"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 03 Agustus 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE CINTA DALAM KUTUKAN

Cinta Dalam Kutukan



CINTA DALAM KUTUKAN

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit


1


Masing-masing orang yang berada di tempat yang 

dipenuhi pepohonan namun kini sudah banyak yang 

tumbang itu, tak ada yang membuka suara. Pandan-

gan mereka ditujukan pada sebuah lubang yang terjadi 

akibat meledaknya Patung Kepala Singa. Dan di atas 

lubang itu nampak luruhan abu yang pancarkan ca-

haya perak bergerak turun naik.

Saat ini hari semakin senja. Udara agak dingin. 

Dan tak seorang pun yang berniat meninggalkan tem-

pat itu. Nawang Wangi yang masih tergeletak akibat li-

litan hawa dingin yang dilepaskan oleh Bocah Liar pun 

berusaha untuk angkat kepalanya. Sementara itu, Tri 

Sari yang mengalami nasib yang sama pun berbuat se-

rupa.

Pendekar Slebor yang berdiri sejarak tujuh lang-

kah dari luruhan abu yang turun naik itu diam-diam 

menarik napas pendek seraya membatin, "Seperti yang 

kuduga selama ini, jelas rahasia Patung Kepala Singa 

berada di balik abu itu. Luruhan abu... luruhan abu.... 

Tetapi, tak ada yang menarik selain luruhan abu yang 

bergerak turun naik...."

Sementara itu, lelaki tua namun bertampang bo-

cah yang tingginya hanya sebahu Andika pun memba-

tin dengan pandangan tak berkedip pada luruhan abu 

itu, "Patung Kepala Singa telah menjadi abu.... Tetapi 

yang mengherankan, mengapa luruhan abu itu turun 

naik?"

Di sebelah kiri lelaki yang tingginya sebahu yang 

tak Iain Bocah Liar adanya, berdiri Dewi Selendang Hi-

tam yang juga sedang arahkan pandangan pada luru-

han abu itu.

"Celaka! Patung Kepala Singa telah menjadi abu!

Sulit menentukan rahasia apa yang ada sebenarnya?"

Sementara itu, perempuan berpakaian kuning 

bersih yang di pinggangnya melilit selendang warna hi-

tam pun membatin, "Sungguh sangat disayangkan.... 

Patung Kepala Singa telah menjadi abu. Padahal, ra-

hasia yang tersimpan di dalamnya belum terbuka. Ra-

sanya... rahasia itu telah dan akan tertutup rapat da-

lam-dalam...."

Di sebelah perempuan berpakaian kuning bersih 

yang tak lain Bidadari Tangan Bayangan yang sedang 

mengatur nafasnya, lelaki tinggi besar berpakaian abu-

abu terbuka di bahu kanan membatin dengan tubuh 

agak gemetar, "Nampaknya... aku melihat apa yang 

pernah diceritakan Eyang Kapi Pitu puluhan tahun 

yang lalu. Sebuah pohon aneh yang pancarkan cahaya 

perak, lalu dari dalam cahaya itu seperti terdapat lu-

ruhan abu, dan kemudian saat ditebang mendadak 

muncul Patung Kepala Singa. Dan sekarang... patung 

itu telah menjadi abu. Apakah sesungguhnya rahasia 

Patung Kepala Singa ada di balik abu itu?"

Untuk beberapa lamanya orang-orang yang berada 

di sana tak keluarkan suara. Masing-masing orang 

masih terpaku dengan kejadian yang ada di hadapan 

mereka.

Seperti pernah diceritakan dalam episode, "Raha-

sia Di Balik Abu", pertarungan sengit terjadi. Saat itu 

Dewi Selendang Hitam yang telah berhasil merebut Pa-

tung Kepala Singa dari tangan Tri Sari sekaligus men-

galahkan Bidadari Tangan Bayangan, bermaksud un-

tuk menghancurkan Patung Kepala Singa, karena ber-

pikir kalau rahasia patung itu terdapat di dalamnya.

Namun sebelum dilakukannya, mendadak saja 

muncul Bocah Liar yang ternyata adalah gurunya na-

mun tak mau disebut guru. Bocah Liar ternyata men-

cintai Dewi Selendang Hitam. Kemudian muncul Nawang Wangi yang sebelumnya diselamatkan oleh Dewa 

Suci dari perbuatan terkutuk Gendala Maung.

Dengan kesaktiannya yang tinggi, Bocah Liar ber-

hasil menjatuhkan Nawang Wangi. Sebelum dia mem-

permalukan Nawang Wangi, muncul Bidadari Tangan 

Bayangan dan Tri Sari. Pertarungan sengit terjadi.

Tri Sari dengan mudah berhasil dijatuhkan oleh 

Bocah Liar. Sementara Bidadari Tangan Bayangan 

yang tak kuasa lagi untuk hindari serangan maut Dewi 

Selendang Hitam, diselamatkan oleh Pendekar Slebor.

Saat itulah Pendekar Slebor yang telah menyam-

bar Patung Kepala Singa dari tangan Dewi Selendang 

Hitam, membuka kedok perempuan berpakaian hitam 

gombrang yang ternyata adalah Nyi Dungga Ratih. Per-

tarungan sengit pun terjadi kembali sampai muncul-

nya Kepala Besi yang menyambar Patung Kepala Singa 

tatkala Andika melemparkannya pada Bidadari Tangan 

Bayangan dan Bocah Liar bermaksud mendapatkan-

nya.

Hingga kemudian Patung Kepala Singa terpental.

Bocah Liar cepat menyambarnya. Bersamaan den-

gan itu, Andika pun menangkapnya. Patung Kepala 

Singa kini dipegang oleh masing-masing orang yang 

sama-sama kerahkan tenaga dalam. Karena kuatnya 

pengaruh tarik menarik antara tenaga dalam kedua-

nya, patung itu pun pecah menjadi luruhan abu yang 

sekarang turun naik dan keluarkan cahaya perak.

Suasana hening itu terpecahkan oleh suara Nyi 

Dungga Ratih alias Dewi Selendang Hitam, "Patung 

Kepala Singa telah menjadi luruhan abu yang tak ber-

guna! Rasanya tak perlu lagi perpanjang urusan soal 

Patung Kepala Singa!" Lalu perlahan-lahan pandan-

gannya ditujukan pada Pendekar Slebor. Sambil me-

nuding dia berseru dengan suara menggeram, "Pemuda 

celaka! Kaulah perusak dari semua rencanaku ini! Berarti, kau tetap akan mampus, Pendekar Slebor!!"

Pemuda berbaju hijau pupus yang di lehernya me-

lilit kain bercorak catur itu cuma nyengir saja. Anca-

man maut Nyi Dungga Ratih seolah dianggap angin la-

lu belaka.

Menyusul terdengar suaranya sambil garuk-garuk 

kepalanya yang tidak gatal, "Mau mampus atau tidak 

sih itu urusan Yang Maha Kuasa! Eh, bagaimana kalau 

kau dulu yang mampus? Setelah itu, baru kau ajak 

aku!"

Lalu sambungnya dalam hati, "Ternyata... begitu 

banyaknya orang-orang yang dibutakan oleh nafsu me-

reka sendiri. Pertumpahan darah hampir terjadi gara-

gara Patung Kepala Singa! Dan sekarang, setelah pa-

tung itu hancur menjadi luruhan abu yang cukup 

mengherankan karena naik turun seperti itu, semua-

nya seperti dilupakan! Padahal aku yakin... sesung-

guhnya rahasia Patung Kepala Singa terdapat pada lu-

ruhan abu itu...."

Di seberang, Dewi Selendang Hitam kian mengke-

lap.

"Pemuda celaka! Kau telah menantang badai!!"

"Busyet! Sejak tadi kan kita belum bertarung? 

Nah! Ayolah kita mulai sekarang! Jadi gatal nih tan-

ganku ingin menutup mulutmu yang nyinyir itu! Cuma 

tidak, ah! Banyak penyakit!"

Bergetar tubuh Dewi Selendang Hitam tanda ke-

marahan kian menanjak mendengar ejekan pemuda di 

hadapannya. Namun sebelum dia membuka mulut dan 

lancarkan serangan, mendadak saja terdengar suara 

Bocah Liar, "Dewi... atau siapa pun namamu.... Jangan 

berlaku bodoh! Kau tak boleh melepaskan niat dari Pa-

tung Kepala Singa yang telah menjadi luruhan abu! Ti-

dakkah kau lihat pandangan lelaki berkepala plontos 

itu? Dia sepertinya seolah melihat sesuatu di balik abu

itu!"

Kepala Besi yang dimaksud oleh Bocah Liar me-

lengak sesaat. Lalu buru-buru diubah cara meman-

dangnya pada luruhan abu yang masih turun naik.

Lelaki tinggi besar berkepala plontos ini sebenar-

nya sedang memikirkan rahasia apa yang sesungguh-

nya ada pada Patung Kepala Singa. Dia sedang men-

gingat-ingat apa yang pernah diceritakan oleh gu-

runya, Eyang Kapi Pitu. Kepala Besi pun tiba pada ke-

simpulan, kalau rahasia itu memang terletak pada lu-

ruhan abu yang turun naik.

Lalu dia berkata, "Lelaki tua bertampang bocah!

Manusia dianugerahkan sepasang mata untuk melihat! 

Urusan bagaimana caraku memandang luruhan abu 

itu, bukan urusanmu! Lebih baik kau tinggalkan tem-

pat ini sebelum celaka!!"

Meradang Bocah Liar mendengar kata-kata orang. 

Namun untuk sesaat ditahan segala amarahnya kecua-

li kertakkan rahang. Kemudian terdengar kata-

katanya, "Jangan berlaku bodoh hingga dapat dikela-

bui orang-orang itu! Dewi... periksa luruhan abu itu! 

Aku yakin, di balik luruhan abu itulah terdapat raha-

sia Patung Kepala Singa!!"

Dewi Selendang Hitam yang mendendam pada 

Pendekar Slebor karena pemuda itulah yang mengga-

galkan semua rencananya, sesaat pandangi dulu Bo-

cah Liar.

Diam-diam perempuan tua ini membatin, "Raha-

sia itu terdapat di balik abu? Rahasia apa sebenarnya? 

Aku tak menangkap sesuatu yang menarik dalam lu-

ruhan abu itu...."

"Dewi! Turuti kata-kataku!!" terdengar bentakan 

Bocah Liar cukup keras.

Dewi Selendang Hitam alias Nyi Dungga Ratih me-

lotot gusar. Namun tatkala pandangannya bentrok

dengan pancaran tajam mata Bocah Liar, buru-buru 

diarahkan pandangannya ke tempat lain.

Kejap berikutnya, dia sudah bergerak untuk men-

dekati luruhan abu yang turun naik. Namun baru dua 

langkah, mendadak saja satu gelombang angin telah 

menggebrak ke arahnya.

Seketika itu pula Dewi Selendang Hitam angkat ke-

palanya. Menyusul digerakkan kakinya setengah ling-

karan. Hamparan angin pun menderu dan melabrak 

gelombang angin yang siap menghantamnya tadi. 

Blaaarrr!!

Tanah di mana bertemunya dua gelombang angin 

itu muncrat ke udara. Belum lagi sirap, orang yang ta-

di lepaskan hantaman untuk menahan gerakan Dewi 

Selendang Hitam sudah berkelebat ke arah luruhan 

abu.

Namun mendadak saja dia memutar tubuh dan 

kembali ke tempat semula, tatkala merasakan hawa 

dingin menderu dan siap melilit kedua kakinya.

"Keparat!!" maki orang ini yang tak lain Kepala Be-

si adanya pada Bocah Liar.

"Kau membuat kegusaranku menjadi naik, Kepala 

Besi! Tak seorang pun kuizinkan mencelakakan pe-

rempuan yang kucintai!!" maki Bocah Liar keras.

Kepala Besi yang merasa harus cepat menda-

patkan luruhan abu itu (sesungguhnya dia tak tahu 

mengapa), tak mau membuang waktu. Saat itu pula 

tubuhnya meluruk dengan kepala agak membungkuk, 

menderu ke arah Bocah Liar.

Sebelum Bocah Liar menghindar atau bergerak 

memapaki, dua sinar putih bening yang keluarkan ha-

wa panas sudah menggebrak. Rupanya, Bidadari Tan-

gan Bayangan yang sebelumnya menuduh Kepala Besi 

adalah orang yang telah lakukan pembantaian di Kuil 

Putra Langit sudah lancarkan serangan pula. (Untuk

mengetahui soal tuduhan itu, silakan baca: "Patung 

Kepala Singa").

Bocah Liar menggeram murka. Mendadak saja dia

melompat ke samping kanan, menyusul lakukan satu 

putaran cepat. Tatkala hinggap di atas tanah, dia bu-

kan bertumpu pada kedua kakinya, melainkan pada 

kedua tangannya!

Kejap itu pula kedua kakinya yang kini tegak lu-

rus dengan langit membuat gerakan memutar-mutar. 

Hamparan angin dingin menderu-deru kencang ke 

arah Kepala Besi dan Bidadari Tangan Bayangan yang 

cepat menghindar.

Sementara itu, Dewi Selendang Hitam yang sejak 

lama mendendam pada Kepala Besi dan pernah dike-

labui oleh lelaki itu yang disangkanya telah tewas pa-

dahal belum, segera menggebrak ke arah Kepala Besi 

yang sedang membuang tubuh.

Terkesiap Kepala Besi mendapati serangan ganas 

itu. Dan diam-diam lelaki tinggi besar yang beberapa 

kali dipecundangi oleh Dewi Selendang Hitam menjadi 

pias. Namun dia berusaha tindih segala kejeriannya.

Dengan gerakan-gerakan cepat yang sebenarnya 

mengandung kenekatan, Kepala Besi mencoba memba-

las. Sementara itu, menghadapi Bocah Liar seorang di-

ri, sudah tentu sangat tidak menguntungkan bagi Bi-

dadari Tangan Bayangan. Dalam dua jurus saja dia 

sudah dibuat pontang-panting dengan serangan-

serangan ganas itu.

Di tempatnya, pemuda urakan dari Lembah Kutu-

kan menarik napas pendek.

"Urusan ini ternyata memang belum tuntas. Kare-

na rahasia apa yang terdapat pada luruhan abu itu be-

lum diketahui. Aku harus menolong keduanya. Teta-

pi... lebih baik kubebaskan dulu Nawang Wangi dan 

Tri Sari...."

Memutuskan demikian, dengan cepat Andika ber-

gerak mendekati Nawang Wangi dan Tri Sari. Dia men-

coba membebaskan masing-masing gadis dengan 

mempergunakan tenaga 'Inti Petir' tingkat ketiga belas. 

Namun di luar dugaannya, tak semudah itu dilakukan. 

Sementara dilihatnya bagaimana Bidadari Tangan 

Bayangan yang sudah terdesak hebat.

Tak mau mengambil resiko yang berbahaya, Andi-

ka lakukan satu tindakan yang mengejutkan. Tangan 

kirinya memegang ibu jari Nawang Wangi seraya alir-

kan tenaga 'Inti Petir' tingkat kesepuluh. Sementara 

itu, tangan kanannya dengan cepat melepaskan lilitan 

kain bercorak catur dari lehernya.

Kejap itu pula dikibaskannya kain bercorak catur

itu.

Wrrrrr!!

Suara gemuruh laksana ribuan tawon marah 

mendengung mengerikan. Menyusul gelombang angin 

yang sangat dahsyat menggebrak ke arah Bocah Liar 

yang siap lepaskan tendangan mautnya ke kepala Bi-

dadari Tangan Bayangan.

Desss!!

Gelombang angin dahsyat yang keluar dari kain 

bercorak catur milik Andika, tepat menghantam tubuh 

Bocah Liar yang sesaat nampak terseret dan goyah 

saat berdiri tegak di atas tanah. Sementara itu, tanah 

dan ranggasan semak belukar yang tercabut akibat de-

rasnya gelombang angin yang ditimbulkan kain berco-

rak catur, terlempar jauh. Menyusul terdengar suara 

berderak dan menggemuruh. Sebuah pohon telah 

tumbang.

Saat itu pula nampak wajah Bocah Liar berubah 

memerah. Parasnya begitu dingin dengan rahang ter-

katup rapat. Kejap berikutnya, mendadak saja dia ge-

rakkan kedua tangannya ke atas. Lalu perlahan-lahan

dirangkapkan kedua tangannya di depan dada.

Kejap itu juga terjadi perubahan sekaligus keane-

han pada diri lelaki bertampang bocah itu. Kalau sejak 

semula nampak kulitnya berwarna agak putih, kali ini 

lambat laun berubah menjadi hijau. Dan seluruh tu-

buhnya berubah menjadi hijau. Rupanya lelaki ini te-

lah kerahkan ajian pamungkasnya 'Hutan Perangkap 

Harimau'!

Di tempatnya, Andika yang telah berhasil membe-

baskan Nawang Wangi dari lilitan hawa dingin Bocah 

Liar berdiri tegak dengan pandangan tak berkedip. La-

lu dilihatnya Bidadari Tangan Bayangan yang sem-

poyongan sambil memegang dadanya. Menyusul pe-

rempuan berpakaian kuning bersih itu ambruk, tepat 

jatuh di sebuah pohon hingga dia mau tak mau harus 

bersandar dengan napas mendengus-dengus.

Andika mengarahkan pandangannya pada Kepala 

Besi yang sedang kalang kabut akibat sinar-sinar hi-

tam yang dilepaskan Nyi Dungga Ratih. Kejap berikut-

nya, pandangannya diarahkan pada luruhan abu yang 

sejak tadi tetap turun naik.

Mendadak pandangan Andika berubah dengan se-

pasang mata menyipit. Baru disadarinya kalau luru-

han abu itu tak berubah sama sekali. Padahal tadi, ge-

lombang angin dahsyat yang keluar dari kain bercorak 

catur, tentunya melewati luruhan abu itu.

"Luar biasa! Sungguh menakjubkan! Aku semakin 

yakin... kalau rahasia Patung Kepala Singa terdapat 

pada luruhan abu itu...," desisnya dalam hati dan per-

lahan-lahan pandangannya diarahkan pada Bocah Liar 

yang seluruh tubuhnya telah berubah menjadi hijau. 

Wajahnya pun kian mengangker. Andika sadar betul 

apa yang akan terjadi. "Nampaknya... bahaya sudah 

datang. Kalau begitu keadaannya, sulit bagiku untuk 

menyelamatkan orang-orang yang berada di sini...."

Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan 

ini mendesah masygul dan membatin lagi, "Biar ba-

gaimanapun juga, aku harus bisa menyelamatkan se-

muanya...." Kemudian dia berkata pada Nawang Wangi 

yang telah berdiri. "Nawang Wangi... bawa Tri Sari 

menjauh dari sini.... Setelah itu, bawa tubuh gurumu 

menjauh pula dari sini...."

Nawang Wangi yang sebenarnya mendendam pada 

Bocah Liar, hanya menganggukkan kepalanya. Disada-

rinya betul kesaktian yang dimiliki lelaki bertampang 

bocah itu. Gurunya saja dapat dikalahkan, bagaimana 

dengan dirinya.

Berpikir demikian, murid Bidadari Tangan Bayan-

gan ini perlahan-lahan membopong tubuh Tri Sari 

yang juga terkena lilitan hawa dingin Bocah Liar.

Namun begitu dia melangkah dua tindak, menda-

dak saja terdengar suara menggelegar yang seolah co-

ba rentakkan tempat itu, "Diam di tempatmu!!"

Menyusul kabut berwarna hijau pekat bergulung-

gulung dan keluarkan suara menggidikkan ke arah 

Nawang Wangi.

***

2


Terkesiap alang kepalang Nawang Wangi menda-

pati kabut-kabut hijau itu telah meluncur deras ke 

arahnya, hingga tanpa sadar dia menjerit nyaring. Ba-

gai seekor kelinci yang terjebak perangkap serigala, 

Nawang Wangi hanya terpaku di tempatnya. Bidadari 

Tangan Bayangan cepat palingkan kepalanya dengan 

kedua mata terpentang lebih lebar, nampak dia beru-

saha untuk menolong namun kelihatan tak sanggup.Bersamaan dengan itu, Tri Sari yang berada dalam bo-

pongan Nawang Wangi berteriak, "Menghindar!! Cepat 

menghindar!!"

Tetapi Nawang Wangi seperti tergugu, hingga tak 

mampu gerakkan kedua kakinya untuk hindari seran-

gan kabut hijau pekat itu.

Dalam keadaan yang kritis bagi gadis berpakaian 

biru kehijauan itu, mendadak saja terdengar suara 

mendengung laksana ribuan tawon murka, menyusul 

dengan menyambarnya angin dahsyat ke arah kabut 

hijau itu. Kejap berikutnya terdengar letupan yang 

sangat luar biasa dan muncratnya kabut hijau ke ber-

bagai arah.

Blaaammm!

Rupanya Andika sudah menyabetkan kain berco-

rak caturnya.

Seperti disadarkan oleh letupan yang keras itu, 

Nawang Wangi seolah mendapat kekuatannya kembali.

Dengan cepat murid Bidadari Tangan Bayangan 

ini, melompat ke samping kiri. Bila tidak dilakukan, 

maka muncratnya kabut hijau itu akan menghantam-

nya. Terbukti beberapa pohon langsung hangus tatkala 

terhantam muncratan kabut hijau itu. Berhasil meng-

hindar, Nawang Wangi membawa tubuh Tri Sari men-

jauh. Kemudian kembali lagi dan menyambar tubuh 

gurunya. "Kita menghindar dulu. Guru...."

Tak ada yang bisa dilakukan oleh Bidadari Tangan 

Bayangan kecuali menganggukkan kepala. Diam-diam 

perempuan berpakaian kuning bersih ini mendesah le-

ga melihat muridnya tak kurang suatu apa.

Sementara itu kendati berhasil menggagalkan niat 

keji Bocah Liar, Pendekar Slebor sendiri harus ter-

huyung ke belakang. Astaga! Padahal di saat mengge-

rakkan kain bercorak catur yang sebenarnya memiliki 

kesaktian sendiri, Andika telah alirkan tenaga 'Inti Petir'. Namun akibat benturan tadi itu, dia merasa tan-

gan kanannya seperti tersengat hawa panas. Padahal 

tak terasa ada hawa panas yang keluar di saat kabut 

hijau itu dilepaskan. Ini menandakan betapa dahsyat-

nya tenaga yang terpancar dari kabut hijau ganas tadi.

Di tempatnya, si pemilik ajian 'Hutan Perangkap 

Harimau' tertawa nyaring.

"Sungguh menyenangkan sekali! Permainan akan 

segera dimulai!!"

Habis seruannya, mendadak saja dia menerjang ke 

arah Andika dengan lepaskan ajian 'Hutan Perangkap 

Harimau' lagi. Saat itu pula menggebrak beberapa ka-

but hijau yang keluarkan suara mengerikan ke arah 

Andika.

Sadar akan bahaya yang datang, pemuda pewaris 

ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini segera bertindak 

sigap. Kain bercorak caturnya kembali digerakkan be-

rulang kali. Hingga kemudian beberapa kali terdengar 

letupan-letupan yang sangat keras. Menyusul reng-

kahnya tanah dan terbongkarnya ranggasan semak be-

lukar. Belum lagi akibat pecahnya kabut-kabut hijau 

itu, yang bagaikan anak panah menghantam ke sana 

kemari.

Sementara itu, serangan Dewi Selendang Hitam 

yang sedang mencecar Kepala Besi justru menjadi ka-

cau balau, setelah pecahan kabut hijau itu melesat 

dan siap menghantam kepalanya. Bila saja perempuan 

tua ini tak merunduk, niscaya kepalanya akan reng-

kah seketika.

Saat itu pula terdengar makiannya gusar menyu-

sul dihentikan serangannya pada Kepala Besi. Kepala 

Besi sendiri yang terengah-engah mendapati serangan 

ganas tadi, perlahan-lahan surut lima langkah ke be-

lakang. Kesempatan itu dipergunakan untuk mengatur 

jalan nafasnya. Sekujur tubuhnya terasa ngilu bukan

main. Terutama kaki kanannya yang sempat terserem-

pet sinar hitam yang dilepaskan Dewi Selendang Hi-

tam.

Kalau tadi pandangan Dewi Selendang Hitam alias 

Nyi Dungga Ratih mengkelap karena niatnya secara 

tak sengaja terhalang, kali ini sepasang matanya me-

mancarkan sinar berkilat-kilat tatkala melihat bagai-

mana lelaki bertampang bocah itu mencecar ganas ke

arah Pendekar Slebor.

Senyumannya mengembang saat berkata dalam 

hati, "Nama besarmu akan terpuruk saat ini juga, Pen-

dekar Slebor...."

Pendekar Slebor sendiri yang dibuat kalang kabut 

oleh serangan-serangan ganas Bocah Liar, memaki-

maki sendiri sambil terus menggerakkan kain bercorak 

caturnya, "Kutu monyet! Bisa-bisa... bukan mereka 

yang harus kuselamatkan mampus, justru aku sendiri 

yang bergemang tanah!! Perkedel busuk! Aku tidak bo-

leh mampus dulu! Aku belum kawin!!"

Lalu dengan pergunakan ilmu peringan tubuhnya 

yang kesohor, pemuda urakan ini terus menghindar. 

Sementara itu Bocah Liar terus mencecar sambil ter-

tawa-tawa, "Rupanya... hanya begini saja kebisaan 

pemuda yang julukannya begitu kesohor! Kau lebih 

pantas menjadi badut di rumah juragan tanah! Hhh!!

Seperti kata-kataku tadi, siapa yang mencoba melukai 

Dewi Selendang Hitam, maka dia akan mampus!!"

Kian ganas serangan yang dilancarkan Bocah Liar. 

Keganasan itu bukan hanya dirasakan oleh Andika, 

Dewi Selendang Hitam yang masih segar bugar pun 

harus menyingkir bila tak ingin muncratan kabut hijau 

akibat bentrokan dengan kain bercorak catur yang di-

gerakkan Andika.

Nasib malang rupanya harus menimpa Kepala Be-

si. Lelaki tinggi besar berkepala plontos itu melolong

setinggi langit tatkala gagal hindari muncratan kabut 

hijau yang menyerempet kaki kanannya. Kalau tadi dia 

sudah merasakan nyeri akibat sambaran sinar hitam 

milik Nyi Dungga Ratih, kali ini bertambah nyeri luar 

biasa merasakan akibat sambaran kabut hijau lelaki 

tua bertampang bocah itu. Tubuh Kepala Besi pun 

ambruk dan bergulingan menahan sakit disertai lolon-

gan keras.

Keadaan yang dialaminya membuat Andika men-

jadi tercekat. Apalagi dilihatnya bagaimana Dewi Se-

lendang Hitam yang mempergunakan kesempatan itu 

langsung meluruk untuk menghabisi Kepala Besi.

Tak ada jalan lain lagi bagi Andika kecuali beru-

saha menyelamatkan Kepala Besi. Tatkala kabut-kabut 

hijau yang dilepaskan Bocah Liar mencecar terus ke 

arahnya, dengan alirkan ajian 'Guntur Selaksa' pada 

kain bercorak caturnya, digerakkan tangan kanannya.

Terdengar suara salakan guntur yang sangat ke-

ras, hingga menghanguskan dedaunan. Menyusul sua-

ra mendengung laksana ribuan tawon murka meme-

kakkan telinga. Lalu menggebraknya gelombang angin 

yang dipadu dengan tenaga yang sungguh luar biasa.

Bocah Liar nampak terkesiap. Mendadak saja le-

laki bertampang bocah ini melompat ke samping ka-

nan.

Blaaammm!!

Kabut hijau yang dilepaskannya pecah diterobos 

tenaga dahsyat yang dilepaskan Andika. Bahkan tidak 

hanya sampai di sana saja, karena tenaga itu terus 

mengarah pada Bocah Liar yang lagi-lagi harus mem-

buang tubuhnya disertai makian jengkel. Tanah di 

mana Bocah Liar hinggap tadi, langsung terbongkar ke 

udara dan membentuk sebuah lubang yang cukup be-

sar dan keluarkan asap.

Bersamaan dengan itu, Andika meluruk dengan

pencalan satu kaki ke arah Dewi Selendang Hitam. 

Tangan kirinya yang telah terangkum ajian 'Guntur Se-

laksa' digerakkan. 

Blaaarrr!!

"Heeiiii!!" Dewi Selendang Hitam keluarkan peki-

kan tertahan, sambil melompat ke samping kanan. 

Ajian 'Guntur Selaksa' yang dilepaskan Andika meng-

hantam sebuah pohon besar yang langsung berderak 

tumbang menggemuruh.

Bersamaan dengan itu, Andika cepat menyambar 

tubuh Kepala Besi. Namun hal itu tak mudah dilaku-

kannya, karena begitu terbebas dari serangan yang di-

lancarkan Pendekar Slebor, Bocah Liar yang telah ada 

pada kedudukan semula, kembali lancarkan serangan.

Dalam waktu yang sempit, Andika kembali gerak-

kan tangan kanannya. Gebrakan yang dilakukannya 

membuat Bocah Liar surutkan serangan dan dengan 

gerakan yang luar biasa cepat, Andika segera me-

nyambar tubuh Kepala Besi. Lalu memutar tubuh dan 

hinggap di atas tanah seolah tanpa beban padahal tu-

buh Kepala Besi cukup berat.

Kendati begitu dan dalam keadaan napas kem-

bang-kempis, mulutnya yang usilan berkata juga, "Bu-

syet! Aku mengangkat karung beras atau tong sampah 

nih!"

Di seberang Dewi Selendang Hitam sudah berdiri 

di samping kiri Bocah Liar. Pandangannya lurus ke 

arah Pendekar Slebor seraya berkata, "Benar-benar 

pemuda celaka!!" Setelah melirik Bocah Liar sejenak, 

dia berseru kembali, "Tak perlu mengasihani pemuda 

celaka itu! Dia telah bikin semua yang kuimpikan han-

cur berantakan!"

Bocah Liar kertakkan rahangnya. "Tak usah kau 

katakan, akan kulakukan semuanya!"

Sebelum Dewi Selendang Hitam buka mulut, Andika sudah menyahut, "O... jadi serius nih mau mem-

bunuhku?! Kupikir sejak tadi kalian main-main, soal-

nya aku belum mampus juga sih! Tetapi kalau me-

mang kalian maunya begitu... ya, tidak apa-apa! Ayo 

sini kalian bunuh aku! Tapi... jangan sakit-sakit ya?"

Tak ada yang keluarkan suara. Selorohan Andika 

sudah membuat darah masing-masing orang kian 

mendidih. Sementara itu, senja mulai menghilang dan 

berganti dengan malam yang cukup pekat. Angin kian 

dingin berhembus.

Andika yang habis berseloroh, diam-diam melirik 

luruhan abu yang tetap turun naik dan tak terganggu 

sedikit pun juga padahal beberapa kali terjadi letupan 

dan benturan yang keras. Cahaya perak yang terpan-

car membuat tempat itu seperti disinari tiga buah len-

tera.

"Keanehan semakin dalam... namun penyelesaian 

agaknya justru tiba pada jalan buntu. Tetapi, aku tak 

memungkiri kalau di balik luruhan abu itulah rahasia 

Patung Kepala Singa berada.... Hanya saja, sulit untuk 

memecahkannya, karena jelas kedua orang itu tak 

akan memberi kesempatan...."

Diam-diam Dewi Selendang Hitam juga membatin, 

"Bocah Liar nampaknya tulus mencintaiku, karena dia 

mau terlibat dalam urusan ini, padahal seperti ka-

tanya, dia tak menghendaki Patung Kepala Singa. Ba-

gus! Aku bisa memanfaatkannya. Tetapi yang kuingin-

kan... adalah mengetahui rahasia Patung Kepala Singa. 

Hhh! Apa Sebenarnya yang ada di balik luruhan abu 

itu? Bagaimana caraku untuk mengetahuinya?"

Dan sebelum ada yang membuka suara, di saat 

masing-masing orang mulai merasakan kelelahan, 

mendadak saja terdengar suara yang keras dan dalam 

laksana keluar dari dalam sebuah sumur, "Aku men-

cium uraian darah dari manusia keparat bernama Saptacakra! Manusia celaka yang telah memantekku den-

gan ilmu anehnya pada sebuah pohon! Siapa pun 

adanya orang yang punya hubungan dengan Saptaca-

kra dia harus mampus!!"

Belum lagi suara itu habis terdengar, mendadak 

saja luruhan abu yang pancarkan sinar perak itu, se-

makin meninggi. Kira-kira sampai sepinggang dan ber-

gerak turun naik!

***

 

Suasana semakin hening dan angker. Tak ada 

yang membuka suara kecuali membuka mata lebar-

lebar tatkala menyadari kalau suara itu berasal dari 

luruhan abu!

Di tempatnya, tanpa disadarinya Andika merasa 

buluromanya merinding. Jelas sekali kalau dirinyalah 

yang dimaksud oleh suara tadi. Diam-diam dia pun 

sadar kalau suara itu berasal dari luruhan abu perak 

yang kini setinggi pinggang dan bergerak turun naik.

"Aneh! Menilik suara itu...jelas kalau ada yang 

mendendam pada Eyang Saptacakra! Ah, urusan kian 

berkembang jauh. Tentunya... ada sebuah masalah la-

lu yang dihadapi Eyang Saptacakra dengan orang yang 

entah siapa.... Jangan-jangan... ada sebuah dendam 

yang terpendam dan terkurung dalam luruhan abu 

itu." Andika memutus kata batinnya sendiri seraya 

mendesah, lalu melanjutkan, "Di muka bumi ini, terla-

lu banyak ilmu-ilmu aneh. Tak mustahil bila ada se-

buah kutukan yang masuk ke dalam Patung Kepala 

Singa...."

Kepala Besi yang berada dalam bopongan Andika 

yang semakin lama keadaannya bertambah lemah ber-

kata dalam hati, "Apakah rahasia yang dimaksudkan 

oleh Eyang Kapi Pitu suara orang yang nampaknya berasal dari luruhan abu itu? Tetapi mengapa? Dan siapa 

Saptacakra yang dimaksudnya? Siapa pula di antara 

kami yang punya hubungan erat dengan Saptacakra?!"

Sementara itu, Dewi Selendang Hitam membatin 

bingung, "Aneh! Siapa orangnya yang keluarkan suara 

seperti berasal dari luruhan abu itu? Dan tahu-tahu 

luruhan abu itu naik setinggi pinggang? Jangan-

jangan...."

Mendadak saja kata batin Dewi Selendang Hitam 

terputus, tatkala luruhan abu itu semakin lama sema-

kin meninggi dan tetap bergerak turun naik. Andika 

sendiri sampai surutkan langkah satu tindak ke bela-

kang melihatnya.

Sementara itu, Bocah Liar yang sejak tadi terdiam 

diam-diam membatin, "Aku seperti pernah mendengar 

suara itu... tetapi... di mana dan siapa? Nampaknya 

suara itu berasal dari luruhan abu yang bertambah 

tinggi...."

Mendadak saja terdengar suara aneh itu kembali, 

"Bau darah Saptacakra telah dekat dengan hidungku! 

Siapa pun yang membebaskan diriku dari kutukan ini, 

kuucapkan terima kasih! Tetapi... nyawa tetap harus 

kubayar! Terutama... pada orang yang ada hubungan 

dengan Saptacakra!"

Habis terdengar suara itu, mendadak saja luruhan 

abu yang semakin meninggi dan bergerak turun naik, 

memutar-mutar laksana seorang penari. Cahaya perak 

yang memancar bergerak melenggak-lenggok dengan 

indahnya, semakin terangi malam yang gelap.

Belum lagi ada yang mengerti apa yang terjadi, 

mendadak saja luruhan abu itu bertambah tinggi. Dan 

tahu-tahu mengarah pada Dewi Selendang Hitam.

Memekik kaget perempuan peot berpakaian hitam 

gombrang ini melihatnya. Tanpa sadar dia angkat ke-

dua tangannya untuk menahan laju luruhan abu itu.

Namun luruhan abu itu justru melilit pada kedua len-

gannya.

Mendadak nampak tubuh Nyi Dungga Ratih alias 

Dewi Selendang Hitam meregang. Terdengar jeritannya 

yang menyayat hati laksana orang yang sedang seka-

rat. Tahu-tahu luruhan abu yang melilit pada kedua 

lengannya mencelat naik dan masuk melalui ubun-

ubun kepala perempuan tua itu.

Hanya dalam satu tarikan napas saja luruhan abu 

itu telah lenyap. Tubuh Dewi Selendang Hitam nampak 

terdiam. Napasnya terdengar memburu dengan kedua 

mata membeliak lebar. Satu tarikan napas berikutnya 

tubuhnya bergetar laksana dipegangi oleh puluhan 

orang.

Kedua tangan dan kakinya menyentak-nyentak 

keras hingga debu-debu yang diinjaknya naik ke uda-

ra.

Tak ada yang berani untuk mencoba hentikan ge-

rakan aneh yang mendadak diperlihatkan Dewi Selen-

dang Hitam setelah dimasuki luruhan abu yang telah 

lenyap itu.

Namun Bocah Liar bertindak juga akhirnya. Den-

gan cepat dia coba tangkap kedua tangan Dewi Selen-

dang Hitam. Namun sebelum berhasil dilakukannya, 

mendadak saja tangan kanan perempuan itu mengi-

bas.

Desss!!

Astaga! Bocah Liar yang memiliki ilmu dua tingkat 

di atas Dewi Selendang Hitam, justru terlempar ke be-

lakang dengan derasnya. Dan berhenti setelah mena-

brak semua pohon. Dia memang tak kurang suatu apa. 

Namun akibat yang baru saja terjadi, membuatnya me-

randek gusar sekaligus heran.

Di tempatnya Andika membatin, "Sesuatu telah 

terjadi... petaka akan terjadi...."

Apa yang diduganya ternyata benar. Karena sete-

lah beberapa kali meregang-regang dengan kedua tan-

gan dan kaki menyentak-nyentak, mendadak saja ke-

dua tangan Dewi Selendang Hitam terangkat naik lalu 

bersedekap di dada.

Sosoknya nampak lebih tinggi, karena dadanya 

dibusungkan. Kepalanya tegak lurus dengan langit. 

Pancaran matanya bersinar angker dan mengerikan.

Menyusul terdengar suaranya yang keras dan da-

lam, "Bau amis darah Saptacakra telah tercium! Aliran

darah itu dekat di hadapanku!! Pemuda berpakaian hi-

jau pupus... kaulah orang yang kupilih mati untuk 

membebaskanku dari kutukan yang pernah kuu-

capkan sendiri!!"

Sadar kalau ucapan itu ditujukan padanya, Andi-

ka melengak kaget. Tanpa sadar dia mendesis, "Se-

buah kutukan... dan itu bukan suara Nyi Dungga Ra-

tih...."

***

3


Belum lagi habis pemuda urakan pewaris ilmu 

Pendekar Lembah Kutukan ini membatin, mendadak 

saja dirasakan satu gelombang angin yang semakin 

lama. membesar menggebrak ke arahnya.

"Astaga!!" serunya dengan mulut menganga dan 

kedua mata terbeliak.

Kejap itu pula, masih mentanggul tubuh Kepala 

Besi, Andika sudah kibaskan kain bercorak catur yang 

dirangkum dengan ajian 'Guntur Selaksa'.

Terdengar suara salakan guntur dan dengungan 

laksana ribuan tawon yang menyusul menggebraknya

angin dahsyat. Namun justru dia yang memekik sendi-

ri sambil melompat, "Heeeiiii!!"

Karena serangan yang dilakukannya seperti nyep-

los begitu saja laksana masuk ke dalam gulungan 

asap. Sementara itu gelombang angin yang menderu 

dari tubuh Dewi Selendang Hitam yang tadi gerakkan 

tangan kanannya begitu kaku seperti robot, terus 

menderu ke arah Andika.

Tak mau mendapatkan nasib sial, Andika segera 

melompat ke samping kiri. Gelombang angin yang 

menderu tadi tanpa keluarkan hawa panas mau pun 

dingin, menabrak sebuah pohon yang langsung terca-

but dan melayang jauh. Menabrak dua pohon di bela-

kangnya sekaligus yang timbulkan suara berderak dan 

tumbang dengan keluarkan suara menggemuruh.

"Kura-kura bau!! Jelas tak mungkin kalau seran-

gan itu berasal dari ilmu yang dimiliki Nyi Dungga Ra-

tih! Serangan itu... tentunya berasal dari orang yang 

terkena kutukannya sendiri yang arwah dan ilmunya 

telah menjelma menjadi Patung Kepala Singa! Orang 

yang pernah dikalahkan oleh Eyang Saptacakra dan 

kini menitiskan rohnya pada Nyi Dungga Ratih!!"

Menyusul keanehan yang terjadi, Dewi Selendang 

Hitam melangkah dua tindak ke depan. Langkahnya 

begitu kaku. Dan begitu kakinya menginjak tanah saat 

melangkah, tanah yang masing-masing orang pijak se-

perti bergetar.

"Astaga! Jelas yang kudapati adalah bangsa silu-

man!" desis Andika terkejut. "Kutu loncat! Kalau tahu 

begini akibatnya, tak mau aku susah payah memecah-

kan rahasia Patung Kepala Singa yang terdapat di ba-

lik luruhan abu!"

Habis makiannya, pemuda berpakaian hijau pu-

pus ini segera melompat lagi bila tak ingin gelombang 

angin yang dilepaskan Dewi Selendang Hitam menghantamnya. Lagi-lagi sebuah pohon tercabut dan me-

nabrak pohon lain begitu gagal mengenai sasarannya. 

Suara yang ditimbulkan sangat mengerikan.

"Kadal buntung! Jelas tak mungkin kuhadapi 

dengan ilmu dari Lembah Kutukan! Apakah harus ku-

pergunakan ajian bangsa siluman yang pernah ditu-

runkan oleh Eyang Sangsoko Murti?" desis Andika 

dengan wajah tegang. Keringat mendadak saja menga-

liri sekujur tubuhnya. (Untuk mengetahui siapa Eyang 

Sangsoko Murti silakan baca: "Neraka di Keraton Ba-

rat" dan untuk mengetahui bagaimana Andika ditu-

runkan ilmu bangsa siluman oleh Eyang Sangsoko 

Murti baca: "Siluman Hutan Waringin").

Namun pemuda urakan ini urung melakukan, 

tatkala dirasakan desah napas Kepala Besi menjadi sa-

tu-satu. Keadaan ini membuatnya jadi keblingsatan 

sendiri.

Sadar akibatnya bila dia tak segera menolong lela-

ki tinggi besar ini, membuat Andika berpikir lain.

"Terpaksa harus kuselamatkan dulu nyawa Kepala 

Besi. Tubuhnya kini terasa panas sekali. Mungkin ka-

rena terkena sambaran kabut hijau yang dilepaskan 

Bocah Liar tadi. Hmm... bahaya telah datang mengan-

cam. Aku yakin, roh yang masuk ke dalam tubuh Dewi 

Selendang Hitam akan mencari Eyang Saptacakra. Dan 

bisa kubayangkan apa yang akan terjadi bila dia gagal 

melakukannya...."

Karena merasa harus menyelamatkan nyawa Ke-

pala Besi, Andika memutuskan untuk meninggalkan 

tempat itu. Diperhitungkannya saat yang tepat. Tatka-

la didapatinya, dia segera berkelebat. Namun bersa-

maan dengan itu, Bocah Liar justru lepaskan ajian 

'Hutan Perangkap Harimau'. Serta merta menderu ka-

but-kabut hijau yang ganas.

"Kutu monyet!!"

Namun sebelum Andika menghindar atau lakukan 

satu papakan, mendadak saja kabut-kabut hijau itu 

pecah berantakan disertai suara letupan yang sangat 

keras. Menyusul terdengar suara keras dan dalam, 

"Tak seorang pun kuizinkan membunuh orang yang 

punya hubungan dekat dengan Saptacakra!! Dan ke-

lancangan itu harus ditebus dengan nyawa!!"

Andika yang telah hinggap kembali di atas tanah, 

melihat betapa pucatnya wajah Bocah Liar tatkala satu 

gelombang angin dahsyat menderu ke arah lelaki itu. 

Bocah Liar segera bergulingan disertai seruan terta-

han. Namun gelombang-gelombang angin yang berasal 

dari gerakan kaku tangan kanan Dewi Selendang Hi-

tam terus mencecarnya.

Kian pucat laksana tanpa darah wajah Bocah Liar. 

Dia menghindar seraya berseru, "Dewi! Ingat, ini aku! 

Sahabat dan sekaligus gurumu! Tahan seranganmu, 

Dewi!!"

Namun Dewi Selendang Hitam yang telah kema-

sukan roh entah milik siapa itu terus menyerang den-

gan gerakan-gerakan kakunya. Mulutnya bersuara ke-

jam, "Kematian layak untuk orang yang ganggu uru-

sanku!!"

"Terkutuk! Dewi, sadarlah! Jangan memancingku 

untuk menurunkan tangan!!" maki Bocah Liar keras, 

namun hatinya kebat-kebit. Karena dia pun menyadari 

kalau yang lakukan serangan itu bukanlah Dewi Se-

lendang Hitam.

Tetapi perempuan berpakaian hitam itu tak pedu-

li. Dengan gerakan-gerakan kaku dia terus lancarkan 

serangan ganasnya pada Bocah Liar yang berkali-kali 

kertakkan rahangnya.

"Keparat! Terpaksa aku harus membunuhmu!!"

Kendati dia berusaha melakukannya, namun ju-

stru dia yang terdesak. Bahkan kali ini pekikan

pekikan tertahan disertai rasa ketakutan terdengar da-

ri mulutnya.

Sementara itu melihat betapa Bocah Liar telah 

masuk ke dalam lingkaran maut yang diciptakan Dewi 

Selendang Hitam, Andika mengurungkan niatnya un-

tuk segera meninggalkan tempat itu. Dia segera men-

celat ke muka sambil gerakkan kain bercorak catur-

nya, "Menjauh dari sini!!"

Namun serangan yang dilakukannya tak berarti 

banyak. Hanya dengan gerakkan tangan kirinya saja, 

serangan yang dilakukan Andika putus. Sementara 

tangan kanan Dewi Selendang Hitam terus lancarkan 

serangan pada Bocah Liar yang menghindar sambil 

berseru-seru mencoba menyadarkan perempuan itu.

Kendati mulutnya sampai berbusa, namun Dewi 

Selendang Hitam yang telah berubah dari nurani as-

linya, justru kini menggerakkan kedua tangannya. Sa-

tu tarikan napas berikutnya, satu gelombang angin 

menghantam kaki Bocah Liar yang melolong setinggi 

langit. Sementara gelombang angin lainnya menghan-

tam telak dadanya,

Terseret ke belakang Bocah Liar disertai pekikan 

terputus. Seretan tubuhnya terhenti tatkala menghan-

tam sebuah pohon besar yang langsung tumbang. Saat 

tubuhnya ambruk, terlibat dadanya bolong besar den-

gan jantung hangus. Lelaki bertampang bocah itu 

langsung tewas tanpa keluarkan suara sepatah kata 

pun lagi.

Di tempatnya, Andika menggigil melihat kekeja-

man yang terpampang di depan matanya. Sebenarnya 

pemuda dari Lembah Kutukan ini masih mencoba un-

tuk menahan setiap serangan yang dilakukan Dewi Se-

lendang Hitam. Namun begitu dirasakan gerak napas 

Kepala Besi kian melemah, diputuskannya untuk me-

nyelamatkan Kepala Besi lebih dulu.

Sambil hindari serangan yang dilakukan Dewi Se-

lendang Hitam, pemuda ini bergerak cepat meninggal-

kan tempat itu. Sepeninggal Pendekar Slebor, nampak 

kegeraman meliputi wajah Dewi Selendang Hitam yang 

sejak tadi tak sekali pun kedipkan matanya. Pancaran 

matanya kian dingin dan dalam.

Mendadak terdengar tawanya yang keras. Saking 

kerasnya, membongkar ranggasan semak belukar yang 

semakin lama kian habis dan di tempat itu telah ter-

bentuk sebuah tanah kosong yang cukup luas.

"Setelah puluhan tahun, sekarang aku telah bebas 

dari kuncian yang dilakukan Saptacakra! Kutukan 

yang kulontarkan akan kubalas kepada cucu buyut 

Saptacakra! Kini saatnya menghirup udara bebas!!"

Tawa yang terdengar kian mengeras disusul suara 

kembali, "Jala Kunti telah terbebas dari kuncian! Kini 

tinggal melaksanakan kutukan yang pernah terucap!!"

Habis seruannya, sosok Dewi Selendang Hitam 

yang telah kerasukan roh seorang tokoh sesat bernama 

Jala Kunti, bergerak meninggalkan tempat itu. Dan se-

tiap kali melangkah, terdengar suara berdebam dan 

tanah yang sedikit bergetar.

Tempat itu pun kembali direjam sepi. Keheningan 

dan hawa dingin menyelimuti mayat Bocah Liar.

***

Pagi kembali mengalunkan gita lembutnya dalam 

semaian sinar mentari yang redup memerah. Angin 

berhembus sejuk, seolah lambungkan sukma ke langit 

tujuh.

Di sebuah batang pohon yang terdapat di depan 

sebuah sungai, nampak satu sosok tubuh berpakaian 

abu-abu terbuka di bahu kanan, sedang duduk ber-

sandar. Sosok tubuh lelaki tinggi besar yang tak lain

Kepala Besi adanya nampak lemah. Bibirnya rapat 

menutup sementara pancaran matanya seolah tak me-

natap apa pun, tanda dia sedang berpikir.

Kepala Besi yang setelah diobati oleh Pendekar 

Slebor akibat hantaman sinar hitam Nyi Dungga Ratih 

kemudian terkena serempetan kabut hijau Bocah Liar 

pada kaki yang sama, nampak sudah merasa lebih 

baik. Bahkan kaki kanannya dapat digerakkan seperti 

biasa kendati masih agak lemah.

"Rupanya... apa yang tersimpan pada Patung Ke-

pala Singa... sungguh sesuatu yang mengerikan... se-

buah kutukan yang kini merasuk pada diri Dewi Se-

lendang Hitam...," desisnya masygul tatkala teringat 

bagaimana perubahan terjadi pada diri Dewi Selendang 

Hitam.

Angin berhembus, membelai wajahnya, menggu-

gurkan beberapa dedaunan yang sebagian melayang 

jauh dan sebagian jatuh ke sungai yang segera berlalu 

mengikuti alirannya.

"Guru... puluhan tahun rahasia itu terpendam, 

dan yang muncul hanyalah sebuah kutukan.... Kutu-

kan yang mengerikan, kutukan yang mendendam pada

orang yang bernama Saptacakra.... Ah, siapakah orang 

itu? Dan kudengar... Dewi Selendang Hitam yang telah 

kemasukan roh entah milik siapa, memburu Pendekar 

Slebor.... Apakah benar kalau pemuda urakan itu ke-

turunan atau ada hubungan erat dengan Saptacakra?"

Sebelum Kepala Besi teruskan berpikirnya, men-

dadak saja satu sosok tubuh menyeruak dari dalam 

sungai.

Byuurrrr!

"Wuaaaahhh!! Segar, segar betul!!" terdengar se-

ruan itu bersamaan dengan satu kepala berambut 

gondrong yang kini basah. Lalu berteriak pada Kepala 

Besi, "Hei, Gundul! Ayo, sini mandi dulu! Bau badan

mu lebih gawat dari kambing buduk!!"

Kepala Besi cuma tersenyum saja pada Andika 

yang barusan tadi berteriak. Lalu berseru, "Aku tidak 

mandi, karena tubuhku tidak bau! Justru kau yang 

sedang coba hilangkan bau busuk tubuhmu itu!"

"Jangkrik!!" maki Andika sambil tersenyum ko-

nyol. Setelah garuk-garuk kepalanya, dia menyelam la-

gi dan berenang gaya bebek.

Kepala Besi cuma memperhatikan saja. Begitu pu-

la tatkala pemuda dari Lembah Kutukan itu tahu-tahu 

melompat dari dalam air dan hinggap di balik rangga-

san semak belukar. Tiga kejapan mata berikutnya, dia 

sudah keluar lagi, berpakaian lengkap sambil tertawa-

tawa.

"Segar, segar!!" desisnya sambil angkat kedua tan-

gannya, lalu mencium ketiaknya. Dengan sikap yang 

kian konyol dia berseru, "Kalau jumpa dengan gadis 

manis, tidak perlu malu, nih!!"

"Itu namanya tidak tahu malu!!"

Andika cuma nyengir sambil gerak-gerakkan ram-

butnya yang basah. Butiran air berlompatan dan se-

perti berlian yang terkena cahaya mentari.

"Masa bodoh, ah!" katanya sambil duduk bersila di 

hadapan Kepala Besi. Sesaat dipandanginya lelaki ber-

kepala plontos ini sebelum berkata, "Aku ingin men-

dengar sekali lagi tentang Patung Kepala Singa yang 

dikatakan oleh gurumu, Kepala Besi."

Kepala Besi terdiam sejenak. Kendati dia merasa 

heran dengan kata-kata itu, diulanginya lagi apa yang 

pernah diberitahukan gurunya tiga puluh tahun yang 

lalu (Silakan baca: "Rahasia di Balik Abu").

Dilihatnya pemuda urakan dari Lembah Kutukan 

itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesungguh-

nya, Andika mencoba mencari rangkaian dari rahasia 

Patung Kepala Singa dengan kutukan yang terdapat di

patung itu.

Kemudian katanya, "Rahasia yang terpendam be-

berapa puluh tahun itu, rupanya adalah sebuah kutu-

kan. Kutukan dari orang yang pernah dikalahkan oleh 

Ki Saptacakra. Mendapatkan kejelasan dari semua pe-

ristiwa ini, satu-satunya jalan adalah mencari tahu 

masalah apa yang dulu pernah terjadi...?

"Andika... siapakah sesungguhnya Ki Saptacakra 

dan apa hubungannya denganmu?"

Andika mendesah pendek sebelum berkata, "Dia... 

adalah eyang buyutku sekaligus guruku...." Lalu dice-

ritakannya sedikit tentang Ki Saptacakra. (Untuk men-

getahui siapa gerangan Ki Saptacakra adanya, silakan 

baca: "Lembah Kutukan" dan "Dendam dan Asmara").

"Menilik kata-kata Dewi Selendang Hitam yang te-

lah kerasukan roh dari Patung Kepala Singa yang telah 

lebur menjadi luruhan debu, jelas engkaulah sasaran-

nya sebelum menuntaskan seluruh dendamnya pada 

Eyang buyutmu itu."

"Kau betul. Jelas dia tak akan melepaskan niatnya 

untuk membantai semua keturunan dari Ki Saptaca-

kra. Dalam hal ini... adalah aku...."

Tak ada yang keluarkan suara.

Kepala Besi mendesah dalam hati, "Aku tak enak 

melibatkannya waktu lalu dalam urusan Patung Kepa-

la Singa, yang ternyata justru sebuah ancaman pada 

Andika sendiri...."

Sementara itu Andika membatin, "Bila saja aku ti-

dak terlibat dalam urusan ini, sudah tentu aku tak 

akan tahu kalau ada dendam membara pada Eyang 

buyutku...."

Kemudian terdengar kata-katanya, "Kepala Besi... 

urusan kian membentang panjang. Dan tak mungkin 

kita bisa berpangku tangan saja. Jelas-jelas Dewi Se-

lendang Hitam yang telah kemasukan roh dari luruhan

abu Patung Kepala Singa tak akan berdiam diri. Ten-

tunya dia akan turunkan segala murkanya. Hmmm... 

apakah keadaanmu sudah baikan sekarang?"

Kepala Besi menganggukkan kepalanya.

"Bagus!" sahut Andika sambil acungkan jempol, 

lalu menyambung dengan suara seperti menggerutu, 

"Kalau belum juga sih, kebangetan!"

Sementara Kepala Besi mendengus, Pendekar Sle-

bor berkata lagi, "Rasanya... kita harus berpisah di si-

ni. Kita menempuh jalan masing-masing. Tujuanku 

saat ini, tetap mencoba untuk patahkan setiap keingi-

nan sesat dari roh yang masuk ke tubuh Dewi Selen-

dang Hitam...."

Kepala Besi mendesah dulu sebelum berkata, "Ba-

gaimana bila kita menghadapinya bersama-sama?"

Andika yang mempunyai rencana sendiri, mengge-

lengkan kepalanya. Kemudian sambil nyengir dia ber-

kata, "Busyet! Betul-betul aneh kau ini! Masa kau ha-

rus ikut denganku? Bah! Kalau kau perempuan jelita, 

montok dan menggiurkan sih boleh juga.... Tetapi ini... 

ya, ampun... nenek-nenek peot juga nggak nafsu buat 

jadi lawan ehm-ehmmu...."

"Dasar urakan! Dalam keadaan seperti ini dia ma-

sih bisa bicara seenak jidatnya saja...," maki Kepala 

Besi dalam hati. Lalu berkata, "Apa yang hendak kau 

lakukan sekarang?"

"Busyet! Banyak tanya banget! Tetapi ya... terus 

terang, aku tak bisa mengatakannya! Soalnya... nanti 

kau contek lagi... ha ha ha!!"

Sementara Andika, terbahak-bahak, Kepala Besi 

keluarkan dengusan. Dua kejapan berikutnya, pemuda

yang di lehernya melilit kain bercorak catur sudah 

berdiri.

Pandangannya kali ini serius pada Kepala Besi.

"Jaga dirimu baik-baik... jangan sampai kau di

kawini oleh Dewi Selendang Hitam...."

"Urakan!!" seru Kepala Besi sambil berdiri kemba-

li. Kaki kanannya dirasakan sudah tidak terlalu ngilu. 

Andika sendiri cuma tertawa saja dan masih tertawa-

tawa berlalu meninggalkan Kepala Besi yang kemudian 

juga berkelebat ke arah yang berlawanan dengan pe-

muda itu.

***

4


Malam kian dalam bergerak, membentuk keguli-

taan semata. Gumpalan awan putih telah sirna diganti 

awan hitam yang menggelembung, tanda sebentar lagi 

hujan akan turun bila angin tak gerakkan awan-awan 

hitam itu berlalu.

Dan mendadak saja kandungan awan-awan hitam 

itu tumpah. Laksana air bah, hujan turun dengan de-

rasnya. Angin berubah bergulung-gulung dengan uda-

ra yang terasa kian dingin menusuk tulang. Petir sam-

bar menyambar seolah hendak luluh-lantakan kehidu-

pan di muka bumi ini. Kilat sesekali menerangi puncak 

sebuah bukit terjal yang mengerikan.

Dalam keadaan alam yang murka, nampak satu 

sosok tubuh bergerak cepat. Dari gerakannya yang se-

jak semula memang cepat, nampak tak ada tanda-

tanda orang itu akan hentikan kelebatannya. Bahkan 

sejenak pun dia tak berhenti atau tengadahkan kepa-

lanya. Jelas sekali kalau orang yang tak pedulikan be-

tapa derasnya butiran hujan yang membasahi tubuh-

nya, memiliki satu urusan yang tak mau ditinggalkan 

barang sekejap.

Dan menilik gerakannya yang seperti tak terhalang oleh kabut tebal, menandakan kalau bayangan 

yang kenakan pakaian berwarna biru gelap dengan se-

lendang putih yang berselempangan di dadanya, san-

gat hafal dengan jalan menuju ke bukit yang dipenuhi 

batu-batu terjal yang setiap saat bisa berjatuhan.

Tiba di lereng bukit, tanpa hentikan gerakannya 

sekali pun, lelaki yang berkumis baplang dan tak lain 

Gendala Maung adanya, segera melesat naik ke bukit 

itu. Kabut tebal kian menutupi pandangannya, namun 

dia tak peduli. Bahkan lereng bukit terjal itu pun terus 

didekatinya dengan penuh kepercayaan diri. Bila salah 

seorang dari Dua Iblis Lorong Maut ini tidak hafal be-

tul jalan yang harus dilaluinya, niscaya dia akan jatuh 

terguling atau paling tidak tersesat.

Setelah gagal mencoba kelicikannya pada Pende-

kar Slebor dan maksudnya untuk membalas sakit hati 

sahabatnya yang tewas di tangan pemuda itu karena 

dihadang oleh Kepala Besi, Gendala Maung kerahkan 

segenap kebisaannya untuk membunuh Kepala Besi. 

Namun rupanya, dia memiliki ilmu yang seimbang 

dengan Kepala Besi. Sementara itu, Kepala Besi sendiri 

tak menghendaki pertarungan itu diteruskan lebih la-

ma mengingat dia hanya bermaksud untuk menahan 

Gendala Maung saja, agar Pendekar Slebor dapat me-

neruskan mencari Patung Kepala Singa.

Di saat bentrokan terjadi, Kepala Besi mempergu-

nakan kesempatan itu untuk meninggalkan Gendala 

Maung. Gendala Maung sendiri kian meradang, lalu 

dia pun segera meninggalkan tempat itu (Baca: "Raha-

sia Di Balik Abu").

Lelaki berkumis baplang yang mendendam pada 

Pendekar Slebor karena telah membunuh sahabatnya 

yang bernama Ganda Maung dan sekarang menden-

dam pula pada Kepala Besi, tak mau menunda segala 

keinginannya untuk membalas dendam. Gendala

Maung yang sebelumnya menginginkan Patung Kepala 

Singa kini benar-benar menindih segala keinginannya 

itu.

Sambil berkelebat dia berpikir untuk menjumpai 

gurunya di Bukit Balu-Balu. Karena sesungguhnya, 

keinginannya bersama Ganda Maung untuk menda-

patkan Patung Kepala Singa atas perintah gurunya 

yang berjuluk Dedemit Tapak Akhirat.

Dan sekarang, lelaki yang tengah dirasuk dendam 

ini telah tiba di puncak Bukit Akhirat. Begitu kedua 

kakinya menginjak puncak bukit itu, dia langsung 

berkelebat ke arah sebuah bangunan kecil yang nam-

pak tak terganggu sama sekali akibat angin dahsyat. 

Bahkan petir yang menyambarnya seolah berbelok. 

Menghantam gugusan puncak bukit hanya sejarak sa-

tu langkah dari gubuk reot itu.

Tak mau membuang waktu lagi, Gendala Maung 

langsung masuk ke dalam gubuk itu seraya berseru, 

"Guru...."

Sesaat tak ada suara yang terdengar, bahkan 

Gendala Maung tak bisa melihat seisi gubuk itu. Na-

mun dia hafal betul dengan bau tubuh gurunya yang 

seperti menebarkan aroma kemenyan.

Setelah beberapa saat terdiam, terdengar suara, 

"Sudah kuduga kau akan datang tanpa membawa ha-

sil yang kuperintahkan...."

Mendengar kata-kata orang yang bernada dingin 

itu, Gendala Maung langsung jatuhkan tubuh. Baru 

sekarang dirasakan betapa penat dan lelah sekujur tu-

buhnya. Apalagi ditingkahi oleh rasa takut yang men-

dadak muncul.

Saat berkata nafasnya agak terengah, "Maafkan 

aku, Guru.... Seorang pemuda telah menggagalkan 

semua ini...."

"Seorang pemuda? Apakah kau hanya sebangsa

tikus air yang tak mampu menghadapinya?" Suara 

yang kian dingin itu semakin menciutkan hati Gendala 

Maung.

Tetapi ditahan rasa takutnya. Lalu berkata, "Ku 

akui... kalau dia memiliki ilmu yang lebih tinggi,

Guru...."

"Siapa pemuda itu?"

Gendala Maung mengatur nafasnya dulu sebelum 

menjawab, "Pendekar Slebor...." Sesaat tak ada sahu-

tan.

"Pendekar Slebor.... Sebuah julukan yang nampak 

kosong belaka...." Terdengar sahutan itu lalu menyam-

bung, "Tetapi... bisa tunda urusan itu sesaat. Seka-

rang, pejamkan kedua matamu...."

Menuruti perintah gurunya, Gendala Maung sege-

ra memejamkan kedua matanya. Lamat-lamat dirasa-

kan hawa panas melingkupi tubuhnya yang nampak 

mulai menggigil. Rasa dingin pun dirasakan perlahan-

lahan menghilang. Lalu seperti ada satu sentuhan ha-

lus, kedua matanya yang terpejam nampak sesaat ber-

gerak.

"Buka kedua matamu sekarang...."

Lamat-lamat Gendala Maung membuka sepasang 

matanya kembali. Saat dibuka, dirasakan satu peru-

bahan yang berbeda. Kalau tadi sebelumnya dia tak 

melihat apa-apa karena seisi gubuk itu hanya kegela-

pan semata, kali ini dia dapat melihat dengan terang. 

Seolah di tempat itu matahari sedang berada tepat di 

tengah-tengah kepala.

Sejarak tiga langkah dari hadapannya, nampak 

satu sosok tubuh kurus sedang duduk bersila. Wajah 

orang itu demikian mengerikan, karena seperti tak ter-

lapis daging dan kulit. Begitu kurusnya hingga wajah-

nya nampak seperti tengkorak belaka. Rambut orang 

itu panjang tak beraturan. Sepasang matanya menjo

rok ke dalam dan pancarkan warna kelabu pekat.

Orang yang berusia kira-kira sekitar tujuh puluh 

tahun ini, mengenakan pakaian hitam-hitam yang ter-

buka di dada dan memperlihatkan dadanya yang ku-

rus agak membungkuk. Dari wujudnya yang mengeri-

kan ini, ada juga ketakjuban bagi orang yang meman-

dangnya. Karena orang tua itu bersila dengan kedudu-

kan satu jengkal di atas tanah!

Orang inilah yang berjuluk Dedemit Tapak Akhi-

rat, orang yang puluhan tahun lalu julukannya pernah 

menggemparkan rimba persilatan karena sepak ter-

jangnya yang ganas, orang yang menjadi guru dari Dua 

Iblis Lorong Maut, yang selama berguru padanya telah 

menjadi manusia-manusia kejam yang dapat diperin-

tah apa saja.

Lelaki berwajah tengkorak ini mendehem lalu ber-

kata, "Urusan sekarang sudah berkembang.... Cerita-

kan apa yang telah terjadi...."

Laksana seorang anak kecil yang mengadu pada 

ayahnya karena dicurangi bermain kelereng, Gendala

Maung menceritakan apa yang telah terjadi.

"Jadi sampai saat ini, kau sesungguhnya belum 

tahu pada siapa Patung Kepala Singa berada?" tanya 

Dedemit Tapak Akhirat setelah Gendala Maung habis 

bercerita.

Gendala Maung menganggukkan kepalanya. Di-

dengarnya lagi suara gurunya, kali ini lebih sengit, 

"Sekarang... apa maksud kedatanganmu ke sini? Lari 

pulang seperti perawan dicegat seorang perjaka?"

Gendala Maung tak segera membuka mulut. Dis-

adarinya betul bila dia salah berucap maka akibatnya 

akan fatal. Namun dendamnya atas kematian Ganda 

Maung membuatnya menindih segala ketakutannya. 

Perlahan-lahan diangkat kepalanya.

Hanya sesaat. Karena begitu bentrok dengan sepasang mata kelabu milik gurunya itu, Gendala Maung 

segera tertunduk. Setelah tarik napas dia berkata,

"Saya datang ke sini, justru ingin meminta pelajaran 

lagi dari Guru. Saya akui, karena saya tak mampu un-

tuk menandingi kehebatan Pendekar Slebor."

"Hhhh! Seperti apa kesaktian pemuda celaka itu?!" 

"Bila dibandingkan dengan kesaktian yang Guru 

miliki, tentunya Pendekar Slebor bukanlah tandingan 

Guru," sahut Gendala Maung mencoba menjilat.

Namun dia kecele karena gurunya justru mem-

bentak, "Jangan menjadi manusia dungu di hadapan-

ku, Gendala Maung!"

Gendala Maung langsung bungkam mendengar 

bentakan itu. Di dasar hatinya, dia jengkel bukan 

main. Namun dia benar-benar tak berani lakukan tin-

dakan apa-apa. Bahkan menunjukkan kejengkelannya 

melalui dengusan saja tak berani dilakukannya.

Sesaat di dalam gubuk itu hening. Di luar gubuk, 

hujan terus turun dengan derasnya. Berulang kali kilat 

menyambar, entah yang kali keberapa hingga mene-

rangi Bukit Balu-Balu beberapa kejap. Menyusul petir 

yang salak menyalak. Kendati alam seperti didera kia-

mat kecil, gubuk yang didiami kedua orang itu tak ber-

gerak sedikit juga!

Masing-masing orang yang terdiam itu, akhirnya 

dipecahkan oleh suara Gendala Maung, "Guru... me-

nurut kabar yang kudengar... Pendekar Slebor berasal 

dari Lembah Kutukan...."

Begitu habis kata-kata Gendala Maung, terdengar 

seruan tertahan Dedemit Tapak Akhirat, "Gila! Apakah 

aku tidak salah mendengar apa yang kau katakan itu, 

hah?!!"

Kendati agak terkejut mendapati kekagetan gu-

runya, Gendala Maung buru-buru menggeleng, "Tidak, 

Guru.... Berita itulah yang kudengar...."

Sesaat tak ada lagi yang keluarkan suara. Gendala 

Maung yang kini matanya telah dapat melihat dalam 

gelap, melihat gurunya nampak seperti tercenung. 

Namun pancaran sinar kelabu sepasang matanya begi-

tu nyalang.

Mendadak terdengar suara makiannya yang keras, 

"Jahanam sial! Hanya seorang yang tinggal di Lembah 

Kutukan... dan dia bernama Saptacakra! Orang yang 

telah mengalahkan kakak seperguruanku puluhan ta-

hun lalu! Orang yang telah menguncinya pada sebuah 

pohon hingga kakak seperguruanku itu mampus! Te-

tapi... sebelum dia mampus, dia telah keluarkan satu 

kutukan! Kelak, rohnya akan menitis pada pohon itu!"

Mendengar kata-kata gurunya, Gendala Maung 

nampak kerutkan kening. "Apa maksud Guru berkata-

kata seperti itu? Baru kali ini kudengar dia memiliki 

kakak seperguruan. Hmm... siapakah orangnya?"

Kendati hatinya diliputi tanya, Gendala Maung tak 

berani mengajukannya. Lalu didengarnya kembali sua-

ra gurunya, "Gendala Maung... tahukah kau mengapa 

aku memerintahkanmu untuk mencari Patung Kepala 

Singa?"

Lelaki berkumis baplang itu buru-buru mengge-

lengkan kepala. "Tidak, Guru...."

"Hmmm... kini tiba saatnya kuceritakan padamu. 

Kakak seperguruanku bernama Jala Kunti, seorang 

perempuan yang mudah sekali tersinggung. Emosinya 

selalu meluap. Bahkan aku tak pernah berani mem-

bantahnya. Dia pun berani melawan guruku yang se-

kaligus gurunya. Namun, Guru sangat sayang pa-

danya... karena sesungguhnya, Jala Kunti adalah pu-

trinya sendiri...."

Dedemit Tapak Akhirat terdiam dulu, seolah men-

gingat masa lalunya. Setelah beberapa saat dia berkata 

lagi, "Kala itu... Jala Kunti selalu hidup dalam setiap

amarahnya. Terlebih lagi... tatkala dia mencintai seo-

rang pemuda yang bernama Saptacakra. Dan sungguh 

malang nasibnya, karena Saptacakra tak pernah mau 

membalas cintanya. Jala Kunti marah besar. Dia beru-

saha untuk membunuh Saptacakra... namun Saptaca-

kra selalu berhasil mengalahkannya. Sebagai pelam-

piasan amarahnya, dia membunuhi pemuda-pemuda 

yang ditemuinya. Siapa pun pemuda itu...."

Dedemit Tapak Akhirat menghela napas dulu se-

belum melanjutkan, "Karena tindakannya yang telen-

gas itu. Guru memerintahkanku untuk mengatasi se-

mua tindakannya. Namun aku tak mampu mengata-

sinya. Kendati aku dihajar habis-habisan, namun aku 

tidak marah sama sekali. Justru aku mendendam pa-

da Saptacakra yang semakin membuatnya bertambah 

beringas. Dan kuputuskan untuk mencari Saptacakra. 

Setelah berbulan-bulan lamanya, aku berhasil bertemu 

dengannya. Kuminta dengan sangat, bahkan aku sam-

pai berlutut padanya, agar dia mau mencintai Jala 

Kunti. Paling tidak, berpura-pura. Tetapi Saptacakra 

yang kala itu berusia sekitar lima belas tahun di 

atasku, tetap menolak. Aku menjadi murka. Dan aku 

pun menyerangnya. Tetapi aku berhasil dikalahkan-

nya. Pada saat Saptacakra hendak meninggalkanku, 

muncul Jala Kunti yang dengan membabi buta menye-

rangnya.

Pertarungan yang terjadi berlangsung sekitar tiga 

kali penanakan nasi dan kemenangan berada di pihak 

Saptacakra. Karena Jala Kunti begitu nekat terus 

mencoba menyerangnya kendati sudah kepayahan, 

Saptacakra akhirnya memantek Jala Kunti dengan il-

munya di sebuah pohon. Saat itu, aku mencoba meno-

longnya, namun karena keadaanku sendiri sudah 

payah aku tak mampu melakukannya. Saptacakra pun 

meninggalkanku dan Jala Kunti yang menempel di sebuah pohon. Sebelum Saptacakra meninggalkan tem-

pat itu dan sebelum aku pingsan, Jala Kunti telah 

lemparkan kutukan, bila dia mendapatkan kesempa-

tan hidup kedua dia akan membunuh Saptacakra 

hingga tujuh turunannya. Aku pun terbangun setelah 

pingsan yang tak kuketahui berapa lama. Saat itulah 

kulihat Jala Kunti telah tewas membunuh diri dengan 

cara menggigit lidahnya sendiri...."

Dedemit Tapak Akhirat mendesah masygul, "Den-

gan hati pedih, akhirnya kukuburkan mayatnya. Dan 

kuceritakan semua itu pada guruku yang hanya ter-

diam. Lalu, entah karena umur guru yang sudah tua 

atau karena pedih memikirkan nasib Jala Kunti... ak-

hirnya Guru pun meninggal. Tinggal aku yang kemu-

dian selalu mendatangi pohon di mana Jala Kunti 

menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Setelah beberapa tahun aku selalu mendatangi 

tempat itu, akhirnya kuputuskan untuk mencari Sap-

tacakra. Tetapi, aku selalu gagal bertemu dengannya. 

Akhirnya kuputuskan untuk kembali melihat pohon 

tempat Jala Kunti menemui ajalnya. Saat itulah baru 

kusadari kalau pohon itu telah ditebang oleh seseorang 

yang kuketahui bernama Kapi Pitu yang lalu kudengar 

memiliki Patung Kepala Singa.... Aku tak pernah me-

mikirkan soal itu, karena tak kuingat sama sekali ten-

tang kutukan Jala Kunti. Tatkala aku teringat akan 

kutukan Jala Kunti, kucoba untuk mencari Kapi Pitu 

guna mendapatkan Patung Kepala Singa. Tetapi aku 

pun gagal mendapatkannya... hingga kemudian ku-

dengar, kalau Patung Kepala Singa dimiliki oleh seseo-

rang yang berjuluk Pendekar Sutera...

Makanya, kutugaskan kau dan Ganda Maung un-

tuk mendapatkannya. Karena aku yakin, pada Patung 

Kepala Singa tersimpan roh Jala Kunti yang membawa 

kutukan...."

Mendengar cerita gurunya yang panjang lebar, 

Gendala Maung terdiam dengan kening dikernyitkan 

berkali-kali. "Tak kusangka kalau persoalan Patung 

Kepala Singa ada hubungannya dengan Guru. 

Hmmm... pada siapakah patung itu berada sekarang? 

Atau jangan-jangan... rahasia itu telah terbuka dan 

kutukan Jala Kunti telah menyebar?"

Di luar gemuruh hujan belum mereda juga. Bah-

kan terdengar semakin ganas. Di lereng bukit sebelah 

kanan, tiga batang pohon kelapa hangus tersambar pe-

tir.

Dedemit Tapak Akhirat tarik napas. Pancaran ma-

tanya kian tajam menusuk. Berkilat-kilat kelabu.

"Kini... Saptacakra nampaknya telah menurunkan 

ilmunya pada seorang pemuda yang berjuluk Pendekar 

Slebor! Mencari manusia itu sendiri tak akan mudah 

dilakukan! Berarti... Pendekar Slebor lah satu-satunya 

jalan untuk mendapatkan manusia celaka itu! Pejam-

kan matamu!!"

Saat itu pula Gendala Maung memejamkan ma-

tanya dengan dada berdebar. Dia berharap kalau gu-

runya akan menurunkan ilmunya kembali. Apa yang 

diduga lelaki berkumis baplang ini memang benar, ka-

rena tiba-tiba saja dirasakan hawa panas melingkupi 

tubuhnya, yang semakin lama semakin menguat. Da-

lam tiga kejapan mata saja, dalam udara yang sedemi-

kian dingin menusuk, Gendala Maung telah alirkan ke-

ringat.

Menyusul lelaki ini berteriak mengaduh, disertai 

makian Dedemit Tapak Akhirat, "Jangan bodoh! Sekali 

lagi kau berteriak, hawa panas itu akan merejam jan-

tungmu!! Tetapi bila kau memang sudah ingin mam-

pus sebelum membalas kematian Ganda Maung, itu 

urusanmu!!"

Mendengar peringatan gurunya, Gendala Maung

berusaha untuk tindih segala kesakitannya. Tubuhnya 

pun mulai meregang-regang dengan kepala tengadah. 

Seluruh urat di tubuhnya seperti menonjol keluar, 

tanda dia menahan rasa sakit.

Cukup lama Gendala Maung bagai berada dalam 

satu siksaan pedih yang menyakitkan. Namun dia mu-

lai tak peduli. Dicobanya untuk lupakan segala yang 

menyakitkannya itu dengan cara membayangkan wa-

jah Pendekar Slebor.

Semakin dibayangkannya wajah pemuda itu, Gen-

dala Maung seakan lupa pada rasa sakitnya.

Setelah beberapa kejap kemudian, hawa panas 

dan rasa sakit yang melingkupinya lenyap. Di depan, 

Dedemit Tapak Akhirat yang sejak tadi mensejajarkan 

kedua tangannya di depan dada tetapi tidak menempel 

pada salah satu anggota tubuh Gendala Maung, perla-

han-lahan turunkan kedua tangannya.

Mulutnya menghembuskan angin pelan. Namun 

akibatnya, tubuh Gendala Maung ambruk. Tatkala le-

laki berkumis baplang ini hendak bangkit kembali, De-

demit Tapak Akhirat telah berkata, "Jangan bergerak, 

tetap pada kedudukan seperti itu!"

Gendala Maung yang kini tak lagi merasakan sa-

kitnya, bahkan dirasakan tubuhnya bertambah ringan, 

hanya menurut. Di tempatnya mulut Dedemit Tapak 

Akhirat nampak berkemak-kemik. Lalu menghem-

buskan udara ke wajah Gendala Maung yang sesaat 

menjadi gelagapan.

"Bagus! Kini kau telah mewariskan ilmu 'Tapak 

Akhirat' yang kumiliki, Gendala Maung! Sekarang juga 

kau tinggalkan tempat ini! Cari dan tangkap Pendekar 

Slebor! Paksa dia untuk mengatakan di mana Sapta-

cakra tinggal! Satu hal yang terpenting lagi, jangan lu-

pakan untuk mendapatkan Patung Kepala Singa!"

Gendala Maung cuma menganggukkan kepalanya,

lalu perlahan-lahan duduk kembali di hadapan gu-

runya. Dari gerakan mulutnya, dia nampaknya hendak 

berkata, tetapi terputus karena mendengar suara gu-

runya, "Tinggalkan tempat ini sekarang!!"

Urung untuk berkata, Gendala Maung hanya 

rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Kejap itu 

pula dia berkelebat keluar, menerobos hujan badai 

dahsyat.

Kalau tadi saat dia datang dalam keadaan gelisah, 

kali ini dia berkelebat dengan hati gembira. Mulutnya 

berkali-kali berucap, "Tak lama lagi... tak lama lagi kau 

akan mampus, Pendekar Slebor...." 

Sementara itu, di gubuk reyot yang tak mengalami 

pengaruh apa-apa kendati berada dalam cuaca dah-

syat mengerikan itu, Dedemit Tapak Akhirat duduk 

dengan kepala tegak. Matanya memancarkan sinar ke-

labu yang angker.

"Saptacakra... kini tiba saatnya untuk membalas 

semua perbuatanmu pada kakak seperguruanku...," 

desisnya geram. Lalu menyambung, "Jala Kunti... aku 

telah bersumpah untuk membalas semua sakit hati-

mu! Dan kuharap... kutukan yang telah kau lontarkan 

akan menjadi kenyataan!! Hhhh! Pemuda berjuluk 

Pendekar Slebor... akan menjadi tumbal kematian Sap-

tacakra!! Jala Kunti... biar bagaimanapun sikapmu pa-

daku, biar bagaimanapun kau suka menyakitiku, kau 

tetaplah kakak seperguruanku, kakak yang sangat ku

sayangi...."

Habis kata-katanya, mendadak saja atap gubuk 

reyot itu pecah berantakan dengan keluarkan suara 

yang keras. Bukan dikarenakan sambaran petir atau 

angin, melainkan kekuatan tenaga dalam dari tubuh 

Dedemit Tapak Akhirat. Begitu atap gubuk itu bolong, 

lelaki berpakaian hitam-hitam yang terbuka di dada 

dan menampakkan tulang belulangnya, segera melesat

ke atas. Dan seperti ditelan oleh gulungan angin, sosok 

lelaki ini telah lenyap dari pandangan.

***

5


Di tempat yang sangat jauh dari sana, Pendekar 

Slebor hentikan kelebatannya. Kalau di Bukit Balu-

Balu hujan sedemikian ganas melabrak lama, di tem-

pat di mana Pendekar Slebor menginjakkan kakinya 

sekarang, udara begitu cerah. Tak ada timbunan awan 

hitam di langit. Kendati demikian, tempat yang dipe-

nuhi ranggasan semak belukar dan pepohonan itu cu-

kup angker.

"Gila! Ke mana perginya Dewi Selendang Hitam 

yang kemasukan roh dari Patung Kepala Singa?" desis 

pemuda dari Lembah Kutukan ini dengan mata berke-

liling.

Setelah meninggalkan Kepala Besi, Andika me-

mang kembali lagi ke tempat semula. Dia bermaksud 

mengikuti Dewi Selendang Hitam. Begitu tak dijum-

painya lagi, dia pun coba melacak jejaknya.

"Kutu monyet! Bahaya akan segera tumpah bila 

tak segera dihentikan tindakan telengas Dewi Selen-

dang Hitam! Betul-betul kutu monyet! Mengapa aku 

harus berhadapan dengan sebangsa roh segala? Dan 

ada hubungan apa dengan Ki Saptacakra? Dasar gem-

blung! Apa...."

"Bicara sembarangan! Kau yang gemblung!!" ter-

dengar makian keras itu memutus kata-kata Andika.

Seketika Andika palingkan kepalanya ke belakang. 

Tetapi tak ada siapa pun di sana. Andika kerutkan ke-

ningnya seraya garuk-garuk kepalanya.

"Busyet! Apa aku salah dengar?!"

"Jangan konyol! Hei, Urakan! Telingamu tidak tuli 

sama sekali! Atau kau yang berlagak tuli, hah?!" ter-

dengar lagi bentakan itu.

Kali ini Andika melotot ke depan, tetapi tak ada 

siapa pun di hadapannya. .

"E, benar-benar busyet! Siapa yang...."

Kata-katanya terputus tatkala kepalanya dijitak. 

Menyusul terdengar jeritannya, "Wadaaooowwww!!"

"Gemblung! Apa kau memang jadi dungu seperti 

itu hah, sampai tidak mengenaliku?!" terdengar lagi 

makian itu yang kali ini berada di samping kanannya.

Andika yang tengah meringis sambil usap-usap 

kepalanya, tak memalingkan wajah ke kanan. Justru 

dia berkata menggerutu, "Enak banget main jitak begi-

tu! Kalau kepalaku benjol, kau mau menggantinya?!"

"Ya! Dengan batok kelapa!" sahutan orang terden-

gar lagi.

"Dasar tua bangka! Begitu muncul sudah main ji-

tak kepala orang saja!!" gerutu Andika lagi. Lalu seolah 

melihat orang itu di hadapannya dia berkata, "Eyang! 

Kebetulan kau datang! Ada yang ingin kutanyakan pa-

damu!"

"Soal janda bahenol atau perawan kebluk?!"

"Busyet! Sudah tua masih doyan daun muda ju-

ga," kata Andika dalam hati. Lalu sambil nyengir dia 

berkata, "Eyang! Apakah kau mendengar tentang Pa-

tung Kepala Singa?!"

"Kalau Patung Kepala Monyet aku sudah menden-

gar! Tuh di hadapanku!!"

"Eh, busyet!" gerutu Andika lagi. "Aku serius!"

"Gemblung! Siapa bilang aku tidak serius, hah?!"

"Kalau aku monyet, kau ini sebangsa...."

"Manusia paling tampan sedunia!!" putus suara 

itu yang entah berada di mana sambil terbahak-bahak.

Andika sendiri ngakak sejadi-jadinya. "Kalau kau 

tampan, bagaimana denganku yang keren bin ganteng 

ini, hah?!"

"Ya terserah bagaimana penilaianmu sendiri pada 

dirimu! Slebor! Urusan Patung Kepala Singa yang telah 

pecah menjadi luruhan abu, adalah urusan masa lalu

yang pernah kuhadapi! Tetapi... ya dasar nasib! Justru 

kau yang ketiban sial!"

"Betul! Nasibku sungguh sial! Tolong deh, kau ce-

ritakan padaku!" kata Andika dengan nada suara se-

perti pada seorang sahabat. 

Dia tahu kalau orang yang entah berada di mana 

sekarang ini adalah Eyang buyutnya, Ki Saptacakra. 

Majikan Lembah Kutukan. Kendati yang diajak bicara 

adalah Eyang buyutnya sekaligus gurunya, tetapi da-

sar urakan, Andika tetap saja bicara seenak perutnya 

saja meskipun tak menghilangkan adab kesopanan.

"Dengar baik-baik, aku khawatir telingamu sudah 

menjadi tuli!" kata orang itu yang memang Ki Saptaca-

kra adanya. Karena ketinggian ilmu yang dimilikinya, 

Andika tidak bisa mengetahui di mana dia berada.

Lalu Andika mendengar kata-kata eyang buyutnya 

kemudian. Setelah itu dia mendengus, "Sok kecake-

pan! Mengapa kau menolak cinta Jala Kunti, Eyang? 

Katamu tadi, dia cantik jelita! Huh! Sok menolak!"

"Busyet! Ingin rasanya kurobek mulutmu itu!"

"Kalau kau robek, bagaimana caranya aku ma-

kan?"

"Ya, dari hidung!"

Andika cuma mendengus. Lalu katanya, "Jadi... 

roh yang masuk pada diri Dewi Selendang Hitam ada-

lah roh Jala Kunti yang masih terbebas karena kutu-

kannya sendiri?"

"Betul! Di samping itu... ada adik seperguruannya 

yang berjuluk Dedemit Tapak Akhirat yang sejak dulu

mencari-cariku untuk membalas dendam kematian Ja-

la Kunti! Tetapi aku selalu berhasil menghindarinya 

karena aku memang tak ingin memancing permusu-

han! Kalaupun Jala Kunti akhirnya tewas, itu karena 

kesalahannya sendiri! Dia membunuh diri!"

"Gara-gara cintanya kau tolak! Sok kecakepan!"

"Sulit berbicara soal cinta! Karena cinta adalah 

sebagian dari rahasia Tuhan!"

"Busyet! Jangan-jangan selama ini kau pergi ke 

India belajar menjadi penyair, ya?!" seloroh Andika 

yang memang mulutnya selalu gatal untuk menggoda

eyang buyutnya. "Atau kau sudah kebanyakan 

mem...."

Belum tuntas kata-kata Andika, mendadak saja 

satu gelombang angin menderu ke arahnya.

"Heeiii!!" memekik tertahan pemuda urakan ini 

yang segera gerakkan tangannya ke depan.

Blaaammm!

Terdengar suara laksana salakan petir yang keras. 

Di tempatnya, Andika nampak surut dua tindak ke be-

lakang. Mulutnya berbunyi, "Apa-apaan ini? Kenapa 

pakai menyerangku segala? Kalaupun kau menolak 

cintanya kan bukan urusanku!"

"Nah! Kalau kau sudah tahu bukan urusanmu, 

mengapa kau masih banyak tanya, hah?!"

Mendengar ucapan balik Ki Saptacakra, Andika 

cuma nyengir. "Ya... pengen tahu saja...." Kemudian 

masih nyengir dia melanjutkan, "Aku sudah ketiban 

pulung dari urusan lalu antara kau dengan Jala Kunti, 

Eyang! Dan nampaknya, bukan hanya pada Dewi Se-

lendang Hitam yang telah dirasuki roh Jala Kunti yang 

harus kuhadapi! Tetapi juga Dedemit Tapak Akhirat!"

"Betul! Manusia itu telah lama berdiam diri di Bu-

kit Akhirat! Dan rasanya... dia pun telah mendengar 

tentang Patung Kepala Singa di mana roh Jala Kunti

hinggap! Bisa jadi pula dia telah mendengar tentang 

kutukan Jala Kunti yang akan menggegerkan rimba 

persilatan! Ingat! Kau juga harus berhati-hati mengha-

dapinya!"

"Enteng banget tuh bacot, apa dia tidak tahu ka-

lau aku sudah panas dingin menghadapi Dewi Selen-

dang Hitam yang kemasukan roh Jala Kunti?" gerutu 

Andika dalam hati. Lalu berkata, "Bagaimana caraku 

untuk mengalahkannya?"

"Betul-betul celaka! Mana aku tahu? Aku belum

pernah bertarung dengannya!"

"Busyet! Tadi kau cerita, kalau Jala Kunti kau 

pantek di sebuah pohon...."

"Kau yang busyet! Kupikir kau bertanya soal De-

demit Tapak Akhirat!"

Andika keluarkan dengusan lagi. "Makanya, jan-

gan main asal jawab saja bila belum paham betul!"

"Sialan! Menghadapi Jala Kunti di kala dia masih

hidup, dapat kulakukan walau dengan bersusah 

payah! Tetapi menghadapinya dalam kedudukan men-

jelma menjadi roh atas sumpahnya sendiri, jelas tak 

bisa kugambarkan bagaimana cara menghadapinya! 

Hei! Kudengar orang-orang mengagumimu karena 

keenceran otakmu yang seperti air comberan! Lebih 

baik coba kau gunakan otakmu, siapa tahu sudah 

mampet?!" 

"Ngomong memang gampang!"

"Busyet! Kenapa jadi begini?! Jangan-jangan ju-

stru kau sendiri ya yang mengatakan kau pintar ke-

mudian kau sengaja menyebarkannya?"

Di tempatnya Andika melotot. Dan sebelum dia 

membuka mulut, Ki Saptacakra telah keluarkan kata-

kata lagi, "Dulu... dia kukalahkan karena aku tahu ke-

lemahannya yang terletak pada telapak kaki kirinya! 

Sekarang... ya kau cari sendiri! Barangkali saja terletak

di tempat yang asyik!"

"Betul-betul busyet! Tak kusangka kalau kau ma-

sih gatel juga, Eyang?!"

Entah berada di mana, Ki Saptacakra keluarkan 

tawanya keras-keras. Di tempatnya Andika menggeru-

tu panjang pendek dan kembali menjerit tatkala dira-

sakan kepalanya dijitak, "Kepalaku lama kelamaan bi-

sa benjol nih!"

"Benjol dua jamak! Malah kelihatan lebih ganteng! 

Orang akan bertanya-tanya, kau ini sebangsa kambing 

atau orang utan ajaib!" sahut Ki Saptacakra sambil ter-

tawa lagi.

Andika menggerutu panjang pendek hingga bibir-

nya monyong membentuk kerucut. Setelah itu dia aju-

kan tanya, "Aku ingin tahu... apakah kau mengenai 

seseorang yang berjuluk Dewa Suci, Eyang?"

"Dewa Suci? Jelas saja kukenal! Manusia yang se-

lalu meninggikan derajat kesopanannya! Nah, nah! 

Kau mau apa bertanya tentangnya?"

"Aku cuma ingin tahu di mana dia berada?!"

"Betul-betul gemblung! Silakan kau cari sendiri! 

Kenapa pakai bertanya padaku, hah? Hei, Slebor! Le-

bih baik kau segera menuju ke arah barat, karena roh 

Jala Kunti yang telah menitis pada Dewi Selendang Hi-

tam akan membuat kekacauan?"

"Kau sendiri hendak ke mana?"

"Ke mana? Kenapa kau pakai tanya, hah?!"

"Urusan Jala Kunti itu bagaimana?"

"Ya urusanmu! Bukankah kau juga sedang dicari-

cari olehnya? Bisa jadi kau juga akan dicari oleh De-

demit Tapak Akhirat! Ah, nasibku sungguh baik betul! 

Memiliki tumbal untuk hadapi urusan masa lalu!!"

Habis kata-kata itu, terdengar suara tawa keras 

yang semakin lama semakin menjauh. Andika men-

ganggap eyang buyutnya telah meninggalkan tempat

itu.

Di tempatnya Andika menggerutu panjang pendek. 

"Brengsek! Aku jadi yang kena batunya! Tetapi... sejak 

semula aku memang sudah terlibat dalam urusan ini! 

Menghindar pun tak mungkin lagi! Dan sialnya, ada 

dua orang yang akan memburuku! Huh! Betul-betul 

kutu monyet!!"

Untuk beberapa lamanya pemuda yang memiliki 

sepasang alls menukik laksana kepakan sayap elang 

ini menggerutu. Kejap kemudian dia berkata, "Biar ba-

gaimanapun juga... aku harus menghadapi urusan 

ini."

Tahu-tahu dirangkapkan kedua tangannya di de-

pan dada dan berkata hormat, "Akan kuhadapi segala 

urusan ini, Eyang.... Lebih baik kau memang berada 

dalam hidup yang nyaman...."

Habis kata-katanya terdengar, tahu-tahu....

Tak!

Kepalanya dijitak kembali. "Eyang!!"

Terdengar tawa Ki Saptacakra, "Busyet! Baru kali 

ini kulihat kau bisa bersikap sopan! Jangan-jangan... 

besok pagi dunia sudah kiamat nih!"

Andika yang tadi semula menganggap eyang 

buyutnya sudah menjauh cuma nyengir seraya berka-

ta, "Aku lagi latihan main sandiwara nih! Bulan Mau-

lud kan aku akan pentas di Kotapraja? Eh! Kalau kau 

senggang Eyang, kau bisa nonton!!"

"Lagakmu! Hati-hati!!"

Andika melihat ranggasan semak belukar di hada-

pannya bergerak. Kini dia yakin kalau Ki Saptacakra 

memang sudah meninggalkan tempat itu.

Tiga tarikan napas kemudian, Andika pun segera 

berkelebat menuju ke arah barat.

***

6


Kita tinggalkan dulu Pendekar Slebor yang sedang 

menuju ke barat. Sekarang kita ikuti perjalanan Na-

wang Wangi, Tri Sari, dan Bidadari Tangan Bayangan. 

Setelah Nawang Wangi berhasil membawa tubuh Tri 

Sari kemudian menyambar tubuh gurunya, Nawang 

Wangi membantu gurunya untuk memulihkan kea-

daannya. Setelah itu, Bidadari Tangan Bayangan sen-

diri mencoba melepaskan lilitan hawa dingin yang di-

lakukan oleh Bocah Liar pada Tri Sari. Setelah mela-

kukannya dengan susah payah, barulah dia berhasil 

membebaskan Tri Sari.

Setelah masing-masing orang pulih keadaannya, 

Bidadari Tangan Bayangan yang masih ngotot, menga-

jak untuk kembali lagi ke tempat semula. Nawang 

Wangi dan Tri Sari sendiri hanya mengikuti saja. Na-

mun sudah barang tentu mereka tak menemukan sia-

pa pun di sana. Sesaat tak ada yang membuka suara.

"Apa yang telah terjadi...," desis perempuan ber-

pakaian kuning bersih ini. "Ke mana manusia-manusia 

itu? Dan apa yang dialami oleh Pendekar Slebor serta 

Kepala Besi?"

Tak ada yang buka mulut untuk jawab pertanyaan 

itu. Masing-masing orang mencoba memikirkan apa 

yang telah terjadi sepeninggal mereka.

Bidadari Tangan Bayangan berkata lagi, "Luruhan

abu yang berasal dari Patung Kepala Singa sudah tak 

nampak. Hmmm... apa yang sebenarnya telah terjadi?"

Sementara itu Tri Sari melihat sesuatu yang me-

narik perhatiannya di ujung sana. Perlahan-lahan ga-

dis ini melangkah untuk memastikan apa yang mena-

rik perhatiannya. Kejap itu pula terdengar seruannya, 

"Bibik!!"

Dengan gerak cepat Bidadari Tangan Bayangan 

mendekat. Nawang Wangi menyusul kemudian. Mas-

ing-masing orang melihat Tri Sari menunjuk sesuatu di 

atas tanah.

Sesaat Bidadari Tangan Bayangan memicingkan 

matanya.

"Bocah Liar.... Gila! Bagaimana caranya lelaki ber-

tampang bocah itu bisa mampus? Dan menilik luka 

yang dideritanya, sungguh mengerikan sekali!" desis-

nya kemudian lalu menyambung, "Bisa jadi... yang me-

lakukan semua itu adalah Pendekar Slebor. Kalau be-

gitu dia tentunya selamat. Begitu pula dengan Kepala 

Besi. Lantas, ke manakah perginya Dewi Selendang Hi-

tam?"

Lagi tak ada yang sahuti pertanyaannya. Masing-

masing orang justru arahkan pandangan pada mayat 

Bocah Liar.

"Hanya mayat Bocah Liar dan tempat yang porak 

poranda yang terlihat. Sungguh, aku dibuat penasaran 

untuk mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi?" 

desis Bidadari Tangan Bayangan lagi.

"Guru... apakah tidak lebih baik kita segera ting-

galkan tempat ini?" tanya Nawang Wangi. "Terus te-

rang, aku masih tidak tenang bila berada di sini."

Bidadari Tangan Bayangan arahkan pandangan-

nya pada murid jelitanya yang berambut dikuncir dua, 

"Aku pun merasakan kekosongan yang dalam. Tetapi... 

naluriku seolah mengatakan, sesuatu yang lebih men-

gerikan telah muncul, sesuatu yang diakibatkan dari 

Patung Kepala Singa...."

Mendengar ucapan gurunya, Nawang Wangi tak 

membuka mulut. Justru Tri Sari yang berkata, "Bi-

bik... Dewi Selendang Hitam telah membunuh ayah 

dan saudara-saudaraku. Menilik hanya mayat Bocah 

Liar yang berada di sini, tentunya perempuan celaka

itu masih hidup. Biar bagaimanapun juga, aku harus 

menuntut balas padanya. Apalagi, aku gagal menja-

lankan amanat yang diberikan Ayah untuk menyerah-

kan Patung Kepala Singa pada orang yang berhak me-

milikinya...."

Bidadari Tangan Bayangan mendesah. Lalu ka-

tanya pada gadis berambut ekor kuda itu, "Kau benar, 

Tri Sari.... Tetapi untuk saat ini, jelas semuanya tak 

akan bisa kau jalankan. Paling tidak, kau tentunya 

sudah gagal untuk menyerahkan Patung Kepala Singa 

pada yang berhak. Kendati demikian, barangkali kau 

akan dapat melihat perempuan celaka yang telah la-

kukan pembantaian di Kuil Putra Langit mampus."

Tri Sari menganggukkan kepalanya. Dan bersuara 

agak geram, "Kalau begitu... kita harus segera menca-

rinya, Bibik...."

"Kau benar. Tetapi, aku memiliki pikiran lain," ka-

ta Bidadari Tangan Bayangan. Untuk sesaat dia ter-

diam sebelum berkata, "Tri Sari... kita pernah mencoba 

menemui Dewa Suci tetapi gagal. Dan aku minta...." 

"Guru!" potong Nawang Wangi. "Kau mengatakan 

kau dan Tri Sari pernah mencari Dewa Suci?"

Kendati sebenarnya tak suka karena kalimatnya 

dipotong seperti itu, Bidadari Tangan Bayangan pa-

lingkan pandangannya seraya anggukkan kepala.

"Aku pernah ditolong oleh seseorang yang berna-

ma Dewa Suci...," kata Nawang Wangi kemudian.

Tak menyangka mendengar pengakuan muridnya, 

Bidadari Tangan Bayangan sesaat tak membuka mu-

lut. Kemudian katanya, "Kapan kau berjumpa dengan-

nya?"

"Aku tidak berjumpa dengannya Guru... tetapi dia 

menolongku. Maksudku... aku tak tahu dia berada di 

mana...," kata Nawang Wangi, lalu diceritakan penga-

lamannya di saat diselamatkan oleh Dewa Suci tatkala

Gendala Maung hendak mempermalukannya. (Baca: 

"Rahasia Di Balik Abu").

Bidadari Tangan Bayangan mengangguk-

anggukkan kepalanya selesai muridnya bercerita se-

raya mendesis, "Pantas dia tak kutemui di kediaman-

nya...." Kemudian katanya, "Kalau begitu... kau dan Tri 

Sari segera mencari Dewa Suci. Katakan padanya, ka-

lau aku membutuhkan bantuannya."

"Guru sendiri hendak ke mana?"

"Nawang Wangi... aku masih penasaran dengan 

segala urusan yang membentang di depan mataku. 

Kendati Patung Kepala Singa telah hancur, aku ingin 

tahu rahasia apa yang sesungguhnya telah tersimpan. 

Di samping itu, aku juga hendak mencari Kepala Besi 

untuk meminta maaf" atas tuduhanku waktu lalu...."

Sesaat hening meraja sebelum Tri Sari membuka 

mulut, "Bibik... sebelum Ayah meninggal, dia berpesan 

padaku untuk menjumpaimu. Dan sekarang kita telah 

bertemu kendati aku gagal menyerahkan Patung Kepa-

la Singa kepadamu untuk diserahkan pada pemiliknya 

yang sah."

"Apa maksudmu, Tri Sari?"

"Bukankah lebih baik bila kita berjalan bersama-

sama? Maksudku... kita bisa saling menjaga satu sama 

lain...."

"Aku tahu kekhawatiranmu, karena sesungguhnya 

aku juga khawatir. Tetapi kupikir, bila bersama-sama 

dengan Nawang Wangi... kalian tentunya dapat saling 

membantu. Paling tidak untuk saat ini, kita saling 

membagi tugas. Kau dan Nawang Wangi mencari ke 

mana perginya Dewi Selendang Hitam, sementara aku 

mencoba untuk tetap mengetahui ada rahasia apa se-

benarnya pada Patung Kepala Singa. Dengan kata lain, 

aku harus menemukan Pendekar Slebor atau Kepala 

Besi."

Lalu sebelum Tri Sari membuka mulut lagi, Bida-

dari Tangan Bayangan sudah berkata, "Sekarang juga 

kita berpisah! Kalian harus berhati-hati!"

Habis kata-katanya terdengar, perempuan yang di 

pinggangnya melilit selendang warna merah itu sudah

berkelebat cepat, hingga yang nampak hanyalah 

bayangan kuning belaka.

Sepeninggal Bidadari Tangan Bayangan, Tri Sari 

berkata, "Nawang Wangi... apa yang dikatakan gurumu 

memang benar. Yah, kita memang harus menempuh 

segala risiko di depan mata. Apapun yang terjadi, 

nampaknya kita memang harus bergerak cepat!"

Tri Sari terdiam sejenak. Pancaran matanya kini 

menjadi dingin. Suaranya agak menggeram saat berka-

ta, "Hhh! Dewi Selendang Hitam! Dendamku padamu 

semakin tinggi!"

Gadis berpakaian ringkas warna biru kehijauan 

itu cuma menganggukkan kepalanya. Dapat dirasakan 

bagaimana kegeraman gadis berpakaian putih-putih 

yang berdiri di sebelahnya.

"Yah... lebih baik kita segera bergerak sekarang. 

Mencari Dewi Suci, sekaligus menemukan di mana 

Dewi Selendang Hitam berada...."

Setelah masing-masing gadis sama-sama angguk-

kan kepala, keduanya pun segera berkelebat mening-

galkan tempat itu.

***

Sinar matahari pagi kembali bekerja seperti sedia 

kala. Entah pagi keberapa sejak dimulainya kehidupan 

ini. Sinar redup matahari mengantar Nawang Wangi 

dan Tri Sari tiba di sebuah dusun. Begitu menginjak-

kan kaki mereka di jalan masuk dusun itu, masing-

masing gadis sudah hentikan langkah dengan kening

berkerut.

Di kanan kiri mereka, beberapa rumah nampak 

porak poranda. Beberapa pohon tumbang tumpang 

tindih seolah halangi langkah. Dan yang membuat ke-

duanya saling pandang sejenak, karena baru menya-

dari kalau mereka tak melihat seorang pun di sana.

"Aneh... apa yang telah terjadi?" tanya Tri Sari se-

perti ditujukan pada diri sendiri.

"Sebaiknya, kita teruskan saja langkah. Barangka-

li kita akan mendapat jawabannya...," sahut Nawang 

Wangi.

Lalu kedua gadis ini pun terus melangkah mema-

suki dusun itu. Dan semakin keduanya menjejaki du-

sun itu, mereka melihat di sana-sini seperti habis dila-

brak gerombolan gajah liar. Dan ada keramaian di 

ujung sana. Kehadiran kedua gadis yang sama-sama 

jelita itu sebenarnya dapat memancing perhatian para 

lelaki. Namun mereka hanya sekali melirik, dan setelah 

itu melengos kembali.

Nampak serombongan orang bergegas menuju ke 

sebuah tempat. Begitu pula dengan orang-orang yang 

lainnya. Kedua gadis itu melihat tak ada warung yang 

buka. Ketergesa-gesaan orang-orang dusun itu me-

mancing perhatian kedua gadis ini.

"Aneh! Mengapa orang-orang itu seperti berkum-

pul di sini?" desis Tri Sari.

Nawang Wangi tak segera menjawab. Dia perhati-

kan dulu kesibukan yang terjadi. Dilihatnya ada bebe-

rapa sosok mayat yang digotong. Ada pula orang-orang 

yang membawa buntalan seperti hendak mengungsi.

"Nampaknya... dusun ini seperti diserang penyakit 

yang mengerikan..."

"Tetapi... menilik mayat-mayat yang diangkut itu, 

jelas bukan disebabkan oleh penyakit. Dada masing-

masing orang bolong. Bahkan... oh! Tidakkah kau lihat

kalau ada beberapa mayat yang kepalanya buntung?"

Kalau tadi begitu mereka masuk ke dusun itu su-

asana begitu hening, kini di tengah-tengah dusun ke-

hiruk-pikukan kian menjadi-jadi. Apalagi tatkala ter-

dengar isak tangis dari beberapa orang perempuan.

"Nawang... aku menangkap sesuatu yang lebih 

mengerikan dari sekadar penyakit!"

"Aku juga menduga seperti itu!"

"Lebih baik kita berpencar untuk mencari tahu 

ada masalah apa gerangan?"

Nawang Wangi menganggukkan kepalanya. Dia 

bergerak ke arah kiri, sementara Tri Sari ke arah ka-

nan. Tangis yang terdengar kian menjadi-jadi, disertai 

teriakan-teriakan memanggil nama seseorang yang su-

dah menjadi mayat.

Selang beberapa saat kedua gadis itu bertemu 

kembali di tempat semula.

"Apa yang kau dapatkan?" tanya Tri Sari segera.

"Seseorang yang mengaku bernama Jala Kunti da-

tang memporakporandakan dusun ini! Perempuan itu 

memaksa orang-orang di sini mengatakan di mana 

orang yang bernama Saptacakra berada," sahut Na-

wang Wangi.

"Benar! Dan karena tak seorang pun yang menge-

tahui siapakah serta di manakah orang yang bernama 

Saptacakra berada, maka perempuan bernama Jala 

Kunti itu mengamuk dan membunuhi mereka dengan 

ganas. Kalaupun masih ada yang hidup, karena mere-

ka kebetulan tak berada di tempat saat petaka itu ter-

jadi. Atau berhasil meloloskan diri. Nawang... apakah 

kau mendengar pula ciri orang yang bernama Jala 

Kunti?"

Nawang Wangi menganggukkan kepalanya.

Tri Sari berkata lagi, "Apakah ciri orang yang ber-

nama Jala Kunti itu tidak mengingatkan kau pada seseorang?"

"Ya!" sahut Nawang Wangi sambil menganggukkan 

kepalanya lagi. "Sungguh aneh sebenarnya! Kala kuta-

nyakan ciri-ciri orang yang bernama Jala Kunti, aku 

langsung teringat pada perempuan celaka yang berju-

luk Dewi Selendang Hitam."

"Kau benar! Aku pun menduga seperti itu! Menga-

pa Jala Kunti mempunyai ciri yang sama dengan Dewi 

Selendang Hitam? Lantas apa yang kau pikirkan seka-

rang?"

"Kemungkinannya... perempuan yang bernama Ja-

la Kunti adalah Dewi Selendang Hitam sendiri. Tidak-

kah kau ingat, bagaimana Pendekar Slebor membuka 

samaran Dewi Selendang Hitam yang sesungguhnya 

adalah Nyi Dungga Ratih, perempuan yang mencoba 

menjebaknya?"

"Jadi maksudmu... kau menduga Jala Kunti ada-

lah Dewi Selendang Hitam?" 

"Benar."

"Pikiran itu pun ada di benakku. Tetapi, mengapa 

dia justru mencari seseorang yang bernama Saptaca-

kra? Mengapa dia bukan mencari Pendekar Slebor? 

Bukankah Pendekar Slebor yang mengacaukan semua 

rencana jahatnya?" tanya Tri Sari dan wajah gadis ini 

merah padam tatkala membayangkan wajah Dewi Se-

lendang Hitam, yang diketahui sebagai pembunuh 

ayah dan saudara-saudara angkatnya di Kuil Putra 

Langit.

Nawang Wangi tak segera membuka mulut. Sete-

lah berpikir sesaat dia berkata, "Aku tidak tahu."

"Ini harus dicari kejelasannya. Orang yang berju-

luk Jala Kunti mengingatkan kita pada Dewi Selendang 

Hitam. Namun tujuan yang kita ketahui, Dewi Selen-

dang Hitam berkeinginan untuk mendapatkan Patung 

Kepala Singa yang telah pecah. Dan dia pun sangat

mendendam pada Pendekar Slebor yang menurutnya 

adalah orang yang bertanggungjawab atas kegagalan-

nya itu. Kalau memang Dewi Selendang Hitam me-

nyamar sebagai Jala Kunti, mengapa dia mencari 

orang yang bernama Saptacakra? Inilah yang membua-

tku jadi agak ragu."

"Tri Sari... bisa jadi kalau Jala Kunti memang Jala 

Kunti, begitu pula Dewi Selendang Hitam. Hanya kebe-

tulan saja ciri-cirinya sama satu sama lain."

"Tidakkah mereka kembar?" cetus Tri Sari memi-

kirkan kemungkinan lain.

"Aku tidak bisa menjawab secara pasti. Akan teta-

pi, rasanya tak mungkin bila dia kembar."

"Jadi bagaimana sekarang?"

"Kita harus memburu orang yang bernama Jala 

Kunti yang dikatakan oleh orang yang kutanya berlalu 

ke arah barat. Perempuan celaka itu harus menda-

patkan ganjaran atas segala perbuatannya...."

Tri Sari menganggukkan kepala. "Ya! Kita kejar 

perempuan celaka itu!!"

Dua kejapan mata kemudian, masing-masing ga-

dis segera berkelebat ke arah barat dengan kerahkan 

ilmu peringan tubuh. Di dusun yang telah porak po-

randa itu, isak tangis masih terdengar memilukan.

***

7


Perempuan berpakaian kuning bersih dengan se-

lendang merah yang melilit pada pinggang rampingnya 

itu, hentikan kelebatannya di sebuah tanah yang dipe-

nuhi bebatuan. Sesaat perempuan ini arahkan pan-

dangannya ke berbagai penjuru. Menyusul dia mende

sis, "Sungguh keadaan yang membingungkan... apa 

yang telah terjadi sepeninggalku? Siapa yang telah 

membunuh Bocah Liar? Ke mana pula perginya Pen-

dekar Slebor dan Kepala Besi? Yang terutama, ke ma-

na larinya perempuan celaka yang ternyata adalah 

orang yang turunkan tangan telengas di Kuil Putra 

Langit?"

Perempuan ini tarik napas panjang tatkala tak 

menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. 

Kembali pandangannya diedarkan ke segenap penjuru.

Begitu pandangannya tertuju ke samping kanan, 

perempuan ini melengak kaget dengan kedua mata 

membuka.

"Gila! Sejak tadi tak kulihat seorang pun berada di 

sini! Dan tahu-tahu lelaki berkumis baplang itu telah 

berdiri di sana? Celaka! Jelas urusanku akan tertunda 

sekarang!" maki perempuan ini dalam hati.

Sejarak lima belas tombak, lelaki berkumis bap-

lang yang di dadanya terdapat selendang warna putih 

bersilangan, perlihatkan seringaian lebar. Lalu me-

langkah

perlahan-lahan mendekati perempuan berpakaian 

kuning bersih yang nampak bersiaga.

Masih berjalan lelaki yang tak lain Gendala Maung 

adanya sudah buka ejekan, "Tak kusangka... kita ber-

temu lagi, Bidadari Tangan Bayangan! Apakah kau su-

dah melupakanku, atau kau berlagak lupa?"

Bidadari Tangan Bayangan kertakkan rahangnya.

"Keparat betul! Mengapa di saat urusan masih be-

lum dapat kujelajahi secara utuh, manusia celaka ini 

sudah muncul kembali? Hhh! Ke mana sahabatnya 

yang bernama Ganda Maung?"

Habis membatin begitu, dengan pancaran mata 

melecehkan dan nada suara mengejek, Bidadari Tan-

gan Bayangan buka mulut, "Hhhh! Apakah kau belum

merasa puas kugebuk beberapa waktu lalu? O ya, ke 

mana sahabatmu itu? Apakah dia sudah putus nyali 

begitu melihatku?!"

Sejarak lima langkah, Gendala Maung hentikan 

langkahnya. Lelaki berkumis baplang ini langsung ke-

luarkan tawa keras dan mengejek.

"Bicaramu seolah masih membuktikan betapa he-

batnya kau ini, Bidadari Tangan Bayangan! Dan kau 

merasa, dapat menyelami lautan yang paling dalam! 

Tetapi sayang... nyawamu kini sudah berada di tan-

ganku?!"

"O ya? Apakah kau...."

"Bagaimana dengan muridmu yang bernama Na-

wang Wangi?" putus Gendala Maung dengan serin-

gaian. "Bila kau mau menyerahkan muridmu itu untuk 

menjadi gundikku, maka nyawamu akan kulepas hari 

ini!"

"Jahanam terkutuk!!" maki Bidadari Tangan 

Bayangan dalam hati. Kemudian membentak, "Me-

nyesal aku tak membunuhmu dulu! Padahal orang-

orang seperti kau tak layak untuk hidup lebih lama!!"

"Yang dulu sudah basi! Yang kita hadapi adalah 

urusan sekarang!!" sahut Gendala Maung. Lalu sua-

ranya berubah tajam, "Perbuatanmu yang menghenti-

kan segala keinginanku... akan kubalas hari ini!!"

"O ya? Atau kau sebenarnya sudah tak sabar un-

tuk pergi ke akhirat? Bagus! Akan kutunjukkan jalan 

kepadamu!"

Belum habis suara Bidadari Tangan Bayangan 

terdengar, Gendala Maung sudah menerjang ke depan. 

Tangan kanan dan kirinya diputar cepat.

Bidadari Tangan Bayangan, hanya keluarkan den-

gusan saja. Begitu tubuh lawan mendekat, dia segera 

melesat ke depan.

Des!!

Jotosan tangan kanan Gendala Maung berhasil 

dipapakinya. Bersamaan dengan itu tubuh Bidadari 

Tangan Bayangan mencelat ke samping, lalu lepaskan 

jotosan ke bagian samping kiri tubuh Gendala Maung.

Namun hanya dengan tekuk sikunya, jotosan itu 

berhasil diputuskan. Menyusul dengan gerakan yang 

aneh, kaki kanan kiri Gendala Maung bergerak bersa-

maan mengarah pada leher dan kepala Bidadari Tan-

gan Bayangan.

Guru Nawang Wangi ini kertakkan rahangnya se-

raya melompat ke belakang. Kejap kemudian dia sudah

menderu ke depan. Kedua tangannya mendadak ber-

putar dan menjelma laksana bayangan belaka. Genda-

la Maung sesaat melengak, tetapi di saat lain dia su-

dah memapaki serangan itu dengan kedua kakinya. 

Des! Dess!!

Bidadari Tangan Bayangan langsung mundur dua 

langkah ke belakang. Tangannya dirasakan ngilu. "Gi-

la! Tenaga dalamnya begitu besar sekali! Padahal dulu, 

tenaga itu akan menjadi besar bila digabungkan den-

gan tenaga dalam Ganda Maung!"

Perubahan yang terjadi pada tenaga dalam Genda-

la Maung, ini disebabkan karena ilmu yang diturunkan 

oleh Dedemit Tapak Akhirat. Bahkan gerakan Gendala 

Maung terlibat lebih ringan dari biasanya.

Mulutnya berbunyi, "Mengapa kau mundur seperti 

itu, hah?! Ataukah kau sudah tak sanggup untuk im-

bangi lagi kehebatanku ini? Hmmm... sebenarnya aku 

ingin kita bermain-main lebih lama! Tetapi sayang, 

urusanku masih banyak!!"

Habis kata-katanya, mendadak saja kedua tan-

gannya disentak-sentakkan ke depan. Menyusul tu-

buhnya sudah melesat ke depan. Desingan angin pra-

hara melabrak dahsyat ke arah Bidadari Tangan 

Bayangan yang cepat menghindar. Namun serangan

itu datang susul menyusul, bahkan dilakukan dengan 

menggerakkan kedua kaki dan tangan sekaligus.

Bukan main gusarnya Bidadari Tangan Bayangan. 

Sambil melompat ke belakang untuk hindari sergapan 

kedua kaki lawan, tangan kanan dan kirinya diki-

baskan.

Wrrrrr!!

Serta merta menderu dua sinar putih bening yang 

keluarkan hawa panas. Karena saat menyerang Genda-

la Maung semakin mendekat dengan maksud memati-

kan ruang gerak, maka sulit baginya untuk hindari 

sergapan dua sinar putih itu.

Memekik tertahan lelaki berkumis baplang ini saat 

tubuhnya secara telak terhantam dua sinar putih ben-

ing itu. Tubuhnya terhuyung ke belakang. Bersamaan 

dengan itu, Bidadari Tangan Bayangan yang sudah ge-

ram, mencelat ke depan untuk habisi lawannya.

"Manusia celaka seperti kau ini tak layak untuk 

hidup! Lebih baik kau mampus berteman dengan cac-

ing tanah!!"

Tangan kanan dan kirinya pun telak bersarang 

pada dada Gendala Maung. Makin deras tubuh Genda-

la Maung terhuyung ke belakang. Lalu berhenti setelah 

menabrak sebuah batu besar. Rupanya tak sampai di 

sana penderitaan yang nampaknya dialami oleh salah 

seorang Dua Iblis Lorong Maut ini. Tubuhnya pun ter-

banting ke depan. Dan tak bergerak.

Di tempatnya, Bidadari Tangan Bayangan men-

dengus.

"Hhhh! Kau telah memilih jalanmu sendiri! Dan 

rasanya... akan kusesali bila tak kubunuh kau seka-

rang juga!!"

Kejap kemudian diarahkan pandangannya ke de-

pan.

"Hari sudah semakin menanjak. Aku harus lebih

cepat untuk mengetahui apa yang telah terjadi...."

Memutuskan demikian, perempuan berpakaian 

kuning bersih ini pun siap untuk meninggalkan tempat 

itu. Namun satu gelombang angin yang bergerak me-

nyeret tanah dan kerikil, melabrak ke arahnya.

"Heeiiii!!" memekik tertahan Bidadari Tangan 

Bayangan sambil membuang tubuh ke kanan.

Blaaarrr!!

Tanah di mana Bidadari Tangan Bayangan berdiri 

tadi seketika terbongkar dan menerbangkan bongka-

rannya ke udara. Belum lagi tanah itu sirap, menda-

dak terdengar gemuruh angin kembali yang menerobos 

gumpalan tanah.

Untuk kedua kalinya Bidadari Tangan Bayangan 

melompat ke samping kanan. Begitu hinggap kembali 

di atas tanah, dia bersiaga penuh untuk menyambut 

serangan yang datang.

Namun yang mengejutkannya, tatkala semuanya 

sirap, satu sosok tubuh berkumis baplang telah berdiri 

tegak sejarak delapan langkah dari hadapannya den-

gan bibir menyeringai.

"Gendala Maung...."

***

Orang yang tadi dua kali lancarkan serangannya 

memang Gendala Maung. Astaga! Bagaimana cara le-

laki berkumis baplang ini masih tetap dalam keadaan 

segar bugar kendati sudah dihajar berulangkali oleh 

Bidadari Tangan Bayangan?

Ini disebabkan karena pengaruh ilmu 'Tapak Ak-

hirat' yang diturunkan oleh Dedemit Tapak Akhirat. 

Ilmu 'Tapak Akhirat' dapat melindungi diri pemiliknya 

dari serangan-serangan lawan. Memang bila langsung 

terkena pukulan lawan, si pemilik ilmu 'Tapak Akhirat'

akan kewalahan menghadapinya. Namun bila telah di-

alirkan tenaga dari ilmu 'Tapak Akhirat' maka orang 

itu akan mampu berdiri lagi dalam keadaan segar bu-

gar.

Tetapi bila yang melakukannya Dedemit Tapak 

Akhirat sendiri, maka pukulan yang dilancarkan Bida-

dari Tangan Bayangan tadi tak akan mampu meng-

goyahkannya. Karena ilmu itu sudah merasuk dalam 

tubuhnya.

Di seberang Gendala Maung tertawa keras melihat 

wajah terkejut Bidadari Tangan Bayangan.

"Tadi sudah kukatakan... lain dulu lain sekarang! 

Perempuan celaka! Bersiaplah kau untuk mampus!!"

Habis kata-katanya, mendadak saja lelaki berku-

mis baplang ini rangkapkan kedua tangan di depan 

dada. Kejap kemudian ditepuknya satu kali. Suara 

yang keluar dari tepukan itu sungguh mengejutkan. 

Begitu keras, laksana guntur di siang hari. Bahkan ta-

nah di sekitarnya berdiri beterbangan.

Bidadari Tangan Bayangan sendiri merasakan da-

danya berdegup keras akibat suara yang ditimbulkan 

oleh tepukan Gendala Maung. Segera dialirkan tenaga 

dalamnya ke telinga bila tak ingin alat pendengarannya 

pecah.

"Gila! Ilmu apa yang diperlihatkannya itu? Kema-

juannya nampak begitu pesat sekali! Hhhh! Biar ba-

gaimanapun juga, aku akan menghadapinya sekuat 

tenaga! Tetapi sungguh berbahaya bila Ganda Maung 

muncul? Hanya saja... bukankah saat itu Nawang 

Wangi bercerita kalau dia melihat lelaki celaka ini ten-

gah berdiam di depan sebuah makam? Jangan-

jangan... itu makam Ganda Maung yang telah mam-

pus?"

Di seberang, Gendala Maung perlihatkan serin-

gaian lebarnya. "Kini... ajalmu telah datang, Bidadari!!"

Habis seruannya, mendadak saja ditepukkan tan-

gannya tiga kali. Saat itu pula satu tenaga raksasa 

yang mengandung hawa panas dan menyeret tanah 

serta bebatuan menderu ke arah Bidadari Tangan 

Bayangan.

Tak menyangka serangan seganas itu yang da-

tang, perempuan berpakaian kuning bersih ini lang-

sung melompat ke samping kanan. Akibatnya....

Blaaaammmm!!

Lima buah batu besar yang berada di belakang-

nya, langsung rengkah menjadi kerikil dan berpentalan 

ke sana kemari. Bidadari Tangan Bayangan sendiri 

berdiri tegak dengan napas memburu.

Di tempatnya Gendala Maung terbahak-bahak 

keras.

"Tak ada jalan untuk menghindar dari tangan-

ku! Kenyataan pahit nampaknya sudah membentang 

di matamu! Bersiaplah untuk kukirim ke neraka!!"

Belum habis dia berucap, kembali kedua tangan-

nya ditepukkan. Terdengar suara menyalak keras serta 

menderunya tenaga besar yang ganas.

Untuk kedua kalinya Bidadari Tangan Bayangan 

harus berjumpalitan. Dari hawa yang terpancar dari 

tenaga besar itu, dia sadar betul kalau tak mungkin 

untuk memapakinya. Maka jalan satu-satunya adalah 

menghindar.

Begitulah seterusnya. Dengan terbahak-bahak 

Gendala Maung terus lancarkan serangannya. Sebe-

narnya dia memang sengaja menyerang seperti itu un-

tuk menguras tenaga Bidadari Tangan Bayangan.

Sementara itu, si perempuan sendiri nafasnya su-

dah kembang kempis. Keringat semakin banyak mem-

banjiri sekujur tubuhnya. Pakaian bersih yang dikena-

kannya sudah dipenuhi kotoran, ini diakibatkan kare-

na dia terlalu sering berguling untuk hindari gempuran

lawan.

"Celaka! Aku bisa mampus sekarang!" desis Bida-

dari Tangan Bayangan dengan wajah pucat. Tenaganya 

sudah banyak keluar. Dan dia yakin tak lama lagi dia 

tak akan mampu untuk menghindari gempuran ganas 

yang dilancarkan lelaki berkumis baplang itu.

Tetapi mau tak mau dia memang harus menghin-

dar. Lima kejapan mata bukanlah waktu yang lama 

sebenarnya, namun dirasakan begitu lama oleh Bida-

dari Tangan Bayangan sebelum akhirnya Gendala 

Maung hentikan serangannya.

Kedua tangannya masih merangkap di depan da-

da. Sambil menyeringai dia berseru, "Permainan telah 

selesai! Kini kita memasuki permainan yang sesung-

guhnya!"

Habis ucapannya, mendadak saja tubuhnya men-

celat ke depan. Kedua tangan yang tadi terangkap di 

depan dada kini terangkat dan siap digerakkan.

Sadar akan bahaya yang mengancam, Bidadari 

Tangan Bayangan segera menghindar bersamaan tan-

gan kanan Gendala Maung mengibas dan keluarkan 

suara..

Blaaarrr!!

Serta merta menderu gelombang angin panas yang 

percikkan warna merah ke arah Bidadari Tangan 

Bayangan.

Memekik tertahan perempuan ini dengan wajah 

laksana tanpa darah. Dia memang masih berhasil 

menghindari sambaran tenaga ganas itu yang meng-

hantam rengkah tanah di mana dia berdiri tadi yang 

seketika membentuk sebuah lubang yang keluarkan 

asap.

Namun dua gebrakan berikutnya, Bidadari Tan-

gan Bayangan mengalami nasib sial. Karena di saat dia 

hendak menghindar, keadaannya yang memang sudah

lelah, membuat kaki kanannya terantuk batu.

Mau tak mau perempuan berpakaian kuning ber-

sih ini ambruk dengan wajah menimpa tanah. Saat itu-

lah tenaga dahsyat yang dilepaskan Gendala Maung 

melabrak mengerikan.

Namun rupanya nasib masih berpihak pada Bida-

dari Tangan Bayangan. Selagi tenaga dahsyat itu siap 

mengirimnya ke akhirat, mendadak saja terdengar su-

ara menggelegar laksana salakan guntur dari samping 

kanan. Dan menghantam tenaga yang dilepaskan Gen-

dala Maung.

Blaaammmm!!

Bukan buatan akibat yang ditimbulkan. Tanah di 

mana bertemunya dua pukulan itu terbongkar dan 

menerbangkan bongkarannya ke udara. Cukup tinggi 

hingga cukup lama pula mengapung di udara sebelum 

akhirnya luruh kembali.

Tatkala pandangan tak terhalang lagi oleh gumpa-

lan tanah itu, terlibat satu sosok tubuh berpakaian hi-

jau pupus telah membopong tubuh Bidadari Tangan 

Bayangan yang nampak lemah namun tersenyum lega.

Di seberang, sepasang mata Gendala Maung 

membuka lebih lebar. Kemudian terdengar suaranya 

yang dipadu dengan tawa sengit, "Bagus! Rupanya kau 

datang sendiri untuk mengantar nyawamu padaku, 

Pendekar Slebor!!"

***

8


Orang yang menyelamatkan Bidadari Tangan 

Bayangan memang Pendekar Slebor adanya. Sesung-

guhnya pemuda dari Lembah Kutukan ini sempat terkejut tatkala disaat dia tiba di sana, dilihatnya Genda-

la Maung sedang lancarkan serangan dahsyat pada pe-

rempuan berpakaian kuning ini. Keterkejutan Andika 

bukan dikarenakan nasib sial yang akan menimpa Bi-

dadari Tangan Bayangan, melainkan melihat betapa 

ganasnya serangan yang dilancarkan Gendala Maung.

Jelas sekali dalam ingatannya tatkala bertarung 

dengan Gendala Maung dan Ganda Maung, kalau tak 

ada ilmu sedahsyat itu yang diperlihatkan masing-

masing orang. Saat itu pula Andika sadar, kalau lawan 

telah menuntut ilmu kembali. Dan dalam waktu yang 

singkat, bukanlah waktu yang tepat guna menuntut 

ilmu aneh itu bila tidak diturunkan oleh seseorang 

yang memiliki kesaktian cukup tinggi.

Kendati demikian, sambil menurunkan tubuh Bi-

dadari Tangan Bayangan, pemuda urakan ini berkata, 

"Busyet! Kok dunia sempit amat, ya? Kenapa bisa ber-

temu denganmu lagi, sih? Kau juga yang keganjenan, 

pakai mencari-cari segala!!"

"Tutup mulutmu!!"

Andika cuma mengangkat sepasang alisnya yang

laksana kepakan sayap elang. Mulutnya nyerocos lagi, 

"Kalau yang menyuruh seorang gadis dan menutup 

mulutku dengan bibirnya, amboooiii asyik betul! Tetapi 

sayang... yang bicara cuma kambing buduk belaka!!"

"Keparaattt!!" bergetar tubuh Gendala Maung 

mendengar ejekan itu. Tetapi sebelum salah seorang 

dari Dua Iblis Lorong Maut ini membuka mulut, pe-

muda yang di lehernya melilit kain bercorak catur su-

dah berkata lagi.

"Busyet! Kenapa mesti marah? Masih mending 

kau kubilang kambing buduk! Coba kalau kubilang 

babi celaka, kurus, budukan, bau dan lain-lain! Kan 

lebih parah!!"

Pemuda dari Lembah Kutukan ini memang sengaja mengajak Gendala Maung untuk bercakap-cakap le-

bih lama, mengingat dia harus mengobati Bidadari 

Tangan Bayangan. Diam-diam, sambil bercakap-cakap, 

Andika telah menempelkan telapak tangannya pada 

punggung Bidadari Tangan Bayangan yang segera di-

alirkan tenaga 'Inti Petir'.

"Jahanam sial! Gagal membunuh Bidadari Tangan 

Bayangan, tak boleh kubiarkan gagal membunuh pe-

muda celaka itu! Dia telah mempermalukanku di ha-

dapan semua orang! Terutama, nasib sial yang dialami 

Ganda Maung!" maki Gendala Maung geram. Lalu ber-

seru, "Jangan bicara seenak perutmu saja! Kini yang 

ada di hadapanmu telah jauh berubah! Kau akan ter-

kejut bila tahu siapa aku sekarang ini?"

"Oh!" desis Andika dengan kepala melengak. Wa-

jahnya dibuat terkejut dengan mata dibeliak-

beliakkan. Lalu dengan suara dibuat gemetar dia ber-

kata, "Gila! Jadi kau... sebenarnya perempuan? Atau... 

kau mendadak begitu saja telah berubah menjadi pe-

rempuan? Sayang betul... mengapa tampangmu masih 

jelek seperti kambing hendak buang wajah begitu?!"

"Pemuda celaka!! Kubunuh kauu!!"

Habis makiannya, Gendala Maung yang sudah tak 

sabar menahan diri lagi mendengar ejekan Pendekar 

Slebor, segera rangkapkan tangannya di depan dada. 

Kejap itu pula ditepukkannya hingga terdengar suara 

menggelegar keras. Kejap itu pula satu gelombang te-

naga dahsyat menggebrak ke arah Pendekar Slebor. 

Hawa panas yang ditimbulkan oleh tenaga itu seolah 

menyengat Pendekar Slebor, belum lagi percikan sinar 

merah yang memantulkan cahaya matahari.

Sesaat Andika terpana melihatnya.

"Gila! Mengerikan sekali ilmu yang diperlihatkan-

nya!!" makinya dalam hati. Kejap itu pula dia menarik 

tangan Bidadari Tangan Bayangan dan membawanya

bergulingan.

Bummmmm!!!

Tanah di mana dia berpijak tadi langsung rengkah 

beterbangan. Sebuah batu sebenar anak kambing pe-

cah berpentalan laksana puluhan anak panah.

"Hebat tapi kejam!" dengus Andika tatkala berdiri 

kembali. Dia berbisik pada Bidadari Tangan Bayangan, 

"Cepat menyingkir dari sini...."

"Tidak! Manusia laknat itu harus membayar atas

perbuatannya!" geram Bidadari Tangan Bayangan. Se-

telah dialirkan tenaga 'Inti Petir' oleh pemuda yang 

berdiri di sisi kanannya, dirasakan tubuhnya sudah te-

rasa lebih baik dan agak segar.

Andika mengeluh dalam hati, "Kura-kura bau! Bila 

dia masih berada di sini, sulit bagiku untuk imbangi 

setiap serangan yang dilakukan Gendala Maung!"

Kemudian katanya lagi, "Jangan keras kepala! Bi-

sa-bisa kita berdua akan celaka!"

"Tak peduli apakah hari ini aku akan mampus 

atau tidak! Manusia celaka itu harus mendapatkan 

ganjarannya!"

"Busyet! Nanti saja kau pikirkan soal itu! Kalau ki-

ta berdua mampus di sini... siapa yang akan menjaga 

muridmu yang cantik itu?"

Ucapan yang dilakukan Andika barusan sebenar-

nya asal saja. Tetapi Bidadari Tangan Bayangan sesaat 

memandanginya. Kejap kemudian dia berkata lagi, 

"Urusan kau mencintai muridku atau tidak, bisa diatur 

belakangan! Justru aku lebih rela mati sementara kau 

bisa bersanding dengan muridku sesuai keinginanmu!"

Andika tergagap sejenak. "Busyet! Kok jadi begi-

ni?" desisnya dalam hati. Lalu berseru, "Jangan ba-

nyak membantah lagi sekarang! Lebih baik...."

"Tak ada waktu lagi untuk membiarkan kalian hi-

dup!!" seruan Gendala Maung memutus kata-kata An

dika.

Bersamaan dengan itu, tubuhnya mencelat ke de-

pan. Tangan kanan dan kirinya digerakkan. Seketika

nampak gelombang angin yang percikkan sinar merah 

keluar dari tapak kedua tangannya. Menyusul suara 

mengerikan laksana salakan guntur. 

Blgaaarrr!!

Pendekar Slebor segera mendorong tubuh Bidadari 

Tangan Bayangan ke samping kiri. Sementara dia sen-

diri sudah menggebrak ke depan. Tenaga 'Inti Petir' 

tingkat ketiga telah dipergunakan.

Blaaammm! Blaaammm!!

Suara menggelegar saat itu pula terdengar menge-

rikan. Nampak sosok Pendekar Slebor terlempar ke be-

lakang dengan deras. Bila saja dia tak segera kuasai 

keseimbangannya, maka tak ampun lagi tubuhnya 

akan menabrak batu besar di belakangnya.

Sementara itu, Gendala Maung berdiri tegak sam-

bil terbahak-bahak. Dia hanya surut tiga tindak.

"Ajal telah datang padamu, Pendekar Slebor! Ilmu 

'Tapak Akhirat' yang baru saja kupelajari akan men-

jemputmu dalam kematian!!"

Sementara Bidadari Tangan Bayangan akhirnya 

membenarkan kata-kata Andika, pemuda itu sendiri 

sedang membatin, "Ilmu 'Tapak Akhirat'? Nampaknya 

aku pernah mendengar nama itu. Oh, bukan! Bukan 

sejenis ilmu! Tetapi sebuah julukan! Ya, sebuah julu-

kan yang dikatakan Eyang Saptacakra! Dedemit Tapak 

Akhirat! Apakah ilmu itu diturunkan dari Dedemit Ta-

pak Akhirat?"

Berpikir demikian, masih tetap bersikap konyol 

padahal nafasnya sudah senin-kemis, pemuda urakan 

ini berkata, "O... jadi itu toh yang dinamakan ilmu 

'Tapak Akhirat'? Masih cetek! Masih kalah dengan ilmu 

yang kumiliki! Ilmu 'Tapak Kaki Akhirat Yang Jauh'!

Nah! Apa coba itu?!"

Wajah Gendala Maung mengkelap mendengar eje-

kan orang. Sebelum dia lancarkan serangan kembali, 

Andika sudah membuka mulut, "O ya sampai lupa! 

Bagaimana kabarnya Dedemit Tapak Akhirat?!"

Pertanyaan yang dilontarkan Pendekar Slebor se-

benarnya asal saja, lebih banyak ditujukan sebagai 

pembuktian hasil pikirannya. Dan dia sempat melihat 

perubahan wajah Gendala Maung, yang kali ini menye-

ringai lebar.

"Hebat bila kau mengenal guruku! Hhhh! Bersiap-

lah untuk mampus!!"

Di tempatnya Andika membatin, "Rupanya dia 

murid dari Dedemit Tapak Akhirat! Menurut Eyang 

Guru... Dedemit Tapak Akhirat adalah adik sepergu-

ruan Jala Kunti yang kini menitis pada Dewi Selen-

dang Hitam! Hmmm... seharusnya bukan manusia se-

bangsa Gendala Maung yang kuhadapi! Tetapi Dewi 

Selendang Hitam yang entah berada di mana seka-

rang!!"

Selagi Andika membatin demikian, Gendala 

Maung sudah lancarkan serangannya kembali. Kali ini 

membabi buta. Bukan hanya diarahkan pada Pendekar 

Slebor saja, tetapi juga pada Bidadari Tangan Bayan-

gan.

Kejap itu pula terdengar suara menggelegar yang 

dahsyat disertai letupan-letupan keras. Entah sudah 

berapa banyak bebatuan yang pecah terhantam. Tak 

terhitung lagi tanah yang kini telah membentuk lu-

bang-lubang yang keluarkan asap.

"Kutu monyet! Manusia itu tak memberi kesempa-

tanku untuk membalas!" maki Andika keras. "Bisa-

bisa... aku benar-benar mampus nih!!"

Sambil menghindari serangan lawan yang tengah 

mengumbar ilmu 'Tapak Akhirat', Andika melihat betapa pucatnya wajah Bidadari Tangan Bayangan yang 

berusaha keras menghindari setiap serangan ganas 

itu. Berulangkali perempuan ini keluarkan jeritan ter-

tahan. Berulangkali pula dia berlompatan laksana ke-

linci dikejar serigala.

Andika menggeram jengkel.

Untuk menyerang masuk bukanlah suatu hal 

yang mudah. Karena, setiap kali Andika mencoba ber-

gerak, setiap kali pula serangan dahsyat itu menderu.

"Astaga! Apa yang harus kulakukan sekarang?" 

maki Andika dalam hati. Jantungnya berdetak dengan 

cepat dan aliran darah yang kacau. "Peduli kutu-kutu 

monyet! Aku harus berusaha membalasnya!!"

Lalu tanpa hiraukan keselamatannya sendiri, 

mendadak saja pemuda pewaris ilmu Pendekar Lem-

bah Kutukan ini melompat ke samping. Begitu sepa-

sang kakinya menginjak tanah, kejap itu pula tubuh-

nya menerjang ke depan. Tangan kanannya telah me-

nyambar kain bercorak catur yang segera dikibaskan.

Terdengar suara laksana ribuan tawon murka di-

iringi gelombang angin raksasa yang mengerikan.

Wrrrrrr!

Blaaammmm!!

Sungguh keanehan terjadi. Setelah gelombang an-

gin raksasa yang ditimbulkan oleh kain bercorak catur 

bertemu dengan serangan ilmu 'Tapak Akhirat' yang 

dilepaskan Gendala Maung, mendadak saja kain ber-

corak catur itu seperti menangkap tenaga Gendala 

Maung. Sadar akan hal itu, Andika seketika melompat 

untuk membetot. Bersamaan dengan itu tangan ki-

rinya dipukulkan. Ajian 'Guntur Selaksa' sudah diki-

rimkan.

Memekik tertahan Gendala Maung menyadari di-

rinya telah masuk ke pusaran lingkaran. Dengan cara 

menahan napas dalam perutnya, tenaga yang dilepaskannya tadi terlepas dari lilitan kain bercorak ca-

tur. Bersamaan dengan itu, dia dorong tangan kanan 

kirinya ke depan.

Kembali terdengar letupan yang sangat keras.

Masing-masing orang kini mundur lima tindak ke 

belakang. Dan sama-sama memandang tak berkedip. 

Kalau Andika masih sempat menggaruk-garuk kepa-

lanya yang tidak gatal, Gendala Maung justru melotot 

kejam.

"Terkutuk! Kupikir kain bercorak catur yang sejak 

tadi melilit di lehernya itu hanyalah sebuah gombal be-

laka! Tidak tahunya sebuah senjata yang ampuh!!" 

maki Gendala Maung dalam hati.

Sementara itu Andika membatin, "Sebenarnya 

urusanku bukanlah dengan manusia ini. Melainkan 

dengan Jala Kunti yang telah menitis pada Dewi Se-

lendang Hitam. Juga dengan Dedemit Tapak Akhirat! 

Huh! Sungguh konyol Eyang membiarkanku mengha-

dapi semua ini!!"

Di seberang, Gendala Maung yang kian menjadi 

penasaran sudah menggebrak kembali. Andika pun 

langsung menyambutnya dengan menggerakkan kain 

bercorak catur.

Memekik tertahan lelaki berkumis baplang itu 

tatkala merasakan wajahnya seperti ditampar oleh 

tangan kasar. Cepat dia menghindari menjauh sambil 

dorong kedua tangannya ke depan. Andika kembali 

menggerakkan kain bercorak caturnya. Kali ini dengan 

cara memutar.

Sraaappp!!

Tenaga yang keluar dari ilmu 'Tapak Akhirat' ter-

tangkap oleh lilitan kain bercorak caturnya. Bersa-

maan dengan itu, dia melesat maju. Kaki kanannya 

menendang tumit kaki kiri Gendala Maung yang saat 

itu tertekuk seperti hendak rubuh.

Bersamaan dengan itu, tangan kiri Andika yang 

telah terangkum ajian 'Guntur Selaksa' bergerak. Tepat 

menghantam dada Gendala Maung. Kendati demikian, 

dia juga berhasil menyarangkan pukulannya pada da-

da Andika.

Des! Des!!

Masing-masing orang terlempar ke belakang. Begi-

tu ambruk ke tanah, tak ada yang segera berdiri. Bida-

dari Tangan Bayangan melihat kesempatan untuk me-

nyerang Gendala Maung.

Namun sebelum dilakukannya, mendadak saja ta-

nah yang dipijaknya bergetar. Andika dan Gendala 

Maung sendiri juga merasakannya.

Cepat masing-masing orang berdiri tegak. Dirasa-

kan kembali bagaimana tanah yang mereka pijak ber-

getar kembali, dan getaran tanah itu seolah naik ke 

dada, hingga keduanya yang memang telah terluka da-

lam merasakan betapa nyeri dada mereka.

Dua kejapan kemudian satu sosok tubuh muncul 

dan langsung keluarkan suara, "Kucium bau darah 

Saptacakra yang mengalir pada dirimu, Pemuda ber-

pakaian hijau pupus!! Dan kutangkap... ilmu 'Tapak 

Akhirat' milik adik seperguruanku!! Tetapi dia tak ada 

di sini! Berarti, yang memilikinya harus mampus, ber-

samaan dengan cucu buyut Saptacakra!!"

Masing-masing orang tak ada yang keluarkan sua-

ra. Sepasang mata Bidadari Tangan Bayangan mem-

buka. Kejap itu pula dia mendesis, "Dewi Selendang 

Hitam... tetapi, mengapa gerakannya begitu kaku? Dan 

suaranya... begitu dingin mengerikan...."

***

9


Tri Sari dan Nawang Wangi yang sedang mencoba 

melacak jejak perempuan bernama Jala Kunti yang te-

lah lakukan pembantaian di dusun yang mereka sing-

gahi, hentikan langkah di sebuah jalan setapak. Napas 

masing-masing gadis terengah-engah.

"Perempuan itu mungkin sudah menjauh.... Dan 

rasanya, tak mungkin untuk dikejar lagi...," kata Tri 

Sari sambil mengatur napas.

"Kau benar. Lebih baik... kita teruskan langkah 

mencari Dewa Suci...," sahut Nawang Wangi.

"Mencari Dewa Suci pernah kulakukan bersama 

Bibik Bidadari Tangan Bayangan. Dan ternyata tak 

mudah menemukannya."

"Itu disebabkan dia sedang keluar dari Bukit Balu-

Balu. Tri Sari... apakah tidak lebih baik kita menda-

tangi Bukit Balu-Balu kembali? Kau kan pernah ke 

sana, tentunya kau masih ingat jalannya, bukan?"

Putri Pendekar Sutera yang tewas di tangan Dewi 

Selendang Hitam itu terdiam sesaat sebelum berkata, 

"Ya... lebih baik kita ke sana saja. Mudah-mudahan...."

"Tak perlu kalian bersusah payah mendatangi Bu-

kit Balu-Balu. Aku telah tiba di sini." Terdengar satu 

suara bernada sopan dari belakang keduanya.

Serentak kedua gadis itu membahkkan tubuh. Se-

jarak sepuluh langkah dari hadapan mereka, telah 

berdiri satu sosok tubuh berpakaian dan berjubah pu-

tih. Agak membungkuk dengan wajah dan pancaran 

mata begitu teduh sekali. Rambut orang tua ini sudah 

memutih sebahu. Demikian pula dengan kumis dan 

jenggotnya. Kedua tangannya berada di belakang ping-

gul dan di pergelangan tangan kanan dan kirinya ter-

dapat gelang terbuat dari giok berwarna hijau muda.

Orang tua yang wajahnya dilapisi kulit yang tipis 

ini tersenyum melihat pandangan terkejut dari kedua 

gadis itu.

Nawang Wangi yang sebelumnya pernah menden-

gar suara seperti yang diucapkan orang tua di hada-

pannya segera mengubah sikapnya. Dia langsung 

rangkapkan kedua tangannya di depan dada, "Dewa 

Suci...."

Orang tua yang tak lain Dewa Suci adanya terse-

nyum. "Apa kabarmu, Nawang Wangi?"

"Aku baik-baik saja. Terima kasih sekali lagi kuu-

capkan atas pertolonganmu waktu itu...."

"Aku cuma kebetulan saja lewat."

Tri Sari yang kini yakin kalau orang tua yang me-

reka cari telah berada di hadapannya berkata, "Kakek 

Dewa Suci... kami datang untuk meminta bantuan-

mu...."

Dewa Suci tersenyum, begitu arif.

"Aku sudah tahu.... Tentunya Bidadari Tangan 

Bayangan yang mengutus kalian, bukan? Jala Kunti 

telah terlepas dari kuncian yang dilakukan Ki Sapta-

cakra... majikan Lembah Kutukan yang mempunyai 

seorang murid yang berjuluk Pendekar Slebor. Jala 

Kunti pun siap untuk jalankan segala kutukannya dan 

kini dia menitis pada perempuan kejam berjuluk Dewi 

Selendang Hitam. Kesaktian Jala Kunti hanya bisa di-

kalahkan oleh Ki Saptacakra belaka. Bahkan boleh di-

katakan, aku pun masih belum mampu untuk menga-

lahkannya. Tetapi mudah-mudahan... muridnya yang 

agak urakan itu mampu melakukannya...."

Sesaat kedua gadis ini saling pandang, sebelum 

akhirnya mengerti apa maksud Dewa Suci. Mereka kini 

disadarkan, kalau perempuan bernama Jala Kunti 

yang telah menghancurkan sebuah dusun untuk men-

cari seseorang yang bernama Ki Saptacakra adalah sebuah roh yang masih melayang akibat kutukannya 

sendiri. Dan kini telah menitis pada Dewi Selendang 

Hitam. Mereka pun paham kalau sasaran berikut dari 

roh Jala Kunti adalah Pendekar Slebor.

"Lalu... bagaimana bila Pendekar Slebor gagal 

mengalahkannya, Kakek?" tanya Nawang Wangi ke-

mudian. Tatkala teringat wajah pemuda itu, wajahnya 

sejenak memerah.

"Jalan satu-satunya... haruslah mencari Ki Sapta-

cakra! Dialah yang dulu pernah mengalahkan Jala 

Kunti."

"Bagaimana bila membutuhkan waktu yang san-

gat lama untuk menemukan di mana Ki Saptacakra 

berada?"

Kakek berwajah teduh itu tak segera menjawab. 

Dia justru usap-usap jenggotnya, "Terpaksa... aku pun 

harus turun tangan. Tetapi aku yakin, pemuda slebor 

itu dapat mengalahkan atau paling tidak mencari ke-

lemahan dari Jala Kunti. Setahuku, di saat aku dulu 

berjumpa dengan Ki Saptacakra, kelemahan perem-

puan itu terletak pada kaki kirinya. Entah bagaimana 

sekarang... apakah masih tetap atau sudah berubah 

karena dia telah menitis pada jasad seseorang yang 

masih hidup...."

Masing-masing orang tak membuka mulut. Bebe-

rapa helai daun berguguran dihembus angin.

Lalu terdengar Tri Sari ajukan tanya, "Aku masih 

belum mengerti... mengapa roh Jala Kunti tidak segera 

kembali kepada Sang Pencipta?"

"Karena kutukannya sendiri! Kutukannya telah 

didengar oleh arwah-arwah dari kegelapan.... Dan 

nampaknya dia mendapat restu untuk menitis kembali

guna menuntaskan segala dendam lamanya.... Me-

mang sulit diterima oleh akal, tetapi itulah yang terja-

di...," sahut Dewa Suci. Kemudian katanya, "Anak

anakku.... Sekarang... pergilah kalian menuju ke arah 

barat. Bila Pendekar Slebor berhasil mengalahkan roh 

Jala Kunti yang menitis pada Dewi Selendang Hitam... 

katakan padanya, kalau aku menunggunya di Bukit 

Balu-Balu. Dan bila dia justru yang dikalahkan oleh-

nya, kalian datanglah mengabarkan soal itu padaku di 

Bukit Balu-Balu...."

Tri Sari dan Nawang Wangi sama-sama angguk-

kan kepalanya.

Dewa Suci berkata, "Satu hal yang perlu kalau in-

gatkan pada Pendekar Slebor... saat menghadapi ma-

nusia itu, jangan sekali-sekali menatap matanya...."

"Mengapa, Kakek?" tanya Nawang Wangi.

"Kalian akan tahu sendiri nanti...."

Habis kata-katanya, seperti datangnya yang tiba-

tiba Dewa Suci menghilang dari pandangan.

Tinggallah kedua gadis itu yang terdiam. Kehenin-

gan dipecahkan oleh kata-kata Tri Sari, "Nawang... kita 

harus segera bergerak menuju ke barat...."

Nawang Wangi menganggukkan kepalanya.

"Tri Sari... entah mengapa aku merasa satu geta-

ran yang aneh di dadaku...."

"Tentang apa?"

"Tak bisa digambarkan. Tetapi... aku begitu kha-

watir mengingat nasib Pendekar Slebor...."

Tri Sari terdiam sejenak. Diam-diam dia paham 

betul apa yang sedang dipikirkan oleh gadis berbaju 

biru kehijauaan ini.

"Rupanya dia telah jatuh cinta pada Pendekar Sle-

bor.... Ah, cinta memang begitu cepat datangnya.... 

Bahkan sulit dibendung bila sudah muncul...."

Kemudian sambil menepuk bahu Nawang Wangi, 

Tri Sari berkata, "Biar kau tidak terlalu merasa cemas, 

lebih baik kita segera berangkat ke arah barat. Ba-

rangkali, apa yang dikatakan oleh Kakek Dewa Suci

tadi, membawa kita pada Pendekar Slebor. Atau... pada 

siapa pun juga. Aku tidak begitu pasti...."

Nawang Wangi menarik napas panjang. Dia agak 

malu mengingat dirinya telah jatuh cinta pada Pende-

kar Slebor. Lalu dia berkata, "Yah... kita segera be-

rangkat sekarang. Mudah-mudahan kita juga tahu apa 

yang dialami guruku saat ini...."

Tri Sari menganggukkan kepalanya. Lalu kedua 

gadis perkasa ini pun segera berangkat menuju ke ba-

rat.

***

Suasana hening seolah cengkeraman kaki burung 

garuda raksasa pada tanah yang dipenuhi gugusan 

bebatuan itu, kian menggigit dalam. Rambatan mata-

hari terus menanjak naik.

Pendekar Slebor menarik napas pendek begitu me-

lihat siapa yang muncul. Diam-diam pemuda urakan 

dari Lembah Kutukan ini membatin, "Dewi Selendang 

Hitam... orang yang telah dititisi roh Jala Kunti...."

Bidadari Tangan Bayangan yang masih meman-

dang tak berkedip membatin, "Gila! Apa yang telah ter-

jadi pada perempuan kejam itu? Sikapnya... sungguh 

angker dan mengerikan!"

"Darah Saptacakra telah kucium! Dan tak ingin 

kuputuskan segala apa yang telah kudapati ini!!" ter-

dengar suara dingin itu. Sosok tubuh Dewi Selendang 

Hitam tetap tegak tak bergerak. Matanya tak berkedip 

sekejap pun juga.

Lalu mendadak laksana robot, perempuan ini 

memalingkan kepala ke arah Gendala Maung yang ju-

ga sedang menatapnya penuh keheranan.

"Kau bukanlah Dedemit Tapak Akhirat! Tetapi 

mengapa kau bisa memiliki ilmu Tapak Akhirat' milik

nya, hah?!" 

Melengak dan sampai mundur satu langkah Gen-

dala Maung mendengar suara yang dingin itu. Begitu 

teringat akan cerita gurunya, dia langsung merang-

kapkan kedua tangannya di depan dada.

"Bibik Guru... namaku Gendala Maung, murid da-

ri Dedemit Tapak Akhirat, adik seperguruanmu...."

"Manusia itu tak memiliki murid! Jangan bicara 

ngaco bila tak ingin tubuhmu kucabik-cabik!!"

"Tidak, Bibik Guru! Apa yang kukatakan ini sung-

guh sebuah kenyataan! Beliau adalah...."

Terputus kata-kata Gendala Maung tatkala mera-

sakan satu gelombang angin yang semakin lama mem-

besar menggebrak ke arahnya. Terkesiap lelaki berku-

mis baplang ini sambil menghindar. Namun belum lagi 

dia berdiri, kembali dirasakan gelombang angin yang 

menggemuruh menderu ke arahnya.

"Bangsat! Terkutuklah kau, Jala Kunti!!" makinya 

geram.

Lalu segera ditepuk kedua tangannya dan bersa-

maan dengan itu didorong ke depan. Terdengar suara 

yang mengerikan dengan menggebraknya gelombang 

angin yang percikkan sinar merah.

Yang terjadi kemudian membuat wajah Gendala 

Maung menjadi pucat pasi, karena serangan yang dila-

kukannya seperti nyeplos begitu saja laksana masuk 

ke dalam gulungan asap. Sementara itu gelombang an-

gin yang menderu dari tubuh Dewi Selendang Hitam 

yang tadi gerakkan tangan kanannya begitu kaku se-

perti robot, terus memburu ke arahnya.

Memekik tertahan Gendala Maung sambil coba 

papaki kembali dengan ilmu 'Tapak Akhirat' nya. Na-

mun hasilnya sama saja seperti yang pertama tadi.

"Kau tak pantas menjadi murid Dedemit Tapak 

Akhirat! Tak seorang pun boleh menurunkan ilmunya!

Kau harus mampus!!" terdengar suara dingin itu beru-

lang-ulang.

Dengan gerakan-gerakan kaku dia terus lancar-

kan serangan ganasnya pada Gendala Maung yang di-

buat lintang pukang. Wajahnya kini benar-benar pucat 

laksana tanpa darah.

Kendati tahu ilmu 'Tapak Akhirat' yang dile-

paskannya tak banyak membantu, namun lelaki ber-

kumis baplang ini masih berusaha keras untuk mela-

kukannya. Akibatnya, bisa ditebak.

Begitu serangannya nyeplos, satu gelombang an-

gin yang tak keluarkan hawa dingin maupun panas te-

lah menggebrak ke arahnya.

Melihat kalau Gendala Maung sudah berada di 

ambang maut, Pendekar Slebor mencoba bertindak. 

Dia langsung cabut kain bercorak caturnya yang sege-

ra dipadukan dengan ajian 'Guntur Selaksa'.

Suara salakan yang bersatu dengan gemuruh an-

gin laksana ribuan tawon murka menggebrak. Namun 

serangan itu nyeplos begitu saja. Sementara gelom-

bang angin yang dilepaskan oleh roh Jala Kunti yang 

menitis pada Dewi Selendang Hitam tak bisa dihenti-

kan lagi.

Siap menghajar mati Gendala Maung.

Dalam keadaan yang kritis itu, Andika masih bisa

bertindak cepat sekaligus nekat. Kaki kanannya me-

layang, menendang tubuh Gendala Maung yang sekali-

gus diselamatkannya.

Blaaamm!!

Dua buah batu besar langsung hancur menjadi 

serpihan begitu terhantam gelombang angin tadi. Di 

tempatnya, wajah Dewi Selendang Hitam yang kaku 

dan tak sekali pun kedipkan matanya, bergerak ke 

arah Pendekar Slebor yang sedang berdiri.

Sementara itu tak menyangka kalau dirinya akan

diselamatkan oleh orang yang dibencinya, Gendala 

Maung menggeram. Dia tak suka nyawanya disela-

matkan oleh Pendekar Slebor. Namun biar bagaimana-

pun juga, bila dia tak diselamatkan, bisa jadi nya-

wanya akan putus saat itu juga.

Terdengar suara dingin Dewi Selendang Hitam, 

"Keturunan Saptacakra harus mampus hari ini juga!!"

Habis seruan itu, dengan gerak yang kaku tangan 

kanan dan kiri Dewi Selendang Hitam terangkat, lalu 

mendorong ke arah Andika.

Sadar kalau akan percuma bila serangan ganas 

itu dipapaki, Andika mencoba menghindar. Dan belum 

lagi pemuda dari Lembah Kutukan ini menginjak ta-

nah, gelombang angin lain sudah menderu ke arahnya.

"Celaka! Bagaimana caraku untuk menghada-

pinya?" desisnya dengan wajah mulai dipenuhi kerin-

gat. Mendadak dia teringat akan kata-kata Ki Saptaca-

kra. "Kaki kiri... ya, kaki kirinya yang harus kuserang 

sekarang. Kendati Eyang buyut tak begitu yakin lagi 

akan kelemahan Jala Kunti, aku harus menco-

banya...."

Memutuskan demikian, sambil menghindari se-

rangan-serangan aneh yang ganas yang dilancarkan 

oleh Dewi Selendang Hitam, Pendekar Slebor menga-

rahkan serangannya pada kaki kiri Dewi Selendang Hi-

tam.

Namun hasilnya tetap tak bisa diharapkan. Kare-

na begitu kain bercorak catur yang telah dialirkan 

ajian 'Guntur Selaksa' menggebrak, manusia itu tetap 

saja berdiri kokoh. Bahkan dengan ganas melancarkan 

serangannya.

Sementara itu Gendala Maung seolah menda-

patkan kesempatan untuk meneruskan niatnya mem-

bunuh Pendekar Slebor. Lelaki berkumis baplang yang 

tak tahu membalas budi ini segera melancarkan serangannya tatkala Pendekar Slebor sedang keblingsa-

tan.

Namun sebelum ajian 'Tapak Akhirat' mengenai 

sasarannya, mendadak saja satu gelombang angin de-

ras telah menggebrak ke arahnya.

Saat itu pula terdengar pekikan tertahan Gendala

Maung bersama satu suara dingin, "Mencoba mengha-

langi keinginanku untuk membalas keturunan Sapta-

cakra, berarti akan mampus!!"

Kejap itu pula Gendala Maung terseret deras ke

samping kanan tatkala dadanya dihantam gelombang 

angin yang tak keluarkan hawa panas maupun dingin.

Tubuhnya ambruk tatkala menghantam sebuah batu 

besar yang langsung retak bersamaan dengan suara 

'krak'! Tanda tulang punggungnya patah.

Belum lagi dia sadar betul dengan nasib sial yang 

di alaminya, mendadak saja gelombang angin menderu 

kembali ke arahnya. Andika yang melihat nasib naas 

akan menimpa Gendala Maung mencoba menahan se-

rangan itu. Namun dia gagal melakukannya. Maka 

tanpa ampun lagi, tubuh lelaki berkumis baplang itu 

telak terhajar gelombang angin yang dilepaskan roh 

Jala Kunti yang menitis pada Dewi Selendang Hitam.

Terdengar lolongan yang menggema di tanah luas 

yang dipenuhi bebatuan itu. Saat tubuhnya berhenti 

dari kelojotannya, terlibat dadanya bolong besar den-

gan jantung hangus.

Di tempatnya, Andika menggeram keras melihat 

nasib sial yang dialami oleh Gendala Maung.

"Rasanya... sungguh sulit menghadapi manusia 

celaka itu sekarang! Lebih baik... kupergunakan ajian 

'Tapa Geni' yang pernah diajarkan oleh Eyang Sangso-

ko Murti...."

Memutuskan demikian, perlahan-lahan pemuda 

dari Lembah Kutukan ini menarik napas panjang. Lalu

diarahkan tenaga dalam pada perutnya. Kejap berikut-

nya, hawa panas segera terpancar dari tubuhnya.

Bidadari Tangan Bayangan yang tadi sempat ter-

banting akibat kerasnya letupan yang terjadi, menahan 

napas melihat perubahan yang terjadi pada diri Pende-

kar Slebor. Sesaat dia terdiam. Dirasakan pula hawa 

panas itu menerpa tubuhnya.

"Sungguh luar biasa pemuda ini.... Kendati dia 

tengah diburu orang yang membencinya, namun dia 

berusaha untuk menolong orang itu.... Bahkan nam-

paknya, dia bersiap untuk menempuh satu jalur, hi-

dup atau mati...."

Andika yang kini sudah keluarkan ajian 'Tapa Ge-

ni', ajian bangsa siluman yang pernah diturunkan oleh 

Eyang Sangsoko Murti, terdiam dengan pandangan tak 

berkedip. Sedikit banyaknya, dia kebat-kebit juga 

mengingat setiap serangannya selalu nyeplos begitu 

saja.

"Mudah-mudahan... aku berhasil mengata-

sinya...."

Habis mendesis demikian, pemuda urakan ini su-

dah menggebrak ke depan. Tak ada gelombang angin 

yang keluar. Tak ada deru yang terdengar. Namun satu 

tenaga yang tak nampak mengandung kekuatan panas 

luar biasa menderu ke arah Dewi Selendang Hitam.

Di seberang Dewi Selendang Hitam yang begitu di-

titisi roh Jala Kunti tak pernah mengedipkan mata se-

kalipun, segera mendorong kedua tangannya.

Gelombang angin dahsyat yang menyeret tanah 

dan kerikil menggebrak ke arah Andika.

Dan... astaga! Lagi-lagi ilmu bangsa siluman yang 

dilepaskan oleh Pendekar Slebor nyeplos begitu saja. 

Kejap itu pula Andika berjumpalitan ke samping kiri 

bila tak ingin mengalami nasib sial.

Sementara itu gelombang angin yang dilepaskan

Dewi Selendang Hitam menderu ke arah Bidadari Tan-

gan Bayangan yang terpekik. Belum lagi dia sadar be-

tul apa yang terjadi, satu sosok tubuh tinggi besar te-

lah menyambarnya.

Blaaammm!!

Gelombang angin itu menghantam hancur tanah 

di mana Bidadari Tangan Bayangan berdiri. Sementara 

itu, orang yang menyelamatkan Bidadari Tangan 

Bayangan yang tak lain Kepala Besi adanya mendesis, 

"Kita menjauh dari sini...."

Bidadari Tangan Bayangan cuma mengangguk le-

mah. Ada perasaan malu karena dia ditolong oleh Ke-

pala Besi yang mendadak muncul, padahal beberapa

waktu lalu dia berusaha menyerang bahkan membu-

nuh Kepala Besi yang disangkanya adalah orang yang 

telah lakukan pembantaian di Kuil Putra Langit.

Sementara itu Andika menarik napas lega melihat 

siapa yang muncul dan telah menyelamatkan Bidadari 

Tangan Bayangan. Namun kendati begitu, hatinya kian 

kebat-kebit karena menyadari ajian bangsa siluman 

tak mampu menandingi Jala Kunti.

Sebelum dia lakukan tindakan apa-apa, menda-

dak terdengar suara keras, "Kini... terimalah kema-

tianmu!"

Menyusul menggebraknya dua gelombang angin 

deras ke arah Andika. Tanah dan kerikil yang terseret, 

membuat Andika harus memejamkan matanya agar ti-

dak kemasukan debu. Masih memejamkan kedua ma-

tanya, pemuda urakan ini hinggap di atas tanah, tepat 

berhadapan dengan Dewi Selendang Hitam yang berdi-

ri sejarak lima tombak.

Dan yang mengejutkan Andika, tatkala dia melihat 

satu bayangan yang berada dalam tubuh Dewi Selen-

dang Hitam. Bayangan seorang perempuan tua berpa-

ras jelita dan kenakan pakaian warna jingga yang cerah. Pada wajah orang tersirat kepedihan yang begitu 

dalam.

Andika terdiam beberapa saat. Baru kemudian 

disadarinya, kalau dia masih memejamkan mata.

"Oh, Tuhan... inikah rahasia yang tersimpan di 

balik titisan Jala Kunti? Dengan membuka kedua ma-

ta, kulihat sosok Dewi Selendang Hitam. Tetapi dengan 

cara menutup mata seperti ini, kulihat wujud yang pe-

nuh kepedihan.... Wujud seorang perempuan yang di-

tolak cintanya...."

Belum lagi Andika dapat mencernakan apa yang 

ada dalam pikirannya, mendadak dilihatnya bayangan 

yang ada dalam diri Dewi Selendang Hitam mendorong 

kedua tangannya sementara dilihatnya pula sosok De-

wi Selendang Hitam tetap terdiam. Dan Andika melihat

semua itu dengan mata masih dipejamkan.

"Aku harus menghadapinya dengan mata tertu-

tup!" desisnya yakin.

Kejap itu pula dengan cara menutup matanya, 

yang seolah dapat melihat apa yang ada di hadapan-

nya, Andika menerjang dengan kain bercorak caturnya 

yang dipadukan dengan ajian 'Guntur Selaksa'.

Kalau biasanya serangan itu selalu nyeplos, kali 

ini serangannya berbenturan dengan gelombang yang 

dilepaskan oleh lawan.

Blaaarr!

Masih dalam keadaan mata dipejamkan, Andika 

bisa melihat betapa tubuh Dewi Selendang Hitam su-

rut ke belakang. Sementara bayangan yang laksana 

roh itu melengak kaget.

Menyusul terdengar suara, "Pemuda jahanam! 

Kubunuh kau!!"

Serangan berikut yang dilancarkannya memang 

semakin ganas dan kian menjadi-jadi. Namun Andika 

yang kini menemukan titik kelemahan dari lawannya

terus menyerang. Kalaupun dalam keadaan mata dipe-

jamkan Andika dapat melihat, ini disebabkan karena 

daya balik dari ilmu yang dimiliki roh Jala Kunti. Den-

gan kedua mata membuka, roh Jala Kunti yang telah 

menitis pada Dewi Selendang Hitam justru membuta-

kan mata lawan. Dalam arti, dapat melemahkan se-

rangan lawan ke arahnya.

Dan dalam keadaan mata tertutup, lawan dapat 

melihat dengan jelas ke mana arah serangan yang di-

lakukan oleh Jala Kunti. Dengan cara seperti itulah 

Andika terus mencoba mematahkan setiap serangan 

Jala Kunti.

Bahkan satu ketika, dia meluruk cepat dengan 

pergunakan ajian 'Tapa Geni' yang diarahkan pada ka-

ki kiri Jala Kunti. Nampak di mata Andika yang masih 

tertutup sosok Jala Kunti berjingkrak sementara sosok 

Dewi Selendang Hitam tetap bergerak kaku.

Serangan pertamanya memang berhasil dihindari 

oleh Jala Kunti. Namun Andika yang telah menemukan 

bentuk penyerangannya tak mau bertindak ayal. Dia 

bergerak cepat dengan kerahkan ajian 'Tapa Geni' 

bahkan disatukan dengan kain bercorak catur. Aki-

batnya...

"Waaaaaaa!!!" bayangan putih yang berada dalam 

jasad Dewi Selendang Hitam melonjak-lonjak.

Ajian 'Tapa Geni' nampak membakarnya hingga tubuh 

bayangan perempuan itu kelabakan. Jeritannya ter-

dengar sangat mengerikan. Lima tarikan napas beri-

kutnya, nampak sosok bayangan perempuan itu pun 

lunglai dan jatuh.

Andika menarik napas panjang. Begitu sepasang 

matanya dibuka, dilihatnya sosok Dewi Selendang Hi-

tam telah ambruk menjadi mayat dengan dada kelua-

rkan asap. Sementara di sampingnya, terdapat seong-

gok abu yang pancarkan sinar perak.

Dua kejapan mata berikutnya, Tri Sari dan Na-

wang Wangi tiba di tempat itu. Begitu melihat sosok 

Dewi Selendang Hitam telah menjadi mayat, mereka 

sadar apa yang telah terjadi. Rupanya, tanpa mereka 

beri tahu pun Pendekar Slebor telah berhasil menga-

lahkan roh Jala Kunti, sekaligus memunahkan kutu-

kannya.

Lantas ke manakah Dedemit Tapak Akhirat?


                      SELESAI


Segera menyusul:

PEMBUNUH DARI JEPANG


























 

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive