KALUNG SETAN
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1
Angin berhembus dingin di sebuah tempat yang
dipenuhi rerumputan dan ranggasan semak. Ma-
lam masih membentang luas dan siap beranjak
menuju pagi. Di kejauhan Nampak julangan se-
buah gunung yang diselimuti kegelapan.
Dalam rentangan malam dingin dan mencekam
itu, nampak satu sosok tubuh sedang duduk ber-
lutut dengan kedua kaki ditekuk sebagai bantalan
pinggul. Tangan orang yang pejamkan mata ini, te-
rangkap di depan dada. Kendati mulutnya berke-
mak-kemik, namun tak ada suara yang keluar.
Dan orang berpakaian biru ini sama sekali tak
merasa terganggu oleh dinginnya udara. Bahkan
seakan sama sekali tak dirasakannya.
Namun kejap berikutnya, mendadak saja kepala
orang ini menegak. Sepasang telinganya dibuka le-
bar-lebar.
"Dia sudah datang," desisnya dalam hati.
Dari ucapannya, jelas kalau orang berpakaian
biru yang berusia sekitar tujuh puluh tahun ini
sedang menunggu kedatangan seseorang. Kendati
tahu kalau orang yang ditunggunya sudah datang,
namun dia tak beranjak dari tempatnya. Tetap
bersikap seperti semula seolah tak ada sesuatu
yang mengganggunya.
Dan kegelapan malam itu tiba-tiba saja diren-
takkan oleh suara tawa panjang yang menggema
ke segenap penjuru. Tawa keras yang mengandung
pengerahan tenaga dalam, untuk sesaat mempengaruhi pendengaran kakek yang sedang duduk
berlutut, yang saat itu pula menahan dengan ali-
ran tenaga dalamnya.
Menyusul tawa yang panjang tadi, satu benta-
kan keras terdengar, "Datuk Biru! Sekian tahun
menunggu, tidak tahunya kau hidup seorang diri
di tempat seperti ini! Sungguh menyenangkan se-
kali! Dan bila melihat sikapmu seperti sekarang,
rupanya kau sudah tahu aku akan datang! Ya,
aku dating memenuhi janjiku tiga puluh tahun
yang lalu!"
Orang yang kedua tangannya terangkap di de-
pan dada, tarik napas pendek.
"Rasanya, memang tak mungkin menghinda-
rinya lagi. Tiga puluh tahun lalu, dia masih melon-
tarkan ancaman untuk mencariku setelah berhasil
kukalahkan. Ah, kami sudah sama-sama tua. Dan
nampaknya dia tak pernah puas sebelum menda-
patkan benda itu."
Dua kejapan mata kemudian entah dari mana
datangnya, mendadak saja telah berdiri seorang
kakek berwajah tirus sejarak delapan langkah dari
tempat Datuk Biru duduk berlutut. Sepasang mata
si pendatang menatap tajam. Penuh kebencian.
Kedua tangannya yang kurus mengepal kuat. Di
dada kakek berpakaian merah ini terdapat sebuah
kalung berbandul taring!
Dan si kakek tak lakukan apa-apa kecuali tak
berkedip menatap pada kakek yang sedang berse-
madi.
Tapi di kejap berikutnya, kakek berpakaian me-
rah ini sudah angkat bicara, "Datuk Biru! Apakah
sekarang kau masih belum juga mau menyerah-
kan Kalung Setan kepadaku?!"
Datuk Biru tak buka mulut. Sosoknya tetap
berlutut.
Merasa ucapannya disepelekan, kakek yang ba-
ru datang ini keluarkan bentakan lagi, "Orang tua
celaka! Apakah kau mendadak menjadi bisu,
hah?!"
Tetapi kali ini dia tak perlu terlalu lama me-
nunggu jawaban orang. Karena Datuk Biru sudah
angkat bicara,
"Datuk Merah! Mengapa kau masih bersikap se-
perti anak kecil? Bukankah tiga puluh tahun yang
lalu sudah kukatakan, kalau Kalung Setan telah
kubuang ke dasar Jurang Trah Gering?!"
"Dusta! Siapa percaya ucapanmu itu, hah?!"
hardik kakek berpakaian merah yang disebut Da-
tuk Merah. Lalu lanjutnya dengan dada bergolak,
"Dan jangan coba-coba untuk dustaiku lagi!"
Perlahan-lahan sepasang mata kakek yang du-
duk bersemadi itu membuka. Terlihat kelelahan
yang kentara pada pancaran mata itu. Untuk se-
saat dia tak buka mulut, hanya perhatikan saja
sosok yang sedang berdiri dengan sikap jumawa
tak jauh dari tempatnya.
Setelah tarik napas pendek, barulah dia berka-
ta, "Datuk Merah! Sejak dulu kita bersahabat. Dan
karena benda laknat itulah kemudian kita bermu-
suhan, hingga saat ini. Jadi kupikir, ketimbang
persahabatan kita semakin hancur karena benda
itu, maka kubuang saja benda itu."
"Manusia jadah! Berani betul mulutmu masih
coba untuk menasehatiku!" hardik Datuk Merah
dengan tangan menuding.
Kepala Datuk Biru menggeleng. "Tidak. Aku
mengatakan apa adanya. Dan satu hal yang kuse-
sali, mengapa kita harus menemukan benda cela-
ka yang ternyata membuat persahabatan kita pe-
cah?!"
Datuk Merah tersenyum sinis. "Bila sejak dulu
kau menyerahkan kalung itu kepadaku, sudah ba-
rang tentu tak akan pernah ada peristiwa sema-
cam ini! Dan ini terjadi, semua gara-gara kau!!"
Datuk Biru masih mencoba untuk bersabar
kendati hatinya mulai diliputi kejengkelan.
"Kita adalah dua sahabat yang sejak muda sela-
lu bertualang. Dan kita tak pernah terlibat dalam
pertikaian sekalipun. Bahkan, berbeda pendapat
pun tidak. Tapi, semenjak kita sama-sama secara
tak sengaja datang ke sebuah gua yang kala itu
badai sedang marah, pertikaian pun mulai terjadi.
Ini dikarenakan kalung yang berbandul sebuah
wajah yang mengerikan. Dan kita sama-sama me-
namakannya Kalung Setan. Aku tetap berkeingi-
nan agar kita tidak menyentuh benda itu. Tetapi
kau memaksa untuk mendapatkannya. Datuk Me-
rah, apakah kau lupa akibat apa yang terjadi bila
seseorang memiliki Kalung Setan itu?"
"Aku tak peduli! Kau serahkan kalung itu kepa-
daku, atau... kematian akan menjemputmu seka-
rang juga!"
"Tiga puluh tahun yang lalu, kita telah meri-
butkan soal ini sampai pertarungan tak bisa di-
hindari. Aku pikir...."
"Jangan berbangga karena kau bisa mengalah-
kan aku tiga puluh tahun yang lalu, Orang tua ce-
laka!" putus Datuk Merah berang.
Datuk Biru geleng-gelengkan kepala.
"Kau salah besar bila mengatakan aku berhasil
mengalahkanmu. Padahal, aku sendiri terluka da-
lam dan kita sama-sama kehabisan tenaga. Bila
saja saat itu kau menyerangku lagi, mungkin kita
sudah tidak bertemu!"
"Dan kau telah mendapatkan kalung itu!"
"Sekali lagi kukatakan, kau salah besar. Karena
setelah kita sama-sama memutuskan untuk me-
nempuh jalan masing-masing, kalung yang telah
menyebabkan keretakan persahabatan di antara
kita, telah kubuang ke Jurang Trah Gering."
"Jahanam terkutuk! Masih juga mau mencoba
mendustaiku! Bila saja kalung itu sejak dulu kau
serahkan kepadaku, mungkin urusan tak akan ja-
di begini!"
"Tapi aku tak menyesal, bila pada akhirnya,
dengan kalung itu kita saling mencelakakan! Teru-
tama hawa nafsu membunuh yang dimiliki kalung
itu, akan melingkupi kita untuk membunuh siapa
saja yang kita tak senangi!"
Datuk Merah menggeram. Pancaran matanya
kian berbahaya. Udara masih sangat dingin.
"Dan sekarang, tanpa kalung itu pun, niatku
untuk membunuhmu semakin besar!!" -
Habis ucapannya, diiringi teriakan keras, kakek
berpakaian merah sudah mencecar ke depan. An-
gin keras mendahului gerakan tubuhnya.
Di tempatnya, Datuk Biru angkat kepalanya sejenak. Kejap berikutnya, tanpa berpindah dari ke-
dudukannya, kedua tangannya telah dipalangkan
di atas kepala dan menyusul disentakkan ke de-
pan!
Wuussss!!
Blaaammm!!
Gelombang angin yang mendahului gerakan Da-
tuk Merah terhantam putus oleh serangan angin
yang dilepaskan Datuk Biru. Kendati demikian,
Datuk Merah nampak tak punya niatan sedikit
pun untuk mengurungkan serangannya.
Dia terus mencecar maju!
Hingga akhirnya membuat Datuk Biru harus
melompat ke belakang dan dalam keadaan tegak,
dia miringkan sedikit tubuhnya bersamaan tangan
kanannya diputar.
Wuusss!!
Blaaam! Blaaamm!!
Dua kali letupan keras terjadi. Tanah di mana
terjadinya benturan itu membubung ke udara, se-
makin menambah kepekatan tempat itu.
Tatkala semuanya sirap, nampak masing-
masing orang berdiri tegak di atas tanah dengan
napas agak sedikit terengah. Kalau pandangan Da-
tuk Merah begitu tajam menusuk, dipenuhi kein-
ginan untuk membunuh, pancaran mata Datuk
Biru tetap lembut. Ada riak keinginan agar perta-
rungan itu tak diteruskan.
Sebelum Datuk Merah lepaskan serangan lagi,
Datuk Biru sudah berkata, "Datuk Merah! Kita su-
dah sama-sama tua! Mengapa kau tak pernah mau
berpikir untuk mengakhiri segala pertikaian ini? Di
samping itu, kita adalah kawan seperjalanan se-
menjak muda. Tak ada gunanya kita lakukan tin-
dakan-tindakan konyol di ambang usia kita yang
semakin menua?"
Datuk Merah sesaat tak keluarkan suara. Dari
sikapnya jelas dia membenarkan ucapan Datuk
Biru. Namun harga dirinya masih terusik, dan
akan tetap terusik bila teringat bagaimana tiga pu-
luh tahun yang lalu Datuk Biru menolak mentah-
mentah di saat dia menginginkan Kalung Setan.
Dan harga dirinya yang telah diinjak-injak,
hanya dapat dihilangkan bila melihat Datuk Biru
berkalang tanah. Apalagi, tiga puluh tahun yang
lalu pula, dia dikalahkan oleh Datuk Biru!
Dengan napas memburu dan dada dibuncah
kemarahan sengit, Datuk Merah mendengus din-
gin, "Aku tak peduli dengan semuanya! Yang kuin-
ginkan adalah Kalung Setan! Juga... nyawamu!!"
Datuk Biru menghela dan menarik napas pan-
jang.
"Aku tak tahu, apakah ini dikarenakan penga-
ruh amarah dan ambisinya, atau dia memang se-
jak dulu mempunyai niat jahat padaku? Tapi, ah...
rasanya terlalu kejam menuduh dia mempunyai
niat jahat padaku. Dan sekarang, sudah seharus-
nya aku menyadarkannya kembali. Agar dia tidak
terus berada dalam jalur kesesatan."
Habis berpikir demikian, Datuk Biru berkata,
"Sesungguhnya, aku sama sekali tak tahu lagi ha-
rus berpikir bagaimana. Hanya yang kuharapkan,
kita sudahi segala pertikaian di antara kita."
"Semuanya akan disudahi bila kau telah mampus!" geram Datuk Merah dan bersamaan dengan
itu, dia tarik kaki kanannya ke belakang hingga
tubuhnya agak condong ke depan. Menyusul ke-
dua tangannya dirangkapkan di depan dada.
Melihat gerakan yang dilakukan Datuk Merah,
Datuk Biru mendesah masygul.
"Dia akan keluarkan ilmu 'Awan Merah'-nya
yang ganas. Ah, apakah aku harus berdiam diri?
Tidak, sudah barang tentu aku harus menghada-
pinya."
Memikir demikian, perlahan-lahan Datuk Biru
angkat kedua tangannya lurus-lurus dengan langit
yang masih diselimuti malam. Lalu dibawa ke
samping kanan dan kiri, menyusul akhirnya di-
rangkapkan pula di depan dadanya.
Melihat gerakan yang dilakukan oleh orang yang
dibencinya, Datuk Merah buka mulut, "Tiga puluh
tahun yang lalu, dengan ilmu 'Kabut Biru' kau
berhasil mengalahkanku. Tapi sekarang, jangan
berharap kau bisa melakukan seperti itu lagi!"
"Datuk Merah! Sama sekali tak pernah terpikir-
kan di benakku untuk mengalahkanmu. Kalaupun
aku bersikap menolak permintaanmu untuk men-
dapatkan Kalung Setan, karena aku tak mau di
antara kita berada dalam kesesatan. Dan aku ya-
kin, kau juga tahu akibat apa bila kau mengena-
kan kalung itu."
"Terkutuk! Jangan mengguruiku!"
Habis ucapannya, Datuk Merah tekan tenaga
dalamnya sedikit. Menyusul terlihat sekujur tu-
buhnya bergetar. Dan mendadak saja terlihat asap
tipis berwarna merah mengepul dari kedua tangannya yang terangkap. Menyusul hawa dingin
yang mendera tempat itu, tertindih oleh hawa pa-
nas yang mendadak terpancar dari ilmu yang se-
dang dikeluarkan Datuk Merah.
Di tempatnya, Datuk Biru juga merasakan pe-
rubahan udara yang cukup membuatnya sedikit
bergetar.
"Tiga puluh tahun yang lalu, kekuatan hawa
panas dari ilmu 'Awan Merah'-nya tak seperti se-
karang. Berarti dia memang telah memperdalam
ilmu andalannya itu. Ah, mengapa dia tak mau
mempergunakan akalnya? Apakah dia...."
Jalan pikiran Datuk Biru mendadak saja terpu-
tus. Karena dengan suara lantang, Datuk Merah
sudah menerjang ke depan disertai dorongan ke-
dua tangannya.
Serta-merta menghampar gelombang angin yang
perdengarkan suara gemuruh dikawal hawa panas
yang menyengat. Menyusul datangnya gelombang
angin tadi, tiga bongkah awan berwarna merah
melabrak pula.
Di tempatnya, Datuk Biru terkesiap sesaat. Se-
raya surutkan langkah, dia dorong kedua tangan-
nya yang terangkap tadi. Kejap itu pula gelombang
angin yang dikawal udara sangat dingin mener-
jang. Disusul dengan kabut-kabut berwarna biru
yang bergerak laksana anak panah.
Sudah dapat dibayangkan apa yang terjadi ke-
mudian. Letupan pertama terdengar tatkala dua
gelombang angin yang sama-sama dilepaskan
masing-masing orang berbenturan. Hawa panas
dan dingin saling lilit dan saling tindih.
Menyusul gelegar dahsyat yang membuat tem-
pat itu laksana dilanda gempa, tatkala awan-awan
merah berbenturan keras dengan kabut-kabut bi-
ru.
Blaaaammm!!
Tanah sejarak lima tombak mendadak saja
muncrat ke udara disertai getaran kuat. Awan-
awan merah dan kabut-kabut biru berpentalan be-
gitu bertemu. Tempat itu bergoyang.
Masing-masing penyerang tergontai-gontai ke
belakang, akibat saking kerasnya benturan yang
terjadi.
Untuk beberapa lamanya tak ada yang lepaskan
serangan. Sementara itu, hawa panas dan dingin
masih terus saling tindih, disusul perlahan-lahan
sirapnya muncratan tanah tadi. .
Dan sekarang, terlihat sosok Datuk Biru jatuh
berlutut dengan tangan kanan menahan tubuh
pada tanah. Tetapi pandangannya lurus ke depan.
Tubuh kakek berpakaian biru ini agak bergetar.
Mulutnya menekuk karena satu tekanan kuat pa-
da perutnya yang beranjak naik dengan cepat.
"Huaaakk!!"
Datuk Biru muntah darah dua kali.
Di pihak lain, sosok Datuk Merah pun menga-
lami nasib tak jauh berbeda. Hanya bedanya, Da-
tuk Merah masih berdiri tegak kendati sulit untuk
kuasai keseimbangannya dengan segera.
Untuk beberapa saat tak ada yang lakukan apa-
apa.
Datuk Merah menggeram dalam hati seraya
alirkan tenaga dalam untuk pulihkan keadaan,
"Sejak dulu, aku tahu kalau Datuk Biru berada sa-
tu tingkat di atasku. Tapi, aku tak peduli dengan
semua itu! Karena, dia kelihatan luka parah seka-
rang."
Di pihak lain, Datuk Biru sedang mendesah
masygul, "Bila pertarungan ini diteruskan, yang
terjadi hanyalah sebuah kematian yang mungkin
akan tiba pada pihakku, dan juga terjadi pada di-
rinya. Dan ini tak boleh terjadi. Aku harus bisa
mengembalikan Datuk Merah pada jalan pikiran
semula."
Memikirkan demikian, hati-hati Datuk Biru
berdiri kembali. Ditenangkan gemuruh di hatinya
yang terasa kacau balau.
Lalu dia berkata, "Datuk Merah... apa yang te-
lah terjadi ini seharusnya tak boleh terjadi. Bila
kau masih bersikeras untuk mendapatkan Kalung
Setan, aku bersedia membantumu mencarinya di
Jurang Trah Gering. Dan itu kulakukan, agar kau
tidak terlalu lagi berambisi untuk memilikinya. Bi-
la kita sudah menemukan kembali benda itu, bu-
kankah sebaiknya kita hancurkan? Ingat, penga-
ruh kalung itu sangat berbahaya."
Tetapi mana mau Datuk Merah menyetujui usul
itu. Kepalanya menggeleng keras disertai tatapan
tajam.
"Usulmu yang pertama, bisa aku terima! Tapi,
usulmu yang terakhir sama sekali tak bisa kuteri-
ma! Biar bagaimanapun juga, aku harus memiliki
kalung itu!"
Datuk Biru mendesah masygul.
"Apa yang bisa kulakukan sekarang? Dia masih
diliputi ambisinya untuk mendapatkan kalung
itu?" desisnya dalam hati, lalu berkata, "Sebaiknya
begini saja. Kau sudah tahu kalau Kalung Setan
telah kubuang ke Jurang Trah Gering. Sebaiknya
kita segera mencari kalung itu. Kita buat satu per-
janjian, siapa yang lebih dulu mendapatkan ka-
lung itu, maka dialah yang berhak menyimpannya
tanpa mendapatkan halangan dari pihak lain. Dan
juga...."
"Sudah tentu kau yang akan mendapatkannya,
karena benda itu memang berada padamu!!" putus
Datuk Merah muak.
Datuk Biru gelengkan kepalanya.
"Aku tak tahu apakah sekarang kau sudah me-
nyangsikan kejujuranku atau tidak. Tapi yang ku-
katakan itu benar. Kalung Setan telah kubuang ke
Jurang Trah Gering."
"Terkutuk! Sebenarnya aku percaya apa yang
dikatakannya. Sejak dulu dia tak pernah berdusta
sekali pun. Huh! Keinginanku untuk membunuh-
nya karena dia telah merobek-robek harga diriku,
semakin kuat saja! Tapi...."
Memutus kata batinnya sendiri, Datuk Merah
berkata, "Baik! Usulmu dapat kuterima! Kita akan
berlomba untuk mendapatkan Kalung Setan! Dan
akan kubuktikan padamu, kalau akulah yang
akan mendapatkannya!"
"Mungkin memang dia yang akan menda-
patkannya. Tapi mungkin pula aku yang menda-
patkannya. Karena, aku sendiri sudah tak tahu la-
gi di tempat mana tepatnya di Jurang Trah Gering
kalung itu kulempar. Tapi biar bagaimanapun juga, aku harus berhasil mendahului mendapatkan-
nya," kata Datuk Biru dalam hati. Lalu seraya
anggukkan kepalanya dia berkata, "Ya! Kita akan
segera memulainyal"
Datuk Merah tatap dulu tajam-tajam Datuk Bi-
ru. Hati kakek satu ini masih dibuncah dendam
tinggi. Setelah keluarkan dengusan, mendadak sa-
ja dia berbalik. Kejap berikutnya, yang nampak
hanyalah bayangan merah yang bergerak ke arah
timur, seperti sedang menyongsong matahari yang
mulai tampakkan bias-biasnya.
Di tempatnya, Datuk Biru mendesah masygul.
Kakek ini masih menyesali keadaan yang akhirnya
membuat persahabatan di antara mereka harus
berada di persimpangan. Bahkan tanda-tanda ke-
retakannya pun mulai kentara.
"Aku tak ingin Datuk Merah mendapatkan ka-
lung itu. Kalung itu penyebab bencana yang men-
gerikan. Aku harus dapat menemukannya lebih
dulu...."
Setelah menghela napas panjang, Datuk Biru
segera bergerak ke arah barat. Meninggalkan tem-
pat yang telah porak-poranda dan siap didera ma-
tahari siang nanti.
***
2
Tiga hari kemudian.
Pagi telah menghampar dengan bias-bias kein-
dahannya. Pagi yang indah itu pun menyelimuti
Jurang Trah Gering yang tak begitu dalam. Di sa-
na-sini banyak terdapat batu-batu lamping dan
pepohonan. Beberapa ekor burung beterbangan,
bermandikan cahaya pagi.
Dari arah kiri, nampak dua sosok tubuh sedang
melangkah menuruni Jurang Trah Gering. Dari ca-
ranya melangkah, nampak kedua orang berbeda
jenis itu sudah sangat hapal dengan situasi di Ju-
rang Trah Gering.
Yang melangkah agak di depan, seorang pemu-
da bertubuh tegap tanpa mengenakan pakaian.
Pemuda yang diperkirakan baru berusia sekitar
dua puluh tahun ini memiliki perawakan yang ba-
gus. Tubuhnya dipenuhi tonjolan otot yang ditem-
pa oleh alam. Dia melangkah sambil bersiul-siul.
Di belakangnya, nampak seorang gadis berpa-
kaian putih agak kusam melangkah sambil me-
nyanyikan kidung perdamaian. Paras gadis yang
mengenakan celana panjang ringkas ini begitu jeli-
ta. Sepasang alisnya hitam dengan mata yang jer-
nih. Bibirnya tipis memerah dengan pipi yang agak
kemerahan karena mentari pagi. Sosoknya begitu
segar. Rambutnya yang indah dikuncir dua. Mere-
ka adalah kakak beradik yang tinggal di dusun Ge-
lagah, yang letaknya sekitar satu penanakan nasi
dari Jurang Trah Gering.
Si kakak adalah yang laki-laki dan bernama
Sumarta, sementara adiknya yang jelita bernama
Sumiati. Sejak Sumarta berusia tujuh tahun, me-
reka telah ditinggal oleh kedua orang tuanya, yang
tewas akibat dusun mereka didatangi gerombolan
penjahat. Saat itu Sumarta diperintahkan oleh
ayahnya untuk membawa lari Sumiati.
Dan satu-satunya tempat yang cukup aman,
adalah berdiam di Jurang Trah Gering. Selama
enam tahun Sumarta membawa adiknya di tempat
itu hingga akhirnya mereka menjadi kerasan. Na-
mun Sumarta juga menyadari kalau suasana di
Jurang Trah Gering tak akan membuat kehidupan
mereka berkembang.
Akhirnya dia pun memutuskan untuk kembali
ke dusun Gelagah. Masih ada beberapa orang yang
dikenali Sumarta dan menyambut mereka dengan
gembira.
Selama tinggal di Jurang Trah Gering, Sumarta
berusaha untuk menjadi seorang pemahat dengan
memanfaatkan kayu-kayu dari pohon yang sangat
banyak jumlahnya di Jurang Trah Gering. Dan da-
ri hasil memahat itulah dia akhirnya dapat mem-
buat rumah yang sederhana dan menghidupi
adiknya yang kini tumbuh menjadi seorang dara
jelita.
Dan seperti biasanya, setiap dua minggu sekali
Sumarta selalu datang ke Jurang Trah Gering un-
tuk mencari kayu yang dapat digunakan sebagai
bahan pahatannya.
Kalau biasanya Sumarta selalu datang seorang
diri, kali ini adiknya ingin ikut dengan alasan ingin
mengenang kembali tempat yang selama enam ta-
hun mereka huni. Dan di pagi ini, mereka mulai
menuruni Jurang Trah Gering.
Dari kejauhan, Sumiati sudah berteriak, "Ka-
kang Sumarta! Apakah gubuk itu yang pernah kita
tinggali dulu?!"
Sambil terus melangkah, Sumarta berkata, "Kau
betul, Ati! Memang gubuk itulah yang pernah kita
tinggali beberapa tahun yang lalu."
"Gubuk itu masih nampak kuat!"
"Aku selalu merawatnya setiap kali aku datang
ke Jurang Trah Gering."
"Ayolah, Kakang... sebaiknya kita cepat ke sana.
Aku sudah tidak sabar," kata Sumiati. Lalu dengan
cekatan gadis jelita ini mendahului kakaknya me-
langkah.
"Hei, hei... hati-hati! Masih banyak embun! Kau
bisa terpeleset nanti!"
Laksana kijang yang lincah, Sumiati hanya ter-
tawa-tawa saja dan kini dia sudah tiba di dasar
Jurang Trah Gering. Masih tertawa-tawa gadis jeli-
ta ini mendatangi gubuk yang selama enam tahun
pernah ditinggalinya.
Sumarta berseru, "Kau jangan ke mana-mana!
Aku akan mencari kayu di ujung sana!"
"Pergilah, Kakang! Aku betah sampai sore di
tempat ini!!"
Sumarta tersenyum. Dengan kapak yang cukup
besar di pundaknya, dia berjalan melewati gubuk
itu.
Sementara itu, Sumiati sudah masuk ke gubuk
itu. Dia melebarkan senyum melihat gubuk ini sa-
ma sekali belum berubah. Direbahkan tubuhnya
pada dipan kayu yang dulu pernah ditidurinya.
Rasa hangat menyelimuti dirinya hingga dia makin
betah berada di tempat itu.
"Enam tahun, cukup lama juga aku tinggal di
sini bersama Kang Sumarta. Ah, bila saja saat ini
ada ayah dan ibu, alangkah bahagianya...."
Buru-buru gadis jelita ini menghapus segala in-
gatan tentang orang tuanya. Karena dia selalu in-
gat pesan kakaknya untuk tidak mengenang lagi
peristiwa mengerikan itu. Tapi biar bagaimanapun
juga, Sumiati masih ingat bagaimana bapaknya
menyuruh mereka pergi dengan kepanikan luar
biasa.
"Ah, daripada memikirkan soal itu, lebih baik
aku memikirkan soal yang lain."
Lalu dengan mempergunakan sebatang ranting
yang masih terdapat daun-daun di ujungnya, gadis
jelita ini mulai membersihkan gubuk itu.
Saat ini matahari sudah sepenggalah. Namun
berada di Jurang Trah Gering, hanya kesejukan
yang dirasakan. Setelah membersihkan gubuk itu,
Sumiati melangkah keluar.
Dihirupnya udara sejuk dalam-dalam.
"Benar-benar aku berada di surga," katanya pa-
da dirinya sendiri.
Lalu dilihatnya seekor kelinci sedang berdiam
sambil menatapnya dengan kedua telinga pan-
jangnya yang bergerak-gerak.
"Hei, ada makanan!" desisnya tanpa sadar. "Du-
lu, aku selalu makan daging kelinci dan burung di
sini. Ah, perutku jadi lapar sekarang!"
Perlahan-lahan Sumiati mendekati kelinci itu
sambil bersuara, "Ayo, sini, Manis. Sini...."
Tetapi sudah tentu kelinci itu langsung lari begi-
tu dia mendekatinya.
"Ya...," desisnya kecewa.
Tapi kejap berikutnya, dia sudah masuk kembali ke dalam gubuk. Dilihatnya ada perangkap ke-
linci yang dulu dipergunakannya.
"Rupanya Kang Sumarta masih menyimpan
benda ini. Hem, daripada menganggur, lebih baik
aku mencari makanan saja. Kalau biasanya Kang
Sumarta pulang aku sudah menyediakan maka-
nan, kali ini biar kami makan di sini saja."
Lalu dengan gembira gadis berpakaian putih
agak kusam ini melangkah keluar dengan mem-
bawa jaring besar yang dulu dipergunakan untuk
menangkap kelinci. Sejenak diperhatikan sekeli-
lingnya sebelum memutuskan untuk melangkah
ke arah kiri.
Namun rupanya, Sumiati sedang bernasib sial.
Karena sejak tadi dia belum juga menemukan ke-
linci-kelinci yang diburunya.
"Wah! Pada kemana mereka ya? Pada bersem-
bunyi barangkali," katanya sambil garuk-garuk
kepalanya.
Tetapi bagi seorang gadis yang memiliki watak
keras karena tempaan alam, tak membuat Sumiati
berputus asa. Dia terus melangkah mencari kelinci
yang siap diburunya.
Bahkan dia sudah semakin jauh masuk ke dae-
rah Jurang Trah Gering. Tepat matahari di atas
kepala, dihentikan langkahnya di antara jajaran
pepohonan.
"Waduh! Kok belum ada juga ya?" desisnya mu-
lai sebal. Tapi lagi-lagi kekerasan hatinya memu-
tuskan untuk terus mencari buruannya.
Mendadak didengarnya suara riang burung-
burung. Seketika kepalanya ditegakkan.
"Wah! Yang banyak justru burung. Tapi sayang,
aku tak membawa perangkap untuk menangkap
burung. Ya sudahlah, lebih baik aku meneruskan
mencari kelinci."
Masih membawa pandangan untuk melihat be-
berapa ekor burung yang beterbangan, Sumiati di-
am-diam menelan ludahnya. Perutnya sudah mu-
lai merasakan lapar.
Dan mendadak saja kening gadis ini berkerut
tatkala pandangannya membentur pada sebuah
benda yang menggantung di sebuah pohon. Bila
saja benda itu tak memancarkan sinar kehitaman,
mungkin Sumiati tak akan melihatnya.
"Lho, Iho... benda apa itu yang bercahaya kehi-
taman?" desisnya dengan kening makin berkerut.
"Berjuntai-juntai seperti... sebuah kalung. Kalung?
Ah, mana ada kalung di sini? Kalaupun memang
itu kalung, siapa yang iseng telah membuangnya?"
desisnya pada diri sendiri.
Lalu perlahan-lahan dia melangkah mendekati
pohon di mana benda yang pancarkan sinar hitam
itu dilihatnya.
"Wah! Betul kalung itu! Ih! Bagus sekali! Siapa
ya yang memilikinya?" desisnya lagi.
Untuk sesaat Sumiati melupakan perutnya yang
mulai kelaparan. Karena ada dorongan untuk
mengetahui secara jelas benda yang dilihatnya,
gadis jelita ini segera melemparkan perangkap ke-
linci yang dibawanya.
Lalu dengan cekatan dan tanpa dirundungi rasa
ngeri sedikit pun, dia sudah naik ke pohon itu. Ge-
rakannya sangat lincah. Dalam tempo yang singkat, Sumiati sudah berada di dahan pohon di ma-
na benda bersinar kehitaman dilihatnya.
"Memang kalung!" serunya gembira. "Sinar hi-
tam itu terpancar dari bandulnya. Ah, siapa ya
yang memilikinya? Kalau aku mengambilnya, apa-
kah ini bukan yang disebut pencuri? Menjadi pen-
curi? Mana sudi aku! Tapi...."
Hati gadis ini menjadi bimbang. Ada dorongan
kuat untuk mengambil kalung itu. Di lain pihak,
ada pula perasaan tak ingin memiliki benda yang
bukan miliknya.
"Tapi ya... kan tidak ada yang memilikinya. Se-
tahuku, hanya aku dan Kang Sumarti yang selalu
datang ke Jurang Trah Gering. Mungkin ya.. ka-
lung ini ada yang melemparnya. Sebaiknya, kuam-
bil saja...."
Lalu dengan agak sedikit menggapai, Sumiati
memegang bandul kalung itu. Begitu dipegang,
tangannya seketika seperti pancarkan sinar kehi-
taman. Sesaat kelihatan gadis ini menjadi tegang.
Tetapi dorongan untuk memiliki kalung itu semakin
kuat melingkupinya.
Dengan susah payah akhirnya dia berhasil
mengambil kalung itu. Dan diperhatikannya den-
gan seksama.
"Ih! Bagus sekali! Rantainya terbuat dari rantai
berwarna hitam kecil-kecil. Juga... oh!"
Seperti disengat kalajengking, mendadak saja
gadis jelita ini melepaskan kalung itu hingga jatuh
ke tanah. Seharusnya, gerakan jatuhnya kalung
yang tak seberapa berat itu, tak akan menimbul-
kan suara letupan. Tapi begitu kalung itu terhempas ke tanah, terdengar letupan kecil yang mem-
buat tanah itu memburai ke udara.
Masih berada di dahan yang didudukinya, ken-
ing Sumiati berkerut.
"Aneh!" desisnya tanpa sadar.
Lalu terburu-buru dia turun. Kali ini dia tak be-
rani untuk segera mengambil kalung yang masih
pancarkan sinar kehitaman. Dia hanya berdiri
dengan perasaan waswas sejarak tiga langkah dari
kalung itu.
"Kalung yang entah milik siapa itu memang in-
dah. Tapi, bandulnya.... Ih! Kok yang tergambar di
sana mengerikan sekali. Sebuah wajah. Wajah...."
Tanpa sadar Sumiati palingkan kepalanya ke
belakang, lalu ke sekelilingnya. Setelah diyakini
tak ada sesuatu yang menakutkan, dia mene-
ruskan jalan pikirannya.
'Seperti wajah setan," desisnya kemudian. "Ih!
Seram ah!"
Lalu gadis ini memutuskan untuk segera me-
ninggalkan tempat itu, meninggalkan kalung yang
pada bandul nya terlihat wajah penuh taring den-
gan sepasang mata memerah. Segera diambilnya
perangkap kelinci yang tadi di dilemparnya.
Dia merasa lebih baik kembali ke gubuk. Kha-
watir kalau kakaknya sudah tiba di sana dan ce-
mas mencarinya.
Namun baru saja dia melangkah dua tindak,
mendadak saja gadis ini berdiri tegak. Kepalanya
tegak dengan langit. Dan laksana sebuah robot,
mendadak saja Sumiati gerakkan tubuhnya meng-
hadap kalung itu kembali.
"Aneh, apa yang terjadi?" desisnya sambil beru-
saha membalikkan tubuhnya lagi. Tetapi, hanya
ada hasratnya belaka tanpa bisa dilakukannya.
Dan mendadak dilihatnya sinar hitam yang
memancar dari kalung berwajah setan itu, membe-
sar. Langsung melingkupinya yang menggigil keta-
kutan namun tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan
berteriak saja pun tidak.
Cukup lama sinar hitam itu menyelimuti selu-
ruh tubuhnya. Setelah menghilang, terlihat paras
Sumiati menegang. Dan dengan gerakan kaku, ga-
dis yang semula hendak meninggalkan tempat itu,
justru mendekati kalung yang tergeletak di atas
tanah.
Rasa ngerinya tadi mendadak sontak lenyap be-
gitu saja. Bahkan dengan enaknya Sumiati me-
mungut kalung itu. Memperhatikannya sejenak.
Bibirnya tersenyum saat memasukkan kalung itu
pada kepalanya dan membiarkan kalung itu kini
melingkar di lehernya.
Saat dia palingkan kepala, terlihat sepasang
matanya memerah mengerikan!
***
3
Pada saat yang bersamaan, Sumarta sedang
berteriak memanggil adiknya di sekitar gubuk itu.
Di depan gubuk, telah terdapat potongan kayu
yang diikat menjadi satu.
"Ati! Sumiati!" serunya dengan kedua tangan
membentuk corong.
"Ah, ke kemana itu anak? Ati! Di mana kau?
Ati!!"
Tetap tak ada sahutan apa-apa. Perasaan Su-
marta menjadi tidak enak sekarang.
"Bandel! Ke mana dia? Ah, tak seharusnya dia
kuizinkan untuk ikut tadi," desisnya agak jengkel.
Dia kembali berteriak. Tetapi tak ada sahutan
apa-apa. Sumarta akhirnya memutuskan untuk
mencari adiknya dan terus berteriak memanggil.
Justru yang terdengar kemudian satu suara,
"Lho, lho! Kenapa berteriak? Mau jadi tarzan ya?"
Seketika pemuda gagah ini palingkan kepalanya
ke kanan. Keningnya berkerut melihat seorang
pemuda berambut gondrong acak-acakan sedang
nyengir tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Siapa pemuda itu?" pertanyaan itulah yang
pertama kali terlontar di hati Sumarta. Karena, se-
lama dia mendatangi Jurang Trah Gering, sekali
pun dia belum pernah berjumpa dengan orang lain
kecuali adiknya sendiri.
Pemuda yang menyapanya dan memiliki sepa-
sang alis hitam legam menukik laksana kepakan
sayap elang, nyengir lagi, "Busyet! Kenapa melotot
begitu? Kau pikir aku ini seorang gadis ya?"
"Aneh! Siapa dia? Ucapannya konyol sekali, tapi
bernada jenaka?" kata Sumarta dalam hati dan be-
lum membuka mulut.
Lagi-lagi pemuda berpakaian hijau pupus yang
di lehernya melilit kain bercorak catur buka mulut
sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal,
"Kenapa sih melihati ku seperti itu? Ada yang aneh
ya?"
Tanpa sadar Sumarta menggelengkan kepa-
lanya. Masih menatap si pemuda dia berkata,
"Siapakah Saudara sebenarnya?"
"Aku? Aku yang kau maksud?" si pemuda me-
nunjuk dirinya sendiri. "Namaku Andika. Yah...
aku cuma kebetulan saja tertarik melihat tempat
ini dari atas tadi. Makanya, aku segera mendatan-
ginya. Kali-kali saja ada cewek cantik nganggur."
"Dia berucap seperti tak dipikirkan lebih dulu.
Gayanya urakan sekali. Tapi kilatan matanya yang
jenaka membuatku yakin kalau dia bukanlah
orang jahat."
Habis membatin demikian, Sumarta tersenyum,
"Namaku Sumarta."
"Nama yang bagus. O ya, siapa sih yang kau ca-
ri? Kok berteriak-teriak seperti tarzan begitu?"
"Aku sedang mencari adikku."
"Sumiati?" '
"Oh! Kau mengenalnya? Di mana dia?" sahut
Sumarta segera dengan pandangan berbinar.
"Mengenalnya? Ya, tidak!"
"Tapi bagaimana kau bisa tahu?"
"Memangnya telingaku tuli! Kan aku mendengar
kau berteriak menyebutkan nama adikmu!" sahut
si pemuda sambil nyengir.
Sumarta cuma mengangguk-anggukkan kepa-
lanya. Lalu katanya, "Maaf, aku tak bisa mene-
ruskan pembicaraan ini lebih lama. Aku harus
mencari adikku. Bila hari mulai senja, kemungki-
nan besar akan sulit menemukannya."
Pemuda berpakaian hijau pupus yang memang
Andika alias Pendekar Slebor, angkat sepasang
alisnya. Pemuda urakan dari Lembah Kutukan ini
kemudian berkata,
"Bagaimana bila aku membantumu menca-
rinya? Kebetulan sekali aku lagi tak punya kerjaan
nih."
Sejenak Sumarta memandangi dulu si pemuda
sebelum menganggukkan kepalanya. Kejap beri-
kutnya keduanya sudah melangkah.
Sumarta berteriak memanggil nama adiknya.
Pendekar Slebor ikut-ikutan dengan gaya urakan-
nya.
Tapi sampai sejauh itu, belum ada tanda-tanda
kalau Sumiati telah ditemukan.
Di sebuah jalan setapak, Sumarta menghenti-
kan langkahnya. Dia tiba pada satu pikiran baru.
"Apakah tak mungkin kalau adikku sudah pu-
lang lebih dulu?"
Andika merasa pertanyaan itu ditujukan pa-
danya. Makanya dia menyahut, "Maksudmu pu-
lang ke mana?"
"Ke rumah."
"Memangnya kalian tinggal di sini?"
Sumarta menggeleng.
"Dulu, kami pernah tinggal di sini. Tapi seka-
rang kami tinggal di dusun Gelagah."
"Maksudmu, dia sudah kembali kedusun Gela-
gah?"
Sumarta mengangguk-anggukkan kepalanya.
Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal.
"Karena aku sudah memutuskan untuk mem-
bantumu, bagaimana bila kau mengecek saja
adikmu di rumah. Biar aku yang meneruskan
mencarinya?"
Mendengar usul itu, Sumarta menatap dalam-
dalam pada Andika. Andika mendengus begitu
menyadari kalau pandangan pemuda tanpa pa-
kaian itu sekarang mengandung kecurigaan.
"Kutu landak! Kok dia curiga begitu sih? Apa
tampang kerenku ini seperti orang pesakitan?"
dengusnya dalam hati.
Lalu dilihatnya kepala Sumarta menggeleng.
"Bukannya aku tidak setuju dengan usulmu, te-
tapi, aku masih berkeinginan mencari adikku
sampai ketemu."
"Itu lebih baik. Ayo, kita teruskan langkah lagi!"
ajak Andika dan sambil melangkah dia mendumal,
"Monyet pitak! Jadi aku nih yang punya urusan?
Padahal perutku sudah kelaparan banget! Huh!
Lagi pula mau apa sih aku tertarik datang ke tem-
pat seperti ini? Tapi ya... dari atas sana tempat ini
sangat bagus. Lagi pula, tak ada salahnya aku
membantu pemuda ini mencari adiknya...."
Mereka meneruskan langkah kembali dan sese-
kali berteriak. Andika sengaja kerahkan tenaga da-
lamnya agar teriakannya terdengar sampai jauh.
Tapi tepat senja mulai datang, mereka belum juga
menemukan di mana Sumiati berada.
Andika mulai merasa tidak enak melihat kete-
gangan yang menyelimuti wajah Sumarti.
"Sejak hari masih siang tadi, sudah sulit mene-
mukan di mana gadis bernama Sumiati berada.
Dan sudah barang tentu di hari yang mulai gelap
ini akan semakin sulit. Hem, apa yang harus kula-
kukan sekarang?"
Untuk beberapa saat anak muda dari Lembah
Kutukan ini terdiam memikirkan cara terbaik. Dili-
riknya Sumarta yang kian gelisah.
Lalu katanya, "Sumarta, sebaiknya kita jalan-
kan usulku yang pertama tadi. Kau pulanglah, ba-
rangkali adikmu memang sudah pulang sebenar-
nya."
Kali ini Sumarta tidak membantah seperti tadi.
Seraya anggukkan kepala dia berkata, "Terima ka-
sih atas niat baikmu, Andika. Ya, aku akan segera
pulang. Besok pagi, kau datanglah ke tempat kami
di dusun Gelagah."
Andika menganggukkan kepala.
Lalu dilihatnya Sumarta sudah balikkan tubuh
dan siap melangkah. Namun baru lima tindak pe-
muda itu melangkah, mendadak saja terdengar
suara, "Kang Marta!!"
Serta-merta Sumarta balikkan tubuh. Dilihat-
nya Sumiati keluar dari balik ranggasan semak be-
lukar sambil tersenyum. Separuh gembira dan ge-
mas, pemuda itu menyambut kedatangan adiknya
dengan seruan,
"Ati! Kau hampir saja membuat copot jantung-
ku! Ke mana saja kau?"
Gadis jelita berkuncir dua itu tersenyum.
"Untungnya masih belum copot, kan?"
"Kau ini! Ayo, kita segera pulang!" kata Sumar-
ta, lalu berkata pada Andika, "Andika, secara tidak
langsung kau memang telah membantuku. Sudi
kah kau untuk mampir ke tempatku?"
Andika tersenyum dan sesekali melirik Sumiati
yang sedang tundukkan kepalanya.
"Busyet! Cantik amat! Rugi berat nih kalau ti-
dak mampir! Tapi ya... harus tahan diri dulu dong.
Bisa berabe kalau ketahuan ada maunya."
Sambil cengengesan anak muda dari Lembah
Kutukan ini berkata, "Aku masih ingin berada di
sini. Mungkin besok aku akan mendatangimu...."
Lalu sambungnya dalam hati, "Untuk melihat dara
jelita yang aduhai itu."
Sumarta cuma menganggukkan kepalanya. Lalu
berkata pada adiknya, "Ayo, Ati! Kita bisa tersesat
karena sebentar lagi malam akan datang."
"Kakang marah padaku?" tanya adiknya tanpa
berani angkat kepala.
Sumarta menghela napas pendek. "Sudahlah.
Tidak apa-apa."
"Aku... aku tadi, bermaksud mencari kelinci un-
tuk kita panggang, Kakang. Dan aku...."
"Sudahlah. Ayo!" putus Sumarta. Setelah ang-
gukkan kepala pada Pendekar Slebor, pemuda itu
menarik tangan adiknya untuk mengikutinya.
Tinggal Andika yang memperhatikan kepergian
kedua kakak beradik itu.
"Wah! Nasibku lagi beruntung rupanya! Ada ce-
wek cakep kayak begitu! Ya, lebih baik aku...."
Mendadak saja Andika putuskan ucapannya.
Sepasang matanya yang tajam mendadak saja me-
nyipit, tatkala melihat sosok Sumiati yang kemu-
dian lenyap bersamaan lenyapnya tubuh Sumarta
di balik ranggasan semak.
Untuk beberapa saat anak muda urakan ini
hanya terdiam, mencernakan apa yang baru saja
dilihatnya.
"Aneh!" desisnya kemudian. "Sejak tadi, aku tak
melihat ada cahaya hitam pada leher gadis berna-
ma Sumiati itu. Tapi barusan, ada pendaran ca-
haya hitam yang begitu kuat? Lho, lho... dari mana
asal cahaya hitam itu?"
Tak tahu harus menjawab apa dari pertanyaan-
nya sendiri, anak muda ini garuk-garuk kepalanya
yang tidak gatal.
"Benar-benar busyet! Kok aku jadi penasaran
ingin mengetahui dari mana asalnya cahaya hitam
itu? Apakah gadis itu menyembunyikan sesuatu di
balik pakaiannya? Ih! Kalau dia memang menyem-
bunyikan sesuatu, ya aku tahu apa yang disem-
bunyikannya? Tapi masa iya sih sampai pancar-
kan sinar hitam seperti yang kulihat barusan?"
Karena rasa penasaran yang mulai menggigil,
akhirnya si Urakan ini memutuskan untuk mengi-
kuti kakak beradik itu.
Sementara itu, Sumarta dan Sumiati sudah tiba
di depan gubuk yang dulu pernah mereka tinggali
selama enam tahun.
Sumarta segera mengangkat kayu-kayu yang te-
lah diikatnya menjadi satu seraya berkata, "Ati!
Kau bawa kapakku itu!"
"Kakang... sejak pagi kita belum makan?" kata
adiknya seperti merengek.
"Nanti saja di rumah kita makan. Bukankah
masih ada persediaan ketela untuk kita makan?"
Sumiati menganggukkan kepalanya.
Sumarta berkata, "Ayo, kau berada di depanku!"
"Ih, Kakang ini! Aku mana bisa menentukan
arah dalam keadaan gelap seperti ini? Sebaiknya,
Kakang saja."
Sumarta tahu kalau saat ini adiknya sedang da-
tang manjanya. Sambil mendengus pelan, dia
mendahului melangkah dengan membawa kayu-
kayu di punggungnya. "Hati-hati!" desisnya.
Sumiati tak menyahut. Dia mengikuti dari bela-
kang dengan membawa kapak milik kakaknya.
Melangkah dengan membawa beban seperti itu
dan dalam keadaan yang cukup gelap, membuat
Sumarta tidak bisa melangkah lebih cepat dari bi-
asanya. Tapi dia juga tak mau kemalaman di Ju-
rang Trah Gering, kendati sebelumnya ada niatan
untuk menginap dulu di gubuknya itu.
Sumiati sendiri terus melangkah mengikuti ka-
kaknya sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Namun la-
ma kelamaan, satu keanehan terjadi. Karena men-
dadak saja terlihat sepasang matanya menatap ta-
jam dan pancarkan sinar merah.
Mulutnya memang terus bernyanyi-nyanyi yang
kali ini dengan perubahan paras yang tegang.
Di leher hingga dadanya, nampak sinar hitam
berpendar mati. Berulangkali dan kemudian me-
lingkupi batas leher hingga dadanya. Dan satu ke-
bencian mendadak saja muncul di hati gadis itu
yang sebenarnya tak tahu mengapa bisa terjadi.
Dari belakang, dilihatnya sosok kakaknya yang
sedang membawa kayu-kayu laksana sosok seo-
rang musuh yang harus dimusnahkan. Dan ke-
bencian itu datang begitu saja.
"Berhenti!"
Sudah tentu Sumarta terkejut mendengar uca-
pan yang dilontarkan dengan nada membentak.
Dia berhenti tetapi tak membalikkan tubuh.
"Kenapa lagi? Ayo, jangan manja!" desisnya se-
raya melangkah lagi.
"Orang tak dikenal! Kataku berhenti!"
Kali ini tubuh Sumarta menegak. Suara itu, bu-
kan hanya begitu keras, tetapi sangat asing di te-
linganya.
Dengan perasaan heran, pemuda gagah ini
membalikkan tubuh. Saat itu pula keningnya ber-
kerut begitu melihat wajah asing pada wajah adik-
nya. Untuk beberapa saat Sumarta menatap tak
mengerti.
"Aneh! Ada apa ini? Mengapa Sumiati kelihatan
begitu garang? Dan matanya... oh! Memancarkan
sinar merah yang mengerikan?" desisnya dengan
perasaan mulai diliputi kegelisahan.
Di hadapannya, adiknya menatap dingin. Mu-
lutnya merapat.
"Ati... ada apa?" tanya Sumarta sambil tenang-
kan gemuruh hatinya.
"Jangan banyak cakap! Aku menginginkan nya-
wamu!!"
"Gila!!" desis Sumarta tersentak. Kayu yang di-
bawanya dilemparkan begitu saja. Dipandangi wa-
jah adiknya dengan seksama. Dilihatnya pancaran
mata yang penuh sinar membunuh pada bola ma-
ta adiknya. "Ati! Sadarlah! Ada apa ini?!"
Sebagai sahutan dari ucapannya, Sumiati justru
angkat kapaknya tinggi-tinggi. Melihat sikap adik
nya yang seperti hendak habisi nyawanya, Sumar-
ta berseru tertahan seraya mundur perlahan-
lahan.
"Sumiati! Kau kenapa? Kenapa?!"
Mendadak adiknya terbahak-bahak keras.
"Gila! Tak pernah Sumiati tertawa seperti itu!
Lagi pula, suaranya bukan suara Sumiati. Oh! Apa
yang telah terjadi? Mengapa adikku jadi seperti
ini?"
Belum lagi dia dapat cernakan apa yang terjadi,
Sumiati telah ayunkan kapak yang dipegangnya.
Laksana seorang penebang kayu yang siap memo-
tong kecil-kecil kayu hasil tebangannya.
***
4
Wiiuut!!
Secara refleks Sumarta bergulingan ke kiri. Na-
mun belum lagi dia berdiri tegak, dengan sorot ma-
ta buas, adiknya sudah memburu ke arahnya se-
raya ayunkan kapaknya.
"Sumiati!!" serunya tertahan sambil berusaha
hindari ayunan kapak adiknya.
Craakk!
Sebuah dahan yang telah patah terpotong men-
jadi dua begitu ayunan kapak tadi mengenainya.
Sumarta buru-buru melompat berdiri.
"Sumiati! Sadarlah! Sadarlah, Adikku!!" serunya
berusaha menyadarkan kekalapan adiknya.
Tetapi adiknya hanya kembangkan senyuman
dingin. Pancaran matanya kian kuat memancar-
kan nafsu membunuh.
"Siapa pun orangnya, dia harus mati di tangan-
ku! Aku haus darah! Haus darah!!"
Lalu dengan ganasnya Sumiati memburu ka-
kaknya dengan kapak yang dipegangnya. Kendati
tak memiliki ilmu apa-apa, tetapi Sumarta adalah
sosok pemuda yang telah ditempa alam. Dengan
pergunakan sebatang kayu, dia berusaha menja-
tuhkan kapak yang dipegang adiknya.
Menyusul dia menyergap dengan maksud agar
adiknya menghentikan tindakan gilanya itu. Na-
mun yang mengejutkan Sumarta, karena tangan
kanan adiknya sudah mengibas. Memukul da-
danya yang tergontai-gontai ke belakang.
Dadanya laksana dihantam godam yang sangat
keras, membuat Sumarta untuk sesaat merunduk
menahan sakit. Dan pemuda tanpa pakaian itu tak
bisa untuk berdiam lebih lama, karena dengan ga-
nasnya Sumiati sudah menerjang.
Astaga! Gadis lembut itu selain mendadak saja
memiliki kekuatan yang besar, juga dapat melom-
pat laksana seekor kijang. Memburu dan siap me-
nyergap Sumarta.
Berteriak Sumarta sambil melompat ke samping
kiri. Kendati berhasil, namun tangan kiri Sumiati
menyerempet bahunya. Akibatnya sosok Sumarta
terlempar dengan deras di atas tanah!
"Darah! Bau darah kucium! Menyenangkan se-
kali!" seru Sumiati dengan suara bergetar.
Di tempatnya, dengan susah payah dan ketakutan yang semakin menjadi-jadi, Sumarta berhasil
bangkit. Dipandangi adiknya dengan tatapan tak
percaya. Apa yang ada di hadapannya ini memang
sulit dipercaya.
Sumarta yakin, kalau semua itu terjadi tanpa
dikehendaki oleh adiknya. Bahkan mungkin tanpa
disadarinya.
Sebelum dia memikirkan lebih lanjut keadaan
yang membingungkannya, mendadak saja terlihat
sinar hitam dari leher dan dada adiknya. Sinar hi-
tam itu lebih terang dari dada Sumiati.
"Gila! Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa
dari balik pakaian adikku ada sinar hitam? Celaka!
Ada apa ini? Ada apa?!"
Lalu dilihatnya, bagaimana Sumiati sambil me-
natap dingin ke arahnya, mengeluarkan sesuatu
dari balik bajunya. Sebuah kalung! Dan dari ka-
lung itulah memancar sinar hitam!
"Astaga! Dari mana dia mendapatkan kalung
itu? Setahuku, Sumiati tak pernah memiliki ka-
lung apa-apa. Apalagi kalung mengerikan yang
pancarkan .sinar hitam itu. Apakah kalung itu
yang menyebabkan Sumiati menjadi buas seperti
itu?"
Semakin tak menentu perasaan Sumarta meli-
hat apa yang melingkar di leher adiknya. Dilihat-
nya bagaimana wajah Sumiati begitu keras, tata-
pannya tajam menusuk.
"Darah! Ya, darahlah yang membuatku dapat
bertahan!" suara aneh yang terdengar agak sengau
itu meluncur dari mulut Sumiati. "Orang muda!
Darahmu pasti segar! Aku menginginkannya!"
Habis ucapan itu terdengar, mendadak sontak
mencelat sinar hitam yang perdengarkan suara
gemuruh dari bandul kalung yang dikenakan Su-
miati.
Seperti telah lenyap sebagian nyawanya Sumar-
ta melihat kejadian yang mengerikan itu. Dia me-
lompat ke samping kanan.
Blaaarrr!! .
Tanah di mana tadi dia berdiri, langsung mem-
bubung tinggi disertai berhamburannya ranggasan
semak. Untuk beberapa saat hari yang sudah di-
masuki malam, kian menggelap. Saat itu pula ter-
cium bau yang sangat amis.
"Celaka! Benar-benar celaka!" desis Sumarta
dengan dada naik turun. Kalaupun tadi pemuda
ini berhasil menyelamatkan diri, itu dikarenakan
dia lebih dulu bergerak dari lesatan sinar hitam
tadi.
Begitu pandangannya dibawa pada tanah yang
tadi terhantam sinar hitam itu, dilihatnya tanah
itu telah membentuk sebuah lubang yang cukup
besar. Makin ciut nyali Sumarta melihat keadaan
ini.
"Aku tak tahu apa yang terjadi. Tetapi, bila aku
berada di sini terus, Sumiati akan tetap membu-
nuhku. Ah, malang nian nasib adikku. Apa yang
sebenarnya telah terjadi? Apakah tindakan kejam-
nya ini karena kalung yang dikenakannya? Lalu
dari mana dia menemukan kalung itu?"
Belum habis dia berpikir, sinar hitam tadi su-
dah melesat kembali. Gelombang angin angker
menggebrak. Kali ini Sumarta mendadak saja seperti kehilangan tenaganya. Bahkan tubuhnya
menggelosoh jatuh terduduk.
Pemuda ini nampak pasrah menghadapi apa
yang akan terjadi.
Namun sebelum sinar hitam yang diiringi gemu-
ruh angin itu menghantam putus nyawanya, men-
dadak saja satu gelombang angin lainnya mengge-
brak dari arah sampingnya. Menabrak sinar hitam
yang mengarah padanya.
Blaaam! Blaaammm!!
Benturan keras yang mengerikan menggema di
malam yang gelap. Sumarta sendiri harus terjeng-
kang ke belakang karena kuatnya pengaruh ben-
turan tadi. Dan sebelum tubuhnya ambruk di atas
tanah, satu sosok tubuh telah menyambarnya.
Menyusul terdengar letupan keras di belakang
Sumarta.
Blaaarrr!
Ranggasan semak yang di belakangnya terdapat
sebuah pohon, langsung rengkah. Menyusul pohon
itu tumbang dengan perdengarkan suara berde-
bam.
"Menyingkir dari sini!" seruan itu menyadarkan
Sumarta dari ketertegunannya.
Lalu dilihatnya orang yang menolongnya itu te-
lah berdiri dua langkah membelakanginya.
"Andika...," desisnya pelan.
Si penolong yang bukan lain anak muda urakan
dari Lembah Kutukan itu, pandangi sosok Sumiati
yang sedang menggeram.
"Monyet pitak! Kecurigaanku ternyata terbukti!
Kini aku tahu, dari mana asalnya sinar hitam yang
kulihat tadi pada punggung si gadis. Dari sebuah
kalung. Gila! Mengapa Sumarta tak pernah menge-
tahui soal kalung itu? Tapi, apakah kalung itu
yang memang sangat berbahaya, atau sesungguh-
nya Sumiati yang mempunyai niatan jahat pada
kakaknya sendiri?"
Gadis berpakaian putih agak kusam yang men-
jadi buas, merandek gusar, "Pemuda berbaju hijau
pupus! Lebih baik menyingkir dari sini sebelum
menyesali keadaan!"
Andika garuk-garuk kepalanya. Dia belum
membuka mulut. Karena masih dipikirkannya apa
yang menyebabkan gadis jelita itu menjadi sede-
mikian buas.
Terdengar lagi suara sengau Sumiati, "Menying-
kir dari sini! Aku menginginkan darah pemuda ga-
gah itu! Baru kemudian darahmu!"
"Enaknya! Memangnya darah monyet main in-
gin begitu saja?!" rutuk Andika dalam hati. Lalu
dia berseru, "Eh! Kau ini siapa sih sebenarnya?
Sumiati atau sebangsa dukun yang menyamar se-
bagai Sumiati?!"
"Persetan dengan ucapanmu itu! Menyingkir!
Atau... kau ingin lebih dulu darahmu habis kuhi-
sap!!"
"Busyet! Enak betul ya main hisap begitu?
Ngomong-ngomong, kau memang bisa membuat
lubang di ubun-ubunku! Lalu dengan mempergu-
nakan sedotan kau bisa menghirupnya seperti se-
buah kelapa muda! Fiuh! Segar betul!"
"Jahanam!!" '
Bersamaan makian yang menggelegar, dari kalung yang dikenakan Sumiati, mendadak saja me-
lesat sinar hitam berkekuatan tinggi.
"Heeiii!!" tersentak anak muda urakan itu sam-
bil dorong tubuh Sumarta ke samping kanan, se-
mentara dia sendiri segera melompat ke samping
kiri.
Blaaammm!!
Untuk kedua kalinya sebuah pohon tumbang
dan keluarkan suara bergemuruh.
Di tempatnya, Andika sipitkan matanya.
"Sinar hitam itu melesat dari kalung yang dike-
nakan Sumiati. Hem, aku yakin, kalau sesung-
guhnya keadaan Sumiati sekarang ini dikuasai
oleh kalung aneh itu. Dan lebih aneh lagi, seper-
tinya Sumarta tak mengetahui soal kalung itu?
Atau..."
Terputus jalan pikiran Pendekar Slebor, karena
sinar-sinar hitam itu kembali melesat ke arahnya.
Kali ini, dengan pergunakan tenaga 'Inti Petir' ting-
kat kelima, Andika menyongsong.
Suara salakan petir terdengar begitu dia gerak-
kan kedua tangannya. Disusul suara keras dua
kali.
"Ugghhh!!"
Sosok Andika terlempar begitu kedua tangannya
memutus sinar-sinar hitam yang mengarah pa-
danya. Dadanya saat itu pula dirasakan sangat
ngilu. Aliran darahnya mendadak jadi kacau. Ke-
palanya pusing tujuh keliling.
Sumiati tertawa sengau.
"Kini, kau akan menyesali karena berani lan-
cang campuri urusanku!"
"Suaranya pun berubah dari suara yang sebe-
lumnya kudengar. Sudah jelas kalau dia dikuasai
oleh kalung itu. Kalung Setan! Monyet buduk!
Kambing bunting! Landak bau! Kalau begitu, aku
harus merebut kalung yang dikenakannya!!"
Sementara Sumarta hanya terduduk dengan
napas terengah dan perasaan tak menentu sambil
pandangi keadaan adiknya.
Perlahan-lahan Andika melangkah dua tindak
ke depan. Pandangannya tajam tak berkedip. Ada
rasa ngeri di hatinya yang mendadak muncul.
"Untuk mendapatkan kalung itu, sudah tentu
tak akan mudah. Tapi, bila aku tak mendapatkan-
nya, urusan akan jadi kapiran! Peduli kerbau gila!
Aku harus mencobanya!"
Berpikir demikian, Andika segera kerahkan te-
naga 'Inti Petir' tingkat pamungkas. Dengan me-
namengkan diri seperti itu, anak muda ini mener-
jang ke depan, dengan maksud untuk menyambar
Kalung Setan yang menggantung di leher Sumiati.
Dan seperti yang sudah diperkirakannya, anak
muda ini tak mudah melakukan maksud. Karena
mendadak saja gumpalan asap hitam yang tebal
mendadak menyembur dari kalung yang pancar-
kan sinar hitam itu.
Seketika Andika dikerubungi oleh asap-asap
tebal yang pekatkan mata. Serta merta anak muda
urakan ini menjadi kelabakan dan berusaha mem-
bebaskan diri dari kungkungan asap-asap hitam
itu.
"Kutu landak! Kalau mau serang pakai asap be-
gini, bilang-bilang dong! Kan aku bisa memejamkan mataku dulu!" serunya konyol dalam kung-
kungan asap hitam itu.
Dua kejapan mata kemudian, pemuda yang di
lehernya melilit kain bercorak catur ini sudah ber-
hasil loloskan diri dari kungkungan asap hitam
itu. Dia terbatuk-batuk seperti kakek yang tua
renta.
Di depan, bibir Sumiati pentangkan senyum
dingin.
"Itulah akibat dari kebodohan yang kau laku-
kan!!"
Andika meleletkan lidahnya dengan sesekali
terbatuk.
"Mau bodoh kek, pintar kek, itu urusanku! Apa
urusannya denganmu, hah?!" selorohnya asal. Ta-
pi dia menyambung dalam hati, "Gila! Seluruh tu-
buhku terasa dingin sekali. Ada kekuatan dingin
yang mencoba matikan aliran darahku. Tentunya
ini akibat asap-asap hitam tadi. Kerbau dungu!"
Segera saja Pendekar Slebor alirkan hawa panas
ke sekujur tubuhnya untuk tindih rasa dingin
yang membuatnya bisa membeku. Bersamaan dia
sedang alirkan hawa panas ke seluruh tubuhnya,
asap-asap hitam itu menyembur kembali dari ka-
lung yang dikenakan Sumiati.
Kali ini ke arah Sumarta yang sedang memper-
hatikan sosok adiknya dengan pandangan sedih.
Dan pemuda gagah ini benar-benar dirundung
kepedihan yang dalam. Karena dia tak melakukan
gerakan apa-apa sebagai tanda hindari ganasnya
asap-asap hitam itu.
Justru Andika yang melotot.
"Dungu!" hardiknya tanpa sadar seraya melom-
pat ke arah Sumarta. Sambil kibaskan tangannya
yang mengandung tenaga 'Inti Petir' tangan kirinya
telah menyambar sosok Sumarta.
Begitu berhasil menyambar Sumarta, terdengar
letupan keras dua kali. Beruntun, yang disusul
dengan tumbangnya dua buah pohon!
Andika sendiri yang masih merasakan dingin
pada sekujur tubuhnya, harus melompat kembali
karena asap-asap hitam itu sudah menggebrak la-
gi. Disusul dengan sinar-sinar hitam yang memba-
bi buta, disertai tawa sengau Sumiati.
"Monyet buduk! Bisa konyol kalau begini! Dalam
keadaan tubuh yang terus dingin seperti ini, sulit
bagiku untuk menghadapi Sumiati. Ah, memang
malang nasib gadis itu. Lebih baik, aku menyingkir
saja dulu!"
Tetapi hal itu pun tak mudah dilakukannya.
Masih dengan membawa tubuh Sumarta, anak
muda urakan ini terus menghindar dan sesekali
mencoba memapaki dengan tenaga 'Inti Petir'.
Hingga satu kesempatan pun didapatnya. Den-
gan pergunakan ilmu peringan tubuhnya yang ke-
sohor, si Urakan ini segera berkelebat menjauh
sambil membopong tubuh Sumarta.
Tetapi bukannya senang karena diselamatkan
orang, Sumarta justru berteriak-teriak kalap, "Le-
paskan aku! Lepaskan! Aku ingin bersama adik-
ku!"
"Sumarta!" seru Andika yang sekarang mempu-
nyai pikiran lebih baik menjauh dulu ketimbang
urusan jadi berantakan. "Dia memang adikmu!
Tapi sekarang ini, dia bukan adikmu!"
"Aku tak peduli! Lepaskan aku! Lepaskan!"
"Eh, kok kepala batu betul ya orang ini? Ra-
sanya ingin kujitak saja!" dengus Andika dalam
hati. Lalu serunya, "Pergunakan akal sehatmu!
Untuk saat ini, kita lebih baik menghindar dulu!
Dan berpikir bagaimana caranya menyelamatkan
adikmu!"
Sumarta terus berteriak keras.
Kembali ke tempat semula, Sumiati menggeram
dingin. Kalung yang bandulnya bergambar sebuah
wajah yang mengerikan itu, kini pendarkan sinar
hitam.
"Keparat! Aku harus mencari darah! Darah!!"
Kejap berikut, setelah keluarkan dengusan be-
rat, dengan gerakan laksana angin, gadis jelita
yang berubah menjadi kejam akibat pengaruh Ka-
lung Setan itu, segera meninggalkan Jurang Trah
Gering yang makin gelap diselimuti malam.
***
5
Hari ini siang meranggas. Debu-debu beterban-
gan dihembus angin yang membawa udara panas.
Saat ini matahari tepat berada di atas kepala.
Sebuah ranggasan semak yang terdapat di se-
buah hutan kecil, menyibak. Menyusul munculnya
satu sosok tubuh berpakaian merah. Sosok lelaki
berusia lanjut ini hentikan langkahnya dua tombak dari ranggasan semak tadi.
Pandangannya dibawa ke kejauhan, menatap
panas yang semakin kuat mendera bumi.
"Beruntung karena aku telah berhasil melewati
tempat celaka itu! Bila tidak, bisa-bisa tubuhku
akan terpanggang!" desis kakek ini yang tak lain
Datuk Merah.
Lalu diperhatikan sekelilingnya yang dipenuhi
ranggasan semak belukar.
"Jurang Trah Gering sudah tak jauh lagi. Sete-
lah melewati hutan ini, aku sudah langsung me-
nemukan Jurang Trah Gering. Huh! Kendati aku
tak sepenuhnya mempercayai ucapan Datuk Biru,
tetapi aku dapat membuktikannya lebih dulu."
Kakek berwajah tirus dengan kalung berbandul
taring ini keluarkan dengusan berat, tanda kema-
rahan masih menggumpal di dadanya.
"Sungguh celaka Datuk Biru! Bila saja dulu dia
menyerahkan Kalung Setan ketika aku minta, se-
mua urusan tak akan jadi begini! Tapi, semuanya
sudah terjadi! Dan aku tak pernah menyesalinya!
Karena dengan kata lain, kakek celaka itu telah
menginjak harga diriku habis-habisan!"
Mendadak saja Datuk Merah gerakkan tangan
kanannya ke depan. Wuuuuttt!!
Satu gelombang angin menghampar menyeret
ranggasan semak belukar dan berakhir setelah
menghajar sebuah pohon yang langsung gugurkan
seluruh dedaunannya.
"Dia harus mampus! Harus mampus!" serunya
dengan napas terengah-engah. Menyusul dia me-
maki lagi, "Terkutuk! Mengapa harus dia yang pertama kali menemukan kalung itu? Keparat! Sam-
pai hari ini aku tidak tahu bagaimana kalung itu
bisa berada di sana, dan siapakah pemilik yang se-
sungguhnya! Peduli setan dengan semua itu! Aku
ingin memilikinya!!"
Sepasang mata kakek berwajah tirus ini mena-
tap tajam, tanpa kedip. Untuk saat ini dia tak tahu
apa yang ditatapnya, tetapi jelas tergambar kalau
kebenciannya pada Datuk Biru makin menjadi-
jadi.
"Huh! Lebih baik aku segera bergerak kembali!
Aku harus mendahului Datuk Biru tiba di Jurang
Trah Gering! Dengan cara bagaimana aku bisa
menemukan kalung itu, aku tak peduli!"
Setelah keluarkan dengusan keras, Datuk Me-
rah segera berkelebat kembali. Gerakan kakek ini
sangat lincah. Bahkan terlihat kalau kedua ka-
kinya sama sekali tak menginjak tanah.
Sepenanakan nasi telah dilaluinya dengan cepat
dan tiga kejapan mata berikutnya, kakek yang
memiliki dendam pada sahabatnya sejak muda itu,
kini telah tiba di luar hutan yang tadi dilewatinya.
Tak ada dengusan napas terengah yang terden-
gar saat dia hentikan langkahnya. Pandangannya
disapu ke sekelilingnya. Panas tak lagi terlalu
menggigil, karena nampak senja sebentar lagi akan
datang.
Sepasang mata tajam Datuk Merah mendadak
saja melotot ke samping kiri begitu melihat bayan-
gan biru berkelebat dengan cepat.
"Terkutuk!!" makinya geram begitu menyadari
siapa adanya orang yang berkelebat. "Datuk Biru!
Keparat betul! Kehadirannya di sini, semakin
membuatku yakin kalau dia memang mengetahui
di mana Kalung Setan berada! Bisa jadi kalung itu
memang ada di salah satu tempat di Jurang Trah
Gering, dan dialah yang menyimpannya, bukan
melemparnya. Setan keparat!!"
Hati Datuk Merah semakin digumpal kemara-
han tinggi begitu tiba pada pikiran seperti itu.
Mendadak kaki kanannya dihentakkan di atas
tanah, yang seketika membuat tanah itu mem-
buyar setinggi paha.
"Setan terkutuk!" geramnya. "Sebaiknya, ku-
buntuti saja kakek keparat itu!"
Kejap itu pula Datuk Merah sudah berkelebat
ke arah perginya Datuk Biru.
Sejarak dua puluh langkah, kakek berpakaian
biru terus berkelebat cepat dan tak lama kemu-
dian dia tiba di sisi kanan atas dari Jurang Trah
Gering. Di tempat itu dihentikan langkahnya.
Sesaat dia tarik napas pendek sebelum mem-
bawa pandangannya ke sekitar Jurang Trah Ger-
ing yang dipenuhi pepohonan.
"Aku ingat betul, tiga puluh tahun yang lalu, da-
ri sisi kanan Jurang Trah Gering di tempat inilah
kulempar Kalung Setan. Entah di mana jatuhnya
kalung itu."
Datuk Biru hentikan desisannya. Hatinya terasa
tidak enak memikirkan kalau dia harus cepat
mendapatkan Kalung Setan. Terutama, bila dia tak
mendapatkannya, maka Datuk Merah akan terus
memburunya.
"Sesungguhnya, aku tak ingin mendapatkan Kalung Setan. Biarlah kalung laknat itu terkubur en-
tah di mana. Karena... aku sendiri merasa pernah
dikuasai oleh kalung celaka itu tiga puluh tahun
yang lalu. Masih beruntung aku dapat pergunakan
hawa murniku untuk mengusir pengaruh kejam
Kalung Setan. Ah, keadaan memang sudah tak bi-
sa ditanggulangi lagi. Satu-satunya jalan, aku
memang harus menemukan kalung itu sebelum
didahului oleh Datuk Merah."
Teringat akan sahabatnya sejak muda, kakek
berpakaian biru ini menggeleng-gelengkan kepa-
lanya.
"Sungguh tak kumengerti, bagaimana Datuk
Merah bisa bersikap seperti sekarang? Dia begitu
menggebu-gebu untuk mendapatkan Kalung Se-
tan, bahkan bersiap untuk mencabut nyawaku.
Ah, entah apa jadinya bila dia memang memiliki
kalung itu dan dikuasai oleh Kalung Setan?"
Kali ini sambil geleng-gelengkan kepalanya, Da-
tuk Biru menghela napas masygul.
Di balik ranggasan semak sejarak dua puluh
langkah, Datuk Merah menggeram pendek.
"Jahanam sial! Mengapa dia masih berdiri di
tempat itu? Mengapa tak segera menuruni Jurang
Trah Gering untuk mencari kalung yang katanya
dilemparnya ke jurang itu tiga puluh tahun lalu?
Celaka keparat! Aku sudah tak sabar untuk memi-
liki Kalung Setan! Tapi untuk saat ini, biarlah ku-
tahan dulu keinginanku. Akan kuikuti ke mana
dia pergi."
Sementara itu di tempatnya, Datuk Biru men-
desis lagi, "Saat ini senja sudah datang. Tak lama
lagi malam tentunya akan tiba dan menyelimuti
seisi Jurang Trah Gering. Dalam kegelapan, sangat
sulit bagiku untuk menemukan Kalung Setan. Ta-
pi, dalam keadaan terang pun aku belum tentu bi-
sa menemukannya. Karena, aku sendiri tak tahu
di mana jatuhnya Kalung Setan setelah kulempar
tiga puluh tahun yang lalu."
Kakek ini terdiam kembali. Pikirannya terus
mencoba mengingat-ingat di mana kira-kira jatuh-
nya kalung yang akan dicarinya. Tetapi semakin
dipikirkan, perasaan Datuk Biru semakin tak me-
nentu. Dia mencoba berpikir, menimbang dan
memutuskan.
Sampai terlihat kepalanya digeleng-gelengkan.
"Sebaiknya, aku mencari kalung itu besok pagi
saja. Dengan bantuan sinar matahari, kuharap
aku tak akan banyak menemukan kesulitan."
Memutuskan demikian, Datuk Biru perhatikan
sekelilingnya. Lalu berkelebat ke arah timur.
Di balik ranggasan semak belukar, Datuk Me-
rah melengak dengan kening berkerut.
"Aneh! Mengapa dia tak segera menuruni Jurang
Trah Gering? Apakah dia tahu kalau aku mengun-
titnya dan mencoba mengambil keuntungan da-
rinya?" Datuk Merah terdiam sejenak sebelum lan-
jutkan desisannya, "Jangan-jangan... dugaanku
memang tepat. Kalau dia tak melempar Kalung Se-
tan ke Jurang Trah Gering, melainkan menyim-
pannya di satu tempat. Kalaupun dia mendatangi
tempat ini, dia mencoba untuk kelabuiku. Setan
keparat! Beruntung aku masih bisa melihatnya!!"
Habis berpikir demikian, Datuk Merah segera
berkelebat menyusul Datuk Biru. Gerakan yang di-
lakukannya sangat cepat sekali. Hati kakek berwa-
jah tirus ini semakin dibuncah kemarahan tinggi.
Dia tak akan pernah memaafkan sahabatnya itu,
yang telah menyakiti hatinya dan mengalahkannya
tiga puluh tahun yang lalu. .
Datuk Merah memang masih sempat melihat
bayangan biru di kejauhan. Namun dua kejapan
mata berikutnya, dia hentikan larinya dengan ke-
pala menegak.
"Terkutuk!" semburnya kemudian dengan mata
membelalak. "Ke mana kakek celaka itu seka-
rang?!"
Dipicingkan matanya untuk menangkap kemba-
li bayangan biru yang sebelumnya dilihatnya. Te-
tapi bayangan Datuk Biru benar-benar lenyap dari
pandangannya.
"Setan! Setan! Setan! Dimana manusia celaka
itu?" dengusnya sengit dengan mata pancarkan si-
nar penuh bara. "Keparat! Menilik keadaan seka-
rang, jelas kalau dia tahu aku membuntutinya!
Huh! Makin kuat keinginanku untuk membunuh-
nya! Kelak, kudapatkan atau tidak kalung itu, dia
akan tetap kubunuh!!"
Datuk Merah kepalkan tinjunya kuat-kuat den-
gan mata pancarkan sinar berbahaya. Dia makin
merasa dipermainkan oleh Datuk Biru.
"Peduli sejuta setan!" desisnya geram. "Lebih
baik, aku segera kembali ke tempat semula! Tapi
tak segera kuturuni Jurang Trah Gering! Siapa ta-
hu kakek celaka itu akan datang lagi ke sana!!"
Memutuskan demikian dan membawa kemara
han tinggi Datuk Merah kembali ke tempat semu-
la.
Tetapi apa yang diduga oleh Datuk Merah ber-
lainan sekali dengan kenyataannya, karena Datuk
Biru sesungguhnya tidak mengetahui kalau dia di-
ikuti. Bukan dikarenakan Datuk Biru memiliki il-
mu rendah hingga tak mengetahui dibuntuti
orang. Tapi orang yang membuntutinya memiliki
ilmu tak jauh berbeda dengannya bahkan sambil
berkelebat telah kerahkan ilmu peringan tubuh.
Kalaupun mendadak saja Datuk Biru lenyap da-
ri pandangan Datuk Merah, ini disebabkan karena
Datuk Biru tiba-tiba melompat ke balik ranggasan
semak. Karena, tempat itulah yang dirasakan cu-
kup aman dan terlindung hingga dia bisa bebas
beristirahat sambil memikirkan langkah selanjut-
nya.
"Kalung Setan...," desis si kakek yang kini su-
dah duduk bersemadi di bawah sebatang pohon.
Beberapa helai daun pohon itu gugur dan terbang
dibawa angin senja. Datuk Biru usap jenggot pu-
tihnya dengan perasaan tak menentu. "Entah
mengapa, aku bukan hanya menangkap satu isya-
rat yang diberikan oleh Datuk Merah. Tapi ku-
tangkap peristiwa yang lebih mengerikan yang
akan ditimbulkan oleh Kalung Setan. Ah, entah
apa jadinya bila seseorang mendapatkan kalung
itu dan dikuasai olehnya. Sama seperti diriku yang
hampir dikuasai oleh kalung celaka itu. Ah, apa-
kah yang akan terjadi?"
Datuk Biru menghela napas panjang-panjang.
Wajah tuanya yang mendadak sendu, diusap oleh
angin senja.
"Aku akan terus mencari Kalung Setan dan
akan kucoba untuk memusnahkannya...." Berpikir
demikian, Datuk Biru menyesali sedikit tindakan-
nya yang telah membuang kalung itu tiga puluh
tahun lalu. "Mengapa waktu itu tak segera kuhan-
curkan saja Kalung Setan, kendati aku tak tahu
bagaimana caranya. Paling tidak, aku akan men-
guburnya di satu tempat, bukan melemparnya se-
perti yang telah kulakukan dulu."
Kembali kakek ini menghela napas masygul.
"Dan aku tak ingin, apa, yang kukhawatirkan
terjadi...," desisnya sambil rapatkan mata.
Perlahan-lahan kedua tangannya diletakkan di
atas dengkulnya yang duduk bersila. Kejap beri-
kutnya, kakek yang sedang gelisah karena dibun-
cah pikiran tak menentu mi, segera bersemadi un-
tuk menenangkan pikirannya.
***
6
Hamparan pagi telah menyemai lagi bumi ini.
Pagi yang indah dengan dibaluri keriangan bu-
rung-burung yang beterbangan, sebenarnya dapat
memancing pesona yang sukar ditepiskan oleh
orang-orang yang menikmati panorama pagi.
Tetapi, dua pemuda yang berusia tak jauh ber-
beda satu sama lain, tak bisa menikmati keinda-
han itu. Mereka berada di sebuah tempat yang sepi
dan dikelilingi oleh pepohonan.
Pemuda yang berdiri tegak yang sebelumnya
perhatikan sekelilingnya, membawa pandangannya
pada pemuda yang duduk kuyu bersandar di ba-
tang sebuah pohon. Pemuda berpakaian hijau pu-
pus yang bukan lain Pendekar Slebor adanya, tarik
napas pendek, sebelum mendengus dalam hati.
"Aku tak bisa menyalahkan sikapnya yang pe-
nuh penyesalan seperti sekarang. Tapi ya... kenapa
dia tak pergunakan otaknya sih untuk memikirkan
sikap adiknya yang menjadi kejam seperti itu?"
Pemuda yang duduk bersandar di bawah pohon,
tak keluarkan suara apa-apa. Pandangannya ko-
song, menyiratkan kedukaan yang dalam. Tangan-
nya memainkan sebatang rumput, yang dengan
gerakan simultan seolah tanpa disadarinya, telah
memotek-motek rumput itu sampai habis. Lalu di-
gigit bibirnya dengan perasaan hampa.
Pendekar Slebor mendengus melihat sikap Su-
marta yang seperti kehilangan pegangan.
Dia kemudian berkata, "Sumarta, tak seharus-
nya kau direjam oleh pikiran-pikiran jelek tentang
adikmu. Seharusnya yang kau pikirkan, bagaima-
na caranya mengembalikan adikmu seperti semu-
la...."
Sumarta tidak menjawab. Bahkan sepertinya
dia tak mendengar apa yang dikatakan anak pe-
muda dari Lembah Kutukan itu.
Dan Sikapnya membuat Andika garuk-garuk
kepalanya yang tidak gatal.
"Bagaimana nih caranya untuk mengembalikan
dia seperti semula? Kutu kupret! Jadi bikin urusan
saja!!''
Habis mendumal begitu, pemuda yang di leher-
nya dililit kain bercorak catur berkata lagi, bebera-
pa pertanyaan yang hendak kukemukakan. Aku
ingin kau menjawabnya."
Sumarta mengangkat kepalanya. "Monyet pitak!
Pandangannya begitu kosong, tak terdapat tanda-
tanda kehidupan lagi!" dengus Andika dalam hati.
Setelah dilihatnya kepala Sumarta mengangguk,
dia segera berkata, "Sumarta, memang tak mung-
kin rasanya melihat perubahan yang terjadi terha-
dap diri adikmu bila tanpa sebab yang sangat be-
rarti. Sekarang, jawab pertanyaanku. Apakah kau
pernah melihat kalung yang dikenakan adikmu?"
Masih dengan pandangan kosong, Sumarta
menggeleng.
"Kau yakin itu?"
Sumarta mengangguk.
"Atau kau tidak tahu karena dia tak pernah
menunjukkannya padamu?"
Kembali Sumarta menggeleng.
Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembar Kutu-
kan ini tak segera lanjutkan pertanyaannya. Dia
berharap Sumarta bukan hanya menggeleng atau
mengangguk, tetapi juga memberi jawaban yang
dapat diterimanya.
Kendati agak tidak sabar menunggu, Andika
mencoba bertahan untuk tak lanjutkan tanyanya.
Setelah beberapa lama, dilihatnya Sumarta ber-
gerak. Terlontar kata-katanya, agak gemetar "Aku
yakin... kalau Sumiati tak pernah memiliki kalung
seperti itu. Dia tak pernah menyembunyikan sesuatu dariku. Apapun yang akan atau dilakukannya,
apa pun yang akan atau dimilikinya pasti dia akan
mengatakannya padaku."
"Dan kau melihat kalung itu?"
Sumarta menganggukkan kepalanya, lemah.
Andika garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Kening anak muda dari Lembah Kutukan ini ber-
kerut, dan beberapa lama dia tak keluarkan suara.
Namun batinnya berkata, "Keanehan yang ter-
jadi pada diri Sumiati, aku menduga kalau berasal
dari kalung yang pancarkan sinar hitam. Dan pen-
jelasan Sumarta menambah jelas keyakinanku
akan hal itu. Kalau memang demikian, kalung
apakah yang mampu membuat seseorang beru-
bah? Dari sikap maupun kekuatannya? Apakah...
monyet pitak! Dari mana sih dia mendapatkan ka-
lung aneh itu?"
Kembali Pendekar Slebor garuk-garuk kepa-
lanya. Wajah tampannya menekuk karena otaknya
mulai dipusingkan pikiran yang singgah.
"Aku harus cari kejelasan dari masalah ini. Ta-
pi, meninggalkan Sumarta yang seperti kehilangan
pegangan hidup, apakah suatu cara yang terbaik
saat ini? Kutu landak! Seharusnya aku terus beru-
saha mendapatkan kalung aneh itu? Tapi ya... le-
bih baik menyingkir dulu sebelum bahaya meng-
hadang."
Habis berpikir demikian, pemuda berambut
gondrong acak-acakan ini berkata, "Sumarta, aku
punya satu pikiran yang mungkin aneh."
Sumarta hanya memandangnya.
Andika melanjutkan, "Keanehan yang dialami
adikmu itu, menurut dugaanku, dikarenakan oleh
kalung yang pancarkan sinar hitam itu."
Andika melihat kening pemuda yang masih ber-
sandar di bawah pohon itu berkerut.
"Kenapa?" ucapnya tanpa suara.
"Karena ya... sungguh aneh bukan, kalau adik-
mu mendadak menjadi beringas seperti itu? Dan
dugaanku itu, semuanya dikarenakan oleh kalung
yang melingkar di lehernya. Kalung... Setan. Ya,
Kalung Setan!"
"Kalung Setan?" Sumarta melengak. Tetapi dia
seperti kehilangan pegangannya lagi. "Apakah itu
memang kalung pemberian setan?"
Andika tak menjawab, karena dia sendiri masih
belum bisa menentukan jalan pikirannya lebih je-
las.
Sumarta berkata lagi, "Kalau memang itu ka-
lung pemberian setan, apakah kau berpikir adikku
sedang memuja sesuatu?'"
Andika segera gelengkan kepalanya.
"Tidak! Aku tidak berpikir ke arah sana dan aku
yakin adikmu tidak melakukan hal itu. Yang men-
jadi pikiranku, kemungkinan besar dia tak sengaja
menemukan kalung itu. Bukankah sebelumnya
kau kehilangan adikmu?"
Sumarta mengangguk ragu-ragu. "Dan kalung
itu yang membuatnya menjadi beringas?"
"Ini baru dugaan. Tapi, tak ada dugaan lain
yang lebih pantas untuk menjawab keanehan ini.
Sumarta, adikmu telah dikuasai oleh Kalung Setan
yang tentunya akan membahayakan dirinya sendi-
ri. Mungkin juga akan membahayakan orang lain."
"Apa maksudmu, Andika?"
"Karena dia dikuasai oleh Kalung Setan, ke-
mungkinan besar dia hanya menjadi alat belaka,
Apakah kau lupa kalau Sumiati selalu berbicara
soal darah? Itu berarti, Kalung Setan membutuh-
kan darah. Entah dengan cara bagaimana."
Sumarta terdiam beberapa saat. Perasaan pe-
muda gagah ini sungguh tak menentu. Bahkan dia
agak sedikit terguncang mendengar keterangan
Andika.
Kemudian katanya, "Andika... dapatkah kau
menolong adikku dari bahaya yang mengancam-
nya?"
"Aku akan berusaha."
"Kalau begitu, sebaiknya kita berangkat seka-
rang juga untuk mencari adikku," kata Sumarta
sambil berdiri.
Andika menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Bukan maksudku untuk melarangmu ikut. Ta-
pi, sebaiknya kau kembali ke dusun Gelagah.
Maksudku, aku tak ingin penduduk di sana akan
mencari-carimu dan adikmu. Sebaiknya kau kem-
bali ke dusun Gelagah dan menceritakan nasib
yang menimpa adikmu. Paling tidak, berilah keje-
lasan pada mereka, untuk menghindari adikmu
untuk saat ini."
Sumarta hanya tarik napas pendek sambil tun-
dukkan kepala. Perasaannya makin dibuncah rasa
tak tenang. Hatinya sungguh gelisah. Ingin ra-
sanya dia berteriak keras, berlari menjauh dan
menghancurkan apa saja yang ada di hadapannya
untuk melampiaskan segala perasaan yang bertumpuk.
Tapi itu tak dilakukannya.
Dipandanginya pemuda berpakaian hijau pupus
yang masih berdiri di hadapannya. Cukup lama
hal itu dilakukan sebelum akhirnya membuka mu-
lut,
"Andika, apa yang kau katakan memang benar.
Kendati hatiku agak terpukul mendengar ucapan-
mu, tetapi aku membenarkannya. Akan sungguh
berbahaya bila seseorang berjumpa dengan Sumia-
ti yang telah dikuasai kalung aneh itu. Yah, den-
gan berat hati, aku akan kembali ke dusun Gela-
gah. Dan mengabarkan berita buruk ini. Tapi An-
dika...."
Sumarta memutus kata-katanya. Setelah
menghela napas panjang dia berkata, "Berjanjilah
padaku... untuk menyelamatkan adikku. Aku tahu
kau seorang yang berilmu, dan kuminta, janganlah
kau melukai adikku, Andika. Karena, dia tak tahu
apa yang sedang terjadi pada dirinya...."
Andika menganggukkan kepalanya. "Ya, aku
berjanji padamu. Aku berjanji untuk menjaga
adikmu...."
Sumarta tersenyum, lemah.
"Terima kasih, Andika...," katanya. Setelah me-
lihat anggukan kepala pemuda di hadapannya,
Sumarta segera melangkah meninggalkan tempat
itu.
Langkahnya seperti dibebani oleh bandul besi
yang cukup berat. Hati pemuda ini retak tak karuan.
Tinggal Andika yang memandang sosok Sumar-
ta yang terus melangkah. Perasaan anak muda dari Lembah Kutukan ini pun tak enak ketika memi-
kirkan apa yang dijanjikannya pada Sumarta.
"Aku tak tahu apa yang harus kulakukan sebe-
narnya. Tapi, aku akan berusaha untuk menyela-
matkan Sumiati...."
Lalu diedarkan pandangan ke sekelilingnya. Se-
telah mengira-ngira arah mana yang harus ditem-
puh, anak muda berambut gondrong ini sudah
melangkah ke arah timur.
***
Pada saat yang bersamaan dari balik sebuah
ranggasan semak setinggi dada yang terletak sera-
tus tombak ke timur dari tempat di mana Andika
dan Sumarta berada sebelumnya, terdengar suara
kikikan, disusul dengan tawa diserati dengusan bi-
rahi.
"Ih! Geli, geli! Jangan, jangan itu...," suara kiki-
kan tadi diselingi oleh ucapan-ucapan yang men-
gembangkan birahi.
"Biar geli, tapi kau suka, kan?" suara seorang
pemuda yang bernada tersekat di tenggorokan ter-
dengar.
"Iya, aku suka, suka sekali. Tapi... ih, jangan di
situ... ah, geli... geli...."
"Masa bodoh, ah!"
Dua remaja yang sedang dimabuk birahi itu
semakin diburu oleh birahi yang tinggi. Saat ini, si
gadis yang bertubuh sintal dengan payudara cu-
kup besar itu mengelinjang tatkala tangan keka-
sihnya menjamah payudaranya. Menekan
nekannya sedikit disertai ucapan,
"Hayo! Bilang sekarang, geli apa nikmat?!"
"Ih! Kau ini, ah!" seru si gadis dengan wajah
memerah, antara malu dan diamuk birahi. Tapi
dibiarkan saja tangan nakal kekasihnya itu ber-
main-main.
Pakaian biru yang dikenakannya sudah terbuka
di sana-sini. Kain panjang yang dipakainya sudah
tersingkap hingga memperlihatkan bungkahan pa-
ha mulus yang gempal. Sementara itu, kekasihnya
sudah bertelanjang dada, memperlihatkan betapa
bidang dadanya.
Sesekali si pemuda mengecup bibir kekasihnya
yang makin lama makin gelisah. Tiga kejapan mata
kemudian, disingkapnya kain panjang yang dike-
nakan kekasihnya. Dan mulailah kedua remaja itu
mereguk apa yang sebenarnya bukan menjadi mi-
lik mereka, diperhatikan oleh burung-burung yang
terbang dan pepohonan yang menjadi saksi bisu.
Dari balik ranggasan semak itu yang kemudian
terdengar hanyalah rintihan, kikikan dan dengu-
san senang. Mereka terus mengayuh sampai ter-
hempas di pesisir pantai disertai tarikan napas
panjang.
Dua tarikan napas kemudian, keduanya terlen-
tang dengan tubuh polos menghadap langit. Si ga-
dis rupanya masih memiliki rasa malu. Terburu-
buru diraih kainnya untuk tutupi tubuhnya. Si
pemuda hanya melirik sesaat, lalu pejamkan ma-
tanya, meresapi apa yang baru saja diraihnya.
Dan keduanya sama-sama tersentak kaget, be-
gitu mendengar suara, "Sejak tadi aku tak sabar
untuk membunuh kalian, menghirup darah kalian!
Tapi, kalian kuberi kesempatan untuk meraih apa
yang kalian inginkan lebih dulu."
Laksana ditarik setan, masing-masing orang se-
gera tegakkan tubuh walau kedua kaki masih ber-
selonjor.
Dan seperti datangnya bahaya kebakaran, ke-
duanya segera meraih pakaian masing-masing.
Mengenakannya asal saja dengan wajah memerah.
Kejap itu pula si pemuda berdiri tegak. Pandan-
gannya tajam pada seorang gadis berpakaian putih
agak kusam yang tadi keluarkan suara.
Tatapan gadis itu begitu dingin. Sorotnya pan-
carkan kematian yang tak bisa ditahan lagi.
"Gadis keparat! Mau apa kau berada di sini,
hah?! Apa urusannya denganmu tentang apa yang
kami lakukan?" hardik si pemuda dengan wajah
masih mendongkol dan malu.
Di lain pihak, kekasihnya sudah tutup wajah-
nya dengan kedua tangannya. Tak pernah disang-
kanya, perbuatan yang telah tiga kali mereka la-
kukan akan diketahui orang.
Kendati si gadis tak mengenal siapa adanya ga-
dis yang menegur itu, biar bagaimanapun juga dia
merasa malu.
"Meskipun aku tak punya urusan dengan apa
yang telah kalian perbuat, tapi aku mencium da-
rah segar! Darah yang bisa membuatku bertahan
lebih lama."
Sepasang mata si pemuda mendelik gusar. Na-
pasnya mendengus-dengus, masih tersisa sebagian
birahinya. Dengan gusar tangannya menuding disertai bentakan,
"Pergi dari sini! Atau, kau akan menyesal!!"
Gadis berpakaian putih agak kusam yang tak
lain Sumiati adanya, menatap tajam. Kalung yang
dikenakannya mendadak saja keluarkan sinar hi-
tam yang agak redup.
"Manusia-manusia keparat yang berani menan-
tang Kalung Setan! Lebih baik kau mampus!!"
Si pemuda bukanlah sebangsa orang pengecut.
Dia termasuk orang yang berani. Apalagi perbua-
tan yang telah dilakukannya bersama kekasihnya,
perbuatan yang sudah tentu dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, diketahui orang lain. Ma-
kanya, dia tak dapat lagi kuasai amarahnya.
"Ketimbang kau akan menjadi duri, lebih baik
kau yang kubunuh!!" bentaknya meradang.
Kejap itu pula dia melompat kedepan dengan
kedua tangan siap mencengkeram leher gadis yang
melingkar kalung yang pancarkan sinar hitam. Ge-
rakan yang dilakukan si pemuda hanyalah sebuah
naluri saja. Dia yakin kalau kedua tangannya akan
dapat mencengkeram leher si gadis. Dan dia tak
akan menyesal membunuh orang yang memergoki
perbuatannya.
Kedua tangannya memang berhasil mencengke-
ram leher si gadis. Saat itu pula dia berusaha un-
tuk mencekiknya kuat-kuat. Tetapi si gadis hanya
tenang-tenang saja, sementara sepasang matanya
menatap tajam.
Di lain pihak, gadis yang masih mengenakan
pakaiannya asal saja, palingkan kepala. Dia terke-
jut melihat betapa kekasihnya sedang berusaha
untuk membunuh gadis yang menegur mereka.
"Kang Surya! Jangan, jangan kau lakukan itu
Kang!" serunya keras sambil memburu.
Pemuda yang bernama Surya tak menghirau-
kannya. Hatinya sudah direjam kemarahan. Dia
makin menambah tenaganya untuk dapat mema-
tahkan leher gadis yang masih berdiri tegak den-
gan tatapan makin dingin.
Kekasihnya menjadi cemas. Dia berkata terbu-
ru-buru, "Kang Surya! Hentikan! Hentikan!"
"Diam kau, Darsih! Gadis celaka ini harus
mampus!!" desis Surya keras dengan suara makin
sengau. Keringat telah mengaliri sekujur tubuh-
nya. Tenaganya hampir terkuras.
Dan tatkala menyadari kalau dia belum berhasil
mematahkan leher gadis di hadapannya, dia men-
jadi tersentak sendiri. Untuk beberapa saat pemu-
da ini seperti melupakan maksudnya.
"Gila! Aku bukan hanya tak dapat mematahkan
lehernya, tetapi dia sedikit pun nampak tak kesa-
kitan!" makinya dalam hati dan dikerahkan selu-
ruh tenaganya untuk menjalankan maksud.
Sumiati hanya memandang dingin. Sinar hitam
yang terpancar dari kalungnya makin kuat.
Mendadak terdengar suara Sumiati dingin, ke-
jam dan tebarkan hawa kematian, "Aku tak ingin
berlama-lama lagi!"
Hanya itu ucapan yang terdengar, karena men-
dadak saja sinar hitam yang terpancar dari bandul
kalung yang dikenakannya melesat ke arah jan-
tung Surya.
Si pemuda seketika tersentak, sebelum, kelojo
tan laksana disengat listrik. Lain halnya dengan si
pemuda, lain halnya dengan Darsih.
"Oh! Kang Surya! Kau kenapa, Kang? Kau ke-
napa?!" serunya panik. Lalu dengan kalap dia me-
nerjang ke arah Sumiati, "Gadis celaka! Siapa kau
sebenarnya, siapa kau?!"
Tetapi sinar hitam yang terpancar dari kalung
Sumiati terpecah menjadi dua. Dan langsung ma-
suk tepat ke jantung Darsih yang kini mengalami
hal yang sama dengan kekasihnya.
Sementara kedua orang itu sedang meregang
nyawa, Sumiati memejamkan matanya. Kepalanya
agak sedikit diangkat. Layaknya orang orgasme,
Sumiati nampak agak menggigil penuh nikmat.
Lima kejapan mata berikutnya, sinar-sinar hi-
tam itu lepas dari jantung dua orang korbannya
yang seketika jatuh menggelosoh dengan dada bo-
long! Seluruh kulit kedua orang itu memucat dan
tanpa darah!
Sumiati masih berada dalam sikap seperti orang
mabuk. Lidahnya beberapa kali menjilat bibirnya.
Lalu terdengar ucapannya, "Menyenangkan, san-
gat menyenangkan...."
Tanpa mempedulikan kedua korbannya yang te-
lah menjadi mayat, Sumiati meninggalkan tempat
itu. Kalau sebelumnya kalung yang dikenakannya
pancarkan sinar hitam, kali ini nampak percikan
sinar merah laksana darah.
***
7
Andika yang sore harinya tiba di tempat itu, ha-
rus kerutkan kening saat meneliti keadaan dua so-
sok tubuh yang dilihatnya.
"Landak dungu! Siapa orang yang telah lakukan
tindakan keji seperti ini?!" desisnya setelah meme-
riksa kedua mayat itu bergantian. Dan anak muda
ini terkejut tatkala melihat kalau di balik pakaian
yang dikenakan kedua mayat itu, dalam keadaan
polos. "Kutu monyet! Rupanya habis asyik nih! Ta-
pi ya... siapa sih yang tega berbuat kayak begini?!"
Anak muda dari Lembah Kutukan ini geleng-
gelengkan kepalanya. Dan mendadak saja kening-
nya berkerut. Sepasang matanya menatap tajam
tak berkedip pada mayat-mayat itu.
"Edan! Menilik bau hangus jantung masing-
masing orang yang masih tercium, aku yakin ka-
lau rentang waktu kematiannya dengan kedatan-
ganku tak terlalu lama. Tapi, bagaimana bisa da-
rahnya secepat ini mengering? Ini tak masuk akal.
Darah masing-masing orang seperti telah tersedot!
Tersedot? Kadal buntung! Masa iya sih tersedot?
Siapa yang nyedot?!"
Menggeleng-geleng pemuda berambut gondrong
acak-acakan ini. Dan dia kembali meneliti kedua
mayat itu. Sekarang makin diyakininya kalau da-
rah pada kedua mayat itu mengering sama sekali.
Dengan kata lain, kedua mayat itu tak memiliki
darah sama sekali!
"Monyet pitak! Siapa orang yang suka nyedot
darah? Kalau nyedot susu sih enak!" habis uca-
pannya yang terakhir si urakan ini cengar-cengir
sendirian. Dan berkata sendirian pula, "Jangan
ngeres. Maksudku susu kambing."
Diperhatikannya kembali kedua mayat itu sebe-
lum akhirnya dia memutuskan untuk segera men-
guburkannya. Pemuda pewaris ilmu Pendekar
Lembah Kutukan ini hanya membutuhkan waktu
singkat untuk menguburkan kedua mayat itu.
Tak ada napas terengah yang terdengar. Tak
ada keringat yang keluar.
"Rupanya, ada orang yang suka nyedot darah!
Orang yang suka... hei!!" memutus kata-katanya
sendiri, Pendekar Slebor terdiam. Sejurus kemu-
dian terlihat wajahnya menekuk persis orang yang
telat buang hajat.
Lalu desisnya terbata, "Apakah ini ada hubun-
gannya dengan Kalung Setan? Bukankah saat itu
kudengar Sumiati yang telah dipengaruhi Kalung
Setan, meminta darah. Darah? Ya, ya! Darah! Sial!
Apakah ini perbuatan Sumiati yang telah dikuasai
Kalung Setan? Laknat! Sungguh laknat!!"
Anak muda urakan ini memaki-maki tak ka-
ruan. Hatinya menjadi geram bukan kepalang. Un-
tuk beberapa saat dia masih merasa dibaluri ke-
marahan tinggi.
"Kerbau bunting! Aku harus segera menemukan
Sumiati! Teror yang akan diturunkannya sudah je-
las kalung setan akan membahayakan siapa pun
juga! Ah, urusan jadi panjang!!"
Pemuda urakan ini tarik napas panjang. Kete-
gangan yang menjabani pikirannya membayang
kan teror yang akan diturunkan oleh Kalung Setan
dengan perantara Sumiati, makin membuatnya tak
enak. Ditindih rasa tidak enaknya itu dengan piki-
ran pada hal-hal yang menggembirakan.
"Ketimbang jadi kambing dungu, lebih baik ku-
teruskan perjalanan saja."
"Ya! Kau benar, anak muda! Sebaiknya kau te-
ruskan perjalanan saja, karena toh tidak akan ada
yang mengetahui perbuatan celakamu itu!" satu
suara keras yang menggema tanda orang yang
bersuara kerahkan tenaga dalamnya, menyelinap
di gendang telinga Pendekar Slebor.
Serta-merta anak muda ini hentikan langkah-
nya. Sejurus kemudian, dilihatnya satu sosok tu-
buh berpakaian putih tipis telah berdiri sejarak de-
lapan langkah dari tempatnya.
Kehadiran perempuan jelita berpakaian putih
tipis yang memperlihatkan bentuk tubuh serta
payudaranya yang tak tertutup apa-apa lagi,
membuat anak muda urakan itu kerutkan kening
untuk beberapa saat.
Di lain pihak, perempuan jelita yang diperkira-
kan berusia sekitar empat puluh tahun, pentang-
kan senyum. Bibir tipisnya yang memerah sung-
guh memancing perhatian siapapun yang melihat-
nya. terutama kaum laki-laki. Apalagi tatkala li-
dahnya dengan gerakan merangsang, menjilati bi-
birnya. Mata perempuan berhidung mancung dan
berkulit putih mulus ini, pancarkan sinar bening
yang mengandung daya tarik yang kuat.
"Busyet!" desis Andika dalam hati sambil garuk-
garuk kepalanya yang tidak gatal. "Tidak salah
nih? Aku berjumpa dengan bidadari atau sebangsa
penunggu tempat ini?"
Perempuan berpakaian putih panjang yang tipis
itu maju tiga tindak ke muka. Saat melangkah, ter-
lihat pakaian panjangnya yang terbelah hingga
pangkal paha, memperlihatkan bungkahan mulus
dan gempal paha miliknya.
Glek! Tanpa sadar Pendekar Slebor menelan lu-
dah.
"Kutu monyet! Bisa teler nih kalau aku terus
menerus melihat paha yang mulus itu? Dadanya...
wah, wah! Seperti kelapa, bulat dan menantang.
Cihui banget nih sebenarnya! Tapi, siapa sih pe-
rempuan ini? Dan apa maksud ucapannya tadi?"
Sambil coba menahan gemuruh hatinya dari
pemandangan indah yang sukar untuk dilewati, si
Urakan pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan
ini berkata, "Perempuan cekap! Kau ini siapa ya?
Muncul begitu saja tanpa diketahui! Juga, aku tak
mengerti dengan ucapanmu barusan?"
Perempuan itu pamerkan senyumnya.
Mau copot rasanya jantung Andika melihat se-
nyuman yang benar-benar merangsang itu (Un-
tungnya, jantung anak muda urakan ini ditempel
pakai power glue, jadi nggak copot betulan deh!
Apa coba?)
"Pemuda tampan...," desis si perempuan, sua-
ranya mendayu-dayu, penuh rangsangan kuat.
"Mengapa kau bertanya seperti itu? Seharusnya
kau tanyakan pada dirimu sendiri, mengapa kau
membunuh kedua orang yang telah kau kubur-
kan?"
Sampai surut satu tindak anak muda berpa-
kaian hijau pupus itu mendengar ucapan orang.
Sesaat dia melotot pada si perempuan sebelum
mendengus dalam hati,
"Enaknya ngomong! Jadi dipikirnya aku yang
telah membunuh kedua remaja yang sepertinya
habis ehm-ehm itu? Kutu landak!"
Kemudian katanya, "Kau pikir, aku yang telah
membunuh kedua orang itu?"
Si perempuan terkikik, suaranya tetap penuh
rangsangan.
"Di tempat ini, hanya kita berdua. Aku sendiri
baru datang. Sementara kau sudah sejak tadi.
Bahkan, aku melihat kau yang menguburkan ke-
dua mayat itu. Apakah ini belum jelas sebagai
bukti?"
"Monyet pitak! Ucapannya bikin aku tak sabar
untuk menjitak kepalanya! Tapi ya sayang. Perem-
puan ini begitu cantik. Kalau ada benjol di jidat-
nya, jadi lucu dong!" kata Andika dalam hati. Lalu
berkata, "Kau salah besar bila menuduhku seperti
itu. Aku juga baru tiba di sini dan sudah dihada-
pankan pada dua sosok tubuh yang menjadi
mayat. Apakah kau...."
"Terlepas dari apakah kau yang membunuh ke-
duanya atau tidak, aku tak peduli!" desis si pe-
rempuan penuh rangsangan. Dengan gerakan tak
kentara, dia gerakkan kedua bahunya. Hingga
payudaranya yang besar dan sangat jelas pada
pandangan Andika karena tak mengenakan pelapis
apa-apa selain pakaian tipis yang dikenakannya,
bergoyang lembut.
Lagi-lagi anak muda berambut gondrong acak-
acakan ini menelan ludahnya. Dan tatkala menya-
dari sesuatu dia mendengus.
"Landak bau! Jelas sekali kalau dia coba penga-
ruhiku dengan tindakan lembut yang sama sekali
tak kentara. Dan kurasakan kalau ada pesona
magis yang mencoba menarikku dalam lingkaran-
nya."
Merasakan ada yang tidak beres, perlahan-
lahan Andika alirkan hawa murninya agar tak ter-
kena pengaruh pesona yang sedang dilepaskan si
perempuan.
Terlihat paras si perempuan agak melengak se-
dikit. Pandangannya yang penuh rayuan itu men-
dadak menyorot tajam.
"Aneh!" desisnya dalam hati, "Mengapa menda-
dak saja kurasakan ada hawa yang menolak pan-
caran mata gaibku untuk mengikatnya. Pemuda
yang nampaknya jenaka dan sedikit urakan ini
berwajah tampan. Sangat sayang bila kulewatkan
kesempatan untuk mendapatkannya. Aku tak pe-
duli apakah memang dia yang telah membunuh
kedua orang itu atau bukan. Yang penting... akan
kutambah pesona mata gaibku biar dia tahu rasa."
Lalu sambil berbicara, perempuan berambut hi-
tam indah dan panjang ini kerahkan pancaran ma-
ta gaibnya.
Di seberang, Andika nampak terkesiap. Seluruh
darahnya seperti menggumpal pada kepala. Ada
dorongan kuat yang seperti memaksanya untuk
mendekati perempuan itu.
Namun begitu menyadari kalau keadaan ini tak
wajar, Andika mendengus.
"Brengsek! Apa sih yang sebenarnya dilakukan
dan diinginkan perempuan itu? Kok nampaknya
dia berusaha keras memaksaku untuk masuk pa-
da pesonanya? Brengsek betul! Yang kayak begini,
harus diberi pelajaran."
Sambil terus kerahkan hawa murninya, anak
muda urakan ini berkata sambil kerahkan tenaga
dalamnya, "Perempuan berpakaian putih tipis! Kita
tak saling kenal sebelumnya. Dan aku... ya, tak in-
gin kenal siapa kau sebenarnya. Apakah tidak le-
bih baik kita berpisah saja di sini?"
"Berpisah?" si perempuan tersenyum lembut.
"Untuk apa kita berpisah? Bukankah kita bisa me-
lewati hari ini dengan satu kenikmatan?"
"Wah, wah! Omongannya sedap betul? Enak ju-
ga sih kalau sekali-sekali kurasakan apa yang di-
tawarkannya? Soalnya, aku belum pernah mela-
kukannya. Tapi ya... mbok jangan dulu. Dosa. Ti-
dak baik. Lagi pula, mana bisa aku menikmatinya
dengan perempuan seperti ini."
Lalu sambil nyengir, Pendekar Slebor berkata,
"Kenikmatan bagaimana nih?"
Si perempuan makin tersenyum, "Kau akan ta-
hu nanti. Atau, sebenarnya kau berlaku bodoh?"
"Wah!" Andika garuk-garuk kepalanya yang ti-
dak gatal. "Aku tidak tahu tuh."
"Kau pandai memancing, Anak muda."
"Aku tak memiliki kail dan umpan."
"Tubuh dan parasmu menjanjikan hal itu."
"Kalaupun kulakukan, bukan, kau ikan yang
akan kutangkap."
Tak ada suara yang keluar. Paras si perempuan
mendadak mengkelap. Pandangannya menjadi ta-
jam. Terlebih lagi tatkala menyadari kalau sejak
tadi anak muda itu masih dapat bertahan. Tak
terkena pengaruh apa-apa dari pesona gaib panca-
ran matanya.
"Kurang ajar! Ucapannya benar-benar meleceh-
kanku! Tak pernah kulakukan tindakan seperti ini
sebelumnya! Dan siapa pun orangnya, tanpa ku-
coba untuk memikatnya, akan bersedia menjadi
budakku demi nafsu sesaat! Kurang ajar! Siapa
pemuda ini sebenarnya?"
Sementara si perempuan membatin geram, An-
dika justru kelihatan tenang-tenang saja. Dia tahu
betul kalau ucapannya menyinggung perasaan si
perempuan. Tapi baginya, apa yang ada di hada-
pannya ini bukanlah sesuatu yang menarik, kecu-
ali sebenarnya ingin mengetahui siapa adanya
orang.
Keheningan itu dipecahkan oleh suara si pe-
rempuan, agak geram, "Kau benar-benar telah
memancing amarahku, Pemuda celaka! Baik! Kau
harus pertanggung jawabkan perbuatan terku-
tukmu yang telah membunuh kedua orang itu!"
"Lagi-lagi dia menyinggung soal itu. Dan jelas
kalau sebelumnya dia memang berada di sini.
Mungkin hanya melihat saat aku mengubur kedua
mayat yang entah siapa adanya. Menilik keadaan
ini, jelas kalau dia memiliki ilmu yang cukup ting-
gi. Karena, aku tak menyadari kehadirannya. Mo-
nyet bau!"
Di seberang, si perempuan kembangkan se
nyumnya.
"Sekarang... bersiaplah untuk mampus! Kecua-
li...."
"Kecuali apa?" tanya Andika langsung.
"Ada dua pilihanmu. Pertama, melewati kenik-
matan bersamaku. Kedua, menjawab pertanyaan-
ku."
Andika garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Lalu dengan suara agak sewot dia berkata, "Ya je-
las aku pilih yang kedua! Enaknya memberi pili-
han seperti itu!"
Si perempuan nampak berusaha untuk tindih
amarahnya. Terlihat dari gerakan matanya yang
dicoba untuk tetap bersinar jernih.
"Bila kau dapat menjawab pertanyaanku, maka
kau akan bebas," katanya seperti memancing An-
dika untuk mempertimbangkan keputusannya.
Dan ini membuat Andika menjadi jengkel. "Kok
betul-betul enak dia bicara! Dipikirnya aku akan
terpengaruh ucapannya? Brengsek!" makinya da-
lam hati dan berkata agak menyentak, "Cepat deh
kalau kau mau bicara!"
Si perempuan tersenyum, "Pertama, siapakah
kau adanya?"
"Aku?" Andika menunjuk dirinya sendiri. "Aku
ya aku. Namaku Andika."
"Sebutkan julukanmu dan dari mana asalmu?"
"Julukanku Pangeran Tampan dari Kayangan.
Asalku... ya, dari Kayangan."
Si perempuan nampak tidak percaya. Tetapi dia
sepertinya tak mau ambil peduli.
"Pertanyaanku berikutnya, kenalkah kau dengan seorang kakek berpakaian merah yang berju-
luk Datuk Merah?"
Kali ini Andika kerutkan keningnya. Untuk be-
berapa saat dia masih coba untuk rangkaikan per-
tanyaan si perempuan. Kemudian katanya, "Kakek
berjuluk Datuk Merah? Tidak, aku tidak menge-
nalnya. Siapakah kakek itu?"
"Aku yang bertanya!!" mendadak saja menggele-
gar suara si perempuan. Rupanya dia sudah tak
dapat menahan amarahnya lagi melihat sikap san-
tai pemuda di hadapannya. "Dan satu hal yang
perlu kau ketahui, bila kau tak bisa mengatakan di
mana Datuk Merah berada, maka kau akan mam-
pus di tanganku!"
Sebenarnya Andika sudah tak sabar untuk
memberi pelajaran pada si perempuan. Namun
pemuda tampan ini masih bisa menahan amarah-
nya.
Sambil tertawa kecil dia berkata, "Ah, kau ini.
Rupanya termasuk golongan orang pemarah juga?
Ya jelas aku tahu di mana Datuk Merah berada.
Tapi ya... kenapa sih kau menanyakannya? Apa
kau ingin minta duit buat jajan ya?"
"Jangan banyak tanya! Katakan, di mana kakek
itu berada?!"
Asal menyahut saja Andika berkata, "Di mana
lagi kalau bukan di Jurang Trah Gering?!"
Mendengar jawaban si pemuda, perempuan
berpayudara besar itu kerutkan keningnya. Seju-
rus kemudian dia berkata, "Jurang Trah Gering?
Ada urusan apa dia di tempat itu?"
"Masa kau tidak tahu sih? Ya jelas dia sedang
menunggumu di Jurang Trah Gering."
"Oh! Benarkah?" sahut si perempuan dengan
pancaran mata penuh bahagia. Bibirnya mengulas
senyum ceria.
Andika yang tak menyangka akan melihat peru-
bahan wajah yang menjadi gembira itu, sesaat
menjadi keheranan.
"Busyet! Perempuan ini benar-benar sukar dite-
bak apa maunya. Kok dia jadi seperti anak kecil
yang diberi gula-gula?" desisnya dalam hati.
Didengarnya lagi suara si perempuan yang agak
memburu, "Apa, apa lagi yang dikatakannya?"
"Katakan apa?" Andika berlagak tidak tahu, pa-
dahal dia tengah memikirkan mengapa sikap si pe-
rempuan berubah tatkala dia mengatakan tentang
orang yang ditanya. Padahal sungguh mati, men-
genal julukannya saja baru sekarang!
"Tentang diriku!" sahut si perempuan makin tak
sabar.
Andika sengaja tak buka mulut. Diperas otak-
nya untuk menjabarkan sebab-sebab si perem-
puan begitu gembira.
"Jelas sekali kalau sebenarnya perempuan ber-
payudara besar ini sedang mencari orang berjuluk
Datuk Merah. Mencari dalam arti bukan sebagai
musuh, melainkan... mungkin sebagai kekasihnya.
Terbukti sikapnya yang begitu bergembira. Hem,
ketimbang dia jadi urusanku sebaiknya kute-
ruskan saja ucapanku."
Lalu sambil tersenyum, si Urakan ini berkata,
"O... soal itu. Dia begitu tak sabar hendak bertemu
denganmu. Katanya, kau adalah perempuan yang
paling dicintainya dan paling cantik sedunia."
Paras si perempuan memerah.
"Benar dia berkata begitu?"
Andika mengangguk sambil acungkan jcmpol-
nya.
"Ah, kekasihku... sebentar lagi kita akan berte-
mu. Katakan, katakan di mana Jurang Trah Ger-
ing berada?"
"Wah! Kalau dari sini, aku tak begitu paham.
Tapi ya... kau silakan saja menuju ke barat."
"Ya, ya... aku akan ke barat!" sahut si perem-
puan tetap dengan bibir semringah.
Habis ucapannya, perempuan berpakaian putih
tipis ini segera berkelebat.
Andika berseru, "Hei! Aku belum tahu siapa kau
adanya?!"
"Panggil aku dengan sebutan Dayang Gunung
Putih!" sahut si perempuan dan dalam dua keja-
pan mata berikutnya, sosoknya telah lenyap dari
pandangan.
Andika geleng-gelengkan kepalanya.
"Aneh! Sikapnya tadi penuh rangsangan, buaian
sekaligus kemarahan. Tapi setelah mendengar ten-
tang Datuk Merah yang sama sekali tak kuketahui
siapa dia adanya sikapnya jauh berubah. Hem,
tentunya dia adalah kekasih orang berjuluk Datuk
Merah yang sudah sekian lama tak berjumpa. Atau
karena dia sudah ngebet buat ehm-ehm?"
Andika nyengir sendiri membayangkan kata-
kata yang diucapkannya terakhir.
"Masa bodoh, ah! Itu kan urusannya! Urusanku
adalah mencari Sumiati yang telah dikuasai Kalung Setan. Dan nampaknya urusan tentang Ka-
lung Setan belum berkembang, karena terbukti be-
lum ada orang yang mencari benda itu. Tapi paling
tidak, aku yakin teror Kalung Setan akan semakin
banyak memakan korban.",
Setelah tarik napas pendek, anak muda pewaris
ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini segera berke-
lebat ke arah timur.
Meninggalkan tempat itu yang seketika lembah
direjam sepi. Meninggalkan dua gundukan makam
orang-orang yang terkena teror Kalung Setan.
***
8
Senja yang terus memayungi dan siap menjem-
put sang ratu malam, pun menggayuti suasana di
Jurang Trah Gering. Datuk Merah yang masih be-
rusaha meneruskan pencariannya terhadap Ka-
lung Setan namun belum juga menemukan tanda-
tanda yang berarti, hentikan pencariannya.
Paras kakek berwajah tirus ini sudah dibuncah
kegeraman tinggi. Hatinya begitu mangkel.
"Terkutuk! Sejak tadi pagi aku mengitari tempat
celaka ini, tapi belum juga mendapatkan Kalung
Setan! Jahanam sial! Nasibku memang sedang si-
al!"
Datuk Merah meneruskan umpatannya dengan
kemarahan yang tak terkira. Tatkala teringat pada
Datuk Biru, kemarahan itu rasanya sudah tak bisa
ditahan lagi.
"Akan kubunuh dia! Akan kubunuh dia!!" de-
sisnya megap-megap dengan tangan terkepal.
Setelah sebelumnya, semalaman dia berharap
Datuk Biru akan muncul kembali di tempat di
mana sebelumnya dia melihat Datuk Biru berada,
Datuk Merah langsung putuskan untuk segera tu-
run ke Jurang Trah Gering tatkala matahari sudah
pancarkan bias-biasnya di ufuk timur. Karena, dia
merasa Datuk Biru sudah mengambil jalan lain
untuk tiba di Jurang Trah Gering.
Mencari sesuatu yang tidak diketahui tempat-
nya memang bukanlah perbuatan yang menye-
nangkan. Tetapi kakek berwajah tirus ini tak mau
menyerah. Keinginannya untuk mendapatkan Ka-
lung Setan dan tak mau didahului oleh Datuk Biru
memperkeras tekadnya. Dan dia berharap, dapat
kembali melihat Datuk Biru di Jurang Trah Gering.
"Jahanam! Apakah aku harus bermalam di
tempat celaka ini?!" makinya dengan tatapan din-
gin pada satu tempat. "Huh! Sejak pagi hingga sen-
ja di mana tempat ini cukup diberi penerangan
oleh sinar matahari, aku belum juga dapat mene-
mukan Kalung Setan. Apalagi bila malam hari?
Keparat! Sungguh perbuatan sia-sia yang kulaku-
kan ini!!"
Kendati mulutnya berbunyi tak karuan, namun
Datuk Merah tak segera tinggalkan tempat itu. Ma-
tanya dipicingkan ke berbagai arah. Pertama, un-
tuk menangkap isyarat dari Kalung Setan yang di-
yakininya akan memancarkan sinar hitam hingga
dapat dijadikan sebagai patokan di mana kalung
itu berada. Kedua, mencari bayangan Datuk Biru
yang sangat diharapkannya.
Setelah beberapa lama tak mendapatkan apa
yang diinginkannya, Datuk Merah segera melang-
kah kembali. Matanya terus dibuka lebih lebar.
Malam pun akhirnya memayungi sekitar Jurang
Trah Gering, bertepatan dengan mata Datuk Me-
rah tertuju pada sebuah gubuk yang agak terha-
lang oleh sebuah pohon.
Untuk beberapa saat kakek berpakaian merah
ini terdiam tanpa melanjutkan langkahnya.
"Hemm, ada sebuah gubuk di sini. Gubuk sia-
pakah itu? Dari sini nampaknya cukup nyaman
untuk dijadikan sebagai tempat beristirahat. Paling
tidak, tempat itu akan kupergunakan untuk me-
nunggu pagi kembali."
Memutuskan demikian, Datuk Merah segera
melangkah mendekati gubuk yang bukan lain mi-
lik Sumarta. Diperhatikan sesaat tempat itu. Sete-
lah diyakini tak seorang pun yang berada di sana,
kakek berpakaian merah ini segera masuk.
"Hem, tempat yang lumayan untuk beristira-
hat," desisnya. Hanya sekali lompat tanpa timbul-
kan suara, dia sudah duduk di atas dipan yang
ada di dalam gubuk itu.
Ditarik napas dan dihembuskannya perlahan.
Datuk Merah memutuskan untuk bersemadi seje-
nak.
Perlahan-lahan dikosongkan pikirannya dan
kedua tangannya dirangkapkan di depan dada.
Namun baru saja dia lakukan, pendengarannya
yang tajam menangkap suara berkelebat.
Menegak kepala kakek berwajah tirus ini. "Dari
gerakannya, jelas kalau gerakan itu tak mungkin
ditimbulkan oleh hewan tempat ini. Gerakan itu
adalah gerakan seseorang yang memiliki ilmu pe-
ringan tubuh yang cukup tinggi," desisnya dalam
hati. Dan kegeramannya mendadak saja muncul.
"Keparat! Siapa lagi kalau bukan Datuk Biru?!"
makinya dan saat itu pula dia melompat keluar.
Pandangannya menyapu tempat yang telah dili-
puti kegelapan. Dipicingkannya mata untuk me-
nangkap bayangan orang.
Tiga kejapan mata kemudian, dia melihat
bayangan putih berkelebat ke arahnya.
Kening Datuk Merah berkerut.
"Bayangan putih? Rasanya... orang itu bukan-
lah Datuk Biru. Agar jelas semuanya, sebaiknya
kutunggu orang itu sampai mendekat."
Dengan kedua kaki sedikit dibuka dan tangan
disedekapkan di depan dada, Datuk Merah me-
nunggu dengan mata tetap dipicingkan. Di lain pi-
hak, bayangan putih yang berkelebat tadi juga su-
dah melihat sosoknya,
Kejap itu pula si bayangan putih hentikan kele-
batannya.
"Dari tempat ini, aku agak samar untuk melihat
siapa adanya orang yang berdiri di depan gubuk
itu. Tapi menurut pemuda berpakaian hijau pu-
pus, aku bisa menemukan Datuk Merah di Jurang
Trah Gering. Dan dari orang yang kutanyakan,
tempat inilah yang dinamakan Jurang Trah Ger-
ing. Biar kucoba keberuntunganku sekarang."
Memutuskan demikian, si bayangan putih perlahan-lahan mendekat. Dari jarak enam langkah
mendadak saja dia berseru, "Kekasih!"
Telinga Datuk Merah menegak sesaat. Sejurus
kemudian dia berseru, "Dayang Gunung Putih!"
Si bayangan putih yang bukan lain adalah pe-
rempuan jelita berpakaian putih tipis yang mem-
perlihatkan bentuk tubuh indahnya, segera me-
lompat mendekat dengan pekikan gembira. Dia
langsung merangkul kakek berpakaian merah itu."
"Kekasih... ke mana saja kau selama ini?" de-
sisnya penuh kerinduan sambil menciumi paras
keriput Datuk Merah.
Di lain pihak, Datuk Merah sendiri menyambut
kehadiran perempuan itu dengan gembira. Bahkan
sambil tertawa-tawa senang dia membalas me-
rangkul dan menciumi si perempuan yang dari tu-
buhnya menebarkan aroma merangsang.
"Hahaha... tak kusangka akan berjumpa lagi
denganmu, Kekasih!" desisnya dan tangannya
dengan liar menjamah serta meremas payudara
besar milik Dayang Gunung Putih, yang sedikit
menggelinjang namun hanya membiarkan saja.
"Bawa aku ke surga, Kekasih... bawa aku sege-
ra...," desisnya sambil menggeliat.
Datuk Merah yang sedang jengkel karena belum
juga menemukan Kalung Setan dan jejak Datuk
Biru kembali, sambil tertawa segera membopong
tubuh lembut yang menggairahkan itu. Saat dia
mengangkat tubuh Dayang Gunung Putih, pakaian
panjang si perempuan yang terbuka hingga pang-
kal paha terbuka turun dan memperlihatkan sesu-
atu yang membuat dada Datuk Merah makin berdebar tak menentu.
Tanpa membuang waktu lagi, dia segera masuk
ke gubuk dan merebahkan tubuh Dayang Gunung
Putih ke atas dipan. Lalu mulailah dia mencium
serta meraba apa yang ada di hadapannya. Ter-
dengar suara mengikik penuh kerinduan dan
rangsangan dari mulut Dayang Gunung Putih.
Dan yang terdengar kemudian, hanyalah suara
merintih dan napas mendengus-dengus. Ditemani
malam yang dingin dan suara hewan-hewan ma-
lam, keduanya terus berpacu untuk tiba di pantai
terakhir.
Waktu bergulir perlahan-lahan seiring dengan
tarikan napas panjang. Sampai akhirnya terdengar
suara Datuk Merah agak terengah,
"Tak kusangka... kita akan bertemu lagi."
"Ya, ya... dan aku sangat rindu padamu. Kau
tak pernah lagi memberi kabar padaku. Kau lang-
sung pergi setelah perjumpaan kita dulu...." Ter-
dengar suara Dayang Gunung Putih yang meme-
jamkan matanya.
Tubuhnya yang polos dibiarkan terbuka. Na-
pasnya agak turun naik hingga payudaranya yang
besar bergoyang lembut.
Tangan kurus Datuk Merah menjamah payuda-
ra si perempuan sebelah kanan. Meremasnya lem-
but hingga terdengar desisan Dayang Gunung Pu-
tih.
"Kau selalu pandai memberi kepuasan kepada-
ku," desisnya sengau. "Itulah sebabnya, aku tak
bisa bertahan lama bila tidak bersamamu...."
"Bukankah kau bisa mencari pemuda atau lelaki lain untuk memuaskan nafsumu?" ucap Datuk
Merah tanpa ada rasa cemburu sedikit pun.
Dayang Gunung Putih membuka matanya.
Mengerling genit dan berkata, "Ah, kau membua-
tku tidak enak. Biarpun aku melakukannya, tetapi
aku tak pernah mendapatkan apa yang kuda-
patkan bila bersamamu...."
Datuk Merah tertawa dan bangkit mengenakan
pakaiannya lagi.
"Kau hendak ke mana?" tanya Dayang Gunung
Putih sambil duduk di atas dipan. Tubuhnya yang
polos laksana mutiara yang bersinar indah. Berpi-
jar bagaikan terkena sinar redup.
Datuk Merah melirik sejenak. Ada keinginan
untuk mengulangi lagi apa yang didapatkannya.
Namun keinginan untuk mendapatkan Kalung Se-
tan kembali muncul. Membuatnya melupakan un-
tuk bersemadi dan meninggalkan sesaat kenikma-
tan yang baru diraihnya.
Kepalanya menggeleng.
"Aku tidak ke mana-mana."
"Lantas, mengapa kau mengenakan pakaian-
mu? Bukankah biasanya kita melakukan sampai
beberapa kali?"
Datuk Merah tersenyum. "Sudah tentu iya."
Tangan lembut Dayang Gunung Putih mengga-
pai lembut bahunya.
"Sekarang, mengapa kau tidak melakukannya
lagi?"
"Masih ada waktu lain."
"Mengapa?"
Kali ini pandangan Datuk Merah menajam. Ada
kemuakan yang mendadak muncul melihat sikap
perempuan yang tak pernah puas ini. Biar bagai-
manapun juga, Datuk Merah bukanlah orang yang
dapat diperbudak nafsu. Tidak seperti si perem-
puan.
Tetapi, dia tak lontarkan umpatan. Malah ber-
kata, "Karena... aku masih punya sedikit urusan."
Kendati wajahnya menyiratkan kekecewaan,
namun Dayang Gunung Putih tersenyum. Perem-
puan ini sangat mencintai Datuk Merah. Bahkan
dia akan melakukan apa saja demi kepuasan
orang yang dicintainya.
Bila menilik jauhnya perbedaan usia antara di-
rinya dengan Datuk Merah, tak seharusnya
Dayang Gunung Putih memiliki sikap seperti itu.
Tetapi ya namanya cinta?
Tanpa mengenakan pakaiannya kembali dia
berkata, "Bila kau tak keberatan, maukah kau
menceritakan tentang urusanmu itu?"
Datuk Merah terdiam, hanya matanya yang
memandangi perempuan jelita di hadapannya.
"Kesaktian perempuan ini cukup tinggi. Dan dia
juga memiliki kepatuhan yang luar biasa terha-
dapku. Tak mungkin dia jauh-jauh ke tempat ini
untuk mencariku, bila dia tidak mencintaiku. Apa-
kah... hei, dari mana dia tahu aku berada di sini?"
Merasa heran dengan keadaan itu, Datuk Merah
lontarkan pertanyaannya yang disahuti Dayang
Gunung Putih sambil tersenyum, "Seorang pemu-
da tampan bernama Andika mengatakan semua
ini. Bahkan dia mengatakan, kalau kau merindu-
kanku. Apakah kau benar merindukanku?"
Datuk Merah tak segera menjawab. Malah ke-
ningnya berkerut.
"Pemuda bernama Andika? Siapa dia? Apa yang
dimaksudnya? Rasa-rasanya... aku belum men-
genal pemuda itu. Tapi, bagaimana dia bisa tahu
aku berada disini? Dan ucapan Dayang Gunung
Putih tadi, pemuda itu mengatakan kalau aku me-
rindukan perempuan ini? Bah! Urusan apa lagi ini!
Kalaupun aku mau, karena aku membutuhkan pe-
lampiasan terhadapnya!"
Tetapi sudah tentu Datuk Merah tak ungkapkan
apa yang menjadi keheranannya. Malah sambil
tertawa dan meraba payudara yang terbuka me-
nantang itu dia berkata, "Sudah tentu aku sangat
merindukanmu."
"Oh! Aku harus berterima kasih pada pemuda
itu!" desis Dayang Gunung Putih sambil merang-
kul Datuk Merah.
Kendati perasaannya mulai diliputi kejengkelan,
tetapi Datuk Merah membiarkan saja tubuhnya di-
rangkul seperti itu.
Setelah beberapa saat, dia baru berkata, "Bu-
kankah kau hendak mendengar urusanku?"
Perlahan-lahan Dayang Gunung Putih lepaskan
rangkulannya. Sambil tersenyum dia berkata,
"Apakah aku harus berpakaian saat mendengar-
kan ceritamu, atau polos seperti ini?"
Datuk Merah mendengus dalam hati.
"Kenakan pakaianmu."
Sementara Dayang Gunung Putih kenakan lagi
pakaiannya yang sebenarnya tak bisa untuk tutup
tubuhnya. Datuk Merah menceritakan apa yang
sedang dilakukannya. Paling tidak, kakek berwa-
jah tirus ini berharap, agar kiranya Dayang Gu-
nung Putih dapat membantunya. Atau tepatnya,
dijadikan sebagai kaki tangannya untuk tuntaskan
urusan.
"Kalung Setan?" desis Dayang Gunung Putih se-
lesai si kakek bercerita. "Kalung apakah itu? Aku
baru kali ini mendengarnya?"
"Kau pikirkanlah tentang sebuah benda sakti
yang sangat hebat. Tetapi yang harus kau pikirkan
sekarang, adalah mencari Datuk Biru untuk dibu-
nuh. Kakek keparat itu telah melukai perasaanku!"
kata Datuk Merah sengit.
"Bukankah kalian bersahabat?"
"Lain dulu lain sekarang! Aku ingin melihatnya
mampus dengan tubuh tak terbentuk!"
Dayang Gunung Putih merangkul si kakek den-
gan penuh kebahagiaan dan kerinduan.
"Tak perlu kau cemaskan soal itu. Tak lama la-
gi, kakek keparat itu akan mampus, Kekasih!" de-
sisnya.
Memang itulah yang diharapkan oleh Datuk Me-
rah.
"Hem, bagus. Memang tak kusangka kalau aku
akan bertemu dengannya. Dan tak kusangka pula
kalau dia masih mencariku. Hem, cinta perem-
puan ini padaku memang besar."
Kendati hatinya berkata demikian, tetapi mu-
lutnya berbunyi, "Aku tak ingin melibatkanmu da-
lam urusan ini sebenarnya."
"Jangan merasa berat hati, Kekasih. Untukmu,
aku akan melakukan apa saja. Tak terkecuali
membunuh Datuk Biru."
Datuk Merah tersenyum dalam hati. Tetapi dia
memasang wajah menolak "Tidak usah. Biar aku
yang...."
Tangan lembut Dayang Gunung Putih telah me-
nekap mulutnya. Sambil tersenyum dia berkata,
"Jangan berkata begitu. Kau akan melihat bukti
dari ucapanku."
Datuk Merah mengangguk-angguk. Di otaknya
telah terpikir satu rencana yang menurutnya san-
gat matang.
"Kalau begitu... apakah kau bersedia menjalan-
kan rencanaku?" tanyanya kemudian. Lalu buru-
buru menyambung, "Tetapi aku tak akan marah
bila kau menolaknya."
"Kekasih... sejak semula kau tentunya tahu bu-
kan, kalau aku bersedia melakukan apa saja un-
tukmu. Tak perlu kau memikirkan hal-hal lain.
Katakan padaku, apa rencanamu."
Datuk Merah memandang perempuan di hada-
pannya, yang segera menganggukkan kepalanya.
Dengan hati dibuncah tawa membahana, Datuk
Merah menceritakan semua rencananya. Bahkan
dia menyinggung tentang Andika.
"Apa hubungannya dengan pemuda bernama
Andika?" tanya Dayang Gunung Putih di sela-sela
Datuk Merah menceritakan segala rencananya.
"Aku ingin tahu, sebenarnya dia berpihak pada
siapa," kata Datuk Merah yang merasa yakin kalau
dia tidak mengenal atau pernah bertemu dengan
pemuda bernama Andika. Dan yang dikhawatir-
kannya, kalau pemuda itu adalah orang Datuk Biru. Mendengar cerita Dayang Gunung Putih sebe-
lumnya, Datuk Merah yakin kalau pemuda itu bu-
kan orang sembarangan.
Di lain pihak, Dayang Gunung Putih tak segera
buka mulut. Diperhatikannya Datuk Merah den-
gan seksama.
Lalu dia ajukan tanya, "Siapakah sebenarnya
pemuda itu?"
Datuk Merah buru-buru berkata, "Seperti pen-
gakuannya. Dia adalah sahabatku."
"Mengapa kau mencurigainya?"
"Dalam suasana seperti ini, sepatutnya kita
mencurigai orang yang belum kita kenal secara
akrab. Kau paham maksudku, bukan?"
Dayang Gunung Putih mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dia bertekad untuk memperlihatkan
bukti atas cintanya pada kakek berpakaian merah
ini.
Lalu sambil tertawa, dia membuka lagi pa-
kaiannya, "Apakah kau akan melewati malam den-
gan segala rencana dan udara dingin seperti itu?"
Datuk Merah menyambutnya sambil tertawa
dan merebahkan kembali tubuh montok Dayang
Gunung Putih.
***
9
Malam terus merambat dengan segala dingin
dan gelisah alam. Dan kegelisahan itu pun dirasa
kan oleh seorang lelaki berjubah putih panjang.
Wajahnya nampak agak menegang. Pikirannya me-
layang dan yang merasuk hanyalah hal-hal yang
tak menyenangkan.
"Aneh," desisnya tanpa mengubah duduknya
dari sebuah batu berbentuk altar. Anehnya, dia
berada di .sebuah tempat yang terbuka. Membiar-
kan tubuhnya didera dingin dan kesunyian. Hanya
hewan-hewan malam yang menemaninya. "Menga-
pa malam ini kurasakan lain dari malam-malam
sebelumnya? Apakah akan ada sesuatu yang ter-
jadi, atau hanya perasaanku saja yang mengata-
kan demikian?"
Lelaki berwajah bijak kelimis ini tarik napas
pendek. Rambutnya yang hitam panjang tertiup
angin, hingga makin tak beraturan.
Pandangannya dibawa ke depan, menatap kege-
lapan semata. Jauh dari tempatnya, terdapat hu-
tan yang sangat lebat. Lelaki ini picingkan ma-
tanya. "Tak ada sesuatu yang nampak di pelupuk
mataku selain kegelapan. Tapi rasa gelisah makin
membesar di hatiku. Pertanda apakah ini?"
Lelaki berjuluk Pendekar Kebajikan ini kembali
tarik napas pendek. Dua puluh tahun yang lalu,
julukannya sangat dikenal orang sebagai pendekar
yang banyak membela kebenaran. Tindak tanduk-
nya begitu santun dan tak sekali pun dia pernah
mengucapkan kata-kata kasar.
"Apakah kegelisahanku ini pertanda dia akan
datang?" desisnya lagi. Menyusul kepalanya dige-
leng-gelengkan. "Tidak. Tak mungkin dia akan da-
tang sekarang. Aku sangat tahu kalau dia selalu
meninggikan perjanjian yang telah diucapkan. Ma-
sih ada waktu satu purnama lagi untuk tuntaskan
urusan lama. Kalau bukan dia yang datang, lantas
mengapa perasaanku kian gelisah?"
Pendekar Kebajikan terdiam kembali. Mulutnya
dirapatkan. Di angkasa, timbunan awan hitam tak
bergeser dari tempatnya. Menghalangi sinar rem-
bulan yang menjadi redup.
Sejarak seratus tombak dari kirinya, terdapat
sebuah dusun permai yang asri dan damai. Na-
mun malam ini, petaka telah mendatangi dusun
itu.
Seorang gadis jelita berpakaian putih agak ku-
sam, telah datang dan menteror seisi dusun itu
dengan sinar-sinar hitam yang meluncur dari ka-
lung yang dikenakannya.
Dusun yang tenang itu pun tertimbun gelom-
bang teriakan dan jeritan. Banyak korban berjatu-
han. Beberapa orang masih berusaha menyela-
matkan diri, keluarga dan sebagian hartanya. Na-
mun mereka menerima nasib naas karena gadis je-
lita itu tak memberi ampun lagi.
Hanya dalam waktu singkat saja, dusun itu te-
lah porak poranda dengan mayat bergeletakan.
Beberapa mayat tewas dengan tubuh memucat
tanda darahnya telah mengering.
Sementara si gadis yang tak lain adalah Sumiati
yang telah dikuasai oleh Kalung Setan, segera me-
ninggalkan dusun yang telah dihancurkannya
sambil terkikik panjang.
Kembali ke tempat luas di mana sosok Pendekar
Kebajikan masih duduk dengan dibuncah pikiran,
lelaki berjubah putih itu tetap berpikir keras untuk
mencari kejelasan dari pikirannya yang benar-
benar gelisah.
"Tak seperti biasanya keadaanku seperti ini.
Apakah memang akan terjadi sesuatu yang bu-
ruk?" desisnya lagi. Lalu dia menghela napas pan-
jang. "Dua puluh tahun aku hidup di padang ini
tanpa gangguan apa pun. Bahkan tak pernah ter-
lintas sebuah kegelisahan seperti saat ini. Dan ka-
laupun sekarang perasaanku makin tak enak, jelas
ini pertanda buruk. Apakah memang dia yang
akan datang?"
Lagi-lagi Pendekar Kebajikan mencoba memi-
kirkan kemungkinan demi kemungkinan.
"Walau dia selalu menepati janji, bisa jadi dia
sudah tak sabar untuk bangkitkan kembali per-
soalan lama. Tapi, apakah memang ini penyebab-
ku gelisah?"
Angin malam terus berhembus dingin, membelai
seluruh tubuhnya dan membuat jubahnya sedikit
berkibar-kibar.
Mendadak saja dengan gerakan yang tak terli-
hat, tahu-tahu sosok lelaki berjubah putih ini su-
dah berdiri di atas tanah. Kali ini pandangannya
dibawa berkeliling.
"Ketimbang aku diperbudak oleh rasa gelisahku,
lebih baik aku segera menyelidik. Sudah cukup
lama aku berada di sini dan sudah saatnya untuk
menengok dunia luar."
Tetapi dia tak segera lakukan maksud. Justru
dia menimbang-nimbang lagi apa yang akan dila-
kukannya.
Dua kejapan mata kemudian terlihat kepalanya
mengangguk-angguk.
"Sudah saatnya bagiku untuk tinggalkan tempat
ini. Kalaupun dia datang sekarang, bukan salahku
karena tak menyambut atau menyalahi janji. Ka-
rena, masih ada waktu satu purnama mendatang
untuk tuntaskan segala urusan," katanya pasti.
Namun kejap itu pula dia mendesis, "Tapi, apakah
ini perlu kulakukan?"
Dipikirkannya lagi keputusannya itu. Ditim-
bangkan baik-baik sampai terlihat dia anggukkan
kepala.
"Satu purnama mendatang, aku akan kembali
ke tempat ini."
Memutuskan demikian, dengan membawa rasa
gelisahnya, Pendekar Kebajikan segera melangkah
meninggalkan padang itu. Tanpa sekali pun ber-
paling.
Tepat matahari sudah sepenggalan, Pendekar
Slebor hentikan langkahnya disebuah jalan seta-
pak. Untuk sesaat anak muda pewaris ilmu Pen-
dekar Lembah Kutukan ini perhatikan sekeliling-
nya.
Kejap kemudian dia berkata sambil garuk-garuk
kepalanya, "Aku masih penasaran untuk mengeta-
hui siapa sesungguhnya Dayang Gunung Putih?
Sebelumnya, nampak sekali kalau dia coba penga-
ruhku dengan pesona gaibnya yang memang san-
gat sulit ditepiskan. Tapi ya... setelah kujawab per-
tanyaannya, kok dia seperti anak kecil ya? Kenapa
ya? Kenapa?"
Tak tahu jawaban dari pertanyaannya sendiri,
Andika nyengir.
"Mungkin orang berjuluk Datuk Merah itu me-
mang kekasihnya, dan dia sudah lama tak ber-
jumpa dengan kekasihnya. Dooo... begitu berse-
mangatnya? Tapi ya... kalau soal cinta sih, semua
orang juga akan begitu. Cuma aku sajakah yang
tidak begitu. Apa ini... huh! Siapa orangnya yang
mau denganku, sih?!"
Makin lebar cengiran di bibir anak muda berpa-
kaian hijau pupus ini.
"Bodoh betul kalau gadis-gadis tidak mau den-
ganku yang tampan bin keren kayak begini!"
Dari cengirannya tadi, Andika mendadak terta-
wa keras. Merasa lucu dengan ucapannya sendiri.
Dan mendadak saja tawanya terhenti, tatkala
angin timur bergerak ke arahnya. Kejap itu pula
nampak cuping hidungnya bergerak-gerak karena
mencium bau yang tidak sedap, bau yang terbawa
angin.
"Busyet! Bau apa ini?" desisnya dengan kening
berkerut. "Kayak bau bangkai! Tapi bangkai apa
yang baunya sangat menyengat? Di sekelilingku
hanya terdapat ranggasan semak belukar dan pe-
pohonan. Tak ada tanda-tanda ada bangkai di si-
ni? Jangan-jangan...."
Anak muda urakan ini garuk-garuk kepalanya
yang tidak gatal. Kejap kemudian dia mendengus,
"Landak mati! Bau busuk yang terbawa angin ini
datangnya dari arah timur! Berarti... ada bangkai
di sana! Dan rasanya... bukan bangkai hewan! Me-
lainkan... mayat manusia!"
Pendekar Slebor sampai surut satu tindak setelah tiba pada kesimpulan pikirannya. Untuk bebe-
rapa saat dia masih termangu memikirkan ke-
mungkinan itu.
Lalu desisnya terbata, "Jangan-jangan... mayat-
mayat itu dibunuh oleh Sumiati yang telah dikua-
sai Kalung Setan? Tapi ya... aku tak boleh ambil
kesimpulan langsung seperti itu. Bisa jadi kalau
bau busuk yang kemungkinan berasal dari mayat-
mayat disebabkan karena wabah penyakit. Wah!
Bisa-bisa aku yang akan kena penyakit!"
Tapi wabah penyakit atau bukan, Andika sudah
berkelebat ke arah timur untuk membuktikan du-
gaannya. Dan pemuda tampan ini harus mengge-
ram keras dengan rahang merapat tatkala melihat
apa yang ada dihadapannya.
"Terkutuk! Terkutuk! Siapa orang yang telah la-
kukan pembantaian keji seperti ini?!" desisnya
dengan mata membeliak lebar. Hawa amarah
mendadak saja naik ke ubun-ubunnya membuat-
nya tak melakukan tindakan apa-apa. Bahkan dia
sampai lupa untuk menahan napas dari bau bu-
suk yang menyengat!
Lalu hati-hati Andika melangkah, melewati satu
mayat ke mayat lain. Dan dia kembali menggeram
setelah melihat beberapa mayat yang tewas dengan
tubuh memucat.
"Menilik keadaan ini, tak bedanya dengan dua
sosok mayat yang kulihat sebelumnya. Dan ini je-
las perbuatan Sumiati yang telah dikuasai Kalung
Setan! Celaka tujuh belas setengah! Seperti apa
yang kukhawatirkan, kalau Kalung Setan itu akan
lepaskan teror! Terkutuk! Terkutuk!!"
Untuk beberapa saat Andika masih dibawa ke-
marahan di hatinya. Tangan anak muda ini men-
gepal kuat. Matanya menatap liar mayat-mayat itu
satu persatu.
"Monyet pitak! Bila terus menerus seperti ini,
apa jadinya kehidupan ini kelak? Aku harus henti-
kan tindakan kejam Kalung Setan!"
Masih dibawa rasa amarahnya, Andika men-
gumpulkan mayat-mayat itu dengan hati nelangsa.
Nuraninya seperti disayat-sayat menyaksikan kea-
daan di hadapannya.
''Aku harus hentikan tindakan Sumiati! Harus,
kendati apa pun yang terjadi!!" desisnya geram.
Dan dengan gerakan yang sangat cepat, Andika
merubuhkan rumah-rumah yang berada di sana,
untuk dijadikan sebagai kuburan mayat-mayat
yang berserakan.
Suara gegap gempita saat itu pula terdengar, di-
iringi teriakan-teriakan geram Pendekar Slebor.
Cukup lama dia melakukan tindakan seperti itu,
sampai semua mayat-mayat yang ada di sana ter-
tindih reruntuhan rumah, dan menjadi kuburan
teraneh yang pernah terjadi.
Ditarik napasnya dalam-dalam, dihapus kerin-
gatnya dengan punggung tangannya.
"Jalan satu-satunya untuk hentikan tindakan
kejam Sumiati, adalah dengan cara merebut Ka-
lung Setan! Entah kalung siapa itu sebenarnya dan
masih kupikirkan, mengapa kalung itu bisa mem-
pengaruhi orang? Jelas ini ada rahasianya! Dan
aku bertekad untuk memecahkan rahasia itu!"
Dengan napas masih megap-megap, Andika
mencoba memikirkan apa yang masih menjadi
tanda tanya. Namun dia tak bisa menemukan ja-
lan keluar dari pikirannya. Dan ini membuatnya
sangat gemas bukan main!
"Kerbau bunting! Orang utan! Berpikir terus
menerus akan membuang waktu! Bisa jadi Sumiati
akan terus lancarkan teror mengerikannya!!"
Andika coba tenangkan jalan pikirannya. Diatur
napasnya setenang mungkin. Setelah pikiran jer-
nihnya hinggap kembali di benaknya, diperhatikan
gundukan bangun rumah yang telah hancur dan
menimbun mayat-mayat yang tadi dikumpulkan-
nya.
"Aku harus bergerak cepat sebelum terlambat.
Dua kali aku telah kecolongan. Mungkin, bukan
hanya dua kali. Tetapi entah sudah beberapa kali,
karena aku tak mengetahuinya! Monyet pitak!
Akan kujitak kepala Sumiati!"
Habis mendesis demikian, pemuda yang di le-
hernya melilit kain bercorak catur ini, segera ba-
likkan tubuh. Kejap itu pula dihentikan langkah-
nya dengan kepala menegak.
Pandangannya lurus pada satu sosok tubuh
berjubah putih yang telah berdiri sejarak sepuluh
langkah dari tempatnya!
***
10
Sebelum Andika terbebas dari keterkejutannya,orang yang telah berdiri di hadapannya sudah
membuka mulut, "Kesabaran adalah jenjang ter-
baik baik seseorang untuk lakukan satu tindakan.
Karena dengan kesabaran, maka akan tersimpan
nurani kebaikan yang dapat mempertimbangkan
segala perbuatan. Anak muda, dari paras wajah-
mu, aku melihat kalau kau berada dalam kegera-
man. Apakah kau sudah memikirkan tindakanmu
selanjutnya?"
Di tempatnya Andika masih terdiam. Pandan-
gannya masih tertuju pada lelaki berjubah putih
yang barusan buka suara.
"Dari ucapannya, jelas kalau dia orang baik-
baik. Dan dari cara munculnya yang tak kuketa-
hui, jelas kalau dia bukanlah orang sembarangan.
Hem, siapa dia sebenarnya?"
Lalu sambil nyengir, si Urakan ini berkata,
"Wah! Memang betul tuh apa yang kau katakan!
Aku memang sedang geram! Tapi sekarang sudah
tidak lagi, kok. Ngomong-ngomong... ini kalau kau
tidak keberatan ya, boleh aku tahu siapa kau
adanya? Sebangsa jin atau orang? Kok aku tidak
tahu kau datang ke sini sih?"
Lelaki berjubah putih yang bukan lain Pendekar
Kebajikan adanya tersenyum. Angin pagi mengi-
barkan jubah bagian bawahnya.
"Cara bicara pemuda ini sungguh jenaka, ter-
kandung sedikit kekonyolan yang sebenarnya da-
pat memancing tawa. Dan nampaknya dia cepat
sekali berubah. Tadi kulihat dia masih dilingkupi
kegeraman, tetapi sekarang sudah bersikap seperti
itu. Jelas kalau sifat jenaka adalah sifat aslinya."
Habis berkata demikian, Pendekar Kebajikan
berkata, "Bila kau ingin tahu siapa aku adanya,
panggil aku dengan sebutan Pendekar Kebajikan."
"Sebuah julukan yang mulia. Dan sudah barang
tentu orang-orang rimba persilatan tak akan men-
julukinya seperti itu bila dia bukan orang bijak,"
kata Andika dalam hati. Lalu katanya, "Pendekar
Kebajikan, sangat senang berkenalan denganmu.
Tapi ya... aku tak bisa berlama-lama di sini, kare-
na masih ada urusan lain."
Kembali Pendekar Kebajikan tersenyum.
"Aku pun tak bisa berlama-lama di tempat ini,
karena aku juga mempunyai satu urusan. Dan
kau sudah mengetahui siapa aku adanya. Apakah
tidak sebaiknya kau sebutkan siapa dirimu?"
Kali ini Andika garuk-garuk kepalanya sambil
nyengir.
"Namaku Andika," sahutnya singkat.
"Dari cara berpakaianmu dan gerakan kedua
kaki yang nampak sangat ringan, aku yakin kau
bukan orang kebanyakan. Siapakah julukanmu?"
Cengiran Andika makin lebar.
"Wah! Kalau itu sih tidak usah saja, deh, Tapi
ya... aku ini memang tergolong orang baik-baik,
lho. Jadi kukatakan saja. Cuma kau jangan ang-
gap terlalu serius ya? Karena aku tidak se slebor
yang orang duga."
Justru terdengar ucapan Pendekar Kebajikan,
"Dan tentunya kau berasal dari Lembah Kutukan,
bukan?"
"Lho! Kok tahu? Wah! Tidak nyangka nih kalau
aku begitu ngetop!"
"Dan kau dikenal dengan julukan Pendekar Sle-
bor."
"Tapi jangan anggap aku slebor ya? Tidak lho!
Kalaupun slebor ya... cuma sedikitlah."
Pendekar Kebajikan tersenyum. "Kendati dua
puluh tahun aku berdiam di Padang Sunyi, tetapi
julukan Pendekar Slebor telah sampai ke telingaku
akhir-akhir ini. Sungguh tak kusangka kalau dia
masih sedemikian muda. Sebenarnya, aku tidak
tahu siapa pemuda di hadapanku ini bila dia tidak
mengatakan tentang masalah kesleborannya. Dan
rupanya, yang menjadi kegelisahanku adalah pe-
ristiwa mengerikan yang terpampang di hadapan-
ku."
Habis membatin demikian, Pendekar Kebajikan
berkata, "Anak muda... siapakah orang yang telah
melakukan pembantaian ini?"
Mendengar pertanyaan orang, sesaat kemara-
han Andika naik kembali. Tapi segera ditindihnya
dan sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gat-
al dia menceritakan apa yang telah terjadi.
"Kalung Setan... baru kali ini kudengar ada
benda mengerikan seperti itu. Apakah kau tidak
salah?" Andika menggeleng.
"Aku pernah menyaksikan kekejaman Kalung
Setan yang telah mempengaruhi seorang gadis tak
berdosa, yang membuatnya menjadi sekejam setan
dan memiliki kesaktian yang luar biasa."
"Berbahaya."
"Ya, sangat berbahaya."
"Lantas... di manakah gadis malang bernama
Sumiati itu berada sekarang?"
Andika menggeleng.
"Aku tak punya gagasan lain di mana gadis itu
berada kecuali dia akan terus turunkan teror demi
teror yang mengerikan. Kalung Setan merupakan
sebuah benda yang sangat jahat. Dan tak akan
pernah mengenal kata puas."
Pendekar Kebajikan terdiam dan mengeluh da-
lam hati.
"Rupanya, aku memang terlalu lama berdiam di
Padang Sunyi. Dan pikiranku hanya terpusat pada
dia yang akan datang menuntut balas. Pada ke-
nyataannya, rimba persilatan saat ini sedang dika-
caukan oleh sebuah benda bernama Kalung Setan,
yang dapat mempengaruhi seseorang untuk men-
jadi sekejam iblis," kata Pendekar Kebajikan dalam
hati.
Lalu sambil pandangi pemuda berpakaian hijau
pupus di hadapannya dia berkata, "Pendekar Sle-
bor... aku mungkin termasuk salah seorang yang
tak pernah membiarkan kejahatan merajalela. Beri
tahu padaku ciri gadis itu dan Kalung Setan."
Andika segera menerangkannya. Kemudian
sambungnya, "Terima kasih bila kau hendak laku-
kan tindakan seperti itu. Dan kuharap, kau masih
bisa memberi belas kasihan pada gadis itu...."
"Sudah tentu yang akan kurebut adalah kalung
celaka yang telah menyesatkan gadis itu."
Andika mengangguk-anggukkan kepala. Pan-
dangannya lekat pada Pendekar Kebajikan.
"Hem, lelaki gagah ini termasuk salah seorang
yang pandai menyembunyikan sesuatu. Namun
kendati dia lakukan hal itu, dari sorot matanya
aku menangkap kilasan kalau dia sendiri sedang
ada masalah. Seperti yang dikatakannya sebelum-
nya. Apakah aku perlu menanyakan soal itu?"
Andika terdiam beberapa saat sebelum memu-
tuskan untuk bertanya."
Pendekar Kebajikan hanya tersenyum menden-
gar pertanyaan Andika. Masih tersenyum dia ber-
kata, "Apa yang kau katakan tadi memang benar.
Saat ini ada persoalan yang berkutat di benakku.
Tapi, apakah pantas bila ku kemukakan persoa-
lanku ini yang akan menjadi pikiranmu?"
"Cara dia berucap sungguh santun sekali. Ah,
tidak enak rasanya karena telah lancang campuri
urusannya," kata Andika dalam hati. Lalu buru-
buru berkata, "Maafkan sikapku tadi."
"Tak jadi masalah. Apakah tidak sebaiknya kita
berpisah di sini?"
Andika menganggukkan kepalanya. "Ya. Dan
sebelumnya, aku ucapkan terima kasih karena
kau mau memikul sebagian bebanku."
Pendekar Kebajikan tersenyum.
"Aku bukanlah ahli meramal. Tapi aku bisa
mengatakan, kalau kelak, urusanmu bukan hanya
terpusat pada masalah Kalung Setan. Melainkan,
ada masalah besar yang akan kau hadapi."
"Kutu loncat! Ucapannya membuatku jadi pena-
saran. Tapi masa bodoh ah, besar atau kecil uru-
san yang akan menghadangku, toh akan kuhadapi
juga."
Habis membatin demikian Andika berkata,
"Mudah-mudahan, kelak kita akan berjumpa lagi."
Tetap tersenyum Pendekar Kebajikan angguk
kan kepala. Kejap kemudian dia sudah berkelebat
meninggalkan tempat itu, diantar oleh pandangan
Andika.
Setelah sosok lelaki gagah berjubah putih le-
nyap dari pandangannya, Andika tarik napas pen-
dek.
"Kerbau bunting! Kok aku jadi makin penasaran
sih" makinya dalam hati. "Apa maksud ucapan
Pendekar Kebajikan tadi? Masalah besar? Masalah
apa ya?" Sesaat anak muda urakan ini terdiam se-
belum cengengesan sendiri, "Jangan-jangan... ma-
salah karena aku belum makan kali ya? Perutku
sudah keroncongan! Huh! mendingan cabut ah,
sembari mencari makanan!"
Memutuskan demikian, Andika segera berkele-
bat meninggalkan tempat itu. Sejarak dua puluh
tombak dia berlalu dari dusun yang telah dikacau-
kan Kalung Setan mendadak saja anak muda ini
hentikan langkahnya.
Lima langkah di hadapannya, telah berdiri seo-
rang kakek berwajah tirus dan berpakaian merah!
SELESAI
ikuti kelanjutan serial ini:
MALAIKAT KEADILAN
0 comments:
Posting Komentar