CINTA DALAM KUTUKAN
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1
Masing-masing orang yang berada di tempat yang
dipenuhi pepohonan namun kini sudah banyak yang
tumbang itu, tak ada yang membuka suara. Pandan-
gan mereka ditujukan pada sebuah lubang yang terjadi
akibat meledaknya Patung Kepala Singa. Dan di atas
lubang itu nampak luruhan abu yang pancarkan ca-
haya perak bergerak turun naik.
Saat ini hari semakin senja. Udara agak dingin.
Dan tak seorang pun yang berniat meninggalkan tem-
pat itu. Nawang Wangi yang masih tergeletak akibat li-
litan hawa dingin yang dilepaskan oleh Bocah Liar pun
berusaha untuk angkat kepalanya. Sementara itu, Tri
Sari yang mengalami nasib yang sama pun berbuat se-
rupa.
Pendekar Slebor yang berdiri sejarak tujuh lang-
kah dari luruhan abu yang turun naik itu diam-diam
menarik napas pendek seraya membatin, "Seperti yang
kuduga selama ini, jelas rahasia Patung Kepala Singa
berada di balik abu itu. Luruhan abu... luruhan abu....
Tetapi, tak ada yang menarik selain luruhan abu yang
bergerak turun naik...."
Sementara itu, lelaki tua namun bertampang bo-
cah yang tingginya hanya sebahu Andika pun memba-
tin dengan pandangan tak berkedip pada luruhan abu
itu, "Patung Kepala Singa telah menjadi abu.... Tetapi
yang mengherankan, mengapa luruhan abu itu turun
naik?"
Di sebelah kiri lelaki yang tingginya sebahu yang
tak Iain Bocah Liar adanya, berdiri Dewi Selendang Hi-
tam yang juga sedang arahkan pandangan pada luru-
han abu itu.
"Celaka! Patung Kepala Singa telah menjadi abu!
Sulit menentukan rahasia apa yang ada sebenarnya?"
Sementara itu, perempuan berpakaian kuning
bersih yang di pinggangnya melilit selendang warna hi-
tam pun membatin, "Sungguh sangat disayangkan....
Patung Kepala Singa telah menjadi abu. Padahal, ra-
hasia yang tersimpan di dalamnya belum terbuka. Ra-
sanya... rahasia itu telah dan akan tertutup rapat da-
lam-dalam...."
Di sebelah perempuan berpakaian kuning bersih
yang tak lain Bidadari Tangan Bayangan yang sedang
mengatur nafasnya, lelaki tinggi besar berpakaian abu-
abu terbuka di bahu kanan membatin dengan tubuh
agak gemetar, "Nampaknya... aku melihat apa yang
pernah diceritakan Eyang Kapi Pitu puluhan tahun
yang lalu. Sebuah pohon aneh yang pancarkan cahaya
perak, lalu dari dalam cahaya itu seperti terdapat lu-
ruhan abu, dan kemudian saat ditebang mendadak
muncul Patung Kepala Singa. Dan sekarang... patung
itu telah menjadi abu. Apakah sesungguhnya rahasia
Patung Kepala Singa ada di balik abu itu?"
Untuk beberapa lamanya orang-orang yang berada
di sana tak keluarkan suara. Masing-masing orang
masih terpaku dengan kejadian yang ada di hadapan
mereka.
Seperti pernah diceritakan dalam episode, "Raha-
sia Di Balik Abu", pertarungan sengit terjadi. Saat itu
Dewi Selendang Hitam yang telah berhasil merebut Pa-
tung Kepala Singa dari tangan Tri Sari sekaligus men-
galahkan Bidadari Tangan Bayangan, bermaksud un-
tuk menghancurkan Patung Kepala Singa, karena ber-
pikir kalau rahasia patung itu terdapat di dalamnya.
Namun sebelum dilakukannya, mendadak saja
muncul Bocah Liar yang ternyata adalah gurunya na-
mun tak mau disebut guru. Bocah Liar ternyata men-
cintai Dewi Selendang Hitam. Kemudian muncul Nawang Wangi yang sebelumnya diselamatkan oleh Dewa
Suci dari perbuatan terkutuk Gendala Maung.
Dengan kesaktiannya yang tinggi, Bocah Liar ber-
hasil menjatuhkan Nawang Wangi. Sebelum dia mem-
permalukan Nawang Wangi, muncul Bidadari Tangan
Bayangan dan Tri Sari. Pertarungan sengit terjadi.
Tri Sari dengan mudah berhasil dijatuhkan oleh
Bocah Liar. Sementara Bidadari Tangan Bayangan
yang tak kuasa lagi untuk hindari serangan maut Dewi
Selendang Hitam, diselamatkan oleh Pendekar Slebor.
Saat itulah Pendekar Slebor yang telah menyam-
bar Patung Kepala Singa dari tangan Dewi Selendang
Hitam, membuka kedok perempuan berpakaian hitam
gombrang yang ternyata adalah Nyi Dungga Ratih. Per-
tarungan sengit pun terjadi kembali sampai muncul-
nya Kepala Besi yang menyambar Patung Kepala Singa
tatkala Andika melemparkannya pada Bidadari Tangan
Bayangan dan Bocah Liar bermaksud mendapatkan-
nya.
Hingga kemudian Patung Kepala Singa terpental.
Bocah Liar cepat menyambarnya. Bersamaan den-
gan itu, Andika pun menangkapnya. Patung Kepala
Singa kini dipegang oleh masing-masing orang yang
sama-sama kerahkan tenaga dalam. Karena kuatnya
pengaruh tarik menarik antara tenaga dalam kedua-
nya, patung itu pun pecah menjadi luruhan abu yang
sekarang turun naik dan keluarkan cahaya perak.
Suasana hening itu terpecahkan oleh suara Nyi
Dungga Ratih alias Dewi Selendang Hitam, "Patung
Kepala Singa telah menjadi luruhan abu yang tak ber-
guna! Rasanya tak perlu lagi perpanjang urusan soal
Patung Kepala Singa!" Lalu perlahan-lahan pandan-
gannya ditujukan pada Pendekar Slebor. Sambil me-
nuding dia berseru dengan suara menggeram, "Pemuda
celaka! Kaulah perusak dari semua rencanaku ini! Berarti, kau tetap akan mampus, Pendekar Slebor!!"
Pemuda berbaju hijau pupus yang di lehernya me-
lilit kain bercorak catur itu cuma nyengir saja. Anca-
man maut Nyi Dungga Ratih seolah dianggap angin la-
lu belaka.
Menyusul terdengar suaranya sambil garuk-garuk
kepalanya yang tidak gatal, "Mau mampus atau tidak
sih itu urusan Yang Maha Kuasa! Eh, bagaimana kalau
kau dulu yang mampus? Setelah itu, baru kau ajak
aku!"
Lalu sambungnya dalam hati, "Ternyata... begitu
banyaknya orang-orang yang dibutakan oleh nafsu me-
reka sendiri. Pertumpahan darah hampir terjadi gara-
gara Patung Kepala Singa! Dan sekarang, setelah pa-
tung itu hancur menjadi luruhan abu yang cukup
mengherankan karena naik turun seperti itu, semua-
nya seperti dilupakan! Padahal aku yakin... sesung-
guhnya rahasia Patung Kepala Singa terdapat pada lu-
ruhan abu itu...."
Di seberang, Dewi Selendang Hitam kian mengke-
lap.
"Pemuda celaka! Kau telah menantang badai!!"
"Busyet! Sejak tadi kan kita belum bertarung?
Nah! Ayolah kita mulai sekarang! Jadi gatal nih tan-
ganku ingin menutup mulutmu yang nyinyir itu! Cuma
tidak, ah! Banyak penyakit!"
Bergetar tubuh Dewi Selendang Hitam tanda ke-
marahan kian menanjak mendengar ejekan pemuda di
hadapannya. Namun sebelum dia membuka mulut dan
lancarkan serangan, mendadak saja terdengar suara
Bocah Liar, "Dewi... atau siapa pun namamu.... Jangan
berlaku bodoh! Kau tak boleh melepaskan niat dari Pa-
tung Kepala Singa yang telah menjadi luruhan abu! Ti-
dakkah kau lihat pandangan lelaki berkepala plontos
itu? Dia sepertinya seolah melihat sesuatu di balik abu
itu!"
Kepala Besi yang dimaksud oleh Bocah Liar me-
lengak sesaat. Lalu buru-buru diubah cara meman-
dangnya pada luruhan abu yang masih turun naik.
Lelaki tinggi besar berkepala plontos ini sebenar-
nya sedang memikirkan rahasia apa yang sesungguh-
nya ada pada Patung Kepala Singa. Dia sedang men-
gingat-ingat apa yang pernah diceritakan oleh gu-
runya, Eyang Kapi Pitu. Kepala Besi pun tiba pada ke-
simpulan, kalau rahasia itu memang terletak pada lu-
ruhan abu yang turun naik.
Lalu dia berkata, "Lelaki tua bertampang bocah!
Manusia dianugerahkan sepasang mata untuk melihat!
Urusan bagaimana caraku memandang luruhan abu
itu, bukan urusanmu! Lebih baik kau tinggalkan tem-
pat ini sebelum celaka!!"
Meradang Bocah Liar mendengar kata-kata orang.
Namun untuk sesaat ditahan segala amarahnya kecua-
li kertakkan rahang. Kemudian terdengar kata-
katanya, "Jangan berlaku bodoh hingga dapat dikela-
bui orang-orang itu! Dewi... periksa luruhan abu itu!
Aku yakin, di balik luruhan abu itulah terdapat raha-
sia Patung Kepala Singa!!"
Dewi Selendang Hitam yang mendendam pada
Pendekar Slebor karena pemuda itulah yang mengga-
galkan semua rencananya, sesaat pandangi dulu Bo-
cah Liar.
Diam-diam perempuan tua ini membatin, "Raha-
sia itu terdapat di balik abu? Rahasia apa sebenarnya?
Aku tak menangkap sesuatu yang menarik dalam lu-
ruhan abu itu...."
"Dewi! Turuti kata-kataku!!" terdengar bentakan
Bocah Liar cukup keras.
Dewi Selendang Hitam alias Nyi Dungga Ratih me-
lotot gusar. Namun tatkala pandangannya bentrok
dengan pancaran tajam mata Bocah Liar, buru-buru
diarahkan pandangannya ke tempat lain.
Kejap berikutnya, dia sudah bergerak untuk men-
dekati luruhan abu yang turun naik. Namun baru dua
langkah, mendadak saja satu gelombang angin telah
menggebrak ke arahnya.
Seketika itu pula Dewi Selendang Hitam angkat ke-
palanya. Menyusul digerakkan kakinya setengah ling-
karan. Hamparan angin pun menderu dan melabrak
gelombang angin yang siap menghantamnya tadi.
Blaaarrr!!
Tanah di mana bertemunya dua gelombang angin
itu muncrat ke udara. Belum lagi sirap, orang yang ta-
di lepaskan hantaman untuk menahan gerakan Dewi
Selendang Hitam sudah berkelebat ke arah luruhan
abu.
Namun mendadak saja dia memutar tubuh dan
kembali ke tempat semula, tatkala merasakan hawa
dingin menderu dan siap melilit kedua kakinya.
"Keparat!!" maki orang ini yang tak lain Kepala Be-
si adanya pada Bocah Liar.
"Kau membuat kegusaranku menjadi naik, Kepala
Besi! Tak seorang pun kuizinkan mencelakakan pe-
rempuan yang kucintai!!" maki Bocah Liar keras.
Kepala Besi yang merasa harus cepat menda-
patkan luruhan abu itu (sesungguhnya dia tak tahu
mengapa), tak mau membuang waktu. Saat itu pula
tubuhnya meluruk dengan kepala agak membungkuk,
menderu ke arah Bocah Liar.
Sebelum Bocah Liar menghindar atau bergerak
memapaki, dua sinar putih bening yang keluarkan ha-
wa panas sudah menggebrak. Rupanya, Bidadari Tan-
gan Bayangan yang sebelumnya menuduh Kepala Besi
adalah orang yang telah lakukan pembantaian di Kuil
Putra Langit sudah lancarkan serangan pula. (Untuk
mengetahui soal tuduhan itu, silakan baca: "Patung
Kepala Singa").
Bocah Liar menggeram murka. Mendadak saja dia
melompat ke samping kanan, menyusul lakukan satu
putaran cepat. Tatkala hinggap di atas tanah, dia bu-
kan bertumpu pada kedua kakinya, melainkan pada
kedua tangannya!
Kejap itu pula kedua kakinya yang kini tegak lu-
rus dengan langit membuat gerakan memutar-mutar.
Hamparan angin dingin menderu-deru kencang ke
arah Kepala Besi dan Bidadari Tangan Bayangan yang
cepat menghindar.
Sementara itu, Dewi Selendang Hitam yang sejak
lama mendendam pada Kepala Besi dan pernah dike-
labui oleh lelaki itu yang disangkanya telah tewas pa-
dahal belum, segera menggebrak ke arah Kepala Besi
yang sedang membuang tubuh.
Terkesiap Kepala Besi mendapati serangan ganas
itu. Dan diam-diam lelaki tinggi besar yang beberapa
kali dipecundangi oleh Dewi Selendang Hitam menjadi
pias. Namun dia berusaha tindih segala kejeriannya.
Dengan gerakan-gerakan cepat yang sebenarnya
mengandung kenekatan, Kepala Besi mencoba memba-
las. Sementara itu, menghadapi Bocah Liar seorang di-
ri, sudah tentu sangat tidak menguntungkan bagi Bi-
dadari Tangan Bayangan. Dalam dua jurus saja dia
sudah dibuat pontang-panting dengan serangan-
serangan ganas itu.
Di tempatnya, pemuda urakan dari Lembah Kutu-
kan menarik napas pendek.
"Urusan ini ternyata memang belum tuntas. Kare-
na rahasia apa yang terdapat pada luruhan abu itu be-
lum diketahui. Aku harus menolong keduanya. Teta-
pi... lebih baik kubebaskan dulu Nawang Wangi dan
Tri Sari...."
Memutuskan demikian, dengan cepat Andika ber-
gerak mendekati Nawang Wangi dan Tri Sari. Dia men-
coba membebaskan masing-masing gadis dengan
mempergunakan tenaga 'Inti Petir' tingkat ketiga belas.
Namun di luar dugaannya, tak semudah itu dilakukan.
Sementara dilihatnya bagaimana Bidadari Tangan
Bayangan yang sudah terdesak hebat.
Tak mau mengambil resiko yang berbahaya, Andi-
ka lakukan satu tindakan yang mengejutkan. Tangan
kirinya memegang ibu jari Nawang Wangi seraya alir-
kan tenaga 'Inti Petir' tingkat kesepuluh. Sementara
itu, tangan kanannya dengan cepat melepaskan lilitan
kain bercorak catur dari lehernya.
Kejap itu pula dikibaskannya kain bercorak catur
itu.
Wrrrrr!!
Suara gemuruh laksana ribuan tawon marah
mendengung mengerikan. Menyusul gelombang angin
yang sangat dahsyat menggebrak ke arah Bocah Liar
yang siap lepaskan tendangan mautnya ke kepala Bi-
dadari Tangan Bayangan.
Desss!!
Gelombang angin dahsyat yang keluar dari kain
bercorak catur milik Andika, tepat menghantam tubuh
Bocah Liar yang sesaat nampak terseret dan goyah
saat berdiri tegak di atas tanah. Sementara itu, tanah
dan ranggasan semak belukar yang tercabut akibat de-
rasnya gelombang angin yang ditimbulkan kain berco-
rak catur, terlempar jauh. Menyusul terdengar suara
berderak dan menggemuruh. Sebuah pohon telah
tumbang.
Saat itu pula nampak wajah Bocah Liar berubah
memerah. Parasnya begitu dingin dengan rahang ter-
katup rapat. Kejap berikutnya, mendadak saja dia ge-
rakkan kedua tangannya ke atas. Lalu perlahan-lahan
dirangkapkan kedua tangannya di depan dada.
Kejap itu juga terjadi perubahan sekaligus keane-
han pada diri lelaki bertampang bocah itu. Kalau sejak
semula nampak kulitnya berwarna agak putih, kali ini
lambat laun berubah menjadi hijau. Dan seluruh tu-
buhnya berubah menjadi hijau. Rupanya lelaki ini te-
lah kerahkan ajian pamungkasnya 'Hutan Perangkap
Harimau'!
Di tempatnya, Andika yang telah berhasil membe-
baskan Nawang Wangi dari lilitan hawa dingin Bocah
Liar berdiri tegak dengan pandangan tak berkedip. La-
lu dilihatnya Bidadari Tangan Bayangan yang sem-
poyongan sambil memegang dadanya. Menyusul pe-
rempuan berpakaian kuning bersih itu ambruk, tepat
jatuh di sebuah pohon hingga dia mau tak mau harus
bersandar dengan napas mendengus-dengus.
Andika mengarahkan pandangannya pada Kepala
Besi yang sedang kalang kabut akibat sinar-sinar hi-
tam yang dilepaskan Nyi Dungga Ratih. Kejap berikut-
nya, pandangannya diarahkan pada luruhan abu yang
sejak tadi tetap turun naik.
Mendadak pandangan Andika berubah dengan se-
pasang mata menyipit. Baru disadarinya kalau luru-
han abu itu tak berubah sama sekali. Padahal tadi, ge-
lombang angin dahsyat yang keluar dari kain bercorak
catur, tentunya melewati luruhan abu itu.
"Luar biasa! Sungguh menakjubkan! Aku semakin
yakin... kalau rahasia Patung Kepala Singa terdapat
pada luruhan abu itu...," desisnya dalam hati dan per-
lahan-lahan pandangannya diarahkan pada Bocah Liar
yang seluruh tubuhnya telah berubah menjadi hijau.
Wajahnya pun kian mengangker. Andika sadar betul
apa yang akan terjadi. "Nampaknya... bahaya sudah
datang. Kalau begitu keadaannya, sulit bagiku untuk
menyelamatkan orang-orang yang berada di sini...."
Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan
ini mendesah masygul dan membatin lagi, "Biar ba-
gaimanapun juga, aku harus bisa menyelamatkan se-
muanya...." Kemudian dia berkata pada Nawang Wangi
yang telah berdiri. "Nawang Wangi... bawa Tri Sari
menjauh dari sini.... Setelah itu, bawa tubuh gurumu
menjauh pula dari sini...."
Nawang Wangi yang sebenarnya mendendam pada
Bocah Liar, hanya menganggukkan kepalanya. Disada-
rinya betul kesaktian yang dimiliki lelaki bertampang
bocah itu. Gurunya saja dapat dikalahkan, bagaimana
dengan dirinya.
Berpikir demikian, murid Bidadari Tangan Bayan-
gan ini perlahan-lahan membopong tubuh Tri Sari
yang juga terkena lilitan hawa dingin Bocah Liar.
Namun begitu dia melangkah dua tindak, menda-
dak saja terdengar suara menggelegar yang seolah co-
ba rentakkan tempat itu, "Diam di tempatmu!!"
Menyusul kabut berwarna hijau pekat bergulung-
gulung dan keluarkan suara menggidikkan ke arah
Nawang Wangi.
***
2
Terkesiap alang kepalang Nawang Wangi menda-
pati kabut-kabut hijau itu telah meluncur deras ke
arahnya, hingga tanpa sadar dia menjerit nyaring. Ba-
gai seekor kelinci yang terjebak perangkap serigala,
Nawang Wangi hanya terpaku di tempatnya. Bidadari
Tangan Bayangan cepat palingkan kepalanya dengan
kedua mata terpentang lebih lebar, nampak dia beru-
saha untuk menolong namun kelihatan tak sanggup.Bersamaan dengan itu, Tri Sari yang berada dalam bo-
pongan Nawang Wangi berteriak, "Menghindar!! Cepat
menghindar!!"
Tetapi Nawang Wangi seperti tergugu, hingga tak
mampu gerakkan kedua kakinya untuk hindari seran-
gan kabut hijau pekat itu.
Dalam keadaan yang kritis bagi gadis berpakaian
biru kehijauan itu, mendadak saja terdengar suara
mendengung laksana ribuan tawon murka, menyusul
dengan menyambarnya angin dahsyat ke arah kabut
hijau itu. Kejap berikutnya terdengar letupan yang
sangat luar biasa dan muncratnya kabut hijau ke ber-
bagai arah.
Blaaammm!
Rupanya Andika sudah menyabetkan kain berco-
rak caturnya.
Seperti disadarkan oleh letupan yang keras itu,
Nawang Wangi seolah mendapat kekuatannya kembali.
Dengan cepat murid Bidadari Tangan Bayangan
ini, melompat ke samping kiri. Bila tidak dilakukan,
maka muncratnya kabut hijau itu akan menghantam-
nya. Terbukti beberapa pohon langsung hangus tatkala
terhantam muncratan kabut hijau itu. Berhasil meng-
hindar, Nawang Wangi membawa tubuh Tri Sari men-
jauh. Kemudian kembali lagi dan menyambar tubuh
gurunya. "Kita menghindar dulu. Guru...."
Tak ada yang bisa dilakukan oleh Bidadari Tangan
Bayangan kecuali menganggukkan kepala. Diam-diam
perempuan berpakaian kuning bersih ini mendesah le-
ga melihat muridnya tak kurang suatu apa.
Sementara itu kendati berhasil menggagalkan niat
keji Bocah Liar, Pendekar Slebor sendiri harus ter-
huyung ke belakang. Astaga! Padahal di saat mengge-
rakkan kain bercorak catur yang sebenarnya memiliki
kesaktian sendiri, Andika telah alirkan tenaga 'Inti Petir'. Namun akibat benturan tadi itu, dia merasa tan-
gan kanannya seperti tersengat hawa panas. Padahal
tak terasa ada hawa panas yang keluar di saat kabut
hijau itu dilepaskan. Ini menandakan betapa dahsyat-
nya tenaga yang terpancar dari kabut hijau ganas tadi.
Di tempatnya, si pemilik ajian 'Hutan Perangkap
Harimau' tertawa nyaring.
"Sungguh menyenangkan sekali! Permainan akan
segera dimulai!!"
Habis seruannya, mendadak saja dia menerjang ke
arah Andika dengan lepaskan ajian 'Hutan Perangkap
Harimau' lagi. Saat itu pula menggebrak beberapa ka-
but hijau yang keluarkan suara mengerikan ke arah
Andika.
Sadar akan bahaya yang datang, pemuda pewaris
ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini segera bertindak
sigap. Kain bercorak caturnya kembali digerakkan be-
rulang kali. Hingga kemudian beberapa kali terdengar
letupan-letupan yang sangat keras. Menyusul reng-
kahnya tanah dan terbongkarnya ranggasan semak be-
lukar. Belum lagi akibat pecahnya kabut-kabut hijau
itu, yang bagaikan anak panah menghantam ke sana
kemari.
Sementara itu, serangan Dewi Selendang Hitam
yang sedang mencecar Kepala Besi justru menjadi ka-
cau balau, setelah pecahan kabut hijau itu melesat
dan siap menghantam kepalanya. Bila saja perempuan
tua ini tak merunduk, niscaya kepalanya akan reng-
kah seketika.
Saat itu pula terdengar makiannya gusar menyu-
sul dihentikan serangannya pada Kepala Besi. Kepala
Besi sendiri yang terengah-engah mendapati serangan
ganas tadi, perlahan-lahan surut lima langkah ke be-
lakang. Kesempatan itu dipergunakan untuk mengatur
jalan nafasnya. Sekujur tubuhnya terasa ngilu bukan
main. Terutama kaki kanannya yang sempat terserem-
pet sinar hitam yang dilepaskan Dewi Selendang Hi-
tam.
Kalau tadi pandangan Dewi Selendang Hitam alias
Nyi Dungga Ratih mengkelap karena niatnya secara
tak sengaja terhalang, kali ini sepasang matanya me-
mancarkan sinar berkilat-kilat tatkala melihat bagai-
mana lelaki bertampang bocah itu mencecar ganas ke
arah Pendekar Slebor.
Senyumannya mengembang saat berkata dalam
hati, "Nama besarmu akan terpuruk saat ini juga, Pen-
dekar Slebor...."
Pendekar Slebor sendiri yang dibuat kalang kabut
oleh serangan-serangan ganas Bocah Liar, memaki-
maki sendiri sambil terus menggerakkan kain bercorak
caturnya, "Kutu monyet! Bisa-bisa... bukan mereka
yang harus kuselamatkan mampus, justru aku sendiri
yang bergemang tanah!! Perkedel busuk! Aku tidak bo-
leh mampus dulu! Aku belum kawin!!"
Lalu dengan pergunakan ilmu peringan tubuhnya
yang kesohor, pemuda urakan ini terus menghindar.
Sementara itu Bocah Liar terus mencecar sambil ter-
tawa-tawa, "Rupanya... hanya begini saja kebisaan
pemuda yang julukannya begitu kesohor! Kau lebih
pantas menjadi badut di rumah juragan tanah! Hhh!!
Seperti kata-kataku tadi, siapa yang mencoba melukai
Dewi Selendang Hitam, maka dia akan mampus!!"
Kian ganas serangan yang dilancarkan Bocah Liar.
Keganasan itu bukan hanya dirasakan oleh Andika,
Dewi Selendang Hitam yang masih segar bugar pun
harus menyingkir bila tak ingin muncratan kabut hijau
akibat bentrokan dengan kain bercorak catur yang di-
gerakkan Andika.
Nasib malang rupanya harus menimpa Kepala Be-
si. Lelaki tinggi besar berkepala plontos itu melolong
setinggi langit tatkala gagal hindari muncratan kabut
hijau yang menyerempet kaki kanannya. Kalau tadi dia
sudah merasakan nyeri akibat sambaran sinar hitam
milik Nyi Dungga Ratih, kali ini bertambah nyeri luar
biasa merasakan akibat sambaran kabut hijau lelaki
tua bertampang bocah itu. Tubuh Kepala Besi pun
ambruk dan bergulingan menahan sakit disertai lolon-
gan keras.
Keadaan yang dialaminya membuat Andika men-
jadi tercekat. Apalagi dilihatnya bagaimana Dewi Se-
lendang Hitam yang mempergunakan kesempatan itu
langsung meluruk untuk menghabisi Kepala Besi.
Tak ada jalan lain lagi bagi Andika kecuali beru-
saha menyelamatkan Kepala Besi. Tatkala kabut-kabut
hijau yang dilepaskan Bocah Liar mencecar terus ke
arahnya, dengan alirkan ajian 'Guntur Selaksa' pada
kain bercorak caturnya, digerakkan tangan kanannya.
Terdengar suara salakan guntur yang sangat ke-
ras, hingga menghanguskan dedaunan. Menyusul sua-
ra mendengung laksana ribuan tawon murka meme-
kakkan telinga. Lalu menggebraknya gelombang angin
yang dipadu dengan tenaga yang sungguh luar biasa.
Bocah Liar nampak terkesiap. Mendadak saja le-
laki bertampang bocah ini melompat ke samping ka-
nan.
Blaaammm!!
Kabut hijau yang dilepaskannya pecah diterobos
tenaga dahsyat yang dilepaskan Andika. Bahkan tidak
hanya sampai di sana saja, karena tenaga itu terus
mengarah pada Bocah Liar yang lagi-lagi harus mem-
buang tubuhnya disertai makian jengkel. Tanah di
mana Bocah Liar hinggap tadi, langsung terbongkar ke
udara dan membentuk sebuah lubang yang cukup be-
sar dan keluarkan asap.
Bersamaan dengan itu, Andika meluruk dengan
pencalan satu kaki ke arah Dewi Selendang Hitam.
Tangan kirinya yang telah terangkum ajian 'Guntur Se-
laksa' digerakkan.
Blaaarrr!!
"Heeiiii!!" Dewi Selendang Hitam keluarkan peki-
kan tertahan, sambil melompat ke samping kanan.
Ajian 'Guntur Selaksa' yang dilepaskan Andika meng-
hantam sebuah pohon besar yang langsung berderak
tumbang menggemuruh.
Bersamaan dengan itu, Andika cepat menyambar
tubuh Kepala Besi. Namun hal itu tak mudah dilaku-
kannya, karena begitu terbebas dari serangan yang di-
lancarkan Pendekar Slebor, Bocah Liar yang telah ada
pada kedudukan semula, kembali lancarkan serangan.
Dalam waktu yang sempit, Andika kembali gerak-
kan tangan kanannya. Gebrakan yang dilakukannya
membuat Bocah Liar surutkan serangan dan dengan
gerakan yang luar biasa cepat, Andika segera me-
nyambar tubuh Kepala Besi. Lalu memutar tubuh dan
hinggap di atas tanah seolah tanpa beban padahal tu-
buh Kepala Besi cukup berat.
Kendati begitu dan dalam keadaan napas kem-
bang-kempis, mulutnya yang usilan berkata juga, "Bu-
syet! Aku mengangkat karung beras atau tong sampah
nih!"
Di seberang Dewi Selendang Hitam sudah berdiri
di samping kiri Bocah Liar. Pandangannya lurus ke
arah Pendekar Slebor seraya berkata, "Benar-benar
pemuda celaka!!" Setelah melirik Bocah Liar sejenak,
dia berseru kembali, "Tak perlu mengasihani pemuda
celaka itu! Dia telah bikin semua yang kuimpikan han-
cur berantakan!"
Bocah Liar kertakkan rahangnya. "Tak usah kau
katakan, akan kulakukan semuanya!"
Sebelum Dewi Selendang Hitam buka mulut, Andika sudah menyahut, "O... jadi serius nih mau mem-
bunuhku?! Kupikir sejak tadi kalian main-main, soal-
nya aku belum mampus juga sih! Tetapi kalau me-
mang kalian maunya begitu... ya, tidak apa-apa! Ayo
sini kalian bunuh aku! Tapi... jangan sakit-sakit ya?"
Tak ada yang keluarkan suara. Selorohan Andika
sudah membuat darah masing-masing orang kian
mendidih. Sementara itu, senja mulai menghilang dan
berganti dengan malam yang cukup pekat. Angin kian
dingin berhembus.
Andika yang habis berseloroh, diam-diam melirik
luruhan abu yang tetap turun naik dan tak terganggu
sedikit pun juga padahal beberapa kali terjadi letupan
dan benturan yang keras. Cahaya perak yang terpan-
car membuat tempat itu seperti disinari tiga buah len-
tera.
"Keanehan semakin dalam... namun penyelesaian
agaknya justru tiba pada jalan buntu. Tetapi, aku tak
memungkiri kalau di balik luruhan abu itulah rahasia
Patung Kepala Singa berada.... Hanya saja, sulit untuk
memecahkannya, karena jelas kedua orang itu tak
akan memberi kesempatan...."
Diam-diam Dewi Selendang Hitam juga membatin,
"Bocah Liar nampaknya tulus mencintaiku, karena dia
mau terlibat dalam urusan ini, padahal seperti ka-
tanya, dia tak menghendaki Patung Kepala Singa. Ba-
gus! Aku bisa memanfaatkannya. Tetapi yang kuingin-
kan... adalah mengetahui rahasia Patung Kepala Singa.
Hhh! Apa Sebenarnya yang ada di balik luruhan abu
itu? Bagaimana caraku untuk mengetahuinya?"
Dan sebelum ada yang membuka suara, di saat
masing-masing orang mulai merasakan kelelahan,
mendadak saja terdengar suara yang keras dan dalam
laksana keluar dari dalam sebuah sumur, "Aku men-
cium uraian darah dari manusia keparat bernama Saptacakra! Manusia celaka yang telah memantekku den-
gan ilmu anehnya pada sebuah pohon! Siapa pun
adanya orang yang punya hubungan dengan Saptaca-
kra dia harus mampus!!"
Belum lagi suara itu habis terdengar, mendadak
saja luruhan abu yang pancarkan sinar perak itu, se-
makin meninggi. Kira-kira sampai sepinggang dan ber-
gerak turun naik!
***
Suasana semakin hening dan angker. Tak ada
yang membuka suara kecuali membuka mata lebar-
lebar tatkala menyadari kalau suara itu berasal dari
luruhan abu!
Di tempatnya, tanpa disadarinya Andika merasa
buluromanya merinding. Jelas sekali kalau dirinyalah
yang dimaksud oleh suara tadi. Diam-diam dia pun
sadar kalau suara itu berasal dari luruhan abu perak
yang kini setinggi pinggang dan bergerak turun naik.
"Aneh! Menilik suara itu...jelas kalau ada yang
mendendam pada Eyang Saptacakra! Ah, urusan kian
berkembang jauh. Tentunya... ada sebuah masalah la-
lu yang dihadapi Eyang Saptacakra dengan orang yang
entah siapa.... Jangan-jangan... ada sebuah dendam
yang terpendam dan terkurung dalam luruhan abu
itu." Andika memutus kata batinnya sendiri seraya
mendesah, lalu melanjutkan, "Di muka bumi ini, terla-
lu banyak ilmu-ilmu aneh. Tak mustahil bila ada se-
buah kutukan yang masuk ke dalam Patung Kepala
Singa...."
Kepala Besi yang berada dalam bopongan Andika
yang semakin lama keadaannya bertambah lemah ber-
kata dalam hati, "Apakah rahasia yang dimaksudkan
oleh Eyang Kapi Pitu suara orang yang nampaknya berasal dari luruhan abu itu? Tetapi mengapa? Dan siapa
Saptacakra yang dimaksudnya? Siapa pula di antara
kami yang punya hubungan erat dengan Saptacakra?!"
Sementara itu, Dewi Selendang Hitam membatin
bingung, "Aneh! Siapa orangnya yang keluarkan suara
seperti berasal dari luruhan abu itu? Dan tahu-tahu
luruhan abu itu naik setinggi pinggang? Jangan-
jangan...."
Mendadak saja kata batin Dewi Selendang Hitam
terputus, tatkala luruhan abu itu semakin lama sema-
kin meninggi dan tetap bergerak turun naik. Andika
sendiri sampai surutkan langkah satu tindak ke bela-
kang melihatnya.
Sementara itu, Bocah Liar yang sejak tadi terdiam
diam-diam membatin, "Aku seperti pernah mendengar
suara itu... tetapi... di mana dan siapa? Nampaknya
suara itu berasal dari luruhan abu yang bertambah
tinggi...."
Mendadak saja terdengar suara aneh itu kembali,
"Bau darah Saptacakra telah dekat dengan hidungku!
Siapa pun yang membebaskan diriku dari kutukan ini,
kuucapkan terima kasih! Tetapi... nyawa tetap harus
kubayar! Terutama... pada orang yang ada hubungan
dengan Saptacakra!"
Habis terdengar suara itu, mendadak saja luruhan
abu yang semakin meninggi dan bergerak turun naik,
memutar-mutar laksana seorang penari. Cahaya perak
yang memancar bergerak melenggak-lenggok dengan
indahnya, semakin terangi malam yang gelap.
Belum lagi ada yang mengerti apa yang terjadi,
mendadak saja luruhan abu itu bertambah tinggi. Dan
tahu-tahu mengarah pada Dewi Selendang Hitam.
Memekik kaget perempuan peot berpakaian hitam
gombrang ini melihatnya. Tanpa sadar dia angkat ke-
dua tangannya untuk menahan laju luruhan abu itu.
Namun luruhan abu itu justru melilit pada kedua len-
gannya.
Mendadak nampak tubuh Nyi Dungga Ratih alias
Dewi Selendang Hitam meregang. Terdengar jeritannya
yang menyayat hati laksana orang yang sedang seka-
rat. Tahu-tahu luruhan abu yang melilit pada kedua
lengannya mencelat naik dan masuk melalui ubun-
ubun kepala perempuan tua itu.
Hanya dalam satu tarikan napas saja luruhan abu
itu telah lenyap. Tubuh Dewi Selendang Hitam nampak
terdiam. Napasnya terdengar memburu dengan kedua
mata membeliak lebar. Satu tarikan napas berikutnya
tubuhnya bergetar laksana dipegangi oleh puluhan
orang.
Kedua tangan dan kakinya menyentak-nyentak
keras hingga debu-debu yang diinjaknya naik ke uda-
ra.
Tak ada yang berani untuk mencoba hentikan ge-
rakan aneh yang mendadak diperlihatkan Dewi Selen-
dang Hitam setelah dimasuki luruhan abu yang telah
lenyap itu.
Namun Bocah Liar bertindak juga akhirnya. Den-
gan cepat dia coba tangkap kedua tangan Dewi Selen-
dang Hitam. Namun sebelum berhasil dilakukannya,
mendadak saja tangan kanan perempuan itu mengi-
bas.
Desss!!
Astaga! Bocah Liar yang memiliki ilmu dua tingkat
di atas Dewi Selendang Hitam, justru terlempar ke be-
lakang dengan derasnya. Dan berhenti setelah mena-
brak semua pohon. Dia memang tak kurang suatu apa.
Namun akibat yang baru saja terjadi, membuatnya me-
randek gusar sekaligus heran.
Di tempatnya Andika membatin, "Sesuatu telah
terjadi... petaka akan terjadi...."
Apa yang diduganya ternyata benar. Karena sete-
lah beberapa kali meregang-regang dengan kedua tan-
gan dan kaki menyentak-nyentak, mendadak saja ke-
dua tangan Dewi Selendang Hitam terangkat naik lalu
bersedekap di dada.
Sosoknya nampak lebih tinggi, karena dadanya
dibusungkan. Kepalanya tegak lurus dengan langit.
Pancaran matanya bersinar angker dan mengerikan.
Menyusul terdengar suaranya yang keras dan da-
lam, "Bau amis darah Saptacakra telah tercium! Aliran
darah itu dekat di hadapanku!! Pemuda berpakaian hi-
jau pupus... kaulah orang yang kupilih mati untuk
membebaskanku dari kutukan yang pernah kuu-
capkan sendiri!!"
Sadar kalau ucapan itu ditujukan padanya, Andi-
ka melengak kaget. Tanpa sadar dia mendesis, "Se-
buah kutukan... dan itu bukan suara Nyi Dungga Ra-
tih...."
***
3
Belum lagi habis pemuda urakan pewaris ilmu
Pendekar Lembah Kutukan ini membatin, mendadak
saja dirasakan satu gelombang angin yang semakin
lama. membesar menggebrak ke arahnya.
"Astaga!!" serunya dengan mulut menganga dan
kedua mata terbeliak.
Kejap itu pula, masih mentanggul tubuh Kepala
Besi, Andika sudah kibaskan kain bercorak catur yang
dirangkum dengan ajian 'Guntur Selaksa'.
Terdengar suara salakan guntur dan dengungan
laksana ribuan tawon yang menyusul menggebraknya
angin dahsyat. Namun justru dia yang memekik sendi-
ri sambil melompat, "Heeeiiii!!"
Karena serangan yang dilakukannya seperti nyep-
los begitu saja laksana masuk ke dalam gulungan
asap. Sementara itu gelombang angin yang menderu
dari tubuh Dewi Selendang Hitam yang tadi gerakkan
tangan kanannya begitu kaku seperti robot, terus
menderu ke arah Andika.
Tak mau mendapatkan nasib sial, Andika segera
melompat ke samping kiri. Gelombang angin yang
menderu tadi tanpa keluarkan hawa panas mau pun
dingin, menabrak sebuah pohon yang langsung terca-
but dan melayang jauh. Menabrak dua pohon di bela-
kangnya sekaligus yang timbulkan suara berderak dan
tumbang dengan keluarkan suara menggemuruh.
"Kura-kura bau!! Jelas tak mungkin kalau seran-
gan itu berasal dari ilmu yang dimiliki Nyi Dungga Ra-
tih! Serangan itu... tentunya berasal dari orang yang
terkena kutukannya sendiri yang arwah dan ilmunya
telah menjelma menjadi Patung Kepala Singa! Orang
yang pernah dikalahkan oleh Eyang Saptacakra dan
kini menitiskan rohnya pada Nyi Dungga Ratih!!"
Menyusul keanehan yang terjadi, Dewi Selendang
Hitam melangkah dua tindak ke depan. Langkahnya
begitu kaku. Dan begitu kakinya menginjak tanah saat
melangkah, tanah yang masing-masing orang pijak se-
perti bergetar.
"Astaga! Jelas yang kudapati adalah bangsa silu-
man!" desis Andika terkejut. "Kutu loncat! Kalau tahu
begini akibatnya, tak mau aku susah payah memecah-
kan rahasia Patung Kepala Singa yang terdapat di ba-
lik luruhan abu!"
Habis makiannya, pemuda berpakaian hijau pu-
pus ini segera melompat lagi bila tak ingin gelombang
angin yang dilepaskan Dewi Selendang Hitam menghantamnya. Lagi-lagi sebuah pohon tercabut dan me-
nabrak pohon lain begitu gagal mengenai sasarannya.
Suara yang ditimbulkan sangat mengerikan.
"Kadal buntung! Jelas tak mungkin kuhadapi
dengan ilmu dari Lembah Kutukan! Apakah harus ku-
pergunakan ajian bangsa siluman yang pernah ditu-
runkan oleh Eyang Sangsoko Murti?" desis Andika
dengan wajah tegang. Keringat mendadak saja menga-
liri sekujur tubuhnya. (Untuk mengetahui siapa Eyang
Sangsoko Murti silakan baca: "Neraka di Keraton Ba-
rat" dan untuk mengetahui bagaimana Andika ditu-
runkan ilmu bangsa siluman oleh Eyang Sangsoko
Murti baca: "Siluman Hutan Waringin").
Namun pemuda urakan ini urung melakukan,
tatkala dirasakan desah napas Kepala Besi menjadi sa-
tu-satu. Keadaan ini membuatnya jadi keblingsatan
sendiri.
Sadar akibatnya bila dia tak segera menolong lela-
ki tinggi besar ini, membuat Andika berpikir lain.
"Terpaksa harus kuselamatkan dulu nyawa Kepala
Besi. Tubuhnya kini terasa panas sekali. Mungkin ka-
rena terkena sambaran kabut hijau yang dilepaskan
Bocah Liar tadi. Hmm... bahaya telah datang mengan-
cam. Aku yakin, roh yang masuk ke dalam tubuh Dewi
Selendang Hitam akan mencari Eyang Saptacakra. Dan
bisa kubayangkan apa yang akan terjadi bila dia gagal
melakukannya...."
Karena merasa harus menyelamatkan nyawa Ke-
pala Besi, Andika memutuskan untuk meninggalkan
tempat itu. Diperhitungkannya saat yang tepat. Tatka-
la didapatinya, dia segera berkelebat. Namun bersa-
maan dengan itu, Bocah Liar justru lepaskan ajian
'Hutan Perangkap Harimau'. Serta merta menderu ka-
but-kabut hijau yang ganas.
"Kutu monyet!!"
Namun sebelum Andika menghindar atau lakukan
satu papakan, mendadak saja kabut-kabut hijau itu
pecah berantakan disertai suara letupan yang sangat
keras. Menyusul terdengar suara keras dan dalam,
"Tak seorang pun kuizinkan membunuh orang yang
punya hubungan dekat dengan Saptacakra!! Dan ke-
lancangan itu harus ditebus dengan nyawa!!"
Andika yang telah hinggap kembali di atas tanah,
melihat betapa pucatnya wajah Bocah Liar tatkala satu
gelombang angin dahsyat menderu ke arah lelaki itu.
Bocah Liar segera bergulingan disertai seruan terta-
han. Namun gelombang-gelombang angin yang berasal
dari gerakan kaku tangan kanan Dewi Selendang Hi-
tam terus mencecarnya.
Kian pucat laksana tanpa darah wajah Bocah Liar.
Dia menghindar seraya berseru, "Dewi! Ingat, ini aku!
Sahabat dan sekaligus gurumu! Tahan seranganmu,
Dewi!!"
Namun Dewi Selendang Hitam yang telah kema-
sukan roh entah milik siapa itu terus menyerang den-
gan gerakan-gerakan kakunya. Mulutnya bersuara ke-
jam, "Kematian layak untuk orang yang ganggu uru-
sanku!!"
"Terkutuk! Dewi, sadarlah! Jangan memancingku
untuk menurunkan tangan!!" maki Bocah Liar keras,
namun hatinya kebat-kebit. Karena dia pun menyadari
kalau yang lakukan serangan itu bukanlah Dewi Se-
lendang Hitam.
Tetapi perempuan berpakaian hitam itu tak pedu-
li. Dengan gerakan-gerakan kaku dia terus lancarkan
serangan ganasnya pada Bocah Liar yang berkali-kali
kertakkan rahangnya.
"Keparat! Terpaksa aku harus membunuhmu!!"
Kendati dia berusaha melakukannya, namun ju-
stru dia yang terdesak. Bahkan kali ini pekikan
pekikan tertahan disertai rasa ketakutan terdengar da-
ri mulutnya.
Sementara itu melihat betapa Bocah Liar telah
masuk ke dalam lingkaran maut yang diciptakan Dewi
Selendang Hitam, Andika mengurungkan niatnya un-
tuk segera meninggalkan tempat itu. Dia segera men-
celat ke muka sambil gerakkan kain bercorak catur-
nya, "Menjauh dari sini!!"
Namun serangan yang dilakukannya tak berarti
banyak. Hanya dengan gerakkan tangan kirinya saja,
serangan yang dilakukan Andika putus. Sementara
tangan kanan Dewi Selendang Hitam terus lancarkan
serangan pada Bocah Liar yang menghindar sambil
berseru-seru mencoba menyadarkan perempuan itu.
Kendati mulutnya sampai berbusa, namun Dewi
Selendang Hitam yang telah berubah dari nurani as-
linya, justru kini menggerakkan kedua tangannya. Sa-
tu tarikan napas berikutnya, satu gelombang angin
menghantam kaki Bocah Liar yang melolong setinggi
langit. Sementara gelombang angin lainnya menghan-
tam telak dadanya,
Terseret ke belakang Bocah Liar disertai pekikan
terputus. Seretan tubuhnya terhenti tatkala menghan-
tam sebuah pohon besar yang langsung tumbang. Saat
tubuhnya ambruk, terlibat dadanya bolong besar den-
gan jantung hangus. Lelaki bertampang bocah itu
langsung tewas tanpa keluarkan suara sepatah kata
pun lagi.
Di tempatnya, Andika menggigil melihat kekeja-
man yang terpampang di depan matanya. Sebenarnya
pemuda dari Lembah Kutukan ini masih mencoba un-
tuk menahan setiap serangan yang dilakukan Dewi Se-
lendang Hitam. Namun begitu dirasakan gerak napas
Kepala Besi kian melemah, diputuskannya untuk me-
nyelamatkan Kepala Besi lebih dulu.
Sambil hindari serangan yang dilakukan Dewi Se-
lendang Hitam, pemuda ini bergerak cepat meninggal-
kan tempat itu. Sepeninggal Pendekar Slebor, nampak
kegeraman meliputi wajah Dewi Selendang Hitam yang
sejak tadi tak sekali pun kedipkan matanya. Pancaran
matanya kian dingin dan dalam.
Mendadak terdengar tawanya yang keras. Saking
kerasnya, membongkar ranggasan semak belukar yang
semakin lama kian habis dan di tempat itu telah ter-
bentuk sebuah tanah kosong yang cukup luas.
"Setelah puluhan tahun, sekarang aku telah bebas
dari kuncian yang dilakukan Saptacakra! Kutukan
yang kulontarkan akan kubalas kepada cucu buyut
Saptacakra! Kini saatnya menghirup udara bebas!!"
Tawa yang terdengar kian mengeras disusul suara
kembali, "Jala Kunti telah terbebas dari kuncian! Kini
tinggal melaksanakan kutukan yang pernah terucap!!"
Habis seruannya, sosok Dewi Selendang Hitam
yang telah kerasukan roh seorang tokoh sesat bernama
Jala Kunti, bergerak meninggalkan tempat itu. Dan se-
tiap kali melangkah, terdengar suara berdebam dan
tanah yang sedikit bergetar.
Tempat itu pun kembali direjam sepi. Keheningan
dan hawa dingin menyelimuti mayat Bocah Liar.
***
Pagi kembali mengalunkan gita lembutnya dalam
semaian sinar mentari yang redup memerah. Angin
berhembus sejuk, seolah lambungkan sukma ke langit
tujuh.
Di sebuah batang pohon yang terdapat di depan
sebuah sungai, nampak satu sosok tubuh berpakaian
abu-abu terbuka di bahu kanan, sedang duduk ber-
sandar. Sosok tubuh lelaki tinggi besar yang tak lain
Kepala Besi adanya nampak lemah. Bibirnya rapat
menutup sementara pancaran matanya seolah tak me-
natap apa pun, tanda dia sedang berpikir.
Kepala Besi yang setelah diobati oleh Pendekar
Slebor akibat hantaman sinar hitam Nyi Dungga Ratih
kemudian terkena serempetan kabut hijau Bocah Liar
pada kaki yang sama, nampak sudah merasa lebih
baik. Bahkan kaki kanannya dapat digerakkan seperti
biasa kendati masih agak lemah.
"Rupanya... apa yang tersimpan pada Patung Ke-
pala Singa... sungguh sesuatu yang mengerikan... se-
buah kutukan yang kini merasuk pada diri Dewi Se-
lendang Hitam...," desisnya masygul tatkala teringat
bagaimana perubahan terjadi pada diri Dewi Selendang
Hitam.
Angin berhembus, membelai wajahnya, menggu-
gurkan beberapa dedaunan yang sebagian melayang
jauh dan sebagian jatuh ke sungai yang segera berlalu
mengikuti alirannya.
"Guru... puluhan tahun rahasia itu terpendam,
dan yang muncul hanyalah sebuah kutukan.... Kutu-
kan yang mengerikan, kutukan yang mendendam pada
orang yang bernama Saptacakra.... Ah, siapakah orang
itu? Dan kudengar... Dewi Selendang Hitam yang telah
kemasukan roh entah milik siapa, memburu Pendekar
Slebor.... Apakah benar kalau pemuda urakan itu ke-
turunan atau ada hubungan erat dengan Saptacakra?"
Sebelum Kepala Besi teruskan berpikirnya, men-
dadak saja satu sosok tubuh menyeruak dari dalam
sungai.
Byuurrrr!
"Wuaaaahhh!! Segar, segar betul!!" terdengar se-
ruan itu bersamaan dengan satu kepala berambut
gondrong yang kini basah. Lalu berteriak pada Kepala
Besi, "Hei, Gundul! Ayo, sini mandi dulu! Bau badan
mu lebih gawat dari kambing buduk!!"
Kepala Besi cuma tersenyum saja pada Andika
yang barusan tadi berteriak. Lalu berseru, "Aku tidak
mandi, karena tubuhku tidak bau! Justru kau yang
sedang coba hilangkan bau busuk tubuhmu itu!"
"Jangkrik!!" maki Andika sambil tersenyum ko-
nyol. Setelah garuk-garuk kepalanya, dia menyelam la-
gi dan berenang gaya bebek.
Kepala Besi cuma memperhatikan saja. Begitu pu-
la tatkala pemuda dari Lembah Kutukan itu tahu-tahu
melompat dari dalam air dan hinggap di balik rangga-
san semak belukar. Tiga kejapan mata berikutnya, dia
sudah keluar lagi, berpakaian lengkap sambil tertawa-
tawa.
"Segar, segar!!" desisnya sambil angkat kedua tan-
gannya, lalu mencium ketiaknya. Dengan sikap yang
kian konyol dia berseru, "Kalau jumpa dengan gadis
manis, tidak perlu malu, nih!!"
"Itu namanya tidak tahu malu!!"
Andika cuma nyengir sambil gerak-gerakkan ram-
butnya yang basah. Butiran air berlompatan dan se-
perti berlian yang terkena cahaya mentari.
"Masa bodoh, ah!" katanya sambil duduk bersila di
hadapan Kepala Besi. Sesaat dipandanginya lelaki ber-
kepala plontos ini sebelum berkata, "Aku ingin men-
dengar sekali lagi tentang Patung Kepala Singa yang
dikatakan oleh gurumu, Kepala Besi."
Kepala Besi terdiam sejenak. Kendati dia merasa
heran dengan kata-kata itu, diulanginya lagi apa yang
pernah diberitahukan gurunya tiga puluh tahun yang
lalu (Silakan baca: "Rahasia di Balik Abu").
Dilihatnya pemuda urakan dari Lembah Kutukan
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesungguh-
nya, Andika mencoba mencari rangkaian dari rahasia
Patung Kepala Singa dengan kutukan yang terdapat di
patung itu.
Kemudian katanya, "Rahasia yang terpendam be-
berapa puluh tahun itu, rupanya adalah sebuah kutu-
kan. Kutukan dari orang yang pernah dikalahkan oleh
Ki Saptacakra. Mendapatkan kejelasan dari semua pe-
ristiwa ini, satu-satunya jalan adalah mencari tahu
masalah apa yang dulu pernah terjadi...?
"Andika... siapakah sesungguhnya Ki Saptacakra
dan apa hubungannya denganmu?"
Andika mendesah pendek sebelum berkata, "Dia...
adalah eyang buyutku sekaligus guruku...." Lalu dice-
ritakannya sedikit tentang Ki Saptacakra. (Untuk men-
getahui siapa gerangan Ki Saptacakra adanya, silakan
baca: "Lembah Kutukan" dan "Dendam dan Asmara").
"Menilik kata-kata Dewi Selendang Hitam yang te-
lah kerasukan roh dari Patung Kepala Singa yang telah
lebur menjadi luruhan debu, jelas engkaulah sasaran-
nya sebelum menuntaskan seluruh dendamnya pada
Eyang buyutmu itu."
"Kau betul. Jelas dia tak akan melepaskan niatnya
untuk membantai semua keturunan dari Ki Saptaca-
kra. Dalam hal ini... adalah aku...."
Tak ada yang keluarkan suara.
Kepala Besi mendesah dalam hati, "Aku tak enak
melibatkannya waktu lalu dalam urusan Patung Kepa-
la Singa, yang ternyata justru sebuah ancaman pada
Andika sendiri...."
Sementara itu Andika membatin, "Bila saja aku ti-
dak terlibat dalam urusan ini, sudah tentu aku tak
akan tahu kalau ada dendam membara pada Eyang
buyutku...."
Kemudian terdengar kata-katanya, "Kepala Besi...
urusan kian membentang panjang. Dan tak mungkin
kita bisa berpangku tangan saja. Jelas-jelas Dewi Se-
lendang Hitam yang telah kemasukan roh dari luruhan
abu Patung Kepala Singa tak akan berdiam diri. Ten-
tunya dia akan turunkan segala murkanya. Hmmm...
apakah keadaanmu sudah baikan sekarang?"
Kepala Besi menganggukkan kepalanya.
"Bagus!" sahut Andika sambil acungkan jempol,
lalu menyambung dengan suara seperti menggerutu,
"Kalau belum juga sih, kebangetan!"
Sementara Kepala Besi mendengus, Pendekar Sle-
bor berkata lagi, "Rasanya... kita harus berpisah di si-
ni. Kita menempuh jalan masing-masing. Tujuanku
saat ini, tetap mencoba untuk patahkan setiap keingi-
nan sesat dari roh yang masuk ke tubuh Dewi Selen-
dang Hitam...."
Kepala Besi mendesah dulu sebelum berkata, "Ba-
gaimana bila kita menghadapinya bersama-sama?"
Andika yang mempunyai rencana sendiri, mengge-
lengkan kepalanya. Kemudian sambil nyengir dia ber-
kata, "Busyet! Betul-betul aneh kau ini! Masa kau ha-
rus ikut denganku? Bah! Kalau kau perempuan jelita,
montok dan menggiurkan sih boleh juga.... Tetapi ini...
ya, ampun... nenek-nenek peot juga nggak nafsu buat
jadi lawan ehm-ehmmu...."
"Dasar urakan! Dalam keadaan seperti ini dia ma-
sih bisa bicara seenak jidatnya saja...," maki Kepala
Besi dalam hati. Lalu berkata, "Apa yang hendak kau
lakukan sekarang?"
"Busyet! Banyak tanya banget! Tetapi ya... terus
terang, aku tak bisa mengatakannya! Soalnya... nanti
kau contek lagi... ha ha ha!!"
Sementara Andika, terbahak-bahak, Kepala Besi
keluarkan dengusan. Dua kejapan berikutnya, pemuda
yang di lehernya melilit kain bercorak catur sudah
berdiri.
Pandangannya kali ini serius pada Kepala Besi.
"Jaga dirimu baik-baik... jangan sampai kau di
kawini oleh Dewi Selendang Hitam...."
"Urakan!!" seru Kepala Besi sambil berdiri kemba-
li. Kaki kanannya dirasakan sudah tidak terlalu ngilu.
Andika sendiri cuma tertawa saja dan masih tertawa-
tawa berlalu meninggalkan Kepala Besi yang kemudian
juga berkelebat ke arah yang berlawanan dengan pe-
muda itu.
***
4
Malam kian dalam bergerak, membentuk keguli-
taan semata. Gumpalan awan putih telah sirna diganti
awan hitam yang menggelembung, tanda sebentar lagi
hujan akan turun bila angin tak gerakkan awan-awan
hitam itu berlalu.
Dan mendadak saja kandungan awan-awan hitam
itu tumpah. Laksana air bah, hujan turun dengan de-
rasnya. Angin berubah bergulung-gulung dengan uda-
ra yang terasa kian dingin menusuk tulang. Petir sam-
bar menyambar seolah hendak luluh-lantakan kehidu-
pan di muka bumi ini. Kilat sesekali menerangi puncak
sebuah bukit terjal yang mengerikan.
Dalam keadaan alam yang murka, nampak satu
sosok tubuh bergerak cepat. Dari gerakannya yang se-
jak semula memang cepat, nampak tak ada tanda-
tanda orang itu akan hentikan kelebatannya. Bahkan
sejenak pun dia tak berhenti atau tengadahkan kepa-
lanya. Jelas sekali kalau orang yang tak pedulikan be-
tapa derasnya butiran hujan yang membasahi tubuh-
nya, memiliki satu urusan yang tak mau ditinggalkan
barang sekejap.
Dan menilik gerakannya yang seperti tak terhalang oleh kabut tebal, menandakan kalau bayangan
yang kenakan pakaian berwarna biru gelap dengan se-
lendang putih yang berselempangan di dadanya, san-
gat hafal dengan jalan menuju ke bukit yang dipenuhi
batu-batu terjal yang setiap saat bisa berjatuhan.
Tiba di lereng bukit, tanpa hentikan gerakannya
sekali pun, lelaki yang berkumis baplang dan tak lain
Gendala Maung adanya, segera melesat naik ke bukit
itu. Kabut tebal kian menutupi pandangannya, namun
dia tak peduli. Bahkan lereng bukit terjal itu pun terus
didekatinya dengan penuh kepercayaan diri. Bila salah
seorang dari Dua Iblis Lorong Maut ini tidak hafal be-
tul jalan yang harus dilaluinya, niscaya dia akan jatuh
terguling atau paling tidak tersesat.
Setelah gagal mencoba kelicikannya pada Pende-
kar Slebor dan maksudnya untuk membalas sakit hati
sahabatnya yang tewas di tangan pemuda itu karena
dihadang oleh Kepala Besi, Gendala Maung kerahkan
segenap kebisaannya untuk membunuh Kepala Besi.
Namun rupanya, dia memiliki ilmu yang seimbang
dengan Kepala Besi. Sementara itu, Kepala Besi sendiri
tak menghendaki pertarungan itu diteruskan lebih la-
ma mengingat dia hanya bermaksud untuk menahan
Gendala Maung saja, agar Pendekar Slebor dapat me-
neruskan mencari Patung Kepala Singa.
Di saat bentrokan terjadi, Kepala Besi mempergu-
nakan kesempatan itu untuk meninggalkan Gendala
Maung. Gendala Maung sendiri kian meradang, lalu
dia pun segera meninggalkan tempat itu (Baca: "Raha-
sia Di Balik Abu").
Lelaki berkumis baplang yang mendendam pada
Pendekar Slebor karena telah membunuh sahabatnya
yang bernama Ganda Maung dan sekarang menden-
dam pula pada Kepala Besi, tak mau menunda segala
keinginannya untuk membalas dendam. Gendala
Maung yang sebelumnya menginginkan Patung Kepala
Singa kini benar-benar menindih segala keinginannya
itu.
Sambil berkelebat dia berpikir untuk menjumpai
gurunya di Bukit Balu-Balu. Karena sesungguhnya,
keinginannya bersama Ganda Maung untuk menda-
patkan Patung Kepala Singa atas perintah gurunya
yang berjuluk Dedemit Tapak Akhirat.
Dan sekarang, lelaki yang tengah dirasuk dendam
ini telah tiba di puncak Bukit Akhirat. Begitu kedua
kakinya menginjak puncak bukit itu, dia langsung
berkelebat ke arah sebuah bangunan kecil yang nam-
pak tak terganggu sama sekali akibat angin dahsyat.
Bahkan petir yang menyambarnya seolah berbelok.
Menghantam gugusan puncak bukit hanya sejarak sa-
tu langkah dari gubuk reot itu.
Tak mau membuang waktu lagi, Gendala Maung
langsung masuk ke dalam gubuk itu seraya berseru,
"Guru...."
Sesaat tak ada suara yang terdengar, bahkan
Gendala Maung tak bisa melihat seisi gubuk itu. Na-
mun dia hafal betul dengan bau tubuh gurunya yang
seperti menebarkan aroma kemenyan.
Setelah beberapa saat terdiam, terdengar suara,
"Sudah kuduga kau akan datang tanpa membawa ha-
sil yang kuperintahkan...."
Mendengar kata-kata orang yang bernada dingin
itu, Gendala Maung langsung jatuhkan tubuh. Baru
sekarang dirasakan betapa penat dan lelah sekujur tu-
buhnya. Apalagi ditingkahi oleh rasa takut yang men-
dadak muncul.
Saat berkata nafasnya agak terengah, "Maafkan
aku, Guru.... Seorang pemuda telah menggagalkan
semua ini...."
"Seorang pemuda? Apakah kau hanya sebangsa
tikus air yang tak mampu menghadapinya?" Suara
yang kian dingin itu semakin menciutkan hati Gendala
Maung.
Tetapi ditahan rasa takutnya. Lalu berkata, "Ku
akui... kalau dia memiliki ilmu yang lebih tinggi,
Guru...."
"Siapa pemuda itu?"
Gendala Maung mengatur nafasnya dulu sebelum
menjawab, "Pendekar Slebor...." Sesaat tak ada sahu-
tan.
"Pendekar Slebor.... Sebuah julukan yang nampak
kosong belaka...." Terdengar sahutan itu lalu menyam-
bung, "Tetapi... bisa tunda urusan itu sesaat. Seka-
rang, pejamkan kedua matamu...."
Menuruti perintah gurunya, Gendala Maung sege-
ra memejamkan kedua matanya. Lamat-lamat dirasa-
kan hawa panas melingkupi tubuhnya yang nampak
mulai menggigil. Rasa dingin pun dirasakan perlahan-
lahan menghilang. Lalu seperti ada satu sentuhan ha-
lus, kedua matanya yang terpejam nampak sesaat ber-
gerak.
"Buka kedua matamu sekarang...."
Lamat-lamat Gendala Maung membuka sepasang
matanya kembali. Saat dibuka, dirasakan satu peru-
bahan yang berbeda. Kalau tadi sebelumnya dia tak
melihat apa-apa karena seisi gubuk itu hanya kegela-
pan semata, kali ini dia dapat melihat dengan terang.
Seolah di tempat itu matahari sedang berada tepat di
tengah-tengah kepala.
Sejarak tiga langkah dari hadapannya, nampak
satu sosok tubuh kurus sedang duduk bersila. Wajah
orang itu demikian mengerikan, karena seperti tak ter-
lapis daging dan kulit. Begitu kurusnya hingga wajah-
nya nampak seperti tengkorak belaka. Rambut orang
itu panjang tak beraturan. Sepasang matanya menjo
rok ke dalam dan pancarkan warna kelabu pekat.
Orang yang berusia kira-kira sekitar tujuh puluh
tahun ini, mengenakan pakaian hitam-hitam yang ter-
buka di dada dan memperlihatkan dadanya yang ku-
rus agak membungkuk. Dari wujudnya yang mengeri-
kan ini, ada juga ketakjuban bagi orang yang meman-
dangnya. Karena orang tua itu bersila dengan kedudu-
kan satu jengkal di atas tanah!
Orang inilah yang berjuluk Dedemit Tapak Akhi-
rat, orang yang puluhan tahun lalu julukannya pernah
menggemparkan rimba persilatan karena sepak ter-
jangnya yang ganas, orang yang menjadi guru dari Dua
Iblis Lorong Maut, yang selama berguru padanya telah
menjadi manusia-manusia kejam yang dapat diperin-
tah apa saja.
Lelaki berwajah tengkorak ini mendehem lalu ber-
kata, "Urusan sekarang sudah berkembang.... Cerita-
kan apa yang telah terjadi...."
Laksana seorang anak kecil yang mengadu pada
ayahnya karena dicurangi bermain kelereng, Gendala
Maung menceritakan apa yang telah terjadi.
"Jadi sampai saat ini, kau sesungguhnya belum
tahu pada siapa Patung Kepala Singa berada?" tanya
Dedemit Tapak Akhirat setelah Gendala Maung habis
bercerita.
Gendala Maung menganggukkan kepalanya. Di-
dengarnya lagi suara gurunya, kali ini lebih sengit,
"Sekarang... apa maksud kedatanganmu ke sini? Lari
pulang seperti perawan dicegat seorang perjaka?"
Gendala Maung tak segera membuka mulut. Dis-
adarinya betul bila dia salah berucap maka akibatnya
akan fatal. Namun dendamnya atas kematian Ganda
Maung membuatnya menindih segala ketakutannya.
Perlahan-lahan diangkat kepalanya.
Hanya sesaat. Karena begitu bentrok dengan sepasang mata kelabu milik gurunya itu, Gendala Maung
segera tertunduk. Setelah tarik napas dia berkata,
"Saya datang ke sini, justru ingin meminta pelajaran
lagi dari Guru. Saya akui, karena saya tak mampu un-
tuk menandingi kehebatan Pendekar Slebor."
"Hhhh! Seperti apa kesaktian pemuda celaka itu?!"
"Bila dibandingkan dengan kesaktian yang Guru
miliki, tentunya Pendekar Slebor bukanlah tandingan
Guru," sahut Gendala Maung mencoba menjilat.
Namun dia kecele karena gurunya justru mem-
bentak, "Jangan menjadi manusia dungu di hadapan-
ku, Gendala Maung!"
Gendala Maung langsung bungkam mendengar
bentakan itu. Di dasar hatinya, dia jengkel bukan
main. Namun dia benar-benar tak berani lakukan tin-
dakan apa-apa. Bahkan menunjukkan kejengkelannya
melalui dengusan saja tak berani dilakukannya.
Sesaat di dalam gubuk itu hening. Di luar gubuk,
hujan terus turun dengan derasnya. Berulang kali kilat
menyambar, entah yang kali keberapa hingga mene-
rangi Bukit Balu-Balu beberapa kejap. Menyusul petir
yang salak menyalak. Kendati alam seperti didera kia-
mat kecil, gubuk yang didiami kedua orang itu tak ber-
gerak sedikit juga!
Masing-masing orang yang terdiam itu, akhirnya
dipecahkan oleh suara Gendala Maung, "Guru... me-
nurut kabar yang kudengar... Pendekar Slebor berasal
dari Lembah Kutukan...."
Begitu habis kata-kata Gendala Maung, terdengar
seruan tertahan Dedemit Tapak Akhirat, "Gila! Apakah
aku tidak salah mendengar apa yang kau katakan itu,
hah?!!"
Kendati agak terkejut mendapati kekagetan gu-
runya, Gendala Maung buru-buru menggeleng, "Tidak,
Guru.... Berita itulah yang kudengar...."
Sesaat tak ada lagi yang keluarkan suara. Gendala
Maung yang kini matanya telah dapat melihat dalam
gelap, melihat gurunya nampak seperti tercenung.
Namun pancaran sinar kelabu sepasang matanya begi-
tu nyalang.
Mendadak terdengar suara makiannya yang keras,
"Jahanam sial! Hanya seorang yang tinggal di Lembah
Kutukan... dan dia bernama Saptacakra! Orang yang
telah mengalahkan kakak seperguruanku puluhan ta-
hun lalu! Orang yang telah menguncinya pada sebuah
pohon hingga kakak seperguruanku itu mampus! Te-
tapi... sebelum dia mampus, dia telah keluarkan satu
kutukan! Kelak, rohnya akan menitis pada pohon itu!"
Mendengar kata-kata gurunya, Gendala Maung
nampak kerutkan kening. "Apa maksud Guru berkata-
kata seperti itu? Baru kali ini kudengar dia memiliki
kakak seperguruan. Hmm... siapakah orangnya?"
Kendati hatinya diliputi tanya, Gendala Maung tak
berani mengajukannya. Lalu didengarnya kembali sua-
ra gurunya, "Gendala Maung... tahukah kau mengapa
aku memerintahkanmu untuk mencari Patung Kepala
Singa?"
Lelaki berkumis baplang itu buru-buru mengge-
lengkan kepala. "Tidak, Guru...."
"Hmmm... kini tiba saatnya kuceritakan padamu.
Kakak seperguruanku bernama Jala Kunti, seorang
perempuan yang mudah sekali tersinggung. Emosinya
selalu meluap. Bahkan aku tak pernah berani mem-
bantahnya. Dia pun berani melawan guruku yang se-
kaligus gurunya. Namun, Guru sangat sayang pa-
danya... karena sesungguhnya, Jala Kunti adalah pu-
trinya sendiri...."
Dedemit Tapak Akhirat terdiam dulu, seolah men-
gingat masa lalunya. Setelah beberapa saat dia berkata
lagi, "Kala itu... Jala Kunti selalu hidup dalam setiap
amarahnya. Terlebih lagi... tatkala dia mencintai seo-
rang pemuda yang bernama Saptacakra. Dan sungguh
malang nasibnya, karena Saptacakra tak pernah mau
membalas cintanya. Jala Kunti marah besar. Dia beru-
saha untuk membunuh Saptacakra... namun Saptaca-
kra selalu berhasil mengalahkannya. Sebagai pelam-
piasan amarahnya, dia membunuhi pemuda-pemuda
yang ditemuinya. Siapa pun pemuda itu...."
Dedemit Tapak Akhirat menghela napas dulu se-
belum melanjutkan, "Karena tindakannya yang telen-
gas itu. Guru memerintahkanku untuk mengatasi se-
mua tindakannya. Namun aku tak mampu mengata-
sinya. Kendati aku dihajar habis-habisan, namun aku
tidak marah sama sekali. Justru aku mendendam pa-
da Saptacakra yang semakin membuatnya bertambah
beringas. Dan kuputuskan untuk mencari Saptacakra.
Setelah berbulan-bulan lamanya, aku berhasil bertemu
dengannya. Kuminta dengan sangat, bahkan aku sam-
pai berlutut padanya, agar dia mau mencintai Jala
Kunti. Paling tidak, berpura-pura. Tetapi Saptacakra
yang kala itu berusia sekitar lima belas tahun di
atasku, tetap menolak. Aku menjadi murka. Dan aku
pun menyerangnya. Tetapi aku berhasil dikalahkan-
nya. Pada saat Saptacakra hendak meninggalkanku,
muncul Jala Kunti yang dengan membabi buta menye-
rangnya.
Pertarungan yang terjadi berlangsung sekitar tiga
kali penanakan nasi dan kemenangan berada di pihak
Saptacakra. Karena Jala Kunti begitu nekat terus
mencoba menyerangnya kendati sudah kepayahan,
Saptacakra akhirnya memantek Jala Kunti dengan il-
munya di sebuah pohon. Saat itu, aku mencoba meno-
longnya, namun karena keadaanku sendiri sudah
payah aku tak mampu melakukannya. Saptacakra pun
meninggalkanku dan Jala Kunti yang menempel di sebuah pohon. Sebelum Saptacakra meninggalkan tem-
pat itu dan sebelum aku pingsan, Jala Kunti telah
lemparkan kutukan, bila dia mendapatkan kesempa-
tan hidup kedua dia akan membunuh Saptacakra
hingga tujuh turunannya. Aku pun terbangun setelah
pingsan yang tak kuketahui berapa lama. Saat itulah
kulihat Jala Kunti telah tewas membunuh diri dengan
cara menggigit lidahnya sendiri...."
Dedemit Tapak Akhirat mendesah masygul, "Den-
gan hati pedih, akhirnya kukuburkan mayatnya. Dan
kuceritakan semua itu pada guruku yang hanya ter-
diam. Lalu, entah karena umur guru yang sudah tua
atau karena pedih memikirkan nasib Jala Kunti... ak-
hirnya Guru pun meninggal. Tinggal aku yang kemu-
dian selalu mendatangi pohon di mana Jala Kunti
menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Setelah beberapa tahun aku selalu mendatangi
tempat itu, akhirnya kuputuskan untuk mencari Sap-
tacakra. Tetapi, aku selalu gagal bertemu dengannya.
Akhirnya kuputuskan untuk kembali melihat pohon
tempat Jala Kunti menemui ajalnya. Saat itulah baru
kusadari kalau pohon itu telah ditebang oleh seseorang
yang kuketahui bernama Kapi Pitu yang lalu kudengar
memiliki Patung Kepala Singa.... Aku tak pernah me-
mikirkan soal itu, karena tak kuingat sama sekali ten-
tang kutukan Jala Kunti. Tatkala aku teringat akan
kutukan Jala Kunti, kucoba untuk mencari Kapi Pitu
guna mendapatkan Patung Kepala Singa. Tetapi aku
pun gagal mendapatkannya... hingga kemudian ku-
dengar, kalau Patung Kepala Singa dimiliki oleh seseo-
rang yang berjuluk Pendekar Sutera...
Makanya, kutugaskan kau dan Ganda Maung un-
tuk mendapatkannya. Karena aku yakin, pada Patung
Kepala Singa tersimpan roh Jala Kunti yang membawa
kutukan...."
Mendengar cerita gurunya yang panjang lebar,
Gendala Maung terdiam dengan kening dikernyitkan
berkali-kali. "Tak kusangka kalau persoalan Patung
Kepala Singa ada hubungannya dengan Guru.
Hmmm... pada siapakah patung itu berada sekarang?
Atau jangan-jangan... rahasia itu telah terbuka dan
kutukan Jala Kunti telah menyebar?"
Di luar gemuruh hujan belum mereda juga. Bah-
kan terdengar semakin ganas. Di lereng bukit sebelah
kanan, tiga batang pohon kelapa hangus tersambar pe-
tir.
Dedemit Tapak Akhirat tarik napas. Pancaran ma-
tanya kian tajam menusuk. Berkilat-kilat kelabu.
"Kini... Saptacakra nampaknya telah menurunkan
ilmunya pada seorang pemuda yang berjuluk Pendekar
Slebor! Mencari manusia itu sendiri tak akan mudah
dilakukan! Berarti... Pendekar Slebor lah satu-satunya
jalan untuk mendapatkan manusia celaka itu! Pejam-
kan matamu!!"
Saat itu pula Gendala Maung memejamkan ma-
tanya dengan dada berdebar. Dia berharap kalau gu-
runya akan menurunkan ilmunya kembali. Apa yang
diduga lelaki berkumis baplang ini memang benar, ka-
rena tiba-tiba saja dirasakan hawa panas melingkupi
tubuhnya, yang semakin lama semakin menguat. Da-
lam tiga kejapan mata saja, dalam udara yang sedemi-
kian dingin menusuk, Gendala Maung telah alirkan ke-
ringat.
Menyusul lelaki ini berteriak mengaduh, disertai
makian Dedemit Tapak Akhirat, "Jangan bodoh! Sekali
lagi kau berteriak, hawa panas itu akan merejam jan-
tungmu!! Tetapi bila kau memang sudah ingin mam-
pus sebelum membalas kematian Ganda Maung, itu
urusanmu!!"
Mendengar peringatan gurunya, Gendala Maung
berusaha untuk tindih segala kesakitannya. Tubuhnya
pun mulai meregang-regang dengan kepala tengadah.
Seluruh urat di tubuhnya seperti menonjol keluar,
tanda dia menahan rasa sakit.
Cukup lama Gendala Maung bagai berada dalam
satu siksaan pedih yang menyakitkan. Namun dia mu-
lai tak peduli. Dicobanya untuk lupakan segala yang
menyakitkannya itu dengan cara membayangkan wa-
jah Pendekar Slebor.
Semakin dibayangkannya wajah pemuda itu, Gen-
dala Maung seakan lupa pada rasa sakitnya.
Setelah beberapa kejap kemudian, hawa panas
dan rasa sakit yang melingkupinya lenyap. Di depan,
Dedemit Tapak Akhirat yang sejak tadi mensejajarkan
kedua tangannya di depan dada tetapi tidak menempel
pada salah satu anggota tubuh Gendala Maung, perla-
han-lahan turunkan kedua tangannya.
Mulutnya menghembuskan angin pelan. Namun
akibatnya, tubuh Gendala Maung ambruk. Tatkala le-
laki berkumis baplang ini hendak bangkit kembali, De-
demit Tapak Akhirat telah berkata, "Jangan bergerak,
tetap pada kedudukan seperti itu!"
Gendala Maung yang kini tak lagi merasakan sa-
kitnya, bahkan dirasakan tubuhnya bertambah ringan,
hanya menurut. Di tempatnya mulut Dedemit Tapak
Akhirat nampak berkemak-kemik. Lalu menghem-
buskan udara ke wajah Gendala Maung yang sesaat
menjadi gelagapan.
"Bagus! Kini kau telah mewariskan ilmu 'Tapak
Akhirat' yang kumiliki, Gendala Maung! Sekarang juga
kau tinggalkan tempat ini! Cari dan tangkap Pendekar
Slebor! Paksa dia untuk mengatakan di mana Sapta-
cakra tinggal! Satu hal yang terpenting lagi, jangan lu-
pakan untuk mendapatkan Patung Kepala Singa!"
Gendala Maung cuma menganggukkan kepalanya,
lalu perlahan-lahan duduk kembali di hadapan gu-
runya. Dari gerakan mulutnya, dia nampaknya hendak
berkata, tetapi terputus karena mendengar suara gu-
runya, "Tinggalkan tempat ini sekarang!!"
Urung untuk berkata, Gendala Maung hanya
rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Kejap itu
pula dia berkelebat keluar, menerobos hujan badai
dahsyat.
Kalau tadi saat dia datang dalam keadaan gelisah,
kali ini dia berkelebat dengan hati gembira. Mulutnya
berkali-kali berucap, "Tak lama lagi... tak lama lagi kau
akan mampus, Pendekar Slebor...."
Sementara itu, di gubuk reyot yang tak mengalami
pengaruh apa-apa kendati berada dalam cuaca dah-
syat mengerikan itu, Dedemit Tapak Akhirat duduk
dengan kepala tegak. Matanya memancarkan sinar ke-
labu yang angker.
"Saptacakra... kini tiba saatnya untuk membalas
semua perbuatanmu pada kakak seperguruanku...,"
desisnya geram. Lalu menyambung, "Jala Kunti... aku
telah bersumpah untuk membalas semua sakit hati-
mu! Dan kuharap... kutukan yang telah kau lontarkan
akan menjadi kenyataan!! Hhhh! Pemuda berjuluk
Pendekar Slebor... akan menjadi tumbal kematian Sap-
tacakra!! Jala Kunti... biar bagaimanapun sikapmu pa-
daku, biar bagaimanapun kau suka menyakitiku, kau
tetaplah kakak seperguruanku, kakak yang sangat ku
sayangi...."
Habis kata-katanya, mendadak saja atap gubuk
reyot itu pecah berantakan dengan keluarkan suara
yang keras. Bukan dikarenakan sambaran petir atau
angin, melainkan kekuatan tenaga dalam dari tubuh
Dedemit Tapak Akhirat. Begitu atap gubuk itu bolong,
lelaki berpakaian hitam-hitam yang terbuka di dada
dan menampakkan tulang belulangnya, segera melesat
ke atas. Dan seperti ditelan oleh gulungan angin, sosok
lelaki ini telah lenyap dari pandangan.
***
5
Di tempat yang sangat jauh dari sana, Pendekar
Slebor hentikan kelebatannya. Kalau di Bukit Balu-
Balu hujan sedemikian ganas melabrak lama, di tem-
pat di mana Pendekar Slebor menginjakkan kakinya
sekarang, udara begitu cerah. Tak ada timbunan awan
hitam di langit. Kendati demikian, tempat yang dipe-
nuhi ranggasan semak belukar dan pepohonan itu cu-
kup angker.
"Gila! Ke mana perginya Dewi Selendang Hitam
yang kemasukan roh dari Patung Kepala Singa?" desis
pemuda dari Lembah Kutukan ini dengan mata berke-
liling.
Setelah meninggalkan Kepala Besi, Andika me-
mang kembali lagi ke tempat semula. Dia bermaksud
mengikuti Dewi Selendang Hitam. Begitu tak dijum-
painya lagi, dia pun coba melacak jejaknya.
"Kutu monyet! Bahaya akan segera tumpah bila
tak segera dihentikan tindakan telengas Dewi Selen-
dang Hitam! Betul-betul kutu monyet! Mengapa aku
harus berhadapan dengan sebangsa roh segala? Dan
ada hubungan apa dengan Ki Saptacakra? Dasar gem-
blung! Apa...."
"Bicara sembarangan! Kau yang gemblung!!" ter-
dengar makian keras itu memutus kata-kata Andika.
Seketika Andika palingkan kepalanya ke belakang.
Tetapi tak ada siapa pun di sana. Andika kerutkan ke-
ningnya seraya garuk-garuk kepalanya.
"Busyet! Apa aku salah dengar?!"
"Jangan konyol! Hei, Urakan! Telingamu tidak tuli
sama sekali! Atau kau yang berlagak tuli, hah?!" ter-
dengar lagi bentakan itu.
Kali ini Andika melotot ke depan, tetapi tak ada
siapa pun di hadapannya. .
"E, benar-benar busyet! Siapa yang...."
Kata-katanya terputus tatkala kepalanya dijitak.
Menyusul terdengar jeritannya, "Wadaaooowwww!!"
"Gemblung! Apa kau memang jadi dungu seperti
itu hah, sampai tidak mengenaliku?!" terdengar lagi
makian itu yang kali ini berada di samping kanannya.
Andika yang tengah meringis sambil usap-usap
kepalanya, tak memalingkan wajah ke kanan. Justru
dia berkata menggerutu, "Enak banget main jitak begi-
tu! Kalau kepalaku benjol, kau mau menggantinya?!"
"Ya! Dengan batok kelapa!" sahutan orang terden-
gar lagi.
"Dasar tua bangka! Begitu muncul sudah main ji-
tak kepala orang saja!!" gerutu Andika lagi. Lalu seolah
melihat orang itu di hadapannya dia berkata, "Eyang!
Kebetulan kau datang! Ada yang ingin kutanyakan pa-
damu!"
"Soal janda bahenol atau perawan kebluk?!"
"Busyet! Sudah tua masih doyan daun muda ju-
ga," kata Andika dalam hati. Lalu sambil nyengir dia
berkata, "Eyang! Apakah kau mendengar tentang Pa-
tung Kepala Singa?!"
"Kalau Patung Kepala Monyet aku sudah menden-
gar! Tuh di hadapanku!!"
"Eh, busyet!" gerutu Andika lagi. "Aku serius!"
"Gemblung! Siapa bilang aku tidak serius, hah?!"
"Kalau aku monyet, kau ini sebangsa...."
"Manusia paling tampan sedunia!!" putus suara
itu yang entah berada di mana sambil terbahak-bahak.
Andika sendiri ngakak sejadi-jadinya. "Kalau kau
tampan, bagaimana denganku yang keren bin ganteng
ini, hah?!"
"Ya terserah bagaimana penilaianmu sendiri pada
dirimu! Slebor! Urusan Patung Kepala Singa yang telah
pecah menjadi luruhan abu, adalah urusan masa lalu
yang pernah kuhadapi! Tetapi... ya dasar nasib! Justru
kau yang ketiban sial!"
"Betul! Nasibku sungguh sial! Tolong deh, kau ce-
ritakan padaku!" kata Andika dengan nada suara se-
perti pada seorang sahabat.
Dia tahu kalau orang yang entah berada di mana
sekarang ini adalah Eyang buyutnya, Ki Saptacakra.
Majikan Lembah Kutukan. Kendati yang diajak bicara
adalah Eyang buyutnya sekaligus gurunya, tetapi da-
sar urakan, Andika tetap saja bicara seenak perutnya
saja meskipun tak menghilangkan adab kesopanan.
"Dengar baik-baik, aku khawatir telingamu sudah
menjadi tuli!" kata orang itu yang memang Ki Saptaca-
kra adanya. Karena ketinggian ilmu yang dimilikinya,
Andika tidak bisa mengetahui di mana dia berada.
Lalu Andika mendengar kata-kata eyang buyutnya
kemudian. Setelah itu dia mendengus, "Sok kecake-
pan! Mengapa kau menolak cinta Jala Kunti, Eyang?
Katamu tadi, dia cantik jelita! Huh! Sok menolak!"
"Busyet! Ingin rasanya kurobek mulutmu itu!"
"Kalau kau robek, bagaimana caranya aku ma-
kan?"
"Ya, dari hidung!"
Andika cuma mendengus. Lalu katanya, "Jadi...
roh yang masuk pada diri Dewi Selendang Hitam ada-
lah roh Jala Kunti yang masih terbebas karena kutu-
kannya sendiri?"
"Betul! Di samping itu... ada adik seperguruannya
yang berjuluk Dedemit Tapak Akhirat yang sejak dulu
mencari-cariku untuk membalas dendam kematian Ja-
la Kunti! Tetapi aku selalu berhasil menghindarinya
karena aku memang tak ingin memancing permusu-
han! Kalaupun Jala Kunti akhirnya tewas, itu karena
kesalahannya sendiri! Dia membunuh diri!"
"Gara-gara cintanya kau tolak! Sok kecakepan!"
"Sulit berbicara soal cinta! Karena cinta adalah
sebagian dari rahasia Tuhan!"
"Busyet! Jangan-jangan selama ini kau pergi ke
India belajar menjadi penyair, ya?!" seloroh Andika
yang memang mulutnya selalu gatal untuk menggoda
eyang buyutnya. "Atau kau sudah kebanyakan
mem...."
Belum tuntas kata-kata Andika, mendadak saja
satu gelombang angin menderu ke arahnya.
"Heeiii!!" memekik tertahan pemuda urakan ini
yang segera gerakkan tangannya ke depan.
Blaaammm!
Terdengar suara laksana salakan petir yang keras.
Di tempatnya, Andika nampak surut dua tindak ke be-
lakang. Mulutnya berbunyi, "Apa-apaan ini? Kenapa
pakai menyerangku segala? Kalaupun kau menolak
cintanya kan bukan urusanku!"
"Nah! Kalau kau sudah tahu bukan urusanmu,
mengapa kau masih banyak tanya, hah?!"
Mendengar ucapan balik Ki Saptacakra, Andika
cuma nyengir. "Ya... pengen tahu saja...." Kemudian
masih nyengir dia melanjutkan, "Aku sudah ketiban
pulung dari urusan lalu antara kau dengan Jala Kunti,
Eyang! Dan nampaknya, bukan hanya pada Dewi Se-
lendang Hitam yang telah dirasuki roh Jala Kunti yang
harus kuhadapi! Tetapi juga Dedemit Tapak Akhirat!"
"Betul! Manusia itu telah lama berdiam diri di Bu-
kit Akhirat! Dan rasanya... dia pun telah mendengar
tentang Patung Kepala Singa di mana roh Jala Kunti
hinggap! Bisa jadi pula dia telah mendengar tentang
kutukan Jala Kunti yang akan menggegerkan rimba
persilatan! Ingat! Kau juga harus berhati-hati mengha-
dapinya!"
"Enteng banget tuh bacot, apa dia tidak tahu ka-
lau aku sudah panas dingin menghadapi Dewi Selen-
dang Hitam yang kemasukan roh Jala Kunti?" gerutu
Andika dalam hati. Lalu berkata, "Bagaimana caraku
untuk mengalahkannya?"
"Betul-betul celaka! Mana aku tahu? Aku belum
pernah bertarung dengannya!"
"Busyet! Tadi kau cerita, kalau Jala Kunti kau
pantek di sebuah pohon...."
"Kau yang busyet! Kupikir kau bertanya soal De-
demit Tapak Akhirat!"
Andika keluarkan dengusan lagi. "Makanya, jan-
gan main asal jawab saja bila belum paham betul!"
"Sialan! Menghadapi Jala Kunti di kala dia masih
hidup, dapat kulakukan walau dengan bersusah
payah! Tetapi menghadapinya dalam kedudukan men-
jelma menjadi roh atas sumpahnya sendiri, jelas tak
bisa kugambarkan bagaimana cara menghadapinya!
Hei! Kudengar orang-orang mengagumimu karena
keenceran otakmu yang seperti air comberan! Lebih
baik coba kau gunakan otakmu, siapa tahu sudah
mampet?!"
"Ngomong memang gampang!"
"Busyet! Kenapa jadi begini?! Jangan-jangan ju-
stru kau sendiri ya yang mengatakan kau pintar ke-
mudian kau sengaja menyebarkannya?"
Di tempatnya Andika melotot. Dan sebelum dia
membuka mulut, Ki Saptacakra telah keluarkan kata-
kata lagi, "Dulu... dia kukalahkan karena aku tahu ke-
lemahannya yang terletak pada telapak kaki kirinya!
Sekarang... ya kau cari sendiri! Barangkali saja terletak
di tempat yang asyik!"
"Betul-betul busyet! Tak kusangka kalau kau ma-
sih gatel juga, Eyang?!"
Entah berada di mana, Ki Saptacakra keluarkan
tawanya keras-keras. Di tempatnya Andika menggeru-
tu panjang pendek dan kembali menjerit tatkala dira-
sakan kepalanya dijitak, "Kepalaku lama kelamaan bi-
sa benjol nih!"
"Benjol dua jamak! Malah kelihatan lebih ganteng!
Orang akan bertanya-tanya, kau ini sebangsa kambing
atau orang utan ajaib!" sahut Ki Saptacakra sambil ter-
tawa lagi.
Andika menggerutu panjang pendek hingga bibir-
nya monyong membentuk kerucut. Setelah itu dia aju-
kan tanya, "Aku ingin tahu... apakah kau mengenai
seseorang yang berjuluk Dewa Suci, Eyang?"
"Dewa Suci? Jelas saja kukenal! Manusia yang se-
lalu meninggikan derajat kesopanannya! Nah, nah!
Kau mau apa bertanya tentangnya?"
"Aku cuma ingin tahu di mana dia berada?!"
"Betul-betul gemblung! Silakan kau cari sendiri!
Kenapa pakai bertanya padaku, hah? Hei, Slebor! Le-
bih baik kau segera menuju ke arah barat, karena roh
Jala Kunti yang telah menitis pada Dewi Selendang Hi-
tam akan membuat kekacauan?"
"Kau sendiri hendak ke mana?"
"Ke mana? Kenapa kau pakai tanya, hah?!"
"Urusan Jala Kunti itu bagaimana?"
"Ya urusanmu! Bukankah kau juga sedang dicari-
cari olehnya? Bisa jadi kau juga akan dicari oleh De-
demit Tapak Akhirat! Ah, nasibku sungguh baik betul!
Memiliki tumbal untuk hadapi urusan masa lalu!!"
Habis kata-kata itu, terdengar suara tawa keras
yang semakin lama semakin menjauh. Andika men-
ganggap eyang buyutnya telah meninggalkan tempat
itu.
Di tempatnya Andika menggerutu panjang pendek.
"Brengsek! Aku jadi yang kena batunya! Tetapi... sejak
semula aku memang sudah terlibat dalam urusan ini!
Menghindar pun tak mungkin lagi! Dan sialnya, ada
dua orang yang akan memburuku! Huh! Betul-betul
kutu monyet!!"
Untuk beberapa lamanya pemuda yang memiliki
sepasang alls menukik laksana kepakan sayap elang
ini menggerutu. Kejap kemudian dia berkata, "Biar ba-
gaimanapun juga... aku harus menghadapi urusan
ini."
Tahu-tahu dirangkapkan kedua tangannya di de-
pan dada dan berkata hormat, "Akan kuhadapi segala
urusan ini, Eyang.... Lebih baik kau memang berada
dalam hidup yang nyaman...."
Habis kata-katanya terdengar, tahu-tahu....
Tak!
Kepalanya dijitak kembali. "Eyang!!"
Terdengar tawa Ki Saptacakra, "Busyet! Baru kali
ini kulihat kau bisa bersikap sopan! Jangan-jangan...
besok pagi dunia sudah kiamat nih!"
Andika yang tadi semula menganggap eyang
buyutnya sudah menjauh cuma nyengir seraya berka-
ta, "Aku lagi latihan main sandiwara nih! Bulan Mau-
lud kan aku akan pentas di Kotapraja? Eh! Kalau kau
senggang Eyang, kau bisa nonton!!"
"Lagakmu! Hati-hati!!"
Andika melihat ranggasan semak belukar di hada-
pannya bergerak. Kini dia yakin kalau Ki Saptacakra
memang sudah meninggalkan tempat itu.
Tiga tarikan napas kemudian, Andika pun segera
berkelebat menuju ke arah barat.
***
6
Kita tinggalkan dulu Pendekar Slebor yang sedang
menuju ke barat. Sekarang kita ikuti perjalanan Na-
wang Wangi, Tri Sari, dan Bidadari Tangan Bayangan.
Setelah Nawang Wangi berhasil membawa tubuh Tri
Sari kemudian menyambar tubuh gurunya, Nawang
Wangi membantu gurunya untuk memulihkan kea-
daannya. Setelah itu, Bidadari Tangan Bayangan sen-
diri mencoba melepaskan lilitan hawa dingin yang di-
lakukan oleh Bocah Liar pada Tri Sari. Setelah mela-
kukannya dengan susah payah, barulah dia berhasil
membebaskan Tri Sari.
Setelah masing-masing orang pulih keadaannya,
Bidadari Tangan Bayangan yang masih ngotot, menga-
jak untuk kembali lagi ke tempat semula. Nawang
Wangi dan Tri Sari sendiri hanya mengikuti saja. Na-
mun sudah barang tentu mereka tak menemukan sia-
pa pun di sana. Sesaat tak ada yang membuka suara.
"Apa yang telah terjadi...," desis perempuan ber-
pakaian kuning bersih ini. "Ke mana manusia-manusia
itu? Dan apa yang dialami oleh Pendekar Slebor serta
Kepala Besi?"
Tak ada yang buka mulut untuk jawab pertanyaan
itu. Masing-masing orang mencoba memikirkan apa
yang telah terjadi sepeninggal mereka.
Bidadari Tangan Bayangan berkata lagi, "Luruhan
abu yang berasal dari Patung Kepala Singa sudah tak
nampak. Hmmm... apa yang sebenarnya telah terjadi?"
Sementara itu Tri Sari melihat sesuatu yang me-
narik perhatiannya di ujung sana. Perlahan-lahan ga-
dis ini melangkah untuk memastikan apa yang mena-
rik perhatiannya. Kejap itu pula terdengar seruannya,
"Bibik!!"
Dengan gerak cepat Bidadari Tangan Bayangan
mendekat. Nawang Wangi menyusul kemudian. Mas-
ing-masing orang melihat Tri Sari menunjuk sesuatu di
atas tanah.
Sesaat Bidadari Tangan Bayangan memicingkan
matanya.
"Bocah Liar.... Gila! Bagaimana caranya lelaki ber-
tampang bocah itu bisa mampus? Dan menilik luka
yang dideritanya, sungguh mengerikan sekali!" desis-
nya kemudian lalu menyambung, "Bisa jadi... yang me-
lakukan semua itu adalah Pendekar Slebor. Kalau be-
gitu dia tentunya selamat. Begitu pula dengan Kepala
Besi. Lantas, ke manakah perginya Dewi Selendang Hi-
tam?"
Lagi tak ada yang sahuti pertanyaannya. Masing-
masing orang justru arahkan pandangan pada mayat
Bocah Liar.
"Hanya mayat Bocah Liar dan tempat yang porak
poranda yang terlihat. Sungguh, aku dibuat penasaran
untuk mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi?"
desis Bidadari Tangan Bayangan lagi.
"Guru... apakah tidak lebih baik kita segera ting-
galkan tempat ini?" tanya Nawang Wangi. "Terus te-
rang, aku masih tidak tenang bila berada di sini."
Bidadari Tangan Bayangan arahkan pandangan-
nya pada murid jelitanya yang berambut dikuncir dua,
"Aku pun merasakan kekosongan yang dalam. Tetapi...
naluriku seolah mengatakan, sesuatu yang lebih men-
gerikan telah muncul, sesuatu yang diakibatkan dari
Patung Kepala Singa...."
Mendengar ucapan gurunya, Nawang Wangi tak
membuka mulut. Justru Tri Sari yang berkata, "Bi-
bik... Dewi Selendang Hitam telah membunuh ayah
dan saudara-saudaraku. Menilik hanya mayat Bocah
Liar yang berada di sini, tentunya perempuan celaka
itu masih hidup. Biar bagaimanapun juga, aku harus
menuntut balas padanya. Apalagi, aku gagal menja-
lankan amanat yang diberikan Ayah untuk menyerah-
kan Patung Kepala Singa pada orang yang berhak me-
milikinya...."
Bidadari Tangan Bayangan mendesah. Lalu ka-
tanya pada gadis berambut ekor kuda itu, "Kau benar,
Tri Sari.... Tetapi untuk saat ini, jelas semuanya tak
akan bisa kau jalankan. Paling tidak, kau tentunya
sudah gagal untuk menyerahkan Patung Kepala Singa
pada yang berhak. Kendati demikian, barangkali kau
akan dapat melihat perempuan celaka yang telah la-
kukan pembantaian di Kuil Putra Langit mampus."
Tri Sari menganggukkan kepalanya. Dan bersuara
agak geram, "Kalau begitu... kita harus segera menca-
rinya, Bibik...."
"Kau benar. Tetapi, aku memiliki pikiran lain," ka-
ta Bidadari Tangan Bayangan. Untuk sesaat dia ter-
diam sebelum berkata, "Tri Sari... kita pernah mencoba
menemui Dewa Suci tetapi gagal. Dan aku minta...."
"Guru!" potong Nawang Wangi. "Kau mengatakan
kau dan Tri Sari pernah mencari Dewa Suci?"
Kendati sebenarnya tak suka karena kalimatnya
dipotong seperti itu, Bidadari Tangan Bayangan pa-
lingkan pandangannya seraya anggukkan kepala.
"Aku pernah ditolong oleh seseorang yang berna-
ma Dewa Suci...," kata Nawang Wangi kemudian.
Tak menyangka mendengar pengakuan muridnya,
Bidadari Tangan Bayangan sesaat tak membuka mu-
lut. Kemudian katanya, "Kapan kau berjumpa dengan-
nya?"
"Aku tidak berjumpa dengannya Guru... tetapi dia
menolongku. Maksudku... aku tak tahu dia berada di
mana...," kata Nawang Wangi, lalu diceritakan penga-
lamannya di saat diselamatkan oleh Dewa Suci tatkala
Gendala Maung hendak mempermalukannya. (Baca:
"Rahasia Di Balik Abu").
Bidadari Tangan Bayangan mengangguk-
anggukkan kepalanya selesai muridnya bercerita se-
raya mendesis, "Pantas dia tak kutemui di kediaman-
nya...." Kemudian katanya, "Kalau begitu... kau dan Tri
Sari segera mencari Dewa Suci. Katakan padanya, ka-
lau aku membutuhkan bantuannya."
"Guru sendiri hendak ke mana?"
"Nawang Wangi... aku masih penasaran dengan
segala urusan yang membentang di depan mataku.
Kendati Patung Kepala Singa telah hancur, aku ingin
tahu rahasia apa yang sesungguhnya telah tersimpan.
Di samping itu, aku juga hendak mencari Kepala Besi
untuk meminta maaf" atas tuduhanku waktu lalu...."
Sesaat hening meraja sebelum Tri Sari membuka
mulut, "Bibik... sebelum Ayah meninggal, dia berpesan
padaku untuk menjumpaimu. Dan sekarang kita telah
bertemu kendati aku gagal menyerahkan Patung Kepa-
la Singa kepadamu untuk diserahkan pada pemiliknya
yang sah."
"Apa maksudmu, Tri Sari?"
"Bukankah lebih baik bila kita berjalan bersama-
sama? Maksudku... kita bisa saling menjaga satu sama
lain...."
"Aku tahu kekhawatiranmu, karena sesungguhnya
aku juga khawatir. Tetapi kupikir, bila bersama-sama
dengan Nawang Wangi... kalian tentunya dapat saling
membantu. Paling tidak untuk saat ini, kita saling
membagi tugas. Kau dan Nawang Wangi mencari ke
mana perginya Dewi Selendang Hitam, sementara aku
mencoba untuk tetap mengetahui ada rahasia apa se-
benarnya pada Patung Kepala Singa. Dengan kata lain,
aku harus menemukan Pendekar Slebor atau Kepala
Besi."
Lalu sebelum Tri Sari membuka mulut lagi, Bida-
dari Tangan Bayangan sudah berkata, "Sekarang juga
kita berpisah! Kalian harus berhati-hati!"
Habis kata-katanya terdengar, perempuan yang di
pinggangnya melilit selendang warna merah itu sudah
berkelebat cepat, hingga yang nampak hanyalah
bayangan kuning belaka.
Sepeninggal Bidadari Tangan Bayangan, Tri Sari
berkata, "Nawang Wangi... apa yang dikatakan gurumu
memang benar. Yah, kita memang harus menempuh
segala risiko di depan mata. Apapun yang terjadi,
nampaknya kita memang harus bergerak cepat!"
Tri Sari terdiam sejenak. Pancaran matanya kini
menjadi dingin. Suaranya agak menggeram saat berka-
ta, "Hhh! Dewi Selendang Hitam! Dendamku padamu
semakin tinggi!"
Gadis berpakaian ringkas warna biru kehijauan
itu cuma menganggukkan kepalanya. Dapat dirasakan
bagaimana kegeraman gadis berpakaian putih-putih
yang berdiri di sebelahnya.
"Yah... lebih baik kita segera bergerak sekarang.
Mencari Dewi Suci, sekaligus menemukan di mana
Dewi Selendang Hitam berada...."
Setelah masing-masing gadis sama-sama angguk-
kan kepala, keduanya pun segera berkelebat mening-
galkan tempat itu.
***
Sinar matahari pagi kembali bekerja seperti sedia
kala. Entah pagi keberapa sejak dimulainya kehidupan
ini. Sinar redup matahari mengantar Nawang Wangi
dan Tri Sari tiba di sebuah dusun. Begitu menginjak-
kan kaki mereka di jalan masuk dusun itu, masing-
masing gadis sudah hentikan langkah dengan kening
berkerut.
Di kanan kiri mereka, beberapa rumah nampak
porak poranda. Beberapa pohon tumbang tumpang
tindih seolah halangi langkah. Dan yang membuat ke-
duanya saling pandang sejenak, karena baru menya-
dari kalau mereka tak melihat seorang pun di sana.
"Aneh... apa yang telah terjadi?" tanya Tri Sari se-
perti ditujukan pada diri sendiri.
"Sebaiknya, kita teruskan saja langkah. Barangka-
li kita akan mendapat jawabannya...," sahut Nawang
Wangi.
Lalu kedua gadis ini pun terus melangkah mema-
suki dusun itu. Dan semakin keduanya menjejaki du-
sun itu, mereka melihat di sana-sini seperti habis dila-
brak gerombolan gajah liar. Dan ada keramaian di
ujung sana. Kehadiran kedua gadis yang sama-sama
jelita itu sebenarnya dapat memancing perhatian para
lelaki. Namun mereka hanya sekali melirik, dan setelah
itu melengos kembali.
Nampak serombongan orang bergegas menuju ke
sebuah tempat. Begitu pula dengan orang-orang yang
lainnya. Kedua gadis itu melihat tak ada warung yang
buka. Ketergesa-gesaan orang-orang dusun itu me-
mancing perhatian kedua gadis ini.
"Aneh! Mengapa orang-orang itu seperti berkum-
pul di sini?" desis Tri Sari.
Nawang Wangi tak segera menjawab. Dia perhati-
kan dulu kesibukan yang terjadi. Dilihatnya ada bebe-
rapa sosok mayat yang digotong. Ada pula orang-orang
yang membawa buntalan seperti hendak mengungsi.
"Nampaknya... dusun ini seperti diserang penyakit
yang mengerikan..."
"Tetapi... menilik mayat-mayat yang diangkut itu,
jelas bukan disebabkan oleh penyakit. Dada masing-
masing orang bolong. Bahkan... oh! Tidakkah kau lihat
kalau ada beberapa mayat yang kepalanya buntung?"
Kalau tadi begitu mereka masuk ke dusun itu su-
asana begitu hening, kini di tengah-tengah dusun ke-
hiruk-pikukan kian menjadi-jadi. Apalagi tatkala ter-
dengar isak tangis dari beberapa orang perempuan.
"Nawang... aku menangkap sesuatu yang lebih
mengerikan dari sekadar penyakit!"
"Aku juga menduga seperti itu!"
"Lebih baik kita berpencar untuk mencari tahu
ada masalah apa gerangan?"
Nawang Wangi menganggukkan kepalanya. Dia
bergerak ke arah kiri, sementara Tri Sari ke arah ka-
nan. Tangis yang terdengar kian menjadi-jadi, disertai
teriakan-teriakan memanggil nama seseorang yang su-
dah menjadi mayat.
Selang beberapa saat kedua gadis itu bertemu
kembali di tempat semula.
"Apa yang kau dapatkan?" tanya Tri Sari segera.
"Seseorang yang mengaku bernama Jala Kunti da-
tang memporakporandakan dusun ini! Perempuan itu
memaksa orang-orang di sini mengatakan di mana
orang yang bernama Saptacakra berada," sahut Na-
wang Wangi.
"Benar! Dan karena tak seorang pun yang menge-
tahui siapakah serta di manakah orang yang bernama
Saptacakra berada, maka perempuan bernama Jala
Kunti itu mengamuk dan membunuhi mereka dengan
ganas. Kalaupun masih ada yang hidup, karena mere-
ka kebetulan tak berada di tempat saat petaka itu ter-
jadi. Atau berhasil meloloskan diri. Nawang... apakah
kau mendengar pula ciri orang yang bernama Jala
Kunti?"
Nawang Wangi menganggukkan kepalanya.
Tri Sari berkata lagi, "Apakah ciri orang yang ber-
nama Jala Kunti itu tidak mengingatkan kau pada seseorang?"
"Ya!" sahut Nawang Wangi sambil menganggukkan
kepalanya lagi. "Sungguh aneh sebenarnya! Kala kuta-
nyakan ciri-ciri orang yang bernama Jala Kunti, aku
langsung teringat pada perempuan celaka yang berju-
luk Dewi Selendang Hitam."
"Kau benar! Aku pun menduga seperti itu! Menga-
pa Jala Kunti mempunyai ciri yang sama dengan Dewi
Selendang Hitam? Lantas apa yang kau pikirkan seka-
rang?"
"Kemungkinannya... perempuan yang bernama Ja-
la Kunti adalah Dewi Selendang Hitam sendiri. Tidak-
kah kau ingat, bagaimana Pendekar Slebor membuka
samaran Dewi Selendang Hitam yang sesungguhnya
adalah Nyi Dungga Ratih, perempuan yang mencoba
menjebaknya?"
"Jadi maksudmu... kau menduga Jala Kunti ada-
lah Dewi Selendang Hitam?"
"Benar."
"Pikiran itu pun ada di benakku. Tetapi, mengapa
dia justru mencari seseorang yang bernama Saptaca-
kra? Mengapa dia bukan mencari Pendekar Slebor?
Bukankah Pendekar Slebor yang mengacaukan semua
rencana jahatnya?" tanya Tri Sari dan wajah gadis ini
merah padam tatkala membayangkan wajah Dewi Se-
lendang Hitam, yang diketahui sebagai pembunuh
ayah dan saudara-saudara angkatnya di Kuil Putra
Langit.
Nawang Wangi tak segera membuka mulut. Sete-
lah berpikir sesaat dia berkata, "Aku tidak tahu."
"Ini harus dicari kejelasannya. Orang yang berju-
luk Jala Kunti mengingatkan kita pada Dewi Selendang
Hitam. Namun tujuan yang kita ketahui, Dewi Selen-
dang Hitam berkeinginan untuk mendapatkan Patung
Kepala Singa yang telah pecah. Dan dia pun sangat
mendendam pada Pendekar Slebor yang menurutnya
adalah orang yang bertanggungjawab atas kegagalan-
nya itu. Kalau memang Dewi Selendang Hitam me-
nyamar sebagai Jala Kunti, mengapa dia mencari
orang yang bernama Saptacakra? Inilah yang membua-
tku jadi agak ragu."
"Tri Sari... bisa jadi kalau Jala Kunti memang Jala
Kunti, begitu pula Dewi Selendang Hitam. Hanya kebe-
tulan saja ciri-cirinya sama satu sama lain."
"Tidakkah mereka kembar?" cetus Tri Sari memi-
kirkan kemungkinan lain.
"Aku tidak bisa menjawab secara pasti. Akan teta-
pi, rasanya tak mungkin bila dia kembar."
"Jadi bagaimana sekarang?"
"Kita harus memburu orang yang bernama Jala
Kunti yang dikatakan oleh orang yang kutanya berlalu
ke arah barat. Perempuan celaka itu harus menda-
patkan ganjaran atas segala perbuatannya...."
Tri Sari menganggukkan kepala. "Ya! Kita kejar
perempuan celaka itu!!"
Dua kejapan mata kemudian, masing-masing ga-
dis segera berkelebat ke arah barat dengan kerahkan
ilmu peringan tubuh. Di dusun yang telah porak po-
randa itu, isak tangis masih terdengar memilukan.
***
7
Perempuan berpakaian kuning bersih dengan se-
lendang merah yang melilit pada pinggang rampingnya
itu, hentikan kelebatannya di sebuah tanah yang dipe-
nuhi bebatuan. Sesaat perempuan ini arahkan pan-
dangannya ke berbagai penjuru. Menyusul dia mende
sis, "Sungguh keadaan yang membingungkan... apa
yang telah terjadi sepeninggalku? Siapa yang telah
membunuh Bocah Liar? Ke mana pula perginya Pen-
dekar Slebor dan Kepala Besi? Yang terutama, ke ma-
na larinya perempuan celaka yang ternyata adalah
orang yang turunkan tangan telengas di Kuil Putra
Langit?"
Perempuan ini tarik napas panjang tatkala tak
menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya.
Kembali pandangannya diedarkan ke segenap penjuru.
Begitu pandangannya tertuju ke samping kanan,
perempuan ini melengak kaget dengan kedua mata
membuka.
"Gila! Sejak tadi tak kulihat seorang pun berada di
sini! Dan tahu-tahu lelaki berkumis baplang itu telah
berdiri di sana? Celaka! Jelas urusanku akan tertunda
sekarang!" maki perempuan ini dalam hati.
Sejarak lima belas tombak, lelaki berkumis bap-
lang yang di dadanya terdapat selendang warna putih
bersilangan, perlihatkan seringaian lebar. Lalu me-
langkah
perlahan-lahan mendekati perempuan berpakaian
kuning bersih yang nampak bersiaga.
Masih berjalan lelaki yang tak lain Gendala Maung
adanya sudah buka ejekan, "Tak kusangka... kita ber-
temu lagi, Bidadari Tangan Bayangan! Apakah kau su-
dah melupakanku, atau kau berlagak lupa?"
Bidadari Tangan Bayangan kertakkan rahangnya.
"Keparat betul! Mengapa di saat urusan masih be-
lum dapat kujelajahi secara utuh, manusia celaka ini
sudah muncul kembali? Hhh! Ke mana sahabatnya
yang bernama Ganda Maung?"
Habis membatin begitu, dengan pancaran mata
melecehkan dan nada suara mengejek, Bidadari Tan-
gan Bayangan buka mulut, "Hhhh! Apakah kau belum
merasa puas kugebuk beberapa waktu lalu? O ya, ke
mana sahabatmu itu? Apakah dia sudah putus nyali
begitu melihatku?!"
Sejarak lima langkah, Gendala Maung hentikan
langkahnya. Lelaki berkumis baplang ini langsung ke-
luarkan tawa keras dan mengejek.
"Bicaramu seolah masih membuktikan betapa he-
batnya kau ini, Bidadari Tangan Bayangan! Dan kau
merasa, dapat menyelami lautan yang paling dalam!
Tetapi sayang... nyawamu kini sudah berada di tan-
ganku?!"
"O ya? Apakah kau...."
"Bagaimana dengan muridmu yang bernama Na-
wang Wangi?" putus Gendala Maung dengan serin-
gaian. "Bila kau mau menyerahkan muridmu itu untuk
menjadi gundikku, maka nyawamu akan kulepas hari
ini!"
"Jahanam terkutuk!!" maki Bidadari Tangan
Bayangan dalam hati. Kemudian membentak, "Me-
nyesal aku tak membunuhmu dulu! Padahal orang-
orang seperti kau tak layak untuk hidup lebih lama!!"
"Yang dulu sudah basi! Yang kita hadapi adalah
urusan sekarang!!" sahut Gendala Maung. Lalu sua-
ranya berubah tajam, "Perbuatanmu yang menghenti-
kan segala keinginanku... akan kubalas hari ini!!"
"O ya? Atau kau sebenarnya sudah tak sabar un-
tuk pergi ke akhirat? Bagus! Akan kutunjukkan jalan
kepadamu!"
Belum habis suara Bidadari Tangan Bayangan
terdengar, Gendala Maung sudah menerjang ke depan.
Tangan kanan dan kirinya diputar cepat.
Bidadari Tangan Bayangan, hanya keluarkan den-
gusan saja. Begitu tubuh lawan mendekat, dia segera
melesat ke depan.
Des!!
Jotosan tangan kanan Gendala Maung berhasil
dipapakinya. Bersamaan dengan itu tubuh Bidadari
Tangan Bayangan mencelat ke samping, lalu lepaskan
jotosan ke bagian samping kiri tubuh Gendala Maung.
Namun hanya dengan tekuk sikunya, jotosan itu
berhasil diputuskan. Menyusul dengan gerakan yang
aneh, kaki kanan kiri Gendala Maung bergerak bersa-
maan mengarah pada leher dan kepala Bidadari Tan-
gan Bayangan.
Guru Nawang Wangi ini kertakkan rahangnya se-
raya melompat ke belakang. Kejap kemudian dia sudah
menderu ke depan. Kedua tangannya mendadak ber-
putar dan menjelma laksana bayangan belaka. Genda-
la Maung sesaat melengak, tetapi di saat lain dia su-
dah memapaki serangan itu dengan kedua kakinya.
Des! Dess!!
Bidadari Tangan Bayangan langsung mundur dua
langkah ke belakang. Tangannya dirasakan ngilu. "Gi-
la! Tenaga dalamnya begitu besar sekali! Padahal dulu,
tenaga itu akan menjadi besar bila digabungkan den-
gan tenaga dalam Ganda Maung!"
Perubahan yang terjadi pada tenaga dalam Genda-
la Maung, ini disebabkan karena ilmu yang diturunkan
oleh Dedemit Tapak Akhirat. Bahkan gerakan Gendala
Maung terlibat lebih ringan dari biasanya.
Mulutnya berbunyi, "Mengapa kau mundur seperti
itu, hah?! Ataukah kau sudah tak sanggup untuk im-
bangi lagi kehebatanku ini? Hmmm... sebenarnya aku
ingin kita bermain-main lebih lama! Tetapi sayang,
urusanku masih banyak!!"
Habis kata-katanya, mendadak saja kedua tan-
gannya disentak-sentakkan ke depan. Menyusul tu-
buhnya sudah melesat ke depan. Desingan angin pra-
hara melabrak dahsyat ke arah Bidadari Tangan
Bayangan yang cepat menghindar. Namun serangan
itu datang susul menyusul, bahkan dilakukan dengan
menggerakkan kedua kaki dan tangan sekaligus.
Bukan main gusarnya Bidadari Tangan Bayangan.
Sambil melompat ke belakang untuk hindari sergapan
kedua kaki lawan, tangan kanan dan kirinya diki-
baskan.
Wrrrrr!!
Serta merta menderu dua sinar putih bening yang
keluarkan hawa panas. Karena saat menyerang Genda-
la Maung semakin mendekat dengan maksud memati-
kan ruang gerak, maka sulit baginya untuk hindari
sergapan dua sinar putih itu.
Memekik tertahan lelaki berkumis baplang ini saat
tubuhnya secara telak terhantam dua sinar putih ben-
ing itu. Tubuhnya terhuyung ke belakang. Bersamaan
dengan itu, Bidadari Tangan Bayangan yang sudah ge-
ram, mencelat ke depan untuk habisi lawannya.
"Manusia celaka seperti kau ini tak layak untuk
hidup! Lebih baik kau mampus berteman dengan cac-
ing tanah!!"
Tangan kanan dan kirinya pun telak bersarang
pada dada Gendala Maung. Makin deras tubuh Genda-
la Maung terhuyung ke belakang. Lalu berhenti setelah
menabrak sebuah batu besar. Rupanya tak sampai di
sana penderitaan yang nampaknya dialami oleh salah
seorang Dua Iblis Lorong Maut ini. Tubuhnya pun ter-
banting ke depan. Dan tak bergerak.
Di tempatnya, Bidadari Tangan Bayangan men-
dengus.
"Hhhh! Kau telah memilih jalanmu sendiri! Dan
rasanya... akan kusesali bila tak kubunuh kau seka-
rang juga!!"
Kejap kemudian diarahkan pandangannya ke de-
pan.
"Hari sudah semakin menanjak. Aku harus lebih
cepat untuk mengetahui apa yang telah terjadi...."
Memutuskan demikian, perempuan berpakaian
kuning bersih ini pun siap untuk meninggalkan tempat
itu. Namun satu gelombang angin yang bergerak me-
nyeret tanah dan kerikil, melabrak ke arahnya.
"Heeiiii!!" memekik tertahan Bidadari Tangan
Bayangan sambil membuang tubuh ke kanan.
Blaaarrr!!
Tanah di mana Bidadari Tangan Bayangan berdiri
tadi seketika terbongkar dan menerbangkan bongka-
rannya ke udara. Belum lagi tanah itu sirap, menda-
dak terdengar gemuruh angin kembali yang menerobos
gumpalan tanah.
Untuk kedua kalinya Bidadari Tangan Bayangan
melompat ke samping kanan. Begitu hinggap kembali
di atas tanah, dia bersiaga penuh untuk menyambut
serangan yang datang.
Namun yang mengejutkannya, tatkala semuanya
sirap, satu sosok tubuh berkumis baplang telah berdiri
tegak sejarak delapan langkah dari hadapannya den-
gan bibir menyeringai.
"Gendala Maung...."
***
Orang yang tadi dua kali lancarkan serangannya
memang Gendala Maung. Astaga! Bagaimana cara le-
laki berkumis baplang ini masih tetap dalam keadaan
segar bugar kendati sudah dihajar berulangkali oleh
Bidadari Tangan Bayangan?
Ini disebabkan karena pengaruh ilmu 'Tapak Ak-
hirat' yang diturunkan oleh Dedemit Tapak Akhirat.
Ilmu 'Tapak Akhirat' dapat melindungi diri pemiliknya
dari serangan-serangan lawan. Memang bila langsung
terkena pukulan lawan, si pemilik ilmu 'Tapak Akhirat'
akan kewalahan menghadapinya. Namun bila telah di-
alirkan tenaga dari ilmu 'Tapak Akhirat' maka orang
itu akan mampu berdiri lagi dalam keadaan segar bu-
gar.
Tetapi bila yang melakukannya Dedemit Tapak
Akhirat sendiri, maka pukulan yang dilancarkan Bida-
dari Tangan Bayangan tadi tak akan mampu meng-
goyahkannya. Karena ilmu itu sudah merasuk dalam
tubuhnya.
Di seberang Gendala Maung tertawa keras melihat
wajah terkejut Bidadari Tangan Bayangan.
"Tadi sudah kukatakan... lain dulu lain sekarang!
Perempuan celaka! Bersiaplah kau untuk mampus!!"
Habis kata-katanya, mendadak saja lelaki berku-
mis baplang ini rangkapkan kedua tangan di depan
dada. Kejap kemudian ditepuknya satu kali. Suara
yang keluar dari tepukan itu sungguh mengejutkan.
Begitu keras, laksana guntur di siang hari. Bahkan ta-
nah di sekitarnya berdiri beterbangan.
Bidadari Tangan Bayangan sendiri merasakan da-
danya berdegup keras akibat suara yang ditimbulkan
oleh tepukan Gendala Maung. Segera dialirkan tenaga
dalamnya ke telinga bila tak ingin alat pendengarannya
pecah.
"Gila! Ilmu apa yang diperlihatkannya itu? Kema-
juannya nampak begitu pesat sekali! Hhhh! Biar ba-
gaimanapun juga, aku akan menghadapinya sekuat
tenaga! Tetapi sungguh berbahaya bila Ganda Maung
muncul? Hanya saja... bukankah saat itu Nawang
Wangi bercerita kalau dia melihat lelaki celaka ini ten-
gah berdiam di depan sebuah makam? Jangan-
jangan... itu makam Ganda Maung yang telah mam-
pus?"
Di seberang, Gendala Maung perlihatkan serin-
gaian lebarnya. "Kini... ajalmu telah datang, Bidadari!!"
Habis seruannya, mendadak saja ditepukkan tan-
gannya tiga kali. Saat itu pula satu tenaga raksasa
yang mengandung hawa panas dan menyeret tanah
serta bebatuan menderu ke arah Bidadari Tangan
Bayangan.
Tak menyangka serangan seganas itu yang da-
tang, perempuan berpakaian kuning bersih ini lang-
sung melompat ke samping kanan. Akibatnya....
Blaaaammmm!!
Lima buah batu besar yang berada di belakang-
nya, langsung rengkah menjadi kerikil dan berpentalan
ke sana kemari. Bidadari Tangan Bayangan sendiri
berdiri tegak dengan napas memburu.
Di tempatnya Gendala Maung terbahak-bahak
keras.
"Tak ada jalan untuk menghindar dari tangan-
ku! Kenyataan pahit nampaknya sudah membentang
di matamu! Bersiaplah untuk kukirim ke neraka!!"
Belum habis dia berucap, kembali kedua tangan-
nya ditepukkan. Terdengar suara menyalak keras serta
menderunya tenaga besar yang ganas.
Untuk kedua kalinya Bidadari Tangan Bayangan
harus berjumpalitan. Dari hawa yang terpancar dari
tenaga besar itu, dia sadar betul kalau tak mungkin
untuk memapakinya. Maka jalan satu-satunya adalah
menghindar.
Begitulah seterusnya. Dengan terbahak-bahak
Gendala Maung terus lancarkan serangannya. Sebe-
narnya dia memang sengaja menyerang seperti itu un-
tuk menguras tenaga Bidadari Tangan Bayangan.
Sementara itu, si perempuan sendiri nafasnya su-
dah kembang kempis. Keringat semakin banyak mem-
banjiri sekujur tubuhnya. Pakaian bersih yang dikena-
kannya sudah dipenuhi kotoran, ini diakibatkan kare-
na dia terlalu sering berguling untuk hindari gempuran
lawan.
"Celaka! Aku bisa mampus sekarang!" desis Bida-
dari Tangan Bayangan dengan wajah pucat. Tenaganya
sudah banyak keluar. Dan dia yakin tak lama lagi dia
tak akan mampu untuk menghindari gempuran ganas
yang dilancarkan lelaki berkumis baplang itu.
Tetapi mau tak mau dia memang harus menghin-
dar. Lima kejapan mata bukanlah waktu yang lama
sebenarnya, namun dirasakan begitu lama oleh Bida-
dari Tangan Bayangan sebelum akhirnya Gendala
Maung hentikan serangannya.
Kedua tangannya masih merangkap di depan da-
da. Sambil menyeringai dia berseru, "Permainan telah
selesai! Kini kita memasuki permainan yang sesung-
guhnya!"
Habis ucapannya, mendadak saja tubuhnya men-
celat ke depan. Kedua tangan yang tadi terangkap di
depan dada kini terangkat dan siap digerakkan.
Sadar akan bahaya yang mengancam, Bidadari
Tangan Bayangan segera menghindar bersamaan tan-
gan kanan Gendala Maung mengibas dan keluarkan
suara..
Blaaarrr!!
Serta merta menderu gelombang angin panas yang
percikkan warna merah ke arah Bidadari Tangan
Bayangan.
Memekik tertahan perempuan ini dengan wajah
laksana tanpa darah. Dia memang masih berhasil
menghindari sambaran tenaga ganas itu yang meng-
hantam rengkah tanah di mana dia berdiri tadi yang
seketika membentuk sebuah lubang yang keluarkan
asap.
Namun dua gebrakan berikutnya, Bidadari Tan-
gan Bayangan mengalami nasib sial. Karena di saat dia
hendak menghindar, keadaannya yang memang sudah
lelah, membuat kaki kanannya terantuk batu.
Mau tak mau perempuan berpakaian kuning ber-
sih ini ambruk dengan wajah menimpa tanah. Saat itu-
lah tenaga dahsyat yang dilepaskan Gendala Maung
melabrak mengerikan.
Namun rupanya nasib masih berpihak pada Bida-
dari Tangan Bayangan. Selagi tenaga dahsyat itu siap
mengirimnya ke akhirat, mendadak saja terdengar su-
ara menggelegar laksana salakan guntur dari samping
kanan. Dan menghantam tenaga yang dilepaskan Gen-
dala Maung.
Blaaammmm!!
Bukan buatan akibat yang ditimbulkan. Tanah di
mana bertemunya dua pukulan itu terbongkar dan
menerbangkan bongkarannya ke udara. Cukup tinggi
hingga cukup lama pula mengapung di udara sebelum
akhirnya luruh kembali.
Tatkala pandangan tak terhalang lagi oleh gumpa-
lan tanah itu, terlibat satu sosok tubuh berpakaian hi-
jau pupus telah membopong tubuh Bidadari Tangan
Bayangan yang nampak lemah namun tersenyum lega.
Di seberang, sepasang mata Gendala Maung
membuka lebih lebar. Kemudian terdengar suaranya
yang dipadu dengan tawa sengit, "Bagus! Rupanya kau
datang sendiri untuk mengantar nyawamu padaku,
Pendekar Slebor!!"
***
8
Orang yang menyelamatkan Bidadari Tangan
Bayangan memang Pendekar Slebor adanya. Sesung-
guhnya pemuda dari Lembah Kutukan ini sempat terkejut tatkala disaat dia tiba di sana, dilihatnya Genda-
la Maung sedang lancarkan serangan dahsyat pada pe-
rempuan berpakaian kuning ini. Keterkejutan Andika
bukan dikarenakan nasib sial yang akan menimpa Bi-
dadari Tangan Bayangan, melainkan melihat betapa
ganasnya serangan yang dilancarkan Gendala Maung.
Jelas sekali dalam ingatannya tatkala bertarung
dengan Gendala Maung dan Ganda Maung, kalau tak
ada ilmu sedahsyat itu yang diperlihatkan masing-
masing orang. Saat itu pula Andika sadar, kalau lawan
telah menuntut ilmu kembali. Dan dalam waktu yang
singkat, bukanlah waktu yang tepat guna menuntut
ilmu aneh itu bila tidak diturunkan oleh seseorang
yang memiliki kesaktian cukup tinggi.
Kendati demikian, sambil menurunkan tubuh Bi-
dadari Tangan Bayangan, pemuda urakan ini berkata,
"Busyet! Kok dunia sempit amat, ya? Kenapa bisa ber-
temu denganmu lagi, sih? Kau juga yang keganjenan,
pakai mencari-cari segala!!"
"Tutup mulutmu!!"
Andika cuma mengangkat sepasang alisnya yang
laksana kepakan sayap elang. Mulutnya nyerocos lagi,
"Kalau yang menyuruh seorang gadis dan menutup
mulutku dengan bibirnya, amboooiii asyik betul! Tetapi
sayang... yang bicara cuma kambing buduk belaka!!"
"Keparaattt!!" bergetar tubuh Gendala Maung
mendengar ejekan itu. Tetapi sebelum salah seorang
dari Dua Iblis Lorong Maut ini membuka mulut, pe-
muda yang di lehernya melilit kain bercorak catur su-
dah berkata lagi.
"Busyet! Kenapa mesti marah? Masih mending
kau kubilang kambing buduk! Coba kalau kubilang
babi celaka, kurus, budukan, bau dan lain-lain! Kan
lebih parah!!"
Pemuda dari Lembah Kutukan ini memang sengaja mengajak Gendala Maung untuk bercakap-cakap le-
bih lama, mengingat dia harus mengobati Bidadari
Tangan Bayangan. Diam-diam, sambil bercakap-cakap,
Andika telah menempelkan telapak tangannya pada
punggung Bidadari Tangan Bayangan yang segera di-
alirkan tenaga 'Inti Petir'.
"Jahanam sial! Gagal membunuh Bidadari Tangan
Bayangan, tak boleh kubiarkan gagal membunuh pe-
muda celaka itu! Dia telah mempermalukanku di ha-
dapan semua orang! Terutama, nasib sial yang dialami
Ganda Maung!" maki Gendala Maung geram. Lalu ber-
seru, "Jangan bicara seenak perutmu saja! Kini yang
ada di hadapanmu telah jauh berubah! Kau akan ter-
kejut bila tahu siapa aku sekarang ini?"
"Oh!" desis Andika dengan kepala melengak. Wa-
jahnya dibuat terkejut dengan mata dibeliak-
beliakkan. Lalu dengan suara dibuat gemetar dia ber-
kata, "Gila! Jadi kau... sebenarnya perempuan? Atau...
kau mendadak begitu saja telah berubah menjadi pe-
rempuan? Sayang betul... mengapa tampangmu masih
jelek seperti kambing hendak buang wajah begitu?!"
"Pemuda celaka!! Kubunuh kauu!!"
Habis makiannya, Gendala Maung yang sudah tak
sabar menahan diri lagi mendengar ejekan Pendekar
Slebor, segera rangkapkan tangannya di depan dada.
Kejap itu pula ditepukkannya hingga terdengar suara
menggelegar keras. Kejap itu pula satu gelombang te-
naga dahsyat menggebrak ke arah Pendekar Slebor.
Hawa panas yang ditimbulkan oleh tenaga itu seolah
menyengat Pendekar Slebor, belum lagi percikan sinar
merah yang memantulkan cahaya matahari.
Sesaat Andika terpana melihatnya.
"Gila! Mengerikan sekali ilmu yang diperlihatkan-
nya!!" makinya dalam hati. Kejap itu pula dia menarik
tangan Bidadari Tangan Bayangan dan membawanya
bergulingan.
Bummmmm!!!
Tanah di mana dia berpijak tadi langsung rengkah
beterbangan. Sebuah batu sebenar anak kambing pe-
cah berpentalan laksana puluhan anak panah.
"Hebat tapi kejam!" dengus Andika tatkala berdiri
kembali. Dia berbisik pada Bidadari Tangan Bayangan,
"Cepat menyingkir dari sini...."
"Tidak! Manusia laknat itu harus membayar atas
perbuatannya!" geram Bidadari Tangan Bayangan. Se-
telah dialirkan tenaga 'Inti Petir' oleh pemuda yang
berdiri di sisi kanannya, dirasakan tubuhnya sudah te-
rasa lebih baik dan agak segar.
Andika mengeluh dalam hati, "Kura-kura bau! Bila
dia masih berada di sini, sulit bagiku untuk imbangi
setiap serangan yang dilakukan Gendala Maung!"
Kemudian katanya lagi, "Jangan keras kepala! Bi-
sa-bisa kita berdua akan celaka!"
"Tak peduli apakah hari ini aku akan mampus
atau tidak! Manusia celaka itu harus mendapatkan
ganjarannya!"
"Busyet! Nanti saja kau pikirkan soal itu! Kalau ki-
ta berdua mampus di sini... siapa yang akan menjaga
muridmu yang cantik itu?"
Ucapan yang dilakukan Andika barusan sebenar-
nya asal saja. Tetapi Bidadari Tangan Bayangan sesaat
memandanginya. Kejap kemudian dia berkata lagi,
"Urusan kau mencintai muridku atau tidak, bisa diatur
belakangan! Justru aku lebih rela mati sementara kau
bisa bersanding dengan muridku sesuai keinginanmu!"
Andika tergagap sejenak. "Busyet! Kok jadi begi-
ni?" desisnya dalam hati. Lalu berseru, "Jangan ba-
nyak membantah lagi sekarang! Lebih baik...."
"Tak ada waktu lagi untuk membiarkan kalian hi-
dup!!" seruan Gendala Maung memutus kata-kata An
dika.
Bersamaan dengan itu, tubuhnya mencelat ke de-
pan. Tangan kanan dan kirinya digerakkan. Seketika
nampak gelombang angin yang percikkan sinar merah
keluar dari tapak kedua tangannya. Menyusul suara
mengerikan laksana salakan guntur.
Blgaaarrr!!
Pendekar Slebor segera mendorong tubuh Bidadari
Tangan Bayangan ke samping kiri. Sementara dia sen-
diri sudah menggebrak ke depan. Tenaga 'Inti Petir'
tingkat ketiga telah dipergunakan.
Blaaammm! Blaaammm!!
Suara menggelegar saat itu pula terdengar menge-
rikan. Nampak sosok Pendekar Slebor terlempar ke be-
lakang dengan deras. Bila saja dia tak segera kuasai
keseimbangannya, maka tak ampun lagi tubuhnya
akan menabrak batu besar di belakangnya.
Sementara itu, Gendala Maung berdiri tegak sam-
bil terbahak-bahak. Dia hanya surut tiga tindak.
"Ajal telah datang padamu, Pendekar Slebor! Ilmu
'Tapak Akhirat' yang baru saja kupelajari akan men-
jemputmu dalam kematian!!"
Sementara Bidadari Tangan Bayangan akhirnya
membenarkan kata-kata Andika, pemuda itu sendiri
sedang membatin, "Ilmu 'Tapak Akhirat'? Nampaknya
aku pernah mendengar nama itu. Oh, bukan! Bukan
sejenis ilmu! Tetapi sebuah julukan! Ya, sebuah julu-
kan yang dikatakan Eyang Saptacakra! Dedemit Tapak
Akhirat! Apakah ilmu itu diturunkan dari Dedemit Ta-
pak Akhirat?"
Berpikir demikian, masih tetap bersikap konyol
padahal nafasnya sudah senin-kemis, pemuda urakan
ini berkata, "O... jadi itu toh yang dinamakan ilmu
'Tapak Akhirat'? Masih cetek! Masih kalah dengan ilmu
yang kumiliki! Ilmu 'Tapak Kaki Akhirat Yang Jauh'!
Nah! Apa coba itu?!"
Wajah Gendala Maung mengkelap mendengar eje-
kan orang. Sebelum dia lancarkan serangan kembali,
Andika sudah membuka mulut, "O ya sampai lupa!
Bagaimana kabarnya Dedemit Tapak Akhirat?!"
Pertanyaan yang dilontarkan Pendekar Slebor se-
benarnya asal saja, lebih banyak ditujukan sebagai
pembuktian hasil pikirannya. Dan dia sempat melihat
perubahan wajah Gendala Maung, yang kali ini menye-
ringai lebar.
"Hebat bila kau mengenal guruku! Hhhh! Bersiap-
lah untuk mampus!!"
Di tempatnya Andika membatin, "Rupanya dia
murid dari Dedemit Tapak Akhirat! Menurut Eyang
Guru... Dedemit Tapak Akhirat adalah adik sepergu-
ruan Jala Kunti yang kini menitis pada Dewi Selen-
dang Hitam! Hmmm... seharusnya bukan manusia se-
bangsa Gendala Maung yang kuhadapi! Tetapi Dewi
Selendang Hitam yang entah berada di mana seka-
rang!!"
Selagi Andika membatin demikian, Gendala
Maung sudah lancarkan serangannya kembali. Kali ini
membabi buta. Bukan hanya diarahkan pada Pendekar
Slebor saja, tetapi juga pada Bidadari Tangan Bayan-
gan.
Kejap itu pula terdengar suara menggelegar yang
dahsyat disertai letupan-letupan keras. Entah sudah
berapa banyak bebatuan yang pecah terhantam. Tak
terhitung lagi tanah yang kini telah membentuk lu-
bang-lubang yang keluarkan asap.
"Kutu monyet! Manusia itu tak memberi kesempa-
tanku untuk membalas!" maki Andika keras. "Bisa-
bisa... aku benar-benar mampus nih!!"
Sambil menghindari serangan lawan yang tengah
mengumbar ilmu 'Tapak Akhirat', Andika melihat betapa pucatnya wajah Bidadari Tangan Bayangan yang
berusaha keras menghindari setiap serangan ganas
itu. Berulangkali perempuan ini keluarkan jeritan ter-
tahan. Berulangkali pula dia berlompatan laksana ke-
linci dikejar serigala.
Andika menggeram jengkel.
Untuk menyerang masuk bukanlah suatu hal
yang mudah. Karena, setiap kali Andika mencoba ber-
gerak, setiap kali pula serangan dahsyat itu menderu.
"Astaga! Apa yang harus kulakukan sekarang?"
maki Andika dalam hati. Jantungnya berdetak dengan
cepat dan aliran darah yang kacau. "Peduli kutu-kutu
monyet! Aku harus berusaha membalasnya!!"
Lalu tanpa hiraukan keselamatannya sendiri,
mendadak saja pemuda pewaris ilmu Pendekar Lem-
bah Kutukan ini melompat ke samping. Begitu sepa-
sang kakinya menginjak tanah, kejap itu pula tubuh-
nya menerjang ke depan. Tangan kanannya telah me-
nyambar kain bercorak catur yang segera dikibaskan.
Terdengar suara laksana ribuan tawon murka di-
iringi gelombang angin raksasa yang mengerikan.
Wrrrrrr!
Blaaammmm!!
Sungguh keanehan terjadi. Setelah gelombang an-
gin raksasa yang ditimbulkan oleh kain bercorak catur
bertemu dengan serangan ilmu 'Tapak Akhirat' yang
dilepaskan Gendala Maung, mendadak saja kain ber-
corak catur itu seperti menangkap tenaga Gendala
Maung. Sadar akan hal itu, Andika seketika melompat
untuk membetot. Bersamaan dengan itu tangan ki-
rinya dipukulkan. Ajian 'Guntur Selaksa' sudah diki-
rimkan.
Memekik tertahan Gendala Maung menyadari di-
rinya telah masuk ke pusaran lingkaran. Dengan cara
menahan napas dalam perutnya, tenaga yang dilepaskannya tadi terlepas dari lilitan kain bercorak ca-
tur. Bersamaan dengan itu, dia dorong tangan kanan
kirinya ke depan.
Kembali terdengar letupan yang sangat keras.
Masing-masing orang kini mundur lima tindak ke
belakang. Dan sama-sama memandang tak berkedip.
Kalau Andika masih sempat menggaruk-garuk kepa-
lanya yang tidak gatal, Gendala Maung justru melotot
kejam.
"Terkutuk! Kupikir kain bercorak catur yang sejak
tadi melilit di lehernya itu hanyalah sebuah gombal be-
laka! Tidak tahunya sebuah senjata yang ampuh!!"
maki Gendala Maung dalam hati.
Sementara itu Andika membatin, "Sebenarnya
urusanku bukanlah dengan manusia ini. Melainkan
dengan Jala Kunti yang telah menitis pada Dewi Se-
lendang Hitam. Juga dengan Dedemit Tapak Akhirat!
Huh! Sungguh konyol Eyang membiarkanku mengha-
dapi semua ini!!"
Di seberang, Gendala Maung yang kian menjadi
penasaran sudah menggebrak kembali. Andika pun
langsung menyambutnya dengan menggerakkan kain
bercorak catur.
Memekik tertahan lelaki berkumis baplang itu
tatkala merasakan wajahnya seperti ditampar oleh
tangan kasar. Cepat dia menghindari menjauh sambil
dorong kedua tangannya ke depan. Andika kembali
menggerakkan kain bercorak caturnya. Kali ini dengan
cara memutar.
Sraaappp!!
Tenaga yang keluar dari ilmu 'Tapak Akhirat' ter-
tangkap oleh lilitan kain bercorak caturnya. Bersa-
maan dengan itu, dia melesat maju. Kaki kanannya
menendang tumit kaki kiri Gendala Maung yang saat
itu tertekuk seperti hendak rubuh.
Bersamaan dengan itu, tangan kiri Andika yang
telah terangkum ajian 'Guntur Selaksa' bergerak. Tepat
menghantam dada Gendala Maung. Kendati demikian,
dia juga berhasil menyarangkan pukulannya pada da-
da Andika.
Des! Des!!
Masing-masing orang terlempar ke belakang. Begi-
tu ambruk ke tanah, tak ada yang segera berdiri. Bida-
dari Tangan Bayangan melihat kesempatan untuk me-
nyerang Gendala Maung.
Namun sebelum dilakukannya, mendadak saja ta-
nah yang dipijaknya bergetar. Andika dan Gendala
Maung sendiri juga merasakannya.
Cepat masing-masing orang berdiri tegak. Dirasa-
kan kembali bagaimana tanah yang mereka pijak ber-
getar kembali, dan getaran tanah itu seolah naik ke
dada, hingga keduanya yang memang telah terluka da-
lam merasakan betapa nyeri dada mereka.
Dua kejapan kemudian satu sosok tubuh muncul
dan langsung keluarkan suara, "Kucium bau darah
Saptacakra yang mengalir pada dirimu, Pemuda ber-
pakaian hijau pupus!! Dan kutangkap... ilmu 'Tapak
Akhirat' milik adik seperguruanku!! Tetapi dia tak ada
di sini! Berarti, yang memilikinya harus mampus, ber-
samaan dengan cucu buyut Saptacakra!!"
Masing-masing orang tak ada yang keluarkan sua-
ra. Sepasang mata Bidadari Tangan Bayangan mem-
buka. Kejap itu pula dia mendesis, "Dewi Selendang
Hitam... tetapi, mengapa gerakannya begitu kaku? Dan
suaranya... begitu dingin mengerikan...."
***
9
Tri Sari dan Nawang Wangi yang sedang mencoba
melacak jejak perempuan bernama Jala Kunti yang te-
lah lakukan pembantaian di dusun yang mereka sing-
gahi, hentikan langkah di sebuah jalan setapak. Napas
masing-masing gadis terengah-engah.
"Perempuan itu mungkin sudah menjauh.... Dan
rasanya, tak mungkin untuk dikejar lagi...," kata Tri
Sari sambil mengatur napas.
"Kau benar. Lebih baik... kita teruskan langkah
mencari Dewa Suci...," sahut Nawang Wangi.
"Mencari Dewa Suci pernah kulakukan bersama
Bibik Bidadari Tangan Bayangan. Dan ternyata tak
mudah menemukannya."
"Itu disebabkan dia sedang keluar dari Bukit Balu-
Balu. Tri Sari... apakah tidak lebih baik kita menda-
tangi Bukit Balu-Balu kembali? Kau kan pernah ke
sana, tentunya kau masih ingat jalannya, bukan?"
Putri Pendekar Sutera yang tewas di tangan Dewi
Selendang Hitam itu terdiam sesaat sebelum berkata,
"Ya... lebih baik kita ke sana saja. Mudah-mudahan...."
"Tak perlu kalian bersusah payah mendatangi Bu-
kit Balu-Balu. Aku telah tiba di sini." Terdengar satu
suara bernada sopan dari belakang keduanya.
Serentak kedua gadis itu membahkkan tubuh. Se-
jarak sepuluh langkah dari hadapan mereka, telah
berdiri satu sosok tubuh berpakaian dan berjubah pu-
tih. Agak membungkuk dengan wajah dan pancaran
mata begitu teduh sekali. Rambut orang tua ini sudah
memutih sebahu. Demikian pula dengan kumis dan
jenggotnya. Kedua tangannya berada di belakang ping-
gul dan di pergelangan tangan kanan dan kirinya ter-
dapat gelang terbuat dari giok berwarna hijau muda.
Orang tua yang wajahnya dilapisi kulit yang tipis
ini tersenyum melihat pandangan terkejut dari kedua
gadis itu.
Nawang Wangi yang sebelumnya pernah menden-
gar suara seperti yang diucapkan orang tua di hada-
pannya segera mengubah sikapnya. Dia langsung
rangkapkan kedua tangannya di depan dada, "Dewa
Suci...."
Orang tua yang tak lain Dewa Suci adanya terse-
nyum. "Apa kabarmu, Nawang Wangi?"
"Aku baik-baik saja. Terima kasih sekali lagi kuu-
capkan atas pertolonganmu waktu itu...."
"Aku cuma kebetulan saja lewat."
Tri Sari yang kini yakin kalau orang tua yang me-
reka cari telah berada di hadapannya berkata, "Kakek
Dewa Suci... kami datang untuk meminta bantuan-
mu...."
Dewa Suci tersenyum, begitu arif.
"Aku sudah tahu.... Tentunya Bidadari Tangan
Bayangan yang mengutus kalian, bukan? Jala Kunti
telah terlepas dari kuncian yang dilakukan Ki Sapta-
cakra... majikan Lembah Kutukan yang mempunyai
seorang murid yang berjuluk Pendekar Slebor. Jala
Kunti pun siap untuk jalankan segala kutukannya dan
kini dia menitis pada perempuan kejam berjuluk Dewi
Selendang Hitam. Kesaktian Jala Kunti hanya bisa di-
kalahkan oleh Ki Saptacakra belaka. Bahkan boleh di-
katakan, aku pun masih belum mampu untuk menga-
lahkannya. Tetapi mudah-mudahan... muridnya yang
agak urakan itu mampu melakukannya...."
Sesaat kedua gadis ini saling pandang, sebelum
akhirnya mengerti apa maksud Dewa Suci. Mereka kini
disadarkan, kalau perempuan bernama Jala Kunti
yang telah menghancurkan sebuah dusun untuk men-
cari seseorang yang bernama Ki Saptacakra adalah sebuah roh yang masih melayang akibat kutukannya
sendiri. Dan kini telah menitis pada Dewi Selendang
Hitam. Mereka pun paham kalau sasaran berikut dari
roh Jala Kunti adalah Pendekar Slebor.
"Lalu... bagaimana bila Pendekar Slebor gagal
mengalahkannya, Kakek?" tanya Nawang Wangi ke-
mudian. Tatkala teringat wajah pemuda itu, wajahnya
sejenak memerah.
"Jalan satu-satunya... haruslah mencari Ki Sapta-
cakra! Dialah yang dulu pernah mengalahkan Jala
Kunti."
"Bagaimana bila membutuhkan waktu yang san-
gat lama untuk menemukan di mana Ki Saptacakra
berada?"
Kakek berwajah teduh itu tak segera menjawab.
Dia justru usap-usap jenggotnya, "Terpaksa... aku pun
harus turun tangan. Tetapi aku yakin, pemuda slebor
itu dapat mengalahkan atau paling tidak mencari ke-
lemahan dari Jala Kunti. Setahuku, di saat aku dulu
berjumpa dengan Ki Saptacakra, kelemahan perem-
puan itu terletak pada kaki kirinya. Entah bagaimana
sekarang... apakah masih tetap atau sudah berubah
karena dia telah menitis pada jasad seseorang yang
masih hidup...."
Masing-masing orang tak membuka mulut. Bebe-
rapa helai daun berguguran dihembus angin.
Lalu terdengar Tri Sari ajukan tanya, "Aku masih
belum mengerti... mengapa roh Jala Kunti tidak segera
kembali kepada Sang Pencipta?"
"Karena kutukannya sendiri! Kutukannya telah
didengar oleh arwah-arwah dari kegelapan.... Dan
nampaknya dia mendapat restu untuk menitis kembali
guna menuntaskan segala dendam lamanya.... Me-
mang sulit diterima oleh akal, tetapi itulah yang terja-
di...," sahut Dewa Suci. Kemudian katanya, "Anak
anakku.... Sekarang... pergilah kalian menuju ke arah
barat. Bila Pendekar Slebor berhasil mengalahkan roh
Jala Kunti yang menitis pada Dewi Selendang Hitam...
katakan padanya, kalau aku menunggunya di Bukit
Balu-Balu. Dan bila dia justru yang dikalahkan oleh-
nya, kalian datanglah mengabarkan soal itu padaku di
Bukit Balu-Balu...."
Tri Sari dan Nawang Wangi sama-sama angguk-
kan kepalanya.
Dewa Suci berkata, "Satu hal yang perlu kalau in-
gatkan pada Pendekar Slebor... saat menghadapi ma-
nusia itu, jangan sekali-sekali menatap matanya...."
"Mengapa, Kakek?" tanya Nawang Wangi.
"Kalian akan tahu sendiri nanti...."
Habis kata-katanya, seperti datangnya yang tiba-
tiba Dewa Suci menghilang dari pandangan.
Tinggallah kedua gadis itu yang terdiam. Kehenin-
gan dipecahkan oleh kata-kata Tri Sari, "Nawang... kita
harus segera bergerak menuju ke barat...."
Nawang Wangi menganggukkan kepalanya.
"Tri Sari... entah mengapa aku merasa satu geta-
ran yang aneh di dadaku...."
"Tentang apa?"
"Tak bisa digambarkan. Tetapi... aku begitu kha-
watir mengingat nasib Pendekar Slebor...."
Tri Sari terdiam sejenak. Diam-diam dia paham
betul apa yang sedang dipikirkan oleh gadis berbaju
biru kehijauaan ini.
"Rupanya dia telah jatuh cinta pada Pendekar Sle-
bor.... Ah, cinta memang begitu cepat datangnya....
Bahkan sulit dibendung bila sudah muncul...."
Kemudian sambil menepuk bahu Nawang Wangi,
Tri Sari berkata, "Biar kau tidak terlalu merasa cemas,
lebih baik kita segera berangkat ke arah barat. Ba-
rangkali, apa yang dikatakan oleh Kakek Dewa Suci
tadi, membawa kita pada Pendekar Slebor. Atau... pada
siapa pun juga. Aku tidak begitu pasti...."
Nawang Wangi menarik napas panjang. Dia agak
malu mengingat dirinya telah jatuh cinta pada Pende-
kar Slebor. Lalu dia berkata, "Yah... kita segera be-
rangkat sekarang. Mudah-mudahan kita juga tahu apa
yang dialami guruku saat ini...."
Tri Sari menganggukkan kepalanya. Lalu kedua
gadis perkasa ini pun segera berangkat menuju ke ba-
rat.
***
Suasana hening seolah cengkeraman kaki burung
garuda raksasa pada tanah yang dipenuhi gugusan
bebatuan itu, kian menggigit dalam. Rambatan mata-
hari terus menanjak naik.
Pendekar Slebor menarik napas pendek begitu me-
lihat siapa yang muncul. Diam-diam pemuda urakan
dari Lembah Kutukan ini membatin, "Dewi Selendang
Hitam... orang yang telah dititisi roh Jala Kunti...."
Bidadari Tangan Bayangan yang masih meman-
dang tak berkedip membatin, "Gila! Apa yang telah ter-
jadi pada perempuan kejam itu? Sikapnya... sungguh
angker dan mengerikan!"
"Darah Saptacakra telah kucium! Dan tak ingin
kuputuskan segala apa yang telah kudapati ini!!" ter-
dengar suara dingin itu. Sosok tubuh Dewi Selendang
Hitam tetap tegak tak bergerak. Matanya tak berkedip
sekejap pun juga.
Lalu mendadak laksana robot, perempuan ini
memalingkan kepala ke arah Gendala Maung yang ju-
ga sedang menatapnya penuh keheranan.
"Kau bukanlah Dedemit Tapak Akhirat! Tetapi
mengapa kau bisa memiliki ilmu Tapak Akhirat' milik
nya, hah?!"
Melengak dan sampai mundur satu langkah Gen-
dala Maung mendengar suara yang dingin itu. Begitu
teringat akan cerita gurunya, dia langsung merang-
kapkan kedua tangannya di depan dada.
"Bibik Guru... namaku Gendala Maung, murid da-
ri Dedemit Tapak Akhirat, adik seperguruanmu...."
"Manusia itu tak memiliki murid! Jangan bicara
ngaco bila tak ingin tubuhmu kucabik-cabik!!"
"Tidak, Bibik Guru! Apa yang kukatakan ini sung-
guh sebuah kenyataan! Beliau adalah...."
Terputus kata-kata Gendala Maung tatkala mera-
sakan satu gelombang angin yang semakin lama mem-
besar menggebrak ke arahnya. Terkesiap lelaki berku-
mis baplang ini sambil menghindar. Namun belum lagi
dia berdiri, kembali dirasakan gelombang angin yang
menggemuruh menderu ke arahnya.
"Bangsat! Terkutuklah kau, Jala Kunti!!" makinya
geram.
Lalu segera ditepuk kedua tangannya dan bersa-
maan dengan itu didorong ke depan. Terdengar suara
yang mengerikan dengan menggebraknya gelombang
angin yang percikkan sinar merah.
Yang terjadi kemudian membuat wajah Gendala
Maung menjadi pucat pasi, karena serangan yang dila-
kukannya seperti nyeplos begitu saja laksana masuk
ke dalam gulungan asap. Sementara itu gelombang an-
gin yang menderu dari tubuh Dewi Selendang Hitam
yang tadi gerakkan tangan kanannya begitu kaku se-
perti robot, terus memburu ke arahnya.
Memekik tertahan Gendala Maung sambil coba
papaki kembali dengan ilmu 'Tapak Akhirat' nya. Na-
mun hasilnya sama saja seperti yang pertama tadi.
"Kau tak pantas menjadi murid Dedemit Tapak
Akhirat! Tak seorang pun boleh menurunkan ilmunya!
Kau harus mampus!!" terdengar suara dingin itu beru-
lang-ulang.
Dengan gerakan-gerakan kaku dia terus lancar-
kan serangan ganasnya pada Gendala Maung yang di-
buat lintang pukang. Wajahnya kini benar-benar pucat
laksana tanpa darah.
Kendati tahu ilmu 'Tapak Akhirat' yang dile-
paskannya tak banyak membantu, namun lelaki ber-
kumis baplang ini masih berusaha keras untuk mela-
kukannya. Akibatnya, bisa ditebak.
Begitu serangannya nyeplos, satu gelombang an-
gin yang tak keluarkan hawa dingin maupun panas te-
lah menggebrak ke arahnya.
Melihat kalau Gendala Maung sudah berada di
ambang maut, Pendekar Slebor mencoba bertindak.
Dia langsung cabut kain bercorak caturnya yang sege-
ra dipadukan dengan ajian 'Guntur Selaksa'.
Suara salakan yang bersatu dengan gemuruh an-
gin laksana ribuan tawon murka menggebrak. Namun
serangan itu nyeplos begitu saja. Sementara gelom-
bang angin yang dilepaskan oleh roh Jala Kunti yang
menitis pada Dewi Selendang Hitam tak bisa dihenti-
kan lagi.
Siap menghajar mati Gendala Maung.
Dalam keadaan yang kritis itu, Andika masih bisa
bertindak cepat sekaligus nekat. Kaki kanannya me-
layang, menendang tubuh Gendala Maung yang sekali-
gus diselamatkannya.
Blaaamm!!
Dua buah batu besar langsung hancur menjadi
serpihan begitu terhantam gelombang angin tadi. Di
tempatnya, wajah Dewi Selendang Hitam yang kaku
dan tak sekali pun kedipkan matanya, bergerak ke
arah Pendekar Slebor yang sedang berdiri.
Sementara itu tak menyangka kalau dirinya akan
diselamatkan oleh orang yang dibencinya, Gendala
Maung menggeram. Dia tak suka nyawanya disela-
matkan oleh Pendekar Slebor. Namun biar bagaimana-
pun juga, bila dia tak diselamatkan, bisa jadi nya-
wanya akan putus saat itu juga.
Terdengar suara dingin Dewi Selendang Hitam,
"Keturunan Saptacakra harus mampus hari ini juga!!"
Habis seruan itu, dengan gerak yang kaku tangan
kanan dan kiri Dewi Selendang Hitam terangkat, lalu
mendorong ke arah Andika.
Sadar kalau akan percuma bila serangan ganas
itu dipapaki, Andika mencoba menghindar. Dan belum
lagi pemuda dari Lembah Kutukan ini menginjak ta-
nah, gelombang angin lain sudah menderu ke arahnya.
"Celaka! Bagaimana caraku untuk menghada-
pinya?" desisnya dengan wajah mulai dipenuhi kerin-
gat. Mendadak dia teringat akan kata-kata Ki Saptaca-
kra. "Kaki kiri... ya, kaki kirinya yang harus kuserang
sekarang. Kendati Eyang buyut tak begitu yakin lagi
akan kelemahan Jala Kunti, aku harus menco-
banya...."
Memutuskan demikian, sambil menghindari se-
rangan-serangan aneh yang ganas yang dilancarkan
oleh Dewi Selendang Hitam, Pendekar Slebor menga-
rahkan serangannya pada kaki kiri Dewi Selendang Hi-
tam.
Namun hasilnya tetap tak bisa diharapkan. Kare-
na begitu kain bercorak catur yang telah dialirkan
ajian 'Guntur Selaksa' menggebrak, manusia itu tetap
saja berdiri kokoh. Bahkan dengan ganas melancarkan
serangannya.
Sementara itu Gendala Maung seolah menda-
patkan kesempatan untuk meneruskan niatnya mem-
bunuh Pendekar Slebor. Lelaki berkumis baplang yang
tak tahu membalas budi ini segera melancarkan serangannya tatkala Pendekar Slebor sedang keblingsa-
tan.
Namun sebelum ajian 'Tapak Akhirat' mengenai
sasarannya, mendadak saja satu gelombang angin de-
ras telah menggebrak ke arahnya.
Saat itu pula terdengar pekikan tertahan Gendala
Maung bersama satu suara dingin, "Mencoba mengha-
langi keinginanku untuk membalas keturunan Sapta-
cakra, berarti akan mampus!!"
Kejap itu pula Gendala Maung terseret deras ke
samping kanan tatkala dadanya dihantam gelombang
angin yang tak keluarkan hawa panas maupun dingin.
Tubuhnya ambruk tatkala menghantam sebuah batu
besar yang langsung retak bersamaan dengan suara
'krak'! Tanda tulang punggungnya patah.
Belum lagi dia sadar betul dengan nasib sial yang
di alaminya, mendadak saja gelombang angin menderu
kembali ke arahnya. Andika yang melihat nasib naas
akan menimpa Gendala Maung mencoba menahan se-
rangan itu. Namun dia gagal melakukannya. Maka
tanpa ampun lagi, tubuh lelaki berkumis baplang itu
telak terhajar gelombang angin yang dilepaskan roh
Jala Kunti yang menitis pada Dewi Selendang Hitam.
Terdengar lolongan yang menggema di tanah luas
yang dipenuhi bebatuan itu. Saat tubuhnya berhenti
dari kelojotannya, terlibat dadanya bolong besar den-
gan jantung hangus.
Di tempatnya, Andika menggeram keras melihat
nasib sial yang dialami oleh Gendala Maung.
"Rasanya... sungguh sulit menghadapi manusia
celaka itu sekarang! Lebih baik... kupergunakan ajian
'Tapa Geni' yang pernah diajarkan oleh Eyang Sangso-
ko Murti...."
Memutuskan demikian, perlahan-lahan pemuda
dari Lembah Kutukan ini menarik napas panjang. Lalu
diarahkan tenaga dalam pada perutnya. Kejap berikut-
nya, hawa panas segera terpancar dari tubuhnya.
Bidadari Tangan Bayangan yang tadi sempat ter-
banting akibat kerasnya letupan yang terjadi, menahan
napas melihat perubahan yang terjadi pada diri Pende-
kar Slebor. Sesaat dia terdiam. Dirasakan pula hawa
panas itu menerpa tubuhnya.
"Sungguh luar biasa pemuda ini.... Kendati dia
tengah diburu orang yang membencinya, namun dia
berusaha untuk menolong orang itu.... Bahkan nam-
paknya, dia bersiap untuk menempuh satu jalur, hi-
dup atau mati...."
Andika yang kini sudah keluarkan ajian 'Tapa Ge-
ni', ajian bangsa siluman yang pernah diturunkan oleh
Eyang Sangsoko Murti, terdiam dengan pandangan tak
berkedip. Sedikit banyaknya, dia kebat-kebit juga
mengingat setiap serangannya selalu nyeplos begitu
saja.
"Mudah-mudahan... aku berhasil mengata-
sinya...."
Habis mendesis demikian, pemuda urakan ini su-
dah menggebrak ke depan. Tak ada gelombang angin
yang keluar. Tak ada deru yang terdengar. Namun satu
tenaga yang tak nampak mengandung kekuatan panas
luar biasa menderu ke arah Dewi Selendang Hitam.
Di seberang Dewi Selendang Hitam yang begitu di-
titisi roh Jala Kunti tak pernah mengedipkan mata se-
kalipun, segera mendorong kedua tangannya.
Gelombang angin dahsyat yang menyeret tanah
dan kerikil menggebrak ke arah Andika.
Dan... astaga! Lagi-lagi ilmu bangsa siluman yang
dilepaskan oleh Pendekar Slebor nyeplos begitu saja.
Kejap itu pula Andika berjumpalitan ke samping kiri
bila tak ingin mengalami nasib sial.
Sementara itu gelombang angin yang dilepaskan
Dewi Selendang Hitam menderu ke arah Bidadari Tan-
gan Bayangan yang terpekik. Belum lagi dia sadar be-
tul apa yang terjadi, satu sosok tubuh tinggi besar te-
lah menyambarnya.
Blaaammm!!
Gelombang angin itu menghantam hancur tanah
di mana Bidadari Tangan Bayangan berdiri. Sementara
itu, orang yang menyelamatkan Bidadari Tangan
Bayangan yang tak lain Kepala Besi adanya mendesis,
"Kita menjauh dari sini...."
Bidadari Tangan Bayangan cuma mengangguk le-
mah. Ada perasaan malu karena dia ditolong oleh Ke-
pala Besi yang mendadak muncul, padahal beberapa
waktu lalu dia berusaha menyerang bahkan membu-
nuh Kepala Besi yang disangkanya adalah orang yang
telah lakukan pembantaian di Kuil Putra Langit.
Sementara itu Andika menarik napas lega melihat
siapa yang muncul dan telah menyelamatkan Bidadari
Tangan Bayangan. Namun kendati begitu, hatinya kian
kebat-kebit karena menyadari ajian bangsa siluman
tak mampu menandingi Jala Kunti.
Sebelum dia lakukan tindakan apa-apa, menda-
dak terdengar suara keras, "Kini... terimalah kema-
tianmu!"
Menyusul menggebraknya dua gelombang angin
deras ke arah Andika. Tanah dan kerikil yang terseret,
membuat Andika harus memejamkan matanya agar ti-
dak kemasukan debu. Masih memejamkan kedua ma-
tanya, pemuda urakan ini hinggap di atas tanah, tepat
berhadapan dengan Dewi Selendang Hitam yang berdi-
ri sejarak lima tombak.
Dan yang mengejutkan Andika, tatkala dia melihat
satu bayangan yang berada dalam tubuh Dewi Selen-
dang Hitam. Bayangan seorang perempuan tua berpa-
ras jelita dan kenakan pakaian warna jingga yang cerah. Pada wajah orang tersirat kepedihan yang begitu
dalam.
Andika terdiam beberapa saat. Baru kemudian
disadarinya, kalau dia masih memejamkan mata.
"Oh, Tuhan... inikah rahasia yang tersimpan di
balik titisan Jala Kunti? Dengan membuka kedua ma-
ta, kulihat sosok Dewi Selendang Hitam. Tetapi dengan
cara menutup mata seperti ini, kulihat wujud yang pe-
nuh kepedihan.... Wujud seorang perempuan yang di-
tolak cintanya...."
Belum lagi Andika dapat mencernakan apa yang
ada dalam pikirannya, mendadak dilihatnya bayangan
yang ada dalam diri Dewi Selendang Hitam mendorong
kedua tangannya sementara dilihatnya pula sosok De-
wi Selendang Hitam tetap terdiam. Dan Andika melihat
semua itu dengan mata masih dipejamkan.
"Aku harus menghadapinya dengan mata tertu-
tup!" desisnya yakin.
Kejap itu pula dengan cara menutup matanya,
yang seolah dapat melihat apa yang ada di hadapan-
nya, Andika menerjang dengan kain bercorak caturnya
yang dipadukan dengan ajian 'Guntur Selaksa'.
Kalau biasanya serangan itu selalu nyeplos, kali
ini serangannya berbenturan dengan gelombang yang
dilepaskan oleh lawan.
Blaaarr!
Masih dalam keadaan mata dipejamkan, Andika
bisa melihat betapa tubuh Dewi Selendang Hitam su-
rut ke belakang. Sementara bayangan yang laksana
roh itu melengak kaget.
Menyusul terdengar suara, "Pemuda jahanam!
Kubunuh kau!!"
Serangan berikut yang dilancarkannya memang
semakin ganas dan kian menjadi-jadi. Namun Andika
yang kini menemukan titik kelemahan dari lawannya
terus menyerang. Kalaupun dalam keadaan mata dipe-
jamkan Andika dapat melihat, ini disebabkan karena
daya balik dari ilmu yang dimiliki roh Jala Kunti. Den-
gan kedua mata membuka, roh Jala Kunti yang telah
menitis pada Dewi Selendang Hitam justru membuta-
kan mata lawan. Dalam arti, dapat melemahkan se-
rangan lawan ke arahnya.
Dan dalam keadaan mata tertutup, lawan dapat
melihat dengan jelas ke mana arah serangan yang di-
lakukan oleh Jala Kunti. Dengan cara seperti itulah
Andika terus mencoba mematahkan setiap serangan
Jala Kunti.
Bahkan satu ketika, dia meluruk cepat dengan
pergunakan ajian 'Tapa Geni' yang diarahkan pada ka-
ki kiri Jala Kunti. Nampak di mata Andika yang masih
tertutup sosok Jala Kunti berjingkrak sementara sosok
Dewi Selendang Hitam tetap bergerak kaku.
Serangan pertamanya memang berhasil dihindari
oleh Jala Kunti. Namun Andika yang telah menemukan
bentuk penyerangannya tak mau bertindak ayal. Dia
bergerak cepat dengan kerahkan ajian 'Tapa Geni'
bahkan disatukan dengan kain bercorak catur. Aki-
batnya...
"Waaaaaaa!!!" bayangan putih yang berada dalam
jasad Dewi Selendang Hitam melonjak-lonjak.
Ajian 'Tapa Geni' nampak membakarnya hingga tubuh
bayangan perempuan itu kelabakan. Jeritannya ter-
dengar sangat mengerikan. Lima tarikan napas beri-
kutnya, nampak sosok bayangan perempuan itu pun
lunglai dan jatuh.
Andika menarik napas panjang. Begitu sepasang
matanya dibuka, dilihatnya sosok Dewi Selendang Hi-
tam telah ambruk menjadi mayat dengan dada kelua-
rkan asap. Sementara di sampingnya, terdapat seong-
gok abu yang pancarkan sinar perak.
Dua kejapan mata berikutnya, Tri Sari dan Na-
wang Wangi tiba di tempat itu. Begitu melihat sosok
Dewi Selendang Hitam telah menjadi mayat, mereka
sadar apa yang telah terjadi. Rupanya, tanpa mereka
beri tahu pun Pendekar Slebor telah berhasil menga-
lahkan roh Jala Kunti, sekaligus memunahkan kutu-
kannya.
Lantas ke manakah Dedemit Tapak Akhirat?
SELESAI
Segera menyusul:
PEMBUNUH DARI JEPANG
0 comments:
Posting Komentar