1
AWAN HITAM di langit bukan sekumpulan kabut
yang disebut mendung. Bukan pula gumpalan mega
yang datang dari alam kegelapan. Tetapi, langit menja-
di hitam karena malam telah tiba. Rembulan belum
waktunya nampang di sana. Maka wajar saja jika lan-
git menjadi hitam karena suasana memang gelap pekat.
Di dalam gelap dan di dalam pekat itu, ternyata
ada seberkas sinar yang membias kecil di kedalaman
hutan. Sinar itu bukan sinar dari keris pusaka. Sinar
itu juga bukan sinar dari pukulan tenaga dalam. Tetapi sinar itu membias karena sebuah lampu minyak di-
nyalakan di dalam sebuah pondok. Pondok itu ber-
dinding kayu, mempunyai celah kecil yang membuat
bias sinar lampu minyak itu menerobos keluar, se-
hingga dapat dilihat dari kejauhan.
Di dalam pondok itu tidak hanya terdapat lampu
minyak saja. Di dalam pondok itu juga ada meja,
bangku, dipan dan perabot lainnya, termasuk dua so-
sok manusia; tua dan muda
Yang tua berusia sekitar tujuh puluh tahun,
rambutnya pendek dan putih, tumbuh di bagian ba-
wah sedang di tengah kepalanya gundul polos tanpa
hiasan apa pun. Tokoh tua berwajah panjang yang ge-
mar mengenakan jubah abu-abu itu tak lain adalah si
Hantu Muka Tembok alias Ki Gumarah. Sedangkan to-
koh muda yang mengenakan baju tanpa lengan warna
kuning emas itu tak lain adalah Wisnu Galang, murid
si murid si Hantu Muka Tembok itu.
"Perempuan," ujar Hantu Muka Tembok. "Sekali
lagi, Perempuan...! Jangan menjadikan sesuatu yang
amat berharga dan lebih tinggi dari pribadimu. Jika
kau telah mengistimewakan perempuan di dalam hi-
dupmu, maka tak lama lagi hidupmu akan hancur
olehnya. Sebab perempuan itu adalah madu dan racun
bagi seorang lelaki. Seorang lelaki adalah racun dan
madu bagi seorang perempuan. Mengertikah kau, Muridku?"
"Saya mengerti. Guru."
"Jadi masalahnya adalah, berapa harga madu di
pasaran sekarang ini?"
"Lho, Guru mau membeberkan tentang falsafah
hidup atau mau jualan madu?"
"O, ya. Aku salah omong. Maklum, semakin tua
semakin melantur bicaraku jika tak ada yang mengin-
gatkan."
Sang murid tersenyum geli, tapi senyuman itu hi-
lang ketika sang guru memandang dengan dingin tan-
pa bicara sepatah kata pun. Sang murid takut, dan se-
gera tundukkan kepala kembali. Setelah sang murid
tundukkan kepala maka sang guru mulai perdengar-
kan suaranya kembali.
"Jadi sekali lagi ku ingatkan, ilmumu yang sudah
bertambah itu jangan sampai membuatmu tunduk di
telapak kaki seorang perempuan. Jika selama ini kau
mudah tergiur oleh seorang perempuan, mudah te-
rangsang oleh paha mulus, walaupun itu paha sapi,
sekarang dengan bertambahnya ilmumu jangan sam-
pai kau seperti itu lagi, Wisnu Galang."
"Saya akan lebih hati-hati lagi, Guru."
"Bagus. Maksudmu, hati-hati bagaimana?"
"Hati-hati memilih perempuan dan hati-hati agar
jangan sampai ketahuan siapa pun jika saya sedang
mojok dengan seorang perempuan."
"Bukan itu maksudku, Tolol!" sentak sang guru.
"Yang ku kehendaki, jangan sampai kau mudah men-
gumbar nafsu, baik nafsu makan, nafsu cinta, mau-
pun nafsu tidur. Banyak-banyaklah prihatin. Tahu ar-
tinya prihatin?"
"Perih di batin, Guru!"
"O, jadi prihatin maksudnya begitu, ya?"
"Lho, apa Guru belum tahu?"
"Kalau sudah tahu tak perlu kutanyakan pada-
mu!" ujar Hantu Muka Tembok, sepertinya tak serius
dalam mewejang muridnya. Tapi sebenarnya memang
begitulah karakter si Hantu Muka Tembok, sering ko-
nyol mendadak, namun juga cepat menjadi serius dan
penuh wibawa di depan muridnya.
"Seperti katamu tadi sore, kau ingin segera me
nemui Betina Rimba. Itu tidak perlu lagi!"
"Tapi Betina Rimba bersedia menggantikan keka-
sih saya yang dibunuh itu, Guru."
"Tidak perlu. Jangan menggantungkan pera-
saanmu kepada satu perempuan saja. Nanti kau akan
terjerat sendiri."
"Tapi... tapi Betina Rimba pandai membawaku
terbang ke puncak kemesraan, Guru!"
"Jangan beranggapan begitu! Semua perempuan
bisa membawamu terbang ke puncak kemesraan asal
dia mau melayani gairah mu. Tetapi aku tidak ingin
punya murid yang asmaranya bergantung pada satu
orang perempuan saja. Sebarkan asmara mu ke selu-
ruh pelosok penjuru dunia. Dengan begitu, kau tidak
akan terikat oleh satu perempuan dan satu cinta saja.
Kau masih muda, jadi kau perlu begitu. Kelak jika su-
dah waktunya kau berumah tangga, barulah tentukan
pilihan mu dan jatuhkan hatimu untuk satu perem-
puan, yaitu calon istrimu itu!"
"Jadi, saya tidak perlu mencari Betina Rimba lagi,
Guru?"
"Tidak perlu! Sekali lagi, tidak perlu!"
"Hanya ingin bertemu sebentar saja apakah tak
boleh, Guru?" desak Wisnu Galang.
"Tidak boleh! Nanti kau akan kecewa!"
"Mengapa saya akan kecewa, Guru?"
"Karena Betina Rimba sudah mati!" jawab Hantu
Muka Tembok dengan ringan sekali mengucapkan ka-
limat itu. Wisnu Galang terkejut dengan membuka ma-
ta, memandang gurunya, dan mulutnya melongo se-
perti sapi ompong.
"Apakah kau ingin bertemu dengan sesosok
mayat?"
Wisnu Galang menggelengkan kepala.
"Nah, karena itu ku larang kau menemui Betina
Rimba lagi. Temui saja gadis lain yang lebih baik dari
Betina Rimba."
"Siapa yang membunuh Betina Rimba. Guru?"
"Siapa lagi kalau bukan si Pendekar Kembar, ka-
rena Pendekar Kembar ingin membalas tindakan Beti-
na Rimba yang telah membantai seluruh keluarganya
ketika Raka Pura dan Soka Pura masih bayi."
"Kalau begitu saya harus menuntut balas kepada
Pendekar Kembar!"
"Kau harus berhadapan denganku! Aku berada di
pihak Pendekar Kembar, karena Raka Pura pernah se-
lamatkan nyawaku!"
"Jika begitu... saya tidak jadi membalas dendam
kepada Pendekar Kembar!"
"Itu langkah yang bagus, Muridku!" sahut Hantu
Muka Tembok yang merasa sangat berterima kasih
atas tindakan Raka Pura dalam menyelamatkan nya-
wanya dari serangan jurus aneh si Selir Pamujan kala
itu, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Gai
rah Sang Pembantai").
"Sekarang Pendekar Kembar sedang mencari
pencuri Kipas Kedung Gairah," lanjut Hantu Muka
Tembok. "Dulu aku dituduh oleh Selir Pamujan seba-
gai pencuri kipas itu dan pembunuh mendiang gu-
runya, si Demit Selingkuh. Tetapi Raka Pura memihak
ku, walaupun sekarang ia memihak Selir Pamujan.
Aku tak sakit hati kepada Selir Pamujan, karena perta-
rungan ku dengannya kuanggap karena salah paham
saja. Yang penting bagi kita adalah mencoba memban-
tu mereka untuk temukan si pencuri kipas pusaka itu.
Sebab jika kipas itu jatuh ke tangan manusia sesat be-
raliran hitam, maka dunia ini akan dijungkirbalikkan
olehnya. Kalau dunia sudah dijungkirbalikkan, maka
kita akan bertempat tinggal di mana. Coba bayang-
kan!"
"Di kolong jembatan, Guru."
"Aku menyuruhmu membayangkan! Bukan men-
jawab!" bentak Hantu Muka Tembok. Sang murid jadi
ketakutan dan tak berani menatap sang guru lagi.
"Demit Selingkuh adalah sahabatku. Dulu dia
masuk dalam aliran hitam, makanya berjuluk Demit
Selingkuh. Tapi setelah bersahabat denganku, dia ber-
hasil ku sadarkan dan kini menjadi tokoh beraliran
putih, sama dengan kita."
"Jadi apa maksud Guru sebenarnya?!"
"Bantu mereka dapatkan kembali Kipas Kedung
Gairah. Yang berhak memiliki kipas itu adalah Selir
Pamujan, sebagai murid tunggal mendiang Nyai Demit
Selingkuh. Jika kau tak berhasil merebut kipas itu,
hancurkan saja kipas itu. Kalau Selir Pamujan marah,
biar aku yang menjelaskan maksud kita ini!"
"Baik, Guru! Kapan saya harus berangkat tunai-
kan tugas itu, Guru?"
"Tak perlu lama-lama. Sekarang juga kau harus
berangkat mencari kipas pusaka itu!"
"Sekarang kan sudah malam, Guru. Sudah ham-
pir tengah malam."
Hantu Muka Tembok memandang celah dinding
kayu pondoknya.
"O, iya... sudah malam, ya? Kalau begitu, tidur-
lah dulu. Esok pagi kau harus segera berangkat me-
nunaikan tugas itu!"
"Baik, Guru!" jawab Wisnu Galang dengan patuh.
"Jangan lupa, sebelum esok pagi kau berangkat,
penuhi dulu bak mandi!"
Wisnu Galang menjawab dengan pelan, "Baik,
Guru," sepertinya bernada sedih. Sebab bak mandi
yang ada di belakang pondok itu lebar dan luasnya se-
perti sebuah empang tempat beternak ikan. Belum-
belum Wisnu Galang membayangkan alangkah capek-
nya menimba air dari sumur untuk memenuhi bak
mandi sebesar itu.
Kipas pusaka milik mendiang Nyai Demit Selingkuh memang sedang menjadi bahan pembicaraan para
tokoh di rimba persilatan. Seperti telah dikisahkan da-
lam "Gairah Sang Pembantai", Nyai Demit Selingkuh
dibunuh seseorang pada saat lakukan semadi di se-
buah gua, tak jauh dari pesanggrahannya. Siapa pem-
bunuhnya, tak jelas. Tetapi orang itu bukan saja
membunuh Nyai Demit Selingkuh, melainkan mencuri
kipas pusaka yang selalu ada di pinggang Nyai Demit
Selingkuh. Satu-satunya tanda yang ditinggalkan oleh
si pembunuh adalah senjata rahasia berupa sekeping
logam putih berbentuk bunga seroja. Logam putih itu
mengandung racun yang amat mematikan. Tiga hitun-
gan, lawan yang terkena senjata itu pasti mati. Pasti.
Tak bisa ditawar-tawar lagi, sebab dalam. kematian
memang tak ada sistem tawar-menawar.
Selir Pamujan, murid sang Nyai, pernah hampir
dibunuh juga oleh seseorang yang menggunakan sen-
jata rahasia tersebut. Tetapi kala itu Selir Pamujan
bersama Soka Pura, si Pendekar Kembar bungsu, dan
senjata rahasia tersebut berhasil ditangkap oleh Soka
Pura. Mereka segera mengejar orang yang melempar-
kan senjata tersebut. Tetapi mereka tidak berhasil me-
nangkap dan memergoki si pemilik senjata berbentuk
bunga seroja itu.
Kini kedua pemuda kembar berada di pesanggra-
han Nyai Demit Selingkuh. Setelah menewaskan Betina
Rimba, mereka diajak ke pesanggrahan tersebut oleh
Selir Pamujan untuk membicarakan tentang hilangnya
Kipas Kedung Gairah. Pihak lain yang ikut bersama
mereka adalah si Biang Tawa, bekas sahabat mendiang
ayah kandung Raka dan Soka. Dulu lelaki pendek
berkesan bulat itu menjadi pengikut Betina Rimba ka-
rena kepepet dan takut ancaman Betina Rimba. Kini
setelah bertemu Pendekar Kembar, lelaki berpakaian
abu-abu dan berusia sekitar lima puluh tahun itu
menjadi pengikut Pendekar Kembar dalam arti men-
dampingi kedua anak kembar keturunan sahabatnya.
Biang Tawa bukan orang yang berilmu tinggi, tapi
ia banyak akal dan pengetahuannya luas tentang du-
nia persilatan. Usulnya tidak selalu benar, namun ka-
dang membuat sesuatu menjadi benar secara kebetu-
lan saja. Dalam kasus hilangnya Kipas Kedung Gairah
itu, Biang Tawa mengusulkan agar Selir Pamujan
membuat suatu sayembara.
"Barang siapa bisa membunuh Pendekar Kembar
dengan menggunakan sebuah kipas. maka ia akan
mendapat hadiah besar, yaitu berhak menguasai wi-
layah kekuasaan mendiang Nyai Demit Selingkuh di
sekitar Bukit Bolong ini!"
"Usulmu mematikan teman sendiri, Paman!" ujar
Soka Pura dengan bersungut-sungut. "Mengapa harus
kami yang kau jadikan korban untuk mendapatkan
pusaka tersebut?"
"Bukan dijadikan korban. Tapi sekadar buat umpan saja. He, he, he...."
"Jadi kami kau anggap cacing, buat umpan ikan
lele, begitu?" sela Raka Pura.
"Aku tidak setuju!" sahut Selir Pamujan. "Mela-
wan orang yang bersenjatakan Kipas Kedung Gairah
adalah sangat berbahaya. Kipas itu dapat keluarkan
tiga sinar yang tidak bisa ditangkis oleh kekuatan apa
pun, kecuali dihindari. Jika sinar itu kenai tubuh Raka
dan Soka, maka habislah riwayat mereka berdua. Dan
itu sama saja menyiksa batin ku lebih parah lagi."
Sambil berkata demikian, Selir Pamujan yang
cantik tapi tampak tegas itu melirik Soka Pura. Lirikan
itu punya makna cukup dalam. Raka dan Biang Tawa
mengerti maksud lirikan tersebut. Selir Pamujan tak
ingin kehilangan Soka, sebab agaknya perempuan itu
telah terpikat hatinya oleh ketampanan Soka Pura. Pa-
dahal Raka Pura juga sama tampannya. Tapi karena
Selir Pamujan pernah rasakan cumbuan hangat Soka
Pura, maka ia cenderung memilih Soka Pura sebagai
pengisi hatinya yang selama ini sepi oleh jamahan tan-
gan lelaki.
"Supaya kita tidak salah langkah, sebaiknya kita
selidiki saja orang-orang yang patut dicurigai," ujar
Raka Pura.
"Bagaimana cara menentukan orang yang patut
dicurigai?" tanya Soka kepada kakak kembarnya.
"Siapa saja yang hadir di sini ketika sang Nyai
bersemadi di gua itu?"
"Para pengikut Ratu Cumbu Laras," jawab Selir
Pamujan..
"Seperti yang pernah ku jelaskan kepada kalian,
kala itu beberapa pengikut Ratu Cumbu Laras datang
kepadaku dan mengajak bergabung, karena ratu me-
reka sudah tewas di tangan kalian berdua. Aku meno-
lak ajakan itu secara halus, karena aku memang tidak
punya persoalan apa-apa dengan kalian...."
"Siapa saja mereka itu?" sela Raka Pura.
"Antara lain: Wijanarti, Puspina, Cindawuri, ka-
kaknya Cindawati yang kedua tangannya di buntungi
oleh si Setan Cabul itu, lalu... Ruhasian, Sampurgina
dan..." Selir Pamujan diam sebentar, seperti ada yang
dipikirkan sesaat, kemudian ia lanjutkan bicaranya la-
gi.
"Tapi aku cenderung mencurigai Dewi Binal. Ku-
lihat Dewi Binal melintas di sekitar Bukit Bolong sete-
lah kutemukan jenazah guruku. la kukejar tapi tak
berhasil kutemukan."
Raka Pura segera berkata, "Aku dan Paman Bi-
ang Tawa akan pergi ke Bukit Gamping untuk temui
Dewi Binal. Jika memang kipas itu ada di sana, akan
ku paksa ia menyerahkannya padaku."
"Di mana para pengikut Ratu Cumbu Laras itu
sekarang?" tanya Soka Pura.
"Mereka membentuk kekuatan sendiri di Gua
Bangsal, di lereng Gunung Walu. Mereka sengaja mela-
rikan diri ke sana karena takut diserang Pendekar
Kembar. Mereka pikir Pendekar Kembar akan hancur-
kan seluruh pengikut Ratu Cumbu Laras."
"Kami tidak sekejam itu," gumam Soka.
"Itu pendapat mereka. Jangan menganggap seba-
gai pendapatku!" tukas Selir Pamujan sedikit cembe-
rut.
"Kalau begitu aku akan selidiki mereka. Aku
akan ke Gua Bangsal di lereng Gunung Walu," kata
Soka Pura.
"Tapi ada lagi yang perlu dicurigai, yaitu Nyai Ke-
ramat Malam. Dia dulu juga pernah berusaha merebut
kipas itu dari tangan Guru, tapi gagal karena ilmunya
kalah dengan Guru. Mungkin saja Nyai Keramat Ma-
lam selalu mengincar kelemahan Guru untuk da-
patkan kipas tersebut."
"Siapa itu Nyai Keramat Malam?"
Biang Tawa menyahut, "Penguasa Pulau Sam-
bang"
"Benar!" tegas Selir Pamujan.
Biang Tawa berkata lagi, "Dulu, aku pernah di-
ajak Betina Rimba untuk menyerang Pulau Sambang.
Tapi kami dipukul mundur oleh perempuan kurus
bermata cekung dan berambut putih yang bernama
Nyai Keramat Malam."
Untuk sejenak suasana menjadi hening. Pendekar Kembar sama-sama manggut-manggut semua ka-
ta-kata Selir Pamujan. Sesaat kemudian Soka Pura
berkata kepada kakak kembarnya.
"Aku akan selidiki Gua Bangsal, setelah itu akan
menyeberang ke Pulau Sambang. Itu jika ternyata ki-
pas tersebut tidak ada di Gua Bangsal."
"Aku akan mendampingimu!" tukas Selir Pamu-
jan.
"Jangan! Nanti penyelidikanku dapat ketahuan
jika bersamamu."
Setelah berpikir sesaat, Selir Pamujan pun berka-
ta, "Kalau begitu aku yang ke Pulau Sambang. Akan
ku pancing Nyai Keramat Malam agar murka padaku.
Jika ia keluarkan kipas tersebut, maka aku akan bu-
ru-buru lari mencari kalian!"
"Baik! Kurasa pembagian tugas ini cukup adil!"
kata Raka Pura.
Selir Pamujan berkata, "Tapi satu hal yang perlu
kau ingat, Soka! Jangan sampai kau tergiur oleh man-
tan para pengikut Ratu Cumbu Laras. Mereka cantik-
cantik dan tubuhnya menggairahkan. Mereka pandai
menjerat hati seorang lelaki dan cukup piawai melaya-
ni seorang lelaki hingga lelaki itu ketagihan kehanga-
tan mereka! Jika sampai kudengar kau begitu, maka
seluruh penghuni Gua Bangsal akan kuhancurkan
termasuk kau sendiri!"
Soka Pura hanya tertawa pendek sambil melirik
kakak kembarnya. Sang kakak kembar tersenyum ke-
cut dan melengos ke kiri sambil berbisik kepada Biang
Tawa.
"Mampus dia! Begitulah akibatnya kalau suka
mengumbar cinta kepada perempuan. Akhirnya ia ter-
jerat oleh kecemburuan!"
"Mendingan kita, tak ada yang mencemburui
hingga bebas berbuat apa saja, ya?"
"Hemm...!" Raka menjawab dengan gumam me-
nahan rasa ingin tertawa. Soka Pura tampak menelan
kegetiran sambil berlagak tidak mendengar ucapan
mereka.
*
* *
2
DEWI BINAL yang masih dicurigai sebagai pencu-
ri Kipas Kedung Gairah itu sebenarnya masih mencari
Soka Pura. Hati gadis itu sudah telanjur jatuh dalam
pelukan Soka Pura.
Salah satu kelebihan yang dimiliki Pendekar
Kembar bungsu alias Soka Pura adalah kehebatannya
dalam bercumbu. Cumbuan itu menyerupai sebuah
racun yang sukar dihindari. Siapa yang pernah ber-
cumbu dengan Soka Pura pasti akan terkenang dan
merindukan kemesraan itu. Karenanya, sekalipun dila-
rang oleh kakeknya; Tabib Kubur, si gadis cantik ber-
jubah tanpa lengan warna biru itu selalu ingin berada
dalam pelukan Soka Pura.
Tetapi pencariannya sejak dari peristiwa matinya
Ratu Cumbu Laras, ternyata sampai sekarang masih
menemukan kegagalan. Dalam arti, si gadis tak pernah
bertemu dengan Soka Pura. Padahal kadang-kadang
selisih jarak mereka sangat dekat. Misalnya, Soka Pura
ada di balik batu besar, sementara Dewi Binal berlari
ke arah lain memburu Soka Pura tanpa menyadari
bahwa pria itu ada di balik batu.
Kali ini perburuan cinta Dewi Binal terpaksa ber-
henti di kaki sebuah bukit. la bertemu dengan seorang
perempuan yang pernah menyerangnya karena rasa
cemburu melihat Dewi Binal bersama Soka Pura. Pe-
rempuan berjubah hijau itu tak lain adalah Tandu
Sangrai, (Baca serial Pendekar Kembar dalam episode:
"Setan Cabul").
Tandu Sangrai yang kala itu terkena jurus 'Totok
Pikun' dari Soka Pura, kini mulai sadar kembali dan
mengetahui siapa dirinya. Jurus 'Totok Pikun' itu sem-
pat membuat Tandu Sangrai hilang ingatan selama ti-
ga hari. Ia tak mengenal Soka maupun Raka, bahkan
tak mengenali dirinya sendiri. (Baca serial Pendekar
Kembar dalam episode: "Gairah Sang Pembantai")
Seandainya Tandu Sangrai yang juga ingin memiliki Soka Pura itu masih dalam pengaruh 'Totok Pikun',
maka ia tak akan ingat siapa gadis yang berkutang
merah dengan kain bawahnya juga berwarna merah
itu. Tapi kini karena kesadarannya telah pulih kemba-
li, maka ia pun segera menghadang langkah Dewi Bi-
nal dengan sikap bermusuhan.
"Kita bertemu lagi, Gadis busuk!" geram Tandu
Sangrai dengan matanya mengecil menandakan me-
nyimpan kebencian yang cukup dalam.
Dewi Binal tak merasa gentar berhadapan dengan
perempuan berusia sekitar dua puluh tujuh tahun itu.
Walaupun usia Dewi Binal masih dua puluh dua ta-
hun, namun ia merasa cukup berani bertarung mela-
wan Tandu Sangrai.
"Apa maumu sebenarnya, Perempuan jalang?!"
ujar Dewi Binal dengan sikap menantang.
"Kau telah membuat pemuda itu terpikat padamu
dan meninggalkan aku! Tak ada jalan lain untuk me-
rebut Soka Pura agar kembali ke pelukanku kecuali
dengan cara membunuhmu!"
Dewi Binal sendiri tak mau kalah gertak. Dengan
suara lantangnya ia berseru dalam jarak enam lang-
kah.
"Aku sudah siap mati untuk mempertahankan
Soka Pura! Jika kau bermaksud merebutnya, maka
kau harus siap mati di tanganku juga, Perempuan
liar!"
"Kau memang gadis jalang yang perlu ditumbuk
mulutnya! Hiaaah..!"
Tandu Sangrai melangkah satu kali dan tubuh-
nya segera melayang dengan kaki menendang lurus ke
wajah Dewi Binal.
Wuutt..! Pada saat itu Dewi Binal cukup siap
menghadapi serangan lawan. Maka dengan cepat tan-
gannya berkelebat menangkis tendangan Tandu San-
grai.
Plaakk...!
Tapi tanpa diduga-duga tubuh Tandu Sangrai ju-
stru berputar dan kaki yang satunya menyambar peli-
pis Dewi Binal.
Wees...! Plok...!
"Uuhk...!" Dewi Binal terpelanting akibat pelipis-
nya terkena tendangan itu. la jatuh bersimpuh dalam
keadaan kepala terasa hilang. Seluruh darah yang
mengalir ke kepala bagaikan berhenti dalam sesaat.
Pandangan matanya sempat buram. Namun Dewi Bi-
nal mencoba atasi hal itu dengan menarik napas da-
lam-dalam.
"Oh, gila betul tendangannya! Kepalaku seperti
dipenggal dan tak tahu menghadap ke mana ini?! Le-
herku menjadi seperti semutan dan tak memiliki kepa-
la lagi! Celaka! Aku harus menyerangnya dengan jurus
yang langsung mematikan!" ujar hati Dewi Binal.
Belum sempat keadaannya pulih, Tandu Sangrai
telah menyerangnya kembali dengan jurus tendangan
kaki beruntun.
Weess...! Plok, plok...!
Tendangan telak itu menghajar kepala Dewi Binal
lagi. Tendangan tersebut berkekuatan tinggi dan mem-
buat Dewi Binal berjungkir balik di tanah dengan kea-
daan tak sadar atas seluruh gerakannya. Tahu-tahu ia
merasa tubuhnya terkapar di semak-semak dengan
pandangan mata semakin gelap. la pun tak sadar jika
telinganya mulai berdarah dan tulang pipinya menjadi
memar kebiruan.
"Sekarang saatnya mengirimmu ke neraka, Gadis
busuk! Heeeaah...!"
Tandu Sangrai memang sudah tidak memiliki pe-
dang lagi. Tapi tangan kirinya masih bisa mengelua-
rkan jarum merah yang sangat mematikan. Jarum itu
pernah dipakai membunuh Ki Mandura dan ternyata
tokoh tua itu tak bisa diselamatkan oleh Raka Pura,
(Baca serial Pendekar Kembar dalam episode: "Gua Mu-
lut Naga"). Kini jarum merah itu dilepaskan oleh Tandu
Sangrai ke arah leher Dewi Binal.
Slaap! slaap...!
Dua jarum yang melayang itu tiba-tiba terhadang
oleh sepotong kayu berukuran sebesar lengan bayi.
Jrab, jrab...!
Tandu Sangrai kaget melihat sepotong kayu me-
layang dan menghadang kecepatan jarumnya. Ia sege
ra berpaling ke arah kiri, karena kayu itu datang dari
arah kiri. Matanya kian nanar beringas pada saat me-
mandang sesosok tubuh lelaki berpakaian biru tua.
"Heh, heh. heh, heh...! Mengapa harus membu-
nuh gadis secantik dia, Nyai?! Dia masih bisa ku man-
faatkan untuk bersenang-senang! Heh, heh, heh...!"
"Keparat kau, Arya Semirang!" geram Tandu San-
grai yang sudah mengenal pemuda itu. la tahu pemuda
itu adalah bekas kekasih Perawan Hutan. Sedangkan
gadis yang bernama Perawan Hutan adalah adik ti-
rinya sendiri, satu ayah lain ibu.
Tetapi kali ini Tandu Sangrai merasa heran meli-
hat penampilan Arya Semirang yang biasanya rapi na-
mun kali ini agak slebor itu. Baju biru Arya Semirang
dalam keadaan terbuka, celananya kedodoran, ram-
butnya yang bergelombang dan panjang setengkuk itu
dalam keadaan acak-acakan. Ikat kepalanya yang ber-
warna merah berhias benang emas itu dikalungkan di
leher. Wajahnya yang dulu penuh simpati kini menjadi
berkesan lusuh. Bahkan tawanya menyerupai seringai
iblis menggoda wanita.
"Tandu Sangrai, kusarankan agar kau tak perlu
membunuh gadis itu. Biarlah gadis itu kupakai sebagai
pemuas gairah ku! Hah, haaa, haaa, haa...!" Arya Se-
mirang melangkah limbung dekati Tandu Sangrai.
"Apa maksudmu, Arya Semirang?!"
Arya Semirang tertawa-tawa seperti orang gila.
Tandu Sangrai tak pernah melihat Arya Semirang ber-
tingkah seperti itu. Bahkan ketika Arya Semirang lebih
dekat lagi, Tandu Sangrai undurkan diri karena mera-
sa tak ingin dijamah pemuda yang sedang bertindak
aneh itu.
"Aku membutuhkan pemuas dahagaku. Gadis itu
menarik minat ku dan aku ingin melepaskan gairah ku
kepadanya. Ku mohon jangan bunuh dia, Tandu San-
grai!"
"Apa yang terjadi pada dirimu sebenarnya, Arya
Semirang?! Mengapa sikapmu menjadi seperti itu?!"
"O, aku sedang kasmaran. kepada seorang pe-
rempuan cantik yang sangat menggairahkan."
Rasa ingin tahu Tandu Sangrai membuatnya
punya gagasan untuk membiarkan Arya Semirang ber-
tingkah. Oleh karenanya, Tandu Sangrai pun berkata
kepada Arya Semirang.
"Jika begitu keinginanmu, puaskanlah gairahmu
kepada gadis itu! Hancurkan sekalian 'kebanggaannya'
itu dengan kebuasanmu, setelah itu akan kukirim ke
neraka!"
"Haah, hah, hah! Kau benar-benar baik hati pa-
daku, Tandu Sangrai! O, ya... apakah kau ingin me-
nyaksikan kehebatanku berlaga di atas kepasrahan-
nya? Aku tak keberatan! Lihatlah kehebatanku ini, Ne-
nek cantik! Huah, hah, hah, hah!"
"Sial! Dia memanggilku nenek, Nyai, dan apa lagi
nanti? Ngacau sekali dia! Apa sebenarnya yang terjadi
pada dirinya?!" gumam hati Tandu Sangrai sambil me-
langkah ke bawah pohon dan membiarkan Arya Semi-
rang dekati Dewi Binal.
"Kita akan berbulan madu ke puncak kemesraan,
Sayang ku! Haah, hah, hah, hah, hah!"
Arya Semirang melepas bajunya dengan terburu-
buru, sepertinya ia tak sabar untuk segera melam-
piaskan hasratnya yang sudah menggebu-gebu itu.
Bahkan tanpa rasa malu sedikit pun, ia melepaskan
sisa pakaiannya hingga menjadi seperti bayi baru lagi.
Mata Tandu Sangrai tak berkedip pandangi seorang
pemuda bertubuh tegap dalam keadaan polos. Mata
Jalang si Tandu Sangrai terarah kepada sesuatu yang
siap menghujam tubuh Dewi Binal. Sesuatu itu ternya-
ta sempat membuat Tandu Sangrai berdebar-debar ka-
rena membayangkan kehangatannya dalam tikaman
'pusaka' kemesraan Arya Semirang itu.
Pemuda tersebut masih tertawa-tawa kegirangan.
Ia mulai merangkak di atas tubuh Dewi Binal. Pada
saat itu Dewi Binal mulai sadar dan penglihatannya
yang kabur menjadi normal kembali. la memang mera-
sakan sakit di kepala dan telinganya, tapi tenaganya
mulai pulih kembali serta menyadari apa yang akan
terjadi pada dirinya.
Begitu wajah Arya Semirang ingin mendekati wa-
jahnya, Dewi Binal segera menyentakkan tangannya
dengan kuat ke dagu Arya Semirang.
Beet! Plook...!
"Aaoow...!" Arya Semirang terdongak seketika
sambil memekik kesakitan. Dewi Binal cepat-cepat
sentakkan kakinya hingga menjejak perut Arya Semi-
rang. Buuhk...!
Weesss..! Gusraak...!
"Aaaooww...!"
Arya Semirang mengerang kesakitan di semak-
semak seberang. Tubuhnya sempat melayang dan ter-
banting di sana karena jejakan kaki yang bertenaga
cukup besar itu.
Dengan cepat kedua kaki Dewi Binal melengkung
sampai melewati kepalanya dan satu sentakan tangan
membuat Dewi Binal berhasil melejit tinggi lalu da-
ratkan kakinya dengan tegak setelah lakukan jungkir
balik satu kali tadi.
Wuutt, jleeg...!
Tandu Sangrai terkejut dan mulai berang lagi.
Tapi Dewi Binal segera lepaskan tendangan ke bela-
kang dengan menyalurkan tenaga dalamnya ke kaki
itu.
Wuuttt...!
Tepat pada saat itu Tandu Sangrai ingin mener-
jangnya dari belakang. Maka tak ayal lagi dada Tandu
Sangrai terkena telak tendangan tersebut.
Beehk...!
"Haagh...!" Tandu Sangrai melayang mundur dan
punggung membentur pohon yang berjarak lima lang-
kah dari tempatnya tertendang tadi.
Brruuk...!
"Aku harus lari!'' pikir Dewi Binal. "Kepalaku ter-
luka dan sangat sakit. Tak mungkin aku mampu men-
galahkan dia jika rasa sakit ini mengganggu sekali.
Aku harus sembuhkan lukaku dulu dengan hawa
murni!"
Blaass...!
Dewi Binal pun melesat pergi tanpa permisi lagi.
Tandu Sangrai yang merasa dadanya seperti ingin jebol
itu segera bangkit dari jatuhnya. Nafasnya ditarik da-
lam-dalam untuk menekan rasa sakit dalam dadanya.
Tapi ia hanya bisa memandang dengan liar terhadap
lawannya yang sudah jauh dari jangkauan.
"Jahanam! Jangan lari kau, Gadis mesum!" teriak
Tandu Sangrai, lalu bergegas untuk mengejarnya. Te-
tapi langkah dan niatnya terhenti oleh seruan Arya
Semirang yang sudah keluar dari semak-semak dalam
keadaan seperti bayi kuda baru lahir itu.
"Tandu Sangrai! Jangan pergi dulu, Sayang...!"
"Hmmm...!" Tandu Sangrai menggeram sambil
lemparkan pandangan tajam kepada Arya Semirang.
Pada saat itu, sekelebat bayangan hinggap di atas
sebuah pohon tak jauh dari mereka. Bayangan itu
sengaja bersembunyi di sana dan memperhatikan me
reka dengan tanpa suara. Semula bayangan putih yang
hinggap di atas pohon ingin lanjutkan langkahnya.
Namun begitu mendengar nama Tandu Sangrai dilon-
tarkan oleh seorang pemuda, maka bayangan putih itu
sengaja hentikan langkah dan ingin mengetahui apa
yang terjadi di bawah sana. Bayangan putih itu tak
lain adalah Soka Pura yang sedang dalam tujuan ke
Gua Bangsal.
"Oh, rupanya Tandu Sangrai habis memperkosa
Arya Semirang?!" pikir Soka Pura, karena ia melihat
keadaan Arya Semirang tanpa selembar benang pun.
"Tapi kelihatannya Tandu Sangrai sedang marah! Ke-
pada siapa perempuan itu marahnya? Kepada Arya
Semirang atau kepada orang lain? Hmmm... Tak ada
orang lain di antara mereka. Jadi kurasa Tandu San-
grai sedang marah kepada Arya Semirang. Tapi men-
gapa Arya Semirang berani mendekatinya dalam kea-
daan berbugil ria begitu?!"
Hati yang berkecamuk akhirnya sengaja di bung-
kam setelah Soka Pura mendengar Arya Semirang bi-
cara kepada Tandu Sangrai.
"Tak perlu terburu-buru mengejarnya, Tandu
Sangrai. Ada sesuatu yang perlu kita lakukan selain
mengejarnya. Heh, heh, heh, heh!"
"Menjauhlah, Arya Semirang! Cepat menjauhlah
dariku!" bentak Tandu Sangrai. Tapi pemuda itu justru
merentangkan kedua tangannya sambil melangkah
limbung dan tertawa terbahak-bahak.
Tandu Sangrai diam bagai terpaku di tempat Ma-
tanya tak berkedip pandangi wajah Arya Semirang
yang sudah diliputi gairah yang membara itu. Apalagi
sekarang ia telah merapat di salah satu pohon.
Soka Pura berdebar dan kakinya mulai gemetar
karena hanyut dalam rasa yang dipandangnya. Sema-
kin keras pekikan Tandu Sangrai, semakin menyentak-
nyentak jantung Soka Pura, karena ia ingat saat-saat
menerima sentuhan indah seperti itu bersama Tandu
Sangrai. Sekalipun tak sampai sejauh yang dilakukan
Arya Semirang, tetapi Soka Pura merasa seperti sudah
pernah menikmati kehangatan yang lebih dalam lagi
bersama Tandu Sangrai. Bahkan saat itu ia merasa
seperti sedang bercumbu dengan Tandu Sangrai, se-
hingga nafasnya pun terengah-engah dan keringat din-
ginnya mengalir cukup deras.
"Aduh, celaka! Kenapa celana ku basah sendiri?"
ujar Soka dalam hati. "Oh, ternyata keringat ku men-
gucur deras sampai membasah di celana. Kukira ba-
sah karena lain! Ah, sebaiknya ku tinggalkan saja me-
reka. Aku bisa jatuh dari atas pohon karena menahan
lutut yang gemetaran ini!"
Tetapi dalam hati Soka Pura menyimpan kejang-
galan begitu melihat gairah Arya Semirang. Gairah pe-
muda itu dianggap Soka sebagai gairah yang berlebi-
han dan tidak wajar. Hal itu yang membuat Soka menahan niatnya untuk pergi dari atas pohon.
Arya Semirang mencumbu dengan kasar sekali.
makin lama kekasarannya semakin menegangkan So-
ka Pura. Erangan pemuda itu seperti erangan binatang
yang sangat buas dan liar, demikian pula cengkeraman
tangan Arya Semirang yang sangat kuat dan menya-
kitkan Tandu Sangrai.
"Aaaoow...!"
Tandu Sangrai menjerit keras-keras. Soka Pura
terbelalak lebih tegang lagi karena kini ia melihat sen-
diri Arya Semirang menggigit dada Tandu Sangrai den-
gan ganas. Gigitan itu sempat melukai dada Tandu
Sangrai yang telah terkapar di tanah bersama Arya
Semirang. Ada sesuatu yang putus dari dada itu. Se-
cuil daging dari dada Tandu Sangrai dikunyah dan di-
makan habis oleh Arya Semirang.
Tandu Sangrai meronta sambil memekik keras-
keras. Tapi Arya Semirang bagaikan mempunyai keku-
atan iblis yang sukar dikalahkan. la pun menyeringai
dengan erangan mengerikan, kemudian menggigit leher
Tandu Sangrai.
Crass...!
"Aaaaa...!"
Pekikan memandang dan sangat keras dari Tan-
du Sangrai benar-benar tak dipedulikan oleh Arya Se-
mirang. Pemuda itu tetap menghajar Tandu Sangrai
dengan kemesraannya yang kasar sekali itu. Bahkan
mulutnya masih mencoba menggigit leher Tandu San-
grai lagi bersama kedua tangan mencengkeram tubuh
perempuan itu hingga kuku-kukunya menembus ma-
suk ke tubuh mulus Tandu Sangrai.
Craaas...!
Gigitan pada leher tengah kali ini membuat Tan-
du Sangrai mendelik dan tak bisa berteriak lagi. Arya
Semirang mengerang bagaikan makhluk haus darah.
Dengan sekali kibas, leher perempuan itu pun koyak
dan darahnya membasahi wajah Arya Semirang. Yang
lebih mengerikan lagi, daging yang berhasil digigit oleh
Arya Semirang itu sekarang dikunyah dan ditelan.
Arya Semirang menjadi manusia buas pemakan daging
manusia.
"Iblis keparat! Kurasa dia sudah bukan manusia
lagi!" geram Soka Pura. Kemudian ia segera meluncur
turun dari atas pohon bagai seekor burung perkasa
yang terbang ke arah pergumulan itu.
Weees...!
"Hiaaah...!"
Teriakan Soka Pura itu dilakukan untuk menghi-
langkan rasa ngeri melihat perlakuan buas Arya Semi-
rang. Lompatan yang bagaikan terbang dengan cepat
itu menerjang kepala Arya Semirang. Kepala tersebut
sedang mendongak dengan mata liar dan mulut men-
ganga keluarkan erangan iblis menyeramkan.
Brrrus...!
Terjangan kaki Soka Pura membuat Arya Semi-
rang terpisah dari tubuh Tandu Sangrai. Namun ia se-
gera bangkit dan melompat bagai seekor singa yang
ganas. Lompatan yang tertuju ke arah Soka Pura itu
segera disambut dengan tendangan berputar yang
amat cepat.
Wees, plook...!
"Aaahkkr...!"
Arya Semirang memekik keras, menyerupai mak-
hluk ganas yang mengerang kesakitan. Tapi ia segera
bangkit dan matanya menjadi putih. Tanpa menghi-
raukan keadaannya yang polos, tanpa memikirkan da-
rah berlumuran di wajahnya. Arya Semirang mener-
kam Soka Pura lagi bagai orang yang tak mengerti ba-
haya
Karena Soka Pura dalam keadaan siaga. maka
terkaman itu segera disambut dengan pukulan berte-
naga dalam tinggi yang dinamakan jurus 'Tangan Ba-
tu'.
Beet, wuut...!
"Aaahkkrr...!"
Arya Semirang terlempar keras, ia seperti dilem-
par dengan batu sebesar kerbau. Tubuh itu segera
menjadi memar dan nafasnya tersendat-sendat.
Soka Pura membiarkan Arya Semirang tersengal-
sengal dalam keadaan terkapar sekarat. la segera de-
kati Tandu Sangrai, namun perempuan itu ternyata
sudah tidak bernyawa lagi.
"Sial! Akhirnya mati juga perempuan ini!" geram
Soka Pura. Hatinya sedikit kesal karena ia tak berhasil
selamatkan nyawa perempuan itu. Bukan karena Soka
menaruh hati kepada perempuan itu, tapi karena ka-
sihan melihat keadaannya yang tak berdaya dalam
cengkeraman Arya Semirang tadi.
Wuuut, jleeg...!
Pendekar Kembar bungsu terkejut ketika seseo-
rang tahu-tahu muncul di depannya. Ia yang semula
jongkok di samping mayat Tandu Sangrai segera bang-
kit dan memandang kemunculan seorang wanita can-
tik berpakaian serba ungu yang tak lain adalah Selir
Pamujan. Rupanya Selir Pamujan tak jadi menuju ke
Pulau Sambang sendirian. la punya rasa cemas mele-
pas Soka Pura ke Gua Bangsal sendirian. la pun ak-
hirnya mengikuti Soka sampai akhirnya bertemu di
tempat itu.
"Perempuan ini tewas secara mengerikan!" ujar
Soka Pura.
"Aku sempat melihatnya sendiri dari balik pohon
seberang sana! Aku pun tahu kau mengintainya dari
pohon itu."
Soka Pura hanya nyengir masam, merasa malu
karena intaiannya diketahui Selir Pamujan. Tetapi So-
ka Pura segera terkejut ketika Selir Pamujan lanjutkan
katanya.
"Pemuda yang kau hantam dan sekarang sedang
sekarat itu pasts telah terkena jurus 'Asmara Laknat'
Dan jurus atau kekuatan dari 'Asmara Laknat' hanya
bisa dilakukan oleh orang yang memegang Kipas Ke-
dung Gairah."
"Oh. kalau begitu, berarti Arya Semirang telah
bertemu dengan orang yang mencuri kipas itu!"
"Aku yakin begitu. Sebaiknya sadarkan dia dan
kita korek keterangan dari mulutnya, siapa si peme-
gang Kipas Kedung Gairah itu!" ujar Selir Pamujan
dengan tegas. Soka Pura bergegas temui Arya Semi-
rang.
*
* *
3
WAJAH TAMPAN itu menjadi murung, seperti
gadis ingin dipaksa kawin oleh orang tuanya. Soka Pu-
ra meninggalkan tubuh Arya Semirang yang ingin dis-
embuhkan dengan jurus 'Sambung Nyawa' itu. Ia
kembali temui Selir Pamujan yang memperhatikan lu-
ka-luka mengerikan tubuh jenazah Tandu Sangrai.
Melihat kehadiran Soka, wanita cantik berpa-
kaian ungu itu mulai berkerut dahi. Ia merasa ada se-
suatu yang tak beres di hati Soka. Tapi ia berlagak ti-
dak mengetahui hal Itu.
"Bagaimana? Sudah kau sembuhkan pria itu?"
tanyanya.
"Aku bukan dewa!" jawab Soka Pura sambil me-
nyandarkan tangannya ke sebuah pohon di depan Selir
Pamujan.
"Apa maksudmu?" Selir Pamujan mendekatinya.
"Bukankah kau punya ilmu pengobatan yang sangat
dahsyat itu? Jika pemuda itu segera kau sembuhkan
maka kita bisa tanyakan, siapa orang yang membuat-
nya menjadi gila cumbu begitu!"
"Percuma!" sambil Soka menghembuskan napas,
tampak memendam rasa sesal dalam hatinya.
"Percuma bagaimana?!"
"Dia sudah mati! Tanyalah sendiri padanya siapa
yang membuatnya gila cumbu begitu!"
"Sudah mati?!" Selir Pamujan berkerut dahi.
"Aku tak sengaja membunuhnya. Pukulanku
mengenai jantungnya. Kurasa jantungnya yang berde-
bar-debar diburu gairah itu terhenti seketika atau pe-
cah begitu jurus 'Tangan Batu'-ku mengenainya! Aah...
seharusnya aku tak perlu gunakan jurus itu. seharus-
nya kugunakan jurus 'Totok Pikun' saja, sehingga
nyawanya masih awet sampai sekarang!"
Selir Pamujan hembuskan napas. "Sudah, tak
perlu disesali lagi! Semuanya sudah telanjur."
"Aku akan memakamkan kedua mayat ini!"
"Ah, kau terlalu peka terhadap kesalahan diri
sendiri, Soka! Biarkan saja mayat mereka. Kita menuju
ke Gua Bangsal saja!"
Namun Pendekar Kembar bungsu itu tetap ingin
memakamkan kedua mayat tersebut sebagai penebus
tindakannya yang menewaskan Arya Semirang.
Mau tak mau Selir Pamujan akhirnya membantu
Soka menggali lubang kubur dengan kekuatan tenaga
dalamnya. Kedua tangan Selir Pamujan disentakkan ke
tanah dalam keadaan tetap berdiri. Tanah pun ter-
dongkel ke atas bagaikan digali dengan skop besar. Hal
itu mempercepat proses penggalian, sehingga dalam
waktu singkat kedua mayat pun segera terkubur da-
lam satu liang. Dengan begitu, rasa sesal Pendekar
Kembar bungsu itu mulai terobati.
"Mengapa kau tak jadi menuju ke Pulau Sam-
bang?" tanya Soka Pura sambil mereka meninggal kan
kuburan itu.
"Aku takut kau ditundukkan oleh sisa-sisa pen-
gikut Ratu Cumbu Laras! Sebab mereka sangat men-
dendam kepadamu, juga kepada kakak kembar mu!"
Soka Pura tersenyum dengan tawa kecil meng-
gumam.
"Kau pikir aku mudah ditumbangkan oleh mere-
ka?"
"Kesaktianmu mungkin tak bisa ditumbangkan.
Tapi aku takut kau terkena jurus 'Malam Pengantin'
yang dimiliki beberapa orang dari mereka."
Senyum dan tawa Soka Pura semakin melebar. Ia
menertawakan kecemburuan Selir Pamujan. Padahal
di hati Soka sendiri tak punya kecemburuan apa-apa
terhadap perempuan yang berusia dua puluh lima ta-
hun itu. Agaknya Soka tak bisa melarang niat Selir
Pamujan untuk ikut ke Gua Bangsal. Usaha melarang
akan membuat perselisihan saja, dan Soka enggan
berselisih dikarenakan masalah itu.
Benak Soka Pura masih dililiti keanehan yang
terjadi pada diri mendiang Arya Semirang itu. Bahkan
ia tampak sangsi dengan kesimpulan Selir Pamujan
tadi.
"Benarkah Arya Semirang terkena kekuatan Ki-
pas Kedung Gairah?! Jangan-jangan ia menjadi gila
dan ganas seperti itu karena hal lain?"
"Setahuku, Kipas Kedung Gairah memang mam-
pu membuat seorang lawan menjadi gila cumbu dan
sangat buas, menyukai darah dan doyan memakan
daging manusia yang dicumbunya. Biasanya orang ter-
sebut terkena sinar biru yang keluar dari Kipas Ke-
dung Gairah. Dulu aku pernah melihat mendiang guru
melakukannya terhadap seorang lawannya di Gunung
Balada."
"Apakah setiap orang bisa menggunakan Kipas
Kedung Gairah itu?!"
"Kurasa bisa. Karena kipas itu mengubah kekua-
tan tenaga dalam seseorang menjadi tenaga inti maut!"
tutur Selir Pamujan menjelaskan.
Ia berkata lagi, "Ada tiga kekuatan inti maut yang
bisa dikeluarkan melalui Kipas Kedung Gairah itu.
Semua tergantung besar-kecilnya tenaga yang dikelua-
rkan oleh si pemegang kipas tersebut."
"Misalnya bagaimana?"
"Misalnya, orang itu mengeluarkan tenaga dalam
kecil-kecil saja, maka kipas itu akan memancarkan si-
nar kuning yang dapat melumpuhkan seseorang atau
membuat orang tidur terus selama empat puluh hari."
"Aneh juga?" ujar Soka sambil tertawa pelan.
"Jika tenaga dalam yang disalurkan agak besar,
maka kipas itu akan keluarkan sinar biru yang mem-
buat gairah seseorang terbakar dan selalu ingin ber-
cumbu. Orang itu akan menderita gila cumbu dan be-
lum puas jika belum memakan daging atau meminum
darah pasangan kencannya, seperti yang dialami Arya
Semirang tadi! Tapi jika orang itu dilayani oleh peme-
gang kipas, maka seketika itu juga kekuatan yang da-
pat membuatnya gila cumbu akan sirna."
"Mengapa bisa begitu?"
"Dalam sinar biru yang dikeluarkan kipas terse-
but mengandung darah kemesraan si pemilik kipas.
Jadi jika darah kemesraan si pemilik kipas telah me-
nyatu dalam diri orang yang terkena Sinar biru itu
maka kekuatan gila cumbunya akan sirna."
"Benar-benar aneh kipas itu," gumam Soka se-
pertinya bicara sendiri.
"Dan satu lagi," lanjut Selir Pamujan. "Jika orang
pemegang kipas itu kerahkan tenaga dalamnya cukup
tinggi, maka dari kipas itu akan keluar sinar merah
yang dapat menghancurkan lawan. Bahkan pintu baja
setebal apa pun bisa dihancurkan dengan sinar merah
dari Kipas Kedung Gairah itu!"
Soka Pura manggut-manggut, dalam hatinya me-
nyimpan rasa kagum terhadap kehebatan Kipas Ke-
dung Gairah itu. Hati kecilnya sempat ngeri jika ia
berhadapan dengan pemegang kipas pusaka itu.
"Sinar birunya itu yang ku takuti, bisa bikin aku
gila cumbu dan iih... sangat memalukan sekali kalau
aku sampai gila cumbu seperti yang diderita Arya Se-
mirang," ujar Soka Pura dalam hatinya.
Selir Pamujan berkata lagi, "Repotnya lagi, semua
sinar dari kipas Itu tidak bisa ditangkis dengan apa
pun kecuali dihindari. Dan kipas Itu sendiri terbuat
dari serat baja yang mempunyai kekuatan inti sakti
tersendiri, sehingga selama ini tak pernah ada yang bi-
sa menghancurkan kipas tersebut. Senjata apa pun
tak pernah berhasil membuat kipas itu hancur, bah-
kan lecet pun tidak."
"Apa warna kipas itu?"
"Coklat kehitaman," jawab Selir Pamujan dengan
polos.
"Apakah hanya kaum wanita saja yang boleh
memegang kipas itu?"
"Tidak! Kaum lelaki juga bisa! Karena itulah tem-
po hari aku mencurigai Hantu Muka Tembok."
Ingatan Soka sempat melayang pada pertarungan
Selir Pamujan dengan Hantu Muka Tembok, (Baca
serial Pendekar Kembar dalam episode: "Gairah sang
Pembantai"). Tetapi kini batin Soka bertanya-tanya ten-
tang kelemahan kipas tersebut. Karena menurutnya,
setiap kekuatan pasti punya kelemahan. Demikian pu-
la halnya dengan Kipas Kedung Gairah.
"Apa kelemahan kipas tersebut, Selir Pamujan?"
Pertanyaan itu tidak langsung dijawab oleh Selir
Pamujan. la diam beberapa saat, sepertinya ada sesua-
tu yang perlu dipertimbangkan. Soka Pura mulai tak
enak hati. Selir Pamujan dianggap sangsi memberikan
rahasia kelemahan Kipas Kedung Gairah.
"Kalau aku tak tahu kelemahannya, aku tak akan
bisa melawan pemegang kipas itu. Kurasa kau tak per-
lu sangsi padaku, katakan saja dimana letak kelema-
han pusaka tersebut, Selir Pamujan?"
"Aku bukannya sangsi kepadamu, Soka. Tapi aku
sedang mengingat-ingatnya. Sebab setahuku, selama
ini guruku tak pernah sebutkan kelemahan kipas pu-
saka itu. Atau mungkin aku lupa? Ini yang sedang
kuingat-ingat!"
"Apa jadinya jika kipas itu tanpa kelemahan?!
Mungkin si pemilik Kipas Kedung Gairah bisa meraja-
lela dan bertindak semena-mena di permukaan bumi
ini! Kita pun akan menjadi korbannya, cepat atau pun
lambat!"
"Memang. Tapi..., aku tak yakin kalau kipas itu
tak mempunyai kelemahan. Pasti ada. Hanya saja aku
tak tahu di mana letak kelemahannya itu. Sebab...."
Kata-kata Selir Pamujan terhenti bagai tersumbat
di tenggorokan. Hal yang membuat kata-kata itu ter-
henti adalah sebuah pemandangan yang mengejutkan
mereka.
Di depan langkah mereka, tampak seorang lelaki
berbadan gemuk berpakaian serba hitam dengan baju
tak dikancingkan sedang duduk di tanah bersandar
sebatang pohon. Lelaki besar dan gemuk itu mempu-
nyai rambut yang dikonde dengan wajah bundar lucu
tanpa kumis.
"Soma Gaok?!" panggil Soka Pura yang mengenal
lelaki itu dan pernah singgah di rumahnya bersama
Dewi Binal, (Baca serial Pendekar Kembar dalam epi-
sode: "Setan Cabul").
Wajah bundar gemuk seperti bola berkonde itu
memandang Soka dengan malas-malasan. Matanya
tampak redup, gerakannya pelan sekali, kentara dalam
keadaan lemas.
"Hai...," sapa Soma Gaok yang mirip pemain su-
mo dari Jepang itu. Suaranya lemah dan lirih sekali. la
tampak mengantuk. Mungkin karena hembusan angin
yang membawa suasana teduh itulah yang membuat
Soma Gaok terkantuk-kantuk.
Tetapi luka memar di rahang Soma Gaok sangat
mencurigakan Selir Pamujan. Goresan luka yang ada
di dekat mata kaki Soma Gaok juga memancing kecu-
rigaan Selir Pamujan, sehingga perempuan itu. terpak-
sa berbisik kepada Soka Pura.
"Ada sesuatu yang tak beres padanya."
"Badannya yang terlalu besar memang lekas
membuatnya tertidur dalam suasana teduh dan sejuk
seperti ini," ujar Soka Pura sambil melangkah lebih
dekat lagi. la segera menegur Soma Gaok sambil jong-
kok.
"Hei, Soma Gaok, mengapa kau ada di sini?!"
Dengan mata kian kecil dan sayu karena men-
gantuk, Soma Gaok menjawab pelan sekali. Suaranya
parau dan sedikit datar.
"Ngantuk...."
"Hei. kenapa pipimu? Kau terluka, Soma Gaok?!"
"He, eh...!" jawabnya malas-malasan.
"Kau habis bertarung dengan siapa?"
"Hmm... perempuan," jawabnya bertambah pelan
lagi. Soka Pura juga melihat luka goresan yang menga-
lirkan darah. Darah itu sudah lembut, sebentar lagi
akan mengering.
"Perempuan siapa? Soma Gaok...?! Hei, jangan
tertidur dulu, Soma!"
Plok, plok, plok...! Pendekar Kembar bungsu me
nepuk-nepuk pipi gemuk itu. Bibir Soma Gaok berki-
bar bagai sarung basah saat ditepuk pipinya. la makin
meredupkan mata pertanda ingin segera tertidur.
"Kurasa ia terkena Kipas Kedung Gairah juga!"
ujar Selir Pamujan dengan pelan sambil berdiri di be-
lakang Soka Pura.
"Dari mana kau tahu?!" tanya Pendekar Kembar
bungsu.
"Lukanya tak akan mungkin membuatnya men-
gantuk seberat itu, kecuali jika ia terkena sinar ku-
ningnya Kipas Kedung Gairah."
Soka Pura menjadi cemas. "Oh, celaka kalau be-
gitu!"
Soka menepuk-nepuk pipi Soma Gaok lagi. Plok,
plok, plok...!
"Soma Gaok! Hei, hei... jangan tidur dulu! Soma,
siapa yang bertarung melawanmu? Perempuan mana?
Siapa namanya?!"
Setiap tepukan pipi membuat mata Soma Gaok
melebar lagi dan terperanjat, namun sekejap kemudian
menjadi layu kembali dan ingin tertidur. Soka Pura be-
rusaha membangunkan Soma Gaok dengan tamparan
keras.
Plaaakkk...!
"Hah, hoooh, hhmmm... ada... ada apa ini?!" So-
ma Gaok menggeragap, matanya melek. Namun belum
sampai Soka ajak bicara sepasang mata orang gemuk
itu mulai layu kembali.
"Siapa perempuan yang bertarung melawanmu,
Soma?!"
"Dee... Dee...."
"Dede...?!"
"Bukan," Soma Gaok menjawab dengan tunduk-
kan kepala. "Dee... Dewi...."
"Dewi siapa?!" desak Soma Gaok. "Hei, hei... ban-
gun! Sebutkan dulu, Dewi siapa maksudmu...!"
"Zzzzz...!"
Soma Gaok tak tertolong lagi. Bukan nyawanya
yang tak tertolong, tapi rasa kantuknya tak bisa dita-
han lagi. la tertidur dengan dengkuran halus dan ke-
pala tertunduk lunglai. Bibirnya melambai-lambai, se-
bentar lagi pasti akan meneteskan liur yang menjijik-
kan.
Plak, plak, plak, plak...!
"Percuma saja! Biar kau tampar sekeras itu ia te-
tap akan tertidur jika memang ia benar-benar terkena
sinar kuning Kipas Kedung Gairah!" kata Selir Pamu-
jan.
Ternyata tamparan Soka itu memang tak bisa
membuat Soma Gaok terbangun lagi. Lelaki gemuk
berkulit gelap itu justru semakin mendengur. Ngiler!
Tentu saja Soka tak mau menampar pipi Soma Gaok
lagi, karena tak ingin terkena percikan liur yang meng-
gelikan itu.
"Sialan! Dia seperti kebo! Tak bisa dibangunkan
lagi?!"
"Selama empat puluh hari dia akan tertidur dan
tak akan bangun-bangun."
"Benarkah?!" Soka Pura tampak cemas, dan sege-
ra berdiri memandang Selir Pamujan yang masih me-
mandang Soma Gaok dengan kedua tangan bersidekap
di dada.
"Luka di kakinya itu beracun, walau tak ganas,"
ujar Selir Pamujan. "Tentunya ia tak akan sempat ter-
tidur dalam keadaan menahan luka begitu. Satu-
satunya penyebab adalah sinar kuning dari Kipas Ke-
dung Gairah!"
Soka Pura menarik napas, mulai percaya dengan
penjelasan Selir Pamujan. Namun ia penasaran karena
ingin mengorek keterangan dari mulut Soma Gaok.
Maka ia segera menempelkan telapak tangannya ke
tengkuk Soma Gaok yang tidurnya menunduk itu.
Tangan itu memancarkan cahaya ungu kemi-
lauan. Lama-lama cahaya ungu itu menguasai tubuh
Soma Gaok. Tubuh lelaki gemuk itu menjadi seperti
beling yang di dalamnya ada bolam ungunya. Itulah ju-
rus penyembuhan yang dinamakan jurus 'Sambung
Nyawa', dimiliki oleh Soka maupun Raka.
"Semoga jurus 'Sambung Nyawa'ku dapat menga-
lahkan hawa kantuknya!" gumam Soka sambil me-
nunggu cahaya ungu padam dari tubuh Soma Gaok.
"Aku tak yakin," ucap Selir Pamujan dengan sua-
ra gumam pula.
Beberapa saat kemudian, cahaya ungu itu telah
redup. Tubuh Soma Gaok kembali dalam keadaan se-
mula, tanpa cahaya apa pun. Luka di kakinya menger-
ing dan lenyap seperti tanpa bekas, seperti tak pernah
terluka. Memar di pipinya yang membiru itu juga le-
nyap bersama hilangnya cahaya ungu tadi. Tetapi So-
ma Gaok masih tetap tertidur dan suara dengkurannya
semakin kuat.
"Grrr... zzzz.... gggrrrww... zzzz...!"
"Edan!" geram Pendekar Kembar bungsu. "Ter-
nyata jurus 'Sambung Nyawa'-ku tak bisa mengatasi
rasa kantuk itu!"
Selir Pamujan tersenyum kecut. "Tepat sekali du-
gaanku!"
Soka Pura akhirnya tertegun pandangi Soma
Gaok. Selain hatinya mengakui kebenaran kesimpulan
Selir Pamujan, sang hati pun bertanya-tanya, "Siapa
orang yang memegang kipas pusaka itu? Persoalan apa
yang membuatnya bentrok dengan Soma Gaok?!"
Selir Pamujan berkata dengan kalem, "Kipas itu
jelas ada di tangan seorang perempuan!"
"Ya. Perempuan itu bernama Dewi... tapi Dewi
siapa?"
"Hmm...!" senyum sinis Selir Pamujan seakan
mencemooh kebingungan Soka Pura. Pemuda tampan
berpakaian putih dan berambut sebahu tanpa ikat ke-
pala itu menjadi tak enak hati menerima senyuman si-
nis itu. Ia segera alihkan pandangan mata bertepatan
dengan Selir Pamujan berkata dingin.
"Siapa lagi kalau bukan Dewi Binal! Apakah kau
masih tak yakin bahwa pencuri kipas itu adalah Dewi
Binal?!"
Pendekar Kembar bungsu menjadi resah dan ke-
bingungan. Hati kecilnya tetap mengatakan bukan
Dewi Binal pencurinya. Tapi ia tak punya alasan kuat
untuk membantah tuduhan Selir Pamujan. Kata-kata
sepotong yang diucapkan Soma Gaok membuat Soka
Pura menjadi seperti terpojok.
"Kita cari Dewi Binal!" tegas Selir Pamujan.
"Nanti dulu!" cegah Soka Pura membuat Selir
Pamujan menaruh curiga melalui pandangan matanya.
Soka Pura sempat menggeragap sedikit dipandang de-
mikian.
"Maksudku... maksudku selidiki saja dulu kebe-
narannya. Jangan main tuduh dulu!"
Selir Pamujan maju selangkah dan semakin sinis
memandang Soka.
"Sebenarnya ada hubungan apa kau dengan Dewi
Binal?!"
"Sebagai seorang sahabat saja!!'
"Aku tak percaya! Kau pasti ada hubungan batin
dengan Dewi Binal, sehingga kau selalu ngotot jika aku
menuduh Dewi Binal pelakunya!"
Soka Pura salah tingkah. "Hmm... hmmm... baik-
lah! Daripada kau menyangka diriku yang bukan-
bukan, kita cari Dewi Binal saja dan kita buktikan,
anggapan siapa yang benar, kau atau aku!"
"Bagaimana jika anggapan ku yang benar, bahwa
kipas itu ada di tangan Dewi Binal?!"
"Hmm... hmmm... apa maksudmu?!"
"Kau berani membunuhnya?!"
"Mengapa harus dibunuh jika kipas itu bisa dire-
but atau dibujuk agar dikembalikan padamu?!"
"Hmm...!" Selir Pamujan mencibir. "Kurasa kau
memang punya hubungan pribadi dengan Dewi Binal!"
"Bukan begitu, maksudku...."
"Kau tak akan berani membunuhnya jika terbukti
dia bersalah?"
"Kalau memang...."
"Aku akan mencarinya sendiri! Aku tak butuh
bantuanmu lagi!"
"Selir Pamujan, dengar dulu pendapatku...!"
Blaasss...!
Selir Pamujan pergi secepatnya dengan langkah
kilat. Soka Pura menjadi bingung, sebab ia tahu Selir
Pamujan pergi sambil membawa dendam dan kecem-
buruan yang membahayakan bagi Dewi Binal.
Mau tak mau Soka pun tetap mengikutinya
"Jika sampai terjadi pertarungan di antara kedua
wanita itu, aku harus mencegahnya!" ujar hati Soka
Pura, karena ia memang tak kehendaki salah satu dari
kedua wanita cantik itu cedera atau terbunuh gara-
gara kipas pusaka itu.
*
* *
4
PERJALANAN RAKA Pura yang mendampingi Bi-
ang Tawa itu terhenti di sebuah lembah sebelum men-
capai Bukit Gamping. Seseorang telah menyerang Raka
Pura dengan melemparkan pisau terbang berkecepatan
tinggi.
Zingng...!
Pisau terbang itu melesat dari balik pohon sebe-
lah kiri si Pendekar Kembar sulung.
Ketajaman mata Raka membuat pemuda tampan
berbadan tegap dan gagah itu segera sentakkan tu-
buhnya ke samping. Tangannya berkelebat cepat dan
berhasil menangkap pisau terbang itu.
Zaab...!
Namun bersamaan dengan itu gerakan pundak
Raka mendorong punggung Biang Tawa, sehingga lela-
ki bundar itu tersentak ke darat dan jatuh tersungkur.
Bruukk...!
"Kucing sunat! Mengapa kau mendorongku sam-
pai jatuh begini, Raka?! Kau pikir aku tukang me-
nangkap kodok?!" omel Biang Tawa.
"Maaf, Paman. Demi keselamatan kita, terpaksa
Paman menangkap kodok sebentar!" ujar Raka Pura
sambil memperlihatkan sebilah pisau yang terselip di
antara ke dua jarinya.
"Oh, ada kiriman rupanya?!"
Raka Pura anggukkan kepala sambil tersenyum.
"Kukembalikan atau ku buang, Paman?"
"Kembalikan saja, sambil kepingin tahu siapa
pengirimnya. Jangan-jangan salah alamat?!"
Pendekar Kembar sulung segera kibaskan tan-
gannya.
Wuuuss...!
Maka pisau terbang itu melesat ke arah datang-
nya tadi. Zingng...!
Tapi pisau itu tidak kenal pohon yang dipakai
bersembunyi si pelempar pisau. Pisau tersebut melesat
melewati pohon tersebut dan gagangnya kenal pohon
seberangnya.
Duuk...!
Pisau pun memantul balik dan mengarah ke po-
hon yang dipakai bersembunyi oleh seseorang. Zaaabb,
crraass...!
"Aaow...!" suara pekikan itu terdengar dari balik
pohon. Rupanya si pelempar pisau tak menyangka ka
lau pisau yang telah melewatinya itu akan memantul
balik setelah menghantam pohon seberangnya. Ia ter-
lambat menghindar, akibatnya ujung pundak orang itu
tergores pisau yang segera menancap di pohon atas
pundaknya itu.
"Boleh juga lemparan pisaunya! Gila! Ini na-
manya senjata makan tuan! Setan kuntet banget itu
anak!" gerutu si pelempar pisau dalam hatinya. Akhir-
nya ia tampakkan diri sambil pegangi luka di ujung
pundaknya. Sambil memegangi luka itu, ia salurkan
tenaga dalam sebagai penangkal racun pada lukanya
melalui telapak tangan, sebab pisau terbangnya tadi
mengandung racun yang berbahaya bagi jiwa manusia.
Raka Pura dan Biang Tawa memperhatikan ke-
munculan orang itu. Ternyata orang yang muncul itu
berperawakan agak pendek, seperti Biang Tawa dan
berusia sekitar empat puluh tahun. Mengenakan rompi
hitam dan celana abu-abu. Badannya cukup gempal
dengan kumis sedikit lebat. Orang itu mengenakan sa-
buk hitam yang penuh dengan pisau terbang. la be-
rambut pendek dan jabrik. Helai rambutnya lurus ke
atas seperti dari seekor landak.
"Apakah kau mengenal orang itu, Paman?" bisik
Raka Pura kepada Biang Tawa.
"Aku belum pernah jumpa dengannya. Tapi meli-
hat rambutnya yang mirip sapu lidi dan pisau-pisau
terbang di pinggangnya, aku mengenali ciri-ciri itu. Dia
orang dari Tebing Bencana yang kalau tak salah ber-
nama Batara Jabrik. Biar aku yang bicara padanya!"
Biang Tawa pun maju dua langkah berhadapan
dengan si rambut jabrik.
"Apa benar kau yang bernama Batara Jabrik?!"
"Tidak salah lagi. Akulah si Batara Jabrik dari
Kedai Iblis!"
"Kedai Iblis?! Bukankah kau adalah orangnya
Pangeran Laknat dari Tebing Bencana?!"
"Itu dulu, lima tahun yang lalu. Tapi sejak aku
diusir dari Tebing Bencana, aku sudah menjadi orang
Kedai Iblis!" jawab Batara Jabrik dengan auaranya
yang bulat, mantap sekali kedengarannya.
Raka Pura maju selangkah dekati Biang Tawa
yang segera menjelaskan secara singkat, bahwa Kedai
Iblis itu tempat bersarangnya para pembunuh bayaran
yang merupakan saingan bagi orang-orang Tebing
Bencana.
Lalu Biang Tawa ajukan tanya kepada Batara Ja-
brik, "Apa maksudmu menyerang kami dengan pisau
dapur seperti itu?!"
"Ini bukan pisau dapur, Tolol!" bentak Batara Ja-
brik dengan wajah tampak menyimpan kedongkolan.
"Ini pisau keramat yang dapat merenggut nyawamu
sewaktu-waktu. Kalau tak percaya, terimalah"
Wut, ziing...!
"Edan!" pekik Biang Tawa sambil melompat ke
atas dan berjungkir balik satu kali di udara. Jika hal
itu tidak dilakukan, maka sebilah pisau yang tak dike-
tahui kapan dicabut dari tempatnya itu akan meng-
hunjam dada atau perut Biang Tawa. Tapi karena Bi-
ang Tawa cepat lakukan gerakan melambung maka pi-
sau itu lolos dari tubuhnya dan menancap di sebatang
pohon belakangnya.
Jruub...!
Diam-diam Pendekar Kembar sulung mengagumi
kecepatan gerak tangan Batara Jabrik dalam menca-
but pisau dan melemparkannya. Gerakan itu nyaris
tak terlihat oleh lawan jika sang lawan bukan orang
yang benar-benar jeli atau kebetulan memperhatikan
tangan si Batara Jabrik. Raka Pura hanya melihat tan-
gan Batara Jabrik berkelebat. Ia sangka akan lepaskan
pukulan tenaga dalam, tak tahunya melemparkan pi-
sau terbang yang nyaris merenggut nyawa Biang Tawa
itu.
Raka Pura segera lakukan lompatan menyerang
Batara Jabrik. Ia menggunakan jurus 'Jalur Badai'
yang mampu bergerak cepat seperti hembusan badai
paling cepat itu.
Wuuuzz...! Brreess...!
Kejap kemudian terdengar suara benda jatuh
berdebam di tanah sejauh delapan langkah.
Buuuhk...!
"Aaoohh...!" pekikan panjang itu jelas pekikan
Batara Jabrik. Ia terbanting akibat tubuhnya terpental
bagai disambar sapi terbang. Dadanya terasa seperti
remuk, karena terjangan Raka Pura tadi melepaskan
tendangan yang tepat kenal dada Batara Jabrik. Orang
itu pun mengerang kesakitan di tempatnya jatuh. Raka
Pura dan Biang Tawa segera menghampirinya dengan
langkah santai.
"Hati-hati, kecepatan tangannya dalam melempar
pisau cukup tinggi dan diakui oleh para tokoh di rimba
persilatan," ujar Biang Tawa kepada Raka Pura.
"Ya, aku tahu, Paman. Aku pun mengakui kehe-
batannya dalam melemparkan pisau perenggut nyawa
itu. Tapi kurasa jurus 'Jalur Badai'-ku pun mampu
melebihi kecepatan pisau terbangnya!" ujar Raka sam-
bil melangkah dekati Batara Jabrik yang sedang meng-
geliat bangun sambil menyeringai.
"Batara Jabrik! Apa maumu sekarang? Mene-
ruskan permainan ini, atau menjawab pertanyaanku
tadi?!" Biang Tawa berkata tegas dengan bertolak ping-
gang. Tentu saja ia berani bertolak pinggang di depan
Batara Jabrik yang ilmunya lebih tinggi darinya itu,
sebab ia berada di samping Pendekar Kembar sulung.
la yakin jika terjadi sesuatu pasti Raka Pura akan ber-
tindak lebih dulu sebelum pisau si Batara Jabrik me-
renggut nyawanya.
Dalam hati si Batara Jabrik pun berkata, "Kurang
ajar bocah muda itu! Rupanya la bukan bocah semba
rangan. Terjangannya begitu cepat dan membuatku
bagai disambar badai. Kurasa dia lahir dari rahim petir
perempuan! Cepatnya bukan main! Busyet...! Kumis
ku rontok lima, helai kalau begini. Uuuh...! Dadaku
seperti bilik yang mau jebol saja. Ini harus segera ku
atasi kalau tak ingin sekujur tubuhku menjadi sakit
semua!"
Sambil pegangi dadanya dengan telapak tangan
kanan, mengobati luka dalam dada, Batara Jabrik
bangkit menatap Raka Pura.
"Seseorang telah mengupah ku untuk membu-
nuhmu, Anak muda!" katanya dengan suara masih te-
gas dan pandangan matanya cukup tajam.
"Siapa yang mengupah mu?!"
"Tak bisa kusebutkan!"
"Kalau begitu aku harus memaksamu bicara!" ka-
ta Raka Pura, kemudian ia segera mengangkat kedua
tangannya membuka kuda-kuda siap serang. Tapi tan-
gan Biang Tawa merentang di depan Raka.
"Biar aku saja yang memaksanya bicara!"
Biang Tawa segera maju. Baru satu langkah su-
dah diserang Batara Jabrik dengan pukulan menyeru-
pai cakar harimau.
Bet, bet, bet...! Plok...!
Biang Tawa tidak tercakar tapi tersodok dagunya.
Deees...!
"Oufh...!" Biang Tawa terlempar empat langkah.
Tubuhnya melayang. dan jatuh terduduk dengan tung-
gir membentur tonjolan akar menyerupai batu.
Duuuhk...!
"Aaaow...!" Ia memekik sakit. Tulang ekornya te-
rasa lebih sakit daripada sodokan tangan Batara Ja-
brik. Tetapi bagi Raka Pura justru dagu Biang Tawa
yang lebih berbahaya, karena dagu itu segera menjadi
memar membiru dan tumbuh bintik-bintik merahnya.
Butiran darah keluar dari pori-pori dagu tersebut.
Batara Jabrik segera lakukan lompatan untuk
menerjang Biang Tawa. Tetapi Raka Pura merasa bah-
wa serangan Batara Jabrik meski kelihatannya sepele
dan ringan tapi mengandung tenaga dalam yang cukup
berbahaya. Karenanya ketika Batara Jabrik melayang-
kan tendangannya dengan kaki lurus ke arah wajah
Biang Tawa, kaki Raka segera melayang sambil tubuh-
nya memutar cepat dalam satu lompatan kecil.
Wees...! Beehk...!
"Heegh...!" Batara Jabrik terpelanting jatuh den-
gan mulut ternganga dan mata mendelik. Nafasnya ba-
gai terhenti tepat di ulu hati karena tendangan terse-
but kenal ulu hati dengan telak.
"Uhk, gawat! Mampus aku kalau begini! Aaahk...!
Napas ku...?! Napas ku kenapa ini? Kemana napas ku?
Heehk...!" Batara Jabrik kebingungan mencari nafas-
nya. Ia tersengal-sengal dan repot sendiri kendalikan
pernafasannya.
Sementara itu, Biang Tawa bangkit dan meme-
gangi pantatnya sambil menyeringai menahan sakit.
Matanya memandang Raka Pura dan mengadukan sa-
kitnya seperti anak kecil.
"Pantat ku jebol...! Sakit sekali, Raka!"
"Tidak apa-apa, Paman."
"Tidak apa-apa bagaimana? Pantat jebol kok ti-
dak apa-apa?!" gerutu Biang Tawa.
"Dagu Paman yang lebih berbahaya!" kata Raka
Pura sambil dekati orang itu. la memeriksa dagu Biang
Tawa. Ternyata bintik-bintik merahnya semakin ba-
nyak dan mulai kehitam-hitaman. Raka yakin darah
yang keluar dari pori-pori dagu itu sudah bercampur
racun. Hanya saja, racun itu tidak membuat orang me-
rasakan sakit atau panas, bahkan sepertinya sehat-
sehat saja. Namun dalam beberapa waktu racun itu
akan menjalar ke jantung dan mengakibatkan kema-
tian.
"Paman, dagu mu harus segera diobati!" cemas
Raka.
"Minggir dulu!" sentak Biang Tawa sambil me-
nyingkirkan tubuh Raka dengan kasar, hingga Raka
Pura terpelanting nyaris jatuh.
Rupanya saat itu Batara Jabrik sudah berhasil
kuasai pernafasannya kembali. la hendak lemparkan
pisau terbangnya ke arah Raka Pura. Maka dengan ce-
pat tangan Biang Tawa menyentak ke depan dengan
dua jari mengeras, sedangkan tangan kiri ke belakang
bersama kaki kiri terangkat ke belakang, mirip seperti
orang menari balet. Saat itulah gelombang padat telah
melesat dari dua jari yang mengeras itu dan mengenai
dada kiri Batara Jabrik.
Dees...!
Jurus 'Monyet Gembira' yang berupa totokan ja-
rak jauh telah kenal dada Batara Jabrik dan sukar di-
hindari.
Batara Jabrik diam saja seperti patung. Matanya
memandang sangar ke arah Raka Pura dan Biang Ta-
wa. Beberapa kejap kemudian, Batara Jabrik mulai
tersenyum. Makin lama senyumnya makin lebar. Lalu
disusul dengan suara tawa seperti orang menggumam,
dan akhirnya suara tawanya pun terlepas tanpa basa-
basi lagi.
"Hhhmm, hhmm... haah, haah... haaa, haa, haaa,
haaa...!"
Jurus 'Monyet Gembira' membuat orang tertawa
tanpa bisa menghentikan tawanya. Biasanya jurus itu
membuat orang tertawa terus sampai akhirnya akan
mati lemas karena kehabisan tenaga dan napas untuk
tertawa. Batara Jabrik berusaha menahan tawanya,
sampai menutup mulut dengan kedua tangan. Tapi
tawa itu masih tetap terlepas hingga terbahak-bahak.
Seakan apa yang dilihatnya serba lucu dan menggeli-
kan. Saraf tawanya telah dibuka dan sukar terkatup
lagi.
"Tertawalah sepuasmu dan tak akan kuhentikan
sebelum kau sebutkan siapa yang menyuruhmu mem-
bunuh keponakanku ini!" ujar Biang Tawa yang men-
ganggap Raka dan Soka seperti keponakannya sendiri.
"Paman, dagu mu semakin membusuk!" ujar Ra-
ka semakin cemas. Biang Tawa segera sadar setelah ia
memegang dagunya dan ternyata ada cairan lendir
yang menempel di tangannya. Lendir itu berwarna
abu-abu dan baunya sangat busuk.
"Celaka! Kenapa dagu ku ini!"
"Diamlah dulu, Paman! Akan kutawarkan racun
yang masuk ke dagu mu itu"
Sementara itu, Batara Jabrik masih tertawa terus
sampai terbungkuk-bungkuk dan pegangi perutnya
yang kaku.
"Huaaah, haaa, haaa, haaa, haaa...! Hiaah, hiah
hiaaa, haaa, haaa, haaa...!"
Raka Pura dan Biang Tawa tak pedulikan suara
terbahak-bahak itu. Raka segera lakukan pengobatan
menggunakan jurus 'Sambung Nyawa' yang meman-
carkan cahaya ungu dari telapak tangannya! Dalam
beberapa kejap saja, dagu Biang Tawa segera pulih
kembali, tanpa luka busik ataupun memar. Bahkan
dagu itu seperti tak pernah mengalami luka sedikit
pun.
"Sekarang saatnya memaksa dia untuk mengaku,
Raka! Biar ku tangani saja!"
Biang Tawa maju dekati Batara Jabrik. Orang be-
rompi hitam tebal seperti dari kulit binatang itu me-
nuding-nuding Biang Tawa, seperti ingin mengancam
tapi yang terlontar dari mulutnya hanya sebaris tawa
berhamburan.
"Huaah, haaa, haaa, haaa, haaa...! Awas kau,
haah, haaa, haaa...!,"
"Kalau kau tak sebutkan siapa yang mengupah
mu, maka kau akan mati dengan lemas, Batara Ja-
brik!"
"Haah, hahh, haah...!"
"Siapa yang menyuruhmu! Cepat katakan!" ben-
tak Biang Tawa.
"Haah, haah, haah, haah...!"
"Ditanya malahan tertawa! Kampret bodong!
Plakk...!" Biang Tawa menampar keras wajah Batara
Jabrik. Orang itu jatuh terjengkang. Berhenti tertawa
sebentar, lalu serukan tawa lagi sambil menuding-
nuding Biang Tawa.
"Huaaah, haaah, haaah, haaah, haa...! Kubunuh
kau, kubunuh kau, huaah, haah,. haah, haah...!"
Batara Jabrik sampai menggelosor di tanah se-
perti anak kecil kegirangan. Perutnya dipegangi dan
tawanya terpingkal-pingkal hingga nyaris tak terdengar
lagi. Matanya mengucurkan air sebagai curahan keba-
hagiaan yang terpaksa keluar tanpa terkendali.
"Hentikan, hah, hah, hah...! Hentikan tawaku ini,
haah, haah, haah...!"
"Akan kuhentikan jika kau mau sebutkan!"
"Dwi... Dewwi... huah, haah, haah, haah...!"
"Dewi siapa?! Katakan yang jelas!" bentak Biang
Tawa.
"Ssakit, sakit... haaah, hahh, hahh, haah... sa-
kit...!" sambil ia memegangi perutnya.
"Tolong, ooh, tolong... huaah, haha, haha, haha,
haha!"
"Diaaammm...!" Biang Tawa jengkel sendiri. Raka
mengulum senyum geli melihat Biang Tawa jengkel
sendiri ditertawakan korban jurus 'Monyet Gembira'-
nya.
Tiba-tiba sekeping logam putih mengkilat melesat
ke arah Batara Jabrik.
Ziing...! Jeeb...!
"Haahh..., haaa, haaakh...!"
Batara Jabrik langsung diam dengan mulut tern-
ganga. Matanya mendelik tak berkedip. Lehernya ter-
kena senjata rahasia dari logam tipis mengkilat ber-
bentuk segi tiga sama sisi. Dilihat dari darah yang ke-
luar berwarna merah kehitaman, Raka Pura segera ya-
kin bahwa senjata rahasia itu beracun tinggi.
Pendekar Kembar sulung dan Biang Tawa yang
terperangah melihat keadaan Batara Jabrik segera
ambil tindakan.
"Paman, kejar orang di balik rimbunan pohon
bambu itu! Dia ada di sana!"
Raka Pura keluarkan perintah sambil dirinya
bergegas hampiri Batara Jabrik. Nyawa orang itu ha-
rus segera diselamatkan, karena dialah pemegang
kunci tentang seseorang yang memerintahkan mem-
bunuh Raka. Rasa penasaran Pendekar Kembar su-
lung membuat ia merasa harus berhasil selamatkan
nyawa Batara Jabrik. Sementara itu, Biang Tawa sege-
ra melesat ke arah kerimbunan pohon bambu yang be-
rada agak jauh dari sebelah kanannya. Sebab senjata
rahasia itu datangnya dari arah kerimbunan pohon
bambu itu.
Senjata rahasia berbentuk segi tiga yang setiap
sisinya sepanjang satu kelingking.
Cuuur...!
Darah mancur dari leher Batara Jabrik berwarna
merah kehitaman. Raka Pura segera meletakkan tela-
pak tangannya di dada Batara Jabrik. Telapak tangan
itu harus menyentuh kulit tubuh korban dan tidak bo-
leh terhalang selembar benang pun.
Tak berapa lama telapak tangan itu memancar-
kan cahaya ungu bening. Cahaya itu meresap ke da-
lam tubuh Batara Jabrik, sehingga tubuh tersebut pun
menyala ungu bening. Jurus pengobatan 'Sambung
Nyawa' juga dimiliki oleh Raka Pura, si Pendekar Kem-
bar sulung. Jurus itulah yang akhirnya selamatkan
nyawa Batara Jabrik dari keganasan racun pada senja-
ta rahasia berbentuk segi tiga itu. Sekaligus mele-
paskan totokan dari jurus 'Monyet Gembira'-nya Biang
Tawa. Dengan demikian, Batara Jabrik tidak tertawa
lagi dan lehernya tetap utuh tanpa luka sedikit pun.
Tetapi sebelum keadaan Batara Jabrik sembuh,
tiba-tiba Raka Pura dikejutkan oleh kemunculan se-
raut wajah yang melompat dan langsung memeluknya
dari samping.
"Sokaaa...!"
Brrus,..! Cup, cup, cup...!
Raka Pura kebingungan dan nyaris pingsan ka-
rena dicium oleh seorang gadis secara bertubi-tubi. Ci-
uman itu bagaikan membabi buta dan merupakan un-
gkapan suatu kerinduan yang tak tertahankan.
"Bbab... buub... bbeeb... aabb... buub...."
"Aku rindu padamu, Soka! Aku rindu sekali pa-
damu! Huumm, aaah...!"
Gadis cantik itu mengakhiri ciumannya setelah
ciuman panjang yang terakhir membuat pipi Raka Pu-
ra menjadi merah, di Samping itu wajah Raka pun
memang sudah menjadi merah akibat gelagapan men-
dapat ciuman bertubi-tubi.
Gadis itu mengenakan jubah tanpa lengan warna
biru dengan penutup dada dan lain penutup pinggul-
nya berwarna merah. Ia mempunyai rambut panjang
yang diikat ke belakang seperti ekor kuda. Kulitnya
kuning langsat, hidungnya bangir, matanya setengah
jalang, montok dan sekal.
Begitu Raka mengenali gadis yang menciuminya,
ia segera mendorong tubuh gadis itu sambil mengge-
ram penuh kemarahan.
"Dewi Binal! Hahh...!"
Si gadis didorong hingga terpelanting nyaris ja-
tuh. Raka Pura segera mundur jauhi gadis itu dengan
wajah masih merah, antara malu dan berang. Jika tak
ingat Dewi Binal adalah sahabat baiknya, cucu dari
Tabib Kubur yang tinggal di Bukit Camping, gadis itu
pasti sudah ditampar Raka beberapa kali.
"Soka, mengapa sikapmu sekasar itu padaku?!"
ujar Dewi Binal dengan wajah penuh kecewa.
"Aku bukan Soka, Dewi! Aku kakaknya!"
"Bohong kau pasti..."
"Lihat letak pedangku!" sentak Raka dengan
jengkel walau akhirnya ia memaklumi kekeliruan itu.
"Pedangku ada di kiri sedangkan Soka menyelipkan
pedang selalu di kanan, karena ia kidal!"
"Ooh...?!" Dewi Binal terperanjat kaget dan mem-
benarkan kata-kata pemuda itu. la segera yakin bahwa
pemuda itu adalah Raka Pura, karena letak pedangnya
ada di pinggang kiri.
Kontan saja gadis itu buang muka dan menahan
rasa malu. Seakan ia tak berani memandang Raka lagi.
Wajah si gadis pun menjadi merah akibat menahan
malu. Jantungnya bergemuruh cepat, lidahnya menja-
di kelu.
"Aduh, mati aku kalau begini! liih... malunya bu-
kan main! Lebih baik aku terlempar kotoran kerbau
daripada mengalami hal yang seperti ini. Ternyata dia
adalah kakaknya, bukan adiknya!" keluh hati Dewi Bi-
nal.
Tetapi pada saat itu Raka Pura mempunyai un-
gkapan batin yang berbeda. Hatinya tidak bicara ten-
tang kesalahpahaman itu, melainkan bicara tentang
kecurigaannya.
"Batara Jabrik mengatakan, ia disuruh seseorang
yang bernama Dewi untuk membunuhku! Apakah De-
wi Binal yang dimaksud? Mengapa sebelum Batara Ja-
brik sebutkan nama lengkap orang tersebut, tiba-tiba
seseorang telah melemparnya dengan senjata rahasia
beracun gas itu? Jelas orang tersebut tak inginkan Ba-
tara Jabrik menyebutkan nama yang menjadi rahasia
tak boleh terbongkar. Benarkah Dewi Binal ini si pemi-
lik senjata rahasia segi tiga itu?"
Kecurigaan Raka Pura semakin mendebarkan ha-
ti sendiri setelah ia menyadari, bahwa Dewi Binal
muncul setelah Batara Jabrik terkena senjata rahasia
beracun ganas itu. Mungkin Saja Dewi Binal menduga
Batara Jabrik sudah tewas oleh racun senjata raha-
sianya, sehingga ia tak khawatir akan terbongkar ra-
hasianya dan untuk itu ia berani menampakkan diri di
depan Raka Pura?
"Tapi jika benar dia orangnya, lalu apa alasannya
sehingga ia mengupah seseorang untuk membunuh-
ku? Aku merasa tak punya dosa dan kesalahan apa
pun kepadanya?!" ujar hati Pendekar Kembar sulung
yang masih diam mematung pandangi Dewi Binal.
Sang gadis tetap memunggungi Raka dan berniat tak
ingin berpaling sebelum dipanggil. la sedang sibuk me-
nahan rasa malu yang tidak tertolong lagi itu.
Biang Tawa pun akhirnya muncul dengan wajah
murung. la tidak berhasil mencari si pelempar senjata
rahasia itu. Kegagalan Biang Tawa menemukan si pe-
lempar senjata rahasia membuat Raka Pura semakin
curiga lagi kepada Dewi Binal.
"Tentu saja Paman Biang Tawa tak berhasil te-
mukan orang tersebut, karena orang itu sudah ada di
sini bersamaku. Itu jika benar gadis inilah pelakunya.
Tapi jika bukan dia, lalu siapa?!" ujar hati si Pendekar
Kembar sulung.
*
* *
5
DEWI BINAL tak sadar sedang diuji oleh Raka
Pura setelah Raka membisikkan kecurigaannya kepada
Biang Tawa. Pemuda tampan berbaju tanpa lengan
hingga kelihatan ototnya yang kekar itu mengajukan
tanya kepada Dewi Binal pada saat Batara Jabrik be-
lum siuman.
"Kau kenal dengan lelaki itu, Dewi!"
"Ooh...?!" Dewi Binal terkesip saat pandangi Ba-
tara Jabrik. Sejak tadi ia tak begitu hiraukan kebera-
daan lelaki berambut tegak itu, karena sibuk menyem-
bunyikan rasa malunya. Kini ia baru sadar bahwa di
situ ada Batara Jabrik yang belum siuman.
"Ya, aku kenal dia. Dia Batara Jabrik dari Kedai
Iblis. Ada urusan dengan kalian?!" ujar Dewi Binal
dengan polosnya.
Raka Pura dan Biang Tawa saling pandang se-
bentar, kemudian Biang Tawa yang jelaskan perkara
sebenarnya.
"Dia diupah seseorang untuk membunuh Raka
Pura. Ketika kami desak, ia menyebutkan nama Dewi
sebagai orang yang menyuruhnya. Tapi sebelum ia se-
butkan nama lengkap orang itu, ia sudah diserang oleh
seseorang dengan senjata rahasia. Agaknya orang itu
tak ingin Batara Jabrik sebutkan nama si penyuruh-
nya."
"Nama depan orang itu adalah Dewi... entah Dewi
siapa," ujar Raka Pura bernada curiga. Nada bicara
dan pandangan mata dingin itu membuat Dewi Binal
menjadi tersinggung.
"Kau pikir akulah orang yang menyerangnya?!"
"Aku tidak berkata begitu," ujar Raka dengan te-
nang. Namun Biang Tawa segera menimpali.
"Pelempar senjata rahasia itu tak kutemukan.
Tapi tahu-tahu kau muncul di sini, Dewi Binal."
"Apakah itu berarti aku yang melemparkan senja-
ta rahasia tersebut?!" suara Dewi Binal mulai mening-
gi.
Raka Pura segera mengambil senjata rahasia
berbentuk segi tiga yang tadi dilemparkan di rerumpu-
tan. Senjata itu ditunjukkan kepada Dewi Binal. Gadis
itu memeriksanya sebentar, kemudian berkata dengan
wajah cemberut.
"Aku tak punya senjata rahasia! Ini bukan senja-
taku!"
Raka Pura dan Biang Tawa saling tatap kembali
Dewi Binal buang muka.
"Terlalu hina kalian menuduhku begitu."
"Kami tidak menuduh mu," sahut Raka Pura.
"Tapi dari sorot matamu ku tahu kau mencuri-
gaiku!"
"Aku hanya menanyakan barangkali kau kenal
dengan orang ini."
"Memang aku kenal. Dan aku juga tahu siapa
pemilik senjata rahasia seperti itu!"
"Siapa pemiliknya!" sergah Biang Tawa.
Dewi Binal berpaling memandang Raka dan Bi-
ang Tawa bergantian. Sebelum ia menjawab perta-
nyaan itu, Batara Jabrik mulai siuman dan ia segera
bangkit berdiri tanpa kelesuan sedikit pun. Badannya
terasa segar dan sepertinya tak pernah menderita luka
berbahaya apa pun.
Batara Jabrik segera menegur Dewi Binal, "Oh,
kau juga ada di sini, Dewi Binal? "
"Ya. Aku sahabat mereka!" jawab Dewi Binal.
"Kau harus berhadapan denganku jika ingin membu-
nuh Raka Pura ini!"
Batara Jabrik berkerut dahi, pandangi Raka Pura
dengan air muka menampakkan keheranannya. Ia bi-
cara lirih seperti orang menggumam.
"Raka Pura...?!"
Pendekar Kembar sulung dan Biang Tawa saling
tatap kembali. Dewi Binal maju lebih dekat lagi dengan
wajah garangnya.
"Siapa yang menyuruhmu membunuh Raka Pu-
ra?!"
"Raka Pura...?!" ucap Batara Jabrik lagi dengan
keheranan semakin bertambah. "Ak... aku disuruh
membunuh seorang pemuda tampan yang bernama
Wisnu Galang, bukan Raka Pura!"
Kini mereka bertiga saling pandang sesaat den-
gan bingung. Batara Jabrik sendiri tampak kebingun-
gan dan segera ajukan tanya kepada Dewi Binal sambil
menuding Raka.
"Bukankah dia yang bernama Wisnu Galang?!"
"Manusia bodoh! Otak kodok!" geram Dewi Binal.
"Dia bernama Raka Pura, bukan Wisnu Galang!"
Setelah diam beberapa saat, Batara Jabrik berka-
ta, "Dewi Ambari menyuruhku membunuh seorang
pemuda tampan, gagah, tinggi, badannya kekar, ram-
butnya panjang dan namanya Wisnu Galang. Maka ke-
tika kulihat seorang pemuda bertubuh tinggi, gagah,
kekar, berambut panjang dan berwajah tampan, aku
yakin dia adalah Wisnu Galang, muridnya Hantu Muka
Tembok. Aku tak mau membuang-buang waktu, maka
kuserang dia dengan pisau terbang ku!"
Biang Tawa tarik napas, lalu hembuskan pan-
jang-panjang sambil geleng-geleng kepala. Raka Pura
sendiri hanya sunggingkan senyum tipis seraya berka-
ta dengan tenang dan kalem.
"Aku memang bernama Raka Pura. Tapi aku ken-
al dengan Wisnu Galang. Apakah orang yang menyu-
ruhmu tidak sebutkan ciri-ciri pakaian Wisnu Ga-
lang?!"
"Memang ada beberapa ciri yang disebutkan,
termasuk pedang dan pakaiannya, tapi aku lupa. Ka-
rena aku sedang diburu oleh Congor Setan!"
"Maksudmu, Congor Setan yang menjadi orang
kepercayaan Pangeran Laknat itu?!" tanya Biang Tawa.
"Benar! Aku punya persoalan sendiri dengan
Congor Setan! Kedua adiknya kubunuh, dan ia ingin
balas dendam padaku., Aku merasa kalah ilmu dengan
Congor Setan, Jadi aku selalu kucing-kucingan den-
gannya?"
"Lalu senjata rahasia yang tadi menancap di le-
hermu ini milik siapa?!" tanya Raka sambil menunjuk-
kan segi tiga beracun yang masih ada di tangannya
itu."
Dewi Binal menyahut lebih dulu untuk membuk-
tikan bahwa ia memang mengetahui pemilik senjata
rahasia tersebut.
"Itu senjata rahasianya para pengikut Pangeran
Laknat!"
"Benar!" timpal Batara Jabrik. "Semua orang Teb-
ing Bencana mempunyai senjata rahasia beracun ga-
nas itu. Dan... aku yakin itu milik si Congor Setan
yang sejak kemarin mengejarku,"
"Hmmm...." Raka Pura manggut-manggut, Batara
Jabrik sempat heran saat menyadari ucapan Raka ta-
di.
"Benarkah senjata itu tadi menancap di leherku?"
Biang Tawa menjelaskan seluruh persoalannya
dari totokan anehnya yang mengenai Batara Jabrik
sampai pada senjata rahasia yang kenai leher lelaki
itu.
"Saat kau ingin sebutkan nama lengkap orang
yang mengupah mu untuk membunuh Wisnu Galang,
tiba-tiba kau diserang oleh seseorang dengan senjata
itu. Aku mengejar penyerangnya, karena kupikir orang
itu bermaksud menutup mulutmu agar tak sebutkan
siapa nama orang yang mengupah mu. Tapi aku tak
berhasil temukan apa-apa di sekitar sini. Jejaknya pun
tak ada."
"Tentu saja. Sebab Congor Setan mempunyai ju-
rus 'Sampar Geledek' yang mampu bergerak cepat se-
perti kilat tanpa tinggalkan bekas," kata Batara Jabrik,
"Dan... kebetulan saja dia menyerangku tepat ketika
aku ingin sebutkan nama Dewi Ambari. Tapi sejujur-
nya kukatakan, bahwa Congor Setan tak punya hu-
bungan dengan Dewi Ambari. Bahkan tak saling ken-
al."
Batara Jabrik membeberkan semuanya karena ia
segera sadar bahwa ilmunya masih di bawah pemuda
tampan yang diduga Wisnu Galang itu. Ia juga menya-
dari bahwa nyawanya telah ditolong oleh pemuda itu.
Jika tidak ada Raka Pura, ia yakin nyawanya saat itu
telah melayang menuju neraka. Diam-diam si rambut
jabrik juga menyimpan kekaguman yang luar biasa
kepada Raka Pura. Sebab menurutnya selama ini tak
pernah ada orang yang mampu hindari racun dalam
senjata rahasia segi tiga itu, tapi ternyata sekarang ra
cun itu bisa ditawarkan oleh ilmu pengobatan Raka
Pura, seperti cerita Biang Tawa tadi.
"Kuakui, biar masih muda ilmunya sungguh me-
nakjubkan. Tak ada salahnya jika aku berguru pa-
danya secara diam-diam. Sebaiknya aku menjadi sa-
habatnya agar ia mau turunkan ilmu pengobatan yang
mampu kalahkan kekuatan racun segi tiga itu,"' pikir
Batara Jabrik saat Raka, Biang Tawa dan Dewi Binal
bicara pelan bagai memperundingkan sesuatu.
Rupanya mereka membicarakan tentang siapa
Dewi Ambari itu. Tapi dari ketiganya tak ada yang
mengenal nama itu, sehingga Dewi Binal ajukan tanya
dengan sikap ketus kepada Batara Jabrik.
"Siapa yang bernama Dewi Ambari itu?"
"Putri seorang lurah di Desa Kecubung! Dia sakit
hati kepada Wisnu Galang, karena Wisnu Galang me-
ninggalkan cintanya setelah merenggut kesucian gadis
itu. Ia merasa tak akan unggul jika melawan Wisnu
Galang, maka ia mengupah ku untuk membunuh pe-
muda itu yang menurut kabarnya adalah murid dari
Hantu Muka Tembok!" tutur Batara Jabrik dengan se-
jelas-jelasnya.
"Wisnu Galang adalah sahabatku," ujar Raka Pu-
ra. "Aku ada di pihaknya. Jika kau ingin membunuh
Wisnu Galang, berarti kau berhadapan denganku juga,
Batara Jabrik!"
Batara Jabrik menghempaskan napas. "Seharus
nya kau tidak perlu terlibat dalam urusan pribadi Wis-
nu Galang dengan Dewi Ambari."
"Kau pun seharusnya tak perlu terlibat!" balas
Raka.
"Aku terlibat karena upah. Menjadi pembunuh
bayaran memang sudah menjadi pekerjaanku!"
"Aku terlibat karena ia sahabatku! Melindungi
seorang sahabat adalah tugasku!"
Batara Jabrik merasa tak akan menang berdebat
dengan pemuda yang memancarkan kecerdasan otak-
nya dari sorot pandangan matanya itu. Batara Jabrik
akhirnya hanya bisa hembuskan napas lepas-lepas,
seakan ia tak kuasa untuk melanjutkan tugasnya ka-
rena terbentur kesaktian Pendekar Kembar sulung itu.
"Sebaiknya...," kata Biang Tawa. Namun kata-
kata itu tak dilanjutkan karena tiba-tiba mereka men-
dengar suara seseorang berseru di kejauhan. Orang itu
sedang berlari menuju ke arah mereka.
"Dewi Binal...! Dewi...!"
Pandangan mata mereka beralih ke arah pemuda
yang berlari-lari dengan melambaikan tangan itu. Pe-
muda tersebut berambut pendek dan mengenakan ba-
ju kuning celana merah. Dalam sepintas saja Dewi Bi-
nal sudah bisa kenali siapa pemuda tersebut..
"Manggara!..?!" gumam Dewi Binal tak jelas ditu-
jukan kepada siapa. Namun Raka Pura dan Biang Ta-
wa segera tahu juga bahwa anak muda yang berusia
sekitar tujuh belas tahun itu memang Manggara. Pe-
muda itu adalah murid Tabib Kubur, kakeknya Dewi
Binal.
"Siapa yang menyuruhmu keluyuran sampai se-
jauh ini, Manggara?!" hardik Dewi Binal.
"Guru mengutus ku mencarimu!" jawab Mangga-
ra sambil terengah-engah.
"Ada apa sampai kakek mengutus mu mencari-
ku?!" Dewi Binal mulai tegang. Padahal wajah Mangga-
ra sudah tegang sejak tadi dan wajah itu pun tampak
pucat, Bahkan bicaranya pun sedikit gemetar.
"Ada sesuatu yang ingin kubicarakan oleh Guru
kepadamu, Dewi Binal! Lekaslah pulang supaya Guru
tak terlalu lama menunggumu!"
"Tapi mengapa wajahmu tegang dan pucat sekali
begitu?!" desak Dewi Binal.
"Manggara tersenyum kikuk. seperti menyembu-
nyikan rasa malu. Sesuatu yang ingin diucapkannya
membuatnya ragu-ragu, dan hal itu membuat hati De-
wi Binal serta yang lainnya menjadi penasaran.
"Katakan saja, Manggara... ada apa sebenarnya?
Mengapa wajahmu menjadi pucat begitu?"
"Oh, hmm... tidak ada hubungannya dengan
panggilan Guru kepadamu, Dewi Binal. Hmmm... aku
tadi sempat... sempat mengintip dua orang sedang
ber... bercinta di balik bukit itu!"
"Oooo.... Sial!" gerutu Biang Tawa, Semuanya pun
mengendurkan ketegangannya sambil menahan ke-
dongkolan.
"Siapa yang bercinta? Raka Pura?!" Dewi Binal
mulai menampakkan kecurigaan hatinya. Raka melirik
sambil tersenyum geli.
"Bukan. Bukan Raka Pura tapi... Wisnu Galang,"
jawab Manggara.
"Siapa?!'' sergah Batara Jabrik mulai berseman-
gat.
"Wisnu Galang, muridnya Hantu Muka Tembok!"
Semangat si rambut lurus itu menjadi kendur ke-
tika ia melirik Raka dan Raka pun sedang meliriknya
dengan sikap ingin menentangnya. Batara Jabrik men-
jadi gelisah, akhirnya menghembuskan napas lagi.
"Sayang bocah itu sudah siap membela Wisnu
Galang, aku jadi tak enak hati jika tetap menjalankan
tugasku membunuh Wisnu Galang. Sebaiknya kulu-
pakan saja tugas itu, Aku lebih tertarik dengan bebe-
rapa jurus si bocah tampan itu, terutama jurus pengo-
batannya. Aku harus bersahabat dengannya!" pikir Ba-
tara Jabrik.
"Sudah kuperingatkan berkali-kali agar matamu
jangan nakal dan jalang, tapi masih saja kau suka
mengintip orang begituan!" omel Dewi Binal kepada
Manggara.
"Aku tidak sengaja, Dewi Binal! Aku sedang me-
lintasi tempat itu, lalu kudengar suara orang merintih.
Kupikir seorang perempuan sedang kesakitan dan
membutuhkan bantuan. Setelah ku dekati, ternyata
seorang perempuan sedang... sedang begituan bersama
Wisnu Galang. Aku jadi malu sendiri!"
"Tapi kau tidak segera pergi, bukan?" sergah De-
wi Binal.
Manggara cengar-cengir, menunduk malu se-
bentar sambil biarkan Dewi Binal melanjutkan ome-
lannya. Setelah omelan itu berhenti, Manggara segera
tegakkan wajah dan pandangan matanya tertuju pada
Raka Pura. Sepertinya ada sesuatu yang baru diingat-
nya dan harus dikatakan saat itu pula.
la segera menatap Dewi Binal. "Tapi aku sempat
mendengar percakapan mereka yang... yang barangkali
sangat berguna bagi Raka Pura."
Raka Pura segera menyahut," "Pembicaraan ten-
tang apa?!"
"Hmmm... hmmm...," Manggara sedikit gugup ke-
tika ingin menjawabnya. Raka Pura mendekat dan
memandang lebih tenang lagi supaya kegugupan
Manggara berkurang.
"Katakan, pembicaraan apa yang kau dengar an-
tara Wisnu Galang dengan lawan bercumbunya itu?!"
"Hmmm... perempuan itu seakan selalu mengin-
gatkan Wisnu Galang agar jangan lupa, setelah adegan
mesra itu Wisnu harus berhasil menemukan kedua
Pendekar Kembar dan memancingnya!"
"Memancing bagaimana?!" sergah Dewi Binal mu-
lai cemas.
"Me... mem... memancing agar bisa bertemu den-
gan perempuan itu. Sebab... sebab perempuan itu in-
gin membunuh Pendekar Kembar!"
"Hahh...?!" Dewi Binal terperanjat kaget, demi-
kian pula Raka Pura dan Biang Tawa. Sedangkan si
rambut jabrik hanya memperhatikan Manggara dengan
sikap menyimak baik-baik ucapan anak muda itu.
"Siapa perempuan itu?! Apakah kau tahu na-
manya?!"
"Aak... aku tak kenal dia. Tapi... tapi aku sempat
mendengar Wisnu Galang memanggil namanya: Dewi
Perang!"
"Dewi Perang?!" Biang Tawa bersuara menyentak
membuat semua mata memperhatikan ke arahnya.
"Siapa orang yang bernama Dewi Perang itu, Pa-
man?" tanya Raka.
"Dia orangnya Ratu Cumbu Laras," jawab Biang
Tawa. "Tapi apakah mungkin dia masih berani berha-
dapan denganmu, sementara semua orang tahu bahwa
Ratu Cumbu Laras sendiri tewas di tanganmu dan di
tangan adikku, Soka?!"
"Mungkin dia masih penasaran!" ucap Dewi Bi-
nal.
"Hanya orang berotak korengan yang merasa pe-
nasaran ingin tumbangkan Pendekar Kembar!" ujar
Biang Tawa semakin membuat hati Batara Jabrik ked-
er.
"Keparat betul si Dewi Perang itu! Sebelum dia
mau membunuh Soka, dia harus melangkahi bangkai
ku dulu!" geram Dewi Binal, perempuan itu pun segera
menarik tangan Manggara.
"Tunjukkan di mana mereka bercumbu! Akan ku
bantai keduanya jika memang Wisnu Galang berseku-
tu dengan Dewi Perang!"
"Tidak usah, Dewi! Sebaiknya kita pulang saja.
Guru sangat menanti-nanti kedatanganmu!"
"Persetan! Kuhajar kau kalau tak mau memba-
waku ke tempat mereka bercumbu!" ancam Dewi Binal
dengan berang. Manggara takut, akhirnya mereka ber-
dua melesat menuju ke arah balik bukit yang tadi di-
tunjuk Manggara itu.
Biang Tawa berkata kepada Raka, "Jangan biar-
kan Dewi Binal mengumbar kemarahannya kepada
Dewi Perang. Ilmunya tak sebanding! Dewi Binal akan
hancur di tangan Dewi Perang!"
Raka Pura memandang kepergian Dewi Binal dan
Manggara, akhirnya ia berseru, "Dewi Binal, tung-
guuu...!"
Wees...! Raka Pura pergi. Biang Tawa segera me-
nyusul. Batara Jabrik masih diam di tempat, karena
hatinya sedang berkecamuk sendirian.
"Seperti apa kehebatan ilmu lainnya dari Raka
Pura itu? Sebaiknya aku ikut mereka tanpa lakukan
penyerangan terhadap Wisnu Galang. Aku ingin meli-
hat kehebatan jurus-jurusnya Raka Pura! Setahuku,
Dewi Perang mempunyai ilmu yang cukup tinggi, wa-
lau tidak lebih tinggi Ratu Cumbu Laras!"
Blaaass..!
Batara Jabrik menyusul mereka. Hati orang be-
rambut keriting duren itu masih berkecamuk juga da-
lam perjalanannya.
"Aneh. Raka Pura merasa menjadi sahabat Wisnu
Galang. Tapi agaknya Wisnu Galang ingin mengkhia-
nati persahabatan itu. Mungkin ia tergiur oleh kecan-
tikan dan kehangatan Dewi Perang. Aku pernah ber-
temu dengan perempuan itu. Memang cantik dan
menggairahkan sekali. Tak heran jika kesetiaan seo-
rang sahabat dapat luntur karena kecantikan dan ke-
molekan tubuh Dewi Perang!"
Sementara itu, Biang Tawa yang berlari berdam-
pingan dengan Raka Pura segera mendengar perta-
nyaan pemuda tampan yang tak merasa gugup atau
panik sedikit pun.
"Menurut Paman, apakah Wisnu Galang berpihak
pada Dewi Perang?!"
"Bisa jadi begitu. Sebab bocah itu sepertinya ca-
lon buaya darat, tukang mengobral cinta di sana-sini
dan jiwanya lekas rapuh oleh kecantikan ataupun
rayuan seorang perempuan."
"Jika ia sampai berpihak kepada Dewi Perang,
apa yang harus kulakukan, Paman? Sebab, biar ba-
gaimanapun hubungan Hantu Muka Tembok dengan
kita sudah cukup baik!"
"Kurasa kau dan Soka tak perlu menuntut Wisnu
Galang. Katakan Saja kepada Hantu Muka Tembok
tingkah laku muridnya itu. Biar Hantu Muka Tembok
yang menangani muridnya itu!"
Sementara itu, Dewi Binal sudah tak sabar ingin
segera berhadapan dengan Dewi Perang.
*
* *
6
PADA MULANYA, Wisnu Galang tidak menyangka
akan bertemu dengan perempuan bertubuh sekal dan
montok yang mengenakan gaun tanpa lengan warna
coklat gelap. Agaknya kain gaun itu bercampur serat-
serat besi yang tak mudah koyak oleh senjata tajam.
Gaun itu mempunyai tali berselempang di pung-
gung. Pundak dan sebagian dadanya tampak putih
mulus. Gaun itu berkerut-kerut di bagian dada tam-
paknya putih mulus. Gaun itu berkerut-kerut di ba-
gian dada sampai pinggang, membentuk tubuh elok-
nya yang menggiurkan setiap lelaki. Sampai di bagian
lutut, gaun itu mempunyai empat belahan, sehingga
dapat dipakai untuk bergerak dengan bebas.
Rambut perempuan berhidung mancung itu ber-
gelombang sepanjang bahunya. Bentuk rambutnya
yang meriap itu sangat sesuai dengan bentuk kecanti-
kan wajahnya yang sedikit oval dan mempunyai bibir
agak lebar, tebal, namun sangat indah. Bibir itu mem-
buat seorang lelaki berhasrat ingin mengecupnya. Pe-
rempuan yang berusia sekitar dua puluh tujuh tahun
itu mengenakan sabuk hitam dari logam lentur sejenis
besi. la juga mengenakan alas kaki dari kulit busa se-
tinggi lewat mata kaki. Dua bilah pisau terselip pada
alas kakinya itu, tepat di kedua betisnya.
Wisnu Galang sempat tercengang dan tak, berke-
dip beberapa saat ketika langkahnya yang menuju Bu-
kit Bolong untuk temui Selir Pamujan itu terhadang
oleh kemunculan perempuan cantik bertubuh tinggi
tegap itu. Ingatan Wisnu Galang segera melayang pada
beberapa waktu yang lalu, ketika ia dan gurunya; Han-
tu Muka Tembok, melihat pertarungan duel antara Ra-
tu Cumbu Laras dengan Penguasa Ladang Garong.
Saat itu, Wisnu Galang memperhatikan orang yang se-
lalu mendampingi Ratu Cumbu Laras. Orang itu ada-
lah Dewi Perang, yang siap ditugaskan ke mana-mana
untuk menyerang lawan.
Ingatan itu yang membuat Wisnu Galang segera
menyapa dengan nada bergumam, "Dewi Perang...?!"
"Rupanya kau telah mengenalku, Wisnu Galang!"
"Kau pun ternyata telah mengenalku, Dewi Pe-
rang"
"Karena aku pernah mendengar gurumu me-
manggilmu dengan nama Wisnu Galang ketika meng-
hindari pemakamannya Ketua Perguruan Tapak Ang-
ker."
Wisnu Galang segera sunggingkan senyum dan
manggut-manggut. "Ya, ya... aku ingat, kala itu kau
hadir mendampingi Ratu Cumbu Laras! Kau sempat
memperhatikan diriku beberapa saat lamanya."
"Kau pun sempat menatap ku tak berkedip bebe-
rapa helaan napas," ujar Dewi Perang. "Tapi agaknya
hari ini adalah hari keberuntungan bagi kita, karena
baru sekarang kita bisa saling bertemu dan bertegur
sapa!"
"Ya, memang baru sekarang," kata Wisnu Galang
dengan kalem, tapi sorot pandangan matanya tetap
nakal. Tertuju ke arah dada montok Dewi Perang yang
tampak sesak di balik gaun coklat gelapnya itu.
"Tapi kalau boleh ku tahu, apa yang membuatmu
menghadang langkahku ini, Dewi Perang?!"
"Aku tidak sengaja menghadang langkahmu. Ke-
betulan saja aku melewati bukit cadas itu dalam perja-
lananku. Kulihat kau melintasi lembah ini dan ku
sempatkan untuk bertegur sapa padaku, Wisnu Ga-
lang!"
Perempuan itu bicara dengan tegas. Suaranya
terdengar bening dan agak besar untuk ukuran suara
seorang perempuan. Matanya yang bening dengan te-
pian mata berwarna hitam dan alis mata yang lebat itu
mempunyai pandangan yang berkesan menggoda. Se-
nyum tipisnya itu bagai memperkuat tatapan mata
yang menggoda, sehingga Wisnu Galang sering mene-
lan ludah sendiri dan menahan debar-debar indah da-
lam hatinya.
"Kalau boleh ku tahu, hendak ke mana kau, Wis-
nu Galang?!"
"Mencari sebuah pusaka yang dicuri orang; Kipas
Kedung Gairah!"
Tampak jelas kedua mata jalang Dewi Perang ter-
kesiap menandakan ia terkejut mendengar jawaban
itu. Untuk sesaat mereka justru beradu pandang. Dewi
Perang tak berkedip menatap Wisnu Galang. Pemuda
yang ditatapnya menjadi salah tingkah.
"Sepertinya ia tertarik padaku," pikir Wisnu Ga-
lang. "Kurasa sebentar lagi dia akan pasrah dalam pe-
lukanku. Hmmm...! Ternyata sulit sekali menghindari
godaan perempuan. Aku sangat bergairah sekali pa-
danya."
Setelah saling bungkam sekitar lima helaan na-
pas, Dewi Perang pun mulai perdengarkan suaranya
yang bernada tegas itu.
"Apakah kipas pusaka itu milikmu atau milik gurumu?!"
"Bukan. Tapi guruku mengutus ku membantu
Selir Pamujan untuk temukan Kipas Kedung Gairah
yang semula adalah milik mendiang gurunya, yaitu
Nyai Demit Selingkuh. Sang Nyai dibunuh oleh seseo-
rang dan kipas pusakanya dicuri. Orang yang berhak
memegang kipas pusaka itu adalah Selir Pamujan, ka-
rena Selir Pamujan adalah murid tunggal Nyai Demit
Selingkuh, dan sang Nyai tidak mempunyai keturunan
satu pun."
"Hmmm...," Dewi Perang manggut-manggut.
Suasana hening yang terjadi selama dua helaan
napas itu tiba-tiba dipecahkan oleh munculnya seber-
kas sinar putih perak yang melesat dari atas perbuki-
tan. Sinar perak itu berbentuk seperti bola berduri se-
besar genggaman bayi. Melayang dengan cepatnya
tanpa ekor menuju ke arah Dewi Perang.
Wuuuttt...!
Wisnu Galang melihat gerakan sinar perak begitu
cepat, sehingga ia segera melompat ke samping Sambil
lepaskan jurus pukulan jarak jauh yang bersinar kun-
ing.
Claapp...!
"Awaass...!" serunya saat melompat dan mele-
paskan sinar kuning. Dewi Perang segera melompat ke
samping sambil memutar tubuh.
Jleeg...!
Perempuan itu hinggap di atas sebongkah batu
setinggi satu perut sambil memandang ke arah da-
tangnya sinar perak tadi. Ternyata saat itu sinar perak
tersebut segera bertabrakan dengan sinar kuningnya
Wisnu. Galang.
Blaaarrr…!
Hancur sudah sinar perak itu, membias menjadi
sekilas cahaya putih terang menyilaukan bersama sua-
ra ledakan besar. Sinar putih lebar menyilaukan itu
hanya sekejap. Kemudian padam dengan tinggalkan
kepulan asap putih samar-samar.
Di perbukitan itu tampak seorang perempuan tua
berambut putih dikonde tengah kepala, sisa rambut-
nya merawis tipis sepanjang pundak. Nenek berjubah
hijau yang semula berada di tempat yang jauh itu, ti-
ba-tiba lenyap dan muncul lagi di dekat Dewi Perang.
Bluub...!
Kini Wisnu Galang melihat jelas wajah bermata
cekung dan berkulit keriput itu. Ia memperkirakan si
nenek berusia sekitar delapan puluh tahun. Tubuhnya
yang kurus itu masih bisa berdiri dengan tegak tanpa
bungkuk, walaupun sang nenek memegang tongkat hi-
tam yang ujung atasnya berkepala tengkorak monyet.
Wisnu Galang sempat menyipitkan mata untuk men-
genali sang nenek, namun sampai beberapa kejap ia
merasa belum pernah bertemu dengan nenek bermata
cekung itu.
Tetapi tokoh tua itu ternyata bukan orang asing
lagi bagi Dewi Perang. Dengan angkuh dan sinis, Dewi
Perang menyapa sang nenek yang menatap dengan
dingin.
"Mau apa kau kemari, Nyai Keramat Malam?!"
Wisnu Galang berkata di hatinya, "Ooo... dia yang
bernama Nyai Keramat Malam?! Baru sekarang kulihat
wajah sang tokoh aliran hitam yang pernah diceritakan
oleh Guru beberapa waktu yang lalu. Seingatku dia
penghuni Pulau Sambang yang paling ditakuti masya-
rakat pulau tersebut!"
Nyai Keramat Malam tak memiliki senyum sedikit
pun. Mata cekungnya sangat menyeramkan dalam
menatap Dewi Perang tanpa kedip.
"Ada kabar yang kuterima dari Sampurgina!"
"O, kau mengenal Sampurgina, sahabatku itu?!"
"Dia adalah mata-mata Pulau Sambang yang ku
tanam di tanah Jawa ini!" ujar Nyai Keramat Malam
dengan suara datar berkesan dingin.
"Kabar manis kudengar darinya, bahwa kau telah
berhasil membunuh Demit Selingkuh dan mencuri Ki-
pas Kedung Gairah!"
Dewi Perang hanya sunggingkan senyum sinis,
tapi Wisnu Galang terperanjat kaget hingga matanya
terbelalak dan mulutnya ternganga. Sepasang mata
yang terbelalak itu menatap Dewi Perang bersama hati
yang ikut tersentak juga.
"Gila! Apa benar kipas itu ada padanya?! Kalau
begitu Dewi Perang adalah musuhku karena aku harus
merebut kipas itu sesuai perintah guru. Tapi, ooh...
alangkah sayangnya jika aku harus bertarung dengan
perempuan secantik dia. Baru saja kami sama-sama
ingin mengawali pendekatan pribadi, mengapa harus
saling bermusuhan? Oh, sebaiknya aku harus mem-
pertimbangkan langkahku dulu. Lebih baik aku memi-
haknya secara diam-diam jika Nyai Keramat Malam
membahayakan jiwanya!"
Wisnu Galang mundur menjauh ketika Dewi Pe-
rang berkata datar juga, "Keparat si Sampurgina itu!
Akan kubelah raganya setelah pekerjaanku nanti sele-
sai!"
"Dewi Perang!" ujar Nyai Keramat Malam. "Serah-
kan kipas itu padaku sebelum tongkatku menghan-
curkan kepalamu!"
"Gertakanmu seperti suara orang sekarat, Nyai!"
Dewi Perang lebarkan senyum berkesan sinis pertanda
ia menyepelekan ancaman Nyai Keramat Malam.
"Urungkan niatmu demi perpanjang umurmu,
Nyai. Pulanglah ke Pulau Sambang dan hiduplah den-
gan damai di sana!"
"Rupanya kau ingin aku bertindak kasar pada-
mu, Dewi Perang!" geram Nyai Keramat Malam, kemu-
dian tubuhnya melayang secara tiba-tiba dan tongkat-
nya dihantamkan ke kepala Dewi Perang.
Weeesss...!
Dewi perang menghindar dengan menggeser tu-
buhnya ke samping, kemudian tangannya menyodok
ke depan dan sodokan itu tepat kenai pinggang Nyai
Keramat Malam.
Deess...!
Sang Nyai oleng sedikit, namun mampu daratkan
kakinya dengan sigap. Tiba-tiba kaki itu menendang ke
samping dengan cepat. Tendangan nenek tua itu cu-
kup tinggi, membuat wajah Dewi perang nyaris menja-
di sasaran empuk.
Beet! Plaakk...!
Tangan Dewi Perang menangkisnya.
Tapi di luar dugaan tongkat berkepala tengkorak
monyet itu menyodok ulu hati Dewi Perang.
Beehk...!
"Aahk...!" Dewi Perang tersentak mundur, tubuh-
nya melayang sejauh empat langkah. Tapi ia masih bi-
sa menjaga keseimbangan tubuh, sehingga mampu
berdiri dengan sikap dan sedikit bungkuk. Hanya saja,
bekas tempat yang terkena sodokan tongkat itu men-
gepulkan asap putih samar-samar. Untung saja Dewi
Perang mengenakan gaun anti senjata tajam, sehingga
sodokan itu tak sampai melukai kulit tubuhnya. Na-
mun rasa mual dan panas pada ulu hatinya membuat
Dewi Perang menjadi geram.
Tangan Dewi Perang berkelebat ke belakang. Ru
panya ia mencabut senjata yang terselip di pinggang
belakang. Senjata itu tak lain adalah sebuah kipas
berwarna coklat kemerahan dari serat baja.
Craak...!
Kipas itu segera dibentangkan di depan dada De-
wi Perang, karena pada saat itu tongkat Nyai Keramat
Malam dihantamkan ke arah kepala. Kipas itu pun se-
gera bergerak naik menangkis hantaman tongkat yang
sudah kepulkan asap tipis itu.
Beet! Duaar...!
Benturan tongkat dengan kipas menimbulkan le-
dakan tak seberapa keras, namun cukup menggun-
cangkan tanah di sekitar tempat itu.
Pada saat tongkat tertahan kipas, kaki Dewi Pe-
rang berkelebat ke depan dan dagu Nyai Keramat Ma-
lam terkena tendangan kaki tersebut.
Plook...!
"Uhk...!" sang Nyai terhuyung-huyung ke bela-
kang, tulang dagunya terasa remuk akibat tendangan
bertenaga dalam. Ia pun semakin tampak murka.
"Kuhabisi riwayat hidupmu sekarang juga, Pe-
rempuan busuk!" geram Nyai Keramat Malam sambil
memutar-mutar tongkatnya.
Namun pada saat itu Dewi Perang segera berplik-
plak ke belakang. Tiga gerakan jungkir balik ke bela-
kang membuat jarak mereka semakin renggang. Nyai
Keramat Malam mengejar dengan satu lompatan.
Tapi tiba-tiba kipas itu disabetkan dari kiri ke
kanan.
Wees...!
Dan keluarlah sinar merah bagaikan selarik petir
yang menyambar tubuh Nyai Keramat Malam. Cra-
laapp...!
"Hiaaah...!" pekik Nyai Keramat Malam sambil
sentakkan tongkatnya ke tanah dan tubuhnya me-
layang ke samping, berguling-guling di udara.
Wuk, wuk, wuk...!
Blegaarr...!
Sinai merah itu kenai sebatang pohon. Pohon ter-
sebut langsung meledak dan menjadi serpihan kecil
yang menyebar ke mana-mana. Bahkan akar pohon
pun hancur menjadi serpihan yang bercampur dengan
tanah.
"Edan! Dahsyat sekali kipas itu?!" gumam Wisnu
Galang terheran-heran dengan mata lebar dan mulut
melompong.
Rupanya kilatan cahaya merah tadi tidak. mem-
buat nyali sang Nyai menjadi ciut. Ia justru mengejar
dewi Perang dengan sabetan tongkatnya beberapa kali.
Setiap sabetan tongkat keluarkan asap putih yang
agaknya mengandung racun jika dihirup orang lain.
Namun kibasan kipas itu membuat asap tersebut
selalu buyar. Sampai akhirnya sentakan kuat dilaku-
kan oleh Dewi Perang. Kipasnya memancarkan cahaya
merah lagi yang sepertinya ingin memotong tubuh Nyai
Keramat Malam.
Weess...! Cralaaapp...!
Bleegarr...!
"Aaahk...!" Nyai Keramat Malam terpekik, tubuh-
nya terlempar ke samping cukup jauh. Kilatan cahaya
merah tadi mengenai tongkatnya saat sang Nyai ingin
menghindari sinar tersebut. Tongkat itu hancur seketi-
ka, sementara tubuh sang Nyai pun mulai kepulkan
asap. Ia jatuh terbanting dan asap yang mengepul ba-
gaikan kian menyembur dari tubuhnya.
Brruuss...!
Dewi Perang menghampirinya dengan kipas ter-
katup. Ia menuding Nyai Keramat Malam dengan kipas
itu. Sang Nyai menyeringai kesakitan. Tubuhnya tam-
pak biru legam bagai habis digencet dengan sebatang
pohon besar.
"Nyawamu sudah ada di tanganku, Nyai! Seka-
rang juga aku bisa mencabut nyawamu dengan mu-
dah!" ujar Dewi Perang.
"Tapi kuberi kesempatan padamu untuk menik-
mati sisa hidupmu! Pergi dari sini dan jangan sekali-
kali mencoba merebut kipas ini dari tanganku!"
"Baik. Sekarang kau boleh bangga karena dapat
mengungguli ilmu dengan kipas itu! Tapi pada suatu
saat aku akan datang untuk bikin perhitungan den-
ganmu. Kekalahan ku ini akan ku tebus, Dewi Perang!"
"Kau tak akan bisa menebusnya kecuali dengan
nyawamu, Nyai!" ujar Dewi Perang dengan dingin.
Rupanya sang Nyai merasa tak mungkin dapat
unggul melawan Dewi Perang tanpa tongkat dan dalam
keadaan babak belur begitu. Kipas Kedung Gairah tak
bisa dilawan tanpa senjata lebih ampuh lagi. Maka ia
berniat untuk mencari senjata yang lebih dahsyat dari
Kipas Kedung Gairah. Jika saat ini ia tetap melawan
Dewi Perang, baginya sama saja menyerahkan nyawa
secara cuma-cuma.
Nyai Keramat Malam pun pergi dalam keadaan
terluka sekujur tubuhnya. Bagaimanapun juga ia ma-
sih merasa, beruntung karena hanya tongkatnya yang
tersambar kilatan cahaya merah berbahaya tadi. Sean-
dainya yang tersambar cahaya merah dalam tubuhnya,
maka ia tak akan punya kesempatan mencari peluang
emas untuk membalas kekalahannya.
Wisnu Galang sejak tadi tak sempat berkedip.
Matanya selalu pandangi gerakan-gerakan Dewi Perang
yang lincah dan gesit itu. Ia bukan saja kagum dengan
kegesitan dan kelincahan Dewi Perang, tapi juga terpe-
sona oleh pemandangan yang mendebarkan hatinya.
Karena jika Dewi Perang lakukan lompatan, tendangan
atau gerakan lainnya, gaun penutup pahanya me-
nyingkap ke sana-sini. Mata pemuda itu berhasil me-
neropong di kedalaman gaun, yang ternyata tidak ber-
lapis benang sehelai pun.
Hal itulah yang membuat Wisnu Galang terpaku
di tempatnya dan tak punya gagasan untuk lari men-
cari Pendekar Kembar atau yang lainnya untuk men-
gabarkan tentang kipas pusaka di tangan Dewi Perang.
Pemuda yang gairahnya mudah terbakar oleh kemulu-
san paha itu justru berandai andai dalam khayalannya
sambil menikmati tontonan gratis tanpa pelapis.
Dewi Perang kembali dekati Wisnu Galang yang
berdiri di bawah pohon berdaun rindang berakar se-
perti sekat-sekat dinding itu. Langkah perempuan ter-
sebut cukup mantap, layak jika menjadi sang pemban-
tai dalam setiap pertempuran. Dulu ia bersenjata pe-
dang, tapi sejak Kipas Kedung Gairah di tangannya,
pedang itu tak pernah dibawanya lagi. Pedang itu dis-
impan di sarangnya yang baru, yaitu di dalam Gua
Bangsal.
Sambil masih menggenggam kipas coklat keme-
rahan yang terkatup itu, Dewi Perang seakan tak se-
gan-segan lagi mengaku siapa dirinya di depan Wisnu
Galang.
"Agaknya kita akan menentukan sikap, siapa
yang mati dalam memperebutkan kipas itu, Wisnu!"
"Hmmm... eehh...," Wisnu Galang cengar-cengir.
"Aku... aku tak tahu kalau Kipas Kedung Gairah ada di
tanganmu, Dewi Perang."
"Dan sekarang kau telah mengetahuinya. Laksa-
nakan perintah gurumu untuk merebut kipas ini dari
tanganku!"
Wisnu Galang semakin cengar-cengir dan salah
tingkah. "Harus pakai siasat!" ujarnya dalam hati. Tapi
dari mulutnya terlontar ucapan yang bernada cukup
bersahabat.
"Setelah kupikir-pikir, untuk apa aku pertaruh-
kan nyawa dalam merebut kipas itu? Toh nantinya ki-
pas itu tidak akan menjadi milikku, tapi harus kukem-
balikan kepada murid Nyai Demit Selingkuh, si Selir
Pamujan. Jadi, kurasa aku tak perlu peduli lagi den-
gan kipas di tanganmu itu, Dewi Perang."
"Nyalimu menjadi ciut, Wisnu?!" sambil Dewi Pe-
rang kian mendekat, dan Wisnu Galang masih bersi-
kap santai, berdirinya bersandar pada pohon tersebut
di antara dua akar yang menyerupai dinding penyekat
kamar itu.
"Kurasa bukan karena nyali ku mulai ciut, tapi
aku merasa membina persahabatan denganmu lebih
penting daripada bertarung nyawa untuk merebut
haknya Selir Pamujan."
"Bukankah kau akan mendapat hadiah dari Selir
Pamujan jika berhasil merebut kipas ini?"
"Hmmm...! Hadiah apa?" Wisnu Galang mencibir
meremehkan harapan itu.
"Barangkali kau akan mendapat hadiah sebentuk
kemesraan dari tubuh si Selir Pamujan yang hangat
itu?"
"Ah...!" Wisnu Galang berlagak menepiskan tan-
gan sambil tertawa pelan, seakan tak tertarik dengan
bayangan kemolekan tubuh Selir Pamujan.
la menyambung kata, "Aku tak tertarik dengan
kecantikan seperti yang dimiliki Selir Pamujan. Aku ju-
stru lebih bergairah dengan perempuan pemberani dan
berbibir menggairahkan."
Mata perempuan itu memandang tajam namun
penuh ajakan bercumbu. Ia kian mendekat lagi, hingga
kini jaraknya hanya satu langkah dari Wisnu Galang.
"Maksudmu, kau lebih bergairah dengan perem-
puan sepertiku?"
"Hmmm... hmmm... yah, kalau aku boleh berkata
begitu, memang begitulah maksud hatiku," jawab Wis-
nu Galang sambil tersenyum penuh debaran indah da-
lam hatinya. Ia pun menatap seraut wajah cantik yang
menaburkan daya pikat cukup tinggi itu. Senyum tipis
Dewi Perang membuat dadanya bergemuruh bagai me-
nahan sesuatu yang bergolak sejak tadi.
"Aku juga bergairah padamu," ucap Dewi Perang
dengan suara seperti orang berbisik. Pandangan ma-
tanya kian lekat ke wajah Wisnu Galang. Mata itu ma-
kin lama semakin sayu. Wisnu Galang bertambah ge-
metar karena darah kejantanannya mendidih bagai la-
har gunung yang ingin meletus.
Wisnu Galang didesak oleh Dewi Perang yang tak
pernah tahu malu untuk urusan bercumbu. Dalam
keadaan kepala rapat dengan batang pohon, akhirnya
Wisnu Galang memejamkan mata ketika wajah Dewi
Perang makin mendekatinya.
Kejap berikutnya Wisnu Galang rasakan sesuatu
yang hangat menempel di bibirnya. Sesuatu yang han-
gat itu tak lain adalah bibir Dewi Perang yang segera
mengecupnya pelan-pelan, lidahnya dipermainkan di
permukaan bibir Wisnu Galang dengan lembut. Namun
ketika Wisnu Galang membalas kecupan itu, Dewi Pe-
rang melumat bibir si pemuda dengan mulai mengga-
nas. Kipas Kedung Gairah diselipkan di pinggang bela-
kang. Tangan Dewi Perang mulai meremas-remas ram-
but kepala Wisnu Galang. Bahkan sekarang kecupan
bibirnya merayap ke pipi dan ke leher Wisnu Galang.
Perempuan itu menyerang lebih brutal, ia tak me-
rasa malu, karena memang dia bukan perempuan
baik-baik. Dia perempuan yang mempunyai asmara
liar dan ganas terhadap lawan jenis yang sesuai den-
gan seleranya.
Namun tiba-tiba Dewi Perang hentikan pagutan
bibirnya dan merenggangkan jarak walau masih tetap
merabakan tangannya ke dada Wisnu Galang. Nafas-
nya terhembus lepas, membuat wajah Wisnu Galang
terasa tersembur dengan kehangatan yang makin
membakar gairahnya.
Mereka tak tahu ada sepasang mata yang kebetu-
lan lewat dan memergoki percumbuan tadi. Sepasang
mata itu menjadi ketagihan dan tak mau pergi. Justru
mengambil posisi yang strategis untuk menikmati pe-
mandangan yang membuat darahnya mengalir dengan
deras. Sepasang mata itu adalah milik seorang pemuda
yang bernama Manggara. Ia mendapat tempat mengin-
tip cukup dekat namun rapi dan aman, sehingga ia
dapat mendengar percakapan kedua insan yang saling
raba tanpa sungkan-sungkan itu.
"Permainan lidahmu sangat mendebarkan, Wisnu
Galang. Aku menyukai lelaki yang pandai memainkan
lidahnya."
"Lidah ku belum bermain," ujar Wisnu Galang
dengan nada sombong. "Mungkin kau akan lebih suka
lagi Jika lidah ku telah bermain di... di sekitar paha
mu."
"Oh, yaah... aku suka sekali jika kau mau begitu
Wisnu. Akan kubalas permainanmu di tempat yang
sama. Akan ku telan habis kau jika kau menyukainya,
Wisnu," sambil tangan Dewi Perang menyusup ke ba-
wah tubuh Wisnu Galang.
"Aku menyukainya, Dewi. Mengapa tidak seka-
rang saja kau menelannya?"
"Hmmm...," Wisnu Galang tersenyum dengan ta-
wa mesum.
"Kau akan ku taburi sejuta kenikmatan jika kau
bersedia membantuku."
"Membantu dalam hal apa?"
"Aku ingin membunuh Pendekar Kembar...."
"Ooh...?!" Wisnu Galang terkejut, tapi buru-buru
menutup diri agar tak mencurigakan. Ia menciumi leh-
er Dewi Perang sambil sesekali memagut kulit leher
itu. Perempuan itu mendesah sambil matanya terbe-
liak.
"Mengapa kau ingin membunuh Pendekar Kem-
bar?"
"Aku tahu mereka adalah keturunan dari Panji
Pura alias si Setan Cabul. Seharusnya aku menuntut
balas kepada si Setan Cabul, karena dia telah mem-
buntungi tangan adikku; Cindawarti, hingga sekarang
Cindawarti menjadi cacat seumur hidup. Tapi karena
Setan Cabul telah tewas di tangan bekas ratu ku, ma-
ka keturunan Setan Cabul itulah yang harus meneri-
ma pembalasanku! Cacat yang diderita adikku harus
ditebus dengan kedua nyawa Pendekar Kembar itu!"
Wisnu Galang seakan tak merasa cemas men-
dengar ucapan itu. Ia masih tekun merayapkan ci-
umannya di sekitar leher, pundak, dan akhirnya turun
ke dada. Sambil menyapu lidahnya di sekitar tempat
itu, Wisnu Galang masih sempat perdengarkan sua-
ranya yang mulai bergetar.
"Lalu, bantuan apa yang kau harap dariku, De-
wi...?"
"Aku sulit menemukan Pendekar Kembar. Aku
ingin berhadapan langsung dengan keduanya. Pernah
kutemukan salah satu dari mereka, tapi aku sengaja
belum ingin melampiaskan dendam ku sebelum kedu-
anya berhadapan denganku. Aaahhh...! Nikmat sekali,
Wisnu. Hmmmmh...!"
Dewi Perang mendesah sebentar karena pagutan
Wisnu Galang mengenai tepat di ujung dadanya yang
telah tersembul keluar dari balik gaun. Sambil mere-
sapi kemesraan itu, benak Dewi Perang masih dibung-
kus dendam kepada Pendekar Kembar. Saat itu, Wisnu
Galang juga berpendapat dalam hatinya.
"Tak mungkin aku bisa merebut kipas itu sendiri.
Sekalipun berhasil ku serobot, ilmuku kalah tinggi
dengan perempuan ini! Sebaiknya kuberitahukan ke-
pada Pendekar Kembar atau Selir Pamujan, biar mere-
ka yang tangani masalah ini!"
"Oouuh... Wisnu," Dewi Perang mengerang nik-
mat. Tapi bayangan dendam membuatnya berkata lagi,
"Carilah Pendekar Kembar dan pancinglah mereka agar
menemuiku di Bukit Liar yang ada di sebelah kiri kita
itu! Aku akan menunggu mereka di sana dan membu-
nuh keduanya di sana pula. Sanggupkah kau, Wis-
nu...? Oouh, nikmat sekali kenakalan tanganmu,
aaahhh...!"
"Akan kulakukan lebih nikmat lagi, Dewi. Akan
ku pancing mereka secepatnya dan... dan...."
"Seluruh tubuhku akan menjadi milikmu jika
kau berhasil memancing kedua anak kembar itu, Wis
nu! Kau akan memperoleh surga yang terbentang di
tubuhku ini dan... oouh... lakukan yang lebih dahsyat
lagi, sayang...."
Sambil berkata begitu, tangan Dewi Perang me-
nekan pundak Wisnu Galang sampai pemuda itu ak-
hirnya berlutut. Kepala Wisnu Galang ditekan oleh
tangan Dewi Perang agar lebih merapat lagi. Dan pe-
rempuan itu pun memekik panjang bernada erang ka-
rena lidah Wisnu Galang mengganas nakal di celah-
celah kenikmatan.
Saat itulah, Manggara tak tahan dan segera me-
larikan diri secara diam-diam. Ia berhasil bertemu
dengan Dewi Binal dan memberitahukan hal itu, se-
hingga Dewi Binal, Raka Pura, Biang Tawa, Batara Ja-
brik serta Manggara sendiri segera menuju ke tempat
percumbuan nikmat itu.
Tanpa setahu Manggara, ternyata setelah ia pergi,
ada sepasang mata yang datang dan memergoki per-
cintaan di bawah pohon rindang itu. Sepasang mata
tersebut memperhatikan dari balik kerimbunan semak
yang agak jauh, sehingga tak bisa mendengar ucapan
kedua insan yang sedang sating bercumbu memburu
kenikmatan itu, Sepasang mata itu hanya bisa men-
dengarkan suara pekikan Dewi Perang yang sedang di-
tikam oleh kehangatan Wisnu Galang.
Sepasang mata itu tak lain adalah milik seorang
gadis berpakaian ungu. Dia adalah Selir Pamujan,
yang sedang sewot kepada Raka Pura dan meninggal-
kan pemuda itu di tempat Soma Gaok tertidur. Selir
Pamujan terpaku di tempat. Kakinya terasa berat kala
ingin meninggalkan pemandangan itu, karena gairah-
nya mulai terpancing setelah sesaat mendengarkan je-
ritan dan erangan Dewi Perang yang kini terbaring di
rerumputan.
*
* *
7
CUKUP LAMA Selir Pamujan menikmati peman-
dangan yang membakar gairahnya sendiri itu. Sampai
akhirnya pundaknya dipegang oleh tangan hangat
yang sempat mengejutkan dirinya. Untung tak sampai
berteriak, sehingga tak membuat percumbuan itu ter-
ganggu.
Selir Pamujan segera berpaling memandang si
pemilik tangan yang meremas pundaknya dengan lem-
but. Ternyata Raka Pura sudah ada di belakangnya se-
jak tadi. Raka Pura juga mengaku sudah agak lama
menyaksikan percumbuan itu.
Namun karena Selir Pamujan masih kesal dengan
pemuda itu, maka kehadiran pemuda itu tidak dihi-
raukan. Ia kembali memandang pergumulan itu di ba
wah pohon yang makin lama tampak semakin ganas
dan liar. Dewi Perang menikmati kejayaan cintanya
dengan memutar balik hingga tubuh Wisnu Galang
berbaring di rerumputan. Saat itu, getaran dalam dada
Soka Pura semakin bergemuruh, gairahnya terasa kian
terbakar dan menuntut. Akhirnya tangan Soka tak bi-
sa diam. Tangan itu mengusap-usap punggung Selir
Pamujan. Usapan itu dirasakan indah sekali, sehingga
Selir Pamujan tak melarangnya.
"Siapa perempuan yang menjadi lawan cumbu
Wisnu Galang itu?" tanya Soka dalam berbisik sambil
mencium telinga Selir Pamujan.
"Dia bekas orangnya Ratu Cumbu Laras yang
bernama Dewi Perang, alias Cindawuri, kakaknya Cin-
dawarti! Dia memang perempuan yang ganas terhadap
kehangatan seorang lelaki, terutama yang bertubuh
tinggi, tegap, kekar dan tampan... sepertimu juga!"
"Aah... aku lebih tertarik dengan dirimu ketim-
bang, uuhmmm...!"
Soka Pura tak sempat teruskan ucapannya kare-
na bibirnya tiba-tiba dikecup oleh Selir Pamujan. Bibir
itu dilumat, karena si gadis tak mampu menahan ha-
sratnya ketika Dewi Perang memekik panjang dengan
tubuh mengejang pertanda mencapai puncak keinda-
hannya yang kesekian kalinya.
"Soka...," bisik Selir Pamujan dalam desah. "Jan-
gan di sini! Di sebelah sana saja, agak jauh dari mere
ka...."
Soka Pura tak keberatan dengan usul tersebut.
Namun ketika mereka bergegas ingin mencari tempat
yang lebih aman dan lebih romantis, tiba-tiba mereka
tertarik dengan keributan di bawah pohon rindang itu.
Rupanya Wisnu Galang yang berlagak kalem itu bikin
ulah sendiri setelah mereka selesaikan percumbuan
indah itu.
Wisnu Galang telah kenakan pakaiannya, semen-
tara Dewi Perang mengeringkan peluh yang membanjir
di tubuhnya. Wisnu Galang juga membantu menge-
ringkan peluh Dewi Perang dengan usapan tangannya
yang masih mendebarkan hati Dewi Perang. Tapi tiba-
tiba Kipas Kedung Gairah yang diselipkan di pinggang
belakang perempuan itu segera disambar oleh Wisnu
Galang dan tanpa banyak bicara lagi segera dibawanya
lari.
Wuut, wees...!
"Heeii...?!" teriak Dewi Perang dengan sangat ter-
kejut. Teriakan itulah yang memancing perhatian Soka
dan Selir Pamujan.
Wisnu Galang tak pedulikan teriakan itu. Ia tetap
berlari sambil membawa Kipas Kedung Gairah. Dewi
Perang segera bangkit dan berteriak murka.
"Kembalikan kipas itu, Jahanam!!"
Selir Pamujan terbelalak memandangi kipas yang
digenggam Wisnu Galang.
"Itu...! Oh... itu Kipas Kedung Gairah!"
"Hahh...?!" Soka Pura pun terbelalak kaget. Selir
Pamujan ingin bergerak menyongsong Wisnu Galang,
tetapi tiba-tiba Wisnu Galang jatuh tersungkur dan
mulutnya menyemburkan darah. Dewi Perang berhasil
mengejarnya dan segera melesat cepat sehingga ten-
dangan kakinya mendarat telak di punggung Wisnu
Galang.
Wess...! Behkk...!
"Aaahk...!"
Brrukk...!
Wisnu Galang tersungkur menyedihkan sekali.
Kipas di tangannya terlepas. Tendangan itu mengan-
dung kekuatan tenaga dalam yang merusakkan bagian
dalam tubuh Wisnu Galang. Dewi Perang segera ber-
guling menyambar kipas tersebut.
Wuuut, jlegg...!
Dalam sekejap ia sudah berdiri tegak sambil
menggenggam Kipas Kedung Gairah.
Selir Pamujan naik pitam. "Keparat! Rupanya di-
alah yang mencuri pusaka guruku!"
"Mungkin dia juga yang namanya disebutkan
Soma Gaok sebelum tertidur!"
"Siapa lagi kalau bukan dia! Biadab betul dia!
Dulu dia memang pernah menjadi murid Nyai Guru,
tapi belum-belum sudah tergiur bujukan Ratu Cumbu
Laras, sehingga ia bergabung dengan ratu sesat itu.
Tapi rupanya ia sudah telanjur mengetahui rahasia ki-
pas tersebut dan rupanya ia pula sudah lama mengin-
car kipas itu, sehingga...!"
Selir Pamujan tak teruskan kata karena saat itu
Dewi Perang berseru dengan berang kepada Wisnu Ga-
lang yang sedang sekarat.
"Rupanya kau berjiwa pengkhianat, Wisnu! Kau
ingin serahkan kipas ini kepada si Selir Pamujan se-
suai perintah gurumu! Tapi sekarang kau harus me-
nanggung akibatnya, kukirim kau ke neraka melalui
jalur bebas hambatan! Hiaaah...!"
Wuurrr...!
Jurus 'Jalur Badai' dipergunakan Soka Pura. Ke-
cepatan geraknya membuat Dewi Perang tak sempat
lepaskan pukulan penghancur raga Wisnu Galang, ia
baru bentangkan kipas itu sudah diterjang oleh Soka
Pura hingga terpental jauh dan terguling-guling.
Breesss…!
"Sokaa...!" teriak Selir Pamujan yang segera ber-
lari ingin membantu Soka Pura. Tapi pemuda itu ber-
seru sambil mengangkat tangannya.
"Diam di situ! Biar ku tangani dia!"
"Hati-hati...! Kipas itu berbahaya! Hindari setiap
sinarnya!" seru Selir Pamujan.
Dalam keadaan duduk bersimpuh dan belum
sempat bangkit, tangan kiri Dewi Perang berkelebat.
Ziing...!
Sekeping logam putih melesat. Senjata rahasia
berbentuk bunga cempaka mengarah ke dada Pende-
kar Kembar bungsu. Pemuda itu segera melenting di
udara dan senjata rahasia itu menancap di pohon
samping Selir Pamujan.
Jrrubb...!
"Ooh... ternyata dialah pembunuh guruku!" sen-
tak Selir Pamujan begitu mengetahui bentuk senjata
rahasia tersebut.
Dewi Perang cepat bangkit ketika Soka hindari
senjata rahasia tadi.
"Biadab kau, keturunan Setan Cabul!" teriak De-
wi Perang. "Mana kakakmu?! Suruh keluar dia! Akan
kubuat gila seperti Arya Semirang dengan kipas pusa-
ka ini! Kalian tak akan kubuat tidur seperti Soma
Gaok yang pernah menelanjangiku di depan umum!"
"Kembalikan kipas itu kepada yang berhak, Dewi
Perang!"
"Langkahi dulu kerangkaku, Laknat! Hiaaah...!"
Dewi Perang segera kibaskan kipas itu dari kiri
ke kanan dengan tubuh meliuk indah bagai menari.
Kipas itu keluarkan sinar biru yang menyerang Soka
Pura.
Claaap...!
Soka Pura ingat kata-kata Selir Pamujan, bahwa
sinar yang keluar dari kipas itu selain cepat juga tak
dapat ditangkis dengan apa pun. Karenanya, Soka Pu
ra segera pergunakan jurus 'Jalur Badai'-nya lagi un-
tuk berpindah tempat sebelum dihantam sinar biru
yang dapat membuat Soka gila cumbu seperti Arya
Semirang.
Wuuuzz...!
Tiba-tiba ia sudah berada di belakang Dewi Pe-
rang. Kaki Soka Pura segera melepas-kan tendangan
keras dalam posisi menyamping. Wuuutt...!
Dewi Perang tahu ada bahaya di belakangnya, ia
berputar tubuh sambil tangannya berkelebat cepat.
Wuutt...! Deees...!
Tangan itu berhasil menahan tendangan Soka
Pura. Namun kerasnya tendangan dan besarnya tena-
ga dalam yang disalurkan ke kaki membuat Dewi Pe-
rang terpelanting jatuh sendiri.
Brruukkk...!
Dewi Perang cepat berguling, ia seperti tak mera-
sakan sakit sedikit pun. Dalam sekejap ia sudah bang-
kit berlutut satu kaki, lalu melepaskan pukulan bersi-
nar kuning ke dada Soka Pura.
Claap...!
Kali ini Soka berani mengadu kekuatan tenaga
dalamnya untuk menghadapi sinar kuning dari tangan
kiri Dewi Perang. Soka sentakkan tangan kirinya yang
membentuk cakar itu ke depan dan seberkas sinar pu-
tih seperti pisau runcing melesat dari tangan tersebut.
Claap...!
Blegaaarr...!
Jurus 'Cakar Matahari' berhasil hancurkan sinar
kuning Dewi Perang. Tetapi gelombang ledaknya me-
nyentak dengan dahsyat dan membuat dada Soka ba-
gai dihantam dengan batu sebesar kerbau.
Buuhk...!
"Heehk...!" Pendekar Kembar bungsu terpental
dan jatuh terkapar dengan napas sesak serta dada te-
rasa remuk.
Dewi Perang tak mau sia-siakan kesempatan itu.
Ia segera bangkit dan berdiri tegak. Kipas Kedung Gai-
rah segera dibentangkan kembali setelah tadi mengun-
cup saat ia terguling. Namun sebelum kipas itu diki-
baskan, tubuh Soka berguling cepat mendekatinya
sambil menahan sakit di dada. Tiba-tiba kaki Soka
menendang cepat ke atas hingga kenal siku tangan
kanan Dewi Perang.
Beet, kraakk...!
"Aaow...!" Dewi Perang menjerit karena tulang si-
kunya bagaikan patah akibat tendangan keras berte-
naga dalam itu. Kipas di tangannya terpental ke udara,
melayang-layang dalam-keadaan membentang.
"Bangsat kau, heeeah...!" Dewi Perang menghen-
takkan kakinya ke leher Soka Pura. Ia bermaksud
mencekik leher lawannya sambil menunggu turunnya
kipas dari udara.
Namun ketika kipas hendak bergerak turun, tiba
tiba sekelebat benda meluncur cepat dan menghantam
kipas tersebut. Benda itu tak lain adalah pedang kris-
tal yang memancarkan sinar ungu pendar-pendar.
Zlaaap...!
Blegaaarrr...!
"Oooh, tidaak...!" teriak Dewi Perang begitu meli-
hat kipas itu hancur menjadi serbuk lembut setelah
dihantam ujung pedang kristal. Ternyata pedang itu
berasal dari Raka Pura yang baru saja tiba bersama
rombongannya. Begitu diberi tahu oleh Biang Tawa
bahwa kipas yang melayang di udara itu adalah Kipas
Kedung Gairah, dan ia melihat adiknya menahan teka-
nan kaki lawan, maka tanpa banyak pikir lagi Raka
Pura mencabut Pedang Tangan Malaikat dan melem-
parkan ke arah kipas tersebut.
Pedang itu akhirnya jatuh menancap di tanah
dekat Soka Pura. Jruuub...!
Kaki Soka segera berkelebat menendang pinggang
Dewi Perang. Bet, buuhk...!
"Aauh...!" Dewi Perang tersentak ke samping den-
gan limbung. Soka Pura bebas dari kaki yang tadi
menghimpit lehernya itu. Ia segera bangkit dalam satu
sentakan tubuh ringan. Wut, jleeg...!
Dewi Perang segera menerjangnya. Tapi Soka Pu-
ra segera menyambar gagang pedang milik kakaknya
yang menancap di tanah.
Wuuutt...!
Pedangpun disabetkan dari bawah ke atas.
Weeess, craaas...!
"Aaaa...!"
Perempuan itu memekik panjang dan keras. Da-
danya nyaris terbelah menjadi dua bagian dengan luka
mengepulkan asap ungu. Beberapa saat kemudian, je-
ritan itu lenyap dan tubuh Dewi Perang pun tumbang
tak bernyawa lagi.
Brrrukk...!
Soka Pura menghembuskan napas panjang seba-
gai tanda hatinya merasa lega. Ia masih pandangi
mayat Dewi Perang yang mulai tak berasap lagi itu.
Sementara itu, rombongan Raka Pura segera bergerak
mendekatinya. Sang kakak berseru kepada adiknya.
"Hoi...! Mengapa kau pakai pedangku?! Bukan-
kah kau punya pedang sendiri?!"
Soka Pura pandangi pedang di tangannya. Ia ba-
ru sadar bahwa ia telah menggunakan pedang milik
kakaknya. Akhirnya ia nyengir dan berkata kepada
sang kakak.
"Lain kali kuizinkan kau menyewa pedangku!"
"Menyewa...!" gerutu Raka sambil merampas pe-
dangnya dari tangan si adik yang hanya cengar-cengir
itu.
"Sokaaa...!" seru Dewi Binal, lalu menghambur-
kan pelukan dan ciumi wajah Soka Pura.
"Aku rindu... aku rindu padamu, Soka...!"
"Hei, hei... apa-apaan ini, Dewi...?!" Soka berusa-
ha menghindari ciuman itu karena Selir Pamujan tepat
berdiri di depannya, memandang dengan mata terbela-
lak berang
"Soka Pura, rupanya benar juga dugaanku! Kau
punya hubungan pribadi dengan gadis itu!" geram Selir
Pamujan.
"Apa maksudmu berkata begitu?!" sentak Dewi
Binal kepada Selir Pamujan.
"Dia kekasihku!"
"Tidak bisa! Dia kekasihku!" balas Dewi Binal
sambil sama-sama maju.
"Tunggu, tunggu...!" Soka Pura segera menenga-
hi. "Kalian semua adalah sahabatku dan...."
"Sahabat...?!" seru kedua gadis itu secara berba-
rengan.
"Dasar buaya!" geram Selir Pamujan, lalu me-
langkah mundur dengan napas menjadi sesak. "Te-
rima kasih atas bantuanmu. Kipas itu memang lebih
Baik hancur daripada jatuh di tangan perempuan se-
perti Dewi Perang. Kurasa hatiku pun lebih baik han-
cur seperti kipas itu!"
"Selir Pamujan! Tunggu...!" Soka mengejar tiga
langkah, Selir Pamujan segera pergi setelah berkata,
"Selamat tinggal, Soka!"
"Hei, tunggu...!"
Dewi Binal pun berseru, "Soka...?! Jadi kau
punya hubungan pribadi dengan gadis itu?! Oooh...
dasar mata keranjang!"
"Dewi Binal, dengar dulu pendapatku..."
"Tidak! Jangan temui aku lagi, Soka! Aku tak su-
ka dimadu!"
"Hei, apa-apaan ini, hah?!"
Dewi Binal pergi setelah memanggil Manggara.
Soka Pura kebingungan melihat kedua gadis itu saling
meninggalkannya. Raka tertawa tanpa suara sambil
pandangi Biang Tawa yang berdiri di samping Batara
Jabrik.
“Paman, aku akan melihat keadaan Wisnu Ga-
lang, agaknya ia masih bisa tertolong!” kata Raka Pura
mengalihkan suasana, namun Soka merasa dicemooh
hingga membentak dengan geram.
“Brengsek semua!” sambil melangkah dan pan-
dangannya tertuju pada Batara Jabrik.
“Siapa lagi ini! Sudah rambutnya jabrik, ikut se-
nyum-senyum segala!” bentaknya salah tingkah sendi-
ri. Batara Jabrik tertawa tertahan sambil mengikuti
langkah Raka Pura yang ingin mengobati Wisnu Ga-
lang.
Biang Tawa menepuk-nepuk pundak Soka sambil
berkata, “Masih banyak ikan di lautan!”
“Kau pikir aku mau jadi nelayan?!” gerutu Soka
dengan jengkel, walau sebenarnya ia tahu maksud Bi-
ang Tawa; masih banyak perempuan lain yang bisa digaetnya.
S E L E S A I
0 comments:
Posting Komentar