"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 04 Agustus 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE IBLIS SEGALA AMARAH


 


IBLIS SEGALA AMARAH

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit


1


Selimut pagi menyeruak alam kembali dalam ben-

tangan mata langit cerah dan semilir angin sejuk. Be-

berapa ekor burung beterbangan, melompat dan hing-

gap dari satu dahan ke dahan lain. Lalu hinggap pada 

ranggasan semak hingga berayun-ayun. Menyusul se-

gera dikepakkan sayapnya dan terbang kian kemari.

Dalam keasrian alam yang indah, nampak satu 

sosok tubuh berpakaian hijau pupus yang tak lain 

Pendekar Slebor adanya tiba di sebuah jalan setapak di 

sebelah barat Gunung Kerambang yang berdiri ang-

kuh.

Anak muda urakan yang baru berpisah dari Jaya 

Lantung dan Werdaningsih ini perhatikan sekeliling-

nya. Di kanan kiri dipenuhi ranggasan semak belukar 

dan beberapa pohon yang antara satu dengan lainnya 

berjarak cukup jauh.

"Kaki Kilat telah lumpuh. Fitnah yang melekat di 

diriku paling tidak sedikit demi sedikit telah lenyap. 

Jaya Lantung dan Werdaningsih telah mendengar dari 

mulut Kaki Kilat sendiri, kalau dialah yang membunuh 

guru mereka. Hmmr... hanya tinggal menjelaskan pada 

Arya Sempala saja, kendati saat itu Dewi Cadar Biru 

nampaknya tidak percaya kalau aku yang membunuh 

Malaikat Keadilan...."

Sebelum tiba di jalan ini, pemuda yang di lehernya 

melilit secarik kain bercorak catur ini berjumpa den-

gan Manusia Muka Kucing yang sedang lancarkan se-

rangan pada Dewi Cadar Biru. Tokoh keji yang mem-

buatnya penasaran untuk mengetahui ada apa di balik 

semua pembantaian yang dilakukannya, justru tak 

menangkap atau membunuhnya. Padahal beberapa to-

koh telah dibunuhnya karena tak mau mengatakan di

mana Andika berada.

Manusia Muka Kucing yang juga turut dalam 

pembunuhan pada Malaikat Keadilan, mencoba me-

mancing kemarahan Dewi Cadar Biru dengan memfit-

nah Pendekar Slebor selaku pembunuh. Perempuan je-

lita bercadar biru untuk sesaat meragu, apalagi setelah 

mengetahui kalau pemuda itulah yang berjuluk Pen-

dekar Slebor. Di saat itulah muncul Arya Sempala yang 

sebelumnya memang menuduh Andika sebagai pem-

bunuh gurunya.

Secara bersamaan Manusia Muka Kucing pergu-

nakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Andika 

sendiri tak bermaksud untuk meladeni Arya Sempala. 

Ditinggalkannya pemuda itu yang sedang geram di sisi 

Dewi Cadar Biru.

Lalu dia pun berjumpa dengan Jaya Lantung dan 

Werdaningsih yang sedang dipermainkan oleh Kaki Ki-

lat. Berkat bantuan Andika, Kaki Kilat dapat dilum-

puhkan.

Dan anak muda ini bersyukur karena secara tak 

langsung, Kaki Kilat telah membuka mulut, kalau di-

rinya dan Manusia Muka Kucing lah yang telah mem-

bunuh Malaikat Keadilan.

Sekarang, anak muda berambut gondrong acak-

acakan ini memandang tak berkedip pada Gunung Ke-

rambang yang berdiri angkuh. Timbunan kabut putih 

masih melingkupi puncak dan tubuh gunung itu.

"Seperti menyimpan misteri yang dalam, sebuah 

misteri yang tak pernah terpecahkan dan dapat mun-

cul secara tiba-tiba.... Sama halnya mengapa Manusia 

Muka Kucing tak lakukan tindakan apa-apa tatkala 

bertemu denganku, padahal dia membunuhi siapa saja 

yang tak mau mengatakan di mana aku berada. Ada 

apa ini? Jangan-jangan... ada orang lain dibelakang 

Manusia Muka Kucing? Tetapi siapa?"

Pemuda cerdik yang memiliki sepasang alis hitam 

tebal dan menukik laksana kepakan sayap elang, ter-

diam. Tangan kanannya memegang dagunya.

"Hmm... kalau memang dugaanku benar ada 

orang lain di belakang Manusia Muka Kucing, apa se-

benarnya yang diinginkan orang itu? Bukankah lebih 

baik bila Manusia Muka Kucing menangkap atau 

membunuhku? Atau... ada sesuatu yang dikehendaki 

oleh orang di belakang Manusia Muka Kucing? Kutu 

monyet! Aku kok jadi makin penasaran saja!!"

Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan 

ini garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Benar-benar kutu monyet! Ada apa sih sebenar-

nya? Huh! Bila berjumpa lagi dengan Manusia Muka 

Kucing, tak akan kulepaskan dia!! Gara-garanyalah 

kepalaku bisa pecah sewaktu-waktu!" dengusnya jeng-

kel. Kejap kemudian dia tertawa sendirian, "Eh! Jan-

gan pecah dulu, ah! Aku masih doyan makan nasi 

uduk!"

Kembali Pendekar Slebor edarkan pandangannya 

ke sekeliling. Lalu arahkan lagi pada Gunung Keram-

bang. Namun kejap itu pula dipalingkan lagi ke arah 

kanan.

Sejenak nampak keningnya berkerut.

"Busyet! Apakah aku tidak salah lihat? Ada 

bayangan hitam yang berkelebat cepat! Siapakah... 

heiii!"

Terputus kata-kata pemuda urakan pewaris ilmu 

Pendekar Lembah Kutukan ini tatkala secara tiba-tiba 

satu gelombang angin dahsyat diiringi cahaya hitam 

yang keluarkan hawa dingin melabrak ke arahnya.

Tak sempat memikirkan dari mana asal angin dan 

sinar hitam itu, Andika cepat membuang tubuh ke 

samping kanan. Dan....

Blaaarrr!!

Tanah yang tadi dipijaknya langsung terbongkar 

begitu terhantam angin dan sinar hitam ganas. Bong-

karan tanah itu berhamburan ke udara.

Belum lagi Andika berdiri tegak, kali ini dua ham-

paran angin dipadu dengan dua cahaya hitam mela-

brak kembali. Udara yang masih cukup dingin, kali ini 

bertambah sangat dingin.

"Monyet pitak!! Apa-apaan ini?!" makinya sambil 

melompat ke samping kiri, lalu bergulingan dan berdiri 

tegak kembali.

Blaarr! Blaarrr!!

Dua kali terdengar letupan keras disusul dengan 

muncratnya ranggasan semak belukar dipadu dengan 

tanah ke udara.

Sejenak Pendekar Slebor arahkan pandangan ber-

keliling. Kedua tangannya nampak berada di depan 

dada, bersiap dan telah dialirkan tenaga Inti Petir' 

tingkat kesepuluh. Namun tunggu punya tunggu, tak 

ada lagi serangan yang datang.

Sejenak Andika kerutkan keningnya.

"Kutu monyet! Apakah orang itu sudah jera untuk 

menyerangku karena gagal terus? Nah! Kalau sudah 

tahu siapa aku, memang tidak ada yang akan berani 

nekat menyerang?!" selorohnya konyol. Lalu sambung-

nya, "Siapa dulu dong orangnya? Andika...."

Belum habis kata-katanya terdengar, mendadak 

menggebrak kembali gelombang angin dahsyat disertai 

lesatan sinar hitam. Suara yang keluar bukan alang 

kepalang mengerikannya.

Terkejut Andika mendapati labrakan ganas yang 

datang. Untuk menghindar pun sulit dilakukan karena 

sinar hitam dipadu gelombang angin itu menderu lebih 

cepat dari yang pertama dan kedua. Maka tak ada ja-

lan lain kecuali memapaki.

Sambil geser kaki kirinya sedikit, kedua tangan

yang telah dialiri tenaga 'Inti Petir' segera ditekuk ke 

atas di depan wajah.

Blaaammm!!

Letupan terdengar keras begitu bentrokan terjadi. 

Sinar hitam itu muncrat ke udara yang untuk sesaat 

menodai indahnya sinar surya.

Dan... astaga!! Tubuh Pendekar Slebor sampai 

terhuyung ke belakang tiga tindak, sementara sinar hi-

tam yang entah dari mana datangnya kembali mende-

ru.

"Monyet pitak! Siapa sih yang iseng lancarkan se-

rangan begini? Bisa konyol kalau tidak segera kusele-

saikan nih! Huh! Satu urusan belum selesai, sudah di-

hadang urusan lain!!"

Lalu sambil buang tubuhnya kesamping kanan, 

Andika yang sempat melihat arah datangnya serangan 

tadi, segera melompat ke depan, ke balik ranggasan 

semak belukar. Seraya keluarkan suara dia gerakkan 

tangan kanan nya, "Hayo, Anak-anak! Jangan sem-

bunyi terus! Kau mulai bikin jengkel Pak Guru, nih!!"

Ranggasan semak belukar itu langsung tercabut 

begitu terkena pukulannya. Serta-merta mencelat ke 

depan satu sosok tubuh yang hanya sekali putar tu-

buh sosoknya sudah hinggap di atas tanah dengan 

ringannya.

Andika sendiri segera balikkan tubuhnya. Sejenak 

kedua matanya terbeliak lebar sebelum nyengir, "Wah! 

Bagus sekali pakaian yang kau kenakan tuh! Di mana 

belinya, ya? Seharusnya kau beli yang lebih tipis lagi? 

Kali saja kan... asyik betul!!"

Sosok tubuh yang ternyata seorang perempuan itu 

bergerak ke kanan. Wajahnya begitu jelita sekali den-

gan kulit putih yang menawan. Mengenakan pakaian 

serba hitam, panjang dan tipis hingga perlihatkan le-

kuk tubuhnya. Bahkan bagian bawah pakaiannya terbelah hingga ke pangkal paha. Di kepalanya terdapat 

sebuah mahkota bersusun tiga yang dipenuhi butiran 

mutiara. Saat berdiri tegak angin nakal meniup pa-

kaian dan mengibarkannya, hingga gumpalan pahanya 

yang mulus begitu jelas terpampang. Di tangan ka-

nannya, terdapat sebuah tombak yang di ujungnya 

terdapat trisula.

Untuk sesaat perempuan ini tak buka suara. Pan-

dangannya tak berkedip pada Andika yang sedang ga-

ruk-garuk kepalanya. Kejap kemudian, terdengar kata-

katanya, "Anak muda... engkaukah yang berjuluk Pen-

dekar Slebor?"

"Wah! Mana bisa kau menebak-nebak begitu? Eh! 

Kalau aku boleh menduga, apakah kau yang berjuluk 

Ratu Slebor?" balas Andika tengik. Lalu sambungnya 

dalam hati, "Tatapan dan cara bicaranya begitu kasar 

sekali. Aku harus berhati-hati."

Wajah jelita si perempuan menekuk. Bibirnya me-

rapat dingin dengan tatapan bertambah menusuk.

Tiba-tiba dia berseru menggelegar, "Jawab perta-

nyaanku! Jangan sampai kau sesali kebodohanmu 

ini!!"

Justru sikap yang diperlihatkan perempuan itu 

makin membuat anak muda urakan ini bertambah 

urakan. Sembari perlihatkan cengirannya dulu, dia 

berkata. "Kalau kau tidak mau membenarkan dugaan-

ku tadi, mana bisa kujawab?!"

"Baik! Aku datang dari Lembah Hitam! Julukanku 

Ratu Hitam! Cepat katakan siapa kau sebenarnya, se-

belum mampus berkalang tanah!!"

"Ratu Hitam.... Ratu Hitam.... Baru kali ini kuden-

gar julukannya. Begitu angker dan mengerikan. Sikap-

nya pun sungguh tak ramah. Dari caranya bertanya, 

jelas dia sangat menginginkanku. Tetapi, dia hanya ta-

hu tentang julukanku dan tak mengenal siapa Pendekar Slebor sebenarnya. Aku tak boleh bertindak gega-

bah."

Habis membatin begitu, Andika berkata, "Kau se-

benarnya kenapa sih? Kok begitu getol menyangkaku 

Pendekar Slebor?!"

"Jangan berdalih! Ciri-ciri yang melekat padamu, 

adalah ciri-ciri Pendekar Slebor!" sentak Ratu Hitam 

sambil menuding.

"Busyet! Kalau kau berpatokan pada ciri-ciri se-

seorang, begitu melihatmu aku jadi teringat seseorang 

juga! Kupikir kau pedagang pecel di pasar Jantung 

yang genit itu! Eh, tidak tahunya bukan!"

"Keparat!! Aku tak mungkin salah! Orang yang 

menyuruhku jelas mengatakan seperti pemuda inilah 

ciri-ciri Pendekar Slebor! Bahkan dia mengatakan, ka-

lau Pendekar Slebor memiliki tenaga 'Inti Petir' yang 

mengerikan. Tadi memang kudengar seperti salakan 

petir di saat dia menahan seranganku. Hanya karena 

gemuruh angin yang terdengar kuat dari seranganku 

saja suaranya jadi agak tersamar. Baiknya, kuuji saja 

sekali lagi!!"

Memutuskan demikian, tanpa geser tubuhnya, pe-

rempuan jelita berpakaian tipis menerawang ini men-

dadak gerakkan tombak yang dipegangnya. Saat itu 

pula sinar hitam meluncur deras disertai angin keras 

ke arah Pendekar Slebor.

"Busyet! Rupanya sinar hitam itu berasal dari 

tombak yang di ujungnya terdapat trisula!!" desisnya 

sambil buang tubuh ke kanan.

Sementara tanah yang dipijaknya tadi langsung 

terbongkar begitu terhantam sinar hitam.

Menyusul Ratu Hitam terus menerus gerakkan 

tangan kanannya yang memegang tombak. Hingga te-

rus menerus pula sinar-sinar hitam yang diiringi ge-

muruh angin itu menderu dan meletup. Menghantam

tanah, batang kayu dan ranggasan semak belukar.

Namun pemuda tampan yang di lehernya melilit 

kain bercorak catur ini masih terus saja menghindar 

dengan pergunakan ilmu peringan tubuhnya. Kalau 

semula Andika tadi memapaki itu disebabkan karena 

dia tidak tahu dari mana asal serangan. Kali ini orang 

yang melancarkan serangan berada di hadapannya, 

sudah tentu dengan mudah akan dihindarinya.

"Jahanam!" maki Ratu Hitam dalam hati. "Nam-

paknya dia tahu apa yang kuinginkan! Sejak tadi dia 

tak coba menahan atau membalas seranganku! Hhh! 

Sulit bagiku sekarang untuk buktikan apakah dia 

memiliki tenaga 'Inti Petir' yang membuktikannya se-

bagai Pendekar Slebor atau tidak. Tetapi... akan ku-

paksa dia melakukannya!!"

Kendati Ratu Hitam ngotot terus menerus lancar-

kan serangan yang berasal dari tombaknya, Pendekar 

Slebor tetap hanya menghindar. Ini semata dilakukan 

karena dia ingin tahu siapa sesungguhnya Ratu Hitam. 

Bahkan Andika memutuskan untuk meninggalkan pe-

rempuan ini. Karena dia masih penasaran dengan ra-

hasia apa yang ada di balik seluruh rencana Manusia 

Muka Kucing.

Namun untuk menghindar dari sergapan serangan 

Ratu Hitam pun tak mudah dilakukannya. Karena se-

karang perempuan berpakaian hitam tipis itu sudah 

mencelat ke depan. Bukan hanya gerakkan tombaknya 

yang semata-mata untuk lepaskan sinar-sinar hitam, 

melainkan juga mulai memukul, menyabet dan menu-

suk.

Setiap kali tongkat itu digerakkan terasa sekali 

hawa dingin menusuk.

Lama kelamaan Andika menjadi jengkel juga.

"Ini tak boleh kubiarkan!!"

Memutuskan demikian, dengan cara yang aneh

yakni melompat-lompat laksana monyet kebakar ekor-

nya, Andika melenting ke atas, memutar dan begitu 

hinggap lagi di atas tanah langsung melompat kembali.

Serangan tombak yang dilakukan Ratu Hitam ma-

kin tak beraturan sekarang, karena gerakan yang dila-

kukan Andika sungguh tak beraturan. Dia seperti see-

nak jidatnya saja melompat ke sana kemari.

Bahkan secara tiba-tiba lakukan jotosan ke pung-

gung Ratu Hitam yang begitu rasakan deru angin lang-

sung melompat ke samping kanan.

Wuuuttt!!

Tombaknya langsung disabetkan. Yang disabet ta-

rik diri ke belakang sambil lepaskan tendangan ke wa-

jah.

"Jahanam!!" maki Ratu Hitam sambil merunduk 

dan segera tusukkan tombaknya ke dada Andika.

Kali ini tak mungkin bagi Andika untuk menghin-

dar kembali. Sambil melompat dengan tubuh membu-

jur, tangan kanannya telah menghantam bagian ten-

gah tombak itu. Terdengar suara seperti salakan petir 

bersamaan dengan suara 'krakk'!

Terkejut bukan alang kepalang Ratu Hitam meli-

hat tombaknya yang terbuat dari kayu sangat langka 

patah menjadi dua. Ujung tombak yang terdapat trisu-

la itu jatuh ke tanah dan pancarkan sinar hitam ke 

berbagai penjuru.

Bukan hanya Andika yang harus menghindar se-

karang, Ratu Hitam sendiri segera bergulingan ke be-

lakang disertai makian keras. Tatkala sinar-sinar hi-

tam itu berhenti, dengan kemarahan tinggi, perem-

puan jelita ini meluruk ke depan setelah lemparkan 

patahan tombak ke belakang.

Bersamaan terdengar suara berderak akibat pata-

han tongkat yang dilempar asal saja itu menghantam 

sebuah pohon yang tumbang di bagian atas, Ratu Hitam segera rangkapkan kedua tangannya di depan da-

da.

Di seberang, Andika melihat bagaimana tubuh pe-

rempuan itu nampak bergetar. Menyusul terlihat asap 

hitam mengepul ke udara. Bau yang tak sedap segera 

tercium.

"Celaka! Nampaknya dia telah keluarkan ilmu 

yang tentunya sangat diandalkan!!"

Tubuh bergetar Ratu Hitam lamat-lamat mulai 

normal kembali. Namun asap hitam itu masih keluar. 

Wajah jelitanya terlihat begitu angker dan mengerikan. 

Tatapannya menusuk tak berkedip. Mulutnya merapat.

Lamat-lamat terdengar suaranya laksana dari da-

lam sumur, "Aku yakin, kau adalah Pendekar Slebor! 

Terbukti dari pukulanmu tadi! Kau harus membayar 

perbuatanmu yang telah mematahkan tombak ke-

sayanganku!!"

Habis bentakannya, mendadak saja dia bergerak. 

Kaki kanan kirinya bergerak zig-zag seperti menyeret 

tanah yang langsung berhamburan ke udara. Gera-

kannya sungguh cepat. Menyusul kedua tangannya 

yang tadi dirangkapkan di depan dada digerakkan 

memutar.

***

2


Di seberang, untuk sesaat Andika terpana. Namun 

begitu dirasakan hawa dingin yang kian menyengat 

menderu ke arahnya, cepat pemuda urakan ini buang 

tubuh ke samping. Kendati berhasil hindari serangan 

itu, namun Andika cukup dibuat terkejut tatkala me-

rasakan sebagian tubuhnya sebelah kiri seperti kaku.

Segera dia alirkan tenaga panas dalam tubuhnya.

"Brengsek! Bikin aku makin jengkel saja!!" rutuk-

nya sambil menghindar kembali karena serangan su-

sulan perempuan berpakaian serba hitam itu sudah 

melabrak ke arahnya.

Kali ini, anak muda dari Lembah Kutukan itu tak 

mau dirinya dijadikan semacam kelinci percobaan be-

laka. Begitu berhasil hindari gempuran lawan, tangan 

kanannya dijotoskan dari bawah ke atas.

Kelihatan jelas perempuan berjuluk Ratu Hitam 

nampak terkejut. Bukan dikarenakan tenaga besar 

yang mengarah padanya, melainkan gerakan yang be-

gitu cepat yang diperlihatkan Andika. Sambil kelua-

rkan makian jengkel, perempuan setengah baya berpa-

ras jelita ini langsung tekuk sikunya.

Desss!!

Justru yang terjadi kemudian sesuatu yang men-

gejutkan. Karena begitu jotosannya dihalangi tekukan 

siku Ratu Hitam, Andika merasa tangan kanannya 

bergetar.

Tanpa sadar dia surut lima tindak ke belakang.

Tatkala dilihat, tangan kanannya agak membiru.

"Gila! Rupanya tombak yang tadi dipergunakan 

hanyalah sebagai pelengkap, bukan sebuah senjata 

yang mematikan, karena serangan dan tenaga yang di-

perlihatkan yang mematikan! Kutu monyet!!"

Andika sendiri tak bisa berdiam dirt lebih lama, 

karena dengan suara tawa yang keras, Ratu Hitam su-

dah menggebrak kembali.

"Tak ada yang akan mampu tandingi ajian 'Karang 

Es'!"

"Kura-kura buduk! Dia hanya merasakan sebagian 

kecil tenagaku! Biar kuberi pelajaran perempuan ini!"

Sambil menghindari ke belakang, Andika segera 

susulkan jotosan tangan kanannya.

Terdengar suara salakan petir yang cukup keras. 

Dan kali ini masing-masing orang surut ke belakang. 

Saat berdiri tegak, Ratu Hitam yang tadi sudah terse-

nyum senang, kali ini terlihat terbeliak kaget. Tak per-

caya dengan apa yang dirasakannya sekarang.

"Gila! Bagaimana dia bisa mengubah tenaganya 

lebih besar dalam waktu yang sangat cepat? Apakah 

tenaga 'Inti Petir' bertingkat-tingkat?" desisnya tanpa 

lakukan apa-apa kecuali hanya berdiri tegak sambil 

pandangi tak berkedip pada pemuda di hadapannya.

Di seberang Andika sedang mendesis, "Hmmm... 

rupanya tenaga serangan dari ajian 'Karang Es' yang 

dimiliki perempuan ini dapat ditandingi dengan tenaga 

'Inti Petir' tingkat ketiga. Berarti, dengan pergunakan 

tenaga 'Inti Petir' tingkat kedua dan kesatu sudah ten-

tu dia dapat kuatasi. Hanya saja... aku tak mau laku-

kan itu sebelum kuketahui secara pasti apa yang diin-

ginkannya...."

Sementara itu Ratu Hitam sedang menggeram da-

lam hati, "Jahanam terkutuk! Sia-sia selama ini kuja-

dikan ajian 'Karang Es' sebagai ajian andalan! Tetapi 

dapat kuketahui sebabnya... karena hawa panas dari 

tenaga 'Inti Petir' yang dimiliki pemuda itu dapat mere-

dam hawa dingin dari ajian 'Karang Es'. Bila tidak, su-

dah tentu dia akan mampus di tanganku!! Tetapi... aku 

datang menemuinya bukan untuk membunuhnya! Me-

lainkan untuk...."

Memutus kata batinnya sendiri dia berkata, "Pen-

dekar Slebor! Kita hentikan pertikaian ini untuk se-

mentara!"

"Begitu juga boleh!" sahut Andika sambil nyengir. 

"Tetapi... apakah kau tidak mau mengatakan mengapa 

kau mencariku dan menyerangku sedemikian rupa? 

Kalau kau tidak mau mengatakannya... ya... berarti 

perutku makin lapar? Busyet! Apa hubungannya?"

"Setan! Sikapnya benar-benar seenak perutnya sa-

ja! Tetapi aku harus memperingatkannya!" kata Ratu 

Hitam dalam hati. Kemudian katanya, "Pernahkah kau 

mendengar julukan Pendekar Cakra Sakti?"

Mendengar pertanyaan orang, Andika tak segera 

menjawab. Dia justru kerutkan kening dengan pan-

dangan tak berkedip.

"Pendekar Cakra Sakti? Terus terang... baru kali 

ini kudengar julukan itu. Tetapi mengapa kau tanya-

kan soal itu kepadaku?"

"Sudahkah kau mendengar julukan Iblis Segala 

Amarah?" Ratu Hitam ajukan tanya lagi.

"Busyet! Kok kau banyak tanya betul sih? Jangan-

jangan kau petugas dari kantor Kotapraja yang lagi 

menghitung jumlah penduduknya? Tetapi kalau me-

mang ada jatah makanan, tolong aku diingat-ingat ya?"

"Jawab pertanyaanku!!" bentak Ratu Hitam den-

gan suara menggelegar.

"Ampun! Kau ini kok galak amat, ya?" desis Andi-

ka mencibir. Begitu melihat tatapan sengit Ratu Hitam, 

anak muda gondrong ini buru-buru berkata, "Iya, iya! 

Aku sama sekali tidak mengenal orang-orang yang kau 

tanyakan tadi! Mendingan jelaskan saja biar kepalaku 

tidak pusing!"

"Aku tak biasa bertele-tele! Iblis Segala Amarah 

bermusuhan dengan Pendekar Cakra Sakti! Iblis Sega-

la Amarah menghendaki tenaga 'Inti Petir' dalam tu-

buhmu untuk menyempurnakan ilmu yang sedang di-

dalaminya! Bila dia sudah mendapatkan, maka dia 

akan membunuh Pendekar Cakra Sakti!"

"Busyet! Mereka yang bermusuhan, mengapa aku 

yang jadi korban? Huh! Seperti apa sih Iblis Segala 

Amarah itu? Aku jadi ingin menendang pantatnya! 

Ngomong-ngomong... mengapa urusan itu dilimpahkan 

padaku?"

"Tadi kukatakan, aku tak bisa bertele-tele! Kau ca-

ri sendiri jawabannya!"

Habis kata-katanya Ratu Hitam menjejakkan kaki 

kanannya ke tanah. Serta-merta potongan tombak 

yang di ujungnya terdapat trisula terangkat naik men-

garah padanya dan langsung ditangkap. Sambil pan-

dangi Pendekar Slebor dia berkata, "Kau harus berhati-

hati dalam masalah ini!"

Kejap berikutnya sosok perempuan berpakaian hi-

tam panjang terbelah hingga ke pangkal paha ini su-

dah berkelebat ke arah barat.

Tinggal Andika yang memaki-maki panjang pen-

dek.

"Enak saja ngomong! Huh! Kenapa aku yang jadi 

korban sih? Mengapa aku yang...."

Mendadak saja anak muda ini memutus kata-

katanya sendiri. Sejenak dia terdiam dengan kening 

berkerut. Setelah agak beberapa lama, terdengar kem-

bali suaranya, "Jangan-jangan... semua ini yang bera-

da di balik rencana Manusia Muka Kucing? Menilik ka-

ta-kata Ratu Hitam, yang menghendaki tenaga 'Inti Pe-

tir' dan secara tidak langsung berarti akan memu-

tuskan nyawaku adalah Iblis Segala Amarah. Apa-

kah...."

Kembali anak muda ini terdiam, berpikir keras. 

Lalu katanya lagi, "Manusia Muka Kucing.... Iblis Sega-

la Amarah... hmm, ya, ya... jelas ini ada hubungannya. 

Jelas ini jawaban atas pertanyaanku. Manusia Muka 

Kucing mendapat perintah dari Iblis Segala Amarah 

untuk tidak membunuhku, melainkan memancing ke-

munculanku. Bila aku sudah muncul, kemungkinan 

besar Iblis Segala Amarah yang menghendaki tenaga 

'Inti Petir' dalam tubuhku akan muncul. Dan berarti... 

ya, ya.... Orang itulah pangkal dari semua bencana 

yang terjadi."

Saat ini matahari semakin naik. Udara di sekitar 

tempat itu mulai ditingkahi hawa panas yang cukup 

menyengat.

"Tetapi... siapa sebenarnya Ratu Hitam? Sebelum-

nya dia begitu bernafsu menyerangku, bahkan secara 

tidak langsung dapat membunuhku dari serangan-

serangannya? Namun justru dia yang mengatakan se-

mua ini. Hmmm... siapa dia sebenarnya? Dan siapa 

pula sesungguhnya Pendekar Cakra Sakti? Kutu mo-

nyet! Semakin banyak urusan yang belum terpecah-

kan, semakin terasa nyut-nyutan kepalaku! Hhh! 

Baiknya kuteruskan niat semula untuk mencari Ma-

nusia Muka Kucing! Dan tentunya.... Iblis Segala Ama-

rah!!"

Habis kata-katanya, pemuda berambut gondrong 

acak-acakan ini pandangi sekitarnya. Kejap kemudian 

dia sudah berkelebat meninggalkan tempat itu, ke arah 

Gunung Kerambang.

***

Di tempat yang jauh dari tempat Andika sebelum-

nya, nampak dua sosok tubuh yang tadi berlari henti-

kan gerakkannya di sebuah persimpangan. Masing-

masing orang tak ada yang buka suara dan hanya 

memperhatikan sekelilingnya.

Angin siang berdesir dan gugurkan beberapa de-

daunan.

Setelah itu, sosok perempuan jelita berpakaian bi-

ru-biru palingkan kepalanya pada pemuda di samping 

kanannya.

"Arya... apakah kau masih menduga kalau Pende-

kar Slebor yang telah membunuh gurumu?"

Pemuda berpakaian biru gelap dengan celana 

pangsi hitam itu tatap perempuan jelita yang sebagian

wajahnya ditutupi cadar biru tipis.

Kejap kemudian kepala si pemuda yang tak lain 

Arya Sempala adanya, menggeleng-geleng.

"Aku tidak tahu, Bibi," katanya. "Apa yang kulihat 

waktu itu, memang bukan sebuah jaminan kalau Pen-

dekar Slebor telah membunuh Guru. Dan rasanya... 

aku mulai sadar kalau aku telah salah menduga...."

Perempuan jelita yang di kepalanya terdapat se-

buah konde kecil yang dihiasi ronce bunga mawar di 

sekelilingnya berkata lagi, "Bagus kalau memang de-

mikian adanya. Arya... dapatkah kau menebak menga-

pa Manusia Muka Kucing tidak menangkap atau 

membunuh Pendekar Slebor?"

Arya Sempala kembali terdiam dulu sebelum men-

jawab, "Aku tidak punya dugaan yang menarik tentang 

itu. Tetapi terus terang, aku memang heran, Bibi."

Perempuan bermata jernih yang tak lain Dewi Ca-

dar Biru adanya tersenyum.

"Aku pun demikian. Tetapi, rasanya kini mulai 

tergambar di benakku apa yang diinginkan Manusia 

Muka Kucing sebenarnya."

"Apa itu, Bibi?"

"Tentunya... di belakang semua ini masih ada 

orang lagi yang menunggangi Manusia Muka Kucing. 

Dan lelaki celaka itu hanya diberi tugas oleh orang 

yang berada di belakangnya untuk memancing keluar 

Pendekar Slebor dengan menjadikan orang-orang ter-

masuk gurumu sebagai korban."

"Bila memang demikian adanya, dapatkah Bibi 

menduga siapa orang itu?"

"Aku tidak tahu sama sekali Bahkan aku tidak ta-

hu apa maksudnya menginginkan Pendekar Slebor. 

Kendati demikian, tentunya orang itu mengharapkan 

sesuatu yang dimiliki Pendekar Slebor."

Masing-masing orang terdiam. Angin terus berhembus.

Arya Sempala teringat bagaimana dia bersama 

Jaya Lantung mencoba menyerang Pendekar Slebor. 

Bahkan menghalangi niat baik pemuda itu untuk 

membantu mengobati gurunya. Dan yang tak pernah 

diduganya sama sekali, kalau pemuda itulah yang di-

cari oleh Manusia Muka Kucing dan gurunya menjadi 

korban karena tak mau mengatakan di mana Pendekar 

Slebor berada. Sesungguhnya bukan tidak mau, tetapi 

Malaikat Keadilan memang tidak tahu di mana Pende-

kar Slebor berada.

Namun Manusia Muka Kucing tak mau peduli. 

Dia bukan hanya mencelakakan gurunya, tetapi juga 

paman gurunya, Paksi Uludara, dan bibi gurunya, si 

Naga Biru. Sungguh perbuatan terkutuk yang tak per-

nah bisa dimaafkan.

Dan beberapa waktu lalu dia hampir saja terlibat 

kesalahpahaman yang sangat fatal, kalau saat itu dia 

menuduh Pendekar Slebor telah membunuh gurunya 

(Untuk lebih jelasnya, silakan baca :"Manusia Muka 

Kucing").

"Bibi... apa yang harus kita lakukan sekarang?" 

tanya Arya Sempala sambil menarik napas.

"Aku akan tetap memburu Manusia Muka Kucing 

untuk menghentikan semua sepak terjangnya. Akan 

tetapi, aku masih dibingungkan oleh masalah besar, 

tentang siapakah orang yang berada di balik semua ini. 

Bila kita tidak tahu siapa adanya orang, sudah dapat 

dipastikan dengan mudah kita dicelakai. Paling tidak 

diperdaya mentah-mentah."

Kembali tak ada yang keluarkan suara. Arya Sem-

pala yang sesungguhnya sudah tidak dapat menahan 

diri lagi untuk mencari Manusia Muka Kucing pun me-

rasa tidak tenang dengan kata-kata bibinya.

"Bila demikian adanya, urusan justru bertambah

melebar. Ah, aku jadi ingin sekali berjumpa dengan 

Pendekar Slebor, guna meluruskan kesalahpahaman 

yang telah terjadi...."

Selagi pemuda berwajah kasar namun memiliki 

hati lembut itu membatin, Dewi Cadar Biru buka sua-

ra, "Arya... aku juga mencemaskan keadaan kedua 

adik seperguruanmu itu...."

Arya Sempala anggukkan kepalanya.

"Demikian pula denganku, Bibi. Tetapi mudah-

mudahan Jaya Lantung dapat menjaga Werdaningsih. 

Aku pun menjadi tidak enak karena sedikit banyaknya 

telah bersikap kasar pada Jaya Lantung tentang le-

nyapnya Guru. Ah... terus terang Bibi, hati dan piki-

ranku saat ini begitu kacau...."

Dewi Cadar Biru tersenyum.

"Arya... kau masih muda. Terkadang dalam usia 

muda masih tersimpan emosi yang meledak-ledak. Ka-

laupun kau bersikap demikian, kupikir sesuatu yang 

wajar."

Kata-kata Dewi Cadar Biru membuat hati Arya 

Sempala sedikit tenteram.

"Terima kasih, Bibi...."

"Sudahlah, lebih baik kita teruskan langkah kita, 

Arya. Siapa tahu kita beruntung dapat berjumpa kem-

bali dengan Manusia Muka Kucing. Bahkan, berharap 

dapat bertemu dengan orang yang berada di balik Ma-

nusia Muka Kucing."

Arya Sempala anggukkan kepala.

Kejap kemudian, keduanya segera berkelebat ke 

arah timur Gunung Kerambang.

Lima tarikan napas berikutnya, tahu-tahu melesat 

satu sosok tubuh berpakaian kuning gading. Sosok le-

laki ini tinggi besar. Rambutnya hitam panjang dengan 

ikat kepala warna kuning gading melingkar di kening-

nya yang agak nonong.

"Hmmm... orang-orang yang mencari Manusia 

Muka Kucing? Apa lagi yang diperbuat oleh manusia 

satu ini? Dan sungguh sialan karena dia tidak menga-

jakku serta dalam permainan yang nampaknya menga-

syikan!" desis lelaki yang kedua tangannya nampak di-

penuhi bulu warna loreng hingga ke siku.

Di bibir tebal menghitam lelaki ini mendadak saja 

terpampang sebuah senyuman.

"Sungguh menyenangkan! Ya, ya... kendati Manu-

sia Muka Kucing tidak mengajakku serta, aku jadi in-

gin melibatkan diri! Seperti dulu! Seperti masa lalu di 

saat aku bergabung dengan Manusia Muka Kucing bi-

kin kekacauan di bagian selatan! Hahaha... Manusia 

Muka Kucing, kau akan senang kedatangan kambrat 

setiamu ini, Manusia Tangan Harimau!! Aku akan 

mencarimu dulu! Urusan pemuda dan perempuan ber-

cadar biru urusan belakangan!"

Berkumandang keras tawa lelaki yang wajahnya 

dipenuhi jerawat memerah itu hingga perutnya yang 

agak membuncit berguncang.

Satu tarikan napas berikutnya, lelaki berjuluk 

Manusia Tangan Harimau ini sudah berkelebat berla-

wanan arah dari perginya Dewi Cadar Biru dan Arya 

Sempala.

***

3


Satu hari pun berlalu dalam kehidupan manusia. 

Matahari kembali terbangun lagi dari tidurnya. Ham-

paran bening cahaya keemasannya yang masih belum 

terlalu panas, telah menerangi persada.

Dalam naungan indahnya sinar matahari, nampak

satu sosok tubuh berkelabat cepat di sebuah jalan se-

tapak. Gerakannya lincah sungguh menawan sekaligus 

menakjubkan. Rintangan seperti ranggasan semak be-

lukar, akar yang melintang keluar, dan jalan berliku 

penuh pohon, dilewati dengan mudah tanpa terganggu 

sedikitpun. Dari caranya itu menandakan bahwa orang 

yang berlari bukan orang sembarangan.

Tak lama kemudian, di sebuah persimpangan 

yang dihuni oleh ranggasan semak belukar dan pepo-

honan tinggi, orang yang bergerak tadi menghentikan 

larinya. Tak ada desah nafas yang terdengar, tanda 

orang ini memiliki ilmu peringan tubuh yang tinggi.

Sepasang matanya yang kelabu dan menjorok ke

dalam, diedarkan kesekelilingnya. Sekejap kemudian 

terdengar makiannya yang cukup nyaring, menanda-

kan dia seorang perempuan, "Setan alas! Dimana ha-

rus kutemui lelaki tua bau tanah itu! Apa dia tidak 

mendengar kalau Iblis segala Amarah saat ini sedang 

berusaha mendapatkan tenaga “Inti Petir” dari pemuda 

berjuluk Pendekar Slebor? Keparat bungkuk! Jangan-

jangan... dia justru malah tenang-tenang saja dengan 

makian-makiannya yang tidak sedap! Huh! Dasar aku 

sendiri yang bodoh! Mau susah payah mencarinya!"

Kembali mulut perempuan tua yang berusia seki-

tar tujuh puluh tahun ini memaki-maki tak karuan. 

Mulutnya keriput sampai mencang-mencong kare-

nanya.

Siapa sebenarnya perempuan yang nampak pema-

rah ini? Dia bernama Mayang Kunting, perempuan tua 

yang berasal dari Danau Tibar. Sejak muda Mayang 

Kunting dikenal sebagai perempuan dari golongan lu-

rus yang selalu mengatasi perbuatan makar yang ter-

jadi di depan matanya. Dari sikap dan tutur katanya 

yang terdengar, jelas kalau si nenek yang kenakan pa-

kaian luar panjang warna biru sementara pakaian da

lamnya berwarna kuning, nampak sedang mencari se-

seorang.

Terdengar lagi suara makiannya, "Kalau memang 

dia masih asyik dengan kegiatannya sendiri yang entah 

apa dilakukannya, sungguh celaka! Dasar manusia 

menjengkelkan! Apa dia pikir Iblis Segala Amarah tak 

akan pernah mengumbar dendam? Atau dia berpikir 

Iblis Segala Amarah justru senang karena empat puluh 

tahun lalu lelaki celaka itu dihentikan olehnya? Dasar 

kapiran! Benar-benar kutu busuk!"

Si nenek kembali edarkan pandangannya. Setelah 

keluarkan makiannya lagi, perempuan tua ini kembali 

berkelebat. Di sebuah tempat yang agak terbuka, kem-

bali si nenek hentikan kelebatannya dan memaki-maki 

lagi

"Jahanam keparat! Di mana dia berada sebenar-

nya? Sudah kujelajahi Lembah Jala namun tak kute-

mukan sosoknya! Jangan-jangan... dia sudah mam-

pus? Huh! Kalau sudah mampus, buat apa aku repot-

repot begini memperingatinya! Bila saja aku tak pernah 

mencintainya, sudah kubiarkan dia mampus! Dipikir-

nya dia masih mampu tandingi Iblis Segala Amarah bi-

la lelaki celaka itu berhasil menyerap Tenaga 'Inti Petir' 

dari Pendekar Slebor? Dasar tua bangka tak tahu...."

Mendadak saja Mayang Kunting memutus ma-

kiannya sendiri. Serta-merta sepasang matanya dije-

rengkan. Kejap kemudian melirik ke arah sebuah po-

hon yang berjarak empat tombak dari tempatnya berdi-

ri.

"Kurang asem! Ada yang iseng mengintip? Huh! 

Apa orang itu berpikir kalau aku seorang perawan 

montok?"

Kembali si nenek terdiam dengan tatapan sengit. 

Kemudian membatin lagi, "Benar-benar kurang asem! 

Dipikirnya aku tak lakukan tindakan apa-apa, karena

aku tidak tahu dia mengintip? Pengen tahu siapa aku 

rupanya!!"

Habis membatin begitu, mendadak saja Mayang 

Kunting gerakkan kedua tangannya ke arah pohon be-

sar sejarak empat tombak dari tempatnya.

Serta-merta menggebrak gelombang angin besar 

begitu kedua tangan si nenek didorong ke depan.

Wuuusss!!

Blaaarr!!

Saat itu pula pohon besar yang diyakininya ada 

orang yang mengintip kehadirannya, pecah beranta-

kan.

Menyusul terdengar gemuruh suara berdebam ke-

ras tatkala pohon itu terbanting di atas tanah. Rangga-

san semak belukar yang tertindih langsung tercabut 

dan berpentalan ke udara.

Mayang Kunting mendengus, tatkala dilihatnya 

tak seorang pun yang keluar dari tempat itu. Lamat-

lamat diturunkan tangan kanannya yang siap untuk 

lancarkan serangan kembali.

"Hebat bila manusia celaka itu dapat hindari gem-

puranku tadi! Tetapi, apakah tak mungkin bila manu-

sia itu sudah menjadi serpihan daging karena terhajar 

pukulanku?" kata Mayang Kunting dalam hati sambil 

menunggu beberapa saat.

Setelah tak ada sosok tubuh yang keluar, nenek 

ini membatin lagi, "Jelas kalau pengintip iseng itu su-

dah mampus! Huh! Salahnya sendiri! Sekarang, baik-

nya kulanjutkan perjalananku untuk mencari tua 

bangka itu!"

Namun belum lagi perempuan tua ini jalankan 

maksud, tiba-tiba saja terdengar teriakan keras, "Cela-

ka! Betul-betul perempuan celaka! Sudah menyerang-

ku sedemikian rupa, mau kabur begitu saja! Enak be-

tul! Aku harus membalas! Harus kubalas dulu biar

kau tidak kurang ajar!!" 

Belum lagi habis terdengar bentakan itu, satu so-

sok tubuh berpakaian putih-putih yang sangat kusam, 

telah muncul dengan kedua tangan berada di bela-

kang. Tubuh lelaki berambut putih panjang tak bera-

turan ini agak membongkok. Dan matanya melotot 

jengkel pada Mayang Kunting.

Yang dibentak sesaat menggeram, tapi kejap ke-

mudian keluarkan suara, "Tua bangka celaka! Sudah 

kucari ke segenap penjuru, tidak tahunya kau muncul 

begitu saja! Dasar kurang kerjaan!!"

***

"Sinting! Kau sendiri yang cari ulah mencariku? 

Aku kan tidak menyuruhmu mencari! Kalaupun kau 

gagal mcnemukanku, karena kau bodoh!!" terdengar 

balasan lelaki tua agak bungkuk itu dengan mata me-

lotot.

"Keparat bau tanah! Aku mencarinya justru untuk 

memperingatkan kemunculan Iblis Segala Amarah, ta-

pi dia berkata seenak perutnya saja!" maki Mayang 

Kunting dalam hati. Lalu berseru, "Sejak muda kau 

masih juga bicara seenaknya yang terkadang menya-

kitkan telinga orang yang mendengar! Apakah kau pi-

kir aku senang mendengarnya, hah?!"

"Kalau kau tidak senang! Silakan pergi dari sini!!"

"Kurang asem! Dari dulu lagakmu begitu sengak! 

Biar kucoba dulu kehebatanmu sekarang, sebelum ku-

sampaikan apa yang hendak kukatakan!!"

"Tunggu, tunggu!" si kakek angkat tangan kanan-

nya. "Apa yang hendak kau katakan?"

"Huhh! Rupanya kau sudah jeri, hah? Nyalimu 

sudah ciut! Apa yang sebenarnya kau makan selama 

ini hingga kau jelmakan dirimu menjadi tikus, Pendekar Cakra Sakti?"

Lelaki bungkuk itu keluarkan dengusan.

"Sudah tentu aku makan nasi!!" 

"Tak usah banyak mulut! Kuhajar dulu, baru ku-

katakan!!"

Habis kata-katanya, Mayang Kunting segera me-

nerjang ke depan disertai teriakan keras.

Terkesiap Pendekar Cakra Sakti menangkap ge-

brakan pertama dari Mayang Kunting. Tetapi, tanpa 

menggeser posisi dari tempatnya, lelaki tua bertubuh 

bungkuk ini hanya gerakkan tangan kanannya saja.

Wussss!

Serangkum angin menderu, menghantam sekali-

gus mendorong labrakan angin yang siap menghantam 

pecah kepalanya.

Blaaamm!

Serta-merta gelombang angin yang dilepaskan 

Mayang Kunting pecah berantakan. Namun anehnya, 

mendadak saja gelombang angin itu seperti bersatu 

kembali di saat Mayang Kunting tekukkan kedua tan-

gannya dan serta-merta gelombang angin itu mener-

jang kembali ke arah Pendekar Cakra Sakti.

Kakek berpakaian putih-putih kusam ini sesaat 

melengak melihat keanehan sekaligus kehebatan se-

rangan yang dilakukan oleh Mayang Kunting.

Tanpa disadarinya Pendekar Cakra Sakti kelua-

rkan seruan tertahan seraya melompat ke samping.

"Sekian tahun tak berjumpa, ternyata kau makin 

hebat saja, Mayang!!" serunya dan secara mendadak 

kedua tangannya berputar di depan dadanya. Semakin 

lama putaran kedua tangan itu semakin hebat dan 

nampak laksana putaran roda belaka.

Di seberang Mayang Kunting ganti mendengus. 

"Kau sudah keluarkan ilmu 'Cakra Seribu' Huh! Apa-

kah kau sudah tak punya kemampuan lagi!"

"Nenek celaka! Sudah tentu aku tak ingin mam-

pus dihajar olehmu! Atau kau pikir... enak dihajar be-

gitu, hah?!"

"Ilmu 'Cakra Seribu' pernah mengalahkan Iblis Se-

gala Amarah! Tetapi aku tak yakin dapat lagi tandingi 

manusia itu bila dia berhasil menyerap tenaga 'Inti Pe-

tir' dari tubuh Pendekar Slebor!!"

Habis makiannya, Mayang Kunting sudah mener-

jang ke depan. Kali ini kedua tangannya segera dido-

rong bergantian. Bukan hanya gelombang angin yang 

menderu ke arah Pendekar Cakra Sakti, kabut-kabut 

hitam bergulung-gulung pun melabrak dengan kelua-

rkan suara ganas.

Di depan, sepasang tangan Pendekar Cakra Sakti 

yang sejak tadi berputaran tanpa keluarkan suara, kali 

ini seperti berdesing-desing mengerikan. Mendapati hal 

itu, nampak Mayang Kunting hentikan gerakannya.

"Gila! Ilmu 'Cakra Seribu' nya semakin hebat saja! 

Setahuku, angin yang keluar tak berdesing laksana 

hujanan anak panah!"

Bukannya teruskan serangan, Mayang Kunting 

justru hentakkan kaki kanannya di tanah. Hentakan 

itu sudah tentu mengandung tenaga dalam yang tinggi 

karena tanah yang terpijak langsung amblas sebatas 

lutut. Tatkala kakinya ditarik kembali, tanahnya pun

ambrol ke udara.

Kejap kemudian si nenek berseru jengkel, "Iblis 

Segala Amarah hendak teruskan urusan lama!!" 

"Aku sudah tahu!!"

"Tetapi tentunya kau tidak tahu apa yang akan di-

lakukannya?!"

"Aku sudah tahu! Dia sedang memperdalam se-

buah ilmu yang diciptakannya! Dan ilmu itu akan ha-

silkan satu gebrakan yang mengerikan bila digabung 

dengan tenaga 'Inti Petir'! Semua itu dilakukan, karena

dia hendak membunuhku! Bukan main! Sungguh he-

bat aku ini, ya? Kok ada orang yang mau melatih diri 

terus menerus dan tega mengorbankan orang lain 

hanya untuk membunuhku! Betul-betul hebat aku 

ini!!"

Melihat sikap konyol Pendekar Cakra Sakti, 

Mayang Kunting mendengus.

"Apa yang hendak kau lakukan sekarang?"

"Mencari Pendekar Slebor!!"

"Dasar bodoh! Mengapa tidak langsung mencari 

Iblis Segala Amarah?!" melotot si nenek.

"Busyet! Kau sendiri yang bodoh, mengapa menga-

ta-ngatai aku bodoh? Kau pikir aku tahu di mana ma-

nusia itu berada? Sudah tentu yang harus kuberita-

hukan adalah Pendekar Slebor! Konon dia adalah pe-

waris dari Pendekar Lembah Kutukan! Busyet! Kayak 

apa tuh anak muda, ya? Punya Guru gemblung seperti 

Saptacakra, sudah tentu dia lebih gemblung lagi!"

"Jaga mulutmu!" sentak Mayang Kunting keras. 

"Sejak muda kau selalu bicara seenak jidatmu saja!"

"Kalau seenak perutku ya, bingung! Bisa-bisa ke-

luar dari belakang lagi!"

"Sungguh aku tak pernah mengerti, mengapa se-

jak muda aku mencintai lelaki kurang asem ini? Dasar 

cinta itu buta! Aku tak habis pikir mengapa dapat me-

lakukannya?!" maki Mayang Kunting dalam hati. Lalu 

katanya, "Kau memang tak pernah berterimakasih pa-

da siapa pun juga! Apakah kau selalu merasa senang 

mempermainkan orang dengan kata-kata sialanmu itu, 

hah? Atau kau... hmmmpphhh!!"

Kata-kata si nenek mendadak saja terputus, 

tatkala secara tiba-tiba Pendekar Cakra Sakti telah 

berkelebat merangkulnya. Lalu mulutnya yang keriput, 

mengecup mulut keriput si nenek.

Sudah tentu Mayang Kunting yang tak menyangka

akan hal itu menjadi gelagapan.

"Hei... hmmpphhh! Lepaskan... hhpmmphhh!!"

"Busyet! Kau ini makan apa, hah? Pasti makan 

jengkol! Benar-benar kapiran! Sejak dulu kau masih 

suka makan jengkol saja?!" seru Pendekar Cakra Sakti 

sambil usap-usap mulutnya dengan punggung tangan 

kanan setelah melepaskan ciumannya.

Mayang Kunting yang hendak keluarkan makian, 

menjadi urung. Justru wajahnya yang nampak meme-

rah. Kemudian katanya keras untuk tutupi rasa malu 

dan senangnya, "Ayo, kita berangkat sekarang! Aku ju-

ga ingin menghajar Iblis Segala Amarah! Benar-benar 

manusia tak tahu diuntung! Seharusnya dulu kau bi-

kin dia mampus hingga tak ada lagi urusan yang me-

repotkan ini!!"

"Busyet! Itu urusanku! Kenapa kau yang jadi se-

wot dan repot begitu? Eh, siapa bilang aku mau berja-

lan bersamamu? Tidak usah, ya?!"

Lalu dengan santainya lelaki tua bungkuk berpa-

kaian putih-putih kusam itu melangkah dengan kedua 

tangan berada di belakang pinggul. Melihat sikap ko-

nyol dan seenaknya dari si kakek, Mayang Kunting 

menggeram.

"Benar-benar cinta itu buta!!" desisnya dalam hati. 

"Rupanya dia sudah tahu apa yang akan terjadi. Dan 

rasanya... hei!! Bagaimana dia bisa tahu?!"

Berpikir demikian, si nenek sudah melompat me-

nyusul Pendekar Cakra Sakti, "Kakek keparat bau ta-

nah! Dari mana kau tahu semua itu, hah?!"

Tanpa hentikan langkahnya Pendekar Cakra Sakti 

menggeleng-gelengkan sambil berseru, "Dasar perem-

puan tua bodoh! Bukankah kau sendiri yang mengata-

kannya?!!"

***

4


Serentak Mayang Kunting hentikan gerakkannya. 

Kejap kemudian dia memaki-maki sendiri.

"Keparat! Lelaki tua bau tanah itu mempermain-

kanku rupanya!!"

Segera dia melompat untuk menyusul Pendekar 

Cakra Sakti. Tetapi yang disusul justru hentikan lang-

kahnya. Mendapati sikap lelaki tua bungkuk berpa-

kaian putih kusam itu, si nenek tak jadi keluarkan 

makian.

Dia justru lakukan sikap yang sama. Terdiam.

Tahu-tahu didengarnya suara Pendekar Cakra 

Sakti, "Apakah kau memikirkan sesuatu yang sama 

dengan yang kupikirkan, Nenek peot?"

Kendati gusar mendengar panggilan orang, 

Mayang Kunting menyahut, "Ya! Dan kau tentunya 

memikirkan hal yang sama denganku, bukan?"

"Belum tentu! Mana kau tahu apa yang kupikir-

kan?!" suara Pendekar Cakra Sakti membuat Mayang 

Kunting mendengus. "Tetapi, sungguh hebat bila kita 

baru tahu sekarang!"

"Dan patut diberi penghargaan!" sahut Mayang 

Kunting.

"Siapa yang ingin memberikan penghargaan itu!" 

"Bagaimana kau sendiri?"

"Huh! Untuk apa kukotori tanganku? Bagaimana 

dengan kau?"

"Bilang saja kau takut melakukannya!!"

Habis memaki demikian, si nenek yang kenakan 

pakaian luar panjang warna biru dan pakaian dalam 

warna kuning ini mendadak saja gerakkan tangan ka-

nannya.

Wusss!!

Menghampar satu gelombang angin deras ke balik 

ranggasan semak belukar sebelah kanan. Sebelum an-

gin itu menghantam hancur ranggasan semak, satu 

bayangan hijau sudah mencelat keluar sambil berte-

riak-teriak tak karuan, "Ampunn! Ampoounnn!!"

Kedua orang tua itu tak ada yang buka suara. 

Masing-masing memperhatikan pemuda berpakaian hi-

jau pupus yang masih memutar-mutar dengan mene-

kap kepalanya erat-erat.

Tetapi mendadak saja gerakannya terhenti. Sambil 

terkekeh dia turunkan kedua tangannya dari kepala.

"Nah! Kaget, kan?" serunya sambil angkat kedua 

alisnya yang hitam legam.

Sementara si nenek mendengus, si kakek justru 

terbahak-bahak. Saat tertawa mulutnya hanya mem-

buka sedikit, namun tawa yang keluar begitu keras.

"Mayang Kunting! Rupanya anak kutil yang men-

gintip! Nah, nah! Bila kau ingin tahu dialah Pendekar 

Slebor!"

"Dari ciri-cirinya, aku sudah tahu kalau dia Pen-

dekar Slebor!!"

Pemuda yang memang Pendekar Slebor adanya 

nyengir lagi. Rupanya, semenjak kedua tokoh tua itu 

bercakap-cakap, Andika memang berada di sana.

Sebelumnya, setelah meninggalkan Ratu Hitam, 

Andika terus berkelebat dan dilihatnya si nenek yang 

tak lain Mayang Kunting adanya berkelebat. Dengan 

pergunakan ilmu peringan tubuhnya, anak muda ini 

sengaja mengikuti Mayang Kunting. Dan dia semakin 

tertarik tatkala mendengar kata-kata si nenek. Lebih 

tertarik lagi begitu melihat si kakek berpakaian putih 

kusam muncul. Dan dia sungguh terkejut tatkala ke-

dua tokoh tua itu bertempur. Hampir saja Andika me-

ninggalkan tempat itu atau keluar dari persembunyiannya karena salah-salah bisa terkena serangan sa-

lah satu dari keduanya.

Lalu dengan sikap tengik dia berkata, "Maaf nih, 

ah! Aku mengintip dan mencuri dengar percakapan ka-

lian tadi! Ngomong-ngomong... aku ingin tahu lebih je-

las, mengapa kau bermusuhan dengan Iblis Segala 

Amarah, Kek?"

Yang ditanya tertawa dulu sebelum menjawab, 

"Katanya kau berotak cerdik! Tetapi kenapa pakai ber-

tanya lagi, hah? Cuma aku ingin tahu... apakah betul 

tenaga 'Inti Petir' yang kau miliki begitu hebat?"

"Wah! Mana bisa kujawab itu? Nanti kalau kuka-

takan hebat, aku dibilang sombong? Kalau kukatakan 

tidak, berarti aku tidak hebat!"

"Jangan asal ngomong! Cepat kau perlihatkan ke-

pada kami seperti apa tenaga 'Inti Petir' yang kau mili-

ki itu?" bentak Mayang Kunting jengkel.

"Memangnya kenapa sih? Lagi pula, aku tidak 

mengerti, mengapa Iblis Segala Amarah menghendaki 

tenaga 'Inti Petir' ku untuk menyempurnakan ilmu 

yang sedang didalaminya? Ini kan bikin pusing kepa-

laku saja!"

"Pemuda slebor! Cepat kau perlihatkan kepada 

kami!!" seru Mayang Kunting lagi.

Andika mengangkat kedua bahunya.

"Kalau kau penasaran Nek, ya... akan kuperli-

hatkan! Tetapi jangan ditertawakan ya kalau ternyata 

tenaga 'Inti Petir' yang kumiliki ini tak begitu hebat se-

perti yang kalian duga?"

"Banyak omong!!"

Tanpa hiraukan makian Mayang Kunting, anak 

muda ini segera mundur lima langkah ke belakang. 

Kendati sekarang dia berdiri tegak. tetapi wajahnya te-

tap cengar-cengir. Bahkan dia masih menyempatkan 

diri untuk garuk-garuk kepalanya.

Mayang Kunting mendengus, "Menjengkelkan!!"

Pendekar Cakra Sakti tertawa, "Kau tak berbeda 

dengan si bangkotan Saptacakra, Anak muda!"

Di depan, mendadak saja Andika menggerakkan 

kedua tangannya ke depan. Lalu mengadunya dengan 

cara menyilang. Serentak terdengar salakan petir yang 

sangat keras. Kejap kemudian, dia sudah mencelat ke 

depan dan ke samping seraya dorong kedua tangan-

nya.

Menyusul salakan petir yang terdengar lagi, lima 

buah pohon yang ada di tempatnya langsung tumbang 

bergemuruh tatkala terkena dorongan angin. Rupanya, 

anak muda ini telah perlihatkan tenaga 'Inti Petir' ting-

kat pamungkas.

Kemudian disilangkan kembali kedua tangannya 

yang serta-merta terdengar salakan petir lebih keras. 

Ranggasan semak di sekitarnya langsung tercabut.

Sementara itu baik Mayang Kunting maupun Pen-

dekar Cakra Sakti merasa tubuh mereka bergetar begi-

tu kedua tangan Andika disentakkan di atas tanah.

Serta-merta tanah itu membuyar ke atas dan me-

nutupi tubuhnya. Tanah itu masih belum luruh, sosok 

Pendekar Slebor telah bergeser lima tindak ke samping 

kanan. Tatkala semuanya luruh, terlihat tanah yang 

tadi dihantam oleh kedua telapak tangan yang telah 

dialiri tenaga 'Inti Petir' telah terbentuk sebuah lubang 

yang cukup dalam.

Pendekar Cakra Sakti berdecak kagum.

"Hebat! Pantas Iblis Segala Amarah menghendaki 

tenaga 'Inti Petir' yang kau miliki! Karena, aku saja su-

dah merasa bergetar melihatnya... hahahaha"

Andika cuma tersenyum kecut. Lalu katanya, "Ka-

lau aku boleh tahu, seperti apakah ciri-ciri Iblis Segala 

Amarah?"

"Jelas kau boleh tahu! Karena dengan kehadiran

mu, aku tak perlu lagi mengurusi soal Iblis Segala 

Amarah! Mayang Kunting, bagaimana kalau urusan ini 

kita limpahkan saja padanya?"

Mayang Kunting melirik sekilas lalu mendengus.

"Busyet! Kok tengik amat sikapmu itu?" kata Pen-

dekar Cakra Sakti sambil tertawa. "Bila telah kita lim-

pahkan urusan ini padanya, bukankah kita akan te-

nang dan nyaman? Kalaupun pemuda itu mampus 

bukan urusan kita!"

"Brengsek! Ngomongnya kok tak jauh dengan 

Eyang Buyut?" mendumal Andika dalam hati.

"Hei, Mayang! Kenapa kau diam saja? Kita sudah 

sama-sama tua! Dan aku tahu kau mencintai aku yang 

ganteng ini? Nah! Terus terang, aku juga mencintaimu! 

Bagaimana kalau kita kawin saja?"

Mendengar ucapan Pendekar Cakra Sakti, seketi-

ka Mayang Kunting palingkan kepala. Wajahnya seke-

tika nampak sumringah. Lalu katanya bergetar, "Be-

narkah?"

"Huh! Kalau kawin saja kau mau!" dengus Pende-

kar Cakra Sakti dalam hati. Lalu katanya seraya ang-

gukkan kepala, "Iya, kita kawin! Kau setuju?"

Seperti gadis usia belasan, si nenek tertunduk 

malu.

Andika yang tak menyangka perubahan itu, justru 

kerutkan kening.

"Busyet! Malu-maluin saja!!" katanya dalam hati.

Didengarnya suara Pendekar Cakra Sakti, "Nah, 

anak muda! Kau sudah dengar sendiri kalau nenek 

peot itu telah menerima lamaranku, kan?"

"Kek! Dia mau terima lamaranmu atau tidak, kan 

bukan urusanku"

"Ya, ya! Bukan urusanmu! Sekarang, berjanjilah 

padaku, kalau kau akan menggantikanku untuk 

menghadapi Iblis Segala Amarah?"

"Memangnya kau takut menghadapinya?" balas 

Andika konyol.

"Mana bisa aku takut? Kau kan tadi dengar sendi-

ri, kalau aku mau kawin dengan Mayang Kunting ter-

cinta itu? Nah! Bila kau mau menggantikanku, akan 

kukatakan seperti apa Iblis Segala Amarah itu! Kemu-

dian aku kawin dengan... hei, Mayang Kunting! Kalau 

dia tidak mau teruskan urusanku dengan Iblis Segala 

Amarah, jangan salahkan aku kalau aku tidak jadi 

kawin denganmu, ya?"

"Anak muda! Cepat kau bilang 'iya'!"

Andika tertawa. Sungguh, dia tak pernah mengerti 

dengan sikap para tokoh rimba persilatan yang terka-

dang sangat sulit sekali ditebak.

Lalu dengan mantap dia anggukkan kepala.

Dilihatnya bagaimana wajah Mayang Kunting 

menjadi ceria kembali. Dengan sikap manja dia me-

langkah mendekati Pendekar Cakra Sakti.

"Cepat kau katakan padanya!!"

Pendekar Cakra Sakti tertawa dulu sebelum men-

jelaskan tentang ciri-ciri Iblis Segala Amarah.

"Itulah ciri-cirinya! Tetapi, aku tidak tahu apakah 

kesaktiannya memang sudah bertambah atau belum! 

Itu urusanmu! Seperti yang kukatakan tadi, kalaupun 

kau mampus bukan urusanku!! Hanya yang perlu kau 

ingat, dia tak akan membunuhmu, karena dia mengin-

ginkan tenaga 'Inti Petir' milikmu! Berarti, satu keun-

tungan telah kau miliki karena kau tak akan mampus! 

Tetapi setelah dia mendapatkan apa yang diinginkan-

nya, jangan salahkan aku bila dia akan membuatmu 

mampus! Mayang, ayo kita tinggalkan pemuda itu!!"

Sambil melingkarkan tangan kanannya pada bahu 

Mayang Kunting yang dibalas oleh si nenek dengan 

lingkarkan tangan kirinya pada pinggang Pendekar 

Cakra Sakti, kedua tokoh itu mulai melangkah meninggalkan Andika yang cuma garuk-garuk kepalanya. 

Dan tertawa lebar melihat Pendekar Cakra Sakti tahu-

tahu monyongkan mulut untuk mengecup pipi Mayang 

Kunting.

Si nenek nampak tersipu-sipu sambil tundukkan 

kepalanya.

Dan baru delapan tindak kedua orang tua itu me-

langkah, mendadak saja Pendekar Cakra Sakti balik-

kan tubuh disertai tanya, "O ya... kau sudah bertemu 

dengan Ratu Hitam?"

Tak menyangka akan mendapat pertanyaan itu, 

Andika sejenak melengak. Lalu mengangguk.

"Bagus! Kau bisa meminta bantuannya kalau per-

lu! Tetapi aku yakin, justru dia yang akan meminta 

bantuanmu! Ayo, Mayang, kita segera menuju ke pe-

lam..."

"Apa-apaan kau ini, hah? Rupanya kau masih 

berhubungan dengan perempuan celaka itu, hah?!" se-

ru Mayang Kunting tiba-tiba seraya lepaskan diri dari 

rangkulan tangan kanan Pendekar Cakra Sakti.

"Busyet! Sudah setua ini kau masih cemburu saja 

dengan perempuan itu! Dia juga sudah tua, tahu! Lagi 

pula, aku tidak punya hubungan apa-apa!"

"Lelaki di mana-mana memang bermulut manis! 

Bicara manis di sana, bicara manis di sini! Padahal 

semua hatinya busuk! Aku tak mau kau jadikan habis 

manis sepah dibuang!"

"Busyet!" Pendekar Cakra Sakti melotot. "Kau ini 

apa yang manis, Mayang? Ibarat kelapa kau sudah ti-

dak memiliki santan! Sudah, sudah! Aku mau kawin 

denganmu! Bila saja Ratu Hitam tidak kusadarkan, 

sudah tentu sampai sekarang dia tak ubahnya seperti 

Iblis Segala Amarah!"

"Tetapi...."

"Sudah, sudah! Tak perlu memikirkan perempuan

itu lagi! Pokoknya, kita akan bahagia! Ayo, jalan!!"

Dengan masih siratkan keraguan pada wajahnya, 

si Nenek mengikuti langkah Pendekar Cakra Sakti.

Di tempatnya Andika kerutkan kening mendengar 

kata-kata Pendekar Cakra Sakti tadi.

"Ratu Hitam? Perempuan jelita itu dikatakan su-

dah tua? Busyet! Apa aku tak salah dengar?" desisnya 

heran. Lalu geleng-geleng kepala seraya mendesis, 

"Pasti perempuan itu memiliki ilmu awet muda! Yah... 

kalau aku yang mendapat pilihan, sudah tentu ku pilih

Ratu Hitam ketimbang nenek peot itu?"

Baru saja habis kata-kata Andika, mendadak saja 

serangkum angin menderu ke arahnya.

Wusss!!

Blaaammm!!

Beruntung karena anak muda urakan ini masih 

sigap. Bila tidak, sudah pasti tubuhnya akan tercacah 

pecah!

Menyusul didengarnya bentakan Mayang Kunting, 

"Bicara kurang ajar sekali lagi, kurobek mulutmu!!"

"Busyet! Apa yang kuucapkan tadi padahal pelan 

sekali dan jarak si nenek pun sudah menjauh! Tetapi 

dia masih dapat mendengarnya!!"

Andika masih berdiri terkagum-kagum sampai ke-

dua tokoh itu menghilang dari pandangan. Kejap ke-

mudian, anak muda dari Lembah Kutukan ini segera 

meninggalkan tempat itu.

***

5


Tepat di saat matahari sudah melalui tiga perem-

pat perjalanannya, dua sosok tubuh hentikan lang-

kahnya. Sejarak tiga puluh tombak, Gunung Keram-

bang berdiri angkuh. Angin senja menghembus dingin.

Masing-masing orang tak ada yang buka suara. 

Kejap kemudian, terdengar suara pemuda berpakaian 

putih dan bercelana pangsi biru, "Werda... hingga jauh 

perjalanan kita, namun orang yang kita cari belum ju-

ga dapat ditemukan. Rasanya, aku sudah tidak sabar 

untuk membunuh Manusia Muka Kucing!!"

Yang diajak bicara, dan tak lain Werdaningsih 

adanya anggukkan kepalanya. Sambil pandangi pemu-

da yang di keningnya terdapat ikat kepala warna biru 

itu gadis ini berkata, "Begitu pula denganku, Kang 

Jaya. Biar bagaimanapun sulitnya, aku tetap tak akan 

hentikan segala keinginan ini."

Kembali tak ada yang buka mulut. Masing-masing 

orang perhatikan sekelilingnya dengan seksama.

Terdengar lagi suara Jaya Lantung, "Aku benar-

benar kagum dengan tindakan Pendekar Slebor. Ken-

dati dirinya dijadikan bulan-bulanan fitnah, namun 

dia masih mau menolong Kaki Kilat dari kematian. Ah, 

bila mengingat aku dan Kang Arya pernah menuduh-

nya sedemikian rupa, aku jadi malu."

Apa yang dikatakan Jaya Lantung memang benar 

adanya. Semula dia bersama Arya Sempala memang 

menuduh Pendekar Slebor sebagai salah seorang antek 

dari Manusia Muka Kucing. Namun pada kenyataan-

nya, justru pemuda itulah yang berjuluk Pendekar 

Slebor. Bahkan pemuda dari Lembah Kutukan itu la-

kukan satu tindakan yang mengejutkan. Karena Pen-

dekar Slebor justru menolong Kaki Kilat dari kematian 

(Baca: "Manusia Muka Kucing").

"Bagaimana keadaan Kang Arya sekarang ini, ya?"

tanya Werdaningsih seperti ditujukan pada dirinya 

sendiri.

"Mudah-mudahan dia juga dalam keadaan baik-

baik saja. Menurut Pendekar Slebor, saat ini dia ber-

sama Bibi Dewi Cadar Biru yang tentunya sedang 

memburu Manusia Muka Kucing."

"Tetapi, Kang Jaya...," suara Werdaningsih men-

dadak menjadi sendu.

Jaya Lantung segera arahkan pandangan pada 

gadis jelita berkuncir kuda itu.

"Kenapa, Werda?"

"Guru...."

Mendengar sahutan singkat pelan itu, Jaya Lan-

tung menarik napas pendek. Dia tahu betul kalau adik 

seperguruannya ini sangat menyesali dan sedih men-

getahui guru mereka telah meninggal. Jaya Lantung 

sendiri juga menyesali mengapa dia tidak menjaga gu-

runya yang masih dalam keadaan terluka? Namun, 

semua sudah terjadi. Juga karena penyesalan selalu 

datang terlambat.

Lalu dengan hati-hati dirangkulnya gadis itu.

"Sudahlah, Werda.... Tak perlu kau pikirkan lagi. 

Bukankah kau tahu, bagaimana perasaanku tatkala 

mengetahui Guru lenyap? Namun berkat nasihatmu, 

akhirnya aku dapat tutupi segala penyesalan yang ada 

padaku."

Dalam rangkulan kakak seperguruannya, Werda-

ningsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Diresapi 

betul pelukan yang tak mengandung birahi sama seka-

li itu, pelukan tanda sayang seorang kakak kepada 

adiknya.

Dalam keheningan itu, mendadak saja terdengar 

suara tawa menggelegar yang cukup keras, "Luar bi-

asa! Sebuah pemandangan yang menakjubkan! Dua 

orang seperguruan rupanya telah menjalin cinta busuk! Dan tentunya sangat mengasyikan sekali! Karena 

yang kotor dan busuk itu terkadang nikmat rasanya!"

Serentak sepasang remaja itu lepaskan pelukan 

mereka masing-masing. Kejap itu pula keduanya sege-

ra putar tubuh. Satu sosok tubuh yang tingginya 

hanya sebahu mereka, telah berdiri dengan kedua tan-

gan dilipat di depan dada. Orang itu mengenakan pa-

kaian terbuat dari bulu dan paras orang itu... tak 

ubahnya seekor kucing!!

***

Lelaki yang tak lain Manusia Muka Kucing 

adanya, kembali keluarkan tawa keras.

"Dua orang lagi rupanya telah ditakdirkan untuk 

mampus di tanganku! Dan aku sangat senang sekali 

melakukan pembantaian terhadap orang-orang yang 

tak mau mengikuti jalanku!!"

Werdaningsih sudah melompat satu langkah ke 

depan. Wajahnya seketika menjadi garang. Dengan 

tangan kanannya dia menuding tepat ke wajah Manu-

sia Muka Kucing.

"Manusia celaka! Kami mati pun tak akan me-

nyesal untuk menghentikan perbuatanmu!!"

"Berita yang sangat bagus! O ya, apakah kalian 

sudah berjumpa dengan Pendekar Slebor, seperti yang 

telah dilakukan Arya Sempala dan Dewi Cadar Biru!!"

"Jahanam terkutuk! Kau telah membunuh guru 

kami!!"

"Siapa pun akan kubunuh bila tak mau mengata-

kan di mana Pendekar Slebor berada!"

"Tetapi nyatanya, kau hanyalah manusia penge-

cut! Mengapa kau tak berani turunkan tangan pada 

Pendekar Slebor begitu kau berjumpa dengannya, 

hah?!"

Bukannya gusar mendengar ejekan orang, Manu-

sia Muka Kucing justru terbahak-bahak keras. Ta-

wanya berkumandang ke seantero tempat.

"Membunuh pemuda itu semudah membalikkan 

telapak tanganku!" sahutnya kemudian.

"Hanya ucapan busuk yang kau lontarkan! Huh! 

Kepandaian apa yang sebenarnya kau miliki, hah?!" 

seru Werdaningsih dengan teriakan sengit. Wajah jelita 

gadis ini memerah tanda kegusaran semakin melanda. 

Namun dia juga tidak mau bertindak gegabah untuk 

lancarkan serangan, karena dia tahu betul tentang le-

laki bermuka kucing ini. Guru mereka saja dapat dika-

lahkan oleh Manusia Muka Kucing!

Tawa Manusia Muka Kucing mendadak terputus. 

Mulutnya nampak bergerak-gerak hingga kumis ja-

rangnya yang cukup panjang bergetar.

"Jahanam!! Kubunuh kalian!!"

Namun sebelum dia lakukan serangan, Jaya Lan-

tung yang sejak tadi terdiam dan berpikir buka mulut, 

"Kuakui kehebatan yang kau miliki, Manusia Muka 

Kucing! Dengan kesaktianmu, kau dapat kuasai dunia! 

Kami mengaku tak berdaya di hadapanmu!"

Mendengar kata-kata itu, Manusia Muka Kucing 

terbahak-bahak lebar. Sementara Werdaningsih segera 

palingkan kepala pada Jaya Lantung. Kening gadis ini 

berkerut dengan tatapan terbuka lebih lebar, tanda tak 

percaya mendengar ucapan Jaya Lantung.

"Gila! Apa-apaan Kang Jaya berubah menjadi ti-

kus seperti itu? Ke mana jiwa kesatrianya untuk mem-

bela kebenaran!!"

Jaya Lantung yang mempunyai rencana sendiri, 

buru-buru berkata begitu menyadari pandangan tak 

suka dari adik seperguruannya.

"Dengan kepandaianmu itu, seharusnya kami tak-

luk dan mau menurut hingga tak mengalami nasib konyol!"

Makin lebar tawa Manusia Muka Kucing.

Makin tak mengerti Werdaningsih mendengar per-

nyataan kakak seperguruannya ini.

Jaya Lantung yang tak ingin kesalahpahaman ter-

jadi buru-buru berkata lagi, "Tetapi, apakah kau tidak 

mau memberitahukan kami rencana apa sebenarnya 

yang telah kau susun? Mengapa kau tak menangkap 

atau membunuh Pendekar Slebor, karena kau menu-

runkan tangan pada siapa pun juga yang tak mau 

mengatakan di mana pemuda itu berada?"

Manusia Muka Kucing yang sebelumnya sudah 

termakan oleh kata-kata sanjungan Jaya Lantung ma-

kin terbahak-bahak. Lelaki ini tidak tahu kalau sebe-

narnya dia tengah dipancing oleh Jaya Lantung.

Werdaningsih cepat tanggap. Dia mengerti apa 

yang diinginkan oleh kakak seperguruannya ini.

"Cerdik. Kang Jaya dapat kuasai keadaan karena 

kecerdikannya...."

Di sela-sela tawa yang dikeluarkannya, Manusia 

Muka Kucing berseru. "Tak ada salahnya kukatakan 

apa yang kurencanakan kepada kalian, karena kalian 

adalah orang orang yang secara tidak langsung sudah 

mampus! Bagus! Kubunuh orang-orang rimba persila-

tan yang tak mau mengatakan di mana Pendekar Sle-

bor berada, karena aku ingin memancing kemunculan 

pemuda dari Lembah Kutukan yang bila kucari sudah 

tentu akan memakan waktu yang sangat lama! Dan 

akhirnya pemuda itu muncul sendiri! Tak kubunuh 

dia, karena seseorang menghendakinya hidup-hidup!"

Jaya Lantung yang merasa Manusia Muka Kucing 

telah masuk ke perangkapnya melanjutkan kata tetap 

dengan nada menyanjung, "Luar biasa! Padahal kau 

dapat membunuhnya dengan mudah, bukan?"

"Tepat! Membunuhnya tak terlalu sulit!"

"Tetapi, bila orang itu menghendakinya hidup-

hidup, mengapa kau tidak menangkap dan memba-

wanya kepada orang itu?"

"Pertanyaan bagus! Tetapi aku tidak tahu menga-

pa dia tidak menyuruhku menangkapnya! Dia hanya 

menyuruhku untuk memancingnya keluar!!"

"Lalu siapa orang itu?"

"Iblis Segala Amarah!!"

Jaya Lantung berteriak kaget, "Oh! Iblis Segala 

Amarah! Luar biasa! Bila sejak semula aku tahu kalau 

kau diperintah oleh Iblis Segala Amarah, sudah tentu 

aku akan memaksa Guru untuk tunduk kepadamu!" 

Lalu sambungnya dalam hati, "Siapa sebenarnya Iblis 

Segala Amarah? Rupanya dia orang yang berada di ba-

lik semua ini. Berarti, dugaan Pendekar Slebor benar 

kalau lelaki muka kucing beserta cecunguknya ditung-

gangi oleh seseorang yang kini kuketahui berjuluk Iblis 

Segala Amarah? Tahukah Pendekar Slebor tentang 

orang itu?"

Wajah Manusia Muka Kucing makin senang men-

dengar kata-kata Jaya Lantung.

"Bagus bila kau pernah mendengar julukannya!!" 

"Tetapi... apa yang dihendaki oleh Iblis Segala 

Amarah pada diri Pendekar Slebor?"

"Hahaha... menyenangkan sekali bercakap-cakap 

denganmu! Rupanya kau lebih pandai dari orang-orang 

bodoh yang telah kubunuh! Iblis Segala Amarah 

menghendaki tenaga 'Inti Petir' yang dimiliki pemuda 

itu! Karena dia tengah memperdalam sebuah ilmu 

langka yang sangat dahsyat yang akan dipergunakan 

untuk membunuh Pendekar Cakra Sakti!!"

"Semakin jelas sekarang urusan yang ada ini. Di 

belakang semua urusan, berdiri Iblis Segala Amarah 

yang menginginkan tenaga 'Inti Petir' yang dimiliki 

Pendekar Slebor dan untuk membunuh Pendekar Cakra Sakti."

Habis membatin begitu, Jaya Lantung berkata lagi 

dengan diantar tatapan kagum Werdaningsih, "Apakah 

kau tahu di mana Iblis Segala Amarah berada? Terus 

terang, aku ingin sekali mengabdi padanya!"

"Hmmm... ternyata kau masih bisa berpikir bagus! 

Bila kau memang ingin mengabdi padanya, bunuh ga-

dis di sebelahmu!!"

Jaya Lantung terkesiap mendengar kata-kata 

orang. Tetapi hanya sekejap saja, karena di lain kejap 

dia berkata sambil tertawa, "Membunuh gadis celaka 

ini sangat mudah kulakukan!!"

Werdaningsih yang tahu apa yang diinginkan ka-

kak seperguruannya mendadak melompat agak men-

jauh dan berseru dengan tangan menuding, "Kang 

Jaya! Kau sudah gila!"

Jaya Lantung tersenyum dalam hati melihat ke-

tanggapan adik seperguruannya. Lalu dengan suara 

dibuat bengis dia berseru, "Werdaningsih! Jangan 

campuri urusanku! Bila kau tidak ingin mampus di 

tanganku, ikuti apa yang kuinginkan!"

"Kurang ajar! Ternyata di balik kelembutan si-

kapmu selama ini, tersimpan jiwa pengkhianat!"

"Diaaammm!" bentak Jaya Lantung keras dan 

arahkan pandangan lagi pada Manusia Muka Kucing, 

"Urusan gadis ini dengan mudah akan kuselesaikan! 

Katakan, di mana Iblis Segala Amarah berada? Aku in-

gin segera mengabdi padanya!!"

Manusia Muka Kucing yang merasa mendapat 

pengikut yang cukup tangguh terbahak-bahak kemba-

li.

"Kau benar-benar dapat pergunakan otakmu den-

gan cerdik! Ya, orang-orang cerdik seperti kita, sudah 

seharusnya selalu mempergunakan otak! Bagus! Iblis 

Segala Amarah berdiam di...."

Belum lagi tuntas kata-kata Manusia Muka Kuc-

ing, mendadak saja terdengar tawa keras bertalu-talu 

dan sesekali diiringi gerengan yang keras pula, "Manu-

sia Muka Kucing! Siapakah yang cerdik kalau begini? 

Apakah kau tidak sadar kalau kau sesungguhnya se-

dang dibodohi pemuda itu? Dengan pujiannya yang 

membuat kau melambung, kau dengan mudah mem-

buka seluruh rahasia yang kau pendam! Sungguh dis-

ayangkan sekali!!"

Bukan hanya Jaya Lantung dan Werdaningsih 

yang tadi sudah berharap sekali kalau Manusia Muka 

Kucing mengatakan di mana Iblis Segala Amarah bera-

da yang terkejut, lelaki berparas kucing itu sendiri se-

gera balikkan tubuh.

Sepasang matanya yang memerah perhatikan se-

kelilingnya.

"Suaranya... ya, suaranya sangat akrab di telinga-

ku. Suara yang sekian lama tak pernah lagi terdengar 

di telingaku. Suara..." Memutus kata batinnya sendiri, 

mendadak lelaki berparas kucing ini putar tubuh kem-

bali. Pandangannya sengit dan menusuk pada Jaya 

Lantung dan Werdaningsih.

Kejap kemudian terdengar bentakannya, "Jaha-

nam keparat! Kau berhasil memancingku untuk mem-

buka tabir semua ini! Keparat! Akan kurobek-robek 

mulut kalian!!"

Sebelum lelaki berparas kucing ini lancarkan se-

rangan, terdengar lagi satu suara diiringi satu desir 

angin yang kuat, "Kau sadar sekarang, kalau dirimulah 

yang bodoh!!"

Habis suara itu terdengar, desir angin kuat tadi 

berhenti. Lalu nampaklah satu sosok tubuh tinggi be-

sar berpakaian warna kuning gading!

***

6


"Manusia Tangan Harimau!!" desis Manusia Muka 

Kucing begitu mengenali siapa yang muncul.

Orang tinggi besar yang sejak tadi memperingati 

Manusia Muka Kucing sekaligus menertawakan kebo-

dohannya yang memang Manusia Tangan Harimau 

adanya, pentangkan seringaian. Wajahnya yang dipe-

nuhi jerawat memerah makin nampak mengerikan.

"Apa kabarmu, Manusia Muka Kucing? Sekian ta-

hun tak berjumpa, kau ternyata telah menjelmakan di-

rimu menjadi orang bodoh! Satu hal yang kusesali, 

mengapa kau melupakanku untuk tidak mengajakku 

bersama-sama menikmati kesenangan ini?!"

Mendengus gusar Manusia Muka Kucing menden-

gar ucapan orang. Lebih gusar lagi menyadari kalau 

dia telah termakan ucapan Jaya Lantung.

"Kita tunda pembicaraan itu! Aku ingin mengirim 

nyawa kedua manusia celaka ini ke akhirat!!"

Kejap berikutnya, mendadak saja lelaki berparas 

kucing ini menerjang ke depan. Kesepuluh jari jema-

rinya yang dihiasi kuku-kuku runcing serta dihuni 

oleh racun yang sangat ganas, mengembang. Yang ka-

nan siap mencabik-cabik wajah Jaya Lantung semen-

tara yang kiri siap merobek wajah Werdaningsih.

Kedua murid mendiang Malaikat Keadilan yang 

sadar kalau bahaya telah datang, segera bertindak si-

gap.

Serentak masing-masing orang membuang tubuh 

ke samping kanan dan kiri. Bersamaan dengan itu, 

langsung lepaskan jurus 'Tebar Cahaya Maut'.

Serta-merta empat buah cahaya bening yang ke-

luarkan suara menggemuruh menderu mengerikan ke 

arah Manusia Muka Kucing.

Yang diserang serentak kertakkan rahangnya. 

Menyusul dengan gerakan sangat cepat Manusia Muka 

Kucing meluruk ke depan setelah lakukan gerakan se-

perti menerkam dan secara tak langsung melompati 

labrakan empat cahaya bening mengerikan itu.

Tangan kanan kirinya kembali bergerak cepat.

"Awas, Werda!!" seru Jaya Lantung sambil dorong 

adik seperguruannya ke samping kanan. Lalu dengan 

cepat dia lancarkan tendangan kaki kanan yang 

menghantam tangan kiri Manusia Muka Kucing yang 

tadi mengarah pada Werdaningsih.

Menyusul dengan pijakan kuat pada tanah dan 

tubuh sedikit dibungkukkan, tangan kanannya dido-

rong. Serta-merta mencelat cahaya bening ke dada 

Manusia Muka Kucing.

Bukan buatan geramnya lelaki berparas kucing 

itu. Terutama begitu mendengar ejekan Manusia Tan-

gan Harimau, "Tak kusangka! Selain kau telah menjadi 

bodoh, kemampuanmu pun tak seberapa maju! Sung-

guh mengherankan bila orang berjuluk Iblis Segala 

Amarah mau mempergunakanmu! Dan terlalu som-

bong kau tak mengajakku serta!!"

"Setan terkutuk!!" maki Manusia Muka Kucing 

dan lakukan satu gerakan yang menakjubkan. Karena 

secara mendadak dikibaskan tangan kirinya. 

Wussss!!

Hamparan angin berjarak dekat karena sosok 

Jaya Lantung begitu dekat dengannya menggebrak. 

Memutus cahaya bening yang dilepaskan oleh pemuda 

tampan itu. Namun hamparan angin itu terus menderu 

siap menghantam dada Jaya Lantung.

Memekik tertahan Jaya Lantung yang tak me-

nyangka kalau lawan akan lakukan papakan serangan 

dari jarak sedemikian dekat. Yang bisa dilakukannya 

hanya mencoba membuang tubuh ke samping kanan.

Karena jarak yang begitu dekat, mau tak mau tangan 

kirinya harus terserempet hamparan angin itu.

"Aaakhhhh!!" memekik keras salah seorang murid 

Malaikat Keadilan ini sambil tekap tangan kirinya.

Bila saja Werdaningsih tidak bertindak cepat, su-

dah tentu tubuh Jaya Lantung akan tersungkur.

"Kakang...," desisnya.

"Werda... tinggalkan tempat ini! Cepat!!" seru Jaya 

Lantung seraya berusaha tegak kembali. "Jangan sam-

pai kita mati konyol di sini!"

"Tidak! Apa pun yang terjadi, kita akan mengha-

dapinya bersama-sama, Kang Jaya!"

"Jangan berlaku konyol! Kalau kita sama-sama 

tewas, tak ada lagi yang akan membantu Kang Arya! 

Cepat, Werda! Aku akan menyerang manusia celaka 

itu dan kau pergunakan kesempatan itu untuk melari-

kan diri!"

"Tidak, Kang Jaya!" sahut Werdaningsih keras ke-

pala. Malah kedua tangannya telah pancarkan cahaya 

bening tanda dia kembali keluarkan jurus 'Tebar Ca-

haya Maut'.

Jaya Lantung yang sadar kali ini mereka tak akan 

bisa meloloskan diri berkata dalam hati, "Tidak! Aku 

tidak boleh mencelakakan Werdaningsih! Tak akan 

pernah kumaafkan diriku setelah kematian Guru! Se-

baiknya, kudorong dia dan langsung kuserang Manu-

sia Muka Kucing!"

Berpikir demikian, mendadak saja pemuda yang di 

pinggangnya melilit angkin hitam ini mendorong tubuh 

Werdaningsih. Bersamaan sosok si gadis tersuruk ke 

samping, Jaya Lantung sudah mencelat ke depan den-

gan mendorong kedua tangannya yang kontan melesat 

dua cahaya bening. Menyusul dia gerakkan kedua tan-

gannya membentuk jotosan.

Di tempatnya, Manusia Muka Kucing cuma mendengus. Mendadak saja dia miringkan tubuh. Lalu 

dengan cepat kedua tangannya yang telah membentuk 

cakar bergerak, siap mencakar kedua lengan Jaya Lan-

tung.

Sulit bagi Jaya Lantung untuk tarik pulang joto-

sannya. Dia hanya coba tekuk untuk hindari samba-

ran cakar itu. Namun gerakan yang dilakukan oleh 

Manusia Muka Kucing merupakan serangan susul me-

nyusul.

Diiringi teriakan mengguntur, mendadak saja ke-

dua tangannya telah berada di balik punggung Jaya 

Lantung dan siap mencakar.

Namun sebelum punggung si pemuda tercabik-

cabik, mendadak saja dua cahaya bening sudah men-

deru halangi niat Manusia Muka Kucing. Berteriak ge-

ram lelaki ini sambil melompat dengan cara memben-

tuk bayang lebih dulu.

Begitu kedua tangannya menyentuh tanah, tu-

buhnya meluruk dengan kaki mendahului ke arah 

Werdaningsih. Ganti si gadis yang terkejut dan segera 

memapaki dengan kedua tangannya.

Akan tetapi, kedua cakar yang siap dihujamkan 

Manusia Muka Kucing jelas tak akan dapat dihindari.

"Werdaaaa!" seru Jaya Lantung panik. Untuk 

membantu pun tak mungkin. Karena selain jaraknya 

cukup jauh, kedua cakar Manusia Muka Kucing sudah 

begitu dekat dengan Werdaningsih.

Akan tetapi, keanehan terjadi. Karena mendadak 

saja terlihat tubuh Manusia Muka Kucing bersalto ke 

belakang.

Bukan hanya Jaya Lantung dan Werdaningsih 

yang terkejut sekaligus dapat menarik napas lega, Ma-

nusia Tangan Harimau yang tadi tersenyum melihat 

gerakan yang dilakukan Manusia Muka Kucing pun 

terkesiap kaget.

"Gila!! Apa-apaan manusia itu mengurungkan 

niatnya?!"

Namun tatkala melihat tangan kanan Manusia 

Muka Kucing nampak bergetar dengan wajah menekuk 

kesakitan, sadarlah lelaki bertangan harimau itu apa 

yang terjadi.

Kejap berikutnya dia melompat mendekati Manu-

sia Muka Kucing.

"Ada yang datang!!" desisnya.

"Wah, wah! Kok terlambat mengetahuinya sih? 

Bagaimana ini? Katanya jagoan? Kok orang ganteng 

datang tidak tahu?" mendadak terdengar seruan itu 

dari atas sebuah pohon.

Serta-merta orang-orang yang berada di sana ang-

kat kepala. Masing-masing orang melihat satu sosok 

tubuh berpakaian hijau pupus asyik duduk dengan 

kedua kaki menguncang-nguncang.

"Pendekar Slebor...," desis Jaya Lantung dan Wer-

daningsih secara bersamaan.

Sementara terdengar teriakan geram Manusia 

Muka Kucing, "Pemuda celaka! Kali ini kau tak akan 

kubiarkan hidup!!"

Habis kata-katanya, lelaki ini sudah melompat 

dengan kedua tangan siap mencabik tubuh Pendekar 

Slebor.

Craakk! Craakkk!!

Dahan yang tadi diduduki pemuda urakan itu 

langsung patah tercabik. Namun sosok si pemuda te-

lah lenyap dari tempatnya semula.

Bersamaan tubuh Manusia Muka Kucing sudah 

berputar dan hinggap kembali di tanah terdengar se-

ruan, "Busyet! Galak amat sih? Kau kan seharusnya 

mencium tanganku dulu tanda hormatmu!! Benar-

benar tidak tahu sopan santun sama yang lebih tua?!"

Sementara Jaya Lantung dan Werdaningsih menyingkir, Manusia Muka Kucing menggeram menden-

gar kata-kala tengik Pendekar Slebor, "Kubunuh kau!!"

Dengan gerengan keras, lelaki muka kucing ini do-

rong tangan kanan kiri ke depan.

Di tempatnya, anak muda urakan dari Lembah 

Kutukan itu geleng-geleng kepala tanpa bergeser dari 

tempatnya.

"Benar-benar keras kepala!!" desisnya dan segera 

melompat begitu serangan yang dilancarkan Manusia 

Muka Kucing mendekat.

Luput serangan pertamanya, lelaki berparas kuc-

ing ini makin panas. Dia segera susulkan serangan ke-

duanya. Kali ini siap merobek kulit kepala Pendekar 

Slebor.

"Wah! Kejam amat nih!!"

Segera saja diangkat dan disilangkan kedua tan-

gannya di atas kepala. 

Bukkk! Bukkk!!

Dua benturan keras sekaligus terjadi. Pendekar 

Slebor mundur satu tindak ke belakang. Tangan kanan 

kirinya dirasakan nyeri. Sementara itu Manusia Muka 

Kucing juga merasakan hal yang sama. Sesaat dia 

nampak terkejut. Namun kejap berikutnya, lelaki ber-

paras kucing ini sudah menerjang kembali.

Andika kembali mendengus. Dan dia sengaja la-

kukan bentrokan.

Begitu bentrokan terjadi, Manusia Muka Kucing 

langsung buka jotosannya membentuk cakar. Lang-

sung menyabet ke arah muka! 

Wutttt!!

Bila saja Andika tidak segera tarik kepalanya ke 

belakang, bisa dipastikan wajahnya akan robek. Ber-

samaan dia tarik wajahnya, tangan kanannya segera 

meluncur. Manusia Muka Kucing masih sempat hinda-

ri sergapan tangan kanan itu. Namun tangan kiri Andika yang telah dialiri tenaga 'Inti Petir' telak menghan-

tam dadanya.

Dessss!!

Terdengar pekikan tertahan dari lelaki berparas 

kucing ini bersamaan tubuhnya terhuyung ke bela-

kang. Nampak sekali dia berusaha untuk kuasai ke-

seimbangan. Wajahnya menekuk dengan pipi men-

gembung. Kejap berikutnya, kembungan pipi itu men-

gempis dan menyentak.

Huaaakkk!

Darah hitam segera keluar.

Di tempatnya Andika berkata sambil geleng-geleng 

kepalanya. "Wah! Masih sih yang begini yang dijadikan 

anak buah oleh Iblis Segala Amarah? Lebih baik kata-

kan saja deh di mana lelaki jelek itu berada?!"

Manusia Muka Kucing menggeram dengan tatapan 

menusuk.

"Hhh! Rupanya dia sudah tahu tentang hal itu!"

Apa yang dibatinkan Jaya Lantung pun sama, 

"Pendekar Slebor memang cerdik. Rupanya dia tahu 

siapa orang yang berada di belakang Manusia Muka 

Kucing. Tetapi, apakah dia tahu kalau Iblis Segala 

Amarah menghendaki tenaga 'Inti Petir' dalam tubuh-

nya?"

Sementara itu Manusia Tangan Harimau yang se-

jak tadi sudah gatal untuk menyerang, tak mau me-

nunggu lebih lama. Apalagi dilihatnya sahabat la-

manya ini telah dikalahkan oleh pemuda yang di le-

hernya melilit sehelai kain bercorak catur.

Mendadak dia segera melompat ke depan. Pan-

dangannya tajam menusuk pada Pendekar Slebor.

"Aku ingin merasakan kehebatan Pendekar Slebor 

yang kesohor!!" desisnya dingin.

"Wah! Aku jadi tidak enak nih dibilang kesohor!!"

"Tutup mulutmu!!"

Habis makiannya, lelaki penuh jerawat ini sudah 

melompat ke depan. Satu gelombang angin menderu 

mendahului terjangan Manusia Tangan Harimau.

Kaget juga Andika merasakan besarnya tenaga be-

gitu serangan itu mendekat. Kali ini dia tak mau untuk 

lakukan bentrokan, karena ingin mengetahui besarnya 

tenaga lawan.

Manusia Tangan Harimau yang memang memiliki 

kekuatan pada kedua tangannya terus lancarkan se-

rangan. Dan setiap kali dia gerakkan kedua tangan-

nya, setiap kali pula terdengar desiran serta dorongan 

angin yang kuat.

Zeeb! Zeeb!

Andika masih tetap menghindar tanpa berusaha 

membalas.

Mendapati kalau serangannya belum juga menge-

nai sasaran, kegeraman semakin merajai dada Manu-

sia Tangan Harimau. Diiringi teriakan membahana, le-

laki ini terus menerjang ganas.

Hingga kemudian Andika mau tak mau memapaki 

gebukan kedua tangan lawan.

Dess! Desss!!

Begitu benturan terjadi, sosok Andika terhuyung 

ke belakang. Pergelangan tangan hingga sikunya tera-

sa nyeri sekali. Saat diangkat, terlihat warna biru.

Sementara itu Manusia Tangan Harimau terba-

hak-bahak.

"Tak seorang pun yang dapat tandingi kekuatan kedua 

tanganku ini! Tak terkecuali kau, Pendekar Slebor!!"

Dasar urakan, kendati kedua tangannya dirasa-

kan nyeri, Andika menyahut tengik, "Ah, masa?"

Makin menggila kegeraman Manusia Tangan Ha-

rimau. Dia segera menyerang dengan gebrakan kedua 

tangannya yang mengerikan.

Zeebb! Zeebbb! Zeeebbb!!

Sementara itu Manusia Muka Kucing yang telah 

pulihkan rasa sakit pada dada dengan kerahkan tena-

ga dalamnya, sudah membantu menyerang!

Mendapati dua serangan ganas sekaligus yang di-

lancarkan masing-masing orang, sesaat Andika terke-

jut bukan alang kepalang. Pemuda dari Lembah Kutu-

kan ini mencoba mencari sela untuk masukkan seran-

gannya.

Tenaga 'Inti Petir' telah dipergunakan kembali. Se-

tiap kali tangan kanan kirinya bergerak, terdengar sa-

lakan petir yang sangat kuat.

Manusia Muka Kucing yang tadi bentrokan di saat 

Andika pergunakan tenaga 'Inti Petir' tak mau lagi 

mengadu tangannya. Lain halnya dengan Manusia 

Tangan Harimau.

Lelaki ini justru tertawa-tawa saja bila sekali wak-

tu tangannya berbenturan dengan tangan Andika. 

Bahkan dengan penuh ejekan dia berkata, "Manusia 

Muka Kucing! Apakah tenaga itu yang diinginkan oleh 

orang yang telah menyuruhmu, hah? Benar-benar 

orang bodoh Iblis Segala Amarah!!"

Kendati jengkel mendengar ucapan itu, namun 

Manusia Muka Kucing tak mau buka mulut. Dia terus 

gerakkan kedua cakarnya yang berkelebat-kelebat.

Di lain pihak, sambil terus menghindari setiap 

gempuran kedua lawannya, Andika memaki, "Berabe! 

Gebrakan Manusia Tangan Harimau rupanya lebih 

dahsyat daripada yang dimiliki Manusia Muka Kucing! 

Kalau sebelumnya aku penasaran ingin mengenal Ma-

nusia Muka Kucing, kali ini tujuanku adalah Iblis Se-

gala Amarah! Apalagi secara tidak langsung aku telah 

emban tugas yang diberikan Pendekar Cakra Sakti dan 

Mayang Kunting!! Tetapi mengatasi keduanya pun cu-

kup sulit kulakukan! Hmmm... aku harus bertindak 

cepat!!"

Memikir sampai di sana, Pendekar Slebor segera 

melompat ke belakang, menjaga jarak dari kedua la-

wannya. Bersamaan dengan itu, mendadak saja terli-

hat sekeliling tubuhnya dihiasi oleh pernik perak. Ru-

panya anak muda ini sudah keluarkan ajian 'Guntur 

Selaksa'.

Melihat perubahan yang ada pada pemuda berba-

ju hijau pupus itu, Manusia Tangan Harimau dan Ma-

nusia Muka Kucing untuk sesaat saling pandang. Ke-

jap berikutnya setelah saling anggukan kepala, mas-

ing-masing orang segera menggebah ke depan disertai 

tenaga dalam tinggi.

Jaya Lantung dan Werdaningsih yang menyingkir 

agak menjauh pun terkejut melihat perubahan pada 

diri Pendekar Slebor. Mereka yang tadi mulai cemas 

melihat pemuda itu diserang habis-habisan dan siap 

untuk membantu, kali ini dapat tarik napas lega.

Apalagi setelah terjadi benturan keras antara tan-

gan kanan Manusia Tangan Harimau dengan tangan 

Pendekar Slebor. Terdengar salakan guntur yang san-

gat keras. Menyusul terlihat sosok Manusia Tangan 

Harimau mencelat ke belakang.

Sementara Andika sendiri hanya terhuyung dua 

tindak ke belakang.

Mendapati hal itu, wajah Manusia Muka Kucing 

nampak berubah. "Gila! Ternyata dia memang hebat! 

Hmmm... seperti yang diperintahkan Iblis Segala Ama-

rah. sebaiknya kupancing dia ke Gunung Kerambang!!"

Memutuskan demikian, lelaki berparas kucing ini 

berseru, "Pendekar Slebor! Bila kau memang memiliki 

jiwa seorang pendekar, beri aku waktu beberapa hari! 

Dan kau kutunggu di Gunung Kerambang!!"

"Wah! Mana bisa begitu? Keenakan kau itu na-

manya! Pokoknya, aku ingin jitak kepalamu!!" sahut 

Andika yang diam-diam coba cernakan apa yang di

maksud Manusia Muka Kucing.

"Jahanam! Aku harus menjauh dari sini!!" desis 

Manusia Muka Kucing dalam hati. Lalu berseru lagi, 

"Ternyata kau tak memiliki jiwa seorang pendekar! Ti-

dakkah kau lihat sendiri aku sedang terluka dalam?"

"Terus kenapa kalau kau terluka dalam? Aku ha-

rus kasihan begitu? Enak saja! Aku ingin tahu apakah 

kau kasihan melihat korbanmu yang kau bunuh?"

Sebelum Manusia Muka Kucing berkata, Manusia 

Tangan Harimau yang telah berdiri tegak kendati agak 

goyah sudah buka mulut, "Manusia Muka Kucing! 

Ternyata kau sudah menjadi pengecut! Hhh! Pertama 

kau dibodohi oleh pemuda berbaju putih itu! Sekarang 

kau berlaku pengecut di hadapan pemuda ini! Ke ma-

na letak keberanianmu sebenarnya, hah?!"

"Keparat! Dia muncul justru mengejekku habis-

habisan! Hhh! Peduli setan dia mau mampus atau ti-

dak? Pokoknya, aku harus memancing pemuda ini ke 

Gunung Kerambang!! Tetapi... tenaga Manusia Tangan 

Harimau masih dapat kupergunakan!"

Habis membatin begitu, Manusia Muka Kucing 

berseru, "Baik! Kita habisi pemuda itu sekarang juga!!"

Menyusul dia segera lancarkan serangan dengan 

kedua cakar mengembang siap membeset wajah Andi-

ka. Andika sendiri kali ini tak mau mundur, dia justru 

mencelat ke depan seraya gerakkan tangan kanannya 

yang telah terangkum ajian 'Guntur Selaksa'.

Namun Manusia Muka Kucing yang memiliki niat 

lain, justru membuang tubuh ke arah Manusia Tangan 

Harimau. Secepat kilat dia menyambar tubuh lelaki 

berjerawat merah itu dan membawanya lari dari sana.

Anehnya, Andika tidak mengejar. Bahkan dia me-

nahan Jaya Lantung dan Werdaningsih yang sudah 

berkelebat.

"Biarkan mereka!"

"Kenapa?" tanya Jaya Lantung. Kali ini suaranya 

tidak segarang biasanya bila bertemu dengan Andika 

yang semula diduga sebagai antek dari Manusia Muka 

Kucing.

Andika garuk-garuk kepalanya dulu sebelum men-

jawab, "Aku tahu apa maksudnya menantangku di 

Gunung Kerambang. Dugaanku, di sanalah Iblis Sega-

la Amarah berdiam. Bila kita mengikutinya, kemung-

kinan besar dia akan membawa kita ke arah yang sa-

lah dan bisa-bisa menjebak pula. Kalian paham mak-

sudku?"

Jaya Lantung dan Werdaningsih sama-sama ang-

gukkan kepala. Diam-diam mereka kagum dengan ke-

cerdikan pemuda tampan namun urakan ini.

"Sekarang... kalian lebih baik beristirahat dulu. 

Biar aku yang menyusul kedua orang itu."

Habis kata-katanya, anak muda pewaris ilmu 

Pendekar Lembah Kutukan ini segera berlari ke arah 

perginya Manusia Muka Kucing dan Manusia Tangan 

Harimau.

Tinggal Jaya Lantung dan Werdaningsih yang sa-

ma-sama tarik napas. Lalu duduk bersemadi untuk 

pulihkan tenaga.

***

7


"Mengapa kau justru melarikan diri, hah?!" mem-

bentak Manusia Tangan Harimau begitu mulai berada 

dalam jarak lima belas tombak dari Gunung Keram-

bang.

Manusia Muka Kucing mendengus. Sambil terus 

berlari dia menyahut, "Aku diperintah oleh Iblis Segala

Amarah untuk memancing Pendekar Slebor!" Lalu lan-

jutnya dalam hati, "Tak kusangka kalau pemuda itu 

memiliki kesaktian tinggi. Pupus sudah niatku untuk 

menyerap lebih dulu tenaga 'Inti Petir' sebelum dilaku-

kan Iblis Segala Amarah!"

"Bodoh! Bukankah lebih baik dibunuh saja?!"

"Justru kau yang bodoh!" balas Manusia Muka 

Kucing mangkel. "Bila kita membunuhnya, sudah ten-

tu Iblis Segala Amarah yang akan membunuh kita!!"

"Hhh! Dia masih membutuhkan tenaga 'Inti Petir' 

yang ada pada Pendekar Slebor! Sementara tadi, aku 

masih dapat menandingi pemuda itu! Apakah kau ti-

dak berpikir kalau Iblis Segala Amarah tak mempunyai 

ilmu yang diandalkan?"

"Bila dia tak punya ilmu yang diandalkan, tak 

mungkin dia dapat jatuhkan aku hanya tiga gebra-

kan!!" sahut Manusia Muka Kucing menindih dongkol-

nya. Lagi-lagi sambungnya dalam hati, "Sudah lama 

kurencanakan untuk lepas dari tangan Iblis Segala 

Amarah! Tetapi aku belum terlalu bodoh karena tak 

memiliki sesuatu yang lebih kuandalkan untuk menga-

tasi sepak terjangnya!" 

"Berarti... kau tak maju-maju dalam soal kepan-

daian!"

"Terkutuk! Ucapannya benar-benar bikin aku 

muak! Bila saja dia tak pernah bergabung denganku 

dulu dan bukan kambrat dekatku, sudah kubunuh 

sekarang juga!!"

Habis membatin geram begitu, Manusia Muka 

Kucing berkata, "Sekarang ini kau jangan banyak 

tanya! Ingat, bila Iblis Segala Amarah berhasil menda-

patkan tenaga 'Inti Petir' dari tubuh Pendekar Slebor, 

berarti hidup kita akan terjamin. Apakah kau sekarang 

mengatakan kalau aku tidak mengajakmu, hah?!"

Ganti Manusia Tangan Harimau yang memaki

maki dalam hati. Dadanya masih dirasakan nyeri aki-

bat hantaman Pendekar Slebor. Dan hal itu membuat-

nya amat geram dan rasanya tak bisa berdiam diri le-

bih lama.

Akan tetapi, dia juga tertarik dengan rencana yang 

dikatakan Manusia Muka Kucing. Kendati kelak bera-

da di bawah kaki Iblis Segala Amarah, bukankah sega-

la sesuatunya akan terlindungi? Dan berarti dia bebas 

berbuat apa saja!

Kendati demikian, di hati Manusia Tangan Hari-

mau berkata lain, "Manusia Muka Kucing seperti men-

ganggap dewa pada Iblis Segala Amarah! Kalaupun dia 

dapat dikalahkan dengan mudah, sudah tentu karena 

kedunguannya! Iblis Segala Amarah masih membu-

tuhkan tenaga 'Inti Petir' dan sudah barang tentu ke-

kuatannya belum seberapa karena dia belum menda-

patkan tenaga 'Inti Petir'! Dasar si Muka Kucing saja 

yang bodoh!"

Selagi kedua orang ini terus berkelebat, sepasang 

mata yang berada di balik sebuah ranggasan semak 

memperhatikan mereka tak berkedip.

"Manusia Muka Kucing. Menurut Pendekar Cakra 

Sakti, Iblis Segala Amarah telah memiliki cecunguk 

berjuluk Manusia Muka Kucing. Tetapi, siapakah 

orang tinggi besar berjerawat itu?"

Pemilik sepasang mata yang di kepalanya berteng-

ger mahkota bersusun tiga yang dihiasi butiran mutia-

ra terus mengikuti larinya kedua orang itu dengan ta-

tapannya.

"Pendekar Cakra Sakti memang masih sesakti du-

lu. Bahkan dia tahu kalau Iblis Segala Amarah sedang 

merencanakan untuk membalas dendam dengannya. 

Bahkan dia tahu kalau lelaki itu menghendaki tenaga 

'Inti Petir' milik Pendekar Slebor. Sungguh luar biasa 

memang! Entah ilmu apa yang dimilikinya hingga dia

mengetahui semua itu? Tetapi karena sikapnya yang 

terkadang asal-asalan saja dia nampak tak memiliki 

kepandaian apa-apa. Bahkan sering kali bila ditanya 

dari mana dia tahu, jawabannya juga asal-asalan. Ah,

terus terang, bila saja aku tak pernah berjumpa den-

gan Pendekar Cakra Sakti, hingga hari ini tentunya 

aku masih berkubang dalam kesesatan!"

Perempuan jelita yang sesungguhnya berusia lan-

jut ini menarik napas pelan. Dan mendadak saja ke-

ningnya berkerut, tatkala dilihatnya dua orang itu hen-

tikan lari di hadapan sebuah batu besar.

"Hmmm... ada apa ini? Nampaknya mereka tengah 

menunggu seseorang? Padahal aku bermaksud mengi-

kuti, siapa tahu mereka akan membawaku pada Iblis 

Segala Amarah. Tetapi, siapa yang mereka tunggu?" 

desis si perempuan yang tak lain Ratu Hitam adanya. 

Sepasang matanya tetap tak berkedip. Tangan kanan-

nya memegang sebuah tombak yang telah patah dan di 

ujungnya terdapat sebuah trisula. "Hmm... sebaiknya 

aku mendekat saja, untuk mengetahui apa yang mere-

ka percakapkan...."

Dengan pergunakan ilmu peringan tubuhnya, pe-

rempuan jelita berpakaian hitam tipis hingga perli-

hatkan lekuk tubuhnya yang indah, berkelebat men-

gendap. Saat bergerak, pakaian bawahnya yang terbe-

lah hingga pangkal paha terbuka, memperlihatkan 

bungkahan montok yang mulus.

Sejarak lima tombak dari samping kanannya, Ma-

nusia Tangan Harimau berkata pada Manusia Muka 

Kucing, "Mengapa kau berhenti?"

"Kita tunggu kedatangan Pendekar Slebor!!"

"Hhh! Apakah kau pikir, pemuda itu akan ter-

pancing dengan tantanganmu?"

Manusia Muka Kucing langsung palingkan kepala. 

Kali ini tatapannya agak menusuk. Rupanya lelaki

berparas kucing ini sudah tak kuasa lagi menahan ke-

jengkelannya pada setiap ucapan Manusia Tangan Ha-

rimau.

"Tidakkah mulutmu dapat kau kunci barang seje-

nak? Ucapanmu bikin aku jengkel!!"

Manusia Tangan Harimau nampak hendak mem-

buka mulut. tetapi urung kendati tatapannya juga ta-

jam.

Lalu katanya, "Baik! Aku tak akan banyak tanya 

lagi! Tetapi percayalah... karena kau melupakan ten-

tang kecerdikan pemuda itu, maka semuanya akan 

berbalik memukulmu!"

"Itu urusanku!!" sentak Manusia Muka Kucing ge-

ram. "Tangan Harimau! Bila kau ingin bergabung den-

ganku, turuti semua yang kukatakan! Toh aku tak 

akan menjerumuskanmu!!"

"Mereka rupanya sedang menunggu Pendekar Sle-

bor. Tentunya pemuda itu telah bertemu dengan kedu-

anya. Manusia Tangan Harimau... tak pelak lagi kalau 

dia memang kambrat dari Manusia Muka Kucing. Te-

tapi yang kutuju bukan mereka, melainkan Iblis Segala 

Amarah. Bila aku keluar saat ini, sudah tentu aku ti-

dak akan tahu apa yang akan mereka rencanakan. Se-

baiknya kutunggu saja...."

Di depan sana, dua manusia sesat itu sama-sama 

tutup mulut. Angin malam berhembus dingin. Bila saja 

saat ini bulan tidak bersinar penuh, dapat dipastikan 

kalau kegelapan semata yang terlihat.

Waktu terus melangkah kendati lambat namun 

pasti. Suara hewan-hewan malam cukup meramaikan 

tanah di sekitar Gunung Kerambang.

Wajah Manusia Muka Kucing menekuk dalam. 

Mata merahnya berputar ke sana kemari. Rasa tak sa-

bar mulai menggayuti hatinya. Sementara Manusia 

Tangan Harimau hanya terdiam walau sesekali terden

gar dengusannya.

Tepat rembulan sudah berada tegak lurus dengan 

kepala, nampak satu sosok tubuh berkelebat cepat 

mendekati keduanya. Masing-masing orang segera ma-

ju satu langkah dengan wajah tegang. Begitu bayangan 

tadi semakin mendekat, terdengar dengusan Manusia 

Muka Kucing, "Kaki Kilat!!"

Manusia Tangan Harimau sejenak arahkan pan-

dangannya pada lelaki berparas kucing itu. Kejap beri-

kutnya, arahkan pandangan pada lelaki berpakaian 

merah-merah yang semakin mendekat dengan kening 

berkerut.

Sementara itu dari balik ranggasan semak belu-

kar, Ratu Hitam mendesis, "Datang lagi cecunguk yang 

harus dibinasakan. Apakah dia termasuk yang sedang 

ditunggu oleh kedua manusia itu?"

Lelaki berpakaian merah yang muncul dengan tu-

buh agak terhuyung, langsung rangkapkan kedua tan-

gannya di depan dada. Dengan kepala agak ditunduk-

kan dia berkata, "Ketua!"

Manusia Muka Kucing menggeram dingin.

"Mengapa kau ke sini, hah?!!"

Sesaat nampak lelaki berkumis tebal itu tak bera-

ni angkat kepala. Lalu perlahan-lahan dia angkat ke-

palanya seraya berkata, "Ketua... aku telah berjumpa 

dengan orang yang Ketua cari! Pendekar Slebor!"

"Sial!" bentak Manusia Muka Kucing. Karena dia 

langsung menduga, kalau pertemuan Kaki Kilat den-

gan Pendekar Slebor sebelum dia sendiri berjumpa 

dengan pemuda itu. Berarti, tak ada berita yang mena-

rik. Sambil gerakkan tangannya ke atas, lelaki yang 

tingginya hanya sebahu ini membentak keras hingga 

kumis jarangnya bergetar, "Pergi dari sini!!"

"Tetapi..."

"Jahanam terkutuk! Apakah kau sudah ingin

mampus, hah?!" bentak Manusia Muka Kucing geram.

Manusia Tangan Harimau berkata sambil lipat ke-

dua tangan penuh bulunya di dada, "Manusia sema-

cam ini, nampaknya lebih baik dibunuh! Aku melihat 

kelicikan dan keculasan pada wajah buruknya!!"

Manusia Muka Kucing yang mendongkol karena 

yang datang justru bukan orang yang sedang ditung-

gunya, mengangguk-angguk seraya berkata tak ubah-

nya desisan belaka, "Kau benar! Manusia seperti dia 

memang layak untuk mampus!"

Mendengar kata-kata itu, lelaki berkumis tebal 

dengan luka di pipi kanan cepat-cepat mengangkat ke-

dua tangannya.

"Ketua... ada berita yang hendak kusampaikan 

kepadamu...," katanya terburu-buru.

Wajah Manusia Muka Kucing sesaat menyiratkan 

keingintahuan. Namun hanya sesaat, karena di saat 

lain dia kembali menggeram, "Peduli setan dengan apa 

yang kau hendak sampaikan! Mampuslah!!"

"Pendekar Slebor sedang menuju ke sini, Ketua!!" 

seru Kaki Kilat terburu-buru. Wajahnya sedemikian 

pias.

Mendengar kata-kata lelaki itu, tangan kanan Ma-

nusia Muka Kucing yang tadi terangkat, terhenti, lalu 

lamat-lamat diturunkan.

Melihat Manusia Muka Kucing urungkan niat, Ka-

ki Kilat buru-buru berkata setelah melirik geram pada 

Manusia Tangan Harimau, "Ketika aku menuju ke sini, 

kulihat Pendekar Slebor sedang celingukan di sebuah 

tempat. Nampaknya dia tengah memperkirakan jalan 

mana yang harus ditempuh untuk menuju ke Gunung 

Kerambang ini, Ketua."

"Bodoh! Mengapa kau tidak membunuhnya?" yang 

keluarkan bentakan Manusia Tangan Harimau.

Mata Kaki Kilat sejenak memandang tajam. Untuk

sesaat lelaki berkumis tebal ini tak keluarkan ucapan. 

Setelah mendengar hardikan Manusia Muka Kucing 

barulah dia menjawab dengan arahkan pandangannya 

pada lelaki yang tingginya hanya sebahu itu, "Maafkan 

aku, Ketua... terus terang, aku pernah dikalahkan pe-

muda keparat itu. Dan hingga saat ini sebenarnya 

keadaanku belum pulih benar. Sudah tentu aku tak 

berani lakukan tindak bodoh untuk menghalangi niat-

nya. Dan lagi... sepertinya Ketua sedang menunggu 

kehadirannya, bukan?"

Manusia Muka Kucing mendengus melihat sikap 

menjilat yang diperlihatkan Kaki Kilat.

"Aku dan si Tangan Harimau saja dapat dikalah-

kan oleh pemuda itu, apalagi si Kaki Kilat! Hhh! Sudah 

tak sabar rasanya untuk menanti kehadiran pemuda 

celaka itu!! Hmmm... aku masih membutuhkan tenaga 

Kaki Kilat kendati dia tak memiliki kepandaian yang 

berarti. Namun ilmu larinya yang hebat dapat kuper-

gunakan bila suatu ketika urusan jadi mengembang 

pada jalur yang tak diinginkan."

Berpikir demikian, lelaki berparas kucing ini ber-

kata, "Berapa jauh jaraknya?"

"Tak berada jauh, Ketua. Bahkan aku yakin, bila 

pemuda itu tak kesasar arah dalam waktu kurang dari 

sepeminuman teh dia akan segera tiba di sini!"

"Gila! Bodohnya aku ini! Betul juga yang dikata-

kan Kaki Kilat! Bila pemuda itu tidak menempuh arah 

yang berlainan denganku, jelas dia akan tiba di sini! 

Bila tidak? Hhh! Usahaku untuk memancingnya da-

tang ke Gunung Kerambang berarti sia-sia! Tetapi pe-

duli setan! Aku akan tetap menunggunya!"

Kemudian katanya, "Pulihkan tenagamu dulu! 

Aku tak ingin melihatmu hanya menjadi penghalang 

saja!!"

Buru-buru Kaki Kilat mengangguk-anggukkan ke

palanya. Saat melangkah ke kiri, pandangan tajamnya 

ditujukan pada Manusia Tangan Harimau. Yang dita-

tap bukan main jengkelnya, namun tak hendak turun-

kan tangan.

Sementara itu, perempuan jelita yang di kepalanya 

terdapat mahkota bersusun tiga membatin, "Mereka 

menunggu Pendekar Slebor. Tetapi mengapa harus 

menunggu di tempat ini? Apakah ada sesuatu yang di-

rencanakan mereka, terutama Manusia Muka Kucing?"

Sejenak Ratu Hitam terdiam dengan kening diker-

nyitkan. Lalu membatin lagi, "Jangan-jangan... di salah 

satu tempat yang ada di sekitar gunung itulah Iblis Se-

gala Amarah berada. Hmmm... bisa kutebak sekarang, 

kalau Manusia Muka Kucing sedang mencoba me-

mancing kehadiran Pendekar Slebor. Sungguh cerdik 

sekaligus licik! Biar bagaimanapun juga, Pendekar Ca-

kra Sakti telah menugaskanku untuk membantu Pen-

dekar Slebor! Ya, apa pun yang akan terjadi... aku 

akan membantunya...."

Lalu dilihatnya Manusia Muka Kucing berkata 

dengan cara berbisik-bisik pada Manusia Tangan Ha-

rimau. Menyusul terlihat keduanya terbahak-bahak.

Di tempatnya Ratu Hitam menggeram jengkel, ka-

rena dia tak mendengar apa yang dibicarakan kedua-

nya. Dan dia yakin, lelaki berpakaian merah-merah 

yang sedang duduk bersemadi itu pun tak mendengar 

apa yang dibicarakan oleh kedua manusia sesat itu.

***

8


Pada saat yang bersamaan, di sebelah timur Gu-

nung Kerambang, Dewi Cadar Biru dan Arya Sempala 

hentikan langkahnya. Pandangan masing-masing 

orang memandang ke arah Gunung Kerambang yang 

diliputi kegelapan malam.

"Arya... aku menangkap sesuatu yang tidak enak 

akan terjadi di gunung itu...," terdengar suara perem-

puan bercadar biru tipis yang berdiri di samping kiri 

Arya Sempala.

Pemuda berwajah agak kasar namun berhati lem-

but itu pun anggukkan kepala.

"Aku juga menangkap gelagat seperti itu, Bibi."

Kembali tak ada yang buka suara. Pandangan ke-

duanya tetap ditujukan ke arah Gunung Kerambang.

"Arya... sebaiknya kita segera saja ke sana...."

"Benar, Bibi. Mudah-mudahan segala teka-teki 

yang ada di benak dapat terjawab...."

Kedua orang itu pun segera melangkah. Baru saja 

lima langkah mereka bergerak, mendadak saja Dewi 

Cadar Biru hentikan langkahnya.

Sebelum Arya Sempala ajukan tanya, dia sudah 

berkata sambil palingkan kepala ke kanan, "Ada yang 

datang...."

Kata-kata Dewi Cadar Biru yang cukup menge-

jutkan itu membuat Arya Sempala juga menoleh ke 

kanan. Mereka tak perlu menunggu terlalu lama untuk 

mengetahui siapa yang datang. Karena tiga lelaki ber-

pakaian hitam-hitam juga telah hentikan langkah mas-

ing-masing. Di punggung salah seorang di antara me-

reka, terdapat satu sosok tubuh berpakaian merah-

merah yang nampak lemah.

Namun begitu mengetahui mengapa ketiga lelaki 

berpakaian hitam-hitam itu berhenti, lelaki berpakaian 

merah-merah angkat kepala dengan kedua mata terbe-

liak.

"Celaka!" desisnya. "Dewi Cadar Biru dan Arya 

Sempala!!"

Arya Sempala yang melihat wajah lelaki berpa-

kaian merah-merah itu langsung melompat tiga tindak 

ke muka disertai bentakan, "Kaki Kilat!!"

Lelaki berkumis tebal itu berkata pada orang yang 

menggendongnya, "Menghindar! Sementara kalian ber-

dua, hadang manusia-manusia itu!!"

Mendengar perintahnya, dua lelaki berpakaian hi-

tam-hitam berwajah bengis segera melompat dengan 

pandangan menusuk. Sementara yang menggendong 

lelaki berpakaian merah-merah sudah berbalik.

Namun langkahnya langsung terhenti, karena 

mendadak saja Arya Sempala sudah berada di hada-

pannya.

"Kau tak akan bisa melarikan diri, Kaki Kilat! Ke-

kejamanmu harus dituntaskan hari ini!!"

Wajah Kaki Kilat nampak memucat. Sesaat nam-

pak dia gugup sebelum berbisik, "Turunkan aku! Kau 

hajar dia!!"

Lelaki berpakaian hitam-hitam yang menggen-

dongnya, segera menurunkan sosoknya. Kejap beri-

kutnya dia sudah lancarkan serangan pada Arya Sem-

pala.

Sementara itu, dua orang berpakaian hitam-hitam 

lainnya yang mencoba membantu, langsung dihadang 

oleh Dewi Cadar Biru.

"Kalian manusia-manusia sesat yang tak pernah 

mau hentikan sepak terjang dungu kalian! Rasanya... 

terpaksa aku harus membungkam kalian selamanya!!"

Yang berwajah lonjong menggeram, "Jangan ba-

nyak omong! Kau belum mengetahui siapa kami!!"

Habis bentakannya, dia sudah menerjang ganas. 

Menyusul temannya lancarkan tendangan lurus.

Dewi Cadar Biru keluarkan dengusan dingin. Tanpa hindari serangan keduanya, dia sudah menerjang 

pula. Dan sudah tentu kedua cecoro itu bukanlah tan-

dingan perempuan bercadar biru. Maka hanya dua ge-

brakan saja keduanya dapat dilumpuhkan. Yang seo-

rang patah kedua kakinya, sementara yang seorang la-

gi patah kedua tangannya.

Masing-masing orang mengerang kesakitan dan 

akhirnya jatuh pingsan.

Sementara itu, kendati membutuhkan waktu lebih 

dari yang dibutuhkan Dewi Cadar Biru, Arya Sempala 

pun akhirnya melumpuhkan lawannya yang tergolek 

dengan kepala pecah. Pemuda ini sebenarnya bukan-

lah orang yang kejam, namun karena dia merasa orang 

semacam lawannya ini hidup hanya akan menimbul-

kan bibit penyakit, maka dia terpaksa membunuh.

"Hhhh! Manusia-manusia tak berguna!" dengus-

nya.

Kejap itu pula pandangannya diarahkan pada Ka-

ki Kilat yang tengah beringsut mundur.

"Manusia celaka! Kau pun harus mampus!!" geram 

Arya Sempala keras sambil mengangkat tangan ka-

nannya yang mendadak keluarkan cahaya bening.

"Tunggu, Arya!" tahan Dewi Cadar Biru seraya 

mendekat. Dengan pandangan tak kalah geramnya dia 

berkata pada Kaki Kilat, "Manusia celaka! Siapakah 

orang yang berada di balik semua kekejaman ini, 

hah?!!"

Wajah lelaki kejam itu nampak sedemikian pucat. 

Dadanya berdegup keras dengan kengerian yang men-

jadi-jadi. Namun kejap kemudian lelaki ini justru 

sunggingkan seringaiannya. Disusul dengan kata-kata 

agak terengah, "Mengapa kau menahan pemuda itu 

membunuhku, hah? Apakah kau akan merasa berdosa 

bila membunuhku?!"

"Terkutuk! Membunuh seratus orang seperti kau

aku sama sekali tak pernah merasa berdosa!"

"Mengapa kau tak membunuhku, hah?!"

"Manusia ini benar-benar licik! Tetapi cukup 

mengherankan, bagaimana dia bisa terluka seperti itu? 

Siapa yang telah menghajarnya? Dan nampaknya... 

kendati dia masih dapat hidup, namun tak memiliki 

lagi kemampuan untuk bertarung. Ilmunya jelas sudah 

punah."

Habis membatin begitu, dengan menindih rasa ge-

ramnya, Dewi Cadar Biru berkata, "Melihat keadaan-

mu... nampaknya kau tak akan bisa hidup lebih lama!"

"Lantas mengapa bila aku tak dapat hidup lebih 

lama? Apakah kau akan mengobatiku?" ejek Kaki Kilat.

Namun di luar dugaannya, Dewi Cadar Biru justru 

anggukkan kepalanya. Sudah tentu sikap yang diperli-

hatkan perempuan berpakaian serba biru ini membuat 

Arya Sempala seketika palingkan kepala.

Pemuda yang sejak tadi sudah tak sabar untuk 

membunuh Kaki Kilat berkata, "Bibi! Apa maksud, Bi-

bi?"

Dewi Cadar Biru tak hiraukan pertanyaan itu. Dia 

berkata pada Kaki Kilat, "Tetapi tentunya... aku men-

gajukan syarat sebelum kau kusembuhkan."

"Hhhh! Kau hendak memancing di air tenang ru-

panya, Dewi Cadar Biru! Bunuh aku! Bunuh seka-

rang!!" seru Kaki Kilat dengan suara keras, namun bi-

birnya sunggingkan seringaian.

Dewi Cadar Biru tak hiraukan kata-kata orang. 

Dia terus berkata-kata, "Pertama... katakan padaku, 

siapa yang telah melukaimu seperti ini? Kedua... kata-

kan siapa orang yang berada di balik Manusia Muka 

Kucing? Ketiga... katakan apa rencana yang telah dis-

usun oleh orang di balik Manusia Muka Kucing?"

Kaki Kilat terdiam dengan pandangan menyipit. 

Diam-diam dia membatin, "Hmmm... nampaknya Dewi

Cadar Biru memang tak menginginkan nyawaku. Ba-

gus! Tak akan kukatakan apa yang dimintanya. Karena 

aku yakin, perempuan ini tetap akan mengobatiku. 

Hahaha... begitu bodohnya orang-orang golongan lu-

rus. Selalu mengandalkan nurani dan belas kasihan 

pada sesama. Baiknya, kuatur rencana ini."

Lalu serunya, "Hhh! Ketiga pertanyaan itu ten-

tunya dapat kujawab dengan mudah! Tetapi aku pun 

mengajukan syarat! Sembuhkan aku sekarang juga... 

baru kukatakan apa yang kau tanyakan?"

Dewi Cadar Biru tersenyum dan diam-diam berka-

ta dalam hati, "Licik! Lelaki seperti dia memang tak 

perlu ku kasihani. Tetapi aku membutuhkan jawaban 

dari ketiga pertanyaanku tadi. Bila sudah kudapatkan, 

tak akan kuampuni lelaki ini. Tetapi dia memang cer-

dik sekaligus licik. Hmmm, aku juga akan memainkan 

peranan ku...."

Sambil tersenyum, perempuan bercadar biru tipis 

ini berkata, "Kaki Kilat... karena aku membutuhkan 

jawaban itu maka kau tidak akan kubunuh. Tetapi bila 

aku tak membutuhkan, sudah tentu kau akan kubu-

nuh!"

"Mengapa kau tidak segera membunuhku, hah?" 

sentak Kaki Kilat kendati sesaat sempat terkejut men-

dengar kata-kata si perempuan.

Setelah dikalahkan Pendekar Slebor, secara tidak 

sengaja Kaki Kilat yang ilmunya telah lumpuh keda-

tangan tiga orang anak buahnya yang berpakaian hi-

tam-hitam. Lelaki ini memang mempunyai lima belas 

anak bu-ah. Lima orang tewas di tangan ketiga murid 

mendiang Malaikat Keadilan. Lima orang lagi di tangan 

Manusia Muka Kucing dan dua orang lagi tewas di 

tangannya sendiri.

Kaki Kilat saat ini sebenarnya hendak menuju ke 

Gunung Kerambang. Karena baginya, tempat itulah satu-satunya yang aman (Baca : "Manusia Muka Kuc-

ing"). Namun tanpa disangkanya, dia harus bertemu 

dengan Dewi Cadar Biru dan Arya Sempala.

Kaki Kilat yang menghendaki agar tiba di Gunung 

Kerambang dalam keadaan selamat berkata setelah 

melihat Dewi Cadar Biru terdiam, "Mengapa kau tak 

melakukannya, hah? Hahaha... kau tak akan membu-

nuhku, Dewi Cadar Biru!!"

"Bibi! Bunuh saja manusia keparat ini!!"

Dewi Cadar Biru menganggukkan kepalanya. "Kau 

benar, Arya. Memang, manusia ini tak akan pernah 

menjadi baik! Tak ada salahnya bila dia kubunuh!"

"Kau hanya menggertak, Dewi Cadar Biru! Kau 

membutuhkan jawaban atas pertanyaan-

pertanyaanmu!!"

"Kau salah, Kaki Kilat! Karena akulah yang akan 

menjawab pertanyaan Bibi Dewi Cadar Biru!" terdengar 

seruan keras itu disusul munculnya dua sosok tubuh 

di hadapan masing-masing orang.

Menyusul terdengar suara seorang gadis. "Bibi.... 

Kang Arya... apa kabar?"

Wajah Arya Sempala yang tadi tertekuk, kali ini 

terpentang cerah.

"Werdaningsih! Jaya Lantung!!"

Kedua orang yang baru datang itu memang Wer-

daningsih dan Jaya Lantung. Jaya Lantung segera 

berkata, "Bibi! Yang telah melumpuhkannya adalah 

Pendekar Slebor. Sementara orang yang berada di balik 

semua ini adalah...."

Jaya Lantung sengaja menghentikan kata-

katanya. Dia melirik Kaki Kilat yang menjadi pucat.

Dewi Cadar Biru yang tak menyangka akan ber-

jumpa dengan kedua murid Malaikat Keadilan berkata, 

"Kaki Kilat... aku tak lagi membutuhkan jawaban dari 

mulutmu, karena...."

"Baik, baik! Akan kukatakan!!" seru Kaki Kilat 

yang kali ini wajahnya memucat. Dadanya bergemuruh 

tak menentu. Tangannya yang bergerak-gerak nampak 

bergetar.

"Katakan!"

"Aku... aku tidak tahu siapa orang yang berada di 

belakang Manusia Muka Kucing.... Dia, dia hanya me-

nyebutnya Pimpinan. Tetapi... semuanya berhubungan 

dengan Pendekar Slebor. Orang itu... menginginkan 

tenaga 'Inti Petir' yang dimiliki Pendekar Slebor...."

"Mengapa kau tidak tahu siapa orang itu?" tanya 

Dewi Cadar Biru.

"Aku... aku... memang... memang tidak tahu...."

"Dusta!" bentak Arya Sempala. "Tetapi... dustamu 

tak ada gunanya... karena Jaya Lantung akan menga-

takannya...."

Kaki Kilat buru-buru menggeleng dengan bibir 

bergetar.

"Sungguh, sungguh aku tidak tahu! Yang ku ta-

hu... orang yang disebut Pimpinan oleh Manusia Muka 

Kucing berdiam di Gunung Kerambang."

"Di mana tepatnya?" tanya Dewi Cadar Biru.

"Aku tidak tahu.... Percayalah... aku tidak tahu 

tentang hal itu. Aku hanya orang suruhan Manusia 

Muka Kucing...."

"Sungguh lelaki bodoh! Dia tak pernah tahu apa 

yang sesungguhnya terjadi! Dia hanya mengumbar se-

gala nafsu buruknya untuk kesenangan pribadi!!" kata 

Dewi Cadar Biru dalam hati.

Lalu katanya, "Kau terlalu bodoh mau mengikuti 

jejak manusia-manusia celaka itu! Apakah kau tidak 

tahu, atau berlagak tidak tahu, kalau dirimu hanyalah 

menjadi jajaran kambing-kambing hitam yang diperin-

tah oleh seorang gembala yang kau tidak ketahui? Kaki 

Kilat... memang sulit mengubah tabiat seseorang! Dan

rasanya...."

Mendadak saja dengan gerakan yang cepat, tan-

gan kanan Dewi Cadar Biru bergerak. 

Plak!!

Tangan itu menempeleng wajah Kaki Kilat yang 

melengak sesaat. Di saat lain dia sudah jatuh pingsan 

dengan hidung yang alirkan darah segar.

"Bila kau terbangun... mudah mudahan kau akan 

sadar dari segala perbuatan busukmu, Kaki Kilat...."

Lalu perlahan-lahan diputar tubuhnya. Ditatap-

nya Werdaningsih dan Jaya Lantung.

"Bagaimana kabar kalian?"

Kedua remaja yang ditanya rangkapkan kedua 

tangannya di depan dada.

"Kami baik-baik saja, Bibi...," sahut keduanya 

bersamaan.

"Jaya... bagaimana kau mengetahui semua itu?" 

tanya Dewi Cadar Biru kemudian.

"Bibi... kami telah berjumpa dengan Pendekar Sle-

bor yang telah menolong kami dari ancaman maut Ma-

nusia Muka Kucing. Dan sebelumnya, aku hampir 

berhasil mengorek keterangan dari Manusia Muka 

Kucing. Tetapi bila saja kambratnya yang berjuluk Ma-

nusia Tangan Harimau tidak muncul, semuanya akan 

dapat kuketahui." Jaya Lantung terdiam dulu sebelum 

melanjutkannya pelan, "Bibi.... Kang Arya.... Guru te-

lah tewas di tangan Kaki Kilat dan Manusia Muka Kuc-

ing...."

Arya Sempala nampak melengak sesaat. Seraya 

menghela napas dia membatin, "Ternyata apa yang 

kuduga selama ini memang salah. Bukan Pendekar 

Slebor yang telah membunuh Guru. Melainkan kedua 

manusia celaka itu. Hhh! Bila menuruti kata hatiku, 

mau rasanya menghantam pecah kepala Kaki Kilat!".

Didengarnya lagi kata-kata adik seperguruannya,

"Orang yang berada di balik semua ini adalah Iblis Se-

gala Amarah.'

Dewi Cadar Biru terdiam mendengar kata-kata itu. 

Dari kerutan yang mendadak muncul di keningnya, je-

las sekali kalau dia mencoba mengingat maupun men-

gira-ngira siapa Iblis Segala Amarah. Namun gagal.

"Jaya... apa yang dikehendaki orang itu?"

"Dia... menghendaki tenaga 'Inti Petir' milik Pen-

dekar Slebor, Bibi..."

Kembali Dewi Cadar Biru terdiam. "Jadi itulah 

pangkal dari semua urusan ini...."

Kemudian katanya, "Kini kita tahu kalau manusia 

celaka berjuluk Iblis Segala Amarah berdiam di Gu-

nung Kerambang. Sebaiknya, kita jangan berpencar la-

gi Kita akan bersama-sama menyusuri Gunung Ke-

rambang...."

Setelah berkata begitu, Dewi Cadar Biru melang-

kah mendahului. Yang kemudian diikuti secara ber-

samaan oleh ketiga murid mendiang Malaikat Keadi-

lan.

Kemudian, bila memang ternyata lelaki berpa-

kaian merah merah yang dibuat pingsan oleh Dewi Ca-

dar Biru adalah Kaki Kilat, lantas siapakah lelaki yang 

memiliki ciri-ciri sama dengan lelaki itu yang saat ini 

sedang bersemadi di belakang Manusia Muka Kucing 

dan Manusia Tangan Harimau?

***

9


Pagi kembali mengembang dengan segenap kein-

dahannya. Sinar surya yang lamat-lamat naik, menepis 

kabut yang semakin lama semakin lenyap. Namun di 

puncak Gunung Kerambang kabut masih melingkupi. 

Keangkeran gunung itu makin menjadi-jadi. Laksana 

raksasa yang tengah tertidur dan satu saat dapat ter-

bangun dengan segala kedahsyatan.

Dalam naungan udara yang masih dingin dan bu-

tiran embun yang belum mengering, dua sosok tubuh 

masih tegak di depan sebuah batu besar. Tak ada yang 

keluarkan suara. Wajah masing-masing orang nampak 

tegang. Dan terlihat sejak semalam tak sedikit pun ke-

dua orang itu yang bergeser dari berdirinya.

Namun wajah lelaki berparas kucing perlahan-

lahan mulai berubah. Mulutnya yang di atasnya dihiasi 

kumis jarang bergerak-gerak sehingga untaian kumis 

jarangnya pun bergerak. Mata merahnya mendelik gu-

sar.

Mendadak dipalingkan kepalanya ke belakang, ke 

arah lelaki berkumis tebal yang masih duduk berse-

madi.

"Kaki Kilat! Mana bukti ucapanmu, hah?!" suara 

Manusia Muka Kucing menggelegar.

Lelaki berpakaian merah-merah itu nampak terke-

jut dan langsung memaki-maki dalam hati, "Monyet pi-

tak! Bikin aku kaget saja! Padahal aku sudah hampir 

tidur nih!! Ini kumis lagi, bikin aku mau bersin!!"

Karena pandangan tajam dari Manusia Muka Kuc-

ing, lelaki berpakaian merah-merah itu buru-buru 

angkat kepala.

"Ketua.. aku tak berkata dusta! Jelas yang kulihat 

tadi malam adalah Pendekar Slebor! Barangkali dia 

nyasar, Ketua! Sehingga tak menuju ke tempat Ketua! 

Atau sesungguhnya... dia sudah berada di sini dan 

bersembunyi?"

Sebelum Manusia Muka Kucing keluarkan benta-

kan lagi, Manusia Tangan Harimau yang sudah jenuh 

pun lebih dulu berkata, "Sejak semula kukatakan, bu-

nuh saja manusia celaka itu!! Kedatangannya justru 

membuat kita menunggu kehadiran Pendekar Slebor 

sepanjang malam berteman dingin dan sepi begini!! 

Apakah kau masih mau membuang-buang waktu se-

perti ini, hah?"

Manusia Muka Kucing menggeram pada Kaki Kilat 

yang buru-buru berdiri dengan kepala tertunduk.

"Jangan main gila denganku!!" bentaknya angker.

Kaki Kilat mengangkat kepalanya. Kendati sua-

ranya agak gemetar namun wajahnya nampak tenang-

tenang saja.

"Aku bukanlah orang bodoh yang mau bertindak 

seperti itu! Karena sudah tentu aku tak berani mela-

kukannya! Apa yang kukatakan tadi tidak salah! Ke-

tua... jangan-jangan.... Pendekar Slebor justru sudah 

bertemu dengan Pimpinan yang...."

"Tutup mulutmu!!"

"Kutu busuk! Kadal buntung! Enak saja dia mem-

bentak-bentakku!" maki lelaki berpakaian merah-

merah itu dalam hati. Lalu sambungnya geram, "Ini 

kumis lagi! Rasanya aku tak bisa menahan bersin!!"

Aneh! Siapakah sesungguhnya Kaki Kilat yang ini? 

Dia tak lain adalah pendekar kita, siapa lagi kalau bu-

kan si Urakan Andika?!

Setelah meninggalkan Jaya Lantung dan Werda-

ningsih, Andika pun segera berkelebat ke mana per-

ginya Manusia Muka Kucing dan Manusia Tangan Ha-

rimau. Sambil berkelebat itu otaknya berpikir keras.

Orang yang dituju sekarang bukanlah keduanya, 

melainkan orang yang berjuluk Iblis Segala Amarah. 

Secara tidak langsung Pendekar Cakra Sakti dan 

Mayang Kunting memang telah membebaninya tugas

untuk menggantikan Pendekar Cakra Sakti menghen-

tikan semua rencana Iblis Segala Amarah.

Namun tanpa disuruh atau dibebani tugas seperti 

itu, Pendekar Slebor sudah tentu tak akan hentikan 

niatnya untuk mengetahui sekaligus menghentikan 

semua rencana busuk dari Iblis Segala Amarah.

Saat berkelebat itulah satu pikiran muncul di be-

naknya. Apalagi tatkala melihat sebuah pakaian me-

rah-merah yang entah milik siapa di tepi sebuah sun-

gai. Mungkin pemiliknya sedang mandi.

Sambil nyengir dan berkata dalam hati, "Kupinjam 

dulu, ah!" anak muda urakan ini pun segera melapisi 

pakaiannya dengan pakaian merah-merah itu. Lalu 

dengan pergunakan getah pohon, Andika membuat lu-

ka pada pipi kanannya. Dan dengan bulu-bulu yang 

berasal dari pohon ijuk dia membuat sebuah kumis. 

Pada air sungai anak muda urakan ini bercermin. Se-

telah memoles sana dan sini, yang terlihat kemudian 

bukan lagi wajahnya, melainkan wajah Kaki Kilat.

Bila Andika ingin menyamar, siapa pun dapat diti-

runya, kecuali anak tuyul. Kepandaiannya menyamar 

ini didapat dari Raja Penyamar yang secara tak lang-

sung merupakan salah seorang gurunya.

Dengan menyamar sebagai Kaki Kilat, Andika ber-

harap dapat langsung bertemu dengan Iblis Segala 

Amarah, karena dialah pangkal dari semua petaka 

yang terjadi. Manusia Muka Kucing yang sekarang di-

dampingi kambratnya itu hanyalah pion-pion belaka 

yang dapat digerakkan semaunya oleh Iblis Segala 

Amarah.

Dan sekarang, anak muda tampan dari Lembah 

Kutukan ini sedang memainkan peranannya.

Di tempatnya, wajah Manusia Muka Kucing me-

nekuk mendengar ucapan lelaki yang tetap disang-

kanya si Kaki Kilat.

"Bisa jadi apa yang dikatakan lelaki celaka itu be-

nar! Pendekar Slebor telah bertemu dengan Pimpinan! 

Hhh! Kalau memang begitu adanya, sudah tentu saat 

ini dia telah mampus setelah tenaga 'Inti Petir' dalam 

tubuhnya diserap oleh Pimpinan! Bagus! Secara tidak 

langsung urusanku menjadi mudah! Tetapi... bagai-

mana bila belum? Sudah tentu Pimpinan akan sangat 

marah karena dia telah memerintahkanku untuk me-

mancing kehadiran pemuda keparat itu ke sini?!"

"Muka Kucing! Mengapa kau terdiam?!" sentak

Manusia Tangan Harimau yang benar-benar tak suka 

dengan Kaki Kilat. Lelaki yang di keningnya terdapat 

ikat kepala warna kuning gading dan kedua tangan 

hingga sikunya ini dilapisi kulit harimau, seperti me-

nangkap gelagat yang tidak enak dari pancaran mata 

Kaki Kilat. Dan sejak pertama melihat lelaki berkumis 

tebal itu, dia sudah curiga.

Manusia Muka Kucing mendengus tanpa paling-

kan kepala pada kambratnya. Tetapi dia tak buka mu-

lut.

Sementara itu, Ratu Hitam yang sepanjang malam 

mendekam di balik ranggasan semak belukar memba-

tin, "Hmmm... mudah-mudahan Pendekar Slebor me-

mang telah bertemu dengan Iblis Segala Amarah. 

Hingga urusan ini akan berlangsung seperti yang ku-

harapkan. Karena biar bagaimanapun juga, kehadiran 

dan sepak terjang Iblis Segala Amarah yang berada di 

belakang layar harus dihentikan! Terutama agar Pen-

dekar Cakra Sakti tidak repot dengan urusan tengik 

seperti itu. Hmm... aku akan... hei! Apa yang hendak 

dilakukan Manusia Tangan Harimau itu?"

Di depan, Manusia Tangan Harimau menuding le-

laki berpakaian merah-merah seraya menggeram, "Kau 

tak banyak guna! Lebih baik mampus! Manusia Muka 

Kucing, bukankah tadi kau merencanakan untuk

membunuh manusia ini bila Pendekar Slebor tiba? 

Dan sekarang, apakah kau tetap akan menunggu 

sampai pemuda keparat itu tiba untuk membunuh le-

laki celaka ini?!"

Manusia Muka Kucing menatap sejenak pada 

kambratnya. Lalu perlahan-lahan diarahkan tatapan-

nya pada lelaki berpakaian merah-merah, "Kau benar, 

Tangan Harimau! Manusia ini memang layak untuk 

mampus!"

Si pemuda urakan yang sedang menyamar sebagai 

Kaki Kilat, mengangkat kedua tangannya dan mem-

buat suaranya penuh ketakutan, "Ketua... jangan ge-

gabah! Apa yang kukatakan tadi benar!"

"Dia pandai menjilat rupanya!" sinis suara Manu-

sia Tangan Harimau.

"Ketua... jangan dengarkan ucapan lelaki buruk 

itu! Lebih baik kita sama-sama mendatangi Pimpinan! 

Barangkali saja dia membutuhkan bantuan!!"

"Tutup mulutmu!! Kau tak berhak untuk berjum-

pa dengan Pimpinan, Keparat! Lebih baik kau...."

Seruan yang diucapkan Manusia Muka Kucing 

terputus menyusul secara tiba-tiba tubuhnya terlem-

par ke depan. Manusia Tangan Harimau terkejut bu-

kan alang kepalang. Dengan hentakkan kaki kanannya 

pada tanah, dia mencelat untuk menangkap tubuh 

Manusia Muka Kucing.

Namun begitu berhasil ditangkap, tubuhnya pun

terlempar karena satu tenaga tak nampak telah meng-

hantamnya! Dan berhenti setelah tubuhnya dan tubuh 

Manusia Muka Kucing menabrak sebuah pohon.

Bukan hanya Pendekar Slebor yang terkejut meli-

hat hal itu, Ratu Hitam pun melengak kaget. Dan 

hampir saja dia keluar dari persembunyiannya!

Belum lagi keterkejutan itu berakhir, mendadak 

saja terdengar satu suara keras, "Mana janjimu, Muka

Kucing? Mana pemuda dari Lembah Kutukan itu, 

hah?! Atau kau memang ingin mampus di tanganku?!!"

Dan belum habis suara itu terdengar, mendadak 

saja satu sosok tubuh tinggi kurus terbungkus jubah 

warna merah telah berdiri di atas batu besar di mana 

tadi Manusia Muka Kucing dan Manusia Tangan Ha-

rimau berdiri.

***

Manusia Muka Kucing yang telah berdiri agak 

sempoyongan yang semula hendak keluarkan makian, 

buru-buru rangkapkan kedua tangannya, "Pimpi-

nan...."

Manusia Tangan Harimau yang semula mengang-

gap remeh orang berjuluk Iblis Segala Amarah, kini 

sadar siapa orang itu sesungguhnya. Dan dia yakin, 

orang tua yang rambut merahnya disanggul ke atas in-

ilah yang berjuluk Iblis Segala Amarah. Buru-buru le-

laki ini rangkapkan kedua tangannya di depan dada.

"Aku Manusia Tangan Harimau... mengabdikan 

diri padamu, Pimpinan."

Lelaki tirus berjubah merah itu hanya keluarkan 

dengusan tanpa menatap sedikit pun pada Manusia 

Tangan Harimau. Kedua tangan kurusnya bersedekap 

di dada.

"Mana Pendekar Slebor?!!" bentaknya menggelegar 

pada Manusia Muka Kucing yang mendadak menjadi 

ciut hatinya.

"Pimpinan... aku... aku... sudah memancingnya 

untuk tiba di sini.... Kaki Kilat... dapat buktikan kebe-

naran dari kata-kataku ini. Karena... dia melihat keha-

diran Pendekar Slebor...."

"Tidak!!" terdengar suara keras itu secara tiba-

tiba.

Semua orang termasuk Ratu Hitam yang mengin-

tip pun melihat Kaki Kilat berdiri dengan kepala agak 

terangkat, "Pimpinan... apa yang dikatakan Manusia 

Muka Kucing tidak benar! Aku tidak melihat Pendekar 

Slebor ke sini?"

Terkesiap Manusia Muka Kucing mendengar kata-

kata lelaki berpakaian merah-merah itu. Hampir saja 

dia lepaskan serangan untuk hantam wajah Kaki Kilat.

Namun urung begitu mendengar bentakan Iblis 

Segala Amarah, "Jangan sekali-sekali berdusta kepa-

daku!!"

"Pimpinan...," desis Manusia Muka Kucing dengan 

wajah pias. "Lelaki itu berdusta kepadaku! Dia tadi 

mengatakan...."

"Aku tak suka banyak tanya! Cari Pendekar Slebor 

sampai dapat! Kutunggu sampai... jahanam terkutuk!!"

Memutus kata-katanya sendiri, tiba-tiba saja lela-

ki bersanggul itu gerakkan tangan kanannya ke depan.

Wuusss!!

Satu gelombang angin yang mengandung hawa 

panas dan dingin menderu dahsyat, melabrak ke satu 

semak belukar. Sebelum ranggasan semak itu terhan-

tam hancur, Iblis Segala Amarah sudah keluarkan 

bentakan, "Manusia-manusia bodoh! Apakah kalian ti-

dak tahu kalau ada cecunguk hitam yang mencuri 

dengar apa yang kalian bicarakan?!!"

Menyusul hancurnya ranggasan semak belukar 

itu, Ratu Hitam yang sama sekali tak menyangka kalau 

kehadirannya diketahui lelaki berjubah merah itu, su-

dah melompat untuk selamatkan diri. Dan sekarang, 

tak ada jalan lain kecuali menampakkan diri.

Wajah jelita perempuan ini menekuk. "Manusia 

celaka! Kita bertemu lagi di sini".

***

10


Sementara Manusia Muka Kucing, Manusia Tan-

gan Harimau dan Pendekar Slebor yang menyamar se-

bagai Kaki Kilat dan tadi sengaja berkata yang menge-

jutkan lelaki berparas kucing terdiam, Iblis Segala 

Amarah terbahak-bahak keras.

Tanah sejarak lima tombak dari tempatnya, mele-

tup-letup.

"Ratu Hitam! Bukan main! Sekian lama tak jumpa, 

kau masih jelita saja! O ya... apakah kau masih tetap 

menjadi pengikut Pendekar Cakra Sakti, hah?!"

Ratu Hitam mendelik gusar.

"Hhhh! Dasar manusia pengecut! Tak berani 

menghadapi Pendekar Cakra Sakti, kau berupaya 

mencelakakan orang lain! Bahkan... kau menghendaki 

tenaga 'Inti Petir' pada diri Pendekar Slebor! Sayang 

sekali niatmu tak akan pernah kesampaian! Karena se-

lain kau tak akan mampu menghadapi anak muda itu, 

aku pun akan menghalangi niatmu!!"

Wajah Iblis Segala Amarah menekuk geram.

"Rupanya kau benar-benar telah terpengaruh 

Pendekar Cakra Sakti! Kau yang dulunya begitu kejam 

dan telengas, kali ini berlagak suci laksana bidadari! 

Sebenarnya, aku tak menghendaki nyawamu! Yang 

kuinginkan adalah Pendekar Cakra Sakti! Tetapi seka-

rang... semuanya pupus dengan sendirinya!"

"Peduli setan apa yang kau katakan! Kau lihat, 

aku tak akan mundur satu tindak dari hadapanmu!!"

Kali ini meledak tawa lelaki berparas tirus itu.

"Bagus! Ingin kulihat kebenaran kata-katamu 

itu!!"

Sementara itu diam-diam Pendekar Slebor membatin, "Celaka! Keadaan seperti ini tak kuharapkan 

sama sekali! Berarti... semua rencanaku batal karena 

lelaki itu telah muncul dengan sendirinya! Ah, bila saja 

aku hanya seorang diri, kemungkinan besar aku masih 

dapat menyelamatkan diri. Mudah-mudahan Ratu Hi-

tam dapat mengatasi manusia satu itu. Hanya saja..."

Memutus kata batinnya sendiri, anak muda yang 

sekarang masing menyamar sebagai Kaki Kilat berkata, 

"Pimpinan! Bukan maksudku untuk menahan keingi-

nan Pimpinan! Tetapi... aku melihat kehadiran orang-

tua berpakaian putih-putih kusam dengan rambut 

panjang tak beraturan dan tubuh agak membungkuk 

di ujung jalan sana!"

Mendengar ucapan itu, Iblis Segala Amarah pa-

lingkan kepalanya.

"Busyet! Tatapannya seperti hendak menelan aku 

bulat-bulat!" kata Andika dalam hati sambil menelan 

ludahnya.

"Manusia sialan! Kau mengatakan pada lelaki mu-

ka kucing itu kalau kau melihat Pendekar Slebor! Kali 

ini kau mengatakan kau... Gila! Hei! Benarkah yang 

kau katakan itu?"

Melihat perubahan wajah lelaki tua berwajah tirus 

ini Andika buru-buru menganggukkan kepalanya.

"Benar, Pimpinan...."

"Pendekar Cakra Sakti...," desis Iblis Segala Ama-

rah dengan suara gusar. Kemudian terdengar makian-

nya pada Ratu Hitam, "Katakan padaku, di mana ma-

nusia celaka itu berada!!"

Ratu Hitam hanya cibirkan mulut.

"Dari ucapanmu, terbukti kalau kau tak berani 

menghadapiku!" sengatnya penuh ejekan.

Terdengar suara rahang dikertakkan. Menyusul 

tanpa buka suara lagi, Iblis Segala Amarah segera 

mendorong tangan kanannya.

Serta-merta menderu gelombang angin yang men-

gandung hawa panas dan dingin.

Sementara Pendekar Slebor mendengus, Ratu Hi-

tam segera membuang tubuh ke samping kanan. Dia 

memang berhasil hindari labrakan gelombang angin 

itu. Namun hawa panas dan dingin melingkupi tubuh-

nya hingga sesaat nampak dia bergetar.

"Gila! Sungguh luar biasa sekali! Apakah ini ilmu 

yang sedang diperdalamnya? Tanpa pergunakan tena-

ga 'Inti Petir' yang dimiliki Pendekar Slebor saja sudah 

sedemikian mengerikan, bagaimana bila lelaki tua ce-

laka ini berhasil menyerap tenaga 'Inti Petir' anak mu-

da itu? Dan sekarang... di mana anak muda itu bera-

da?"

Di lain pihak Manusia Muka Kucing dan Manusia 

Tangan Harimau terdiam dengan mata terbeliak dan 

mulut terbuka lebar. Sementara itu Pendekar Slebor 

yang masih menyamar sebagai Kaki Kilat membatin. 

"Kutu pitak! Sungguh suatu tenaga yang hebat sekali! 

Dari jarak sekian langkah dari tempatku, dapat kura-

sakan hawa panas dan dingin yang menyengat! Ra-

sanya... seluruh rencanaku akan berantakan karena 

aku tak mau melihat Ratu Hitam terluka! Dan lagi... 

monyet buduk! Kumis ini benar-benar hendak bikin 

aku bersin!!"

Di tempatnya Iblis Segala Amarah terbahak-bahak 

melihat wajah Ratu Hitam pias.

"Kau hanya kuberikan kesempatan tiga kali ge-

brakan!!" desisnya dan secara tiba-tiba dia berseru se-

raya dorong tangan kanannya, "Tenaga 'Api'!!"

Wusss!!

Saat itu pula menderu gelombang angin panas ke 

arah Ratu Hitam. Menyusul gelombang angin itu dua 

bongkah besar api menggulung-gulung mengerikan.

Ratu Hitam mendengus sambil menggerakkan

tombak berujung trisula yang kini telah menjadi tong-

kat.

Lima sinar hitam langsung mencelat, memapaki 

gelombang angin panas yang dilepaskan Iblis Segala 

Amarah.

Terdengar letupan yang sangat keras. Bersamaan 

letupan itu terdengar, terdengar pula pekikan Ratu Hi-

tam tatkala dua bongkah api besar melabrak ke arah 

kaki dan kepala.

Tak ada jalan lain kecuali berguling untuk hindari 

sergapan ganas itu. Dua bongkah api itu seketika 

membakar ranggasan semak dan rerumputan.

Iblis Segala Amarah yang lancarkan serangan tan-

pa geser dari tempatnya terbahak-bahak.

"Bagus! Sekarang... tenaga 'Air'!!"

Habis ucapannya, didorong tangan kirinya ke de-

pan.

Wussss!

Serentak gelombang angin dingin disusul dengan 

percikan-percikan air menderu ke arah Ratu Hitam.

Perempuan berpakaian hitam tipis menerawang 

ini kembali coba menahan dengan gerakkan tongkat 

berujung trisulanya. Kalau tadi gelombang angin itu 

berhasil diputuskan, kali ini gelombang angin yang 

menderu disusul percikan-percikan air yang justru 

menghantam pecah lima sinar hitam yang menderu. 

Dan terus mengarah pada Ratu Hitam.

Untuk kedua kalinya perempuan ini dibuat tung-

gang langgang. Bahkan hampir saja tubuhnya terbakar 

api-api yang terus menjalar membakari ranggasan se-

mak belukar.

Saat berdiri tegak, tubuhnya agak bergetar. Wajah 

jelitanya sangat pias dengan keringat yang membanjir.

Pendekar Slebor yang melihat keadaan tidak men-

guntungkan mendengus, "Terpaksa rencanaku harus

dibatalkan! Monyet pitak! Rasanya aku tak bisa mena-

han bersin lagi, nih!"

"Bagus, bagus sekali!! Kau berhasil hindari dua 

gebrakanku! Tadi kukatakan, tiga kali kau kuberi ke-

sempatan untuk bernapas! Sekarang bersiaplah untuk 

jemput kematian!!"

Di tempatnya kendati hatinya sangat tegang, Ratu 

Hitam sunggingkan senyuman mengejek.

"Kita buktikan apa yang kau katakan itu!"

"Bagus! Kau akan menerima ilmu tenaga 'Api Air' 

yang tak ada duanya!!"

"Hhhh! Kau belum mendapatkan tenaga 'Inti Petir' 

yang dimiliki Pendekar Slebor? Apakah kau masih 

akan membanggakannya juga? Jangan terlalu berlebi-

han dalam berkhayal! Dan kau memang tak pantas 

untuk berhadapan dengan Pendekar Cakra Sakti!!"

"Jahanam!! Jangan sebut-sebut julukan itu di de-

panku! Baik! Akan kuperlihatkan kepadamu!!"

Habis kata-katanya, lelaki berambut merah yang 

di sanggul itu segera putar kedua tangannya ke atas, 

lalu digerakkan ke bawah dan ke atas lagi. Kejap beri-

kutnya disatukan secara perlahan di depan dada. Me-

nyusul diiringi teriakan keras. didorong kedua tangan-

nya ke depan tetap tanpa bergeser dari tempatnya ber-

diri.

"Tenaga Api Air'!!"

Secara bersamaan dua gelombang angin mengge-

brak. Dari gebrakan yang terasa saja, sudah dapat di 

yakini kalau tiga batang pohon akan langsung tercabut 

begitu terhantam. Belum lagi secara mengejutkan satu 

bongkahan api bersamaan gelombang angin yang tim-

bulkan percikan air, menggebah. Dan menyatu dalam 

kekuatan yang mengerikan.

Ratu Hitam seketika bertambah pucat. Sesaat pe-

rempuan jelita ini merasa sebagian sukmanya tercabut

paksa.

Dia memang berhasil hindari dua gelombang an-

gin yang pertama melabrak. Namun untuk hindari 

bongkahan api dan gelombang angin yang percikan air 

dan kini telah menyatu, nampaknya sangat sulit dila-

kukan

"Celaka! Rupanya aku akan mampus sekarang!!" 

desisnya kecut.

Diiringi senyuman puas Manusia Muka Kucing 

dan Manusia Tangan Harimau, perempuan berpakaian 

hitam panjang ini seolah tak kuasa lagi untuk lakukan 

tindakan apa-apa.

Namun sebelum tubuhnya lumat terhantam tena-

ga 'Api Air" milik Iblis Segala Amarah yang kini sedang 

tersenyum puas, mendadak terdengar salakan petir 

yang sangat kuat. Menyusul suara laksana salakan 

guntur yang menghantam kesatuan bongkahan api 

dan gelombang angin yang percikan air.

Blaaaammmmm!!!

Serta-merta serangan ganas Iblis Segala Amarah 

terputus. Tempat di mana terjadi bentrokan tadi, lang-

sung rengkah. Tanah terbongkar dan bongkarannya 

membubung tinggi.

Sementara sosok Ratu Hitam sendiri terpental 

akibat getaran dari bentrokan yang terjadi.

"Jahanam keparat!!" terdengar suara Iblis Segala 

Amarah sambil palingkan kepala.

Empat pasang mata masing-masing orang yang 

berada di sana, terarah pada sosok lelaki berpakaian 

merah-merah yang terhuyung ke belakang dengan da-

da terasa sesak.

"Kaki Kilat!" desis Manusia Muka Kucing tersen-

tak. "Gila! Bagaimana mungkin dia dapat menghalangi 

serangan Pimpinan pada Ratu Hitam?!"

***

Orang yang tadi halangi serangan Iblis Segala 

Amarah bukan lain Pendekar Slebor yang masih me-

nyamar sebagai Kaki Kilat. Anak muda dari Lembah 

Kutukan tak dapat membiarkan diri Ratu Hitam men-

jadi sasaran empuk serangan lelaki berjubah merah 

itu.

Maka langsung saja Andika lepaskan tenaga 'Inti 

Petir' tingkat pamungkas. Namun begitu dirasakan ke-

kuatan lain yang sangat dahsyat dari serangan Iblis 

Segala Amarah, maka segera dilepaskan ajian 'Guntur 

Selaksa'!

Akan tetapi di luar dugaannya, tubuhnya pun ter-

seret lima langkah ke belakang. Kedua tangannya tera-

sa sangat ngilu. Dan mendadak saja kedua pipinya 

mengembung, menyusul anak muda ini muntah darah.

"Huaaaakkk!!"

Bersamaan darah kental hitam yang keluar, ku-

mis terbuat dari ijuk yang menempel terlepas pula.

Tersentak masing-masing orang yang berada di 

sana.

"Dia bukan Kaki Kilat!!" seru Manusia Muka Kuc-

ing keras. Dan mendadak saja lelaki ini sudah mener-

jang dengan kedua cakar mengembang.

Namun sebelum lelaki ini lakukan maksud, satu 

tenaga yang tak nampak telah membuat tubuhnya ter-

dorong ke samping kanan.

"Aaaakhhhh!!"

Tubuhnya langsung ambruk dan muntah darah. 

"Tak seorangpun kubiarkan untuk membunuhnya!! 

Pendekar Slebor... kecerdikanmu sungguh luar biasa!!" 

terdengar suara Iblis Segala Amarah keras.

Andika yang memang harus membuka penyama-

rannya dan menggagalkan seluruh rencananya, segera

membuka pakaian merah-merah yang dikenakannya. 

Kejap itu pula nampak pakaian hijau pupus dan kain 

bercorak catur yang melilit pada lehernya.

"Huh! Terpaksa deh! Eh, Biang kunyuk! Jadi kau 

orangnya yang menginginkan tenaga 'Inti Petir' dalam 

tubuhku? Wah! Tak usyeee yeee!!"

Ratu Hitam yang dalam keadaan terhuyung mem-

batin, "Pendekar Slebor! Sungguh sebuah kecerdikan 

sekaligus nyali kuat yang dimilikinya! Ah, tentunya dia 

memiliki rencana mengapa dia harus menyamar seper-

ti itu. Tetapi... aku telah menggagalkannya. Satu yang 

kini kuketahui... kalau pemuda itu ternyata pandai 

menyamar. Hanya saja, mampukah dia menghadapi 

Iblis Segala Amarah?"

Di tempatnya, Iblis Segala Amarah terbahak-

bahak keras.

"Semudah membalikkan telapak tanganku untuk 

mendapatkan Tenaga 'Inti Petir' yang kau miliki, Pen-

dekar Slebor! Bagus kau datang ke sini! Berarti semua 

urusan akan terselesaikan dan Pendekar Cakra Sakti 

harus mampus!!"

Andika yang sengaja mengajak lelaki berwajah ti-

rus itu bercakap-cakap lebih lama guna memulihkan 

keadaannya, berkata lagi, "Ngomong-ngomong tentang 

orangtua sakti itu... sudah tentu kau tak akan dapat 

mengalahkannya! Dia juga menitip salam padamu me-

laluiku! Katanya, aku tidak usah membunuhmu, tetapi 

cukup menjitak kepalamu sampai benjol dan pecah se-

lama berbulan-bulan! Hayo, kau mau pilih yang mana? 

Langsung mampus, atau benjol di kepalamu?!!"

Serentak tawa Iblis Segala Amarah terputus. Se-

pasang mata kelabunya tajam menusuk, laksana ko-

baran api yang tersimpan di sana.

"Kau tak akan bisa mengumbar lagi segala keko-

nyolanmu itu, Pendekar Slebor! Setelah kudapatkan

tenaga 'Inti Petir' yang kau miliki, maka kau harus 

mampus!!"

"Kehebatan tenaga 'Api Air' yang dimilikinya sung-

guh luar biasa. Entah bagaimana pula bila dia berhasil 

menggabungkan tenaga 'Api Air' dengan tenaga 'Inti 

Petir'. Wah! Kehebatannya pasti makin menjadi-jadi sa-

ja! Tetapi biar bagaimanapun juga, aku tak akan me-

nyerah begitu saja. Kendati menurut Pendekar Cakra 

Sakti dia tak akan membunuhku sebelum menda-

patkan tenaga 'Inti Petir', namun aku tak akan mem-

biarkan serangan demi serangannya mengenai sasa-

ran. Dan semuanya... hei!!"

Sejenak anak muda ini memutus kata batinnya 

sendiri. Lalu dengan kening dikernyitkan dia melan-

jutkan, "Apakah bila aku mati tenaga 'Inti Petir' yang 

kumiliki akan punah? Oh! Bodohnya aku! Sudah tentu 

tenaga itu akan punah dengan sendirinya! Kutu mo-

nyet! Masa aku baru tahu rahasia tenaga 'Inti Petir', 

sih? Atau jangan jangan... masih ada rahasia lain yang 

belum kuketahui?"

Sementara Iblis Segala Amarah masih berdiri tan-

pa keluarkan suara, Manusia Muka Kucing yang telah 

berhasil pulihkan keadaannya kendati masih merasa 

nyeri di dadanya, perlahan-lahan menghampiri Manu-

sia Tangan Harimau.

Sambil pandangi Ratu Hitam yang memandang 

curiga, lelaki yang tingginya hanya sebahu Manusia 

Tangan Harimau itu berkata, "Tangan Harimau.... Biar 

urusan Pimpinan lebih mudah, kita bunuh Ratu Hi-

tam!"

Mendengar usul itu, Manusia Tangan Harimau 

yang masih takjub dengan kesaktian Iblis Segala Ama-

rah segera mengangguk.

"Kita tunggu sampai Pimpinan menyerang Pende-

kar Slebor!" katanya dalam bisikan.

Dan serangan itu tak perlu ditunggu terlalu lama. 

Karena diiringi suara mengguntur, mendadak saja Iblis 

Segala Amarah membuka kedua telapak tangannya lu-

rus di depan dada. Lalu pergelangan tangannya dipu-

tar tiga kali ke kanan dan tiga kali ke kiri.

Di tempatnya Andika memperhatikan tanpa kedip. 

Lamat-lamat dilihatnya bagaimana kedua telapak tan-

gan lelaki berwajah tirus itu memerah dan semakin 

lama pancaran cahaya merah itu bertambah pekat.

"Kau harus merasakan ilmu "Sedot Udara" ini!!" 

menggelegar bentakan Iblis Segala Amarah.

Habis seruannya, mendadak saja satu tarikan 

yang sangat dahsyat mengarah pada Andika. Terkesiap 

bukan alang kepalang anak muda urakan ini tatkala 

merasakan tubuhnya seperti ditarik paksa untuk men-

garah pada Iblis Segala Amarah. Dirasakan bagaimana 

saat itu juga ada lecutan-lecutan keras di seluruh tu-

buhnya.

Keadaan itu bukan hanya dialami oleh Pendekar 

Slebor saja, karena Manusia Muka Kucing dan Manu-

sia Tangan Harimau yang merencanakan untuk mem-

bunuh Ratu Hitam pun terseret. Demikian pula den-

gan perempuan jelita berpakaian hitam panjang tipis 

menerawang itu.

Kejap itu pula masing-masing orang segera alirkan 

tenaga dalam pada kaki kanan kiri. Menahan tarikan 

dahsyat yang dilakukan Iblis Segala Amarah sambil 

terbahak-bahak lebar.

***

11


Tanah di mana masing-masing orang berdiri berhamburan, menyusul ranggasan semak belukar ke 

arah Iblis Segala Amarah. Dan begitu mendekat ter-

dengar letupan keras bersamaan muncratnya tanah 

dan ranggasan semak yang mengarah padanya. Lang-

sung berhamburan. Wajah lelaki berjubah merah itu 

mengeras. Nampak jelas kalau dia sedang keluarkan 

tenaga sedotnya.

Getah-getah pohon yang dipergunakan Pendekar 

Slebor untuk menyamarkan wajahnya menyerupai si 

Kaki Kilat pun meleleh karena anak muda itu sedang 

kerahkan tenaga dalamnya guna menahan tarikan 

dahsyat itu. Hingga nampaklah wajah tampannya yang 

kali ini terlihat tegang.

"Gila! Tenaga sedotnya sungguh dahsyat! Dan dia 

benar-benar tak perduli dengan Manusia Muka Kucing 

Karena manusia itu pun tersedot! Celaka! Nampaknya 

lelaki itu tak berdaya sama sekali!"

Di tempatnya, Manusia Muka Kucing keluarkan 

gerengan keras. Wajahnya terasa sakit dengan dada 

yang langsung sesak. Kedua tangan dan kakinya ber-

getar hebat.

Dan mendadak sekali, tubuhnya mencelat ke arah 

Iblis Segala Amarah. Celatan itu disebabkan karena 

kedua kakinya sudah tak kuasa menahan tarikan te-

naga Iblis Segala Amarah.

Melihat hal itu, dengan susah payah Andika beru-

saha rentangkan kedua tangannya disertai alirkan te-

naga 'Inti Petir'. Saat dikeluarkan tenaga 'Inti Petir' ke-

ringat kontan membasahi seluruh tubuhnya. Dengan 

bantuan tenaga 'Inti Petir' dia berusaha untuk meng-

geser tubuh guna menahan celatan tubuh Manusia 

Muka Kucing.

Namun yang mengejutkan, karena mendadak saja 

terasa ada tenaga yang keluar dari tubuhnya. Terke-

siap bukan alang kepalang anak muda urakan ini.

"Kutu monyet! Rupanya ilmu yang diperlihatkan 

Iblis Segala Amarah, sengaja memancingku untuk ke-

luarkan tenaga 'Inti Petir'. Dan dia berhasil menyedot-

nya! Aku harus tutup tenagaku! Tetapi, bagaimana 

dengan Manusia Muka Kucing?"

Ratu Hitam yang mengalami siksaan serupa 

membatin, "Huh! Mengapa anak muda itu mau meno-

long Manusia Muka Kucing? Biarkan saja dia mampus! 

Toh hiduppun hanya menjadi duri belaka! Keparat ter-

kutuk! Lama kelamaan jelas aku tak bisa menahan ta-

rikan tenaga manusia celaka itu!!"

Mendadak terdengar suara keras, "Breettt!!"

Pakaian bawah Ratu Hitam sobek terseret tenaga 

sedotan itu. Kejap itu pula nampak bungkahan kedua 

pahanya yang putih mulus. Masih untung sobekan itu 

tidak sampai ke pangkal paha.

Marah akan keadaan dirinya, Ratu Hitam kertak-

kan rahang. Lalu tiba-tiba dia melesat ke depan diser-

tai gerengan, "Bertahan juga tak ada gunanya! Lebih 

baik mencoba!!"

Lesatan tubuh Ratu Hitam mendahului celatan 

sosok Manusia Muka Kucing.

Melihat apa yang akan dilakukan Ratu Hitam, An-

dika terkejut bukan main.

"Dia hanya mengorbankan nyawa belaka!" desis-

nya keras.

Dan secara tiba-tiba anak muda ini menyambar 

kain bercorak caturnya yang tak terlepas karena melilit 

pada lehernya. Dengan kerahkan tenaga dalamnya, di-

ayunkan kain bercorak catur itu.

Bltaaaarrr!!

Terdengar suara dahsyat laksana ribuan tawon 

murka, disusul dengan gelombang angin menggemu-

ruh.

Di depan, Iblis Segala Amarah yang siap mengirim

Ratu Hitam ke akhirat, nampak terkejut. Dia segera 

geser kaki kanannya dua tindak. Gerakan yang dila-

kukannya mau tak mau mengubah arah sedotan tena-

ganya, hingga sosok Manusia Muka Kucing dan Ratu 

Hitam langsung terpelanting ke samping kanan. Se-

mentara Manusia Tangan Harimau yang juga sudah 

terseret hingga kakinya amblas sampai lutut pun ter-

pelanting.

Bersamaan mengubah kedudukannya, Iblis Segala 

Amarah mendorong tangan kirinya. Serta-merta meng-

gebah gelombang angin berhawa dingin disusul dengan 

gelombang angin yang keluarkan percikan air.

Blaaammmm!!!

Begitu dahsyatnya bentrokan yang kemudian ter-

jadi. Tanah di mana terjadinya bentrokan itu langsung 

muncrat ke udara dan tatkala sirap, nampak sebuah 

lubang menganga lebar.

Di seberang, sosok Pendekar Slebor terlempar de-

ras dua tombak ke belakang dan ambruk di atas ta-

nah. Sadar bila dia tak segera berdiri nyawanya akan 

melayang, pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Ku-

tukan ini segera berdiri. Saat berdiri tubuhnya agak 

terhuyung dan terlihat darah segar keluar dari hi-

dungnya.

Tetapi dasar urakan, kendati rasa sakitnya tidak 

ketulungan dia justru berseru konyol "Wah! Masa Cu-

ma begitu saja sih kehebatanmu? Aku jadi tidak enak 

nih menghadapimu!!"

Di depan Iblis Segala Amarah terbahak-bahak ke-

ras.

"Kau tak akan mampu menghadapiku, Pendekar 

Slebor!! Kau barang berharga yang tak akan kule-

paskan! Manusia Muka Kucing! Bunuh perempuan 

itu!!"

Mendengar perintah, Manusia Muka Kucing yang

telah berdiri langsung melompat dengan kedua tangan 

mengembang membentuk cakar ke arah Ratu Hitam. 

Perempuan jelita yang tongkat berujung trisulanya su-

dah terlepas begitu tenaga sedotan Iblis Segala Amarah 

menerjang, langsung membuang tubuh.

Dan sebelum dia berdiri kembali, Manusia Tangan 

Harimau sudah menggebah dengan kedua tangannya 

yang penuh bulu hingga siku.

"Jahanam!!" rutuk Ratu Hitam sambil melompat 

dan langsung menerjang.

Di lain pihak, Andika membatin, "Rupanya tenaga 

sedotan lelaki buruk rupa itu bisa diatur! Dan kali ini 

tentunya akan mengarah padaku! Celaka tiga belas! 

Bisa putus nih nyawaku sekarang!!"

Apa yang diduga anak muda ini memang benar. 

Karena Iblis Segala Amarah sudah mencecarnya den-

gan tenaga 'Api Air'. Gelombang angin panas yang dis-

usul dengan bongkahan bola api bersatu dengan ge-

lombang angin dingin yang disusul gelombang angin 

yang keluarkan percikan air.

Memucat wajah anak muda itu. Namun untuk 

menghindarpun rasanya sulit dilakukan. Sambil ge-

rakkan kain pusaka bercorak catur, anak muda ini te-

lah gabungkan dengan ajian 'Guntur Selaksa'.

Terdengar suara laksana sambaran guntur meng-

gebah mengerikan. Dan lebih dahsyat lagi akibat yang 

terjadi setelah berbentrokan dengan tenaga 'Api Air' Ib-

lis Segala Amarah.

Kontan tempat itu seperti bergoyang. Batu besar 

yang sejak tadi tak bergeser dari tempatnya, sekarang 

bukan hanya bergeser. Tetapi juga retak dan pecah be-

rantakan.

Manusia Muka Kucing dan Manusia Tangan Ha-

rimau yang sedang mencecar Ratu Hitam pun terpe-

lanting. Tak terkecuali perempuan jelita yang kali ini

menyerang juga berusaha untuk tutupi auratnya.

Untuk kedua kalinya Pendekar Slebor terpelanting 

deras ke belakang. Kali ini darah bukan hanya keluar 

dari hidungnya, tetapi menyentak keluar dari mulut-

nya.

Sementara Iblis Segala Amarah hanya bergeser 

dua tindak ke belakang. Lelaki berambut merah dis-

anggul ini cukup terkejut karena merasa ngilu pada 

tangannya. Namun melihat sosok Pendekar Slebor 

yang sempoyongan, serta-merta dikeluarkan kembali 

ilmu 'Sedot Sukma'!

Saat itu pula Andika merasa tubuhnya seperti di-

tarik paksa ke arah Iblis Segala Amarah.

Di lain pihak, Ratu Hitam yang terpental akibat 

benturan keras terjadi tadi, jatuh secara tak sengaja di 

dekat tongkat berujung trisulanya. Dan tatkala melihat 

bagaimana kalutnya Pendekar Slebor yang sedang me-

nahan tarikan dahsyat dari ilmu 'Sedot Sukma' milik 

Iblis Segala Amarah, dengan kerahkan sisa-sisa tenaga 

dalamnya dilemparnya tongkat berujung trisula itu.

Kontan mencelat sinar hitam mengerikan ke arah 

lelaki berjubah merah itu. Iblis Segala Amarah nampak 

tidak terkejut, bahkan mendadak saja lesatan tongkat 

berujung trisula itu bertambah cepat ke arahnya dan 

seolah dibiarkan menancap di tubuhnya.

Namun masih separuh jalan, mendadak saja 

tongkat berujung trisula itu patah. Tak sampai di situ 

saja terjadi, karena mendadak saja tongkat itu luruh 

menjadi debu. Laksana copot jantung Ratu Hitam me-

lihatnya. Apalagi Manusia Muka Kucing dan Manusia 

Tangan Harimau telah menerjang kembali dengan ga-

nas.

Di lain pihak, sosok Pendekar Slebor terus melun-

cur mengikuti tarikan kedua telapak tangan Iblis Sega-

la Amarah.

"Kutu monyet! Aku bisa mampus!!" maki anak 

muda itu dengan wajah memucat. Dan karena masih 

suka makan nasi uduk, anak muda ini mendadak saja 

melempar kain bercorak catur yang diiringi ajian 

'Guntur Selaksa'.

Salakan guntur yang terdengar seolah teredam 

oleh tenaga dari sedotan lawan. Namun lesatan kain 

bercorak catur yang keluarkan suara laksana ribuan 

tawon marah, terus meluncur.

Seperti halnya yang dialami tongkat berujung tri-

sula milik Ratu Hitam, kain pusaka itu terus melesat. 

Namun tidak tertahan, robek maupun lebur di tengah 

jalan. Bahkan terus meluncur.

Kali ini terlihat wajah Iblis Segala Amarah pias. 

Kedua telapak tangannya yang membuka mengarah 

pada Andika, dilencengkan ke kanan.

Saat itu pula terdengar suara letupan cukup ke-

ras.

Blaaarmm!!

Kain bercorak catur mencelat balik. Andika yang 

begitu kedua tangan Iblis Segala Amarah diarahkan 

pada kain bercorak catur, dapat bernapas longgar se-

saat, langsung melompat menyambar kain bercorak 

catur itu.

Begitu kedua kakinya menginjak tanah, serta-

merta tubuhnya mencelat lagi ke depan. Kembali dipa-

dukan ajian 'Guntur Selaksa' dengan kesaktian kain 

bercorak catur.

Wrrrrr!!

Suara menggemuruh disertai dengungan mengeri-

kan terdengar menggebah. Ranggasan semak belukar 

tercabut dan terseret, bersama gelombang angin dah-

syat mengarah pada Iblis Segala Amarah.

Lelaki berjubah merah itu memekik tertahan. Un-

tuk pertama kalinya dia menghindari serangan yang

datang.

Sadar kalau lawan mulai kehilangan bentuk se-

rangannya, anak muda urakan ini terus memompa 

semangatnya untuk lakukan terjangan-terjangan ber-

bahaya. Berulangkali suara salakan guntur disertai 

dengungan ribuan tawon marah silih berganti terden-

gar. Sementara itu dikawal makian-makian keras, Iblis 

Segala Amarah berusaha untuk menghindar. Bahkan 

dia masih sempat pula memberikan balasan yang be-

rarti.

Hingga tiga gebrakan berikutnya, masing-masing 

orang surut lima langkah ke belakang. Pendekar Slebor 

merasa jantungnya berpacu lebih cepat dengan napas 

yang makin terengah. Keringat bertambah mengaliri 

sekujur tubuhnya. Darah mengalir lagi dari hidungnya.

Di seberang, Iblis Segala Amarah membatin den-

gan napas setengah megap-megap, "Tak kusangka... 

selain memiliki kesaktian yang tinggi, anak muda ini 

juga punya kekerasan dalam hatinya. Semangatnya 

begitu tinggi hingga seperti tak terpikirkan untuk 

mundur atau menghindari pertarungan ini. Hhh.. Dari 

ucapan sebelumnya, dia nampaknya telah mengambil 

alih perhitunganku dengan Pendekar Cakra Sakti! Kali 

ini... persetan apakah aku akan memiliki tenaga 'Inti 

Petir' atau tidak. Pendekar Cakra Sakti tak akan mam-

pu meladeniku! Sebagai gantinya, akan kucabut nyawa 

anak muda itu!!"

Memutuskan demikian, dengan sesekali lepaskan 

tenaga 'Api Air' yang mengerikan disusul dengan ilmu 

'Sedot Sukma', Iblis Segala Amarah kembali berhasil 

membuat kacau pertahanan sekaligus penyerangan 

Pendekar Slebor.

Anak muda urakan ini benar-benar kacau balau 

sekarang. Tak sekalipun dia diberikan kesempatan un-

tuk membalas kecuali melompat-lompat seperti monyet

kebakar ekornya.

"Monyet pitak! Kali ini nampaknya dia memang 

hendak mencabut nyawaku!" dengusnya dalam hati.

Dengan andalkan ilmu peringan tubuhnya yang 

kesohor, anak muda ini memang berhasil hindari se-

tiap serangan. Namun tenaga sedotan dari ilmu 'Sedot 

Sukma' membuat tubuhnya seperti meregang-regang.

"Celaka! Benar-benar celaka! Aku tak akan bisa 

bertahan sekarang!" desisnya sambil gerakkan kain 

bercorak catur. Namun sebelum digerakkan, kain pu-

saka itu telah terhantam. Memang tidak robek, tetapi 

malah menutupi sekujur tubuhnya.

Gelagapan anak muda ini berusaha membebaskan 

diri dari lilitan kain pusakanya sendiri. Namun saat 

itulah Iblis Segala Amarah mencelat ke depan disertai 

suara menggelegar, "Peduli setan dengan apa yang ku

hendaki sebelumnya! Kali ini kau akan mampus!!"

Lalu tanpa sempat dielakkan atau ditahan lagi, 

tubuh Pendekar Slebor terhantam telak tenaga Api Air'. 

Terpental ke belakang anak muda ini disertai pekikan-

nya yang keras. Hawa panas dan dingin melingkupinya 

sesaat.

Dan pentalan tubuhnya terhenti tatkala menabrak 

sebuah pohon. Tanpa hiraukan sekujur tubuhnya yang 

laksana diinjak puluhan kerbau ngamuk, anak muda 

itu berdiri agak sempoyongan. Nyeri tak terkira dirasa-

kannya. Dia menduga kalau kain bercorak caturnya 

miliknya telah sobek.

***

12


Namun apa yang dilihatnya kemudian, membuat

keningnya berkerut. Karena kain pusaka bercorak ca-

tur tidak robek sedikitpun juga. Bahkan dirasakan 

hawa panas dan dingin yang melingkupinya sirna per-

lahan-lahan.

"Bodohnya aku!!" desisnya dalam hati. "Kain pu-

saka ini dapat kujadikan sebagai tameng!! Tetapi... ba-

gaimana bila salah? Peduli kutu-kutu badak! Aku ha-

rus mencobanya!!"

Berpikir demikian, kain pusaka bercorak catur 

yang masih melilit di tubuhnya, semakin dililitkan 

dengan membebaskan kedua tangannya. Dengan kain 

bercorak catur dijadikan sebagai tameng Pendekar 

Slebor mencelat ke depan.

Bersamaan dengan itu, empat sosok tubuh datang 

ke sana. Salah seorang yang wajahnya ditutupi cadar 

biru tipis, langsung membantu Ratu Hitam yang se-

dang dikeroyok Manusia Muka Kucing dan Manusia 

Tangan Harimau.

Sosok tubuh yang tak lain Dewi Cadar Biru 

adanya, menyerang Manusia Muka Kucing yang ter-

sentak kaget. Di lain pihak, Ratu Hitam yang mulai 

agak terbebas dari rangkaian dua serangan ganas, kali 

ini berhasil mencecar Manusia Tangan Harimau.

Tiga orang lainnya yang baru muncul memperha-

tikan pertarungan itu dengan hati tegang. Sesungguh-

nya, ketiga murid mendiang Malaikat Keadilan ini hen-

dak turun tangan. Namun mereka adalah para remaja 

berjiwa kesatria. Tidak mau melakukan pengeroyokan 

karena merasa masing-masing orang berimbang.

Sementara itu dengan menjadikan kain bercorak 

catur sebagai tameng, Pendekar Slebor leluasa le-

paskan ajian 'Guntur Selaksa'. Bahkan dipadukan 

dengan tenaga 'Inti Petir' tingkat pamungkas.

Gedoran tenaga 'Api Air' lawan memang berhasil 

membuat serangannya sesekali tertahan. Namun tak

membuatnya cidera. Kekeras kepalaannya malah ber-

tambah menjadi-jadi. Dia terus maju mencecar. Yang 

membahayakan di saat Iblis Segala Amarah yang kini 

sudah agak memucat melepaskan ilmu 'Sedot Sukma'.

Tubuhnya seketika terbetot ke depan. Namun kali 

ini sedotan itu tak terlalu keras, karena sosoknya ter-

balut oleh kain pusaka bercorak catur. Kedua tangan-

nya yang bebas pun melepaskan gabungan ajian 

'Guntur Selaksa' dan tenaga "Inti Petir'.

Hingga satu ketika, kaki kanan Iblis Segala Ama-

rah terhantam telak gabungan serangan itu. Kontan le-

laki berjubah merah ini menjerit keras tatkala terden-

gar suara 'krak' disusul tubuhnya sempoyongan am-

bruk.

Andika sendiri tak mau bertindak ayal. Dia segera 

mencelat ke depan. Dua pukulannya telak menghan-

tam kedua pangkal tangan Iblis Segala Amarah yang 

seketika remuk. Meraung keras laksana kambing dis-

embelih lelaki berwajah tirus itu. Sosoknya makin ber-

gulingan keras, ke sana-kemari menjemput sekarat.

Di lain pihak, Ratu Hitam yang kini sadar tak bo-

leh berbenturan dengan kedua tangan Manusia Tan-

gan Harimau, segera mencecar kedua kaki lawan. Dan 

begitu dia berhasil menyepak kaki kiri Manusia Tan-

gan Harimau, pukulannya langsung menghantam paha 

kanan lelaki itu yang seketika remuk dan terbanting ke 

atas tanah.

Dan dia memang tak mau bertindak penuh belas 

kasihan, karena orang seperti Manusia Tangan Hari-

mau memang tak perlu dikasihani. Selagi lelaki itu ke-

lojotan, perempuan berpakaian hitam tipis itu sudah 

melesat dan menginjak kepala Manusia Tangan Hari-

mau.

Bersamaan suara 'krak' yang cukup keras terden-

gar, tubuh lelaki itu melonjak ke atas sebelum akhir

nya ambruk kembali ke tanah. Dari kepalanya yang 

pecah mengalir cairan putih dan merah. Ratu Hitam 

sendiri, langsung ambruk berlutut dengan napas me-

gap-megap.

Di lain pihak, melihat apa yang dialami Iblis Sega-

la Amarah dan Manusia Tangan Harimau, lelaki berpa-

ras kucing timbul rasa takutnya. Dan setelah lepaskan 

serangan membabi buta pada Dewi Cadar Biru, lelaki 

ini langsung melesat untuk meloloskan diri.

Namun mendadak saja enam buah cahaya bening 

yang terlontar sekaligus, bukan hanya menahan tu-

buhnya, tetapi juga menghantam dan sekaligus mengi-

rimnya ke neraka.

Rupanya ketiga murid Malaikat Keadilan yang me-

lihat gelagat, sudah lepaskan pukulan 'Tebar Cahaya 

Maut' secara serempak dan tanpa dikomando.

Pada saat nyawa Manusia Muka Kucing melayang, 

nyawa Iblis Segala Amarah pun berada di ujung tan-

duk. Lelaki ini sesekali memang masih bisa hindari se-

rangan Andika, namun dua kejap berikutnya, secara 

mendadak Andika telah lepaskan lilitan kain bercorak 

catur pada tubuhnya dan segera dikibaskan dengan 

cepat.

Cltaaarrr!!

Dessss!!

Ujung kain bercorak catur menghantam dada le-

laki berjubah merah itu yang seketika melolong tinggi 

karena dadanya bolong! Namun nyawanya masih lekat 

pada tubuh, karena setelah memakan waktu yang cu-

kup lama sekarat, akhirnya diapun meregang nyawa. 

Sosoknya langsung terkulai dengan dada yang kelua-

rkan asap.

Pendekar Slebor sendiri terhuyung ke belakang. 

Setelah dapat kuasai keseimbangannya, dia pun segera 

rangkapkan kedua tangannya di depan dada untuk

memulihkan tenaganya kembali.

Ketiga murid mendiang Malaikat Keadilan segera 

menghampiri Dewi Cadar Biru yang langsung menem-

pelkan telunjuknya pada bibir tanda tak perlu kelua-

rkan suara.

Mereka menunggu beberapa saat sebelum Pende-

kar Slebor selesai bersemadi. Lalu sambil nyengir dia 

lilitkan kembali kain bercorak catur pada lehernya.

Dan berkata konyol, "Busyet! Lagi ada reuni, nih! 

Wah, bagus itu! Sebagai orang luar... aku tidak mau 

ikutan, ah! Yuk! Cabut dulu!!"

Hanya itu yang dikatakan oleh Andika, karena 

dengan santainya dia segera melangkah meninggalkan 

yang lainnya.

Arya Sempala yang hendak meminta maaf atas si-

kapnya beberapa waktu lalu, urung berkata karena 

mendengar suara Dewi Cadar Biru, "Biarkan dia berla-

lu. Anak muda itu telah kita susahkan dengan urusan 

yang seharusnya bukan miliknya...."

"Kau benar, Dewi Cadar Biru," terdengar suara 

itu. Ratu Hitam yang telah berdiri untuk pertama ka-

linya tersenyum. "Aku pun tak punya banyak waktu 

untuk bercakap-cakap. Bila umur masih panjang, ku-

harap kita dapat berjumpa kembali...."

Habis kata-katanya, dengan tangan kanan meme-

gang dadanya yang masih terasa sakit, perempuan itu 

pun segera berlalu.

Tinggal mereka yang masih berada di sana, sementara hari pun beranjak menuju senja.



SELESAI



Segera menyusul:

PEDANG BUNTUNG



















Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive