"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 11 Agustus 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE KALUNG SETAN

Kalung Setan

 

KALUNG SETAN

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit


1


Angin berhembus dingin di sebuah tempat yang 

dipenuhi rerumputan dan ranggasan semak. Ma-

lam masih membentang luas dan siap beranjak 

menuju pagi. Di kejauhan Nampak julangan se-

buah gunung yang diselimuti kegelapan.

Dalam rentangan malam dingin dan mencekam 

itu, nampak satu sosok tubuh sedang duduk ber-

lutut dengan kedua kaki ditekuk sebagai bantalan 

pinggul. Tangan orang yang pejamkan mata ini, te-

rangkap di depan dada. Kendati mulutnya berke-

mak-kemik, namun tak ada suara yang keluar.

Dan orang berpakaian biru ini sama sekali tak 

merasa terganggu oleh dinginnya udara. Bahkan 

seakan sama sekali tak dirasakannya.

Namun kejap berikutnya, mendadak saja kepala 

orang ini menegak. Sepasang telinganya dibuka le-

bar-lebar.

"Dia sudah datang," desisnya dalam hati.

Dari ucapannya, jelas kalau orang berpakaian 

biru yang berusia sekitar tujuh puluh tahun ini 

sedang menunggu kedatangan seseorang. Kendati 

tahu kalau orang yang ditunggunya sudah datang, 

namun dia tak beranjak dari tempatnya. Tetap 

bersikap seperti semula seolah tak ada sesuatu 

yang mengganggunya.

Dan kegelapan malam itu tiba-tiba saja diren-

takkan oleh suara tawa panjang yang menggema 

ke segenap penjuru. Tawa keras yang mengandung 

pengerahan tenaga dalam, untuk sesaat mempengaruhi pendengaran kakek yang sedang duduk 

berlutut, yang saat itu pula menahan dengan ali-

ran tenaga dalamnya.

Menyusul tawa yang panjang tadi, satu benta-

kan keras terdengar, "Datuk Biru! Sekian tahun 

menunggu, tidak tahunya kau hidup seorang diri 

di tempat seperti ini! Sungguh menyenangkan se-

kali! Dan bila melihat sikapmu seperti sekarang, 

rupanya kau sudah tahu aku akan datang! Ya, 

aku dating memenuhi janjiku tiga puluh tahun 

yang lalu!"

Orang yang kedua tangannya terangkap di de-

pan dada, tarik napas pendek.

"Rasanya, memang tak mungkin menghinda-

rinya lagi. Tiga puluh tahun lalu, dia masih melon-

tarkan ancaman untuk mencariku setelah berhasil 

kukalahkan. Ah, kami sudah sama-sama tua. Dan 

nampaknya dia tak pernah puas sebelum menda-

patkan benda itu."

Dua kejapan mata kemudian entah dari mana 

datangnya, mendadak saja telah berdiri seorang 

kakek berwajah tirus sejarak delapan langkah dari 

tempat Datuk Biru duduk berlutut. Sepasang mata 

si pendatang menatap tajam. Penuh kebencian. 

Kedua tangannya yang kurus mengepal kuat. Di 

dada kakek berpakaian merah ini terdapat sebuah 

kalung berbandul taring!

Dan si kakek tak lakukan apa-apa kecuali tak 

berkedip menatap pada kakek yang sedang berse-

madi.

Tapi di kejap berikutnya, kakek berpakaian me-

rah ini sudah angkat bicara, "Datuk Biru! Apakah

sekarang kau masih belum juga mau menyerah-

kan Kalung Setan kepadaku?!"

Datuk Biru tak buka mulut. Sosoknya tetap 

berlutut.

Merasa ucapannya disepelekan, kakek yang ba-

ru datang ini keluarkan bentakan lagi, "Orang tua 

celaka! Apakah kau mendadak menjadi bisu, 

hah?!"

Tetapi kali ini dia tak perlu terlalu lama me-

nunggu jawaban orang. Karena Datuk Biru sudah 

angkat bicara,

"Datuk Merah! Mengapa kau masih bersikap se-

perti anak kecil? Bukankah tiga puluh tahun yang 

lalu sudah kukatakan, kalau Kalung Setan telah 

kubuang ke dasar Jurang Trah Gering?!"

"Dusta! Siapa percaya ucapanmu itu, hah?!" 

hardik kakek berpakaian merah yang disebut Da-

tuk Merah. Lalu lanjutnya dengan dada bergolak, 

"Dan jangan coba-coba untuk dustaiku lagi!"

Perlahan-lahan sepasang mata kakek yang du-

duk bersemadi itu membuka. Terlihat kelelahan 

yang kentara pada pancaran mata itu. Untuk se-

saat dia tak buka mulut, hanya perhatikan saja 

sosok yang sedang berdiri dengan sikap jumawa 

tak jauh dari tempatnya.

Setelah tarik napas pendek, barulah dia berka-

ta, "Datuk Merah! Sejak dulu kita bersahabat. Dan 

karena benda laknat itulah kemudian kita bermu-

suhan, hingga saat ini. Jadi kupikir, ketimbang 

persahabatan kita semakin hancur karena benda 

itu, maka kubuang saja benda itu."

"Manusia jadah! Berani betul mulutmu masih

coba untuk menasehatiku!" hardik Datuk Merah 

dengan tangan menuding.

Kepala Datuk Biru menggeleng. "Tidak. Aku 

mengatakan apa adanya. Dan satu hal yang kuse-

sali, mengapa kita harus menemukan benda cela-

ka yang ternyata membuat persahabatan kita pe-

cah?!"

Datuk Merah tersenyum sinis. "Bila sejak dulu 

kau menyerahkan kalung itu kepadaku, sudah ba-

rang tentu tak akan pernah ada peristiwa sema-

cam ini! Dan ini terjadi, semua gara-gara kau!!"

Datuk Biru masih mencoba untuk bersabar 

kendati hatinya mulai diliputi kejengkelan.

"Kita adalah dua sahabat yang sejak muda sela-

lu bertualang. Dan kita tak pernah terlibat dalam 

pertikaian sekalipun. Bahkan, berbeda pendapat 

pun tidak. Tapi, semenjak kita sama-sama secara 

tak sengaja datang ke sebuah gua yang kala itu 

badai sedang marah, pertikaian pun mulai terjadi. 

Ini dikarenakan kalung yang berbandul sebuah 

wajah yang mengerikan. Dan kita sama-sama me-

namakannya Kalung Setan. Aku tetap berkeingi-

nan agar kita tidak menyentuh benda itu. Tetapi 

kau memaksa untuk mendapatkannya. Datuk Me-

rah, apakah kau lupa akibat apa yang terjadi bila 

seseorang memiliki Kalung Setan itu?"

"Aku tak peduli! Kau serahkan kalung itu kepa-

daku, atau... kematian akan menjemputmu seka-

rang juga!"

"Tiga puluh tahun yang lalu, kita telah meri-

butkan soal ini sampai pertarungan tak bisa di-

hindari. Aku pikir...."

"Jangan berbangga karena kau bisa mengalah-

kan aku tiga puluh tahun yang lalu, Orang tua ce-

laka!" putus Datuk Merah berang.

Datuk Biru geleng-gelengkan kepala.

"Kau salah besar bila mengatakan aku berhasil 

mengalahkanmu. Padahal, aku sendiri terluka da-

lam dan kita sama-sama kehabisan tenaga. Bila 

saja saat itu kau menyerangku lagi, mungkin kita

sudah tidak bertemu!"

"Dan kau telah mendapatkan kalung itu!"

"Sekali lagi kukatakan, kau salah besar. Karena 

setelah kita sama-sama memutuskan untuk me-

nempuh jalan masing-masing, kalung yang telah 

menyebabkan keretakan persahabatan di antara 

kita, telah kubuang ke Jurang Trah Gering."

"Jahanam terkutuk! Masih juga mau mencoba 

mendustaiku! Bila saja kalung itu sejak dulu kau 

serahkan kepadaku, mungkin urusan tak akan ja-

di begini!"

"Tapi aku tak menyesal, bila pada akhirnya, 

dengan kalung itu kita saling mencelakakan! Teru-

tama hawa nafsu membunuh yang dimiliki kalung 

itu, akan melingkupi kita untuk membunuh siapa 

saja yang kita tak senangi!"

Datuk Merah menggeram. Pancaran matanya 

kian berbahaya. Udara masih sangat dingin.

"Dan sekarang, tanpa kalung itu pun, niatku 

untuk membunuhmu semakin besar!!" -

Habis ucapannya, diiringi teriakan keras, kakek 

berpakaian merah sudah mencecar ke depan. An-

gin keras mendahului gerakan tubuhnya.

Di tempatnya, Datuk Biru angkat kepalanya sejenak. Kejap berikutnya, tanpa berpindah dari ke-

dudukannya, kedua tangannya telah dipalangkan 

di atas kepala dan menyusul disentakkan ke de-

pan!

Wuussss!!

Blaaammm!! 

Gelombang angin yang mendahului gerakan Da-

tuk Merah terhantam putus oleh serangan angin 

yang dilepaskan Datuk Biru. Kendati demikian, 

Datuk Merah nampak tak punya niatan sedikit 

pun untuk mengurungkan serangannya.

Dia terus mencecar maju!

Hingga akhirnya membuat Datuk Biru harus 

melompat ke belakang dan dalam keadaan tegak, 

dia miringkan sedikit tubuhnya bersamaan tangan 

kanannya diputar.

Wuusss!!

Blaaam! Blaaamm!!

Dua kali letupan keras terjadi. Tanah di mana 

terjadinya benturan itu membubung ke udara, se-

makin menambah kepekatan tempat itu.

Tatkala semuanya sirap, nampak masing-

masing orang berdiri tegak di atas tanah dengan 

napas agak sedikit terengah. Kalau pandangan Da-

tuk Merah begitu tajam menusuk, dipenuhi kein-

ginan untuk membunuh, pancaran mata Datuk 

Biru tetap lembut. Ada riak keinginan agar perta-

rungan itu tak diteruskan.

Sebelum Datuk Merah lepaskan serangan lagi, 

Datuk Biru sudah berkata, "Datuk Merah! Kita su-

dah sama-sama tua! Mengapa kau tak pernah mau 

berpikir untuk mengakhiri segala pertikaian ini? Di

samping itu, kita adalah kawan seperjalanan se-

menjak muda. Tak ada gunanya kita lakukan tin-

dakan-tindakan konyol di ambang usia kita yang 

semakin menua?"

Datuk Merah sesaat tak keluarkan suara. Dari 

sikapnya jelas dia membenarkan ucapan Datuk 

Biru. Namun harga dirinya masih terusik, dan 

akan tetap terusik bila teringat bagaimana tiga pu-

luh tahun yang lalu Datuk Biru menolak mentah-

mentah di saat dia menginginkan Kalung Setan.

Dan harga dirinya yang telah diinjak-injak, 

hanya dapat dihilangkan bila melihat Datuk Biru 

berkalang tanah. Apalagi, tiga puluh tahun yang 

lalu pula, dia dikalahkan oleh Datuk Biru!

Dengan napas memburu dan dada dibuncah 

kemarahan sengit, Datuk Merah mendengus din-

gin, "Aku tak peduli dengan semuanya! Yang kuin-

ginkan adalah Kalung Setan! Juga... nyawamu!!"

Datuk Biru menghela dan menarik napas pan-

jang.

"Aku tak tahu, apakah ini dikarenakan penga-

ruh amarah dan ambisinya, atau dia memang se-

jak dulu mempunyai niat jahat padaku? Tapi, ah... 

rasanya terlalu kejam menuduh dia mempunyai 

niat jahat padaku. Dan sekarang, sudah seharus-

nya aku menyadarkannya kembali. Agar dia tidak 

terus berada dalam jalur kesesatan."

Habis berpikir demikian, Datuk Biru berkata, 

"Sesungguhnya, aku sama sekali tak tahu lagi ha-

rus berpikir bagaimana. Hanya yang kuharapkan, 

kita sudahi segala pertikaian di antara kita."

"Semuanya akan disudahi bila kau telah mampus!" geram Datuk Merah dan bersamaan dengan 

itu, dia tarik kaki kanannya ke belakang hingga 

tubuhnya agak condong ke depan. Menyusul ke-

dua tangannya dirangkapkan di depan dada.

Melihat gerakan yang dilakukan Datuk Merah, 

Datuk Biru mendesah masygul.

"Dia akan keluarkan ilmu 'Awan Merah'-nya 

yang ganas. Ah, apakah aku harus berdiam diri? 

Tidak, sudah barang tentu aku harus menghada-

pinya."

Memikir demikian, perlahan-lahan Datuk Biru 

angkat kedua tangannya lurus-lurus dengan langit 

yang masih diselimuti malam. Lalu dibawa ke 

samping kanan dan kiri, menyusul akhirnya di-

rangkapkan pula di depan dadanya. 

Melihat gerakan yang dilakukan oleh orang yang 

dibencinya, Datuk Merah buka mulut, "Tiga puluh 

tahun yang lalu, dengan ilmu 'Kabut Biru' kau 

berhasil mengalahkanku. Tapi sekarang, jangan 

berharap kau bisa melakukan seperti itu lagi!"

"Datuk Merah! Sama sekali tak pernah terpikir-

kan di benakku untuk mengalahkanmu. Kalaupun 

aku bersikap menolak permintaanmu untuk men-

dapatkan Kalung Setan, karena aku tak mau di 

antara kita berada dalam kesesatan. Dan aku ya-

kin, kau juga tahu akibat apa bila kau mengena-

kan kalung itu."

"Terkutuk! Jangan mengguruiku!"

Habis ucapannya, Datuk Merah tekan tenaga 

dalamnya sedikit. Menyusul terlihat sekujur tu-

buhnya bergetar. Dan mendadak saja terlihat asap 

tipis berwarna merah mengepul dari kedua tangannya yang terangkap. Menyusul hawa dingin 

yang mendera tempat itu, tertindih oleh hawa pa-

nas yang mendadak terpancar dari ilmu yang se-

dang dikeluarkan Datuk Merah.

Di tempatnya, Datuk Biru juga merasakan pe-

rubahan udara yang cukup membuatnya sedikit 

bergetar.

"Tiga puluh tahun yang lalu, kekuatan hawa 

panas dari ilmu 'Awan Merah'-nya tak seperti se-

karang. Berarti dia memang telah memperdalam 

ilmu andalannya itu. Ah, mengapa dia tak mau 

mempergunakan akalnya? Apakah dia...."

Jalan pikiran Datuk Biru mendadak saja terpu-

tus. Karena dengan suara lantang, Datuk Merah 

sudah menerjang ke depan disertai dorongan ke-

dua tangannya.

Serta-merta menghampar gelombang angin yang 

perdengarkan suara gemuruh dikawal hawa panas 

yang menyengat. Menyusul datangnya gelombang 

angin tadi, tiga bongkah awan berwarna merah 

melabrak pula.

Di tempatnya, Datuk Biru terkesiap sesaat. Se-

raya surutkan langkah, dia dorong kedua tangan-

nya yang terangkap tadi. Kejap itu pula gelombang 

angin yang dikawal udara sangat dingin mener-

jang. Disusul dengan kabut-kabut berwarna biru 

yang bergerak laksana anak panah.

Sudah dapat dibayangkan apa yang terjadi ke-

mudian. Letupan pertama terdengar tatkala dua 

gelombang angin yang sama-sama dilepaskan 

masing-masing orang berbenturan. Hawa panas 

dan dingin saling lilit dan saling tindih.

Menyusul gelegar dahsyat yang membuat tem-

pat itu laksana dilanda gempa, tatkala awan-awan 

merah berbenturan keras dengan kabut-kabut bi-

ru.

Blaaaammm!!

Tanah sejarak lima tombak mendadak saja 

muncrat ke udara disertai getaran kuat. Awan-

awan merah dan kabut-kabut biru berpentalan be-

gitu bertemu. Tempat itu bergoyang.

Masing-masing penyerang tergontai-gontai ke 

belakang, akibat saking kerasnya benturan yang 

terjadi.

Untuk beberapa lamanya tak ada yang lepaskan 

serangan. Sementara itu, hawa panas dan dingin 

masih terus saling tindih, disusul perlahan-lahan 

sirapnya muncratan tanah tadi. .

Dan sekarang, terlihat sosok Datuk Biru jatuh 

berlutut dengan tangan kanan menahan tubuh 

pada tanah. Tetapi pandangannya lurus ke depan. 

Tubuh kakek berpakaian biru ini agak bergetar. 

Mulutnya menekuk karena satu tekanan kuat pa-

da perutnya yang beranjak naik dengan cepat.

"Huaaakk!!"

Datuk Biru muntah darah dua kali.

Di pihak lain, sosok Datuk Merah pun menga-

lami nasib tak jauh berbeda. Hanya bedanya, Da-

tuk Merah masih berdiri tegak kendati sulit untuk 

kuasai keseimbangannya dengan segera.

Untuk beberapa saat tak ada yang lakukan apa-

apa.

Datuk Merah menggeram dalam hati seraya 

alirkan tenaga dalam untuk pulihkan keadaan,

"Sejak dulu, aku tahu kalau Datuk Biru berada sa-

tu tingkat di atasku. Tapi, aku tak peduli dengan 

semua itu! Karena, dia kelihatan luka parah seka-

rang."

Di pihak lain, Datuk Biru sedang mendesah 

masygul, "Bila pertarungan ini diteruskan, yang 

terjadi hanyalah sebuah kematian yang mungkin 

akan tiba pada pihakku, dan juga terjadi pada di-

rinya. Dan ini tak boleh terjadi. Aku harus bisa 

mengembalikan Datuk Merah pada jalan pikiran 

semula."

Memikirkan demikian, hati-hati Datuk Biru 

berdiri kembali. Ditenangkan gemuruh di hatinya 

yang terasa kacau balau.

Lalu dia berkata, "Datuk Merah... apa yang te-

lah terjadi ini seharusnya tak boleh terjadi. Bila 

kau masih bersikeras untuk mendapatkan Kalung 

Setan, aku bersedia membantumu mencarinya di 

Jurang Trah Gering. Dan itu kulakukan, agar kau 

tidak terlalu lagi berambisi untuk memilikinya. Bi-

la kita sudah menemukan kembali benda itu, bu-

kankah sebaiknya kita hancurkan? Ingat, penga-

ruh kalung itu sangat berbahaya."

Tetapi mana mau Datuk Merah menyetujui usul 

itu. Kepalanya menggeleng keras disertai tatapan 

tajam.

"Usulmu yang pertama, bisa aku terima! Tapi, 

usulmu yang terakhir sama sekali tak bisa kuteri-

ma! Biar bagaimanapun juga, aku harus memiliki 

kalung itu!"

Datuk Biru mendesah masygul.

"Apa yang bisa kulakukan sekarang? Dia masih

diliputi ambisinya untuk mendapatkan kalung 

itu?" desisnya dalam hati, lalu berkata, "Sebaiknya 

begini saja. Kau sudah tahu kalau Kalung Setan 

telah kubuang ke Jurang Trah Gering. Sebaiknya 

kita segera mencari kalung itu. Kita buat satu per-

janjian, siapa yang lebih dulu mendapatkan ka-

lung itu, maka dialah yang berhak menyimpannya 

tanpa mendapatkan halangan dari pihak lain. Dan 

juga...."

"Sudah tentu kau yang akan mendapatkannya, 

karena benda itu memang berada padamu!!" putus 

Datuk Merah muak.

Datuk Biru gelengkan kepalanya.

"Aku tak tahu apakah sekarang kau sudah me-

nyangsikan kejujuranku atau tidak. Tapi yang ku-

katakan itu benar. Kalung Setan telah kubuang ke 

Jurang Trah Gering." 

"Terkutuk! Sebenarnya aku percaya apa yang 

dikatakannya. Sejak dulu dia tak pernah berdusta 

sekali pun. Huh! Keinginanku untuk membunuh-

nya karena dia telah merobek-robek harga diriku, 

semakin kuat saja! Tapi...."

Memutus kata batinnya sendiri, Datuk Merah 

berkata, "Baik! Usulmu dapat kuterima! Kita akan 

berlomba untuk mendapatkan Kalung Setan! Dan 

akan kubuktikan padamu, kalau akulah yang 

akan mendapatkannya!"

"Mungkin memang dia yang akan menda-

patkannya. Tapi mungkin pula aku yang menda-

patkannya. Karena, aku sendiri sudah tak tahu la-

gi di tempat mana tepatnya di Jurang Trah Gering 

kalung itu kulempar. Tapi biar bagaimanapun juga, aku harus berhasil mendahului mendapatkan-

nya," kata Datuk Biru dalam hati. Lalu seraya 

anggukkan kepalanya dia berkata, "Ya! Kita akan 

segera memulainyal"

Datuk Merah tatap dulu tajam-tajam Datuk Bi-

ru. Hati kakek satu ini masih dibuncah dendam 

tinggi. Setelah keluarkan dengusan, mendadak sa-

ja dia berbalik. Kejap berikutnya, yang nampak 

hanyalah bayangan merah yang bergerak ke arah 

timur, seperti sedang menyongsong matahari yang 

mulai tampakkan bias-biasnya.

Di tempatnya, Datuk Biru mendesah masygul. 

Kakek ini masih menyesali keadaan yang akhirnya 

membuat persahabatan di antara mereka harus 

berada di persimpangan. Bahkan tanda-tanda ke-

retakannya pun mulai kentara.

"Aku tak ingin Datuk Merah mendapatkan ka-

lung itu. Kalung itu penyebab bencana yang men-

gerikan. Aku harus dapat menemukannya lebih 

dulu...."

Setelah menghela napas panjang, Datuk Biru 

segera bergerak ke arah barat. Meninggalkan tem-

pat yang telah porak-poranda dan siap didera ma-

tahari siang nanti.

***

2


Tiga hari kemudian.

Pagi telah menghampar dengan bias-bias kein-

dahannya. Pagi yang indah itu pun menyelimuti

Jurang Trah Gering yang tak begitu dalam. Di sa-

na-sini banyak terdapat batu-batu lamping dan 

pepohonan. Beberapa ekor burung beterbangan, 

bermandikan cahaya pagi.

Dari arah kiri, nampak dua sosok tubuh sedang 

melangkah menuruni Jurang Trah Gering. Dari ca-

ranya melangkah, nampak kedua orang berbeda 

jenis itu sudah sangat hapal dengan situasi di Ju-

rang Trah Gering.

Yang melangkah agak di depan, seorang pemu-

da bertubuh tegap tanpa mengenakan pakaian. 

Pemuda yang diperkirakan baru berusia sekitar 

dua puluh tahun ini memiliki perawakan yang ba-

gus. Tubuhnya dipenuhi tonjolan otot yang ditem-

pa oleh alam. Dia melangkah sambil bersiul-siul.

Di belakangnya, nampak seorang gadis berpa-

kaian putih agak kusam melangkah sambil me-

nyanyikan kidung perdamaian. Paras gadis yang 

mengenakan celana panjang ringkas ini begitu jeli-

ta. Sepasang alisnya hitam dengan mata yang jer-

nih. Bibirnya tipis memerah dengan pipi yang agak 

kemerahan karena mentari pagi. Sosoknya begitu 

segar. Rambutnya yang indah dikuncir dua. Mere-

ka adalah kakak beradik yang tinggal di dusun Ge-

lagah, yang letaknya sekitar satu penanakan nasi 

dari Jurang Trah Gering.

Si kakak adalah yang laki-laki dan bernama 

Sumarta, sementara adiknya yang jelita bernama 

Sumiati. Sejak Sumarta berusia tujuh tahun, me-

reka telah ditinggal oleh kedua orang tuanya, yang 

tewas akibat dusun mereka didatangi gerombolan 

penjahat. Saat itu Sumarta diperintahkan oleh

ayahnya untuk membawa lari Sumiati.

Dan satu-satunya tempat yang cukup aman, 

adalah berdiam di Jurang Trah Gering. Selama 

enam tahun Sumarta membawa adiknya di tempat 

itu hingga akhirnya mereka menjadi kerasan. Na-

mun Sumarta juga menyadari kalau suasana di 

Jurang Trah Gering tak akan membuat kehidupan 

mereka berkembang.

Akhirnya dia pun memutuskan untuk kembali 

ke dusun Gelagah. Masih ada beberapa orang yang 

dikenali Sumarta dan menyambut mereka dengan 

gembira.

Selama tinggal di Jurang Trah Gering, Sumarta 

berusaha untuk menjadi seorang pemahat dengan 

memanfaatkan kayu-kayu dari pohon yang sangat 

banyak jumlahnya di Jurang Trah Gering. Dan da-

ri hasil memahat itulah dia akhirnya dapat mem-

buat rumah yang sederhana dan menghidupi 

adiknya yang kini tumbuh menjadi seorang dara 

jelita.

Dan seperti biasanya, setiap dua minggu sekali 

Sumarta selalu datang ke Jurang Trah Gering un-

tuk mencari kayu yang dapat digunakan sebagai 

bahan pahatannya.

Kalau biasanya Sumarta selalu datang seorang 

diri, kali ini adiknya ingin ikut dengan alasan ingin 

mengenang kembali tempat yang selama enam ta-

hun mereka huni. Dan di pagi ini, mereka mulai 

menuruni Jurang Trah Gering.

Dari kejauhan, Sumiati sudah berteriak, "Ka-

kang Sumarta! Apakah gubuk itu yang pernah kita 

tinggali dulu?!"

Sambil terus melangkah, Sumarta berkata, "Kau 

betul, Ati! Memang gubuk itulah yang pernah kita 

tinggali beberapa tahun yang lalu."

"Gubuk itu masih nampak kuat!"

"Aku selalu merawatnya setiap kali aku datang 

ke Jurang Trah Gering."

"Ayolah, Kakang... sebaiknya kita cepat ke sana. 

Aku sudah tidak sabar," kata Sumiati. Lalu dengan 

cekatan gadis jelita ini mendahului kakaknya me-

langkah.

"Hei, hei... hati-hati! Masih banyak embun! Kau 

bisa terpeleset nanti!"

Laksana kijang yang lincah, Sumiati hanya ter-

tawa-tawa saja dan kini dia sudah tiba di dasar 

Jurang Trah Gering. Masih tertawa-tawa gadis jeli-

ta ini mendatangi gubuk yang selama enam tahun 

pernah ditinggalinya.

Sumarta berseru, "Kau jangan ke mana-mana! 

Aku akan mencari kayu di ujung sana!"

"Pergilah, Kakang! Aku betah sampai sore di 

tempat ini!!"

Sumarta tersenyum. Dengan kapak yang cukup 

besar di pundaknya, dia berjalan melewati gubuk 

itu.

Sementara itu, Sumiati sudah masuk ke gubuk 

itu. Dia melebarkan senyum melihat gubuk ini sa-

ma sekali belum berubah. Direbahkan tubuhnya 

pada dipan kayu yang dulu pernah ditidurinya. 

Rasa hangat menyelimuti dirinya hingga dia makin 

betah berada di tempat itu.

"Enam tahun, cukup lama juga aku tinggal di 

sini bersama Kang Sumarta. Ah, bila saja saat ini

ada ayah dan ibu, alangkah bahagianya...."

Buru-buru gadis jelita ini menghapus segala in-

gatan tentang orang tuanya. Karena dia selalu in-

gat pesan kakaknya untuk tidak mengenang lagi 

peristiwa mengerikan itu. Tapi biar bagaimanapun 

juga, Sumiati masih ingat bagaimana bapaknya 

menyuruh mereka pergi dengan kepanikan luar 

biasa.

"Ah, daripada memikirkan soal itu, lebih baik 

aku memikirkan soal yang lain."

Lalu dengan mempergunakan sebatang ranting 

yang masih terdapat daun-daun di ujungnya, gadis 

jelita ini mulai membersihkan gubuk itu.

Saat ini matahari sudah sepenggalah. Namun 

berada di Jurang Trah Gering, hanya kesejukan 

yang dirasakan. Setelah membersihkan gubuk itu, 

Sumiati melangkah keluar.

Dihirupnya udara sejuk dalam-dalam.

"Benar-benar aku berada di surga," katanya pa-

da dirinya sendiri.

Lalu dilihatnya seekor kelinci sedang berdiam 

sambil menatapnya dengan kedua telinga pan-

jangnya yang bergerak-gerak.

"Hei, ada makanan!" desisnya tanpa sadar. "Du-

lu, aku selalu makan daging kelinci dan burung di 

sini. Ah, perutku jadi lapar sekarang!"

Perlahan-lahan Sumiati mendekati kelinci itu 

sambil bersuara, "Ayo, sini, Manis. Sini...."

Tetapi sudah tentu kelinci itu langsung lari begi-

tu dia mendekatinya.

"Ya...," desisnya kecewa.

Tapi kejap berikutnya, dia sudah masuk kembali ke dalam gubuk. Dilihatnya ada perangkap ke-

linci yang dulu dipergunakannya.

"Rupanya Kang Sumarta masih menyimpan 

benda ini. Hem, daripada menganggur, lebih baik 

aku mencari makanan saja. Kalau biasanya Kang 

Sumarta pulang aku sudah menyediakan maka-

nan, kali ini biar kami makan di sini saja."

Lalu dengan gembira gadis berpakaian putih 

agak kusam ini melangkah keluar dengan mem-

bawa jaring besar yang dulu dipergunakan untuk 

menangkap kelinci. Sejenak diperhatikan sekeli-

lingnya sebelum memutuskan untuk melangkah 

ke arah kiri.

Namun rupanya, Sumiati sedang bernasib sial. 

Karena sejak tadi dia belum juga menemukan ke-

linci-kelinci yang diburunya.

"Wah! Pada kemana mereka ya? Pada bersem-

bunyi barangkali," katanya sambil garuk-garuk 

kepalanya.

Tetapi bagi seorang gadis yang memiliki watak 

keras karena tempaan alam, tak membuat Sumiati 

berputus asa. Dia terus melangkah mencari kelinci 

yang siap diburunya.

Bahkan dia sudah semakin jauh masuk ke dae-

rah Jurang Trah Gering. Tepat matahari di atas 

kepala, dihentikan langkahnya di antara jajaran 

pepohonan.

"Waduh! Kok belum ada juga ya?" desisnya mu-

lai sebal. Tapi lagi-lagi kekerasan hatinya memu-

tuskan untuk terus mencari buruannya.

Mendadak didengarnya suara riang burung-

burung. Seketika kepalanya ditegakkan.


"Wah! Yang banyak justru burung. Tapi sayang, 

aku tak membawa perangkap untuk menangkap 

burung. Ya sudahlah, lebih baik aku meneruskan 

mencari kelinci."

Masih membawa pandangan untuk melihat be-

berapa ekor burung yang beterbangan, Sumiati di-

am-diam menelan ludahnya. Perutnya sudah mu-

lai merasakan lapar.

Dan mendadak saja kening gadis ini berkerut 

tatkala pandangannya membentur pada sebuah 

benda yang menggantung di sebuah pohon. Bila 

saja benda itu tak memancarkan sinar kehitaman, 

mungkin Sumiati tak akan melihatnya.

"Lho, Iho... benda apa itu yang bercahaya kehi-

taman?" desisnya dengan kening makin berkerut. 

"Berjuntai-juntai seperti... sebuah kalung. Kalung? 

Ah, mana ada kalung di sini? Kalaupun memang 

itu kalung, siapa yang iseng telah membuangnya?" 

desisnya pada diri sendiri.

Lalu perlahan-lahan dia melangkah mendekati 

pohon di mana benda yang pancarkan sinar hitam 

itu dilihatnya.

"Wah! Betul kalung itu! Ih! Bagus sekali! Siapa 

ya yang memilikinya?" desisnya lagi.

Untuk sesaat Sumiati melupakan perutnya yang 

mulai kelaparan. Karena ada dorongan untuk 

mengetahui secara jelas benda yang dilihatnya, 

gadis jelita ini segera melemparkan perangkap ke-

linci yang dibawanya.

Lalu dengan cekatan dan tanpa dirundungi rasa 

ngeri sedikit pun, dia sudah naik ke pohon itu. Ge-

rakannya sangat lincah. Dalam tempo yang singkat, Sumiati sudah berada di dahan pohon di ma-

na benda bersinar kehitaman dilihatnya.

"Memang kalung!" serunya gembira. "Sinar hi-

tam itu terpancar dari bandulnya. Ah, siapa ya 

yang memilikinya? Kalau aku mengambilnya, apa-

kah ini bukan yang disebut pencuri? Menjadi pen-

curi? Mana sudi aku! Tapi...."

Hati gadis ini menjadi bimbang. Ada dorongan 

kuat untuk mengambil kalung itu. Di lain pihak, 

ada pula perasaan tak ingin memiliki benda yang 

bukan miliknya.

"Tapi ya... kan tidak ada yang memilikinya. Se-

tahuku, hanya aku dan Kang Sumarti yang selalu 

datang ke Jurang Trah Gering. Mungkin ya.. ka-

lung ini ada yang melemparnya. Sebaiknya, kuam-

bil saja...."

Lalu dengan agak sedikit menggapai, Sumiati 

memegang bandul kalung itu. Begitu dipegang, 

tangannya seketika seperti pancarkan sinar kehi-

taman. Sesaat kelihatan gadis ini menjadi tegang. 

Tetapi dorongan untuk memiliki kalung itu semakin 

kuat melingkupinya.

Dengan susah payah akhirnya dia berhasil 

mengambil kalung itu. Dan diperhatikannya den-

gan seksama.

"Ih! Bagus sekali! Rantainya terbuat dari rantai 

berwarna hitam kecil-kecil. Juga... oh!"

Seperti disengat kalajengking, mendadak saja 

gadis jelita ini melepaskan kalung itu hingga jatuh 

ke tanah. Seharusnya, gerakan jatuhnya kalung 

yang tak seberapa berat itu, tak akan menimbul-

kan suara letupan. Tapi begitu kalung itu terhempas ke tanah, terdengar letupan kecil yang mem-

buat tanah itu memburai ke udara.

Masih berada di dahan yang didudukinya, ken-

ing Sumiati berkerut.

"Aneh!" desisnya tanpa sadar.

Lalu terburu-buru dia turun. Kali ini dia tak be-

rani untuk segera mengambil kalung yang masih 

pancarkan sinar kehitaman. Dia hanya berdiri 

dengan perasaan waswas sejarak tiga langkah dari 

kalung itu.

"Kalung yang entah milik siapa itu memang in-

dah. Tapi, bandulnya.... Ih! Kok yang tergambar di 

sana mengerikan sekali. Sebuah wajah. Wajah...."

Tanpa sadar Sumiati palingkan kepalanya ke 

belakang, lalu ke sekelilingnya. Setelah diyakini 

tak ada sesuatu yang menakutkan, dia mene-

ruskan jalan pikirannya.

'Seperti wajah setan," desisnya kemudian. "Ih! 

Seram ah!"

Lalu gadis ini memutuskan untuk segera me-

ninggalkan tempat itu, meninggalkan kalung yang 

pada bandul nya terlihat wajah penuh taring den-

gan sepasang mata memerah. Segera diambilnya 

perangkap kelinci yang tadi di dilemparnya.

Dia merasa lebih baik kembali ke gubuk. Kha-

watir kalau kakaknya sudah tiba di sana dan ce-

mas mencarinya.

Namun baru saja dia melangkah dua tindak, 

mendadak saja gadis ini berdiri tegak. Kepalanya 

tegak dengan langit. Dan laksana sebuah robot, 

mendadak saja Sumiati gerakkan tubuhnya meng-

hadap kalung itu kembali.

"Aneh, apa yang terjadi?" desisnya sambil beru-

saha membalikkan tubuhnya lagi. Tetapi, hanya 

ada hasratnya belaka tanpa bisa dilakukannya.

Dan mendadak dilihatnya sinar hitam yang 

memancar dari kalung berwajah setan itu, membe-

sar. Langsung melingkupinya yang menggigil keta-

kutan namun tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan 

berteriak saja pun tidak.

Cukup lama sinar hitam itu menyelimuti selu-

ruh tubuhnya. Setelah menghilang, terlihat paras 

Sumiati menegang. Dan dengan gerakan kaku, ga-

dis yang semula hendak meninggalkan tempat itu, 

justru mendekati kalung yang tergeletak di atas 

tanah.

Rasa ngerinya tadi mendadak sontak lenyap be-

gitu saja. Bahkan dengan enaknya Sumiati me-

mungut kalung itu. Memperhatikannya sejenak. 

Bibirnya tersenyum saat memasukkan kalung itu 

pada kepalanya dan membiarkan kalung itu kini 

melingkar di lehernya.

Saat dia palingkan kepala, terlihat sepasang 

matanya memerah mengerikan!

***

3


Pada saat yang bersamaan, Sumarta sedang 

berteriak memanggil adiknya di sekitar gubuk itu. 

Di depan gubuk, telah terdapat potongan kayu 

yang diikat menjadi satu.


"Ati! Sumiati!" serunya dengan kedua tangan 

membentuk corong. 

"Ah, ke kemana itu anak? Ati! Di mana kau? 

Ati!!"

Tetap tak ada sahutan apa-apa. Perasaan Su-

marta menjadi tidak enak sekarang.

"Bandel! Ke mana dia? Ah, tak seharusnya dia 

kuizinkan untuk ikut tadi," desisnya agak jengkel.

Dia kembali berteriak. Tetapi tak ada sahutan 

apa-apa. Sumarta akhirnya memutuskan untuk 

mencari adiknya dan terus berteriak memanggil.

Justru yang terdengar kemudian satu suara, 

"Lho, lho! Kenapa berteriak? Mau jadi tarzan ya?"

Seketika pemuda gagah ini palingkan kepalanya 

ke kanan. Keningnya berkerut melihat seorang 

pemuda berambut gondrong acak-acakan sedang 

nyengir tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Siapa pemuda itu?" pertanyaan itulah yang 

pertama kali terlontar di hati Sumarta. Karena, se-

lama dia mendatangi Jurang Trah Gering, sekali 

pun dia belum pernah berjumpa dengan orang lain 

kecuali adiknya sendiri.

Pemuda yang menyapanya dan memiliki sepa-

sang alis hitam legam menukik laksana kepakan 

sayap elang, nyengir lagi, "Busyet! Kenapa melotot 

begitu? Kau pikir aku ini seorang gadis ya?"

"Aneh! Siapa dia? Ucapannya konyol sekali, tapi 

bernada jenaka?" kata Sumarta dalam hati dan be-

lum membuka mulut.

Lagi-lagi pemuda berpakaian hijau pupus yang 

di lehernya melilit kain bercorak catur buka mulut 

sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal,

"Kenapa sih melihati ku seperti itu? Ada yang aneh 

ya?"

Tanpa sadar Sumarta menggelengkan kepa-

lanya. Masih menatap si pemuda dia berkata, 

"Siapakah Saudara sebenarnya?"

"Aku? Aku yang kau maksud?" si pemuda me-

nunjuk dirinya sendiri. "Namaku Andika. Yah... 

aku cuma kebetulan saja tertarik melihat tempat 

ini dari atas tadi. Makanya, aku segera mendatan-

ginya. Kali-kali saja ada cewek cantik nganggur."

"Dia berucap seperti tak dipikirkan lebih dulu. 

Gayanya urakan sekali. Tapi kilatan matanya yang 

jenaka membuatku yakin kalau dia bukanlah 

orang jahat."

Habis membatin demikian, Sumarta tersenyum, 

"Namaku Sumarta."

"Nama yang bagus. O ya, siapa sih yang kau ca-

ri? Kok berteriak-teriak seperti tarzan begitu?" 

"Aku sedang mencari adikku." 

"Sumiati?" '

"Oh! Kau mengenalnya? Di mana dia?" sahut 

Sumarta segera dengan pandangan berbinar.

"Mengenalnya? Ya, tidak!"

"Tapi bagaimana kau bisa tahu?"

"Memangnya telingaku tuli! Kan aku mendengar

kau berteriak menyebutkan nama adikmu!" sahut 

si pemuda sambil nyengir.

Sumarta cuma mengangguk-anggukkan kepa-

lanya. Lalu katanya, "Maaf, aku tak bisa mene-

ruskan pembicaraan ini lebih lama. Aku harus 

mencari adikku. Bila hari mulai senja, kemungki-

nan besar akan sulit menemukannya."

Pemuda berpakaian hijau pupus yang memang 

Andika alias Pendekar Slebor, angkat sepasang 

alisnya. Pemuda urakan dari Lembah Kutukan ini 

kemudian berkata,

"Bagaimana bila aku membantumu menca-

rinya? Kebetulan sekali aku lagi tak punya kerjaan 

nih."

Sejenak Sumarta memandangi dulu si pemuda 

sebelum menganggukkan kepalanya. Kejap beri-

kutnya keduanya sudah melangkah.

Sumarta berteriak memanggil nama adiknya. 

Pendekar Slebor ikut-ikutan dengan gaya urakan-

nya.

Tapi sampai sejauh itu, belum ada tanda-tanda 

kalau Sumiati telah ditemukan.

Di sebuah jalan setapak, Sumarta menghenti-

kan langkahnya. Dia tiba pada satu pikiran baru.

"Apakah tak mungkin kalau adikku sudah pu-

lang lebih dulu?"

Andika merasa pertanyaan itu ditujukan pa-

danya. Makanya dia menyahut, "Maksudmu pu-

lang ke mana?"

"Ke rumah."

"Memangnya kalian tinggal di sini?" 

Sumarta menggeleng.

"Dulu, kami pernah tinggal di sini. Tapi seka-

rang kami tinggal di dusun Gelagah."

"Maksudmu, dia sudah kembali kedusun Gela-

gah?"

Sumarta mengangguk-anggukkan kepalanya.

Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tidak 

gatal.

"Karena aku sudah memutuskan untuk mem-

bantumu, bagaimana bila kau mengecek saja 

adikmu di rumah. Biar aku yang meneruskan 

mencarinya?"

Mendengar usul itu, Sumarta menatap dalam-

dalam pada Andika. Andika mendengus begitu 

menyadari kalau pandangan pemuda tanpa pa-

kaian itu sekarang mengandung kecurigaan.

"Kutu landak! Kok dia curiga begitu sih? Apa 

tampang kerenku ini seperti orang pesakitan?" 

dengusnya dalam hati.

Lalu dilihatnya kepala Sumarta menggeleng.

"Bukannya aku tidak setuju dengan usulmu, te-

tapi, aku masih berkeinginan mencari adikku 

sampai ketemu."

"Itu lebih baik. Ayo, kita teruskan langkah lagi!" 

ajak Andika dan sambil melangkah dia mendumal, 

"Monyet pitak! Jadi aku nih yang punya urusan? 

Padahal perutku sudah kelaparan banget! Huh! 

Lagi pula mau apa sih aku tertarik datang ke tem-

pat seperti ini? Tapi ya... dari atas sana tempat ini 

sangat bagus. Lagi pula, tak ada salahnya aku 

membantu pemuda ini mencari adiknya...."

Mereka meneruskan langkah kembali dan sese-

kali berteriak. Andika sengaja kerahkan tenaga da-

lamnya agar teriakannya terdengar sampai jauh. 

Tapi tepat senja mulai datang, mereka belum juga

menemukan di mana Sumiati berada.

Andika mulai merasa tidak enak melihat kete-

gangan yang menyelimuti wajah Sumarti.

"Sejak hari masih siang tadi, sudah sulit mene-

mukan di mana gadis bernama Sumiati berada.

Dan sudah barang tentu di hari yang mulai gelap 

ini akan semakin sulit. Hem, apa yang harus kula-

kukan sekarang?"

Untuk beberapa saat anak muda dari Lembah 

Kutukan ini terdiam memikirkan cara terbaik. Dili-

riknya Sumarta yang kian gelisah.

Lalu katanya, "Sumarta, sebaiknya kita jalan-

kan usulku yang pertama tadi. Kau pulanglah, ba-

rangkali adikmu memang sudah pulang sebenar-

nya."

Kali ini Sumarta tidak membantah seperti tadi. 

Seraya anggukkan kepala dia berkata, "Terima ka-

sih atas niat baikmu, Andika. Ya, aku akan segera 

pulang. Besok pagi, kau datanglah ke tempat kami 

di dusun Gelagah."

Andika menganggukkan kepala.

Lalu dilihatnya Sumarta sudah balikkan tubuh 

dan siap melangkah. Namun baru lima tindak pe-

muda itu melangkah, mendadak saja terdengar 

suara, "Kang Marta!!"

Serta-merta Sumarta balikkan tubuh. Dilihat-

nya Sumiati keluar dari balik ranggasan semak be-

lukar sambil tersenyum. Separuh gembira dan ge-

mas, pemuda itu menyambut kedatangan adiknya 

dengan seruan,

"Ati! Kau hampir saja membuat copot jantung-

ku! Ke mana saja kau?"

Gadis jelita berkuncir dua itu tersenyum.

"Untungnya masih belum copot, kan?"

"Kau ini! Ayo, kita segera pulang!" kata Sumar-

ta, lalu berkata pada Andika, "Andika, secara tidak 

langsung kau memang telah membantuku. Sudi

kah kau untuk mampir ke tempatku?"

Andika tersenyum dan sesekali melirik Sumiati 

yang sedang tundukkan kepalanya.

"Busyet! Cantik amat! Rugi berat nih kalau ti-

dak mampir! Tapi ya... harus tahan diri dulu dong. 

Bisa berabe kalau ketahuan ada maunya."

Sambil cengengesan anak muda dari Lembah 

Kutukan ini berkata, "Aku masih ingin berada di 

sini. Mungkin besok aku akan mendatangimu...." 

Lalu sambungnya dalam hati, "Untuk melihat dara 

jelita yang aduhai itu."

Sumarta cuma menganggukkan kepalanya. Lalu 

berkata pada adiknya, "Ayo, Ati! Kita bisa tersesat 

karena sebentar lagi malam akan datang."

"Kakang marah padaku?" tanya adiknya tanpa 

berani angkat kepala.

Sumarta menghela napas pendek. "Sudahlah. 

Tidak apa-apa."

"Aku... aku tadi, bermaksud mencari kelinci un-

tuk kita panggang, Kakang. Dan aku...."

"Sudahlah. Ayo!" putus Sumarta. Setelah ang-

gukkan kepala pada Pendekar Slebor, pemuda itu 

menarik tangan adiknya untuk mengikutinya.

Tinggal Andika yang memperhatikan kepergian 

kedua kakak beradik itu.

"Wah! Nasibku lagi beruntung rupanya! Ada ce-

wek cakep kayak begitu! Ya, lebih baik aku...."

Mendadak saja Andika putuskan ucapannya. 

Sepasang matanya yang tajam mendadak saja me-

nyipit, tatkala melihat sosok Sumiati yang kemu-

dian lenyap bersamaan lenyapnya tubuh Sumarta 

di balik ranggasan semak.

Untuk beberapa saat anak muda urakan ini 

hanya terdiam, mencernakan apa yang baru saja 

dilihatnya.

"Aneh!" desisnya kemudian. "Sejak tadi, aku tak 

melihat ada cahaya hitam pada leher gadis berna-

ma Sumiati itu. Tapi barusan, ada pendaran ca-

haya hitam yang begitu kuat? Lho, lho... dari mana 

asal cahaya hitam itu?"

Tak tahu harus menjawab apa dari pertanyaan-

nya sendiri, anak muda ini garuk-garuk kepalanya 

yang tidak gatal.

"Benar-benar busyet! Kok aku jadi penasaran 

ingin mengetahui dari mana asalnya cahaya hitam 

itu? Apakah gadis itu menyembunyikan sesuatu di 

balik pakaiannya? Ih! Kalau dia memang menyem-

bunyikan sesuatu, ya aku tahu apa yang disem-

bunyikannya? Tapi masa iya sih sampai pancar-

kan sinar hitam seperti yang kulihat barusan?"

Karena rasa penasaran yang mulai menggigil, 

akhirnya si Urakan ini memutuskan untuk mengi-

kuti kakak beradik itu.

Sementara itu, Sumarta dan Sumiati sudah tiba 

di depan gubuk yang dulu pernah mereka tinggali 

selama enam tahun.

Sumarta segera mengangkat kayu-kayu yang te-

lah diikatnya menjadi satu seraya berkata, "Ati! 

Kau bawa kapakku itu!"

"Kakang... sejak pagi kita belum makan?" kata 

adiknya seperti merengek.

"Nanti saja di rumah kita makan. Bukankah 

masih ada persediaan ketela untuk kita makan?"

Sumiati menganggukkan kepalanya.

Sumarta berkata, "Ayo, kau berada di depanku!"

"Ih, Kakang ini! Aku mana bisa menentukan 

arah dalam keadaan gelap seperti ini? Sebaiknya, 

Kakang saja."

Sumarta tahu kalau saat ini adiknya sedang da-

tang manjanya. Sambil mendengus pelan, dia 

mendahului melangkah dengan membawa kayu-

kayu di punggungnya. "Hati-hati!" desisnya.

Sumiati tak menyahut. Dia mengikuti dari bela-

kang dengan membawa kapak milik kakaknya. 

Melangkah dengan membawa beban seperti itu 

dan dalam keadaan yang cukup gelap, membuat 

Sumarta tidak bisa melangkah lebih cepat dari bi-

asanya. Tapi dia juga tak mau kemalaman di Ju-

rang Trah Gering, kendati sebelumnya ada niatan 

untuk menginap dulu di gubuknya itu.

Sumiati sendiri terus melangkah mengikuti ka-

kaknya sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Namun la-

ma kelamaan, satu keanehan terjadi. Karena men-

dadak saja terlihat sepasang matanya menatap ta-

jam dan pancarkan sinar merah. 

Mulutnya memang terus bernyanyi-nyanyi yang 

kali ini dengan perubahan paras yang tegang. 

Di leher hingga dadanya, nampak sinar hitam 

berpendar mati. Berulangkali dan kemudian me-

lingkupi batas leher hingga dadanya. Dan satu ke-

bencian mendadak saja muncul di hati gadis itu 

yang sebenarnya tak tahu mengapa bisa terjadi.

Dari belakang, dilihatnya sosok kakaknya yang 

sedang membawa kayu-kayu laksana sosok seo-

rang musuh yang harus dimusnahkan. Dan ke-

bencian itu datang begitu saja.

"Berhenti!" 

Sudah tentu Sumarta terkejut mendengar uca-

pan yang dilontarkan dengan nada membentak. 

Dia berhenti tetapi tak membalikkan tubuh.

"Kenapa lagi? Ayo, jangan manja!" desisnya se-

raya melangkah lagi.

"Orang tak dikenal! Kataku berhenti!"

Kali ini tubuh Sumarta menegak. Suara itu, bu-

kan hanya begitu keras, tetapi sangat asing di te-

linganya.

Dengan perasaan heran, pemuda gagah ini 

membalikkan tubuh. Saat itu pula keningnya ber-

kerut begitu melihat wajah asing pada wajah adik-

nya. Untuk beberapa saat Sumarta menatap tak 

mengerti.

"Aneh! Ada apa ini? Mengapa Sumiati kelihatan 

begitu garang? Dan matanya... oh! Memancarkan 

sinar merah yang mengerikan?" desisnya dengan 

perasaan mulai diliputi kegelisahan.

Di hadapannya, adiknya menatap dingin. Mu-

lutnya merapat.

"Ati... ada apa?" tanya Sumarta sambil tenang-

kan gemuruh hatinya.

"Jangan banyak cakap! Aku menginginkan nya-

wamu!!"

"Gila!!" desis Sumarta tersentak. Kayu yang di-

bawanya dilemparkan begitu saja. Dipandangi wa-

jah adiknya dengan seksama. Dilihatnya pancaran 

mata yang penuh sinar membunuh pada bola ma-

ta adiknya. "Ati! Sadarlah! Ada apa ini?!"

Sebagai sahutan dari ucapannya, Sumiati justru 

angkat kapaknya tinggi-tinggi. Melihat sikap adik

nya yang seperti hendak habisi nyawanya, Sumar-

ta berseru tertahan seraya mundur perlahan-

lahan.

"Sumiati! Kau kenapa? Kenapa?!"

Mendadak adiknya terbahak-bahak keras.

"Gila! Tak pernah Sumiati tertawa seperti itu! 

Lagi pula, suaranya bukan suara Sumiati. Oh! Apa 

yang telah terjadi? Mengapa adikku jadi seperti 

ini?"

Belum lagi dia dapat cernakan apa yang terjadi, 

Sumiati telah ayunkan kapak yang dipegangnya. 

Laksana seorang penebang kayu yang siap memo-

tong kecil-kecil kayu hasil tebangannya.

***

4


Wiiuut!!

Secara refleks Sumarta bergulingan ke kiri. Na-

mun belum lagi dia berdiri tegak, dengan sorot ma-

ta buas, adiknya sudah memburu ke arahnya se-

raya ayunkan kapaknya.

"Sumiati!!" serunya tertahan sambil berusaha 

hindari ayunan kapak adiknya. 

Craakk!

Sebuah dahan yang telah patah terpotong men-

jadi dua begitu ayunan kapak tadi mengenainya. 

Sumarta buru-buru melompat berdiri.

"Sumiati! Sadarlah! Sadarlah, Adikku!!" serunya 

berusaha menyadarkan kekalapan adiknya.

Tetapi adiknya hanya kembangkan senyuman 

dingin. Pancaran matanya kian kuat memancar-

kan nafsu membunuh.

"Siapa pun orangnya, dia harus mati di tangan-

ku! Aku haus darah! Haus darah!!"

Lalu dengan ganasnya Sumiati memburu ka-

kaknya dengan kapak yang dipegangnya. Kendati 

tak memiliki ilmu apa-apa, tetapi Sumarta adalah 

sosok pemuda yang telah ditempa alam. Dengan 

pergunakan sebatang kayu, dia berusaha menja-

tuhkan kapak yang dipegang adiknya.

Menyusul dia menyergap dengan maksud agar 

adiknya menghentikan tindakan gilanya itu. Na-

mun yang mengejutkan Sumarta, karena tangan 

kanan adiknya sudah mengibas. Memukul da-

danya yang tergontai-gontai ke belakang.

Dadanya laksana dihantam godam yang sangat 

keras, membuat Sumarta untuk sesaat merunduk 

menahan sakit. Dan pemuda tanpa pakaian itu tak 

bisa untuk berdiam lebih lama, karena dengan ga-

nasnya Sumiati sudah menerjang.

Astaga! Gadis lembut itu selain mendadak saja 

memiliki kekuatan yang besar, juga dapat melom-

pat laksana seekor kijang. Memburu dan siap me-

nyergap Sumarta.

Berteriak Sumarta sambil melompat ke samping 

kiri. Kendati berhasil, namun tangan kiri Sumiati 

menyerempet bahunya. Akibatnya sosok Sumarta 

terlempar dengan deras di atas tanah! 

"Darah! Bau darah kucium! Menyenangkan se-

kali!" seru Sumiati dengan suara bergetar.

Di tempatnya, dengan susah payah dan ketakutan yang semakin menjadi-jadi, Sumarta berhasil 

bangkit. Dipandangi adiknya dengan tatapan tak 

percaya. Apa yang ada di hadapannya ini memang 

sulit dipercaya.

Sumarta yakin, kalau semua itu terjadi tanpa 

dikehendaki oleh adiknya. Bahkan mungkin tanpa 

disadarinya.

Sebelum dia memikirkan lebih lanjut keadaan 

yang membingungkannya, mendadak saja terlihat 

sinar hitam dari leher dan dada adiknya. Sinar hi-

tam itu lebih terang dari dada Sumiati.

"Gila! Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa 

dari balik pakaian adikku ada sinar hitam? Celaka! 

Ada apa ini? Ada apa?!"

Lalu dilihatnya, bagaimana Sumiati sambil me-

natap dingin ke arahnya, mengeluarkan sesuatu 

dari balik bajunya. Sebuah kalung! Dan dari ka-

lung itulah memancar sinar hitam!

"Astaga! Dari mana dia mendapatkan kalung 

itu? Setahuku, Sumiati tak pernah memiliki ka-

lung apa-apa. Apalagi kalung mengerikan yang 

pancarkan .sinar hitam itu. Apakah kalung itu 

yang menyebabkan Sumiati menjadi buas seperti 

itu?"

Semakin tak menentu perasaan Sumarta meli-

hat apa yang melingkar di leher adiknya. Dilihat-

nya bagaimana wajah Sumiati begitu keras, tata-

pannya tajam menusuk.

"Darah! Ya, darahlah yang membuatku dapat 

bertahan!" suara aneh yang terdengar agak sengau 

itu meluncur dari mulut Sumiati. "Orang muda! 

Darahmu pasti segar! Aku menginginkannya!"

Habis ucapan itu terdengar, mendadak sontak 

mencelat sinar hitam yang perdengarkan suara 

gemuruh dari bandul kalung yang dikenakan Su-

miati.

Seperti telah lenyap sebagian nyawanya Sumar-

ta melihat kejadian yang mengerikan itu. Dia me-

lompat ke samping kanan. 

Blaaarrr!! .

Tanah di mana tadi dia berdiri, langsung mem-

bubung tinggi disertai berhamburannya ranggasan 

semak. Untuk beberapa saat hari yang sudah di-

masuki malam, kian menggelap. Saat itu pula ter-

cium bau yang sangat amis.

"Celaka! Benar-benar celaka!" desis Sumarta 

dengan dada naik turun. Kalaupun tadi pemuda 

ini berhasil menyelamatkan diri, itu dikarenakan 

dia lebih dulu bergerak dari lesatan sinar hitam 

tadi.

Begitu pandangannya dibawa pada tanah yang 

tadi terhantam sinar hitam itu, dilihatnya tanah 

itu telah membentuk sebuah lubang yang cukup 

besar. Makin ciut nyali Sumarta melihat keadaan 

ini.

"Aku tak tahu apa yang terjadi. Tetapi, bila aku 

berada di sini terus, Sumiati akan tetap membu-

nuhku. Ah, malang nian nasib adikku. Apa yang 

sebenarnya telah terjadi? Apakah tindakan kejam-

nya ini karena kalung yang dikenakannya? Lalu 

dari mana dia menemukan kalung itu?"

Belum habis dia berpikir, sinar hitam tadi su-

dah melesat kembali. Gelombang angin angker 

menggebrak. Kali ini Sumarta mendadak saja seperti kehilangan tenaganya. Bahkan tubuhnya 

menggelosoh jatuh terduduk.

Pemuda ini nampak pasrah menghadapi apa 

yang akan terjadi.

Namun sebelum sinar hitam yang diiringi gemu-

ruh angin itu menghantam putus nyawanya, men-

dadak saja satu gelombang angin lainnya mengge-

brak dari arah sampingnya. Menabrak sinar hitam 

yang mengarah padanya.

Blaaam! Blaaammm!!

Benturan keras yang mengerikan menggema di 

malam yang gelap. Sumarta sendiri harus terjeng-

kang ke belakang karena kuatnya pengaruh ben-

turan tadi. Dan sebelum tubuhnya ambruk di atas 

tanah, satu sosok tubuh telah menyambarnya. 

Menyusul terdengar letupan keras di belakang 

Sumarta.

Blaaarrr!

Ranggasan semak yang di belakangnya terdapat 

sebuah pohon, langsung rengkah. Menyusul pohon 

itu tumbang dengan perdengarkan suara berde-

bam.

"Menyingkir dari sini!" seruan itu menyadarkan 

Sumarta dari ketertegunannya.

Lalu dilihatnya orang yang menolongnya itu te-

lah berdiri dua langkah membelakanginya.

"Andika...," desisnya pelan.

Si penolong yang bukan lain anak muda urakan 

dari Lembah Kutukan itu, pandangi sosok Sumiati 

yang sedang menggeram.

"Monyet pitak! Kecurigaanku ternyata terbukti! 

Kini aku tahu, dari mana asalnya sinar hitam yang

kulihat tadi pada punggung si gadis. Dari sebuah 

kalung. Gila! Mengapa Sumarta tak pernah menge-

tahui soal kalung itu? Tapi, apakah kalung itu 

yang memang sangat berbahaya, atau sesungguh-

nya Sumiati yang mempunyai niatan jahat pada 

kakaknya sendiri?"

Gadis berpakaian putih agak kusam yang men-

jadi buas, merandek gusar, "Pemuda berbaju hijau 

pupus! Lebih baik menyingkir dari sini sebelum 

menyesali keadaan!"

Andika garuk-garuk kepalanya. Dia belum 

membuka mulut. Karena masih dipikirkannya apa 

yang menyebabkan gadis jelita itu menjadi sede-

mikian buas.

Terdengar lagi suara sengau Sumiati, "Menying-

kir dari sini! Aku menginginkan darah pemuda ga-

gah itu! Baru kemudian darahmu!"

"Enaknya! Memangnya darah monyet main in-

gin begitu saja?!" rutuk Andika dalam hati. Lalu 

dia berseru, "Eh! Kau ini siapa sih sebenarnya? 

Sumiati atau sebangsa dukun yang menyamar se-

bagai Sumiati?!"

"Persetan dengan ucapanmu itu! Menyingkir! 

Atau... kau ingin lebih dulu darahmu habis kuhi-

sap!!" 

"Busyet! Enak betul ya main hisap begitu? 

Ngomong-ngomong, kau memang bisa membuat 

lubang di ubun-ubunku! Lalu dengan mempergu-

nakan sedotan kau bisa menghirupnya seperti se-

buah kelapa muda! Fiuh! Segar betul!" 

"Jahanam!!" '

Bersamaan makian yang menggelegar, dari kalung yang dikenakan Sumiati, mendadak saja me-

lesat sinar hitam berkekuatan tinggi. 

"Heeiii!!" tersentak anak muda urakan itu sam-

bil dorong tubuh Sumarta ke samping kanan, se-

mentara dia sendiri segera melompat ke samping 

kiri.

Blaaammm!!

Untuk kedua kalinya sebuah pohon tumbang 

dan keluarkan suara bergemuruh.

Di tempatnya, Andika sipitkan matanya.

"Sinar hitam itu melesat dari kalung yang dike-

nakan Sumiati. Hem, aku yakin, kalau sesung-

guhnya keadaan Sumiati sekarang ini dikuasai 

oleh kalung aneh itu. Dan lebih aneh lagi, seper-

tinya Sumarta tak mengetahui soal kalung itu? 

Atau..."

Terputus jalan pikiran Pendekar Slebor, karena 

sinar-sinar hitam itu kembali melesat ke arahnya. 

Kali ini, dengan pergunakan tenaga 'Inti Petir' ting-

kat kelima, Andika menyongsong.

Suara salakan petir terdengar begitu dia gerak-

kan kedua tangannya. Disusul suara keras dua 

kali.

"Ugghhh!!"

Sosok Andika terlempar begitu kedua tangannya 

memutus sinar-sinar hitam yang mengarah pa-

danya. Dadanya saat itu pula dirasakan sangat 

ngilu. Aliran darahnya mendadak jadi kacau. Ke-

palanya pusing tujuh keliling.

Sumiati tertawa sengau.

"Kini, kau akan menyesali karena berani lan-

cang campuri urusanku!"

"Suaranya pun berubah dari suara yang sebe-

lumnya kudengar. Sudah jelas kalau dia dikuasai 

oleh kalung itu. Kalung Setan! Monyet buduk! 

Kambing bunting! Landak bau! Kalau begitu, aku 

harus merebut kalung yang dikenakannya!!"

Sementara Sumarta hanya terduduk dengan 

napas terengah dan perasaan tak menentu sambil 

pandangi keadaan adiknya.

Perlahan-lahan Andika melangkah dua tindak 

ke depan. Pandangannya tajam tak berkedip. Ada 

rasa ngeri di hatinya yang mendadak muncul.

"Untuk mendapatkan kalung itu, sudah tentu 

tak akan mudah. Tapi, bila aku tak mendapatkan-

nya, urusan akan jadi kapiran! Peduli kerbau gila! 

Aku harus mencobanya!"

Berpikir demikian, Andika segera kerahkan te-

naga 'Inti Petir' tingkat pamungkas. Dengan me-

namengkan diri seperti itu, anak muda ini mener-

jang ke depan, dengan maksud untuk menyambar 

Kalung Setan yang menggantung di leher Sumiati.

Dan seperti yang sudah diperkirakannya, anak 

muda ini tak mudah melakukan maksud. Karena 

mendadak saja gumpalan asap hitam yang tebal 

mendadak menyembur dari kalung yang pancar-

kan sinar hitam itu.

Seketika Andika dikerubungi oleh asap-asap 

tebal yang pekatkan mata. Serta merta anak muda 

urakan ini menjadi kelabakan dan berusaha mem-

bebaskan diri dari kungkungan asap-asap hitam 

itu.

"Kutu landak! Kalau mau serang pakai asap be-

gini, bilang-bilang dong! Kan aku bisa memejamkan mataku dulu!" serunya konyol dalam kung-

kungan asap hitam itu.

Dua kejapan mata kemudian, pemuda yang di 

lehernya melilit kain bercorak catur ini sudah ber-

hasil loloskan diri dari kungkungan asap hitam 

itu. Dia terbatuk-batuk seperti kakek yang tua 

renta.

Di depan, bibir Sumiati pentangkan senyum 

dingin.

"Itulah akibat dari kebodohan yang kau laku-

kan!!" 

Andika meleletkan lidahnya dengan sesekali 

terbatuk.

"Mau bodoh kek, pintar kek, itu urusanku! Apa 

urusannya denganmu, hah?!" selorohnya asal. Ta-

pi dia menyambung dalam hati, "Gila! Seluruh tu-

buhku terasa dingin sekali. Ada kekuatan dingin 

yang mencoba matikan aliran darahku. Tentunya 

ini akibat asap-asap hitam tadi. Kerbau dungu!"

Segera saja Pendekar Slebor alirkan hawa panas 

ke sekujur tubuhnya untuk tindih rasa dingin 

yang membuatnya bisa membeku. Bersamaan dia 

sedang alirkan hawa panas ke seluruh tubuhnya, 

asap-asap hitam itu menyembur kembali dari ka-

lung yang dikenakan Sumiati. 

Kali ini ke arah Sumarta yang sedang memper-

hatikan sosok adiknya dengan pandangan sedih.

Dan pemuda gagah ini benar-benar dirundung 

kepedihan yang dalam. Karena dia tak melakukan 

gerakan apa-apa sebagai tanda hindari ganasnya 

asap-asap hitam itu.

Justru Andika yang melotot.

"Dungu!" hardiknya tanpa sadar seraya melom-

pat ke arah Sumarta. Sambil kibaskan tangannya 

yang mengandung tenaga 'Inti Petir' tangan kirinya 

telah menyambar sosok Sumarta.

Begitu berhasil menyambar Sumarta, terdengar 

letupan keras dua kali. Beruntun, yang disusul 

dengan tumbangnya dua buah pohon!

Andika sendiri yang masih merasakan dingin 

pada sekujur tubuhnya, harus melompat kembali 

karena asap-asap hitam itu sudah menggebrak la-

gi. Disusul dengan sinar-sinar hitam yang memba-

bi buta, disertai tawa sengau Sumiati.

"Monyet buduk! Bisa konyol kalau begini! Dalam 

keadaan tubuh yang terus dingin seperti ini, sulit 

bagiku untuk menghadapi Sumiati. Ah, memang 

malang nasib gadis itu. Lebih baik, aku menyingkir 

saja dulu!"

Tetapi hal itu pun tak mudah dilakukannya. 

Masih dengan membawa tubuh Sumarta, anak 

muda urakan ini terus menghindar dan sesekali 

mencoba memapaki dengan tenaga 'Inti Petir'.

Hingga satu kesempatan pun didapatnya. Den-

gan pergunakan ilmu peringan tubuhnya yang ke-

sohor, si Urakan ini segera berkelebat menjauh 

sambil membopong tubuh Sumarta.

Tetapi bukannya senang karena diselamatkan 

orang, Sumarta justru berteriak-teriak kalap, "Le-

paskan aku! Lepaskan! Aku ingin bersama adik-

ku!"

"Sumarta!" seru Andika yang sekarang mempu-

nyai pikiran lebih baik menjauh dulu ketimbang 

urusan jadi berantakan. "Dia memang adikmu!

Tapi sekarang ini, dia bukan adikmu!"

"Aku tak peduli! Lepaskan aku! Lepaskan!"

"Eh, kok kepala batu betul ya orang ini? Ra-

sanya ingin kujitak saja!" dengus Andika dalam 

hati. Lalu serunya, "Pergunakan akal sehatmu! 

Untuk saat ini, kita lebih baik menghindar dulu! 

Dan berpikir bagaimana caranya menyelamatkan 

adikmu!"

Sumarta terus berteriak keras.

Kembali ke tempat semula, Sumiati menggeram 

dingin. Kalung yang bandulnya bergambar sebuah 

wajah yang mengerikan itu, kini pendarkan sinar 

hitam.

"Keparat! Aku harus mencari darah! Darah!!"

Kejap berikut, setelah keluarkan dengusan be-

rat, dengan gerakan laksana angin, gadis jelita 

yang berubah menjadi kejam akibat pengaruh Ka-

lung Setan itu, segera meninggalkan Jurang Trah 

Gering yang makin gelap diselimuti malam.

***

5


Hari ini siang meranggas. Debu-debu beterban-

gan dihembus angin yang membawa udara panas. 

Saat ini matahari tepat berada di atas kepala. 

Sebuah ranggasan semak yang terdapat di se-

buah hutan kecil, menyibak. Menyusul munculnya 

satu sosok tubuh berpakaian merah. Sosok lelaki 

berusia lanjut ini hentikan langkahnya dua tombak dari ranggasan semak tadi.

Pandangannya dibawa ke kejauhan, menatap 

panas yang semakin kuat mendera bumi.

"Beruntung karena aku telah berhasil melewati 

tempat celaka itu! Bila tidak, bisa-bisa tubuhku 

akan terpanggang!" desis kakek ini yang tak lain 

Datuk Merah.

Lalu diperhatikan sekelilingnya yang dipenuhi 

ranggasan semak belukar.

"Jurang Trah Gering sudah tak jauh lagi. Sete-

lah melewati hutan ini, aku sudah langsung me-

nemukan Jurang Trah Gering. Huh! Kendati aku 

tak sepenuhnya mempercayai ucapan Datuk Biru, 

tetapi aku dapat membuktikannya lebih dulu."

Kakek berwajah tirus dengan kalung berbandul 

taring ini keluarkan dengusan berat, tanda kema-

rahan masih menggumpal di dadanya.

"Sungguh celaka Datuk Biru! Bila saja dulu dia 

menyerahkan Kalung Setan ketika aku minta, se-

mua urusan tak akan jadi begini! Tapi, semuanya 

sudah terjadi! Dan aku tak pernah menyesalinya! 

Karena dengan kata lain, kakek celaka itu telah 

menginjak harga diriku habis-habisan!"

Mendadak saja Datuk Merah gerakkan tangan 

kanannya ke depan. Wuuuuttt!!

Satu gelombang angin menghampar menyeret 

ranggasan semak belukar dan berakhir setelah 

menghajar sebuah pohon yang langsung gugurkan 

seluruh dedaunannya.

"Dia harus mampus! Harus mampus!" serunya 

dengan napas terengah-engah. Menyusul dia me-

maki lagi, "Terkutuk! Mengapa harus dia yang pertama kali menemukan kalung itu? Keparat! Sam-

pai hari ini aku tidak tahu bagaimana kalung itu 

bisa berada di sana, dan siapakah pemilik yang se-

sungguhnya! Peduli setan dengan semua itu! Aku 

ingin memilikinya!!"

Sepasang mata kakek berwajah tirus ini mena-

tap tajam, tanpa kedip. Untuk saat ini dia tak tahu 

apa yang ditatapnya, tetapi jelas tergambar kalau 

kebenciannya pada Datuk Biru makin menjadi-

jadi.

"Huh! Lebih baik aku segera bergerak kembali! 

Aku harus mendahului Datuk Biru tiba di Jurang 

Trah Gering! Dengan cara bagaimana aku bisa 

menemukan kalung itu, aku tak peduli!"

Setelah keluarkan dengusan keras, Datuk Me-

rah segera berkelebat kembali. Gerakan kakek ini 

sangat lincah. Bahkan terlihat kalau kedua ka-

kinya sama sekali tak menginjak tanah.

Sepenanakan nasi telah dilaluinya dengan cepat 

dan tiga kejapan mata berikutnya, kakek yang 

memiliki dendam pada sahabatnya sejak muda itu, 

kini telah tiba di luar hutan yang tadi dilewatinya.

Tak ada dengusan napas terengah yang terden-

gar saat dia hentikan langkahnya. Pandangannya 

disapu ke sekelilingnya. Panas tak lagi terlalu 

menggigil, karena nampak senja sebentar lagi akan 

datang.

Sepasang mata tajam Datuk Merah mendadak 

saja melotot ke samping kiri begitu melihat bayan-

gan biru berkelebat dengan cepat.

"Terkutuk!!" makinya geram begitu menyadari 

siapa adanya orang yang berkelebat. "Datuk Biru!

Keparat betul! Kehadirannya di sini, semakin 

membuatku yakin kalau dia memang mengetahui 

di mana Kalung Setan berada! Bisa jadi kalung itu 

memang ada di salah satu tempat di Jurang Trah 

Gering, dan dialah yang menyimpannya, bukan 

melemparnya. Setan keparat!!"

Hati Datuk Merah semakin digumpal kemara-

han tinggi begitu tiba pada pikiran seperti itu.

Mendadak kaki kanannya dihentakkan di atas 

tanah, yang seketika membuat tanah itu mem-

buyar setinggi paha.

"Setan terkutuk!" geramnya. "Sebaiknya, ku-

buntuti saja kakek keparat itu!"

Kejap itu pula Datuk Merah sudah berkelebat 

ke arah perginya Datuk Biru.

Sejarak dua puluh langkah, kakek berpakaian 

biru terus berkelebat cepat dan tak lama kemu-

dian dia tiba di sisi kanan atas dari Jurang Trah 

Gering. Di tempat itu dihentikan langkahnya.

Sesaat dia tarik napas pendek sebelum mem-

bawa pandangannya ke sekitar Jurang Trah Ger-

ing yang dipenuhi pepohonan.

"Aku ingat betul, tiga puluh tahun yang lalu, da-

ri sisi kanan Jurang Trah Gering di tempat inilah 

kulempar Kalung Setan. Entah di mana jatuhnya 

kalung itu."

Datuk Biru hentikan desisannya. Hatinya terasa 

tidak enak memikirkan kalau dia harus cepat 

mendapatkan Kalung Setan. Terutama, bila dia tak 

mendapatkannya, maka Datuk Merah akan terus 

memburunya.

"Sesungguhnya, aku tak ingin mendapatkan Kalung Setan. Biarlah kalung laknat itu terkubur en-

tah di mana. Karena... aku sendiri merasa pernah 

dikuasai oleh kalung celaka itu tiga puluh tahun 

yang lalu. Masih beruntung aku dapat pergunakan 

hawa murniku untuk mengusir pengaruh kejam 

Kalung Setan. Ah, keadaan memang sudah tak bi-

sa ditanggulangi lagi. Satu-satunya jalan, aku 

memang harus menemukan kalung itu sebelum 

didahului oleh Datuk Merah."

Teringat akan sahabatnya sejak muda, kakek 

berpakaian biru ini menggeleng-gelengkan kepa-

lanya.

"Sungguh tak kumengerti, bagaimana Datuk 

Merah bisa bersikap seperti sekarang? Dia begitu 

menggebu-gebu untuk mendapatkan Kalung Se-

tan, bahkan bersiap untuk mencabut nyawaku. 

Ah, entah apa jadinya bila dia memang memiliki 

kalung itu dan dikuasai oleh Kalung Setan?"

Kali ini sambil geleng-gelengkan kepalanya, Da-

tuk Biru menghela napas masygul.

Di balik ranggasan semak sejarak dua puluh 

langkah, Datuk Merah menggeram pendek.

"Jahanam sial! Mengapa dia masih berdiri di 

tempat itu? Mengapa tak segera menuruni Jurang 

Trah Gering untuk mencari kalung yang katanya 

dilemparnya ke jurang itu tiga puluh tahun lalu? 

Celaka keparat! Aku sudah tak sabar untuk memi-

liki Kalung Setan! Tapi untuk saat ini, biarlah ku-

tahan dulu keinginanku. Akan kuikuti ke mana 

dia pergi."

Sementara itu di tempatnya, Datuk Biru men-

desis lagi, "Saat ini senja sudah datang. Tak lama

lagi malam tentunya akan tiba dan menyelimuti 

seisi Jurang Trah Gering. Dalam kegelapan, sangat 

sulit bagiku untuk menemukan Kalung Setan. Ta-

pi, dalam keadaan terang pun aku belum tentu bi-

sa menemukannya. Karena, aku sendiri tak tahu 

di mana jatuhnya Kalung Setan setelah kulempar 

tiga puluh tahun yang lalu."

Kakek ini terdiam kembali. Pikirannya terus 

mencoba mengingat-ingat di mana kira-kira jatuh-

nya kalung yang akan dicarinya. Tetapi semakin 

dipikirkan, perasaan Datuk Biru semakin tak me-

nentu. Dia mencoba berpikir, menimbang dan 

memutuskan.

Sampai terlihat kepalanya digeleng-gelengkan.

"Sebaiknya, aku mencari kalung itu besok pagi 

saja. Dengan bantuan sinar matahari, kuharap 

aku tak akan banyak menemukan kesulitan."

Memutuskan demikian, Datuk Biru perhatikan 

sekelilingnya. Lalu berkelebat ke arah timur.

Di balik ranggasan semak belukar, Datuk Me-

rah melengak dengan kening berkerut.

"Aneh! Mengapa dia tak segera menuruni Jurang 

Trah Gering? Apakah dia tahu kalau aku mengun-

titnya dan mencoba mengambil keuntungan da-

rinya?" Datuk Merah terdiam sejenak sebelum lan-

jutkan desisannya, "Jangan-jangan... dugaanku 

memang tepat. Kalau dia tak melempar Kalung Se-

tan ke Jurang Trah Gering, melainkan menyim-

pannya di satu tempat. Kalaupun dia mendatangi 

tempat ini, dia mencoba untuk kelabuiku. Setan 

keparat! Beruntung aku masih bisa melihatnya!!"

Habis berpikir demikian, Datuk Merah segera

berkelebat menyusul Datuk Biru. Gerakan yang di-

lakukannya sangat cepat sekali. Hati kakek berwa-

jah tirus ini semakin dibuncah kemarahan tinggi. 

Dia tak akan pernah memaafkan sahabatnya itu, 

yang telah menyakiti hatinya dan mengalahkannya 

tiga puluh tahun yang lalu. .

Datuk Merah memang masih sempat melihat 

bayangan biru di kejauhan. Namun dua kejapan 

mata berikutnya, dia hentikan larinya dengan ke-

pala menegak.

"Terkutuk!" semburnya kemudian dengan mata 

membelalak. "Ke mana kakek celaka itu seka-

rang?!"

Dipicingkan matanya untuk menangkap kemba-

li bayangan biru yang sebelumnya dilihatnya. Te-

tapi bayangan Datuk Biru benar-benar lenyap dari 

pandangannya.

"Setan! Setan! Setan! Dimana manusia celaka 

itu?" dengusnya sengit dengan mata pancarkan si-

nar penuh bara. "Keparat! Menilik keadaan seka-

rang, jelas kalau dia tahu aku membuntutinya! 

Huh! Makin kuat keinginanku untuk membunuh-

nya! Kelak, kudapatkan atau tidak kalung itu, dia 

akan tetap kubunuh!!" 

Datuk Merah kepalkan tinjunya kuat-kuat den-

gan mata pancarkan sinar berbahaya. Dia makin 

merasa dipermainkan oleh Datuk Biru. 

"Peduli sejuta setan!" desisnya geram. "Lebih 

baik, aku segera kembali ke tempat semula! Tapi 

tak segera kuturuni Jurang Trah Gering! Siapa ta-

hu kakek celaka itu akan datang lagi ke sana!!" 

Memutuskan demikian dan membawa kemara

han tinggi Datuk Merah kembali ke tempat semu-

la. 

Tetapi apa yang diduga oleh Datuk Merah ber-

lainan sekali dengan kenyataannya, karena Datuk 

Biru sesungguhnya tidak mengetahui kalau dia di-

ikuti. Bukan dikarenakan Datuk Biru memiliki il-

mu rendah hingga tak mengetahui dibuntuti 

orang. Tapi orang yang membuntutinya memiliki 

ilmu tak jauh berbeda dengannya bahkan sambil 

berkelebat telah kerahkan ilmu peringan tubuh.

Kalaupun mendadak saja Datuk Biru lenyap da-

ri pandangan Datuk Merah, ini disebabkan karena 

Datuk Biru tiba-tiba melompat ke balik ranggasan 

semak. Karena, tempat itulah yang dirasakan cu-

kup aman dan terlindung hingga dia bisa bebas 

beristirahat sambil memikirkan langkah selanjut-

nya.

"Kalung Setan...," desis si kakek yang kini su-

dah duduk bersemadi di bawah sebatang pohon. 

Beberapa helai daun pohon itu gugur dan terbang 

dibawa angin senja. Datuk Biru usap jenggot pu-

tihnya dengan perasaan tak menentu. "Entah 

mengapa, aku bukan hanya menangkap satu isya-

rat yang diberikan oleh Datuk Merah. Tapi ku-

tangkap peristiwa yang lebih mengerikan yang 

akan ditimbulkan oleh Kalung Setan. Ah, entah 

apa jadinya bila seseorang mendapatkan kalung 

itu dan dikuasai olehnya. Sama seperti diriku yang 

hampir dikuasai oleh kalung celaka itu. Ah, apa-

kah yang akan terjadi?"

Datuk Biru menghela napas panjang-panjang. 

Wajah tuanya yang mendadak sendu, diusap oleh

angin senja.

"Aku akan terus mencari Kalung Setan dan 

akan kucoba untuk memusnahkannya...." Berpikir 

demikian, Datuk Biru menyesali sedikit tindakan-

nya yang telah membuang kalung itu tiga puluh 

tahun lalu. "Mengapa waktu itu tak segera kuhan-

curkan saja Kalung Setan, kendati aku tak tahu 

bagaimana caranya. Paling tidak, aku akan men-

guburnya di satu tempat, bukan melemparnya se-

perti yang telah kulakukan dulu."

Kembali kakek ini menghela napas masygul.

"Dan aku tak ingin, apa, yang kukhawatirkan 

terjadi...," desisnya sambil rapatkan mata.

Perlahan-lahan kedua tangannya diletakkan di 

atas dengkulnya yang duduk bersila. Kejap beri-

kutnya, kakek yang sedang gelisah karena dibun-

cah pikiran tak menentu mi, segera bersemadi un-

tuk menenangkan pikirannya.

***

6


Hamparan pagi telah menyemai lagi bumi ini. 

Pagi yang indah dengan dibaluri keriangan bu-

rung-burung yang beterbangan, sebenarnya dapat 

memancing pesona yang sukar ditepiskan oleh 

orang-orang yang menikmati panorama pagi.

Tetapi, dua pemuda yang berusia tak jauh ber-

beda satu sama lain, tak bisa menikmati keinda-

han itu. Mereka berada di sebuah tempat yang sepi

dan dikelilingi oleh pepohonan.

Pemuda yang berdiri tegak yang sebelumnya 

perhatikan sekelilingnya, membawa pandangannya 

pada pemuda yang duduk kuyu bersandar di ba-

tang sebuah pohon. Pemuda berpakaian hijau pu-

pus yang bukan lain Pendekar Slebor adanya, tarik 

napas pendek, sebelum mendengus dalam hati.

"Aku tak bisa menyalahkan sikapnya yang pe-

nuh penyesalan seperti sekarang. Tapi ya... kenapa 

dia tak pergunakan otaknya sih untuk memikirkan 

sikap adiknya yang menjadi kejam seperti itu?"

Pemuda yang duduk bersandar di bawah pohon, 

tak keluarkan suara apa-apa. Pandangannya ko-

song, menyiratkan kedukaan yang dalam. Tangan-

nya memainkan sebatang rumput, yang dengan 

gerakan simultan seolah tanpa disadarinya, telah 

memotek-motek rumput itu sampai habis. Lalu di-

gigit bibirnya dengan perasaan hampa.

Pendekar Slebor mendengus melihat sikap Su-

marta yang seperti kehilangan pegangan.

Dia kemudian berkata, "Sumarta, tak seharus-

nya kau direjam oleh pikiran-pikiran jelek tentang 

adikmu. Seharusnya yang kau pikirkan, bagaima-

na caranya mengembalikan adikmu seperti semu-

la...." 

Sumarta tidak menjawab. Bahkan sepertinya 

dia tak mendengar apa yang dikatakan anak pe-

muda dari Lembah Kutukan itu.

Dan Sikapnya membuat Andika garuk-garuk 

kepalanya yang tidak gatal.

"Bagaimana nih caranya untuk mengembalikan 

dia seperti semula? Kutu kupret! Jadi bikin urusan

saja!!''

Habis mendumal begitu, pemuda yang di leher-

nya dililit kain bercorak catur berkata lagi, bebera-

pa pertanyaan yang hendak kukemukakan. Aku 

ingin kau menjawabnya."

Sumarta mengangkat kepalanya. "Monyet pitak! 

Pandangannya begitu kosong, tak terdapat tanda-

tanda kehidupan lagi!" dengus Andika dalam hati.

Setelah dilihatnya kepala Sumarta mengangguk, 

dia segera berkata, "Sumarta, memang tak mung-

kin rasanya melihat perubahan yang terjadi terha-

dap diri adikmu bila tanpa sebab yang sangat be-

rarti. Sekarang, jawab pertanyaanku. Apakah kau 

pernah melihat kalung yang dikenakan adikmu?"

Masih dengan pandangan kosong, Sumarta 

menggeleng.

"Kau yakin itu?"

Sumarta mengangguk.

"Atau kau tidak tahu karena dia tak pernah 

menunjukkannya padamu?"

Kembali Sumarta menggeleng.

Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembar Kutu-

kan ini tak segera lanjutkan pertanyaannya. Dia 

berharap Sumarta bukan hanya menggeleng atau 

mengangguk, tetapi juga memberi jawaban yang 

dapat diterimanya.

Kendati agak tidak sabar menunggu, Andika 

mencoba bertahan untuk tak lanjutkan tanyanya.

Setelah beberapa lama, dilihatnya Sumarta ber-

gerak. Terlontar kata-katanya, agak gemetar "Aku 

yakin... kalau Sumiati tak pernah memiliki kalung 

seperti itu. Dia tak pernah menyembunyikan sesuatu dariku. Apapun yang akan atau dilakukannya, 

apa pun yang akan atau dimilikinya pasti dia akan 

mengatakannya padaku."

"Dan kau melihat kalung itu?"

Sumarta menganggukkan kepalanya, lemah.

Andika garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. 

Kening anak muda dari Lembah Kutukan ini ber-

kerut, dan beberapa lama dia tak keluarkan suara.

Namun batinnya berkata, "Keanehan yang ter-

jadi pada diri Sumiati, aku menduga kalau berasal 

dari kalung yang pancarkan sinar hitam. Dan pen-

jelasan Sumarta menambah jelas keyakinanku 

akan hal itu. Kalau memang demikian, kalung 

apakah yang mampu membuat seseorang beru-

bah? Dari sikap maupun kekuatannya? Apakah... 

monyet pitak! Dari mana sih dia mendapatkan ka-

lung aneh itu?" 

Kembali Pendekar Slebor garuk-garuk kepa-

lanya. Wajah tampannya menekuk karena otaknya 

mulai dipusingkan pikiran yang singgah. 

"Aku harus cari kejelasan dari masalah ini. Ta-

pi, meninggalkan Sumarta yang seperti kehilangan 

pegangan hidup, apakah suatu cara yang terbaik 

saat ini? Kutu landak! Seharusnya aku terus beru-

saha mendapatkan kalung aneh itu? Tapi ya... le-

bih baik menyingkir dulu sebelum bahaya meng-

hadang."

Habis berpikir demikian, pemuda berambut 

gondrong acak-acakan ini berkata, "Sumarta, aku 

punya satu pikiran yang mungkin aneh."

Sumarta hanya memandangnya.

Andika melanjutkan, "Keanehan yang dialami

adikmu itu, menurut dugaanku, dikarenakan oleh 

kalung yang pancarkan sinar hitam itu."

Andika melihat kening pemuda yang masih ber-

sandar di bawah pohon itu berkerut.

"Kenapa?" ucapnya tanpa suara. 

"Karena ya... sungguh aneh bukan, kalau adik-

mu mendadak menjadi beringas seperti itu? Dan 

dugaanku itu, semuanya dikarenakan oleh kalung 

yang melingkar di lehernya. Kalung... Setan. Ya, 

Kalung Setan!"

"Kalung Setan?" Sumarta melengak. Tetapi dia 

seperti kehilangan pegangannya lagi. "Apakah itu 

memang kalung pemberian setan?" 

Andika tak menjawab, karena dia sendiri masih 

belum bisa menentukan jalan pikirannya lebih je-

las.

Sumarta berkata lagi, "Kalau memang itu ka-

lung pemberian setan, apakah kau berpikir adikku 

sedang memuja sesuatu?'"

Andika segera gelengkan kepalanya.

"Tidak! Aku tidak berpikir ke arah sana dan aku 

yakin adikmu tidak melakukan hal itu. Yang men-

jadi pikiranku, kemungkinan besar dia tak sengaja 

menemukan kalung itu. Bukankah sebelumnya 

kau kehilangan adikmu?" 

Sumarta mengangguk ragu-ragu. "Dan kalung 

itu yang membuatnya menjadi beringas?"

"Ini baru dugaan. Tapi, tak ada dugaan lain 

yang lebih pantas untuk menjawab keanehan ini. 

Sumarta, adikmu telah dikuasai oleh Kalung Setan 

yang tentunya akan membahayakan dirinya sendi-

ri. Mungkin juga akan membahayakan orang lain."

"Apa maksudmu, Andika?"

"Karena dia dikuasai oleh Kalung Setan, ke-

mungkinan besar dia hanya menjadi alat belaka, 

Apakah kau lupa kalau Sumiati selalu berbicara 

soal darah? Itu berarti, Kalung Setan membutuh-

kan darah. Entah dengan cara bagaimana." 

Sumarta terdiam beberapa saat. Perasaan pe-

muda gagah ini sungguh tak menentu. Bahkan dia 

agak sedikit terguncang mendengar keterangan 

Andika.

Kemudian katanya, "Andika... dapatkah kau 

menolong adikku dari bahaya yang mengancam-

nya?"

"Aku akan berusaha."

"Kalau begitu, sebaiknya kita berangkat seka-

rang juga untuk mencari adikku," kata Sumarta 

sambil berdiri.

Andika menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Bukan maksudku untuk melarangmu ikut. Ta-

pi, sebaiknya kau kembali ke dusun Gelagah. 

Maksudku, aku tak ingin penduduk di sana akan 

mencari-carimu dan adikmu. Sebaiknya kau kem-

bali ke dusun Gelagah dan menceritakan nasib 

yang menimpa adikmu. Paling tidak, berilah keje-

lasan pada mereka, untuk menghindari adikmu 

untuk saat ini."

Sumarta hanya tarik napas pendek sambil tun-

dukkan kepala. Perasaannya makin dibuncah rasa 

tak tenang. Hatinya sungguh gelisah. Ingin ra-

sanya dia berteriak keras, berlari menjauh dan 

menghancurkan apa saja yang ada di hadapannya 

untuk melampiaskan segala perasaan yang bertumpuk.

Tapi itu tak dilakukannya.

Dipandanginya pemuda berpakaian hijau pupus 

yang masih berdiri di hadapannya. Cukup lama 

hal itu dilakukan sebelum akhirnya membuka mu-

lut,

"Andika, apa yang kau katakan memang benar. 

Kendati hatiku agak terpukul mendengar ucapan-

mu, tetapi aku membenarkannya. Akan sungguh 

berbahaya bila seseorang berjumpa dengan Sumia-

ti yang telah dikuasai kalung aneh itu. Yah, den-

gan berat hati, aku akan kembali ke dusun Gela-

gah. Dan mengabarkan berita buruk ini. Tapi An-

dika...."

Sumarta memutus kata-katanya. Setelah 

menghela napas panjang dia berkata, "Berjanjilah 

padaku... untuk menyelamatkan adikku. Aku tahu 

kau seorang yang berilmu, dan kuminta, janganlah 

kau melukai adikku, Andika. Karena, dia tak tahu 

apa yang sedang terjadi pada dirinya...."

Andika menganggukkan kepalanya. "Ya, aku 

berjanji padamu. Aku berjanji untuk menjaga 

adikmu...."

Sumarta tersenyum, lemah.

"Terima kasih, Andika...," katanya. Setelah me-

lihat anggukan kepala pemuda di hadapannya, 

Sumarta segera melangkah meninggalkan tempat 

itu.

Langkahnya seperti dibebani oleh bandul besi 

yang cukup berat. Hati pemuda ini retak tak karuan.

Tinggal Andika yang memandang sosok Sumar-

ta yang terus melangkah. Perasaan anak muda dari Lembah Kutukan ini pun tak enak ketika memi-

kirkan apa yang dijanjikannya pada Sumarta.

"Aku tak tahu apa yang harus kulakukan sebe-

narnya. Tapi, aku akan berusaha untuk menyela-

matkan Sumiati...." 

Lalu diedarkan pandangan ke sekelilingnya. Se-

telah mengira-ngira arah mana yang harus ditem-

puh, anak muda berambut gondrong ini sudah 

melangkah ke arah timur.

***

Pada saat yang bersamaan dari balik sebuah 

ranggasan semak setinggi dada yang terletak sera-

tus tombak ke timur dari tempat di mana Andika 

dan Sumarta berada sebelumnya, terdengar suara 

kikikan, disusul dengan tawa diserati dengusan bi-

rahi.

"Ih! Geli, geli! Jangan, jangan itu...," suara kiki-

kan tadi diselingi oleh ucapan-ucapan yang men-

gembangkan birahi.

"Biar geli, tapi kau suka, kan?" suara seorang 

pemuda yang bernada tersekat di tenggorokan ter-

dengar.

"Iya, aku suka, suka sekali. Tapi... ih, jangan di 

situ... ah, geli... geli...."

"Masa bodoh, ah!"

Dua remaja yang sedang dimabuk birahi itu 

semakin diburu oleh birahi yang tinggi. Saat ini, si 

gadis yang bertubuh sintal dengan payudara cu-

kup besar itu mengelinjang tatkala tangan keka-

sihnya menjamah payudaranya. Menekan

nekannya sedikit disertai ucapan,

"Hayo! Bilang sekarang, geli apa nikmat?!"

"Ih! Kau ini, ah!" seru si gadis dengan wajah 

memerah, antara malu dan diamuk birahi. Tapi 

dibiarkan saja tangan nakal kekasihnya itu ber-

main-main.

Pakaian biru yang dikenakannya sudah terbuka 

di sana-sini. Kain panjang yang dipakainya sudah 

tersingkap hingga memperlihatkan bungkahan pa-

ha mulus yang gempal. Sementara itu, kekasihnya 

sudah bertelanjang dada, memperlihatkan betapa 

bidang dadanya.

Sesekali si pemuda mengecup bibir kekasihnya

yang makin lama makin gelisah. Tiga kejapan mata 

kemudian, disingkapnya kain panjang yang dike-

nakan kekasihnya. Dan mulailah kedua remaja itu 

mereguk apa yang sebenarnya bukan menjadi mi-

lik mereka, diperhatikan oleh burung-burung yang 

terbang dan pepohonan yang menjadi saksi bisu.

Dari balik ranggasan semak itu yang kemudian 

terdengar hanyalah rintihan, kikikan dan dengu-

san senang. Mereka terus mengayuh sampai ter-

hempas di pesisir pantai disertai tarikan napas 

panjang.

Dua tarikan napas kemudian, keduanya terlen-

tang dengan tubuh polos menghadap langit. Si ga-

dis rupanya masih memiliki rasa malu. Terburu-

buru diraih kainnya untuk tutupi tubuhnya. Si 

pemuda hanya melirik sesaat, lalu pejamkan ma-

tanya, meresapi apa yang baru saja diraihnya.

Dan keduanya sama-sama tersentak kaget, be-

gitu mendengar suara, "Sejak tadi aku tak sabar

untuk membunuh kalian, menghirup darah kalian! 

Tapi, kalian kuberi kesempatan untuk meraih apa 

yang kalian inginkan lebih dulu."

Laksana ditarik setan, masing-masing orang se-

gera tegakkan tubuh walau kedua kaki masih ber-

selonjor.

Dan seperti datangnya bahaya kebakaran, ke-

duanya segera meraih pakaian masing-masing. 

Mengenakannya asal saja dengan wajah memerah.

Kejap itu pula si pemuda berdiri tegak. Pandan-

gannya tajam pada seorang gadis berpakaian putih 

agak kusam yang tadi keluarkan suara.

Tatapan gadis itu begitu dingin. Sorotnya pan-

carkan kematian yang tak bisa ditahan lagi.

"Gadis keparat! Mau apa kau berada di sini, 

hah?! Apa urusannya denganmu tentang apa yang 

kami lakukan?" hardik si pemuda dengan wajah 

masih mendongkol dan malu.

Di lain pihak, kekasihnya sudah tutup wajah-

nya dengan kedua tangannya. Tak pernah disang-

kanya, perbuatan yang telah tiga kali mereka la-

kukan akan diketahui orang.

Kendati si gadis tak mengenal siapa adanya ga-

dis yang menegur itu, biar bagaimanapun juga dia 

merasa malu.

"Meskipun aku tak punya urusan dengan apa 

yang telah kalian perbuat, tapi aku mencium da-

rah segar! Darah yang bisa membuatku bertahan 

lebih lama."

Sepasang mata si pemuda mendelik gusar. Na-

pasnya mendengus-dengus, masih tersisa sebagian 

birahinya. Dengan gusar tangannya menuding disertai bentakan,

"Pergi dari sini! Atau, kau akan menyesal!!" 

Gadis berpakaian putih agak kusam yang tak 

lain Sumiati adanya, menatap tajam. Kalung yang 

dikenakannya mendadak saja keluarkan sinar hi-

tam yang agak redup.

"Manusia-manusia keparat yang berani menan-

tang Kalung Setan! Lebih baik kau mampus!!"

Si pemuda bukanlah sebangsa orang pengecut. 

Dia termasuk orang yang berani. Apalagi perbua-

tan yang telah dilakukannya bersama kekasihnya, 

perbuatan yang sudah tentu dilakukan secara 

sembunyi-sembunyi, diketahui orang lain. Ma-

kanya, dia tak dapat lagi kuasai amarahnya.

"Ketimbang kau akan menjadi duri, lebih baik 

kau yang kubunuh!!" bentaknya meradang.

Kejap itu pula dia melompat kedepan dengan 

kedua tangan siap mencengkeram leher gadis yang 

melingkar kalung yang pancarkan sinar hitam. Ge-

rakan yang dilakukan si pemuda hanyalah sebuah 

naluri saja. Dia yakin kalau kedua tangannya akan 

dapat mencengkeram leher si gadis. Dan dia tak 

akan menyesal membunuh orang yang memergoki 

perbuatannya.

Kedua tangannya memang berhasil mencengke-

ram leher si gadis. Saat itu pula dia berusaha un-

tuk mencekiknya kuat-kuat. Tetapi si gadis hanya 

tenang-tenang saja, sementara sepasang matanya 

menatap tajam.

Di lain pihak, gadis yang masih mengenakan 

pakaiannya asal saja, palingkan kepala. Dia terke-

jut melihat betapa kekasihnya sedang berusaha

untuk membunuh gadis yang menegur mereka.

"Kang Surya! Jangan, jangan kau lakukan itu 

Kang!" serunya keras sambil memburu.

Pemuda yang bernama Surya tak menghirau-

kannya. Hatinya sudah direjam kemarahan. Dia 

makin menambah tenaganya untuk dapat mema-

tahkan leher gadis yang masih berdiri tegak den-

gan tatapan makin dingin.

Kekasihnya menjadi cemas. Dia berkata terbu-

ru-buru, "Kang Surya! Hentikan! Hentikan!"

"Diam kau, Darsih! Gadis celaka ini harus 

mampus!!" desis Surya keras dengan suara makin 

sengau. Keringat telah mengaliri sekujur tubuh-

nya. Tenaganya hampir terkuras.

Dan tatkala menyadari kalau dia belum berhasil 

mematahkan leher gadis di hadapannya, dia men-

jadi tersentak sendiri. Untuk beberapa saat pemu-

da ini seperti melupakan maksudnya.

"Gila! Aku bukan hanya tak dapat mematahkan 

lehernya, tetapi dia sedikit pun nampak tak kesa-

kitan!" makinya dalam hati dan dikerahkan selu-

ruh tenaganya untuk menjalankan maksud.

Sumiati hanya memandang dingin. Sinar hitam 

yang terpancar dari kalungnya makin kuat.

Mendadak terdengar suara Sumiati dingin, ke-

jam dan tebarkan hawa kematian, "Aku tak ingin 

berlama-lama lagi!"

Hanya itu ucapan yang terdengar, karena men-

dadak saja sinar hitam yang terpancar dari bandul 

kalung yang dikenakannya melesat ke arah jan-

tung Surya. 

Si pemuda seketika tersentak, sebelum, kelojo

tan laksana disengat listrik. Lain halnya dengan si 

pemuda, lain halnya dengan Darsih.

"Oh! Kang Surya! Kau kenapa, Kang? Kau ke-

napa?!" serunya panik. Lalu dengan kalap dia me-

nerjang ke arah Sumiati, "Gadis celaka! Siapa kau 

sebenarnya, siapa kau?!"

Tetapi sinar hitam yang terpancar dari kalung 

Sumiati terpecah menjadi dua. Dan langsung ma-

suk tepat ke jantung Darsih yang kini mengalami 

hal yang sama dengan kekasihnya.

Sementara kedua orang itu sedang meregang 

nyawa, Sumiati memejamkan matanya. Kepalanya 

agak sedikit diangkat. Layaknya orang orgasme, 

Sumiati nampak agak menggigil penuh nikmat.

Lima kejapan mata berikutnya, sinar-sinar hi-

tam itu lepas dari jantung dua orang korbannya 

yang seketika jatuh menggelosoh dengan dada bo-

long! Seluruh kulit kedua orang itu memucat dan 

tanpa darah!

Sumiati masih berada dalam sikap seperti orang 

mabuk. Lidahnya beberapa kali menjilat bibirnya. 

Lalu terdengar ucapannya, "Menyenangkan, san-

gat menyenangkan...."

Tanpa mempedulikan kedua korbannya yang te-

lah menjadi mayat, Sumiati meninggalkan tempat 

itu. Kalau sebelumnya kalung yang dikenakannya 

pancarkan sinar hitam, kali ini nampak percikan 

sinar merah laksana darah.

***

7


Andika yang sore harinya tiba di tempat itu, ha-

rus kerutkan kening saat meneliti keadaan dua so-

sok tubuh yang dilihatnya. 

"Landak dungu! Siapa orang yang telah lakukan 

tindakan keji seperti ini?!" desisnya setelah meme-

riksa kedua mayat itu bergantian. Dan anak muda 

ini terkejut tatkala melihat kalau di balik pakaian 

yang dikenakan kedua mayat itu, dalam keadaan 

polos. "Kutu monyet! Rupanya habis asyik nih! Ta-

pi ya... siapa sih yang tega berbuat kayak begini?!"

Anak muda dari Lembah Kutukan ini geleng-

gelengkan kepalanya. Dan mendadak saja kening-

nya berkerut. Sepasang matanya menatap tajam 

tak berkedip pada mayat-mayat itu.

"Edan! Menilik bau hangus jantung masing-

masing orang yang masih tercium, aku yakin ka-

lau rentang waktu kematiannya dengan kedatan-

ganku tak terlalu lama. Tapi, bagaimana bisa da-

rahnya secepat ini mengering? Ini tak masuk akal. 

Darah masing-masing orang seperti telah tersedot! 

Tersedot? Kadal buntung! Masa iya sih tersedot? 

Siapa yang nyedot?!"

Menggeleng-geleng pemuda berambut gondrong 

acak-acakan ini. Dan dia kembali meneliti kedua 

mayat itu. Sekarang makin diyakininya kalau da-

rah pada kedua mayat itu mengering sama sekali. 

Dengan kata lain, kedua mayat itu tak memiliki 

darah sama sekali!

"Monyet pitak! Siapa orang yang suka nyedot

darah? Kalau nyedot susu sih enak!" habis uca-

pannya yang terakhir si urakan ini cengar-cengir 

sendirian. Dan berkata sendirian pula, "Jangan 

ngeres. Maksudku susu kambing."

Diperhatikannya kembali kedua mayat itu sebe-

lum akhirnya dia memutuskan untuk segera men-

guburkannya. Pemuda pewaris ilmu Pendekar 

Lembah Kutukan ini hanya membutuhkan waktu 

singkat untuk menguburkan kedua mayat itu.

Tak ada napas terengah yang terdengar. Tak 

ada keringat yang keluar.

"Rupanya, ada orang yang suka nyedot darah! 

Orang yang suka... hei!!" memutus kata-katanya 

sendiri, Pendekar Slebor terdiam. Sejurus kemu-

dian terlihat wajahnya menekuk persis orang yang 

telat buang hajat.

Lalu desisnya terbata, "Apakah ini ada hubun-

gannya dengan Kalung Setan? Bukankah saat itu 

kudengar Sumiati yang telah dipengaruhi Kalung 

Setan, meminta darah. Darah? Ya, ya! Darah! Sial! 

Apakah ini perbuatan Sumiati yang telah dikuasai 

Kalung Setan? Laknat! Sungguh laknat!!"

Anak muda urakan ini memaki-maki tak ka-

ruan. Hatinya menjadi geram bukan kepalang. Un-

tuk beberapa saat dia masih merasa dibaluri ke-

marahan tinggi.

"Kerbau bunting! Aku harus segera menemukan 

Sumiati! Teror yang akan diturunkannya sudah je-

las kalung setan akan membahayakan siapa pun 

juga! Ah, urusan jadi panjang!!"

Pemuda urakan ini tarik napas panjang. Kete-

gangan yang menjabani pikirannya membayang

kan teror yang akan diturunkan oleh Kalung Setan 

dengan perantara Sumiati, makin membuatnya tak 

enak. Ditindih rasa tidak enaknya itu dengan piki-

ran pada hal-hal yang menggembirakan.

"Ketimbang jadi kambing dungu, lebih baik ku-

teruskan perjalanan saja."

"Ya! Kau benar, anak muda! Sebaiknya kau te-

ruskan perjalanan saja, karena toh tidak akan ada 

yang mengetahui perbuatan celakamu itu!" satu 

suara keras yang menggema tanda orang yang 

bersuara kerahkan tenaga dalamnya, menyelinap 

di gendang telinga Pendekar Slebor. 

Serta-merta anak muda ini hentikan langkah-

nya. Sejurus kemudian, dilihatnya satu sosok tu-

buh berpakaian putih tipis telah berdiri sejarak de-

lapan langkah dari tempatnya.

Kehadiran perempuan jelita berpakaian putih 

tipis yang memperlihatkan bentuk tubuh serta 

payudaranya yang tak tertutup apa-apa lagi, 

membuat anak muda urakan itu kerutkan kening 

untuk beberapa saat.

Di lain pihak, perempuan jelita yang diperkira-

kan berusia sekitar empat puluh tahun, pentang-

kan senyum. Bibir tipisnya yang memerah sung-

guh memancing perhatian siapapun yang melihat-

nya. terutama kaum laki-laki. Apalagi tatkala li-

dahnya dengan gerakan merangsang, menjilati bi-

birnya. Mata perempuan berhidung mancung dan 

berkulit putih mulus ini, pancarkan sinar bening 

yang mengandung daya tarik yang kuat.

"Busyet!" desis Andika dalam hati sambil garuk-

garuk kepalanya yang tidak gatal. "Tidak salah

nih? Aku berjumpa dengan bidadari atau sebangsa 

penunggu tempat ini?"

Perempuan berpakaian putih panjang yang tipis 

itu maju tiga tindak ke muka. Saat melangkah, ter-

lihat pakaian panjangnya yang terbelah hingga 

pangkal paha, memperlihatkan bungkahan mulus 

dan gempal paha miliknya.

Glek! Tanpa sadar Pendekar Slebor menelan lu-

dah.

"Kutu monyet! Bisa teler nih kalau aku terus 

menerus melihat paha yang mulus itu? Dadanya... 

wah, wah! Seperti kelapa, bulat dan menantang. 

Cihui banget nih sebenarnya! Tapi, siapa sih pe-

rempuan ini? Dan apa maksud ucapannya tadi?"

Sambil coba menahan gemuruh hatinya dari 

pemandangan indah yang sukar untuk dilewati, si 

Urakan pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan 

ini berkata, "Perempuan cekap! Kau ini siapa ya? 

Muncul begitu saja tanpa diketahui! Juga, aku tak 

mengerti dengan ucapanmu barusan?"

Perempuan itu pamerkan senyumnya.

Mau copot rasanya jantung Andika melihat se-

nyuman yang benar-benar merangsang itu (Un-

tungnya, jantung anak muda urakan ini ditempel 

pakai power glue, jadi nggak copot betulan deh! 

Apa coba?)

"Pemuda tampan...," desis si perempuan, sua-

ranya mendayu-dayu, penuh rangsangan kuat. 

"Mengapa kau bertanya seperti itu? Seharusnya 

kau tanyakan pada dirimu sendiri, mengapa kau 

membunuh kedua orang yang telah kau kubur-

kan?"

Sampai surut satu tindak anak muda berpa-

kaian hijau pupus itu mendengar ucapan orang. 

Sesaat dia melotot pada si perempuan sebelum 

mendengus dalam hati,

"Enaknya ngomong! Jadi dipikirnya aku yang 

telah membunuh kedua remaja yang sepertinya 

habis ehm-ehm itu? Kutu landak!"

Kemudian katanya, "Kau pikir, aku yang telah 

membunuh kedua orang itu?"

Si perempuan terkikik, suaranya tetap penuh 

rangsangan.

"Di tempat ini, hanya kita berdua. Aku sendiri 

baru datang. Sementara kau sudah sejak tadi. 

Bahkan, aku melihat kau yang menguburkan ke-

dua mayat itu. Apakah ini belum jelas sebagai 

bukti?"

"Monyet pitak! Ucapannya bikin aku tak sabar 

untuk menjitak kepalanya! Tapi ya sayang. Perem-

puan ini begitu cantik. Kalau ada benjol di jidat-

nya, jadi lucu dong!" kata Andika dalam hati. Lalu 

berkata, "Kau salah besar bila menuduhku seperti 

itu. Aku juga baru tiba di sini dan sudah dihada-

pankan pada dua sosok tubuh yang menjadi 

mayat. Apakah kau...."

"Terlepas dari apakah kau yang membunuh ke-

duanya atau tidak, aku tak peduli!" desis si pe-

rempuan penuh rangsangan. Dengan gerakan tak 

kentara, dia gerakkan kedua bahunya. Hingga 

payudaranya yang besar dan sangat jelas pada 

pandangan Andika karena tak mengenakan pelapis 

apa-apa selain pakaian tipis yang dikenakannya, 

bergoyang lembut.

Lagi-lagi anak muda berambut gondrong acak-

acakan ini menelan ludahnya. Dan tatkala menya-

dari sesuatu dia mendengus.

"Landak bau! Jelas sekali kalau dia coba penga-

ruhiku dengan tindakan lembut yang sama sekali 

tak kentara. Dan kurasakan kalau ada pesona 

magis yang mencoba menarikku dalam lingkaran-

nya."

Merasakan ada yang tidak beres, perlahan-

lahan Andika alirkan hawa murninya agar tak ter-

kena pengaruh pesona yang sedang dilepaskan si 

perempuan.

Terlihat paras si perempuan agak melengak se-

dikit. Pandangannya yang penuh rayuan itu men-

dadak menyorot tajam.

"Aneh!" desisnya dalam hati, "Mengapa menda-

dak saja kurasakan ada hawa yang menolak pan-

caran mata gaibku untuk mengikatnya. Pemuda 

yang nampaknya jenaka dan sedikit urakan ini 

berwajah tampan. Sangat sayang bila kulewatkan 

kesempatan untuk mendapatkannya. Aku tak pe-

duli apakah memang dia yang telah membunuh 

kedua orang itu atau bukan. Yang penting... akan 

kutambah pesona mata gaibku biar dia tahu rasa."

Lalu sambil berbicara, perempuan berambut hi-

tam indah dan panjang ini kerahkan pancaran ma-

ta gaibnya.

Di seberang, Andika nampak terkesiap. Seluruh 

darahnya seperti menggumpal pada kepala. Ada 

dorongan kuat yang seperti memaksanya untuk 

mendekati perempuan itu.

Namun begitu menyadari kalau keadaan ini tak

wajar, Andika mendengus.

"Brengsek! Apa sih yang sebenarnya dilakukan 

dan diinginkan perempuan itu? Kok nampaknya 

dia berusaha keras memaksaku untuk masuk pa-

da pesonanya? Brengsek betul! Yang kayak begini, 

harus diberi pelajaran."

Sambil terus kerahkan hawa murninya, anak 

muda urakan ini berkata sambil kerahkan tenaga 

dalamnya, "Perempuan berpakaian putih tipis! Kita 

tak saling kenal sebelumnya. Dan aku... ya, tak in-

gin kenal siapa kau sebenarnya. Apakah tidak le-

bih baik kita berpisah saja di sini?"

"Berpisah?" si perempuan tersenyum lembut. 

"Untuk apa kita berpisah? Bukankah kita bisa me-

lewati hari ini dengan satu kenikmatan?"

"Wah, wah! Omongannya sedap betul? Enak ju-

ga sih kalau sekali-sekali kurasakan apa yang di-

tawarkannya? Soalnya, aku belum pernah mela-

kukannya. Tapi ya... mbok jangan dulu. Dosa. Ti-

dak baik. Lagi pula, mana bisa aku menikmatinya 

dengan perempuan seperti ini."

Lalu sambil nyengir, Pendekar Slebor berkata, 

"Kenikmatan bagaimana nih?"

Si perempuan makin tersenyum, "Kau akan ta-

hu nanti. Atau, sebenarnya kau berlaku bodoh?"

"Wah!" Andika garuk-garuk kepalanya yang ti-

dak gatal. "Aku tidak tahu tuh."

"Kau pandai memancing, Anak muda."

"Aku tak memiliki kail dan umpan."

"Tubuh dan parasmu menjanjikan hal itu."

"Kalaupun kulakukan, bukan, kau ikan yang 

akan kutangkap."

Tak ada suara yang keluar. Paras si perempuan 

mendadak mengkelap. Pandangannya menjadi ta-

jam. Terlebih lagi tatkala menyadari kalau sejak 

tadi anak muda itu masih dapat bertahan. Tak 

terkena pengaruh apa-apa dari pesona gaib panca-

ran matanya.

"Kurang ajar! Ucapannya benar-benar meleceh-

kanku! Tak pernah kulakukan tindakan seperti ini 

sebelumnya! Dan siapa pun orangnya, tanpa ku-

coba untuk memikatnya, akan bersedia menjadi 

budakku demi nafsu sesaat! Kurang ajar! Siapa 

pemuda ini sebenarnya?"

Sementara si perempuan membatin geram, An-

dika justru kelihatan tenang-tenang saja. Dia tahu 

betul kalau ucapannya menyinggung perasaan si 

perempuan. Tapi baginya, apa yang ada di hada-

pannya ini bukanlah sesuatu yang menarik, kecu-

ali sebenarnya ingin mengetahui siapa adanya 

orang.

Keheningan itu dipecahkan oleh suara si pe-

rempuan, agak geram, "Kau benar-benar telah 

memancing amarahku, Pemuda celaka! Baik! Kau 

harus pertanggung jawabkan perbuatan terku-

tukmu yang telah membunuh kedua orang itu!"

"Lagi-lagi dia menyinggung soal itu. Dan jelas 

kalau sebelumnya dia memang berada di sini. 

Mungkin hanya melihat saat aku mengubur kedua 

mayat yang entah siapa adanya. Menilik keadaan 

ini, jelas kalau dia memiliki ilmu yang cukup ting-

gi. Karena, aku tak menyadari kehadirannya. Mo-

nyet bau!"

Di seberang, si perempuan kembangkan se

nyumnya.

"Sekarang... bersiaplah untuk mampus! Kecua-

li...." 

"Kecuali apa?" tanya Andika langsung. 

"Ada dua pilihanmu. Pertama, melewati kenik-

matan bersamaku. Kedua, menjawab pertanyaan-

ku."

Andika garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. 

Lalu dengan suara agak sewot dia berkata, "Ya je-

las aku pilih yang kedua! Enaknya memberi pili-

han seperti itu!"

Si perempuan nampak berusaha untuk tindih 

amarahnya. Terlihat dari gerakan matanya yang 

dicoba untuk tetap bersinar jernih.

"Bila kau dapat menjawab pertanyaanku, maka 

kau akan bebas," katanya seperti memancing An-

dika untuk mempertimbangkan keputusannya.

Dan ini membuat Andika menjadi jengkel. "Kok 

betul-betul enak dia bicara! Dipikirnya aku akan 

terpengaruh ucapannya? Brengsek!" makinya da-

lam hati dan berkata agak menyentak, "Cepat deh 

kalau kau mau bicara!"

Si perempuan tersenyum, "Pertama, siapakah 

kau adanya?"

"Aku?" Andika menunjuk dirinya sendiri. "Aku 

ya aku. Namaku Andika."

"Sebutkan julukanmu dan dari mana asalmu?"

"Julukanku Pangeran Tampan dari Kayangan. 

Asalku... ya, dari Kayangan."

Si perempuan nampak tidak percaya. Tetapi dia 

sepertinya tak mau ambil peduli.

"Pertanyaanku berikutnya, kenalkah kau dengan seorang kakek berpakaian merah yang berju-

luk Datuk Merah?"

Kali ini Andika kerutkan keningnya. Untuk be-

berapa saat dia masih coba untuk rangkaikan per-

tanyaan si perempuan. Kemudian katanya, "Kakek 

berjuluk Datuk Merah? Tidak, aku tidak menge-

nalnya. Siapakah kakek itu?"

"Aku yang bertanya!!" mendadak saja menggele-

gar suara si perempuan. Rupanya dia sudah tak 

dapat menahan amarahnya lagi melihat sikap san-

tai pemuda di hadapannya. "Dan satu hal yang 

perlu kau ketahui, bila kau tak bisa mengatakan di 

mana Datuk Merah berada, maka kau akan mam-

pus di tanganku!"

Sebenarnya Andika sudah tak sabar untuk 

memberi pelajaran pada si perempuan. Namun 

pemuda tampan ini masih bisa menahan amarah-

nya.

Sambil tertawa kecil dia berkata, "Ah, kau ini. 

Rupanya termasuk golongan orang pemarah juga? 

Ya jelas aku tahu di mana Datuk Merah berada. 

Tapi ya... kenapa sih kau menanyakannya? Apa 

kau ingin minta duit buat jajan ya?"

"Jangan banyak tanya! Katakan, di mana kakek 

itu berada?!"

Asal menyahut saja Andika berkata, "Di mana 

lagi kalau bukan di Jurang Trah Gering?!"

Mendengar jawaban si pemuda, perempuan 

berpayudara besar itu kerutkan keningnya. Seju-

rus kemudian dia berkata, "Jurang Trah Gering? 

Ada urusan apa dia di tempat itu?"

"Masa kau tidak tahu sih? Ya jelas dia sedang

menunggumu di Jurang Trah Gering."

"Oh! Benarkah?" sahut si perempuan dengan 

pancaran mata penuh bahagia. Bibirnya mengulas 

senyum ceria.

Andika yang tak menyangka akan melihat peru-

bahan wajah yang menjadi gembira itu, sesaat 

menjadi keheranan.

"Busyet! Perempuan ini benar-benar sukar dite-

bak apa maunya. Kok dia jadi seperti anak kecil 

yang diberi gula-gula?" desisnya dalam hati.

Didengarnya lagi suara si perempuan yang agak 

memburu, "Apa, apa lagi yang dikatakannya?"

"Katakan apa?" Andika berlagak tidak tahu, pa-

dahal dia tengah memikirkan mengapa sikap si pe-

rempuan berubah tatkala dia mengatakan tentang 

orang yang ditanya. Padahal sungguh mati, men-

genal julukannya saja baru sekarang!

"Tentang diriku!" sahut si perempuan makin tak 

sabar.

Andika sengaja tak buka mulut. Diperas otak-

nya untuk menjabarkan sebab-sebab si perem-

puan begitu gembira.

"Jelas sekali kalau sebenarnya perempuan ber-

payudara besar ini sedang mencari orang berjuluk 

Datuk Merah. Mencari dalam arti bukan sebagai 

musuh, melainkan... mungkin sebagai kekasihnya. 

Terbukti sikapnya yang begitu bergembira. Hem, 

ketimbang dia jadi urusanku sebaiknya kute-

ruskan saja ucapanku."

Lalu sambil tersenyum, si Urakan ini berkata, 

"O... soal itu. Dia begitu tak sabar hendak bertemu 

denganmu. Katanya, kau adalah perempuan yang

paling dicintainya dan paling cantik sedunia."

Paras si perempuan memerah.

"Benar dia berkata begitu?"

Andika mengangguk sambil acungkan jcmpol-

nya.

"Ah, kekasihku... sebentar lagi kita akan berte-

mu. Katakan, katakan di mana Jurang Trah Ger-

ing berada?"

"Wah! Kalau dari sini, aku tak begitu paham. 

Tapi ya... kau silakan saja menuju ke barat."

"Ya, ya... aku akan ke barat!" sahut si perem-

puan tetap dengan bibir semringah.

Habis ucapannya, perempuan berpakaian putih 

tipis ini segera berkelebat.

Andika berseru, "Hei! Aku belum tahu siapa kau 

adanya?!"

"Panggil aku dengan sebutan Dayang Gunung 

Putih!" sahut si perempuan dan dalam dua keja-

pan mata berikutnya, sosoknya telah lenyap dari 

pandangan.

Andika geleng-gelengkan kepalanya.

"Aneh! Sikapnya tadi penuh rangsangan, buaian 

sekaligus kemarahan. Tapi setelah mendengar ten-

tang Datuk Merah yang sama sekali tak kuketahui 

siapa dia adanya sikapnya jauh berubah. Hem, 

tentunya dia adalah kekasih orang berjuluk Datuk 

Merah yang sudah sekian lama tak berjumpa. Atau 

karena dia sudah ngebet buat ehm-ehm?"

Andika nyengir sendiri membayangkan kata-

kata yang diucapkannya terakhir.

"Masa bodoh, ah! Itu kan urusannya! Urusanku 

adalah mencari Sumiati yang telah dikuasai Kalung Setan. Dan nampaknya urusan tentang Ka-

lung Setan belum berkembang, karena terbukti be-

lum ada orang yang mencari benda itu. Tapi paling 

tidak, aku yakin teror Kalung Setan akan semakin 

banyak memakan korban.",

Setelah tarik napas pendek, anak muda pewaris 

ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini segera berke-

lebat ke arah timur.

Meninggalkan tempat itu yang seketika lembah 

direjam sepi. Meninggalkan dua gundukan makam 

orang-orang yang terkena teror Kalung Setan.

***

8


Senja yang terus memayungi dan siap menjem-

put sang ratu malam, pun menggayuti suasana di 

Jurang Trah Gering. Datuk Merah yang masih be-

rusaha meneruskan pencariannya terhadap Ka-

lung Setan namun belum juga menemukan tanda-

tanda yang berarti, hentikan pencariannya.

Paras kakek berwajah tirus ini sudah dibuncah 

kegeraman tinggi. Hatinya begitu mangkel.

"Terkutuk! Sejak tadi pagi aku mengitari tempat 

celaka ini, tapi belum juga mendapatkan Kalung 

Setan! Jahanam sial! Nasibku memang sedang si-

al!"

Datuk Merah meneruskan umpatannya dengan 

kemarahan yang tak terkira. Tatkala teringat pada 

Datuk Biru, kemarahan itu rasanya sudah tak bisa

ditahan lagi.

"Akan kubunuh dia! Akan kubunuh dia!!" de-

sisnya megap-megap dengan tangan terkepal.

Setelah sebelumnya, semalaman dia berharap 

Datuk Biru akan muncul kembali di tempat di 

mana sebelumnya dia melihat Datuk Biru berada, 

Datuk Merah langsung putuskan untuk segera tu-

run ke Jurang Trah Gering tatkala matahari sudah 

pancarkan bias-biasnya di ufuk timur. Karena, dia 

merasa Datuk Biru sudah mengambil jalan lain 

untuk tiba di Jurang Trah Gering.

Mencari sesuatu yang tidak diketahui tempat-

nya memang bukanlah perbuatan yang menye-

nangkan. Tetapi kakek berwajah tirus ini tak mau 

menyerah. Keinginannya untuk mendapatkan Ka-

lung Setan dan tak mau didahului oleh Datuk Biru 

memperkeras tekadnya. Dan dia berharap, dapat 

kembali melihat Datuk Biru di Jurang Trah Gering.

"Jahanam! Apakah aku harus bermalam di 

tempat celaka ini?!" makinya dengan tatapan din-

gin pada satu tempat. "Huh! Sejak pagi hingga sen-

ja di mana tempat ini cukup diberi penerangan 

oleh sinar matahari, aku belum juga dapat mene-

mukan Kalung Setan. Apalagi bila malam hari? 

Keparat! Sungguh perbuatan sia-sia yang kulaku-

kan ini!!"

Kendati mulutnya berbunyi tak karuan, namun 

Datuk Merah tak segera tinggalkan tempat itu. Ma-

tanya dipicingkan ke berbagai arah. Pertama, un-

tuk menangkap isyarat dari Kalung Setan yang di-

yakininya akan memancarkan sinar hitam hingga 

dapat dijadikan sebagai patokan di mana kalung

itu berada. Kedua, mencari bayangan Datuk Biru 

yang sangat diharapkannya.

Setelah beberapa lama tak mendapatkan apa 

yang diinginkannya, Datuk Merah segera melang-

kah kembali. Matanya terus dibuka lebih lebar.

Malam pun akhirnya memayungi sekitar Jurang 

Trah Gering, bertepatan dengan mata Datuk Me-

rah tertuju pada sebuah gubuk yang agak terha-

lang oleh sebuah pohon.

Untuk beberapa saat kakek berpakaian merah 

ini terdiam tanpa melanjutkan langkahnya.

"Hemm, ada sebuah gubuk di sini. Gubuk sia-

pakah itu? Dari sini nampaknya cukup nyaman 

untuk dijadikan sebagai tempat beristirahat. Paling 

tidak, tempat itu akan kupergunakan untuk me-

nunggu pagi kembali."

Memutuskan demikian, Datuk Merah segera 

melangkah mendekati gubuk yang bukan lain mi-

lik Sumarta. Diperhatikan sesaat tempat itu. Sete-

lah diyakini tak seorang pun yang berada di sana, 

kakek berpakaian merah ini segera masuk.

"Hem, tempat yang lumayan untuk beristira-

hat," desisnya. Hanya sekali lompat tanpa timbul-

kan suara, dia sudah duduk di atas dipan yang 

ada di dalam gubuk itu.

Ditarik napas dan dihembuskannya perlahan. 

Datuk Merah memutuskan untuk bersemadi seje-

nak.

Perlahan-lahan dikosongkan pikirannya dan 

kedua tangannya dirangkapkan di depan dada. 

Namun baru saja dia lakukan, pendengarannya 

yang tajam menangkap suara berkelebat.

Menegak kepala kakek berwajah tirus ini. "Dari 

gerakannya, jelas kalau gerakan itu tak mungkin 

ditimbulkan oleh hewan tempat ini. Gerakan itu 

adalah gerakan seseorang yang memiliki ilmu pe-

ringan tubuh yang cukup tinggi," desisnya dalam 

hati. Dan kegeramannya mendadak saja muncul. 

"Keparat! Siapa lagi kalau bukan Datuk Biru?!" 

makinya dan saat itu pula dia melompat keluar.

Pandangannya menyapu tempat yang telah dili-

puti kegelapan. Dipicingkannya mata untuk me-

nangkap bayangan orang.

Tiga kejapan mata kemudian, dia melihat 

bayangan putih berkelebat ke arahnya.

Kening Datuk Merah berkerut.

"Bayangan putih? Rasanya... orang itu bukan-

lah Datuk Biru. Agar jelas semuanya, sebaiknya 

kutunggu orang itu sampai mendekat."

Dengan kedua kaki sedikit dibuka dan tangan 

disedekapkan di depan dada, Datuk Merah me-

nunggu dengan mata tetap dipicingkan. Di lain pi-

hak, bayangan putih yang berkelebat tadi juga su-

dah melihat sosoknya,

Kejap itu pula si bayangan putih hentikan kele-

batannya.

"Dari tempat ini, aku agak samar untuk melihat 

siapa adanya orang yang berdiri di depan gubuk 

itu. Tapi menurut pemuda berpakaian hijau pu-

pus, aku bisa menemukan Datuk Merah di Jurang 

Trah Gering. Dan dari orang yang kutanyakan, 

tempat inilah yang dinamakan Jurang Trah Ger-

ing. Biar kucoba keberuntunganku sekarang."

Memutuskan demikian, si bayangan putih perlahan-lahan mendekat. Dari jarak enam langkah 

mendadak saja dia berseru, "Kekasih!"

Telinga Datuk Merah menegak sesaat. Sejurus 

kemudian dia berseru, "Dayang Gunung Putih!"

Si bayangan putih yang bukan lain adalah pe-

rempuan jelita berpakaian putih tipis yang mem-

perlihatkan bentuk tubuh indahnya, segera me-

lompat mendekat dengan pekikan gembira. Dia 

langsung merangkul kakek berpakaian merah itu." 

"Kekasih... ke mana saja kau selama ini?" de-

sisnya penuh kerinduan sambil menciumi paras 

keriput Datuk Merah.

Di lain pihak, Datuk Merah sendiri menyambut 

kehadiran perempuan itu dengan gembira. Bahkan

sambil tertawa-tawa senang dia membalas me-

rangkul dan menciumi si perempuan yang dari tu-

buhnya menebarkan aroma merangsang.

"Hahaha... tak kusangka akan berjumpa lagi 

denganmu, Kekasih!" desisnya dan tangannya 

dengan liar menjamah serta meremas payudara 

besar milik Dayang Gunung Putih, yang sedikit 

menggelinjang namun hanya membiarkan saja.

"Bawa aku ke surga, Kekasih... bawa aku sege-

ra...," desisnya sambil menggeliat.

Datuk Merah yang sedang jengkel karena belum 

juga menemukan Kalung Setan dan jejak Datuk

Biru kembali, sambil tertawa segera membopong 

tubuh lembut yang menggairahkan itu. Saat dia 

mengangkat tubuh Dayang Gunung Putih, pakaian 

panjang si perempuan yang terbuka hingga pang-

kal paha terbuka turun dan memperlihatkan sesu-

atu yang membuat dada Datuk Merah makin berdebar tak menentu.

Tanpa membuang waktu lagi, dia segera masuk 

ke gubuk dan merebahkan tubuh Dayang Gunung 

Putih ke atas dipan. Lalu mulailah dia mencium 

serta meraba apa yang ada di hadapannya. Ter-

dengar suara mengikik penuh kerinduan dan

rangsangan dari mulut Dayang Gunung Putih.

Dan yang terdengar kemudian, hanyalah suara 

merintih dan napas mendengus-dengus. Ditemani 

malam yang dingin dan suara hewan-hewan ma-

lam, keduanya terus berpacu untuk tiba di pantai 

terakhir.

Waktu bergulir perlahan-lahan seiring dengan 

tarikan napas panjang. Sampai akhirnya terdengar 

suara Datuk Merah agak terengah,

"Tak kusangka... kita akan bertemu lagi." 

"Ya, ya... dan aku sangat rindu padamu. Kau 

tak pernah lagi memberi kabar padaku. Kau lang-

sung pergi setelah perjumpaan kita dulu...." Ter-

dengar suara Dayang Gunung Putih yang meme-

jamkan matanya.

Tubuhnya yang polos dibiarkan terbuka. Na-

pasnya agak turun naik hingga payudaranya yang 

besar bergoyang lembut.

Tangan kurus Datuk Merah menjamah payuda-

ra si perempuan sebelah kanan. Meremasnya lem-

but hingga terdengar desisan Dayang Gunung Pu-

tih.

"Kau selalu pandai memberi kepuasan kepada-

ku," desisnya sengau. "Itulah sebabnya, aku tak 

bisa bertahan lama bila tidak bersamamu...."

"Bukankah kau bisa mencari pemuda atau lelaki lain untuk memuaskan nafsumu?" ucap Datuk 

Merah tanpa ada rasa cemburu sedikit pun.

Dayang Gunung Putih membuka matanya. 

Mengerling genit dan berkata, "Ah, kau membua-

tku tidak enak. Biarpun aku melakukannya, tetapi 

aku tak pernah mendapatkan apa yang kuda-

patkan bila bersamamu...."

Datuk Merah tertawa dan bangkit mengenakan 

pakaiannya lagi.

"Kau hendak ke mana?" tanya Dayang Gunung 

Putih sambil duduk di atas dipan. Tubuhnya yang 

polos laksana mutiara yang bersinar indah. Berpi-

jar bagaikan terkena sinar redup.

Datuk Merah melirik sejenak. Ada keinginan 

untuk mengulangi lagi apa yang didapatkannya. 

Namun keinginan untuk mendapatkan Kalung Se-

tan kembali muncul. Membuatnya melupakan un-

tuk bersemadi dan meninggalkan sesaat kenikma-

tan yang baru diraihnya.

Kepalanya menggeleng.

"Aku tidak ke mana-mana." 

"Lantas, mengapa kau mengenakan pakaian-

mu? Bukankah biasanya kita melakukan sampai 

beberapa kali?"

Datuk Merah tersenyum. "Sudah tentu iya."

Tangan lembut Dayang Gunung Putih mengga-

pai lembut bahunya.

"Sekarang, mengapa kau tidak melakukannya 

lagi?"

"Masih ada waktu lain."

"Mengapa?"

Kali ini pandangan Datuk Merah menajam. Ada

kemuakan yang mendadak muncul melihat sikap 

perempuan yang tak pernah puas ini. Biar bagai-

manapun juga, Datuk Merah bukanlah orang yang

dapat diperbudak nafsu. Tidak seperti si perem-

puan.

Tetapi, dia tak lontarkan umpatan. Malah ber-

kata, "Karena... aku masih punya sedikit urusan."

Kendati wajahnya menyiratkan kekecewaan, 

namun Dayang Gunung Putih tersenyum. Perem-

puan ini sangat mencintai Datuk Merah. Bahkan 

dia akan melakukan apa saja demi kepuasan 

orang yang dicintainya.

Bila menilik jauhnya perbedaan usia antara di-

rinya dengan Datuk Merah, tak seharusnya 

Dayang Gunung Putih memiliki sikap seperti itu. 

Tetapi ya namanya cinta?

Tanpa mengenakan pakaiannya kembali dia 

berkata, "Bila kau tak keberatan, maukah kau 

menceritakan tentang urusanmu itu?" 

Datuk Merah terdiam, hanya matanya yang 

memandangi perempuan jelita di hadapannya. 

"Kesaktian perempuan ini cukup tinggi. Dan dia 

juga memiliki kepatuhan yang luar biasa terha-

dapku. Tak mungkin dia jauh-jauh ke tempat ini 

untuk mencariku, bila dia tidak mencintaiku. Apa-

kah... hei, dari mana dia tahu aku berada di sini?"

Merasa heran dengan keadaan itu, Datuk Merah 

lontarkan pertanyaannya yang disahuti Dayang 

Gunung Putih sambil tersenyum, "Seorang pemu-

da tampan bernama Andika mengatakan semua 

ini. Bahkan dia mengatakan, kalau kau merindu-

kanku. Apakah kau benar merindukanku?"

Datuk Merah tak segera menjawab. Malah ke-

ningnya berkerut.

"Pemuda bernama Andika? Siapa dia? Apa yang 

dimaksudnya? Rasa-rasanya... aku belum men-

genal pemuda itu. Tapi, bagaimana dia bisa tahu 

aku berada disini? Dan ucapan Dayang Gunung 

Putih tadi, pemuda itu mengatakan kalau aku me-

rindukan perempuan ini? Bah! Urusan apa lagi ini! 

Kalaupun aku mau, karena aku membutuhkan pe-

lampiasan terhadapnya!"

Tetapi sudah tentu Datuk Merah tak ungkapkan 

apa yang menjadi keheranannya. Malah sambil 

tertawa dan meraba payudara yang terbuka me-

nantang itu dia berkata, "Sudah tentu aku sangat 

merindukanmu."

"Oh! Aku harus berterima kasih pada pemuda 

itu!" desis Dayang Gunung Putih sambil merang-

kul Datuk Merah.

Kendati perasaannya mulai diliputi kejengkelan, 

tetapi Datuk Merah membiarkan saja tubuhnya di-

rangkul seperti itu.

Setelah beberapa saat, dia baru berkata, "Bu-

kankah kau hendak mendengar urusanku?"

Perlahan-lahan Dayang Gunung Putih lepaskan 

rangkulannya. Sambil tersenyum dia berkata, 

"Apakah aku harus berpakaian saat mendengar-

kan ceritamu, atau polos seperti ini?"

Datuk Merah mendengus dalam hati.

"Kenakan pakaianmu."

Sementara Dayang Gunung Putih kenakan lagi 

pakaiannya yang sebenarnya tak bisa untuk tutup 

tubuhnya. Datuk Merah menceritakan apa yang

sedang dilakukannya. Paling tidak, kakek berwa-

jah tirus ini berharap, agar kiranya Dayang Gu-

nung Putih dapat membantunya. Atau tepatnya, 

dijadikan sebagai kaki tangannya untuk tuntaskan 

urusan.

"Kalung Setan?" desis Dayang Gunung Putih se-

lesai si kakek bercerita. "Kalung apakah itu? Aku 

baru kali ini mendengarnya?"

"Kau pikirkanlah tentang sebuah benda sakti 

yang sangat hebat. Tetapi yang harus kau pikirkan 

sekarang, adalah mencari Datuk Biru untuk dibu-

nuh. Kakek keparat itu telah melukai perasaanku!" 

kata Datuk Merah sengit.

"Bukankah kalian bersahabat?"

"Lain dulu lain sekarang! Aku ingin melihatnya 

mampus dengan tubuh tak terbentuk!"

Dayang Gunung Putih merangkul si kakek den-

gan penuh kebahagiaan dan kerinduan.

"Tak perlu kau cemaskan soal itu. Tak lama la-

gi, kakek keparat itu akan mampus, Kekasih!" de-

sisnya.

Memang itulah yang diharapkan oleh Datuk Me-

rah.

"Hem, bagus. Memang tak kusangka kalau aku 

akan bertemu dengannya. Dan tak kusangka pula 

kalau dia masih mencariku. Hem, cinta perem-

puan ini padaku memang besar."

Kendati hatinya berkata demikian, tetapi mu-

lutnya berbunyi, "Aku tak ingin melibatkanmu da-

lam urusan ini sebenarnya."

"Jangan merasa berat hati, Kekasih. Untukmu, 

aku akan melakukan apa saja. Tak terkecuali

membunuh Datuk Biru."

Datuk Merah tersenyum dalam hati. Tetapi dia 

memasang wajah menolak "Tidak usah. Biar aku 

yang...."

Tangan lembut Dayang Gunung Putih telah me-

nekap mulutnya. Sambil tersenyum dia berkata, 

"Jangan berkata begitu. Kau akan melihat bukti 

dari ucapanku."

Datuk Merah mengangguk-angguk. Di otaknya 

telah terpikir satu rencana yang menurutnya san-

gat matang.

"Kalau begitu... apakah kau bersedia menjalan-

kan rencanaku?" tanyanya kemudian. Lalu buru-

buru menyambung, "Tetapi aku tak akan marah 

bila kau menolaknya."

"Kekasih... sejak semula kau tentunya tahu bu-

kan, kalau aku bersedia melakukan apa saja un-

tukmu. Tak perlu kau memikirkan hal-hal lain. 

Katakan padaku, apa rencanamu."

Datuk Merah memandang perempuan di hada-

pannya, yang segera menganggukkan kepalanya.

Dengan hati dibuncah tawa membahana, Datuk 

Merah menceritakan semua rencananya. Bahkan 

dia menyinggung tentang Andika.

"Apa hubungannya dengan pemuda bernama 

Andika?" tanya Dayang Gunung Putih di sela-sela 

Datuk Merah menceritakan segala rencananya.

"Aku ingin tahu, sebenarnya dia berpihak pada 

siapa," kata Datuk Merah yang merasa yakin kalau 

dia tidak mengenal atau pernah bertemu dengan 

pemuda bernama Andika. Dan yang dikhawatir-

kannya, kalau pemuda itu adalah orang Datuk Biru. Mendengar cerita Dayang Gunung Putih sebe-

lumnya, Datuk Merah yakin kalau pemuda itu bu-

kan orang sembarangan.

Di lain pihak, Dayang Gunung Putih tak segera 

buka mulut. Diperhatikannya Datuk Merah den-

gan seksama.

Lalu dia ajukan tanya, "Siapakah sebenarnya 

pemuda itu?"

Datuk Merah buru-buru berkata, "Seperti pen-

gakuannya. Dia adalah sahabatku."

"Mengapa kau mencurigainya?"

"Dalam suasana seperti ini, sepatutnya kita 

mencurigai orang yang belum kita kenal secara 

akrab. Kau paham maksudku, bukan?"

Dayang Gunung Putih mengangguk-anggukkan 

kepalanya. Dia bertekad untuk memperlihatkan 

bukti atas cintanya pada kakek berpakaian merah 

ini.

Lalu sambil tertawa, dia membuka lagi pa-

kaiannya, "Apakah kau akan melewati malam den-

gan segala rencana dan udara dingin seperti itu?"

Datuk Merah menyambutnya sambil tertawa 

dan merebahkan kembali tubuh montok Dayang 

Gunung Putih.

***

9


Malam terus merambat dengan segala dingin 

dan gelisah alam. Dan kegelisahan itu pun dirasa

kan oleh seorang lelaki berjubah putih panjang. 

Wajahnya nampak agak menegang. Pikirannya me-

layang dan yang merasuk hanyalah hal-hal yang 

tak menyenangkan.

"Aneh," desisnya tanpa mengubah duduknya 

dari sebuah batu berbentuk altar. Anehnya, dia 

berada di .sebuah tempat yang terbuka. Membiar-

kan tubuhnya didera dingin dan kesunyian. Hanya 

hewan-hewan malam yang menemaninya. "Menga-

pa malam ini kurasakan lain dari malam-malam 

sebelumnya? Apakah akan ada sesuatu yang ter-

jadi, atau hanya perasaanku saja yang mengata-

kan demikian?"

Lelaki berwajah bijak kelimis ini tarik napas 

pendek. Rambutnya yang hitam panjang tertiup 

angin, hingga makin tak beraturan.

Pandangannya dibawa ke depan, menatap kege-

lapan semata. Jauh dari tempatnya, terdapat hu-

tan yang sangat lebat. Lelaki ini picingkan ma-

tanya. "Tak ada sesuatu yang nampak di pelupuk 

mataku selain kegelapan. Tapi rasa gelisah makin 

membesar di hatiku. Pertanda apakah ini?"

Lelaki berjuluk Pendekar Kebajikan ini kembali 

tarik napas pendek. Dua puluh tahun yang lalu, 

julukannya sangat dikenal orang sebagai pendekar 

yang banyak membela kebenaran. Tindak tanduk-

nya begitu santun dan tak sekali pun dia pernah 

mengucapkan kata-kata kasar.

"Apakah kegelisahanku ini pertanda dia akan 

datang?" desisnya lagi. Menyusul kepalanya dige-

leng-gelengkan. "Tidak. Tak mungkin dia akan da-

tang sekarang. Aku sangat tahu kalau dia selalu

meninggikan perjanjian yang telah diucapkan. Ma-

sih ada waktu satu purnama lagi untuk tuntaskan 

urusan lama. Kalau bukan dia yang datang, lantas 

mengapa perasaanku kian gelisah?"

Pendekar Kebajikan terdiam kembali. Mulutnya 

dirapatkan. Di angkasa, timbunan awan hitam tak 

bergeser dari tempatnya. Menghalangi sinar rem-

bulan yang menjadi redup.

Sejarak seratus tombak dari kirinya, terdapat 

sebuah dusun permai yang asri dan damai. Na-

mun malam ini, petaka telah mendatangi dusun 

itu.

Seorang gadis jelita berpakaian putih agak ku-

sam, telah datang dan menteror seisi dusun itu 

dengan sinar-sinar hitam yang meluncur dari ka-

lung yang dikenakannya.

Dusun yang tenang itu pun tertimbun gelom-

bang teriakan dan jeritan. Banyak korban berjatu-

han. Beberapa orang masih berusaha menyela-

matkan diri, keluarga dan sebagian hartanya. Na-

mun mereka menerima nasib naas karena gadis je-

lita itu tak memberi ampun lagi.

Hanya dalam waktu singkat saja, dusun itu te-

lah porak poranda dengan mayat bergeletakan. 

Beberapa mayat tewas dengan tubuh memucat 

tanda darahnya telah mengering.

Sementara si gadis yang tak lain adalah Sumiati 

yang telah dikuasai oleh Kalung Setan, segera me-

ninggalkan dusun yang telah dihancurkannya 

sambil terkikik panjang.

Kembali ke tempat luas di mana sosok Pendekar 

Kebajikan masih duduk dengan dibuncah pikiran,

lelaki berjubah putih itu tetap berpikir keras untuk 

mencari kejelasan dari pikirannya yang benar-

benar gelisah.

"Tak seperti biasanya keadaanku seperti ini. 

Apakah memang akan terjadi sesuatu yang bu-

ruk?" desisnya lagi. Lalu dia menghela napas pan-

jang. "Dua puluh tahun aku hidup di padang ini 

tanpa gangguan apa pun. Bahkan tak pernah ter-

lintas sebuah kegelisahan seperti saat ini. Dan ka-

laupun sekarang perasaanku makin tak enak, jelas 

ini pertanda buruk. Apakah memang dia yang 

akan datang?"

Lagi-lagi Pendekar Kebajikan mencoba memi-

kirkan kemungkinan demi kemungkinan.

"Walau dia selalu menepati janji, bisa jadi dia 

sudah tak sabar untuk bangkitkan kembali per-

soalan lama. Tapi, apakah memang ini penyebab-

ku gelisah?"

Angin malam terus berhembus dingin, membelai 

seluruh tubuhnya dan membuat jubahnya sedikit 

berkibar-kibar.

Mendadak saja dengan gerakan yang tak terli-

hat, tahu-tahu sosok lelaki berjubah putih ini su-

dah berdiri di atas tanah. Kali ini pandangannya 

dibawa berkeliling.

"Ketimbang aku diperbudak oleh rasa gelisahku, 

lebih baik aku segera menyelidik. Sudah cukup 

lama aku berada di sini dan sudah saatnya untuk 

menengok dunia luar."

Tetapi dia tak segera lakukan maksud. Justru 

dia menimbang-nimbang lagi apa yang akan dila-

kukannya.

Dua kejapan mata kemudian terlihat kepalanya 

mengangguk-angguk.

"Sudah saatnya bagiku untuk tinggalkan tempat 

ini. Kalaupun dia datang sekarang, bukan salahku 

karena tak menyambut atau menyalahi janji. Ka-

rena, masih ada waktu satu purnama mendatang 

untuk tuntaskan segala urusan," katanya pasti. 

Namun kejap itu pula dia mendesis, "Tapi, apakah 

ini perlu kulakukan?"

Dipikirkannya lagi keputusannya itu. Ditim-

bangkan baik-baik sampai terlihat dia anggukkan 

kepala.

"Satu purnama mendatang, aku akan kembali 

ke tempat ini."

Memutuskan demikian, dengan membawa rasa 

gelisahnya, Pendekar Kebajikan segera melangkah 

meninggalkan padang itu. Tanpa sekali pun ber-

paling.

Tepat matahari sudah sepenggalan, Pendekar 

Slebor hentikan langkahnya disebuah jalan seta-

pak. Untuk sesaat anak muda pewaris ilmu Pen-

dekar Lembah Kutukan ini perhatikan sekeliling-

nya.

Kejap kemudian dia berkata sambil garuk-garuk 

kepalanya, "Aku masih penasaran untuk mengeta-

hui siapa sesungguhnya Dayang Gunung Putih? 

Sebelumnya, nampak sekali kalau dia coba penga-

ruhku dengan pesona gaibnya yang memang san-

gat sulit ditepiskan. Tapi ya... setelah kujawab per-

tanyaannya, kok dia seperti anak kecil ya? Kenapa 

ya? Kenapa?"

Tak tahu jawaban dari pertanyaannya sendiri,

Andika nyengir.

"Mungkin orang berjuluk Datuk Merah itu me-

mang kekasihnya, dan dia sudah lama tak ber-

jumpa dengan kekasihnya. Dooo... begitu berse-

mangatnya? Tapi ya... kalau soal cinta sih, semua 

orang juga akan begitu. Cuma aku sajakah yang 

tidak begitu. Apa ini... huh! Siapa orangnya yang 

mau denganku, sih?!"

Makin lebar cengiran di bibir anak muda berpa-

kaian hijau pupus ini.

"Bodoh betul kalau gadis-gadis tidak mau den-

ganku yang tampan bin keren kayak begini!"

Dari cengirannya tadi, Andika mendadak terta-

wa keras. Merasa lucu dengan ucapannya sendiri.

Dan mendadak saja tawanya terhenti, tatkala 

angin timur bergerak ke arahnya. Kejap itu pula 

nampak cuping hidungnya bergerak-gerak karena 

mencium bau yang tidak sedap, bau yang terbawa 

angin.

"Busyet! Bau apa ini?" desisnya dengan kening 

berkerut. "Kayak bau bangkai! Tapi bangkai apa 

yang baunya sangat menyengat? Di sekelilingku 

hanya terdapat ranggasan semak belukar dan pe-

pohonan. Tak ada tanda-tanda ada bangkai di si-

ni? Jangan-jangan...."

Anak muda urakan ini garuk-garuk kepalanya 

yang tidak gatal. Kejap kemudian dia mendengus, 

"Landak mati! Bau busuk yang terbawa angin ini 

datangnya dari arah timur! Berarti... ada bangkai 

di sana! Dan rasanya... bukan bangkai hewan! Me-

lainkan... mayat manusia!"

Pendekar Slebor sampai surut satu tindak setelah tiba pada kesimpulan pikirannya. Untuk bebe-

rapa saat dia masih termangu memikirkan ke-

mungkinan itu.

Lalu desisnya terbata, "Jangan-jangan... mayat-

mayat itu dibunuh oleh Sumiati yang telah dikua-

sai Kalung Setan? Tapi ya... aku tak boleh ambil 

kesimpulan langsung seperti itu. Bisa jadi kalau 

bau busuk yang kemungkinan berasal dari mayat-

mayat disebabkan karena wabah penyakit. Wah! 

Bisa-bisa aku yang akan kena penyakit!"

Tapi wabah penyakit atau bukan, Andika sudah 

berkelebat ke arah timur untuk membuktikan du-

gaannya. Dan pemuda tampan ini harus mengge-

ram keras dengan rahang merapat tatkala melihat 

apa yang ada dihadapannya.

"Terkutuk! Terkutuk! Siapa orang yang telah la-

kukan pembantaian keji seperti ini?!" desisnya 

dengan mata membeliak lebar. Hawa amarah 

mendadak saja naik ke ubun-ubunnya membuat-

nya tak melakukan tindakan apa-apa. Bahkan dia 

sampai lupa untuk menahan napas dari bau bu-

suk yang menyengat!

Lalu hati-hati Andika melangkah, melewati satu 

mayat ke mayat lain. Dan dia kembali menggeram 

setelah melihat beberapa mayat yang tewas dengan 

tubuh memucat.

"Menilik keadaan ini, tak bedanya dengan dua 

sosok mayat yang kulihat sebelumnya. Dan ini je-

las perbuatan Sumiati yang telah dikuasai Kalung 

Setan! Celaka tujuh belas setengah! Seperti apa 

yang kukhawatirkan, kalau Kalung Setan itu akan 

lepaskan teror! Terkutuk! Terkutuk!!"

Untuk beberapa saat Andika masih dibawa ke-

marahan di hatinya. Tangan anak muda ini men-

gepal kuat. Matanya menatap liar mayat-mayat itu 

satu persatu.

"Monyet pitak! Bila terus menerus seperti ini, 

apa jadinya kehidupan ini kelak? Aku harus henti-

kan tindakan kejam Kalung Setan!"

Masih dibawa rasa amarahnya, Andika men-

gumpulkan mayat-mayat itu dengan hati nelangsa. 

Nuraninya seperti disayat-sayat menyaksikan kea-

daan di hadapannya.

''Aku harus hentikan tindakan Sumiati! Harus, 

kendati apa pun yang terjadi!!" desisnya geram.

Dan dengan gerakan yang sangat cepat, Andika 

merubuhkan rumah-rumah yang berada di sana, 

untuk dijadikan sebagai kuburan mayat-mayat 

yang berserakan.

Suara gegap gempita saat itu pula terdengar, di-

iringi teriakan-teriakan geram Pendekar Slebor. 

Cukup lama dia melakukan tindakan seperti itu, 

sampai semua mayat-mayat yang ada di sana ter-

tindih reruntuhan rumah, dan menjadi kuburan 

teraneh yang pernah terjadi.

Ditarik napasnya dalam-dalam, dihapus kerin-

gatnya dengan punggung tangannya.

"Jalan satu-satunya untuk hentikan tindakan 

kejam Sumiati, adalah dengan cara merebut Ka-

lung Setan! Entah kalung siapa itu sebenarnya dan 

masih kupikirkan, mengapa kalung itu bisa mem-

pengaruhi orang? Jelas ini ada rahasianya! Dan 

aku bertekad untuk memecahkan rahasia itu!"

Dengan napas masih megap-megap, Andika

mencoba memikirkan apa yang masih menjadi 

tanda tanya. Namun dia tak bisa menemukan ja-

lan keluar dari pikirannya. Dan ini membuatnya 

sangat gemas bukan main!

"Kerbau bunting! Orang utan! Berpikir terus 

menerus akan membuang waktu! Bisa jadi Sumiati 

akan terus lancarkan teror mengerikannya!!"

Andika coba tenangkan jalan pikirannya. Diatur 

napasnya setenang mungkin. Setelah pikiran jer-

nihnya hinggap kembali di benaknya, diperhatikan 

gundukan bangun rumah yang telah hancur dan 

menimbun mayat-mayat yang tadi dikumpulkan-

nya.

"Aku harus bergerak cepat sebelum terlambat. 

Dua kali aku telah kecolongan. Mungkin, bukan 

hanya dua kali. Tetapi entah sudah beberapa kali, 

karena aku tak mengetahuinya! Monyet pitak! 

Akan kujitak kepala Sumiati!"

Habis mendesis demikian, pemuda yang di le-

hernya melilit kain bercorak catur ini, segera ba-

likkan tubuh. Kejap itu pula dihentikan langkah-

nya dengan kepala menegak. 

Pandangannya lurus pada satu sosok tubuh 

berjubah putih yang telah berdiri sejarak sepuluh 

langkah dari tempatnya!

***

10


Sebelum Andika terbebas dari keterkejutannya,orang yang telah berdiri di hadapannya sudah 

membuka mulut, "Kesabaran adalah jenjang ter-

baik baik seseorang untuk lakukan satu tindakan. 

Karena dengan kesabaran, maka akan tersimpan 

nurani kebaikan yang dapat mempertimbangkan 

segala perbuatan. Anak muda, dari paras wajah-

mu, aku melihat kalau kau berada dalam kegera-

man. Apakah kau sudah memikirkan tindakanmu 

selanjutnya?"

Di tempatnya Andika masih terdiam. Pandan-

gannya masih tertuju pada lelaki berjubah putih 

yang barusan buka suara.

"Dari ucapannya, jelas kalau dia orang baik-

baik. Dan dari cara munculnya yang tak kuketa-

hui, jelas kalau dia bukanlah orang sembarangan. 

Hem, siapa dia sebenarnya?"

Lalu sambil nyengir, si Urakan ini berkata, 

"Wah! Memang betul tuh apa yang kau katakan! 

Aku memang sedang geram! Tapi sekarang sudah 

tidak lagi, kok. Ngomong-ngomong... ini kalau kau 

tidak keberatan ya, boleh aku tahu siapa kau 

adanya? Sebangsa jin atau orang? Kok aku tidak 

tahu kau datang ke sini sih?"

Lelaki berjubah putih yang bukan lain Pendekar 

Kebajikan adanya tersenyum. Angin pagi mengi-

barkan jubah bagian bawahnya.

"Cara bicara pemuda ini sungguh jenaka, ter-

kandung sedikit kekonyolan yang sebenarnya da-

pat memancing tawa. Dan nampaknya dia cepat 

sekali berubah. Tadi kulihat dia masih dilingkupi 

kegeraman, tetapi sekarang sudah bersikap seperti 

itu. Jelas kalau sifat jenaka adalah sifat aslinya."

Habis berkata demikian, Pendekar Kebajikan 

berkata, "Bila kau ingin tahu siapa aku adanya, 

panggil aku dengan sebutan Pendekar Kebajikan."

"Sebuah julukan yang mulia. Dan sudah barang 

tentu orang-orang rimba persilatan tak akan men-

julukinya seperti itu bila dia bukan orang bijak," 

kata Andika dalam hati. Lalu katanya, "Pendekar 

Kebajikan, sangat senang berkenalan denganmu. 

Tapi ya... aku tak bisa berlama-lama di sini, kare-

na masih ada urusan lain."

Kembali Pendekar Kebajikan tersenyum.

"Aku pun tak bisa berlama-lama di tempat ini, 

karena aku juga mempunyai satu urusan. Dan 

kau sudah mengetahui siapa aku adanya. Apakah 

tidak sebaiknya kau sebutkan siapa dirimu?"

Kali ini Andika garuk-garuk kepalanya sambil 

nyengir.

"Namaku Andika," sahutnya singkat.

"Dari cara berpakaianmu dan gerakan kedua 

kaki yang nampak sangat ringan, aku yakin kau 

bukan orang kebanyakan. Siapakah julukanmu?"

Cengiran Andika makin lebar.

"Wah! Kalau itu sih tidak usah saja, deh, Tapi 

ya... aku ini memang tergolong orang baik-baik, 

lho. Jadi kukatakan saja. Cuma kau jangan ang-

gap terlalu serius ya? Karena aku tidak se slebor 

yang orang duga."

Justru terdengar ucapan Pendekar Kebajikan, 

"Dan tentunya kau berasal dari Lembah Kutukan, 

bukan?" 

"Lho! Kok tahu? Wah! Tidak nyangka nih kalau 

aku begitu ngetop!"

"Dan kau dikenal dengan julukan Pendekar Sle-

bor." 

"Tapi jangan anggap aku slebor ya? Tidak lho! 

Kalaupun slebor ya... cuma sedikitlah." 

Pendekar Kebajikan tersenyum. "Kendati dua 

puluh tahun aku berdiam di Padang Sunyi, tetapi 

julukan Pendekar Slebor telah sampai ke telingaku 

akhir-akhir ini. Sungguh tak kusangka kalau dia 

masih sedemikian muda. Sebenarnya, aku tidak 

tahu siapa pemuda di hadapanku ini bila dia tidak 

mengatakan tentang masalah kesleborannya. Dan 

rupanya, yang menjadi kegelisahanku adalah pe-

ristiwa mengerikan yang terpampang di hadapan-

ku."

Habis membatin demikian, Pendekar Kebajikan 

berkata, "Anak muda... siapakah orang yang telah 

melakukan pembantaian ini?"

Mendengar pertanyaan orang, sesaat kemara-

han Andika naik kembali. Tapi segera ditindihnya 

dan sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gat-

al dia menceritakan apa yang telah terjadi.

"Kalung Setan... baru kali ini kudengar ada 

benda mengerikan seperti itu. Apakah kau tidak 

salah?" Andika menggeleng.

"Aku pernah menyaksikan kekejaman Kalung 

Setan yang telah mempengaruhi seorang gadis tak 

berdosa, yang membuatnya menjadi sekejam setan 

dan memiliki kesaktian yang luar biasa."

"Berbahaya."

"Ya, sangat berbahaya."

"Lantas... di manakah gadis malang bernama 

Sumiati itu berada sekarang?"

Andika menggeleng.

"Aku tak punya gagasan lain di mana gadis itu 

berada kecuali dia akan terus turunkan teror demi 

teror yang mengerikan. Kalung Setan merupakan 

sebuah benda yang sangat jahat. Dan tak akan 

pernah mengenal kata puas."

Pendekar Kebajikan terdiam dan mengeluh da-

lam hati.

"Rupanya, aku memang terlalu lama berdiam di 

Padang Sunyi. Dan pikiranku hanya terpusat pada 

dia yang akan datang menuntut balas. Pada ke-

nyataannya, rimba persilatan saat ini sedang dika-

caukan oleh sebuah benda bernama Kalung Setan, 

yang dapat mempengaruhi seseorang untuk men-

jadi sekejam iblis," kata Pendekar Kebajikan dalam 

hati.

Lalu sambil pandangi pemuda berpakaian hijau 

pupus di hadapannya dia berkata, "Pendekar Sle-

bor... aku mungkin termasuk salah seorang yang 

tak pernah membiarkan kejahatan merajalela. Beri 

tahu padaku ciri gadis itu dan Kalung Setan."

Andika segera menerangkannya. Kemudian 

sambungnya, "Terima kasih bila kau hendak laku-

kan tindakan seperti itu. Dan kuharap, kau masih 

bisa memberi belas kasihan pada gadis itu...."

"Sudah tentu yang akan kurebut adalah kalung 

celaka yang telah menyesatkan gadis itu."

Andika mengangguk-anggukkan kepala. Pan-

dangannya lekat pada Pendekar Kebajikan.

"Hem, lelaki gagah ini termasuk salah seorang 

yang pandai menyembunyikan sesuatu. Namun 

kendati dia lakukan hal itu, dari sorot matanya

aku menangkap kilasan kalau dia sendiri sedang 

ada masalah. Seperti yang dikatakannya sebelum-

nya. Apakah aku perlu menanyakan soal itu?"

Andika terdiam beberapa saat sebelum memu-

tuskan untuk bertanya."

Pendekar Kebajikan hanya tersenyum menden-

gar pertanyaan Andika. Masih tersenyum dia ber-

kata, "Apa yang kau katakan tadi memang benar. 

Saat ini ada persoalan yang berkutat di benakku. 

Tapi, apakah pantas bila ku kemukakan persoa-

lanku ini yang akan menjadi pikiranmu?"

"Cara dia berucap sungguh santun sekali. Ah, 

tidak enak rasanya karena telah lancang campuri 

urusannya," kata Andika dalam hati. Lalu buru-

buru berkata, "Maafkan sikapku tadi." 

"Tak jadi masalah. Apakah tidak sebaiknya kita 

berpisah di sini?"

Andika menganggukkan kepalanya. "Ya. Dan 

sebelumnya, aku ucapkan terima kasih karena 

kau mau memikul sebagian bebanku."

Pendekar Kebajikan tersenyum.

"Aku bukanlah ahli meramal. Tapi aku bisa 

mengatakan, kalau kelak, urusanmu bukan hanya 

terpusat pada masalah Kalung Setan. Melainkan, 

ada masalah besar yang akan kau hadapi."

"Kutu loncat! Ucapannya membuatku jadi pena-

saran. Tapi masa bodoh ah, besar atau kecil uru-

san yang akan menghadangku, toh akan kuhadapi 

juga."

Habis membatin demikian Andika berkata, 

"Mudah-mudahan, kelak kita akan berjumpa lagi."

Tetap tersenyum Pendekar Kebajikan angguk

kan kepala. Kejap kemudian dia sudah berkelebat 

meninggalkan tempat itu, diantar oleh pandangan 

Andika.

Setelah sosok lelaki gagah berjubah putih le-

nyap dari pandangannya, Andika tarik napas pen-

dek.

"Kerbau bunting! Kok aku jadi makin penasaran 

sih" makinya dalam hati. "Apa maksud ucapan 

Pendekar Kebajikan tadi? Masalah besar? Masalah 

apa ya?" Sesaat anak muda urakan ini terdiam se-

belum cengengesan sendiri, "Jangan-jangan... ma-

salah karena aku belum makan kali ya? Perutku 

sudah keroncongan! Huh! mendingan cabut ah, 

sembari mencari makanan!" 

Memutuskan demikian, Andika segera berkele-

bat meninggalkan tempat itu. Sejarak dua puluh 

tombak dia berlalu dari dusun yang telah dikacau-

kan Kalung Setan mendadak saja anak muda ini 

hentikan langkahnya.

Lima langkah di hadapannya, telah berdiri seo-

rang kakek berwajah tirus dan berpakaian merah!


SELESAI



ikuti kelanjutan serial ini:

MALAIKAT KEADILAN




























Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive