PATUNG KEPALA SINGA
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
1
Lintasan malam semakin jauh membentang dalam
kesenyapan tinggi yang dingin dan suasana mence-
kam. Keangkeran meraja, hingga terasa ke tulang pal-
ing dalam. Ratu Malam yang biasanya hangat bersinar,
kali ini seperti tak mampu tembusi gumpalan awan hi-
tam yang sepertinya enggan bergeser. Angin datang
bergulung-gulung dari arah barat, seperti membawa
tabir kematian yang harus dikuakkan.
Dalam keangkeran yang kian menggigit dan di
bawah naungan tipis sinar bulan, nampak sebuah
bangunan berdiri tegak laksana raksasa yang sedang
berlutut. Kengerian akan dirasakan oleh siapa saja
yang arahkan pandangannya pada bangunan itu.
Hembusan angin yang meraja, membawa bau any-
ir darah ke berbagai penjuru. Suara burung gagak
yang mengerikan berkaok-kaok memecah keheningan
malam dan menambah keangkeran.
Di kejauhan, nampak satu sosok tubuh berkelebat
dengan cepatnya. Dari gerakannya yang sangat cepat,
nampak kalau sosok tubuh itu hendak lalui malam
dengan segera. Namun mendadak sosok tubuh itu
hentikan kelebatannya tatkala hidungnya menangkap
bau yang sangat busuk. Dengan kesigapan yang ken-
tara, sepasang mata sosok tubuh yang ternyata seo-
rang pemuda ini diedarkan ke sekelilingnya.
"Busyet! Bau apa ini?" desisnya sambil garuk-
garuk kepalanya. Pandangannya diarahkan ke bangu-
nan besar yang nampak porak poranda itu. Dan sema-
kin lama dia berada di sana, semakin tak kuat indera
penciumannya guna menahan aroma anyir yang sung-
guh tak sedap. Kejap kemudian, pemuda yang beram-
but gondrong ini keluarkan dengusan lagi, "Kutu mo
nyet! Bau busuk yang nampaknya berasal dari bangu-
nan yang sebagian sudah hancur itu, biasanya berasal
dari bangkai! Tetapi, bangkai apa yang baunya seperti
berjibun-jibun?! Benar-benar busyet! Masa aku harus
bertahan dengan bau tak sedap ini?! Konyol banget!"
Kembali pemuda berpakaian hijau pupus yang di
lehernya melilit sebuah kain bercorak catur ini men-
dengus-dengus. Sikapnya sungguh konyol! Dan tam-
pangnya yang tampan itu kini mendadak seperti jadi
orang dungu!
"Sinting gila miring! Perutku seperti diaduk-aduk
oleh tangan kasar! Huh! Mendingan aku tinggalkan sa-
ja, ketimbang muntah tidak karuan!!"
Memutuskan demikian, pemuda yang memiliki
sepasang alis hitam legam dan menukik seperti kepa-
kan sayap burung elang ini, mulai melangkah. Tetapi
baru tiga langkah dilakukan, dia sudah hentikan lang-
kahnya lagi.
Dan bersuara agak geram, "Brengsek! Justru aku
jadi penasaran ingin tahu asal bau tak sedap ini!"
Setelah mendumal tanpa keluarkan suara, pemu-
da berpakaian hijau pupus yang tak lain Andika
adanya, alias Pendekar Slebor, segera berkelebat ke
arah bangunan besar yang di sana-sini,sudah porak-
poranda.
Dengan kerahkan tenaga dalamnya guna hindari
bau tak sedap itu, Andika segera berkelebat masuk ke
dalam bangunan. Di ruangan besar yang diperkirakan
seperti sebuah tempat pertemuan, dia kembali henti-
kan kelebatannya.
Kali ini pandangannya tak berkedip, mengarah
pada puluhan mayat yang tumpang tindih. Lalat-lalat
sudah menari-nari di tubuh puluhan mayat itu.
"Celaka tiga belas setengah! Rupanya ada pem-
bantaian di sini! Menilik bau busuk dari mayat-mayat
ini yang telah mengundang para lalat berpesta, kema-
tian ini sepertinya sudah berkisar sekitar dua sampai
lima hari! Kutu monyet! Siapa yang telah lakukan
pembantaian keji gila-gilaan seperti ini?!"
Lalu dengan melangkahi beberapa sosok tubuh
yang telah menjadi mayat, Andika meneliti tempat itu.
Dilihatnya, kalau mayat-mayat itu rata-rata tewas
dengan dada bolong!
"Keji!" desisnya geram. Lalu dilihatnya satu sosok
tubuh berpakaian sutera yang tergolek menjadi mayat.
Dada lelaki yang berusia sekitar empat puluh tahun
itu pun bolong. Dalam sekali lihat saja Andika yakin,
kalau jantung lelaki itu sudah tidak ada!
Dan perlahan-lahan kemarahan mulai meraja di
hati pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan
ini. Tangannya berulang kali mengepal sementara mu-
lutnya tak henti-henti keluarkan desisan geram. "Mo-
nyet belang! Aku ingin tahu siapa yang telah lakukan
semua ini?!"
Sebelum Andika putuskan untuk berbuat apa,
mendadak saja terdengar makian keras di belakang-
nya, "Begitu pula denganku! Tetapi, Jangan berlagak
pilon! Karena engkaulah yang telah melakukan semua
ini!!"
Serta merta pemuda dari Lembah Kutukan ini pu-
tar tubuh. Saat itu pula dilihatnya seorang perempuan
berpakaian kuning bersih dengan selendang warna
merah yang melilit di pinggangnya telah berdiri tegak.
Wajah perempuan yang kira-kira berusia sekitar empat
puluh tahun itu, sedemikian jelitanya. Namun panca-
ran matanya begitu tajam. Bibirnya merapat tanda pe-
rempuan itu dilanda kemarahan.
Untuk sesaat Andika terdiam. Dapat dirasakan
kalau perempuan yang tiba-tiba muncul tanpa diketa-
huinya itu bukan orang sembarangan. Dari menilik
wajahnya yang perlahan-lahan kian mengkelap, Andi-
ka merasa yakin kalau keadaan yang dilihatnya ini
akan membangkitkan kesalahpahaman.
"Brengsek kalau begitu!" desisnya dalam hati.
Lalu sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak
gatal dan pamerkan cengirannya yang konyol itu, dia
berkata, "Wah! Kalau begitu... kita sama-sama punya
keinginan untuk mengetahui siapa pelaku keji pem-
bantaian ini, ya? Bagaimana? Apakah kau bersedia
bersama-sama denganku untuk mencarinya? Tetapi...
jangan, ah! Kalau aku berjalan bersamamu dan berte-
mu dengan gadis-gadis lain, mereka bisa cemburu
nanti!"
Mendapati kata-kata si pemuda yang tidak tahu
juntrungannya, untuk sejenak si perempuan terdiam.
Pandangannya tetap tajam dan menusuk.
Diam-diam perempuan ini membatin, "Menilik pa-
kaian yang dikenakan dan sikapnya yang konyol itu,
rasa-rasanya... aku pernah mendengar julukan orang
yang bersikap seperti ini. Tetapi... apa mungkin me-
mang dia? Rasanya... tak mungkin. Karena, dia dikenal
sebagai pemuda dari golongan lurus kendati sikap ko-
nyolnya tidak ketolongan lagi!"
Di seberang, karena si perempuan terdiam Andika
berkata lagi, "Kalau tak ada urusan yang hendak dibi-
carakan, lebih baik aku...."
"Tutup mulut!" seru si perempuan tiba-tiba. Sebe-
lum dia melanjurkan kata, kembali perempuan berpa-
kaian kuning bersih ini membatin, "Sikapnya memang
benar-benar memperlihatkan siapa dia sebenarnya. Te-
tapi, rimba persilatan saat ini sedang kacau. Sulit
meyakinkan satu dugaan sebelum membuktikan. Apa-
lagi memutuskan kalau dia adalah kawan atau lawan."
Habis membatin begitu, si perempuan ajukan
tanya, "Keinginan kita memang sama! Tetapi, apa
maksudmu hadir di Kuil Putra Langit ini?! Apakah kau
memang semata datang karena tak sengaja, ataukah
kau datang untuk meyakinkan semua orang yang telah
kau bunuh benar-benar sudah mampus? Atau kau...."
Si perempuan memutus kata-katanya sendiri begi-
tu pandangannya membentur pada sosok tubuh lelaki
berpakaian sutera yang telah tewas. Sesaat nampak
dia melengak dengan kedua mata membesar, Tetapi
kejap kemudian, nampak pula kalau dia tengah beru-
saha tindih keterkejutannya.
Dalam sekali pandang, Andika tahu kalau perem-
puan itu mengenali mayat berpakaian sutera.
"Menilik sikapnya, nampak kalau perempuan itu
mengenal lelaki berpakaian sutera! Kuil Putra Langit?
Fuih! Angker betul nama tempat ini!" desis Andika da-
lam hati. Lalu katanya sambil nyengir, "Wah! Gampang
banget pertanyaanmu itu! Jawaban-nya, dari kata-
katamu yang pertama tadi! Sekarang aku balik tanya!
Mengapa...."
"Diam!" seru si perempuan memutus kata-kata
Andika. "Jangan coba-coba bangkitkan kemarahanku!"
"Kutu kupret! Galak betul! Siapa sih sebenarnya
perempuan ini?" seru Andika dalam hati. Lalu diden-
garnya lagi kata-kata si perempuan, "Apakah kau su-
dah mendapatkan barang yang kau cari? Patung Kepa-
la Singa?!"
Kali ini Andika benar-benar terdiam mendengar
pertanyaan orang. Dan dia tidak tahu kalau sesung-
guhnya si perempuan sedang membuktikan mengapa
dia hadir di tempat yang telah porak poranda ini?
Sesaat sunyi meraja. Bau anyir darah makin men-
guat. Bau busuk mayat-mayat itu bertambah menyen-
gat, hingga bila tidak alirkan tenaga dalam guna me-
nutup sebagian indera penciuman, orang yang berada
di sana akan langsung muntah dengan kepala pusing.
Tiba-tiba terdengar suara seperti dinding runtuh dari
bagian dalam bangunan itu.
Masing-masing orang sesaat palingkan kepala ke
arah suara itu. Setelah meyakinkan kalau memang
hanya dinding bangunan yang runtuh, keduanya sal-
ing pandang kembali. '
Kejap kemudian, terdengar kata-kata Pendekar
Slebor "Aku tak tahu apa yang kau maksudkan. Pa-
tung Kepala Singa? Benda apa itu?"
"Hmmm... wajahnya begitu polos, Keheranannya
jelas tak dibuat-buat. Bisa jadi apa yang dikatakan-
nya,, tadi memang benar. Patung Kepala Singa... se-
buah benda yang sedang ramai dibicarakan orang," ka-
ta batin si perempuan.
Lalu setelah tarik napas pendek dia bertanya,
"Siapakah kau sebenarnya?"
Karena ingin mengetahui urusan apa yang telah
terjadi, Andika berkata, "Namaku Andika. Aku datang
dari Lembah Kutukan. Orang-orang menjulukiku...
Pendekar Slebor!" Lalu buru-buru disambungnya, "Te-
tapi aku tidak slebor lho. Hanya... ya, cuma dikitlah!"
Mendapati sahutan itu, nampak si perempuan
mendesah lega. "Dugaanku ternyata benar. Dia me-
mang Pendekar Slebor. Pemuda yang julukannya se-
makin ramai dibicarakan orang karena sepak terjang-
nya yang selalu menggagalkan perbuatan makar dari
orang-orang tak beradab!"
Kemudian katanya, "Apakah kau melihat mayat
seorang gadis di antara tumpukan mayat-mayat ini?"
Andika menggelengkan kepalanya. "Aku tidak ta-
hu. Mungkin memang tertindih mayat-mayat yang
lainnya. Siapa dia?"
Bukannya jawab pertanyaan itu, si perempuan ju-
stru berkelebat ke sana kemari. Saat berkelebat, ka-
kinya menyepak-nyepak dengan cepat, hingga bebera
pa mayat bergulingan.
"Busyet! Apa yang sedang dilakukannya? Apakah
dia sedang mencari gadis yang dimaksudnya?" desis
Pendekar Slebor dalam hati dan diam-diam mengagu-
mi ilmu peringan tubuh yang diperlihatkan si perem-
puan.
Tak mau mengganggu apa yang sedang dilakukan
si perempuan, Andika hanya memperhatikan saja. Se-
puluh larikan napas kemudian, perempuan berpakaian
kuning bersih yang di pinggangnya melilit sebuah se-
lendang warna merah, telah berdiri tegak kembali seja-
rak lima langkah dari hadapan Andika.
Sesaat keduanya saling pandang. Kemudian se-
raya putar tubuh si perempuan berkata, "Kita berbica-
ra lagi di luar kuil ini! Aku tidak tega melihat mayat-
mayat ini!"
Belum lagi Andika menjawab, si perempuan sudah
berkelebat keluar dari bangunan itu. Untuk sesaat An-
dika kembali dibuat terpana melihat gerakan yang di-
lakukan si perempuan.
"Edan! Aku cuma melihat bayangan kuning saja!
Hmmm... jadi penasaran nih?!"
Karena rasa penasaran itulah Andika memu-
tuskan untuk menyusul si perempuan, yang ternyata
menunggunya sejarak lima belas tombak dari bangu-
nan yang telah porak poranda itu.
"Eh, sudah lama menungguku?! Apa kabar?! Ada
yang bisa kubantu?" seru Andika konyol setelah berdiri
sejarak lima langkah dari hadapan si perempuan. Lalu
dengan enaknya dia nyengir sambil menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal.
Si perempuan tak menggubris selorohan Andika.
Sesaat dipandanginya wajah si pemuda yang justru
dengan noraknya mengangkat-angkat alisnya.
Setelah keluarkan dengusan melihat tingkah ko
nyol Pendekar Slebor, si perempuan berkata, "Namaku
Dewi Puspa dan orang-orang menjulukiku Bidadari
Tangan Bayangan. Aku datang dari Lembah Pinus. An-
dika... aku adalah sahabat dari Lelono Jaka, atau yang
berjuluk Pendekar Sutera. Dialah pimpinan dari Kuil
Putra Langit. Kedatanganku ke sini, adalah untuk
memenuhi undangannya seminggu yang lalu. Saat itu,
salah seorang muridnya, datang menyampaikan un-
dangannya. Karena ada urusan yang harus kuselesai-
kan lebih dulu, makanya aku tak segera datang. Teta-
pi, undangan itu pun diperuntukkan buatku sekitar
tujuh hari di muka setelah salah seorang muridnya
menyampaikan undangan Pendekar Sutera kepada-
ku...."
Perempuan yang mengaku berjuluk Bidadari Tan-
gan Bayangan ini sejenak menghela napas, sementara
Andika mendengarkan dengan seksama.
Kejap kemudian, Bidadari Tangan Bayangan me-
lanjutkan lagi, "Sebenarnya... aku bisa menduga, apa
maksud Pendekar Sutera mengundangku mene-
muinya. Dapat kuyakini kalau dia hendak membicara-
kan tentang Patung Kepala Singa."
"Lagi-lagi benda itu yang disebutkannya," kata
Andika dalam hati. Sambil maju selangkah, pemuda
dari Lembah Kutukan ini bertanya, "Benda apa sebe-
narnya Patung Kepala Singa?"
"Sampai saat ini, aku memang belum pernah me-
lihat seperti apa Patung Kepala Singa itu. Sekitar seta-
hun yang lalu, Pendekar Sutera mengatakan kepada-
ku, kalau dia mendapatkan Patung Kepala Singa seca-
ra tak sengaja di saat dia sedang bersemadi di Lembah
Singa. Patung itu tiba-tiba saja muncul dlhadapannya
setelah dia selesai bersemadi. Dengan penuh kehera-
nan Pendekar Sutera membawanya pulang. Dan bebe-
rapa kali dia bermimpi, kalau di dalam Patung Kepala
Singa terdapat sesuatu yang sangat sakti. Tetapi dia
tidak tahu apa sesuatu itu karena dia selalu terbangun
sebelum mimpinya selesai. Dia pernah membicarakan
soal itu kepadaku sekitar tujuh bulan yang lalu. Aku
pun tak bisa banyak membantu, tentang apakah sesu-
atu yang terdapat pada Patung Kepala Singa itu."
"Apakah saat itu Pendekar Sutera tidak menun-
jukkan Patung Kepala Singa kepadamu?"
"Justru aku yang tak ingin melihatnya. Aku cuma
ingin membantu."
"Mengapa?"
"Karena kuanggap, dia telah mendapatkan satu
keberuntungan. Dan aku tak ingin lancang mengeta-
hui lebih lanjut dari keberuntungannya itu"
"Tetapi pada kenyataannya, justru dia mendapat
musibah," sahut Andika seperti menyesali. Dan dia
memang melihat wajah si perempuan yang jelita itu
nampak juga menyesali. "Apakah kau memperkirakan
kalau pembantaian itu terjadi disebabkan Patung Ke-
pala Singa?" tanya Andika dengan mimik serius. Dan
saking seriusnya, sikapnya jadi seperti sapi ompong!
Dasar!
Sejenak Bidadari Tangan Bayangan terdiam sebe-
lum menjawab, "Aku juga menduga seperti itu. Karena
sekitar sebulan yang lalu, aku mendengar orang-orang
ramai membicarakan tentang Patung Kepala Singa.
Sayangnya, aku tidak tahu di mana Patung Kepala
Singa itu disimpan. Apakah patung itu berhasil direbut
oleh orang yang melakukan pembantaian, ataukah
masih aman tersimpan entah di mana."
"Sulit menjawab pertanyaan itu. Karena dia sendi-
ri tidak tahu seperti apa benda yang bernama Patung
Kepala Singa," kata Pendekar Slebor dalam hati.
Kemudian tanyanya, "Lalu apa yang kau lakukan tadi
dengan menyepak-nyepak beberapa mayat?"
Bidadari Tangan Bayangan tarik napas dulu sebe-
lum menjawab, "Aku mencari Tri Sari."
Andika mengernyitkan keningnya. "Siapakah gadis
itu?"
"Dia adalah putri Pendekar Sutera. Tetapi... aku
tak melihat mayatnya di sana bila dia memang mati
bersama-sama yang lain."
Untuk sejenak tak ada yang membuka suara. An-
dika seperti tengah berpikir keras. Kemudian katanya,
"Ada beberapa dugaan mengenai putri Pendekar Sute-
ra. Pertama, kemungkinan besar dia telah melarikan
diri dengan atau tidak membawa Patung Kepala Singa.
Kedua, dia telah tewas di satu tempat karena orang
yang melakukan pembantaian itu berhasil mengejar
dan menghabisinya. Ketiga, gadis itu belum tahu apa
yang telah terjadi."
Mendengar dugaan-dugaan yang dituturkan Andi-
ka, perempuan berpakaian kuning bersih ini terdiam.
Hanya matanya yang nampak terlihat kalau dia mem-
benarkan dugaan-dugaan itu.
Kejap kemudian dia berkata, "Aku hanya berha-
rap, kalau Tri Sari berada dalam dugaanmu yang per-
tama." Lalu sambungnya dengan suara geram, "Jaha-
nam terkutuk! Tak akan kubiarkan orang yang telah
lakukan pembantaian ini hidup lebih lama!"
***
2
Andika dapat merasakan kegeraman yang tersirat
dari kata-kata itu. Sebelum dia berkata, terdengar sua-
ra Bidadari Tangan Bayangan mendahului, "Selama
ini... Pendekar Sutera dikenal sebagai seorang pendekar yang selalu baik pada siapa pun. Bahkan dia tak
memandang siapa pun orang yang akan dijadikan sa-
habat. Hingga rasanya... dia jarang mempunyai mu-
suh. Dan sungguh biadab orang yang telah lakukan
pembantaian itu!!"
"Dia nampaknya terbawa oleh arus amarahnya,
Dan ini membuktikan betapa dia memang bersahabat
dengan lelaki berjuluk Pendekar Sutera yang tentunya
mayat yang mengenakan pakaian terbuat dari sutera
tadi," kata Andika dalam hati. Lalu segera ajukan
tanya, "Apakah kau bisa menduga siapakah orang
yang telah lakukan semua ini?"
Bukannya jawab pertanyaan Andika, Bidadari
Tangan Bayangan justru kertakkan rahang. Jelas se-
kali kalau dia teringat akan sesuatu. Sepasang ma-
tanya tiba-tiba terbuka lebih lebar dengan sorot mata
dibaluri kemarahan. Kejap kemudian nampak kedua
tangannya dikepalkan kuat-kuat.
"Siapa lagi orangnya kalau bukan si Kepala Besi!" se-
runya keras.
Di seberang, Andika memperhatikan dengan
seksama perempuan berpakaian kuning yang nampak
begitu geram.
"Menilik suaranya, dia begitu pasti sekali kalau
orang yang berjuluk si Kepala Besi lah yang melaku-
kan semua ini. Apakah dia memang tahu semua ini?"
batinnya dalam hati.
Kemudian sambil nyengir dia berkata, "Hebat ka-
lau kau begitu pasti dengan kata-katamu! Ingat, lho...
menuduh orang sembarangan berdosa!"
Tak menanggapi selorohan konyol pemuda berba-
ju hijau pupus, Bidadari Tangan Bayangan berkata
dengan suara geram, "Sebulan yang lalu... aku sempat
didatangi oleh lelaki tinggi besar berkepala gundul itu!
Dia menanyakan tentang Pendekar Sutera! Dan begitu
bodohnya aku ini, yang langsung mengatakan di mana
Pendekar Sutera berada! Jahanam keparat! Sudah
pasti dia orangnya!!"
"Apakah si Kepala Besi mengatakan ada urusan
apa dia mencari Pendekar Sutera?" tanya Andika.
"Yang dikatakannya, dia hendak bertamu! Jaha-
nam terkutuk! Aku sungguh bodoh membenarkan apa
yang dikatakannya!!"
"Hmmm....sepertinya, aku-menangkap sesuatu
yang tidak beres di sini. Nampaknya dia hanya menu-
duh saja. Cuma dikarenakan si Kepala Besi pernah
menanyakan di mana Pendekar Sutera berada. Tetapi
tak menutupi kemungkinan apa yang dikatakannya
memang benar. Paling tidak, kini ada yang harus dicari
untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan
keji ini!"
Habis membatin begitu Andika berkata, "Apakah
kau...."
Belum habis kata-kata Andika, Bidadari Tangan
Bayangan sudah berseru, "Kita bertemu lagi nanti!!"
Kejap itu pula dia putar tubuh dan berkelebat ce-
pat.
"Hei!!" seru Andika menahan, tetapi sosok si pe-
rempuan telah menjauh. Dan yang nampak di matanya
hanyalah bayangan kuning belaka.
Kini tinggal Andika sendiri yang kemudian mena-
rik napas panjang.
"Kutu monyet! Urusan ini tak bisa kubiarkan begi-
tu saja! Aku jadi penasaran ingin tahu seperti apa
benda yang dinamakan Patung Kepala Singa! Si Kepala
Besi... si Kepala Besi... benarkah dia orang yang ber-
tanggung jawab atas pembantaian keji itu?"
Untuk sesaat Andika terdiam. Diperas otaknya
yang encer untuk memecahkan urusan yang mulai
membentang di hadapannya. Tetapi tiga tarikan napas
berikutnya, pemuda berambut gondrong ini mengge-
leng-gelengkan kepala.
"Tak bisa kuputuskan tentang semua ini seka-
rang. Lebih baik aku...."
Memutus kata-katanya sendiri, Andika kembali
lagi ke Kuil Putra Langit. Sejarak sepuluh langkah dari
muka kuil yang kini menyebarkan bau sangat tak se-
dap itu, pemuda yang di lehernya melilit kain bercorak
catur hentikan langkah.
Dipandanginya kuil itu sesaat.
"Bila kukuburkan mayat-mayat itu, justru akan
membuang waktu yang tak sedikit. Lebih baik...."
Kembali diputus kata-katanya. Kejap kemudian,
nampak pemuda tampan ini terdiam. Sorot matanya
yang tajam semakin bertambah tajam. Tahu-tahu di
sekitar tubuhnya nampak percikan-percikan sinar ke-
perakan yang menyelubunginya. Hawa panas menda-
dak saja mendera dan menindih hawa dingin di tempat
itu. Rupanya dia tengah keluarkan ajian 'Guntur Se-
laksa'! Salah satu ajian yang didapatkan dari Lembah
Kutukan (Untuk mengetahui hal ini si-lakan baca :
"Lembah Kutukan" dan "Dendam Dan Asmara").
Menyusul kedua tangannya disentakkan ke depan
diiringi teriak mengguntur. "Heaaaa!!"
Gelombang angin raksasa yang dipadu dengan
suara salakan guntur yang sangat dahsyat menggebah
ke depan. Melabrak bangunan yang telah porak-
poranda itu.
Terdengar suara letupan yang sangat keras. Me-
nyusul runtuhnya bangunan besar itu, menimbun
mayat-mayat yang bergeletakkan di bawah. Debu-debu
mengepul ke udara, hingga untuk beberapa lamanya
nampak kepulan debu-debu itu seperti menggunung.
Dan perlahan-lahan mulai menipis.
Lima kejapan mata berikutnya, nampak bangunan
besar itu telah roboh tumpang tindih.
Pendekar Slebor menarik napas panjang melihat
perbuatannya. Kejap kemudian dia berkata, "Mungkin
inilah yang terbaik untuk mengubur pemandangan
yang mengerikan itu. Sebaiknya, kucari Bidadari Tan-
gan Bayangan sebelum menemukan si Kepala Besi.
Karena bila dugaannya salah, ini hanya akan memanc-
ing permusuhan yang dalam...."
Saat itu pula pemuda pewaris ilmu Ki Saptacakra
ini sudah berkelebat meninggalkan tempat itu dengan
pergunakan ilmu peringan tubuhnya yang kesohor.
Mengikuti jejak Bidadari Tangan Bayangan yang berge-
rak secepat angin itu ternyata memang tak mudah.
Tatkala matahari sudah sepenggalan, Pendekar Slebor
belum juga menemukan di mana perempuan berpa-
kaian kuning bersih itu berada.
Di sebuah jalan setapak yang dipenuhi pepohonan
dan ranggasan semak belukar, pemuda berbaju hijau
pupus ini hentikan kelebatannya. Tak ada napas
memburu yang keluar, dia sama sekali tak kelelahan.
Sejenak diperhatikan sekelilingnya. Tak ada tan-
da-tanda Bidadari Tangan Bayangan di sana.
"Monyet pitak! Kenapa aku jadi dungu berlaku se-
perti ini? Sudah pasti dia telah menghilang!" gerutu
Andika sendiri. Lalu menyambung, "Huh! Seharusnya
kutahan saja kepergian perempuan itu! Bila ternyata
dugaannya salah, justru akan memancing permusu-
han yang lebih kacau lagi! Rimba persilatan saat ini
sedang kacau dan justru akan bertambah kacau lagi
dengan segala urusan! Huh! Patung Kepala Singa? Se-
perti apa patung itu? Mendingan Patung Kepala Mo-
nyet! Hingga aku mengira-ngira seperti apa bentuknya!
Apa seperti aku... eh, tidak ya? Masa aku seperti mo-
nyet!!"
Lalu dengan tengiknya dia berjalan mirip seekor
monyet. Lalu berdiri tegak kembali sambil mencak-
mencak!
"Monyet! Monyet! Monyet!!" serunya tak ketahuan
juntrungan.
"Busyet! Baru kali ini aku melihat ada pemuda
yang mengaku dirinya monyet! Kalau begitu, tak perlu
ragu dan tak perlu kau katakan semua orang juga su-
dah tahu kalau kau seperti monyet!!" terdengar seruan
itu diiringi kikikan yang cukup keras.
Serta merta Andika palingkan kepala ke atas. Dili-
hatnya satu sosok tubuh kurus berpakaian hitam
gombrang sedang asyik duduk beruncang-uncang kaki
di sebatang ranting!
"Eh, busyet! Kapan munculnya nenek jelek itu?
Sejak tadi aku tak melihatnya di sini? Hmmm... jan-
gan-jangan dia baru muncul! Kalau begitu, tentunya
dia tak mendengar apa yang kukatakan sebelumnya."
Perempuan tua yang rambut putihnya disanggul
ke atas itu, perlihatkan seringaiannya. Tak sebuah gigi
pun yang masih tumbuh. Andika bergidik. Karena
mengingatkannya pada kuntilanak yang pernah dia
dengar ketika masih kecil.
"Eh, Nek! Kau jangan nyengir seperti itu! Bisa-bisa
aku mati berdiri nih!!" cerocosnya kemudian.
Bukannya marah mendengar ejekan orang, si ne-
nek makin perkencang kikikannya. Kali ini berhambu-
ran dedaunan dari tempatnya. Menyusul patahnya be-
berapa ranting yang bertabrakan satu sama lain.
"Busyet! Hebat juga tenaga dalam si nenek! Aku
yakin, dia hanya sedikit mempergunakan tenaga da-
lamnya," kata Andika dalam hati sambil kerahkan te-
naga dalam pada kedua kakinya, karena dirasakan sa-
tu gelombang angin menderu seperti hendak meru-
buhkannya.
Di atas pohon, si nenek berseru di sela-sela kiki
kannya, "Kalaupun kau akan mati berdiri, bisa jadi
aku akan mati duduk seperti ini karena melihat mo-
nyet yang suka membentak!"
"Busyet! Sudah bau tanah masih banyak omong
lagi!" dengus Andika dalam hati. "Hhh! Lebih baik ku-
tinggalkan saja dia untuk meneruskan mencari Bida-
dari Tangan Bayangan!"
Memutuskan demikian, sambil nyengir Pendekar
Slebor berseru, "Wah! Maaf nih, Nek! Aku tidak bisa
lebih lama berada di sini! Soalnya perutku bisa mulas
kalau lebih lama melihat wajahmu yang seperti orang
hendak buang hajat itu!!"
Habis mengejek demikian, si pemuda segera ba-
likkan tubuh dan siap berkelebat. Namun yang menge-
jutkannya, karena kedua kakinya seperti terpantek di
tanah!
"Kutu monyet!" makinya geram dan langsung tahu
siapa yang bikin ulah. Tanpa membalikkan tubuhnya
Andika berseru, "Nek! Kalau mau jual lagak, jangan di
sini! Lebih baik kau ke kotapraja saja! Barangkali ada
yang mau memberimu sedekah dari aksi akrobat yang
akan kau lakukan!"
"Lho, apa urusannya denganmu? Kalau kau mau
pergi ya pergi saja!" sahut si nenek masih mengikik.
"Brengsek! Dia betul-betul mau menguji rupanya!
Biarku... hei!!" mendadak saja Andika memutus kata
batinnya sendiri. Bukankah dia tadi sudah salurkan
tenaga dalamnya guna menahan gelombang angin
yang timbul dari kikikan si nenek? Lalu mengapa kini
tahu-tahu kedua kakinya seperti terpantek? "Busyet!
Hebat juga kalau begitu!! Hmmm... biar kuladeni sikap
konyolnya ini!"
Memutuskan demikian, Pendekar Slebor segera li-
patgandakan tenaga dalamnya. Namun begitu dilipat-
gandakan tenaga dalamnya, justru dirasakan perlahan-lahan kaki kanan dan kirinya seperti melesak ma-
suk ke tanah!
"Hei!!" serunya terkejut. "Monyet Buduk!"
"Gila! Apakah aku bertemu dengan pemuda gila?
Katanya mau pergi, kenapa masih berada di sana? Pa-
kai memaki-maki segala lagi!" seru si nenek tetap ter-
kikik.
Mulut Andika segera mencang-mencong mengge-
rutu, tetapi tak ada suara yang keluar.
"Brengsek! Biar kupergunakan tenaga 'Inti Petir'
untuk memusnahkan totokan jarak jauh si nenek!" '
,
Tetapi sebelum dia melakukan, justru terdengar
suara si nenek, seperti ditujukan pada dirinya sendiri.
"Sebulan sudah aku keluar dari Pesanggerahan
Kematian! Tetapi tak kunjung kutemukan Pendekar
Sutera yang memiliki Patung Kepala Singa? Busyet!
Apakah aku sudah menjadi dungu karena sebulan la-
manya aku cuma jadi macan ompong?!"
Andika yang tak menyangka akan mendengar ka-
ta-kata itu, untuk sejenak terdiam. Tetapi pemuda ko-
nyol ini untuk sejenak pula tak menghiraukan kata-
kata itu. Justru dia berseru, "Busyet! Kenapa kau bi-
lang seperti macan ompong? Kau tak lebih dari jalang-
kung Nek!"
Si nenek terkikik lagi.
"Jalangkung atau bukan, aku tidak peduli! Malah
asyik melihat pemandangan pemuda geblek yang terus
berdiri seperti itu!!"
Mendengar ejekan si nenek, Andika keluarkan
dengusan. Kejap itu pula dikerahkan tenaga 'Inti Petir'
tingkat kesepuluh. Hawa panas mendadak saja mun-
cul. Begitu diarahkan pada kaki kanan-kirinya yang
seperti terpantek di tanah, dirasakan ada hawa dingin
yang mendadak menindih.
"Kutu monyet!" geram Andika dalam hati. Lalu di-
tingkatkan lagi tenaga 'Inti Petir' pada tingkat kesembi-
lan. Pada tingkat kedelapan, barulah dirasakan hawa
dingin itu lamat-lamat mengikis. Tetapi tak semudah
itu bisa dilakukannya. Karena tiba-tiba saja hawa din-
gin itu bertambah menguat.
"Benar-benar brengsek tuh nenek!" maki Andika
dalam hati. Kali ini dia tak tanggung lagi, tenaga ‘Inti
Petir' tingkat kedua dikerahkan.
Hawa panas seketika meluncur deras. Seperti me-
nebas, langsung memupus hawa dingin yang mendera
kedua kaki Andika.
Mendadak saja terdengar seruan tertahan dan
menyusul jatuhnya satu sosok tubuh. Sosok tubuh
yang jatuh ternyata si nenek adanya.
Rupanya, si nenek yang diam-diam alirkan tenaga
dalam dan menjadikan pohon yang didudukinya serta
tanah sebagai perantara untuk lakukan totokan pada
kedua kaki Andika, tak kuasa lebih lama untuk perli-
hatkan kehebatannya. Tenaga 'Inti Petir' yang dikerah-
kan Andika, bukan hanya memutus serangan gelap si
nenek, tetapi juga membalikkannya dengan kecepatan
tinggi. Hingga pada akhirnya si nenek harus mengakui
keunggulan Andika.
Masih untung dia mampu untuk kendalikan tu-
buh hingga jatuh dengan kedua kaki tegak di atas ta-
nah.
Sementara itu, pemuda dari Lembah Kutukan
yang telah terbebas dari pengaruh totokan si nenek,
segera balikkan tubuh. Kejap itu pula terdengar selo-
rohannya diiringi tawa tak sedap, "Busyet! Kupikir ada
nangka busuk yang jatuh! Tidak tahunya nenek-nenek
busuk!"
Si nenek yang tak menyangka kalau si pemuda
mampu memutuskan sekaligus mendorong masuk tenaga dalam yang kerahkannya, langsung pentangkan
kedua mata lebih lebar. Pancarannya dingin dan ber-
bahaya. Lain dengan sikap sebelumnya, kali ini si Ne-
nek rapatkan mulutnya yang tak bergigi.
Tetapi Pendekar Slebor tak mempedulikannya. Dia
masih tertawa mengejek si nenek.
"Kalau ada nangka sih masih lumayan buat dima-
kan. Tetapi ini... tak uk-uk, ya?!"
Dari pancaran mata yang tajam itu, lamat-lamat
nampak kembali pada sikap semula. Kejap kemudian,
si nenek berkata, "Hebat, hebat! Siapakah kau sebe-
narnya, Anak Muda?"
"Aku? Wah! Yang pasti bukan penjual toge go-
reng!" sahut Andika asal saja. Lalu dalam hati me-
nyambung, "Bidadari Tangan Bayangan tentunya su-
dah semakin menjauh dan tak mungkin lagi kulacak
jejaknya. Urusan Patung Kepala Singa masih membin-
gungkanku. Tetapi si nenek tadi mengatakan, kalau
dia sedang mencari Patung Kepala Singa. Hmmm... un-
tuk saat ini, aku akan berlaku tidak pernah menden-
gar tentang benda itu."
Si nenek cuma perlihatkan senyuman sinis. Seje-
nak dia terdiam sebelum berkata, "Menilik pakaian
yang kau kenakan dan sikap cengengesanmu seperti
itu... rasa-rasanya... aku pernah mendengar seorang
pendekar yang memiliki sifat konyol seperti itu. Apa-
kah... kau pemuda yang dijuluki orang Pendekar Sle-
bor?"
"Wah! Mana bisa begitu? Enak saja orang-orang
itu menjulukiku Pendekar Slebor!" sahut Andika men-
cak-mencak. Lalu sambungnya dengan gaya yang ten-
gik, "Kalaupun mau menjulukiku... lebih pantas den-
gan julukan Pendekar Slebor Yang Tampan Bin Gan-
teng! Haya! Bagus itu!"
Si nenek keluarkan dengusan dan diam-diam dia
membatin, "Aku bertambah yakin kalau dia memang
Pendekar Slebor."
Setelah terdiam beberapa saat si nenek berkata, .
"Namaku Nyi Dungga Ratih! Pendekar Slebor... kuden-
gar kau banyak tahu setiap urusan karena otakmu
yang encer! Sekarang katakan kepadaku, apakah kau
mengetahui tentang Patung Kepala Singa?"
"Patung Kepala Singa? Wah, mana aku tahu itu!
Kalau Patung Kepala Dungga Ratih aku tahu!!"
Nyi Dungga Ratih tak pedulikan ejekan itu. Dia te-
rus berkata, "Ternyata dugaanku salah! Kau tak secer-
dik yang pernah kudengar!"
"Siapa bilang aku cerdik? Kalau sangat cerdik, ba-
ru betul!!" sahut Andika seenak perutnya saja. Lalu ka-
tanya, "Kenapa kau menanyakan soal Patung Kepala
Singa?"
"Huh! Rupanya kau tertarik juga untuk mengeta-
hui soal itu?!" ejek Nyi Dungga Ratih.
"Tertarik sedikit, bolehlah...."
"Aku belum pernah melihat seperti apa benda
yang dinamakan Patung Kepala Singa yang kudengar
dimiliki oleh Pendekar Sutera! Dan aku pernah pula
mendengar, kalau di dalam patung itu terdapat sebuah
benda langka yang...."
Mendadak saja si nenek memutus kata-katanya
sendiri. Sementara itu, kendati penasaran untuk men-
getahui kelanjutannya, Andika justru berkata, "Kena-
pa? Apakah gigimu mendadak tumbuh?!"
Nyi Dungga Ratih malah menggeleng-gelengkan
kepalanya seraya berkata, "Aku tidak tahu secara pasti
tentang kebenaran benda sakti yang ada di dalam Pa-
tung Kepala Singa. Tetapi yang ku khawatirkan, bila
urusan itu akan berkembang menjadi sesuatu yang
tak diharapkan."
"Kau ini bicara selalu berbelit-belit, ya? Kenapa tidak langsung saja," kata Andika masih bersikap tidak
penasaran.
"Karena sebelum aku tiba di tempat ini, aku meli-
hat seorang lelaki tinggi besar berkepala gundul berka-
ta sendiri tentang Patung Kepala Singa. Dan dia berte-
kad untuk memilikinya!"
"Apakah dengan begitu kau merasa pasti urusan
akan jadi panjang? Nek! Jangan-jangan kau keblinger
ya?!"
Nyi Dungga Ratih tak mempedulikan lagi seloro-
han Andika. Dia berkata tegas, "Orang itu berjuluk si
Kepala Besi!"
Kali ini cengengesan di bibir Andika seketika le-
nyap mendengar julukan itu disebutkan. Tetapi kejap
kemudian dia bersikap asal-asalan kembali.
"Mau berjuluk Kepala Batu, Kepala Koral, atau
Kepala Kayu aku tidak peduli! Kalau kau memang mau
mencari Patung Kepala Singa, silakan saja! Toh ini bu-
kan urusanku!"
Kali ini terdengar suara Nyi Dungga Ratih mengge-
ram, "Itu memang bukan urusanmu!!"
Habis berseru demikian, perempuan tua berambut
disanggul ke atas ini segera berkelebat cepat. Andika
masih sempat melihat kelebatannya menghilang di
penghujung jalan.
Beberapa lembar dedaunan berjatuhan.
"Si Kepala Besi... Apakah dugaan Bidadari Tangan
Bayangan memang akan menjadi kenyataan? Nyi
Dungga Ratih mengatakan pula tentang si Kepala Besi.
Busyet! Ada beberapa urusan yang harus kupecahkan
sekarang! Dan rasanya itu tidak mudah!"
Kejap kemudian, pemuda yang di lehernya melilit
kain bercorak catur ini menarik napas panjang. Sete-
lah celingukan sebentar, dia segera berkelebat mening-
galkan tempat itu.
Kendati dia yakin untuk menemukan Bidadari
Tangan Bayangan tidak mudah, tetapi dia tetap akan
mencarinya.
Tiga kejapan mata berikutnya, nampak satu sosok
tubuh berpakaian hitam muncul di tempat itu. Sepa-
sang mata si pendatang ini begitu tajam sekali.
"Aku akan mempergunakanmu untuk menda-
patkan Patung Kepala Singa, Pendekar Slebor!"
Kejap berikutnya, orang ini sudah berkelebat me-
nyusul.
***
3
Matahari sudah semakin menurun di ufuk barat.
Bias-biasnya yang kemerahan nampak menggenangi
persada langit. Begitu indah dan penuh pesona. Nam-
pak pula beberapa ekor burung beterbangan memben-
tuk siluet-siluet yang sangat indah.
Di sebuah jalan setapak, nampak satu sosok tu-
buh berpakaian putih-putih berkelebat dengan cepat-
nya. Sosok tubuh yang ternyata seorang gadis ini,
nampak mendekap sesuatu yang terbungkus kain hi-
tam erat-erat. Dari caranya berlari, nampak kalau dia
tak mau sekali pun hentikan larinya. Bahkan sambil
berlari berulangkali gadis berambut dikucir ekor kuda
ini menoleh ke belakang, seolah khawatir ada orang
yang mengikutinya.
Napasnya mulai terdengar satu-satu. Kedua ka-
kinya sudah terasa ngilu sekali sementara keringat
bertambah mengucur di wajahnya yang jelita.
"Aku harus menjauh... aku harus menjauh...," de-
sisnya berulangkali diselingi nafasnya yang memburu.
Tepat ketika matahari sudah masuk ke peraduan-
nya, gadis ini telah tiba di sebuah jalan hutan yang di-
penuhi jajaran pepohonan tinggi. Lima tindak kemu-
dian dia bergerak, mendadak saja sosoknya ambruk.
Bukan dikarenakan akar yang melintang dan bu-
kan pula disebabkan oleh kaki yang terserimpung. Te-
tapi dia memang telah kehabisan tenaga.
Begitu tubuhnya ambruk, bungkusan yang sejak
dia berlari didekap di dadanya, terlempar ke depan.
Bergulingan sejenak dan berhenti dengan kain yang
membungkusnya telah terbentang.
"Oh!" desis si gadis terkejut.
Nampaklah sebuah benda berwarna keperakan
yang terguling jatuh.
Lalu dengan susah payah dan kerahkan sisa-sisa
tenaga dalamnya, gadis ini merangkak untuk mengga-
pai benda yang memancarkan sinar warna perak itu.
Begitu berhasil didekatinya, dengan tangan yang
lemah benda itu dipegangnya. Lalu ditegakkan. Se-
buah benda yang terbuat dari kayu yang berwarna ke-
perakan. Benda yang nampaknya diciptakan oleh seo-
rang ahli pahat yang menakjubkan. Dan benda itu...
bermotifkan kepala singa!
Dengan kerahkan sisa-sisa tenaganya, kembali si
gadis merangkak. Kali ini menuju ke bawah sebuah
pohon rindang. Susah payah dia mencoba untuk me-
nyandarkan tubuhnya. Begitu berhasil, nafasnya ter-
dengar kian memburu sementara benda yang ternyata
sebuah patung kepala singa yang telah dibungkus
kembali dengan kain hitam, didekap erat-erat.
Gadis ini nampak begitu ketakutan sekali. Tatkala
terdengar suara semak menguak, cepat si gadis toleh-
kan kepalanya. Nampak pula kalau dia bersiap untuk
lari kendati disadari kalau tenaganya sudah tak akan
mampu untuk membawanya berlari.
Ketika dilihatnya seekor kelinci yang menyebab-
kan ranggasan semak di sebelah kanannya menguak,
barulah gadis itu bisa menarik napas lega.
Lamat-lamat nampak sepasang matanya meredup.
Sinarnya seolah menandakan dia tak ingin lagi me-
nikmati kehidupan ini.
Siapakah sebenarnya gadis itu? Dia adalah Tri Sa-
ri, putri dari Pendekar Sutera. Lima hari yang lalu, ma-
lam itu, di saat Tri Sari sedang tertidur nyenyak, men-
dadak saja terdengar suara ribut-ribut di halaman de-
pan Kuil Putra Langit.
Untuk sesaat si gadis yang masih menahan kan-
tuk tertegun di tempat tidurnya. Dia seperti tengah
bermimpi. Tetapi tatkala didengarnya teriakan kema-
tian dan suara beradunya senjata, sadarlah Tri Sari
kalau yang didengarnya itu bukan mimpi. Tetapi suara
orang bertarung di halaman Kuil Putra Langit!
Bergegas Tri Sari melongok dari jendela kamarnya.
Tetapi karena malam begitu pekat, yang dilihat hanya-
lah bayangan-bayangan orang yang sedang mencoba
mendesak seseorang yang tak diketahui rupanya.
Bayangan-bayangan orang yang diyakininya adalah
murid-murid ayahnya itu, ternyata tak mampu mende-
sak si perusuh yang justru menghabisi mereka dengan
garang.
Jeritan kematian terdengar beruntun dan begitu
menyayat. Sebagai putri dari Pendekar Sutera, Tri Sari
memiliki kepandaian bela diri yang tidak sedikit. Dia
pun bersiap keluar untuk membantu.
Namun baru saja dia tiba di ambang pintu, pintu
kamarnya telah lebih dulu terbuka. Muncul ayahnya
dengan napas terengah dan tubuh dipenuhi luka-luka.
"Ayah!!" serunya kaget bercampur gugup.
"Jangan bersuara, Anakku! Sekarang, dengarkan
kata-kata Ayah! Jangan membantah dan segera kau
laksanakan perintah Ayah ini!" seru Pendekar Sutera
sambil menutup pintu kembali.
Kemudian ditatapnya putrinya itu yang menatap-
nya dengan sinar mata penuh kecemasan.
"Seorang tamu yang tak diundang telah datang!
Dan melakukan pembantaian yang sangat keji! Ayah
minta...."
"Siapa perusuh itu. Ayah?" potong Tri Sari.
"Jangan banyak tanya! Waktu kita sangat sempit!
Tri! Kau tahu bukan, kalau Ayah menemukan sebuah
benda yang Ayah namakan Patung Kepala Singa? Ben-
da itu Ayah sembunyikan di kaki bukit Wengker! Bera-
da di tengah-tengah dua pohon kembar yang sama
tinggi dan bentuknya. Galilah. Lalu ambillah benda itu
dan segeralah pergi menjauh! Karena... perusuh itu
menghendaki Patung Kepala Singa! Sementara, sampai
saat ini Ayah masih menunggu siapakah orang yang
berhak memiliki benda itu! Cepat, Tri!"
"Tidak, aku akan menghadapi perusuh itu!"
"Tri...," sahut Pendekar Sutera sabar, kendati de-
mikian hatinya cemas bukan main mengingat si pen-
datang menginginkan Patung Kepala Singa dengan ca-
ra biadab dan memiliki kesaktian tinggi.
"Hanya engkaulah satu-satunya orang yang Ayah
percayai. Bawalah Patung Kepala Singa itu! Cari Bida-
dari Tangan Bayangan yang sering Ayah ceritakan ke-
padamu di sebuah tempat yang bernama Lembah Pi-
nus! Mudah-mudahan kau tidak berselisih jalan den-
gannya karena Ayah telah mengundangnya untuk da-
tang. Sudahlah! Cepat pergi, Tri! Ayah tidak bisa bera-
da di sini lebih lama!!"
Kendati keinginan untuk membantu ayahnya
menghadapi perusuh itu bertambah menguat, namun
Tri Sari dapat merasakan kecemasan ayahnya. Dengan
perasaan berat dia menganggukkan kepalanya.
"Bagus! Cepat kau pergi melalui pintu belakang!"
kata Pendekar Sutera sambil membuka pintu kembali.
Di muka pintu kamarnya, Tri Sari sejenak menatap
ayahnya kembali.
Pendekar Sutera mendesah pendek. "Pergilah!"
Lalu dengan hati berat, Tri Sari segera bergegas.
Masih sempat dilihatnya ayahnya yang segera kembali
ke halaman depan. Ada perasaan di hati si gadis untuk
melihat siapakah perusuh kejam itu. Tetapi mengingat
amanat ayahnya, dia pun segera berkelebat mening-
galkan Kuil Putra Langit. Dan Tri Sari tidak tahu apa
yang dialami oleh ayahnya itu kemudian.
Bukit Wengker terletak sekitar dua ratus tombak
dari Kuil Putra Langit di sebelah timur. Tepat ratu ma-
lam mulai menurun, Tri Sari pun akhirnya tiba di bu-
kit itu. Diperhatikan sekeliling bukit yang dipenuhi
dengan pepohonan dan dinding bukit landai yang cu-
ram.
Sejenak Tri Sari arahkan pandangan pada jalan
yang telah ditempuhnya. Ada keinginan untuk melihat
keadaan ayahnya. Namun lagi-lagi setelah mengingat
amanat yang diberikan ayahnya, gadis itu mengurung-
kan maksud.
Segera dicarinya dua pohon kembar yang sama
tinggi dan bentuk. Tetapi mencari dua pohon itu ter-
nyata tak mudah, karena begitu banyaknya jajaran
pepohonan yang tumbuh di sana.
Setelah memakan waktu yang cukup lama, akhir-
nya Tri Sari menemukan pula kedua pohon itu. Tanpa
membuang waktu lagi, dengan mempergunakan kedua
tangannya, si gadis segera menggali tanah yang terda-
pat di tengah-tengah kedua pohon itu.
Melewati waktu yang tak begitu lama namun ta-
nah yang digalinya sudah sedalam lengan orang dewa-
sa, Tri Sari melihat sebuah benda yang terbungkus
kain hitam. Segera diambilnya benda itu. Dilihatnya
dulu untuk meyakinkan kalau memang benda itulah
yang dicarinya.
Tatkala dia hendak meninggalkan tempat itu,
mendadak saja didengarnya suara orang berkelebat.
Sejenak Tri Sari dongakkan kepala seraya berdiri. Ga-
dis itu sadar kalau keadaan saat ini sangat genting.
Makanya dia tak mau ambil risiko berada di tempat
yang dapat dilihat seperti itu.
Tanpa menutup lubang yang telah digali, putri
Pendekar Sutera ini sudah berkelebat. Tetapi malang,
dia tidak melihat sebuah lubang besar yang ditutupi
dedaunan.
Krosaak! Bruukkk! .
Tubuhnya jatuh ke dalam lubang itu. Dia tak
menderita luka yang berarti, hanya lecet-lecet kecil sa-
ja. Gadis ini memaki jengkel. Tetapi, karena masuk ke
lubang itulah dia jadi selamat dari ancaman maut
orang yang berkelebat yang ternyata adalah orang yang
telah lakukan pembantaian keji di Kuil Putra Langit.
Gadis itu sendiri jadi urung untuk segera melom-
pat keluar, tatkala didengarnya kelebatan orang itu
semakin mendekat ke arahnya. Diyakini kalau kemu-
dian orang itu hentikan gerakannya. Sejurus kemu-
dian terdengar geramannya, "Jahanam terkutuk! Di
mana Pendekar Sutera menyembunyikan Patung Kepa-
la Singa! Keparat! Apakah ini berarti usahaku untuk
mendapatkan benda itu sia-sia belaka? Huh! Imbalan
dari perbuatan busuknya yang tak mau mengatakan di
mana benda itu berada, akhirnya dia harus tewas di-
tanganku bersama dengan murid-muridnya yang lain!
Jahanam sial! Kendati telah kuobrak-abrik bagian da-
lam kuil itu, tetap tak kutemukan Patung Kepala Sin-
ga! Hhh! Sampai kapan pun aku harus mendapatkan
benda itu!"
Habis umbar kemarahannya, si pembunuh kejam
yang gagal mendapatkan apa yang diinginkannya sege-
ra berkelebat cepat.
Di dalam lubang, Tri Sari merasa sekujur tubuh-
nya lemas. Dan dia jatuh menggelosoh di dasar lubang
sementara Patung Kepala Singa tetap didekap erat-
erat.
"Ayah...," desisnya bagai desahan belaka. Si gadis
yang ketika berusia lima tahun ditinggal mati ibunya
karena sakit ini, mencoba untuk menindih segala ke-
pedihan di hatinya.
Dia memang gadis yang tegar, gadis yang mampu
mempergunakan pikirannya untuk mempertimbang-
kan apa yang hendak dilakukannya. Namun kendati
demikian, tak urung air matanya menitik.
Setelah dua belas tarikan napas berada dalam
lingkaran kesedihan, perlahan-lahan Tri Sari bangkit
berdiri. Ditariknya napas dalam-dalam dan dihem-
buskannya kuat-kuat.
"Aku harus mencari Bidadari Tangan Bayangan!"
desisnya tegar.
Dengan kerahkan sedikit ilmu peringan tubuhnya,
segera saja dia melompat keluar dari lubang yang cu-
kup dalam itu. Sejenak diedarkan pandangan mem-
perhatikan sekitarnya. Matahari telah lewati batas se-
penggalan. Udara mulai cukup memanas dan mengua-
pkan sisa-sisa embun.
Setelah beberapa saat, Tri Sari pun segera berke-
lebat ke arah barat, menuju ke Lembah Pinus.
***
Si gadis menarik napas panjang. Diselonjorkan
kedua kakinya, lalu dilonggarkan setiap urat darah-
nya. Udara senja yang semilir membuat rasa kantuk
mudah menyerangnya. Namun dia berusaha untuk
menahannya. Karena yang dipikirkan, dia harus cepat
tiba di Lembah Pinus.
Ada keinginan yang kuat untuk mencari pelaku
pembantaian keji itu. Disesalinya mengapa dia tidak
mencoba untuk melihat si pembantai yang sebenarnya
sudah dekat dengannya di saat dia terjatuh ke dalam
lubang.
Dan ditindihnya segala ingatan tentang ayahnya,
tentang Kuil Putra Langit yang telah dihuninya selama
enam belas tahun. Tentang semua-muanya.
Lamat-lamat dirabanya Patung Kepala Singa yang
terbungkus kain hitam. Ada perasaan sedih yang men-
dera kembali. Hanya dikarenakan Patung Kepala Singa
yang ditemukan ayahnya tak sengaja inilah pemban-
taian keji itu terjadi.
Tri Sari memang mengetahui tentang hal itu. Bah-
kan ayahnya pun menduga kalau di dalam patung ke-
pala singa terdapat sesuatu yang tentunya sangat ra-
hasia. Hal itu bisa diketahui bila merabanya dengan
mempergunakan hawa murni. Satu hal lain lagi yang
menarik, patung itu sangat ringan.
Sementara itu semakin dilawan rasa kantuknya,
Tri Sari semakin tak kuasa untuk menahan lebih lama.
Angin yang bertambah semilir laksana tangan seorang
ibunda yang lama dirindukan membelai-belai wajah-
nya.
Namun tatkala dia mulai merapatkan matanya
dan sebagian jiwanya seperti terbang ke alam lain,
mendadak terdengar suara langkah yang cukup berat.
Serta merta Tri Sari membuka sepasang matanya.
"Oh!!"
Seperti telah pulih tenaga yang terkuras, putri
Pendekar Sutera ini segera berdiri tegak. Patung Kepa-
la Singa yang terbungkus kain hitam itu semakin erat
didekapnya.
Sejarak lima langkah di hadapannya, telah berdiri
seorang lelaki tinggi besar. Mengenakan pakaian warna
abu-abu yang terbuka di bahu kanannya, memperli-
hatkan betapa bidang dadanya dan betapa besar otot-
otot di tubuhnya. Wajah lelaki itu cukup menyeram-
kan, kelimis dengan sepasang bibir tebal. Kepala yang
agak lonjong itu, plontos tanpa dihiasi oleh selembar
rambut pun. Sepasang matanya tajam tak berkedip
memandang Tri Sari.
Lelaki itulah yang berjuluk Kepala Besi!
***
4
Untuk beberapa lama, tak ada yang membuka su-
ara. Beberapa helai dedaunan berguguran. Dua ekor
kelinci menyeruak dari gerumbulan semak dan lang-
sung masuk lagi terbirit-birit setelah sesaat dongakkan
kepala pada dua anak manusia itu.
"Celaka! Siapakah lelaki tinggi besar ini? Dari
tampangnya, jelas dia bukan orang baik-baik. Tetapi
aku ingat akan kata-kata Ayah. Menilai seseorang jan-
gan dari bentuk tubuh maupun rupanya," kata Tri Sari
dalam hati.
Putri Pendekar Sutera ini segera tindih rasa kha-
watirnya. Sambil mendekap Patung Kepala Singa yang
terbungkus kain hitam dengan tangan kirinya itu, dia
berkata, "Orang tak dikenal... ada perlu apa kau berdi-
ri di hadapanku?" |
Si Kepala Besi terdiam dulu sebelum menjawab,
"Justru pertanyaan itu ada padaku. Mengapa gadis se-
cantik kau berada di tempat sepi seperti ini?"
Tri Sari pandangi dulu lelaki yang mengenakan
pakaian warna abu-abu terbuka di bahu sebelah ka-
nan itu. Lalu dengan hati-hati dia menyahut, "Ini uru-
sanku! Bila kau tak senang, kebetulan aku hendak
meninggalkan tempat ini!"
Dan dia siap mengadu jiwa bila ternyata lelaki
berpakaian abu-abu itu menahannya. Namun di luar
dugaan si gadis, lelaki itu justru menyingkir tiga tin-
dak ke samping kanan, seperti membiarkan dirinya
melangkah. Tindakan yang dilakukan si Kepala Besi
justru memancing kecurigaan Tri Sari.
"Hmmm... aku harus berhati-hati."
Karena si gadis belum juga ayunkan langkah, si
Kepala Besi berkata, "Mengapa kau tak segera mening-
galkan tempat ini? Dalam kesunyian dan malam yang
sebentar lagi datang, bahaya akan lebih mudah men-
gancam."
Tri Sari tak membuka mulut. Diam-diam dialirkan
tenaga dalam pada tangan kanannya, bersiap bila ter-
jadi sesuatu yang tak diinginkan.
Sejenak dipandanginya dulu lelaki berkepala plon-
tos itu. Lalu sambil perbesar kehati-hatiannya, gadis
ini mulai melangkah. Pandangannya tetap diarahkan
pada si Kepala Besi yang justru membalikkan tubuh
seolah memberikan kesempatan padanya lewat.
Perasaan Tri Sari agak tenang tatkala dia sudah
berada sekitar tujuh langkah dari si Kepala Besi se-
mentara lelaki itu tak melakukan apa-apa.
Tetapi dia tersentak tatkala mendengar suara te-
gas, "Tunggu!!"
Serta merta gadis ini putar tubuh dan bersiaga.
Si Kepala Besi yang memanggil tadi menjadi urung
untuk segera berkata begitu melihat kedudukan si ga-
dis yang telah membuka kuda-kuda. Kepala Besi cu-
kup lama malang melintang di rimba persilatan ini.
Kendati si gadis hanya berdiri tegak dengan kedua kaki
sejajar satu sama lain, namun dia tahu kalau gadis itu
berada dalam posisi siap menyerang.
Lelaki berkepala plontos ini keluarkan dengusan.
"Jangan bersikap tegang! Sebelum kau tinggalkan
tempat ini, ada satu pertanyaanku untukmu!"
"Cepat katakan!!" sambar Tri Sari.
"Apakah kau mengenal seorang lelaki yang berju-
luk Pendekar Sutera?"
Tak menyangka pertanyaan seperti itu yang di-
dengarnya, Tri Sari melengak. Bahkan tanpa sadar dia
surut satu tindak ke belakang. Sepasang matanya
terbuka lebih lebar.
"Lelaki ini menanyakan tentang ayah? Apakah dia
belum tahu keadaan Ayah? Atau... jangan-Jangan...
dia salah seorang yang hendak membunuh Ayah un-
tuk mendapatkan Patung Kepala Singa? Huh! Aku tak
akan... oh! Bagaimana bila ternyata dialah orang yang
telah lakukan pembantaian mengerikan itu?!" kata Tri
Sari dalam hati dengan dada berdebar.
Kendati demikian, kemarahan berkobar di da-
danya tatkala teringat nasib malang yang menimpa
ayahnya. Lalu dengan suara lantang dia berseru,
"Mengapa kau menanyakan soal itu kepadaku, hah?!"
Wajah si Kepala Besi nampak mengkelap menden-
gar kata-kata yang ketus. Tetapi jelas kalau dia beru-
saha untuk tindih kemarahannya.
"Aku tak bisa mengatakan apa maksudmu menca-
rinya! Tetapi kau cukup menjawab... ya atau tidak!"
"Aku tidak mengenalnya!"
"Itu pun bukan jadi masalah buatku! Baik! Kita
berpisah di sini!" seru Kepala Besi.
Kejap itu pula dia segera putar tubuh. Namun se-
belum dia melangkah, mendadak saja terdengar suara
gemuruh angin yang keras mengarah padanya!!
"Heeeiiii!!" seru Kepala Besi tertahan.
Dengan gerakan yang menakjubkan, lelaki bertu-
buh tinggi besar ini segera membuang tubuh ke ka-
nan. Menyusul terdengar suara letupan yang cukup
keras tatkala gelombang angin itu menghantam tanah
di mana tadi dipijaknya.
Kejap itu pula tanah itu terbongkar dan mener-
bangkan bongkarannya di udara.
Bukan hanya Kepala Besi yang terkejut, Tri Sari
pun tersentak hingga tak sadar dia bukannya segera
meninggalkan tempat itu, tetapi justru menunggu. Se-
mentara itu Kepala Besi sudah tegak kembali di atas
tanah dengan kedua kaki dibuka agak lebar.
Mendadak terlihat satu bayangan kuning berkele-
bat cepat dari balik ranggasan semak disertai makian
keras, "Manusia hina pemakan bangkai! Lama kucari...
rupanya kau berada di sini! Bagus! Kau harus terima
balasan dari segala perbuatan terkutukmu itu!"
Belum lagi habis suara itu terdengar, telah berdiri
satu sosok tubuh berpakaian kuning bersih dan di
pinggang ramping sosok tubuh itu melilit ikat pinggang
warna merah.
"Bidadari Tangan Bayangan...," desis si Kepala Be-
si.
Tri Sari yang mendengar desisan lelaki berkepala
plontos itu serta merta arahkan pandangannya pada
Kepala Besi, lalu mengarahkannya lagi pada perem-
puan yang baru datang yang memang tak lain Bidadari
Tangan Bayangan.
"Bidadari Tangan Bayangan..." desisnya. "Bukan-
kah orang ini yang harus kucari? Perempuan sahabat
Ayah? Oh, sungguh beruntung nasibku kalau begi-
ni...."
Perempuan berpakaian kuning bersih itu hanya
sejenak menatap Tri Sari. Dari sikapnya jelas dia tak
pandang sebelah mata pada gadis itu, karena di kejap
lain dia segera arahkan pandangannya pada Kepala
Besi yang nampak sedang kerutkan keningnya.
Dan sebelum perempuan itu buka mulut, terden-
gar suara dengusan. Menyusul kata-kata yang men-
gandung amarah, ""Bidadari Tangan Bayangan... ku-
dengar selama ini kau adalah perempuan dari golon-
gan lurus! Tetapi sekarang, mengapa kau justru laku-
kan serangan keji ini kepadaku?!"
Bidadari Tangan Bayangan yang menyangka si
Kepala Besi adalah orang yang bertanggung jawab atas
pembantaian di Kuil Putra Langit berseru dingin, "Aku
bukan hanya akan lakukan serangan padamu! Teta-
pi... juga akan membunuhmu!!"
"Tunggu!" tahan si Kepala Besi tatkala mendapati
Bidadari Tangan Bayangan siap lepaskan serangan.
"Katakan sebabnya mengapa kau hendak membunuh-
ku?!"
"Jangan bersilat lidah lagi!" Perlahan-lahan kehe-
ranan di wajah Kepala Besi menghilang. Sebagai gan-
tinya, nampak wajahnya memerah tanda tak suka
mendengar ucapan orang.
"Bidadari Tangan Bayangan! Selama ini kita tak
pernah buka urusan satu sama lain, apalagi urusan
yang menyangkut soal nyawa! Tetapi, aku pun bukan
orang yang sabar dan senang dihina seperti itu!"
"Karena kau memang layak dihina!!"
Habis ucapannya, perempuan berpakaian kuning
ini segera gerakkan kedua tangannya ke muka. Serta
merta menggebah dua gelombangan angin yang kelua-
rkan suara menggemuruh ke arah Kepala Besi.
Lelaki berpakaian abu-abu terbuka di bahu kanan
itu, kertakkan rahangnya sebelum lakukan satu lom-
patan indah ke samping itu.
Blaaaammm!!
Dua gelombang angin yang dilepaskan oleh Bida-
dari Tangan Bayangan membongkar tanah di mana tu-
buh Kepala Besi berdiri tadi, yang seketika membentuk
sebuah lubang yang keluarkan asap.
"Hebat!" serunya sinis. "Tetapi jangan berbangga
dulu! Karena... aku akan tetap mencabut nyawamu!"
"Tunggu! Katakan dulu, urusan apa yang harus
diselesaikan hingga kau menginginkan nyawaku?!"
"Manusia durjana! Kau memang pandai bermain
kata-kata rupanya! Baik! Apakah pembantaian di Kuil
Putra Langit mengingatkanmu pada sesuatu? Atau kau
sudah terlalu dungu hingga kau sekarang hendak
mencuci tangan?!"
"Gila! Apa yang dimaksudnya dengan Kuil Putra
Langit? Aku memang pernah mendengar tentang kuil
itu yang dihuni oleh Pendekar Sutera! Tetapi hingga
hari ini, aku tidak tahu di mana kuil itu berada! Bah-
kan aku tidak tahu seperti apa rupanya Pendekar Su-
tera?"
Habis membatin demikian, Kepala Besi berseru la-
gi, "Apa maksudmu dengan pembantaian di Kuil Putra
Langit?!"
"Lelaki celaka! Kau telah membunuh Pendekar Su-
tera beserta para muridnya untuk mendapatkan Pa-
tung Kepala Singa! Sekarang, apakah kau akan mung-
kir dari kenyataan yang kukatakan ini?!" sambar Bida-
dari Tangan Bayangan kalap.
"Patung Kepala Singa!" tanpa sadar Kepala Besi
berseru tertahan.
Sementara Tri Sari merasakan hatinya mulai di-
landa kepedihan karena apa yang diduganya tentang
ayahnya ternyata terbukti, Bidadari Tangan Bayangan
perlihatkan sinisannya pada Kepala Besi.
"Rupanya otakmu sudah bisa bekerja dengan
baik! Bagus! Sekarang... kau harus mempertanggung
jawabkan segala perbuatanmu itu!" serunya dengan
tangan kanan dan kiri dikepalkan. "Katakan, di mana
kau sembunyikan Patung Kepala Singa?!"
"Tunggu! Urusan ini masih mengambang di be-
nakku kendati aku tahu apa maksudmu! Paling tidak,
kau menuduh aku yang telah lakukan pembantaian di
Kuil Putra Langit!" '
"Tak perlu kau ulangi lagi aku sudah yakin soal
itu!!"
"Keparat! Semakin kuladeni, semakin kacau
omongannya?!" maki Kepala Besi dalam hati. Lalu ber-
seru, "Mengapa kau menyangka aku yang telah mela-
kukan tindakan keji itu!"
"Kau masih mau mungkir rupanya! Dan aku bo-
san menghadapi manusia pengecut seperti kau!!"
Habis bentakannya, segera saja perempuan berba-
ju kuning bersih ini mengangkat kedua tangannya ke
atas. Kejap berikutnya, kedua tangannya itu digerak-
kan yang semakin lama nampak semakin cepat. Me-
nyusul terdengarnya deru angin yang berkesiur kuat.
Bukan hanya menyambar dedaunan yang seketika
berguguran, tetapi juga mematahkan ranting dan da-
han pohon yang beterbangan.
Di seberang, Kepala Besi membatin, "Nampaknya
perempuan ini tidak main-main! Dan rasanya, dalam
keadaan seperti ini sulit untuk menjernihkan suasana.
Mau tak mau aku harus menghadapinya ketimbang
aku mendapat celaka!"
Memutuskan demikian, lelaki tinggi besar berke-
pala plontos ini segera silangkan kedua tangannya di
depan dada. Pandangannya lurus ke muka, tak berke-
dip.
Sementara itu, Tri Sari yang sejenak tadi dilanda
kesedihan, lamat-lamat merasakan kemarahan dan
dendam tinggi pada Kepala Besi yang dikatakan Bidadari Tangan Bayangan adalah orang yang bertanggung
jawab atas pembantaian di Kuil Putra Langit.
Namun untuk saat ini, dia tak mau bertindak. Ka-
rena disadarinya kalau kedua orang yang berbeda jenis
itu siap lakukan pertarungan yang hebat. Kendati de-
mikian, diam-diam dia sangat berharap agar Bidadari
Tangan Bayangan dapat mengalahkan si Kepala Besi.
Tiba-tiba saja terdengar suara teriakan menggele-
gar dari mulut Bidadari Tangan Bayangan, "Manusia
hina! Terimalah kematiaaaaan!!"
Menyusul kedua tangannya yang digerak-
gerakkan ke atas, didorong ke depan. Tidak hanya
sampai di sana tindakan perempuan berpakaian kun-
ing bersih ini. Karena kejap itu pula sosoknya sudah
mencelat ke depan sambil menggerakkan tangan ka-
nan kirinya yang laksana bayangan belaka.
Kepala Besi yang sudah duga akan ganasnya se-
rangan Bidadari Tangan Bayangan, cepat membuang
tubuh ke samping. Saat melompat itu dia segera do-
rong kedua tangannya dengan posisi mengepal.
Wusss! Wuuusss!
Bersamaan terdengar letupan dan tumbangnya
sebuah pohon besar akibat sambaran serangan Bida-
dari Tangan Bayangan, dua gelombang angin panas
menghampar deras, menerbangkan rerumputan dan
menahan pukulan berantai Bidadari Tangan Bayan-
gan. Sejenak perempuan berbaju kuning bersih ini ter-
henyak, Tubuhnya mundur satu tombak ke belakang
ketika pukulannya bagai ditahan tangan raksasa.
Meskipun demikian, dia segera angkat tangannya yang
kembali bergerak tak ubahnya bayangan belaka. Dan...
Wusss!
Terkesiap bukan alang kepalang Kepala Besi
tatkala merasakan sambaran angin mengarah pada le-
hernya. Tak mau lehernya patah akibat serangan ganas itu, Kepala Besi kembali membuang tubuhnya ke
kiri dan berputar dua kali sebelum hinggap di tanah.
Di seberang, Bidadari Tangan Bayangan sengaja
surutkan langkahnya. Sejenak diatur nafasnya yang
agak terengah. Pandangannya menyipit tajam.
"Hebat!" desisnya dalam hati.
Kejap kemudian, dia sudah menerjang kembali ke
muka. Hanya yang agak aneh, kali ini gerakannya be-
gitu lambat. Kendati demikian, gerakan tangannya ju-
stru tak kurang. Malah nampak semakin cepat dan ke-
luarkan suara berdesing-desing.
Dalam sekejap saja Kepala Besi sudah bisa men-
duga kalau lawan coba mengalihkan perhatiannya. Dia
tak mau bertindak ayal ketika tangan kanan dan kiri
Bidadari Tangan Bayangan mengibas ke muka.
Wrrrrr!
Sinar putih bening menghampar dengan kekuatan
besar. Menerangi tempat yang sudah mulai diremangi
oleh malam. Kepala Besi memekik tertahan karena pa-
da jarak dua tombak dia sudah rasakan panas yang
sangat tinggi.
Inilah jurus 'Bayangan Matahari' yang sedang di-
lepaskan oleh Bidadari Tangan Bayangan. Sementara
itu, serta merta Kepala Besi meluruk dengan tubuh
laksana seekor banteng.
Bidadari Tangan Bayangan yang geram setinggi
langit, tak mau bertindak ayal. Dilipatgandakan tenaga
dalamnya dan melepaskan jurus 'Bayangan Matahari'.
Wusss!
Menyusul tubuh seperti dibetot setan melesat ke
muka. Sepintas gerak menghindar yang diperlihatkan
Kepala Besi lebih cepat karena Bidadari Tangan
Bayangan memang seperti sengaja memperlambat ge-
rakannya. Namun dalam lambat gerakannya itulah
tersimpan sebuah perangkap yang bukan hanya akan
menjatuhkan lawan, tetapi sekaligus akan melumpuh-
kannya! Karena gerakan itu akan berubah menjadi ce-
pat bila dikehendaki oleh pemiliknya. Yang terjadi pun
demikian.
Benturan dua tenaga sakti tingkat tinggi yang sa-
ma-sama mengandung hawa panas luar biasa terjadi.
Ledakan dahsyat terdengar. Tempat itu bagai digon-
cang sebuah gempa hebat. Tanah di tempat berte-
munya benturan itu muncrat setinggi dua tombak. De-
daunan langsung meranggas dan rumput serta semak
belukar tercabut paksa dari akarnya.
Kejadian itu segera halangi pandangan keduanya.
Bidadari Tangan Bayangan mengibas-ngibaskan tan-
gannya agar pandangannya lebih terbuka. Ketika ta-
nah, semak dan dedaunan terhempas ke tanah, sepa-
sang matanya terbuka lebih lebar dengan mulut men-
ganga membentuk lorong.
Si Kepala Besi, sudah tidak ada di hadapannya!
"Siaaaalll!!" geramnya tinggi. Menyusul dilepaskan pu-
kulan demi pukulannya. Serta merta menderu-deru
angin luar biasa kerasnya yang segera menghantam
beberapa buah pepohonan yang langsung tumbang be-
rantakan.
Sementara itu, Tri Sari yang sejak tadi hanya
memperhatikan, pun terkesiap kaget tatkala tak lagi
melihat sosok Kepala Besi di hadapannya. Gadis yang
kini dibaluri dendam itu pun siap melompat untuk
menyusul.
Tetapi satu suara menahannya, "Diam di tempat-
mu!!"
***
5
Saat itu pula si gadis urungkan niat dan paling-
kan kepala. Kendati disadarinya dalam suara perem-
puan berpakaian kuning bersih itu terdapat nada ke-
marahan, namun gadis ini tak sekali pun merasakan
takut ataupun marah. Karena dia yakin, perempuan
inilah yang dimaksudkan oleh ayahnya.
Serta merta dia menjura dengan satu tangan, se-
mentara tangan kirinya tetap mendekap Patung Kepala
Singa yang dibungkus kain hitam.
"Salam untukmu Bidadari Tangan Bayangan...,"
katanya hormat.
Sesungguhnya, Bidadari Tangan Bayangan adalah
seorang perempuan yang menghargai kesopanan. Na-
mun dikarenakan dia sedang marah besar akan le-
nyapnya Kepala Besi, dia hanya kertakkan rahangnya
melihat sikap Tri Sari.
"Jangan menjual lagak di hadapanku! Katakan,
siapakah kau sebenarnya? Ada urusan apa kau den-
gan lelaki celaka itu, hah?!"
Tak mau membuang waktu, Tri Sari segera men-
jawab, "Namaku Tri Sari...."
Hanya itu yang dikatakannya, karena dia hendak
melihat sikap perempuan di hadapannya. Dan ternyata
apa yang diharapkannya terjadi. Karena sejenak terli-
hat Bidadari Tangan Bayangan melengak.
Pandangannya lurus tak berkedip.
"Tri Sari...," desisnya seperti mengingat-ingat. Ke-
mudian katanya, "Apakah... kau Tri Sari putri dari
Pendekar Sutera?"
Mendengar pertanyaan itu, seketika wajah gadis
ini berseri-seri.
"Ya! Aku adalah putri dari Pendekar Sutera!"
Seraya melangkah mendekat, Bidadari Tangan
Bayangan berkata, "Oh, Tuhan... ternyata kau sela-
mat."
Sejenak dipandanginya gadis itu dengan seksama.
Lalu dengan suara penuh prihatin dia berkata, "Apa-
kah kau sudah tahu bagaimana nasib ayahmu?"
Tri Sari yang sudah mendengarnya secara tidak
langsung dari percakapan Bidadari Tangan Bayangan
dengan Kepala Besi tadi, menganggukkan kepalanya.
Nampak kalau dia berusaha untuk tidak tampakkan
kesedihannya.
Diam-diam Bidadari Tangan Bayangan berkata
kagum dalam hati, "Ketegarannya sungguh menakjub-
kan." Kemudian katanya, "Tri Sari... ceritakan bagai-
mana kau bisa selamat dari pembantaian keji yang te-
lah dilakukan oleh Kepala Besi?"
Dengan tetap tak menunjukkan kesedihannya, Tri
Sari segera menceritakan semuanya.
"Patung Kepala Singa...," desis Bidadari Tangan
Bayangan setelah si gadis selesai bercerita. Pandan-
gannya sejenak ditujukan pada benda yang terbung-
kus kain hitam dalam dekap tangan kiri Tri Sari. Ke-
mudian katanya, "Tri Sari... aku tidak tahu mengapa
ayahmu menyuruhmu menemuiku. Tetapi ada dua
maksud yang mungkin bisa dijadikan patokan. Perta-
ma, agar aku melindungimu dari pembantaian keji
yang telah dilakukan Kepala Besi. Kedua, juga melin-
dungi Patung Kepala Singa dari rebutan manusia-
manusia serakah. Sekarang, apakah kau tahu apa
yang tersimpan di dalam Patung Kepala Singa?"
Tri Sari menggelengkan kepalanya.
Bidadari Tangan Bayangan mendesah panjang.
"Persoalan ini semakin pelik. Sebenarnya, aku tak
ingin melepaskan nyawa Kepala Besi. Biar bagaimana-
pun juga, dia harus membayar seluruh perbuatannya
dengan nyawanya. Tetapi kupikir, kita lebih dulu ha-
rus memecahkan apa isi dari Patung Kepala Singa.
Hanya saja... untuk mengetahui soal itu, terpaksa kita
harus memecahkannya...."
Untuk sejenak tak ada yang keluarkan suara. Di
kejauhan terdengar lolongan serigala yang cukup men-
cekam.
Lalu terdengar suara putri Pendekar Sutera, "Bi-
bik... bagiku, tak mengapa kalau kita harus memecah-
kan benda ini untuk mengetahui apa isinya. Karena,
aku juga penasaran. Tetapi Bibik... Ayah pernah ber-
kata kepadaku, kalau dia akan menunggu orang yang
berhak atas Patung Kepala Singa."
Bidadari Tangan Bayangan mengangguk-
anggukkan kepalanya.
"Memang sebuah masalah yang cukup rumit sebenar-
nya. Dan semua ini...." Mendadak perempuan yang di
pinggangnya melilit ikat pinggang warna merah ini
memutus kata-katanya sendiri. Lamat-lamat terlihat
wajahnya menjadi cerah. "Aku tahu siapa orang yang
bisa melihat benda apa yang ada di dalam Patung Ke-
pala Singa. Tri Sari... sekarang kau ikut denganku ke
Bukit Kubur! Kita akan menjumpai dan meminta per-
tolongan Dewa Suci."
Karena merasa percaya pada Bidadari Tangan
Bayangan, Tri Sari menganggukkan kepalanya.
Kejap kemudian, dia sudah menyusul kelebatan
tubuh Bidadari Tangan Bayangan. Dan saat itu pula,
tempat tadi didera sunyi kembali. Meninggalkan bebe-
rapa pohon tumbang dan tanah serta ranggasan se-
mak belukar yang telah hancur.
Pada saat yang bersamaan, satu sosok tubuh se-
dang hentikan kelebatannya di sebuah jalan setapak.
Di kanan kirinya dipenuhi ranggasan semak belukar.
Tatkala sinar rembulan berhasil membebaskan diri da
ri kukungan awan hitam, nampak sosok tubuh yang
mengenakan pakaian warna hijau itu sedang garuk-
garuk kepalanya. Lalu menyampirkan kain bercorak
catur yang agak turun pada lehernya.
"Betul-betul bikin pusing!" makinya jengkel. "Ke
mana perginya Bidadari Tangan Bayangan sampai se-
karang belum kuketahui. Hmmm... jangan-jangan dia
sudah bertemu dengan si Kepala Besi dan membuat
perhitungan yang sebenarnya tak diperlukan. Tetapi,
kata-kata Nyi Dungga Ratih juga mengarah pada Kepa-
la Besi. Bisa jadi kalau sebenarnya memang lelaki itu-
lah yang telah lakukan pembantaian...."
Untuk sesaat Andika terdiam. Sepasang matanya
yang tajam memperhatikan sekelilingnya. Kegelapan
menghentak dan beberapa burung malam beterbangan
dengan keluarkan suara yang cukup mengerikan.
Lalu mendadak saja terlihat sepasang mata pe-
muda dari Lembah Kutukan ini membuka lebih lebar.
Menyusul dia membatin dalam hati, "Hmmm... aku
menangkap satu gerakan dibelakangku. Begitu lembut
sekali pertanda orang ini tengah kerahkan ilmu perin-
gan tubuhnya."
Pendekar Slebor tetap berdiri di tempatnya semen-
tara indera pendengarannya yang terlatih itu semakin
dipertajam. Bahkan kali ini dia menangkap desahan
napas yang betul-betul sangat pelan.
"Siapa orang ini? Mengapa dia pakai bersembunyi
segala? Bila kedatangannya dengan cara seperti ini,
aku akan mengagetkannya...."
Memutuskan demikian, Pendekar Slebor segera
rentangkan kedua tangannya ke samping kanan dan
kiri dengan keluarkan suara, "Aaaaah.... ngantuk betul
nih! Tetapi, kalau aku tidur di sini, bisa-bisa ada ular
buduk lapar yang akan menerkamku!"
Di balik ranggasan semak belukar, sepasang mata
tajam yang memperhatikannya mendengus dalam hati.
"Kurang ajar! Nampaknya dia tengah mengejekku!
Keparat! Bila aku tidak membutuhkannya, sudah ku-
patahpatahkan lehernya! Tetapi... rasa-rasanya tidak
mungkin dia mengejekku. Apa yang dikatakannya tadi
bisa jadi hanya kebetulan belaka! Hmmm...
biar bagaimanapun juga, aku harus mempergunakan
tangannya untuk mendapatkan Patung Kepala Singa."
Sejarak delapan langkah, Pendekar Slebor mene-
puk-nepuk mulutnya.
"Busyet! Kok justru malah semakin mengantuk?!"
serunya keras-keras. Lalu garuk-garuk kepalanya yang
tidak gatal. "Mak dirabit!" gerutunya kemudian dengan
kata yang diucapkan semau jidatnya saja. "Lebih baik
aku cari tempat untuk tidur saja, ah! Masa bodoh den-
gan segala urusan! Toh tidak membuat perutku ke-
nyang!!"
Seperti benar-benar telah diserang rasa kantuk
dan lelah, pemuda berbaju hijau pupus ini segera ber-
kelebat ke depan. Gerakannya sungguh cepat sekali.
Sesungguhnya, Andika bermaksud untuk mengejutkan
si pengintip. Dengan kerahkan ilmu peringan tubuh-
nya, Andika berharap orang yang mengintip itu akan
mengejarnya. Kemudian dia akan berbalik menunggu
sekaligus mengejutkan orang itu.
Andika memang menangkap satu gerakan yang
mengikutinya. Diam-diam dia tersenyum dalam hati.
"Kau akan terkejut nanti!!" Tetapi justru dia yang ter-
kejut. Karena setelah yakin kalau orang yang mengin-
tip itu mengikutinya, mendadak saja Andika justru je-
jakkan kaki kanannya ke tanah. Serta merta tubuhnya
melenting balik di udara, ke tempat semula.
Gerakan yang diperlihatkan sangat cepat dan me-
nakjubkan. Paling tidak, sekarang dia telah berada di
belakang si pengintip. Namun yang terjadi, justru Andika tidak melihat siapa pun di hadapannya!!
Untuk sesaat pemuda urakan ini melongo seperti
sapi ompong dengan mulut membuka mendapati hasil
yang dilakukannya. Lalu nampak dia garuk-garuk ke-
palanya.
"Busyet! Jangan-jangan yang mengikutiku itu bukan
manusia... tetapi sebangsa jin penunggu tempat ini....
Hiiii.... Bisa mati konyol kalau aku dicekiknya!!"
Kendati mulutnya berbunyi demikian, namun se-
sungguhnya pemuda ini tak takut sedikit pun. Lalu
dengan suara tangan kanan kiri yang ditempelkan pa-
da kedua pipinya dan membentuk sebuah corong, dia
berseru konyol, "Hoooiii!! Bila kau sebangsa jin jelek
yang suka mengganggu orang, silakan nongol! Kalau
kau ternyata cuma manusia sebangsa cecunguk, lebih
baik pulang saja menetek pada ibumu!!"
Suaranya menggema cukup keras, membuat bebe-
rapa ekor hewan malam berlarian kembali ke sarang-
nya.
Lalu terdengar lagi suaranya, "Eh! Apa tidak terba-
lik tadi? Kalau benar-benar jin yang menggangguku,
bisa mati kelenger nih! Hoooiiii! Nggak jadi! Nggak jadi!
Bila kau ternyata jin serem, silakan pulang ke kam-
pung halamanmu! Tetapi bila kau ternyata manusia je-
lek, silakan nongol!"
Kata-kata konyolnya itu kembali menggema. Na-
mun tak satu sosok tubuh pun yang keluar.
Kali ini diam-diam Andika membatin, "Menilik ce-
patnya orang ini bergerak, sudah tentu dia bukan
orang sembarangan! Tetapi apa maunya dia yang da-
tang dengan cara diam-diam dan menghilang begitu!
hendak kujebak?!"
Memang sulit untuk mendapatkan jawaban atasi
pertanyaannya. Kali ini, pemuda berotak encer ini ber-
kata dalam hati, "Lebih baik... kutinggalkan saja tempat ini sekarang.... Barangkali saja dengan cara begitu,
orang yang mengintipku akan terus membuntuti. Huh!
Rasanya sudah tidak sabar ingin kujitak kepalanya
yang sudah tentu penjol itu!!"
Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya
dan senyum-senyum sendiri, pemuda pewaris ilmu
Pendekar Lembah Kutukan ini segera berkelebat me-
ninggalkan tempat itu.
Di satu tempat yang tersembunyi, si pengintip
yang ternyata memiliki ilmu peringan tubuh sebanding
yang dimiliki Pendekar Slebor berkata dalam hati di
balik ranggasan semak belukar setinggi dada, "Gila!
Hampir saja aku terjebak permainannya tadi! Tetapi
masih untung aku bisa bertindak sigap! Bila tidak,
urusan akan semakin membentang. Biar bagaimana-
pun juga, aku yakin kalau pemuda konyol itu menge-
tahui tentang Patung Kepala Singa! Huh! Patung itu
harus kukuasai! Karena menurut kabar yang kuden-
gar, di dalam patung itu terdapat daun-daun yang di
atasnya tertulis sebuah ilmu langka tiada banding!"
Setelah menunggu beberapa saat, si pengintip
kemudian memutuskan untuk kembali mengikuti Pen-
dekar Slebor. Gerakan yang diperlihatkannya tadi
sungguh luar biasa. Bila seseorang melompat keluar
dari balik ranggasan semak, paling lidak ranggasan
semak belukar itu akan bergoyang. Terkena bagian tu-
buhnya atau terkena angin lompatannya.
Akan tetapi, semak belukar itu tetap tak bergerak
sama sekali! Kalaupun bergerak, itu disebabkan oleh
belaian angin yang bertiup.
***
6
Angin berdesau dingin. Berlarian dari satu pohon
ke pohon lain, menggugurkan dedaunan, bergalayutan
sejenak di hamparan semak belukar, lalu berdesir lagi
menjauh. Jalan setapak yang sunyi itu semakin ditim-
bun kesunyian mencekam. Hanya suara beberapa ekor
burung yang terdengar lalu beterbangan. Matahari
kembali muncul dari ufuk timur. Entah kali yang kebe-
rapa matahari muncul dari tidurnya semenjak dimu-
lainya kehidupan ini. Dan setiap pergerakan matahari
adalah waktu. Entah kali keberapa pula waktu telah
menggilas dan meninggalkan manusia dalam kehidu-
pan ini.
Pendekar Slebor tiba di sebuah sungai yang airnya
mengalir cukup deras. Di tengah-tengah sungai itu
terdapat beberapa buah batu besar.
Pemuda ini segera hentikan gerakannya di tepi
sungai itu. Dia tak segera arahkan pandangan ke bela-
kang, untuk meyakinkan apakah orang yang mengiku-
tinya masih terus melakukan aksinya. Kendati demi-
kian, Pendekar Slebor tetap menduga kalau orang itu
masih mengikutinya.
"Kura-kura peot! Aku jadi makin penasaran ingin
mengetahui siapa orang itu! Tetapi, rasa-rasanya aku
mulai tidak mendengar gerakan maupun desah nafas-
nya. Meskipun begitu, aku yakin dia masih mengikuti-
ku. Busyet! Kenapa ya dia mengikutiku? Jangan-
jangan... yang mengikutiku itu seorang gadis manis
yang tergila-gila akan kegantenganku? Wah! Kalau ta-
hu begitu, tadi ku usahakan untuk mencarinya. Kan
asyik... wah! Bagaimana kalau ternyata yang mengiku-
tiku cuma seorang nenek yang kegatelan?! Ih! Sebe-
narnya tubuhku sudah lengket oleh keringat! Tetapi
bagaimana kalau aku sedang mandi kemudian ternya-
ta nenek yang mengikutiku mengintip? Wah! Tidak jadi
mandi deh!"
Kali ini dia putar tubuhnya dan diperhatikan se-
kelilingnya. Tahu-tahu pemuda urakan ini berteriak
keras, "Hoooiiii!! Kalau mau meminta tanda tanganku
keluar saja! Tidak usah malu-malu!!"
Tak ada sosok tubuh yang keluar. Karena, me-
mang tak ada yang mengikutinya lagi. Rupanya, orang
yang mengikuti Pendekar Slebor sengaja mengurung-
kan niatnya tatkala dilihatnya satu sosok tubuh tinggi
besar berkepala plontos berkelebat cepat sejarak sepu-
luh tombak di samping kanannya.
Dalam sekali lihat saja, orang ini yakin kalau yang
berkelebat itu adalah si Kepala Besi. Untuk sejenak
orang ini menjadi agak ragu-ragu.
Siapakah yang harus diikutinya? Namun setelah
mempertimbangkan agak lama, dia justru berkelebat
menyusul perginya si Kepala Besi yang sengaja meng-
hindari Bidadari Tangan Bayangan tatkala terjadi ben-
turan keras.
Sementara itu, Pendekar Slebor masih bcrteriak-
teriak keras. "Hoooiiiii!! Di sini banyak ikannya!! Men-
dingan di sini saja! Hoooiiii!!!"
Setelah berulang kali berteriak dengan seruan
yang tak tahu juntrungannya, justru yang muncul dua
orang lelaki bertampang mengerikan yang berusia kira-
kira lima puluh tahun.
Saat itu pula Pendekar Slebor arahkan pandan-
gannya. Sejenak dia terdiam. Kendati demikian, mu-
lutnya cengar-cengir saja (sok kecakepan).
Dua lelaki yang baru datang itu tak berkedip me-
mandang ke arahnya. Wajah masing-masing orang
yang mengenakan pakaian warna biru gelap itu tidak
ramah. Di dada masing-masing terdapat dua selendang
bersilangan warna putih.
Orang yang berdiri di sebelah kanan, yang berku-
mis baplang itu keluarkan suara setelah pandangi te-
mannya, "Pemuda berpakaian hijau! Ada urusan apa
kau berteriak-teriak seperti orang gila, hah?!"
Pendekar Slebor tak segera menjawab. Dia justru
makin perlihatkan cengirannya.
Lalu katanya dengan kedua tangan disatukan di
belakang pinggul, "Heran! Kenapa yang muncul dua
orang, ya?! Apa belum cukup umur untuk menghada-
piku seorang diri?"
Sudah tentu kedua orang itu keheranan menden-
gar kata-kata Andika. Kendati mereka keheranan, na-
mun mereka tak suka mendengar kata-kata yang di-
ucapkan dengan sikap keblinger itu. Kedua lelaki ber-
pakaian biru gelap ini bukanlah orang baik-baik. Me-
reka dikenal dengan julukan Dua Iblis Lorong Maut,
yang telah lama malang melintang di rimba persilatan
ini dengan tindakan telengas yang selalu mereka perli-
hatkan. Dan kalaupun mereka keluar dari Lorong
Maut di mana mereka berasal, karena mereka hendak
mencari Patung Kepala Singa.
Si kumis baplang yang bernama Gendala Maung,
kembali keluarkan suara, "Pemuda aneh! Sikapmu
sungguh keterlaluan sekaligus mengherankan! Tetapi
peduli setan dengan apa yang kau katakan tadi! Kare-
na, bila kau bisa jawab pertanyaan kami, maka kau
akan dapat melihat rembulan nanti malam!"
Andika yang masih menyangka kalau salah seo-
rang dari mereka itu orang yang membuntutinya tadi,
kali ini mengangkat sepasang alisnya yang hitam le-
gam dan seperti kepakan sayap elang.
"Busyet! Apakah nanti malam kedua mataku akan
jadi buta bila tak bisa menjawab pertanyaanmu hingga
tak bisa melihat rembulan? Wah! Jangan bicara sembarangan!"
Mendapati sahutan seperti itu, Gendala Maung
tertawa lebar, keras dan bertalu-talu. Andika bukan-
nya tidak merasakan kalau dalam suara itu mengan-
dung gelombang tenaga dalam yang akan memaksanya
surut bila dia tidak segera bertindak dengan mena-
mengkan dirinya dengan tenaga dalam pula.
Di sela-sela tawanya si kumis baplang keluarkan
kata, "Baru kali ini kutemui pemuda tolol! Bila kau
memang menghendaki kedua matamu menjadi buta,
akan kulakukan bila kau bisa menjawab pertanyaan-
ku! Tetapi bila tidak, kau harus mampus!!"
Masih mengangkat-angkat alisnya seperti sakit
mata, Andika cuma nyengir saja. Diam-diam dia berka-
ta dalam hati, "Merasakan tenaga dalam yang dipa-
merkan melalui tawanya tadi, memang cukup mengke-
derkan. Tetapi aku yakin, kalau bukan salah seorang
dari kedua orang ini yang membuntutiku. Karena dari
gerakannya, orang yang membuntutiku dapat kuyakini
memiliki tenaga dalam melebihi tenaga dalam yang di-
miliki kedua orang ini."
Kejap kemudian dia berkata, "O... jadi maksudnya
aku akan mampus bila tidak bisa menjawab perta-
nyaanmu? Kalau begitu, cepat tanya deh. Mumpung
aku lagi mau menjawab nih!"
Bukan si kumis baplang yang segera keluarkan
suara, melainkan si wajah tirus yang bernama Ganda
Maung yang sejak tadi sudah mengkelap mendengar
setiap kata-kata Andika.
"Pemuda keparat! Katakan pada kami, apakah kau
tahu di mana Pendekar Sutera berada?!"
Andika tak segera menjawab, justru dia berkata
dalam hati, "Menilik pertanyaannya... jangan-jangan
ini ada hubungannya dengan Patung Kepala Singa?
Hmm... aku harus berhati-hati." Kemudian sambil
menganggukkan kepalanya, pemuda yang di lehernya
melilit sebuah kain bercorak catur ini berkata, "Aku
pernah mendengar julukan itu!"
"Di mana dia berada sekarang?" sambar Ganda
Maung tak sabar.
"Kalau kau tanyakan soal itu, jelas mudah jawab-
nya. Dia sudah berada di surga!"
"Apa maksudmu, hah?!"
"Lelaki perkasa itu telah tewas dalam satu pem-
bantaian yang hingga saat ini belum diketahui siapa
orangnya!!"
Mendapati jawaban Andika, kedua orang itu saling
pandang. Pancaran mata masing-masing orang jelas
tak mempercayai kata-kata Andika.
Ganda Maung kembali arahkan pandangannya
dan berkata, "Kau tak tahu siapa yang membunuhnya,
atau... kau telah menyembunyikan apa yang kami ca-
ri?!"
"Dia sudah mengarah pada benda itu," kata Andi-
ka dalam hati dan berkata, "Apa maksudmu dengan
yang kalian cari?!"
"Jangan berlaku bodoh! Sekarang katakan pada-
ku... di mana Patung Kepala Singa yang telah kau
rampas?!"
Seperti baru menyadari maksud orang Andika
menyahut, "Patung Kepala Singa? Wah! Tentunya itu
sebuah benda yang sangat langka karena kalian nam-
pak begitu tak sabar untuk memilikinya! Betul tidak?!"
"Jangan banyak omong! Serahkan benda itu ke-
pada kami!"
Andika menggeleng-gelengkan kepalanya seraya
membatin, "Jelas kalau mereka memang termasuk sa-
lah seorang yang menginginkan Patung Kepala Sin-
ga.... Tetapi tidak seperti yang diinginkan oleh Bidadari
Tangan Bayangan dan Nyi Dungga Ratih. Kedua perempuan itu menghendaki Patung Kepala Singa untuk
diselamatkan."
Kemudian katanya, "Terus terang, benda yang ka-
lian cari itu tidak ada padaku! Justru aku sedang
mencari siapa orang yang harus bertanggung jawab
atas pembantaian di Kuil Putra Langit!!"
Gendala Maung membuka mulut, "Huh! Rupanya
kau termasuk salah seorang yang pandai bersilat lidah!
Tetapi sayangnya, kau berhadapan dengan Dua Iblis
Lorong Maut!"
Habis kata-katanya, lelaki berkumis baplang ini
sudah melompat ke muka. Tangan kanan kirinya siap
lepaskan jotosan. Sementara angin menderu keras saat
tubuhnya melesat.
Andika yang sudah perhitungkan serangan itu
buang tubuhnya dan tangannya dengan sigap lancar-
kan satu pukulan ke bagian iga lawan. Namun dengan
gerakan yang aneh, lawannya mampu menangkis se-
rangan itu. Bukan dengan tangan, melainkan dengan
kaki. Padahal sungguh sulit untuk menangkis seran-
gan itu dengan mempergunakan kaki!
Des!
Andika mundur dua langkah. "Gila! Jurus apa
yang diperlihatkannya ini?" desisnya dalam hati.
Sementara itu, Gendala Maung juga terkejut. Ka-
rena, jarang orang yang bisa menghindari sekaligus
memapaki serangan pembuka yang dilakukannya tadi.
Sebelum dia siap lakukan serangan berikut, ter-
dengar suara Ganda Maung, "Tahan seranganmu!!"
Sambil rapatkan mulutnya, lelaki kejam berwajah
kelimis ini arahkan pandangannya pada Andika. Seje-
nak dia seperti mengingat-ingat sesuatu. Kemudian
.serunya, "Pemuda jahanam! Apakah salah... bila ku-
katakan kau adalah Pendekar Slebor?"
Andika cuma mengangkat kedua bahunya.
"Wah! Kalian boleh kok menyebutku seperti itu!
Tetapi... saat menyebut 'Slebor', ya... jangan keras-
keras!! Malu kalau didengar tetangga!"
Ganda Maung yang memang mengarahkan inga-
tannya tentang siapa pemuda ini, keluarkan dengusan
keras mendengar sahutan si pemuda.
"Huh! Jadi Pendekar Slebor yang menjual lagak di
hadapanku! Bagus! Gendala Maung... biar aku yang
hadapi pemuda konyol ini!!"
Sementara Gendala Maung mundur tiga langkah ke
belakang, Ganda Maung maju tiga langkah. Digerak-
kan lehernya yang segera terdengar suara, "Krak!
Krak!"
Lalu disentak-sentakkan kedua tangannya ke de-
pan yang kembali keluarkan suara seperti tadi.
"Aku ingin tahu seperti apa kebisaan pemuda
yang banyak dibicarakan orang!!"
"Wah! Kalian kan sudah tahu, nih! Kalau yang da-
lamnya, sih.... ya jangan!" sahut Andika nyengir.
"Hhh! Kami tak segan-segan turunkan tangan te-
lengas kepadamu! Tetapi... kau bisa memikirkannya
lebih baik untuk menyerahkan Patung Kepala Singa
pada kami!"
Ancaman itu jelas bukan ancaman kosong.
Sayang yang dihadapi keduanya adalah Pendekar Sle-
bor yang dalam keadaan bagaimanapun masih tetap
bertingkah seenaknya. Kata-kata itu hanya disambuti
dengan senyuman mengejek, sementara otaknya ber-
pikir, "Sulit menghindarinya sekarang sementara Bida-
dari Tangan Bayangan jelas sudah tak bisa dikejar lagi.
Mudah-mudahan dia belum membuka urusan dengan
Kepala Besi!"
Tetapi, sebelum Andika buka mulut, Ganda
Maung yang gusar tadi, sudah kelebatkan tubuhnya.
Desingan angin bak topan prahara menderu dahsyat
ke arah Andika yang cepat menghindar. Namun seran-
gan itu datang susul menyusul, bahkan dilakukan
dengan menggerakkan kedua kaki dan tangan sekali-
gus.
"Benar-benar hebat!" puji Andika sambil terus
menghindar. Dan dengan satu gerak tipu yang manis,
Andika bisa menyusup masuk dan siap hantamkan
pukulan yang telah dialirkan tenaga 'Inti Petir' tingkat
kesepuluh. Gendala Maung kelihatan terkejut menda-
pati serangan yang cepat itu. Sambil kertakkan ra-
hangnya, lelaki berkumis baplang ini langsung memu-
tar tubuh dan lepaskan tendangannya.
***
7
Des!
Jotosan yang dilepaskan Andika terpapaki oleh
kaki kanannya. Seperti mendapatkan satu gerak lo-
wong yang bisa dipergunakan, mendadak saja Gendala
Maung gerakan kedua tangannya.
Wusss! Wusss!!
Serta merta menderu dua gelombang angin deras
yang keluarkan suara menggemuruh. Andika yang ba-
ru saja mundur nampak tercekat. Tak mau berakibat
konyol, dia segera putar tubuhnya dan melompat ke
samping kanan.
Blaaarrr!!
Tanah di mana Andika berdiri tadi seketika ter-
bongkar dan menerbangkan bongkarannya ke udara.
Belum lagi tanah itu sirap, mendadak terdengar gemu-
ruh angin kembali yang menerobos gumpalan tanah.
Rupanya Ganda Maung mempergunakan kesempatan itu untuk lepaskan serangan. Hanya dengan je-
jakkan kaki kanannya, sosok Pendekar Slebor sudah
mencelat ke samping kiri.
Blaaarr!
Untuk kedua kalinya terdengar letupan keras dan
terbongkarnya tanah ke udara.
"Hmmm... aku bisa mati konyol kalau terus mene-
rus menghindar," pikir Andika sambil bersiaga.
Tatkala semuanya sirap, dilihatnya Dua Iblis Lo-
rong Maut telah berdiri tegak berdampingan. Pancaran
mata masing-masing orang tajam dan kejam.
Ganda Maung berseru, "Tunjukkan pada kami, di
mana Patung Kepala Singa kau simpan?!"
"Itu sih gampang banget! Seingatku, benda itu ku-
simpan di kepala salah seorang dari kalian! Tetapi aku
lupa... kepala siapa?! Lebih baik kalian ketok saja ke-
pala kalian satu sama lain!"
Mendengar kata-kata itu, kedua orang itu saling
pandang dengan wajah mengkelap dan tinju dikepal-
kan. Seperti disepakati, kejap itu pula masing-masing
orang segera meluruk dengan gerakan seperti melun-
cur diiringi teriakan keras.
"Heaaaa!!"
"Yeaaaa!!"
Andika mendengus lalu bergulingan menghindari
serangan ganas yang dilakukan serempak itu. Gulin-
gan tubuhnya bukan ke belakang, melainkan ke de-
pan. Kaki kanannya menyepak kaki Gendala Maung,
dan langsung melompat dengan pencalan satu kaki ke
arah Ganda Maung.
Ganda Maung tak mau tubuhnya dijadikan sasa-
ran empuk serangan Andika. Selagi Andika melompat
ke arahnya, dibuang tubuhnya ke kiri dan mendadak
saja terdengar angin dahsyat berdesingan.
Dengan gerakan yang menakjubkan lelaki berwajah kelimis namun sorot matanya kejam itu, berbalik
dengan posisi kepala di bawah. Gerakan yang menak-
jubkan itu disusul dengan bergeraknya kedua kakinya
laksana baling-baling. Angin dahsyat segera menderu
hebat.
Serta merta terdengar suara yang sangat mengeri-
kan. Menggugurkan dedaunan. Menerbangkan kerikil
dan debu-debu secara serempak. Bukan hanya sampai
di sana saja akibat dari gemuruh angin itu.
Beberapa ranggasan semak belukar tercabut dan
berpentalan. Ranting dan dahan pohon patah, lalu ber-
tabrakan satu sama lain.
Andika yang sudah membuang tubuhnya merasa
wajahnya bagai ditampar dari jauh. Selagi Andika ke-
repotan menghindari serangan Ganda Maung, Gendala
Maung sudah kirimkan jotosan berkali-kali.
Mendapati serangan dua lawan yang demikian
gencar, tak ada jalan lain kecuali memotong setiap se-
rangan. Di saat Gendala Maung gulingkan tubuh ke
arahnya, Andika lakukan satu tindakan yang menak-
jubkan.
Dengan ringannya dia melompat dan menjadikan
tubuh Gendala Maung sebagai tumpuan. Gerakan se-
macam itu tak mungkin bisa dilakukan bila tidak me-
miliki ilmu peringan tubuh dan kecepatan yang tinggi.
Bersamaan tubuhnya melenting dari tubuh Gendala
Maung, dengan kerahkan tenaga 'Inti Petir' tingkat ke-
tiga, disongsongnya serangan Ganda Maung yang ma-
sih menderu dengan kedua kaki di atas dan bergerak
bagai baling-baling.
Sergapan yang dilakukan Andika benar-benar ha-
rus matang. Bila dia lengah sedikit saja, kepalanya
akan menjadi sasaran empuk serangan Ganda Maung.
Dengan cepat, dia merunduk hingga gebrakan kedua
kaki lelaki berwajah kelimis itu lolos dari sasarannya.
Lalu didekatkan tubuhnya pada Ganda Maung yang
sulit untuk menjauh.
Pada saat yang bersamaan, pemuda pewaris ilmu
Pendekar Lembah Kutukan ini segera lepaskan joto-
san.
Des! Des!
Terdengar pekikan tertahan dan menyusulnya so-
sok Ganda Maung mencelat ke belakang. Tanpa am-
pun lagi, dengan kedudukan kepala masih berada di
bawah, tubuhnya menghantam sebuah pohon besar.
Andika sendiri bergulingan ke belakang dan berdiri te-
gak.
Wajahnya yang tampan nampak berkerut, nyeri
menahan sakit.
Sementara Gendala Maung menggeram murka
melihat sahabatnya yang telah lama malang melintang
di rimba persilatan ini dengannya menjadi sasaran
hantaman Andika. Dengan gerengan keras dia sudah
menggebrak kembali, menyusul Ganda Maung yang
sudah bangkit sambil menahan sakit. Tak dipeduli-
kannya apa yang dirasakan tadi. Prinsipnya, dia harus
membalas setiap serangan lawan.
Mendapati ganasnya serangan lawan, Andika pun
tak mau bertindak setengah-setengah. Segera saja di-
alirkan ajian 'Guntur Selaksa'. Bersamaan itu pula dia
segera mencelat ke depan, menyongsong dua serangan
ganas lawan-lawannya.
Dua buah tenaga yang dijadikan satu, berbentro-
kan dengan tenaga ajian 'Guntur Selaksa' milik Pende-
kar Slebor.
Akibatnya sungguh mengerikan. Suara keras berden-
tum dua kali. Dari benturan itu mengepul asap hitam
yang pekat. Tubuh Andika terlempar ke belakang lima
tombak. Sementara dua tokoh dari Lorong Maut ini
mengalami nasib serupa. Bahkan Ganda Maung yang
masih menahan sakit tadi, tak bisa bangkit kembali.
Karena kepalanya telak terhantam ajian 'Guntur Se-
laksa' yang dilepaskan Andika tadi.
Mendapati Ganda Maung tewas, Gendala
Maung menjerit keras sambil memelukinya. Dia menje-
rit-jerit seperti seekor serigala yang melihat kematian
kekasihnya. Kepedihan itu lamat-lamat berubah men-
jadi kegeraman tinggi.
Seketika kepalanya ditolehkan. Sorot matanya lak-
sana kobaran api yang siap membakar siapa saja.
Bahkan untuk sesaat Andika merasa ngeri melihatnya.
"Pemuda keparat! Perhitungan akan dimulai lagi
kelak!!" serunya dengan suara menggelegar.
Pendekar Slebor cuma terdiam dengan dada kem-
bang kempis. Sungguh, dia tak mengharapkan kema-
tian Ganda Maung. Akan tetapi, bila dia tidak bertin-
dak, tak mustahil dirinya yang akan menemui kema-
tian karena kedua orang itu sudah tentu tak akan
membiarkan dirinya selamat.
Sementara itu, lamat-lamat Gendala Maung berdiri
sambil membopong tubuh sahabatnya. Diputar tubuh-
nya hingga menghadap ke arah Pendekar Slebor.
"Kali ini... kau menang, Pendekar Slebor! Tetapi se-
karang... bukan hanya Patung Kepala Singa yang
kuinginkan... tetapi juga nyawamu!!"
Habis kata-katanya, lelaki berkumis baplang ini se-
gera putar tubuh kembali. Kejap itu pula tubuhnya
melesat meninggalkan tempat itu dengan membopong
mayat Ganda Maung.
Sepeninggal orang-orang itu, Andika menarik na-
pas panjang masygul.
"Patung Kepala Singa... sebuah benda yang ternya-
ta akan banyak menimbulkan korban.... Hmm, berada
di tangan siapakah Patung Kepala Singa itu? Satu hal
lagi... siapakah orang yang bertanggung jawab atas
pembantaian di Kuil Putra Langit?"
Tak ada suara yang terdengar, karena dia memang
hanya seorang diri di sana.
Setelah terdiam beberapa saat, Pendekar Slebor
pun segera berkelebat meninggalkan tempat itu pada
arah yang berlawanan yang dilalui Gendala Maung ta-
di. Tempat itu kembali diselimuti sepi.
***
Lima belas tarikan napas telah berlalu. Tempat di
mana bertarungnya Pendekar Slebor dengan Dua Iblis
Lorong Maut tadi, semakin dirajai kesunyian dalam. Di
angkasa, arakan awan putih mendadak menjelma
menjadi gumpalan awan hitam. Rambatan matahari
yang kian meninggi, seolah tak mampu tembusi tim-
bunan awan hitam, hingga suasana di sana seperti re-
dup.
Selang beberapa saat, satu sosok tubuh tiba di
tempat itu. Sosok seorang gadis berparas jelita dengan
sepasang mata jernih dan hidung bangir. Bibir gadis
berambut dikuncir ekor kuda ini tipis memerah, terka-
tup rapat saat sepasang mata jernihnya memandangi
tempat yang sebagian telah berantakan itu.
Gadis berambut dikuncir dua ini mengenakan pa-
kaian ringkas warna biru kehijauan. Lamat-lamat pan-
caran matanya yang agak heran mendapati tempat
yang telah porak-poranda ini, mulai membesar dengan
kening dikernyitkan.
"Aneh! Apakah aku tidak salah melihat keadaan di
sini? Jangan-jangan... tempat ini tadi telah didatangi
serombongan gajah liar?!" batinnya dengan hati ber-
tanya-tanya.
Lalu gadis ini maju dua langkah ke muka, berdiri
tepat di depan tanah yang telah membentuk sebuah
lubang.
"Sekalipun gajah-gajah liar itu cukup banyak, na-
mun tak mungkin rasanya bisa membuat lubang yang
cuma satu buah ini. Hmmm.. tentunya telah terjadi
pertarungan di sini? Siapa kira-kira mereka?"
Kembali gadis jelita ini terdiam. Tangan kanannya
diangkat dan memegang alisnya yang hitam. Gadis
yang memang selalu bersikap seperti itu bila sedang
berpikir ini tak membuka mulut untuk beberapa lama.
Kejap kemudian dia menarik napas pendek.
"Hmmm... ke mana lagi aku harus mencari Guru?"
desisnya kembali dengan tangan diturunkan kembali
dari alis matanya, "Sampai saat ini... aku tak mengerti
sebenarnya, mengapa Guru justru menyuruhku untuk
lebih memperdalam lagi ilmu 'Bayangan Bulan Pijar-
kan Matahari'. Padahal Guru sendiri tahu kalau aku
sudah sangat lihai akan ilmu itu. Tetapi...."
Si gadis memutus kata-katanya sendiri. Lalu nampak
kepalanya manggut-manggut.
"Kini aku tahu apa maksud Guru sebenarnya. Dia
menyuruhku berlatih, sementara dia meninggalkanku.
Tentunya... ini ada hubungannya dengan orang yang
datang mengundangnya ke Kuil Putra Langit di mana
Pendekar Sutera berada. Tetapi... mengapa dia harus
menyingkirkanku lebih dulu?"
Siapa sebenarnya gadis jelita ini? Dia bernama
Nawang Wangi, murid tunggal Bidadari Tangan Bayan-
gan. Memang, setelah menerima kehadiran utusan dari
Pendekar Sutera, Bidadari Tangan Bayangan langsung
memanggil muridnya itu. Sesungguhnya, Bidadari
Tangan Bayangan sedikit banyaknya sudah merasa ka-
lau undangan yang disampaikan utusan Pendekar Su-
tera itu sehubungan dengan Patung Kepala Singa yang
pernah didengarnya.
Bidadari Tangan Bayangan tak mau kalau murid
nya terlibat dalam urusan ini. Karena menurutnya,
muridnya belum layak untuk turut terlibat dalam se-
tiap masalah yang sangat memusingkan.
Saat itu, Nawang Wangi sebenarnya hendak ber-
tanya lebih lanjut. Tetapi gadis ini tak membantah pe-
rintah gurunya kendati dia sudah sangat lihai mem-
pergunakan ilmu 'Bayangan Bulan Pijarkan Matahari'.
Setelah tujuh hari berlatih, Nawang Wangi pun kemba-
li ke tempat semula.
Dia tak terlalu heran tatkala tak mendapati gu-
runya berada di tempat biasa. Karena keadaan seperti
ini sebenarnya sering terjadi kendati terkadang gu-
runya lebih sering mengatakan ke mana tujuannya.
Namun kali ini, gurunya tak mengatakan tujuan-
nya. Nawang Wangi semula mencoba tak peduli. Tetapi
entah mengapa, gadis yang memiliki perasaan peka ini
seolah menangkap gejala yang tak enak. Terutama
mengingat ada seseorang yang meminta gurunya pergi
ke Kuil Putra Langit.
Di samping itu, sebenarnya Nawang Wangi cukup
lama berkeinginan untuk melihat dunia luar. Makanya
kali ini, dengan menindih segala perintah gurunya, dia
pun mulai melangkah meninggalkan Lembah Pinus.
Hatinya memang gembira melihat keadaan yang
sungguh jarang dilihatnya. Namun setelah dua hari
meninggalkan tempat, gadis ini merasa tidak enak. Ke-
rinduannya mulai timbul terhadap gurunya. Dan dia
cukup dibuat gelisah sendiri dengan tindakannya ini.
"Ah... tak seharusnya aku meninggalkan Lembah
Pinus yang sebenarnya lebih banyak dikarenakan
keinginanku untuk melihat dunia luar selain Lembah
Pinus...," desisnya resah. Gadis ini sejenak terdiam
sambil pandangi sekitarnya. Kemudian dia berkata la-
gi, "Tetapi... untuk kembali ke Lembah Pinus... aku ti-
dak tahu lagi ke mana jalan yang harus kutempuh.
Sebaiknya, kuteruskan saja langkahku. Mudah-
mudahan aku bisa menemukan di mana Kuil Putra
Langit berada"
Memutuskan demikian, gadis berambut dikuncir
dua ini segera berkelebat meninggalkan tempat itu.
Setelah lalui perjalanan sepenanakan nasi agak
menjauh dari tempat semula, Nawang Wangi kembali
hentikan langkahnya. Saat itu timbunan awan hitam
yang terus berarak rupanya tak kuasa lagi untuk me-
nahan isi perutnya. Didahului suara salakan petir, hu-
jan deras pun turun!
"Celaka! Aku bisa basah kuyup!" seru si gadis dan
seketika berlari untuk mencari tempat berteduh. Kare-
na tak menemukan bangunan atau gubuk yang bisa
dijadikan tempat berteduh, Nawang Wangi memu-
tuskan untuk berteduh di bawah sebuah pohon.
Dikerahkan sedikit hawa murninya guna menahan
dingin yang cukup menusuk. Kilat sambar menyambar
dengan suara petir yang menggelegar. Angin bertiup
keras, menambah kengerian yang telah ada.
Mendadak saja petir menyambar pohon di mana
Nawang Wangi berteduh. Gadis itu seperti tersentak
tatkala merasakan aliran petir seperti bergerak dari
atas pohon ke bawah.
Dengan gerakan cepat Nawang Wangi menghem-
pos tubuhnya. Dia memang berhasil untuk hindari
sambaran petir yang tak mustahil akan mengarah pa-
danya. Namun tumbangnya pohon itu akibat samba-
ran petir, sukar untuk dielakkan.
Tercekat gadis ini tatkala menyadari gerakannya
agak terlambat hingga pohon besar yang tumbang itu
siap untuk menindihnya!
Namun sebelum dia mengalami nasib konyol, se-
perti dihembus angin. Dan....
Pohon yang tumbang itu ambruk dengan suara
nindih ranggasan semak belukar.
***
8
Gerakan bayangan yang menyambar tubuh Na-
wang Wangi berhenti sejarak lima tombak dari jatuh-
nya pohon besar itu. Sekujur tubuh bayangan hijau itu
pun basah kuyup. Nawang Wangi yang berada dalam
bopongannya, untuk sesaat masih tertegun, seolah tak
menyadari apa yang terjadi.
Namun kejap berikutnya, murid Bidadari Tangan
Bayangan ini tersentak tatkala menyadari tubuhnya
berada dalam bopongan seorang pemuda.
"Oh!!"
Dengan gerakan lincah gadis ini melompat dari
bopongan si pemuda yang untuk sesaat nampak terke-
jut melihat cara si gadis melompat, namun kemudian
sudah cengar-cengir sambil garuk-garuk kepalanya.
Bila saja merasa tidak diselamatkan, sudah tentu
Nawang Wangi akan marah besar karena mendapati
tubuhnya berada dalam bopongan pemuda yang tak
dikenalnya. Dan dia sendiri agak kikuk tatkala melihat
betapa tampannya wajah pemuda itu, yang memiliki
sorot mata tajam namun jenaka.
Untuk sesaat hati Nawang Wangi agak bergetar.
Keadaan seperti itu memang tak mengherankan. Kare-
na selama ini, yang dikenal Nawang Wangi hanyalah
gurunya seorang. Kalaupun dia mengenal pemuda-
pemuda lain, hanya berkisar yang tinggal di sekitar
Lembah Pinus.
Tetapi gadis yang memiliki hati tegar ini buru-buru se-
gera tindih perasaannya. Sambil rangkapkan kedua
tangan di depan dada dia berkata, "Terima kasih atas
pertolonganmu...."
Si bayangan hijau yang tak lain Pendekar Sle-
bor adanya cuma nyengir.
"He he he... kebetulan saja aku berada tak jauh
darimu. Lagi pula... siapa sih orangnya yang tidak
akan menolongmu dan menyia-nyiakan untuk bisa
membopongmu?"
Selorohan konyol itu sebenarnya dapat memanc-
ing kemarahan Nawang Wangi. Namun begitu dilihat-
nya kalau si pemuda tak memiliki nafsu birahi saat
berkata-kata, gadis yang sesungguhnya memiliki sifat
jenaka ini langsung membalas, "Seharusnya kau
membayar! Tetapi ya... karena kau telah menolongku,
kubiarkan gratis untuk kali ini...."
Pendekar Slebor yang lagi-lagi gagal menemukan
jejak Bidadari Tangan Bayangan, ketawa gede-gede.
Hanya karena gemuruh hujan yang keras itu saja sua-
ra tawanya yang jelek tak begitu kentara.
"Baru kali ini aku bertemu dengan pemuda yang
agak keblinger.... Tetapi baguslah... barangkali dia ta-
hu di mana Kuil Putra Langit yang kuyakini Guru be-
rada di sana," kata si gadis dalam hati sambil mem-
perhatikan pemuda di hadapannya.
Tawa Pendekar Slebor pun lenyap. Dipandanginya
pula gadis di hadapannya itu. Lalu tanyanya, "Dan
kuharap... kau terus memberikan gratis untukku?!"
"Boleh saja bila kau...."
Kata-kata Nawang Wangi terputus tatkala terden-
gar suara keras Andika bersamaan dengan salakan pe-
tir yang menggelegar, "Heeeiiii!!"
Nawang Wangi tercekat tatkala menyadari sebuah
petir ganas telah menggebrak laksana cambuk ke
arahnya. Sebelum petir itu menyambar hangus tubuh-
nya, Andika telah lakukan satu tindakan yang sangat
mengejutkan.
Dia cepat bergerak dan....
Tap!
Srrrrrr!!
Petir yang siap menghanguskan tubuh Nawang
Wangi ditangkapnya! Terlihat sejenak bagaimana petir
itu seperti pijaran api melilit dan masuk ke tubuhnya.
"Heeeiii!!" seru Nawang Wangi terkejut dan keliha-
tan dia berusaha menolong.
Namun alangkah terkejutnya gadis berkuncir dua
ini tatkala mendapati Andika tak kurang suatu apa.
Bahkan dengan enaknya pemuda itu berseloroh, "Ke-
napa? Mau memelukku, ya?"
Nawang Wangi yang masih tak mengerti sekaligus
takjub melihat apa yang dialami pemuda berbaju hijau
pupus itu, hanya terdiam dengan mulut terbuka. Lebih
terkejut lagi tatkala dilihatnya si pemuda seperti se-
dang menahan napas. Lalu terlihat tangan kanannya
digerakkan seperti melempar!
Plaasss!!
Laksana ada pijaran api yang melesat dari lempa-
ran tangan si pemuda. Lalu....
Blaaaarrr!!
Sebuah pohon langsung tumbang menggemuruh
tatkala petir yang ditangkap Andika tadi dan dilempar-
kan menghantamnya.
Sementara Nawang Wangi masih memandang tak
percaya, Andika sedang menepuk-nepuk kedua tan-
gannya seolah membersihkan dari kotoran dengan si-
kap enak saja.
"Kau?" desis Nawang Wangi tergugu.
Andika nyengir.
"Kenapa?"
"Tidak... aku tidak apa-apa...," sahut Nawang
Wangi bingung. Diam-diam dia menyadari siapa pemuda ini sebenarnya. Sudah tentu bukanlah pemuda
yang bisa dipandang sebelah mata.
Andika membiarkan si gadis terdiam dulu. Setelah
beberapa saat dan hujan semakin membasahi tubuh
keduanya, dia berkata, "Apakah kau tidak ingin, men-
cari tempat berteduh?"
Pada dasarnya, selain memiliki ketegaran, Nawang
Wangi juga memiliki sifat jenaka. Ketakjubannya den-
gan apa yang dilihatnya tadi lamat-lamat menghilang.
Lalu dia berkata dengan nada jenaka, "Memangnya
kenapa?"
"Busyet! Tubuhmu akan semakin basah kuyup!"
"Aku sudah terlatih dalam soal itu!"
"Bukan itu masalahnya! Tetapi pakaianmu akan
semakin lekat pada tubuh dan... he he he... tidak jadi,
ah...," sahut Andika sambil garuk-garuk kepalanya
yang basah.
Nawang Wangi yang tahu maksud omongan Andi-
ka tertawa. Lalu berkata seperti menantang, "Kenapa
kalau pakaianku semakin lekat pada tubuhku? Aku ti-
dak takut tersambar petir? Kan ada kau yang rupanya
majikan petir-petir itu!""
Andika cuma nyengir kuda. "Soalnya akan men....
Tidak jadi, ah!"
"Hayo kenapa?"
Ditantang seperti itu, pemuda urakan dari Lem-
bah Kutukan ini seperti mati kutu. Setelah nyengir se-
bentar berkata, "Lebih baik... kita cari tempat berteduh
dulu. Baru kita bicarakan lagi!"
"Itu juga lebih baik!" sahut Nawang Wangi. Dalam
sekali lihat tadi, apalagi pemuda di hadapannya dua
kali telah menyelamatkannya, murid Bidadari Tangan
Bayangan ini tahu kalau pemuda yang di lehernya me-
lilit kain bercorak catur itu adalah pemuda baik-baik.
Makanya dia bersedia mengikutinya.
Sementara itu, bagi Andika sendiri, apa yang dila-
kukannya ini bukan dikarenakan dia suka perjalanan-
nya didampingi seorang gadis. Melainkan dia tahu, da-
lam suasana seperti ini, tak mustahil banyak orang-
orang jahat yang siap menurunkan karmanya. Apalagi
dalam sekali lihat pula dia tahu kalau gadis ini sedang
kebingungan.
Namun mencari tempat berteduh sungguh tidak
mudah. Tubuh keduanya semakin basah diguyur air
hujan. Dan sialnya, tatkala mereka menemukan se-
buah gubuk yang layak dijadikan tempat berteduh,
hujan mendadak saja berhenti!
"Kutu monyet!" maki Andika. "Betul-betul busyet!
Kalau tahu begini... tidak usah sibuk mencari-cari!"
Sementara itu, Nawang Wangi tertawa cukup ke-
ras.
"Heran! Kok ada ya yang mau membuang-buang
waktu seperti ini?!"
Andika cuma nyengir saja. Lalu katanya, "Eh!
Dengan sebutan apa kau kupanggil? Tulkiyem? War-
siyem? Atau... Bondol?!"
Kali ini Nawang Wangi cemberut.
"Enak saja ngomong! Kau yang akan kupanggil
dengan sebutan Slebor!!"
"Eh!" Andika mengerutkan keningnya. Lalu den-
gan mimik serius dia berkata, "Bagaimana kau tahu
julukanku itu?"
Sudah tentu Nawang Wangi tidak tahu sama seka-
li siapa pemuda di hadapannya. Kalaupun tadi dia
berkata seperti itu, karena menilai dari sikap si pemu-
da sendiri.
Lalu katanya, "Mana aku tahu julukanmu? Tapi...
betul ya julukanmu si Slebor?!"
"Waduh! Pakai 'Pendekar' dong!" kata Andika se-
perti anak kecil. "Atau kalau keberatan... ya pakai kata'Tuan Besar' lah. Tuan Besar Slebor!"
Kembali pecah tawa Nawang Wangi. Disela-sela
tawanya dia berkata, "Namaku Nawang Wangi... aku
datang dari Lembah Pinus...."
Sejenak Andika terdiam mendengar kata-kata si
gadis. Kemudian dia sendiri berucap, "Namaku Andi-
ka... aku datang dari Lembah Kutukan!"
"Ih! Jangan-jangan sifatmu yang slebor itu karena
kutukan, ya?" '.
"Enaknya ngomong!" gerutu Andika. Lalu sambil
pandangi si gadis dia bertanya, "Nawang Wangi... kau
datang dari Lembah Pinus. Aku juga mengenal orang
yang datang dari Lembah Pinus yang berjuluk...."
"Bidadari Tangan Bayangan?" putus Nawang Wan-
gi dengan suara gembira. Begitu melihat Andika men-
ganggukkan kepalanya gadis itu berkata, "Dia guruku!"
"Oh! Gurumu?" ulang Andika dan seperti orang
penting dia manggut-manggut. "Nawang Wangi... bila
kau anggap aku lancang terserah. Mengapa kau keluar
dari Lembah Pinus?"
Karena sejak semula Nawang Wangi sudah yakin
kalau pemuda di hadapannya ini adalah orang baik-
baik, segera diceritakan semuanya.
Andika menghela napas sebentar dan berkata,
"Kuil Putra Langit... telah hancur di tangan pembantai
kejam, yang telah membunuh seluruh penghuninya."
"Andika!" seru Nawang Wangi tercekat. "Apakah
maksudmu guruku...."
"Tidak! Aku berjumpa dengan gurumu dalam kea-
daan segar bugar. Dia datang terlambat memenuhi
undangan Pendekar Sutera. Kini aku tahu mengapa
dia terlambat. Tentunya dia hendak menyingkirkanmu
dulu agar kau tidak terlibat dalam urusan yang akan
dilakukannya."
"Lalu... di mana guruku sekarang?" tanya Nawang
Wangi yang kini bisa menghela napas lega mendengar
kabar baik tentang gurunya.
"Sejak bertemu dengannya, aku mencoba mem-
buntutinya. Tetapi hingga hari ini, aku belum bertemu
dengan gurumu itu. Yang ku tahu... dia sedang menge-
jar seseorang yang berjuluk Kepala Besi yang diyaki-
ninya sebagai orang yang bertanggung jawab atas
pembantaian di Kuil Putra Langit."
Nawang Wangi terdiam. Ternyata apa yang telah
terjadi di luar dugaannya sama sekali. Bahkan sekali-
pun tak terlintas kejadian itu di benaknya.
Andika sendiri membiarkan si gadis terdiam se-
perti itu. Sementara itu, pakaian basah yang mereka
kenakan lamat-lamat mulai mengering ditiup angin.
Sambil pandangi si gadis, Andika membatin, "Pa-
tung Kepala Singa tetap menjadi masalah utama. Sulit
bagiku untuk menjejakinya lebih lanjut sebelum me-
nemukan titik terang yang berarti. Seharusnya, aku
menahan kepergian Bidadari Tangan Bayangan. Kare-
na nampaknya, perempuan berbaju kuning itu tahu
banyak tentang semua ini. Dan paling tidak, aku harus
mencari orang yang berjuluk Kepala Besi. Karena seca-
ra tidak langsung dialah orang yang dinilai bertang-
gung jawab, bukan hanya oleh Bidadari Tangan
Bayangan tetapi juga oleh Nyi Dungga Ratih. Satu hal
lagi yang memusingkan kepalaku, siapakah orang yang
mengikutiku dan lenyap begitu saja?"
Kejap kemudian terdengar suara Nawang Wangi,
"Aku sama sekali tak menyangka semua itu. Dan ten-
tunya... Guru tak akan membiarkan orang yang telah
melakukan pembantaian kejam itu. Sekarang... kau
hendak ke mana, Andika?"
Pertanyaan itu sebenarnya tak diharapkan oleh
Andika. Karena dia ingin melanjutkan perjalanannya
seorang diri. Tetapi dijawabnya juga, "Aku ingin mencari orang yang telah melakukan pembantaian keji di
Kuil Putra Langit...."
Nawang Wangi sendiri sebenarnya ingin ikut ke
mana Andika pergi. Paling tidak, pemuda ini diha-
rapkan akan membawanya pada gurunya. Hanya saja
dia berkata lain, "Andika... aku pun ingin mencari sia-
pa pembantaian kejam itu, sekaligus mencari guru-
ku...."
"Bila kau menghendaki seperti itu, kau harus
menjaga dirimu baik-baik, Nawang Wangi."
Nawang Wangi menganggukkan kepalanya. "Kalau
begitu... kita berpisah di sini."
"Hati-hati. Karena... rimba persilatan ini sedang
kacau balau. Apalagi mengingat kau baru pertama kali
terjun ke rimba persilatan ini."
Nawang Wangi menganggukkan kepalanya.
"Terima kasih atas nasihatmu, Andika."
Sesaat si gadis pandangi wajah tampan Andika
yang sebenarnya saat ini jelek betul karena dia sedang
nyengir. Kejap berikutnya, setelah anggukkan kepa-
lanya, Nawang Wangi segera melesat ke arah timur.
Sepeninggal gadis itu, Andika mendesah panjang.
"Hmmm... aku harus cepat mencari titik terang
dari urusan ini. Bila tidak, keadaan akan semakin bu-
ruk. Hanya saja, belum kudengar orang lain membica-
rakan si Kepala Besi kecuali Bidadari Tangan Bayan-
gan dan Nyi Dungga Ratih. Sementara itu, Gendala
Maung pasti makin mendendam padaku...."
Setelah membatin begitu, Andika pun memutar
tubuh. Lalu berkelebat melalui arah yang berlawanan
dari yang ditempuh oleh Nawang Wangi.
***
9
Jauh dari tempat pertemuan Andika dengan Na-
wang Wangi, si Kepala Besi terus berkelebat. Sosoknya
yang tinggi besar ternyata tak mempengaruhinya saat
berlari. Bahkan gerakannya begitu ringan sekali.
Lelaki berkepala plontos ini sebenarnya masih ti-
dak mengerti akan sepak terjang Bidadari Tangan
Bayangan yang ingin membunuhnya. Selama ini dia
mendengar kabar, kalau Bidadari Tangan Bayangan
adalah tokoh dari golongan lurus.
"Benar-benar bikin pusing kepala. Mengapa Bida-
dari Tangan Bayangan menuduhku yang telah mela-
kukan pembantaian di Kuil Putra Langit? Lebih gila la-
gi dia menuduhku telah mengambil Patung Kepala
Singa! Gila!!"
Gerakannya kian lincah saat melompati ranggasan
semak belukar dan liukan akar pohon yang menyem-
bul keluar.
"Seharusnya... kukatakan saja siapa aku sebenar-
nya.... Tetapi tidak, sebelum kulihat secara jelas Pa-
tung Kepala Singa... aku tidak akan membuka rahasia
lama yang telah kupendam. Yang membuatku tak ha-
bis pikir... mengapa Patung Kepala Singa tiba-tiba
muncul di tangan Pendekar Sutera? Pertanda apakah
ini? Apakah Eyang Guru marah kepadaku dan meng-
hukumku dengan cara seperti itu?"
Hati Kepala Besi semakin dibalut dengan kecema-
san demi kecemasan. Sesungguhnya, dia memang me-
nyimpan sesuatu yang hingga saat ini masih diraha-
siakannya.
Sambil terus berkelebat tak tahu tujuan, Kepala
Besi membatin lagi, "Yang terbaik sebenarnya adalah
menjernihkan masalahku dengan Bidadari Tangan
Bayangan. Tak mustahil perempuan berbaju kuning
itu akan terus memburuku. Ah, bila saja dia tahu ka-
lau akulah pemilik sah Patung Kepala Singa, apakah
dia akan mengurungkan niat membunuhku? Hmmm...
tentunya tidak. Karena, dia telah beranggapan akulah
orang yang bertanggung jawab atas pembantaian di
Kuil Putra Langit. Berarti... orang kejam itulah yang
harus kucari! Tetapi ke mana aku harus mencarinya
sementara aku harus mendapatkan kembali Patung
Kepala Singa?"
Sambil terus membatin, lelaki tinggi besar berke-
pala plontos itu terus berkelebat. Sampai kemudian
dihentikan kelebatannya. Sepasang matanya menatap
tak berkedip ke depan. Sejarak lima langkah di hada-
pannya, telah berdiri satu sosok tubuh kurus berpa-
kaian hitam gombrang. Dari sikapnya berdiri, sosok
perempuan kurus yang menilik dari urat-urat di pung-
gung tangannya berusia sekitar enam puluh tahun itu,
nampak seperti sedang menunggunya.
Sesaat nampak wajah Kepala Besi berubah.
"Dewi Selendang Hitam...," desisnya.
Di seberang, perempuan yang kepalanya tertutup
selendang warna hitam yang melingkar menutupi se-
bagian wajahnya, keluarkan dengusan. Sepasang ma-
tanya tajam tak berkedip.
"Kau hadir di sini rupanya, Kepala Besi!" suaranya
dingin dan tajam. "Huh! Kutukan mungkin yang telah
kau dapati hingga Patung Kepala Singa berpindah tan-
gan! Tetapi... aku yakin, kau telah merampasnya kem-
bali! Karena... telah kuobrak-abrik Kuil Putra Langit
dan kubunuh semua penghuninya... Patung Kepala
Singa tetap tak kutemukan! Sekarang... serahkan pa-
tung itu kepadaku!!"
Kepala Besi tak buka suara. Diam-diam lelaki
berkepala plontos ini jeri hatinya. Dia sama sekali tak
menyangka akan berjumpa dengan Dewi Selendang
Hitam.
"Sejak dulu perempuan yang tak kuketahui seperti
apa rupanya ini selalu mengejarku untuk menda-
patkan Patung Kepala Singa yang kusembunyikan di
tempat yang kunamakan Ladang Siluman. Dan entah
bagaimana tahu-tahu benda itu lenyap tatkala hendak
kuambil. Lalu kudengar berita kalau benda itu berada
di tangan Pendekar Sutera. Menilik kata-katanya tadi,
jelas kalau dialah orang yang telah menurunkan tan-
gan terhadap orang-orang di Kuil Putra Langit. Seha-
rusnya... dia kutangkap dan kuserahkan pada Bidada-
ri Tangan Bayangan hingga urusan ini tidak berkem-
bang! Tetapi... ah, aku jelas-jelas tak bisa menghinda-
rinya...."
Karena belum mendapatkan jawaban dari Kepala
Besi, Dewi Selendang Hitam keluarkan seruan lagi,
"Cepat katakan padaku, sebelum jantungmu kuca-
but!!"
"Tak ada jalan lain selain menghadapinya.... Apa-
lagi, telah terjadi kesalahpahaman dengan Bidadari
Tangan Bayangan. Dan nampaknya... semua rahasia
yang kusimpan ini akan terbuka...," kata Kepala Besi
dalam hati.
Di seberang Dewi Selendang Hitam kian mengke-
lap. Tak kuasa lagi menahan amarahnya, tangan ka-
nannya segera digerakkan.
Serta merta melesat lima larik sinar hitam yang
keluarkan suara gemuruh dan hawa panas. Untuk se-
saat nampak Kepala Besi melengak kaget. Tak mau di-
rinya celaka, dengan cepat lelaki berkepala plontos ini
membuang tubuh ke kanan. Bersamaan dengan itu,
dikibaskan kedua tangannya ke depan.
Wussss!! Wuusss!!
Dua gelombang angin yang kemudian menyatu,
menghampar deras dan menghantam lima larik sinar
hitam yang dilepaskan si perempuan.
Blaaaarr!
Tempat yang agak temaram meskipun saat ini
siang makin meranggas, menjadi terang. Letupan ter-
dengar beberapa kali dan tempat yang tadi temaram la-
lu jadi terang berubah temaram kembali. Dedaunan
beterbangan entah ke mana.
Tatkala semuanya lurus, terlihat Dewi Selendang
Hitam berdiri kaku dengan kedua tangan dikepalkan.
Sementara itu, Kepala Besi telah surut dua tindak dari
tempat semula dengan napas agak memburu.
"Benar-benar sial nasibku kali ini! Belum lagi ku-
temukan di mana Patung Kepala Singa berada, sudah
diburu oleh Bidadari Tangan Bayangan! Lebih sial lagi
aku harus berjumpa dengan perempuan celaka ini!"
desis Kepala Besi dengan hati keder. Namun dia beru-
saha untuk tindih perasaannya. "Biar bagaimanapun
juga, aku akan menghadapinya sekuat tenaga. Karena,
dialah pangkal dari semua kesalahpahaman yang ter-
jadi."
"Manusia keparat! Kau belum juga mengatakan di
mana kau sembunyikan Patung Kepala Singa, hah?!
Benar-benar mencari mampus!" geram Dewi Selendang
Hitam dengan sorot mata dingin tak berkesip pada
orang di depannya.
Di seberang, Kepala Besi benar-benar harus beru-
saha untuk menenangkan dirinya.
"Dewi Selendang Hitam telah lama memburuku
untuk mendapatkan Patung Kepala Singa! Dan perem-
puan kejam ini tak akan hentikan maksudnya bila be-
lum tercapai! Rasanya aku...."
Kata-kata dalam hati si Kepala Besi pupus begitu
merasakan deru panas dari sinar warna hitam melesat
ke arahnya. Tak ada jalan lain menghindari serangan
itu kecuali melakukan satu gempuran balik. Segera sa-
ja dia lepaskan jurus 'Lingkar Tinju Besi'. Kedua tan-
gannya seperti menggebah dan keluarkan hamparan
angin mengerikan.
Karena disadarinya kesaktian perempuan yang
dari kepala hingga sebagian wajahnya tertutupi selen-
dang hitam itu bukan orang sembarangan, begitu han-
taman baliknya memapaki serangan Dewi Selendang
Hitam, dia kembali kirimkan serangan. Kali ini gerak-
kannya mirip banteng sedang mengamuk. Kepalanya
meluruk cepat dan keluarkan cahaya warna putih ber-
kilat-kilat!
Dewi Selendang Hitam agak terkesiap mendapati
serangan aneh itu. Dia tahu kalau lawan telah pergu-
nakan jurus pamungkasnya yang bernama 'Kepala Be-
si Cabut Nyawa'.
Tetapi bagi Dewi Selendang Hitam, serangan itu
tak terlalu berbahaya. Saat itu pula kedua tangannya
bergerak bagai mendorong. Gelombang angin meng-
hampar dahsyat, membuat tempat itu bagai dilanda
gempa, menerjang ke muka. Yang bukan hanya akan
memapaki serangan lawan, tetapi juga akan memukul
pecah kepala si lelaki plontos.
Kalau tadi Dewi Selendang Hitam yang terkesiap,
kali ini Kepala Besi yang terkejut. Selagi tubuhnya me-
luruk dengan kepala agak membungkuk, kaki kanan-
nya cepat dijejakkan ke depan.
Wuuuttt!
Tubuhnya langsung berputar balik ke udara dan
bersamaan dengan itu didorong kedua tangannya.
Letupan keras terdengar bersamaan tubuh si Ke-
pala Besi mencelat ke belakang. Lelaki ini agak ter-
huyung karena tenaga yang dilepaskan oleh Dewi Se-
lendang Hitam lebih besar. Masih untung dia mampu
menguasai keseimbangannya.
Sementara Dewi Selendang Hitam hanya surut
dua langkah ke belakang sambil pegangi dadanya,
yang tak urung terasa nyeri. Namun dia lebih dulu
menguasai keadaan dirinya.
Setelah kertakkan rahangnya, perempuan kejam
ini sudah menyerbu kembali, hingga membuat Kepala
Besi yang menjadi kalang kabut.
Sebisanya lelaki berpakaian abu-abu terbuka di
bahu kanan itu berusaha menghindar sekaligus men-
coba memapaki setiap serangan yang datang.
Tiga jurus kemudian, nampak dia tak mampu un-
tuk membendung serangan demi serangan yang dilan-
carkan Dewi Selendang Hitam. Wajahnya kian memu-
cat sementara tubuhnya semakin surut ke belakang.
Dan....
Dess! Desss!
Dua kali dadanya terhantam pukulan dahsyat
Dewi Selendang Hitam yang membuat dadanya seperti
remuk. Seketika itu pula pakaian di bagian dadanya
menghangus. Sementara di dadanya sendiri bagai ter-
peta lima buku jari nenek baju hitam.
Mendapati lawan sudah terhantam pukulannya,
Dewi Selendang Hitam kian pergencar serangannya.
Angin bergemuruh datang susul menyusul disertai
pancaran sinar-sinar hitam yang mengerikan. Keringat
telah menderas disekujur tubuh Kepala Besi yang kian
memucat.
Bukkkk!
Kembali satu jotosan mampir di dada lelaki tinggi
besar itu yang kian terhuyung ke belakang. Menyusul
mulutnya mengembung dan...
"Huaaakk!"
Darah hitam menyembur keluar. Rupanya si Ke-
pala Besi tak mampu kuasai dirinya lagi. Karena sebe-
lum Dewi Selendang Hitam lancarkan gempuran dah
syatnya lagi, lelaki tinggi besar ini sudah jatuh am-
bruk!
Muntah darah dua kali sambil pegangi dadanya.
Kejap berikutnya, kepalanya terkulai.
Dewi Selendang Hitam hentikan gerakannya. Dari se-
lendang hitam yang menutupi sebagian wajahnya itu,
nampak kalau dia tengah tersenyum yang tentunya
senyuman sinis. Sedangkan sepasang matanya pan-
carkan nafsu membunuh!
"Hhh! Tak seorang pun yang bisa menandingi-
ku! Apalagi bila kudapatkan Patung Kepala Singa! Aku
yakin, benda itu tidak berada di tangan manusia ini!"
Lalu dengan langkah pelan yang angker, Dewi
Selendang Hitam menghampiri Kepala Besi. Dengan
kaki kanannya dibalikkannya tubuh itu. Dilihatnya
wajah Kepala Besi memucat. Dari sela-sela bibirnya,
masih mengalir darah hitam yang kental. Tak ada ge-
rak dada turun naik tanda dia masih bernapas.
Dengan senyum puas perempuan ini tengadah-
kan kepala.
"Puas hatiku melihat manusia yang bertahun-
tahun kuburu ini mampus! Huhh! Siapa kira-kira yang
telah memiliki Patung Kepala Singa?" Sejenak perem-
puan berpakaian hitam longgar ini terdiam. Lalu sam-
bungnya agak keras, "Biar bagaimanapun juga, aku
harus mendapatkan benda itu!"
Dengan kepuasan yang masih dibaluri rasa pe-
nasaran, Dewi Selendang Hitam memutuskan untuk
segera meninggalkan tempat itu. Dalam tiga tarikan
napas saja, sosoknya sudah lenyap sama sekali dari
pandangan.
Tetapi, benarkah apa yang diduganya barusan,
kalau Kepala Besi telah mampus? Ternyata tidak sama
sekali.
Orang tinggi besar itu tahu kalau dia tak akan
mampu menghadapi Dewi Selendang Hitam. Jalan sa-
tu-satunya yang terbaik adalah berlagak mampus.
Kendati dia tak menyukai perbuatannya sendiri, na-
mun itu memang jalan satu-satunya untuk menyela-
matkan diri.
Ditahan nafasnya karena dia yakin Dewi Selen-
dang Hitam tak akan meninggalkan dirinya sebelum
yakin kalau dia telah mampus. Sesungguhnya, dengan
tubuh terluka dalam seperti itu, menahan napas san-
gat menyiksa sekali. Tetapi mau tak mau itu harus di-
lakukannya.
Dan sepeninggal Dewi Selendang Hitam, Kepala
Besi belum berani bergerak kendati dia berani untuk
bernapas lagi. Setelah beberapa saat membiarkan di-
rinya seperti itu dan setelah diyakininya tak ada tanda-
tanda si nenek akan muncul kembali, perlahan-lahan
barulah dia berdiri.
Rasa sakit luar biasa menderanya. Cepat dialirkan
hawa murni dalam tubuh guna hilangkan rasa sakit.
Setelah itu diambilnya tiga butir obat dari balik pa-
kaiannya yang segera ditelannya sekaligus.
Untuk beberapa saat lelaki yang pakaiannya di
bagian dada telah hangus ini, duduk bersemadi. Sete-
lah itu lamat-lamat dia membuka kedua matanya.
Kendati sudah merasa agak segar kembali, namun
dadanya masih terasa nyeri.
"Urusan semakin panjang... Aku harus bertin-
dak.... Ya, aku harus bertindak.... Tak kupedulikan la-
gi, apakah nyawaku akan putus hari ini juga... Dan
tak kupedulikan... soal rahasia yang telah lama ku-
pendam...."
Memutuskan demikian, dengan kerahkan sisa-
sisa tenaganya, Kepala Besi bangkit. Berjalan ter-
huyung sambil menekap dadanya yang terasa nyeri
meninggalkan tempat itu.
***
10
Tatkala matahari sungguh sepenggalan, Nawang
Wangi menjejakkan kakinya di sebuah pedataran luas.
Sejenak murid Bidadari Tangan Bayangan hentikan
langkahnya. Diaturnya napas yang agak memburu. Se-
luas mata memandang, yang nampak hanyalah re-
rumputan belaka. Dan tempat itu seperti menjadi
ajang deraan matahari yang sebenarnya tak terlalu
menyengat.
"Ah... bila saja aku tidak malu untuk mengutara-
kan maksud, aku ingin bersama-sama dengan Andika.
Paling tidak, aku akan merasa aman karena tentunya
dia akan melindungiku. Tetapi, dia nampaknya me-
mang mempunyai urusan. Begitu pula denganku. Aku
harus menemukan Guru...."
Kembali gadis berpakaian ringkas warna biru ke-
hijauan ini terdiam.
"Aku tak boleh membuang waktu.... Menurut An-
dika, Guru sedang mengejar Kepala Besi. Berarti... ada
dua orang yang harus kucari. Kalau begitu... lebih baik
aku segera berlalu dari sini."
Memutuskan demikian, gadis berkuncir dua ini
segera berkelebat meninggalkan tempat itu. Setelah
melalui tanah pedataran yang cukup luas, gadis ini ti-
ba di sebuah jalan setapak yang dipenuhi ranggasan
semak belukar.
Nawang Wangi tak bermaksud untuk berhenti se-
benarnya. Namun sesuatu menarik perhatiannya hing-
ga gadis ini mau tak mau berhenti melangkah.
Dari balik ranggasan semak belukar, dilihatnya
satu sosok tubuh berpakaian biru gelap dan di punggungnya nampak sebuah selendang warna putih bersi-
langan, sedang duduk di hadapan sebuah gundukan
tanah. Orang itu nampak begitu khusuk sekali.
"Siapa orang itu? Dan nampaknya dia sedang
mengalami musibah kematian. Entah siapa yang mati
itu...," desis Nawang Wangi dalam hati.
Orang yang dilihat Nawang Wangi tak lain adalah
Gendala Maung, salah seorang dari Dua Iblis Lorong
Maut yang telah dikalahkan Andika. Dan sudah tentu
gundukan tanah di hadapannya adalah makam dari
Ganda Maung yang telah tewas.
Setelah dikalahkan Pendekar Slebor, Gendala
Maung terus membopong tubuh Ganda Maung. Dan di
tempat itulah dia menguburkan mayat kambratnya.
Sudah dua hari dua malam Gendala Maung tidak
berpindah dari tempatnya sekarang. Di samping dia
masih sedih akan kematian Ganda Maung, Gendala
Maung juga mempergunakan kesempatan itu untuk
bersemadi.
Lelaki berkumis baplang ini tak akan melepaskan
kesempatan untuk membalas kematian kambratnya
pada Pendekar Slebor.
"Ganda Maung... telah lama kita malang melintang
bersama-sama.... Banyak suka duka yang kita alami
bersama. Urusan Patung Kepala Singa pun atas kese-
pakatan kita bersama. Tetapi... umurmu harus sampai
di sini! Tak akan kubiarkan Pendekar Slebor, orang
yang telah membunuhmu, hidup lebih lama."
Sementara Gendala Maung larut dalam dendam-
nya, Nawang Wangi yang mendengar kata-kata itu ter-
cekat.
"Pendekar Slebor? Oh! Jadi orang itu ada urusan
dengan Andika. Melihat sifat Andika yang kendati agak
keblinger, nampaknya mustahil dia membunuh tanpa
sebab." Gadis itu terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Kemungkinannya... kedua orang itu menye-
rang Andika dan Andika harus membela diri hingga
terpaksa membunuh. Ya, barangkali kemungkinannya
seperti itu."
Sejarak dua belas langkah dari tempatnya, lamat-
lamat Gendala Maung berdiri. Lelaki berkumis baplang
ini pandangi makam kambratnya tak berkedip.
Ditahan segala sedihnya. Yang makin timbul, rasa
marah dan dendam tinggi.
Mendadak saja dia berseru keras dengan kepala
tengadah dan kedua tangan diangkat ke atas.
"Pendekar Slebooorr!! Sampai kapan pun kau
akan kuburu!!" serunya keras.
Lalu mendadak saja sambil berteriak-teriak tak
karuan, lelaki berpakaian biru gelap ini memutar tu-
buh berulangkali sembari gerakkan kedua tangannya.
Seketika melesat hamparan-hamparan angin yang
langsung menghantami apa saja yang berada di seki-
tarnya. Beberapa kali letupan terdengar.
Nawang Wangi yang tak menyangka akan hal itu,
langsung melompat disertai pekikan tatkala satu ge-
lombang angin menderu ke arahnya.
Blaaaarr!
Bersamaan ranggasan semak belukar yang tadi
menghalangi tubuhnya hancur berantakan, Gendala
Maung hentikan gerakan liarnya dengan pandangan
tak berkedip.
Lamat-lamat sepasang matanya terbuka lebih le-
bar. Bibirnya yang menghitam menyeringai tatkala me-
lihat sosok seorang gadis berpakaian ringkas biru kehi-
jauan berdiri tak jauh dari hadapannya.
"Pucuk dicinta ulam pun tiba!" desis Gendala
Maung dengan seringaian kian melebar.
Di tempatnya, Nawang Wangi menyesali dirinya
yang tak segera meninggalkan tempat itu setelah mengetahui apa yang terjadi. Untuk sesaat dia agak ngeri
melihat pandangan tajam yang dibaluri nafsu birahi
itu.
"Celaka! Rasanya... aku tak bisa menghindar dari
tempat ini! Huh! Mengapa aku tidak segera berlalu?"
Di seberang, Gendala Maung lamat-lamat terba-
hak-bahak yang semakin lama bertambah keras. Dia
seperti menemukan tempat pelampiasan segala keke-
salan yang ada di hatinya. Setelah beberapa saat,
mendadak saja diputuskan tawanya.
Kali ini pandangannya agak menyipit. Namun kila-
tan birahinya tak bisa ditutupi.
"Anak manis... kau rupanya diturunkan para se-
tan untuk menghiburku! Mari, mari sini!!"
Nawang Wangi jijik mendengar kata-kata itu. Rasa
jerinya perlahan-lahan lenyap. Sebagai gantinya, dia
segera keluarkan bentakan, "Tutup mulutmu!!"
Gendala Maung terbahak-bahak lagi. "Luar biasa!
Ternyata bernyali harimau! Bagus! Silakan kau tutup
mulutku ini dengan bibirmu yang merekah itu!"
"Terkutuk!" maki Nawang Wangi dengan tubuh
menggigil. Tanpa sadar, kedua tangannya mengepal.
Pandangannya bersiaga penuh. "Jangan membuat ke-
marahanku naik!"
"Justru aku ingin merasakan kemarahan kucing
liar seperti kau!!"
Kendati marahnya sudah sampai di ubun-ubun,
namun Nawang Wangi masih mencoba untuk mengen-
dalikannya.
"Saat ini... apa yang dikatakannya tidak terlalu
penting. Mencari Guru dan orang yang berjuluk Kepala
Besi yang terpenting. Lebih baik aku menyingkir saja
dari sini!"
Berpikir demikian, murid Bidadari Tangan Bayan-
gan ini berkata, "Lelaki bermulut kotor! Untuk saat ini
kumaafkan segala ucapanmu itu! Tetapi ingat, bila ke-
lak bertemu lagi... akan kurobek mulutmu!!"
"Ha ha ha... tak ada lain kali, Kucing liar! Yang
ada saat ini! Kau harus melayani kemauanku!!"
Makin menggigil tubuh Nawang Wangi. Gadis ini
benar-benar tak mampu untuk menahan diri lagi. Te-
tapi dia berusaha keras menindihnya.
Tak ada suara yang keluar. Namun pancaran ma-
tanya menandakan betapa tak sabarnya dia untuk me-
robek mulut kurang ajar itu.
Di seberang, mendapati si gadis tak membuka
mulut, Gendala Maung berkata lagi, "Nampaknya kau
mulai luruh, hah? Siapa pun akan luruh melihat ke-
tampananku ini! Ayo, Anak manis... kita bersenang-
senang sekarang!"
Sebelum Nawang Wangi buka mulut, lelaki ber-
kumis baplang itu arahkan pandangannya pada ma-
kam yang di sisi kanannya dan berkata, "Ganda
Maung... bila saja kau masih hidup... tentunya kita
akan bersenang-senang menikmati hidangan yang da-
tang tanpa diundang ini seperti dulu...."
"Terkutuk!!" menggelegar suara Nawang Wangi tak
kuasa menahan lebih lama lagi kesabarannya.
Gendala Maung kembali arahkan pandangannya.
"Kau nampaknya memang liar. Dan aku sangat
menyukai keliaranmu itu!"
"Setan alas!!" maki Nawang Wangi yang terpancing
oleh kata-kata Gendala Maung. Dengan teriakan yang
keras, gadis ini mencelat ke depan dan lepaskan joto-
sannya.
Angin keras mendahului saat tubuhnya mencelat.
Sejenak Gendala Maung terkejut juga mendapati
serangan itu. Tetapi dengan mudahnya, dihindarinya
serangan itu dengan cara pindahkan kaki kanan ke
samping. Bersamaan dengan itu, tangan kanannya
bergerak.
Desss!! "
Cukup terkejut Gendala Maung tatkala merasakan
tenaga si gadis saat berbenturan tadi. Sementara Na-
wang Wangi sendiri sudah memutar tubuh ke belakang
dan berdiri tegak di atas tanah.
"Kita berjumpa lain kali!" serunya dan segera balikkan
tubuh.
Namun belum lagi dia meninggalkan tempat itu,
mendadak saja dilihatnya sosok lelaki berpakaian biru
gelap yang di dadanya bersilangan sebuah selendang
warna putih telah berdiri di hadapannya sambil me-
nyeringai.
"Sebelum kau memuaskan diriku... kau tak akan
lepas dari tanganku, Anak Manis...."
"Keparat!!" maki Nawang Wangi dan segera men-
dorong kedua tangannya ke depan.
Serta merta menggebrak dua gelombang angin
dengan kecepatan tinggi ke arah Gendala Maung. Na-
mun dengan mudahnya lelaki berkumis baplang itu
mematahkan serangannya. Bahkan mendadak saja dia
melompat ke depan. Tubuhnya agak membungkuk.
Kaki kanannya menyapu cepat yang menerbangkan
tanah dan kerikil.
Tak menyangka kalau lelaki itu bergerak sedemikian
cepat, Nawang Wangi segera melompat. Namun tatkala
tubuhnya masih di udara, tangan kanan Gendala
Maung meluncur lepaskan satu jotosan yang menga-
rah pada dada si gadis.
Nawang Wangi terkejut, Cepat dia tekuk sikutnya.
Buk!!
Sosoknya terhuyung ke belakang tiga tindak se-
mentara Gendala Maung tetap tegak di atas tanah.
"Hebat! Hebat!!"
Di seberang, Nawang Wangi merasa sikut kanan
nya agak ngilu. Tatkala dilihatnya, agak membiru.
"Rasanya... tak ada jalan lain kecuali menghada-
pinya. ..," katanya dalam hati.
Habis membatin demikian, murid Bidadari Tangan
Bayangan ini segera angkat tangan kanan dan kirinya
ke atas. Kejap berikutnya, kedua tangannya itu dige-
rakkan. Semakin lama semakin cepat. Menyusul ter-
dengarnya suara angin menderu-deru.
Di seberang, dari rasa terkejutnya, Gendala
Maung justru mengerutkan keningnya.
"Rasa-rasanya... aku pernah melihat jurus seperti
ini...." desisnya dalam hati. "Bukankah... hei!! Jurus
itu adalah jurus Bidadari Tangan Bayangan!!"
Kejap berikutnya, lelaki berkumis baplang ini se-
gera membuka mulut, "Gadis manis! Ada hubungan
apa kau dengan Bidadari Tangan Bayangan?!"
Mendengar orang mengenali gurunya dari jurus
yang dimainkannya, Nawang Wangi perlihatkan se-
nyuman mengejek.
"Dia guruku! Cepat kau berlutut sebelum nyawa-
mu kucabut!"
Sahutan Nawang Wangi justru membuat Gendala
Maung mengkelap. "Bagus! Ternyata kau murid Bida-
dari Tangan Bayangan! Kau makin membuatku bergai-
rah, Manis!! Ketahuilah... telah lama aku bermusuhan
dengan gurumu itu! Dan sekarang... kau bukan hanya
sebagai gantinya, tetapi juga akan kupermalukan kau
hingga seluruh kejadian ini berkumandang di rimba
persilatan dan mau tak mau akan mencoreng wajah
Bidadari Tangan Bayangan!"
Mendengar ancaman itu, Nawang Wangi semakin
bersiaga penuh. Sementara deru angin yang keluar da-
ri gerakan kedua tangannya, dia membatin, "Apa pun
yang terjadi... aku tidak peduli! Lebih baik kudahului
menyerang!!"
Memutuskan demikian, tanpa keluarkan benta-
kan, Nawang Wangi segera mendorong kedua tangan-
nya ke depan.
Gendala Maung kertakkan rahangnya. Menyusul
dia segera membuang tubuh ke kiri. Bersamaan den-
gan itu, kedua tinjunya didorong pula.
Wusss! Wuuusss!
Dess! Dess!!
Sejenak murid Bidadari Tangan Bayangan ini ter-
henyak dan surut tiga langkah ke belakang akibat ben-
turan yang terjadi tadi. Namun gadis yang tengah dira-
suki amarah ini tak mempedulikan keadaannya.
Dia segera angkat tangannya yang kembali berge-
rak tak ubahnya bayangan belaka. Menyusul dido-
rongnya kembali.
Wusss!
Satu hamparan angin melesat ke arah leher Gen-
dala Maung. Sambil keluarkan makian, lelaki berkumis
baplang ini justru melesat ke depan seperti menyong-
song serangan itu.
Tatkala gelombang angin tadi siap menghantam
patah lehernya, sosoknya mendadak melenting ke atas
dengan gerakan memutar tubuh. Masih berada di uda-
ra, tangan kanannya menjulur siap menotok punggung
Nawang Wangi.
Namun gadis itu adalah murid Bidadari Tangan
Bayangan. Kendati baru kali ini menghadapi pertarun-
gan yang sesungguhnya, namun dia sudah cukup la-
ma digembleng oleh Bidadari Tangan Bayangan.
Dengan cara liukkan tubuh, dia lolos dari totokan
Gendala Maung. Bahkan kaki kanannya telah melun-
cur siap menendang dada Gendala Maung.
Kembali Gendala Maung kertakkan rahangnya.
Dengan telapak tangannya dipapaki tendangan keras
itu.
Dan dia terkesiap tatkala mendapati sinar putih
bening menghampar dengan gemuruh angin mengeri-
kan. Sekejap menerangi tempat itu yang kendati siang
sudah meraja namun karena pepohonan yang tinggi
sinar matahari seperti tertahan. Rupanya Nawang
Wangi sudah melepaskan jurus 'Bayangan Matahari'
yang diajarkan Bidadari Tangan Bayangan.
"Keparat!!" maki Gendala Maung sambil melompat
ke belakang. Dia memang melihat kalau gerakan si ga-
dis semakin lambat. Namun dia tahu kalau gerakan
lambat itu mengandung tenaga yang mengerikan.
Dan selagi si gadis keluarkan jurus 'Bayangan Ma-
tahari' lagi, Gendala Maung langsung meluruk. Dida-
hului dengan dorongan kedua tangannya yang men-
gandung tenaga dalam berlipat ganda.
Blaaaammm!!
Benturan keras tak terelakkan. Tempat itu sesaat
seperti bergetar. Tanah di mana terjadinya benturan
keras itu rengkah dan muncrat ke atas!
Tatkala semuanya luruh, terlihat sosok Nawang
Wangi terhuyung ke belakang. Rupanya, tenaga dalam
yang dimilikinya kalah tinggi dari Gendala Maung. Ga-
dis ini benar-benar tak mampu lagi untuk kuasai ke-
seimbangannya.
Karena kejap itu pula, sosoknya ambruk.
Sementara itu, Gendala Maung yang tak kurang
suatu apa segera berkelebat cepat. Tangan kanannya
terjulur.
Tuk! Tuk!
Dua totokannya bersarang di dada bagian atas
dan pangkal lengan kanan Nawang Wangi, hingga si
gadis langsung merasa tubuhnya nyeri dan kaku.
"Sudah kukatakan tadi... kau telah diutus oleh
para setan untuk menjadi pemuas nafsu. Dan kau me-
rupakan obat sementara penghilang dendamku pada
Pendekar Slebor dan menutupi sejenak keinginanku
untuk mendapatkan Patung Kepala Singa!"
"Jahanam! Lepaskan aku! Kita bertarung sampai
mampus!!" seru Nawang Wangi keras dengan mata
mendelik gusar.
"Kau tak perlu menunggu terlalu lama untuk
mampus! Karena... setelah aku puas menggeluti tu-
buhmu... maka kau akan merasa jiwamu sudah mati!!"
Lalu dengan seringaian lebar dan langkah angker,
Gendala Maung berlutut mendekati Nawang Wangi.
Tangan kasarnya membelai-belai wajah si gadis yang
berusaha mengelakkannya. Namun karena sekujur tu-
buhnya kaku, yang bisa dilakukan hanyalah berteriak-
teriak.
"Cuuuh!!" Dengan gusar disemburkan ludahnya
yang tepat mengenai wajah Gendala Maung.
Bukannya gusar, Gendala Maung cuma terbahak-
bahak.
"Menyenangkan... sangat menyenangkan.." desis-
nya puas dan mendadak saja tangan kanannya berge-
rak.
Breettt!!
Seketika pakaian di bagian dada Nawang Wangi
sobek. Memperlihatkan pakaian dalamnya yang tipis
berwarna hijau. Dan memperlihatkan bayangan bung-
kahan payudara yang mengkal menggiurkan.
"Luar biasa...," desis Gendala Maung. "Ganda
Maung... bila saja kau masih hidup... tentunya kita
akan berbagi kenikmatan ini bersama-sama...."
Sementara itu, Nawang Wangi berusaha untuk te-
tap tegar. Dia sadar apa yang akan dialaminya. Sesua-
tu yang sangat menakutkan dan tak pernah dibayang-
kan sama sekali. Untuk saat ini, kembali disesalinya
mengapa dia harus meninggalkan Lembah Pinus.
Namun semuanya sudah dilakukan dan malapetaka ini nampak tak akan bisa dielakkan lagi.
Dirasakan bagaimana payudaranya dipegang dan
diremas-remas dengan kasar dan penuh bernafsu. Ke-
tika dia hendak membuka mulut, mendadak dirasakan
satu sentuhan pada urat suaranya hingga kini dia tak
bisa keluarkan suara.
Dipejamkan matanya rapat-rapat tatkala melihat
lelaki berkumis baplang itu mulai membuka pakaian-
nya sendiri.
"Guru... maafkan aku...."
Namun sebelum malapetaka itu terjadi, mendadak
terdengar suara lembut berwibawa, "Menista sesama
adalah perbuatan terkutuk. Kendati tak bisa dimaaf-
kan, tetap masih bisa diperbaiki...."
SELESAI
Segera menyusul:
RAHASIA DI BALIK ABU
0 comments:
Posting Komentar