Episode I: PEDANG BUNTUNG
Episode II: DEWA LAUTAN TIMUR
DEWA LAUTAN TIMUR
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia. Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor dalam episode:
Dewa Lautan Timur 112 hal.
1
Di salah satu ruangan Pesanggrahan Bayu Api,
suasana makin menyepi. Tak seorang pun yang
membuka suara. Masing-masing orang dicekam
pikiran dan kebingungan.
Keheningan itu dipecahkan oleh suara orang yang
baru datang, "Orang tua... mengapa kau berpakaian
seperti yang kukenakan? Dan wajahmu... mengapa
begitu mirip sekali denganku?"
Orang yang duduk bersila di hadapan Pendekar
Slebor dan Gadis Kayangan, rangkapkan kedua
tangannya di depan dada. Laki berucap sopan pula,
"Sobat... justru aku yang tak mengerti... mengapa
pakaian yang kita kenakan dan wajah kita mirip
satu sama lain? Siapakah kau sebenarnya?"
Orang yang baru datang menyahut tak kalah
sopannya, "Namaku Purwacaraka dan orang-orang
menjuluki ku Panembahan Agung! Siapakah kau
adanya?"
"Begitu pula denganku. Nama dan julukanku
adalah yang barusan kau sebutkan tadi."
Selagi kedua orang yang satu sama lain berwajah
mirip dan masing-masing mengaku bernama
Purwacaraka dan berjuluk Panembahan Agung,
Andika yang sudah berdiri menggaruk-garuk
kepalanya tidak mengerti.
"Kutu monyet! Apa-apaan ini? Mengapa ada dua
orang yang mengaku berjuluk Panembahan Agung?
Yang manakah Panembahan Agung yang
sesungguhnya? Apakah yang sejak semula berbicara
denganku dan Gadis Kayangan, ataukah orang yang
baru datang? Kampret mati! Sudah tentu tak
mungkin kedua-duanya adalah Panembahan Agung!
Tetapi yang mana yang asli? Dan siapa yang palsu?"
Sementara itu Winarsih atau yang dijuluki Andika
Gadis Kayangan, hanya memperhatikan kedua orang
tua itu secara bergantian. Satu sama lain berwajah
dan bersikap mirip. Bahkan tatkala Panembahan
Agung yang sejak Semula berbicara dengan mereka
berdiri, tinggi mereka pun sama.
"Oh, Mengapa jadi begini?" desisnya galau. Dan
hatinya mendadak tidak enak. Terlebih lagi tatkala
menyadari kalau potongan pedang masih dipegang
oleh Panembahan Agung yang sejak semula
berbicara dengannya. Dia yakin salah satu dari
kedua Panembahan Agung itu palsu. Tetapi
menentukan yang mana yang asli dan yang mana
yang palsu, bukanlah sesuatu yang mudah.
Sebelumnya, Winarsih memang terlebih dulu
datang ke Pesanggrahan Bayu Api ketimbang
Andika. Padahal seharusnya Andika yang datang
terlebih dahulu. Karena dia harus menakut-nakuti
tiga lelaki berpakaian hitam gombrang yang diupah
oleh seseorang bersorban kuning untuk menjarah
harta Panembahan Agung, terpaksa dia tak segera
ke Pesanggrahan Bayu Api.
Sebelumnya Andika memang sudah memper–
kirakan ke mana perginya Winarsih atau Gadis
Kayangan tatkala tak dijumpai di tempatnya semula.
Makanya, dia tak terlalu merasa heran ketika
bertemu dengan Gadis Kayangan di Pesanggrahan
Bayu Api ini. Tetapi Gadis Kayangan yang memang
belum dapat memutuskan apakah pemuda
berpakaian hijau pupus itu kawan atau lawan,
terpaksa mengusir Andika. Setelah itu dia segera
mendatangi Pesanggrahan Bayu Api.
Kedatangannya disambut oleh Panembahan
Agung dan di saat percakapan terjadi, mendadak
saja Panembahan Agung mengangkat tangan ke
atas. Saat itu pula satu sosok tubuh yang ternyata
Pendekar Slebor, meluncur jatuh.
Pendekar Slebor yang selain penasaran ingin
mengetahui lebih lanjut tentang urusan dua
potongan pedang, menceritakan tentang tiga lelaki
berpakaian hitam gombrang yang diperintahkan oleh
orang bersorban kuning untuk menjarah harta milik
Panembahan Agung.
Dan selagi percakapan itu terjadi, semua
dikejutkan dengan satu sapaan halus. Lebih terkejut
lagi tatkala yang menyapa itu adalah sosok orang
yang sangat mirip dengan Panembahan Agung yang
duduk bersila di hadapan sepasang remaja itu
(Untuk lebih jelasnya, silakan baca: "Pedang
Buntung").
Saat ini Panembahan Agung yang baru datang,
sedang berkata sopan setelah memandang
Panembahan Agung yang satunya lagi, "Kawan...
mengapa kau harus menyamar sebagai diriku?
Apakah kau lupa, kalau tindakanmu itu sangat
tidak menyenangkan."
Panembahan Agung yang di tangan kanannya
tergenggam potongan pedang yang dibalut kain
pulih berkata, tak kalah sopannya. "Maaf... justru
aku hendak bertanya... "Mengapa kau melakukan
hal seperti ini?"
"Bagaimana mungkin aku menyamar sebagai
diriku sendiri kalau memang akulah Panembahan
Agung."
"Begitu pula denganku. Kawan... tidak baik
melakukan tindakan seperti ini. Tetapi. kau boleh
mengatakan, keuntungan apa yang hendak kau raih
dengan menyamar sebagai diriku?"
"Maafkan aku.... Justru aku hendak menanyakan
hal itu padamu...."
Di lain pihak, Pendekar Slebor sedang
menggaruk-garuk kepalanya. Anak muda urakan
dari Lembah Kutukan ini, diam-diam bersiaga
penuh. Karena dia yakin, salah seorang dari mereka
adalah palsu dan tentunya menghendaki sesuatu.
Namun, siapa yang asli dan siapa yang palsu?
Bahkan suara satu sama lain begitu mirip terdengar.
Jangankan Andika yang baru kali ini mengenal
wujud dan sosok Panembahan Agung, orang yang
telah mengenal sebelumnya pun tak akan mampu
membedakan satu sama lain.
"Monyet pitak! Urusan lebih melebar lagi! Ah,
potongan pedang yang merupakan pangkal dari
semua itu berada di tangan Panembahan Agung
yang sejak tadi berbicara denganku. Bisa jadi dia
yang palsu, dan sebenarnya menyamar sebagai
Panembahan Agung karena tahu kalau Gadis
Kayangan akan menyerahkan potongan pedang itu
padanya. Tetapi bisa juga aku salah, karena
sesungguhnya memang dialah Panembahan Agung.
Kadal buntung! Harimau bangkai! Bagaimana
caranya aku membedakan mereka?"
Garuk-garuk kepala sendiri anak muda ini.
Winarsih sendiri masih memperhatikan kedua
orang tua yang satu sama lain tak ada bedanya,
dengan kening yang semakin dikernyitkan.
Sementara itu Panembahan Agung yang baru
datang berkata lagi, tetap sopan kendati dibaluri
sedikit kemarahan, "Kawan... aku tak mau
memperuncing urusan. Lebih baik kau katakan
siapa dirimu sebenarnya...."
Panembahan Agung yang satunya lagi berkata,
"Maafkan aku.... Aku tak ingin bertindak tidak
sopan. Tetapi nampaknya, apa yang kau lakukan
sudah tentu tak akan mungkin kumaafkan.
Menyamar menyerupai seseorang sudah tentu
bermaksud buruk. Lebih baik katakan yang
sebenarnya, biar urusan tak berlarut-larut."
"Kawan... sungguh semua ini sangat mengejutkan
ku. Seperti biasa, aku selalu berjalan-jalan di
padang rumput di belakang Pesanggrahan Bayu Api
ini. Dan selalu kembali bila matahari sudah
sepenggalah. Apakah kau tidak berpikir, kalau aku
sangat terkejut karena ada tamu yang datang. Lebih
terkejut lagi tatkala ada orang yang menyerupaiku."
Panembahan Agung yang memegang potongan
pedang dibalut kain putih menggeleng-gelengkan
kepalanya. Bibirnya tersenyum saat berkata,
"Kebetulan... malam tadi keadaan tak begitu baik,
hingga aku tak menjalankan kebiasaanku seperti
biasa."
"Kawan... kesabaran seseorang ada batasnya."
Kembali Panembahan Agung yang sebelumnya
berbicara panjang lebar dengan Andika dan
Winarsih mengangguk-anggukkan kepala.
Andika yang masih berusaha untuk menentukan
yang mana sesungguhnya Panembahan Agung
membatin lagi, "Aku baru ingat sekarang. Bukankah
tiga lelaki berpakaian hitam gombrang itu
mengatakan, kalau Panembahan Agung memiliki
kebiasaan berjalan-jalan pada malam Kamis Legi di
padang rumput di belakang pesanggrahan ini. Dan
rasanya... orang tua yang sekarang telah diserahkan
potongan pedang oleh Gadis Kayangan, sejak semula
gadis ini datang, dia sudah berada di sini. Tetapi
tadi dia mengatakan sedang tidak enak badan.
Sebaiknya...."
Memutus kata batinnya sendiri, Andika berkata
sambil nyengir, "Busyet! Baru aku tahu kalau kalian
ini manusia kembar! Tetapi setahuku, kalau orang
kembar itu tentunya memiliki sedikit perbedaan
yang dapat diketahui oleh orang yang telah
mengenal lama. Sayangnya, aku dan Gadis
Kayangan baru mengenal kalian. Di samping itu,
aku yakin, orang yang telah mengenal kalian lebih
lama juga akan merasa kebingungan, karena bukan
hanya sosok dan wajah kalian yang serupa, suara
kalian pun tak jauh berbeda. Nah! Yang merasa
palsu tunjuk tangan deh!"
Usul konyol yang dilontarkan Pendekar Slebor
sudah tentu tak akan dilakukan oleh kedua orang
yang mengaku sebagai Panembahan Agung. Bahkan
bila diminta yang asli tunjuk tangan pun, rasanya
terlalu riskan dilakukan oleh orang tua sebijaksana
keduanya.
Andika tertawa sendiri setelah menyadari
kekonyolannya. Lalu kalanya, "Kalau begini caranya,
bagaimana kami bisa tahu siapa Panembahan Agung
yang sesungguhnya? Mengaku anak kembar kalian
tidak! Mengaku yang palsu juga tidak! Atau... begini
saja deh! Orang tua, aku minta maaf sebelumnya.
Kuharap kau mau menyerahkan potongan pedang
itu kepadaku...."
Panembahan Agung yang berdiri di sebelah kiri
yang memegang kain putih berisi potongan pedang
itu terdiam sejenak. Setelah memperhatikan benda
yang dipegangnya, dia segera menyerahkan pada
Andika.
"Anak muda... apa yang hendak kau lakukan?"
Andika nyengir sebelum menjawab, "Jangan salah
sangka nih ya? Juga jangan tersinggung! Mungkin
ini jalan satu-satunya yang terbaik agar urusan
dapat diselesaikan secepatnya, kendati sebenarnya
aku tidak sabar ingin menjitak siapa orang yang
berani lakukan tindakan brengsek seperti ini! Nah!
Siapa yang dapat mengatakan isi potongan pedang
ini kepadaku?"
"Sudah tentu aku dapat mengalakannya," kata
Panembahan Agung yang berdiri di sebelah kiri.
"Begitu pula denganku. Bukankah potongan
pedang itu telah lama berada di tanganku? Sudah
tentu aku sangat mengenalnya. Dan sedikit
banyaknya, aku juga mengetahui isi potongan
pedang yang berada di tangan adik seperguruanku
yang berjuluk Pemimpin Agung," kata Panembahan
Agung yang berada di sebelah kanan. Kemudian
lanjutnya pada Winarsih, "Anak gadis... aku tahu
kalau potongan pedang itu sebelumnya berada di
tanganmu. Sekarang... ceritakan padaku apa yang
telah terjadi pada gurumu?"
Winarsih yang masih terheran-heran dengan
pemandangan yang ada di hadapannya seperti
tergugu, seolah dia tak bisa membuka mulut lagi.
Andika yang segera berkata, "Pemimpin Agung
telah tewas di tangan Sangga Rantek. Dan potongan
pedang yang sebuah lagi, yang merupakan Pedang
Buntung, berada di tangan manusia itu."
Panembahan Agung yang baru datang itu
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tak kusangka kalau dia akan bernasib sial
seperti itu. Ah... padahal aku belum menceritakan
apa yang selama ini kurahasiakan. Ah, dia tentunya
tak pernah mendengar tentang Laksmi Harum."
Mendengar ucapan Panembahan Agung ini, anak
muda urakan yang berotak encer itu langsung
berpikir, "Laksmi Harum. Menurut Panembahan
Agung yang sejak tadi bercakap-cakap denganku,
tak seorang pun yang mengetahui cerita tentang
Laksmi Harum karena selama ini dipendamnya.
Tetapi, Panembahan Agung yang baru datang telah
mengetahuinya. Menilik keadaan sudah tentu
keduanya memang Panembahan Agung, hanya tak
mungkin keduanya benar-benar Panembahan
Agung. Berarti... oh! Tak salah! Sudah pasti yang
seorang lagi adalah Dewa Lautan Timur. Tetapi yang
mana? Celaka! Bila ternyata dugaanku benar,
urusan akan semakin repot! Tetapi sungguh hebat
Dewa Lautan Timur yang mempunyai dendam
setinggi langit pada Panembahan Agung ternyata
masih dapat menahan dendamnya. Aku yakin, itu
dilakukan karena dia sedang menikmati permainan
yang diciptakannya."
Cukup lama tak ada yang membuka mulut
sebelum Panembahan Agung yang baru datang
berkata, "Anak muda... mengapa kau tak
melanjutkan ucapanmu? Bila menuruti kata hatiku,
aku tak bisa menahan diri lebih lama untuk mencari
tahu siapa lelaki tua di hadapanku yang menyamar
sebagai diriku?"
Sebelum Andika menyahut, Panembahan Agung
yang berdiri di sebelah kiri berkata setelah menghela
napas masygul, "Urusan ini memang harus
dituntaskan. Karena aku tak ingin ada orang yang
menyamar sebagai diriku yang justru akan
bertindak sembrono dengan membawa namaku
dalam perbuatannya. Anak muda... lakukanlah apa
yang hendak kau kerjakan."
Pemuda yang di lehernya melilit kain bercorak
catur ini pandangi dulu masing-masing orang
sebelum mendekati Gadis Kayangan. Lalu sambil
nyengir dia berkata, "Maaf nih, ah! Aku mau berbisik
dulu!"
Gadis Kayangan yang masih keheranan nampak
menurut saja tatkala Andika membisiki sesuatu.
Lalu terlihat kepalanya berpaling dengan pandangan
terbuka.
"Kau...."
"Itu hanya dugaanku. Nah, sekarang kau lakukan
apa yang kuminta tadi."
Gadis jelita berkepang dua ini masih pandangi
Andika beberapa saat, sebelum akhirnya berkata
sopan pada dua orang Panembahan Agung yang
masih berdiri di hadapannya, "Kakek... maafkan
sikapku ini. Terus terang, aku bingung menentukan
siapakah di antara kakek yang benar-benar kakak
seperguruan guruku. Aku harus menjalankan apa
yang diminta oleh Pendekar Slebor."
Habis kala-katanya, gadis ini segera berkelebat
keluar dari Pesanggrahan Bayu Api. Wajahnya
masih diliputi tanya yang ingin segera didapatkan
jawabannya.
Setelah itu Andika berkata, "Nah! Sekarang
tinggal kita bertiga! Sekarang... kita sama-sama tahu
kalau titik gambar yang tergambar pada dua potong
pedang bila disatukan akan menuju ke Pulau Hitam.
Kupikir kalian juga mengetahuinya. Yang ingin
kuketahui, dapatkah kalian menuju ke Pulau Hitam
tanpa bantuan titik-titik gambar yang tergambar
pada dua potongan pedang bila disatukan?"
Dua orang yang mengaku sebagai Panembahan
Agung sama-sama tak buka mulut. Sikap mereka
tak menunjukkan rasa terkejut, khawatir atau
marah diperlakukan seperti itu oleh Pendekar
Slebor. Tetap tenang dengan wajah dan sorot mata
yang menyiratkan kebijaksanaan tulus.
Dan serempak masing-masing orang
menganggukkan kepala.
Panembahan Agung yang berdiri di sebelah kiri
berkata, "Bagiku... tak jadi masalah. Karena semua
untuk kedamaian di antara kita."
Yang di sebelah kanan menyusulkan kata, "Begitu
pula denganku. Bila menuruti keadaan, aku sudah
tak kuasa menahan diri. Tetapi, aku telah jenuh
dengan segala pertikaian yang terjadi di antara
sesama. Biarlah urusan ini kau yang menyele–
saikannya, Anak Muda."
"Kalau kalian tidak tersinggung dan memang
bersedia... tunggu sebentar!!"
Mendadak saja Andika menggerakkan tangan
kanannya ke atas. Tahu-tahu sebuah genting telah
pecah dan menjadi delapan bagian. Yang enam buah
dibiarkan jatuh ke lantai yang menimbulkan suara
cukup keras, sementara yang dua lagi ditangkap
dengan hanya pergunakan tangan kanannya saja.
Sebelum dia berkata, diselipkan potongan pedang
yang terbalut kain putih ke balik pakaiannya, "Dan
tentunya, bila kalian berhasil tiba di Pulau Hitam,
sulit bagiku mengenali kalian! Maksudku, yang
mana yang lebih dulu berada di sini, dan yang mana
yang datang belakangan! Jadi, kalian kuhadiahkan
tanda mata!" Dan dasar urakan, dia menyambung
konyol, "Ingat Iho, dijual tidak laku! Tetapi kalau
masih nekat mau menukarkan dengan sebungkus
nasi uduk, ya terserah!"
Kemudian dengan pergunakan jari telunjuknya,
diukir dua pecahan genting itu dengan huruf 'PS'.
Yang satu diberi penekanan hingga agak menghitam.
"Nah! Sekali lagi maaf nih! Bukannya merasa
ngetop makanya kuukir dua huruf awal dari
julukanku! Tetapi ya... ini hanya sebagai tanda
pengenal saja! Biar aku tidak semakin bingung bila
berjumpa dengan kalian!"
Dan mendadak saja Andika melempar dua
pecahan genting itu sekaligus.
Wiiingg!! Wiiinggg!!
Tap! Tap!
Tanpa bergeser dari tempatnya, masing-masing
orang yang mengaku sebagai Panembahan Agung
telah menyambar pecahan-pecahan genting yang
telah terukir huruf PS".
"Ayo, anak-anak! Perlihatkan pada Bapak!!"
Panembahan Agung yang berdiri di sebelah kiri
tersenyum geli melihat tingkah Pendekar Slebor.
Sambil menggeleng-gelengkan kepala dia
menunjukkan pecahan genting itu. Huruf 'PS' yang
tertera tak begitu menghitam. Sementara
Panembahan Agung yang berdiri di sebelah kanan
mendapatkan pecahan genting bertuliskan huruf
'PS' yang agak menghitam.
"Sekarang... kalian sudah mendapatkan tanda
masing-masing! Nah! Segera cabut deh menuju ke
Pulau Hitam!! Ingat, waktunya hanya dua minggu!"
Makin lebar senyuman geli Panembahan Agung
yang berdiri di sebelah kiri. Sementara Panembahan
Agung yang mendapatkan pecahan genting
bertuliskan huruf 'PS' agak menghitam, sudah
melesat keluar. Gerakannya sangat cepat.
"Kek! Mengapa kau tak segera pergi?" usik Andika
sambil perlihatkan cengirannya.
Panembahan Agung yang berdiri di hadapannya
tersenyum. "Aku akan pergi sekarang!"
Lalu dengan langkah ringan dia segera keluar dari
tempat itu. Diam-diam orang tua ini membatin, "Aku
tahu siapa orang yang menyamar sebagai diriku.
Memang dia orangnya. Apa yang diceritakan pemuda
dari Lembah Kutukan itu memang benar. Tetapi,
aku ingin melihat kecerdikannya. Lagi pula... orang
yang menyamar seperti diriku tak lakukan tindakan
apa-apa. Entah apa yang direncanakannya."
Sepeninggal dua orang yang mengaku sebagai
Panembahan Agung, anak muda dari Lembah
Kutukan ini menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal.
"Busyet! Edan juga pikiranku! Bagaimana kalau
keduanya berhasil mencapai Pulau Hitam sementara
aku sendiri masih belum tahu di mana tempat itu?
Monyet pitak! Kenapa aku tidak mikir-mikir dulu
sih!!"
Selagi Andika membatin gemas begitu, satu sosok
tubuh berpakaian biru muda yang tak lain Winarsih
alias Gadis Kayangan, berkelebat masuk dan
langsung bertanya, "Bagaimana, Andika?"
Andika yang sebenarnya bingung akan usulnya
sendiri mengacungkan jempolnya, "Beres!"
"Apa yang kau lakukan?"
"Kuminta agar mereka menuju ke Pulau Hitam."
"Pulau Hitam? Oh! Bagaimana kalau keduanya
tiba di Pulau Hitam sementara kau sendiri tidak
tahu di mana pulau itu berada?" seru Gadis
Kayangan.
"Itulah! Itulah yang kupikirkan!!"
"Huh! Dasar gemblung!!"
Dimaki seperti itu anak muda ini cuma nyengir
saja. Lalu katanya, "Kita harus mencari Sangga
Rantek untuk mendapatkan potongan pedang
satunya lagi."
Winarsih cuma mendengus. "Berikan potongan
pedang itu padaku!"
Masih nyengir Andika memberikannya seraya
berseloroh konyol, "Wah! Cantik-cantik kok
cemberut?! Nanti tidak ada yang mau lagi!!"
"Biarin!!" seru Winarsih seraya berkelebat keluar
dari tempat itu.
Andika mengangkat kedua bahunya. Bila saja dia
tahu kalau hati gadis itu berbunga-bunga karena
dibilang cantik, sudah pasti dia akan meledeknya
terus menerus,
"Huh! Urusan jadi panjang!"
Lalu dia segera menyusul Winarsih.
***
2
Setelah tiga kali penanakan nasi berlalu, dua
sosok tubuh tiba di Pesanggrahan Bayu Api. Masing-
masing orang segera berhenti berlari. Pandangan
keduanya tertuju pada Pesanggrahan Bayu Api.
"Sangga Rantek...," berkata perempuan yang
mengenakan jubah dan kerudung merah, "Sejak kita
bertemu dengan manusia celaka bernama Kasma
Matur yang akhirnya mampus kubunuh, tak kita
jumpai bangunan lain kecuali bangunan yang ada di
hadapan kita. Apakah kau berpikir kalau bangunan
itulah yang disebut Pesanggrahan Bayu Api?"
Lelaki setengah baya berpakaian serba hitam
hanya mengangguk, tanpa palingkan kepalanya dari
bangunan besar sejarak sepuluh tombak dari tempat
mereka berdiri.
Setelah terdiam beberapa saat, barulah dia buka
mulut, "Jelas kalau memang tempat itulah yang
disebut Pesanggrahan Bayu Api. Tempat tinggal
Panembahan Agung, kakak seperguruan dari
Pemimpin Agung."
"Apakah kau berpikir kalau Pendekar Slebor
berada di Sana?" tanya si perempuan lagi.
"Kuharapkan demikian biar urusan cepat selesai."
Perempuan berjubah dan berkerudung merah
yang rambutnya berwarna keemasan katupkan
mulut. Tetapi diam-diam dia berkata dalam hati,
"Bagus bila memang demikian adanya. Setelah
kubunuh pemuda dari Lembah Kutukan itu dan
kudapatkan potongan pedang padanya, akan
kubunuh juga lelaki sialan ini. Dengan begitu secara
tak langsung aku telah mendapatkan jejak menuju
ke Pulau Hitam."
Si perempuan yang nampaknya memiliki niat
busuk pada teman seperjalanannya ini tak lain
adalah Iblis Rambut Emas, sementara lelaki yang di
kedua pergelangan tangannya melingkar gelang-
gelang duri adalah Sangga Rantek.
Saat ini Iblis Rambut Emas berlagak tidak tahu
kalau sebuah potongan pedang yang bila disatukan
dengan yang dimiliki oleh Gadis Kayangan akan
tergambar titik-titik yang jelas menuju ke Pulau
Hitam, ada pada Sangga Rantek. Setelah bertarung
singkat dengan Pendekar Slebor yang saat itu
menyelamatkan Gadis Kayangan dari maut, Iblis
Rambut Emas memainkan peranannya dengan
mengatakan kalau Pendekar Slebor telah
membunuh kekasihnya, padahal selama ini, tak
seorang lelaki pun yang berniat menjadi kekasih
perempuan kejam itu.
Bahkan Iblis Rambut Emas berlagak tidak tahu,
kalau Pemimpin Agung tewas di tangan Sangga
Rantek.
Sementara itu, Sangga Rantek yang merasa Iblis
Rambut Emas tidak mengetahui apa yang telah
dimiliki dan dilakukannya, merasa mendapatkan
kesempatan untuk membunuh Pendekar Slebor.
Karena sebelumnya, dia pun telah merasakan
kesaktian anak muda dari Lembah Kutukan itu.
Masing-masing orang pun berkeyakinan kalau
Pendekar Slebor dan Winarsih menuju ke
Pesanggrahan Bayu Api. Di tengah jalan, mereka
berjumpa dengan Kasma Matur, salah seorang yang
telah diberi upah oleh Dewa Lautan Timur untuk
menjarah harta milik Panembahan Agung (Baca
serial Pendekar Slebor dalam episode: "Pedang
Buntung").
Sangga Rantek berkata, "Kita segera ke sana!
Kepung tempat itu! Dan ingat... bukan hanya
Pendekar Slebor yang akan kita hadapi! Tetapi juga
Panembahan Agung!"
Iblis Rambut Emas melirik lelaki berhidung
bengkok dan bermata bergelambir itu, "Huh! Tak
perlu aku bersusah payah mencari kedua manusia
itu! Tujuanku adalah dua bilah potongan pedang.
Biar kunyuk ini yang mencarinya."
Habis membatin begitu, perempuan kejam
berpakaian putih ini menganggukkan kepala.
"Kau ke sebelah kanan, aku ke sebelah kiri!"
Lalu tanpa menunggu sahutan orang, Iblis
Rambut Emas sudah berkelebat ke arah kiri
Pesanggrahan Bayu Api. Sangga Rantek mendengus
dulu sebelum bergerak ke arah kanan.
Apa yang dilakukan kemudian oleh Iblis Rambut
Emas memang sangat menyakitkan bila diketahui
Sangga Rantek, apalagi saat ini sebenarnya dia
tengah diperalat. Karena begitu sosok Sangga
Rantek tak nampak, dia justru bersembunyi di balik
sebuah pohon.
"Hhh! Tak perlu bersusah payah. Kukhawatirkan
kalau Pendekar Slebor telah mengetahui kedatangan
kami. Lebih baik menunggu apa yang akan
dilakukan oleh Sangga Rantek."
Sementara itu lelaki berpakaian serba hitam
mulai menyelinap masuk ke dalam Pesanggrahan
Bayu Api. Dia tak meninjau bagian kiri karena
dipikirnya itu akan dilakukan oleh Iblis Rambut
Emas.
Setelah menjelajahi segenap tempat dengan
kesiagaan penuh, Sangga Rantek akhirnya
memutuskan kalau tempat itu tak berpenghuni.
"Aneh! Apakah berita tentang Panembahan Agung
yang berdiam di Pesanggrahan Bayu Api hanya
berita angin belaka? Tak ada tanda-tanda di mana
dia berada! Juga tak ada tanda-tanda kalau
Pendekar Slebor ataupun Winarsih berada di sini!
Jahanam keparat! Berarti pengejaranku sia-sia
belaka! Huh! Dengan hanya pergunakan sebuah
potongan pedang, sangat sulit kulakukan untuk
menuju ke Pulau Hitam! Tetapi... aku yakin, titik-
titik yang tergambar pada dua potongan pedang,
berawal dari pedang yang kupegang! Karena pedang
ini adalah hulunya! Berarti... lebih baik
kupergunakan kesempatan ini untuk
mempelajarinya sejenak! Paling tidak, aku akan
menuju ke Pulau Hitam!"
Memutuskan demikian, di samping juga merasa
Iblis Rambut Emas masih sibuk menjelajahi tempat
di bagian kiri, Sangga Rantek segera keluar dari
tempat itu.
Setelah meyakinkan diri kalau Iblis Rambut Emas
tidak mengintai perbuatannya, di balik ranggasan
semak belukar, dengan hati-hati Sangga Rantek
mengeluarkan kain hitam pembungkus Pedang
Buntung bagian hulu.
Hati-hati pula ditelusurinya titik-titik yang ada
pada Pedang Buntung itu. Cukup lama dilakukan
sebelum akhirnya dia menganguk-anggukkan
kepala.
"Dari titik-titik yang jelas ini, nampaknya aku
harus menuju ke arah barat. Tiba pada sebuah air
terjun, aku harus mengarah sedikit ke barat daya.
Ada dua buah bukit yang menjadi patokan.
Sayang... hanya sampai di sana saja yang
kuketahui. Tetapi paling tidak, aku sudah
mendapatkan arah menuju ke Pulau Hitam."
Kembali lelaki berhidung bengkok ini
membungkus kembali potongan pedang itu. Lalu
diselipkannya ke pinggangnya. Setelah itu dia keluar
lagi dari balik ranggasan semak menuju ke halaman
depan Pesanggrahan Bayu Api.
Tak lama dia tiba, Iblis Rambut Emas pun
muncul.
"Bagaimana?" tanyanya.
"Gagal!"
"Begitu pula denganku!" sahut Iblis Rambut
Emas. "Jahanam keparat! Biar bagaimanapun juga,
aku harus mendapatkan Pendekar Slebor! Pemuda
celaka itu harus mampus di tanganku!!"
Sangga Rantek yang tetap menyangka kalau
tujuan yang dilakukan perempuan jelita bermata
kejam ini untuk membunuh Pendekar Slebor segera
berkata, "Sangat sulit menentukan di mana dia
berada. Bahkan Panembahan Agung pun tak
kuketahui berada di mana. Tetapi, aku akan tetap
memburunya!!"
Seperti orang kebingungan Iblis Rambut Emas
ajukan tanya, "Lalu, apa yang akan kita lakukan?"
Sangga Rantek menatap lekat-lekat perempuan di
hadapannya sambil membatin. "Perempuan keparat
ini semakin membuatku yakin kalau dia memang
tidak tahu tentang Pedang Buntung yang berada di
tanganku! Bagus! Dengan kata lain, aku akan tetap
dapat mempergunakan kepandaiannya! Tak ada
salahnya bila dia kuajak mengikuti arah dari titik-
titik yang tergambar pada Pedang Buntung ini! Toh
dia tidak tahu ke mana arah yang akan kutuju!"
Berpikir demikian, Sangga Rantek berkata, "Kita
tetap berkeinginan membunuh Pendekar Slebor!
Kalau begitu... kita coba melacak jejaknya!" Habis
kata-katanya, Sangga Rantek segera berkelebat ke
arah barat.
Di lain pihak, Iblis Rambut Emas terdiam dengan
kening berkerut. "Aneh, nampaknya dia begitu yakin
dengan arah yang ditujunya. Padahal, bila memang
Pendekar Slebor sebelumnya berada di tempat ini,
belum tentu arah barat yang dituju. Kemungkinan
lain... hmm... jangan-jangan... dia telah mempelajari
titik-titik yang terdapat pada Pedang Buntung yang
dimilikinya. Bagus! Aku akan berlaku bodoh dengan
tidak mengetahui ke mana arah yang dituju! Luar
biasa! Kau memang sangat cerdik, Iblis Rambut
Emas!"
Sambil tersenyum puas memuji kecerdikannya
sendiri, perempuan berkerudung merah ini segera
menyusul Sangga Rantek ke arah barat.
***
Lelaki tinggi kurus berpakaian kuning-kuning itu
hentikan langkahnya tatkala sepasang matanya
yang menjorok agak ke dalam menangkap dua
kelebatan tubuh tak jauh dari tempatnya berdiri.
Dia beruntung karena saat ini dirinya agak tertutup
oleh ranggasan semak belukar setinggi dada.
Sejenak lelaki ini tak berkedip memperhatikan
sebelum mendesis kaget, "Gila! Apakah aku tak
salah lihat? Bukankah kedua orang itu Sangga
Rantek dan Iblis Rambut Emas? Luar biasa! Sejak
kapan dua manusia celaka itu bersahabat?!"
Sejenak lelaki berpakaian kuning-kuning yang tak
lain Ki Pasu Suruan terdiam. Otaknya nampak
berkerut memikirkan pemandangan yang dilihatnya.
Setahunya, kendati satu golongan, Sangga Rantek
dan Iblis Rambut Emas bukanlah orang yang satu
sama lain mempunyai hubungan baik. Kalaupun
sekarang dilihatnya keduanya bersama-sama,
tentunya sesuatu yang luar biasa.
"Iblis Rambut Emas memiliki hati busuk dan otak
licik! Tak mustahil sebenarnya kalau dia sedang
memperalat atau memainkan satu sandiwara
sehingga Sangga Rantek mau berjalan bersamanya!
Sementara Sangga Rantek, walau terkadang masih
memiliki otak yang cemerlang, dia juga dapat
bertindak tolol! Terutama bila ada orang yang
memujinya! Dan tentunya ada sesuatu yang terjadi
di antara mereka hingga masing-masing orang dapat
berjalan bersama! Hmmm... hendak ke mana kedua
orang itu?!"
Kembali salah seorang dari Dua Manusia Goa Se
tan yang sedang menuju ke Pesanggrahan Bayu Api
ini
terdiam. Kejap berikutnya dia mendesis lagi, "Aku
menjadi ragu untuk menuju ke Pesanggrahan Bayu
Api. Dua orang yang kubunuh itu memang
menunjukkan arah ini menuju ke Pesanggrahan
Bayu Api. Huhh! Apakah aku harus mengikuti
keduanya untuk mengetahui apa yang dia lakukan?"
Lagi-lagi orang ini terdiam sebelum berkata
dengan kedua tinju mengepal, "Huh!! Pendekar
Slebor telah membunuh adik seperguruanku! Dialah
orang yang memiliki dua potongan pedang yang
selama bertahun-tahun hendak dimiliki oleh Guru!
Bahkan Guru harus mengorbankan nyawanya di
tangan Pemimpin Agung!! Tidak! Tak perlu aku
mengikuti keduanya! Tujuanku tetap Pendekar
Slebor!! Akan kucabik-cabik tubuh pemuda itu
sebelum mampus kubunuh!"
(Untuk mengetahui urusannya dengan Pendekar
Slebor dan dua lelaki berpakaian hitam gombrang
yang lak lain Dirgo Kantas dan Suronto Kakak yang
dibunuhnya, baca: "Pedang Buntung").
Habis ucapannya, lelaki berpakaian kuning-
kuning ini segera berkelebat melanjutkan langkah.
Namun baru dua tombak dia bergerak, mendadak
dihentikan kelebatannya.
Serta-merta diarahkan pandangannya pada
bayangan hitam dan merah yang semakin menjauh.
"Ihhhh! Naluriku mengatakan kalau keduanya
baru saja meninggalkan Pesanggrahan Bayu Api!
Dan sepertinya tak mendapatkan hasil apa-apa!
Jangan-jangan... masing-masing orang mempunyai
niatan untuk mendapatkan potongan pedang? Oh!
Sebaiknya kuikuti saja ke mana kedua orang itu
pergi! Barangkali saja akan membawaku pada
tujuan yang kuinginkan."
Memutuskan demikian, Ki Pasu Suruan segera
hempos tubuh mengikuti perginya dua orang itu.
***
3
Hari kembali lagi menjelmakan diri menjadi pagi.
lautan sinar surya begitu indah ditemani langit yang
membiru cemerlang. Burung-burung beterbangan
kian kemari disertai kicaunnnya yang merdu.
Sebuah ranggasan semak menyeruak, menyusul
munculnya sosok Pendekar Slebor dan Gadis
Kayangan. Dan masing-masing orang perhatikan
sekelilingnya yang sepi, yang dihiasi beberapa buah
pohon besar serta ranggasan semak belukar. Sejarak
lima puluh tombak ke muka, terlihat hamparan
rumput yang indah.
Lalu terdengar suara Gadis Kayangan, "Andika!
Rasanya tak mungkin kita segera menuju ke Pulau
Hitam, karena kita tak memiliki titik-titik pertama
yang terdapat pada Pedang Buntung yang berada di
tangan Sangga Rantek!"
Sejenak Andika melirik gadis di samping kirinya
sebelum berkata, "Kau betul! Tetapi ya... aku sudah
telanjur yakin sih dengan meminta dua Panembahan
Agung itu untuk menuju ke Pulau Hitam. Jadi...
mau tak mau kita harus berusaha untuk mencapai
Pulau Hitam."
Terdengar dengusan Gadis Kayangan. Lalu
katanya, "Salahmu sendiri! Tetapi terpaksa kuakui
kalau usulmu itu memang usul yang terbaik!"
Kontan Andika palingkan kepala. Senyum
konyolnya mengembang.
"Wah! Bagus deh kalau kau setuju dengan
gagasan ku itu! Yah... maklumlah... otakku lagi
encer. Tapi... kadang-kadang saja, kok."
Gadis Kayangan tak hiraukan si pemuda yang
memuji dirinya sendiri. Dia teringat saat Andika
berbisik mengatakan kalau dia harus menunggu di
luar Pesanggrahan Bayu Api selagi anak muda itu
menyelesaikan urusan dengan dua Panembahan
Agung. Makanya dia berkata, "Andika... apakah kau
tidak salah mengatakan, salah seorang dari Kakek
Panembahan Agung adalah Dewa Lautan Timur?"
Anak muda urakan itu menganggukkan kepala.
"Tidak! Aku tidak asal ngomong. Ingatkah kau apa
yang diceritakan Panembahan Agung yang pertama
kali berbicara dengan kita tentang masa lalunya?
Dia mengatakan, tak seorang pun yang mengetahui
masa lalunya itu. Bahkan gurumu sendiri tidak.
Hanya kita yang tahu karena dia telah
menceritakannya. Akan tetapi... seseorang
mengetahui persoalan itu." "Dewa Lautan Timur
maksudmu?" "Tidak salah!" sahut Andika serius.
Lalu nyengir. "Tak kusangka kalau kau pandai juga
ya?" Winarsih keluarkan dengusan keras.
"Brengsek!" makinya dalam hati. Lalu berkata,
"Karena Dewa Lautan Timur adalah orang yang
terlihat dalam urusan asmara masa lalu
Panembahan Agung, jadi kau menduga salah
seorang dari kedua orang itu adalah Dewa Lautan
Timur?"
"Pintar lagi!"
Winarsih lak menghiraukan godaan Andika. Dia
ajukan tanya, "Tetapi... yang mana di antara mereka
adalah Dewa Lautan Timur?"
"Itulah yang sulit! Soalnya, masing-masing orang
tahu persis urusan masa lalu yang terjadi! Dewa
Lautan Timur mencintai Laksmi Harum! Tetapi dia
gagal mendapatkannya karena dulu dikenal sebagai
pemuda berotak jahat! Panembahan Agung lebih
beruntung lagi kendati sebelumnya dia mencoba
menolak untuk memperistri Laksmi Harum! Nah!
Hanya kedua orang itu saja yang tahu urusan
masing-masing! Dugaanku, salah seorang dari
mereka adalah Dewa Lautan Timur! Jangan
tanyakan yang mana Panembahan Agung
sesungguhnya dan yang mana Dewa Lautan Timur?"
"Bukankah kita tahu, kalau Dewa Lautan Timur
masih memiliki dendam pada Panembahan Agung?
Bahkan dia yang telah menyuruh tiga lelaki
berpakaian hitam gombrang yang kau ceritakan,
untuk menjarah harta milik Panembahan Agung?
Kalau begitu... mengapa Panembahan Agung palsu
itu tidak menyerang Panembahan Agung yang asli?"
"Itu tak bisa kutebak mengapa. Hanya saja...
kemungkinannya seperti ini. Panembahan Agung
palsu atau yang kemungkinan besar adalah Dewa
Lautan Timur, memang sengaja mencoba untuk
mengacaukan pikiran di antara kita. Paling tidak,
dia berharap kita akan bersimpati padanya
sementara kita akan menyerang Panembahan Agung
yang palsu. Lainnya aku tidak tahu."
"Bila memang demikian adanya, mengapa Dewa
Lautan Timur datang paling akhir?"
"Hei!! Jadi kau menyangka Panembahan Agung
yang asli yang pertama kali bicara dengan kita?"
Gadis Kayangan meragu, lalu perlahan-lahan
gelengkan kepalanya.
"Aku tidak tahu. Kau sendiri?" "Wah! Kok tanya
aku, sih? Aku sendiri bingung! Bila memang kau
mengatakan Panembahan Agung yang asli adalah
orang yang pertama bicara dengan kita, aku punya
sedikit alasan untuk membantahnya. Karena,
sebelumnya aku mengetahui kebiasaan
Panembahan Agung dari tiga lelaki berpakaian hitam
gombrang yang diberi upah oleh Dewa Lautan Timur
untuk menjarah harta milik Panembahan Agung,
kalau Panembahan Agung suka berjalan-jalan di
padang rumput di belakang rumahnya setiap Kamis
malam. Terus terang, semula aku tak ingat akan hal
itu, karena tak kupikirkan akan muncul seorang
Panembahan Agung lainnya."
Andika menarik napas dulu sebelum
melanjutkan, "Kendati Panembahan Agung yang
bercakap-cakap pertama dengan kita mengatakan
alasan saat itu keadaannya kurang enak, aku tak
bisa mempercayainya begitu saja. Dan bila memang
Panembahan Agung yang datang belakangan adalah
yang palsu tentunya dia memang telah menyelidiki
kebiasaan Panembahan Agung yang asli. Tetapi, aku
tak bisa memutuskan siapa yang palsu dan siapa
yang asli."
"Lantas... bagaimana bila keduanya berhasil
mencapai Pulau Hitam sementara kita tak akan
pernah sampai ke sana?"
"Jangan bersikap meragu. Kita pasti akan sampai
ke sana. Bukankah bila kita memiliki keyakinan,
maka itu sudah menjadi modal utama dalam setiap
langkah?"
"Huh! Bicaramu sok seperti seorang guru!"
Andika nyengir sambil garuk-garuk kepalanya
yang tidak gatal. Lalu katanya, "Bila yang kau
khawatirkan terjadi... kupikir antara Panembahan
Agung dan Dewa Lautan Timur akan terjadi
pertarungan yang sangat dahsyat di Pulau Hitam."
"Huh! Kau sendiri sih yang sok yakin!!"
"Habis... aku harus bagaimana lagi? Yang
kukemukakan itu adalah gagasanku yang terbaik,
Iho?!"
Winarsih cemberut. Namun dalam hati diam-diam
dikaguminya juga kecerdikan pemuda tampan
berambut gondrong acak-acakan ini. Memang, yang
terjadi itu begitu membingungkan. Tak terkecuali
Pendekar Slebor yang berotak seencer bubur pun
akan kebingungan (Yeee... kan ceritanya Pendekar
Slebor memang lagi kebingungan?).
Sesaat tak ada yang buka suara. Angin pagi
berhembus sejuk. Kemudian terdengar suara anak
muda konyol dari Lembah Kutukan ini, "Gadis
Kayangan...."
"Namaku Winarsih!"
"Bodo, ah! Kau lebih pantas kusebut Gadis
Kayangan!" sahut Andika cuwek. Lalu melanjutkan,
"Bolehkah kulihat potongan pedang itu?"
"Kau sudah melihatnya saat Panembahan Agung
yang berbicara pertama dengan kita membukanya."
"Maksudku... aku ingin melihat titik-titik gambar
yang tergambar pada potongan pedang itu."
"Untuk apa?"
"Ya... barangkali saja akan membawa kita ke
Pulau Hitam."
"Percuma! Karena awal perjalanan menuju ke
Pulau Hitam, tergambar pada Pedang Buntung yang
sekarang berada pada Sangga Rantek!"
"Tetapi kan... bisa kulihat dulu? Boleh, nggak?
Boleh, nggak?" kata Andika dengan kata-kata yang
terakhir diayunkan,
Tertawa sendiri Winarsih melihat sikap konyol
Pendekar Slebor. Lalu diserahkannya potongan
pedang yang dibungkus kain putih itu.
Setelah menarik napas, perlahan-lahan Andika
membukanya. Diperhatikan dengan seksama titik-
titik gambar yang tertera pada potongan pedang itu.
Titik-titik jelas yang membujur ke atas. Sementara
Winarsih sendiri ikut memperhatikan.
Cukup lama kedua remaja itu mempelajari titik-
titik gambar yang tertera pada potongan pedang
yang dipegang Andika.
Lalu terdengar kata-kata Andika, "Memang sulit
menduga secara rinci arah yang kita tuju karena
kita tidak memiliki petunjuk pada potongan pedang
satunya lagi. Tetapi menurutlku... titik-titik gambar
di potongan pedang ini berada di arah selatan. Bila
kita telusuri ke belakang, nampaknya kita harus
menemukan sebuah lembah yang cukup curam,
entah lembah apa namanya. Ada dua ukiran pohon
di sini. Dan kita harus masuk dari arah kiri. Berarti
agak ke barat. Hmmm... tak bisa lagi kita tebak arah
sebelumnya. Tetapi... yang pasti, kita harus datang
dari arah barat lalu menuju ke arah selatan."
"Arah barat yang kita tempuh tentunya akan
memberikan berbagai petunjuk, Andika. Dan sulit
bagi kita menentukan arah bagian barat yang mana
yang harus kita tuju. Maksudku, jalan yang benar-
benar menuju ke Pulau Hitam."
"Kau betul."
"Berarti... kita tak bisa menelusuri arah barat
untuk tiba di Pulau Hitam."
“Kau betul lagi."
"Dan yang paling pokok... kita akan tersesat
sebelum menuju ke Pulau Hitam."
"Betul lagi."
"Apakah... kau ini! Kok sejak tadi betul-betul
terus?!" pelotot Gadis Kayangan gemas, "Pikir dong
yang benar?"
"Lho? Memang begitu adanya, kok. Apa yang kau
kemukakan tidak salah." "Lantas bagaimana?"
"Bukankah kita bisa mencoba, langsung
mengarah ke selatan?" aju Andika tersenyum.
Gadis Kayangan mengerutkan keningnya.
"Maksudmu?"
"Dari arah yang tergambar di potongan pedang
ini, Pulau Hitam berada di bagian selatan. Berarti...
kita coba langsung menuju ke selatan."
"Andika... bukankah arah selatan juga masih
banyak yang harus kita pertimbangkan?"
Sebelum Andika buka mulut, Gadis Kayangan
sudah berseru, "Jangan bilang betul lagi!"
Ngakak gede-gede anak muda urakan ini. Gadis
Kayangan yang semula sudah gemas man tak mau
tertawa juga. Diam-diam, dia merasakan
ketentraman bersama pemuda konyol urakan ini.
Dan entah mengapa pula, kecemasan serta
kebingungan yang melingkupinya selama ini, lamat-
lamat sirna.
Sambil menikmati perasaan gembiranya, murid
mendiang Pemimpin Agung ini bertanya,
"Bagaimana dengan penjelasanmu?"
"Kita memang akan menuju ke selatan. Paling
tidak, kita akan mendapatkan tanda dua buah
pohon berdekatan sebelum menemukan lembah
yang curam. Setelah itu...."
"Kita terus menuju ke selatan sampai bertemu
tempat yang bernama Pulau Hitam." "Pintar!"
"Kalau begitu... kita berangkat sekarang?"
Andika membungkus kembali potongan pedang
itu dengan kain putih. Lalu menyerahkannya lagi
pada Gadis Kayangan.
"Kita isi perut dulu sebelum berangkat."
Habis kata-katanya, anak muda urakan ini segera
berkelebat meninggalkan Gadis Kayangan. Perasaan
tenang di hati gadis berkepang dua ini semakin
menjadi-jadi. Dia tersenyum tatkala melihat
bayangan hijau pemuda tampan itu menghilang dari
pandangan.
Lalu berhati-hati dia berjalan mendekati sebuah
pohon rindang dan duduk bersandar di bawahnya.
Angin semilir membelai wajah jelitanya.
Dikenangnya lagi perjumpaannya dengan anak
muda berpakaian hijau pupus itu. Dan disesalinya
mengapa dia mencurigai anak muda itu sebelumnya.
Tetapi sekarang, perasaan tenteram kian
menyelimuti hatinya. Paling tidak, dia sudah
mengutarakan maafnya di depan Panembahan
Agung.
Ternyata dalam kesendirian yang cukup
membingungkannya, masih ada orang lain yang
akan mengisi hatinya. Bahkan mulai mengusap-
ngusap relung hatinya yang terdalam, hingga
perasaannya seperti berada di awang-awang.
"Aneh! Apakah ini pertanda aku jatuh cinta?"
desisnya bingung dan senang.
Lalu dibayangkannya kembali wajah, sikap dan
perbuatan Pendekar Slebor. Apalagi begitu teringat
kekonyolan yang dilakukan anak muda itu di saat
berkata-kata. Makin dibayangkan, makin
terkembang senyuman di bibir gadis jelita berkepang
dua itu.
Dan dia tak sadar tatkala seorang lelaki tua
mengenakan pakaian kuning gombrang dengan
sorban kuning menghiasi kepalanya yang lonjong,
telah berdiri sejarak lima langkah dari hadapannya.
Pandangan lelaki tua bermata kelabu ini
memandang tak berkedip pada gadis yang masih
bersandar di bawah pohon.
Tahu-tahu dia keluarkan dengusan.
Melengak gadis jelita ini mendengar dengusan
orang. Seketika dia angkat kepala dan kejap
berikutnya kontan dia berdiri. Menyusul dia
membentak, "Siapa kau?!"
***
4
Orang bersorban kuning itu perlihatkan
seringaiannya. Entah kenapa Gadis Kayangan
merasa hatinya seperti diremas kuat. Rasa ngeri
sedikit membalurinya melihat wajah yang tak
ubahnya setan belaka.
Perlahan dan sambil tindih kengeriannya, gadis
jelita berkepang dua ini menyingkir agak kiri. Bila
terjadi sesuatu yang tidak diinginkannya, sungguh
berbahaya karena di belakangnya berdiri tegak
sebatang pohon.
Kejap kemudian didengarnya suara lelaki tua itu,
dingin dan menusuk, "Gadis Kayangan! Sebuah
julukan yang patut kau sandang mengingat
kecantikan wajah mu! Julukan itu akan kubiarkan
melekat pada dirimu tanpa merusak segala
keindahan yang ada padamu! Tetapi... kau harus
menyerahkan potongan pedang kepadaku sebagai
gantinya!!"
Seketika lenyap rasa ngeri yang timbul begitu saja
melihat wajah setan di hadapannya. Gadis yang
memang agak panasan ini, langsung dapat menduga
kalau lelaki tua bersorban kuning di hadapannya
mempunyai maksud tidak baik.
Namun mendadak saja dia urungkan niat untuk
keluarkan suara. Mulutnya mengatup rapat.
Pandangannya agak menyipit, tak berkedip. Ada
sesuatu yang melintas di benaknya.
Sambil pandangi kakek tinggi kurus bersorban
kuning di hadapannya, diam-diam gadis ini
membatin, "Orang tua ini bersorban kuning. Apakah
bukan dia orangnya yang diceritakan Andika? Atau
yang dikenal dengan julukan Dewa Lautan Timur.
Oh! Kalau memang begini adanya, mungkinkah dia
yang menyamar sebagai Panembahan Agung? Aku
harus berhati-hati.".
Di depan, orang yang memang tak lain Dewa
Lautan Timur, orang yang mempunyai dendam
setinggi langit pada Panembahan Agung,
mendengus.
"Anak gadis! Terlalu sayang untuk merusak wajah
jelitamu itu! Tetapi tak pernah kulontarkan perintah
sebanyak dua kali! Berikan potongan pedang itu!!"
Winarsih masih terdiam dengan pikiran berjalan,
"Bila kuhadapi... sudah tentu aku tak akan menang.
Tetapi, aku juga tak mau menyerahkan potongan
pedang ini padanya. Oh! Mengapa Andika lama
sekali?"
Tatkala dilihatnya Dewa Lautan Timur yang telah
meradang hendak buka mulut, buru-buru Winarsih
berkata, "Orang tua... kau salah menduga kalau
mengatakan aku memiliki potongan pedang itu!"
Bukannya gusar mendengar jawaban orang, Dewa
Lautan Timur terbahak-bahak keras hingga kedua
bahu kurusnya agak berguncang.
"Luar biasa! Baru kali ini ada yang berani
berdusta di hadapanku! Anak gadis! Katakan sekali
lagi! Kau seperti mengusap-usap kedua telingaku
ini!!"
Wajah Winarsih agak memucat sekarang. Tetapi
sudah telanjur basah, bila dia berdiam justru akan
semakin memancing kemarahan lelaki di
hadapannya ini. Berarti dia memang harus
melanjutkan kebohongannya. Paling tidak,
menunggu sampai Andika muncul.
"Mana mungkin aku berani berdusta di hadapan
lelaki agung seperti kau ini! Bila aku berbuat
demikian, berarti aku menggali lubang kuburku
sendiri!"
Tawa keras Dewa Lautan Timur mendadak
terputus. Sepasang mata kelabunya seperti
memancarkan cahaya yang lebih pekat saat
memandang tak berkedip pada Winarsih.
"Katakan!!"
"Gila! Mengapa tadi kukatakan seperti itu? Ah,
urusan jadi membuatku serba salah! Padahal saat
ini seluruh rencana telah matang untuk menuju ke
Pulau Hitam! Telah kusampaikan amanat Guru
untuk menjumpai Panembahan Agung! Namun
tanpa disangka, ada seorang lagi yang berlaku dan
berwajah mirip dengan Panembahan Agung sehingga
sulit dibedakan! Dan sekarang... aku harus
berhadapan dengan lelaki tua keparat yang menurut
Andika adalah orang yang menyamar sebagai
Panembahan Agung! Brengsek betul!!"
Habis membatin demikian, harga diri Winarsih
yang sudah tersinggung terangkat naik. Tanpa
hiraukan bahaya telah membentang di hadapannya,
gadis ini berseru keras, "Apa yang akan kau lakukan
bila aku tidak mau mengalakannya, hah?! Apa pula
yang akan kau lakukan bila memang ternyata
potongan pedang itu ada padaku?!"
"Berarti... kau akan menemui kematian!!"
Kejap itu pula tangan kanan lelaki bersorban
kuning sudah terangkat. Bersamaan tangan yang
diangkat itu, mendadak saja menggebrak gelombang
angin berkekuatan tinggi. Menyeret tanah saat
menggempur ke arah Gadis Kayangan.
Kendati Winarsih sudah bersiaga penuh, namun
dia dibuat terkejut pula. Karena gempuran
gelombang angin itu sangat cepat. Terburu-buru dia
membuang tubuh ke samping kanan.
Blaaammm!!
Pohon besar yang berdiri tegak di belakangnya,
terhajar gelombang angin itu. Daun-daunnya
seketika berguguran. Beberapa dahan dan ranting
patah berhamburan. Menyusul pohon itu bergetar
kuat, lalu tumbang menimbulkan suara
menggemuruh.
Di tempatnya, Winarsih terkesiap dengan dada
naik turun.
"Gila! Gelombang angin itu seperti
mempermainkan apa yang dihajarnya! Seperti
lakukan sebuah siksaan sebelum memukul roboh!
Aku harus berhati-hati!!"
Di seberang, Dewa Lautan Timur putar tubuh
menghadapi Winarsih kembali. Pandangannya
menusuk tajam. Kedua tangannya mengepal kuat.
"Kau akan menyesali kekurangajaranmu ini, Anak
Gadis!!"
Menyusul kembali diangkat tangan kanannya ke
atas. Lagi-lagi bersamaan tangannya diangkat, satu
hamparan angin mengerikan melabrak. Disusul
dengan hamparan angin lainnya.
"Ohhh!!" terdengar pekikan tertahan Gadis
Kayangan. Dia mencoba untuk memapakinya.
Namun begitu disadari kalau dia tak akan mampu
papaki gelombang angin yang kedua, diputuskan
untuk membuang tubuh kembali secara
bergulingan.
Blaaarr! Blaaarrr!!!
Beruntung terdengar dua letupan keras
menghantam dua bagian tanah yang berbeda. Dan
langsung muncrat ke udara menghalangi
pandangan.
Tatkala semuanya luruh kembali, nampaklah dua
buah lubang yang cukup besar serta keluarkan
asap. Sementara itu, Winarsih yang telah kembali
berdiri tanpa disadarinya tubuhnya bergetar. Wajah
pucatnya dihiasi keringat dingin yang mengalir
Kedua bola matanya mengerjap-ngerjap tak ubahnya
seekor kelinci yang masuk perangkap seekor
serigala.
"Celaka! Mengapa aku tadi sempat mengkhayal
yang bukan-bukan hingga tak mengetahui
kehadirannya? Bila saja aku...."
Terdengar bentakan Dewa Lautan Timur
memutus kata batin si gadis, "Kau akan menyesali
semua tindakanmu ini, Anak Gadis! Tetapi... masih
kupertimbangkan untuk tidak mencabut nyawamu
bila menyerahkan potongan pedang itu! Hanya saja,
tanpa kau serahkan pun aku akan dapat
merebutnya! Dan satu permainan yang menarik
telah ada di benakku!!" Lalu dia terbahak-bahak.
Di depan, Winarsih yang agak terengah-engah
terkejut. Dia sadar arti 'permainan' yang diucapkan
Dewa Lautan Timur.
"Jahanam keparat! Tak akan pernah kubiarkan
lelaki tua itu menjamah tubuhku!!"
Habis memaki dalam hati, Winarsih membentak,
"Kau terlalu banyak bermimpi! Mengapa tidak segera
kau buktikan untuk mendapatkan potongan pedang
itu? Tetapi sudah kukatakan, kau akan membawa
kekecewaan yang dalam karena benda yang kau cari
tidak berada padaku!!"
Terbahak-bahak Dewa Lautan Timur. Lalu
merandek dingin, "Kau hendak mengatakan kalau
potongan pedang itu berada di tangan pemuda
berjuluk Pendekar Slebor? Ha ha ha... sangat
menyenangkan sekali permainan yang kau berikan!
Anak gadis... sejak tadi aku sudah melihat kalian
berdua di sini! Dan pemuda itu telah menyerahkan
kembali potongan pedang ke tanganmu, bukan?
Atau... kau masih mau mungkir lagi?"
"Oh!" terkesiap Winarsih hingga tanpa sadar dia
surut satu tindak ke belakang. "Gila! Jadi sejak aku
masih bersama Andika di sini, dia sudah mengintip?
Jahanam keparat!"
"Mengapa kau membisu seribu bahasa?!
Beruntung nasib Pendekar Slebor karena dia
memutuskan untuk mencari makanan! Padahal, aku
sudah siap untuk menghancurkan kalian berdua!
Anak gadis... tentunya kau tak menyangsikan
kepandaian anak muda dari Lembah Kutukan itu,
bukan? Dan aku yakin, kalau anak muda itu
sebenarnya telah tahu kedatanganku! Karena takut
menghadapiku, dia sengaja memberikan kembali
potongan pedang kepadamu! Bahkan berlagak
untuk mencari pengisi perut! Padahal... dia mencoba
menghindarkan kematian yang aku turunkan!
Sayang sekali! Kau berwajah cantik tetapi mudah
dipermainkan orang seperti itu!"
"Tidak! Tak mungkin Andika melakukan hal itu!
Jelas kalau dia memang tidak tahu menahu
kehadiran manusia sesat ini!" yakin Winarsih dalam
hati.
Dewa Lautan Timur yang sengaja mengacaukan
perasaan si gadis berkata lagi, "Dan herannya, kau
masih menunggu serta berharap kehadirannya?
Bodoh! Sungguh bodoh! Lebih baik kau tinggalkan
pemuda seperti itu! Kita bersama-sama menuju ke
Pulau Hitam dan memecahkan segala rahasia yang
ada di sana!!"
"Terkutuk! Tutup mulutmu!!" geram gadis
berkepang dua ini dan langsung mendorong kedua
tangannya ke depan. Dia tak mau lagi mendengar
kata-kata berbisa Dewa Lautan Timur. Jurus
'Matahari Tebar Sinar' telah dilepaskannya. Serta-
merta udara di sekitar sana berubah menjadi panas.
Namun lelaki berkepala lonjong itu hanya
terbahak-bahak saja. Tanpa menggeser
kedudukannya, dia hanya mengangkat tangan
kanannya saja.
Blaaammm!!
Gelombang angin panas yang dilepaskan
Winarsih langsung pecah bermuncratan terhantam
gelombang angin yang keluar dari gerakan tangan
kanan Dewa Lautan Timur. Bahkan disusul dengan
gemuruh angin laksana topan menghantam pesisir.
"Heiiii!!"
Memucat wajah Winarsih. Selain mendapati
serangannya terhantam putus, dia juga terkejut
melihat gebrakan berikutnya yang dilakukan Dewa
Lautan Timur.
Sebisanya dia membuang tubuh. Sementara
tanah di mana si gadis berdiri tadi, langsung
membentuk sebuah lubang sedalam satu tombak
dan keluarkan asap begitu terhantam gelombang
angin pukulan Dewa Lautan Timur, yang sejak tadi
lancarkan atau memapaki serangan Winarsih tetapi
tak bergeser dari tempatnya.
Sejarak sepuluh langkah di muka, Gadis
Kayangan berdiri sempoyongan seraya membatin
resah, "Tak mungkin aku menghadapinya... tak
mungkin aku menjauhinya.... Oh! Mengapa Andika
belum muncul juga? Jangan-jangan... yang
dikatakan lelaki tua celaka itu benar adanya? Dia
memang sengaja... tidak! Tidak mungkin Andika
melakukan tindakan keji seperti itu! Dia memang
tidak tahu kalau Dewa Lautan Timur akan muncul!
Tetapi... mengapa sampai saat ini dia belum hadir
juga? Tak mungkin dia belum mendapatkan
makanan sebagai pengisi perut...."
Sementara itu Dewa Lautan Timur tersenyum
aneh.
"Hmmm... bila aku berhasil mengacaukan
perasaan gadis ini, semuanya akan berhasil. Menilik
sampai sekarang Pendekar Slebor belum muncul
juga, sudah tentu nenek celaka itu berhasil
menghadangnya. Mudah-mudahan dia dapat
membunuhnya...," katanya dalam hati. Lalu
menyambung, "Untuk apa kau harapkan
kedatangan Pendekar Slebor? Lebih baik ikut
denganku! Kita bunuh Panembahan Agung
bersama-sama!"
Teringat akan Panembahan Agung, Gadis
Kayangan berseru, "Manusia terkutuk! Berani-
beraninya kau menyamar sebagai kakekku!!"
Mendengar ucapan si gadis, nampak Dewa
Lautan Timur melengak kaget. Seketika keningnya
nampak berkerut.
"Menyamar sebagai Panembahan Agung? Huh!
Pantang bagiku untuk melakukannya! Manusia
keparat itu akan mampus di tanganku! Dia
beruntung ketika tadi aku tiba di Pesanggrahan
Bayu Api, manusia itu tak ada di sana! Tetapi...
justru nasibku yang beruntung karena melihat kau
dan Pendekar Slebor berada di sini! Dan aku yakin...
bila saja aku mau lebih bersabar menunggu, akan
terjadi pemandangan asyik masyuk di hadapanku!!"
Winarsih terdiam dengan napas turun naik. Dia
membatin, "Aneh! Mendengar ucapannya, jelas dia
memang baru berada di sini. Kalau begitu... apakah
yang dipikirkan Andika salah? Kalau bukan
manusia ini yang menyamar sebagai Panembahan
Agung? Tetapi alasan yang diberikan Andika dapat
diterima dan masuk akal. Huh! Tidak! Dia hanya
mencoba untuk mengacaukan keadaan! Lebih baik
bertarung sampai darah penghabisan ketimbang
menyerah begitu saja!"
Memutuskan demikian dan himpun segenap
kekuatannya, mendadak saja Gadis Kayangan
melesat ke depan seraya keluarkan jurus 'Matahari
Tebar Sinar'.
Namun seperti tadi, Dewa Lautan Timur hanya
mengangkat tangan kanannya saja. Begitu serangan
Gadis Kayangan putus di tengah jalan, tangan
kirinya langsung diangkat.
Memekik tertahan gadis berbaju biru muda ini.
Tak mungkin dia dapat memapaki serangan itu, juga
untuk menghindarinya. Maka tanpa ampun lagi,
dadanya telak terhantam gelombang angin yang
dilepaskan Dewa Lautan Timur.
"Aaaakhhhh!!"
Kontan gadis ini terseret dua tombak ke belakang.
Begitu ambruk di atas tanah, dia langsung jatuh
pingsan.
Terbahak-bahak Dewa Lautan Timur melihatnya.
"Semuanya akan berhasil seperti yang
kurencanakan...."
Lalu dengan langkah perlahan, dihampirinya
sosok gadis jelita yang pingsan itu. Sejenak
dipandanginya sekujur tubuh Gadis Kayangan.
Saat itu pula sepasang matanya berbinar-binar
penuh kilatan birahi. Sambil menjilat bibirnya
sendiri, lelaki tua berkepala lonjong ini meraba
sekujur tubuh Winarsih. Lalu dimasukkan tangan
kanannya di bagian pinggang sebelah kiri si gadis.
Diambilnya potongan pedang yang dibungkus kain
putih. Dibukanya sejenak untuk melihat isinya
sebelum dimasukkan ke balik pinggangnya sendiri.
Kembali diperhatikan sekujur tubuh gadis jelita
ini.
"Hmmm... Pendekar Slebor belum muncul juga.
Berarti nenek itu memang berhasil. Bagus... akan
kulewati waktu untuk menikmati kehangatan tubuh
gadis ini...."
Sambil menyeringai lebar, tangan kurus Dewa
Lautan Timur bersiap untuk membuka pakaian
Winarsih satu persatu. Namun baru saja tangan itu
bergerak, mendadak saja dirasakan satu hamparan
angin dingin menggebrak dari arah kanan.
"Heiii!!" mendongak Dewa Lautan Timur seraya
melompat ke belakang.
Belum lagi disadarinya apa yang terjadi,
mendadak saja satu sosok tubuh berpakaian hitam
compang-camping telah berkelebat dan menyambar
sosok Winarsih.
Keterkejutan Dewa Lautan Timur cuma sesaat.
Karena di saat lain dia sudah mendorong tangan
kanannya disertai makian, "Berhenttiiii!!"
Wuuuttt!
Namun bayangan hitam compang-camping itu,
hanya menggerakkan tangan kirinya ke belakang.
Wuss!! Blaaammm!!
Kalau tadi gelombang angin yang dilepaskannya
tak bisa dipatahkan Winarsih, kali ini serangannya
dapat diputuskan oleh si bayangan hitam. Bahkan
mendadak saja terlihat Dewa Lautan Timur
melompat ke samping kanan. Menyusul terdengar
suara letupan yang menghantam tanah di mana tadi
dia berpijak.
Sementara itu, si bayangan hitam telah lenyap
dari pandangan.
"Jahanam terkutuk!" maki kakek bersorban
kuning ini geram. Kedua tangannya dikepal erat-erat
dengan tubuh bergetar tanda kemarahan menjalari
seluruh aliran darahnya. "Siapa orang itu?
Wajahnya sulit sekali kulihat! Gerakannya laksana
dedemit belaka! Keparat sial!"
Lalu dihentakkan kaki kanannya ke tanah untuk
lampiaskan kesalnya. Kontan tanah itu langsung
amblas hingga ke dengkul. Saat ditarik kembali,
tanah itu membuyar ke udara dan segera terbentuk
lubang yang cukup lebar.
"Setan alas! Ada manusia yang berani lancang
bermain-main denganku! Huh! Untuk saat ini,
kulupakan siapa dia! Urusanku tetap dengan
Panembahan Agung! Dengan potongan pedang ini,
akan kucapai Pulau Hitam! Ingin kuketahui ada
rahasia apa di pulau itu!"
Mendadak kepalanya diarahkan ke kiri dari mana
dia datang tadi.
"Kupikir... tak perlu lagi kutunggu nenek celaka
itu! Biarlah dia berurusan dengan Pendekar Slebor!
Mampus pun aku tak peduli!"
Habis kata-katanya, dibukanya kain putih
pembungkus potongan pedang. Diperhatikan dengan
seksama, sampai kemudian terlihat kepalanya
mengangguk-angguk.
"Hmmm... ke arah barat! Tetapi sebaiknya,
kubunuh Sangga Rantek yang memiliki Pedang
Buntung, yang merupakan hulu dari potongan
pedang yang sekarang berada di tanganku ini!"
desisnya sambil membungkus dan memasukkan
kembali benda itu.
Kejap kemudian, dia sudah berkelebat ke arah
barat.
***
5
Sebenarnya apa yang alami Pendekar Slebor
sehingga dia belum kembali juga ke tempat Gadis
Kayangan? Setelah meninggalkan Gadis Kayangan
untuk mencari makanan pengisi perut, anak muda
urakan ini gagal menemukan pohon yang buahnya
dapat dimakan. Yang tumbuh di tempat itu, rata-
rata pohon trembesi.
"Busyet! Kenapa tidak ada pohon buahnya? Apa
dulu tidak ada orang yang iseng sehabis memakan
buah bijinya dibuang sembarangan dan akhirnya
tumbuh? Monyet Udik!!"
Selagi Andika memaki-maki sendiri sambil garuk-
garuk kepalanya yang tidak gatal, dilihatnya dua
ekor kelinci bergerak cepat dari satu gerumbulan
semak ke semak yang lainnya. Berbinar Andika
dengan senyuman mengembang, Segera saja anak
muda ini mengejar kelinci-kelinci itu,
Namun rupanya kelinci-kelinci itu paham kalau
mereka sedang diburu, Mereka langsung masuk ke
dalam lubang yang tak diketahui di mana
tempatnya, Tinggal Andika yang cuma nyengir
bercampur gemas,
"Busyet! Aku dipermainkan kelinci! Awas! Kalau
kutangkap, akan kupanggang kalian!! Tapi... he he
he... seharusnya kalian mengerti dong, aku kan lagi
lapar nih! Bukannya bermaksud menghentikan
umur kalian, tapi kan aku lapar! Ayo dong...
keluar... keluar...."
(Ealah, Bor, Bor, kok kagak tau malu sih?)
Lalu diedarkan pandangan ke sekelilingnya,
mencoba mencari buruan lain. Tetapi sejauh itu,
jangan kelinci-kelinci tadi yang tak juga keluar,
burung-burung yang biasanya banyak beterbangan
pun seolah tak diketahui di mana mereka saat ini.
"Monyet pitak! Kalau begini caranya, bakalan
keroncongan nih!!" sungutnya agak jengkel.
Tatkala disadarinya kalau dia cukup lama telah
meninggalkan Gadis Kayangan, Andika memutuskan
untuk menemuinya kembali. Dia berharap agar
gadis itu belum membayangkan makanan enak yang
akan mengisi perutnya.
Baru saja dia berbalik, mendadak saja kepalanya
menegak. Di hadapannya telah berdiri seorang
perempuan tua berusia sekitar enam puluh tahun.
Wajah perempuan itu bulat telur dan dihiasi
rangkaian kulit keriput. Rambutnya panjang tak
beraturan, Mengenakan pakaian batik kusam, Di
tangannya terdapat cambuk berlidah tiga,
"Eh, busyet! Dari mana munculnya perempuan
tua ini? Iih! Tampangnya kok seram amat?" desis
Andika dalam hati.
Di depan, si nenek buka mulut dengan
pandangan tak berkedip, suaranya nyaring dan tak
enak didengar, "Hhh! Jadi kau rupanya pemuda
yang berjuluk Pendekar Slebor! Kupikir, sekali
melihatmu saja orang akan ngeri! Tidak tahunya,
kau hanya sebangsa keroco belaka!"
Mendengar ucapan orang, pemuda yang di
lehernya melilit kain bercorak catur ini cuma
mengangkat sepasang alis hitam legamnya. Tukikan
sepasang alis laksana kepakan sayap elang itu,
semakin menukik tajam saat di gerakkannya.
Terdengar lagi suara si nenek, "Begitu bodoh
kalau kakek celaka itu menyuruhku menghadapi
pemuda seperti kau ini! Padahal, anak yang baru
bisa buang ingus dapat mengalahkanmu hanya
dalam tiga jurus!!"
"Ah, masa?" sahut Andika sambil tersenyum dan
diam-diam membatin, "Datangnya perempuan ini
tak kuketahui sama sekali. Bertanda kalau dia
memiliki ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi.
Dari ucapannya, jelas kalau dia memiliki maksud
tidak baik. Hmmm... siapa dia sebenarnya?"
Si nenek maju dua tindak ke muka. Tangan
kanannya yang memegang cambuk berlidah tiga,
menuding ke muka, "Berlutut di hadapanku, maka
yang kuminta hanya kedua tanganmu!!"
"Nah, nah! Berlutut saja kau masih menginginkan
kedua tanganku! Kalau aku masih berdiri... kau
menginginkan apa?"
Mengkelap wajah si nenek mendengar selorohan
Pendekar Slebor. Bibir peotnya berkomat-kamit
tanpa keluarkan suara. Kejap kemudian, baru dia
membentak, "Terlalu banyak omong! Kau tak akan
dapat kembali pada temanmu yang berjuluk Gadis
Kayangan!"
Terkesiap Andika mendengar ucapan orang.
Tetapi hanya sebentar karena kemudian dia sudah
tersenyum-senyum. Kendati demikian, dia berkata
cemas dalam hati, "Mendengar ucapannya, jelas
sekali kalau nenek ini mengetahui aku bersama
Gadis Kayangan. Bisa jadi kalau dia sebelumnya
memang membuntutiku. Tetapi, mengapa justru aku
yang dikejar? Mengapa dia tidak muncul di saat aku
masih bersama dengan Gadis Kayangan? Dan lagi...
jangan-jangan... ada sesuatu yang telah terjadi pada
Gadis Kayangan?"
Berpikir demikian pemuda pewaris ilmu Pendekar
Lembah Kutukan ini berkata, "Wah! Kau kok bisa
tahu semuanya. Nek? Apakah kau seorang peramal?
Kalau memang iya, tolong dong ramalin aku, nih?
Umur berapa aku akan kawin?!"
Si nenek mendengus gusar. Tetapi sejurus
kemudian mulutnya pentangkan senyum aneh.
"Kakek celaka itu tentunya sudah menikmati tubuh
si gadis sekarang! Benar-benar busuk! Dia
menyuruhku untuk membunuh pemuda ini
sementara dia asyik bersenang-senang! Huh! Bila
aku tidak mencintainya, tak akan mau aku
diperintah seperti ini! Seharusnya, dia langsung
mencari dan membunuh Panembahan Agung! Tetapi
justru banyak...."
Memutus kata batinnya sendiri, si nenek sudah
keluarkan bentakan, "Tak ada waktu lagi untuk
saling buka diri! Bersiaplah untuk mampus!!"
"Eit, eit! Tunggu dulu, ah! Aku kan belum tahu
namamu! Sebutkan dong!!"
Di seberang bibir keriput si nenek membentuk
seringaian. Wajahnya bertambah mengerikan. Dia
berpikir, pemuda berbaju hijau pupus bertanya
seperti itu, karena jeri menghadapinya. Karena
diingatnya betul, didaerah utara siapa pun yang
mendengar julukannya, langsung berpikir sepuluh
kali untuk menghadapinya. Lalu dengan suara
pongah dia berucap, "Kenang aku dengan julukan
Setan Cambuk Api!"
"Nah! Begitu, dong! Kan aku bisa mengukir nama
mu di batu nisanmu!!"
Belum habis ucapan Andika terdengar, si nenek
yang mengaku berjuluk Setan Cambuk Api ini sudah
menerjang ganas diiringi teriakan keras.
"Kucabik-cabik tubuhmu!!"
Cltaaarr!!
Cambuk berlidah tiganya langsung keluarkan
suara yang mengerikan begitu digerakkan. Menyusul
keluar tiga lesatan angin laksana anak panah.
Di tempatnya, sejenak Pendekar Slebor melengak
dan kejap itu pula dia melompat ke samping kanan.
Saat kembali berdiri tegak, dilihatnya tanah yang
tadi dipijaknya telah bergaris tiga buah sedalam
satu jengkal. Sementara itu, pada pohon trembesi
yang ada di belakangnya, segera terbentuk tiga buah
bolongan sebesar ibu jari!
Melengak anak muda urakan ini sambil geleng-
geleng kepala. Lalu diarahkan pandangannya pada
Setan Cambuk Api yang tengah menyeringai.
"Jadi benaran nih kau mau membunuhku. Nek?
Bilang dong kalau mau membunuhku! Kan aku tadi
tidak perlu menghindar! Kau juga sih yang salah
tidak bilang-bilang!"
Putus senyuman di bibir Setan Cambuk Api.
Tubuh nya yang agak membungkuk mendadak
terlihat menegak.
"Pemuda keparat! Kusesali hidupku selama ini
bila tak dapat membunuhmu!!"
Kembali digerakkannya cambuk berlidah tiga
dengan kerahkan setengah tenaga dalamnya.
Cltaaarrr!!
Suara yang terdengar begitu mengerikan sekali,
disusul dengan lesatan tiga angin laksana anak
panah saat cambuk itu digerakkan.
"Ah, Nek! Jangan begitu yakin! Kau sepertinya
bersumpah tuh! Dan kau akan menyesali hidupmu
selama ini!" sahut Andika sambil membuang tubuh.
Dia memang belum mau lakukan serangan balasan.
Ini dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut
siapakah Setan Cambuk Api. Di samping itu, dia
juga hendak mengukur kepandaian yang dimiliki si
nenek.
Tetapi yang mengejutkan, kalau tadi dia dapat
menghindar dengan mudah, kali ini dia justru
seperti monyet kebakar ekornya. Karena lidah-lidah
cambuk si nenek tidak bergerak secara bersamaan
seperti yang pertama.
Kali ini, lidah cambuk di bagian tengah melesat
lebih dulu siap bantam kepala Andika. Dan begitu si
anak muda bergerak ke kanan, lidah cambuk bagian
kanan sudah mencecar ke arahnya.
Cltaaarr!!
"Lho, lho? Kok begini nih?!" dengusnya dan
dengan pencalan satu kaki dia melompat ke
belakang.
Bersamaan dengan itu, Setan Cambuk Api
kembali menggerakkan cambuknya disertai ucapan,
"Tubuhmu akan tercabik-cabik, Pendekar Slebor!!"
Dasar konyol, anak muda itu masih sempat
berucap, "Ah, masa?! Yang benar? Kan jadi malu
kalau ternyata tidak jadi tercabik-cabik!"
Ucapannya itu semakin membuat Setan Cambuk
Api bertambah bernafsu. Beruntun perempuan tua
ini menggerakkan cambuknya. Hingga saat itu pula
banyak ranggasan semak yang terpapas dan
beterbangan, disusul muncratnya tanah ke udara.
Bahkan lima buah pohon sudah bolong tiga buah
terkena sambaran angin laksana lesatan anak
panah.
Tidak hanya sampai di sana saja yang
dilakukannya. Karena mendadak saja si nenek
angkat tangan kanannya yang memegang cambuk.
Kejap kemudian diputar-putarnya ke udara, hingga
saat itu pula terdengar suara 'cltar' berulangkali.
Keras dan memekakkan telinga.
Andika sendiri harus berhati-hati dan
menghindar kesana kemari karena lesatan angin
laksana anak panah berulangkali terjadi.
Menyusul sesuatu yang membuat sepasang mata
anak muda urakan ini membuka lebih lebar. Karena
perlahan-lahan dilihatnya kobaran api pada tiga
lidah cambuk yang dipegang si nenek.
Melihat perubahan wajah Pendekar Slebor, Setan
Cambuk Api terkikik dengan senyuman aneh.
"Sekarang... ajal sudah ada di depan matamu,
Pendekar Slebor?!"
Lagi-lagi Pendekar Slebor menyahut konyol, "Ah,
masa?!" (Busyet! Senang banget lo Bor, bilang
begituan! Lagi mode kali ya?).
Tak mau membuang waktu lagi, Setan Cambuk
Api sudah menggebrak ke depan seraya kibaskan
cambuk berlidah tiganya. Saat itu pula melesat tiga
buah api sebesar kepalan orang dewasa ke arah
Pendekar Slebor.
Siingg! Siiingg! Siiinnngg!!!
Kalau tadi Pendekar Slebor hanya menghindar,
kali ini dia langsung menerjang ke depan. Tenaga
'Inti Petir' tingkat ke sembilan telah dipergunakan.
Saat digerakkan kedua tangannya guna papaki tiga
bungkahan api, terdengar salakan petir yang cukup
keras.
Pyaar!! Pyaarr! Pyaarr!!
Kontan tiga bungkahan api sebesar kepalan
tangan itu punah. Namun itu bukanlah akhir dari
gebrakan yang dilakukan Setan Cambuk Api. Karena
lidah-lidah cambuknya telah mengancam Pendekar
Slebor.
Terkesiap anak muda ini sambil buang tubuh ke
belakang.
Cltaarr!! Citaarr! Cltaarr!!
Tiga kali suara keras itu terdengar dan terlihat
tanah kembali membentuk garis lurus sedalam
pergelangan tangan.
Mendapati gebrakan yang dilakukannya gagal,
Setan Cambuk Api bertambah beringas. Kali ini dia
langsung gerakkan cambuknya lebih cepat. Kejap itu
pula beruntun menderu bongkahan-bongkahan api
sebesar kepalan tangan.
Menghadapi hujan bola-bola api itu, mau tak mau
Andika kewalahan juga. Pukulan yang mengandung
tenaga 'Inti Petir' pun harus ditambah kecepatannya.
Bahkan tatkala dipergunakan ilmu peringan
tubuhnya, dia juga harus dibuat tunggang langgang.
"Kutu monyet!!" maki anak muda ini melihat si
nenek terkikik-kikik dan menggerakkan cambuknya
laksana anak kecil bermain yoyo.
"Ternyata kau tak memiliki kemampuan yang
berarti!!"
Eh, lagi-lagi dia nyahut, "Ah, masa?"
Keberingasan Setan Cambuk Api semakin
menjadi-jadi. Sementara di tempat itu, api-api yang
gagal ditahan oleh Andika, telah membakari
ranggasan semak belukar dan rerumputan. Hingga
udara di sekitar tempat itu kontan memanas dengan
asap mcngepul yang dapat halangi pandangan.
"Monyet burik! Kalau begini keadaannya, bisa
mampus juga nih! Sia-ul betul!!"
Sambil menambah kecepatannya untuk hindari
hujan bola-bola api dan sambaran cambuk berlidah
tiga, Andika sudah menyambar kain bercorak catur
yang melilit manja di lehernya.
Begitu dikibaskan, kontan menderu gelombang
angin dahsyat diiringi suara dengungan laksana
ribuan lebah yang menyerang sebuah desa.
Kontan bola-bola api yang keluar dari ujung-
ujung lidah cambuk si nenek, putus di tengah jalan.
Bahkan terlontar ke belakang sebelum akhirnya
padam.
Bersamaan dengan itu, Pendekar Slebor
mengibas-kan kembali kain bercorak catur. Kali ini
bukan ke arah Setan Cambuk Api. Melainkan ke
belakang.
Seketika api-api yang telah membakari sekitar
tempat itu padam. Bahkan ranggasan semak dan
tanah tercabut dan beterbangan. Menyusul dua
buah pohon langsung tumbang terkena sambaran
gelombang angin dahsyat yang keluar dari kain
bercorak catur.
Di lain pihak si nenek sendiri harus terhuyung
tiga tindak tatkala tersambar gelombang angin
raksasa yang keluar dari kain bercorak catur.
"Nek! Sebenarnya aku tak ingin lakukan tindakan
seperti ini! Tetapi kau terlalu memaksa!!"
"Tutup mulutmu!!" bentak Setan Cambuk Api.
Dan tanpa pedulikan betapa mengerikannya
gelombang angin yang keluar dari kain bercorak
catur yang dipegang Pendekar Slebor, dia sudah
melesat ke depan seraya gerakkan cambuk berlidah
tiganya berulang kali.
Melihat tindakan si nenek yang bertambah
beringas, Andika cuma menggeleng-geleng.
"Keras kepala betul nih nenek!! Huh! Urusan
nenek ini memang tidak terlalu merepotkan! Tetapi
aku ingin tahu mengapa dia menyerangku? Dan aku
yakin, kalau dia diperintah seseorang melakukan
tindakan ini! Lagi pula... oh! Aku harus melihat
keadaan Gadis Kayangan!"
Berpikir demikian, serentak pemuda berambut
gondrong acak-acakan ini melompat ke depan seraya
mengibaskan kain bercorak catur.
Kontan puluhan bola-bola api yang keluar dari
cambuk si nenek dilahap padam oleh gelombang
angin kain bercorak catur. Andika yang memang
ingin melihat keadaan Gadis Kayangan, langsung
melompat ke depan begitu dilihatnya Setan Cambuk
Api terhuyung ke belakang.
Tangan kirinya digerakkan. Deess!!
Jotosannya telak bersarang di dada Setan
Cambuk Api. Kalau sebelumnya perempuan tua itu
hanya terhuyung, kali ini tubuhnya langsung
tersuruk ke belakang dan baru berhenti setelah
menabrak sebuah pohon.
Bila saja pendekar kita ini mau bertindak
telengas, sudah tentu dengan mudah dia akan
mengirim nyawa si nenek ke neraka. Tetapi, pemuda
kita ini berhati mulia kendati sifat konyolnya nggak
ketulungan lagi.
Dia cuma berseru sebelum berkelebat kembali
menemui Gadis Kayangan di tempat semula, "Nek!
Lain kali kita ketemu lagi ya? Siapa tahu wajahmu
sudah mulus!!"
Setan Cambuk Api menggeram setinggi langit. Dia
mencoba untuk bangkit, akan tetapi langsung
tersuruk kembali ke belakang dengan dada terasa
sakit.
"Jahanam keparat!! Tak kusangka kalau
Pendekar Slebor memiliki kesaktian yang begitu
tinggi! Tadi kupikir, dia hanyalah sebangsa keroco
belaka! Huuh! Mau-maunya aku diperintah kakek
celaka itu untuk menghadapinya, sementara dia
sendiri tentunya sedang asyik menggarap Gadis
Kayangan!!"
Habis memaki-maki geram seperti itu, dengan
kerahkan sisa-sisa tenaganya, Setan Cambuk Api
rangkapkan kedua tangannya di depan dada.
Dua kejap kemudian, tempat itu sudah dilanda
sepi.
***
6
Di tempat semula, rasa khawatir Andika semakin
menjadi-jadi tatkala dari jarak lima tombak melihat
tempat itu telah porak poranda. Ditambah
kecepatannya berlari. Dan semakin dekat, hatinya
semakin tak menentu.
Saat hentikan larinya di dekat sebuah lubang
yang masih keluarkan asap, hanya sekali lihat saja
pemuda tampan ini tahu kalau Gadis Kayangan
sudah tak berada di tempatnya.
"Oh! Apa yang terjadi? Di mana Gadis Kayangan
sekarang?" desisnya dengan hati tak menentu. Lalu
perlahan-lahan dia melangkah mengitari tempat itu.
"Ah, tentunya telah terjadi satu pertarungan yang
sengit. Melihat keadaan tak menentu ini,
nampaknya Gadis Kayangan tak berdaya! Monyet
gundul! Aku yakin kehadiran Setan Cambuk Api
memang hanya sengaja untuk menahanku,
sementara orang yang entah siapa, telah
mendapatkan Gadis Kayangan! Celaka! Apa yang
dialami oleh gadis itu sekarang?"
Kembali Pendekar Slebor terdiam sambil
memperkirakan siapa gerangan orang yang telah
muncul di hadapan Gadis Kayangan. Lalu nampak
kepalanya digeleng-gelengkan pertanda dia tak
dapat menduga lebih jauh.
"Ah... tak akan pernah kumaafkan diriku bila
terjadi sesuatu padanya. Paling tidak, hidupnya saat
ini adalah tanggung jawabku. Cacing pita! Masih
banyak urusan-urusan lain. Dan sekarang, gadis itu
telah bilang!!"
Terdiam Pendekar Slebor dengan perasaan kian
tak menentu. Tetapi menyesali semua yang terjadi,
bukanlah satu jalan keluar. Mencoba mengubah apa
yang telah terjadi ke arah yang lebih baik, itulah
yang harus dilakukan.
"Urusan dua Panembahan Agung harus ku
selesaikan. Pulau Hitam harus kudapatkan. Mudah-
mudahan Gadis Kayangan tak mengalami satu
masalah apa pun. Sebaiknya, kucoba menuju kePulau Hitam. Untung masih kuingat titik-titik yang
tergambar pada potongan pedang di tangan Gadis
Kayangan. Potongan pedang? Oh! Jangan-jangan...
orang yang datang berkeinginan mendapatkan
potongan pedang itu. Sangga Rantek-kah orangnya?"
Diperas segala pikiran yang ada di benaknya.
Tetapi semuanya buntu.
"Tak ada jalan lain, aku harus menelusuri jejak
menuju ke Pulau Hitam. Mudah-mudahan aku tak
keliru melangkah karena Pedang Buntung yang
merupakan titik awal dari langkah, berada di tangan
Sangga Rantek."
Memutuskan demikian, pemuda yang sedang
mencemaskan keadaan Gadis Kayangan, segera
bergerak ke arah barat.
***
Hamparan langit saat ini seperti memantulkan
seluruh sinar matahari, hingga bumi laksana
disengat dalam-dalam. Saat ini raja siang telah tiba
di puncak kepala. Angin yang berhembus begitu
panas hingga membuat orang ingin minum banyak-
banyak.
Namun dua sosok tubuh yang terus berlari
melalui padang rumput yang luas, tak hiraukan
keadaan itu.
Perempuan berjubah dan berkerudung merah
yang berlari di sebelah kiri, membatin setelah
perhatikan lelaki berpakaian serba hitam yang
berlari di sebelah kanannya, "Aku semakin yakin...
kalau manusia keparat ini memang sedang
membawaku menuju ke Pulau Hitam. Berarti... dia
telah pergunakan kesempatan untuk melihat
potongan pedang tatkala masih berada di
Pesanggrahan Bayu Api. Hmmm... aku akan tetap
berlaku tidak tahu apa yang diinginkannya."
Si perempuan yang tak lain Iblis Rambut Emas
terus percepat larinya, mengikuti lari Sangga
Rantek. Sekujur tubuh perempuan berambut
keemasan ini dihiasi oleh butiran keringat. Yang
dialami Sangga Rantek pun tak jauh berbeda.
Lelaki berhidung bengkok dan bermata
bergelambir ini terus berlari.
"Pulau Hitam... biar bagaimanapun susahnya aku
akan tetap menuju ke sana dan berharap, dapat
bertemu dengan Pendekar Slebor di jalan. Tak
seharusnya aku mengajak perempuan celaka ini,
tetapi tenaganya dapat kubutuhkan. Kendati aku
tak percaya ketika dia mengatakan menginginkan
nyawa Pendekar Slebor yang telah membunuh
kekasihnya, tetapi paling tidak, dia akan
membantuku untuk membunuh Pendekar Slebor."
Sejarak tiga puluh tombak di belakang mereka,
satu sosok tubuh berpakaian kuning-kuning terus
berlari sambil menjaga jarak. Sepasang matanya
tajam tak berkedip ke depan. Sekujur tubuhnya juga
sudah dipenuhi keringat.
Orang yang tak lain Ki Pasu Suruan ini berkata
dalam hati, "Aku semakin yakin, kalau mereka
menghendaki sesuatu. Keherananku mengapa dua
manusia itu dapat bersatu, kini tak terlalu
mengikat. Bisa jadi mereka bergabung untuk
mendapatkan dua potongan pedang. Huh! Pendekar
Slebor... ya, pemuda celaka itu harus mampus di
tanganku! Mudah-mudahan orang-orang celaka itu
dapat membawaku pada Pendekar Slebor!"
Dan dia harus berhati-hati jangan sampai kedua
orang itu tahu kalau sedang dibuntuti.
Sementara itu di depan, Iblis Rambut Emas
sedang berkata, "Sangga Rantek! Apakah kau yakin
Pendekar Slebor menuju ke tempat ini?"
Mendengar pertanyaan orang, Sangga Rantek
mendengus dalam hati. "Keparat! Dari nada
pertanyaannya dia memang tidak tahu ke mana
tujuanku! Tetapi aku menangkap, kalau dia sedang
mengejekku!"
Kemudian katanya, "Keyakinanku kuat! Dan aku
merasa pasti kalau Pendekar Slebor menuju ke
tempat ini!"
Iblis Rambut Emas tertawa dalam hati. "Sungguh
bodoh! Dia memang tidak tahu apa yang kuketahui!"
desisnya lalu berkata, "Bagaimana kau bisa tahu?"
"Perempuan celaka! Lebih baik tutup mulutmu
ketimbang kubeset sekarang juga!"
Mengkelap wajah Iblis Rambut Emas mendengar
ucapan orang. Tetapi dia masih dapat menahan diri
untuk tidak segera turunkan tangan.
"Jahanam sial! Kau akan terkejut dengan apa
yang akan kulakukan, lelaki keparat!"
Kejap kemudian tak ada lagi yang keluarkan
suara. Sangga Rantek terus kerahkan ilmu larinya.
Sampai matahari telah lalui tiga perempat
perjalanannya, mendadak masing-masing orang
mendengar suara menggemuruh.
Sangga Rantek lebih dulu hentikan larinya dan
membuka alat pendengarannya lebar-lebar.
Sementara itu, Iblis Rambut Emas celingukan ke
kanan kiri.
"Aneh! Kudengar suara air bergemuruh yang
begitu mengerikan. Tetapi tak kulihat ada sungai di
sini. Gila! Jangan-jangan hanya suara angin yang
terdengar dan kusangka...." Mendadak perempuan
berkerudung merah ini menghentikan kata batinnya.
Keningnya nampak berkerut. Diperhatikannya
sekilas, betapa wajah Sangga Rantek sangat serius
sekali. Lalu dilanjutkan kata batinnya, "Tak ada
sungai di sini... tetapi jelas kudengar suara
bergemuruh mengerikan. Bisa jadi... air terjun! Ya,
suara gemuruh itu berasal dari air terjun! Gila!
Tetapi... mengapa lelaki keparat ini justru
menghentikan langkahnya di sekitar sini?"
Sangga Rantek yang memang mencoba
menemukan air terjun sebagai patokan pertama
untuk menuju ke Pulau Hitam, tetap membisu
seribu bahasa. Lalu lamat-lamat dia melangkah ke
depan diantar tatapan Iblis Rambut Emas yang
mencoba menduga-duga apa yang diinginkan
Sangga Rantek.
Bahkan dia tak mengikuti Sangga Rantek yang
berjalan ke muka sekitar tiga puluh tombak. Tetapi
tatkala didengarnya teriakan senang Sangga Rantek,
secepat kilat perempuan setengah baya berjubah
merah ini mendekatinya.
Dan di hadapannya, telah membentang sebuah
tanah curam yang cukup dalam. Di hadapan tanah
itu, terlihat air terjun yang keluarkan suara
menggemuruh ganas. Di bawah, terlihat deburan air
yang jatuh dari atas menghantam batu-batu cadas
tajam.
Diliriknya Sangga Rantek yang sedang
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ada sesuatu yang membuatnya senang.
Pancaran senang dari kedua matanya tak dapat
disembunyikan. Hmmm... bila memang dugaanku
benar kalau dia sedang membawaku menuju ke
Pulau Hitam, berarti air terjun ini adalah patokan
pertama sebagai petunjuk menuju ke Pulau Hitam.
Hebat! Tak kusangka dia pandai membaca titik-titik
yang tergambar pada Pedang Buntung! Tetapi
rasanya... akan percuma saja dia berusaha
menemukan Pulau Hitam, karena petunjuk yang
satunya lagi terdapat pada potongan pedang di
tangan Pendekar Slebor."
Tak ada yang keluarkan suara.
Di balik ranggasan semak sejarak lima belas
tombak di belakang Iblis Rambut Emas dan Sangga
Rantek, Ki Pasu Suruan yang sudah mendekat dan
mengintip mendesis pelan, "Aneh! Nampaknya air
terjun itu sangat menarik perhatian keduanya.
Apakah ada sesuatu yang mereka cari di sana?"
Suara gemuruh air terjun terus terdengar begitu
mengerikan. Dan tak kunjung putus suara
menggelegar di bawahnya begitu curahan air yang
terus menerus tumpah menerpa.
Sangga Rantek mengangguk-anggukkan
kepalanya.
"Petunjuk pertama telah kudapatkan. Hmm... aku
harus mengarah ke barat daya untuk menemukan
dua bukit. Peduli setan apakah aku dapat
melanjutkan menuju ke Pulau Hitam atau tidak.
Pokoknya, aku tetap berharap dapat berjumpa
dengan Pendekar Slebor."
Habis membatin demikian, lelaki berpakaian
serba hitam arahkan pandangannya pada Iblis
Rambut Emas. Sejenak ada kebencian yang dalam
begitu matanya berbenturan dengan mata si
perempuan.
Setelah mendengus, Sangga Rantek berkata,
"Sampai saat ini belum juga kita temukan jejak
Pendekar Slebor. Bagaimana pendapatmu?"
Iblis Rambut Emas yang tahu kalau Sangga
Rantek hanya mencoba alihkan perhatiannya dari
air terjun itu mengangkat kedua bahunya.
"Sulit untuk memberikan pendapat seperti yang
kau minta. Terus terang, aku hanya berpijak pada
tempat yang kau pijak."
"Perempuan celaka ini memang pandai bermulut
manis," dengus Sangga Rantek dalam hati. "Sebelum
malam tiba, kita harus keluar dari daerah ini."
"Sangga Rantek! Mengapa kau nampak begitu
tertarik dengan air terjun ini? Adakah yang kau
cari?" pancing Iblis Rambut Emas untuk buktikan
dugaannya.
Dan dilihatnya bagaimana kepala Sangga Rantek
mendadak menegak. Kejap kemudian lelaki ini
terbahak-bahak keras. Ki Pasu Suruan yang masih
mengintip, kerutkan keningnya.
"Ha ha ha... tak kusangka kau begitu bodoh! Tak
ada yang menarik dari air terjun itu! Kalaupun aku
sengaja berhenti di sini, karena aku membutuhkan
istirahat! Bila kau tak membutuhkannya, silakan
berlalu dari sini!"
Iblis Rambut Emas kembangkan senyum.
"Sudah tentu aku tak akan meninggalkanmu. Kita
mempunyai keinginan yang sama untuk membunuh
Pendekar Slebor, bukan? Itu pun bila kau...."
"Dan jangan banyak tanya apa yang akan
kulakukan!!" dengus Sangga Rantek keras.
Untuk kesekian kalinya perempuan berjubah
merah ini menindih segala kemarahannya. Dan di
hadapan Sangga Rantek dia tetap kembangkan
senyum.
"Karena aku mengharapkan bantuanmu untuk
membunuh Pendekar Slebor, kuturuti apa yang kau
katakan," katanya menahan geram.
Sangga Rantek tak segera menjawab. Saat dia
hendak buka mulut, mendadak saja kepalanya
dipalingkan ke arah kanan.
"Heiii!!" desisnya kaget.
Dan bukan hanya Sangga Rantek yang terkejut.
Iblis Rambut Emas juga melihat apa yang membuat
lelaki berpakaian hitam-hitam itu terkejut.
Satu bayangan hitam telah berkelebat begitu
cepat. Dan yang membuat masing-masing orang
tertarik, karena melihat satu sosok tubuh
berpakaian biru muda dalam bopongan si bayangan
hitam.
Sangga Rantek sejenak terdiam sebelum
membuka mulut, "Winarsih! Atau yang dijuluki
Pendekar Slebor si Gadis Kayangan!!"
"Sangga Rantek! Kenalkah kau dengan si nenek
berpakaian hitam compang-camping itu?" tanya Iblis
Rambut Emas segera.
Sangga Rantek menggelengkan kepalanya. Lalu
berucap seperti ditujukan pada dirinya sendiri,
"Pendekar Slebor telah menyelamatkan Gadis
Kayangan. Dan sekarang, gadis itu berada di tangan
perempuan tua berpakaian hitam compang-
camping... hmm...." Lalu kepalanya dipalingkan
pada Iblis Rambut Emas, "Apa yang dapat kau
pikirkan?"
Lagi-lagi perempuan berambut keemasan itu
berlagak bodoh. Dia berkata, "Kau lebih cerdik
dariku."
Pujian itu disambut dengan dengusan oleh
Sangga Rantek. Lalu katanya mereka-reka, "Kita
tidak tahu siapa perempuan tua berpakaian hitam
compang-camping itu. Ada dua kemungkinan yang
bisa kukemukakan. Pertama, perempuan itu adalah
orang golongan lurus yang telah menyelamatkan
Gadis Kayangan dari seseorang.
Kedua, perempuan itu adalah orang-orang satu
golongan dengan kita, yang menyangka Gadis
Kayangan memiliki potongan pedang yang tergambar
titik-titik yang jelas menuju ke Pulau Hitam."
"Bagaimana dengan pendapatmu sendiri?"
Sangga Rantek hanya mendengus.
Iblis Rambut Emas berkata lagi, "Taruhlah dia
memang orang golongan lurus yang telah
menyelamatkan gadis itu, ini menilik si gadis yang
nampaknya pingsan. Kalau begitu, siapakah orang
yang mencelakakannya?"
"Tak perlu diperhitungkan soal itu! Mampus pun
aku tak peduli!" sahut Sangga Rantek dingin.
"Baik! Bila ternyata dia orang yang menginginkan
potongan pedang pada si gadis..."
"Orang itu akan menyesal! Karena bukan pada
gadis itulah potongan pedang itu berada!!" potong
Sangga Rantek.
"Bagaimana bila ternyata Pendekar Slebor telah
memberikannya pada gadis itu?"
Seketika Sangga Rantek palingkan kepala dengan
pandangan melebar.
Iblis Rambut Emas melanjutkan, "Dan bagaimana
bila sebenarnya, sejak pertama kali kau
memutuskan untuk mendapatkan potongan pedang
pada Pendekar Slebor, ternyata memang tidak
berada padanya. Melainkan pada si gadis yang telah
menipumu. Termasuk... menipuku...."
Kali ini pandangan mata Sangga Rantek benar-
benar membuka lebar. Sesaat nampak lelaki
berhidung bengkok ini terdiam menahan napas.
Kejap kemudian terdengar makiannya keras,
"Jahanam! Aku lebih tertarik pada kemungkinan
kedua!"
"Kalau memang begitu, ayo kita kejar!!"
Sangga Rantek sudah mulai berlari dan
mendadak hentikan larinya. Pandangannya kali ini
menyipit tajam pada Iblis Rambut Emas.
"Mengapa kau begitu bernafsu sekali?" sentaknya
dingin.
Iblis Rambut Emas yang tadi kelepasan bicara
dan secara tidak langsung hampir membuka
kedoknya sendiri, buru-buru menenangkan diri
sebelum membentak, "Bodoh! Bukankah setahu kita
Pendekar Slebor dan Gadis Kayangan selalu
bersama-sama? Bisa jadi perempuan tua berpakaian
hitam compang-camping itu telah menyerang
keduanya atau entahlah apa yang terjadi, lalu
Pendekar Slebor akan mengejarnya? Bebal betul
otakmu ini!!"
Sejenak Sangga Rantek masih arahkan
pandangannya pada Iblis Rambut Emas. Sebelum
akhirnya dia mengangguk-anggukkan kepala tanda
dapat menerima alasan itu.
"Alasan yang tepat. Dan sungguh kebetulan sekali
perempuan tua yang membawa tubuh Gadis
Kayangan berlari menuju ke arah barat daya.
Dengan kata lain, secara tak langsung keinginanku
untuk melacak jejak Pulau Hitam akan tersamar.
Karena tentunya, perempuan celaka ini menyangka
aku mengejar perempuan tua itu. Tetapi biar
bagaimanapun juga, ucapannya sungguh-sungguh
masuk akal. Dan benar-benar keparat kalau
memang potongan pedang satunya lagi benar berada
pada Gadis Kayangan."
Sementara itu, diam-diam Iblis Rambut Emas
menarik napas lega.
Kemudian katanya, "Keputusan ada di tanganmu!
Ingat, aku hanya mencoba membantumu untuk
mendapatkan potongan pedang! Sementara aku
menginginkan nyawa Pendekar Slebor!"
Mendadak Sangga Rantek keluarkan dengusan.
Di Iain kejap dia sudah berkelebat tanpa buka
mulut.
Iblis Rambut Emas menarik napas lega dulu
sebelum menyusul.
"Hampir saja...."
***
7
Sosok bayangan hitam yang menyelamatkan
Gadis Kayangan dari tindakan memalukan yang
akan dilakukan Dewa Lautan Timur, mendengus
begitu menyadari satu sosok tubuh mengikutinya di
belakang.
Si bayangan hitam yang memang seorang
perempuan tua ini membatin, "Hebat! Gerakannya
sangat cepat! Jelas kalau dia bukan orang
sembarangan!"
Orang yang mengikuti si nenek tak lain adalah Ki
Pasu Suruan. Salah seorang dari Dua Manusia Goa
Setan ini, sebelumnya juga melihat kelebatan orang
yang membopong sosok berpakaian biru muda. Lain
halnya dengan Sangga Rantek dan Iblis Rambut
Emas, Ki Pasu Suruan langsung mengenali siapa
yang berkelebat.
Dan mendadak dia menjadi sangat geram. Kejap
itu pula dengan cara memutar langkah, dia akhirnya
memutuskan untuk menyusul si nenek.
"Huh! Lama tak pernah bertemu, sekarang tahu-
tahu muncul! Siapa gadis yang berada dalam
bopongan Nyi Genggong?" desis Ki Pasu Suruan
sambil terus kerahkan ilmu larinya.
Si nenek yang terus berlari di depan, mendadak
saja menyeringai. "Pasu Suruan! Gila! Mengapa dia
hanya sendiri? Tak biasanya dia berpisah dari
Pancen Dadap? Hmmm... lebih baik menjumpainya
dulu. Barangkali dia punya urusan yang sama
denganku. Tetapi bila dia mengacaukan seluruh
rencanaku, tak perlu berpikir dua kali untuk
mencabut nyawanya!!"
Di sebuah persimpangan agak berbelok ke kiri, si
nenek mendadak mencelat ke depan. Dan saat
hinggap di atas tanah, sosoknya sudah menghadap
ke arah datangnya Ki Pasu Suruan.
Paras si nenek sungguh mengerikan sekali.
Hidungnya melesak ke dalam dengan kedua mata
agak menyipit. Bibir bagian bawah agak tebal
ketimbang bagian atas. Wajahnya dihiasi kulit tipis
agak hitam. Pakaiannya yang dikenakan berwarna
hitam gelap, dan terdapat compang-camping di
sana-sini.
Ki Pasu Suruan yang mengejar, menarik napas
begitu melihat sosok si nenek yang berdiri
menunggunya. Dari kejauhan dia sudah tertawa
senang, "Nyi Genggong!!"
Si nenek terkikik, terlihat gigi bagian depan
tanggal tiga buah.
"Pasu Suruan! Kupikir setan kuburan yang
mengikutiku! Sungguh tak disangka pertemuan ini
akan kembali terjadi! Hanya saja... ke mana Pancen
Dadap?!"
Ki Pasu Suruan yang telah berdiri sejarak lima
langkah dari hadapan si nenek yang bernama Nyi
Genggong, mengatur napas dulu sebelum berkata,
"Urungkan pertanyaanmu itu. Sekarang jawab
pertanyaanku, siapa gadis itu, hah?!"
Nyi Genggong terkikik kembali.
"Kau memang tak pernah ingin urusanmu
dicampuri orang! Apakah sekian tahun kita
bersahabat kau masih memegang prinsip busuk itu,
hah?! Padahal yang bertanya adalah seorang
sahabat yang sangat baik kepadamu!!"
Ki Pasu Suruan mendengus. Lalu dengan wajah
yang lamat-lamat nampak geram, diceritakan
tentang kematian Ki Pancen Dadap (Bagi teman-
teman yang ingin tahu matinya salah seorang dari
Dua Manusia Goa Setan, silakan baca: "Pedang
Buntung").
Bukannya turut prihatin atas kematian Ki Pancen
Dadap, Nyi Genggong justru terkikik keras.
"Kau tentunya sangat kesepian. Tetapi tak usah
murung, karena ada aku yang akan menemanimu."
Diam-diam Ki Pasu Suruan menggeram dalam
hati, "Perempuan tua ini sudah dua puluh tahun
bersahabat denganku dan Pancen Dadap. Sikapnya
masih terkesan ugal-ugalan dan mau memang
sendiri. Tetapi sungguh mengherankan kalau dia
justru membawa seorang gadis dalam bopongannya.
Biasanya, dia tak pernah hentikan mengumbar
nafsu celakanya pada pemuda-pemuda gagah."
Kemudian katanya, "Jawab pertanyaanku tadi.
Siapa gadis itu?!"
"Hik hik hik... aku tak mengenalnya. Dia
kuselamatkan dari kematian yang akan diturunkan
Dewa Lautan Timur. Dan seharusnya, gadis ini telah
siuman setelah dihajar Dewa Lautan Timur."
Sampai surut satu tindak Ki Pasu Suruan
mendengar julukan itu disebutkan.
"Dewa Lautan Timur? Setahuku, dia mempunyai
dendam setinggi langit pada Panembahan Agung?"
"Betul! Dan akuilah... kalau kau juga tidak tahu
apa penyebab kedua manusia itu bertikai. Tetapi
kupikir... aku telah lakukan tindakan yang sangat
mulia sekali. Karena gadis ini kubuat lebih lama
beristirahat."
"Lantas... apa hubungannya dengan gadis itu?" Ki
Pasu Suruan ajukan tanya, lalu melanjutkan dalam
hati, "Rupanya gadis itu telah ditotok hingga pingsan
lebih lama."
"Bodoh! Apakah kau masih mendendam pada
Pemimpin Agung yang telah membunuh gurumu?"
Mendengar julukan itu disebutkan, wajah Ki Pasu
Suruan memerah.
"Sampai kapan pun dendamku padanya tak akan
putus! Tetapi manusia itu telah tewas! Dan
Pendekar Slebor-lah yang membunuhnya!!"
"Aiiihhh!! Pendekar Slebor! Pemuda gagah yang
sejak dulu kuimpikan dapat tidur dengannya! Di
mana dia sekarang? Di mana?" seru Nyi Genggong
bernafsu.
"Rupanya kau masih tak henti-hentinya
mengumbar nafsu! Tetapi untuk apa kau bawa gadis
itu, hah?!"
"Benar-benar bodoh! Kau berkeinginan untuk
membunuh Pemimpin Agung, tetapi kau tidak tahu
siapa gadis ini?!"
Sejenak Ki Pasu Suruan terdiam sebelum buka
mulut, "Apakah... gadis itu muridnya?"
"Tak salah! Dia memang murid Pemimpin Agung!"
"Terkutuk! Serahkan padaku cepat!!"
Nyi Genggong cuma terkikik sambil menggerak-
gerakkan tangan tangannya tanda menolak.
"Tak semudah itu, Kawan...."
Menyipit sepasang mata Ki Pasu Suruan dengan
rahang mengembung. Lalu desisnya dingin, "Apa
maksudmu dengan tak semudah itu?"
"Kau benar-benar bodoh! Berkeinginan membalas
kematian gurumu pada Pemimpin Agung, kau pun
tak menyelidiki lebih dulu keadaan manusia itu!
Pasu Suruan! Apakah kau pikir aku bodoh, kalau
gadis ini tentunya mewarisi dua potongan pedang
perak milik Pemimpin Agung?"
Sejenak Ki Pasu Suruan terdiam sebelum
meledak tawanya.
"Luar biasa! Sungguh luar biasa! Kau yang
mengaku dirimu pintar ternyata tak lebih dari otak
kerbau! Nyi...."
"Tutup mulutmu! Sekali lagi kau menghinaku,
kurobek mulut keparatmu itu!!" putus Nyi Genggong
dengan wajah mengkelap.
Tetapi Ki Pasu Suruan justru lebih keraskan
tawanya tetapi diam-diam dia membatin geram
dalam hati, "Terkutuk! Aku pun tak akan
memandang arti persahabatan bagi siapa saja yang
menghalangi keinginanku untuk membunuh
Pemimpin Agung beserta para pengikutnya!"
Kemudian katanya dengan tatapan mengejek,
"Nyi! Orang yang telah membunuh Pemimpin Agung
adalah Pendekar Slebor! Dan kusirap kabar kalau
pemuda dari Lembah Kutukan itulah yang telah
memiliki dua potongan pedang sekarang! Apakah...."
"Tutup mulutmu! Kau hanya mencoba memutar
balikkan kenyataan! Padahal aku tahu, kau sangat
menghendaki dua benda itu!"
"Terserah bagaimana penilaianmu! Tetapi untuk
membuktikan apa yang kukatakan ini, periksa
tubuh gadis itu!! Dan kuharap... kau tidak terlalu
terkejut melihat kenyataan!"
Sejenak terlihat si nenek berpakaian hitam
compang-camping ini agak meragu. Pandangannya
masih diarahkan pada Ki Pasu Suruan dengan
kilatan penuh bara amarah. Lalu katanya setelah
mendengus dingin, "Bila ternyata kutemukan dua
potongan pedang itu pada gadis ini, jangan salahkan
aku bila kukirim nyawamu hari ini ke neraka!!"
Ki Pasu Suruan hanya tertawa saja.
Di lain pihak, dengan wajah nampak mendongkol
Nyi Genggong berucap, "Aku tak segan-segan
membunuhmu bila ternyata ucapanmu dipenuhi
bisa!"
Lalu dengan geram diperiksanya tubuh Gadis
Kayangan yang masih pingsan. Tangannya meraba-
raba sekujur tubuh si gadis. Dan nampak
kegeraman yang tersirat pada wajahnya sejenak
lenyap. Tetapi di lain saat dia sudah menggeram
keras.
"Keparat terkutuk!!"
Ki Pasu Suruan terbahak-bahak melihatnya.
"Apakah kau masih menganggap kalau aku tidak
menjunjung tinggi persahabatan di antara kita?"
serunya dengan suara melecehkan. Lalu
melanjutkan dengan ucapan bercabang, "Yang
seharusnya kau jadikan sasaran... adalah Pendekar
Slebor! Pemuda keparat itulah yang telah
membunuh Pemimpin Agung sekaligus
mendapatkan dua potongan pedang!!"
Sementara itu Nyi Genggong yang merasa
semuanya sia-sia belaka, dengan geram membanting
tubuh Gadis Kayangan. Dalam pingsannya, tanpa
sadar si gadis keluarkan seruan tertahan.
"Terkutuk! Ternyata aku hanya membuang-buang
waktu belaka! Jahanam sial! Dia seharusnya...."
Memutus kata-katanya sendiri, Nyi Genggong
mengangkat kepalanya ke arah Ki Pasu Suruan yang
membatin,
"Apa lagi yang dipikirkan nenek keparat ini?"
"Pasu Suruan! Memang terbukti kalau dua
potongan pedang itu tidak berada pada gadis ini!
Tetapi... sebelumnya Dewa Lautan Timur telah
mencelakakan gadis ini! Bagaimana bila sebelumnya
potongan pedang itu memang berada pada gadis ini
kemudian direbut oleh Dewa Lautan Timur?"
Terdiam Ki Pasu Suruan mendengar dugaan si
nenek. Tetapi karena dia berkeyakinan kalau
Pendekar Slebor-lah yang telah memiliki dua
potongan pedang itu, makanya dia berkata, "Aku
yakin... Dewa Lautan Timur tak mendapatkan benda
itu padanya. Tetapi bila memang lelaki celaka itu
menginginkan dua potongan pedang, dapat ditebak
kalau urusannya dengan Panembahan Agung adalah
berkisar masalah itu. Tetapi yang mengherankan,
mengapa tak pernah terdengar kabar kalau dia
memburu Pemimpin Agung?"
"Bukannya tidak mungkin itu terjadi! Dua
potongan pedang berarti berada di tangan Dewa
Lautan Timur!!"
Ki Pasu Suruan menggelengkan kepala.
"Tidak! Dua potongan pedang itu ada pada
Pendekar Slebor! Karena berita yang kudengar
pertama kali, tertuju padanya!"
Nampak Nyi Genggong terdiam. Pandangannya
diarahkan kembali pada Gadis Kayangan yang
terlentang di atas tanah. Terlihat sepasang matanya
yang sipit kian menyipit. Sepasang pelipisnya
bergerak-gerak. Dan nampak mulutnya
mengembung.
Mendadak sambil keluarkan udara dari mulutnya
dengan cara menyentak, dia menggeram keras,
"Kalau begitu... lebih baik dia mampus saja
sekarang!!"
"Tunggu!!" desis Ki Pasu Suruan yang melihat
sosok Gadis Kayangan telentang dengan kedua
tangan dan kaki membuka. Dilihatnya bagaimana
dada yang busung itu seperti melambai-lambaikan
undangan yang tentunya tak dapat dielakkan. Dan
satu pikiran yang menyenangkan telah singgah di
otak kotornya.
"Jangan membuatku bertambah gusar!!" sentak
Nyi Genggong dengan pandangan bertambah
menyipit.
"Tak perlu umbar kemarahan pada gadis itu!
Yang harus dijadikan tujuan adalah Pendekar
Slebor! Karena dialah pangkal dari semua...."
"Huh! Kau memang pandai menjilat, Pasu
Suruan! Dengan kata lain, kau menghendaki aku
bergabung denganmu untuk membunuh Pendekar
Slebor?! Paling tidak, sekali kayuh dua pulau kau
lampaui!"
Menggeram Ki Pasu Suruan yang maksudnya
terbaca oleh si nenek berpakaian hitam compang-
camping ini.
Lalu katanya, "Tak perlu meminta bantuanmu,
Pendekar Slebor akan tetap mampus di tanganku!
Tetapi... bagaimana bila kita sama-sama menuju ke
Pulau Hitam untuk mengetahui ada rahasia apa di
sana?"
"Usulmu sangat menarik! Tetapi... kita sama-
sama tidak mengetahui rahasia apa yang ada di
Pulau Hitam! Bagaimana bila ternyata ada harta
karun atau benda pusaka di sana?! Apakah kau
akan melangkahiku?!"
"Tidak! Kau boleh mendapatkan semuanya!
Pemimpin Agung telah tewas! Terus terang,
seharusnya seluruh keinginan yang terpendam di
hatiku telah tuntas! Tetapi saat itu, aku
menginginkan dua potongan pedang untuk
mengetahui rahasia apa yang ada di Pulau Hitam!
Hanya saja... sekarang semuanya tak lagi jadi
keinginan nomor satu! Keinginanku hanyalah untuk
membunuh Pendekar Slebor yang telah membunuh
Pancen Dadap!! Dia harus mati! Kau dengar itu?!
Dia harus mati!! Dengan cara... yang sangat
menyedihkan!!"
Sepasang mata Nyi Genggong menyipit. Kemudian
katanya dengan bibir yang hanya membuka sedikit,
"Apakah kau pikir aku akan mempercayai
ucapanmu itu?"
Di seberang, Ki Pasu Suruan memandang tak
berkedip. Lalu desisnya, "Terserah apa yang akan
kau lakukan! Tetapi kau akan melihat kenyataannya
nanti!"
"Lantas... mengapa kau menahanku untuk
membunuh gadis ini, hah?!"
Ki Pasu Suruan mendadak saja tersenyum.
Bukannya menjawab pertanyaan orang
pandangannya justru di arahkan pada dada
membusung milik si gadis.
Hanya sekali lihat, Nyi Genggong paham apa yang
dimaui lelaki berpakaian kuning-kuning ini. Dia
mendengus sebelum berkata, "Lakukan apa yang
kau hendaki! Aku menunggu di ujung sana!"
"Kau benar-benar seorang; sahabat yang penuh
pengertian!! Dan tak akan bisa kulupakan budi
baikmu ini, Nyi!" sahut Ki Pasu Suruan sambil
tertawa.
"Setan keparat! Ucapan demi ucapannya lama
kelamaan membakar hatiku juga! Tetapi bila tak
berjumpa dengannya, sudah tentu sebelum sampai
ke Lembah Gaung, aku tak akan pernah tahu kalau
dua potongan pedang itu tidak berada padanya!"
maki Nyi Genggong dalam hati dengan pandangan
tajam.
Tanpa keluarkan kata-kata, si nenek berpakaian
hitam compang-camping ini sudah berlari ke arah
yang dituju. Namun baru lima langkah dia berlari,
mendadak saja satu gelombang angin telah menderu
ke arahnya.
"Heeeiiii!!"
Serentak si nenek buang tubuh ke samping
kanan. Blaaammrrr!
Tanah yang tadi dipijaknya seketika muncrat ke
udara terhantam gelombang angin yang mendadak
muncul.
Ki Pasu Suruan yang tadi tersenyum, langsung
bersiaga penuh dengan pandangan lebih terbuka.
Tatkala muncratan tanah tadi kembali luruh,
masing-masing orang melihat dua sosok tubuh telah
berdiri tegak sejarak delapan langkah.
Ki Pasu Suruan mendesis, "Sangga Rantek dan
Iblis Rambut Emas!"
***
8
Senja semakin mengambang dalam dan nampak
sebentar lagi akan dijemput malam. Udara terus
berhembus, semakin lama menusuk tulang. Helai-
helai daun beterbangan dan akan jatuh entah di
mana.
Pendekar Slebor tiba di sebuah jalan yang
dipenuhi ranggasan semak belukar. Di hadapannya
membentang sebuah padang rumput yang luas.
Sejenak anak muda pewaris ilmu Pendekar Lembah
Kutukan ini memandang tak berkedip ke depan.
Lalu dipalingkan kepala ke arah dari mana dia
datang.
"Setan Cambuk Api tak mengejarku. Hmmm...
menilik keadaan yang terjadi, memang jelas kalau
ada orang lain yang telah memerintahkan
perempuan tua itu untuk menghadangku.
Sementara orang yang entah siapa adanya, telah
membawa Gadis Kayangan."
Anak muda ini menarik napas pendek.
"Siapa orang itu? Dan tentunya, tujuan yang
diinginkan orang itu adalah potongan pedang yang
berada di tangan Gadis Kayangan. Kadal buntung!
Makin sulit kutemukan jejak yang pasti! Apakah...."
Memutus kata-katanya sendiri, Andika segera
palingkan kepalanya ke kanan begitu
pendengarannya yang terlatih menangkap derap
langkah kuda mendekat.
Seketika dilihatnya tiga orang gagah menunggang
kuda hitam dan mengarah padanya.
Tak mau mendapatkan urusan lain yang tak
mengenakkan, di samping ingin mengetahui siapa
orang-orang itu adanya, cepat anak muda ini
berkelebat dan tahu-tahu dia sudah menyelinap di
balik ranggasan semak belukar.
Tak lama kemudian tiga ekor kuda itu tiba di
tempat Andika berdiri sebelumnya. Saat tali kekang
ditarik, kuda-kuda itu meringkik dengan kedua kaki
depan terangkat. Dan masing-masing penunggang–
nya, memperhatikan sekeliling mereka dengan
seksama. Di pinggang masing-masing terdapat
sebilah parang besar yang sedikit berkilat terkena
sisa-sisa sinar matahari
Orang yang mengenakan pakaian abu-abu
dengan ikat kepala warna putih langsung keluarkan
suara, "Gila! Ke mana orang berpakaian hijau pupus
itu menghilang?!"
Sepasang mata tajam orang berwajah tirus
dengan kedua pipi cekung ini memandang
sekitarnya. Begitu pula dengan kedua temannya
yang mengenakan pakaian berwarna sama namun
berikat kepala berlainan.
Lelaki bertubuh agak gemuk dan kenakan ikat
kepala warna hijau merandek dingin, "Tak mungkin
ada manusia yang dapat menghilang secepat itu!
Laksana ditelan hidup-hidup oleh bumi! Sudah
tentu dia, bersembunyi di sekitar sini! Kita
berpencar! Barangkali saja orang itu dapat kita
jadikan sebagai petunjuk menuju ke Pulau Hitam!!"
Habis kata-katanya, lelaki bertubuh agak gemuk
ini sudah menggebrak kudanya ke sebelah kanan.
Sementara yang berbicara pertama tadi, menggebrak
kudanya ke depan. Dan lelaki kurus kering yang
berikat kepala warna jingga sudah melarikan
kudanya ke kiri.
Andika yang telah bersembunyi di balik
ranggasan semak sejarak sepuluh tombak dari
tempat orang-orang itu membatin, "Hmmm... mereka
juga sedang menuju ke Pulau Hitam. Dan jelas
kalau sebelumnya melihatku. Menilik sikap masing-
masing orang, jelas kalau mereka bukanlah orang
baik-baik. Tetapi dikepung dari tiga penjuru seperti
itu, jelas persembunyian ku akan diketahui.
Apakah...."
Diputuskan kata hatinya sendiri tatkala
didengarnya derap langkah kuda dari sebelah
kanan. Bukannya terkejut, anak muda ini justru
mendesis seraya berdiri, "Ya... ketahuan deh! Kalau
begitu, aku yang jaga sekarang!" (Edan! Emangnya
main petak umpet?).
Lelaki agak gemuk berikat kepala warna hijau ini
berseru keras, "Hooiiiii!! Di sini rupanya manusia
celaka yang kita lihat tadi!!"
Dua orang temannya segera menggebrak kuda
masing-masing mendekati si gemuk yang sudah
turun dari kudanya.
Melihat ketiga orang itu dari dekat, Andika cuma
mengangkat sepasang alisnya saja.
"Wah! Tampang kalian seram-seram amat, ya? Itu
parang buat membelah kelapa?!"
Seketika masing-masing orang meradang. Tetapi
si gemuk sudah berkata, "Anak muda! Jangan
berlaku bodoh di hadapan Tiga Iblis Penunggang
Kuda! Bila kau dapat jawab pertanyaan, maka kau
akan dapat melihat matahari besok! Bila tidak..."
"Ya tidak melihat dong?" sambar Andika konyol.
Begitu melihat sepasang mata si gemuk melotot, dia
buru-buru berkata, "Betul, kan? Betul, kan?"
"Keparat!! Hampar Gandeng! Bunuh pemuda itu!!"
seru si wajah tirus pada si gemuk.
Bukannya si gemuk yang menyahut, Andika yang
berkata, "Busyet! Kok namamu jelek amat sih?
Bagaimana bila kuganti... Hamparan Padi Yang
Dirusak Tikus dan... apa lagi ya?"
Meradang sudah Hampar Gandeng mendengar
ejekan si pemuda. Julukan Tiga Iblis Penunggang
Kuda sangat dikenal di daerah utara. Mereka adalah
manusia-manusia kejam yang tak pernah
mengasihani lawan atau orang yang hendak
dibunuh. Jangankan orang yang berani bersikap
seperti pemuda urakan itu. Orang yang tak dapat
menjawab setiap pertanyaan mereka, harus
merelakan kepalanya pisah dari lehernya.
"Pemuda keparat! Kau rupanya memang benar-
benar ingin mampus?!!" maki Hampar Gandeng
sambil bergerak dengan jotosan lurus ke wajah
Andika.
Dalam pikirnya, sekali jotos saja anak muda di
hadapannya itu akan langsung ambruk dengan
mulut dan hidung berdarah. Namun yang
mengejutkannya, jotosan itu hanya mengenai angin.
Lebih terkejut lagi lelaki gemuk ini karena tak
dilihatnya bagaimana anak muda itu menghindari
jotosannya.
Seketika dia putar tubuh. "Keparat!!" makinya
keras.
Bukan hanya Hampar Gandeng yang terkejut dua
kawannya yang bernama Ringkih Gandeng dan
Rimbun Gandeng pun tersentak. Apalagi tatkala
terdengar suara, "Wah! Kuda ini bagus sekali?
Bagaimana kalau buatku saja?!"
Serentak masing-masing orang arahkan
pandangan pada kuda hitam gagah yang tadi dinaiki
oleh Hampar Gandeng. Mereka melihat pemuda yang
di lehernya melilit kain bercorak catur itu sudah
berada di atas kuda Hampar Gandeng.
Rimbun Gandeng yang berikat kepala warna
putih dengan wajah tirus dan dihiasi dengan brewok
yang cukup lebat, sudah menyentakkan tangan
kanannya seraya melompat.
Namun Andika dengan enaknya mengibaskan
tangan kanannya pula, bahkan sambil berseru,
"Bagaimana kalau kuda ini buatku saja?!"
Bukkk!!
Tangan kanan Rimbun Gandeng langsung
berbenturan dengan pergelangan tangan Andika.
Terkejut lelaki berbrewok ini sampai keluarkan
pekikan tertahan, "Heeeiii!!"
Begitu dilihat, tangan kanannya agak membiru.
Lelaki bertubuh ringkih sesuatu dengan namanya
Ringkih Gandeng, tak mau berdiam diri. Dia
langsung loloskan parangnya dan sekuat tenaga
disabetkan ke tubuh Andika.
Kali ini Andika palingkan kepala dan mendengus.
"Busyet! Kalian ini cukup aneh! Kenapa jadi sewot
dan menyerangku kalap kayak begini?!"
Bersamaan dengan itu, anak muda urakan ini
buat gerakan yang menakjubkan. Dia melompat dari
punggung kuda itu, tetapi bukan untuk hinggap di
atas tanah, melainkan hinggap kembali di punggung
kuda dengan kedua tangan menahan tubuh dan
kaki tegak lurus dengan langit!
Sabetan parang Ringkih Gandeng lolos dari
sasarannya. Dan mendadak saja terdengar suara
'srak' dua kali. Rupanya Hampar Gandeng dan
Rimbun Gandeng sudah tak kuasa menahan diri.
Sesungguhnya, bila ketiga orang ini maju sendiri-
sendiri mereka bukanlah satu kekuatan yang
dahsyat. Tetapi bila sudah maju bersama, mendadak
mereka akan membentuk kekuatan yang
mengerikan.
Dan masing-masing orang mendadak merapatkan
kedua kaki dengan tubuh menegak. Tangan kanan
yang memegang parang besar disatukan dengan
dada sementara tangan kiri mengembang ke depan.
Dari atas punggung kuda, Andika memandang
tak berkedip.
"Gerakan yang mereka perlihatkan nampaknya
bukan gerakan kosong belaka. Dan tentunya bila
mereka bersatu, akan terbentuk satu kekuatan yang
hebat. Hmmm... aku tak punya urusan dengan
mereka. Lebih baik kutinggalkan saja, ah!"
Habis membatin demikian, pelan-pelan anak
muda ini melepaskan totokan pada punggung kuda
yang ditungganginya. Rupanya kuda itu telah
ditotok sebelumnya hingga di saat dia hindari
sabetan parang Ringkih Gandeng kuda itu tidak
terjingkat lari.
Namun kesempatan untuk berlalu dari sana jelas
tidak mudah. Karena serempak Tiga Iblis
Penunggang Kuda sudah menyerang ke depan.
Kelebatan tubuh masing-masing orang begitu cepat
sekali. Saat parang diayunkan terdengar suara angin
membelah udara.
Mau tak mau Andika harus melompat dari
punggung kuda seraya menggerakkan tangannya
tiga kali. Tiga ekor kuda yang hendak berlari dari
sana, mendadak terdiam karena terkena totokan
jarak jauhnya.
Dan yang terjadi kemudian, belum lagi kedua
kaki nya menginjak tanah, Ringkih Gandeng sudah
menyusur dengan parang yang siap memutus kedua
kakinya. Di lain pihak, Rimbun Gandeng sudah
mencelat dengan parang yang akan membelah
kepalanya. Sementara dari sisi kiri, Hampar
Gandeng menderu dengan parang dihunus tanda
tak sabar untuk merobek isi perut lawan.
"Monyet-monyet buduk! Kok jadi serius nih?!"
desis Pendekar Slebor sambil melompat. Tangan
kanannya segera digerakkan untuk memukul tangan
kanan Rimbun Gandeng. Namun lelaki berbrewok
ini dengan cekatan memindahkan parang ke tangan
kirinya dan langsung disabetkan.
Tak tanggung lagi terkejutnya Andika. Karena dia
juga harus hindari hunusan parang Hampar
Gandeng. Belum lagi Ringkih Gandeng yang tebasan
pada kaki lawan gagal, langsung cuatkan parangnya
ke atas.
Jalan satu-satunya untuk hindari rangkaian
serangan yang susul menyusul itu memang harus
menjauh dan menjaga jarak. Akan tetapi itu pun tak
mudah dilakukan. Karena begitu Andika berhasil
menjauh, masing-masing orang menderu merapat,
mencoba mematikan gerak langkahnya.
"Gundul-gundul pacul!!" makinya asal-asal.
Seraya memiringkan tubuh untuk hindari
bacokan Rimbun Gandeng. Andika membuat
gerakan agak doyong ke depan dengan kaki kanan
menjadi tumpuan. Tangan kanannya bergerak cepat.
Terdengar salakan petir saat dijotoskan ke arah
Hampar Gandeng.
Tetapi Hampar Gandeng justru tarik pulang
tubuhnya, sementara dengan cara memutar
parangnya dibacokkan lagi.
Namun yang membuatnya terkejut, karena
mendadak saja pemuda berpakaian hijau pupus itu
telah menepak pundaknya dengan tangan kiri.
Menjerit serta terhuyung Hampar Gandeng
karena tubuhnya seakan ditempelak tangan
raksasa. Saat berdiri tegak kembali, tubuhnya agak
goyah. Namun kemarahannya semakin menjadi-jadi.
Dia segera bergerak kembali untuk lancarkan
serangan lagi. Namun mendadak saja tubuhnya
limbung karena dirasakan pundak kirinya seperti
mau patah.
Melihat kawannya menderita seperti itu, Ringkih
Gandeng dan Rimbun Gandeng sudah menggebrak
dengan kemarahan tinggi. Setiap kali parang
dikibaskan, angin menderu keluar mengerikan.
Akan tetapi, Andika yang telah berhasil mematahkan
susunan serangan lawan, dengan mudah dapat
membaca serangan yang dilakukan kedua orang itu.
Tenaga Inti Petir' tingkat kesebelas yang dialirkan
pada kedua tangannya, telah bersarang di dada
masing-masing orang yang tersuruk ke belakang.
Lalu jatuh berlutut sambil pegang dadanya.
Nyengir anak muda ini melihat masing-masing
orang meringis. Lalu dia melompat kembali ke kuda
milik Hampar Gandeng. Sambil tertawa dia berkata,
"Kudamu kupinjam dulu, ah! Tak tahu deh kapan
akan kukembalikan!"
Setelah membuka totokan pada kuda itu, Andika
segera menggebraknya terus ke arah barat.
Tinggal Tiga Iblis Penunggang Kuda yang
meradang murka sekaligus terheran-heran. Mereka
yang malang melintang dan disegani di daerah
utara, hari ini harus mengalami nasib sial.
Dikalahkan secara mudah oleh seorang pemuda
yang usianya paling banter tujuh belas tahun.
"Keparat!! Siapa pemuda itu sebenarnya?!"
dengus Hampar Gandeng jengkel.
"Gerakannya sangat cepat dan memiliki kesaktian
yang tinggi! Kita yang selama ini ditakuti oleh siapa
pun juga, tak berkutik hanya beberapa gebrakan
saja! Jahanam sial!!" sambung Rimbun Gandeng
menahan sakit.
"Akan kubunuh pemuda itu bila suatu saat
bertemu lagi!!" lanjut Ringkih Gandeng. Lalu
terhuyung-huyung dia berdiri. Setelah menatap
kedua temannya secara bergantian, lelaki kurus
kering ini berucap, "Kita urungkan niat menuju ke
Pulau Hitam! Lebih baik kembali ke utara! Kita
himpun kekuatan utuh untuk membalas kekalahan
kita!"
"Tidak!" sentak Rimbun Gandeng. "Mengapa kau
mendadak menjadi pengecut seperti itu, hah?! Apa
pun yang terjadi, kita tetap menuju ke sana!"
"Jangan berlaku bodoh! Menghadapi anak muda
itu saja kita sudah tak berdaya! Apakah kau pikir
akan dapat mengatasi rintangan lain di Pulau
Hitam? Paling tidak, bagaimana bila pemuda itu
datang ke sana?!"
"Itu kesempatan kita untuk membalas!"
"Kita sudah dibuat tak berkutik! Masih untung
kita dibiarkan hidup! Lebih baik kembali ke utara
untuk menghimpun kekuatan! Bila sudah tiba
saatnya, baru kita cari pemuda itu untuk membalas
perbuatannya hari ini!!"
Kendati tak suka mendengar usul itu, Rimbun
Gandeng nampak mengangguk-anggukkan kepala.
Karena sedikit banyaknya, dia membenarkan juga
apa yang dikatakan Ringkih Gandeng.
Di lain pihak, Hampar Gandeng yang diam saja di
saat kedua sahabatnya berbeda pendapat,
mendadak mendesis, "Aku baru ingat! Ya, ya... aku
baru ingat!!"
"Apa yang kau ingat, hah?!" sentak Rimbun
Gandeng pertanda dia masih jengkel dan coba
alihkan kejengkelannya pada Hampar Gandeng.
Hampar Gandeng melotot sebelum berkata,
"Pemuda itu... mengenakan pakaian hijau pupus
dan... di lehernya melilit kain bercorak catur.
Sungguh bodoh! Dia adalah Pendekar Slebor!!"
Melengak kepala Rimbun Gandeng dan Ringkih
Gandeng. Untuk sesaat tak ada yang keluarkan
suara. Nampak kalau masing-masing orang
memaklumi kekalahan mereka. Akan tetapi, Ringkih
Gandeng sudah bersuara, "Kini kita tahu siapa
sasaran kita! Pendekar Slebor! Baik! Kita urungkan
niat menuju ke Pulau Hitam! Kelak, kita akan
muncul lagi untuk menuntut balas!!"
Tiga kejapan mata berikutnya, dua ekor kuda itu
sudah membawa para penunggangnya. Hampar
Gandeng yang bertubuh gemuk, menunggang kuda
Ringkih Gandeng. Sementara si pemiliknya, harus
rela membonceng di kuda Rimbun Gandeng.
Mereka masih beruntung, karena totokan yang
dilakukan Andika adalah totokan yang akan terbuka
dengan sendirinya bila melewati waktu yang
ditentukan. Kalau tidak, ya terpaksa deh mereka
jalan kaki ke utara (Nyaho, nyaho lo!)
***
9
Malam pun akhirnya datang dengan rangkaikan
kegelapan. Udara yang sejak pagi tadi cerah dihiasi
awan putih, kali ini kepekatan malam ditingkahi
dengan gumpalan awan hitam yang berusaha
halangi sinar rembulan.
Di tempat yang agak lapang itu, masing-masing
orang tak ada yang buka suara. Sepasang mata Ki
Pasu Suruan memandang tak berkedip pada Sangga
Rantek dan Iblis Rambut Emas, yang membalas
tajam.
Sementara itu, Nyi Genggong yang keinginannya
untuk meninggalkan tempat itu terhalang, langsung
keluarkan bentakan, "Sungguh sangat memiliki
nyali orang yang berani menyerangku barusan!
Katakan, siapa orang yang bertingkah bodoh dan
bersiap untuk kubuntungi kedua tangannya!!"
Sangga Rantek yang tadi lepaskan serangan
menahan perginya Nyi Genggong mendengus dingin.
Dia menatap tajam tanpa kedip. Kemudian katanya
setelah mengenali siapa adanya orang, "Nyi
Genggong!! Tak kusangka kau akan muncul kembali
di dunia ramai! Apakah kau sudah bosan
mengasingkan diri?! Atau... kau terlalu dibuai oleh
keinginan untuk menggapai sang rembulan? Terlalu
bodoh bila kau melakukannya!!"
"Tutup mulutmu!!" hardik Nyi Genggong dengan
telunjuk menuding. "Aku hanya mengatakan sekali
lagi, siapa orangnya yang tadi menyerangku!!"
Iblis Rambut Emas yang telah lama mengenal
nama Nyi Genggong namun baru kali ini bertemu
dengan nenek itu, diam-diam berpikir, "Hmmm...
bila Nyi Genggong membunuh Sangga Rantek,
urusanku dengan Pendekar Slebor bisa jadi
berantakan. Paling tidak, Sangga Rantek tak boleh
mati dulu, kecuali di tanganku!!"
Kemudian katanya, "Aku yang tadi lakukan
serangan! Sekarang katakan, apa yang akan kau
lakukan, hah?!!"
Seketika Nyi Genggong arahkan pandangannya
pada perempuan kerudung merah. Begitu dilihatnya
rambut si perempuan berwarna keemasan, terlihat
bibir Nyi Genggong pentangkan seringaian, "Iblis
Rambut Emas! Lama telah kudengar julukan
busukmu itu! Dan sungguh kau memiliki nyali tinggi
berani menyerangku!!"
Sementara itu Sangga Rantek berkata dalam hati,
"Apa yang diinginkan perempuan berkerudung
merah ini dengan mengatakan dialah yang lakukan
serangan?"
Mendengar ucapan Nyi Genggong, Iblis Rambut
Emas menyeringai. Seraya maju satu tindak ke
muka dia berucap mengejek, "Tadi kukatakan, apa
maumu, hah?!"
"Jahanam! Kurobek mulutmu, Keparaattt!!"
"Tunggu!!" seru Ki Pasu Suruan menahan Nyi
Genggong.
Seketika si nenek berpakaian hitam compang-
camping ini palingkan kepala disertai makian, "Apa
maksud mu dengan 'tunggu', hah?!"
Ki Pasu Suruan tak hiraukan makian si nenek.
Dia justru berkata pada Sangga Rantek dan Iblis
Rambut Emas, "Kita dikenal sebagai orang-orang
golongan hitam! Itu pun yang mengatakan orang-
orang yang merasa sok suci, orang-orang munafik
yang iri dengan sepak terjang yang kita lakukan! Tak
seharusnya kita saling bertikai sekarang! Mengapa
kita tidak bergabung untuk mewujudkan
keinginan?!"
"Mulutmu penuh bisa, Pasu Suruan!" sentak
Sangga Rantek menyeringai lebar. "Sungguh
mengherankan melihatmu tak bersama Pancen
Dadap!"
"Dia telah tewas di tangan Pendekar Slebor!!"
Mendengar julukan itu disebutkan, Sangga
Rantek berpandangan dengan Iblis Rambut Emas. Ki
Pasu Suruan sendiri diam-diam membatin,
"Hmmm... mereka nampak terkejut tetapi pancaran
mata masing-masing orang penuh dendam. Aku
yakin, kalau mereka punya urusan dengan Pendekar
Slebor."
Selagi tak ada yang buka mulut, Ki Pasu Suruan
yang memikirkan satu jalan terbaik sudah berkata,
"Aku memiliki dendam setinggi langit pada pendekar
yang banyak dipuji orang! Ingin kulihat pemuda itu
berkalang tanah setelah mengalami siksaan yang
sangat pedih! Kuakui, semula urusanku untuk
mendapatkan dua potongan pedang untuk
memecahkan rahasia apa yang ada di Pulau hitam!
Namun... Pendekar Slebor telah membunuh Ki
Pancen Dadap! Dan dia harus mati di tanganku!!
Peduli setan apakah kalian mau bergabung atau
tidak denganku untuk membunuh Pendekar Slebor!
Peduli setan pula bila kalian menganggap kami
sebagai lawan. karena... sudah tentu aku dan Nyi
Genggong tak akan pernah tinggal diam!!"
Kata-kata Ki Pasu Suruan yang diberikan
penekanan cukup keras, membuat Sangga Rantek
dan Iblis Rambut Emas terdiam. Masing-masing
orang merasakan ada satu masukan lain yang dapat
mereka pergunakan.
Sangga Rantek berpikir, "Setelah Pendekar Slebor
terbunuh, berarti potongan pedang itu akan
diperebutkan. Tetapi Iblis Rambut Emas dan Ki Pasu
Suruan sudah berjanji tidak menginginkan benda
itu. Kendati aku tak dapat mempercayainya, tetapi
boleh dicoba. Hanya saja yang masih menjadi
pikiranku, adalah rahasia di Pulau Hitam. Bisa jadi
mereka memaksa untuk tetap menuju ke Pulau
Hitam."
Iblis Rambut Emas berpikir, "Membunuh
Pendekar Slebor juga keinginanku. Dia telah
mempermalukanku. Tetapi mendapatkan potongan
pedang itu pun kuinginkan. Sampai saat ini Sangga
Rantek tidak tahu kalau aku mengetahui potongan
Pedang Buntung yang merupakan pedang bagian
hulu ada padanya. Dan aku yakin, Ki Pasu Suruan
dan Nyi Genggong tak mengetahui hal itu. Bagus!
Dengan cara bergabung, kekuatan akan bertambah.
Membunuh Pendekar Slebor akan lebih mudah. Bila
Pendekar Slebor telah mampus, berarti aku tinggal
membunuh Sangga Rantek. Mengenai Pasu Suruan,
sama sekali tak kupercayai ucapannya. Karena
orang itu dikenal berotak licik. Tetapi aku yakin,
dapat menaklukkannya...."
Karena tak ada yang membuka mulut, Ki Pasu
Suruan menganggap tak ada yang menyetujui
usulnya. Dia berkata pada Nyi Genggong, "Kita
berangkat sekarang!"
"Tunggu! Perempuan berkerudung merah itu
harus membayar perbuatannya!!"
"Tak usah kau pikirkan soal itu! Mereka orang-
orang yang telah menganggap diri masing-masing
memiliki kesaktian tak terkalahkan! Padahal kosong
sama sekali! Dan tak sulit membunuh keduanya!!"
Sementara wajah Sangga Rantek dan Iblis
Rambut Emas mengkelap mendengar ucapan Ki
Pasu Suruan, Nyi Genggong berkata, "Bagaimana
dengan gadis itu?"
Sejenak Ki Pasu Suruan menatap Gadis Kayangan
yang masih pingsan. Ada rasa jengkel karena dia
gagal untuk mempermalukan si gadis.
Lalu katanya yakin, "Kita tinggal saja!"
"Tunggu!!" terdengar suara Iblis Rambut Emas.
Perempuan yang merasa akan mendapatkan
keuntungan bila Nyi Genggong dan Ki Pasu Suruan
bergabung dengannya, sudah tentu tak akan
melewatkan kesempatan di depan mala.
Ki Pasu Suruan hentikan gerakannya dan putar
tubuh.
"Kau tetap ingin bertarung dengan kami, hah?!"
sengalnya keras. Padahal dia tahu, kalau Iblis
Rambut Emas telah tertarik dengan usulnya.
Terlihat jelas dari pancaran kedua mata perempuan
itu.
Iblis Rambut Emas mendengus gusar. "Lama
kelamaan aku tak bisa menahan diri lagi untuk
membunuh manusia celaka ini!" katanya dalam hati.
Lalu berujar, "Usul yang kau berikan memang
sangat menarik. Terus terang, tanpa bergabung
dengan kalian berdua, Pendekar Slebor akan tetap
mampus di tangan kami!" Saat berkata 'kami', Iblis
Rambut Emas melirik Sangga Rantek, sementara
yang dilirik cuma mendengus. Kemudian lanjutnya,
"Tetapi masing-masing orang di antara kita memiliki
dendam pada Pendekar Slebor dan berkeinginan
melihat pemuda itu mam...."
"Siapa bilang aku mendendam pada Pendekar
Slebor?" putus Nyi Genggong. Dari wajahnya yang
menekuk, jelas dia masih gusar dengan Iblis Rambut
Emas yang disangkanya telah menyerang–nya tadi.
"Jangan mencoba memancing...."
"Itu bukan urusanku!" putus Iblis Rambut Emas
membalas memotong kata-kata Nyi Genggong. "Yang
pasti, semua di antara kita menginginkan tiba di
Pulau Hitam untuk mengetahui rahasia apa yang
terpendam di sana. Dengan bersama-sama,
kekuatan kita memang akan bertambah. Hingga
paling tidak, kita dapat menguasai Pulau Hitam.
Yang menjadi masalah adalah, Pendekar Slebor.
Tetapi sekarang, pemuda itu bukanlah masalah
yang harus dipikirkan lebih jauh. Aku setuju dengan
usul Ki Pasu Suruan untuk bergabung! Sangga
Rantek apa pendapatmu?"
Lelaki berhidung bengkok itu terdiam. Nampak
sekali kalau dia sedang mempertimbangkan segala
sesuatu. Kejap kemudian terlihat kepalanya
mengangguk-angguk.
"Memang tak ada salahnya kita mencoba! Dengan
kata lain, kita jangan lagi dihina dan dianggap
remeh oleh orang-orang munafik yang mengaku
berada di jalan lurus! Sudah tiba saatnya kita unjuk
gigi untuk menghadapi masalah ini!"
Mengembang senyum Ki Pasu Suruan melihat
kedua orang itu menyetujui usulnya.
"Kata sepakat sudah dicapai! Nyi Genggong...
apakah kau menyetujui juga usul ini?"
Nyi Genggong tak segera menjawab. Pandangan–
nya masih tajam pada Iblis Rambut Emas,
"Jahanam keparat! Senyuman di bibir perempuan
celaka itu membuatku tak sabar untuk segera
mengepruk kepalanya! Tetapi... apa boleh buat,
untuk saat ini kubiarkan dia lakukan sikap seperti
itu! Ingin kulihat apa yang bisa dilakukannya
bersama Sangga Rantek bila bertemu dengan
Pendekar Slebor!!"
Habis membatin begitu, si nenek berpakaian
hitam compang-camping ini menganggukkan kepala.
"Aku menyetujui usul itu!" Meledak tawa Ki Pasu
Suruan mengetahui semua yang direncanakannya
mencapai kata sepakat. Terbayang sudah kematian
Pendekar Slebor di benaknya. Dan dia sungguh-
sungguh tidak sabar untuk melihat pemuda itu
berkalang tanah.
"Pancen Dadap... tak lama lagi seluruh
dendammu akan terbalaskan..." desisnya dalam
hati.
Kemudian katanya, "Bila memang kesepakatan
sudah dicapai, sebaiknya kita berangkat melacak
pemuda keparat itu!!"
"Tunggu!" desis Sangga Rantek. "Kita tetap seperti
semula! Aku dengan Iblis Rambut Emas, kau dengan
perempuan tua bau tanah itu! Sehingga...."
"Tutup mulutmu!!" menghardik Nyi Genggong
mendengar ucapan orang. Tangan kanannya
mengepal dan agak bergetar tanda dia murka sekali.
Ki Pasu Suruan segera menenangkannya
sementara di depan Sangga Rantek menyeringai
lebar dan melanjutkan kata, "Kesepakatan yang
telah kita capai, hanyalah untuk membunuh
Pendekar Slebor! Sementara urusan lain tetap kita
pegang masing-masing! Iblis Rambut Emas... kita
berangkat sekarang!!"
Habis kata-katanya, lelaki berpakaian serba
hitam itu sudah berlari melalui jalan semula menuju
ke barat daya. Dia tetap berusaha untuk melacak
Pulau Hitam. Iblis Rambut Emas hanya menyeringai
pada Nyi
Genggong dan Ki Pasu Suruan, sebelum
menyusul perginya Sangga Rantek. Perempuan
berambut keemasan yang ditutupi kerudung merah
ini tetap berkeyakinan, kalau Sangga Rantek sedang
mencoba menuju ke Pulau Hitam.
Sepeninggal kedua orang itu, Nyi Genggong
menggeram dingin, "Jahanam keparat! Kelak kalian
akan mendapatkan ganjaran dari sikap kalian saat
ini!!"
Ki Pasu Suruan yang tak ingin menambah
kemarahan Nyi Genggong, cuma tersenyum. Lalu
berkata, "Lupakan segala urusan amarah! Tujuan
kita tetap membunuh Pendekar Slebor! Nyi
Genggong... kita berangkat sekarang! Menyusul
mereka...."
Nyi Genggong hanya mendengus dan mengikuti
langkah Ki Pasu Suruan yang bergerak ke arah
barat daya.
***
Lima tarikan napas sepeninggal orang-orang itu,
muncul seorang lelaki tua agak membungkuk. Lelaki
berwajah arif ini menggeleng-gelengkan kepala
begitu melihat sosok Gadis Kayangan yang masih
pingsan.
"Hmmm... dari kejauhan sudah kudengar rencana
busuk manusia-manusia durjana itu. Sasaran
mereka adalah Pendekar Slebor. Ah, sungguh
malang nasib pemuda yang kudengar julukannya
akhir-akhir ini bertambah santer. Pulau Hitam... ya,
ya... Pulau Hitam. Rupanya masih ada orang-orang
yang ingin mengetahui rahasia apa yang tersimpan
di Pulau Hitam...."
Lelaki berpakaian panjang warna jingga ini
mengasap jenggotnya yang memutih. Saat mengusap
jenggotnya, terlihat di pergelangan tangan kanannya
terdapat gelang-gelang baja hingga siku. Begitu pula
dengan di tangan kirinya.
Hati-hati didekatinya Gadis Kayangan. Hanya
sekali melihat, si kakek berwajah arif ini tahu kalau
gadis itu dalam keadaan tertotok.
"Malang nasib gadis ini...," desisnya teduh. Lalu
nampak dia meniup tiga kali. Dan terlihat tiga kali
tubuh Gadis Kayangan terjingkat.
Luar biasa! Rupanya si kakek melepaskan
totokan yang dilakukan Nyi Genggong pada Gadis
Kayangan hanya dengan cara meniup.
Bahkan lebih mengagumkan lagi, karena begitu
tangan kanannya digerakkan ke atas, tubuh Gadis
Kayangan perlahan-lahan terangkat naik yang
segera ditangkap dan dibopongnya.
"Pulau Hitam... mereka termasuk orang-orang
yang masih menginginkan untuk mengetahui
rahasia Pulau Hitam...."
Habis desisannya, si kakek berwajah arif ini
segera melangkah meninggalkan tempat itu ke arah
timur laut. Baru lima tindak orang tua ini
melangkah, mendadak saja sosoknya telah lenyap
dari pandangan!
***
Pagi kembali datang dan tebarkan udara sejuk ke
segenap persada. Sang surya perlahan-lahan mulai
muncul kepermukaan seraya lepaskan panah
merahnya yang masih terasa suam-suam kuku.
Hamparan langit cukup cerah. Sisa-sisa burung
yang masih mengangkasa, seolah lukisan yang hiasi
persada langit.
Belum lagi butiran embun mengering, belum lagi
burung-burung beterbangan, mendadak saja jalan
setapak yang dipenuhi ranggasan semak belukar itu
dipecahkan oleh suara kuda dipacu cepat.
Dari kejauhan nampak seekor kuda hitam gagah
berlari kencang. Dari setiap jalan yang dilaluinya,
nampak kepulan debu mengudara. Penunggangnya
yang mengenakan pakaian hijau pupus terlihat
terus berucap, agak konyol, "Ayo, kuda! Jangan mau
enaknya saja! Kita terus cabut lebih jauh dari
tempat ini!!"
Melewati jalan setapak itu, si penunggang kuda
yang tak lain Pendekar Slebor, terus memacu kuda
milik Hampar Gandeng yang diambilnya. Dengan
cara menunggang kuda, tenaganya lebih banyak
tersimpan ketimbang harus berlari.
Di sebuah sungai yang mengalirkan air jernih,
anak muda urakan itu hentikan lari kuda
tunggangannya, yang seketika meringkik dengan
kedua kaki terangkat.
Bersamaan dengan itu, anak muda ini telah
melompat dan hinggap di atas tanah. Pandangannya
diperhatikan ke sekelilingnya yang sepi. Beberapa
ekor kelinci langsung masuk kembali ke sarangnya
begitu mendengar derap langkah kuda. Beberapa
helai daun berguguran dan jatuh ke sungai yang
secara perlahan namun pasti mau tak mau
mengikuti aliran sungai itu.
"Hmmm... belum juga kutemukan lembah yang
tertera pada potongan pedang milik Gadis Kayangan.
Memang tak mudah menuju ke Pulau Hitam hanya
dengan pedoman sepihak. Jalan satu-satunya
memang harus mendapatkan potongan Pedang
Buntung yang dipegang Sangga Rantek. Tetapi,
manusia itu pun tak kuketahui berada di mana. Ih!
Sebenarnya ada apa sih di Pulau Hitam? Semakin
dipikirkan, semakin butek otakku ini!!"
Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal. Sembari berpikir, dituntunnya kuda hitam itu
untuk menikmati rerumputan yang berada di sana.
Kembali diedarkan pandangan ke sekelilingnya.
Tetap sunyi dan tak ada tanda-tanda orang lain di
sekitar sana kecuali dirinya dan... ya, bersama si
kuda tuh!
"Pulau Hitam.... Dari namanya saja sudah
menampakkan kengerian yang dalam. Dan
tempatnya hingga saat ini tak juga kuketahui.
Benar-benar kutu monyet! Apa yang sebenarnya
menjadi rahasia Pulau Hitam? Huh! Nasib Gadis
Kayangan hingga saat ini masih membingungkanku!
Siapa orang yang telah mencelakakannya?! Dan hal
lain yang masih harus kupikirkan, bagai mana bila
dua orang yang mengaku Panembahan Agung
berada di sana? Sudah pasti sih mereka akan
berlangsung. Tetapi kan aku ingin tahu siapa yang
asli dan siapa yang palsu?"
Kembali anak muda ini garuk-garuk kepalanya.
"Menurut dugaanku, yang palsu adalah Dewa
Lautan Timur. Tetapi yang mana orangnya? Apakah
yang mendapatkan pecahan genting bertuliskan
huruf 'PS' agak kehitaman atau yang satunya lagi?
Mati kutu aku kali ini!!"
Mendumal tak karuan si anak muda. Otaknya
terus diperas untuk memikirkan masalah demi
masalah yang terjadi. Bahkan tak dihiraukannya
perutnya yang sudah keroncongan dan tubuh yang
agak lengket.
Karena kalau dia mencari makanan atau mandi
dulu, akan banyak waktu yang terbuang. Padahal
dia harus memburu waktu untuk menuntaskan
semua persoalan yang ada.
"Lembah... ya, lembah itulah yang harus kucari.
Tetapi sudah tentu sangat sulit bila tak kudapatkan
Pedang Buntung pada Sangga Rantek. Tetapi... apa
yang tertera dalam potongan pedang di tangan Gadis
Kayangan, memang menuju ke arah barat. Tengah
malam tadi, yang kujumpai hanyalah sebuah air
terjun belaka. Kupikir sebuah lembah! Kampret
mati!!"
Memang, pada tengah malam tadi, Andika telah
tiba di air terjun yang merupakan patokan pertama
menuju ke Pulau Hitam. Dan anak muda ini
sekarang sudah berada pada arah barat daya dari
air terjun itu. Bila saja dia tahu kalau air terjun
yang ditemuinya adalah tanda pertama menuju ke
Pulau Hitam, sudah tentu dia tak akan sebingung
ini.
Kemudian katanya lagi, "Sudah, ah! Kalau kupikir
kan terus menerus di tempat ini, semakin banyak
waktu ku yang terbuang! Lebih baik kulanjutkan
perjalanan."
Lalu dihampirinya kuda hitam yang lagi asyik
merumput. Ditepuknya punggung kuda itu dengan
lembut.
"Sudah kenyang belum. Da? Kalau sudah, kita
cabut! Kalau belum, maaf banget nih, kita juga
harus cabut sekarang!!"
Ya sudah tentu si kuda tidak mengerti apa yang
diucapkan oleh Andika. Dia tetap saja asyik
merumput.
"E, busyet! Perutmu ternyata perut karung juga,
ya? Sudahlah! Nanti kau boleh makan sepuas-
puasmu! Kita teruskan perjalanan sekarang!!"
Lalu dengan enaknya dia nyemplak kembali di
punggung kuda hitam itu. Setelah diarahkan ke
tujuan yang diinginkannya, anak muda ini segera
menggebrak kudanya.
Tepat matahari di atas kepala, anak muda ini
melihat dua buah bukit dari kejauhan. Dan saat ini
dia sedang menjajaki hamparan padang rumput
yang luas.
"Kutu monyet! Kenapa bukan lembah yang
kuharapkan yang dapat kutemui! Semalam air
terjun, sekarang dua buah bukit! Busyet! Kok
berlawanan banget ya?" desisnya seraya menggebrak
terus kudanya menuju ke bukit itu.
Sejarak lima puluh tombak, Andika dapat melihat
keangkeran kedua bukit itu. Saat ini matahari
sedang galak-galaknya bersinar. Dari kedua bukit
itu, seolah terlihat cahaya yang sangat terang,
rupanya bukit itu memantulkan sinar matahari.
Sejarak sepuluh tombak, barulah Andika melihat
lebih jelas keadaan bukit itu. Ternyata bukit
kapur yang dipenuhi dengan batu-batu terjal.
"Pantas... seperti menyala," desisnya seraya
hentikan lari kudanya.
Diperhatikan dengan seksama apa yang ada di
hadapannya. Cukup lama pandangannya tetap
mengarah pada bukit itu sebelum terlihat
mengangguk-anggukkan kepala.
"Pertama air terjun... kedua dua buah bukit
kapur.... Ih! Kok tempat-tempat semacam ini yang
kutemui ya? Apa tidak ada tempat yang banyak
ditumbuhi pohon buah biar perutku agak keganjal
sedikit?"
Lalu perlahan-lahan si Urakan ini turun dari
kuda tunggangannya. Sambil melangkah ke depan,
diperhatikan kedua bukit itu lekat-lekat.
"Dari kejauhan... nampak seperti bukit kembar.
Tetapi setelah dekat, wah! Apanya yang kembar?"
Untuk beberapa saat anak muda ini masih
berdiam di atas tanah berkapur yang dipijaknya.
Dan semakin lama nampak keningnya berkerut.
"Hmmm... apakah ini memang sebuah kebetulan?
Air terjun... dua bukit kapur... atau...."
Sengaja memutus kata hatinya sendiri, Andika
terdiam lagi. Nampak kalau dia berpikir keras.
"Bila memang ini hanya kebetulan tak jadi
masalah. Tetapi bagaimana bila tidak? Anggaplah air
terjun dan dua buah bukit kapur ini sebagai
petunjuk menuju ke Pulau Hitam. Dan... ah,
menganggap seperti itu tidak enak, ah. Mungkin ini
hanya kebetulan saja. Sebaiknya aku berangkat saja
sekarang."
Berbalik pemuda tampan berambut gondrong
acak-acakan ini. Namun baru tiga langkah,
mendadak kembali diputar tubuhnya menghadap ke
arah dua bukit kapur itu.
"Bagaimana bila ini memang sebuah petunjuk?
Petunjuk menuju ke Pulau Hitam. Hmmm...
sebaiknya ku anggap saja begitu."
Karena menganggap seperti itu, diingat-ingatnya
kembali apa yang tertera pada potongan pedang
yang dimiliki oleh Gadis Kayangan. Dan Andika
tidak dapat memastikan apakah potongan pedang
itu masih berada di tangan si gadis atau tidak.
"Dari apa yang kuketahui... pada pokoknya harus
menuju ke arah barat sebelum akhirnya ke selatan.
Pada potongan pedang di tangan Gadis Kayangan,
patokan yang pertama kali diketahui adalah sebuah
lembah. Tetapi ku yakini harus menuju ke barat
sebelum... ah! Tak salah! Air terjun dan dua bukit
kapur ini bukankah sebuah kebetulan. Ini memang
menjadi patokan. Tetapi, arah mana yang sekarang
harus kutempuh?"
Kembali Pendekar Slebor terdiam memikirkan
segala sesuatunya. Cukup lama dia terdiam sebelum
akhirnya mendesah, "Sulit kuketahui secara pasti.
Tetapi paling tidak, aku telah mendapatkan sedikit
petunjuk yang berarti. Hanya saja... masih
kupikirkan nasib Gadis Kayangan. Di manakah dia
sekarang? Apa yang dialaminya? Lagi pula, siapa
orang di belakang Setan Cambuk Api yang sengaja
menahan langkahku?"
Garuk-garuk kepala sendiri si Urakan ini sebelum
melanjutkan, "Persoalan masa lalu Panembahan
Agung dan Dewa Lautan Timur masih belum
terjawab. Sekarang aku bertambah yakin, kalau
Dewa Lautan Timur menyuruh tiga orang
berpakaian hitam gombrang untuk menjarah harta
milik Panembahan Agung, hanyalah pancingan
belaka. Mungkin untuk meyakinkan kalau
Panembahan Agung memang tinggal di
Pesanggrahan Bayu Api. Sementara dia sengaja
melakukan sesuatu yang dapat kupastikan, kalau
dia tengah mempersiapkan diri untuk menyamar
sebagai Panembahan Agung. Tetapi, yang manakah
Dewa Lautan Timur? Huh! Ingin sekali kulihat
seperti apa wajah aslinya!!"
Baru saja habis terdengar kata-kata Pendekar
Slebor, mendadak saja tawa keras menggema ke
seantero tempat. Beberapa bongkah batu kapur
bergulingan berdebam.
Menyusul suara dingin, "Tak perlu bersusah
payah untuk mengenali adanya orang! Dengan
senang hati ku perlihatkan diriku padamu, Pendekar
Slebor!!"
Belum habis seruan itu terdengar, mendadak
telah berdiri satu sosok tubuh tinggi bersorban kuning....
SELESAI
Segera menyusul:
TABIR PULAU HITAM
0 comments:
Posting Komentar