"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 07 Agustus 2025

KAR SLEBOR EPISODE PEDANG BUNTUNG

Pedang Buntung

 


PEDANG BUNTUNG

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Slebor 

dalam episode: 

Pedang Buntung 

112 hal.


1


Perjalanan waktu memang tak dapat dihindari 

dalam kehidupan ini. Kendati bergeraknya terasa 

sangat lambat, namun tanpa disadari waktu dapat 

bergerak laksana meteor, hingga terkadang kita tak 

menyadari betapa waktu telah membuat kita 

terkubur dalam hari-hari penuh kesia-siaan.

Alam kembali dinaungi keindahan memukau. 

Sang raja siang telah tebarkan sinar merahnya ke 

seluruh persada sejak dua penanakan nasi lalu. 

Mayapada cerah dengan tautan awan putih bagai 

menghiasi dinding langit dengan taburkan sejuta 

pesona yang sukar untuk ditepiskan. Burung-

burung beterbangan menyambut pagi, diiringi 

kicauan riangnya.

Di satu tempat yang dipenuhi pepohonan, 

nampak sebuah sungai yang airnya mengalir jernih 

dan tak begitu deras. Di tengah-tengah sungai itu 

terdapat beberapa buah batu yang menonjol. Dan di 

sekitar sungai itu banyak ditumbuhi ranggasan liar 

semak belukar serta beberapa buah pohon.

Dalam pesona keindahan itu, mendadak saja 

sebuah kepala menyembul keluar dari dalam sungai.

Byuuurrr!!

"Hiiiii!! Dingin!!"

Lalu dengan konyolnya kepala itu langsung 

masuk kembali ke air tanpa perhatikan kiri 

kanannya. Begitu seterusnya sampai tiga kali,

sebelum kemudian pemilik kepala yang ternyata 

seorang pemuda itu mengusap rambut gondrongnya 

ke belakang.

Wajah anak muda ini tampan dengan sorot mata 

Jenaka. Sepasang alisnya hitam legam dan menukik 

laksana kepakan sayap elang.

Dan tiba-tiba saja anak muda ini celingukan 

sebentar. Lalu buru-buru naik ke tepi sungai. Begitu 

kedua kakinya menginjak tepian sungai itu, dengan 

tingkah konyol anak muda ini langsung melompat 

lagi ke sungai itu.

"Assyiikkkk!!"

Byuuurrr!!

Muncrat air sungai begitu tubuhnya masuk.

Nah, nah, siapa lagi yang punya tingkah konyol 

kayak begitu kalau bukan si Urakan dari Lembah 

Kutukan? Pemuda itu memang pendekar kita yang 

bau tubuhnya sudah dua belas rupa hingga begitu 

menemukan sungai yang berair jernih, seperti orang 

yang terdampar di padang tandus segera membuka 

pakaian dan menyeburkan diri. Lalu dengan 

noraknya dia berenang, merendam dan menyelam 

dengan sesekali berteriak seperti anak kecil.

Begitu kepala si urakan ini muncul kembali, 

langsung digeleng-gelengkan hingga air yang 

menempel pada wajah dan rambutnya berlompatan.

"Asyik syekalleee!!”

Sambil bernyanyi-nyanyi yang tidak ketahuan 

irama dan syairnya, Andika berenang-renang ke 

sana kemari. Lalu menyelam cukup lama.

Tatkala kepalanya disembulkan kembali dari air 

sungai itu, tiba-tiba didengarnya suara perempuan 

menjerit, "Iiiihhhh!!"

Kontan anak muda dari Lembah Kutukan ini 

terkesiap kaget. Kejap itu pula dia langsung 

menyelam kembali. Lalu masih dengan wajah kaget, 

hati-hati disembulkan kepalanya hingga leher. 

Dilihatnya seorang gadis berpakaian biru muda 

sedang berdiri dengan kedua tangan menutupi 

wajahnya. Namun tidak membalikkan tubuh.

"Monyet pitak! Kapan datangnya gadis itu? Bikin 

kesenanganku terganggu saja! Brengsek! Eh, kenapa 

dia tidak, membalikkan tubuh sih?" kata Andika 

dalam hati. Lalu berseru, "Hooiiii! Menghadap ke 

sana! Aku mau pakaian!!"

Tetapi gadis itu justru tetap pada kedudukannya 

berdiri. Malah Andika melihat bibir gadis itu 

menyeringai dan jari jemari yang menutupi 

penglihatannya agak melonggar.

"Eh, brengsek betul!" dengus Andika dan berseru 

lagi, "Hoooiiii! Menghadap ke sana!!"

Gadis berkepang dua itu perlahan-lahan segera 

balikkan tubuh. Andika sendiri segera melompat 

dari dalam sungai dan kembali mengenakan pakaian 

yang diletakkannya di balik ranggasan semak 

belukar. Kain bercorak catur pun menghiasi 

lehernya. Setelah berpakaian pemuda urakan ini 

segera keluar kembali dengan hati agak mangkel 

karena merasa dipermainkan gadis berbaju biru tadi.

Tetapi niatnya itu langsung putus begitu tak 

melihat lagi gadis yang menggodanya berada di

sana. Sejenak kening anak muda ini berkerut. Sambil 

garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal dia berkata, 

"Busyet! Ke mana dia? Kok cepat amat menghilang? 

Hiii... jangan-jangan dia bukan manusia! Tetapi 

salah satu penunggu hutan ini! Celaka sepuluh 

setengah! Kabur, ah!!"

Tetapi sebelum Andika putar tubuh, terdengar 

satu seruan dari atas sebuah pohon, "Heiii! Kau mau 

ke mana, hah?!"

Lagi Andika segera balikkan tubuh. Kepalanya 

agak didongakkan ke atas. Cukup lama dia 

pandangi gadis itu sebelum buka mulut, "Aku mau 

ke mana bukan urusanmu, kan?! Kau telah 

mengganggu keasyikanku mandi! Ngomong-

ngomong... kau ini sebangsa monyet atau setan 

gentayangan sih?"

"Sembarangan ngomong!!" balas si gadis sewot. 

"Tadi kupikir, kau ini penunggu sungai itu!!"

Sementara Andika nyengir, gadis itu diam-diam 

membatin, "Aku tak boleh terlalu percaya pada siapa 

pun yang kujumpai. Tetapi, aku juga tidak tahu ke 

mana jalan yang harus kutempuh menuju ke 

Pesanggrahan Bayu Api. Dialah satu-satunya orang 

yang tak menampakkan sikap berkeinginan untuk 

menangkapku. Tetapi, bisa jadi pemuda ini hanya 

berpura-pura dan akan membokongku dari 

belakang? Aku harus berhati-hati."

Habis membatin demikian, dengan ringannya 

gadis berpakaian biru muda ini melompat dari 

pohon itu.

Kendati takjub melihat gerakan si gadis, Andika 

tak bisa menahan diri untuk tidak berseloroh, "Benar 

juga nih dugaanku! Kau ini tentunya sebangsa 

kumpulan monyet-monyet, ya?"

"Brengsek!!" seru si gadis melotot, tetapi di dalam 

hati membatin, "Apakah kekonyolan yang 

dimilikinya itu hanya untuk menutupi siapa dirinya 

sebenarnya? Atau... dia memang memiliki sifat 

seperti itu? Waktuku tidak banyak... aku harus 

mengorek keterangan siapa dia sebenarnya."

Sementara itu. Andika sedang nyengir sendirian. 

Dia tengah mengagumi kecantikan yang dimiliki 

gadis yang berdiri sejarak delapan langkah dari 

hadapannya.

Gadis itu memiliki tubuh yang indah dan montok. 

Pakaian biru muda yang dikenakannya memang 

agak ketat, hingga perlihatkan lekuk tubuhnya yang 

menawan. Wajahnya berbentuk bulat telur. 

Hidungnya mancung dengan bibir tipis yang 

memerah indah dan di atas bibir sebelah kanan 

terdapat sebuah tahi lalat yang menambah 

kecantikannya. Sepasang alisnya hitam, dihiasi 

dengan bulu mata lentik dan mata yang cerah 

terbuka. Kecantikannya dilengkapi dengan 

indahnya rambut yang dikepang dua.

Ditatap seperti itu si gadis menjadi jengah. Buru-

buru dia berseru, "Heiii!! Kenapa matamu itu, hah?!"

Andika cuma nyengir. "Kecantikannya begitu 

sempurna sekali. Tetapi dari sorot matanya, aku 

menangkap satu kegelisahan yang amat sangat dan 

berusaha ditutupinya. Hmmm... sebenarnya aku

ingin tahu kegelisahan seperti apa yang sedang 

dialaminya. Tetapi rasanya, tidak enak."

Masih nyengir Andika menyahut, "Biasa deh! 

Mata inii memang tidak pernah makan bangku 

sekolah! O ya! Karena kau tentunya punya urusan 

sendiri begitu juga denganku, kita berpisah di sini! 

Tapi ngomong-ngomong... tadi kamu sempat 

melihat... ah, tidak jadi deh."

Sambil garuk-garuk kepalanya anak muda 

berpakaian hijau pupus itu putar tubuh. Namun 

baru tiga tindak dia bergerak, si gadis berseru, 

'Tunggu!"

Andika segera hentikan langkah dan tolehkan 

kepala. Belum lagi si gadis buka mulut, dia sudah 

berseru mendahului, "Kamu lihat ya, kamu lihat ya?"

Memerah wajah si gadis mendengar selorohan 

konyol itu. Dan saat ajukan tanya suaranya 

terdengar tegas, "Tahukah kau jalan menuju ke 

Pesanggrahan Bayu Api?"

Sejenak Andika kerutkan keningnya. 

"Pesanggrahan Bayu Api? Rasa-rasanya baru kali ini 

aku mendengar. Hmmm... menilik nada suaranya, 

jelas sekali kalau dia terburu-buru. Mungkin karena 

dia berharap aku dapat menjawab pertanyaannya 

maka dia tak segera melanjutkan perjalanannya."

Habis membatin begitu, buru-buru digelengkan 

kepalanya seraya berkata. "Aku tidak bisa menjawab 

pertanyaanmu itu. Kalau boleh aku tahu, mengapa 

kau hendak menuju ke tempat yang namanya 

angker banget?"

"Itu urusanku! Kalau kau tidak tahu ya tidak usah 

banyak tanya!!"

Nyengir anak muda dari Lembah Kutukan ini 

mendengar sahutan si gadis. Sambil garuk-garuk 

kepalanya yang tidak gatal dia berkata, "Kalau kau 

tidak mau menjawab, ya tidak apa-apa! Tapi jangan 

sewot gitu dong! Sudah, ah!! O ya... siapa namamu?"

Kali ini si gadis tak segera membuka mulut. 

Sambil pandangi tak berkedip anak muda di 

hadapannya, dia berkata dalam hati, "Aku masih 

tidak tahu apakah sikap pemuda ini memang benar-

benar tidak tahu siapa aku, atau dia hanya berpura-

pura? Tetapi nampaknya sikap yang diperlihatkan 

waktu kusebutkan Pesanggrahan Bayu Api 

nampaknya biasa-biasa saja dan keterkejutannya 

wajar. Ah, kepalaku jadi pusing sekarang. Karena 

orang jahat pun dapat bersikap manis. Hmmm... 

lebih baik tak kukatakan siapa aku sebenarnya."

Lalu katanya, "Mengapa justru aku yang 

mengatakan lebih dulu, mengapa tidak kau yang 

pertama?"

Andika menyeringai sambil berkata, "Namaku 

Andika, keren nggak? Kalau kau mengatakan tidak 

keren, sungguh keterlaluan!"

Mendengar selorohan itu mau tak mau si gadis 

tersenyum.

"Lumayan juga."

"Nah! Siapa namamu?"

Kembali si gadis terdiam. Sebelum dia membuka 

mulut Andika sudah mendahului, "Nampaknya kau 

ragu-ragu untuk mengatakan namamu, ya? Kalau

begitu... bagaimana bila kau kupanggil dengan 

sebutan Gadis Kayangan? Nah, bagus kan?"

Tersenyum gadis berpakaian biru yang 

sesungguhnya bernama Winarsih itu mendengar 

kata-kata Andika. Apalagi ketika Andika berkata 

lagi, "Wajahmu memang jelita dan rasanya tepat 

sebutan Gadis Kayangan buatmu. Bagaimana? 

Setuju? Bila tidak ya dikembalikan saja ke toko 

sebelah!"

"Benar-benar sulit dimengerti sifat pemuda ini. 

Terkadang dia bersikap serius, tetapi bila sudah 

datang konyolnya minta ampun. Ah... siapakah dia 

sebenarnya? Apakah dia termasuk salah seorang 

dari manusia-manusia celaka yang sedang 

memburuku?"

Selagi si gadis membatin demikian, Andika 

berkata, "Tidak ada lagi yang kau tanyakan, bukan? 

Yuk, ah! Aku pergi dulu! Perutku lapar nih!"

Habis kata-katanya, Pendekar Slebor segera 

melompat meninggalkan tempat itu. Terkesiap 

Winarsih atau yang dijuluki Andika si Gadis 

Kayangan karena tahu-tahu pemuda itu sudah tak 

berada di tempatnya.

"Luar biasa! Gerakannya sungguh begitu cepat

sekali! Jelas kalau pemuda itu bukan orang yang 

dapat dipandang sebelah mata. Tetapi, sayangnya 

aku tidak tahu siapa dia. Apakah dia lawan atau 

kawan, sukar pula kuduga karena sifatnya yang 

nampak konyol begitu. Tetapi biar bagaimanapun 

juga untuk saat ini aku harus berhati-hati dan tak 

boleh bertindak gegabah. Sayang aku tidak tahu

jalan menuju ke Pesanggrahan Bayu Api. Bila aku 

tahu, tak akan aku kebingungan seperti ini. 

Terutama...."

Memutus kata-katanya sendiri, si gadis mendadak 

celingukan. Dari raut wajahnya sekarang, jelas sekali 

dia mencemaskan sesuatu.

"Aku tidak boleh terlambat. Aku harus ke 

Pesanggrahan Bayu Api segera! Bila tidak, 

semuanya akan jadi berantakan. Hmmm... sebaiknya 

kuambil jalan yang berlawanan dengan pemuda itu. 

Siapa tahu dia memang bukan orang baik-baik. Dan 

sekarang sedang bersembunyi di satu tempat untuk 

membokongku."

Memutuskan demikian, gadis berpakaian biru 

muda yang sepertinya menyimpan sesuatu yang 

sangat berat, segera berkelebat ke arah agak 

menyerong dari yang ditempuh Andika.

***

Senja sudah turun ketika Winarsih yang sedang 

menuju ke Pesanggrahan Bayu Api tiba di sebuah 

jalan setapak yang dipenuhi semak belukar dan 

pepohonan. Tatapan gadis ini begitu bersiaga tatkala 

memperhatikan sekelilingnya. Bahkan kedua 

tangannya terkepal tanda dia telah siap bila 

menghadapi sesuatu yang tak menyenangkan.

Lamat-lamat terdengar desahannya.

"Benar-benar celaka! Waktuku tinggal tiga hari 

lagi! Bila tidak, semua akan menjadi kacau! Bila 

benda ini tidak sampai pada Panembahan Agung di

Pesanggrahan Bayu Api, semuanya akan jadi 

berantakan!"

Lagi diedarkan pandangannya berkeliling. Rasa 

cemas dan telah nampak membayang di wajahnya. 

Namun kekerasan hati gadis ini, membuatnya 

berusaha untuk tindih segala cemas dan lelah. 

Karena, tugas telah diemban. Dan dia harus berhasil 

menuju ke Pesanggrahan Bayu Api.

"Sebentar lagi malam akan datang. Aku tak boleh 

berada di tempat terbuka seperti ini."

Memutuskan demikian, Winarsih segera hempos 

tubuhnya lagi. Namun baru saja dia berlari sejarak 

tiga tombak, mendadak saja tangan kanannya 

digerakkan ke samping. 

Wusss!!

Menghampar satu gelombang angin cukup deras 

yang segera menghantam ranggasan semak belukar 

di sampingnya. Disusul dengan makian, "Manusia 

kurang ajar! Mengapa harus mengintip bila ingin 

mampus, hah?!"

Sejenak Winarsihyang sudah berdiri tegak dengan 

kedua mata dibuka lebih lebar, arahkan pandangan 

pada semak itu. Tak seorang pun yang keluar dari 

sana. Dan keadaan ini membuatnya yang tadi geram 

menjadi agak kecut.

Diam-diam dia membatin, "Celaka! Apakah 

orang-orang yang menghendaki benda ini telah 

mengetahui jejakku? Oh! Ini tak boleh dibiarkan! 

Apa pun yang terjadi, akan kuhadapi sekuat tenaga! 

Benda ini harus kupertahankan dengan nyawaku!!"

Kejap kemudian gadis berkepang dua ini berseru 

keras, "Jahanam terkutuk! Perlihatkan tampangmu, 

hah? Biar urusan cepat selesai!!"

Belum lagi kata-kata Winarsih terdengar, 

mendadak saja satu tawa keras membahana di 

belakangnya. Serta-merta gadis ini putar tubuh.

Seketika itu pula nampak dia surut ke belakang

dua tindak begitu mengenali siapa orang yang 

berdiri di hadapannya.

"Celaka! Mengapa aku harus bertemu dengan 

manusia satu ini?!"

***

2


Sejarak dua tombak dari tempatnya berdiri, satu 

sosok tubuh berpakaian hitam-hitam pekat telah 

tegak di hadapannya. Sepasang mata lelaki 

berambut panjang yang dikuncir itu menatap tak 

berkedip ke arah Winarsih. Nampak sekali kalau dia 

sepertinya hendak menelan bulat-bulat gadis itu. Di 

pergelangan tangan kanan kiri lelaki berusia sekitar 

lima puluh tahun itu terdapat gelang-gelang penuh 

duri.

Terdengar dengusan berat lelaki berwajah tirus 

dengan hidung agak bengkok dan kedua mata yang 

bergelambir, "Kau tak akan bisa meloloskan diri dari 

tanganku lagi, Winarsih!!"

Kendati nampak cukup terkejut dan agak gentar, 

tetapi gadis ini kelihatan berusaha tegar. Untuk 

sesaat dia nampak menindih perasaan kecutnya 

sebelum keluarkan dengusan. Lalu pasang 

seringaian mengejek saat berkata, "Sangga Rantek! 

Kau tak bosan-bosannya mengejarku, hah? Apakah 

kau sudah merasa pasti akan dapat merebut benda 

ini dari tanganku?"

Terbahak-bahak lelaki bernama Sangga Rantek ini. 

Tawa yang keluar dari mulut besarnya bukan hanya 

membuat dedaunan berguguran, tetapi juga 

membuat ranting pohon patah dan bertabrakan 

satu dengan lainnya, hingga timbulkan suara yang 

keras.

Sementara itu di tempatnya, Winarsih sendiri 

harus kerahkan tenaga dalam pada kedua 

telinganya, guna menahan aliran tawa keras yang 

dikeluarkan lelaki berhidung bengkok itu.

Dan diam-diam gadis ini membatin resah, "Benar-

benar celaka! Sudah tentu dia tak akan 

melepaskanku! Apalagi... rasanya aku juga tak 

mungkin dapat meloloskan diri."

Tiba-tiba Sangga Rantek memutus tawanya 

sendiri dan merandek gusar dengan kedua mata 

membuka mengerikan, "Gadis keparat! Serahkan 

potongan pedang itu kepadaku!!"

Winarsih keluarkan dengusan pendek. Dengan 

pandangan melecehkan dia berkata, "Hhh! Tak 

semudah itu kau dapatkan, Manusia celaka! Dan 

sayangnya... kau hanya bermimpi di siang bolong!!"

"Jahanam terkutuk! Akan kukerat tubuhmu satu 

persatu!!" hardik Sangga Rantek kasar.

"Apa yang hendak kau lakukan urusan belakang! 

Kau telah membunuh guruku sebelum kau 

mendapatkan potongan pangkal pedang satunya 

lagi! Dan tentunya, Pedang Buntung yang 

menggambarkan sebagian titik-titik gambar, tak ada 

gunanya bila tak disatukan dengan potongan 

lainnya karena tak akan utuh gambar-gambar itu! 

Tetapi sayang, kau terlambat! Potongan pedang 

satunya memang berada di tanganku sebelum ini! 

Hanya saja, telah kuserahkan pada pemuda 

berpakaian hijau pupus dengan kain bercorak catur 

yang melilit pada lehernya!"

"Gadis celaka! Jangan dusta di hadapanku!!" 

menggelegar suara lelaki berpakaian hitam-hitam 

ini. Kedua tangannya bergetar tanda dia tak kuasa 

lagi menahan marah.

Kendati hatinya bertambah ciut melihat 

keangkeran lelaki di hadapannya, Winarsih nampak 

tak peduli.

"Sungguh sangat disayangkan... kau yang sudah 

berusaha sekian lama untuk mendapatkan potongan 

pedang itu ternyata harus sia-sia!! Dan sayangnya 

lagi... kau tak akan pernah dapat menyatukan 

pedang itu untuk melihat rangkaian titik-titik 

gambar yang terukir! Sungguh sangat di...."

"Terkutuk!" terputus ejekan Winarsih karena lelaki 

itu sudah membentak. Lalu melanjutkan dengan 

wajah memerah gusar, "Kukirim nyawamu untuk 

menyusul gurumu di akhirat sana!!"

Habis makiannya, lelaki berparas kejam ini sudah 

mendorong kedua tangannya ke depan. Serta merta 

menggebah gelombang angin yang luar biasa 

dahsyatnya, menyeret tanah dan ranggasan semak 

belukar saat menderu ke arah Winarsih.

Terkesiap Winarsih melihat serangan yang datang. 

Apalagi tanah dan ranggasan semak itu 

menghalangi pandangan. Dalam keadaan seperti itu 

tak mustahil lawan sudah lakukan serangan susulan. 

Cepat dia buang tubuh ke samping kanan. Sambaran 

gelombang angin itu luput dari sasaran.

Dan yang diduganya memang benar. Karena 

gelombang angin lainnya telah menderu kembali. 

Terburu-buru si gadis menghindari lagi. Kendati

berhasil melakukannya, bahu kirinya terkena juga 

sedikit sambaran angin itu. Dan akibatnya, 

dirasakan kalau bahu kirinya terasa seperti patah.

Meringis gadis berbaju biru muda itu sambil 

pegangi bahu kirinya dengan tangan kanan. Wajah 

jelitanya mendadak menjadi pucat.

"Celaka! Waktu lalu aku memang berhasil 

meloloskan diri setelah mengelabuinya! Tetapi 

sekarang, sulit bagiku untuk menghindar lagi!" 

desisnya dalam hati galau. Namun mendadak

terlihat kepalanya digeleng-geldengkan. "Tidak! Tak 

akan kubiarkan pedang buntung ini jatuh ke 

tangannya! Manusia celaka itu telah membunuh 

Guru! Dan sebelum Guru tewas, dia memberikan 

potongan pedang ini untuk kuserahkan pada 

Panembahan Agung di Pesanggrahan Bayu Api! 

Apa pun yang terjadi, aku akan berusaha untuk 

mengatasinya!"

Belum lagi Winarsih dapat berpikir lebih jernih, 

mendadak saja gelombang angin lainnya melabrak 

diiringi seruan, "Nyawamu menjadi taruhan semua 

ini, Gadis Celaka!!"

Tanpa buang waktu lagi, Winarsih segera 

melompat ke samping kiri. Namun belum lagi dia 

menginjak tanah, gelombang angin lainnya sudah 

menderu.

"Heeiiii!!"

Terkejut bukan alang kepalang gadis ini. 

Sebisanya dia membuang tubuh ke belakang.

Blaaammm!! Blaaammm!!

Dua letupan keras terdengar sambung 

menyambung. Dan dua bagian tanah yang 

terhantam gelombang angin tadi, langsung muncrat 

ke udara dan membentuk lubang cukup besar.

Winarsih yang kembali tegak, tanpa sadar 

tubuhnya bergetar. Keringat dingin sudah mengaliri 

sekujur tubuhnya. Kedua matanya mengerjap-

ngerjap sementara wajahnya begitu pucat.

"Benar-benar celaka! Mengapa aku harus 

berjumpa dengan manusia ini lagi? Ah, tak 

seharusnya aku membuang waktu dengan pemuda 

berbaju hijau pupus tadi? Tetapi... itu dikarenakan 

aku mencoba mencaritahu siapa pemuda itu, 

sebelum akhirnya manusia ini membokongku dari 

belakang karena termasuk salah seorang yang 

menginginkan potongan pedang ini...."

Dan tanpa sepengetahuan keduanya, sepasang 

mata tajam namun licik memperhatikan dari balik 

ranggasan semak belukar sejarak delapan tombak.

"Hmmm... Sangga Rantek. Dari ucapannya tadi, 

jelas kalau dia telah berhasil membunuh Pemimpin 

Agung dan sekarang sedang mengharapkan 

potongan pedang yang dipegang oleh gadis itu yang 

tentunya murid Pemimpin Agung. Pantas, tatkala 

aku tiba di Pesanggrahan Bayu Air yang kulihat 

hanya reruntuhan dan mayat Pemimpin Agung. 

Rupanya manusia celaka itu yang telah 

membunuhnya dan berhasil mendapatkan pedang 

buntung yang bila disatukan dengan pedang 

buntung lainnya akan tersatukan titik-titik yang 

menuju ke satu tempat. Bagus! Kali ini aku tak perlu

susah payah! Bila Sangga Rantek telah berhasil 

memiliki potongan pedang yang ada pada gadis itu, 

baru kuurus dia! Paling tidak, tenaganya cukup 

terkuras karena kulihat tentunya gadis itu bukan 

gadis sembarangan."

Terdengar lagi suara Sangga Rantek diiringi 

seringaian lebar di bibir tebalnya, "Sebelum 

terlambat, serahkan potongan pedang itu 

kepadaku!!"

"Hhhh! Kau hanya pandai bicara! Bila memang 

kau menghendakinya, ambil dari tanganku!!" balas 

Winarsih menindih kekalutannya.

"Gadis Keparat!!"

Habis bentakannya, Sangga Ranlek langsung 

mencelat ke depan. Tangan kanan kirinya berkelebat 

membentuk jotosan. Angin keras mendahului 

gerakan kedua tangannya.

Bagi Winarsih sendiri, tentu saja dia tak mau mati 

konyol. Dengan gerakan menakjubkan, gadis ini 

mencelat dan langsung putar tubuh dua kali di 

udara, bersamaan dengan itu, kedua jotosannya pun 

dilepaskan.

Namun dengan enaknya jotosan itu dipatahkan 

Sangga Rantek, bahkan sosok Winarsih sendiri 

terhuyung ke belakang. Tangan kanan kirinya 

membiru dan dirasakan seperti patah. Terlebih lagi 

tangan kirinya yang sebelumnya tadi, sudah terkena 

sambaran angin Sangga Ranlek di bagian bahu.

Ngilunya bukan alang kepalang. Sangga Rantek 

sendiri tak mau membuang waktu lebih banyak. 

Sambil mencelat kembali dia lepaskan jotosan ke

bagian kepala, sementara serangkum angin telah 

mendahului menerjang ke arah Winarsih.

Gadis berkepang dua ini terkesiap kaget. Segera 

dilepaskan jurus 'Matahari Tebar Sinar', yang serta-

merta udara di sekitar sana berubah menjadi panas. 

Namun gelombang angin itu bukan hanya dapat 

dipatahkan lawan, tetapi juga berbalik ke arahnya.

Kian memucat wajah Winarsih mendapati 

serangannya berbalik ke arahnya. Sebisanya dia 

membuang tubuh. Sementara tanah di mana tadi dia 

berdiri, langsung membentuk sebuah lubang 

sedalam lutut dan keluarkan asap.

Saat berdiri kembali kendati agak sempoyongan, 

gadis ini membatin resah, "Tak mungkin aku bisa 

menghadapinya! Tidak, aku tidak ingin mati konyol 

sebelum benda ini sampai ke tangan Panembahan 

Agung! Lebih baik, segera kutinggalkan tempat ini 

daripada urusan justru berkembang lebih parah bila 

lelaki itu berhasil mendapatkan potongan pedang 

ini!"

Memikir demikian, si gadis langsung lepaskan 

serangan. Dua kali dilepaskan jurus 'Matahari Tebar 

Sinar' yang dapat diputuskan dengan mengangkat 

tangan kanannya saja oleh Sangga Rantek. Dan 

kesempatan itu dipergunakan oleh Winarsih untuk 

segera menjauh dari sana.

Namun baru saja dia lakukan gerakan itu, 

mendadak saja terdengar gemuruh angin yang luar 

biasa dahsyatnya. Terkejut bukan alang kepalang 

Winarsih yang segera membuang tubuh ke samping 

kiri dan saat masih bergulingan. Sangga Rantek

sudah mencelat ke depan. Kaki kanannya yang telah 

dialiri tenaga dalam penuh siap dihajarkan pada 

kepala Winarsih sementara tangan kirinya sudah 

didorong lebih dulu.

Tubuh Winarsih telak terhantam dan terlempar 

tiga tombak ke belakang. Masih untung Winarsih 

memiliki ketahanan tubuh yang kuat. Bila tidak, 

tulang penyanggah tubuhnya akan patah 

berantakan. Meskipun demikian, dia tak mampu lagi 

untuk bangkit. Darah segar mengalir dari hidungnya

Sementara, kaki kanan Sangga Rantek siap 

mengirim nyawanya ke akhirat diiringi desisan si 

pemilik sepasang mata yang ternyata seorang 

perempuan, "Kini tinggal urusanku! Nyawa gadis 

itu telah ada di ambang mata!"

***

Namun apa yang diduga perempuan berkerudung 

merah itu ternyata salah. Karena belum lagi maut 

menjemput Winarsih, mendadak terdengar salakan 

petir yang sangat keras. Menyusul terlihat kaki 

kanan Sangga Rantek terangkat naik sementara 

tubuhnya mundur beberapa langkah ke belakang.

Namun kejap itu pula lelaki kejam itu mencelat 

lagi ke depan. Dia seolah tak peduli ada satu tenaga 

kuat telah menghalangi maksudnya. Kaki kirinya 

kembali terangkat dan siap menghantam kepala 

Winarsih kembali.

Untuk kedua kalinya Winarsih terkesiap kaget. 

Darahnya seolah siap tumpah dari ubun-ubun.

Akan tetapi, untuk kedua kalinya pula injakan 

kaki Sangga Rantek terputus. Kali ini terdengar 

suara gelombang angin disusul dengungan ribuan 

tawon murka.

Blaaaam!

Terdengar ledakan hebat saat dua gelombang 

angin tadi menghantam kaki kiri Sangga Rantek. 

Kontan Sangga Rantek terhuyung ke belakang 

dengan kaki yang terasa ngilu luar biasa.

"Jahanam keparat!!" makinya keras.

Di lain pihak, satu bayangan hijau telah berkelebat 

dan menyambar sosok Winarsih yang masih 

terkapar. Gadis itu sendiri yang tak menyangka 

kalau akan diselamatkan orang, mendesis begitu 

mengenali siapa yang muncul, "Andika...."

Bayangan hijau yang tadi selamatkan Winarsih 

dari maut yang diturunkan Sangga Rantek, 

menyeringai lebar.

"Gadis Kayangan! Kupikir kau sudah menjauh! 

Tidak tahunya lagi asyik bercanda dengan monyet 

jelek itu, ya?!" .

"Brengsek! Dia bilang aku bercanda, padahal 

nyawaku sudah mau putus!" maki Winarsih dalam 

hati.

Sementara itu, pemilik sepasang mata terkesiap 

melihatnya. "Kurang ajar! Ternyata urusan tak 

semudah yang kuduga! Siapa pemuda itu? Menilik 

ciri-cirinya... sepertinya aku pernah mendengar 

seorang pemuda berciri demikian. Tetapi siapakah 

pemuda itu dan... keparat betul! Ke mana daya

ingatku yang biasanya cemerlang tetapi sekarang 

sulit menduga siapa pemuda itu?"

Di lain pihak. Andika sedang berkata pada 

Winarsih, "Kau kenapa sih? Kok bercanda dengan 

orang seperti itu? Dia itu siapa? Sepertinya sadis 

amat?"

Winarsih yang masih berada dalam bopongan 

Andika terdiam seraya membatin dalam hati, "Aku 

masih belum mempercayai pemuda ini sepenuhnya 

kendati dia telah menyelamatkanku. Karena di saat 

rimba persilatan bertambah kacau seperti ini, sulit 

menentukan mana kawan dan mana lawan. 

Terutama, aku yakin banyak orang-orang yang 

mengincarku untuk mendapatkan potongan pedang

yang merupakan titik-titik petunjuk menuju suatu 

tempat. Dan bila disatukan dengan Pedang Buntung 

yang ada pada Sangga Rantek, maka jalan menuju 

tempat itu akan semakin mudah."

Habis membatin begitu si gadis menjawab, "Dia 

bernama Sangga Rantek. Aku sendiri tak habis pikir 

mengapa dia menyerang dan menginginkan 

nyawaku."

"Benar-benar bodoh tuh orang! Masa sih 

menginginkan nyawamu? Gadis secantik kau ini 

pantasnya untuk dimiliki! Ngomong-ngomong... aku 

mulai keberatan nih!"

Winarsih tertawa pendek, ketegangannya sudah 

tidak kentara lagi. Dan dia tahu kalau pemuda yang 

membopongnya ini sama sekali tidak merasa 

keberatan.

Perlahan-lahan dia pun turun. Namun begitu 

kedua kakinya menginjak tanah, tubuhnya sudah 

sempoyongan. Bila saja tidak segera ditangkap oleh 

Andika, sudah tentu gadis itu akan langsung 

ambruk.

Hati-hati Andika merebahkan tubuh Winarsih 

yang karena kelelahan akhirnya jatuh pingsan

Sebelum memeriksa tubuh Winarsih, Andika melirik 

dulu ke arah lelaki berpakaian serba hitam yang 

nampak sedang berdiri dalam kedudukan 

bersemadi.

Rupanya Sangga Rantek masih dapat menahan 

serangan tenaga 'Inti Petir' yang dilepaskan Andika 

dan menghantam kaki kanannya tadi. Namun dia 

tak kuasa menahan sakit pada kaki kirinya akibat 

terkena sabetan kain bercorak catur yang dikibaskan 

Andika, yang dilakukan karena waktunya sudah 

sedemikian sempit untuk menyelamatkan Winarsih.

Andika mendengus tatkala merasakan hawa 

panas melingkar-lingkar di tubuh gadis berbaju biru 

muda itu.

"Gadis Kayangan... aku tahu kalau kau 

menyembunyikan sesuatu. Sejak pertama berjumpa, 

dari pancaran kedua matamu aku tahu kau sangat 

gelisah dan mencurigaiku. Dan sekarang... lelaki 

bernama Sangga Rantek itu muncul menghendaki 

nyawamu. Sudah tentu ada urusan yang memang 

harus diselesaikan dan harus menelan korban. 

Monyet pitak! Ada apa sebenarnya ini?"

Lalu dengan hati-hati anak muda dari Lembah 

Kutukan itu alirkan tenaga 'Inti Petir' melalui kedua

ibu jari kaki Winarsih. Namun belum sepenuhnya 

dilakukan pengobatan, mendadak terdengar suara 

menggeram keras,

"Pemuda jahanam! Kau mencari mampus di 

hadapan Sangga Rantek!!"

Mendengar ucapan orang, Andika cuma 

mendengus. Masih dengan kedua tangan memegang 

ibu jari kaki Winarsih, dia mengomel seenak 

jidatnya, "Mampus atau tidak urusan belakangan! 

Jangan ribut dong! Gadis ini sedang pingsan dan 

sakit! Kau ini memang tidak tahu sopan santun! 

Tunggu sebentar kenapa sih?"

Mengkelap Sangga Rantek mendengar selorohan 

orang. Kedua tangannya mengepal saat keluarkan 

bentakan, "Sebenarnya, aku tak percaya apa yang 

dikatakan gadis itu tadi! Tetapi sekarang, melihat 

kemunculanmu, aku mulai yakin kalau potongan 

pedang buntung itu memang berada di tanganmu!!"

"Potongan pedang? Potongan pedang apa 

maksudnya?" desis Andika dalam hati, lalu berucap, 

"Busyet! Kalau kau menginginkan potongan pedang, 

kenapa harus mencari padaku? Tunggu sebentar, 

nanti kuberi uang agar kau bisa membelinya! 

Banyak orang yang jual potongan pedang di 

Kotapraja! Mungkin juga ada Pedang Buntung! Pergi 

saja ke sana! Sekalian melihat keramaian!! Kok cuma 

potongan pedang saja diributkan sih?!"

Tak sanggup lagi Sangga Rantek untuk menahan 

diri lebih lama mendengar ucapan yang semakin 

membuat hatinya kian membara. Dengan

kemarahan tinggi, dia sudah dorong kedua 

tangannya ke depan.

"Keparaaattt!!"

Wuussss!!

***

3


Serta-merta menderu dua gelombang angin yang 

keluarkan suara menggidikkan yang kemudian 

menyatu ke arah Andika.

"Kutu monyet!" maki anak muda pewaris ilmu 

Pendekar Lembah Kutukan ini seraya melompat ke 

samping kanan.

Blaaarrr!!

Tanah di mana tadi dia berada langsung muncrat 

ke udara begitu terhantam gelombang angin yang 

dilepaskan Sangga Rantek. Dan sebelum seluruhnya 

luruh. Sangga Rantek yang murka sudah kembali 

lepaskan serangan.

"Kadal buntung! Monyet bau!! Kenapa main 

serang seenak jidatmu saja, hah?!" maki Andika 

jengkel sambil menghindar kembali.

"Serahkan potongan pedang itu kepadaku!!" seru 

Sangga Rantek dari tempatnya. Tangan kanan dan 

kirinya dikepalkan kuat-kuat. Tatapannya terbuka 

lebih tajam dan dingin.

"Busyet! Kok kau ini tidak bosan-bosannya 

meminta potongan pedang? Kan tadi sudah 

kukatakan, beli saja di Kotapraja, kau akan 

mendapat sebilah pedang yang bagus!!"

"Serahkan potongan pedang itu kepadaku, maka

kau akan hidup lebih lama!!" bentak Sangga Rantek 

lagi, lebih keras.

"Lagi-lagi potongan pedang? Apa sih maksudnya? 

Atau... jangan-jangan... gadis ini memiliki sebuah

potongan pedang yang diinginkan Sangga Rantek 

dan dia mengatakan kalau aku memilikinya? Kutu 

monyet! Kenapa aku yang dibawa-bawa? Lagian, 

apa sih maunya cuma potongan pedang saja 

diributkan. Atau bisa jadi... inilah salah satu sebab 

mengapa gadis itu menanyakan padaku di mana 

tempat bernama Pesanggrahan Bayu Api berada? 

Tetapi masa sih cuma urusan potongan pedang saja 

jadi kapiran seperti ini? Ah, bisa jadi gadis itu punya 

urusan lain ke tempat yang bernama Pesanggrahan 

Bayu Api. Hmmm... aku harus tahu dulu dari mulut 

gadis ini sebelum urusan berkembang panjang."

Habis membatin begitu. Pendekar Slebor berseru, 

"Iya, iya! Akan kuserahkan potongan pedang itu! 

Tetapi aku mau tanya dulu nih!"

"Jangan membuang waktu!!" 

Anak muda urakan ini tak pedulikan hardikan 

Sangga Rantek. Dia tetap saja nyerocos seenak 

udelnya, "Apakah kau memiliki potongan pedang

lainnya? Maksudku Pedang Buntung? Kau kan 

mencari potongan pedang, tentunya akan kusatukan 

dengan Pedang Buntung itu, ya? Iya?!"

Mendengar pertanyaan itu, Sangga Rantek 

terdiam. Lalu nampak senyumannya mengembang. 

Dan merasa kalau si pemuda jeri untuk 

menghadapinya, lelaki yang di kedua pergelangan 

tangannya terdapat gelang-gelang penuh duri itu 

terbahak-bahak.

"Rupanya kau mengerti gelagat, Pemuda picisan! 

Bagus! Itu namanya kau masih sayang nyawa! 

Tentunya kau mengenal Ronggo Sewu atau yang

berjuluk Pemimpin Agung, bukan? Manusia itu kini 

telah berkalang tanah di tanganku! Dan aku berhasil 

mendapatkan potongan pedang yang kau benarkan 

apa yang kau katakan tadi! Pedang Buntung! Tetapi 

dasar manusia keparat! Dia telah lebih dulu 

menyerahkan potongan pedang lainnya kepada 

muridnya itu!!"

Andika yang memang ingin mencari tahu sengaja 

pendam keingintahuannya yang lain tentang 

siapakah orang yang berjuluk Pemimpin Agung. Dia 

berkata lagi,

"Sebenarnya apa sih yang kau inginkan dari 

potongan pedang itu?"

"Hhhh! Kau berlagak bodoh atau memang 

bodoh?!"

"Busyet! Itu namanya aku tidak tahu!" dengus 

Andika jengkel dan dalam hati berseru, "Ingin 

kutarik kuncir kudanya itu!!"

"Bagus bila kau tidak tahu dan sekarang tentunya 

kau akan menyerahkan potongan pedang itu 

kepadaku! Jika dua potongan pedang itu dijadikan 

satu, maka akan tergambar titik-titik yang jelas, yang 

merupakan petun-|iik menuju ke satu tempat! Cepat 

kau.... Pemuda terkutuk! Kau mencoba mengorek 

keterangan dariku, hah?!!"

Kendati tak terlalu terkejut karena Sangga Rantek 

dapat mengambil kesimpulan lebih dulu, tetapi 

Andika mendengus dalam hati. "Brengsek! Ternyata 

dia punya otak juga! Hhhh! Bila kulayani manusia 

ini sekarang, nantinya akan membawa dampak yang 

tidak mengenakkan bagi Gadis Kayangan. Lebih

baik aku menyingkir saja dari sini untuk 

mendapatkan keterangan lebih lanjut dari gadis ini."

Berpikir demikian, anak muda urakan ini berkata 

sambil garuk-garuk kepalanya, "Kok aneh ya? 

Kenapa kau berpikir aku hendak mengorek 

keterangan? Aku cuma hendak mengatakan, kalau 

Pedang Buntung yang ada padamu adalah palsu! 

Yah... dasar kau bodoh! Masa sih tidak bisa 

membedakan yang asli dan palsu!! Pemimpin 

Agung sudah menyembunyikannya di satu tempat!"

Sesaat nampak wajah Sangga Rantek agak 

terkesiap. Tanpa sadar tangan kanannya memegang 

perutnya. Tatkala dirasakan Pedang Buntung yang 

dibalut dengan kain hitam masih terselip di 

pinggangnya nampak dia menarik napas lega. 

Kendati demikian, tersirat keragu-raguan di 

wajahnya.

Dan kejap berikutnya, lelaki berpakaian serba 

hitam itu sudah mendengus gusar. Menyusul 

sosoknya telah mencelat ke depan disertai makian 

keras, "Kurobek mulutmu!!"

Pendekar Slebor terkesiap merasakan betapa 

dahsyatnya gelombang angin yang menderu. Sekali 

rasa saja dia tahu, kalau di balik gelombang angin 

dingin itu tersimpan hawa panas yang luar biasa.

Cepat dia segera menyambar tubuh VVinarsih 

yang pingsan. Begitu tubuhnya melompat ke

samping, tangan kanannya yang telah dialirkan 

tenaga 'Inti Petir' dikibaskan. Serta-merta terdengar 

dentuman menggelegar menyentak tempat itu.

"Gila! Luar biasa sekali tenaganya! Lenganku 

terasa ngilu!" desis Andika dengan tangan kanan 

bergetar. Segera dialirkan tenaga dalam untuk 

hilangkan rasa nyeri. Perlahan-lahan rasa nyeri itu 

hilang, begitu pula dengan warna kebiruan pada 

tangannya.

"Kura-kura bau!" dengusnya gusar begitu melihat 

Sangga Rantek kembali siap lepaskan serangannya.

Andika sendiri agak kebingungan sekarang, 

karena dia harus menyelamatkan Winarsih lebih 

dulu. Lagi pula, bertarung menghadapi Sangga 

Rantek yang memiliki ilmu tinggi dengan sosok 

Winarsih dalam bopongannya sungguh sulit 

dilakukan.

"Aku harus menyelamatkan gadis ini!!" desisnya.

Dan begitu serangan Sangga Rantek menggebrak 

kembali ke arahnya, anak muda urakan ini segera 

membuang tubuh ke samping kembali. Begitu kaki 

kanannya yang lebih dulu menginjak tanah, seperti 

ada satu tolakan kuat tubuhnya langsung berputar 

dan dengan pergunakan ilmu peringan tubuhnya 

yang kesohor, anak muda ini segera meninggalkan 

tempat itu. Telinganya masih sempat mendengar 

dentuman yang terjadi akibat serangan Sangga 

Rantek yang menghantam tanah.

Menggeram setinggi langit lelaki sesat itu. Kedua 

tangannya terangkai ke atas dengan tubuh tergelar 

saat berseru, "Pemuda keparat!! Kau tak akan bisa 

lolos dari tanganku!!"

Kejap berikutnya, lelaki itu sudah berkelebat ke 

arah yang dituju Andika.

Tiga tarikan napas berikutnya, perempuan 

berpakaian putih dengan jubah merah keluar dari 

balik ranggasan semak. Perempuan tinggi semampai 

ini menyeringai lebar sambil arahkan tatapannya ke 

arah perginya orang-orang itu.

Saat menyeringai, wajah jelitanya begitu 

mengerikan sekali. Sorot matanya tajam dan licik. 

Kepalanya yang ditutupi kerudung merah itu 

menggeleng-geleng dan nampak kalau warna 

rambutnya seperti keemasan.

"Bagus! Kini aku tahu, kalau kedua potongan 

pedang itu masing-masing berada pada Sangga 

Rantek dan pemuda itu! Sangga Rantek memiliki 

Pedang Buntung, sementara pemuda itu potongan 

pedang lainnya! Hmm... ini kesempatan yang telah 

lama kutunggu-tunggu! Tetapi sungguh hebat bila 

ternyata Sangga Rantek berhasil membunuh 

Pemimpin Agung! Tentunya, kesaktian yang 

dimilikinya semakin bertambah!"

Untuk sesaat perempuan ini terdiam sebelum 

melanjutkan, "Hmmm... Pendekar Slebor! Ya, ya... 

pemuda itu tak lain Pendekar Slebor! Sungguh 

menyenangkan' Gairahku untuk mendapatkan 

potongan pedang dari Sangga Rantek dan dirinya 

semakin membesar karena tantangan yang akan 

kuhadapi! Ini kesempatan bagus untuk membunuh 

Pendekar Slebor!"

Kejap kemudian, perempuan berambut keemasan 

ini segera berkelebat meninggalkan tempat itu 

dengan segenap keinginan yang akan dicapainya.

***

Hari telah berganti pagi kembali. Di sebuah hutan 

kecil nampak sehuah bayangan hijau berkelebat 

lincah. Gerakannya tak ubahnya bagai angin belaka, 

menandakan ilmu peringan tubuh yang dimilikinya 

sudah begitu tinggi.

Bayangan hijau yang tak lain Pendekar Slebor dan 

masih membopong Winarsih yang pingsan, 

menghentikan langkahnya di sebuah persimpangan 

yang terdapat di hutan itu. Sejenak anak muda 

urakan dari Lembah Kutukan ini perhatikan 

sekelilingnya.

"Hmmm... mudah-mudahan Sangga Rantek 

belum sampai di sini. Aku harus mengobati 

Winarsih dulu...."

Memutuskan demikian, hanya sekali melompat 

saja Pendekar Slebor telah berada di balik sebuah 

semak belukar setinggi dada. Terburu-buru 

direbahkan tubuh Winarsih. Sejenak ditatapnya 

wajah gadis itu.

"Begitu jelita... namun sayang harus hidup dalam

pengejaran orang-orang seperti Sangga Rantek. Aku 

jadi penasaran ingin mengetahui seperti apa 

potongan pedang yang berisikan titik-titik gambar? 

Gambar apa sih? Jangan-jangan gambar monyet 

nongkrong!"

Kejap berikutnya, kembali Andika mengalirkan 

tenaga 'Inti Petir' pada tubuh Winarsih. Cukup lama 

dilakukannya sebelum terdengar suara mengeluh

dari bibir ranum si gadis. Kepala gadis itu bergerak 

sedikit namun sepasang matanya tidak membuka.

Tetapi Andika bisa bernapas lega sekarang. 

"Tak lama lagi tentunya dia akan pulih...," 

desisnya sambil duduk di atas rumput. Lalu dicoba 

untuk memikirkan urusan yang secara tak langsung 

melibatkan dirinya

"Potongan pedang... Sangga Rantek... Pemimpin 

Agung... semuanya baru kuketahui sekarang. 

Bahkan nama gadis ini aku belum tahu. Tak 

mungkin Sangga Rantek mau bersusah payah 

membunuh Pemimpin Agung sementara Gadis 

Kayangan rela mengorbankan nyawa untuk 

mempertahankan potongan pedang itu. Tentunya 

memang ada sesuatu yang tersimpan bila kedua 

potongan pedang itu dijadikan satu dan membentuk 

rangkaian titik-titik yang membentuk gambar. Tapi, 

gambar apa sih?"

Kembali anak muda ini terdiam.

"Kadal buntung! Aku belum bisa menduga apa 

yang tersimpan itu? Benar-benar brengsek! Jalan 

satu-satunya, aku memang harus coba korek

keterangan dari mulut Gadis Kayangan"

Sejenak diliriknya gadis berpakaian biru yang 

telentang dengan kedua mata masih terpejam. 

Alunan napasnya kini terdengar teratur.

Ketika pandangannya terbentur pada busungan 

payudara yang montok dan sekal itu Andika 

mendengus sambil berpaling, "Dasar mata tidak 

makan bangku sekolahan! Lebih baik... aku mencari 

makanan saja. Bila gadis ini siuman aku...."

Kata-kata anak muda itu terputus tatkala 

mendengar suara dingin dari balik ranggasan 

semak, "Kau mungkin bisa melarikan diri dari 

kejaran Sangga Rantek, Pendekar Slebor... tetapi 

sayangnya, kau tak akan bisa melarikan diri dari 

tanganku!!"

Seketika anak muda itu berdiri dan melompat 

keluar dari tempatnya.

Dilihatnya seorang wanita berparas muda dan 

luar biasa jelita telah berdiri dengan seringaian 

mengejek.

Perempuan itu berpakaian putih bersih dengan 

jubah merah panjang. Rambutnya yang berwarna 

keemasan tertutup selendang warna merah.

Kejap kemudian terdengar ucapannya dingin dan 

angker, "Kau tak akan bisa mempertahankan 

nyawamu dari tanganku, Pendekar Slebor! Serahkan 

potongan pedang itu kepadaku, maka kau akan 

selamat!!"

Andika cuma garuk-garuk kepalanya yang tidak 

gatal.

***

4


Kejap kemudian, seolah tak ada masalah yang 

mengganggunya, anak muda yang di lehernya 

melilit kain bercorak catur ini nyengir.

"Tak kusangka kalau aku sedemikian ngetopnya! 

Nah, kau sudah tahu siapa aku yang ngetop ini? 

Sekarang, coba deh katakan siapa sih kau yang tidak 

ngetop itu?!"

Mendengar sahutan yang seolah menganggap 

dirinya angin lalu, perempuan berkerudung itu 

mengkelap.

"Jahanam keparat! Baik! Kau masih kuberi 

kesempatan untuk mengetahui siapa aku! Panggil 

aku dengan julukan Iblis Rambut Emas!!"

Andika kontan melongo (yah... ini cuma dibuat-

buat). Sepasang matanya dibuat melotot lebar. Lalu 

menggeleng-geleng takjub.

"Hebat betul! Bila kau kehabisan uang, hanya 

dengan menjual selembar rambutmu saja tentunya 

kau akan kaya mendadak ya? Wah! Aku mau tuh 

diberi dua lembar saja!!"

Makin gusar perempuan berjuluk Iblis Rambut 

Emas ini. Tangan kanan kirinya bergetar. Andika 

sendiri bukannya tidak tahu kemarahan orang. 

Tetapi dasar urakan, dia masih bersikap santai saja. 

Bahkan mulutnya masih nyengir.

Sebelum Iblis Rambut Emas buka mulut, pemuda 

tampan itu telah mendahului, "Ngomong-ngomong..

mengapa kau mencari potongan pedang itu

kepadaku?"

"Jangan coba mengelabuiku! Cepat serahkan!!" 

seru Iblis Rambut Emas menggelegar.

Andika tersenyum dan diam-diam membatin 

dalam hati, "Menilik kata-katanya yang begitu pasti, 

jelas kalau dia sebenarnya begitu yakin potongan 

pedang itu berada di tanganku. Kupikir hanya 

Sangga Rantek yang sebelumnya mengetahui soal 

itu. Berarti... dia mengintip saat aku berhadapan 

dengan Sangga Rantek."

Memikir demikian, Andika berkata, "Wah! Kau 

pantas juga ya menjadi tukang intip? Eh, apa kau 

tidak takut matamu jadi bintitan?"

"Jahanam! Aku tak boleh membuang waktu 

sebelum Sangga Rantek muncul di sini? Masih 

untung aku memiliki ilmu 'Pelacak Aroma Tubuh' 

hingga aku dapat mengetahui lebih dulu di mana 

Pendekar Slebor yang membawa murid Pemimpin 

Agung itu berada. Hhh! Biar kurebut sekarang!!"

Kendati memutuskan demikian, namun 

perempuan berjubah dan berkerudung merah ini tak 

segera bertindak. Dia justru perhatikan Andika 

dengan seksama.

Yang diperhatikan justru bersikap konyol 

layaknya seorang peragawan. Namun karena selalu 

nyengir dan garuk-garuk kepala ya jadinya seperti 

monyet kurang gila.

Sikap Pendekar Slebor semakin memancing 

amarah Iblis Rambut Emas.

"Sekali lagi kukatakan, serahkan potongan pedang 

itu sebelum urusan menjadi berlarut-larut!!"

"Wah! Bagaimana bila kuberikan kau sebilah 

pedang utuh? Itu kan lebih baik dari cuma 

sepotong?!"

"Setan alas!

Habis bentakan yang menggelegar di tempat itu, 

tangan kanan Iblis Rambut Emas segera digerakkan 

ke kepala Andika.

Andika yang sudah duga akan hal itu, rupanya 

tak mau menghindar. Dia memang ingin menjajaki 

kekuatan Iblis Rambut Emas. Serta-merta dia 

mencelat ke depan dengan jotosan lurus ke wajah si 

perempuan.

Melengak Iblis Rambut Emas melihat si pemuda 

justru mencoba memapaki serangannya. Dirasakan 

bagaimana angin yang keluar di saat pemuda 

berpakaian hijau pupus itu menggerakkan jotosanny

Dia sendiri tak mau tarik pulang jotosannya. 

Justru ditambah tenaga dalamnya.

Tak ayal lagi, dua jotosan itu bertemu.

Desss!!

Dan masing-masing orang langsung mundur ke 

belakang tiga tindak. Di tempatnya Pendekar Slebor 

dengan sikap konyol menggoyang-goyangkan 

tangan kanannya dan meniup-niupnya.

"Monyet pitak! Kau betul-betulan, ya?" serunya 

makin konyol.

Di seberang, wajah Iblis Rambut Emas memerah. 

Karena dia terkejut merasakan tangan kanannya 

juga ngilu.

"Julukan Pendekar Slebor memang bukan omong 

kosong belaka! Tetapi aku akan tetap menjajakinya!

Apalagi dia memiliki potongan pedang seperti yang 

dikatakan murid Pemimpin Agung! Biar 

bagaimanapun juga...."

Mendadak perempuan ini memutus kata batinnya 

sendiri. Nampak keningnya berkerut

"Gila! Bagaimana bila ternyata pemuda itu tidak 

memilikinya dan murid Pemimpin Agung hanya 

coba kelabui Sangga Rantek? Keparat! Akan 

kugeladah keduanya!!*

Di lain pihak, Andika berpikir, "Bila aku 

menghadapi perempuan ini dulu, maka akan 

banyak waktu yang terbuang. Aku tetap 

berkeyakinan, kalau semua ini berhubungan dengan 

pertanyaan Gadis Kayangan tentang Pesanggrahan 

Bayu Api. Mungkin juga Gadis Kayangan memburu 

waktu. Berarti, aku harus membawanya ke sana 

kendati pun aku tidak tahu di mana tempat itu 

berada. Sebaiknya...."

Terputus kata-kata Pendekar Slebor karena 

mendadak saja terdengar seruan geram Iblis Rambut 

Emas, "Kau telah menggali lubang kuburmu sendiri, 

Pendekar Slebor!!"

Wusssss!!

Serangkum kabut putih berhawa dingin mencelat 

ke arah Andika. Suara yang ditimbulkan begitu 

mengerikan sekali.

Mundur dua tindak Andika melihat serangan 

ganas itu. Segera saja dia mengangkat kedua 

tangannya yang telah dialiri tenaga 'Inti Petir'.

Blaaammm! Blaammm!!

Kabut putih berhawa dingin itu langsung buyar 

ke udara. Dan untuk kedua kalinya Iblis Rambut 

Emas terkesiap mendapati serangan balas yang 

dilakukan Andika. Tubuhnya mundur satu tombak 

ke belakang. Meskipun demikian, dia segera angkat 

tangannya dan...

Wusss!

Pendekar Slebor memang sengaja berikan 

gebrakan yang cukup mengejutkan, karena hendak 

pergunakan kesempatan selagi perempuan 

berkerudung merah itu mundur untuk menyambar 

dan membawa Winarsih menjauh dari sana.

Tetapi perempuan di hadapannya itu bukan orang 

sembarangan, dia termasuk salah seorang dedengkot 

persilatan, yang dalam keadaan terkejut masih 

sempat kirimkan serangan hingga mau tak mau 

Andika buang tubuh ke kiri dan berputar dua kali 

sebelum hinggap di tanah.

"Monyet buntek! Kalau begini, bisa berabe!!" 

makinya jengkel.

Di seberang, Iblis Rambut Emas sudah menerjang 

ke muka. Sementara Pendekar Slebor sendiri harus 

mengerutkan kening begitu melihat gerakan yang 

dilakukan lawan. Karena gerakan itu sangat lambat

Namun di kejap lain, anak muda yang memiliki 

otak seencer bubur itu langsung dapat menduga 

kalau lawan hanya mencoba mengalihkan

perhatiannya dengan gerakan yang diperlihatkan. 

Karena berpikir demikian, Pendekar Slebor tak mau 

bertindak ayal ketika tangan kanan dan kiri 

perempuan berkerudung merah itu mengibas ke 

depan.

Wuuuss! Wusss!!

Dua bongkah kabut putih yang diiringi hawa 

dingin menggigil, menghampar dengan kekuatan 

maha besar. Andika memekik tertahan karena pada 

jarak dua tombak dia sudah merasakan hawa dingin 

yang membuat urat-uratnya menjadi kaku. Namun 

si pemuda yang sebenarnya sangat jengkel tak mau 

bertindak ayal pula. Tenaga 'Inti Petir' tingkat 

kelima sudah dialirkan pada kedua tangannya. 

Dan....

Wusss!

Tubuhnya pun bergerak ke muka. Sepintas 

gerakan yang diperlihatkan Andika lebih cepat 

karena Iblis Rambut Emas memang seperti sengaja 

memperlambat gerakannya. Namun di dalam 

gerakan lambat itu tersimpan perangkap yang 

mematikan. Karena lawan akan lengah dan masuk 

perangkap begitu merasa serangannya tak 

mengandung sesuatu yang mengerikan. Namun di 

balik semua itu, gerakan lambat yang diperlihatkan 

Iblis Rambut Emas, dapat bergerak sangat luar biasa 

cepat. Dan itu pun dilakukan oleh Iblis Rambut 

Emas. Benturan dua tenaga sakti tingkat tinggi 

terjadi. Ledakan dahsyat terdengar. Tempat itu bagai 

diguncang sebuah gempa hebat bersamaan dengan 

pupusnya dua bongkah kabut putih tadi. Tanah di

tempat bertemunya benturan itu muncrat setinggi 

dua tombak. Dedaunan langsung meranggas dan 

rumput serta semak belukar tercabut paksa dari 

akarnya.

Keadaan itu menghalangi pandangan keduanya. 

Iblis Rambut Emas mengibas-ngibaskan tangannya 

agar pandangannya lebih terbuka. Terdengar 

makiannya keras, "Pemuda keparat!! Kubunuh 

kau!!"

Lalu secara membabi buta, perempuan 

berkerudung merah ini menyerang ganas ke arah 

Andika yang sengaja menjauh dari sana. Karena dia 

tak ingin salah satu serangan Iblis Rambut Emas 

akan melabrak ranggasan semak belukar di mana 

sosok Winarsih masih pingsan.

Akibat yang terjadi sungguh mengerikan. 

Pepohonan langsung tumbang berturut-turut dan 

menimbulkan suara menggemuruh. Ranggasan 

semak tercabut bersamaan rengkah dan muncratnya 

tanah ke udara.

"Monyet pitak! Orang gundul! Sambal terasi! 

Kalau begini caranya aku bisa mampus!!" maki anak 

muda urakan ini jengkel karena tak sekalipun diberi 

kesempatan untuk membalas.

Bagaimana bisa membalas kalau dari segenap 

penjuru Iblis Rambut Emas mengurung dengan 

serangan kabut putih yang mengandung hawa 

dingm. Sementara udara senja yang sudah agak 

dingin pun ditambah menjadi sangat dingin.

"Kutu bantel!!" maki Andika sambil putar tubuh 

ke depan. Lalu dengan nekat dia buat gerakan

seperti hendak menyongsong serangan si 

perempuan. Akan tetapi, dua tindak ke muka, anak 

muda ini membuat gerakan setengah lingkaran 

dengan mengirimkan tendangan kaki kanannya 

terlebih dahulu.

Iblis Rambut Emas segera angkat tangan kanan 

untuk menahan tendangan Andika. Tetapi dia 

kecele, karena pemuda berambut gondrong acak-

acakan itu telah tarik tendangannya. Justru dengan 

gerakan mengejutkan dia menyongsong masuk.

Jotosan tangan kanan yang mengandung tenaga 

"Inti Petir' telak menghantam pinggang Iblis Rambut 

Emas. Terpekik perempuan berjubah merah ini 

dengan tubuh terhuyung.

Bila saja Andika menginginkan untuk kirimkan 

serangan kembali, maka dengan mudah akan 

dilakukannya. Tetapi anak muda ini justru berdiri 

dengan selorohan, "Wah! Kok bisa kena, ya? Padahal 

aku asal-asalan tuh! Eh! Bagaimana bila kita sudahi 

dulu canda ria? Aku masih ada urusan sih!!"

"Pemuda keparat!! Aku akan mengadu jiwa 

denganmu!!" maki Iblis Rambut Emas sambil usap 

darah yang keluar dari sela-sela bibirnya dengan 

punggung tangan kanannya.

"Mengadu jiwa? Kenapa tidak mengadu raga?" 

balas Andika sambil nyengir, lalu menyambung, 

"Ah, tidak! Lebih baik kau mengadu raga dengan 

pohon itu saja?!"

Makin murka perempuan ini. Setelah kertakkan 

rahangnya, dengan wajah membesi dia sudah

menerjang kembali dengan lepaskan kabut-kabut 

putihnya yang berhawa dingin.

"Busyet! Keras kepala amat!!" dengus Andika.

Dan dia pun tak mencoba untuk menghindar. 

Malah dia bergerak cepat menyongsong. Kali ini 

tenaga 'Inti Petir' tingkat ketiga sudah dilepaskan 

kembali.

Blaaarrr!!

Untuk kedua kalinya tempat itu laksana 

diguncang topan. Tanah di mana bertemunya dua 

tenaga sakti itu, muncrat ke atas bersamaan dengan 

tumbangnya sebuah pohon.

Tatkala tanah, semak, dan dedaunan terhempas ke 

tanah, sepasang mata perempuan ini terbuka lebih 

lebar dengan mulut menganga.

Kejap kemudian terdengar suara gigi dikertakkan 

disusul dengan makian keras, "Setan neraka! Ke 

mana perginya pemuda keparat itu?!"

Lalu mendadak saja dia melompat ke balik 

ranggasan semak di mana Winarsih yang kendati 

telah disembuhkan oleh Pendekar Slebor namun 

masih lemah berada. Terlihat bagaimana kaki kanan 

perempuan berkerudung merah ini dihentakkan di 

atas tanah, yang seketika amblas hingga lutut. 

Tatkala ditarik kembali, tanah itu terbongkar ke 

udara.

Sosok Winarsih sudah tidak ada di tempatnya.

"Jahanam sial! Pemuda itu selain memiliki ilmu 

yang tinggi juga berotak cerdik! Rupanya dia 

pergunakan kesempatan ketika seluruh tanah 

terangkat naik dan menghalangi pandangan, untuk

menyambar tubuh gadis itu dan menghilang seperti 

ditelan bumi! Baik! Urusan telah terbuka! Pemuda 

itu tak akan pernah lepas dari kematian yang akan 

kuturunkan!!"

Terdiam perempuan ini dengan dada naik turun 

dan sepasang mata tajam tak berkedip.

"Siapa "pun yang menghalangi keinginanku untuk 

mendapatkan potongan pedang itu, akan mampus 

di tanganku!! Hhh! Untuk sementara, aku akan 

mencari Sangga Rantek untuk mendapatkan 

potongan pedang lainnya yang berupa Pedang 

Buntung!!"

Habis geramannya, Iblis Rambut Emas segera 

berkelebat meninggalkan tempat yang telah porak-

poranda. Satu kejapan mata berikutnya, tempat itu 

kembali diselimuti sepi.

***

5


Pendekar Slebor yang membawa lari tubuh 

Winarsih alias Gadis Kayangan menghentikan 

kembali langkahnya di sebuah jalan setapak yang 

dipenuhi ranggasan semak belukar. Sejenak anak 

muda tampan yang memiliki sepasang alis hitam 

legam dan menukik laksana kepakan sayap elang 

ini, palingkan kepala ke belakang. Tatkala tak 

dilihatnya sosok Iblis Rambut Emas, dia segera hela 

napas panjang, agak sedikit lega.

"Monyet buduk! Kenapa aku selalu ketiban sial 

seperti ini?! Rasanya, aku tak pernah bisa tenang! 

Selalu saja ada urusan yang bikin kepalaku pusing! 

Urusan potongan pedang yang tentunya bukanlah 

urusan ringan kini telah mengembang! Dan lagi... 

kenapa Gadis Kayangan mengatakan kalau 

potongan pedang itu ada padaku? Sangga Rantek 

dan Iblis Rambut Emas... dua orang yang kuketahui 

menginginkan potongan pedang itu. Mungkin... 

masih ada lainnya lagi yang terus memburu 

potongan pedang itu."

Kembali anak muda ini terdiam sambil garuk-

garuk kepalanya. Lalu berkata lagi, "Ya... sial atau 

tidak sial... aku akan terus menuntaskan urusan 

yang bikin bingung ini. Tetapi dalam hidup... 

memang selalu ada kesialan atau ketidaksialan. 

Tergantung bagaimana cara kita menerimanya saja. 

Mungkin yang kurasakan ini, karena aku sedang 

jengkel memikirkan urusan yang benar-benar belum 

dapat kupahami seluruhnya. Bila aku sudah

mengerti, tentunya tak kurasakan seperti itu. Ah, 

masa bodoh! Kayak orang pemikir saja! Biar 

bagaimanapun juga, akan kutuntaskan semua 

masalah ini! Sebaiknya, aku mencari makan dulu 

ketimbang kepalaku seperti mau pecah...."

Memutuskan demikian, Pendekar Slebor 

meletakkan kembali sosok Gadis Kayangan di balik 

ranggasan semak belukar. Diperiksanya sesaat 

tubuh gadis itu.

"Hmmm... napasnya semakin normal dan 

keadaannya semakin membaik. Tetapi seharusnya 

dia sudah siuman, mungkin karena tenaganya 

terlalu banyak terkuras saat menghadapi Sangga 

Rantek. Cari makan dulu, ah! Tempat ini kurasa 

cukup aman untuk sementara."

Setelah kembali perhatikan si gadis sejenak, 

Pendekar Slebor pun segera berkelebat untuk 

mencari buah-buahan di sekitar sana. Dan dia 

beruntung karena mendapatkan buah manggis liar. 

Hanya dengan pergunakan dua buah kerikil yang 

dilemparkan, sepuluh buah manggis hutan 

didapatnya.

Dimakannya dulu dua buah sebagai pengganjal 

perut. Kejap kemudian dia kembali ke tempat 

semula.

Namun begitu masuk ke balik ranggasan semak di 

mana tubuh Winarsih diletakkan, anak muda ini 

terbeliak dengan kepala tegak. Karena sosok 

Winarsih tak ada di tempatnya!

"Celaka! Apa yang terjadi?" desisnya dengan 

kening dikernyitkan. Segera dia melompat keluar

dari ranggasan semak itu tanpa hiraukan lagi 

manggis-manggis yang buru dipetiknya 

berhamburan. Di kelilinginya tempat itu dengan 

membuka pandangan dan pendengarannya lebih 

lebar.

Andika tak berani memutuskan untuk berteriak, 

karena khawatir orang-orang sesat semacam Sangga 

Rantek dan Iblis Rambut Emas telah tiba di tempat 

itu.

Karena tak menemukan jejak Winarsih, Andika 

kembali ke tempat semula. Diperhatikan tempat itu 

dengan seksama.

"Tak ada tanda-tanda telah terjadi pertarungan. 

Tempat ini masih utuh seperti kutinggalkan semula. 

Apakah ada seseorang yang mengetahui tempat 

Winarsih lalu membawanya? Atau... gadis itu 

sebenarnya telah siuman dan karena mendengar 

seseorang yang mendekatinya dia memutuskan 

untuk melarikan diri? Ah, kepalaku jadi makin 

pusing! Urusan potongan pedang itu saja belum 

begitu jelas kendati aku dapat menduga bila 

disatukan dengan potongan pedang yang

sebelumnya dimiliki Pemimpin Agung dan sekarang 

berada di tangan Sangga Rantek, maka akan 

terbentuk satu rangkaian gambar dari titik-titik yang 

ada. Dan tentunya gambar-gambar itu, rangkaian 

petunjuk-petunjuk menuju sebuah tempat. Pantas 

harus disatukan. Tetapi ada apa di tempat itu? Apa 

yang dicari? Benar-benar kutu monyet!"

Mendumal sendiri anak muda ini dengan hati 

agak jengkel dan was-was memikirkan keadaan 

Gadis Kayangan.

"Huh! Kenapa sih dunia ini tak pernah tenang dari 

orang-orang sesat dan serakah? Bila saja dalam 

sehari seluruh dunia tak dijamah oleh orang-orang 

seperti itu, alangkah enaknya. Namun sudah tentu 

tak mungkin"

Kembali anak muda urakan ini hentikan 

ucapannya. Tangannya menggaruk-garuk kepalanya 

yang tidak gatal. Nampak pula kalau dia tengah 

berpikir.

"Pesanggrahan Bayu Api... ya, ya... tempat itulah 

yang ditanyakan Gadis Kayangan sebelumnya. Aku 

belum tahu ada apa di sana. Barangkali saja bila aku 

ke tempat itu, akan membawaku pada persoalan 

yang lebih jelas lagi. Atau... kadal kudis!! Kenapa 

aku jadi mikir terus? Lebih baik segera cabut oh!"

Memutuskan demikian, Pendekar Slebor segera 

berkelebat ke arah timur. Namun baru saja lima 

langkah dia bergerak, mendadak terdengar suara 

cukup keras, 

"Berhenti!!"

Saat itu pula anak muda urakan ini hentikan 

langkahnya. Saat dipalingkan tubuh ke belakang, 

dilihatnya dua sosok tubuh berpakaian kuning-

kuning telah berdiri sejarak dua tombak dari 

hadapannya.

***

"Serahkan potongan pedang itu kepada kami, bila 

kau masih ingin hidup lebih lama, Pendekar 

Slebor!!" membentak lelaki yang bertubuh tinggi 

kurus. Sepasang matanya agak menjorok ke dalam 

dan bersinar penuh kemarahan. Usianya kira-kira 

lima puluh tahun, begitu pula dengan lelaki kurus 

lainnya yang berdiri di sebelah kanannya.

Andika tak segera membuka mulut. Sambil balas 

memandang keduanya secara bergantian, anak 

muda ini diam-diam membatin, "Lagi-lagi potongan 

pedang.... Benar-benar jarum jatuh langsung 

terdengar di rimba persilatan ini! Berita tentang aku 

yang dikatakan memiliki potongan pedang itu 

rupanya sudah terdengar ke mana-mana, termasuk 

ke telinga kedua orang ini. Tentunya ini kerjaan Iblis 

Rambut Emas atau Sangga Rantek! Kadal Buntung!"

Karena tak mendapati sahutan, lelaki yang 

satunya lagi, berseru keras, "Jangan membuang-

buang waktu Dua Manusia Goa Setan!!"

Mendengar ucapan itu. Andika langsung nyengir 

kendati hatinya masih diliputi tanya.

"Wah! Tidak usah kalian beri pengumuman 

seperti itu aku juga sudah bisa menduga! Malah 

seharusnya, melihat dari tampang-tampang kalian, 

seharusnya kalian berjuluk Dua Tikus Iblis Dari 

Selokan Bau!!"

Mengkelap wajah Dua Manusia Goa Setan 

mendengar selorohan Pendekar Slebor. Julukan Dua 

Manusia Goa Setan cukup angker di daerah selatan. 

Bahkan boleh dikatakan, merekalah yang merajai 

rimba persilatan di daerah selatan. Dan mendengar

ucapan yang menyakitkan tadi, sudah tentu 

kemarahan semakin melimpah di hati masing-

masing orang.

"Keparaaaatthh!!" membentak yang pertama tadi

bersuara. Dia bernama Ki Pasu Suruan. "Kami tahu 

siapa kau adanya! Dan sudah tentu akan menjadi 

kebanggaan tersendiri bila berhasil membunuhmu, 

Pendekar Slebor!! Hanya saja... kau masih dapat 

hidup bila menyerahkan potongan pedang itu 

kepada kami!"

"Betul itu! Aku juga akan bangga bila bisa 

menjitak kepala kalian yang benjol!! Hanya saja... 

kalian masih akan memiliki kepala yang tidak benjol 

bila kalian menyerahkan potongan... eh, potongan 

apa ya?"

Makin mengkelap wajah keduanya. Dan tanpa 

diperintah lagi, masing-masing orang itu segera 

salingpan-dang satu sama lain. Lelaki yang berbicara 

kedua tadi, yang bernama Ki Pancen Dadap berkata, 

sengaja dikeraskan, "Kakang Pasu! Apakah tidak 

sebaiknya kita cincang manusia konyol itu!!"

"Betul! Kita kerat satu persatu dagingnya, lalu kita 

lemparkan pada anjing-anjing liar!" sahut Ki Pasu 

Suruan dengan suara keras pula.

Andika yang tahu kalau kedua orang itu mencoba 

membuatnya keder. cuma tertawa sambil garuk-

garuk kepalanya.

"Ih! Kalian lucu, deh! Masa aku yang tampan ini 

akan kalian umpankan pada anjing-anjing liar! 

Seharusnya kalian yang sudah tinggal daging

pembungkus tulang yang diberikan pada anjing-

anjing geladak!'"

Serentak masing-masing orang arahkan 

pandangan kembali ke depan. Lelaki yang di 

lehernya menggantung kalung dan bermatakan 

tengkorak, berseru dingin, "Aku Ki Pancen Dadap! 

Tak akan pernah tenang bila belum membunuhmu, 

Pendekar Slebor!"

E dasar tengik, Andika justru menyahut, "Aku 

Pendekar Slebor! Tak akan pernah bisa makan enak 

bila masih melihat tulang-tulang yang berserakan!!"

Mengkelap wajah Ki Pancen Dadap. Tanpa buang 

waktu lagi, lelaki ini sudah menerjang dengan 

pukulan lurus ke depan. Sekali rasa saja, Andika 

yakin kalau lawan mempergunakan setengah dari 

tenaga dalamnya.

Dan anak muda ini sendiri pun tak mau bertindak 

ayal. Karena dia masih mencemaskan keadaan 

Winarsih. Apalagi saat ini Sangga Rantek dan Iblis 

Rambut Emas telah keluar dan tentunya akan 

memburu gadis itu. Namun yang sedikit 

menjengkelkan Andika, karena dia yang jadi 

sasaran.

Begitu lawan menerjang ke depan, anak muda ini 

segera hempos tubuh setelah kaki kanannya 

dijejakkan dan seolah dijadikan sebagian tumpuan.

Langsung terdengar suara salakan petir tatkala 

tangan kanannya diayunkan.

Terkesiap sejenak Ki Pancen Dadap begitu 

merasakan satu tenaga yang kuat menerjang ke 

arahnya. Namun lelaki berkalung tengkorak ini tak

mau urungkan niat atau tarik pulang serangannya. 

Justru dia terus menerjang ke depan. 

Desss!!

Satu bentrokan keras terjadi dan bersamaan 

dengan itu masing-masing orang surut tiga tindak 

ke belakang. Kalau tadi Ki Pancen Dadap terkejut, 

kali ini dia terbahak-bahak karena tak merasakan 

sakit sedikit pun pada tangan kanannya. Lebih kuat 

tawanya tatkala melihat Pendekar Slebor sedang 

meniup-niup tangannya yang membiru.

"Tadi sudah kuberi keringanan untuk tidak 

membunuhmu bila kau menyerahkan potongan 

pedang itu! Tetapi kau terlalu keras kepala, 

Pendekar Slebor!"

"Masa iya sih kepalaku lembek! Memangnya 

tape!" sungut Andika ngotot.

Ki Pasu Suruan yang sekarang melipat kedua 

tangannya di depan dada sudah berkata, "Rasanya., 

tak perlu aku turun tangan untuk menghajar 

pemuda keparat itu! Adi Pancen Dadap! Bunuh dia 

dan ambil potongan pedangnya!!"

Tanpa menyahut atau anggukkan kepala, Ki 

Pancen Dadap sudah menerjang kembali. Kali ini 

serangannya lebih ganas. Bahkan saat dilepaskan 

jotosan kanan kirinya, terasa ada hawa panas yang 

cukup menyengat keluar.

Di tempatnya Andika mendumal dalam hati, 

"Kutu monyet! Benar-benar manusia-manusia tak 

tahu diuntung! Aku tadi sengaja tidak menyerang 

penuh! Tetapi manusia celaka ini justru bertambah

pongah! Hhh! Biar kuberi pelajaran agar urusan 

cepat selesai!"

Memutuskan demikian, lagi-lagi tanpa bermaksud 

menghindari serangan salah seorang lelaki kurus 

berbaju kuning ini. Pendekar Slebor sudah melesat 

ke depan. Tubuhnya sedikit dimiringkan begitu 

jotosan Ki Pancen Dadap mengarah pada wajahnya. 

Bersamaan dengan itu, tangan kanannya langsung 

menjotos ke arah lambung.

Memekik tertahan Ki Pancen Dadap mendapati 

gerakan yang begitu cepat diperlihatkan Pendekar 

Slebor. Cepat dia tekuk sikunya

Desss!!

Menyusul tangan kirinya diputar ke samping, lalu 

digerakkan ke depan dengan cara menyentak.

Bila saja Andika tidak merunduk, tak ayal lagi 

kepalanya akan pecah.

Ya dasar urakan, padahal tidak kena dia justru 

menjerit-jerit sambil pegangi kepalanya dengan 

kedua tangannya.

"Wadaawouuu! Waadouuuuu!! Ampouuunnnn!"

Sudah tentu Ki Pancen Dadap terkejut melihatnya. 

Dan dia meradang gusar menyadari kalau sedang 

dipermainkan.

Sementara itu, Ki Pasu Suruan sudah berseru, 

"Mengapa kau masih berlama-lama, bah?! Lepaskan 

pukulan 'Angin Seribu Topan'!!"

Bersamaan seruan itu terdengar. Andika yang 

sedang bersikap tengik langsung turunkan kedua 

tangannya dari kepala dan tertawa-tawa sendiri.

"Kalau kau punya pukulan 'Angin Seribu Topan', 

aku juga punya pukulan 'Angin Dari Bawah Perut'!"

"Bunuh dia!!" menggeram suara Ki Pasu Suruan. 

Di tempatnya, Ki Pancen Dadap langsung putar 

kedua tangannya ke belakang, lalu melewati kedua 

pinggangnya tangan kanan kirinya disatukan ke 

depan dada. Sejurus kemudian terlihat kedua 

tangannya yang merangkap itu keluarkan cahaya 

biru.

"Kali ini... kau akan mampus, Pendekar Slebor!!"

Habis bentakannya, lelaki itu segera dorong 

tangan kanan kirinya. Serta-merta menghampar

angin besar yang luar biasa dahsyatnya, menyeret 

tanah dan ranggasan semak belukar.

Andika sendiri melengak melihat betapa dahsyat 

gelombang angin yang keluar dan mengarah 

padanya. Dari jarak sekitar lima langkah saja, dapat 

dirasakan kalau tubuhnya agak bergetar terkena 

dorongan angin mengerikan.

"Celaka sepuluh seperempat!" desisnya dan 

langsung disambarnya kain bercorak catur yang 

melilit pada lehernya. Menyusul dikibaskannya 

dengan cepat.

Kontan menderu suara gemuruh disertai suara 

berdengung laksana ribuan tawon meraja sebuah 

desa.

Benturan dahsyat pun tak dapat dielakkan lagi

Blaaamm! Blaammm!!

Tempat itu seketika berguncang hebat. Tanah 

hampir sejarak dua tombak muncrat ke udara 

setelah terjadi letupan laksana diinjak kaki raksasa.

Cukup lama tanah itu sirap kembali ke tanah. Dan 

yang terlihat kemudian, sosok Pendekar Slebor 

terhuyung ke belakang dengan tangan kanan 

bergetar. Dari hidungnya mengalir darah segar. Di 

lain pihak, Ki Pancen Dadap sudah ambruk di atas 

tanah. Napas lelaki berkalung tengkorak itu naik 

turun dengan cepat. Kedua matanya tidak terpejam, 

tetapi terbeliak dengan pancaran mata kosong. 

Kedua tangannya nampak membiru.

Berteriak tertahan Ki Pasu Suruan melihat nasib 

Ki Pancen Dadap. Dia segera memburu dan berseru, 

"Adi! Adi Pancen! Bagaimana keadaanmu?!"

Lelaki berkalung tengkorak itu tak menjawab. 

Bahkan tatapannya semakin lama semakin kosong. 

Darah hitam mendadak mengalir dari hidung dan 

mulutnya.

Bertambah cemas dan tak menyangka kalau 

Pendekar Slebor memiliki kesaktian luar biasa, Ki 

Pasu Suruan berseru-seru mencoba menyadarkan Ki 

Pancen Dadap.

Dan lambat laun disadarinya kalau napas yang 

tadi terengah-engah itu semakin lama semakin 

melemah. hingga akhirnya lenyap sama sekali.

"Panceeeennnn!!" serunya keras sambil mendekap

Ki Pancen Dadap yang telah tewas.

Lalu dengan kegusaran tinggi, lelaki ini palingkan 

kepalanya ke kanan. Dan teriakannya semakin 

mengguntur tatkala tidak lagi melihat sosok 

Pendekar Slebor di tempatnya.

"Jahanam terkutuk!! Kubunuh kau!! Kubunuh 

kau!!" serunya terus menerus dengan wajah 

memerah dipenuhi dendam.

***

6


Kita tinggalkan dulu perginya Pendekar Slebor 

dan apa yang akan dilakukan salah seorang Dua 

Manusia Goa Setan. Kita ikuti sekarang ke mana 

perginya Winar-sih alias Gadis Kayangan.

Tatkala Andika membawanya menjauh dari Iblis 

Rambut Emas, sebenarnya gadis berkepang dua itu 

sudah siuman. Namun dia mencoba untuk tetap 

berlagak pingsan. Kendati dia menduga kalau 

pemuda berbaju hijau pupus telah

menyelamatkannya dari Sangga Rantek, namun 

Winarsih masih belum mempercayai pemuda itu 

sepenuhnya.

Karena, dalam suasana rimba persilatan yang 

bertambah kacau ini sangat sulit menentukan mana 

lawan dan kawan. Tetapi bila saja Winarsih tidak 

dalam keadaan pingsan saat Andika bertarung 

dengan Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas, 

tentunya dia dapat berpikir jernih untuk mengetahui 

siapa pemuda urakan yang sebenarnya baik hati itu.

Begitu didengarnya Andika hendak mencari 

makanan, winarsih pun memutuskan untuk 

meninggalkan pemuda itu. Makanya setelah Andika 

meninggalkan tempat itu, Winarsih segera bangkit 

dan meraba pinggangnya. Dia menarik napas lega 

tatkala dirasakan Pedang Buntung yang dibungkus 

kain putih masih terselip di pinggangnya. Dan dia 

makin lega setelah membuktikan, benda yang 

dipegangnya itu memang potongan pedang yang

diberikan gurunya tiga bulan lalu. Sejenak 

dipulihkan tenaganya dulu sebelum berkelebat ke 

arah timur.

Dan sekarang gadis ini terus berlari tanpa 

bermaksud untuk berhenti. Saat berlari dia 

membatin, "Sangga Rantek... ah, manusia sesat itu 

telah berhasil menemukanku. Tentunya sebelum dia 

membunuh Guru, dia telah menyelidikinya cukup 

lama. Dan dia tahu kalau aku adalah murid dari 

Pemimpin Agung. Bila mengikuti kata hatiku, sudah 

pasti aku akan melibatkan diri dalam pertarungan 

yang akhirnya membuat Guru tewas. Potongan 

pedang buntung lainnya kini berupa pedang 

buntung berada pada Sangga Rantek. Bila saja tiga 

bulan lalu Guru tidak memberikan potongan pedang 

lainnya kepadaku, sudah tentu keduanya akan 

dimiliki Sangga Rantek. Dan berarti, lelaki jahanam 

itu akan mendapatkan petunjuk yang jelas dari 

rangkaian titik-titik pada kedua potongan pedang 

bila disatukan...."

Terus gadis iniberlari cepat, melewati jalan 

setapak, ranggasan semak belukar, akar yang 

melintang dan tak berhenti di persimpangan.

Kembali dia membatin, "Sayangnya, Guru tak 

pernah menceritakan tentang rangkaian titik yang 

tergambar pada masing-masing potongan pedang. 

Bila kedua potongan pedang itu disatukan, berarti 

lengkaplah petunjuk-petunjuk yang ada. Bahkan 

Guru tak pernah menceritakan ada apa sebenarnya 

pada tempat yang dituju pada kedua pedang 

buntung itu. Bukan hanya itu saja, Guru juga t:dak

pernah mengatakan bagaimana asal mulanya 

pedang yang telah terpotong menjadi dua itu berada 

padanya. Ah, semuanya ini sungguh 

membingungkan. Guru hanya sempat berpesan, bila 

terjadi sesuatu yang tak diinginkan, aku harus 

menjumpai Penembahan Agung di Pesanggrahan 

Bayu Api. Yang aku tahu, kalau Panembahan Agung 

adalah kakak seperguruan Guru, tetapi aku tak 

pernah berjumpa bahkan tak tahu di mana 

Pesanggrahan Bayu Api berada. Oh, kuatkah 

kujalani semua ini?"

Perasaan gadis yang masih berduka atas tewasnya 

gurunya itu, kembali teraduk-aduk. Dalam suasana 

sedih, kalut, marah dan dendam seperti itu, biasanya 

seorang gadis akan melampiaskannya melalui air 

mata. Namun Winarsihyang sekitar tiga belas tahun 

lalu diambil Pemimpin Agung tatkala dusun di 

mana orangtua Winarsih tinggal diporak-

porandakan gerombolan itu, adalah gadis yang 

memiliki hati tegar.

Dia berusaha untuk tidak melampiaskan 

semuanya ini melalui air mata. Justru hatinya 

semakin bertambah penasaran untuk menyelesaikan 

semua urusan ini.

Bahkan ketika Pemimpin Agung menceritakan 

siapa Winarsih, dia tetap tegar. Kendati malam 

harinya dia sesenggukan di kamar mengingat kedua 

orangluanya tewas dibunuh secara keji oleh para 

gerombolan. Bahkan seluruh penghuni dusunnya 

telah tewas pula.

Dan Winarsih merasa masih beruntung karena dia 

berhasil diselamatkan oleh Pemimpin Agung yang 

selama tiga kali penanakan nasi berhasil menumpas 

seluruh anggota gerombolan.

Gadis yang tegar ini menarik napas pendek sambil

terus berlari.

"Pesanggrahan Bayu Api... Pesanggrahan Bayu 

Api.... Apa pun yang terjadi, aku akan tetap ke 

sana...," desisnya lagi, lalu menyambung, "Tak 

seharusnya kutinggalkan pemuda bernama Andika 

itu. Bila dia memang termasuk orang yang 

menginginkan potongan pedang ini, untuk apa dia 

menyelamatkanku? Bukankah seharusnya dengan 

mudah dia akan mengambil potongan pedang di 

pinggangku ini? Ah... tak tahulah... apakah aku 

memang telah salah menduga atau tidak. Tetapi 

semuanya semakin bertambah kacau tangga aku tak 

bisa berpikir lebih jernih. Bila memang pemuda itu 

bukan orang jahat, tentunya dia akan mencari dan 

membantuku menyelesaikan masalah ini. Tetapi... 

apakah dia tahu masalah yang kuhadapi?"

Dan gadis itu terus berlari dengan membawa 

segenap persoalan yang menggumpal di dadanya. 

Namun karena dia memang tidak tahu lagi ke mana 

arah yang dituju, gadis ini menghentikan 

langkahnya di sebuah lembah yang dipenuhi 

pepohonan dan bebatuan. Saat itu malam sudah 

melangkah memasuki ruang kerjanya.

Dan mendadak saja Gadis Kayangan terjatuh 

dengan kedua lutut menekuk menjadi bantalan 

pinggul. Napasnya terengah-engah. Butiran keringat

terus membanjiri sekujur tubuhnya yang mendadak 

menjadi lengket. Baru dirasakan betapa lelah dan 

sudah jauh dia berlari.

Dalam keadaan seperti ini Gadis Kayangan 

teringat akan semua kegembiraannya bersama 

Pemimpin Agung. Lelaki berusia sekitar enam puluh 

tahun yang bijaksana itu sudah dianggap sebagai 

orangtuanya sendiri. Dan dia selalu mematuhi setiap 

ucapan yang dikatakan gurunya.

"Guru... mengapa semua ini terjadi? Mengapa 

harus kau tinggalkan aku dalam kesendirian seperti 

ini. Mengapa?" keluhnya pelan namun berusaha 

untuk tidak sampai meneteskan air mata.

Berulang kali Gadis Kayangan menarik dan 

menghela napas panjang, mencoba membuang dan 

menindih sebagian kepedihan hatinya.

Cukup lama gadis jelita berpakaian ringkas warna 

biru ini berlutut dengan kedua tangan menekan 

tanah dan kepala agak tertunduk. Setelah lamat-

lamat dirasakan lelahnya agak menghilang, 

perlahan-lahan dia bangkit.

Pandangannya diedarkan pada Seantero tempat 

yang lelah menghitam dinaungi malam. Rembulan 

di alas sana, tak sanggup menembus halangan dan 

rangkaian saling taut awan hitam.

Kejap kemudian terdengar helaan napasnya 

lembut, "Aku harus mencari Pesanggrahan Bayu 

Api. Seperti pesan Guru tiga bulan lalu. bila terjadi 

apa-apa, aku harus menyerahkan potongan pedang 

ini pada Panembahan Agung...."

Habis kata-katanya, gadis ini segera menghempos 

tubuh menembus kegelapan malam dan jalan di 

lembah yang cukup sulit.

***

Pada saat yang bersamaan di sebuah jalan setapak, 

satu sosok tubuh berpakaian hitam-hitam hentikan 

langkahnya. Saat kepalanya dipalingkan ke kanan ke 

kiri, rambut panjangnya yang diikat kuncir kuda 

berlompatan.

Sesaat lelaki berwajah tirus yang mulai dihiasi 

kerut merut ini tak buka mulut. Namun kejap 

berikutnya, terdengar dengusannya yang bernada 

jengkel, "Terkutuk! Ke mana perginya pemuda 

berpakaian hijau pupus yang membawa Winarsih?!! 

Jahanam sial! Padahal aku tinggal selangkah lagi 

untuk mendapatkan potongan pedang itu? Benar-

benar keparat!!"

Lelaki yang di pergelangan tangan kanan kirinya 

melingkar gelang penuh duri dan tak lain Sangga 

Rantek adanya mendengus gusar.

"Semula tak kupercaya kalau potongan pedang itu 

berada pada pemuda yang di lehernya melilit kain 

bercorak catur! Tetapi setelah dia muncul 

menyelamatkan murid Pemimpin Agung itu, aku 

yakin kalau potongan pedang itu ada padanya! 

Jahanam sial! Tak kusangka kalau pemuda itu 

memiliki kepandaian yang tinggi!!"

Habis makiannya, Sangga Rantek meneruskan 

larinya. Sambil berlari dia terus memaki-maki gusar. 

Hingga di satu tempat yang agak lapang, lelaki 

berpakaian serba hitam ini hentikan larinya.

Pandangannya tak berkedip menatap satu sosok 

tubuh berjubah dan berkerudung merah. Sekilas 

dilihatnya rambut perempuan yang tertutup 

kerudung merah itu agak berkilat.

Kejap kemudian terdengar desisannya gusar, 

"Terkutuk!! Iblis Rambut Emas!!"

Perempuan yang menghadang langkahnya dan 

memang Iblis Rambut Emas menyeringai.

"Sangga Rantek! Nampaknya kau begitu tergesa-

gesa sekali! Ada urusan apa, hah?!"

"Setan alas! Mengapa harus berjumpa dengan 

perempuan ini? Sejak dulu aku tahu kalau dia 

memiliki kelicikan dan ilmu yang cukup tinggi! 

Apakah kehadirannya sekarang dikarenakan dia 

telah mendengar tentang dua potongan pedang 

yang dimiliki Pemimpin Agung? Jahanam keparat!!"

Tak mau membuang waktu lebih lama, Sangga 

Rantek sudah membentak, "Menyingkir dari 

hadapanku bila tidak ingin nyawamu lepas dari 

badan!!"

Iblis Rambut Emas yang memang memutuskan 

untuk mencari Sangga Rantek, sungguh tak 

menyangka kalau dia akan berjumpa dengan orang 

itu secepat ini. Perempuan berkerudung merah yang 

kejam dan licik ini cuma tersenyum mendengar 

ucapan orang.

Melihat sikapnya Sangga Rantek makin 

bertambah gusar.

"Menyingkir kataku!!"

"Sangga Rantek... aku tidak menghalangi 

langkahmu! Mengapa harus sedemikian gusarnya?

Bukankah tak ada urusan antara kita? Kalaupun 

berjumpa sekarang, hanya kebetulan saja!"

Sepasang mata Sangga Rantek menyipit. Diam-

diam dia berkata dalam hati, "Kelicikan perempuan 

ini sangat terkenal. Namun dari sikapnya jelas kalau 

dia nampaknya memang tak menghendaki apa-apa

dariku. Lagi pula kupikir, dia tak tahu menahu soal 

Pedang Buntung yang ada padaku. Tetapi aku tak 

boleh mengambil kesimpulan seperti itu. Perempuan 

ini dapat bersikap sangat sopan dan manis melebihi 

seorang bidadari."

Seraya maju satu langkah ke depan, Sangga 

Rantek berkata dengan nada suara diturunkan, "Bila 

memang tak ada urusan, silakan kau berlalu dan 

sini."

"Aku sudah berdiri di sini. Dan rasanya... lebih 

baik kau yang menyingkir," sahut Iblis Rambut 

Emas sambil tersenyum.

'Terkutuk! Aku bertambah yakin kalau dia 

memang menghendaki sesuatu dariku. Dan apa lagi 

yang diinginkannya bila bukan Pedang Buntung 

ini?" kata Sangga Rantek dalam hati, lalu berseru, 

"Baik! Kalau begitu, aku yang menyingkir!"

Sebelum Sangga Rantek bergerak. Iblis Rambut

Emas sudah berkata, "Apakah kau tidak pernah

mendengar tentang sebilah pedang yang terpotong 

menjadi dua dan berisi titik-titik gambar? Yang bila 

kedua pedang buntung itu disatukan, merupakan 

petunjuk lengkap menuju ke sebuah tempat?"

Menegak kepala lelaki berkuncir kuda ini. 

Kembali pandangannya lurus ke depan tanpa kedip.

Lalu dengan suara dibuat bodoh dia ajukan tanya, 

"Apa maksudmu?"

Iblis Rambut Emas tersenyum tetapi mendengus 

dalam hati, "Hebat juga permainanmu, Sangga 

Rantek!"

Kemudian katanya, "Berita tentang sebilah 

pedang yang menjadi dua potong itu sudah 

terdengar ramai di rimba persilatan ini! Dua 

potongan pedang yang dimiliki oleh Pemimpin 

Agung! Tetapi sayangnya, tak seorang pun yang 

tahu siapa yang telah membunuh Pemimpin Agung. 

Bahkan satu masalah yang terpenting, dua pedang 

buntung itu sudah tak ada lagi di tempatnya."

Iblis Rambut Emas yang sengaja berkata dusta 

menghentikan kata-katanya dulu untuk melihat 

perubahan wajah Sangga Rantek. Dan dia makin 

tersenyum dalam hati begitu melihat Sangga Rantek 

tersenyum.

"Bodoh! Dia mulai terpancing ucapanku!" 

desisnya dalam hati lalu berkata, "Dan berita yang 

kudengar... kalau orang yang telah membunuh 

Pemimpin Agung adalah seorang pemuda 

berpakaian hijau pupus yang di lehernya melilit kain 

bercorak catur."

"Hei! Dari ucapan pertamanya jelas dia tidak tahu 

siapa yang telah membunuh Pemimpin Agung! 

Tetapi ucapannya barusan, dia seperti mengetahui 

sesuatu tentang pemuda berpakaian hijau pupus itu. 

Ada apa ini? Apa yang hendak dimainkannya?" 

membatin Sangga Rantek dengan kening 

dikernyitkan.

Lalu dengan pandangan curiga dia berseru, "Dari 

mana kau tahu soal itu, hah?!"

Iblis Rambut Emas makin kembangkan senyum, 

"Siapa pun orangnya yang punya telinga sudah 

tentu akan mendengar semua itu! Dan siapa lagi 

orangnya yang mempunyai ciri-ciri seperti yang 

kukatakan tadi kalau bukan Pendekar Slebor!!"

Sampai surut satu langkah ke belakang Sangga 

Rantek mendengar ucapan orang. Nampak 

kepalanya melegak dengan kedua mata membuka 

lebih lebar.

"Pendekar Slebor! Setan neraka! Jadi pemuda itu 

adalah Pendekar Slebor? Anjing kurap! Pantas kalau 

pemuda itu memiliki kepandaian yang tinggi!!" desis

Sangga Rantek terkejut dalam hati.

Kemudian katanya, "Lantas apa maksudmu 

menceritakan semua ini?"

"Aku mempunyai dendam pada Pendekar Slebor," 

kata Iblis Rambut Emas terus memainkan 

peranannya. "Pemuda itu telah membunuh kekasih 

yang sangat kucintai!"

"Iblis Rambut Emas! Setahuku kau tak 

mempunyai kekasih? Karena... mana ada lelaki yang 

mau dengan perempuan keji sepertimu, hah?!"

Iblis Rambut Emas mengikik. "Kau memang tidak 

tahu kalau aku mempunyai seorang kekasih, tak 

seorang pun yang tahu...." Lalu dalam hati dia 

melanjutkan, "Jahanam sial! Rasanya tak sabar untuk 

merobek mulut si Keparat ini!!"

"Bila memang demikian adanya, mengapa kau 

tidak langsung mencari pemuda itu?!" seru Sangga

Rantek sambil berpikir keras apa tujuan perempuan 

berkerudung merah itu sebenarnya.

"Sudah tentu aku akan mencarinya bila kumiliki 

ilmu yang dapat menandingi kesaktiannya! Hanya 

saja.., aku sadar, kalau aku akan membuang nyawa 

percuma bila tetap nekat mencari pemuda itu. 

Sangga Rantek... apakah kau tidak memikirkan 

sesuatu dari ceritaku itu?"

Sangga Rantek terdiam dulu sebelum berkata, 

"Katakan lebih jelas! Karena waktuku tidak 

banyak!!"

"Mengapa Pendekar Slebor membunuh Pemimpin 

Agung? Itulah yang seharusnya kau tanyakan! 

Sudah tentu karena dia menginginkan dua potongan 

pedang yang berisi titik gambar dan bila dijadikan 

satu, merupakan petunjuk lengkap menuju sebuah 

pulau! Apakah kau mendadak menjadi dungu, 

hah?!"

Mengkelap wajah Sangga Rantek mendengar 

ejekan si perempuan. Dengan kedua tinju mengepal 

namun berusaha tindih kegusarannya dia berseru, 

"Jelaskan!!"

"Hmmrn... dia masih berlagak bodoh," kata Iblis 

Rambut Emas dalam hati sebelum berkata, 

"Bukankah tujuan Pendekar Slebor membunuh 

Pemimpin Agung untuk mendapatkan dua 

potongan pedang itu?"

Sangga Rantek hanya menatap tajam sementara 

diam-diam berkata dalam hati, "Aku benar-benar tak 

habis pikir, apa yang sebenarnya diinginkan 

perempuan ini. Masih belum dapat kuduga kalau

dia mengetahui salah satu potongan pedang itu, 

yang merupakan Pedang Buntung berada di 

tanganku. Dan urusan ini nampaknya memang akan 

berkembang menjadi panjang. Sebaiknya, kuikuti 

saja apa maunya perempuan ini. Mudah-mudahan 

dia memang tidak tahu kalau Pedang Buntung itu 

ada padaku."

Kemudian katanya, "Jadi dengan kata lain... kau 

mengajakku untuk bergabung membunuh Pendekar 

Slebor?!"

"Benar sekali! Ternyata kau memang berotak 

cerdik! Aku tak menginginkan dua potongan 

pedang yang diambilnya! Tetapi aku menginginkan 

nyawanya!!"

Sangga Rantek keluarkan dengusan. Jelas dia tak 

bisa mempercayai ucapan Iblis Rambut Emas. 

Sementara si perempuan sendiri tertawa dan 

berusaha meyakinkan kata-katanya. Padahal dalam 

hati, dia memang mencoba mengajak Sangga Rantek 

untuk bergabung membunuh Pendekar Slebor. Bila 

pemuda itu telah tewas, dan Sangga Rantek berhasil 

mendapatkan potongan pedang itu, maka dia akan 

merebutnya. Juga bila dia yang berhasil 

mendapatkannya, maka potongan pedang lainnya, 

yang berupa Pedang Buntung dan berada pada 

Sangga Rantek. juga akan direbutnya.

Dengan kata lain, dia akan mengail di air keruh!

"Bila memang itu maumu, bagus! Aku juga punya 

urusan dengan pemuda itu!"

"Bisa kutebak! Urusanmu tentunya berhubungan 

dengan potongan pedang itu, bukan?" sambar Iblis

Rambut Emas sambil tertawa dalam hati. Dan 

sebelum Sangga Rantek menyahut dia sudah 

melanjutkan, "Kau harus berhati-hati 

menghadapinya! Karena dia berhasil membunuh 

Pemimpin Agung!"

Mendengar ucapan itu Sangga Rantek yang 

semula hendak tumpahkan amarahnya, pentangkan 

senyum.

"Perempuan ini jelas-jelas tidak tahu kalau akulah 

pembunuh Pemimpin Agung dan Pedang Buntung 

itu berada di tanganku! Bagus! Kudengar ilmunya 

lumayan tinggi! Berarti membunuh Pendekar Slebor 

akan lebih mudah ketimbang kulakukan sendiri!!"

Sementara itu Iblis Rambut Emas sedang 

membatin, "Dia telah masuk perangkap yang 

kubuat. Urusan sudah tentu akan berada di 

tanganku. Bila saja aku belum bentrok dengan 

Pendekar Slebor, sudah kubunuh dan kurebut 

Pedang Buntung itu dari tangan lelaki jahanam ini! 

Tetapi ilmunya lumayan tinggi dan tentunya dapat 

kumanfaatkan dengan mudah! Setelah itu, giliranku 

untuk membunuhnya!"

Lalu sambil pasang senyumnya, perempuan licik 

ini berkata dengan suara menggoda, "Hari semakin 

larut, bagaimana bila kita memulai sekarang?"

Sangga Rantek tak keluarkan kata kecuali segera 

berkelebat ke arah timur.

Senyuman di bibir Iblis Rambut Emas semakin 

menjadi-jadi dengan kedua bola mata cerah 

berbinar.

"Semuanya... ada di tanganku...," desisnya dan 

kejap itu pula dia segera berkelebat menyusul 

perginya Sangga Rantek.

***

7


Sinar surya kembali menerangi segenap persada. 

Udara pagi berhembus sejuk. Sisa-sisa kabut masih 

mengawang-ngawang di udara yang nampaknya tak 

lama lagi akan sirna.

Pendekar Slebor yang sengaja meninggalkan 

pertarungan dengan Dua Manusia Goa Setan, 

menghentikan langkahnya di bawah sebatang 

pohon. Di kejauhan nampak sebuah gunung 

menjulang. Sejarak seratus tombak dari tempatnya 

agak ke kanan, pematang-pematang sawah jadi 

pemandangan dengan lenggokan padi menguning 

yang dihembus angin.

"Ah, tak seharusnya kuturunkan tangan pada 

lelaki bernama Pancen Dadap itu. Tetapi bila tidak

kulakukan, justru nyawaku yang akan putus...," 

desisnya sambil menarik napas pendek. "Huh, 

urusan ini memang bikin pusing saja!"

Lalu diarahkan pandangannya ke depan.

"Pesanggrahan Bayu Api.... Itulah satu-satunya 

tempat yang dapat kujadikan patokan untuk 

menemukan Gadis Kayangan. Kendati aku mulai 

dapat menebak secara pasti urusan ini, namun 

belum dapat kuketahui tentang apa yang tergambar 

pada kedua potongan pedang itu, yang tentunya 

menunjukkan sebuah tempat. Namun apakah nama 

tempat itu dan di mana? Apa yang ada di tempat 

itu? Monyet pitak!! Rasa penasaranku makin 

menjadi-jadi!!"

Kembali anak muda urakan ini terdiam. Tahu-

tahu keningnya berkerut.

"Gadis Kayangan...," desisnya pelan. "Begitu 

banyak rahasia yang dipendamnya. Bahkan sampai 

sekarang aku belum mengetahui nama gadis itu 

sebenarnya. Yang kuketahui kalau dia murid dari 

seorang lelaki yang berjuluk Pemimpin Agung, 

tetapi siapa pula Pemimpin Agung yang tinggal di 

Pesanggrahan Bayu Air? Apakah... hei!! 

Pesanggrahan Bayu Air... Pesanggrahan Bayu Api.... 

Dua nama yang berdekatan sekali, dan seolah

bertolak belakang. Atau malah sesungguhnya 

bersatu?"

Nampak sekali kalau Pendekar Slebor berusaha 

berpikir keras. Menyusul terdengar desisannya, 

"Jangan-jangan... orang yang berada di 

Pesanggrahan Bayu Api, ada hubungan langsung 

dengan Pemimpin Agung. Bisa kupastikan 

sekarang... kalau gadis itu hendak menyerahkan 

potongan pedang yang berada padanya pada orang 

yang berada di Pesanggrahan Bayu Api. Bila 

memang demikian... kadal buntung! Sudah tentu 

gadis itu telah siuman sebelumnya! Tak ada orang 

yang datang membawanya atau membuatnya 

menghindar dari orang itu! Setelah dia siuman, dia 

langsung berlalu menuju ke Pesanggrahan Bayu Api 

yang rasanya belum diketahui di mana tempatnya. 

Tetapi mengapa dia melakukan hal itu? Monyet 

Pitak!"

Andika terdiam lagi sambil menggaruk-garuk 

kepalanya yang tidak gatal. Kejap berikutnya

terdengar makiannya, "Monyet buduk! Sudah tentu 

hal itu dilakukan karena dia tidak mempercayaiku! 

Orang utan bau! Berarti dia menduga kalau aku 

termasuk orang yang menginginkan potongan 

pedang yang berada padanya? Benar-benar kutu 

landak! Masa sih pemuda tampan sekeren dan 

segagah aku ini disamakan dengan orang-orang 

seperti Sangga Rantek dan Dua Manusia Goa Setan? 

Wah! Rupanya gadis itu tidak bisa membedakan 

mana wajah yang tampan dan mana wajah yang 

jelek!"

Pemuda berambut gondrong menggeleng-

gelengkan kepalanya, separo gemas dan mangkel.

“Huh! Lebih baik ku teruskan langkah untuk 

mencari tempat yang bernama Pesanggrahan Bayu 

Api."

Kejap kemudian, Pendekar Slebor sudah 

berkelebat meninggalkan tempat itu. Dengan 

pergunakan ilmu peringan tubuhnya yang kesohor, 

anak muda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan 

ini tiba di sebuah dusun yang cukup ramai.

Di dusun itu dia mengisi perut sebelum 

melanjutkan perjalanan kembali. Tatkala kakinya 

menginjak ujung jalan dari desa itu, mendadak saja 

dilihatnya tiga sosok tubuh berpakaian hitam 

gombrang muncul dari arah sebelah kiri. Terus 

melangkah menjauh dari dusun itu.

Bukan kemunculan ketiga orang itu yang 

membuat Andika tertarik, melainkan tatkala 

mendengar salah seorang dari mereka yang 

bercambang bawuk berkata, Tak lama lagi kita akan

tiba di Pesanggrahan Bayu Api. Menurut 

perkiraanku, bila kita terus berlari tanpa henti, tepat 

matahari masuk ke peraduannya kita sudah tiba di 

sana."

"Kasma Matur! Apakah kau yakin kalau-

Panembahan Agung saat ini tidak berada di 

tempatnya?" tanya yang melangkah di sebelah 

kanan sambil arahkan pandangan pada si Bawuk 

yang bernama Kasma Matur, sementara dia sendiri 

bernama Dirgo Kantas.

Orang yang bicara pertama tadi menganggukkan 

kepalanya. "Ya! Hari ini hari Kamis Legi. Seperti 

kebiasannya, Panembahan Agung selalu berjalan-

jalan di padang rumput yang ada di belakang 

pesanggrahan miliknya pada malam hari. Ini 

kesempatan kita untuk menguras seluruh harta yang 

dimilikinya."

"Tetapi rasanya... aku tak begitu yakin kalau 

Panembahan Agung memiliki harta seperti yang kau 

duga," kata lelaki yang melangkah di sebelah kiri. 

Dia bernama Suronto Kakak.

"Masa bodoh! Lelaki tua bertubuh kerempeng 

yang mengenakan sorban kuning di kepalanya itu 

telah mengupah kita untuk menjarah harta 

Panembahan Agung. Bukankah ini keuntungan dua 

kali lipat? Bila kita tidak berhasil menguras harta 

milik orang itu, toh kita sudah mendapatkan upah 

yang banyak?"

Kedua temannya mengangguk-anggukkan kepala 

mendengar kata-kata Kasma Matur. Mendadak

masing-masing orang terbahak-bahak dan kejap itu 

pula mulai berlari.

Sementara itu. Pendekar Slebor yang terus 

melangkah dengan memasang pendengarannya 

lebih lebar berkata dalam hati, "Ketiga orang itu 

sebangsa cecunguk-cecunguk lapar yang diupah 

seseorang yang mengenakan sorban kuning di 

kepala. Hmmm... ada apa lagi? Urasan apa yang 

akan terjadi? Mengapa orang bersorban kuning itu 

justru menyuruh mereka menjarah harta milik 

Panembahan Agung yang ternyata tinggal di 

Pesanggrahan Bayu Api? Kutu monyet! Urusan jadi 

kapiran!! Hhh! Aku ingin tahu ada apa iagi. Mudah-

mudahan Gadis Kayangan memang menuju atau 

sudah berada di Pesanggrahan Bayu Api."

Memutuskan demikian, Pendekar Slebor pun 

segera berkelebat dan menjaga jarak dari ketiga 

orang berpakaian hitam gombrang yang terus 

berlari.

***

Tepat malam mulai menyelimuti alam, ketiga 

lelaki berpakaian hitam gombrang itu tiba di sebuah 

jalan setapak yang di kanan kiri dipenuhi 

pepohonan. Masing-masing orang yang sekarang 

berada di balik ranggasan semak belukar, 

memandang ke depan.

Sejarak dua puluh tombak, nampak sebuah 

bangunan besar berdiri kokoh. Beberapa ekor 

burung malam melintas di atasnya.

"Kasma Matur... apakah bangunan itu yang 

disebut Pesanggrahan Bayu Api?" tanya Dirgo 

Kantas dengan kedua mata tak berkedip. Sedikit 

banyaknya lelaki ini merasa kecut.

Kasma Matur yang sudah dimabuk bayangan 

harta yang dapat dikurasnya mengangguk mantap.

"Ya! Menurut orang bersorban kuning, jelas itulah 

Pesanggrahan Bayu Api! Ayo, kita segera ke sana 

untuk menguras seluruh harta Panembahan Agung!"

"Kasma Matur...," berkata Suronto Kakak tanpa 

palingkan kepala dari bangunan besar itu. Lalu 

sambungnya dengan suara agak tersendat, "Aku... 

aku...."

"Apa aku-aku, hah?!" bentak Kasma Matur gusar.

Suronto Kakak menelan ludahnya. "Tempat itu... 

begitu menyeramkan. Lebih baik kita urungkan saja

niat untuk menguras hartanya...."

"Bodoh! Keuntungan kita dua kali lipat!"

"Tetapi... tempat itu seperti tempat jin buang anak! 

Aku sangsi kalau memang ada orang yang 

meninggali-nya!"

"Jangan berlaku bodoh. Suronto! Coba kau 

bayangkan! Untuk pekerjaan yang memang selalu 

kita kerjakan setiap malam, kita mendapat upah 

sepuluh keping uang perak! Nah! Bukankah ini 

suatu yang menyenangkan? Lebih menyenangkan 

lagi karena kita diberi tahu sasaran empuk yang kita 

tuju...."

“Tapi...."

"Tidak ada tapi-tapian! Ayo, kita segera ke sana!"

"Kasma Matur... apa yang dikatakan Suronto 

memang benar," kata Dirgo Kantas yang juga merasa 

tidak enak. Dalam pandangannya bangunan yang 

terkesan angker itu laksana seorang raksasa yang 

sedang tertidur dan akan murka bila diusik.

Menggeram Kasma Matur mendengar ucapan 

Dirgo Kantas. "Dasar kalian orang-orang dungu! 

Sudah seharusnya kalian senang dengan apa yang 

telah ada di hadapan kalian! Ayo, kerjakan sekarang 

juga! Aku yakin, Panembahan Agung sudah mulai 

berjalan-jalan di padang rumput di belakang 

pesanggrahannya!!"

Dirgo Kantas dan Suronto Kakak saling 

berpandangan. Wajah masing-masing orang nampak 

pucat. Sesungguhnya, kedua orang itu memang 

bukanlah orang pemberani dan kejam. Mereka 

adalah orang-orang yang memiliki hati pengecut, 

namun karena desakan perut dan dorongan Kasma 

Matur, mereka terpaksa menjadi pencuri.

Tetapi sekarang, kepengecutan mereka sudah 

nampak. Keduanya sama-sama palingkan kepala 

pada Kasma Matur yang telah berdiri dan 

menunggu tak sabar.

"Ayo! Kita kerjakan sekarang!!"

"Kasma... aku... aku tidak ikut sajalah," kata 

Suronto Kakak takut-takut.

"Bodoh!!"

"Aku juga...," sambung Dirgo Kantas.

"Dasar orang-orang dungu! Apa yang kalian 

takutkan, hah? Kita bebas menjarah harta milik 

Panembahan Agung! Lagi pula... apakah kalian

tidak berpikir kalau orang bersorban kuning itu 

akan membunuh kita bila kita tidak menjarah harta 

milik Panembahan Agung?"

"Tetapi... kakek itu... tidak berkata apa-apa.... Dia 

cuma tersenyum-senyum saja...," kata Dirgo Kantas 

dengan kening dikernyitkan. "Lagi pula... kita kan 

tidak mengenal sama sekali siapa dia. Ini patut 

dicurigai, Kasma Matur."

"Goblok! Sekarang kau ngomong begini! 

Sebelumnya, waktu kakek itu memberi kita uang, 

kau tak ngomong apa-apa! Malah petantang-

petenteng kayak jagoan!!"

Dirgo Kantas cuma terdiam namun dia berusaha 

keras untuk tidak mencapai bangunan yang 

nampaknya angker itu.

"Itu kan... itu kan...."

"Dasar bodoh!" potong Kasma Matur dengan 

kemarahan membuncah. "Kalian boleh pergi dari 

sini! Tetapi ingat, kalian tak akan mendapatkan apa 

yang akan kudapatkan!!"

"Aku tidak apa-apa," sahut Suronto Kakak sambil 

menghela napas lega.

"Aku juga.... Tetapi, tentunya kau masih mau 

memberikan sekeping uang perak itu, bukan? Hanya 

sekepiiiing saja...."

"Tidak!!" melotot mata Kasma Matur. "Kalian tak 

mendapatkan apa-apa! Cepat pergi dari sini sebelum 

golokku membelah kepala kalian!!"

Terbirit-birit dua pencuri pengecut itu mendengar 

ancaman Kasma Matur. Sepeninggal keduanya, 

lelaki bercambang bawuk ini mendengus, "Dasar

bodoh! Sasaran sudah ada di depan mata, bahkan 

tak perlu susah payah untuk mencari sasaran yang 

bermutu. Tinggal membawanya saja tidak mau!! 

Huh! Apa sih yang ditakutkan? Tak ada setan 

gentayangan di sini!"

Kasma Matur masih ngoceh melampiaskan 

jengkelnya, lalu berkata, "Akan kukerjakan 

sekarang!!"

Memutuskan demikian, lelaki bercambang bawuk 

ini segera keluar dari balik ranggasan semak 

belukar. Pandangannya ditujukan ke arah bangunan 

besar itu. Sejenak ada perasaan ngeri melihat 

bangunan yang dibayang-bayangi malam itu.

Namun apa yang ada di benaknya adalah 

memiliki harta dengan cara mudah. Dan mendadak 

bibirnya mengembang senyuman.

"Aku akan kaya... aku akan kaya...."

Sambil menyiapkan goloknya, Kasma Matur 

melangkah mengendap mendekati bangunan itu. 

Namun baru lima langkah dia bergerak, mendadak 

saja langkahnya terhenti. Karena sejarak tiga tombak 

dari hadapannya nampak satu sosok tubuh berdiri 

tegak dibalut kegelapan.

Untuk sejenak Kasma Matur termangu dengan 

kengerian yang perlahan mulai merangkulnya. Dia 

mencoba mengira-ngira siapa sosok hitam itu 

sebenarnya.

Di lain kejap dia sudah keluarkan bentakan. 

"Keparat!! Siapa kau, hah?!!"

Sosok hitam-hitam itu tak menyahut, bahkan tak 

keluarkan suara sedikit pun. Kasma Matur menjadi 

gusar. Dengan golok terangkat dia segera memburu.

Namun mendadak pula kembali dihentikan 

langkahnya, karena tiba-tibasaja sosok tubuh 

berbalut kegelapan malam itu telah lenyap dari 

pandangannya.

"Heiii!!" melengak lelaki bercambang bawuk ini 

dengan kepala menegak. Kedua matanya melotot 

lebar. "Gila! Siapa orang itu? Gerakannya seperti 

setan! Huh! Aku tak peduli apakah dia orang 

atau...."

Memutus kata-katanya sendiri, Kasma Matur 

langsung celingukan. Dan mendadak saja dia surut 

dua tindak ke belakang, karena di samping 

kanannya sosok tubuh tadi telah berdiri. Tetap tak 

bergerak dan tak keluarkan suara.

Mulailah rasa takut melingkupi lelaki bercambang 

bawuk ini. Bahkan tanpa disadarinya keringat 

dingin mulai keluar. Dan ketakutannya kian 

menjadi-jadi tatkala sosok tubuh itu lenyap begitu 

saja.

Kemudian muncul lagi di belakangnya.

Kontan melonjak lelaki ini. Kejap berikutnya dia 

sudah berlari lintang pukang menuju jalan semula. 

Jeritannya cukup menggema di malam sepi.

Sepeninggal Kasma Matur, sosok tubuh yang tadi 

dilihat lelaki itu keluarkan dengusan.

"Huh! Sok berani! Tidak tahunya sebangsa tikus!!"

Lalu perlahan-lahan orang yang tadi menakut-

nakuti Kasma Matur dan tak lain Pendekar Slebor

adanya, putar tubuh dan memperhatikan bangunan 

besar di hadapannya.

"Pesanggrahan Bayu Api...," desisnya tanpa kedip. 

"Tak salah lagi kalau memang inilah tempat itu. 

Apakah saat ini Gadis Kayangan berada di sini?"

Kembali anak muda urakan ini terdiam sebelum 

mendesis lagi, "Selain dua potongan pedang yang 

bila disatukan akan menjadi petunjuk tergambar ke 

satu tempat yang masih jadi masalah, aku yakin 

masih ada masalah lain yang akan mengembang. 

Siapakah orang bersorban kuning yang menyuruh 

ketiga lelaki itu menjarah harta milik Panembahan 

Agung? Dan apa maksudnya menyuruh ketiga 

bangsa tikus yang sesungguhnya tidak mempunyai 

nyali untuk melakukannya?"

Andika garuk-garuk kepala sambil mencoba 

memikirkannya.

"Apakah urusan ini merupakan satu kesatuan 

dengan urusan si Gadis Kayangan? Atau memang 

ada urusan yartg harus diselesaikan?"

Selagi anak muda urakan ini berpikir, mendadak 

saja terdengar bentakan sengit, "Sejak semula... aku 

sudah yakin kau bukanlah orang baik-baik! Terbukti 

akhirnya kau tiba di Pesanggrahan Bayu Api!"

***

8


Seketika Andika putar tubuh ke samping kiri.

Dilihatnya satu sosok tubuh telah berdiri di 

hadapannya. Bila saja Andika tidak mengenali suara 

itu, dapat dipastikan dia akan membutuhkan waktu 

beberapa kejap untuk mengenali orang yang 

bersuara tadi.

Kejap kemudian anak muda ini tertawa.

"Gadis Kayangan.... Tak salah aku berpikir, kalau 

kau memang menuju ke Pesanggrahan Bayu Api."

Orang yang keluarkan bentakan yang tak lain 

Winarsih alias Gadis Kayangan, hanya terdiam. 

Gadis berpakaian biru muda ini memang masih

belum sepenuhnya dapat memutuskan apakah 

pemuda di hadapannya ini sebangsa kawan atau 

lawan. Hingga sikapnya agak berhati-hati. Terlebih 

lagi pemuda itu telah mendahuluinya tiba di 

Pesanggrahan Bayu Api.

Karena tak terdengar jawaban gadis di 

hadapannya, Andika berkata, "Aku datang ke sini... 

ya, karena teringat kalau kau sedang menuju ke 

tempat yang bernama Pesanggrahan Bayu Api. 

Terus terang, aku cukup bingung tatkala menyadari 

kau menghilang. Bingung ya... bukan karena takut 

kau kenapa-napa. Tapi kapan lagi sih aku bisa 

menikmati wajah cantik yang sedang terpejam...."

Bila saja malam tidak begitu pekat, sudah tentu 

Andika dapat melihat wajah Winarsih yang 

memerah. Akan tetapi kejap berikutnya si gadis

sudah berkata, "Aku tahu kau telah menolongku! Ya! 

Kuucapkan terima kasih! Sekarang, tinggalkan 

tempat ini!!"

Andika nyengir sambil garuk-garuk kepalanya. 

"Memangnya kenapa sih? Akukan tidak melakukan 

apa-apa. Kok bawaannya curigaan melulu?"

Sejenak Winarsih agak tergugu sebelum terdengar 

suaranya, "Andika! Aku hanya tahu namamu saja, 

aku tidak tahu siapa kau adanya! Tetapi sebaliknya, 

tentunya kau telah tahu siapa aku, bukan? Sangga 

Rantek sudah jelas akan membuka mulut."

"Tidak salah! Dia menginginkan potongan pedang 

yang ada padamu! Terus terang, semula aku tak 

begitu memahami persoalan yang ada. Tetapi karena 

aku punya otak dan mau kugunakan untuk berpikir, 

lambat laun sedikit banyaknya dapat kuketahui apa

yang telah terjadi. Hanya saja, aku tak tahu tempat 

apa yang menjadi tujuan dari rangkaian titik-titik 

yang tertera bila dua potongan pedang satu sama 

lain disatukan."

"Sikap pemuda ini begitu tulus. Sepasang matanya 

selalu berkilat-kilat Jenaka. Ah, bila saja aku tidak 

berada dalam suasana seperti ini, sudah tentu aku 

bersedia menjadi sahabatnya. Namun, di rimba 

persilatan ini sangat sukar mengetahui kesungguhan 

hati seseorang," kata Winarsih dalam hati.

Dan sebelum dia buka mulut, Andika sudah 

mendahului, "Mengapa kau mengatakannya ada 

padaku? Nah, nah... kau mau memfitnah, ya? 

Busyet! Fitnah itu lebih kejam daripada tidak 

memfitnah, lho!"

Agak malu juga Winarsih mendengar kata-kata 

itu. Tetapi dia tidak peduli.

"Potongan pedang itu memang ada padaku! Dari 

ucapanmu tadi, kau telah tahu apa yang telah 

terjadi. Mengapa kau tak segera merebutnya dariku, 

Andika?"

"Busyet! Kok merebutnya? Buat apa? Mendingan 

aku membeli yang utuh di Kotapraja!"

"Ah, perasaanku mulai bertambah bingung 

sekarang. Aku harus mengambil keputusan. 

Pesanggrahan Bayu Api sudah berada di hadapan, 

selekasnya aku harus menyerahkan potongan 

pedang ini pada Panembahan Agung. Pemuda ini 

harus kusingkirkan."

Memutuskan demikian, dengan pandangan mata 

masih waspada, Winarsih berkata, "Bila kau tak 

menghendakinya... silakan menyingkir atau kita 

akan bertarung!"

"Monyet pitak! Aku memang tak bisa 

menyalahkan sikapnya!" kata Andika dalam hati. 

Lalu sambil nyengir dia berkata, "Kalau memang 

begitu... ya tidak apa-apa. Tapi... apakah kau tidak 

berpikir, bila aku menginginkan potongan pedang 

itu, sejak kau pingsan aku sudah mengambilnya. 

Bahkan dengan mudah aku dapat membunuhmu 

atau melakukan sesuatu yang tidak sopan padamu. 

Tetapi kan... semuanya tidak kulakukan. Itu 

bertanda aku ini orang baik-baik. Iya, nggak? Iya, 

nggak?"

"Yang kupikirkan waktu itu memang demikian 

adanya. Tetapi aku tak peduli. Aku ingin bertemu

dengan Panembahan Agung tanpa ada yang 

mengganggu!"

Habis berpikir demikian, Winarsih berkata, 

"Tinggalkan tempat ini, Andika! Sekali lagi 

kukatakan padamu, aku berterima kasih karena kau 

telah menyelamatkanku dari tangan Sangga 

Rantek!!"

"Sama-sama...," sahut Andika sambil 

membungkuk. Lalu segera berbalik dan melangkah 

seraya mendengus dalam hati, "Busyet! Sudah 

capek-capek sampai di sini, eh, cuma diusir doang! 

Dasar nasib lagi apes!!"

Sementara itu Gadis Kayangan masih tegak di 

tempatnya. Dia masih hendak meyakinkan kalau 

pemuda berbaju hijau pupus itu telah berlalu. 

Setelah sosok Andika lenyap dari pandangannya, 

barulah murid mendiang Pemimpin Agung ini 

balikkan tubuh kembali mengarah pada 

Pesanggrahan Bayu Api.

Sejenak gadis ini tak lakukan apa-apa sebelum 

akhirnya berkata, "Akhirnya aku berhasil juga 

menemukan Pesanggrahan Bayu Api. Beruntung 

karena petani yang kutanya tahu di mana 

pesanggarahan ini berada. Ya, ya... aku tak boleh 

buang waktu lagi. Potongan pedang ini harus 

kuserahkan pada Panembahan Agung dan mudah-

mudahan aku dapat mengetahui ada apa di balik 

semua ini...."

Memutuskan demikian, Gadis Kayangan segera 

berkelebat cepat mendekati Pesanggrahan Bayu Api. 

Tiba di muka halaman tempat itu, dia terkagum

kagum sendiri. Karena tiang-tiang penyangga 

pesanggrahan ini lebih besar dari pesanggrahan di 

mana dia sebelumnya tinggal bersama Pemimpin 

Agung. Halamannya luas dikelilingi dinding yang

cukup tinggi. Namun pintu gerbang halaman itu tak 

tertutup, dibiarkan terbuka seolah menyambut 

kedatangan siapa saja.

Habis kagumi apa yang ada di sekitarnya, 

Winarsih berkelebat masuk. Sebuah pintu besar 

bergambar ukiran angin dan api berdiri kokoh di 

hadapannya.

Dan yang mengejutkan, sebelum Winarsih 

mengetuknya, pintu itu sudah terbuka diiringi suara 

lembut, "Silakan masuk, Anakku..."

Tercengang Winarsih mendengar suara itu."

"Oh! Suara itu tentunya suara Panembahan 

Agung. Dia telah tahu aku tiba di sini," katanya 

dalam hati dan perlahan-lahan melangkah.

Kembali terdengar suara bijaksana itu, "Berbelok 

ke kiri. Ada tiga buah pintu di sana. Masuklah 

melalui pintu yang tengah. Setelah itu berbelok ke 

kanan. Kau akan menjumpaiku di ruangan itu, 

Anakku."

Sambil memandang sekelilingnya dengan penuh 

rasa takjub, Winarsih mengikuti petunjuk suara itu. 

Akhirnya dia pun tiba di sebuah tempat yang cukup 

luas. Tiang-tiang penyangga ruang itu berukir angin 

dan api. Atapnya cukup tinggi.

Namun Winarsih tak melihat siapa pun yang 

berada di sana.

Tetapi hanya sekejap karena di kejap berikutnya, 

satu sosok tubuh tinggi kurus telah berdiri di 

hadapannya. Sosok lelaki tua dengan rambut, kumis, 

dan jenggot yang memutih itu pentangkan senyum. 

Pakaiannya putih panjang dengan sulaman angin 

dan api berwarna biru dan merah. Pancaran 

matanya begitu teduh sekali. Winarsih seolah 

melihat gurunya yang berada di hadapannya.

"Selamat datang di Pesanggrahan Bayu Api, 

Anakku...," kata orang tua itu dengan suara 

lembutnya.

Segera Winarsih rangkapkan kedua tangannya di 

depan dada.

"Kakek... terimalah hormatku...."

"Duduklah...."

Lalu masing-masing orang duduk bersila sejarak 

lima langkah satu sama lain.

Winarsih memandangi lelaki tua di hadapannya 

dengan sorot mata kagum Jadi inilah Panembahan 

Agung, kakak seperguruan gurunya yang sering 

diceritakan gurunya. Sikap lelaki ini benar-benar 

sangat bijaksana.

"Anakku... aku tahu apa maksud kedatanganmu 

ke sini. Kau hendak menyerahkan potongan pedang 

itu, bukan?"

Winarsih menganggukkan kepalanya. Dilihatnya 

Panembahan Agung mengusap jenggot putihnya.

"Berarti... dia telah tewas, bukan?"

Kembali Winarsih menganggukkan kepalanya. 

Dia bisa menduga, bila suatu saat dia akan muncul 

di Pesanggrahan Bayu Api, berarti secara tidak

langsung mengabarkan gurunya yang telah tewas. 

Dan tentunya semua itu telah disusun rapi antara 

gurunya dengan Panembahan Agung.

"Dunia memang kejam, Anakku.... Selama dunia 

masih berputar maka darah akan bersimbah. 

Kekejaman akan terjadi terus menerus. Baik di 

dalam diri maupun di dalam diri orang lain. 

Anakku... siapa yang telah membunuh Pemimpin 

Agung?"

"Orang yang bernama Sangga Rantek, Kakek."

"Ternyata memang masih ada orang yang 

menghendaki kedua potongan pedang itu, Anakku... 

mana kedua potongan pedang itu?"

Dengan hati-hati Winarsih mengambil potongan 

pedang yang dibungkus kain pulih. Lalu 

diserahkannya pada lelaki tua di hadapannya.

Panembahan Agung memandang dulu sebelum 

berkata, "Rasa beratnya berkurang. Apakah hanya 

sebuah potongan saja yang berada di dalamnya, 

Anakku?"

"Betul, Kek. Karena potongan pedang yang lain 

telah berhasil direbut Sangga Rantek."

"Mengapa yang ini tidak direbutnya?"

"Kakek... nampaknya Guru memang telah 

menduga, lambat laun akan datang orang yang 

menginginkan potongan pedang ini. Maka tiga 

bulan lalu, dia menyerahkan potongan pedang ini 

padaku sementara potongan pedang lainnya yang 

berupa Pedang Buntung, tetap berada padanya. 

Guru tak pernah menceritakan tempat apa yang 

tergambar pada kedua potongan Pedang Buntung

itu bila disatukan. Bahkan hingga saat ini, aku belum 

pernah melihatnya, Kakek...."

Panembahan Agung mengangguk-anggukkan 

kepala. Lalu pelan-pelan dia mulai membuka kain 

putih pembungkus potongan pedang itu. Dengan 

pergunakan tangan kanannya diambilnya potongan 

pedang yang merupakan bagian atas dari potongan 

pedang lainnya yang sekarang berada di tangan 

Sangga Rantek.

Cukup lama lelaki bijaksana ini memperhatikan 

potongan pedang yang ternyata terbuat dari perak, 

sebelum akhirnya menghela napas panjang.

"Anakku...," katanya kemudian. "Memang sulit 

menentukan di mana tempat yang tergambar pada 

potongan pedang ini bila belum disatukan dengan 

potongan lainnya. Bahkan kita tak bisa mengira-

ngira sedikit pun juga"

"Lantas... apa yang harus kita lakukan, Kakek?"

"Jalan satu-satunya... mengambil kembali 

potongan pedang satunya lagi yang berada di 

tangan Sangga Rantek."

Entah mengapa Winarsih merasa tidak enak 

mendengar ucapan itu. "Hhh! Sudah capek-capek 

datang ke sini, eh ternyata justru tak mendapatkan 

hasil apa-apa. Kalau tahu begitu, aku langsung saja 

merebut potongan pedang satunya lagi, yang berupa 

Pedang Buntung dan sekarang berada di tangan 

Sangga Rantek," kata gadis itu dalam hati. Di kejap 

lain dia segera menyambung, "Ah, aku paham apa 

maksud Guru sebenarnya. Tentunya Guru mencoba 

untuk menyelamatkan jiwaku. Karena bila potongan

pedang ini terus menerus berada di tanganku, sudah 

tentu orang-orang serakah itu akan terus 

memburuku. Tetapi, mengapa tidak sejak dulu Guru 

menyerahkan saja potongan pedang itu pada 

Panembahan Agung?"

Di depan, Panembahan Agung sedang usap-usap 

jenggot putihnya. Potongan pedang perak itu telah 

terbungkus rapi kembali.

"Anakku... dua potongan pedang perak ini 

sebenarnya sudah berpuluh tahun berada di 

tanganku. Warisan dari seorang guruku dan juga 

Guru dari gurumu yang bernama Eyang Mega 

Tantra. Entah apa yang tersembunyi pada tempat 

yang tergambar pada rangkaian titik yang ada pada 

dua potongan pedang perak ini. Saat itu, aku berusia 

sekitar tujuh belas tahun sementara gurumu berusia 

sekitar lima belas tahun. Kendati hati kami 

penasaran ingin mengetahui, tetapi kami tak ingin 

menunjukkannya. Apalagi Eyang Mega Tantra tak 

mengizinkan kami untuk bertanya kecuali 

menyimpannya."

Penembahan Agung terdiam. Pandangannya 

memandang jauh ke depan. Lalu melanjutkan, "Pada 

Suatu malam, entah bagaimana mulanya, kami tak 

melihat lagi Eyang Mega Tantra di tempat 

bersemadinya. Saat itu kami berpikir, kalau Eyang 

Mega Tantra sedang melakukan satu perjalanan. 

Namun sampai lima tahun berlalu, Eyang Mega 

Tantra tak pernah muncul. Dan dalam waktu lima 

tahun itu, telah banyak para tokoh sesat yang 

menghendaki dua potongan pedang perak ini.

Sudah tentu karena amanat, aku dan gurumu tak 

memberikan. Berulangkali kami harus bertarung 

mempertahankan dua potongan pedang itu. Hingga 

kemudian, karena Eyang Mega Tantra tak kembali 

lagi, kami memutuskan untuk meninggalkan 

perguruan."

"Lalu apa yang Kakek dan Guru lakukan?"

Panembahan Agung tersenyum. "Kau seharusnya 

memanggilku dengan sebutan Guru juga. Tetapi aku 

menyukai kau memanggilku Kakek." Lalu 

dilanjutkan lagi ceritanya, "Kami terus melangkah 

dengan menghadapi segala macam halang rintang 

terutama dari orang-orang yang menginginkan dua 

potongan pedang ini. Kami memang selalu berhasil 

mengatasi setiap masalah kendati aku atau gurumu 

harus menerimanya dengan tubuh penuh luka. Lima

tahun pun berlalu dan kami tetap tak menemukan di 

mana Eyang Mega Tantra berada. Akhirnya 

kuputuskan untuk berpisah. Masing-masing orang 

memegang satu potong pedang. Dengan cara 

berpisah seperti itu, memang akan sulit bagi orang 

untuk mendapatkan dua potongan pedang secara 

bersamaan. Setelah tiga puluh tahun kemudian, aku 

dan gurumu bertemu kembali. Kami pun berpikir 

untuk mengetahui apa sesungguhnya yang tertera 

pada kedua potongan pedang itu. Dan yang 

tergambar kemudian, adalah sebuah pulau yang 

bernama Pulau Hitam...."

"Pulau Hitam?" ulang Winarsih agak tercekat.

"Ya! Pulau Hitam! Sebuah tempat yang 

nampaknya cukup jauh bila mengikuti alur

perjalanan dalam titik-titik gambar yang merupakan 

petunjuk pada kedua pedang buntung itu."

"Apakah yang ada di Pulau Hitam itu, Kek?"

Panembahan Agung menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak tahu sama sekali. Begitu pula dengan 

gurumu. Sebenarnya, kami telah melanggar amanat 

dari guru kami, untuk tidak menyatukan potongan 

pedang itu. Tetapi sekian puluh tahun kami tak 

pernah berjumpa dengan Eyang Mega Tantra. 

Sampai kemudian aku berdiam di Pesanggrahan 

Bayu Api, sementara gurumu berada di 

Pesanggrahan Bayu Air. Dan dia beruntung karena 

mendapatkan murid jelita sepertimu. Anakku...."

Winarsih cuma tersenyum saja.

"Bukankah tadi Kakek mengatakan kalau aku se-

arusnya memanggil Guru pada Kakek? Dengan kata 

lain, aku juga muridmu, bukan?"

Ganti Panembahan Agung tersenyum.

"Terima kasih bila kau bersedia seperti itu."

"Kek... apakah Kakek masih ingat sambungan dari 

titik-titik gabar pada potongan pedang yang dimiliki 

Sangga Rontek?"

"Anakku... hal itu sudah berlangsung cukup lama. 

Hanya sedikit yang masih kuingat."

"Berarti... bila kedua potongan pedang itu tak 

disatukan, kita tak akan mendapatkan petunjuk 

yang pasti? Dengan kata lain, kita tak akan pernah 

tahu ada rahasia apa di Pulau Hitam, bukan?"

"Begitulah keadaannya. Tetapi kupikir, itu juga 

jalan yang terbaik hingga darah tak akan tumpah 

dan nyawa tak akan melayang lagi."

Winarsih yang setelah mendengar penuturan 

Panembahan Agung dan menjadi penasaran, tak 

berani menunjukkan rasa penasarannya. Sebelum 

dia membuka mulut, mendadak dia kerutkan kening 

tatkala mendengar suara Panembahan Agung, "Sejak 

tadi aku sudah tahu kau mencuri dengar percakapan 

kami, Anak Muda. Tetapi apakah kau tidak lebih 

baik segera masuk secara sopan di tempatku ini?"

Belum lagi Winarsih mengerti apa yang dimaksud 

Panembahan Agung, tiba-tiba dilihatnya lelaki tua 

bijaksana itu mengangkat tangannya.

Dan entah bagaimana terjadinya, mendadak atap 

di sebelah kiri di mana dia duduk bersila, terbuka. 

Meluncur satu sosok tubuh disertai teriakan terkejut, 

"Waddoouuuwww!!"

Lalu seperti nangka busuk sosok tubuh itu 

terhempas ke lantai. Sementara atap yang tadi 

terbuka, mendadak tertutup kembali tatkala 

Panembahan Agung menurunkan tangannya yang 

terangkat.

Seketika terdengar suara Winarsih, "Lagi-lagi kau!! 

Apa sih sebenarnya yang kau inginkan?!"

***

9


Pada saat yang bersamaan di sebelah timur 

Pesanggrahan Bayu Api, dua sosok tubuh hentikan 

langkahnya. Masing-masing orang memandang tak 

berkedip pada satu sosok tubuh yang berlari sambil 

berteriak-teriak ketakutan, "Setaaann! Setaaannnn!!"

Lelaki berpakaian serba hitam yang rambutnya di-

kuncir kuda merandek dingin.

"Kau tahu apa yang dialami lelaki bercambang 

itu?" desisnya pada perempuan berjubah dan 

berkerudung merah yang berdiri di sebelah kirinya.

Si perempuan yang tak lain Iblis Rambut Emas 

adanya mendengus.

"Mengapa kau tak tanyakan sendiri, hah?!"

Lelaki berkuncir yang bukan lain Sangga Rantek 

adanya menggeram dingin. Lalu dengan satu 

lompatan ringan tangan kanannya telah 

mencengkeram bahu lelaki bercambang bawuk yang 

ternyata Kasma Matur.

Kontan Kasma Matur berteriak-teriak makin 

ketakutan.

"Lepaskan! Lepaskan!! Ampuuuunnn! Jangan 

makan saya! Jangan bunuh saya!!"

Menggeram Sangga Rantek, "Diaaamm! Jangan 

berlaku bodoh di hadapanku!!"

Kasma Matur yang makin ciut hatinya semakin 

menjadi-jadi berteriak. Hal itu membuat Sangga 

Rantek menjadi geram. Hampir saja dia turunkan 

tangan bila Iblis Rambut Emas tidak menahan.

Gusar bukan buatan lelaki kejam itu, "Apa 

maksudmu, hah?!"

"Tahan sedikit amarahmu! Aku menangkap 

sesuatu dari sikap lelaki itu! Usahakan agar dia 

tenang!!"

Dengan hati mangkel, Sangga Rantek melempar 

tubuh Kasma Matur yang langsung terjerembab ke 

tanah.

Buukkk!!

Wajahnya kontan mencium tanah. Dengan kaki 

kanan Iblis Rambut Emas membalikkan tubuh 

Kasma Matur yang terlentang tak berani membuka 

mata. Napas lelaki bercambang bawuk itu naik 

turun dengan cepat.

"Tenanglah sedikit! Kami orang baik-baik! 

Katakan... apa yang telah terjadi...."

Kendati mendengar suara orang, Kasma Matur 

belum berani membuka matanya. Bahkan mulutnya 

semakin dirapatkan.

Sangga Rantek mendengus, "Tinggalkan dia bila 

kau masih mau bergabung denganku untuk 

membunuh Pendekar Slebor!!"

Iblis Rambut Emas langsung palingkan kepala. 

Pandangan perempuan berjubah merah ini tajam 

menusuk, tanda dia tak suka mendengar ucapan 

orang. Dan sesungguhnya dia memang tidak 

menyukai Sangga Rantek. Hanya karena dia tak mau 

rencananya gagal, makanya dia terus mengikuti 

Sangga Rantek.

Tanpa sahuti ucapan Sangga Rantek, Iblis Rambut 

Emas kembali menatap Kasma Matur yang tetap

memejamkan matanya. Lalu dengan suara dibuat 

lembut, dia berkata, "Katakan pada kami, apa yang 

telah terjadi?"

Lagi-lagi Kasma Matur tak berani membuka 

mulut. 

Iblis Rambut Emas yang yakin kalau ada sesuatu 

yang telah dialami oleh lelaki bercambang bawuk ini 

mencoba untuk bersabar kendati hatinya sudah tak 

dapat bersabar.

Sesungguhnya saat berlari bersama Sangga Rantek 

dia juga sudah tak bisa menahan sabar untuk segera 

membunuh lelaki berpakaian serba hitam itu. Paling 

tidak, ini adalah kesempatannya untuk 

mendapatkan Pedang Buntung yang ada pada 

Sangga Rantek.

Namun dia masih menahan diri karena dia 

menginginkan sekali kayuh dua pulau terlampaui. 

Setelah berhasil mendapatkan potongan pedang 

yang diyakininya ada pada Pendekar Slebor, barulah 

dia merebut Pedang Buntung lainnya sekaligus 

membunuh lelaki berkuncir kuda ini.

Sementara itu, merasa tak mendengar lagi suara 

orang, Kasma Matur perlahan-lahan membuka 

matanya. Yang pertama kali dilihat adalah wajah 

jelita Iblis Rambut Emas. Sejenak lelaki ini ternganga 

dengan sorot mata tak berkedip. Namun begitu 

melihat wajah Sangga Rantek, kontan dia menjerit 

dan bangkit terbirit-birit, 

"Setaaaannnn!!"

Tetapi Iblis Rambut Emas sudah menahan kerah 

bajunya, sementara Kasma Matur masih terus berlari

sekuat tenaga. Tatkala disadarinya kalau dia hanya 

lari di tempat, melengak lelaki bercambang bawuk

ini menoleh ke belakang. Dan....

Duukkk!!

Tangan kanan Iblis Rambut Emas sudah 

menghantam dadanya hingga lelaki itu tersuruk ke 

belakang. Bila saja Iblis Rambut Emas menghendaki, 

saat itu juga Kasma Matur sudah terkapar menjadi 

mayat.

"Jangan bertingkah lagi di hadapan kami!!" 

menggelegar suara perempuan berkerudung merah. 

Kejelitaan wajahnya seketika lenyap. "Katakan! Apa 

yang terjadi?!"

Tersentak mendengar kerasnya suara orang, 

terburu-buru Kasma Matur menceritakan apa yang 

terjadi. Saat bercerita, terkadang wajahnya begitu 

serius, sombong, congkak, dan ketakutan.

Masing-masing orang yang mendengar secara tak 

sengaja berpandangan.

"Pesanggrahan Bayu Api...," desis Iblis Rambut 

Emas. Lalu segera ajukan tanya, "Di mana tempat itu 

berada?"

"Oh! Jangan! Jangan kalian ke sana! Ada setan 

gentayangan yang mengganggu!!" seru Kasma 

Matur dengan wajah pias. Terkenang kembali 

bagaimana setan hitam mempermainkannya. Dan 

dia bersyukur karena setan itu tidak mencekik 

lehernya.

"Kami tak peduli! Di mana tempat itu?"

"Jangan! Jangan! Kalian akan menyesal! Kalian 

akan menyesal!! Kalian akan...."

Plak!

Kata-kata Kasma Matur terputus karena tangan 

kiri Sangga Rantek sudah menamparnya.

"Jangan bertele-tele! Di mana tempat itu berada?!!"

Sadarlah Kasma Matur kalau dia seharusnya lebih 

takut pada kedua orang ini ketimbang setan hitam 

yang dilihatnya. Sambil menahan sakit pada pipi 

kirinya, terbata-bata Kasma Matur berkata, "Kalian... 

kalian... terus saja berjalan.... Jangan berbelok-belok 

sedikit pun juga.."

"Bagus! Sekarang katakan, siapa yang telah 

memerintahkanmu untuk menjarah harta 

Panembahan Agung?!" seru Sangga Rantek dengan 

sorot mata tajam.

Sementara itu Iblis Rambut Emas langsung 

palingkan kepalanya pada lelaki berhidung bengkok 

itu. "Apa yang dimaksudnya? Mengapa dia 

menduga ada orang yang menyuruh lelaki dan 

kedua temannya ini menjarah tempat Panembahan 

Agung?"

Kasma Matur sendiri merasa lebih baik menjawab, 

"Aku... aku tidak tahu siapa namanya.... Orangnya 

tinggi kurus... di kepalanya ada sorban warna 

kuning...."

Sangga Rantek nampak terdiam dengan kening 

dikernyitkan. Di lain pihak Iblis Rambut Emas 

membatin, "Gila! Hebat juga lelaki keparat ini, bisa 

tahu kalau Kasma Matur dan kedua rekannya yang 

telah melarikan diri lebih dulu diperintah oleh 

orang. Tetapi... siapa orang yang mempunyai ciri 

mengenakan sorban di kepala?"

Terdengar suara Sangga Rantek pada Iblis Rambut 

Emas, "Apa yang kau pikirkan?"

"Jalan satu-satunya... kita harus ke Pesanggrahan 

Bayu Api. Barangkali saja Pendekar Slebor memang 

berada di sana."

"Bagaimana dengan lelaki ini?"

"Untuk apa dia dibiarkan hidup?"

Habis kata-katanya, Iblis Rambut Emas langsung

menggerakkan tangan kanannya. 

Praaakkk!!

Kepala Kasma Matur langsung pecah dan 

sosoknya ambruk setelah keluarkan desisan 

tertahan.

"Jangan bertindak gegabah di sana. Ingat, 

Pendekar Slebor telah membunuh Pemimpin 

Agung," kata Iblis Rambut Emas dengan wajah 

serius, padahal dia tertawa dalam hati.

Dilihatnya bagaimana Sangga Rantek mendengus. 

Lalu dengan suara merendahkan dia berkata, 

"Jangan terlalu percaya akan kepandaian orang 

hanya karena julukannya saja. Kalaupun dia berhasil 

membunuh Pemimpin Agung tentunya hanya 

kebetulan saja. Lain halnya bila aku yang 

membunuh." Lalu sambungnya dalam hati, 

"Perempuan ini masih tidak tahu kalau akulah yang 

telah membunuh Pemimpin Agung."

Kejap berikutnya dia sudah berlari ke arah yang 

ditunjuk Kasma Matur.

Iblis Rambut Emas tersenyum penuh arti, lalu 

segera menyusul.

***

Cukup jauh agak ke kanan dari tempat di mana 

Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas bertemu 

dengan Kasma Matur, lelaki berusia sekitar lima 

puluh tahun yang di lehernya tergantung kalung 

tengkorak itu, menarik napas pendek. Kejap 

kemudian meludahi dua sosok mayat yang tak lain 

Dirgo Kantas dan Suronto Kakak.

"Orang-orang tak berguna! Bila tak memiliki 

kepandaian apa-apa, jangan menjual lagak!!" dengus 

orang ini yang tak lain Ki Pasu Suruan.

Setelah menguburkan mayat Ki Pancen Dadap, 

salah seorang dari Dua Manusia Goa Setan ini tak 

mau membuang waktu untuk berdiam lebih lama. 

Dengan membawa dendam tinggi dan kemarahan 

yang alang kepalang, Ki Pasu Suruan segera 

memburu Pendekar Slebor.

Namun hingga hari ini, dia belum berhasil 

menemukan jejak Pendekar Slebor. Dan selagi dia 

berhenti melangkah, dilihatnya dua sosok tubuh 

sedang berlari. Dari mulut masing-masing orang 

terdengar suara yang mengisyaratkan kalau mereka 

sedang merasa lega dan beruntung karena telah 

terhindar dari sesuatu yang menakutkan.

Karena berharap kedua orang itu dapat dijadikan 

sebagai tempat bertanya tentang Pendekar Slebor, 

lelaki bengis ini segera menghadang. Sudah tentu 

Dirgo Kantas dan Suronto Kakak terkejut. Terlebih 

lagi tatkala orang di hadapannya menanyakan 

sesuatu yang tak bisa mereka jawab.

Dan itu merupakan kesalahan yang sangat fatal. 

Karena begitu masing-masing orang mengatakan 

tidak tahu, Ki Pasu Suruan sudah berkelebat cepat. 

Tangan kanannya bergerak dua kali dalam waktu 

yang hampir bersamaan.

Menyusul ambruknya masing-masing orang 

dengan kepala pecah.

"Hhh! Siapa pun orangnya yang tak bisa 

memberikan jawaban di mana Pendekar Slebor 

berada dia akan mampus di tanganku!" dengus Ki 

Pasu Suruan geram.

Lalu diarahkan pandangannya ke kejauhan. Yang 

nampak hanya kegelapan semata. Di langit awan-

awan hitam seolah tak mau bergerak dan terus 

berupaya memadamkan sinar Ratu Malam. 

Sementara udara semakin bertambah dingin.

"Bermula urusan kedua potongan pedang yang 

ingin kudapatkan. Aku telah tiba di Pesanggrahan 

Bayu Air. Tetapi yang kutemukan hanyalah mayat 

Pemimpin Agung. Entah siapa yang telah 

membunuhnya. Kurang ajar! Sudah tentu 

pembunuh itu telah mendapatkan dua potongan 

pedang berisikan rangkaian titik gambar sebagai 

patokan menuju Pulau Hitam."

Sesaat lelaki ini terdiam sebelum melanjutkan, 

"Urusan masa lalu Guru yang berusaha untuk 

mendapatkan dua potongan pedang itu selalu gagal. 

Bahkan dia harus tewas di tangan Panembahan 

Agung dan Pemimpin Agung. Dan aku harus 

melanjutkan cita-cita Guru untuk mendapatkan dua 

potongan pedang itu. Aku harus tahu apa yang

tersimpan di Pulau Hitam. Tetapi... justru nyawa 

Pancen Dadap yang harus melayang di tangan 

Pendekar Slebor! Jahanam terkutuk! Pemuda itu 

harus mampus di tanganku!!"

Mendadak saja lelaki ini mendorong tangan 

kanannya ke depan.

Wusss!!

Menghampar satu gelombang angin yang 

timbulkan suara bergemuruh. 

Blaaarrr!!

Tanah yang terhantam langsung rengkah dan 

bermuncratan di udara.

Di tempatnya Ki Pasu Suruan menggeram dengan 

dada naik turun. Wajah kejamnya menekuk dengan 

kemarahan yang telah menggunung.

"Pemuda keparat itu harus mampus! Dia harus 

mampus! Peduli setan aku mendapatkan atau tidak 

dua potongan pedang perak yang berada padanya!!"

Kembali lelaki berkalung tengkorak ini 

lampiaskan kemarahannya dengan melepaskan 

pukulan jarak jauhnya berulang kali. Hingga 

sambung menyambung suara letupan dan tanah 

terbongkar terjadi.

Tubuh salah seorang dari Dua Manusia Goa Setan 

ini menggigil dengan kedua tangan bergetar.

"Pesanggrahan Bayu Air... ya, ya... di sanalah 

Pemimpin Agung tinggal! Dan Pesanggarahan Bayu 

Api... di sanalah Penambahan Agung menetap! 

Lebih baik... aku menuju ke sana! Mudah-mudahan 

Pendekar Slebor berada di sana! Jahanam sial! 

Rupanya pendekar yang dipuja banyak orang

karena sepak terjangnya, justru tak jauh berbeda 

denganku! Dengan orang-orang golongan sesat 

lainnya! Hhh! Beruntung aku mendengar kabar 

kalau pemuda dari Lembah Kutukan itulah yang 

memiliki dua potongan pedang perak!!"

Habis menggeram sekali lagi, dengan wajah yang 

menyiratkan dendam setinggi gunung, lelaki 

berpakaian kuning-kuning ini segera melesat 

meninggalkan tempat itu.

Bertepatan terdengar kokok ayam jantan di 

kejauhan, tanda kehidupan awal hari dimulai 

kembali.

***

10


Orang yang jatuh dari atap itu bangkit perlahan-

Iahan. Bukannya menunjukkan tanda kesakitan, dia 

justru cengar-cengir saja. Bahkan mengangkat 

tangan kanannya ke kening pada Winarsih yang 

sebelumnya membentak tadi.

"Waduh! Maaf, nih! Caraku tidak sopan! Habisnya 

aku penasaran! Lagi pula, siapa yang menyangka 

kalau kehadiranku akan diketahui?!"

Winarsih yang belum bisa memutuskan apakah 

pemuda berpakaian hijau pupus yang sedang 

nyengir di hadapannya kawan atau lawan, sudah 

keluarkan bentakan kembali, "Andika! Jangan 

memaksaku untuk menurunkan tangan!"

"Wah! Kau masih menduga jelek saja kepadaku? 

Kan tadi aku sudah berterus terang, aku penasaran. 

Tak ada maksud jelek apa pun! Percaya deh!"

Sebelum Winarsih membuka mulut, Panembahan 

Agung sudah berkata, "Selamat datang di tempatku 

ini, Pendekar Slebor. Sungguh tak pernah kusangka 

kalau pagi ini aku dikunjungi pendekar muda yang 

banyak dibicarakan orang...."

Andika segera rangkapkan kedua tangannya di 

depan dada. Lalu bersuara sopan, "Rasanya... aku 

tidak enak mendengar pernyataanmu tadi, Orang 

tua. Terimalah rasa hormatku kepadamu...."

Sementara Panembahan Agung mengusap-usap 

jenggotnya dengan kepala agak mengangguk

angguk, Winarsih justru kerutkan kening. 

Pandangannya tak berkedip pada sosok pemuda 

berpakaian hijau pupus yang masih rangkapkan 

kedua tangan di depan dada.

"Pendekar Slebor? Oh! Benarkah dia Pendekar 

Slebor... yang pernah beberapa kali diceritakan 

Guru? Ya, ampun! Kalau begitu aku benar-benar 

salah menduga!"

Merasa tidak enak dengan sikapnya sendiri 

setelah mengetahui siapa adanya pemuda itu, 

Winarsih buru-buru berkata, "Andika... mengapa 

kau tak mengatakan kalau engkaulah Pendekar 

Slebor?"

Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tidak 

gatal.

"Bukannya aku tidak mau! Tetapi nanti kau malah 

ketawa setelah mendengar julukanku! Eh! Percaya 

deh! Aku tidak slebor lho! Cuma sedikit doang!"

Winarsih tak hiraukan selorohan anak muda 

tampan itu, dia masih memandang tak berkedip 

pada Andika. Kemudian katanya lagi, "Maafkan 

segala sikapku selama ini...."

"Wah! Kok kau jadi serius begitu? Aku mengerti 

mengapa kau bersikap demikian! Itu wajar! Karena 

siapa pun berhak memiliki rasa curiga pada 

seseorang! Apalagi dalam keadaan semrawut kayak 

begini? Ngomong-ngomong... apa pembicaraan ini 

sudah selesai?"

Panembahan Agung tersenyum.

Andika nyengir sambil duduk bersila, demikian 

pula Winarsih. Sesungguhnya, Andika memang

sengaja tidak meninggalkan tempat itu setelah diusir

oleh Winarsih. Karena selain ingin mengetahui lebih 

lanjut tentang dua potongan pedang yang 

diperebutkan banyak orang, dia juga hendak 

mengatakan tentang kehadiran orang bersorban 

kuningyang telah memerintahkan tiga lelaki 

berpakaian hitam gombrang untuk menjarah harta 

Panembahan Agung.

Anak muda ini berkeyakinan kalau ada urusan 

lain yang harus dihadapinya selain urusan dua 

pedang buntung perak. Diam-diam anak muda ini 

berguna akan kesaktian Penembahan Agung yang 

mengetahuinya berada di atap. Padahal dia sudah 

kerahkan ilmu peringan tubuhnya.

Lalu dengan sopan dia berkata, "Panembahan

Agung.... Senang hatiku berjumpa denganmu "

Panembahan Agung tersenyum.

"Kupikir, orang yang berjuluk Pendekar Slebor 

akan tetap slebor selamanya. Tetapi kau ternyata 

bisa juga bersikap sopan."

Kendati cengirannya makin lebar, tetapi Andika 

mendengus dalam hati. Sementara Winarsih masih 

memandang separo tak percaya pada anak muda itu.

Lalu didengarnya kembali kata-kata Pendekar 

Slebor, "Orang tua Agung... ada sedikit yang hendak 

kuceritakan padamu."

"Tentang apa?"

Lalu Andika segera menceritakan tentang tiga 

lelaki berpakaian hitam gombrang yang diperintah 

oleh seorang lelaki tua bersorban kuning.

"Orang tua... bukan maksudku lancang untuk 

campuri urusan yang ada. Tetapi aku sungguh 

penasaran ingin mengetahui siapa orang bersorban 

kuning itu...," kata Andika di akhir ceritanya.

Panembahan Agung kembali mengusap-usap 

jenggotnya. Wajahnya tadi sedikit melengak tanda 

dia terkejut mendengar cerita Andika. Sedangkan 

Gadis Kayangan hanya mendengarkan saja.

Panembahan Agung berkata, "Dewa Lautan 

Timur.... Hmm... nampaknya urusan masa lalu 

memang tak bisa ditutupi lagi. Rupanya dia masih 

mendendam padaku...."

Sejenak Andika terdiam sebelum berkata, "Kalau 

boleh aku tahu, siapakah orang berjuluk Dewa 

Lautan Timur itu, Orang Tua?"

Panembahan Agung mengangguk-angguk.

"Dia adalah orang kuat yang menguasai lautan 

sebelah timur. Orang kejam yang sejak dulu 

menginginkan nyawaku. Bukan karena persoalan 

dua potongan pedang perak yang diwarisi oleh 

Eyang Mega Tantra. Melainkan urusan... Laksmi 

Harum...."

"Busyet! Laksmi Harum? Nampaknya urusan 

perempuan nih!" desis Andika dalam hati tanpa 

membuka mulut.

Lalu didengarnya cerita Panembahan Agung.

Setelah berpisah dengan Pemimpin Agung dan 

masing-masing membawa sepotong potongan 

pedang perak. Panembahan Agung terus bergerak 

ke arah timur. Dia yakin kalau orang-orang yang

menginginkan dua potong potongan perak itu akan 

terus mengejarnya.

Beberapa hari melingkari daerah timur, 

Panembahan Agung tiba di sebuah dusun yang 

permai. Dan dia merasa di dusun itulah tempat yang 

dapat dijadikan sebagai persembunyiannya

Karena tindak-tanduknya yang sopan, akhirnya 

Panembahan Agung tinggal bersama seorang duda 

kaya sebagai tukang memandikan kuda. Orang kaya 

yang dipanggil dengan sebutan hormat. Juragan 

Malayang, memiliki seorang putri yang berparas 

jelita dan bernama Laksmi Harum.

Panembahan Agung yang sebenarnya bernama 

Purwacaraka, pun mau tak mau akhirnya akrab 

dengan Laksmi Harum. Apalagi setiap senja, dia 

selalu menemani Laksmi Harum berjalan-jalan 

dengan menunggang kuda Namun Purwacaraka 

tetap bertahan agar dia tidak jatuh tinta pada Laksmi 

Harum.

Pada suatu pagi yang cerah, seorang pemuda 

bernama Dandang Gumilar datang dan bermaksud 

melamar Laksmi Harum sebagai istrinya. Juragan 

Malayang yang mengenal sepak terjang jelek 

pemuda itu menolak mentah-mentah lamarannya.

Namun Dandang Gumilar adalah orang yang 

gigih, hampir setiap hari dia datang untuk melamar 

Laksmi Harum. Sikapnya itu justru membuat 

Juragan Malayang semakin membencinya. Bila saja 

dia mengenal Dandan Gumilar sebagai pemuda 

baik-baik. mungkin lamaran itu akan 

dipertimbangkan.

Selelah dua bulan datang terus menerus namun 

hasil yang diharapkan tak tercapai, Dandang 

Gumilar menjadi gusar. Dia segera menghimpun 

teman-temannya untuk menculik Laksmi Harum.

Namun dengan bantuan Purwacaraka, sepuluh 

orang termasuk Dandang Gumilar yang berniat 

busuk dapat diporak-porandakan. Bahkan Dandang 

Gumilar sendiri terluka parah.

Berkat bantuannya itulah akhirnya Juragan 

Malayang menjodohkan putrinya dengan 

Purwacaraka. Di samping itu, Juragan Malayang 

juga yakin akan sifat dan tabiat baik yang dimiliki 

Purwacaraka. Laksmi Harum yang diam-diam 

memang mencintai anak muda gagah itu, sudah 

tentu tak menolak kendati saat itu dia malu-malu.

Akan tetapi, justru Purwacaraka yang menolak, 

karena dia berpikir urusan dua potong pedang 

perak masih belum terselesaikan. Apalagi hingga 

saat ini, dia belum bertemu dengan Eyang Mega 

Tantra.

Namun Juragan Malayang terus mendesaknya, 

apalagi dia tahu kalau putrinya mencintai 

Purwacaraka dan akan menjadi nelangsa bila 

pemuda itu menolaknya.

Hati Purwacaraka saat itu menjadi galau. Diam-

diam dia menyusun rencana untuk meninggalkan 

tempat itu. Namun sedikit banyaknya dia 

mengkhawatirkan bila Dandang Gumilar akan 

datang kembali untuk menuntaskan segala dendam 

dan amarahnya.

Setelah mempertimbangkan semuanya secara 

rinci, Purwacaraka akhirnya menyetujui untuk 

menikahi Laksmi Harum.

Pernikahan yang tak terlalu meriah pun 

dilangsungkan. Kendati sudah menjadi menantu 

orang kaya, Purwacaraka tetap rajin memandikan 

kuda.

Setelah lima tahun berlalu, sesuatu yang cukup 

lama dikhawatirkannya pun terjadi. Suatu malam 

mereka digemparkan dengan munculnya seorang 

lelaki berpakaian kuning terang dengan 

mengenakan sorban kuning. Bila tak mengingat 

wajah Dandang Gumilar, tak seorang pun yang akan 

mengenal orang itu.

Dia adalah Dandang Gumilar atau yang sekarang 

menjuluki dirinya Dewa Lautan Timur. Rupanya, 

lelaki itu masih mendendam pada Purwacaraka. 

Dan dia berhasil berguru pada seorang lelaki tua 

sesat berjuluk Iblis Samudera.

Purwacaraka yang saat itu telah memiliki seorang 

putra, harus berjuang mati-matian menghadapi 

keganasan Dewa Lautan Timur. Berkat kegigihan 

dan kepandaiannya, dia masih mampu menandingi 

Dewa Lautan Timur.

Namun yang tak disangka, karena mendadak saja 

sepuluh lelaki berpakaian kuning-kuning dengan 

parang di tangan menyerbu masuk laksana air bah. 

Bukan hanya para pengawal Juragan Malayang yang 

tewas, beberapa orang penduduk yang membantu 

pun tewas pula.

Melihat keadaan itu Purwacaraka menjadi cemas 

tatkala memikirkan nasib istri dan putranya. 

Ditinggalkannya Dewa Lautan Timur yang 

sebenarnya saat itu dapat dihabisi. Dengan lepaskan 

jotosan hingga dua orang lelaki berpakaian kuning-

kuning tewas dengan kepala pecah, Purwacaraka 

berhasil mencapai kamar di mana istri dan anaknya 

yang berusia tiga tahun berada. Dan saat itulah dia 

tahu kalau Juragan Malayang telah tewas.

Terburu-buru Purwacaraka berusaha untuk 

menyelamatkan anak dan istrinya. Namun baru saja 

mereka keluar dari kamar, lima orang berpakaian 

kuning-kuning dengan ujung parang bersimbah 

darah telah mengurung. Menyusul masuknya

Dandang Gumilar sambil tertawa-tawa.

Dalam ruangan yang terbatas di samping juga 

harus menyelamatkan anak dan istrinya, 

Purwacaraka harus berkerja keras menghadapi 

orang-orang ganas itu.

Namun malang tak dapat ditolak. Istrinya tewas 

setelah kepalanya dihajar Dewa Lautan Timur. 

Begitu pula dengan putranya yang langsung tewas 

hanya sekali banting.

Meradang Purwacaraka. Lelaki itu telah berubah 

menjadi ganas karena melihat nasib anak dan 

istrinya. Lima orang lelaki berpakaian kuning-

kuning tewas dengan dada membiru. Sementara dia 

sendiri berhasil membuat Dandang Gumilar lari 

kocar-kacir. Kendati demikian, yang sangat 

menyakitkannya adalah tawa mengejek Dewa

Lautan Timur yang telah berhasil membunuh anak 

dan istrinya.

Purwacaraka tak bermaksud mengejar orang itu. 

Dengan hati hancur dia mendekati mayat anak dan 

istrinya. Lalu dengan bantuan para penduduk, dia 

menguburkan mayat-mayat itu.

Kemarahan dan dendamnya pada Dewa Lautan 

Timur meraja dan membuatnya tak bisa tidur siang 

dan malam. Yang dipikirkannya hanyalah membalas 

kematian orang-orang yang disayanginya. Namun 

Purwacaraka yang memiliki hati lembut dan 

bijaksana, dengan cara terus menerus bersemadi, 

akhirnya dia dapat melupakan dendamnya pada 

Dewa Lautan Timur. Lalu diputuskan untuk 

meneruskan perjalanannya mencari Eyang Mega 

Tantra.

Sampai beberapa tahun kemudian dia berjumpa 

kembali dengan adik seperguruannya yang dijuluki 

orang sebagai Pemimpin Agung, sementara dia 

sendiri mendapat julukan Panembahan Agung.

Di ruangan yang besar itu, tak ada yang keluarkan

suara sampai Panembahan Agung benar-benar 

mengakhiri ceritanya.

"Dan yang tak pernah kusangka... kalau Dewa 

Lautan Timur masih mendendam dan mencariku"

Andika menarik napas pendek.

"Orang tua... lalu dengan maksud apa Dewa 

Lautan Timur menyuruh tiga lelaki berpakaian 

hitam gombrang menjarah harta milikmu?"

Panembahan Agung tersenyum.

"Tak ada harta yang kumiliki selain nyawaku saja. 

Aku tidak bisa memberikan jawaban yang pasti...."

Sementara Gadis Kayangan yang tak menyangka 

masa lalu Panembahan Agung cukup menyedihkan, 

nampak berpikir. Jelas terlihat dari keningnya yang 

berkerut.

Beberapa tarikan napas kemudian Andika berkata, 

"Apakah tak mungkin dia bermaksud menyelidiki 

dulu keadaanmu?"

"Aku tidak tahu."

Pertanyaan yang diajukannya justru dijawabnya 

sendiri dalam hati, "Menilik cerita Panembahan 

Agung tadi, nampaknya tak mungkin kalau Dewa 

Lautan Timur menyelidik dulu atau mengirim ketiga 

lelaki itu lebih dulu sebelum menyerang. Dia 

mempunyai kebiasaan menyerang langsung. 

Lantas... ada apa ini? Atau jangan-jangan... dia 

sengaja mengirim ketiga lelaki itu, karena ada 

urusan lain yang harus dikerjakannya? Tetapi 

urusan apa?"

Beberapa saat keadaan cukup hening. Tak seorang 

pun yang membuka suara. Sinar matahari semakin 

menerobos celah-celah atap Pesanggrahan Bayu Api.

Dalam keheningan seperti itu, mendadak 

terdengar suara, "Rupanya ada tamu yang datang ke 

tempatku ini. Maaf bila aku terlambat menyambut 

kalian...."

Serentak masing-masing orang arahkan 

pandangan ke ambang pintu. Kejap kemudian 

terdengar seruan tertahan Winarsih, 

"Oh!!"

Sementara Andika berulang kali memandang 

bergantian pada orang yang baru datang dan 

Panembahan Agung. Sepasang mata anak muda ini 

terbeliak lebar tak percaya memandang pada orang 

yang baru datang.

Sosok lelaki tua dengan rambut, kumis, dan 

jenggot yang memutih. Mengenakan pakaian putih 

panjang dengan sulaman angin dan api berwarna 

biru dan merah. Pancaran matanya begitu teduh 

sekali.

Orang itu... berwajah mirip dengan Panembahan Agung!


                      SELESAI


PENDEKAR SLEBOR

Segera menyusul:

DEWA LAUTAN TIMUR




Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive