IBLIS SEGALA AMARAH
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1
Selimut pagi menyeruak alam kembali dalam ben-
tangan mata langit cerah dan semilir angin sejuk. Be-
berapa ekor burung beterbangan, melompat dan hing-
gap dari satu dahan ke dahan lain. Lalu hinggap pada
ranggasan semak hingga berayun-ayun. Menyusul se-
gera dikepakkan sayapnya dan terbang kian kemari.
Dalam keasrian alam yang indah, nampak satu
sosok tubuh berpakaian hijau pupus yang tak lain
Pendekar Slebor adanya tiba di sebuah jalan setapak di
sebelah barat Gunung Kerambang yang berdiri ang-
kuh.
Anak muda urakan yang baru berpisah dari Jaya
Lantung dan Werdaningsih ini perhatikan sekeliling-
nya. Di kanan kiri dipenuhi ranggasan semak belukar
dan beberapa pohon yang antara satu dengan lainnya
berjarak cukup jauh.
"Kaki Kilat telah lumpuh. Fitnah yang melekat di
diriku paling tidak sedikit demi sedikit telah lenyap.
Jaya Lantung dan Werdaningsih telah mendengar dari
mulut Kaki Kilat sendiri, kalau dialah yang membunuh
guru mereka. Hmmr... hanya tinggal menjelaskan pada
Arya Sempala saja, kendati saat itu Dewi Cadar Biru
nampaknya tidak percaya kalau aku yang membunuh
Malaikat Keadilan...."
Sebelum tiba di jalan ini, pemuda yang di lehernya
melilit secarik kain bercorak catur ini berjumpa den-
gan Manusia Muka Kucing yang sedang lancarkan se-
rangan pada Dewi Cadar Biru. Tokoh keji yang mem-
buatnya penasaran untuk mengetahui ada apa di balik
semua pembantaian yang dilakukannya, justru tak
menangkap atau membunuhnya. Padahal beberapa to-
koh telah dibunuhnya karena tak mau mengatakan di
mana Andika berada.
Manusia Muka Kucing yang juga turut dalam
pembunuhan pada Malaikat Keadilan, mencoba me-
mancing kemarahan Dewi Cadar Biru dengan memfit-
nah Pendekar Slebor selaku pembunuh. Perempuan je-
lita bercadar biru untuk sesaat meragu, apalagi setelah
mengetahui kalau pemuda itulah yang berjuluk Pen-
dekar Slebor. Di saat itulah muncul Arya Sempala yang
sebelumnya memang menuduh Andika sebagai pem-
bunuh gurunya.
Secara bersamaan Manusia Muka Kucing pergu-
nakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Andika
sendiri tak bermaksud untuk meladeni Arya Sempala.
Ditinggalkannya pemuda itu yang sedang geram di sisi
Dewi Cadar Biru.
Lalu dia pun berjumpa dengan Jaya Lantung dan
Werdaningsih yang sedang dipermainkan oleh Kaki Ki-
lat. Berkat bantuan Andika, Kaki Kilat dapat dilum-
puhkan.
Dan anak muda ini bersyukur karena secara tak
langsung, Kaki Kilat telah membuka mulut, kalau di-
rinya dan Manusia Muka Kucing lah yang telah mem-
bunuh Malaikat Keadilan.
Sekarang, anak muda berambut gondrong acak-
acakan ini memandang tak berkedip pada Gunung Ke-
rambang yang berdiri angkuh. Timbunan kabut putih
masih melingkupi puncak dan tubuh gunung itu.
"Seperti menyimpan misteri yang dalam, sebuah
misteri yang tak pernah terpecahkan dan dapat mun-
cul secara tiba-tiba.... Sama halnya mengapa Manusia
Muka Kucing tak lakukan tindakan apa-apa tatkala
bertemu denganku, padahal dia membunuhi siapa saja
yang tak mau mengatakan di mana aku berada. Ada
apa ini? Jangan-jangan... ada orang lain dibelakang
Manusia Muka Kucing? Tetapi siapa?"
Pemuda cerdik yang memiliki sepasang alis hitam
tebal dan menukik laksana kepakan sayap elang, ter-
diam. Tangan kanannya memegang dagunya.
"Hmm... kalau memang dugaanku benar ada
orang lain di belakang Manusia Muka Kucing, apa se-
benarnya yang diinginkan orang itu? Bukankah lebih
baik bila Manusia Muka Kucing menangkap atau
membunuhku? Atau... ada sesuatu yang dikehendaki
oleh orang di belakang Manusia Muka Kucing? Kutu
monyet! Aku kok jadi makin penasaran saja!!"
Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan
ini garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Benar-benar kutu monyet! Ada apa sih sebenar-
nya? Huh! Bila berjumpa lagi dengan Manusia Muka
Kucing, tak akan kulepaskan dia!! Gara-garanyalah
kepalaku bisa pecah sewaktu-waktu!" dengusnya jeng-
kel. Kejap kemudian dia tertawa sendirian, "Eh! Jan-
gan pecah dulu, ah! Aku masih doyan makan nasi
uduk!"
Kembali Pendekar Slebor edarkan pandangannya
ke sekeliling. Lalu arahkan lagi pada Gunung Keram-
bang. Namun kejap itu pula dipalingkan lagi ke arah
kanan.
Sejenak nampak keningnya berkerut.
"Busyet! Apakah aku tidak salah lihat? Ada
bayangan hitam yang berkelebat cepat! Siapakah...
heiii!"
Terputus kata-kata pemuda urakan pewaris ilmu
Pendekar Lembah Kutukan ini tatkala secara tiba-tiba
satu gelombang angin dahsyat diiringi cahaya hitam
yang keluarkan hawa dingin melabrak ke arahnya.
Tak sempat memikirkan dari mana asal angin dan
sinar hitam itu, Andika cepat membuang tubuh ke
samping kanan. Dan....
Blaaarrr!!
Tanah yang tadi dipijaknya langsung terbongkar
begitu terhantam angin dan sinar hitam ganas. Bong-
karan tanah itu berhamburan ke udara.
Belum lagi Andika berdiri tegak, kali ini dua ham-
paran angin dipadu dengan dua cahaya hitam mela-
brak kembali. Udara yang masih cukup dingin, kali ini
bertambah sangat dingin.
"Monyet pitak!! Apa-apaan ini?!" makinya sambil
melompat ke samping kiri, lalu bergulingan dan berdiri
tegak kembali.
Blaarr! Blaarrr!!
Dua kali terdengar letupan keras disusul dengan
muncratnya ranggasan semak belukar dipadu dengan
tanah ke udara.
Sejenak Pendekar Slebor arahkan pandangan ber-
keliling. Kedua tangannya nampak berada di depan
dada, bersiap dan telah dialirkan tenaga Inti Petir'
tingkat kesepuluh. Namun tunggu punya tunggu, tak
ada lagi serangan yang datang.
Sejenak Andika kerutkan keningnya.
"Kutu monyet! Apakah orang itu sudah jera untuk
menyerangku karena gagal terus? Nah! Kalau sudah
tahu siapa aku, memang tidak ada yang akan berani
nekat menyerang?!" selorohnya konyol. Lalu sambung-
nya, "Siapa dulu dong orangnya? Andika...."
Belum habis kata-katanya terdengar, mendadak
menggebrak kembali gelombang angin dahsyat disertai
lesatan sinar hitam. Suara yang keluar bukan alang
kepalang mengerikannya.
Terkejut Andika mendapati labrakan ganas yang
datang. Untuk menghindar pun sulit dilakukan karena
sinar hitam dipadu gelombang angin itu menderu lebih
cepat dari yang pertama dan kedua. Maka tak ada ja-
lan lain kecuali memapaki.
Sambil geser kaki kirinya sedikit, kedua tangan
yang telah dialiri tenaga 'Inti Petir' segera ditekuk ke
atas di depan wajah.
Blaaammm!!
Letupan terdengar keras begitu bentrokan terjadi.
Sinar hitam itu muncrat ke udara yang untuk sesaat
menodai indahnya sinar surya.
Dan... astaga!! Tubuh Pendekar Slebor sampai
terhuyung ke belakang tiga tindak, sementara sinar hi-
tam yang entah dari mana datangnya kembali mende-
ru.
"Monyet pitak! Siapa sih yang iseng lancarkan se-
rangan begini? Bisa konyol kalau tidak segera kusele-
saikan nih! Huh! Satu urusan belum selesai, sudah di-
hadang urusan lain!!"
Lalu sambil buang tubuhnya kesamping kanan,
Andika yang sempat melihat arah datangnya serangan
tadi, segera melompat ke depan, ke balik ranggasan
semak belukar. Seraya keluarkan suara dia gerakkan
tangan kanan nya, "Hayo, Anak-anak! Jangan sem-
bunyi terus! Kau mulai bikin jengkel Pak Guru, nih!!"
Ranggasan semak belukar itu langsung tercabut
begitu terkena pukulannya. Serta-merta mencelat ke
depan satu sosok tubuh yang hanya sekali putar tu-
buh sosoknya sudah hinggap di atas tanah dengan
ringannya.
Andika sendiri segera balikkan tubuhnya. Sejenak
kedua matanya terbeliak lebar sebelum nyengir, "Wah!
Bagus sekali pakaian yang kau kenakan tuh! Di mana
belinya, ya? Seharusnya kau beli yang lebih tipis lagi?
Kali saja kan... asyik betul!!"
Sosok tubuh yang ternyata seorang perempuan itu
bergerak ke kanan. Wajahnya begitu jelita sekali den-
gan kulit putih yang menawan. Mengenakan pakaian
serba hitam, panjang dan tipis hingga perlihatkan le-
kuk tubuhnya. Bahkan bagian bawah pakaiannya terbelah hingga ke pangkal paha. Di kepalanya terdapat
sebuah mahkota bersusun tiga yang dipenuhi butiran
mutiara. Saat berdiri tegak angin nakal meniup pa-
kaian dan mengibarkannya, hingga gumpalan pahanya
yang mulus begitu jelas terpampang. Di tangan ka-
nannya, terdapat sebuah tombak yang di ujungnya
terdapat trisula.
Untuk sesaat perempuan ini tak buka suara. Pan-
dangannya tak berkedip pada Andika yang sedang ga-
ruk-garuk kepalanya. Kejap kemudian, terdengar kata-
katanya, "Anak muda... engkaukah yang berjuluk Pen-
dekar Slebor?"
"Wah! Mana bisa kau menebak-nebak begitu? Eh!
Kalau aku boleh menduga, apakah kau yang berjuluk
Ratu Slebor?" balas Andika tengik. Lalu sambungnya
dalam hati, "Tatapan dan cara bicaranya begitu kasar
sekali. Aku harus berhati-hati."
Wajah jelita si perempuan menekuk. Bibirnya me-
rapat dingin dengan tatapan bertambah menusuk.
Tiba-tiba dia berseru menggelegar, "Jawab perta-
nyaanku! Jangan sampai kau sesali kebodohanmu
ini!!"
Justru sikap yang diperlihatkan perempuan itu
makin membuat anak muda urakan ini bertambah
urakan. Sembari perlihatkan cengirannya dulu, dia
berkata. "Kalau kau tidak mau membenarkan dugaan-
ku tadi, mana bisa kujawab?!"
"Baik! Aku datang dari Lembah Hitam! Julukanku
Ratu Hitam! Cepat katakan siapa kau sebenarnya, se-
belum mampus berkalang tanah!!"
"Ratu Hitam.... Ratu Hitam.... Baru kali ini kuden-
gar julukannya. Begitu angker dan mengerikan. Sikap-
nya pun sungguh tak ramah. Dari caranya bertanya,
jelas dia sangat menginginkanku. Tetapi, dia hanya ta-
hu tentang julukanku dan tak mengenal siapa Pendekar Slebor sebenarnya. Aku tak boleh bertindak gega-
bah."
Habis membatin begitu, Andika berkata, "Kau se-
benarnya kenapa sih? Kok begitu getol menyangkaku
Pendekar Slebor?!"
"Jangan berdalih! Ciri-ciri yang melekat padamu,
adalah ciri-ciri Pendekar Slebor!" sentak Ratu Hitam
sambil menuding.
"Busyet! Kalau kau berpatokan pada ciri-ciri se-
seorang, begitu melihatmu aku jadi teringat seseorang
juga! Kupikir kau pedagang pecel di pasar Jantung
yang genit itu! Eh, tidak tahunya bukan!"
"Keparat!! Aku tak mungkin salah! Orang yang
menyuruhku jelas mengatakan seperti pemuda inilah
ciri-ciri Pendekar Slebor! Bahkan dia mengatakan, ka-
lau Pendekar Slebor memiliki tenaga 'Inti Petir' yang
mengerikan. Tadi memang kudengar seperti salakan
petir di saat dia menahan seranganku. Hanya karena
gemuruh angin yang terdengar kuat dari seranganku
saja suaranya jadi agak tersamar. Baiknya, kuuji saja
sekali lagi!!"
Memutuskan demikian, tanpa geser tubuhnya, pe-
rempuan jelita berpakaian tipis menerawang ini men-
dadak gerakkan tombak yang dipegangnya. Saat itu
pula sinar hitam meluncur deras disertai angin keras
ke arah Pendekar Slebor.
"Busyet! Rupanya sinar hitam itu berasal dari
tombak yang di ujungnya terdapat trisula!!" desisnya
sambil buang tubuh ke kanan.
Sementara tanah yang dipijaknya tadi langsung
terbongkar begitu terhantam sinar hitam.
Menyusul Ratu Hitam terus menerus gerakkan
tangan kanannya yang memegang tombak. Hingga te-
rus menerus pula sinar-sinar hitam yang diiringi ge-
muruh angin itu menderu dan meletup. Menghantam
tanah, batang kayu dan ranggasan semak belukar.
Namun pemuda tampan yang di lehernya melilit
kain bercorak catur ini masih terus saja menghindar
dengan pergunakan ilmu peringan tubuhnya. Kalau
semula Andika tadi memapaki itu disebabkan karena
dia tidak tahu dari mana asal serangan. Kali ini orang
yang melancarkan serangan berada di hadapannya,
sudah tentu dengan mudah akan dihindarinya.
"Jahanam!" maki Ratu Hitam dalam hati. "Nam-
paknya dia tahu apa yang kuinginkan! Sejak tadi dia
tak coba menahan atau membalas seranganku! Hhh!
Sulit bagiku sekarang untuk buktikan apakah dia
memiliki tenaga 'Inti Petir' yang membuktikannya se-
bagai Pendekar Slebor atau tidak. Tetapi... akan ku-
paksa dia melakukannya!!"
Kendati Ratu Hitam ngotot terus menerus lancar-
kan serangan yang berasal dari tombaknya, Pendekar
Slebor tetap hanya menghindar. Ini semata dilakukan
karena dia ingin tahu siapa sesungguhnya Ratu Hitam.
Bahkan Andika memutuskan untuk meninggalkan pe-
rempuan ini. Karena dia masih penasaran dengan ra-
hasia apa yang ada di balik seluruh rencana Manusia
Muka Kucing.
Namun untuk menghindar dari sergapan serangan
Ratu Hitam pun tak mudah dilakukannya. Karena se-
karang perempuan berpakaian hitam tipis itu sudah
mencelat ke depan. Bukan hanya gerakkan tombaknya
yang semata-mata untuk lepaskan sinar-sinar hitam,
melainkan juga mulai memukul, menyabet dan menu-
suk.
Setiap kali tongkat itu digerakkan terasa sekali
hawa dingin menusuk.
Lama kelamaan Andika menjadi jengkel juga.
"Ini tak boleh kubiarkan!!"
Memutuskan demikian, dengan cara yang aneh
yakni melompat-lompat laksana monyet kebakar ekor-
nya, Andika melenting ke atas, memutar dan begitu
hinggap lagi di atas tanah langsung melompat kembali.
Serangan tombak yang dilakukan Ratu Hitam ma-
kin tak beraturan sekarang, karena gerakan yang dila-
kukan Andika sungguh tak beraturan. Dia seperti see-
nak jidatnya saja melompat ke sana kemari.
Bahkan secara tiba-tiba lakukan jotosan ke pung-
gung Ratu Hitam yang begitu rasakan deru angin lang-
sung melompat ke samping kanan.
Wuuuttt!!
Tombaknya langsung disabetkan. Yang disabet ta-
rik diri ke belakang sambil lepaskan tendangan ke wa-
jah.
"Jahanam!!" maki Ratu Hitam sambil merunduk
dan segera tusukkan tombaknya ke dada Andika.
Kali ini tak mungkin bagi Andika untuk menghin-
dar kembali. Sambil melompat dengan tubuh membu-
jur, tangan kanannya telah menghantam bagian ten-
gah tombak itu. Terdengar suara seperti salakan petir
bersamaan dengan suara 'krakk'!
Terkejut bukan alang kepalang Ratu Hitam meli-
hat tombaknya yang terbuat dari kayu sangat langka
patah menjadi dua. Ujung tombak yang terdapat trisu-
la itu jatuh ke tanah dan pancarkan sinar hitam ke
berbagai penjuru.
Bukan hanya Andika yang harus menghindar se-
karang, Ratu Hitam sendiri segera bergulingan ke be-
lakang disertai makian keras. Tatkala sinar-sinar hi-
tam itu berhenti, dengan kemarahan tinggi, perem-
puan jelita ini meluruk ke depan setelah lemparkan
patahan tombak ke belakang.
Bersamaan terdengar suara berderak akibat pata-
han tongkat yang dilempar asal saja itu menghantam
sebuah pohon yang tumbang di bagian atas, Ratu Hitam segera rangkapkan kedua tangannya di depan da-
da.
Di seberang, Andika melihat bagaimana tubuh pe-
rempuan itu nampak bergetar. Menyusul terlihat asap
hitam mengepul ke udara. Bau yang tak sedap segera
tercium.
"Celaka! Nampaknya dia telah keluarkan ilmu
yang tentunya sangat diandalkan!!"
Tubuh bergetar Ratu Hitam lamat-lamat mulai
normal kembali. Namun asap hitam itu masih keluar.
Wajah jelitanya terlihat begitu angker dan mengerikan.
Tatapannya menusuk tak berkedip. Mulutnya merapat.
Lamat-lamat terdengar suaranya laksana dari da-
lam sumur, "Aku yakin, kau adalah Pendekar Slebor!
Terbukti dari pukulanmu tadi! Kau harus membayar
perbuatanmu yang telah mematahkan tombak ke-
sayanganku!!"
Habis bentakannya, mendadak saja dia bergerak.
Kaki kanan kirinya bergerak zig-zag seperti menyeret
tanah yang langsung berhamburan ke udara. Gera-
kannya sungguh cepat. Menyusul kedua tangannya
yang tadi dirangkapkan di depan dada digerakkan
memutar.
***
2
Di seberang, untuk sesaat Andika terpana. Namun
begitu dirasakan hawa dingin yang kian menyengat
menderu ke arahnya, cepat pemuda urakan ini buang
tubuh ke samping. Kendati berhasil hindari serangan
itu, namun Andika cukup dibuat terkejut tatkala me-
rasakan sebagian tubuhnya sebelah kiri seperti kaku.
Segera dia alirkan tenaga panas dalam tubuhnya.
"Brengsek! Bikin aku makin jengkel saja!!" rutuk-
nya sambil menghindar kembali karena serangan su-
sulan perempuan berpakaian serba hitam itu sudah
melabrak ke arahnya.
Kali ini, anak muda dari Lembah Kutukan itu tak
mau dirinya dijadikan semacam kelinci percobaan be-
laka. Begitu berhasil hindari gempuran lawan, tangan
kanannya dijotoskan dari bawah ke atas.
Kelihatan jelas perempuan berjuluk Ratu Hitam
nampak terkejut. Bukan dikarenakan tenaga besar
yang mengarah padanya, melainkan gerakan yang be-
gitu cepat yang diperlihatkan Andika. Sambil kelua-
rkan makian jengkel, perempuan setengah baya berpa-
ras jelita ini langsung tekuk sikunya.
Desss!!
Justru yang terjadi kemudian sesuatu yang men-
gejutkan. Karena begitu jotosannya dihalangi tekukan
siku Ratu Hitam, Andika merasa tangan kanannya
bergetar.
Tanpa sadar dia surut lima tindak ke belakang.
Tatkala dilihat, tangan kanannya agak membiru.
"Gila! Rupanya tombak yang tadi dipergunakan
hanyalah sebagai pelengkap, bukan sebuah senjata
yang mematikan, karena serangan dan tenaga yang di-
perlihatkan yang mematikan! Kutu monyet!!"
Andika sendiri tak bisa berdiam dirt lebih lama,
karena dengan suara tawa yang keras, Ratu Hitam su-
dah menggebrak kembali.
"Tak ada yang akan mampu tandingi ajian 'Karang
Es'!"
"Kura-kura buduk! Dia hanya merasakan sebagian
kecil tenagaku! Biar kuberi pelajaran perempuan ini!"
Sambil menghindari ke belakang, Andika segera
susulkan jotosan tangan kanannya.
Terdengar suara salakan petir yang cukup keras.
Dan kali ini masing-masing orang surut ke belakang.
Saat berdiri tegak, Ratu Hitam yang tadi sudah terse-
nyum senang, kali ini terlihat terbeliak kaget. Tak per-
caya dengan apa yang dirasakannya sekarang.
"Gila! Bagaimana dia bisa mengubah tenaganya
lebih besar dalam waktu yang sangat cepat? Apakah
tenaga 'Inti Petir' bertingkat-tingkat?" desisnya tanpa
lakukan apa-apa kecuali hanya berdiri tegak sambil
pandangi tak berkedip pada pemuda di hadapannya.
Di seberang Andika sedang mendesis, "Hmmm...
rupanya tenaga serangan dari ajian 'Karang Es' yang
dimiliki perempuan ini dapat ditandingi dengan tenaga
'Inti Petir' tingkat ketiga. Berarti, dengan pergunakan
tenaga 'Inti Petir' tingkat kedua dan kesatu sudah ten-
tu dia dapat kuatasi. Hanya saja... aku tak mau laku-
kan itu sebelum kuketahui secara pasti apa yang diin-
ginkannya...."
Sementara itu Ratu Hitam sedang menggeram da-
lam hati, "Jahanam terkutuk! Sia-sia selama ini kuja-
dikan ajian 'Karang Es' sebagai ajian andalan! Tetapi
dapat kuketahui sebabnya... karena hawa panas dari
tenaga 'Inti Petir' yang dimiliki pemuda itu dapat mere-
dam hawa dingin dari ajian 'Karang Es'. Bila tidak, su-
dah tentu dia akan mampus di tanganku!! Tetapi... aku
datang menemuinya bukan untuk membunuhnya! Me-
lainkan untuk...."
Memutus kata batinnya sendiri dia berkata, "Pen-
dekar Slebor! Kita hentikan pertikaian ini untuk se-
mentara!"
"Begitu juga boleh!" sahut Andika sambil nyengir.
"Tetapi... apakah kau tidak mau mengatakan mengapa
kau mencariku dan menyerangku sedemikian rupa?
Kalau kau tidak mau mengatakannya... ya... berarti
perutku makin lapar? Busyet! Apa hubungannya?"
"Setan! Sikapnya benar-benar seenak perutnya sa-
ja! Tetapi aku harus memperingatkannya!" kata Ratu
Hitam dalam hati. Kemudian katanya, "Pernahkah kau
mendengar julukan Pendekar Cakra Sakti?"
Mendengar pertanyaan orang, Andika tak segera
menjawab. Dia justru kerutkan kening dengan pan-
dangan tak berkedip.
"Pendekar Cakra Sakti? Terus terang... baru kali
ini kudengar julukan itu. Tetapi mengapa kau tanya-
kan soal itu kepadaku?"
"Sudahkah kau mendengar julukan Iblis Segala
Amarah?" Ratu Hitam ajukan tanya lagi.
"Busyet! Kok kau banyak tanya betul sih? Jangan-
jangan kau petugas dari kantor Kotapraja yang lagi
menghitung jumlah penduduknya? Tetapi kalau me-
mang ada jatah makanan, tolong aku diingat-ingat ya?"
"Jawab pertanyaanku!!" bentak Ratu Hitam den-
gan suara menggelegar.
"Ampun! Kau ini kok galak amat, ya?" desis Andi-
ka mencibir. Begitu melihat tatapan sengit Ratu Hitam,
anak muda gondrong ini buru-buru berkata, "Iya, iya!
Aku sama sekali tidak mengenal orang-orang yang kau
tanyakan tadi! Mendingan jelaskan saja biar kepalaku
tidak pusing!"
"Aku tak biasa bertele-tele! Iblis Segala Amarah
bermusuhan dengan Pendekar Cakra Sakti! Iblis Sega-
la Amarah menghendaki tenaga 'Inti Petir' dalam tu-
buhmu untuk menyempurnakan ilmu yang sedang di-
dalaminya! Bila dia sudah mendapatkan, maka dia
akan membunuh Pendekar Cakra Sakti!"
"Busyet! Mereka yang bermusuhan, mengapa aku
yang jadi korban? Huh! Seperti apa sih Iblis Segala
Amarah itu? Aku jadi ingin menendang pantatnya!
Ngomong-ngomong... mengapa urusan itu dilimpahkan
padaku?"
"Tadi kukatakan, aku tak bisa bertele-tele! Kau ca-
ri sendiri jawabannya!"
Habis kata-katanya Ratu Hitam menjejakkan kaki
kanannya ke tanah. Serta-merta potongan tombak
yang di ujungnya terdapat trisula terangkat naik men-
garah padanya dan langsung ditangkap. Sambil pan-
dangi Pendekar Slebor dia berkata, "Kau harus berhati-
hati dalam masalah ini!"
Kejap berikutnya sosok perempuan berpakaian hi-
tam panjang terbelah hingga ke pangkal paha ini su-
dah berkelebat ke arah barat.
Tinggal Andika yang memaki-maki panjang pen-
dek.
"Enak saja ngomong! Huh! Kenapa aku yang jadi
korban sih? Mengapa aku yang...."
Mendadak saja anak muda ini memutus kata-
katanya sendiri. Sejenak dia terdiam dengan kening
berkerut. Setelah agak beberapa lama, terdengar kem-
bali suaranya, "Jangan-jangan... semua ini yang bera-
da di balik rencana Manusia Muka Kucing? Menilik ka-
ta-kata Ratu Hitam, yang menghendaki tenaga 'Inti Pe-
tir' dan secara tidak langsung berarti akan memu-
tuskan nyawaku adalah Iblis Segala Amarah. Apa-
kah...."
Kembali anak muda ini terdiam, berpikir keras.
Lalu katanya lagi, "Manusia Muka Kucing.... Iblis Sega-
la Amarah... hmm, ya, ya... jelas ini ada hubungannya.
Jelas ini jawaban atas pertanyaanku. Manusia Muka
Kucing mendapat perintah dari Iblis Segala Amarah
untuk tidak membunuhku, melainkan memancing ke-
munculanku. Bila aku sudah muncul, kemungkinan
besar Iblis Segala Amarah yang menghendaki tenaga
'Inti Petir' dalam tubuhku akan muncul. Dan berarti...
ya, ya.... Orang itulah pangkal dari semua bencana
yang terjadi."
Saat ini matahari semakin naik. Udara di sekitar
tempat itu mulai ditingkahi hawa panas yang cukup
menyengat.
"Tetapi... siapa sebenarnya Ratu Hitam? Sebelum-
nya dia begitu bernafsu menyerangku, bahkan secara
tidak langsung dapat membunuhku dari serangan-
serangannya? Namun justru dia yang mengatakan se-
mua ini. Hmmm... siapa dia sebenarnya? Dan siapa
pula sesungguhnya Pendekar Cakra Sakti? Kutu mo-
nyet! Semakin banyak urusan yang belum terpecah-
kan, semakin terasa nyut-nyutan kepalaku! Hhh!
Baiknya kuteruskan niat semula untuk mencari Ma-
nusia Muka Kucing! Dan tentunya.... Iblis Segala Ama-
rah!!"
Habis kata-katanya, pemuda berambut gondrong
acak-acakan ini pandangi sekitarnya. Kejap kemudian
dia sudah berkelebat meninggalkan tempat itu, ke arah
Gunung Kerambang.
***
Di tempat yang jauh dari tempat Andika sebelum-
nya, nampak dua sosok tubuh yang tadi berlari henti-
kan gerakkannya di sebuah persimpangan. Masing-
masing orang tak ada yang buka suara dan hanya
memperhatikan sekelilingnya.
Angin siang berdesir dan gugurkan beberapa de-
daunan.
Setelah itu, sosok perempuan jelita berpakaian bi-
ru-biru palingkan kepalanya pada pemuda di samping
kanannya.
"Arya... apakah kau masih menduga kalau Pende-
kar Slebor yang telah membunuh gurumu?"
Pemuda berpakaian biru gelap dengan celana
pangsi hitam itu tatap perempuan jelita yang sebagian
wajahnya ditutupi cadar biru tipis.
Kejap kemudian kepala si pemuda yang tak lain
Arya Sempala adanya, menggeleng-geleng.
"Aku tidak tahu, Bibi," katanya. "Apa yang kulihat
waktu itu, memang bukan sebuah jaminan kalau Pen-
dekar Slebor telah membunuh Guru. Dan rasanya...
aku mulai sadar kalau aku telah salah menduga...."
Perempuan jelita yang di kepalanya terdapat se-
buah konde kecil yang dihiasi ronce bunga mawar di
sekelilingnya berkata lagi, "Bagus kalau memang de-
mikian adanya. Arya... dapatkah kau menebak menga-
pa Manusia Muka Kucing tidak menangkap atau
membunuh Pendekar Slebor?"
Arya Sempala kembali terdiam dulu sebelum men-
jawab, "Aku tidak punya dugaan yang menarik tentang
itu. Tetapi terus terang, aku memang heran, Bibi."
Perempuan bermata jernih yang tak lain Dewi Ca-
dar Biru adanya tersenyum.
"Aku pun demikian. Tetapi, rasanya kini mulai
tergambar di benakku apa yang diinginkan Manusia
Muka Kucing sebenarnya."
"Apa itu, Bibi?"
"Tentunya... di belakang semua ini masih ada
orang lagi yang menunggangi Manusia Muka Kucing.
Dan lelaki celaka itu hanya diberi tugas oleh orang
yang berada di belakangnya untuk memancing keluar
Pendekar Slebor dengan menjadikan orang-orang ter-
masuk gurumu sebagai korban."
"Bila memang demikian adanya, dapatkah Bibi
menduga siapa orang itu?"
"Aku tidak tahu sama sekali Bahkan aku tidak ta-
hu apa maksudnya menginginkan Pendekar Slebor.
Kendati demikian, tentunya orang itu mengharapkan
sesuatu yang dimiliki Pendekar Slebor."
Masing-masing orang terdiam. Angin terus berhembus.
Arya Sempala teringat bagaimana dia bersama
Jaya Lantung mencoba menyerang Pendekar Slebor.
Bahkan menghalangi niat baik pemuda itu untuk
membantu mengobati gurunya. Dan yang tak pernah
diduganya sama sekali, kalau pemuda itulah yang di-
cari oleh Manusia Muka Kucing dan gurunya menjadi
korban karena tak mau mengatakan di mana Pendekar
Slebor berada. Sesungguhnya bukan tidak mau, tetapi
Malaikat Keadilan memang tidak tahu di mana Pende-
kar Slebor berada.
Namun Manusia Muka Kucing tak mau peduli.
Dia bukan hanya mencelakakan gurunya, tetapi juga
paman gurunya, Paksi Uludara, dan bibi gurunya, si
Naga Biru. Sungguh perbuatan terkutuk yang tak per-
nah bisa dimaafkan.
Dan beberapa waktu lalu dia hampir saja terlibat
kesalahpahaman yang sangat fatal, kalau saat itu dia
menuduh Pendekar Slebor telah membunuh gurunya
(Untuk lebih jelasnya, silakan baca :"Manusia Muka
Kucing").
"Bibi... apa yang harus kita lakukan sekarang?"
tanya Arya Sempala sambil menarik napas.
"Aku akan tetap memburu Manusia Muka Kucing
untuk menghentikan semua sepak terjangnya. Akan
tetapi, aku masih dibingungkan oleh masalah besar,
tentang siapakah orang yang berada di balik semua ini.
Bila kita tidak tahu siapa adanya orang, sudah dapat
dipastikan dengan mudah kita dicelakai. Paling tidak
diperdaya mentah-mentah."
Kembali tak ada yang keluarkan suara. Arya Sem-
pala yang sesungguhnya sudah tidak dapat menahan
diri lagi untuk mencari Manusia Muka Kucing pun me-
rasa tidak tenang dengan kata-kata bibinya.
"Bila demikian adanya, urusan justru bertambah
melebar. Ah, aku jadi ingin sekali berjumpa dengan
Pendekar Slebor, guna meluruskan kesalahpahaman
yang telah terjadi...."
Selagi pemuda berwajah kasar namun memiliki
hati lembut itu membatin, Dewi Cadar Biru buka sua-
ra, "Arya... aku juga mencemaskan keadaan kedua
adik seperguruanmu itu...."
Arya Sempala anggukkan kepalanya.
"Demikian pula denganku, Bibi. Tetapi mudah-
mudahan Jaya Lantung dapat menjaga Werdaningsih.
Aku pun menjadi tidak enak karena sedikit banyaknya
telah bersikap kasar pada Jaya Lantung tentang le-
nyapnya Guru. Ah... terus terang Bibi, hati dan piki-
ranku saat ini begitu kacau...."
Dewi Cadar Biru tersenyum.
"Arya... kau masih muda. Terkadang dalam usia
muda masih tersimpan emosi yang meledak-ledak. Ka-
laupun kau bersikap demikian, kupikir sesuatu yang
wajar."
Kata-kata Dewi Cadar Biru membuat hati Arya
Sempala sedikit tenteram.
"Terima kasih, Bibi...."
"Sudahlah, lebih baik kita teruskan langkah kita,
Arya. Siapa tahu kita beruntung dapat berjumpa kem-
bali dengan Manusia Muka Kucing. Bahkan, berharap
dapat bertemu dengan orang yang berada di balik Ma-
nusia Muka Kucing."
Arya Sempala anggukkan kepala.
Kejap kemudian, keduanya segera berkelebat ke
arah timur Gunung Kerambang.
Lima tarikan napas berikutnya, tahu-tahu melesat
satu sosok tubuh berpakaian kuning gading. Sosok le-
laki ini tinggi besar. Rambutnya hitam panjang dengan
ikat kepala warna kuning gading melingkar di kening-
nya yang agak nonong.
"Hmmm... orang-orang yang mencari Manusia
Muka Kucing? Apa lagi yang diperbuat oleh manusia
satu ini? Dan sungguh sialan karena dia tidak menga-
jakku serta dalam permainan yang nampaknya menga-
syikan!" desis lelaki yang kedua tangannya nampak di-
penuhi bulu warna loreng hingga ke siku.
Di bibir tebal menghitam lelaki ini mendadak saja
terpampang sebuah senyuman.
"Sungguh menyenangkan! Ya, ya... kendati Manu-
sia Muka Kucing tidak mengajakku serta, aku jadi in-
gin melibatkan diri! Seperti dulu! Seperti masa lalu di
saat aku bergabung dengan Manusia Muka Kucing bi-
kin kekacauan di bagian selatan! Hahaha... Manusia
Muka Kucing, kau akan senang kedatangan kambrat
setiamu ini, Manusia Tangan Harimau!! Aku akan
mencarimu dulu! Urusan pemuda dan perempuan ber-
cadar biru urusan belakangan!"
Berkumandang keras tawa lelaki yang wajahnya
dipenuhi jerawat memerah itu hingga perutnya yang
agak membuncit berguncang.
Satu tarikan napas berikutnya, lelaki berjuluk
Manusia Tangan Harimau ini sudah berkelebat berla-
wanan arah dari perginya Dewi Cadar Biru dan Arya
Sempala.
***
3
Satu hari pun berlalu dalam kehidupan manusia.
Matahari kembali terbangun lagi dari tidurnya. Ham-
paran bening cahaya keemasannya yang masih belum
terlalu panas, telah menerangi persada.
Dalam naungan indahnya sinar matahari, nampak
satu sosok tubuh berkelabat cepat di sebuah jalan se-
tapak. Gerakannya lincah sungguh menawan sekaligus
menakjubkan. Rintangan seperti ranggasan semak be-
lukar, akar yang melintang keluar, dan jalan berliku
penuh pohon, dilewati dengan mudah tanpa terganggu
sedikitpun. Dari caranya itu menandakan bahwa orang
yang berlari bukan orang sembarangan.
Tak lama kemudian, di sebuah persimpangan
yang dihuni oleh ranggasan semak belukar dan pepo-
honan tinggi, orang yang bergerak tadi menghentikan
larinya. Tak ada desah nafas yang terdengar, tanda
orang ini memiliki ilmu peringan tubuh yang tinggi.
Sepasang matanya yang kelabu dan menjorok ke
dalam, diedarkan kesekelilingnya. Sekejap kemudian
terdengar makiannya yang cukup nyaring, menanda-
kan dia seorang perempuan, "Setan alas! Dimana ha-
rus kutemui lelaki tua bau tanah itu! Apa dia tidak
mendengar kalau Iblis segala Amarah saat ini sedang
berusaha mendapatkan tenaga “Inti Petir” dari pemuda
berjuluk Pendekar Slebor? Keparat bungkuk! Jangan-
jangan... dia justru malah tenang-tenang saja dengan
makian-makiannya yang tidak sedap! Huh! Dasar aku
sendiri yang bodoh! Mau susah payah mencarinya!"
Kembali mulut perempuan tua yang berusia seki-
tar tujuh puluh tahun ini memaki-maki tak karuan.
Mulutnya keriput sampai mencang-mencong kare-
nanya.
Siapa sebenarnya perempuan yang nampak pema-
rah ini? Dia bernama Mayang Kunting, perempuan tua
yang berasal dari Danau Tibar. Sejak muda Mayang
Kunting dikenal sebagai perempuan dari golongan lu-
rus yang selalu mengatasi perbuatan makar yang ter-
jadi di depan matanya. Dari sikap dan tutur katanya
yang terdengar, jelas kalau si nenek yang kenakan pa-
kaian luar panjang warna biru sementara pakaian da
lamnya berwarna kuning, nampak sedang mencari se-
seorang.
Terdengar lagi suara makiannya, "Kalau memang
dia masih asyik dengan kegiatannya sendiri yang entah
apa dilakukannya, sungguh celaka! Dasar manusia
menjengkelkan! Apa dia pikir Iblis Segala Amarah tak
akan pernah mengumbar dendam? Atau dia berpikir
Iblis Segala Amarah justru senang karena empat puluh
tahun lalu lelaki celaka itu dihentikan olehnya? Dasar
kapiran! Benar-benar kutu busuk!"
Si nenek kembali edarkan pandangannya. Setelah
keluarkan makiannya lagi, perempuan tua ini kembali
berkelebat. Di sebuah tempat yang agak terbuka, kem-
bali si nenek hentikan kelebatannya dan memaki-maki
lagi
"Jahanam keparat! Di mana dia berada sebenar-
nya? Sudah kujelajahi Lembah Jala namun tak kute-
mukan sosoknya! Jangan-jangan... dia sudah mam-
pus? Huh! Kalau sudah mampus, buat apa aku repot-
repot begini memperingatinya! Bila saja aku tak pernah
mencintainya, sudah kubiarkan dia mampus! Dipikir-
nya dia masih mampu tandingi Iblis Segala Amarah bi-
la lelaki celaka itu berhasil menyerap Tenaga 'Inti Petir'
dari Pendekar Slebor? Dasar tua bangka tak tahu...."
Mendadak saja Mayang Kunting memutus ma-
kiannya sendiri. Serta-merta sepasang matanya dije-
rengkan. Kejap kemudian melirik ke arah sebuah po-
hon yang berjarak empat tombak dari tempatnya berdi-
ri.
"Kurang asem! Ada yang iseng mengintip? Huh!
Apa orang itu berpikir kalau aku seorang perawan
montok?"
Kembali si nenek terdiam dengan tatapan sengit.
Kemudian membatin lagi, "Benar-benar kurang asem!
Dipikirnya aku tak lakukan tindakan apa-apa, karena
aku tidak tahu dia mengintip? Pengen tahu siapa aku
rupanya!!"
Habis membatin begitu, mendadak saja Mayang
Kunting gerakkan kedua tangannya ke arah pohon be-
sar sejarak empat tombak dari tempatnya.
Serta-merta menggebrak gelombang angin besar
begitu kedua tangan si nenek didorong ke depan.
Wuuusss!!
Blaaarr!!
Saat itu pula pohon besar yang diyakininya ada
orang yang mengintip kehadirannya, pecah beranta-
kan.
Menyusul terdengar gemuruh suara berdebam ke-
ras tatkala pohon itu terbanting di atas tanah. Rangga-
san semak belukar yang tertindih langsung tercabut
dan berpentalan ke udara.
Mayang Kunting mendengus, tatkala dilihatnya
tak seorang pun yang keluar dari tempat itu. Lamat-
lamat diturunkan tangan kanannya yang siap untuk
lancarkan serangan kembali.
"Hebat bila manusia celaka itu dapat hindari gem-
puranku tadi! Tetapi, apakah tak mungkin bila manu-
sia itu sudah menjadi serpihan daging karena terhajar
pukulanku?" kata Mayang Kunting dalam hati sambil
menunggu beberapa saat.
Setelah tak ada sosok tubuh yang keluar, nenek
ini membatin lagi, "Jelas kalau pengintip iseng itu su-
dah mampus! Huh! Salahnya sendiri! Sekarang, baik-
nya kulanjutkan perjalananku untuk mencari tua
bangka itu!"
Namun belum lagi perempuan tua ini jalankan
maksud, tiba-tiba saja terdengar teriakan keras, "Cela-
ka! Betul-betul perempuan celaka! Sudah menyerang-
ku sedemikian rupa, mau kabur begitu saja! Enak be-
tul! Aku harus membalas! Harus kubalas dulu biar
kau tidak kurang ajar!!"
Belum lagi habis terdengar bentakan itu, satu so-
sok tubuh berpakaian putih-putih yang sangat kusam,
telah muncul dengan kedua tangan berada di bela-
kang. Tubuh lelaki berambut putih panjang tak bera-
turan ini agak membongkok. Dan matanya melotot
jengkel pada Mayang Kunting.
Yang dibentak sesaat menggeram, tapi kejap ke-
mudian keluarkan suara, "Tua bangka celaka! Sudah
kucari ke segenap penjuru, tidak tahunya kau muncul
begitu saja! Dasar kurang kerjaan!!"
***
"Sinting! Kau sendiri yang cari ulah mencariku?
Aku kan tidak menyuruhmu mencari! Kalaupun kau
gagal mcnemukanku, karena kau bodoh!!" terdengar
balasan lelaki tua agak bungkuk itu dengan mata me-
lotot.
"Keparat bau tanah! Aku mencarinya justru untuk
memperingatkan kemunculan Iblis Segala Amarah, ta-
pi dia berkata seenak perutnya saja!" maki Mayang
Kunting dalam hati. Lalu berseru, "Sejak muda kau
masih juga bicara seenaknya yang terkadang menya-
kitkan telinga orang yang mendengar! Apakah kau pi-
kir aku senang mendengarnya, hah?!"
"Kalau kau tidak senang! Silakan pergi dari sini!!"
"Kurang asem! Dari dulu lagakmu begitu sengak!
Biar kucoba dulu kehebatanmu sekarang, sebelum ku-
sampaikan apa yang hendak kukatakan!!"
"Tunggu, tunggu!" si kakek angkat tangan kanan-
nya. "Apa yang hendak kau katakan?"
"Huhh! Rupanya kau sudah jeri, hah? Nyalimu
sudah ciut! Apa yang sebenarnya kau makan selama
ini hingga kau jelmakan dirimu menjadi tikus, Pendekar Cakra Sakti?"
Lelaki bungkuk itu keluarkan dengusan.
"Sudah tentu aku makan nasi!!"
"Tak usah banyak mulut! Kuhajar dulu, baru ku-
katakan!!"
Habis kata-katanya, Mayang Kunting segera me-
nerjang ke depan disertai teriakan keras.
Terkesiap Pendekar Cakra Sakti menangkap ge-
brakan pertama dari Mayang Kunting. Tetapi, tanpa
menggeser posisi dari tempatnya, lelaki tua bertubuh
bungkuk ini hanya gerakkan tangan kanannya saja.
Wussss!
Serangkum angin menderu, menghantam sekali-
gus mendorong labrakan angin yang siap menghantam
pecah kepalanya.
Blaaamm!
Serta-merta gelombang angin yang dilepaskan
Mayang Kunting pecah berantakan. Namun anehnya,
mendadak saja gelombang angin itu seperti bersatu
kembali di saat Mayang Kunting tekukkan kedua tan-
gannya dan serta-merta gelombang angin itu mener-
jang kembali ke arah Pendekar Cakra Sakti.
Kakek berpakaian putih-putih kusam ini sesaat
melengak melihat keanehan sekaligus kehebatan se-
rangan yang dilakukan oleh Mayang Kunting.
Tanpa disadarinya Pendekar Cakra Sakti kelua-
rkan seruan tertahan seraya melompat ke samping.
"Sekian tahun tak berjumpa, ternyata kau makin
hebat saja, Mayang!!" serunya dan secara mendadak
kedua tangannya berputar di depan dadanya. Semakin
lama putaran kedua tangan itu semakin hebat dan
nampak laksana putaran roda belaka.
Di seberang Mayang Kunting ganti mendengus.
"Kau sudah keluarkan ilmu 'Cakra Seribu' Huh! Apa-
kah kau sudah tak punya kemampuan lagi!"
"Nenek celaka! Sudah tentu aku tak ingin mam-
pus dihajar olehmu! Atau kau pikir... enak dihajar be-
gitu, hah?!"
"Ilmu 'Cakra Seribu' pernah mengalahkan Iblis Se-
gala Amarah! Tetapi aku tak yakin dapat lagi tandingi
manusia itu bila dia berhasil menyerap tenaga 'Inti Pe-
tir' dari tubuh Pendekar Slebor!!"
Habis makiannya, Mayang Kunting sudah mener-
jang ke depan. Kali ini kedua tangannya segera dido-
rong bergantian. Bukan hanya gelombang angin yang
menderu ke arah Pendekar Cakra Sakti, kabut-kabut
hitam bergulung-gulung pun melabrak dengan kelua-
rkan suara ganas.
Di depan, sepasang tangan Pendekar Cakra Sakti
yang sejak tadi berputaran tanpa keluarkan suara, kali
ini seperti berdesing-desing mengerikan. Mendapati hal
itu, nampak Mayang Kunting hentikan gerakannya.
"Gila! Ilmu 'Cakra Seribu' nya semakin hebat saja!
Setahuku, angin yang keluar tak berdesing laksana
hujanan anak panah!"
Bukannya teruskan serangan, Mayang Kunting
justru hentakkan kaki kanannya di tanah. Hentakan
itu sudah tentu mengandung tenaga dalam yang tinggi
karena tanah yang terpijak langsung amblas sebatas
lutut. Tatkala kakinya ditarik kembali, tanahnya pun
ambrol ke udara.
Kejap kemudian si nenek berseru jengkel, "Iblis
Segala Amarah hendak teruskan urusan lama!!"
"Aku sudah tahu!!"
"Tetapi tentunya kau tidak tahu apa yang akan di-
lakukannya?!"
"Aku sudah tahu! Dia sedang memperdalam se-
buah ilmu yang diciptakannya! Dan ilmu itu akan ha-
silkan satu gebrakan yang mengerikan bila digabung
dengan tenaga 'Inti Petir'! Semua itu dilakukan, karena
dia hendak membunuhku! Bukan main! Sungguh he-
bat aku ini, ya? Kok ada orang yang mau melatih diri
terus menerus dan tega mengorbankan orang lain
hanya untuk membunuhku! Betul-betul hebat aku
ini!!"
Melihat sikap konyol Pendekar Cakra Sakti,
Mayang Kunting mendengus.
"Apa yang hendak kau lakukan sekarang?"
"Mencari Pendekar Slebor!!"
"Dasar bodoh! Mengapa tidak langsung mencari
Iblis Segala Amarah?!" melotot si nenek.
"Busyet! Kau sendiri yang bodoh, mengapa menga-
ta-ngatai aku bodoh? Kau pikir aku tahu di mana ma-
nusia itu berada? Sudah tentu yang harus kuberita-
hukan adalah Pendekar Slebor! Konon dia adalah pe-
waris dari Pendekar Lembah Kutukan! Busyet! Kayak
apa tuh anak muda, ya? Punya Guru gemblung seperti
Saptacakra, sudah tentu dia lebih gemblung lagi!"
"Jaga mulutmu!" sentak Mayang Kunting keras.
"Sejak muda kau selalu bicara seenak jidatmu saja!"
"Kalau seenak perutku ya, bingung! Bisa-bisa ke-
luar dari belakang lagi!"
"Sungguh aku tak pernah mengerti, mengapa se-
jak muda aku mencintai lelaki kurang asem ini? Dasar
cinta itu buta! Aku tak habis pikir mengapa dapat me-
lakukannya?!" maki Mayang Kunting dalam hati. Lalu
katanya, "Kau memang tak pernah berterimakasih pa-
da siapa pun juga! Apakah kau selalu merasa senang
mempermainkan orang dengan kata-kata sialanmu itu,
hah? Atau kau... hmmmpphhh!!"
Kata-kata si nenek mendadak saja terputus,
tatkala secara tiba-tiba Pendekar Cakra Sakti telah
berkelebat merangkulnya. Lalu mulutnya yang keriput,
mengecup mulut keriput si nenek.
Sudah tentu Mayang Kunting yang tak menyangka
akan hal itu menjadi gelagapan.
"Hei... hmmpphhh! Lepaskan... hhpmmphhh!!"
"Busyet! Kau ini makan apa, hah? Pasti makan
jengkol! Benar-benar kapiran! Sejak dulu kau masih
suka makan jengkol saja?!" seru Pendekar Cakra Sakti
sambil usap-usap mulutnya dengan punggung tangan
kanan setelah melepaskan ciumannya.
Mayang Kunting yang hendak keluarkan makian,
menjadi urung. Justru wajahnya yang nampak meme-
rah. Kemudian katanya keras untuk tutupi rasa malu
dan senangnya, "Ayo, kita berangkat sekarang! Aku ju-
ga ingin menghajar Iblis Segala Amarah! Benar-benar
manusia tak tahu diuntung! Seharusnya dulu kau bi-
kin dia mampus hingga tak ada lagi urusan yang me-
repotkan ini!!"
"Busyet! Itu urusanku! Kenapa kau yang jadi se-
wot dan repot begitu? Eh, siapa bilang aku mau berja-
lan bersamamu? Tidak usah, ya?!"
Lalu dengan santainya lelaki tua bungkuk berpa-
kaian putih-putih kusam itu melangkah dengan kedua
tangan berada di belakang pinggul. Melihat sikap ko-
nyol dan seenaknya dari si kakek, Mayang Kunting
menggeram.
"Benar-benar cinta itu buta!!" desisnya dalam hati.
"Rupanya dia sudah tahu apa yang akan terjadi. Dan
rasanya... hei!! Bagaimana dia bisa tahu?!"
Berpikir demikian, si nenek sudah melompat me-
nyusul Pendekar Cakra Sakti, "Kakek keparat bau ta-
nah! Dari mana kau tahu semua itu, hah?!"
Tanpa hentikan langkahnya Pendekar Cakra Sakti
menggeleng-gelengkan sambil berseru, "Dasar perem-
puan tua bodoh! Bukankah kau sendiri yang mengata-
kannya?!!"
***
4
Serentak Mayang Kunting hentikan gerakkannya.
Kejap kemudian dia memaki-maki sendiri.
"Keparat! Lelaki tua bau tanah itu mempermain-
kanku rupanya!!"
Segera dia melompat untuk menyusul Pendekar
Cakra Sakti. Tetapi yang disusul justru hentikan lang-
kahnya. Mendapati sikap lelaki tua bungkuk berpa-
kaian putih kusam itu, si nenek tak jadi keluarkan
makian.
Dia justru lakukan sikap yang sama. Terdiam.
Tahu-tahu didengarnya suara Pendekar Cakra
Sakti, "Apakah kau memikirkan sesuatu yang sama
dengan yang kupikirkan, Nenek peot?"
Kendati gusar mendengar panggilan orang,
Mayang Kunting menyahut, "Ya! Dan kau tentunya
memikirkan hal yang sama denganku, bukan?"
"Belum tentu! Mana kau tahu apa yang kupikir-
kan?!" suara Pendekar Cakra Sakti membuat Mayang
Kunting mendengus. "Tetapi, sungguh hebat bila kita
baru tahu sekarang!"
"Dan patut diberi penghargaan!" sahut Mayang
Kunting.
"Siapa yang ingin memberikan penghargaan itu!"
"Bagaimana kau sendiri?"
"Huh! Untuk apa kukotori tanganku? Bagaimana
dengan kau?"
"Bilang saja kau takut melakukannya!!"
Habis memaki demikian, si nenek yang kenakan
pakaian luar panjang warna biru dan pakaian dalam
warna kuning ini mendadak saja gerakkan tangan ka-
nannya.
Wusss!!
Menghampar satu gelombang angin deras ke balik
ranggasan semak belukar sebelah kanan. Sebelum an-
gin itu menghantam hancur ranggasan semak, satu
bayangan hijau sudah mencelat keluar sambil berte-
riak-teriak tak karuan, "Ampunn! Ampoounnn!!"
Kedua orang tua itu tak ada yang buka suara.
Masing-masing memperhatikan pemuda berpakaian hi-
jau pupus yang masih memutar-mutar dengan mene-
kap kepalanya erat-erat.
Tetapi mendadak saja gerakannya terhenti. Sambil
terkekeh dia turunkan kedua tangannya dari kepala.
"Nah! Kaget, kan?" serunya sambil angkat kedua
alisnya yang hitam legam.
Sementara si nenek mendengus, si kakek justru
terbahak-bahak. Saat tertawa mulutnya hanya mem-
buka sedikit, namun tawa yang keluar begitu keras.
"Mayang Kunting! Rupanya anak kutil yang men-
gintip! Nah, nah! Bila kau ingin tahu dialah Pendekar
Slebor!"
"Dari ciri-cirinya, aku sudah tahu kalau dia Pen-
dekar Slebor!!"
Pemuda yang memang Pendekar Slebor adanya
nyengir lagi. Rupanya, semenjak kedua tokoh tua itu
bercakap-cakap, Andika memang berada di sana.
Sebelumnya, setelah meninggalkan Ratu Hitam,
Andika terus berkelebat dan dilihatnya si nenek yang
tak lain Mayang Kunting adanya berkelebat. Dengan
pergunakan ilmu peringan tubuhnya, anak muda ini
sengaja mengikuti Mayang Kunting. Dan dia semakin
tertarik tatkala mendengar kata-kata si nenek. Lebih
tertarik lagi begitu melihat si kakek berpakaian putih
kusam muncul. Dan dia sungguh terkejut tatkala ke-
dua tokoh tua itu bertempur. Hampir saja Andika me-
ninggalkan tempat itu atau keluar dari persembunyiannya karena salah-salah bisa terkena serangan sa-
lah satu dari keduanya.
Lalu dengan sikap tengik dia berkata, "Maaf nih,
ah! Aku mengintip dan mencuri dengar percakapan ka-
lian tadi! Ngomong-ngomong... aku ingin tahu lebih je-
las, mengapa kau bermusuhan dengan Iblis Segala
Amarah, Kek?"
Yang ditanya tertawa dulu sebelum menjawab,
"Katanya kau berotak cerdik! Tetapi kenapa pakai ber-
tanya lagi, hah? Cuma aku ingin tahu... apakah betul
tenaga 'Inti Petir' yang kau miliki begitu hebat?"
"Wah! Mana bisa kujawab itu? Nanti kalau kuka-
takan hebat, aku dibilang sombong? Kalau kukatakan
tidak, berarti aku tidak hebat!"
"Jangan asal ngomong! Cepat kau perlihatkan ke-
pada kami seperti apa tenaga 'Inti Petir' yang kau mili-
ki itu?" bentak Mayang Kunting jengkel.
"Memangnya kenapa sih? Lagi pula, aku tidak
mengerti, mengapa Iblis Segala Amarah menghendaki
tenaga 'Inti Petir' ku untuk menyempurnakan ilmu
yang sedang didalaminya? Ini kan bikin pusing kepa-
laku saja!"
"Pemuda slebor! Cepat kau perlihatkan kepada
kami!!" seru Mayang Kunting lagi.
Andika mengangkat kedua bahunya.
"Kalau kau penasaran Nek, ya... akan kuperli-
hatkan! Tetapi jangan ditertawakan ya kalau ternyata
tenaga 'Inti Petir' yang kumiliki ini tak begitu hebat se-
perti yang kalian duga?"
"Banyak omong!!"
Tanpa hiraukan makian Mayang Kunting, anak
muda ini segera mundur lima langkah ke belakang.
Kendati sekarang dia berdiri tegak. tetapi wajahnya te-
tap cengar-cengir. Bahkan dia masih menyempatkan
diri untuk garuk-garuk kepalanya.
Mayang Kunting mendengus, "Menjengkelkan!!"
Pendekar Cakra Sakti tertawa, "Kau tak berbeda
dengan si bangkotan Saptacakra, Anak muda!"
Di depan, mendadak saja Andika menggerakkan
kedua tangannya ke depan. Lalu mengadunya dengan
cara menyilang. Serentak terdengar salakan petir yang
sangat keras. Kejap kemudian, dia sudah mencelat ke
depan dan ke samping seraya dorong kedua tangan-
nya.
Menyusul salakan petir yang terdengar lagi, lima
buah pohon yang ada di tempatnya langsung tumbang
bergemuruh tatkala terkena dorongan angin. Rupanya,
anak muda ini telah perlihatkan tenaga 'Inti Petir' ting-
kat pamungkas.
Kemudian disilangkan kembali kedua tangannya
yang serta-merta terdengar salakan petir lebih keras.
Ranggasan semak di sekitarnya langsung tercabut.
Sementara itu baik Mayang Kunting maupun Pen-
dekar Cakra Sakti merasa tubuh mereka bergetar begi-
tu kedua tangan Andika disentakkan di atas tanah.
Serta-merta tanah itu membuyar ke atas dan me-
nutupi tubuhnya. Tanah itu masih belum luruh, sosok
Pendekar Slebor telah bergeser lima tindak ke samping
kanan. Tatkala semuanya luruh, terlihat tanah yang
tadi dihantam oleh kedua telapak tangan yang telah
dialiri tenaga 'Inti Petir' telah terbentuk sebuah lubang
yang cukup dalam.
Pendekar Cakra Sakti berdecak kagum.
"Hebat! Pantas Iblis Segala Amarah menghendaki
tenaga 'Inti Petir' yang kau miliki! Karena, aku saja su-
dah merasa bergetar melihatnya... hahahaha"
Andika cuma tersenyum kecut. Lalu katanya, "Ka-
lau aku boleh tahu, seperti apakah ciri-ciri Iblis Segala
Amarah?"
"Jelas kau boleh tahu! Karena dengan kehadiran
mu, aku tak perlu lagi mengurusi soal Iblis Segala
Amarah! Mayang Kunting, bagaimana kalau urusan ini
kita limpahkan saja padanya?"
Mayang Kunting melirik sekilas lalu mendengus.
"Busyet! Kok tengik amat sikapmu itu?" kata Pen-
dekar Cakra Sakti sambil tertawa. "Bila telah kita lim-
pahkan urusan ini padanya, bukankah kita akan te-
nang dan nyaman? Kalaupun pemuda itu mampus
bukan urusan kita!"
"Brengsek! Ngomongnya kok tak jauh dengan
Eyang Buyut?" mendumal Andika dalam hati.
"Hei, Mayang! Kenapa kau diam saja? Kita sudah
sama-sama tua! Dan aku tahu kau mencintai aku yang
ganteng ini? Nah! Terus terang, aku juga mencintaimu!
Bagaimana kalau kita kawin saja?"
Mendengar ucapan Pendekar Cakra Sakti, seketi-
ka Mayang Kunting palingkan kepala. Wajahnya seke-
tika nampak sumringah. Lalu katanya bergetar, "Be-
narkah?"
"Huh! Kalau kawin saja kau mau!" dengus Pende-
kar Cakra Sakti dalam hati. Lalu katanya seraya ang-
gukkan kepala, "Iya, kita kawin! Kau setuju?"
Seperti gadis usia belasan, si nenek tertunduk
malu.
Andika yang tak menyangka perubahan itu, justru
kerutkan kening.
"Busyet! Malu-maluin saja!!" katanya dalam hati.
Didengarnya suara Pendekar Cakra Sakti, "Nah,
anak muda! Kau sudah dengar sendiri kalau nenek
peot itu telah menerima lamaranku, kan?"
"Kek! Dia mau terima lamaranmu atau tidak, kan
bukan urusanku"
"Ya, ya! Bukan urusanmu! Sekarang, berjanjilah
padaku, kalau kau akan menggantikanku untuk
menghadapi Iblis Segala Amarah?"
"Memangnya kau takut menghadapinya?" balas
Andika konyol.
"Mana bisa aku takut? Kau kan tadi dengar sendi-
ri, kalau aku mau kawin dengan Mayang Kunting ter-
cinta itu? Nah! Bila kau mau menggantikanku, akan
kukatakan seperti apa Iblis Segala Amarah itu! Kemu-
dian aku kawin dengan... hei, Mayang Kunting! Kalau
dia tidak mau teruskan urusanku dengan Iblis Segala
Amarah, jangan salahkan aku kalau aku tidak jadi
kawin denganmu, ya?"
"Anak muda! Cepat kau bilang 'iya'!"
Andika tertawa. Sungguh, dia tak pernah mengerti
dengan sikap para tokoh rimba persilatan yang terka-
dang sangat sulit sekali ditebak.
Lalu dengan mantap dia anggukkan kepala.
Dilihatnya bagaimana wajah Mayang Kunting
menjadi ceria kembali. Dengan sikap manja dia me-
langkah mendekati Pendekar Cakra Sakti.
"Cepat kau katakan padanya!!"
Pendekar Cakra Sakti tertawa dulu sebelum men-
jelaskan tentang ciri-ciri Iblis Segala Amarah.
"Itulah ciri-cirinya! Tetapi, aku tidak tahu apakah
kesaktiannya memang sudah bertambah atau belum!
Itu urusanmu! Seperti yang kukatakan tadi, kalaupun
kau mampus bukan urusanku!! Hanya yang perlu kau
ingat, dia tak akan membunuhmu, karena dia mengin-
ginkan tenaga 'Inti Petir' milikmu! Berarti, satu keun-
tungan telah kau miliki karena kau tak akan mampus!
Tetapi setelah dia mendapatkan apa yang diinginkan-
nya, jangan salahkan aku bila dia akan membuatmu
mampus! Mayang, ayo kita tinggalkan pemuda itu!!"
Sambil melingkarkan tangan kanannya pada bahu
Mayang Kunting yang dibalas oleh si nenek dengan
lingkarkan tangan kirinya pada pinggang Pendekar
Cakra Sakti, kedua tokoh itu mulai melangkah meninggalkan Andika yang cuma garuk-garuk kepalanya.
Dan tertawa lebar melihat Pendekar Cakra Sakti tahu-
tahu monyongkan mulut untuk mengecup pipi Mayang
Kunting.
Si nenek nampak tersipu-sipu sambil tundukkan
kepalanya.
Dan baru delapan tindak kedua orang tua itu me-
langkah, mendadak saja Pendekar Cakra Sakti balik-
kan tubuh disertai tanya, "O ya... kau sudah bertemu
dengan Ratu Hitam?"
Tak menyangka akan mendapat pertanyaan itu,
Andika sejenak melengak. Lalu mengangguk.
"Bagus! Kau bisa meminta bantuannya kalau per-
lu! Tetapi aku yakin, justru dia yang akan meminta
bantuanmu! Ayo, Mayang, kita segera menuju ke pe-
lam..."
"Apa-apaan kau ini, hah? Rupanya kau masih
berhubungan dengan perempuan celaka itu, hah?!" se-
ru Mayang Kunting tiba-tiba seraya lepaskan diri dari
rangkulan tangan kanan Pendekar Cakra Sakti.
"Busyet! Sudah setua ini kau masih cemburu saja
dengan perempuan itu! Dia juga sudah tua, tahu! Lagi
pula, aku tidak punya hubungan apa-apa!"
"Lelaki di mana-mana memang bermulut manis!
Bicara manis di sana, bicara manis di sini! Padahal
semua hatinya busuk! Aku tak mau kau jadikan habis
manis sepah dibuang!"
"Busyet!" Pendekar Cakra Sakti melotot. "Kau ini
apa yang manis, Mayang? Ibarat kelapa kau sudah ti-
dak memiliki santan! Sudah, sudah! Aku mau kawin
denganmu! Bila saja Ratu Hitam tidak kusadarkan,
sudah tentu sampai sekarang dia tak ubahnya seperti
Iblis Segala Amarah!"
"Tetapi...."
"Sudah, sudah! Tak perlu memikirkan perempuan
itu lagi! Pokoknya, kita akan bahagia! Ayo, jalan!!"
Dengan masih siratkan keraguan pada wajahnya,
si Nenek mengikuti langkah Pendekar Cakra Sakti.
Di tempatnya Andika kerutkan kening mendengar
kata-kata Pendekar Cakra Sakti tadi.
"Ratu Hitam? Perempuan jelita itu dikatakan su-
dah tua? Busyet! Apa aku tak salah dengar?" desisnya
heran. Lalu geleng-geleng kepala seraya mendesis,
"Pasti perempuan itu memiliki ilmu awet muda! Yah...
kalau aku yang mendapat pilihan, sudah tentu ku pilih
Ratu Hitam ketimbang nenek peot itu?"
Baru saja habis kata-kata Andika, mendadak saja
serangkum angin menderu ke arahnya.
Wusss!!
Blaaammm!!
Beruntung karena anak muda urakan ini masih
sigap. Bila tidak, sudah pasti tubuhnya akan tercacah
pecah!
Menyusul didengarnya bentakan Mayang Kunting,
"Bicara kurang ajar sekali lagi, kurobek mulutmu!!"
"Busyet! Apa yang kuucapkan tadi padahal pelan
sekali dan jarak si nenek pun sudah menjauh! Tetapi
dia masih dapat mendengarnya!!"
Andika masih berdiri terkagum-kagum sampai ke-
dua tokoh itu menghilang dari pandangan. Kejap ke-
mudian, anak muda dari Lembah Kutukan ini segera
meninggalkan tempat itu.
***
5
Tepat di saat matahari sudah melalui tiga perem-
pat perjalanannya, dua sosok tubuh hentikan lang-
kahnya. Sejarak tiga puluh tombak, Gunung Keram-
bang berdiri angkuh. Angin senja menghembus dingin.
Masing-masing orang tak ada yang buka suara.
Kejap kemudian, terdengar suara pemuda berpakaian
putih dan bercelana pangsi biru, "Werda... hingga jauh
perjalanan kita, namun orang yang kita cari belum ju-
ga dapat ditemukan. Rasanya, aku sudah tidak sabar
untuk membunuh Manusia Muka Kucing!!"
Yang diajak bicara, dan tak lain Werdaningsih
adanya anggukkan kepalanya. Sambil pandangi pemu-
da yang di keningnya terdapat ikat kepala warna biru
itu gadis ini berkata, "Begitu pula denganku, Kang
Jaya. Biar bagaimanapun sulitnya, aku tetap tak akan
hentikan segala keinginan ini."
Kembali tak ada yang buka mulut. Masing-masing
orang perhatikan sekelilingnya dengan seksama.
Terdengar lagi suara Jaya Lantung, "Aku benar-
benar kagum dengan tindakan Pendekar Slebor. Ken-
dati dirinya dijadikan bulan-bulanan fitnah, namun
dia masih mau menolong Kaki Kilat dari kematian. Ah,
bila mengingat aku dan Kang Arya pernah menuduh-
nya sedemikian rupa, aku jadi malu."
Apa yang dikatakan Jaya Lantung memang benar
adanya. Semula dia bersama Arya Sempala memang
menuduh Pendekar Slebor sebagai salah seorang antek
dari Manusia Muka Kucing. Namun pada kenyataan-
nya, justru pemuda itulah yang berjuluk Pendekar
Slebor. Bahkan pemuda dari Lembah Kutukan itu la-
kukan satu tindakan yang mengejutkan. Karena Pen-
dekar Slebor justru menolong Kaki Kilat dari kematian
(Baca: "Manusia Muka Kucing").
"Bagaimana keadaan Kang Arya sekarang ini, ya?"
tanya Werdaningsih seperti ditujukan pada dirinya
sendiri.
"Mudah-mudahan dia juga dalam keadaan baik-
baik saja. Menurut Pendekar Slebor, saat ini dia ber-
sama Bibi Dewi Cadar Biru yang tentunya sedang
memburu Manusia Muka Kucing."
"Tetapi, Kang Jaya...," suara Werdaningsih men-
dadak menjadi sendu.
Jaya Lantung segera arahkan pandangan pada
gadis jelita berkuncir kuda itu.
"Kenapa, Werda?"
"Guru...."
Mendengar sahutan singkat pelan itu, Jaya Lan-
tung menarik napas pendek. Dia tahu betul kalau adik
seperguruannya ini sangat menyesali dan sedih men-
getahui guru mereka telah meninggal. Jaya Lantung
sendiri juga menyesali mengapa dia tidak menjaga gu-
runya yang masih dalam keadaan terluka? Namun,
semua sudah terjadi. Juga karena penyesalan selalu
datang terlambat.
Lalu dengan hati-hati dirangkulnya gadis itu.
"Sudahlah, Werda.... Tak perlu kau pikirkan lagi.
Bukankah kau tahu, bagaimana perasaanku tatkala
mengetahui Guru lenyap? Namun berkat nasihatmu,
akhirnya aku dapat tutupi segala penyesalan yang ada
padaku."
Dalam rangkulan kakak seperguruannya, Werda-
ningsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Diresapi
betul pelukan yang tak mengandung birahi sama seka-
li itu, pelukan tanda sayang seorang kakak kepada
adiknya.
Dalam keheningan itu, mendadak saja terdengar
suara tawa menggelegar yang cukup keras, "Luar bi-
asa! Sebuah pemandangan yang menakjubkan! Dua
orang seperguruan rupanya telah menjalin cinta busuk! Dan tentunya sangat mengasyikan sekali! Karena
yang kotor dan busuk itu terkadang nikmat rasanya!"
Serentak sepasang remaja itu lepaskan pelukan
mereka masing-masing. Kejap itu pula keduanya sege-
ra putar tubuh. Satu sosok tubuh yang tingginya
hanya sebahu mereka, telah berdiri dengan kedua tan-
gan dilipat di depan dada. Orang itu mengenakan pa-
kaian terbuat dari bulu dan paras orang itu... tak
ubahnya seekor kucing!!
***
Lelaki yang tak lain Manusia Muka Kucing
adanya, kembali keluarkan tawa keras.
"Dua orang lagi rupanya telah ditakdirkan untuk
mampus di tanganku! Dan aku sangat senang sekali
melakukan pembantaian terhadap orang-orang yang
tak mau mengikuti jalanku!!"
Werdaningsih sudah melompat satu langkah ke
depan. Wajahnya seketika menjadi garang. Dengan
tangan kanannya dia menuding tepat ke wajah Manu-
sia Muka Kucing.
"Manusia celaka! Kami mati pun tak akan me-
nyesal untuk menghentikan perbuatanmu!!"
"Berita yang sangat bagus! O ya, apakah kalian
sudah berjumpa dengan Pendekar Slebor, seperti yang
telah dilakukan Arya Sempala dan Dewi Cadar Biru!!"
"Jahanam terkutuk! Kau telah membunuh guru
kami!!"
"Siapa pun akan kubunuh bila tak mau mengata-
kan di mana Pendekar Slebor berada!"
"Tetapi nyatanya, kau hanyalah manusia penge-
cut! Mengapa kau tak berani turunkan tangan pada
Pendekar Slebor begitu kau berjumpa dengannya,
hah?!"
Bukannya gusar mendengar ejekan orang, Manu-
sia Muka Kucing justru terbahak-bahak keras. Ta-
wanya berkumandang ke seantero tempat.
"Membunuh pemuda itu semudah membalikkan
telapak tanganku!" sahutnya kemudian.
"Hanya ucapan busuk yang kau lontarkan! Huh!
Kepandaian apa yang sebenarnya kau miliki, hah?!"
seru Werdaningsih dengan teriakan sengit. Wajah jelita
gadis ini memerah tanda kegusaran semakin melanda.
Namun dia juga tidak mau bertindak gegabah untuk
lancarkan serangan, karena dia tahu betul tentang le-
laki bermuka kucing ini. Guru mereka saja dapat dika-
lahkan oleh Manusia Muka Kucing!
Tawa Manusia Muka Kucing mendadak terputus.
Mulutnya nampak bergerak-gerak hingga kumis ja-
rangnya yang cukup panjang bergetar.
"Jahanam!! Kubunuh kalian!!"
Namun sebelum dia lakukan serangan, Jaya Lan-
tung yang sejak tadi terdiam dan berpikir buka mulut,
"Kuakui kehebatan yang kau miliki, Manusia Muka
Kucing! Dengan kesaktianmu, kau dapat kuasai dunia!
Kami mengaku tak berdaya di hadapanmu!"
Mendengar kata-kata itu, Manusia Muka Kucing
terbahak-bahak lebar. Sementara Werdaningsih segera
palingkan kepala pada Jaya Lantung. Kening gadis ini
berkerut dengan tatapan terbuka lebih lebar, tanda tak
percaya mendengar ucapan Jaya Lantung.
"Gila! Apa-apaan Kang Jaya berubah menjadi ti-
kus seperti itu? Ke mana jiwa kesatrianya untuk mem-
bela kebenaran!!"
Jaya Lantung yang mempunyai rencana sendiri,
buru-buru berkata begitu menyadari pandangan tak
suka dari adik seperguruannya.
"Dengan kepandaianmu itu, seharusnya kami tak-
luk dan mau menurut hingga tak mengalami nasib konyol!"
Makin lebar tawa Manusia Muka Kucing.
Makin tak mengerti Werdaningsih mendengar per-
nyataan kakak seperguruannya ini.
Jaya Lantung yang tak ingin kesalahpahaman ter-
jadi buru-buru berkata lagi, "Tetapi, apakah kau tidak
mau memberitahukan kami rencana apa sebenarnya
yang telah kau susun? Mengapa kau tak menangkap
atau membunuh Pendekar Slebor, karena kau menu-
runkan tangan pada siapa pun juga yang tak mau
mengatakan di mana pemuda itu berada?"
Manusia Muka Kucing yang sebelumnya sudah
termakan oleh kata-kata sanjungan Jaya Lantung ma-
kin terbahak-bahak. Lelaki ini tidak tahu kalau sebe-
narnya dia tengah dipancing oleh Jaya Lantung.
Werdaningsih cepat tanggap. Dia mengerti apa
yang diinginkan oleh kakak seperguruannya ini.
"Cerdik. Kang Jaya dapat kuasai keadaan karena
kecerdikannya...."
Di sela-sela tawa yang dikeluarkannya, Manusia
Muka Kucing berseru. "Tak ada salahnya kukatakan
apa yang kurencanakan kepada kalian, karena kalian
adalah orang orang yang secara tidak langsung sudah
mampus! Bagus! Kubunuh orang-orang rimba persila-
tan yang tak mau mengatakan di mana Pendekar Sle-
bor berada, karena aku ingin memancing kemunculan
pemuda dari Lembah Kutukan yang bila kucari sudah
tentu akan memakan waktu yang sangat lama! Dan
akhirnya pemuda itu muncul sendiri! Tak kubunuh
dia, karena seseorang menghendakinya hidup-hidup!"
Jaya Lantung yang merasa Manusia Muka Kucing
telah masuk ke perangkapnya melanjutkan kata tetap
dengan nada menyanjung, "Luar biasa! Padahal kau
dapat membunuhnya dengan mudah, bukan?"
"Tepat! Membunuhnya tak terlalu sulit!"
"Tetapi, bila orang itu menghendakinya hidup-
hidup, mengapa kau tidak menangkap dan memba-
wanya kepada orang itu?"
"Pertanyaan bagus! Tetapi aku tidak tahu menga-
pa dia tidak menyuruhku menangkapnya! Dia hanya
menyuruhku untuk memancingnya keluar!!"
"Lalu siapa orang itu?"
"Iblis Segala Amarah!!"
Jaya Lantung berteriak kaget, "Oh! Iblis Segala
Amarah! Luar biasa! Bila sejak semula aku tahu kalau
kau diperintah oleh Iblis Segala Amarah, sudah tentu
aku akan memaksa Guru untuk tunduk kepadamu!"
Lalu sambungnya dalam hati, "Siapa sebenarnya Iblis
Segala Amarah? Rupanya dia orang yang berada di ba-
lik semua ini. Berarti, dugaan Pendekar Slebor benar
kalau lelaki muka kucing beserta cecunguknya ditung-
gangi oleh seseorang yang kini kuketahui berjuluk Iblis
Segala Amarah? Tahukah Pendekar Slebor tentang
orang itu?"
Wajah Manusia Muka Kucing makin senang men-
dengar kata-kata Jaya Lantung.
"Bagus bila kau pernah mendengar julukannya!!"
"Tetapi... apa yang dihendaki oleh Iblis Segala
Amarah pada diri Pendekar Slebor?"
"Hahaha... menyenangkan sekali bercakap-cakap
denganmu! Rupanya kau lebih pandai dari orang-orang
bodoh yang telah kubunuh! Iblis Segala Amarah
menghendaki tenaga 'Inti Petir' yang dimiliki pemuda
itu! Karena dia tengah memperdalam sebuah ilmu
langka yang sangat dahsyat yang akan dipergunakan
untuk membunuh Pendekar Cakra Sakti!!"
"Semakin jelas sekarang urusan yang ada ini. Di
belakang semua urusan, berdiri Iblis Segala Amarah
yang menginginkan tenaga 'Inti Petir' yang dimiliki
Pendekar Slebor dan untuk membunuh Pendekar Cakra Sakti."
Habis membatin begitu, Jaya Lantung berkata lagi
dengan diantar tatapan kagum Werdaningsih, "Apakah
kau tahu di mana Iblis Segala Amarah berada? Terus
terang, aku ingin sekali mengabdi padanya!"
"Hmmm... ternyata kau masih bisa berpikir bagus!
Bila kau memang ingin mengabdi padanya, bunuh ga-
dis di sebelahmu!!"
Jaya Lantung terkesiap mendengar kata-kata
orang. Tetapi hanya sekejap saja, karena di lain kejap
dia berkata sambil tertawa, "Membunuh gadis celaka
ini sangat mudah kulakukan!!"
Werdaningsih yang tahu apa yang diinginkan ka-
kak seperguruannya mendadak melompat agak men-
jauh dan berseru dengan tangan menuding, "Kang
Jaya! Kau sudah gila!"
Jaya Lantung tersenyum dalam hati melihat ke-
tanggapan adik seperguruannya. Lalu dengan suara
dibuat bengis dia berseru, "Werdaningsih! Jangan
campuri urusanku! Bila kau tidak ingin mampus di
tanganku, ikuti apa yang kuinginkan!"
"Kurang ajar! Ternyata di balik kelembutan si-
kapmu selama ini, tersimpan jiwa pengkhianat!"
"Diaaammm!" bentak Jaya Lantung keras dan
arahkan pandangan lagi pada Manusia Muka Kucing,
"Urusan gadis ini dengan mudah akan kuselesaikan!
Katakan, di mana Iblis Segala Amarah berada? Aku in-
gin segera mengabdi padanya!!"
Manusia Muka Kucing yang merasa mendapat
pengikut yang cukup tangguh terbahak-bahak kemba-
li.
"Kau benar-benar dapat pergunakan otakmu den-
gan cerdik! Ya, orang-orang cerdik seperti kita, sudah
seharusnya selalu mempergunakan otak! Bagus! Iblis
Segala Amarah berdiam di...."
Belum lagi tuntas kata-kata Manusia Muka Kuc-
ing, mendadak saja terdengar tawa keras bertalu-talu
dan sesekali diiringi gerengan yang keras pula, "Manu-
sia Muka Kucing! Siapakah yang cerdik kalau begini?
Apakah kau tidak sadar kalau kau sesungguhnya se-
dang dibodohi pemuda itu? Dengan pujiannya yang
membuat kau melambung, kau dengan mudah mem-
buka seluruh rahasia yang kau pendam! Sungguh dis-
ayangkan sekali!!"
Bukan hanya Jaya Lantung dan Werdaningsih
yang tadi sudah berharap sekali kalau Manusia Muka
Kucing mengatakan di mana Iblis Segala Amarah bera-
da yang terkejut, lelaki berparas kucing itu sendiri se-
gera balikkan tubuh.
Sepasang matanya yang memerah perhatikan se-
kelilingnya.
"Suaranya... ya, suaranya sangat akrab di telinga-
ku. Suara yang sekian lama tak pernah lagi terdengar
di telingaku. Suara..." Memutus kata batinnya sendiri,
mendadak lelaki berparas kucing ini putar tubuh kem-
bali. Pandangannya sengit dan menusuk pada Jaya
Lantung dan Werdaningsih.
Kejap kemudian terdengar bentakannya, "Jaha-
nam keparat! Kau berhasil memancingku untuk mem-
buka tabir semua ini! Keparat! Akan kurobek-robek
mulut kalian!!"
Sebelum lelaki berparas kucing ini lancarkan se-
rangan, terdengar lagi satu suara diiringi satu desir
angin yang kuat, "Kau sadar sekarang, kalau dirimulah
yang bodoh!!"
Habis suara itu terdengar, desir angin kuat tadi
berhenti. Lalu nampaklah satu sosok tubuh tinggi be-
sar berpakaian warna kuning gading!
***
6
"Manusia Tangan Harimau!!" desis Manusia Muka
Kucing begitu mengenali siapa yang muncul.
Orang tinggi besar yang sejak tadi memperingati
Manusia Muka Kucing sekaligus menertawakan kebo-
dohannya yang memang Manusia Tangan Harimau
adanya, pentangkan seringaian. Wajahnya yang dipe-
nuhi jerawat memerah makin nampak mengerikan.
"Apa kabarmu, Manusia Muka Kucing? Sekian ta-
hun tak berjumpa, kau ternyata telah menjelmakan di-
rimu menjadi orang bodoh! Satu hal yang kusesali,
mengapa kau melupakanku untuk tidak mengajakku
bersama-sama menikmati kesenangan ini?!"
Mendengus gusar Manusia Muka Kucing menden-
gar ucapan orang. Lebih gusar lagi menyadari kalau
dia telah termakan ucapan Jaya Lantung.
"Kita tunda pembicaraan itu! Aku ingin mengirim
nyawa kedua manusia celaka ini ke akhirat!!"
Kejap berikutnya, mendadak saja lelaki berparas
kucing ini menerjang ke depan. Kesepuluh jari jema-
rinya yang dihiasi kuku-kuku runcing serta dihuni
oleh racun yang sangat ganas, mengembang. Yang ka-
nan siap mencabik-cabik wajah Jaya Lantung semen-
tara yang kiri siap merobek wajah Werdaningsih.
Kedua murid mendiang Malaikat Keadilan yang
sadar kalau bahaya telah datang, segera bertindak si-
gap.
Serentak masing-masing orang membuang tubuh
ke samping kanan dan kiri. Bersamaan dengan itu,
langsung lepaskan jurus 'Tebar Cahaya Maut'.
Serta-merta empat buah cahaya bening yang ke-
luarkan suara menggemuruh menderu mengerikan ke
arah Manusia Muka Kucing.
Yang diserang serentak kertakkan rahangnya.
Menyusul dengan gerakan sangat cepat Manusia Muka
Kucing meluruk ke depan setelah lakukan gerakan se-
perti menerkam dan secara tak langsung melompati
labrakan empat cahaya bening mengerikan itu.
Tangan kanan kirinya kembali bergerak cepat.
"Awas, Werda!!" seru Jaya Lantung sambil dorong
adik seperguruannya ke samping kanan. Lalu dengan
cepat dia lancarkan tendangan kaki kanan yang
menghantam tangan kiri Manusia Muka Kucing yang
tadi mengarah pada Werdaningsih.
Menyusul dengan pijakan kuat pada tanah dan
tubuh sedikit dibungkukkan, tangan kanannya dido-
rong. Serta-merta mencelat cahaya bening ke dada
Manusia Muka Kucing.
Bukan buatan geramnya lelaki berparas kucing
itu. Terutama begitu mendengar ejekan Manusia Tan-
gan Harimau, "Tak kusangka! Selain kau telah menjadi
bodoh, kemampuanmu pun tak seberapa maju! Sung-
guh mengherankan bila orang berjuluk Iblis Segala
Amarah mau mempergunakanmu! Dan terlalu som-
bong kau tak mengajakku serta!!"
"Setan terkutuk!!" maki Manusia Muka Kucing
dan lakukan satu gerakan yang menakjubkan. Karena
secara mendadak dikibaskan tangan kirinya.
Wussss!!
Hamparan angin berjarak dekat karena sosok
Jaya Lantung begitu dekat dengannya menggebrak.
Memutus cahaya bening yang dilepaskan oleh pemuda
tampan itu. Namun hamparan angin itu terus menderu
siap menghantam dada Jaya Lantung.
Memekik tertahan Jaya Lantung yang tak me-
nyangka kalau lawan akan lakukan papakan serangan
dari jarak sedemikian dekat. Yang bisa dilakukannya
hanya mencoba membuang tubuh ke samping kanan.
Karena jarak yang begitu dekat, mau tak mau tangan
kirinya harus terserempet hamparan angin itu.
"Aaakhhhh!!" memekik keras salah seorang murid
Malaikat Keadilan ini sambil tekap tangan kirinya.
Bila saja Werdaningsih tidak bertindak cepat, su-
dah tentu tubuh Jaya Lantung akan tersungkur.
"Kakang...," desisnya.
"Werda... tinggalkan tempat ini! Cepat!!" seru Jaya
Lantung seraya berusaha tegak kembali. "Jangan sam-
pai kita mati konyol di sini!"
"Tidak! Apa pun yang terjadi, kita akan mengha-
dapinya bersama-sama, Kang Jaya!"
"Jangan berlaku konyol! Kalau kita sama-sama
tewas, tak ada lagi yang akan membantu Kang Arya!
Cepat, Werda! Aku akan menyerang manusia celaka
itu dan kau pergunakan kesempatan itu untuk melari-
kan diri!"
"Tidak, Kang Jaya!" sahut Werdaningsih keras ke-
pala. Malah kedua tangannya telah pancarkan cahaya
bening tanda dia kembali keluarkan jurus 'Tebar Ca-
haya Maut'.
Jaya Lantung yang sadar kali ini mereka tak akan
bisa meloloskan diri berkata dalam hati, "Tidak! Aku
tidak boleh mencelakakan Werdaningsih! Tak akan
pernah kumaafkan diriku setelah kematian Guru! Se-
baiknya, kudorong dia dan langsung kuserang Manu-
sia Muka Kucing!"
Berpikir demikian, mendadak saja pemuda yang di
pinggangnya melilit angkin hitam ini mendorong tubuh
Werdaningsih. Bersamaan sosok si gadis tersuruk ke
samping, Jaya Lantung sudah mencelat ke depan den-
gan mendorong kedua tangannya yang kontan melesat
dua cahaya bening. Menyusul dia gerakkan kedua tan-
gannya membentuk jotosan.
Di tempatnya, Manusia Muka Kucing cuma mendengus. Mendadak saja dia miringkan tubuh. Lalu
dengan cepat kedua tangannya yang telah membentuk
cakar bergerak, siap mencakar kedua lengan Jaya Lan-
tung.
Sulit bagi Jaya Lantung untuk tarik pulang joto-
sannya. Dia hanya coba tekuk untuk hindari samba-
ran cakar itu. Namun gerakan yang dilakukan oleh
Manusia Muka Kucing merupakan serangan susul me-
nyusul.
Diiringi teriakan mengguntur, mendadak saja ke-
dua tangannya telah berada di balik punggung Jaya
Lantung dan siap mencakar.
Namun sebelum punggung si pemuda tercabik-
cabik, mendadak saja dua cahaya bening sudah men-
deru halangi niat Manusia Muka Kucing. Berteriak ge-
ram lelaki ini sambil melompat dengan cara memben-
tuk bayang lebih dulu.
Begitu kedua tangannya menyentuh tanah, tu-
buhnya meluruk dengan kaki mendahului ke arah
Werdaningsih. Ganti si gadis yang terkejut dan segera
memapaki dengan kedua tangannya.
Akan tetapi, kedua cakar yang siap dihujamkan
Manusia Muka Kucing jelas tak akan dapat dihindari.
"Werdaaaa!" seru Jaya Lantung panik. Untuk
membantu pun tak mungkin. Karena selain jaraknya
cukup jauh, kedua cakar Manusia Muka Kucing sudah
begitu dekat dengan Werdaningsih.
Akan tetapi, keanehan terjadi. Karena mendadak
saja terlihat tubuh Manusia Muka Kucing bersalto ke
belakang.
Bukan hanya Jaya Lantung dan Werdaningsih
yang terkejut sekaligus dapat menarik napas lega, Ma-
nusia Tangan Harimau yang tadi tersenyum melihat
gerakan yang dilakukan Manusia Muka Kucing pun
terkesiap kaget.
"Gila!! Apa-apaan manusia itu mengurungkan
niatnya?!"
Namun tatkala melihat tangan kanan Manusia
Muka Kucing nampak bergetar dengan wajah menekuk
kesakitan, sadarlah lelaki bertangan harimau itu apa
yang terjadi.
Kejap berikutnya dia melompat mendekati Manu-
sia Muka Kucing.
"Ada yang datang!!" desisnya.
"Wah, wah! Kok terlambat mengetahuinya sih?
Bagaimana ini? Katanya jagoan? Kok orang ganteng
datang tidak tahu?" mendadak terdengar seruan itu
dari atas sebuah pohon.
Serta-merta orang-orang yang berada di sana ang-
kat kepala. Masing-masing orang melihat satu sosok
tubuh berpakaian hijau pupus asyik duduk dengan
kedua kaki menguncang-nguncang.
"Pendekar Slebor...," desis Jaya Lantung dan Wer-
daningsih secara bersamaan.
Sementara terdengar teriakan geram Manusia
Muka Kucing, "Pemuda celaka! Kali ini kau tak akan
kubiarkan hidup!!"
Habis kata-katanya, lelaki ini sudah melompat
dengan kedua tangan siap mencabik tubuh Pendekar
Slebor.
Craakk! Craakkk!!
Dahan yang tadi diduduki pemuda urakan itu
langsung patah tercabik. Namun sosok si pemuda te-
lah lenyap dari tempatnya semula.
Bersamaan tubuh Manusia Muka Kucing sudah
berputar dan hinggap kembali di tanah terdengar se-
ruan, "Busyet! Galak amat sih? Kau kan seharusnya
mencium tanganku dulu tanda hormatmu!! Benar-
benar tidak tahu sopan santun sama yang lebih tua?!"
Sementara Jaya Lantung dan Werdaningsih menyingkir, Manusia Muka Kucing menggeram menden-
gar kata-kala tengik Pendekar Slebor, "Kubunuh kau!!"
Dengan gerengan keras, lelaki muka kucing ini do-
rong tangan kanan kiri ke depan.
Di tempatnya, anak muda urakan dari Lembah
Kutukan itu geleng-geleng kepala tanpa bergeser dari
tempatnya.
"Benar-benar keras kepala!!" desisnya dan segera
melompat begitu serangan yang dilancarkan Manusia
Muka Kucing mendekat.
Luput serangan pertamanya, lelaki berparas kuc-
ing ini makin panas. Dia segera susulkan serangan ke-
duanya. Kali ini siap merobek kulit kepala Pendekar
Slebor.
"Wah! Kejam amat nih!!"
Segera saja diangkat dan disilangkan kedua tan-
gannya di atas kepala.
Bukkk! Bukkk!!
Dua benturan keras sekaligus terjadi. Pendekar
Slebor mundur satu tindak ke belakang. Tangan kanan
kirinya dirasakan nyeri. Sementara itu Manusia Muka
Kucing juga merasakan hal yang sama. Sesaat dia
nampak terkejut. Namun kejap berikutnya, lelaki ber-
paras kucing ini sudah menerjang kembali.
Andika kembali mendengus. Dan dia sengaja la-
kukan bentrokan.
Begitu bentrokan terjadi, Manusia Muka Kucing
langsung buka jotosannya membentuk cakar. Lang-
sung menyabet ke arah muka!
Wutttt!!
Bila saja Andika tidak segera tarik kepalanya ke
belakang, bisa dipastikan wajahnya akan robek. Ber-
samaan dia tarik wajahnya, tangan kanannya segera
meluncur. Manusia Muka Kucing masih sempat hinda-
ri sergapan tangan kanan itu. Namun tangan kiri Andika yang telah dialiri tenaga 'Inti Petir' telak menghan-
tam dadanya.
Dessss!!
Terdengar pekikan tertahan dari lelaki berparas
kucing ini bersamaan tubuhnya terhuyung ke bela-
kang. Nampak sekali dia berusaha untuk kuasai ke-
seimbangan. Wajahnya menekuk dengan pipi men-
gembung. Kejap berikutnya, kembungan pipi itu men-
gempis dan menyentak.
Huaaakkk!
Darah hitam segera keluar.
Di tempatnya Andika berkata sambil geleng-geleng
kepalanya. "Wah! Masih sih yang begini yang dijadikan
anak buah oleh Iblis Segala Amarah? Lebih baik kata-
kan saja deh di mana lelaki jelek itu berada?!"
Manusia Muka Kucing menggeram dengan tatapan
menusuk.
"Hhh! Rupanya dia sudah tahu tentang hal itu!"
Apa yang dibatinkan Jaya Lantung pun sama,
"Pendekar Slebor memang cerdik. Rupanya dia tahu
siapa orang yang berada di belakang Manusia Muka
Kucing. Tetapi, apakah dia tahu kalau Iblis Segala
Amarah menghendaki tenaga 'Inti Petir' dalam tubuh-
nya?"
Sementara itu Manusia Tangan Harimau yang se-
jak tadi sudah gatal untuk menyerang, tak mau me-
nunggu lebih lama. Apalagi dilihatnya sahabat la-
manya ini telah dikalahkan oleh pemuda yang di le-
hernya melilit sehelai kain bercorak catur.
Mendadak dia segera melompat ke depan. Pan-
dangannya tajam menusuk pada Pendekar Slebor.
"Aku ingin merasakan kehebatan Pendekar Slebor
yang kesohor!!" desisnya dingin.
"Wah! Aku jadi tidak enak nih dibilang kesohor!!"
"Tutup mulutmu!!"
Habis makiannya, lelaki penuh jerawat ini sudah
melompat ke depan. Satu gelombang angin menderu
mendahului terjangan Manusia Tangan Harimau.
Kaget juga Andika merasakan besarnya tenaga be-
gitu serangan itu mendekat. Kali ini dia tak mau untuk
lakukan bentrokan, karena ingin mengetahui besarnya
tenaga lawan.
Manusia Tangan Harimau yang memang memiliki
kekuatan pada kedua tangannya terus lancarkan se-
rangan. Dan setiap kali dia gerakkan kedua tangan-
nya, setiap kali pula terdengar desiran serta dorongan
angin yang kuat.
Zeeb! Zeeb!
Andika masih tetap menghindar tanpa berusaha
membalas.
Mendapati kalau serangannya belum juga menge-
nai sasaran, kegeraman semakin merajai dada Manu-
sia Tangan Harimau. Diiringi teriakan membahana, le-
laki ini terus menerjang ganas.
Hingga kemudian Andika mau tak mau memapaki
gebukan kedua tangan lawan.
Dess! Desss!!
Begitu benturan terjadi, sosok Andika terhuyung
ke belakang. Pergelangan tangan hingga sikunya tera-
sa nyeri sekali. Saat diangkat, terlihat warna biru.
Sementara itu Manusia Tangan Harimau terba-
hak-bahak.
"Tak seorang pun yang dapat tandingi kekuatan kedua
tanganku ini! Tak terkecuali kau, Pendekar Slebor!!"
Dasar urakan, kendati kedua tangannya dirasa-
kan nyeri, Andika menyahut tengik, "Ah, masa?"
Makin menggila kegeraman Manusia Tangan Ha-
rimau. Dia segera menyerang dengan gebrakan kedua
tangannya yang mengerikan.
Zeebb! Zeebbb! Zeeebbb!!
Sementara itu Manusia Muka Kucing yang telah
pulihkan rasa sakit pada dada dengan kerahkan tena-
ga dalamnya, sudah membantu menyerang!
Mendapati dua serangan ganas sekaligus yang di-
lancarkan masing-masing orang, sesaat Andika terke-
jut bukan alang kepalang. Pemuda dari Lembah Kutu-
kan ini mencoba mencari sela untuk masukkan seran-
gannya.
Tenaga 'Inti Petir' telah dipergunakan kembali. Se-
tiap kali tangan kanan kirinya bergerak, terdengar sa-
lakan petir yang sangat kuat.
Manusia Muka Kucing yang tadi bentrokan di saat
Andika pergunakan tenaga 'Inti Petir' tak mau lagi
mengadu tangannya. Lain halnya dengan Manusia
Tangan Harimau.
Lelaki ini justru tertawa-tawa saja bila sekali wak-
tu tangannya berbenturan dengan tangan Andika.
Bahkan dengan penuh ejekan dia berkata, "Manusia
Muka Kucing! Apakah tenaga itu yang diinginkan oleh
orang yang telah menyuruhmu, hah? Benar-benar
orang bodoh Iblis Segala Amarah!!"
Kendati jengkel mendengar ucapan itu, namun
Manusia Muka Kucing tak mau buka mulut. Dia terus
gerakkan kedua cakarnya yang berkelebat-kelebat.
Di lain pihak, sambil terus menghindari setiap
gempuran kedua lawannya, Andika memaki, "Berabe!
Gebrakan Manusia Tangan Harimau rupanya lebih
dahsyat daripada yang dimiliki Manusia Muka Kucing!
Kalau sebelumnya aku penasaran ingin mengenal Ma-
nusia Muka Kucing, kali ini tujuanku adalah Iblis Se-
gala Amarah! Apalagi secara tidak langsung aku telah
emban tugas yang diberikan Pendekar Cakra Sakti dan
Mayang Kunting!! Tetapi mengatasi keduanya pun cu-
kup sulit kulakukan! Hmmm... aku harus bertindak
cepat!!"
Memikir sampai di sana, Pendekar Slebor segera
melompat ke belakang, menjaga jarak dari kedua la-
wannya. Bersamaan dengan itu, mendadak saja terli-
hat sekeliling tubuhnya dihiasi oleh pernik perak. Ru-
panya anak muda ini sudah keluarkan ajian 'Guntur
Selaksa'.
Melihat perubahan yang ada pada pemuda berba-
ju hijau pupus itu, Manusia Tangan Harimau dan Ma-
nusia Muka Kucing untuk sesaat saling pandang. Ke-
jap berikutnya setelah saling anggukan kepala, mas-
ing-masing orang segera menggebah ke depan disertai
tenaga dalam tinggi.
Jaya Lantung dan Werdaningsih yang menyingkir
agak menjauh pun terkejut melihat perubahan pada
diri Pendekar Slebor. Mereka yang tadi mulai cemas
melihat pemuda itu diserang habis-habisan dan siap
untuk membantu, kali ini dapat tarik napas lega.
Apalagi setelah terjadi benturan keras antara tan-
gan kanan Manusia Tangan Harimau dengan tangan
Pendekar Slebor. Terdengar salakan guntur yang san-
gat keras. Menyusul terlihat sosok Manusia Tangan
Harimau mencelat ke belakang.
Sementara Andika sendiri hanya terhuyung dua
tindak ke belakang.
Mendapati hal itu, wajah Manusia Muka Kucing
nampak berubah. "Gila! Ternyata dia memang hebat!
Hmmm... seperti yang diperintahkan Iblis Segala Ama-
rah. sebaiknya kupancing dia ke Gunung Kerambang!!"
Memutuskan demikian, lelaki berparas kucing ini
berseru, "Pendekar Slebor! Bila kau memang memiliki
jiwa seorang pendekar, beri aku waktu beberapa hari!
Dan kau kutunggu di Gunung Kerambang!!"
"Wah! Mana bisa begitu? Keenakan kau itu na-
manya! Pokoknya, aku ingin jitak kepalamu!!" sahut
Andika yang diam-diam coba cernakan apa yang di
maksud Manusia Muka Kucing.
"Jahanam! Aku harus menjauh dari sini!!" desis
Manusia Muka Kucing dalam hati. Lalu berseru lagi,
"Ternyata kau tak memiliki jiwa seorang pendekar! Ti-
dakkah kau lihat sendiri aku sedang terluka dalam?"
"Terus kenapa kalau kau terluka dalam? Aku ha-
rus kasihan begitu? Enak saja! Aku ingin tahu apakah
kau kasihan melihat korbanmu yang kau bunuh?"
Sebelum Manusia Muka Kucing berkata, Manusia
Tangan Harimau yang telah berdiri tegak kendati agak
goyah sudah buka mulut, "Manusia Muka Kucing!
Ternyata kau sudah menjadi pengecut! Hhh! Pertama
kau dibodohi oleh pemuda berbaju putih itu! Sekarang
kau berlaku pengecut di hadapan pemuda ini! Ke ma-
na letak keberanianmu sebenarnya, hah?!"
"Keparat! Dia muncul justru mengejekku habis-
habisan! Hhh! Peduli setan dia mau mampus atau ti-
dak? Pokoknya, aku harus memancing pemuda ini ke
Gunung Kerambang!! Tetapi... tenaga Manusia Tangan
Harimau masih dapat kupergunakan!"
Habis membatin begitu, Manusia Muka Kucing
berseru, "Baik! Kita habisi pemuda itu sekarang juga!!"
Menyusul dia segera lancarkan serangan dengan
kedua cakar mengembang siap membeset wajah Andi-
ka. Andika sendiri kali ini tak mau mundur, dia justru
mencelat ke depan seraya gerakkan tangan kanannya
yang telah terangkum ajian 'Guntur Selaksa'.
Namun Manusia Muka Kucing yang memiliki niat
lain, justru membuang tubuh ke arah Manusia Tangan
Harimau. Secepat kilat dia menyambar tubuh lelaki
berjerawat merah itu dan membawanya lari dari sana.
Anehnya, Andika tidak mengejar. Bahkan dia me-
nahan Jaya Lantung dan Werdaningsih yang sudah
berkelebat.
"Biarkan mereka!"
"Kenapa?" tanya Jaya Lantung. Kali ini suaranya
tidak segarang biasanya bila bertemu dengan Andika
yang semula diduga sebagai antek dari Manusia Muka
Kucing.
Andika garuk-garuk kepalanya dulu sebelum men-
jawab, "Aku tahu apa maksudnya menantangku di
Gunung Kerambang. Dugaanku, di sanalah Iblis Sega-
la Amarah berdiam. Bila kita mengikutinya, kemung-
kinan besar dia akan membawa kita ke arah yang sa-
lah dan bisa-bisa menjebak pula. Kalian paham mak-
sudku?"
Jaya Lantung dan Werdaningsih sama-sama ang-
gukkan kepala. Diam-diam mereka kagum dengan ke-
cerdikan pemuda tampan namun urakan ini.
"Sekarang... kalian lebih baik beristirahat dulu.
Biar aku yang menyusul kedua orang itu."
Habis kata-katanya, anak muda pewaris ilmu
Pendekar Lembah Kutukan ini segera berlari ke arah
perginya Manusia Muka Kucing dan Manusia Tangan
Harimau.
Tinggal Jaya Lantung dan Werdaningsih yang sa-
ma-sama tarik napas. Lalu duduk bersemadi untuk
pulihkan tenaga.
***
7
"Mengapa kau justru melarikan diri, hah?!" mem-
bentak Manusia Tangan Harimau begitu mulai berada
dalam jarak lima belas tombak dari Gunung Keram-
bang.
Manusia Muka Kucing mendengus. Sambil terus
berlari dia menyahut, "Aku diperintah oleh Iblis Segala
Amarah untuk memancing Pendekar Slebor!" Lalu lan-
jutnya dalam hati, "Tak kusangka kalau pemuda itu
memiliki kesaktian tinggi. Pupus sudah niatku untuk
menyerap lebih dulu tenaga 'Inti Petir' sebelum dilaku-
kan Iblis Segala Amarah!"
"Bodoh! Bukankah lebih baik dibunuh saja?!"
"Justru kau yang bodoh!" balas Manusia Muka
Kucing mangkel. "Bila kita membunuhnya, sudah ten-
tu Iblis Segala Amarah yang akan membunuh kita!!"
"Hhh! Dia masih membutuhkan tenaga 'Inti Petir'
yang ada pada Pendekar Slebor! Sementara tadi, aku
masih dapat menandingi pemuda itu! Apakah kau ti-
dak berpikir kalau Iblis Segala Amarah tak mempunyai
ilmu yang diandalkan?"
"Bila dia tak punya ilmu yang diandalkan, tak
mungkin dia dapat jatuhkan aku hanya tiga gebra-
kan!!" sahut Manusia Muka Kucing menindih dongkol-
nya. Lagi-lagi sambungnya dalam hati, "Sudah lama
kurencanakan untuk lepas dari tangan Iblis Segala
Amarah! Tetapi aku belum terlalu bodoh karena tak
memiliki sesuatu yang lebih kuandalkan untuk menga-
tasi sepak terjangnya!"
"Berarti... kau tak maju-maju dalam soal kepan-
daian!"
"Terkutuk! Ucapannya benar-benar bikin aku
muak! Bila saja dia tak pernah bergabung denganku
dulu dan bukan kambrat dekatku, sudah kubunuh
sekarang juga!!"
Habis membatin geram begitu, Manusia Muka
Kucing berkata, "Sekarang ini kau jangan banyak
tanya! Ingat, bila Iblis Segala Amarah berhasil menda-
patkan tenaga 'Inti Petir' dari tubuh Pendekar Slebor,
berarti hidup kita akan terjamin. Apakah kau sekarang
mengatakan kalau aku tidak mengajakmu, hah?!"
Ganti Manusia Tangan Harimau yang memaki
maki dalam hati. Dadanya masih dirasakan nyeri aki-
bat hantaman Pendekar Slebor. Dan hal itu membuat-
nya amat geram dan rasanya tak bisa berdiam diri le-
bih lama.
Akan tetapi, dia juga tertarik dengan rencana yang
dikatakan Manusia Muka Kucing. Kendati kelak bera-
da di bawah kaki Iblis Segala Amarah, bukankah sega-
la sesuatunya akan terlindungi? Dan berarti dia bebas
berbuat apa saja!
Kendati demikian, di hati Manusia Tangan Hari-
mau berkata lain, "Manusia Muka Kucing seperti men-
ganggap dewa pada Iblis Segala Amarah! Kalaupun dia
dapat dikalahkan dengan mudah, sudah tentu karena
kedunguannya! Iblis Segala Amarah masih membu-
tuhkan tenaga 'Inti Petir' dan sudah barang tentu ke-
kuatannya belum seberapa karena dia belum menda-
patkan tenaga 'Inti Petir'! Dasar si Muka Kucing saja
yang bodoh!"
Selagi kedua orang ini terus berkelebat, sepasang
mata yang berada di balik sebuah ranggasan semak
memperhatikan mereka tak berkedip.
"Manusia Muka Kucing. Menurut Pendekar Cakra
Sakti, Iblis Segala Amarah telah memiliki cecunguk
berjuluk Manusia Muka Kucing. Tetapi, siapakah
orang tinggi besar berjerawat itu?"
Pemilik sepasang mata yang di kepalanya berteng-
ger mahkota bersusun tiga yang dihiasi butiran mutia-
ra terus mengikuti larinya kedua orang itu dengan ta-
tapannya.
"Pendekar Cakra Sakti memang masih sesakti du-
lu. Bahkan dia tahu kalau Iblis Segala Amarah sedang
merencanakan untuk membalas dendam dengannya.
Bahkan dia tahu kalau lelaki itu menghendaki tenaga
'Inti Petir' milik Pendekar Slebor. Sungguh luar biasa
memang! Entah ilmu apa yang dimilikinya hingga dia
mengetahui semua itu? Tetapi karena sikapnya yang
terkadang asal-asalan saja dia nampak tak memiliki
kepandaian apa-apa. Bahkan sering kali bila ditanya
dari mana dia tahu, jawabannya juga asal-asalan. Ah,
terus terang, bila saja aku tak pernah berjumpa den-
gan Pendekar Cakra Sakti, hingga hari ini tentunya
aku masih berkubang dalam kesesatan!"
Perempuan jelita yang sesungguhnya berusia lan-
jut ini menarik napas pelan. Dan mendadak saja ke-
ningnya berkerut, tatkala dilihatnya dua orang itu hen-
tikan lari di hadapan sebuah batu besar.
"Hmmm... ada apa ini? Nampaknya mereka tengah
menunggu seseorang? Padahal aku bermaksud mengi-
kuti, siapa tahu mereka akan membawaku pada Iblis
Segala Amarah. Tetapi, siapa yang mereka tunggu?"
desis si perempuan yang tak lain Ratu Hitam adanya.
Sepasang matanya tetap tak berkedip. Tangan kanan-
nya memegang sebuah tombak yang telah patah dan di
ujungnya terdapat sebuah trisula. "Hmm... sebaiknya
aku mendekat saja, untuk mengetahui apa yang mere-
ka percakapkan...."
Dengan pergunakan ilmu peringan tubuhnya, pe-
rempuan jelita berpakaian hitam tipis hingga perli-
hatkan lekuk tubuhnya yang indah, berkelebat men-
gendap. Saat bergerak, pakaian bawahnya yang terbe-
lah hingga pangkal paha terbuka, memperlihatkan
bungkahan montok yang mulus.
Sejarak lima tombak dari samping kanannya, Ma-
nusia Tangan Harimau berkata pada Manusia Muka
Kucing, "Mengapa kau berhenti?"
"Kita tunggu kedatangan Pendekar Slebor!!"
"Hhh! Apakah kau pikir, pemuda itu akan ter-
pancing dengan tantanganmu?"
Manusia Muka Kucing langsung palingkan kepala.
Kali ini tatapannya agak menusuk. Rupanya lelaki
berparas kucing ini sudah tak kuasa lagi menahan ke-
jengkelannya pada setiap ucapan Manusia Tangan Ha-
rimau.
"Tidakkah mulutmu dapat kau kunci barang seje-
nak? Ucapanmu bikin aku jengkel!!"
Manusia Tangan Harimau nampak hendak mem-
buka mulut. tetapi urung kendati tatapannya juga ta-
jam.
Lalu katanya, "Baik! Aku tak akan banyak tanya
lagi! Tetapi percayalah... karena kau melupakan ten-
tang kecerdikan pemuda itu, maka semuanya akan
berbalik memukulmu!"
"Itu urusanku!!" sentak Manusia Muka Kucing ge-
ram. "Tangan Harimau! Bila kau ingin bergabung den-
ganku, turuti semua yang kukatakan! Toh aku tak
akan menjerumuskanmu!!"
"Mereka rupanya sedang menunggu Pendekar Sle-
bor. Tentunya pemuda itu telah bertemu dengan kedu-
anya. Manusia Tangan Harimau... tak pelak lagi kalau
dia memang kambrat dari Manusia Muka Kucing. Te-
tapi yang kutuju bukan mereka, melainkan Iblis Segala
Amarah. Bila aku keluar saat ini, sudah tentu aku ti-
dak akan tahu apa yang akan mereka rencanakan. Se-
baiknya kutunggu saja...."
Di depan sana, dua manusia sesat itu sama-sama
tutup mulut. Angin malam berhembus dingin. Bila saja
saat ini bulan tidak bersinar penuh, dapat dipastikan
kalau kegelapan semata yang terlihat.
Waktu terus melangkah kendati lambat namun
pasti. Suara hewan-hewan malam cukup meramaikan
tanah di sekitar Gunung Kerambang.
Wajah Manusia Muka Kucing menekuk dalam.
Mata merahnya berputar ke sana kemari. Rasa tak sa-
bar mulai menggayuti hatinya. Sementara Manusia
Tangan Harimau hanya terdiam walau sesekali terden
gar dengusannya.
Tepat rembulan sudah berada tegak lurus dengan
kepala, nampak satu sosok tubuh berkelebat cepat
mendekati keduanya. Masing-masing orang segera ma-
ju satu langkah dengan wajah tegang. Begitu bayangan
tadi semakin mendekat, terdengar dengusan Manusia
Muka Kucing, "Kaki Kilat!!"
Manusia Tangan Harimau sejenak arahkan pan-
dangannya pada lelaki berparas kucing itu. Kejap beri-
kutnya, arahkan pandangan pada lelaki berpakaian
merah-merah yang semakin mendekat dengan kening
berkerut.
Sementara itu dari balik ranggasan semak belu-
kar, Ratu Hitam mendesis, "Datang lagi cecunguk yang
harus dibinasakan. Apakah dia termasuk yang sedang
ditunggu oleh kedua manusia itu?"
Lelaki berpakaian merah yang muncul dengan tu-
buh agak terhuyung, langsung rangkapkan kedua tan-
gannya di depan dada. Dengan kepala agak ditunduk-
kan dia berkata, "Ketua!"
Manusia Muka Kucing menggeram dingin.
"Mengapa kau ke sini, hah?!!"
Sesaat nampak lelaki berkumis tebal itu tak bera-
ni angkat kepala. Lalu perlahan-lahan dia angkat ke-
palanya seraya berkata, "Ketua... aku telah berjumpa
dengan orang yang Ketua cari! Pendekar Slebor!"
"Sial!" bentak Manusia Muka Kucing. Karena dia
langsung menduga, kalau pertemuan Kaki Kilat den-
gan Pendekar Slebor sebelum dia sendiri berjumpa
dengan pemuda itu. Berarti, tak ada berita yang mena-
rik. Sambil gerakkan tangannya ke atas, lelaki yang
tingginya hanya sebahu ini membentak keras hingga
kumis jarangnya bergetar, "Pergi dari sini!!"
"Tetapi..."
"Jahanam terkutuk! Apakah kau sudah ingin
mampus, hah?!" bentak Manusia Muka Kucing geram.
Manusia Tangan Harimau berkata sambil lipat ke-
dua tangan penuh bulunya di dada, "Manusia sema-
cam ini, nampaknya lebih baik dibunuh! Aku melihat
kelicikan dan keculasan pada wajah buruknya!!"
Manusia Muka Kucing yang mendongkol karena
yang datang justru bukan orang yang sedang ditung-
gunya, mengangguk-angguk seraya berkata tak ubah-
nya desisan belaka, "Kau benar! Manusia seperti dia
memang layak untuk mampus!"
Mendengar kata-kata itu, lelaki berkumis tebal
dengan luka di pipi kanan cepat-cepat mengangkat ke-
dua tangannya.
"Ketua... ada berita yang hendak kusampaikan
kepadamu...," katanya terburu-buru.
Wajah Manusia Muka Kucing sesaat menyiratkan
keingintahuan. Namun hanya sesaat, karena di saat
lain dia kembali menggeram, "Peduli setan dengan apa
yang kau hendak sampaikan! Mampuslah!!"
"Pendekar Slebor sedang menuju ke sini, Ketua!!"
seru Kaki Kilat terburu-buru. Wajahnya sedemikian
pias.
Mendengar kata-kata lelaki itu, tangan kanan Ma-
nusia Muka Kucing yang tadi terangkat, terhenti, lalu
lamat-lamat diturunkan.
Melihat Manusia Muka Kucing urungkan niat, Ka-
ki Kilat buru-buru berkata setelah melirik geram pada
Manusia Tangan Harimau, "Ketika aku menuju ke sini,
kulihat Pendekar Slebor sedang celingukan di sebuah
tempat. Nampaknya dia tengah memperkirakan jalan
mana yang harus ditempuh untuk menuju ke Gunung
Kerambang ini, Ketua."
"Bodoh! Mengapa kau tidak membunuhnya?" yang
keluarkan bentakan Manusia Tangan Harimau.
Mata Kaki Kilat sejenak memandang tajam. Untuk
sesaat lelaki berkumis tebal ini tak keluarkan ucapan.
Setelah mendengar hardikan Manusia Muka Kucing
barulah dia menjawab dengan arahkan pandangannya
pada lelaki yang tingginya hanya sebahu itu, "Maafkan
aku, Ketua... terus terang, aku pernah dikalahkan pe-
muda keparat itu. Dan hingga saat ini sebenarnya
keadaanku belum pulih benar. Sudah tentu aku tak
berani lakukan tindak bodoh untuk menghalangi niat-
nya. Dan lagi... sepertinya Ketua sedang menunggu
kehadirannya, bukan?"
Manusia Muka Kucing mendengus melihat sikap
menjilat yang diperlihatkan Kaki Kilat.
"Aku dan si Tangan Harimau saja dapat dikalah-
kan oleh pemuda itu, apalagi si Kaki Kilat! Hhh! Sudah
tak sabar rasanya untuk menanti kehadiran pemuda
celaka itu!! Hmmm... aku masih membutuhkan tenaga
Kaki Kilat kendati dia tak memiliki kepandaian yang
berarti. Namun ilmu larinya yang hebat dapat kuper-
gunakan bila suatu ketika urusan jadi mengembang
pada jalur yang tak diinginkan."
Berpikir demikian, lelaki berparas kucing ini ber-
kata, "Berapa jauh jaraknya?"
"Tak berada jauh, Ketua. Bahkan aku yakin, bila
pemuda itu tak kesasar arah dalam waktu kurang dari
sepeminuman teh dia akan segera tiba di sini!"
"Gila! Bodohnya aku ini! Betul juga yang dikata-
kan Kaki Kilat! Bila pemuda itu tidak menempuh arah
yang berlainan denganku, jelas dia akan tiba di sini!
Bila tidak? Hhh! Usahaku untuk memancingnya da-
tang ke Gunung Kerambang berarti sia-sia! Tetapi pe-
duli setan! Aku akan tetap menunggunya!"
Kemudian katanya, "Pulihkan tenagamu dulu!
Aku tak ingin melihatmu hanya menjadi penghalang
saja!!"
Buru-buru Kaki Kilat mengangguk-anggukkan ke
palanya. Saat melangkah ke kiri, pandangan tajamnya
ditujukan pada Manusia Tangan Harimau. Yang dita-
tap bukan main jengkelnya, namun tak hendak turun-
kan tangan.
Sementara itu, perempuan jelita yang di kepalanya
terdapat mahkota bersusun tiga membatin, "Mereka
menunggu Pendekar Slebor. Tetapi mengapa harus
menunggu di tempat ini? Apakah ada sesuatu yang di-
rencanakan mereka, terutama Manusia Muka Kucing?"
Sejenak Ratu Hitam terdiam dengan kening diker-
nyitkan. Lalu membatin lagi, "Jangan-jangan... di salah
satu tempat yang ada di sekitar gunung itulah Iblis Se-
gala Amarah berada. Hmmm... bisa kutebak sekarang,
kalau Manusia Muka Kucing sedang mencoba me-
mancing kehadiran Pendekar Slebor. Sungguh cerdik
sekaligus licik! Biar bagaimanapun juga, Pendekar Ca-
kra Sakti telah menugaskanku untuk membantu Pen-
dekar Slebor! Ya, apa pun yang akan terjadi... aku
akan membantunya...."
Lalu dilihatnya Manusia Muka Kucing berkata
dengan cara berbisik-bisik pada Manusia Tangan Ha-
rimau. Menyusul terlihat keduanya terbahak-bahak.
Di tempatnya Ratu Hitam menggeram jengkel, ka-
rena dia tak mendengar apa yang dibicarakan kedua-
nya. Dan dia yakin, lelaki berpakaian merah-merah
yang sedang duduk bersemadi itu pun tak mendengar
apa yang dibicarakan oleh kedua manusia sesat itu.
***
8
Pada saat yang bersamaan, di sebelah timur Gu-
nung Kerambang, Dewi Cadar Biru dan Arya Sempala
hentikan langkahnya. Pandangan masing-masing
orang memandang ke arah Gunung Kerambang yang
diliputi kegelapan malam.
"Arya... aku menangkap sesuatu yang tidak enak
akan terjadi di gunung itu...," terdengar suara perem-
puan bercadar biru tipis yang berdiri di samping kiri
Arya Sempala.
Pemuda berwajah agak kasar namun berhati lem-
but itu pun anggukkan kepala.
"Aku juga menangkap gelagat seperti itu, Bibi."
Kembali tak ada yang buka suara. Pandangan ke-
duanya tetap ditujukan ke arah Gunung Kerambang.
"Arya... sebaiknya kita segera saja ke sana...."
"Benar, Bibi. Mudah-mudahan segala teka-teki
yang ada di benak dapat terjawab...."
Kedua orang itu pun segera melangkah. Baru saja
lima langkah mereka bergerak, mendadak saja Dewi
Cadar Biru hentikan langkahnya.
Sebelum Arya Sempala ajukan tanya, dia sudah
berkata sambil palingkan kepala ke kanan, "Ada yang
datang...."
Kata-kata Dewi Cadar Biru yang cukup menge-
jutkan itu membuat Arya Sempala juga menoleh ke
kanan. Mereka tak perlu menunggu terlalu lama untuk
mengetahui siapa yang datang. Karena tiga lelaki ber-
pakaian hitam-hitam juga telah hentikan langkah mas-
ing-masing. Di punggung salah seorang di antara me-
reka, terdapat satu sosok tubuh berpakaian merah-
merah yang nampak lemah.
Namun begitu mengetahui mengapa ketiga lelaki
berpakaian hitam-hitam itu berhenti, lelaki berpakaian
merah-merah angkat kepala dengan kedua mata terbe-
liak.
"Celaka!" desisnya. "Dewi Cadar Biru dan Arya
Sempala!!"
Arya Sempala yang melihat wajah lelaki berpa-
kaian merah-merah itu langsung melompat tiga tindak
ke muka disertai bentakan, "Kaki Kilat!!"
Lelaki berkumis tebal itu berkata pada orang yang
menggendongnya, "Menghindar! Sementara kalian ber-
dua, hadang manusia-manusia itu!!"
Mendengar perintahnya, dua lelaki berpakaian hi-
tam-hitam berwajah bengis segera melompat dengan
pandangan menusuk. Sementara yang menggendong
lelaki berpakaian merah-merah sudah berbalik.
Namun langkahnya langsung terhenti, karena
mendadak saja Arya Sempala sudah berada di hada-
pannya.
"Kau tak akan bisa melarikan diri, Kaki Kilat! Ke-
kejamanmu harus dituntaskan hari ini!!"
Wajah Kaki Kilat nampak memucat. Sesaat nam-
pak dia gugup sebelum berbisik, "Turunkan aku! Kau
hajar dia!!"
Lelaki berpakaian hitam-hitam yang menggen-
dongnya, segera menurunkan sosoknya. Kejap beri-
kutnya dia sudah lancarkan serangan pada Arya Sem-
pala.
Sementara itu, dua orang berpakaian hitam-hitam
lainnya yang mencoba membantu, langsung dihadang
oleh Dewi Cadar Biru.
"Kalian manusia-manusia sesat yang tak pernah
mau hentikan sepak terjang dungu kalian! Rasanya...
terpaksa aku harus membungkam kalian selamanya!!"
Yang berwajah lonjong menggeram, "Jangan ba-
nyak omong! Kau belum mengetahui siapa kami!!"
Habis bentakannya, dia sudah menerjang ganas.
Menyusul temannya lancarkan tendangan lurus.
Dewi Cadar Biru keluarkan dengusan dingin. Tanpa hindari serangan keduanya, dia sudah menerjang
pula. Dan sudah tentu kedua cecoro itu bukanlah tan-
dingan perempuan bercadar biru. Maka hanya dua ge-
brakan saja keduanya dapat dilumpuhkan. Yang seo-
rang patah kedua kakinya, sementara yang seorang la-
gi patah kedua tangannya.
Masing-masing orang mengerang kesakitan dan
akhirnya jatuh pingsan.
Sementara itu, kendati membutuhkan waktu lebih
dari yang dibutuhkan Dewi Cadar Biru, Arya Sempala
pun akhirnya melumpuhkan lawannya yang tergolek
dengan kepala pecah. Pemuda ini sebenarnya bukan-
lah orang yang kejam, namun karena dia merasa orang
semacam lawannya ini hidup hanya akan menimbul-
kan bibit penyakit, maka dia terpaksa membunuh.
"Hhhh! Manusia-manusia tak berguna!" dengus-
nya.
Kejap itu pula pandangannya diarahkan pada Ka-
ki Kilat yang tengah beringsut mundur.
"Manusia celaka! Kau pun harus mampus!!" geram
Arya Sempala keras sambil mengangkat tangan ka-
nannya yang mendadak keluarkan cahaya bening.
"Tunggu, Arya!" tahan Dewi Cadar Biru seraya
mendekat. Dengan pandangan tak kalah geramnya dia
berkata pada Kaki Kilat, "Manusia celaka! Siapakah
orang yang berada di balik semua kekejaman ini,
hah?!!"
Wajah lelaki kejam itu nampak sedemikian pucat.
Dadanya berdegup keras dengan kengerian yang men-
jadi-jadi. Namun kejap kemudian lelaki ini justru
sunggingkan seringaiannya. Disusul dengan kata-kata
agak terengah, "Mengapa kau menahan pemuda itu
membunuhku, hah? Apakah kau akan merasa berdosa
bila membunuhku?!"
"Terkutuk! Membunuh seratus orang seperti kau
aku sama sekali tak pernah merasa berdosa!"
"Mengapa kau tak membunuhku, hah?!"
"Manusia ini benar-benar licik! Tetapi cukup
mengherankan, bagaimana dia bisa terluka seperti itu?
Siapa yang telah menghajarnya? Dan nampaknya...
kendati dia masih dapat hidup, namun tak memiliki
lagi kemampuan untuk bertarung. Ilmunya jelas sudah
punah."
Habis membatin begitu, dengan menindih rasa ge-
ramnya, Dewi Cadar Biru berkata, "Melihat keadaan-
mu... nampaknya kau tak akan bisa hidup lebih lama!"
"Lantas mengapa bila aku tak dapat hidup lebih
lama? Apakah kau akan mengobatiku?" ejek Kaki Kilat.
Namun di luar dugaannya, Dewi Cadar Biru justru
anggukkan kepalanya. Sudah tentu sikap yang diperli-
hatkan perempuan berpakaian serba biru ini membuat
Arya Sempala seketika palingkan kepala.
Pemuda yang sejak tadi sudah tak sabar untuk
membunuh Kaki Kilat berkata, "Bibi! Apa maksud, Bi-
bi?"
Dewi Cadar Biru tak hiraukan pertanyaan itu. Dia
berkata pada Kaki Kilat, "Tetapi tentunya... aku men-
gajukan syarat sebelum kau kusembuhkan."
"Hhhh! Kau hendak memancing di air tenang ru-
panya, Dewi Cadar Biru! Bunuh aku! Bunuh seka-
rang!!" seru Kaki Kilat dengan suara keras, namun bi-
birnya sunggingkan seringaian.
Dewi Cadar Biru tak hiraukan kata-kata orang.
Dia terus berkata-kata, "Pertama... katakan padaku,
siapa yang telah melukaimu seperti ini? Kedua... kata-
kan siapa orang yang berada di balik Manusia Muka
Kucing? Ketiga... katakan apa rencana yang telah dis-
usun oleh orang di balik Manusia Muka Kucing?"
Kaki Kilat terdiam dengan pandangan menyipit.
Diam-diam dia membatin, "Hmmm... nampaknya Dewi
Cadar Biru memang tak menginginkan nyawaku. Ba-
gus! Tak akan kukatakan apa yang dimintanya. Karena
aku yakin, perempuan ini tetap akan mengobatiku.
Hahaha... begitu bodohnya orang-orang golongan lu-
rus. Selalu mengandalkan nurani dan belas kasihan
pada sesama. Baiknya, kuatur rencana ini."
Lalu serunya, "Hhh! Ketiga pertanyaan itu ten-
tunya dapat kujawab dengan mudah! Tetapi aku pun
mengajukan syarat! Sembuhkan aku sekarang juga...
baru kukatakan apa yang kau tanyakan?"
Dewi Cadar Biru tersenyum dan diam-diam berka-
ta dalam hati, "Licik! Lelaki seperti dia memang tak
perlu ku kasihani. Tetapi aku membutuhkan jawaban
dari ketiga pertanyaanku tadi. Bila sudah kudapatkan,
tak akan kuampuni lelaki ini. Tetapi dia memang cer-
dik sekaligus licik. Hmmm, aku juga akan memainkan
peranan ku...."
Sambil tersenyum, perempuan bercadar biru tipis
ini berkata, "Kaki Kilat... karena aku membutuhkan
jawaban itu maka kau tidak akan kubunuh. Tetapi bila
aku tak membutuhkan, sudah tentu kau akan kubu-
nuh!"
"Mengapa kau tidak segera membunuhku, hah?"
sentak Kaki Kilat kendati sesaat sempat terkejut men-
dengar kata-kata si perempuan.
Setelah dikalahkan Pendekar Slebor, secara tidak
sengaja Kaki Kilat yang ilmunya telah lumpuh keda-
tangan tiga orang anak buahnya yang berpakaian hi-
tam-hitam. Lelaki ini memang mempunyai lima belas
anak bu-ah. Lima orang tewas di tangan ketiga murid
mendiang Malaikat Keadilan. Lima orang lagi di tangan
Manusia Muka Kucing dan dua orang lagi tewas di
tangannya sendiri.
Kaki Kilat saat ini sebenarnya hendak menuju ke
Gunung Kerambang. Karena baginya, tempat itulah satu-satunya yang aman (Baca : "Manusia Muka Kuc-
ing"). Namun tanpa disangkanya, dia harus bertemu
dengan Dewi Cadar Biru dan Arya Sempala.
Kaki Kilat yang menghendaki agar tiba di Gunung
Kerambang dalam keadaan selamat berkata setelah
melihat Dewi Cadar Biru terdiam, "Mengapa kau tak
melakukannya, hah? Hahaha... kau tak akan membu-
nuhku, Dewi Cadar Biru!!"
"Bibi! Bunuh saja manusia keparat ini!!"
Dewi Cadar Biru menganggukkan kepalanya. "Kau
benar, Arya. Memang, manusia ini tak akan pernah
menjadi baik! Tak ada salahnya bila dia kubunuh!"
"Kau hanya menggertak, Dewi Cadar Biru! Kau
membutuhkan jawaban atas pertanyaan-
pertanyaanmu!!"
"Kau salah, Kaki Kilat! Karena akulah yang akan
menjawab pertanyaan Bibi Dewi Cadar Biru!" terdengar
seruan keras itu disusul munculnya dua sosok tubuh
di hadapan masing-masing orang.
Menyusul terdengar suara seorang gadis. "Bibi....
Kang Arya... apa kabar?"
Wajah Arya Sempala yang tadi tertekuk, kali ini
terpentang cerah.
"Werdaningsih! Jaya Lantung!!"
Kedua orang yang baru datang itu memang Wer-
daningsih dan Jaya Lantung. Jaya Lantung segera
berkata, "Bibi! Yang telah melumpuhkannya adalah
Pendekar Slebor. Sementara orang yang berada di balik
semua ini adalah...."
Jaya Lantung sengaja menghentikan kata-
katanya. Dia melirik Kaki Kilat yang menjadi pucat.
Dewi Cadar Biru yang tak menyangka akan ber-
jumpa dengan kedua murid Malaikat Keadilan berkata,
"Kaki Kilat... aku tak lagi membutuhkan jawaban dari
mulutmu, karena...."
"Baik, baik! Akan kukatakan!!" seru Kaki Kilat
yang kali ini wajahnya memucat. Dadanya bergemuruh
tak menentu. Tangannya yang bergerak-gerak nampak
bergetar.
"Katakan!"
"Aku... aku tidak tahu siapa orang yang berada di
belakang Manusia Muka Kucing.... Dia, dia hanya me-
nyebutnya Pimpinan. Tetapi... semuanya berhubungan
dengan Pendekar Slebor. Orang itu... menginginkan
tenaga 'Inti Petir' yang dimiliki Pendekar Slebor...."
"Mengapa kau tidak tahu siapa orang itu?" tanya
Dewi Cadar Biru.
"Aku... aku... memang... memang tidak tahu...."
"Dusta!" bentak Arya Sempala. "Tetapi... dustamu
tak ada gunanya... karena Jaya Lantung akan menga-
takannya...."
Kaki Kilat buru-buru menggeleng dengan bibir
bergetar.
"Sungguh, sungguh aku tidak tahu! Yang ku ta-
hu... orang yang disebut Pimpinan oleh Manusia Muka
Kucing berdiam di Gunung Kerambang."
"Di mana tepatnya?" tanya Dewi Cadar Biru.
"Aku tidak tahu.... Percayalah... aku tidak tahu
tentang hal itu. Aku hanya orang suruhan Manusia
Muka Kucing...."
"Sungguh lelaki bodoh! Dia tak pernah tahu apa
yang sesungguhnya terjadi! Dia hanya mengumbar se-
gala nafsu buruknya untuk kesenangan pribadi!!" kata
Dewi Cadar Biru dalam hati.
Lalu katanya, "Kau terlalu bodoh mau mengikuti
jejak manusia-manusia celaka itu! Apakah kau tidak
tahu, atau berlagak tidak tahu, kalau dirimu hanyalah
menjadi jajaran kambing-kambing hitam yang diperin-
tah oleh seorang gembala yang kau tidak ketahui? Kaki
Kilat... memang sulit mengubah tabiat seseorang! Dan
rasanya...."
Mendadak saja dengan gerakan yang cepat, tan-
gan kanan Dewi Cadar Biru bergerak.
Plak!!
Tangan itu menempeleng wajah Kaki Kilat yang
melengak sesaat. Di saat lain dia sudah jatuh pingsan
dengan hidung yang alirkan darah segar.
"Bila kau terbangun... mudah mudahan kau akan
sadar dari segala perbuatan busukmu, Kaki Kilat...."
Lalu perlahan-lahan diputar tubuhnya. Ditatap-
nya Werdaningsih dan Jaya Lantung.
"Bagaimana kabar kalian?"
Kedua remaja yang ditanya rangkapkan kedua
tangannya di depan dada.
"Kami baik-baik saja, Bibi...," sahut keduanya
bersamaan.
"Jaya... bagaimana kau mengetahui semua itu?"
tanya Dewi Cadar Biru kemudian.
"Bibi... kami telah berjumpa dengan Pendekar Sle-
bor yang telah menolong kami dari ancaman maut Ma-
nusia Muka Kucing. Dan sebelumnya, aku hampir
berhasil mengorek keterangan dari Manusia Muka
Kucing. Tetapi bila saja kambratnya yang berjuluk Ma-
nusia Tangan Harimau tidak muncul, semuanya akan
dapat kuketahui." Jaya Lantung terdiam dulu sebelum
melanjutkannya pelan, "Bibi.... Kang Arya.... Guru te-
lah tewas di tangan Kaki Kilat dan Manusia Muka Kuc-
ing...."
Arya Sempala nampak melengak sesaat. Seraya
menghela napas dia membatin, "Ternyata apa yang
kuduga selama ini memang salah. Bukan Pendekar
Slebor yang telah membunuh Guru. Melainkan kedua
manusia celaka itu. Hhh! Bila menuruti kata hatiku,
mau rasanya menghantam pecah kepala Kaki Kilat!".
Didengarnya lagi kata-kata adik seperguruannya,
"Orang yang berada di balik semua ini adalah Iblis Se-
gala Amarah.'
Dewi Cadar Biru terdiam mendengar kata-kata itu.
Dari kerutan yang mendadak muncul di keningnya, je-
las sekali kalau dia mencoba mengingat maupun men-
gira-ngira siapa Iblis Segala Amarah. Namun gagal.
"Jaya... apa yang dikehendaki orang itu?"
"Dia... menghendaki tenaga 'Inti Petir' milik Pen-
dekar Slebor, Bibi..."
Kembali Dewi Cadar Biru terdiam. "Jadi itulah
pangkal dari semua urusan ini...."
Kemudian katanya, "Kini kita tahu kalau manusia
celaka berjuluk Iblis Segala Amarah berdiam di Gu-
nung Kerambang. Sebaiknya, kita jangan berpencar la-
gi Kita akan bersama-sama menyusuri Gunung Ke-
rambang...."
Setelah berkata begitu, Dewi Cadar Biru melang-
kah mendahului. Yang kemudian diikuti secara ber-
samaan oleh ketiga murid mendiang Malaikat Keadi-
lan.
Kemudian, bila memang ternyata lelaki berpa-
kaian merah merah yang dibuat pingsan oleh Dewi Ca-
dar Biru adalah Kaki Kilat, lantas siapakah lelaki yang
memiliki ciri-ciri sama dengan lelaki itu yang saat ini
sedang bersemadi di belakang Manusia Muka Kucing
dan Manusia Tangan Harimau?
***
9
Pagi kembali mengembang dengan segenap kein-
dahannya. Sinar surya yang lamat-lamat naik, menepis
kabut yang semakin lama semakin lenyap. Namun di
puncak Gunung Kerambang kabut masih melingkupi.
Keangkeran gunung itu makin menjadi-jadi. Laksana
raksasa yang tengah tertidur dan satu saat dapat ter-
bangun dengan segala kedahsyatan.
Dalam naungan udara yang masih dingin dan bu-
tiran embun yang belum mengering, dua sosok tubuh
masih tegak di depan sebuah batu besar. Tak ada yang
keluarkan suara. Wajah masing-masing orang nampak
tegang. Dan terlihat sejak semalam tak sedikit pun ke-
dua orang itu yang bergeser dari berdirinya.
Namun wajah lelaki berparas kucing perlahan-
lahan mulai berubah. Mulutnya yang di atasnya dihiasi
kumis jarang bergerak-gerak sehingga untaian kumis
jarangnya pun bergerak. Mata merahnya mendelik gu-
sar.
Mendadak dipalingkan kepalanya ke belakang, ke
arah lelaki berkumis tebal yang masih duduk berse-
madi.
"Kaki Kilat! Mana bukti ucapanmu, hah?!" suara
Manusia Muka Kucing menggelegar.
Lelaki berpakaian merah-merah itu nampak terke-
jut dan langsung memaki-maki dalam hati, "Monyet pi-
tak! Bikin aku kaget saja! Padahal aku sudah hampir
tidur nih!! Ini kumis lagi, bikin aku mau bersin!!"
Karena pandangan tajam dari Manusia Muka Kuc-
ing, lelaki berpakaian merah-merah itu buru-buru
angkat kepala.
"Ketua.. aku tak berkata dusta! Jelas yang kulihat
tadi malam adalah Pendekar Slebor! Barangkali dia
nyasar, Ketua! Sehingga tak menuju ke tempat Ketua!
Atau sesungguhnya... dia sudah berada di sini dan
bersembunyi?"
Sebelum Manusia Muka Kucing keluarkan benta-
kan lagi, Manusia Tangan Harimau yang sudah jenuh
pun lebih dulu berkata, "Sejak semula kukatakan, bu-
nuh saja manusia celaka itu!! Kedatangannya justru
membuat kita menunggu kehadiran Pendekar Slebor
sepanjang malam berteman dingin dan sepi begini!!
Apakah kau masih mau membuang-buang waktu se-
perti ini, hah?"
Manusia Muka Kucing menggeram pada Kaki Kilat
yang buru-buru berdiri dengan kepala tertunduk.
"Jangan main gila denganku!!" bentaknya angker.
Kaki Kilat mengangkat kepalanya. Kendati sua-
ranya agak gemetar namun wajahnya nampak tenang-
tenang saja.
"Aku bukanlah orang bodoh yang mau bertindak
seperti itu! Karena sudah tentu aku tak berani mela-
kukannya! Apa yang kukatakan tadi tidak salah! Ke-
tua... jangan-jangan.... Pendekar Slebor justru sudah
bertemu dengan Pimpinan yang...."
"Tutup mulutmu!!"
"Kutu busuk! Kadal buntung! Enak saja dia mem-
bentak-bentakku!" maki lelaki berpakaian merah-
merah itu dalam hati. Lalu sambungnya geram, "Ini
kumis lagi! Rasanya aku tak bisa menahan bersin!!"
Aneh! Siapakah sesungguhnya Kaki Kilat yang ini?
Dia tak lain adalah pendekar kita, siapa lagi kalau bu-
kan si Urakan Andika?!
Setelah meninggalkan Jaya Lantung dan Werda-
ningsih, Andika pun segera berkelebat ke mana per-
ginya Manusia Muka Kucing dan Manusia Tangan Ha-
rimau. Sambil berkelebat itu otaknya berpikir keras.
Orang yang dituju sekarang bukanlah keduanya,
melainkan orang yang berjuluk Iblis Segala Amarah.
Secara tidak langsung Pendekar Cakra Sakti dan
Mayang Kunting memang telah membebaninya tugas
untuk menggantikan Pendekar Cakra Sakti menghen-
tikan semua rencana Iblis Segala Amarah.
Namun tanpa disuruh atau dibebani tugas seperti
itu, Pendekar Slebor sudah tentu tak akan hentikan
niatnya untuk mengetahui sekaligus menghentikan
semua rencana busuk dari Iblis Segala Amarah.
Saat berkelebat itulah satu pikiran muncul di be-
naknya. Apalagi tatkala melihat sebuah pakaian me-
rah-merah yang entah milik siapa di tepi sebuah sun-
gai. Mungkin pemiliknya sedang mandi.
Sambil nyengir dan berkata dalam hati, "Kupinjam
dulu, ah!" anak muda urakan ini pun segera melapisi
pakaiannya dengan pakaian merah-merah itu. Lalu
dengan pergunakan getah pohon, Andika membuat lu-
ka pada pipi kanannya. Dan dengan bulu-bulu yang
berasal dari pohon ijuk dia membuat sebuah kumis.
Pada air sungai anak muda urakan ini bercermin. Se-
telah memoles sana dan sini, yang terlihat kemudian
bukan lagi wajahnya, melainkan wajah Kaki Kilat.
Bila Andika ingin menyamar, siapa pun dapat diti-
runya, kecuali anak tuyul. Kepandaiannya menyamar
ini didapat dari Raja Penyamar yang secara tak lang-
sung merupakan salah seorang gurunya.
Dengan menyamar sebagai Kaki Kilat, Andika ber-
harap dapat langsung bertemu dengan Iblis Segala
Amarah, karena dialah pangkal dari semua petaka
yang terjadi. Manusia Muka Kucing yang sekarang di-
dampingi kambratnya itu hanyalah pion-pion belaka
yang dapat digerakkan semaunya oleh Iblis Segala
Amarah.
Dan sekarang, anak muda tampan dari Lembah
Kutukan ini sedang memainkan peranannya.
Di tempatnya, wajah Manusia Muka Kucing me-
nekuk mendengar ucapan lelaki yang tetap disang-
kanya si Kaki Kilat.
"Bisa jadi apa yang dikatakan lelaki celaka itu be-
nar! Pendekar Slebor telah bertemu dengan Pimpinan!
Hhh! Kalau memang begitu adanya, sudah tentu saat
ini dia telah mampus setelah tenaga 'Inti Petir' dalam
tubuhnya diserap oleh Pimpinan! Bagus! Secara tidak
langsung urusanku menjadi mudah! Tetapi... bagai-
mana bila belum? Sudah tentu Pimpinan akan sangat
marah karena dia telah memerintahkanku untuk me-
mancing kehadiran pemuda keparat itu ke sini?!"
"Muka Kucing! Mengapa kau terdiam?!" sentak
Manusia Tangan Harimau yang benar-benar tak suka
dengan Kaki Kilat. Lelaki yang di keningnya terdapat
ikat kepala warna kuning gading dan kedua tangan
hingga sikunya ini dilapisi kulit harimau, seperti me-
nangkap gelagat yang tidak enak dari pancaran mata
Kaki Kilat. Dan sejak pertama melihat lelaki berkumis
tebal itu, dia sudah curiga.
Manusia Muka Kucing mendengus tanpa paling-
kan kepala pada kambratnya. Tetapi dia tak buka mu-
lut.
Sementara itu, Ratu Hitam yang sepanjang malam
mendekam di balik ranggasan semak belukar memba-
tin, "Hmmm... mudah-mudahan Pendekar Slebor me-
mang telah bertemu dengan Iblis Segala Amarah.
Hingga urusan ini akan berlangsung seperti yang ku-
harapkan. Karena biar bagaimanapun juga, kehadiran
dan sepak terjang Iblis Segala Amarah yang berada di
belakang layar harus dihentikan! Terutama agar Pen-
dekar Cakra Sakti tidak repot dengan urusan tengik
seperti itu. Hmm... aku akan... hei! Apa yang hendak
dilakukan Manusia Tangan Harimau itu?"
Di depan, Manusia Tangan Harimau menuding le-
laki berpakaian merah-merah seraya menggeram, "Kau
tak banyak guna! Lebih baik mampus! Manusia Muka
Kucing, bukankah tadi kau merencanakan untuk
membunuh manusia ini bila Pendekar Slebor tiba?
Dan sekarang, apakah kau tetap akan menunggu
sampai pemuda keparat itu tiba untuk membunuh le-
laki celaka ini?!"
Manusia Muka Kucing menatap sejenak pada
kambratnya. Lalu perlahan-lahan diarahkan tatapan-
nya pada lelaki berpakaian merah-merah, "Kau benar,
Tangan Harimau! Manusia ini memang layak untuk
mampus!"
Si pemuda urakan yang sedang menyamar sebagai
Kaki Kilat, mengangkat kedua tangannya dan mem-
buat suaranya penuh ketakutan, "Ketua... jangan ge-
gabah! Apa yang kukatakan tadi benar!"
"Dia pandai menjilat rupanya!" sinis suara Manu-
sia Tangan Harimau.
"Ketua... jangan dengarkan ucapan lelaki buruk
itu! Lebih baik kita sama-sama mendatangi Pimpinan!
Barangkali saja dia membutuhkan bantuan!!"
"Tutup mulutmu!! Kau tak berhak untuk berjum-
pa dengan Pimpinan, Keparat! Lebih baik kau...."
Seruan yang diucapkan Manusia Muka Kucing
terputus menyusul secara tiba-tiba tubuhnya terlem-
par ke depan. Manusia Tangan Harimau terkejut bu-
kan alang kepalang. Dengan hentakkan kaki kanannya
pada tanah, dia mencelat untuk menangkap tubuh
Manusia Muka Kucing.
Namun begitu berhasil ditangkap, tubuhnya pun
terlempar karena satu tenaga tak nampak telah meng-
hantamnya! Dan berhenti setelah tubuhnya dan tubuh
Manusia Muka Kucing menabrak sebuah pohon.
Bukan hanya Pendekar Slebor yang terkejut meli-
hat hal itu, Ratu Hitam pun melengak kaget. Dan
hampir saja dia keluar dari persembunyiannya!
Belum lagi keterkejutan itu berakhir, mendadak
saja terdengar satu suara keras, "Mana janjimu, Muka
Kucing? Mana pemuda dari Lembah Kutukan itu,
hah?! Atau kau memang ingin mampus di tanganku?!!"
Dan belum habis suara itu terdengar, mendadak
saja satu sosok tubuh tinggi kurus terbungkus jubah
warna merah telah berdiri di atas batu besar di mana
tadi Manusia Muka Kucing dan Manusia Tangan Ha-
rimau berdiri.
***
Manusia Muka Kucing yang telah berdiri agak
sempoyongan yang semula hendak keluarkan makian,
buru-buru rangkapkan kedua tangannya, "Pimpi-
nan...."
Manusia Tangan Harimau yang semula mengang-
gap remeh orang berjuluk Iblis Segala Amarah, kini
sadar siapa orang itu sesungguhnya. Dan dia yakin,
orang tua yang rambut merahnya disanggul ke atas in-
ilah yang berjuluk Iblis Segala Amarah. Buru-buru le-
laki ini rangkapkan kedua tangannya di depan dada.
"Aku Manusia Tangan Harimau... mengabdikan
diri padamu, Pimpinan."
Lelaki tirus berjubah merah itu hanya keluarkan
dengusan tanpa menatap sedikit pun pada Manusia
Tangan Harimau. Kedua tangan kurusnya bersedekap
di dada.
"Mana Pendekar Slebor?!!" bentaknya menggelegar
pada Manusia Muka Kucing yang mendadak menjadi
ciut hatinya.
"Pimpinan... aku... aku... sudah memancingnya
untuk tiba di sini.... Kaki Kilat... dapat buktikan kebe-
naran dari kata-kataku ini. Karena... dia melihat keha-
diran Pendekar Slebor...."
"Tidak!!" terdengar suara keras itu secara tiba-
tiba.
Semua orang termasuk Ratu Hitam yang mengin-
tip pun melihat Kaki Kilat berdiri dengan kepala agak
terangkat, "Pimpinan... apa yang dikatakan Manusia
Muka Kucing tidak benar! Aku tidak melihat Pendekar
Slebor ke sini?"
Terkesiap Manusia Muka Kucing mendengar kata-
kata lelaki berpakaian merah-merah itu. Hampir saja
dia lepaskan serangan untuk hantam wajah Kaki Kilat.
Namun urung begitu mendengar bentakan Iblis
Segala Amarah, "Jangan sekali-sekali berdusta kepa-
daku!!"
"Pimpinan...," desis Manusia Muka Kucing dengan
wajah pias. "Lelaki itu berdusta kepadaku! Dia tadi
mengatakan...."
"Aku tak suka banyak tanya! Cari Pendekar Slebor
sampai dapat! Kutunggu sampai... jahanam terkutuk!!"
Memutus kata-katanya sendiri, tiba-tiba saja lela-
ki bersanggul itu gerakkan tangan kanannya ke depan.
Wuusss!!
Satu gelombang angin yang mengandung hawa
panas dan dingin menderu dahsyat, melabrak ke satu
semak belukar. Sebelum ranggasan semak itu terhan-
tam hancur, Iblis Segala Amarah sudah keluarkan
bentakan, "Manusia-manusia bodoh! Apakah kalian ti-
dak tahu kalau ada cecunguk hitam yang mencuri
dengar apa yang kalian bicarakan?!!"
Menyusul hancurnya ranggasan semak belukar
itu, Ratu Hitam yang sama sekali tak menyangka kalau
kehadirannya diketahui lelaki berjubah merah itu, su-
dah melompat untuk selamatkan diri. Dan sekarang,
tak ada jalan lain kecuali menampakkan diri.
Wajah jelita perempuan ini menekuk. "Manusia
celaka! Kita bertemu lagi di sini".
***
10
Sementara Manusia Muka Kucing, Manusia Tan-
gan Harimau dan Pendekar Slebor yang menyamar se-
bagai Kaki Kilat dan tadi sengaja berkata yang menge-
jutkan lelaki berparas kucing terdiam, Iblis Segala
Amarah terbahak-bahak keras.
Tanah sejarak lima tombak dari tempatnya, mele-
tup-letup.
"Ratu Hitam! Bukan main! Sekian lama tak jumpa,
kau masih jelita saja! O ya... apakah kau masih tetap
menjadi pengikut Pendekar Cakra Sakti, hah?!"
Ratu Hitam mendelik gusar.
"Hhhh! Dasar manusia pengecut! Tak berani
menghadapi Pendekar Cakra Sakti, kau berupaya
mencelakakan orang lain! Bahkan... kau menghendaki
tenaga 'Inti Petir' pada diri Pendekar Slebor! Sayang
sekali niatmu tak akan pernah kesampaian! Karena se-
lain kau tak akan mampu menghadapi anak muda itu,
aku pun akan menghalangi niatmu!!"
Wajah Iblis Segala Amarah menekuk geram.
"Rupanya kau benar-benar telah terpengaruh
Pendekar Cakra Sakti! Kau yang dulunya begitu kejam
dan telengas, kali ini berlagak suci laksana bidadari!
Sebenarnya, aku tak menghendaki nyawamu! Yang
kuinginkan adalah Pendekar Cakra Sakti! Tetapi seka-
rang... semuanya pupus dengan sendirinya!"
"Peduli setan apa yang kau katakan! Kau lihat,
aku tak akan mundur satu tindak dari hadapanmu!!"
Kali ini meledak tawa lelaki berparas tirus itu.
"Bagus! Ingin kulihat kebenaran kata-katamu
itu!!"
Sementara itu diam-diam Pendekar Slebor membatin, "Celaka! Keadaan seperti ini tak kuharapkan
sama sekali! Berarti... semua rencanaku batal karena
lelaki itu telah muncul dengan sendirinya! Ah, bila saja
aku hanya seorang diri, kemungkinan besar aku masih
dapat menyelamatkan diri. Mudah-mudahan Ratu Hi-
tam dapat mengatasi manusia satu itu. Hanya saja..."
Memutus kata batinnya sendiri, anak muda yang
sekarang masing menyamar sebagai Kaki Kilat berkata,
"Pimpinan! Bukan maksudku untuk menahan keingi-
nan Pimpinan! Tetapi... aku melihat kehadiran orang-
tua berpakaian putih-putih kusam dengan rambut
panjang tak beraturan dan tubuh agak membungkuk
di ujung jalan sana!"
Mendengar ucapan itu, Iblis Segala Amarah pa-
lingkan kepalanya.
"Busyet! Tatapannya seperti hendak menelan aku
bulat-bulat!" kata Andika dalam hati sambil menelan
ludahnya.
"Manusia sialan! Kau mengatakan pada lelaki mu-
ka kucing itu kalau kau melihat Pendekar Slebor! Kali
ini kau mengatakan kau... Gila! Hei! Benarkah yang
kau katakan itu?"
Melihat perubahan wajah lelaki tua berwajah tirus
ini Andika buru-buru menganggukkan kepalanya.
"Benar, Pimpinan...."
"Pendekar Cakra Sakti...," desis Iblis Segala Ama-
rah dengan suara gusar. Kemudian terdengar makian-
nya pada Ratu Hitam, "Katakan padaku, di mana ma-
nusia celaka itu berada!!"
Ratu Hitam hanya cibirkan mulut.
"Dari ucapanmu, terbukti kalau kau tak berani
menghadapiku!" sengatnya penuh ejekan.
Terdengar suara rahang dikertakkan. Menyusul
tanpa buka suara lagi, Iblis Segala Amarah segera
mendorong tangan kanannya.
Serta-merta menderu gelombang angin yang men-
gandung hawa panas dan dingin.
Sementara Pendekar Slebor mendengus, Ratu Hi-
tam segera membuang tubuh ke samping kanan. Dia
memang berhasil hindari labrakan gelombang angin
itu. Namun hawa panas dan dingin melingkupi tubuh-
nya hingga sesaat nampak dia bergetar.
"Gila! Sungguh luar biasa sekali! Apakah ini ilmu
yang sedang diperdalamnya? Tanpa pergunakan tena-
ga 'Inti Petir' yang dimiliki Pendekar Slebor saja sudah
sedemikian mengerikan, bagaimana bila lelaki tua ce-
laka ini berhasil menyerap tenaga 'Inti Petir' anak mu-
da itu? Dan sekarang... di mana anak muda itu bera-
da?"
Di lain pihak Manusia Muka Kucing dan Manusia
Tangan Harimau terdiam dengan mata terbeliak dan
mulut terbuka lebar. Sementara itu Pendekar Slebor
yang masih menyamar sebagai Kaki Kilat membatin.
"Kutu pitak! Sungguh suatu tenaga yang hebat sekali!
Dari jarak sekian langkah dari tempatku, dapat kura-
sakan hawa panas dan dingin yang menyengat! Ra-
sanya... seluruh rencanaku akan berantakan karena
aku tak mau melihat Ratu Hitam terluka! Dan lagi...
monyet buduk! Kumis ini benar-benar hendak bikin
aku bersin!!"
Di tempatnya Iblis Segala Amarah terbahak-bahak
melihat wajah Ratu Hitam pias.
"Kau hanya kuberikan kesempatan tiga kali ge-
brakan!!" desisnya dan secara tiba-tiba dia berseru se-
raya dorong tangan kanannya, "Tenaga 'Api'!!"
Wusss!!
Saat itu pula menderu gelombang angin panas ke
arah Ratu Hitam. Menyusul gelombang angin itu dua
bongkah besar api menggulung-gulung mengerikan.
Ratu Hitam mendengus sambil menggerakkan
tombak berujung trisula yang kini telah menjadi tong-
kat.
Lima sinar hitam langsung mencelat, memapaki
gelombang angin panas yang dilepaskan Iblis Segala
Amarah.
Terdengar letupan yang sangat keras. Bersamaan
letupan itu terdengar, terdengar pula pekikan Ratu Hi-
tam tatkala dua bongkah api besar melabrak ke arah
kaki dan kepala.
Tak ada jalan lain kecuali berguling untuk hindari
sergapan ganas itu. Dua bongkah api itu seketika
membakar ranggasan semak dan rerumputan.
Iblis Segala Amarah yang lancarkan serangan tan-
pa geser dari tempatnya terbahak-bahak.
"Bagus! Sekarang... tenaga 'Air'!!"
Habis ucapannya, didorong tangan kirinya ke de-
pan.
Wussss!
Serentak gelombang angin dingin disusul dengan
percikan-percikan air menderu ke arah Ratu Hitam.
Perempuan berpakaian hitam tipis menerawang
ini kembali coba menahan dengan gerakkan tongkat
berujung trisulanya. Kalau tadi gelombang angin itu
berhasil diputuskan, kali ini gelombang angin yang
menderu disusul percikan-percikan air yang justru
menghantam pecah lima sinar hitam yang menderu.
Dan terus mengarah pada Ratu Hitam.
Untuk kedua kalinya perempuan ini dibuat tung-
gang langgang. Bahkan hampir saja tubuhnya terbakar
api-api yang terus menjalar membakari ranggasan se-
mak belukar.
Saat berdiri tegak, tubuhnya agak bergetar. Wajah
jelitanya sangat pias dengan keringat yang membanjir.
Pendekar Slebor yang melihat keadaan tidak men-
guntungkan mendengus, "Terpaksa rencanaku harus
dibatalkan! Monyet pitak! Rasanya aku tak bisa mena-
han bersin lagi, nih!"
"Bagus, bagus sekali!! Kau berhasil hindari dua
gebrakanku! Tadi kukatakan, tiga kali kau kuberi ke-
sempatan untuk bernapas! Sekarang bersiaplah untuk
jemput kematian!!"
Di tempatnya kendati hatinya sangat tegang, Ratu
Hitam sunggingkan senyuman mengejek.
"Kita buktikan apa yang kau katakan itu!"
"Bagus! Kau akan menerima ilmu tenaga 'Api Air'
yang tak ada duanya!!"
"Hhhh! Kau belum mendapatkan tenaga 'Inti Petir'
yang dimiliki Pendekar Slebor? Apakah kau masih
akan membanggakannya juga? Jangan terlalu berlebi-
han dalam berkhayal! Dan kau memang tak pantas
untuk berhadapan dengan Pendekar Cakra Sakti!!"
"Jahanam!! Jangan sebut-sebut julukan itu di de-
panku! Baik! Akan kuperlihatkan kepadamu!!"
Habis kata-katanya, lelaki berambut merah yang
di sanggul itu segera putar kedua tangannya ke atas,
lalu digerakkan ke bawah dan ke atas lagi. Kejap beri-
kutnya disatukan secara perlahan di depan dada. Me-
nyusul diiringi teriakan keras. didorong kedua tangan-
nya ke depan tetap tanpa bergeser dari tempatnya ber-
diri.
"Tenaga Api Air'!!"
Secara bersamaan dua gelombang angin mengge-
brak. Dari gebrakan yang terasa saja, sudah dapat di
yakini kalau tiga batang pohon akan langsung tercabut
begitu terhantam. Belum lagi secara mengejutkan satu
bongkahan api bersamaan gelombang angin yang tim-
bulkan percikan air, menggebah. Dan menyatu dalam
kekuatan yang mengerikan.
Ratu Hitam seketika bertambah pucat. Sesaat pe-
rempuan jelita ini merasa sebagian sukmanya tercabut
paksa.
Dia memang berhasil hindari dua gelombang an-
gin yang pertama melabrak. Namun untuk hindari
bongkahan api dan gelombang angin yang percikan air
dan kini telah menyatu, nampaknya sangat sulit dila-
kukan
"Celaka! Rupanya aku akan mampus sekarang!!"
desisnya kecut.
Diiringi senyuman puas Manusia Muka Kucing
dan Manusia Tangan Harimau, perempuan berpakaian
hitam panjang ini seolah tak kuasa lagi untuk lakukan
tindakan apa-apa.
Namun sebelum tubuhnya lumat terhantam tena-
ga 'Api Air" milik Iblis Segala Amarah yang kini sedang
tersenyum puas, mendadak terdengar salakan petir
yang sangat kuat. Menyusul suara laksana salakan
guntur yang menghantam kesatuan bongkahan api
dan gelombang angin yang percikan air.
Blaaaammmmm!!!
Serta-merta serangan ganas Iblis Segala Amarah
terputus. Tempat di mana terjadi bentrokan tadi, lang-
sung rengkah. Tanah terbongkar dan bongkarannya
membubung tinggi.
Sementara sosok Ratu Hitam sendiri terpental
akibat getaran dari bentrokan yang terjadi.
"Jahanam keparat!!" terdengar suara Iblis Segala
Amarah sambil palingkan kepala.
Empat pasang mata masing-masing orang yang
berada di sana, terarah pada sosok lelaki berpakaian
merah-merah yang terhuyung ke belakang dengan da-
da terasa sesak.
"Kaki Kilat!" desis Manusia Muka Kucing tersen-
tak. "Gila! Bagaimana mungkin dia dapat menghalangi
serangan Pimpinan pada Ratu Hitam?!"
***
Orang yang tadi halangi serangan Iblis Segala
Amarah bukan lain Pendekar Slebor yang masih me-
nyamar sebagai Kaki Kilat. Anak muda dari Lembah
Kutukan tak dapat membiarkan diri Ratu Hitam men-
jadi sasaran empuk serangan lelaki berjubah merah
itu.
Maka langsung saja Andika lepaskan tenaga 'Inti
Petir' tingkat pamungkas. Namun begitu dirasakan ke-
kuatan lain yang sangat dahsyat dari serangan Iblis
Segala Amarah, maka segera dilepaskan ajian 'Guntur
Selaksa'!
Akan tetapi di luar dugaannya, tubuhnya pun ter-
seret lima langkah ke belakang. Kedua tangannya tera-
sa sangat ngilu. Dan mendadak saja kedua pipinya
mengembung, menyusul anak muda ini muntah darah.
"Huaaaakkk!!"
Bersamaan darah kental hitam yang keluar, ku-
mis terbuat dari ijuk yang menempel terlepas pula.
Tersentak masing-masing orang yang berada di
sana.
"Dia bukan Kaki Kilat!!" seru Manusia Muka Kuc-
ing keras. Dan mendadak saja lelaki ini sudah mener-
jang dengan kedua cakar mengembang.
Namun sebelum lelaki ini lakukan maksud, satu
tenaga yang tak nampak telah membuat tubuhnya ter-
dorong ke samping kanan.
"Aaaakhhhh!!"
Tubuhnya langsung ambruk dan muntah darah.
"Tak seorangpun kubiarkan untuk membunuhnya!!
Pendekar Slebor... kecerdikanmu sungguh luar biasa!!"
terdengar suara Iblis Segala Amarah keras.
Andika yang memang harus membuka penyama-
rannya dan menggagalkan seluruh rencananya, segera
membuka pakaian merah-merah yang dikenakannya.
Kejap itu pula nampak pakaian hijau pupus dan kain
bercorak catur yang melilit pada lehernya.
"Huh! Terpaksa deh! Eh, Biang kunyuk! Jadi kau
orangnya yang menginginkan tenaga 'Inti Petir' dalam
tubuhku? Wah! Tak usyeee yeee!!"
Ratu Hitam yang dalam keadaan terhuyung mem-
batin, "Pendekar Slebor! Sungguh sebuah kecerdikan
sekaligus nyali kuat yang dimilikinya! Ah, tentunya dia
memiliki rencana mengapa dia harus menyamar seper-
ti itu. Tetapi... aku telah menggagalkannya. Satu yang
kini kuketahui... kalau pemuda itu ternyata pandai
menyamar. Hanya saja, mampukah dia menghadapi
Iblis Segala Amarah?"
Di tempatnya, Iblis Segala Amarah terbahak-
bahak keras.
"Semudah membalikkan telapak tanganku untuk
mendapatkan Tenaga 'Inti Petir' yang kau miliki, Pen-
dekar Slebor! Bagus kau datang ke sini! Berarti semua
urusan akan terselesaikan dan Pendekar Cakra Sakti
harus mampus!!"
Andika yang sengaja mengajak lelaki berwajah ti-
rus itu bercakap-cakap lebih lama guna memulihkan
keadaannya, berkata lagi, "Ngomong-ngomong tentang
orangtua sakti itu... sudah tentu kau tak akan dapat
mengalahkannya! Dia juga menitip salam padamu me-
laluiku! Katanya, aku tidak usah membunuhmu, tetapi
cukup menjitak kepalamu sampai benjol dan pecah se-
lama berbulan-bulan! Hayo, kau mau pilih yang mana?
Langsung mampus, atau benjol di kepalamu?!!"
Serentak tawa Iblis Segala Amarah terputus. Se-
pasang mata kelabunya tajam menusuk, laksana ko-
baran api yang tersimpan di sana.
"Kau tak akan bisa mengumbar lagi segala keko-
nyolanmu itu, Pendekar Slebor! Setelah kudapatkan
tenaga 'Inti Petir' yang kau miliki, maka kau harus
mampus!!"
"Kehebatan tenaga 'Api Air' yang dimilikinya sung-
guh luar biasa. Entah bagaimana pula bila dia berhasil
menggabungkan tenaga 'Api Air' dengan tenaga 'Inti
Petir'. Wah! Kehebatannya pasti makin menjadi-jadi sa-
ja! Tetapi biar bagaimanapun juga, aku tak akan me-
nyerah begitu saja. Kendati menurut Pendekar Cakra
Sakti dia tak akan membunuhku sebelum menda-
patkan tenaga 'Inti Petir', namun aku tak akan mem-
biarkan serangan demi serangannya mengenai sasa-
ran. Dan semuanya... hei!!"
Sejenak anak muda ini memutus kata batinnya
sendiri. Lalu dengan kening dikernyitkan dia melan-
jutkan, "Apakah bila aku mati tenaga 'Inti Petir' yang
kumiliki akan punah? Oh! Bodohnya aku! Sudah tentu
tenaga itu akan punah dengan sendirinya! Kutu mo-
nyet! Masa aku baru tahu rahasia tenaga 'Inti Petir',
sih? Atau jangan jangan... masih ada rahasia lain yang
belum kuketahui?"
Sementara Iblis Segala Amarah masih berdiri tan-
pa keluarkan suara, Manusia Muka Kucing yang telah
berhasil pulihkan keadaannya kendati masih merasa
nyeri di dadanya, perlahan-lahan menghampiri Manu-
sia Tangan Harimau.
Sambil pandangi Ratu Hitam yang memandang
curiga, lelaki yang tingginya hanya sebahu Manusia
Tangan Harimau itu berkata, "Tangan Harimau.... Biar
urusan Pimpinan lebih mudah, kita bunuh Ratu Hi-
tam!"
Mendengar usul itu, Manusia Tangan Harimau
yang masih takjub dengan kesaktian Iblis Segala Ama-
rah segera mengangguk.
"Kita tunggu sampai Pimpinan menyerang Pende-
kar Slebor!" katanya dalam bisikan.
Dan serangan itu tak perlu ditunggu terlalu lama.
Karena diiringi suara mengguntur, mendadak saja Iblis
Segala Amarah membuka kedua telapak tangannya lu-
rus di depan dada. Lalu pergelangan tangannya dipu-
tar tiga kali ke kanan dan tiga kali ke kiri.
Di tempatnya Andika memperhatikan tanpa kedip.
Lamat-lamat dilihatnya bagaimana kedua telapak tan-
gan lelaki berwajah tirus itu memerah dan semakin
lama pancaran cahaya merah itu bertambah pekat.
"Kau harus merasakan ilmu "Sedot Udara" ini!!"
menggelegar bentakan Iblis Segala Amarah.
Habis seruannya, mendadak saja satu tarikan
yang sangat dahsyat mengarah pada Andika. Terkesiap
bukan alang kepalang anak muda urakan ini tatkala
merasakan tubuhnya seperti ditarik paksa untuk men-
garah pada Iblis Segala Amarah. Dirasakan bagaimana
saat itu juga ada lecutan-lecutan keras di seluruh tu-
buhnya.
Keadaan itu bukan hanya dialami oleh Pendekar
Slebor saja, karena Manusia Muka Kucing dan Manu-
sia Tangan Harimau yang merencanakan untuk mem-
bunuh Ratu Hitam pun terseret. Demikian pula den-
gan perempuan jelita berpakaian hitam panjang tipis
menerawang itu.
Kejap itu pula masing-masing orang segera alirkan
tenaga dalam pada kaki kanan kiri. Menahan tarikan
dahsyat yang dilakukan Iblis Segala Amarah sambil
terbahak-bahak lebar.
***
11
Tanah di mana masing-masing orang berdiri berhamburan, menyusul ranggasan semak belukar ke
arah Iblis Segala Amarah. Dan begitu mendekat ter-
dengar letupan keras bersamaan muncratnya tanah
dan ranggasan semak yang mengarah padanya. Lang-
sung berhamburan. Wajah lelaki berjubah merah itu
mengeras. Nampak jelas kalau dia sedang keluarkan
tenaga sedotnya.
Getah-getah pohon yang dipergunakan Pendekar
Slebor untuk menyamarkan wajahnya menyerupai si
Kaki Kilat pun meleleh karena anak muda itu sedang
kerahkan tenaga dalamnya guna menahan tarikan
dahsyat itu. Hingga nampaklah wajah tampannya yang
kali ini terlihat tegang.
"Gila! Tenaga sedotnya sungguh dahsyat! Dan dia
benar-benar tak perduli dengan Manusia Muka Kucing
Karena manusia itu pun tersedot! Celaka! Nampaknya
lelaki itu tak berdaya sama sekali!"
Di tempatnya, Manusia Muka Kucing keluarkan
gerengan keras. Wajahnya terasa sakit dengan dada
yang langsung sesak. Kedua tangan dan kakinya ber-
getar hebat.
Dan mendadak sekali, tubuhnya mencelat ke arah
Iblis Segala Amarah. Celatan itu disebabkan karena
kedua kakinya sudah tak kuasa menahan tarikan te-
naga Iblis Segala Amarah.
Melihat hal itu, dengan susah payah Andika beru-
saha rentangkan kedua tangannya disertai alirkan te-
naga 'Inti Petir'. Saat dikeluarkan tenaga 'Inti Petir' ke-
ringat kontan membasahi seluruh tubuhnya. Dengan
bantuan tenaga 'Inti Petir' dia berusaha untuk meng-
geser tubuh guna menahan celatan tubuh Manusia
Muka Kucing.
Namun yang mengejutkan, karena mendadak saja
terasa ada tenaga yang keluar dari tubuhnya. Terke-
siap bukan alang kepalang anak muda urakan ini.
"Kutu monyet! Rupanya ilmu yang diperlihatkan
Iblis Segala Amarah, sengaja memancingku untuk ke-
luarkan tenaga 'Inti Petir'. Dan dia berhasil menyedot-
nya! Aku harus tutup tenagaku! Tetapi, bagaimana
dengan Manusia Muka Kucing?"
Ratu Hitam yang mengalami siksaan serupa
membatin, "Huh! Mengapa anak muda itu mau meno-
long Manusia Muka Kucing? Biarkan saja dia mampus!
Toh hiduppun hanya menjadi duri belaka! Keparat ter-
kutuk! Lama kelamaan jelas aku tak bisa menahan ta-
rikan tenaga manusia celaka itu!!"
Mendadak terdengar suara keras, "Breettt!!"
Pakaian bawah Ratu Hitam sobek terseret tenaga
sedotan itu. Kejap itu pula nampak bungkahan kedua
pahanya yang putih mulus. Masih untung sobekan itu
tidak sampai ke pangkal paha.
Marah akan keadaan dirinya, Ratu Hitam kertak-
kan rahang. Lalu tiba-tiba dia melesat ke depan diser-
tai gerengan, "Bertahan juga tak ada gunanya! Lebih
baik mencoba!!"
Lesatan tubuh Ratu Hitam mendahului celatan
sosok Manusia Muka Kucing.
Melihat apa yang akan dilakukan Ratu Hitam, An-
dika terkejut bukan main.
"Dia hanya mengorbankan nyawa belaka!" desis-
nya keras.
Dan secara tiba-tiba anak muda ini menyambar
kain bercorak caturnya yang tak terlepas karena melilit
pada lehernya. Dengan kerahkan tenaga dalamnya, di-
ayunkan kain bercorak catur itu.
Bltaaaarrr!!
Terdengar suara dahsyat laksana ribuan tawon
murka, disusul dengan gelombang angin menggemu-
ruh.
Di depan, Iblis Segala Amarah yang siap mengirim
Ratu Hitam ke akhirat, nampak terkejut. Dia segera
geser kaki kanannya dua tindak. Gerakan yang dila-
kukannya mau tak mau mengubah arah sedotan tena-
ganya, hingga sosok Manusia Muka Kucing dan Ratu
Hitam langsung terpelanting ke samping kanan. Se-
mentara Manusia Tangan Harimau yang juga sudah
terseret hingga kakinya amblas sampai lutut pun ter-
pelanting.
Bersamaan mengubah kedudukannya, Iblis Segala
Amarah mendorong tangan kirinya. Serta-merta meng-
gebah gelombang angin berhawa dingin disusul dengan
gelombang angin yang keluarkan percikan air.
Blaaammmm!!!
Begitu dahsyatnya bentrokan yang kemudian ter-
jadi. Tanah di mana terjadinya bentrokan itu langsung
muncrat ke udara dan tatkala sirap, nampak sebuah
lubang menganga lebar.
Di seberang, sosok Pendekar Slebor terlempar de-
ras dua tombak ke belakang dan ambruk di atas ta-
nah. Sadar bila dia tak segera berdiri nyawanya akan
melayang, pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Ku-
tukan ini segera berdiri. Saat berdiri tubuhnya agak
terhuyung dan terlihat darah segar keluar dari hi-
dungnya.
Tetapi dasar urakan, kendati rasa sakitnya tidak
ketulungan dia justru berseru konyol "Wah! Masa Cu-
ma begitu saja sih kehebatanmu? Aku jadi tidak enak
nih menghadapimu!!"
Di depan Iblis Segala Amarah terbahak-bahak ke-
ras.
"Kau tak akan mampu menghadapiku, Pendekar
Slebor!! Kau barang berharga yang tak akan kule-
paskan! Manusia Muka Kucing! Bunuh perempuan
itu!!"
Mendengar perintah, Manusia Muka Kucing yang
telah berdiri langsung melompat dengan kedua tangan
mengembang membentuk cakar ke arah Ratu Hitam.
Perempuan jelita yang tongkat berujung trisulanya su-
dah terlepas begitu tenaga sedotan Iblis Segala Amarah
menerjang, langsung membuang tubuh.
Dan sebelum dia berdiri kembali, Manusia Tangan
Harimau sudah menggebah dengan kedua tangannya
yang penuh bulu hingga siku.
"Jahanam!!" rutuk Ratu Hitam sambil melompat
dan langsung menerjang.
Di lain pihak, Andika membatin, "Rupanya tenaga
sedotan lelaki buruk rupa itu bisa diatur! Dan kali ini
tentunya akan mengarah padaku! Celaka tiga belas!
Bisa putus nih nyawaku sekarang!!"
Apa yang diduga anak muda ini memang benar.
Karena Iblis Segala Amarah sudah mencecarnya den-
gan tenaga 'Api Air'. Gelombang angin panas yang dis-
usul dengan bongkahan bola api bersatu dengan ge-
lombang angin dingin yang disusul gelombang angin
yang keluarkan percikan air.
Memucat wajah anak muda itu. Namun untuk
menghindarpun rasanya sulit dilakukan. Sambil ge-
rakkan kain pusaka bercorak catur, anak muda ini te-
lah gabungkan dengan ajian 'Guntur Selaksa'.
Terdengar suara laksana sambaran guntur meng-
gebah mengerikan. Dan lebih dahsyat lagi akibat yang
terjadi setelah berbentrokan dengan tenaga 'Api Air' Ib-
lis Segala Amarah.
Kontan tempat itu seperti bergoyang. Batu besar
yang sejak tadi tak bergeser dari tempatnya, sekarang
bukan hanya bergeser. Tetapi juga retak dan pecah be-
rantakan.
Manusia Muka Kucing dan Manusia Tangan Ha-
rimau yang sedang mencecar Ratu Hitam pun terpe-
lanting. Tak terkecuali perempuan jelita yang kali ini
menyerang juga berusaha untuk tutupi auratnya.
Untuk kedua kalinya Pendekar Slebor terpelanting
deras ke belakang. Kali ini darah bukan hanya keluar
dari hidungnya, tetapi menyentak keluar dari mulut-
nya.
Sementara Iblis Segala Amarah hanya bergeser
dua tindak ke belakang. Lelaki berambut merah dis-
anggul ini cukup terkejut karena merasa ngilu pada
tangannya. Namun melihat sosok Pendekar Slebor
yang sempoyongan, serta-merta dikeluarkan kembali
ilmu 'Sedot Sukma'!
Saat itu pula Andika merasa tubuhnya seperti di-
tarik paksa ke arah Iblis Segala Amarah.
Di lain pihak, Ratu Hitam yang terpental akibat
benturan keras terjadi tadi, jatuh secara tak sengaja di
dekat tongkat berujung trisulanya. Dan tatkala melihat
bagaimana kalutnya Pendekar Slebor yang sedang me-
nahan tarikan dahsyat dari ilmu 'Sedot Sukma' milik
Iblis Segala Amarah, dengan kerahkan sisa-sisa tenaga
dalamnya dilemparnya tongkat berujung trisula itu.
Kontan mencelat sinar hitam mengerikan ke arah
lelaki berjubah merah itu. Iblis Segala Amarah nampak
tidak terkejut, bahkan mendadak saja lesatan tongkat
berujung trisula itu bertambah cepat ke arahnya dan
seolah dibiarkan menancap di tubuhnya.
Namun masih separuh jalan, mendadak saja
tongkat berujung trisula itu patah. Tak sampai di situ
saja terjadi, karena mendadak saja tongkat itu luruh
menjadi debu. Laksana copot jantung Ratu Hitam me-
lihatnya. Apalagi Manusia Muka Kucing dan Manusia
Tangan Harimau telah menerjang kembali dengan ga-
nas.
Di lain pihak, sosok Pendekar Slebor terus melun-
cur mengikuti tarikan kedua telapak tangan Iblis Sega-
la Amarah.
"Kutu monyet! Aku bisa mampus!!" maki anak
muda itu dengan wajah memucat. Dan karena masih
suka makan nasi uduk, anak muda ini mendadak saja
melempar kain bercorak catur yang diiringi ajian
'Guntur Selaksa'.
Salakan guntur yang terdengar seolah teredam
oleh tenaga dari sedotan lawan. Namun lesatan kain
bercorak catur yang keluarkan suara laksana ribuan
tawon marah, terus meluncur.
Seperti halnya yang dialami tongkat berujung tri-
sula milik Ratu Hitam, kain pusaka itu terus melesat.
Namun tidak tertahan, robek maupun lebur di tengah
jalan. Bahkan terus meluncur.
Kali ini terlihat wajah Iblis Segala Amarah pias.
Kedua telapak tangannya yang membuka mengarah
pada Andika, dilencengkan ke kanan.
Saat itu pula terdengar suara letupan cukup ke-
ras.
Blaaarmm!!
Kain bercorak catur mencelat balik. Andika yang
begitu kedua tangan Iblis Segala Amarah diarahkan
pada kain bercorak catur, dapat bernapas longgar se-
saat, langsung melompat menyambar kain bercorak
catur itu.
Begitu kedua kakinya menginjak tanah, serta-
merta tubuhnya mencelat lagi ke depan. Kembali dipa-
dukan ajian 'Guntur Selaksa' dengan kesaktian kain
bercorak catur.
Wrrrrr!!
Suara menggemuruh disertai dengungan mengeri-
kan terdengar menggebah. Ranggasan semak belukar
tercabut dan terseret, bersama gelombang angin dah-
syat mengarah pada Iblis Segala Amarah.
Lelaki berjubah merah itu memekik tertahan. Un-
tuk pertama kalinya dia menghindari serangan yang
datang.
Sadar kalau lawan mulai kehilangan bentuk se-
rangannya, anak muda urakan ini terus memompa
semangatnya untuk lakukan terjangan-terjangan ber-
bahaya. Berulangkali suara salakan guntur disertai
dengungan ribuan tawon marah silih berganti terden-
gar. Sementara itu dikawal makian-makian keras, Iblis
Segala Amarah berusaha untuk menghindar. Bahkan
dia masih sempat pula memberikan balasan yang be-
rarti.
Hingga tiga gebrakan berikutnya, masing-masing
orang surut lima langkah ke belakang. Pendekar Slebor
merasa jantungnya berpacu lebih cepat dengan napas
yang makin terengah. Keringat bertambah mengaliri
sekujur tubuhnya. Darah mengalir lagi dari hidungnya.
Di seberang, Iblis Segala Amarah membatin den-
gan napas setengah megap-megap, "Tak kusangka...
selain memiliki kesaktian yang tinggi, anak muda ini
juga punya kekerasan dalam hatinya. Semangatnya
begitu tinggi hingga seperti tak terpikirkan untuk
mundur atau menghindari pertarungan ini. Hhh.. Dari
ucapan sebelumnya, dia nampaknya telah mengambil
alih perhitunganku dengan Pendekar Cakra Sakti! Kali
ini... persetan apakah aku akan memiliki tenaga 'Inti
Petir' atau tidak. Pendekar Cakra Sakti tak akan mam-
pu meladeniku! Sebagai gantinya, akan kucabut nyawa
anak muda itu!!"
Memutuskan demikian, dengan sesekali lepaskan
tenaga 'Api Air' yang mengerikan disusul dengan ilmu
'Sedot Sukma', Iblis Segala Amarah kembali berhasil
membuat kacau pertahanan sekaligus penyerangan
Pendekar Slebor.
Anak muda urakan ini benar-benar kacau balau
sekarang. Tak sekalipun dia diberikan kesempatan un-
tuk membalas kecuali melompat-lompat seperti monyet
kebakar ekornya.
"Monyet pitak! Kali ini nampaknya dia memang
hendak mencabut nyawaku!" dengusnya dalam hati.
Dengan andalkan ilmu peringan tubuhnya yang
kesohor, anak muda ini memang berhasil hindari se-
tiap serangan. Namun tenaga sedotan dari ilmu 'Sedot
Sukma' membuat tubuhnya seperti meregang-regang.
"Celaka! Benar-benar celaka! Aku tak akan bisa
bertahan sekarang!" desisnya sambil gerakkan kain
bercorak catur. Namun sebelum digerakkan, kain pu-
saka itu telah terhantam. Memang tidak robek, tetapi
malah menutupi sekujur tubuhnya.
Gelagapan anak muda ini berusaha membebaskan
diri dari lilitan kain pusakanya sendiri. Namun saat
itulah Iblis Segala Amarah mencelat ke depan disertai
suara menggelegar, "Peduli setan dengan apa yang ku
hendaki sebelumnya! Kali ini kau akan mampus!!"
Lalu tanpa sempat dielakkan atau ditahan lagi,
tubuh Pendekar Slebor terhantam telak tenaga Api Air'.
Terpental ke belakang anak muda ini disertai pekikan-
nya yang keras. Hawa panas dan dingin melingkupinya
sesaat.
Dan pentalan tubuhnya terhenti tatkala menabrak
sebuah pohon. Tanpa hiraukan sekujur tubuhnya yang
laksana diinjak puluhan kerbau ngamuk, anak muda
itu berdiri agak sempoyongan. Nyeri tak terkira dirasa-
kannya. Dia menduga kalau kain bercorak caturnya
miliknya telah sobek.
***
12
Namun apa yang dilihatnya kemudian, membuat
keningnya berkerut. Karena kain pusaka bercorak ca-
tur tidak robek sedikitpun juga. Bahkan dirasakan
hawa panas dan dingin yang melingkupinya sirna per-
lahan-lahan.
"Bodohnya aku!!" desisnya dalam hati. "Kain pu-
saka ini dapat kujadikan sebagai tameng!! Tetapi... ba-
gaimana bila salah? Peduli kutu-kutu badak! Aku ha-
rus mencobanya!!"
Berpikir demikian, kain pusaka bercorak catur
yang masih melilit di tubuhnya, semakin dililitkan
dengan membebaskan kedua tangannya. Dengan kain
bercorak catur dijadikan sebagai tameng Pendekar
Slebor mencelat ke depan.
Bersamaan dengan itu, empat sosok tubuh datang
ke sana. Salah seorang yang wajahnya ditutupi cadar
biru tipis, langsung membantu Ratu Hitam yang se-
dang dikeroyok Manusia Muka Kucing dan Manusia
Tangan Harimau.
Sosok tubuh yang tak lain Dewi Cadar Biru
adanya, menyerang Manusia Muka Kucing yang ter-
sentak kaget. Di lain pihak, Ratu Hitam yang mulai
agak terbebas dari rangkaian dua serangan ganas, kali
ini berhasil mencecar Manusia Tangan Harimau.
Tiga orang lainnya yang baru muncul memperha-
tikan pertarungan itu dengan hati tegang. Sesungguh-
nya, ketiga murid mendiang Malaikat Keadilan ini hen-
dak turun tangan. Namun mereka adalah para remaja
berjiwa kesatria. Tidak mau melakukan pengeroyokan
karena merasa masing-masing orang berimbang.
Sementara itu dengan menjadikan kain bercorak
catur sebagai tameng, Pendekar Slebor leluasa le-
paskan ajian 'Guntur Selaksa'. Bahkan dipadukan
dengan tenaga 'Inti Petir' tingkat pamungkas.
Gedoran tenaga 'Api Air' lawan memang berhasil
membuat serangannya sesekali tertahan. Namun tak
membuatnya cidera. Kekeras kepalaannya malah ber-
tambah menjadi-jadi. Dia terus maju mencecar. Yang
membahayakan di saat Iblis Segala Amarah yang kini
sudah agak memucat melepaskan ilmu 'Sedot Sukma'.
Tubuhnya seketika terbetot ke depan. Namun kali
ini sedotan itu tak terlalu keras, karena sosoknya ter-
balut oleh kain pusaka bercorak catur. Kedua tangan-
nya yang bebas pun melepaskan gabungan ajian
'Guntur Selaksa' dan tenaga "Inti Petir'.
Hingga satu ketika, kaki kanan Iblis Segala Ama-
rah terhantam telak gabungan serangan itu. Kontan le-
laki berjubah merah ini menjerit keras tatkala terden-
gar suara 'krak' disusul tubuhnya sempoyongan am-
bruk.
Andika sendiri tak mau bertindak ayal. Dia segera
mencelat ke depan. Dua pukulannya telak menghan-
tam kedua pangkal tangan Iblis Segala Amarah yang
seketika remuk. Meraung keras laksana kambing dis-
embelih lelaki berwajah tirus itu. Sosoknya makin ber-
gulingan keras, ke sana-kemari menjemput sekarat.
Di lain pihak, Ratu Hitam yang kini sadar tak bo-
leh berbenturan dengan kedua tangan Manusia Tan-
gan Harimau, segera mencecar kedua kaki lawan. Dan
begitu dia berhasil menyepak kaki kiri Manusia Tan-
gan Harimau, pukulannya langsung menghantam paha
kanan lelaki itu yang seketika remuk dan terbanting ke
atas tanah.
Dan dia memang tak mau bertindak penuh belas
kasihan, karena orang seperti Manusia Tangan Hari-
mau memang tak perlu dikasihani. Selagi lelaki itu ke-
lojotan, perempuan berpakaian hitam tipis itu sudah
melesat dan menginjak kepala Manusia Tangan Hari-
mau.
Bersamaan suara 'krak' yang cukup keras terden-
gar, tubuh lelaki itu melonjak ke atas sebelum akhir
nya ambruk kembali ke tanah. Dari kepalanya yang
pecah mengalir cairan putih dan merah. Ratu Hitam
sendiri, langsung ambruk berlutut dengan napas me-
gap-megap.
Di lain pihak, melihat apa yang dialami Iblis Sega-
la Amarah dan Manusia Tangan Harimau, lelaki berpa-
ras kucing timbul rasa takutnya. Dan setelah lepaskan
serangan membabi buta pada Dewi Cadar Biru, lelaki
ini langsung melesat untuk meloloskan diri.
Namun mendadak saja enam buah cahaya bening
yang terlontar sekaligus, bukan hanya menahan tu-
buhnya, tetapi juga menghantam dan sekaligus mengi-
rimnya ke neraka.
Rupanya ketiga murid Malaikat Keadilan yang me-
lihat gelagat, sudah lepaskan pukulan 'Tebar Cahaya
Maut' secara serempak dan tanpa dikomando.
Pada saat nyawa Manusia Muka Kucing melayang,
nyawa Iblis Segala Amarah pun berada di ujung tan-
duk. Lelaki ini sesekali memang masih bisa hindari se-
rangan Andika, namun dua kejap berikutnya, secara
mendadak Andika telah lepaskan lilitan kain bercorak
catur pada tubuhnya dan segera dikibaskan dengan
cepat.
Cltaaarrr!!
Dessss!!
Ujung kain bercorak catur menghantam dada le-
laki berjubah merah itu yang seketika melolong tinggi
karena dadanya bolong! Namun nyawanya masih lekat
pada tubuh, karena setelah memakan waktu yang cu-
kup lama sekarat, akhirnya diapun meregang nyawa.
Sosoknya langsung terkulai dengan dada yang kelua-
rkan asap.
Pendekar Slebor sendiri terhuyung ke belakang.
Setelah dapat kuasai keseimbangannya, dia pun segera
rangkapkan kedua tangannya di depan dada untuk
memulihkan tenaganya kembali.
Ketiga murid mendiang Malaikat Keadilan segera
menghampiri Dewi Cadar Biru yang langsung menem-
pelkan telunjuknya pada bibir tanda tak perlu kelua-
rkan suara.
Mereka menunggu beberapa saat sebelum Pende-
kar Slebor selesai bersemadi. Lalu sambil nyengir dia
lilitkan kembali kain bercorak catur pada lehernya.
Dan berkata konyol, "Busyet! Lagi ada reuni, nih!
Wah, bagus itu! Sebagai orang luar... aku tidak mau
ikutan, ah! Yuk! Cabut dulu!!"
Hanya itu yang dikatakan oleh Andika, karena
dengan santainya dia segera melangkah meninggalkan
yang lainnya.
Arya Sempala yang hendak meminta maaf atas si-
kapnya beberapa waktu lalu, urung berkata karena
mendengar suara Dewi Cadar Biru, "Biarkan dia berla-
lu. Anak muda itu telah kita susahkan dengan urusan
yang seharusnya bukan miliknya...."
"Kau benar, Dewi Cadar Biru," terdengar suara
itu. Ratu Hitam yang telah berdiri untuk pertama ka-
linya tersenyum. "Aku pun tak punya banyak waktu
untuk bercakap-cakap. Bila umur masih panjang, ku-
harap kita dapat berjumpa kembali...."
Habis kata-katanya, dengan tangan kanan meme-
gang dadanya yang masih terasa sakit, perempuan itu
pun segera berlalu.
Tinggal mereka yang masih berada di sana, sementara hari pun beranjak menuju senja.
SELESAI
Segera menyusul:
PEDANG BUNTUNG
0 comments:
Posting Komentar