"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 26 Agustus 2025

PENDEKAR KEMBAR EPISODE PEDANG BULAN MADU

Pedang Bulan Madu

 



1


JIKA angin bergerak, maka dedaunan pun akan 

mengikuti iramanya. Tetapi jika dedaunan bergerak ti-

dak sesuai dengan irama angin, itu pertanda bahaya di 

balik dedaunan itu. Setidaknya ada sesuatu yang patut 

dicurigai.

Tentu saja hal itu membuat sepasang mata 

bening dan teduh milik seorang pemuda tampan ter-

paksa memperhatikan dengan sedikit mengecil. Pemu-

da tampan berbaju buntung warna putih dan celana 

yang juga berwarna putih itu segera mundur dua lang-

kah. Gerakan daun ilalang yang tidak sesuai dengan 

hembusan angin telah membuatnya memasang kewas-

padaan penuh siaga.

Pemuda berambut lurus sepundak tanpa ikat 

kepala itu membatin dalam hatinya, "Ada apa di balik 

semak ilalang itu? Macan, musang, rusa, kelinci, atau 

buaya?"

Si pemuda bertubuh kekar dan gagah itu tak 

lain adalah salah satu dari Pendekar Kembar. Melihat 

pedang kristalnya yang bernama Pedang Tangan Ma-

laikat itu ada di pinggang kanan, berarti dia adalah si 

Pendekar Kembar kidal, yang menggunakan pedang 

dengan tangan kirinya, karena itu diselipkan di ping-

gang kanan. Bagi orang yang sudah mengetahuinya, 

Pendekar Kembar bertangan kidal tak ada lain kecuali 

si Soka Pura yang konyol itu.

Karena ia punya sifat konyol, penuh selera 

canda, maka gerakan daun ilalang yang mencurigakan 

itu hanya ditertawakan dalam hati. Yang terlihat pa-

danya hanya seulas senyum geli dengan sorot pandan-

gan mata tetap mengarah penuh waspada.

"Rupanya ada orang yang ingin berbuat ma


cam-macam padaku. Dia menghadangku di sana. 

Hrnmm... sebaiknya aku pura-pura tak tahu saja!" 

ujar Soka dalam hatinya.

Benar juga, Soka berlagak tidak mengetahui 

ada sesuatu di balik semak ilalang tersebut. Ia sengaja 

melangkah lebih dekat lagi. Bahkan kali ini ditambah 

dengan siulan santai, seakan sedang menikmati pe-

mandangan di sekitar tempat itu.

ilalang yang tingginya melebihi orang dewasa 

itu justru tidak bergerak ketika Soka lewat di depan-

nya. Semakin bertambah curiga lagi hati Pendekar 

Kembar bungsu itu. Ekor matanya memperhatikan 

semak ilalang itu.

Ternyata dugaan Soka memang benar, ada ba-

haya di balik semak ilalang tinggi itu. Karena tiba-tiba 

ia melihat sekeping logam melesat dengan memantul-

kan cahaya matahari yang berkerilap. Ziing...!

Soka Pura meliukkan badan ke belakang. 

Weess,..! Benda itu melesat lewat depan hidungnya 

yang mancung kemudian menancap pada sebatang 

pohon seberangnya. Jeeeb...! Ziiing...!

"Eh, datang lagi?!"

Wuuut! Soka Pura memutar tubuh setengah 

lingkaran. Benda itu lewat di depan dadanya dan jatuh 

di semak-semak seberang. Senyum Soka pun tampak 

mengembang dengan mata menatap ke arah semak-

semak yang dicurigai.

Senjata rahasia yang ketiga melesat lagi dalam 

jumlah dua keping logam putih mengkilap. Ziiing, 

ziing...! Keduanya dihindari oleh Soka dengan lakukan 

sentakan napas yang membuat tubuhnya melayang ke 

atas bagaikan roket. Weees...! Jurus peringan tubuh 

yang dinamakan 'Badai Terbang' itu membuat gerakan 

Soka Pura lebih cepat dari gerakan dua senjata rahasia 

tersebut. Akibatnya kedua senjata yang berbentuk se


perti daun bergerigi itu menancap pada dua pohon 

yang saling berdekatan. Jeb, jeb...!

Kejap berikutnya Pendekar Kembar bungsu te-

lah menapakkan kakinya dengan tegak dan kokoh. Se-

nyumnya masih mengembang bikin lawan dongkol dan 

penasaran.

"Habiskan semua senjata rahasiamu, bila perlu 

bikin dulu sebanyak-banyaknya. Kutunggu kau di sini, 

Sobat!" seru Pendekar Kembar bungsu dengan wajah 

berkesan cengengesan.

Lawan yang tersembunyi itu makin dongkol. 

Maka ia pun melepaskan kembali empat senjata raha-

sia yang sama bentuk dan rupanya dengan tiga senjata 

yang sudah dilemparkan tadi.

Zrriing...!

"Eit, rombongan...?!" seru Soka Pura sambil 

meliukkan badan ke kiri, lalu menyentakkan kaki dan 

tubuhnya melayang dalam keadaan telentang dan se-

dikit melengkung, mirip atlet lompat tinggi yang se-

dang melintasi gawang. Weees...!

Tapi pada saat itu tangan Soka Pura sempat 

pula menyambar ke atas, dan ternyata ia menangkap 

salah satu dari keempat senjata rahasia tersebut. 

Teeeb...! Sekeping logam putih berbentuk daun berge-

rigi itu kini terjepit di sela-sela jari tangan kirinya. Ge-

rakannya dilanjutkan dengan bersalto satu kali, ke-

mudian menapakkan kakinya ke bumi dengan tegak 

dan kokoh. Jleeg...!

"Hei, Sobat...! Kudapatkan salah satu senjata 

mu! Bagaimana jika kukembalikan biar kau bisa me-

lemparkannya kembali dengan benar?!"

Tangan kiri itu segera berkelebat melemparkan 

senjata tersebut dari arah pundak kanan ke depan. 

Zuiiing...!

Lemparan itu sangat cepat dan nyaris tak terlihat. Untung lawan yang ada di balik semak ilalang itu 

mempunyai pandangan mata yang tajam, sehingga pa-

da kejap berikutnya terdengar suara pedang dicabut. 

Srraang...! Disusul dengan suara denting logam bera-

du. Trring...!

Wees, pluk...! Senjata rahasia itu kembali ke 

arah Soka, namun tak sampai kenai dada Soka sudah 

jatuh ke tanah depan kaki pemuda tampan.

Rupanya daya pantul senjata tersebut tak terla-

lu kuat hingga tak sampai melewati tempat Soka berdi-

ri.

"Hah, hah, hah, hah...! Senjatamu melempem 

begitu mengenaliku, Sobat!" ejek Soka Pura sengaja 

memancing kemarahan orang misterius itu agar keluar 

dari semak ilalang.

"Mengapa hanya senjata rahasiamu yang kau 

lemparkan padaku, Sobat?! Ada baiknya kalau celana

mu pun ikut kau lemparkan padaku, barangkali bisa 

kujual ke tukang loak buat sarapan esok pagi. Heh, 

heh, heh, heh!"

"Hiaaaat...!"

Weeesss...! Tiba-tiba dari semak ilalang itu 

muncul sesosok tubuh yang melesat bagaikan terbang. 

Kecepatannya cukup mengagetkan Soka Pura bersama 

teriakannya yang nyaring itu. Namun si Pendekar 

Kembar bungsu segera sentakkan kedua tangannya ke 

depan dalam keadaan menggenggam kuat. Genggaman 

tangan itu mengeluarkan tenaga dalam besar yang di-

namakan jurus 'Tangan Batu'. Wuuukks...!

Jika jurus 'Tangan Batu' bisa dipakai untuk 

menumbangkan pohon dari jarak sepuluh langkah, 

maka sudah tentu jurus itu pun dapat melemparkan 

orang yang ingin menerjangnya dengan kecepatan 

tinggi itu. Baaaakh...!

"Ooukh...!" Orang itu memekik karena merasa


seperti membentur tembok baja yang amat tebal. 

Hampir saja pedangnya yang terhunus itu patah jika 

tidak segera disentakkan ke atas.

Brrukk...! Orang itu jatuh terbanting dengan 

suara keras dan memprihatinkan sekali. Soka Pura 

sempat pejamkan mata sekejap ketika mendengar sua-

ra bergedebuk cukup keras itu. Karena ia dapat mem-

bayangkan betapa sakitnya tubuh yang terbanting se-

keras itu setelah ditabrak tenaga dalam yang menye-

rupai dinding baja tadi. Setidaknya tulang-tulang tu-

buh akan merasa seperti remuk bagai ditimpa gunung.

Tetapi ternyata orang yang jatuh terbanting itu 

hanya mengerang sebentar sambil memaki tak jelas, 

kemudian ia segera bangkit kembali dengan pedang 

dimainkan ke kanan kiri. Wiiik, wiik, wiik...! Ia henti-

kan gerakan dengan memasang kuda-kuda siap se-

rang. Pedangnya diangkat hingga melintang di atas ke-

pala, kedua kakinya merendah, salah satu ditarik ke 

belakang.

Soka terkesiap memandang lawannya yang ter-

nyata adalah seorang gadis berusia sekitar dua puluh 

dua tahun. Sesuatu yang membuat Soka menjadi ter-

peranjat adalah wajah si gadis yang ternyata heboh se-

kali. Maksudnya, cantik sekali. Wajah itu mirip wajah 

bidadari yang pulang dari kursus kecantikan. Benar-

benar mengagumkan sekaligus mendebarkan hati.

Maka dengan sangat terpaksa Soka Pura pun 

mengendurkan kuda-kudanya dan bersikap lebih ka-

lem dari sebelumnya. Pandangan mata si Pendekar 

Kembar bungsu itu juga semakin tidak menampakkan 

permusuhannya. Dengan langkah tenang, gadis itu di-

dekatinya. Si gadis berjubah buntung warna ungu bin-

tik-bintik kuning itu segera bergerak mengubah posisi 

kuda-kudanya. Pedangnya berkelebat cepat dan kini 

sudah berada di samping pundak, sedikit ke atas. Sea


kan siap di hujamkan ke tubuh kekar yang berhenti 

dalam jarak lima langkah itu.

"Rupanya seorang bidadari yang menyerangku 

dengan membabi buta tadi? Duhai... alangkah bodoh-

nya aku. Mengapa aku tidak membiarkan tubuhku di-

terjang oleh senjata rahasia itu biar puas hati mu. No-

na! Maafkan aku!"

Si gadis menggeram lirih, giginya menggeletuk 

sebagai tanda bahwa ia tak tertarik dengan kata-kata 

Soka tadi. Pandangan matanya semakin memancarkan 

dendam dan kebencian.

Si gadis segera bergerak ingin menyerang, tapi 

Soka Pura segera menahan dengan gerak mundur se-

langkah dan mengangkat tangan se dada.

"Tunggu dulu, Nona!"

Gadis itu hentikan gerakannya.

"Boleh saja kau menyerangku, tapi sebutkan 

dulu apa alasanmu! Seingatku kita tak pernah saling 

jumpa dan bikin perkara, mengapa kau begitu rajin 

menyerangku, Nona?!"

"Jangan banyak mulut!" geram si gadis. "Kau 

pasti orang Istana Bara! Sebelum kau menangkap ku, 

lebih baik kukirim dulu kau ke alam kubur!"

"Sadis," gumam Soka sambil tertawa pendek. Ia 

tetap kalem dan murah senyum.

"Kurasa kau salah sangka, Nona! Aku bukan 

orang Istana Bara. Bahkan baru sekarang ku tahu 

nama istana itu. Di mana letaknya, Nona?!"

"Hmmm!" si gadis mencibir sinis. "Tak perlu 

berlagak bodoh kau, Setan neraka! Terima saja pedang 

penjemput ajal ini! Hiaaah...!"

"Eee, eiit...! Sabar!" sergah Soka Pura sambil 

semakin mundur. "Kalau aku mau, mudah sekali 

membuatmu tunggang langgang seperti tadi, Nona! Ta-

pi aku tak ingin kita saling menyakiti, karena aku ya


kin kau pasti salah duga! Aku bukan orang Istana Ba-

ra! Aku berasal dari Gunung Merana. Namaku... Soka 

Pura. Kakakku sedang pergi ke sungai seberang sana. 

Dia bernama Raka Pura. Kami...."

"Cukup!" bentak si gadis dengan suara keras. 

"Kau pikir aku mudah percaya dengan bualan mu?!"

"Oh, aku tidak pernah membual, Nona... kecua-

li jika kepepet! Tapi sekarang aku belum merasa kepe-

pet, sehingga tak perlu membual di depanmu! Ku mo-

hon, jangan teruskan murkamu itu padaku, karena ji-

ka aku mati dl tanganmu kau akan menyesal, dan jika 

kau mati di tanganku aku yang akan menyesal!"

"Hmmm...!" si gadis mendengus sambil mengu-

bah posisi pedangnya ke samping kanan. "Boleh ku 

tahu namamu, Nona?" Dengan nada sesumbar gadis 

itu menjawab seraya menepuk dada.

"Perlu kau ketahui, akulah yang bernama Pur-

baweni, murid Eyang Pancadira, dari Bukit Selayang! 

Aku yang akan datang ke Istana Bara untuk hancur-

kan istanamu itu jika kakakku tak kau bebaskan!"

"Kakakmu...?!" Soka Pura kerutkan dahi. "Siapa 

yang kau maksud dengan kakakmu itu?!"

"Nalapraya...!" jawab Purbaweni dengan tegas.

Wajah pemuda tampan di depannya bertambah

heran dan bingung.

"Nalapraya...?!" gumamnya lirih. "Siapa Nala-

praya itu?!"

"Kakakku!"

"Iya, aku tahu. Tapi maksudku... aku tidak 

mengenal nama itu. Sama sekali tidak ku kenal sedikit 

pun! Karena... yah, karena aku memang bukan orang 

Istana Bara, jadi tentu saja aku tak mengenalnya. 

Hmmm... di mana dia sekarang?"

"Dasar tuli! Tadi sudah kubilang, aku akan 

membebaskan kakakku dari penjara Istana Bara!"


"Ooo, ya, ya... aku tahu. Jadi kakakmu ditawan 

di Istana Bara dan kau menyangka diriku sebagai 

orang Istana Bara? Pantas kau tampak benci sekali 

padaku!" Soka Pura tertawa pelan.

Tawa itu mendadak sirna ketika Soka melihat 

seberkas sinar hijau melesat seperti meteor. Sinar hi-

jau itu datang dari atas pohon arah kiri Purbaweni. 

Slaaap...!

Pendekar Kembar bungsu cepat-cepat sentak-

kan tangan kirinya dalam bentuk cakar tengkurap. 

Dari tangan itu segera melesat sinar putih berbentuk 

mata pisau yang segera melesat ke arah sinar hijau ta-

di. Claaap...! Kedua sinar itu bertabrakan di pertenga-

han jarak antara Purbaweni dengan pohon yang men-

geluarkan sinar hijau itu.

Blegaaarrr...!

Purbaweni kaget dan melompat ke samping ka-

nan. Ia sempat terpelanting karena terkena hempasan 

angin gelombang ledakan dahsyat tadi.

Soka Pura cepat-cepat bertindak untuk yang 

kedua kalinya. Setelah tadi ia gunakan jurus 'Cakar 

Matahari', kini ia gunakan jurus 'Tangan Batu' dengan 

mengepalkan kedua tangan dan disentakkan bersama 

ke arah atas pohon tersebut. Wuuut...! Hawa padat da-

ri tenaga dalamnya meluncur cepat sekali dan meng-

hantam orang yang ada di atas pohon tersebut.

Bruuuss...!

"Aaaakh...!"

Brrruuk...!

Orang yang melepaskan sinar hijau tadi jatuh 

dari atas pohon setelah terkena pukulan tenaga dalam 

jarak jauhnya Pendekar Kembar bungsu. Begitu orang 

itu jatuh dan menyeringai kesakitan, Soka Pura cepat-

cepat berkelebat menghampirinya dengan mengguna-

kan jurus 'Jalur Badal'-nya, yang mampu bergerak se


cepat badal yang paling cepat.

Wuuuz...! Dalam sekejap, Soka Pura seperti 

menghilang dan tahu-tahu sudah berada di dekat 

orang yang jatuh dari pohon. Purbaweni memandang-

nya dengan mata setengah melebar karena kagum dan 

tak menyangka pemuda tampan itu mempunyai kece-

patan gerak segila itu.

Orang yang jatuh dari atas pohon itu ternyata 

seorang lelaki bertubuh agak pendek dengan usia seki-

tar empat puluh tahun. Ia berkumis tipis dan beram-

but ikal, dengan mata kecil dan dagu datar. Soka Pura 

segera mencengkeram baju hitam orang itu dan men-

gangkatnya dengan satu tangan. Sebelum orang itu 

bergerak meronta, Soka Pura sudah lebih dulu melem-

parkan tubuh orang tersebut bagai membuang bangkai

anjing. Wuuus...!

"Huuaaa...!"

Brruukk...!

"Aaaakh...!" Orang itu memekik lagi ketika me-

layang dan jatuh di depan Purbaweni. Gadis itu me-

mandang dengan lebih terperanjat lagi, karena ternya-

ta ia sangat kenal dengan orang yang mau membu-

nuhnya itu. Kegeraman Purbaweni pindah ke orang 

bertubuh kurus itu. Tapi sebelum Purbaweni bersuara, 

Soka Pura lebih dulu perdengarkan suaranya dengan 

senyum tetap mengembang di bibirnya.

"Apakah kau kenal dengannya, Purbaweni?!"

Purbaweni tidak menjawab pertanyaan terse-

but, namun ia segera menegur orang berpakaian serba 

hitam itu dengan suara lantang.

"Kedung Boyo? Rupanya kau masih penasaran 

denganku dan ingin membunuhku secara licik, hah?!"

Lelaki yang ternyata bernama Kedung Boyo itu 

segera berdiri, walau pinggangnya masih terasa sakit 

akibat jatuh, tapi ia paksakan diri untuk menjadi tegak


di depan Purbaweni.

"Sebelum aku bisa membalas kekalahan ku tiga 

purnama yang lalu, kau masih tetap dalam incaran ku, 

Purbaweni! Terlebih sekarang aku dibayar oleh Ratu 

Rias Rindu untuk membunuhmu, kurasa cukup kuat 

alasan ku mengapa aku menyerangmu secara licik! 

Persetan dengan penilaianmu itu, licik atau tidak, demi 

upah yang akan kuterima dari Ratu Rias Rindu, kau 

harus mati sekarang juga, Purbaweni!"

"O, jadi sekarang kau berada di pihak Istana 

Bara?"

"Kurasa tak perlu ku jelaskan lagi, yang pent-

ing, bersiaplah untuk menghadapi ajalmu, Purbaweni! 

Heeeaah...!"

Kedung Boyo segera mencabut goloknya dan 

melompat menerjang Purbaweni dengan tebasan golok 

diarahkan ke leher gadis itu. Wuuut...!

Traaang...! Buuukh...!

Purbaweni menangkis tebasan golok itu dengan 

mengibaskan pedangnya. Begitu pedang berhasil me-

nahan gerakan golok, kaki gadis itu menendang ke 

samping dengan sedikit memutar tubuh. Tendangan 

cepat tak diduga itu tepat kenai perut Kedung Boyo. 

Akibatnya lelaki kurus itu terlempar ke belakang se-

jauh lima langkah dan jatuh terduduk dengan henta-

kan keras. Bluuuk...!

Soka Pura memejamkan mata sekejap, karena 

ia dapat rasakan betapa sakitnya tulang ekor si Ke-

dung Boyo saat terhempas di tanah berbatu itu. Tak 

heran jika Kedung Boyo menyeringai kesakitan.

Namun sebelum Kedung Boyo sempat berdiri, 

Purbaweni telah datang menyerangnya dengan tendan-

gan berkelebat ke arah wajah lelaki kurus itu. 

Wuuut...! Mau tak mau Kedung Boyo segera terdorong 

dan berjingkat ke belakang ketika terjangan kaki Pur


baweni berhasil lolos dari wajahnya.

Begitu Kedung Boyo selesai berjungkal ke bela-

kang, ia segera menyabetkan goloknya ke arah bela-

kang. Kaki Purbaweni dijadikan sasaran utama golok 

tajam berkilat itu. Wees...! Purbaweni cukup sigap dan 

sudah menduga akan diserang kakinya, sehingga ia 

pun sentakkan kedua kaki ke tanah dan tubuhnya me-

luncur naik sedikit dengan gerakan bersalto balik 

Wuuut...! Begitu tubuhnya hendak menapak ke tanah 

lagi, kaki kanannya sempat menendang ke depan bagai 

sedang menendang bola. Wuuus, proook..!

"Aaaoww...!" Kedung Boyo yang kecele itu sege-

ra memekik, karena wajahnya terkena telak tendangan 

kaki lawan dengan keras. Mulutnya sempat robek den-

gan gigi patah satu. Mulut itu berdarah dan lubang hi-

dung pun mimisan. Rupanya tendangan itu bukan se-

kadar tendangan biasa, namun disertai dengan cura-

han tenaga dalam yang cukup besar, sehingga Kedung 

Boyo merasa seperti di sambar batu gunung sebesar 

anak kerbau.

Purbaweni berdiri tegak dan menampakkan ke-

tegarannya. Pedang yang masih di tangan segera dipu-

tar sebagai permainan jurus baru yang akan diguna-

kan untuk serangan selanjutnya. Matanya melirik se-

kejap ke arah Soka Pura. Ternyata pemuda itu hanya 

diam saja, berdiri dengan lengan kanan bersender pa-

da sebatang pohon dan matanya memperhatikan ke 

arah Purbaweni. Pandangan mata yang saling bertemu 

membuat Purbaweni menggeragap kecil dan cepat-

cepat alihkan pandangan ke lawannya.

Perhatian itu terlambat, karena pada waktu 

Purbaweni melirik ke arah Soka, sang lawan segera ke-

luarkan pisau simpanannya dari balik baju. Pisau kecil 

itu segera dilemparkan ke arah Purbaweni.

Wuuut...! Jubb...!


"Aaaakh...!" Purbaweni memekik dengan tubuh 

segera terbungkuk. Pisau itu menancap tepat di bawah 

betis kanannya. Kesempatan itu digunakan oleh Ke-

dung Boyo untuk segera menyerang dengan goloknya 

dengan cara mengerahkan sisa tenaganya yang masih 

ada.

Wuuut...!

Wees...! Bukhh...!

"Aaaakh...!" Kedung Boyo terpental ke samping 

dan jatuh berguling-guling. Pinggang kanannya seperti 

diterjang seekor banteng liar yang sedang mengamuk. 

Ternyata terjangan itu berasal dari pukulan tenaga da-

lam jarak jauh yang dilepaskan oleh Soka Pura untuk 

selamatkan Purbaweni dari ancaman maut golok Ke-

dung Boyo.

Wuuuuz...! Dalam setengah kejap Soka Pura 

sudah berada di depan Purbaweni yang menyeringai 

kesakitan karena terkena pisau beracun. Soka sengaja 

membelakangi Purbaweni karena khawatir datang se-

rangan tiba-tiba dari Kedung Boyo.

"Kurasa kalian sudah sama-sama terluka, se-

baiknya hentikan saja pertarungan ini!" ujar Soka Pura 

yang mencemaskan nasib Purbaweni jika racun pada 

pisau itu cukup ganas.

Tetapi seruan Soka itu tidak dihiraukan oleh 

Kedung Boyo. Lelaki itu segera bangkit dari jatuhnya, 

memainkan jurus golok sebentar, kemudian lakukan 

lompatan bersalto satu kali ke arah Soka Pura. 

Wuuuk...!

Soka Pura agak jengkel. "Dilerai tak mau ber-

henti malah ingin menyerangku? Hmm... maaf saja ka-

lau aku terpaksa membuat isi perutmu keluar lewat 

mulut, Kedung Boyo!"

Wuuut...! Kedua tangan Soka menggenggam la-

gi dan menyentak ke depan lagi. Pada saat itu, hawa


padat dari tenaga dalam jurus Tangan Batu' telah ke-

nai dada Kedung Boyo dengan sangat keras. 

Bhaaaakh...!

"Huuukh...!" Kedung Boyo mendelik sambil tu-

buhnya terlempar ke belakang. Begitu jatuh ke tanah

dalam keadaan duduk, mulutnya segera memuntah-

kan hampir seluruh isi perut. Bahkan muntahan itu 

bercampur dengan darah segar yang mengerikan.

"Edan! Dadaku seperti ditibani dengan batu la-

har yang sangat panas. Oouh...! Tak kuat aku kalau 

begini! Uuhf...! Benar-benar remuk tulang dadaku jika

begini caranya!" pikir Kedung Boyo. "Sebaiknya ku 

tinggalkan saja dulu si Purbaweni! Aku harus mencari 

siasat lain untuk menyerahkannya kepada Ratu Rias 

Rindu dan ditukar dengan sejumlah uang sesuai yang 

dijanjikan oleh sang Ratu!"

Blas, blaaas...! Kedung Boyo segera berkelebat 

pergi, tak tinggalkan pesan dan tak pamit sedikit pun. 

Agaknya ia lebih butuhkan obat pengering luka da-

lamnya itu ketimbang harus berhadapan dengan Pur-

baweni dan pemuda asing yang belum dikenalnya itu.

"Tunggu kau, Kedung Boyo!" teriak Purbaweni 

dengan berang, ia segera berusaha mengejarnya walau 

kakinya terluka oleh pisau beracun itu.

*

* *

2


KALAU saja Purbaweni tidak dicegah oleh Soka 

Pura, maka Kedung Boyo akan dikejarnya sampai da-

pat, dan urusannya akan diselesaikan sampai tuntas. 

Tapi karena tangannya segera dicekal oleh Soka Pura,


maka Purbaweni pun urungkan niatnya untuk menge-

jar Kedung Boyo.

"Kakimu terluka," ujar Soka. "Tampaknya pisau 

itu beracun. Lihat, dl sekeliling lukamu telah membiru 

selebar itu. Berbahaya sekali untuk kesehatan nyawa-

mu, Purbaweni."

Purbaweni memandangi lukanya di bawah be-

tis. Badannya memang terasa mulai panas dingin, per-

tanda racun pisau itu mulai bekerja ke seluruh tubuh. 

Tapi Purbaweni masih berusaha menahan rasa sakit 

yang membuatnya berkeringat dingin itu. Ia menarik 

napas panjang-panjang sambil menatap Soka Pura. 

Mereka beradu pandangan mata selama dua helaan 

napas.

"Ternyata dia memang bukan orang Istana Ba-

ra," pikir Purbaweni. "Terbukti ia melindungiku dari 

ancaman maut si Kedung Boyo! Kalau tak ada dia, 

mungkin aku sudah tidak bernyawa sejak Kedung 

Boyo lepaskan pukulan dari atas pohon tadi. Hmmm... 

apa yang harus kulakukan jika sudah telanjur begini. 

Meminta maaf padanya? Ah, malu!"

Soka Pura bagai tak mengerti isi hati Purbawe-

ni, sehingga pertanyaan yang diajukan sama sekali tak 

ada hubungannya dengan luka di kaki kiri Purbaweni 

itu.

"Apakah kau tak percaya kalau pisau itu bera-

cun?!" sambil Soka Pura menuding pisau yang telah 

dicabut oleh Purbaweni dan dibuang di tanah tak jauh 

dari tempat mereka berdiri.

"Ya, aku tahu! Lalu bagaimana?!" ujar Purba-

weni masih bernada ketus untuk menampakkan harga 

dirinya sebagai gadis yang punya harga diri di mata le-

laki.

"Bagaimana kalau ku sembuhkan? Kau tidak 

keberatan?" Soka Pura masih gunakan tutur kata yang


lembut dan penuh keramahan. Senyumnya tetap 

menghiasi bibir dan memperkuat sikap ramahnya.

Purbaweni sempat bingung menjawab sesaat. 

Tapi matanya sudah tak menatap Soka Pura. Mata itu 

menatap luka sambil perdengarkan suaranya.

"Apakah kau bisa?"

"Kurasa tak ada salahnya jika ku coba."

"Hmm, cobalah!" sambil Purbaweni menahan 

tubuh yang seharusnya gemetar karena rasa sakitnya.

"Duduklah di batu itu," perintah Soka Pura 

sambil menunjuk sebongkah batu di bawah pohon te-

duh. Purbaweni melangkah, kali ini ia terpincang-

pincang karena rasa sakit pada lukanya sudah menja-

lar ke seluruh tubuh. Dengan tanpa sungkan-sungkan 

Soka Pura menuntun gadis itu. Lengannya dipegangi 

dan dibawa menuju ke batu tersebut dengan pelan-

pelan.

Sepasang mata pemuda tampan itu menatap 

dada Purbaweni yang mengenakan pinjung penutup 

dada warna putih. Dada itu memang tidak montok dan 

seronok, namun cukup sekal dan tampak mulus di ba-

gian tepian dua bukitnya.

"Boleh ku tempelkan tanganku di bagian atas 

dadamu?" ujar Soka Pura, sok sopan.

"Hei, yang terluka adalah kakiku, bukan dada-

ku! Mengapa kau ingin menempelkan tanganmu ke 

dadaku?!" sambil Purbaweni mengatupkan jubahnya di 

bagian dada.

Soka Pura tersenyum kalem.

"Jurus pengobatan ku ini dinamakan jurus 

'Sambung Nyawa’. Cara pengobatannya adalah me-

nyentuhkan telapak tanganku ke dada orang yang sa-

kit tanpa ada selembar benang pembatas."

"Cabul sekali kau?!" kecam Purbaweni.

Soka Pura angkat pundak. "Memang begitu caranya. Kalau kau keberatan, aku tak akan memaksa. 

Tapi, yaaah... berarti aku tak bisa menolongmu!"

Purbaweni diam sesaat, agaknya gadis itu 

mempertimbangkan cara yang dianggapnya seronok 

dan kurang sopan itu. Soka Pura diam menunggu. Da-

lam hatinya sempat tertawa geli, karena jurus 

'Sambung Nyawa' dapat dilakukan dengan menempel-

kan telapak tangan bukan hanya di bagian dada saja. 

Namun bisa pula dilakukan melalui telapak kaki, tela-

pak tangan, lengan, tengkuk, dan sebagainya, asal ti-

dak terhalang oleh selembar benang pun.

"Kalau kau mempermainkan diriku, pedangku 

akan memenggal kepalamu!" ancam Purbaweni sambil 

mengangkat pedangnya.

"Aku tak keberatan! Kalau aku gagal mengobati 

lukamu, kau boleh penggal leherku. Tapi bagaimana 

kalau aku berhasil mengobati lukamu?"

"Hmmm... hmmm... kau boleh penggal leherku 

juga!"

"Lalu untuk apa kuobati lukamu kalau akhir-

nya harus memenggal lehermu?" sambil Soka Pura ter-

tawa geli, namun tak sampai terbahak-bahak. Purba-

weni sendiri menjadi geli setelah memikirkan bahwa 

ucapan dan perjanjian itu sebenarnya memang tidak 

masuk akal. Gadis secantik bidadari itu akhirnya 

sunggingkan senyum malu yang segera disembunyikan 

dengan buang muka ke arah kiri.

"Kalau aku berhasil sembuhkan lukamu, kau 

harus mau berdamai denganku dan menganggapku 

bukan orang Istana Bara. Bagaimana? Setuju?!" ujar 

Soka.

"Baik. Aku setuju."

Maka si gadis pun mulai membuka jubah yang 

menutupi dadanya. Wajahnya tetap dipalingkan ke 

arah lain, karena ia merasa malu dipegang bagian atas


dadanya, dekat leher. Soka Pura segera menempelkan 

telapak tangannya pelan-pelan. Si gadis memejamkan 

mata, karena Soka Pura pun juga memejamkan mata.

Namun ketika dirasakan ada hawa sejuk mere-

sap masuk melalui telapak tangan Soka Pura, si gadis 

penasaran dan melirik sebentar.

"Ooh...?! Tangannya memancarkan cahaya un-

gu?" ujar hati Purbaweni.

Telapak tangan Soka memang memancarkan 

cahaya ungu, seperti besi membara tapi berwarna un-

gu. Makin lama tubuh Purbaweni pun ikut-ikutan 

memancarkan cahaya ungu hingga seluruh tubuh. Ke-

tika telapak tangan itu diangkat, tidak menempel lagi 

di dada Purbaweni, ternyata tubuh Purbaweni masih 

saja memancarkan cahaya ungu. Hati gadis itu sempat 

waswas.

Namun ia juga merasakan kesejukan yang lain 

dari kesejukan biasanya. Kesejukan itu membawa ke-

tenangan, kedamaian, dan kesegaran. Purbaweni kem-

bali pejamkan mata untuk resapi hawa sejuk yang 

aneh itu..

Beberapa saat kemudian, cahaya ungu itu le-

nyap dari tubuh Purbaweni. Si gadis kembali bertubuh 

seperti semula, putih mulus. Tapi ia masih memejam-

kan mata dan meresapi hawa sejuk yang sangat mene-

nangkan jiwanya yang tadi sempat berang itu. Ia tak 

tahu kalau Soka Pura sudah berada agak jauh da-

rinya, berdiri di pohon depan dengan punggung ber-

sandar dan kedua tangan terlipat di dada.

"Jangan terlalu lama memejamkan mata, nanti

kau tertidur, Nona!" ujar Soka Pura. Purbaweni buru-

buru membuka mata dengan rasa malu.

Ketika ia memandangi lukanya, ia menjadi ka-

get bercampur heran, karena luka itu telah lenyap. Tak 

tersisa sedikit pun kecuali darah di sekitarnya yang ju


ga telah ikut mengering. Sedangkan tempat yang ta-

dinya terluka itu telah menjadi rapat dan utuh seperti 

sediakala. Kulit betis tetap tampak putih sedikit kun-

ing.

"Ajaib sekali!" gumamnya lirih, walau sebenar-

nya sempat didengar oleh Soka Pura. Pemuda itu 

hanya sunggingkan senyum semakin lebar ketika Pur-

baweni menatapnya dengan terperangah.

"Kau seorang tabib rupanya?"

Soka Pura kembali angkat bahu sambil le-

paskan tangannya yang tadi bersedekap itu.

"Mungkin juga aku ini tabib. Tapi aku tidak 

merasa menjadi tabib."

Purbaweni segera memasukkan pedangnya ke 

sarung pedang. Setelah itu melangkah dekati Soka Pu-

ra.

"Jika kau bukan orang Istana Bara, lalu men-

gapa kau ada di sini?!"

"Apakah tak boleh?!"

"Ini tanah perbatasan Istana Bara!"

"Oo...?!" Soka Pura sedikit terperanjat.

"Sungai yang ada di seberang sana adalah garis 

batas wilayah. Kau telah memasuki tanah wilayah is-

tana Bara!"

"Aku... aku tak sengaja memasuki wilayah ini! 

Aku dan kakakku sedang dalam perjalanan menuju ke 

Bukit Garang. Lalu, kakakku tiba-tiba merasa sakit 

perut dan sekarang sedang menuju ke sungai sana. 

Aku disuruh menunggu di sini. Nanti kami akan lan-

jutkan perjalanan lagi ke Bukit Garang. Jadi, kami tak 

sengaja kalau memasuki batas wilayah istana Bara. 

Kami pikir, jalan ini adalah jalan pintas untuk menca-

pai Bukit Garang."

Pendekar Kembar bungsu menjelaskan dengan 

menampakkan kesungguhannya. Ia dan kakaknya



memang sedang dalam perjalanan ke Bukit Garang un-

tuk menemui Anggani. Karena mereka berdua berjanji 

setelah selesaikan urusan mencari Daun Astagina, me-

reka akan kembali ke pondoknya si Hantu Muka Tem-

bok di Bukit Garang untuk menemui Anggani, (Baca 

serial Pendekar Kembar dalam episode: "Perawan Bukit 

Jalang" dan "Korban Kitab Leluhur").

Tetapi karena Raka Pura, si Pendekar Kembar 

sulung merasa sakit perut, akibat kebanyakan makan 

sambal sewaktu mereka singgah di sebuah kedai, ma-

ka Raka pun sempatkan diri untuk ke sungai mengu-

ras sakit perutnya, sementara sang adik disuruh me-

nunggu di tempat itu. Sampai akhirnya Soka diserang 

oleh senjata rahasia milik Purbaweni itu.

"Jika begitu," ujar Purbaweni setelah menyimak 

seluruh penjelasan Soka, "Kusarankan sebaiknya kau 

dan kakakmu itu lekas-lekas keluar dari wilayah ista-

na Bara ini. Sebab jika tidak, maka kau akan ditang-

kap oleh Ratu Rias Rindu seperti kakakku; Nalapraya. 

Kalian pasti akan dianggap mata-mata dari pihak la-

wan! Mungkin juga kalian akan menerima siksaan se-

begitu berat agar mengakui sebagai mata-mata pihak 

lawan."

Soka Pura justru tersenyum, berkesan mere-

mehkan saran tersebut.

"Apakah Kedung Boyo tadi juga orangnya Ratu 

Rias Rindu?!"

"Bukan. Kedung Boyo adalah orang Lereng Ajal, 

yang beberapa waktu yang lalu pernah bentrok den-

ganku gara-gara ia tidak kuizinkan menemui guruku. 

Hal itu kulakukan karena aku tahu orang Lereng Ajal 

adalah orang-orang licik yang mengincar tanah subur, 

seperti di tempatku. Dia sempat ku tumbangkan dan 

lari dengan luka parah. Rupanya ia masih penasaran 

padaku, ingin membalas kekalahannya waktu itu. Tapi


rupanya pula dendamnya itu dimanfaatkan untuk 

mencari keuntungan sendiri. Ia bersedia menjadi orang 

bayaran Ratu Rias Rindu untuk membunuhku!"

Soka Pura manggut-manggut dalam gumam ke-

cil. Kejap berikutnya ia ajukan tanya lagi dengan suara 

lebih pelan dan serius.

"Mengapa Ratu Rias Rindu ingin membunuh 

mu?!"

"Karena ia tahu hanya aku yang bisa membe-

baskan kakakku."

"O, begitu?! Hanya begitu saja dia sampai me-

nyewa orang untuk membunuhmu?"

Si gadis sedikit gelisah, tapi akhirnya menyam-

bung jawabannya yang agaknya tadi bermaksud dira-

hasiakan.

"Kurasa... kurasa Ratu Rias Rindu ingin me-

maksa kakakku agar mau mengatakan di mana kubu-

ran eyang buyutku: Si Sabandanu. Dengan membunuh 

ku, lalu mayatku ditunjukkan kepada Nalapraya, ma-

ka sang Ratu berharap Nalapraya merasa takut jika 

adikku pun: si Windamurni dibunuh juga jika ia tak 

mau sebutkan di mana makam Eyang Buyut Saban-

danu."

Pemuda tampan berpedang kristal yang tampak 

mewah itu segera kerutkan dahi. Ada sesuatu yang 

mengganjal di hatinya dan perlu ditanyakan kepada 

Purbaweni.

"Mengapa Ratu Rias Rindu ingin mengetahui 

makam eyang buyut mu?!"

"Aku tak bisa katakan!" jawab Purbaweni pelan, 

sepertinya berat sekali mengucapkan kata-kata itu.

"Katakan saja, Purbaweni! Aku bukan pihak 

musuhmu. Aku juga bukan orang jahat, seperti Ke-

dung Boyo tadi. Sudah kukatakan, aku dan kakakku 

dari Gunung Merana dan dalam perjalanan ke Bukit


Garang. Jadi aku tak punya maksud jahat apa-apa 

padamu, atau pada keluargamu."

"Soka, ini rahasia keluarga. Aku tak bisa men-

gatakannya."

Soka Pura penasaran sekali jadinya.

"Ratu Rias Rindu pasti mengetahui rahasia ma-

kam itu. Jika Ratu Rias Rindu sudah mengetahuinya, 

apakah hai itu akan menjadi rahasia lagi? Bukankah 

Ratu Rias Rindu pasti akan bicara lebih dari sepuluh 

orang? Dengan begitu makam tersebut bukan rahasia 

lagi bagi siapa saja!"

Purbaweni menjadi bimbang, bahkan tampak 

resah: Pandangan matanya memandang ke sana-sini. 

Benaknya mempertimbangkan desakan Soka Pura itu.

Akhirnya ia berkata, "Kurasa aku harus segera 

lanjutkan perjalananku yang tinggal sedikit lagi ini!"

"Kau mau ke mana?!" sergah Soka Pura.

"Ke Istana Bara! Aku harus bisa bebaskan ka-

kakku!" tegas Purbaweni.

"Apakah kau yakin dapat hadapi benteng per-

tahanan Ratu Rias Rindu hanya seorang diri begini?!"

"Tak ada pihak lain yang mau membantuku, 

karena mereka tahu siapa Ratu Rias Rindu itu! Mereka 

tak ingin mengorbankan nyawanya untuk sekadar 

membebaskan Nalapraya."

Setelah berkata begitu, Purbaweni langkahkan 

kakinya dengan cepat Namun suara Soka Pura buru-

buru terdengar dengan jelas sekali.

"Bagaimana jika aku berada di pihakmu?!"

Kata-kata itu membuat Purbaweni hentikan 

langkah, tapi belum menengok ke arah Soka Pura. Ju-

stru pemuda itu yang mendekati Purbaweni dan me-

nyambung ucapannya tadi. 

"Aku akan membantumu membebaskan Nala-

praya. Tapi aku harus tahu, ada apa dengan makam


eyang buyut mu itu?"

Kini si gadis cantik bak bidadari itu meman-

dang tak berkedip ke wajah Soka Pura. Ia diam bebe-

rapa saat, Soka pun diam. Mereka hanya saling pan-

dang hingga tiga helaan napas. Setelah itu, Purbaweni 

perdengarkan suaranya dengan pelan namun punya 

kesan tegas dan bersungguh-sungguh.

"Apakah kau bisa menyimpan sebuah raha-

sia?!"

"Jika kau butuhkan dengan bertaruh nyawaku, 

maka akan ku pertaruhkan nyawaku demi terjaganya 

rahasia itu, Purbaweni."

Mendengar pernyataan tersebut, hati Purbawe-

ni mulai berdebar-debar bangga. Ia menilai Soka Pura 

pemuda bengal namun punya kesungguhan dalam 

bersikap. Jarang sekali ia temukan pemuda bengal 

yang bisa meyakinkan diri sebagai pemuda yang ber-

tanggung jawab. Purbaweni sendiri tak tahu, mengapa 

hatinya begitu yakin dengan ucapan Soka Pura itu, 

padahal biasanya ia tak mudah percaya dengan kata-

kata seorang lelaki, terlebih sekonyol Soka Pura. 

Mungkin cara Soka bicara, cara Soka memandang, dan 

sebagainya, dapat timbulkan rasa percaya diri pada 

Purbaweni, sehingga gadis itu beranggapan demikian.

"Sebuah pusaka yang sudah lama tak pernah 

diperebutkan di dunia persilatan, sekarang mulai di 

usik lagi oleh Ratu Rias Rindu," ujar Purbaweni mulai 

menjelaskan.

"Pusaka apa itu?" tanya Soka semakin ingin ta-

hu.

"Pedang Bulan Madu."

Pendekar Kembar bungsu hampir tertawa men-

dengar nama pusaka tersebut. Namun tawanya berha-

sil dipendam dalam hati, dan diwujudkan dalam se-

nyum lebar. Purbaweni tampak sedikit tersinggung


dengan senyum geli itu. Karenanya, Soka Pura buru-

buru bersikap serius kembali dan segera ajukan tanya.

"Apa hubungannya antara Pedang Bulan Madu 

dengan makam eyang buyut mu itu?"

"Pedang itu ada di dalam makam Eyang Buyut 

Sabandanu," Jawab Purbaweni. Soka Pura menggu-

mam dan manggut-manggut. Purbaweni menyambung 

kata-katanya tadi.

"Sebelum Eyang Buyut Sabandanu wafat, be-

liau telah tinggalkan wasiat kepada para anak-cucunya 

agar tidak mengusik ketenangan pedang pusaka terse-

but. Beliau ingin dimakamkan dengan pedang pusaka 

itu dan siapa pun tak diizinkan untuk mengambilnya. 

Ia merasa lebih baik terkubur bersama Pedang Bulan 

Madu."

"O, Jadi sekarang Ratu Rias Rindu ingin men-

gambil pedang pusaka tersebut?"

"Tepatnya, ia ingin memiliki pedang tersebut. 

Tapi ia tak tahu di mana makam Eyang Buyut, sehing-

ga ia menangkap kakakku yang tentunya akan dipaksa 

agar tunjukkan di mana makam itu."

"Mengapa Ratu Rias Rindu mengetahui bahwa 

di dalam makam tersebut ada pusaka Pedang Bulan 

Madu?! Dari mana ia memperoleh penjelasan tentang 

hai itu?"

"Nyai Cemeti Langit adalah ibu dari Ratu Rias 

Rindu. Dulu, Nyai Cemeti Langit adalah murid dari 

Eyang Buyut Sabandanu. Dan Nyai Cemeti Langit 

mengetahui tentang terkuburnya Pedang Bulan Madu 

bersama jasad Eyang Buyut. Kurasa, mendiang Nyai 

Cemeti Langit beberkan rahasia pedang pusaka itu ke-

pada Ratu Rias Rindu sebelum ia tewas."

Soka Pura manggut-manggut lagi, kali ini gu-

mamnya lirih sekali. Penjelasan itu direnungkan bebe-

rapa saat, kemudian ia segera ajukan tanya lagi kepa


da Purbaweni.

"Lalu... di mana makam Eyang Buyut Saban-

danu itu berada?!"

Purbaweni membuka mulut sedikit, mau je-

laskan tentang hai itu, namun tiba-tiba niatnya untuk 

berucap dibatalkan, karena tiba-tiba matanya melihat 

sekelebat bayangan putih menyelinap di balik pohon 

agak jauh di belakang Soka Pura. Purbaweni terperan-

jat dan sempat tegang. Ia segera mencabut pedangnya. 

Hal itu membuat Soka Pura yakin ada sesuatu yang 

tak beres di belakangnya. Namun ia sengaja tak me-

nengok ke belakang, bahkan bertanya dalam nada bi-

sik.

"Ada apa di belakangku?!"

"Seseorang ingin menyadap pembicaraan kita. 

Kurasa dia adalah mata-mata Ratu Rias Rindu!"

"Oh...?! Di mana ia berada?"

"Tiga pohon di belakangmu, agak ke kanan se-

dikit!" bisik Purbaweni lagi dengan suara pelan sekali.

"Kalau begitu, biar ku tangani orang itu!" bisik 

Soka Pura, lalu bersikap tenang kembali, seakan tak 

ada bahaya yang mengancam.

Namun ia segera melangkah mundur sedikit 

demi sedikit sambil bicara soal lain kepada Purbaweni. 

Gadis itu sendiri segera mengambil sikap tenang, agar 

siasat Soka Pura yang tentunya akan lepaskan seran-

gan mendadak itu tidak mencurigakan bagi bayangan 

putih di balik pohon itu.

*

* *


3


HAMPIR saja Soka Pura melepaskan pukulan 

mautnya yang dapat menumbangkan pohon yang men-

jadi tempat persembunyian si bayangan putih itu. Be-

runtung sekali si bayang putih segera muncul dari ba-

lik pohon tersebut dengan senyum mentah yang mem-

buat Soka Pura hempaskan napas panjang, membuang 

rasa kesal dan menikmati rasa lega di hati. Karena 

orang yang muncul dari balik pohon itu tak lain adalah 

kakak kembarnya sendiri; Raka Pura, si Pendekar 

Kembar sulung.

Purbaweni terperanjat sekali melihat kemuncu-

lan Raka. Matanya sempat tak berkedip selama tiga 

helaan napas. Ia tak menduga sedikit pun kalau Soka 

Pura ternyata mempunyai kakak kembar yang sulit di-

bedakan.

"Keduanya sama-sama tampan," gumam hati 

Purbaweni. "Sama-sama berbadan tegap, tingginya 

sama, potongan rambutnya sama, potongan pakaian, 

dan warna pakaian juga sama, bahkan pedangnya pun 

sama bentuk dan rupanya. Ooh... gawat! Bagaimana 

aku bisa membedakan keduanya jika begini?!"

Sementara Soka Pura menjelaskan kepada ka-

kaknya perihal Purbaweni dan pusaka Pedang Bulan 

Madu, gadis yang cantiknya mirip bidadari pulang dari 

salon itu memandangi Soka dan Raka secara bergan-

tian. Hati gadis itu pun sibuk berkecamuk sendiri 

mengomentari kesamaan rupa yang sulit dibedakan 

itu.

"Keduanya juga sama-sama punya senyum 

yang membuat hatiku berdesir-desir. Lagak lagunya ji-

ka berjalan juga sama persis. Hmmm... bisa-bisa aku 

salah duga terus jika mereka tak memberi tanda untuk


membedakan yang mana Soka yang mana Raka?! Me-

mang senyum Soka tampaknya lebih ceria dan lebih 

diobral. Tapi bagaimana kalau mereka sedang tidak 

tersenyum? Dari mana ku bedakan diri mereka berdua 

ini? Tahi lalat pun tak ada pada mereka. Sialan! Tam-

paknya aku harus hati-hati jika bertemu dengan salah 

satu dari mereka; harus kutanyakan dulu siapa yang 

berhadapan denganku: Raka atau Soka? Tapi bagai-

mana jika Raka mengaku Soka atau sebaliknya, toh 

aku akan percaya saja."

Setelah beberapa saat memperhatikan kedua 

pemuda kembar itu, akhirnya Purbaweni temukan ca-

ra membedakan mereka berdua.

"Hmmmm... ya, ya! Sekarang aku tahu cara 

membedakan yang mana Raka dan yang mana Soka. 

Letak pedang mereka berbeda. Raka di sebelah kiri, 

sedangkan Soka menyelipkan pedangnya di sebelah 

kanan. Ah, beres sudah! Aku tak akan terkecoh oleh 

kesamaan mereka. Dan, astaga ..! Baru sekarang kuin-

gat cerita dari teman-temanku tentang munculnya 

Pendekar Kembar yang ilmunya cukup dahsyat itu. 

Apakah mereka berdua ini yang bergelar Pendekar 

Kembar? Tapi mengapa Soka tidak menyebut dirinya 

Pendekar Kembar?!"

Agaknya Raka Pura terpaksa menyetujui ren-

cana adiknya, membantu Purbaweni membebaskan 

Nalapraya dari Istana Bara. Sebenarnya Raka Pura ku-

rang tertarik dengan persoalan tersebut. Tetapi ketika 

Soka Pura jelaskan bahwa persoalan itu menyangkut 

tentang pedang pusaka yang dapat menggegerkan du-

nia persilatan, maka Raka Pura pun akhirnya mendu-

kung rencana sang adik.

"Dunia persilatan akan menjadi gempar dan 

mungkin juga akan menjadi kacau balau jika pedang 

pusaka itu ada di tangan Ratu Rias Rindu. Keberadaan


kita sebagai Pendekar Kembar yang dihormati di rimba 

persilatan akan dikecam habis oleh para tokoh jika ki-

ta tidak bisa selamatkan pedang pusaka tersebut. Ra-

ka. Aku lebih baik berhenti jadi pendekar jika tak be-

cus menyelamatkan pedang pusaka tersebut. Lebih 

baik aku jadi kusir delman sajalah, tak perlu jadi pen-

dekar!"

"Hei, tadi kusuruh kau menungguku di samp-

ing gubuk itu, bukan kusuruh mencari perkara!" ujar 

Raka dengan agak dongkol.

"Ah, kau ini...!" Soka sempat bersungut-sungut 

segala. "Kalau kau tak mau membantunya, ya sudah. 

Biar aku sendiri yang membantu Purbaweni!" bisik So-

ka dalam kasak-kusuknya.

"Aku tidak bilang begitu, Soka! Aku hanya ingin 

tahu, sehebat apakah Pedang Bulan Madu itu? Sebe-

rapa besar bahaya yang ditimbulkan dari pedang ter-

sebut jika jatuh di tangan Ratu Rias Rindu?!"

Soka Pura sentakkan pundak, tanda tak men-

gerti.

"Kurasa kau bisa tanyakan sendiri kepada si 

bidadari itu."

"Bidadari yang mana?!"

"Purbaweni itu, maksudku! Tolol!" gerutu Soka.

Raka tersenyum tipis sambil geleng-geleng ke-

pala. Kecamannya pun terdengar sangat pelan, dan 

hanya adiknya yang bisa mendengar kecaman terse-

but.

"Soka, Soka... tiap ada perawan cantik kau bi-

lang 'bidadari'. Padahal di bumi ini gadis cantik lebih 

dari seribu orang. Lalu, alangkah banyaknya bidadari 

turun dari kayangan? Mau apa mereka? Mau arisan di 

bumi?!"

Raka Pura tak setuju jika Purbaweni dijuluki 

'bidadari', karena menurut Raka kecantikan itu wajar


wajar saja. Barangkali karena Raka memang kurang 

hobi mengagumi seorang wanita, kurang berminat 

menggandrungi para gadis, maka menurut penilaian-

nya Purbaweni adalah gadis yang punya kecantikan 

biasa, tidak seperti kecantikan bidadari.

Pendekar Kembar sulung memang sulit tertarik 

kepada seorang wanita. Bahkan sering merasa takut 

jika ada wanita yang mendekatinya, lebih-lebih terha-

dap yang mendekati sambil membawa kegenitannya. 

Kadang Raka bukan saja takut, namun juga menjadi 

muak. Berbeda dengan adiknya yang mudah tertarik 

dengan seorang wanita, sehingga tanpa disambar pun 

ia akan menyambar sendiri setiap ada kesempatan da-

lam kesempitan.

Kalau bukan karena desakan adiknya, Raka 

Pura lebih suka lanjutkan perjalanan ke pondoknya 

Hantu Muka Tembok daripada harus menemani gadis 

cantik itu ke Istana Bara. Sekalipun demikian, Raka 

pun akhirnya tunjukkan sikap persahabatannya pada 

Purbaweni, sehingga dalam perjalanan menuju ke Is-

tana Bara, tak segan-segan ia tanyakan beberapa hai 

tentang pusaka Pedang Bulan Madu itu.

"Sebetulnya, Pedang Bulan Madu itu tak terlalu 

istimewa," ujar Purbaweni sambil melangkah di antara 

Soka dan Raka. "Pedang itu hanya bisa membakar la-

wan jika lawan terkena pantulan sinar matahari dari 

pedang itu. Api dari pantulan sinar matahari pada pe-

dang itu tak dapat dipadamkan sebelum sesuatu yang 

di bakarnya habis menjadi arang."

"Selain itu?" pancing Raka.

"Selain itu...," Purbaweni tampak sedang memi-

kirkan sesuatu. Beberapa saat kemudian ia menyam-

bung kata-katanya tadi.

"Selain itu, pedang tersebut juga bisa dipakai 

membelah baja setebal apa pun."


"Hanya itu keistimewaannya?"

"Ya, hanya itu," jawab Purbaweni.

"Hmmmm... tak terlalu istimewa sebenarnya," 

gumam Raka terang-terangan.

"Memang tak terlalu istimewa," timpal Purba-

weni. "Tapi aku sendiri tak tahu mengapa pedang itu 

dulu pernah diperebutkan dan membuat geger dunia 

persilatan. Bahkan sekarang Ratu Rias Rindu meng-

hendaki pedang tersebut. Padahal menurutku, tanpa 

Pedang Bulan Madu pun Ratu Rias Rindu Sudan cu-

kup hebat. Ilmunya bukan ilmu murahan dan rendah. 

Buktinya ia dapat gulingkan kekuasaan Raja Amuk 

Jagal dan merebut istana serta wilayah kekuasaan Ra-

ja Amuk Jagal di Lembah Gerhana ini!"

"O, jadi semula Lembah Gerhana ini dalam ke-

kuasaan Raja Amuk Jagal?!" sela Pendekar Kembar 

bungsu. "Lalu sekarang apakah Raja Amuk Jagal su-

dah tewas?!"

"Belum. Raja Amuk Jagal melarikan diri ke Pu-

lau Kancil."

Raka Pura baru ingin bicara, tiba-tiba di depan 

langkah mereka, sekitar sepuluh langkah dari tempat 

mereka berada, telah berdiri seorang kakek berjenggot 

panjang warna putih. Kumis, alis, dan rambutnya yang 

panjang juga berwarna putih. Mereka bertiga terkejut, 

sehingga mulut Raka Pura masih tetap ternganga den-

gan mata pandangi si kakek berjubah biru muda itu. 

Di tangan sang kakek menggenggam tongkat yang ba-

gian atasnya berbentuk kepala kobra.

Kedua tangan Purbaweni segera mencekal tan-

gan Raka dan Soka yang ada di tangan kirinya. Gadis 

itu seakan memberi isyarat agar kedua pemuda kem-

bar itu jangan melangkah lagi dan lebih baik mundur 

beberapa langkah. Pendekar Kembar yang merasa le-

bih heran lagi dengan cekalan tangan Purbaweni itu


segera menatap gadis itu. Wajah si gadis tampak san-

gat tegang, seakan ia melihat hantu berkeliaran di 

siang hari.

"Celaka!" geram Purbaweni dengan suara berge-

tar, tampak sekali rasa takutnya terhadap kakek jubah 

biru yang usianya sekitar sembilan puluh tahun.

"Mengapa kau ketakutan sekali, Purbaweni?!" 

bisik Soka.

"Sebaiknya kita kembali ke arah semula. Kita 

lewat jalan lain saja!" sambil Purbaweni menarik tan-

gan Pendekar Kembar dengan langkah mundur.

"Hei, tunggu dulu!" sergah Raka Pura. "Siapa 

kakek tua itu dan mengapa kita harus kembali ke arah 

semula?!"

"Dewa Perintang!" bisik Purbaweni. "Apakah ka-

lian belum pernah mendengar tentang Dewa Perin-

tang?!"

"Jelaskanlah!" desak Raka.

"Tapi tidak di sini! Kita segera pergi dari sini! 

Akan ku jelaskan setelah kita jauh dari si Dewa Perin-

tang itu! Lekaslah...!"

Blaaas...! Purbaweni bergegas pergi lebih dulu 

dengan gerakan cepat dari jurus peringan tubuhnya. 

Rasa penasaran dan kebingungan membuat Pendekar 

Kembar sama-sama mengikuti langkah Purbaweni, wa-

lau sebenarnya Pendekar Kembar ingin berhadapan 

dengan kakek berjenggot sepanjang dada itu.

Dalam waktu sangat singkat, Pendekar Kembar 

sudah bisa samai langkahnya dengan Purbaweni. Ga-

dis itu kembali berada di tengah-tengah, di antara dua 

pemuda tampan yang bersikap melindunginya. Lang-

kah itu pun diperlambat, karena mereka sudah cukup 

jauh dari Dewa Perintang.

"Purbaweni, berhentilah dulu. Jelaskan tentang 

kakek itu tadi!" desak Raka Pura sambil mencekal len


gan Purbaweni, hingga langkah si gadis menjadi terta-

han. Akhirnya mereka berhenti di bawah gugusan bu-

kit cadas yang tidak begitu tinggi itu.

"Purbaweni, baru saja kukenal dirimu tapi aku 

sudah menjadi ikut-ikutan bodoh dan pengecut seper-

timu!" ujar Raka Pura agak kesal, tapi tak tahu harus 

dilampiaskan kepada siapa rasa kesalnya itu.

"Katakan alasanmu, mengapa kita harus lari 

begitu kakek berjubah biru tadi muncul dl depan ki-

ta?!"

"Dewa Perintang bukan manusia biasa," ujar 

Purbaweni sambil bernada tegang. "Dia seorang petapa 

sakti yang usianya sudah cukup banyak. Kerjanya me-

rintangi tujuan seseorang. Siapa pun yang bertemu 

dengannya, pasti akan menemui kegagalan. Sekecil-

kecilnya kegagalan dalam mencapai tujuan, tapi bisa 

jadi akan mati di tangannya jika Dewa Perintang tidak 

merestui tujuan orang tersebut."

"Aneh!" gumam Soka Pura. "Apa maksudnya 

Dewa Perintang ikut campur dalam urusan tiap orang 

yang punya tujuan?!"

"Entahlah! Yang jelas, menurut cerita kakekku, 

dan beberapa pengalaman yang pernah ku alami, jika 

kita bertemu dengan Dewa Perintang, berarti kita ha-

rus mengubah haluan. Kalau kita nekat, maka kita 

akan mengalami bencana yang bisa saja akibat dari 

ulahnya atau dari hal-hal lain!"

Raka Pura hembuskan napas. Ia menyesal 

mengapa harus ikut lari dari hadapan Dewa Perintang. 

Seharusnya ia tadi tak perlu ikut lari dengan Purba-

weni. Seharusnya ia tadi mendekati Dewa Perintang 

dan menanyakan apa maksud kakek tua itu mengha-

dang di depan langkahnya.

Soka Pura pun mempunyai pemikiran serupa 

dengan kakaknya. Bahkan menurut Soka Pura, ke


munculan Dewa Perintang tidak perlu membuatnya la-

ri dan ketakutan. Bila perlu Soka ingin singkirkan si 

Dewa Perintang agar tak merintangi langkahnya.

"Bodoh amat aku ini!" gumam Raka dengan na-

da geram, seakan ia bicara pada diri sendiri.

Purbaweni mulai paham maksud hati kedua 

pemuda kembar itu. Ia tahu bahwa kedua pemuda 

kembar itu merasa malu jika harus menyingkir dari 

hadapan Dewa Perintang. Tapi Purbaweni segera me-

maklumi, karena Pendekar Kembar belum mengetahui 

kehebatan si Dewa Perintang tadi.

"Tak pernah ada orang yang mampu menerobos 

Dewa Perintang. Jika ia bilang 'jangan teruskan lang-

kahmu' maka kita pun seharusnya tidak teruskan 

langkah kita," ujar Purbaweni memberi penjelasan le-

bih lengkap lagi.

"Jika kita nekat teruskan langkah, ia akan 

menghalangi dan tak seorang pun bisa lolos darinya. 

Seandainya ia sudah berkata begitu, tapi orang terse-

but nekat ingin lanjutkan perjalanan, lalu ia menying-

kir dan membiarkan orang itu melanjutkan langkah-

nya, maka dalam beberapa waktu orang itu akan me-

nemui halangan yang lebih berbahaya; jatuh ke jurang, 

dibunuh seseorang, atau digigit binatang berbisa," 

tambah Purbaweni dengan berapi-api.

"Apakah dalam hal ini, Dewa Perintang ada di 

pihak Ratu Rias Rindu?!" tanya Soka kepada Purbawe-

ni.

Gadis itu diam sebentar, berkerut dahi tajam-

tajam, sepertinya ada sesuatu yang baru terlintas da-

lam benaknya. Ia pun segera memandang Soka Pura 

dengan wajah tampak menjadi tegang lagi.

"Kurasa... dugaanmu itu ada benarnya, Soka! 

Ratu Rias Rindu telah menyewa Dewa Perintang untuk 

merintangi siapa saja yang ingin mencampuri urusan


nya dalam hal memburu Pedang Bulan Madu itu!"

"Apakah seorang petapa sakti bersedia disewa 

untuk tujuan jahat?!" ujar Soka kepada Purbaweni. 

"Aku tak tahu maksud hati Dewa Perintang. Tapi

Firasat ku tiba-tiba mengatakan begitu; Dewa 

Perintang telah berhasil dibujuk dan disewa untuk 

memihak Ratu Rias Rindu!" tegas gadis cantik itu. "Se-

bab... kurasa Dewa Perintang Juga mengetahui ten-

tang Pedang Bulan Madu, karena beliau kenal dengan 

eyang buyut ku, Juga sering didatangi oleh Nyai Ceme-

ti Langit, semasa ibu Ratu Rias Rindu itu masih hi-

dup."

"Jika benar begitu, mengapa tidak kita singkir-

kan saja si Dewa Perintang itu?!" ujar Raka yang masih 

berdiri di bawah pohon dengan satu tangan bersandar 

pada pohon tersebut.

Tapi kemunculan Dewa Perintang tadi belum je-

las maksudnya, bukan?! Belum tentu dia bermaksud 

menghalangi langkah kita menuju istana Bara. Mung-

kin justru dia ingin membantu membebaskan kakak-

mu, Purbaweni!"

"Ya, kemungkinan itu masuk akal sekali, Soka!" 

timpal Raka Pura.

"Tidak mungkin! Itu tidak mungkin!" bantah 

Purbaweni. "Menurut cerita mendiang kakekku, Eyang 

Buyut Sabandanu pernah bentrok dengan Dewa Perin-

tang, entah perkara apa. Yang jelas bukan tentang Pe-

dang Bulan Madu. Jadi... kurasa tak mungkin ia me-

mihakku!"

Kedua kakak-beradik kembar rupa itu sama-

sama menghela napas panjang. Setelah mereka saling 

membisu sesaat, Soka Pura segera perdengarkan sua-

ranya lagi yang ditujukan kepada Purbaweni.

"Lalu, sekarang apa yang harus kita lakukan, 

Purbaweni?! Membatalkan rencana semula?!"


"Tidak! Apa pun yang terjadi, siapa pun orang 

andalan Ratu Rias Rindu, aku tetap harus bebaskan 

Nalapraya! Kita bisa lewat selatan, sedikit memutar tak 

apa, tapi terhindar dari si Dewa Perintang."

"Begini saja," ujar Raka mengajukan usul. "Kau 

dan Soka lewat selatan, sedangkan aku akan lewat ja-

lan tadi. Aku ingin tahu, apa maksud si Dewa Perin-

tang menghadang langkah kita tadi!"

"Jangan bodoh, Raka! Kau akan mati sia-sia ji-

ka nekat temui si Dewa Perintang."

"Setidaknya aku harus minta penjelasan kepa-

danya tentang maksud kemunculannya itu!"

Soka Pura dekati kakaknya dan berkata pelan, 

"Apakah kau sudah tahu letak Istana Bara?"

"Belum!" jawab Raka dengan tegas. Soka Pura 

mendorong punggung kakaknya sambil bersungut-

sungut.

"Belum tahu kok mau ke sana sendiri?! Bisa 

nyasar ke pasar hewan kau!"

"Mungkin Dewa Perintang bisa menjadi peman-

du ku untuk menuju ke Istana Bara!" ujar Raka agak 

ngotot.

"Dia akan memandu mu ke neraka!" sahut Pur-

baweni dengan nada suara menakut-nakuti. Tapi uca-

pan itu justru membuat Raka Pura tersenyum tawar.

"Kita coba saja dulu bagaimana jadinya jika ki-

ta berhadapan dengan Dewa Perintang! Jangan ciut 

nyali dulu, Purbaweni!"

Soka menyahut, "Aku setuju dengan usulmu, 

Raka! Kau lewat jalan yang tadi dan aku akan lewat se-

latan bersama Purbaweni!"

"Baik! Kalau begitu, kita berpisah di sini saja! 

Sampai bertemu di depan Istana Bara!" ujar Raka Pu-

ra, kemudian segera bergegas pergi,

"Rakaaa...!" seru Purbaweni mengejar, ia tampak cemas sekali. Tetapi Soka Pura segera menahan 

gerakan Purbaweni.

"Biarkan saja! Kakakku orang yang mudah pe-

nasaran! Kalau rasa penasarannya belum terjawab, ia 

tak akan bisa tidur walau sampai tujuh hari tujuh ma-

lam."

"Tapi... tapi dia dalam bahaya besar jika nekat 

menerobos perintangnya si petapa sakti itu, Soka! Kau 

akan kehilangan kakakmu!"

"Jika begitu, mungkin aku terpaksa beli kakak 

yang baru!" jawab Soka Pura dengan konyol, karena ia 

yakin Raka mampu atasi Dewa Perintang dengan Pe-

dang Tangan Malaikat-nya.

Kelakar itu justru membuat Purbaweni men-

dengus kesal. Agaknya gadis itu benar-benar mence-

maskan diri Raka Pura. Sikap itu membuat Soka sedi-

kit iri dengan kesal. Akhirnya ia berkata kepada Pur-

baweni.

"Kalau kau masih tak percaya dengan kemam-

puan kakakku, sebaiknya kau ikut dia saja, dan aku

akan memutar lewat selatan!"

Purbaweni semakin bingung menentukan lang-

kahnya.

*

* *

4


MENURUT Purbaweni, belum pernah ada orang 

yang senekat Raka Pura. Berani menghampiri Dewa 

Perintang adalah perbuatan gila bagi Purbaweni. Pada 

umumnya, orang merasa sangat beruntung jika ia bisa


hindari pertemuan dengan si Dewa Perintang. Tapi si 

Pendekar Kembar sulung itu benar-benar orang yang 

urat takutnya sudah putus, menurut Purbaweni.

Sedangkan yang bersangkutan sendiri tak per-

nah membayangkan risiko besar atau bahaya maut 

yang akan datang menyerangnya. Raka Pura mengang-

gap si Dewa Perintang hanyalah manusia lanjut usia 

yang patut dihormati sebagai orang yang lebih tua da-

rinya. Tak ada yang lebih pada diri Dewa Perintang ba-

gi Raka Pura. Karena itulah ia melangkah melewati 

tempat semula dengan hati tenang, namun tetap pe-

nuh kewaspadaan.

"Ke mana si kakek berjenggot tadi?" gumam ha-

ti Raka Pura ketika tiba di tempat munculnya Dewa 

Perintang tadi.

"Aku yakin di sinilah tempatnya si kakek ber-

jenggot tadi muncul tepat di depanku. Hmm... tapi ke-

lihatannya tempat ini sepi-sepi saja. Apakah ia pergi ke 

tempat lain? Atau kembali ke istana Bara.

Jika memang benar ia orang sewaan Ratu Rias 

Rindu?!"

Pandangan mata Raka menyapu seluruh alam 

sekitarnya. Setiap semak belukar diperhatikan baik-

baik. Bahkan ia pun memandangi hampir tiap atas po-

hon yang diperkirakan layak sebagai tempat persem-

bunyian. Ternyata kakek berjubah biru dengan tongkat 

kepala kobra itu tidak tampak batang hidungnya.

"Mungkin dia pergi ke tempat lain, merintangi 

orang lain lagi! Sebaiknya ku tengok lewat atas pohon 

biar lebih leluasa," pikir Raka, maka dalam sekejap tu-

buh Pendekar Kembar sulung itu sudah berada di atas 

sebatang pohon tinggi. Dengan menggunakan Jurus 

peringan tubuhnya yang dinamakan 'Badai Terbang', ia 

meluncur naik bagaikan menghilang dari tempatnya 

berpijak.


Dari atas pohon tinggi itu, pandangan mata 

Raka Pura dibentangkan lebih lebar lagi. Ia mampu 

memandang keadaan yang lebih jauh dari jarak pan-

dang saat berada di bawah tadi. Tapi ia tidak melihat 

sekelebat bayangan biru atau kibaran jenggot dan 

rambut putih si Dewa Perintang.

"Kurasa ia memang sudah tidak ada di tempat 

ini. Untuk apa masih kucari Juga? Sebaiknya ku lan-

jutkan perjalananku menuju ke Istana Bara, su-

paya...."

Ucapan batin Raka Pura itu terhenti seketika, 

karena pandangan matanya menemukan sesuatu yang 

perlu dicurigai. Kedua mata teduhnya yang mengecil 

untuk memperjelas apa yang dilihatnya.

"Hei, siapa itu yang terhuyung-huyung di dekat 

gugusan cadas sebelah sana?! Hmmm... tampaknya 

orang itu sedang mabuk. Eh, bukan... sepertinya... se-

pertinya orang itu dalam keadaan menderita?! Oooh... 

rupanya ia juga harus bersembunyi?! Pasti ada orang 

yang mengejarnya! Sebaiknya aku berada di pohon 

bercabang dua itu biar lebih jelas lagi melihat wajah-

nya!"

Wuuuzz, wuuuzz...!

Dalam beberapa kejap saja Raka Pura sudah 

berada di pohon besar bercabang dua. Pohon itu letak-

nya sangat dekat dengan gugusan cadas yang ting-

ginya seukuran sebuah pendopo. Dari pohon itu, Raka 

dapat melihat orang yang tadi di incarnya dari kejau-

han.

Orang itu adalah pemuda berusia sekitar dua 

puluh lima tahun, mengenakan pakaian merah yang 

sudah robek-robek. Agaknya pakaian itu rusak karena 

dicabik-cabik binatang buas atau sesuatu yang telah 

menyerangnya. Wajah pemuda yang termasuk tampan 

itu kelihatan bengkak dl sisi tulang pipinya yang kiri.


Ada memar membiru di beberapa tempat, termasuk di 

rahang.

Pemuda tersebut bersembunyi dibalik gumpa-

lan cadas setinggi dua tombak. Gumpalan cadas itu 

membentuk celah, dan pemuda itu masuk ke dalam 

celah tersebut. Nafasnya tampak terengah-engah, den-

gan wajah penuh luka dalam keadaan tegang.

"Kasihan sekali dia! Agaknya ia habis lakukan 

pertarungan yang tak seimbang," ujar batin Raka. "Ia 

tidak membawa senjata. Hmmm... kurasa senjatanya 

tertinggal atau hancur oleh serangan lawannya. Oh, 

dadanya koyak dan berdarah?! Hmmm... sepertinya 

luka itu bekas luka cambukan. Bilur-bilur yang melin-

tang dari kening ke pipinya itu juga seperti bilur-bilur 

cambukan. Tapi siapa dia sebenarnya? Aku tak pernah 

jumpa dengan pemuda itu!"

Raka Pura sengaja masih tetap berada di tem-

pat pengintaiannya, karena ia yakin pasti ada orang 

yang memburu pemuda itu. Raka ingin tahu, siapa 

pemburunya.

"Apakah si Dewa Perintang?!" tanyanya dalam 

hati sendiri.

Tiba-tiba seberkas sinar merah sebesar bola te-

nis melesat dari arah timur. Sinar merah itu menghan-

tam bagian atas gugusan cadas yang membentuk celah 

dan dipakai bersembunyi oleh si pemuda berbaju me-

rah itu.

Weesss...! Blegaaarrr...!

"Aaaa...!" Pemuda itu berteriak sambil lompat 

keluar dari celah gugusan cadas tersebut. Ia berteriak 

karena terkejut sekali begitu mendengar suara ledakan 

dahsyat yang menghancurkan gugusan cadas tersebut. 

Raka Pura sendiri juga terkejut dan hampir saja jatuh 

dari atas dahan pohon tempatnya berpijak.

"Kutu kupret! Hampir aku jatuh dari tempat


sebegini tinggi!" gerutu hati Raka. "Gila! Pukulan jarak 

jauh siapa tadi yang membuat cadas sebesar itu men-

jadi remuk semua?! Kurasa dia orang yang berilmu 

tinggi. Hei... mana tadi si pemuda malang itu?!" Raka 

Pura segera mencari dengan pandangan matanya.

"Oh, itu dia...?!" sambil matanya memandang 

ke arah si pemuda berbaju merah yang terengah-engah 

di balik sebatang pohon besar. Ia bersembunyi di sana, 

merapatkan badan dengan akar-akar pohon yang ber-

bentuk pipih seperti dinding pemisah. Pemuda itu 

tampak gemetar dan ketakutan sendiri. Jaraknya se-

makin dekat dengan pohon tempat Raka mengintai.

Tiba-tiba mata Pendekar Kembar sulung meli-

hat sekelebat bayangan datang dari arah timur. 

Wuus...! Disusul dengan dua bayangan lain yang juga 

datang dari arah timur. Wees, weess...!

"Ooh, itu dia pengejarnya!" gumam hati Raka 

dengan kepala sedikit geser ke kanan agar pandangan 

matanya tidak terhalang dedaunan.

Pemuda berbaju merah itu terperanjat dan nya-

ris terpekik, karena tiga orang itu tiba-tiba muncul di 

depannya. Tiga orang itu terdiri dari seorang perem-

puan berusia sekitar dua puluh tujuh tahun dan dua 

orang lelaki berusia sekitar tiga puluhan tahun.

Kedua lelaki itu sama-sama bertampang bengis, 

dan sama-sama mengenakan rompi hijau, celana hi-

jau, badannya kekar, dan gempal. Salah satu dari

mereka berkumis, sedangkan yang satunya tak 

memiliki selembar kumis pun. Yang berkumis menge-

nakan ikat kepala merah, yang tidak berkumis berikat 

kepala biru. Di pinggang mereka tergantung pedang le-

bar, menyerupai pedang pemenggal leher yang mem-

punyai pengait kecil khusus untuk digantungkan pada 

sabuk hitam mereka.

Sedangkan perempuan yang agaknya menjadi


pimpinan kedua lelaki berambut lurus dan kaku se-

panjang pundak itu mengenakan jubah kuning ber-

bunga-bunga merah. Cerah dan meriah. Rambutnya 

yang panjang disanggul naik dengan tusuk konde dari 

logam perak berbatu merah kecil-kecil. Perempuan 

yang bertubuh semok dan berdada montok itu menge-

nakan pinjung penutup dada warna merah jambu den-

gan kain bawahan Juga merah jambu.

Perempuan berwajah cantik itu mempunyai se-

pasang mata yang dingin, berkesan angkuh dan sinis. 

Caranya memandang pemuda buruannya tampak se-

kali bahwa ia tak segan-segan mencabut nyawa lawan-

nya. Sekalipun ia termasuk perempuan berwajah can-

tik, namun di balik kecantikannya itu ia menyembu-

nyikan kebengisan yang tiada kenal pandang bulu.

"Haruskah aku turun tangan?!" pikir Raka 

sambil tetap memperhatikan ketiga orang itu. "Ah, ku-

rasa tak perlu! itu urusan mereka. Jika aku meli-

batkan diri, mungkin akan berbuntut panjang. Se-

baiknya kuperhatikan saja tingkah mereka terhadap 

pemuda

itu. Tapi... kasihan juga pemuda itu Jika tidak 

ditolong. Ia dalam keadaan lemah dan sepertinya su-

dah tak mampu lakukan pertarungan melawan ketiga 

orang itu."

Ucapan batin Raka dihentikan karena ia ingin 

menyimak suara si perempuan yang mempunyai pe-

dang bergagang perak dan sarung pedangnya juga dari 

perak ukir. Perempuan itu bicara kepada si pemuda 

baju merah yang sudah gemetaran berhadapan den-

gannya.

"Ke mana pun kau lari, jalan sudah tertutup 

untukmu! Semakin kau nekat, semakin dekat liang 

kuburmu! Karenanya, supaya kau masih bisa berumur 

panjang, sebaiknya menyerahlah! Jangan coba-coba


melarikan diri lagi!"

"Aku tak sudi menyerah!" sentak pemuda itu 

masih membandel juga. Rupanya ia seorang pemuda 

yang pantang menyerah. Terbukti ia berkata lagi kepa-

da perempuan itu.

"Lebih baik aku mati di tanganmu daripada kau 

tangkap lagi, Kembang Setaman!"

Perempuan itu sunggingkan senyum sinis. Ra-

ka Pura membatin dalam hatinya, "O, perempuan itu 

bernama Kembang Setaman! Lalu, siapa dua orang dl 

belakangnya itu?"

Kembang Setaman tarik napas, tampak me-

mendam kemarahan atas kebandelan pemuda berbaju 

merah itu. Akhirnya ia perintahkan kepada dua orang 

yang ada di belakangnya itu.

"Bandra...!"

"Ya...!" sahut si pria berkumis yang ternyata 

bernama Bandra. "Dan kau, Ubaya!"

"Hmmm...!" orang bertampang bengis yang ti-

dak berkumis itu hanya menggumam, menyerupai ge-

ram keganasan. Rupanya dia bernama Ubaya.

"Seret dia! Bawa ke istana!"

"Apakah tak sebaiknya kita bunuh saja, Kem-

bang Setaman?!" usul Ubaya.

"Dia masih kita butuhkan, jadi jaga nyawanya 

jangan sampai minggat dari raganya! Setelah tidak kita 

butuhkan, baru kau boleh habisi masa hidupnya se-

sukamu!"

Raka Pura sempat membatin, "Mau dibawa ke 

Istana...?! Apakah maksud mereka adalah Istana Ba-

ra?! Oh, kalau begitu dia tawanan yang lolos dari pen-

jara Istana Bara?!" Raka mencoba menyimpulkan sen-

diri.

Yang bernama Bandra dan Ubaya segera maju 

dekati pemuda berbaju merah itu. Tapi si pemuda se



gera pasang kuda-kuda. Agaknya ia masih tetap ingin 

lakukan pemberontakan walau sudah banyak kehilan-

gan tenaga. Ketika Ubaya ingin mencekal tangannya, 

pemuda itu segera gulingkan badan ke samping. Ia ce-

pat bangkit dengan satu kaki berlutut, kemudian tan-

gannya menyodok pinggang Ubaya dengan keras. 

Buuukh...!

"Uuukh...!" Ubaya yang tak menduga bahwa 

lawannya masih punya tenaga simpanan, segera terpe-

kik kaget dan terdorong ke samping beberapa langkah.

"Bocah Iblis!" geram Bandra, kemudian ia me-

lompat dengan cepat lakukan terjangan. Kakinya ber-

kelebat cepat kenai wajah pemuda tersebut. Prrok...!

"Aaauh...!" pemuda itu terjungkal ke belakang. 

Belum sempat bangkit sudah dihajar dengan tendan-

gan Bandra lagi. Prrrook...!

Ia terhempas membentur pohon. Ubaya berke-

lebat ke arahnya. Tangan kiri Ubaya menjambak ram-

but pemuda itu, tangan kanannya menghantam wajah 

si pemuda dengan keras. Plook...!

"Oowh...!" Pemuda itu mengerang kesakitan

sambil terhempas ke belakang, jatuh terkapar seben-

tar, lalu menggeliat bersama suara erangan yang lirih. 

Hidung dan mulutnya mulai berdarah.

Raka Pura tak tega melihat keadaan si pemuda 

yang tersiksa seberat itu. Sudah tak berdaya, masih 

saja dihajar terus oleh Ubaya dan Bandra. Hati kecil 

Raka mendesak untuk memberikan bantuan kepada 

pemuda yang tersiksa itu.

Namun sebelum Raka bertindak, tiba-tiba 

Kembang Setaman berseru kepada Bandra dan Ubaya. 

Seruan itu membuat Raka Pura menahan gerakan un-

tuk sesaat.

"Buntungi saja kaki dan tangannya, tapi jaga 

supaya ia tetap hidup!"


Bandra dan Ubaya segera mengambil pedang 

lebarnya. Bandra ingin membuntungi kaki pemuda itu, 

sedangkan Ubaya tampak bersiap membuntungi kedua 

tangan si pemuda.

Namun sebelum mereka bergerak lebih lanjut, 

Raka Pura turun dari atas pohon dengan gerakan se-

perti seekor camar menyambar mangsanya. Wuuuz..! 

Jurus 'Jalur Badal' dipergunakan, sehingga Raka 

mampu bergerak cepat dan nyaris tak terlihat lawan. 

Tahu-tahu kedua orang berompi itu terpental dan sal-

ing bertumpang tindih.

Brrruuuk...!

"Aaaakh...!"

Ubaya memekik panjang, karena ia yang ada di 

bawah. Bandra jatuh menimpanya dalam keadaan

ujung pedangnya terbenam di perut Ubaya tanpa sen-

gaja.

"Ubaya...?! Ubayaaa...?!" teriak Bandra dengan 

kaget dan mata melotot seperti mau lompat dari rong-

ganya.

Kembang Setaman juga tertegun sesaat dengan 

mata melebar begitu melihat Ubaya terkapar dalam 

keadaan perutnya berlumur darah. Darah perempuan 

itu kontan mendidih, terutama setelah melihat wajah 

Ubaya menjadi pucat seperti mayat dan nafasnya ter-

sentak-sentak. Pedang milik Bandra segera dicabut 

oleh pemiliknya dengan hati sedih dan gusar. Cuuur...! 

Darah menyembur dari perut Ubaya hingga membasa-

hi sekujur tubuhnya.

"Ub... Ubayaaa...!" Bandra tampak menyesal

sekali melihat temannya terkena senjatanya sendiri, ia 

segera memandang ke arah pemuda berpakaian putih 

yang berdiri di samping pemuda berpakaian merah. 

Pemuda berpakaian merah itu masih dalam keadaan 

terkapar kehabisan tenaga, namun ia tampak berusa


ha untuk bangkit dan memandang ke arah orang yang 

telah gagalkan pembuntungan itu.

Kembang Setaman pun memandang dengan be-

rang kepada Raka Pura. Tapi yang dipandang tetap te-

nang dan kalem, seakan merasa tak bersalah sedikit 

pun. Ketenangan Raka itu semakin membakar darah 

mereka, membuat Bandra segera berteriak liar dan me-

lompat untuk tebaskan pedangnya ke leher Raka.

"Bangsaaaat...!"

Wuuut...! Weeess...!

Pedang pemenggal leher itu ternyata tak berha-

sil kenai sasaran, karena Raka Pura tiba-tiba seperti 

lenyap. Tahu-tahu ia sudah berada dl sisi lain, berdiri 

dengan kaki sedikit merenggang dan tetap tenang. 

Pandangan matanya melirik ke arah Bandra dan Kem-

bang Setaman secara bergantian.

"Jangan lari kau, Jahanaammm...! Heeeaaat...!"

Bandra mengamuk, kini ia menyerang Raka 

kembali dengan pedangnya yang ditebaskan dari ka-

nan ke kiri, seakan ingin merobek perut Raka tanpa 

ampun lagi. Namun gerakannya segera terhenti, kare-

na Raka Pura lepaskan pukulan Tangan Batu'-nya. 

Dua tangan yang menggenggam itu disodokkan ke de-

pan, tenaga dalam yang keluar dari kedua tangan itu 

cukup besar dan menumbangkan tubuh Bandra yang 

besar dan kekar. Tubuh itu terlempar dan jatuh ter-

banting tepat di depan kaki Kembang Setaman. 

Brruuuk...!

"Hiaahhhkkk...!" Bandra memekik kesakitan 

dengan mata mendelik.

Kembang Setaman menggeram penuh keben-

cian. Pandangan matanya menatap tajam bagaikan 

mata pedang. Tapi Raka Pura justru sunggingkan se-

nyum tipis kepada perempuan itu untuk membuat hati 

si perempuan semakin terbakar.


"Keparat kau! Rupanya kau belum tahu siapa 

aku, hah?! Berani-beraninya kau berbuat lancang di 

depan Kembang Setaman ini?!"

"Acara membuntungi itu acara yang kejam. Bu-

kan acara yang seru dan meriah, Kembang Setaman!" 

ujar Raka Pura seenaknya saja. "Terus terang, aku 

hanya tak tega jika pemuda yang sudah tak berdaya 

itu kalian buntungi! Karenanya aku terpaksa mence-

gah tindakan keji itu."

"Siapa kau sebenarnya?!"

"Raka Pura, namaku!"

"Hmmmm... pendatang baru rupanya?!" gumam 

Kembang Setaman sambil melangkah ke samping, sea-

kan mencari kelengahan lawannya.

Bandra berhasil berdiri kembali walau dengan 

menahan rasa sakit di bagian dadanya. Kembang Se-

taman segera serukan perintah kepada Bandra, setelah 

terlebih dulu melirik Ubaya yang masih dalam keadaan 

sekarat itu.

"Bandra, bawa pulang Ubaya! Biar aku yang 

menangani kutu busuk ini dan tawanan kita itu!"

"Tapi aku belum...."

"Bawa pulang Ubaya! Lekas!" bentak Kembang 

Setaman. Bandra tak berani ngotot lagi. Maka dengan 

menyimpan dendam dalam hatinya, tubuh Ubaya yang 

sudah berlumur darah itu segera dipanggul dan diba-

wanya pergi.

"Maaf, bukan pedangku yang merobek perut 

Ubaya, tapi pedangmu sendiri, Bandra!" seru Raka Pu-

ra dengan sedikit tertawa, seakan menertawakan den-

dam yang terpendam dalam hati Bandra.

"Sekarang kau berhadapan denganku, Raka 

Pura!" ujar Kembang Setaman. "Rupanya kau sengaja 

ingin melihat murka ku di hadapanmu!"

"Tidak. Siapa bilang aku ingin melihat murka


mu? Aku hanya tak ingin melihat kau membuntungi 

pemuda tak berdaya itu!"

"Dia tawananku! Aku bebas memperlakukan di-

rinya dengan caraku sendiri!"

"Ya, memang dia tawanan mu. Tapi sebagai 

manusia yang masih punya perasaan, aku berhak 

mencegah tindakan kejimu itu, Kembang Setaman!"

"Hmmm...," Kembang Setaman manggut-

manggut sambil pandangi wajah Raka Pura. Pandan-

gan itu punya makna lain dan dapat dirasakan oleh 

hati kecil Raka.

Perempuan bermata dingin itu sengaja mende-

kat dengan tangan kanan memegangi gagang pedang 

yang siap dicabut. Raka Pura tetap diam di tempat, 

berlagak memperhatikan pemuda yang terkulai lemas 

di atas daun-daun kering.

"Raka Pura! Kau harus membayar mahal atas 

kelancanganmu ini!"

"Dengan apa aku harus membayarnya?!" tanya 

Raka setengah menantang.

"Tentu saja dengan darah dan nyawamu!"

"Aku tak sanggup!"

"Hmmm...," Kembang Setaman menggumam la-

gi sambil manggut-manggut kecil. "Kalau begitu kau 

bisa membayarnya dengan cara lain."

"Jelaskan maksudmu!"

Kembang Setaman semakin mendekat. Jarak-

nya tinggal tiga langkah. Mereka saling beradu pan-

dang sesaat, lalu Kembang Setaman perdengarkan su-

aranya yang mirip sebuah bisikan.

"Kau kubebaskan dari hukuman atas kelan-

canganmu ini, apabila kau bersedia damai dengan ku, 

Raka."

"Oh, itu tawaran yang bagus sekali. Aku berse-

dia berdamai denganmu, Kembang Setaman!"


"Tapi bukan berarti tawananku itu bebas!"

"Tentu saja. Asal jangan kau buntungi."

"Kalau begitu, lebih baik jangan buang-buang 

waktu, kita ke balik semak-semak sebelah sana saja!"

Dahi si Pendekar Kembar sulung mulai berke-

rut heran.

"Apa maksudmu?! Mengapa harus ke balik se-

mak-semak sana?!"

"Kita buat tanda perdamaian dengan segeng-

gam kemesraan!"

"Edan!" sentak Raka sambil bergerak mundur. 

Ia baru sadar, ternyata Kembang Setaman tertarik me-

lihat ketampanan dan kegagahannya, sehingga gairah 

bercintanya mulai membakar hasrat. Kembang Seta-

man ingin menikmati cumbuan dari pemuda setampan 

dan segagah Raka Pura. Senyumnya mulai tampak se-

bagai senyuman jalang pengharap kemesraan.

"Tak perlu berlagak kaget, Raka!" sambil pe-

rempuan itu mendekat dan Raka semakin mundur. 

Gemetar dan tegang.

"Kau salah duga kalau begitu, Kembang Seta-

man!"

"Jangan bertele-tele, Raka! Waktuku tak ba-

nyak. Selama ini aku dibuat sibuk oleh urusanku, se-

hingga tak punya waktu untuk berkencan. Sekarang 

kita pergunakan waktu yang singkat ini untuk saling 

memuaskan gairah masing-masing. Aku menyukai 

pemuda bertubuh tinggi, kekar, dan berotot sepertimu, 

Raka! Aku bergairah sekali jika melihat pemuda seper-

timu, Raka."

"Hei, jangan mendekatiku lagi! Berhenti di tem-

pat!" bentak Raka Pura menjadi berang karena ia pal-

ing muak jika didekati perempuan seperti itu.

Tapi ancaman dan bentakan Raka itu hanya 

membuat Kembang Setaman sunggingkan senyum ja


lang. Sekalipun ia hentikan langkah, tapi pandangan 

mata masih tetap mengikuti gerakan Raka yang mun-

dur terus hingga merapat dengan sebongkah batu se-

besar kerbau.

"Rupanya kau jinak-jinak merpati, Raka?! 

Hmmm... itu tambah membuat gairah ku berkobar-

kobar dan... dan, oh... aku tak sabar lagi, Raka!" sam-

bil Kembang Setaman melepas jubahnya.

Jantung Raka menjadi berdetak-detak dengan 

cepat. Keringat dinginnya mulai tersumbul dari pori-

pori tubuhnya. Karena pada saat itu, Kembang Seta-

man yang telah melepaskan jubahnya itu semakin 

mendekat. Aroma wangi bunga dari tubuhnya mulai 

tercium oleh Raka. Sementara itu, pundak dan se ba-

gian dada serta punggung perempuan itu telah terbuka 

polos, tampak putih mulus dengan kemontokan yang 

menggiurkan.

Raka Pura menjadi semakin gemetar. Ia terpo-

jok oleh batu besar, sedangkan Kembang Setaman su-

dah ada di depannya dalam jarak tiga langkah. Jika 

Raka ingin bergerak ke kiri, Kembang Setaman buru-

buru melangkah ke kanan, sehingga Raka merasa ter-

hadang oleh perempuan itu.

"Jauhi aku! Jauhi aku, Setan! Pergi sana!" sen-

tak Raka berkali-kali. Tapi Kembang Setaman tampak 

semakin kegirangan. Gairahnya bertambah besar me-

lihat pemuda yang sesuai dengan seleranya itu keliha-

tan takut. Ia mulai paham, bahwa Raka benar-benar 

masih perjaka dan hal itu adalah keberuntungan besar 

baginya. Kembang Setaman paling suka dengan pemu-

da yang masih hijau dalam bercinta. Karena biasanya 

jika pemuda seperti itu sudah bisa ditundukkan, maka 

segala perintah cumbuannya akan dikerjakan oleh si 

pemuda.

"Jangan takut, Raka! Kita akan sama-sama


menikmati keindahan yang membuatmu melayang-

layang dalam curahan rasa nikmat," sambil Kembang 

Setaman maju selangkah lagi. Pinjung penutup da-

danya sengaja dikendurkan, sehingga kain itu sedikit 

merosot ke bawah. Gumpalan bukit montoknya tam-

pak separuh bagian.

"Peganglah ini...! Jangan takut, peganglah...!" 

Kembang Setaman meraih tangan Raka, dan tangan 

itu ditempelkan ke dada. Getaran pada tangan dan ka-

ki semakin melemaskan tubuh Raka, seakan tena-

ganya mulai hilang dan pikirannya mulai kacau. Raka 

tak bisa berpikir lagi, karenanya ia tak punya gagasan 

untuk segera melompat ke atas atau berlari ke samp-

ing.

Sementara itu, Kembang Setaman mulai lebih 

merapat lagi dengan pandangan mata menjadi sayu. 

Bibirnya sesekali di jilati sendiri, atau kadang digigit 

penuh tantangan. Napas Raka menjadi sesak, tak bisa 

bicara.

*

* *

5


RUPANYA tatapan mata perempuan itu men-

gandung semacam kekuatan hipnotis yang melum-

puhkan keberanian seorang lelaki. Kekuatan pandan-

gan mata si Kembang Setaman itu juga dapat mem-

buat seseorang menjadi tunduk. Dan yang ketiga, ke-

kuatan pandangan mata itu membuat seseorang men-

jadi bergairah padanya. itulah yang dinamakan ilmu 

'Candra Dewita', yang mempunyai tiga kekuatan ber-

tahan.


Tak heran jika Raka Pura menjadi gugup dan 

tak berani berbuat kasar kepada Kembang Setaman. 

Padahal seharusnya ia mampu mendorong tubuh 

Kembang Setaman yang mendekatinya, tapi toh hal itu 

tidak ia lakukan.

Akhirnya Raka menjadi seperti orang bodoh 

yang tidak tahu harus berbuat apa. ia hanya melaku-

kan perbuatan jika mendengar kata perintah. Walau 

hati kecilnya menentang dan ingin berontak, tapi ke-

kuatan ilmu 'Candra Dewita' telah melumpuhkan ke-

beraniannya untuk berontak.

Debar-debar ketakutan di dalam hati Raka Pu-

ra mulai berubah menjadi debar-debar tuntutan bira-

hinya. Getaran tubuh yang dirasakan bukan lagi geta-

ran takut didekati seorang perempuan, melainkan

berubah menjadi getaran hati yang penuh ha-

srat bercumbu. Maka akhirnya Raka Pura menurut ke-

tika dituntun ke balik semak-semak. Langkahnya itu 

adalah langkah yang disadari, namun tak bisa dihin-

dari. Tentu saja Raka Pura penuh perasaan heran ter-

hadap dirinya yang mau dituntun ke balik semak-

semak.

"O, celaka! Celaka kalau begini! Mengapa aku 

tak tega untuk berbuat kasar padanya?" keluh hati 

Raka. "Mengapa aku tak berani melemparkan perem-

puan ini? Ooh... ada apa dengan diriku? Aku merasa 

senang dalam genggamannya. Aku juga merasa senang 

menuruti perintahnya. Sial! Setiap aku ingin berontak 

selalu saja timbul rasa tak tega?!"

Kembang Setaman sendiri tak menyangka ka-

lau bakal bertemu dengan seorang lelaki muda yang

sesuai dengan seleranya. Ia tak ingin kehilangan lelaki 

itu sebelum gairahnya terpenuhi. Lawan tinggal lawan, 

tapi urusan kemesraan harus terpenuhi dulu. Setelah 

terpenuhi, tinggal mempertimbangkan kepuasannya


nanti. Jika ia merasa puas dengan kemesraan Raka, 

maka ia mudah melupakan kelancangan Raka yang 

ikut campur urusannya tadi. Tapi jika ia tidak puas 

dengan kemesraan Raka, maka tak segan-segan ia 

mencabut pedangnya untuk menghabisi nyawa pemu-

da tampan bertubuh kekar itu.

Tapi untuk sementara itu, kemarahannya ter-

geser total oleh gairahnya yang menggebu-gebu. Usa-

pan tangannya ke dada bidang Raka telah semakin 

membuatnya berdesir- desir dalam keindahan yang 

sukar dibayangkan.

Tak segan-segan ia memeluk Raka, lalu menci-

umi wajah pemuda itu. Si pemuda hanya diam dan 

menerima dengan pasrah tanpa perlawanan. Kare-

nanya, Kembang Setaman pun menyuruh Raka untuk 

memberi perlawanan ciumannya.

"Kecuplah aku... kecup bibirku, Raka," bisiknya 

dalam desah.

"Ak... ak... aku tak... tak bisa," jawab Raka 

dengan terbata-bata.

"Tempelkan bibirmu ke bibirku, lalu pagut-

lah.... Lekas, tempelkan bibirmu...."

Raka Pura pun akhirnya menempelkan bibirnya 

ke bibir Kembang Setaman dengan pelan-pelan. Kem-

bang Setaman memberi contoh pagutannya, Raka Pura 

menirukan dengan pagutan pelan sekali. Satu tangan-

nya masih ditempelkan ke dada Kembang Setaman, 

bahkan gerakan tangan yang mengusap dada itu pun 

masih dituntun oleh tangan Kembang Setaman. Se-

dangkan tangan yang satunya disuruh meremas-remas 

punggung dan tengkuk Kembang Setaman.

Dalam keadaan masih sama-sama berdiri, Raka 

Pura nyaris tak bisa menopang tubuhnya sendiri. Ke-

dua lututnya terasa gemetar sekali dan makin lama 

menjadi semakin lemas, bagai tak bertulang sedikit


pun.

Tubuh Raka sengaja didesak oleh Kembang Se-

taman hingga pemuda itu berdiri bersandar pada seba-

tang pohon yang dikelilingi semak ilalang.

Kembang Setaman bukan saja menciumi wajah 

dan bibir Raka, melainkan sampai ke bagian leher, lalu 

turun ke dada. Ia memagut-magut dada Raka sebagai 

contoh kemesraan yang nantinya harus ditirukan oleh 

Raka sendiri.

"Lakukan kecupan seperti ini nanti, ya?"

"Hhmmm, emmh...!" Raka hanya bisa angguk-

kan kepala kecil dalam gumam. Ia tak berani bersuara. 

Padahal sebenarnya ia ingin mengarang kegelian keti-

ka ciuman Kembang Setaman merayap sampai ke pe-

rut Raka dengan menyingkapkan baju pemuda itu. Se-

dangkan tangan Kembang Setaman sejak tadi telah 

berhasil meremas lembut sesuatu yang dirasakan begi-

tu hangat dan mendebarkan hatinya.

"Nah, lakukanlah seperti tadi pada tubuhku 

sampai bawah, Raka. Kau bisa, bukan?"

Dengan sangat terpaksa Raka anggukkan kepa-

la. Kembang Setaman tersenyum jalang sambil mele-

paskan penutup dadanya.

Namun sebelum ia bergeser pindah tempat un-

tuk dapat bersandar di pohon, tiba-tiba Raka melihat 

sekelebat sinar biru kecil melesat dari pepohonan se-

berangnya. Sinar biru itu panjangnya satu tombak dan 

menghantam ke tubuh Kembang Setaman tanpa suara 

apa pun. Slaaap...!

Tubuh perempuan itu mengejang dan matanya 

terbelalak seketika dengan suara tersentak berat.

"Heeeggh...!"

Raka menjadi panik dan nyaris tak bisa bicara 

sesaat. Keadaan itu sangat tak diduga-duga, sehingga 

ia sempat mengalami shock dalam sekejap.


"Oooh...?" Raka Pura pun terkejut bukan kepa-

lang, karena ia segera melihat sesuatu yang telah 

membuat Kembang Setaman ambruk ke dalam pelu-

kannya dan membuatnya makin tersandar di pohon.

Punggung perempuan yang melusu itu telah 

berasap. Asap tersebut mengepul tipis dari luka bakar 

yang berlubang sebesar mulut botol. Luka bakar ber-

lubang itu terjadi akibat sinar biru lurus yang meng-

hantam telak punggung tadi.

"Rak... Raka...," Kembang Setaman mencoba bi-

cara walau sulit sekali. "Tol. tolong aak... aku...."

Mulut perempuan itu mulai keluarkan darah. Ia 

tak bisa bicara lagi. Tubuhnya semakin lemas dan din-

gin. Wajahnya kian pucat seperti mayat. Akhirnya tu-

buh itu jatuh merosot karena pelukan Raka mengen-

dur. Pemuda itu masih dicekam kebingungan dan rasa 

heran yang menakutkan, sehingga ketika tubuh itu ja-

tuh merosot, ia justru menghindarinya.

Brruuuk...!

Kembang Setaman pun akhirnya jatuh terkulai 

di semak-semak ilalang dalam keadaan miring. Mulut-

nya ternganga bagai sedang berusaha bernapas. Na-

mun kejap berikutnya, tarikan nafasnya terhenti dan 

mata perempuan itu terbeliak memutih pertanda nya-

wanya telah lepas dari raga.

"Oooh...?! Apa yang terjadi sebenarnya?!" gu-

mam Raka Pura dalam ketegangan.

Ia segera menyingkir dari tempat itu sambil 

membenahi pakaiannya. Karena pada saat itu, ia mulai 

mendapatkan kesadarannya yang tadi sempat hilang 

karena pengaruh ilmu 'Candra Dewita' itu.

"Hampir saja! Ooh... hampir saja aku melayani 

perempuan jalang itu! Kurang ajar!" geram Raka Pura 

sambil terengah-engah karena ketegangannya. "Men-

gapa aku tadi diam saja diciuminya? Cuih, cuih...!"


Raka meludah dan merasa jijik.

Dalam keadaan gusar dan berang karena mem-

bayangkan apa yang dilakukan bersama Kembang Se-

taman tadi, matanya segera mencari si pemilik sinar 

biru tadi. Ia berkelebat ke arah datangnya sinar terse-

but. Wuuuz...! Ternyata tak ada orang sepotong pun.

"Siapa yang melepaskan pukulan bersinar biru 

tadi?!" gumam hati Raka sambil masih mencoba me-

nyusuri sekitar tempat itu. "Sinarnya cukup lembut 

dan kecil. Tapi ternyata membuat lubang yang mema-

tikan. Pasti orang itu berilmu tinggi. Bukan adikku, 

bukan pula si Purbaweni! Hmmm... sepi sekali tempat 

ini. Tak ada jejak sedikit pun yang bisa dijadikan tan-

da. O, ya... lalu bagaimana nasib si pemuda berbaju 

merah itu?! Apakah ia sudah tak bernyawa lagi? Atau 

dalam keadaan sekarat?! Hmmm... sebaiknya aku se-

gera menemukannya!"

Sambil masih meludah beberapa kali karena 

ingat ciuman yang menurutnya menjijikkan itu, Raka 

Pura bergegas ke tempat si pemuda berbaju merah tadi 

terkapar penuh luka. Namun setibanya di sana, Raka 

Pura menjadi bengong sendiri, karena pemuda berbaju 

merah itu tidak ada di tempat. Sisa tetesan darah dari 

hidungnya masih ada di tempat ia tergeletak tadi. Tapi 

tak terdapat tetesan darah di tempat lain.

"Ke mana dia?! Jika ia melarikan diri, pasti ada 

bekas tetesan darahnya di tanah atau di daun-daun 

semak. Hmmm... sepertinya tak ada tetesan darah itu 

di tempat lain?!" gumam hati Raka Pura dengan sambil 

mencari jejak tetesan darah di sekitar tempat itu.

"Aneh! Apakah dia hilang ditelan bumi?! Tak 

mungkin. itu hanya istilah saja! Mana ada orang dite-

lan bumi. Apa bumi itu lapar?" celotehnya dalam hati. 

"Apakah dia dimakan binatang buas?! Ah, itu juga tak 

mungkin. Tak ada tanda-tanda binatang buas berkelia


ran sampai sini. Lalu, ke mana hilangnya pemuda itu? 

Apakah orang-orangnya Kembang Setaman telah da-

tang dan membawanya pergi? Nah, itu mungkin saja 

terjadi Hmmm... tapi mengapa mereka tak mendengar 

suara desah dan erangan si perempuan jalang itu di 

semak-semak sana? Atau mungkin mereka menden-

garnya dan mengetahui bahwa Kembang Setaman se-

dang bercumbu, maka mereka tak berani meminta izin 

dulu, langsung saja membawa si tawanan malang itu?"

Wuuuut...! Raka Pura penasaran. Ia ingin meli-

hat keadaan sekeliling tempat itu lebih jauh lagi. Maka 

ia pun segera sentakkan napas dan tubuhnya melam-

bung naik dengan cepat, mencapai dahan tertinggi dari 

sebatang pohon. Dari sana ia bisa memandang lebih 

jauh lagi. Akhirnya ia temukan sekelebat bayangan 

yang melesat dengan kecepatan tinggi, nyaris tak bisa 

terlihat mata manusia biasa.

"Oh, bayangan siapa yang menjauh itu? 

Hmmm... jangan-jangan orang itu yang membawa lari 

pemuda malang tadi?! Sebaiknya kuikuti saja lang-

kahnya! Siapa tahu dugaanku benar, bahwa ia adalah 

orangnya Kembang Setaman!"

Wuuuuz, wuuuz...! Jurus 'Jalur Badai' diper-

gunakan, sehingga Pendekar Kembar sulung mampu 

bergerak secepat hembusan badai yang paling cepat. 

Namun agaknya ia masih tertinggal jauh oleh si 

bayangan misterius itu.

"Gila! Ia mampu bergerak sangat cepat. Pasti 

bukan orang berilmu rendah! Setidaknya lebih tinggi 

dari ilmunya si perempuan jalang tadi!" ujar batin Ra-

ka sambil masih terus melesat dari pohon ke pohon.

Anehnya, bayangan yang dikejarnya itu hilang 

tak tinggalkan jejak ketika mencapai tanah datar ber-

hutan bambu. Tanaman bambu yang ada di situ tum-

buh dengan lurus dan mempunyai jarak teratur, seper


tinya sengaja ditanam oleh seseorang dengan jarak 

renggang.

Sebenarnya jika bayangan yang dikejar Raka 

itu melintasi hutan bambu itu, maka gerakannya akan

dapat terlihat lebih jelas lagi. Tapi ternyata Ra-

ka Pura justru tak melihat gerakan bayangan apa pun 

di hutan bambu tersebut.

Pendekar Kembar sulung garuk-garuk kepala 

sambil menapakkan kakinya di tanah keras tanpa 

rumput itu. Ia memandang hingga tubuhnya me mutar 

perlahan-lahan, namun pandangan matanya tetap tak 

menemukan bayangan yang dikejarnya.

"Aneh sekali! Tadi kulihat ia berkelebat kemari! 

Sepertinya tadi ia melayang dalam gerakan kaki menje-

jak pohon-pohon bambu ini. Tapi mengapa lenyap be-

gitu saja? Apakah ia bersembunyi di balik gerumbulan 

semak-semak di kejauhan sana?! Hmmm... sebaiknya 

kuperiksa saja gerumbulan semak itu, walau menurut 

dugaanku tak mungkin ia mencapai tempat itu, karena 

tadi kulihat ia masih di sekitar sini!"

Raka Pura semakin penasaran dengan bayan-

gan yang sukar dikejarnya itu, karena dalam pandan-

gannya tadi ia melihat sesuatu yang dipanggul oleh 

bayangan tersebut. Tak jelas apakah yang di panggul 

adalah sesosok tubuh manusia atau sekarung kacang 

kedelai, yang jelas Raka ingin sekali mengetahui siapa 

bayangan yang gerakannya seperti badai juga tadi.

Langkah Raka terhenti sesaat, karena tiba-tiba 

ia melihat tetesan darah yang jatuh pada daun-daun 

bambu kering yang berserakan di tanah. Tetesan da-

rah itu masih segar dan Raka yakin darah itu pasti da-

rah si pemuda malang tersebut.

"Benar juga dugaanku! Bayangan itu pasti 

membawa kabur si pemuda malang yang terluka parah 

itu. Pasti lewat sini. Terbukti darahnya menetes di si


ni!"

Anehnya di tempat lain tak ada tetesan darah 

seperti itu. Raka Pura memeriksa tempat sekitarnya 

sejauh sepuluh langkah. Tapi tak ditemukan tetesan 

darah segar seperti itu. Padahal jika pemuda yang ter-

luka itu dibawa lari, mestinya tetesan darahnya mem-

bentuk jalur petunjuk ke arah kepergiannya.

"Sial! Tak ada tetesan darah lainnya kecuali 

yang tadi?!" gumam Raka Pura. Rasa penasaran mem-

buatnya kembali ke tempat ditemukannya tetesan da-

rah segar itu. Sampai di tempat tersebut, Raka Pura 

terperanjat dengan pandangan mata terkesip, karena 

tetesan darah itu menjadi lebih banyak dari saat dili-

hatnya tadi.

"Gila! Kenapa bisa menjadi banyak begin!? Pa-

dahal tadi hanya terdiri dari beberapa tetes saja?!" 

ujarnya dalam hati. "Sepertinya darah ini menetes dari 

langit?" tambahnya dalam gumam membatin. Maka, ia 

pun dongakkan kepala, walau semula merasa tinda-

kannya itu termasuk konyol, karena menyangka langit 

berdarah.

Namun ketika ia memandang ke atas, hatinya 

sempat terkejut melihat sesuatu yang ada di atas po-

hon bambu. Hampir saja Raka tak percayai pengliha-

tannya. Pohon bambu yang tumbuh meruncing dengan 

ujungnya sedikit lengkung itu ternyata mampu me-

nyangga sesosok tubuh yang terbaring melemas. Raka 

Pura mengangkat tangannya untuk hindari sinar ma-

tahari. Pandangannya menjadi lebih jelas lagi, dan ia 

yakin yang ada di pucuk pohon bambu itu adalah se-

sosok tubuh berpakaian merah.

"Edan! Siapa yang menaruh pemuda itu di pu-

cuk pohon bambu selentur itu?!" gumam Pendekar 

Kembar sulung dengan suara pelan. "Luar biasa sekali 

kejadian ini. Ternyata pemuda itu ada di atas sana


tanpa jatuh, bahkan miring sedikit pun tidak. Tam-

paknya ia pingsan, terkulai lemas, tapi mestinya pucuk 

pohon bambu ini tak akan sanggup menyangga tu-

buhnya. Pemuda itu seperti berbaring di sana dengan 

gunakan ilmu peringan tubuh, sehingga daun-daun 

bambu di bagian pucuk sana tidak melengkung atau 

rusak sedikit pun. Benar-benar mengagumkan!"

Tiba-tiba Raka Pura tersentak kaget, nyaris ter-

lonjak. Karena dari arah belakangnya terdengar suara 

seseorang berkata memecah kesunyian.

"Lukanya memang terlalu parah!"

Raka Pura semakin terperangah tak bisa bicara 

ketika memandang ke belakang dan menemukan se-

raut wajah yang bermata dingin, bagai membekukan 

sekujur tubuhnya. Tanpa sadar Raka pun bergerak 

mundur dua langkah, kemudian menelan napas bebe-

rapa kali untuk menenangkan dirinya.

*

* *

6


TENTU saja Raka Pura sangat terkejut, karena 

kehadiran orang itu tidak terdengar suara langkahnya. 

Tahu-tahu muncul di belakang Raka dan bersuara. Hai 

yang membuat Pendekar Kembar sulung semakin ter-

kejut lagi adalah sosok tua si pendatang itu. Raka ma-

sih mengenal wajah dan penampilan si kakek berjeng-

got dan berambut panjang warna putih rata.

Orang berjubah biru dengan tongkat kepala 

ular kobra itu tak lain adalah si Dewa Perintang. Seka-

rang si Pendekar Kembar sulung itu merasa yakin, 

bahwa bayangan yang dikejarnya tadi adalah si Dewa


Perintang yang berjubah biru. Sebab tadi bayangan 

yang dikejarnya juga berwarna biru kehitam-hitaman. 

Warna hitam itu adalah akibat kecepatan geraknya 

yang tak mampu dikejar oleh jurus 'Badai Jalang'-nya 

Pendekar Kembar.

Setelah memperoleh ketenangan kembali, Raka 

Pura buru-buru sedikit bungkukkan badan sebagai 

tanda menghormat. Dengan sikap itu, setidaknya Raka 

sudah menghargai orang yang lebih tua darinya dan 

mengakui ketinggian ilmu si Dewa Perintang.

Maka terdengarlah suara si Dewa Perintang 

yang sedikit serak karena ketuaannya itu.

"Mana adik kembar mu itu?!"

Raka Pura sedikit kaget karena Dewa Perintang 

ternyata mengetahui tentang Soka Pura. Pertanyaan 

itu menimbulkan kecurigaan bagi Raka. Karena perta-

nyaan tersebut seperti mengandung makna kemarahan 

yang terpendam terhadap Soka Pura, namun juga bisa 

diartikan sebagai orang yang ingin tahu. Namun seka-

lipun tak jelas dengan maksud pertanyaan tersebut, 

Raka Pura tetap menjawabnya dengan kesopanan dan 

kejujuran apa adanya.

"Adikku bersama Purbaweni. Mereka melalui ja-

lur selatan untuk menuju ke Istana Bara, Eyang!"

"Mengapa harus lewat selatan?!"

"Karena... karena mereka takut jumpa dengan 

Eyang Dewa Perintang," jawab Raka lagi dengan penuh 

kesopanan.

"Seharusnya itu tak perlu. Purbaweni bodoh. 

Seharusnya selama ia bersama Pendekar Kembar, ia 

tak perlu merasa takut oleh siapa pun."

Raka Pura sedikit curiga dan segera membatin, 

"Dari mana dia tahu kalau aku dan Soka punya gelar 

Pendekar Kembar? Hmmm... mungkin karena kesak-

tiannya, atau mendengar dari orang lain tentang keha


diranku dan Soka di rimba persilatan ini."

Tokoh tua yang berkharisma kuat itu perden-

garkan suara lagi.

"Kalau saja tadi kalian tak melarikan diri ikut-

ikutan si Purbaweni, maka kalian tak akan lakukan

tindakan yang sia-sia."

"Tindakan apa maksudnya, Eyang?!"

"Pergi ke istana Bara sama saja tindakan yang 

sia-sia. Bahkan bisa berarti cari penyakit bagi si Pur-

baweni!"

"Hmmm, hmmm... tapi Purbaweni harus be-

baskan kakaknya yang tertawan oleh... oleh pihak Is-

tana Bara, Eyang!"

"Nalapraya, maksudmu?"

"Benar, Eyang...!"

"Hmmm...," si jubah biru itu hanya menggu-

mam pendek, ia melangkah ke samping dan meman-

dang ke arah lain dengan tongkatnya diayunkan seba-

gai penopang tubuh kurusnya. Padahal tanpa tongkat 

pun si Dewa Perintang masih sanggup berdiri tegak, 

karena dalam usia setua itu belum tampak bungkuk 

dan masih kelihatan gagah.

"Nalapraya sudah tidak ada di dalam istana Ba-

ra," tiba-tiba Dewa Perintang berkata dengan suara je-

las. Raka Pura segera kerutkan dahi mengikuti gera-

kan si kakek dengan pandangan mata.

"Nalapraya sudah berhasil lolos dan melarikan 

diri," tambah Dewa Perintang. "Seandainya kalian tadi 

tidak melarikan diri, maka kalian akan kuberitahukan 

hal itu. Penjara itu telah ku jebol tanpa setahu siapa 

pun. Dengan jebolnya penjara itu, maka Nalapraya ku-

biarkan melarikan diri sebatas kemampuannya."

"Hmmm, ehhh... sekarang di mana si Nalapraya

itu, Eyang? Bagaimana nasibnya?!"

Dewa Perintang memandang ke atas. Tetesan


darah pemuda berbaju merah yang seperti tersangkut 

di pucuk pohon bambu itu sudah tidak ada lagi. Tapi 

gerakan memandang ke atas itu dapat dipahami oleh 

Raka Pura. Si jubah biru ingin tunjukkan bahwa Nala-

praya itulah pemuda berbaju merah yang terluka pa-

rah.

"Ja... jadi... pemuda itulah yang bernama Nala-

praya, Eyang?!"

Dewa Perintang menatap Raka. Sorot matanya 

yang berkesan dingin dan penuh wibawa itu tak berani 

ditatap oleh Raka Pura. Pemuda itu segera meman-

dang ke arah lain, sesekali memandang ke atas, seperti 

salah tingkah dalam gerakan pandangan matanya.

"Banyak orang menyangka aku adalah tokoh 

jahat yang selalu merintangi langkah mereka. Angga-

pan itu pasti ada pada diri Purbaweni," ujar Dewa Pe-

rintang membuat Raka berani menatapnya, karena so-

rot pandangan mata tokoh tua itu tidak lagi ke arah-

nya.

"Tapi sebenarnya maksud perbintangan ku itu 

bukan untuk kejahatan! Aku hanya tidak mengingin-

kan orang yang punya tujuan baik melanjutkan lang-

kahnya, karena kulihat ada malapetaka yang mengha-

dangnya di seberang sana. Terbukti jika ia nekat te-

ruskan langkah, maka ia benar-benar menjadi santa-

pan bagi si malapetaka itu. Jika orang itu bermaksud 

jahat, kupatahkan langkahnya sebelum ia lakukan 

tindakan yang akan menyesatkan jiwanya ke dalam 

lembah dosa. Tapi tidak setiap kutemui seseorang lalu 

aku akan lakukan pencegahan. Kadang aku hanya in-

gin memberitahukan apa yang ku tahu kepada orang 

itu, tapi orang itu sudah lebih dulu melarikan diri ke-

takutan!"

Raka Pura mencoba tersenyum, karena sebe-

narnya ia merasa malu atas rasa pelariannya tadi yang


terpengaruh oleh rasa takutnya Purbaweni. Namun se-

belum senyum malu itu lebih lebar, suara Dewa Perin-

tang terdengar lagi, membuat Raka Pura pusatkan 

perhatian kepada si kakek beralis lebat warna putih 

itu.

"Katakan kepada Purbaweni, ia tak perlu ke Is-

tana Bara, karena kakaknya sudah lolos dari sana! 

Yang perlu ia lakukan adalah menjaga makam eyang 

buyutnya: Sabandanu!"

"Kalau boleh saya tahu, Eyang... mengapa ma-

kam itu harus dijaga?" Raka berlagak bodoh.

"Kurasa kau sudah tahu bahwa di dalam ma-

kam itu ada pusaka yang bernama Pedang Bulan Ma-

du!"

"O, kalau begitu apa yang dikatakan Purbaweni 

memang benar," ujar Raka seperti bicara pada dirinya 

sendiri.

"Pedang Bulan Madu itu memang ada, dan 

memang dikubur bersama jenazah sahabatku; Saban-

danu."

"Tap... tapi kata Purbaweni, Eyang Dewa Perin-

tang bermusuhan dengan Eyang Buyut Sabandanu?

Maka, hmmm... maaf, kami tadi sempat me-

nyangka Eyang berpihak pada Ratu Rias Rindu," ujar 

Raka sambil nyengir maju.

"Permusuhan ku dengan Sabandanu tidak 

mendarah daging. Permusuhan itu hanya sebatas per-

bedaan pendapat saja. Tapi hati kami tetap bersaha-

bat. Karena itulah, seharusnya aku segera bertindak 

menyelamatkan Nalapraya, karena anak itu hampir sa-

ja tak kuat menerima siksaan dari Rias Rindu! Sekali 

lagi ia menerima siksaan dari perempuan bejat itu, 

maka mulutnya tak sanggup menjaga rahasia tentang 

di mana letak makam eyang buyutnya itu. Rencanaku, 

sebelum rahasia itu bocor, kubebaskan dia dengan caraku sendiri. Rias Rindu tak akan tahu kalau aku yang 

membebaskan Nalapraya. Tapi rupanya aku terlambat 

bertindak."

Raka Pura diam sambil manggut -manggut ke-

cil. Tapi hatinya sempat berujar sendiri, "Benar juga 

kalau dipikir-pikir. Jika memang Dewa Perintang me-

mihak Ratu Rias Rindu, tentunya sang Ratu tak perlu 

repot-repot menyiksa Nalapraya untuk mendapatkan 

rahasia letak makam itu. Ia bisa menanyakannya ke-

pada Dewa Perintang."

Dewa Perintang berujar lagi kepada Raka.

"Kuminta kau dan adikmu, sebagai Pendekar 

Kembar yang mewarisi ilmunya Dewa Kencan alias si 

Mangkuranda itu, ikut membantu Purbaweni dan Na-

lapraya untuk menyelamatkan Pedang Bulan Madu 

agar jangan jatuh ke tangan tokoh aliran hitam,

seperti si Rias Rindu itu."

Raka Pura terperanjat mendengar nama men-

diang kakek gurunya disebutkan oleh Dewa Perintang. 

Ia tak menyangka bahwa si Dewa Perintang kenal den-

gan Eyang Mangkuranda yang sering disebut sebagai 

si Dewa Kencan itu.

"Rupanya... Eyang Dewa Perintang mengenal 

eyang guru kami."

"Dewa Kencan juga sahabatku. Dia juga kenal 

dengan Sabandanu. Kami bertiga sering meminta sa-

ran kepada gurunya si Dewa Kencan, yaitu si kembar 

Eyang Suralaya dan Eyang Surapati."

Raka Pura semakin kaget mendengar nama 

Eyang Suralaya dan Eyang Surapati disebutkan. Kare-

na kedua tokoh sakti yang juga lahir kembar itu telah 

mewariskan pusaka mereka kepada Raka dan Soka, 

yaitu berupa pedang kristal yang dinamakan Pedang 

Tangan Malaikat itu, (Baca serial Pendekar Kembar da-

lam episode: "Gua Mulut Naga").


"Usahakan jangan sampai pedang itu dirampas 

oleh orang-orang aliran hitam! Karena sekarang ini, se-

jak Rias Rindu ribut ingin dapatkan Pedang Bulan Ma-

du, ada beberapa tokoh yang juga ikut mengincar pe-

dang tersebut."

"Apa kesaktian pedang itu sebenarnya, 

Eyang?!" tanya Raka sambil menguji kebenaran penje-

lasan yang pernah didengarnya dari Purbaweni.

Dewa Perintang melangkah lebih dekati Raka, 

tapi pandangan matanya tertuju ke arah lain, seakan

sedang menikmati pemandangan alam sekitarnya.

"Pedang itu dapat untuk membakar benda apa 

saja dengan melalui pantulan cahaya matahari. Juga, 

dapat untuk membelah baja setebal apa pun. Tetapi 

yang paling utama dan menjadi incaran bagi orang-

orang seperti Rias Rindu adalah kesaktian pedang ter-

sebut yang dapat menjelma sebagai seorang pangeran 

pada malam hari."

"Ooh...?!" Raka terperangah kaget.

"Bila pada malam hari, terutama pada saat ca-

haya rembulan menyinari bumi, maka gagang pedang 

yang terkena sinar rembulan dapat membuat pedang 

itu berubah menjadi seorang pangeran tampan, gagah 

perkasa sepertimu. Karena pedang itu adalah jelmaan 

dari Pangeran Maha Rayu, tokoh sakti yang merupa-

kan anak dewa, namun berhasil dikalahkan oleh Sa-

bandanu pada saat mereka lakukan pertarungan tepat 

bulan purnama tiba."

"Ajaib sekali!" gumam Raka terheran-heran.

"Sang pangeran akan berlutut kepada pemilik 

pedang itu, dan bersedia menjadi budak cinta lawan 

jenisnya. Bahkan ia juga bisa diperintahkan untuk 

membunuh siapa saja dalam waktu dua-tiga kejap, 

atau memindahkan sebuah istana dari pulau yang sa-

tu ke pulau yang lain dalam waktu dua-tiga kejap sa


ja."

"Luar biasa! Pantas Purbaweni tidak mau se-

butkan keistimewaan yang satu ini?!" ujar. Raka Pura 

dalam hatinya.

"Jika Pangeran Maha Rayu dikuasai oleh tokoh 

aliran sesat, maka ia pun akan lakukan tindakan-

tindakan yang berbahaya, dan tak seorang pun dapat 

kalahkan dia kecuali mendiang Sabandanu! Sampai 

wafatnya, Sabandanu tak pernah beritahukan padaku 

tentang rahasia mengalahkan Pangeran Maha Rayu 

itu."

Raka Pura tertegun penuh rasa kagum. Dewa 

Perintang memandang ke atas, kepada Nalapraya yang 

masih berada di pucuk pohon lurus itu. Tapi pada saat 

itu ia pun berkata kepada Pendekar Kembar sulung.

"Sanggupkah kau membantu keluarga Nala-

praya untuk pertahankan pedang itu agar tak jatuh di 

tangan manusia sesat?!"

"Hmmm, ehhh... sanggup, Eyang! Sanggup se-

kali!" jawab Raka Pura agak menggeragap karena ter-

sadar dari renungan panjangnya.

"Jika sanggup, lekaslah pergi ke makam si Sa-

bandanu, karena agaknya Rias Rindu sudah mengeta-

hui letak makam tersebut."

"Oh...?! Dari mana dia mengetahuinya, Eyang?!"

"Semalam, Rias Rindu ku lihat dalam bayangan 

indera keenam ku telah meminta bantuan seorang sa-

habatnya yang bernama Sangkala! Orang itu mempu-

nyai jurus 'Totok Kejujuran', yang membuat seseorang 

tak bisa berbohong. Sangkala telah menotok Nala-

praya, sehingga Nalapraya mengatakan sejujurnya di 

mana letak makam eyang buyutnya itu. Karenanya 

kukatakan tadi, aku terlambat bertindak sebab, Rias 

Rindu rencanakan akan menghabisi nyawa Nalapraya 

siang ini. Tapi tadi pagi aku lebih dulu bertindak dan


Nalapraya berhasil lolos. Sayang sekali aku terlambat 

mendengar kabar tentang tertawannya Nalapraya, se-

hingga Rias Rindu sudah lebih dulu menggunakan ju-

rus 'Totok Kejujuran'-nya si Sangkala."

Sambil berkata demikian, pandangan mata De-

wa Perintang masih tertuju ke atas. Tangan yang tidak 

memegangi tongkat diulurkan naik Kemudian tangan 

itu bergerak pelan-pelan turun ke bawah.

Bertepatan dengan gerakan tangannya itu, tu-

buh Nalapraya pun bergerak turun pelan-pelan dalam 

keadaan mengambang dan masih tak sadar. Raka Pura 

hanya terbengong melompong melihat kesaktian Dewa 

Perintang yang mirip pemain sirkus atau pemain sulap 

itu.

"Sebenarnya aku akan bertindak sampai tuntas 

dalam hal mempertahankan pedang tersebut. Tapi ka-

rena kulihat Pendekar Kembar sudah muncul, maka 

kurasa cukup sampai di sini saja bantuanku kepada 

cucu buyutnya si Sabandanu. Selebihnya, kau dan 

adikmu-lah yang bertindak menjadi pembela keluarga 

Nalapraya!"

"Hmmm, iya, baik...! Saya akan kerjakan ama-

nat Eyang bersama adik saya!"

Sambil berkata demikian, Raka Pura tetap 

memperhatikan gerakan tubuh Nalapraya yang tetap 

mengambang di udara sampai setinggi setengah tom-

bak dari permukaan tanah. Raka Pura menjadi ber-

tambah heran, karena keadaan tubuh Nalapraya seka-

rang sudah tidak babak belur dan penuh luka membi-

lur merah lagi.

Nalapraya bagai orang yang tak pernah tersik-

sa. Tak ada luka seujung jarum pun pada tubuhnya. 

Tapi pakaian tetap tercabik-cabik. Hanya dari pa-

kaiannya saja orang dapat mengerti bahwa Nalapraya 

habis menderita banyak luka di tubuhnya. Namun


warna memar membiru, bahkan warna pucat pada wa-

jahnya sudah lenyap sama sekali. Nalapraya seperti 

orang sehat dan segar yang sedang tertidur dengan 

nyenyak.

Gerakan tubuhnya yang tadi sempat berhenti 

dalam keadaan mengambang, kini bergerak turun le-

bih pelan lagi. Kemudian tubuh itu terbaring di atas 

tanah berlapiskan daun-daun bambu yang sudah ker-

ing.

"Jangan bangunkan dia! Biarkan dia tertidur 

untuk sesaat," ujar Dewa Perintang. "Nanti ia akan 

bangun sendiri dan jelaskan persoalan yang sebenar-

nya."

"Baik, Eyang...," jawab Raka Pura dengan sikap 

patuh dan menghormat.

"Tapi kalau boleh saya ingin tahu, Eyang," 

sambung Raka. "Apakah perempuan yang bernama 

Kembang Setaman itu adalah Ratu Rias Rindu sendi-

ri?!"

"Bukan! Dia adalah orang andalan Rias Rindu," 

jawab Dewa Perintang. "Dia orang kepercayaan Rias

Rindu khususnya dalam menangani para tawa-

nan. Kembang Setaman itu perempuan berbisa. Keli-

hatannya mesra, tapi haus darah dan nyawa. Ia tak 

segan-segan membunuh teman kencannya sebagai 

puncak dari segala kepuasannya. Oleh sebab itu sebe-

lum ia merenggut nyawamu, aku bertindak lebih dulu."

"Oooh..., terima kasih atas bantuan Eyang De-

wa Perintang."

"Tugasku memang merintangi hal-hal seperti 

itu. Kalau saja aku tak memperhatikan gerakanmu se-

jak di atas pohon, kau tetap akan terbius oleh pandan-

gan mata si Kembang Setaman yang mengandung ma-

du dan racun bagi lawan jenisnya itu...."

Ucapan itu terhenti, perhatian Raka pun beralih ke belakang, karena ada suara orang berlari ke 

arah mereka. Pendekar Kembar sulung mulai siaga, 

menjaga kemungkinan datangnya serangan mendadak 

dari pihak Ratu Rias Rindu.

Napas yang tertahan itu segera dihembuskan, 

karena ternyata yang muncul adalah Soka Pura dan 

Purbaweni. Keduanya berlari-lari menghampiri Raka 

setelah suara Purbaweni terdengar berseru kepada So-

ka.

"Itu dia...!"

Rupanya mereka berdua memutuskan untuk 

segera menyusul Raka Pura dan tak jadi lewat jalur se-

latan. Bukan karena jalur selatan macet, tapi karena 

kecemasan Purbaweni terhadap Raka mempengaruhi 

jiwa si Pendekar Kembar bungsu.

Raka Pura sunggingkan senyum tipis melihat 

adiknya dan Purbaweni mendekatinya. Ia segera ber-

paling ke kanan dan berkata kepada Dewa Perintang.

"Eyang, mereka...." Ucapan itu terhenti menda-

dak. Raka sangat terkejut.

"Eyang...?! Eyang Dewa Perintang...?!" Raka ke-

bingungan mencari tokoh tua berjubah biru itu. Ter-

nyata si Dewa Perintang lenyap begitu saja, entah lari 

atau ditelan bumi, Raka tak sempat mengetahuinya.

"Pantas si Purbaweni tetap berlari mendekati-

ku, rupanya ia tak melihat Dewa Perintang ada di de-

kat ku!" pikir Raka. "Andai saja Dewa Perintang tidak 

pergi tanpa pamit, mungkin Purbaweni tidak berani 

mendekatiku."

Purbaweni sendiri segera terperanjat dengan 

mata membelalak lebar-lebar ketika memandang seo-

rang pemuda terbaring di tanah berlapis daun bambu 

kering.

"Oooh...?! Nalapraya...?! Nalapraya kau ada di 

situ?!"


"Ssstt...!" Raka Pura menghadang langkah Pur-

baweni.

"Dia kakakku! Dia yang ingin kubebaskan da-

ri...."

"Iya, iya... aku tahu. Tapi jangan brisik dulu. 

Dia sedang tidur. Kita tak boleh membangunkannya."

"Siapa yang melarang?!" "Dewa Perintang!"

"Hahhh...?!" Purbaweni kian lebarkan matanya. 

Soka hanya memandang kakaknya dengan dahi berke-

rut, seakan menuntut penjelasan lebih lengkap lagi.

*

* *

7


PADA mulanya Purbaweni tidak percaya dengan 

penjelasan Raka mengenai Dewa Perintang. Bahkan 

ketika Nalapraya telah bangun dan segera dikenalkan 

dengan Pendekar Kembar oleh adiknya, Nalapraya 

sendiri tidak percaya mendengar penjelasan Raka, 

bahwa bukan Raka yang sembuhkan luka-lukanya Na-

lapraya, melainkan si Dewa Perintang.

"Kau jangan bikin heboh mereka berdua, Raka," 

bisik Soka Pura. "Katakan saja yang sebenarnya, bah-

wa kaulah yang sembuhkan si Nalapraya itu."

"Tengkukmu burik!" gerutu Raka Pura agak 

dongkol kepada adiknya yang ikut-ikutan tak memper-

cayai penjelasannya tadi. Kemudian Raka pun bicara 

kepada mereka bertiga.

"Dewa Perintang bicara panjang lebar dengan 

ku, terutama tentang Pedang Bulan Madu."

Mata si Pendekar Kembar sulung itu terarah 

kepada Purbaweni. "Keteranganmu tentang pedang itu


kurang lengkap, Purbaweni. Kau lupa sebutkan bahwa 

pedang itu bila terkena sinar rembulan dapat menjel-

ma menjadi seorang pangeran yang gagah, perkasa, 

dan tampan. Karena pedang tersebut adalah jelmaan 

dari Pangeran Maha Rayu, anak dewa 

yang pernah dikalahkan oleh Eyang Buyut Sa-

bandanu...."

"Oooh...?!" Purbaweni dan Nalapraya sama-

sama terkejut. Mereka tak menyangka Raka dapat se-

butkan hal itu, padahal Purbaweni sengaja rahasiakan 

keistimewaan tersebut agar tidak membuat pihak lain 

tergiur untuk dapatkan Pedang Bulan Madu. Kedua 

kakak-beradik, Purbaweni dan Nalapraya saling pan-

dang dengan tegang.

"Eyang Dewa Perintang ada di pihak kita, Pur-

baweni!" ujar Raka lagi. "Ia mengutus aku dan Soka 

untuk selamatkan pedang itu dari tangan orang-orang 

aliran sesat. Karena menurut dugaan Eyang Dewa Pe-

rintang, Ratu Rias Rindu sudah mengetahui makam 

Eyang Sabandanu."

"Itu tak mungkin!" sanggah Nalapraya dengan 

masih tegang.

"Ratu Rias Rindu meminta bantuan seseorang 

yang bernama Sangkala. Sangkala mempunyai ilmu 

'Totok Kejujuran', dan semalam kau telah ditotok oleh 

Sangkala yang membuatmu tak sadar membeberkan 

rahasia itu."

Nalapraya dipandang oleh adiknya. Pemuda itu 

diam termenung mengingat-ingat sesuatu yang dialami 

tadi malam.

"Benarkah begitu, Nalapraya?!"

"Hmmm... ya, seingatku... seingatku memang 

semalam aku diambil dari kamar tawanan. Tiba-tiba di 

lorong menuju ruang penyiksaan, seseorang menotok 

tengkuk ku dari belakang. Lalu... lalu aku tak sadar


lagi. Tahu-tahu aku sudah berada dalam kamar penja-

ra lagi."

"Celaka! Kalau begitu kita harus segera ke ma-

kam Eyang Buyut sekarang juga!" Purbaweni menjadi 

semakin tegang.

Raka Pura menimpali, "Memang begitulah sa-

ran Eyang Dewa Perintang tadi; kita harus segera ke 

makam tersebut, sebab siapa tahu Ratu Rias Rindu 

sudah berada di sana dan sedang membongkar makam 

untuk mengambil Pedang Bulan Madu."

"Celaka!" geram Nalapraya dengan pandangan 

mata menerawang penuh dendam terhadap sang Ratu.

Mereka berempat segera menuju ke makam Ki 

Sabandanu. Menurut keterangan Nalapraya dan Pur-

baweni, jenazah Ki Sabandanu tidak dimakamkan da-

lam liang lahat, melainkan dimasukkan ke dalam se-

buah gua. Gua itu terletak di sebuah tebing yang men-

jadi lereng terjal dari Bukit Papanduan. Perjalanan un-

tuk mencapai ke sana membutuhkan waktu sekitar se-

tengah hari. Padahal waktu mereka bergegas berang-

kat, matahari sudah mulai condong ke barat.

"Kita akan bermalam dalam perjalanan dan hal 

itu cukup berbahaya, karena kita akan memotong ja-

lan melalui tengah hutan belantara. Hutan itu banyak 

rawa dan lumpur hidup," ujar Nalapraya yang benar-

benar telah sehat tanpa kelemahan fisik sedikit pun.

"Bagaimana kalau kita bermalam di sebuah de-

sa tepi hutan itu? Aku mempunyai sahabat yang ting-

gal di desa itu," ujar Purbaweni. Usul itu ternyata dite-

rima oleh mereka.

Di tempat mereka bermalam, Purbaweni keliha-

tan semakin akrab dengan Soka Pura, sementara itu, 

Raka Pura lebih asyik berbincang-bincang dengan Na-

lapraya tentang Ratu Rias Rindu.

Keakraban Raka dengan Nalapraya membuat


Soka merasa beruntung, karena keindahannya berde-

katan dengan gadis cantik yang mirip bidadari itu ti-

dak terusik oleh keisengan sang kakak. Bahkan Soka 

mengajak Purbaweni untuk duduk di luar rumah, me-

nikmati terang bulan yang belum satu purnama penuh 

namun sudah cukup menyebarkan pengaruh roman-

tis. Mereka berdua ada di samping rumah, duduk di 

sebuah tempat duduk yang terbuat dari sebatang kayu 

randu.

"Aku sama sekali tak menduga kalau Dewa Pe-

rintang ternyata memihak keluargaku," ujar Purbawe-

ni. "Ternyata dia bukan tokoh jahat seperti sangkaan 

ku semula."

"Dalamnya laut memang dapat diukur, Purba-

weni. Tapi hati orang siapa yang tahu?" tutur Soka Pu-

ra dengan nada lembut.

"Memang benar. Kadang ada orang yang kita 

sangka jahat, ternyata berhati baik. Ada pula yang kita 

sangka baik, ternyata berhati jahat. Sama sepertimu."

Soka Pura berpaling ke kiri, menatap si gadis 

yang sunggingkan senyum malu-malu meong.

"Jadi kau menyangka aku punya hati jahat?"

"Bukankah semula kusangka kau orangnya Ra-

tu Rias Rindu?! Untung saja kau bisa hindari senjata 

rahasiaku. Kalau tidak, mungkin kau sudah mati 

membusuk pada malam ini."

"Mengerikan sekali kalau dibayangkan."

"Kusangka kau orang jahat, tak tahunya berha-

ti lembut seperti sutera."

"Begitukah penilaianmu?"

"Sepintas memang begitu. Tapi entah kalau aku 

sudah menyelam lebih dalam lagi. Mungkin kutemu-

kan musang di dalam hatimu."

Soka Pura tertawa kecil. Tangan si gadis di 

genggamnya. Purbaweni tidak menghindar, ia diam sa


ja walau remasan tangan itu terasa sedikit kencang. Ia 

hanya berkata, "Kurasa tak perlu pakai tenaga dalam. 

Jangan samakan meremas kepada lawanmu."

"Ooh..., sakit, ya?" Soka Pura tertawa geli, Pur-

baweni pun tertawa penuh keriangan.

"Kau cantik sekali kalau tertawa begitu, Purba-

weni. Lebih cantik dari yang paling cantik."

"Kau pintar merayu seorang gadis. Tapi aku tak 

mudah dirayu, Soka. Aku sudah kebal rayuan pemu-

da. Pada umumnya mereka hanya manis di bibir tapi 

pahit dalam kenyataan."

"Apakah kau sudah merasakan bibirku? Belum, 

kan?"

"Aku takut ada gadis lain yang murka padaku 

jika ku rasakan manis atau pahitnya bibirmu," ucap

Purbaweni lirih sekali.

"Tak ada gadis lain yang akan marah. Ibarat 

ranjang, aku adalah ranjang tak bertuan."

"Berarti ranjang bekas yang sudah jadi barang 

rongsok karena terlalu sering dipakai."

"Bukan begitu maksudnya!" Soka Pura bersun-

gut-sungut, tangannya meremas lebih keras. Purbawe-

ni meringis malu.

"Rupanya kau senang menggodaku supaya aku 

kesal, ya? Senyum mu menandakan kau suka meng-

goda hati seorang lelaki agar penasaran padamu, Pur-

baweni."

"Aku tersenyum bukan karena menggoda mu, 

tapi... tapi remasan tanganmu terlalu kuat, Soka."

Gelak tawa mereka bagai napas pencuri me-

nyusuri malam yang sepi. Sambil tertawa, Purbaweni 

punya alasan untuk sandarkan kepala di pundak So-

ka. Dari kepala bersandar, lama-lama tangan mengelus 

lengan. Soka Pura kian berdebar-debar. Ia merasakan 

sentuhan lembut yang begitu indah, tak seindah sentuhan perempuan lain.

Purbaweni sendiri agaknya menaruh rasa ke-

pada Soka. Entah rasa kari ayam atau rasa rendang 

daging, yang jelas rasa itu telah membuat Purbaweni 

berdebar-debar ketika tangan Soka merangkulnya dari 

samping. Ia dipeluk oleh pemuda tampan itu. Pipi Soka 

menempel di keningnya. Purbaweni semakin tenggelam 

dalam keindahan yang sukar dibayangkan.

"Malam yang begini dinginnya, ternyata masih

bisa dikalahkan dengan kehangatan si konyol ini!" gu-

mam hati Purbaweni dengan senyum berseri-seri.

"Kau sudah pernah tunangan, Purbaweni?" 

tanya Soka lirih. itu pun dengan nada ragu dan hati-

hati, karena takut menyinggung perasaan si gadis can-

tik.

"Mengapa kau tanyakan hal itu?" Purbaweni 

ganti bertanya.

"Jika kau sudah tunangan, tentunya aku harus 

lebih hati-hati bersikap begini padamu. Takut kalau 

tunangan mu melihatnya, bisa-bisa aku dibunuhnya."

Purbaweni tertawa seperti angin berhembus di 

sela cahaya rembulan.

"Aku belum pernah tunangan. Dulu aku lang-

sung menikah dan...."

"Hahhh...?!" Soka tersentak kaget, segera reng-

gangkan jarak dan memandang dengan mata terbela-

lak. Purbaweni tertawa cekikikan.

"Aku hanya bercanda," ujarnya di sela tawa 

membuat Soka Pura hembuskan napas lega.

"Dulu aku pernah mau menikah, tapi gagal."

"Mengapa sampai gagal?"

"Kekasihku diambil orang! Sampai sekarang 

aku sebenarnya tak mau berhubungan intim dengan 

seorang lelaki mana pun. Tapi kepadamu, entahlah... 

mengapa aku cepat menjadi akrab dan merasa seperti


sudah lama saling kenal. Mungkin kau memakai ilmu 

pelet sehingga aku terpikat padamu."

Soka nyaris tertawa lepas. Untung ia bisa sege-

ra kendalikan suaranya.

"Anggap saja aku pakai ilmu pelet. Lalu bagai-

mana menurutmu jika benar begitu?"

"Ya, sudah! Sudah telanjur lengket mau diapa-

kan lagi," jawab Purbaweni dengan suara renyah me-

naburkan keindahan di hati Soka.

"Seandainya dulu...," Purbaweni ingin bicara la-

gi. Tapi tiba-tiba ia hentikan suaranya. Kepalanya yang 

merebah di dada Soka dengan rambut dielus lembut 

itu tiba-tiba menjadi tegak. Pandangan matanya tertu-

ju ke arah jalanan desa yang diterangi oleh lampu mi-

nyak. Cahaya rembulan ikut menerangi jalanan terse-

but, sehingga mata Purbaweni menemukan sesuatu 

yang sangat mengejutkan.

"Ada apa, Purbaweni?!" bisik Soka Pura ikut-

ikutan tegang.

"Lihat perempuan yang lari ke arah barat itu?!"

"Hmmm... ya! Perempuan berjubah jingga itu 

maksudmu?!"

"Benar! Dan perhatikan apa yang dibawa oleh 

tangan kirinya itu!"

Soka Pura mengecilkan matanya untuk dapat 

memandang dengan jelas. Sebab perempuan berjubah 

jingga itu makin lama semakin menjauh, sehingga tak 

dapat di lihat dengan jelas.

"Aku tak bisa melihat apa yang dibawanya. Se-

pertinya sebuah... sebuah pedang?! Apa benar sebuah 

pedang?!".

"Ya! Dan itulah yang dinamakan Pedang Bulan 

Madu!"

"Apaaa...?" Soka Pura terperanjat sekali men-

dengarnya.


"Cepat beri tahu Raka dan Nalapraya! Aku akan 

mengejar perempuan itu!" ujar Purbaweni, lalu segera 

melesat tinggalkan tempat tanpa pedulikan kebengon-

gan Soka Pura.

Melihat Purbaweni melesat pergi dengan kece-

patan tinggi, Soka Pura pun segera masuk ke dalam 

rumah dan menemui Nalapraya yang sedang ngobrol 

dengan Raka.

"Pedang Bulan Madu sudah dicuri orang! Seka-

rang sedang dikejar oleh Purbaweni!"

"Celaka! Siapa yang mencurinya?!" tanya Nala-

praya, tapi tak mendapat jawaban dari Soka, sebab 

Soka sendiri segera berlari keluar menyusul Purbawe-

ni.

"Jangan-jangan kau salah lihat, Purbaweni!" 

ujar Nalapraya kepada adiknya ketika mereka berem-

pat telah bergabung kembali.

"Tidak! Aku tidak salah lihat! Gagangnya di 

bungkus dengan kain merah kumal. Dan sarung pe-

dangnya yang terbuat dari perunggu itu tampak 

menghitam. Bentuk bunga wijayakusuma yang sedang 

menguncup masih tampak jelas di ujung sarung pe-

dang itu!"

Nalapraya akhirnya percaya dengan pengliha-

tan adiknya. Karena ia ingat bahwa Purbaweni pernah 

ikut Eyang Buyut Sabandanu, semasa tokoh sakti itu 

masih hidup. Purbaweni juga sering melihat dan me-

megang-megang pusaka itu dengan rasa kagum. Tak 

heran jika Purbaweni masih ingat dengan ciri-ciri pe-

dang tersebut.

"Siapa perempuan yang membawa Pedang Bu-

lan Madu itu? Apakah kau mengenalinya?!" tanya Ra-

ka Pura sambil mereka tetap berlari ke arah barat, 

mengejar si pembawa pedang tersebut.

"Aku tak bisa melihat dengan jelas wajah orang


itu. Tapi dari jubah jingganya dan rambut kuning di-

konde sebagian, aku yakin dia adalah si Sampurgina!"

"Siapa?! Sampurgina?!" Raka dan Soka terkejut, 

nyaris terpekik bersama. Langkah mereka sempat ter-

henti sejenak, karena dalam benak kedua Pendekar 

Kembar itu sama-sama terbayang wajah cantik bertu-

buh tinggi, sekal, dan montok milik Sampurgina. Me-

reka pernah saling bertemu dengan Sampurgina dalam 

peristiwa memburu kitab pusaka, (Baca serial Pende-

kar Kembar dalam episode: "Korban Kitab Leluhur").

Mengingat perangai Sampurgina yang gemar 

bercinta dan berselera tinggi dalam bercumbu, menu-

rut Raka memang sangat memungkinkan jika Sampur-

gina mencuri Pedang Bulan Madu. Karena dengan 

memiliki Pedang Bulan Madu, perempuan bekas mata-

matanya mendiang Nyai Keramat Malam itu dapat me-

lampiaskan gairahnya sepanjang malam berhias rem-

bulan. Raka juga ingat keterangan Dewa Perintang, 

bahwa gagang Pedang Bulan Madu jika terkena sinar 

rembulan dapat berubah menjadi sesosok pemuda 

tampan yang gagah perkasa, yaitu Pangeran Maha 

Rayu.

"Tapi aku tak habis pikir, dari mana Sampurgi-

na bisa memperoleh keterangan tentang pedang itu 

dan makam eyang buyut kalian!" ujar Raka kepada 

Purbaweni dan Nalapraya.

"Kudengar sejak kematian Nyai Keramat Ma-

lam, yang tak tahu dibunuh oleh siapa," kata Purba-

weni. "Sampurgina bergabung dengan Istana Bara. Ia 

menjadi salah satu dari pengawal Ratu Rias Rindu. 

Menurut kabar yang kudengar dari seorang mata-mata 

perguruanku yang menyusup ke Istana Bara, sang Ra-

tu menerima kehadiran Sampurgina karena sebelum-

nya Ratu Rias Rindu punya hubungan baik dengan 

Nyai Keramat Malam. Bahkan dalam rencana berikut


nya, Ratu Rias Rindu akan kuasai Pulau Sambang 

yang tidak punya penguasa lagi itu."

"Kalau begitu, Sampurgina mendengar tentang 

rahasia makam eyang buyut kalian dari percakapan di 

dalam Istana Bara," ujar Soka menarik kesimpulan. 

"Kurasa sang Ratu juga tidak menduga kalau gerakan-

nya akan didahului oleh Sampurgina!"

Kesimpulan Soka itu memang benar. Ratu Rias 

Rindu tidak tahu kalau rencananya sudah didahului 

oleh Sampurgina. Sementara itu, Sampurgina sendiri 

tak peduli dengan murka sang Ratu. Ia berani berha-

dapan dengan Ratu Rias Rindu jika Pedang Bulan Ma-

du sudah ada di tangannya. Tak satu pun orang di da-

lam Istana Bara mempunyai praduga akan terjadi 

pengkhianatan yang dilakukan oleh Sampurgina.

Pada saat Pendekar Kembar lakukan pengeja-

ran terhadap Sampurgina, rombongan Ratu Rias Rindu 

baru saja tiba di makam Ki Sabandanu. Mereka terke-

jut sekali melihat gua yang sebagai makam itu dalam 

keadaan terbuka. Padahal semula gua itu ditutup den-

gan batu besar.

Rupanya Sampurgina telah hancurkan batu itu 

dengan jurus andalannya. Rombongan dari Istana Ba-

ra kecele setibanya di makam tersebut. Seandainya 

Soka dan Purbaweni tidak pacaran di luar rumah, 

mungkin mereka juga akan kecele begitu tiba di ma-

kam Ki Sabandanu.

"Rupanya kebiasaan 'mojokmu' punya manfaat 

sendiri dalam perkara ini," bisik Raka Pura kepada 

adiknya.

"Makanya, rajin-rajinlah 'mojok' biar jadi orang 

berguna!" balas Soka dalam bisikan. Mereka sengaja 

menghibur diri karena pengejaran mereka agaknya 

menemui kegagalan.

Sampurgina tak kelihatan batang hidungnya.


Batang tengkuknya saja tak kelihatan apalagi batang 

hidungnya. Tentu saja hal itu membuat mereka men-

jadi kecewa dan memendam kedongkolan, terutama 

Purbaweni dan Nalapraya sebagai pihak yang berkewa-

jiban menjaga pusaka leluhurnya itu.

Mereka tidur dl atas pohon ketika kelelahan 

sudah tak mampu disandang lagi. Raka Pura berada 

tak jauh dengan Nalapraya. Mereka berdua membiar-

kan Purbaweni tidur bersebelahan dengan Soka, tan-

gan mereka saling bergenggaman, seakan melaju da-

lam mimpi indah bersama-sama.

Esoknya mereka bergegas tinggalkan 'tempat 

tidur' ketika matahari mulai bergerak ke pertengahan 

langit. Seandainya tak terdengar suara ledakan meng-

gelegar yang menggetarkan pohon tempat mereka ti-

dur, mungkin mereka belum terbangun. Ledakan itu-

lah yang memancing semangat mereka untuk segera 

menyusuri jejak si pencuri pedang pusaka.

Sasaran pertama bagi mereka adalah suara le-

dakan yang didengarnya dua kali berturut-turut itu. 

Mereka bergerak bersama ke arah selatan dengan hati 

bertanya-tanya, "Siapa yang lakukan pertarungan di 

sebelah selatan itu?"

Rasa ingin tahu membuat mereka tiba di se-

buah lembah perbukitan tandus. Mereka ada di atas 

perbukitan yang tak seberapa tinggi itu. Dari sana me-

reka memandang ke bawah dan melihat dua orang la-

kukan pertarungan dengan sengit.

Tetapi pada saat itu, Nalapraya dan Purbaweni 

terkejut dengan sepasang mata mereka saling terbela-

lak. Raka dan Soka Pura juga segera ikut terperanjat, 

karena salah satu dari orang yang lakukan pertarun-

gan itu dikenal oleh si Pendekar Kembar. Orang terse-

but tak lain adalah Sampurgina.

"Tapi siapa gadis kecil yang melawan Sampur


gina itu?! Agaknya biar kecil tapi ilmunya cukup alot?!" 

bisik Raka Pura kepada adiknya. Bisikan itu didengar 

oleh Nalapraya yang segera menjawab pertanyaan ter-

sebut.

"Gadis kecil berpakaian hijau itu adalah Win-

damurni, adik kami!"

"Ooh...?" Raka dan Soka sama-sama terpekik 

kaget. Purbaweni sudah lebih dulu berkelebat menu-

runi lereng untuk membantu adiknya.

"Windamurni...! Minggirlah, biar ku babat habis 

pencuri itu!" teriak Purbaweni.

Rupanya gadis berusia sekitar dua puluh tahun 

yang mempunyai wajah cantik mungil itu tak sengaja 

memergoki Sampurgina menenteng pedang pusaka. 

Windamurni tahu persis dengan ciri-ciri pedang pusa-

ka milik mendiang eyang buyutnya itu, karena walau 

tak pernah melihat, namun ia sering mendengar cerita 

Purbaweni tentang pedang pusaka itu, terlebih setelah 

kasus tertangkapnya Nalapraya oleh pihak Istana Ba-

ra.

Windamurni bermaksud menghubungi seorang 

kenalannya yang tinggal di desa. tempat Raka dan 

rombongan ingin bermalam itu. Windamurni ingin 

minta bantuan sahabatnya untuk membebaskan Nala-

praya dari Istana Bara. Perjalanan itulah yang mem-

buat Windamurni justru memergoki si pencuri Pedang 

Bulan Madu. Ia pun berusaha merebutnya dari tangan 

Sampurgina.

Pada mulanya Sampurgina menyangka gadis 

muda itu berilmu rendah, karenanya ia tak mau guna-

kan Pedang Bulan Madu. Tetapi ternyata dua kali pu-

kulannya yang bersinar merah itu dapat ditahan oleh 

tenaga dalam lawannya, hingga timbulkan

ledakan menggelegar tadi. Maka ia putuskan 

untuk habisi nyawa lawannya dengan Pedang Bulan


Madu.

Namun sebelum pedang itu dicabut, ia lebih 

dulu mendengar seruan Purbaweni. Matanya meman-

dang ke arah perbukitan, ia menjadi terkejut karena di 

sana selain ada Nalapraya juga ada Pendekar Kembar.

"Celaka! Jika Pendekar Kembar turun tangan, 

aku bisa terdesak dan pedang ini bisa jatuh ke tan-

gannya!" pikir Sampurgina.

Ujarnya lagi dalam hati, "Mereka bisa menge-

pungku dan menyerang bersama-sama. Gila! Mana 

mungkin aku dapat melawan lima orang yang tampak-

nya bukan orang-orang berilmu rendah itu?! Sebaik-

nya aku melarikan diri saja!"

Pedang tak jadi dicabut, Sampurgina berbalik 

arah dan segera melesat tinggalkan mereka. Namun 

gerakan itu sudah diduga oleh Raka Pura. Karenanya, 

sebelum Sampurgina bergerak melarikan diri, Raka 

Pura sudah lebih dulu berkelebat menggunakan jurus 

'Jalur Badai'-nya. Wuuuz, wuuuz...! Soka Pura pun 

ikut bergerak dengan jurus 'Jalur Badai'-nya ke sisi 

lain. Mereka menghadang di beberapa sisi, sehingga 

ketika Sampurgina ingin larikan diri, ia terpaksa hen-

tikan langkah karena kepergok Raka Pura.

"Tak perlu melarikan diri, Sampurgina! Kau 

akan selamat jika pedang itu kau serahkan pada ka-

mi!" ujar Raka Pura.

"Persetan dengan diri kalian, Keparat!" Sam-

purgina akhirnya nekat mencabut Pedang Bulan Ma-

du.

Ziling...! Suara desing pedang dilolos dari sa-

rungnya begitu mengiris hati siapa pun yang men den-

garnya. Walaupun sarung pedang telah menghitam 

dan kotor, tapi mata pedang itu masih bersih mengki-

lap dan mulai memantulkan cahaya matahari.

Claap...! Buuulll...!


Raka Pura melompat ke samping dan berguling 

di tanah ketika pantulan sinar matahari dari pedang 

itu mengarah ke dadanya. Akibatnya, serumpun se-

mak di belakang Raka terbakar oleh pantulan cahaya 

matahari dari pedang itu.

"Raka...! Hati-hati!" teriak Nalapraya yang tak 

berani mendekat karena pedang telah dicabut dari sa-

rungnya. Purbaweni pun mundur bersama Windamur-

ni, karena mereka tahu bahaya besar telah datang dari 

Pedang Bulan Madu itu.

Tetapi Raka Pura bagai orang tak lupa istilah 

takut. Ia bangkit dan segera mencabut Pedang Tangan 

Malaikat. Sraaang...!

"Heeaat...!" Sampurgina melompat dengan pe-

dang ditebaskan ke kanan kiri. Pantulan cahayanya 

membakar rumput dan pohon sekitarnya. Blub, blub, 

buuulll...!

Weess...! Pedang Bulan Madu menebas, nyaris 

kenai leher Raka Pura jika si Pendekar Kembar sulung 

tidak segera berguling ke tanah lagi.

Melihat kakaknya dalam bahaya kesaktian Pe-

dang Bulan Madu, Soka pun segera bertindak untuk

membantu kakaknya. Ia segera mencabut pe-

dang kristalnya dengan tangan kiri. Sraaang...!

Tetapi pada saat itu, Raka Pura sedang te-

baskan pedangnya dari atas ke bawah pada saat Sam-

purgina gagal menerjangnya dengan Pedang Bulan 

Madu. Weess...! Claaap...!

"Aaaakh...!" Sampurgina terpekik keras. Nala-

praya dan kedua adiknya itu terperanjat melihat pung-

gung Sampurgina nyaris terbelah dengan mengerikan 

sekali. Padahal pedang Raka tak sampai menyentuh 

punggung Sampurgina, masih kurang sekitar dua 

langkah.

Mereka tak tahu bahwa Pendekar Kembar


mempunyai jurus pedang yang dinamakan jurus 

'Nenek Petir', di mana pedang kristal mereka mampu 

merobek tubuh lawan dalam jarak tiga langkah, tanpa 

harus menyentuhnya.

"Aaagggrr...!" Sampurgina masih paksakan diri 

untuk bangkit. Rupanya ia kerahkan tenaga penghabi-

san untuk mengamuk di depan lawan-lawannya. Pe-

dang Bulan Madu ditebaskan secara membabi buta 

sambil ia melompat menerjang Raka.

Dengan gerakan lincah, Raka Pura bersalto ke 

belakang beberapa kali menggunakan ujung pedang-

nya sebagai tumpuan ke tanah. Wuk, wuk, wuk...! Tapi 

kilatan cahaya matahari yang memantul melalui Pe-

dang Bulan Madu itu menyambar ke sana-sini, nyaris 

kenai kaki Raka Pura.

Claaap, buul...! Claaap, buul..! Claap, buulll...!

Amukan Sampurgina bersama Pedang Bulan 

Madu membuat suasana hutan di lembah itu menjadi 

seperti neraka. Api berkobar di mana-mana, sementara 

Nalapraya dan kedua adiknya mundur sampai ke le-

reng perbukitan. Tetapi Pendekar Kembar: Raka dan 

Soka, masih tetap hadapi amukan Sampurgina.

Mereka bertarung bagai di dalam kobaran api 

neraka. Semua tempat terkurung oleh kobaran api 

yang sulit dipadamkan sebelum benda yang terbakar 

menjadi arang. Sementara Soka dan Raka sangat ber-

hati-hati dalam bertindak, karena mereka tak ingin 

membuat Pedang Bulan Madu hancur oleh jurus pe-

dang gabungan mereka yang dinamakan jurus 'Lidah 

Dewa' itu.

"Majulah kalau kalian benar-benar merasa ber-

nyawa ganda!" teriak Sampurgina dengan liar. Pende-

kar Kembar sibuk hindari setiap gerakan pedang yang 

memantulkan cahaya matahari.

Kejap berikut, Raka Pura memancing perhatian


Sampurgina dengan teriakan keras.

"Heeaaaat...!"

Sampurgina segera arahkan pedangnya kepada 

Raka sambil berbalik arah. Mata pedang memantulkan 

sinar, Raka sudah siap untuk menghindarinya.

Namun pada saat itu pula, Soka Pura segera 

bertindak cepat. Ia berkelebat menebaskan pedangnya 

dalam jarak tiga langkah. Wees...! Claap...! Angin teba-

san itu memercikkan sinar ungu tipis, seperti yang ter-

jadi pada saat Raka berhasil lukai punggung Sampur-

gina. Sinar itu memotong pergelangan tangan Sampur-

gina dengan ketajaman melebihi sepuluh mata pedang!

Craaas...!

"Aaaa...!" Sampurgina memekik keras-keras. 

Pergelangan tangannya putus seketika itu pula, Pe-

dang Bulan Madu pun jatuh ke tanah. Pluuuk.

Soka Pura segera berguling sambil menjejakkan 

kakinya. Wuuut, ploook...! Jejakkan kaki itu kenai lu-

tut Sampurgina. Perempuan tersebut terpental dan ja-

tuh terhempas dengan keras. Tangan kanan Soka se-

gera menyambar Pedang Bulan Madu. Wuuut...!

Kejap berikutnya, Soka Pura sudah berdiri te-

gak dengan kedua tangan menggenggam pedang; pe-

dangnya sendiri dan Pedang Bulan Madu.

"Aaakh... aaakh... aaakh...!" Sampurgina ter-

sentak-sentak tak bisa bangun. Raka Pura segera 

menghampirinya dengan tiga lompatan plik-plak. Da-

lam sekejap ia sudah berada di dekat adiknya, me-

mandang ke arah Sampurgina yang ketika itu segera 

menghembuskan napas terakhir.

Rupanya pada saat Sampurgina jatuh, ia tak 

tahu ada tonggak kayu runcing bekas pohon kecil yang 

patah beberapa waktu yang lalu. Jatuhnya tubuh 

Sampurgina itu diterima dengan sukarela oleh tonggak 

kayu tersebut, sehingga tonggak kayu pun menerobos


masuk tanpa permisi dari pinggang kiri tembus ke pe-

rut.

"Tak mungkin kita selamatkan dia lagi!" ujar 

Raka Pura.

"Aku tak sengaja membunuhnya! Tapi mungkin 

memang begitulah takdirnya. Siapa yang tahu?!"

"Lekas keluar dari kurungan api ini!" sambil 

Raka Pura mendahului bergerak dengan menggunakan 

jurus 'Jalur Badai'-nya. Wuuus...! Pendekar Kembar 

bungsu pun menyusul. Wuuuzz...!

Nalapraya dan kedua adiknya dalam kecema-

san yang menegangkan. Mereka tak bisa melihat perta-

rungan Pendekar Kembar melawan Sampurgina karena 

kobaran api menutupi pandangan mata mereka. Na-

mun ketika Pendekar Kembar muncul dari kobaran api 

secara bersusulan, wajah tegang mereka menjadi men-

gendur. Nalapraya dan kedua adiknya yang cantik-

cantik itu semakin berseri-seri ketika melihat Pedang 

Bulan Madu berada di tangan kanan Pendekar Kembar 

bungsu. Mereka segera menyambut kehadiran Pende-

kar Kembar yang badannya basah kuyup oleh keringat 

karena seperti baru saja keluar dari neraka.

Sekalipun tubuh Pendekar Kembar basah oleh 

keringat, namun Purbaweni tidak peduli. Ia segera 

memeluk Soka dan luapan kegembiraannya membuat-

nya tak sadar; ia mencium wajah Soka, bahkan ci-

uman itu sempat mampir sebentar ke bibir si Pendekar 

Kembar bungsu.

Cup, cup, cup...!

Windamurni terbengong, namun segera melirik 

Raka Pura. Yang dilirik berlagak tidak merasa, dan se-

gera bicara kepada Nalapraya. Windamurni sempat 

merasa kesal, namun rasa kesalnya terobati begitu 

memandangi Pedang Bulan Madu sudah diserahkan 

Soka Pura. ke tangan Purbaweni.


"Rasa-rasanya kami tak berani menyimpan pe-

dang ini. Pasti akan menjadi incaran orang-orang se-

sat!" ujar Nalapraya. "Bagaimana jika dikembalikan ke 

makam Eyang Buyut saja?!"

"Pasti akan diincar pencuri lagi!" ujar Winda-

murni yang bersuara bening itu.

"Hei, lihat... siapa yang berdiri di atas perbuki-

tan itu?!" seru Soka Pura yang membuat mereka terpe-

rangah kaget.

Sosok tua berjubah biru yang tak lain adalah 

Dewa Perintang ternyata sudah ada di puncak perbuki-

tan agak jauh dari mereka. Namun karena ia berdiri di 

atas batu tinggi, maka kehadirannya tampak jelas dari 

tempat mereka.

Tiba-tiba Purbaweni ajukan pendapat kepada 

mereka.

"Bagaimana jika Pedang Bulan Madu ini diti-

tipkan kepada Dewa Perintang saja? Kurasa ia mampu 

menyelamatkan pedang ini agar tidak dijamah oleh 

orang-orang aliran sesat!"

"Kalau begitu, kita temui saja beliau. Apakah 

beliau bersedia atau tidak," ujar Nalapraya.

Akhirnya sahabat mendiang Eyang Buyut Sa-

bandanu itu menerima desakan mereka. Hal itu dipu-

tuskan setelah Dewa Perintang mempertimbangkan 

bencana yang akan terjadi jika Pedang Bulan Madu te-

tap menjadi bahan rebutan. Penghuni bumi dapat ha-

bis binasa hanya karena perebutan Pedang Bulan Ma-

du, seperti yang terjadi beberapa puluh tahun yang la-

lu, ketika Ki Sabandanu masih hidup.

"Kuharap tidak seorang pun dari kalian bicara 

kepada siapa saja tentang di mana pedang ini sekarang 

berada," ujar Dewa Perintang yang sudah tidak mena-

kutkan lagi bagi Purbaweni.

"Kami tetap akan merahasiakannya, Eyang!"


jawab mereka saling bersahutan.

"Kusarankan, sekarang perbaiki makam eyang 

buyutmu, Nalapraya! Aku akan hentikan perburuan si 

Rias Rindu, karena tampaknya ia tetap akan penasa-

ran sebelum mendapatkan pedang ini, atau sebelum 

nyawanya menghadang Yang Maha Kuasa!"

Blaab...! Mereka tersentak kaget. Petapa sakti 

itu tiba-tiba lenyap tanpa asap sedikit pun, tanpa be-

kas apa pun, selain hanya ucapannya yang terngiang di telinga mereka.


                              SELESAI



Segera terbit!!!

PEMBURU MAHKOTA DARAH








Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive