"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 02 Agustus 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE PATUNG KEPALA SINGA

Patung Kepala Singa



PATUNG KEPALA SINGA

Serial Pendekar Slebor 

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari penerbit


1


Lintasan malam semakin jauh membentang dalam 

kesenyapan tinggi yang dingin dan suasana mence-

kam. Keangkeran meraja, hingga terasa ke tulang pal-

ing dalam. Ratu Malam yang biasanya hangat bersinar, 

kali ini seperti tak mampu tembusi gumpalan awan hi-

tam yang sepertinya enggan bergeser. Angin datang 

bergulung-gulung dari arah barat, seperti membawa 

tabir kematian yang harus dikuakkan.

Dalam keangkeran yang kian menggigit dan di 

bawah naungan tipis sinar bulan, nampak sebuah 

bangunan berdiri tegak laksana raksasa yang sedang 

berlutut. Kengerian akan dirasakan oleh siapa saja 

yang arahkan pandangannya pada bangunan itu.

Hembusan angin yang meraja, membawa bau any-

ir darah ke berbagai penjuru. Suara burung gagak 

yang mengerikan berkaok-kaok memecah keheningan 

malam dan menambah keangkeran.

Di kejauhan, nampak satu sosok tubuh berkelebat 

dengan cepatnya. Dari gerakannya yang sangat cepat, 

nampak kalau sosok tubuh itu hendak lalui malam 

dengan segera. Namun mendadak sosok tubuh itu 

hentikan kelebatannya tatkala hidungnya menangkap 

bau yang sangat busuk. Dengan kesigapan yang ken-

tara, sepasang mata sosok tubuh yang ternyata seo-

rang pemuda ini diedarkan ke sekelilingnya.

"Busyet! Bau apa ini?" desisnya sambil garuk-

garuk kepalanya. Pandangannya diarahkan ke bangu-

nan besar yang nampak porak poranda itu. Dan sema-

kin lama dia berada di sana, semakin tak kuat indera 

penciumannya guna menahan aroma anyir yang sung-

guh tak sedap. Kejap kemudian, pemuda yang beram-

but gondrong ini keluarkan dengusan lagi, "Kutu mo

nyet! Bau busuk yang nampaknya berasal dari bangu-

nan yang sebagian sudah hancur itu, biasanya berasal 

dari bangkai! Tetapi, bangkai apa yang baunya seperti 

berjibun-jibun?! Benar-benar busyet! Masa aku harus 

bertahan dengan bau tak sedap ini?! Konyol banget!" 

Kembali pemuda berpakaian hijau pupus yang di 

lehernya melilit sebuah kain bercorak catur ini men-

dengus-dengus. Sikapnya sungguh konyol! Dan tam-

pangnya yang tampan itu kini mendadak seperti jadi 

orang dungu!

"Sinting gila miring! Perutku seperti diaduk-aduk 

oleh tangan kasar! Huh! Mendingan aku tinggalkan sa-

ja, ketimbang muntah tidak karuan!!"

Memutuskan demikian, pemuda yang memiliki 

sepasang alis hitam legam dan menukik seperti kepa-

kan sayap burung elang ini, mulai melangkah. Tetapi 

baru tiga langkah dilakukan, dia sudah hentikan lang-

kahnya lagi.

Dan bersuara agak geram, "Brengsek! Justru aku 

jadi penasaran ingin tahu asal bau tak sedap ini!"

Setelah mendumal tanpa keluarkan suara, pemu-

da berpakaian hijau pupus yang tak lain Andika 

adanya, alias Pendekar Slebor, segera berkelebat ke 

arah bangunan besar yang di sana-sini,sudah porak-

poranda.

Dengan kerahkan tenaga dalamnya guna hindari 

bau tak sedap itu, Andika segera berkelebat masuk ke

dalam bangunan. Di ruangan besar yang diperkirakan 

seperti sebuah tempat pertemuan, dia kembali henti-

kan kelebatannya.

Kali ini pandangannya tak berkedip, mengarah 

pada puluhan mayat yang tumpang tindih. Lalat-lalat 

sudah menari-nari di tubuh puluhan mayat itu.

"Celaka tiga belas setengah! Rupanya ada pem-

bantaian di sini! Menilik bau busuk dari mayat-mayat

ini yang telah mengundang para lalat berpesta, kema-

tian ini sepertinya sudah berkisar sekitar dua sampai 

lima hari! Kutu monyet! Siapa yang telah lakukan 

pembantaian keji gila-gilaan seperti ini?!"

Lalu dengan melangkahi beberapa sosok tubuh 

yang telah menjadi mayat, Andika meneliti tempat itu. 

Dilihatnya, kalau mayat-mayat itu rata-rata tewas 

dengan dada bolong!

"Keji!" desisnya geram. Lalu dilihatnya satu sosok 

tubuh berpakaian sutera yang tergolek menjadi mayat. 

Dada lelaki yang berusia sekitar empat puluh tahun 

itu pun bolong. Dalam sekali lihat saja Andika yakin, 

kalau jantung lelaki itu sudah tidak ada!

Dan perlahan-lahan kemarahan mulai meraja di 

hati pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan 

ini. Tangannya berulang kali mengepal sementara mu-

lutnya tak henti-henti keluarkan desisan geram. "Mo-

nyet belang! Aku ingin tahu siapa yang telah lakukan 

semua ini?!" 

Sebelum Andika putuskan untuk berbuat apa, 

mendadak saja terdengar makian keras di belakang-

nya, "Begitu pula denganku! Tetapi, Jangan berlagak 

pilon! Karena engkaulah yang telah melakukan semua 

ini!!"

Serta merta pemuda dari Lembah Kutukan ini pu-

tar tubuh. Saat itu pula dilihatnya seorang perempuan 

berpakaian kuning bersih dengan selendang warna 

merah yang melilit di pinggangnya telah berdiri tegak. 

Wajah perempuan yang kira-kira berusia sekitar empat 

puluh tahun itu, sedemikian jelitanya. Namun panca-

ran matanya begitu tajam. Bibirnya merapat tanda pe-

rempuan itu dilanda kemarahan.

Untuk sesaat Andika terdiam. Dapat dirasakan 

kalau perempuan yang tiba-tiba muncul tanpa diketa-

huinya itu bukan orang sembarangan. Dari menilik

wajahnya yang perlahan-lahan kian mengkelap, Andi-

ka merasa yakin kalau keadaan yang dilihatnya ini 

akan membangkitkan kesalahpahaman.

"Brengsek kalau begitu!" desisnya dalam hati.

Lalu sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak 

gatal dan pamerkan cengirannya yang konyol itu, dia 

berkata, "Wah! Kalau begitu... kita sama-sama punya 

keinginan untuk mengetahui siapa pelaku keji pem-

bantaian ini, ya? Bagaimana? Apakah kau bersedia 

bersama-sama denganku untuk mencarinya? Tetapi... 

jangan, ah! Kalau aku berjalan bersamamu dan berte-

mu dengan gadis-gadis lain, mereka bisa cemburu 

nanti!"

Mendapati kata-kata si pemuda yang tidak tahu 

juntrungannya, untuk sejenak si perempuan terdiam. 

Pandangannya tetap tajam dan menusuk.

Diam-diam perempuan ini membatin, "Menilik pa-

kaian yang dikenakan dan sikapnya yang konyol itu, 

rasa-rasanya... aku pernah mendengar julukan orang

yang bersikap seperti ini. Tetapi... apa mungkin me-

mang dia? Rasanya... tak mungkin. Karena, dia dikenal 

sebagai pemuda dari golongan lurus kendati sikap ko-

nyolnya tidak ketolongan lagi!"

Di seberang, karena si perempuan terdiam Andika 

berkata lagi, "Kalau tak ada urusan yang hendak dibi-

carakan, lebih baik aku...."

"Tutup mulut!" seru si perempuan tiba-tiba. Sebe-

lum dia melanjurkan kata, kembali perempuan berpa-

kaian kuning bersih ini membatin, "Sikapnya memang 

benar-benar memperlihatkan siapa dia sebenarnya. Te-

tapi, rimba persilatan saat ini sedang kacau. Sulit 

meyakinkan satu dugaan sebelum membuktikan. Apa-

lagi memutuskan kalau dia adalah kawan atau lawan."

Habis membatin begitu, si perempuan ajukan 

tanya, "Keinginan kita memang sama! Tetapi, apa

maksudmu hadir di Kuil Putra Langit ini?! Apakah kau 

memang semata datang karena tak sengaja, ataukah 

kau datang untuk meyakinkan semua orang yang telah 

kau bunuh benar-benar sudah mampus? Atau kau...." 

Si perempuan memutus kata-katanya sendiri begi-

tu pandangannya membentur pada sosok tubuh lelaki 

berpakaian sutera yang telah tewas. Sesaat nampak 

dia melengak dengan kedua mata membesar, Tetapi 

kejap kemudian, nampak pula kalau dia tengah beru-

saha tindih keterkejutannya.

Dalam sekali pandang, Andika tahu kalau perem-

puan itu mengenali mayat berpakaian sutera.

"Menilik sikapnya, nampak kalau perempuan itu 

mengenal lelaki berpakaian sutera! Kuil Putra Langit? 

Fuih! Angker betul nama tempat ini!" desis Andika da-

lam hati. Lalu katanya sambil nyengir, "Wah! Gampang

banget pertanyaanmu itu! Jawaban-nya, dari kata-

katamu yang pertama tadi! Sekarang aku balik tanya! 

Mengapa...."

"Diam!" seru si perempuan memutus kata-kata 

Andika. "Jangan coba-coba bangkitkan kemarahanku!"

"Kutu kupret! Galak betul! Siapa sih sebenarnya 

perempuan ini?" seru Andika dalam hati. Lalu diden-

garnya lagi kata-kata si perempuan, "Apakah kau su-

dah mendapatkan barang yang kau cari? Patung Kepa-

la Singa?!"

Kali ini Andika benar-benar terdiam mendengar 

pertanyaan orang. Dan dia tidak tahu kalau sesung-

guhnya si perempuan sedang membuktikan mengapa 

dia hadir di tempat yang telah porak poranda ini?

Sesaat sunyi meraja. Bau anyir darah makin men-

guat. Bau busuk mayat-mayat itu bertambah menyen-

gat, hingga bila tidak alirkan tenaga dalam guna me-

nutup sebagian indera penciuman, orang yang berada 

di sana akan langsung muntah dengan kepala pusing.

Tiba-tiba terdengar suara seperti dinding runtuh dari 

bagian dalam bangunan itu.

Masing-masing orang sesaat palingkan kepala ke 

arah suara itu. Setelah meyakinkan kalau memang 

hanya dinding bangunan yang runtuh, keduanya sal-

ing pandang kembali. '

Kejap kemudian, terdengar kata-kata Pendekar

Slebor "Aku tak tahu apa yang kau maksudkan. Pa-

tung Kepala Singa? Benda apa itu?" 

"Hmmm... wajahnya begitu polos, Keheranannya 

jelas tak dibuat-buat. Bisa jadi apa yang dikatakan-

nya,, tadi memang benar. Patung Kepala Singa... se-

buah benda yang sedang ramai dibicarakan orang," ka-

ta batin si perempuan.

Lalu setelah tarik napas pendek dia bertanya, 

"Siapakah kau sebenarnya?"

Karena ingin mengetahui urusan apa yang telah 

terjadi, Andika berkata, "Namaku Andika. Aku datang 

dari Lembah Kutukan. Orang-orang menjulukiku... 

Pendekar Slebor!" Lalu buru-buru disambungnya, "Te-

tapi aku tidak slebor lho. Hanya... ya, cuma dikitlah!"

Mendapati sahutan itu, nampak si perempuan 

mendesah lega. "Dugaanku ternyata benar. Dia me-

mang Pendekar Slebor. Pemuda yang julukannya se-

makin ramai dibicarakan orang karena sepak terjang-

nya yang selalu menggagalkan perbuatan makar dari 

orang-orang tak beradab!"

Kemudian katanya, "Apakah kau melihat mayat 

seorang gadis di antara tumpukan mayat-mayat ini?"

Andika menggelengkan kepalanya. "Aku tidak ta-

hu. Mungkin memang tertindih mayat-mayat yang

lainnya. Siapa dia?"

Bukannya jawab pertanyaan itu, si perempuan ju-

stru berkelebat ke sana kemari. Saat berkelebat, ka-

kinya menyepak-nyepak dengan cepat, hingga bebera

pa mayat bergulingan. 

"Busyet! Apa yang sedang dilakukannya? Apakah 

dia sedang mencari gadis yang dimaksudnya?" desis 

Pendekar Slebor dalam hati dan diam-diam mengagu-

mi ilmu peringan tubuh yang diperlihatkan si perem-

puan.

Tak mau mengganggu apa yang sedang dilakukan 

si perempuan, Andika hanya memperhatikan saja. Se-

puluh larikan napas kemudian, perempuan berpakaian 

kuning bersih yang di pinggangnya melilit sebuah se-

lendang warna merah, telah berdiri tegak kembali seja-

rak lima langkah dari hadapan Andika.

Sesaat keduanya saling pandang. Kemudian se-

raya putar tubuh si perempuan berkata, "Kita berbica-

ra lagi di luar kuil ini! Aku tidak tega melihat mayat-

mayat ini!"

Belum lagi Andika menjawab, si perempuan sudah 

berkelebat keluar dari bangunan itu. Untuk sesaat An-

dika kembali dibuat terpana melihat gerakan yang di-

lakukan si perempuan.

"Edan! Aku cuma melihat bayangan kuning saja! 

Hmmm... jadi penasaran nih?!"

Karena rasa penasaran itulah Andika memu-

tuskan untuk menyusul si perempuan, yang ternyata 

menunggunya sejarak lima belas tombak dari bangu-

nan yang telah porak poranda itu.

"Eh, sudah lama menungguku?! Apa kabar?! Ada 

yang bisa kubantu?" seru Andika konyol setelah berdiri 

sejarak lima langkah dari hadapan si perempuan. Lalu 

dengan enaknya dia nyengir sambil menggaruk-garuk 

kepalanya yang tidak gatal.

Si perempuan tak menggubris selorohan Andika. 

Sesaat dipandanginya wajah si pemuda yang justru

dengan noraknya mengangkat-angkat alisnya. 

Setelah keluarkan dengusan melihat tingkah ko

nyol Pendekar Slebor, si perempuan berkata, "Namaku 

Dewi Puspa dan orang-orang menjulukiku Bidadari 

Tangan Bayangan. Aku datang dari Lembah Pinus. An-

dika... aku adalah sahabat dari Lelono Jaka, atau yang 

berjuluk Pendekar Sutera. Dialah pimpinan dari Kuil 

Putra Langit. Kedatanganku ke sini, adalah untuk 

memenuhi undangannya seminggu yang lalu. Saat itu, 

salah seorang muridnya, datang menyampaikan un-

dangannya. Karena ada urusan yang harus kuselesai-

kan lebih dulu, makanya aku tak segera datang. Teta-

pi, undangan itu pun diperuntukkan buatku sekitar 

tujuh hari di muka setelah salah seorang muridnya 

menyampaikan undangan Pendekar Sutera kepada-

ku...."

Perempuan yang mengaku berjuluk Bidadari Tan-

gan Bayangan ini sejenak menghela napas, sementara 

Andika mendengarkan dengan seksama.

Kejap kemudian, Bidadari Tangan Bayangan me-

lanjutkan lagi, "Sebenarnya... aku bisa menduga, apa 

maksud Pendekar Sutera mengundangku mene-

muinya. Dapat kuyakini kalau dia hendak membicara-

kan tentang Patung Kepala Singa."

"Lagi-lagi benda itu yang disebutkannya," kata 

Andika dalam hati. Sambil maju selangkah, pemuda 

dari Lembah Kutukan ini bertanya, "Benda apa sebe-

narnya Patung Kepala Singa?"

"Sampai saat ini, aku memang belum pernah me-

lihat seperti apa Patung Kepala Singa itu. Sekitar seta-

hun yang lalu, Pendekar Sutera mengatakan kepada-

ku, kalau dia mendapatkan Patung Kepala Singa seca-

ra tak sengaja di saat dia sedang bersemadi di Lembah 

Singa. Patung itu tiba-tiba saja muncul dlhadapannya 

setelah dia selesai bersemadi. Dengan penuh kehera-

nan Pendekar Sutera membawanya pulang. Dan bebe-

rapa kali dia bermimpi, kalau di dalam Patung Kepala

Singa terdapat sesuatu yang sangat sakti. Tetapi dia 

tidak tahu apa sesuatu itu karena dia selalu terbangun 

sebelum mimpinya selesai. Dia pernah membicarakan 

soal itu kepadaku sekitar tujuh bulan yang lalu. Aku 

pun tak bisa banyak membantu, tentang apakah sesu-

atu yang terdapat pada Patung Kepala Singa itu."

"Apakah saat itu Pendekar Sutera tidak menun-

jukkan Patung Kepala Singa kepadamu?"

"Justru aku yang tak ingin melihatnya. Aku cuma

ingin membantu." 

"Mengapa?"

"Karena kuanggap, dia telah mendapatkan satu 

keberuntungan. Dan aku tak ingin lancang mengeta-

hui lebih lanjut dari keberuntungannya itu"

"Tetapi pada kenyataannya, justru dia mendapat

musibah," sahut Andika seperti menyesali. Dan dia 

memang melihat wajah si perempuan yang jelita itu 

nampak juga menyesali. "Apakah kau memperkirakan 

kalau pembantaian itu terjadi disebabkan Patung Ke-

pala Singa?" tanya Andika dengan mimik serius. Dan 

saking seriusnya, sikapnya jadi seperti sapi ompong! 

Dasar!

Sejenak Bidadari Tangan Bayangan terdiam sebe-

lum menjawab, "Aku juga menduga seperti itu. Karena 

sekitar sebulan yang lalu, aku mendengar orang-orang 

ramai membicarakan tentang Patung Kepala Singa. 

Sayangnya, aku tidak tahu di mana Patung Kepala 

Singa itu disimpan. Apakah patung itu berhasil direbut 

oleh orang yang melakukan pembantaian, ataukah 

masih aman tersimpan entah di mana."

"Sulit menjawab pertanyaan itu. Karena dia sendi-

ri tidak tahu seperti apa benda yang bernama Patung 

Kepala Singa," kata Pendekar Slebor dalam hati.

Kemudian tanyanya, "Lalu apa yang kau lakukan tadi 

dengan menyepak-nyepak beberapa mayat?"

Bidadari Tangan Bayangan tarik napas dulu sebe-

lum menjawab, "Aku mencari Tri Sari."

Andika mengernyitkan keningnya. "Siapakah gadis 

itu?"

"Dia adalah putri Pendekar Sutera. Tetapi... aku 

tak melihat mayatnya di sana bila dia memang mati 

bersama-sama yang lain."

Untuk sejenak tak ada yang membuka suara. An-

dika seperti tengah berpikir keras. Kemudian katanya, 

"Ada beberapa dugaan mengenai putri Pendekar Sute-

ra. Pertama, kemungkinan besar dia telah melarikan 

diri dengan atau tidak membawa Patung Kepala Singa. 

Kedua, dia telah tewas di satu tempat karena orang 

yang melakukan pembantaian itu berhasil mengejar 

dan menghabisinya. Ketiga, gadis itu belum tahu apa 

yang telah terjadi."

Mendengar dugaan-dugaan yang dituturkan Andi-

ka, perempuan berpakaian kuning bersih ini terdiam. 

Hanya matanya yang nampak terlihat kalau dia mem-

benarkan dugaan-dugaan itu.

Kejap kemudian dia berkata, "Aku hanya berha-

rap, kalau Tri Sari berada dalam dugaanmu yang per-

tama." Lalu sambungnya dengan suara geram, "Jaha-

nam terkutuk! Tak akan kubiarkan orang yang telah 

lakukan pembantaian ini hidup lebih lama!"

***

2


Andika dapat merasakan kegeraman yang tersirat 

dari kata-kata itu. Sebelum dia berkata, terdengar sua-

ra Bidadari Tangan Bayangan mendahului, "Selama 

ini... Pendekar Sutera dikenal sebagai seorang pendekar yang selalu baik pada siapa pun. Bahkan dia tak 

memandang siapa pun orang yang akan dijadikan sa-

habat. Hingga rasanya... dia jarang mempunyai mu-

suh. Dan sungguh biadab orang yang telah lakukan 

pembantaian itu!!"

"Dia nampaknya terbawa oleh arus amarahnya, 

Dan ini membuktikan betapa dia memang bersahabat 

dengan lelaki berjuluk Pendekar Sutera yang tentunya 

mayat yang mengenakan pakaian terbuat dari sutera 

tadi," kata Andika dalam hati. Lalu segera ajukan 

tanya, "Apakah kau bisa menduga siapakah orang 

yang telah lakukan semua ini?"

Bukannya jawab pertanyaan Andika, Bidadari 

Tangan Bayangan justru kertakkan rahang. Jelas se-

kali kalau dia teringat akan sesuatu. Sepasang ma-

tanya tiba-tiba terbuka lebih lebar dengan sorot mata 

dibaluri kemarahan. Kejap kemudian nampak kedua 

tangannya dikepalkan kuat-kuat.

"Siapa lagi orangnya kalau bukan si Kepala Besi!" se-

runya keras.

Di seberang, Andika memperhatikan dengan 

seksama perempuan berpakaian kuning yang nampak 

begitu geram.

"Menilik suaranya, dia begitu pasti sekali kalau 

orang yang berjuluk si Kepala Besi lah yang melaku-

kan semua ini. Apakah dia memang tahu semua ini?" 

batinnya dalam hati. 

Kemudian sambil nyengir dia berkata, "Hebat ka-

lau kau begitu pasti dengan kata-katamu! Ingat, lho... 

menuduh orang sembarangan berdosa!"

Tak menanggapi selorohan konyol pemuda berba-

ju hijau pupus, Bidadari Tangan Bayangan berkata 

dengan suara geram, "Sebulan yang lalu... aku sempat 

didatangi oleh lelaki tinggi besar berkepala gundul itu! 

Dia menanyakan tentang Pendekar Sutera! Dan begitu

bodohnya aku ini, yang langsung mengatakan di mana 

Pendekar Sutera berada! Jahanam keparat! Sudah 

pasti dia orangnya!!"

"Apakah si Kepala Besi mengatakan ada urusan 

apa dia mencari Pendekar Sutera?" tanya Andika.

"Yang dikatakannya, dia hendak bertamu! Jaha-

nam terkutuk! Aku sungguh bodoh membenarkan apa 

yang dikatakannya!!"

"Hmmm....sepertinya, aku-menangkap sesuatu 

yang tidak beres di sini. Nampaknya dia hanya menu-

duh saja. Cuma dikarenakan si Kepala Besi pernah 

menanyakan di mana Pendekar Sutera berada. Tetapi 

tak menutupi kemungkinan apa yang dikatakannya 

memang benar. Paling tidak, kini ada yang harus dicari 

untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan 

keji ini!"

Habis membatin begitu Andika berkata, "Apakah 

kau...."

Belum habis kata-kata Andika, Bidadari Tangan 

Bayangan sudah berseru, "Kita bertemu lagi nanti!!"

Kejap itu pula dia putar tubuh dan berkelebat ce-

pat.

"Hei!!" seru Andika menahan, tetapi sosok si pe-

rempuan telah menjauh. Dan yang nampak di matanya 

hanyalah bayangan kuning belaka.

Kini tinggal Andika sendiri yang kemudian mena-

rik napas panjang.

"Kutu monyet! Urusan ini tak bisa kubiarkan begi-

tu saja! Aku jadi penasaran ingin tahu seperti apa 

benda yang dinamakan Patung Kepala Singa! Si Kepala 

Besi... si Kepala Besi... benarkah dia orang yang ber-

tanggung jawab atas pembantaian keji itu?"

Untuk sesaat Andika terdiam. Diperas otaknya 

yang encer untuk memecahkan urusan yang mulai 

membentang di hadapannya. Tetapi tiga tarikan napas

berikutnya, pemuda berambut gondrong ini mengge-

leng-gelengkan kepala.

"Tak bisa kuputuskan tentang semua ini seka-

rang. Lebih baik aku...."

Memutus kata-katanya sendiri, Andika kembali 

lagi ke Kuil Putra Langit. Sejarak sepuluh langkah dari 

muka kuil yang kini menyebarkan bau sangat tak se-

dap itu, pemuda yang di lehernya melilit kain bercorak 

catur hentikan langkah.

Dipandanginya kuil itu sesaat.

"Bila kukuburkan mayat-mayat itu, justru akan 

membuang waktu yang tak sedikit. Lebih baik...."

Kembali diputus kata-katanya. Kejap kemudian, 

nampak pemuda tampan ini terdiam. Sorot matanya 

yang tajam semakin bertambah tajam. Tahu-tahu di 

sekitar tubuhnya nampak percikan-percikan sinar ke-

perakan yang menyelubunginya. Hawa panas menda-

dak saja mendera dan menindih hawa dingin di tempat 

itu. Rupanya dia tengah keluarkan ajian 'Guntur Se-

laksa'! Salah satu ajian yang didapatkan dari Lembah 

Kutukan (Untuk mengetahui hal ini si-lakan baca : 

"Lembah Kutukan" dan "Dendam Dan Asmara").

Menyusul kedua tangannya disentakkan ke depan 

diiringi teriak mengguntur. "Heaaaa!!"

Gelombang angin raksasa yang dipadu dengan 

suara salakan guntur yang sangat dahsyat menggebah 

ke depan. Melabrak bangunan yang telah porak-

poranda itu.

Terdengar suara letupan yang sangat keras. Me-

nyusul runtuhnya bangunan besar itu, menimbun 

mayat-mayat yang bergeletakkan di bawah. Debu-debu 

mengepul ke udara, hingga untuk beberapa lamanya 

nampak kepulan debu-debu itu seperti menggunung. 

Dan perlahan-lahan mulai menipis.

Lima kejapan mata berikutnya, nampak bangunan

besar itu telah roboh tumpang tindih.

Pendekar Slebor menarik napas panjang melihat 

perbuatannya. Kejap kemudian dia berkata, "Mungkin 

inilah yang terbaik untuk mengubur pemandangan 

yang mengerikan itu. Sebaiknya, kucari Bidadari Tan-

gan Bayangan sebelum menemukan si Kepala Besi. 

Karena bila dugaannya salah, ini hanya akan memanc-

ing permusuhan yang dalam...."

Saat itu pula pemuda pewaris ilmu Ki Saptacakra 

ini sudah berkelebat meninggalkan tempat itu dengan 

pergunakan ilmu peringan tubuhnya yang kesohor.

Mengikuti jejak Bidadari Tangan Bayangan yang berge-

rak secepat angin itu ternyata memang tak mudah. 

Tatkala matahari sudah sepenggalan, Pendekar Slebor 

belum juga menemukan di mana perempuan berpa-

kaian kuning bersih itu berada.

Di sebuah jalan setapak yang dipenuhi pepohonan 

dan ranggasan semak belukar, pemuda berbaju hijau 

pupus ini hentikan kelebatannya. Tak ada napas 

memburu yang keluar, dia sama sekali tak kelelahan.

Sejenak diperhatikan sekelilingnya. Tak ada tan-

da-tanda Bidadari Tangan Bayangan di sana.

"Monyet pitak! Kenapa aku jadi dungu berlaku se-

perti ini? Sudah pasti dia telah menghilang!" gerutu 

Andika sendiri. Lalu menyambung, "Huh! Seharusnya 

kutahan saja kepergian perempuan itu! Bila ternyata 

dugaannya salah, justru akan memancing permusu-

han yang lebih kacau lagi! Rimba persilatan saat ini 

sedang kacau dan justru akan bertambah kacau lagi 

dengan segala urusan! Huh! Patung Kepala Singa? Se-

perti apa patung itu? Mendingan Patung Kepala Mo-

nyet! Hingga aku mengira-ngira seperti apa bentuknya! 

Apa seperti aku... eh, tidak ya? Masa aku seperti mo-

nyet!!"

Lalu dengan tengiknya dia berjalan mirip seekor

monyet. Lalu berdiri tegak kembali sambil mencak-

mencak!

"Monyet! Monyet! Monyet!!" serunya tak ketahuan 

juntrungan.

"Busyet! Baru kali ini aku melihat ada pemuda 

yang mengaku dirinya monyet! Kalau begitu, tak perlu 

ragu dan tak perlu kau katakan semua orang juga su-

dah tahu kalau kau seperti monyet!!" terdengar seruan 

itu diiringi kikikan yang cukup keras.

Serta merta Andika palingkan kepala ke atas. Dili-

hatnya satu sosok tubuh kurus berpakaian hitam 

gombrang sedang asyik duduk beruncang-uncang kaki 

di sebatang ranting!

"Eh, busyet! Kapan munculnya nenek jelek itu? 

Sejak tadi aku tak melihatnya di sini? Hmmm... jan-

gan-jangan dia baru muncul! Kalau begitu, tentunya 

dia tak mendengar apa yang kukatakan sebelumnya."

Perempuan tua yang rambut putihnya disanggul 

ke atas itu, perlihatkan seringaiannya. Tak sebuah gigi 

pun yang masih tumbuh. Andika bergidik. Karena 

mengingatkannya pada kuntilanak yang pernah dia 

dengar ketika masih kecil.

"Eh, Nek! Kau jangan nyengir seperti itu! Bisa-bisa 

aku mati berdiri nih!!" cerocosnya kemudian.

Bukannya marah mendengar ejekan orang, si ne-

nek makin perkencang kikikannya. Kali ini berhambu-

ran dedaunan dari tempatnya. Menyusul patahnya be-

berapa ranting yang bertabrakan satu sama lain.

"Busyet! Hebat juga tenaga dalam si nenek! Aku 

yakin, dia hanya sedikit mempergunakan tenaga da-

lamnya," kata Andika dalam hati sambil kerahkan te-

naga dalam pada kedua kakinya, karena dirasakan sa-

tu gelombang angin menderu seperti hendak meru-

buhkannya.

Di atas pohon, si nenek berseru di sela-sela kiki

kannya, "Kalaupun kau akan mati berdiri, bisa jadi 

aku akan mati duduk seperti ini karena melihat mo-

nyet yang suka membentak!"

"Busyet! Sudah bau tanah masih banyak omong 

lagi!" dengus Andika dalam hati. "Hhh! Lebih baik ku-

tinggalkan saja dia untuk meneruskan mencari Bida-

dari Tangan Bayangan!"

Memutuskan demikian, sambil nyengir Pendekar 

Slebor berseru, "Wah! Maaf nih, Nek! Aku tidak bisa 

lebih lama berada di sini! Soalnya perutku bisa mulas 

kalau lebih lama melihat wajahmu yang seperti orang 

hendak buang hajat itu!!"

Habis mengejek demikian, si pemuda segera ba-

likkan tubuh dan siap berkelebat. Namun yang menge-

jutkannya, karena kedua kakinya seperti terpantek di 

tanah!

"Kutu monyet!" makinya geram dan langsung tahu 

siapa yang bikin ulah. Tanpa membalikkan tubuhnya 

Andika berseru, "Nek! Kalau mau jual lagak, jangan di 

sini! Lebih baik kau ke kotapraja saja! Barangkali ada 

yang mau memberimu sedekah dari aksi akrobat yang 

akan kau lakukan!"

"Lho, apa urusannya denganmu? Kalau kau mau 

pergi ya pergi saja!" sahut si nenek masih mengikik.

"Brengsek! Dia betul-betul mau menguji rupanya! 

Biarku... hei!!" mendadak saja Andika memutus kata 

batinnya sendiri. Bukankah dia tadi sudah salurkan 

tenaga dalamnya guna menahan gelombang angin 

yang timbul dari kikikan si nenek? Lalu mengapa kini 

tahu-tahu kedua kakinya seperti terpantek? "Busyet! 

Hebat juga kalau begitu!! Hmmm... biar kuladeni sikap 

konyolnya ini!"

Memutuskan demikian, Pendekar Slebor segera li-

patgandakan tenaga dalamnya. Namun begitu dilipat-

gandakan tenaga dalamnya, justru dirasakan perlahan-lahan kaki kanan dan kirinya seperti melesak ma-

suk ke tanah!

"Hei!!" serunya terkejut. "Monyet Buduk!"

"Gila! Apakah aku bertemu dengan pemuda gila? 

Katanya mau pergi, kenapa masih berada di sana? Pa-

kai memaki-maki segala lagi!" seru si nenek tetap ter-

kikik.

Mulut Andika segera mencang-mencong mengge-

rutu, tetapi tak ada suara yang keluar.

"Brengsek! Biar kupergunakan tenaga 'Inti Petir' 

untuk memusnahkan totokan jarak jauh si nenek!" ' 

,

Tetapi sebelum dia melakukan, justru terdengar 

suara si nenek, seperti ditujukan pada dirinya sendiri.

"Sebulan sudah aku keluar dari Pesanggerahan 

Kematian! Tetapi tak kunjung kutemukan Pendekar 

Sutera yang memiliki Patung Kepala Singa? Busyet! 

Apakah aku sudah menjadi dungu karena sebulan la-

manya aku cuma jadi macan ompong?!"

Andika yang tak menyangka akan mendengar ka-

ta-kata itu, untuk sejenak terdiam. Tetapi pemuda ko-

nyol ini untuk sejenak pula tak menghiraukan kata-

kata itu. Justru dia berseru, "Busyet! Kenapa kau bi-

lang seperti macan ompong? Kau tak lebih dari jalang-

kung Nek!"

Si nenek terkikik lagi.

"Jalangkung atau bukan, aku tidak peduli! Malah 

asyik melihat pemandangan pemuda geblek yang terus 

berdiri seperti itu!!"

Mendengar ejekan si nenek, Andika keluarkan 

dengusan. Kejap itu pula dikerahkan tenaga 'Inti Petir' 

tingkat kesepuluh. Hawa panas mendadak saja mun-

cul. Begitu diarahkan pada kaki kanan-kirinya yang 

seperti terpantek di tanah, dirasakan ada hawa dingin 

yang mendadak menindih.

"Kutu monyet!" geram Andika dalam hati. Lalu di-

tingkatkan lagi tenaga 'Inti Petir' pada tingkat kesembi-

lan. Pada tingkat kedelapan, barulah dirasakan hawa 

dingin itu lamat-lamat mengikis. Tetapi tak semudah 

itu bisa dilakukannya. Karena tiba-tiba saja hawa din-

gin itu bertambah menguat.

"Benar-benar brengsek tuh nenek!" maki Andika 

dalam hati. Kali ini dia tak tanggung lagi, tenaga ‘Inti 

Petir' tingkat kedua dikerahkan.

Hawa panas seketika meluncur deras. Seperti me-

nebas, langsung memupus hawa dingin yang mendera 

kedua kaki Andika.

Mendadak saja terdengar seruan tertahan dan 

menyusul jatuhnya satu sosok tubuh. Sosok tubuh 

yang jatuh ternyata si nenek adanya.

Rupanya, si nenek yang diam-diam alirkan tenaga 

dalam dan menjadikan pohon yang didudukinya serta 

tanah sebagai perantara untuk lakukan totokan pada 

kedua kaki Andika, tak kuasa lebih lama untuk perli-

hatkan kehebatannya. Tenaga 'Inti Petir' yang dikerah-

kan Andika, bukan hanya memutus serangan gelap si 

nenek, tetapi juga membalikkannya dengan kecepatan 

tinggi. Hingga pada akhirnya si nenek harus mengakui 

keunggulan Andika.

Masih untung dia mampu untuk kendalikan tu-

buh hingga jatuh dengan kedua kaki tegak di atas ta-

nah.

Sementara itu, pemuda dari Lembah Kutukan 

yang telah terbebas dari pengaruh totokan si nenek, 

segera balikkan tubuh. Kejap itu pula terdengar selo-

rohannya diiringi tawa tak sedap, "Busyet! Kupikir ada 

nangka busuk yang jatuh! Tidak tahunya nenek-nenek 

busuk!"

Si nenek yang tak menyangka kalau si pemuda 

mampu memutuskan sekaligus mendorong masuk tenaga dalam yang kerahkannya, langsung pentangkan 

kedua mata lebih lebar. Pancarannya dingin dan ber-

bahaya. Lain dengan sikap sebelumnya, kali ini si Ne-

nek rapatkan mulutnya yang tak bergigi.

Tetapi Pendekar Slebor tak mempedulikannya. Dia 

masih tertawa mengejek si nenek. 

"Kalau ada nangka sih masih lumayan buat dima-

kan. Tetapi ini... tak uk-uk, ya?!"

Dari pancaran mata yang tajam itu, lamat-lamat 

nampak kembali pada sikap semula. Kejap kemudian, 

si nenek berkata, "Hebat, hebat! Siapakah kau sebe-

narnya, Anak Muda?"

"Aku? Wah! Yang pasti bukan penjual toge go-

reng!" sahut Andika asal saja. Lalu dalam hati me-

nyambung, "Bidadari Tangan Bayangan tentunya su-

dah semakin menjauh dan tak mungkin lagi kulacak 

jejaknya. Urusan Patung Kepala Singa masih membin-

gungkanku. Tetapi si nenek tadi mengatakan, kalau 

dia sedang mencari Patung Kepala Singa. Hmmm... un-

tuk saat ini, aku akan berlaku tidak pernah menden-

gar tentang benda itu."

Si nenek cuma perlihatkan senyuman sinis. Seje-

nak dia terdiam sebelum berkata, "Menilik pakaian 

yang kau kenakan dan sikap cengengesanmu seperti 

itu... rasa-rasanya... aku pernah mendengar seorang 

pendekar yang memiliki sifat konyol seperti itu. Apa-

kah... kau pemuda yang dijuluki orang Pendekar Sle-

bor?"

"Wah! Mana bisa begitu? Enak saja orang-orang 

itu menjulukiku Pendekar Slebor!" sahut Andika men-

cak-mencak. Lalu sambungnya dengan gaya yang ten-

gik, "Kalaupun mau menjulukiku... lebih pantas den-

gan julukan Pendekar Slebor Yang Tampan Bin Gan-

teng! Haya! Bagus itu!"

Si nenek keluarkan dengusan dan diam-diam dia

membatin, "Aku bertambah yakin kalau dia memang 

Pendekar Slebor." 

Setelah terdiam beberapa saat si nenek berkata, . 

"Namaku Nyi Dungga Ratih! Pendekar Slebor... kuden-

gar kau banyak tahu setiap urusan karena otakmu 

yang encer! Sekarang katakan kepadaku, apakah kau

mengetahui tentang Patung Kepala Singa?"

"Patung Kepala Singa? Wah, mana aku tahu itu! 

Kalau Patung Kepala Dungga Ratih aku tahu!!"

Nyi Dungga Ratih tak pedulikan ejekan itu. Dia te-

rus berkata, "Ternyata dugaanku salah! Kau tak secer-

dik yang pernah kudengar!"

"Siapa bilang aku cerdik? Kalau sangat cerdik, ba-

ru betul!!" sahut Andika seenak perutnya saja. Lalu ka-

tanya, "Kenapa kau menanyakan soal Patung Kepala 

Singa?"

"Huh! Rupanya kau tertarik juga untuk mengeta-

hui soal itu?!" ejek Nyi Dungga Ratih.

"Tertarik sedikit, bolehlah...." 

"Aku belum pernah melihat seperti apa benda 

yang dinamakan Patung Kepala Singa yang kudengar 

dimiliki oleh Pendekar Sutera! Dan aku pernah pula 

mendengar, kalau di dalam patung itu terdapat sebuah 

benda langka yang...."

Mendadak saja si nenek memutus kata-katanya 

sendiri. Sementara itu, kendati penasaran untuk men-

getahui kelanjutannya, Andika justru berkata, "Kena-

pa? Apakah gigimu mendadak tumbuh?!"

Nyi Dungga Ratih malah menggeleng-gelengkan

kepalanya seraya berkata, "Aku tidak tahu secara pasti 

tentang kebenaran benda sakti yang ada di dalam Pa-

tung Kepala Singa. Tetapi yang ku khawatirkan, bila 

urusan itu akan berkembang menjadi sesuatu yang 

tak diharapkan."

"Kau ini bicara selalu berbelit-belit, ya? Kenapa tidak langsung saja," kata Andika masih bersikap tidak 

penasaran.

"Karena sebelum aku tiba di tempat ini, aku meli-

hat seorang lelaki tinggi besar berkepala gundul berka-

ta sendiri tentang Patung Kepala Singa. Dan dia berte-

kad untuk memilikinya!"

"Apakah dengan begitu kau merasa pasti urusan 

akan jadi panjang? Nek! Jangan-jangan kau keblinger 

ya?!"

Nyi Dungga Ratih tak mempedulikan lagi seloro-

han Andika. Dia berkata tegas, "Orang itu berjuluk si 

Kepala Besi!"

Kali ini cengengesan di bibir Andika seketika le-

nyap mendengar julukan itu disebutkan. Tetapi kejap 

kemudian dia bersikap asal-asalan kembali.

"Mau berjuluk Kepala Batu, Kepala Koral, atau 

Kepala Kayu aku tidak peduli! Kalau kau memang mau 

mencari Patung Kepala Singa, silakan saja! Toh ini bu-

kan urusanku!"

Kali ini terdengar suara Nyi Dungga Ratih mengge-

ram, "Itu memang bukan urusanmu!!"

Habis berseru demikian, perempuan tua berambut 

disanggul ke atas ini segera berkelebat cepat. Andika 

masih sempat melihat kelebatannya menghilang di 

penghujung jalan.

Beberapa lembar dedaunan berjatuhan.

"Si Kepala Besi... Apakah dugaan Bidadari Tangan 

Bayangan memang akan menjadi kenyataan? Nyi 

Dungga Ratih mengatakan pula tentang si Kepala Besi. 

Busyet! Ada beberapa urusan yang harus kupecahkan 

sekarang! Dan rasanya itu tidak mudah!"

Kejap kemudian, pemuda yang di lehernya melilit 

kain bercorak catur ini menarik napas panjang. Sete-

lah celingukan sebentar, dia segera berkelebat mening-

galkan tempat itu.

Kendati dia yakin untuk menemukan Bidadari 

Tangan Bayangan tidak mudah, tetapi dia tetap akan 

mencarinya.

Tiga kejapan mata berikutnya, nampak satu sosok 

tubuh berpakaian hitam muncul di tempat itu. Sepa-

sang mata si pendatang ini begitu tajam sekali.

"Aku akan mempergunakanmu untuk menda-

patkan Patung Kepala Singa, Pendekar Slebor!"

Kejap berikutnya, orang ini sudah berkelebat me-

nyusul.

***

3


Matahari sudah semakin menurun di ufuk barat. 

Bias-biasnya yang kemerahan nampak menggenangi 

persada langit. Begitu indah dan penuh pesona. Nam-

pak pula beberapa ekor burung beterbangan memben-

tuk siluet-siluet yang sangat indah.

Di sebuah jalan setapak, nampak satu sosok tu-

buh berpakaian putih-putih berkelebat dengan cepat-

nya. Sosok tubuh yang ternyata seorang gadis ini, 

nampak mendekap sesuatu yang terbungkus kain hi-

tam erat-erat. Dari caranya berlari, nampak kalau dia 

tak mau sekali pun hentikan larinya. Bahkan sambil 

berlari berulangkali gadis berambut dikucir ekor kuda 

ini menoleh ke belakang, seolah khawatir ada orang 

yang mengikutinya.

Napasnya mulai terdengar satu-satu. Kedua ka-

kinya sudah terasa ngilu sekali sementara keringat 

bertambah mengucur di wajahnya yang jelita.

"Aku harus menjauh... aku harus menjauh...," de-

sisnya berulangkali diselingi nafasnya yang memburu.

Tepat ketika matahari sudah masuk ke peraduan-

nya, gadis ini telah tiba di sebuah jalan hutan yang di-

penuhi jajaran pepohonan tinggi. Lima tindak kemu-

dian dia bergerak, mendadak saja sosoknya ambruk.

Bukan dikarenakan akar yang melintang dan bu-

kan pula disebabkan oleh kaki yang terserimpung. Te-

tapi dia memang telah kehabisan tenaga.

Begitu tubuhnya ambruk, bungkusan yang sejak 

dia berlari didekap di dadanya, terlempar ke depan. 

Bergulingan sejenak dan berhenti dengan kain yang 

membungkusnya telah terbentang.

"Oh!" desis si gadis terkejut.

Nampaklah sebuah benda berwarna keperakan 

yang terguling jatuh.

Lalu dengan susah payah dan kerahkan sisa-sisa 

tenaga dalamnya, gadis ini merangkak untuk mengga-

pai benda yang memancarkan sinar warna perak itu.

Begitu berhasil didekatinya, dengan tangan yang 

lemah benda itu dipegangnya. Lalu ditegakkan. Se-

buah benda yang terbuat dari kayu yang berwarna ke-

perakan. Benda yang nampaknya diciptakan oleh seo-

rang ahli pahat yang menakjubkan. Dan benda itu... 

bermotifkan kepala singa!

Dengan kerahkan sisa-sisa tenaganya, kembali si 

gadis merangkak. Kali ini menuju ke bawah sebuah 

pohon rindang. Susah payah dia mencoba untuk me-

nyandarkan tubuhnya. Begitu berhasil, nafasnya ter-

dengar kian memburu sementara benda yang ternyata 

sebuah patung kepala singa yang telah dibungkus 

kembali dengan kain hitam, didekap erat-erat.

Gadis ini nampak begitu ketakutan sekali. Tatkala 

terdengar suara semak menguak, cepat si gadis toleh-

kan kepalanya. Nampak pula kalau dia bersiap untuk 

lari kendati disadari kalau tenaganya sudah tak akan 

mampu untuk membawanya berlari.

Ketika dilihatnya seekor kelinci yang menyebab-

kan ranggasan semak di sebelah kanannya menguak, 

barulah gadis itu bisa menarik napas lega.

Lamat-lamat nampak sepasang matanya meredup. 

Sinarnya seolah menandakan dia tak ingin lagi me-

nikmati kehidupan ini.

Siapakah sebenarnya gadis itu? Dia adalah Tri Sa-

ri, putri dari Pendekar Sutera. Lima hari yang lalu, ma-

lam itu, di saat Tri Sari sedang tertidur nyenyak, men-

dadak saja terdengar suara ribut-ribut di halaman de-

pan Kuil Putra Langit.

Untuk sesaat si gadis yang masih menahan kan-

tuk tertegun di tempat tidurnya. Dia seperti tengah 

bermimpi. Tetapi tatkala didengarnya teriakan kema-

tian dan suara beradunya senjata, sadarlah Tri Sari 

kalau yang didengarnya itu bukan mimpi. Tetapi suara 

orang bertarung di halaman Kuil Putra Langit!

Bergegas Tri Sari melongok dari jendela kamarnya. 

Tetapi karena malam begitu pekat, yang dilihat hanya-

lah bayangan-bayangan orang yang sedang mencoba 

mendesak seseorang yang tak diketahui rupanya. 

Bayangan-bayangan orang yang diyakininya adalah 

murid-murid ayahnya itu, ternyata tak mampu mende-

sak si perusuh yang justru menghabisi mereka dengan 

garang.

Jeritan kematian terdengar beruntun dan begitu 

menyayat. Sebagai putri dari Pendekar Sutera, Tri Sari 

memiliki kepandaian bela diri yang tidak sedikit. Dia 

pun bersiap keluar untuk membantu.

Namun baru saja dia tiba di ambang pintu, pintu 

kamarnya telah lebih dulu terbuka. Muncul ayahnya 

dengan napas terengah dan tubuh dipenuhi luka-luka.

"Ayah!!" serunya kaget bercampur gugup. 

"Jangan bersuara, Anakku! Sekarang, dengarkan 

kata-kata Ayah! Jangan membantah dan segera kau

laksanakan perintah Ayah ini!" seru Pendekar Sutera 

sambil menutup pintu kembali.

Kemudian ditatapnya putrinya itu yang menatap-

nya dengan sinar mata penuh kecemasan.

"Seorang tamu yang tak diundang telah datang! 

Dan melakukan pembantaian yang sangat keji! Ayah 

minta...."

"Siapa perusuh itu. Ayah?" potong Tri Sari. 

"Jangan banyak tanya! Waktu kita sangat sempit! 

Tri! Kau tahu bukan, kalau Ayah menemukan sebuah 

benda yang Ayah namakan Patung Kepala Singa? Ben-

da itu Ayah sembunyikan di kaki bukit Wengker! Bera-

da di tengah-tengah dua pohon kembar yang sama 

tinggi dan bentuknya. Galilah. Lalu ambillah benda itu 

dan segeralah pergi menjauh! Karena... perusuh itu 

menghendaki Patung Kepala Singa! Sementara, sampai 

saat ini Ayah masih menunggu siapakah orang yang 

berhak memiliki benda itu! Cepat, Tri!" 

"Tidak, aku akan menghadapi perusuh itu!" 

"Tri...," sahut Pendekar Sutera sabar, kendati de-

mikian hatinya cemas bukan main mengingat si pen-

datang menginginkan Patung Kepala Singa dengan ca-

ra biadab dan memiliki kesaktian tinggi. 

"Hanya engkaulah satu-satunya orang yang Ayah 

percayai. Bawalah Patung Kepala Singa itu! Cari Bida-

dari Tangan Bayangan yang sering Ayah ceritakan ke-

padamu di sebuah tempat yang bernama Lembah Pi-

nus! Mudah-mudahan kau tidak berselisih jalan den-

gannya karena Ayah telah mengundangnya untuk da-

tang. Sudahlah! Cepat pergi, Tri! Ayah tidak bisa bera-

da di sini lebih lama!!"

Kendati keinginan untuk membantu ayahnya 

menghadapi perusuh itu bertambah menguat, namun 

Tri Sari dapat merasakan kecemasan ayahnya. Dengan 

perasaan berat dia menganggukkan kepalanya.

"Bagus! Cepat kau pergi melalui pintu belakang!" 

kata Pendekar Sutera sambil membuka pintu kembali. 

Di muka pintu kamarnya, Tri Sari sejenak menatap 

ayahnya kembali.

Pendekar Sutera mendesah pendek. "Pergilah!"

Lalu dengan hati berat, Tri Sari segera bergegas. 

Masih sempat dilihatnya ayahnya yang segera kembali 

ke halaman depan. Ada perasaan di hati si gadis untuk 

melihat siapakah perusuh kejam itu. Tetapi mengingat 

amanat ayahnya, dia pun segera berkelebat mening-

galkan Kuil Putra Langit. Dan Tri Sari tidak tahu apa 

yang dialami oleh ayahnya itu kemudian.

Bukit Wengker terletak sekitar dua ratus tombak 

dari Kuil Putra Langit di sebelah timur. Tepat ratu ma-

lam mulai menurun, Tri Sari pun akhirnya tiba di bu-

kit itu. Diperhatikan sekeliling bukit yang dipenuhi 

dengan pepohonan dan dinding bukit landai yang cu-

ram.

Sejenak Tri Sari arahkan pandangan pada jalan 

yang telah ditempuhnya. Ada keinginan untuk melihat 

keadaan ayahnya. Namun lagi-lagi setelah mengingat 

amanat yang diberikan ayahnya, gadis itu mengurung-

kan maksud.

Segera dicarinya dua pohon kembar yang sama 

tinggi dan bentuk. Tetapi mencari dua pohon itu ter-

nyata tak mudah, karena begitu banyaknya jajaran 

pepohonan yang tumbuh di sana.

Setelah memakan waktu yang cukup lama, akhir-

nya Tri Sari menemukan pula kedua pohon itu. Tanpa 

membuang waktu lagi, dengan mempergunakan kedua 

tangannya, si gadis segera menggali tanah yang terda-

pat di tengah-tengah kedua pohon itu.

Melewati waktu yang tak begitu lama namun ta-

nah yang digalinya sudah sedalam lengan orang dewa-

sa, Tri Sari melihat sebuah benda yang terbungkus

kain hitam. Segera diambilnya benda itu. Dilihatnya 

dulu untuk meyakinkan kalau memang benda itulah 

yang dicarinya.

Tatkala dia hendak meninggalkan tempat itu, 

mendadak saja didengarnya suara orang berkelebat. 

Sejenak Tri Sari dongakkan kepala seraya berdiri. Ga-

dis itu sadar kalau keadaan saat ini sangat genting. 

Makanya dia tak mau ambil risiko berada di tempat 

yang dapat dilihat seperti itu.

Tanpa menutup lubang yang telah digali, putri 

Pendekar Sutera ini sudah berkelebat. Tetapi malang, 

dia tidak melihat sebuah lubang besar yang ditutupi 

dedaunan.

Krosaak! Bruukkk! .

Tubuhnya jatuh ke dalam lubang itu. Dia tak

menderita luka yang berarti, hanya lecet-lecet kecil sa-

ja. Gadis ini memaki jengkel. Tetapi, karena masuk ke 

lubang itulah dia jadi selamat dari ancaman maut

orang yang berkelebat yang ternyata adalah orang yang 

telah lakukan pembantaian keji di Kuil Putra Langit.

Gadis itu sendiri jadi urung untuk segera melom-

pat keluar, tatkala didengarnya kelebatan orang itu 

semakin mendekat ke arahnya. Diyakini kalau kemu-

dian orang itu hentikan gerakannya. Sejurus kemu-

dian terdengar geramannya, "Jahanam terkutuk! Di 

mana Pendekar Sutera menyembunyikan Patung Kepa-

la Singa! Keparat! Apakah ini berarti usahaku untuk 

mendapatkan benda itu sia-sia belaka? Huh! Imbalan 

dari perbuatan busuknya yang tak mau mengatakan di 

mana benda itu berada, akhirnya dia harus tewas di-

tanganku bersama dengan murid-muridnya yang lain! 

Jahanam sial! Kendati telah kuobrak-abrik bagian da-

lam kuil itu, tetap tak kutemukan Patung Kepala Sin-

ga! Hhh! Sampai kapan pun aku harus mendapatkan 

benda itu!"

Habis umbar kemarahannya, si pembunuh kejam 

yang gagal mendapatkan apa yang diinginkannya sege-

ra berkelebat cepat.

Di dalam lubang, Tri Sari merasa sekujur tubuh-

nya lemas. Dan dia jatuh menggelosoh di dasar lubang 

sementara Patung Kepala Singa tetap didekap erat-

erat.

"Ayah...," desisnya bagai desahan belaka. Si gadis 

yang ketika berusia lima tahun ditinggal mati ibunya 

karena sakit ini, mencoba untuk menindih segala ke-

pedihan di hatinya.

Dia memang gadis yang tegar, gadis yang mampu

mempergunakan pikirannya untuk mempertimbang-

kan apa yang hendak dilakukannya. Namun kendati 

demikian, tak urung air matanya menitik.

Setelah dua belas tarikan napas berada dalam 

lingkaran kesedihan, perlahan-lahan Tri Sari bangkit 

berdiri. Ditariknya napas dalam-dalam dan dihem-

buskannya kuat-kuat.

"Aku harus mencari Bidadari Tangan Bayangan!" 

desisnya tegar.

Dengan kerahkan sedikit ilmu peringan tubuhnya, 

segera saja dia melompat keluar dari lubang yang cu-

kup dalam itu. Sejenak diedarkan pandangan mem-

perhatikan sekitarnya. Matahari telah lewati batas se-

penggalan. Udara mulai cukup memanas dan mengua-

pkan sisa-sisa embun.

Setelah beberapa saat, Tri Sari pun segera berke-

lebat ke arah barat, menuju ke Lembah Pinus.

***

Si gadis menarik napas panjang. Diselonjorkan 

kedua kakinya, lalu dilonggarkan setiap urat darah-

nya. Udara senja yang semilir membuat rasa kantuk

mudah menyerangnya. Namun dia berusaha untuk 

menahannya. Karena yang dipikirkan, dia harus cepat 

tiba di Lembah Pinus.

Ada keinginan yang kuat untuk mencari pelaku 

pembantaian keji itu. Disesalinya mengapa dia tidak

mencoba untuk melihat si pembantai yang sebenarnya 

sudah dekat dengannya di saat dia terjatuh ke dalam 

lubang.

Dan ditindihnya segala ingatan tentang ayahnya, 

tentang Kuil Putra Langit yang telah dihuninya selama 

enam belas tahun. Tentang semua-muanya.

Lamat-lamat dirabanya Patung Kepala Singa yang 

terbungkus kain hitam. Ada perasaan sedih yang men-

dera kembali. Hanya dikarenakan Patung Kepala Singa 

yang ditemukan ayahnya tak sengaja inilah pemban-

taian keji itu terjadi.

Tri Sari memang mengetahui tentang hal itu. Bah-

kan ayahnya pun menduga kalau di dalam patung ke-

pala singa terdapat sesuatu yang tentunya sangat ra-

hasia. Hal itu bisa diketahui bila merabanya dengan 

mempergunakan hawa murni. Satu hal lain lagi yang 

menarik, patung itu sangat ringan.

Sementara itu semakin dilawan rasa kantuknya, 

Tri Sari semakin tak kuasa untuk menahan lebih lama. 

Angin yang bertambah semilir laksana tangan seorang 

ibunda yang lama dirindukan membelai-belai wajah-

nya.

Namun tatkala dia mulai merapatkan matanya 

dan sebagian jiwanya seperti terbang ke alam lain, 

mendadak terdengar suara langkah yang cukup berat.

Serta merta Tri Sari membuka sepasang matanya.

"Oh!!"

Seperti telah pulih tenaga yang terkuras, putri 

Pendekar Sutera ini segera berdiri tegak. Patung Kepa-

la Singa yang terbungkus kain hitam itu semakin erat

didekapnya.

Sejarak lima langkah di hadapannya, telah berdiri 

seorang lelaki tinggi besar. Mengenakan pakaian warna 

abu-abu yang terbuka di bahu kanannya, memperli-

hatkan betapa bidang dadanya dan betapa besar otot-

otot di tubuhnya. Wajah lelaki itu cukup menyeram-

kan, kelimis dengan sepasang bibir tebal. Kepala yang 

agak lonjong itu, plontos tanpa dihiasi oleh selembar 

rambut pun. Sepasang matanya tajam tak berkedip 

memandang Tri Sari.

Lelaki itulah yang berjuluk Kepala Besi!

***

4


Untuk beberapa lama, tak ada yang membuka su-

ara. Beberapa helai dedaunan berguguran. Dua ekor 

kelinci menyeruak dari gerumbulan semak dan lang-

sung masuk lagi terbirit-birit setelah sesaat dongakkan 

kepala pada dua anak manusia itu.

"Celaka! Siapakah lelaki tinggi besar ini? Dari 

tampangnya, jelas dia bukan orang baik-baik. Tetapi

aku ingat akan kata-kata Ayah. Menilai seseorang jan-

gan dari bentuk tubuh maupun rupanya," kata Tri Sari 

dalam hati.

Putri Pendekar Sutera ini segera tindih rasa kha-

watirnya. Sambil mendekap Patung Kepala Singa yang 

terbungkus kain hitam dengan tangan kirinya itu, dia 

berkata, "Orang tak dikenal... ada perlu apa kau berdi-

ri di hadapanku?" |

Si Kepala Besi terdiam dulu sebelum menjawab,

"Justru pertanyaan itu ada padaku. Mengapa gadis se-

cantik kau berada di tempat sepi seperti ini?"

Tri Sari pandangi dulu lelaki yang mengenakan 

pakaian warna abu-abu terbuka di bahu sebelah ka-

nan itu. Lalu dengan hati-hati dia menyahut, "Ini uru-

sanku! Bila kau tak senang, kebetulan aku hendak 

meninggalkan tempat ini!"

Dan dia siap mengadu jiwa bila ternyata lelaki 

berpakaian abu-abu itu menahannya. Namun di luar 

dugaan si gadis, lelaki itu justru menyingkir tiga tin-

dak ke samping kanan, seperti membiarkan dirinya 

melangkah. Tindakan yang dilakukan si Kepala Besi 

justru memancing kecurigaan Tri Sari.

"Hmmm... aku harus berhati-hati."

Karena si gadis belum juga ayunkan langkah, si 

Kepala Besi berkata, "Mengapa kau tak segera mening-

galkan tempat ini? Dalam kesunyian dan malam yang 

sebentar lagi datang, bahaya akan lebih mudah men-

gancam."

Tri Sari tak membuka mulut. Diam-diam dialirkan 

tenaga dalam pada tangan kanannya, bersiap bila ter-

jadi sesuatu yang tak diinginkan.

Sejenak dipandanginya dulu lelaki berkepala plon-

tos itu. Lalu sambil perbesar kehati-hatiannya, gadis 

ini mulai melangkah. Pandangannya tetap diarahkan 

pada si Kepala Besi yang justru membalikkan tubuh 

seolah memberikan kesempatan padanya lewat.

Perasaan Tri Sari agak tenang tatkala dia sudah 

berada sekitar tujuh langkah dari si Kepala Besi se-

mentara lelaki itu tak melakukan apa-apa.

Tetapi dia tersentak tatkala mendengar suara te-

gas, "Tunggu!!"

Serta merta gadis ini putar tubuh dan bersiaga.

Si Kepala Besi yang memanggil tadi menjadi urung 

untuk segera berkata begitu melihat kedudukan si ga-

dis yang telah membuka kuda-kuda. Kepala Besi cu-

kup lama malang melintang di rimba persilatan ini.

Kendati si gadis hanya berdiri tegak dengan kedua kaki 

sejajar satu sama lain, namun dia tahu kalau gadis itu 

berada dalam posisi siap menyerang.

Lelaki berkepala plontos ini keluarkan dengusan.

"Jangan bersikap tegang! Sebelum kau tinggalkan 

tempat ini, ada satu pertanyaanku untukmu!" 

"Cepat katakan!!" sambar Tri Sari. 

"Apakah kau mengenal seorang lelaki yang berju-

luk Pendekar Sutera?"

Tak menyangka pertanyaan seperti itu yang di-

dengarnya, Tri Sari melengak. Bahkan tanpa sadar dia 

surut satu tindak ke belakang. Sepasang matanya 

terbuka lebih lebar.

"Lelaki ini menanyakan tentang ayah? Apakah dia 

belum tahu keadaan Ayah? Atau... jangan-Jangan... 

dia salah seorang yang hendak membunuh Ayah un-

tuk mendapatkan Patung Kepala Singa? Huh! Aku tak 

akan... oh! Bagaimana bila ternyata dialah orang yang 

telah lakukan pembantaian mengerikan itu?!" kata Tri 

Sari dalam hati dengan dada berdebar.

Kendati demikian, kemarahan berkobar di da-

danya tatkala teringat nasib malang yang menimpa 

ayahnya. Lalu dengan suara lantang dia berseru, 

"Mengapa kau menanyakan soal itu kepadaku, hah?!"

Wajah si Kepala Besi nampak mengkelap menden-

gar kata-kata yang ketus. Tetapi jelas kalau dia beru-

saha untuk tindih kemarahannya.

"Aku tak bisa mengatakan apa maksudmu menca-

rinya! Tetapi kau cukup menjawab... ya atau tidak!"

"Aku tidak mengenalnya!"

"Itu pun bukan jadi masalah buatku! Baik! Kita 

berpisah di sini!" seru Kepala Besi.

Kejap itu pula dia segera putar tubuh. Namun se-

belum dia melangkah, mendadak saja terdengar suara 

gemuruh angin yang keras mengarah padanya!!

"Heeeiiii!!" seru Kepala Besi tertahan.

Dengan gerakan yang menakjubkan, lelaki bertu-

buh tinggi besar ini segera membuang tubuh ke ka-

nan. Menyusul terdengar suara letupan yang cukup 

keras tatkala gelombang angin itu menghantam tanah 

di mana tadi dipijaknya.

Kejap itu pula tanah itu terbongkar dan mener-

bangkan bongkarannya di udara.

Bukan hanya Kepala Besi yang terkejut, Tri Sari 

pun tersentak hingga tak sadar dia bukannya segera 

meninggalkan tempat itu, tetapi justru menunggu. Se-

mentara itu Kepala Besi sudah tegak kembali di atas 

tanah dengan kedua kaki dibuka agak lebar.

Mendadak terlihat satu bayangan kuning berkele-

bat cepat dari balik ranggasan semak disertai makian 

keras, "Manusia hina pemakan bangkai! Lama kucari... 

rupanya kau berada di sini! Bagus! Kau harus terima 

balasan dari segala perbuatan terkutukmu itu!"

Belum lagi habis suara itu terdengar, telah berdiri 

satu sosok tubuh berpakaian kuning bersih dan di 

pinggang ramping sosok tubuh itu melilit ikat pinggang 

warna merah.

"Bidadari Tangan Bayangan...," desis si Kepala Be-

si.

Tri Sari yang mendengar desisan lelaki berkepala 

plontos itu serta merta arahkan pandangannya pada 

Kepala Besi, lalu mengarahkannya lagi pada perem-

puan yang baru datang yang memang tak lain Bidadari 

Tangan Bayangan.

"Bidadari Tangan Bayangan..." desisnya. "Bukan-

kah orang ini yang harus kucari? Perempuan sahabat 

Ayah? Oh, sungguh beruntung nasibku kalau begi-

ni...."

Perempuan berpakaian kuning bersih itu hanya 

sejenak menatap Tri Sari. Dari sikapnya jelas dia tak

pandang sebelah mata pada gadis itu, karena di kejap 

lain dia segera arahkan pandangannya pada Kepala 

Besi yang nampak sedang kerutkan keningnya.

Dan sebelum perempuan itu buka mulut, terden-

gar suara dengusan. Menyusul kata-kata yang men-

gandung amarah, ""Bidadari Tangan Bayangan... ku-

dengar selama ini kau adalah perempuan dari golon-

gan lurus! Tetapi sekarang, mengapa kau justru laku-

kan serangan keji ini kepadaku?!"

Bidadari Tangan Bayangan yang menyangka si 

Kepala Besi adalah orang yang bertanggung jawab atas 

pembantaian di Kuil Putra Langit berseru dingin, "Aku 

bukan hanya akan lakukan serangan padamu! Teta-

pi... juga akan membunuhmu!!"

"Tunggu!" tahan si Kepala Besi tatkala mendapati 

Bidadari Tangan Bayangan siap lepaskan serangan. 

"Katakan sebabnya mengapa kau hendak membunuh-

ku?!"

"Jangan bersilat lidah lagi!" Perlahan-lahan kehe-

ranan di wajah Kepala Besi menghilang. Sebagai gan-

tinya, nampak wajahnya memerah tanda tak suka 

mendengar ucapan orang.

"Bidadari Tangan Bayangan! Selama ini kita tak 

pernah buka urusan satu sama lain, apalagi urusan 

yang menyangkut soal nyawa! Tetapi, aku pun bukan 

orang yang sabar dan senang dihina seperti itu!"

"Karena kau memang layak dihina!!"

Habis ucapannya, perempuan berpakaian kuning 

ini segera gerakkan kedua tangannya ke muka. Serta 

merta menggebah dua gelombangan angin yang kelua-

rkan suara menggemuruh ke arah Kepala Besi.

Lelaki berpakaian abu-abu terbuka di bahu kanan 

itu, kertakkan rahangnya sebelum lakukan satu lom-

patan indah ke samping itu.

Blaaaammm!!

Dua gelombang angin yang dilepaskan oleh Bida-

dari Tangan Bayangan membongkar tanah di mana tu-

buh Kepala Besi berdiri tadi, yang seketika membentuk 

sebuah lubang yang keluarkan asap. 

"Hebat!" serunya sinis. "Tetapi jangan berbangga 

dulu! Karena... aku akan tetap mencabut nyawamu!"

"Tunggu! Katakan dulu, urusan apa yang harus 

diselesaikan hingga kau menginginkan nyawaku?!"

"Manusia durjana! Kau memang pandai bermain 

kata-kata rupanya! Baik! Apakah pembantaian di Kuil 

Putra Langit mengingatkanmu pada sesuatu? Atau kau 

sudah terlalu dungu hingga kau sekarang hendak 

mencuci tangan?!"

"Gila! Apa yang dimaksudnya dengan Kuil Putra 

Langit? Aku memang pernah mendengar tentang kuil 

itu yang dihuni oleh Pendekar Sutera! Tetapi hingga 

hari ini, aku tidak tahu di mana kuil itu berada! Bah-

kan aku tidak tahu seperti apa rupanya Pendekar Su-

tera?"

Habis membatin demikian, Kepala Besi berseru la-

gi, "Apa maksudmu dengan pembantaian di Kuil Putra 

Langit?!"

"Lelaki celaka! Kau telah membunuh Pendekar Su-

tera beserta para muridnya untuk mendapatkan Pa-

tung Kepala Singa! Sekarang, apakah kau akan mung-

kir dari kenyataan yang kukatakan ini?!" sambar Bida-

dari Tangan Bayangan kalap. 

"Patung Kepala Singa!" tanpa sadar Kepala Besi 

berseru tertahan.

Sementara Tri Sari merasakan hatinya mulai di-

landa kepedihan karena apa yang diduganya tentang 

ayahnya ternyata terbukti, Bidadari Tangan Bayangan 

perlihatkan sinisannya pada Kepala Besi.

"Rupanya otakmu sudah bisa bekerja dengan 

baik! Bagus! Sekarang... kau harus mempertanggung

jawabkan segala perbuatanmu itu!" serunya dengan 

tangan kanan dan kiri dikepalkan. "Katakan, di mana 

kau sembunyikan Patung Kepala Singa?!"

"Tunggu! Urusan ini masih mengambang di be-

nakku kendati aku tahu apa maksudmu! Paling tidak, 

kau menuduh aku yang telah lakukan pembantaian di 

Kuil Putra Langit!" '

"Tak perlu kau ulangi lagi aku sudah yakin soal 

itu!!"

"Keparat! Semakin kuladeni, semakin kacau 

omongannya?!" maki Kepala Besi dalam hati. Lalu ber-

seru, "Mengapa kau menyangka aku yang telah mela-

kukan tindakan keji itu!"

"Kau masih mau mungkir rupanya! Dan aku bo-

san menghadapi manusia pengecut seperti kau!!"

Habis bentakannya, segera saja perempuan berba-

ju kuning bersih ini mengangkat kedua tangannya ke 

atas. Kejap berikutnya, kedua tangannya itu digerak-

kan yang semakin lama nampak semakin cepat. Me-

nyusul terdengarnya deru angin yang berkesiur kuat. 

Bukan hanya menyambar dedaunan yang seketika 

berguguran, tetapi juga mematahkan ranting dan da-

han pohon yang beterbangan.

Di seberang, Kepala Besi membatin, "Nampaknya 

perempuan ini tidak main-main! Dan rasanya, dalam 

keadaan seperti ini sulit untuk menjernihkan suasana. 

Mau tak mau aku harus menghadapinya ketimbang 

aku mendapat celaka!"

Memutuskan demikian, lelaki tinggi besar berke-

pala plontos ini segera silangkan kedua tangannya di 

depan dada. Pandangannya lurus ke muka, tak berke-

dip.

Sementara itu, Tri Sari yang sejenak tadi dilanda 

kesedihan, lamat-lamat merasakan kemarahan dan 

dendam tinggi pada Kepala Besi yang dikatakan Bidadari Tangan Bayangan adalah orang yang bertanggung 

jawab atas pembantaian di Kuil Putra Langit.

Namun untuk saat ini, dia tak mau bertindak. Ka-

rena disadarinya kalau kedua orang yang berbeda jenis 

itu siap lakukan pertarungan yang hebat. Kendati de-

mikian, diam-diam dia sangat berharap agar Bidadari 

Tangan Bayangan dapat mengalahkan si Kepala Besi.

Tiba-tiba saja terdengar suara teriakan menggele-

gar dari mulut Bidadari Tangan Bayangan, "Manusia 

hina! Terimalah kematiaaaaan!!"

Menyusul kedua tangannya yang digerak-

gerakkan ke atas, didorong ke depan. Tidak hanya 

sampai di sana tindakan perempuan berpakaian kun-

ing bersih ini. Karena kejap itu pula sosoknya sudah 

mencelat ke depan sambil menggerakkan tangan ka-

nan kirinya yang laksana bayangan belaka.

Kepala Besi yang sudah duga akan ganasnya se-

rangan Bidadari Tangan Bayangan, cepat membuang 

tubuh ke samping. Saat melompat itu dia segera do-

rong kedua tangannya dengan posisi mengepal. 

Wusss! Wuuusss!

Bersamaan terdengar letupan dan tumbangnya 

sebuah pohon besar akibat sambaran serangan Bida-

dari Tangan Bayangan, dua gelombang angin panas 

menghampar deras, menerbangkan rerumputan dan 

menahan pukulan berantai Bidadari Tangan Bayan-

gan. Sejenak perempuan berbaju kuning bersih ini ter-

henyak, Tubuhnya mundur satu tombak ke belakang 

ketika pukulannya bagai ditahan tangan raksasa. 

Meskipun demikian, dia segera angkat tangannya yang 

kembali bergerak tak ubahnya bayangan belaka. Dan... 

Wusss!

Terkesiap bukan alang kepalang Kepala Besi 

tatkala merasakan sambaran angin mengarah pada le-

hernya. Tak mau lehernya patah akibat serangan ganas itu, Kepala Besi kembali membuang tubuhnya ke 

kiri dan berputar dua kali sebelum hinggap di tanah.

Di seberang, Bidadari Tangan Bayangan sengaja 

surutkan langkahnya. Sejenak diatur nafasnya yang 

agak terengah. Pandangannya menyipit tajam.

"Hebat!" desisnya dalam hati.

Kejap kemudian, dia sudah menerjang kembali ke 

muka. Hanya yang agak aneh, kali ini gerakannya be-

gitu lambat. Kendati demikian, gerakan tangannya ju-

stru tak kurang. Malah nampak semakin cepat dan ke-

luarkan suara berdesing-desing.

Dalam sekejap saja Kepala Besi sudah bisa men-

duga kalau lawan coba mengalihkan perhatiannya. Dia 

tak mau bertindak ayal ketika tangan kanan dan kiri 

Bidadari Tangan Bayangan mengibas ke muka.

Wrrrrr!

Sinar putih bening menghampar dengan kekuatan 

besar. Menerangi tempat yang sudah mulai diremangi 

oleh malam. Kepala Besi memekik tertahan karena pa-

da jarak dua tombak dia sudah rasakan panas yang 

sangat tinggi.

Inilah jurus 'Bayangan Matahari' yang sedang di-

lepaskan oleh Bidadari Tangan Bayangan. Sementara 

itu, serta merta Kepala Besi meluruk dengan tubuh 

laksana seekor banteng.

Bidadari Tangan Bayangan yang geram setinggi 

langit, tak mau bertindak ayal. Dilipatgandakan tenaga 

dalamnya dan melepaskan jurus 'Bayangan Matahari'.

Wusss!

Menyusul tubuh seperti dibetot setan melesat ke 

muka. Sepintas gerak menghindar yang diperlihatkan 

Kepala Besi lebih cepat karena Bidadari Tangan 

Bayangan memang seperti sengaja memperlambat ge-

rakannya. Namun dalam lambat gerakannya itulah 

tersimpan sebuah perangkap yang bukan hanya akan

menjatuhkan lawan, tetapi sekaligus akan melumpuh-

kannya! Karena gerakan itu akan berubah menjadi ce-

pat bila dikehendaki oleh pemiliknya. Yang terjadi pun 

demikian.

Benturan dua tenaga sakti tingkat tinggi yang sa-

ma-sama mengandung hawa panas luar biasa terjadi. 

Ledakan dahsyat terdengar. Tempat itu bagai digon-

cang sebuah gempa hebat. Tanah di tempat berte-

munya benturan itu muncrat setinggi dua tombak. De-

daunan langsung meranggas dan rumput serta semak 

belukar tercabut paksa dari akarnya.

Kejadian itu segera halangi pandangan keduanya. 

Bidadari Tangan Bayangan mengibas-ngibaskan tan-

gannya agar pandangannya lebih terbuka. Ketika ta-

nah, semak dan dedaunan terhempas ke tanah, sepa-

sang matanya terbuka lebih lebar dengan mulut men-

ganga membentuk lorong.

Si Kepala Besi, sudah tidak ada di hadapannya! 

"Siaaaalll!!" geramnya tinggi. Menyusul dilepaskan pu-

kulan demi pukulannya. Serta merta menderu-deru 

angin luar biasa kerasnya yang segera menghantam 

beberapa buah pepohonan yang langsung tumbang be-

rantakan.

Sementara itu, Tri Sari yang sejak tadi hanya 

memperhatikan, pun terkesiap kaget tatkala tak lagi 

melihat sosok Kepala Besi di hadapannya. Gadis yang 

kini dibaluri dendam itu pun siap melompat untuk 

menyusul.

Tetapi satu suara menahannya, "Diam di tempat-

mu!!"

***

5


Saat itu pula si gadis urungkan niat dan paling-

kan kepala. Kendati disadarinya dalam suara perem-

puan berpakaian kuning bersih itu terdapat nada ke-

marahan, namun gadis ini tak sekali pun merasakan 

takut ataupun marah. Karena dia yakin, perempuan 

inilah yang dimaksudkan oleh ayahnya.

Serta merta dia menjura dengan satu tangan, se-

mentara tangan kirinya tetap mendekap Patung Kepala 

Singa yang dibungkus kain hitam.

"Salam untukmu Bidadari Tangan Bayangan...," 

katanya hormat.

Sesungguhnya, Bidadari Tangan Bayangan adalah 

seorang perempuan yang menghargai kesopanan. Na-

mun dikarenakan dia sedang marah besar akan le-

nyapnya Kepala Besi, dia hanya kertakkan rahangnya 

melihat sikap Tri Sari.

"Jangan menjual lagak di hadapanku! Katakan, 

siapakah kau sebenarnya? Ada urusan apa kau den-

gan lelaki celaka itu, hah?!"

Tak mau membuang waktu, Tri Sari segera men-

jawab, "Namaku Tri Sari...."

Hanya itu yang dikatakannya, karena dia hendak 

melihat sikap perempuan di hadapannya. Dan ternyata 

apa yang diharapkannya terjadi. Karena sejenak terli-

hat Bidadari Tangan Bayangan melengak.

Pandangannya lurus tak berkedip.

"Tri Sari...," desisnya seperti mengingat-ingat. Ke-

mudian katanya, "Apakah... kau Tri Sari putri dari 

Pendekar Sutera?"

Mendengar pertanyaan itu, seketika wajah gadis 

ini berseri-seri.

"Ya! Aku adalah putri dari Pendekar Sutera!"

Seraya melangkah mendekat, Bidadari Tangan 

Bayangan berkata, "Oh, Tuhan... ternyata kau sela-

mat."

Sejenak dipandanginya gadis itu dengan seksama. 

Lalu dengan suara penuh prihatin dia berkata, "Apa-

kah kau sudah tahu bagaimana nasib ayahmu?"

Tri Sari yang sudah mendengarnya secara tidak 

langsung dari percakapan Bidadari Tangan Bayangan 

dengan Kepala Besi tadi, menganggukkan kepalanya. 

Nampak kalau dia berusaha untuk tidak tampakkan 

kesedihannya.

Diam-diam Bidadari Tangan Bayangan berkata 

kagum dalam hati, "Ketegarannya sungguh menakjub-

kan." Kemudian katanya, "Tri Sari... ceritakan bagai-

mana kau bisa selamat dari pembantaian keji yang te-

lah dilakukan oleh Kepala Besi?"

Dengan tetap tak menunjukkan kesedihannya, Tri 

Sari segera menceritakan semuanya.

"Patung Kepala Singa...," desis Bidadari Tangan 

Bayangan setelah si gadis selesai bercerita. Pandan-

gannya sejenak ditujukan pada benda yang terbung-

kus kain hitam dalam dekap tangan kiri Tri Sari. Ke-

mudian katanya, "Tri Sari... aku tidak tahu mengapa 

ayahmu menyuruhmu menemuiku. Tetapi ada dua 

maksud yang mungkin bisa dijadikan patokan. Perta-

ma, agar aku melindungimu dari pembantaian keji 

yang telah dilakukan Kepala Besi. Kedua, juga melin-

dungi Patung Kepala Singa dari rebutan manusia-

manusia serakah. Sekarang, apakah kau tahu apa 

yang tersimpan di dalam Patung Kepala Singa?"

Tri Sari menggelengkan kepalanya.

Bidadari Tangan Bayangan mendesah panjang.

"Persoalan ini semakin pelik. Sebenarnya, aku tak 

ingin melepaskan nyawa Kepala Besi. Biar bagaimana-

pun juga, dia harus membayar seluruh perbuatannya

dengan nyawanya. Tetapi kupikir, kita lebih dulu ha-

rus memecahkan apa isi dari Patung Kepala Singa. 

Hanya saja... untuk mengetahui soal itu, terpaksa kita 

harus memecahkannya...."

Untuk sejenak tak ada yang keluarkan suara. Di 

kejauhan terdengar lolongan serigala yang cukup men-

cekam. 

Lalu terdengar suara putri Pendekar Sutera, "Bi-

bik... bagiku, tak mengapa kalau kita harus memecah-

kan benda ini untuk mengetahui apa isinya. Karena, 

aku juga penasaran. Tetapi Bibik... Ayah pernah ber-

kata kepadaku, kalau dia akan menunggu orang yang 

berhak atas Patung Kepala Singa."

Bidadari Tangan Bayangan mengangguk-

anggukkan kepalanya.

"Memang sebuah masalah yang cukup rumit sebenar-

nya. Dan semua ini...." Mendadak perempuan yang di 

pinggangnya melilit ikat pinggang warna merah ini 

memutus kata-katanya sendiri. Lamat-lamat terlihat 

wajahnya menjadi cerah. "Aku tahu siapa orang yang 

bisa melihat benda apa yang ada di dalam Patung Ke-

pala Singa. Tri Sari... sekarang kau ikut denganku ke 

Bukit Kubur! Kita akan menjumpai dan meminta per-

tolongan Dewa Suci."

Karena merasa percaya pada Bidadari Tangan 

Bayangan, Tri Sari menganggukkan kepalanya.

Kejap kemudian, dia sudah menyusul kelebatan 

tubuh Bidadari Tangan Bayangan. Dan saat itu pula, 

tempat tadi didera sunyi kembali. Meninggalkan bebe-

rapa pohon tumbang dan tanah serta ranggasan se-

mak belukar yang telah hancur.

Pada saat yang bersamaan, satu sosok tubuh se-

dang hentikan kelebatannya di sebuah jalan setapak. 

Di kanan kirinya dipenuhi ranggasan semak belukar. 

Tatkala sinar rembulan berhasil membebaskan diri da

ri kukungan awan hitam, nampak sosok tubuh yang 

mengenakan pakaian warna hijau itu sedang garuk-

garuk kepalanya. Lalu menyampirkan kain bercorak 

catur yang agak turun pada lehernya.

"Betul-betul bikin pusing!" makinya jengkel. "Ke 

mana perginya Bidadari Tangan Bayangan sampai se-

karang belum kuketahui. Hmmm... jangan-jangan dia 

sudah bertemu dengan si Kepala Besi dan membuat 

perhitungan yang sebenarnya tak diperlukan. Tetapi, 

kata-kata Nyi Dungga Ratih juga mengarah pada Kepa-

la Besi. Bisa jadi kalau sebenarnya memang lelaki itu-

lah yang telah lakukan pembantaian...."

Untuk sesaat Andika terdiam. Sepasang matanya 

yang tajam memperhatikan sekelilingnya. Kegelapan 

menghentak dan beberapa burung malam beterbangan 

dengan keluarkan suara yang cukup mengerikan.

Lalu mendadak saja terlihat sepasang mata pe-

muda dari Lembah Kutukan ini membuka lebih lebar. 

Menyusul dia membatin dalam hati, "Hmmm... aku 

menangkap satu gerakan dibelakangku. Begitu lembut 

sekali pertanda orang ini tengah kerahkan ilmu perin-

gan tubuhnya."

Pendekar Slebor tetap berdiri di tempatnya semen-

tara indera pendengarannya yang terlatih itu semakin 

dipertajam. Bahkan kali ini dia menangkap desahan 

napas yang betul-betul sangat pelan.

"Siapa orang ini? Mengapa dia pakai bersembunyi 

segala? Bila kedatangannya dengan cara seperti ini, 

aku akan mengagetkannya...."

Memutuskan demikian, Pendekar Slebor segera 

rentangkan kedua tangannya ke samping kanan dan 

kiri dengan keluarkan suara, "Aaaaah.... ngantuk betul 

nih! Tetapi, kalau aku tidur di sini, bisa-bisa ada ular 

buduk lapar yang akan menerkamku!"

Di balik ranggasan semak belukar, sepasang mata

tajam yang memperhatikannya mendengus dalam hati.

"Kurang ajar! Nampaknya dia tengah mengejekku! 

Keparat! Bila aku tidak membutuhkannya, sudah ku-

patahpatahkan lehernya! Tetapi... rasa-rasanya tidak 

mungkin dia mengejekku. Apa yang dikatakannya tadi 

bisa jadi hanya kebetulan belaka! Hmmm...

biar bagaimanapun juga, aku harus mempergunakan 

tangannya untuk mendapatkan Patung Kepala Singa."

Sejarak delapan langkah, Pendekar Slebor mene-

puk-nepuk mulutnya.

"Busyet! Kok justru malah semakin mengantuk?!" 

serunya keras-keras. Lalu garuk-garuk kepalanya yang 

tidak gatal. "Mak dirabit!" gerutunya kemudian dengan 

kata yang diucapkan semau jidatnya saja. "Lebih baik 

aku cari tempat untuk tidur saja, ah! Masa bodoh den-

gan segala urusan! Toh tidak membuat perutku ke-

nyang!!"

Seperti benar-benar telah diserang rasa kantuk 

dan lelah, pemuda berbaju hijau pupus ini segera ber-

kelebat ke depan. Gerakannya sungguh cepat sekali. 

Sesungguhnya, Andika bermaksud untuk mengejutkan 

si pengintip. Dengan kerahkan ilmu peringan tubuh-

nya, Andika berharap orang yang mengintip itu akan 

mengejarnya. Kemudian dia akan berbalik menunggu 

sekaligus mengejutkan orang itu.

Andika memang menangkap satu gerakan yang 

mengikutinya. Diam-diam dia tersenyum dalam hati. 

"Kau akan terkejut nanti!!" Tetapi justru dia yang ter-

kejut. Karena setelah yakin kalau orang yang mengin-

tip itu mengikutinya, mendadak saja Andika justru je-

jakkan kaki kanannya ke tanah. Serta merta tubuhnya 

melenting balik di udara, ke tempat semula.

Gerakan yang diperlihatkan sangat cepat dan me-

nakjubkan. Paling tidak, sekarang dia telah berada di 

belakang si pengintip. Namun yang terjadi, justru Andika tidak melihat siapa pun di hadapannya!!

Untuk sesaat pemuda urakan ini melongo seperti 

sapi ompong dengan mulut membuka mendapati hasil 

yang dilakukannya. Lalu nampak dia garuk-garuk ke-

palanya.

"Busyet! Jangan-jangan yang mengikutiku itu bukan 

manusia... tetapi sebangsa jin penunggu tempat ini.... 

Hiiii.... Bisa mati konyol kalau aku dicekiknya!!"

Kendati mulutnya berbunyi demikian, namun se-

sungguhnya pemuda ini tak takut sedikit pun. Lalu 

dengan suara tangan kanan kiri yang ditempelkan pa-

da kedua pipinya dan membentuk sebuah corong, dia 

berseru konyol, "Hoooiii!! Bila kau sebangsa jin jelek 

yang suka mengganggu orang, silakan nongol! Kalau 

kau ternyata cuma manusia sebangsa cecunguk, lebih 

baik pulang saja menetek pada ibumu!!"

Suaranya menggema cukup keras, membuat bebe-

rapa ekor hewan malam berlarian kembali ke sarang-

nya.

Lalu terdengar lagi suaranya, "Eh! Apa tidak terba-

lik tadi? Kalau benar-benar jin yang menggangguku, 

bisa mati kelenger nih! Hoooiiii! Nggak jadi! Nggak jadi! 

Bila kau ternyata jin serem, silakan pulang ke kam-

pung halamanmu! Tetapi bila kau ternyata manusia je-

lek, silakan nongol!"

Kata-kata konyolnya itu kembali menggema. Na-

mun tak satu sosok tubuh pun yang keluar.

Kali ini diam-diam Andika membatin, "Menilik ce-

patnya orang ini bergerak, sudah tentu dia bukan 

orang sembarangan! Tetapi apa maunya dia yang da-

tang dengan cara diam-diam dan menghilang begitu! 

hendak kujebak?!"

Memang sulit untuk mendapatkan jawaban atasi 

pertanyaannya. Kali ini, pemuda berotak encer ini ber-

kata dalam hati, "Lebih baik... kutinggalkan saja tempat ini sekarang.... Barangkali saja dengan cara begitu, 

orang yang mengintipku akan terus membuntuti. Huh! 

Rasanya sudah tidak sabar ingin kujitak kepalanya 

yang sudah tentu penjol itu!!"

Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya 

dan senyum-senyum sendiri, pemuda pewaris ilmu 

Pendekar Lembah Kutukan ini segera berkelebat me-

ninggalkan tempat itu.

Di satu tempat yang tersembunyi, si pengintip 

yang ternyata memiliki ilmu peringan tubuh sebanding 

yang dimiliki Pendekar Slebor berkata dalam hati di 

balik ranggasan semak belukar setinggi dada, "Gila! 

Hampir saja aku terjebak permainannya tadi! Tetapi 

masih untung aku bisa bertindak sigap! Bila tidak, 

urusan akan semakin membentang. Biar bagaimana-

pun juga, aku yakin kalau pemuda konyol itu menge-

tahui tentang Patung Kepala Singa! Huh! Patung itu 

harus kukuasai! Karena menurut kabar yang kuden-

gar, di dalam patung itu terdapat daun-daun yang di 

atasnya tertulis sebuah ilmu langka tiada banding!"

Setelah menunggu beberapa saat, si pengintip 

kemudian memutuskan untuk kembali mengikuti Pen-

dekar Slebor. Gerakan yang diperlihatkannya tadi 

sungguh luar biasa. Bila seseorang melompat keluar 

dari balik ranggasan semak, paling lidak ranggasan 

semak belukar itu akan bergoyang. Terkena bagian tu-

buhnya atau terkena angin lompatannya.

Akan tetapi, semak belukar itu tetap tak bergerak 

sama sekali! Kalaupun bergerak, itu disebabkan oleh 

belaian angin yang bertiup.

***

6


Angin berdesau dingin. Berlarian dari satu pohon 

ke pohon lain, menggugurkan dedaunan, bergalayutan 

sejenak di hamparan semak belukar, lalu berdesir lagi 

menjauh. Jalan setapak yang sunyi itu semakin ditim-

bun kesunyian mencekam. Hanya suara beberapa ekor 

burung yang terdengar lalu beterbangan. Matahari 

kembali muncul dari ufuk timur. Entah kali yang kebe-

rapa matahari muncul dari tidurnya semenjak dimu-

lainya kehidupan ini. Dan setiap pergerakan matahari 

adalah waktu. Entah kali keberapa pula waktu telah 

menggilas dan meninggalkan manusia dalam kehidu-

pan ini.

Pendekar Slebor tiba di sebuah sungai yang airnya 

mengalir cukup deras. Di tengah-tengah sungai itu 

terdapat beberapa buah batu besar.

Pemuda ini segera hentikan gerakannya di tepi 

sungai itu. Dia tak segera arahkan pandangan ke bela-

kang, untuk meyakinkan apakah orang yang mengiku-

tinya masih terus melakukan aksinya. Kendati demi-

kian, Pendekar Slebor tetap menduga kalau orang itu 

masih mengikutinya.

"Kura-kura peot! Aku jadi makin penasaran ingin 

mengetahui siapa orang itu! Tetapi, rasa-rasanya aku 

mulai tidak mendengar gerakan maupun desah nafas-

nya. Meskipun begitu, aku yakin dia masih mengikuti-

ku. Busyet! Kenapa ya dia mengikutiku? Jangan-

jangan... yang mengikutiku itu seorang gadis manis 

yang tergila-gila akan kegantenganku? Wah! Kalau ta-

hu begitu, tadi ku usahakan untuk mencarinya. Kan 

asyik... wah! Bagaimana kalau ternyata yang mengiku-

tiku cuma seorang nenek yang kegatelan?! Ih! Sebe-

narnya tubuhku sudah lengket oleh keringat! Tetapi

bagaimana kalau aku sedang mandi kemudian ternya-

ta nenek yang mengikutiku mengintip? Wah! Tidak jadi 

mandi deh!"

Kali ini dia putar tubuhnya dan diperhatikan se-

kelilingnya. Tahu-tahu pemuda urakan ini berteriak 

keras, "Hoooiiii!! Kalau mau meminta tanda tanganku 

keluar saja! Tidak usah malu-malu!!"

Tak ada sosok tubuh yang keluar. Karena, me-

mang tak ada yang mengikutinya lagi. Rupanya, orang 

yang mengikuti Pendekar Slebor sengaja mengurung-

kan niatnya tatkala dilihatnya satu sosok tubuh tinggi 

besar berkepala plontos berkelebat cepat sejarak sepu-

luh tombak di samping kanannya.

Dalam sekali lihat saja, orang ini yakin kalau yang 

berkelebat itu adalah si Kepala Besi. Untuk sejenak 

orang ini menjadi agak ragu-ragu.

Siapakah yang harus diikutinya? Namun setelah 

mempertimbangkan agak lama, dia justru berkelebat 

menyusul perginya si Kepala Besi yang sengaja meng-

hindari Bidadari Tangan Bayangan tatkala terjadi ben-

turan keras.

Sementara itu, Pendekar Slebor masih bcrteriak-

teriak keras. "Hoooiiiii!! Di sini banyak ikannya!! Men-

dingan di sini saja! Hoooiiii!!!"

Setelah berulang kali berteriak dengan seruan 

yang tak tahu juntrungannya, justru yang muncul dua 

orang lelaki bertampang mengerikan yang berusia kira-

kira lima puluh tahun.

Saat itu pula Pendekar Slebor arahkan pandan-

gannya. Sejenak dia terdiam. Kendati demikian, mu-

lutnya cengar-cengir saja (sok kecakepan).

Dua lelaki yang baru datang itu tak berkedip me-

mandang ke arahnya. Wajah masing-masing orang 

yang mengenakan pakaian warna biru gelap itu tidak 

ramah. Di dada masing-masing terdapat dua selendang

bersilangan warna putih.

Orang yang berdiri di sebelah kanan, yang berku-

mis baplang itu keluarkan suara setelah pandangi te-

mannya, "Pemuda berpakaian hijau! Ada urusan apa 

kau berteriak-teriak seperti orang gila, hah?!"

Pendekar Slebor tak segera menjawab. Dia justru 

makin perlihatkan cengirannya.

Lalu katanya dengan kedua tangan disatukan di 

belakang pinggul, "Heran! Kenapa yang muncul dua 

orang, ya?! Apa belum cukup umur untuk menghada-

piku seorang diri?"

Sudah tentu kedua orang itu keheranan menden-

gar kata-kata Andika. Kendati mereka keheranan, na-

mun mereka tak suka mendengar kata-kata yang di-

ucapkan dengan sikap keblinger itu. Kedua lelaki ber-

pakaian biru gelap ini bukanlah orang baik-baik. Me-

reka dikenal dengan julukan Dua Iblis Lorong Maut, 

yang telah lama malang melintang di rimba persilatan 

ini dengan tindakan telengas yang selalu mereka perli-

hatkan. Dan kalaupun mereka keluar dari Lorong 

Maut di mana mereka berasal, karena mereka hendak 

mencari Patung Kepala Singa.

Si kumis baplang yang bernama Gendala Maung, 

kembali keluarkan suara, "Pemuda aneh! Sikapmu 

sungguh keterlaluan sekaligus mengherankan! Tetapi 

peduli setan dengan apa yang kau katakan tadi! Kare-

na, bila kau bisa jawab pertanyaan kami, maka kau 

akan dapat melihat rembulan nanti malam!"

Andika yang masih menyangka kalau salah seo-

rang dari mereka itu orang yang membuntutinya tadi, 

kali ini mengangkat sepasang alisnya yang hitam le-

gam dan seperti kepakan sayap elang.

"Busyet! Apakah nanti malam kedua mataku akan 

jadi buta bila tak bisa menjawab pertanyaanmu hingga 

tak bisa melihat rembulan? Wah! Jangan bicara sembarangan!"

Mendapati sahutan seperti itu, Gendala Maung 

tertawa lebar, keras dan bertalu-talu. Andika bukan-

nya tidak merasakan kalau dalam suara itu mengan-

dung gelombang tenaga dalam yang akan memaksanya 

surut bila dia tidak segera bertindak dengan mena-

mengkan dirinya dengan tenaga dalam pula.

Di sela-sela tawanya si kumis baplang keluarkan 

kata, "Baru kali ini kutemui pemuda tolol! Bila kau 

memang menghendaki kedua matamu menjadi buta, 

akan kulakukan bila kau bisa menjawab pertanyaan-

ku! Tetapi bila tidak, kau harus mampus!!"

Masih mengangkat-angkat alisnya seperti sakit 

mata, Andika cuma nyengir saja. Diam-diam dia berka-

ta dalam hati, "Merasakan tenaga dalam yang dipa-

merkan melalui tawanya tadi, memang cukup mengke-

derkan. Tetapi aku yakin, kalau bukan salah seorang 

dari kedua orang ini yang membuntutiku. Karena dari 

gerakannya, orang yang membuntutiku dapat kuyakini 

memiliki tenaga dalam melebihi tenaga dalam yang di-

miliki kedua orang ini."

Kejap kemudian dia berkata, "O... jadi maksudnya 

aku akan mampus bila tidak bisa menjawab perta-

nyaanmu? Kalau begitu, cepat tanya deh. Mumpung 

aku lagi mau menjawab nih!" 

Bukan si kumis baplang yang segera keluarkan 

suara, melainkan si wajah tirus yang bernama Ganda 

Maung yang sejak tadi sudah mengkelap mendengar 

setiap kata-kata Andika.

"Pemuda keparat! Katakan pada kami, apakah kau 

tahu di mana Pendekar Sutera berada?!"

Andika tak segera menjawab, justru dia berkata 

dalam hati, "Menilik pertanyaannya... jangan-jangan 

ini ada hubungannya dengan Patung Kepala Singa? 

Hmm... aku harus berhati-hati." Kemudian sambil

menganggukkan kepalanya, pemuda yang di lehernya 

melilit sebuah kain bercorak catur ini berkata, "Aku 

pernah mendengar julukan itu!"

"Di mana dia berada sekarang?" sambar Ganda 

Maung tak sabar. 

"Kalau kau tanyakan soal itu, jelas mudah jawab-

nya. Dia sudah berada di surga!" 

"Apa maksudmu, hah?!"

"Lelaki perkasa itu telah tewas dalam satu pem-

bantaian yang hingga saat ini belum diketahui siapa 

orangnya!!"

Mendapati jawaban Andika, kedua orang itu saling 

pandang. Pancaran mata masing-masing orang jelas 

tak mempercayai kata-kata Andika.

Ganda Maung kembali arahkan pandangannya 

dan berkata, "Kau tak tahu siapa yang membunuhnya, 

atau... kau telah menyembunyikan apa yang kami ca-

ri?!"

"Dia sudah mengarah pada benda itu," kata Andi-

ka dalam hati dan berkata, "Apa maksudmu dengan 

yang kalian cari?!"

"Jangan berlaku bodoh! Sekarang katakan pada-

ku... di mana Patung Kepala Singa yang telah kau 

rampas?!"

Seperti baru menyadari maksud orang Andika 

menyahut, "Patung Kepala Singa? Wah! Tentunya itu 

sebuah benda yang sangat langka karena kalian nam-

pak begitu tak sabar untuk memilikinya! Betul tidak?!"

"Jangan banyak omong! Serahkan benda itu ke-

pada kami!"

Andika menggeleng-gelengkan kepalanya seraya 

membatin, "Jelas kalau mereka memang termasuk sa-

lah seorang yang menginginkan Patung Kepala Sin-

ga.... Tetapi tidak seperti yang diinginkan oleh Bidadari 

Tangan Bayangan dan Nyi Dungga Ratih. Kedua perempuan itu menghendaki Patung Kepala Singa untuk 

diselamatkan."

Kemudian katanya, "Terus terang, benda yang ka-

lian cari itu tidak ada padaku! Justru aku sedang

mencari siapa orang yang harus bertanggung jawab 

atas pembantaian di Kuil Putra Langit!!"

Gendala Maung membuka mulut, "Huh! Rupanya 

kau termasuk salah seorang yang pandai bersilat lidah! 

Tetapi sayangnya, kau berhadapan dengan Dua Iblis 

Lorong Maut!"

Habis kata-katanya, lelaki berkumis baplang ini 

sudah melompat ke muka. Tangan kanan kirinya siap 

lepaskan jotosan. Sementara angin menderu keras saat 

tubuhnya melesat.

Andika yang sudah perhitungkan serangan itu 

buang tubuhnya dan tangannya dengan sigap lancar-

kan satu pukulan ke bagian iga lawan. Namun dengan 

gerakan yang aneh, lawannya mampu menangkis se-

rangan itu. Bukan dengan tangan, melainkan dengan 

kaki. Padahal sungguh sulit untuk menangkis seran-

gan itu dengan mempergunakan kaki!

Des!

Andika mundur dua langkah. "Gila! Jurus apa 

yang diperlihatkannya ini?" desisnya dalam hati.

Sementara itu, Gendala Maung juga terkejut. Ka-

rena, jarang orang yang bisa menghindari sekaligus 

memapaki serangan pembuka yang dilakukannya tadi.

Sebelum dia siap lakukan serangan berikut, ter-

dengar suara Ganda Maung, "Tahan seranganmu!!"

Sambil rapatkan mulutnya, lelaki kejam berwajah 

kelimis ini arahkan pandangannya pada Andika. Seje-

nak dia seperti mengingat-ingat sesuatu. Kemudian 

.serunya, "Pemuda jahanam! Apakah salah... bila ku-

katakan kau adalah Pendekar Slebor?"

Andika cuma mengangkat kedua bahunya.

"Wah! Kalian boleh kok menyebutku seperti itu!

Tetapi... saat menyebut 'Slebor', ya... jangan keras-

keras!! Malu kalau didengar tetangga!" 

Ganda Maung yang memang mengarahkan inga-

tannya tentang siapa pemuda ini, keluarkan dengusan 

keras mendengar sahutan si pemuda.

"Huh! Jadi Pendekar Slebor yang menjual lagak di 

hadapanku! Bagus! Gendala Maung... biar aku yang 

hadapi pemuda konyol ini!!"

Sementara Gendala Maung mundur tiga langkah ke 

belakang, Ganda Maung maju tiga langkah. Digerak-

kan lehernya yang segera terdengar suara, "Krak! 

Krak!"

Lalu disentak-sentakkan kedua tangannya ke de-

pan yang kembali keluarkan suara seperti tadi.

"Aku ingin tahu seperti apa kebisaan pemuda 

yang banyak dibicarakan orang!!"

"Wah! Kalian kan sudah tahu, nih! Kalau yang da-

lamnya, sih.... ya jangan!" sahut Andika nyengir.

"Hhh! Kami tak segan-segan turunkan tangan te-

lengas kepadamu! Tetapi... kau bisa memikirkannya 

lebih baik untuk menyerahkan Patung Kepala Singa 

pada kami!"

Ancaman itu jelas bukan ancaman kosong. 

Sayang yang dihadapi keduanya adalah Pendekar Sle-

bor yang dalam keadaan bagaimanapun masih tetap 

bertingkah seenaknya. Kata-kata itu hanya disambuti 

dengan senyuman mengejek, sementara otaknya ber-

pikir, "Sulit menghindarinya sekarang sementara Bida-

dari Tangan Bayangan jelas sudah tak bisa dikejar lagi. 

Mudah-mudahan dia belum membuka urusan dengan 

Kepala Besi!"

Tetapi, sebelum Andika buka mulut, Ganda 

Maung yang gusar tadi, sudah kelebatkan tubuhnya. 

Desingan angin bak topan prahara menderu dahsyat

ke arah Andika yang cepat menghindar. Namun seran-

gan itu datang susul menyusul, bahkan dilakukan 

dengan menggerakkan kedua kaki dan tangan sekali-

gus.

"Benar-benar hebat!" puji Andika sambil terus 

menghindar. Dan dengan satu gerak tipu yang manis, 

Andika bisa menyusup masuk dan siap hantamkan 

pukulan yang telah dialirkan tenaga 'Inti Petir' tingkat 

kesepuluh. Gendala Maung kelihatan terkejut menda-

pati serangan yang cepat itu. Sambil kertakkan ra-

hangnya, lelaki berkumis baplang ini langsung memu-

tar tubuh dan lepaskan tendangannya.

***

7


Des!

Jotosan yang dilepaskan Andika terpapaki oleh 

kaki kanannya. Seperti mendapatkan satu gerak lo-

wong yang bisa dipergunakan, mendadak saja Gendala 

Maung gerakan kedua tangannya.

Wusss! Wusss!!

Serta merta menderu dua gelombang angin deras 

yang keluarkan suara menggemuruh. Andika yang ba-

ru saja mundur nampak tercekat. Tak mau berakibat 

konyol, dia segera putar tubuhnya dan melompat ke 

samping kanan.

Blaaarrr!!

Tanah di mana Andika berdiri tadi seketika ter-

bongkar dan menerbangkan bongkarannya ke udara. 

Belum lagi tanah itu sirap, mendadak terdengar gemu-

ruh angin kembali yang menerobos gumpalan tanah.

Rupanya Ganda Maung mempergunakan kesempatan itu untuk lepaskan serangan. Hanya dengan je-

jakkan kaki kanannya, sosok Pendekar Slebor sudah 

mencelat ke samping kiri.

Blaaarr!

Untuk kedua kalinya terdengar letupan keras dan 

terbongkarnya tanah ke udara.

"Hmmm... aku bisa mati konyol kalau terus mene-

rus menghindar," pikir Andika sambil bersiaga.

Tatkala semuanya sirap, dilihatnya Dua Iblis Lo-

rong Maut telah berdiri tegak berdampingan. Pancaran 

mata masing-masing orang tajam dan kejam. 

Ganda Maung berseru, "Tunjukkan pada kami, di 

mana Patung Kepala Singa kau simpan?!" 

"Itu sih gampang banget! Seingatku, benda itu ku-

simpan di kepala salah seorang dari kalian! Tetapi aku 

lupa... kepala siapa?! Lebih baik kalian ketok saja ke-

pala kalian satu sama lain!"

Mendengar kata-kata itu, kedua orang itu saling

pandang dengan wajah mengkelap dan tinju dikepal-

kan. Seperti disepakati, kejap itu pula masing-masing 

orang segera meluruk dengan gerakan seperti melun-

cur diiringi teriakan keras.

"Heaaaa!!"

"Yeaaaa!!"

Andika mendengus lalu bergulingan menghindari 

serangan ganas yang dilakukan serempak itu. Gulin-

gan tubuhnya bukan ke belakang, melainkan ke de-

pan. Kaki kanannya menyepak kaki Gendala Maung, 

dan langsung melompat dengan pencalan satu kaki ke 

arah Ganda Maung.

Ganda Maung tak mau tubuhnya dijadikan sasa-

ran empuk serangan Andika. Selagi Andika melompat 

ke arahnya, dibuang tubuhnya ke kiri dan mendadak 

saja terdengar angin dahsyat berdesingan.

Dengan gerakan yang menakjubkan lelaki berwajah kelimis namun sorot matanya kejam itu, berbalik 

dengan posisi kepala di bawah. Gerakan yang menak-

jubkan itu disusul dengan bergeraknya kedua kakinya 

laksana baling-baling. Angin dahsyat segera menderu 

hebat.

Serta merta terdengar suara yang sangat mengeri-

kan. Menggugurkan dedaunan. Menerbangkan kerikil 

dan debu-debu secara serempak. Bukan hanya sampai 

di sana saja akibat dari gemuruh angin itu.

Beberapa ranggasan semak belukar tercabut dan 

berpentalan. Ranting dan dahan pohon patah, lalu ber-

tabrakan satu sama lain.

Andika yang sudah membuang tubuhnya merasa 

wajahnya bagai ditampar dari jauh. Selagi Andika ke-

repotan menghindari serangan Ganda Maung, Gendala 

Maung sudah kirimkan jotosan berkali-kali.

Mendapati serangan dua lawan yang demikian 

gencar, tak ada jalan lain kecuali memotong setiap se-

rangan. Di saat Gendala Maung gulingkan tubuh ke 

arahnya, Andika lakukan satu tindakan yang menak-

jubkan.

Dengan ringannya dia melompat dan menjadikan 

tubuh Gendala Maung sebagai tumpuan. Gerakan se-

macam itu tak mungkin bisa dilakukan bila tidak me-

miliki ilmu peringan tubuh dan kecepatan yang tinggi. 

Bersamaan tubuhnya melenting dari tubuh Gendala

Maung, dengan kerahkan tenaga 'Inti Petir' tingkat ke-

tiga, disongsongnya serangan Ganda Maung yang ma-

sih menderu dengan kedua kaki di atas dan bergerak 

bagai baling-baling.

Sergapan yang dilakukan Andika benar-benar ha-

rus matang. Bila dia lengah sedikit saja, kepalanya 

akan menjadi sasaran empuk serangan Ganda Maung. 

Dengan cepat, dia merunduk hingga gebrakan kedua 

kaki lelaki berwajah kelimis itu lolos dari sasarannya.

Lalu didekatkan tubuhnya pada Ganda Maung yang 

sulit untuk menjauh.

Pada saat yang bersamaan, pemuda pewaris ilmu 

Pendekar Lembah Kutukan ini segera lepaskan joto-

san.

Des! Des!

Terdengar pekikan tertahan dan menyusulnya so-

sok Ganda Maung mencelat ke belakang. Tanpa am-

pun lagi, dengan kedudukan kepala masih berada di 

bawah, tubuhnya menghantam sebuah pohon besar. 

Andika sendiri bergulingan ke belakang dan berdiri te-

gak.

Wajahnya yang tampan nampak berkerut, nyeri 

menahan sakit.

Sementara Gendala Maung menggeram murka 

melihat sahabatnya yang telah lama malang melintang 

di rimba persilatan ini dengannya menjadi sasaran 

hantaman Andika. Dengan gerengan keras dia sudah 

menggebrak kembali, menyusul Ganda Maung yang 

sudah bangkit sambil menahan sakit. Tak dipeduli-

kannya apa yang dirasakan tadi. Prinsipnya, dia harus 

membalas setiap serangan lawan.

Mendapati ganasnya serangan lawan, Andika pun 

tak mau bertindak setengah-setengah. Segera saja di-

alirkan ajian 'Guntur Selaksa'. Bersamaan itu pula dia 

segera mencelat ke depan, menyongsong dua serangan 

ganas lawan-lawannya.

Dua buah tenaga yang dijadikan satu, berbentro-

kan dengan tenaga ajian 'Guntur Selaksa' milik Pende-

kar Slebor.

Akibatnya sungguh mengerikan. Suara keras berden-

tum dua kali. Dari benturan itu mengepul asap hitam 

yang pekat. Tubuh Andika terlempar ke belakang lima 

tombak. Sementara dua tokoh dari Lorong Maut ini 

mengalami nasib serupa. Bahkan Ganda Maung yang

masih menahan sakit tadi, tak bisa bangkit kembali. 

Karena kepalanya telak terhantam ajian 'Guntur Se-

laksa' yang dilepaskan Andika tadi.

Mendapati Ganda Maung tewas, Gendala 

Maung menjerit keras sambil memelukinya. Dia menje-

rit-jerit seperti seekor serigala yang melihat kematian 

kekasihnya. Kepedihan itu lamat-lamat berubah men-

jadi kegeraman tinggi.

Seketika kepalanya ditolehkan. Sorot matanya lak-

sana kobaran api yang siap membakar siapa saja. 

Bahkan untuk sesaat Andika merasa ngeri melihatnya.

"Pemuda keparat! Perhitungan akan dimulai lagi 

kelak!!" serunya dengan suara menggelegar.

Pendekar Slebor cuma terdiam dengan dada kem-

bang kempis. Sungguh, dia tak mengharapkan kema-

tian Ganda Maung. Akan tetapi, bila dia tidak bertin-

dak, tak mustahil dirinya yang akan menemui kema-

tian karena kedua orang itu sudah tentu tak akan 

membiarkan dirinya selamat.

Sementara itu, lamat-lamat Gendala Maung berdiri 

sambil membopong tubuh sahabatnya. Diputar tubuh-

nya hingga menghadap ke arah Pendekar Slebor.

"Kali ini... kau menang, Pendekar Slebor! Tetapi se-

karang... bukan hanya Patung Kepala Singa yang

kuinginkan... tetapi juga nyawamu!!"

Habis kata-katanya, lelaki berkumis baplang ini se-

gera putar tubuh kembali. Kejap itu pula tubuhnya 

melesat meninggalkan tempat itu dengan membopong 

mayat Ganda Maung. 

Sepeninggal orang-orang itu, Andika menarik na-

pas panjang masygul. 

"Patung Kepala Singa... sebuah benda yang ternya-

ta akan banyak menimbulkan korban.... Hmm, berada 

di tangan siapakah Patung Kepala Singa itu? Satu hal 

lagi... siapakah orang yang bertanggung jawab atas

pembantaian di Kuil Putra Langit?"

Tak ada suara yang terdengar, karena dia memang 

hanya seorang diri di sana.

Setelah terdiam beberapa saat, Pendekar Slebor 

pun segera berkelebat meninggalkan tempat itu pada 

arah yang berlawanan yang dilalui Gendala Maung ta-

di. Tempat itu kembali diselimuti sepi.

***

Lima belas tarikan napas telah berlalu. Tempat di 

mana bertarungnya Pendekar Slebor dengan Dua Iblis 

Lorong Maut tadi, semakin dirajai kesunyian dalam. Di 

angkasa, arakan awan putih mendadak menjelma 

menjadi gumpalan awan hitam. Rambatan matahari 

yang kian meninggi, seolah tak mampu tembusi tim-

bunan awan hitam, hingga suasana di sana seperti re-

dup. 

Selang beberapa saat, satu sosok tubuh tiba di 

tempat itu. Sosok seorang gadis berparas jelita dengan 

sepasang mata jernih dan hidung bangir. Bibir gadis 

berambut dikuncir ekor kuda ini tipis memerah, terka-

tup rapat saat sepasang mata jernihnya memandangi 

tempat yang sebagian telah berantakan itu.

Gadis berambut dikuncir dua ini mengenakan pa-

kaian ringkas warna biru kehijauan. Lamat-lamat pan-

caran matanya yang agak heran mendapati tempat 

yang telah porak-poranda ini, mulai membesar dengan 

kening dikernyitkan.

"Aneh! Apakah aku tidak salah melihat keadaan di 

sini? Jangan-jangan... tempat ini tadi telah didatangi 

serombongan gajah liar?!" batinnya dengan hati ber-

tanya-tanya.

Lalu gadis ini maju dua langkah ke muka, berdiri 

tepat di depan tanah yang telah membentuk sebuah

lubang.

"Sekalipun gajah-gajah liar itu cukup banyak, na-

mun tak mungkin rasanya bisa membuat lubang yang 

cuma satu buah ini. Hmmm.. tentunya telah terjadi 

pertarungan di sini? Siapa kira-kira mereka?"

Kembali gadis jelita ini terdiam. Tangan kanannya 

diangkat dan memegang alisnya yang hitam. Gadis 

yang memang selalu bersikap seperti itu bila sedang 

berpikir ini tak membuka mulut untuk beberapa lama.

Kejap kemudian dia menarik napas pendek.

"Hmmm... ke mana lagi aku harus mencari Guru?" 

desisnya kembali dengan tangan diturunkan kembali 

dari alis matanya, "Sampai saat ini... aku tak mengerti 

sebenarnya, mengapa Guru justru menyuruhku untuk 

lebih memperdalam lagi ilmu 'Bayangan Bulan Pijar-

kan Matahari'. Padahal Guru sendiri tahu kalau aku 

sudah sangat lihai akan ilmu itu. Tetapi...."

Si gadis memutus kata-katanya sendiri. Lalu nampak 

kepalanya manggut-manggut.

"Kini aku tahu apa maksud Guru sebenarnya. Dia 

menyuruhku berlatih, sementara dia meninggalkanku. 

Tentunya... ini ada hubungannya dengan orang yang 

datang mengundangnya ke Kuil Putra Langit di mana 

Pendekar Sutera berada. Tetapi... mengapa dia harus 

menyingkirkanku lebih dulu?"

Siapa sebenarnya gadis jelita ini? Dia bernama 

Nawang Wangi, murid tunggal Bidadari Tangan Bayan-

gan. Memang, setelah menerima kehadiran utusan dari 

Pendekar Sutera, Bidadari Tangan Bayangan langsung 

memanggil muridnya itu. Sesungguhnya, Bidadari 

Tangan Bayangan sedikit banyaknya sudah merasa ka-

lau undangan yang disampaikan utusan Pendekar Su-

tera itu sehubungan dengan Patung Kepala Singa yang 

pernah didengarnya.

Bidadari Tangan Bayangan tak mau kalau murid

nya terlibat dalam urusan ini. Karena menurutnya, 

muridnya belum layak untuk turut terlibat dalam se-

tiap masalah yang sangat memusingkan.

Saat itu, Nawang Wangi sebenarnya hendak ber-

tanya lebih lanjut. Tetapi gadis ini tak membantah pe-

rintah gurunya kendati dia sudah sangat lihai mem-

pergunakan ilmu 'Bayangan Bulan Pijarkan Matahari'. 

Setelah tujuh hari berlatih, Nawang Wangi pun kemba-

li ke tempat semula.

Dia tak terlalu heran tatkala tak mendapati gu-

runya berada di tempat biasa. Karena keadaan seperti 

ini sebenarnya sering terjadi kendati terkadang gu-

runya lebih sering mengatakan ke mana tujuannya.

Namun kali ini, gurunya tak mengatakan tujuan-

nya. Nawang Wangi semula mencoba tak peduli. Tetapi 

entah mengapa, gadis yang memiliki perasaan peka ini 

seolah menangkap gejala yang tak enak. Terutama 

mengingat ada seseorang yang meminta gurunya pergi 

ke Kuil Putra Langit.

Di samping itu, sebenarnya Nawang Wangi cukup 

lama berkeinginan untuk melihat dunia luar. Makanya 

kali ini, dengan menindih segala perintah gurunya, dia 

pun mulai melangkah meninggalkan Lembah Pinus.

Hatinya memang gembira melihat keadaan yang 

sungguh jarang dilihatnya. Namun setelah dua hari 

meninggalkan tempat, gadis ini merasa tidak enak. Ke-

rinduannya mulai timbul terhadap gurunya. Dan dia 

cukup dibuat gelisah sendiri dengan tindakannya ini.

"Ah... tak seharusnya aku meninggalkan Lembah 

Pinus yang sebenarnya lebih banyak dikarenakan 

keinginanku untuk melihat dunia luar selain Lembah 

Pinus...," desisnya resah. Gadis ini sejenak terdiam 

sambil pandangi sekitarnya. Kemudian dia berkata la-

gi, "Tetapi... untuk kembali ke Lembah Pinus... aku ti-

dak tahu lagi ke mana jalan yang harus kutempuh.

Sebaiknya, kuteruskan saja langkahku. Mudah-

mudahan aku bisa menemukan di mana Kuil Putra 

Langit berada"

Memutuskan demikian, gadis berambut dikuncir

dua ini segera berkelebat meninggalkan tempat itu.

Setelah lalui perjalanan sepenanakan nasi agak 

menjauh dari tempat semula, Nawang Wangi kembali 

hentikan langkahnya. Saat itu timbunan awan hitam 

yang terus berarak rupanya tak kuasa lagi untuk me-

nahan isi perutnya. Didahului suara salakan petir, hu-

jan deras pun turun!

"Celaka! Aku bisa basah kuyup!" seru si gadis dan 

seketika berlari untuk mencari tempat berteduh. Kare-

na tak menemukan bangunan atau gubuk yang bisa 

dijadikan tempat berteduh, Nawang Wangi memu-

tuskan untuk berteduh di bawah sebuah pohon.

Dikerahkan sedikit hawa murninya guna menahan 

dingin yang cukup menusuk. Kilat sambar menyambar 

dengan suara petir yang menggelegar. Angin bertiup 

keras, menambah kengerian yang telah ada.

Mendadak saja petir menyambar pohon di mana 

Nawang Wangi berteduh. Gadis itu seperti tersentak 

tatkala merasakan aliran petir seperti bergerak dari 

atas pohon ke bawah.

Dengan gerakan cepat Nawang Wangi menghem-

pos tubuhnya. Dia memang berhasil untuk hindari 

sambaran petir yang tak mustahil akan mengarah pa-

danya. Namun tumbangnya pohon itu akibat samba-

ran petir, sukar untuk dielakkan.

Tercekat gadis ini tatkala menyadari gerakannya 

agak terlambat hingga pohon besar yang tumbang itu 

siap untuk menindihnya!

Namun sebelum dia mengalami nasib konyol, se-

perti dihembus angin. Dan....

Pohon yang tumbang itu ambruk dengan suara

nindih ranggasan semak belukar.

***

8


Gerakan bayangan yang menyambar tubuh Na-

wang Wangi berhenti sejarak lima tombak dari jatuh-

nya pohon besar itu. Sekujur tubuh bayangan hijau itu 

pun basah kuyup. Nawang Wangi yang berada dalam 

bopongannya, untuk sesaat masih tertegun, seolah tak 

menyadari apa yang terjadi.

Namun kejap berikutnya, murid Bidadari Tangan 

Bayangan ini tersentak tatkala menyadari tubuhnya 

berada dalam bopongan seorang pemuda. 

"Oh!!" 

Dengan gerakan lincah gadis ini melompat dari 

bopongan si pemuda yang untuk sesaat nampak terke-

jut melihat cara si gadis melompat, namun kemudian 

sudah cengar-cengir sambil garuk-garuk kepalanya.

Bila saja merasa tidak diselamatkan, sudah tentu 

Nawang Wangi akan marah besar karena mendapati 

tubuhnya berada dalam bopongan pemuda yang tak 

dikenalnya. Dan dia sendiri agak kikuk tatkala melihat 

betapa tampannya wajah pemuda itu, yang memiliki 

sorot mata tajam namun jenaka.

Untuk sesaat hati Nawang Wangi agak bergetar. 

Keadaan seperti itu memang tak mengherankan. Kare-

na selama ini, yang dikenal Nawang Wangi hanyalah 

gurunya seorang. Kalaupun dia mengenal pemuda-

pemuda lain, hanya berkisar yang tinggal di sekitar 

Lembah Pinus.

Tetapi gadis yang memiliki hati tegar ini buru-buru se-

gera tindih perasaannya. Sambil rangkapkan kedua

tangan di depan dada dia berkata, "Terima kasih atas 

pertolonganmu...."

Si bayangan hijau yang tak lain Pendekar Sle-

bor adanya cuma nyengir.

"He he he... kebetulan saja aku berada tak jauh 

darimu. Lagi pula... siapa sih orangnya yang tidak 

akan menolongmu dan menyia-nyiakan untuk bisa 

membopongmu?"

Selorohan konyol itu sebenarnya dapat memanc-

ing kemarahan Nawang Wangi. Namun begitu dilihat-

nya kalau si pemuda tak memiliki nafsu birahi saat 

berkata-kata, gadis yang sesungguhnya memiliki sifat 

jenaka ini langsung membalas, "Seharusnya kau 

membayar! Tetapi ya... karena kau telah menolongku, 

kubiarkan gratis untuk kali ini...."

Pendekar Slebor yang lagi-lagi gagal menemukan 

jejak Bidadari Tangan Bayangan, ketawa gede-gede. 

Hanya karena gemuruh hujan yang keras itu saja sua-

ra tawanya yang jelek tak begitu kentara.

"Baru kali ini aku bertemu dengan pemuda yang 

agak keblinger.... Tetapi baguslah... barangkali dia ta-

hu di mana Kuil Putra Langit yang kuyakini Guru be-

rada di sana," kata si gadis dalam hati sambil mem-

perhatikan pemuda di hadapannya.

Tawa Pendekar Slebor pun lenyap. Dipandanginya 

pula gadis di hadapannya itu. Lalu tanyanya, "Dan 

kuharap... kau terus memberikan gratis untukku?!"

"Boleh saja bila kau...."

Kata-kata Nawang Wangi terputus tatkala terden-

gar suara keras Andika bersamaan dengan salakan pe-

tir yang menggelegar, "Heeeiiii!!"

Nawang Wangi tercekat tatkala menyadari sebuah 

petir ganas telah menggebrak laksana cambuk ke 

arahnya. Sebelum petir itu menyambar hangus tubuh-

nya, Andika telah lakukan satu tindakan yang sangat

mengejutkan.

Dia cepat bergerak dan....

Tap! 

Srrrrrr!!

Petir yang siap menghanguskan tubuh Nawang 

Wangi ditangkapnya! Terlihat sejenak bagaimana petir 

itu seperti pijaran api melilit dan masuk ke tubuhnya.

"Heeeiii!!" seru Nawang Wangi terkejut dan keliha-

tan dia berusaha menolong.

Namun alangkah terkejutnya gadis berkuncir dua 

ini tatkala mendapati Andika tak kurang suatu apa. 

Bahkan dengan enaknya pemuda itu berseloroh, "Ke-

napa? Mau memelukku, ya?"

Nawang Wangi yang masih tak mengerti sekaligus 

takjub melihat apa yang dialami pemuda berbaju hijau 

pupus itu, hanya terdiam dengan mulut terbuka. Lebih 

terkejut lagi tatkala dilihatnya si pemuda seperti se-

dang menahan napas. Lalu terlihat tangan kanannya 

digerakkan seperti melempar!

Plaasss!!

Laksana ada pijaran api yang melesat dari lempa-

ran tangan si pemuda. Lalu....

Blaaaarrr!!

Sebuah pohon langsung tumbang menggemuruh 

tatkala petir yang ditangkap Andika tadi dan dilempar-

kan menghantamnya.

Sementara Nawang Wangi masih memandang tak 

percaya, Andika sedang menepuk-nepuk kedua tan-

gannya seolah membersihkan dari kotoran dengan si-

kap enak saja.

"Kau?" desis Nawang Wangi tergugu.

Andika nyengir.

"Kenapa?"

"Tidak... aku tidak apa-apa...," sahut Nawang 

Wangi bingung. Diam-diam dia menyadari siapa pemuda ini sebenarnya. Sudah tentu bukanlah pemuda 

yang bisa dipandang sebelah mata.

Andika membiarkan si gadis terdiam dulu. Setelah 

beberapa saat dan hujan semakin membasahi tubuh 

keduanya, dia berkata, "Apakah kau tidak ingin, men-

cari tempat berteduh?"

Pada dasarnya, selain memiliki ketegaran, Nawang

Wangi juga memiliki sifat jenaka. Ketakjubannya den-

gan apa yang dilihatnya tadi lamat-lamat menghilang. 

Lalu dia berkata dengan nada jenaka, "Memangnya 

kenapa?"

"Busyet! Tubuhmu akan semakin basah kuyup!"

"Aku sudah terlatih dalam soal itu!"

"Bukan itu masalahnya! Tetapi pakaianmu akan 

semakin lekat pada tubuh dan... he he he... tidak jadi, 

ah...," sahut Andika sambil garuk-garuk kepalanya 

yang basah. 

Nawang Wangi yang tahu maksud omongan Andi-

ka tertawa. Lalu berkata seperti menantang, "Kenapa 

kalau pakaianku semakin lekat pada tubuhku? Aku ti-

dak takut tersambar petir? Kan ada kau yang rupanya 

majikan petir-petir itu!""

Andika cuma nyengir kuda. "Soalnya akan men.... 

Tidak jadi, ah!"

"Hayo kenapa?"

Ditantang seperti itu, pemuda urakan dari Lem-

bah Kutukan ini seperti mati kutu. Setelah nyengir se-

bentar berkata, "Lebih baik... kita cari tempat berteduh 

dulu. Baru kita bicarakan lagi!"

"Itu juga lebih baik!" sahut Nawang Wangi. Dalam 

sekali lihat tadi, apalagi pemuda di hadapannya dua 

kali telah menyelamatkannya, murid Bidadari Tangan 

Bayangan ini tahu kalau pemuda yang di lehernya me-

lilit kain bercorak catur itu adalah pemuda baik-baik. 

Makanya dia bersedia mengikutinya.

Sementara itu, bagi Andika sendiri, apa yang dila-

kukannya ini bukan dikarenakan dia suka perjalanan-

nya didampingi seorang gadis. Melainkan dia tahu, da-

lam suasana seperti ini, tak mustahil banyak orang-

orang jahat yang siap menurunkan karmanya. Apalagi 

dalam sekali lihat pula dia tahu kalau gadis ini sedang 

kebingungan.

Namun mencari tempat berteduh sungguh tidak 

mudah. Tubuh keduanya semakin basah diguyur air 

hujan. Dan sialnya, tatkala mereka menemukan se-

buah gubuk yang layak dijadikan tempat berteduh, 

hujan mendadak saja berhenti!

"Kutu monyet!" maki Andika. "Betul-betul busyet! 

Kalau tahu begini... tidak usah sibuk mencari-cari!"

Sementara itu, Nawang Wangi tertawa cukup ke-

ras.

"Heran! Kok ada ya yang mau membuang-buang 

waktu seperti ini?!"

Andika cuma nyengir saja. Lalu katanya, "Eh! 

Dengan sebutan apa kau kupanggil? Tulkiyem? War-

siyem? Atau... Bondol?!"

Kali ini Nawang Wangi cemberut.

"Enak saja ngomong! Kau yang akan kupanggil 

dengan sebutan Slebor!!"

"Eh!" Andika mengerutkan keningnya. Lalu den-

gan mimik serius dia berkata, "Bagaimana kau tahu 

julukanku itu?"

Sudah tentu Nawang Wangi tidak tahu sama seka-

li siapa pemuda di hadapannya. Kalaupun tadi dia 

berkata seperti itu, karena menilai dari sikap si pemu-

da sendiri.

Lalu katanya, "Mana aku tahu julukanmu? Tapi... 

betul ya julukanmu si Slebor?!"

"Waduh! Pakai 'Pendekar' dong!" kata Andika se-

perti anak kecil. "Atau kalau keberatan... ya pakai kata'Tuan Besar' lah. Tuan Besar Slebor!"

Kembali pecah tawa Nawang Wangi. Disela-sela 

tawanya dia berkata, "Namaku Nawang Wangi... aku 

datang dari Lembah Pinus...."

Sejenak Andika terdiam mendengar kata-kata si 

gadis. Kemudian dia sendiri berucap, "Namaku Andi-

ka... aku datang dari Lembah Kutukan!"

"Ih! Jangan-jangan sifatmu yang slebor itu karena 

kutukan, ya?" '.

"Enaknya ngomong!" gerutu Andika. Lalu sambil 

pandangi si gadis dia bertanya, "Nawang Wangi... kau 

datang dari Lembah Pinus. Aku juga mengenal orang 

yang datang dari Lembah Pinus yang berjuluk...." 

"Bidadari Tangan Bayangan?" putus Nawang Wan-

gi dengan suara gembira. Begitu melihat Andika men-

ganggukkan kepalanya gadis itu berkata, "Dia guruku!"

"Oh! Gurumu?" ulang Andika dan seperti orang

penting dia manggut-manggut. "Nawang Wangi... bila 

kau anggap aku lancang terserah. Mengapa kau keluar 

dari Lembah Pinus?"

Karena sejak semula Nawang Wangi sudah yakin 

kalau pemuda di hadapannya ini adalah orang baik-

baik, segera diceritakan semuanya.

Andika menghela napas sebentar dan berkata, 

"Kuil Putra Langit... telah hancur di tangan pembantai 

kejam, yang telah membunuh seluruh penghuninya."

"Andika!" seru Nawang Wangi tercekat. "Apakah 

maksudmu guruku...."

"Tidak! Aku berjumpa dengan gurumu dalam kea-

daan segar bugar. Dia datang terlambat memenuhi 

undangan Pendekar Sutera. Kini aku tahu mengapa 

dia terlambat. Tentunya dia hendak menyingkirkanmu 

dulu agar kau tidak terlibat dalam urusan yang akan 

dilakukannya."

"Lalu... di mana guruku sekarang?" tanya Nawang

Wangi yang kini bisa menghela napas lega mendengar 

kabar baik tentang gurunya.

"Sejak bertemu dengannya, aku mencoba mem-

buntutinya. Tetapi hingga hari ini, aku belum bertemu 

dengan gurumu itu. Yang ku tahu... dia sedang menge-

jar seseorang yang berjuluk Kepala Besi yang diyaki-

ninya sebagai orang yang bertanggung jawab atas 

pembantaian di Kuil Putra Langit."

Nawang Wangi terdiam. Ternyata apa yang telah 

terjadi di luar dugaannya sama sekali. Bahkan sekali-

pun tak terlintas kejadian itu di benaknya.

Andika sendiri membiarkan si gadis terdiam se-

perti itu. Sementara itu, pakaian basah yang mereka 

kenakan lamat-lamat mulai mengering ditiup angin.

Sambil pandangi si gadis, Andika membatin, "Pa-

tung Kepala Singa tetap menjadi masalah utama. Sulit 

bagiku untuk menjejakinya lebih lanjut sebelum me-

nemukan titik terang yang berarti. Seharusnya, aku 

menahan kepergian Bidadari Tangan Bayangan. Kare-

na nampaknya, perempuan berbaju kuning itu tahu 

banyak tentang semua ini. Dan paling tidak, aku harus 

mencari orang yang berjuluk Kepala Besi. Karena seca-

ra tidak langsung dialah orang yang dinilai bertang-

gung jawab, bukan hanya oleh Bidadari Tangan 

Bayangan tetapi juga oleh Nyi Dungga Ratih. Satu hal 

lagi yang memusingkan kepalaku, siapakah orang yang 

mengikutiku dan lenyap begitu saja?"

Kejap kemudian terdengar suara Nawang Wangi, 

"Aku sama sekali tak menyangka semua itu. Dan ten-

tunya... Guru tak akan membiarkan orang yang telah 

melakukan pembantaian kejam itu. Sekarang... kau 

hendak ke mana, Andika?"

Pertanyaan itu sebenarnya tak diharapkan oleh 

Andika. Karena dia ingin melanjutkan perjalanannya 

seorang diri. Tetapi dijawabnya juga, "Aku ingin mencari orang yang telah melakukan pembantaian keji di 

Kuil Putra Langit...."

Nawang Wangi sendiri sebenarnya ingin ikut ke 

mana Andika pergi. Paling tidak, pemuda ini diha-

rapkan akan membawanya pada gurunya. Hanya saja 

dia berkata lain, "Andika... aku pun ingin mencari sia-

pa pembantaian kejam itu, sekaligus mencari guru-

ku...."

"Bila kau menghendaki seperti itu, kau harus 

menjaga dirimu baik-baik, Nawang Wangi."

Nawang Wangi menganggukkan kepalanya. "Kalau 

begitu... kita berpisah di sini."

"Hati-hati. Karena... rimba persilatan ini sedang 

kacau balau. Apalagi mengingat kau baru pertama kali 

terjun ke rimba persilatan ini."

Nawang Wangi menganggukkan kepalanya.

"Terima kasih atas nasihatmu, Andika."

Sesaat si gadis pandangi wajah tampan Andika 

yang sebenarnya saat ini jelek betul karena dia sedang 

nyengir. Kejap berikutnya, setelah anggukkan kepa-

lanya, Nawang Wangi segera melesat ke arah timur.

Sepeninggal gadis itu, Andika mendesah panjang.

"Hmmm... aku harus cepat mencari titik terang 

dari urusan ini. Bila tidak, keadaan akan semakin bu-

ruk. Hanya saja, belum kudengar orang lain membica-

rakan si Kepala Besi kecuali Bidadari Tangan Bayan-

gan dan Nyi Dungga Ratih. Sementara itu, Gendala 

Maung pasti makin mendendam padaku...."

Setelah membatin begitu, Andika pun memutar 

tubuh. Lalu berkelebat melalui arah yang berlawanan 

dari yang ditempuh oleh Nawang Wangi.

***

9


Jauh dari tempat pertemuan Andika dengan Na-

wang Wangi, si Kepala Besi terus berkelebat. Sosoknya 

yang tinggi besar ternyata tak mempengaruhinya saat 

berlari. Bahkan gerakannya begitu ringan sekali.

Lelaki berkepala plontos ini sebenarnya masih ti-

dak mengerti akan sepak terjang Bidadari Tangan 

Bayangan yang ingin membunuhnya. Selama ini dia 

mendengar kabar, kalau Bidadari Tangan Bayangan 

adalah tokoh dari golongan lurus.

"Benar-benar bikin pusing kepala. Mengapa Bida-

dari Tangan Bayangan menuduhku yang telah mela-

kukan pembantaian di Kuil Putra Langit? Lebih gila la-

gi dia menuduhku telah mengambil Patung Kepala 

Singa! Gila!!"

Gerakannya kian lincah saat melompati ranggasan 

semak belukar dan liukan akar pohon yang menyem-

bul keluar.

"Seharusnya... kukatakan saja siapa aku sebenar-

nya.... Tetapi tidak, sebelum kulihat secara jelas Pa-

tung Kepala Singa... aku tidak akan membuka rahasia 

lama yang telah kupendam. Yang membuatku tak ha-

bis pikir... mengapa Patung Kepala Singa tiba-tiba 

muncul di tangan Pendekar Sutera? Pertanda apakah 

ini? Apakah Eyang Guru marah kepadaku dan meng-

hukumku dengan cara seperti itu?"

Hati Kepala Besi semakin dibalut dengan kecema-

san demi kecemasan. Sesungguhnya, dia memang me-

nyimpan sesuatu yang hingga saat ini masih diraha-

siakannya.

Sambil terus berkelebat tak tahu tujuan, Kepala 

Besi membatin lagi, "Yang terbaik sebenarnya adalah 

menjernihkan masalahku dengan Bidadari Tangan

Bayangan. Tak mustahil perempuan berbaju kuning 

itu akan terus memburuku. Ah, bila saja dia tahu ka-

lau akulah pemilik sah Patung Kepala Singa, apakah 

dia akan mengurungkan niat membunuhku? Hmmm... 

tentunya tidak. Karena, dia telah beranggapan akulah 

orang yang bertanggung jawab atas pembantaian di 

Kuil Putra Langit. Berarti... orang kejam itulah yang 

harus kucari! Tetapi ke mana aku harus mencarinya 

sementara aku harus mendapatkan kembali Patung 

Kepala Singa?"

Sambil terus membatin, lelaki tinggi besar berke-

pala plontos itu terus berkelebat. Sampai kemudian 

dihentikan kelebatannya. Sepasang matanya menatap 

tak berkedip ke depan. Sejarak lima langkah di hada-

pannya, telah berdiri satu sosok tubuh kurus berpa-

kaian hitam gombrang. Dari sikapnya berdiri, sosok 

perempuan kurus yang menilik dari urat-urat di pung-

gung tangannya berusia sekitar enam puluh tahun itu, 

nampak seperti sedang menunggunya.

Sesaat nampak wajah Kepala Besi berubah.

"Dewi Selendang Hitam...," desisnya.

Di seberang, perempuan yang kepalanya tertutup 

selendang warna hitam yang melingkar menutupi se-

bagian wajahnya, keluarkan dengusan. Sepasang ma-

tanya tajam tak berkedip.

"Kau hadir di sini rupanya, Kepala Besi!" suaranya 

dingin dan tajam. "Huh! Kutukan mungkin yang telah 

kau dapati hingga Patung Kepala Singa berpindah tan-

gan! Tetapi... aku yakin, kau telah merampasnya kem-

bali! Karena... telah kuobrak-abrik Kuil Putra Langit 

dan kubunuh semua penghuninya... Patung Kepala 

Singa tetap tak kutemukan! Sekarang... serahkan pa-

tung itu kepadaku!!" 

Kepala Besi tak buka suara. Diam-diam lelaki 

berkepala plontos ini jeri hatinya. Dia sama sekali tak

menyangka akan berjumpa dengan Dewi Selendang 

Hitam.

"Sejak dulu perempuan yang tak kuketahui seperti 

apa rupanya ini selalu mengejarku untuk menda-

patkan Patung Kepala Singa yang kusembunyikan di 

tempat yang kunamakan Ladang Siluman. Dan entah 

bagaimana tahu-tahu benda itu lenyap tatkala hendak 

kuambil. Lalu kudengar berita kalau benda itu berada 

di tangan Pendekar Sutera. Menilik kata-katanya tadi, 

jelas kalau dialah orang yang telah menurunkan tan-

gan terhadap orang-orang di Kuil Putra Langit. Seha-

rusnya... dia kutangkap dan kuserahkan pada Bidada-

ri Tangan Bayangan hingga urusan ini tidak berkem-

bang! Tetapi... ah, aku jelas-jelas tak bisa menghinda-

rinya...."

Karena belum mendapatkan jawaban dari Kepala 

Besi, Dewi Selendang Hitam keluarkan seruan lagi, 

"Cepat katakan padaku, sebelum jantungmu kuca-

but!!"

"Tak ada jalan lain selain menghadapinya.... Apa-

lagi, telah terjadi kesalahpahaman dengan Bidadari 

Tangan Bayangan. Dan nampaknya... semua rahasia 

yang kusimpan ini akan terbuka...," kata Kepala Besi 

dalam hati.

Di seberang Dewi Selendang Hitam kian mengke-

lap. Tak kuasa lagi menahan amarahnya, tangan ka-

nannya segera digerakkan.

Serta merta melesat lima larik sinar hitam yang 

keluarkan suara gemuruh dan hawa panas. Untuk se-

saat nampak Kepala Besi melengak kaget. Tak mau di-

rinya celaka, dengan cepat lelaki berkepala plontos ini 

membuang tubuh ke kanan. Bersamaan dengan itu, 

dikibaskan kedua tangannya ke depan. 

Wussss!! Wuusss!!

Dua gelombang angin yang kemudian menyatu,

menghampar deras dan menghantam lima larik sinar 

hitam yang dilepaskan si perempuan.

Blaaaarr!

Tempat yang agak temaram meskipun saat ini 

siang makin meranggas, menjadi terang. Letupan ter-

dengar beberapa kali dan tempat yang tadi temaram la-

lu jadi terang berubah temaram kembali. Dedaunan 

beterbangan entah ke mana.

Tatkala semuanya lurus, terlihat Dewi Selendang 

Hitam berdiri kaku dengan kedua tangan dikepalkan. 

Sementara itu, Kepala Besi telah surut dua tindak dari 

tempat semula dengan napas agak memburu.

"Benar-benar sial nasibku kali ini! Belum lagi ku-

temukan di mana Patung Kepala Singa berada, sudah

diburu oleh Bidadari Tangan Bayangan! Lebih sial lagi 

aku harus berjumpa dengan perempuan celaka ini!" 

desis Kepala Besi dengan hati keder. Namun dia beru-

saha untuk tindih perasaannya. "Biar bagaimanapun 

juga, aku akan menghadapinya sekuat tenaga. Karena, 

dialah pangkal dari semua kesalahpahaman yang ter-

jadi."

"Manusia keparat! Kau belum juga mengatakan di 

mana kau sembunyikan Patung Kepala Singa, hah?! 

Benar-benar mencari mampus!" geram Dewi Selendang 

Hitam dengan sorot mata dingin tak berkesip pada 

orang di depannya.

Di seberang, Kepala Besi benar-benar harus beru-

saha untuk menenangkan dirinya.

"Dewi Selendang Hitam telah lama memburuku 

untuk mendapatkan Patung Kepala Singa! Dan perem-

puan kejam ini tak akan hentikan maksudnya bila be-

lum tercapai! Rasanya aku...."

Kata-kata dalam hati si Kepala Besi pupus begitu 

merasakan deru panas dari sinar warna hitam melesat 

ke arahnya. Tak ada jalan lain menghindari serangan

itu kecuali melakukan satu gempuran balik. Segera sa-

ja dia lepaskan jurus 'Lingkar Tinju Besi'. Kedua tan-

gannya seperti menggebah dan keluarkan hamparan 

angin mengerikan.

Karena disadarinya kesaktian perempuan yang 

dari kepala hingga sebagian wajahnya tertutupi selen-

dang hitam itu bukan orang sembarangan, begitu han-

taman baliknya memapaki serangan Dewi Selendang 

Hitam, dia kembali kirimkan serangan. Kali ini gerak-

kannya mirip banteng sedang mengamuk. Kepalanya 

meluruk cepat dan keluarkan cahaya warna putih ber-

kilat-kilat!

Dewi Selendang Hitam agak terkesiap mendapati 

serangan aneh itu. Dia tahu kalau lawan telah pergu-

nakan jurus pamungkasnya yang bernama 'Kepala Be-

si Cabut Nyawa'.

Tetapi bagi Dewi Selendang Hitam, serangan itu 

tak terlalu berbahaya. Saat itu pula kedua tangannya 

bergerak bagai mendorong. Gelombang angin meng-

hampar dahsyat, membuat tempat itu bagai dilanda 

gempa, menerjang ke muka. Yang bukan hanya akan 

memapaki serangan lawan, tetapi juga akan memukul 

pecah kepala si lelaki plontos.

Kalau tadi Dewi Selendang Hitam yang terkesiap, 

kali ini Kepala Besi yang terkejut. Selagi tubuhnya me-

luruk dengan kepala agak membungkuk, kaki kanan-

nya cepat dijejakkan ke depan. 

Wuuuttt!

Tubuhnya langsung berputar balik ke udara dan 

bersamaan dengan itu didorong kedua tangannya.

Letupan keras terdengar bersamaan tubuh si Ke-

pala Besi mencelat ke belakang. Lelaki ini agak ter-

huyung karena tenaga yang dilepaskan oleh Dewi Se-

lendang Hitam lebih besar. Masih untung dia mampu 

menguasai keseimbangannya.

Sementara Dewi Selendang Hitam hanya surut 

dua langkah ke belakang sambil pegangi dadanya, 

yang tak urung terasa nyeri. Namun dia lebih dulu 

menguasai keadaan dirinya. 

Setelah kertakkan rahangnya, perempuan kejam 

ini sudah menyerbu kembali, hingga membuat Kepala 

Besi yang menjadi kalang kabut.

Sebisanya lelaki berpakaian abu-abu terbuka di 

bahu kanan itu berusaha menghindar sekaligus men-

coba memapaki setiap serangan yang datang.

Tiga jurus kemudian, nampak dia tak mampu un-

tuk membendung serangan demi serangan yang dilan-

carkan Dewi Selendang Hitam. Wajahnya kian memu-

cat sementara tubuhnya semakin surut ke belakang. 

Dan.... 

Dess! Desss!

Dua kali dadanya terhantam pukulan dahsyat 

Dewi Selendang Hitam yang membuat dadanya seperti 

remuk. Seketika itu pula pakaian di bagian dadanya 

menghangus. Sementara di dadanya sendiri bagai ter-

peta lima buku jari nenek baju hitam.

Mendapati lawan sudah terhantam pukulannya, 

Dewi Selendang Hitam kian pergencar serangannya. 

Angin bergemuruh datang susul menyusul disertai 

pancaran sinar-sinar hitam yang mengerikan. Keringat 

telah menderas disekujur tubuh Kepala Besi yang kian 

memucat. 

Bukkkk!

Kembali satu jotosan mampir di dada lelaki tinggi 

besar itu yang kian terhuyung ke belakang. Menyusul 

mulutnya mengembung dan...

"Huaaakk!" 

Darah hitam menyembur keluar. Rupanya si Ke-

pala Besi tak mampu kuasai dirinya lagi. Karena sebe-

lum Dewi Selendang Hitam lancarkan gempuran dah

syatnya lagi, lelaki tinggi besar ini sudah jatuh am-

bruk!

Muntah darah dua kali sambil pegangi dadanya. 

Kejap berikutnya, kepalanya terkulai.

Dewi Selendang Hitam hentikan gerakannya. Dari se-

lendang hitam yang menutupi sebagian wajahnya itu, 

nampak kalau dia tengah tersenyum yang tentunya 

senyuman sinis. Sedangkan sepasang matanya pan-

carkan nafsu membunuh!

"Hhh! Tak seorang pun yang bisa menandingi-

ku! Apalagi bila kudapatkan Patung Kepala Singa! Aku 

yakin, benda itu tidak berada di tangan manusia ini!"

Lalu dengan langkah pelan yang angker, Dewi 

Selendang Hitam menghampiri Kepala Besi. Dengan 

kaki kanannya dibalikkannya tubuh itu. Dilihatnya 

wajah Kepala Besi memucat. Dari sela-sela bibirnya, 

masih mengalir darah hitam yang kental. Tak ada ge-

rak dada turun naik tanda dia masih bernapas.

Dengan senyum puas perempuan ini tengadah-

kan kepala.

"Puas hatiku melihat manusia yang bertahun-

tahun kuburu ini mampus! Huhh! Siapa kira-kira yang 

telah memiliki Patung Kepala Singa?" Sejenak perem-

puan berpakaian hitam longgar ini terdiam. Lalu sam-

bungnya agak keras, "Biar bagaimanapun juga, aku 

harus mendapatkan benda itu!"

Dengan kepuasan yang masih dibaluri rasa pe-

nasaran, Dewi Selendang Hitam memutuskan untuk 

segera meninggalkan tempat itu. Dalam tiga tarikan 

napas saja, sosoknya sudah lenyap sama sekali dari 

pandangan.

Tetapi, benarkah apa yang diduganya barusan, 

kalau Kepala Besi telah mampus? Ternyata tidak sama 

sekali.

Orang tinggi besar itu tahu kalau dia tak akan

mampu menghadapi Dewi Selendang Hitam. Jalan sa-

tu-satunya yang terbaik adalah berlagak mampus. 

Kendati dia tak menyukai perbuatannya sendiri, na-

mun itu memang jalan satu-satunya untuk menyela-

matkan diri.

Ditahan nafasnya karena dia yakin Dewi Selen-

dang Hitam tak akan meninggalkan dirinya sebelum 

yakin kalau dia telah mampus. Sesungguhnya, dengan 

tubuh terluka dalam seperti itu, menahan napas san-

gat menyiksa sekali. Tetapi mau tak mau itu harus di-

lakukannya.

Dan sepeninggal Dewi Selendang Hitam, Kepala 

Besi belum berani bergerak kendati dia berani untuk 

bernapas lagi. Setelah beberapa saat membiarkan di-

rinya seperti itu dan setelah diyakininya tak ada tanda-

tanda si nenek akan muncul kembali, perlahan-lahan 

barulah dia berdiri.

Rasa sakit luar biasa menderanya. Cepat dialirkan 

hawa murni dalam tubuh guna hilangkan rasa sakit.

Setelah itu diambilnya tiga butir obat dari balik pa-

kaiannya yang segera ditelannya sekaligus.

Untuk beberapa saat lelaki yang pakaiannya di 

bagian dada telah hangus ini, duduk bersemadi. Sete-

lah itu lamat-lamat dia membuka kedua matanya.

Kendati sudah merasa agak segar kembali, namun 

dadanya masih terasa nyeri. 

"Urusan semakin panjang... Aku harus bertin-

dak.... Ya, aku harus bertindak.... Tak kupedulikan la-

gi, apakah nyawaku akan putus hari ini juga... Dan 

tak kupedulikan... soal rahasia yang telah lama ku-

pendam...." 

Memutuskan demikian, dengan kerahkan sisa-

sisa tenaganya, Kepala Besi bangkit. Berjalan ter-

huyung sambil menekap dadanya yang terasa nyeri 

meninggalkan tempat itu.

***

10


Tatkala matahari sungguh sepenggalan, Nawang 

Wangi menjejakkan kakinya di sebuah pedataran luas. 

Sejenak murid Bidadari Tangan Bayangan hentikan 

langkahnya. Diaturnya napas yang agak memburu. Se-

luas mata memandang, yang nampak hanyalah re-

rumputan belaka. Dan tempat itu seperti menjadi 

ajang deraan matahari yang sebenarnya tak terlalu 

menyengat.

"Ah... bila saja aku tidak malu untuk mengutara-

kan maksud, aku ingin bersama-sama dengan Andika. 

Paling tidak, aku akan merasa aman karena tentunya 

dia akan melindungiku. Tetapi, dia nampaknya me-

mang mempunyai urusan. Begitu pula denganku. Aku 

harus menemukan Guru...."

Kembali gadis berpakaian ringkas warna biru ke-

hijauan ini terdiam.

"Aku tak boleh membuang waktu.... Menurut An-

dika, Guru sedang mengejar Kepala Besi. Berarti... ada 

dua orang yang harus kucari. Kalau begitu... lebih baik 

aku segera berlalu dari sini."

Memutuskan demikian, gadis berkuncir dua ini 

segera berkelebat meninggalkan tempat itu. Setelah 

melalui tanah pedataran yang cukup luas, gadis ini ti-

ba di sebuah jalan setapak yang dipenuhi ranggasan 

semak belukar.

Nawang Wangi tak bermaksud untuk berhenti se-

benarnya. Namun sesuatu menarik perhatiannya hing-

ga gadis ini mau tak mau berhenti melangkah.

Dari balik ranggasan semak belukar, dilihatnya 

satu sosok tubuh berpakaian biru gelap dan di punggungnya nampak sebuah selendang warna putih bersi-

langan, sedang duduk di hadapan sebuah gundukan 

tanah. Orang itu nampak begitu khusuk sekali.

"Siapa orang itu? Dan nampaknya dia sedang 

mengalami musibah kematian. Entah siapa yang mati 

itu...," desis Nawang Wangi dalam hati.

Orang yang dilihat Nawang Wangi tak lain adalah 

Gendala Maung, salah seorang dari Dua Iblis Lorong 

Maut yang telah dikalahkan Andika. Dan sudah tentu 

gundukan tanah di hadapannya adalah makam dari 

Ganda Maung yang telah tewas.

Setelah dikalahkan Pendekar Slebor, Gendala 

Maung terus membopong tubuh Ganda Maung. Dan di 

tempat itulah dia menguburkan mayat kambratnya.

Sudah dua hari dua malam Gendala Maung tidak 

berpindah dari tempatnya sekarang. Di samping dia 

masih sedih akan kematian Ganda Maung, Gendala 

Maung juga mempergunakan kesempatan itu untuk 

bersemadi.

Lelaki berkumis baplang ini tak akan melepaskan 

kesempatan untuk membalas kematian kambratnya 

pada Pendekar Slebor.

"Ganda Maung... telah lama kita malang melintang 

bersama-sama.... Banyak suka duka yang kita alami 

bersama. Urusan Patung Kepala Singa pun atas kese-

pakatan kita bersama. Tetapi... umurmu harus sampai 

di sini! Tak akan kubiarkan Pendekar Slebor, orang 

yang telah membunuhmu, hidup lebih lama."

Sementara Gendala Maung larut dalam dendam-

nya, Nawang Wangi yang mendengar kata-kata itu ter-

cekat.

"Pendekar Slebor? Oh! Jadi orang itu ada urusan 

dengan Andika. Melihat sifat Andika yang kendati agak 

keblinger, nampaknya mustahil dia membunuh tanpa 

sebab." Gadis itu terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Kemungkinannya... kedua orang itu menye-

rang Andika dan Andika harus membela diri hingga 

terpaksa membunuh. Ya, barangkali kemungkinannya 

seperti itu."

Sejarak dua belas langkah dari tempatnya, lamat-

lamat Gendala Maung berdiri. Lelaki berkumis baplang 

ini pandangi makam kambratnya tak berkedip.

Ditahan segala sedihnya. Yang makin timbul, rasa 

marah dan dendam tinggi.

Mendadak saja dia berseru keras dengan kepala 

tengadah dan kedua tangan diangkat ke atas.

"Pendekar Slebooorr!! Sampai kapan pun kau 

akan kuburu!!" serunya keras.

Lalu mendadak saja sambil berteriak-teriak tak 

karuan, lelaki berpakaian biru gelap ini memutar tu-

buh berulangkali sembari gerakkan kedua tangannya.

Seketika melesat hamparan-hamparan angin yang 

langsung menghantami apa saja yang berada di seki-

tarnya. Beberapa kali letupan terdengar.

Nawang Wangi yang tak menyangka akan hal itu, 

langsung melompat disertai pekikan tatkala satu ge-

lombang angin menderu ke arahnya. 

Blaaaarr!

Bersamaan ranggasan semak belukar yang tadi 

menghalangi tubuhnya hancur berantakan, Gendala 

Maung hentikan gerakan liarnya dengan pandangan 

tak berkedip.

Lamat-lamat sepasang matanya terbuka lebih le-

bar. Bibirnya yang menghitam menyeringai tatkala me-

lihat sosok seorang gadis berpakaian ringkas biru kehi-

jauan berdiri tak jauh dari hadapannya.

"Pucuk dicinta ulam pun tiba!" desis Gendala 

Maung dengan seringaian kian melebar.

Di tempatnya, Nawang Wangi menyesali dirinya 

yang tak segera meninggalkan tempat itu setelah mengetahui apa yang terjadi. Untuk sesaat dia agak ngeri 

melihat pandangan tajam yang dibaluri nafsu birahi 

itu.

"Celaka! Rasanya... aku tak bisa menghindar dari 

tempat ini! Huh! Mengapa aku tidak segera berlalu?"

Di seberang, Gendala Maung lamat-lamat terba-

hak-bahak yang semakin lama bertambah keras. Dia 

seperti menemukan tempat pelampiasan segala keke-

salan yang ada di hatinya. Setelah beberapa saat, 

mendadak saja diputuskan tawanya.

Kali ini pandangannya agak menyipit. Namun kila-

tan birahinya tak bisa ditutupi.

"Anak manis... kau rupanya diturunkan para se-

tan untuk menghiburku! Mari, mari sini!!"

Nawang Wangi jijik mendengar kata-kata itu. Rasa 

jerinya perlahan-lahan lenyap. Sebagai gantinya, dia

segera keluarkan bentakan, "Tutup mulutmu!!"

Gendala Maung terbahak-bahak lagi. "Luar biasa! 

Ternyata bernyali harimau! Bagus! Silakan kau tutup 

mulutku ini dengan bibirmu yang merekah itu!"

"Terkutuk!" maki Nawang Wangi dengan tubuh 

menggigil. Tanpa sadar, kedua tangannya mengepal. 

Pandangannya bersiaga penuh. "Jangan membuat ke-

marahanku naik!"

"Justru aku ingin merasakan kemarahan kucing 

liar seperti kau!!"

Kendati marahnya sudah sampai di ubun-ubun, 

namun Nawang Wangi masih mencoba untuk mengen-

dalikannya.

"Saat ini... apa yang dikatakannya tidak terlalu 

penting. Mencari Guru dan orang yang berjuluk Kepala 

Besi yang terpenting. Lebih baik aku menyingkir saja 

dari sini!"

Berpikir demikian, murid Bidadari Tangan Bayan-

gan ini berkata, "Lelaki bermulut kotor! Untuk saat ini

kumaafkan segala ucapanmu itu! Tetapi ingat, bila ke-

lak bertemu lagi... akan kurobek mulutmu!!"

"Ha ha ha... tak ada lain kali, Kucing liar! Yang 

ada saat ini! Kau harus melayani kemauanku!!"

Makin menggigil tubuh Nawang Wangi. Gadis ini 

benar-benar tak mampu untuk menahan diri lagi. Te-

tapi dia berusaha keras menindihnya.

Tak ada suara yang keluar. Namun pancaran ma-

tanya menandakan betapa tak sabarnya dia untuk me-

robek mulut kurang ajar itu.

Di seberang, mendapati si gadis tak membuka 

mulut, Gendala Maung berkata lagi, "Nampaknya kau 

mulai luruh, hah? Siapa pun akan luruh melihat ke-

tampananku ini! Ayo, Anak manis... kita bersenang-

senang sekarang!"

Sebelum Nawang Wangi buka mulut, lelaki ber-

kumis baplang itu arahkan pandangannya pada ma-

kam yang di sisi kanannya dan berkata, "Ganda 

Maung... bila saja kau masih hidup... tentunya kita 

akan bersenang-senang menikmati hidangan yang da-

tang tanpa diundang ini seperti dulu...."

"Terkutuk!!" menggelegar suara Nawang Wangi tak 

kuasa menahan lebih lama lagi kesabarannya.

Gendala Maung kembali arahkan pandangannya.

"Kau nampaknya memang liar. Dan aku sangat 

menyukai keliaranmu itu!"

"Setan alas!!" maki Nawang Wangi yang terpancing 

oleh kata-kata Gendala Maung. Dengan teriakan yang 

keras, gadis ini mencelat ke depan dan lepaskan joto-

sannya.

Angin keras mendahului saat tubuhnya mencelat.

Sejenak Gendala Maung terkejut juga mendapati 

serangan itu. Tetapi dengan mudahnya, dihindarinya 

serangan itu dengan cara pindahkan kaki kanan ke 

samping. Bersamaan dengan itu, tangan kanannya

bergerak.

Desss!! "

Cukup terkejut Gendala Maung tatkala merasakan 

tenaga si gadis saat berbenturan tadi. Sementara Na-

wang Wangi sendiri sudah memutar tubuh ke belakang 

dan berdiri tegak di atas tanah.

"Kita berjumpa lain kali!" serunya dan segera balikkan 

tubuh.

Namun belum lagi dia meninggalkan tempat itu, 

mendadak saja dilihatnya sosok lelaki berpakaian biru 

gelap yang di dadanya bersilangan sebuah selendang 

warna putih telah berdiri di hadapannya sambil me-

nyeringai.

"Sebelum kau memuaskan diriku... kau tak akan 

lepas dari tanganku, Anak Manis...."

"Keparat!!" maki Nawang Wangi dan segera men-

dorong kedua tangannya ke depan.

Serta merta menggebrak dua gelombang angin 

dengan kecepatan tinggi ke arah Gendala Maung. Na-

mun dengan mudahnya lelaki berkumis baplang itu 

mematahkan serangannya. Bahkan mendadak saja dia 

melompat ke depan. Tubuhnya agak membungkuk. 

Kaki kanannya menyapu cepat yang menerbangkan 

tanah dan kerikil.

Tak menyangka kalau lelaki itu bergerak sedemikian 

cepat, Nawang Wangi segera melompat. Namun tatkala 

tubuhnya masih di udara, tangan kanan Gendala 

Maung meluncur lepaskan satu jotosan yang menga-

rah pada dada si gadis.

Nawang Wangi terkejut, Cepat dia tekuk sikutnya.

Buk!!

Sosoknya terhuyung ke belakang tiga tindak se-

mentara Gendala Maung tetap tegak di atas tanah. 

"Hebat! Hebat!!"

Di seberang, Nawang Wangi merasa sikut kanan

nya agak ngilu. Tatkala dilihatnya, agak membiru.

"Rasanya... tak ada jalan lain kecuali menghada-

pinya. ..," katanya dalam hati.

Habis membatin demikian, murid Bidadari Tangan 

Bayangan ini segera angkat tangan kanan dan kirinya 

ke atas. Kejap berikutnya, kedua tangannya itu dige-

rakkan. Semakin lama semakin cepat. Menyusul ter-

dengarnya suara angin menderu-deru.

Di seberang, dari rasa terkejutnya, Gendala 

Maung justru mengerutkan keningnya.

"Rasa-rasanya... aku pernah melihat jurus seperti 

ini...." desisnya dalam hati. "Bukankah... hei!! Jurus 

itu adalah jurus Bidadari Tangan Bayangan!!"

Kejap berikutnya, lelaki berkumis baplang ini se-

gera membuka mulut, "Gadis manis! Ada hubungan 

apa kau dengan Bidadari Tangan Bayangan?!"

Mendengar orang mengenali gurunya dari jurus 

yang dimainkannya, Nawang Wangi perlihatkan se-

nyuman mengejek.

"Dia guruku! Cepat kau berlutut sebelum nyawa-

mu kucabut!"

Sahutan Nawang Wangi justru membuat Gendala 

Maung mengkelap. "Bagus! Ternyata kau murid Bida-

dari Tangan Bayangan! Kau makin membuatku bergai-

rah, Manis!! Ketahuilah... telah lama aku bermusuhan 

dengan gurumu itu! Dan sekarang... kau bukan hanya 

sebagai gantinya, tetapi juga akan kupermalukan kau 

hingga seluruh kejadian ini berkumandang di rimba 

persilatan dan mau tak mau akan mencoreng wajah 

Bidadari Tangan Bayangan!"

Mendengar ancaman itu, Nawang Wangi semakin 

bersiaga penuh. Sementara deru angin yang keluar da-

ri gerakan kedua tangannya, dia membatin, "Apa pun 

yang terjadi... aku tidak peduli! Lebih baik kudahului 

menyerang!!"

Memutuskan demikian, tanpa keluarkan benta-

kan, Nawang Wangi segera mendorong kedua tangan-

nya ke depan.

Gendala Maung kertakkan rahangnya. Menyusul 

dia segera membuang tubuh ke kiri. Bersamaan den-

gan itu, kedua tinjunya didorong pula.

Wusss! Wuuusss!

Dess! Dess!!

Sejenak murid Bidadari Tangan Bayangan ini ter-

henyak dan surut tiga langkah ke belakang akibat ben-

turan yang terjadi tadi. Namun gadis yang tengah dira-

suki amarah ini tak mempedulikan keadaannya.

Dia segera angkat tangannya yang kembali berge-

rak tak ubahnya bayangan belaka. Menyusul dido-

rongnya kembali.

Wusss!

Satu hamparan angin melesat ke arah leher Gen-

dala Maung. Sambil keluarkan makian, lelaki berkumis 

baplang ini justru melesat ke depan seperti menyong-

song serangan itu.

Tatkala gelombang angin tadi siap menghantam 

patah lehernya, sosoknya mendadak melenting ke atas 

dengan gerakan memutar tubuh. Masih berada di uda-

ra, tangan kanannya menjulur siap menotok punggung 

Nawang Wangi.

Namun gadis itu adalah murid Bidadari Tangan 

Bayangan. Kendati baru kali ini menghadapi pertarun-

gan yang sesungguhnya, namun dia sudah cukup la-

ma digembleng oleh Bidadari Tangan Bayangan.

Dengan cara liukkan tubuh, dia lolos dari totokan 

Gendala Maung. Bahkan kaki kanannya telah melun-

cur siap menendang dada Gendala Maung.

Kembali Gendala Maung kertakkan rahangnya. 

Dengan telapak tangannya dipapaki tendangan keras 

itu.

Dan dia terkesiap tatkala mendapati sinar putih 

bening menghampar dengan gemuruh angin mengeri-

kan. Sekejap menerangi tempat itu yang kendati siang 

sudah meraja namun karena pepohonan yang tinggi 

sinar matahari seperti tertahan. Rupanya Nawang 

Wangi sudah melepaskan jurus 'Bayangan Matahari' 

yang diajarkan Bidadari Tangan Bayangan.

"Keparat!!" maki Gendala Maung sambil melompat 

ke belakang. Dia memang melihat kalau gerakan si ga-

dis semakin lambat. Namun dia tahu kalau gerakan 

lambat itu mengandung tenaga yang mengerikan.

Dan selagi si gadis keluarkan jurus 'Bayangan Ma-

tahari' lagi, Gendala Maung langsung meluruk. Dida-

hului dengan dorongan kedua tangannya yang men-

gandung tenaga dalam berlipat ganda.

Blaaaammm!!

Benturan keras tak terelakkan. Tempat itu sesaat 

seperti bergetar. Tanah di mana terjadinya benturan 

keras itu rengkah dan muncrat ke atas!

Tatkala semuanya luruh, terlihat sosok Nawang 

Wangi terhuyung ke belakang. Rupanya, tenaga dalam 

yang dimilikinya kalah tinggi dari Gendala Maung. Ga-

dis ini benar-benar tak mampu lagi untuk kuasai ke-

seimbangannya.

Karena kejap itu pula, sosoknya ambruk.

Sementara itu, Gendala Maung yang tak kurang 

suatu apa segera berkelebat cepat. Tangan kanannya 

terjulur.

Tuk! Tuk!

Dua totokannya bersarang di dada bagian atas 

dan pangkal lengan kanan Nawang Wangi, hingga si 

gadis langsung merasa tubuhnya nyeri dan kaku.

"Sudah kukatakan tadi... kau telah diutus oleh 

para setan untuk menjadi pemuas nafsu. Dan kau me-

rupakan obat sementara penghilang dendamku pada

Pendekar Slebor dan menutupi sejenak keinginanku 

untuk mendapatkan Patung Kepala Singa!"

"Jahanam! Lepaskan aku! Kita bertarung sampai 

mampus!!" seru Nawang Wangi keras dengan mata 

mendelik gusar.

"Kau tak perlu menunggu terlalu lama untuk 

mampus! Karena... setelah aku puas menggeluti tu-

buhmu... maka kau akan merasa jiwamu sudah mati!!"

Lalu dengan seringaian lebar dan langkah angker, 

Gendala Maung berlutut mendekati Nawang Wangi. 

Tangan kasarnya membelai-belai wajah si gadis yang 

berusaha mengelakkannya. Namun karena sekujur tu-

buhnya kaku, yang bisa dilakukan hanyalah berteriak-

teriak.

"Cuuuh!!" Dengan gusar disemburkan ludahnya

yang tepat mengenai wajah Gendala Maung.

Bukannya gusar, Gendala Maung cuma terbahak-

bahak.

"Menyenangkan... sangat menyenangkan.." desis-

nya puas dan mendadak saja tangan kanannya berge-

rak.

Breettt!!

Seketika pakaian di bagian dada Nawang Wangi 

sobek. Memperlihatkan pakaian dalamnya yang tipis 

berwarna hijau. Dan memperlihatkan bayangan bung-

kahan payudara yang mengkal menggiurkan.

"Luar biasa...," desis Gendala Maung. "Ganda 

Maung... bila saja kau masih hidup... tentunya kita 

akan berbagi kenikmatan ini bersama-sama...."

Sementara itu, Nawang Wangi berusaha untuk te-

tap tegar. Dia sadar apa yang akan dialaminya. Sesua-

tu yang sangat menakutkan dan tak pernah dibayang-

kan sama sekali. Untuk saat ini, kembali disesalinya 

mengapa dia harus meninggalkan Lembah Pinus.

Namun semuanya sudah dilakukan dan malapetaka ini nampak tak akan bisa dielakkan lagi.

Dirasakan bagaimana payudaranya dipegang dan 

diremas-remas dengan kasar dan penuh bernafsu. Ke-

tika dia hendak membuka mulut, mendadak dirasakan 

satu sentuhan pada urat suaranya hingga kini dia tak 

bisa keluarkan suara.

Dipejamkan matanya rapat-rapat tatkala melihat

lelaki berkumis baplang itu mulai membuka pakaian-

nya sendiri.

"Guru... maafkan aku...."

Namun sebelum malapetaka itu terjadi, mendadak 

terdengar suara lembut berwibawa, "Menista sesama 

adalah perbuatan terkutuk. Kendati tak bisa dimaaf-

kan, tetap masih bisa diperbaiki...."


                       SELESAI


Segera menyusul: 

RAHASIA DI BALIK ABU




















 

Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive