PEDANG BUNTUNG
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor
dalam episode:
Pedang Buntung
112 hal.
1
Perjalanan waktu memang tak dapat dihindari
dalam kehidupan ini. Kendati bergeraknya terasa
sangat lambat, namun tanpa disadari waktu dapat
bergerak laksana meteor, hingga terkadang kita tak
menyadari betapa waktu telah membuat kita
terkubur dalam hari-hari penuh kesia-siaan.
Alam kembali dinaungi keindahan memukau.
Sang raja siang telah tebarkan sinar merahnya ke
seluruh persada sejak dua penanakan nasi lalu.
Mayapada cerah dengan tautan awan putih bagai
menghiasi dinding langit dengan taburkan sejuta
pesona yang sukar untuk ditepiskan. Burung-
burung beterbangan menyambut pagi, diiringi
kicauan riangnya.
Di satu tempat yang dipenuhi pepohonan,
nampak sebuah sungai yang airnya mengalir jernih
dan tak begitu deras. Di tengah-tengah sungai itu
terdapat beberapa buah batu yang menonjol. Dan di
sekitar sungai itu banyak ditumbuhi ranggasan liar
semak belukar serta beberapa buah pohon.
Dalam pesona keindahan itu, mendadak saja
sebuah kepala menyembul keluar dari dalam sungai.
Byuuurrr!!
"Hiiiii!! Dingin!!"
Lalu dengan konyolnya kepala itu langsung
masuk kembali ke air tanpa perhatikan kiri
kanannya. Begitu seterusnya sampai tiga kali,
sebelum kemudian pemilik kepala yang ternyata
seorang pemuda itu mengusap rambut gondrongnya
ke belakang.
Wajah anak muda ini tampan dengan sorot mata
Jenaka. Sepasang alisnya hitam legam dan menukik
laksana kepakan sayap elang.
Dan tiba-tiba saja anak muda ini celingukan
sebentar. Lalu buru-buru naik ke tepi sungai. Begitu
kedua kakinya menginjak tepian sungai itu, dengan
tingkah konyol anak muda ini langsung melompat
lagi ke sungai itu.
"Assyiikkkk!!"
Byuuurrr!!
Muncrat air sungai begitu tubuhnya masuk.
Nah, nah, siapa lagi yang punya tingkah konyol
kayak begitu kalau bukan si Urakan dari Lembah
Kutukan? Pemuda itu memang pendekar kita yang
bau tubuhnya sudah dua belas rupa hingga begitu
menemukan sungai yang berair jernih, seperti orang
yang terdampar di padang tandus segera membuka
pakaian dan menyeburkan diri. Lalu dengan
noraknya dia berenang, merendam dan menyelam
dengan sesekali berteriak seperti anak kecil.
Begitu kepala si urakan ini muncul kembali,
langsung digeleng-gelengkan hingga air yang
menempel pada wajah dan rambutnya berlompatan.
"Asyik syekalleee!!”
Sambil bernyanyi-nyanyi yang tidak ketahuan
irama dan syairnya, Andika berenang-renang ke
sana kemari. Lalu menyelam cukup lama.
Tatkala kepalanya disembulkan kembali dari air
sungai itu, tiba-tiba didengarnya suara perempuan
menjerit, "Iiiihhhh!!"
Kontan anak muda dari Lembah Kutukan ini
terkesiap kaget. Kejap itu pula dia langsung
menyelam kembali. Lalu masih dengan wajah kaget,
hati-hati disembulkan kepalanya hingga leher.
Dilihatnya seorang gadis berpakaian biru muda
sedang berdiri dengan kedua tangan menutupi
wajahnya. Namun tidak membalikkan tubuh.
"Monyet pitak! Kapan datangnya gadis itu? Bikin
kesenanganku terganggu saja! Brengsek! Eh, kenapa
dia tidak, membalikkan tubuh sih?" kata Andika
dalam hati. Lalu berseru, "Hooiiii! Menghadap ke
sana! Aku mau pakaian!!"
Tetapi gadis itu justru tetap pada kedudukannya
berdiri. Malah Andika melihat bibir gadis itu
menyeringai dan jari jemari yang menutupi
penglihatannya agak melonggar.
"Eh, brengsek betul!" dengus Andika dan berseru
lagi, "Hoooiiii! Menghadap ke sana!!"
Gadis berkepang dua itu perlahan-lahan segera
balikkan tubuh. Andika sendiri segera melompat
dari dalam sungai dan kembali mengenakan pakaian
yang diletakkannya di balik ranggasan semak
belukar. Kain bercorak catur pun menghiasi
lehernya. Setelah berpakaian pemuda urakan ini
segera keluar kembali dengan hati agak mangkel
karena merasa dipermainkan gadis berbaju biru tadi.
Tetapi niatnya itu langsung putus begitu tak
melihat lagi gadis yang menggodanya berada di
sana. Sejenak kening anak muda ini berkerut. Sambil
garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal dia berkata,
"Busyet! Ke mana dia? Kok cepat amat menghilang?
Hiii... jangan-jangan dia bukan manusia! Tetapi
salah satu penunggu hutan ini! Celaka sepuluh
setengah! Kabur, ah!!"
Tetapi sebelum Andika putar tubuh, terdengar
satu seruan dari atas sebuah pohon, "Heiii! Kau mau
ke mana, hah?!"
Lagi Andika segera balikkan tubuh. Kepalanya
agak didongakkan ke atas. Cukup lama dia
pandangi gadis itu sebelum buka mulut, "Aku mau
ke mana bukan urusanmu, kan?! Kau telah
mengganggu keasyikanku mandi! Ngomong-
ngomong... kau ini sebangsa monyet atau setan
gentayangan sih?"
"Sembarangan ngomong!!" balas si gadis sewot.
"Tadi kupikir, kau ini penunggu sungai itu!!"
Sementara Andika nyengir, gadis itu diam-diam
membatin, "Aku tak boleh terlalu percaya pada siapa
pun yang kujumpai. Tetapi, aku juga tidak tahu ke
mana jalan yang harus kutempuh menuju ke
Pesanggrahan Bayu Api. Dialah satu-satunya orang
yang tak menampakkan sikap berkeinginan untuk
menangkapku. Tetapi, bisa jadi pemuda ini hanya
berpura-pura dan akan membokongku dari
belakang? Aku harus berhati-hati."
Habis membatin demikian, dengan ringannya
gadis berpakaian biru muda ini melompat dari
pohon itu.
Kendati takjub melihat gerakan si gadis, Andika
tak bisa menahan diri untuk tidak berseloroh, "Benar
juga nih dugaanku! Kau ini tentunya sebangsa
kumpulan monyet-monyet, ya?"
"Brengsek!!" seru si gadis melotot, tetapi di dalam
hati membatin, "Apakah kekonyolan yang
dimilikinya itu hanya untuk menutupi siapa dirinya
sebenarnya? Atau... dia memang memiliki sifat
seperti itu? Waktuku tidak banyak... aku harus
mengorek keterangan siapa dia sebenarnya."
Sementara itu. Andika sedang nyengir sendirian.
Dia tengah mengagumi kecantikan yang dimiliki
gadis yang berdiri sejarak delapan langkah dari
hadapannya.
Gadis itu memiliki tubuh yang indah dan montok.
Pakaian biru muda yang dikenakannya memang
agak ketat, hingga perlihatkan lekuk tubuhnya yang
menawan. Wajahnya berbentuk bulat telur.
Hidungnya mancung dengan bibir tipis yang
memerah indah dan di atas bibir sebelah kanan
terdapat sebuah tahi lalat yang menambah
kecantikannya. Sepasang alisnya hitam, dihiasi
dengan bulu mata lentik dan mata yang cerah
terbuka. Kecantikannya dilengkapi dengan
indahnya rambut yang dikepang dua.
Ditatap seperti itu si gadis menjadi jengah. Buru-
buru dia berseru, "Heiii!! Kenapa matamu itu, hah?!"
Andika cuma nyengir. "Kecantikannya begitu
sempurna sekali. Tetapi dari sorot matanya, aku
menangkap satu kegelisahan yang amat sangat dan
berusaha ditutupinya. Hmmm... sebenarnya aku
ingin tahu kegelisahan seperti apa yang sedang
dialaminya. Tetapi rasanya, tidak enak."
Masih nyengir Andika menyahut, "Biasa deh!
Mata inii memang tidak pernah makan bangku
sekolah! O ya! Karena kau tentunya punya urusan
sendiri begitu juga denganku, kita berpisah di sini!
Tapi ngomong-ngomong... tadi kamu sempat
melihat... ah, tidak jadi deh."
Sambil garuk-garuk kepalanya anak muda
berpakaian hijau pupus itu putar tubuh. Namun
baru tiga tindak dia bergerak, si gadis berseru,
'Tunggu!"
Andika segera hentikan langkah dan tolehkan
kepala. Belum lagi si gadis buka mulut, dia sudah
berseru mendahului, "Kamu lihat ya, kamu lihat ya?"
Memerah wajah si gadis mendengar selorohan
konyol itu. Dan saat ajukan tanya suaranya
terdengar tegas, "Tahukah kau jalan menuju ke
Pesanggrahan Bayu Api?"
Sejenak Andika kerutkan keningnya.
"Pesanggrahan Bayu Api? Rasa-rasanya baru kali ini
aku mendengar. Hmmm... menilik nada suaranya,
jelas sekali kalau dia terburu-buru. Mungkin karena
dia berharap aku dapat menjawab pertanyaannya
maka dia tak segera melanjutkan perjalanannya."
Habis membatin begitu, buru-buru digelengkan
kepalanya seraya berkata. "Aku tidak bisa menjawab
pertanyaanmu itu. Kalau boleh aku tahu, mengapa
kau hendak menuju ke tempat yang namanya
angker banget?"
"Itu urusanku! Kalau kau tidak tahu ya tidak usah
banyak tanya!!"
Nyengir anak muda dari Lembah Kutukan ini
mendengar sahutan si gadis. Sambil garuk-garuk
kepalanya yang tidak gatal dia berkata, "Kalau kau
tidak mau menjawab, ya tidak apa-apa! Tapi jangan
sewot gitu dong! Sudah, ah!! O ya... siapa namamu?"
Kali ini si gadis tak segera membuka mulut.
Sambil pandangi tak berkedip anak muda di
hadapannya, dia berkata dalam hati, "Aku masih
tidak tahu apakah sikap pemuda ini memang benar-
benar tidak tahu siapa aku, atau dia hanya berpura-
pura? Tetapi nampaknya sikap yang diperlihatkan
waktu kusebutkan Pesanggrahan Bayu Api
nampaknya biasa-biasa saja dan keterkejutannya
wajar. Ah, kepalaku jadi pusing sekarang. Karena
orang jahat pun dapat bersikap manis. Hmmm...
lebih baik tak kukatakan siapa aku sebenarnya."
Lalu katanya, "Mengapa justru aku yang
mengatakan lebih dulu, mengapa tidak kau yang
pertama?"
Andika menyeringai sambil berkata, "Namaku
Andika, keren nggak? Kalau kau mengatakan tidak
keren, sungguh keterlaluan!"
Mendengar selorohan itu mau tak mau si gadis
tersenyum.
"Lumayan juga."
"Nah! Siapa namamu?"
Kembali si gadis terdiam. Sebelum dia membuka
mulut Andika sudah mendahului, "Nampaknya kau
ragu-ragu untuk mengatakan namamu, ya? Kalau
begitu... bagaimana bila kau kupanggil dengan
sebutan Gadis Kayangan? Nah, bagus kan?"
Tersenyum gadis berpakaian biru yang
sesungguhnya bernama Winarsih itu mendengar
kata-kata Andika. Apalagi ketika Andika berkata
lagi, "Wajahmu memang jelita dan rasanya tepat
sebutan Gadis Kayangan buatmu. Bagaimana?
Setuju? Bila tidak ya dikembalikan saja ke toko
sebelah!"
"Benar-benar sulit dimengerti sifat pemuda ini.
Terkadang dia bersikap serius, tetapi bila sudah
datang konyolnya minta ampun. Ah... siapakah dia
sebenarnya? Apakah dia termasuk salah seorang
dari manusia-manusia celaka yang sedang
memburuku?"
Selagi si gadis membatin demikian, Andika
berkata, "Tidak ada lagi yang kau tanyakan, bukan?
Yuk, ah! Aku pergi dulu! Perutku lapar nih!"
Habis kata-katanya, Pendekar Slebor segera
melompat meninggalkan tempat itu. Terkesiap
Winarsih atau yang dijuluki Andika si Gadis
Kayangan karena tahu-tahu pemuda itu sudah tak
berada di tempatnya.
"Luar biasa! Gerakannya sungguh begitu cepat
sekali! Jelas kalau pemuda itu bukan orang yang
dapat dipandang sebelah mata. Tetapi, sayangnya
aku tidak tahu siapa dia. Apakah dia lawan atau
kawan, sukar pula kuduga karena sifatnya yang
nampak konyol begitu. Tetapi biar bagaimanapun
juga untuk saat ini aku harus berhati-hati dan tak
boleh bertindak gegabah. Sayang aku tidak tahu
jalan menuju ke Pesanggrahan Bayu Api. Bila aku
tahu, tak akan aku kebingungan seperti ini.
Terutama...."
Memutus kata-katanya sendiri, si gadis mendadak
celingukan. Dari raut wajahnya sekarang, jelas sekali
dia mencemaskan sesuatu.
"Aku tidak boleh terlambat. Aku harus ke
Pesanggrahan Bayu Api segera! Bila tidak,
semuanya akan jadi berantakan. Hmmm... sebaiknya
kuambil jalan yang berlawanan dengan pemuda itu.
Siapa tahu dia memang bukan orang baik-baik. Dan
sekarang sedang bersembunyi di satu tempat untuk
membokongku."
Memutuskan demikian, gadis berpakaian biru
muda yang sepertinya menyimpan sesuatu yang
sangat berat, segera berkelebat ke arah agak
menyerong dari yang ditempuh Andika.
***
Senja sudah turun ketika Winarsih yang sedang
menuju ke Pesanggrahan Bayu Api tiba di sebuah
jalan setapak yang dipenuhi semak belukar dan
pepohonan. Tatapan gadis ini begitu bersiaga tatkala
memperhatikan sekelilingnya. Bahkan kedua
tangannya terkepal tanda dia telah siap bila
menghadapi sesuatu yang tak menyenangkan.
Lamat-lamat terdengar desahannya.
"Benar-benar celaka! Waktuku tinggal tiga hari
lagi! Bila tidak, semua akan menjadi kacau! Bila
benda ini tidak sampai pada Panembahan Agung di
Pesanggrahan Bayu Api, semuanya akan jadi
berantakan!"
Lagi diedarkan pandangannya berkeliling. Rasa
cemas dan telah nampak membayang di wajahnya.
Namun kekerasan hati gadis ini, membuatnya
berusaha untuk tindih segala cemas dan lelah.
Karena, tugas telah diemban. Dan dia harus berhasil
menuju ke Pesanggrahan Bayu Api.
"Sebentar lagi malam akan datang. Aku tak boleh
berada di tempat terbuka seperti ini."
Memutuskan demikian, Winarsih segera hempos
tubuhnya lagi. Namun baru saja dia berlari sejarak
tiga tombak, mendadak saja tangan kanannya
digerakkan ke samping.
Wusss!!
Menghampar satu gelombang angin cukup deras
yang segera menghantam ranggasan semak belukar
di sampingnya. Disusul dengan makian, "Manusia
kurang ajar! Mengapa harus mengintip bila ingin
mampus, hah?!"
Sejenak Winarsihyang sudah berdiri tegak dengan
kedua mata dibuka lebih lebar, arahkan pandangan
pada semak itu. Tak seorang pun yang keluar dari
sana. Dan keadaan ini membuatnya yang tadi geram
menjadi agak kecut.
Diam-diam dia membatin, "Celaka! Apakah
orang-orang yang menghendaki benda ini telah
mengetahui jejakku? Oh! Ini tak boleh dibiarkan!
Apa pun yang terjadi, akan kuhadapi sekuat tenaga!
Benda ini harus kupertahankan dengan nyawaku!!"
Kejap kemudian gadis berkepang dua ini berseru
keras, "Jahanam terkutuk! Perlihatkan tampangmu,
hah? Biar urusan cepat selesai!!"
Belum lagi kata-kata Winarsih terdengar,
mendadak saja satu tawa keras membahana di
belakangnya. Serta-merta gadis ini putar tubuh.
Seketika itu pula nampak dia surut ke belakang
dua tindak begitu mengenali siapa orang yang
berdiri di hadapannya.
"Celaka! Mengapa aku harus bertemu dengan
manusia satu ini?!"
***
2
Sejarak dua tombak dari tempatnya berdiri, satu
sosok tubuh berpakaian hitam-hitam pekat telah
tegak di hadapannya. Sepasang mata lelaki
berambut panjang yang dikuncir itu menatap tak
berkedip ke arah Winarsih. Nampak sekali kalau dia
sepertinya hendak menelan bulat-bulat gadis itu. Di
pergelangan tangan kanan kiri lelaki berusia sekitar
lima puluh tahun itu terdapat gelang-gelang penuh
duri.
Terdengar dengusan berat lelaki berwajah tirus
dengan hidung agak bengkok dan kedua mata yang
bergelambir, "Kau tak akan bisa meloloskan diri dari
tanganku lagi, Winarsih!!"
Kendati nampak cukup terkejut dan agak gentar,
tetapi gadis ini kelihatan berusaha tegar. Untuk
sesaat dia nampak menindih perasaan kecutnya
sebelum keluarkan dengusan. Lalu pasang
seringaian mengejek saat berkata, "Sangga Rantek!
Kau tak bosan-bosannya mengejarku, hah? Apakah
kau sudah merasa pasti akan dapat merebut benda
ini dari tanganku?"
Terbahak-bahak lelaki bernama Sangga Rantek ini.
Tawa yang keluar dari mulut besarnya bukan hanya
membuat dedaunan berguguran, tetapi juga
membuat ranting pohon patah dan bertabrakan
satu dengan lainnya, hingga timbulkan suara yang
keras.
Sementara itu di tempatnya, Winarsih sendiri
harus kerahkan tenaga dalam pada kedua
telinganya, guna menahan aliran tawa keras yang
dikeluarkan lelaki berhidung bengkok itu.
Dan diam-diam gadis ini membatin resah, "Benar-
benar celaka! Sudah tentu dia tak akan
melepaskanku! Apalagi... rasanya aku juga tak
mungkin dapat meloloskan diri."
Tiba-tiba Sangga Rantek memutus tawanya
sendiri dan merandek gusar dengan kedua mata
membuka mengerikan, "Gadis keparat! Serahkan
potongan pedang itu kepadaku!!"
Winarsih keluarkan dengusan pendek. Dengan
pandangan melecehkan dia berkata, "Hhh! Tak
semudah itu kau dapatkan, Manusia celaka! Dan
sayangnya... kau hanya bermimpi di siang bolong!!"
"Jahanam terkutuk! Akan kukerat tubuhmu satu
persatu!!" hardik Sangga Rantek kasar.
"Apa yang hendak kau lakukan urusan belakang!
Kau telah membunuh guruku sebelum kau
mendapatkan potongan pangkal pedang satunya
lagi! Dan tentunya, Pedang Buntung yang
menggambarkan sebagian titik-titik gambar, tak ada
gunanya bila tak disatukan dengan potongan
lainnya karena tak akan utuh gambar-gambar itu!
Tetapi sayang, kau terlambat! Potongan pedang
satunya memang berada di tanganku sebelum ini!
Hanya saja, telah kuserahkan pada pemuda
berpakaian hijau pupus dengan kain bercorak catur
yang melilit pada lehernya!"
"Gadis celaka! Jangan dusta di hadapanku!!"
menggelegar suara lelaki berpakaian hitam-hitam
ini. Kedua tangannya bergetar tanda dia tak kuasa
lagi menahan marah.
Kendati hatinya bertambah ciut melihat
keangkeran lelaki di hadapannya, Winarsih nampak
tak peduli.
"Sungguh sangat disayangkan... kau yang sudah
berusaha sekian lama untuk mendapatkan potongan
pedang itu ternyata harus sia-sia!! Dan sayangnya
lagi... kau tak akan pernah dapat menyatukan
pedang itu untuk melihat rangkaian titik-titik
gambar yang terukir! Sungguh sangat di...."
"Terkutuk!" terputus ejekan Winarsih karena lelaki
itu sudah membentak. Lalu melanjutkan dengan
wajah memerah gusar, "Kukirim nyawamu untuk
menyusul gurumu di akhirat sana!!"
Habis makiannya, lelaki berparas kejam ini sudah
mendorong kedua tangannya ke depan. Serta merta
menggebah gelombang angin yang luar biasa
dahsyatnya, menyeret tanah dan ranggasan semak
belukar saat menderu ke arah Winarsih.
Terkesiap Winarsih melihat serangan yang datang.
Apalagi tanah dan ranggasan semak itu
menghalangi pandangan. Dalam keadaan seperti itu
tak mustahil lawan sudah lakukan serangan susulan.
Cepat dia buang tubuh ke samping kanan. Sambaran
gelombang angin itu luput dari sasaran.
Dan yang diduganya memang benar. Karena
gelombang angin lainnya telah menderu kembali.
Terburu-buru si gadis menghindari lagi. Kendati
berhasil melakukannya, bahu kirinya terkena juga
sedikit sambaran angin itu. Dan akibatnya,
dirasakan kalau bahu kirinya terasa seperti patah.
Meringis gadis berbaju biru muda itu sambil
pegangi bahu kirinya dengan tangan kanan. Wajah
jelitanya mendadak menjadi pucat.
"Celaka! Waktu lalu aku memang berhasil
meloloskan diri setelah mengelabuinya! Tetapi
sekarang, sulit bagiku untuk menghindar lagi!"
desisnya dalam hati galau. Namun mendadak
terlihat kepalanya digeleng-geldengkan. "Tidak! Tak
akan kubiarkan pedang buntung ini jatuh ke
tangannya! Manusia celaka itu telah membunuh
Guru! Dan sebelum Guru tewas, dia memberikan
potongan pedang ini untuk kuserahkan pada
Panembahan Agung di Pesanggrahan Bayu Api!
Apa pun yang terjadi, aku akan berusaha untuk
mengatasinya!"
Belum lagi Winarsih dapat berpikir lebih jernih,
mendadak saja gelombang angin lainnya melabrak
diiringi seruan, "Nyawamu menjadi taruhan semua
ini, Gadis Celaka!!"
Tanpa buang waktu lagi, Winarsih segera
melompat ke samping kiri. Namun belum lagi dia
menginjak tanah, gelombang angin lainnya sudah
menderu.
"Heeiiii!!"
Terkejut bukan alang kepalang gadis ini.
Sebisanya dia membuang tubuh ke belakang.
Blaaammm!! Blaaammm!!
Dua letupan keras terdengar sambung
menyambung. Dan dua bagian tanah yang
terhantam gelombang angin tadi, langsung muncrat
ke udara dan membentuk lubang cukup besar.
Winarsih yang kembali tegak, tanpa sadar
tubuhnya bergetar. Keringat dingin sudah mengaliri
sekujur tubuhnya. Kedua matanya mengerjap-
ngerjap sementara wajahnya begitu pucat.
"Benar-benar celaka! Mengapa aku harus
berjumpa dengan manusia ini lagi? Ah, tak
seharusnya aku membuang waktu dengan pemuda
berbaju hijau pupus tadi? Tetapi... itu dikarenakan
aku mencoba mencaritahu siapa pemuda itu,
sebelum akhirnya manusia ini membokongku dari
belakang karena termasuk salah seorang yang
menginginkan potongan pedang ini...."
Dan tanpa sepengetahuan keduanya, sepasang
mata tajam namun licik memperhatikan dari balik
ranggasan semak belukar sejarak delapan tombak.
"Hmmm... Sangga Rantek. Dari ucapannya tadi,
jelas kalau dia telah berhasil membunuh Pemimpin
Agung dan sekarang sedang mengharapkan
potongan pedang yang dipegang oleh gadis itu yang
tentunya murid Pemimpin Agung. Pantas, tatkala
aku tiba di Pesanggrahan Bayu Air yang kulihat
hanya reruntuhan dan mayat Pemimpin Agung.
Rupanya manusia celaka itu yang telah
membunuhnya dan berhasil mendapatkan pedang
buntung yang bila disatukan dengan pedang
buntung lainnya akan tersatukan titik-titik yang
menuju ke satu tempat. Bagus! Kali ini aku tak perlu
susah payah! Bila Sangga Rantek telah berhasil
memiliki potongan pedang yang ada pada gadis itu,
baru kuurus dia! Paling tidak, tenaganya cukup
terkuras karena kulihat tentunya gadis itu bukan
gadis sembarangan."
Terdengar lagi suara Sangga Rantek diiringi
seringaian lebar di bibir tebalnya, "Sebelum
terlambat, serahkan potongan pedang itu
kepadaku!!"
"Hhhh! Kau hanya pandai bicara! Bila memang
kau menghendakinya, ambil dari tanganku!!" balas
Winarsih menindih kekalutannya.
"Gadis Keparat!!"
Habis bentakannya, Sangga Ranlek langsung
mencelat ke depan. Tangan kanan kirinya berkelebat
membentuk jotosan. Angin keras mendahului
gerakan kedua tangannya.
Bagi Winarsih sendiri, tentu saja dia tak mau mati
konyol. Dengan gerakan menakjubkan, gadis ini
mencelat dan langsung putar tubuh dua kali di
udara, bersamaan dengan itu, kedua jotosannya pun
dilepaskan.
Namun dengan enaknya jotosan itu dipatahkan
Sangga Rantek, bahkan sosok Winarsih sendiri
terhuyung ke belakang. Tangan kanan kirinya
membiru dan dirasakan seperti patah. Terlebih lagi
tangan kirinya yang sebelumnya tadi, sudah terkena
sambaran angin Sangga Ranlek di bagian bahu.
Ngilunya bukan alang kepalang. Sangga Rantek
sendiri tak mau membuang waktu lebih banyak.
Sambil mencelat kembali dia lepaskan jotosan ke
bagian kepala, sementara serangkum angin telah
mendahului menerjang ke arah Winarsih.
Gadis berkepang dua ini terkesiap kaget. Segera
dilepaskan jurus 'Matahari Tebar Sinar', yang serta-
merta udara di sekitar sana berubah menjadi panas.
Namun gelombang angin itu bukan hanya dapat
dipatahkan lawan, tetapi juga berbalik ke arahnya.
Kian memucat wajah Winarsih mendapati
serangannya berbalik ke arahnya. Sebisanya dia
membuang tubuh. Sementara tanah di mana tadi dia
berdiri, langsung membentuk sebuah lubang
sedalam lutut dan keluarkan asap.
Saat berdiri kembali kendati agak sempoyongan,
gadis ini membatin resah, "Tak mungkin aku bisa
menghadapinya! Tidak, aku tidak ingin mati konyol
sebelum benda ini sampai ke tangan Panembahan
Agung! Lebih baik, segera kutinggalkan tempat ini
daripada urusan justru berkembang lebih parah bila
lelaki itu berhasil mendapatkan potongan pedang
ini!"
Memikir demikian, si gadis langsung lepaskan
serangan. Dua kali dilepaskan jurus 'Matahari Tebar
Sinar' yang dapat diputuskan dengan mengangkat
tangan kanannya saja oleh Sangga Rantek. Dan
kesempatan itu dipergunakan oleh Winarsih untuk
segera menjauh dari sana.
Namun baru saja dia lakukan gerakan itu,
mendadak saja terdengar gemuruh angin yang luar
biasa dahsyatnya. Terkejut bukan alang kepalang
Winarsih yang segera membuang tubuh ke samping
kiri dan saat masih bergulingan. Sangga Rantek
sudah mencelat ke depan. Kaki kanannya yang telah
dialiri tenaga dalam penuh siap dihajarkan pada
kepala Winarsih sementara tangan kirinya sudah
didorong lebih dulu.
Tubuh Winarsih telak terhantam dan terlempar
tiga tombak ke belakang. Masih untung Winarsih
memiliki ketahanan tubuh yang kuat. Bila tidak,
tulang penyanggah tubuhnya akan patah
berantakan. Meskipun demikian, dia tak mampu lagi
untuk bangkit. Darah segar mengalir dari hidungnya
Sementara, kaki kanan Sangga Rantek siap
mengirim nyawanya ke akhirat diiringi desisan si
pemilik sepasang mata yang ternyata seorang
perempuan, "Kini tinggal urusanku! Nyawa gadis
itu telah ada di ambang mata!"
***
Namun apa yang diduga perempuan berkerudung
merah itu ternyata salah. Karena belum lagi maut
menjemput Winarsih, mendadak terdengar salakan
petir yang sangat keras. Menyusul terlihat kaki
kanan Sangga Rantek terangkat naik sementara
tubuhnya mundur beberapa langkah ke belakang.
Namun kejap itu pula lelaki kejam itu mencelat
lagi ke depan. Dia seolah tak peduli ada satu tenaga
kuat telah menghalangi maksudnya. Kaki kirinya
kembali terangkat dan siap menghantam kepala
Winarsih kembali.
Untuk kedua kalinya Winarsih terkesiap kaget.
Darahnya seolah siap tumpah dari ubun-ubun.
Akan tetapi, untuk kedua kalinya pula injakan
kaki Sangga Rantek terputus. Kali ini terdengar
suara gelombang angin disusul dengungan ribuan
tawon murka.
Blaaaam!
Terdengar ledakan hebat saat dua gelombang
angin tadi menghantam kaki kiri Sangga Rantek.
Kontan Sangga Rantek terhuyung ke belakang
dengan kaki yang terasa ngilu luar biasa.
"Jahanam keparat!!" makinya keras.
Di lain pihak, satu bayangan hijau telah berkelebat
dan menyambar sosok Winarsih yang masih
terkapar. Gadis itu sendiri yang tak menyangka
kalau akan diselamatkan orang, mendesis begitu
mengenali siapa yang muncul, "Andika...."
Bayangan hijau yang tadi selamatkan Winarsih
dari maut yang diturunkan Sangga Rantek,
menyeringai lebar.
"Gadis Kayangan! Kupikir kau sudah menjauh!
Tidak tahunya lagi asyik bercanda dengan monyet
jelek itu, ya?!" .
"Brengsek! Dia bilang aku bercanda, padahal
nyawaku sudah mau putus!" maki Winarsih dalam
hati.
Sementara itu, pemilik sepasang mata terkesiap
melihatnya. "Kurang ajar! Ternyata urusan tak
semudah yang kuduga! Siapa pemuda itu? Menilik
ciri-cirinya... sepertinya aku pernah mendengar
seorang pemuda berciri demikian. Tetapi siapakah
pemuda itu dan... keparat betul! Ke mana daya
ingatku yang biasanya cemerlang tetapi sekarang
sulit menduga siapa pemuda itu?"
Di lain pihak. Andika sedang berkata pada
Winarsih, "Kau kenapa sih? Kok bercanda dengan
orang seperti itu? Dia itu siapa? Sepertinya sadis
amat?"
Winarsih yang masih berada dalam bopongan
Andika terdiam seraya membatin dalam hati, "Aku
masih belum mempercayai pemuda ini sepenuhnya
kendati dia telah menyelamatkanku. Karena di saat
rimba persilatan bertambah kacau seperti ini, sulit
menentukan mana kawan dan mana lawan.
Terutama, aku yakin banyak orang-orang yang
mengincarku untuk mendapatkan potongan pedang
yang merupakan titik-titik petunjuk menuju suatu
tempat. Dan bila disatukan dengan Pedang Buntung
yang ada pada Sangga Rantek, maka jalan menuju
tempat itu akan semakin mudah."
Habis membatin begitu si gadis menjawab, "Dia
bernama Sangga Rantek. Aku sendiri tak habis pikir
mengapa dia menyerang dan menginginkan
nyawaku."
"Benar-benar bodoh tuh orang! Masa sih
menginginkan nyawamu? Gadis secantik kau ini
pantasnya untuk dimiliki! Ngomong-ngomong... aku
mulai keberatan nih!"
Winarsih tertawa pendek, ketegangannya sudah
tidak kentara lagi. Dan dia tahu kalau pemuda yang
membopongnya ini sama sekali tidak merasa
keberatan.
Perlahan-lahan dia pun turun. Namun begitu
kedua kakinya menginjak tanah, tubuhnya sudah
sempoyongan. Bila saja tidak segera ditangkap oleh
Andika, sudah tentu gadis itu akan langsung
ambruk.
Hati-hati Andika merebahkan tubuh Winarsih
yang karena kelelahan akhirnya jatuh pingsan
Sebelum memeriksa tubuh Winarsih, Andika melirik
dulu ke arah lelaki berpakaian serba hitam yang
nampak sedang berdiri dalam kedudukan
bersemadi.
Rupanya Sangga Rantek masih dapat menahan
serangan tenaga 'Inti Petir' yang dilepaskan Andika
dan menghantam kaki kanannya tadi. Namun dia
tak kuasa menahan sakit pada kaki kirinya akibat
terkena sabetan kain bercorak catur yang dikibaskan
Andika, yang dilakukan karena waktunya sudah
sedemikian sempit untuk menyelamatkan Winarsih.
Andika mendengus tatkala merasakan hawa
panas melingkar-lingkar di tubuh gadis berbaju biru
muda itu.
"Gadis Kayangan... aku tahu kalau kau
menyembunyikan sesuatu. Sejak pertama berjumpa,
dari pancaran kedua matamu aku tahu kau sangat
gelisah dan mencurigaiku. Dan sekarang... lelaki
bernama Sangga Rantek itu muncul menghendaki
nyawamu. Sudah tentu ada urusan yang memang
harus diselesaikan dan harus menelan korban.
Monyet pitak! Ada apa sebenarnya ini?"
Lalu dengan hati-hati anak muda dari Lembah
Kutukan itu alirkan tenaga 'Inti Petir' melalui kedua
ibu jari kaki Winarsih. Namun belum sepenuhnya
dilakukan pengobatan, mendadak terdengar suara
menggeram keras,
"Pemuda jahanam! Kau mencari mampus di
hadapan Sangga Rantek!!"
Mendengar ucapan orang, Andika cuma
mendengus. Masih dengan kedua tangan memegang
ibu jari kaki Winarsih, dia mengomel seenak
jidatnya, "Mampus atau tidak urusan belakangan!
Jangan ribut dong! Gadis ini sedang pingsan dan
sakit! Kau ini memang tidak tahu sopan santun!
Tunggu sebentar kenapa sih?"
Mengkelap Sangga Rantek mendengar selorohan
orang. Kedua tangannya mengepal saat keluarkan
bentakan, "Sebenarnya, aku tak percaya apa yang
dikatakan gadis itu tadi! Tetapi sekarang, melihat
kemunculanmu, aku mulai yakin kalau potongan
pedang buntung itu memang berada di tanganmu!!"
"Potongan pedang? Potongan pedang apa
maksudnya?" desis Andika dalam hati, lalu berucap,
"Busyet! Kalau kau menginginkan potongan pedang,
kenapa harus mencari padaku? Tunggu sebentar,
nanti kuberi uang agar kau bisa membelinya!
Banyak orang yang jual potongan pedang di
Kotapraja! Mungkin juga ada Pedang Buntung! Pergi
saja ke sana! Sekalian melihat keramaian!! Kok cuma
potongan pedang saja diributkan sih?!"
Tak sanggup lagi Sangga Rantek untuk menahan
diri lebih lama mendengar ucapan yang semakin
membuat hatinya kian membara. Dengan
kemarahan tinggi, dia sudah dorong kedua
tangannya ke depan.
"Keparaaattt!!"
Wuussss!!
***
3
Serta-merta menderu dua gelombang angin yang
keluarkan suara menggidikkan yang kemudian
menyatu ke arah Andika.
"Kutu monyet!" maki anak muda pewaris ilmu
Pendekar Lembah Kutukan ini seraya melompat ke
samping kanan.
Blaaarrr!!
Tanah di mana tadi dia berada langsung muncrat
ke udara begitu terhantam gelombang angin yang
dilepaskan Sangga Rantek. Dan sebelum seluruhnya
luruh. Sangga Rantek yang murka sudah kembali
lepaskan serangan.
"Kadal buntung! Monyet bau!! Kenapa main
serang seenak jidatmu saja, hah?!" maki Andika
jengkel sambil menghindar kembali.
"Serahkan potongan pedang itu kepadaku!!" seru
Sangga Rantek dari tempatnya. Tangan kanan dan
kirinya dikepalkan kuat-kuat. Tatapannya terbuka
lebih tajam dan dingin.
"Busyet! Kok kau ini tidak bosan-bosannya
meminta potongan pedang? Kan tadi sudah
kukatakan, beli saja di Kotapraja, kau akan
mendapat sebilah pedang yang bagus!!"
"Serahkan potongan pedang itu kepadaku, maka
kau akan hidup lebih lama!!" bentak Sangga Rantek
lagi, lebih keras.
"Lagi-lagi potongan pedang? Apa sih maksudnya?
Atau... jangan-jangan... gadis ini memiliki sebuah
potongan pedang yang diinginkan Sangga Rantek
dan dia mengatakan kalau aku memilikinya? Kutu
monyet! Kenapa aku yang dibawa-bawa? Lagian,
apa sih maunya cuma potongan pedang saja
diributkan. Atau bisa jadi... inilah salah satu sebab
mengapa gadis itu menanyakan padaku di mana
tempat bernama Pesanggrahan Bayu Api berada?
Tetapi masa sih cuma urusan potongan pedang saja
jadi kapiran seperti ini? Ah, bisa jadi gadis itu punya
urusan lain ke tempat yang bernama Pesanggrahan
Bayu Api. Hmmm... aku harus tahu dulu dari mulut
gadis ini sebelum urusan berkembang panjang."
Habis membatin begitu. Pendekar Slebor berseru,
"Iya, iya! Akan kuserahkan potongan pedang itu!
Tetapi aku mau tanya dulu nih!"
"Jangan membuang waktu!!"
Anak muda urakan ini tak pedulikan hardikan
Sangga Rantek. Dia tetap saja nyerocos seenak
udelnya, "Apakah kau memiliki potongan pedang
lainnya? Maksudku Pedang Buntung? Kau kan
mencari potongan pedang, tentunya akan kusatukan
dengan Pedang Buntung itu, ya? Iya?!"
Mendengar pertanyaan itu, Sangga Rantek
terdiam. Lalu nampak senyumannya mengembang.
Dan merasa kalau si pemuda jeri untuk
menghadapinya, lelaki yang di kedua pergelangan
tangannya terdapat gelang-gelang penuh duri itu
terbahak-bahak.
"Rupanya kau mengerti gelagat, Pemuda picisan!
Bagus! Itu namanya kau masih sayang nyawa!
Tentunya kau mengenal Ronggo Sewu atau yang
berjuluk Pemimpin Agung, bukan? Manusia itu kini
telah berkalang tanah di tanganku! Dan aku berhasil
mendapatkan potongan pedang yang kau benarkan
apa yang kau katakan tadi! Pedang Buntung! Tetapi
dasar manusia keparat! Dia telah lebih dulu
menyerahkan potongan pedang lainnya kepada
muridnya itu!!"
Andika yang memang ingin mencari tahu sengaja
pendam keingintahuannya yang lain tentang
siapakah orang yang berjuluk Pemimpin Agung. Dia
berkata lagi,
"Sebenarnya apa sih yang kau inginkan dari
potongan pedang itu?"
"Hhhh! Kau berlagak bodoh atau memang
bodoh?!"
"Busyet! Itu namanya aku tidak tahu!" dengus
Andika jengkel dan dalam hati berseru, "Ingin
kutarik kuncir kudanya itu!!"
"Bagus bila kau tidak tahu dan sekarang tentunya
kau akan menyerahkan potongan pedang itu
kepadaku! Jika dua potongan pedang itu dijadikan
satu, maka akan tergambar titik-titik yang jelas, yang
merupakan petun-|iik menuju ke satu tempat! Cepat
kau.... Pemuda terkutuk! Kau mencoba mengorek
keterangan dariku, hah?!!"
Kendati tak terlalu terkejut karena Sangga Rantek
dapat mengambil kesimpulan lebih dulu, tetapi
Andika mendengus dalam hati. "Brengsek! Ternyata
dia punya otak juga! Hhhh! Bila kulayani manusia
ini sekarang, nantinya akan membawa dampak yang
tidak mengenakkan bagi Gadis Kayangan. Lebih
baik aku menyingkir saja dari sini untuk
mendapatkan keterangan lebih lanjut dari gadis ini."
Berpikir demikian, anak muda urakan ini berkata
sambil garuk-garuk kepalanya, "Kok aneh ya?
Kenapa kau berpikir aku hendak mengorek
keterangan? Aku cuma hendak mengatakan, kalau
Pedang Buntung yang ada padamu adalah palsu!
Yah... dasar kau bodoh! Masa sih tidak bisa
membedakan yang asli dan palsu!! Pemimpin
Agung sudah menyembunyikannya di satu tempat!"
Sesaat nampak wajah Sangga Rantek agak
terkesiap. Tanpa sadar tangan kanannya memegang
perutnya. Tatkala dirasakan Pedang Buntung yang
dibalut dengan kain hitam masih terselip di
pinggangnya nampak dia menarik napas lega.
Kendati demikian, tersirat keragu-raguan di
wajahnya.
Dan kejap berikutnya, lelaki berpakaian serba
hitam itu sudah mendengus gusar. Menyusul
sosoknya telah mencelat ke depan disertai makian
keras, "Kurobek mulutmu!!"
Pendekar Slebor terkesiap merasakan betapa
dahsyatnya gelombang angin yang menderu. Sekali
rasa saja dia tahu, kalau di balik gelombang angin
dingin itu tersimpan hawa panas yang luar biasa.
Cepat dia segera menyambar tubuh VVinarsih
yang pingsan. Begitu tubuhnya melompat ke
samping, tangan kanannya yang telah dialirkan
tenaga 'Inti Petir' dikibaskan. Serta-merta terdengar
dentuman menggelegar menyentak tempat itu.
"Gila! Luar biasa sekali tenaganya! Lenganku
terasa ngilu!" desis Andika dengan tangan kanan
bergetar. Segera dialirkan tenaga dalam untuk
hilangkan rasa nyeri. Perlahan-lahan rasa nyeri itu
hilang, begitu pula dengan warna kebiruan pada
tangannya.
"Kura-kura bau!" dengusnya gusar begitu melihat
Sangga Rantek kembali siap lepaskan serangannya.
Andika sendiri agak kebingungan sekarang,
karena dia harus menyelamatkan Winarsih lebih
dulu. Lagi pula, bertarung menghadapi Sangga
Rantek yang memiliki ilmu tinggi dengan sosok
Winarsih dalam bopongannya sungguh sulit
dilakukan.
"Aku harus menyelamatkan gadis ini!!" desisnya.
Dan begitu serangan Sangga Rantek menggebrak
kembali ke arahnya, anak muda urakan ini segera
membuang tubuh ke samping kembali. Begitu kaki
kanannya yang lebih dulu menginjak tanah, seperti
ada satu tolakan kuat tubuhnya langsung berputar
dan dengan pergunakan ilmu peringan tubuhnya
yang kesohor, anak muda ini segera meninggalkan
tempat itu. Telinganya masih sempat mendengar
dentuman yang terjadi akibat serangan Sangga
Rantek yang menghantam tanah.
Menggeram setinggi langit lelaki sesat itu. Kedua
tangannya terangkai ke atas dengan tubuh tergelar
saat berseru, "Pemuda keparat!! Kau tak akan bisa
lolos dari tanganku!!"
Kejap berikutnya, lelaki itu sudah berkelebat ke
arah yang dituju Andika.
Tiga tarikan napas berikutnya, perempuan
berpakaian putih dengan jubah merah keluar dari
balik ranggasan semak. Perempuan tinggi semampai
ini menyeringai lebar sambil arahkan tatapannya ke
arah perginya orang-orang itu.
Saat menyeringai, wajah jelitanya begitu
mengerikan sekali. Sorot matanya tajam dan licik.
Kepalanya yang ditutupi kerudung merah itu
menggeleng-geleng dan nampak kalau warna
rambutnya seperti keemasan.
"Bagus! Kini aku tahu, kalau kedua potongan
pedang itu masing-masing berada pada Sangga
Rantek dan pemuda itu! Sangga Rantek memiliki
Pedang Buntung, sementara pemuda itu potongan
pedang lainnya! Hmm... ini kesempatan yang telah
lama kutunggu-tunggu! Tetapi sungguh hebat bila
ternyata Sangga Rantek berhasil membunuh
Pemimpin Agung! Tentunya, kesaktian yang
dimilikinya semakin bertambah!"
Untuk sesaat perempuan ini terdiam sebelum
melanjutkan, "Hmmm... Pendekar Slebor! Ya, ya...
pemuda itu tak lain Pendekar Slebor! Sungguh
menyenangkan' Gairahku untuk mendapatkan
potongan pedang dari Sangga Rantek dan dirinya
semakin membesar karena tantangan yang akan
kuhadapi! Ini kesempatan bagus untuk membunuh
Pendekar Slebor!"
Kejap kemudian, perempuan berambut keemasan
ini segera berkelebat meninggalkan tempat itu
dengan segenap keinginan yang akan dicapainya.
***
Hari telah berganti pagi kembali. Di sebuah hutan
kecil nampak sehuah bayangan hijau berkelebat
lincah. Gerakannya tak ubahnya bagai angin belaka,
menandakan ilmu peringan tubuh yang dimilikinya
sudah begitu tinggi.
Bayangan hijau yang tak lain Pendekar Slebor dan
masih membopong Winarsih yang pingsan,
menghentikan langkahnya di sebuah persimpangan
yang terdapat di hutan itu. Sejenak anak muda
urakan dari Lembah Kutukan ini perhatikan
sekelilingnya.
"Hmmm... mudah-mudahan Sangga Rantek
belum sampai di sini. Aku harus mengobati
Winarsih dulu...."
Memutuskan demikian, hanya sekali melompat
saja Pendekar Slebor telah berada di balik sebuah
semak belukar setinggi dada. Terburu-buru
direbahkan tubuh Winarsih. Sejenak ditatapnya
wajah gadis itu.
"Begitu jelita... namun sayang harus hidup dalam
pengejaran orang-orang seperti Sangga Rantek. Aku
jadi penasaran ingin mengetahui seperti apa
potongan pedang yang berisikan titik-titik gambar?
Gambar apa sih? Jangan-jangan gambar monyet
nongkrong!"
Kejap berikutnya, kembali Andika mengalirkan
tenaga 'Inti Petir' pada tubuh Winarsih. Cukup lama
dilakukannya sebelum terdengar suara mengeluh
dari bibir ranum si gadis. Kepala gadis itu bergerak
sedikit namun sepasang matanya tidak membuka.
Tetapi Andika bisa bernapas lega sekarang.
"Tak lama lagi tentunya dia akan pulih...,"
desisnya sambil duduk di atas rumput. Lalu dicoba
untuk memikirkan urusan yang secara tak langsung
melibatkan dirinya
"Potongan pedang... Sangga Rantek... Pemimpin
Agung... semuanya baru kuketahui sekarang.
Bahkan nama gadis ini aku belum tahu. Tak
mungkin Sangga Rantek mau bersusah payah
membunuh Pemimpin Agung sementara Gadis
Kayangan rela mengorbankan nyawa untuk
mempertahankan potongan pedang itu. Tentunya
memang ada sesuatu yang tersimpan bila kedua
potongan pedang itu dijadikan satu dan membentuk
rangkaian titik-titik yang membentuk gambar. Tapi,
gambar apa sih?"
Kembali anak muda ini terdiam.
"Kadal buntung! Aku belum bisa menduga apa
yang tersimpan itu? Benar-benar brengsek! Jalan
satu-satunya, aku memang harus coba korek
keterangan dari mulut Gadis Kayangan"
Sejenak diliriknya gadis berpakaian biru yang
telentang dengan kedua mata masih terpejam.
Alunan napasnya kini terdengar teratur.
Ketika pandangannya terbentur pada busungan
payudara yang montok dan sekal itu Andika
mendengus sambil berpaling, "Dasar mata tidak
makan bangku sekolahan! Lebih baik... aku mencari
makanan saja. Bila gadis ini siuman aku...."
Kata-kata anak muda itu terputus tatkala
mendengar suara dingin dari balik ranggasan
semak, "Kau mungkin bisa melarikan diri dari
kejaran Sangga Rantek, Pendekar Slebor... tetapi
sayangnya, kau tak akan bisa melarikan diri dari
tanganku!!"
Seketika anak muda itu berdiri dan melompat
keluar dari tempatnya.
Dilihatnya seorang wanita berparas muda dan
luar biasa jelita telah berdiri dengan seringaian
mengejek.
Perempuan itu berpakaian putih bersih dengan
jubah merah panjang. Rambutnya yang berwarna
keemasan tertutup selendang warna merah.
Kejap kemudian terdengar ucapannya dingin dan
angker, "Kau tak akan bisa mempertahankan
nyawamu dari tanganku, Pendekar Slebor! Serahkan
potongan pedang itu kepadaku, maka kau akan
selamat!!"
Andika cuma garuk-garuk kepalanya yang tidak
gatal.
***
4
Kejap kemudian, seolah tak ada masalah yang
mengganggunya, anak muda yang di lehernya
melilit kain bercorak catur ini nyengir.
"Tak kusangka kalau aku sedemikian ngetopnya!
Nah, kau sudah tahu siapa aku yang ngetop ini?
Sekarang, coba deh katakan siapa sih kau yang tidak
ngetop itu?!"
Mendengar sahutan yang seolah menganggap
dirinya angin lalu, perempuan berkerudung itu
mengkelap.
"Jahanam keparat! Baik! Kau masih kuberi
kesempatan untuk mengetahui siapa aku! Panggil
aku dengan julukan Iblis Rambut Emas!!"
Andika kontan melongo (yah... ini cuma dibuat-
buat). Sepasang matanya dibuat melotot lebar. Lalu
menggeleng-geleng takjub.
"Hebat betul! Bila kau kehabisan uang, hanya
dengan menjual selembar rambutmu saja tentunya
kau akan kaya mendadak ya? Wah! Aku mau tuh
diberi dua lembar saja!!"
Makin gusar perempuan berjuluk Iblis Rambut
Emas ini. Tangan kanan kirinya bergetar. Andika
sendiri bukannya tidak tahu kemarahan orang.
Tetapi dasar urakan, dia masih bersikap santai saja.
Bahkan mulutnya masih nyengir.
Sebelum Iblis Rambut Emas buka mulut, pemuda
tampan itu telah mendahului, "Ngomong-ngomong..
mengapa kau mencari potongan pedang itu
kepadaku?"
"Jangan coba mengelabuiku! Cepat serahkan!!"
seru Iblis Rambut Emas menggelegar.
Andika tersenyum dan diam-diam membatin
dalam hati, "Menilik kata-katanya yang begitu pasti,
jelas kalau dia sebenarnya begitu yakin potongan
pedang itu berada di tanganku. Kupikir hanya
Sangga Rantek yang sebelumnya mengetahui soal
itu. Berarti... dia mengintip saat aku berhadapan
dengan Sangga Rantek."
Memikir demikian, Andika berkata, "Wah! Kau
pantas juga ya menjadi tukang intip? Eh, apa kau
tidak takut matamu jadi bintitan?"
"Jahanam! Aku tak boleh membuang waktu
sebelum Sangga Rantek muncul di sini? Masih
untung aku memiliki ilmu 'Pelacak Aroma Tubuh'
hingga aku dapat mengetahui lebih dulu di mana
Pendekar Slebor yang membawa murid Pemimpin
Agung itu berada. Hhh! Biar kurebut sekarang!!"
Kendati memutuskan demikian, namun
perempuan berjubah dan berkerudung merah ini tak
segera bertindak. Dia justru perhatikan Andika
dengan seksama.
Yang diperhatikan justru bersikap konyol
layaknya seorang peragawan. Namun karena selalu
nyengir dan garuk-garuk kepala ya jadinya seperti
monyet kurang gila.
Sikap Pendekar Slebor semakin memancing
amarah Iblis Rambut Emas.
"Sekali lagi kukatakan, serahkan potongan pedang
itu sebelum urusan menjadi berlarut-larut!!"
"Wah! Bagaimana bila kuberikan kau sebilah
pedang utuh? Itu kan lebih baik dari cuma
sepotong?!"
"Setan alas!
Habis bentakan yang menggelegar di tempat itu,
tangan kanan Iblis Rambut Emas segera digerakkan
ke kepala Andika.
Andika yang sudah duga akan hal itu, rupanya
tak mau menghindar. Dia memang ingin menjajaki
kekuatan Iblis Rambut Emas. Serta-merta dia
mencelat ke depan dengan jotosan lurus ke wajah si
perempuan.
Melengak Iblis Rambut Emas melihat si pemuda
justru mencoba memapaki serangannya. Dirasakan
bagaimana angin yang keluar di saat pemuda
berpakaian hijau pupus itu menggerakkan jotosanny
Dia sendiri tak mau tarik pulang jotosannya.
Justru ditambah tenaga dalamnya.
Tak ayal lagi, dua jotosan itu bertemu.
Desss!!
Dan masing-masing orang langsung mundur ke
belakang tiga tindak. Di tempatnya Pendekar Slebor
dengan sikap konyol menggoyang-goyangkan
tangan kanannya dan meniup-niupnya.
"Monyet pitak! Kau betul-betulan, ya?" serunya
makin konyol.
Di seberang, wajah Iblis Rambut Emas memerah.
Karena dia terkejut merasakan tangan kanannya
juga ngilu.
"Julukan Pendekar Slebor memang bukan omong
kosong belaka! Tetapi aku akan tetap menjajakinya!
Apalagi dia memiliki potongan pedang seperti yang
dikatakan murid Pemimpin Agung! Biar
bagaimanapun juga...."
Mendadak perempuan ini memutus kata batinnya
sendiri. Nampak keningnya berkerut
"Gila! Bagaimana bila ternyata pemuda itu tidak
memilikinya dan murid Pemimpin Agung hanya
coba kelabui Sangga Rantek? Keparat! Akan
kugeladah keduanya!!*
Di lain pihak, Andika berpikir, "Bila aku
menghadapi perempuan ini dulu, maka akan
banyak waktu yang terbuang. Aku tetap
berkeyakinan, kalau semua ini berhubungan dengan
pertanyaan Gadis Kayangan tentang Pesanggrahan
Bayu Api. Mungkin juga Gadis Kayangan memburu
waktu. Berarti, aku harus membawanya ke sana
kendati pun aku tidak tahu di mana tempat itu
berada. Sebaiknya...."
Terputus kata-kata Pendekar Slebor karena
mendadak saja terdengar seruan geram Iblis Rambut
Emas, "Kau telah menggali lubang kuburmu sendiri,
Pendekar Slebor!!"
Wusssss!!
Serangkum kabut putih berhawa dingin mencelat
ke arah Andika. Suara yang ditimbulkan begitu
mengerikan sekali.
Mundur dua tindak Andika melihat serangan
ganas itu. Segera saja dia mengangkat kedua
tangannya yang telah dialiri tenaga 'Inti Petir'.
Blaaammm! Blaammm!!
Kabut putih berhawa dingin itu langsung buyar
ke udara. Dan untuk kedua kalinya Iblis Rambut
Emas terkesiap mendapati serangan balas yang
dilakukan Andika. Tubuhnya mundur satu tombak
ke belakang. Meskipun demikian, dia segera angkat
tangannya dan...
Wusss!
Pendekar Slebor memang sengaja berikan
gebrakan yang cukup mengejutkan, karena hendak
pergunakan kesempatan selagi perempuan
berkerudung merah itu mundur untuk menyambar
dan membawa Winarsih menjauh dari sana.
Tetapi perempuan di hadapannya itu bukan orang
sembarangan, dia termasuk salah seorang dedengkot
persilatan, yang dalam keadaan terkejut masih
sempat kirimkan serangan hingga mau tak mau
Andika buang tubuh ke kiri dan berputar dua kali
sebelum hinggap di tanah.
"Monyet buntek! Kalau begini, bisa berabe!!"
makinya jengkel.
Di seberang, Iblis Rambut Emas sudah menerjang
ke muka. Sementara Pendekar Slebor sendiri harus
mengerutkan kening begitu melihat gerakan yang
dilakukan lawan. Karena gerakan itu sangat lambat
Namun di kejap lain, anak muda yang memiliki
otak seencer bubur itu langsung dapat menduga
kalau lawan hanya mencoba mengalihkan
perhatiannya dengan gerakan yang diperlihatkan.
Karena berpikir demikian, Pendekar Slebor tak mau
bertindak ayal ketika tangan kanan dan kiri
perempuan berkerudung merah itu mengibas ke
depan.
Wuuuss! Wusss!!
Dua bongkah kabut putih yang diiringi hawa
dingin menggigil, menghampar dengan kekuatan
maha besar. Andika memekik tertahan karena pada
jarak dua tombak dia sudah merasakan hawa dingin
yang membuat urat-uratnya menjadi kaku. Namun
si pemuda yang sebenarnya sangat jengkel tak mau
bertindak ayal pula. Tenaga 'Inti Petir' tingkat
kelima sudah dialirkan pada kedua tangannya.
Dan....
Wusss!
Tubuhnya pun bergerak ke muka. Sepintas
gerakan yang diperlihatkan Andika lebih cepat
karena Iblis Rambut Emas memang seperti sengaja
memperlambat gerakannya. Namun di dalam
gerakan lambat itu tersimpan perangkap yang
mematikan. Karena lawan akan lengah dan masuk
perangkap begitu merasa serangannya tak
mengandung sesuatu yang mengerikan. Namun di
balik semua itu, gerakan lambat yang diperlihatkan
Iblis Rambut Emas, dapat bergerak sangat luar biasa
cepat. Dan itu pun dilakukan oleh Iblis Rambut
Emas. Benturan dua tenaga sakti tingkat tinggi
terjadi. Ledakan dahsyat terdengar. Tempat itu bagai
diguncang sebuah gempa hebat bersamaan dengan
pupusnya dua bongkah kabut putih tadi. Tanah di
tempat bertemunya benturan itu muncrat setinggi
dua tombak. Dedaunan langsung meranggas dan
rumput serta semak belukar tercabut paksa dari
akarnya.
Keadaan itu menghalangi pandangan keduanya.
Iblis Rambut Emas mengibas-ngibaskan tangannya
agar pandangannya lebih terbuka. Terdengar
makiannya keras, "Pemuda keparat!! Kubunuh
kau!!"
Lalu secara membabi buta, perempuan
berkerudung merah ini menyerang ganas ke arah
Andika yang sengaja menjauh dari sana. Karena dia
tak ingin salah satu serangan Iblis Rambut Emas
akan melabrak ranggasan semak belukar di mana
sosok Winarsih masih pingsan.
Akibat yang terjadi sungguh mengerikan.
Pepohonan langsung tumbang berturut-turut dan
menimbulkan suara menggemuruh. Ranggasan
semak tercabut bersamaan rengkah dan muncratnya
tanah ke udara.
"Monyet pitak! Orang gundul! Sambal terasi!
Kalau begini caranya aku bisa mampus!!" maki anak
muda urakan ini jengkel karena tak sekalipun diberi
kesempatan untuk membalas.
Bagaimana bisa membalas kalau dari segenap
penjuru Iblis Rambut Emas mengurung dengan
serangan kabut putih yang mengandung hawa
dingm. Sementara udara senja yang sudah agak
dingin pun ditambah menjadi sangat dingin.
"Kutu bantel!!" maki Andika sambil putar tubuh
ke depan. Lalu dengan nekat dia buat gerakan
seperti hendak menyongsong serangan si
perempuan. Akan tetapi, dua tindak ke muka, anak
muda ini membuat gerakan setengah lingkaran
dengan mengirimkan tendangan kaki kanannya
terlebih dahulu.
Iblis Rambut Emas segera angkat tangan kanan
untuk menahan tendangan Andika. Tetapi dia
kecele, karena pemuda berambut gondrong acak-
acakan itu telah tarik tendangannya. Justru dengan
gerakan mengejutkan dia menyongsong masuk.
Jotosan tangan kanan yang mengandung tenaga
"Inti Petir' telak menghantam pinggang Iblis Rambut
Emas. Terpekik perempuan berjubah merah ini
dengan tubuh terhuyung.
Bila saja Andika menginginkan untuk kirimkan
serangan kembali, maka dengan mudah akan
dilakukannya. Tetapi anak muda ini justru berdiri
dengan selorohan, "Wah! Kok bisa kena, ya? Padahal
aku asal-asalan tuh! Eh! Bagaimana bila kita sudahi
dulu canda ria? Aku masih ada urusan sih!!"
"Pemuda keparat!! Aku akan mengadu jiwa
denganmu!!" maki Iblis Rambut Emas sambil usap
darah yang keluar dari sela-sela bibirnya dengan
punggung tangan kanannya.
"Mengadu jiwa? Kenapa tidak mengadu raga?"
balas Andika sambil nyengir, lalu menyambung,
"Ah, tidak! Lebih baik kau mengadu raga dengan
pohon itu saja?!"
Makin murka perempuan ini. Setelah kertakkan
rahangnya, dengan wajah membesi dia sudah
menerjang kembali dengan lepaskan kabut-kabut
putihnya yang berhawa dingin.
"Busyet! Keras kepala amat!!" dengus Andika.
Dan dia pun tak mencoba untuk menghindar.
Malah dia bergerak cepat menyongsong. Kali ini
tenaga 'Inti Petir' tingkat ketiga sudah dilepaskan
kembali.
Blaaarrr!!
Untuk kedua kalinya tempat itu laksana
diguncang topan. Tanah di mana bertemunya dua
tenaga sakti itu, muncrat ke atas bersamaan dengan
tumbangnya sebuah pohon.
Tatkala tanah, semak, dan dedaunan terhempas ke
tanah, sepasang mata perempuan ini terbuka lebih
lebar dengan mulut menganga.
Kejap kemudian terdengar suara gigi dikertakkan
disusul dengan makian keras, "Setan neraka! Ke
mana perginya pemuda keparat itu?!"
Lalu mendadak saja dia melompat ke balik
ranggasan semak di mana Winarsih yang kendati
telah disembuhkan oleh Pendekar Slebor namun
masih lemah berada. Terlihat bagaimana kaki kanan
perempuan berkerudung merah ini dihentakkan di
atas tanah, yang seketika amblas hingga lutut.
Tatkala ditarik kembali, tanah itu terbongkar ke
udara.
Sosok Winarsih sudah tidak ada di tempatnya.
"Jahanam sial! Pemuda itu selain memiliki ilmu
yang tinggi juga berotak cerdik! Rupanya dia
pergunakan kesempatan ketika seluruh tanah
terangkat naik dan menghalangi pandangan, untuk
menyambar tubuh gadis itu dan menghilang seperti
ditelan bumi! Baik! Urusan telah terbuka! Pemuda
itu tak akan pernah lepas dari kematian yang akan
kuturunkan!!"
Terdiam perempuan ini dengan dada naik turun
dan sepasang mata tajam tak berkedip.
"Siapa "pun yang menghalangi keinginanku untuk
mendapatkan potongan pedang itu, akan mampus
di tanganku!! Hhh! Untuk sementara, aku akan
mencari Sangga Rantek untuk mendapatkan
potongan pedang lainnya yang berupa Pedang
Buntung!!"
Habis geramannya, Iblis Rambut Emas segera
berkelebat meninggalkan tempat yang telah porak-
poranda. Satu kejapan mata berikutnya, tempat itu
kembali diselimuti sepi.
***
5
Pendekar Slebor yang membawa lari tubuh
Winarsih alias Gadis Kayangan menghentikan
kembali langkahnya di sebuah jalan setapak yang
dipenuhi ranggasan semak belukar. Sejenak anak
muda tampan yang memiliki sepasang alis hitam
legam dan menukik laksana kepakan sayap elang
ini, palingkan kepala ke belakang. Tatkala tak
dilihatnya sosok Iblis Rambut Emas, dia segera hela
napas panjang, agak sedikit lega.
"Monyet buduk! Kenapa aku selalu ketiban sial
seperti ini?! Rasanya, aku tak pernah bisa tenang!
Selalu saja ada urusan yang bikin kepalaku pusing!
Urusan potongan pedang yang tentunya bukanlah
urusan ringan kini telah mengembang! Dan lagi...
kenapa Gadis Kayangan mengatakan kalau
potongan pedang itu ada padaku? Sangga Rantek
dan Iblis Rambut Emas... dua orang yang kuketahui
menginginkan potongan pedang itu. Mungkin...
masih ada lainnya lagi yang terus memburu
potongan pedang itu."
Kembali anak muda ini terdiam sambil garuk-
garuk kepalanya. Lalu berkata lagi, "Ya... sial atau
tidak sial... aku akan terus menuntaskan urusan
yang bikin bingung ini. Tetapi dalam hidup...
memang selalu ada kesialan atau ketidaksialan.
Tergantung bagaimana cara kita menerimanya saja.
Mungkin yang kurasakan ini, karena aku sedang
jengkel memikirkan urusan yang benar-benar belum
dapat kupahami seluruhnya. Bila aku sudah
mengerti, tentunya tak kurasakan seperti itu. Ah,
masa bodoh! Kayak orang pemikir saja! Biar
bagaimanapun juga, akan kutuntaskan semua
masalah ini! Sebaiknya, aku mencari makan dulu
ketimbang kepalaku seperti mau pecah...."
Memutuskan demikian, Pendekar Slebor
meletakkan kembali sosok Gadis Kayangan di balik
ranggasan semak belukar. Diperiksanya sesaat
tubuh gadis itu.
"Hmmm... napasnya semakin normal dan
keadaannya semakin membaik. Tetapi seharusnya
dia sudah siuman, mungkin karena tenaganya
terlalu banyak terkuras saat menghadapi Sangga
Rantek. Cari makan dulu, ah! Tempat ini kurasa
cukup aman untuk sementara."
Setelah kembali perhatikan si gadis sejenak,
Pendekar Slebor pun segera berkelebat untuk
mencari buah-buahan di sekitar sana. Dan dia
beruntung karena mendapatkan buah manggis liar.
Hanya dengan pergunakan dua buah kerikil yang
dilemparkan, sepuluh buah manggis hutan
didapatnya.
Dimakannya dulu dua buah sebagai pengganjal
perut. Kejap kemudian dia kembali ke tempat
semula.
Namun begitu masuk ke balik ranggasan semak di
mana tubuh Winarsih diletakkan, anak muda ini
terbeliak dengan kepala tegak. Karena sosok
Winarsih tak ada di tempatnya!
"Celaka! Apa yang terjadi?" desisnya dengan
kening dikernyitkan. Segera dia melompat keluar
dari ranggasan semak itu tanpa hiraukan lagi
manggis-manggis yang buru dipetiknya
berhamburan. Di kelilinginya tempat itu dengan
membuka pandangan dan pendengarannya lebih
lebar.
Andika tak berani memutuskan untuk berteriak,
karena khawatir orang-orang sesat semacam Sangga
Rantek dan Iblis Rambut Emas telah tiba di tempat
itu.
Karena tak menemukan jejak Winarsih, Andika
kembali ke tempat semula. Diperhatikan tempat itu
dengan seksama.
"Tak ada tanda-tanda telah terjadi pertarungan.
Tempat ini masih utuh seperti kutinggalkan semula.
Apakah ada seseorang yang mengetahui tempat
Winarsih lalu membawanya? Atau... gadis itu
sebenarnya telah siuman dan karena mendengar
seseorang yang mendekatinya dia memutuskan
untuk melarikan diri? Ah, kepalaku jadi makin
pusing! Urusan potongan pedang itu saja belum
begitu jelas kendati aku dapat menduga bila
disatukan dengan potongan pedang yang
sebelumnya dimiliki Pemimpin Agung dan sekarang
berada di tangan Sangga Rantek, maka akan
terbentuk satu rangkaian gambar dari titik-titik yang
ada. Dan tentunya gambar-gambar itu, rangkaian
petunjuk-petunjuk menuju sebuah tempat. Pantas
harus disatukan. Tetapi ada apa di tempat itu? Apa
yang dicari? Benar-benar kutu monyet!"
Mendumal sendiri anak muda ini dengan hati
agak jengkel dan was-was memikirkan keadaan
Gadis Kayangan.
"Huh! Kenapa sih dunia ini tak pernah tenang dari
orang-orang sesat dan serakah? Bila saja dalam
sehari seluruh dunia tak dijamah oleh orang-orang
seperti itu, alangkah enaknya. Namun sudah tentu
tak mungkin"
Kembali anak muda urakan ini hentikan
ucapannya. Tangannya menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal. Nampak pula kalau dia tengah
berpikir.
"Pesanggrahan Bayu Api... ya, ya... tempat itulah
yang ditanyakan Gadis Kayangan sebelumnya. Aku
belum tahu ada apa di sana. Barangkali saja bila aku
ke tempat itu, akan membawaku pada persoalan
yang lebih jelas lagi. Atau... kadal kudis!! Kenapa
aku jadi mikir terus? Lebih baik segera cabut oh!"
Memutuskan demikian, Pendekar Slebor segera
berkelebat ke arah timur. Namun baru saja lima
langkah dia bergerak, mendadak terdengar suara
cukup keras,
"Berhenti!!"
Saat itu pula anak muda urakan ini hentikan
langkahnya. Saat dipalingkan tubuh ke belakang,
dilihatnya dua sosok tubuh berpakaian kuning-
kuning telah berdiri sejarak dua tombak dari
hadapannya.
***
"Serahkan potongan pedang itu kepada kami, bila
kau masih ingin hidup lebih lama, Pendekar
Slebor!!" membentak lelaki yang bertubuh tinggi
kurus. Sepasang matanya agak menjorok ke dalam
dan bersinar penuh kemarahan. Usianya kira-kira
lima puluh tahun, begitu pula dengan lelaki kurus
lainnya yang berdiri di sebelah kanannya.
Andika tak segera membuka mulut. Sambil balas
memandang keduanya secara bergantian, anak
muda ini diam-diam membatin, "Lagi-lagi potongan
pedang.... Benar-benar jarum jatuh langsung
terdengar di rimba persilatan ini! Berita tentang aku
yang dikatakan memiliki potongan pedang itu
rupanya sudah terdengar ke mana-mana, termasuk
ke telinga kedua orang ini. Tentunya ini kerjaan Iblis
Rambut Emas atau Sangga Rantek! Kadal Buntung!"
Karena tak mendapati sahutan, lelaki yang
satunya lagi, berseru keras, "Jangan membuang-
buang waktu Dua Manusia Goa Setan!!"
Mendengar ucapan itu. Andika langsung nyengir
kendati hatinya masih diliputi tanya.
"Wah! Tidak usah kalian beri pengumuman
seperti itu aku juga sudah bisa menduga! Malah
seharusnya, melihat dari tampang-tampang kalian,
seharusnya kalian berjuluk Dua Tikus Iblis Dari
Selokan Bau!!"
Mengkelap wajah Dua Manusia Goa Setan
mendengar selorohan Pendekar Slebor. Julukan Dua
Manusia Goa Setan cukup angker di daerah selatan.
Bahkan boleh dikatakan, merekalah yang merajai
rimba persilatan di daerah selatan. Dan mendengar
ucapan yang menyakitkan tadi, sudah tentu
kemarahan semakin melimpah di hati masing-
masing orang.
"Keparaaaatthh!!" membentak yang pertama tadi
bersuara. Dia bernama Ki Pasu Suruan. "Kami tahu
siapa kau adanya! Dan sudah tentu akan menjadi
kebanggaan tersendiri bila berhasil membunuhmu,
Pendekar Slebor!! Hanya saja... kau masih dapat
hidup bila menyerahkan potongan pedang itu
kepada kami!"
"Betul itu! Aku juga akan bangga bila bisa
menjitak kepala kalian yang benjol!! Hanya saja...
kalian masih akan memiliki kepala yang tidak benjol
bila kalian menyerahkan potongan... eh, potongan
apa ya?"
Makin mengkelap wajah keduanya. Dan tanpa
diperintah lagi, masing-masing orang itu segera
salingpan-dang satu sama lain. Lelaki yang berbicara
kedua tadi, yang bernama Ki Pancen Dadap berkata,
sengaja dikeraskan, "Kakang Pasu! Apakah tidak
sebaiknya kita cincang manusia konyol itu!!"
"Betul! Kita kerat satu persatu dagingnya, lalu kita
lemparkan pada anjing-anjing liar!" sahut Ki Pasu
Suruan dengan suara keras pula.
Andika yang tahu kalau kedua orang itu mencoba
membuatnya keder. cuma tertawa sambil garuk-
garuk kepalanya.
"Ih! Kalian lucu, deh! Masa aku yang tampan ini
akan kalian umpankan pada anjing-anjing liar!
Seharusnya kalian yang sudah tinggal daging
pembungkus tulang yang diberikan pada anjing-
anjing geladak!'"
Serentak masing-masing orang arahkan
pandangan kembali ke depan. Lelaki yang di
lehernya menggantung kalung dan bermatakan
tengkorak, berseru dingin, "Aku Ki Pancen Dadap!
Tak akan pernah tenang bila belum membunuhmu,
Pendekar Slebor!"
E dasar tengik, Andika justru menyahut, "Aku
Pendekar Slebor! Tak akan pernah bisa makan enak
bila masih melihat tulang-tulang yang berserakan!!"
Mengkelap wajah Ki Pancen Dadap. Tanpa buang
waktu lagi, lelaki ini sudah menerjang dengan
pukulan lurus ke depan. Sekali rasa saja, Andika
yakin kalau lawan mempergunakan setengah dari
tenaga dalamnya.
Dan anak muda ini sendiri pun tak mau bertindak
ayal. Karena dia masih mencemaskan keadaan
Winarsih. Apalagi saat ini Sangga Rantek dan Iblis
Rambut Emas telah keluar dan tentunya akan
memburu gadis itu. Namun yang sedikit
menjengkelkan Andika, karena dia yang jadi
sasaran.
Begitu lawan menerjang ke depan, anak muda ini
segera hempos tubuh setelah kaki kanannya
dijejakkan dan seolah dijadikan sebagian tumpuan.
Langsung terdengar suara salakan petir tatkala
tangan kanannya diayunkan.
Terkesiap sejenak Ki Pancen Dadap begitu
merasakan satu tenaga yang kuat menerjang ke
arahnya. Namun lelaki berkalung tengkorak ini tak
mau urungkan niat atau tarik pulang serangannya.
Justru dia terus menerjang ke depan.
Desss!!
Satu bentrokan keras terjadi dan bersamaan
dengan itu masing-masing orang surut tiga tindak
ke belakang. Kalau tadi Ki Pancen Dadap terkejut,
kali ini dia terbahak-bahak karena tak merasakan
sakit sedikit pun pada tangan kanannya. Lebih kuat
tawanya tatkala melihat Pendekar Slebor sedang
meniup-niup tangannya yang membiru.
"Tadi sudah kuberi keringanan untuk tidak
membunuhmu bila kau menyerahkan potongan
pedang itu! Tetapi kau terlalu keras kepala,
Pendekar Slebor!"
"Masa iya sih kepalaku lembek! Memangnya
tape!" sungut Andika ngotot.
Ki Pasu Suruan yang sekarang melipat kedua
tangannya di depan dada sudah berkata, "Rasanya.,
tak perlu aku turun tangan untuk menghajar
pemuda keparat itu! Adi Pancen Dadap! Bunuh dia
dan ambil potongan pedangnya!!"
Tanpa menyahut atau anggukkan kepala, Ki
Pancen Dadap sudah menerjang kembali. Kali ini
serangannya lebih ganas. Bahkan saat dilepaskan
jotosan kanan kirinya, terasa ada hawa panas yang
cukup menyengat keluar.
Di tempatnya Andika mendumal dalam hati,
"Kutu monyet! Benar-benar manusia-manusia tak
tahu diuntung! Aku tadi sengaja tidak menyerang
penuh! Tetapi manusia celaka ini justru bertambah
pongah! Hhh! Biar kuberi pelajaran agar urusan
cepat selesai!"
Memutuskan demikian, lagi-lagi tanpa bermaksud
menghindari serangan salah seorang lelaki kurus
berbaju kuning ini. Pendekar Slebor sudah melesat
ke depan. Tubuhnya sedikit dimiringkan begitu
jotosan Ki Pancen Dadap mengarah pada wajahnya.
Bersamaan dengan itu, tangan kanannya langsung
menjotos ke arah lambung.
Memekik tertahan Ki Pancen Dadap mendapati
gerakan yang begitu cepat diperlihatkan Pendekar
Slebor. Cepat dia tekuk sikunya
Desss!!
Menyusul tangan kirinya diputar ke samping, lalu
digerakkan ke depan dengan cara menyentak.
Bila saja Andika tidak merunduk, tak ayal lagi
kepalanya akan pecah.
Ya dasar urakan, padahal tidak kena dia justru
menjerit-jerit sambil pegangi kepalanya dengan
kedua tangannya.
"Wadaawouuu! Waadouuuuu!! Ampouuunnnn!"
Sudah tentu Ki Pancen Dadap terkejut melihatnya.
Dan dia meradang gusar menyadari kalau sedang
dipermainkan.
Sementara itu, Ki Pasu Suruan sudah berseru,
"Mengapa kau masih berlama-lama, bah?! Lepaskan
pukulan 'Angin Seribu Topan'!!"
Bersamaan seruan itu terdengar. Andika yang
sedang bersikap tengik langsung turunkan kedua
tangannya dari kepala dan tertawa-tawa sendiri.
"Kalau kau punya pukulan 'Angin Seribu Topan',
aku juga punya pukulan 'Angin Dari Bawah Perut'!"
"Bunuh dia!!" menggeram suara Ki Pasu Suruan.
Di tempatnya, Ki Pancen Dadap langsung putar
kedua tangannya ke belakang, lalu melewati kedua
pinggangnya tangan kanan kirinya disatukan ke
depan dada. Sejurus kemudian terlihat kedua
tangannya yang merangkap itu keluarkan cahaya
biru.
"Kali ini... kau akan mampus, Pendekar Slebor!!"
Habis bentakannya, lelaki itu segera dorong
tangan kanan kirinya. Serta-merta menghampar
angin besar yang luar biasa dahsyatnya, menyeret
tanah dan ranggasan semak belukar.
Andika sendiri melengak melihat betapa dahsyat
gelombang angin yang keluar dan mengarah
padanya. Dari jarak sekitar lima langkah saja, dapat
dirasakan kalau tubuhnya agak bergetar terkena
dorongan angin mengerikan.
"Celaka sepuluh seperempat!" desisnya dan
langsung disambarnya kain bercorak catur yang
melilit pada lehernya. Menyusul dikibaskannya
dengan cepat.
Kontan menderu suara gemuruh disertai suara
berdengung laksana ribuan tawon meraja sebuah
desa.
Benturan dahsyat pun tak dapat dielakkan lagi
Blaaamm! Blaammm!!
Tempat itu seketika berguncang hebat. Tanah
hampir sejarak dua tombak muncrat ke udara
setelah terjadi letupan laksana diinjak kaki raksasa.
Cukup lama tanah itu sirap kembali ke tanah. Dan
yang terlihat kemudian, sosok Pendekar Slebor
terhuyung ke belakang dengan tangan kanan
bergetar. Dari hidungnya mengalir darah segar. Di
lain pihak, Ki Pancen Dadap sudah ambruk di atas
tanah. Napas lelaki berkalung tengkorak itu naik
turun dengan cepat. Kedua matanya tidak terpejam,
tetapi terbeliak dengan pancaran mata kosong.
Kedua tangannya nampak membiru.
Berteriak tertahan Ki Pasu Suruan melihat nasib
Ki Pancen Dadap. Dia segera memburu dan berseru,
"Adi! Adi Pancen! Bagaimana keadaanmu?!"
Lelaki berkalung tengkorak itu tak menjawab.
Bahkan tatapannya semakin lama semakin kosong.
Darah hitam mendadak mengalir dari hidung dan
mulutnya.
Bertambah cemas dan tak menyangka kalau
Pendekar Slebor memiliki kesaktian luar biasa, Ki
Pasu Suruan berseru-seru mencoba menyadarkan Ki
Pancen Dadap.
Dan lambat laun disadarinya kalau napas yang
tadi terengah-engah itu semakin lama semakin
melemah. hingga akhirnya lenyap sama sekali.
"Panceeeennnn!!" serunya keras sambil mendekap
Ki Pancen Dadap yang telah tewas.
Lalu dengan kegusaran tinggi, lelaki ini palingkan
kepalanya ke kanan. Dan teriakannya semakin
mengguntur tatkala tidak lagi melihat sosok
Pendekar Slebor di tempatnya.
"Jahanam terkutuk!! Kubunuh kau!! Kubunuh
kau!!" serunya terus menerus dengan wajah
memerah dipenuhi dendam.
***
6
Kita tinggalkan dulu perginya Pendekar Slebor
dan apa yang akan dilakukan salah seorang Dua
Manusia Goa Setan. Kita ikuti sekarang ke mana
perginya Winar-sih alias Gadis Kayangan.
Tatkala Andika membawanya menjauh dari Iblis
Rambut Emas, sebenarnya gadis berkepang dua itu
sudah siuman. Namun dia mencoba untuk tetap
berlagak pingsan. Kendati dia menduga kalau
pemuda berbaju hijau pupus telah
menyelamatkannya dari Sangga Rantek, namun
Winarsih masih belum mempercayai pemuda itu
sepenuhnya.
Karena, dalam suasana rimba persilatan yang
bertambah kacau ini sangat sulit menentukan mana
lawan dan kawan. Tetapi bila saja Winarsih tidak
dalam keadaan pingsan saat Andika bertarung
dengan Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas,
tentunya dia dapat berpikir jernih untuk mengetahui
siapa pemuda urakan yang sebenarnya baik hati itu.
Begitu didengarnya Andika hendak mencari
makanan, winarsih pun memutuskan untuk
meninggalkan pemuda itu. Makanya setelah Andika
meninggalkan tempat itu, Winarsih segera bangkit
dan meraba pinggangnya. Dia menarik napas lega
tatkala dirasakan Pedang Buntung yang dibungkus
kain putih masih terselip di pinggangnya. Dan dia
makin lega setelah membuktikan, benda yang
dipegangnya itu memang potongan pedang yang
diberikan gurunya tiga bulan lalu. Sejenak
dipulihkan tenaganya dulu sebelum berkelebat ke
arah timur.
Dan sekarang gadis ini terus berlari tanpa
bermaksud untuk berhenti. Saat berlari dia
membatin, "Sangga Rantek... ah, manusia sesat itu
telah berhasil menemukanku. Tentunya sebelum dia
membunuh Guru, dia telah menyelidikinya cukup
lama. Dan dia tahu kalau aku adalah murid dari
Pemimpin Agung. Bila mengikuti kata hatiku, sudah
pasti aku akan melibatkan diri dalam pertarungan
yang akhirnya membuat Guru tewas. Potongan
pedang buntung lainnya kini berupa pedang
buntung berada pada Sangga Rantek. Bila saja tiga
bulan lalu Guru tidak memberikan potongan pedang
lainnya kepadaku, sudah tentu keduanya akan
dimiliki Sangga Rantek. Dan berarti, lelaki jahanam
itu akan mendapatkan petunjuk yang jelas dari
rangkaian titik-titik pada kedua potongan pedang
bila disatukan...."
Terus gadis iniberlari cepat, melewati jalan
setapak, ranggasan semak belukar, akar yang
melintang dan tak berhenti di persimpangan.
Kembali dia membatin, "Sayangnya, Guru tak
pernah menceritakan tentang rangkaian titik yang
tergambar pada masing-masing potongan pedang.
Bila kedua potongan pedang itu disatukan, berarti
lengkaplah petunjuk-petunjuk yang ada. Bahkan
Guru tak pernah menceritakan ada apa sebenarnya
pada tempat yang dituju pada kedua pedang
buntung itu. Bukan hanya itu saja, Guru juga t:dak
pernah mengatakan bagaimana asal mulanya
pedang yang telah terpotong menjadi dua itu berada
padanya. Ah, semuanya ini sungguh
membingungkan. Guru hanya sempat berpesan, bila
terjadi sesuatu yang tak diinginkan, aku harus
menjumpai Penembahan Agung di Pesanggrahan
Bayu Api. Yang aku tahu, kalau Panembahan Agung
adalah kakak seperguruan Guru, tetapi aku tak
pernah berjumpa bahkan tak tahu di mana
Pesanggrahan Bayu Api berada. Oh, kuatkah
kujalani semua ini?"
Perasaan gadis yang masih berduka atas tewasnya
gurunya itu, kembali teraduk-aduk. Dalam suasana
sedih, kalut, marah dan dendam seperti itu, biasanya
seorang gadis akan melampiaskannya melalui air
mata. Namun Winarsihyang sekitar tiga belas tahun
lalu diambil Pemimpin Agung tatkala dusun di
mana orangtua Winarsih tinggal diporak-
porandakan gerombolan itu, adalah gadis yang
memiliki hati tegar.
Dia berusaha untuk tidak melampiaskan
semuanya ini melalui air mata. Justru hatinya
semakin bertambah penasaran untuk menyelesaikan
semua urusan ini.
Bahkan ketika Pemimpin Agung menceritakan
siapa Winarsih, dia tetap tegar. Kendati malam
harinya dia sesenggukan di kamar mengingat kedua
orangluanya tewas dibunuh secara keji oleh para
gerombolan. Bahkan seluruh penghuni dusunnya
telah tewas pula.
Dan Winarsih merasa masih beruntung karena dia
berhasil diselamatkan oleh Pemimpin Agung yang
selama tiga kali penanakan nasi berhasil menumpas
seluruh anggota gerombolan.
Gadis yang tegar ini menarik napas pendek sambil
terus berlari.
"Pesanggrahan Bayu Api... Pesanggrahan Bayu
Api.... Apa pun yang terjadi, aku akan tetap ke
sana...," desisnya lagi, lalu menyambung, "Tak
seharusnya kutinggalkan pemuda bernama Andika
itu. Bila dia memang termasuk orang yang
menginginkan potongan pedang ini, untuk apa dia
menyelamatkanku? Bukankah seharusnya dengan
mudah dia akan mengambil potongan pedang di
pinggangku ini? Ah... tak tahulah... apakah aku
memang telah salah menduga atau tidak. Tetapi
semuanya semakin bertambah kacau tangga aku tak
bisa berpikir lebih jernih. Bila memang pemuda itu
bukan orang jahat, tentunya dia akan mencari dan
membantuku menyelesaikan masalah ini. Tetapi...
apakah dia tahu masalah yang kuhadapi?"
Dan gadis itu terus berlari dengan membawa
segenap persoalan yang menggumpal di dadanya.
Namun karena dia memang tidak tahu lagi ke mana
arah yang dituju, gadis ini menghentikan
langkahnya di sebuah lembah yang dipenuhi
pepohonan dan bebatuan. Saat itu malam sudah
melangkah memasuki ruang kerjanya.
Dan mendadak saja Gadis Kayangan terjatuh
dengan kedua lutut menekuk menjadi bantalan
pinggul. Napasnya terengah-engah. Butiran keringat
terus membanjiri sekujur tubuhnya yang mendadak
menjadi lengket. Baru dirasakan betapa lelah dan
sudah jauh dia berlari.
Dalam keadaan seperti ini Gadis Kayangan
teringat akan semua kegembiraannya bersama
Pemimpin Agung. Lelaki berusia sekitar enam puluh
tahun yang bijaksana itu sudah dianggap sebagai
orangtuanya sendiri. Dan dia selalu mematuhi setiap
ucapan yang dikatakan gurunya.
"Guru... mengapa semua ini terjadi? Mengapa
harus kau tinggalkan aku dalam kesendirian seperti
ini. Mengapa?" keluhnya pelan namun berusaha
untuk tidak sampai meneteskan air mata.
Berulang kali Gadis Kayangan menarik dan
menghela napas panjang, mencoba membuang dan
menindih sebagian kepedihan hatinya.
Cukup lama gadis jelita berpakaian ringkas warna
biru ini berlutut dengan kedua tangan menekan
tanah dan kepala agak tertunduk. Setelah lamat-
lamat dirasakan lelahnya agak menghilang,
perlahan-lahan dia bangkit.
Pandangannya diedarkan pada Seantero tempat
yang lelah menghitam dinaungi malam. Rembulan
di alas sana, tak sanggup menembus halangan dan
rangkaian saling taut awan hitam.
Kejap kemudian terdengar helaan napasnya
lembut, "Aku harus mencari Pesanggrahan Bayu
Api. Seperti pesan Guru tiga bulan lalu. bila terjadi
apa-apa, aku harus menyerahkan potongan pedang
ini pada Panembahan Agung...."
Habis kata-katanya, gadis ini segera menghempos
tubuh menembus kegelapan malam dan jalan di
lembah yang cukup sulit.
***
Pada saat yang bersamaan di sebuah jalan setapak,
satu sosok tubuh berpakaian hitam-hitam hentikan
langkahnya. Saat kepalanya dipalingkan ke kanan ke
kiri, rambut panjangnya yang diikat kuncir kuda
berlompatan.
Sesaat lelaki berwajah tirus yang mulai dihiasi
kerut merut ini tak buka mulut. Namun kejap
berikutnya, terdengar dengusannya yang bernada
jengkel, "Terkutuk! Ke mana perginya pemuda
berpakaian hijau pupus yang membawa Winarsih?!!
Jahanam sial! Padahal aku tinggal selangkah lagi
untuk mendapatkan potongan pedang itu? Benar-
benar keparat!!"
Lelaki yang di pergelangan tangan kanan kirinya
melingkar gelang penuh duri dan tak lain Sangga
Rantek adanya mendengus gusar.
"Semula tak kupercaya kalau potongan pedang itu
berada pada pemuda yang di lehernya melilit kain
bercorak catur! Tetapi setelah dia muncul
menyelamatkan murid Pemimpin Agung itu, aku
yakin kalau potongan pedang itu ada padanya!
Jahanam sial! Tak kusangka kalau pemuda itu
memiliki kepandaian yang tinggi!!"
Habis makiannya, Sangga Rantek meneruskan
larinya. Sambil berlari dia terus memaki-maki gusar.
Hingga di satu tempat yang agak lapang, lelaki
berpakaian serba hitam ini hentikan larinya.
Pandangannya tak berkedip menatap satu sosok
tubuh berjubah dan berkerudung merah. Sekilas
dilihatnya rambut perempuan yang tertutup
kerudung merah itu agak berkilat.
Kejap kemudian terdengar desisannya gusar,
"Terkutuk!! Iblis Rambut Emas!!"
Perempuan yang menghadang langkahnya dan
memang Iblis Rambut Emas menyeringai.
"Sangga Rantek! Nampaknya kau begitu tergesa-
gesa sekali! Ada urusan apa, hah?!"
"Setan alas! Mengapa harus berjumpa dengan
perempuan ini? Sejak dulu aku tahu kalau dia
memiliki kelicikan dan ilmu yang cukup tinggi!
Apakah kehadirannya sekarang dikarenakan dia
telah mendengar tentang dua potongan pedang
yang dimiliki Pemimpin Agung? Jahanam keparat!!"
Tak mau membuang waktu lebih lama, Sangga
Rantek sudah membentak, "Menyingkir dari
hadapanku bila tidak ingin nyawamu lepas dari
badan!!"
Iblis Rambut Emas yang memang memutuskan
untuk mencari Sangga Rantek, sungguh tak
menyangka kalau dia akan berjumpa dengan orang
itu secepat ini. Perempuan berkerudung merah yang
kejam dan licik ini cuma tersenyum mendengar
ucapan orang.
Melihat sikapnya Sangga Rantek makin
bertambah gusar.
"Menyingkir kataku!!"
"Sangga Rantek... aku tidak menghalangi
langkahmu! Mengapa harus sedemikian gusarnya?
Bukankah tak ada urusan antara kita? Kalaupun
berjumpa sekarang, hanya kebetulan saja!"
Sepasang mata Sangga Rantek menyipit. Diam-
diam dia berkata dalam hati, "Kelicikan perempuan
ini sangat terkenal. Namun dari sikapnya jelas kalau
dia nampaknya memang tak menghendaki apa-apa
dariku. Lagi pula kupikir, dia tak tahu menahu soal
Pedang Buntung yang ada padaku. Tetapi aku tak
boleh mengambil kesimpulan seperti itu. Perempuan
ini dapat bersikap sangat sopan dan manis melebihi
seorang bidadari."
Seraya maju satu langkah ke depan, Sangga
Rantek berkata dengan nada suara diturunkan, "Bila
memang tak ada urusan, silakan kau berlalu dan
sini."
"Aku sudah berdiri di sini. Dan rasanya... lebih
baik kau yang menyingkir," sahut Iblis Rambut
Emas sambil tersenyum.
'Terkutuk! Aku bertambah yakin kalau dia
memang menghendaki sesuatu dariku. Dan apa lagi
yang diinginkannya bila bukan Pedang Buntung
ini?" kata Sangga Rantek dalam hati, lalu berseru,
"Baik! Kalau begitu, aku yang menyingkir!"
Sebelum Sangga Rantek bergerak. Iblis Rambut
Emas sudah berkata, "Apakah kau tidak pernah
mendengar tentang sebilah pedang yang terpotong
menjadi dua dan berisi titik-titik gambar? Yang bila
kedua pedang buntung itu disatukan, merupakan
petunjuk lengkap menuju ke sebuah tempat?"
Menegak kepala lelaki berkuncir kuda ini.
Kembali pandangannya lurus ke depan tanpa kedip.
Lalu dengan suara dibuat bodoh dia ajukan tanya,
"Apa maksudmu?"
Iblis Rambut Emas tersenyum tetapi mendengus
dalam hati, "Hebat juga permainanmu, Sangga
Rantek!"
Kemudian katanya, "Berita tentang sebilah
pedang yang menjadi dua potong itu sudah
terdengar ramai di rimba persilatan ini! Dua
potongan pedang yang dimiliki oleh Pemimpin
Agung! Tetapi sayangnya, tak seorang pun yang
tahu siapa yang telah membunuh Pemimpin Agung.
Bahkan satu masalah yang terpenting, dua pedang
buntung itu sudah tak ada lagi di tempatnya."
Iblis Rambut Emas yang sengaja berkata dusta
menghentikan kata-katanya dulu untuk melihat
perubahan wajah Sangga Rantek. Dan dia makin
tersenyum dalam hati begitu melihat Sangga Rantek
tersenyum.
"Bodoh! Dia mulai terpancing ucapanku!"
desisnya dalam hati lalu berkata, "Dan berita yang
kudengar... kalau orang yang telah membunuh
Pemimpin Agung adalah seorang pemuda
berpakaian hijau pupus yang di lehernya melilit kain
bercorak catur."
"Hei! Dari ucapan pertamanya jelas dia tidak tahu
siapa yang telah membunuh Pemimpin Agung!
Tetapi ucapannya barusan, dia seperti mengetahui
sesuatu tentang pemuda berpakaian hijau pupus itu.
Ada apa ini? Apa yang hendak dimainkannya?"
membatin Sangga Rantek dengan kening
dikernyitkan.
Lalu dengan pandangan curiga dia berseru, "Dari
mana kau tahu soal itu, hah?!"
Iblis Rambut Emas makin kembangkan senyum,
"Siapa pun orangnya yang punya telinga sudah
tentu akan mendengar semua itu! Dan siapa lagi
orangnya yang mempunyai ciri-ciri seperti yang
kukatakan tadi kalau bukan Pendekar Slebor!!"
Sampai surut satu langkah ke belakang Sangga
Rantek mendengar ucapan orang. Nampak
kepalanya melegak dengan kedua mata membuka
lebih lebar.
"Pendekar Slebor! Setan neraka! Jadi pemuda itu
adalah Pendekar Slebor? Anjing kurap! Pantas kalau
pemuda itu memiliki kepandaian yang tinggi!!" desis
Sangga Rantek terkejut dalam hati.
Kemudian katanya, "Lantas apa maksudmu
menceritakan semua ini?"
"Aku mempunyai dendam pada Pendekar Slebor,"
kata Iblis Rambut Emas terus memainkan
peranannya. "Pemuda itu telah membunuh kekasih
yang sangat kucintai!"
"Iblis Rambut Emas! Setahuku kau tak
mempunyai kekasih? Karena... mana ada lelaki yang
mau dengan perempuan keji sepertimu, hah?!"
Iblis Rambut Emas mengikik. "Kau memang tidak
tahu kalau aku mempunyai seorang kekasih, tak
seorang pun yang tahu...." Lalu dalam hati dia
melanjutkan, "Jahanam sial! Rasanya tak sabar untuk
merobek mulut si Keparat ini!!"
"Bila memang demikian adanya, mengapa kau
tidak langsung mencari pemuda itu?!" seru Sangga
Rantek sambil berpikir keras apa tujuan perempuan
berkerudung merah itu sebenarnya.
"Sudah tentu aku akan mencarinya bila kumiliki
ilmu yang dapat menandingi kesaktiannya! Hanya
saja.., aku sadar, kalau aku akan membuang nyawa
percuma bila tetap nekat mencari pemuda itu.
Sangga Rantek... apakah kau tidak memikirkan
sesuatu dari ceritaku itu?"
Sangga Rantek terdiam dulu sebelum berkata,
"Katakan lebih jelas! Karena waktuku tidak
banyak!!"
"Mengapa Pendekar Slebor membunuh Pemimpin
Agung? Itulah yang seharusnya kau tanyakan!
Sudah tentu karena dia menginginkan dua potongan
pedang yang berisi titik gambar dan bila dijadikan
satu, merupakan petunjuk lengkap menuju sebuah
pulau! Apakah kau mendadak menjadi dungu,
hah?!"
Mengkelap wajah Sangga Rantek mendengar
ejekan si perempuan. Dengan kedua tinju mengepal
namun berusaha tindih kegusarannya dia berseru,
"Jelaskan!!"
"Hmmrn... dia masih berlagak bodoh," kata Iblis
Rambut Emas dalam hati sebelum berkata,
"Bukankah tujuan Pendekar Slebor membunuh
Pemimpin Agung untuk mendapatkan dua
potongan pedang itu?"
Sangga Rantek hanya menatap tajam sementara
diam-diam berkata dalam hati, "Aku benar-benar tak
habis pikir, apa yang sebenarnya diinginkan
perempuan ini. Masih belum dapat kuduga kalau
dia mengetahui salah satu potongan pedang itu,
yang merupakan Pedang Buntung berada di
tanganku. Dan urusan ini nampaknya memang akan
berkembang menjadi panjang. Sebaiknya, kuikuti
saja apa maunya perempuan ini. Mudah-mudahan
dia memang tidak tahu kalau Pedang Buntung itu
ada padaku."
Kemudian katanya, "Jadi dengan kata lain... kau
mengajakku untuk bergabung membunuh Pendekar
Slebor?!"
"Benar sekali! Ternyata kau memang berotak
cerdik! Aku tak menginginkan dua potongan
pedang yang diambilnya! Tetapi aku menginginkan
nyawanya!!"
Sangga Rantek keluarkan dengusan. Jelas dia tak
bisa mempercayai ucapan Iblis Rambut Emas.
Sementara si perempuan sendiri tertawa dan
berusaha meyakinkan kata-katanya. Padahal dalam
hati, dia memang mencoba mengajak Sangga Rantek
untuk bergabung membunuh Pendekar Slebor. Bila
pemuda itu telah tewas, dan Sangga Rantek berhasil
mendapatkan potongan pedang itu, maka dia akan
merebutnya. Juga bila dia yang berhasil
mendapatkannya, maka potongan pedang lainnya,
yang berupa Pedang Buntung dan berada pada
Sangga Rantek. juga akan direbutnya.
Dengan kata lain, dia akan mengail di air keruh!
"Bila memang itu maumu, bagus! Aku juga punya
urusan dengan pemuda itu!"
"Bisa kutebak! Urusanmu tentunya berhubungan
dengan potongan pedang itu, bukan?" sambar Iblis
Rambut Emas sambil tertawa dalam hati. Dan
sebelum Sangga Rantek menyahut dia sudah
melanjutkan, "Kau harus berhati-hati
menghadapinya! Karena dia berhasil membunuh
Pemimpin Agung!"
Mendengar ucapan itu Sangga Rantek yang
semula hendak tumpahkan amarahnya, pentangkan
senyum.
"Perempuan ini jelas-jelas tidak tahu kalau akulah
pembunuh Pemimpin Agung dan Pedang Buntung
itu berada di tanganku! Bagus! Kudengar ilmunya
lumayan tinggi! Berarti membunuh Pendekar Slebor
akan lebih mudah ketimbang kulakukan sendiri!!"
Sementara itu Iblis Rambut Emas sedang
membatin, "Dia telah masuk perangkap yang
kubuat. Urusan sudah tentu akan berada di
tanganku. Bila saja aku belum bentrok dengan
Pendekar Slebor, sudah kubunuh dan kurebut
Pedang Buntung itu dari tangan lelaki jahanam ini!
Tetapi ilmunya lumayan tinggi dan tentunya dapat
kumanfaatkan dengan mudah! Setelah itu, giliranku
untuk membunuhnya!"
Lalu sambil pasang senyumnya, perempuan licik
ini berkata dengan suara menggoda, "Hari semakin
larut, bagaimana bila kita memulai sekarang?"
Sangga Rantek tak keluarkan kata kecuali segera
berkelebat ke arah timur.
Senyuman di bibir Iblis Rambut Emas semakin
menjadi-jadi dengan kedua bola mata cerah
berbinar.
"Semuanya... ada di tanganku...," desisnya dan
kejap itu pula dia segera berkelebat menyusul
perginya Sangga Rantek.
***
7
Sinar surya kembali menerangi segenap persada.
Udara pagi berhembus sejuk. Sisa-sisa kabut masih
mengawang-ngawang di udara yang nampaknya tak
lama lagi akan sirna.
Pendekar Slebor yang sengaja meninggalkan
pertarungan dengan Dua Manusia Goa Setan,
menghentikan langkahnya di bawah sebatang
pohon. Di kejauhan nampak sebuah gunung
menjulang. Sejarak seratus tombak dari tempatnya
agak ke kanan, pematang-pematang sawah jadi
pemandangan dengan lenggokan padi menguning
yang dihembus angin.
"Ah, tak seharusnya kuturunkan tangan pada
lelaki bernama Pancen Dadap itu. Tetapi bila tidak
kulakukan, justru nyawaku yang akan putus...,"
desisnya sambil menarik napas pendek. "Huh,
urusan ini memang bikin pusing saja!"
Lalu diarahkan pandangannya ke depan.
"Pesanggrahan Bayu Api.... Itulah satu-satunya
tempat yang dapat kujadikan patokan untuk
menemukan Gadis Kayangan. Kendati aku mulai
dapat menebak secara pasti urusan ini, namun
belum dapat kuketahui tentang apa yang tergambar
pada kedua potongan pedang itu, yang tentunya
menunjukkan sebuah tempat. Namun apakah nama
tempat itu dan di mana? Apa yang ada di tempat
itu? Monyet pitak!! Rasa penasaranku makin
menjadi-jadi!!"
Kembali anak muda urakan ini terdiam. Tahu-
tahu keningnya berkerut.
"Gadis Kayangan...," desisnya pelan. "Begitu
banyak rahasia yang dipendamnya. Bahkan sampai
sekarang aku belum mengetahui nama gadis itu
sebenarnya. Yang kuketahui kalau dia murid dari
seorang lelaki yang berjuluk Pemimpin Agung,
tetapi siapa pula Pemimpin Agung yang tinggal di
Pesanggrahan Bayu Air? Apakah... hei!!
Pesanggrahan Bayu Air... Pesanggrahan Bayu Api....
Dua nama yang berdekatan sekali, dan seolah
bertolak belakang. Atau malah sesungguhnya
bersatu?"
Nampak sekali kalau Pendekar Slebor berusaha
berpikir keras. Menyusul terdengar desisannya,
"Jangan-jangan... orang yang berada di
Pesanggrahan Bayu Api, ada hubungan langsung
dengan Pemimpin Agung. Bisa kupastikan
sekarang... kalau gadis itu hendak menyerahkan
potongan pedang yang berada padanya pada orang
yang berada di Pesanggrahan Bayu Api. Bila
memang demikian... kadal buntung! Sudah tentu
gadis itu telah siuman sebelumnya! Tak ada orang
yang datang membawanya atau membuatnya
menghindar dari orang itu! Setelah dia siuman, dia
langsung berlalu menuju ke Pesanggrahan Bayu Api
yang rasanya belum diketahui di mana tempatnya.
Tetapi mengapa dia melakukan hal itu? Monyet
Pitak!"
Andika terdiam lagi sambil menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal. Kejap berikutnya
terdengar makiannya, "Monyet buduk! Sudah tentu
hal itu dilakukan karena dia tidak mempercayaiku!
Orang utan bau! Berarti dia menduga kalau aku
termasuk orang yang menginginkan potongan
pedang yang berada padanya? Benar-benar kutu
landak! Masa sih pemuda tampan sekeren dan
segagah aku ini disamakan dengan orang-orang
seperti Sangga Rantek dan Dua Manusia Goa Setan?
Wah! Rupanya gadis itu tidak bisa membedakan
mana wajah yang tampan dan mana wajah yang
jelek!"
Pemuda berambut gondrong menggeleng-
gelengkan kepalanya, separo gemas dan mangkel.
“Huh! Lebih baik ku teruskan langkah untuk
mencari tempat yang bernama Pesanggrahan Bayu
Api."
Kejap kemudian, Pendekar Slebor sudah
berkelebat meninggalkan tempat itu. Dengan
pergunakan ilmu peringan tubuhnya yang kesohor,
anak muda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan
ini tiba di sebuah dusun yang cukup ramai.
Di dusun itu dia mengisi perut sebelum
melanjutkan perjalanan kembali. Tatkala kakinya
menginjak ujung jalan dari desa itu, mendadak saja
dilihatnya tiga sosok tubuh berpakaian hitam
gombrang muncul dari arah sebelah kiri. Terus
melangkah menjauh dari dusun itu.
Bukan kemunculan ketiga orang itu yang
membuat Andika tertarik, melainkan tatkala
mendengar salah seorang dari mereka yang
bercambang bawuk berkata, Tak lama lagi kita akan
tiba di Pesanggrahan Bayu Api. Menurut
perkiraanku, bila kita terus berlari tanpa henti, tepat
matahari masuk ke peraduannya kita sudah tiba di
sana."
"Kasma Matur! Apakah kau yakin kalau-
Panembahan Agung saat ini tidak berada di
tempatnya?" tanya yang melangkah di sebelah
kanan sambil arahkan pandangan pada si Bawuk
yang bernama Kasma Matur, sementara dia sendiri
bernama Dirgo Kantas.
Orang yang bicara pertama tadi menganggukkan
kepalanya. "Ya! Hari ini hari Kamis Legi. Seperti
kebiasannya, Panembahan Agung selalu berjalan-
jalan di padang rumput yang ada di belakang
pesanggrahan miliknya pada malam hari. Ini
kesempatan kita untuk menguras seluruh harta yang
dimilikinya."
"Tetapi rasanya... aku tak begitu yakin kalau
Panembahan Agung memiliki harta seperti yang kau
duga," kata lelaki yang melangkah di sebelah kiri.
Dia bernama Suronto Kakak.
"Masa bodoh! Lelaki tua bertubuh kerempeng
yang mengenakan sorban kuning di kepalanya itu
telah mengupah kita untuk menjarah harta
Panembahan Agung. Bukankah ini keuntungan dua
kali lipat? Bila kita tidak berhasil menguras harta
milik orang itu, toh kita sudah mendapatkan upah
yang banyak?"
Kedua temannya mengangguk-anggukkan kepala
mendengar kata-kata Kasma Matur. Mendadak
masing-masing orang terbahak-bahak dan kejap itu
pula mulai berlari.
Sementara itu. Pendekar Slebor yang terus
melangkah dengan memasang pendengarannya
lebih lebar berkata dalam hati, "Ketiga orang itu
sebangsa cecunguk-cecunguk lapar yang diupah
seseorang yang mengenakan sorban kuning di
kepala. Hmmm... ada apa lagi? Urasan apa yang
akan terjadi? Mengapa orang bersorban kuning itu
justru menyuruh mereka menjarah harta milik
Panembahan Agung yang ternyata tinggal di
Pesanggrahan Bayu Api? Kutu monyet! Urusan jadi
kapiran!! Hhh! Aku ingin tahu ada apa iagi. Mudah-
mudahan Gadis Kayangan memang menuju atau
sudah berada di Pesanggrahan Bayu Api."
Memutuskan demikian, Pendekar Slebor pun
segera berkelebat dan menjaga jarak dari ketiga
orang berpakaian hitam gombrang yang terus
berlari.
***
Tepat malam mulai menyelimuti alam, ketiga
lelaki berpakaian hitam gombrang itu tiba di sebuah
jalan setapak yang di kanan kiri dipenuhi
pepohonan. Masing-masing orang yang sekarang
berada di balik ranggasan semak belukar,
memandang ke depan.
Sejarak dua puluh tombak, nampak sebuah
bangunan besar berdiri kokoh. Beberapa ekor
burung malam melintas di atasnya.
"Kasma Matur... apakah bangunan itu yang
disebut Pesanggrahan Bayu Api?" tanya Dirgo
Kantas dengan kedua mata tak berkedip. Sedikit
banyaknya lelaki ini merasa kecut.
Kasma Matur yang sudah dimabuk bayangan
harta yang dapat dikurasnya mengangguk mantap.
"Ya! Menurut orang bersorban kuning, jelas itulah
Pesanggrahan Bayu Api! Ayo, kita segera ke sana
untuk menguras seluruh harta Panembahan Agung!"
"Kasma Matur...," berkata Suronto Kakak tanpa
palingkan kepala dari bangunan besar itu. Lalu
sambungnya dengan suara agak tersendat, "Aku...
aku...."
"Apa aku-aku, hah?!" bentak Kasma Matur gusar.
Suronto Kakak menelan ludahnya. "Tempat itu...
begitu menyeramkan. Lebih baik kita urungkan saja
niat untuk menguras hartanya...."
"Bodoh! Keuntungan kita dua kali lipat!"
"Tetapi... tempat itu seperti tempat jin buang anak!
Aku sangsi kalau memang ada orang yang
meninggali-nya!"
"Jangan berlaku bodoh. Suronto! Coba kau
bayangkan! Untuk pekerjaan yang memang selalu
kita kerjakan setiap malam, kita mendapat upah
sepuluh keping uang perak! Nah! Bukankah ini
suatu yang menyenangkan? Lebih menyenangkan
lagi karena kita diberi tahu sasaran empuk yang kita
tuju...."
“Tapi...."
"Tidak ada tapi-tapian! Ayo, kita segera ke sana!"
"Kasma Matur... apa yang dikatakan Suronto
memang benar," kata Dirgo Kantas yang juga merasa
tidak enak. Dalam pandangannya bangunan yang
terkesan angker itu laksana seorang raksasa yang
sedang tertidur dan akan murka bila diusik.
Menggeram Kasma Matur mendengar ucapan
Dirgo Kantas. "Dasar kalian orang-orang dungu!
Sudah seharusnya kalian senang dengan apa yang
telah ada di hadapan kalian! Ayo, kerjakan sekarang
juga! Aku yakin, Panembahan Agung sudah mulai
berjalan-jalan di padang rumput di belakang
pesanggrahannya!!"
Dirgo Kantas dan Suronto Kakak saling
berpandangan. Wajah masing-masing orang nampak
pucat. Sesungguhnya, kedua orang itu memang
bukanlah orang pemberani dan kejam. Mereka
adalah orang-orang yang memiliki hati pengecut,
namun karena desakan perut dan dorongan Kasma
Matur, mereka terpaksa menjadi pencuri.
Tetapi sekarang, kepengecutan mereka sudah
nampak. Keduanya sama-sama palingkan kepala
pada Kasma Matur yang telah berdiri dan
menunggu tak sabar.
"Ayo! Kita kerjakan sekarang!!"
"Kasma... aku... aku tidak ikut sajalah," kata
Suronto Kakak takut-takut.
"Bodoh!!"
"Aku juga...," sambung Dirgo Kantas.
"Dasar orang-orang dungu! Apa yang kalian
takutkan, hah? Kita bebas menjarah harta milik
Panembahan Agung! Lagi pula... apakah kalian
tidak berpikir kalau orang bersorban kuning itu
akan membunuh kita bila kita tidak menjarah harta
milik Panembahan Agung?"
"Tetapi... kakek itu... tidak berkata apa-apa.... Dia
cuma tersenyum-senyum saja...," kata Dirgo Kantas
dengan kening dikernyitkan. "Lagi pula... kita kan
tidak mengenal sama sekali siapa dia. Ini patut
dicurigai, Kasma Matur."
"Goblok! Sekarang kau ngomong begini!
Sebelumnya, waktu kakek itu memberi kita uang,
kau tak ngomong apa-apa! Malah petantang-
petenteng kayak jagoan!!"
Dirgo Kantas cuma terdiam namun dia berusaha
keras untuk tidak mencapai bangunan yang
nampaknya angker itu.
"Itu kan... itu kan...."
"Dasar bodoh!" potong Kasma Matur dengan
kemarahan membuncah. "Kalian boleh pergi dari
sini! Tetapi ingat, kalian tak akan mendapatkan apa
yang akan kudapatkan!!"
"Aku tidak apa-apa," sahut Suronto Kakak sambil
menghela napas lega.
"Aku juga.... Tetapi, tentunya kau masih mau
memberikan sekeping uang perak itu, bukan? Hanya
sekepiiiing saja...."
"Tidak!!" melotot mata Kasma Matur. "Kalian tak
mendapatkan apa-apa! Cepat pergi dari sini sebelum
golokku membelah kepala kalian!!"
Terbirit-birit dua pencuri pengecut itu mendengar
ancaman Kasma Matur. Sepeninggal keduanya,
lelaki bercambang bawuk ini mendengus, "Dasar
bodoh! Sasaran sudah ada di depan mata, bahkan
tak perlu susah payah untuk mencari sasaran yang
bermutu. Tinggal membawanya saja tidak mau!!
Huh! Apa sih yang ditakutkan? Tak ada setan
gentayangan di sini!"
Kasma Matur masih ngoceh melampiaskan
jengkelnya, lalu berkata, "Akan kukerjakan
sekarang!!"
Memutuskan demikian, lelaki bercambang bawuk
ini segera keluar dari balik ranggasan semak
belukar. Pandangannya ditujukan ke arah bangunan
besar itu. Sejenak ada perasaan ngeri melihat
bangunan yang dibayang-bayangi malam itu.
Namun apa yang ada di benaknya adalah
memiliki harta dengan cara mudah. Dan mendadak
bibirnya mengembang senyuman.
"Aku akan kaya... aku akan kaya...."
Sambil menyiapkan goloknya, Kasma Matur
melangkah mengendap mendekati bangunan itu.
Namun baru lima langkah dia bergerak, mendadak
saja langkahnya terhenti. Karena sejarak tiga tombak
dari hadapannya nampak satu sosok tubuh berdiri
tegak dibalut kegelapan.
Untuk sejenak Kasma Matur termangu dengan
kengerian yang perlahan mulai merangkulnya. Dia
mencoba mengira-ngira siapa sosok hitam itu
sebenarnya.
Di lain kejap dia sudah keluarkan bentakan.
"Keparat!! Siapa kau, hah?!!"
Sosok hitam-hitam itu tak menyahut, bahkan tak
keluarkan suara sedikit pun. Kasma Matur menjadi
gusar. Dengan golok terangkat dia segera memburu.
Namun mendadak pula kembali dihentikan
langkahnya, karena tiba-tibasaja sosok tubuh
berbalut kegelapan malam itu telah lenyap dari
pandangannya.
"Heiii!!" melengak lelaki bercambang bawuk ini
dengan kepala menegak. Kedua matanya melotot
lebar. "Gila! Siapa orang itu? Gerakannya seperti
setan! Huh! Aku tak peduli apakah dia orang
atau...."
Memutus kata-katanya sendiri, Kasma Matur
langsung celingukan. Dan mendadak saja dia surut
dua tindak ke belakang, karena di samping
kanannya sosok tubuh tadi telah berdiri. Tetap tak
bergerak dan tak keluarkan suara.
Mulailah rasa takut melingkupi lelaki bercambang
bawuk ini. Bahkan tanpa disadarinya keringat
dingin mulai keluar. Dan ketakutannya kian
menjadi-jadi tatkala sosok tubuh itu lenyap begitu
saja.
Kemudian muncul lagi di belakangnya.
Kontan melonjak lelaki ini. Kejap berikutnya dia
sudah berlari lintang pukang menuju jalan semula.
Jeritannya cukup menggema di malam sepi.
Sepeninggal Kasma Matur, sosok tubuh yang tadi
dilihat lelaki itu keluarkan dengusan.
"Huh! Sok berani! Tidak tahunya sebangsa tikus!!"
Lalu perlahan-lahan orang yang tadi menakut-
nakuti Kasma Matur dan tak lain Pendekar Slebor
adanya, putar tubuh dan memperhatikan bangunan
besar di hadapannya.
"Pesanggrahan Bayu Api...," desisnya tanpa kedip.
"Tak salah lagi kalau memang inilah tempat itu.
Apakah saat ini Gadis Kayangan berada di sini?"
Kembali anak muda urakan ini terdiam sebelum
mendesis lagi, "Selain dua potongan pedang yang
bila disatukan akan menjadi petunjuk tergambar ke
satu tempat yang masih jadi masalah, aku yakin
masih ada masalah lain yang akan mengembang.
Siapakah orang bersorban kuning yang menyuruh
ketiga lelaki itu menjarah harta milik Panembahan
Agung? Dan apa maksudnya menyuruh ketiga
bangsa tikus yang sesungguhnya tidak mempunyai
nyali untuk melakukannya?"
Andika garuk-garuk kepala sambil mencoba
memikirkannya.
"Apakah urusan ini merupakan satu kesatuan
dengan urusan si Gadis Kayangan? Atau memang
ada urusan yartg harus diselesaikan?"
Selagi anak muda urakan ini berpikir, mendadak
saja terdengar bentakan sengit, "Sejak semula... aku
sudah yakin kau bukanlah orang baik-baik! Terbukti
akhirnya kau tiba di Pesanggrahan Bayu Api!"
***
8
Seketika Andika putar tubuh ke samping kiri.
Dilihatnya satu sosok tubuh telah berdiri di
hadapannya. Bila saja Andika tidak mengenali suara
itu, dapat dipastikan dia akan membutuhkan waktu
beberapa kejap untuk mengenali orang yang
bersuara tadi.
Kejap kemudian anak muda ini tertawa.
"Gadis Kayangan.... Tak salah aku berpikir, kalau
kau memang menuju ke Pesanggrahan Bayu Api."
Orang yang keluarkan bentakan yang tak lain
Winarsih alias Gadis Kayangan, hanya terdiam.
Gadis berpakaian biru muda ini memang masih
belum sepenuhnya dapat memutuskan apakah
pemuda di hadapannya ini sebangsa kawan atau
lawan. Hingga sikapnya agak berhati-hati. Terlebih
lagi pemuda itu telah mendahuluinya tiba di
Pesanggrahan Bayu Api.
Karena tak terdengar jawaban gadis di
hadapannya, Andika berkata, "Aku datang ke sini...
ya, karena teringat kalau kau sedang menuju ke
tempat yang bernama Pesanggrahan Bayu Api.
Terus terang, aku cukup bingung tatkala menyadari
kau menghilang. Bingung ya... bukan karena takut
kau kenapa-napa. Tapi kapan lagi sih aku bisa
menikmati wajah cantik yang sedang terpejam...."
Bila saja malam tidak begitu pekat, sudah tentu
Andika dapat melihat wajah Winarsih yang
memerah. Akan tetapi kejap berikutnya si gadis
sudah berkata, "Aku tahu kau telah menolongku! Ya!
Kuucapkan terima kasih! Sekarang, tinggalkan
tempat ini!!"
Andika nyengir sambil garuk-garuk kepalanya.
"Memangnya kenapa sih? Akukan tidak melakukan
apa-apa. Kok bawaannya curigaan melulu?"
Sejenak Winarsih agak tergugu sebelum terdengar
suaranya, "Andika! Aku hanya tahu namamu saja,
aku tidak tahu siapa kau adanya! Tetapi sebaliknya,
tentunya kau telah tahu siapa aku, bukan? Sangga
Rantek sudah jelas akan membuka mulut."
"Tidak salah! Dia menginginkan potongan pedang
yang ada padamu! Terus terang, semula aku tak
begitu memahami persoalan yang ada. Tetapi karena
aku punya otak dan mau kugunakan untuk berpikir,
lambat laun sedikit banyaknya dapat kuketahui apa
yang telah terjadi. Hanya saja, aku tak tahu tempat
apa yang menjadi tujuan dari rangkaian titik-titik
yang tertera bila dua potongan pedang satu sama
lain disatukan."
"Sikap pemuda ini begitu tulus. Sepasang matanya
selalu berkilat-kilat Jenaka. Ah, bila saja aku tidak
berada dalam suasana seperti ini, sudah tentu aku
bersedia menjadi sahabatnya. Namun, di rimba
persilatan ini sangat sukar mengetahui kesungguhan
hati seseorang," kata Winarsih dalam hati.
Dan sebelum dia buka mulut, Andika sudah
mendahului, "Mengapa kau mengatakannya ada
padaku? Nah, nah... kau mau memfitnah, ya?
Busyet! Fitnah itu lebih kejam daripada tidak
memfitnah, lho!"
Agak malu juga Winarsih mendengar kata-kata
itu. Tetapi dia tidak peduli.
"Potongan pedang itu memang ada padaku! Dari
ucapanmu tadi, kau telah tahu apa yang telah
terjadi. Mengapa kau tak segera merebutnya dariku,
Andika?"
"Busyet! Kok merebutnya? Buat apa? Mendingan
aku membeli yang utuh di Kotapraja!"
"Ah, perasaanku mulai bertambah bingung
sekarang. Aku harus mengambil keputusan.
Pesanggrahan Bayu Api sudah berada di hadapan,
selekasnya aku harus menyerahkan potongan
pedang ini pada Panembahan Agung. Pemuda ini
harus kusingkirkan."
Memutuskan demikian, dengan pandangan mata
masih waspada, Winarsih berkata, "Bila kau tak
menghendakinya... silakan menyingkir atau kita
akan bertarung!"
"Monyet pitak! Aku memang tak bisa
menyalahkan sikapnya!" kata Andika dalam hati.
Lalu sambil nyengir dia berkata, "Kalau memang
begitu... ya tidak apa-apa. Tapi... apakah kau tidak
berpikir, bila aku menginginkan potongan pedang
itu, sejak kau pingsan aku sudah mengambilnya.
Bahkan dengan mudah aku dapat membunuhmu
atau melakukan sesuatu yang tidak sopan padamu.
Tetapi kan... semuanya tidak kulakukan. Itu
bertanda aku ini orang baik-baik. Iya, nggak? Iya,
nggak?"
"Yang kupikirkan waktu itu memang demikian
adanya. Tetapi aku tak peduli. Aku ingin bertemu
dengan Panembahan Agung tanpa ada yang
mengganggu!"
Habis berpikir demikian, Winarsih berkata,
"Tinggalkan tempat ini, Andika! Sekali lagi
kukatakan padamu, aku berterima kasih karena kau
telah menyelamatkanku dari tangan Sangga
Rantek!!"
"Sama-sama...," sahut Andika sambil
membungkuk. Lalu segera berbalik dan melangkah
seraya mendengus dalam hati, "Busyet! Sudah
capek-capek sampai di sini, eh, cuma diusir doang!
Dasar nasib lagi apes!!"
Sementara itu Gadis Kayangan masih tegak di
tempatnya. Dia masih hendak meyakinkan kalau
pemuda berbaju hijau pupus itu telah berlalu.
Setelah sosok Andika lenyap dari pandangannya,
barulah murid mendiang Pemimpin Agung ini
balikkan tubuh kembali mengarah pada
Pesanggrahan Bayu Api.
Sejenak gadis ini tak lakukan apa-apa sebelum
akhirnya berkata, "Akhirnya aku berhasil juga
menemukan Pesanggrahan Bayu Api. Beruntung
karena petani yang kutanya tahu di mana
pesanggarahan ini berada. Ya, ya... aku tak boleh
buang waktu lagi. Potongan pedang ini harus
kuserahkan pada Panembahan Agung dan mudah-
mudahan aku dapat mengetahui ada apa di balik
semua ini...."
Memutuskan demikian, Gadis Kayangan segera
berkelebat cepat mendekati Pesanggrahan Bayu Api.
Tiba di muka halaman tempat itu, dia terkagum
kagum sendiri. Karena tiang-tiang penyangga
pesanggrahan ini lebih besar dari pesanggrahan di
mana dia sebelumnya tinggal bersama Pemimpin
Agung. Halamannya luas dikelilingi dinding yang
cukup tinggi. Namun pintu gerbang halaman itu tak
tertutup, dibiarkan terbuka seolah menyambut
kedatangan siapa saja.
Habis kagumi apa yang ada di sekitarnya,
Winarsih berkelebat masuk. Sebuah pintu besar
bergambar ukiran angin dan api berdiri kokoh di
hadapannya.
Dan yang mengejutkan, sebelum Winarsih
mengetuknya, pintu itu sudah terbuka diiringi suara
lembut, "Silakan masuk, Anakku..."
Tercengang Winarsih mendengar suara itu."
"Oh! Suara itu tentunya suara Panembahan
Agung. Dia telah tahu aku tiba di sini," katanya
dalam hati dan perlahan-lahan melangkah.
Kembali terdengar suara bijaksana itu, "Berbelok
ke kiri. Ada tiga buah pintu di sana. Masuklah
melalui pintu yang tengah. Setelah itu berbelok ke
kanan. Kau akan menjumpaiku di ruangan itu,
Anakku."
Sambil memandang sekelilingnya dengan penuh
rasa takjub, Winarsih mengikuti petunjuk suara itu.
Akhirnya dia pun tiba di sebuah tempat yang cukup
luas. Tiang-tiang penyangga ruang itu berukir angin
dan api. Atapnya cukup tinggi.
Namun Winarsih tak melihat siapa pun yang
berada di sana.
Tetapi hanya sekejap karena di kejap berikutnya,
satu sosok tubuh tinggi kurus telah berdiri di
hadapannya. Sosok lelaki tua dengan rambut, kumis,
dan jenggot yang memutih itu pentangkan senyum.
Pakaiannya putih panjang dengan sulaman angin
dan api berwarna biru dan merah. Pancaran
matanya begitu teduh sekali. Winarsih seolah
melihat gurunya yang berada di hadapannya.
"Selamat datang di Pesanggrahan Bayu Api,
Anakku...," kata orang tua itu dengan suara
lembutnya.
Segera Winarsih rangkapkan kedua tangannya di
depan dada.
"Kakek... terimalah hormatku...."
"Duduklah...."
Lalu masing-masing orang duduk bersila sejarak
lima langkah satu sama lain.
Winarsih memandangi lelaki tua di hadapannya
dengan sorot mata kagum Jadi inilah Panembahan
Agung, kakak seperguruan gurunya yang sering
diceritakan gurunya. Sikap lelaki ini benar-benar
sangat bijaksana.
"Anakku... aku tahu apa maksud kedatanganmu
ke sini. Kau hendak menyerahkan potongan pedang
itu, bukan?"
Winarsih menganggukkan kepalanya. Dilihatnya
Panembahan Agung mengusap jenggot putihnya.
"Berarti... dia telah tewas, bukan?"
Kembali Winarsih menganggukkan kepalanya.
Dia bisa menduga, bila suatu saat dia akan muncul
di Pesanggrahan Bayu Api, berarti secara tidak
langsung mengabarkan gurunya yang telah tewas.
Dan tentunya semua itu telah disusun rapi antara
gurunya dengan Panembahan Agung.
"Dunia memang kejam, Anakku.... Selama dunia
masih berputar maka darah akan bersimbah.
Kekejaman akan terjadi terus menerus. Baik di
dalam diri maupun di dalam diri orang lain.
Anakku... siapa yang telah membunuh Pemimpin
Agung?"
"Orang yang bernama Sangga Rantek, Kakek."
"Ternyata memang masih ada orang yang
menghendaki kedua potongan pedang itu, Anakku...
mana kedua potongan pedang itu?"
Dengan hati-hati Winarsih mengambil potongan
pedang yang dibungkus kain pulih. Lalu
diserahkannya pada lelaki tua di hadapannya.
Panembahan Agung memandang dulu sebelum
berkata, "Rasa beratnya berkurang. Apakah hanya
sebuah potongan saja yang berada di dalamnya,
Anakku?"
"Betul, Kek. Karena potongan pedang yang lain
telah berhasil direbut Sangga Rantek."
"Mengapa yang ini tidak direbutnya?"
"Kakek... nampaknya Guru memang telah
menduga, lambat laun akan datang orang yang
menginginkan potongan pedang ini. Maka tiga
bulan lalu, dia menyerahkan potongan pedang ini
padaku sementara potongan pedang lainnya yang
berupa Pedang Buntung, tetap berada padanya.
Guru tak pernah menceritakan tempat apa yang
tergambar pada kedua potongan Pedang Buntung
itu bila disatukan. Bahkan hingga saat ini, aku belum
pernah melihatnya, Kakek...."
Panembahan Agung mengangguk-anggukkan
kepala. Lalu pelan-pelan dia mulai membuka kain
putih pembungkus potongan pedang itu. Dengan
pergunakan tangan kanannya diambilnya potongan
pedang yang merupakan bagian atas dari potongan
pedang lainnya yang sekarang berada di tangan
Sangga Rantek.
Cukup lama lelaki bijaksana ini memperhatikan
potongan pedang yang ternyata terbuat dari perak,
sebelum akhirnya menghela napas panjang.
"Anakku...," katanya kemudian. "Memang sulit
menentukan di mana tempat yang tergambar pada
potongan pedang ini bila belum disatukan dengan
potongan lainnya. Bahkan kita tak bisa mengira-
ngira sedikit pun juga"
"Lantas... apa yang harus kita lakukan, Kakek?"
"Jalan satu-satunya... mengambil kembali
potongan pedang satunya lagi yang berada di
tangan Sangga Rantek."
Entah mengapa Winarsih merasa tidak enak
mendengar ucapan itu. "Hhh! Sudah capek-capek
datang ke sini, eh ternyata justru tak mendapatkan
hasil apa-apa. Kalau tahu begitu, aku langsung saja
merebut potongan pedang satunya lagi, yang berupa
Pedang Buntung dan sekarang berada di tangan
Sangga Rantek," kata gadis itu dalam hati. Di kejap
lain dia segera menyambung, "Ah, aku paham apa
maksud Guru sebenarnya. Tentunya Guru mencoba
untuk menyelamatkan jiwaku. Karena bila potongan
pedang ini terus menerus berada di tanganku, sudah
tentu orang-orang serakah itu akan terus
memburuku. Tetapi, mengapa tidak sejak dulu Guru
menyerahkan saja potongan pedang itu pada
Panembahan Agung?"
Di depan, Panembahan Agung sedang usap-usap
jenggot putihnya. Potongan pedang perak itu telah
terbungkus rapi kembali.
"Anakku... dua potongan pedang perak ini
sebenarnya sudah berpuluh tahun berada di
tanganku. Warisan dari seorang guruku dan juga
Guru dari gurumu yang bernama Eyang Mega
Tantra. Entah apa yang tersembunyi pada tempat
yang tergambar pada rangkaian titik yang ada pada
dua potongan pedang perak ini. Saat itu, aku berusia
sekitar tujuh belas tahun sementara gurumu berusia
sekitar lima belas tahun. Kendati hati kami
penasaran ingin mengetahui, tetapi kami tak ingin
menunjukkannya. Apalagi Eyang Mega Tantra tak
mengizinkan kami untuk bertanya kecuali
menyimpannya."
Penembahan Agung terdiam. Pandangannya
memandang jauh ke depan. Lalu melanjutkan, "Pada
Suatu malam, entah bagaimana mulanya, kami tak
melihat lagi Eyang Mega Tantra di tempat
bersemadinya. Saat itu kami berpikir, kalau Eyang
Mega Tantra sedang melakukan satu perjalanan.
Namun sampai lima tahun berlalu, Eyang Mega
Tantra tak pernah muncul. Dan dalam waktu lima
tahun itu, telah banyak para tokoh sesat yang
menghendaki dua potongan pedang perak ini.
Sudah tentu karena amanat, aku dan gurumu tak
memberikan. Berulangkali kami harus bertarung
mempertahankan dua potongan pedang itu. Hingga
kemudian, karena Eyang Mega Tantra tak kembali
lagi, kami memutuskan untuk meninggalkan
perguruan."
"Lalu apa yang Kakek dan Guru lakukan?"
Panembahan Agung tersenyum. "Kau seharusnya
memanggilku dengan sebutan Guru juga. Tetapi aku
menyukai kau memanggilku Kakek." Lalu
dilanjutkan lagi ceritanya, "Kami terus melangkah
dengan menghadapi segala macam halang rintang
terutama dari orang-orang yang menginginkan dua
potongan pedang ini. Kami memang selalu berhasil
mengatasi setiap masalah kendati aku atau gurumu
harus menerimanya dengan tubuh penuh luka. Lima
tahun pun berlalu dan kami tetap tak menemukan di
mana Eyang Mega Tantra berada. Akhirnya
kuputuskan untuk berpisah. Masing-masing orang
memegang satu potong pedang. Dengan cara
berpisah seperti itu, memang akan sulit bagi orang
untuk mendapatkan dua potongan pedang secara
bersamaan. Setelah tiga puluh tahun kemudian, aku
dan gurumu bertemu kembali. Kami pun berpikir
untuk mengetahui apa sesungguhnya yang tertera
pada kedua potongan pedang itu. Dan yang
tergambar kemudian, adalah sebuah pulau yang
bernama Pulau Hitam...."
"Pulau Hitam?" ulang Winarsih agak tercekat.
"Ya! Pulau Hitam! Sebuah tempat yang
nampaknya cukup jauh bila mengikuti alur
perjalanan dalam titik-titik gambar yang merupakan
petunjuk pada kedua pedang buntung itu."
"Apakah yang ada di Pulau Hitam itu, Kek?"
Panembahan Agung menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak tahu sama sekali. Begitu pula dengan
gurumu. Sebenarnya, kami telah melanggar amanat
dari guru kami, untuk tidak menyatukan potongan
pedang itu. Tetapi sekian puluh tahun kami tak
pernah berjumpa dengan Eyang Mega Tantra.
Sampai kemudian aku berdiam di Pesanggrahan
Bayu Api, sementara gurumu berada di
Pesanggrahan Bayu Air. Dan dia beruntung karena
mendapatkan murid jelita sepertimu. Anakku...."
Winarsih cuma tersenyum saja.
"Bukankah tadi Kakek mengatakan kalau aku se-
arusnya memanggil Guru pada Kakek? Dengan kata
lain, aku juga muridmu, bukan?"
Ganti Panembahan Agung tersenyum.
"Terima kasih bila kau bersedia seperti itu."
"Kek... apakah Kakek masih ingat sambungan dari
titik-titik gabar pada potongan pedang yang dimiliki
Sangga Rontek?"
"Anakku... hal itu sudah berlangsung cukup lama.
Hanya sedikit yang masih kuingat."
"Berarti... bila kedua potongan pedang itu tak
disatukan, kita tak akan mendapatkan petunjuk
yang pasti? Dengan kata lain, kita tak akan pernah
tahu ada rahasia apa di Pulau Hitam, bukan?"
"Begitulah keadaannya. Tetapi kupikir, itu juga
jalan yang terbaik hingga darah tak akan tumpah
dan nyawa tak akan melayang lagi."
Winarsih yang setelah mendengar penuturan
Panembahan Agung dan menjadi penasaran, tak
berani menunjukkan rasa penasarannya. Sebelum
dia membuka mulut, mendadak dia kerutkan kening
tatkala mendengar suara Panembahan Agung, "Sejak
tadi aku sudah tahu kau mencuri dengar percakapan
kami, Anak Muda. Tetapi apakah kau tidak lebih
baik segera masuk secara sopan di tempatku ini?"
Belum lagi Winarsih mengerti apa yang dimaksud
Panembahan Agung, tiba-tiba dilihatnya lelaki tua
bijaksana itu mengangkat tangannya.
Dan entah bagaimana terjadinya, mendadak atap
di sebelah kiri di mana dia duduk bersila, terbuka.
Meluncur satu sosok tubuh disertai teriakan terkejut,
"Waddoouuuwww!!"
Lalu seperti nangka busuk sosok tubuh itu
terhempas ke lantai. Sementara atap yang tadi
terbuka, mendadak tertutup kembali tatkala
Panembahan Agung menurunkan tangannya yang
terangkat.
Seketika terdengar suara Winarsih, "Lagi-lagi kau!!
Apa sih sebenarnya yang kau inginkan?!"
***
9
Pada saat yang bersamaan di sebelah timur
Pesanggrahan Bayu Api, dua sosok tubuh hentikan
langkahnya. Masing-masing orang memandang tak
berkedip pada satu sosok tubuh yang berlari sambil
berteriak-teriak ketakutan, "Setaaann! Setaaannnn!!"
Lelaki berpakaian serba hitam yang rambutnya di-
kuncir kuda merandek dingin.
"Kau tahu apa yang dialami lelaki bercambang
itu?" desisnya pada perempuan berjubah dan
berkerudung merah yang berdiri di sebelah kirinya.
Si perempuan yang tak lain Iblis Rambut Emas
adanya mendengus.
"Mengapa kau tak tanyakan sendiri, hah?!"
Lelaki berkuncir yang bukan lain Sangga Rantek
adanya menggeram dingin. Lalu dengan satu
lompatan ringan tangan kanannya telah
mencengkeram bahu lelaki bercambang bawuk yang
ternyata Kasma Matur.
Kontan Kasma Matur berteriak-teriak makin
ketakutan.
"Lepaskan! Lepaskan!! Ampuuuunnn! Jangan
makan saya! Jangan bunuh saya!!"
Menggeram Sangga Rantek, "Diaaamm! Jangan
berlaku bodoh di hadapanku!!"
Kasma Matur yang makin ciut hatinya semakin
menjadi-jadi berteriak. Hal itu membuat Sangga
Rantek menjadi geram. Hampir saja dia turunkan
tangan bila Iblis Rambut Emas tidak menahan.
Gusar bukan buatan lelaki kejam itu, "Apa
maksudmu, hah?!"
"Tahan sedikit amarahmu! Aku menangkap
sesuatu dari sikap lelaki itu! Usahakan agar dia
tenang!!"
Dengan hati mangkel, Sangga Rantek melempar
tubuh Kasma Matur yang langsung terjerembab ke
tanah.
Buukkk!!
Wajahnya kontan mencium tanah. Dengan kaki
kanan Iblis Rambut Emas membalikkan tubuh
Kasma Matur yang terlentang tak berani membuka
mata. Napas lelaki bercambang bawuk itu naik
turun dengan cepat.
"Tenanglah sedikit! Kami orang baik-baik!
Katakan... apa yang telah terjadi...."
Kendati mendengar suara orang, Kasma Matur
belum berani membuka matanya. Bahkan mulutnya
semakin dirapatkan.
Sangga Rantek mendengus, "Tinggalkan dia bila
kau masih mau bergabung denganku untuk
membunuh Pendekar Slebor!!"
Iblis Rambut Emas langsung palingkan kepala.
Pandangan perempuan berjubah merah ini tajam
menusuk, tanda dia tak suka mendengar ucapan
orang. Dan sesungguhnya dia memang tidak
menyukai Sangga Rantek. Hanya karena dia tak mau
rencananya gagal, makanya dia terus mengikuti
Sangga Rantek.
Tanpa sahuti ucapan Sangga Rantek, Iblis Rambut
Emas kembali menatap Kasma Matur yang tetap
memejamkan matanya. Lalu dengan suara dibuat
lembut, dia berkata, "Katakan pada kami, apa yang
telah terjadi?"
Lagi-lagi Kasma Matur tak berani membuka
mulut.
Iblis Rambut Emas yang yakin kalau ada sesuatu
yang telah dialami oleh lelaki bercambang bawuk ini
mencoba untuk bersabar kendati hatinya sudah tak
dapat bersabar.
Sesungguhnya saat berlari bersama Sangga Rantek
dia juga sudah tak bisa menahan sabar untuk segera
membunuh lelaki berpakaian serba hitam itu. Paling
tidak, ini adalah kesempatannya untuk
mendapatkan Pedang Buntung yang ada pada
Sangga Rantek.
Namun dia masih menahan diri karena dia
menginginkan sekali kayuh dua pulau terlampaui.
Setelah berhasil mendapatkan potongan pedang
yang diyakininya ada pada Pendekar Slebor, barulah
dia merebut Pedang Buntung lainnya sekaligus
membunuh lelaki berkuncir kuda ini.
Sementara itu, merasa tak mendengar lagi suara
orang, Kasma Matur perlahan-lahan membuka
matanya. Yang pertama kali dilihat adalah wajah
jelita Iblis Rambut Emas. Sejenak lelaki ini ternganga
dengan sorot mata tak berkedip. Namun begitu
melihat wajah Sangga Rantek, kontan dia menjerit
dan bangkit terbirit-birit,
"Setaaaannnn!!"
Tetapi Iblis Rambut Emas sudah menahan kerah
bajunya, sementara Kasma Matur masih terus berlari
sekuat tenaga. Tatkala disadarinya kalau dia hanya
lari di tempat, melengak lelaki bercambang bawuk
ini menoleh ke belakang. Dan....
Duukkk!!
Tangan kanan Iblis Rambut Emas sudah
menghantam dadanya hingga lelaki itu tersuruk ke
belakang. Bila saja Iblis Rambut Emas menghendaki,
saat itu juga Kasma Matur sudah terkapar menjadi
mayat.
"Jangan bertingkah lagi di hadapan kami!!"
menggelegar suara perempuan berkerudung merah.
Kejelitaan wajahnya seketika lenyap. "Katakan! Apa
yang terjadi?!"
Tersentak mendengar kerasnya suara orang,
terburu-buru Kasma Matur menceritakan apa yang
terjadi. Saat bercerita, terkadang wajahnya begitu
serius, sombong, congkak, dan ketakutan.
Masing-masing orang yang mendengar secara tak
sengaja berpandangan.
"Pesanggrahan Bayu Api...," desis Iblis Rambut
Emas. Lalu segera ajukan tanya, "Di mana tempat itu
berada?"
"Oh! Jangan! Jangan kalian ke sana! Ada setan
gentayangan yang mengganggu!!" seru Kasma
Matur dengan wajah pias. Terkenang kembali
bagaimana setan hitam mempermainkannya. Dan
dia bersyukur karena setan itu tidak mencekik
lehernya.
"Kami tak peduli! Di mana tempat itu?"
"Jangan! Jangan! Kalian akan menyesal! Kalian
akan menyesal!! Kalian akan...."
Plak!
Kata-kata Kasma Matur terputus karena tangan
kiri Sangga Rantek sudah menamparnya.
"Jangan bertele-tele! Di mana tempat itu berada?!!"
Sadarlah Kasma Matur kalau dia seharusnya lebih
takut pada kedua orang ini ketimbang setan hitam
yang dilihatnya. Sambil menahan sakit pada pipi
kirinya, terbata-bata Kasma Matur berkata, "Kalian...
kalian... terus saja berjalan.... Jangan berbelok-belok
sedikit pun juga.."
"Bagus! Sekarang katakan, siapa yang telah
memerintahkanmu untuk menjarah harta
Panembahan Agung?!" seru Sangga Rantek dengan
sorot mata tajam.
Sementara itu Iblis Rambut Emas langsung
palingkan kepalanya pada lelaki berhidung bengkok
itu. "Apa yang dimaksudnya? Mengapa dia
menduga ada orang yang menyuruh lelaki dan
kedua temannya ini menjarah tempat Panembahan
Agung?"
Kasma Matur sendiri merasa lebih baik menjawab,
"Aku... aku tidak tahu siapa namanya.... Orangnya
tinggi kurus... di kepalanya ada sorban warna
kuning...."
Sangga Rantek nampak terdiam dengan kening
dikernyitkan. Di lain pihak Iblis Rambut Emas
membatin, "Gila! Hebat juga lelaki keparat ini, bisa
tahu kalau Kasma Matur dan kedua rekannya yang
telah melarikan diri lebih dulu diperintah oleh
orang. Tetapi... siapa orang yang mempunyai ciri
mengenakan sorban di kepala?"
Terdengar suara Sangga Rantek pada Iblis Rambut
Emas, "Apa yang kau pikirkan?"
"Jalan satu-satunya... kita harus ke Pesanggrahan
Bayu Api. Barangkali saja Pendekar Slebor memang
berada di sana."
"Bagaimana dengan lelaki ini?"
"Untuk apa dia dibiarkan hidup?"
Habis kata-katanya, Iblis Rambut Emas langsung
menggerakkan tangan kanannya.
Praaakkk!!
Kepala Kasma Matur langsung pecah dan
sosoknya ambruk setelah keluarkan desisan
tertahan.
"Jangan bertindak gegabah di sana. Ingat,
Pendekar Slebor telah membunuh Pemimpin
Agung," kata Iblis Rambut Emas dengan wajah
serius, padahal dia tertawa dalam hati.
Dilihatnya bagaimana Sangga Rantek mendengus.
Lalu dengan suara merendahkan dia berkata,
"Jangan terlalu percaya akan kepandaian orang
hanya karena julukannya saja. Kalaupun dia berhasil
membunuh Pemimpin Agung tentunya hanya
kebetulan saja. Lain halnya bila aku yang
membunuh." Lalu sambungnya dalam hati,
"Perempuan ini masih tidak tahu kalau akulah yang
telah membunuh Pemimpin Agung."
Kejap berikutnya dia sudah berlari ke arah yang
ditunjuk Kasma Matur.
Iblis Rambut Emas tersenyum penuh arti, lalu
segera menyusul.
***
Cukup jauh agak ke kanan dari tempat di mana
Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas bertemu
dengan Kasma Matur, lelaki berusia sekitar lima
puluh tahun yang di lehernya tergantung kalung
tengkorak itu, menarik napas pendek. Kejap
kemudian meludahi dua sosok mayat yang tak lain
Dirgo Kantas dan Suronto Kakak.
"Orang-orang tak berguna! Bila tak memiliki
kepandaian apa-apa, jangan menjual lagak!!" dengus
orang ini yang tak lain Ki Pasu Suruan.
Setelah menguburkan mayat Ki Pancen Dadap,
salah seorang dari Dua Manusia Goa Setan ini tak
mau membuang waktu untuk berdiam lebih lama.
Dengan membawa dendam tinggi dan kemarahan
yang alang kepalang, Ki Pasu Suruan segera
memburu Pendekar Slebor.
Namun hingga hari ini, dia belum berhasil
menemukan jejak Pendekar Slebor. Dan selagi dia
berhenti melangkah, dilihatnya dua sosok tubuh
sedang berlari. Dari mulut masing-masing orang
terdengar suara yang mengisyaratkan kalau mereka
sedang merasa lega dan beruntung karena telah
terhindar dari sesuatu yang menakutkan.
Karena berharap kedua orang itu dapat dijadikan
sebagai tempat bertanya tentang Pendekar Slebor,
lelaki bengis ini segera menghadang. Sudah tentu
Dirgo Kantas dan Suronto Kakak terkejut. Terlebih
lagi tatkala orang di hadapannya menanyakan
sesuatu yang tak bisa mereka jawab.
Dan itu merupakan kesalahan yang sangat fatal.
Karena begitu masing-masing orang mengatakan
tidak tahu, Ki Pasu Suruan sudah berkelebat cepat.
Tangan kanannya bergerak dua kali dalam waktu
yang hampir bersamaan.
Menyusul ambruknya masing-masing orang
dengan kepala pecah.
"Hhh! Siapa pun orangnya yang tak bisa
memberikan jawaban di mana Pendekar Slebor
berada dia akan mampus di tanganku!" dengus Ki
Pasu Suruan geram.
Lalu diarahkan pandangannya ke kejauhan. Yang
nampak hanya kegelapan semata. Di langit awan-
awan hitam seolah tak mau bergerak dan terus
berupaya memadamkan sinar Ratu Malam.
Sementara udara semakin bertambah dingin.
"Bermula urusan kedua potongan pedang yang
ingin kudapatkan. Aku telah tiba di Pesanggrahan
Bayu Air. Tetapi yang kutemukan hanyalah mayat
Pemimpin Agung. Entah siapa yang telah
membunuhnya. Kurang ajar! Sudah tentu
pembunuh itu telah mendapatkan dua potongan
pedang berisikan rangkaian titik gambar sebagai
patokan menuju Pulau Hitam."
Sesaat lelaki ini terdiam sebelum melanjutkan,
"Urusan masa lalu Guru yang berusaha untuk
mendapatkan dua potongan pedang itu selalu gagal.
Bahkan dia harus tewas di tangan Panembahan
Agung dan Pemimpin Agung. Dan aku harus
melanjutkan cita-cita Guru untuk mendapatkan dua
potongan pedang itu. Aku harus tahu apa yang
tersimpan di Pulau Hitam. Tetapi... justru nyawa
Pancen Dadap yang harus melayang di tangan
Pendekar Slebor! Jahanam terkutuk! Pemuda itu
harus mampus di tanganku!!"
Mendadak saja lelaki ini mendorong tangan
kanannya ke depan.
Wusss!!
Menghampar satu gelombang angin yang
timbulkan suara bergemuruh.
Blaaarrr!!
Tanah yang terhantam langsung rengkah dan
bermuncratan di udara.
Di tempatnya Ki Pasu Suruan menggeram dengan
dada naik turun. Wajah kejamnya menekuk dengan
kemarahan yang telah menggunung.
"Pemuda keparat itu harus mampus! Dia harus
mampus! Peduli setan aku mendapatkan atau tidak
dua potongan pedang perak yang berada padanya!!"
Kembali lelaki berkalung tengkorak ini
lampiaskan kemarahannya dengan melepaskan
pukulan jarak jauhnya berulang kali. Hingga
sambung menyambung suara letupan dan tanah
terbongkar terjadi.
Tubuh salah seorang dari Dua Manusia Goa Setan
ini menggigil dengan kedua tangan bergetar.
"Pesanggrahan Bayu Air... ya, ya... di sanalah
Pemimpin Agung tinggal! Dan Pesanggarahan Bayu
Api... di sanalah Penambahan Agung menetap!
Lebih baik... aku menuju ke sana! Mudah-mudahan
Pendekar Slebor berada di sana! Jahanam sial!
Rupanya pendekar yang dipuja banyak orang
karena sepak terjangnya, justru tak jauh berbeda
denganku! Dengan orang-orang golongan sesat
lainnya! Hhh! Beruntung aku mendengar kabar
kalau pemuda dari Lembah Kutukan itulah yang
memiliki dua potongan pedang perak!!"
Habis menggeram sekali lagi, dengan wajah yang
menyiratkan dendam setinggi gunung, lelaki
berpakaian kuning-kuning ini segera melesat
meninggalkan tempat itu.
Bertepatan terdengar kokok ayam jantan di
kejauhan, tanda kehidupan awal hari dimulai
kembali.
***
10
Orang yang jatuh dari atap itu bangkit perlahan-
Iahan. Bukannya menunjukkan tanda kesakitan, dia
justru cengar-cengir saja. Bahkan mengangkat
tangan kanannya ke kening pada Winarsih yang
sebelumnya membentak tadi.
"Waduh! Maaf, nih! Caraku tidak sopan! Habisnya
aku penasaran! Lagi pula, siapa yang menyangka
kalau kehadiranku akan diketahui?!"
Winarsih yang belum bisa memutuskan apakah
pemuda berpakaian hijau pupus yang sedang
nyengir di hadapannya kawan atau lawan, sudah
keluarkan bentakan kembali, "Andika! Jangan
memaksaku untuk menurunkan tangan!"
"Wah! Kau masih menduga jelek saja kepadaku?
Kan tadi aku sudah berterus terang, aku penasaran.
Tak ada maksud jelek apa pun! Percaya deh!"
Sebelum Winarsih membuka mulut, Panembahan
Agung sudah berkata, "Selamat datang di tempatku
ini, Pendekar Slebor. Sungguh tak pernah kusangka
kalau pagi ini aku dikunjungi pendekar muda yang
banyak dibicarakan orang...."
Andika segera rangkapkan kedua tangannya di
depan dada. Lalu bersuara sopan, "Rasanya... aku
tidak enak mendengar pernyataanmu tadi, Orang
tua. Terimalah rasa hormatku kepadamu...."
Sementara Panembahan Agung mengusap-usap
jenggotnya dengan kepala agak mengangguk
angguk, Winarsih justru kerutkan kening.
Pandangannya tak berkedip pada sosok pemuda
berpakaian hijau pupus yang masih rangkapkan
kedua tangan di depan dada.
"Pendekar Slebor? Oh! Benarkah dia Pendekar
Slebor... yang pernah beberapa kali diceritakan
Guru? Ya, ampun! Kalau begitu aku benar-benar
salah menduga!"
Merasa tidak enak dengan sikapnya sendiri
setelah mengetahui siapa adanya pemuda itu,
Winarsih buru-buru berkata, "Andika... mengapa
kau tak mengatakan kalau engkaulah Pendekar
Slebor?"
Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal.
"Bukannya aku tidak mau! Tetapi nanti kau malah
ketawa setelah mendengar julukanku! Eh! Percaya
deh! Aku tidak slebor lho! Cuma sedikit doang!"
Winarsih tak hiraukan selorohan anak muda
tampan itu, dia masih memandang tak berkedip
pada Andika. Kemudian katanya lagi, "Maafkan
segala sikapku selama ini...."
"Wah! Kok kau jadi serius begitu? Aku mengerti
mengapa kau bersikap demikian! Itu wajar! Karena
siapa pun berhak memiliki rasa curiga pada
seseorang! Apalagi dalam keadaan semrawut kayak
begini? Ngomong-ngomong... apa pembicaraan ini
sudah selesai?"
Panembahan Agung tersenyum.
Andika nyengir sambil duduk bersila, demikian
pula Winarsih. Sesungguhnya, Andika memang
sengaja tidak meninggalkan tempat itu setelah diusir
oleh Winarsih. Karena selain ingin mengetahui lebih
lanjut tentang dua potongan pedang yang
diperebutkan banyak orang, dia juga hendak
mengatakan tentang kehadiran orang bersorban
kuningyang telah memerintahkan tiga lelaki
berpakaian hitam gombrang untuk menjarah harta
Panembahan Agung.
Anak muda ini berkeyakinan kalau ada urusan
lain yang harus dihadapinya selain urusan dua
pedang buntung perak. Diam-diam anak muda ini
berguna akan kesaktian Penembahan Agung yang
mengetahuinya berada di atap. Padahal dia sudah
kerahkan ilmu peringan tubuhnya.
Lalu dengan sopan dia berkata, "Panembahan
Agung.... Senang hatiku berjumpa denganmu "
Panembahan Agung tersenyum.
"Kupikir, orang yang berjuluk Pendekar Slebor
akan tetap slebor selamanya. Tetapi kau ternyata
bisa juga bersikap sopan."
Kendati cengirannya makin lebar, tetapi Andika
mendengus dalam hati. Sementara Winarsih masih
memandang separo tak percaya pada anak muda itu.
Lalu didengarnya kembali kata-kata Pendekar
Slebor, "Orang tua Agung... ada sedikit yang hendak
kuceritakan padamu."
"Tentang apa?"
Lalu Andika segera menceritakan tentang tiga
lelaki berpakaian hitam gombrang yang diperintah
oleh seorang lelaki tua bersorban kuning.
"Orang tua... bukan maksudku lancang untuk
campuri urusan yang ada. Tetapi aku sungguh
penasaran ingin mengetahui siapa orang bersorban
kuning itu...," kata Andika di akhir ceritanya.
Panembahan Agung kembali mengusap-usap
jenggotnya. Wajahnya tadi sedikit melengak tanda
dia terkejut mendengar cerita Andika. Sedangkan
Gadis Kayangan hanya mendengarkan saja.
Panembahan Agung berkata, "Dewa Lautan
Timur.... Hmm... nampaknya urusan masa lalu
memang tak bisa ditutupi lagi. Rupanya dia masih
mendendam padaku...."
Sejenak Andika terdiam sebelum berkata, "Kalau
boleh aku tahu, siapakah orang berjuluk Dewa
Lautan Timur itu, Orang Tua?"
Panembahan Agung mengangguk-angguk.
"Dia adalah orang kuat yang menguasai lautan
sebelah timur. Orang kejam yang sejak dulu
menginginkan nyawaku. Bukan karena persoalan
dua potongan pedang perak yang diwarisi oleh
Eyang Mega Tantra. Melainkan urusan... Laksmi
Harum...."
"Busyet! Laksmi Harum? Nampaknya urusan
perempuan nih!" desis Andika dalam hati tanpa
membuka mulut.
Lalu didengarnya cerita Panembahan Agung.
Setelah berpisah dengan Pemimpin Agung dan
masing-masing membawa sepotong potongan
pedang perak. Panembahan Agung terus bergerak
ke arah timur. Dia yakin kalau orang-orang yang
menginginkan dua potong potongan perak itu akan
terus mengejarnya.
Beberapa hari melingkari daerah timur,
Panembahan Agung tiba di sebuah dusun yang
permai. Dan dia merasa di dusun itulah tempat yang
dapat dijadikan sebagai persembunyiannya
Karena tindak-tanduknya yang sopan, akhirnya
Panembahan Agung tinggal bersama seorang duda
kaya sebagai tukang memandikan kuda. Orang kaya
yang dipanggil dengan sebutan hormat. Juragan
Malayang, memiliki seorang putri yang berparas
jelita dan bernama Laksmi Harum.
Panembahan Agung yang sebenarnya bernama
Purwacaraka, pun mau tak mau akhirnya akrab
dengan Laksmi Harum. Apalagi setiap senja, dia
selalu menemani Laksmi Harum berjalan-jalan
dengan menunggang kuda Namun Purwacaraka
tetap bertahan agar dia tidak jatuh tinta pada Laksmi
Harum.
Pada suatu pagi yang cerah, seorang pemuda
bernama Dandang Gumilar datang dan bermaksud
melamar Laksmi Harum sebagai istrinya. Juragan
Malayang yang mengenal sepak terjang jelek
pemuda itu menolak mentah-mentah lamarannya.
Namun Dandang Gumilar adalah orang yang
gigih, hampir setiap hari dia datang untuk melamar
Laksmi Harum. Sikapnya itu justru membuat
Juragan Malayang semakin membencinya. Bila saja
dia mengenal Dandan Gumilar sebagai pemuda
baik-baik. mungkin lamaran itu akan
dipertimbangkan.
Selelah dua bulan datang terus menerus namun
hasil yang diharapkan tak tercapai, Dandang
Gumilar menjadi gusar. Dia segera menghimpun
teman-temannya untuk menculik Laksmi Harum.
Namun dengan bantuan Purwacaraka, sepuluh
orang termasuk Dandang Gumilar yang berniat
busuk dapat diporak-porandakan. Bahkan Dandang
Gumilar sendiri terluka parah.
Berkat bantuannya itulah akhirnya Juragan
Malayang menjodohkan putrinya dengan
Purwacaraka. Di samping itu, Juragan Malayang
juga yakin akan sifat dan tabiat baik yang dimiliki
Purwacaraka. Laksmi Harum yang diam-diam
memang mencintai anak muda gagah itu, sudah
tentu tak menolak kendati saat itu dia malu-malu.
Akan tetapi, justru Purwacaraka yang menolak,
karena dia berpikir urusan dua potong pedang
perak masih belum terselesaikan. Apalagi hingga
saat ini, dia belum bertemu dengan Eyang Mega
Tantra.
Namun Juragan Malayang terus mendesaknya,
apalagi dia tahu kalau putrinya mencintai
Purwacaraka dan akan menjadi nelangsa bila
pemuda itu menolaknya.
Hati Purwacaraka saat itu menjadi galau. Diam-
diam dia menyusun rencana untuk meninggalkan
tempat itu. Namun sedikit banyaknya dia
mengkhawatirkan bila Dandang Gumilar akan
datang kembali untuk menuntaskan segala dendam
dan amarahnya.
Setelah mempertimbangkan semuanya secara
rinci, Purwacaraka akhirnya menyetujui untuk
menikahi Laksmi Harum.
Pernikahan yang tak terlalu meriah pun
dilangsungkan. Kendati sudah menjadi menantu
orang kaya, Purwacaraka tetap rajin memandikan
kuda.
Setelah lima tahun berlalu, sesuatu yang cukup
lama dikhawatirkannya pun terjadi. Suatu malam
mereka digemparkan dengan munculnya seorang
lelaki berpakaian kuning terang dengan
mengenakan sorban kuning. Bila tak mengingat
wajah Dandang Gumilar, tak seorang pun yang akan
mengenal orang itu.
Dia adalah Dandang Gumilar atau yang sekarang
menjuluki dirinya Dewa Lautan Timur. Rupanya,
lelaki itu masih mendendam pada Purwacaraka.
Dan dia berhasil berguru pada seorang lelaki tua
sesat berjuluk Iblis Samudera.
Purwacaraka yang saat itu telah memiliki seorang
putra, harus berjuang mati-matian menghadapi
keganasan Dewa Lautan Timur. Berkat kegigihan
dan kepandaiannya, dia masih mampu menandingi
Dewa Lautan Timur.
Namun yang tak disangka, karena mendadak saja
sepuluh lelaki berpakaian kuning-kuning dengan
parang di tangan menyerbu masuk laksana air bah.
Bukan hanya para pengawal Juragan Malayang yang
tewas, beberapa orang penduduk yang membantu
pun tewas pula.
Melihat keadaan itu Purwacaraka menjadi cemas
tatkala memikirkan nasib istri dan putranya.
Ditinggalkannya Dewa Lautan Timur yang
sebenarnya saat itu dapat dihabisi. Dengan lepaskan
jotosan hingga dua orang lelaki berpakaian kuning-
kuning tewas dengan kepala pecah, Purwacaraka
berhasil mencapai kamar di mana istri dan anaknya
yang berusia tiga tahun berada. Dan saat itulah dia
tahu kalau Juragan Malayang telah tewas.
Terburu-buru Purwacaraka berusaha untuk
menyelamatkan anak dan istrinya. Namun baru saja
mereka keluar dari kamar, lima orang berpakaian
kuning-kuning dengan ujung parang bersimbah
darah telah mengurung. Menyusul masuknya
Dandang Gumilar sambil tertawa-tawa.
Dalam ruangan yang terbatas di samping juga
harus menyelamatkan anak dan istrinya,
Purwacaraka harus berkerja keras menghadapi
orang-orang ganas itu.
Namun malang tak dapat ditolak. Istrinya tewas
setelah kepalanya dihajar Dewa Lautan Timur.
Begitu pula dengan putranya yang langsung tewas
hanya sekali banting.
Meradang Purwacaraka. Lelaki itu telah berubah
menjadi ganas karena melihat nasib anak dan
istrinya. Lima orang lelaki berpakaian kuning-
kuning tewas dengan dada membiru. Sementara dia
sendiri berhasil membuat Dandang Gumilar lari
kocar-kacir. Kendati demikian, yang sangat
menyakitkannya adalah tawa mengejek Dewa
Lautan Timur yang telah berhasil membunuh anak
dan istrinya.
Purwacaraka tak bermaksud mengejar orang itu.
Dengan hati hancur dia mendekati mayat anak dan
istrinya. Lalu dengan bantuan para penduduk, dia
menguburkan mayat-mayat itu.
Kemarahan dan dendamnya pada Dewa Lautan
Timur meraja dan membuatnya tak bisa tidur siang
dan malam. Yang dipikirkannya hanyalah membalas
kematian orang-orang yang disayanginya. Namun
Purwacaraka yang memiliki hati lembut dan
bijaksana, dengan cara terus menerus bersemadi,
akhirnya dia dapat melupakan dendamnya pada
Dewa Lautan Timur. Lalu diputuskan untuk
meneruskan perjalanannya mencari Eyang Mega
Tantra.
Sampai beberapa tahun kemudian dia berjumpa
kembali dengan adik seperguruannya yang dijuluki
orang sebagai Pemimpin Agung, sementara dia
sendiri mendapat julukan Panembahan Agung.
Di ruangan yang besar itu, tak ada yang keluarkan
suara sampai Panembahan Agung benar-benar
mengakhiri ceritanya.
"Dan yang tak pernah kusangka... kalau Dewa
Lautan Timur masih mendendam dan mencariku"
Andika menarik napas pendek.
"Orang tua... lalu dengan maksud apa Dewa
Lautan Timur menyuruh tiga lelaki berpakaian
hitam gombrang menjarah harta milikmu?"
Panembahan Agung tersenyum.
"Tak ada harta yang kumiliki selain nyawaku saja.
Aku tidak bisa memberikan jawaban yang pasti...."
Sementara Gadis Kayangan yang tak menyangka
masa lalu Panembahan Agung cukup menyedihkan,
nampak berpikir. Jelas terlihat dari keningnya yang
berkerut.
Beberapa tarikan napas kemudian Andika berkata,
"Apakah tak mungkin dia bermaksud menyelidiki
dulu keadaanmu?"
"Aku tidak tahu."
Pertanyaan yang diajukannya justru dijawabnya
sendiri dalam hati, "Menilik cerita Panembahan
Agung tadi, nampaknya tak mungkin kalau Dewa
Lautan Timur menyelidik dulu atau mengirim ketiga
lelaki itu lebih dulu sebelum menyerang. Dia
mempunyai kebiasaan menyerang langsung.
Lantas... ada apa ini? Atau jangan-jangan... dia
sengaja mengirim ketiga lelaki itu, karena ada
urusan lain yang harus dikerjakannya? Tetapi
urusan apa?"
Beberapa saat keadaan cukup hening. Tak seorang
pun yang membuka suara. Sinar matahari semakin
menerobos celah-celah atap Pesanggrahan Bayu Api.
Dalam keheningan seperti itu, mendadak
terdengar suara, "Rupanya ada tamu yang datang ke
tempatku ini. Maaf bila aku terlambat menyambut
kalian...."
Serentak masing-masing orang arahkan
pandangan ke ambang pintu. Kejap kemudian
terdengar seruan tertahan Winarsih,
"Oh!!"
Sementara Andika berulang kali memandang
bergantian pada orang yang baru datang dan
Panembahan Agung. Sepasang mata anak muda ini
terbeliak lebar tak percaya memandang pada orang
yang baru datang.
Sosok lelaki tua dengan rambut, kumis, dan
jenggot yang memutih. Mengenakan pakaian putih
panjang dengan sulaman angin dan api berwarna
biru dan merah. Pancaran matanya begitu teduh
sekali.
Orang itu... berwajah mirip dengan Panembahan Agung!
SELESAI
PENDEKAR SLEBOR
Segera menyusul:
DEWA LAUTAN TIMUR
0 comments:
Posting Komentar