelambir ini terus berlari.

"Pulau Hitam... biar bagaimanapun susahnya aku 

akan tetap menuju ke sana dan berharap, dapat 

bertemu dengan Pendekar Slebor di jalan. Tak 

seharusnya aku mengajak perempuan celaka ini, 

tetapi tenaganya dapat kubutuhkan. Kendati aku 

tak percaya ketika dia mengatakan menginginkan 

nyawa Pendekar Slebor yang telah membunuh 

kekasihnya, tetapi paling tidak, dia akan

membantuku untuk membunuh Pendekar Slebor."

Sejarak tiga puluh tombak di belakang mereka, 

satu sosok tubuh berpakaian kuning-kuning terus 

berlari sambil menjaga jarak. Sepasang matanya 

tajam tak berkedip ke depan. Sekujur tubuhnya juga 

sudah dipenuhi keringat.

Orang yang tak lain Ki Pasu Suruan ini berkata 

dalam hati, "Aku semakin yakin, kalau mereka 

menghendaki sesuatu. Keherananku mengapa dua 

manusia itu dapat bersatu, kini tak terlalu 

mengikat. Bisa jadi mereka bergabung untuk 

mendapatkan dua potongan pedang. Huh! Pendekar 

Slebor... ya, pemuda celaka itu harus mampus di 

tanganku! Mudah-mudahan orang-orang celaka itu

dapat membawaku pada Pendekar Slebor!"

Dan dia harus berhati-hati jangan sampai kedua 

orang itu tahu kalau sedang dibuntuti.

Sementara itu di depan, Iblis Rambut Emas 

sedang berkata, "Sangga Rantek! Apakah kau yakin 

Pendekar Slebor menuju ke tempat ini?"

Mendengar pertanyaan orang, Sangga Rantek 

mendengus dalam hati. "Keparat! Dari nada 

pertanyaannya dia memang tidak tahu ke mana 

tujuanku! Tetapi aku menangkap, kalau dia sedang 

mengejekku!"

Kemudian katanya, "Keyakinanku kuat! Dan aku 

merasa pasti kalau Pendekar Slebor menuju ke 

tempat ini!"

Iblis Rambut Emas tertawa dalam hati. "Sungguh 

bodoh! Dia memang tidak tahu apa yang kuketahui!" 

desisnya lalu berkata, "Bagaimana kau bisa tahu?"

"Perempuan celaka! Lebih baik tutup mulutmu 

ketimbang kubeset sekarang juga!"

Mengkelap wajah Iblis Rambut Emas mendengar 

ucapan orang. Tetapi dia masih dapat menahan diri 

untuk tidak segera turunkan tangan.

"Jahanam sial! Kau akan terkejut dengan apa 

yang akan kulakukan, lelaki keparat!"

Kejap kemudian tak ada lagi yang keluarkan 

suara. Sangga Rantek terus kerahkan ilmu larinya. 

Sampai matahari telah lalui tiga perempat 

perjalanannya, mendadak masing-masing orang 

mendengar suara menggemuruh.

Sangga Rantek lebih dulu hentikan larinya dan 

membuka alat pendengarannya lebar-lebar. 

Sementara itu, Iblis Rambut Emas celingukan ke 

kanan kiri.

"Aneh! Kudengar suara air bergemuruh yang 

begitu mengerikan. Tetapi tak kulihat ada sungai di 

sini. Gila! Jangan-jangan hanya suara angin yang 

terdengar dan kusangka...." Mendadak perempuan 

berkerudung merah ini menghentikan kata batinnya. 

Keningnya nampak berkerut. Diperhatikannya 

sekilas, betapa wajah Sangga Rantek sangat serius 

sekali. Lalu dilanjutkan kata batinnya, "Tak ada 

sungai di sini... tetapi jelas kudengar suara 

bergemuruh mengerikan. Bisa jadi... air terjun! Ya, 

suara gemuruh itu berasal dari air terjun! Gila! 

Tetapi... mengapa lelaki keparat ini justru 

menghentikan langkahnya di sekitar sini?"

Sangga Rantek yang memang mencoba 

menemukan air terjun sebagai patokan pertama 

untuk menuju ke Pulau Hitam, tetap membisu 

seribu bahasa. Lalu lamat-lamat dia melangkah ke 

depan diantar tatapan Iblis Rambut Emas yang 

mencoba menduga-duga apa yang diinginkan 

Sangga Rantek.

Bahkan dia tak mengikuti Sangga Rantek yang 

berjalan ke muka sekitar tiga puluh tombak. Tetapi 

tatkala didengarnya teriakan senang Sangga Rantek, 

secepat kilat perempuan setengah baya berjubah 

merah ini mendekatinya.

Dan di hadapannya, telah membentang sebuah 

tanah curam yang cukup dalam. Di hadapan tanah 

itu, terlihat air terjun yang keluarkan suara 

menggemuruh ganas. Di bawah, terlihat deburan air 

yang jatuh dari atas menghantam batu-batu cadas 

tajam.

Diliriknya Sangga Rantek yang sedang 

mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Ada sesuatu yang membuatnya senang. 

Pancaran senang dari kedua matanya tak dapat 

disembunyikan. Hmmm... bila memang dugaanku 

benar kalau dia sedang membawaku menuju ke 

Pulau Hitam, berarti air terjun ini adalah patokan 

pertama sebagai petunjuk menuju ke Pulau Hitam. 

Hebat! Tak kusangka dia pandai membaca titik-titik 

yang tergambar pada Pedang Buntung! Tetapi 

rasanya... akan percuma saja dia berusaha 

menemukan Pulau Hitam, karena petunjuk yang 

satunya lagi terdapat pada potongan pedang di 

tangan Pendekar Slebor."

Tak ada yang keluarkan suara.

Di balik ranggasan semak sejarak lima belas 

tombak di belakang Iblis Rambut Emas dan Sangga 

Rantek, Ki Pasu Suruan yang sudah mendekat dan 

mengintip mendesis pelan, "Aneh! Nampaknya air 

terjun itu sangat menarik perhatian keduanya. 

Apakah ada sesuatu yang mereka cari di sana?"

Suara gemuruh air terjun terus terdengar begitu 

mengerikan. Dan tak kunjung putus suara 

menggelegar di bawahnya begitu curahan air yang 

terus menerus tumpah menerpa.

Sangga Rantek mengangguk-anggukkan 

kepalanya.

"Petunjuk pertama telah kudapatkan. Hmm... aku 

harus mengarah ke barat daya untuk menemukan 

dua bukit. Peduli setan apakah aku dapat 

melanjutkan menuju ke Pulau Hitam atau tidak. 

Pokoknya, aku tetap berharap dapat berjumpa 

dengan Pendekar Slebor."

Habis membatin demikian, lelaki berpakaian 

serba hitam arahkan pandangannya pada Iblis

Rambut Emas. Sejenak ada kebencian yang dalam 

begitu matanya berbenturan dengan mata si 

perempuan.

Setelah mendengus, Sangga Rantek berkata, 

"Sampai saat ini belum juga kita temukan jejak 

Pendekar Slebor. Bagaimana pendapatmu?"

Iblis Rambut Emas yang tahu kalau Sangga 

Rantek hanya mencoba alihkan perhatiannya dari 

air terjun itu mengangkat kedua bahunya.

"Sulit untuk memberikan pendapat seperti yang 

kau minta. Terus terang, aku hanya berpijak pada 

tempat yang kau pijak."

"Perempuan celaka ini memang pandai bermulut

manis," dengus Sangga Rantek dalam hati. "Sebelum 

malam tiba, kita harus keluar dari daerah ini."

"Sangga Rantek! Mengapa kau nampak begitu 

tertarik dengan air terjun ini? Adakah yang kau 

cari?" pancing Iblis Rambut Emas untuk buktikan 

dugaannya.

Dan dilihatnya bagaimana kepala Sangga Rantek 

mendadak menegak. Kejap kemudian lelaki ini 

terbahak-bahak keras. Ki Pasu Suruan yang masih 

mengintip, kerutkan keningnya.

"Ha ha ha... tak kusangka kau begitu bodoh! Tak 

ada yang menarik dari air terjun itu! Kalaupun aku 

sengaja berhenti di sini, karena aku membutuhkan 

istirahat! Bila kau tak membutuhkannya, silakan 

berlalu dari sini!"

Iblis Rambut Emas kembangkan senyum.

"Sudah tentu aku tak akan meninggalkanmu. Kita 

mempunyai keinginan yang sama untuk membunuh 

Pendekar Slebor, bukan? Itu pun bila kau...."

"Dan jangan banyak tanya apa yang akan

kulakukan!!" dengus Sangga Rantek keras.

Untuk kesekian kalinya perempuan berjubah 

merah ini menindih segala kemarahannya. Dan di 

hadapan Sangga Rantek dia tetap kembangkan 

senyum.

"Karena aku mengharapkan bantuanmu untuk 

membunuh Pendekar Slebor, kuturuti apa yang kau 

katakan," katanya menahan geram.

Sangga Rantek tak segera menjawab. Saat dia 

hendak buka mulut, mendadak saja kepalanya 

dipalingkan ke arah kanan.

"Heiii!!" desisnya kaget.

Dan bukan hanya Sangga Rantek yang terkejut. 

Iblis Rambut Emas juga melihat apa yang membuat 

lelaki berpakaian hitam-hitam itu terkejut.

Satu bayangan hitam telah berkelebat begitu 

cepat. Dan yang membuat masing-masing orang 

tertarik, karena melihat satu sosok tubuh 

berpakaian biru muda dalam bopongan si bayangan 

hitam.

Sangga Rantek sejenak terdiam sebelum 

membuka mulut, "Winarsih! Atau yang dijuluki 

Pendekar Slebor si Gadis Kayangan!!"

"Sangga Rantek! Kenalkah kau dengan si nenek 

berpakaian hitam compang-camping itu?" tanya Iblis 

Rambut Emas segera.

Sangga Rantek menggelengkan kepalanya. Lalu 

berucap seperti ditujukan pada dirinya sendiri, 

"Pendekar Slebor telah menyelamatkan Gadis 

Kayangan. Dan sekarang, gadis itu berada di tangan 

perempuan tua berpakaian hitam compang-

camping... hmm...." Lalu kepalanya dipalingkan 

pada Iblis Rambut Emas, "Apa yang dapat kau

pikirkan?"

Lagi-lagi perempuan berambut keemasan itu 

berlagak bodoh. Dia berkata, "Kau lebih cerdik 

dariku."

Pujian itu disambut dengan dengusan oleh 

Sangga Rantek. Lalu katanya mereka-reka, "Kita 

tidak tahu siapa perempuan tua berpakaian hitam 

compang-camping itu. Ada dua kemungkinan yang 

bisa kukemukakan. Pertama, perempuan itu adalah 

orang golongan lurus yang telah menyelamatkan 

Gadis Kayangan dari seseorang.

Kedua, perempuan itu adalah orang-orang satu 

golongan dengan kita, yang menyangka Gadis 

Kayangan memiliki potongan pedang yang tergambar 

titik-titik yang jelas menuju ke Pulau Hitam."

"Bagaimana dengan pendapatmu sendiri?"

Sangga Rantek hanya mendengus.

Iblis Rambut Emas berkata lagi, "Taruhlah dia 

memang orang golongan lurus yang telah 

menyelamatkan gadis itu, ini menilik si gadis yang 

nampaknya pingsan. Kalau begitu, siapakah orang 

yang mencelakakannya?"

"Tak perlu diperhitungkan soal itu! Mampus pun 

aku tak peduli!" sahut Sangga Rantek dingin.

"Baik! Bila ternyata dia orang yang menginginkan 

potongan pedang pada si gadis..."

"Orang itu akan menyesal! Karena bukan pada 

gadis itulah potongan pedang itu berada!!" potong 

Sangga Rantek.

"Bagaimana bila ternyata Pendekar Slebor telah 

memberikannya pada gadis itu?"

Seketika Sangga Rantek palingkan kepala dengan 

pandangan melebar.

Iblis Rambut Emas melanjutkan, "Dan bagaimana 

bila sebenarnya, sejak pertama kali kau 

memutuskan untuk mendapatkan potongan pedang 

pada Pendekar Slebor, ternyata memang tidak 

berada padanya. Melainkan pada si gadis yang telah 

menipumu. Termasuk... menipuku...."

Kali ini pandangan mata Sangga Rantek benar-

benar membuka lebar. Sesaat nampak lelaki 

berhidung bengkok ini terdiam menahan napas.

Kejap kemudian terdengar makiannya keras, 

"Jahanam! Aku lebih tertarik pada kemungkinan 

kedua!"

"Kalau memang begitu, ayo kita kejar!!"

Sangga Rantek sudah mulai berlari dan 

mendadak hentikan larinya. Pandangannya kali ini 

menyipit tajam pada Iblis Rambut Emas.

"Mengapa kau begitu bernafsu sekali?" sentaknya

dingin.

Iblis Rambut Emas yang tadi kelepasan bicara 

dan secara tidak langsung hampir membuka 

kedoknya sendiri, buru-buru menenangkan diri 

sebelum membentak, "Bodoh! Bukankah setahu kita 

Pendekar Slebor dan Gadis Kayangan selalu 

bersama-sama? Bisa jadi perempuan tua berpakaian 

hitam compang-camping itu telah menyerang 

keduanya atau entahlah apa yang terjadi, lalu 

Pendekar Slebor akan mengejarnya? Bebal betul 

otakmu ini!!"

Sejenak Sangga Rantek masih arahkan 

pandangannya pada Iblis Rambut Emas. Sebelum 

akhirnya dia mengangguk-anggukkan kepala tanda 

dapat menerima alasan itu.

"Alasan yang tepat. Dan sungguh kebetulan sekali

perempuan tua yang membawa tubuh Gadis 

Kayangan berlari menuju ke arah barat daya. 

Dengan kata lain, secara tak langsung keinginanku 

untuk melacak jejak Pulau Hitam akan tersamar. 

Karena tentunya, perempuan celaka ini menyangka 

aku mengejar perempuan tua itu. Tetapi biar 

bagaimanapun juga, ucapannya sungguh-sungguh 

masuk akal. Dan benar-benar keparat kalau 

memang potongan pedang satunya lagi benar berada 

pada Gadis Kayangan."

Sementara itu, diam-diam Iblis Rambut Emas 

menarik napas lega.

Kemudian katanya, "Keputusan ada di tanganmu! 

Ingat, aku hanya mencoba membantumu untuk 

mendapatkan potongan pedang! Sementara aku 

menginginkan nyawa Pendekar Slebor!"

Mendadak Sangga Rantek keluarkan dengusan. 

Di Iain kejap dia sudah berkelebat tanpa buka

mulut.

Iblis Rambut Emas menarik napas lega dulu 

sebelum menyusul.

"Hampir saja...."

***

7


Sosok bayangan hitam yang menyelamatkan 

Gadis Kayangan dari tindakan memalukan yang 

akan dilakukan Dewa Lautan Timur, mendengus 

begitu menyadari satu sosok tubuh mengikutinya di 

belakang.

Si bayangan hitam yang memang seorang 

perempuan tua ini membatin, "Hebat! Gerakannya 

sangat cepat! Jelas kalau dia bukan orang 

sembarangan!"

Orang yang mengikuti si nenek tak lain adalah Ki 

Pasu Suruan. Salah seorang dari Dua Manusia Goa 

Setan ini, sebelumnya juga melihat kelebatan orang 

yang membopong sosok berpakaian biru muda. Lain 

halnya dengan Sangga Rantek dan Iblis Rambut 

Emas, Ki Pasu Suruan langsung mengenali siapa 

yang berkelebat.

Dan mendadak dia menjadi sangat geram. Kejap 

itu pula dengan cara memutar langkah, dia akhirnya 

memutuskan untuk menyusul si nenek.

"Huh! Lama tak pernah bertemu, sekarang tahu-

tahu muncul! Siapa gadis yang berada dalam 

bopongan Nyi Genggong?" desis Ki Pasu Suruan 

sambil terus kerahkan ilmu larinya.

Si nenek yang terus berlari di depan, mendadak 

saja menyeringai. "Pasu Suruan! Gila! Mengapa dia 

hanya sendiri? Tak biasanya dia berpisah dari 

Pancen Dadap? Hmmm... lebih baik menjumpainya 

dulu. Barangkali dia punya urusan yang sama 

denganku. Tetapi bila dia mengacaukan seluruh 

rencanaku, tak perlu berpikir dua kali untuk 

mencabut nyawanya!!"

Di sebuah persimpangan agak berbelok ke kiri, si 

nenek mendadak mencelat ke depan. Dan saat 

hinggap di atas tanah, sosoknya sudah menghadap 

ke arah datangnya Ki Pasu Suruan.

Paras si nenek sungguh mengerikan sekali. 

Hidungnya melesak ke dalam dengan kedua mata 

agak menyipit. Bibir bagian bawah agak tebal

ketimbang bagian atas. Wajahnya dihiasi kulit tipis 

agak hitam. Pakaiannya yang dikenakan berwarna 

hitam gelap, dan terdapat compang-camping di 

sana-sini.

Ki Pasu Suruan yang mengejar, menarik napas 

begitu melihat sosok si nenek yang berdiri 

menunggunya. Dari kejauhan dia sudah tertawa 

senang, "Nyi Genggong!!"

Si nenek terkikik, terlihat gigi bagian depan 

tanggal tiga buah.

"Pasu Suruan! Kupikir setan kuburan yang 

mengikutiku! Sungguh tak disangka pertemuan ini 

akan kembali terjadi! Hanya saja... ke mana Pancen 

Dadap?!"

Ki Pasu Suruan yang telah berdiri sejarak lima 

langkah dari hadapan si nenek yang bernama Nyi 

Genggong, mengatur napas dulu sebelum berkata, 

"Urungkan pertanyaanmu itu. Sekarang jawab 

pertanyaanku, siapa gadis itu, hah?!"

Nyi Genggong terkikik kembali.

"Kau memang tak pernah ingin urusanmu 

dicampuri orang! Apakah sekian tahun kita 

bersahabat kau masih memegang prinsip busuk itu, 

hah?! Padahal yang bertanya adalah seorang 

sahabat yang sangat baik kepadamu!!"

Ki Pasu Suruan mendengus. Lalu dengan wajah 

yang lamat-lamat nampak geram, diceritakan 

tentang kematian Ki Pancen Dadap (Bagi teman-

teman yang ingin tahu matinya salah seorang dari 

Dua Manusia Goa Setan, silakan baca: "Pedang 

Buntung").

Bukannya turut prihatin atas kematian Ki Pancen 

Dadap, Nyi Genggong justru terkikik keras.

"Kau tentunya sangat kesepian. Tetapi tak usah 

murung, karena ada aku yang akan menemanimu."

Diam-diam Ki Pasu Suruan menggeram dalam 

hati, "Perempuan tua ini sudah dua puluh tahun 

bersahabat denganku dan Pancen Dadap. Sikapnya 

masih terkesan ugal-ugalan dan mau memang 

sendiri. Tetapi sungguh mengherankan kalau dia 

justru membawa seorang gadis dalam bopongannya. 

Biasanya, dia tak pernah hentikan mengumbar 

nafsu celakanya pada pemuda-pemuda gagah."

Kemudian katanya, "Jawab pertanyaanku tadi. 

Siapa gadis itu?!"

"Hik hik hik... aku tak mengenalnya. Dia 

kuselamatkan dari kematian yang akan diturunkan 

Dewa Lautan Timur. Dan seharusnya, gadis ini telah 

siuman setelah dihajar Dewa Lautan Timur."

Sampai surut satu tindak Ki Pasu Suruan 

mendengar julukan itu disebutkan.

"Dewa Lautan Timur? Setahuku, dia mempunyai 

dendam setinggi langit pada Panembahan Agung?"

"Betul! Dan akuilah... kalau kau juga tidak tahu 

apa penyebab kedua manusia itu bertikai. Tetapi 

kupikir... aku telah lakukan tindakan yang sangat 

mulia sekali. Karena gadis ini kubuat lebih lama 

beristirahat."

"Lantas... apa hubungannya dengan gadis itu?" Ki 

Pasu Suruan ajukan tanya, lalu melanjutkan dalam 

hati, "Rupanya gadis itu telah ditotok hingga pingsan 

lebih lama."

"Bodoh! Apakah kau masih mendendam pada 

Pemimpin Agung yang telah membunuh gurumu?"

Mendengar julukan itu disebutkan, wajah Ki Pasu 

Suruan memerah.

"Sampai kapan pun dendamku padanya tak akan 

putus! Tetapi manusia itu telah tewas! Dan 

Pendekar Slebor-lah yang membunuhnya!!"

"Aiiihhh!! Pendekar Slebor! Pemuda gagah yang 

sejak dulu kuimpikan dapat tidur dengannya! Di 

mana dia sekarang? Di mana?" seru Nyi Genggong 

bernafsu.

"Rupanya kau masih tak henti-hentinya 

mengumbar nafsu! Tetapi untuk apa kau bawa gadis 

itu, hah?!"

"Benar-benar bodoh! Kau berkeinginan untuk 

membunuh Pemimpin Agung, tetapi kau tidak tahu 

siapa gadis ini?!"

Sejenak Ki Pasu Suruan terdiam sebelum buka 

mulut, "Apakah... gadis itu muridnya?"

"Tak salah! Dia memang murid Pemimpin Agung!"

"Terkutuk! Serahkan padaku cepat!!"

Nyi Genggong cuma terkikik sambil menggerak-

gerakkan tangan tangannya tanda menolak.

"Tak semudah itu, Kawan...."

Menyipit sepasang mata Ki Pasu Suruan dengan 

rahang mengembung. Lalu desisnya dingin, "Apa 

maksudmu dengan tak semudah itu?"

"Kau benar-benar bodoh! Berkeinginan membalas 

kematian gurumu pada Pemimpin Agung, kau pun 

tak menyelidiki lebih dulu keadaan manusia itu! 

Pasu Suruan! Apakah kau pikir aku bodoh, kalau 

gadis ini tentunya mewarisi dua potongan pedang 

perak milik Pemimpin Agung?"

Sejenak Ki Pasu Suruan terdiam sebelum 

meledak tawanya.

"Luar biasa! Sungguh luar biasa! Kau yang 

mengaku dirimu pintar ternyata tak lebih dari otak

kerbau! Nyi...."

"Tutup mulutmu! Sekali lagi kau menghinaku, 

kurobek mulut keparatmu itu!!" putus Nyi Genggong 

dengan wajah mengkelap.

Tetapi Ki Pasu Suruan justru lebih keraskan 

tawanya tetapi diam-diam dia membatin geram 

dalam hati, "Terkutuk! Aku pun tak akan 

memandang arti persahabatan bagi siapa saja yang 

menghalangi keinginanku untuk membunuh 

Pemimpin Agung beserta para pengikutnya!"

Kemudian katanya dengan tatapan mengejek, 

"Nyi! Orang yang telah membunuh Pemimpin Agung 

adalah Pendekar Slebor! Dan kusirap kabar kalau 

pemuda dari Lembah Kutukan itulah yang telah 

memiliki dua potongan pedang sekarang! Apakah...."

"Tutup mulutmu! Kau hanya mencoba memutar 

balikkan kenyataan! Padahal aku tahu, kau sangat 

menghendaki dua benda itu!"

"Terserah bagaimana penilaianmu! Tetapi untuk 

membuktikan apa yang kukatakan ini, periksa 

tubuh gadis itu!! Dan kuharap... kau tidak terlalu 

terkejut melihat kenyataan!"

Sejenak terlihat si nenek berpakaian hitam 

compang-camping ini agak meragu. Pandangannya 

masih diarahkan pada Ki Pasu Suruan dengan 

kilatan penuh bara amarah. Lalu katanya setelah 

mendengus dingin, "Bila ternyata kutemukan dua 

potongan pedang itu pada gadis ini, jangan salahkan 

aku bila kukirim nyawamu hari ini ke neraka!!"

Ki Pasu Suruan hanya tertawa saja.

Di lain pihak, dengan wajah nampak mendongkol 

Nyi Genggong berucap, "Aku tak segan-segan 

membunuhmu bila ternyata ucapanmu dipenuhi

bisa!"

Lalu dengan geram diperiksanya tubuh Gadis 

Kayangan yang masih pingsan. Tangannya meraba-

raba sekujur tubuh si gadis. Dan nampak 

kegeraman yang tersirat pada wajahnya sejenak 

lenyap. Tetapi di lain saat dia sudah menggeram 

keras.

"Keparat terkutuk!!"

Ki Pasu Suruan terbahak-bahak melihatnya. 

"Apakah kau masih menganggap kalau aku tidak 

menjunjung tinggi persahabatan di antara kita?" 

serunya dengan suara melecehkan. Lalu 

melanjutkan dengan ucapan bercabang, "Yang 

seharusnya kau jadikan sasaran... adalah Pendekar 

Slebor! Pemuda keparat itulah yang telah 

membunuh Pemimpin Agung sekaligus 

mendapatkan dua potongan pedang!!"

Sementara itu Nyi Genggong yang merasa 

semuanya sia-sia belaka, dengan geram membanting 

tubuh Gadis Kayangan. Dalam pingsannya, tanpa 

sadar si gadis keluarkan seruan tertahan.

"Terkutuk! Ternyata aku hanya membuang-buang 

waktu belaka! Jahanam sial! Dia seharusnya...."

Memutus kata-katanya sendiri, Nyi Genggong 

mengangkat kepalanya ke arah Ki Pasu Suruan yang 

membatin,

"Apa lagi yang dipikirkan nenek keparat ini?"

"Pasu Suruan! Memang terbukti kalau dua 

potongan pedang itu tidak berada pada gadis ini! 

Tetapi... sebelumnya Dewa Lautan Timur telah 

mencelakakan gadis ini! Bagaimana bila sebelumnya 

potongan pedang itu memang berada pada gadis ini 

kemudian direbut oleh Dewa Lautan Timur?"

Terdiam Ki Pasu Suruan mendengar dugaan si 

nenek. Tetapi karena dia berkeyakinan kalau 

Pendekar Slebor-lah yang telah memiliki dua 

potongan pedang itu, makanya dia berkata, "Aku 

yakin... Dewa Lautan Timur tak mendapatkan benda 

itu padanya. Tetapi bila memang lelaki celaka itu 

menginginkan dua potongan pedang, dapat ditebak 

kalau urusannya dengan Panembahan Agung adalah 

berkisar masalah itu. Tetapi yang mengherankan, 

mengapa tak pernah terdengar kabar kalau dia 

memburu Pemimpin Agung?"

"Bukannya tidak mungkin itu terjadi! Dua 

potongan pedang berarti berada di tangan Dewa 

Lautan Timur!!"

Ki Pasu Suruan menggelengkan kepala.

"Tidak! Dua potongan pedang itu ada pada 

Pendekar Slebor! Karena berita yang kudengar 

pertama kali, tertuju padanya!"

Nampak Nyi Genggong terdiam. Pandangannya 

diarahkan kembali pada Gadis Kayangan yang 

terlentang di atas tanah. Terlihat sepasang matanya 

yang sipit kian menyipit. Sepasang pelipisnya 

bergerak-gerak. Dan nampak mulutnya 

mengembung.

Mendadak sambil keluarkan udara dari mulutnya 

dengan cara menyentak, dia menggeram keras, 

"Kalau begitu... lebih baik dia mampus saja 

sekarang!!"

"Tunggu!!" desis Ki Pasu Suruan yang melihat 

sosok Gadis Kayangan telentang dengan kedua 

tangan dan kaki membuka. Dilihatnya bagaimana 

dada yang busung itu seperti melambai-lambaikan 

undangan yang tentunya tak dapat dielakkan. Dan

satu pikiran yang menyenangkan telah singgah di 

otak kotornya.

"Jangan membuatku bertambah gusar!!" sentak 

Nyi Genggong dengan pandangan bertambah 

menyipit.

"Tak perlu umbar kemarahan pada gadis itu! 

Yang harus dijadikan tujuan adalah Pendekar 

Slebor! Karena dialah pangkal dari semua...."

"Huh! Kau memang pandai menjilat, Pasu 

Suruan! Dengan kata lain, kau menghendaki aku 

bergabung denganmu untuk membunuh Pendekar 

Slebor?! Paling tidak, sekali kayuh dua pulau kau 

lampaui!"

Menggeram Ki Pasu Suruan yang maksudnya 

terbaca oleh si nenek berpakaian hitam compang-

camping ini.

Lalu katanya, "Tak perlu meminta bantuanmu, 

Pendekar Slebor akan tetap mampus di tanganku! 

Tetapi... bagaimana bila kita sama-sama menuju ke 

Pulau Hitam untuk mengetahui ada rahasia apa di 

sana?"

"Usulmu sangat menarik! Tetapi... kita sama-

sama tidak mengetahui rahasia apa yang ada di 

Pulau Hitam! Bagaimana bila ternyata ada harta 

karun atau benda pusaka di sana?! Apakah kau 

akan melangkahiku?!"

"Tidak! Kau boleh mendapatkan semuanya! 

Pemimpin Agung telah tewas! Terus terang, 

seharusnya seluruh keinginan yang terpendam di 

hatiku telah tuntas! Tetapi saat itu, aku 

menginginkan dua potongan pedang untuk 

mengetahui rahasia apa yang ada di Pulau Hitam! 

Hanya saja... sekarang semuanya tak lagi jadi

keinginan nomor satu! Keinginanku hanyalah untuk 

membunuh Pendekar Slebor yang telah membunuh 

Pancen Dadap!! Dia harus mati! Kau dengar itu?! 

Dia harus mati!! Dengan cara... yang sangat 

menyedihkan!!"

Sepasang mata Nyi Genggong menyipit. Kemudian 

katanya dengan bibir yang hanya membuka sedikit, 

"Apakah kau pikir aku akan mempercayai 

ucapanmu itu?"

Di seberang, Ki Pasu Suruan memandang tak 

berkedip. Lalu desisnya, "Terserah apa yang akan 

kau lakukan! Tetapi kau akan melihat kenyataannya 

nanti!"

"Lantas... mengapa kau menahanku untuk 

membunuh gadis ini, hah?!"

Ki Pasu Suruan mendadak saja tersenyum. 

Bukannya menjawab pertanyaan orang 

pandangannya justru di arahkan pada dada 

membusung milik si gadis.

Hanya sekali lihat, Nyi Genggong paham apa yang 

dimaui lelaki berpakaian kuning-kuning ini. Dia 

mendengus sebelum berkata, "Lakukan apa yang 

kau hendaki! Aku menunggu di ujung sana!"

"Kau benar-benar seorang; sahabat yang penuh 

pengertian!! Dan tak akan bisa kulupakan budi 

baikmu ini, Nyi!" sahut Ki Pasu Suruan sambil 

tertawa.

"Setan keparat! Ucapan demi ucapannya lama 

kelamaan membakar hatiku juga! Tetapi bila tak 

berjumpa dengannya, sudah tentu sebelum sampai 

ke Lembah Gaung, aku tak akan pernah tahu kalau 

dua potongan pedang itu tidak berada padanya!" 

maki Nyi Genggong dalam hati dengan pandangan

tajam.

Tanpa keluarkan kata-kata, si nenek berpakaian 

hitam compang-camping ini sudah berlari ke arah 

yang dituju. Namun baru lima langkah dia berlari, 

mendadak saja satu gelombang angin telah menderu 

ke arahnya.

"Heeeiiii!!"

Serentak si nenek buang tubuh ke samping 

kanan. Blaaammrrr!

Tanah yang tadi dipijaknya seketika muncrat ke 

udara terhantam gelombang angin yang mendadak 

muncul.

Ki Pasu Suruan yang tadi tersenyum, langsung 

bersiaga penuh dengan pandangan lebih terbuka.

Tatkala muncratan tanah tadi kembali luruh, 

masing-masing orang melihat dua sosok tubuh telah 

berdiri tegak sejarak delapan langkah.

Ki Pasu Suruan mendesis, "Sangga Rantek dan 

Iblis Rambut Emas!"

***

8


Senja semakin mengambang dalam dan nampak 

sebentar lagi akan dijemput malam. Udara terus 

berhembus, semakin lama menusuk tulang. Helai-

helai daun beterbangan dan akan jatuh entah di 

mana.

Pendekar Slebor tiba di sebuah jalan yang 

dipenuhi ranggasan semak belukar. Di hadapannya 

membentang sebuah padang rumput yang luas.

Sejenak anak muda pewaris ilmu Pendekar Lembah 

Kutukan ini memandang tak berkedip ke depan.

Lalu dipalingkan kepala ke arah dari mana dia 

datang.

"Setan Cambuk Api tak mengejarku. Hmmm... 

menilik keadaan yang terjadi, memang jelas kalau 

ada orang lain yang telah memerintahkan 

perempuan tua itu untuk menghadangku. 

Sementara orang yang entah siapa adanya, telah 

membawa Gadis Kayangan."

Anak muda ini menarik napas pendek.

"Siapa orang itu? Dan tentunya, tujuan yang 

diinginkan orang itu adalah potongan pedang yang 

berada di tangan Gadis Kayangan. Kadal buntung! 

Makin sulit kutemukan jejak yang pasti! Apakah...."

Memutus kata-katanya sendiri, Andika segera 

palingkan kepalanya ke kanan begitu 

pendengarannya yang terlatih menangkap derap 

langkah kuda mendekat. 

Seketika dilihatnya tiga orang gagah menunggang 

kuda hitam dan mengarah padanya.

Tak mau mendapatkan urusan lain yang tak 

mengenakkan, di samping ingin mengetahui siapa 

orang-orang itu adanya, cepat anak muda ini 

berkelebat dan tahu-tahu dia sudah menyelinap di 

balik ranggasan semak belukar.

Tak lama kemudian tiga ekor kuda itu tiba di 

tempat Andika berdiri sebelumnya. Saat tali kekang 

ditarik, kuda-kuda itu meringkik dengan kedua kaki 

depan terangkat. Dan masing-masing penunggang–

nya, memperhatikan sekeliling mereka dengan 

seksama. Di pinggang masing-masing terdapat 

sebilah parang besar yang sedikit berkilat terkena

sisa-sisa sinar matahari

Orang yang mengenakan pakaian abu-abu 

dengan ikat kepala warna putih langsung keluarkan 

suara, "Gila! Ke mana orang berpakaian hijau pupus 

itu menghilang?!"

Sepasang mata tajam orang berwajah tirus 

dengan kedua pipi cekung ini memandang 

sekitarnya. Begitu pula dengan kedua temannya 

yang mengenakan pakaian berwarna sama namun 

berikat kepala berlainan.

Lelaki bertubuh agak gemuk dan kenakan ikat 

kepala warna hijau merandek dingin, "Tak mungkin 

ada manusia yang dapat menghilang secepat itu! 

Laksana ditelan hidup-hidup oleh bumi! Sudah 

tentu dia, bersembunyi di sekitar sini! Kita 

berpencar! Barangkali saja orang itu dapat kita 

jadikan sebagai petunjuk menuju ke Pulau Hitam!!"

Habis kata-katanya, lelaki bertubuh agak gemuk 

ini sudah menggebrak kudanya ke sebelah kanan. 

Sementara yang berbicara pertama tadi, menggebrak 

kudanya ke depan. Dan lelaki kurus kering yang 

berikat kepala warna jingga sudah melarikan 

kudanya ke kiri.

Andika yang telah bersembunyi di balik 

ranggasan semak sejarak sepuluh tombak dari 

tempat orang-orang itu membatin, "Hmmm... mereka 

juga sedang menuju ke Pulau Hitam. Dan jelas 

kalau sebelumnya melihatku. Menilik sikap masing-

masing orang, jelas kalau mereka bukanlah orang 

baik-baik. Tetapi dikepung dari tiga penjuru seperti

itu, jelas persembunyian ku akan diketahui. 

Apakah...."

Diputuskan kata hatinya sendiri tatkala

didengarnya derap langkah kuda dari sebelah 

kanan. Bukannya terkejut, anak muda ini justru 

mendesis seraya berdiri, "Ya... ketahuan deh! Kalau 

begitu, aku yang jaga sekarang!" (Edan! Emangnya 

main petak umpet?).

Lelaki agak gemuk berikat kepala warna hijau ini 

berseru keras, "Hooiiiii!! Di sini rupanya manusia 

celaka yang kita lihat tadi!!"

Dua orang temannya segera menggebrak kuda 

masing-masing mendekati si gemuk yang sudah 

turun dari kudanya.

Melihat ketiga orang itu dari dekat, Andika cuma 

mengangkat sepasang alisnya saja.

"Wah! Tampang kalian seram-seram amat, ya? Itu 

parang buat membelah kelapa?!"

Seketika masing-masing orang meradang. Tetapi 

si gemuk sudah berkata, "Anak muda! Jangan 

berlaku bodoh di hadapan Tiga Iblis Penunggang 

Kuda! Bila kau dapat jawab pertanyaan, maka kau 

akan dapat melihat matahari besok! Bila tidak..."

"Ya tidak melihat dong?" sambar Andika konyol. 

Begitu melihat sepasang mata si gemuk melotot, dia 

buru-buru berkata, "Betul, kan? Betul, kan?"

"Keparat!! Hampar Gandeng! Bunuh pemuda itu!!" 

seru si wajah tirus pada si gemuk.

Bukannya si gemuk yang menyahut, Andika yang 

berkata, "Busyet! Kok namamu jelek amat sih? 

Bagaimana bila kuganti... Hamparan Padi Yang 

Dirusak Tikus dan... apa lagi ya?"

Meradang sudah Hampar Gandeng mendengar 

ejekan si pemuda. Julukan Tiga Iblis Penunggang 

Kuda sangat dikenal di daerah utara. Mereka adalah 

manusia-manusia kejam yang tak pernah

mengasihani lawan atau orang yang hendak 

dibunuh. Jangankan orang yang berani bersikap 

seperti pemuda urakan itu. Orang yang tak dapat 

menjawab setiap pertanyaan mereka, harus 

merelakan kepalanya pisah dari lehernya.

"Pemuda keparat! Kau rupanya memang benar-

benar ingin mampus?!!" maki Hampar Gandeng 

sambil bergerak dengan jotosan lurus ke wajah 

Andika.

Dalam pikirnya, sekali jotos saja anak muda di 

hadapannya itu akan langsung ambruk dengan 

mulut dan hidung berdarah. Namun yang 

mengejutkannya, jotosan itu hanya mengenai angin. 

Lebih terkejut lagi lelaki gemuk ini karena tak 

dilihatnya bagaimana anak muda itu menghindari 

jotosannya.

Seketika dia putar tubuh. "Keparat!!" makinya 

keras.

Bukan hanya Hampar Gandeng yang terkejut dua 

kawannya yang bernama Ringkih Gandeng dan 

Rimbun Gandeng pun tersentak. Apalagi tatkala 

terdengar suara, "Wah! Kuda ini bagus sekali? 

Bagaimana kalau buatku saja?!"

Serentak masing-masing orang arahkan 

pandangan pada kuda hitam gagah yang tadi dinaiki 

oleh Hampar Gandeng. Mereka melihat pemuda yang 

di lehernya melilit kain bercorak catur itu sudah 

berada di atas kuda Hampar Gandeng.

Rimbun Gandeng yang berikat kepala warna 

putih dengan wajah tirus dan dihiasi dengan brewok 

yang cukup lebat, sudah menyentakkan tangan 

kanannya seraya melompat.

Namun Andika dengan enaknya mengibaskan

tangan kanannya pula, bahkan sambil berseru, 

"Bagaimana kalau kuda ini buatku saja?!"

Bukkk!!

Tangan kanan Rimbun Gandeng langsung 

berbenturan dengan pergelangan tangan Andika.

Terkejut lelaki berbrewok ini sampai keluarkan 

pekikan tertahan, "Heeeiii!!"

Begitu dilihat, tangan kanannya agak membiru.

Lelaki bertubuh ringkih sesuatu dengan namanya 

Ringkih Gandeng, tak mau berdiam diri. Dia 

langsung loloskan parangnya dan sekuat tenaga 

disabetkan ke tubuh Andika.

Kali ini Andika palingkan kepala dan mendengus.

"Busyet! Kalian ini cukup aneh! Kenapa jadi sewot 

dan menyerangku kalap kayak begini?!"

Bersamaan dengan itu, anak muda urakan ini 

buat gerakan yang menakjubkan. Dia melompat dari 

punggung kuda itu, tetapi bukan untuk hinggap di 

atas tanah, melainkan hinggap kembali di punggung 

kuda dengan kedua tangan menahan tubuh dan 

kaki tegak lurus dengan langit!

Sabetan parang Ringkih Gandeng lolos dari 

sasarannya. Dan mendadak saja terdengar suara 

'srak' dua kali. Rupanya Hampar Gandeng dan 

Rimbun Gandeng sudah tak kuasa menahan diri.

Sesungguhnya, bila ketiga orang ini maju sendiri-

sendiri mereka bukanlah satu kekuatan yang 

dahsyat. Tetapi bila sudah maju bersama, mendadak 

mereka akan membentuk kekuatan yang 

mengerikan.

Dan masing-masing orang mendadak merapatkan 

kedua kaki dengan tubuh menegak. Tangan kanan 

yang memegang parang besar disatukan dengan

dada sementara tangan kiri mengembang ke depan.

Dari atas punggung kuda, Andika memandang 

tak berkedip.

"Gerakan yang mereka perlihatkan nampaknya 

bukan gerakan kosong belaka. Dan tentunya bila 

mereka bersatu, akan terbentuk satu kekuatan yang 

hebat. Hmmm... aku tak punya urusan dengan 

mereka. Lebih baik kutinggalkan saja, ah!"

Habis membatin demikian, pelan-pelan anak 

muda ini melepaskan totokan pada punggung kuda 

yang ditungganginya. Rupanya kuda itu telah 

ditotok sebelumnya hingga di saat dia hindari 

sabetan parang Ringkih Gandeng kuda itu tidak 

terjingkat lari.

Namun kesempatan untuk berlalu dari sana jelas 

tidak mudah. Karena serempak Tiga Iblis 

Penunggang Kuda sudah menyerang ke depan. 

Kelebatan tubuh masing-masing orang begitu cepat 

sekali. Saat parang diayunkan terdengar suara angin 

membelah udara.

Mau tak mau Andika harus melompat dari 

punggung kuda seraya menggerakkan tangannya 

tiga kali. Tiga ekor kuda yang hendak berlari dari 

sana, mendadak terdiam karena terkena totokan 

jarak jauhnya.

Dan yang terjadi kemudian, belum lagi kedua 

kaki nya menginjak tanah, Ringkih Gandeng sudah 

menyusur dengan parang yang siap memutus kedua 

kakinya. Di lain pihak, Rimbun Gandeng sudah 

mencelat dengan parang yang akan membelah 

kepalanya. Sementara dari sisi kiri, Hampar 

Gandeng menderu dengan parang dihunus tanda 

tak sabar untuk merobek isi perut lawan.

"Monyet-monyet buduk! Kok jadi serius nih?!" 

desis Pendekar Slebor sambil melompat. Tangan 

kanannya segera digerakkan untuk memukul tangan 

kanan Rimbun Gandeng. Namun lelaki berbrewok 

ini dengan cekatan memindahkan parang ke tangan 

kirinya dan langsung disabetkan.

Tak tanggung lagi terkejutnya Andika. Karena dia 

juga harus hindari hunusan parang Hampar 

Gandeng. Belum lagi Ringkih Gandeng yang tebasan 

pada kaki lawan gagal, langsung cuatkan parangnya 

ke atas.

Jalan satu-satunya untuk hindari rangkaian 

serangan yang susul menyusul itu memang harus 

menjauh dan menjaga jarak. Akan tetapi itu pun tak 

mudah dilakukan. Karena begitu Andika berhasil 

menjauh, masing-masing orang menderu merapat, 

mencoba mematikan gerak langkahnya.

"Gundul-gundul pacul!!" makinya asal-asal.

Seraya memiringkan tubuh untuk hindari 

bacokan Rimbun Gandeng. Andika membuat 

gerakan agak doyong ke depan dengan kaki kanan 

menjadi tumpuan. Tangan kanannya bergerak cepat. 

Terdengar salakan petir saat dijotoskan ke arah 

Hampar Gandeng.

Tetapi Hampar Gandeng justru tarik pulang 

tubuhnya, sementara dengan cara memutar 

parangnya dibacokkan lagi.

Namun yang membuatnya terkejut, karena 

mendadak saja pemuda berpakaian hijau pupus itu 

telah menepak pundaknya dengan tangan kiri.

Menjerit serta terhuyung Hampar Gandeng 

karena tubuhnya seakan ditempelak tangan 

raksasa. Saat berdiri tegak kembali, tubuhnya agak

goyah. Namun kemarahannya semakin menjadi-jadi. 

Dia segera bergerak kembali untuk lancarkan 

serangan lagi. Namun mendadak saja tubuhnya 

limbung karena dirasakan pundak kirinya seperti 

mau patah.

Melihat kawannya menderita seperti itu, Ringkih 

Gandeng dan Rimbun Gandeng sudah menggebrak 

dengan kemarahan tinggi. Setiap kali parang 

dikibaskan, angin menderu keluar mengerikan. 

Akan tetapi, Andika yang telah berhasil mematahkan 

susunan serangan lawan, dengan mudah dapat 

membaca serangan yang dilakukan kedua orang itu. 

Tenaga Inti Petir' tingkat kesebelas yang dialirkan 

pada kedua tangannya, telah bersarang di dada 

masing-masing orang yang tersuruk ke belakang. 

Lalu jatuh berlutut sambil pegang dadanya.

Nyengir anak muda ini melihat masing-masing 

orang meringis. Lalu dia melompat kembali ke kuda 

milik Hampar Gandeng. Sambil tertawa dia berkata, 

"Kudamu kupinjam dulu, ah! Tak tahu deh kapan 

akan kukembalikan!"

Setelah membuka totokan pada kuda itu, Andika 

segera menggebraknya terus ke arah barat.

Tinggal Tiga Iblis Penunggang Kuda yang 

meradang murka sekaligus terheran-heran. Mereka 

yang malang melintang dan disegani di daerah 

utara, hari ini harus mengalami nasib sial. 

Dikalahkan secara mudah oleh seorang pemuda 

yang usianya paling banter tujuh belas tahun.

"Keparat!! Siapa pemuda itu sebenarnya?!" 

dengus Hampar Gandeng jengkel.

"Gerakannya sangat cepat dan memiliki kesaktian 

yang tinggi! Kita yang selama ini ditakuti oleh siapa

pun juga, tak berkutik hanya beberapa gebrakan 

saja! Jahanam sial!!" sambung Rimbun Gandeng 

menahan sakit.

"Akan kubunuh pemuda itu bila suatu saat 

bertemu lagi!!" lanjut Ringkih Gandeng. Lalu 

terhuyung-huyung dia berdiri. Setelah menatap 

kedua temannya secara bergantian, lelaki kurus 

kering ini berucap, "Kita urungkan niat menuju ke 

Pulau Hitam! Lebih baik kembali ke utara! Kita 

himpun kekuatan utuh untuk membalas kekalahan 

kita!"

"Tidak!" sentak Rimbun Gandeng. "Mengapa kau 

mendadak menjadi pengecut seperti itu, hah?! Apa 

pun yang terjadi, kita tetap menuju ke sana!"

"Jangan berlaku bodoh! Menghadapi anak muda 

itu saja kita sudah tak berdaya! Apakah kau pikir 

akan dapat mengatasi rintangan lain di Pulau 

Hitam? Paling tidak, bagaimana bila pemuda itu 

datang ke sana?!"

"Itu kesempatan kita untuk membalas!"

"Kita sudah dibuat tak berkutik! Masih untung 

kita dibiarkan hidup! Lebih baik kembali ke utara 

untuk menghimpun kekuatan! Bila sudah tiba 

saatnya, baru kita cari pemuda itu untuk membalas 

perbuatannya hari ini!!"

Kendati tak suka mendengar usul itu, Rimbun 

Gandeng nampak mengangguk-anggukkan kepala. 

Karena sedikit banyaknya, dia membenarkan juga 

apa yang dikatakan Ringkih Gandeng.

Di lain pihak, Hampar Gandeng yang diam saja di 

saat kedua sahabatnya berbeda pendapat, 

mendadak mendesis, "Aku baru ingat! Ya, ya... aku 

baru ingat!!"

"Apa yang kau ingat, hah?!" sentak Rimbun 

Gandeng pertanda dia masih jengkel dan coba 

alihkan kejengkelannya pada Hampar Gandeng.

Hampar Gandeng melotot sebelum berkata, 

"Pemuda itu... mengenakan pakaian hijau pupus 

dan... di lehernya melilit kain bercorak catur. 

Sungguh bodoh! Dia adalah Pendekar Slebor!!"

Melengak kepala Rimbun Gandeng dan Ringkih 

Gandeng. Untuk sesaat tak ada yang keluarkan 

suara. Nampak kalau masing-masing orang 

memaklumi kekalahan mereka. Akan tetapi, Ringkih 

Gandeng sudah bersuara, "Kini kita tahu siapa 

sasaran kita! Pendekar Slebor! Baik! Kita urungkan 

niat menuju ke Pulau Hitam! Kelak, kita akan 

muncul lagi untuk menuntut balas!!"

Tiga kejapan mata berikutnya, dua ekor kuda itu 

sudah membawa para penunggangnya. Hampar 

Gandeng yang bertubuh gemuk, menunggang kuda 

Ringkih Gandeng. Sementara si pemiliknya, harus 

rela membonceng di kuda Rimbun Gandeng.

Mereka masih beruntung, karena totokan yang 

dilakukan Andika adalah totokan yang akan terbuka 

dengan sendirinya bila melewati waktu yang 

ditentukan. Kalau tidak, ya terpaksa deh mereka 

jalan kaki ke utara (Nyaho, nyaho lo!)

***

9


Malam pun akhirnya datang dengan rangkaikan 

kegelapan. Udara yang sejak pagi tadi cerah dihiasi

awan putih, kali ini kepekatan malam ditingkahi 

dengan gumpalan awan hitam yang berusaha 

halangi sinar rembulan.

Di tempat yang agak lapang itu, masing-masing 

orang tak ada yang buka suara. Sepasang mata Ki 

Pasu Suruan memandang tak berkedip pada Sangga 

Rantek dan Iblis Rambut Emas, yang membalas 

tajam.

Sementara itu, Nyi Genggong yang keinginannya 

untuk meninggalkan tempat itu terhalang, langsung 

keluarkan bentakan, "Sungguh sangat memiliki 

nyali orang yang berani menyerangku barusan! 

Katakan, siapa orang yang bertingkah bodoh dan 

bersiap untuk kubuntungi kedua tangannya!!"

Sangga Rantek yang tadi lepaskan serangan 

menahan perginya Nyi Genggong mendengus dingin. 

Dia menatap tajam tanpa kedip. Kemudian katanya 

setelah mengenali siapa adanya orang, "Nyi 

Genggong!! Tak kusangka kau akan muncul kembali 

di dunia ramai! Apakah kau sudah bosan 

mengasingkan diri?! Atau... kau terlalu dibuai oleh 

keinginan untuk menggapai sang rembulan? Terlalu 

bodoh bila kau melakukannya!!"

"Tutup mulutmu!!" hardik Nyi Genggong dengan

telunjuk menuding. "Aku hanya mengatakan sekali 

lagi, siapa orangnya yang tadi menyerangku!!"

Iblis Rambut Emas yang telah lama mengenal 

nama Nyi Genggong namun baru kali ini bertemu 

dengan nenek itu, diam-diam berpikir, "Hmmm... 

bila Nyi Genggong membunuh Sangga Rantek, 

urusanku dengan Pendekar Slebor bisa jadi 

berantakan. Paling tidak, Sangga Rantek tak boleh 

mati dulu, kecuali di tanganku!!"

Kemudian katanya, "Aku yang tadi lakukan 

serangan! Sekarang katakan, apa yang akan kau 

lakukan, hah?!!"

Seketika Nyi Genggong arahkan pandangannya 

pada perempuan kerudung merah. Begitu dilihatnya 

rambut si perempuan berwarna keemasan, terlihat 

bibir Nyi Genggong pentangkan seringaian, "Iblis 

Rambut Emas! Lama telah kudengar julukan 

busukmu itu! Dan sungguh kau memiliki nyali tinggi 

berani menyerangku!!"

Sementara itu Sangga Rantek berkata dalam hati, 

"Apa yang diinginkan perempuan berkerudung 

merah ini dengan mengatakan dialah yang lakukan 

serangan?"

Mendengar ucapan Nyi Genggong, Iblis Rambut 

Emas menyeringai. Seraya maju satu tindak ke 

muka dia berucap mengejek, "Tadi kukatakan, apa 

maumu, hah?!"

"Jahanam! Kurobek mulutmu, Keparaattt!!" 

"Tunggu!!" seru Ki Pasu Suruan menahan Nyi 

Genggong.

Seketika si nenek berpakaian hitam compang-

camping ini palingkan kepala disertai makian, "Apa 

maksud mu dengan 'tunggu', hah?!"

Ki Pasu Suruan tak hiraukan makian si nenek. 

Dia justru berkata pada Sangga Rantek dan Iblis 

Rambut Emas, "Kita dikenal sebagai orang-orang 

golongan hitam! Itu pun yang mengatakan orang-

orang yang merasa sok suci, orang-orang munafik 

yang iri dengan sepak terjang yang kita lakukan! Tak 

seharusnya kita saling bertikai sekarang! Mengapa 

kita tidak bergabung untuk mewujudkan 

keinginan?!"

"Mulutmu penuh bisa, Pasu Suruan!" sentak 

Sangga Rantek menyeringai lebar. "Sungguh 

mengherankan melihatmu tak bersama Pancen 

Dadap!"

"Dia telah tewas di tangan Pendekar Slebor!!"

Mendengar julukan itu disebutkan, Sangga 

Rantek berpandangan dengan Iblis Rambut Emas. Ki 

Pasu Suruan sendiri diam-diam membatin, 

"Hmmm... mereka nampak terkejut tetapi pancaran 

mata masing-masing orang penuh dendam. Aku 

yakin, kalau mereka punya urusan dengan Pendekar 

Slebor."

Selagi tak ada yang buka mulut, Ki Pasu Suruan 

yang memikirkan satu jalan terbaik sudah berkata, 

"Aku memiliki dendam setinggi langit pada pendekar 

yang banyak dipuji orang! Ingin kulihat pemuda itu 

berkalang tanah setelah mengalami siksaan yang 

sangat pedih! Kuakui, semula urusanku untuk 

mendapatkan dua potongan pedang untuk 

memecahkan rahasia apa yang ada di Pulau hitam! 

Namun... Pendekar Slebor telah membunuh Ki 

Pancen Dadap! Dan dia harus mati di tanganku!! 

Peduli setan apakah kalian mau bergabung atau 

tidak denganku untuk membunuh Pendekar Slebor! 

Peduli setan pula bila kalian menganggap kami 

sebagai lawan. karena... sudah tentu aku dan Nyi 

Genggong tak akan pernah tinggal diam!!"

Kata-kata Ki Pasu Suruan yang diberikan 

penekanan cukup keras, membuat Sangga Rantek 

dan Iblis Rambut Emas terdiam. Masing-masing 

orang merasakan ada satu masukan lain yang dapat 

mereka pergunakan.

Sangga Rantek berpikir, "Setelah Pendekar Slebor

terbunuh, berarti potongan pedang itu akan 

diperebutkan. Tetapi Iblis Rambut Emas dan Ki Pasu 

Suruan sudah berjanji tidak menginginkan benda 

itu. Kendati aku tak dapat mempercayainya, tetapi 

boleh dicoba. Hanya saja yang masih menjadi 

pikiranku, adalah rahasia di Pulau Hitam. Bisa jadi 

mereka memaksa untuk tetap menuju ke Pulau 

Hitam."

Iblis Rambut Emas berpikir, "Membunuh 

Pendekar Slebor juga keinginanku. Dia telah 

mempermalukanku. Tetapi mendapatkan potongan 

pedang itu pun kuinginkan. Sampai saat ini Sangga 

Rantek tidak tahu kalau aku mengetahui potongan 

Pedang Buntung yang merupakan pedang bagian 

hulu ada padanya. Dan aku yakin, Ki Pasu Suruan 

dan Nyi Genggong tak mengetahui hal itu. Bagus! 

Dengan cara bergabung, kekuatan akan bertambah. 

Membunuh Pendekar Slebor akan lebih mudah. Bila 

Pendekar Slebor telah mampus, berarti aku tinggal 

membunuh Sangga Rantek. Mengenai Pasu Suruan, 

sama sekali tak kupercayai ucapannya. Karena 

orang itu dikenal berotak licik. Tetapi aku yakin, 

dapat menaklukkannya...."

Karena tak ada yang membuka mulut, Ki Pasu 

Suruan menganggap tak ada yang menyetujui 

usulnya. Dia berkata pada Nyi Genggong, "Kita 

berangkat sekarang!"

"Tunggu! Perempuan berkerudung merah itu 

harus membayar perbuatannya!!"

"Tak usah kau pikirkan soal itu! Mereka orang-

orang yang telah menganggap diri masing-masing 

memiliki kesaktian tak terkalahkan! Padahal kosong 

sama sekali! Dan tak sulit membunuh keduanya!!"

Sementara wajah Sangga Rantek dan Iblis 

Rambut Emas mengkelap mendengar ucapan Ki 

Pasu Suruan, Nyi Genggong berkata, "Bagaimana 

dengan gadis itu?"

Sejenak Ki Pasu Suruan menatap Gadis Kayangan 

yang masih pingsan. Ada rasa jengkel karena dia 

gagal untuk mempermalukan si gadis.

Lalu katanya yakin, "Kita tinggal saja!"

"Tunggu!!" terdengar suara Iblis Rambut Emas. 

Perempuan yang merasa akan mendapatkan 

keuntungan bila Nyi Genggong dan Ki Pasu Suruan 

bergabung dengannya, sudah tentu tak akan 

melewatkan kesempatan di depan mala.

Ki Pasu Suruan hentikan gerakannya dan putar 

tubuh.

"Kau tetap ingin bertarung dengan kami, hah?!" 

sengalnya keras. Padahal dia tahu, kalau Iblis 

Rambut Emas telah tertarik dengan usulnya. 

Terlihat jelas dari pancaran kedua mata perempuan 

itu.

Iblis Rambut Emas mendengus gusar. "Lama 

kelamaan aku tak bisa menahan diri lagi untuk 

membunuh manusia celaka ini!" katanya dalam hati.

Lalu berujar, "Usul yang kau berikan memang 

sangat menarik. Terus terang, tanpa bergabung 

dengan kalian berdua, Pendekar Slebor akan tetap 

mampus di tangan kami!" Saat berkata 'kami', Iblis 

Rambut Emas melirik Sangga Rantek, sementara 

yang dilirik cuma mendengus. Kemudian lanjutnya, 

"Tetapi masing-masing orang di antara kita memiliki 

dendam pada Pendekar Slebor dan berkeinginan 

melihat pemuda itu mam...."

"Siapa bilang aku mendendam pada Pendekar

Slebor?" putus Nyi Genggong. Dari wajahnya yang 

menekuk, jelas dia masih gusar dengan Iblis Rambut 

Emas yang disangkanya telah menyerang–nya tadi. 

"Jangan mencoba memancing...."

"Itu bukan urusanku!" putus Iblis Rambut Emas 

membalas memotong kata-kata Nyi Genggong. "Yang 

pasti, semua di antara kita menginginkan tiba di 

Pulau Hitam untuk mengetahui rahasia apa yang 

terpendam di sana. Dengan bersama-sama, 

kekuatan kita memang akan bertambah. Hingga 

paling tidak, kita dapat menguasai Pulau Hitam. 

Yang menjadi masalah adalah, Pendekar Slebor. 

Tetapi sekarang, pemuda itu bukanlah masalah 

yang harus dipikirkan lebih jauh. Aku setuju dengan 

usul Ki Pasu Suruan untuk bergabung! Sangga 

Rantek apa pendapatmu?"

Lelaki berhidung bengkok itu terdiam. Nampak 

sekali kalau dia sedang mempertimbangkan segala 

sesuatu. Kejap kemudian terlihat kepalanya 

mengangguk-angguk.

"Memang tak ada salahnya kita mencoba! Dengan 

kata lain, kita jangan lagi dihina dan dianggap 

remeh oleh orang-orang munafik yang mengaku 

berada di jalan lurus! Sudah tiba saatnya kita unjuk 

gigi untuk menghadapi masalah ini!"

Mengembang senyum Ki Pasu Suruan melihat 

kedua orang itu menyetujui usulnya.

"Kata sepakat sudah dicapai! Nyi Genggong... 

apakah kau menyetujui juga usul ini?"

Nyi Genggong tak segera menjawab. Pandangan–

nya masih tajam pada Iblis Rambut Emas, 

"Jahanam keparat! Senyuman di bibir perempuan 

celaka itu membuatku tak sabar untuk segera

mengepruk kepalanya! Tetapi... apa boleh buat, 

untuk saat ini kubiarkan dia lakukan sikap seperti 

itu! Ingin kulihat apa yang bisa dilakukannya 

bersama Sangga Rantek bila bertemu dengan 

Pendekar Slebor!!"

Habis membatin begitu, si nenek berpakaian 

hitam compang-camping ini menganggukkan kepala. 

"Aku menyetujui usul itu!" Meledak tawa Ki Pasu 

Suruan mengetahui semua yang direncanakannya 

mencapai kata sepakat. Terbayang sudah kematian 

Pendekar Slebor di benaknya. Dan dia sungguh-

sungguh tidak sabar untuk melihat pemuda itu 

berkalang tanah.

"Pancen Dadap... tak lama lagi seluruh 

dendammu akan terbalaskan..." desisnya dalam 

hati.

Kemudian katanya, "Bila memang kesepakatan 

sudah dicapai, sebaiknya kita berangkat melacak 

pemuda keparat itu!!"

"Tunggu!" desis Sangga Rantek. "Kita tetap seperti 

semula! Aku dengan Iblis Rambut Emas, kau dengan 

perempuan tua bau tanah itu! Sehingga...."

"Tutup mulutmu!!" menghardik Nyi Genggong 

mendengar ucapan orang. Tangan kanannya 

mengepal dan agak bergetar tanda dia murka sekali.

Ki Pasu Suruan segera menenangkannya 

sementara di depan Sangga Rantek menyeringai 

lebar dan melanjutkan kata, "Kesepakatan yang 

telah kita capai, hanyalah untuk membunuh 

Pendekar Slebor! Sementara urusan lain tetap kita 

pegang masing-masing! Iblis Rambut Emas... kita 

berangkat sekarang!!"

Habis kata-katanya, lelaki berpakaian serba

hitam itu sudah berlari melalui jalan semula menuju 

ke barat daya. Dia tetap berusaha untuk melacak 

Pulau Hitam. Iblis Rambut Emas hanya menyeringai 

pada Nyi

Genggong dan Ki Pasu Suruan, sebelum 

menyusul perginya Sangga Rantek. Perempuan 

berambut keemasan yang ditutupi kerudung merah 

ini tetap berkeyakinan, kalau Sangga Rantek sedang 

mencoba menuju ke Pulau Hitam.

Sepeninggal kedua orang itu, Nyi Genggong 

menggeram dingin, "Jahanam keparat! Kelak kalian 

akan mendapatkan ganjaran dari sikap kalian saat 

ini!!"

Ki Pasu Suruan yang tak ingin menambah 

kemarahan Nyi Genggong, cuma tersenyum. Lalu 

berkata, "Lupakan segala urusan amarah! Tujuan 

kita tetap membunuh Pendekar Slebor! Nyi 

Genggong... kita berangkat sekarang! Menyusul 

mereka...."

Nyi Genggong hanya mendengus dan mengikuti 

langkah Ki Pasu Suruan yang bergerak ke arah 

barat daya.

***

Lima tarikan napas sepeninggal orang-orang itu, 

muncul seorang lelaki tua agak membungkuk. Lelaki 

berwajah arif ini menggeleng-gelengkan kepala 

begitu melihat sosok Gadis Kayangan yang masih 

pingsan.

"Hmmm... dari kejauhan sudah kudengar rencana 

busuk manusia-manusia durjana itu. Sasaran 

mereka adalah Pendekar Slebor. Ah, sungguh

malang nasib pemuda yang kudengar julukannya 

akhir-akhir ini bertambah santer. Pulau Hitam... ya, 

ya... Pulau Hitam. Rupanya masih ada orang-orang 

yang ingin mengetahui rahasia apa yang tersimpan 

di Pulau Hitam...."

Lelaki berpakaian panjang warna jingga ini 

mengasap jenggotnya yang memutih. Saat mengusap 

jenggotnya, terlihat di pergelangan tangan kanannya 

terdapat gelang-gelang baja hingga siku. Begitu pula 

dengan di tangan kirinya.

Hati-hati didekatinya Gadis Kayangan. Hanya 

sekali melihat, si kakek berwajah arif ini tahu kalau 

gadis itu dalam keadaan tertotok.

"Malang nasib gadis ini...," desisnya teduh. Lalu 

nampak dia meniup tiga kali. Dan terlihat tiga kali 

tubuh Gadis Kayangan terjingkat.

Luar biasa! Rupanya si kakek melepaskan 

totokan yang dilakukan Nyi Genggong pada Gadis 

Kayangan hanya dengan cara meniup.

Bahkan lebih mengagumkan lagi, karena begitu 

tangan kanannya digerakkan ke atas, tubuh Gadis 

Kayangan perlahan-lahan terangkat naik yang 

segera ditangkap dan dibopongnya.

"Pulau Hitam... mereka termasuk orang-orang 

yang masih menginginkan untuk mengetahui 

rahasia Pulau Hitam...."

Habis desisannya, si kakek berwajah arif ini 

segera melangkah meninggalkan tempat itu ke arah 

timur laut. Baru lima tindak orang tua ini 

melangkah, mendadak saja sosoknya telah lenyap 

dari pandangan!

***

Pagi kembali datang dan tebarkan udara sejuk ke 

segenap persada. Sang surya perlahan-lahan mulai 

muncul kepermukaan seraya lepaskan panah 

merahnya yang masih terasa suam-suam kuku. 

Hamparan langit cukup cerah. Sisa-sisa burung 

yang masih mengangkasa, seolah lukisan yang hiasi 

persada langit.

Belum lagi butiran embun mengering, belum lagi 

burung-burung beterbangan, mendadak saja jalan 

setapak yang dipenuhi ranggasan semak belukar itu 

dipecahkan oleh suara kuda dipacu cepat.

Dari kejauhan nampak seekor kuda hitam gagah 

berlari kencang. Dari setiap jalan yang dilaluinya, 

nampak kepulan debu mengudara. Penunggangnya 

yang mengenakan pakaian hijau pupus terlihat 

terus berucap, agak konyol, "Ayo, kuda! Jangan mau 

enaknya saja! Kita terus cabut lebih jauh dari 

tempat ini!!"

Melewati jalan setapak itu, si penunggang kuda 

yang tak lain Pendekar Slebor, terus memacu kuda 

milik Hampar Gandeng yang diambilnya. Dengan 

cara menunggang kuda, tenaganya lebih banyak 

tersimpan ketimbang harus berlari.

Di sebuah sungai yang mengalirkan air jernih, 

anak muda urakan itu hentikan lari kuda 

tunggangannya, yang seketika meringkik dengan 

kedua kaki terangkat.

Bersamaan dengan itu, anak muda ini telah 

melompat dan hinggap di atas tanah. Pandangannya 

diperhatikan ke sekelilingnya yang sepi. Beberapa

ekor kelinci langsung masuk kembali ke sarangnya 

begitu mendengar derap langkah kuda. Beberapa 

helai daun berguguran dan jatuh ke sungai yang 

secara perlahan namun pasti mau tak mau 

mengikuti aliran sungai itu.

"Hmmm... belum juga kutemukan lembah yang 

tertera pada potongan pedang milik Gadis Kayangan. 

Memang tak mudah menuju ke Pulau Hitam hanya 

dengan pedoman sepihak. Jalan satu-satunya 

memang harus mendapatkan potongan Pedang 

Buntung yang dipegang Sangga Rantek. Tetapi, 

manusia itu pun tak kuketahui berada di mana. Ih! 

Sebenarnya ada apa sih di Pulau Hitam? Semakin 

dipikirkan, semakin butek otakku ini!!"

Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tidak 

gatal. Sembari berpikir, dituntunnya kuda hitam itu 

untuk menikmati rerumputan yang berada di sana.

Kembali diedarkan pandangan ke sekelilingnya. 

Tetap sunyi dan tak ada tanda-tanda orang lain di 

sekitar sana kecuali dirinya dan... ya, bersama si 

kuda tuh!

"Pulau Hitam.... Dari namanya saja sudah 

menampakkan kengerian yang dalam. Dan 

tempatnya hingga saat ini tak juga kuketahui. 

Benar-benar kutu monyet! Apa yang sebenarnya 

menjadi rahasia Pulau Hitam? Huh! Nasib Gadis 

Kayangan hingga saat ini masih membingungkanku! 

Siapa orang yang telah mencelakakannya?! Dan hal 

lain yang masih harus kupikirkan, bagai mana bila 

dua orang yang mengaku Panembahan Agung 

berada di sana? Sudah pasti sih mereka akan 

berlangsung. Tetapi kan aku ingin tahu siapa yang 

asli dan siapa yang palsu?"

Kembali anak muda ini garuk-garuk kepalanya.

"Menurut dugaanku, yang palsu adalah Dewa 

Lautan Timur. Tetapi yang mana orangnya? Apakah 

yang mendapatkan pecahan genting bertuliskan 

huruf 'PS' agak kehitaman atau yang satunya lagi? 

Mati kutu aku kali ini!!"

Mendumal tak karuan si anak muda. Otaknya 

terus diperas untuk memikirkan masalah demi 

masalah yang terjadi. Bahkan tak dihiraukannya 

perutnya yang sudah keroncongan dan tubuh yang 

agak lengket.

Karena kalau dia mencari makanan atau mandi 

dulu, akan banyak waktu yang terbuang. Padahal 

dia harus memburu waktu untuk menuntaskan 

semua persoalan yang ada.

"Lembah... ya, lembah itulah yang harus kucari. 

Tetapi sudah tentu sangat sulit bila tak kudapatkan 

Pedang Buntung pada Sangga Rantek. Tetapi... apa 

yang tertera dalam potongan pedang di tangan Gadis 

Kayangan, memang menuju ke arah barat. Tengah 

malam tadi, yang kujumpai hanyalah sebuah air 

terjun belaka. Kupikir sebuah lembah! Kampret 

mati!!"

Memang, pada tengah malam tadi, Andika telah 

tiba di air terjun yang merupakan patokan pertama 

menuju ke Pulau Hitam. Dan anak muda ini 

sekarang sudah berada pada arah barat daya dari 

air terjun itu. Bila saja dia tahu kalau air terjun 

yang ditemuinya adalah tanda pertama menuju ke 

Pulau Hitam, sudah tentu dia tak akan sebingung 

ini.

Kemudian katanya lagi, "Sudah, ah! Kalau kupikir 

kan terus menerus di tempat ini, semakin banyak

waktu ku yang terbuang! Lebih baik kulanjutkan 

perjalanan."

Lalu dihampirinya kuda hitam yang lagi asyik 

merumput. Ditepuknya punggung kuda itu dengan 

lembut.

"Sudah kenyang belum. Da? Kalau sudah, kita

cabut! Kalau belum, maaf banget nih, kita juga 

harus cabut sekarang!!"

Ya sudah tentu si kuda tidak mengerti apa yang 

diucapkan oleh Andika. Dia tetap saja asyik 

merumput.

"E, busyet! Perutmu ternyata perut karung juga, 

ya? Sudahlah! Nanti kau boleh makan sepuas-

puasmu! Kita teruskan perjalanan sekarang!!"

Lalu dengan enaknya dia nyemplak kembali di 

punggung kuda hitam itu. Setelah diarahkan ke 

tujuan yang diinginkannya, anak muda ini segera 

menggebrak kudanya.

Tepat matahari di atas kepala, anak muda ini 

melihat dua buah bukit dari kejauhan. Dan saat ini 

dia sedang menjajaki hamparan padang rumput 

yang luas.

"Kutu monyet! Kenapa bukan lembah yang 

kuharapkan yang dapat kutemui! Semalam air 

terjun, sekarang dua buah bukit! Busyet! Kok 

berlawanan banget ya?" desisnya seraya menggebrak 

terus kudanya menuju ke bukit itu.

Sejarak lima puluh tombak, Andika dapat melihat 

keangkeran kedua bukit itu. Saat ini matahari 

sedang galak-galaknya bersinar. Dari kedua bukit 

itu, seolah terlihat cahaya yang sangat terang, 

rupanya bukit itu memantulkan sinar matahari.

Sejarak sepuluh tombak, barulah Andika melihat

lebih jelas keadaan bukit itu. Ternyata bukit 

kapur yang dipenuhi dengan batu-batu terjal.

"Pantas... seperti menyala," desisnya seraya 

hentikan lari kudanya.

Diperhatikan dengan seksama apa yang ada di 

hadapannya. Cukup lama pandangannya tetap 

mengarah pada bukit itu sebelum terlihat 

mengangguk-anggukkan kepala.

"Pertama air terjun... kedua dua buah bukit 

kapur.... Ih! Kok tempat-tempat semacam ini yang 

kutemui ya? Apa tidak ada tempat yang banyak 

ditumbuhi pohon buah biar perutku agak keganjal 

sedikit?"

Lalu perlahan-lahan si Urakan ini turun dari 

kuda tunggangannya. Sambil melangkah ke depan, 

diperhatikan kedua bukit itu lekat-lekat.

"Dari kejauhan... nampak seperti bukit kembar. 

Tetapi setelah dekat, wah! Apanya yang kembar?"

Untuk beberapa saat anak muda ini masih 

berdiam di atas tanah berkapur yang dipijaknya. 

Dan semakin lama nampak keningnya berkerut.

"Hmmm... apakah ini memang sebuah kebetulan? 

Air terjun... dua bukit kapur... atau...."

Sengaja memutus kata hatinya sendiri, Andika 

terdiam lagi. Nampak kalau dia berpikir keras.

"Bila memang ini hanya kebetulan tak jadi 

masalah. Tetapi bagaimana bila tidak? Anggaplah air 

terjun dan dua buah bukit kapur ini sebagai 

petunjuk menuju ke Pulau Hitam. Dan... ah, 

menganggap seperti itu tidak enak, ah. Mungkin ini 

hanya kebetulan saja. Sebaiknya aku berangkat saja 

sekarang."

Berbalik pemuda tampan berambut gondrong 

acak-acakan ini. Namun baru tiga langkah, 

mendadak kembali diputar tubuhnya menghadap ke 

arah dua bukit kapur itu.

"Bagaimana bila ini memang sebuah petunjuk? 

Petunjuk menuju ke Pulau Hitam. Hmmm... 

sebaiknya ku anggap saja begitu."

Karena menganggap seperti itu, diingat-ingatnya 

kembali apa yang tertera pada potongan pedang 

yang dimiliki oleh Gadis Kayangan. Dan Andika 

tidak dapat memastikan apakah potongan pedang 

itu masih berada di tangan si gadis atau tidak.

"Dari apa yang kuketahui... pada pokoknya harus 

menuju ke arah barat sebelum akhirnya ke selatan. 

Pada potongan pedang di tangan Gadis Kayangan, 

patokan yang pertama kali diketahui adalah sebuah 

lembah. Tetapi ku yakini harus menuju ke barat 

sebelum... ah! Tak salah! Air terjun dan dua bukit 

kapur ini bukankah sebuah kebetulan. Ini memang 

menjadi patokan. Tetapi, arah mana yang sekarang 

harus kutempuh?"

Kembali Pendekar Slebor terdiam memikirkan 

segala sesuatunya. Cukup lama dia terdiam sebelum 

akhirnya mendesah, "Sulit kuketahui secara pasti. 

Tetapi paling tidak, aku telah mendapatkan sedikit 

petunjuk yang berarti. Hanya saja... masih 

kupikirkan nasib Gadis Kayangan. Di manakah dia 

sekarang? Apa yang dialaminya? Lagi pula, siapa 

orang di belakang Setan Cambuk Api yang sengaja 

menahan langkahku?"

Garuk-garuk kepala sendiri si Urakan ini sebelum 

melanjutkan, "Persoalan masa lalu Panembahan 

Agung dan Dewa Lautan Timur masih belum

terjawab. Sekarang aku bertambah yakin, kalau 

Dewa Lautan Timur menyuruh tiga orang 

berpakaian hitam gombrang untuk menjarah harta 

milik Panembahan Agung, hanyalah pancingan 

belaka. Mungkin untuk meyakinkan kalau 

Panembahan Agung memang tinggal di 

Pesanggrahan Bayu Api. Sementara dia sengaja 

melakukan sesuatu yang dapat kupastikan, kalau 

dia tengah mempersiapkan diri untuk menyamar 

sebagai Panembahan Agung. Tetapi, yang manakah 

Dewa Lautan Timur? Huh! Ingin sekali kulihat 

seperti apa wajah aslinya!!"

Baru saja habis terdengar kata-kata Pendekar 

Slebor, mendadak saja tawa keras menggema ke 

seantero tempat. Beberapa bongkah batu kapur 

bergulingan berdebam.

Menyusul suara dingin, "Tak perlu bersusah 

payah untuk mengenali adanya orang! Dengan 

senang hati ku perlihatkan diriku padamu, Pendekar 

Slebor!!"

Belum habis seruan itu terdengar, mendadak 

telah berdiri satu sosok tubuh tinggi bersorban kuning....


                        SELESAI



Segera menyusul: 

TABIR PULAU HITAM




Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive