"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 26 Agustus 2025

PENDEKAR KEMBAR EPISODE PEMBURU MAHKOTA DARA

Pemburu Mahkota Dara

 


1


LANGIT mendung disertai hembusan angin 

kencang merupakan pertanda akan datangnya hujan 

di siang itu. Para penduduk desa mulai mengemasi ba-

rang-barangnya yang ada di luar rumah. Padi-padi 

yang dijemur segera dimasukkan, genteng-genteng 

yang dibuka segera ditutup, Jemuran-jemuran segera 

diangkat walau masih lembab, dan bocah-bocah yang 

keluyuran segera disuruh pulang orang tuanya. Tiap 

orang meramalkan, tak lama lagi hujan akan turun 

dengan deras.

Ki Samekta, pemilik kedai terlaris di desa itu, 

sebenarnya ingin menutup kedainya. Tapi karena ma-

sih ada beberapa orang yang makan di kedai itu, ter-

paksa rencana menutup kedai ditangguhkan dulu. Sa-

lah satu dari pengunjung kedainya itu adalah seorang 

pemuda yang sibuk menghabiskan nasi pecelnya. Pe-

muda tampan berbaju buntung warna putih seperti 

warna celananya itu sejak tadi menikmati nasi pecel 

tanpa tengok kanan-kiri. Agaknya ia benar-benar la-

par, sehingga mampu melahap nasi pecel sebanyak 

dua piring.

Pemuda tampan berambut lurus sepundak 

dengan tubuh tinggi, gagah, dan kekar itu bagaikan 

tak peduli dengan lirikan beberapa pengunjung kedai. 

Ia tahu orang-orang itu heran melihatnya makan se-

banyak itu, tapi ia tidak pedulikan keheranan orang 

lain. Dengan satu kaki dinaikkan ke bangku dan pe-

dang kristalnya digeletakkan di meja sebelah kiri, pe-

muda itu menyantap makanannya dengan cuek sekali.

"Tambah separo lagi, Paman!" ujar pemuda itu 

kepada si pemilik kedai; Ki Samekta.

Seseorang berbisik kepada temannya, "Bocah


itu habis diuber setan, kali. Lihat saja, makannya he-

boh sekali. Sudah habis dua piring masih tambah se-

paro lagi."

"Mungkin habis disuruh gali sumur oleh mer-

tuanya," ujar sang teman.

"Yang ku herankan, perutnya terbuat dari apa, 

sehingga mampu menelan santapan sebanyak itu?"

"Mungkin perutnya dari karet, jadi bisa melar 

kalau menampung makanan banyak."

"Benar-benar tak seimbang dengan ketampa-

nannya. Ganteng-ganteng makannya sebanyak itu. 

Pasti yang jadi calon mertuanya bakalan tekor."

Pemuda berpedang kristal itu tak lain adalah 

Pendekar Kembar bungsu yang dikenal dengan nama: 

Soka Pura. Dia memang rada konyol, rada cuek, dan 

rada bandel. Berbeda dengan kakaknya; Raka Pura, 

yang tenang, kalem, dan punya rasa malu jika makan 

di tempat umum sampai habis sebanyak itu. Sayang 

sekali Raka Pura tidak ada di kedai Ki Samekta. Jika 

saat itu Raka ada di kedai tersebut, pasti ia akan mela-

rang adiknya minta tambah nasi lagi kepada pemilik 

kedai.

Selesai menghabiskan dua setengah piring nasi 

pecel, Soka Pura menyambar tahu bacam dan dicap-

loknya tanpa ragu lagi. Duduknya sedikit santai, tidak 

seserius tadi. Matanya memandang ke arah luar kedai 

melalui jendela lebar yang penutupnya diganjal seba-

tang bambu biar tetap terbuka. Sambil menikmati lalu-

lalang para penduduk desa yang sibuk menghadapi 

kedatangan sang hujan, Soka Pura menyambar sepo-

tong tempe goreng untuk disikatnya tanpa pandang 

bulu lagi. Tentu saja kelahapannya itu menimbulkan 

suara desak keheranan dari beberapa orang yang ada 

di kedai tersebut.

"Jangan-jangan bocah itu kesurupan?! Yang


makan bukan dia sendiri, tapi setan yang merasukinya 

ikut makan juga?" gumam seorang pengunjung kedai 

kepada temannya. Sekalipun suara gumam itu pelan, 

namun sebenarnya Soka Pura mendengar dengan jelas 

apa yang dikatakan orang tersebut, namun ia tetap ti-

dak peduli.

Ia dan kakaknya dipanggil oleh Ki Lurah Mujo, 

kepala desa tersebut, untuk diminta bantuannya me-

nyembuhkan sakit ibu Ki Lurah Mujo yang sudah ber-

bulan-bulan tak bisa bangun dari tempat tidur. Bagi 

Pendekar Kembar, penyakit itu adalah penyakit yang 

ringan. Karenanya, Soka menyerahkan urusan terse-

but kepada kakaknya. Kini kakaknya masih berada di 

rumah Ki Lurah Mujo, sedangkan ia santai di kedai Ki 

Samekta.

Suasana santai dan tenang itu tiba-tiba beru-

bah menjadi sedikit tegang. Soka Pura hentikan ku-

nyahan makanannya, dahinya segera berkerut tajam, 

matanya kian dipertajam pula memandang ke arah ja-

lanan desa yang terlihat dari tempat duduknya. Ada 

sesuatu yang menarik perhatian Soka Pura, dan sesu-

atu yang menarik perhatian itu cukup mengejutkan 

bagi si Pendekar Kembar bungsu.

Seorang gadis cantik diikat kedua tangannya 

dan ditarik-tarik agar mengikuti langkah seorang lelaki 

berpakaian biru. Di belakang gadis itu ada dua lelaki 

berusia sekitar tiga puluh tahun yang mendorong-

dorong tubuh si gadis dengan kasar. Ketiga lelaki itu 

bersenjata golok, yang dua sudah dihunus dari sa-

rungnya.

"Ayo, cepat jalannya! Cepat!" sentak si lelaki 

berpakaian hitam sambil mendorong gadis itu dengan 

kasar, hingga langkah si gadis tersentak nyaris jatuh 

tersungkur.

Gadis yang kedua tangannya diikat ke depan


dan dituntun seperti seekor kambing mau disembelih 

itu, mempunyai wajah yang cantik mungil berambut 

pendek. Ia kenakan pakaian kuning gading dengan 

ikat kepala pita merah. Soka Pura sangat mengenal 

gadis itu, sehingga ia menggumam lirih seperti bicara 

pada diri sendiri.

"Bunga Dewi...?! Oh, ada apa dengan dirinya?!"

Gadis berusia sekitar delapan belas tahun itu 

memang si Bunga Dewi alias Srigita, cucu dari Nyai 

Gantari dan adik dari Panji Doyok. Pendekar Kembar 

pernah selamatkan gadis itu dan Nyai Gantari alias si 

Tupai Siluman dari pengejaran orang-orang kadipaten, 

(Baca serial Pendekar Kembar dalam episode:" Korban 

Kitab Leluhur"). Peristiwa itu belum lama terjadi, se-

hingga ingatan Soka tentang si mungil cantik Bunga 

Dewi itu masih cukup segar.

Sementara itu, Soka juga mendengar dua orang 

pengunjung kedai yang melihat ke arah jalanan dan 

memperhatikan ke arah Bunga Dewi. Salah seorang 

dari mereka terdengar berkata kepada temannya.

"Ada apa lagi dengan orang Perguruan Tengko-

rak Sungsang itu?!"

"Mungkin mau memperkosa gadis itu. Kasihan!"

Rupanya tiga lelaki yang menangkap Bunga 

Dewi itu orang Perguruan Tengkorak Sungsang. Agak-

nya Bunga Dewi sendiri telah melakukan perlawanan 

saat mau ditangkap, sehingga sudut mulutnya tampak 

berdarah sedikit, dan pelipisnya memar. Tak jelas apa 

persoalannya, yang pasti Soka Pura tak bisa melihat 

gadis itu diperlakukan dengan kasar dan ditarik-tarik 

seperti seekor kambing mau disembelih. Mereka yang 

menuju perbatasan desa segera dikejar oleh Soka Pura 

yang bergegas bangkit, lompati jendela kedai, dan lari 

ke arah Bunga Dewi.

"Hei, Nak...! Jangan pergi, bayar dulu maka


nannya!" teriak Ki Samekta. Soka Pura tak hiraukan 

seruan itu, ia tetap berlari cepat mengejar tiga orang 

murid Perguruan Tengkorak Sungsang itu.

"Edan bocah itu! Makan habis banyak main ka-

bur saja!" omel Ki Samekta. "Apa dikiranya kedai ini 

milik nenek moyangnya?! Huuh, ku sumpahi biar bu-

sung perutnya!"

Orang-orang di kedai sibuk bicarakan tiga lelaki 

dari Perguruan Tengkorak Sungsang dan gadis cantik 

itu. Mereka saling menduga-duga nasib buruk yang 

akan dialami oleh si gadis tersebut. Omelan Ki Samek-

ta hanya didengar oleh mereka secara sepintas, namun 

tak ada yang memberi komentar terhadap gerutu dan 

omelan Ki Samekta itu.

Sebenarnya Soka Pura tidak bermaksud kabur 

dari kedai Ki Samekta itu. Ia hanya ingin menyela-

matkan Bunga Dewi sebentar, lalu kembali lagi ke ke-

dai dan menyelesaikan urusannya dengan Ki Samekta. 

Sebab menurut firasat Soka Pura, tiga orang dari Per-

guruan Tengkorak Sungsang itu tampaknya akan 

memperlakukan Bunga Dewi dengan semena-mena. 

Dilihat dari tampang mereka yang kusam dan berke-

san bengis, pasti mereka bukan orang-orang dari ali-

ran putih. Nama perguruan 'Tengkorak Sungsang' saja 

sudah menjadi jaminan atas kesesatan aliran silat me-

reka.

Dengan menggunakan jurus 'Jalur Badai' yang 

mampu bergerak cepat melebihi kecepatan badai be-

sar, Pendekar Kembar berhasil menghadang langkah 

ketiga orang berwajah kusam itu. Tentu saja mereka 

tidak melihat saat Soka Pura melintas di samping me-

reka, karena kecepatan gerak dari Jurus 'Jalur Badai' 

memang sulit ditangkap oleh penglihatan mata normal.

Mereka hentikan langkah sebelum mencapai 

perbatasan desa. Mereka menatap seorang pemuda


yang berdiri di tengah jalan dengan kedua tangan ber-

sidekap, sedangkan pedang kristalnya yang tampak 

bagus dan mewah itu terselip di pinggang kanan. Den-

gan menyelipkan pedang di pinggang kanan, maka So-

ka Pura akan mudah mencabut pedang itu sewaktu-

waktu memakai tangan kirinya. Tiga orang berwajah 

kusam itu belum tahu bahwa Pendekar Kembar bung-

su itu adalah pendekar bertangan kidal. Makan saja 

pakai tangan kiri, salaman juga pakai tangan kiri, se-

hingga sering membingungkan orang yang diajak ber-

jabat tangan olehnya.

"Soka...?!" ucap Bunga Dewi dengan wajah ber-

seri ceria, namun ucapan itu hanya sebatas desahan 

napas. Ia tak mau ketiga orang itu mendengar nama 

Soka disebutkan.

"Hei, mau apa kau berdiri dl tengah jalan begi-

tu?!" hardik si baju biru yang memegangi tali ikatan 

tangan Bunga Dewi. Soka Pura sunggingkan senyum. 

Ia melangkah maju dengan kedua tangan masih bersi-

dekap di dada.

"Aku hanya ingin mentraktir makan gadis itu," 

ujar Soka dengan nada konyol. Bunga Dewi tersenyum 

geli mendengar ucapan Soka. Tapi tiga orang Pergu-

ruan Tengkorak Sungsang itu menjadi dongkol men-

dengar kata-kata tersebut.

Dua orang yang berpakaian hitam segera maju 

ke depan si baju biru. Mereka berdiri dalam jarak dua

langkah ke samping, dan tiga langkah di depan Pende-

kar Kembar bungsu. Di tangan mereka masing-masing 

masih memegang golok putih berkilap menampakkan 

ketajamannya.

"Jangan bercanda dengan kami, Bocah Ingu-

san! Kau belum tahu siapa kami?"

"Orang dari Perguruan Tengkorak Sungsang, 

bukan?" jawab Soka sambil tetap menghiasi wajahnya


dengan senyum tipis yang kurang disukai oleh ketiga 

lelaki berwajah kusam itu.

"Bagus! Kau sudah tahu siapa kami. Jadi ku-

harap kau segera menyingkir dan jangan bercanda 

dengan kami! Golokku bisa merobek mulutmu jika kau 

masih bercanda dengan kami!"

"Aku tidak bercanda. Aku benar-benar ingin 

mentraktir gadis itu, yaah... sekadar makan-minum 

secukupnya dan itu pun bayar sendiri-sendiri."

Tentu saja ketiga orang tersebut tak percaya 

bahwa Soka ingin mentraktir Bunga Dewi. Ketiga orang 

itu yakin bahwa Soka ingin merebut tawanannya. Ka-

rena itu, yang berbaju biru segera berseru kepada ke-

dua temannya yang berpakaian serba hitam itu.

"Sikat dia! Jangan biarkan menjadi perintang 

langkah kita!"

Kedua orang berpakaian hitam segera menye-

rang Soka Pura dengan membabatkan golok mereka 

dari dua arah. Wut, wut...! Soka Pura sengaja melom-

pat mundur selangkah untuk hindari kelebatan golok 

lawan. Dengan cepat kakinya menendang ke arah kiri

kanan secara cepat dan berturut-turut. Bet, bet...!

Plak, plak...!

Tendangan itu kenai tangan mereka masing-

masing. Tendangan tersebut mempunyai kekuatan te-

naga dalam yang cukup lumayan besarnya, sehingga 

kedua orang itu merasa tangannya dihantam dengan 

besi besar.

"Auuh...!" salah seorang terpekik kesakitan. Go-

lok mereka lepas dan jatuh di tanah. Mereka sama-

sama menyeringai sambil mendekap tangan masing-

masing.

"Keparat! Pergelangan tanganku terasa remuk!" 

ujar salah seorang dalam hatinya. Sementara itu, Soka 

Pura segera bersikap tenang lagi dengan kedua tangan


masih tetap bersidekap di dada.

Namun agaknya dua orang berpakaian hitam 

tak mau menyerah begitu saja. Salah seorang segera 

memungut goloknya. Tapi Soka Pura cepat-cepat laku-

kan satu lompatan dan menyentakkan kakinya ke de-

pan. Buuhk...! Tendangan itu kenai pundak orang 

yang memungut goloknya. Orang itu pun terpental dan 

jatuh berguling-guling.

Satu orang lagi sedang melepaskan tendangan 

pula ke arah kepala Soka. Wuuut...! Kaki panjang itu 

berkelebat cepat, hampir saja kenai kepala Soka kalau 

pemuda tampan itu tidak segera merundukkan kepala.

Kedua tangannya yang saling terlipat di dada 

segera dilepaskan. Tangan kiri itu pun menyentak ke-

samping kanan dengan badan sedikit berputar dan sa-

tu kaki berlutut di tanah. Beet...! Sodokan telapak tan-

gan itu bukan jurus 'Kobra Liar'. Jika sodokan itu ada-

lah jurus 'Kobra Liar', maka lambung orang yang gagal 

menendangnya itu akan robek seketika.

Sekalipun begitu, namun sodokan telapak tan-

gan yang tepat kenai lambung itu berhasil membuat 

lawan terpental ke belakang. Ia jatuh terjungkal dua 

kali, bagai habis diseruduk anak kerbau.

"Uuhkk...! Muleeess...!" rintihnya dengan suara 

tertahan sehingga mirip suara seorang kakek.

Pendekar Kembar bungsu segera berdiri tegak 

lagi dengan senyum tipis yang makin menjengkelkan si 

baju biru. Orang itu hanya bisa memandang dengan 

suara menggeram. Ia tak bisa menyerang Soka karena 

harus pegangi tali pengikat tangan Bunga Dewi. Se-

dangkan jarak Soka darinya lebih dari satu jangkauan 

kaki. Satu-satunya cara untuk melepaskan serangan 

ke arah pemuda tampan itu hanya dengan melepaskan 

pukulan tenaga dalam jarak jauh.

Wuuut...! Orang berbaju biru itu sentakkan


tangan kirinya dan seberkas sinar merah kecil berben-

tuk seperti kemiri itu melesat ke arah dada Soka Pura.

Pendekar Kembar bungsu tak mau buang-

buang tenaga, maka sinar merah itu hanya dihindari 

dengan cara menyentakkan badan separo putaran 

sambil miring ke kiri. Wuuut...!

Duaaarr...! Sebatang pohon di belakang Soka 

menjadi sasaran. Pohon itu rusak berserat-serat, tapi 

tak sampai hancur ataupun tumbang.

Kejap berikutnya, Soka berdiri tegak kembali, 

tenang dan tampak waspada dalam senyum tipisnya. 

Matanya memandang ke arah si baju biru yang sempat 

tertegun sekejap melihat gerakan gesit Soka yang 

mampu hindari sinar merahnya tadi.

Pada saat itu, Bunga Dewi sentakkan kedua 

tangannya hingga tali yang dipegang orang berbaju bi-

ru itu terlepas. Sluup...! Kedua tangannya masih teri-

kat, namun gadis itu segera lompat sedikit dan me-

layangkan tendangannya ke wajah si baju biru yang 

terkejut menatapnya itu. Bet...! Plook...!

Baju biru terpelanting dan terhuyung-huyung 

mundur. Bunga Dewi segera berlari ke arah Soka Pura. 

Kedua orang berpakaian hitam ingin mengejar, namun 

terhenti seketika karena Bunga Dewi sudah berada di 

belakang Soka Pura. Mereka takut diterjang Soka Pu-

ra.

"Setan keparat!" geram si baju biru. "Rupanya 

kau ingin cepat menemukan liang kuburmu, hah?!"

"Apakah Kau tuli, Sobat? Dari tadi sudah kuka-

takan aku ingin mentraktir makan gadis ini! Bukan 

mencari liang kuburku!"

"Grrmm...!" si baju biru menggeram penuh ke-

jengkelan. "Dia tawanan kami, Jangan coba-coba men-

gusik tawanan kami jika tak ingin cepat mati!"

"Mengapa gadis ini menjadi tawanan kalian?!


Apa kesalahannya?!" tanya Soka setelah melirik si can-

tik mungil itu sekejap.

"Dia... dia mencuri!"

"Mencuri apa?" desak Soka Pura.

"Mencuri... mencuri pusaka milik perguruan 

kami. "Pusaka apa?!"

Bunga Dewi berbisik, "Bohong! Aku tidak men-

curi!"

"Pusaka apa yang dicurinya, hah?" Soka agak 

membentak orang itu.

Tapi orang itu diam sesaat, hanya menggeram 

sambil menatap Bunga Dewi. Kejap berikutnya ia men-

cabut goloknya yang dari tadi masih bertengger di 

pinggang kiri itu.

"Dia mencuri pisau pusaka milik Guru kami!"

Pendekar Kembar bungsu melirik Bunga Dewi. 

Di pinggang gadis itu memang ada sebilah pisau ber-

gagang gading. Soka pun tahu bahwa Bunga Dewi be-

rasal dari Tanah Keramat. Seluruh penduduk Tanah 

Keramat adalah pencuri, pencopet, perampok, dan ada 

juga yang berprofesi sebagai pelacur amatir. Bahkan 

ketika Soka bertemu dengan Bunga Dewi yang pertama 

kali, gadis itu habis mencuri kotak bermata bersama 

neneknya; Nyai Gantari, si Tupai Siluman itu.

Pandangan mata Soka kali ini mengandung ra-

sa percaya kepada apa yang dikatakan si baju biru itu. 

Bunga Dewi segera ngotot dengan wajah gusar.

"Aku tidak mencuri apa-apa dari mereka! Tu-

duhan itu fitnah semata, Soka!"

"Kau memang mencuri pisau pusaka Guru ka-

mi!" seru orang berpakaian hitam yang tadi tak sempat 

dibuat mules oleh serangan Soka.

Tetapi pandangan mata Soka yang tertuju lagi 

ke pisau di pinggang Bunga Dewi itu menimbulkan ke-

bimbangan dalam hatinya. Setahu Soka, pisau berga


gang gading itu dari dulu sudah dilihatnya berada di 

pinggang Bunga Dewi. Apakah pisau itu adalah pisau 

curian atau asli milik Bunga Dewi, Soka tak dapat 

memastikan. Soka pun tak bisa mengerti, mana yang 

harus dipercaya; tuduhan orang-orang itu atau penga-

kuan Bunga Dewi.

"Pisau ini pemberian dari nenek. Kalau tak per-

caya, tanyakan kepada nenekku sendiri!" ujar Bunga 

Dewi kepada Soka yang tampak curiga pada pisau ga-

dingnya itu.

"Bocah kurapan!" seru si baju biru, "Kalau kau 

tak mau serahkan pencuri itu, aku terpaksa akan me-

misahkan kepalamu dari lehernya!"

Bunga Dewi bicara kepada Soka sebelum pe-

muda itu serukan kata kepada si baju biru.

"Dia ingin menjual ku! Beberapa gadis juga 

akan mereka jual kepada Penguasa Bukit Maut! Aku 

berhasil lolos dari penjara. Mereka sedang mengum-

pulkan beberapa gadis untuk dijual ke Bukit Maut!"

Mendengar kata-kata itu, kebimbangan Soka 

berkurang. Sementara itu, si baju biru menjadi sema-

kin berang kepada Bunga Dewi.

"Dasar mulut gadis busuk! Heeaah...!"

Baju biru melompat ingin menebaskan golok-

nya ke wajah Bunga Dewi. Tetapi kaki Soka segera 

menendang sebongkah batu di depannya. Batu sebesar 

satu genggaman itu segera melayang cepat bagaikan 

bola. Wuuut...! Pitok...!

"Aaow...!" si baju biru memekik keras sambil 

tersentak mundur dan jatuh terduduk dengan hempa-

san kuat. Biuuk...!

"Aaauuu...!"

Jidat orang itu bocor akibat terkena tendangan 

batu. Darahnya mengalir deras membasahi seluruh 

wajahnya. Pandangan matanya menjadi buram karena


saraf matanya ada yang rusak akibat benturan batu 

sekeras tadi.

"Kita pulang saja! Adukan pemuda itu kepada 

Guru! Biar Guru yang menghajarnya!" seru orang ber-

baju hitam yang tak sempat mules itu.

"Awas kau! Tunggu pembalasan dari kami, 

Bangsat...!!" teriak si baju biru sambil diseret pergi 

oleh kedua temannya. Mereka segera berlari tinggalkan 

tempat dengan diikuti pandangan mata Soka Pura.

Setelah ketiganya menghilang dari pandangan 

mata, Soka pun berbalik menatap si mungil Bunga 

Dewi. Gadis itu sedang sunggingkan senyum kecil ke 

arah kepergian tiga orang itu.

"Benarkah kau tidak mencuri apa-apa dari me-

reka?!"

"Belum!" jawab gadis itu tenang sekali. "Kuden-

gar kau ingin mentraktir ku makan? Kapan itu terjadi, 

Soka?"

Pendekar Kembar bungsu tersenyum geli. "Kita 

ke kedai sekarang juga!" sambil mengawali langkahnya 

dengan mencekal lengan Bunga Dewi.

"Soka, kau pikir aku dapat makan dalam kea-

daan kedua tangan terikat begini?"

Soka Pura tertawa semakin geli. Gadis itu min-

ta dilepaskan tali pengikat kedua tangannya, tapi Soka 

sengaja menggoda dengan membiarkan tangan itu te-

tap terikat.

"Kalau kau tak mau melepaskan tail pengikat 

ini, lebih balk kita tak Jadi makan saja!" si gadis cem-

berut, dan Soka Pura suka melihat wajah cantik mun-

gil itu cemberut.

"Kau cantik kalau cemberut terus begitu," ujar 

Soka makin menggoda.

"Kau suka kalau aku cepat tua?!"

"Orang sepertimu tak akan cepat tua, Bunga!"



sambil Soka tetap melangkah ke arah kedai Ki Samek-

ta.

"Heii...! Buka dulu ikatan ku ini!" desak Bunga 

Dewi dengan nada sewot.

"Sebelum aku yakin kau tidak mencuri pisau 

pusaka itu, aku tak akan melepaskan tali pengikat di 

tanganmu itu!"

"Jadi kau masih tak percaya bahwa pisau di 

pinggangku ini adalah pisau pemberian nenek?!" Gadis 

itu hentikan langkah dengan wajah protes.

Ia menyambung kata, "Bukankah sejak kita 

bertemu beberapa waktu yang lalu, kau pernah memu-

ji keindahan pisauku ini?"

"Ya. Aku memang pernah memuji keindahan 

pisau mu itu. Tapi... mungkin saja waktu itu pisau ini 

belum lama kau curi dari pemiliknya?!"

"Soka? Setega itukah kau menuduhku?!" si ga-

dis mulai bernada sedih. Soka Pura menjadi tak tega 

dan diliputi kebimbangan kembali.

*

* *

2


ORANG-ORANG kedai masih sibuk membicara-

kan tentang si gadis yang tertangkap orang Perguruan 

Tengkorak Sungsang itu. Sesaat kemudian, Raka Pura 

segera masuk ke kedai tersebut. Urusannya dengan Ki 

Lurah Mujo telah selesai. ibu Ki Lurah Mujo telah se-

hat secara ajaib, karena Raka lakukan penyembuhan 

memakai Jurus 'Sambung Nyawa' yang menjadi anda-

lannya dalam tiap mengobati luka dan penyakit siapa 

pun itu.


Mata si Pendekar Kembar sulung memandangi 

tiap wajah orang yang ada di kedai. Dalam hatinya 

berkata, "Katanya dia mau makan di kedai ini? Tapi ke 

mana si konyol itu?!" Rupanya ia mencari Soka Pura 

yang berjanji akan menunggunya di kedai tersebut. 

Hati pun sempat dongkol karena sang adik tidak tam-

pak di situ.

"Pasti sedang tergiur senyuman janda genit!

Hmmm... kutunggu saja di sini sambil mengisi perut. 

Aku juga lapar!"

Orang-orang kedai beralih perhatian kepada 

pemuda tampan berpedang kristal itu. Raka Pura tak 

peduli diperhatikan mereka, karena ia sudah sering 

menerima tatapan mata dari sekelompok orang yang 

merasa kagum atau merasa asing kepadanya.

Beberapa orang mulai berkasak-kusuk membi-

carakan si pemuda tampan.

"Itu dia pemuda yang makannya banyak sekali 

tadi!"

"Iya. Kusangka ia akan kabur selamanya."

"Rupanya dia merasa punya tanggung jawab 

juga atas makanan yang dihabiskannya tadi!" ujar me-

reka yang menyangka Raka adalah Soka Pura. Mereka 

tidak tahu bahwa Soka mempunyai saudara kembar 

yang wajah dan penampilannya serupa persis, sehing-

ga sukar dibedakan.

Raka segera duduk di bangku, secara kebetulan 

ia duduk di bangku yang tadi dipakai duduk Soka Pu-

ra.

"Lapar-lapar begini makan nasi pecel pasti enak 

sekali!" pikirnya. Kemudian ia memesan nasi pecel ke-

pada pelayan yang datang mendekatinya.

"Nasi pecel satu dan... teh manis!"

"Hahh...?" mereka terperanjat heran dengan 

mulut terbengong. Hampir semua yang ada dl kedai



dan yang tadi melihat Soka makan banyak itu terbela-

lak memandangi Raka Pura.

"Gila! Dia masih mau makan nasi pecel lagi?!"

"Ck, ck, ck, ck...."

"Dasar perut kebo?!" gumam mereka terheran-

heran.

Raka menyambar sepotong tahu bacam yang 

tersedia di piring khusus lauk pauk. Tanpa ragu-ragu 

ia mencaplok tahu bacam itu dengan cabe rawitnya. 

Sekalipun ia tahu diperhatikan oleh mereka, tapi ia te-

tap tak peduli. Hanya sedikit heran dan bertanya da-

lam hati, "Mengapa mereka memandangi ku dengan 

terbengong begitu, ya?"

Ki Samekta yang tadi ada di dapur, kini muncul 

setelah diberi tahu oleh pelayannya tentang si pemuda 

yang tadi melarikan diri itu. Ki Samekta segera dekati 

Raka Pura dengan wajah ketus.

"Kau pesan apa lagi?"

"Oh, hmmm...," Raka memberi senyuman ra-

mah. "Aku hanya pesan nasi pecel dan teh manis saja, 

Pak Tua!"

"Boleh saja. Tapi bayar dulu!"

"Hei, kenapa harus begitu? Apakah kau tak 

percaya padaku, Pak Tua?"

"Tidak! Aku tidak bisa percaya lagi pada anak 

muda berandalan sepertimu! Bayar dulu, baru ma-

kan!"

Raka Pura bertahan untuk tetap sabar, walau 

sebenarnya hatinya tersinggung oleh sikap Ki Samekta 

yang menyangka Raka adalah Soka Pura. Raka segera 

mengeluarkan uangnya, karena ia habis mendapat ha-

diah dari Ki Lurah Mujo atas keberhasilannya me-

nyembuhkan Ibu si kepala desa itu. Walau Raka sudah 

menolak, tapi Ki Lurah Mujo tetap mendesaknya agar 

uang itu diterima sebagai bekal dl perjalanan nanti.


Sekarang uang itu sengaja dipamerkan di de-

pan Ki Samekta. Setumpuk uang dl tangan Raka 

membuat Ki Samekta terbelalak dan orang-orang yang 

memperhatikan juga mendelik kagum.

"Mungkin dia tadi lari untuk mencopet uang 

orang. Setelah hasil copetannya diperoleh, ia kembali 

lagi kemari untuk melunasi hutangnya kepada Ki Sa-

mekta," bisik salah seorang dari mereka.

"Berapa aku harus membayarnya, Pak Tua?!".

"Delapan sikal!"

"Hahh...?! Banyak sekali?!" Raka Pura pun ter-

kejut mendengar nilai uang sebanyak itu. Kira-kira ka-

lau dikurs-kan ke masa sekarang, Raka harus mem-

bayar delapan belas ribu rupiah untuk pesanan satu 

piring nasi pecel dan secangkir teh manis. Tentu saja 

hal itu sangat mengejutkan dan ditentang oleh Raka 

Pura.

"Pak Tua, sebenarnya kau mau dagang nasi 

atau mau merampok orang?! Masa' sepiring nasi pecel 

dan teh manis, ditambah sepotong tahu bacam har-

ganya segitu mahal?!"

"Untuk pesanan sepiring nasi pecel, secangkir 

teh manis, sepotong tahu bacam, memang tak mahal! 

Tapi kau harus bayar biaya makanmu tadi! Dan jan-

gan coba-coba kabur lagi kalau tak ingin kuserampang 

pakai sabit ini!" sambil Ki Samekta mengeluarkan sabit 

yang ternyata sejak tadi sudah dibawanya dan disem-

bunyikan ke belakang.

Melihat dirinya diancam dengan sabit, Raka Pu-

ra mulai curiga dan bersikap hati-hati. "Pasti terjadi 

salah paham!" pikirnya sambil garuk-garuk kepala.

Ki Samekta berkata, "Biar usiaku sudah setua 

ini, tapi dulu aku bekas pelempar pisau tercepat di an-

tara dua saudaraku! Kalau kau berani kabur lagi, ku-

serampang perutmu pakai sabit ini! Akan kuambil lagi


apa yang sudah kau telan dari sini!"

"Pak Tua, kurasa kau salah paham."

"Tidak! Tidak ada istilah salah paham bagi Ki 

Samekta!" sambil ia menepuk dada sendiri. "Biar su-

dah tua, tapi aku belum pikun! Dan semua orang di 

desa ini tahu, bahwa aku tidak akan segan-segan me-

nindak siapa pun yang makan tidak bayar langsung 

kabur seperti yang kau lakukan tadi!"

Raka Pura berkerut dahi memandang tajam 

pada Ki Samekta.

"Aku baru datang, Pak Tua!"

"Jangan berlagak bodoh, Nak! Cepat bayar ma-

kananmu yang tadi!"

Salah seorang dari pengunjung kedai itu ada 

yang berseru, "Iya, sudah bayar sajalah! Kasihan Ki 

Samekta. Jangan begitu, Kawan! Kalau habis makan di 

kedai, ya harus bayar. Kecuali kedainya milik mertua-

mu!"

"Hah, hah, hah, haa...!" mereka menertawakan 

celetukan orang itu.

"Ini pasti kekonyolan Soka Pura! Brengsek anak 

itu!" geram Raka dalam hatinya.

"Pak Tua, perlu kau ketahui, bahwa yang tadi 

makan di sini dan pergi itu adalah adik kembar ku. 

Bukan aku!"

"Hueh, hehh, hehh, hehh...!" Ki Samekta Justru 

tertawa terkekeh-kekeh dalam makna meremehkan

pengakuan Raka. Ki Samekta berkata kepada orang-

orang di sekitarnya.

"Sekarang dia mengaku punya adik kembar?! 

Hmmm... mana mungkin! Dia pikir kita akan men-

ganggapnya sebagai si Pendekar Kembar yang budi-

man itu?! Pulh...!"

Orang-orang tertawa lagi. Raka Pura menjadi 

malu, karena sekarang ia tahu ada kasus 'mabur' ha


bis makan kabur.

"Hei, Sobat...!" seru salah seorang pemuda se-

baya yang juga sedang makan di kedai itu.

"Kalau mau jadi penipu, jadilah penipu yang 

rapi. Tak usah mengaku-ngaku punya saudara kembar 

segala, nanti kau dianggap menjatuhkan nama besar si 

Pendekar Kembar itu!"

Salah seorang menyahut, "Pendekar Kembar 

sedang ada di rumah Ki Lurah! Kalau mereka menden-

gar pengakuanmu, bisa-bisa wajahmu penyok ke sana-

sini dihajar mereka!"

Kini Raka Pura sedikit tersenyum karena geli 

mendengar celoteh mereka. Mereka belum tahu siapa 

orang yang dinasihati itu.

Mau tak mau Raka Pura harus memaklumi ke-

salahpahaman itu. Akhirnya ia mengalah, memberikan 

sejumlah uang yang diminta Ki Samekta sebagai pem-

bayaran makannya Soka tadi. Raka pun merasa sia-sia 

jika ngotot mengaku sebagai Pendekar Kembar. Belum 

tentu membuat mereka percaya, namun justru akan

membuatnya ditertawakan mereka.

"Aku yakin si konyol itu pasti kembali ke sini! 

Ayah tak pernah mendidik kami menjadi orang curang 

begitu! Pasti ada sesuatu yang membuat Soka sekonyol 

ini! Jika perlu dia harus kuberi pelajaran supaya lain 

kali tak bertindak sebodoh ini! Hmm... benar-benar 

memalukan sekali!" gumam Raka dalam hatinya.

Angin kencang yang tadi berhembus ternyata 

justru menyingkirkan mendung. Hari tak jadi hujan. 

Soka Pura tak terlalu terburu-buru membawa Bunga 

Dewi ke kedai Ki Samekta. Namun akhirnya mereka 

sampai juga di kedai itu dalam keadaan kedua tangan 

Bunga Dewi masih terikat. Tentu saja si gadis cembe-

rut terus, dan kecantikannya semakin menggemaskan 

hati Soka Pura.


Begitu mereka masuk ke kedai, orang-orang 

memandangnya dengan mata terbuka dan mulut ter-

bengong. Kemudian mata mereka memandang secara 

bergantian antara Soka dan Raka yang duduk me-

munggungi pintu masuk. Tapi Raka tadi sudah melihat 

saat Soka menuju ke kedai bersama Bunga. Hati Raka 

sempat diliputi keheranan melihat Bunga Dewi bersa-

ma Soka. Namun rasa kesal Raka terhadap adiknya 

masih menggeramkan hati.

Orang-orang yang kebingungan melihat ke-

munculan Soka bersama Bunga Dewi itu nyaris tak 

memperhatikan si gadis, tapi kesamaan rupa dan pe-

nampilannya dengan Raka itulah yang menjadi pusat 

perhatian mereka, termasuk Ki Samekta yang ada di 

balik meja nasi itu.

"Busyet! Rupanya mereka benar-benar anak 

kembar?!" gumam salah seorang. "Yang melarikan diri 

tadi yang mana, ya?"

"Kurasa yang baru datang bersama gadis itu," 

bisik teman orang tersebut. Tak satu pun dari mereka 

ada yang berani bercuit atau celetuk-celetuk seperti 

tadi. Mereka menjadi mengkerut, seperti jangkrik men-

dengar suara langkah kaki manusia.

Soka Pura tersenyum girang melihat kakaknya 

sudah ada di situ, ia segera hampiri sang kakak yang 

telah berdiri bagai mau menyambut kedatangannya.

"Raka, lihat siapa yang kubawa ini?! Dia tadi...."

Plaak...!

Raka Pura menampar adiknya cukup keras. 

Suara tamparannya bagai menggema di dalam kedai, 

semua orang mendengarnya. Mereka sama-sama terke-

jut melihat Soka ditampar oleh kakaknya yang berwa-

jah dingin menandakan sedang memendam kemara-

han itu.

Soka Pura mundur dua langkah sambil bersungut-sungut dan mengusap-usap pipinya.

"Kenapa kau ini?! Kesurupan, ya?!" Soka sewot 

seperti waktu masih bocah dulu.

"Lain kail kalau kau lakukan tindakan yang 

memalukan lagi, kuhajar kau!" ancam kakaknya den-

gan wajah tanpa senyum sedikit pun.

Soka mendekat dengan nada protes. "Apa mak-

sudmu berkata begitu?! Mengapa kau tiba-tiba me-

namparku dan...." Plaak...!

Raka menyampluk wajah adiknya dengan kiba-

san tangan. Tapi dengan cekatan kibasan tangan sang 

kakak ditangkisnya. Hanya saja, Soka segera berlari 

menjauh sambil cemberut seperti anak kecil takut ke-

pada kakaknya. Bunga Dewi jadi ikut-ikutan Jauhi 

Raka.

"Gila kau ini!" sentak Soka.

"Pak Tua... apakah anak itu yang tadi makan 

tidak bayar dan segera kabur?!" seru Raka kepada Ki 

Samekta.

"Hmm, ehh... iya!" jawab Ki Samekta dengan 

gugup. "Tapi... tapi sudahlah. Jangan bertengkar di si-

ni!"

"Dia adik kembar ku! Sekarang kau percaya, 

Pak Tua?!"

"Iya... aak... aku percaya, Nak. Sudahlah, Jan-

gan berkelahi!"

"Biar dia adikku kalau tindakannya memalukan 

tetap harus kuhajar!"

"Bukan begitu... soalnya kalau kalian berkelahi 

di sini, daganganku hancur, lalu siapa yang mau kasih 

ganti rugi?! Sudahlah, damai-damai saja...!" bujuk Ki 

Samekta yang mulai merasa bersalah karena telah 

mempermalukan Raka di depan orang banyak.

"Sini kau...!" panggil Raka kepada adiknya.

"Aku pindah kedai saja!" ujar Soka dengan


cemberut. "Memangnya yang Jualan nasi pecel hanya 

di kedai ini?!"

"Sini kau, Soka!"

"Malas!" bentak Soka sambil melangkah mun-

dur dekati pintu, wajahnya masih bersungut-sungut 

penuh kedongkolan.

Raka menyambar pedangnya yang tadi digele-

takkan di meja. Soka pun mencabut seluruh pedang 

dan sarungnya dari pinggang. Bunga Dewi menjerit ke-

ras-keras.

"Aaaaaaaaaaa...!!"

Kedua pemuda kembar itu segera tersentak dan 

menatap Bunga Dewi. Mereka bergegas hampiri Bunga 

Dewi yang berdiri di dekat Ki Samekta.

"Ada apa, Bunga...?!" tanya Raka dan Soka ber-

samaan.

"Berkelahinya nanti saja! Sekarang lepaskan 

dulu tali pengikat tanganku ini!"

Akhirnya kedua pemuda kembar itu sama-

sama saling hembuskan napas, mengendurkan kete-

gangan mereka. Mereka justru saling pandang, lalu 

melirik ikatan di tangan Bunga Dewi, saling tatap lagi, 

akhirnya Raka berkata sambil kembali ke tempat du-

duknya.

"Lepaskanlah dia, Soka!"

"Kau saja...," seraya Soka ikut ke tempat duduk 

kakaknya.

"Mengapa kau ikat tangan si Bunga?!"

"Bukan aku yang mengikatnya!"

"Lalu siapa?!"

"Orang-orang Perguruan Tengkorak Sungsang

itu!"

"Mengapa dia diikat?" "Karena dia ditangkap!"

"Iya. Maksudku mengapa dia ditangkap orang-

orang itu?"


"Dituduh mencuri!"

"Hah...?!" Raka menatap Bunga Dewi. Kemu-

dian ia melambaikan tangan. "Bunga, sini duduk...!"

Bunga Dewi mendekat dengan cemberut. 

Orang-orang saling berkasak-kusuk membicarakan 

rupa kembar itu dan keadaan si gadis yang masih teri-

kat. Lalu segera muncul seorang lelaki kurus yang di-

kenal oleh mereka sebagai pelayannya Ki Lurah Mujo. 

Pelayan itu menggeragap sebentar, matanya meman-

dang ke sana-sini, kemudian tersenyum girang ketika 

menemukan Raka duduk di depan jendela kedai.

"Nah, kebetulan Tuan Raka masih ada di sini!" 

ujar si pelayan Ki Lurah Mujo seraya mendekat, mem-

bawa bungkusan dari daun pisang berminyak.

Raka Pura segera bersikap ramah kepada pe-

layan Ki Lurah Mujo itu.

"Ada yang tertinggal, Tuan Raka! Hmm... ini, ti-

tipan dari Nyai Lurah. Ketan uli. Lumayan buat bekal 

di perjalanan nanti!"

"Seharusnya Mak Nyai tidak perlu repot-repot 

begin!. Tapi... sampaikan saja pada beliau, aku banyak 

haturkan terima kasih atas perhatiannya yang besar

Ini!" ujar Raka kepada sang pelayan itu.

Orang tersebut segera pamit. Tapi sebelum ke-

luar dari kedai, Ki Samekta sempat bertanya kepa-

danya.

"Siapa pemuda yang dapat bingkisan dari Nyai 

Lurah itu?!"

"O, dia tadi sembuhkan ibu Ki Lurah. Mereka 

berdua itulah yang berjuluk Pendekar Kembar!"

"Haahh...?!" Ki Samekta dan beberapa orang 

yang mendengarnya terperangah kaget.

"Apa kalian belum pada tahu kalau mereka itu 

Pendekar Kembar?! Uuh... payah kalian! Kuno! Keting-

galan zaman!" sambil si pelayan berlalu keluar dari ke


dai. Mereka masih tertegun bengong dengan wajah te-

gang, merasa takut akan cemoohan yang tadi mereka 

lontarkan kepada Raka Pura itu. Sedangkan Raka 

hanya tersenyum kecil seraya menatap Ki Samekta 

yang pucat.

Perhatian Raka Pura segera beralih pada tan-

gan Bunga Dewi yang masih terikat. Soka melarang 

Raka melepaskan tali pengikat itu, walaupun Bunga 

Dewi sudah mendesak beberapa kali.

"Sebelum aku yakin betul bahwa kau tidak ber-

salah, tidak mencuri pisau pusaka itu, aku belum in-

gin membuka ikatan mu!"

"Harus dengan cara apa aku membuktikan-

nya?!"

Ki Samekta mendekat, "Mau makan apa, No-

na?"

"Nasi rawon!" jawab Bunga Dewi dengan cepat 

sambil cemberut. 

"Tuduhan itu hanya sebagai alasan saja bagi 

mereka agar bisa menangkapku dan menjual ku kepa-

da...." "Minumnya apa, Nona?"

"... kepada air jeruk!" lanjut Bunga Dewi men-

jadi kacau karena Ki Samekta menyela dalam pembica-

raan itu.

Mereka bicara terus tentang kejujuran si gadis. 

Sementara itu, hidangan yang dipesan oleh si gadis te-

lah disajikan. Mau tak mau si gadis protes karena tak 

bisa makan dalam keadaan kedua tangan diikat. Ak-

hirnya, si pemuda tampan yang konyol itu mendulang 

Bunga Dewi sambil bicara kepada kakaknya tentang 

pengakuan Bunga Dewi.

"Di Sana ada lima gadis sebayaku yang siap di-

jual ke Bukit Maut!" ujar Bunga Dewi yang segera me-

nerima suapan nasi dari Soka Pura. Ia bicara kepada 

Raka, dan Raka tampak menyimak betul pengakuan


itu.

"Untuk apa mereka menjual gadis-gadis ke Bu-

kit Maut?" tanya Raka.

"Entahlah. Aku tak jelas maksud mereka. Tapi 

kurasa yang dibutuhkan oleh penguasa Bukit Maut itu 

adalah keperawanan seorang gadis."

"Siapa penguasa Bukit Maut itu?"

"Darah Kula!" jawab si gadis dan suaranya yang 

agak keras itu membuat orang-orang di sekitarnya 

hentikan suara, hentikan gerakan, semua menatap 

Bunga Dewi. Tatapan mata mereka tampak mengan-

dung ketegangan yang menyeramkan hati masing-

masing.

"Hati-hati menyebut nama itu, Nona," kata Ki 

Samekta yang tampak ketakutan juga.

"Mengapa harus hati-hati, Pak Tua?" tanya Ra-

ka, namun Ki Samekta justru pergi, sepertinya tak be-

rani jelaskan tentang nama Darah Kula itu. Kepergian 

tersebut membuat Raka dan Soka sama-sama heran 

dan menyimpan rasa ingin tahu lebih banyak lagi ten-

tang si Darah Kula itu.

*

* *

3


BUNGA Dewi dalam perjalanan ke Pantai Sintar 

untuk menemui seorang sahabatnya. Ketika ia mele-

wati lembah curam, tiba-tiba disergap oleh empat 

orang lelaki bertampang sangar namun rata-rata ber-

tubuh kurus. Pertarungan pun terjadi. Dengan mudah 

mereka dapat lumpuhkan Bunga Dewi. Gadis itu sege-

ra dibawa ke Perguruan Tengkorak Sungsang. Ketua


perguruan itu bernama Jagat Lancang; bertubuh ku-

rus, bermata cekung, berkepala gundul, mirip tengko-

rak hidup.

Bunga Dewi dimasukkan dalam sebuah kamar 

yang sudah berisi lima orang gadis sebayanya. Lima 

orang gadis itu juga tawanan si Jagat Lancang. Mereka 

sudah tiga hari disekap di situ, bahkan ada yang su-

dah lima hari.

"Kita akan dijual ke Bukit Maut. Di sana sudah 

ada orang yang akan membeli kita, yaitu penguasa Is-

tana Merah di bukit itu yang bernama Darah Kula," 

ujar gadis yang sudah lima hari disekap di situ.

"Dari mana kau tahu?" tanya Bunga Dewi.

"Kemarin kudengar percakapan dua penjaga 

yang lewat di depan kamar ini. Mereka mengumpulkan 

gadis-gadis sebaya kita sampai sepuluh orang, baru 

dibawa ke Bukit Maut."

Pada suatu kesempatan, Bunga Dewi berhasil 

lolos dari pertahanan mereka dan melarikan diri mele-

wati desa tempat Ki Samekta buka kedai Itu. Tapi ia 

segera tertangkap kembali oleh anak buah si Jagat 

Lancang itu.

"Bagaimana kau bisa tetap membawa pisaumu 

itu?" tanya Soka setelah selesai mendengarkan penje-

lasan lengkap dari Bunga Dewi.

"Kebetulan penjaga yang ku lumpuhkan perta-

ma kali adalah orang yang menyimpan pisauku ini! 

Maka kuambil pisau ini dan aku segera meloloskan diri 

dari benteng perguruan tersebut."

"Semudah itukah kau lolos?!" tanya Raka agak 

sangsi.

"Tentu saja tidak semudah itu. Aku mendekam 

di dalam kandang kambing sampai petang tiba. Dari 

situ aku bisa lolos keluar dengan memanjat sebuah 

pohon. Tapi gerakanku ada yang melihatnya, lalu aku


dikejar dan berhasil bersembunyi di salah satu rumah 

penduduk desa ini!"

"Tentunya kau bisa melawan dengan pisaumu 

saat dikejar oleh tiga orang yang menangkapmu lagi 

itu," pancing Soka.

"Memang. Tapi sebelum ku cabut pisauku, me-

reka sudah membuatku tak berdaya. Serangan mereka 

datang bertubi-tubi dan sukar ku hindari. Ilmuku ka-

lah tinggi dengan ilmu mereka bertiga. Apakah kau tak 

melihat sudut bibirku ini sedikit robek?!" Bunga Dewi

menunjukkan luka di sudut mulutnya. Raka Pura 

manggut-manggut dalam gumam.

"Lepaskan saja ikatannya!" kata Raka kepada 

adiknya. "Kujamin ceritanya memang benar!"

"Dari mana kau bisa tahu kalau ceritanya me-

mang benar?!"

Raka berbisik pada Soka, "Kuperhatikan sejak 

tadi, Ki Samekta menyimak percakapan kita. Ia tam-

pak cemas sekali mendengarkan cerita Bunga. Agak-

nya ia menyimpan rahasia tentang Darah Kula."

"Itu bukan alasan yang cukup untuk memper-

cayai kata-kata Bunga!" Soka ganti berbisik.

"Lihat tepian kaki si Bunga, masih ada sisa ko-

toran kambing. Apakah kau tak mencium baunya?"

Ternyata apa yang dibisikkan Raka itu memang 

benar. Ada sisa kotoran kambing sedikit di tepian kaki 

Bunga Dewi, sebagai tanda bahwa ia memang bersem-

bunyi cukup lama di kandang kambing. Aroma bau 

kambing pun masih tercium samar-samar dari pakaian 

si gadis. Aroma bau kambing itu baru disadari oleh 

Soka setelah ia nekat mencium rambut Bunga Dewi.

Bunga menyangka Soka ingin berbuat jahil ke-

padanya hingga ia mendesah dan mengelak. Tapi bau 

kambing itu sudah cukup tercium oleh hidung Soka, 

sehingga akhirnya Soka pun melepaskan tali pengikat


kedua tangan Bunga Dewi.

Ketika kedai mulai sepi, mereka bertiga belum 

beranjak dari tempatnya. Sore mulai datang, dan me-

reka memang menunggu saat-saat sepi seperti itu.

Raka Pura segera memanggil Ki Samekta den-

gan lagak ingin membayar seluruh biaya makan-

minum mereka di situ.

Ketika Ki Samekta mendekat, Raka menyuruh-

nya duduk. Sejumlah uang dipaksakan agar tergeng-

gam oleh Ki Samekta.

"Terlalu banyak uang ini, Nak. Jauh lebih cu-

kup untuk membayar semua biaya makan-minum ka-

lian."

"Kau bisa menyimpan sisanya, Pak Tua."

"Ooh, terima kasih, terima kasih...." Ki Samekta 

tampak girang. Namun si Pendekar Kembar sulung bu-

ru-buru berkata lebih pelan lagi.

"Sebagai imbalan dari uang lebihan itu, aku in-

gin mendapat penjelasan darimu tentang Darah Kula!"

"Hmm, eeh, ooh, anu... aku tak berani, Nak!"

"Apa yang membuatmu takut menjelaskan ten-

tang Darah Kula?! Apakah di sini ada mata-matanya 

Darah Kula?!" desak Soka membantu bujukan kakak-

nya.

Ki Samekta tampak gelisah sekali.

"Hmmm... aku tak tahu apakah di sini ada ma-

ta-matanya atau tidak. Tapi... tapi aku tak sanggup 

menjelaskan tentang orang keji itu."

"Apa yang membuatmu tak sanggup?"

"Aku...," wajah Ki Samekta menjadi semakin 

mendung. Tampaknya ia menyimpan kesedihan yang 

cukup besar dalam hatinya. Tapi karena Soka dan Ra-

ka mendesaknya terus-menerus secara bergantian dan 

dengan tutur kata yang lembut, maka akhirnya Ki Sa-

mekta pun kemukakan alasannya.


"Sebab... sebab jika aku mendengar nama Da-

rah Kula, aku ingat dengan nasib anak gadisku yang 

bernama Supami."

"Apa yang terjadi atas diri Supami, Pak Tua?" 

tanya Raka setelah melirik Bunga Dewi sebentar. Gadis 

yang dilirik itu sengaja diam saja karena ingin menyi-

mak baik-baik apa yang akan diutarakan oleh Ki Sa-

mekta.

"Supami.... Supami adalah putri bungsu ku.

Usianya sekitar... yah, sebaya denganmu, Nona!" sam-

bil mata Ki Samekta ditujukan kepada Bunga Dewi.

"Di mana Supami sekarang?" tanya Bunga De-

wi, Ikut memancing penjelasan lebih lanjut.

"Dia... dia sudah empat purnama tidak kembali. 

Semula ia diajak pergi oleh kekasihnya yang menjadi 

murid Perguruan Tengkorak Sungsang itu. Bukan 

hanya Supami saja yang pergi, namun kedua sahabat-

nya yang masih gadis juga diajak pergi oleh Wiloka, 

kekasihnya Supami.itu. Menurut Wiloka, anakku akan 

dicarikan kerja di kotaraja dengan penghasilan tinggi. 

Tapi ternyata...."

Pemilik kedai itu diam sesaat. Segumpal duka 

menyesal di dada dan menghambat pernafasannya. Ia 

terpaksa tarik napas panjang-panjang, setelah itu lan-

jutkan ceritanya dengan suara bergetar menahan ke-

sedihan.

"Tapi ternyata mereka dijual kepada Darah Ku-

la melalui sekutunya; si Jagat Lancang. Hal itu kuke-

tahui setelah salah satu sahabat anakku berhasil me-

larikan diri dalam keadaan luka-luka berat. Dialah 

yang menceritakan segalanya tentang si Darah Kula. 

Tapi... anak itu akhirnya tak kuat menahan luka-

lukanya, sehari kemudian ia meninggal."

"Apa saja yang diceritakan oleh gadis itu, Pa-

man?" tanya Soka setelah Ki Samekta membisu terlalu


lama.

"Darah Kula adalah manusia pengisap darah 

perawan."

"Ooh...?!" Bunga Dewi terperanjat tegang.

"Para gadis yang dijual kepadanya bukan untuk 

diperkosa atau dijadikan budak, namun diisap darah-

nya hingga terkuras habis. Darah Kula adalah manu-

sia keturunan Iblis. Ia tidak bisa hidup dari makanan 

dan minuman yang layaknya kita nikmati ini. Kekua-

tannya pada darah perawan."

"Menyeramkan sekali!"* gumam Bunga Dewi 

sambil bergidik merinding.

"Jika dalam satu hari Darah Kula tak memi-

num darah perawan, maka tubuhnya akan menjadi 

lemah. Semakin banyak darah perawan dihirupnya, 

semakin tinggi daya kesaktiannya," tutur Ki Samekta 

menyambung penjelasannya tadi.

"Lalu, menurut gadis yang berhasil pulang ke 

rumah itu, apakah Supami juga diperlakukan demi-

kian?"

"Semua gadis yang dijual Jagat Lancang men-

galami nasib demikian. Setelah darahnya dihirup ha-

bis, gadis itu dibunuh dan... dan entah dikubur di ma-

na mayatnya. Sampai sekarang aku tak pernah tahu di 

mana mayat anakku dimakamkan oleh mereka," Ki 

Samekta semakin parau.

"Apakah kau tahu tentang kesaktian dan kele-

mahan si Darah Kula, Paman?" tanya Soka.

Ki Samekta menatap Soka, lalu gelengkan ke-

pala dengan lemah. Ia menunduk lagi, tapi kali ini sua-

ranya kembali terdengar agak parau.

"Jika kau ingin tahu tentang Darah Kula, pergi-

lah ke Lembah Semangit, carilah orang yang bernama 

Resi Bayakumba."

"Nama yang masih asing bagi kami, Paman."


"Resi Bayakumba adalah sahabatku. Dulu ia 

pernah singgah kemari dan menyebut-nyebut nama 

Darah Kula yang bangkit dari kematiannya. Tapi cerita 

itu terpotong oleh kehadiran tamu lain, sehingga sam-

pai Resi Bayakumba pulang, aku tak mendengar lagi 

cerita tentang Darah Kula!"

"Hmmm... kalau begitu kita harus segera temui 

Resi Bayakumba itu, Raka!"

"Ya. Tapi di mana letak Lembah Semangit?!"

"Jika kalian berjalan lurus ke timur dari desa 

ini, maka kalian akan menemukan sungai di tepi hu-

tan. Di situlah Resi Bayakumba tinggal bersama murid 

tunggalnya," ujar Ki Samekta.

"Aku tak mau ikut jika kalian ke sana!" sergah 

Bunga Dewi dengan menarik badan hingga duduknya

yang semula maju ke depan menjadi tegak kembali.

"Mengapa kau tak mau ikut ke sana?!" tanya 

Soka Pura yang agaknya sedikit keberatan jika Bunga 

Dewi tak ikut dalam perjalanannya. Karena gadis can-

tik itu sebenarnya menyenangkan hati Soka, enak di-

pandang, enak digoda dan enak dibentak-bentak.

"Aku tak mau," Bunga Dewi gelengkan kepala 

lagi. "Sebab kalau kita ke timur lagi, berarti kita akan 

sampai ke perguruannya si Jagat Lancang. Aku tak 

mau tertangkap oleh mereka."

Gadis itu bergidik lagi. Tentu saja ia semakin 

ngeri setelah mendengar cerita Ki Samekta tentang na-

sib Supami itu.

"Kalian jangan berjalan lurus ke timur," ujar Ki 

Samekta. "Kalian bisa membelok ke kiri begitu mene-

mukan gundukan tanah cadas yang sebesar rumahku 

ini. Jika kalian membelok ke kanan, berarti ke kan-

dangnya si Jagat Lancang. Tapi jika ke kiri, kalian 

akan menemukan anak sungai berair dangkal. Ikuti 

saja sungai itu sampai akhirnya kalian nanti akan me


nemukan sebuah pondok berdinding kayu-kayu hutan. 

Itulah tempat kediaman Resi Bayakumba!"

Mendengar semangatnya Ki Samekta dalam 

memberikan penjelasan tersebut, Raka Pura pun ak-

hirnya tersenyum dan berujar kepada si pemilik kedai 

tersebut.

"Tampaknya kau ingin sekali agar kami berte-

mu dengan Resi Bayakumba, Pak Tua?!"

"Karena... karena aku berharap kalian akan 

hancurkan si pengisap darah perawan itu! Aku yakin, 

sebagai Pendekar Kembar, kalian punya keberanian 

untuk berhadapan dengan tokoh keturunan iblis itu! 

Aku pun berharap kalian akan unggul melawannya. 

Hancurkan dia! Hancurkan sampai seluruh pengikut-

nya!" geram Ki Samekta dengan gigi menggeletuk per-

tanda menyimpan dendam cukup besar. Tentu saja 

dendam itu timbul akibat dari nasib malang anaknya 

yang sudah bisa dipastikan menjadi korban keganasan 

si Darah Kula itu.

Karena hari semakin sore, akhirnya mereka 

bermalam di rumah Ki Samekta yang bagian depannya 

dijadikan kedai itu. Bunga Dewi ribut tak mau tidur 

dalam sekamar dengan Raka maupun Soka. Padahal 

kamar yang tersedia hanya satu. Akhirnya kedua pe-

muda kembar itu mengalah tidur di bangku kedai, 

sambil melanjutkan perbincangannya dengan Ki Sa-

mekta, sementara Bunga Dewi tidur di kamar itu sen-

dirian.

Sebelum matahari pagi semakin meninggi, Pen-

dekar Kembar rencanakan berangkat ke Lembah Se-

mangit. Tapi sampai embun pagi telah mengering, 

Bunga Dewi belum keluar dari kamarnya. Raka Pura 

menjadi kesal dan menggerutu di samping Soka.

"Cantik-cantik kalau tidur seperti kerbau! Ban-

gunkan si perawan kesiangan itu, Soka!"



"Sabarlah, jadi orang itu jangan cepat marah," 

ujar Soka pelan sambil bergegas penuhi perintah ka-

kaknya.

"Terlalu sabar bisa bikin dia jadi gadis manja!"

"Manja sedikit tak apalah...," gumam Soka ma-

sih terdengar, sehingga Raka menyahutnya.

"Tak ada manja-manjaan kalau mau ikut ber-

samaku! Biar cantik kalau manja akan ku banting 

dia!"

Soka Pura memang tak segusar kakaknya, ka-

rena ia suka memanjakan seorang gadis, terlebih gadis 

yang cantik. Tapi Raka Pura memang kurang berminat 

untuk mendekati seorang gadis, sehingga ia benci den-

gan kemanjaan.

Tiba-tiba dari depan kamar Bunga Dewi, sang 

adik kembar itu berseru kepada Raka dengan wajah 

tegang.

"Raka, Bunga sudah tak ada di kamarnya!"

"Minggat ke mana anak itu?!"

"Kurasa... oh, cobalah kemari sebentar!" seru 

Soka yang memancing minat Ki Samekta untuk ikut 

datang ke kamar gadis itu.

Raka Pura dan Ki Samekta sama-sama diam 

tertegun memperhatikan kamar yang kosong, tapi jen-

dela dalam keadaan terbuka. Bunga Dewi telah hilang 

dari kamarnya. Mereka tak tahu persis, ke mana per-

ginya gadis itu.

"Apakah dia diculik oleh orangnya Jagat Lan-

cang?!" tanya Ki Samekta kepada Raka Pura.

"Diculik atau kabur dengan sendirinya?!" Raka 

ganti bertanya, tapi hanya berupa gumam, sepertinya 

ia bertanya pada diri sendiri.

"Jika ia kabur sendiri, apa alasannya?!" ujar 

Soka Pura menyatakan keraguannya.


"Jika diculik, mengapa kamar ini masih rapi? 

Tentunya Bunga lakukan perlawanan."

"Bagaimana jika penculiknya menotok Bunga 

lebih dulu pada saat Bunga masih tertidur?! Tentu saja 

keadaan di kamar ini tetap rapi karena tak ada perla-

wanan."

Pendekar Kembar segera memeriksa keadaan 

sekeliling, termasuk keadaan di luar rumah. Repotnya, 

tak ada tanda-tanda yang membuat mereka yakin an-

tara diculik dan kabur sendiri.

"Bagaimana dengan alas kakinya?! Mengapa 

alas kakinya tak tertinggal jika ia diculik?" ujar Raka 

Pura, sepertinya ia cenderung beranggapan bahwa 

Bunga Dewi kabur dengan sendirinya. Tetapi Soka 

cenderung berpendapat bahwa gadis itu diculik oleh 

pihaknya Jagat Lancang.

"Bunga mengenakan sandal berikat sampai ke 

betis. Mungkin ia tetap mengenakan sandal itu dalam 

keadaan tidur. Bisa saja dia terlalu capek, sehingga tak 

sempat melepas alas kakinya, langsung tertidur. Den-

gan begitu jika ia diculik, tentu saja alas kakinya ikut 

diculik juga!"

Raka Pura segera dekati Ki Samekta.

"Apakah tadi malam kau memeriksa jendela 

sudah terkunci atau belum?"

"Hmmm, eeh... aku tak sempat memeriksanya, 

Raka. Kupikir jika jendela sudah tertutup, berarti su-

dah terkunci."

"Siapa yang menutup jendela kamar ini pada 

awalnya?"

"Bukankah si gadis itu sendiri yang menutup-

nya ketika ia ribut ingin menempati kamar ini sendi-

rian?!" ujar Ki Samekta.

"Benar juga!" gumam Raka pelan.

"Kurasa ia memang diculik oleh orang-orangnya


Jagat Lancang itu, Raka," ujar Soka Pura. "Jendela lu-

pa tidak dikunci, sehingga penculiknya tak perlu repot-

repot merusak jendela itu untuk masuk kemari!"

"Dari mana mereka tahu kalau bunga ada di si-

ni, bermalam di rumah ini? Dan berada di kamar ini?!"

"Kurasa... kurasa ada seseorang yang mengeta-

huinya. Mungkin di desa ini ada mata-matanya Darah 

Kula, ada pula mata-matanya Jagat Lancang!"

Raka Pura hanya menghembuskan napas pan-

jang. Tampaknya ia merasa jengkel dengan keadaan 

yang membuatnya harus berpikir keras itu. Ia sempat 

menggerutu menyalahkan adiknya yang datang ke ke-

dai membawa Bunga Dewi bersama persoalannya. Me-

nurut Raka, itu hanya cari penyakit dan cari susah sa-

ja.

"Kalau begitu, biar aku sendiri yang pergi ke 

Perguruan Tengkorak Sungsang untuk bebaskan Bun-

ga Dewi!"

"Jangan sembarangan bertindak, Soka! Bagai-

mana jika penculiknya bukan dari pihaknya si Jagat 

Lancang?!"

"Aku yakin dialah dalang penculikan itu. Se-

bab... sebab Bunga Dewi agaknya sangat diincar dan 

menurut mereka bisa laku lebih mahal dari gadis-gadis 

lainnya."

Baru saja Raka ingin bicara, tapi Soka sudah 

pergi lebih dulu dengan melompati jendela kamar itu. 

"Soka, tunggu...!"

Seruan sang kakak tidak dihiraukan. Soka be-

nar-benar mengkhawatirkan keselamatan Bunga Dewi, 

sehingga ia tak peduli dengan seruan kakaknya atau 

peringatan dari sang kakak tadi. Sementara itu, Pen-

dekar Kembar sulung merasa cemas pula melihat Pen-

dekar Kembar bungsu pergi sendiri ke sarang musuh. 

Mau tak mau ia pun akhirnya menyusul sang adik

dengan gerutuan yang tiada habisnya.

*

* *

4


GUGUSAN cadas setinggi rumah yang dikata-

kan Ki Samekta sebagai patokan jalan pemisah itu ma-

sih jauh dari langkah Pendekar Kembar. Namun lang-

kah kakak-beradik itu terpaksa dihentikan sejenak ka-

rena si adik melihat sekelebat bayangan melintas di se-

la-sela semak sebelah kiri mereka.

"Siapa orang itu?!" sentak Soka Pura dalam na-

da bisik sambil tangannya menunjuk ke arah bayan-

gan yang berkelebat cepat.

"Ikuti saja dia. Siapa tahu dia orang yang mem-

bawa lari Bunga Dewi!" ujar sang kakak yang akhirnya 

mendukung pendapat Soka Pura, bahwa Bunga Dewi 

diculik seseorang. Hanya saja, dalam hati kecil Raka 

masih belum yakin, apakah si penculiknya dari Pergu-

ruan Tengkorak Sungsang atau dari pihak lain.

Wes, wes...! Mereka memburu bayangan yang di 

curigai. Ternyata bayangan itu juga sedang mengejar 

bayangan lain yang tak bisa tertangkap penglihatan 

Pendekar Kembar dengan jelas. Bahkan ketika mereka 

tiba di bawah tanah menanjak, mereka sempat kehi-

langan arah.

"Ke mana bayangan yang kita ikuti tadi?!" tanya 

Soka dengan mata lebar memandang ke sana-sini. 

"Kurasa ia membelok balik batu besar itu! Kita ke sana 

saja!"

Wes, wes...! Pendekar Kembar berkelebat lagi 

dengan kecepatan cukup tinggi. Akhirnya langkah me


reka terhenti di balik semak-semak yang tumbuh di 

bawah pohon besar. Soka Pura yang mengawali ber-

henti, sehingga Raka pun ikut-ikutan berhenti.

"Ssstt...!" Soka Pura memberi isyarat dengan te-

lunjuk ditempelkan di depan mulut.

Dari sana mereka dapat mengintai pertemuan 

tiga orang yang saling tak dikenal oleh Pendekar Kem-

bar. Dua orang lelaki berusia sekitar tiga puluh lima 

tahun, dan seorang gadis berusia sekitar dua puluh ti-

ga tahun.

Melihat posisi si gadis ada di tengah, di antara 

kedua lelaki yang sama-sama mengenakan ikat kepala 

merah itu, maka Soka Pura dapat menyimpulkan bah-

wa gadis itu terkepung langkahnya hingga berhenti di 

sana.

"Kau kenal salah satu dengan mereka?" bisik 

Raka Pura.

Suka menggeleng. "Tapi agaknya mereka ber-

siap lakukan pertarungan satu lawan dua."

"Ya, kurasa si gadis akan berhadapan dengan 

dua orang kurus itu."

"Yang kita ikuti tadi lelaki yang berbaju hijau 

itu! Kurasa dia tadi mengejar si gadis."

"Lalu, lelaki yang berpakaian abu-abu itu da-

tang dari mana?"

"Ia menghadang si gadis. Mungkin ia ambil ja-

lan pintas untuk lakukan penghadangan."

"Hmmm...," Raka Pura manggut-manggut. "Ke-

lihatannya dua orang kurus itu bukan dari aliran pu-

tih. Wajah mereka tampak licik-licik dan...."

"Ssst...!" potong Soka. "Dengarkan percakapan 

mereka itu!"

Dua lelaki berusia sebaya itu tersenyum-

senyum sinis. Mereka mondar-mandir di tempatnya 

masing-masing. Yang berbaju hijau berkumis tipis,


yang berpakaian abu-abu tidak berkumis sedikit pun. 

Tetapi dari sorot mata mereka, kentara sekali bahwa 

mereka bukan orang baik-baik.

"Biar kau lari ke lubang semut pun, kami tetap 

akan berhasil menangkapmu, Bulan Berkabut!" seru 

lelaki berbaju hijau sambil mengusap-usap kumisnya.

"Lebih baik menyerah saja, Bulan Berkabut! 

Untuk apa kau buang-buang tenaga dengan lari sana-

sini, akhirnya akan bertemu juga denganku. Dunia ini 

sempit, Bulan Berkabut!" timpal orang yang berpa-

kaian abu-abu itu.

"Sebenarnya aku enggan berlumur darah. Tapi 

jika kalian menghendaki begitu, terpaksa kulayani ke-

hendak kalian! Cabutlah senjatamu, Marambang!" ujar 

si gadis kepada yang berpakaian abu-abu. Ternyata 

orang bersenjata cambuk itu bernama Marambang.

Orang itu berseru kepada yang berbaju hijau, 

"Lumpuhkan dia secepatnya, Randu Alas!"

"Baik, Tapi berjaga-jagalah, Marambang. Yang 

satu ini licin bagaikan belut. Bersiaplah menyergapnya 

jika ia mau kabur lagi! Heh, heh, heh, heh!"

Randu Alas yang berbaju hijau itu tertawa. Su-

aranya sama sekali tak enak didengar dan lagaknya

sangat memuakkan bagi si gadis yang mengenakan ba-

ju buntung warna merah tua dengan celananya yang 

ketat warna serupa.

Gadis cantik yang bernama Bulan Berkabut itu 

mempunyai rambut pendek seperti potongan lelaki, ta-

pi bagian depannya agak panjang. Sebagian rambut 

depannya merawis di sekitar kening. Bulan Berkabut 

mengenakan giwang merah tua juga sebesar kacang 

tanah. Hidungnya yang mancung dan bibirnya yang 

sensual itu sempat membuat Soka Pura berdesir-desir 

indah. Dengan baju buntung yang dililit sabuk hitam 

dan celana ketat yang panjangnya separo betis, Bulan


Berkabut tampak seksi sekali. Ditambah lagi dengan 

tubuhnya yang termasuk tinggi dan sekal, padat berisi, 

belahan dadanya tampak sebagian, walau tak terlalu

montok namun cukup menantang, ia benar-benar ga-

dis yang mampu membuat hati lelaki berdebar-debar. 

Kulitnya yang kuning langsat tampak mulus, ter-

bayang lembut dan halus jika disentuh.

Ia menyandang pedang di punggungnya. Pe-

dang itu mirip sebuah samurai dilapisi kulit binatang 

tanpa bulu warna hitam. Gagangnya yang juga ter-

bungkus kulit hitam itu diberi hiasan ronce-ronce be-

nang merah.

Pedang itu belum dicabut. Bulan Berkabut in-

gin coba lumpuhkan lawannya dengan tangan kosong. 

Maka ketika Randu Alas melesat tinggi sebatas pun-

daknya, gadis itu segera sentakkan kedua tangan me-

nyilang di depan kepala.

Wuut, plaaark...! Tendangan kaki Randu Alas 

berhasil ditangkis dengan tangan menyilang. Namun di 

luar dugaan, tubuh Randu Alas melintir dalam puta-

ran cepat dan kaki yang satu menyambar wajah Bulan 

Berkabut. Wees...! Plaak...!

Bulan Berkabut yang segera memiringkan ba-

dannya itu tetap terkena tendangan kaki lawan di ba-

gian ujung pundaknya. Ia terpelanting nyaris jatuh, 

namun cepat-cepat jaga keseimbangan dan tegak kem-

bali.

"Satu Jurus lagi harus selesai, Randu Alas! 

Jangan buang-buang waktu!" seru Marambang sambil 

berjalan berkeliling menjaga kemungkinan lolosnya si 

gadis cantik berpinggul menantang itu.

"Heeaahh...!"

Randu Alas kerahkan tenaganya. Kedua tangan

bergerak cepat ke berbagai arah, lalu diam seketika 

dengan tangan membuka ke atas dan ke bawah dan


kaki kiri lurus ke belakang, kaki kanan merendah ko-

koh.

Bulan Berkabut juga mainkan jurusnya dengan 

cepat dan lincah. Dalam sekejap berikutnya, Bulan 

Berkabut sentakkan kakinya hingga tubuh terangkat 

ke atas, karena pada saat itu Randu Alas menyampar-

kan kakinya secara berturut-turut dengan gerakan 

memutar rendah.

Wes, wes, wes...!

Lompatan gadis itu cukup tinggi. Tangannya 

berhasil mencapai dahan pohon yang terjulur di atas-

nya. Teeb...! Maka tubuh pun diayunkan sesaat, lalu 

tiba-tiba ia melayang dalam gerakan bersalto cepat. 

Wees...!

Wuk, wuk, wuk...!

Sepertinya ia tak mengarah kepada Randu Alas. 

Tapi tiba-tiba kedua kakinya merentang lebar dalam 

satu sentakan. Seet...!

Plook...!

Pelipis kiri Randu Alas terkena tendangan lebar 

yang menyentak di luar dugaan itu. Randu Alas terpe-

lanting ke samping dan terhuyung-huyung. Pada saat 

itu, Bulan Berkabut telah daratkan kakinya ke bumi. 

Satu sentakan ujung kaki membuatnya melesat lagi 

dan menerjang Randu Alas yang masih menggeragap 

itu.

Wuuut, dees...!

"Aaoow...!"

Randu Alas memekik keras sambil jatuh ter-

banting ke samping. Tendangan kaki Bulan Berkabut 

disaluri kekuatan tenaga dalam, hingga pelipis Randu 

Alas terasa retak. Ada darah yang mengalir dari telinga 

Randu Alas.

Melihat lawannya jatuh dan menyeringai kesa-

kitan, Bulan Berkabut segera pergunakan senjatanya.


Pedang itu dicabut dalam satu gerakan tangan yang 

hampir tak bisa dilihat oleh mata telanjang. Srriing...!

Bunyi mata pedang bergeser saat dicabut itulah 

yang membuat Marambang tahu bahwa temannya da-

lam ancaman bahaya. Maka, sebelum pedang Bulan

Berkabut menyabet ke bawah, Marambang segera le-

paskan pukulan jarak jauh dari arah belakang si gadis. 

Tangannya yang menggenggam tiba-tiba menyentak ke 

depan dengan telapak tangan terbuka lurus. Wuuut...!

Buuuhk...! Terdengar suara punggung bagai 

dihantam dengan sepotong balok kayu cukup besar. 

Bulan Berkabut tersentak dengan tubuh melengkung 

ke depan, wajah terdongak menyeringai menahan sa-

kit. Nafasnya tersentak dalam bentuk suara berat.

"Hhheeekh...!"

Kesempatan itu digunakan oleh Randu Alas un-

tuk segera berguling ke kiri satu kali, kemudian me-

lompat dan berguling lagi, sampai akhirnya ia berdiri 

dengan berpegangan pada pohon, enam langkah dari 

tempat Bulan Berkabut terhenyak dl tempat.

Bertepatan dengan itu pula, Marambang ber-

guling maju dalam satu lompatan. Begitu ia bangkit 

dengan satu kaki berlutut di belakang Bulan Berkabut, 

kedua tangannya menotok pinggang kanan-kirinya la-

wan. Dess, dess...!

"Ahkk...!" Bulan Berkabut tersentak lagi dengan 

tubuh terbungkuk, kemudian ia Jatuh terkulai ketika

ingin melangkah. Tubuhnya ambruk bagaikan tak ber-

tulang sama sekali. Totokan itu membuat Bulan Ber-

kabut tak bisa bergerak, namun keadaannya masih 

sadar. Matanya masih terbuka, mulutnya pun tern-

ganga, hanya saja mata itu tak dapat bergerak ke kiri 

atau ke kanan dan mulut itu tak bisa menelan ludah 

kecuali napas tipis.

"Curang sekali si Marambang itu!" geram Raka


di samping adiknya yang jongkok di depannya. Sang 

adik masih diam saja, sepertinya asyik mengikuti ade-

gan selanjutnya.

Marambang segera hampiri Randu Alas yang 

sibuk membersihkan darah dari telinganya. Sementara 

itu, si gadis dibiarkan terkulai di tanah tanpa rasa 

khawatir kalau akan melarikan diri lagi.

"Bagaimana? Parah?!" tanya Marambang den-

gan mata memancarkan kemarahan yang mulai surut.

"Untuk apa pergi ke sawah?!" ujar Randu Alas 

dengan suara berat karena menahan rasa sakit di te-

linganya.

"Siapa yang mau mengajak mu ke sawah? Ku-

tanya, apakah lukamu parah?!" tegas Marambang.

"Oh, tidak! Aku masih kuat!"

"Kerjamu terlalu lamban, Randu Alas! Lihat,

hanya dengan dua jurus, gadis itu bisa kulumpuhkan!"

"Jangan disembuhkan dulu! Kita bawa saja dia 

dalam keadaan seperti itu."

"Siapa yang mau sembuhkan dia?! Ah, bicara-

mu mulai ngacau, Randu Alas!"

"Jadi kau tadi bilang apa?!"

"Dia bisa ku lumpuhkan!" suara Marambang 

agak keras. Rupanya telinga Randu Alas menjadi bu-

dek akibat terluka bagian dalamnya, sehingga ia selalu 

salah dengar jika Marambang bicara padanya.

"Sebaiknya kita bawa pulang saja gadis itu se-

karang juga! Kurasa ketua sudah menunggu-nunggu 

hasil kerja kita. Bulan Berkabut adalah gadis yang 

cantik dan berdarah segar. Si Darah Kula pasti me-

nyukainya. Dia bisa laku mahal, Randu Alas!"

"Siapa yang jual mahal?! Dia...?!"

"Laku mahal!" ulang Marambang dengan keras 

dan bernada Jengkel. "Kenapa kau jadi budek begitu?!"

Di sisi lain, Raka Pura berbisik kepada adiknya,


"Rupanya mereka orangnya Jagat Lancang! Gadis itu 

akan dijual kepada Darah Kula!"

"Kita harus bertindak secepatnya! Kau lum-

puhkan dua orang itu, aku akan mengobati si Bulan 

Berkabut!"

"Mengapa bukan kau saja yang melumpuhkan 

Marambang dan Randu Alas?!"

"Sudahlah, jangan banyak berdebat! Nanti ga-

dis itu telanjur dibawa pergi oleh mereka!"

Raka Pura ingin ucapkan kata lagi, tapi sang 

adik sudah lebih dulu bergerak keluar dari persembu-

nyian. Mau tak mau Raka mengikutinya walau dalam 

hatinya, ia menggerutu sendiri.

"Giliran mengobati gadis cantik, dia yang tan-

gani! Aku disuruh hadapi kedua orang itu. Tapi kema-

rin ketika harus mengobati ibunya Ki Lurah Mujo, dia 

tak mau campur tangan. Huhh...! Dasar bulus konyol!"

Soka Pura muncul dengan senyum ceria dan 

berkesan cengar-cengir. Kemunculannya disertai se-

ruan sok akrab dengan Marambang dan Randu Alas.

"Hoii...! Bagaimana? Beres...?!"

Tentu saja kemunculan Pendekar Kembar 

membuat Marambang dan Randu Alas curiga. Mereka 

memandang dengan dahi berkerut karena merasa tak 

mengenal kedua pemuda kembar itu. Walaupun Soka 

menyapa dengan sok akrab, tapi Marambang dan Ran-

du Alas tak memberi balasan.

Soka Pura semakin nyengir begitu tiba di depan 

Marambang dan Randu Alas.

"Kalian orang Perguruan Tengkorak Sungsang, 

bukan?!"

"Ya. Siapa kalian berdua?!" jawab Marambang 

dengan nada ketus dan ganti bertanya penuh curiga.

"Apa kalian belum mengenal kami? Kami murid 

baru di perguruan itu!"


Marambang menggeram tak bersahabat. 

"Omong kosong! Guru sudah tak menerima murid baru 

sejak setengah tahun yang lalu!"

"Mau apa kalian sebenarnya?!" Randu Alas 

paksakan diri untuk menggertak.

"Mau ambil gadis ini!" jawab Soka enak saja.

"Eit, nanti dulu!" Marambang mengangkat tan-

gannya, ia mendekati Soka yang sudah ada di samping 

Bulan Berkabut.

"Jangan coba-coba berani sentuh gadis itu!" 

ancam Marambang. "Jika ada yang menyentuhnya 

akan kubunuh seketika itu juga!"

"Kalau begitu, hadapi saja kakakku ini! Sudah 

lama dia kepingin dibunuh!" ujar Soka seenaknya saja. 

Kemudian ia membungkuk dan mengangkat Bulan 

Berkabut untuk dipindahkan ke tempat yang teduh.

"Kurang ajar! Hiaaaat...!" Marambang hendak 

melepaskan tendangan sampingnya ke arah Soka Pu-

ra. Tapi dengan gerakan cepat Raka maju menghadang 

serangan Marambang. Tangannya dikibaskan ke samp-

ing, dan beradu dengan tulang kering Marambang. 

Prak...!

Suara tulang kering beradu dengan tulang len-

gan terdengar cukup keras. Tapi Soka Pura cuek saja. 

Ia tetap memindahkan Bulan Berkabut ke tempat yang 

teduh. Sementara itu, Marambang menyeringai kesaki-

tan tanpa suara, karena tulang keringnya seperti di-

hantam dengan sepotong besi baja.

Pada saat itu, Raka Pura masih setengah me-

munggungi Marambang. Ketika Randu Alas mencabut 

goloknya dan ingin membabat pundak Raka dengan 

satu lompatan, tubuh Raka tiba-tiba dijatuhkan dalam 

keadaan tengkurap. Tapi kedua telapak tangannya di-

pakai untuk menapak, sehingga kakinya pun mening-

gi. Kaki itu menjejak ke belakang secara beruntun te


pat kenai paha dan perut Randu Alas.

Wuut, plak...!

Plok, plok, buuhk...!

Tubuh kurus si Randu Alas akhirnya terlempar 

ke belakang dan jatuh terbanting dengan pelipis kiri 

membentur batu sebesar nangka. Duuhk...!

"Aaaah...!" Randu Alas memekik lebih keras dan 

lebih panjang. Pelipis yang sudah memar dengan telin-

ga berdarah, kini semakin bonyok akibat membentur 

batu dengan keras. Perut pun mual seketika. Napas 

menjadi sesak, sehingga Randu Alas mulai tersengal-

sengal.

Marambang segera menyentakkan tangannya 

yang tergenggam dan terbuka seketika. Suuut...! Tena-

ga dalam yang tadi dipakai menghantam Bulan Berka-

but dari belakang, kini digunakan lagi untuk menye-

rang Raka Pura dari belakang Juga. Marambang belum 

tahu bahwa Raka Pura bukan Bulan Berkabut...

Datangnya hawa padat menghangat itu dirasa-

kan Raka sebelum bahaya itu tiba. Maka dengan sen-

takkan kaki lembut, tubuh Pendekar Kembar sulung 

melesat ke atas dan bersalto ke belakang. Wut, 

wuuus...! Gerakan melambung ke belakang itu mele-

wati atas kepala Marambang.

Tentu saja Marambang kaget melihat lawannya 

mampu berkelit sedemikian cepat dan tahu-tahu su-

dah ada di atas kepalanya. Ketika Marambang ingin 

sentakkan tangan ke atas, kaki Pendekar Kembar su-

lung menghentak ke bawah kuat-kuat. Deess...!

"Aaahk...!" Ujung jempol kaki itu mempunyai 

kekuatan tenaga dalam. Jempol kaki si Pendekar Kem-

bar sulung bagaikan menotok ubun-ubun Marambang. 

Tentu saja Marambang memekik sambil pegangi kepala 

dan kedua tangannya. Ia terhuyung-huyung sesaat, 

karena ubun-ubunnya terasa seperti kejatuhan linggis.


Seketika itu pula pandangan mata Marambang menja-

di gelap. Rasa sakitnya menjalar di sekujur tubuh, 

sampai ke telapak kaki. Darah keluar dari telinga dan 

hidung Marambang.

Sementara itu, Pendekar Kembar sulung berha-

sil mendarat dengan tegak dan memperhatikan lawan-

nya meraung-raung kesakitan dalam keadaan mengge-

loyor ke sana-sini.

"Wadooow...! Waadoow, mati akuu...! Mati aku, 

Maaak...! Wadoow...!"

Pukulan tenaga dalam Marambang tadi Justru 

menghantam Randu Alas yang baru berusaha bangkit 

dari jatuhnya sambil tarik napas tersengal-sengal, ta-

hu-tahu ia merasa seperti diterjang seekor banteng

yang mengamuk. Bruuusk...! Randu Alas gelagapan 

sebentar, kemudian jatuh terkapar tak sadarkan diri. 

Karenanya ia tak bisa membantu Marambang ketika 

Marambang meraung berkepanjangan sampai berlutut 

di tanah dengan memegangi kepalanya yang terasa in-

gin meledak itu.

Pendekar Kembar sulung segera pandangi 

adiknya di bawah pohon rindang. Ia menggeram jeng-

kel melihat Soka Pura belum selesaikan pekerjaannya. 

Soka masih pandangi kecantikan Bulan Berkabut den-

gan senyum penuh kekaguman. Bahkan tangan Soka 

Pura ikut-ikutan konyol dengan mengusap-usap pipi 

Bulan Berkabut, sesekali mengelus rambut gadis itu 

dengan sentuhan penuh perasaan. Pandangan ma-

tanya pun lebih sering tertuju ke belahan baju si gadis, 

karena di sana ia menemukan sisi dua gumpalan pa-

dat yang halus mulus menantang selera.

Si gadis diam saja walau matanya terbuka. Ia 

memang tak bisa bergerak apa-apa, namun ia merasa-

kan sentuhan tangan Soka dan mendengar decak serta 

gumam kekaguman Soka terhadapnya. Bulan Berka


but hanya bisa menggeram dongkol dan memaki pe-

nuh gerutu dalam hati saja.

Pendekar Kembar sulung segera hampiri Pen-

dekar Kembar bungsu. Kepala sang adik disodok den-

gan dua jari. Duus, wuut...! Soka Pura terantuk ke de-

pan, lalu segera sadar dan nyengir memandangi ka-

kaknya yang sudah ada di belakang.

"Bukannya disembuhkan malah dibuat mai-

nan?! Dasar buaya norak!" omel Raka Pura dengan 

bersungut-sungut.

"Hmmm, eeh... dia cantik sekali, Raka! Kulitnya 

halus, seperti kulit bayi, dan...."

"Cepat bebaskan totokannya!" sentak Raka Pu-

ra.

Namun pada saat itu mereka segera mendengar 

suara langkah orang berlari-lari menuju ke tempat ter-

sebut. Langkah itu agaknya bukan datang dari satu 

orang saja. Diperkirakan ada tiga-empat orang yang 

berlari menuju ke tempat tersebut. Soka dan Raka sal-

ing berpandangan tegang sesaat, kemudian meman-

dang ke arah datangnya suara orang berlari secara 

grabak-grubuk itu.

"Soka, bawa dia pergi dari sini! Lekas...!" suara 

Raka membisik, dan sang adik pun segera lakukan pe-

rintah tersebut.

"Jangan ladeni mereka! Ikutlah pergi, Raka!" 

sambil Soka Pura memondong Bulan Berkabut, kemu-

dian melesat ke balik semak-semak dan menghilang di 

kerimbunan pepohonan.

Raka Pura memang segera melesat pergi, na-

mun tak cepat-cepat susul adiknya. Ia ingin tahu dulu, 

siapa yang datang ke tempat itu.

Ternyata mereka terdiri dari lima orang kurus 

berwajah kusam. Kelima orang itu tersentak kaget me-

lihat Randu Alas terkapar dan Marambang masih me


raung-raung sambil berguling ke sana-sini, memegangi 

kepala dengan kedua tangan.

"Marambang! Apa yang terjadi?! Mana si Bulan 

Berkabut tadi?" seru salah seorang dari mereka.

Raka Pura cukup puas, karena sekarang ia ta-

hu bahwa lima orang itu adalah teman-teman Maram-

bang dari Perguruan Tengkorak Sungsang. Raka mera-

sa tak perlu mengusik mereka lagi, ia cepat-cepat su-

sul adiknya dengan menggunakan gerakan cepat yang 

menyerupai badai melesat itu. Wuuzzz...!

*

* *

5


SETELAH Soka Pura membebaskan totokan 

Bulan Berkabut, gadis itu sempat ngomel-ngomel ka-

rena kenakalan tangan Soka di saat ia tak berdaya ta-

di. Pendekar Kembar sulung segera redakan omelan 

Bulan Berkabut dengan kesabarannya, sampai akhir-

nya gadis itu pun menyadari bahwa ia telah di sela-

matkan oleh sepasang pemuda kembar yang tampan, 

gagah, dan mempunyai daya tarik tersendiri dalam ha-

tinya, terutama setelah Pendekar Kembar perkenalkan 

diri sebagai Raka Pura dan Soka Pura.

Bulan Berkabut sempat terperanjat. "Beberapa 

tokoh di rimba persilatan sering menyebut dua nama 

itu sebagai nama Pendekar Kembar," ujarnya.. "Apakah 

kalian memang Pendekar Kembar?!"

"Dugaanmu tak salah, Bulan Berkabut. Semula 

kami tidak bermaksud mencampuri urusanmu dengan 

kedua orangnya Jagat Lancang itu," ujar Raka Pura 

yang berdiri lebih dekat ketimbang Soka Pura.


"Semula aku dan adikku hanya mencari seo-

rang gadis, sahabat kami, yang tiba-tiba menghilang 

dari kamar tidurnya. Dugaan kami ia diculik oleh 

orang-orangnya Jagat Lancang. Tapi setelah kami tahu 

Marambang dan Randu Alas ingin menjadikan mu se-

bagai tawanan mereka yang nantinya akan dijual ke-

pada Darah Kula, maka kami pun terpaksa turun tan-

gan menyelamatkan dirimu!" tambah Raka dalam pen-

jelasannya.

"Terima kasih atas bantuanmu," ujar Bulan 

Berkabut. "Apakah gadis yang kau cari itu berwajah 

cantik, mungil, mengenakan pakaian kuning gading 

dan...."

"Benar! Dialah yang bernama Bunga Dewi!" sa-

hut Soka Pura sambil maju selangkah lagi.

Bulan Berkabut menggumam dan manggut-

manggut.

"Ya, aku kenal dengannya. Bunga Dewi adalah 

pencuri cantik dari Tanah Keramat!" sambil Bulan 

Berkabut bertolak pinggang dan melangkah mondar-

mandir bagaikan sedang gusar.

"Dia memang pencuri, tapi dalam peristiwa ini, 

dia tidak mencuri. Dia lolos dari tawanan si Jagat Lan-

cang, karena Bunga Dewi termasuk gadis yang akan 

dijual kepada Darah Kula!" sambung Soka dengan ber-

semangat.

"Kami menduga, Bunga Dewi diculik oleh 

orang-orangnya Jagat Lancang," timpal Pendekar 

Kembar sulung.

"Tidak!" Bulan Berkabut menyangkal tegas-

tegas. "Bunga Dewi tidak diculik oleh mereka. Sema-

lam kulihat ia bersama seorang lelaki berusia sekitar 

empat puluh tahun berambut pendek tegak-tegak se-

perti durian. Mereka menuju selatan, ke Candi Apung."

"Seorang lelaki berambut tegak...?!" Soka Pura


menggumam dengan dahi berkerut, mata memandang 

ke arah kakaknya. Si kakak hanya melirik sekejap 

sambil menarik napas.

"Kau tahu siapa lelaki berambut tegak itu, Bu-

lan Berkabut?!"

"Ya, aku kenal dengan lelaki itu! Dia adalah 

orang Kedai Iblis yang bernama Batara Jabrik!"

"Ooh...? Batara Jabrik?!" Pendekar Kembar ter-

perangah kaget, karena mereka pun mengenal nama 

Batara Jabrik.

Mereka pernah bertemu dengan Batara Jabrik 

ketika orang itu menjadi pembunuh bayaran atas tu-

gas dari Dewi Ambari untuk melenyapkan Wisnu Ga-

lang. Tapi akhirnya Batara Jabrik tak berani lakukan 

tugasnya, karena ia tahu Wisnu Galang sahabat Pen-

dekar Kembar. Bahkan ia sempat kagum dan ingin be-

lajar ilmu-ilmunya Raka Pura, namun Raka tak berse-

dia menurunkan ilmunya, sehingga Batara Jabrik ak-

hirnya pulang ke Kedai Iblis, (Baca serial Pendekar 

Kembar dalam episode: Cumbuan Menjelang Ajal").

Raka dan Soka sama-sama tertegun sesaat, ka-

rena mereka tak menyangka Bunga Dewi bersahabat 

dengan Batara Jabrik. Bahkan saat itu Bulan Berka-

but memberi penjelasan lebih lengkap lagi.

"Beberapa waktu yang lalu, aku sempat berke-

nalan dengan Bunga Dewi dan Batara Jabrik, karena 

mereka pernah kubayar untuk mencarikan Lebah Ken-

cana di dalam Hutan Karang."

"Lebah Kencana?!" Soka menggumam karena 

merasa asing dengan nama Lebah Kencana.

"Lebah Kencana adalah benar-benar lebah yang 

berwarna kuning keemasan. Lebah itu kugunakan un-

tuk mengobati seseorang yang terkena racun dari la-

wannya. Sejak itulah kami berkenalan, dan beberapa 

hari yang lalu aku mendengar kesepakatan Bunga


dengan Batara Jabrik yang akan mencari Permata Ma-

nik Jingga yang tersimpan di Candi Apung."

"Edan gadis itu! Kecil-kecil semangat nyolong-

nya tinggi juga?!" gumam Soka Pura seakan ditujukan 

kepada kakaknya. Tapi sang kakak diam saja, karena 

sedang memperhatikan ucapan Bulan Berkabut.

"Tiga hari yang lalu, aku bertemu Batara Jabrik 

yang mencari Bunga Dewi. Ia meminta tolong padaku 

untuk mencarikan gadis itu, karena ia mendapat kabar 

dari seorang temannya, bahwa Bunga Dewi tertangkap 

oleh orang-orangnya Jagat Lancang, sehingga gadis itu 

tak sampai di rumahnya. Aku tak menyanggupi per-

mohonan Batara Jabrik, karena aku punya urusan 

sendiri dengan seorang pemuda yang bernama Wiloka."

Pendekar Kembar sama-sama terkesiap men-

dengar nama Wiloka.

"Kalau tak salah Wiloka adalah bekas kekasih-

nya Supami, anak Ki Samekta itu!" ujar Raka Pura, 

dan si Pendekar Kembar bungsu mengangguk membe-

narkan.

Bulan Berkabut lanjutkan kata-katanya lagi.

"Aku sedang mencari Wiloka untuk bikin perhi-

tungan sendiri denganku. Terus terang saja, aku sem-

pat tertarik dengannya. Tapi ternyata kebaikannya itu 

sebuah jebakan yang akan membuatku celaka di tan-

gan Jagat Lancang, gurunya! Aku hampir terjebak ma-

suk ke Perguruan Tengkorak Sungsang. Kupikir Wilo-

ka bukan orang perguruan itu. Rupanya ia bermaksud 

menjebakku agar aku bisa dijual oleh pihaknya ke Bu-

kit Maut. Aku pun melarikan diri, sambil mencari Wi-

loka. Sebab sejak itu, aku tak pernah melihat Wiloka 

keluar-masuk ke gerbang perguruan tersebut. Namun 

teman-temannya merasa seperti menemukan emas be-

gitu melihatku. Tanpa kusadari, mereka ternyata ma-

sih memburu ku."


"Jahanam juga yang bernama Wiloka itu ru-

panya?!" geram Soka sambil memandang kakaknya. 

Sang kakak hanya menggumam dan manggut-

manggut. Si gadis pun lanjutkan kata-katanya kemba-

li.

"Kemarin sore aku bertemu dengan Batara Ja-

brik. Akhirnya kami sepakat untuk saling membantu. 

Batara Jabrik membantuku mencarikan Wiloka, aku 

membantunya mencarikan Bunga Dewi. Batara Jabrik 

sempat jelaskan rencananya mencuri Permata Manik 

Jingga dari Candi Apung. Ia berharap aku mau berga-

bung dengannya. Tapi tawaran itu kutolak mentah-

mentah, karena aku bukan seorang pencuri dan bukan 

pembunuh bayaran."

"Untuk apa mereka mencari Permata Manik 

Jingga?"

"Batara Jabrik belum mau jelaskan kegunaan 

benda itu. Aku sendiri tak banyak tahu tentang Perma-

ta Manik Jingga. Tapi ada seseorang yang mengetahui 

tentang benda yang tersimpan di dalam Candi Apung 

itu. Jika kalian ingin menanyakannya, aku bisa mem-

bawa kalian kepada orang tersebut."

"O, tidak! itu bukan urusan kami," sela Pende-

kar Kembar sulung. "Jika memang Bunga Dewi sudah 

pergi bersama Batara Jabrik, biarlah mereka pergi, ka-

rena mereka bukan tanggung jawab kami...."

"Kurasa Bunga benar-benar keluar sendiri dari 

kamar dan mencari Batara Jabrik. Dugaanmu memang 

benar, Raka," sela Pendekar Kembar bungsu dalam bi-

sikan.

"Karena aku masih punya otak."

"Aku juga punya!" gerutu Soka sambil bersun-

gut-sungut, merasa dianggap sudah tidak punya otak.

Raka Pura bicara lagi kepada Bulan Berkabut, 

"Tujuan utama kami sebenarnya ingin menemui seseorang di Lembah Semangit...."

Bulan Berkabut terkesip, namun tetap membi-

su tanpa gumam sedikit pun.

"Kami mencari sebuah pondok milik seorang 

resi yang tinggal di sana," lanjut Raka. "Kami perlu 

bertemu dengan tokoh tua yang bernama Resi Baya-

kumba itu."

"Untuk apa?!" tanya Bulan Berkabut dengan 

pandangan berkesan curiga.

"Menurut seorang pemilik kedai yang bernama 

Ki Samekta, jika kami ingin mengetahui banyak-

banyak tentang Darah Kula, alias manusia pengisap 

darah perawan itu, kami harus menanyakannya kepa-

da Resi Bayakumba. Kata pemilik kedai itu, sang Resi 

mengetahui banyak tentang si Darah Kula."

"Apakah kalian ingin bergabung dengan pihak 

Darah Kula?!"

"O, tidak. Itu dugaan paling buruk yang pernah 

kami dengar, Bulan!" sahut Soka Pura. "Justru kami 

ingin hancurkan si Darah Kula itu agar tak timbulkan 

korban lebih banyak lagi. Kasihan para gadis, seperti-

mu juga, jika Darah Kula tetap hidup. Lama-lama 

penghuni bumi kehilangan gadis-gadisnya, yang tersi-

sa hanya kaum lelaki dan nenek-nenek jompo."

Setelah diam sesaat, Bulan Berkabut pun te-

gaskan kata, "Aku bisa mengantar kalian ke Lembah

Semangit."

"Oh, terima kasih atas kesediaanmu," Soka Pu-

ra tersenyum girang. "Tapi bisakah kau mengantarkan 

kami ke pondok yang kami maksud itu?!"

"Bisa! Ikuti aku!" tegas Bulan Berkabut, kemu-

dian ia lebih dulu bergerak menuju ke Lembah Seman-

git. Pendekar Kembar saling pandang sebentar, lalu 

bergegas mengikuti langkah si cantik bertubuh sintal 

dan berwajah cantik menghebohkan hati Soka.


Perjalanan menuju Lembah Semangit ditempuh 

waktu tak sampai setengah hari. Bahkan seperempat 

hari kurang. Mereka bergerak cepat. Ternyata Bulan 

Berkabut pun mampu berlari cepat, walau tidak sece-

pat jurus 'Jalur Badal'-nya Pendekar Kembar. Andai 

saja tadi saat ia dikejar oleh Randu Alas tidak terha-

dang oleh Marambang, mungkin Randu Alas akan ke-

hilangan jejak dan tak sanggup menandingi kecepatan 

larinya si cantik berambut pendek itu.

Seperti yang dikatakan Ki Samekta, mereka ha-

rus menelusuri tepian sungai untuk menemukan pon-

dok Resi Bayakumba. Ternyata gadis cantik itu juga 

menelusuri tepian sungai, sehingga Pendekar Kembar 

merasa tak akan disesatkan oleh si cantik bermata in-

dah itu. Bahkan dengan mudahnya pondok tersebut 

ditemukan oleh mereka. Pendekar Kembar merasa le-

ga, juga memendam rasa bangga atas bantuan Bulan 

Berkabut dalam menemukan pondok Resi Bayakumba.

Pondok itu memang terbuat dari kayu-kayu hu-

tan yang hanya dibelah menjadi dua bagian. Berkesan 

kokoh dan damai, karena suasana di sekitarnya sangat 

sepi. Pagar yang mengelilingi pondok dua lantai itu 

hanya setinggi dada, terbuat dari batangan kayu-kayu 

bundar sebesar betis yang ditata rapat dan rata. Pon-

dok itu juga dikelilingi pohon-pohon besar yang ber-

daun rindang, sehingga halaman pondok tersebut di-

taburi oleh daun-daun kering, serupa daun beringin.

"Masuklah...!" Bulan Berkabut mempersilakan 

kedua pemuda tampan itu masuk ke dalam pondok se-

telah ia membukakan pintunya.

Pendekar Kembar sama-sama berkerut dahi, 

merasa heran atas kelancangan Bulan Berkabut yang 

berani membuka pintu sendiri dan mempersilakan me-

reka untuk masuk. Keduanya tertegun di depan pintu, 

menatap nanap ke wajah Bulan Berkabut.


"Masuklah dulu! Aku akan mencari Eyang 

Guru di sekitar sini. Kurasa beliau sedang sibuk den-

gan empang ikannya di bawah sana."

"Eyang Guru...?!" Soka Pura bergumam heran 

mendengar Bulan Berkabut menyebut 'eyang guru'.

"Jadi... jadi kau muridnya Resi Bayakumba?!" 

tanya Raka Pura.

Gadis itu sunggingkan senyum kecil. Duhai... 

cantiknya bukan main jika tersenyum. Jantung Soka 

terasa ingin pecah melihat senyuman itu, karena de-

bar-debar yang hadir semakin kuat dan menggelitik ta-

jam.

"Sialan! Ternyata dia murid sang Resi sendiri! 

Mengapa dia tidak bilang dari tadi saja, ya?!" ujar Raka 

Pura kepada adiknya. Sang adik masih diam terben-

gong dengan mulut sedikit ternganga. Matanya me-

mandang ke arah kepergian Bulan Berkabut. Mereka 

memilih menunggu di luar pondok sambil menikmati 

hembusan angin pembawa udara sejuk itu.

"Soka, apa yang terbayang dalam benakmu se-

telah tahu bahwa Bulan Berkabut adalah murid sang 

Resi?"

"Dia benar-benar cantik sekali."

Wuuut, dees...!

Raka Pura mendorong kepala adiknya yang bi-

cara seperti orang terkesima itu. Sang adik menggera-

gap sebentar sambil mengusap-usap kepalanya.

"Kenapa kau marah?.!"

"Pikiranmu soal kecantikan melulu! Tak bisa-

kah kau berpikir selain kecantikan?!" sentak Raka Pu-

ra.

Pendekar Kembar bungsu pun menerawang la-

gi, lalu berujar seperti orang mengigau, "Tubuhnya be-

nar-benar elok dan menggairahkan!"

Wuut, dees...!


Kepala Soka didorong lagi oleh kakaknya den-

gan sentakan agak keras. Soka sempat tersentak satu 

langkah ke depan. Ia kembali bersungut-sungut sambil 

usap-usap kepalanya.

"Kenapa kau ini?! Katamu aku tak boleh berpi-

kir tentang kecantikan saja?!"

"Iya! Tapi memikirkan kemolekan tubuhnya 

sama saja memuakkan hatiku!"

"Yah, kalau kau muak tak perlu ikut berpikir-

lah! Biar aku saja yang memikirkan kecantikan dan 

kemolekan tubuhnya!" ujar Soka dengan nada mengge-

rutu, kemudian ia berpindah tempat, duduk di atas 

sebatang kayu yang agaknya sering dipakai sebagai 

tempat kongkow-kongkow oleh sang Resi dan murid 

tunggalnya itu. Akhirnya Raka Pura pun ikut duduk di 

tempat itu dengan kedongkolan sudah berkurang.

Mereka saling membisu sampai beberapa saat 

lamanya. Setelah mereka merasa jenuh dengan kebi-

suan, Soka Pura mengawali perdengarkan suaranya 

yang pelan, setengah berbisik.

"Raka... ada sesuatu yang ingin kukatakan pa-

damu, tapi aku takut kau marah padaku."

"Kalau begitu lebih baik aku marah dulu, sete-

lah itu baru kau katakan hal itu!"

"Ah, Raka... aku bersungguh-sungguh!" sang 

adik merengut bernada manja.

Soka Pura memang sering bermanja kepada 

kakaknya, terutama jika tidak ada orang ketiga. Tapi di 

balik kemanjaan itu, sebenarnya Soka Pura hanya in-

gin melampiaskan rasa sayangnya kepada sang kakak,

yang dianggap sebagai tempatnya mengadu se-

gala keluh kesah hatinya. Sebaliknya, Raka Pura me-

mang sering marah kepada Soka. Bahkan tampaknya 

mudah tersinggung oleh sikap dan kata-kata Soka. Ta-

pi hal itu hanyalah sebagai ungkapan rasa kasih


sayang Raka kepada sang adik, di mana ia merasa 

menjadi pelindung dan pengayom, seperti pesan ayah 

angkat mereka; si Pawang Badai.

Kedua anak kembar itu memang sering ber-

tengkar, kadang menggunakan kekuatan fisik. Saling 

pukul dan saling menyerang. Tapi mereka cepat ber-

damai kembali. Dan jika kekuatan mereka sudah ber-

satu, maka lawan setangguh apa pun mampu ditum-

bangkan oleh mereka dalam waktu singkat.

"Aku bersungguh-sungguh, Raka. Aku ingin ka-

takan sesuatu padamu!" Soka Pura meyakinkan ka-

kaknya sekali lagi. Akhirnya Raka tersenyum geli sen-

diri. Ia menepuk punggung adiknya.

"Katakan apa yang ingin kau katakan."

"Tapi berjanjilah kalau kau tak akan marah pa-

daku!"

Raka hembuskan napas satu kail. "Yaah...! 

Baiklah, aku berjanji!"

"Sumpah, tak akan marah?!"

"Sumpah!" sambil Raka mengangguk.

"Berani disambar seribu tombak jika kau ma-

rah?!"

Raka mendengus jengkel. "Kalau kau bertele-

tele aku akan marah lebih dulu!" ancam Raka. Soka 

hanya nyengir.

"Raka...," Pendekar Kembar bungsu bergeser 

lebih dekat lagi pada kakaknya. Sang kakak menatap, 

tapi sang adik justru tak berani menatap. Ia meman-

dang ke arah perginya Bulan Berkabut, kemudian sua-

ranya terdengar bagai berbisik.

"Aku suka sekali padanya, Raka."

"Maksudmu kepada Resi Bayakumba?!"

"Kepada muridnya, Tolol!" sentak Soka dengan 

kesal, tubuh kakaknya didorong dalam satu sentakan. 

Raka hampir jatuh, namun justru tertawa geli.



"Raka, aku tidak main-main. Aku suka sama 

Bulan Berkabut! Aku tertarik sekali padanya."

"Kambing diberi bedak pun akan membuatmu 

tertarik, Soka!"

"Ayolah, jangan begitu, Raka! Aku sendiri tak 

tahu mengapa hatiku tertarik sekali begitu memperha-

tikan dia dalam keadaan masih tertotok tadi!"

"Kau boleh saja tertarik padanya, tapi dia be-

lum tentu tertarik padamu!"

"Perlu ada pendekatan lebih akrab lagi, Raka."

"Hmm!" Raka mencibir menyepelekan ucapan 

adiknya. "Lalu, apa maksudmu bilang begitu padaku?!"

"Bagaimana jika urusan si Darah Kula kau tan-

gani sendiri, aku akan lakukan pendekatan lebih dekat 

lagi kepada si Bulan Berkabut?!"

"Dan kalau aku mati di tangan Darah Kula, lalu 

aku akan mendekati siapa?!"

"Di alam kubur kan banyak peri atau kuntila-

nak," jawab Soka Pura sambil tertawa geli, sedangkan 

sang kakak hanya bersungut-sungut dengan gerutu 

tak jelas.

"Raka, aku sungguh-sungguh tertarik olehnya. 

Aku tak tahu harus berbuat apa dalam keadaan seper-

ti ini, Raka! Ku rasakan dalam hatiku... Bulan Berka-

but punya sesuatu yang aneh, yang menawan sekali, 

dan yang tidak dimiliki oleh gadis lain!"

"Nafsumu lebih besar daripada cinta mu, Soka! 

Kekanglah sedikit!"

"Ini bukan semata-mata nafsu, tapi...."

"Selesaikan dulu urusan kita dengan Darah Ku-

la!" potong Raka dengan tegas, membuat Soka Pura 

mulai murung.

"Kalau sudah kita selesaikan urusan ini, kau 

bisa bebas menemui Bulan Berkabut kapan saja kau 

mau! Kita sudah telanjur masuk dalam persoalan ini,


Soka! Kalau kita mundur, lalu siapa yang akan maju?!"

Soka ingin katakan sesuatu lagi, tapi niatnya 

itu terpaksa ditunda, karena mereka segera melihat 

kehadiran seorang kakek berambut putih tak rata, 

pendek tanpa ikat kepala. Kakek itu mengenakan baju 

tanpa lengan warna putih, dan celananya warna coklat 

muda. Tubuhnya tak seberapa tinggi, namun juga ti-

dak terlalu pendek. Sedikit gemuk, tapi bukan berarti 

gendut. Kakek itu mempunyai brewok abu-abu dengan 

alis mata tebal berwarna abu-abu pula. Diperkirakan 

ia sudah berusia sekitar tujuh puluh tahun. Tapi lang-

kahnya masih tegap dan gagah, seperti berusia empat 

puluh tahunan.

Kakek itu segera temui Pendekar Kembar, se-

mentara sepasang anak muda kembar itu menyimpan 

tanda tanya dalam hatinya, "Benarkah ini yang berna-

ma Resi Bayakumba?! Lalu, mengapa pulang sendi-

rian? Ke mana si Bulan Berkabut tadi!"

Si kakek segera menegurnya dengan suara agak 

berat. Berkesan wibawa.

"Kalian ingin bertemu denganku?!"

"Kami ingin bertemu dengan Eyang Resi Baya-

kumba!"

"Akulah orang yang kalian cari. Masuklah!" 

sang Resi mengangkat tangan, mempersilakan Pende-

kar Kembar untuk masuk ke pondoknya lebih dulu. 

Mau tak mau Pendekar Kembar segera melangkah ma-

suk ke pondok tersebut.

Begitu mereka melangkah masuk, mereka ter-

kejut sekali, karena si brewok abu-abu itu sudah ada 

di dalam, duduk bersila di atas balai-balai bambu, 

seakan sedang menunggu kedatangan tamunya. Di be-

lakangnya tergantung jubah coklat yang saat itu se-

dang tidak dikenakan.

"Silakan duduk, Pendekar Kembar!"


"Gila! Tahu-tahu dia sudah ada di dalam! Pa-

dahal tadi di belakang kita!" bisik Soka Pura. Raka 

memberi isyarat dengan colekan tangannya agar Soka 

tidak berkasak-kusuk. Karena Raka khawatir apa yang 

diucapkan dalam batinnya dapat didengar oleh sang

Resi.

"Maaf, Eyang Resi...," ujar Soka dengan sopan 

sekali sebelum ia naik ke balai-balai dan duduk bersila 

seperti kakaknya.

"Jika boleh aku bertanya, di mana Bulan Ber-

kabut? Sebab tadi dia bilang mau susul Eyang Resi di 

empang pinggir sungai itu!"

"Bulan Berkabut kuutus ke Bukit Maut!" jawab 

sang Resi yang membuat kedua pemuda kembar itu 

terperanjat kaget.

"Bukit Maut...?! Bukankah tempat itu adalah 

kekuasaannya si Darah Kula, Eyang?!" ujar Soka den-

gan wajah cemas.

"Benar! Darah Kula berkuasa di bukit itu. Sen-

gaja kuutus muridku untuk berada di Bukit Maut, 

mendahului kalian!"

"Dengan maksud apa Eyang mengutusnya ke 

sana?" Raka Pura pun akhirnya ajukan tanya karena 

rasa herannya mengganjal di hati.

"Jika muridku ada di Bukit Maut, maka kalian 

berdua akan lebih bersemangat untuk tiba di sana, te-

rutama si bungsu ini!" sambil sang Resi menunjuk So-

ka, tapi bicaranya kepada Raka Pura. Kedua pemuda 

itu saling beradu pandang. Sang Resi perdengarkan 

suaranya lagi.

"Jika Bulan Berkabut berada di sini, maka se-

mangat mu untuk pergi ke Bukit Maut menjadi ken-

dor, Nak!".

Soka Pura tersipu-sipu, ia sedikit menunduk-

kan kepala walau sudah duduk bersila di samping ka


kaknya. Rupanya Resi Bayakumba sudah mengetahui 

isi hati Raka yang tertarik kepada Bulan Berkabut. 

Kakek tua itu bagaikan telah mendengar percakapan 

kedua pemuda kembar tadi, sehingga ia segera men-

gambil tindakan untuk memancing semangat Soka Pu-

ra.

Agaknya aku harus bersikap baik-baik saja di 

depan Resi Bayakumba. Orang ini punya ilmu yang 

tergolong tinggi, sehingga bisa mengetahui apa yang 

kurencanakan dalam benak dan hatiku," ujar Soka da-

lam hatinya yang diliputi keresahan. Sebab saat itu ia 

mulai khawatir akan keselamatan Bulan Berkabut jika 

pergi ke Bukit Maut seorang diri.

Dalam benak Soka berkesimpulan, "Jika mela-

wan dua orangnya Jagat Lancang saja Bulan Berkabut 

bisa dilumpuhkan begitu, apalagi jika harus berhada-

pan dengan orang-orangnya Darah Kula?"

*

* *

6


RESI Bayakumba punya rasa bangga dalam ha-

tinya melihat dua pemuda gagah duduk bersila di de-

pannya. Sejak dulu sebenarnya Resi Bayakumba ingin 

mempunyai murid segagah Raka dan Soka. Tetapi ia 

selalu gagal mendapatkan calon murid yang berpera-

wakan seperti Pendekar Kembar itu. Akhirnya dipu-

tuskan untuk mengangkat gadis kecil sebagai murid 

tunggalnya. Gadis kecil itu tumbuh dengan dewasa se-

lama dua-tiga belas tahun bersamanya, dan kini men-

jadi gadis cantik yang lincah dan berani. Dialah.... Bu-

lan Berkabu


"Aku sudah bosan melawan Darah Kula," ujar 

sang Resi dalam pembicaraan mereka. "Dua kali aku 

berhasil membunuh Darah Kula, tapi lima tahun ke-

mudian ia selalu bangkit lagi, mencari mangsa lagi, 

dan bikin kekacauan di sana-sini!"

"Jadi setiap lima tahun dia bangkit lagi, 

Eyang?" Soka bernada heran.

Resi Bayakumba anggukkan kepala.

"Dia mempunyai ilmu 'Pancawarsa' yang tidak 

dimiliki orang lain."

"Ilmu apa itu, Eyang?" tanya Raka Pura.

"Ilmu 'Pancawarsa' adalah ilmunya raja iblis, di 

mana si pemilik ilmu itu akan mati selama lima tahun

kalau dibunuh orang. Kalau tidak dibunuh, tentunya 

tidak mati-mati."

"Masuk akal sekali itu, Eyang," ujar Soka sam-

bil melirik kakaknya dan menutupi senyum dengan 

tangannya.

"Jadi, siapa pun yang memiliki ilmu 

'Pancawarsa' dia mempunyai jatah mati selama lima 

tahun. Setelah lima tahun hidup kembali."

"Dengan lain perkataan, Darah Kula tidak bisa 

mati secara awet, ya Eyang?!"

"Benar, Soka!" tegas Resi Bayakumba yang jika 

bicara alunan katanya pelan-pelan, sehingga tiap kata 

yang diucapkan bisa didengar dengan jelas dan mudah 

diingat oleh siapa pun yang mendengarnya.

"Darah Kula itu sebenarnya anak iblis!" lanjut 

sang Resi. "Mendiang ibunya kawin dengan raja dari 

kerajaan iblis di alam gaib sana. Lahirlah si Darah Ku-

la. Jadi sebenarnya Darah Kula adalah seorang pange-

ran, sebab ia anak raja. Tapi raja iblis!"

Soka Pura mengulum senyum geli. Resi Baya-

kumba jika bicara memang begitu; tegas, mantap, 

mengayun, berkesan lucu. Tapi sebenarnya ia serius.


"Kesaktian yang dimiliki Darah Kula tentunya 

titisan dari ayahnya; si raja iblis itu," sambung Resi 

Bayakumba. "Karena itu kekuatannya pada darah. Da-

rah perawan akan membuat kesaktian dan kekuatan-

nya tetap langgeng."

"Apakah tak ada kelemahannya, Eyang?" tanya 

Raka Pura.

"Kelemahannya baru kuketahui beberapa wak-

tu yang lalu. Lima tahun yang silam, aku berhasil

membunuh Darah Kula. Tapi sebulan yang lalu, dia 

bangkit lagi dan mencari korban darah perawan. Dua 

bulan yang lalu, ketika aku bersemadi, aku berhasil

menemui mendiang guruku. Lalu kutanyakan tentang 

kelemahan si Darah Kula itu. Ternyata kelemahannya 

ada pada sebatang bambu."

Pendekar Kembar sama-sama kerutkan dahi. 

Mereka merasa aneh dan ragu-ragu menangkap arti 

kata 'sebatang bambu' itu.

"Maksudnya bagaimana, Eyang Resi?" Raka Pu-

ra ajukan tanya, karena tak mau menahan rasa ingin 

tahunya terlalu lama.

"Darah Kula bisa mati selama-lamanya, tak 

akan bangkit lagi dan tak akan lahir lagi ke bumi, apa-

bila ia dibunuh dengan 'Bambu Gading Mandul'...."

Soka sempat tertawa pelan dan buru-buru me-

nutup mulutnya dengan tangan sambil melengos ke 

samping. Raka Pura sempat melirik dengan cemberut, 

karena ia tak suka adiknya bercanda dalam keadaan 

seperti seserius itu.

"Mengapa tertawa, Soka?" tegur Resi Bayakum-

ba.

"Hmm... anu, Eyang... nama bambu itu lucu 

sekali menurutku. Namanya sangat aneh: 'Bambu 

Gading Mandul'. Apa tidak ada nama lain, Eyang?!"

"Dari sananya memang namanya sudah begitu!"


ujar Resi Bayakumba.

"Jangan bercanda, Soka!" hardik Raka, lalu bi-

cara kepada Resi Bayakumba, "Maaf, Eyang.... Soka 

memang mudah tertawa dengan hal-hal aneh."

"Tak apa. Waktu kudengar nama itu pun aku 

juga tertawa," sambil sang Resi tersenyum. Maka Raka 

Pura pun berani sunggingkan senyum geli dengan ta-

wa mirip orang menggumam.

"Bambu itu berwarna kuning, makanya dina-

makan bambu gading."

"Mengapa pakai mandul segala, Eyang?" tanya 

Soka.

"Karena bambu itu tumbuh secara tunggal! Ar-

tinya, di sekitarnya tidak akan ada bambu serupa itu. 

Tunasnya tidak bisa beranak, karena itulah dikatakan 

'Bambu Gading Mandul'. Dan pohon bambu seperti itu 

hanya ada satu di seluruh dunia. Ia tumbuh lurus ba-

gaikan baja kuning, tidak mempunyai cabang kecuali 

tunas-tunas kecil yang menempel pada batangnya. 

Tunas-tunas itu akan mengering, lalu terkelupas dan 

tumbuh tunas baru. Jadi bambu itu tidak pernah mati 

walaupun dalam cuaca segersang apa pun."

"Jadi si Darah Kula akan mati selama-lamanya 

jika digebuk pakai bambu itu, Eyang?"

"Bukan digebuk!" ujar Resi Bayakumba. "Ambil 

beberapa jengkal batang bambu itu, dibuat runcing, 

dan ditusukkan ke tubuh Darah Kula! Entah terkena 

kakinya, tangannya, dadanya atau apa saja, asal da-

rahnya terkena bambu itu, maka ia akan mati selama-

lamanya."

Pendekar Kembar manggut-manggut sambil 

menyimpan keheranan dalam hati mereka. Soka Pura 

segera ajukan tanya setelah saling membisu selama ti-

ga helaan napas.

"Lalu, di mana pohon 'Bambu Gading Mandul'


itu bisa kami temukan, Eyang?!"

"Di lereng Gunung Mercapada!" jawab sang Resi 

tegas. "Hanya di lereng gunung itulah bambu tersebut 

tumbuh. Di tempat lain tak ada."

"Kalau begitu, Raka...," ujar Soka kepada ka-

kaknya. "Kita harus ke Gunung Mercapada dulu untuk 

mencari bambu tersebut."

"Ya," Raka manggut-manggut. "Eyang... apakah 

Darah Kula tak bisa dibunuh dengan pedang kami 

ini?!" sambil Raka tunjukkan pedang kristalnya yang 

digeletakkan di samping kanan.

Resi Bayakumba tersenyum. "Aku tahu keam-

puhan pedang itu. Aku ingat waktu itu aku masih re-

maja dan melihat dua pemuda kembar yang kesohor 

namanya itu membawa Pedang Tangan Malaikat itu."

"Tahu juga dia, ya?" bisik Soka, tapi Raka 

hanya mendesis menyuruh Soka diam saja.

"Pedang kalian itu memang bisa untuk membe-

lah baja, tapi tidak bisa untuk membunuh Darah Kula. 

Memang sebenarnya bisa saja Darah Kula mati oleh 

pedang itu, tapi lima tahun kemudian dia akan bangkit 

lagi," ujar sang Resi.

"Kalau begitu, Eyang...," sela Raka. "Ilmu 

'Panca warsa' itu akan lenyap jika si pemiliknya dilukai 

dengan 'Bambu Gading Mandul' itu?!"

"Benar, Raka! Tanpa menggunakan bambu itu, 

Darah Kula akan menganggap kematiannya adalah li-

bur panjang saja. Libur selama lima tahun!"

"Tetapi bambu itu sendiri bisa kita potong pakai 

senjata apa pun, Eyang?" tanya Soka.

"Bisa! Bambu itu seperti bambu biasa, walau 

sebenarnya kekuatannya seperti besi. Tapi jika pedang 

atau golok kita memang tajam, bisa saja untuk merun-

cingi bambu itu."

"Jika begitu, Eyang... sebaiknya kami harus se


gera pergi ke Gunung Mercapada sekarang juga, 

Eyang," ujar Raka Pura penuh semangat. "Tapi kami 

tidak tahu di mana arah Gunung Mercapada itu. Mo-

hon diberi petunjuk sekalian, Eyang."

"Pergilah ke arah selatan. Kalian akan mene-

mukan tiga gunung bersebelahan. Yang tengah lebih 

tinggi dari kedua gunung kanan kirinya. Itulah Gu-

nung Mercapada."

Sebenarnya Raka Pura menghendaki segera be-

rangkat siang itu juga ke Gunung Mercapada. Tetapi 

Resi Bayakumba menahan mereka karena rasa simpa-

tinya terhadap kedua pemuda kembar itu. Mau tak 

mau Pendekar Kembar bermalam di pondok sang Resi, 

sambil sang Resi membagi pengetahuan dan pengala-

man yang dimilikinya selama berkelana di rimba persi-

latan.

Esoknya, pagi-pagi sekali, Pendekar Kembar 

bergegas berangkat menuju arah selatan, mencari 

'Bambu Gading Mandul'. Soka Pura tampak semangat 

sekali dan kelihatannya tak sabar ingin lekas menda-

patkan bambu aneh itu, karena dalam hatinya ia men-

cemaskan nasib Bulan Berkabut yang sudah menung-

gu di sekitar wilayah Bukit Maut. Ternyata pancingan 

Resi Bayakumba berhasil kenai sasaran, yaitu mem-

buat Soka Pura bersemangat melumpuhkan si anak ib-

lis; Darah Kula.

Namun sebelum Pendekar Kembar terlalu jauh 

meninggalkan Lembah Semangit, tiba-tiba sebatang 

pohon besar tumbang menghalangi langkah mereka.

Krraak...! Brruuuuuk!

Soka Pura mencekal lengan kakaknya yang 

nyaris nyelonong maju, sehingga sang kakak pun ter-

henti seketika. Andai saja Raka tidak ditahan oleh 

adiknya, ia akan tertimpa pohon besar tersebut.

Keduanya buru-buru melompat mundur den


gan mata memandang sekeliling penuh waspada. Me-

nurut mereka, pohon itu tidak tumbang dengan sendi-

rinya, tetapi ada yang menumbangkannya dengan se-

buah ilmu dari jarak jauh. Pohon itu tidak jebol se

akar-akarnya, melainkan patah bagian batangnya, se-

kitar satu hasta dari tanah.

"Ada pihak yang ingin mencelakai kita, Raka!" 

bisik Pendekar Kembar bungsu.

"Aku curiga pada pohon sebelah kanan kita itu! 

Daunnya rimbun, sulit ditembus pandangan mata dari 

sini. Jangan-jangan orang itu ada di sana!"

"Pohon yang mana? Ada beberapa pohon yang 

berdaun rindang."

"Salah satu dari pohon-pohon itu! Entah yang 

mana."

"Kalau begitu hantam saja dengan jurus ga-

bungan!"

"Baik! Aku gunakan jurus 'Cakar Matahari'!"

Raka Pura segera sentakkan tangannya ke de-

pan membentuk cakar tengkurap. Dari tangan itu ke-

luarlah sinar putih berbentuk seperti pisau runcing. 

Claap...!

Soka Pura menggunakan jurus 'Cakar Bumi' 

dengan menyentakkan tangan ke depan dalam kea-

daan telapak tangan terbuka. Wuut...l Telapak tangan 

itu keluarkan sinar merah seperti piring bergerigi den-

gan percikan bunga api di tepiannya. Claaap...!

Kedua sinar itu melesat cepat ke arah pohon 

berdaun rimbun itu. Ketika hendak menerobos dedau-

nannya, kedua sinar itu saling berbenturan.

Blaaam, blegaaarrr...!

Seberkas cahaya merah berkerlip dengan san-

gat lebar. Cahaya merah itu bukan hanya menghantam 

pohon itu saja, namun tiga-empat pohon di sekitarnya 

juga terkena bias cahaya tersebut. Dalam sekejap be

berapa pohon di sekitar situ menjadi hitam kering dan 

berasap. Lebih dari delapan pohon yang mengalami 

nasib seperti itu akibat terkena hawa panas dari Jurus 

gabungan tadi. Beberapa pohon ada yang langsung 

tumbang dalam keadaan sudah menjadi arang bera-

sap.

Ledakan yang terjadi tadi sangat dahsyat. Geta-

rannya merambat ke mana-mana. Daun-daun pohon 

yang tidak terkena kerliapan cahaya merah tadi men-

jadi rontok, berguguran. Tanah pun terasa oleng se-

saat. Batu-batu bersusun saling berjatuhan, bahkan

batu besar yang tinggi sempat menjadi retak karena 

gelombang ledakan yang menyebar luas itu.

Tetapi sebelum kedua sinar tadi bertabrakan, 

Pendekar Kembar sempat melihat sekelebat bayangan 

yang melesat dari atas pohon yang dituju. Bayangan 

itu berkelebat sangat cepat dan menerabas daun-daun 

pohon lainnya. Zrra, zrrak, zraak...! Pendekar Kembar 

hanya bisa ikuti dengan pandangan mata sesaat. Sete-

lah ledakan terjadi, mereka berkelebat mengejar 

bayangan yang keluar dari pohon tersebut. Mereka 

mengejar dengan menggunakan jurus 'Jalur Badai', 

sehingga dalam beberapa saat saja mereka berhasil 

menghadang gerakan bayangan tersebut. Soka Pura 

justru menerjang langsung kelebatan orang yang mela-

rikan diri itu, sehingga orang tersebut terpental dan ja-

tuh terbanting setelah membentur pohon. Brruus...! 

Bruuuk...!

Soka Pura sendiri juga terpental ke belakang 

dan jatuh terhempas dengan berguling-guling. Ma-

kiannya keluar secara beruntun walaupun tak ada 

yang memperhatikan makian itu.

Kejap berikut, Raka Pura segera berhadapan 

dengan orang yang dikejarnya. Sementara itu, Soka 

menggeliat bangkit dengan menyeringai karena pung


gungnya terganjal batu ketika jatuh terhempas tadi.

Namun setelah Soka melihat siapa orang yang 

keterjangnya tadi, matanya menjadi terbelalak dan 

mulutnya terperangah. Rasa sakitnya nyaris hilang be-

gitu pandangan matanya menatap seraut wajah cantik 

berhidung mancung dan berbibir menggairahkan. Wa-

jah cantik itu milik seorang perempuan bertubuh sek-

al, dengan dadanya yang montok tertutup kutang be-

ludru warna hijau muda. Kain penutup bawahnya 

berwarna merah jambu, jubah lengan panjangnya juga 

berwarna merah jambu. Tampaknya pakaian itu ter-

buat dari kain cukup mahal.

Perempuan cantik berambut panjang disanggul 

rapi, dengan hiasan semacam mahkota kecil dari emas 

berbatu mirah delima itu, mengenakan kalung dan ge-

lang dari emas dan batuan permata. Dilihat dari pe-

nampilannya, perempuan berusia sekitar dua puluh 

delapan tahun itu tampaknya bukan perempuan biasa. 

Aroma wewangiannya yang menyebar dan terhirup 

oleh hidung kedua pemuda tampan itu menampakkan 

sebagai wewangian berkelas ningrat, bukan wewangian 

perempuan desa.

Soka Pura juga memperhatikan sabuk perem-

puan itu yang terbuat dari logam emas berhias batuan 

permata. Pada sabuk itu terdapat sebilah pedang pen-

dek yang bersarung dan bergagang logam lapis emas 

berukir, dengan hiasan batu-batu mirah delima sebe-

sar biji jagung.

Pendekar Kembar merasa belum mengenal pe-

rempuan itu, sehingga Raka Pura segera perdengarkan 

suaranya dengan nada tegas dan berwibawa.

"Kita belum saling mengenal, tapi mengapa kau 

sudah berani mencoba ingin mencelakai kami? Apa sa-

lah kami terhadapmu?!"

"Jika kau tanyakan kesalahanmu, kembalikan


ingatanmu pada sebuah pusaka yang bernama Pedang 

Bulan Madu!" jawab perempuan bermata sedikit sayu 

itu.

Raka Pura dan Soka Pura saling beradu pan-

dang dengan dahi berkerut. Dalam benak mereka sege-

ra terlintas tentang pusaka yang sempat diperebutkan 

antara pihak keluarga Nalapraya dengan Ratu Rias 

Rindu. Pada akhirnya, pusaka tersebut berhasil dicuri 

oleh Sampurgina, namun Pendekar Kembar segera 

berhasil merampas pedang tersebut, (Baca serial Pen-

dekar Kembar dalam episode: "Pedang Bulan Madu").

Soka Pura segera maju satu langkah dan bicara 

kepada perempuan cantik yang sejak tadi lebih banyak 

memperhatikan dirinya ketimbang memperhatikan Ra-

ka.

"Apakah kau yang bernama Ratu Rias Rindu?!"

Senyum tipis berkesan angkuh mekar di bibir 

yang bikin hati lelaki gemas itu.

"Kau cukup cerdas rupanya! Memang akulah 

yang bernama Ratu Rias Rindu! Kurasa kalian sudah 

sering mendengar namaku disebut-sebut oleh bebera-

pa orang."

Raka Pura menggumam dan manggut-manggut 

kecil. Sikapnya masih tetap tegar.

"Lalu, apa maksudmu menumbangkan pohon 

di depan kami?!"

"Pukulanku terlalu cepat, sehingga sebelum ka-

lian melintas melangkah di bawahnya, pohon itu su-

dah tumbang lebih dulu! Mestinya kalian berdua mati 

tergencet pohon besar Itu! Karena, kematian kalian 

adalah pembalasan yang setimpal!"

Ratu Rias Rindu berkata dengan mengecilkan 

matanya, sebagai tanda kebencian dan dendam yang 

menyatu dalam hatinya. Namun ia sendiri juga bersi-

kap tenang dan penuh waspada. Karena pada saat itu,


Pendekar Kembar mulai merenggangkan jarak; Raka 

ke kiri dan Soka ke kanan. Sang Ratu merasa akan 

diserang dari dua arah, sehingga bola matanya selalu 

melirik ke kanan dan ke kiri bergantian.

"Rupanya kau ingin membalas dendam atas 

kematian Kembang Setaman; orang andalanmu itu?!" 

ujar Raka Pura.

"Pembalasanku bukan saja untuk kematian 

Kembang Setaman dan Udaya...."

""O, jadi Udaya akhirnya tewas juga?" pikir Ra-

ka Pura dalam hati, yang kala itu memang menyerang 

Udaya hingga orang tersebut terluka parah.

Sang Ratu menyambung ucapannya yang ber-

nada geram itu.

"Setelah Bandra menyebutkan ciri-ciri orang 

yang menyerang Udaya, aku menarik kesimpulan 

bahwa orang itu adalah Pendekar Kembar, entah yang 

mana!" "Kembang Setaman bukan mati di tanganku, 

Nyai Ratu!"

"Terserah pembelaanmu!" ujar Ratu Rias Rindu 

dengan nada datar. "Yang jelas, kehancuran istana Ba-

ra membuatku harus lakukan pembalasan kepada ka-

lian!"

"Kami tidak menghancurkan istana Bara!" 

sanggah Soka tiba-tiba.

"Kami justru baru tahu sekarang kalau istana 

Bara hancur!" timpal Raka Pura.

"Tak perlu berlagak bodoh, Pendekar Kembar!" 

sentak Ratu Rias Rindu. "Kalian menyerang istanaku 

malam-malam, setelah itu kabur entah ke mana! Para 

pengikutnya banyak yang tewas, istana Bara sendiri 

hancur, kalian ratakan dengan tanah. Untung aku 

masih bisa selamatkan diri dan bersembunyi untuk 

mengobati lukaku. Tapi sekarang aku sudah sehat dan 

harus lakukan pembalasan kepada kalian!"


Tiba-tiba kedua tangan Ratu Rias Rindu me-

nyentak ke kanan-kiri dengan telapak tangan berjari 

rapat lurus ke depan. Suuut...! Dari ujung jari-jarinya 

keluar dua larik sinar merah yang semakin jauh makin 

melebar. Satu sinar merah mengarah kepada Raka, sa-

tu lagi mengarah kepada Soka. Slaap, slaap...!

Pendekar Kembar sempat terkejut, karena tak 

disangka-sangka sang Ratu akan menyentakkan kedua

tangannya yang semula kelihatan tenang-tenang saja 

itu. Maka dengan cepat Pendekar Kembar sentakkan 

napas yang tertahan, suuut...! Jurus 'Badai Terbang' 

membuat keduanya meluncur ke atas bagaikan roket. 

Wuut, wuuut...! Kedua sinar merah yang melebar da-

lam bentuk pipih itu akhirnya menghantam pohon-

pohon di belakang Pendekar Kembar. Clas, clas, clas, 

clas...!

Lebih dari delapan pohon tumbang seketika itu 

juga karena diterjang sinar merah. Pohon-pohon itu 

bagaikan terpotong dengan senjata yang amat tajam, 

sehingga potongannya tampak rapi sekali.

Pendekar Kembar yang meluncur turun segera 

sama-sama lepaskan jurus 'Cakar Matahari'-nya. Dari 

tangan mereka masing-masing melesat sinar putih se-

perti pisau runcing. Clap, claap...! Sebelum kaki mere-

ka menampak ke bumi lagi, kedua sinar putih itu telah 

menghantam Ratu Rias Rindu.

Tetapi perempuan itu tak mau tinggal diam. Si-

nar-sinar putih itu dihantam dengan sinar merah bun-

dar seperti telur burung puyuh yang keluar dari mas-

ing-masing telapak tangannya. Clap, clap...!

Blegaaarr...! Blegaaarrr...!

Gelombang ledakan menyentak kuat ke berba-

gai penjuru, menyebarkan udara panas yang membuat 

kulit-kulit pohon terkelupas dan berkerut. Sentakan 

gelombang ledakan itu telah membuat tubuh Ratu Rias

Rindu terlempar ke belakang dan jatuh di tumpukan 

akar-akar pohon yang mirip tambang itu. Wuuut...!

Bruuuk...!

Rupanya kekuatan perempuan itu belum bisa 

kalahkan kekuatan sinar putihnya Pendekar Kembar. 

Gelombang ledakannya lebih banyak menghempas ke 

arah Ratu Rias Rindu. Tak heran jika Pendekar Kem-

bar hanya terdorong ke belakang beberapa langkah, 

tapi tak sampai jatuh. Sedangkan hawa yang mener-

jang mereka adalah hawa hangat, tak sepanas yang 

menerjang Ratu Rias Rindu.

"Keparat kalian!" geram Ratu Rias Rindu penuh 

murka. Ia berusaha bangkit dengan cepat dan mena-

han rasa panas di sekujur tubuhnya. Kulit tubuh yang 

kuning langsat itu sekarang berubah menjadi keme-

rah-merahan mirip udang rebus. Keadaan itu mem-

buatnya semakin murka kepada Pendekar Kembar, se-

hingga ia merasa perlu mencabut pedangnya. Sreet...!

"Hiaaaahih...!" sang Ratu berteriak keras-keras 

sambil lakukan lompatan ke depan. Ia bagaikan ter-

bang dengan cepat. Pedangnya diarahkan ke depan 

dan ditujukan kepada Raka Pura.

Sret, sret...! Pendekar Kembar pun segera men-

cabut Pedang Tangan Malaikat-nya yang terbuat dari 

beling kristal itu. Raka Pura sengaja diam di tempat 

hadapi kedatangan lawannya, tapi Soka Pura berkele-

bat menerjang dari samping lawan. Wuuuz...!

Begitu melihat kelebatan dari arah samping, 

Ratu Rias Rindu cepat-cepat sentakkan pedangnya ke 

pohon yang dilintasinya. Tuubs...! Pedang itu bagaikan 

pegas yang dapat memantulkan gerakan pemiliknya.

Gerakan terbang sang Ratu pun akhirnya ber-

pindah arah. Ia melambung dalam gerakan bersalto ke 

arah samping. Akibatnya terjangan Soka Pura mene-

mui tempat kosong. Bruuus...!


"Aaow...!" Soka Pura memekik kesakitan karena 

ia menabrak pohon yang ditusuk dengan pedangnya 

sang Ratu.

Melihat adiknya kecele oleh gerak tipuan sang 

Ratu, Raka Pura segera berkelebat menyusul sang Ra-

tu yang sedang melambung turun dari ketinggiannya. 

Wees...!

Weess...!

Raka Pura terkejut, karena pada saat itu ada 

bayangan lain yang berkelebat juga bersimpang arah 

dengannya. Bayangan itu bergerak lebih cepat, sehing-

ga lebih dulu menerjang Ratu Rias Rindu di udara. 

Tubuh sang Ratu bagai terbawa ke arah lain bersama 

bayangan yang menerjangnya itu, sedang Raka Pura 

menerjang tempat kosong. Namun ia tak sampai ke-

cele, menabrak pohon seperti Soka Pura tadi.

Terdengar suara aneh yang mengejutkan Pen-

dekar Kembar. Trak, trak, blaaammm, blegaaaar...!

"Aaah...!" terdengar suara pekikan perempuan 

yang pendek dan hanya sekilas itu. Kejap berikut, So-

ka Pura yang sudah berdiri kembali sambil mengusap-

usap kepalanya yang membentur pohon itu segera ter-

belalak melihat Ratu Rias Rindu terkapar di bawah 

pohon dalam keadaan setengah bersandar pada batang 

pohon tersebut. Mulutnya keluarkan darah kental wa-

lau tak banyak. Tapi kulit tubuhnya semakin tampak 

merah bagai tersiram air mendidih. Raka Pura yang 

sudah berdiri tegak di sebelah sana juga terperanjat 

melihat keadaan sang Ratu yang kulit tangannya ter-

kelupas mengerikan itu.

Raka Pura dan Soka Pura sama-sama terperan-

gah setelah mengetahui munculnya sosok lain yang 

berada tak jauh dari Ratu Rias Rindu. Sosok lain itu 

adalah bayangan yang tadi menerjang sang Ratu. Ter-

nyata dia adalah seorang kakek berjenggot panjang pu

tih dengan rambut, kumis, dan alisnya serba putih. 

Tokoh tua itu mengenakan jubah biru muda dan 

membawa tongkat hitam berhias kepala ular kobra. 

Pendekar Kembar tak asing lagi dengan wajah tua itu 

yang tak lain adalah Dewa Perintang.

"Teruskan perjalanan kalian. Biar kuurus pe-

rempuan sesat ini!" ujar Dewa Perintang kepada Pen-

dekar Kembar.

"Baik, Eyang...!" Jawab Raka Pura, lalu meng-

hormat dengan sedikit bungkukkan badan, demikian 

pula yang dilakukan oleh Soka. Pedang mereka yang 

berkilauan cahaya ungu seperti cahaya fosfor itu sege-

ra dimasukkan ke dalam sarung.

Pada saat itu, Ratu Rias Rindu berusaha bang-

kit dengan menahan rasa sakit. Agaknya ia masih te-

tap penasaran kepada Pendekar Kembar dan tak mau 

pedulikan si Dewa Perintang.

Pikirnya, "Sebelum aku mati di tangan Dewa 

Perintang, mereka berdua harus mati lebih dulu!"

Dewa Perintang berseru kepada sang Ratu, "Ji-

ka kau ingin menuntut balas atas kehancuran istana-

mu dan kematian orang andalanmu; si Kembang Se-

taman, tuntutlah aku! Karena akulah yang lakukan 

semua itu, Rias Rindu! Pendekar Kembar hanya me-

lumpuhkan Sampurgina, yang mencuri Pedang Bulan 

Madu dari makam sahabatku: Sabandanu!"

"Heeaaaat...!" Ratu Rias Rindu semakin liar dan 

ganas. Ia melompat kembali dengan pedang sentakkan 

ke depan. Ujung pedang itu keluarkan sinar biru lurus 

ke arah Raka Pura. Slaaap...!

Tapi Dewa Perintang segera patahkan sinar biru 

itu dengan menyodokkan tongkatnya dan dari ujung

tongkat yang berhias kepala ular kobra itu keluar sinar 

merah sekecil lidi. Claap...! Sinar merah itu mengha-

dang gerakan sinar biru dari pedangnya Ratu Rias


Rindu.

Deeebbs...! Sinar biru itu padam seketika tanpa 

timbulkan ledakan menggelegar. Sinar merah yang me-

lesat dari tongkat Dewa Perintang segera kembali ke 

arah semula, bagaikan terisap oleh tongkat Dewa Pe-

rintang, masuk ke ukiran mulut ular kobra tersebut. 

Syuuurrb...l

"Jahanam kau, Dewa Perintang! Hiaaah...!" te-

riak Ratu Rias Rindu yang mengandalkan jurus-jurus 

bersinarnya. Ia sentakkan tangan kirinya, dan ,dari te-

lapak tangan kiri melesat sinar biru juga yang berben-

tuk seperti telur burung puyuh. Sinar itu menyerang 

Dewa Perintang. Tapi si Dewa Perintang hanya diam di 

tempat, matanya memandang tajam pada sinar biru 

Itu. Tiba-tiba sinar biru tersebut berhenti di udara se-

tengah kelap, kemudian melesat berbalik arah meng-

hantam Ratu Rias Rindu. Claap...!

"Hahhh...?!" Ratu Rias Rindu terkejut melihat 

sinarnya berbalik menyerangnya. Ia segera lepaskan 

sinar kedua yang sama besar dan sama warnanya. Si-

nar kedua dari telapak tangannya itu belum sempat 

melesat, baru menggumpal di telapak tangan sudah 

dihantam sinar pertama. Blaaar...!

"Aaaaa...!" Ratu Rias Rindu memekik histeris 

dengan tubuh terlempar sejauh delapan langkah. 

Brruuk...! Tubuhnya membentur pohon dengan keras. 

Ia mengerang kesakitan di sana. Tangan kirinya men-

jadi hitam hangus dan tak bisa digerakkan lagi. Si De-

wa Perintang berjalan menghampirinya dengan lang-

kah tegas.

"Celaka! Aku harus kabur dari sini! Tak mung-

kin aku bisa hadapi si tua bangka itu!" pikir Ratu Rias 

Rindu. Maka ia pun bergegas bangkit dengan kerahkan 

tenaganya. Kemudian pergi dengan lompatan cepat 

menerjang semak ilalang. Blaaas...! Gusraaak...!


Dewa Perintang tak banyak bersuara. Lelaki tua 

itu tahu-tahu lenyap dari pandangan mata Pendekar 

Kembar. Gerakannya yang teramat cepat itu mem-

buatnya seperti menghilang. Tapi Pendekar Kembar 

sempat melihat kilatan bayangan kecil yang melesat 

mengejar Ratu Rias Rindu.

"Habis sudah!" gumam Soka Pura. "Riwayat hi-

dup perempuan itu habis sudah diterjang kesaktian 

Eyang

Dewa Perintang!"

"Ya, sayangnya kita tak bisa melihat kematian 

si Ratu Rias Rindu itu! Kita harus lanjutkan langkah 

kita, sesuai pesan Eyang Dewa Perintang tadi, Soka!"

Pendekar Kembar bungsu hanya sentakkan ke-

dua pundak pertanda setuju untuk lanjutkan langkah. 

Tapi sebelum mereka jauh dari tempat pertarungan, 

tiba-tiba mereka mendengar suara jeritan yang me-

manjang dan memilukan hati.

"Aaaaaaa...!!"

Pendekar Kembar terkejut serentak, lalu mere-

ka saling pandang dengan wajah sedikit tegang.

"Apakah itu kematian Ratu Rias Rindu?!" tanya 

Soka.

"Kurasa bukan! Suaranya tidak mirip suara pe-

rempuan tadi. Kurasa... itu suara seorang gadis! Bu-

kan perempuan seusia Ratu Rias Rindu!"

"Celaka! Jangan-jangan si Bulan Berkabut?!" 

ujar Soka Pura semakin tegang. Kemudian ia melesat 

pergi ke arah datangnya jeritan menyayat hati tadi. 

Raka Pura pun segera mengikutinya. Wuuuuzzz, 

wuuuzzz...!

*

* *


7


KEDUA pemuda tampan kembar rupa itu tiba 

di tepi kubangan besar. Kubangan besar itu semula 

adalah sebuah telaga yang sudah mengering. Bagian 

dasar telaga sudah ditumbuhi oleh rumput dan tana-

man liar lainnya. Kedalamannya tak seberapa, dapat 

dijangkau dengan satu kali lompatan saja.

Di dasar bekas danau yang luasnya hampir 

menyamai lapangan bola itu, Pendekar Kembar melihat 

jelas seorang gadis yang sedang dipaksa melayani em-

pat lelaki kurus berwajah angker. Gadis itu tak dikenal 

oleh Soka maupun Raka, namun hati mereka tergerak 

melihat pemerkosaan tersebut.

Si gadis hanya bisa menangis dan pasrah, ka-

rena seseorang tadi telah melukai lengannya ketika ia 

menolak melayani nafsu binatang keempat orang ku-

rus itu.

Mereka merobek-robek pakaian si gadis, hingga 

gadis itu menjadi seperti bayi baru lahir. Tubuhnya 

yang terkapar diciumi oleh seseorang yang berambut 

panjang sepundak. Ciuman itu merayap dengan ganas 

di sekujur tubuh si gadis, sementara yang lain menon-

ton dan menertawakan.

Gumpalan dada si gadis segera disambar oleh 

orang berbaju biru, sementara orang berambut sepun-

dak menciumi sekitar betis sampai paha si gadis. 

Agaknya gadis itu sudah kehabisan tenaga karena me-

ronta sejak tadi dan tak pernah berhasil melawan ke-

kuatan keempat lelaki kurus itu. Maka dengan mu-

dahnya dua orang tadi menggerayangi tubuh si gadis 

sampai akhirnya yang berambut sepundak tak kuat 

menahan diri, maka temannya yang mendusal-dusal di 

dada si gadis disingkirkan.


"Minggir, aku dulu yang ingin berlayar!"

"Hah, hah, hah, hah...! Kau sudah tak kuat lagi 

rupanya!" teman-temannya menertawakan, tapi mere-

ka mundur selangkah untuk beri kesempatan kepada 

si rambut sepundak itu untuk berlayar lebih dulu. Ba-

ju pun dilepaskan, dan lelaki berusia sekitar dua pu-

luh delapan tahun itu segera menerkam si gadis den-

gan luapan gairahnya yang menyerupai binatang. Si 

gadis sampai tersentak-sentak oleh guncangan ganas 

orang tersebut, suara rintihannya adalah rintihan ke-

hancuran, bukan rintihan kenikmatan.

"Aauh, aaauh, aaauh...!" si lelaki mengerang-

ngerang dengan kepala terdongak dan mata terpejam. 

Mereka benar-benar liar dan berjiwa iblis.

Pada saat itulah, Pendekar Kembar yang sem-

pat terpukau di tempat segera sadar. Sekalipun mere-

ka sangat terkejut hingga membuat Raka sempat sedi-

kit shock, namun akhirnya Soka Pura yang sadar lebih 

dulu dengan apa yang terjadi dl depan matanya, segera 

mengawali gerakannya sambil berteriak dan melesat 

menggunakan jurus 'Jalur Badai'.

"Hentikaaaaaann...!!" Wuuuzz...!

Dalam sekejap Soka Pura berhasil menerjang 

lelaki yang sedang asyik menikmati pelampiasan gai-

rahnya di atas si gadis. Bruuus...! Lelaki itu terlempar 

karena terjangan Soka Pura, terpisah dari si gadis. 

Sementara si gadis sendiri sempat tersentak dan 

menggelinding ke samping dengan jerit ketakutan lebih 

terdengar serak.

"Uuhk...!" lelaki yang tadi diterjang Soka Pura 

segera mengerang dan menggeliat untuk bangkit. Se-

mentara itu, tiga temannya menjadi murka dan mas-

ing-masing mencabut senjata mereka berupa golok be-

raneka bentuk.

"Bangsat! Siapa dia, berani mengacaukan ren


cana kita?" teriak salah seorang.

"Habisi dia!" seru yang satunya.

"Heeaaat...!"

Wus, wus, wus, wus, wus...!

Soka Pura diserang tiga orang yang memba-

batkan goloknya secara bertubi-tubi. Soka hindari te-

basan-tebasan yang bersimpang siur di sekitarnya 

dengan tubuh meliuk ke sana-sini.

Pada saat itu, lelaki yang terhalang kepuasan-

nya tadi segera bangkit dan mengambil goloknya yang 

di geletakkan di rerumputan samping kaki si gadis. Se-

telah mengencangkan tali celananya, lelaki yang belum 

sempat mengenakan bajunya itu segera menebaskan

senjatanya ke punggung Soka.

Melihat Pendekar Kembar bungsu ingin dilukai 

lawan licik itu, Pendekar Kembar sulung tak tinggal di-

am. Dari atas kubangan itu ia lepaskan Jurus 'Tangan 

Batu'nya yang mengandung kekuatan tenaga dalam 

sangat besar itu. Wuuut...!

Bruuus...!

"Aaahh...!" orang yang mau menebaskan golok 

ke punggung Soka itu terlempar sejauh lima langkah 

dari tempatnya. Kepalanya membentur sebongkah ba-

tu sebesar kambing.

Prrook...!

"Aaaakh...!" orang itu memekik tersendat, kepa-

lanya berlumur darah, tubuhnya terkulai di tempat 

dan menggeliat-geliat tanpa bisa bersuara lagi.

Wuuuz...! Raka Pura segera turun ke dasar ku-

bangan besar itu. Ia menyambar si gadis dan segera 

dibawa menjauh, naik ke atas kubangan.

Si gadis menangis terisak-isak. Raka Pura mele-

takkannya di bawah pohon. Tapi ia segera mundur 

dengan wajah terkejut tegang, karena ia baru sadar 

bahwa pakaian si gadis masih tertinggal di dasar ku


bangan sana. Sekalipun pakaian itu sudah rusak, tapi 

sebenarnya masih bisa untuk menutupi tubuh si ga-

dis.

"Gawat!" geram hati Raka Pura. Maka ia segera 

kembali ke dasar kubangan untuk mengambil sisa pa-

kaian si gadis. Jantungnya sempat berdetak-detak ce-

pat karena masih terbayang keadaan si gadis yang bu-

gil. Ia selalu merasa malu dan takut pada diri sendiri 

jika melihat 'perabot' lawan jenisnya.

Ketika Raka mengambil pakaian si gadis, ter-

nyata Soka Pura sudah berhasil tumbangkan dua 

orang yang mengeroyoknya. Satu orang masih belum 

tumbang, walau sudah terluka memar di bagian dagu 

dan telinganya berdarah.

Jleeg...! Orang berbaju biru yang masih bisa 

berdiri itu terkejut melihat kemunculan Raka Pura 

yang kembar dengan Soka itu. Ia segera teringat ten-

tang Pendekar Kembar yang sering dibicarakan oleh 

teman-temannya.

Maka serta-merta orang berbaju biru itu mele-

sat pergi tinggalkan teman-temannya. Ia tampak keta-

kutan sekali dan tak mau peduli lagi nasib ketiga te-

mannya yang sekarat itu.

"Soka, gadis itu kubawa ke atas! Ini pakaian-

nya! Urus dia, aku akan mengejar orang yang berbaju 

biru itu!"

"Tak perlu!" ujar Soka sambil terengah-engah. 

"Biarkan dia lari! Aku tahu dia orangnya Jagat Lan-

cang!" "Dari mana kau tahu?".

"Dia salah satu orang yang menangkap Bunga 

Dewi. Biarkan dia lapor pada ketuanya! Jika perlu, kita 

hadapi sekalian si Jagat Lancang itu!" ujar Soka masih 

tampak diliputi kemarahan. Namun akhirnya mereka 

berdua sama-sama naik untuk mengurus si gadis.

Hanya saja, ketika mereka tiba di tempat si gadis, tiba-tiba tempat itu dikepung oleh orang-orang

bertubuh kurus dan berwajah kusam. Dari tubuh ku-

rus mereka, Soka segera dapat menyimpulkan bahwa 

mereka adalah orang Perguruan Tengkorak Sungsang. 

Sebab menurut keterangan Bunga Dewi, orang Pergu-

ruan Tengkorak Sungsang bertubuh kurus semua, tak 

ada yang gemuk sedikit pun.

"Cepat kenakan pakaianmu!" ujar Soka kepada 

gadis itu. Pakaian tersebut segera dilemparkan ke tu-

buh si gadis yang gemetar dan sangat ketakutan.

Raka Pura pandangi orang-orang yang mengeli-

linginya. Mereka terdiri dari delapan orang. Salah satu 

ada yang berkepala gundul, bermata cekung, bertubuh 

jangkung, dan mengenakan rompi hitam tepian kun-

ing. Orang yang mirip tengkorak hidup itu menggeng-

gam tongkat berujung tiga mata pisau dalam bentuk 

seperti garpu.

"Pucuk di cinta ulam tiba!" ujar orang gundul 

berusia sekitar lima puluh tahun itu. "Kalian pasti 

yang bergelar Pendekar Kembar!"

"Benar! Lalu, mau apa kau?!" tanya Soka den-

gan nada ketus.

"Siapa kau sebenarnya?!" Raka menyela dengan 

pertanyaan pula.

Orang gundul itu masih tampak tenang. Se-

nyumnya lebih pantas dikatakan sebagai seringai iblis. 

Setidaknya senyum itu adalah senyum tengkorak yang 

kegelian.

"Perlu kalian ketahui, akulah ketua dan guru di 

Perguruan Tengkorak Sungsang! Aku yang dikenal 

dengan nama Jagat Lancang!"

"O, kau...?" sahut Soka dengan semakin sinis.

"Kalian kucari ke mana-mana, hampir saja aku 

ke pondoknya si Bayakumba untuk mencari kalian. 

Tapi ternyata kalian ada di sini. Dan kulihat murid


muridku kalian buat sekarat di bawah sana!"

"Karena murid-muridmu hendak memperkosa 

gadis itu!" sahut Soka Pura yang tampak bernafsu se-

kali untuk menghajar si Jagat Lancang.

"Gadis itu tidak laku dijual!" ujar Jagat Lan-

cang. "Kami salah tangkap. Ternyata dia sudah tidak 

perawan lagi. Maka kulepaskan dia, dan tak ada laran-

gan bagi murid-muridku yang ingin menikmati hiburan 

alakadarnya. Mengapa kau mengusik urusan kami, 

Pendekar Kembar?! Kami tidak pernah mengusik uru-

san kalian!"

"Tindakanmu sangat tak manusiawi, Jagat 

Lancang!" geram Raka Pura. "Kau perdagangkan gadis-

gadis ini, seperti kau jualan kacang rebus saja!"

"O, itu urusanku, Nak!" ujar si Jagat Lancang 

dengan senyum sinis. "Kalau kau mau jualan kacang 

rebus, silakan! Aku akan jualan barang lain. Seharus-

nya kalian tak perlu mengusik urusanku, Pendekar 

Kembar. Laporan dari beberapa anak buahku menga-

takan bahwa kau sepertinya merasa iri karena tak bisa 

menjual kesucian kepada Darah Kula!"

"Kami tak akan lakukan perbuatan sehina itu, 

Jagat Lancang!" sahut Raka Pura dengan tegas.

"Kalau begitu kalian tak perlu ikut campur 

urusanku."

Jagat Lancang berpaling ke belakang, bicara 

dengan muridnya.

"Urus mereka yang ada di bawah. Bawa pulang 

secepatnya! Aku akan beri pelajaran sebentar kepada 

anak-anak bodoh ini!"

Tiga orang bergegas pergi ke bawah kubangan. 

Jagat Lancang melangkah pelan ke samping dengan 

mata melirik Pendekar Kembar.

"Kalian harus kuberi pelajaran agar tahu adat 

se dikit terhadap urusan orang lain!"


Pendekar Kembar merenggangkan jarak. Tan-

gan mereka sudah saling meremas geram, sepertinya 

tak sabar ingin segera menghajar Jagat Lancang.

"Kalau ku ajukan muridku untuk melawan ka-

lian, itu terlalu buang-buang waktu," ujar si gundul 

Jagat Lancang. "Jadi bersiaplah menerima pelajaran 

langsung dariku, Anak-anak Bodoh!"

Soka Pura melirik kakaknya. Yang dilirik juga 

segera membalas lirikan. Soka Pura memberi isyarat 

dengan anggukkan kepala kecil. Tangan mereka mulai 

pegangi gagang pedang dan siap cabut.

Tapi tiba-tiba Jagat Lancang sentakkan tong-

katnya ke depan. Wuuut...! Clap, clap, clap...! Tiga si-

nar biru bagaikan kilat berkerilap menyambar Raka 

dan Soka. Gerakan ketiga sinar itu melesat ke sana-

sini membingungkan Pendekar Kembar.

Raka Pura segera melompat ke samping dan 

berguling di tanah, maka seberkas sinar biru berkelok-

kelok itu melesat di sampingnya, lenyap di udara bela-

kang Raka.

Sementara itu, Soka Pura segera berkelit meli-

ukkan badannya dengan kedua kaki merendah, karena 

dia diserang dua sinar biru berkelok-kelok. Salah sa-

tunya berhasil menyambar lengan kanannya. Cras...!

"Aaow...!" Soka memekik kesakitan. Lengannya 

segera koyak panjang dan menimbulkan luka bakar 

yang menghangus, mengepulkan asap tipis. Soka me-

nyeringai menahan lukanya.

"Itu pelajaran pertama!" ujar Jagat Lancang. 

"Jika kalian bisa lolos dari lima pelajaran ku, maka ka-

lian boleh bebaskan gadis-gadis yang sedang menung-

gu saat pengiriman ke Bukit Maut itu! Heh, heh, heh, 

heh...."

Melihat adiknya terluka, Raka Pura menjadi 

marah, dan segera lakukan penyerangan. Ia berkelebat


menerjang Jagat Lancang. Wuuuz...! Tapi si gundul 

kurus itu ternyata cukup lincah. Dengan melompat se-

dikit ke samping, ia berhasil kibaskan tongkatnya. 

Wut, cras...! Lalu ia berputar memunggungi Raka dan 

sodokkan ujung tongkat bagian bawah ke belakang. 

Dees...!

"Aahk...!" Raka Pura bagai diseruduk empat 

ekor kerbau. Tubuhnya terpental nyaris Jatuh ke ku-

bangan besar itu. Untung ada sebongkah batu yang 

menahannya, walau untuk itu ia harus menahan sakit 

karena punggungnya membentur batu tersebut.

Raka Pura terperanjat sekejap melihat perge-

langan tangannya berdarah. Rupanya tiga mata pisau 

di ujung tongkat lawan berhasil melukai pergelangan 

tangannya yang segera menjadi hitam dan berbusa. 

Asap tipis mengepul dari luka tersebut.

"Celaka! Senjata itu mempunyai racun yang 

berbahaya bagi darahku!" geram Raka Pura dalam ha-

tinya.

"Raka...!" seru Soka Pura dengan mata terbela-

lak melihat kakaknya terluka. Tapi sebelum Soka ber-

gerak dekati kakaknya, sang kakak sudah bangkit dan 

berseru dengan suara menggeram.

"Soka, lepaskan 'Cakar Matahari!"

Maka Pendekar Kembar bungsu pun segera le-

paskan jurus 'Cakar Matahari' yang mampu keluarkan 

sinar putih berbentuk pisau itu. Soka Pura keluarkan 

kekuatan jurus itu secara beruntun dan mengarah ke 

sekitar betis dan paha si Jagat Lancang.

Clap, clap, clap, clap...!

Melesatnya sinar putih yang begitu cepat itu se-

lalu berhasil ditangkis dengan kibasan tongkat si Jagat 

Lancang. Setiap benturan sinar putih dengan tiga mata 

pisau menimbulkan ledakan yang tak seberapa besar.

Duaar, duaar, duaar, duaaar...!


Pada saat Jagat Lancang sibuk hindari sinar-

sinar putih tersebut, Raka Pura segera melesat ke uda-

ra dan berjungkir balik ke arah lawan. Tubuh Pende-

kar Kembar sulung itu melayang di atas kepala Jagat 

Lancang.

Orang gundul itu terdesak mundur oleh seran-

gan sinar putih beruntun, sehingga ia tak sempat per-

hatikan bagian atasnya. Tahu-tahu kedua tangan Raka 

Pura menggeprak kepala gundul si Jagat Lancang se-

perti menepuk seekor nyamuk. Praak...!

Jurus 'Tapak Sunyi' dipergunakan oleh Pende-

kar Kembar sulung dalam keadaan tubuh menukik tu-

run dari ketinggiannya. Para murid si Jagat Lancang 

terperanjat melihat kepala gundul gurunya dikeprak 

oleh lawan. Namun mereka menjadi lega, karena si Ja-

gat Lancang masih tetap berdiri dengan senyum sinis-

nya.

Serangan Soka pun berhenti begitu melihat ka-

kaknya sudah berhasil menggeprak kepala lawan. Ra-

ka Pura sempat pergunakan kepala itu untuk tum-

puan dua jarinya yang membuat tubuhnya melenting 

ke arah depan dalam gerakan bersalto. Wuuk...! 

Jleeg...! Ia berdiri di samping Pendekar Kembar bung-

su. Keduanya sama-sama menatap Jagat Lancang.

Ketua perguruan itu masih berdiri dengan kaki 

sedikit merenggang. Tegak dan tampak menyungging-

kan senyum sinis. Namun kejap berikutnya, para mu-

rid yang semula merasa lega karena menyangka gu-

runya tidak mengalami cedera apa pun, tiba-tiba harus 

terbelalak tegang dan gemetaran. Karena kepala gun-

dul sang Guru tiba-tiba menjadi retak, darah merem-

bas melalui garis keretakan itu.

Brruuk...!

"Ooh...?! Guru..."??!!" teriak para murid.

Tentu saja si Jagat Lancang tak hiraukan se


ruan tegang para muridnya itu, karena kepalanya telah 

pecah dan nyawanya pun melayang bergentayangan di 

alam bebas. Melihat gurunya ditumbangkan oleh Pen-

dekar Kembar, maka para murid pun akhirnya melari-

kan diri dan tak ada yang mau mengalami nasib seper-

ti sang Guru. Mereka masih ingin punya kepala utuh 

dan bisa untuk menggeleng atau mengangguk.

"Pemburu mahkota dara itu telah tewas, Raka! 

Apa yang harus kita lakukan sekarang?!"

"Obati luka kita dulu, baru bebaskan para ga-

dis yang ditawan mereka!" jawab Raka Pura, kemudian 

melirik gadis yang tadi diselamatkan.

"Aku tahu tempat mereka disekap! Aku akan 

bantu kalian!" ujar si gadis dengan suara masih berge-

tar.

Setelah mengobati luka dengan jurus pengoba-

tan yang disebut jurus 'Sambung Nyawa' itu, Pendekar 

Kembar akhirnya pergi ke pusat Perguruan Tengkorak 

Sungsang. Gadis yang nyaris diperkosa oleh empat 

orang itu memandu perjalanan mereka. Namun ketika 

mereka tiba di sana, ternyata para murid perguruan 

tersebut sedang sibuk mengungsi untuk hindari ben-

cana yang diperkirakan akan datang dari sepasang 

pemuda kembar itu. Mereka segera bubar begitu meli-

hat kedatangan Raka dan Soka. Masing-masing me-

nyelamatkan diri sendiri-sendiri.

Para tawanan cantik itu akhirnya dibebaskan 

oleh Pendekar Kembar. Mereka gagal dijadikan barang 

dagangan yang akan dijual kepada Darah Kula. Tetapi

bukan berarti Pendekar Kembar sudah berhasil sela-

matkan para gadis di muka bumi, namun masih ada 

ancaman maut bagi gadis-gadis lainnya. Karena si 

anak iblis itu tetap akan membutuhkan darah perawan 

semasa ia masih hidup dan belum ada yang bisa mem-

buatnya mati abadi.


Hanya dengan 'Bambu Gading Mandul', si anak 

Iblis itu bisa dibunuh dan mati secara abadi. Tapi apa-

kah Pendekar Kembar akan berhasil dapatkan 'Bambu 

Gading Mandul' itu, Jika ternyata bambu itu hanya 

ada satu dan mungkin saja sudah ditebang orang yang 

tak mengerti khasiat gaib bambu tersebut?


                          SELESAI



Segera menyusul:

TUMBAL ASMARA BUTA






Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive