1
JIKA angin bergerak, maka dedaunan pun akan
mengikuti iramanya. Tetapi jika dedaunan bergerak ti-
dak sesuai dengan irama angin, itu pertanda bahaya di
balik dedaunan itu. Setidaknya ada sesuatu yang patut
dicurigai.
Tentu saja hal itu membuat sepasang mata
bening dan teduh milik seorang pemuda tampan ter-
paksa memperhatikan dengan sedikit mengecil. Pemu-
da tampan berbaju buntung warna putih dan celana
yang juga berwarna putih itu segera mundur dua lang-
kah. Gerakan daun ilalang yang tidak sesuai dengan
hembusan angin telah membuatnya memasang kewas-
padaan penuh siaga.
Pemuda berambut lurus sepundak tanpa ikat
kepala itu membatin dalam hatinya, "Ada apa di balik
semak ilalang itu? Macan, musang, rusa, kelinci, atau
buaya?"
Si pemuda bertubuh kekar dan gagah itu tak
lain adalah salah satu dari Pendekar Kembar. Melihat
pedang kristalnya yang bernama Pedang Tangan Ma-
laikat itu ada di pinggang kanan, berarti dia adalah si
Pendekar Kembar kidal, yang menggunakan pedang
dengan tangan kirinya, karena itu diselipkan di ping-
gang kanan. Bagi orang yang sudah mengetahuinya,
Pendekar Kembar bertangan kidal tak ada lain kecuali
si Soka Pura yang konyol itu.
Karena ia punya sifat konyol, penuh selera
canda, maka gerakan daun ilalang yang mencurigakan
itu hanya ditertawakan dalam hati. Yang terlihat pa-
danya hanya seulas senyum geli dengan sorot pandan-
gan mata tetap mengarah penuh waspada.
"Rupanya ada orang yang ingin berbuat ma
cam-macam padaku. Dia menghadangku di sana.
Hrnmm... sebaiknya aku pura-pura tak tahu saja!"
ujar Soka dalam hatinya.
Benar juga, Soka berlagak tidak mengetahui
ada sesuatu di balik semak ilalang tersebut. Ia sengaja
melangkah lebih dekat lagi. Bahkan kali ini ditambah
dengan siulan santai, seakan sedang menikmati pe-
mandangan di sekitar tempat itu.
ilalang yang tingginya melebihi orang dewasa
itu justru tidak bergerak ketika Soka lewat di depan-
nya. Semakin bertambah curiga lagi hati Pendekar
Kembar bungsu itu. Ekor matanya memperhatikan
semak ilalang itu.
Ternyata dugaan Soka memang benar, ada ba-
haya di balik semak ilalang tinggi itu. Karena tiba-tiba
ia melihat sekeping logam melesat dengan memantul-
kan cahaya matahari yang berkerilap. Ziing...!
Soka Pura meliukkan badan ke belakang.
Weess,..! Benda itu melesat lewat depan hidungnya
yang mancung kemudian menancap pada sebatang
pohon seberangnya. Jeeeb...! Ziiing...!
"Eh, datang lagi?!"
Wuuut! Soka Pura memutar tubuh setengah
lingkaran. Benda itu lewat di depan dadanya dan jatuh
di semak-semak seberang. Senyum Soka pun tampak
mengembang dengan mata menatap ke arah semak-
semak yang dicurigai.
Senjata rahasia yang ketiga melesat lagi dalam
jumlah dua keping logam putih mengkilap. Ziiing,
ziing...! Keduanya dihindari oleh Soka dengan lakukan
sentakan napas yang membuat tubuhnya melayang ke
atas bagaikan roket. Weees...! Jurus peringan tubuh
yang dinamakan 'Badai Terbang' itu membuat gerakan
Soka Pura lebih cepat dari gerakan dua senjata rahasia
tersebut. Akibatnya kedua senjata yang berbentuk se
perti daun bergerigi itu menancap pada dua pohon
yang saling berdekatan. Jeb, jeb...!
Kejap berikutnya Pendekar Kembar bungsu te-
lah menapakkan kakinya dengan tegak dan kokoh. Se-
nyumnya masih mengembang bikin lawan dongkol dan
penasaran.
"Habiskan semua senjata rahasiamu, bila perlu
bikin dulu sebanyak-banyaknya. Kutunggu kau di sini,
Sobat!" seru Pendekar Kembar bungsu dengan wajah
berkesan cengengesan.
Lawan yang tersembunyi itu makin dongkol.
Maka ia pun melepaskan kembali empat senjata raha-
sia yang sama bentuk dan rupanya dengan tiga senjata
yang sudah dilemparkan tadi.
Zrriing...!
"Eit, rombongan...?!" seru Soka Pura sambil
meliukkan badan ke kiri, lalu menyentakkan kaki dan
tubuhnya melayang dalam keadaan telentang dan se-
dikit melengkung, mirip atlet lompat tinggi yang se-
dang melintasi gawang. Weees...!
Tapi pada saat itu tangan Soka Pura sempat
pula menyambar ke atas, dan ternyata ia menangkap
salah satu dari keempat senjata rahasia tersebut.
Teeeb...! Sekeping logam putih berbentuk daun berge-
rigi itu kini terjepit di sela-sela jari tangan kirinya. Ge-
rakannya dilanjutkan dengan bersalto satu kali, ke-
mudian menapakkan kakinya ke bumi dengan tegak
dan kokoh. Jleeg...!
"Hei, Sobat...! Kudapatkan salah satu senjata
mu! Bagaimana jika kukembalikan biar kau bisa me-
lemparkannya kembali dengan benar?!"
Tangan kiri itu segera berkelebat melemparkan
senjata tersebut dari arah pundak kanan ke depan.
Zuiiing...!
Lemparan itu sangat cepat dan nyaris tak terlihat. Untung lawan yang ada di balik semak ilalang itu
mempunyai pandangan mata yang tajam, sehingga pa-
da kejap berikutnya terdengar suara pedang dicabut.
Srraang...! Disusul dengan suara denting logam bera-
du. Trring...!
Wees, pluk...! Senjata rahasia itu kembali ke
arah Soka, namun tak sampai kenai dada Soka sudah
jatuh ke tanah depan kaki pemuda tampan.
Rupanya daya pantul senjata tersebut tak terla-
lu kuat hingga tak sampai melewati tempat Soka berdi-
ri.
"Hah, hah, hah, hah...! Senjatamu melempem
begitu mengenaliku, Sobat!" ejek Soka Pura sengaja
memancing kemarahan orang misterius itu agar keluar
dari semak ilalang.
"Mengapa hanya senjata rahasiamu yang kau
lemparkan padaku, Sobat?! Ada baiknya kalau celana
mu pun ikut kau lemparkan padaku, barangkali bisa
kujual ke tukang loak buat sarapan esok pagi. Heh,
heh, heh, heh!"
"Hiaaaat...!"
Weeesss...! Tiba-tiba dari semak ilalang itu
muncul sesosok tubuh yang melesat bagaikan terbang.
Kecepatannya cukup mengagetkan Soka Pura bersama
teriakannya yang nyaring itu. Namun si Pendekar
Kembar bungsu segera sentakkan kedua tangannya ke
depan dalam keadaan menggenggam kuat. Genggaman
tangan itu mengeluarkan tenaga dalam besar yang di-
namakan jurus 'Tangan Batu'. Wuuukks...!
Jika jurus 'Tangan Batu' bisa dipakai untuk
menumbangkan pohon dari jarak sepuluh langkah,
maka sudah tentu jurus itu pun dapat melemparkan
orang yang ingin menerjangnya dengan kecepatan
tinggi itu. Baaaakh...!
"Ooukh...!" Orang itu memekik karena merasa
seperti membentur tembok baja yang amat tebal.
Hampir saja pedangnya yang terhunus itu patah jika
tidak segera disentakkan ke atas.
Brrukk...! Orang itu jatuh terbanting dengan
suara keras dan memprihatinkan sekali. Soka Pura
sempat pejamkan mata sekejap ketika mendengar sua-
ra bergedebuk cukup keras itu. Karena ia dapat mem-
bayangkan betapa sakitnya tubuh yang terbanting se-
keras itu setelah ditabrak tenaga dalam yang menye-
rupai dinding baja tadi. Setidaknya tulang-tulang tu-
buh akan merasa seperti remuk bagai ditimpa gunung.
Tetapi ternyata orang yang jatuh terbanting itu
hanya mengerang sebentar sambil memaki tak jelas,
kemudian ia segera bangkit kembali dengan pedang
dimainkan ke kanan kiri. Wiiik, wiik, wiik...! Ia henti-
kan gerakan dengan memasang kuda-kuda siap se-
rang. Pedangnya diangkat hingga melintang di atas ke-
pala, kedua kakinya merendah, salah satu ditarik ke
belakang.
Soka terkesiap memandang lawannya yang ter-
nyata adalah seorang gadis berusia sekitar dua puluh
dua tahun. Sesuatu yang membuat Soka menjadi ter-
peranjat adalah wajah si gadis yang ternyata heboh se-
kali. Maksudnya, cantik sekali. Wajah itu mirip wajah
bidadari yang pulang dari kursus kecantikan. Benar-
benar mengagumkan sekaligus mendebarkan hati.
Maka dengan sangat terpaksa Soka Pura pun
mengendurkan kuda-kudanya dan bersikap lebih ka-
lem dari sebelumnya. Pandangan mata si Pendekar
Kembar bungsu itu juga semakin tidak menampakkan
permusuhannya. Dengan langkah tenang, gadis itu di-
dekatinya. Si gadis berjubah buntung warna ungu bin-
tik-bintik kuning itu segera bergerak mengubah posisi
kuda-kudanya. Pedangnya berkelebat cepat dan kini
sudah berada di samping pundak, sedikit ke atas. Sea
kan siap di hujamkan ke tubuh kekar yang berhenti
dalam jarak lima langkah itu.
"Rupanya seorang bidadari yang menyerangku
dengan membabi buta tadi? Duhai... alangkah bodoh-
nya aku. Mengapa aku tidak membiarkan tubuhku di-
terjang oleh senjata rahasia itu biar puas hati mu. No-
na! Maafkan aku!"
Si gadis menggeram lirih, giginya menggeletuk
sebagai tanda bahwa ia tak tertarik dengan kata-kata
Soka tadi. Pandangan matanya semakin memancarkan
dendam dan kebencian.
Si gadis segera bergerak ingin menyerang, tapi
Soka Pura segera menahan dengan gerak mundur se-
langkah dan mengangkat tangan se dada.
"Tunggu dulu, Nona!"
Gadis itu hentikan gerakannya.
"Boleh saja kau menyerangku, tapi sebutkan
dulu apa alasanmu! Seingatku kita tak pernah saling
jumpa dan bikin perkara, mengapa kau begitu rajin
menyerangku, Nona?!"
"Jangan banyak mulut!" geram si gadis. "Kau
pasti orang Istana Bara! Sebelum kau menangkap ku,
lebih baik kukirim dulu kau ke alam kubur!"
"Sadis," gumam Soka sambil tertawa pendek. Ia
tetap kalem dan murah senyum.
"Kurasa kau salah sangka, Nona! Aku bukan
orang Istana Bara. Bahkan baru sekarang ku tahu
nama istana itu. Di mana letaknya, Nona?!"
"Hmmm!" si gadis mencibir sinis. "Tak perlu
berlagak bodoh kau, Setan neraka! Terima saja pedang
penjemput ajal ini! Hiaaah...!"
"Eee, eiit...! Sabar!" sergah Soka Pura sambil
semakin mundur. "Kalau aku mau, mudah sekali
membuatmu tunggang langgang seperti tadi, Nona! Ta-
pi aku tak ingin kita saling menyakiti, karena aku ya
kin kau pasti salah duga! Aku bukan orang Istana Ba-
ra! Aku berasal dari Gunung Merana. Namaku... Soka
Pura. Kakakku sedang pergi ke sungai seberang sana.
Dia bernama Raka Pura. Kami...."
"Cukup!" bentak si gadis dengan suara keras.
"Kau pikir aku mudah percaya dengan bualan mu?!"
"Oh, aku tidak pernah membual, Nona... kecua-
li jika kepepet! Tapi sekarang aku belum merasa kepe-
pet, sehingga tak perlu membual di depanmu! Ku mo-
hon, jangan teruskan murkamu itu padaku, karena ji-
ka aku mati dl tanganmu kau akan menyesal, dan jika
kau mati di tanganku aku yang akan menyesal!"
"Hmmm...!" si gadis mendengus sambil mengu-
bah posisi pedangnya ke samping kanan. "Boleh ku
tahu namamu, Nona?" Dengan nada sesumbar gadis
itu menjawab seraya menepuk dada.
"Perlu kau ketahui, akulah yang bernama Pur-
baweni, murid Eyang Pancadira, dari Bukit Selayang!
Aku yang akan datang ke Istana Bara untuk hancur-
kan istanamu itu jika kakakku tak kau bebaskan!"
"Kakakmu...?!" Soka Pura kerutkan dahi. "Siapa
yang kau maksud dengan kakakmu itu?!"
"Nalapraya...!" jawab Purbaweni dengan tegas.
Wajah pemuda tampan di depannya bertambah
heran dan bingung.
"Nalapraya...?!" gumamnya lirih. "Siapa Nala-
praya itu?!"
"Kakakku!"
"Iya, aku tahu. Tapi maksudku... aku tidak
mengenal nama itu. Sama sekali tidak ku kenal sedikit
pun! Karena... yah, karena aku memang bukan orang
Istana Bara, jadi tentu saja aku tak mengenalnya.
Hmmm... di mana dia sekarang?"
"Dasar tuli! Tadi sudah kubilang, aku akan
membebaskan kakakku dari penjara Istana Bara!"
"Ooo, ya, ya... aku tahu. Jadi kakakmu ditawan
di Istana Bara dan kau menyangka diriku sebagai
orang Istana Bara? Pantas kau tampak benci sekali
padaku!" Soka Pura tertawa pelan.
Tawa itu mendadak sirna ketika Soka melihat
seberkas sinar hijau melesat seperti meteor. Sinar hi-
jau itu datang dari atas pohon arah kiri Purbaweni.
Slaaap...!
Pendekar Kembar bungsu cepat-cepat sentak-
kan tangan kirinya dalam bentuk cakar tengkurap.
Dari tangan itu segera melesat sinar putih berbentuk
mata pisau yang segera melesat ke arah sinar hijau ta-
di. Claaap...! Kedua sinar itu bertabrakan di pertenga-
han jarak antara Purbaweni dengan pohon yang men-
geluarkan sinar hijau itu.
Blegaaarrr...!
Purbaweni kaget dan melompat ke samping ka-
nan. Ia sempat terpelanting karena terkena hempasan
angin gelombang ledakan dahsyat tadi.
Soka Pura cepat-cepat bertindak untuk yang
kedua kalinya. Setelah tadi ia gunakan jurus 'Cakar
Matahari', kini ia gunakan jurus 'Tangan Batu' dengan
mengepalkan kedua tangan dan disentakkan bersama
ke arah atas pohon tersebut. Wuuut...! Hawa padat da-
ri tenaga dalamnya meluncur cepat sekali dan meng-
hantam orang yang ada di atas pohon tersebut.
Bruuuss...!
"Aaaakh...!"
Brrruuk...!
Orang yang melepaskan sinar hijau tadi jatuh
dari atas pohon setelah terkena pukulan tenaga dalam
jarak jauhnya Pendekar Kembar bungsu. Begitu orang
itu jatuh dan menyeringai kesakitan, Soka Pura cepat-
cepat berkelebat menghampirinya dengan mengguna-
kan jurus 'Jalur Badal'-nya, yang mampu bergerak se
cepat badal yang paling cepat.
Wuuuz...! Dalam sekejap, Soka Pura seperti
menghilang dan tahu-tahu sudah berada di dekat
orang yang jatuh dari pohon. Purbaweni memandang-
nya dengan mata setengah melebar karena kagum dan
tak menyangka pemuda tampan itu mempunyai kece-
patan gerak segila itu.
Orang yang jatuh dari atas pohon itu ternyata
seorang lelaki bertubuh agak pendek dengan usia seki-
tar empat puluh tahun. Ia berkumis tipis dan beram-
but ikal, dengan mata kecil dan dagu datar. Soka Pura
segera mencengkeram baju hitam orang itu dan men-
gangkatnya dengan satu tangan. Sebelum orang itu
bergerak meronta, Soka Pura sudah lebih dulu melem-
parkan tubuh orang tersebut bagai membuang bangkai
anjing. Wuuus...!
"Huuaaa...!"
Brruukk...!
"Aaaakh...!" Orang itu memekik lagi ketika me-
layang dan jatuh di depan Purbaweni. Gadis itu me-
mandang dengan lebih terperanjat lagi, karena ternya-
ta ia sangat kenal dengan orang yang mau membu-
nuhnya itu. Kegeraman Purbaweni pindah ke orang
bertubuh kurus itu. Tapi sebelum Purbaweni bersuara,
Soka Pura lebih dulu perdengarkan suaranya dengan
senyum tetap mengembang di bibirnya.
"Apakah kau kenal dengannya, Purbaweni?!"
Purbaweni tidak menjawab pertanyaan terse-
but, namun ia segera menegur orang berpakaian serba
hitam itu dengan suara lantang.
"Kedung Boyo? Rupanya kau masih penasaran
denganku dan ingin membunuhku secara licik, hah?!"
Lelaki yang ternyata bernama Kedung Boyo itu
segera berdiri, walau pinggangnya masih terasa sakit
akibat jatuh, tapi ia paksakan diri untuk menjadi tegak
di depan Purbaweni.
"Sebelum aku bisa membalas kekalahan ku tiga
purnama yang lalu, kau masih tetap dalam incaran ku,
Purbaweni! Terlebih sekarang aku dibayar oleh Ratu
Rias Rindu untuk membunuhmu, kurasa cukup kuat
alasan ku mengapa aku menyerangmu secara licik!
Persetan dengan penilaianmu itu, licik atau tidak, demi
upah yang akan kuterima dari Ratu Rias Rindu, kau
harus mati sekarang juga, Purbaweni!"
"O, jadi sekarang kau berada di pihak Istana
Bara?"
"Kurasa tak perlu ku jelaskan lagi, yang pent-
ing, bersiaplah untuk menghadapi ajalmu, Purbaweni!
Heeeaah...!"
Kedung Boyo segera mencabut goloknya dan
melompat menerjang Purbaweni dengan tebasan golok
diarahkan ke leher gadis itu. Wuuut...!
Traaang...! Buuukh...!
Purbaweni menangkis tebasan golok itu dengan
mengibaskan pedangnya. Begitu pedang berhasil me-
nahan gerakan golok, kaki gadis itu menendang ke
samping dengan sedikit memutar tubuh. Tendangan
cepat tak diduga itu tepat kenai perut Kedung Boyo.
Akibatnya lelaki kurus itu terlempar ke belakang se-
jauh lima langkah dan jatuh terduduk dengan henta-
kan keras. Bluuuk...!
Soka Pura memejamkan mata sekejap, karena
ia dapat rasakan betapa sakitnya tulang ekor si Ke-
dung Boyo saat terhempas di tanah berbatu itu. Tak
heran jika Kedung Boyo menyeringai kesakitan.
Namun sebelum Kedung Boyo sempat berdiri,
Purbaweni telah datang menyerangnya dengan tendan-
gan berkelebat ke arah wajah lelaki kurus itu.
Wuuut...! Mau tak mau Kedung Boyo segera terdorong
dan berjingkat ke belakang ketika terjangan kaki Pur
baweni berhasil lolos dari wajahnya.
Begitu Kedung Boyo selesai berjungkal ke bela-
kang, ia segera menyabetkan goloknya ke arah bela-
kang. Kaki Purbaweni dijadikan sasaran utama golok
tajam berkilat itu. Wees...! Purbaweni cukup sigap dan
sudah menduga akan diserang kakinya, sehingga ia
pun sentakkan kedua kaki ke tanah dan tubuhnya me-
luncur naik sedikit dengan gerakan bersalto balik
Wuuut...! Begitu tubuhnya hendak menapak ke tanah
lagi, kaki kanannya sempat menendang ke depan bagai
sedang menendang bola. Wuuus, proook..!
"Aaaoww...!" Kedung Boyo yang kecele itu sege-
ra memekik, karena wajahnya terkena telak tendangan
kaki lawan dengan keras. Mulutnya sempat robek den-
gan gigi patah satu. Mulut itu berdarah dan lubang hi-
dung pun mimisan. Rupanya tendangan itu bukan se-
kadar tendangan biasa, namun disertai dengan cura-
han tenaga dalam yang cukup besar, sehingga Kedung
Boyo merasa seperti di sambar batu gunung sebesar
anak kerbau.
Purbaweni berdiri tegak dan menampakkan ke-
tegarannya. Pedang yang masih di tangan segera dipu-
tar sebagai permainan jurus baru yang akan diguna-
kan untuk serangan selanjutnya. Matanya melirik se-
kejap ke arah Soka Pura. Ternyata pemuda itu hanya
diam saja, berdiri dengan lengan kanan bersender pa-
da sebatang pohon dan matanya memperhatikan ke
arah Purbaweni. Pandangan mata yang saling bertemu
membuat Purbaweni menggeragap kecil dan cepat-
cepat alihkan pandangan ke lawannya.
Perhatian itu terlambat, karena pada waktu
Purbaweni melirik ke arah Soka, sang lawan segera ke-
luarkan pisau simpanannya dari balik baju. Pisau kecil
itu segera dilemparkan ke arah Purbaweni.
Wuuut...! Jubb...!
"Aaaakh...!" Purbaweni memekik dengan tubuh
segera terbungkuk. Pisau itu menancap tepat di bawah
betis kanannya. Kesempatan itu digunakan oleh Ke-
dung Boyo untuk segera menyerang dengan goloknya
dengan cara mengerahkan sisa tenaganya yang masih
ada.
Wuuut...!
Wees...! Bukhh...!
"Aaaakh...!" Kedung Boyo terpental ke samping
dan jatuh berguling-guling. Pinggang kanannya seperti
diterjang seekor banteng liar yang sedang mengamuk.
Ternyata terjangan itu berasal dari pukulan tenaga da-
lam jarak jauh yang dilepaskan oleh Soka Pura untuk
selamatkan Purbaweni dari ancaman maut golok Ke-
dung Boyo.
Wuuuuz...! Dalam setengah kejap Soka Pura
sudah berada di depan Purbaweni yang menyeringai
kesakitan karena terkena pisau beracun. Soka sengaja
membelakangi Purbaweni karena khawatir datang se-
rangan tiba-tiba dari Kedung Boyo.
"Kurasa kalian sudah sama-sama terluka, se-
baiknya hentikan saja pertarungan ini!" ujar Soka Pura
yang mencemaskan nasib Purbaweni jika racun pada
pisau itu cukup ganas.
Tetapi seruan Soka itu tidak dihiraukan oleh
Kedung Boyo. Lelaki itu segera bangkit dari jatuhnya,
memainkan jurus golok sebentar, kemudian lakukan
lompatan bersalto satu kali ke arah Soka Pura.
Wuuuk...!
Soka Pura agak jengkel. "Dilerai tak mau ber-
henti malah ingin menyerangku? Hmm... maaf saja ka-
lau aku terpaksa membuat isi perutmu keluar lewat
mulut, Kedung Boyo!"
Wuuut...! Kedua tangan Soka menggenggam la-
gi dan menyentak ke depan lagi. Pada saat itu, hawa
padat dari tenaga dalam jurus Tangan Batu' telah ke-
nai dada Kedung Boyo dengan sangat keras.
Bhaaaakh...!
"Huuukh...!" Kedung Boyo mendelik sambil tu-
buhnya terlempar ke belakang. Begitu jatuh ke tanah
dalam keadaan duduk, mulutnya segera memuntah-
kan hampir seluruh isi perut. Bahkan muntahan itu
bercampur dengan darah segar yang mengerikan.
"Edan! Dadaku seperti ditibani dengan batu la-
har yang sangat panas. Oouh...! Tak kuat aku kalau
begini! Uuhf...! Benar-benar remuk tulang dadaku jika
begini caranya!" pikir Kedung Boyo. "Sebaiknya ku
tinggalkan saja dulu si Purbaweni! Aku harus mencari
siasat lain untuk menyerahkannya kepada Ratu Rias
Rindu dan ditukar dengan sejumlah uang sesuai yang
dijanjikan oleh sang Ratu!"
Blas, blaaas...! Kedung Boyo segera berkelebat
pergi, tak tinggalkan pesan dan tak pamit sedikit pun.
Agaknya ia lebih butuhkan obat pengering luka da-
lamnya itu ketimbang harus berhadapan dengan Pur-
baweni dan pemuda asing yang belum dikenalnya itu.
"Tunggu kau, Kedung Boyo!" teriak Purbaweni
dengan berang, ia segera berusaha mengejarnya walau
kakinya terluka oleh pisau beracun itu.
*
* *
2
KALAU saja Purbaweni tidak dicegah oleh Soka
Pura, maka Kedung Boyo akan dikejarnya sampai da-
pat, dan urusannya akan diselesaikan sampai tuntas.
Tapi karena tangannya segera dicekal oleh Soka Pura,
maka Purbaweni pun urungkan niatnya untuk menge-
jar Kedung Boyo.
"Kakimu terluka," ujar Soka. "Tampaknya pisau
itu beracun. Lihat, dl sekeliling lukamu telah membiru
selebar itu. Berbahaya sekali untuk kesehatan nyawa-
mu, Purbaweni."
Purbaweni memandangi lukanya di bawah be-
tis. Badannya memang terasa mulai panas dingin, per-
tanda racun pisau itu mulai bekerja ke seluruh tubuh.
Tapi Purbaweni masih berusaha menahan rasa sakit
yang membuatnya berkeringat dingin itu. Ia menarik
napas panjang-panjang sambil menatap Soka Pura.
Mereka beradu pandangan mata selama dua helaan
napas.
"Ternyata dia memang bukan orang Istana Ba-
ra," pikir Purbaweni. "Terbukti ia melindungiku dari
ancaman maut si Kedung Boyo! Kalau tak ada dia,
mungkin aku sudah tidak bernyawa sejak Kedung
Boyo lepaskan pukulan dari atas pohon tadi. Hmmm...
apa yang harus kulakukan jika sudah telanjur begini.
Meminta maaf padanya? Ah, malu!"
Soka Pura bagai tak mengerti isi hati Purbawe-
ni, sehingga pertanyaan yang diajukan sama sekali tak
ada hubungannya dengan luka di kaki kiri Purbaweni
itu.
"Apakah kau tak percaya kalau pisau itu bera-
cun?!" sambil Soka Pura menuding pisau yang telah
dicabut oleh Purbaweni dan dibuang di tanah tak jauh
dari tempat mereka berdiri.
"Ya, aku tahu! Lalu bagaimana?!" ujar Purba-
weni masih bernada ketus untuk menampakkan harga
dirinya sebagai gadis yang punya harga diri di mata le-
laki.
"Bagaimana kalau ku sembuhkan? Kau tidak
keberatan?" Soka Pura masih gunakan tutur kata yang
lembut dan penuh keramahan. Senyumnya tetap
menghiasi bibir dan memperkuat sikap ramahnya.
Purbaweni sempat bingung menjawab sesaat.
Tapi matanya sudah tak menatap Soka Pura. Mata itu
menatap luka sambil perdengarkan suaranya.
"Apakah kau bisa?"
"Kurasa tak ada salahnya jika ku coba."
"Hmm, cobalah!" sambil Purbaweni menahan
tubuh yang seharusnya gemetar karena rasa sakitnya.
"Duduklah di batu itu," perintah Soka Pura
sambil menunjuk sebongkah batu di bawah pohon te-
duh. Purbaweni melangkah, kali ini ia terpincang-
pincang karena rasa sakit pada lukanya sudah menja-
lar ke seluruh tubuh. Dengan tanpa sungkan-sungkan
Soka Pura menuntun gadis itu. Lengannya dipegangi
dan dibawa menuju ke batu tersebut dengan pelan-
pelan.
Sepasang mata pemuda tampan itu menatap
dada Purbaweni yang mengenakan pinjung penutup
dada warna putih. Dada itu memang tidak montok dan
seronok, namun cukup sekal dan tampak mulus di ba-
gian tepian dua bukitnya.
"Boleh ku tempelkan tanganku di bagian atas
dadamu?" ujar Soka Pura, sok sopan.
"Hei, yang terluka adalah kakiku, bukan dada-
ku! Mengapa kau ingin menempelkan tanganmu ke
dadaku?!" sambil Purbaweni mengatupkan jubahnya di
bagian dada.
Soka Pura tersenyum kalem.
"Jurus pengobatan ku ini dinamakan jurus
'Sambung Nyawa’. Cara pengobatannya adalah me-
nyentuhkan telapak tanganku ke dada orang yang sa-
kit tanpa ada selembar benang pembatas."
"Cabul sekali kau?!" kecam Purbaweni.
Soka Pura angkat pundak. "Memang begitu caranya. Kalau kau keberatan, aku tak akan memaksa.
Tapi, yaaah... berarti aku tak bisa menolongmu!"
Purbaweni diam sesaat, agaknya gadis itu
mempertimbangkan cara yang dianggapnya seronok
dan kurang sopan itu. Soka Pura diam menunggu. Da-
lam hatinya sempat tertawa geli, karena jurus
'Sambung Nyawa' dapat dilakukan dengan menempel-
kan telapak tangan bukan hanya di bagian dada saja.
Namun bisa pula dilakukan melalui telapak kaki, tela-
pak tangan, lengan, tengkuk, dan sebagainya, asal ti-
dak terhalang oleh selembar benang pun.
"Kalau kau mempermainkan diriku, pedangku
akan memenggal kepalamu!" ancam Purbaweni sambil
mengangkat pedangnya.
"Aku tak keberatan! Kalau aku gagal mengobati
lukamu, kau boleh penggal leherku. Tapi bagaimana
kalau aku berhasil mengobati lukamu?"
"Hmmm... hmmm... kau boleh penggal leherku
juga!"
"Lalu untuk apa kuobati lukamu kalau akhir-
nya harus memenggal lehermu?" sambil Soka Pura ter-
tawa geli, namun tak sampai terbahak-bahak. Purba-
weni sendiri menjadi geli setelah memikirkan bahwa
ucapan dan perjanjian itu sebenarnya memang tidak
masuk akal. Gadis secantik bidadari itu akhirnya
sunggingkan senyum malu yang segera disembunyikan
dengan buang muka ke arah kiri.
"Kalau aku berhasil sembuhkan lukamu, kau
harus mau berdamai denganku dan menganggapku
bukan orang Istana Bara. Bagaimana? Setuju?!" ujar
Soka.
"Baik. Aku setuju."
Maka si gadis pun mulai membuka jubah yang
menutupi dadanya. Wajahnya tetap dipalingkan ke
arah lain, karena ia merasa malu dipegang bagian atas
dadanya, dekat leher. Soka Pura segera menempelkan
telapak tangannya pelan-pelan. Si gadis memejamkan
mata, karena Soka Pura pun juga memejamkan mata.
Namun ketika dirasakan ada hawa sejuk mere-
sap masuk melalui telapak tangan Soka Pura, si gadis
penasaran dan melirik sebentar.
"Ooh...?! Tangannya memancarkan cahaya un-
gu?" ujar hati Purbaweni.
Telapak tangan Soka memang memancarkan
cahaya ungu, seperti besi membara tapi berwarna un-
gu. Makin lama tubuh Purbaweni pun ikut-ikutan
memancarkan cahaya ungu hingga seluruh tubuh. Ke-
tika telapak tangan itu diangkat, tidak menempel lagi
di dada Purbaweni, ternyata tubuh Purbaweni masih
saja memancarkan cahaya ungu. Hati gadis itu sempat
waswas.
Namun ia juga merasakan kesejukan yang lain
dari kesejukan biasanya. Kesejukan itu membawa ke-
tenangan, kedamaian, dan kesegaran. Purbaweni kem-
bali pejamkan mata untuk resapi hawa sejuk yang
aneh itu..
Beberapa saat kemudian, cahaya ungu itu le-
nyap dari tubuh Purbaweni. Si gadis kembali bertubuh
seperti semula, putih mulus. Tapi ia masih memejam-
kan mata dan meresapi hawa sejuk yang sangat mene-
nangkan jiwanya yang tadi sempat berang itu. Ia tak
tahu kalau Soka Pura sudah berada agak jauh da-
rinya, berdiri di pohon depan dengan punggung ber-
sandar dan kedua tangan terlipat di dada.
"Jangan terlalu lama memejamkan mata, nanti
kau tertidur, Nona!" ujar Soka Pura. Purbaweni buru-
buru membuka mata dengan rasa malu.
Ketika ia memandangi lukanya, ia menjadi ka-
get bercampur heran, karena luka itu telah lenyap. Tak
tersisa sedikit pun kecuali darah di sekitarnya yang ju
ga telah ikut mengering. Sedangkan tempat yang ta-
dinya terluka itu telah menjadi rapat dan utuh seperti
sediakala. Kulit betis tetap tampak putih sedikit kun-
ing.
"Ajaib sekali!" gumamnya lirih, walau sebenar-
nya sempat didengar oleh Soka Pura. Pemuda itu
hanya sunggingkan senyum semakin lebar ketika Pur-
baweni menatapnya dengan terperangah.
"Kau seorang tabib rupanya?"
Soka Pura kembali angkat bahu sambil le-
paskan tangannya yang tadi bersedekap itu.
"Mungkin juga aku ini tabib. Tapi aku tidak
merasa menjadi tabib."
Purbaweni segera memasukkan pedangnya ke
sarung pedang. Setelah itu melangkah dekati Soka Pu-
ra.
"Jika kau bukan orang Istana Bara, lalu men-
gapa kau ada di sini?!"
"Apakah tak boleh?!"
"Ini tanah perbatasan Istana Bara!"
"Oo...?!" Soka Pura sedikit terperanjat.
"Sungai yang ada di seberang sana adalah garis
batas wilayah. Kau telah memasuki tanah wilayah is-
tana Bara!"
"Aku... aku tak sengaja memasuki wilayah ini!
Aku dan kakakku sedang dalam perjalanan menuju ke
Bukit Garang. Lalu, kakakku tiba-tiba merasa sakit
perut dan sekarang sedang menuju ke sungai sana.
Aku disuruh menunggu di sini. Nanti kami akan lan-
jutkan perjalanan lagi ke Bukit Garang. Jadi, kami tak
sengaja kalau memasuki batas wilayah istana Bara.
Kami pikir, jalan ini adalah jalan pintas untuk menca-
pai Bukit Garang."
Pendekar Kembar bungsu menjelaskan dengan
menampakkan kesungguhannya. Ia dan kakaknya
memang sedang dalam perjalanan ke Bukit Garang un-
tuk menemui Anggani. Karena mereka berdua berjanji
setelah selesaikan urusan mencari Daun Astagina, me-
reka akan kembali ke pondoknya si Hantu Muka Tem-
bok di Bukit Garang untuk menemui Anggani, (Baca
serial Pendekar Kembar dalam episode: "Perawan Bukit
Jalang" dan "Korban Kitab Leluhur").
Tetapi karena Raka Pura, si Pendekar Kembar
sulung merasa sakit perut, akibat kebanyakan makan
sambal sewaktu mereka singgah di sebuah kedai, ma-
ka Raka pun sempatkan diri untuk ke sungai mengu-
ras sakit perutnya, sementara sang adik disuruh me-
nunggu di tempat itu. Sampai akhirnya Soka diserang
oleh senjata rahasia milik Purbaweni itu.
"Jika begitu," ujar Purbaweni setelah menyimak
seluruh penjelasan Soka, "Kusarankan sebaiknya kau
dan kakakmu itu lekas-lekas keluar dari wilayah ista-
na Bara ini. Sebab jika tidak, maka kau akan ditang-
kap oleh Ratu Rias Rindu seperti kakakku; Nalapraya.
Kalian pasti akan dianggap mata-mata dari pihak la-
wan! Mungkin juga kalian akan menerima siksaan se-
begitu berat agar mengakui sebagai mata-mata pihak
lawan."
Soka Pura justru tersenyum, berkesan mere-
mehkan saran tersebut.
"Apakah Kedung Boyo tadi juga orangnya Ratu
Rias Rindu?!"
"Bukan. Kedung Boyo adalah orang Lereng Ajal,
yang beberapa waktu yang lalu pernah bentrok den-
ganku gara-gara ia tidak kuizinkan menemui guruku.
Hal itu kulakukan karena aku tahu orang Lereng Ajal
adalah orang-orang licik yang mengincar tanah subur,
seperti di tempatku. Dia sempat ku tumbangkan dan
lari dengan luka parah. Rupanya ia masih penasaran
padaku, ingin membalas kekalahannya waktu itu. Tapi
rupanya pula dendamnya itu dimanfaatkan untuk
mencari keuntungan sendiri. Ia bersedia menjadi orang
bayaran Ratu Rias Rindu untuk membunuhku!"
Soka Pura manggut-manggut dalam gumam ke-
cil. Kejap berikutnya ia ajukan tanya lagi dengan suara
lebih pelan dan serius.
"Mengapa Ratu Rias Rindu ingin membunuh
mu?!"
"Karena ia tahu hanya aku yang bisa membe-
baskan kakakku."
"O, begitu?! Hanya begitu saja dia sampai me-
nyewa orang untuk membunuhmu?"
Si gadis sedikit gelisah, tapi akhirnya menyam-
bung jawabannya yang agaknya tadi bermaksud dira-
hasiakan.
"Kurasa... kurasa Ratu Rias Rindu ingin me-
maksa kakakku agar mau mengatakan di mana kubu-
ran eyang buyutku: Si Sabandanu. Dengan membunuh
ku, lalu mayatku ditunjukkan kepada Nalapraya, ma-
ka sang Ratu berharap Nalapraya merasa takut jika
adikku pun: si Windamurni dibunuh juga jika ia tak
mau sebutkan di mana makam Eyang Buyut Saban-
danu."
Pemuda tampan berpedang kristal yang tampak
mewah itu segera kerutkan dahi. Ada sesuatu yang
mengganjal di hatinya dan perlu ditanyakan kepada
Purbaweni.
"Mengapa Ratu Rias Rindu ingin mengetahui
makam eyang buyut mu?!"
"Aku tak bisa katakan!" jawab Purbaweni pelan,
sepertinya berat sekali mengucapkan kata-kata itu.
"Katakan saja, Purbaweni! Aku bukan pihak
musuhmu. Aku juga bukan orang jahat, seperti Ke-
dung Boyo tadi. Sudah kukatakan, aku dan kakakku
dari Gunung Merana dan dalam perjalanan ke Bukit
Garang. Jadi aku tak punya maksud jahat apa-apa
padamu, atau pada keluargamu."
"Soka, ini rahasia keluarga. Aku tak bisa men-
gatakannya."
Soka Pura penasaran sekali jadinya.
"Ratu Rias Rindu pasti mengetahui rahasia ma-
kam itu. Jika Ratu Rias Rindu sudah mengetahuinya,
apakah hai itu akan menjadi rahasia lagi? Bukankah
Ratu Rias Rindu pasti akan bicara lebih dari sepuluh
orang? Dengan begitu makam tersebut bukan rahasia
lagi bagi siapa saja!"
Purbaweni menjadi bimbang, bahkan tampak
resah: Pandangan matanya memandang ke sana-sini.
Benaknya mempertimbangkan desakan Soka Pura itu.
Akhirnya ia berkata, "Kurasa aku harus segera
lanjutkan perjalananku yang tinggal sedikit lagi ini!"
"Kau mau ke mana?!" sergah Soka Pura.
"Ke Istana Bara! Aku harus bisa bebaskan ka-
kakku!" tegas Purbaweni.
"Apakah kau yakin dapat hadapi benteng per-
tahanan Ratu Rias Rindu hanya seorang diri begini?!"
"Tak ada pihak lain yang mau membantuku,
karena mereka tahu siapa Ratu Rias Rindu itu! Mereka
tak ingin mengorbankan nyawanya untuk sekadar
membebaskan Nalapraya."
Setelah berkata begitu, Purbaweni langkahkan
kakinya dengan cepat Namun suara Soka Pura buru-
buru terdengar dengan jelas sekali.
"Bagaimana jika aku berada di pihakmu?!"
Kata-kata itu membuat Purbaweni hentikan
langkah, tapi belum menengok ke arah Soka Pura. Ju-
stru pemuda itu yang mendekati Purbaweni dan me-
nyambung ucapannya tadi.
"Aku akan membantumu membebaskan Nala-
praya. Tapi aku harus tahu, ada apa dengan makam
eyang buyut mu itu?"
Kini si gadis cantik bak bidadari itu meman-
dang tak berkedip ke wajah Soka Pura. Ia diam bebe-
rapa saat, Soka pun diam. Mereka hanya saling pan-
dang hingga tiga helaan napas. Setelah itu, Purbaweni
perdengarkan suaranya dengan pelan namun punya
kesan tegas dan bersungguh-sungguh.
"Apakah kau bisa menyimpan sebuah raha-
sia?!"
"Jika kau butuhkan dengan bertaruh nyawaku,
maka akan ku pertaruhkan nyawaku demi terjaganya
rahasia itu, Purbaweni."
Mendengar pernyataan tersebut, hati Purbawe-
ni mulai berdebar-debar bangga. Ia menilai Soka Pura
pemuda bengal namun punya kesungguhan dalam
bersikap. Jarang sekali ia temukan pemuda bengal
yang bisa meyakinkan diri sebagai pemuda yang ber-
tanggung jawab. Purbaweni sendiri tak tahu, mengapa
hatinya begitu yakin dengan ucapan Soka Pura itu,
padahal biasanya ia tak mudah percaya dengan kata-
kata seorang lelaki, terlebih sekonyol Soka Pura.
Mungkin cara Soka bicara, cara Soka memandang, dan
sebagainya, dapat timbulkan rasa percaya diri pada
Purbaweni, sehingga gadis itu beranggapan demikian.
"Sebuah pusaka yang sudah lama tak pernah
diperebutkan di dunia persilatan, sekarang mulai di
usik lagi oleh Ratu Rias Rindu," ujar Purbaweni mulai
menjelaskan.
"Pusaka apa itu?" tanya Soka semakin ingin ta-
hu.
"Pedang Bulan Madu."
Pendekar Kembar bungsu hampir tertawa men-
dengar nama pusaka tersebut. Namun tawanya berha-
sil dipendam dalam hati, dan diwujudkan dalam se-
nyum lebar. Purbaweni tampak sedikit tersinggung
dengan senyum geli itu. Karenanya, Soka Pura buru-
buru bersikap serius kembali dan segera ajukan tanya.
"Apa hubungannya antara Pedang Bulan Madu
dengan makam eyang buyut mu itu?"
"Pedang itu ada di dalam makam Eyang Buyut
Sabandanu," Jawab Purbaweni. Soka Pura menggu-
mam dan manggut-manggut. Purbaweni menyambung
kata-katanya tadi.
"Sebelum Eyang Buyut Sabandanu wafat, be-
liau telah tinggalkan wasiat kepada para anak-cucunya
agar tidak mengusik ketenangan pedang pusaka terse-
but. Beliau ingin dimakamkan dengan pedang pusaka
itu dan siapa pun tak diizinkan untuk mengambilnya.
Ia merasa lebih baik terkubur bersama Pedang Bulan
Madu."
"O, Jadi sekarang Ratu Rias Rindu ingin men-
gambil pedang pusaka tersebut?"
"Tepatnya, ia ingin memiliki pedang tersebut.
Tapi ia tak tahu di mana makam Eyang Buyut, sehing-
ga ia menangkap kakakku yang tentunya akan dipaksa
agar tunjukkan di mana makam itu."
"Mengapa Ratu Rias Rindu mengetahui bahwa
di dalam makam tersebut ada pusaka Pedang Bulan
Madu?! Dari mana ia memperoleh penjelasan tentang
hai itu?"
"Nyai Cemeti Langit adalah ibu dari Ratu Rias
Rindu. Dulu, Nyai Cemeti Langit adalah murid dari
Eyang Buyut Sabandanu. Dan Nyai Cemeti Langit
mengetahui tentang terkuburnya Pedang Bulan Madu
bersama jasad Eyang Buyut. Kurasa, mendiang Nyai
Cemeti Langit beberkan rahasia pedang pusaka itu ke-
pada Ratu Rias Rindu sebelum ia tewas."
Soka Pura manggut-manggut lagi, kali ini gu-
mamnya lirih sekali. Penjelasan itu direnungkan bebe-
rapa saat, kemudian ia segera ajukan tanya lagi kepa
da Purbaweni.
"Lalu... di mana makam Eyang Buyut Saban-
danu itu berada?!"
Purbaweni membuka mulut sedikit, mau je-
laskan tentang hai itu, namun tiba-tiba niatnya untuk
berucap dibatalkan, karena tiba-tiba matanya melihat
sekelebat bayangan putih menyelinap di balik pohon
agak jauh di belakang Soka Pura. Purbaweni terperan-
jat dan sempat tegang. Ia segera mencabut pedangnya.
Hal itu membuat Soka Pura yakin ada sesuatu yang
tak beres di belakangnya. Namun ia sengaja tak me-
nengok ke belakang, bahkan bertanya dalam nada bi-
sik.
"Ada apa di belakangku?!"
"Seseorang ingin menyadap pembicaraan kita.
Kurasa dia adalah mata-mata Ratu Rias Rindu!"
"Oh...?! Di mana ia berada?"
"Tiga pohon di belakangmu, agak ke kanan se-
dikit!" bisik Purbaweni lagi dengan suara pelan sekali.
"Kalau begitu, biar ku tangani orang itu!" bisik
Soka Pura, lalu bersikap tenang kembali, seakan tak
ada bahaya yang mengancam.
Namun ia segera melangkah mundur sedikit
demi sedikit sambil bicara soal lain kepada Purbaweni.
Gadis itu sendiri segera mengambil sikap tenang, agar
siasat Soka Pura yang tentunya akan lepaskan seran-
gan mendadak itu tidak mencurigakan bagi bayangan
putih di balik pohon itu.
*
* *
3
HAMPIR saja Soka Pura melepaskan pukulan
mautnya yang dapat menumbangkan pohon yang men-
jadi tempat persembunyian si bayangan putih itu. Be-
runtung sekali si bayang putih segera muncul dari ba-
lik pohon tersebut dengan senyum mentah yang mem-
buat Soka Pura hempaskan napas panjang, membuang
rasa kesal dan menikmati rasa lega di hati. Karena
orang yang muncul dari balik pohon itu tak lain adalah
kakak kembarnya sendiri; Raka Pura, si Pendekar
Kembar sulung.
Purbaweni terperanjat sekali melihat kemuncu-
lan Raka. Matanya sempat tak berkedip selama tiga
helaan napas. Ia tak menduga sedikit pun kalau Soka
Pura ternyata mempunyai kakak kembar yang sulit di-
bedakan.
"Keduanya sama-sama tampan," gumam hati
Purbaweni. "Sama-sama berbadan tegap, tingginya
sama, potongan rambutnya sama, potongan pakaian,
dan warna pakaian juga sama, bahkan pedangnya pun
sama bentuk dan rupanya. Ooh... gawat! Bagaimana
aku bisa membedakan keduanya jika begini?!"
Sementara Soka Pura menjelaskan kepada ka-
kaknya perihal Purbaweni dan pusaka Pedang Bulan
Madu, gadis yang cantiknya mirip bidadari pulang dari
salon itu memandangi Soka dan Raka secara bergan-
tian. Hati gadis itu pun sibuk berkecamuk sendiri
mengomentari kesamaan rupa yang sulit dibedakan
itu.
"Keduanya juga sama-sama punya senyum
yang membuat hatiku berdesir-desir. Lagak lagunya ji-
ka berjalan juga sama persis. Hmmm... bisa-bisa aku
salah duga terus jika mereka tak memberi tanda untuk
membedakan yang mana Soka yang mana Raka?! Me-
mang senyum Soka tampaknya lebih ceria dan lebih
diobral. Tapi bagaimana kalau mereka sedang tidak
tersenyum? Dari mana ku bedakan diri mereka berdua
ini? Tahi lalat pun tak ada pada mereka. Sialan! Tam-
paknya aku harus hati-hati jika bertemu dengan salah
satu dari mereka; harus kutanyakan dulu siapa yang
berhadapan denganku: Raka atau Soka? Tapi bagai-
mana jika Raka mengaku Soka atau sebaliknya, toh
aku akan percaya saja."
Setelah beberapa saat memperhatikan kedua
pemuda kembar itu, akhirnya Purbaweni temukan ca-
ra membedakan mereka berdua.
"Hmmmm... ya, ya! Sekarang aku tahu cara
membedakan yang mana Raka dan yang mana Soka.
Letak pedang mereka berbeda. Raka di sebelah kiri,
sedangkan Soka menyelipkan pedangnya di sebelah
kanan. Ah, beres sudah! Aku tak akan terkecoh oleh
kesamaan mereka. Dan, astaga ..! Baru sekarang kuin-
gat cerita dari teman-temanku tentang munculnya
Pendekar Kembar yang ilmunya cukup dahsyat itu.
Apakah mereka berdua ini yang bergelar Pendekar
Kembar? Tapi mengapa Soka tidak menyebut dirinya
Pendekar Kembar?!"
Agaknya Raka Pura terpaksa menyetujui ren-
cana adiknya, membantu Purbaweni membebaskan
Nalapraya dari Istana Bara. Sebenarnya Raka Pura ku-
rang tertarik dengan persoalan tersebut. Tetapi ketika
Soka Pura jelaskan bahwa persoalan itu menyangkut
tentang pedang pusaka yang dapat menggegerkan du-
nia persilatan, maka Raka Pura pun akhirnya mendu-
kung rencana sang adik.
"Dunia persilatan akan menjadi gempar dan
mungkin juga akan menjadi kacau balau jika pedang
pusaka itu ada di tangan Ratu Rias Rindu. Keberadaan
kita sebagai Pendekar Kembar yang dihormati di rimba
persilatan akan dikecam habis oleh para tokoh jika ki-
ta tidak bisa selamatkan pedang pusaka tersebut. Ra-
ka. Aku lebih baik berhenti jadi pendekar jika tak be-
cus menyelamatkan pedang pusaka tersebut. Lebih
baik aku jadi kusir delman sajalah, tak perlu jadi pen-
dekar!"
"Hei, tadi kusuruh kau menungguku di samp-
ing gubuk itu, bukan kusuruh mencari perkara!" ujar
Raka dengan agak dongkol.
"Ah, kau ini...!" Soka sempat bersungut-sungut
segala. "Kalau kau tak mau membantunya, ya sudah.
Biar aku sendiri yang membantu Purbaweni!" bisik So-
ka dalam kasak-kusuknya.
"Aku tidak bilang begitu, Soka! Aku hanya ingin
tahu, sehebat apakah Pedang Bulan Madu itu? Sebe-
rapa besar bahaya yang ditimbulkan dari pedang ter-
sebut jika jatuh di tangan Ratu Rias Rindu?!"
Soka Pura sentakkan pundak, tanda tak men-
gerti.
"Kurasa kau bisa tanyakan sendiri kepada si
bidadari itu."
"Bidadari yang mana?!"
"Purbaweni itu, maksudku! Tolol!" gerutu Soka.
Raka tersenyum tipis sambil geleng-geleng ke-
pala. Kecamannya pun terdengar sangat pelan, dan
hanya adiknya yang bisa mendengar kecaman terse-
but.
"Soka, Soka... tiap ada perawan cantik kau bi-
lang 'bidadari'. Padahal di bumi ini gadis cantik lebih
dari seribu orang. Lalu, alangkah banyaknya bidadari
turun dari kayangan? Mau apa mereka? Mau arisan di
bumi?!"
Raka Pura tak setuju jika Purbaweni dijuluki
'bidadari', karena menurut Raka kecantikan itu wajar
wajar saja. Barangkali karena Raka memang kurang
hobi mengagumi seorang wanita, kurang berminat
menggandrungi para gadis, maka menurut penilaian-
nya Purbaweni adalah gadis yang punya kecantikan
biasa, tidak seperti kecantikan bidadari.
Pendekar Kembar sulung memang sulit tertarik
kepada seorang wanita. Bahkan sering merasa takut
jika ada wanita yang mendekatinya, lebih-lebih terha-
dap yang mendekati sambil membawa kegenitannya.
Kadang Raka bukan saja takut, namun juga menjadi
muak. Berbeda dengan adiknya yang mudah tertarik
dengan seorang wanita, sehingga tanpa disambar pun
ia akan menyambar sendiri setiap ada kesempatan da-
lam kesempitan.
Kalau bukan karena desakan adiknya, Raka
Pura lebih suka lanjutkan perjalanan ke pondoknya
Hantu Muka Tembok daripada harus menemani gadis
cantik itu ke Istana Bara. Sekalipun demikian, Raka
pun akhirnya tunjukkan sikap persahabatannya pada
Purbaweni, sehingga dalam perjalanan menuju ke Is-
tana Bara, tak segan-segan ia tanyakan beberapa hai
tentang pusaka Pedang Bulan Madu itu.
"Sebetulnya, Pedang Bulan Madu itu tak terlalu
istimewa," ujar Purbaweni sambil melangkah di antara
Soka dan Raka. "Pedang itu hanya bisa membakar la-
wan jika lawan terkena pantulan sinar matahari dari
pedang itu. Api dari pantulan sinar matahari pada pe-
dang itu tak dapat dipadamkan sebelum sesuatu yang
di bakarnya habis menjadi arang."
"Selain itu?" pancing Raka.
"Selain itu...," Purbaweni tampak sedang memi-
kirkan sesuatu. Beberapa saat kemudian ia menyam-
bung kata-katanya tadi.
"Selain itu, pedang tersebut juga bisa dipakai
membelah baja setebal apa pun."
"Hanya itu keistimewaannya?"
"Ya, hanya itu," jawab Purbaweni.
"Hmmmm... tak terlalu istimewa sebenarnya,"
gumam Raka terang-terangan.
"Memang tak terlalu istimewa," timpal Purba-
weni. "Tapi aku sendiri tak tahu mengapa pedang itu
dulu pernah diperebutkan dan membuat geger dunia
persilatan. Bahkan sekarang Ratu Rias Rindu meng-
hendaki pedang tersebut. Padahal menurutku, tanpa
Pedang Bulan Madu pun Ratu Rias Rindu Sudan cu-
kup hebat. Ilmunya bukan ilmu murahan dan rendah.
Buktinya ia dapat gulingkan kekuasaan Raja Amuk
Jagal dan merebut istana serta wilayah kekuasaan Ra-
ja Amuk Jagal di Lembah Gerhana ini!"
"O, jadi semula Lembah Gerhana ini dalam ke-
kuasaan Raja Amuk Jagal?!" sela Pendekar Kembar
bungsu. "Lalu sekarang apakah Raja Amuk Jagal su-
dah tewas?!"
"Belum. Raja Amuk Jagal melarikan diri ke Pu-
lau Kancil."
Raka Pura baru ingin bicara, tiba-tiba di depan
langkah mereka, sekitar sepuluh langkah dari tempat
mereka berada, telah berdiri seorang kakek berjenggot
panjang warna putih. Kumis, alis, dan rambutnya yang
panjang juga berwarna putih. Mereka bertiga terkejut,
sehingga mulut Raka Pura masih tetap ternganga den-
gan mata pandangi si kakek berjubah biru muda itu.
Di tangan sang kakek menggenggam tongkat yang ba-
gian atasnya berbentuk kepala kobra.
Kedua tangan Purbaweni segera mencekal tan-
gan Raka dan Soka yang ada di tangan kirinya. Gadis
itu seakan memberi isyarat agar kedua pemuda kem-
bar itu jangan melangkah lagi dan lebih baik mundur
beberapa langkah. Pendekar Kembar yang merasa le-
bih heran lagi dengan cekalan tangan Purbaweni itu
segera menatap gadis itu. Wajah si gadis tampak san-
gat tegang, seakan ia melihat hantu berkeliaran di
siang hari.
"Celaka!" geram Purbaweni dengan suara berge-
tar, tampak sekali rasa takutnya terhadap kakek jubah
biru yang usianya sekitar sembilan puluh tahun.
"Mengapa kau ketakutan sekali, Purbaweni?!"
bisik Soka.
"Sebaiknya kita kembali ke arah semula. Kita
lewat jalan lain saja!" sambil Purbaweni menarik tan-
gan Pendekar Kembar dengan langkah mundur.
"Hei, tunggu dulu!" sergah Raka Pura. "Siapa
kakek tua itu dan mengapa kita harus kembali ke arah
semula?!"
"Dewa Perintang!" bisik Purbaweni. "Apakah ka-
lian belum pernah mendengar tentang Dewa Perin-
tang?!"
"Jelaskanlah!" desak Raka.
"Tapi tidak di sini! Kita segera pergi dari sini!
Akan ku jelaskan setelah kita jauh dari si Dewa Perin-
tang itu! Lekaslah...!"
Blaaas...! Purbaweni bergegas pergi lebih dulu
dengan gerakan cepat dari jurus peringan tubuhnya.
Rasa penasaran dan kebingungan membuat Pendekar
Kembar sama-sama mengikuti langkah Purbaweni, wa-
lau sebenarnya Pendekar Kembar ingin berhadapan
dengan kakek berjenggot sepanjang dada itu.
Dalam waktu sangat singkat, Pendekar Kembar
sudah bisa samai langkahnya dengan Purbaweni. Ga-
dis itu kembali berada di tengah-tengah, di antara dua
pemuda tampan yang bersikap melindunginya. Lang-
kah itu pun diperlambat, karena mereka sudah cukup
jauh dari Dewa Perintang.
"Purbaweni, berhentilah dulu. Jelaskan tentang
kakek itu tadi!" desak Raka Pura sambil mencekal len
gan Purbaweni, hingga langkah si gadis menjadi terta-
han. Akhirnya mereka berhenti di bawah gugusan bu-
kit cadas yang tidak begitu tinggi itu.
"Purbaweni, baru saja kukenal dirimu tapi aku
sudah menjadi ikut-ikutan bodoh dan pengecut seper-
timu!" ujar Raka Pura agak kesal, tapi tak tahu harus
dilampiaskan kepada siapa rasa kesalnya itu.
"Katakan alasanmu, mengapa kita harus lari
begitu kakek berjubah biru tadi muncul dl depan ki-
ta?!"
"Dewa Perintang bukan manusia biasa," ujar
Purbaweni sambil bernada tegang. "Dia seorang petapa
sakti yang usianya sudah cukup banyak. Kerjanya me-
rintangi tujuan seseorang. Siapa pun yang bertemu
dengannya, pasti akan menemui kegagalan. Sekecil-
kecilnya kegagalan dalam mencapai tujuan, tapi bisa
jadi akan mati di tangannya jika Dewa Perintang tidak
merestui tujuan orang tersebut."
"Aneh!" gumam Soka Pura. "Apa maksudnya
Dewa Perintang ikut campur dalam urusan tiap orang
yang punya tujuan?!"
"Entahlah! Yang jelas, menurut cerita kakekku,
dan beberapa pengalaman yang pernah ku alami, jika
kita bertemu dengan Dewa Perintang, berarti kita ha-
rus mengubah haluan. Kalau kita nekat, maka kita
akan mengalami bencana yang bisa saja akibat dari
ulahnya atau dari hal-hal lain!"
Raka Pura hembuskan napas. Ia menyesal
mengapa harus ikut lari dari hadapan Dewa Perintang.
Seharusnya ia tadi tak perlu ikut lari dengan Purba-
weni. Seharusnya ia tadi mendekati Dewa Perintang
dan menanyakan apa maksud kakek tua itu mengha-
dang di depan langkahnya.
Soka Pura pun mempunyai pemikiran serupa
dengan kakaknya. Bahkan menurut Soka Pura, ke
munculan Dewa Perintang tidak perlu membuatnya la-
ri dan ketakutan. Bila perlu Soka ingin singkirkan si
Dewa Perintang agar tak merintangi langkahnya.
"Bodoh amat aku ini!" gumam Raka dengan na-
da geram, seakan ia bicara pada diri sendiri.
Purbaweni mulai paham maksud hati kedua
pemuda kembar itu. Ia tahu bahwa kedua pemuda
kembar itu merasa malu jika harus menyingkir dari
hadapan Dewa Perintang. Tapi Purbaweni segera me-
maklumi, karena Pendekar Kembar belum mengetahui
kehebatan si Dewa Perintang tadi.
"Tak pernah ada orang yang mampu menerobos
Dewa Perintang. Jika ia bilang 'jangan teruskan lang-
kahmu' maka kita pun seharusnya tidak teruskan
langkah kita," ujar Purbaweni memberi penjelasan le-
bih lengkap lagi.
"Jika kita nekat teruskan langkah, ia akan
menghalangi dan tak seorang pun bisa lolos darinya.
Seandainya ia sudah berkata begitu, tapi orang terse-
but nekat ingin lanjutkan perjalanan, lalu ia menying-
kir dan membiarkan orang itu melanjutkan langkah-
nya, maka dalam beberapa waktu orang itu akan me-
nemui halangan yang lebih berbahaya; jatuh ke jurang,
dibunuh seseorang, atau digigit binatang berbisa,"
tambah Purbaweni dengan berapi-api.
"Apakah dalam hal ini, Dewa Perintang ada di
pihak Ratu Rias Rindu?!" tanya Soka kepada Purbawe-
ni.
Gadis itu diam sebentar, berkerut dahi tajam-
tajam, sepertinya ada sesuatu yang baru terlintas da-
lam benaknya. Ia pun segera memandang Soka Pura
dengan wajah tampak menjadi tegang lagi.
"Kurasa... dugaanmu itu ada benarnya, Soka!
Ratu Rias Rindu telah menyewa Dewa Perintang untuk
merintangi siapa saja yang ingin mencampuri urusan
nya dalam hal memburu Pedang Bulan Madu itu!"
"Apakah seorang petapa sakti bersedia disewa
untuk tujuan jahat?!" ujar Soka kepada Purbaweni.
"Aku tak tahu maksud hati Dewa Perintang. Tapi
Firasat ku tiba-tiba mengatakan begitu; Dewa
Perintang telah berhasil dibujuk dan disewa untuk
memihak Ratu Rias Rindu!" tegas gadis cantik itu. "Se-
bab... kurasa Dewa Perintang Juga mengetahui ten-
tang Pedang Bulan Madu, karena beliau kenal dengan
eyang buyut ku, Juga sering didatangi oleh Nyai Ceme-
ti Langit, semasa ibu Ratu Rias Rindu itu masih hi-
dup."
"Jika benar begitu, mengapa tidak kita singkir-
kan saja si Dewa Perintang itu?!" ujar Raka yang masih
berdiri di bawah pohon dengan satu tangan bersandar
pada pohon tersebut.
Tapi kemunculan Dewa Perintang tadi belum je-
las maksudnya, bukan?! Belum tentu dia bermaksud
menghalangi langkah kita menuju istana Bara. Mung-
kin justru dia ingin membantu membebaskan kakak-
mu, Purbaweni!"
"Ya, kemungkinan itu masuk akal sekali, Soka!"
timpal Raka Pura.
"Tidak mungkin! Itu tidak mungkin!" bantah
Purbaweni. "Menurut cerita mendiang kakekku, Eyang
Buyut Sabandanu pernah bentrok dengan Dewa Perin-
tang, entah perkara apa. Yang jelas bukan tentang Pe-
dang Bulan Madu. Jadi... kurasa tak mungkin ia me-
mihakku!"
Kedua kakak-beradik kembar rupa itu sama-
sama menghela napas panjang. Setelah mereka saling
membisu sesaat, Soka Pura segera perdengarkan sua-
ranya lagi yang ditujukan kepada Purbaweni.
"Lalu, sekarang apa yang harus kita lakukan,
Purbaweni?! Membatalkan rencana semula?!"
"Tidak! Apa pun yang terjadi, siapa pun orang
andalan Ratu Rias Rindu, aku tetap harus bebaskan
Nalapraya! Kita bisa lewat selatan, sedikit memutar tak
apa, tapi terhindar dari si Dewa Perintang."
"Begini saja," ujar Raka mengajukan usul. "Kau
dan Soka lewat selatan, sedangkan aku akan lewat ja-
lan tadi. Aku ingin tahu, apa maksud si Dewa Perin-
tang menghadang langkah kita tadi!"
"Jangan bodoh, Raka! Kau akan mati sia-sia ji-
ka nekat temui si Dewa Perintang."
"Setidaknya aku harus minta penjelasan kepa-
danya tentang maksud kemunculannya itu!"
Soka Pura dekati kakaknya dan berkata pelan,
"Apakah kau sudah tahu letak Istana Bara?"
"Belum!" jawab Raka dengan tegas. Soka Pura
mendorong punggung kakaknya sambil bersungut-
sungut.
"Belum tahu kok mau ke sana sendiri?! Bisa
nyasar ke pasar hewan kau!"
"Mungkin Dewa Perintang bisa menjadi peman-
du ku untuk menuju ke Istana Bara!" ujar Raka agak
ngotot.
"Dia akan memandu mu ke neraka!" sahut Pur-
baweni dengan nada suara menakut-nakuti. Tapi uca-
pan itu justru membuat Raka Pura tersenyum tawar.
"Kita coba saja dulu bagaimana jadinya jika ki-
ta berhadapan dengan Dewa Perintang! Jangan ciut
nyali dulu, Purbaweni!"
Soka menyahut, "Aku setuju dengan usulmu,
Raka! Kau lewat jalan yang tadi dan aku akan lewat se-
latan bersama Purbaweni!"
"Baik! Kalau begitu, kita berpisah di sini saja!
Sampai bertemu di depan Istana Bara!" ujar Raka Pu-
ra, kemudian segera bergegas pergi,
"Rakaaa...!" seru Purbaweni mengejar, ia tampak cemas sekali. Tetapi Soka Pura segera menahan
gerakan Purbaweni.
"Biarkan saja! Kakakku orang yang mudah pe-
nasaran! Kalau rasa penasarannya belum terjawab, ia
tak akan bisa tidur walau sampai tujuh hari tujuh ma-
lam."
"Tapi... tapi dia dalam bahaya besar jika nekat
menerobos perintangnya si petapa sakti itu, Soka! Kau
akan kehilangan kakakmu!"
"Jika begitu, mungkin aku terpaksa beli kakak
yang baru!" jawab Soka Pura dengan konyol, karena ia
yakin Raka mampu atasi Dewa Perintang dengan Pe-
dang Tangan Malaikat-nya.
Kelakar itu justru membuat Purbaweni men-
dengus kesal. Agaknya gadis itu benar-benar mence-
maskan diri Raka Pura. Sikap itu membuat Soka sedi-
kit iri dengan kesal. Akhirnya ia berkata kepada Pur-
baweni.
"Kalau kau masih tak percaya dengan kemam-
puan kakakku, sebaiknya kau ikut dia saja, dan aku
akan memutar lewat selatan!"
Purbaweni semakin bingung menentukan lang-
kahnya.
*
* *
4
MENURUT Purbaweni, belum pernah ada orang
yang senekat Raka Pura. Berani menghampiri Dewa
Perintang adalah perbuatan gila bagi Purbaweni. Pada
umumnya, orang merasa sangat beruntung jika ia bisa
hindari pertemuan dengan si Dewa Perintang. Tapi si
Pendekar Kembar sulung itu benar-benar orang yang
urat takutnya sudah putus, menurut Purbaweni.
Sedangkan yang bersangkutan sendiri tak per-
nah membayangkan risiko besar atau bahaya maut
yang akan datang menyerangnya. Raka Pura mengang-
gap si Dewa Perintang hanyalah manusia lanjut usia
yang patut dihormati sebagai orang yang lebih tua da-
rinya. Tak ada yang lebih pada diri Dewa Perintang ba-
gi Raka Pura. Karena itulah ia melangkah melewati
tempat semula dengan hati tenang, namun tetap pe-
nuh kewaspadaan.
"Ke mana si kakek berjenggot tadi?" gumam ha-
ti Raka Pura ketika tiba di tempat munculnya Dewa
Perintang tadi.
"Aku yakin di sinilah tempatnya si kakek ber-
jenggot tadi muncul tepat di depanku. Hmm... tapi ke-
lihatannya tempat ini sepi-sepi saja. Apakah ia pergi ke
tempat lain? Atau kembali ke istana Bara.
Jika memang benar ia orang sewaan Ratu Rias
Rindu?!"
Pandangan mata Raka menyapu seluruh alam
sekitarnya. Setiap semak belukar diperhatikan baik-
baik. Bahkan ia pun memandangi hampir tiap atas po-
hon yang diperkirakan layak sebagai tempat persem-
bunyian. Ternyata kakek berjubah biru dengan tongkat
kepala kobra itu tidak tampak batang hidungnya.
"Mungkin dia pergi ke tempat lain, merintangi
orang lain lagi! Sebaiknya ku tengok lewat atas pohon
biar lebih leluasa," pikir Raka, maka dalam sekejap tu-
buh Pendekar Kembar sulung itu sudah berada di atas
sebatang pohon tinggi. Dengan menggunakan Jurus
peringan tubuhnya yang dinamakan 'Badai Terbang', ia
meluncur naik bagaikan menghilang dari tempatnya
berpijak.
Dari atas pohon tinggi itu, pandangan mata
Raka Pura dibentangkan lebih lebar lagi. Ia mampu
memandang keadaan yang lebih jauh dari jarak pan-
dang saat berada di bawah tadi. Tapi ia tidak melihat
sekelebat bayangan biru atau kibaran jenggot dan
rambut putih si Dewa Perintang.
"Kurasa ia memang sudah tidak ada di tempat
ini. Untuk apa masih kucari Juga? Sebaiknya ku lan-
jutkan perjalananku menuju ke Istana Bara, su-
paya...."
Ucapan batin Raka Pura itu terhenti seketika,
karena pandangan matanya menemukan sesuatu yang
perlu dicurigai. Kedua mata teduhnya yang mengecil
untuk memperjelas apa yang dilihatnya.
"Hei, siapa itu yang terhuyung-huyung di dekat
gugusan cadas sebelah sana?! Hmmm... tampaknya
orang itu sedang mabuk. Eh, bukan... sepertinya... se-
pertinya orang itu dalam keadaan menderita?! Oooh...
rupanya ia juga harus bersembunyi?! Pasti ada orang
yang mengejarnya! Sebaiknya aku berada di pohon
bercabang dua itu biar lebih jelas lagi melihat wajah-
nya!"
Wuuuzz, wuuuzz...!
Dalam beberapa kejap saja Raka Pura sudah
berada di pohon besar bercabang dua. Pohon itu letak-
nya sangat dekat dengan gugusan cadas yang ting-
ginya seukuran sebuah pendopo. Dari pohon itu, Raka
dapat melihat orang yang tadi di incarnya dari kejau-
han.
Orang itu adalah pemuda berusia sekitar dua
puluh lima tahun, mengenakan pakaian merah yang
sudah robek-robek. Agaknya pakaian itu rusak karena
dicabik-cabik binatang buas atau sesuatu yang telah
menyerangnya. Wajah pemuda yang termasuk tampan
itu kelihatan bengkak dl sisi tulang pipinya yang kiri.
Ada memar membiru di beberapa tempat, termasuk di
rahang.
Pemuda tersebut bersembunyi dibalik gumpa-
lan cadas setinggi dua tombak. Gumpalan cadas itu
membentuk celah, dan pemuda itu masuk ke dalam
celah tersebut. Nafasnya tampak terengah-engah, den-
gan wajah penuh luka dalam keadaan tegang.
"Kasihan sekali dia! Agaknya ia habis lakukan
pertarungan yang tak seimbang," ujar batin Raka. "Ia
tidak membawa senjata. Hmmm... kurasa senjatanya
tertinggal atau hancur oleh serangan lawannya. Oh,
dadanya koyak dan berdarah?! Hmmm... sepertinya
luka itu bekas luka cambukan. Bilur-bilur yang melin-
tang dari kening ke pipinya itu juga seperti bilur-bilur
cambukan. Tapi siapa dia sebenarnya? Aku tak pernah
jumpa dengan pemuda itu!"
Raka Pura sengaja masih tetap berada di tem-
pat pengintaiannya, karena ia yakin pasti ada orang
yang memburu pemuda itu. Raka ingin tahu, siapa
pemburunya.
"Apakah si Dewa Perintang?!" tanyanya dalam
hati sendiri.
Tiba-tiba seberkas sinar merah sebesar bola te-
nis melesat dari arah timur. Sinar merah itu menghan-
tam bagian atas gugusan cadas yang membentuk celah
dan dipakai bersembunyi oleh si pemuda berbaju me-
rah itu.
Weesss...! Blegaaarrr...!
"Aaaa...!" Pemuda itu berteriak sambil lompat
keluar dari celah gugusan cadas tersebut. Ia berteriak
karena terkejut sekali begitu mendengar suara ledakan
dahsyat yang menghancurkan gugusan cadas tersebut.
Raka Pura sendiri juga terkejut dan hampir saja jatuh
dari atas dahan pohon tempatnya berpijak.
"Kutu kupret! Hampir aku jatuh dari tempat
sebegini tinggi!" gerutu hati Raka. "Gila! Pukulan jarak
jauh siapa tadi yang membuat cadas sebesar itu men-
jadi remuk semua?! Kurasa dia orang yang berilmu
tinggi. Hei... mana tadi si pemuda malang itu?!" Raka
Pura segera mencari dengan pandangan matanya.
"Oh, itu dia...?!" sambil matanya memandang
ke arah si pemuda berbaju merah yang terengah-engah
di balik sebatang pohon besar. Ia bersembunyi di sana,
merapatkan badan dengan akar-akar pohon yang ber-
bentuk pipih seperti dinding pemisah. Pemuda itu
tampak gemetar dan ketakutan sendiri. Jaraknya se-
makin dekat dengan pohon tempat Raka mengintai.
Tiba-tiba mata Pendekar Kembar sulung meli-
hat sekelebat bayangan datang dari arah timur.
Wuus...! Disusul dengan dua bayangan lain yang juga
datang dari arah timur. Wees, weess...!
"Ooh, itu dia pengejarnya!" gumam hati Raka
dengan kepala sedikit geser ke kanan agar pandangan
matanya tidak terhalang dedaunan.
Pemuda berbaju merah itu terperanjat dan nya-
ris terpekik, karena tiga orang itu tiba-tiba muncul di
depannya. Tiga orang itu terdiri dari seorang perem-
puan berusia sekitar dua puluh tujuh tahun dan dua
orang lelaki berusia sekitar tiga puluhan tahun.
Kedua lelaki itu sama-sama bertampang bengis,
dan sama-sama mengenakan rompi hijau, celana hi-
jau, badannya kekar, dan gempal. Salah satu dari
mereka berkumis, sedangkan yang satunya tak
memiliki selembar kumis pun. Yang berkumis menge-
nakan ikat kepala merah, yang tidak berkumis berikat
kepala biru. Di pinggang mereka tergantung pedang le-
bar, menyerupai pedang pemenggal leher yang mem-
punyai pengait kecil khusus untuk digantungkan pada
sabuk hitam mereka.
Sedangkan perempuan yang agaknya menjadi
pimpinan kedua lelaki berambut lurus dan kaku se-
panjang pundak itu mengenakan jubah kuning ber-
bunga-bunga merah. Cerah dan meriah. Rambutnya
yang panjang disanggul naik dengan tusuk konde dari
logam perak berbatu merah kecil-kecil. Perempuan
yang bertubuh semok dan berdada montok itu menge-
nakan pinjung penutup dada warna merah jambu den-
gan kain bawahan Juga merah jambu.
Perempuan berwajah cantik itu mempunyai se-
pasang mata yang dingin, berkesan angkuh dan sinis.
Caranya memandang pemuda buruannya tampak se-
kali bahwa ia tak segan-segan mencabut nyawa lawan-
nya. Sekalipun ia termasuk perempuan berwajah can-
tik, namun di balik kecantikannya itu ia menyembu-
nyikan kebengisan yang tiada kenal pandang bulu.
"Haruskah aku turun tangan?!" pikir Raka
sambil tetap memperhatikan ketiga orang itu. "Ah, ku-
rasa tak perlu! itu urusan mereka. Jika aku meli-
batkan diri, mungkin akan berbuntut panjang. Se-
baiknya kuperhatikan saja tingkah mereka terhadap
pemuda
itu. Tapi... kasihan juga pemuda itu Jika tidak
ditolong. Ia dalam keadaan lemah dan sepertinya su-
dah tak mampu lakukan pertarungan melawan ketiga
orang itu."
Ucapan batin Raka dihentikan karena ia ingin
menyimak suara si perempuan yang mempunyai pe-
dang bergagang perak dan sarung pedangnya juga dari
perak ukir. Perempuan itu bicara kepada si pemuda
baju merah yang sudah gemetaran berhadapan den-
gannya.
"Ke mana pun kau lari, jalan sudah tertutup
untukmu! Semakin kau nekat, semakin dekat liang
kuburmu! Karenanya, supaya kau masih bisa berumur
panjang, sebaiknya menyerahlah! Jangan coba-coba
melarikan diri lagi!"
"Aku tak sudi menyerah!" sentak pemuda itu
masih membandel juga. Rupanya ia seorang pemuda
yang pantang menyerah. Terbukti ia berkata lagi kepa-
da perempuan itu.
"Lebih baik aku mati di tanganmu daripada kau
tangkap lagi, Kembang Setaman!"
Perempuan itu sunggingkan senyum sinis. Ra-
ka Pura membatin dalam hatinya, "O, perempuan itu
bernama Kembang Setaman! Lalu, siapa dua orang dl
belakangnya itu?"
Kembang Setaman tarik napas, tampak me-
mendam kemarahan atas kebandelan pemuda berbaju
merah itu. Akhirnya ia perintahkan kepada dua orang
yang ada di belakangnya itu.
"Bandra...!"
"Ya...!" sahut si pria berkumis yang ternyata
bernama Bandra. "Dan kau, Ubaya!"
"Hmmm...!" orang bertampang bengis yang ti-
dak berkumis itu hanya menggumam, menyerupai ge-
ram keganasan. Rupanya dia bernama Ubaya.
"Seret dia! Bawa ke istana!"
"Apakah tak sebaiknya kita bunuh saja, Kem-
bang Setaman?!" usul Ubaya.
"Dia masih kita butuhkan, jadi jaga nyawanya
jangan sampai minggat dari raganya! Setelah tidak kita
butuhkan, baru kau boleh habisi masa hidupnya se-
sukamu!"
Raka Pura sempat membatin, "Mau dibawa ke
Istana...?! Apakah maksud mereka adalah Istana Ba-
ra?! Oh, kalau begitu dia tawanan yang lolos dari pen-
jara Istana Bara?!" Raka mencoba menyimpulkan sen-
diri.
Yang bernama Bandra dan Ubaya segera maju
dekati pemuda berbaju merah itu. Tapi si pemuda se
gera pasang kuda-kuda. Agaknya ia masih tetap ingin
lakukan pemberontakan walau sudah banyak kehilan-
gan tenaga. Ketika Ubaya ingin mencekal tangannya,
pemuda itu segera gulingkan badan ke samping. Ia ce-
pat bangkit dengan satu kaki berlutut, kemudian tan-
gannya menyodok pinggang Ubaya dengan keras.
Buuukh...!
"Uuukh...!" Ubaya yang tak menduga bahwa
lawannya masih punya tenaga simpanan, segera terpe-
kik kaget dan terdorong ke samping beberapa langkah.
"Bocah Iblis!" geram Bandra, kemudian ia me-
lompat dengan cepat lakukan terjangan. Kakinya ber-
kelebat cepat kenai wajah pemuda tersebut. Prrok...!
"Aaauh...!" pemuda itu terjungkal ke belakang.
Belum sempat bangkit sudah dihajar dengan tendan-
gan Bandra lagi. Prrrook...!
Ia terhempas membentur pohon. Ubaya berke-
lebat ke arahnya. Tangan kiri Ubaya menjambak ram-
but pemuda itu, tangan kanannya menghantam wajah
si pemuda dengan keras. Plook...!
"Oowh...!" Pemuda itu mengerang kesakitan
sambil terhempas ke belakang, jatuh terkapar seben-
tar, lalu menggeliat bersama suara erangan yang lirih.
Hidung dan mulutnya mulai berdarah.
Raka Pura tak tega melihat keadaan si pemuda
yang tersiksa seberat itu. Sudah tak berdaya, masih
saja dihajar terus oleh Ubaya dan Bandra. Hati kecil
Raka mendesak untuk memberikan bantuan kepada
pemuda yang tersiksa itu.
Namun sebelum Raka bertindak, tiba-tiba
Kembang Setaman berseru kepada Bandra dan Ubaya.
Seruan itu membuat Raka Pura menahan gerakan un-
tuk sesaat.
"Buntungi saja kaki dan tangannya, tapi jaga
supaya ia tetap hidup!"
Bandra dan Ubaya segera mengambil pedang
lebarnya. Bandra ingin membuntungi kaki pemuda itu,
sedangkan Ubaya tampak bersiap membuntungi kedua
tangan si pemuda.
Namun sebelum mereka bergerak lebih lanjut,
Raka Pura turun dari atas pohon dengan gerakan se-
perti seekor camar menyambar mangsanya. Wuuuz..!
Jurus 'Jalur Badal' dipergunakan, sehingga Raka
mampu bergerak cepat dan nyaris tak terlihat lawan.
Tahu-tahu kedua orang berompi itu terpental dan sal-
ing bertumpang tindih.
Brrruuuk...!
"Aaaakh...!"
Ubaya memekik panjang, karena ia yang ada di
bawah. Bandra jatuh menimpanya dalam keadaan
ujung pedangnya terbenam di perut Ubaya tanpa sen-
gaja.
"Ubaya...?! Ubayaaa...?!" teriak Bandra dengan
kaget dan mata melotot seperti mau lompat dari rong-
ganya.
Kembang Setaman juga tertegun sesaat dengan
mata melebar begitu melihat Ubaya terkapar dalam
keadaan perutnya berlumur darah. Darah perempuan
itu kontan mendidih, terutama setelah melihat wajah
Ubaya menjadi pucat seperti mayat dan nafasnya ter-
sentak-sentak. Pedang milik Bandra segera dicabut
oleh pemiliknya dengan hati sedih dan gusar. Cuuur...!
Darah menyembur dari perut Ubaya hingga membasa-
hi sekujur tubuhnya.
"Ub... Ubayaaa...!" Bandra tampak menyesal
sekali melihat temannya terkena senjatanya sendiri, ia
segera memandang ke arah pemuda berpakaian putih
yang berdiri di samping pemuda berpakaian merah.
Pemuda berpakaian merah itu masih dalam keadaan
terkapar kehabisan tenaga, namun ia tampak berusa
ha untuk bangkit dan memandang ke arah orang yang
telah gagalkan pembuntungan itu.
Kembang Setaman pun memandang dengan be-
rang kepada Raka Pura. Tapi yang dipandang tetap te-
nang dan kalem, seakan merasa tak bersalah sedikit
pun. Ketenangan Raka itu semakin membakar darah
mereka, membuat Bandra segera berteriak liar dan me-
lompat untuk tebaskan pedangnya ke leher Raka.
"Bangsaaaat...!"
Wuuut...! Weeess...!
Pedang pemenggal leher itu ternyata tak berha-
sil kenai sasaran, karena Raka Pura tiba-tiba seperti
lenyap. Tahu-tahu ia sudah berada dl sisi lain, berdiri
dengan kaki sedikit merenggang dan tetap tenang.
Pandangan matanya melirik ke arah Bandra dan Kem-
bang Setaman secara bergantian.
"Jangan lari kau, Jahanaammm...! Heeeaaat...!"
Bandra mengamuk, kini ia menyerang Raka
kembali dengan pedangnya yang ditebaskan dari ka-
nan ke kiri, seakan ingin merobek perut Raka tanpa
ampun lagi. Namun gerakannya segera terhenti, kare-
na Raka Pura lepaskan pukulan Tangan Batu'-nya.
Dua tangan yang menggenggam itu disodokkan ke de-
pan, tenaga dalam yang keluar dari kedua tangan itu
cukup besar dan menumbangkan tubuh Bandra yang
besar dan kekar. Tubuh itu terlempar dan jatuh ter-
banting tepat di depan kaki Kembang Setaman.
Brruuuk...!
"Hiaahhhkkk...!" Bandra memekik kesakitan
dengan mata mendelik.
Kembang Setaman menggeram penuh keben-
cian. Pandangan matanya menatap tajam bagaikan
mata pedang. Tapi Raka Pura justru sunggingkan se-
nyum tipis kepada perempuan itu untuk membuat hati
si perempuan semakin terbakar.
"Keparat kau! Rupanya kau belum tahu siapa
aku, hah?! Berani-beraninya kau berbuat lancang di
depan Kembang Setaman ini?!"
"Acara membuntungi itu acara yang kejam. Bu-
kan acara yang seru dan meriah, Kembang Setaman!"
ujar Raka Pura seenaknya saja. "Terus terang, aku
hanya tak tega jika pemuda yang sudah tak berdaya
itu kalian buntungi! Karenanya aku terpaksa mence-
gah tindakan keji itu."
"Siapa kau sebenarnya?!"
"Raka Pura, namaku!"
"Hmmmm... pendatang baru rupanya?!" gumam
Kembang Setaman sambil melangkah ke samping, sea-
kan mencari kelengahan lawannya.
Bandra berhasil berdiri kembali walau dengan
menahan rasa sakit di bagian dadanya. Kembang Se-
taman segera serukan perintah kepada Bandra, setelah
terlebih dulu melirik Ubaya yang masih dalam keadaan
sekarat itu.
"Bandra, bawa pulang Ubaya! Biar aku yang
menangani kutu busuk ini dan tawanan kita itu!"
"Tapi aku belum...."
"Bawa pulang Ubaya! Lekas!" bentak Kembang
Setaman. Bandra tak berani ngotot lagi. Maka dengan
menyimpan dendam dalam hatinya, tubuh Ubaya yang
sudah berlumur darah itu segera dipanggul dan diba-
wanya pergi.
"Maaf, bukan pedangku yang merobek perut
Ubaya, tapi pedangmu sendiri, Bandra!" seru Raka Pu-
ra dengan sedikit tertawa, seakan menertawakan den-
dam yang terpendam dalam hati Bandra.
"Sekarang kau berhadapan denganku, Raka
Pura!" ujar Kembang Setaman. "Rupanya kau sengaja
ingin melihat murka ku di hadapanmu!"
"Tidak. Siapa bilang aku ingin melihat murka
mu? Aku hanya tak ingin melihat kau membuntungi
pemuda tak berdaya itu!"
"Dia tawananku! Aku bebas memperlakukan di-
rinya dengan caraku sendiri!"
"Ya, memang dia tawanan mu. Tapi sebagai
manusia yang masih punya perasaan, aku berhak
mencegah tindakan kejimu itu, Kembang Setaman!"
"Hmmm...," Kembang Setaman manggut-
manggut sambil pandangi wajah Raka Pura. Pandan-
gan itu punya makna lain dan dapat dirasakan oleh
hati kecil Raka.
Perempuan bermata dingin itu sengaja mende-
kat dengan tangan kanan memegangi gagang pedang
yang siap dicabut. Raka Pura tetap diam di tempat,
berlagak memperhatikan pemuda yang terkulai lemas
di atas daun-daun kering.
"Raka Pura! Kau harus membayar mahal atas
kelancanganmu ini!"
"Dengan apa aku harus membayarnya?!" tanya
Raka setengah menantang.
"Tentu saja dengan darah dan nyawamu!"
"Aku tak sanggup!"
"Hmmm...," Kembang Setaman menggumam la-
gi sambil manggut-manggut kecil. "Kalau begitu kau
bisa membayarnya dengan cara lain."
"Jelaskan maksudmu!"
Kembang Setaman semakin mendekat. Jarak-
nya tinggal tiga langkah. Mereka saling beradu pan-
dang sesaat, lalu Kembang Setaman perdengarkan su-
aranya yang mirip sebuah bisikan.
"Kau kubebaskan dari hukuman atas kelan-
canganmu ini, apabila kau bersedia damai dengan ku,
Raka."
"Oh, itu tawaran yang bagus sekali. Aku berse-
dia berdamai denganmu, Kembang Setaman!"
"Tapi bukan berarti tawananku itu bebas!"
"Tentu saja. Asal jangan kau buntungi."
"Kalau begitu, lebih baik jangan buang-buang
waktu, kita ke balik semak-semak sebelah sana saja!"
Dahi si Pendekar Kembar sulung mulai berke-
rut heran.
"Apa maksudmu?! Mengapa harus ke balik se-
mak-semak sana?!"
"Kita buat tanda perdamaian dengan segeng-
gam kemesraan!"
"Edan!" sentak Raka sambil bergerak mundur.
Ia baru sadar, ternyata Kembang Setaman tertarik me-
lihat ketampanan dan kegagahannya, sehingga gairah
bercintanya mulai membakar hasrat. Kembang Seta-
man ingin menikmati cumbuan dari pemuda setampan
dan segagah Raka Pura. Senyumnya mulai tampak se-
bagai senyuman jalang pengharap kemesraan.
"Tak perlu berlagak kaget, Raka!" sambil pe-
rempuan itu mendekat dan Raka semakin mundur.
Gemetar dan tegang.
"Kau salah duga kalau begitu, Kembang Seta-
man!"
"Jangan bertele-tele, Raka! Waktuku tak ba-
nyak. Selama ini aku dibuat sibuk oleh urusanku, se-
hingga tak punya waktu untuk berkencan. Sekarang
kita pergunakan waktu yang singkat ini untuk saling
memuaskan gairah masing-masing. Aku menyukai
pemuda bertubuh tinggi, kekar, dan berotot sepertimu,
Raka! Aku bergairah sekali jika melihat pemuda seper-
timu, Raka."
"Hei, jangan mendekatiku lagi! Berhenti di tem-
pat!" bentak Raka Pura menjadi berang karena ia pal-
ing muak jika didekati perempuan seperti itu.
Tapi ancaman dan bentakan Raka itu hanya
membuat Kembang Setaman sunggingkan senyum ja
lang. Sekalipun ia hentikan langkah, tapi pandangan
mata masih tetap mengikuti gerakan Raka yang mun-
dur terus hingga merapat dengan sebongkah batu se-
besar kerbau.
"Rupanya kau jinak-jinak merpati, Raka?!
Hmmm... itu tambah membuat gairah ku berkobar-
kobar dan... dan, oh... aku tak sabar lagi, Raka!" sam-
bil Kembang Setaman melepas jubahnya.
Jantung Raka menjadi berdetak-detak dengan
cepat. Keringat dinginnya mulai tersumbul dari pori-
pori tubuhnya. Karena pada saat itu, Kembang Seta-
man yang telah melepaskan jubahnya itu semakin
mendekat. Aroma wangi bunga dari tubuhnya mulai
tercium oleh Raka. Sementara itu, pundak dan se ba-
gian dada serta punggung perempuan itu telah terbuka
polos, tampak putih mulus dengan kemontokan yang
menggiurkan.
Raka Pura menjadi semakin gemetar. Ia terpo-
jok oleh batu besar, sedangkan Kembang Setaman su-
dah ada di depannya dalam jarak tiga langkah. Jika
Raka ingin bergerak ke kiri, Kembang Setaman buru-
buru melangkah ke kanan, sehingga Raka merasa ter-
hadang oleh perempuan itu.
"Jauhi aku! Jauhi aku, Setan! Pergi sana!" sen-
tak Raka berkali-kali. Tapi Kembang Setaman tampak
semakin kegirangan. Gairahnya bertambah besar me-
lihat pemuda yang sesuai dengan seleranya itu keliha-
tan takut. Ia mulai paham, bahwa Raka benar-benar
masih perjaka dan hal itu adalah keberuntungan besar
baginya. Kembang Setaman paling suka dengan pemu-
da yang masih hijau dalam bercinta. Karena biasanya
jika pemuda seperti itu sudah bisa ditundukkan, maka
segala perintah cumbuannya akan dikerjakan oleh si
pemuda.
"Jangan takut, Raka! Kita akan sama-sama
menikmati keindahan yang membuatmu melayang-
layang dalam curahan rasa nikmat," sambil Kembang
Setaman maju selangkah lagi. Pinjung penutup da-
danya sengaja dikendurkan, sehingga kain itu sedikit
merosot ke bawah. Gumpalan bukit montoknya tam-
pak separuh bagian.
"Peganglah ini...! Jangan takut, peganglah...!"
Kembang Setaman meraih tangan Raka, dan tangan
itu ditempelkan ke dada. Getaran pada tangan dan ka-
ki semakin melemaskan tubuh Raka, seakan tena-
ganya mulai hilang dan pikirannya mulai kacau. Raka
tak bisa berpikir lagi, karenanya ia tak punya gagasan
untuk segera melompat ke atas atau berlari ke samp-
ing.
Sementara itu, Kembang Setaman mulai lebih
merapat lagi dengan pandangan mata menjadi sayu.
Bibirnya sesekali di jilati sendiri, atau kadang digigit
penuh tantangan. Napas Raka menjadi sesak, tak bisa
bicara.
*
* *
5
RUPANYA tatapan mata perempuan itu men-
gandung semacam kekuatan hipnotis yang melum-
puhkan keberanian seorang lelaki. Kekuatan pandan-
gan mata si Kembang Setaman itu juga dapat mem-
buat seseorang menjadi tunduk. Dan yang ketiga, ke-
kuatan pandangan mata itu membuat seseorang men-
jadi bergairah padanya. itulah yang dinamakan ilmu
'Candra Dewita', yang mempunyai tiga kekuatan ber-
tahan.
Tak heran jika Raka Pura menjadi gugup dan
tak berani berbuat kasar kepada Kembang Setaman.
Padahal seharusnya ia mampu mendorong tubuh
Kembang Setaman yang mendekatinya, tapi toh hal itu
tidak ia lakukan.
Akhirnya Raka menjadi seperti orang bodoh
yang tidak tahu harus berbuat apa. ia hanya melaku-
kan perbuatan jika mendengar kata perintah. Walau
hati kecilnya menentang dan ingin berontak, tapi ke-
kuatan ilmu 'Candra Dewita' telah melumpuhkan ke-
beraniannya untuk berontak.
Debar-debar ketakutan di dalam hati Raka Pu-
ra mulai berubah menjadi debar-debar tuntutan bira-
hinya. Getaran tubuh yang dirasakan bukan lagi geta-
ran takut didekati seorang perempuan, melainkan
berubah menjadi getaran hati yang penuh ha-
srat bercumbu. Maka akhirnya Raka Pura menurut ke-
tika dituntun ke balik semak-semak. Langkahnya itu
adalah langkah yang disadari, namun tak bisa dihin-
dari. Tentu saja Raka Pura penuh perasaan heran ter-
hadap dirinya yang mau dituntun ke balik semak-
semak.
"O, celaka! Celaka kalau begini! Mengapa aku
tak tega untuk berbuat kasar padanya?" keluh hati
Raka. "Mengapa aku tak berani melemparkan perem-
puan ini? Ooh... ada apa dengan diriku? Aku merasa
senang dalam genggamannya. Aku juga merasa senang
menuruti perintahnya. Sial! Setiap aku ingin berontak
selalu saja timbul rasa tak tega?!"
Kembang Setaman sendiri tak menyangka ka-
lau bakal bertemu dengan seorang lelaki muda yang
sesuai dengan seleranya. Ia tak ingin kehilangan lelaki
itu sebelum gairahnya terpenuhi. Lawan tinggal lawan,
tapi urusan kemesraan harus terpenuhi dulu. Setelah
terpenuhi, tinggal mempertimbangkan kepuasannya
nanti. Jika ia merasa puas dengan kemesraan Raka,
maka ia mudah melupakan kelancangan Raka yang
ikut campur urusannya tadi. Tapi jika ia tidak puas
dengan kemesraan Raka, maka tak segan-segan ia
mencabut pedangnya untuk menghabisi nyawa pemu-
da tampan bertubuh kekar itu.
Tapi untuk sementara itu, kemarahannya ter-
geser total oleh gairahnya yang menggebu-gebu. Usa-
pan tangannya ke dada bidang Raka telah semakin
membuatnya berdesir- desir dalam keindahan yang
sukar dibayangkan.
Tak segan-segan ia memeluk Raka, lalu menci-
umi wajah pemuda itu. Si pemuda hanya diam dan
menerima dengan pasrah tanpa perlawanan. Kare-
nanya, Kembang Setaman pun menyuruh Raka untuk
memberi perlawanan ciumannya.
"Kecuplah aku... kecup bibirku, Raka," bisiknya
dalam desah.
"Ak... ak... aku tak... tak bisa," jawab Raka
dengan terbata-bata.
"Tempelkan bibirmu ke bibirku, lalu pagut-
lah.... Lekas, tempelkan bibirmu...."
Raka Pura pun akhirnya menempelkan bibirnya
ke bibir Kembang Setaman dengan pelan-pelan. Kem-
bang Setaman memberi contoh pagutannya, Raka Pura
menirukan dengan pagutan pelan sekali. Satu tangan-
nya masih ditempelkan ke dada Kembang Setaman,
bahkan gerakan tangan yang mengusap dada itu pun
masih dituntun oleh tangan Kembang Setaman. Se-
dangkan tangan yang satunya disuruh meremas-remas
punggung dan tengkuk Kembang Setaman.
Dalam keadaan masih sama-sama berdiri, Raka
Pura nyaris tak bisa menopang tubuhnya sendiri. Ke-
dua lututnya terasa gemetar sekali dan makin lama
menjadi semakin lemas, bagai tak bertulang sedikit
pun.
Tubuh Raka sengaja didesak oleh Kembang Se-
taman hingga pemuda itu berdiri bersandar pada seba-
tang pohon yang dikelilingi semak ilalang.
Kembang Setaman bukan saja menciumi wajah
dan bibir Raka, melainkan sampai ke bagian leher, lalu
turun ke dada. Ia memagut-magut dada Raka sebagai
contoh kemesraan yang nantinya harus ditirukan oleh
Raka sendiri.
"Lakukan kecupan seperti ini nanti, ya?"
"Hhmmm, emmh...!" Raka hanya bisa angguk-
kan kepala kecil dalam gumam. Ia tak berani bersuara.
Padahal sebenarnya ia ingin mengarang kegelian keti-
ka ciuman Kembang Setaman merayap sampai ke pe-
rut Raka dengan menyingkapkan baju pemuda itu. Se-
dangkan tangan Kembang Setaman sejak tadi telah
berhasil meremas lembut sesuatu yang dirasakan begi-
tu hangat dan mendebarkan hatinya.
"Nah, lakukanlah seperti tadi pada tubuhku
sampai bawah, Raka. Kau bisa, bukan?"
Dengan sangat terpaksa Raka anggukkan kepa-
la. Kembang Setaman tersenyum jalang sambil mele-
paskan penutup dadanya.
Namun sebelum ia bergeser pindah tempat un-
tuk dapat bersandar di pohon, tiba-tiba Raka melihat
sekelebat sinar biru kecil melesat dari pepohonan se-
berangnya. Sinar biru itu panjangnya satu tombak dan
menghantam ke tubuh Kembang Setaman tanpa suara
apa pun. Slaaap...!
Tubuh perempuan itu mengejang dan matanya
terbelalak seketika dengan suara tersentak berat.
"Heeeggh...!"
Raka menjadi panik dan nyaris tak bisa bicara
sesaat. Keadaan itu sangat tak diduga-duga, sehingga
ia sempat mengalami shock dalam sekejap.
"Oooh...?" Raka Pura pun terkejut bukan kepa-
lang, karena ia segera melihat sesuatu yang telah
membuat Kembang Setaman ambruk ke dalam pelu-
kannya dan membuatnya makin tersandar di pohon.
Punggung perempuan yang melusu itu telah
berasap. Asap tersebut mengepul tipis dari luka bakar
yang berlubang sebesar mulut botol. Luka bakar ber-
lubang itu terjadi akibat sinar biru lurus yang meng-
hantam telak punggung tadi.
"Rak... Raka...," Kembang Setaman mencoba bi-
cara walau sulit sekali. "Tol. tolong aak... aku...."
Mulut perempuan itu mulai keluarkan darah. Ia
tak bisa bicara lagi. Tubuhnya semakin lemas dan din-
gin. Wajahnya kian pucat seperti mayat. Akhirnya tu-
buh itu jatuh merosot karena pelukan Raka mengen-
dur. Pemuda itu masih dicekam kebingungan dan rasa
heran yang menakutkan, sehingga ketika tubuh itu ja-
tuh merosot, ia justru menghindarinya.
Brruuuk...!
Kembang Setaman pun akhirnya jatuh terkulai
di semak-semak ilalang dalam keadaan miring. Mulut-
nya ternganga bagai sedang berusaha bernapas. Na-
mun kejap berikutnya, tarikan nafasnya terhenti dan
mata perempuan itu terbeliak memutih pertanda nya-
wanya telah lepas dari raga.
"Oooh...?! Apa yang terjadi sebenarnya?!" gu-
mam Raka Pura dalam ketegangan.
Ia segera menyingkir dari tempat itu sambil
membenahi pakaiannya. Karena pada saat itu, ia mulai
mendapatkan kesadarannya yang tadi sempat hilang
karena pengaruh ilmu 'Candra Dewita' itu.
"Hampir saja! Ooh... hampir saja aku melayani
perempuan jalang itu! Kurang ajar!" geram Raka Pura
sambil terengah-engah karena ketegangannya. "Men-
gapa aku tadi diam saja diciuminya? Cuih, cuih...!"
Raka meludah dan merasa jijik.
Dalam keadaan gusar dan berang karena mem-
bayangkan apa yang dilakukan bersama Kembang Se-
taman tadi, matanya segera mencari si pemilik sinar
biru tadi. Ia berkelebat ke arah datangnya sinar terse-
but. Wuuuz...! Ternyata tak ada orang sepotong pun.
"Siapa yang melepaskan pukulan bersinar biru
tadi?!" gumam hati Raka sambil masih mencoba me-
nyusuri sekitar tempat itu. "Sinarnya cukup lembut
dan kecil. Tapi ternyata membuat lubang yang mema-
tikan. Pasti orang itu berilmu tinggi. Bukan adikku,
bukan pula si Purbaweni! Hmmm... sepi sekali tempat
ini. Tak ada jejak sedikit pun yang bisa dijadikan tan-
da. O, ya... lalu bagaimana nasib si pemuda berbaju
merah itu?! Apakah ia sudah tak bernyawa lagi? Atau
dalam keadaan sekarat?! Hmmm... sebaiknya aku se-
gera menemukannya!"
Sambil masih meludah beberapa kali karena
ingat ciuman yang menurutnya menjijikkan itu, Raka
Pura bergegas ke tempat si pemuda berbaju merah tadi
terkapar penuh luka. Namun setibanya di sana, Raka
Pura menjadi bengong sendiri, karena pemuda berbaju
merah itu tidak ada di tempat. Sisa tetesan darah dari
hidungnya masih ada di tempat ia tergeletak tadi. Tapi
tak terdapat tetesan darah di tempat lain.
"Ke mana dia?! Jika ia melarikan diri, pasti ada
bekas tetesan darahnya di tanah atau di daun-daun
semak. Hmmm... sepertinya tak ada tetesan darah itu
di tempat lain?!" gumam hati Raka Pura dengan sambil
mencari jejak tetesan darah di sekitar tempat itu.
"Aneh! Apakah dia hilang ditelan bumi?! Tak
mungkin. itu hanya istilah saja! Mana ada orang dite-
lan bumi. Apa bumi itu lapar?" celotehnya dalam hati.
"Apakah dia dimakan binatang buas?! Ah, itu juga tak
mungkin. Tak ada tanda-tanda binatang buas berkelia
ran sampai sini. Lalu, ke mana hilangnya pemuda itu?
Apakah orang-orangnya Kembang Setaman telah da-
tang dan membawanya pergi? Nah, itu mungkin saja
terjadi Hmmm... tapi mengapa mereka tak mendengar
suara desah dan erangan si perempuan jalang itu di
semak-semak sana? Atau mungkin mereka menden-
garnya dan mengetahui bahwa Kembang Setaman se-
dang bercumbu, maka mereka tak berani meminta izin
dulu, langsung saja membawa si tawanan malang itu?"
Wuuuut...! Raka Pura penasaran. Ia ingin meli-
hat keadaan sekeliling tempat itu lebih jauh lagi. Maka
ia pun segera sentakkan napas dan tubuhnya melam-
bung naik dengan cepat, mencapai dahan tertinggi dari
sebatang pohon. Dari sana ia bisa memandang lebih
jauh lagi. Akhirnya ia temukan sekelebat bayangan
yang melesat dengan kecepatan tinggi, nyaris tak bisa
terlihat mata manusia biasa.
"Oh, bayangan siapa yang menjauh itu?
Hmmm... jangan-jangan orang itu yang membawa lari
pemuda malang tadi?! Sebaiknya kuikuti saja lang-
kahnya! Siapa tahu dugaanku benar, bahwa ia adalah
orangnya Kembang Setaman!"
Wuuuuz, wuuuz...! Jurus 'Jalur Badai' diper-
gunakan, sehingga Pendekar Kembar sulung mampu
bergerak secepat hembusan badai yang paling cepat.
Namun agaknya ia masih tertinggal jauh oleh si
bayangan misterius itu.
"Gila! Ia mampu bergerak sangat cepat. Pasti
bukan orang berilmu rendah! Setidaknya lebih tinggi
dari ilmunya si perempuan jalang tadi!" ujar batin Ra-
ka sambil masih terus melesat dari pohon ke pohon.
Anehnya, bayangan yang dikejarnya itu hilang
tak tinggalkan jejak ketika mencapai tanah datar ber-
hutan bambu. Tanaman bambu yang ada di situ tum-
buh dengan lurus dan mempunyai jarak teratur, seper
tinya sengaja ditanam oleh seseorang dengan jarak
renggang.
Sebenarnya jika bayangan yang dikejar Raka
itu melintasi hutan bambu itu, maka gerakannya akan
dapat terlihat lebih jelas lagi. Tapi ternyata Ra-
ka Pura justru tak melihat gerakan bayangan apa pun
di hutan bambu tersebut.
Pendekar Kembar sulung garuk-garuk kepala
sambil menapakkan kakinya di tanah keras tanpa
rumput itu. Ia memandang hingga tubuhnya me mutar
perlahan-lahan, namun pandangan matanya tetap tak
menemukan bayangan yang dikejarnya.
"Aneh sekali! Tadi kulihat ia berkelebat kemari!
Sepertinya tadi ia melayang dalam gerakan kaki menje-
jak pohon-pohon bambu ini. Tapi mengapa lenyap be-
gitu saja? Apakah ia bersembunyi di balik gerumbulan
semak-semak di kejauhan sana?! Hmmm... sebaiknya
kuperiksa saja gerumbulan semak itu, walau menurut
dugaanku tak mungkin ia mencapai tempat itu, karena
tadi kulihat ia masih di sekitar sini!"
Raka Pura semakin penasaran dengan bayan-
gan yang sukar dikejarnya itu, karena dalam pandan-
gannya tadi ia melihat sesuatu yang dipanggul oleh
bayangan tersebut. Tak jelas apakah yang di panggul
adalah sesosok tubuh manusia atau sekarung kacang
kedelai, yang jelas Raka ingin sekali mengetahui siapa
bayangan yang gerakannya seperti badai juga tadi.
Langkah Raka terhenti sesaat, karena tiba-tiba
ia melihat tetesan darah yang jatuh pada daun-daun
bambu kering yang berserakan di tanah. Tetesan da-
rah itu masih segar dan Raka yakin darah itu pasti da-
rah si pemuda malang tersebut.
"Benar juga dugaanku! Bayangan itu pasti
membawa kabur si pemuda malang yang terluka parah
itu. Pasti lewat sini. Terbukti darahnya menetes di si
ni!"
Anehnya di tempat lain tak ada tetesan darah
seperti itu. Raka Pura memeriksa tempat sekitarnya
sejauh sepuluh langkah. Tapi tak ditemukan tetesan
darah segar seperti itu. Padahal jika pemuda yang ter-
luka itu dibawa lari, mestinya tetesan darahnya mem-
bentuk jalur petunjuk ke arah kepergiannya.
"Sial! Tak ada tetesan darah lainnya kecuali
yang tadi?!" gumam Raka Pura. Rasa penasaran mem-
buatnya kembali ke tempat ditemukannya tetesan da-
rah segar itu. Sampai di tempat tersebut, Raka Pura
terperanjat dengan pandangan mata terkesip, karena
tetesan darah itu menjadi lebih banyak dari saat dili-
hatnya tadi.
"Gila! Kenapa bisa menjadi banyak begin!? Pa-
dahal tadi hanya terdiri dari beberapa tetes saja?!"
ujarnya dalam hati. "Sepertinya darah ini menetes dari
langit?" tambahnya dalam gumam membatin. Maka, ia
pun dongakkan kepala, walau semula merasa tinda-
kannya itu termasuk konyol, karena menyangka langit
berdarah.
Namun ketika ia memandang ke atas, hatinya
sempat terkejut melihat sesuatu yang ada di atas po-
hon bambu. Hampir saja Raka tak percayai pengliha-
tannya. Pohon bambu yang tumbuh meruncing dengan
ujungnya sedikit lengkung itu ternyata mampu me-
nyangga sesosok tubuh yang terbaring melemas. Raka
Pura mengangkat tangannya untuk hindari sinar ma-
tahari. Pandangannya menjadi lebih jelas lagi, dan ia
yakin yang ada di pucuk pohon bambu itu adalah se-
sosok tubuh berpakaian merah.
"Edan! Siapa yang menaruh pemuda itu di pu-
cuk pohon bambu selentur itu?!" gumam Pendekar
Kembar sulung dengan suara pelan. "Luar biasa sekali
kejadian ini. Ternyata pemuda itu ada di atas sana
tanpa jatuh, bahkan miring sedikit pun tidak. Tam-
paknya ia pingsan, terkulai lemas, tapi mestinya pucuk
pohon bambu ini tak akan sanggup menyangga tu-
buhnya. Pemuda itu seperti berbaring di sana dengan
gunakan ilmu peringan tubuh, sehingga daun-daun
bambu di bagian pucuk sana tidak melengkung atau
rusak sedikit pun. Benar-benar mengagumkan!"
Tiba-tiba Raka Pura tersentak kaget, nyaris ter-
lonjak. Karena dari arah belakangnya terdengar suara
seseorang berkata memecah kesunyian.
"Lukanya memang terlalu parah!"
Raka Pura semakin terperangah tak bisa bicara
ketika memandang ke belakang dan menemukan se-
raut wajah yang bermata dingin, bagai membekukan
sekujur tubuhnya. Tanpa sadar Raka pun bergerak
mundur dua langkah, kemudian menelan napas bebe-
rapa kali untuk menenangkan dirinya.
*
* *
6
TENTU saja Raka Pura sangat terkejut, karena
kehadiran orang itu tidak terdengar suara langkahnya.
Tahu-tahu muncul di belakang Raka dan bersuara. Hai
yang membuat Pendekar Kembar sulung semakin ter-
kejut lagi adalah sosok tua si pendatang itu. Raka ma-
sih mengenal wajah dan penampilan si kakek berjeng-
got dan berambut panjang warna putih rata.
Orang berjubah biru dengan tongkat kepala
ular kobra itu tak lain adalah si Dewa Perintang. Seka-
rang si Pendekar Kembar sulung itu merasa yakin,
bahwa bayangan yang dikejarnya tadi adalah si Dewa
Perintang yang berjubah biru. Sebab tadi bayangan
yang dikejarnya juga berwarna biru kehitam-hitaman.
Warna hitam itu adalah akibat kecepatan geraknya
yang tak mampu dikejar oleh jurus 'Badai Jalang'-nya
Pendekar Kembar.
Setelah memperoleh ketenangan kembali, Raka
Pura buru-buru sedikit bungkukkan badan sebagai
tanda menghormat. Dengan sikap itu, setidaknya Raka
sudah menghargai orang yang lebih tua darinya dan
mengakui ketinggian ilmu si Dewa Perintang.
Maka terdengarlah suara si Dewa Perintang
yang sedikit serak karena ketuaannya itu.
"Mana adik kembar mu itu?!"
Raka Pura sedikit kaget karena Dewa Perintang
ternyata mengetahui tentang Soka Pura. Pertanyaan
itu menimbulkan kecurigaan bagi Raka. Karena perta-
nyaan tersebut seperti mengandung makna kemarahan
yang terpendam terhadap Soka Pura, namun juga bisa
diartikan sebagai orang yang ingin tahu. Namun seka-
lipun tak jelas dengan maksud pertanyaan tersebut,
Raka Pura tetap menjawabnya dengan kesopanan dan
kejujuran apa adanya.
"Adikku bersama Purbaweni. Mereka melalui ja-
lur selatan untuk menuju ke Istana Bara, Eyang!"
"Mengapa harus lewat selatan?!"
"Karena... karena mereka takut jumpa dengan
Eyang Dewa Perintang," jawab Raka lagi dengan penuh
kesopanan.
"Seharusnya itu tak perlu. Purbaweni bodoh.
Seharusnya selama ia bersama Pendekar Kembar, ia
tak perlu merasa takut oleh siapa pun."
Raka Pura sedikit curiga dan segera membatin,
"Dari mana dia tahu kalau aku dan Soka punya gelar
Pendekar Kembar? Hmmm... mungkin karena kesak-
tiannya, atau mendengar dari orang lain tentang keha
diranku dan Soka di rimba persilatan ini."
Tokoh tua yang berkharisma kuat itu perden-
garkan suara lagi.
"Kalau saja tadi kalian tak melarikan diri ikut-
ikutan si Purbaweni, maka kalian tak akan lakukan
tindakan yang sia-sia."
"Tindakan apa maksudnya, Eyang?!"
"Pergi ke istana Bara sama saja tindakan yang
sia-sia. Bahkan bisa berarti cari penyakit bagi si Pur-
baweni!"
"Hmmm, hmmm... tapi Purbaweni harus be-
baskan kakaknya yang tertawan oleh... oleh pihak Is-
tana Bara, Eyang!"
"Nalapraya, maksudmu?"
"Benar, Eyang...!"
"Hmmm...," si jubah biru itu hanya menggu-
mam pendek, ia melangkah ke samping dan meman-
dang ke arah lain dengan tongkatnya diayunkan seba-
gai penopang tubuh kurusnya. Padahal tanpa tongkat
pun si Dewa Perintang masih sanggup berdiri tegak,
karena dalam usia setua itu belum tampak bungkuk
dan masih kelihatan gagah.
"Nalapraya sudah tidak ada di dalam istana Ba-
ra," tiba-tiba Dewa Perintang berkata dengan suara je-
las. Raka Pura segera kerutkan dahi mengikuti gera-
kan si kakek dengan pandangan mata.
"Nalapraya sudah berhasil lolos dan melarikan
diri," tambah Dewa Perintang. "Seandainya kalian tadi
tidak melarikan diri, maka kalian akan kuberitahukan
hal itu. Penjara itu telah ku jebol tanpa setahu siapa
pun. Dengan jebolnya penjara itu, maka Nalapraya ku-
biarkan melarikan diri sebatas kemampuannya."
"Hmmm, ehhh... sekarang di mana si Nalapraya
itu, Eyang? Bagaimana nasibnya?!"
Dewa Perintang memandang ke atas. Tetesan
darah pemuda berbaju merah yang seperti tersangkut
di pucuk pohon bambu itu sudah tidak ada lagi. Tapi
gerakan memandang ke atas itu dapat dipahami oleh
Raka Pura. Si jubah biru ingin tunjukkan bahwa Nala-
praya itulah pemuda berbaju merah yang terluka pa-
rah.
"Ja... jadi... pemuda itulah yang bernama Nala-
praya, Eyang?!"
Dewa Perintang menatap Raka. Sorot matanya
yang berkesan dingin dan penuh wibawa itu tak berani
ditatap oleh Raka Pura. Pemuda itu segera meman-
dang ke arah lain, sesekali memandang ke atas, seperti
salah tingkah dalam gerakan pandangan matanya.
"Banyak orang menyangka aku adalah tokoh
jahat yang selalu merintangi langkah mereka. Angga-
pan itu pasti ada pada diri Purbaweni," ujar Dewa Pe-
rintang membuat Raka berani menatapnya, karena so-
rot pandangan mata tokoh tua itu tidak lagi ke arah-
nya.
"Tapi sebenarnya maksud perbintangan ku itu
bukan untuk kejahatan! Aku hanya tidak mengingin-
kan orang yang punya tujuan baik melanjutkan lang-
kahnya, karena kulihat ada malapetaka yang mengha-
dangnya di seberang sana. Terbukti jika ia nekat te-
ruskan langkah, maka ia benar-benar menjadi santa-
pan bagi si malapetaka itu. Jika orang itu bermaksud
jahat, kupatahkan langkahnya sebelum ia lakukan
tindakan yang akan menyesatkan jiwanya ke dalam
lembah dosa. Tapi tidak setiap kutemui seseorang lalu
aku akan lakukan pencegahan. Kadang aku hanya in-
gin memberitahukan apa yang ku tahu kepada orang
itu, tapi orang itu sudah lebih dulu melarikan diri ke-
takutan!"
Raka Pura mencoba tersenyum, karena sebe-
narnya ia merasa malu atas rasa pelariannya tadi yang
terpengaruh oleh rasa takutnya Purbaweni. Namun se-
belum senyum malu itu lebih lebar, suara Dewa Perin-
tang terdengar lagi, membuat Raka Pura pusatkan
perhatian kepada si kakek beralis lebat warna putih
itu.
"Katakan kepada Purbaweni, ia tak perlu ke Is-
tana Bara, karena kakaknya sudah lolos dari sana!
Yang perlu ia lakukan adalah menjaga makam eyang
buyutnya: Sabandanu!"
"Kalau boleh saya tahu, Eyang... mengapa ma-
kam itu harus dijaga?" Raka berlagak bodoh.
"Kurasa kau sudah tahu bahwa di dalam ma-
kam itu ada pusaka yang bernama Pedang Bulan Ma-
du!"
"O, kalau begitu apa yang dikatakan Purbaweni
memang benar," ujar Raka seperti bicara pada dirinya
sendiri.
"Pedang Bulan Madu itu memang ada, dan
memang dikubur bersama jenazah sahabatku; Saban-
danu."
"Tap... tapi kata Purbaweni, Eyang Dewa Perin-
tang bermusuhan dengan Eyang Buyut Sabandanu?
Maka, hmmm... maaf, kami tadi sempat me-
nyangka Eyang berpihak pada Ratu Rias Rindu," ujar
Raka sambil nyengir maju.
"Permusuhan ku dengan Sabandanu tidak
mendarah daging. Permusuhan itu hanya sebatas per-
bedaan pendapat saja. Tapi hati kami tetap bersaha-
bat. Karena itulah, seharusnya aku segera bertindak
menyelamatkan Nalapraya, karena anak itu hampir sa-
ja tak kuat menerima siksaan dari Rias Rindu! Sekali
lagi ia menerima siksaan dari perempuan bejat itu,
maka mulutnya tak sanggup menjaga rahasia tentang
di mana letak makam eyang buyutnya itu. Rencanaku,
sebelum rahasia itu bocor, kubebaskan dia dengan caraku sendiri. Rias Rindu tak akan tahu kalau aku yang
membebaskan Nalapraya. Tapi rupanya aku terlambat
bertindak."
Raka Pura diam sambil manggut -manggut ke-
cil. Tapi hatinya sempat berujar sendiri, "Benar juga
kalau dipikir-pikir. Jika memang Dewa Perintang me-
mihak Ratu Rias Rindu, tentunya sang Ratu tak perlu
repot-repot menyiksa Nalapraya untuk mendapatkan
rahasia letak makam itu. Ia bisa menanyakannya ke-
pada Dewa Perintang."
Dewa Perintang berujar lagi kepada Raka.
"Kuminta kau dan adikmu, sebagai Pendekar
Kembar yang mewarisi ilmunya Dewa Kencan alias si
Mangkuranda itu, ikut membantu Purbaweni dan Na-
lapraya untuk menyelamatkan Pedang Bulan Madu
agar jangan jatuh ke tangan tokoh aliran hitam,
seperti si Rias Rindu itu."
Raka Pura terperanjat mendengar nama men-
diang kakek gurunya disebutkan oleh Dewa Perintang.
Ia tak menyangka bahwa si Dewa Perintang kenal den-
gan Eyang Mangkuranda yang sering disebut sebagai
si Dewa Kencan itu.
"Rupanya... Eyang Dewa Perintang mengenal
eyang guru kami."
"Dewa Kencan juga sahabatku. Dia juga kenal
dengan Sabandanu. Kami bertiga sering meminta sa-
ran kepada gurunya si Dewa Kencan, yaitu si kembar
Eyang Suralaya dan Eyang Surapati."
Raka Pura semakin kaget mendengar nama
Eyang Suralaya dan Eyang Surapati disebutkan. Kare-
na kedua tokoh sakti yang juga lahir kembar itu telah
mewariskan pusaka mereka kepada Raka dan Soka,
yaitu berupa pedang kristal yang dinamakan Pedang
Tangan Malaikat itu, (Baca serial Pendekar Kembar da-
lam episode: "Gua Mulut Naga").
"Usahakan jangan sampai pedang itu dirampas
oleh orang-orang aliran hitam! Karena sekarang ini, se-
jak Rias Rindu ribut ingin dapatkan Pedang Bulan Ma-
du, ada beberapa tokoh yang juga ikut mengincar pe-
dang tersebut."
"Apa kesaktian pedang itu sebenarnya,
Eyang?!" tanya Raka sambil menguji kebenaran penje-
lasan yang pernah didengarnya dari Purbaweni.
Dewa Perintang melangkah lebih dekati Raka,
tapi pandangan matanya tertuju ke arah lain, seakan
sedang menikmati pemandangan alam sekitarnya.
"Pedang itu dapat untuk membakar benda apa
saja dengan melalui pantulan cahaya matahari. Juga,
dapat untuk membelah baja setebal apa pun. Tetapi
yang paling utama dan menjadi incaran bagi orang-
orang seperti Rias Rindu adalah kesaktian pedang ter-
sebut yang dapat menjelma sebagai seorang pangeran
pada malam hari."
"Ooh...?!" Raka terperangah kaget.
"Bila pada malam hari, terutama pada saat ca-
haya rembulan menyinari bumi, maka gagang pedang
yang terkena sinar rembulan dapat membuat pedang
itu berubah menjadi seorang pangeran tampan, gagah
perkasa sepertimu. Karena pedang itu adalah jelmaan
dari Pangeran Maha Rayu, tokoh sakti yang merupa-
kan anak dewa, namun berhasil dikalahkan oleh Sa-
bandanu pada saat mereka lakukan pertarungan tepat
bulan purnama tiba."
"Ajaib sekali!" gumam Raka terheran-heran.
"Sang pangeran akan berlutut kepada pemilik
pedang itu, dan bersedia menjadi budak cinta lawan
jenisnya. Bahkan ia juga bisa diperintahkan untuk
membunuh siapa saja dalam waktu dua-tiga kejap,
atau memindahkan sebuah istana dari pulau yang sa-
tu ke pulau yang lain dalam waktu dua-tiga kejap sa
ja."
"Luar biasa! Pantas Purbaweni tidak mau se-
butkan keistimewaan yang satu ini?!" ujar. Raka Pura
dalam hatinya.
"Jika Pangeran Maha Rayu dikuasai oleh tokoh
aliran sesat, maka ia pun akan lakukan tindakan-
tindakan yang berbahaya, dan tak seorang pun dapat
kalahkan dia kecuali mendiang Sabandanu! Sampai
wafatnya, Sabandanu tak pernah beritahukan padaku
tentang rahasia mengalahkan Pangeran Maha Rayu
itu."
Raka Pura tertegun penuh rasa kagum. Dewa
Perintang memandang ke atas, kepada Nalapraya yang
masih berada di pucuk pohon lurus itu. Tapi pada saat
itu ia pun berkata kepada Pendekar Kembar sulung.
"Sanggupkah kau membantu keluarga Nala-
praya untuk pertahankan pedang itu agar tak jatuh di
tangan manusia sesat?!"
"Hmmm, ehhh... sanggup, Eyang! Sanggup se-
kali!" jawab Raka Pura agak menggeragap karena ter-
sadar dari renungan panjangnya.
"Jika sanggup, lekaslah pergi ke makam si Sa-
bandanu, karena agaknya Rias Rindu sudah mengeta-
hui letak makam tersebut."
"Oh...?! Dari mana dia mengetahuinya, Eyang?!"
"Semalam, Rias Rindu ku lihat dalam bayangan
indera keenam ku telah meminta bantuan seorang sa-
habatnya yang bernama Sangkala! Orang itu mempu-
nyai jurus 'Totok Kejujuran', yang membuat seseorang
tak bisa berbohong. Sangkala telah menotok Nala-
praya, sehingga Nalapraya mengatakan sejujurnya di
mana letak makam eyang buyutnya itu. Karenanya
kukatakan tadi, aku terlambat bertindak sebab, Rias
Rindu rencanakan akan menghabisi nyawa Nalapraya
siang ini. Tapi tadi pagi aku lebih dulu bertindak dan
Nalapraya berhasil lolos. Sayang sekali aku terlambat
mendengar kabar tentang tertawannya Nalapraya, se-
hingga Rias Rindu sudah lebih dulu menggunakan ju-
rus 'Totok Kejujuran'-nya si Sangkala."
Sambil berkata demikian, pandangan mata De-
wa Perintang masih tertuju ke atas. Tangan yang tidak
memegangi tongkat diulurkan naik Kemudian tangan
itu bergerak pelan-pelan turun ke bawah.
Bertepatan dengan gerakan tangannya itu, tu-
buh Nalapraya pun bergerak turun pelan-pelan dalam
keadaan mengambang dan masih tak sadar. Raka Pura
hanya terbengong melompong melihat kesaktian Dewa
Perintang yang mirip pemain sirkus atau pemain sulap
itu.
"Sebenarnya aku akan bertindak sampai tuntas
dalam hal mempertahankan pedang tersebut. Tapi ka-
rena kulihat Pendekar Kembar sudah muncul, maka
kurasa cukup sampai di sini saja bantuanku kepada
cucu buyutnya si Sabandanu. Selebihnya, kau dan
adikmu-lah yang bertindak menjadi pembela keluarga
Nalapraya!"
"Hmmm, iya, baik...! Saya akan kerjakan ama-
nat Eyang bersama adik saya!"
Sambil berkata demikian, Raka Pura tetap
memperhatikan gerakan tubuh Nalapraya yang tetap
mengambang di udara sampai setinggi setengah tom-
bak dari permukaan tanah. Raka Pura menjadi ber-
tambah heran, karena keadaan tubuh Nalapraya seka-
rang sudah tidak babak belur dan penuh luka membi-
lur merah lagi.
Nalapraya bagai orang yang tak pernah tersik-
sa. Tak ada luka seujung jarum pun pada tubuhnya.
Tapi pakaian tetap tercabik-cabik. Hanya dari pa-
kaiannya saja orang dapat mengerti bahwa Nalapraya
habis menderita banyak luka di tubuhnya. Namun
warna memar membiru, bahkan warna pucat pada wa-
jahnya sudah lenyap sama sekali. Nalapraya seperti
orang sehat dan segar yang sedang tertidur dengan
nyenyak.
Gerakan tubuhnya yang tadi sempat berhenti
dalam keadaan mengambang, kini bergerak turun le-
bih pelan lagi. Kemudian tubuh itu terbaring di atas
tanah berlapiskan daun-daun bambu yang sudah ker-
ing.
"Jangan bangunkan dia! Biarkan dia tertidur
untuk sesaat," ujar Dewa Perintang. "Nanti ia akan
bangun sendiri dan jelaskan persoalan yang sebenar-
nya."
"Baik, Eyang...," jawab Raka Pura dengan sikap
patuh dan menghormat.
"Tapi kalau boleh saya ingin tahu, Eyang,"
sambung Raka. "Apakah perempuan yang bernama
Kembang Setaman itu adalah Ratu Rias Rindu sendi-
ri?!"
"Bukan! Dia adalah orang andalan Rias Rindu,"
jawab Dewa Perintang. "Dia orang kepercayaan Rias
Rindu khususnya dalam menangani para tawa-
nan. Kembang Setaman itu perempuan berbisa. Keli-
hatannya mesra, tapi haus darah dan nyawa. Ia tak
segan-segan membunuh teman kencannya sebagai
puncak dari segala kepuasannya. Oleh sebab itu sebe-
lum ia merenggut nyawamu, aku bertindak lebih dulu."
"Oooh..., terima kasih atas bantuan Eyang De-
wa Perintang."
"Tugasku memang merintangi hal-hal seperti
itu. Kalau saja aku tak memperhatikan gerakanmu se-
jak di atas pohon, kau tetap akan terbius oleh pandan-
gan mata si Kembang Setaman yang mengandung ma-
du dan racun bagi lawan jenisnya itu...."
Ucapan itu terhenti, perhatian Raka pun beralih ke belakang, karena ada suara orang berlari ke
arah mereka. Pendekar Kembar sulung mulai siaga,
menjaga kemungkinan datangnya serangan mendadak
dari pihak Ratu Rias Rindu.
Napas yang tertahan itu segera dihembuskan,
karena ternyata yang muncul adalah Soka Pura dan
Purbaweni. Keduanya berlari-lari menghampiri Raka
setelah suara Purbaweni terdengar berseru kepada So-
ka.
"Itu dia...!"
Rupanya mereka berdua memutuskan untuk
segera menyusul Raka Pura dan tak jadi lewat jalur se-
latan. Bukan karena jalur selatan macet, tapi karena
kecemasan Purbaweni terhadap Raka mempengaruhi
jiwa si Pendekar Kembar bungsu.
Raka Pura sunggingkan senyum tipis melihat
adiknya dan Purbaweni mendekatinya. Ia segera ber-
paling ke kanan dan berkata kepada Dewa Perintang.
"Eyang, mereka...." Ucapan itu terhenti menda-
dak. Raka sangat terkejut.
"Eyang...?! Eyang Dewa Perintang...?!" Raka ke-
bingungan mencari tokoh tua berjubah biru itu. Ter-
nyata si Dewa Perintang lenyap begitu saja, entah lari
atau ditelan bumi, Raka tak sempat mengetahuinya.
"Pantas si Purbaweni tetap berlari mendekati-
ku, rupanya ia tak melihat Dewa Perintang ada di de-
kat ku!" pikir Raka. "Andai saja Dewa Perintang tidak
pergi tanpa pamit, mungkin Purbaweni tidak berani
mendekatiku."
Purbaweni sendiri segera terperanjat dengan
mata membelalak lebar-lebar ketika memandang seo-
rang pemuda terbaring di tanah berlapis daun bambu
kering.
"Oooh...?! Nalapraya...?! Nalapraya kau ada di
situ?!"
"Ssstt...!" Raka Pura menghadang langkah Pur-
baweni.
"Dia kakakku! Dia yang ingin kubebaskan da-
ri...."
"Iya, iya... aku tahu. Tapi jangan brisik dulu.
Dia sedang tidur. Kita tak boleh membangunkannya."
"Siapa yang melarang?!" "Dewa Perintang!"
"Hahhh...?!" Purbaweni kian lebarkan matanya.
Soka hanya memandang kakaknya dengan dahi berke-
rut, seakan menuntut penjelasan lebih lengkap lagi.
*
* *
7
PADA mulanya Purbaweni tidak percaya dengan
penjelasan Raka mengenai Dewa Perintang. Bahkan
ketika Nalapraya telah bangun dan segera dikenalkan
dengan Pendekar Kembar oleh adiknya, Nalapraya
sendiri tidak percaya mendengar penjelasan Raka,
bahwa bukan Raka yang sembuhkan luka-lukanya Na-
lapraya, melainkan si Dewa Perintang.
"Kau jangan bikin heboh mereka berdua, Raka,"
bisik Soka Pura. "Katakan saja yang sebenarnya, bah-
wa kaulah yang sembuhkan si Nalapraya itu."
"Tengkukmu burik!" gerutu Raka Pura agak
dongkol kepada adiknya yang ikut-ikutan tak memper-
cayai penjelasannya tadi. Kemudian Raka pun bicara
kepada mereka bertiga.
"Dewa Perintang bicara panjang lebar dengan
ku, terutama tentang Pedang Bulan Madu."
Mata si Pendekar Kembar sulung itu terarah
kepada Purbaweni. "Keteranganmu tentang pedang itu
kurang lengkap, Purbaweni. Kau lupa sebutkan bahwa
pedang itu bila terkena sinar rembulan dapat menjel-
ma menjadi seorang pangeran yang gagah, perkasa,
dan tampan. Karena pedang tersebut adalah jelmaan
dari Pangeran Maha Rayu, anak dewa
yang pernah dikalahkan oleh Eyang Buyut Sa-
bandanu...."
"Oooh...?!" Purbaweni dan Nalapraya sama-
sama terkejut. Mereka tak menyangka Raka dapat se-
butkan hal itu, padahal Purbaweni sengaja rahasiakan
keistimewaan tersebut agar tidak membuat pihak lain
tergiur untuk dapatkan Pedang Bulan Madu. Kedua
kakak-beradik, Purbaweni dan Nalapraya saling pan-
dang dengan tegang.
"Eyang Dewa Perintang ada di pihak kita, Pur-
baweni!" ujar Raka lagi. "Ia mengutus aku dan Soka
untuk selamatkan pedang itu dari tangan orang-orang
aliran sesat. Karena menurut dugaan Eyang Dewa Pe-
rintang, Ratu Rias Rindu sudah mengetahui makam
Eyang Sabandanu."
"Itu tak mungkin!" sanggah Nalapraya dengan
masih tegang.
"Ratu Rias Rindu meminta bantuan seseorang
yang bernama Sangkala. Sangkala mempunyai ilmu
'Totok Kejujuran', dan semalam kau telah ditotok oleh
Sangkala yang membuatmu tak sadar membeberkan
rahasia itu."
Nalapraya dipandang oleh adiknya. Pemuda itu
diam termenung mengingat-ingat sesuatu yang dialami
tadi malam.
"Benarkah begitu, Nalapraya?!"
"Hmmm... ya, seingatku... seingatku memang
semalam aku diambil dari kamar tawanan. Tiba-tiba di
lorong menuju ruang penyiksaan, seseorang menotok
tengkuk ku dari belakang. Lalu... lalu aku tak sadar
lagi. Tahu-tahu aku sudah berada dalam kamar penja-
ra lagi."
"Celaka! Kalau begitu kita harus segera ke ma-
kam Eyang Buyut sekarang juga!" Purbaweni menjadi
semakin tegang.
Raka Pura menimpali, "Memang begitulah sa-
ran Eyang Dewa Perintang tadi; kita harus segera ke
makam tersebut, sebab siapa tahu Ratu Rias Rindu
sudah berada di sana dan sedang membongkar makam
untuk mengambil Pedang Bulan Madu."
"Celaka!" geram Nalapraya dengan pandangan
mata menerawang penuh dendam terhadap sang Ratu.
Mereka berempat segera menuju ke makam Ki
Sabandanu. Menurut keterangan Nalapraya dan Pur-
baweni, jenazah Ki Sabandanu tidak dimakamkan da-
lam liang lahat, melainkan dimasukkan ke dalam se-
buah gua. Gua itu terletak di sebuah tebing yang men-
jadi lereng terjal dari Bukit Papanduan. Perjalanan un-
tuk mencapai ke sana membutuhkan waktu sekitar se-
tengah hari. Padahal waktu mereka bergegas berang-
kat, matahari sudah mulai condong ke barat.
"Kita akan bermalam dalam perjalanan dan hal
itu cukup berbahaya, karena kita akan memotong ja-
lan melalui tengah hutan belantara. Hutan itu banyak
rawa dan lumpur hidup," ujar Nalapraya yang benar-
benar telah sehat tanpa kelemahan fisik sedikit pun.
"Bagaimana kalau kita bermalam di sebuah de-
sa tepi hutan itu? Aku mempunyai sahabat yang ting-
gal di desa itu," ujar Purbaweni. Usul itu ternyata dite-
rima oleh mereka.
Di tempat mereka bermalam, Purbaweni keliha-
tan semakin akrab dengan Soka Pura, sementara itu,
Raka Pura lebih asyik berbincang-bincang dengan Na-
lapraya tentang Ratu Rias Rindu.
Keakraban Raka dengan Nalapraya membuat
Soka merasa beruntung, karena keindahannya berde-
katan dengan gadis cantik yang mirip bidadari itu ti-
dak terusik oleh keisengan sang kakak. Bahkan Soka
mengajak Purbaweni untuk duduk di luar rumah, me-
nikmati terang bulan yang belum satu purnama penuh
namun sudah cukup menyebarkan pengaruh roman-
tis. Mereka berdua ada di samping rumah, duduk di
sebuah tempat duduk yang terbuat dari sebatang kayu
randu.
"Aku sama sekali tak menduga kalau Dewa Pe-
rintang ternyata memihak keluargaku," ujar Purbawe-
ni. "Ternyata dia bukan tokoh jahat seperti sangkaan
ku semula."
"Dalamnya laut memang dapat diukur, Purba-
weni. Tapi hati orang siapa yang tahu?" tutur Soka Pu-
ra dengan nada lembut.
"Memang benar. Kadang ada orang yang kita
sangka jahat, ternyata berhati baik. Ada pula yang kita
sangka baik, ternyata berhati jahat. Sama sepertimu."
Soka Pura berpaling ke kiri, menatap si gadis
yang sunggingkan senyum malu-malu meong.
"Jadi kau menyangka aku punya hati jahat?"
"Bukankah semula kusangka kau orangnya Ra-
tu Rias Rindu?! Untung saja kau bisa hindari senjata
rahasiaku. Kalau tidak, mungkin kau sudah mati
membusuk pada malam ini."
"Mengerikan sekali kalau dibayangkan."
"Kusangka kau orang jahat, tak tahunya berha-
ti lembut seperti sutera."
"Begitukah penilaianmu?"
"Sepintas memang begitu. Tapi entah kalau aku
sudah menyelam lebih dalam lagi. Mungkin kutemu-
kan musang di dalam hatimu."
Soka Pura tertawa kecil. Tangan si gadis di
genggamnya. Purbaweni tidak menghindar, ia diam sa
ja walau remasan tangan itu terasa sedikit kencang. Ia
hanya berkata, "Kurasa tak perlu pakai tenaga dalam.
Jangan samakan meremas kepada lawanmu."
"Ooh..., sakit, ya?" Soka Pura tertawa geli, Pur-
baweni pun tertawa penuh keriangan.
"Kau cantik sekali kalau tertawa begitu, Purba-
weni. Lebih cantik dari yang paling cantik."
"Kau pintar merayu seorang gadis. Tapi aku tak
mudah dirayu, Soka. Aku sudah kebal rayuan pemu-
da. Pada umumnya mereka hanya manis di bibir tapi
pahit dalam kenyataan."
"Apakah kau sudah merasakan bibirku? Belum,
kan?"
"Aku takut ada gadis lain yang murka padaku
jika ku rasakan manis atau pahitnya bibirmu," ucap
Purbaweni lirih sekali.
"Tak ada gadis lain yang akan marah. Ibarat
ranjang, aku adalah ranjang tak bertuan."
"Berarti ranjang bekas yang sudah jadi barang
rongsok karena terlalu sering dipakai."
"Bukan begitu maksudnya!" Soka Pura bersun-
gut-sungut, tangannya meremas lebih keras. Purbawe-
ni meringis malu.
"Rupanya kau senang menggodaku supaya aku
kesal, ya? Senyum mu menandakan kau suka meng-
goda hati seorang lelaki agar penasaran padamu, Pur-
baweni."
"Aku tersenyum bukan karena menggoda mu,
tapi... tapi remasan tanganmu terlalu kuat, Soka."
Gelak tawa mereka bagai napas pencuri me-
nyusuri malam yang sepi. Sambil tertawa, Purbaweni
punya alasan untuk sandarkan kepala di pundak So-
ka. Dari kepala bersandar, lama-lama tangan mengelus
lengan. Soka Pura kian berdebar-debar. Ia merasakan
sentuhan lembut yang begitu indah, tak seindah sentuhan perempuan lain.
Purbaweni sendiri agaknya menaruh rasa ke-
pada Soka. Entah rasa kari ayam atau rasa rendang
daging, yang jelas rasa itu telah membuat Purbaweni
berdebar-debar ketika tangan Soka merangkulnya dari
samping. Ia dipeluk oleh pemuda tampan itu. Pipi Soka
menempel di keningnya. Purbaweni semakin tenggelam
dalam keindahan yang sukar dibayangkan.
"Malam yang begini dinginnya, ternyata masih
bisa dikalahkan dengan kehangatan si konyol ini!" gu-
mam hati Purbaweni dengan senyum berseri-seri.
"Kau sudah pernah tunangan, Purbaweni?"
tanya Soka lirih. itu pun dengan nada ragu dan hati-
hati, karena takut menyinggung perasaan si gadis can-
tik.
"Mengapa kau tanyakan hal itu?" Purbaweni
ganti bertanya.
"Jika kau sudah tunangan, tentunya aku harus
lebih hati-hati bersikap begini padamu. Takut kalau
tunangan mu melihatnya, bisa-bisa aku dibunuhnya."
Purbaweni tertawa seperti angin berhembus di
sela cahaya rembulan.
"Aku belum pernah tunangan. Dulu aku lang-
sung menikah dan...."
"Hahhh...?!" Soka tersentak kaget, segera reng-
gangkan jarak dan memandang dengan mata terbela-
lak. Purbaweni tertawa cekikikan.
"Aku hanya bercanda," ujarnya di sela tawa
membuat Soka Pura hembuskan napas lega.
"Dulu aku pernah mau menikah, tapi gagal."
"Mengapa sampai gagal?"
"Kekasihku diambil orang! Sampai sekarang
aku sebenarnya tak mau berhubungan intim dengan
seorang lelaki mana pun. Tapi kepadamu, entahlah...
mengapa aku cepat menjadi akrab dan merasa seperti
sudah lama saling kenal. Mungkin kau memakai ilmu
pelet sehingga aku terpikat padamu."
Soka nyaris tertawa lepas. Untung ia bisa sege-
ra kendalikan suaranya.
"Anggap saja aku pakai ilmu pelet. Lalu bagai-
mana menurutmu jika benar begitu?"
"Ya, sudah! Sudah telanjur lengket mau diapa-
kan lagi," jawab Purbaweni dengan suara renyah me-
naburkan keindahan di hati Soka.
"Seandainya dulu...," Purbaweni ingin bicara la-
gi. Tapi tiba-tiba ia hentikan suaranya. Kepalanya yang
merebah di dada Soka dengan rambut dielus lembut
itu tiba-tiba menjadi tegak. Pandangan matanya tertu-
ju ke arah jalanan desa yang diterangi oleh lampu mi-
nyak. Cahaya rembulan ikut menerangi jalanan terse-
but, sehingga mata Purbaweni menemukan sesuatu
yang sangat mengejutkan.
"Ada apa, Purbaweni?!" bisik Soka Pura ikut-
ikutan tegang.
"Lihat perempuan yang lari ke arah barat itu?!"
"Hmmm... ya! Perempuan berjubah jingga itu
maksudmu?!"
"Benar! Dan perhatikan apa yang dibawa oleh
tangan kirinya itu!"
Soka Pura mengecilkan matanya untuk dapat
memandang dengan jelas. Sebab perempuan berjubah
jingga itu makin lama semakin menjauh, sehingga tak
dapat di lihat dengan jelas.
"Aku tak bisa melihat apa yang dibawanya. Se-
pertinya sebuah... sebuah pedang?! Apa benar sebuah
pedang?!".
"Ya! Dan itulah yang dinamakan Pedang Bulan
Madu!"
"Apaaa...?" Soka Pura terperanjat sekali men-
dengarnya.
"Cepat beri tahu Raka dan Nalapraya! Aku akan
mengejar perempuan itu!" ujar Purbaweni, lalu segera
melesat tinggalkan tempat tanpa pedulikan kebengon-
gan Soka Pura.
Melihat Purbaweni melesat pergi dengan kece-
patan tinggi, Soka Pura pun segera masuk ke dalam
rumah dan menemui Nalapraya yang sedang ngobrol
dengan Raka.
"Pedang Bulan Madu sudah dicuri orang! Seka-
rang sedang dikejar oleh Purbaweni!"
"Celaka! Siapa yang mencurinya?!" tanya Nala-
praya, tapi tak mendapat jawaban dari Soka, sebab
Soka sendiri segera berlari keluar menyusul Purbawe-
ni.
"Jangan-jangan kau salah lihat, Purbaweni!"
ujar Nalapraya kepada adiknya ketika mereka berem-
pat telah bergabung kembali.
"Tidak! Aku tidak salah lihat! Gagangnya di
bungkus dengan kain merah kumal. Dan sarung pe-
dangnya yang terbuat dari perunggu itu tampak
menghitam. Bentuk bunga wijayakusuma yang sedang
menguncup masih tampak jelas di ujung sarung pe-
dang itu!"
Nalapraya akhirnya percaya dengan pengliha-
tan adiknya. Karena ia ingat bahwa Purbaweni pernah
ikut Eyang Buyut Sabandanu, semasa tokoh sakti itu
masih hidup. Purbaweni juga sering melihat dan me-
megang-megang pusaka itu dengan rasa kagum. Tak
heran jika Purbaweni masih ingat dengan ciri-ciri pe-
dang tersebut.
"Siapa perempuan yang membawa Pedang Bu-
lan Madu itu? Apakah kau mengenalinya?!" tanya Ra-
ka Pura sambil mereka tetap berlari ke arah barat,
mengejar si pembawa pedang tersebut.
"Aku tak bisa melihat dengan jelas wajah orang
itu. Tapi dari jubah jingganya dan rambut kuning di-
konde sebagian, aku yakin dia adalah si Sampurgina!"
"Siapa?! Sampurgina?!" Raka dan Soka terkejut,
nyaris terpekik bersama. Langkah mereka sempat ter-
henti sejenak, karena dalam benak kedua Pendekar
Kembar itu sama-sama terbayang wajah cantik bertu-
buh tinggi, sekal, dan montok milik Sampurgina. Me-
reka pernah saling bertemu dengan Sampurgina dalam
peristiwa memburu kitab pusaka, (Baca serial Pende-
kar Kembar dalam episode: "Korban Kitab Leluhur").
Mengingat perangai Sampurgina yang gemar
bercinta dan berselera tinggi dalam bercumbu, menu-
rut Raka memang sangat memungkinkan jika Sampur-
gina mencuri Pedang Bulan Madu. Karena dengan
memiliki Pedang Bulan Madu, perempuan bekas mata-
matanya mendiang Nyai Keramat Malam itu dapat me-
lampiaskan gairahnya sepanjang malam berhias rem-
bulan. Raka juga ingat keterangan Dewa Perintang,
bahwa gagang Pedang Bulan Madu jika terkena sinar
rembulan dapat berubah menjadi sesosok pemuda
tampan yang gagah perkasa, yaitu Pangeran Maha
Rayu.
"Tapi aku tak habis pikir, dari mana Sampurgi-
na bisa memperoleh keterangan tentang pedang itu
dan makam eyang buyut kalian!" ujar Raka kepada
Purbaweni dan Nalapraya.
"Kudengar sejak kematian Nyai Keramat Ma-
lam, yang tak tahu dibunuh oleh siapa," kata Purba-
weni. "Sampurgina bergabung dengan Istana Bara. Ia
menjadi salah satu dari pengawal Ratu Rias Rindu.
Menurut kabar yang kudengar dari seorang mata-mata
perguruanku yang menyusup ke Istana Bara, sang Ra-
tu menerima kehadiran Sampurgina karena sebelum-
nya Ratu Rias Rindu punya hubungan baik dengan
Nyai Keramat Malam. Bahkan dalam rencana berikut
nya, Ratu Rias Rindu akan kuasai Pulau Sambang
yang tidak punya penguasa lagi itu."
"Kalau begitu, Sampurgina mendengar tentang
rahasia makam eyang buyut kalian dari percakapan di
dalam Istana Bara," ujar Soka menarik kesimpulan.
"Kurasa sang Ratu juga tidak menduga kalau gerakan-
nya akan didahului oleh Sampurgina!"
Kesimpulan Soka itu memang benar. Ratu Rias
Rindu tidak tahu kalau rencananya sudah didahului
oleh Sampurgina. Sementara itu, Sampurgina sendiri
tak peduli dengan murka sang Ratu. Ia berani berha-
dapan dengan Ratu Rias Rindu jika Pedang Bulan Ma-
du sudah ada di tangannya. Tak satu pun orang di da-
lam Istana Bara mempunyai praduga akan terjadi
pengkhianatan yang dilakukan oleh Sampurgina.
Pada saat Pendekar Kembar lakukan pengeja-
ran terhadap Sampurgina, rombongan Ratu Rias Rindu
baru saja tiba di makam Ki Sabandanu. Mereka terke-
jut sekali melihat gua yang sebagai makam itu dalam
keadaan terbuka. Padahal semula gua itu ditutup den-
gan batu besar.
Rupanya Sampurgina telah hancurkan batu itu
dengan jurus andalannya. Rombongan dari Istana Ba-
ra kecele setibanya di makam tersebut. Seandainya
Soka dan Purbaweni tidak pacaran di luar rumah,
mungkin mereka juga akan kecele begitu tiba di ma-
kam Ki Sabandanu.
"Rupanya kebiasaan 'mojokmu' punya manfaat
sendiri dalam perkara ini," bisik Raka Pura kepada
adiknya.
"Makanya, rajin-rajinlah 'mojok' biar jadi orang
berguna!" balas Soka dalam bisikan. Mereka sengaja
menghibur diri karena pengejaran mereka agaknya
menemui kegagalan.
Sampurgina tak kelihatan batang hidungnya.
Batang tengkuknya saja tak kelihatan apalagi batang
hidungnya. Tentu saja hal itu membuat mereka men-
jadi kecewa dan memendam kedongkolan, terutama
Purbaweni dan Nalapraya sebagai pihak yang berkewa-
jiban menjaga pusaka leluhurnya itu.
Mereka tidur dl atas pohon ketika kelelahan
sudah tak mampu disandang lagi. Raka Pura berada
tak jauh dengan Nalapraya. Mereka berdua membiar-
kan Purbaweni tidur bersebelahan dengan Soka, tan-
gan mereka saling bergenggaman, seakan melaju da-
lam mimpi indah bersama-sama.
Esoknya mereka bergegas tinggalkan 'tempat
tidur' ketika matahari mulai bergerak ke pertengahan
langit. Seandainya tak terdengar suara ledakan meng-
gelegar yang menggetarkan pohon tempat mereka ti-
dur, mungkin mereka belum terbangun. Ledakan itu-
lah yang memancing semangat mereka untuk segera
menyusuri jejak si pencuri pedang pusaka.
Sasaran pertama bagi mereka adalah suara le-
dakan yang didengarnya dua kali berturut-turut itu.
Mereka bergerak bersama ke arah selatan dengan hati
bertanya-tanya, "Siapa yang lakukan pertarungan di
sebelah selatan itu?"
Rasa ingin tahu membuat mereka tiba di se-
buah lembah perbukitan tandus. Mereka ada di atas
perbukitan yang tak seberapa tinggi itu. Dari sana me-
reka memandang ke bawah dan melihat dua orang la-
kukan pertarungan dengan sengit.
Tetapi pada saat itu, Nalapraya dan Purbaweni
terkejut dengan sepasang mata mereka saling terbela-
lak. Raka dan Soka Pura juga segera ikut terperanjat,
karena salah satu dari orang yang lakukan pertarun-
gan itu dikenal oleh si Pendekar Kembar. Orang terse-
but tak lain adalah Sampurgina.
"Tapi siapa gadis kecil yang melawan Sampur
gina itu?! Agaknya biar kecil tapi ilmunya cukup alot?!"
bisik Raka Pura kepada adiknya. Bisikan itu didengar
oleh Nalapraya yang segera menjawab pertanyaan ter-
sebut.
"Gadis kecil berpakaian hijau itu adalah Win-
damurni, adik kami!"
"Ooh...?" Raka dan Soka sama-sama terpekik
kaget. Purbaweni sudah lebih dulu berkelebat menu-
runi lereng untuk membantu adiknya.
"Windamurni...! Minggirlah, biar ku babat habis
pencuri itu!" teriak Purbaweni.
Rupanya gadis berusia sekitar dua puluh tahun
yang mempunyai wajah cantik mungil itu tak sengaja
memergoki Sampurgina menenteng pedang pusaka.
Windamurni tahu persis dengan ciri-ciri pedang pusa-
ka milik mendiang eyang buyutnya itu, karena walau
tak pernah melihat, namun ia sering mendengar cerita
Purbaweni tentang pedang pusaka itu, terlebih setelah
kasus tertangkapnya Nalapraya oleh pihak Istana Ba-
ra.
Windamurni bermaksud menghubungi seorang
kenalannya yang tinggal di desa. tempat Raka dan
rombongan ingin bermalam itu. Windamurni ingin
minta bantuan sahabatnya untuk membebaskan Nala-
praya dari Istana Bara. Perjalanan itulah yang mem-
buat Windamurni justru memergoki si pencuri Pedang
Bulan Madu. Ia pun berusaha merebutnya dari tangan
Sampurgina.
Pada mulanya Sampurgina menyangka gadis
muda itu berilmu rendah, karenanya ia tak mau guna-
kan Pedang Bulan Madu. Tetapi ternyata dua kali pu-
kulannya yang bersinar merah itu dapat ditahan oleh
tenaga dalam lawannya, hingga timbulkan
ledakan menggelegar tadi. Maka ia putuskan
untuk habisi nyawa lawannya dengan Pedang Bulan
Madu.
Namun sebelum pedang itu dicabut, ia lebih
dulu mendengar seruan Purbaweni. Matanya meman-
dang ke arah perbukitan, ia menjadi terkejut karena di
sana selain ada Nalapraya juga ada Pendekar Kembar.
"Celaka! Jika Pendekar Kembar turun tangan,
aku bisa terdesak dan pedang ini bisa jatuh ke tan-
gannya!" pikir Sampurgina.
Ujarnya lagi dalam hati, "Mereka bisa menge-
pungku dan menyerang bersama-sama. Gila! Mana
mungkin aku dapat melawan lima orang yang tampak-
nya bukan orang-orang berilmu rendah itu?! Sebaik-
nya aku melarikan diri saja!"
Pedang tak jadi dicabut, Sampurgina berbalik
arah dan segera melesat tinggalkan mereka. Namun
gerakan itu sudah diduga oleh Raka Pura. Karenanya,
sebelum Sampurgina bergerak melarikan diri, Raka
Pura sudah lebih dulu berkelebat menggunakan jurus
'Jalur Badai'-nya. Wuuuz, wuuuz...! Soka Pura pun
ikut bergerak dengan jurus 'Jalur Badai'-nya ke sisi
lain. Mereka menghadang di beberapa sisi, sehingga
ketika Sampurgina ingin larikan diri, ia terpaksa hen-
tikan langkah karena kepergok Raka Pura.
"Tak perlu melarikan diri, Sampurgina! Kau
akan selamat jika pedang itu kau serahkan pada ka-
mi!" ujar Raka Pura.
"Persetan dengan diri kalian, Keparat!" Sam-
purgina akhirnya nekat mencabut Pedang Bulan Ma-
du.
Ziling...! Suara desing pedang dilolos dari sa-
rungnya begitu mengiris hati siapa pun yang men den-
garnya. Walaupun sarung pedang telah menghitam
dan kotor, tapi mata pedang itu masih bersih mengki-
lap dan mulai memantulkan cahaya matahari.
Claap...! Buuulll...!
Raka Pura melompat ke samping dan berguling
di tanah ketika pantulan sinar matahari dari pedang
itu mengarah ke dadanya. Akibatnya, serumpun se-
mak di belakang Raka terbakar oleh pantulan cahaya
matahari dari pedang itu.
"Raka...! Hati-hati!" teriak Nalapraya yang tak
berani mendekat karena pedang telah dicabut dari sa-
rungnya. Purbaweni pun mundur bersama Windamur-
ni, karena mereka tahu bahaya besar telah datang dari
Pedang Bulan Madu itu.
Tetapi Raka Pura bagai orang tak lupa istilah
takut. Ia bangkit dan segera mencabut Pedang Tangan
Malaikat. Sraaang...!
"Heeaat...!" Sampurgina melompat dengan pe-
dang ditebaskan ke kanan kiri. Pantulan cahayanya
membakar rumput dan pohon sekitarnya. Blub, blub,
buuulll...!
Weess...! Pedang Bulan Madu menebas, nyaris
kenai leher Raka Pura jika si Pendekar Kembar sulung
tidak segera berguling ke tanah lagi.
Melihat kakaknya dalam bahaya kesaktian Pe-
dang Bulan Madu, Soka pun segera bertindak untuk
membantu kakaknya. Ia segera mencabut pe-
dang kristalnya dengan tangan kiri. Sraaang...!
Tetapi pada saat itu, Raka Pura sedang te-
baskan pedangnya dari atas ke bawah pada saat Sam-
purgina gagal menerjangnya dengan Pedang Bulan
Madu. Weess...! Claaap...!
"Aaaakh...!" Sampurgina terpekik keras. Nala-
praya dan kedua adiknya itu terperanjat melihat pung-
gung Sampurgina nyaris terbelah dengan mengerikan
sekali. Padahal pedang Raka tak sampai menyentuh
punggung Sampurgina, masih kurang sekitar dua
langkah.
Mereka tak tahu bahwa Pendekar Kembar
mempunyai jurus pedang yang dinamakan jurus
'Nenek Petir', di mana pedang kristal mereka mampu
merobek tubuh lawan dalam jarak tiga langkah, tanpa
harus menyentuhnya.
"Aaagggrr...!" Sampurgina masih paksakan diri
untuk bangkit. Rupanya ia kerahkan tenaga penghabi-
san untuk mengamuk di depan lawan-lawannya. Pe-
dang Bulan Madu ditebaskan secara membabi buta
sambil ia melompat menerjang Raka.
Dengan gerakan lincah, Raka Pura bersalto ke
belakang beberapa kali menggunakan ujung pedang-
nya sebagai tumpuan ke tanah. Wuk, wuk, wuk...! Tapi
kilatan cahaya matahari yang memantul melalui Pe-
dang Bulan Madu itu menyambar ke sana-sini, nyaris
kenai kaki Raka Pura.
Claaap, buul...! Claaap, buul..! Claap, buulll...!
Amukan Sampurgina bersama Pedang Bulan
Madu membuat suasana hutan di lembah itu menjadi
seperti neraka. Api berkobar di mana-mana, sementara
Nalapraya dan kedua adiknya mundur sampai ke le-
reng perbukitan. Tetapi Pendekar Kembar: Raka dan
Soka, masih tetap hadapi amukan Sampurgina.
Mereka bertarung bagai di dalam kobaran api
neraka. Semua tempat terkurung oleh kobaran api
yang sulit dipadamkan sebelum benda yang terbakar
menjadi arang. Sementara Soka dan Raka sangat ber-
hati-hati dalam bertindak, karena mereka tak ingin
membuat Pedang Bulan Madu hancur oleh jurus pe-
dang gabungan mereka yang dinamakan jurus 'Lidah
Dewa' itu.
"Majulah kalau kalian benar-benar merasa ber-
nyawa ganda!" teriak Sampurgina dengan liar. Pende-
kar Kembar sibuk hindari setiap gerakan pedang yang
memantulkan cahaya matahari.
Kejap berikut, Raka Pura memancing perhatian
Sampurgina dengan teriakan keras.
"Heeaaaat...!"
Sampurgina segera arahkan pedangnya kepada
Raka sambil berbalik arah. Mata pedang memantulkan
sinar, Raka sudah siap untuk menghindarinya.
Namun pada saat itu pula, Soka Pura segera
bertindak cepat. Ia berkelebat menebaskan pedangnya
dalam jarak tiga langkah. Wees...! Claap...! Angin teba-
san itu memercikkan sinar ungu tipis, seperti yang ter-
jadi pada saat Raka berhasil lukai punggung Sampur-
gina. Sinar itu memotong pergelangan tangan Sampur-
gina dengan ketajaman melebihi sepuluh mata pedang!
Craaas...!
"Aaaa...!" Sampurgina memekik keras-keras.
Pergelangan tangannya putus seketika itu pula, Pe-
dang Bulan Madu pun jatuh ke tanah. Pluuuk.
Soka Pura segera berguling sambil menjejakkan
kakinya. Wuuut, ploook...! Jejakkan kaki itu kenai lu-
tut Sampurgina. Perempuan tersebut terpental dan ja-
tuh terhempas dengan keras. Tangan kanan Soka se-
gera menyambar Pedang Bulan Madu. Wuuut...!
Kejap berikutnya, Soka Pura sudah berdiri te-
gak dengan kedua tangan menggenggam pedang; pe-
dangnya sendiri dan Pedang Bulan Madu.
"Aaakh... aaakh... aaakh...!" Sampurgina ter-
sentak-sentak tak bisa bangun. Raka Pura segera
menghampirinya dengan tiga lompatan plik-plak. Da-
lam sekejap ia sudah berada di dekat adiknya, me-
mandang ke arah Sampurgina yang ketika itu segera
menghembuskan napas terakhir.
Rupanya pada saat Sampurgina jatuh, ia tak
tahu ada tonggak kayu runcing bekas pohon kecil yang
patah beberapa waktu yang lalu. Jatuhnya tubuh
Sampurgina itu diterima dengan sukarela oleh tonggak
kayu tersebut, sehingga tonggak kayu pun menerobos
masuk tanpa permisi dari pinggang kiri tembus ke pe-
rut.
"Tak mungkin kita selamatkan dia lagi!" ujar
Raka Pura.
"Aku tak sengaja membunuhnya! Tapi mungkin
memang begitulah takdirnya. Siapa yang tahu?!"
"Lekas keluar dari kurungan api ini!" sambil
Raka Pura mendahului bergerak dengan menggunakan
jurus 'Jalur Badai'-nya. Wuuus...! Pendekar Kembar
bungsu pun menyusul. Wuuuzz...!
Nalapraya dan kedua adiknya dalam kecema-
san yang menegangkan. Mereka tak bisa melihat perta-
rungan Pendekar Kembar melawan Sampurgina karena
kobaran api menutupi pandangan mata mereka. Na-
mun ketika Pendekar Kembar muncul dari kobaran api
secara bersusulan, wajah tegang mereka menjadi men-
gendur. Nalapraya dan kedua adiknya yang cantik-
cantik itu semakin berseri-seri ketika melihat Pedang
Bulan Madu berada di tangan kanan Pendekar Kembar
bungsu. Mereka segera menyambut kehadiran Pende-
kar Kembar yang badannya basah kuyup oleh keringat
karena seperti baru saja keluar dari neraka.
Sekalipun tubuh Pendekar Kembar basah oleh
keringat, namun Purbaweni tidak peduli. Ia segera
memeluk Soka dan luapan kegembiraannya membuat-
nya tak sadar; ia mencium wajah Soka, bahkan ci-
uman itu sempat mampir sebentar ke bibir si Pendekar
Kembar bungsu.
Cup, cup, cup...!
Windamurni terbengong, namun segera melirik
Raka Pura. Yang dilirik berlagak tidak merasa, dan se-
gera bicara kepada Nalapraya. Windamurni sempat
merasa kesal, namun rasa kesalnya terobati begitu
memandangi Pedang Bulan Madu sudah diserahkan
Soka Pura. ke tangan Purbaweni.
"Rasa-rasanya kami tak berani menyimpan pe-
dang ini. Pasti akan menjadi incaran orang-orang se-
sat!" ujar Nalapraya. "Bagaimana jika dikembalikan ke
makam Eyang Buyut saja?!"
"Pasti akan diincar pencuri lagi!" ujar Winda-
murni yang bersuara bening itu.
"Hei, lihat... siapa yang berdiri di atas perbuki-
tan itu?!" seru Soka Pura yang membuat mereka terpe-
rangah kaget.
Sosok tua berjubah biru yang tak lain adalah
Dewa Perintang ternyata sudah ada di puncak perbuki-
tan agak jauh dari mereka. Namun karena ia berdiri di
atas batu tinggi, maka kehadirannya tampak jelas dari
tempat mereka.
Tiba-tiba Purbaweni ajukan pendapat kepada
mereka.
"Bagaimana jika Pedang Bulan Madu ini diti-
tipkan kepada Dewa Perintang saja? Kurasa ia mampu
menyelamatkan pedang ini agar tidak dijamah oleh
orang-orang aliran sesat!"
"Kalau begitu, kita temui saja beliau. Apakah
beliau bersedia atau tidak," ujar Nalapraya.
Akhirnya sahabat mendiang Eyang Buyut Sa-
bandanu itu menerima desakan mereka. Hal itu dipu-
tuskan setelah Dewa Perintang mempertimbangkan
bencana yang akan terjadi jika Pedang Bulan Madu te-
tap menjadi bahan rebutan. Penghuni bumi dapat ha-
bis binasa hanya karena perebutan Pedang Bulan Ma-
du, seperti yang terjadi beberapa puluh tahun yang la-
lu, ketika Ki Sabandanu masih hidup.
"Kuharap tidak seorang pun dari kalian bicara
kepada siapa saja tentang di mana pedang ini sekarang
berada," ujar Dewa Perintang yang sudah tidak mena-
kutkan lagi bagi Purbaweni.
"Kami tetap akan merahasiakannya, Eyang!"
jawab mereka saling bersahutan.
"Kusarankan, sekarang perbaiki makam eyang
buyutmu, Nalapraya! Aku akan hentikan perburuan si
Rias Rindu, karena tampaknya ia tetap akan penasa-
ran sebelum mendapatkan pedang ini, atau sebelum
nyawanya menghadang Yang Maha Kuasa!"
Blaab...! Mereka tersentak kaget. Petapa sakti
itu tiba-tiba lenyap tanpa asap sedikit pun, tanpa be-
kas apa pun, selain hanya ucapannya yang terngiang di telinga mereka.
SELESAI
Segera terbit!!!
PEMBURU MAHKOTA DARAH
0 comments:
Posting Komentar