1
LANGIT mendung disertai hembusan angin
kencang merupakan pertanda akan datangnya hujan
di siang itu. Para penduduk desa mulai mengemasi ba-
rang-barangnya yang ada di luar rumah. Padi-padi
yang dijemur segera dimasukkan, genteng-genteng
yang dibuka segera ditutup, Jemuran-jemuran segera
diangkat walau masih lembab, dan bocah-bocah yang
keluyuran segera disuruh pulang orang tuanya. Tiap
orang meramalkan, tak lama lagi hujan akan turun
dengan deras.
Ki Samekta, pemilik kedai terlaris di desa itu,
sebenarnya ingin menutup kedainya. Tapi karena ma-
sih ada beberapa orang yang makan di kedai itu, ter-
paksa rencana menutup kedai ditangguhkan dulu. Sa-
lah satu dari pengunjung kedainya itu adalah seorang
pemuda yang sibuk menghabiskan nasi pecelnya. Pe-
muda tampan berbaju buntung warna putih seperti
warna celananya itu sejak tadi menikmati nasi pecel
tanpa tengok kanan-kiri. Agaknya ia benar-benar la-
par, sehingga mampu melahap nasi pecel sebanyak
dua piring.
Pemuda tampan berambut lurus sepundak
dengan tubuh tinggi, gagah, dan kekar itu bagaikan
tak peduli dengan lirikan beberapa pengunjung kedai.
Ia tahu orang-orang itu heran melihatnya makan se-
banyak itu, tapi ia tidak pedulikan keheranan orang
lain. Dengan satu kaki dinaikkan ke bangku dan pe-
dang kristalnya digeletakkan di meja sebelah kiri, pe-
muda itu menyantap makanannya dengan cuek sekali.
"Tambah separo lagi, Paman!" ujar pemuda itu
kepada si pemilik kedai; Ki Samekta.
Seseorang berbisik kepada temannya, "Bocah
itu habis diuber setan, kali. Lihat saja, makannya he-
boh sekali. Sudah habis dua piring masih tambah se-
paro lagi."
"Mungkin habis disuruh gali sumur oleh mer-
tuanya," ujar sang teman.
"Yang ku herankan, perutnya terbuat dari apa,
sehingga mampu menelan santapan sebanyak itu?"
"Mungkin perutnya dari karet, jadi bisa melar
kalau menampung makanan banyak."
"Benar-benar tak seimbang dengan ketampa-
nannya. Ganteng-ganteng makannya sebanyak itu.
Pasti yang jadi calon mertuanya bakalan tekor."
Pemuda berpedang kristal itu tak lain adalah
Pendekar Kembar bungsu yang dikenal dengan nama:
Soka Pura. Dia memang rada konyol, rada cuek, dan
rada bandel. Berbeda dengan kakaknya; Raka Pura,
yang tenang, kalem, dan punya rasa malu jika makan
di tempat umum sampai habis sebanyak itu. Sayang
sekali Raka Pura tidak ada di kedai Ki Samekta. Jika
saat itu Raka ada di kedai tersebut, pasti ia akan mela-
rang adiknya minta tambah nasi lagi kepada pemilik
kedai.
Selesai menghabiskan dua setengah piring nasi
pecel, Soka Pura menyambar tahu bacam dan dicap-
loknya tanpa ragu lagi. Duduknya sedikit santai, tidak
seserius tadi. Matanya memandang ke arah luar kedai
melalui jendela lebar yang penutupnya diganjal seba-
tang bambu biar tetap terbuka. Sambil menikmati lalu-
lalang para penduduk desa yang sibuk menghadapi
kedatangan sang hujan, Soka Pura menyambar sepo-
tong tempe goreng untuk disikatnya tanpa pandang
bulu lagi. Tentu saja kelahapannya itu menimbulkan
suara desak keheranan dari beberapa orang yang ada
di kedai tersebut.
"Jangan-jangan bocah itu kesurupan?! Yang
makan bukan dia sendiri, tapi setan yang merasukinya
ikut makan juga?" gumam seorang pengunjung kedai
kepada temannya. Sekalipun suara gumam itu pelan,
namun sebenarnya Soka Pura mendengar dengan jelas
apa yang dikatakan orang tersebut, namun ia tetap ti-
dak peduli.
Ia dan kakaknya dipanggil oleh Ki Lurah Mujo,
kepala desa tersebut, untuk diminta bantuannya me-
nyembuhkan sakit ibu Ki Lurah Mujo yang sudah ber-
bulan-bulan tak bisa bangun dari tempat tidur. Bagi
Pendekar Kembar, penyakit itu adalah penyakit yang
ringan. Karenanya, Soka menyerahkan urusan terse-
but kepada kakaknya. Kini kakaknya masih berada di
rumah Ki Lurah Mujo, sedangkan ia santai di kedai Ki
Samekta.
Suasana santai dan tenang itu tiba-tiba beru-
bah menjadi sedikit tegang. Soka Pura hentikan ku-
nyahan makanannya, dahinya segera berkerut tajam,
matanya kian dipertajam pula memandang ke arah ja-
lanan desa yang terlihat dari tempat duduknya. Ada
sesuatu yang menarik perhatian Soka Pura, dan sesu-
atu yang menarik perhatian itu cukup mengejutkan
bagi si Pendekar Kembar bungsu.
Seorang gadis cantik diikat kedua tangannya
dan ditarik-tarik agar mengikuti langkah seorang lelaki
berpakaian biru. Di belakang gadis itu ada dua lelaki
berusia sekitar tiga puluh tahun yang mendorong-
dorong tubuh si gadis dengan kasar. Ketiga lelaki itu
bersenjata golok, yang dua sudah dihunus dari sa-
rungnya.
"Ayo, cepat jalannya! Cepat!" sentak si lelaki
berpakaian hitam sambil mendorong gadis itu dengan
kasar, hingga langkah si gadis tersentak nyaris jatuh
tersungkur.
Gadis yang kedua tangannya diikat ke depan
dan dituntun seperti seekor kambing mau disembelih
itu, mempunyai wajah yang cantik mungil berambut
pendek. Ia kenakan pakaian kuning gading dengan
ikat kepala pita merah. Soka Pura sangat mengenal
gadis itu, sehingga ia menggumam lirih seperti bicara
pada diri sendiri.
"Bunga Dewi...?! Oh, ada apa dengan dirinya?!"
Gadis berusia sekitar delapan belas tahun itu
memang si Bunga Dewi alias Srigita, cucu dari Nyai
Gantari dan adik dari Panji Doyok. Pendekar Kembar
pernah selamatkan gadis itu dan Nyai Gantari alias si
Tupai Siluman dari pengejaran orang-orang kadipaten,
(Baca serial Pendekar Kembar dalam episode:" Korban
Kitab Leluhur"). Peristiwa itu belum lama terjadi, se-
hingga ingatan Soka tentang si mungil cantik Bunga
Dewi itu masih cukup segar.
Sementara itu, Soka juga mendengar dua orang
pengunjung kedai yang melihat ke arah jalanan dan
memperhatikan ke arah Bunga Dewi. Salah seorang
dari mereka terdengar berkata kepada temannya.
"Ada apa lagi dengan orang Perguruan Tengko-
rak Sungsang itu?!"
"Mungkin mau memperkosa gadis itu. Kasihan!"
Rupanya tiga lelaki yang menangkap Bunga
Dewi itu orang Perguruan Tengkorak Sungsang. Agak-
nya Bunga Dewi sendiri telah melakukan perlawanan
saat mau ditangkap, sehingga sudut mulutnya tampak
berdarah sedikit, dan pelipisnya memar. Tak jelas apa
persoalannya, yang pasti Soka Pura tak bisa melihat
gadis itu diperlakukan dengan kasar dan ditarik-tarik
seperti seekor kambing mau disembelih. Mereka yang
menuju perbatasan desa segera dikejar oleh Soka Pura
yang bergegas bangkit, lompati jendela kedai, dan lari
ke arah Bunga Dewi.
"Hei, Nak...! Jangan pergi, bayar dulu maka
nannya!" teriak Ki Samekta. Soka Pura tak hiraukan
seruan itu, ia tetap berlari cepat mengejar tiga orang
murid Perguruan Tengkorak Sungsang itu.
"Edan bocah itu! Makan habis banyak main ka-
bur saja!" omel Ki Samekta. "Apa dikiranya kedai ini
milik nenek moyangnya?! Huuh, ku sumpahi biar bu-
sung perutnya!"
Orang-orang di kedai sibuk bicarakan tiga lelaki
dari Perguruan Tengkorak Sungsang dan gadis cantik
itu. Mereka saling menduga-duga nasib buruk yang
akan dialami oleh si gadis tersebut. Omelan Ki Samek-
ta hanya didengar oleh mereka secara sepintas, namun
tak ada yang memberi komentar terhadap gerutu dan
omelan Ki Samekta itu.
Sebenarnya Soka Pura tidak bermaksud kabur
dari kedai Ki Samekta itu. Ia hanya ingin menyela-
matkan Bunga Dewi sebentar, lalu kembali lagi ke ke-
dai dan menyelesaikan urusannya dengan Ki Samekta.
Sebab menurut firasat Soka Pura, tiga orang dari Per-
guruan Tengkorak Sungsang itu tampaknya akan
memperlakukan Bunga Dewi dengan semena-mena.
Dilihat dari tampang mereka yang kusam dan berke-
san bengis, pasti mereka bukan orang-orang dari ali-
ran putih. Nama perguruan 'Tengkorak Sungsang' saja
sudah menjadi jaminan atas kesesatan aliran silat me-
reka.
Dengan menggunakan jurus 'Jalur Badai' yang
mampu bergerak cepat melebihi kecepatan badai be-
sar, Pendekar Kembar berhasil menghadang langkah
ketiga orang berwajah kusam itu. Tentu saja mereka
tidak melihat saat Soka Pura melintas di samping me-
reka, karena kecepatan gerak dari Jurus 'Jalur Badai'
memang sulit ditangkap oleh penglihatan mata normal.
Mereka hentikan langkah sebelum mencapai
perbatasan desa. Mereka menatap seorang pemuda
yang berdiri di tengah jalan dengan kedua tangan ber-
sidekap, sedangkan pedang kristalnya yang tampak
bagus dan mewah itu terselip di pinggang kanan. Den-
gan menyelipkan pedang di pinggang kanan, maka So-
ka Pura akan mudah mencabut pedang itu sewaktu-
waktu memakai tangan kirinya. Tiga orang berwajah
kusam itu belum tahu bahwa Pendekar Kembar bung-
su itu adalah pendekar bertangan kidal. Makan saja
pakai tangan kiri, salaman juga pakai tangan kiri, se-
hingga sering membingungkan orang yang diajak ber-
jabat tangan olehnya.
"Soka...?!" ucap Bunga Dewi dengan wajah ber-
seri ceria, namun ucapan itu hanya sebatas desahan
napas. Ia tak mau ketiga orang itu mendengar nama
Soka disebutkan.
"Hei, mau apa kau berdiri dl tengah jalan begi-
tu?!" hardik si baju biru yang memegangi tali ikatan
tangan Bunga Dewi. Soka Pura sunggingkan senyum.
Ia melangkah maju dengan kedua tangan masih bersi-
dekap di dada.
"Aku hanya ingin mentraktir makan gadis itu,"
ujar Soka dengan nada konyol. Bunga Dewi tersenyum
geli mendengar ucapan Soka. Tapi tiga orang Pergu-
ruan Tengkorak Sungsang itu menjadi dongkol men-
dengar kata-kata tersebut.
Dua orang yang berpakaian hitam segera maju
ke depan si baju biru. Mereka berdiri dalam jarak dua
langkah ke samping, dan tiga langkah di depan Pende-
kar Kembar bungsu. Di tangan mereka masing-masing
masih memegang golok putih berkilap menampakkan
ketajamannya.
"Jangan bercanda dengan kami, Bocah Ingu-
san! Kau belum tahu siapa kami?"
"Orang dari Perguruan Tengkorak Sungsang,
bukan?" jawab Soka sambil tetap menghiasi wajahnya
dengan senyum tipis yang kurang disukai oleh ketiga
lelaki berwajah kusam itu.
"Bagus! Kau sudah tahu siapa kami. Jadi ku-
harap kau segera menyingkir dan jangan bercanda
dengan kami! Golokku bisa merobek mulutmu jika kau
masih bercanda dengan kami!"
"Aku tidak bercanda. Aku benar-benar ingin
mentraktir gadis itu, yaah... sekadar makan-minum
secukupnya dan itu pun bayar sendiri-sendiri."
Tentu saja ketiga orang tersebut tak percaya
bahwa Soka ingin mentraktir Bunga Dewi. Ketiga orang
itu yakin bahwa Soka ingin merebut tawanannya. Ka-
rena itu, yang berbaju biru segera berseru kepada ke-
dua temannya yang berpakaian serba hitam itu.
"Sikat dia! Jangan biarkan menjadi perintang
langkah kita!"
Kedua orang berpakaian hitam segera menye-
rang Soka Pura dengan membabatkan golok mereka
dari dua arah. Wut, wut...! Soka Pura sengaja melom-
pat mundur selangkah untuk hindari kelebatan golok
lawan. Dengan cepat kakinya menendang ke arah kiri
kanan secara cepat dan berturut-turut. Bet, bet...!
Plak, plak...!
Tendangan itu kenai tangan mereka masing-
masing. Tendangan tersebut mempunyai kekuatan te-
naga dalam yang cukup lumayan besarnya, sehingga
kedua orang itu merasa tangannya dihantam dengan
besi besar.
"Auuh...!" salah seorang terpekik kesakitan. Go-
lok mereka lepas dan jatuh di tanah. Mereka sama-
sama menyeringai sambil mendekap tangan masing-
masing.
"Keparat! Pergelangan tanganku terasa remuk!"
ujar salah seorang dalam hatinya. Sementara itu, Soka
Pura segera bersikap tenang lagi dengan kedua tangan
masih tetap bersidekap di dada.
Namun agaknya dua orang berpakaian hitam
tak mau menyerah begitu saja. Salah seorang segera
memungut goloknya. Tapi Soka Pura cepat-cepat laku-
kan satu lompatan dan menyentakkan kakinya ke de-
pan. Buuhk...! Tendangan itu kenai pundak orang
yang memungut goloknya. Orang itu pun terpental dan
jatuh berguling-guling.
Satu orang lagi sedang melepaskan tendangan
pula ke arah kepala Soka. Wuuut...! Kaki panjang itu
berkelebat cepat, hampir saja kenai kepala Soka kalau
pemuda tampan itu tidak segera merundukkan kepala.
Kedua tangannya yang saling terlipat di dada
segera dilepaskan. Tangan kiri itu pun menyentak ke-
samping kanan dengan badan sedikit berputar dan sa-
tu kaki berlutut di tanah. Beet...! Sodokan telapak tan-
gan itu bukan jurus 'Kobra Liar'. Jika sodokan itu ada-
lah jurus 'Kobra Liar', maka lambung orang yang gagal
menendangnya itu akan robek seketika.
Sekalipun begitu, namun sodokan telapak tan-
gan yang tepat kenai lambung itu berhasil membuat
lawan terpental ke belakang. Ia jatuh terjungkal dua
kali, bagai habis diseruduk anak kerbau.
"Uuhkk...! Muleeess...!" rintihnya dengan suara
tertahan sehingga mirip suara seorang kakek.
Pendekar Kembar bungsu segera berdiri tegak
lagi dengan senyum tipis yang makin menjengkelkan si
baju biru. Orang itu hanya bisa memandang dengan
suara menggeram. Ia tak bisa menyerang Soka karena
harus pegangi tali pengikat tangan Bunga Dewi. Se-
dangkan jarak Soka darinya lebih dari satu jangkauan
kaki. Satu-satunya cara untuk melepaskan serangan
ke arah pemuda tampan itu hanya dengan melepaskan
pukulan tenaga dalam jarak jauh.
Wuuut...! Orang berbaju biru itu sentakkan
tangan kirinya dan seberkas sinar merah kecil berben-
tuk seperti kemiri itu melesat ke arah dada Soka Pura.
Pendekar Kembar bungsu tak mau buang-
buang tenaga, maka sinar merah itu hanya dihindari
dengan cara menyentakkan badan separo putaran
sambil miring ke kiri. Wuuut...!
Duaaarr...! Sebatang pohon di belakang Soka
menjadi sasaran. Pohon itu rusak berserat-serat, tapi
tak sampai hancur ataupun tumbang.
Kejap berikutnya, Soka berdiri tegak kembali,
tenang dan tampak waspada dalam senyum tipisnya.
Matanya memandang ke arah si baju biru yang sempat
tertegun sekejap melihat gerakan gesit Soka yang
mampu hindari sinar merahnya tadi.
Pada saat itu, Bunga Dewi sentakkan kedua
tangannya hingga tali yang dipegang orang berbaju bi-
ru itu terlepas. Sluup...! Kedua tangannya masih teri-
kat, namun gadis itu segera lompat sedikit dan me-
layangkan tendangannya ke wajah si baju biru yang
terkejut menatapnya itu. Bet...! Plook...!
Baju biru terpelanting dan terhuyung-huyung
mundur. Bunga Dewi segera berlari ke arah Soka Pura.
Kedua orang berpakaian hitam ingin mengejar, namun
terhenti seketika karena Bunga Dewi sudah berada di
belakang Soka Pura. Mereka takut diterjang Soka Pu-
ra.
"Setan keparat!" geram si baju biru. "Rupanya
kau ingin cepat menemukan liang kuburmu, hah?!"
"Apakah Kau tuli, Sobat? Dari tadi sudah kuka-
takan aku ingin mentraktir makan gadis ini! Bukan
mencari liang kuburku!"
"Grrmm...!" si baju biru menggeram penuh ke-
jengkelan. "Dia tawanan kami, Jangan coba-coba men-
gusik tawanan kami jika tak ingin cepat mati!"
"Mengapa gadis ini menjadi tawanan kalian?!
Apa kesalahannya?!" tanya Soka setelah melirik si can-
tik mungil itu sekejap.
"Dia... dia mencuri!"
"Mencuri apa?" desak Soka Pura.
"Mencuri... mencuri pusaka milik perguruan
kami. "Pusaka apa?!"
Bunga Dewi berbisik, "Bohong! Aku tidak men-
curi!"
"Pusaka apa yang dicurinya, hah?" Soka agak
membentak orang itu.
Tapi orang itu diam sesaat, hanya menggeram
sambil menatap Bunga Dewi. Kejap berikutnya ia men-
cabut goloknya yang dari tadi masih bertengger di
pinggang kiri itu.
"Dia mencuri pisau pusaka milik Guru kami!"
Pendekar Kembar bungsu melirik Bunga Dewi.
Di pinggang gadis itu memang ada sebilah pisau ber-
gagang gading. Soka pun tahu bahwa Bunga Dewi be-
rasal dari Tanah Keramat. Seluruh penduduk Tanah
Keramat adalah pencuri, pencopet, perampok, dan ada
juga yang berprofesi sebagai pelacur amatir. Bahkan
ketika Soka bertemu dengan Bunga Dewi yang pertama
kali, gadis itu habis mencuri kotak bermata bersama
neneknya; Nyai Gantari, si Tupai Siluman itu.
Pandangan mata Soka kali ini mengandung ra-
sa percaya kepada apa yang dikatakan si baju biru itu.
Bunga Dewi segera ngotot dengan wajah gusar.
"Aku tidak mencuri apa-apa dari mereka! Tu-
duhan itu fitnah semata, Soka!"
"Kau memang mencuri pisau pusaka Guru ka-
mi!" seru orang berpakaian hitam yang tadi tak sempat
dibuat mules oleh serangan Soka.
Tetapi pandangan mata Soka yang tertuju lagi
ke pisau di pinggang Bunga Dewi itu menimbulkan ke-
bimbangan dalam hatinya. Setahu Soka, pisau berga
gang gading itu dari dulu sudah dilihatnya berada di
pinggang Bunga Dewi. Apakah pisau itu adalah pisau
curian atau asli milik Bunga Dewi, Soka tak dapat
memastikan. Soka pun tak bisa mengerti, mana yang
harus dipercaya; tuduhan orang-orang itu atau penga-
kuan Bunga Dewi.
"Pisau ini pemberian dari nenek. Kalau tak per-
caya, tanyakan kepada nenekku sendiri!" ujar Bunga
Dewi kepada Soka yang tampak curiga pada pisau ga-
dingnya itu.
"Bocah kurapan!" seru si baju biru, "Kalau kau
tak mau serahkan pencuri itu, aku terpaksa akan me-
misahkan kepalamu dari lehernya!"
Bunga Dewi bicara kepada Soka sebelum pe-
muda itu serukan kata kepada si baju biru.
"Dia ingin menjual ku! Beberapa gadis juga
akan mereka jual kepada Penguasa Bukit Maut! Aku
berhasil lolos dari penjara. Mereka sedang mengum-
pulkan beberapa gadis untuk dijual ke Bukit Maut!"
Mendengar kata-kata itu, kebimbangan Soka
berkurang. Sementara itu, si baju biru menjadi sema-
kin berang kepada Bunga Dewi.
"Dasar mulut gadis busuk! Heeaah...!"
Baju biru melompat ingin menebaskan golok-
nya ke wajah Bunga Dewi. Tetapi kaki Soka segera
menendang sebongkah batu di depannya. Batu sebesar
satu genggaman itu segera melayang cepat bagaikan
bola. Wuuut...! Pitok...!
"Aaow...!" si baju biru memekik keras sambil
tersentak mundur dan jatuh terduduk dengan hempa-
san kuat. Biuuk...!
"Aaauuu...!"
Jidat orang itu bocor akibat terkena tendangan
batu. Darahnya mengalir deras membasahi seluruh
wajahnya. Pandangan matanya menjadi buram karena
saraf matanya ada yang rusak akibat benturan batu
sekeras tadi.
"Kita pulang saja! Adukan pemuda itu kepada
Guru! Biar Guru yang menghajarnya!" seru orang ber-
baju hitam yang tak sempat mules itu.
"Awas kau! Tunggu pembalasan dari kami,
Bangsat...!!" teriak si baju biru sambil diseret pergi
oleh kedua temannya. Mereka segera berlari tinggalkan
tempat dengan diikuti pandangan mata Soka Pura.
Setelah ketiganya menghilang dari pandangan
mata, Soka pun berbalik menatap si mungil Bunga
Dewi. Gadis itu sedang sunggingkan senyum kecil ke
arah kepergian tiga orang itu.
"Benarkah kau tidak mencuri apa-apa dari me-
reka?!"
"Belum!" jawab gadis itu tenang sekali. "Kuden-
gar kau ingin mentraktir ku makan? Kapan itu terjadi,
Soka?"
Pendekar Kembar bungsu tersenyum geli. "Kita
ke kedai sekarang juga!" sambil mengawali langkahnya
dengan mencekal lengan Bunga Dewi.
"Soka, kau pikir aku dapat makan dalam kea-
daan kedua tangan terikat begini?"
Soka Pura tertawa semakin geli. Gadis itu min-
ta dilepaskan tali pengikat kedua tangannya, tapi Soka
sengaja menggoda dengan membiarkan tangan itu te-
tap terikat.
"Kalau kau tak mau melepaskan tail pengikat
ini, lebih balk kita tak Jadi makan saja!" si gadis cem-
berut, dan Soka Pura suka melihat wajah cantik mun-
gil itu cemberut.
"Kau cantik kalau cemberut terus begitu," ujar
Soka makin menggoda.
"Kau suka kalau aku cepat tua?!"
"Orang sepertimu tak akan cepat tua, Bunga!"
sambil Soka tetap melangkah ke arah kedai Ki Samek-
ta.
"Heii...! Buka dulu ikatan ku ini!" desak Bunga
Dewi dengan nada sewot.
"Sebelum aku yakin kau tidak mencuri pisau
pusaka itu, aku tak akan melepaskan tali pengikat di
tanganmu itu!"
"Jadi kau masih tak percaya bahwa pisau di
pinggangku ini adalah pisau pemberian nenek?!" Gadis
itu hentikan langkah dengan wajah protes.
Ia menyambung kata, "Bukankah sejak kita
bertemu beberapa waktu yang lalu, kau pernah memu-
ji keindahan pisauku ini?"
"Ya. Aku memang pernah memuji keindahan
pisau mu itu. Tapi... mungkin saja waktu itu pisau ini
belum lama kau curi dari pemiliknya?!"
"Soka? Setega itukah kau menuduhku?!" si ga-
dis mulai bernada sedih. Soka Pura menjadi tak tega
dan diliputi kebimbangan kembali.
*
* *
2
ORANG-ORANG kedai masih sibuk membicara-
kan tentang si gadis yang tertangkap orang Perguruan
Tengkorak Sungsang itu. Sesaat kemudian, Raka Pura
segera masuk ke kedai tersebut. Urusannya dengan Ki
Lurah Mujo telah selesai. ibu Ki Lurah Mujo telah se-
hat secara ajaib, karena Raka lakukan penyembuhan
memakai Jurus 'Sambung Nyawa' yang menjadi anda-
lannya dalam tiap mengobati luka dan penyakit siapa
pun itu.
Mata si Pendekar Kembar sulung memandangi
tiap wajah orang yang ada di kedai. Dalam hatinya
berkata, "Katanya dia mau makan di kedai ini? Tapi ke
mana si konyol itu?!" Rupanya ia mencari Soka Pura
yang berjanji akan menunggunya di kedai tersebut.
Hati pun sempat dongkol karena sang adik tidak tam-
pak di situ.
"Pasti sedang tergiur senyuman janda genit!
Hmmm... kutunggu saja di sini sambil mengisi perut.
Aku juga lapar!"
Orang-orang kedai beralih perhatian kepada
pemuda tampan berpedang kristal itu. Raka Pura tak
peduli diperhatikan mereka, karena ia sudah sering
menerima tatapan mata dari sekelompok orang yang
merasa kagum atau merasa asing kepadanya.
Beberapa orang mulai berkasak-kusuk membi-
carakan si pemuda tampan.
"Itu dia pemuda yang makannya banyak sekali
tadi!"
"Iya. Kusangka ia akan kabur selamanya."
"Rupanya dia merasa punya tanggung jawab
juga atas makanan yang dihabiskannya tadi!" ujar me-
reka yang menyangka Raka adalah Soka Pura. Mereka
tidak tahu bahwa Soka mempunyai saudara kembar
yang wajah dan penampilannya serupa persis, sehing-
ga sukar dibedakan.
Raka segera duduk di bangku, secara kebetulan
ia duduk di bangku yang tadi dipakai duduk Soka Pu-
ra.
"Lapar-lapar begini makan nasi pecel pasti enak
sekali!" pikirnya. Kemudian ia memesan nasi pecel ke-
pada pelayan yang datang mendekatinya.
"Nasi pecel satu dan... teh manis!"
"Hahh...?" mereka terperanjat heran dengan
mulut terbengong. Hampir semua yang ada dl kedai
dan yang tadi melihat Soka makan banyak itu terbela-
lak memandangi Raka Pura.
"Gila! Dia masih mau makan nasi pecel lagi?!"
"Ck, ck, ck, ck...."
"Dasar perut kebo?!" gumam mereka terheran-
heran.
Raka menyambar sepotong tahu bacam yang
tersedia di piring khusus lauk pauk. Tanpa ragu-ragu
ia mencaplok tahu bacam itu dengan cabe rawitnya.
Sekalipun ia tahu diperhatikan oleh mereka, tapi ia te-
tap tak peduli. Hanya sedikit heran dan bertanya da-
lam hati, "Mengapa mereka memandangi ku dengan
terbengong begitu, ya?"
Ki Samekta yang tadi ada di dapur, kini muncul
setelah diberi tahu oleh pelayannya tentang si pemuda
yang tadi melarikan diri itu. Ki Samekta segera dekati
Raka Pura dengan wajah ketus.
"Kau pesan apa lagi?"
"Oh, hmmm...," Raka memberi senyuman ra-
mah. "Aku hanya pesan nasi pecel dan teh manis saja,
Pak Tua!"
"Boleh saja. Tapi bayar dulu!"
"Hei, kenapa harus begitu? Apakah kau tak
percaya padaku, Pak Tua?"
"Tidak! Aku tidak bisa percaya lagi pada anak
muda berandalan sepertimu! Bayar dulu, baru ma-
kan!"
Raka Pura bertahan untuk tetap sabar, walau
sebenarnya hatinya tersinggung oleh sikap Ki Samekta
yang menyangka Raka adalah Soka Pura. Raka segera
mengeluarkan uangnya, karena ia habis mendapat ha-
diah dari Ki Lurah Mujo atas keberhasilannya me-
nyembuhkan Ibu si kepala desa itu. Walau Raka sudah
menolak, tapi Ki Lurah Mujo tetap mendesaknya agar
uang itu diterima sebagai bekal dl perjalanan nanti.
Sekarang uang itu sengaja dipamerkan di de-
pan Ki Samekta. Setumpuk uang dl tangan Raka
membuat Ki Samekta terbelalak dan orang-orang yang
memperhatikan juga mendelik kagum.
"Mungkin dia tadi lari untuk mencopet uang
orang. Setelah hasil copetannya diperoleh, ia kembali
lagi kemari untuk melunasi hutangnya kepada Ki Sa-
mekta," bisik salah seorang dari mereka.
"Berapa aku harus membayarnya, Pak Tua?!".
"Delapan sikal!"
"Hahh...?! Banyak sekali?!" Raka Pura pun ter-
kejut mendengar nilai uang sebanyak itu. Kira-kira ka-
lau dikurs-kan ke masa sekarang, Raka harus mem-
bayar delapan belas ribu rupiah untuk pesanan satu
piring nasi pecel dan secangkir teh manis. Tentu saja
hal itu sangat mengejutkan dan ditentang oleh Raka
Pura.
"Pak Tua, sebenarnya kau mau dagang nasi
atau mau merampok orang?! Masa' sepiring nasi pecel
dan teh manis, ditambah sepotong tahu bacam har-
ganya segitu mahal?!"
"Untuk pesanan sepiring nasi pecel, secangkir
teh manis, sepotong tahu bacam, memang tak mahal!
Tapi kau harus bayar biaya makanmu tadi! Dan jan-
gan coba-coba kabur lagi kalau tak ingin kuserampang
pakai sabit ini!" sambil Ki Samekta mengeluarkan sabit
yang ternyata sejak tadi sudah dibawanya dan disem-
bunyikan ke belakang.
Melihat dirinya diancam dengan sabit, Raka Pu-
ra mulai curiga dan bersikap hati-hati. "Pasti terjadi
salah paham!" pikirnya sambil garuk-garuk kepala.
Ki Samekta berkata, "Biar usiaku sudah setua
ini, tapi dulu aku bekas pelempar pisau tercepat di an-
tara dua saudaraku! Kalau kau berani kabur lagi, ku-
serampang perutmu pakai sabit ini! Akan kuambil lagi
apa yang sudah kau telan dari sini!"
"Pak Tua, kurasa kau salah paham."
"Tidak! Tidak ada istilah salah paham bagi Ki
Samekta!" sambil ia menepuk dada sendiri. "Biar su-
dah tua, tapi aku belum pikun! Dan semua orang di
desa ini tahu, bahwa aku tidak akan segan-segan me-
nindak siapa pun yang makan tidak bayar langsung
kabur seperti yang kau lakukan tadi!"
Raka Pura berkerut dahi memandang tajam
pada Ki Samekta.
"Aku baru datang, Pak Tua!"
"Jangan berlagak bodoh, Nak! Cepat bayar ma-
kananmu yang tadi!"
Salah seorang dari pengunjung kedai itu ada
yang berseru, "Iya, sudah bayar sajalah! Kasihan Ki
Samekta. Jangan begitu, Kawan! Kalau habis makan di
kedai, ya harus bayar. Kecuali kedainya milik mertua-
mu!"
"Hah, hah, hah, haa...!" mereka menertawakan
celetukan orang itu.
"Ini pasti kekonyolan Soka Pura! Brengsek anak
itu!" geram Raka dalam hatinya.
"Pak Tua, perlu kau ketahui, bahwa yang tadi
makan di sini dan pergi itu adalah adik kembar ku.
Bukan aku!"
"Hueh, hehh, hehh, hehh...!" Ki Samekta Justru
tertawa terkekeh-kekeh dalam makna meremehkan
pengakuan Raka. Ki Samekta berkata kepada orang-
orang di sekitarnya.
"Sekarang dia mengaku punya adik kembar?!
Hmmm... mana mungkin! Dia pikir kita akan men-
ganggapnya sebagai si Pendekar Kembar yang budi-
man itu?! Pulh...!"
Orang-orang tertawa lagi. Raka Pura menjadi
malu, karena sekarang ia tahu ada kasus 'mabur' ha
bis makan kabur.
"Hei, Sobat...!" seru salah seorang pemuda se-
baya yang juga sedang makan di kedai itu.
"Kalau mau jadi penipu, jadilah penipu yang
rapi. Tak usah mengaku-ngaku punya saudara kembar
segala, nanti kau dianggap menjatuhkan nama besar si
Pendekar Kembar itu!"
Salah seorang menyahut, "Pendekar Kembar
sedang ada di rumah Ki Lurah! Kalau mereka menden-
gar pengakuanmu, bisa-bisa wajahmu penyok ke sana-
sini dihajar mereka!"
Kini Raka Pura sedikit tersenyum karena geli
mendengar celoteh mereka. Mereka belum tahu siapa
orang yang dinasihati itu.
Mau tak mau Raka Pura harus memaklumi ke-
salahpahaman itu. Akhirnya ia mengalah, memberikan
sejumlah uang yang diminta Ki Samekta sebagai pem-
bayaran makannya Soka tadi. Raka pun merasa sia-sia
jika ngotot mengaku sebagai Pendekar Kembar. Belum
tentu membuat mereka percaya, namun justru akan
membuatnya ditertawakan mereka.
"Aku yakin si konyol itu pasti kembali ke sini!
Ayah tak pernah mendidik kami menjadi orang curang
begitu! Pasti ada sesuatu yang membuat Soka sekonyol
ini! Jika perlu dia harus kuberi pelajaran supaya lain
kali tak bertindak sebodoh ini! Hmm... benar-benar
memalukan sekali!" gumam Raka dalam hatinya.
Angin kencang yang tadi berhembus ternyata
justru menyingkirkan mendung. Hari tak jadi hujan.
Soka Pura tak terlalu terburu-buru membawa Bunga
Dewi ke kedai Ki Samekta. Namun akhirnya mereka
sampai juga di kedai itu dalam keadaan kedua tangan
Bunga Dewi masih terikat. Tentu saja si gadis cembe-
rut terus, dan kecantikannya semakin menggemaskan
hati Soka Pura.
Begitu mereka masuk ke kedai, orang-orang
memandangnya dengan mata terbuka dan mulut ter-
bengong. Kemudian mata mereka memandang secara
bergantian antara Soka dan Raka yang duduk me-
munggungi pintu masuk. Tapi Raka tadi sudah melihat
saat Soka menuju ke kedai bersama Bunga. Hati Raka
sempat diliputi keheranan melihat Bunga Dewi bersa-
ma Soka. Namun rasa kesal Raka terhadap adiknya
masih menggeramkan hati.
Orang-orang yang kebingungan melihat ke-
munculan Soka bersama Bunga Dewi itu nyaris tak
memperhatikan si gadis, tapi kesamaan rupa dan pe-
nampilannya dengan Raka itulah yang menjadi pusat
perhatian mereka, termasuk Ki Samekta yang ada di
balik meja nasi itu.
"Busyet! Rupanya mereka benar-benar anak
kembar?!" gumam salah seorang. "Yang melarikan diri
tadi yang mana, ya?"
"Kurasa yang baru datang bersama gadis itu,"
bisik teman orang tersebut. Tak satu pun dari mereka
ada yang berani bercuit atau celetuk-celetuk seperti
tadi. Mereka menjadi mengkerut, seperti jangkrik men-
dengar suara langkah kaki manusia.
Soka Pura tersenyum girang melihat kakaknya
sudah ada di situ, ia segera hampiri sang kakak yang
telah berdiri bagai mau menyambut kedatangannya.
"Raka, lihat siapa yang kubawa ini?! Dia tadi...."
Plaak...!
Raka Pura menampar adiknya cukup keras.
Suara tamparannya bagai menggema di dalam kedai,
semua orang mendengarnya. Mereka sama-sama terke-
jut melihat Soka ditampar oleh kakaknya yang berwa-
jah dingin menandakan sedang memendam kemara-
han itu.
Soka Pura mundur dua langkah sambil bersungut-sungut dan mengusap-usap pipinya.
"Kenapa kau ini?! Kesurupan, ya?!" Soka sewot
seperti waktu masih bocah dulu.
"Lain kail kalau kau lakukan tindakan yang
memalukan lagi, kuhajar kau!" ancam kakaknya den-
gan wajah tanpa senyum sedikit pun.
Soka mendekat dengan nada protes. "Apa mak-
sudmu berkata begitu?! Mengapa kau tiba-tiba me-
namparku dan...." Plaak...!
Raka menyampluk wajah adiknya dengan kiba-
san tangan. Tapi dengan cekatan kibasan tangan sang
kakak ditangkisnya. Hanya saja, Soka segera berlari
menjauh sambil cemberut seperti anak kecil takut ke-
pada kakaknya. Bunga Dewi jadi ikut-ikutan Jauhi
Raka.
"Gila kau ini!" sentak Soka.
"Pak Tua... apakah anak itu yang tadi makan
tidak bayar dan segera kabur?!" seru Raka kepada Ki
Samekta.
"Hmm, ehh... iya!" jawab Ki Samekta dengan
gugup. "Tapi... tapi sudahlah. Jangan bertengkar di si-
ni!"
"Dia adik kembar ku! Sekarang kau percaya,
Pak Tua?!"
"Iya... aak... aku percaya, Nak. Sudahlah, Jan-
gan berkelahi!"
"Biar dia adikku kalau tindakannya memalukan
tetap harus kuhajar!"
"Bukan begitu... soalnya kalau kalian berkelahi
di sini, daganganku hancur, lalu siapa yang mau kasih
ganti rugi?! Sudahlah, damai-damai saja...!" bujuk Ki
Samekta yang mulai merasa bersalah karena telah
mempermalukan Raka di depan orang banyak.
"Sini kau...!" panggil Raka kepada adiknya.
"Aku pindah kedai saja!" ujar Soka dengan
cemberut. "Memangnya yang Jualan nasi pecel hanya
di kedai ini?!"
"Sini kau, Soka!"
"Malas!" bentak Soka sambil melangkah mun-
dur dekati pintu, wajahnya masih bersungut-sungut
penuh kedongkolan.
Raka menyambar pedangnya yang tadi digele-
takkan di meja. Soka pun mencabut seluruh pedang
dan sarungnya dari pinggang. Bunga Dewi menjerit ke-
ras-keras.
"Aaaaaaaaaaa...!!"
Kedua pemuda kembar itu segera tersentak dan
menatap Bunga Dewi. Mereka bergegas hampiri Bunga
Dewi yang berdiri di dekat Ki Samekta.
"Ada apa, Bunga...?!" tanya Raka dan Soka ber-
samaan.
"Berkelahinya nanti saja! Sekarang lepaskan
dulu tali pengikat tanganku ini!"
Akhirnya kedua pemuda kembar itu sama-
sama saling hembuskan napas, mengendurkan kete-
gangan mereka. Mereka justru saling pandang, lalu
melirik ikatan di tangan Bunga Dewi, saling tatap lagi,
akhirnya Raka berkata sambil kembali ke tempat du-
duknya.
"Lepaskanlah dia, Soka!"
"Kau saja...," seraya Soka ikut ke tempat duduk
kakaknya.
"Mengapa kau ikat tangan si Bunga?!"
"Bukan aku yang mengikatnya!"
"Lalu siapa?!"
"Orang-orang Perguruan Tengkorak Sungsang
itu!"
"Mengapa dia diikat?" "Karena dia ditangkap!"
"Iya. Maksudku mengapa dia ditangkap orang-
orang itu?"
"Dituduh mencuri!"
"Hah...?!" Raka menatap Bunga Dewi. Kemu-
dian ia melambaikan tangan. "Bunga, sini duduk...!"
Bunga Dewi mendekat dengan cemberut.
Orang-orang saling berkasak-kusuk membicarakan
rupa kembar itu dan keadaan si gadis yang masih teri-
kat. Lalu segera muncul seorang lelaki kurus yang di-
kenal oleh mereka sebagai pelayannya Ki Lurah Mujo.
Pelayan itu menggeragap sebentar, matanya meman-
dang ke sana-sini, kemudian tersenyum girang ketika
menemukan Raka duduk di depan jendela kedai.
"Nah, kebetulan Tuan Raka masih ada di sini!"
ujar si pelayan Ki Lurah Mujo seraya mendekat, mem-
bawa bungkusan dari daun pisang berminyak.
Raka Pura segera bersikap ramah kepada pe-
layan Ki Lurah Mujo itu.
"Ada yang tertinggal, Tuan Raka! Hmm... ini, ti-
tipan dari Nyai Lurah. Ketan uli. Lumayan buat bekal
di perjalanan nanti!"
"Seharusnya Mak Nyai tidak perlu repot-repot
begin!. Tapi... sampaikan saja pada beliau, aku banyak
haturkan terima kasih atas perhatiannya yang besar
Ini!" ujar Raka kepada sang pelayan itu.
Orang tersebut segera pamit. Tapi sebelum ke-
luar dari kedai, Ki Samekta sempat bertanya kepa-
danya.
"Siapa pemuda yang dapat bingkisan dari Nyai
Lurah itu?!"
"O, dia tadi sembuhkan ibu Ki Lurah. Mereka
berdua itulah yang berjuluk Pendekar Kembar!"
"Haahh...?!" Ki Samekta dan beberapa orang
yang mendengarnya terperangah kaget.
"Apa kalian belum pada tahu kalau mereka itu
Pendekar Kembar?! Uuh... payah kalian! Kuno! Keting-
galan zaman!" sambil si pelayan berlalu keluar dari ke
dai. Mereka masih tertegun bengong dengan wajah te-
gang, merasa takut akan cemoohan yang tadi mereka
lontarkan kepada Raka Pura itu. Sedangkan Raka
hanya tersenyum kecil seraya menatap Ki Samekta
yang pucat.
Perhatian Raka Pura segera beralih pada tan-
gan Bunga Dewi yang masih terikat. Soka melarang
Raka melepaskan tali pengikat itu, walaupun Bunga
Dewi sudah mendesak beberapa kali.
"Sebelum aku yakin betul bahwa kau tidak ber-
salah, tidak mencuri pisau pusaka itu, aku belum in-
gin membuka ikatan mu!"
"Harus dengan cara apa aku membuktikan-
nya?!"
Ki Samekta mendekat, "Mau makan apa, No-
na?"
"Nasi rawon!" jawab Bunga Dewi dengan cepat
sambil cemberut.
"Tuduhan itu hanya sebagai alasan saja bagi
mereka agar bisa menangkapku dan menjual ku kepa-
da...." "Minumnya apa, Nona?"
"... kepada air jeruk!" lanjut Bunga Dewi men-
jadi kacau karena Ki Samekta menyela dalam pembica-
raan itu.
Mereka bicara terus tentang kejujuran si gadis.
Sementara itu, hidangan yang dipesan oleh si gadis te-
lah disajikan. Mau tak mau si gadis protes karena tak
bisa makan dalam keadaan kedua tangan diikat. Ak-
hirnya, si pemuda tampan yang konyol itu mendulang
Bunga Dewi sambil bicara kepada kakaknya tentang
pengakuan Bunga Dewi.
"Di Sana ada lima gadis sebayaku yang siap di-
jual ke Bukit Maut!" ujar Bunga Dewi yang segera me-
nerima suapan nasi dari Soka Pura. Ia bicara kepada
Raka, dan Raka tampak menyimak betul pengakuan
itu.
"Untuk apa mereka menjual gadis-gadis ke Bu-
kit Maut?" tanya Raka.
"Entahlah. Aku tak jelas maksud mereka. Tapi
kurasa yang dibutuhkan oleh penguasa Bukit Maut itu
adalah keperawanan seorang gadis."
"Siapa penguasa Bukit Maut itu?"
"Darah Kula!" jawab si gadis dan suaranya yang
agak keras itu membuat orang-orang di sekitarnya
hentikan suara, hentikan gerakan, semua menatap
Bunga Dewi. Tatapan mata mereka tampak mengan-
dung ketegangan yang menyeramkan hati masing-
masing.
"Hati-hati menyebut nama itu, Nona," kata Ki
Samekta yang tampak ketakutan juga.
"Mengapa harus hati-hati, Pak Tua?" tanya Ra-
ka, namun Ki Samekta justru pergi, sepertinya tak be-
rani jelaskan tentang nama Darah Kula itu. Kepergian
tersebut membuat Raka dan Soka sama-sama heran
dan menyimpan rasa ingin tahu lebih banyak lagi ten-
tang si Darah Kula itu.
*
* *
3
BUNGA Dewi dalam perjalanan ke Pantai Sintar
untuk menemui seorang sahabatnya. Ketika ia mele-
wati lembah curam, tiba-tiba disergap oleh empat
orang lelaki bertampang sangar namun rata-rata ber-
tubuh kurus. Pertarungan pun terjadi. Dengan mudah
mereka dapat lumpuhkan Bunga Dewi. Gadis itu sege-
ra dibawa ke Perguruan Tengkorak Sungsang. Ketua
perguruan itu bernama Jagat Lancang; bertubuh ku-
rus, bermata cekung, berkepala gundul, mirip tengko-
rak hidup.
Bunga Dewi dimasukkan dalam sebuah kamar
yang sudah berisi lima orang gadis sebayanya. Lima
orang gadis itu juga tawanan si Jagat Lancang. Mereka
sudah tiga hari disekap di situ, bahkan ada yang su-
dah lima hari.
"Kita akan dijual ke Bukit Maut. Di sana sudah
ada orang yang akan membeli kita, yaitu penguasa Is-
tana Merah di bukit itu yang bernama Darah Kula,"
ujar gadis yang sudah lima hari disekap di situ.
"Dari mana kau tahu?" tanya Bunga Dewi.
"Kemarin kudengar percakapan dua penjaga
yang lewat di depan kamar ini. Mereka mengumpulkan
gadis-gadis sebaya kita sampai sepuluh orang, baru
dibawa ke Bukit Maut."
Pada suatu kesempatan, Bunga Dewi berhasil
lolos dari pertahanan mereka dan melarikan diri mele-
wati desa tempat Ki Samekta buka kedai Itu. Tapi ia
segera tertangkap kembali oleh anak buah si Jagat
Lancang itu.
"Bagaimana kau bisa tetap membawa pisaumu
itu?" tanya Soka setelah selesai mendengarkan penje-
lasan lengkap dari Bunga Dewi.
"Kebetulan penjaga yang ku lumpuhkan perta-
ma kali adalah orang yang menyimpan pisauku ini!
Maka kuambil pisau ini dan aku segera meloloskan diri
dari benteng perguruan tersebut."
"Semudah itukah kau lolos?!" tanya Raka agak
sangsi.
"Tentu saja tidak semudah itu. Aku mendekam
di dalam kandang kambing sampai petang tiba. Dari
situ aku bisa lolos keluar dengan memanjat sebuah
pohon. Tapi gerakanku ada yang melihatnya, lalu aku
dikejar dan berhasil bersembunyi di salah satu rumah
penduduk desa ini!"
"Tentunya kau bisa melawan dengan pisaumu
saat dikejar oleh tiga orang yang menangkapmu lagi
itu," pancing Soka.
"Memang. Tapi sebelum ku cabut pisauku, me-
reka sudah membuatku tak berdaya. Serangan mereka
datang bertubi-tubi dan sukar ku hindari. Ilmuku ka-
lah tinggi dengan ilmu mereka bertiga. Apakah kau tak
melihat sudut bibirku ini sedikit robek?!" Bunga Dewi
menunjukkan luka di sudut mulutnya. Raka Pura
manggut-manggut dalam gumam.
"Lepaskan saja ikatannya!" kata Raka kepada
adiknya. "Kujamin ceritanya memang benar!"
"Dari mana kau bisa tahu kalau ceritanya me-
mang benar?!"
Raka berbisik pada Soka, "Kuperhatikan sejak
tadi, Ki Samekta menyimak percakapan kita. Ia tam-
pak cemas sekali mendengarkan cerita Bunga. Agak-
nya ia menyimpan rahasia tentang Darah Kula."
"Itu bukan alasan yang cukup untuk memper-
cayai kata-kata Bunga!" Soka ganti berbisik.
"Lihat tepian kaki si Bunga, masih ada sisa ko-
toran kambing. Apakah kau tak mencium baunya?"
Ternyata apa yang dibisikkan Raka itu memang
benar. Ada sisa kotoran kambing sedikit di tepian kaki
Bunga Dewi, sebagai tanda bahwa ia memang bersem-
bunyi cukup lama di kandang kambing. Aroma bau
kambing pun masih tercium samar-samar dari pakaian
si gadis. Aroma bau kambing itu baru disadari oleh
Soka setelah ia nekat mencium rambut Bunga Dewi.
Bunga menyangka Soka ingin berbuat jahil ke-
padanya hingga ia mendesah dan mengelak. Tapi bau
kambing itu sudah cukup tercium oleh hidung Soka,
sehingga akhirnya Soka pun melepaskan tali pengikat
kedua tangan Bunga Dewi.
Ketika kedai mulai sepi, mereka bertiga belum
beranjak dari tempatnya. Sore mulai datang, dan me-
reka memang menunggu saat-saat sepi seperti itu.
Raka Pura segera memanggil Ki Samekta den-
gan lagak ingin membayar seluruh biaya makan-
minum mereka di situ.
Ketika Ki Samekta mendekat, Raka menyuruh-
nya duduk. Sejumlah uang dipaksakan agar tergeng-
gam oleh Ki Samekta.
"Terlalu banyak uang ini, Nak. Jauh lebih cu-
kup untuk membayar semua biaya makan-minum ka-
lian."
"Kau bisa menyimpan sisanya, Pak Tua."
"Ooh, terima kasih, terima kasih...." Ki Samekta
tampak girang. Namun si Pendekar Kembar sulung bu-
ru-buru berkata lebih pelan lagi.
"Sebagai imbalan dari uang lebihan itu, aku in-
gin mendapat penjelasan darimu tentang Darah Kula!"
"Hmm, eeh, ooh, anu... aku tak berani, Nak!"
"Apa yang membuatmu takut menjelaskan ten-
tang Darah Kula?! Apakah di sini ada mata-matanya
Darah Kula?!" desak Soka membantu bujukan kakak-
nya.
Ki Samekta tampak gelisah sekali.
"Hmmm... aku tak tahu apakah di sini ada ma-
ta-matanya atau tidak. Tapi... tapi aku tak sanggup
menjelaskan tentang orang keji itu."
"Apa yang membuatmu tak sanggup?"
"Aku...," wajah Ki Samekta menjadi semakin
mendung. Tampaknya ia menyimpan kesedihan yang
cukup besar dalam hatinya. Tapi karena Soka dan Ra-
ka mendesaknya terus-menerus secara bergantian dan
dengan tutur kata yang lembut, maka akhirnya Ki Sa-
mekta pun kemukakan alasannya.
"Sebab... sebab jika aku mendengar nama Da-
rah Kula, aku ingat dengan nasib anak gadisku yang
bernama Supami."
"Apa yang terjadi atas diri Supami, Pak Tua?"
tanya Raka setelah melirik Bunga Dewi sebentar. Gadis
yang dilirik itu sengaja diam saja karena ingin menyi-
mak baik-baik apa yang akan diutarakan oleh Ki Sa-
mekta.
"Supami.... Supami adalah putri bungsu ku.
Usianya sekitar... yah, sebaya denganmu, Nona!" sam-
bil mata Ki Samekta ditujukan kepada Bunga Dewi.
"Di mana Supami sekarang?" tanya Bunga De-
wi, Ikut memancing penjelasan lebih lanjut.
"Dia... dia sudah empat purnama tidak kembali.
Semula ia diajak pergi oleh kekasihnya yang menjadi
murid Perguruan Tengkorak Sungsang itu. Bukan
hanya Supami saja yang pergi, namun kedua sahabat-
nya yang masih gadis juga diajak pergi oleh Wiloka,
kekasihnya Supami.itu. Menurut Wiloka, anakku akan
dicarikan kerja di kotaraja dengan penghasilan tinggi.
Tapi ternyata...."
Pemilik kedai itu diam sesaat. Segumpal duka
menyesal di dada dan menghambat pernafasannya. Ia
terpaksa tarik napas panjang-panjang, setelah itu lan-
jutkan ceritanya dengan suara bergetar menahan ke-
sedihan.
"Tapi ternyata mereka dijual kepada Darah Ku-
la melalui sekutunya; si Jagat Lancang. Hal itu kuke-
tahui setelah salah satu sahabat anakku berhasil me-
larikan diri dalam keadaan luka-luka berat. Dialah
yang menceritakan segalanya tentang si Darah Kula.
Tapi... anak itu akhirnya tak kuat menahan luka-
lukanya, sehari kemudian ia meninggal."
"Apa saja yang diceritakan oleh gadis itu, Pa-
man?" tanya Soka setelah Ki Samekta membisu terlalu
lama.
"Darah Kula adalah manusia pengisap darah
perawan."
"Ooh...?!" Bunga Dewi terperanjat tegang.
"Para gadis yang dijual kepadanya bukan untuk
diperkosa atau dijadikan budak, namun diisap darah-
nya hingga terkuras habis. Darah Kula adalah manu-
sia keturunan Iblis. Ia tidak bisa hidup dari makanan
dan minuman yang layaknya kita nikmati ini. Kekua-
tannya pada darah perawan."
"Menyeramkan sekali!"* gumam Bunga Dewi
sambil bergidik merinding.
"Jika dalam satu hari Darah Kula tak memi-
num darah perawan, maka tubuhnya akan menjadi
lemah. Semakin banyak darah perawan dihirupnya,
semakin tinggi daya kesaktiannya," tutur Ki Samekta
menyambung penjelasannya tadi.
"Lalu, menurut gadis yang berhasil pulang ke
rumah itu, apakah Supami juga diperlakukan demi-
kian?"
"Semua gadis yang dijual Jagat Lancang men-
galami nasib demikian. Setelah darahnya dihirup ha-
bis, gadis itu dibunuh dan... dan entah dikubur di ma-
na mayatnya. Sampai sekarang aku tak pernah tahu di
mana mayat anakku dimakamkan oleh mereka," Ki
Samekta semakin parau.
"Apakah kau tahu tentang kesaktian dan kele-
mahan si Darah Kula, Paman?" tanya Soka.
Ki Samekta menatap Soka, lalu gelengkan ke-
pala dengan lemah. Ia menunduk lagi, tapi kali ini sua-
ranya kembali terdengar agak parau.
"Jika kau ingin tahu tentang Darah Kula, pergi-
lah ke Lembah Semangit, carilah orang yang bernama
Resi Bayakumba."
"Nama yang masih asing bagi kami, Paman."
"Resi Bayakumba adalah sahabatku. Dulu ia
pernah singgah kemari dan menyebut-nyebut nama
Darah Kula yang bangkit dari kematiannya. Tapi cerita
itu terpotong oleh kehadiran tamu lain, sehingga sam-
pai Resi Bayakumba pulang, aku tak mendengar lagi
cerita tentang Darah Kula!"
"Hmmm... kalau begitu kita harus segera temui
Resi Bayakumba itu, Raka!"
"Ya. Tapi di mana letak Lembah Semangit?!"
"Jika kalian berjalan lurus ke timur dari desa
ini, maka kalian akan menemukan sungai di tepi hu-
tan. Di situlah Resi Bayakumba tinggal bersama murid
tunggalnya," ujar Ki Samekta.
"Aku tak mau ikut jika kalian ke sana!" sergah
Bunga Dewi dengan menarik badan hingga duduknya
yang semula maju ke depan menjadi tegak kembali.
"Mengapa kau tak mau ikut ke sana?!" tanya
Soka Pura yang agaknya sedikit keberatan jika Bunga
Dewi tak ikut dalam perjalanannya. Karena gadis can-
tik itu sebenarnya menyenangkan hati Soka, enak di-
pandang, enak digoda dan enak dibentak-bentak.
"Aku tak mau," Bunga Dewi gelengkan kepala
lagi. "Sebab kalau kita ke timur lagi, berarti kita akan
sampai ke perguruannya si Jagat Lancang. Aku tak
mau tertangkap oleh mereka."
Gadis itu bergidik lagi. Tentu saja ia semakin
ngeri setelah mendengar cerita Ki Samekta tentang na-
sib Supami itu.
"Kalian jangan berjalan lurus ke timur," ujar Ki
Samekta. "Kalian bisa membelok ke kiri begitu mene-
mukan gundukan tanah cadas yang sebesar rumahku
ini. Jika kalian membelok ke kanan, berarti ke kan-
dangnya si Jagat Lancang. Tapi jika ke kiri, kalian
akan menemukan anak sungai berair dangkal. Ikuti
saja sungai itu sampai akhirnya kalian nanti akan me
nemukan sebuah pondok berdinding kayu-kayu hutan.
Itulah tempat kediaman Resi Bayakumba!"
Mendengar semangatnya Ki Samekta dalam
memberikan penjelasan tersebut, Raka Pura pun ak-
hirnya tersenyum dan berujar kepada si pemilik kedai
tersebut.
"Tampaknya kau ingin sekali agar kami berte-
mu dengan Resi Bayakumba, Pak Tua?!"
"Karena... karena aku berharap kalian akan
hancurkan si pengisap darah perawan itu! Aku yakin,
sebagai Pendekar Kembar, kalian punya keberanian
untuk berhadapan dengan tokoh keturunan iblis itu!
Aku pun berharap kalian akan unggul melawannya.
Hancurkan dia! Hancurkan sampai seluruh pengikut-
nya!" geram Ki Samekta dengan gigi menggeletuk per-
tanda menyimpan dendam cukup besar. Tentu saja
dendam itu timbul akibat dari nasib malang anaknya
yang sudah bisa dipastikan menjadi korban keganasan
si Darah Kula itu.
Karena hari semakin sore, akhirnya mereka
bermalam di rumah Ki Samekta yang bagian depannya
dijadikan kedai itu. Bunga Dewi ribut tak mau tidur
dalam sekamar dengan Raka maupun Soka. Padahal
kamar yang tersedia hanya satu. Akhirnya kedua pe-
muda kembar itu mengalah tidur di bangku kedai,
sambil melanjutkan perbincangannya dengan Ki Sa-
mekta, sementara Bunga Dewi tidur di kamar itu sen-
dirian.
Sebelum matahari pagi semakin meninggi, Pen-
dekar Kembar rencanakan berangkat ke Lembah Se-
mangit. Tapi sampai embun pagi telah mengering,
Bunga Dewi belum keluar dari kamarnya. Raka Pura
menjadi kesal dan menggerutu di samping Soka.
"Cantik-cantik kalau tidur seperti kerbau! Ban-
gunkan si perawan kesiangan itu, Soka!"
"Sabarlah, jadi orang itu jangan cepat marah,"
ujar Soka pelan sambil bergegas penuhi perintah ka-
kaknya.
"Terlalu sabar bisa bikin dia jadi gadis manja!"
"Manja sedikit tak apalah...," gumam Soka ma-
sih terdengar, sehingga Raka menyahutnya.
"Tak ada manja-manjaan kalau mau ikut ber-
samaku! Biar cantik kalau manja akan ku banting
dia!"
Soka Pura memang tak segusar kakaknya, ka-
rena ia suka memanjakan seorang gadis, terlebih gadis
yang cantik. Tapi Raka Pura memang kurang berminat
untuk mendekati seorang gadis, sehingga ia benci den-
gan kemanjaan.
Tiba-tiba dari depan kamar Bunga Dewi, sang
adik kembar itu berseru kepada Raka dengan wajah
tegang.
"Raka, Bunga sudah tak ada di kamarnya!"
"Minggat ke mana anak itu?!"
"Kurasa... oh, cobalah kemari sebentar!" seru
Soka yang memancing minat Ki Samekta untuk ikut
datang ke kamar gadis itu.
Raka Pura dan Ki Samekta sama-sama diam
tertegun memperhatikan kamar yang kosong, tapi jen-
dela dalam keadaan terbuka. Bunga Dewi telah hilang
dari kamarnya. Mereka tak tahu persis, ke mana per-
ginya gadis itu.
"Apakah dia diculik oleh orangnya Jagat Lan-
cang?!" tanya Ki Samekta kepada Raka Pura.
"Diculik atau kabur dengan sendirinya?!" Raka
ganti bertanya, tapi hanya berupa gumam, sepertinya
ia bertanya pada diri sendiri.
"Jika ia kabur sendiri, apa alasannya?!" ujar
Soka Pura menyatakan keraguannya.
"Jika diculik, mengapa kamar ini masih rapi?
Tentunya Bunga lakukan perlawanan."
"Bagaimana jika penculiknya menotok Bunga
lebih dulu pada saat Bunga masih tertidur?! Tentu saja
keadaan di kamar ini tetap rapi karena tak ada perla-
wanan."
Pendekar Kembar segera memeriksa keadaan
sekeliling, termasuk keadaan di luar rumah. Repotnya,
tak ada tanda-tanda yang membuat mereka yakin an-
tara diculik dan kabur sendiri.
"Bagaimana dengan alas kakinya?! Mengapa
alas kakinya tak tertinggal jika ia diculik?" ujar Raka
Pura, sepertinya ia cenderung beranggapan bahwa
Bunga Dewi kabur dengan sendirinya. Tetapi Soka
cenderung berpendapat bahwa gadis itu diculik oleh
pihaknya Jagat Lancang.
"Bunga mengenakan sandal berikat sampai ke
betis. Mungkin ia tetap mengenakan sandal itu dalam
keadaan tidur. Bisa saja dia terlalu capek, sehingga tak
sempat melepas alas kakinya, langsung tertidur. Den-
gan begitu jika ia diculik, tentu saja alas kakinya ikut
diculik juga!"
Raka Pura segera dekati Ki Samekta.
"Apakah tadi malam kau memeriksa jendela
sudah terkunci atau belum?"
"Hmmm, eeh... aku tak sempat memeriksanya,
Raka. Kupikir jika jendela sudah tertutup, berarti su-
dah terkunci."
"Siapa yang menutup jendela kamar ini pada
awalnya?"
"Bukankah si gadis itu sendiri yang menutup-
nya ketika ia ribut ingin menempati kamar ini sendi-
rian?!" ujar Ki Samekta.
"Benar juga!" gumam Raka pelan.
"Kurasa ia memang diculik oleh orang-orangnya
Jagat Lancang itu, Raka," ujar Soka Pura. "Jendela lu-
pa tidak dikunci, sehingga penculiknya tak perlu repot-
repot merusak jendela itu untuk masuk kemari!"
"Dari mana mereka tahu kalau bunga ada di si-
ni, bermalam di rumah ini? Dan berada di kamar ini?!"
"Kurasa... kurasa ada seseorang yang mengeta-
huinya. Mungkin di desa ini ada mata-matanya Darah
Kula, ada pula mata-matanya Jagat Lancang!"
Raka Pura hanya menghembuskan napas pan-
jang. Tampaknya ia merasa jengkel dengan keadaan
yang membuatnya harus berpikir keras itu. Ia sempat
menggerutu menyalahkan adiknya yang datang ke ke-
dai membawa Bunga Dewi bersama persoalannya. Me-
nurut Raka, itu hanya cari penyakit dan cari susah sa-
ja.
"Kalau begitu, biar aku sendiri yang pergi ke
Perguruan Tengkorak Sungsang untuk bebaskan Bun-
ga Dewi!"
"Jangan sembarangan bertindak, Soka! Bagai-
mana jika penculiknya bukan dari pihaknya si Jagat
Lancang?!"
"Aku yakin dialah dalang penculikan itu. Se-
bab... sebab Bunga Dewi agaknya sangat diincar dan
menurut mereka bisa laku lebih mahal dari gadis-gadis
lainnya."
Baru saja Raka ingin bicara, tapi Soka sudah
pergi lebih dulu dengan melompati jendela kamar itu.
"Soka, tunggu...!"
Seruan sang kakak tidak dihiraukan. Soka be-
nar-benar mengkhawatirkan keselamatan Bunga Dewi,
sehingga ia tak peduli dengan seruan kakaknya atau
peringatan dari sang kakak tadi. Sementara itu, Pen-
dekar Kembar sulung merasa cemas pula melihat Pen-
dekar Kembar bungsu pergi sendiri ke sarang musuh.
Mau tak mau ia pun akhirnya menyusul sang adik
dengan gerutuan yang tiada habisnya.
*
* *
4
GUGUSAN cadas setinggi rumah yang dikata-
kan Ki Samekta sebagai patokan jalan pemisah itu ma-
sih jauh dari langkah Pendekar Kembar. Namun lang-
kah kakak-beradik itu terpaksa dihentikan sejenak ka-
rena si adik melihat sekelebat bayangan melintas di se-
la-sela semak sebelah kiri mereka.
"Siapa orang itu?!" sentak Soka Pura dalam na-
da bisik sambil tangannya menunjuk ke arah bayan-
gan yang berkelebat cepat.
"Ikuti saja dia. Siapa tahu dia orang yang mem-
bawa lari Bunga Dewi!" ujar sang kakak yang akhirnya
mendukung pendapat Soka Pura, bahwa Bunga Dewi
diculik seseorang. Hanya saja, dalam hati kecil Raka
masih belum yakin, apakah si penculiknya dari Pergu-
ruan Tengkorak Sungsang atau dari pihak lain.
Wes, wes...! Mereka memburu bayangan yang di
curigai. Ternyata bayangan itu juga sedang mengejar
bayangan lain yang tak bisa tertangkap penglihatan
Pendekar Kembar dengan jelas. Bahkan ketika mereka
tiba di bawah tanah menanjak, mereka sempat kehi-
langan arah.
"Ke mana bayangan yang kita ikuti tadi?!" tanya
Soka dengan mata lebar memandang ke sana-sini.
"Kurasa ia membelok balik batu besar itu! Kita ke sana
saja!"
Wes, wes...! Pendekar Kembar berkelebat lagi
dengan kecepatan cukup tinggi. Akhirnya langkah me
reka terhenti di balik semak-semak yang tumbuh di
bawah pohon besar. Soka Pura yang mengawali ber-
henti, sehingga Raka pun ikut-ikutan berhenti.
"Ssstt...!" Soka Pura memberi isyarat dengan te-
lunjuk ditempelkan di depan mulut.
Dari sana mereka dapat mengintai pertemuan
tiga orang yang saling tak dikenal oleh Pendekar Kem-
bar. Dua orang lelaki berusia sekitar tiga puluh lima
tahun, dan seorang gadis berusia sekitar dua puluh ti-
ga tahun.
Melihat posisi si gadis ada di tengah, di antara
kedua lelaki yang sama-sama mengenakan ikat kepala
merah itu, maka Soka Pura dapat menyimpulkan bah-
wa gadis itu terkepung langkahnya hingga berhenti di
sana.
"Kau kenal salah satu dengan mereka?" bisik
Raka Pura.
Suka menggeleng. "Tapi agaknya mereka ber-
siap lakukan pertarungan satu lawan dua."
"Ya, kurasa si gadis akan berhadapan dengan
dua orang kurus itu."
"Yang kita ikuti tadi lelaki yang berbaju hijau
itu! Kurasa dia tadi mengejar si gadis."
"Lalu, lelaki yang berpakaian abu-abu itu da-
tang dari mana?"
"Ia menghadang si gadis. Mungkin ia ambil ja-
lan pintas untuk lakukan penghadangan."
"Hmmm...," Raka Pura manggut-manggut. "Ke-
lihatannya dua orang kurus itu bukan dari aliran pu-
tih. Wajah mereka tampak licik-licik dan...."
"Ssst...!" potong Soka. "Dengarkan percakapan
mereka itu!"
Dua lelaki berusia sebaya itu tersenyum-
senyum sinis. Mereka mondar-mandir di tempatnya
masing-masing. Yang berbaju hijau berkumis tipis,
yang berpakaian abu-abu tidak berkumis sedikit pun.
Tetapi dari sorot mata mereka, kentara sekali bahwa
mereka bukan orang baik-baik.
"Biar kau lari ke lubang semut pun, kami tetap
akan berhasil menangkapmu, Bulan Berkabut!" seru
lelaki berbaju hijau sambil mengusap-usap kumisnya.
"Lebih baik menyerah saja, Bulan Berkabut!
Untuk apa kau buang-buang tenaga dengan lari sana-
sini, akhirnya akan bertemu juga denganku. Dunia ini
sempit, Bulan Berkabut!" timpal orang yang berpa-
kaian abu-abu itu.
"Sebenarnya aku enggan berlumur darah. Tapi
jika kalian menghendaki begitu, terpaksa kulayani ke-
hendak kalian! Cabutlah senjatamu, Marambang!" ujar
si gadis kepada yang berpakaian abu-abu. Ternyata
orang bersenjata cambuk itu bernama Marambang.
Orang itu berseru kepada yang berbaju hijau,
"Lumpuhkan dia secepatnya, Randu Alas!"
"Baik, Tapi berjaga-jagalah, Marambang. Yang
satu ini licin bagaikan belut. Bersiaplah menyergapnya
jika ia mau kabur lagi! Heh, heh, heh, heh!"
Randu Alas yang berbaju hijau itu tertawa. Su-
aranya sama sekali tak enak didengar dan lagaknya
sangat memuakkan bagi si gadis yang mengenakan ba-
ju buntung warna merah tua dengan celananya yang
ketat warna serupa.
Gadis cantik yang bernama Bulan Berkabut itu
mempunyai rambut pendek seperti potongan lelaki, ta-
pi bagian depannya agak panjang. Sebagian rambut
depannya merawis di sekitar kening. Bulan Berkabut
mengenakan giwang merah tua juga sebesar kacang
tanah. Hidungnya yang mancung dan bibirnya yang
sensual itu sempat membuat Soka Pura berdesir-desir
indah. Dengan baju buntung yang dililit sabuk hitam
dan celana ketat yang panjangnya separo betis, Bulan
Berkabut tampak seksi sekali. Ditambah lagi dengan
tubuhnya yang termasuk tinggi dan sekal, padat berisi,
belahan dadanya tampak sebagian, walau tak terlalu
montok namun cukup menantang, ia benar-benar ga-
dis yang mampu membuat hati lelaki berdebar-debar.
Kulitnya yang kuning langsat tampak mulus, ter-
bayang lembut dan halus jika disentuh.
Ia menyandang pedang di punggungnya. Pe-
dang itu mirip sebuah samurai dilapisi kulit binatang
tanpa bulu warna hitam. Gagangnya yang juga ter-
bungkus kulit hitam itu diberi hiasan ronce-ronce be-
nang merah.
Pedang itu belum dicabut. Bulan Berkabut in-
gin coba lumpuhkan lawannya dengan tangan kosong.
Maka ketika Randu Alas melesat tinggi sebatas pun-
daknya, gadis itu segera sentakkan kedua tangan me-
nyilang di depan kepala.
Wuut, plaaark...! Tendangan kaki Randu Alas
berhasil ditangkis dengan tangan menyilang. Namun di
luar dugaan, tubuh Randu Alas melintir dalam puta-
ran cepat dan kaki yang satu menyambar wajah Bulan
Berkabut. Wees...! Plaak...!
Bulan Berkabut yang segera memiringkan ba-
dannya itu tetap terkena tendangan kaki lawan di ba-
gian ujung pundaknya. Ia terpelanting nyaris jatuh,
namun cepat-cepat jaga keseimbangan dan tegak kem-
bali.
"Satu Jurus lagi harus selesai, Randu Alas!
Jangan buang-buang waktu!" seru Marambang sambil
berjalan berkeliling menjaga kemungkinan lolosnya si
gadis cantik berpinggul menantang itu.
"Heeaahh...!"
Randu Alas kerahkan tenaganya. Kedua tangan
bergerak cepat ke berbagai arah, lalu diam seketika
dengan tangan membuka ke atas dan ke bawah dan
kaki kiri lurus ke belakang, kaki kanan merendah ko-
koh.
Bulan Berkabut juga mainkan jurusnya dengan
cepat dan lincah. Dalam sekejap berikutnya, Bulan
Berkabut sentakkan kakinya hingga tubuh terangkat
ke atas, karena pada saat itu Randu Alas menyampar-
kan kakinya secara berturut-turut dengan gerakan
memutar rendah.
Wes, wes, wes...!
Lompatan gadis itu cukup tinggi. Tangannya
berhasil mencapai dahan pohon yang terjulur di atas-
nya. Teeb...! Maka tubuh pun diayunkan sesaat, lalu
tiba-tiba ia melayang dalam gerakan bersalto cepat.
Wees...!
Wuk, wuk, wuk...!
Sepertinya ia tak mengarah kepada Randu Alas.
Tapi tiba-tiba kedua kakinya merentang lebar dalam
satu sentakan. Seet...!
Plook...!
Pelipis kiri Randu Alas terkena tendangan lebar
yang menyentak di luar dugaan itu. Randu Alas terpe-
lanting ke samping dan terhuyung-huyung. Pada saat
itu, Bulan Berkabut telah daratkan kakinya ke bumi.
Satu sentakan ujung kaki membuatnya melesat lagi
dan menerjang Randu Alas yang masih menggeragap
itu.
Wuuut, dees...!
"Aaoow...!"
Randu Alas memekik keras sambil jatuh ter-
banting ke samping. Tendangan kaki Bulan Berkabut
disaluri kekuatan tenaga dalam, hingga pelipis Randu
Alas terasa retak. Ada darah yang mengalir dari telinga
Randu Alas.
Melihat lawannya jatuh dan menyeringai kesa-
kitan, Bulan Berkabut segera pergunakan senjatanya.
Pedang itu dicabut dalam satu gerakan tangan yang
hampir tak bisa dilihat oleh mata telanjang. Srriing...!
Bunyi mata pedang bergeser saat dicabut itulah
yang membuat Marambang tahu bahwa temannya da-
lam ancaman bahaya. Maka, sebelum pedang Bulan
Berkabut menyabet ke bawah, Marambang segera le-
paskan pukulan jarak jauh dari arah belakang si gadis.
Tangannya yang menggenggam tiba-tiba menyentak ke
depan dengan telapak tangan terbuka lurus. Wuuut...!
Buuuhk...! Terdengar suara punggung bagai
dihantam dengan sepotong balok kayu cukup besar.
Bulan Berkabut tersentak dengan tubuh melengkung
ke depan, wajah terdongak menyeringai menahan sa-
kit. Nafasnya tersentak dalam bentuk suara berat.
"Hhheeekh...!"
Kesempatan itu digunakan oleh Randu Alas un-
tuk segera berguling ke kiri satu kali, kemudian me-
lompat dan berguling lagi, sampai akhirnya ia berdiri
dengan berpegangan pada pohon, enam langkah dari
tempat Bulan Berkabut terhenyak dl tempat.
Bertepatan dengan itu pula, Marambang ber-
guling maju dalam satu lompatan. Begitu ia bangkit
dengan satu kaki berlutut di belakang Bulan Berkabut,
kedua tangannya menotok pinggang kanan-kirinya la-
wan. Dess, dess...!
"Ahkk...!" Bulan Berkabut tersentak lagi dengan
tubuh terbungkuk, kemudian ia Jatuh terkulai ketika
ingin melangkah. Tubuhnya ambruk bagaikan tak ber-
tulang sama sekali. Totokan itu membuat Bulan Ber-
kabut tak bisa bergerak, namun keadaannya masih
sadar. Matanya masih terbuka, mulutnya pun tern-
ganga, hanya saja mata itu tak dapat bergerak ke kiri
atau ke kanan dan mulut itu tak bisa menelan ludah
kecuali napas tipis.
"Curang sekali si Marambang itu!" geram Raka
di samping adiknya yang jongkok di depannya. Sang
adik masih diam saja, sepertinya asyik mengikuti ade-
gan selanjutnya.
Marambang segera hampiri Randu Alas yang
sibuk membersihkan darah dari telinganya. Sementara
itu, si gadis dibiarkan terkulai di tanah tanpa rasa
khawatir kalau akan melarikan diri lagi.
"Bagaimana? Parah?!" tanya Marambang den-
gan mata memancarkan kemarahan yang mulai surut.
"Untuk apa pergi ke sawah?!" ujar Randu Alas
dengan suara berat karena menahan rasa sakit di te-
linganya.
"Siapa yang mau mengajak mu ke sawah? Ku-
tanya, apakah lukamu parah?!" tegas Marambang.
"Oh, tidak! Aku masih kuat!"
"Kerjamu terlalu lamban, Randu Alas! Lihat,
hanya dengan dua jurus, gadis itu bisa kulumpuhkan!"
"Jangan disembuhkan dulu! Kita bawa saja dia
dalam keadaan seperti itu."
"Siapa yang mau sembuhkan dia?! Ah, bicara-
mu mulai ngacau, Randu Alas!"
"Jadi kau tadi bilang apa?!"
"Dia bisa ku lumpuhkan!" suara Marambang
agak keras. Rupanya telinga Randu Alas menjadi bu-
dek akibat terluka bagian dalamnya, sehingga ia selalu
salah dengar jika Marambang bicara padanya.
"Sebaiknya kita bawa pulang saja gadis itu se-
karang juga! Kurasa ketua sudah menunggu-nunggu
hasil kerja kita. Bulan Berkabut adalah gadis yang
cantik dan berdarah segar. Si Darah Kula pasti me-
nyukainya. Dia bisa laku mahal, Randu Alas!"
"Siapa yang jual mahal?! Dia...?!"
"Laku mahal!" ulang Marambang dengan keras
dan bernada Jengkel. "Kenapa kau jadi budek begitu?!"
Di sisi lain, Raka Pura berbisik kepada adiknya,
"Rupanya mereka orangnya Jagat Lancang! Gadis itu
akan dijual kepada Darah Kula!"
"Kita harus bertindak secepatnya! Kau lum-
puhkan dua orang itu, aku akan mengobati si Bulan
Berkabut!"
"Mengapa bukan kau saja yang melumpuhkan
Marambang dan Randu Alas?!"
"Sudahlah, jangan banyak berdebat! Nanti ga-
dis itu telanjur dibawa pergi oleh mereka!"
Raka Pura ingin ucapkan kata lagi, tapi sang
adik sudah lebih dulu bergerak keluar dari persembu-
nyian. Mau tak mau Raka mengikutinya walau dalam
hatinya, ia menggerutu sendiri.
"Giliran mengobati gadis cantik, dia yang tan-
gani! Aku disuruh hadapi kedua orang itu. Tapi kema-
rin ketika harus mengobati ibunya Ki Lurah Mujo, dia
tak mau campur tangan. Huhh...! Dasar bulus konyol!"
Soka Pura muncul dengan senyum ceria dan
berkesan cengar-cengir. Kemunculannya disertai se-
ruan sok akrab dengan Marambang dan Randu Alas.
"Hoii...! Bagaimana? Beres...?!"
Tentu saja kemunculan Pendekar Kembar
membuat Marambang dan Randu Alas curiga. Mereka
memandang dengan dahi berkerut karena merasa tak
mengenal kedua pemuda kembar itu. Walaupun Soka
menyapa dengan sok akrab, tapi Marambang dan Ran-
du Alas tak memberi balasan.
Soka Pura semakin nyengir begitu tiba di depan
Marambang dan Randu Alas.
"Kalian orang Perguruan Tengkorak Sungsang,
bukan?!"
"Ya. Siapa kalian berdua?!" jawab Marambang
dengan nada ketus dan ganti bertanya penuh curiga.
"Apa kalian belum mengenal kami? Kami murid
baru di perguruan itu!"
Marambang menggeram tak bersahabat.
"Omong kosong! Guru sudah tak menerima murid baru
sejak setengah tahun yang lalu!"
"Mau apa kalian sebenarnya?!" Randu Alas
paksakan diri untuk menggertak.
"Mau ambil gadis ini!" jawab Soka enak saja.
"Eit, nanti dulu!" Marambang mengangkat tan-
gannya, ia mendekati Soka yang sudah ada di samping
Bulan Berkabut.
"Jangan coba-coba berani sentuh gadis itu!"
ancam Marambang. "Jika ada yang menyentuhnya
akan kubunuh seketika itu juga!"
"Kalau begitu, hadapi saja kakakku ini! Sudah
lama dia kepingin dibunuh!" ujar Soka seenaknya saja.
Kemudian ia membungkuk dan mengangkat Bulan
Berkabut untuk dipindahkan ke tempat yang teduh.
"Kurang ajar! Hiaaaat...!" Marambang hendak
melepaskan tendangan sampingnya ke arah Soka Pu-
ra. Tapi dengan gerakan cepat Raka maju menghadang
serangan Marambang. Tangannya dikibaskan ke samp-
ing, dan beradu dengan tulang kering Marambang.
Prak...!
Suara tulang kering beradu dengan tulang len-
gan terdengar cukup keras. Tapi Soka Pura cuek saja.
Ia tetap memindahkan Bulan Berkabut ke tempat yang
teduh. Sementara itu, Marambang menyeringai kesaki-
tan tanpa suara, karena tulang keringnya seperti di-
hantam dengan sepotong besi baja.
Pada saat itu, Raka Pura masih setengah me-
munggungi Marambang. Ketika Randu Alas mencabut
goloknya dan ingin membabat pundak Raka dengan
satu lompatan, tubuh Raka tiba-tiba dijatuhkan dalam
keadaan tengkurap. Tapi kedua telapak tangannya di-
pakai untuk menapak, sehingga kakinya pun mening-
gi. Kaki itu menjejak ke belakang secara beruntun te
pat kenai paha dan perut Randu Alas.
Wuut, plak...!
Plok, plok, buuhk...!
Tubuh kurus si Randu Alas akhirnya terlempar
ke belakang dan jatuh terbanting dengan pelipis kiri
membentur batu sebesar nangka. Duuhk...!
"Aaaah...!" Randu Alas memekik lebih keras dan
lebih panjang. Pelipis yang sudah memar dengan telin-
ga berdarah, kini semakin bonyok akibat membentur
batu dengan keras. Perut pun mual seketika. Napas
menjadi sesak, sehingga Randu Alas mulai tersengal-
sengal.
Marambang segera menyentakkan tangannya
yang tergenggam dan terbuka seketika. Suuut...! Tena-
ga dalam yang tadi dipakai menghantam Bulan Berka-
but dari belakang, kini digunakan lagi untuk menye-
rang Raka Pura dari belakang Juga. Marambang belum
tahu bahwa Raka Pura bukan Bulan Berkabut...
Datangnya hawa padat menghangat itu dirasa-
kan Raka sebelum bahaya itu tiba. Maka dengan sen-
takkan kaki lembut, tubuh Pendekar Kembar sulung
melesat ke atas dan bersalto ke belakang. Wut,
wuuus...! Gerakan melambung ke belakang itu mele-
wati atas kepala Marambang.
Tentu saja Marambang kaget melihat lawannya
mampu berkelit sedemikian cepat dan tahu-tahu su-
dah ada di atas kepalanya. Ketika Marambang ingin
sentakkan tangan ke atas, kaki Pendekar Kembar su-
lung menghentak ke bawah kuat-kuat. Deess...!
"Aaahk...!" Ujung jempol kaki itu mempunyai
kekuatan tenaga dalam. Jempol kaki si Pendekar Kem-
bar sulung bagaikan menotok ubun-ubun Marambang.
Tentu saja Marambang memekik sambil pegangi kepala
dan kedua tangannya. Ia terhuyung-huyung sesaat,
karena ubun-ubunnya terasa seperti kejatuhan linggis.
Seketika itu pula pandangan mata Marambang menja-
di gelap. Rasa sakitnya menjalar di sekujur tubuh,
sampai ke telapak kaki. Darah keluar dari telinga dan
hidung Marambang.
Sementara itu, Pendekar Kembar sulung berha-
sil mendarat dengan tegak dan memperhatikan lawan-
nya meraung-raung kesakitan dalam keadaan mengge-
loyor ke sana-sini.
"Wadooow...! Waadoow, mati akuu...! Mati aku,
Maaak...! Wadoow...!"
Pukulan tenaga dalam Marambang tadi Justru
menghantam Randu Alas yang baru berusaha bangkit
dari jatuhnya sambil tarik napas tersengal-sengal, ta-
hu-tahu ia merasa seperti diterjang seekor banteng
yang mengamuk. Bruuusk...! Randu Alas gelagapan
sebentar, kemudian jatuh terkapar tak sadarkan diri.
Karenanya ia tak bisa membantu Marambang ketika
Marambang meraung berkepanjangan sampai berlutut
di tanah dengan memegangi kepalanya yang terasa in-
gin meledak itu.
Pendekar Kembar sulung segera pandangi
adiknya di bawah pohon rindang. Ia menggeram jeng-
kel melihat Soka Pura belum selesaikan pekerjaannya.
Soka masih pandangi kecantikan Bulan Berkabut den-
gan senyum penuh kekaguman. Bahkan tangan Soka
Pura ikut-ikutan konyol dengan mengusap-usap pipi
Bulan Berkabut, sesekali mengelus rambut gadis itu
dengan sentuhan penuh perasaan. Pandangan ma-
tanya pun lebih sering tertuju ke belahan baju si gadis,
karena di sana ia menemukan sisi dua gumpalan pa-
dat yang halus mulus menantang selera.
Si gadis diam saja walau matanya terbuka. Ia
memang tak bisa bergerak apa-apa, namun ia merasa-
kan sentuhan tangan Soka dan mendengar decak serta
gumam kekaguman Soka terhadapnya. Bulan Berka
but hanya bisa menggeram dongkol dan memaki pe-
nuh gerutu dalam hati saja.
Pendekar Kembar sulung segera hampiri Pen-
dekar Kembar bungsu. Kepala sang adik disodok den-
gan dua jari. Duus, wuut...! Soka Pura terantuk ke de-
pan, lalu segera sadar dan nyengir memandangi ka-
kaknya yang sudah ada di belakang.
"Bukannya disembuhkan malah dibuat mai-
nan?! Dasar buaya norak!" omel Raka Pura dengan
bersungut-sungut.
"Hmmm, eeh... dia cantik sekali, Raka! Kulitnya
halus, seperti kulit bayi, dan...."
"Cepat bebaskan totokannya!" sentak Raka Pu-
ra.
Namun pada saat itu mereka segera mendengar
suara langkah orang berlari-lari menuju ke tempat ter-
sebut. Langkah itu agaknya bukan datang dari satu
orang saja. Diperkirakan ada tiga-empat orang yang
berlari menuju ke tempat tersebut. Soka dan Raka sal-
ing berpandangan tegang sesaat, kemudian meman-
dang ke arah datangnya suara orang berlari secara
grabak-grubuk itu.
"Soka, bawa dia pergi dari sini! Lekas...!" suara
Raka membisik, dan sang adik pun segera lakukan pe-
rintah tersebut.
"Jangan ladeni mereka! Ikutlah pergi, Raka!"
sambil Soka Pura memondong Bulan Berkabut, kemu-
dian melesat ke balik semak-semak dan menghilang di
kerimbunan pepohonan.
Raka Pura memang segera melesat pergi, na-
mun tak cepat-cepat susul adiknya. Ia ingin tahu dulu,
siapa yang datang ke tempat itu.
Ternyata mereka terdiri dari lima orang kurus
berwajah kusam. Kelima orang itu tersentak kaget me-
lihat Randu Alas terkapar dan Marambang masih me
raung-raung sambil berguling ke sana-sini, memegangi
kepala dengan kedua tangan.
"Marambang! Apa yang terjadi?! Mana si Bulan
Berkabut tadi?" seru salah seorang dari mereka.
Raka Pura cukup puas, karena sekarang ia ta-
hu bahwa lima orang itu adalah teman-teman Maram-
bang dari Perguruan Tengkorak Sungsang. Raka mera-
sa tak perlu mengusik mereka lagi, ia cepat-cepat su-
sul adiknya dengan menggunakan gerakan cepat yang
menyerupai badai melesat itu. Wuuzzz...!
*
* *
5
SETELAH Soka Pura membebaskan totokan
Bulan Berkabut, gadis itu sempat ngomel-ngomel ka-
rena kenakalan tangan Soka di saat ia tak berdaya ta-
di. Pendekar Kembar sulung segera redakan omelan
Bulan Berkabut dengan kesabarannya, sampai akhir-
nya gadis itu pun menyadari bahwa ia telah di sela-
matkan oleh sepasang pemuda kembar yang tampan,
gagah, dan mempunyai daya tarik tersendiri dalam ha-
tinya, terutama setelah Pendekar Kembar perkenalkan
diri sebagai Raka Pura dan Soka Pura.
Bulan Berkabut sempat terperanjat. "Beberapa
tokoh di rimba persilatan sering menyebut dua nama
itu sebagai nama Pendekar Kembar," ujarnya.. "Apakah
kalian memang Pendekar Kembar?!"
"Dugaanmu tak salah, Bulan Berkabut. Semula
kami tidak bermaksud mencampuri urusanmu dengan
kedua orangnya Jagat Lancang itu," ujar Raka Pura
yang berdiri lebih dekat ketimbang Soka Pura.
"Semula aku dan adikku hanya mencari seo-
rang gadis, sahabat kami, yang tiba-tiba menghilang
dari kamar tidurnya. Dugaan kami ia diculik oleh
orang-orangnya Jagat Lancang. Tapi setelah kami tahu
Marambang dan Randu Alas ingin menjadikan mu se-
bagai tawanan mereka yang nantinya akan dijual ke-
pada Darah Kula, maka kami pun terpaksa turun tan-
gan menyelamatkan dirimu!" tambah Raka dalam pen-
jelasannya.
"Terima kasih atas bantuanmu," ujar Bulan
Berkabut. "Apakah gadis yang kau cari itu berwajah
cantik, mungil, mengenakan pakaian kuning gading
dan...."
"Benar! Dialah yang bernama Bunga Dewi!" sa-
hut Soka Pura sambil maju selangkah lagi.
Bulan Berkabut menggumam dan manggut-
manggut.
"Ya, aku kenal dengannya. Bunga Dewi adalah
pencuri cantik dari Tanah Keramat!" sambil Bulan
Berkabut bertolak pinggang dan melangkah mondar-
mandir bagaikan sedang gusar.
"Dia memang pencuri, tapi dalam peristiwa ini,
dia tidak mencuri. Dia lolos dari tawanan si Jagat Lan-
cang, karena Bunga Dewi termasuk gadis yang akan
dijual kepada Darah Kula!" sambung Soka dengan ber-
semangat.
"Kami menduga, Bunga Dewi diculik oleh
orang-orangnya Jagat Lancang," timpal Pendekar
Kembar sulung.
"Tidak!" Bulan Berkabut menyangkal tegas-
tegas. "Bunga Dewi tidak diculik oleh mereka. Sema-
lam kulihat ia bersama seorang lelaki berusia sekitar
empat puluh tahun berambut pendek tegak-tegak se-
perti durian. Mereka menuju selatan, ke Candi Apung."
"Seorang lelaki berambut tegak...?!" Soka Pura
menggumam dengan dahi berkerut, mata memandang
ke arah kakaknya. Si kakak hanya melirik sekejap
sambil menarik napas.
"Kau tahu siapa lelaki berambut tegak itu, Bu-
lan Berkabut?!"
"Ya, aku kenal dengan lelaki itu! Dia adalah
orang Kedai Iblis yang bernama Batara Jabrik!"
"Ooh...? Batara Jabrik?!" Pendekar Kembar ter-
perangah kaget, karena mereka pun mengenal nama
Batara Jabrik.
Mereka pernah bertemu dengan Batara Jabrik
ketika orang itu menjadi pembunuh bayaran atas tu-
gas dari Dewi Ambari untuk melenyapkan Wisnu Ga-
lang. Tapi akhirnya Batara Jabrik tak berani lakukan
tugasnya, karena ia tahu Wisnu Galang sahabat Pen-
dekar Kembar. Bahkan ia sempat kagum dan ingin be-
lajar ilmu-ilmunya Raka Pura, namun Raka tak berse-
dia menurunkan ilmunya, sehingga Batara Jabrik ak-
hirnya pulang ke Kedai Iblis, (Baca serial Pendekar
Kembar dalam episode: Cumbuan Menjelang Ajal").
Raka dan Soka sama-sama tertegun sesaat, ka-
rena mereka tak menyangka Bunga Dewi bersahabat
dengan Batara Jabrik. Bahkan saat itu Bulan Berka-
but memberi penjelasan lebih lengkap lagi.
"Beberapa waktu yang lalu, aku sempat berke-
nalan dengan Bunga Dewi dan Batara Jabrik, karena
mereka pernah kubayar untuk mencarikan Lebah Ken-
cana di dalam Hutan Karang."
"Lebah Kencana?!" Soka menggumam karena
merasa asing dengan nama Lebah Kencana.
"Lebah Kencana adalah benar-benar lebah yang
berwarna kuning keemasan. Lebah itu kugunakan un-
tuk mengobati seseorang yang terkena racun dari la-
wannya. Sejak itulah kami berkenalan, dan beberapa
hari yang lalu aku mendengar kesepakatan Bunga
dengan Batara Jabrik yang akan mencari Permata Ma-
nik Jingga yang tersimpan di Candi Apung."
"Edan gadis itu! Kecil-kecil semangat nyolong-
nya tinggi juga?!" gumam Soka Pura seakan ditujukan
kepada kakaknya. Tapi sang kakak diam saja, karena
sedang memperhatikan ucapan Bulan Berkabut.
"Tiga hari yang lalu, aku bertemu Batara Jabrik
yang mencari Bunga Dewi. Ia meminta tolong padaku
untuk mencarikan gadis itu, karena ia mendapat kabar
dari seorang temannya, bahwa Bunga Dewi tertangkap
oleh orang-orangnya Jagat Lancang, sehingga gadis itu
tak sampai di rumahnya. Aku tak menyanggupi per-
mohonan Batara Jabrik, karena aku punya urusan
sendiri dengan seorang pemuda yang bernama Wiloka."
Pendekar Kembar sama-sama terkesiap men-
dengar nama Wiloka.
"Kalau tak salah Wiloka adalah bekas kekasih-
nya Supami, anak Ki Samekta itu!" ujar Raka Pura,
dan si Pendekar Kembar bungsu mengangguk membe-
narkan.
Bulan Berkabut lanjutkan kata-katanya lagi.
"Aku sedang mencari Wiloka untuk bikin perhi-
tungan sendiri denganku. Terus terang saja, aku sem-
pat tertarik dengannya. Tapi ternyata kebaikannya itu
sebuah jebakan yang akan membuatku celaka di tan-
gan Jagat Lancang, gurunya! Aku hampir terjebak ma-
suk ke Perguruan Tengkorak Sungsang. Kupikir Wilo-
ka bukan orang perguruan itu. Rupanya ia bermaksud
menjebakku agar aku bisa dijual oleh pihaknya ke Bu-
kit Maut. Aku pun melarikan diri, sambil mencari Wi-
loka. Sebab sejak itu, aku tak pernah melihat Wiloka
keluar-masuk ke gerbang perguruan tersebut. Namun
teman-temannya merasa seperti menemukan emas be-
gitu melihatku. Tanpa kusadari, mereka ternyata ma-
sih memburu ku."
"Jahanam juga yang bernama Wiloka itu ru-
panya?!" geram Soka sambil memandang kakaknya.
Sang kakak hanya menggumam dan manggut-
manggut. Si gadis pun lanjutkan kata-katanya kemba-
li.
"Kemarin sore aku bertemu dengan Batara Ja-
brik. Akhirnya kami sepakat untuk saling membantu.
Batara Jabrik membantuku mencarikan Wiloka, aku
membantunya mencarikan Bunga Dewi. Batara Jabrik
sempat jelaskan rencananya mencuri Permata Manik
Jingga dari Candi Apung. Ia berharap aku mau berga-
bung dengannya. Tapi tawaran itu kutolak mentah-
mentah, karena aku bukan seorang pencuri dan bukan
pembunuh bayaran."
"Untuk apa mereka mencari Permata Manik
Jingga?"
"Batara Jabrik belum mau jelaskan kegunaan
benda itu. Aku sendiri tak banyak tahu tentang Perma-
ta Manik Jingga. Tapi ada seseorang yang mengetahui
tentang benda yang tersimpan di dalam Candi Apung
itu. Jika kalian ingin menanyakannya, aku bisa mem-
bawa kalian kepada orang tersebut."
"O, tidak! itu bukan urusan kami," sela Pende-
kar Kembar sulung. "Jika memang Bunga Dewi sudah
pergi bersama Batara Jabrik, biarlah mereka pergi, ka-
rena mereka bukan tanggung jawab kami...."
"Kurasa Bunga benar-benar keluar sendiri dari
kamar dan mencari Batara Jabrik. Dugaanmu memang
benar, Raka," sela Pendekar Kembar bungsu dalam bi-
sikan.
"Karena aku masih punya otak."
"Aku juga punya!" gerutu Soka sambil bersun-
gut-sungut, merasa dianggap sudah tidak punya otak.
Raka Pura bicara lagi kepada Bulan Berkabut,
"Tujuan utama kami sebenarnya ingin menemui seseorang di Lembah Semangit...."
Bulan Berkabut terkesip, namun tetap membi-
su tanpa gumam sedikit pun.
"Kami mencari sebuah pondok milik seorang
resi yang tinggal di sana," lanjut Raka. "Kami perlu
bertemu dengan tokoh tua yang bernama Resi Baya-
kumba itu."
"Untuk apa?!" tanya Bulan Berkabut dengan
pandangan berkesan curiga.
"Menurut seorang pemilik kedai yang bernama
Ki Samekta, jika kami ingin mengetahui banyak-
banyak tentang Darah Kula, alias manusia pengisap
darah perawan itu, kami harus menanyakannya kepa-
da Resi Bayakumba. Kata pemilik kedai itu, sang Resi
mengetahui banyak tentang si Darah Kula."
"Apakah kalian ingin bergabung dengan pihak
Darah Kula?!"
"O, tidak. Itu dugaan paling buruk yang pernah
kami dengar, Bulan!" sahut Soka Pura. "Justru kami
ingin hancurkan si Darah Kula itu agar tak timbulkan
korban lebih banyak lagi. Kasihan para gadis, seperti-
mu juga, jika Darah Kula tetap hidup. Lama-lama
penghuni bumi kehilangan gadis-gadisnya, yang tersi-
sa hanya kaum lelaki dan nenek-nenek jompo."
Setelah diam sesaat, Bulan Berkabut pun te-
gaskan kata, "Aku bisa mengantar kalian ke Lembah
Semangit."
"Oh, terima kasih atas kesediaanmu," Soka Pu-
ra tersenyum girang. "Tapi bisakah kau mengantarkan
kami ke pondok yang kami maksud itu?!"
"Bisa! Ikuti aku!" tegas Bulan Berkabut, kemu-
dian ia lebih dulu bergerak menuju ke Lembah Seman-
git. Pendekar Kembar saling pandang sebentar, lalu
bergegas mengikuti langkah si cantik bertubuh sintal
dan berwajah cantik menghebohkan hati Soka.
Perjalanan menuju Lembah Semangit ditempuh
waktu tak sampai setengah hari. Bahkan seperempat
hari kurang. Mereka bergerak cepat. Ternyata Bulan
Berkabut pun mampu berlari cepat, walau tidak sece-
pat jurus 'Jalur Badal'-nya Pendekar Kembar. Andai
saja tadi saat ia dikejar oleh Randu Alas tidak terha-
dang oleh Marambang, mungkin Randu Alas akan ke-
hilangan jejak dan tak sanggup menandingi kecepatan
larinya si cantik berambut pendek itu.
Seperti yang dikatakan Ki Samekta, mereka ha-
rus menelusuri tepian sungai untuk menemukan pon-
dok Resi Bayakumba. Ternyata gadis cantik itu juga
menelusuri tepian sungai, sehingga Pendekar Kembar
merasa tak akan disesatkan oleh si cantik bermata in-
dah itu. Bahkan dengan mudahnya pondok tersebut
ditemukan oleh mereka. Pendekar Kembar merasa le-
ga, juga memendam rasa bangga atas bantuan Bulan
Berkabut dalam menemukan pondok Resi Bayakumba.
Pondok itu memang terbuat dari kayu-kayu hu-
tan yang hanya dibelah menjadi dua bagian. Berkesan
kokoh dan damai, karena suasana di sekitarnya sangat
sepi. Pagar yang mengelilingi pondok dua lantai itu
hanya setinggi dada, terbuat dari batangan kayu-kayu
bundar sebesar betis yang ditata rapat dan rata. Pon-
dok itu juga dikelilingi pohon-pohon besar yang ber-
daun rindang, sehingga halaman pondok tersebut di-
taburi oleh daun-daun kering, serupa daun beringin.
"Masuklah...!" Bulan Berkabut mempersilakan
kedua pemuda tampan itu masuk ke dalam pondok se-
telah ia membukakan pintunya.
Pendekar Kembar sama-sama berkerut dahi,
merasa heran atas kelancangan Bulan Berkabut yang
berani membuka pintu sendiri dan mempersilakan me-
reka untuk masuk. Keduanya tertegun di depan pintu,
menatap nanap ke wajah Bulan Berkabut.
"Masuklah dulu! Aku akan mencari Eyang
Guru di sekitar sini. Kurasa beliau sedang sibuk den-
gan empang ikannya di bawah sana."
"Eyang Guru...?!" Soka Pura bergumam heran
mendengar Bulan Berkabut menyebut 'eyang guru'.
"Jadi... jadi kau muridnya Resi Bayakumba?!"
tanya Raka Pura.
Gadis itu sunggingkan senyum kecil. Duhai...
cantiknya bukan main jika tersenyum. Jantung Soka
terasa ingin pecah melihat senyuman itu, karena de-
bar-debar yang hadir semakin kuat dan menggelitik ta-
jam.
"Sialan! Ternyata dia murid sang Resi sendiri!
Mengapa dia tidak bilang dari tadi saja, ya?!" ujar Raka
Pura kepada adiknya. Sang adik masih diam terben-
gong dengan mulut sedikit ternganga. Matanya me-
mandang ke arah kepergian Bulan Berkabut. Mereka
memilih menunggu di luar pondok sambil menikmati
hembusan angin pembawa udara sejuk itu.
"Soka, apa yang terbayang dalam benakmu se-
telah tahu bahwa Bulan Berkabut adalah murid sang
Resi?"
"Dia benar-benar cantik sekali."
Wuuut, dees...!
Raka Pura mendorong kepala adiknya yang bi-
cara seperti orang terkesima itu. Sang adik menggera-
gap sebentar sambil mengusap-usap kepalanya.
"Kenapa kau marah?.!"
"Pikiranmu soal kecantikan melulu! Tak bisa-
kah kau berpikir selain kecantikan?!" sentak Raka Pu-
ra.
Pendekar Kembar bungsu pun menerawang la-
gi, lalu berujar seperti orang mengigau, "Tubuhnya be-
nar-benar elok dan menggairahkan!"
Wuut, dees...!
Kepala Soka didorong lagi oleh kakaknya den-
gan sentakan agak keras. Soka sempat tersentak satu
langkah ke depan. Ia kembali bersungut-sungut sambil
usap-usap kepalanya.
"Kenapa kau ini?! Katamu aku tak boleh berpi-
kir tentang kecantikan saja?!"
"Iya! Tapi memikirkan kemolekan tubuhnya
sama saja memuakkan hatiku!"
"Yah, kalau kau muak tak perlu ikut berpikir-
lah! Biar aku saja yang memikirkan kecantikan dan
kemolekan tubuhnya!" ujar Soka dengan nada mengge-
rutu, kemudian ia berpindah tempat, duduk di atas
sebatang kayu yang agaknya sering dipakai sebagai
tempat kongkow-kongkow oleh sang Resi dan murid
tunggalnya itu. Akhirnya Raka Pura pun ikut duduk di
tempat itu dengan kedongkolan sudah berkurang.
Mereka saling membisu sampai beberapa saat
lamanya. Setelah mereka merasa jenuh dengan kebi-
suan, Soka Pura mengawali perdengarkan suaranya
yang pelan, setengah berbisik.
"Raka... ada sesuatu yang ingin kukatakan pa-
damu, tapi aku takut kau marah padaku."
"Kalau begitu lebih baik aku marah dulu, sete-
lah itu baru kau katakan hal itu!"
"Ah, Raka... aku bersungguh-sungguh!" sang
adik merengut bernada manja.
Soka Pura memang sering bermanja kepada
kakaknya, terutama jika tidak ada orang ketiga. Tapi di
balik kemanjaan itu, sebenarnya Soka Pura hanya in-
gin melampiaskan rasa sayangnya kepada sang kakak,
yang dianggap sebagai tempatnya mengadu se-
gala keluh kesah hatinya. Sebaliknya, Raka Pura me-
mang sering marah kepada Soka. Bahkan tampaknya
mudah tersinggung oleh sikap dan kata-kata Soka. Ta-
pi hal itu hanyalah sebagai ungkapan rasa kasih
sayang Raka kepada sang adik, di mana ia merasa
menjadi pelindung dan pengayom, seperti pesan ayah
angkat mereka; si Pawang Badai.
Kedua anak kembar itu memang sering ber-
tengkar, kadang menggunakan kekuatan fisik. Saling
pukul dan saling menyerang. Tapi mereka cepat ber-
damai kembali. Dan jika kekuatan mereka sudah ber-
satu, maka lawan setangguh apa pun mampu ditum-
bangkan oleh mereka dalam waktu singkat.
"Aku bersungguh-sungguh, Raka. Aku ingin ka-
takan sesuatu padamu!" Soka Pura meyakinkan ka-
kaknya sekali lagi. Akhirnya Raka tersenyum geli sen-
diri. Ia menepuk punggung adiknya.
"Katakan apa yang ingin kau katakan."
"Tapi berjanjilah kalau kau tak akan marah pa-
daku!"
Raka hembuskan napas satu kail. "Yaah...!
Baiklah, aku berjanji!"
"Sumpah, tak akan marah?!"
"Sumpah!" sambil Raka mengangguk.
"Berani disambar seribu tombak jika kau ma-
rah?!"
Raka mendengus jengkel. "Kalau kau bertele-
tele aku akan marah lebih dulu!" ancam Raka. Soka
hanya nyengir.
"Raka...," Pendekar Kembar bungsu bergeser
lebih dekat lagi pada kakaknya. Sang kakak menatap,
tapi sang adik justru tak berani menatap. Ia meman-
dang ke arah perginya Bulan Berkabut, kemudian sua-
ranya terdengar bagai berbisik.
"Aku suka sekali padanya, Raka."
"Maksudmu kepada Resi Bayakumba?!"
"Kepada muridnya, Tolol!" sentak Soka dengan
kesal, tubuh kakaknya didorong dalam satu sentakan.
Raka hampir jatuh, namun justru tertawa geli.
"Raka, aku tidak main-main. Aku suka sama
Bulan Berkabut! Aku tertarik sekali padanya."
"Kambing diberi bedak pun akan membuatmu
tertarik, Soka!"
"Ayolah, jangan begitu, Raka! Aku sendiri tak
tahu mengapa hatiku tertarik sekali begitu memperha-
tikan dia dalam keadaan masih tertotok tadi!"
"Kau boleh saja tertarik padanya, tapi dia be-
lum tentu tertarik padamu!"
"Perlu ada pendekatan lebih akrab lagi, Raka."
"Hmm!" Raka mencibir menyepelekan ucapan
adiknya. "Lalu, apa maksudmu bilang begitu padaku?!"
"Bagaimana jika urusan si Darah Kula kau tan-
gani sendiri, aku akan lakukan pendekatan lebih dekat
lagi kepada si Bulan Berkabut?!"
"Dan kalau aku mati di tangan Darah Kula, lalu
aku akan mendekati siapa?!"
"Di alam kubur kan banyak peri atau kuntila-
nak," jawab Soka Pura sambil tertawa geli, sedangkan
sang kakak hanya bersungut-sungut dengan gerutu
tak jelas.
"Raka, aku sungguh-sungguh tertarik olehnya.
Aku tak tahu harus berbuat apa dalam keadaan seper-
ti ini, Raka! Ku rasakan dalam hatiku... Bulan Berka-
but punya sesuatu yang aneh, yang menawan sekali,
dan yang tidak dimiliki oleh gadis lain!"
"Nafsumu lebih besar daripada cinta mu, Soka!
Kekanglah sedikit!"
"Ini bukan semata-mata nafsu, tapi...."
"Selesaikan dulu urusan kita dengan Darah Ku-
la!" potong Raka dengan tegas, membuat Soka Pura
mulai murung.
"Kalau sudah kita selesaikan urusan ini, kau
bisa bebas menemui Bulan Berkabut kapan saja kau
mau! Kita sudah telanjur masuk dalam persoalan ini,
Soka! Kalau kita mundur, lalu siapa yang akan maju?!"
Soka ingin katakan sesuatu lagi, tapi niatnya
itu terpaksa ditunda, karena mereka segera melihat
kehadiran seorang kakek berambut putih tak rata,
pendek tanpa ikat kepala. Kakek itu mengenakan baju
tanpa lengan warna putih, dan celananya warna coklat
muda. Tubuhnya tak seberapa tinggi, namun juga ti-
dak terlalu pendek. Sedikit gemuk, tapi bukan berarti
gendut. Kakek itu mempunyai brewok abu-abu dengan
alis mata tebal berwarna abu-abu pula. Diperkirakan
ia sudah berusia sekitar tujuh puluh tahun. Tapi lang-
kahnya masih tegap dan gagah, seperti berusia empat
puluh tahunan.
Kakek itu segera temui Pendekar Kembar, se-
mentara sepasang anak muda kembar itu menyimpan
tanda tanya dalam hatinya, "Benarkah ini yang berna-
ma Resi Bayakumba?! Lalu, mengapa pulang sendi-
rian? Ke mana si Bulan Berkabut tadi!"
Si kakek segera menegurnya dengan suara agak
berat. Berkesan wibawa.
"Kalian ingin bertemu denganku?!"
"Kami ingin bertemu dengan Eyang Resi Baya-
kumba!"
"Akulah orang yang kalian cari. Masuklah!"
sang Resi mengangkat tangan, mempersilakan Pende-
kar Kembar untuk masuk ke pondoknya lebih dulu.
Mau tak mau Pendekar Kembar segera melangkah ma-
suk ke pondok tersebut.
Begitu mereka melangkah masuk, mereka ter-
kejut sekali, karena si brewok abu-abu itu sudah ada
di dalam, duduk bersila di atas balai-balai bambu,
seakan sedang menunggu kedatangan tamunya. Di be-
lakangnya tergantung jubah coklat yang saat itu se-
dang tidak dikenakan.
"Silakan duduk, Pendekar Kembar!"
"Gila! Tahu-tahu dia sudah ada di dalam! Pa-
dahal tadi di belakang kita!" bisik Soka Pura. Raka
memberi isyarat dengan colekan tangannya agar Soka
tidak berkasak-kusuk. Karena Raka khawatir apa yang
diucapkan dalam batinnya dapat didengar oleh sang
Resi.
"Maaf, Eyang Resi...," ujar Soka dengan sopan
sekali sebelum ia naik ke balai-balai dan duduk bersila
seperti kakaknya.
"Jika boleh aku bertanya, di mana Bulan Ber-
kabut? Sebab tadi dia bilang mau susul Eyang Resi di
empang pinggir sungai itu!"
"Bulan Berkabut kuutus ke Bukit Maut!" jawab
sang Resi yang membuat kedua pemuda kembar itu
terperanjat kaget.
"Bukit Maut...?! Bukankah tempat itu adalah
kekuasaannya si Darah Kula, Eyang?!" ujar Soka den-
gan wajah cemas.
"Benar! Darah Kula berkuasa di bukit itu. Sen-
gaja kuutus muridku untuk berada di Bukit Maut,
mendahului kalian!"
"Dengan maksud apa Eyang mengutusnya ke
sana?" Raka Pura pun akhirnya ajukan tanya karena
rasa herannya mengganjal di hati.
"Jika muridku ada di Bukit Maut, maka kalian
berdua akan lebih bersemangat untuk tiba di sana, te-
rutama si bungsu ini!" sambil sang Resi menunjuk So-
ka, tapi bicaranya kepada Raka Pura. Kedua pemuda
itu saling beradu pandang. Sang Resi perdengarkan
suaranya lagi.
"Jika Bulan Berkabut berada di sini, maka se-
mangat mu untuk pergi ke Bukit Maut menjadi ken-
dor, Nak!".
Soka Pura tersipu-sipu, ia sedikit menunduk-
kan kepala walau sudah duduk bersila di samping ka
kaknya. Rupanya Resi Bayakumba sudah mengetahui
isi hati Raka yang tertarik kepada Bulan Berkabut.
Kakek tua itu bagaikan telah mendengar percakapan
kedua pemuda kembar tadi, sehingga ia segera men-
gambil tindakan untuk memancing semangat Soka Pu-
ra.
Agaknya aku harus bersikap baik-baik saja di
depan Resi Bayakumba. Orang ini punya ilmu yang
tergolong tinggi, sehingga bisa mengetahui apa yang
kurencanakan dalam benak dan hatiku," ujar Soka da-
lam hatinya yang diliputi keresahan. Sebab saat itu ia
mulai khawatir akan keselamatan Bulan Berkabut jika
pergi ke Bukit Maut seorang diri.
Dalam benak Soka berkesimpulan, "Jika mela-
wan dua orangnya Jagat Lancang saja Bulan Berkabut
bisa dilumpuhkan begitu, apalagi jika harus berhada-
pan dengan orang-orangnya Darah Kula?"
*
* *
6
RESI Bayakumba punya rasa bangga dalam ha-
tinya melihat dua pemuda gagah duduk bersila di de-
pannya. Sejak dulu sebenarnya Resi Bayakumba ingin
mempunyai murid segagah Raka dan Soka. Tetapi ia
selalu gagal mendapatkan calon murid yang berpera-
wakan seperti Pendekar Kembar itu. Akhirnya dipu-
tuskan untuk mengangkat gadis kecil sebagai murid
tunggalnya. Gadis kecil itu tumbuh dengan dewasa se-
lama dua-tiga belas tahun bersamanya, dan kini men-
jadi gadis cantik yang lincah dan berani. Dialah.... Bu-
lan Berkabu
"Aku sudah bosan melawan Darah Kula," ujar
sang Resi dalam pembicaraan mereka. "Dua kali aku
berhasil membunuh Darah Kula, tapi lima tahun ke-
mudian ia selalu bangkit lagi, mencari mangsa lagi,
dan bikin kekacauan di sana-sini!"
"Jadi setiap lima tahun dia bangkit lagi,
Eyang?" Soka bernada heran.
Resi Bayakumba anggukkan kepala.
"Dia mempunyai ilmu 'Pancawarsa' yang tidak
dimiliki orang lain."
"Ilmu apa itu, Eyang?" tanya Raka Pura.
"Ilmu 'Pancawarsa' adalah ilmunya raja iblis, di
mana si pemilik ilmu itu akan mati selama lima tahun
kalau dibunuh orang. Kalau tidak dibunuh, tentunya
tidak mati-mati."
"Masuk akal sekali itu, Eyang," ujar Soka sam-
bil melirik kakaknya dan menutupi senyum dengan
tangannya.
"Jadi, siapa pun yang memiliki ilmu
'Pancawarsa' dia mempunyai jatah mati selama lima
tahun. Setelah lima tahun hidup kembali."
"Dengan lain perkataan, Darah Kula tidak bisa
mati secara awet, ya Eyang?!"
"Benar, Soka!" tegas Resi Bayakumba yang jika
bicara alunan katanya pelan-pelan, sehingga tiap kata
yang diucapkan bisa didengar dengan jelas dan mudah
diingat oleh siapa pun yang mendengarnya.
"Darah Kula itu sebenarnya anak iblis!" lanjut
sang Resi. "Mendiang ibunya kawin dengan raja dari
kerajaan iblis di alam gaib sana. Lahirlah si Darah Ku-
la. Jadi sebenarnya Darah Kula adalah seorang pange-
ran, sebab ia anak raja. Tapi raja iblis!"
Soka Pura mengulum senyum geli. Resi Baya-
kumba jika bicara memang begitu; tegas, mantap,
mengayun, berkesan lucu. Tapi sebenarnya ia serius.
"Kesaktian yang dimiliki Darah Kula tentunya
titisan dari ayahnya; si raja iblis itu," sambung Resi
Bayakumba. "Karena itu kekuatannya pada darah. Da-
rah perawan akan membuat kesaktian dan kekuatan-
nya tetap langgeng."
"Apakah tak ada kelemahannya, Eyang?" tanya
Raka Pura.
"Kelemahannya baru kuketahui beberapa wak-
tu yang lalu. Lima tahun yang silam, aku berhasil
membunuh Darah Kula. Tapi sebulan yang lalu, dia
bangkit lagi dan mencari korban darah perawan. Dua
bulan yang lalu, ketika aku bersemadi, aku berhasil
menemui mendiang guruku. Lalu kutanyakan tentang
kelemahan si Darah Kula itu. Ternyata kelemahannya
ada pada sebatang bambu."
Pendekar Kembar sama-sama kerutkan dahi.
Mereka merasa aneh dan ragu-ragu menangkap arti
kata 'sebatang bambu' itu.
"Maksudnya bagaimana, Eyang Resi?" Raka Pu-
ra ajukan tanya, karena tak mau menahan rasa ingin
tahunya terlalu lama.
"Darah Kula bisa mati selama-lamanya, tak
akan bangkit lagi dan tak akan lahir lagi ke bumi, apa-
bila ia dibunuh dengan 'Bambu Gading Mandul'...."
Soka sempat tertawa pelan dan buru-buru me-
nutup mulutnya dengan tangan sambil melengos ke
samping. Raka Pura sempat melirik dengan cemberut,
karena ia tak suka adiknya bercanda dalam keadaan
seperti seserius itu.
"Mengapa tertawa, Soka?" tegur Resi Bayakum-
ba.
"Hmm... anu, Eyang... nama bambu itu lucu
sekali menurutku. Namanya sangat aneh: 'Bambu
Gading Mandul'. Apa tidak ada nama lain, Eyang?!"
"Dari sananya memang namanya sudah begitu!"
ujar Resi Bayakumba.
"Jangan bercanda, Soka!" hardik Raka, lalu bi-
cara kepada Resi Bayakumba, "Maaf, Eyang.... Soka
memang mudah tertawa dengan hal-hal aneh."
"Tak apa. Waktu kudengar nama itu pun aku
juga tertawa," sambil sang Resi tersenyum. Maka Raka
Pura pun berani sunggingkan senyum geli dengan ta-
wa mirip orang menggumam.
"Bambu itu berwarna kuning, makanya dina-
makan bambu gading."
"Mengapa pakai mandul segala, Eyang?" tanya
Soka.
"Karena bambu itu tumbuh secara tunggal! Ar-
tinya, di sekitarnya tidak akan ada bambu serupa itu.
Tunasnya tidak bisa beranak, karena itulah dikatakan
'Bambu Gading Mandul'. Dan pohon bambu seperti itu
hanya ada satu di seluruh dunia. Ia tumbuh lurus ba-
gaikan baja kuning, tidak mempunyai cabang kecuali
tunas-tunas kecil yang menempel pada batangnya.
Tunas-tunas itu akan mengering, lalu terkelupas dan
tumbuh tunas baru. Jadi bambu itu tidak pernah mati
walaupun dalam cuaca segersang apa pun."
"Jadi si Darah Kula akan mati selama-lamanya
jika digebuk pakai bambu itu, Eyang?"
"Bukan digebuk!" ujar Resi Bayakumba. "Ambil
beberapa jengkal batang bambu itu, dibuat runcing,
dan ditusukkan ke tubuh Darah Kula! Entah terkena
kakinya, tangannya, dadanya atau apa saja, asal da-
rahnya terkena bambu itu, maka ia akan mati selama-
lamanya."
Pendekar Kembar manggut-manggut sambil
menyimpan keheranan dalam hati mereka. Soka Pura
segera ajukan tanya setelah saling membisu selama ti-
ga helaan napas.
"Lalu, di mana pohon 'Bambu Gading Mandul'
itu bisa kami temukan, Eyang?!"
"Di lereng Gunung Mercapada!" jawab sang Resi
tegas. "Hanya di lereng gunung itulah bambu tersebut
tumbuh. Di tempat lain tak ada."
"Kalau begitu, Raka...," ujar Soka kepada ka-
kaknya. "Kita harus ke Gunung Mercapada dulu untuk
mencari bambu tersebut."
"Ya," Raka manggut-manggut. "Eyang... apakah
Darah Kula tak bisa dibunuh dengan pedang kami
ini?!" sambil Raka tunjukkan pedang kristalnya yang
digeletakkan di samping kanan.
Resi Bayakumba tersenyum. "Aku tahu keam-
puhan pedang itu. Aku ingat waktu itu aku masih re-
maja dan melihat dua pemuda kembar yang kesohor
namanya itu membawa Pedang Tangan Malaikat itu."
"Tahu juga dia, ya?" bisik Soka, tapi Raka
hanya mendesis menyuruh Soka diam saja.
"Pedang kalian itu memang bisa untuk membe-
lah baja, tapi tidak bisa untuk membunuh Darah Kula.
Memang sebenarnya bisa saja Darah Kula mati oleh
pedang itu, tapi lima tahun kemudian dia akan bangkit
lagi," ujar sang Resi.
"Kalau begitu, Eyang...," sela Raka. "Ilmu
'Panca warsa' itu akan lenyap jika si pemiliknya dilukai
dengan 'Bambu Gading Mandul' itu?!"
"Benar, Raka! Tanpa menggunakan bambu itu,
Darah Kula akan menganggap kematiannya adalah li-
bur panjang saja. Libur selama lima tahun!"
"Tetapi bambu itu sendiri bisa kita potong pakai
senjata apa pun, Eyang?" tanya Soka.
"Bisa! Bambu itu seperti bambu biasa, walau
sebenarnya kekuatannya seperti besi. Tapi jika pedang
atau golok kita memang tajam, bisa saja untuk merun-
cingi bambu itu."
"Jika begitu, Eyang... sebaiknya kami harus se
gera pergi ke Gunung Mercapada sekarang juga,
Eyang," ujar Raka Pura penuh semangat. "Tapi kami
tidak tahu di mana arah Gunung Mercapada itu. Mo-
hon diberi petunjuk sekalian, Eyang."
"Pergilah ke arah selatan. Kalian akan mene-
mukan tiga gunung bersebelahan. Yang tengah lebih
tinggi dari kedua gunung kanan kirinya. Itulah Gu-
nung Mercapada."
Sebenarnya Raka Pura menghendaki segera be-
rangkat siang itu juga ke Gunung Mercapada. Tetapi
Resi Bayakumba menahan mereka karena rasa simpa-
tinya terhadap kedua pemuda kembar itu. Mau tak
mau Pendekar Kembar bermalam di pondok sang Resi,
sambil sang Resi membagi pengetahuan dan pengala-
man yang dimilikinya selama berkelana di rimba persi-
latan.
Esoknya, pagi-pagi sekali, Pendekar Kembar
bergegas berangkat menuju arah selatan, mencari
'Bambu Gading Mandul'. Soka Pura tampak semangat
sekali dan kelihatannya tak sabar ingin lekas menda-
patkan bambu aneh itu, karena dalam hatinya ia men-
cemaskan nasib Bulan Berkabut yang sudah menung-
gu di sekitar wilayah Bukit Maut. Ternyata pancingan
Resi Bayakumba berhasil kenai sasaran, yaitu mem-
buat Soka Pura bersemangat melumpuhkan si anak ib-
lis; Darah Kula.
Namun sebelum Pendekar Kembar terlalu jauh
meninggalkan Lembah Semangit, tiba-tiba sebatang
pohon besar tumbang menghalangi langkah mereka.
Krraak...! Brruuuuuk!
Soka Pura mencekal lengan kakaknya yang
nyaris nyelonong maju, sehingga sang kakak pun ter-
henti seketika. Andai saja Raka tidak ditahan oleh
adiknya, ia akan tertimpa pohon besar tersebut.
Keduanya buru-buru melompat mundur den
gan mata memandang sekeliling penuh waspada. Me-
nurut mereka, pohon itu tidak tumbang dengan sendi-
rinya, tetapi ada yang menumbangkannya dengan se-
buah ilmu dari jarak jauh. Pohon itu tidak jebol se
akar-akarnya, melainkan patah bagian batangnya, se-
kitar satu hasta dari tanah.
"Ada pihak yang ingin mencelakai kita, Raka!"
bisik Pendekar Kembar bungsu.
"Aku curiga pada pohon sebelah kanan kita itu!
Daunnya rimbun, sulit ditembus pandangan mata dari
sini. Jangan-jangan orang itu ada di sana!"
"Pohon yang mana? Ada beberapa pohon yang
berdaun rindang."
"Salah satu dari pohon-pohon itu! Entah yang
mana."
"Kalau begitu hantam saja dengan jurus ga-
bungan!"
"Baik! Aku gunakan jurus 'Cakar Matahari'!"
Raka Pura segera sentakkan tangannya ke de-
pan membentuk cakar tengkurap. Dari tangan itu ke-
luarlah sinar putih berbentuk seperti pisau runcing.
Claap...!
Soka Pura menggunakan jurus 'Cakar Bumi'
dengan menyentakkan tangan ke depan dalam kea-
daan telapak tangan terbuka. Wuut...l Telapak tangan
itu keluarkan sinar merah seperti piring bergerigi den-
gan percikan bunga api di tepiannya. Claaap...!
Kedua sinar itu melesat cepat ke arah pohon
berdaun rimbun itu. Ketika hendak menerobos dedau-
nannya, kedua sinar itu saling berbenturan.
Blaaam, blegaaarrr...!
Seberkas cahaya merah berkerlip dengan san-
gat lebar. Cahaya merah itu bukan hanya menghantam
pohon itu saja, namun tiga-empat pohon di sekitarnya
juga terkena bias cahaya tersebut. Dalam sekejap be
berapa pohon di sekitar situ menjadi hitam kering dan
berasap. Lebih dari delapan pohon yang mengalami
nasib seperti itu akibat terkena hawa panas dari Jurus
gabungan tadi. Beberapa pohon ada yang langsung
tumbang dalam keadaan sudah menjadi arang bera-
sap.
Ledakan yang terjadi tadi sangat dahsyat. Geta-
rannya merambat ke mana-mana. Daun-daun pohon
yang tidak terkena kerliapan cahaya merah tadi men-
jadi rontok, berguguran. Tanah pun terasa oleng se-
saat. Batu-batu bersusun saling berjatuhan, bahkan
batu besar yang tinggi sempat menjadi retak karena
gelombang ledakan yang menyebar luas itu.
Tetapi sebelum kedua sinar tadi bertabrakan,
Pendekar Kembar sempat melihat sekelebat bayangan
yang melesat dari atas pohon yang dituju. Bayangan
itu berkelebat sangat cepat dan menerabas daun-daun
pohon lainnya. Zrra, zrrak, zraak...! Pendekar Kembar
hanya bisa ikuti dengan pandangan mata sesaat. Sete-
lah ledakan terjadi, mereka berkelebat mengejar
bayangan yang keluar dari pohon tersebut. Mereka
mengejar dengan menggunakan jurus 'Jalur Badai',
sehingga dalam beberapa saat saja mereka berhasil
menghadang gerakan bayangan tersebut. Soka Pura
justru menerjang langsung kelebatan orang yang mela-
rikan diri itu, sehingga orang tersebut terpental dan ja-
tuh terbanting setelah membentur pohon. Brruus...!
Bruuuk...!
Soka Pura sendiri juga terpental ke belakang
dan jatuh terhempas dengan berguling-guling. Ma-
kiannya keluar secara beruntun walaupun tak ada
yang memperhatikan makian itu.
Kejap berikut, Raka Pura segera berhadapan
dengan orang yang dikejarnya. Sementara itu, Soka
menggeliat bangkit dengan menyeringai karena pung
gungnya terganjal batu ketika jatuh terhempas tadi.
Namun setelah Soka melihat siapa orang yang
keterjangnya tadi, matanya menjadi terbelalak dan
mulutnya terperangah. Rasa sakitnya nyaris hilang be-
gitu pandangan matanya menatap seraut wajah cantik
berhidung mancung dan berbibir menggairahkan. Wa-
jah cantik itu milik seorang perempuan bertubuh sek-
al, dengan dadanya yang montok tertutup kutang be-
ludru warna hijau muda. Kain penutup bawahnya
berwarna merah jambu, jubah lengan panjangnya juga
berwarna merah jambu. Tampaknya pakaian itu ter-
buat dari kain cukup mahal.
Perempuan cantik berambut panjang disanggul
rapi, dengan hiasan semacam mahkota kecil dari emas
berbatu mirah delima itu, mengenakan kalung dan ge-
lang dari emas dan batuan permata. Dilihat dari pe-
nampilannya, perempuan berusia sekitar dua puluh
delapan tahun itu tampaknya bukan perempuan biasa.
Aroma wewangiannya yang menyebar dan terhirup
oleh hidung kedua pemuda tampan itu menampakkan
sebagai wewangian berkelas ningrat, bukan wewangian
perempuan desa.
Soka Pura juga memperhatikan sabuk perem-
puan itu yang terbuat dari logam emas berhias batuan
permata. Pada sabuk itu terdapat sebilah pedang pen-
dek yang bersarung dan bergagang logam lapis emas
berukir, dengan hiasan batu-batu mirah delima sebe-
sar biji jagung.
Pendekar Kembar merasa belum mengenal pe-
rempuan itu, sehingga Raka Pura segera perdengarkan
suaranya dengan nada tegas dan berwibawa.
"Kita belum saling mengenal, tapi mengapa kau
sudah berani mencoba ingin mencelakai kami? Apa sa-
lah kami terhadapmu?!"
"Jika kau tanyakan kesalahanmu, kembalikan
ingatanmu pada sebuah pusaka yang bernama Pedang
Bulan Madu!" jawab perempuan bermata sedikit sayu
itu.
Raka Pura dan Soka Pura saling beradu pan-
dang dengan dahi berkerut. Dalam benak mereka sege-
ra terlintas tentang pusaka yang sempat diperebutkan
antara pihak keluarga Nalapraya dengan Ratu Rias
Rindu. Pada akhirnya, pusaka tersebut berhasil dicuri
oleh Sampurgina, namun Pendekar Kembar segera
berhasil merampas pedang tersebut, (Baca serial Pen-
dekar Kembar dalam episode: "Pedang Bulan Madu").
Soka Pura segera maju satu langkah dan bicara
kepada perempuan cantik yang sejak tadi lebih banyak
memperhatikan dirinya ketimbang memperhatikan Ra-
ka.
"Apakah kau yang bernama Ratu Rias Rindu?!"
Senyum tipis berkesan angkuh mekar di bibir
yang bikin hati lelaki gemas itu.
"Kau cukup cerdas rupanya! Memang akulah
yang bernama Ratu Rias Rindu! Kurasa kalian sudah
sering mendengar namaku disebut-sebut oleh bebera-
pa orang."
Raka Pura menggumam dan manggut-manggut
kecil. Sikapnya masih tetap tegar.
"Lalu, apa maksudmu menumbangkan pohon
di depan kami?!"
"Pukulanku terlalu cepat, sehingga sebelum ka-
lian melintas melangkah di bawahnya, pohon itu su-
dah tumbang lebih dulu! Mestinya kalian berdua mati
tergencet pohon besar Itu! Karena, kematian kalian
adalah pembalasan yang setimpal!"
Ratu Rias Rindu berkata dengan mengecilkan
matanya, sebagai tanda kebencian dan dendam yang
menyatu dalam hatinya. Namun ia sendiri juga bersi-
kap tenang dan penuh waspada. Karena pada saat itu,
Pendekar Kembar mulai merenggangkan jarak; Raka
ke kiri dan Soka ke kanan. Sang Ratu merasa akan
diserang dari dua arah, sehingga bola matanya selalu
melirik ke kanan dan ke kiri bergantian.
"Rupanya kau ingin membalas dendam atas
kematian Kembang Setaman; orang andalanmu itu?!"
ujar Raka Pura.
"Pembalasanku bukan saja untuk kematian
Kembang Setaman dan Udaya...."
""O, jadi Udaya akhirnya tewas juga?" pikir Ra-
ka Pura dalam hati, yang kala itu memang menyerang
Udaya hingga orang tersebut terluka parah.
Sang Ratu menyambung ucapannya yang ber-
nada geram itu.
"Setelah Bandra menyebutkan ciri-ciri orang
yang menyerang Udaya, aku menarik kesimpulan
bahwa orang itu adalah Pendekar Kembar, entah yang
mana!" "Kembang Setaman bukan mati di tanganku,
Nyai Ratu!"
"Terserah pembelaanmu!" ujar Ratu Rias Rindu
dengan nada datar. "Yang jelas, kehancuran istana Ba-
ra membuatku harus lakukan pembalasan kepada ka-
lian!"
"Kami tidak menghancurkan istana Bara!"
sanggah Soka tiba-tiba.
"Kami justru baru tahu sekarang kalau istana
Bara hancur!" timpal Raka Pura.
"Tak perlu berlagak bodoh, Pendekar Kembar!"
sentak Ratu Rias Rindu. "Kalian menyerang istanaku
malam-malam, setelah itu kabur entah ke mana! Para
pengikutnya banyak yang tewas, istana Bara sendiri
hancur, kalian ratakan dengan tanah. Untung aku
masih bisa selamatkan diri dan bersembunyi untuk
mengobati lukaku. Tapi sekarang aku sudah sehat dan
harus lakukan pembalasan kepada kalian!"
Tiba-tiba kedua tangan Ratu Rias Rindu me-
nyentak ke kanan-kiri dengan telapak tangan berjari
rapat lurus ke depan. Suuut...! Dari ujung jari-jarinya
keluar dua larik sinar merah yang semakin jauh makin
melebar. Satu sinar merah mengarah kepada Raka, sa-
tu lagi mengarah kepada Soka. Slaap, slaap...!
Pendekar Kembar sempat terkejut, karena tak
disangka-sangka sang Ratu akan menyentakkan kedua
tangannya yang semula kelihatan tenang-tenang saja
itu. Maka dengan cepat Pendekar Kembar sentakkan
napas yang tertahan, suuut...! Jurus 'Badai Terbang'
membuat keduanya meluncur ke atas bagaikan roket.
Wuut, wuuut...! Kedua sinar merah yang melebar da-
lam bentuk pipih itu akhirnya menghantam pohon-
pohon di belakang Pendekar Kembar. Clas, clas, clas,
clas...!
Lebih dari delapan pohon tumbang seketika itu
juga karena diterjang sinar merah. Pohon-pohon itu
bagaikan terpotong dengan senjata yang amat tajam,
sehingga potongannya tampak rapi sekali.
Pendekar Kembar yang meluncur turun segera
sama-sama lepaskan jurus 'Cakar Matahari'-nya. Dari
tangan mereka masing-masing melesat sinar putih se-
perti pisau runcing. Clap, claap...! Sebelum kaki mere-
ka menampak ke bumi lagi, kedua sinar putih itu telah
menghantam Ratu Rias Rindu.
Tetapi perempuan itu tak mau tinggal diam. Si-
nar-sinar putih itu dihantam dengan sinar merah bun-
dar seperti telur burung puyuh yang keluar dari mas-
ing-masing telapak tangannya. Clap, clap...!
Blegaaarr...! Blegaaarrr...!
Gelombang ledakan menyentak kuat ke berba-
gai penjuru, menyebarkan udara panas yang membuat
kulit-kulit pohon terkelupas dan berkerut. Sentakan
gelombang ledakan itu telah membuat tubuh Ratu Rias
Rindu terlempar ke belakang dan jatuh di tumpukan
akar-akar pohon yang mirip tambang itu. Wuuut...!
Bruuuk...!
Rupanya kekuatan perempuan itu belum bisa
kalahkan kekuatan sinar putihnya Pendekar Kembar.
Gelombang ledakannya lebih banyak menghempas ke
arah Ratu Rias Rindu. Tak heran jika Pendekar Kem-
bar hanya terdorong ke belakang beberapa langkah,
tapi tak sampai jatuh. Sedangkan hawa yang mener-
jang mereka adalah hawa hangat, tak sepanas yang
menerjang Ratu Rias Rindu.
"Keparat kalian!" geram Ratu Rias Rindu penuh
murka. Ia berusaha bangkit dengan cepat dan mena-
han rasa panas di sekujur tubuhnya. Kulit tubuh yang
kuning langsat itu sekarang berubah menjadi keme-
rah-merahan mirip udang rebus. Keadaan itu mem-
buatnya semakin murka kepada Pendekar Kembar, se-
hingga ia merasa perlu mencabut pedangnya. Sreet...!
"Hiaaaahih...!" sang Ratu berteriak keras-keras
sambil lakukan lompatan ke depan. Ia bagaikan ter-
bang dengan cepat. Pedangnya diarahkan ke depan
dan ditujukan kepada Raka Pura.
Sret, sret...! Pendekar Kembar pun segera men-
cabut Pedang Tangan Malaikat-nya yang terbuat dari
beling kristal itu. Raka Pura sengaja diam di tempat
hadapi kedatangan lawannya, tapi Soka Pura berkele-
bat menerjang dari samping lawan. Wuuuz...!
Begitu melihat kelebatan dari arah samping,
Ratu Rias Rindu cepat-cepat sentakkan pedangnya ke
pohon yang dilintasinya. Tuubs...! Pedang itu bagaikan
pegas yang dapat memantulkan gerakan pemiliknya.
Gerakan terbang sang Ratu pun akhirnya ber-
pindah arah. Ia melambung dalam gerakan bersalto ke
arah samping. Akibatnya terjangan Soka Pura mene-
mui tempat kosong. Bruuus...!
"Aaow...!" Soka Pura memekik kesakitan karena
ia menabrak pohon yang ditusuk dengan pedangnya
sang Ratu.
Melihat adiknya kecele oleh gerak tipuan sang
Ratu, Raka Pura segera berkelebat menyusul sang Ra-
tu yang sedang melambung turun dari ketinggiannya.
Wees...!
Weess...!
Raka Pura terkejut, karena pada saat itu ada
bayangan lain yang berkelebat juga bersimpang arah
dengannya. Bayangan itu bergerak lebih cepat, sehing-
ga lebih dulu menerjang Ratu Rias Rindu di udara.
Tubuh sang Ratu bagai terbawa ke arah lain bersama
bayangan yang menerjangnya itu, sedang Raka Pura
menerjang tempat kosong. Namun ia tak sampai ke-
cele, menabrak pohon seperti Soka Pura tadi.
Terdengar suara aneh yang mengejutkan Pen-
dekar Kembar. Trak, trak, blaaammm, blegaaaar...!
"Aaah...!" terdengar suara pekikan perempuan
yang pendek dan hanya sekilas itu. Kejap berikut, So-
ka Pura yang sudah berdiri kembali sambil mengusap-
usap kepalanya yang membentur pohon itu segera ter-
belalak melihat Ratu Rias Rindu terkapar di bawah
pohon dalam keadaan setengah bersandar pada batang
pohon tersebut. Mulutnya keluarkan darah kental wa-
lau tak banyak. Tapi kulit tubuhnya semakin tampak
merah bagai tersiram air mendidih. Raka Pura yang
sudah berdiri tegak di sebelah sana juga terperanjat
melihat keadaan sang Ratu yang kulit tangannya ter-
kelupas mengerikan itu.
Raka Pura dan Soka Pura sama-sama terperan-
gah setelah mengetahui munculnya sosok lain yang
berada tak jauh dari Ratu Rias Rindu. Sosok lain itu
adalah bayangan yang tadi menerjang sang Ratu. Ter-
nyata dia adalah seorang kakek berjenggot panjang pu
tih dengan rambut, kumis, dan alisnya serba putih.
Tokoh tua itu mengenakan jubah biru muda dan
membawa tongkat hitam berhias kepala ular kobra.
Pendekar Kembar tak asing lagi dengan wajah tua itu
yang tak lain adalah Dewa Perintang.
"Teruskan perjalanan kalian. Biar kuurus pe-
rempuan sesat ini!" ujar Dewa Perintang kepada Pen-
dekar Kembar.
"Baik, Eyang...!" Jawab Raka Pura, lalu meng-
hormat dengan sedikit bungkukkan badan, demikian
pula yang dilakukan oleh Soka. Pedang mereka yang
berkilauan cahaya ungu seperti cahaya fosfor itu sege-
ra dimasukkan ke dalam sarung.
Pada saat itu, Ratu Rias Rindu berusaha bang-
kit dengan menahan rasa sakit. Agaknya ia masih te-
tap penasaran kepada Pendekar Kembar dan tak mau
pedulikan si Dewa Perintang.
Pikirnya, "Sebelum aku mati di tangan Dewa
Perintang, mereka berdua harus mati lebih dulu!"
Dewa Perintang berseru kepada sang Ratu, "Ji-
ka kau ingin menuntut balas atas kehancuran istana-
mu dan kematian orang andalanmu; si Kembang Se-
taman, tuntutlah aku! Karena akulah yang lakukan
semua itu, Rias Rindu! Pendekar Kembar hanya me-
lumpuhkan Sampurgina, yang mencuri Pedang Bulan
Madu dari makam sahabatku: Sabandanu!"
"Heeaaaat...!" Ratu Rias Rindu semakin liar dan
ganas. Ia melompat kembali dengan pedang sentakkan
ke depan. Ujung pedang itu keluarkan sinar biru lurus
ke arah Raka Pura. Slaaap...!
Tapi Dewa Perintang segera patahkan sinar biru
itu dengan menyodokkan tongkatnya dan dari ujung
tongkat yang berhias kepala ular kobra itu keluar sinar
merah sekecil lidi. Claap...! Sinar merah itu mengha-
dang gerakan sinar biru dari pedangnya Ratu Rias
Rindu.
Deeebbs...! Sinar biru itu padam seketika tanpa
timbulkan ledakan menggelegar. Sinar merah yang me-
lesat dari tongkat Dewa Perintang segera kembali ke
arah semula, bagaikan terisap oleh tongkat Dewa Pe-
rintang, masuk ke ukiran mulut ular kobra tersebut.
Syuuurrb...l
"Jahanam kau, Dewa Perintang! Hiaaah...!" te-
riak Ratu Rias Rindu yang mengandalkan jurus-jurus
bersinarnya. Ia sentakkan tangan kirinya, dan ,dari te-
lapak tangan kiri melesat sinar biru juga yang berben-
tuk seperti telur burung puyuh. Sinar itu menyerang
Dewa Perintang. Tapi si Dewa Perintang hanya diam di
tempat, matanya memandang tajam pada sinar biru
Itu. Tiba-tiba sinar biru tersebut berhenti di udara se-
tengah kelap, kemudian melesat berbalik arah meng-
hantam Ratu Rias Rindu. Claap...!
"Hahhh...?!" Ratu Rias Rindu terkejut melihat
sinarnya berbalik menyerangnya. Ia segera lepaskan
sinar kedua yang sama besar dan sama warnanya. Si-
nar kedua dari telapak tangannya itu belum sempat
melesat, baru menggumpal di telapak tangan sudah
dihantam sinar pertama. Blaaar...!
"Aaaaa...!" Ratu Rias Rindu memekik histeris
dengan tubuh terlempar sejauh delapan langkah.
Brruuk...! Tubuhnya membentur pohon dengan keras.
Ia mengerang kesakitan di sana. Tangan kirinya men-
jadi hitam hangus dan tak bisa digerakkan lagi. Si De-
wa Perintang berjalan menghampirinya dengan lang-
kah tegas.
"Celaka! Aku harus kabur dari sini! Tak mung-
kin aku bisa hadapi si tua bangka itu!" pikir Ratu Rias
Rindu. Maka ia pun bergegas bangkit dengan kerahkan
tenaganya. Kemudian pergi dengan lompatan cepat
menerjang semak ilalang. Blaaas...! Gusraaak...!
Dewa Perintang tak banyak bersuara. Lelaki tua
itu tahu-tahu lenyap dari pandangan mata Pendekar
Kembar. Gerakannya yang teramat cepat itu mem-
buatnya seperti menghilang. Tapi Pendekar Kembar
sempat melihat kilatan bayangan kecil yang melesat
mengejar Ratu Rias Rindu.
"Habis sudah!" gumam Soka Pura. "Riwayat hi-
dup perempuan itu habis sudah diterjang kesaktian
Eyang
Dewa Perintang!"
"Ya, sayangnya kita tak bisa melihat kematian
si Ratu Rias Rindu itu! Kita harus lanjutkan langkah
kita, sesuai pesan Eyang Dewa Perintang tadi, Soka!"
Pendekar Kembar bungsu hanya sentakkan ke-
dua pundak pertanda setuju untuk lanjutkan langkah.
Tapi sebelum mereka jauh dari tempat pertarungan,
tiba-tiba mereka mendengar suara jeritan yang me-
manjang dan memilukan hati.
"Aaaaaaa...!!"
Pendekar Kembar terkejut serentak, lalu mere-
ka saling pandang dengan wajah sedikit tegang.
"Apakah itu kematian Ratu Rias Rindu?!" tanya
Soka.
"Kurasa bukan! Suaranya tidak mirip suara pe-
rempuan tadi. Kurasa... itu suara seorang gadis! Bu-
kan perempuan seusia Ratu Rias Rindu!"
"Celaka! Jangan-jangan si Bulan Berkabut?!"
ujar Soka Pura semakin tegang. Kemudian ia melesat
pergi ke arah datangnya jeritan menyayat hati tadi.
Raka Pura pun segera mengikutinya. Wuuuuzzz,
wuuuzzz...!
*
* *
7
KEDUA pemuda tampan kembar rupa itu tiba
di tepi kubangan besar. Kubangan besar itu semula
adalah sebuah telaga yang sudah mengering. Bagian
dasar telaga sudah ditumbuhi oleh rumput dan tana-
man liar lainnya. Kedalamannya tak seberapa, dapat
dijangkau dengan satu kali lompatan saja.
Di dasar bekas danau yang luasnya hampir
menyamai lapangan bola itu, Pendekar Kembar melihat
jelas seorang gadis yang sedang dipaksa melayani em-
pat lelaki kurus berwajah angker. Gadis itu tak dikenal
oleh Soka maupun Raka, namun hati mereka tergerak
melihat pemerkosaan tersebut.
Si gadis hanya bisa menangis dan pasrah, ka-
rena seseorang tadi telah melukai lengannya ketika ia
menolak melayani nafsu binatang keempat orang ku-
rus itu.
Mereka merobek-robek pakaian si gadis, hingga
gadis itu menjadi seperti bayi baru lahir. Tubuhnya
yang terkapar diciumi oleh seseorang yang berambut
panjang sepundak. Ciuman itu merayap dengan ganas
di sekujur tubuh si gadis, sementara yang lain menon-
ton dan menertawakan.
Gumpalan dada si gadis segera disambar oleh
orang berbaju biru, sementara orang berambut sepun-
dak menciumi sekitar betis sampai paha si gadis.
Agaknya gadis itu sudah kehabisan tenaga karena me-
ronta sejak tadi dan tak pernah berhasil melawan ke-
kuatan keempat lelaki kurus itu. Maka dengan mu-
dahnya dua orang tadi menggerayangi tubuh si gadis
sampai akhirnya yang berambut sepundak tak kuat
menahan diri, maka temannya yang mendusal-dusal di
dada si gadis disingkirkan.
"Minggir, aku dulu yang ingin berlayar!"
"Hah, hah, hah, hah...! Kau sudah tak kuat lagi
rupanya!" teman-temannya menertawakan, tapi mere-
ka mundur selangkah untuk beri kesempatan kepada
si rambut sepundak itu untuk berlayar lebih dulu. Ba-
ju pun dilepaskan, dan lelaki berusia sekitar dua pu-
luh delapan tahun itu segera menerkam si gadis den-
gan luapan gairahnya yang menyerupai binatang. Si
gadis sampai tersentak-sentak oleh guncangan ganas
orang tersebut, suara rintihannya adalah rintihan ke-
hancuran, bukan rintihan kenikmatan.
"Aauh, aaauh, aaauh...!" si lelaki mengerang-
ngerang dengan kepala terdongak dan mata terpejam.
Mereka benar-benar liar dan berjiwa iblis.
Pada saat itulah, Pendekar Kembar yang sem-
pat terpukau di tempat segera sadar. Sekalipun mere-
ka sangat terkejut hingga membuat Raka sempat sedi-
kit shock, namun akhirnya Soka Pura yang sadar lebih
dulu dengan apa yang terjadi dl depan matanya, segera
mengawali gerakannya sambil berteriak dan melesat
menggunakan jurus 'Jalur Badai'.
"Hentikaaaaaann...!!" Wuuuzz...!
Dalam sekejap Soka Pura berhasil menerjang
lelaki yang sedang asyik menikmati pelampiasan gai-
rahnya di atas si gadis. Bruuus...! Lelaki itu terlempar
karena terjangan Soka Pura, terpisah dari si gadis.
Sementara si gadis sendiri sempat tersentak dan
menggelinding ke samping dengan jerit ketakutan lebih
terdengar serak.
"Uuhk...!" lelaki yang tadi diterjang Soka Pura
segera mengerang dan menggeliat untuk bangkit. Se-
mentara itu, tiga temannya menjadi murka dan mas-
ing-masing mencabut senjata mereka berupa golok be-
raneka bentuk.
"Bangsat! Siapa dia, berani mengacaukan ren
cana kita?" teriak salah seorang.
"Habisi dia!" seru yang satunya.
"Heeaaat...!"
Wus, wus, wus, wus, wus...!
Soka Pura diserang tiga orang yang memba-
batkan goloknya secara bertubi-tubi. Soka hindari te-
basan-tebasan yang bersimpang siur di sekitarnya
dengan tubuh meliuk ke sana-sini.
Pada saat itu, lelaki yang terhalang kepuasan-
nya tadi segera bangkit dan mengambil goloknya yang
di geletakkan di rerumputan samping kaki si gadis. Se-
telah mengencangkan tali celananya, lelaki yang belum
sempat mengenakan bajunya itu segera menebaskan
senjatanya ke punggung Soka.
Melihat Pendekar Kembar bungsu ingin dilukai
lawan licik itu, Pendekar Kembar sulung tak tinggal di-
am. Dari atas kubangan itu ia lepaskan Jurus 'Tangan
Batu'nya yang mengandung kekuatan tenaga dalam
sangat besar itu. Wuuut...!
Bruuus...!
"Aaahh...!" orang yang mau menebaskan golok
ke punggung Soka itu terlempar sejauh lima langkah
dari tempatnya. Kepalanya membentur sebongkah ba-
tu sebesar kambing.
Prrook...!
"Aaaakh...!" orang itu memekik tersendat, kepa-
lanya berlumur darah, tubuhnya terkulai di tempat
dan menggeliat-geliat tanpa bisa bersuara lagi.
Wuuuz...! Raka Pura segera turun ke dasar ku-
bangan besar itu. Ia menyambar si gadis dan segera
dibawa menjauh, naik ke atas kubangan.
Si gadis menangis terisak-isak. Raka Pura mele-
takkannya di bawah pohon. Tapi ia segera mundur
dengan wajah terkejut tegang, karena ia baru sadar
bahwa pakaian si gadis masih tertinggal di dasar ku
bangan sana. Sekalipun pakaian itu sudah rusak, tapi
sebenarnya masih bisa untuk menutupi tubuh si ga-
dis.
"Gawat!" geram hati Raka Pura. Maka ia segera
kembali ke dasar kubangan untuk mengambil sisa pa-
kaian si gadis. Jantungnya sempat berdetak-detak ce-
pat karena masih terbayang keadaan si gadis yang bu-
gil. Ia selalu merasa malu dan takut pada diri sendiri
jika melihat 'perabot' lawan jenisnya.
Ketika Raka mengambil pakaian si gadis, ter-
nyata Soka Pura sudah berhasil tumbangkan dua
orang yang mengeroyoknya. Satu orang masih belum
tumbang, walau sudah terluka memar di bagian dagu
dan telinganya berdarah.
Jleeg...! Orang berbaju biru yang masih bisa
berdiri itu terkejut melihat kemunculan Raka Pura
yang kembar dengan Soka itu. Ia segera teringat ten-
tang Pendekar Kembar yang sering dibicarakan oleh
teman-temannya.
Maka serta-merta orang berbaju biru itu mele-
sat pergi tinggalkan teman-temannya. Ia tampak keta-
kutan sekali dan tak mau peduli lagi nasib ketiga te-
mannya yang sekarat itu.
"Soka, gadis itu kubawa ke atas! Ini pakaian-
nya! Urus dia, aku akan mengejar orang yang berbaju
biru itu!"
"Tak perlu!" ujar Soka sambil terengah-engah.
"Biarkan dia lari! Aku tahu dia orangnya Jagat Lan-
cang!" "Dari mana kau tahu?".
"Dia salah satu orang yang menangkap Bunga
Dewi. Biarkan dia lapor pada ketuanya! Jika perlu, kita
hadapi sekalian si Jagat Lancang itu!" ujar Soka masih
tampak diliputi kemarahan. Namun akhirnya mereka
berdua sama-sama naik untuk mengurus si gadis.
Hanya saja, ketika mereka tiba di tempat si gadis, tiba-tiba tempat itu dikepung oleh orang-orang
bertubuh kurus dan berwajah kusam. Dari tubuh ku-
rus mereka, Soka segera dapat menyimpulkan bahwa
mereka adalah orang Perguruan Tengkorak Sungsang.
Sebab menurut keterangan Bunga Dewi, orang Pergu-
ruan Tengkorak Sungsang bertubuh kurus semua, tak
ada yang gemuk sedikit pun.
"Cepat kenakan pakaianmu!" ujar Soka kepada
gadis itu. Pakaian tersebut segera dilemparkan ke tu-
buh si gadis yang gemetar dan sangat ketakutan.
Raka Pura pandangi orang-orang yang mengeli-
linginya. Mereka terdiri dari delapan orang. Salah satu
ada yang berkepala gundul, bermata cekung, bertubuh
jangkung, dan mengenakan rompi hitam tepian kun-
ing. Orang yang mirip tengkorak hidup itu menggeng-
gam tongkat berujung tiga mata pisau dalam bentuk
seperti garpu.
"Pucuk di cinta ulam tiba!" ujar orang gundul
berusia sekitar lima puluh tahun itu. "Kalian pasti
yang bergelar Pendekar Kembar!"
"Benar! Lalu, mau apa kau?!" tanya Soka den-
gan nada ketus.
"Siapa kau sebenarnya?!" Raka menyela dengan
pertanyaan pula.
Orang gundul itu masih tampak tenang. Se-
nyumnya lebih pantas dikatakan sebagai seringai iblis.
Setidaknya senyum itu adalah senyum tengkorak yang
kegelian.
"Perlu kalian ketahui, akulah ketua dan guru di
Perguruan Tengkorak Sungsang! Aku yang dikenal
dengan nama Jagat Lancang!"
"O, kau...?" sahut Soka dengan semakin sinis.
"Kalian kucari ke mana-mana, hampir saja aku
ke pondoknya si Bayakumba untuk mencari kalian.
Tapi ternyata kalian ada di sini. Dan kulihat murid
muridku kalian buat sekarat di bawah sana!"
"Karena murid-muridmu hendak memperkosa
gadis itu!" sahut Soka Pura yang tampak bernafsu se-
kali untuk menghajar si Jagat Lancang.
"Gadis itu tidak laku dijual!" ujar Jagat Lan-
cang. "Kami salah tangkap. Ternyata dia sudah tidak
perawan lagi. Maka kulepaskan dia, dan tak ada laran-
gan bagi murid-muridku yang ingin menikmati hiburan
alakadarnya. Mengapa kau mengusik urusan kami,
Pendekar Kembar?! Kami tidak pernah mengusik uru-
san kalian!"
"Tindakanmu sangat tak manusiawi, Jagat
Lancang!" geram Raka Pura. "Kau perdagangkan gadis-
gadis ini, seperti kau jualan kacang rebus saja!"
"O, itu urusanku, Nak!" ujar si Jagat Lancang
dengan senyum sinis. "Kalau kau mau jualan kacang
rebus, silakan! Aku akan jualan barang lain. Seharus-
nya kalian tak perlu mengusik urusanku, Pendekar
Kembar. Laporan dari beberapa anak buahku menga-
takan bahwa kau sepertinya merasa iri karena tak bisa
menjual kesucian kepada Darah Kula!"
"Kami tak akan lakukan perbuatan sehina itu,
Jagat Lancang!" sahut Raka Pura dengan tegas.
"Kalau begitu kalian tak perlu ikut campur
urusanku."
Jagat Lancang berpaling ke belakang, bicara
dengan muridnya.
"Urus mereka yang ada di bawah. Bawa pulang
secepatnya! Aku akan beri pelajaran sebentar kepada
anak-anak bodoh ini!"
Tiga orang bergegas pergi ke bawah kubangan.
Jagat Lancang melangkah pelan ke samping dengan
mata melirik Pendekar Kembar.
"Kalian harus kuberi pelajaran agar tahu adat
se dikit terhadap urusan orang lain!"
Pendekar Kembar merenggangkan jarak. Tan-
gan mereka sudah saling meremas geram, sepertinya
tak sabar ingin segera menghajar Jagat Lancang.
"Kalau ku ajukan muridku untuk melawan ka-
lian, itu terlalu buang-buang waktu," ujar si gundul
Jagat Lancang. "Jadi bersiaplah menerima pelajaran
langsung dariku, Anak-anak Bodoh!"
Soka Pura melirik kakaknya. Yang dilirik juga
segera membalas lirikan. Soka Pura memberi isyarat
dengan anggukkan kepala kecil. Tangan mereka mulai
pegangi gagang pedang dan siap cabut.
Tapi tiba-tiba Jagat Lancang sentakkan tong-
katnya ke depan. Wuuut...! Clap, clap, clap...! Tiga si-
nar biru bagaikan kilat berkerilap menyambar Raka
dan Soka. Gerakan ketiga sinar itu melesat ke sana-
sini membingungkan Pendekar Kembar.
Raka Pura segera melompat ke samping dan
berguling di tanah, maka seberkas sinar biru berkelok-
kelok itu melesat di sampingnya, lenyap di udara bela-
kang Raka.
Sementara itu, Soka Pura segera berkelit meli-
ukkan badannya dengan kedua kaki merendah, karena
dia diserang dua sinar biru berkelok-kelok. Salah sa-
tunya berhasil menyambar lengan kanannya. Cras...!
"Aaow...!" Soka memekik kesakitan. Lengannya
segera koyak panjang dan menimbulkan luka bakar
yang menghangus, mengepulkan asap tipis. Soka me-
nyeringai menahan lukanya.
"Itu pelajaran pertama!" ujar Jagat Lancang.
"Jika kalian bisa lolos dari lima pelajaran ku, maka ka-
lian boleh bebaskan gadis-gadis yang sedang menung-
gu saat pengiriman ke Bukit Maut itu! Heh, heh, heh,
heh...."
Melihat adiknya terluka, Raka Pura menjadi
marah, dan segera lakukan penyerangan. Ia berkelebat
menerjang Jagat Lancang. Wuuuz...! Tapi si gundul
kurus itu ternyata cukup lincah. Dengan melompat se-
dikit ke samping, ia berhasil kibaskan tongkatnya.
Wut, cras...! Lalu ia berputar memunggungi Raka dan
sodokkan ujung tongkat bagian bawah ke belakang.
Dees...!
"Aahk...!" Raka Pura bagai diseruduk empat
ekor kerbau. Tubuhnya terpental nyaris Jatuh ke ku-
bangan besar itu. Untung ada sebongkah batu yang
menahannya, walau untuk itu ia harus menahan sakit
karena punggungnya membentur batu tersebut.
Raka Pura terperanjat sekejap melihat perge-
langan tangannya berdarah. Rupanya tiga mata pisau
di ujung tongkat lawan berhasil melukai pergelangan
tangannya yang segera menjadi hitam dan berbusa.
Asap tipis mengepul dari luka tersebut.
"Celaka! Senjata itu mempunyai racun yang
berbahaya bagi darahku!" geram Raka Pura dalam ha-
tinya.
"Raka...!" seru Soka Pura dengan mata terbela-
lak melihat kakaknya terluka. Tapi sebelum Soka ber-
gerak dekati kakaknya, sang kakak sudah bangkit dan
berseru dengan suara menggeram.
"Soka, lepaskan 'Cakar Matahari!"
Maka Pendekar Kembar bungsu pun segera le-
paskan jurus 'Cakar Matahari' yang mampu keluarkan
sinar putih berbentuk pisau itu. Soka Pura keluarkan
kekuatan jurus itu secara beruntun dan mengarah ke
sekitar betis dan paha si Jagat Lancang.
Clap, clap, clap, clap...!
Melesatnya sinar putih yang begitu cepat itu se-
lalu berhasil ditangkis dengan kibasan tongkat si Jagat
Lancang. Setiap benturan sinar putih dengan tiga mata
pisau menimbulkan ledakan yang tak seberapa besar.
Duaar, duaar, duaar, duaaar...!
Pada saat Jagat Lancang sibuk hindari sinar-
sinar putih tersebut, Raka Pura segera melesat ke uda-
ra dan berjungkir balik ke arah lawan. Tubuh Pende-
kar Kembar sulung itu melayang di atas kepala Jagat
Lancang.
Orang gundul itu terdesak mundur oleh seran-
gan sinar putih beruntun, sehingga ia tak sempat per-
hatikan bagian atasnya. Tahu-tahu kedua tangan Raka
Pura menggeprak kepala gundul si Jagat Lancang se-
perti menepuk seekor nyamuk. Praak...!
Jurus 'Tapak Sunyi' dipergunakan oleh Pende-
kar Kembar sulung dalam keadaan tubuh menukik tu-
run dari ketinggiannya. Para murid si Jagat Lancang
terperanjat melihat kepala gundul gurunya dikeprak
oleh lawan. Namun mereka menjadi lega, karena si Ja-
gat Lancang masih tetap berdiri dengan senyum sinis-
nya.
Serangan Soka pun berhenti begitu melihat ka-
kaknya sudah berhasil menggeprak kepala lawan. Ra-
ka Pura sempat pergunakan kepala itu untuk tum-
puan dua jarinya yang membuat tubuhnya melenting
ke arah depan dalam gerakan bersalto. Wuuk...!
Jleeg...! Ia berdiri di samping Pendekar Kembar bung-
su. Keduanya sama-sama menatap Jagat Lancang.
Ketua perguruan itu masih berdiri dengan kaki
sedikit merenggang. Tegak dan tampak menyungging-
kan senyum sinis. Namun kejap berikutnya, para mu-
rid yang semula merasa lega karena menyangka gu-
runya tidak mengalami cedera apa pun, tiba-tiba harus
terbelalak tegang dan gemetaran. Karena kepala gun-
dul sang Guru tiba-tiba menjadi retak, darah merem-
bas melalui garis keretakan itu.
Brruuk...!
"Ooh...?! Guru..."??!!" teriak para murid.
Tentu saja si Jagat Lancang tak hiraukan se
ruan tegang para muridnya itu, karena kepalanya telah
pecah dan nyawanya pun melayang bergentayangan di
alam bebas. Melihat gurunya ditumbangkan oleh Pen-
dekar Kembar, maka para murid pun akhirnya melari-
kan diri dan tak ada yang mau mengalami nasib seper-
ti sang Guru. Mereka masih ingin punya kepala utuh
dan bisa untuk menggeleng atau mengangguk.
"Pemburu mahkota dara itu telah tewas, Raka!
Apa yang harus kita lakukan sekarang?!"
"Obati luka kita dulu, baru bebaskan para ga-
dis yang ditawan mereka!" jawab Raka Pura, kemudian
melirik gadis yang tadi diselamatkan.
"Aku tahu tempat mereka disekap! Aku akan
bantu kalian!" ujar si gadis dengan suara masih berge-
tar.
Setelah mengobati luka dengan jurus pengoba-
tan yang disebut jurus 'Sambung Nyawa' itu, Pendekar
Kembar akhirnya pergi ke pusat Perguruan Tengkorak
Sungsang. Gadis yang nyaris diperkosa oleh empat
orang itu memandu perjalanan mereka. Namun ketika
mereka tiba di sana, ternyata para murid perguruan
tersebut sedang sibuk mengungsi untuk hindari ben-
cana yang diperkirakan akan datang dari sepasang
pemuda kembar itu. Mereka segera bubar begitu meli-
hat kedatangan Raka dan Soka. Masing-masing me-
nyelamatkan diri sendiri-sendiri.
Para tawanan cantik itu akhirnya dibebaskan
oleh Pendekar Kembar. Mereka gagal dijadikan barang
dagangan yang akan dijual kepada Darah Kula. Tetapi
bukan berarti Pendekar Kembar sudah berhasil sela-
matkan para gadis di muka bumi, namun masih ada
ancaman maut bagi gadis-gadis lainnya. Karena si
anak iblis itu tetap akan membutuhkan darah perawan
semasa ia masih hidup dan belum ada yang bisa mem-
buatnya mati abadi.
Hanya dengan 'Bambu Gading Mandul', si anak
Iblis itu bisa dibunuh dan mati secara abadi. Tapi apa-
kah Pendekar Kembar akan berhasil dapatkan 'Bambu
Gading Mandul' itu, Jika ternyata bambu itu hanya
ada satu dan mungkin saja sudah ditebang orang yang
tak mengerti khasiat gaib bambu tersebut?
SELESAI
Segera menyusul:
TUMBAL ASMARA BUTA
0 comments:
Posting Komentar