Hak cipta dan copy right pada penerbit di bawah lidungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
1
CAHAYA matahari sore masih memancarkan si-
sa sinarnya. Celah-celah pohon diterobos oleh sisa ca-
haya sore, membuat bangunan yang tinggal puing-
puing reruntuhan itu tampak seperti bayangan iblis
menjelang malam. Reruntuhan bangunan yang masih
tersisa pilar dan tonggak-tonggaknya itu adalah ban-
gunan Puri Cawan Mesum yang hancur karena seran-
gan Pendekar Kembar; Raka Pura dan Soka Pura.
Ketua puri tersebut melarikan diri karena tak
sanggup hadapi Pendekar Kembar yang mempunyai
pedang kristal bernama Pedang Mata Malaikat itu.
Seandainya sang Ketua puri; Betina Rimba, tidak bu-
ru-buru melarikan diri dari amukan Pendekar Kembar,
maka nyawanya tak akan sanggup bertahan lebih lama
lagi dalam raganya yang bertubuh tinggi sekal dan pa-
dat itu.
"Pantas ia mendesak mu agar membunuh Se-
tan Cabul, karena rupanya dia tahu bahwa si Setan
Cabul itu adalah ayah kandungmu sendiri, Raka. Ru-
panya ia juga pernah melihat Setan Cabul melepaskan
jurus 'Guntur Bayangan', sehingga ia yakin Kitab Gun-
tur Bayangan ada di tangan si Setan Cabul. Benar-
benar perempuan licik dia itu," ujar Biang Tawa, yang
dulu bekas pengikut Puri Cawan Mesum karena tak
punya pilihan lain.
Biang Tawa yang dulu rekan seperguruan Panji
Pura; ayah Pendekar Kembar, sekarang menjadi pengi-
kut setia kedua pemuda kembar itu. Kebenciannya
terhadap Betina Rimba mulai tumbuh dalam hati sejak
Biang Tawa mengetahui bahwa Betina Rimba adalah
pimpinan pasukan bertopeng yang membantai habis
keluarga Panji Pura, (Baca serial Pendekar Kembar da-
lam episode perdana: "Dendam Asmara Liar").
"Ke mana arah pengejaran kita sebaiknya, Pa-
man?" tanya Soka Pura kepada Blang Tawa yang beru-
sia sekitar lima puluh tahun itu.
"Aku tidak tahu ke mana ia melarikan diri," ka-
ta Biang Tawa. "Kalau ku tahu, tentunya sudah kusa-
rankan kalian lari ke arah utara atau selatan atau ke
mana saja. Tapi menurut firasat ku yang selama ini ti-
dak pernah meleset kalau kebetulan sedang benar, ku-
rasa ia menuju ke Lembah Bolong."
"Di mana Lembah Bolong itu?" tanya Raka Pu-
ra.
"Yang Jelas bukan di depan hidungku," Jawab
Biang Tawa. "Lembah Bolong ada di lereng Gunung
Wadas. Di sana ada seorang perempuan tua yang
mempunyai ilmu sihir cukup tinggi. Perempuan tua itu
bernama Nyai Demit Selingkuh. Dulu, Betina Rimba
pernah membawaku ke sana karena ingin berguru ke-
pada Nyai Demit Selingkuh. Tapi niat Betina Rimba di-
tangguhkan oleh sang Nyai, karena waktu itu murid
Nyai Demit Selingkuh membutuhkan perhatian yang
tak bisa ditinggalkan oleh sang Nyai sedikit pun."
"Jadi, Nyai Demit Selingkuh itu sudah mempu-
nyai murid sendiri?"
"Ya. Muridnya itu bernama Aswarani, alias Selir
Pamujan."
Raka Pura yang berjalan dl samping kiri Blang
Tawa segera ajukan tanya setelah mereka sama-sama
terbungkam dalam waktu cukup lama.
"Apakah menurutmu Betina Rimba akan berga-
bung dan meminta bantuan Nyai Demit Selingkuh?!"
"Dugaanku memang begitu," kata Biang Tawa.
"Karena Betina Rimba merasa tidak mempunyai keku-
atan yang dapat untuk menandingi kekuatan kalian
berdua. Dan satu-satunya orang yang mau di mintai
bantuannya adalah Nyai Demit Selingkuh."
"Mengapa kau yakin kalau Nyai Demit Seling-
kuh mau membantu Betina Rimba?" tanya Soka Pura
yang menyelipkan pedang kristalnya di pinggang ka-
nan. Ia seorang pendekar muda bertangan kidal, se-
hingga selalu menyelipkan pedangnya di pinggang ka-
nan supaya sewaktu-waktu pedang itu dapat dicabut-
nya dengan tangan kiri.
Biang Tawa yang berpakaian abu-abu dan ber-
tubuh pendek gemuk bundar itu tak langsung menja-
wab, melainkan berpikir beberapa saat sampai akhir-
nya ia menemukan alasan yang membuat Nyai Demit
Selingkuh mau membantu Betina Rimba.
"Ketika kami, para pengikut Betina Rimba, me-
rebut Puri Cawan Mesum, murid sang Nyai, yaitu si
Selir Pamujan, ikut terselamatkan dari hukuman mati
mantan pemilik puri tersebut. Akhirnya, penyerangan
Betina Rimba dianggap satu pertolongan yang datang
tepat pada waktunya, sehingga ia di anggap orang ber-
jasa bagi Nyai Demit Selingkuh. Sejak Itu hubungan
mereka terjalin dengan balk. Ha-nya kepadaku saja
sang Nyai tidak mau menjalin hubungan baik."
Soka tertawa pendek. "Mengapa begitu?"
"Karena Nyai Demit Selingkuh mengaku tak
suka melihat lelaki bermuka bundar. Menurutnya mu
ka bundar ku itu seperti kue bantat, dan ia mengaku
suaminya mati gara-gara makan kue bantat!"
"Makanya kalau punya wajah jangan sampai
seperti kue bantat!" ujar Soka Pura dengan tertawa ge-
li, membuat Raka Pura, sang kakak, juga ikut tertawa
walau tak sekeras adik kembarnya.
Biang Tawa bersungut-sungut, menggerutu tak
jelas. Gerutuan itu tiba-tiba berhenti, demikian pula
tawa Soka Pura pun hilang bersama munculnya se-
orang lelaki berperawakan tinggi-besar dan mem-
punyai brewok lebat. Raka dan Biang Tawa terkejut
dan merasa asing melihat lelaki beralis tebal dan lebar
itu dengan wajah sangarnya. Tapi Soka Pura segera in-
gat siapa lelaki itu sehingga merasa tak asing lagi den-
gan orang besar berpakaian serba hitam itu.
"Bocah edan! Masih ingatkah kau padaku,
hah?!" tegur orang bersenjata golok lebar yang muncul
dari atas tebing dan terjun menghadang langkah me-
reka. Pandangan matanya yang garang itu tertuju ke-
pada Raka, sehingga Raka yang merasa diajak bicara
menjadi serba bingung.
"Aku tak mengenal mu, Paman," ujar Raka ke-
pada lelaki berusia sekitar lima puluh tahun itu.
"Kurasa kita belum pernah Jumpa sebelum ini!"
"Jangan berlagak pikun! Kau yang membantu
Perawan Hutan ketika ia sedang bertarung dengan ku
di tepi pantai! Mengaku saja kau!" bentak orang itu
dengan suara keras.
Soka Pura tersenyum-senyum saja. Ketika ka-
kaknya melirik, sang kakak pun segera tanggap, pasti
adiknya Itulah yang pernah bertemu dengan orang ter-
sebut. Maka Raka pun berkata kepada lelaki berperut
buncit itu.
"Mungkin adikku itu yang pernah bertemu denganmu, Paman. Cobalah tanyakan kepadanya!"
Orang itu pandang Soka Pura. Yang dipandang
masih tenang-tenang saja sambil cengar-cengir ber-
main sehelai rumput dl tangannya.
"Hmmm...! Kau yang...."
"Memang aku!" sahut Soka Pura sebelum lelaki
itu bicara lebih lanjut. "Aku yang membantu Perawan
Hutan alias Anggiri saat ia ingin kau bunuh lantaran
bekas kekasihnya membunuh istrimu. Aku kenal, kau
yang bernama Iblis Bangor!" (Baca serial Pendekar
Kembar dalam episode : "Gua Mulut Naga").
Iblis Bangor menggeram. "Hmmmr...! Kalau be-
gitu kaulah yang harus tunjukkan padaku di mana si
Perawan Hutan Itu, atau kau akan kehilangan nyawa
hari ini juga, Bocah Edan!"
Biang Tawa segera angkat bicara, "Jangan ang-
gap remeh kepada kedua pemuda kembar itu, Sobat!"
"Aku bukan sobatmu!" bentak Iblis Bangor
membuat Biang Tawa terlonjak kaget.
"Mak.. maksudku, kau jangan coba-coba meng-
gertak kedua anak muda ini, karena mereka adalah
Pendekar Kembar yang mampu membuatmu nungging
selama sehari semalam, esoknya kau akan kehilangan
nyawa dan mungkin juga akan kehilangan dompet
mu!"
"Husy...!" hardik Raka kepada Biang Tawa.
"Persetan dengan omongan mu, Tikus Lum-
bung!" geram Iblis Bangor. "Aku hanya ingin temukan
si Perawan Hutan atau Arya Semirang, kekasihnya itu!
Kau pasti mengetahui di mana mereka sekarang bera-
da!" sambil ia menuding Soka Pura.
"Aku tidak tahu," jawab Soka kalem sekali.
"Harus tahu!" bentak iblis Bangor.
"Orang tidak tahu kok dipaksa harus tahu?!
Uuuh...! Dasar Iblis kurang kemenyan kau ini!" ujar
Biang Tawa sambil mencibir.
"Diam kau, Kecoa Sawah!" bentak Iblis Bangor
kepada Biang Tawa. Yang dibentak justru tertawa geli
dengan suara pelan.
"Ganteng-ganteng seperti ini kok dianggap se-
bagai kecoa sawah!" ujarnya kepada Soka.
"Kalau kau berani, libas saja!" bisik Soka.
"Ah, aku sungkan kalau melawan anak kecil
seperti dial Biar Raka Pura saja yang menanganinya,"
kata Biang Tawa sambil menyisih agak jauh.
Iblis Bangor semakin berang mendengar kasak-
kusuk itu. Ia pun serukan suara berangnya lagi.
"Kalau tak ada yang mau tunjukkan di mana
Perawan Hutan atau Arya Semirang, kuhabisi nyawa
kalian sekarang juga!"
Soka Pura hanya tersenyum, lalu memandang
kakaknya yang sejak tadi diam saja dalam keadaan ka-
lem, walau matanya memperhatikan ka arah Iblis Ban-
gor.
Kedua pemuda kembar berbaju buntung warna
putih dengan celana putih berikat pinggang kain me-
rah Itu sama-sama saling pandang. Kemudian Soka
Pura dekati sang kakak yang sama juga setampan di-
rinya.
"Kau berani?"
"Mengapa tidak?" jawab Raka Pura.
"Gulung dia kalau kau merasa mampu menga-
lahkannya!"
"Kau sendiri bagaimana?"
"Kalau kau terdesak, aku yang akan lanjutkan."
"Maksudmu, lanjutkan menyerangnya?"
"Lanjutkan pelarian kita!" jawab si adik dengan
konyol.
"Ah, kau!" keluh Raka dalam gerutu. "Kau saja
yang maju. Ini kan urusanmu, bukan urusanku!" lalu
Raka Pura menyisih juga ke tempat Biang Tawa berdi-
ri.
"Hei, Raka... aku sedang tak enak badan hari
ini!" ujar Soka sambil berjalan mendekati kakaknya,
kini mereka bertiga bergabung kembali.
iblis Bangor merasa tak dihiraukan, la menjadi
semakin marah. Maka dengan secara tiba-tiba saja tu-
buhnya melesat menerjang Soka Pura dari belakang.
Wuuut...!
Melihat adiknya akan diterjang dari belakang,
Raka Pura segera menghadang gerakan orang besar
itu. Wuuuus...! Mereka beradu pukulan dalam kea-
daan sama-sama melayang dl udara.
Plak, plak, plak...!
Proook...!
"Aaaakh...!"
Iblis Bangor memekik. Mulutnya disodok de-
ngan pangkal telapak tangan Raka Pura. Sodokan Itu
tentunya sodokan bertenaga dalam, sebab tubuh besar
itu sempat terpental ke belakang dan jatuh berjungkir
balik dalam jarak lima langkah. Brrruuk...!
"Bangsat koreng kau!" maki Iblis Bangor. "Ru-
panya kau punya isi cukup lumayan, Bocah Gendeng!
Heeeaah...!"
Raka Pura sedang berjalan hendak hampiri So-
ka dan Biang Tawa. Iblis Bangor menyerangnya dari
belakang dari satu lompatan seperti seekor harimau
ingin menerkam mangsanya. Wuuus...!
Melihat kakaknya Ingin diterkam dari belakang,
Soka Pura segera jejakkan jempol kakinya ke tanah,
dan tiba-tiba tubuhnya melenting di udara, bersalto
satu kail dan kakinya segera menendang kepala iblis
Bangor setelah Soka melambung melewati atas kepala
kakaknya.
Plak, plak, plak...! Tendangan beruntun itu
berhasil ditangkis oleh tangan besar si Iblis Bangor.
Tetapi tiba-tiba kaki kanan Soka berkelebat setengah
lingkaran, melakukan tipuan gerak, sehingga tangki-
san tangan iblis Bangor melesat dan kaki itu berhasil
menendang pelipis orang berwajah brewok itu.
Duuukh ..!
"Aaauh...!" Iblis Bangor memekik keras dan
pendek, tubuhnya terpelanting ke samping dan jatuh
menggelinding bagaikan kayu balok jatuh dari lereng.
Gluduk, gluduk, gluduk...!
"Setan sunat!" makinya dalam satu teriakan,
karena ia merasa kepalanya nyaris pecah akibat ten-
dangan keras bertenaga dalam lumayan itu.
"Kerja sama yang bagus!" ujar Biang Tawa
sambil tersenyum ketika Raka mendekatinya dan ingin
ucapkan sesuatu. Raka tak jadi bicara karena men-
dengar makian si Iblis Bangor, ia segera memandang
ke arah orang besar itu pada saat adiknya berjalan
mendekatinya.
Tiba-tiba tangan Iblis Bangor melepaskan pu-
kulan jarak jauh bersinar merah dalam keadaan berlu-
tut satu kaki. Claaap...! Sinar merah itu menuju ke
arah punggung Soka Pura yang tak berpaling ke bela-
kang.
Melihat adiknya terancam bahaya, Raka segera
lepaskan jurus 'Cakar Matahari' yang bersinar putih
seperti pisau runcing itu. Claaap...!
Blaaaarrr...!
Sinar merah si Iblis Bangor meledak begitu di-
hantam sinar putih yang keluar dari tangan kanan Ra-
ka. Ledakan itu timbulkan angin menghentak ke berbagai arah, sehingga Soka Pura sendiri tersentak ke
depan dan melayang menabrak Blang Tawa.
Brruuss...! Sedangkan iblis Bangor terpental ke bela-
kang dan berguling satu kali, sambil hamburkan ma-
kian tak jelas.
"Kambing congek!" maki Blang Tawa. "Kenapa
kau menabrakku, Soka?! Uuuuh...! Badanku jadi sakit
semua kau timpa dengan tubuhmu yang kekar itu!
Sialan!"
"Maaf, Paman. Tidak sengaja. Yang penting ke-
pala Paman tidak pecah. Tenang sajalah!"
"Tenang dengkul mu!" maki Biang Tawa dengan
bersungut-sungut. Raka Pura tersenyum melihat Biang
Tawa sewot.
"Kenapa tidak segera kalian lumpuhkan saja
orang itu! Kalau tidak mau menghadapinya jangan di-
buat mainan begitu! Kasihan kan?!"
"Kalau Paman berminat, hadapilah sendiri sa-
na!" ujar Raka Pura sambil berbalik memandang Iblis
Bangor.
Saat itu si brewok berpakaian serba hitam se-
dang mencabut goloknya sambil berseru, "Ku babat
habis kalian bertiga! Heeeaah...!"
Biang Tawa segera maju dua langkah mengha-
dapi kehadiran Iblis Bangor yang ingin menerjang
sambil mengibaskan golok besarnya. Tapi Biang Tawa
lebih dulu sentakkan kedua jarinya yang mengeras
dengan tangan kiri ke belakang dan kaki kiri ke bela-
kang, gerakannya seperti gerakan orang menari balet.
Suuuut..! Totokan bernama jurus 'Monyet Gembira'
yang berupa hawa padat itu segera kenal dada kiri Iblis
Bangor. Desss..!
Gerakan orang besar itu terhenti seketika. Wa-
jahnya yang sangar segera berubah menjadi kendut.
Lama-lama ia tersenyum sambil goloknya diturunkan.
Senyumnya klan melebar dan akhirnya disertai senta-
kan-sentakan suara tawa.
"Hah, heh...! Hah, hah...!"
"Tinggalkan dia! Biarkan dia tertawa sempal
mati sendiri daripada bikin susah kalian!" ujar Blang
Tawa sambil mendahului melangkah. Sedangkan pa-
muda kembar berambut panjang sepundak tanpa ikat
kepala itu masih pandangi Iblis Bangor yang menjadi
seperti orang bego itu. Orang tersebut masih sentak-
kan tawa sedikit demi sedikit, lama-lama tawanya ter-
lepas berkepanjangan akibat saraf tawa-nya membuka
lebar akibat ditotok dari jarak jauh oleh Biang Tawa.
"Huaaah, hahh, hahh, hahh, haaa...!"
Iblis Bangor terhuyung-huyung ke belakang
sambil pegangi perutnya dan tertawa lebar-lebar. Raka
Pura dan adik kembarnya pandangi orang tersebut
sambil tersenyum geli.
"Huaaaah, haaah, haaah, haahh, haaa...!
Huuih, hiiih, hiiih, hiih, hii...!"
Tawa itu berhamburan tak bisa berhenti.
*
* *
2
BULAN separuh purnama pancarkan sinarnya
ke bumi. Sinar pucat redup timbulkan getaran magis
dalam tiap hati sanubari manusia. Warna-warna ro-
mantis bertaburan di sana-sini seakan membang-
kitkan hasrat manusia untuk bercumbu.
Sekelebat bayangan melintas kaki bukit berhutan jarang. Bayangan Itu bergerak cepat bagai angin
berhembus di sela-sela pepohonan. Dilihat dari gera-
kannya, jelas si pemilik bayangan itu menguasai ilmu
peringan tubuh cukup tinggi, sehingga ia seperti berla-
ri di atas pucuk-pucuk ilalang.
Bayangan itu ternyata milik seorang perem-
puan cantik yang usianya sudah mencapai empat pu-
luh tahunan, tapi masih seperti berusia dua puluh tiga
tahun. Perempuan tersebut bertubuh tinggi, tegap, ke-
kar, dan montok. la hanya mengenakan kutang kuning
bertali rantai dan cawat kecil warna kuning bertali ran-
tai Juga. Agaknya ia telah membuang Jubahnya dan
kembali seperti keadaan semula saat ia belum dikenai
sebagai Ketua Purl Cawan Mesum.
Perempuan itu tak lain adalah Betina Rimba,
yang badannya ditumbuhi bulu-bulu halus di atas ku-
lit coklatnya. ia memang perempuan yang mempunyai
daya tarik luar biasa bagi setiap pria. Rambut cepak-
nya yang mirip lelaki, dengan mata Jalang berbibir
sensual selalu menghadirkan khayalan Indah dalam
benak seorang lelaki.
Perempuan itulah yang sedang diburu oleh
Pendekar Kembar. Rupanya la tidak melarikan diri ke
Lembah Bolong dan tidak bermaksud menemui Nyai
Demit Selingkuh,, seperti dugaan Biang Tawa. Perem-
puan itu menuju ke sebuah tebing yang dikenai den-
gan nama Tebing Bencana.
Tetapi malam Itu Betina Rimba tak bisa te-
ruskan perjalanan ke Tebing Bencana karena dua ba-
tang pohon tiba-tiba tumbang melintang jalanan di de-
pannya.
Krraak, kraak...! Brruk, brrrruk...!
Betina Rimba segera lompat ke samping dan
hentikan langkah seketika. Pedang yang ditenteng
memakal tangan kirinya mulai bergerak ke depan dan
tangan kanannya siap mencabut pedang tersebut. Fi-
rasatnya mengatakan bahwa kedua pohon itu tidak
mungkin tumbang dengan sendirinya, pasti ada yang
sengaja menumbangkannya untuk hentikan langkah-
nya.
"Jika memang Pendekar Kembar yang melaku-
kannya, mau tak mau aku harus bermain siasat lag!
biar dapat melarikan diri," pikir Betina Rimba dengan
mata tajam memandang sekelilingnya.
Hati perempuan itu membatin lagi, "Kalau aku
nekat melawan mereka tanpa menggunakan siasat lari,
aku akan mati di tangan kedua anak kembar itu. Il-
muku tidak cukup untuk menandingi mereka!
Hmmm... tapi sejak tadi tak kulihat gerakan mereka
dia balik semak-semak itu. Apakah mereka ada di sisi
lain?"
Betina Rimba yang merasa kalah ilmu dengan
Pendekar Kembar; Raka dan Soka, segera bergerak
memutar dengan mata semakin tajam memandangi
tiap keremangan di balik pohon. Tangannya slap men-
cabut pedang dengan otak berputar mencari cara un-
tuk loloskan dari ancaman maut Pendekar Kembar.
Betina Rimba tahu persis, bahwa Pendekar
Kembar selalu mengenakan pakaian serba putih den-
gan ikat pinggang kain merah. Maka gerakan matanya
selalu mencari bayangan putih yang diperkirakan ber-
sembunyi dibalik keremangan bayangan semak atau
pohon di sekitar temps! Itu. Tetapi bayangan putih
yang dicarinya ternyata tak pernah terlihat sedikit pun.
Hanya saja, tiba-tiba ia merasakan hembusan
angin panas yang datang dari arah belakang. Firasat-
nya mengatakan ada sesuatu yang meluncur ke arah-
nya dan membahayakan jiwa. Maka dengan cepat Betina Rimba sentakkan kakinya ke tanah dan tubuh
pun melambung ke udara dalam gerakan bersalto satu
kali. Wut, wwuusss...!
Gelombang hawa panas yang dilepaskan dari
tangan seseorang itu akhirnya menghantam sebatang
pohon. Duuurrr...! Pohon itu bergetar, daunnya bergu-
guran, dalam sekejap tampak asap mengepul dari ba-
tang pohon tersebut. Kejap berikutnya kulit pohon
tampak mengelupas dan mengering, rantingnya berja-
tuhan, daunnya yang tersisa menjadi kering. Tak sam-
pai empat helaan nafas, pohon tersebut menjadi gun-
dul dan gersang tanpa kehijauan sedikit pun.
Betina Rimba yang sudah berada dl atas se-
bongkah batu setinggi dadanya itu segera berseru sete-
lah mengenali jurus yang dipakai menyerangnya itu.
Jurus Itu adalah jurus 'Buyut Geni' dan hanya satu
orang yang memiliki pukulan 'Buyut Geni' Itu.
"Wisnu Galang! Keluarlah dari tempatmu! Aku
tahu kau ada di sekitar sini! Jika ingin berhadapan
denganku, hadapilah aku secara jantan. Wisnu Ga-
lang!"
Werrss...! Angin berhembus cepat menerjang
Betina Rimba dari belakang. Betina Rimba rasakan
hembusan angin cepat akan menerjangnya, la segera
lompat turun dari atas batu dalam gerakan berjungkir
balik satu kail. Wuuuk...! Jleeg...! Ketika kakinya men-
darat dl tanah dengan tegap, matanya segera meman-
dang ke arah depan. Ternyata di sana sudah berdiri
seorang lelaki berusia sekitar dua puluh tujuh tahun.
Cahaya rembulan memantulkan sinarnya melalui pa-
kaian orang itu yang berwarna kuning emas.
Lelaki itu masih kelihatan muda, gagah, ba-
dannya berotot kekar. la seorang pemuda berperawa-
kan tinggi, tegap, dan mempunyai ketampanan tersen
diri. Alisnya yang tebal mempunyai mata sedikit lebar
dan jika memandang tampak berkesan dingin namun
penuh ketajaman. Rambutnya yang ikal sepanjang ba-
hu diikat dengan kain putih berhias benang emas. la
mengenakan baju tanpa lengan warna emas dan cela-
na warna emas pula. Pinggangnya, bersabuk hitam
dan di sabuk itulah terselip senjata andalannya berupa
cambuk coklat yang tergulung melingkar dengan ujung
cambuk seperti duri ikan.
"Sudah kuduga kaulah yang mengganggu perja-
lananku, Wisnu Galang!" ujar Betina Rimba dengan
nada tegas walau suaranya memang sedikit serak.
"Kebetulan aku sedang melintas di daerah ini
dan melihat gerakanmu yang terburu-buru menuju
alam kubur, Betina Rimba!" ucap Wisnu Galang de-
ngan nada dingin, ketus, dan berkesan angkuh.
"Apa maksudmu menghadang langkahku?!"
sentak Betina Rimba menampakkan keberaniannya.
"Urusan lama kita belum selesai. Rasa-rasanya
malam ini adalah malam yang cocok untuk menyele-
saikannya, Betina Rimba!"
"Rupanya kau masih mendendam kepadaku
atas kematian kekasihmu; si Dara Palungan itu, Wisnu
Galang!"
"Dendam itu tak akan sirna sebelum tanganku
dapat hancurkan kepalamu, Betina Rimba!"
"Hemmm...!" Betina Rimba sengaja tersenyum
sinis. "Bukankah sudah dua kail kau coba untuk la-
kukan hal itu, tapi kau selalu gagal, karena pedangku
nyaris mencungkil nyawamu?! Apakah kau ingin men-
gulangi kegagalanmu yang ketiga kalinya yang sama
saja mengirimmu ke alam kubur?!"
Wisnu Galang melangkah ke samping dengan
mata tetap menatap penuh nafsu membunuh.
"Malam ini adalah saatnya untuk menentukan
siapa yang harus menuju ke alam kubur antara kita
berdua!" tegas Wisnu Galang dengan jari-jari kedua
tangannya bergerak-gerak seakan melepaskan otot-
ototnya untuk lakukan pertarungan antara hidup atau
mati.
Betina Rimba pandangi pria itu tanpa berkedip.
Baginya, lebih baik bertarung melawan Wisnu Galang
daripada hadapi Pendekar Kembar.
Wisnu Galang adalah murid si Hantu Muka
Tembok yang mempunyai kekasih Dara Palungan. Ten-
tang si Hantu Muka Tembok, tanpa setahu Betina
Rimba, pernah berhadapan melawan Raka Pura ketika
Raka membela Nyai Sawandupa, (Baca serial Pendekar
Kembar dalam episode: "Kencan Di Ujung Maut").
Dara Palungan adalah orangnya mendiang Ratu
Cumbu Laras yang ditugaskan menangkap Betina
Rimba. Tetapi Dara Palungan akhirnya tewas di tangan
Betina Rimba, karena memang ilmunya kalah tinggi
dibanding ilmu yang dimiliki Betina Rimba.
Mendengar kematian Dara Palungan di tangan
Betina Rimba, Wisnu Galang segera mencari Betina
Rimba tanpa perintah siapa pun. Namun dua kali per-
tarungannya melawan Betina Rimba membuat Wisnu
Galang selalu nyaris mati jika tidak dibiarkan hidup
oleh si Betina Rimba. Kala Itu Betina Rimba selalu tak
punya kesempatan untuk mengakhiri hidup Wisnu Ga-
lang karena segera diserang oleh Hantu Muka Tembok
yang membuatnya terpaksa melarikan diri.
Tetapi sekarang, agaknya Wisnu Galang tidak
muncul bersama Hantu Muka Tembok. Perempuan
berdada montok Itu merasa dapat dengan mudah
membunuh Wisnu Galang dengan dua-tiga jurus, se-
bab ia tahu ilmu pemuda itu masih berada di bawah
ilmunya. Satu-satunya jurus maut yang dimiliki Wisnu
Galang adalah jurus 'Pecut Leak' yang satu kali pecu-
tan cambuk bisa hadirkan tujuh bayangan sinar me-
rah yang menyergap lawan sekaligus. Jurus itu sukar
ditangkis kecuali dihindari dengan gerakan cepat.
Tapi agaknya malam itu Betina Rimba mempu-
nyai gagasan lain dalam benaknya. Jurus 'Pecut Leak'
akan dimanfaatkan untuk menjadi pelindung bagi di-
rinya dari pengejaran Pendekar Kembar. Betina Rimba
juga memanfaatkan cahaya rembulan yang meman-
carkan keromantisan bagi setiap insan itu.
Mulanya memang ia harus melayani dendam
Wisnu Galang lebih dulu. Pemuda itu hantamkan pu-
kulan jarak jauhnya yang mengeluarkan selarik sinar
kuning ke arah dada Betina Rimba. Pukulan Itu dile-
paskan dengan cepat dan sangat dl luar dugaan. Ham-
pir saja Betina Rimba kecolongan. Untung ia segera
hadangkan tangan kanannya dalam satu sentakan
bertenaga dalam. Beet, claaap...!
Sinar merah lebar melesat dari tangan Betina
Rimba. Sinar Itu bertabrakan dengan sinar kuning lu-
rus dari Wisnu Galang. Duaarr...!
Keduanya sama-sama tegak, tak ada yang ter-
sentak ke belakang. Betina Rimba cepat pasang ku-da-
kuda jurus lain sambil sunggingkan senyum sinis ke-
pada lawannya.
"Percuma saja kau melawanku, sama artinya
dengan membuang-buang tenaga secara sia-sia!"
"Tutup mulutmu, Perempuan Lacur! Hiiaah..!"
Wisnu Galang melesat bagaikan terbang dan
mengarahkan kedua kakinya ke wajah Betina Rimba.
Kedua kaki itu menendang secara cepat dan beruntun.
Bet, bet, bet...!
Namun Betina Rimba berhasil menangkisnya
dengan gerakan tangan cepat. Plak, plak, plak...! Bah-
kan tubuhnya segera berputar dan kakinya berkelebat
bagaikan menampar wajah Wisnu Galang. Ploook...!
Wisnu Galang terlempar ke samping dan jatuh
terbanting dengan keras. Wajahnya semburat merah
karena tendangan Betina Rimba seakan ingin mere-
mukkan tulang rahangnya.
"Edan! Tendangannya makin keras dan sema-
kin terasa meremukkan tulang kepalaku!" geram hati
Wisnu Galang. "Tak ada jalan lain, harus kugunakan
jurus 'Pecut Leak' dengan lebih cermat lagi. Jangan
sempal gagal seperti tempo hari!"
Wisnu Galang bangkit dan mencabut cambuk-
nya. Tetapi sebelum itu Betina Rimba melompat cepat
dan melepaskan tendangan lagi ke dada pemuda itu.
Deess...!
"Uuukh...!" Wisnu Galang terlempar hingga
membentur pohon. Seketika itu pula Betina Rimba
mencabut pedangnya dan mengarahkan ke leher Wis-
nu Galang. Seeet, wuuuub...!
"Lepaskan cambuk mu atau kuteruskan pedang
ini hingga menembus lehermu!" ancam Betina Rimba.
Wisnu Galang hentikan gerakan seketika. Ia
merasa ancaman itu bukan sekadar gertak samba!.
Wisnu Galang terpaksa tak berani mencabut cambuk-
nya dan wajahnya mulai tampak tegang sebab pedang
lawan ada di depan lehernya berjarak kurang dari se-
tengah jengkal.
"'Sekarang juga kau mati, Wisnu Galang!"
"Ak... aku mengaku kalah!" ujar Wisnu Galang
sambil berkata dalam hatinya, "Akan kuserang dari be-
lakang jika ia membebaskan diriku!"
"Sudah kubilang, kau tak akan mampu mela-
wan ku, Wisnu Galang!"
"Aku... aku kecewa dan sangat sedih atas ke-
matian Dara Palungan. Kurasa kau bisa memahami
perasaanku tanpa Dara Palungan sempai saat ini!"
"Kau pikir wanita dl dunia hanya Dara Palun-
gan saja?!"
"Memang banyak wanita dl dunia, tapi tidak
ada yang seperti Dara Palungan," Wisnu Galang masih
bicara bernada tegas walau terdengar ada getaran ha-
lus dalam suaranya itu.
"Kutawarkan perdamaian padamu. Sekarang
juga kau harus memilih; berdamai atau terus bermu-
suhan?! Jawab!" Betina Rimba membentak.
"Balk, aku memilih berdamai!" ujarnya sambil
memandang ke atas, karena ia dalam keadaan sete-
ngah merebah bersandar pohon, sedangkan Betina
Rimba berdiri mengangkanginya.
"Jika kau benar-benar ingin berdamai dengan
ku, lepaskan cambuk mu sekarang juga!
"Tapi...."
"Lepaskan cambuk mu dan jauhkan dari jang-
kauan ku! Jika tidak pedang ini tetap akan ku hujam-
kan ke lehermu!"
Lagi-lagi pemuda itu merasa mendapat anca-
man yang serius, sehingga ia pun mulai mencabut
cambuknya dengan gerakan pelan, sesuai permintaan
Betina Rimba. Cambuk itu pun akhirnya dilemparkan
ke samping kiri, tiga langkah jauhnya dari tempatnya
berada.
Betina Rimba tetap berdiri mengangkangi Wis-
nu Galang dengan kakinya yang tak terbungkus kain
dan menampakkan pahanya yang ditumbuhi bulu-
bulu halus sampai ke bagian betis.
"Lepaskan bajumu!"
"Apa maksudmu, Betina Rimba! Aku sudah
mengaku kalah dan...."
"Lepaskan bajumu, kataku!" bentak Betina
Rimba dengan semakin maju membuat tubuhnya lebih
dekat lagi dengan wajah Wisnu Galang.
Pemuda itu akhirnya melepaskan bajunya. Ku-
lit tubuh yang coklat kekar berotot itu tersorot sinar
rembulan, sehingga memantulkan suasana yang
menggoda hati Betina Rimba.
"Lepaskan sabuk mu, lepaskan pula celana
mu!"
"Kau gila!" sentak Wisnu Galang, Pedang di-
tempelkan di leher pemuda itu., Nyess...! Ujung pedang
yang dingin terasa bagai menggores kulit leher, padah-
al tidak.
"Kalau kau tak mau menuruti perintahku,
ujung pedangku akan segera menembus lehermu seka-
rang Juga!"
"Apa maksudmu menyuruhku begitu, Betina
Rimba?!"
"Laksanakan saja perintah ku!" bentak Betina
Rimba sambil semakin menekan pedangnya membuat
leher Wisnu Galang kian jelas rasakan dinginnya lo-
gam runcing Itu. Mau tak mau pemuda itu menuruti
perintah Betina Rimba. Sabuk dilepaskan, demikian
pula celananya.
Kini pemuda itu dalam keadaan polos tanpa se-
lembar benang pun. Betina Rimba mulai sunggingkan
senyum jalang dengan mata berbinar-binar meman-
dang tubuh kekar berotot itu.
Pedang itu merayap pelan dan samar-samar an-
tara menyentuh dan tidak. Gerakan pedang yang me-
rayap dari leher turun ke dada membuat hati Wisnu
Galang berdesir-desir ngeri. Pedang itu dapat menem-
bus tubuhnya sewaktu-waktu.
Tapi ternyata pedang yang bergerak pelan-pelan
sekali itu tidak berhenti hanya di dada. Sambil me-
langkah mundur Betina Rimba merayapkan pedang itu
sampai ke perut. Dari perut pun masih terus merayap
hingga mencapai tempat yang sangat dilindungi Wisnu
Galang itu. Desir-desir hati pemuda itu semakin men-
giris ngeri ketika ujung pedang Itu mempermainkan
sesuatu yang ada di sana.
Mata perempuan itu menatap semakin jalang.
Ia tak memperhatikan wajah Wisnu Galang, melainkan
menundukkan kepala sambil pandangi apa yang se-
dang dipermainkan dengan ujung pedangnya itu.
Cahaya rembulan menyinar terang ke benda di
ujung pedang. Sarung pedang dibuang ke rerumputan.
Tangan kiri Betina Rimba sengaja menyingkapkan pe-
nutup dadanya ke atas. Dengan menggeser ke atas se-
dikit, penutup dada warna kuning itu telah menying-
kap sehingga apa yang ditutupinya tampak menonjol
keluar bagai menantang pertarungan cinta.
Tangan kiri Betina Rimba mengusap-usap
gumpalan dadanya sendiri, sementara tangan kanan-
nya masih mempermainkan 'Wisnu kecil' dengan pe-
dangnya. Sesekali mata Betina Rimba melirik sayu ke
wajah Wisnu Galang. Sesekali bibirnya digigit sendiri
dengan mata bertambah sayu.
Ekspresi wajah mesum dan permainan pedang
membuat Wisnu Galang berdebar debar dibakar gai-
rah. Sesuatu yang dipermainkan dengan pedang itu
mulai meronta dan menantang tegak. Hal itu membuat
Betina Rimba kian meremas dadanya sendiri dengan
lidah menjilati bibirnya dan mata sayu memancarkan
gairah bercumbu.
Wisnu Galang tak bisa hindari suasana seperti
itu. Hatinya bagai terjerat oleh permainan nakal Betina
Rimba, Napas pemuda itu pun mulai tak teratur den-
gan jantung bergemuruh cepat!
"Inilah perdamaian...," ujar Betina Rimba de-
ngan suara lirih bagai mendesah. Ia melangkah maju
hingga kedua kakinya berada di samping kanan-kiri
dada Wisnu Galang.
Maukah kau menerima perdamaian ini, Wis-
nu?!"
Pemuda itu belum menjawab, hanya meman-
dang ke atas, menatap wajah Betina Rimba yang me-
mancarkan daya pikat bercumbu sangat besar.
"Jika kau menerima perdamaian ini, kau akan
selamat dan akan menemukan keindahan yang luar
biasa besarnya, sesuai dengan kebesaran yang kau mi-
liki." Sambil berkata demikian, kaki perempuan itu
maju selangkah lagi sehingga kepala Wisnu Galang te-
pat berada di depan pahanya.
Wisnu Galang mulai menyentuh betis Betina
Rimba. Betis berbulu lebat Itu diusap dengan tangan
sehingga bulu-bulu lembut itu meremang sesaat.
"Lakukan sesuatu sebagai tanda perdamaian,
Wisnu. Ayo, lakukan...!" kata-kata itu terlontar dalam
desah yang penuh getaran jiwa.
Wisnu Galang sempat perdengarkan suaranya
yang sudah bergetar pula.
"Kau tak akan marah padaku?"
"Tidak. Aku slap menggantikan Dara Palungan!
Lakukanlah, Wisnu...."
Tangan pemuda Itu pun semakin berani mera-
ba sampai ke paha. Kini kedua tangan Itu mengusap-
usap paha berbulu halus itu dengan sentuhan mesra
Betina Rimba mengangkat pedangnya lalu menan-
capkan pada sebatang pohon. Jruub..! Kini kedua tan-
gannya bebas meremas dadanya sendiri. la semakin
maju hingga mulut Wisnu Galang tepat berada di de-
pan kain penutup berwarna kuning dengan tali rantai
emas itu.
"Ambil...! Oh, ambillah... lekas ambil, Wisnu...!"
perintahnya di antara nada geram dan desah.
Kain kuning kecil itu pun akhirnya dising-
kapkan oleh jemari tangan Wisnu Galang. Ciuman per-
tama Wisnu Galang jatuh di paha kiri Betina Rimba.
Ciuman itu berupa kecupan lembut yang membuat
kaki Betina Rimba mulai gemetar. Bahkan kini kecu-
pan itu merayap semakin berani, menjulurkan lidah-
nya bagaikan seekor ular mencari mangsa.
"Ooh, terus... terus ke situ, pooh...."
Akhirnya lidah Wisnu Galang mencapai tempat
yang telah disingkapkan oleh jari tangannya sendiri.
Lidah itu merayap dengan gerakan pelan dan sangat
pelan sekali.
"Ooouh...!" Betina Rimba memekik, lalu ping-
gulnya bergerak sendiri bagaikan memburu kenikma-
tan yang diharapkan. Kedua tangannya kini meremas
rambut kepala Wisnu Galang dan, menekan kepala itu
seperti ingin membenamkannya.
"Oh, terus... terus.... Ooh, ambil semua. Ambil
semua, Wisnu... sudah lama aku tak menikmatinya.
Ambil semua, oooh... yah, yah... nikmat sekali, Wisnu!
Uuhhhh, aaahhhh...!"
Wisnu Galang semakin galak. Suara desah na-
fas dan erangan yang berhamburan membuat Wisnu
Galang kian dibakar oleh semangat cinta yang meng-
gebu-gebu. Ia lupa akan dendamnya, ia lupa akan du-
kanya. Kini yang ada hanya hasrat untuk memburu
kehangatan dan keindahan dl tubuh perempuan yang
tinggi, sekal, dan mempunyai gerakan liar itu.
Permusuhan mereka sudah sirna oleh keringat
yang mengucur di malam cahaya rembulan. Mereka
akhirnya bergumul dan saling memberikan sentuhan
nikmat tiada hentinya.
"Lagi, Wisnu... lakukanlah lagi, oooh... aku
sangat menyukainya. Nikmati sepuasmu, Wisnu. Se-
puasmu...!"
Celoteh mulut perempuan itu bagai mencam-
buk gairah Wisnu Galang untuk terus memberikan
keindahan dan kehangatannya. Malam yang sepi telah
dirobek oleh jeritan lirih dan pekikan tertahan dari
mulut mereka. Betina Rimba tak mau hentikan kenik-
matan itu walau ia telah berulang kali mencapai pun-
caknya. Sementara Wisnu Galang yang bertubuh ke-
kar, berotot, dan bermandi keringat masih sanggup
memacu semangatnya hingga pelayaran di atas samu-
dera cinta berlangsung cukup lama,
"Oouh, Wisnu... Wisnu... ooouh, bangsat kau!
Nikmat sekali, Wisnu! Terus, terus... aaaaaoow...!" Be-
tina Rimba memekik.
"Aaah...!" Wisnu Galang pun memekik.
Mereka saling peluk lebih kuat lagi. Kedua tan-
gan Betina Rimba meremas punggung Wisnu Galang
kuat-kuat. Wajahnya menegang liar dan buas. Sesekali
ia menggigit pundak Wisnu Galang dengan menggeram
karena tikaman rasa nikmat yang luar biasa. Sebab
saat itu Wisnu Galang semburkan darah kenikmatan
dengan sangat kuat dan menyentakkan tubuh Betina
Rimba dan membuat mata perempuan itu mendelik
penuh kegirangan.
Malam dan rembulan akhirnya dihinggapi oleh
sang sepi kembali. Yang terdengar hanya deru nafas
dari keduanya. Napas itu mulai melemah, reda, dan
akhirnya menjadi normal kembali. Tubuh mereka ma-
sih saling terkapar di rerumputan bermandi peluh.
Namun wajah mereka sudah tidak memancarkan per-
musuhan dan dendam lagi.
"Tak kusangka kau sehebat ini, Betina Rimba!
Kau melebihi Dara Palungan!"
"Kau pun sangat dahsyat, Wisnu! Aku suka se-
kali dengan kedahsyatan seperti ini!"
"Kalau begitu tak ada salahnya jika kita selalu
bersama-sama, supaya kapan saja kita membutuhkan
keindahan ini dapat segera memperolehnya."
"Sebenarnya tujuanku memang ingin mencari
mu, Wisnu! Aku tak menyangka kalau kita akan jumpa
di sini."
"Mencariku?" Wisnu Galang kerutkan dahi
pandangi perempuan itu lekat-lekat. "Mengapa kau
mencariku?"
Betina Rimba diam sebentar. Ia bangkit dan
duduk menatap Wisnu Galang yang masih berbaring
dengan siku menopang tubuhnya.
"Di mana gurumu; si Hantu Muka Tembok itu?"
"Sudah beberapa hari ini aku tak jumpa dengan
Guru, Justru aku ingin pulang ke Bukit Garang untuk
menemui Guru karena ada sesuatu yang ingin ku bica-
rakan."
"Percuma. Kau tak akan bisa bertemu dengan
gurumu."
"Mengapa kau bilang begitu? Oh, ada apa de-
ngan guruku? Katakan saja, Betina Rimba! Katakan!"
Wisnu Galang bangkit dan duduk dengan tegak.
"Gurumu telah dibunuh oleh Pendekar Kem-
bar!"
"Hahhh...?!" Wisnu Galang terpekik kaget den-
gan mata mendelik dan wajah menjadi tegang.
"Raka Pura dan Soka Pura, kedua pemuda itu-
lah yang membunuh gurumu. Mereka bergelar Pende
kar Kembar dari Gunung Merana!"
"Bangsat!" teriak Wisnu Galang dengan penuh
murka.
*
* *
3
PERJALANAN menuju Bukit Bolong yang ter-
hadang malam, membuat Pendekar Kembar dan Biang
Tawa singgah di sebuah desa. Di desa itu ada seorang
sahabat Biang Tawa yang sekarang sudah menjadi
pemilik kedai dan meninggalkan dunia persilatan. Le-
laki berusia hampir enam puluh tahun itu bernama Ki
Samalun.
"Kalau kau tidak keberatan, kami akan berma-
lam di sini, Samalun. Esok kami akan lanjutkan perja-
lanan lagi," ujar Biang Tawa kepada Ki Samalun yang
sudah diperkenalkan kepada Raka dan Soka.
"Aku tidak keberatan. Justru aku ingin melepas
rindu padamu, Pongge," ujar Ki Samalun dengan wajah
ceria. "Tapi kalau boleh ku tahu, hendak melanjutkan
perjalanan ke mana kalian esok pagi?"
"Ke Bukit Bolong, menemui Nyai Demit Seling-
kuh."
"Ooh...?!" Ki Samalun tampak terkejut sekali,
pandangan matanya yang menjadi tegang itu menatap
Biang Tawa, Raka, dan Soka secara bergantian.
"Mengapa wajahmu tampak tegang begitu, Ki
Samalun?" tanya Raka dengan nada sopan.
"Apakah kalian belum tahu bahwa Nyai Demit
Selingkuh sedang menjadi bahan pembicaraan orang
banyak?"
"Kami tak mendengar kabar apa-apa tentang
pakar ilmu sihir itu!" ujar Biang Tawa. "Apa yang se-
dang terjadi di Bukit Bolong, Samalun? Jelaskan lah
kepada kami!"
Ki Samalun dekatkan wajah ingin berbisik.
Yang lain ikut dekatkan wajah. Begitu dekatnya sam-
pai Biang Tawa nyaris mencium Ki Samalun. Wajah itu
segera ditabok oleh Ki Samalun. Ploook...!
"Aku mau bicara pelan, bukan mau minta di-
cium olehmu!" geram Ki Samalun yang sempat mem-
buat Pendekar Kembar tertawa tanpa suara.
"Kabar yang sempat menghebohkan masyara-
kat sekitar sini adalah tentang tewasnya Nyai Demit
Selingkuh."
"Hah...?!" Biang Tawa terperangah kaget "Nyai
Demit Selingkuh tewas?!"
"Seseorang telah membunuhnya dan mencuri
pusakanya, yaitu Kipas Kedung Gairah."
"Oh...?! Siapa pembunuhnya? Apakah sudah
tertangkap?"
Ki Samalun gelengkan kepala. "Belum. Yang
mengejutkan lagi, Nyai Demit Selingkuh terbunuh pa-
da saat lakukan semadi di sebuah gua dan sudah
hampir berubah menjadi muda. Sebelum seluruh tu-
buhnya yang tua menjadi muda, seseorang telah mem-
bunuhnya dengan senjata' rahasia beracun ganas."
Semua terbungkam, saling membayangkan
keadaan Nyai Demit Selingkuh yang tua dan mau be-
rubah menjadi muda. Menurut Pendekar Kembar, pe-
rubahan itu sudah merupakan ilmu tinggi yang tidak
bisa dimiliki oleh setiap orang. Barangkali saat itu Nyai
Demit Selingkuh sudah hampir mencapai tingkat ter-
tinggi dari ilmu sihirnya. Tetapi sayang ada orang yang
tak suka, dan berhasil memanfaatkan keadaan seperti
itu untuk membunuh sang Nyai. Hal yang dipertanya-
kan dalam hati mereka adalah; benarkah sang Nyai di-
bunuh karena ada yang ingin memiliki kipas pusaka
itu atau karena suatu dendam kesumat yang amat be-
sar?
"Siapa yang menemukan mayatnya pertama
kali?" tanya Soka Pura.
"Muridnya sendiri; Selir Pamujan. Oleh sebab
itu diketahui bahwa Kipas Kedung Gairah telah lenyap
dari tangan Nyai Demit Selingkuh dan dibawa lari oleh
pembunuhnya."
"Siapa yang dicurigai dalam peristiwa ini?"
tanya Biang Tawa.
"Seorang gadis yang bernama Dewi Binal!" ja-
wab Ki Samalun tegas dan jelas. Jawaban itu membuat
Pendekar Kembar terperanjat dan saling beradu pan-
dangan sesaat. Pendekar Kembar dan Biang Tawa san-
gat kenal dengan Dewi Binal, cucu si Tabib Kubur itu,
(Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Setan
Cabul").
"Rasa-rasanya kecurigaan itu tak benar, Ki Sa-
malun," ujar Soka Pura yang pernah menjalin per-
cumbuan mesra dengan Dewi Binal. "Aku tahu persis
siapa Dewi Binal dan ia tak mungkin mencuri kipas
pusaka itu. Bahkan tak mungkin mampu membunuh
Nyai Demit Selingkuh yang menurut dugaanku il-
munya jauh lebih tinggi dari ilmu yang dimiliki Dewi
Binal."
"Entahlah," ujar Ki Samalun. "Yang jelas seka-
rang si Selir Pamujan sedang mencari Dewi Binal.
Mungkin ia sedang menuju ke Bukit Gamping. Ka-
tanya gadis itu tinggal di Bukit Gamping!"
"Memang, dia tinggal bersama kakeknya; Tabib
Kubur!" sahut Biang Tawa.
"Oh, Jadi si Dewi Binal itu cucunya Tabib Ku-
bur?!" Ki Samalun justru terkejut.
"Benar. Kurasa kau juga kenal baik dengan Ta-
bib Kubur."
"O, tentu saja aku kenal baik dengan Tabib Ku-
bur, sebab ketika aku masih berkecimpung di dunia
persilatan, nyawaku pernah diselamatkan olehnya se-
banyak dua kali," ujar Ki Samalun sambil mengenang
masa lalunya. "Kalau saja istriku tidak mati terbunuh
secara mengerikan dl tangan musuh kami, mungkin
aku masih berkeliaran di rimba persilatan dan akan
mempelajari berbagai pengobatan dari Tabib Kubur. Ia
pernah berjanji padaku untuk menurunkan beberapa
ilmu pengobatannya padaku."
Setelah saling bungkam dalam renungan mas-
ing-masing, Raka Pura segera perdengarkan suaranya
yang tampak tenang dan kalem sekali itu.
"Jadi kalau tak salah dugaanku, sekarang Dewi
Binal sedang dicari-cari oleh Selir Pamujan?"
"Begitulah. Kabar terakhir yang kudengar dari
orang-orang persilatan, Selir Pamujan sedang mencari
sahabatnya yang bernama Betina Rimba untuk me-
minta bantuan menyerang Bukit Gamping."
"Celaka!" gumam Soka Pura bagai bicara sendi-
ri.
Raka berkata kepada Biang Tawa, "Kalau begi-
tu, percuma saja kita teruskan perjalanan ke Bukit Bo-
long, sudah pasti Betina Rimba tak ada di sana."
"Ya. Sebab si Selir Pamujan sendiri sedang
mencari Betina Rimba!" jawab Biang Tawa.
"Kalau begitu kita harus ke mana jika Betina
Rimba sendiri tak ada dl Bukit Bolong?!" tanya Soka
Pura kepada Raka dan Biang Tawa.
Percakapan malam itu akhirnya berkeputusan
bahwa mereka lebih baik menghadang Betina Rimba
dan Selir Pamujan di Bukit Gamping. Mereka harus
cepat-cepat tiba di Bukit Gamping sebelum kedua pe-
rempuan itu menyerang kediaman Tabib Kubur. Sebab
menurut cerita Biang Tawa di perjalanan tadi, Selir
Pamujan adalah perempuan berilmu tinggi. Hampir se-
luruh ilmu Nyai Demit Selingkuh diwariskan kepa-
danya.
Kekuatan ilmu sihirnya sangat tinggi, hampir
menyamai gurunya," tutur Biang Tawa saat dalam per-
jalanan, sebelum mereka singgah di kedai Ki Samalun.
Setelah mendengar kasus kematian Nyai Demit
Selingkuh, Biang Tawa berkomentar lagi sebelum me-
reka tertidur.
'Kurasa Tabib Kubur akan kewalahan jika
menghadapi Selir Pamujan, karena ilmu sihir yang di-
padu dengan jurus silatnya Selir Pamujan sangat sulit
untuk dilumpuhkan. Kurasa Dewi Binal akan tewas dl
tangan Selir Pamujan, apalagi murid Tabib Kubur yang
bernama Manggara, akan lebih cepat tewas ketimbang
Dewi Binal."
Karenanya, pada keesokan harinya Pendekar
Kembar dan Biang Tawa bergegas menuju Bukit
Gamping dengan memotong jalan melalui Tebing Ben-
cana. Tanpa penunjuk jalan dari Biang Tawa, kedua
pemuda kembar itu tak akan tahu jalan pintas menuju
Bukit Gamping. Pengalaman si Biang Tawa yang berke-
lana ke sana-sini mengikuti Betina Rimba dan men-
diang Wiraga masa lalu telah membuat Biang Tawa
mengenal jalan-Jalan dan tempat-tempat tertentu.
"Tapi hati-hatilah jika nanti kita melewati wi-
layah Tebing Bencana."
"Apa maksudmu, Paman?"
"Tebing Bencana adalah wilayah kekuasaan
Pangeran Laknat."
"Siapa Pangeran Laknat itu, Paman?" tanya So-
ka sambil mereka tetap melangkah.
"Yang jelas dia bukan seorang gadis cantik dan
manja," jawab Biang Tawa seenaknya. "Pangeran Lak-
nat yang nama aslinya Pradita itu, adalah tokoh sesat
yang jarang muncul jika tidak ada urusan penting.
Pangeran Laknat sebenarnya anak seorang raja, tapi ia
dibuang dan tidak diakui sebagai keturunan darah bi-
ru karena ilmu yang dituntutnya beraliran hitam. Ia
satu-satunya seorang lelaki yang mempunyai ilmu
awet muda dan awet tampan."
"Apakah ia punya perguruan di Tebing Bencana
itu?"
"Hmmm... yang jelas ia punya sejumlah pengi-
kut yang menamakan diri Laskar Penjinak Wanita. Me-
reka bukan saja belajar ilmu silat tingkat tinggi namun
juga belajar ilmu menaklukkan gairah wanita. Mereka
biasanya dibayar oleh perempuan-perempuan kesepian
yang hidupnya berlimpah harta dan kedudukan. Mere-
ka bukan saja dicetak sebagai pembunuh bayaran,
namun juga dicetak menjadi suami bayaran!"
"Gila!" gumam Soka sambil tersenyum, sedang-
kan Raka Pura hanya geleng-geleng kepala.
Tiba-tiba langkah mereka terhenti karena mun-
culnya suara dentuman yang sempat menggetarkan
tanah di sekitar mereka. Dentuman itu menggema
panjang dan berasal dari lereng yang ada di depan me-
reka.
"Ada pertarungan di depan sana!" ujar Soka.
"Biarkan saja. Kita tak perlu ikut campur, So-
ka!" kata Raka mengingatkan.
"Aku mau lihat siapa yang bertarung di sana.
Siapa tahu si Betina Rimba!"
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Soka Pura se-
gera melesat dan diikuti oleh kakak kembarnya serta
Blang Tawa. Raka Pura sempat berseru kepada adik-
nya,
"Jangan melibatkan diri jika bukan Betina Rim-
ba, Soka!"
Seruan kakaknya tak begitu dihiraukan, karena
kali ini mereka mendengar ledakan yang kedua kalinya
yang menimbulkan getaran lebih hebat lagi. Pohon-
pohon berguncang dan angin yang berhembus terasa
hangat. Soka Pura buru-buru menuju dataran tinggi
berpohon rapat. Raka Pura dan Biang Tawa terpaksa
mengikuti langkah Soka Pura agar mereka tidak terpi-
sah.
Dari dataran tinggi itu mereka dapat meman-
dang ke arah bawah dengan leluasa. Ternyata di sana
ada sebidang tanah lapang berumput dengan pepoho-
nan mengelilinginya. Di tanah lapang berumput itu
tampak seorang lelaki tua berwajah panjang, lonjong,
dengan rambut tipis di bagian bawah, sedangkan ba-
gian tengah kepala gundul mulus, Tokoh tua berusia
sekitar tujuh puluh tahun itu berjubah abu-abu len-
gan panjang dengan celananya yang abu-abu pula.
Tubuhnya yang Jangkung dan kurus itu tampak ma-
sih gesit, mampu bergerak dengan lincah dalam meng-
hadapi serangan lawannya.
"Oh, ternyata dia yang bikin ulah?!" gumam Ra-
ka Pura tepat di samping telinga adiknya.
"Kau mengenalnya?" tanya Soka dengan tetap
memandang ke arah pertarungan. Namun saat itu Bi-
ang Tawa segera menyahut, seakan menjawab perta-
nyaan Soka.
"Siapa yang tak mengenal tokoh bertongkat
ikan lele itu? Kurasa ia cukup dikenal dl rimba persila-
tan dengan nama si Hantu Muka Tembok!"
Raka menimpali, "Aku pernah bertarung mela-
wannya demi membela Nyai Sawandupa!"
"Ooo... dia yang bernama Hantu Muka Tembok
itu?!" gumam Soka sambil manggut-manggut. "Lalu...
perempuan Itu siapa?"
Biang Tawa menjawab, "Perempuan itulah yang
bernama Selir Pamujan, murid Nyai Demit Selingkuh."
"Ooh...?!" kali ini Raka dan Soka sama-sama
terperangah karena tak menyangka akan cepat ber-
temu dengan Selir Pamujan.
Mata Pendekar Kembar sama-sama tertuju ke
pertarungan, tapi mata Soka cenderung lebih memper-
hatikan perempuan berusia sekitar dua puluh lima ta-
hun yang mempunyai wajah cantik, berhidung man-
cung, dan bermata membelalak galak. Perempuan be-
rambut panjang sebahu dibiarkan meriap lepas tanpa
ikat kepala itu mengenakan baju tak berlengan warna
ungu, sama dengan warna celananya. Ikat pinggang
dari selendang warna kuning dipakai untuk selipkan
pedangnya yang kala itu belum dicabut untuk mela-
wan Hantu Muka Tembok. Ia bukan seorang wanita
berparas ayu saja, melainkan juga bertubuh sekal
menggairahkan dengan dadanya yang montok terlihat
belahan tengahnya dan pinggulnya yang padat berisi
tampak besar menggemaskan untuk diremas.
Selir Pamujan ternyata bukan perempuan yang
mudah ditumbangkan. Selain mempunyai gerakan ce-
pat juga mampu melompat ke sana-sini seperti seekor
lalat terbang.
Bahkan ketika Hantu Muka Tembok menghan-
tamkan tongkatnya yang berasap biru dalam jarak dua
langkah itu, Selir Pamujan mampu hindari dengan ca
ra melambung ke atas dengan cepat sekali, tahu-tahu
kakinya menendang kepala lonjong si Hantu Muka
Tembok. Wes, duuuhk...!
"Ooohk...!" Hantu Muka Tembok terpelanting
hingga tubuhnya memutar dan sempoyongan. Untung
ia buru-buru bertumpu pada tongkatnya sehingga tu-
buhnya hanya sempat terbungkuk sambil pegangi
tongkat berkepala ikan lele itu.
Waktu perempuan muda berbibir sensual itu
hendak menyerangnya lagi dengan sebuah tendangan
berputar, tiba-tiba kaki Hantu Muka Tembok menjejak
ke belakang dengan tubuh terangkat dan kedua tan-
gan bertumpu pada tongkatnya. Wuuus...! Jejakan ka-
ki yang tak sampai kenal tubuh Selir Pamujan Itu ter-
nyata mempunyai tenaga dalam yang cukup besar.
Angin jejakan kaki itu membuat tubuh Selir Pamujan
bagai dihempas badal besar. Tubuh kekal itu terpental
jauh ke belakang dan jatuh terbanting dl bawah kaki
pohon. Brrruk...!
"Ouh, menyedihkan sekali!" gumam Soka sam-
bil berpaling bagai tak mau memandang nasib Selir
Pamujan. Dalam dugaannya, perempuan itu past! akan
menggeliat dan mengerang tak mampu bangkit lagi, se-
tidaknya tulang rusuknya ada yang patah dan tulang
punggungnya tak kuat untuk digunakan berdiri.
Namun ternyata Selir Pamujan telah berdiri te-
gak dalam waktu singkat. Sebelum Hantu Muka Tem-
bok menyerangnya lagi, ia sudah mampu berdiri den-
gan kaki sedikit merenggang dan wajah tampak be-
rang.
Raka menggumam kagum. "Gila! Perempuan itu
seperti tak punya rasa sakit sedikit pun. Tak ada suara
pekik ataupun rintihan sedikit pun, padahal dia tadi
terbanting sekeras itu?!"
Biang Tawa menyahut, "Setahuku, murid Nyai
Demit Selingkuh itu mempunyai ilmu penutup rasa
sakit. Biar dibacok kepalanya tak akan berteriak kesa-
kitan."
"Tentu saja tak akan berteriak, karena begitu
dibacok langsung mati!" ujar Soka memandang Biang
Tawa sebentar, lalu kembali memperhatikan pertarun-
gan itu lagi.
"Maksudku, ia mampu membuang rasa sakit-
nya dengan satu kail hembusan napas. Kurasa kalau
dia mati malah kesakitan karena tak bisa menghem-
buskan napas!"
"Ssst... diamlah! Kita simak apa yang dikatakan
Hantu Muka Tembok itu!" sergah Raka Pura dengan .
nada berbisik.
Hantu Muka Tembok tidak lepaskan serangan-
nya lagi. Ia memang dekati Selir Pamujan, namun ber-
henti dalam jarak enam langkah di depan perempuan
cantik itu.
"Sekali lagi ku ingatkan padamu, Selir Pamu-
jan; Jika kau masih tetap menuduhku sebagai pembu-
nuh gurumu dan pencuri Kipas Kedung Gairah, maka
kau akan kehilangan nyawa hari ini juga! Aku paling
benci dituduh menjadi pencuri! Seumur hidupku tak
pernah aku mencuri, kecuali kepepet!"
"Kau tak perlu mengelak, Hantu Muka Tembok!
Aku tahu kau menyimpan dendam kepada guruku ka-
rena dulu semasa mudamu, mendiang guruku pernah
menolak cinta mu! Aku pernah mendengar cerita itu
dari mulut mendiang Guru sendiri!"
"Itu sudah ku lupakan!" bentak Hantu Muka
Tembok yang masih bersuara lantang itu. "Memang
aku pernah mengejar-ngejar si Demit Selingkuh karena
aku pernah tergila-gila dengan kecantikannya. Tapi
semua itu terjadi di masa muda kami dan aku sudah
melupakannya. Untuk apa aku mengingatnya jika
hanya membuat hatiku terluka dan jiwaku merana!"
Blang Tawa berkata dalam suara lirih, "Sudah
tua masih mengenal Jiwa merana juga! Seperti masih
bujangan saja si Hantu Muka Tembok itu."
"Sest... diam!" sergah Raka lagi.
Suara tokoh tua tanpa kumis dan jenggot itu
terdengar lagi.
"Justru aku sekarang mencurigaimu sebagai
pembunuh gurumu sendiri dan mencuri Kipas Kedung
Gairah!"
"Jaga mulut tuamu, Hantu Muka Tembok! Bisa
kurobek mulutmu jika berkata' begitu lagi di depanku!"
"Oh, kau takut ada orang yang mendengar ke-
curigaan ku ini? Kurasa semua orang sudah tahu ka-
lau kau yang mencuri kipas pusaka gurumu itu den-
gan cara membunuh Demit Selingkuh!"
"Dusta!" teriak Selir Pamujan. "Guru tewas pa-
da saat sedang semadi dan seseorang menyerangnya
dengan senjata rahasia beracun mematikan. Kala Itu
aku dan beberapa orang sedang mengadakan per-
temuan membicarakan tentang kematian Ratu Cumbu
Laras, karena beberapa orangnya Ratu Cumbu Laras
ingin bergabung denganku untuk menyerang Pendekar
Kembar! Mana mungkin aku sempat pergi ke gua dan
membunuh Guru?"
"Semua bisa diatur. Semua bisa kau atur de-
ngan se rapi mungkin, Selir Pamujan," Hantu Muka
Tembok mencibir sinis. "Apa sulitnya meninggalkan
mereka sebentar dengan alasan tertentu, sementara
kau melesat ke gua yang tak jauh dari kediaman gu-
rumu itu?!".
"Dasar mulut busuk! Kau ingin cuci tangan dalam perkara ini, Hantu Muka Borok! Sebelum kau
memutar balik tuduhan, sebaiknya kau ku musnah-
kan lebih dulu! Hiaaaah...!"
Kedua tangan Selir Pamujan menyentak ke
samping atas dengan jari-jari terbuka. Tiba-tiba dari
atas kedua pohon yang posisinya ada di kanan-kiri
Hantu Muka Tembok itu muncul dua sosok manusia
tua berwajah serupa dengan Hantu Muka Tembok, pa-
kaian dan perawakannya sama persis, bahkan kedua-
nya juga memegang tongkat berkepala bentuk ikan
lele.
Pendekar Kembar yang tadi terperanjat saat
namanya disebutkan Selir Pamujan, kini terperanjat
lagi melihat kemunculan dua orang yang serupa den-
gan Hantu Muka Tembok. Saat itu Biang Tawa segera
berkata dengan nada pelan, namun didengar oleh Raka
dan Soka.
"Nah, dia mulai gunakan ilmu sihirnya."
"Siapa kedua orang yang ada di atas pohon itu,
Paman?"
"Bayangan yang dicipta oleh kekuatan sihir Se-
lir Pamujan!"
Sebelum Soka ajukan tanya, tiba-tiba kedua
orang yang serupa dengan Hantu Muka Tembok itu se-
gera meluncur dari atas pohon. Mereka menyerang
Hantu Muka Tembok dengan tongkat masing-masing
yang siap dihantamkan ke arah kepala Hantu Muka
Tembok. "Heeaaah...!"
Keduanya sama-sama berteriak liar, lalu dalam
keadaan bagaikan terbang tongkat mereka dihantam-
kan kuat-kuat ke kepala Hantu Muka Tembok.
Wuuuut...!
Hantu Muka Tembok sempat kebingungan me-
lihat kedua penyerang dari kanan-kiri berwujud seperti
dirinya sendiri. Namun begitu menyadari jiwanya te-
rancam, Hantu Muka Tembok segera melompat mun-
dur satu langkah dan rendahkan kaki dengan kedua
tangan mengangkat tongkat di atas kepala.
Traaak, traaak, blaar...!
Hantu Muka Tembok terjungkal ke belakang
dan berguling-guling karena ledakan kuat yang terjadi
akibat benturan tongkat-tongkat tersebut. Sementara
itu, kedua bayangan dirinya segera datang menyerang
dengan tongkatnya kembali.
Hantu Muka Tembok buru-buru bangkit dan le-
paskan tongkatnya sebentar. Dengan satu kaki berlu-
tut, ia sentakkan kedua tangannya ke depan. Kedua
tangan itu keluarkan sinar merah bersama asap tipis
yang melesat ke arah tubuh kedua manusia tua yang
serupa dengan dirinya itu. Clap, clap...!
Sinar merah kecil itu menghantam tubuh ke-
dua orang yang mirip dirinya. Duar, duar...!
"Aaaaaakh...!" Hantu Muka Tembok memekik
kesakitan sendiri. Perut dan dadanya keluarkan
asap sebagai tanda terbakar oleh kekuatan api cukup
tinggi. Sedangkan kedua orang yang serupa dengan di-
rinya, yang tadi terkena sinar merah di bagian perut
dan dadanya itu, hanya terpental beberapa langkah
namun segera bangkit dengan sehat tanpa luka sedikit
pun.
Hantu Muka Tembok segera menyambar tong-
katnya. Rupanya ia masih mampu bertahan dalam
keadaan terluka begitu. ia segera memutar tongkatnya
untuk hadapi serangan kedua orang yang serupa den-
gannya itu.
"Edan! Bisa tewas pak tua itu, karena setiap ia
melukai lawannya Justru dirinya sendiri yang terlu-
ka?!" ujar Soka Pura.
Raka dan Biang Tawa tampak ikut tegang me-
mandangi Hantu Muka Tembok kewalahan hadapi dua
lawan yang sama saja melawan diri sendiri itu. Semen-
tara itu, Selir Pamujan sengaja menonton dengan san-
tai di bawah pohon sambil sesekali sunggingkan se-
nyum sinis.
"Kau tak akan mampu hadapi ilmu 'Rahwana
Garang'-ku itu, Hantu Muka Tembok!" seru Selir Pa-
mujan dari tempatnya. Ia tampak girang melihat Hantu
Muka Tembok terdesak. Kini ia Justru sentakkan lagi
tangan kanannya ke arah pertarungan itu. Dalam se-
kejap muncul satu orang lagi yang serupa dengan Han-
tu Muka Tembok dan ikut menyerang Hantu Muka
Tembok dengan liar.
"Celaka! Hantu Muka Tembok tak akan bisa
bertahan lebih lama lagi, karena ia tak bisa memus-
nahkan tiga bayangan manusia serupa dengan dirinya
itu!" ujar Biang Tawa. "Bantulah dia, Raka!"
Tiba-tiba sekelebat bayangan melintas di bela-
kang Hantu Muka Tembok yang sedang terdesak tiga
lawannya itu. Bayangan tersebut berkelebat tak terlalu
cepat sehingga bisa dikenali siapa sebenarnya si
bayangan Itu. Pendekar Kembar dan Biang Tawa juga
melihat jelas bahwa orang yang berkelebat dl hutan be-
lakang Hantu Muka Tembok itu adalah gadis cantik
berjubah biru yang tak lain adalah Dewi Binal, cucu si
Tabib Kubur.
"Hoi itu si Dewi Binal?!" ujar Soka dengan sua-
ra pelan bernada tegang.
Rupanya Selir Pamujan juga melihat kelebatan
Dewi Binal. Karena Dewi Binal sempat perlambat lang-
kah sebentar untuk melihat pertarungan tersebut.
Agaknya Dewi Binal tak tertarik dengan perta-
rungan itu don mempunyai urusan sendiri yang lebih
penting sehingga segera meninggalkan tempat terse-
but. Tapi karena Selir Pamujan mengenali siapa gadis
yang berkelebat pergi itu, maka ia pun segera mening-
galkan Hantu Muka Tembok, dibiarkan bertarung sen-
diri dengan tiga bayangannya. Selir Pamujan segera
mengejar Dewi Binal dengan wajah berang.
Soka mencemaskan keselamatan Dewi Binal.
Sebab ia tahu Dewi Binal tak akan mampu hadapi Se-
lir Pamujan. Maka ia pun berkata kepada kakak kem-
barnya,
"Ku cegah si Selir Pamujan agar tak mengejar
Dewi Binal! Kau bantu Hantu Muka Tembok itu le-
nyapkan tiga bayangannya!"
"Tapi dia dulu pernah membuatku tak ber-
daya!"
"Kau bisa bikin perhitungan lain dengannya!
Yang penting... oh, Dewi Binal bisa mat! dl tangan Selir
Pamujan kalau tak segera kutolong!"
Wuuuzz...! Soka Pura berkelebat bagaikan le-
nyap. Ia menggunakan jurus 'Jalur Badai' yang mam-
pu berlari secepat hembusan badan paling cepat. Se-
mentara itu, Raka Pura kebingungan Sendiri memu-
tuskan langkahnya. Sebab dulu ia pernah dibuat tak
berdaya oleh serangan Hantu Muka Tembok saat ia
memihak Nini Sawandupa.
"Jika kau bisa bantu dia, maka dia akan hor-
mat padamu, karena kau tak menaruh dendam pa-
danya," ujar Blang Tawa, akhirnya Raka Pura pun me-
lesat ke tengah pertarungan untuk membantu Hantu
Muka Tembok.
*
* *
4
TIGA manusia bayangan itu segera diterjang
oleh Raka Pura dalam satu kelebatan bagai terbang.
Tiap-tiap kepala dapat satu tendangan kaki bertenaga
dalam cukup besar. Des, des, des...! Tetapi justru yang
meraung kesakitan adalah Hantu Muka Tembok sebe-
narnya. "Aaow, aaaah, auuuhk...!" Brrrrua...! Hantu
Muka Tembok sebenarnya jatuh terkapar sambil men-
gerang kesakitan, sedangkan tiga manusia bayangan
serupa dirinya hanya terpelanting dan terhuyung-
huyung, namun dapat segera berdiri tegak dan Siap
menyerang Hantu Muka Tembok lagi. Seakan serangan
Raka tak dihiraukan oleh mereka.
"Jangan serang dia!" teriak Hantu Muka Tem-
bok ketika melihat Raka Ingin lepaskan pukulan ke
arah tiga bayangan menyerupai dirinya itu.
"Kalau kau serang dia, aku yang kesakitan!"
Raka Pura menjadi bingung sendiri menghadapi hal
itu. Tapi dalam hatinya ia segera berkata dengan nada
gembira.
"O, seharusnya kuserang memakai Jurus 'Getar
Jagat' yang belum pernah kugunakan untuk melawan
seseorang. Hmmm... baiklah, akan kugunakan saja ju-
rus itu lalu ku sambar tubuh si Hantu Muka Tembok
yang asli itu!"
Pada waktu itu, tiga manusia bayangan sedang
kerahkan tenaga dengan jurus yang sama. Mereka
akan menghujamkan tongkat masing-masing ke tubuh
Hantu Muka Tembok.
Tetapi tiba-tiba kaki kanan Raka Pura meng-
hentak ke bumi satu kali. Duuhk...! Kaki kirinya me-
nyentak dan tubuh pun melambung. Wuuus...!
Saat tubuh Raka melambung itulah, tanah di
sekitar mereka menjadi bergetar dan retak seketika.
Tiga manusia bayangan itu terperosok masuk ke dalam
keretakan tanah yang mirip kiamat itu. Suara gemu-
ruhnya menggema ke mana-mana. Hembusan badal
pun datang menerpa alam sekitar tempat itu.
Sedangkan tubuh Hantu Muka Tembok yang
ingin ikut terperosok ke dalam bongkahan tanah lebar
itu segera disambar oleh Raka Pura. Wuuus...! Kaki
Raka Pura menyentak ke batang pohon, maka tubuh
pun melayang ke tempat lain dengan cepat. Weess...!
"Aaaa...!" suara tiga manusia bayangan itu le-
nyap setelah mereka bagaikan tersedot kekuatan besar
dari dalam tanah.
Wuuuurrrs...!
Tiba-tiba tanah yang tadinya retak dan longsor
ke dalam itu menjadi timbul kembali dan rata seperti.
sediakala, sementara tiga manusia bayangan tak per-
nah muncul lagi. Mereka bagaikan terkubur dalam ta-
nah, sementara Hantu Muka Tembok yang sebenarnya
terselamatkan. Kini pak tua itu ada di atas dataran
tinggi, tempat Biang Tawa menunggu dibawah seba-
tang pohon rindang.
"Umurmu masih panjang, Pak Tua!" ujar Biang
Tawa dengan kalem.
Hantu Muka Tembok terperanjat setelah sadar
betul siapa yang menyelamatkannya. Ia segera ingat
tentang pertarungannya dengan Nini Sawundapa bebe-
rapa waktu yang lalu, (Baca serial Pendekar Kembar
dalam episode: "Kencan Di Ujung Maut"). Ia juga ingat
kala itu ia melumpuhkan Raka sementara dirinya sen-
diri segera lari dalam keadaan terluka.
"Kau...?! Kenapa kau menolongku dari tiga ma-
nusia bayangan itu?!"
"Tak tega melihat dirimu buat mainan oleh ma-
nusia jelmaan Selir Pamujan itu, Pak Tua!" jawab Raka
seenaknya.
"Kau pikir aku tak mampu kalahkan mereka?!"
"Hei, Jangan tersinggung dulu!" sergah Biang
Tawa. "Masih untung kau diselamatkan. Coba kalau
dibiarkan saja, kau akan ikut terkubur bersama tiga
manusia bayangan yang mirip dirimu itu!"
"Tapi aku mampu selamatkan diriku sendiri,
tanpa harus mendapat bantuan orang lain!" Hantu
Muka Tembok ngotot.
Biang Tawa menggerutu, "Dasar orang tak tahu
berterima kasih! Sudah ditolong malah menggonggong!
Tahan saja dia di tanah sini, Raka!"
Raka Pura hanya tersenyum sabar "Hantu Mu-
ka Tembok, dulu kita memang berselisih karena kau
ingin dapatkan Bunga Pucuk Dara di Gua Mulut Naga.
Sekarang bunga itu sudah tak ada dan Gua Mulut
Naga tidak menjadi bahan incaran orang lagi.
Untuk apa kita harus berselisih terus, toh kala ini kita
sama-sama celaka?!"
Hantu Muka Tembok menggumam bernada ge-
rutu tak jelas. Matanya memandang ke arah tempat
pertarungannya tadi. Dalam hati ia merasa kagum me-
lihat tempat itu sudah rata seperti sediakala, seolah-
olah tak pernah retak dan longsor ke dalam sedikit
pun.
"Bocah ini memang hebat. Kuakui, kalau tak
ada dia, mungkin aku akan mati dl tangan ketiga
bayangan diriku sendiri itu. Memang seharusnya aku
berterima kasih kepada anak muda itu, tapi... pikir-
pikir malu juga, ya? Sudah tua, berilmu tinggi, masih
dito-long anak kemarin sore. Mau bilang terima kasih
saja sulitnya bukan main."
Biang Tawa yang sudah lama mengenal Hantu
Muka Tembok namun tak terlalu akrab itu, tiba-tiba
ajukan tanya yang membuat Hantu Muka Tembok se-
dikit tersinggung.
"Benarkah kau yang membunuh Nyai Demit Se-
lingkuh dan mencuri kipas pusakanya?"
"Kau bertanya atau menuduh?!" Hantu Muka
Tembok sedikit menyentak. Katanya lag!,
"Justru aku ingin datang ke Bukit Bolong un-
tuk temui Selir Pamujan dan menanyakan masalah
yang sebenarnya, eeh... tahu-tahu aku malah ditu-
duhnya sebagai pembunuh dan pencuri! Dasar gadis
koplol" Hantu Muka Tembok bersungut-sungut. "Kura-
sa dia sendiri yang membunuh gurunya dan mencuri
kipas pusaka itu!"
Raka Pura menyahut, "Kudengar justru Dewi
Binal yang dicurigai sebagai pembunuh Nyai Demit Se-
lingkuh dan mencuri Kipas Kedung Gairah Itu?"
Hantu Muka Tembok menjawab, "Kalau benar
dia juga punya tuduhan terhadap orang lain, berarti
setiap orang dicurigainya sebagai pembunuh dan pen-
curi pusaka gurunya!"
"Hei, Raka... mengapa kita hanya di sini saja?!"
ujar Biang Tawa. "Siapa tahu Soka kerepotan menahan
amukan Selir Pamujan terhadap Dewi Binal?"
"Benar Juga, Paman. Kita harus segera menyu-
sul Soka!"
"Kau tak mau ikut kami, Hantu Muka Tem-
bok?!' tanya Biang Tawa, sengaja menyalahkan kata
sebagai canda, tapi membuat Hantu Muka Tembok
bersungut-sungut dongkol.
"Tidak. Aku mau mencari muridku Akan kusu-
ruh muridku membalaskan tindakan gegabah si Selir
Pamujan itu!"
Hantu Muka Tembok pergi lebih dulu setelah
berkata, "Sampai Jumpa dl lain waktu!" Sementara itu
Raka dan Biang Tawa segera bergegas menyusul Soka
Pura. Raka tak begitu mencemaskan jika sampai Soka
Pura bertarung melawan Selir Pamujan karena mem-
bela Dewi Binal. Yang ia cemaskan justru keselamatan
Dewi Binal Jika Soka datang terlambat.
Ternyata Soka Pura justru berhasil mengha-
dang langkah Selir Pamujan sebelum perempuan ber-
pakaian ungu itu berhasil mengejar Dewi Binal. Gadis
cucu tabib Kubur itu tak tahu kalau dirinya dikejar
oleh Selir Pamujan. Pelariannya di daerah itu
karena ia ingin menyusul Soka Pura, karena ia
mulai dapat merasakan tak bisa berpisah dengan Soka
sejak Pendekar Kembar tinggalkan Bukit Gamping,
(Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Setan
Cabul").
Dewi Binal tetap berlari mencari Raka Pura
yang hilang dari pandangan matanya ketika hari men-
jadi malam. Ia lanjutkan pencariannya dengan men-
gandalkan naluri semata, ia tidak tahu, bahwa Soka
Pura berada di belakangnya dan sedang berusaha hen-
tikan pengejaran Selir Pamujan terhadapnya.
Mata berkesan galak-galak mesra itu terkesiap
memandang munculnya seorang pemuda berwajah
tampan. Sekalipun wajah tampan itu tidak berkesan
memusuhinya, tapi Selir Pamujan merasa sedang ber-
hadapan dengan seorang pengganggu yang menyebal-
kan. Ia tidak benci, hanya sebal saja. Mungkin kalau
Soka Pura tidak punya wajah tampan dan tubuh kekar
gagah, Selir Pamujan akan menaruh rasa bend dan
langsung menyerangnya.
Melihat pedang kristal di pinggang kanan si pe-
muda tampan, Selir Pamujan mulai semakin lebih
waspada lagi, "Pasti bukan pemuda sembarangan," pi-
kirnya.
Soka Pura mulai berdebar ketika berhadapan
dengan kecantikan itu dalam jarak empat langkah. Ma-
ta tajam perempuan cantik itu terasa menembus sam-
pai ke relung hati, sehingga lidah Soka Pura sempat
kelu sesaat. Akibatnya mereka beradu pandang selama
lima helaan napas lebih. Jika perempuan itu tidak me-
negurnya lebih dulu, Soka Pura masih tertegun ben-
gong menikmati kecantikan dan kemolekan tubuh
seindah itu.
"Siapa kau?!" ketus Selir Pamujan.
"Hmmm... aku... aku bernama Soka Pura. Be-
lum punya kekasih, eh... anu... Iya, bukan begitu mak-
sudku. Tapi... tapi namaku Soka Pura," ujar si murid
mendiang Dewa Kencan sambil cengar-cengir. Semen-
tara itu, Selir Pamujan berkerut dahi, merasa asing
dengan nama Soka Pura dan sosok penampilan tam-
pannya itu. Ia memang pernah mendengar tentang
Pendekar Kembar, tapi ia belum pernah bertemu dan
tidak tahu bahwa salah satu dari Pendekar Kembar itu
bernama Soka Pura.
"Apa maksudmu menghadang langkahku?!" ke-
tusnya lagi.
Sambil masih cengar-cengir, Soka menjawab
konyol, "Entah, ya. Aku sendiri tak tahu kenapa aku
menghadangmu."
"Hmmm...! Memuakkan sekali."
"Iya. Memang memuakkan. Gawat." Soka Pura
geleng-geleng kepala, seakan merasa heran dengan si-
kapnya sendiri.
"Kau mau ke mana, Selir Pamujan?"
Perempuan itu terkesiap kembali mendengar
namanya disebutkan.
"Dari mana kau tahu namaku?"
"Dari tadi," jawab Soka konyol sambil nyengir.
Selir Pamujan membentak, "Dari mana kau ta-
hu namaku?!"
"Dari... dari pertarungan mu tadi. Aku meli-
hatmu bertarung melawan Hantu Muka Jorok," eh...
Hantu Muka Tembok. Dia sebutkan namamu dan aku
men catat dalam otakku!"
"Hmmm...!" Selir Pamujan manggut-mangut si-
nis. "Apa kau punya otak untuk mencatat namaku?"
Soka Pura tertawa geli sambil garuk-garuk ke-
pala. "Kalau tak salah... otakku masih tertinggal di ke-
pala ini. Berarti aku masih punya otak, bukan?"
"Kalau punya otak mengapa kau menghadang
langkahku sedangkan kita tak punya urusan apa-
apa?!"
"Iya, ya...?! Kalau aku punya otak kenapa
menghadangmu tanpa alasan, ya?" gumam Soka berla-
gak heran sendiri.
"Kalau ku tanggapi pemuda ini, aku bisa kehi-
langan jejak si Dewi Binal tadi. Sebaiknya ku tinggal-
kan dulu pemuda ini!" pikir Selir Pamujan. Lalu tu-
buhnya tiba-tiba lenyap bagai ditelan bumi dengan
tinggalkan asap yang mengepul mengejutkan Soka.
Jluuub, buuuss...!
"Lho, hilang...?!" Soka Pura kebingungan, ten-
gok sana tengok sini dengan mulut melongo. Kejap
kemudian matanya temukan bayangan Selir Pamujan
sedang mendaki sebuah bukit yang diperkirakan seba-
gai jalan pelarian Dewi Binal itu.
"Hebat juga dia! Tahu-tahu sudah ada di sana?!
Hmmm..., akan kukejar dia dengan jurus ‘Jalur Badai'-
ku!"
Wuuuzzzz...!
Selir Pamujan mulai dongkol karena pandangan
matanya tak menemukan bayangan Dewi Binal. Tapi
tiba-tiba ia hentikan langkah secara mendadak
sekali karena Seorang pemuda tampan sudah
bera-da di depan langkahnya. Pemuda itu tak lain ada-
lah Soka Pura yang berhasil menyusul kecepatan gerak
Selir Pamujan.
"Edan! Dia sudah ada di depanku lagi?!" geram
hati Selir Pamujan.
"Apa maumu sebenarnya, hah?!" bentak Selir
Pamujan dengan mata melebar hingga kecantikannya
kian bertambah memukau.
"Aku... aku mau minta tolong padamu," jawab
Soka sambil cengar-cengir lagi. "Tahukah kau di mana
Betina Rimba berada?!"
"Aku tidak tahu!" jawab Selir Pamujan dengan
membentak. Ia melangkah lebih dekat hingga berjarak
dua langkah dari Soka.
"Kalau kau masih mengganggu langkahku akan
ku rontokkan gigimu Itu biar tak bisa cengar-cengir la-
gi!"
"Heh, heh, heh...," Soka justru nyengir semakin
lebar diiringi tawa yang terkekeh mirip orang tua. "Gigi
masih utuh kok mau dirontokkan, nanti kalau aku
mau gosok gigi bagaimana?"
"Kau benar-benar membuatku marah, Soka Pu-
ra!"
"Kau membuatku geregetan, Selir Pamujan."
"Kurang ajar! Hiaaaah...!"
Selir Pamujan hantamkan pukulannya ke wa-
jah Soka. Kepala pemuda itu miring ke kiri sambil le-
paskan totokan dua jari tangan kirinya ke pergelangan
tangan Selir Pamujan yang tak berhasil memukul wa-
jah Soka. Dees...!
"Aaauh...!" Selir Pamujan memekik sambil me-
narik tangannya dan mendekap tangan itu dengan wa-
jah merah. Sementara itu, diam-diam Soka Pura terke-
jut dalam hati karena totokannya tidak berfungsi seba-
gaimana mestinya.
"Gila! Jurus Totok Pikun'-ku tak mempan
membuatnya linglung? Biasanya jurus 'Totok Pikun'
akan membuat orang yang terkena segera jatuh lemas,
kemudian segera bertenaga kembali tapi sudah lupa
dengan keadaan semula. Ternyata perempuan ini
mampu menahan jurus 'Totok Pikun'-ku. la masih bisa
berdiri, hanya menjadi merah wajahnya dan gemetaran
sedikit. Oh, kalau begitu dia punya tenaga inti cukup
besar?!"
"Setan!" geram Selir Pamujan setelah melihat
pergelangan tangannya menjadi bengkak sedikit. Kulit
wajahnya yang merah itu tak disadari telah membuat
kecantikannya menjadi menyeramkan. Soka Pura
sempat mundur dua langkah karena ngeri melihat ke-
cantikan yang menyeramkan.
"Badanku terasa panas semua?!" geram Selir
Pamujan dalam hati. "Rupanya dia berhasil menotok
tenaga inti ku sehingga keadaan tenaga inti ku bekerja
cepat sekali sampai sepanas ini. Ooh... bisa-bisa tu-
buhku meledak sendiri jika tenaga inti bekerja terlalu
cepat?! Aku harus meredamnya dengan hawa murni
ku!"
Selir Pamujan segera kendalikan hawa mur-
ninya secara diam-diam. Dengan menarik napas pan-
jang-panjang tanpa kentara dan menyimpannya ke da-
lam dada, lalu menyalurkannya ke perut tepat di ba-
gian pusarnya, maka tenaga inti yang mendidih itu
mulai reda oleh siraman hawa murni yang menyejuk-
kan. Dalam sekejap saja kulit wajah yang merah mulai
berubah kuning langsat kembali. Bengkak di pergelan-
gan tangannya pun mulai mengempis.
Soka Pura sengaja tidak lakukan serangan apa
pun, karena ingin melihat sejauh mana perempuan itu
bisa mengendalikan kekuatan tenaga intinya yang nya-
ris membakar seluruh tubuhnya Itu. Ternyata kurang
dari enam helaan napas, Selir Pamujan sudah mampu
mengembalikan keadaannya menjadi seperti semula.
"Hebat! Ia mampu mengatasinya dengan cepat.
Kuakui, ia memang hebat!" ujar Soka dalam hatinya.
Tanpa diketahui keduanya telah saling mengaku! ke-
hebatan masing-masing lawan, sehingga mereka saling
hati-hati dalam bertindak, tak ada yang mau menye-
rang secara gegabah.
Bahkan perempuan cantik berdada montok
kencang itu menjadi penasaran, mengapa si tampan
itu mencari Betina Rimba.
"Sebelum aku membalas kelancanganmu ini,
terlebih dulu aku ingin tahu alasanmu mencari Betina
Rimba!" ujar Selir Pamujan.
"Aku akan mengirimnya ka neraka!"
Selir Pamujan terperanjat, pandangan matanya
kian dipertajam. Soka Pura tetap kalem, seakan uca-
pannya bukan hal yang perlu dikejutkan oleh siapa
pun.
"Apakah kau sanggup menghadapi si Betina
Rimba?!" Selir Pamujan sengaja bernada meremehkan
kemampuan Soka dalam mengadu ilmu dengan Betina
Rimba. Tapi yang diremehkan hanya tersenyum kalem,
tak berkesan konyol seperti tadi.
"Mampu atau tidak aku harus mengirimnya ke
neraka sebagai hukumannya yang telah membantai se-
luruh keluarga, bahkan seluruh tetanggaku juga di-
bantainya semua! Sekarang sudah tiba saatnya sang
pembantai itu menjadi penghuni neraka, biar dia ganti
dibantai oleh Iblis-iblis penghuni neraka! Dan satu hal
lagi...," Soka Pura mendekati Selir Pamujan hingga ja-
raknya hanya satu langkah.
Dengan nada bisik ia menyambung kata-
katanya, "... aku tak mau ikut ke neraka. karena aku
belum pernah kawin."
Soka Pura segera melangkah menjauhi perem-
puan itu seakan ingin meninggalkan pergi.
"Tunggu dulu!" sergah Selir Pamujan yang ikut
melangkah bagai mengejar Soka. Pemuda itu segera
berbalik dan mereka saling beradu pandang lagi.
"Jika benar keluargamu dibantai habis oleh Be-
tina Rimba, mengapa kau masih hidup? Betina Rimba
tak pernah menyisakan lawannya jika harus lakukan
pembantaian!"
"Waktu itu aku masih bayi, dan Betina Rimba
masih menjadi orang kepercayaan Ratu Cumbu Laras!
Sebelum Ratu Cumbu Laras tewas ia sempat beberkan
rahasia tersebut."
Selir Pamujan mulai curiga dan mundur dua
langkah dengan dahi. berkerut tajam, mats meman-
dang tak berkedip.
"Siapa yang membunuh Ratu Cumbu Laras?"
"Kami! Aku dan kakakku; Raka Pura!"
"Ooh... kalau begitu kau adalah Pendekar Kem-
bar?!"
"Kau punya otak yang cerdas, Selir Pamujan!"
jawab Soka membenarkan pendapat perempuan itu.
Selir Pamujan sedikit tegang setelah menyadari
yang dihadapi itu adalah salah satu dari dua Pendekar
Kembar. Padahal ketika kabar kematian Ratu Cumbu
Laras menyebar dan sampai di telinganya, diam-diam
ia merasa salut dan kagum kepada orang yang mampu
kalahkan Ratu Cumbu Laras itu. Ia juga mendengar
nama Pendekar Kembar sebagai lawan yang mampu
tumbangkan Ratu Cumbu Laras dan rasa kagum serta
salut terhadap Pendekar Kembar pun terbit di hati sa-
nubari Selir Pamujan. Oleh karenanya, ketika bebera-
pa anak buah Ratu Cumbu Laras mengajaknya berga-
bung dan menyerang Pendekar Kembar, ia menolak se-
cara halus, karena ia tak ingin bermusuhan dengan
Pendekar Kembar.
"Jika Ratu Cumbu Laras yang ilmunya hampir
sama dengan guruku saja bisa ditumbangkan, apalagi
aku!" ujarnya membatin ketika ia sedang menerima
beberapa anak buah Ratu Cumbu Laras.
Kini tak disangka Selir Pamujan bertemu sendi-
ri dengan salah satu dari dua Pendekar Kembar itu.
Rasa percaya terhadap pengakuan itu timbul setelah ia
merasakan sendiri kehebatan totokan pemuda itu dan
kecepatannya menghadang langkah.
"Pantas kalau dia mampu menyusul ku dan
mendidihkan tenaga inti ku, rupanya dia adalah Pen-
dekar Kembar yang kukagumi dalam hati itu?!" Selir
Pamujan sempat membatin demikian ketika mereka
sama-sama bungkam.
Kejap berikutnya, Soka Pura perdengarkan su-
aranya yang bernada lembut membuai hati.
"Aku mendapat kabar dari seorang kenalan,
kau akan meminta bantuan kepada Betina Rimba un-
tuk menyerang Bukit Gamping, karena kau menyang-
ka Dewi Binal, cucu si Tabib Kubur itu, mencuri kipas
pusaka milik mendiang gurumu...."
"Juga membunuh guruku dengan racun sangat
mematikan itu!" sahut Selir Pamujan.
"Aku yakin bukan dia pelakunya! Aku tahu sia-
pa Dewi Binal itu dan siapa kakeknya."
"Apakah gadis itu kekasihmu?!" Selir Pamujan
mulai sinis lagi.
"Sekalipun bukan kekasihku, tapi aku berani
bertaruh nyawa, bahwa Dewi Binal tak mungkin men-
curi pusaka milik mendiang gurumu Itu!"
"Aku sendiri yang melihat gadis itu berkelebat
pergi di hutan sekitar gua tempat guruku bersemadi."
"Itu bukan berarti dia yang membunuh guru-
mu! Bisa saja ia kebetulan lewat di dekat gua itu tanpa
mengetahui persoalan apa pun di dalam gua tersebut."
Perdebatan Itu terpaksa dihentikan, karena ti-
ba-tiba Soka melihat sekelebat cahaya pantulan sinar
matahari yang berkelebat menuju ke leher kanan Selir
Pamujan. Dengan gerakan cepat yang sukar dilihat,
tangan Soka Pura berkelebat seperti ingin menghan-
tam wajah Selir Pamujan.
Wuuut...!
Selir Pamujan kaget dan cepat menghindar
dengan memiringkan tubuh ke kiri. Saat itu pula tan-
gan kanannya menyodok perut Soka dengan telapak
tangan terbuka. Buuukh...!
"Heeegh...!" Soka mengejang dan terbungkuk.
Sodokan itu membuat isi perutnya terasa ingin di-
muntahkan semua.
"Kau tak bisa menipuku, Soka Pura! Aku tak
bisa kecolongan dengan jurus apa pun yang...."
Ucapan Selir Pamujan terhenti seketika setelah
Soka Pura tunjukkan tangan kirinya yang telah menje-
pit sekeping logam putih mengkilat berbentuk bunga
cempaka. Logam itu terjepit di sela jemari Soka.
"Ooh...?!" Selir Pamujan terkejut dan segera
mengerti apa maksud gerakan tangan Soka yang ber-
kelebat cepat seperti mau menghantamnya tadi.
Sambil menahan rasa mual Soka serahkan senjata rahasia yang tak jadi menancap di leher Selir Pa-
mujan.
"Ada yang mau membunuhmu!" suara Soka di-
tekan berat seperti orang mau buang hajat.
"Oh, maafkan aku! Kusangka kau ingin memu-
kul ku! Maafkan aku, Soka!" Selir Pamujan tampak te-
gang, kecewa, dan malu sekali.
"Lain kali tak perlu meminta maaf kalau den-
gan cara memualkan perutku begini!"
"Aku tak tahu! Aku.!. oh, lihat senjata ini!" Ia
menyodorkan telapak tangannya tempat sekeping lo-
gam baja putih berbentuk bunga cempaka itu berada.
"Senjata inilah yang dipakai membunuh guru-
ku!"
"O, ya..?!" Soka masih bersuara berat. "Kalau
begitu, pembunuh gurumu ada di sini!"
"Keparat! Akan ku kejar dia!"
Blaasss...! Selir Pamujan pergi begitu saja tan-
pa pedulikan Soka lagi. Ia menerjang semak belukar
tempat datangnya senjata rahasia beracun ganas itu.
"Hoi, salah! Bukan dari sana datangnya, ke kiri
sedikit!" seru Soka, akhirnya ia menyusul Selir Pamu-
jan untuk mencari si pemilik senjata rahasia berben-
tuk bunga cempaka itu.
*
* *
5
PENCARIAN itu tak berhasil. Selir Pamujan
menjadi gusar karena gagal meremukkan orang yang
memiliki senjata rahasia berbentuk bunga cempaka
itu. Soka Pura menyarankan agar pencarian dihenti-
kan, karena ia yakin pemilik senjata itu telah lari se-
jauh mungkin dan mereka tertinggal karena hanya
mencari si sekitar tempat Itu.
"Kurasa Dewi Binal melihat pertemuan kita tadi
dan ia segera menyerangku dengan...."
"Dewi Binal tak punya senjata seperti itu!" po-
tong Soka Pura.
"Kau selalu membelanya!" sentak Selir Pamujan
dengan berang. Soka Pura terpaksa tersenyum agar ti-
dak menimbulkan kegusaran yang tinggi pada pe-
rempuan cantik Itu.
"Aku bukan membelanya, tapi aku meluruskan
anggapan mu! Seperti halnya tadi, kau juga menuduh
Hantu Muka Tembok sebagai pembunuh dan pencuri
pusaka gurumu. Ternyata kau juga menganggap Dewi
Binal pelakunya. Lalu, menurutmu sendiri mana yang
benar dari kedua anggapan mu itu?!"
Selir Pamujan hembuskan napas kekesalan.
Wajahnya masih tampak cemberut menahan kemara-
han. Kedua tangannya bertolak pinggang dengan
mata memandang sekeliling.
"Semua orang pantas ku curigai!" tiba-tiba sua-
ranya terdengar bagai orang menggerutu. "Bahkan kau
pun patut ku curigai!"
Soka Pura tertawa pendek. "Kalau begitu, tang-
kaplah aku jika kau mencurigaiku!"
"Aku bisa menangkapmu sekarang juga kalau
aku mau!" sentaknya dengan mata mendelik berang.
"Mengapa tak kau tangkap?! Silakan tangkap
aku!" kata Soka sambil sodorkan kedua tangannya
pertanda menyerah. Tapi Selir Pamujan hanya men-
dengus dan berpaling wajah tak mau memandang Soka Pura yang sunggingkan senyum menawan Itu.
Sebelum Soka bicara lagi, tiba-tiba Selir Pamu-
jan kerutkan dahi dan menelengkan kepalanya per-
tanda sedang mendengarkan suara yang samar-samar.
tangannya terangkat memberi isyarat agar Soka tidak
bicara dulu. Soka pun ikut kerutkan dahi dan perta-
jam pendengarannya.
"Aku mendengar suara orang dan langkahnya
yang terhuyung-huyung," bisik Selir Pamujan.
"Aku tak mendengar apa-apa," kata Soka lirih
sambil masih mencoba pertajam pendengarannya.
"Ikut aku!" kata Selir Pamujan, lalu perempuan
itu berkelebat pergi. Soka Pura terpaksa mengikuti ge-
rakan si cantik beraroma wangian mawar itu.
Lagi-lagi telinga Soka menangkap suara tawa
seseorang dari langkah kaki yang terhuyung-huyung.
Suara tawa itu berada di balik kerimbunan semak se-
berang sungai yang tak seberapa lebar. Ia buru-buru
menahan langkah Selir Pamujan setelah pemilik suara
tawa itu muncul di atas tanggul seberang sungai.
"Huuaah, haaah, haaah, hahhh, haaah hiaah,
haah, haahh, haahh, haaaaahhh...!"
Soka Pura segera berkata ketika Selir Pamujan
ingin memprotes genggaman tangan Soka di lengan-
nya.
"Orang itu bernama iblis Bangor! Tak perlu kau
curigai, sebab dia terkena totokan Paman Blang Tawa
yang sengaja membuatnya tertawa terus tiada henti.
"Kau mengenalnya?" "Aku dulu melawannya,
membantu seorang sahabat. Kemarin, dia ingin me-
nuntut balas, lalu diserang oleh Paman Biang Tawa
dengan...."
"Tunggul Biang Tawa...?l Sepertinya aku pernah
dengar nama Biang Tawa sebagai salah satu' pengikut
setianya Betina Rimba."
"Memang benar. Tapi saat itu dia belum tahu.
bahwa Betina adalah pembantai keluarga ayahku. Se-
dangkan Blang Tawa sebenarnya adalah saudara se-
perguruan dengan ayahku."
Selir Pamujan segera perhatikan Iblis Bangor
yang jalannya terhuyung-huyung akibat tertawa sejak
kemarin sore. Sesekali Iblis Bangor menyandarkan diri
dl pohon sambil pegangi perutnya yang terasa kaku
karena tawa geli itu. Wajahnya menjadi merah kebiru-
biruan, namun la belum bisa menghentikan tawanya
dan tak ada orang yang menolong melepaskan totokan
aneh itu.
"Kasihan dial Sebaiknya kulepaskan totokan itu
dari sini," ujar Selir Pamujan yang ingin melepaskan
totokan jarak jauh dari seberang sungai..
Tetapi ketika hal itu ingin dilakukan, tiba-tiba
sepasang sinar hijau berbentuk seperti bola sebesar
genggaman tangan orang dewasa meluncur ke arah
mereka. Sinar hijau itu datang dari arah samping me-
reka dan berkecepatan tinggi.
Ekor mata Soka melihat gerakan sinar hijau
tersebut. Ia segera berpaling dan berseru, "Awasss...!"
Tubuh Soka Pura melambung ke atas, semen-
tara Selir Pamujan terlambat mengetahui datangnya
sinar hijau tersebut. Ketika kedua sinar itu berada da-
lam jarak lima langkah dari Selir Pamujan, saat itu
Soka Pura cepat hantamkan pukulan dari udara beru-
pa dua sinar merah seperti piring berputar yang me-
mercikkan bunga api. Jurus 'Mata Bum!' itu akhirnya
menghantam kedua sinar hijau hingga terjadilah leda-
kan beruntun yang mempunyai daya sentak cukup be-
sar.
Blegaar, blaaaarr...!
Selir Pamujan terlempar cukup kuat. Tubuhnya
jatuh menggelinding ke bawah tanggul sungai. Soka
Pura tak sempat selamatkan tubuh perempuan itu, ka-
rena ia segera sibuk hadapi serangan seorang pe-
rempuan berjubah hijau muda yang rambutnya dl-
sanggul rapi itu. Perempuan tersebut menerjang Soka
Pura dengan melepaskan jarum-jarum berwarna me-
rah yang sangat berbahaya.
Soka Pura segera hindari jarum-jarum itu de-
ngan gulingkan tubuh ke tanah. sambil bergerak maju.
Gerakan bergulingnya berhenti tepat di depan kaki pe-
rempuan berjubah hijau yang baru saja turun dari sa-
tu lompatan. Seketika itu juga Soka segera lepaskan
Jurus Totok Pikun' yang hanya dimiliki olehnya, se-
dangkan Raka Pura tak memiliki jurus tersebut. Des,
des...!
Dua totokan pada betis dan mata kaki perem-
puan berjubah hijau itu telah membuat perempuan
tersebut jatuh. terpuruk bagai cucian basah jatuh dari
tali jemuran. Sementara itu, di seberang sungai sana,
Iblis Bangor tertawa semakin keras dan terbahak-
bahak seakan menertawakan pertarungan tersebut. .
"Huaaaah, hhaaah, haaahhh, haaahhh...!" Sua-
ra itu sampai terdengar sangat serak dan sepertinya
dipaksakan untuk terlontar dari kerongkongannya.
Tubuh Iblis Bangor jatuh terduduk sampai memukul-
mukul tanah seperti orang yang sangat kegelian.
"Sial!" geram Soka Pura sambil melirik Iblis Ba-
ngor. Kemudian ia pandangi perempuan berjubah hi-
jau yang tak lain adalah Tandu Sangrai itu. ia adalah
perempuan yang tergila-gila oleh cumbuan mesra Soka
yang pernah diperolehnya di balik semak-semak bebe-
rapa waktu yang lalu, (Baca serial Pendekar Kembar
dalam episode : "Gua Mulut Naga").
"Lagi-lagi kau cari penyakit, Tandu Sangrai! Bu-
kan salahku Jika akhirnya kau mengalami nasib se-
perti ini!" ujar Soka Pura ketika Tandu Sangrai masih
terkulai lemas bagai tanpa tulang dan urat sedikitpun.
Soka Pura segera menuruni tanggul sungai, ia
mencemaskan keadaan Selir Pamujan yang masih ter-
kapar tanpa gerakan sedikit pun. Tubuhnya mengala-
mi luka memar, membuat kulit tubuh kuning langsat
itu menjadi biru legam. Luka itu akibat sentakan ge-
lombang ledak yang tak bisa dihindarinya lagi.
"Oh, dia pingsan?! Celaka! Tubuhnya bisa bu-
suk kalau tak segera ku sembuhkan. Tapi... sebaiknya
kubawa ke tempat sepi agar tak ada yang mengganggu
saat kulakukan penyembuhan nanti!"
Soka Pura segera memondong tubuh Selir Pa-
mujan. Suara tawa Iblis Bangor masih terdengar keras,
tapi tak dihiraukan oleh Soka Pura. Ketika ia naik ke
atas tanggul, Tandu Sangrai telah bangkit.dan berdiri
dengan wajah linglung, ia memandangi alam sekeli-
lingnya seakan merasa asing dengan keadaan tersebut.
Soka Pura sengaja pandangi Tandu Sangrai se-
bentar untuk melihat reaksi perempuan berjubah hijau
itu. Ternyata perempuan itu menatap dengan bingung
dan merasa asing dengan wajah Soka Pura.
"Kang, di mana aku ini? Mengapa aku ada di
sini, Kang?"
Soka tersenyum geli. "Kau dipanggil gurumu
untuk pulang selekasnya!"
"Guruku? Oh, siapa guruku itu, Kang?"
"Mana aku tahu?! Pokoknya pulanglah sana!"
"Pulang ke mana? Tinggalku di mana, Kang?
Kau siapa sebenarnya? Lho... perempuan yang kau
pondong itu siapa, Kang? Bukan aku, kan?!"
"Bukan. Itu sahabatku yang sedang sakit. Aku
harus segera sembuhkan dia."
"Oo... kasihan, ya? Kalau begitu, lekaslah sem-
buhkan dia sebelum dia mati!"
"Terima kasih atas saran mu!"
Sambil menahan geli melihat Tandu Sangrai
linglung; Soka Pura segera tinggalkan tempat Itu. Tan-
du Sangrai sempat berseru dari tempatnya.
"Kalau sudah selesai cepatlah kemari, ya Kang!"
Tentu saja seruan itu tak dihiraukan. Soka Pu-
ra bergegas membawa Selir Pamujan ke tempat yang
aman dari gangguan siapa pun. Ia menemukan sebuah
gua yang tak seberapa dalam. Gua itulah yang diguna-
kan untuk sembuhkan Selir Pamujan. Sekalipun tak
seberapa dalam, namun gua itu tampak bersih pertan-
da sering dipakai singgah para pengelana dari berbagai
penjuru.
Ilmu penyembuhan yang dinamakan jurus
'Sam-bung Nyawa' segera digunakan oleh Soka Pura.
Tangan kirinya menempel di kulit dada perempuan itu.
Gumpalan dada yang tampak kencang itu sempat ter-
sentuh tepian telapak tangan dan menimbulkan debar-
debar tersendiri dalam hati Soka Pura. Debar-debar itu
segera disingkirkan, bayangan ngeres berhasil dibuang
untuk sesaat. Soka Pura memusatkan konsentrasinya
pada hawa murni dan kekuatan inti gaib agar tersalur
melalui telapak tangannya.
Beberapa saat kemudian, telapak tangan itu
memancarkan bias cahaya ungu. Makin lama tubuh
Selir Pamujan pun ikut memancarkan bias cahaya un-
gu, sampai akhirnya seluruh tubuh perempuan itu
bercahaya ungu. Pada saat tubuh Selir Pamujan sudah
memancarkan cahaya ungu secara rata, telapak tan-
gan Soka segera ditarik dan cahaya ungu di tangan
Soka pun padam. Tapi cahaya ungu dl tubuh Selir
Pamujan masih berpendar-pendar.
Soka Pura meninggalkan tubuh yang meman-
carkan cahaya ungu berpendar-pendar itu. Jika luka
telah sembuh, kekuatan telah pulih kembali, maka ca-
haya ungu itu akan padam dengan sendirinya. Jika
sudah begitu, maka Selir Pamujan akan segera siuman
dan tak merasakan sakit atau lemah sedikit pun.
Soka Pura memandang ke arah luar. Ia berdiri
tak jauh dari pintu gua. Tampak cahaya sore mulai
memancar dari langit, warna merah lembayung meng-
hiasi ufuk barat.
"Agaknya aku harus bermalam di sini. Sebaik-
nya aku mencari kayu bakar untuk penerangan nanti
malam. Hmmm... tapi, haruskah aku bermalam di sini
bersama Selir Pamujan? Bagaimana dengan kakak ku;
Raka dan Paman Biang Tawa? Mengapa mereka tidak
menyusul ku? Apakah mereka gagal selamatkan Hantu
Muka Tembok?!"
Soka Pura tak jadi bergegas mencari kayu ba-
kar. Ia khawatir usahanya akan sia-sia, karena harus
segera tinggalkan gua itu. Ia akan mencari kayu bakar
jika Selir Pamujan tak keberatan untuk bermalam di
gua tersebut.
Selir Pamujan segera siuman. Ia merasa tu-
buhnya menjadi segar, tak ada rasa sakit, tak ada ke-
lelahan, tak ada luka perih apa pun. Ia bahkan meng-
gumam heran dalam hatinya.
"Mengapa badanku jadi sesegar ini? Sepertinya
aku tak pernah mengalami luka apa pun. Padahal
seingatku tadi aku seperti melihat cahaya yang mele-
dak dan dadaku terasa jebol. Setelah itu aku tak tahu
lagi bagaimana nasibku. Hmmm... sekarang aku sudah
berada di dalam gua? Oh, Itu dia si tampan Soka. Past!
dia yang membawaku masuk ke gua ini dan... dan di
akah yang menyembuhkan diriku?"
Pendekar Kembar muda sunggingkan senyum
ketika Selir Pamujan berdiri dan memandang ke arah-
nya. Perempuan itu sempat memeriksa pakaiannya se-
saat, sepertinya takut ada kenakalan yang dilakukan
oleh si pemuda tampan itu.
"Aku hanya sembuhkan lukamu, tak sempat
menggagahi mu," ujar Soka yang mengetahui maksud
kecurigaan Selir Pamujan itu. la melangkah mendekati
perempuan tersebut yang mencibir ketus setelah men-
dengar kata-kata tadi.
"Siapa yang menyerang kita tadi?" tanyanya
sambil melolos pedangnya untuk mengencangkan se-
lendang kuning yang menjadi Ikat pinggangnya itu.
"Kau kenal dengan nama Tandu Sangrai?"
"Hmm...! Diakah yang menyerang kita?"
Soka Pura anggukkan kepala.
"Keparat perempuan itu! Sekarang di mana dia?
Akan kuhajar sampai sekarat perempuan itu!" geram
Selir Pamujan.
"Dia sudah pergi. Aku sudah berhasil mengu-
sirnya."
"Aku akan mencarinya!"
"Tak perlu. Dia sudah lupa siapa dirinya, juga
lupa pada diri kita. Ingatannya akan pulih setelah tiga
hari nanti."
"Tapi dia musuh lamaku! Aku muak dengan-
nya. Sayang mendiang guruku selalu tak izinkan aku
membunuhnya."
"Mengapa mendiang gurumu tak mengizinkan
kau membunuhnya?"
"Gurunya Tandu Sangrai adalah sahabat men-
diang guruku!" sambil berkata begitu, Selir Pamujan
bergegas keluar dari gua.
"Hei, mau ke mana kau?!" sergah Soka sambil
ikut keluar.
"Aku haus! Aku mau cari kelapa muda seben-
tar. Tetaplah di sini dan... carilah kayu bakar untuk
nanti malam. Sebentar lagi hari akan gelap, Soka!"
Pemuda berambut sebahu itu sunggingkan se-
nyum memandang! kepergian perempuan cantik yang
masih menenteng pedangnya di tangan kiri. Hatinya
ditaburi bunga-bunga indah saat mendengar perintah
mencari kayu bakar itu. Karena perintah itu menanda-
kan bahwa Selir Pamujan ingin bermalam di gua itu.
Maka Soka pun segera mencari kayu bakar
sambil berkata dalam hatinya, "Tentang Raka dan Pa-
man Biang Tawa urusan nanti saja! Pasti besok mere-
ka akan bertemu denganku. Raka tak mungkin me-
ninggalkan diriku jauh-jauh. Setidaknya dia akan me-
nyusul ke arah kepergianku dari tempat pertarungan
Hantu Muka Tembok dengan Selir Pamujan tadi. La-
ma-lama pasti sampai pula di sekitar tempat ini...."
Firasat Soka mengatakan bahwa dirinya akan,
menjadi lebih akrab lagi dengan Selir Pamujan. Sekali-
pun perempuan itu sering bersikap ketus, tapi Soka
Pura yakin keketusan itu hanya sekadar lagak saja
agar tidak diremehkan oleh lawan Jenisnya.
Terbukti wajah cantik itu sudah mulai bisa ter-
senyum ketika mereka menikmati kelapa muda di da-
lam gua. Soka sempat tertegun kagum melihat senyum
Selir Pamujan yang memancarkan daya pikat sangat
kuat. Bahkan dengan polosnya Soka memuji senyu-
man itu tanpa rasa malu lagi.
"Senyuman mu sangat memikat. Hatiku berge-
tar kuat, Selir Pamujan. Kau memakai ilmu pelet, ya?"
"Enak saja! Kalau aku gunakan ilmu pelet, kau
tak akan diam saja seperti sekarang ini."
"Mengapa tak kau gunakan saja ilmu peletmu
itu? Biar aku tidak diam saja begini?!" pancing Soka.
Selir Pamujan hanya mencibir. Cibiran itu menggeli-
kan, membuat Soka tertawa dan Selir Pamujan menja-
di sunggingkan senyum mania. Hati Soka gemas, ingin
mencubit pipi perempuan itu, tapi ia berusaha mena-
han diri agar tidak dianggap kurang ajar.
"Jadi kau benar-benar tak tahu dl mana perem-
puan pembantai Itu?" Soka sengaja mengalihkan pem-
bicaraan untuk menutupi hasrat hatinya yang sebe-
narnya sudah tak sabar ingin mengecup bibir Selir
Pamujan yang mirip kue lapis legit itu.
"Aku benar-benar tak tahu di mana dia berada.
Memang aku ingin meminta bantuannya untuk me-
nyerang Bukit Gamping. Tapi kudengar Puri Cawan
Mesum telah hancur...."
"Aku dan kakakku yang menghancurkannya.
Tapi sang Pembantai itu melarikan diri entah ke ma-
na," potong Soka.
"Aku sendiri tak bisa memperkirakan ke mana
arah pelariannya. Yang jelas la belum tahu kalau gu-
ruku telah tewas. Sudah lama kami tidak saling Jum-
pa."
"Setidaknya kau punya kemungkinan kecil ten-
tang arah pelariannya, walau kemungkinan kecil itu
akan salah."
Selir Pamujan diam sesaat, sepertinya ia dilipu-
ti kebimbangan dalam mengambil sikap. Dl satu sisi,
Betina Rimba adalah orang yang pernah membuat-nya
bebas dari hukuman mati yang dijatuhkan oleh pemi-
lik puri itu sebelumnya, di satu sisi lain ia harus ber-
hadapan dengan Soka Pura yang tampan, gagah, dan
sering menghadirkan debar-debar indah dalam hatinya.
"Aku serba bingung jika begini. Sekalipun baru
sehari kita bersama, tapi kau sudah kuanggap seperti
sahabat lamaku sendiri. Entah mengapa hatiku jadi
seperti itu, padahal biasanya aku tak mudah memper-
cayai seseorang dan menjalin persahabatan dengan
orang yang baru kukenal. Sedangkan Betina Rimba
adalah sahabatku juga dan aku berhutang budi pa-
danya. Ia pernah selamatkan nyawa ku walau hal itu
terjadi di luar kesengajaan."
Soka Pura mulai menyalakan api karena petang
telah datang. Sambil menyalakan api unggun, la ber-
kata bagai bicara pada dirinya sendiri.
"Seandainya dia tidak membantai seluruh ke-
luarga ayahku dan penduduk di pademangan itu,
mungkin aku dan kakakku tidak akan memburunya
sedemikian rupa."
"Aku bisa memahami perasaanmu," ujar Selir
Pamujan saat Soka selesai menyalakan api unggun
dan duduk di sampingnya.
"Kalau memang kau tidak bisa membantuku,
ya sudahlah. Aku tak akan mendesak mu. Tapi aku
yakin dalam waktu singkat akan bisa bertemu den-
gannya dan mengirimnya ke neraka."
"Kau pasti kecewa padaku," ujar Selir Pamujan
dengan suara lirih, tapi sambil berpaling menatap So-
ka. Pemuda itu pun memandangnya dan cepat-cepat
sunggingkan senyum agar tetap kelihatan ceria.
"Aku tak kecewa," ujarnya. "Hal yang membuat
ku kecewa adalah jika kau pergi meninggalkan diriku
malam ini juga."
"Mengapa kau takut ku tinggalkan?"
Sambil tersenyum canda Soka menjawab, "Aku
takut tinggal di dalam gua sendirian pada malam hari.
Takut didatangi setan."
Selir Pamujan tertawa pelan sambil melengos
memandang nyala api unggun. Kejap kemudian ia ber-
paling lagi menatap Soka sambil berkata lirih.
"Bagaimana kalau ternyata setannya perempu-
an cantik? Apakah kau masih takut?"
"Asal secantik dirimu, aku tak akan pernah ta-
kut."
"Dasar buaya!" Selir Pamujan menepak pelan
pipi Soka, mirip sebuah colekan nakal. Soka justru
melebarkan senyum bersama tawanya yang mirip
orang menggumam. Tangan perempuan itu segera di-
genggamnya sebelum kembali ke tempatnya.
"Apakah kau akan meninggalkan aku di gua ini
sendirian?"
Selir, Pamujan diam sesaat, sengaja menatap
tanpa berkedip. Kemudian suaranya terdengar dengan
lirih.
"Asal kau tak menjengkelkan diriku, aku tak
mau meninggalkan dirimu." "Kenapa begitu?"
"Aku butuh teman untuk mengusir duka di ha-
tiku atas kematian guruku."
Soka menempelkan tangan Selir Pamujan ke
pipinya, lalu sesekali bibirnya mengecup tangan itu
dengan lembut dan mata masih saling pandang. Sua-
ranya semakin lirih dari yang tadi, .
"Apakah menurutmu aku pantas menjadi se-
orang teman penghibur hati?"
"Tergantung seberapa pandai kau menghibur-
ku."
"Begitukah? Apakah kecupan ku di tanganmu
ini adalah sesuatu yang menghibur?"
Selir Pamujan anggukkan kepala sambil lebar-
kan senyum.
"Bagaimana jika kecupan ini merayap sampai di
pipimu? Kau keberatan?"
Selir Pamujan gelengkan kepala.
"Kalau sampai ke bibirmu, kau bersedia?"
Perempuan itu anggukkan kepala sambil rasa-
kan kehangatan atas sentuhan bibir Soka di belakang
telapak tangannya.
"Lakukan kalau kau merasa mampu menghibur
ku," ucap Selir Pamujan dengan suara seperti berbisik.
Soka Pura pun merayapkan kecupannya ke
lengan perempuan itu. Kecupan demi kecupan me-
rayap pelan-pelan dan hanya dipandangi Selir Pamu-
jan dengan jantung berdetak-detak. Ketika kecupan itu
mendekati pundak, Selir Pamujan sudah pejamkan
mata karena meresapi kehangatan yang terasa menja-
lar ke seluruh tubuh itu.
Akhirnya kecupan Soka mencapai leher dan Se-
lir Pamujan sengaja memiringkan kepala agar kecupan
itu lebih leluasa lagi. Soka Pura menggunakan kesem-
patan itu untuk memungut leher kuning langsat itu
dengan pagutan pelan. Bahkan lidahnya mulai menja-
lar seperti ular, menyapu permukaan leher hingga nya-
ris melingkari leher itu. Kepala Selir Pamujan mengge-
liat membuka kesempatan agar kecupan indah itu me-
nyapu rata seluruh lehernya.
"Ouh, aaah... aaahmm...!"
Ciuman lembut itu semakin naik, menyusuri
tulang rahang dan merayap di pipi berkulit halus. Ke-
mudian kecupan itu makin bergeser sampai akhirnya
menyentuh bibir perempuan tersebut. Bibir itu dipagut
pelan-pelan dengan tarian indah yang menggelitik me-
nimbulkan kenikmatan mendebarkan hati.
Selir Pamujan tak sanggup sebagai penerima
saja. Maka bibir dan lidah Soka pun dilumatnya de-
ngan penuh luapan gairah untuk bercumbu. Tangan
nya mulai meraba dan meremas punggung Soka Pura
dengan napas terputus-putus karena kecupannya kian
memburu.
Tangan Soka menelusup di balik baju perem-
puan itu. Kehangatan dari sepasang bukit sekal dan
montok itu mulai diraihnya. Tangan itu bermain den-
gan gerakan sangat lembut, seakan setiap sentuhan
membuat darah Selir Pamujan mengalir deras ke selu-
ruh tubuh.
Soka Pura sengaja melepaskan kecupan bibir-
nya. Mulut itu merayap ke dagu, ke Leher, dan terus
sampai ke belahan dada.
"Uuuuhhh...!" Selir Pamujan mengeluh panjang.
Tapi ia membiarkan tangan Soka mengeluarkan bukit
dari persembunyiannya. Selir Pamujan justru sandar-
kan punggung dan kepalanya ke batu dl belakangnya.
Ketika kecupan Soka menyapu perbukitan, Selir Pa-
mujan makin mengerang dengan menggigit bibir. Dan
ia, segera terpekik ditikam kenikmatan yang mengge-
tarkan jiwa sewaktu rasakan ujung bukitnya disantap
oleh Soka Pura dengan pagutan lembut yang seakan
ingin mencabut sukma.
"Ooouhhh...! Uuuuh...! Aaaah, nikmat sekali,
Soka.... Ssss, aaah...!"
Selir Pamujan semakin menggelinjang dibuat
kenikmatan. Ciuman Soka pun bertambah nekat,
sampai akhirnya Selir Pamujan lupa segala-galanya. Ia
sudah telanjur hanyut dalam pelayaran asmara yang
sangat indah yang membuatnya terbang ke puncak
berkali-kali. Kebahagiaan yang diperoleh-nya pada ma-
lam itu merupakan keindahan yang tiada taranya. Tak
heran jika Selir Pamujan akhirnya meminta Soka un-
tuk mengulang dan mengulangi lagi pelayaran itu.
Setelah memperoleh kebahagiaan sebegitu indah dan besarnya, tiba-tiba hati Selir Pamujan merasa
iba terhadap kegagalan Soka mencari Betina Rimba.
Tiba-tiba juga hati Selir Pamujan merasa berada di pi-
hak Soka Pura, sehingga saat peluh mereka mengering
dan sisa kelelahan masih menjalar di sekujur tubuh,
perempuan itu berkata dengan mata memandang lurus
ke langit-langit gua dan tubuhnya dibiarkan terpeluk
oleh pemuda tampan itu.
"Tak ada salahnya Jika kau mencari Betina
Rimba ke Tebing Bencana!"
Soka Pura terkejut, apalagi ia pernah mendapat
penjelasan dari Biang Tawa tentang penguasa Tebing
Bencana. Soka segera melontarkan perasaan herannya
itu kepada Selir Pamujan.
"Mengapa tiba-tiba kau punya gagasan begitu?"
"Kenikmatan dan kepuasan yang kau berikan
padaku telah membuka ingatanku, bahwa Betina Rim-
ba kenal dengan Pangeran Laknat, si Penguasa Tebing
Bencana itu. Siapa tahu dia meminta bantuan kepada
Pangeran Laknat untuk menghadapimu, atau setidak-
nya minta perlindungan kepada Pangeran Laknat agar
bebas dari pengejaran mu."
Soka menggumam lirih sambil mulai berpikir
tentang buronannya lagi. Tetapi sebelum ia keluarkan
pendapat, Selir Pamujan lebih dulu berkata sambil
memiringkan badan, memeluk erat tubuh kekar ber-
dada bidang itu.
"Tapi sebaiknya jangan ke sana secara semba-
rangan. Bisa-bisa kau berhadapan dengan Pangeran
Laknat! Selidiki saja dulu secara rapi agar tidak mem-
buat Pangeran Laknat murka kepadamu."
Soka diam sambil bertanya dalam hati, "Benar-
kah dia ada di sana? Jika tidak ada di sana, lalu ke
mana lagi si pembantai itu?"
*
* *
6
RAKA PURA sempat merasa dongkol oleh adik-
nya. Seharian penuh ia dan Blang Tawa tak berhasil
temukan Soka, sampai akhirnya mereka bermalam da-
lam hutan. Esoknya, mereka meneruskan pencarian
sampai akhirnya bertemu dengan Tandu Sangrai.
"Lho, Kang... kau sudah ada di sini, Kang?!" te-
gur Tandu Sangrai kepada Raka yang disangka Soka
Pura.
Raka menjadi heran dan bingung sendiri. Blang
Tawa menanyakan tentang perempuan itu, Raka je-
laskan bahwa perempuan itu pernah bertarung den-
gannya karena tindakannya yang keji, membunuh Ki
Mandura, (Baca serial Pendekar Kembar dalam epi-
sode: "Gua Mulut Naga").
"Tapi dia mengenaliku dan tak pernah me-
manggilku dengan sebutan Kang?!"
Tandu Sangrai masih tampak seperti orang lin-
glung. Namun ia ingat tentang perempuan yang dipon-
dong Soka kemarin sore itu.
"Perempuan yang kau pondong Itu sudah sem-
buh, Kang?"
"Perempuan mana?!" tanya Raka.
"Ah, begitu saja lupa! Kau ini masih muda kok
sudah linglung, Kang? Itu lho... perempuan yang pakai
baju ungu dan kau bilang sedang sakit itu...! Bukan-
kah kau membawanya pergi dan bilang mau mengoba-
tinya? Aku menunggumu di tanggul sungai sampai
malam tiba, tapi kau tidak kembali lagi, Kang."
Raka Pura semakin heran dan kecurigaannya
pun bertambah besar. la sempat mencoba mena-
nyakan dirinya.
"Kau kenal siapa aku?"
"Bagaimana mau kenal, habis kemarin kau tak
mau perkenalkan namamu. Mana aku kenal dengan-
mu, Kang?"
"Kau kenal dengan Soka Pura?"
"Soka Pura...?! Oh, itu makanan terbuat dari
singkong atau dari jagung, Kang?"
Blang Tawa menyahut dengan Jengkel, "Dari
batu!"
"Ooh... dari batu?" Tandu Sangrai manggut-
manggut.
Raka menahan senyum geli. Ia berbisik kepada
Biang Tawa, "Sepertinya ada yang tak beres pada di-
rinya. Ia bagai orang yang kehilangan ingatannya."
Biang Tawa segera bertanya kepada Tandu
Sangrai, "Siapa namamu?"
"Namaku...? Hmmm... siapa, ya? Enaknya na-
maku siapa, Kang?"
"Jagung Rebus!" jawab Biang Tawa dengan
dongkol.
"Jagung Rebus?! O, indah sekali nama itu,
Kang. Cocok untukku, ya?!"
"Wah, kacau...!" gumam Biang Tawa sambil
menjauh. Raka Pura dekati Biang Tawa.
"Paman, kurasa dia kemarin bertemu dengan
Soka, terbukti ia mengenaliku sebagai orang yang
membawa perempuan sakit berbaju ungu. Pasti aku
dianggapnya sebagai Soka."
"Perempuan berbaju ungu...? Bukankah si Selir
Pamujan berbaju ungu? Kalau begitu Selir Pamujan
sakit dan dibawa pergi oleh Soka untuk disembuh
kan?"
"Dugaanku mengatakan begitu, Paman. Dan...
sepertinya Soka sempat bentrok dengan Tandu San-
grai. Past! Soka menggunakan jurus 'Totok Pikun'.
Hanya dia yang memiliki jurus 'Totok Pikun'. Dan ju-
rus itu membuat orang lupa ingatan, bahkan lupa pa-
da dirinya selama tiga hari."
Setelah menggumam dan manggut-manggut,
Biang Tawa segera dekati Tandu Sangrai yang sedang
mengamati setangkai bunga liar di semak-semak, sea-
kan ia heran sekali melihat bunga berwarna kuning
kemerahan itu.
"Hel, di mana kau bertemu dengan pemuda itu
kemarin?" sambil Biang Tawa menuding Raka yang di-
anggap Soka itu.
"Kemarin kami bertemu di tanggul sungai."
"Di mana letak sungai?"
"Hmmm... kalau tak salah dl sebelah sana! Ta-
nyakan saja pada dia, atau suruh dia mengantarkan
kau ke sungai, dia pasti tahu letak sungai itu!"
Biang Tawa segera mengajak Raka tinggalkan
Tandu Sangrai. Mereka bergegas ke arah yang di tun-
jukkan Tandu Sangrai. Ternyata mereka memang me-
nemukan sungai bertanggul tinggi itu.
"Aneh," gumam Blang Tawa. "Jika perempuan
itu terkena jurus 'Totok Pikun', mengapa ia ingat ten-
tang arah sungai dan perempuan sakit berbaju ungu
segala?"
Jurus itu hanya menghapus Ingatan masa lalu.
Tapi peristiwa yang terjadi pada saat telah tertotok, te-
tap diingatnya."
"Oo, begitu?!" Blang Tawa manggut-manggut.
"Tak ada salahnya kalau kita coba mencari So-
ka menyusuri sungai ini, Paman!"
"Aku baru mau berkata begitu, kau sudah
mendahuluinya! Kau mencari di seberang sana, aku
mencari di seberang sini!"
Namun sebelum mereka berpencar, tiba-tiba
sekelebat bayangan meluncur dari atas pohon dan
menerjang Raka Pura. Weees...!
Tangan Raka Pura segera berkelebat menang-
kis, dan ternyata sebuah tendangan kuat hampir saja
kenai kepalanya jika Raka tidak cepat berpaling dan
menangkisnya. Plaaak...! Sentakan tangan itu bertena-
ga dalam cukup besar, sehingga tubuh yang melayang
itu terpelanting dan nyaris jatuh menggelinding ke ba-
wah tanggul. Untung orang tersebut cepat menangkap
sebatang akar pohon yang menjulur bagaikan tam-
bang, sehingga ia tak sampai menggelinding ke bawah
tanggul.
Raka Pura kerutkan dahi tajam-tajam karena ia
merasa tak pernah kenal dengan lelaki berusia sekitar
tiga puluh tahun yang mengenakan pakaian kuning
emas itu. Namun Blang Tawa cepat kenali lelaki itu
sehingga ia segera tampil lebih depan dari Raka dan
menyapa lelaki bersenjata cambuk itu.
"Kalau tak salah kau adalah si Wisnu Galang,
murid Hantu Muka Tembok!"
"Ternyata mata tuamu belum rabun! Aku me-
mang murid Hantu Muka Tembok yang bernama Wis-
nu Galang!" jawabnya dengan tegas dan berapi-api,
wajahnya memancarkan hasrat untuk membunuh.
Bahkan ia segera mencabut cambuknya dari pinggang.
Namun tangan Biang Tawa segera ter-angkat untuk
menahan gerakan Wisnu Galang.
"Tunggu dulu! Apa persoalannya sehingga kau
menyerang kami, Wisnu Galang?!"
"Aku tidak menyerangmu, Onde-onde!" ejek
Wisnu Galang kepada Biang Tawa yang tampak gemuk
bundar mirip makanan onde-onde isi kacang hijau itu.
"Aku punya urusan sendiri dengan pemuda
berpakaian putih itu. Dia pasti si Pendekar Kembar
yang sering dibicarakan orang sesuai dengan ciri pa-
kaian dan pedang kristalnya Itu!"
"Benar. Aku memang Pendekar Kembar; Raka
Pura, namaku!" sahut Raka tegas. "Tapi aku merasa
baru kail Ini bertemu denganmu, Wisnu Galang!"
"Tentu saja, karena kau pendekar yang bodoh,
tak bisa mengenali murid lawanmu ini! Sekarang aku
tak mau banyak bicara! Aku harus menuntut balas
padamu, Pendekar Kembar! Heeeeh...!"
Tiba-tiba Wisnu Galang lecutkan cambuknya ke
arah Raka Pura. Ctaar...! Ujung cambuk panjang itu
menyabet kepala Raka, namun pemuda tampan ber-
baju putih itu berhasil hindari cambuk tersebut de-
ngan merundukkan kepala serendah mungkin. Begitu
kepala tegak sedikit, Raka segera lepaskan pukulan
tenaga dalamnya dengan kedua tangan mengepal dan
menyentak ke depan. Dari kepalan kedua tangan itu
keluar tenaga dalam tanpa sinar yang dapat di pakal
menumbangkan pohon. Wuuuk...! Hawa padat itu
menghantam perut Wisnu Galang dengan kuat dan
membuat tubuh pemuda itu terlempar menggelinding
ke bawah tanggul. Wuuusss...!
"Aaakh...!" Wisnu Galang memekik kesakitan
dengan suara tertahan Pernafasannya menjadi sesak,
perutnya seperti kejatuhan batu sebesar kerbau. Jurus
Tangan Batu' itu memang tidak membuat tewas lawan,
namun membuat tubuh lawan seperti ditimpa batu se-
besar kerbau. Lawan menjadi pucat karena nafasnya
sesak dan menahan rasa sakit dl sekujur tubuh.
"Tinggalkan saja dia, Raka! Jangan ladeni, nanti kita berurusan Lagi dengan Hantu Muka Tembok.
Pertolonganmu kemarin menjadi sia-sia baginya."
Sebenarnya Raka setuju dengan saran Blang
Tawa. Tetapi tiba-tiba tubuh Wisnu Galang melambung
ke atas dan berjungkir balik dengan cepat, sehingga
dalam waktu sekejap ia sudah mencapai tanah di atas
tanggul. Jleeeg...! Raka Pura dan Biang Tawa sedang
melangkah tinggalkan tempat itu.
Rupanya Wisnu Galang berhasil kerahkan ha-
wa murninya sehingga dapat menahan rasa sakit aki-
bat jurus 'Tangan Batu'-nya Raka tadi. Kini kekuatan-
nya pulih kembali dan segera lecutkan cambuknya de-
ngan tenaga dalam tersalur pada cambuk tersebut.
"Berhenti kau, Jahanam!"
Ctaaar...!
Pendekar Kembar itu segera memutar tubuh
sebelum terdengar suara lecutan. Ketika cambuk itu
keluarkan suara keras sambil memercikkan sinar kun-
ing, Raka Pura segera sentakkan telapak tangan ka-
nannya. Wuuut...! Dari telapak tangan itu keluar sinar
merah bagai piringan berputar yang memercikkan
bunga api. Craaap...! Maka jurus 'Mata Bumi itu pun
menghancurkan sinar kuning yang keluar dari ujung
cambuk tersebut.
Blegaarrr...!
Ledakan dahsyat terjadi, menggema ke mana-
mana, menggetarkan tanah tanggul dan pepohonan
sekitarnya. Tubuh Raka terdorong mundur oleh ge-
lombang ledakan yang menyentak kuat itu. Ia tak tahu
di belakangnya ada Biang Tawa, sehingga tubuhnya
menabrak Biang Tawa. Brrruk...!
"Kampreet...!" maki Biang Tawa yang segera ter-
jungkal ke belakang dan menggelinding jatuh ke ba-
wah tanggul.
"Setan kurap kalian, aaaah...!" seru Biang Tawa
pada saat menggelinding.
Sementara itu, Wisnu Galang sendiri terpelant-
ing nyaris jatuh jika tidak tertahan sebatang pohon
yang tumbuh miring ke lereng tanggul.
"Wisnu Galang! Ku ingatkan padamu, jangan
bikin masalah denganku! Kita tak punya persoalan
apa-apa, mengapa harus bermusuhan?!"
"Pengecut!" seru Wisnu Galang, "Kau adalah
pembunuh yang pengecut! Tak berani mengakui tinda-
kanmu dan bersembunyi di balik topeng kesucian!"
"Apa maumu sebenarnya?!" bentak Raka de-
ngan Jengkel.
"Mencabut nyawamu sebagai ganti nyawa guru
ku!" balas Wisnu Galang berteriak.
"Siapa yang membunuh gurumu?! Gurumu be-
lum mati!" seru Biang Tawa setelah lakukan lompatan
beberapa kali dan mencapai tanah atas tanggul.
"Kalian tak perlu berpura-pura di depanku! Kau
telah membunuh guruku, Pendekar Kembar! Sekarang
aku menuntut bales atas kematian guruku. Nyawamu
harus ku cabut sebagai upah tindakanmu itu!"
"Tunggu dulu!" sergah Raka Pura. "Agaknya
benar-benar ada salah paham di antara kita!"
Biang Tawa berseru dengan jengkel pula. "Siapa
yang mengatakan bahwa Raka Pura telah membunuh
Hantu Muka Tembok?!"
"Betina Rimba yang memergoki tindakan keji
itu!"
Raka terkejut, demikian pula Biang Tawa. Kini
lelaki pendek bundar berpakaian abu-abu itu justru
tertawa terkekeh-kekeh.
"Heh, heh, heh, heh! Rupanya ini siasat licik si
Betina Rimba!"
Raka Pura makin marah kepada Betina Rimba,
namun karena tak bisa dilampiaskan maka ia hanya
menarik napas dalam-dalam. Menyimpan kemarahan
itu di dadanya.
"Wisnu Galang, kita telah diadu domba oleh Be-
tina Rimba. Gurumu masih hidup. Kemarin kami ber-
temu dan segera berpisah karena Hantu Muka Tembok
ingin mencari muridnya. Mungkin kaulah yang dimak-
sud."
"Omong kosong! Kau hanya ingin menghindari
balas dendam ku, Keparat! Sekarang terima saja ajal-
mu melalui jurus 'Pecut Leak' ini! Hiaaaah...!"
Cambuk itu pun segera berkelebat tanpa dipu-
tar di atas kepala lebih dulu. Gerakan cambuk bukan
menyamping tapi dari bawah ke atas dan ke bawah La-
gi.
Glegaarr...!
Tujuh sinar merah keluar dari ujung cambuk.
Ketujuh sinar merah berbentuk panah itu menyerang
Raka Pura secara serempak dalam posisi melebar.
Weeerrs...!
"Hindari...!" teriak Biang Tawa sambil ia sendiri
lompat ke satu arah tapi terpeleset hingga terguling-
guling lagi ke bawah tanggul.
Raka Pura pergunakan ilmu peringan tubuhnya
yang dinamakan Jurus 'Badal Terbang'. Dengan me-
nyentakkan napas yang segera tertahan tubuhnya su-
dah dapat melambung sendiri ke atas dengan cepat,
melebihi kecepatan sinar merah itu sendiri. Wuuuus...!
Ketujuh sinar tersebut tiba-tiba hancur sebelum
menghantam pohon besar yang ada dl belakang Raka
Pura saat berdiri.
Jlegaaar...!
Tanah dan pohon menjadi rompal. Pohon itu
rusak berat, tanahnya bagai menyembur ke atas akibat
ledakan dahsyat itu.
Seberkas sinar biru panjang telah menghantam
ketujuh sinar merah tersebut yang mengakibatkan le-
dakan dahsyat tadi. Sementara itu, Raka Pura dalam
keadaan berdiri di atas dahan pohon dan memandang
ke bawah. Bukan Wisnu Galang yang dipandang, tapi
seseorang yang tiba-tiba muncul tak jauh dari tempat
Raka berdiri tadi. Wisnu Galang pun pandangi orang
yang baru datang dan menghancurkan ketujuh sinar
merahnya dengan sinar biru panjang itu. Orang terse-
but tak lain adalah si tua Hantu Muka Tembok.
"Guru...?!" Wisnu Galang berseru dengan sa-
ngat kaget. Bola matanya melebar, seakan ingin loncat
keluar karena kagetnya.
Wuuut, jleeg...! Raka Pura meluncur turun dari
pohon dan segera pandangi Wisnu Galang yang hampi-
ri gurunya dengan wajah tegang.
"Guru, kau masih...."
Plaaaak...!
Tamparan keras diterima Wisnu Galang dari
tangan gurunya. Tamparan itu membuat Wisnu Ga-
lang melintir lalu jatuh berlutut di bawah pohon. Wa-
jah Wisnu Galang menjadi merah bagaikan kepiting
rebus akibat tamparan sang guru tadi.
"Murid bodoh!" bentak Hantu Muka Tembok.
"Mengapa kau menggunakan jurus maut itu untuk me-
lawan Raka Pura?! Kau ingin membunuh orang yang
telah berjasa selamatkan nyawa gurumu ini, hah?!"
"Mma... maaf, Guru...," Wisnu Galang mengge-
ragap. "Kusangka Guru sudah tewas di...."
Plaaak...! Tamparan keras diterima lagi oleh
Wisnu Galang.
"Murid lancang! Guru masih hidup dikatakan
sudah tewas! Kau menyumpahi diriku biar cepat ma-
ti?!"
"Ampun, Guru! Ampun...! Aku tidak menyum-
pai Guru, hanya mengharapkan agar Guru... eh, mak-
sudku... aku mendapat kabar bahwa Guru telah tewas
dibunuh oleh Pendekar Kembar. Maka aku terpaksa
memburu Pendekar Kembar untuk membalas den-
dam!"
"Buka matamu lebar-lebar! Aku belum mati!"
"Iya, kok bisa belum, ya? Eh, anu... maksudku,
kenapa Guru masih hidup?"
"Jadi seharusnya aku sudah mati?! O, rupanya
kau senang kalau gurumu cepat mati, ya?"
"Bukan begitu, Guru! Bukan begitu. Ampun,
Guru... maksudku, mengapa ada orang mengatakan
bahwa Guru sudah tewas, sehingga aku marah besar
kepada Pendekar Kembar itu!"
"Siapa yang mengatakan begitu?!"
"Betina Rimba, Guru!" jawab Wisnu Galang
sambil gemetaran walau nadanya dibuat tegas.
"Perempuan busuk dia itu!" geram Hantu Muka
Tembok.
"Memang busuk sekali, Guru!"
"Siapa yang busuk?!"
"Guru, eh... perempuan itu! Hmmm, ya... pe-
rempuan itu busuk sekali mulutnya Guru! Tapi dia
hangat dan...."
"Hangat?!" sentak Hantu Muka Tembok yang
membuat Wisnu Galang segera menyadari kegugupan-
nya telah membuat rahasia kencan dengan Betina
Rimba.
"Maksudku, eeeh, anu...."
"Jadi kau telah merasakan kehangatan gairah
sang Pembantai itu?!" kata Raka kepada Wisnu Galang.
"Pantas kau percaya dengan fitnahnya, rupanya
kau telah mendapatkan kehangatan dari si Pembantai
itu!" ujar Biang Tawa menimpali nya. Wisnu Galang
semakin salah tingkah dipandangi gurunya dengan ta-
jam.
"Di mana kau jumpa dengannya, Wisnu?" tanya
Raka Pura.
"Dia sedang menuju ke Tebing Bencana," jawab
Wisnu Galang pelan, karena diliputi rasa takut kepada
sang guru. Tetapi jawaban itu mengejutkan Raka Pura
dan Blang Tawa. Keduanya saling pan-dang dengan
wajah menegang.
"Kurasa dia meminta bantuan Pangeran Laknat
untuk menghadapi kalian berdua, Pendekar Kembar!"
ujar Blang Tawa berani menyimpulkan dengan pasti.
"Raka Pura," ujar Hantu Muka Tembok.
"Sayang sekali aku tak bisa banyak membantu dalam
perkara mu dengan Betina Rimba! Ada sesuatu yang
harus segera kulakukan bersama muridku ini. Kuha-
rap kau mampu mengatasi segala kesulitan dan ba-
haya yang datang menyerangmu!"
"Terima kasih atas sikap baikmu, Hantu Muka
Tembok. Maafkan, aku tadi telah sempat menghajar
muridmu!"
"Tak apa. Dia memang murid yang patut diha-
jar!" Jawab Hantu Muka Tembok, lalu ia berkata kepa-
da muridnya.
"Wisnu Galang, kita harus pulang sekarang ju-
ga! Sebentar lagi purnama akan tiba. Kau harus ber-
siap menerima jurus baru dariku!"
"Balk, Guru!"
"Minta maaf dulu kepada Pendekar Kembar!
Lain kali jangan berlagak Jago. Ilmumu belum seberapa dibandingkan Pendekar Kembar!"
"Jangan berkata begitu, Hantu Muka Tembok.
Ilmuku dan ilmu muridmu sama tingginya. Hanya
mungkin hari ini aku memperoleh keberuntungan bisa
menghajar muridmu dengan jurus kecil-kecilan tadi!"
Setelah Wisnu Galang meminta maaf kepada
Raka Pura, ia pun pergi bersama gurunya. Raka Pura
sempat ajukan tanya kepada Biang Tawa yang selama
ini sering menjadi penasihat atau teman bertimbang
rasa.
"Apakah kita perlu mencari Soka, atau lang-
sung menuju ke Tebing Bencana, Paman?"
"Sudah kubilang, jangan gegabah memasuki wi-
layah Tebing Bencana! Sebaiknya kau rundingkan du-
lu dengan adikmu."
"Kalau begitu, kita cari dulu si bandel Soka Pu-
ra itu!"
Mereka tak jadi melangkah, karena tiba-tiba
mereka mendengar suara tawa di kejauhan sana.
"Huaaah, hhaah, haaahh, haaah, haaaaa...!
Huuah, haahh, haahhh, haahh, hhahh...!"
"Iblis Bangor! Itu past! suara si Iblis Bangor
yang terkena Jurus totok 'Monyet Gembira'-mu, Pa-
man."
"Memang. Tapi biarlah ia tertawa sepuas-
puasnya menertawakan nasib dirinya sendiri. Terlalu
jauh untuk dihampiri. Cari dulu adikmu dan berun-
dinglah secepatnya sebelum Betina Rimba berhasil
mempengaruhi Pangeran Laknat!" ujar Biang Tawa
yang agaknya merasa cemas jika sampai Betina Rimba
berhasil pengaruhi si Pangeran Laknat. Dalam hati
Blang Tawa juga merasa takut Jika Pangeran Laknat
memihak Betina Rimba. Karena menurut perkiraan Bi-
ang Tawa, kedua pemuda tampan bergelar Pendekar
Kembar itu belum tentu mampu tumbangkan kesak-
tian Pangeran Laknat, karena mendiang guru si Biang
Tawa sendiri; Resi Pangkayon, pernah dikalahkan oleh
Pangeran Laknat dalam suatu pertarungan pribadi.
Tetapi Raka Pura tak menampakkan rasa ce-
mas atau gentar sedikit pun. Bahkan ia sempat berka-
ta kepada Blang Tawa sambil mencari Soka Pura me-
nyusuri sungai.
"Jika memang Pangeran Laknat turun tangan
memihak Betina Rimba, adalah suatu hal yang sangat
kebetulan sekali bagiku dapat bertarung melawan
orang yang dikenal sebagai tokoh sakti beraliran hitam
itu. Mudah-mudahan Betina Rimba berhasil mempen-
garuhi Pangeran Laknat, sehingga kami bisa bertemu.
Soka akan disuruh habisi riwayat si Betina Rimba, aku
akan habisi riwayat hitam Pangeran Laknat itu!"
"Dan aku akan menonton pertarungan mu dari
kejauhan. Jauh sekali!" ujar Biang Tawa membuat Ra-
ka tersenyum geli.
"Mengapa harus dari kejauhan?"
"Karena jurus-jurus maut si Pangeran Laknat
Jika melesat dari sasaran dapat mencelakakan orang
di sekitar tempat itu."
Raka Pura semakin lebarkan senyum. Ia justru
merasa mendapat semangat untuk melawan tokoh se-
sat itu, sehingga hatinya tak sabar ingin segera menu-
ju ke Tebing Bencana.
*
* *
7
BETINA RIMBA ternyata memang ingin meman-
faatkan kekuatan Pangeran Laknat untuk melawan
Pendekar Kembar. Mulanya ia diterima oleh Pangeran
Laknat sebagai tamu biasa. Betina Rimba pun utara-
kan maksudnya untuk meminta bantuan Pangeran
Laknat dalam melawan Pendekar Kembar.
"Urusanmu dengan Pendekar Kembar adalah
urusan pribadimu sendiri, Betina Rimba. Kurasa terla-
lu sia-sia jika aku harus ikut campur di dalam-nya,"
kata lelaki yang sudah tua tapi masih seperti berusia
dua puluh tujuh tahun itu.
Rupanya Betina Rimba tak berhasil membujuk
Pangeran Laknat untuk ikut menghadapi Pendekar
Kembar. Akhirnya, perempuan itu berkata dengan se-
cara blak-blakan.
"Kalau begitu, dapatkah kau menolong untuk
hal lain, Pangeran Laknat?!"
"Pertolongan apa lagi yang kau inginkan?"
tanya lelaki berwajah tampan dengan alias tebal, hi-
dung mancung dan bibir tampak merah jambu menye-
garkan bag! ukuran bibir lelaki itu.
"Izinkan aku bersembunyi di sini untuk semen-
tara waktu."
"O, kalau soal itu tak jadi masalah bagiku. Kau
boleh tinggal di sini, tapi harus membantu orang-
orangku dalam menghadapi tugas-tugasnya."
"Aku bersedia!" Jawab Betina Rimba.
Waktu itu hari telah malam, dan suasana sepi
makin mencekam. Betina Rimba segera tanyakan
ruang beristirahatnya.
"Di mana aku tidur?"
"Terserah! Kau kubebaskan memilih ruang ti-
durmu sendiri."
"Bagaimana jika di kamarmu?" pancing Betina
Rimba.
Pangeran Laknat yang bermata kebiru-biruan
itu memandang dengan sorot pandangan mata dingin.
Senyumnya sangat tipis, berkesan sinis. Rambutnya
yang panjang punggung bergelombang tetap diikat ke
belakang mirip perempuan. Kumisnya yang tipis den-
gan cambang samar-samar berkesan halus dan lem-
but, sempat diusapnya sesaat sebelum akhirnya ia
menjawab pertanyaan Betina Rimba tadi.
"Kau boleh tidur di kamarku, tapi kau harus ti-
dur di lantai. Tak boleh satu ranjang denganku."
"Kurasa memang seharusnya begitu," Jawab
Betina Rimba merendahkan diri, tapi ia punya rencana
lain dalam benaknya.
Di kamar itu, Betina Rimba yang hanya menge-
nakan penutup dada dan cawat kecil bertali rantai
emas imitasi itu benar-benar tidur di lantai beralaskan
tikar. Tapi ia sengaja tidur dengan merentang-kan ke-
dua kakinya yang menghadap ke arah ranjang Pange-
ran Laknat.
Lelaki berjubah merah itu telah melepaskan ju-
bahnya, ia tidur dengan hanya mengenakan penutup
bawah yang terbuat dari kain halus.
Pandangan mata lelaki itu sebentar-sebentar
tertuju kepada tubuh sekal dan montok yang tergolek
di lantai. Betina Rimba sengaja menggodanya dengan
berlagak tertidur tapi kedua kakinya terbuka.
Pangeran Laknat tak tahan menghadapi godaan
tersebut, akhirnya ia memanggil Betina Rimba, Satu
kali panggilan saja Betina Rimba telah bangun dan pa-
ham betul apa yang diinginkan Pangeran Laknat.
"Tidurlah di ranjang ku."
"Aku tak pantas tidur di ranjang," Jawab Betina
Rimba.
"Dekatlah kemari, Betina!"
Betina Rimba mendekati ranjang, Pangeran
Laknat masih berbaring di tepi ranjang. Tangannya se-
gera meraih kain kuning pembungkus 'mahkota' Beti-
na Rimba itu.
"Kalau kau bisa memuaskan jiwaku malam ini,
aku mau membantumu menghadapi Pendekar Kem-
bar!" ujar Pangeran Laknat sambil tangannya dibiar-
kan menelusup di balik kain kuning kecil itu.
"Kecuplah aku, Betina...."
Senyum perempuan itu mekar dengan ceria. Ia
pun segera mencium wajah Pangeran Laknat. Lumatan
bibir Betina Rimba dibuat sedemikian lembut dan
nikmatnya supaya Pangeran Laknat merasa puas.
Bahkan Betina Rimba rela menjadi seekor kuc-
ing yang memandikan anaknya. Sekujur tubuh Pange-
ran Laknat disapu habis oleh lidahnya, membuat Pan-
geran Laknat bagai diterbangkan ke awang-awang
"Oh, nikmat sekali sentuhan lidahmu Betina.
Teruskan di situ. Jangan ke mana-mana dulu. Oouh,
yaaah...!"
Betina Rimba akhirnya menjadi pelayan cinta.
Malam itu ia kerahkan seluruh kemampuan bercin-
tanya hingga sang Pangeran benar-benar merasa di-
manjakan oleh Betina Rimba. Kelincahan lidah Betina
Rimba selalu menyerang tempat-tempat peka di tubuh
Pangeran Laknat. Kemampuan goyang pinggulnya dis-
ajikan seindah mungkin, sehingga Pangeran Laknat
terbeliak-beliak sambil menghamburkan desah napas
kenikmatan. Bahkan Betina Rimba mampu mener-
bangkan Pangeran Laknat ke puncak keindahan bercumbu sampai beberapa kali. Hal itu membuat Pange-
ran Laknat benar-benar merasa puas dan terkagum-
kagum oleh kepiawaian Betina Rimba dalam menga-
rungi samudera cinta.
Pangeran Laknat tak tahu, bahwa Betina Rimba
menggunakan aji 'Mantra Birahi' pemberian Ratu
Cumbu Laras dulu, di mana setiap aji 'Mantra Birahi'
diucapkan dalam hati, maka pria yang ada tertarik un-
tuk bercumbu, gairahnya terbakar kembali dan me-
nuntut puncak keindahan.
Hanya saja, dulu ketika Betina Rimba merayu
Raka agar mau diajak bercumbu, aji 'Mantra Birahi' itu
tak mempan dan gagal menggugah birahi Raka. Se-
hingga ia sempat menyangka aji 'Mantra Birahi' telah
sirna dari dirinya. Ia tidak tahu bahwa Raka mempu-
nyai kekuatan penolak aji dan mantra seperti itu, be-
rupa pengendalian inti gaib yang disalurkan ke pusat
kejantanannya.
"Baru sekarang ada perempuan yang dapat
membuatku sangat bahagia dalam bercinta. Kaulah
perempuan itu, Betina!" ujar Pangeran Laknat. "Ku-
rasa, gairah ku tak akan dapat timbul lagi di depan pe-
rempuan mana pun, selain di depanmu!" "Kau suka,
Pangeran?"
"Sangat suka!" jawab Pangeran Laknat. "Rasa-
rasanya aku perlu melindungimu dari ancaman si
Pendekar Kembar itu."
"Lenyapkan mereka, maka aku bersedia men-
jadi budak cinta mu, Pangeran. Aku akan selalu slap
melayanimu kapan saja kau membutuhkan keha-
ngatan tubuhku!"
"Keparat! Akan kuhancurkan si Pendekar Kem-
bar itu untuk mendapatkan kenikmatan yang tiada
bandingnya ini! Esok akan kucari mereka dan kau ha
rus Ikut agar dapat, melihat kepala mereka mengge-
linding di depan kakimu!"
"Jangan kecewakan aku, Pangeran. Gairah ku
akan lenyap jika kau gagal membantai mereka!"
"Aku tidak akan gagal selama kau ada di de-
panku dan menjadi pemacu semangatku dalam me-
menggal kepala Pendekar Kembar!"
Betina Rimba sunggingkan senyum kegembi-
raan. Hatinya merasa lega, karena ia telah berhasil
menjerat Pangeran Laknat dengan kepandaian bercinta
nya. Rasa-rasa saat itu juga ia ingin segera bertemu
dengan Pendekar Kembar dan melihat kedua pemuda
kembar itu tumbang di tangan Pangeran Laknat.
"Tak ada ruginya aku menjadi pendamping hati
Pangeran Laknat, gagal ataupun tidak, kurasa menjadi
pendamping Pangeran Laknat merupakan suatu ke-
banggaan dan kebahagiaan tersendiri" pikir Betina
Rimba.
Esoknya, Pangeran Laknat perintahkan bebe-
rapa orangnya untuk ikut mencari Pendekar Kembar.
Sang Pangeran sendiri ikut mencari dengan menggu-
nakan kuda hitam yang tampak kekar dan perkasa.
Betina Rimba sendiri menunggang kuda yang selalu
bersebelahan dengan Pangeran Laknat.
Pencarian mereka bagaikan harapan yang ter-
kabul. Pada waktu itu, Raka Pura tiba di perbatasan
Tebing Bencana. Kehadirannya diketahui oleh penjaga
yang bertugas mengintai keadaan perbatasan. Ia sege-
ra melaporkan kemunculan dua orang sebelum Pange-
ran Laknat tinggalkan Istananya yang dibangun di le-
reng terjal itu.
"Seorang pemuda berpakaian serba putih, de-
ngan rambut panjang tanpa ikat kepala, wajah tam-
pan, ikat pinggang merah berpedang indah, telah me
masuki wilayah perbatasan kita, Pangeran!"
Betina Rimba segera menyahut, "Itu ciri-ciri
Pendekar Kembar!"
"Pucuk di cinta ulam pun tiba!" gumam Pange-
ran Laknat dengan wajah dinginnya. "Kepung mereka
dan jangan ada yang menyerang. Biar aku yang me-
nanganinya!"
Raka Pura sendiri sudah diingatkan oleh Biang
Tawa, "Kita telah memasuki wilayah Tebing Bencana.
Hati-hati, jangan terlalu dekat Istananya."
"Bukankah tujuan kita memang menemui Pan-
geran Laknat? Mengapa tak boleh mendekati ista-
nanya?!"
"Aku... terus terang saja, aku deg-degan seka-
rang ini, Raka! Bagaimana kalau aku menunggumu di
luar batas wilayah saja?"
"Mengapa kau tiba-tiba jadi pengecut, Paman?
Bukankah kau punya jurus 'Monyet Gembira'? Serang
saja para cecunguk Pangeran Laknat dengan jurusmu
itu biar mereka tertawa semua!"
"Tak semudah ucapanmu, Raka. Sebab...." Bi-
ang Tawa hentikan ucapannya karena tiba-tiba dari
atas beberapa pohon meluncurlah sosok-sosok manu-
sia berpakaian hitam dan berwajah tampan. Mereka
masih tampak muda, seusia dengan Raka Pura dan
berbadan kekar. Gerakan mereka tampak lincah dan
gesit. Lebih dari sepuluh orang yang turun dari bebe-
rapa pohon itu, langsung mengepung Raka dan Biang
Tawa.
"Berhenti!" sentak salah seorang dari mereka.
"Wah, celaka! Belum sempat selesai mengatur siasat
sudah terkepung!" gumam Biang Tawa dengan hati
dongkol.
"Apakah mereka orangnya Pangeran Laknat?"
"Benar! Ini berarti bencana akan segera datang me-
nimpa kita," bisik Biang Tawa dengan hati berdebar-
debar.
Raka Pura segera berseru, "Mau apa kalian?!"
Tak satu pun pengepung bersenjata aneka ma-
cam itu yang lontarkan jawaban kepada Raka. Mereka
hanya memandang penuh kewaspadaan dengan sikap
siap hadapi serangan lawan.
Suara derap kaki kuda terdengar mendekati
mereka. Biang Tawa segera memandang ke arah dua
ekor kuda yang menuju ke tempatnya terkepung.
Blang Tawa cepat berbisik tegang.
"Raka, lelaki berjubah merah itulah yang berna-
ma Pangeran Laknat! Gawat! Dia langsung turun ta-
ngan dan... hei, kelihatannya ia bersama Betina Rim-
ba!"
"Benar! Paman tak perlu khawatir. Aku akan
menghadapinya dengan Pedang Tangan Malaikat ini!"
Namun sebelum Pangeran Laknat dan Betina
Rimba tiba di tempat pengepungan, tiba-tiba seberkas
cahaya merah bagai piringan berputar melesat dan
menghantam Betina Rimba. Ciaaap, weerrs...!
Blegaaarr..!.
Ledakan besar terjadi ketika Pangeran Laknat
melihat kelebatan sinar merah itu dan langsung dihan-
tam dengan sinar biru yang keluar dari ujung telun-
juknya. Mereka berdua segera turun dari atas kuda.
Para pengepung terkejut dan menjadi semakin tegang.
Raka Pura hanya sunggingkan senyum, kemudian
berbisik kepada Biang Tawa, .
"Ternyata Soka baru saja datang. ia ada di se-
belah sana!"
"Dari mana kau tahu kalau si penyerang itu
adik kembar mu?"
"'Sinar merah itu tadi adalah jurus 'Mata Bumi"
yang kami miliki! Seperti yang kugunakan menghan-
tam sinar dari cambuk Wisnu Galang tadi pagi itu,
Paman!"
Dugaan Raka memang benar. Soka Pura mun-
cul bersama Selir Pamujan. Soka Pura segera melesat
dan menerjang Betina Rimba. Wuuus...! Tetapi sebe-
lum menyentuh Betina Rimba, Pangeran Laknat lebih
dulu lepaskan pukulan jarak jauhnya berupa sinar bi-
ru seperti tadi. Claaap...!
Sinar biru yang melesat hendak menghantam
Soka itu segera dihantam dari jauh oleh Raka meng-
gunakan jurus 'Cakar Matahari' yang berupa sinar pu-
tih berbentuk pisau runcing itu. Claap...! Jlegaarrr...!
Ledakan Itu menggelegar dengan dahsyat,
membuat Soka terpental sendiri dan Pangeran Laknat
terdesak mundur nyaris jatuh menimpa Betina Rimba
yang telah lebih dulu jatuh karena sentakan gelom-
bang ledak tadi.
Wuuuzzz...! Raka Pura tiba-tiba sudah ada di
samping adiknya. Para pengepung segera berpindah
tempat, meninggalkan Biang Tawa yang diang-gap tak
membahayakan Itu.
Kini Raka Pura dan Soka Pura sama-sama ber-
diri bersebelahan menghadap Betina Rimba dan Pan-
geran Laknat. Di sisi lain, dl luar kepungan, Biang Ta-
wa segera bergabung dengan Selir Pamujan.
"Betina Rimba, sudah saatnya kau berhadapan
dengan kami; keturunan dari orang-orang yang telah
kau bantai sekian tahun yang lalu!" seru Raka Pura
dengan suara lantang.
Betina Rimba melirik Pangeran Laknat. Lelaki
berjubah merah itu hanya diam memandang dengan
wajah menyimpan keraguan. Karena pada saat itu,
Pangeran Laknat memandang pedang kristal
yang ada di pinggang Pendekar Kembar itu. Seketika
itu pula suara mendiang gurunya terngiang di telin-
ganya.
"Hindari pertarungan dengan seseorang yang
mempunyai pedang kristal! Kau akan tumbang dan ke-
saktianmu lenyap jika tergores pedang kristal itu!"
Pangeran Laknat berdebar-debar. Hatinya ber-
kata, "Celaka! Ternyata Pendekar Kembar bersenjata
pedang kristal. Jika aku tetap melawannya, pasti aku
akan tumbang dan kesaktian ku akan hilang. Tapi...
bagaimana. dengan janji ku kepada Betina Rimba?!"
Perempuan di sampingnya segera berbisik, "Dia
menantangku. Apakah kau hanya diam saja seperti
ini?"
Setelah diam sesaat, Pangeran Laknat menja-
wab, "Aku ingin melihat dulu permainan jurusnya. Ha-
dapilah dulu dan pancinglah agar mereka keluarkan
jurus pedangnya. Setelah itu mundurlah dan aku akan
maju mematahkan jurus pedangnya."
"Baik. Tapi jagalah aku, jangan sampai mereka
berhasil mencuri kelengahan ku!"
"Aku siap menghancurkan dari sini!"
Pangeran Laknat akhirnya bermain siasat. Ia
lebih baik mengorbankan Betina Rimba daripada kehi-
langan seluruh kesaktiannya atau tewas di ujung pe-
dang kristal itu. Tapi karena Betina Rimba tak tahu
rencana busuk Pangeran Laknat, maka ia pun segera
menghadapi Pendekar Kembar dengan mencabut pe-
dangnya sendiri. Sraaang...!
"Majulah kalian berdua! Gunakan pedang ka-
lian jika kalian tak ingin ku sebut bocah ingusan!
Soka Pura berkata kepada kakaknya setelah
mereka saling pandang sebentar.
"Biar aku yang menanganinya. Mundurlah!"
Sreet...! Pedang Tangan Malaikat segera dicabut
Soka Pura. Mata pedang yang terbuat dari ka-ca kristal
itu mulai memancarkan bias cahaya ungu menakjub-
kan.
"Pembantai Jahanam! Tunjukkan keganasanmu
kepadaku sekarang juga!" tantang Soka Pura dengan
suara lantang.
"Kau benar-benar bocah ingusan perlu pelaja-
ran dariku! Hiaaaah...!"
Betina Rimba melompat sambil tebaskan pe-
dangnya dari atas ke bawah. Ia ingin membelah kepala
Soka Purr. Namun pemuda itu menggerakkan pedang-
nya dengan cepat, menangkis datangnya pedang lawan
dari bawah ke atas. Traaang...! Praaak...!
Pedang Betina Rimba patah terpotong oleh pe-
dang kristal bercahaya ungu itu. Betina Rimba terpe-
rangah melihat pedang bajanya bisa patah rapi bagai
agar-agar teriris pisau.
Saat Betina Rimba terperangah, Soka Pura me-
nebaskan pedangnya dari kanan ke kiri. Wuuut...! ia
ingin menyambar perut dan dada lawan. Tapi lawan
segera, sentakkan kaki dan melayang mundur.
Wuuus...!
Hanya saja, karena Soka menggunakan Jurus
pedang yang bernama Jurus 'Nenek Petir', maka angin
tebasan pedang itu pun mempunyai ketajaman yang
sama tajamnya dengan mata pedang sebenarnya.
Craaas...!
"Aaaah...!" Betina Rimba terpekik. Dari perut
sampai pundak tergores pedang dan mengucurkan da-
rah segar. Ia mulai panik, memandang Pangeran Lak-
nat dengan maksud minta bantuan.
"Pangeran...!"
Tapi Pangeran Laknat segera naik ke punggung
kuda dengan wajah dingin. Ia tak mau ambil resiko
melawan pemuda berpedang kristal.
"Pangeran, Jangan tinggalkan aku!" seru Betina
Rimba dengan suara bergetar karena menahan luka.
Sementara itu, Raka bergegas ingin menyerang
Pangeran Laknat, tapi Soka menahannya sambil ber-
kata, "Biarkan dulu dia lewat. Lain kali kita tangani.
Kita selesaikan dulu urusan ini." Maka Raka pun tak
jadi menghadang Pangeran Laknat.
Melihat kuda Pangeran Laknat melangkah pe-
lan, dan sang Pangeran memberi isyarat kepada para
pengepung agar meninggalkan tempat itu, Betina Rim-
ba segera menyadari bahwa ia telah ditipu. Sang Pan-
geran ternyata tak berani hadapi Pendekar Kembar.
"Pengecut kau, Jahanaaaam...!"
Setelah berteriak begitu, Betina Rimba segera
berbalik arah karena dengan menggeram penuh mur-
ka. Kedua tangannya digerakkan dalam satu sentakan
ke langit. Tangan itu mulai menyala merah bagaikan
bara.
"Hrrmm...! Kuhancurkan seluruh tubuhmu se-
karang juga, Bocah ingusan! Heeeaaahh...!"
Baru saja Betina Rimba ingin sentakkan kedua
tangannya, tiba-tiba Soka Pura melesat dan pedangnya
dikibaskan menyamping dalam jarak tiga langkah. An-
gin tebasan itu berkelebat membawa ketajaman ter-
sendiri dan, craaas...! Leher Betina Rimba menjadi sa-
saran angin tebasan Pedang Tangan Malaikat itu.
Jleeg...! Soka Pura tapakkan kakinya kembali
ke tanah dengan mata melirik lawan dan pedang ter-
genggam dua tangan. Pada saat itu pula, Soka Pura
melihat kepala Betina Rimba menggelinding, disusul
kemudian raganya yang tumbang ke depan setelah
bergerak-gerak seperti ingin melangkah. Bruk...!
Pendekar Kembar sama-sama hembuskan na-
pas Sega. Dendam kesumat mereka telah terlam-
piaskan. Pembalasan atas kekejaman sang Pembantai,
itu telah dilakukan. Kini tak ada lagi dendam separah
itu di hati Pendekar Kembar. Mereka tinggal menyusuri
hidup, menegakkan kebenaran dan membela pihak
yang lemah.
Pangeran Laknat hanya memandang dari keja-
uhan, lalu teruskan langkah dengan tenang, seakan ia
menyatakan dirinya tidak ikut campur dalam urusan
itu, walau sebenarnya ia telah kehilangan sebentuk
kebahagiaan pribadi, yaitu gairah sang Pembantai ke-
luarga Panji Pura itu.'
Selir Pamujan hanya bisa hembuskan napas
pula, sambil palingkan wajah karena tak tega melihat
kematian Betina Rimba. Namun kejap berikutnya ia
segera temui Soka sebagai orang yang diharapkan da-
pat selalu dekat dengannya sejak ia merasakan kein-
dahan kencan pemuda tersebut.
"Persoalanmu telah selesai. Sekarang tinggal
persoalanku untuk mengetahui, siapa pembunuh gu-
ruku dan siapa pencuri Kipas Kedung Gairah itu,"
ujarnya kepada Soka.
"Kami akan membantumu menyingkapkan tabir
rahasia kematian gurumu! Jangan khawatir kakak ku
juga akan ikut membantumu. Bukankah begitu, Ra-
ka?"
Raka Pura hanya angkat bahu sambil terse-
nyum sebagai tanda pasrah terhadap keputusan adik-
nya. Sementara itu, di kejauhan mereka mendengar
suara tawa samar-samar, yang tak lain adalah suara
tawa Iblis Bangor akibat terkena totokan Biang Tawa
itu.
"Kuat juga orang itu?! Rupanya ilmu tenaga da-
lamnya cukup tinggi, sehingga dia kuat tertawa selama
ini," gumam Biang Tawa. "Akan kulihat sampai di ma-
na kekuatan tawanya!"
Biang Tawa segera melesat ke arah suara tawa
itu, sementara Raka dan Soka berjalan mendampingi Selir Pamujan.
SELESAI
Segera terbit!!!
CUMBUAN MENJELANG AJAL
0 comments:
Posting Komentar