RAHASIA DIBALIK ABU
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
1
Suara lembut yang berwibawa itu seperti menga-
lun, membelai terbawa angin. Gendala Maung yang
hendak merobek pakaian dalam Nawang Wangi yang
tergeletak di atas tanah dalam keadaan tertotok, urung
melakukan niatnya. Lamat-lamat dia segera berdiri te-
gak di sisi Nawang Wangi.
Sesaat lelaki berkumis baplang ini edarkan pan-
dangannya. Hatinya terasa tak enak mendengar suara
tadi. Untuk sesaat dia tak membuka suara. Pandan-
gannya belum menangkap bayangan apa pun di sekeli-
lingnya.
"Hmmm... siapa gerangan orang yang berkata-kata
seperti berpuisi itu?" desisnya kemudian dengan kedua
tangan mengepal. Pakaiannya yang telah terbuka, ti-
dak segera dirapikan kembali. "Jahanam terkutuk! Ke-
hadirannya justru mengacaukan semua niatku! Kepa-
rat betul! Rupanya dia memang ditakdirkan mati di
tanganku, karena lancang berani campuri urusanku!"
Sementara itu, Nawang Wangi yang bukan hanya
tak mampu menggerakkan tubuhnya tetapi juga tak
kuasa untuk membuka suara karena dalam keadaan
tertotok, hanya bisa menggerakkan bola matanya saja.
Diam-diam murid Bidadari Tangan Bayangan ini
bersyukur karena keinginan busuk Gendala Maung ja-
di terhalang. Dan dia berharap, orang yang bersuara
tadi akan membantunya lepas dari tangan lelaki sesat
ini.
Seperti dituturkan pada episode "Patung Kepala
Singa", setelah berjumpa dengan Pendekar Slebor, Na-
wang Wangi meneruskan langkahnya untuk mencari
gurunya. Dari Pendekar Sleborlah dia tahu kalau gu-
runya dalam keadaan tak kurang suatu apa, kendati
Kuil Putra Langit yang didatangi gurunya telah porak
poranda dan seluruh penghuninya tewas.
Sambil terus berkelebat mencari gurunya, Nawang
Wangi berusaha keras memikirkan siapa yang telah la-
kukan pembantaian di Kuil Putra Langit. Dan tatkala
teringat bagaimana dia diselamatkan oleh Pendekar
Slebor di saat hendak terhantam pohon tumbang aki-
bat sambaran petir, wajahnya sesaat memerah. Selain
berterima kasih pada Pendekar Slebor karena bukan
hanya sekali, melainkan dua kali diselamatkan, gadis
ini sebenarnya ingin Pendekar Slebor mengajaknya.
Namun dia juga sadar kalau hal itu tak mungkin bisa
dilakukan.
Sampai kemudian dihentikan kelebatannya tatka-
la dilihatnya satu sosok tubuh berpakaian biru gelap
dengan selendang warna putih yang bersilangan di da-
da sedang duduk terpekur di depan sebuah makam.
Karena rasa tertarik itulah yang membuat Nawang
Wangi urung meneruskan maksud, yang justru mem-
bawa petaka bagi dirinya. Gendala Maung salah seo-
rang dari Dua Iblis Lorong Maut yang masih hidup se-
telah bentrok dengan Pendekar Slebor mendadak ber-
diri dan lancarkan setiap pukulannya guna melam-
piaskan rasa sedih dan kesalnya akibat kematian sa-
habatnya Ganda Maung di tangan Pendekar Slebor.
Dan salah satu pukulan jarak jauh yang dilepa-
kannya mengarah pada Nawang Wangi yang mau tak
mau melompat dari persembunyiannya.
Sudah tentu kehadiran Nawang Wangi membuat
Gendala Maung merasa mendapatkan tempat pelam-
piasan dendam dan amarahnya pada Pendekar Slebor.
Terlebih lagi setelah mengetahui kalau gadis berpa-
kaian ringkas warna biru kehijauan itu adalah murid
Bidadari Tangan Bayangan, musuh bebuyutannya.
Kendati Nawang Wangi berusaha bertahan sekuat
tenaga, namun dia bukanlah tandingan Gendala
Maung. Dengan seringaian lebar, Gendala Maung
mendekatinya. Dan di saat petaka yang ditakuti oleh
setiap wanita akan menerpa dirinya, mendadak saja
terdengar satu suara laksana orang berpuisi.
Saat ini Gendala Maung sedang membatin, "Gila!
Siapa orang itu? Nada suaranya begitu lembut... na-
mun di balik kelembutannya itu aku menangkap sesu-
atu yang begitu dahsyat.... Keparat betul!!"
Diam-diam lelaki berkumis baplang ini melirik
Nawang Wangi yang masih tergeletak di bawahnya. Be-
gitu mendapati lirikan mata Gendala Maung, gadis itu
langsung melotot gusar. Matanya pancarkan sinar ke-
marahan yang dalam. Bila saja pita suaranya tidak da-
lam keadaan tertotok, sudah bisa dipastikan akan ke-
luar sumpah serapahnya.
Sesaat Gendala Maung seperti diingatkan pada
niatnya semula. Namun dia tak mau gegabah untuk
melakukannya sekarang tatkala disadarinya ada orang
yang melihat dan tentunya akan menghalangi perbua-
tannya.
Mengingat hal itu, Gendala Maung mendengus gu-
sar. Kejap berikutnya dia sudah membentak, "Orang
iseng yang suka campuri urusan orang! Cepat tam-
pakkan batang hidungmu sebelum kuhancurkan selu-
ruh tempat ini!!"
Sesaat sunyi meraja, sebelum terdengar suara
lembut namun penuh wibawa, "Dalam setiap langkah,
kehidupan adalah perjuangan. Baik dalam garis lurus
maupun persimpangan. Namun tak semua langkah
akan membawa kebahagiaan. Menindas yang lemah
untuk menunjukkan betapa perkasanya diri, hanya
akan menambah dosa belaka."
"Diaaaammm!!" mengguntur suara Gendala
Maung dengan wajah mengkelap. Rasa jeri yang tadi
muncul di hatinya, perlahan-lahan mulai terkikis. Se-
bagai gantinya, dia menjadi murka mengingat keingi-
nannya terhalang. Setelah kertakkan rahangnya kuat-
kuat, dia menghardik keras, "Segera tampakkan ba-
tang hidungmu, Pengecut!!"
Kejap kemudian, kedua tangannya sudah dido-
rong ke depan, ke kanan, ke kiri dan ke belakang. Ser-
ta merta terdengar suara letupan keras yang susul
menyusul dan rengkahnya beberapa semak belukar.
"Pelajaran rasanya memang harus diberikan,
hingga kesadaran timbul. Ini hanya sekadar pelajaran
belaka."
Mendengar kata-kata orang yang entah berada di
mana itu, lelaki berpakaian biru gelap ini menjadi ber-
siaga. Kepalanya sesekali diedarkan ke sekelilingnya.
Tenaga dalam telah dialirkan pada kedua tangannya.
Tetapi setelah menunggu beberapa saat tak ada tanda-
tanda serangan yang muncul, kembali dia berseru,
"Rupanya kau cuma pandai berucap namun tak berani
berbuat! Huh! Apakah kau memang sebangsa...."
Seruan Gendala Maung terputus. Bukan dikare-
nakan dia memang sengaja memutus kata-katanya
sendiri, melainkan dirasakan kedua kakinya menda-
dak menjadi dingin.
"Hei!!" desisnya terkesiap dan tanpa sadar surut
satu langkah ke belakang. Segera dialirkan tenaga da-
lamnya guna menghilangkan hawa dingin itu. Namun
semakin dialirkan tenaga dalamnya, hawa dingin itu
semakin kuat menyergap. Bahkan perlahan-lahan di-
rasakan mulai naik ke atas.
Cukup panik Gendala Maung dibuatnya. Segera
dialirkan hawa panasnya. Sejenak hawa dingin itu
memang berhasil ditahan, namun bukan berarti hawa
dingin itu akan punah. Malah semakin lama dirasakan
semakin naik.
Mulailah dia benar-benar didera kepanikan. Terle-
bih lagi tatkala tubuhnya mulai menggigil karena rasa
dingin itu sulit untuk ditahan.
"Keparat! Kau hanya berani membokong! Cepat
kau keluar! Kita bertarung sampai mampus!"
"Tadi kukatakan... pelajaran akan kuberikan. Bila
kau memutuskan untuk berlalu dari sini, pelajaran
akan kusudahi. Tetapi bila suatu saat kau tetap berla-
ku seperti ini... jangan salahkan aku bila pelajaran
akan kutambah...." terdengar lagi suara bernada lem-
but itu. Kali ini suara itu seperti melingkar-lingkar di
telinga Gendala Maung.
Sementara itu, Nawang Wangi yang melihat betapa
pucatnya wajah lelaki berkumis baplang itu tersenyum
dalam hati. Sepasang matanya pancarkan sinar kepu-
asan yang dalam.
Sedangkan Gendala Maung sendiri mulai dirun-
dung ketakutan. Karena disadarinya kalau orang yang
bersuara itu bukanlah orang sembarangan. Sambil
menindih amarahnya dia berseru, "Kupenuhi permin-
taanmu!!"
Belum habis kata-katanya terdengar, lelaki berba-
ju biru gelap ini merasakan hawa dingin yang menyer-
gapnya langsung sirna. Dan keadaan ini semakin
membuatnya bertambah ciut.
Dia tak keluarkan suara, hanya matanya yang
memandang mencari-cari dengan geram. Setelah ker-
takkan rahangnya, kejap itu pula dia sudah berlalu
meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal Gendala Maung, Nawang Wangi
menghela napas lega. Tubuhnya masih kaku. Mulut-
nya masih membuka dan sukar digerakkan. Dan men-
dadak saja dirasakan angin kecil seperti menyentuh
tubuhnya, yang melengak sesaat.
Kejap itu pula dirasakan tubuhnya dapat digerak
kan. Menyusul dirasakan angin kecil mengenai leher-
nya, yang membuat mulutnya langsung mengatup.
Dan dapat digerakkan kembali.
Terburu-buru murid Bidadari Tangan Bayangan
ini duduk di atas tanah. Terburu-buru pula dirapikan
pakaiannya yang telah dirobek oleh Gendala Maung
dan kini memperlihatkan bayangan payudaranya pada
pakaian dalam tipis warna hijau. Kejap berikutnya, ga-
dis berambut dikuncir dua ini segera rangkapkan ke-
dua tangan didepan dada.
"Siapa pun kau adanya... aku ucapkan terima ka-
sih yang sebesar-besarnya karena telah menolongku
dari petaka yang mengerikan ini!!"
"Anakku... aku hanya kebetulan melalui tempat
ini. Dan aku senang, karena aku telah mencoba untuk
putar yang hitam menjadi putih, kendati semuanya itu
kembali kepada orang yang bersangkutan...."
"Orang di balik angin... bolehkah aku tahu siapa
kau adanya?"
Terdengar tawa lembut yang berwibawa. "Bukan
maksudku untuk tidak ingin menampakkan wajah di
hadapanmu, Anakku. Tetapi... kau cukup mengenalku
sebagai... Dewa Suci...."
Nawang Wangi makin rangkapkan tangannya di
depan dada. Selain memang dia tulus melakukan
penghormatan, juga untuk menutupi payudaranya
yang membayang di balik pakaian dalam tipis yang di-
kenakannya.
Saat berkata tubuhnya agak dibungkukkan,
"Maafkan sikapku yang lancang itu...."
"Kesopanan yang kau miliki, akan menjadikan
langkahmu terus berada di jalur kebenaran. Ini mem-
buktikan, betapa kau memiliki hati yang tulus....
Anakku... kebetulan aku membawa pakaian pula.
Warnanyapun sama dengan pakaian yang kau kena
kan. Mungkin sudah agak kusam karena lama tak ter-
pakai. Tetapi, itu lebih baik ketimbang kau mengena-
kan pakaian yang robek itu."
Habis kata-kata itu terdengar, mendadak saja se-
helai pakaian melayang dari samping kanan Nawang
Wangi. Gadis ini segera menangkapnya. Sejenak dia
merasa terkejut. Karena, suara orang yang berbicara
dengannya berasal dari hadapannya. Namun pakaian
yang melayang itu datang dari samping kanannya.
"Kenakanlah pakaian itu dulu...." Nawang Wangi
cepat melompat ke balik ranggasan semak. Hanya dua
kejapan mata saja, dia sudah muncul kembali, menge-
nakan pakaian yang diberikan Dewa Suci. Memang
agak gombrang.
"Nah, kau sudah lebih baik sekarang. Anakku...
pergilah ke arah timur. Di sana... kau akan bertemu
dengan gurumu...."
Mendengar kata-kata orang yang mengaku berju-
luk Dewa Suci, Nawang Wangi seketika mengangkat
kepalanya. Bukan dikarenakan dia akan bertemu den-
gan gurunya seperti yang dikatakan orang yang entah
berada di mana, melainkan karena orang itu tahu ka-
lau dia sedang mencari gurunya.
Gadis cerdik ini semakin sadar akan kesaktian
yang dimiliki orang yang entah berada di mana. Kem-
bali dia bungkukkan tubuhnya sambil berkata, "Teri-
ma kasih atas petunjukmu, Orangtua...."
"Mulailah berjalan sekarang. Karena... senja se-
bentar lagi akan datang.... Anakku, dalam setiap lang-
kah kehidupan, adalah perjuangan. Maka, kau harus
berhati-hati...."
Nawang Wangi menganggukkan kepalanya. La-
mat-lamat gadis berkucir dua ini berdiri.
"Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas ban-
tuanmu, Dewa Suci. Bila suatu saat aku bertemu dengan guruku, akan kuceritakan semua ini...."
"Berhati-hatilah...."
Setelah pandangi tempat di hadapannya, seolah
dia melihat orang yang mengaku berjuluk Dewa Suci,
Nawang Wangi segera berkelebat meninggalkan tempat
itu.
Tiga kejapan mata sepeninggal murid Bidadari
Tangan Bayangan, entah dari mana datangnya, men-
dadak saja di mana Nawang Wangi tadi berdiri sebe-
lumnya, telah berdiri satu sosok tubuh agak mem-
bungkuk berpakaian dan berjubah putih panjang. Wa-
jah lelaki yang berambut putih sebahu ini begitu teduh
sekali. Kumis dan jenggotnya pun berwarna putih. Ke-
dua tangannya berada di belakang pinggul dan di per-
gelangan tangannya terdapat gelang terbuat dari giok
berwarna hijau muda.
Orang tua yang wajahnya dilapisi kulit yang tipis
ini menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Patung Kepala Singa... pangkal dari semua masa-
lah ini...," desisnya dengan nada lembut namun berwi-
bawa. "Tetapi, benda itu harus diselamatkan...."
Kejap kemudian, seperti datangnya yang begitu ti-
ba-tiba, di saat lenyap pun begitu tiba-tiba. Hingga ke-
jap berikutnya, tempat itu kembali didera sepi. Dua
lembar daun gugur dan hinggap di atas makam Ganda
Maung yang tak jauh berada dari tempatnya berdiri
tadi.
Sunyi menggigit dalam.
***
2
Dua hari kemudian.
Satu bayangan hijau nampak berkelebat lincah,
melompati ranggasan semak belukar, akar pohon yang
menyembul keluar seperti tumpang tindih dan batu-
batu yang terkadang menghalangi langkah. Dari ca-
ranya berkelebat, sosok tubuh yang ternyata seorang
pemuda berambut gondrong acak-acakan itu, nam-
paknya tak mau hentikan gerakannya. Pertanda dia
memang sedang memburu waktu.
Namun tatkala tiba di sebuah tempat yang agak
terbuka, si bayangan hijau yang ternyata seorang pe-
muda yang di lehernya melilit kain bercorak catur,
hentikan kelebatannya. Tak ada napas yang terengah,
tak ada keringat yang mengalir, pertanda kalau pemu-
da ini memiliki ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi.
Sejenak diperhatikan sekelilingnya. Di lain kejap,
dia sudah garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Menyusul seruan-seruan gemas namun terdengar ko-
nyol.
"Ampunn! Ampunnn! Pusing betul kepalaku seka-
rang ini! Huh! Kenapa sih aku harus terlibat dalam
urusan Patung Kepala Singa? Apa tidak ada urusan
lain yang lebih enak? Misalnya menggoda janda mon-
tok?!"
Pemuda yang tak lain Andika alias Pendekar Sle-
bor adanya ini, geleng-gelengkan kepalanya seperti
hendak membuang segala pikiran yang ada di benak-
nya.
"Betul-betul ampun nih! Masa sejauh ini aku be-
lum mendapatkan sesuatu yang bisa mengarah pada
terkuaknya segala rahasia yang ada? Huh! Sampai
saat ini saja aku belum melihat Patung Kepala Singa?!Belum lagi menemukan ke mana perginya Bidadari
Tangan Bayangan yang sedang memburu Kepala Besi?
Siapa sebenarnya orang yang berada di balik pemban-
taian Kuil Putra Langit? Lalu bagaimana dengan Na-
wang Wangi, murid Bidadari Tangan Bayangan? Kutu
loncat! Benar-benar bikin kepalaku jadi mau pecah!"
Dari mengomel-ngomel tak karuan seperti itu,
mendadak saja pemuda urakan dari Lembah Kutukan
ini tertawa sendiri, seperti melihat satu adegan lucu di
hadapannya.
"He he he... masa kepalaku akan pecah? Jangan
pecah dulu, ah! Aku kan belum kawin! Belum merasa-
kan nikmatnya sorga dunia! Geboi betuuull?!!"
Memikirkan apa yang dikatakannya tadi, pemuda
berbaju hijau pupus ini tersenyum sendirian. Lalu
cengar-cengir tak karuan.
"Benar-benar asyik! Lebih baik cari janda montok
saja, ah!" katanya kemudian. Sementara senyuman di
bibirnya makin berkembang lebar, seperti menikmati
apa yang dikhayalkannya.
Setelah bertemu dengan Nawang Wangi yang ter-
nyata adalah murid Bidadari Tangan Bayangan, Andi-
ka pun meninggalkan gadis itu setelah menceritakan
apa yang terjadi. Sebenarnya dia tahu, kalau Nawang
Wangi berkeinginan untuk ikut dengannya. Namun
bagi Andika, dia merasa lebih baik berjalan seorang di-
ri dalam menuntaskan segala urusan yang masih
membentang di matanya (Untuk lebih jelasnya silakan
baca : "Patung Kepala Singa").
Hingga saat ini, Andika memang belum menda-
patkan titik terang dari persoalan yang dihadapinya.
Kendati demikian, dia nampaknya mulai membaca se-
tiap urusan.
Sementara itu, mendadak saja apa yang tengah
dikhayalkan pemuda urakan ini terputus, tatkala alat
pendengarannya yang terlatih menangkap satu gera-
kan di belakangnya.
"Eiiittt! Ada yang datang?!" desisnya kemudian
tanpa palingkan kepala. Tatkala alat pendengarannya
menangkap gerakan orang semakin mendekat ke
arahnya, dengan sekali lompat saja Pendekar Slebor
sudah hinggap di sebuah dahan pohon di hadapannya.
Dalam keadaan rimba persilatan yang bertambah ka-
cau seperti ini, memang sukar menentukan lawan
ataukah kawan. Terutama pada orang yang belum di-
kenalnya.
Dari atas pohon itu, pemuda pewaris ilmu Pende-
kar Lembah Kutukan ini memperhatikan ke bawah.
Hanya dua tarikan napas dia menunggu sebelum dili-
hatnya satu sosok tubuh tinggi besar mengenakan pa-
kaian warna abu-abu yang terbuka di bahu kanannya
bergerak agak terhuyung ke arahnya.
Hanya sekali lihat saja, Andika tahu kalau lelaki
berkepala plontos itu sedang terluka dalam. Dan men-
dadak saja lelaki tinggi besar itu, ambruk sambil kelu-
arkan erangan. Keringat membanjiri sekujur tubuh-
nya.
"Busyet! Apa lagi ini?" desis Andika sambil garuk-
garuk kepalanya.
Hanya sekali lompat saja dia sudah berdiri di sisi
kanan lelaki berkepala plontos itu yang nampak terke-
jut melihat kehadirannya. Jelas dari sepasang matanya
yang agak membuka lebar. Tetapi kejap kemudian
nampak kalau dia seperti tenang sejenak, seolah me-
nyadari kalau orang yang baru datang itu bukan orang
yang ditakutinya.
Andika sendiri melihat perubahan sejenak tadi.
Lalu dengan enaknya dia berjongkok diiringi tanya,
"Kau kenapa? Siapa yang bikin seperti ini? Atau jan-
gan-jangan... kau iseng ya memukuli dirimu sendiri
karena berlagak kebal? Betul-betul busyet kalau me-
mang itu penyebabnya!"
Lelaki berkepala plontos yang tak lain si Kepala
Besi adanya, sesaat pandangi si pemuda dengan ken-
ing dikernyitkan. Selorohan yang dilakukan si pemuda
tadi membuatnya menarik napas dulu sebelum men-
jawab, "Tolong aku...."
Tanpa diminta pun Andika akan menolongnya.
Bahkan akan dilakukannya tanpa peduli yang membu-
tuhkan pertolongannya adalah kawan maupun lawan.
Tetapi dasar urakan, dia justru berkata, "Ah... kenapa
harus repot-repot? Kau mampus pun bukan urusan-
ku...."
Kendati mulutnya berucap demikian, segera dipe-
riksanya tubuh lelaki berpakaian abu-abu terbuka di
bahu kanan ini.
"Kura-kura bau! Di dadanya ada tanda bekas pu-
kulan. Nampaknya... bila dia tidak memiliki tenaga da-
lam kuat, pukulan itu akan menjebol dadanya. Huh!
Bisa sekali pukul langsung mampus orang ini! Siapa
yang telah lakukan... heiii!!" sejenak Andika memutus
kata-kala batinnya sendiri tatkala sesuatu melintas da-
lam pikirannya.
Sementara Kepala Besi nampak terdiam dengan
napas agak memburu, Andika terus memikirkan apa
yang barusan singgah di benaknya sambil alirkan te-
naga 'Inti Petir' melalui kedua ibu jari kaki si lelaki.
"Dada lelaki ini akan jebol bila dia tak memiliki
tenaga dalam dan daya tahan tubuh yang kuat. Dada
yang jebol... dada yang jebol... bukankah para peng-
huni Kuil Putra Langit tewas dengan dada bolong?
Jangan-jangan... orang yang telah menghajar lelaki ini
adalah orang yang telah lakukan pembantaian di Kuil
Putra Langit?"
(Untuk mengetahui tentang pembantaian di Kuil
Putra Langit, silakan baca : "Patung Kepala Singa").
Untuk sesaat Andika sengaja memutus jalan piki-
rannya sendiri. Terus dikerahkan tenaga 'Inti Petir' un-
tuk membantu Kepala Besi dari penderitaan yang di-
alaminya.
Lamat-lamat nampak keringat yang tadi memban-
jir, kini kian membanjir. Itu terjadi karena hawa panas
yang keluar dari tenaga 'Inti Petir' yang dialirkan Andi-
ka, bentrok dengan hawa panas yang diderita oleh Ke-
pala Besi.
Setelah meninggalkan Bidadari Tangan Bayangan
yang menuduhnya telah melakukan pembantaian di
Kuil Putra Langit, Kepala Besi bertemu dengan Dewi
Selendang Hitam, seorang tokoh dari golongan sesat
yang sejak lama bermusuhan dengannya, terutama
menyangkut soal Patung Kepala Singa.
Dengan cara berpura-pura tewas dalam pertarun-
gan itu, Kepala Besi berhasil selamat. Akan tetapi, dia
tak mampu menahan luka dalamnya. Kendati sebe-
lumnya Kepala Besi telah bersemadi guna memulihkan
keadaannya (Baca: "Patung Kepala Singa").
Sementara itu setelah cukup lama melakukannya,
Andika melihat Kepala Besi mulai tenang. Nafasnya
pun agak teratur. Perlahan-lahan dilepaskan pegan-
gannya pada kedua ibu jari kaki Kepala Besi.
Sementara Kepala Besi masih terbaring, Andika kini
berlutut sambil memperhatikannya. Otaknya yang
encer terus diperas untuk memikirkan tentang du-
gaannya.
"Bila memang benar dugaanku itu, berarti aku
sudah menemukan jejak siapa pembantai di Kuil Putra
Langit. Hmmm... sebaiknya, kubiarkan saja lelaki ini
lebih tenang dulu."
Memang hanya itu yang harus dilakukannya guna
membuktikan apa yang dipikirkannya. Setelah bebera
pa saat menunggu dan terus terang, agak tidak sabar,
akhirnya terlihat si Kepala Besi membuka kedua ma-
tanya. Melirik pada Andika yang membalas sambil
cengar-cengir.
"Beruntung aku bertemu dengan pemuda yang
nampaknya mau menolongku. Ah... mudah-mudahan
dia bukan salah seorang yang terpancing untuk men-
dapatkan Patung Kepala Singa. Tetapi untuk berjaga-
jaga... lebih baik ku usahakan agar tidak sampai
membicarakan soal Patung Kepala Singa...," kata Kepa-
la Besi dalam hati.
Lalu perlahan-lahan dia mencoba bangkit. Andika
membantunya dan menyandarkannya di sebuah ba-
tang pohon besar.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda...."
"Wah! Pertolongan yang tidak seberapa! Tetapi ba-
guslah kau masih mau mengucapkan terima kasih. Itu
namanya tahu sopan santun. Ngomong-ngomong...
siapa yang telah melakukan semua ini?" tanya Andika
sambil nyengir.
"Wajahnya begitu polos. Matanya tajam namun je-
naka. Dari caranya berucap, nampak dia begitu ura-
kan. Tetapi aku tak peduli semua itu. Dan sekarang...
apakah harus kujawab apa yang ditanyakannya baru-
san? Bagaimana kalau dia sebenarnya salah seorang
yang mencari Patung Kepala Singa juga?"
Kepala Besi terdiam dulu seperti mempertimbang-
kan baik buruknya bila dia menjawab pertanyaan itu.
Andika sendiri nampak tidak mau terlalu mendesak
kendati dia penasaran untuk membuktikan apa yang
dipikirkannya.
Kepala Besi berkata lagi dalam hati, "Bila dia bu-
kan dari golongan baik-baik, tentunya dia akan me-
maksa. Tetapi dia nampak biasa-biasa saja. Bahkan...
ah, lebih baik kukatakan saja apa yang terjadi. Asal
jangan menyinggung soal Patung Kepala Singa...."
Berpikiran demikian, lelaki berpakaian abu-abu
terbuka di bahu kanan ini menatap Andika sejenak.
Lalu diceritakannya apa yang telah terjadi, tanpa men-
gatakan kalau pertarungan itu disebabkan karena De-
wi Selendang Hitam menghendaki Patung Kepala Singa
(Silakan baca : "Patung Kepala Singa").
"Dewi Selendang Hitam...," desis Andika setelah
Kepala Besi menceritakan semuanya. Setelah itu dia
berkata, "Aku bukan berlaku lancang dalam hal ini...
tetapi ya... kalau kau menganggap lancang boleh saja,
tapi sedikit saja, ya? Apakah kau bisa menjawab bila
kutanyakan, Dewi Selendang Hitam ada hubungannya
dengan pembantaian di Kuil Putra Langit."
Tersentak Kepala Besi mendengar pertanyaan itu.
Tanpa sadar dia berucap, "Bagaimana kau tahu?"
Ganti Andika yang kaget sekarang. "Tahu? Wah!
Cuma nebak saja kok! Tetapi betul, ya?"
Kali ini Kepala Besi mengangguk-angguk dan di-
am-diam membatin dalam hati, "Menilik pertanyaan-
nya... nampaknya pemuda ini tahu banyak. Ah, bila
kukatakan tentang Kuil Putra Langit, pasti berhubun-
gan dengan Patung Kepala Singa. Tetapi biar ku usa-
hakan agar tidak sampai membicarakan soal Patung
Kepala Singa. Karena... di sanalah rahasia yang telah
kupendam selama ini bisa terbongkar."
Kembali setelah memutuskan demikian, Kepala
Besi berucap, "Kau benar. Dewi Selendang Hitam telah
membantai seluruh penghuni Kuil Putra Langit."
"Berarti... Bidadari Tangan Bayangan telah laku-
kan kesalahan. Sewaktu bertemu denganku, dia men-
gatakan yang telah lakukan pembantaian keji itu ada-
lah orang yang berjuluk Kepala Besi. Tetapi dari kata-
kata lelaki ini, jelas kalau yang lakukan pembantaian
itu adalah perempuan yang berjuluk Dewi Selendang
Hitam. Dugaan Nyi Dungga Ratih berarti salah pula,"
kata Andika dalam hati. Lalu kembali diajukan tanya,
"Tentunya ini berhubungan dengan Patung Kepala
Singa, bukan?"
Untuk kedua kalinya Kepala Besi tak bisa menin-
dih seluruh rencananya untuk tidak sampai membica-
rakan soal itu. Kepalanya mengangguk-angguk.
Andika mendesah pendek. "Ternyata benar du-
gaanku. Tetapi... mengapa dia sampai bertarung den-
gan perempuan berjuluk Dewi Selendang Hitam? Apa-
kah dia mengetahui sesuatu tentang Patung Kepala
Singa? Dan siapa sesungguhnya perempuan itu?
Atau... jangan-jangan...."
Memutus kata batinnya sendiri, Andika ajukan
tanya, "Kenalkah kau dengan Bidadari Tangan Bayan-
gan?"
Kembali Kepala Besi tak langsung menjawab. Ju-
stru dia membatin, "Pemuda ini nampaknya mengeta-
hui banyak setiap persoalan yang ada. Dan rasanya...
aku tak bisa menutupi lagi apa yang terjadi."
Setelah membatin begitu, Kepala Besi menjawab,
"Ya... aku mengenalnya."
"Wah! Apakah salah kalau kubilang kau telah ber-
temu dengannya dan dia menuduhmu yang lakukan
pembantaian di Kuil Putra Langit?"
Lagi-lagi Kepala Besi menjawab, "Ya."
Andika mengangguk-anggukkan kepalanya seraya
berkata, "Berarti... kau adalah si Kepala Besi..."
***
3
Sesaat tak ada yang membuka suara kecuali tata
pan Kepala Besi yang kian melebar sementara Andika
cuma cengar-cengir saja, seolah habis memenangkan
lotre.
Masih memandangi pemuda di hadapannya, Kepala
Besi membatin, "Dia benar-benar tahu banyak. Kuil
Putra Langit. Patung Kepala Singa. Bidadari Tangan
Bayangan. Bahkan tahu pula siapa aku. Hmmm... sia-
pa dia sebenarnya?"
Lalu perlahan-lahan Kepala Besi bertanya,
"Anak muda... setiap yang kau tanyakan mengandung
kebenaran. Dalam setiap ucapanmu, mengandung ke-
jujuran, hingga aku sulit untuk mengalihkan perta-
nyaanmu. Siapakah kau sebenarnya?"
Kali ini Pendekar Slebor hanya mengangkat se-
pasang alisnya yang seperti kepakan sayap elang sam-
bil garuk-garuk kepalanya. Andika memang paling ti-
dak enak menyebutkan julukannya sendiri. Karena
Andika yakin, kalau dia tidak 'slebor' (bah!).
Masih garuk-garuk kepalanya, pemuda urakan ini
berkata, "Namaku Andika. Aku datang dari Lembah
Kutukan...."
Andika sengaja menghentikan kata-katanya den-
gan harapan lelaki berkepala plontos itu akan menge-
nalinya dan menyebutkan julukannya. Tetapi hara-
pannya gagal (sok ngetop sih).
"Bolehkah kutahu julukanmu?"
"Wah! Kacau juga! Julukanku... Pendekar Slebor.
Tetapi perlu diingat dan dicamkan baik-baik, aku tidak
'slebor', lho. Cuma ya... rada-rada saja...," sahut Andi-
ka disusul dia tertawa gede-gede.
Mendengar julukan itu disebutkan, nampak wajah
Kepala Besi kian tenang. Kemudian katanya, "Aku per-
nah mendengar julukanmu itu."
"Busyet! Kenapa cuma julukanku saja, sih? Kena-
pa tidak tahu nama asliku dan dari mana aku datang?" sahut Andika seperti menyalahi.
Kepala Besi tersenyum. Masih tersenyum dia ber-
kata, "Kau memang tidak 'slebor'...."
Andika langsung mesem-mesem senang.
"Tetapi keblinger!"
Andika langsung melengak hingga kepalanya se-
perti terlempar ke belakang. Tetapi kemudian ketawa
gede-gede, yang benar-benar tidak enak didengar.
Kepala Besi membatin, "Yang kayak begini tidak
slebor? Benar-benar edan kalau begitu...."
Lamat-lamat tawa Andika mulai mereda. Lalu
sambil garuk-garuk kepala dia berkata, "Daripada keb-
linger, lebih baik slebor sajalah!"
Kepala Besi cuma tersenyum. Sekarang dirasakan
kondisi tubuhnya semakin membaik. Aliran darahnya
mulai terasa normal sementara nafasnya pun mulai te-
ratur.
Sambil pandangi Andika yang masih garuk-garuk
kepalanya, lelaki berpakaian abu-abu terbuka di bahu
kanan ini membatin, "Tak kusangka kalau aku ber-
jumpa dengan Pendekar Slebor, tokoh muda yang be-
rada di jalan lurus. Ah, cukup banyak sebenarnya para
pendekar yang kutahu namanya tetapi tak kutahu se-
perti apa rupanya. Mungkin, karena bertahun-tahun
belakangan ini aku hanya memusatkan pikiran pada
Patung Kepala Singa dan Dewi Selendang Hitam...."
Kepala Besi sesaat menghentikan kata batinnya,
lalu melanjutkan, "Nampaknya... pemuda ini tahu ba-
nyak tentang urusan yang ada. Rasanya pula, seluruh
rahasia yang kupendam selama ini memang akan ter-
kuak. Ketimbang Dewi Selendang Hitam yang sejak du-
lu memburuku untuk mendapatkan Patung Kepala
Singa yang buka mulut, lebih baik kukatakan saja pa-
da pemuda ini mumpung kuyakini dia adalah orang
baik-baik."
Sementara itu, Andika yang dipandangi menjadi
jengah. Segera saja keluar selorohannya yang konyol,
"Busyet! Hei, Botak! Apa kau pikir aku ini seorang ga-
dis hingga matamu jadi sebesar jengkol, hah?!"
Dikatai seperti itu justru terbahak-bahak. Seka-
rang Andika yang kerutkan keningnya.
"Kutu monyet! Jangan-jangan... orang ini sudah
kemasukan setan lagi?!" desisnya dalam hati.
Kepala Besi yang selama hidupnya memang jarang
sekali bergurau, tak marah dipanggil seperti itu. Dan
kalaupun tadi dia telah memutuskan untuk mengata-
kan segala rahasia yang dipendamnya pada Andika,
kali ini keputusan itu bertambah kuat. Karena dia ya-
kin, sudah saatnya membuka rahasia yang telah lama
dipendamnya. Apalagi, urusan ini bisa berkembang
panjang dan menjadi salah paham. Terutama, pada
Bidadari Tangan Bayangan yang diyakininya masih
memburunya karena menyangka dialah yang telah la-
kukan pembantaian di Kuil Putra Langit.
Tetapi sebelum diutarakan maksudnya, Andika
justru telah berkata, "Ada yang hendak kutanyakan
kepadamu, Kepala Besi... eh! Apa benar kepalamu se-
keras besi, ya?"
Habis memutus kata-katanya sendiri, pemuda
urakan ini dengan enaknya menjitak kepala lelaki di
hadapannya.
Tak!
"Waadaaaaauuuuu!!"serunya konyol padahal dia
tidak merasa kesakitan. Lebih konyol lagi, buku-buku
jari-jarinya ditiup-tiup dengan wajah dibuat meringis.
"Betul-betul terbuat dari besi, nih!"
Lagi-lagi Kepala Besi bukannya marah malah kian
keras tawanya. Andika kembali geleng-gelengkan kepa-
la.
"Benar-benar sudah kesambet nih! Hmmm... kini
persoalan mulai jelas. Kepala Besi bukanlah orang
yang bertanggung jawab atas pembantaian di Kuil Pu-
tra Langit. Orang itu berjuluk Dewi Selendang Hitam.
Tetapi menurut jawabannya tadi, Dewi Selendang Hi-
tam justru memburunya untuk mendapatkan Patung
Kepala Singa. Berarti, setelah mendengar berita kalau
Patung Kepala Singa didapatkan secara tak sengaja
oleh Pendekar Sutera, Dewi Selendang Hitam langsung
memburunya. Namun gagal mendapatkan benda yang
dicarinya...."
Sementara Kepala Besi masih terbahak-bahak,
Andika melanjutkan kata-kata dalam hatinya, "Lalu
dia bertemu dengan Kepala Besi dan menyangka Kepa-
la Besi telah mengambil Patung Kepala Singa. Tetapi
menilik kata-katanya, jelas kalau dia tidak mengambil
benda itu bahkan baru tahu kalau terjadi pembantaian
di Kuil Putra Langit. Lalu... ke manakah Patung Kepala
Singa? Bila memang ada yang membawanya, siapa
orangnya?"
Andika terdiam sambil mencubit-cubit dagunya.
Alisnya yang hitam legam dan menukik laksana kepa-
kan sayap elang, berkerut bersama keningnya.
Dan mendadak saja diarahkan pandangannya pa-
da si Kepala Besi yang masih terbahak-bahak.
"Kalau memang seperti ini, apakah tidak mungkin
kalau Kepala Besi lebih tahu banyak tentang Patung
Kepala Singa? Tak mungkin Dewi Selendang Hitam
memburunya tanpa sebab yang pasti. Atau jangan-
jangan... dia justru ada hubungannya dengan Patung
Kepala Singa? Dalam arti... riwayat patung itu sendi-
ri...."
Sementara itu, Kepala Besi yang mulai reda ta-
wanya, berkata sambil melotot, "Kenapa lihat-lihat?
Apakah kau pikir aku ini janda kembang yang punya
tubuh montok, hah?!"
Andika tertawa mendengar selorohan yang secara
tak langsung mengulangi selorohannya tadi.
Setelah beberapa saat, pemuda urakan ini segera
ajukan pertanyaan sehubungan dengan apa yang dipi-
kirkannya, "Kepala Besi... aku tidak tahu banyak ten-
tang asal-usul Patung Kepala Singa. Hanya yang ku-
dengar dari Bidadari Tangan Bayangan, kalau Pende-
kar Sutera mendapatkannya secara tidak sengaja di
saat sedang bersemadi. Lantas Dewi Selendang Hitam
memburumu karena menyangka kau telah menda-
patkan Patung Kepala Singa. Tetapi... ih! Aneh, ya?
Kok aku berpikiran, kalau kau sebenarnya mempunyai
hubungan erat dengan Patung Kepala Singa? Eh, betul
tidak dugaanku?
Kepala Besi yang tadi memutuskan untuk menga-
takan apa yang selama ini dipendamnya, menghela
napas sejenak sebelum menganggukkan kepala.
"Kau benar, Andika.... Bahkan, akulah pemilik sah
Patung Kepala Singa...."
Andika mendesah napas pendek. "Ternyata du-
gaanku betul lagi. Ih! Betul-betul cerdik nih otak!" (Bu-
syet, kok muji sendiri! Dasar kurang kerjaan!).
Kemudian katanya, "Bersediakah kau untuk mene-
rangkan, mengapa kau menganggap dirimu sebagai
pemilik sah dari Patung Kepala Singa?"
"Aku bukan menganggapnya, karena aku memang
pemiliknya," sahut Kepala Besi.
Sementara Andika menganggukkan kepalanya,
perlahan-lahan Kepala Besi bercerita.
***
4
Empat puluh tahun yang lalu, disaat Kepala Besi
berusia sekitar tujuh belas tahun, dia adalah murid
dari Eyang Kapi Pitu. Sejak berusia lima tahun si Ke-
pala Besi yang bernama asli Wajayatika, telah menun-
tut ilmu dari Eyang Kapi Pitu.
Genap dia berusia tujuh belas tahun, Wajayatika
yang sejak lahir memang di kepalanya tak tumbuh
rambut sehelai pun, dipanggil menghadap kepada
Eyang Kapi Pitu.
Banyak wejangan demi wejangan yang disampai-
kan Eyang Kapi Pitu pada Wajayatika. Bahkan perte-
muan yang tak biasanya itu berlangsung hingga dua
hari dua malam. Menjelang senja menuju malam keti-
ga, Eyang Kapi Pitu berkata, "Sebenarnya... ada satu
amanat yang akan kusampaikan kepadamu, Wijaya."
Wajayatika segera rangkapkan kedua tangannya
di depan dada. Sesungguhnya, dia amat tersiksa sekali
dengan rasa kantuk yang terus menyerang. Namun di-
tahannya agar dia tidak sampai tertidur. Selama dua
hari dua malam duduk bersila bukanlah satu peker-
jaan enak. Darahnya seperti berhenti dan terhimpun
pada kedua lututnya yang tertekuk. Sementara ping-
gangnya mulai terasa linu dengan kepala sedikit pus-
ing.
Lelaki berusia sekitar enam puluh tahun pada
waktu itu, mengusap jenggotnya yang putih meman-
jang. Dia tak memiliki kumis. Wajahnya begitu arif
dengan sorot mata teduh. Eyang Kapi Pitu mengena-
kan pakaian panjang warna abu-abu. Kalau Wajayati-
ka duduk bersila di atas tanah, Eyang Kapi Pitu duduk
bersila di sebuah batu sebesar kambing dewasa.
Dan dia sama sekali tak mengantuk, bahkan justru makin kelihatan bertambah segar.
Eyang Kapi Pitu terdiam dulu sebelum berkata,
"Wajaya... tatkala aku berusia sekitar tiga puluh lima
tahun, aku melihat sebuah pohon besar yang tumbuh
di sebuah hutan. Aku sama sekali tak mengetahui hu-
tan apakah itu. Sebenarnya, tak ada keanehan pada
pohon besar itu, karena pepohonan yang tumbuh di
sana, sama besarnya. Hanya saja, pohon itu seperti
memancarkan sinar keperakan yang sangat indah. Te-
rus terang, aku sangat tertarik pada pohon itu. Yang
menarik lagi, bila malam tiba, pancaran sinar perak
yang keluar dari pohon itu, seperti menggambarkan
wajah seekor singa. Begitu anggun dan bersahaja. Ka-
rena rasa tertarik itulah, aku segera membangun se-
buah gubuk kecil untuk tempat tinggal. Dan selama
lima tahun aku tinggal di dekat pohon aneh itu...."
Eyang Kapi Pitu menghentikan kata-katanya. Se-
mentara itu, Wajayatika merasa kantuknya seakan
menghilang. Dia sangat tertarik, sekaligus takjub men-
dengar cerita gurunya.
"Lalu apa yang terjadi, Eyang?"
"Tak ada yang terjadi selama lima tahun itu,
Anakku... kecuali bila malam tiba sinar perak itu tetap
menggambarkan wajah seekor singa jantan. Namun
pada suatu malam, tatkala aku sedang memandangi
pohon itu dari dalam gubuk yang kubangun, aku dike-
jutkan oleh sesuatu yang memang sungguh sangat
mengejutkan...."
"Apakah itu, Eyang?"
"Kalau biasanya sinar perak itu selalu menggam-
barkan wajah singa, kali ini lambat laun wajah singa
itu menghilang. Justru yang tergambar, luruhan abu
berwarna perak, yang turun naik. Semula kupikir aku
salah melihat, namun kejadian itu tetap berlangsung
hingga satu bulan lamanya. Sungguh, aku tidak bisa
mencernakan apa yang telah terjadi atau makna apa
yang tersirat. Bahkan secara jujur kukatakan, bahkan
sampai saat ini aku masih belum tahu apa arti semua
itu...."
Kali ini tak ada yang bersuara. Beberapa dedau-
nan trembesi berguguran dihembus angin senja. Di
hamparan mata langit sebelah barat, terlihat burung-
burung beterbangan bermandikan semburat cahaya
matahari,
"Eyang... apakah pohon itu masih ada hingga saat
ini?" tanya Wajayatika kemudian.
Eyang Kapi Pitu mengusap jenggotnya sambil
menggelengkan kepala.
"Tidak. Pohon itu sudah tidak ada lagi."
"Apakah pohon itu...."
"Tidak, Anakku. Pohon itu tidak tumbang ataupun
lenyap. Tetapi... pohon itu telah kutebang."
"Oh! Mengapa, Eyang?"
"Aku sendiri tidak tahu mengapa aku sampai me-
nebangnya. Mungkin semua itu kulakukan, dikarena-
kan aku merasa harus memecahkan rahasia apa yang
terdapat pada pohon itu. Ada rasa penyesalanku saat
pohon itu telah tumbang. Lalu dikarenakan pohon
tumbang itu dapat menghalangi jalan, maka segera
kucacah seperti kayu bakar. Namun yang menge-
jutkan, tatkala bagian tengah pohon itu kubelah, se-
suatu terjatuh dari sana."
"Apakah sesuatu itu, Eyang?"
"Sebuah patung berkepala singa."
"Patung Kepala Singa?" terbelalak Wajayatika
mendengar jawaban gurunya. Sesungguhnya, dia mu-
lai merasa pusing sendiri mendengar setiap kelanjutan
cerita gurunya yang bila dipikir jernih seperti tak ma-
suk akal.
"Kau benar. Patung Kepala Singa."
"Apakah patung itu masih ada?"
"Sampai sekarang masih ada. Selalu kusimpan
karena hanya itulah kenang-kenangan yang kuda-
patkan dari pohon besar aneh yang mengeluarkan ca-
haya perak dan menggambarkan wajah singa serta lu-
ruhan abu."
Habis kata-katanya, Eyang Kapi Pitu menepuk
tangannya tiga kali. Dan entah dari mana datangnya,
mendadak saja di telapak tangan kanannya telah ter-
dapat sebuah benda yang memancarkan cahaya kepe-
rakan. Sebuah patung berkepala singa.
Wajayatika memandang takjub tanpa kedip.
"Luar biasa... sungguh kejadian yang luar bi-
asa...," desisnya dalam hati. Lalu berkata, "Eyang... bo-
lehkah aku melihat lebih dekat patung itu?"
"Kau bukan hanya boleh melihatnya lebih dekat,
bahkan mulai saat ini, Patung Kepala Singa menjadi
milikmu."
"Maksud Eyang... Eyang menghadiahkan patung
itu kepadaku?" ulang Kepala Besi dengan dada berde-
bar.
"Aku bukan sekadar menghadiahkan kepadamu.
Tetapi aku ingin kau menjaga, merawat, dan meme-
cahkan rahasia apa yang tersimpan pada patung ini.
Wijaya, usiaku semakin lama akan bertambah. Semen-
tara hingga usia yang memasuki senja ini, aku belum
juga dapat memecahkan rahasia apa yang tersimpan
pada pohon itu, yang kini kuyakini telah berada pada
patung ini. Kuharap... kau dapat melanjutkan keingi-
nanku untuk memecahkan rahasia Patung Kepala Sin-
ga...."
Lalu perlahan-lahan Eyang Kapi Pitu menjulurkan
tangan kanannya. Dan dengan berhati-hati Wajayatika
mengambil patung itu. Diamat-amatinya dengan sek-
sama dan lambat laun matanya kian memancarkan si
nar kekaguman.
Kemudian sambil angkat kepalanya dia berkata,
"Eyang.. aku berjanji, akan kupecahkan rahasia apa
yang tersimpan di balik patung ini...."
Eyang Kapi Pitu tersenyum.
"Aku senang mendengar janjimu itu. Wijaya... ma-
lam ini juga, kau harus segera meninggalkan tempat
ini."
Kalau tadi dia terkagum-kagum, kali ini melengak
mendengar kata-kata gurunya.
"Apa maksud, Eyang?"
Eyang Kapi Pitu tersenyum. "Tadi kukatakan,
usiaku semakin lama kian bertambah tua. Sementara
kau, masih sedemikian muda. Inilah saatnya bagimu
untuk melihat dunia luar. Aku bukanlah seorang pen-
dekar tangguh, hingga rasanya, kau belum cukup ba-
nyak mendapatkan ilmu kendati kau telah menda-
patkan seluruh ilmu yang kumiliki. Pesanku hanya
dua. Pertama, kau harus selalu bertindak pada jalan
kebenaran. Kedua, jaga Patung Kepala Singa agar jan-
gan sampai jatuh ke tangan orang lain. Bahkan, kau
tidak boleh meninggalkannya dalam waktu yang cukup
lama. Aku tak mengerti mengapa kukatakan ini pada-
mu. Hanya karena aku sangat menyayangi benda itu
dan tak ingin jatuh ke tangan orang lain sebelum kau
memecahkan rahasianya."
Wajayatika cuma menganggukkan kepalanya
sambil menarik napas.
"Baiklah, Eyang... akan kuingat setiap pesanmu itu."
"Berangkatlah sekarang juga. Ingat, sampai lang-
kah kesepuluh kau jangan menoleh lagi ke arahku.
Pada langkah kesebelas, kau boleh menoleh."
Sekali lagi Wajayatika menganggukkan kepalanya.
Perlahan-lahan dia segera bangkit. Setelah membung-
kukkan tubuh, sambil membawa Patung Kepala Singa,
pemuda berkepala plontos itu pun segera melangkah.
Diusahakan untuk tidak tolehkan kepala sebelum
tiba pada langkah kesebelas. Setelah memasuki lang-
kah kesebelas, dia baru tolehkan kepala.
Dilihatnya gurunya sudah tidak ada di tempat
semula. Pemuda ini menarik napas pendek seraya ber-
kata, "Akan kujalankan apa yang kau pesankan,
Eyang."
Mulailah Wajayatika bertualang. Dalam setip
langkahnya dia selalu teringat akan pesan-pesan gu-
runya untuk selalu bertindak di jalan lurus. Pada usia
kedua puluh lima, karena sepak terjangnya yang selalu
memberantas golongan sesat, orang-orang dari bagian
timur menjulukinya si Kepala Besi. Karena Wajayatika
selalu mempergunakan jurus anehnya dengan kepala
bila dia sudah dalam keadaan terdesak.
Pada usia kedua puluh delapan, Kepala Besi ber-
temu dengan Dewi Selendang Hitam. Semula perte-
muan itu tidak disengaja. Karena pada suatu senja di
sebuah dusun, Dewi Selendang Hitam sedang menga-
muk. Perempuan yang dari kepala hingga sebagian wa-
jahnya tertutup oleh selendang warna hitam itu, ingin
menguasai dusun tersebut.
Kepala Besi pun merasa terpanggil untuk menga-
tasinya. Dalam pertarungan pertamanya, dia memang
berhasil mempecundangi Dewi Selendang Hitam. Na-
mun setelah lima tahun kemudian mereka bertemu
kembali, justru keadaan berbalik.
Dewi Selendang Hitam yang rupanya terus melatih
diri dan mendendam pada Kepala Besi, berhasil men-
galahkannya. Kepala Besi memang berhasil melarikan
diri. Tetapi dua tahun kemudian, mereka tak sengaja
bertemu kembali.
Pertarungan terjadi lagi. Saat itulah Dewi Selen-
dang Hitam menyadari, kalau setiap perjumpaannya
dengan si Kepala Besi, lelaki berkepala plontos itu se-
lalu membawa Patung Kepala Singa. Karena berpikir
kalau benda itu bukan benda sembarangan, Dewi Se-
lendang Hitam berusaha untuk merebutnya.
Tetapi gagal karena Kepala Besi berhasil melarikan di-
ri. Namun itu bukanlah pertemuan mereka yang te-
rakhir. Karena dua bulan kemudian, Dewi Selendang
Hitam yang makin menginginkan Patung Kepala Singa
dan terus memburunya, berhasil menahan langkah
Kepala Besi.
Pada pertarungan yang kesekian ini, kembali Ke-
pala Besi berhasil dikalahkan. Bahkan bila dia tidak
segera meraup pasir dan melemparkannya ke wajah
Dewi Selendang Hitam, bukan hanya Patung Kepala
Singa yang akan pindah tangan. Tetapi nyawanya akan
putus saat itu pula!
Di sebuah tempat yang sepi, Kepala Besi berusaha
untuk menyembuhkan luka dalamnya. Diam-diam dia
pun yakin, kalau Dewi Selendang Hitam tak akan per-
nah melepaskannya. Karena tak ingin Patung Kepala
Singa dapat direbut oleh Dewi Selendang Hitam se-
mentara keadaannya masih belum sembuh betul, Ke-
pala Besi memutuskan untuk menguburkannya.
Namun setelah beberapa tahun lewat, Kepala Besi ti-
dak pernah bertemu lagi dengan Dewi Selendang Hi-
tam. Sampai kemudian dia teringat untuk mengambil
kembali Patung Kepala Singa. Namun alangkah terke-
jutnya lelaki berkepala plontos itu tatkala tidak mene-
mukan Patung Kepala Singa pada tanah di mana dia
menguburkannya.
Diusahakan untuk mencoba berpikir lebih jernih
sambil menahan kesabarannya. Namun setelah tempat
itu terbongkar semua, dia tetap tak menemukan Pa-
tung Kepala Singa!
"Gila!" serunya gusar dengan hati cukup kalang
kabut. "Siapa yang telah membongkar tanah itu? Siapa
yang telah mengambil Patung Kepala Singa?!"
Diingat-ingatnya siapa saja orang yang tertarik
pada Patung Kepala Singa. Dan satu-satunya orang
yang singgah pada pikirannya adalah, Dewi Selendang
Hitam.
Seketika rasa penasarannya menjadi kemarahan.
"Jahanam! Pantas saja aku tidak pernah bertemu lagi
dengannya! Rupanya dia telah mendapatkan Patung
Kepala Singa!!"
Namun tatkala teringat akan pesan dari Eyang
Kapi Pitu sebelum dia menerima Patung Kepala Singa,
Kepala Besi untuk sesaat terdiam. Kemarahannya la-
mat-lamat mulai mereda.
"Bila bukan Dewi Selendang Hitam yang mengam-
bilnya, siapa lagi orangnya? Atau jangan-jangan... ini
salah satu keanehan dari Patung Kepala Singa?"
Sesaat lelaki berkepala plontos ini terdiam. Ha-
tinya mulai diliputi keresahan kembali. Lalu perlahan-
lahan dia berkata, "Hingga saat ini... aku belum dapat
memecahkan rahasia Patung Kepala Singa seperti yang
diutarakan Eyang Guru. Apakah hilangnya Patung Ke-
pala Singa dikarenakan aku tidak menjaganya seperti
yang dimaksud Eyang?"
Sungguh pusing kepala lelaki ini memikirkan ke-
mungkinan itu. Setelah beberapa saat tak lakukan tin-
dakan apa-apa, dia menghela napas panjang.
"Jalan satu-satunya... aku harus mencarinya...."
Mulailah Kepala Besi menyusuri jejak tentang lenyap-
nya Patung Kepala Singa. Sampai kemudian dia men-
dengar kabar kalau Pendekar Sutera, pimpinan dari
Kuil Putra Langit memiliki sebuah benda yang berna-
ma Patung Kepala Singa. Namun sebelum dia menge-
tahui siapakah sesungguhnya Pendekar Sutera, Bida-
dari Tangan Bayangan telah menghadangnya dan lan
carkan tuduhan kalau dialah orang yang telah lakukan
pembantaian di Kuil Putra Langit. Menyusul perjum-
paannya dengan Dewi Selendang Hitam.
***
"Begitulah yang terjadi, Andika...," katanya kemu-
dian pada Pendekar Slebor yang mendengarkan den-
gan seksama.
Andika manggut-manggut.
"Sungguh rumit masalah ini. Kepala Besi, menu-
rut Bidadari Tangan Bayangan, Pendekar Sutera men-
dapatkan Patung Kepala Singa di saat dia sedang ber-
semadi. Kemungkinan yang kau ceritakan kalau le-
nyapnya Patung Kepala Singa, ini disebabkan oleh ke-
kuatan benda itu sendiri, bisa jadi betul."
"Ya... setelah perjumpaanku dengan Dewi Selen-
dang Hitam, aku semakin kuat menduga seperti itu."
"Luar biasa... aku jadi penasaran ingin melihat
seperti apa Patung Kepala Singa," kata Andika dengan
mimik serius. Namun keseriusannya segera lenyap di
saat dia arahkan pandangan pada si Kepala Besi sam-
bil berkata, "Ngomong-ngomong... Patung Kepala Singa
itu tidak tandus kayak kepalamu, kan?"
Kepala Besi cuma tersenyum kecut. Lalu katanya,
"Andika... pada kesempatan ini, aku meminta ban-
tuanmu untuk menemukan Patung Kepala Singa.
Bahkan bila kau bersedia, aku juga menginginkan agar
kau memecahkan rahasia apa yang ada pada benda
itu."
"Wah! Mana bisa begitu? Nanti rambutku cepat
ubanan lagi kalau banyak berpikir!" sahut Andika nyo-
nyor, akan tetapi di dasar hatinya dia sungguh pena-
saran sekali. Atau dengan kata lain, tanpa diminta
pemuda urakan ini juga akan berusaha untuk meme
cahkan rahasia Patung Kepala Singa.
"Ubanan atau tidak ubanan toh tidak ada gadis
yang mau denganmu?" sambar Kepala Besi.
"Yeeee... mendingan kepalaku ada rambutnya! Da-
ripada kepalamu yang tandus begitu? Huh! Sudah
tandus, penjol lagi!!" seloroh Andika sambil memo-
nyongkan mulutnya. Lalu sambungnya, "Ngomong-
ngomong lagi... apakah Eyang Kapi Pitu menceritakan
perubahan lainnya dari cahaya putih yang menggam-
barkan kepala singa dan luruhan abu?"
Kepala Besi menggelengkan kepala. "Tidak."
Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal. "Cahaya putih. Gambar kepala singa. Luruhan
abu. Apakah... ah, tidak, tidak...."
"Apa yang kau pikirkan, Andika?" tanya Kepala
Besi yang melihat Andika sengaja memutuskan kata-
katanya.
"Tidak, tidak... mungkin aku salah. Kepala Besi,
nampaknya kau sudah lebih sehat sekarang ini. Se-
baiknya... kita berpisah saja sampai di sini. Masing-
masing orang...."
Kata-kata Pendekar Slebor terputus tatkala ter-
dengar satu suara keras penuh kegeraman, "Pemuda
keparat! Kau telah mencabut nyawa sahabatku! Kali
ini, aku akan bertarung mati-matian denganmu!!"
***
5
Kita tinggalkan dulu apa yang akan dialami oleh
Pendekar Slebor dan Kepala Besi. Sekarang kita ikuti
perjalanan Bidadari Tangan Bayangan dan Tri Sari
yang sedang mencari Dewa Suci. Setelah Kepala Besi
berhasil melarikan diri dari serangan perempuan ber-
pakaian kuning bersih itu, Bidadari Tangan Bayangan
menahan langkah Tri Sari yang sebenarnya hendak
mencari Kepala Besi, yang saat itu dipikirnya adalah
orang yang telah lakukan pembunuhan terhadap ayah
dan para saudaranya.
Dari percakapan yang terjadi, tahulah perempuan
setengah baya yang di pinggangnya melilit selendang
warna merah kalau gadis berpakaian putih-putih itu
adalah putra sahabatnya, si Pendekar Sutera.
Tri Sari yang sebelumnya berhasil meloloskan diri
dari pembantaian di Kuil Putra Langit, memang men-
dapat amanat dari ayahnya sebelum tewas. Kalau dia
harus mencari Bidadari Tangan Bayangan. Dan tak
disangkanya, kalau orang yang dicari justru berada di
hadapannya.
Bidadari Tangan Bayangan pun mengusulkan un-
tuk mencari Dewa Suci guna memecahkan rahasia apa
yang ada di balik Patung Kepala Singa, yang saat ini
didekap erat oleh Tri Sari dan dibungkus kain warna
hitam (Untuk lebih jelasnya, silakan baca : "Patung
Kepala Singa").
Namun mencari Dewa Suci kendati sudah diketa-
hui di mana dia tinggal tak semudah yang dibayang-
kan. Tatkala siang telah tiba, kedua orang itu mulai je-
jakkan kakinya pada jalan setapak menuju ke Bukit
Kubur.
Bidadari Tangan Bayangan sejenak hentikan lang-
kahnya. Sementara itu, Tri Sari mulai merasa dadanya
seperti mau pecah. Karena hanya dua kali Bidadari
Tangan Bayangan hentikan larinya. Itu pun dalam
waktu yang sangat singkat.
Di sekeliling masing-masing orang dipenuhi den-
gan rerumputan setinggi dada yang berbaur dengan
ranggasan semak belukar. Pepohonan tinggi dan besar
berjajar laksana prajurit perang yang siap menyerbu.
Tri Sari pun yakin kalau perempuan di sebelahnya
ini akan segera meneruskan langkah, karena terlihat
bagaimana Bidadari Tangan Bayangan mengangguk-
anggukkan kepalanya seolah memberi aba-aba untuk
meneruskan langkah.
Tri Sari yang memang sudah kelelahan segera
berkata, "Bibik...tidakkah sebaiknya kita beristirahat
dulu?"
Bidadari Tangan Bayangan palingkan kepala. Tak
keluarkan suara kecuali memandangi si gadis.
"Hmmm... dia nampak sudah kepayahan. Bila saja
aku tidak tahu kalau dia putri dari Pendekar Sutera,
sudah kutinggalkan dia di sini sementara Patung Ke-
pala Singa akan kubawa kepada Dewa Suci. Tetapi...
aku tak boleh buang waktu."
Habis membatin demikian, guru Nawang Wangi ini
berkata, "Bila kau sudah tak sanggup lagi untuk me-
langkah, lebih baik kau beristirahat di sini saja. Biar
aku yang mencari Dewa Suci di Bukit Kubur."
Tri Sari cuma menganggukkan kepalanya. Kemu-
dian sambil menjulurkan bungkusan yang dipegang-
nya, gadis ini berkata, "Bibik... bawalah Patung Kepala
Singa ini padamu, hingga kau tidak perlu balik lagi bi-
la bertemu dengan Dewa Suci."
"Tidak. Biarlah patung itu tetap berada padamu,
Tri Sari. Aku berangkat sekarang dan akan kembali se-
cepatnya. Jangan ke mana-mana."
Setelah mendapati anggukkan kepala si gadis, Bi-
dadari Tangan Bayangan segera hempos tubuh. Gera-
kannya begitu ringan sekali, tanda dia memiliki ilmu
peringan tubuh yang cukup tinggi.
Sepeninggal Bidadari Tangan Bayangan, Tri Sari
berjalan ke balik ranggasan semak. Di sebuah pohon
besar yang rindang, gadis ini duduk bersandar.Rasa lelah karena sebelumnya di saat dia hendak
tidur muncul Kepala Besi, dan kini dia belum beristi-
rahat sudah diajak pergi oleh Bidadari Tangan Bayan-
gan, membuat dirinya kian didera kantuk yang tinggi.
"Tidak... aku tidak boleh tertidur. Aku harus tetap
terjaga...," desisnya dengan suara lemah.
Namun kantuk itu tetap menyerangnya. Apalagi,
kendati panas meranggas, namun di tempat yang di-
penuhi pepohonan ini terasa hembusan angin begitu
semilir, membuat Tri Sari perlahan-lahan mulai meme-
jamkan matanya. Patung Kepala Singa yang terbung-
kus kain hitam itu tetap didekapnya erat.
Cukup lama Tri Sari tertidur sebelum akhirnya
terjaga tatkala mendengar suara ranting berderak tan-
da diinjak orang. Seketika dia bangkit untuk melihat
siapa yang datang. Namun saat itu pula putri Pendekar
Sutera ini merunduk kembali.
"Aneh! Bukan Bibik Bidadari Tangan Bayangan
yang muncul!" desisnya dalam hati dan berusaha un-
tuk tidak keluarkan suara.
Orang yang datang itu, berpakaian hitam. Dari
kepala hingga sebagian wajahnya, tertutup selendang
warna hitam. Menilik cirinya, jelas dia adalah Dewi Se-
lendang Hitam. Orang yang telah lakukan pemban-
taian di Kuil Putra Langit dan orang yang mengingin-
kan Patung Kepala Singa.
Perempuan tua kejam ini hentikan gerakannya.
Pandangannya yang agak menyipit memperhatikan se-
kelilingnya. Mendadak terdengar makiannya, "Jaha-
nam terkutuk! Ke mana lagi aku harus mencari Patung
Kepala Singa? Sia-sia apa yang telah kulakukan di Kuil
Putra Langit! Sia-sia kubuang tenaga untuk memban-
tai seluruh penghuni tempat itu, kalau ternyata Patung
Kepala Singa tak kutemukan!"
Di balik ranggasan semak, Tri Sari yang tak berani
bergerak melengak sejenak.
"Aneh! Menilik kata-katanya, jelas perempuan
berpakaian hitam itu yang telah menurunkan tangan
di Kuil Putra Langit. Orang yang lelah membunuh ayah
dan saudara-saudaraku," desisnya heran dalam hati.
Lalu melanjutkan, "Tetapi... bukankah menurut Bibik
Bidadari Tangan Bayangan, kalau Kepala Besilah
orang yang telah menurunkan tangan? Ah, siapa yang
benar kalau begini?"
Kendati rasa penasarannya ingin melihat lebih je-
las wajah perempuan itu, namun Tri Sari tak berani
melakukannya. Bahkan kalau tadi dia mendekam di
balik ranggasan semak itu, kali ini dia menelungkup
sambil mendekap Patung Kepala Singa erat-erat.
Sejarak delapan langkah dari tempat Tri Sari, De-
wi Selendang Hitam nampak terdiam, tanda kalau dia
tengah berpikir.
Kemudian terdengar suaranya, "Kepala Besi telah
tewas. Dendam lamaku telah tuntas, kendati aku tak
mendapatkan benda yang kuinginkan sejak lama. Ja-
hanam terkutuk! Siapa orang yang telah mengambil
Patung Kepala Singa?!"
Sejenak perempuan kejam ini terdiam. Lamat-
lamat terdengar suaranya penuh kegeraman, "Jangan-
jangan... ada yang luput dari pembantaianku di Kuil
Putra Langit, orang yang kemudian lari menyela-
matkan Patung Kepala Singa? Benar-benar sial bila
memang itu jadi kenyataan!!"
Mendadak saja Dewi Selendang Hitam gerakkan
tangan kanannya ke depan.
Wrrrrr!!
Serta merta menghampar satu gelombang angin
yang keluarkan suara bergemuruh. Langsung meng-
hantam sebatang pohon yang berderak dan tumbang.
"Jahanam sial! Harus kucari orang itu! Harus ku
bunuh dial!" geramnya gusar.
Di tempatnya, Tri Sari kian terlungkup. Bila me-
nuruti kata hatinya, dia akan muncul untuk lakukan
pembalasan. Namun disadarinya kalau perempuan itu
jelas bukan lawannya. Mengingat dia bukan hanya
mampu membunuh seluruh penghuni Kuil Putra Lan-
git, namun ayahnya juga tewas dibunuh.
Makanya, yang bisa dilakukannya hanyalah tetap
berada di tempatnya. Diam-diam gadis ini membatin,
"Beruntung karena aku cepat terjaga dari tidurku. Bila
tidak... ah, tak bisa kubayangkan apa yang akan terja-
di...."
Sementara itu, di tempatnya Dewi Selendang Hi-
tam masih menggeram panjang pendek. Setelah ker-
takkan rahangnya, perempuan ini berkelebat mening-
galkan tempat itu.
Sepeninggal Dewi Selendang Hitam, Tri Sari belum
berani untuk bangkit berdiri. Ditunggunya saat yang
paling tepat. Setelah diyakini kalau perempuan itu ti-
dak kembali lagi, hati-hati dia mulai berdiri. Hati-hati
pula disibakkan ranggasan semak di hadapannya. Tak
dilihatnya perempuan itu di sana.
Dia pun menarik napas lega.
"Celaka kalau begini... Bibik Bidadari Tangan
Bayangan telah lakukan kesalahan, kalau ternyata
bukan Kepala Besi lah yang telah membunuh ayah dan
yang lainnya. Tetapi perempuan kejam itu. Bahkan...
perempuan itu telah membunuh si Kepala Besi. Ah,
semakin rumit keadaan ini."
Lalu hati-hati gadis berambut dikuncir kuda ini
keluar dari balik ranggasan semak. Sejenak diedarkan
pandangannya sebelum kemudian diarahkan ke Bukit
Kubur.
"Tak ada tanda-tanda Bibik Bidadari Tangan
Bayangan akan datang.... Ah, apa yang terjadi dengan
nya? Apakah dia berhasil bertemu dengan Dewa Suci?
Atau justru malah sebaliknya?" Gadis berkucir ekor
kuda ini terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Ada
keinginanku untuk menyusulnya. Berita tentang siapa
orang yang telah membunuh ayahku dan yang lainnya,
harus segera kusampaikan. Tetapi bagaimana kalau
aku selisih jalan dengannya, sementara aku sendiri be-
lum tahu jalan menuju ke Bukit Kubur? Hmmm... se-
baiknya, biarlah kutunggu saja di sini."
Sementara itu, lambat laun matahari pun mulai
bergeser dari atas kepala. Perasaan putri Pendekar Su-
tera ini mulai diliputi kegelisahan. Dia pun agak bim-
bang untuk memutuskan apa yang akan dilakukan-
nya.
Dan selagi si gadis masih terdiam tak tahu apa
yang akan diperbuatnya, mendadak saja terdengar su-
ara, "Hmmm... ternyata ada seorang gadis yang me-
nungguku di sini. Rasanya, ketika aku telah tiba di si-
ni tadi pun aku yakin kau telah menungguku, Manis.
Tetapi kau hebat bisa luput dari penglihatan serta
pendengaranku...."
Belum lagi suara itu habis terdengar, mendadak
saja di hadapan Tri Sari telah berdiri tegak satu sosok
tubuh berpakaian hitam. Dari kepala hingga sebagian
wajahnya, tertutup selendang warna hitam! Di bagian
atas kepalanya, nampak selendang itu mencuat, seper-
ti ada sebuah sanggul.
***
Terkesiap Tri Sari melihat siapa yang muncul.
Tanpa sadar wajahnya langsung memucat dengan
langkah yang surut dua tindak ke belakang. Tanpa sa-
dar pula tangan kanannya mendekap erat-erat bung-
kusan kain hitam pada dadanya.
Perempuan yang tak lain Dewi Selendang Hitam
adanya ini, melirik sekilas pada bungkusan kain hitam
itu.
"Bila gadis ini tadi berhasil menutupi kehadiran-
nya dariku, jelas dia memang berisi. Siapa dia adanya?
Apakah dia termasuk salah seorang yang mengetahui
tentang Patung Kepala Singa? Dan bungkusan hitam
itu... nampaknya dia begitu berhati-hati menja-
ganya...."
Sementara Dewi Selendang Hitam membatin begi-
tu, Tri Sari pun membatin, "Tak bisa kuhindari kehadi-
rannya. Ah, mengapa aku tadi tidak segera menyusul
Bibik Bidadari Tangan Bayangan? Tetapi... apa pun
yang terjadi, aku harus melawannya. Bahkan kalau
mampu, aku harus membalas segala perbuatannya.
Hanya saja... bagaimana bila aku dikalahkan? Berar-
ti... Patung Kepala Singa yang diburunya akan berpin-
dah tangan padanya.... Ah, aku harus mengulur wak-
tu... barangkali saja Bibik Bidadari Tangan Bayangan
akan muncul...."
Di seberang, Dewi Selendang Hitam berkata din-
gin, "Gadis Ayu... katakan padaku, sedang apa kau di
tempat ini?"
Tri Sari berusaha untuk menindih segala pera-
saannya. Lalu dengan suara agak ketus dia menjawab,
"Apakah kau belum pernah melihat seorang gadis yang
sedang menunggu kekasihnya, hah?!"
Dewi Selendang Hitam tersenyum, jelas terbayang
dari selendang hitamnya yang agak bergerak. "Di mana
kekasihmu sekarang?"
"Aku tidak tahu! Sejak tadi aku berada di sini, dia
belum muncul juga!"
"Apa yang hendak kau lakukan dengannya di
tempat ini, hah?!" suara Dewi Selendang Hitam kian
mengandung kesinisan."Huh! Betul-betul suka campuri urusan orang!
Apa yang akan kulakukan bersama kekasihku, bukan
urusanmu! Lebih baik tinggalkan tempat ini sebelum
kekasihku datang!!"
"Huh! Benda apa yang ada di bungkusan itu?!"
"Lancang! Bungkusan ini berisi pakaian!" sahut
Tri Sari garang. Lalu dengan mengubah mimiknya
menjadi sedih dia melanjutkan "Hubunganku dengan
Kang Gunarto tidak direstui oleh orangtuaku.... Huh!
Aku mencintai Kang Gunarto sepenuh jiwa dan raga-
ku. Apa yang kuhendaki Kang Gunarto akan kulaku-
kan dengan setulus hati. Aku akan kabur dengannya."
Tiba-tiba saja Tri Sari menatap tajam pada Dewi
Selendang Hitam. "Nenek! Kau harus berjanji padaku,
jangan memberitahukan semua ini pada ayahku! Bila
tidak, aku bisa dibunuhnya!!"
Dewi Selendang Hitam hanya terdiam. Sorot ma-
tanya tajam tak berkedip, menyelidik kebenaran kata-
kata si gadis.
Tri Sari yang merasa kalau perempuan di hada-
pannya ini mulai terkena ucapannya berkata lagi den-
gan suara dibuat pilu, "Nek... kau harus berjanji, jan-
gan mengatakan semua ini kepada ayahku.... Kau ha-
rus, Nek...."
"Jangan panggil aku 'nenek'!!" bentak Dewi Selen-
dang Hitam keras dengan pandangan gusar. Kemudian
sambungnya dingin, "Dan jangan coba-coba kelabui
aku dengan kata-katamu...."
Sejenak hati Tri Sari berdebar keras. Wajahnya
agak berubah. Namun segera diubahnya kembali. Lalu
dengan suara dibuat penuh kekesalan dia berseru,
"Jangan ngomong ngaco! Kau rupanya termasuk orang
yang tidak percaya dengan omongan orang lain! Tetapi
terserah kaulah, Nek! Toh bukan urusanku! Sudah,
sana kau pergi!!"
Kendati Dewi Selendang Hitam kelihatan percaya
dengan kata-kata si gadis, namun dia sempat melihat
perubahan wajah Tri Sari tadi.
Kemudian katanya, "Aku mempercayaimu! Seka-
rang, kau tinggalkan tempat ini!"
"Aku menunggu kekasihku!!"
"Tunggu di tempat lain!!"
Tri Sari memasang wajah cemberut sementara di-
am-diam dia membatin, "Mengapa Bibik Bidadari Tan-
gan Bayangan belum muncul juga? Aku kuatir lama
kelamaan perempuan ini tahu apa yang ku rahasia-
kan. Ini kesempatanku untuk menjauh darinya, selagi
dia masih terbawa cerita dustaku."
Lalu dengan bibir dibuat masih cemberut, gadis
ini berkata, "Huh! Kau mengganggu kesenangan orang
saja!!"
Setelah hentakkan kaki kanannya di tanah, seper-
ti orang kesal, gadis ini mulai melangkah. Namun baru
empat tindak melangkah, mendadak saja terdengar
suara Dewi Selendang Hitam keras, "Kau boleh ting-
galkan tempat ini. Tetapi, berikan bungkusan kain hi-
tam itu padaku!!"
***
6
Seketika Tri Sari berhenti melangkah dan berba-
lik. Wajahnya nampak pucat sekarang, apalagi begitu
melihat sorot mata Dewi Selendang Hitam yang penuh
ancaman kematian.
Tetapi gadis ini berusaha untuk menindih rasa je-
rinya. Tetap memasang wajah masam dia berseru,
"Nek! Kau ini kenapa sih? Apakah kau suka dengan
pakaian buruk milikku ini?!"
"Serahkan bungkusan itu kepadaku!"
"Enak saja minta-minta begitu!"
"Jangan main-main!"
Sadarlah Tri Sari kalau perempuan di hadapannya
sudah tidak bisa lagi dikelabui. Lalu dengan hati-hati
dia surut dua tindak ke belakang. Diam-diam dialirkan
tenaga dalam pada kedua tangannya.
"Apa pun yang terjadi... aku harus menyela-
matkan Patung Kepala Singa. Patung ini harus kuse-
rahkan pada pemiliknya yang sah, seperti yang diama-
natkan ayah padaku...."
Di seberang, Dewi Selendang Hitam berseru din-
gin, "Jangan buang waktu lagi! Serahkan bungkusan
itu kepadaku!"
"Tidak!"
"Gadis celaka!!"
Habis bentakannya, mendadak saja Dewi Selen-
dang Hitam melayang ke arah Tri Sari. Putri Pendekar
Sutera yang sejak tadi memang telah bersiaga, segera
surutkan kaki kanan ke belakang. Bersamaan dengan
itu mendadak tubuhnya berputar agak menjauh, me-
nyusul tangan kanannya didorong ke depan.
Wuuusss!!
Satu gelombang angin segera menggebrak ke arah
Dewi Selendang Hitam, yang hanya gerakkan tangan
kirinya sementara tubuhnya terus melesat ke arah Tri
Sari.
Hamparan angin yang dilepaskan si gadis lang-
sung putus di tengah jalan. Sementara itu, dengan tu-
buh agak mengendap, Tri Sari melompat ke samping
kiri guna hindari sergapan Dewi Selendang Hitam.
Namun di luar dugaannya, justru sergapan itu
hanya pancingan belaka. Karena begitu tubuhnya be-
rada di samping, kaki kanan Dewi Selendang Hitam
bergerak cepat, seperti memotong.
Si gadis keluarkan pekikan tertahan, "Heeiii!"
Dia memang berhasil hindari sergapan kaki kanan
lawan, namun tangan kanan lawan telah menepak
tangan kirinya.
Untuk kedua kalinya Tri Sari keluarkan pekikan
tertahan. Bungkusan yang didekapnya terlepas. Hanya
dengan gerakkan tubuhnya seperti menjulur, bungku-
san itu telah pindah tangan.
"Hhhh! Ingin kulihat seperti apa pakaian busuk
milikmu ini?!" geram Dewi Selendang Hitam sambil
berdiri tegak kembali di atas tanah.
Sementara itu, mendapati kalau perempuan di
hadapannya akan membuka bungkusan yang telah
disambarnya, dengan kalap Tri Sari menerjang ke de-
pan seraya membentak, "Kembalikan benda itu kepa-
daku!!"
Dewi Selendang Hitam hanya angkat kepalanya
sejenak. Sambil keluarkan dengusan, tangan kirinya
menepak.
Plak!
Setelah menahan jotosan Tri Sari, tangan itu den-
gan cepatnya menepak punggung si gadis, hingga mau
tak mau tersuruk ke depan. Masih untung Tri Sari
sempat membuang tubuh ke samping kanan. Bila ti-
dak, maka dadanya akan langsung disambut oleh
dengkul kaki kanan Dewi Selendang Hitam.
"Kau akan mampus, Gadis ayu... Tetapi, aku ingin
tahu apa isi bungkusan ini...."
"Perempuan tua celaka! Kembalikan kepadaku!!"
seru Tri Sari kalap sambil berdiri tegak.
Dewi Selendang Hitam hanya pandangi sejenak. Lalu
tangan kirinya mulai membuka bungkusan di tangan
kanannya. Tri Sari yang tak mau kalau perempuan tua
itu mengetahui apa isi bungkusannya, segera menerjang kembali diiringi teriakan membahana. Kali ini
sambil lipat gandakan tenaga dalamnya. Angin keras
mendahului lesatan tubuhnya.
"Betul-betul cari mampus!" geram Dewi Selendang
Hitam.
Serta merta dia mendorong tangan kirinya. Saat
itu pula menggebrak lima larik sinar hitam yang kelua-
rkan suara gemuruh dan hawa panas. Untuk sesaat
nampak Tri Sari yang sedang lancarkan serangan, me-
lengak kaget. Tak mau dirinya celaka, dengan cepat
putri Pendekar Sutera ini membuang tubuh ke kanan.
Bersamaan dengan itu, dikibaskan kedua tangannya
ke depan.
Wussss! Wuusss!!
Dua gelombang angin menderu hebat.
Blaam!
Letupan yang keras terjadi. Tanah di mana berte-
munya dua pukulan itu langsung terbongkar dan me-
nerbangkan bongkarannya ke udara.
Tatkala semuanya luruh, terlihat Dewi Selendang
Hitam berdiri tegak tak kurang suatu apa. Bahkan ka-
kinya tak bergeser dari tempat semula.
Di seberang, Tri Sari terpental delapan tindak ke
belakang. Tak mampu kuasai keseimbangannya, gadis
itu pun ambruk telentang. Nafasnya memburu. Da-
danya terasa sesak bukan main. Sementara aliran da-
rahnya bertambah kacau, kedua tangannya dirasakan
ngilu bukan alang kepalang. Tatkala dilihatnya, tangan
kanan dan kirinya itu membiru dan agak membeng-
kak.
"Celaka... aku benar-benar tak mampu untuk me-
rebut kembali Patung Kepala Singa...," desis Tri Sari
pilu. Karena rasa nyeri pada dadanya, dia tak kuasa
untuk bangkit kembali. Dipejamkan kedua matanya
menahan rasa pedih di hatinya. "Ayah... maafkan aku,
karena aku gagal memberikan patung itu kepada yang
berhak...."
Sementara itu, Dewi Selendang Hitam hanya kelu-
arkan dengusan dingin. Lalu dengan kasar dibukanya
selubung kain hitam pada benda yang terbungkus itu.
"Heiii!!" seketika terdengar seruannya tatkala me-
lihat sebuah benda yang pancarkan warna keperakan!
Tak percaya dengan apa yang dilihatnya, perem-
puan tua ini mengucak-ngucak matanya dengan tan-
gan kiri. Sejurus kemudian, terdengar tawanya yang
keras.
"Tak kusangka! Tak kusangka! Patung Kepala Sin-
ga! Gila! Patung Kepala Singa!!"
Di tempatnya, Tri Sari makin mengeluh dalam.
"Maafkan aku, Ayah...," desisnya.
Dan wajahnya kian bertambah pucat tatkala si
nenek kejam itu tolehkan kepalanya disertai dengusan.
"Anak gadis! Kau berani mengelabuiku, hah?! Ba-
gus! Tetapi sebelum kau mampus kubunuh, jawab du-
lu pertanyaanku! Ada hubungan apa kau dengan Pen-
dekar Sutera, hah?!"
Kendati Tri Sari sadar bahaya sangat tidak men-
guntungkan, namun dia menjawab lantang, "Pendekar
Sutera adalah ayahku, Perempuan Jahanam!!"
"Jahanam sial! Susah payah kucari Patung Kepala
Singa yang ternyata berada di tangan gadis sialan itu!
Huh! Tentunya, dialah satu-satunya orang yang luput
dari kematian yang kuturunkan!" maki Dewi Selendang
Hitam dalam hati. Seraya maju satu langkah, dia ber-
seru, "Bagus! Tak seorang pun penghuni Kuil Putra
Langit yang akan selamat dari tanganku!!"
Habis bentakannya, mendadak saja dikibaskan
tangan kanannya.
Wusss!
Serta merta meluncur tiga larik sinar hitam yang
keluarkan suara menggidikkan. Di tempatnya Tri Sari
hanya memejamkan mata. Dia sudah tak mampu un-
tuk menghindar ataupun memapaki serangan itu.
Namun sebelum tiga larik sinar hitam mencabik-
cabik tubuhnya, mendadak saja satu gelombang angin
deras telah menderu dari belakangnya. Dan....
Blaaammm!
Seketika menghantam tiga larik sinar hitam ganas
tadi yang pecah berantakan. Untuk sesaat tempat itu
diselubungi rengkahan tanah yang membubung ke
udara.
Tatkala semuanya sirap, terlihat satu sosok tubuh
berpakaian kuning bersih telah tegak di sisi kiri Tri Sa-
ri yang masih tergeletak.
"Bibik Bidadari Tangan Bayangan...," desis si gadis
dengan hati lega.
Orang yang menahan serangan maut Dewi Selen-
dang Hitam memang Bidadari Tangan Bayangan. Pe-
rempuan jelita ini memandang tak berkedip ke arah
Dewi Selendang Hitam yang sedang mendelik gusar.
Dalam sekali lihat saja, Bidadari Tangan Bayangan ta-
hu apa yang telah terjadi.
Diam-diam diliriknya Tri Sari yang kelihatan begi-
tu menderita sekali. Sadar kalau gadis itu baru saja
dihajar oleh perempuan di hadapannya, seketika dia
keluarkan kata-kata dingin dan tajam, "Menilik wujud
yang ada padamu... jelas kalau kau adalah Dewi Se-
lendang Hitam. Hmmm... kurasa, kita tak pernah
punya urusan. Tetapi, nampaknya kau telah bertindak
keji pada gadis ini dan merebut bungkusan yang dimi-
likinya. Serahkan bungkusan itu kembali, maka segala
urusan selesai sampai di sini!"
Dewi Selendang Hitam cuma keluarkan dengusan
dingin.
"Bidadari Tangan Bayangan... kelancanganmu
yang memutuskan keinginanku tak bisa ku maafkan!
Lebih baik kau berlutut di hadapanku ketimbang nya-
wamu akan putus!!"
"Setan keparat! Sepak terjang perempuan ini telah
lama kudengar! Dan nampaknya dia telah buka uru-
san! Menilik begitu nyatanya dia menginginkan Patung
Kepala Singa, agaknya jelas kalau dia tak akan mele-
paskan kesempatan untuk mendapatkan benda itu.
Bisa jadi kalau dia pun tahu tentang rahasia yang ter-
simpan pada Patung Kepala Singa."
Sementara Bidadari Tangan Bayangan membatin
seperti itu, Tri Sari berusaha kerahkan sisa-sisa tena-
ganya untuk menyingkir dari tempat semula. Disada-
rinya kalau pertarungan hebat akan segera terjadi.
Sementara itu Bidadari Tangan Bayangan sedang
buka mulut, "Sekali lagi kukatakan, jangan membuang
waktu! Kembalikan Patung Kepala Singa kepada kami!"
"Huh! Aku ingin melihat, tindakan apa yang kau
lakukan bila aku menolak menyerahkan benda ini! Te-
tapi perlu kau ketahui, tak akan pernah kulepaskan
Patung Kepala Singa dari tanganku!!"
"Baik! Kata telah bersambut, berarti segala sesua-
tunya tak bisa dihindari lagi!"
Habis seruannya, mendadak saja Bidadari Tangan
Bayangan gerakkan kedua tangannya ke muka. Serta
merta menggebrak dua hamparan angin yang kelua-
rkan suara menggemuruh ke arah Dewi Selendang Hi-
tam.
Sambil kertakkan rahangnya, perempuan yang
dari kepala hingga sebagian wajahnya tertutup selen-
dang hitam itu, segera buang tubuh ke kanan. Menyu-
sul tangan kirinya dikibaskan ke depan.
Serta merta melesat lima larik sinar hitam yang
mengerikan. Udara yang dingin, kali ini seperti tertin-
dih gelombang hawa panas yang cukup terasa. Rupanya, Dewi Selendang Hitam langsung lipat gandakan
tenaga dalamnya, tanda dia tak mau bertindak ayal.
Blaaaammm!!
Benturan keras terjadi dengan muncratnya sinar-
sinar hitam ke udara. Sosok Bidadari Tangan Bayan-
gan surut tiga tindak ke belakang, sementara Dewi Se-
lendang Hitam masih tegak di tempatnya.
"Huh! Dengan kemampuan hanya seujung kuku
seperti itu kau telah berani jual lagak di hadapanku!
Sungguh tindakan tak tahu malu!!"
Di seberang, Bidadari Tangan Bayangan merasa-
kan dadanya cukup sesak. Segera saja dialirkan hawa
murninya guna menghilangkan rasa sakit.
Kejap kemudian, sambil gerakkan kedua tangan
diatas lalu membentuk rangkapan di depan dada, dia
berseru dingin, "Berarti... kau harus mencoba meng-
hadapi ilmuku yang seujung kuku ini!!"
Sebelum dia lakukan serangan, terdengar suara
Tri Sari, "Bibik... perempuan kejam itulah yang telah
lakukan pembantaian di Kuil Putra Langit, orang yang
telah membunuh ayah dan saudara-saudaraku lain-
nya...."
Mendengar ucapan si gadis, sesaat Bidadari Tan-
gan Bayangan melengak kaget. Sejenak dipandanginya
si gadis yang menganggukkan kepalanya. Di lain kejap
dia arahkan pandangannya kembali pada Dewi Selen-
dang Hitam yang sedang berkata,
"Hmmm... rupanya kau sedang mencari pemban-
tai di Kuil Putra Langit! Hhh! Tak perlu bersusah
payah lagi! Karena, akulah orang yang telah membu-
nuh seluruh isi penghuni Kuil Putra Langit! Dan masih
beruntung gadis berambut kuncir kuda itu dapat lolos
dari kematian! Tetapi sekarang, bukan hanya gadis itu
yang akan mampus! Karena dirimu pun akan mampus
di tanganku!!"
Di seberang Bidadari Tangan Bayangan masih te-
gak di tempatnya. Lamat-lamat terlihat tubuhnya agak
bergetar tanda kemarahan semakin naik. Dia sama se-
kali tak menyangka tentang kenyataan ini.
"Celaka! Kalau begitu... aku telah lakukan kesala-
han yang sulit dimaafkan. Kepala Besi yang kutuduh
dan kuburu, ternyata bersih dari tuduhan itu.
Hmmm... ternyata apa yang dikhawatirkan Pendekar
Slebor saat aku bertemu dengannya waktu lalu, men-
jadi kenyataan. Jahanam terkutuk! Perempuan celaka
ini adalah biang keladi dari segala urusan!!"
Habis membatin begitu, dengan kertakkan ra-
hangnya segera saja perempuan berbaju kuning bersih
ini mengangkat kedua tangannya ke atas. Menyusul
kedua tangan itu diputar-putar yang semakin lama
bertambah cepat. Menyusul terdengarnya angin yang
menderu-deru memekakkan telinga.
Bukan hanya menyambar dedaunan yang seketika
berguguran, tetapi juga mematahkan ranting dan da-
han pohon yang beterbangan dan bertabrakan satu
sama lain.
Perubahan angin yang terjadi, membuat Dewi Se-
lendang Hitam membatin, "Nampaknya dia telah kelu-
arkan jurus yang tentunya sangat dahsyat. Keparat!
Padahal aku harus secepatnya memecahkan rahasia
Patung Kepala Singa, mumpung belum ada lagi orang
yang menghendakinya dan akan membuang waktuku!
Huhh!! Akan kuhancurkan dia sekarang juga!"
Di seberang, diiringi teriakan mengguntur, men-
dadak saja Bidadari Tangan Bayangan mendorong tan-
gan kanan kirinya ke depan. Seketika menggebah ge-
lombang angin raksasa yang menyeret tanah dan rang-
gasan semak belukar.
Kejap berikutnya dia sudah hempos tubuhnya ke
depan. Kedua tangannya bergerak cepat, mencecar bagian tubuh mematikan dari Dewi Selendang Hitam.
Gebrakan maut yang dilancarkan Bidadari Tangan
Bayangan untuk sesaat berhasil membuat Dewi Selen-
dang Hitam tunggang langgang. Namun perempuan ke-
jam yang memiliki ilmu dua tingkat di atas Bidadari
Tangan Bayangan, segera lakukan gerakan yang me-
nakjubkan.
Tetap dengan tangan kanan yang masih mende-
kap erat Patung Kepala Singa, dia mencelat ke depan.
Begitu kaki kirinya menjejak tanah, tubuhnya sudah
mencelat lagi ke samping. Sambaran gelombang angin
yang dilancarkan Bidadari Tangan Bayangan berhasil
dihindari. Menyusul kaki kanannya dilepaskan dengan
cara berputar, siap menyambar leher Bidadari Tangan
Bayangan.
Bila saja perempuan yang di pinggangnya melilit
kain warna merah itu tidak bertindak sigap, tak mus-
tahil lehernya akan patah seketika.
Cepat pula Bidadari Tangan Bayangan mundur
lima tindak ke belakang. Nafasnya agak memburu. Wa-
jahnya nampak mulai kelihatan pias. Belum lagi dia
lakukan tindakan apa-apa, Dewi Selendang Hitam te-
lah menderu kembali, didahului lima larik sinar hitam
yang menggebah.
"Celaka! Perempuan ini terlalu tangguh untukku!"
seru Bidadari Tangan Bayangan dalam hati. Seketika
dia bergulingan ke samping kiri.
Tatkala dirasakan Dewi Selendang Hitam terus
memburunya, Bidadari Tangan Bayangan segera
menggerakkan kedua tangannya kembali. Entah kare-
na dia telah kehilangan banyak tenaga atau tidak, ge-
rakannya nampak mulai melambat. Begitulah yang ada
di pikiran Dewi Selendang Hitam.
Namun perempuan tua berpakaian hitam ini di-
am-diam menyadari kalau itu adalah gerakan pancingan belaka. Karena di balik gerakan lambat yang diper-
lihatkan lawan, tersimpan satu kekuatan dahsyat.
Menyusul sinar putih bening menghampar dengan
kekuatan besar dan hawa panas yang tinggi. Rupanya
Bidadari Tangan Bayangan telah lepaskan jurus
'Bayangan Matahari' nya yang dahsyat.
Dewi Selendang Hitam urungkan niat menyerang
dan surut satu tindak ke belakang. Kejap itu pula dia
sudah mengibaskan tangan kirinya.
Blaaammm!
Entah yang keberapa kali benturan keras itu ter-
jadi. Menyusul muncratnya sinar putih dan hitam ke
udara disertai terbongkarnya tanah dan ranggasan
semak belukar. Suasana di sekitar sana semakin ber-
tambah panas.
Belum lagi semuanya luruh, mendadak saja ter-
dengar gemuruh angin dahsyat ke arah Bidadari Tan-
gan Bayangan yang masih belum kuasai keseimban-
gannya. Memekik tertahan perempuan berpakaian
kuning bersih ini tatkala merasakan hawa panas men-
deru ke arahnya.
Serta merta dia membuang tubuh ke samping ka-
nan. Dan...
Blaaarrr!
Gelombang angin panas yang dilepaskan Dewi Se-
lendang Hitam menghantam sebuah batang pohon
yang langsung pecah rengkah dan tumbang berdebam.
Merasa serangan lawan luput dan bersamaan se-
muanya nampak kembali di pandangan, Bidadari Tan-
gan Bayangan segera berdiri dengan penuh kesiagaan.
Agak sempoyongan dengan dada yang terasa sesak.
Namun di depan, sosok Dewi Selendang Hitam
sudah tak nampak lagi di pandangannya.
"Jahanam sial!!" serunya geram dan bermaksud
memburu. Namun tatkala terdengar suara Tri Sari lemah, perempuan berbaju kuning bersih ini mengu-
rungkan niatnya.
Segera dia mendekati Tri Sari yang nampak sema-
kin kepayahan. Apalagi tatkala benturan demi bentu-
ran terjadi yang menggoncangkan tanah hingga tu-
buhnya terkadang terlontar ke atas, membuatnya se-
makin kesakitan.
Bidadari Tangan Bayangan mendesah pendek. La-
lu segera diobatinya putri Pendekar Sutera ini.
Setelah Tri Sari nampak pulih dari keadaannya,
Bidadari Tangan Bayangan berkata, "Tri Sari... kita ha-
rus segera mengejar Dewi Selendang Hitam...."
Tri Sari menganggukkan kepalanya. "Bibik... apa-
kah kau sudah bertemu dengan Dewa Suci?"
Bidadari Tangan Bayangan menggelengkan kepa-
lanya.
"Tidak. Orangtua itu tidak ada di tempatnya," sa-
hutnya pendek. Lalu mendesah, "Aku telah lakukan
kesalahan pada Kepala Besi...."
"Bibik... menurut perempuan kejam itu, dia telah
membunuh Kepala Besi...."
"Oh! Berarti... aku belum meminta maaf atas ke-
salahanku ini...."
"Sudahlah, Bibik... kita harus segera mengambil
kembali Patung Kepala Singa...," kata Tri Sari.
Bidadari Tangan Bayangan menganggukkan kepa-
lanya. Lalu katanya, "Bila kau sudah merasa lebih
baik, kita berangkat sekarang...."
Tri Sari mengangguk dan berdiri.
Kejap kemudian, mereka segera meninggalkan
tempat itu.
***
7
Orang yang keluarkan bentakan yang membuat
Pendekar Slebor dan Kepala Besi segera palingkan ke-
pala ke arah kanan, telah berdiri tegak sejarak lima
langkah. Pandangan orang ini begitu dingin sekali.
Sesaat sunyi merebak sebelum terdengar benta-
kannya yang penuh ancaman, "Pendekar Slebor! Kau
harus membayar nyawa sahabatku si Ganda Maung!!"
Pendekar Slebor yang mengenali siapa orang ber-
pakaian biru gelap yang di dadanya terdapat selendang
putih bersilangan cuma keluarkan dengusan.
"Busyet! Rupanya kau belum puas juga kugebuk,
ya? Ayo, sini, sini! Biar kujitak kepalamu hingga jadi
benjol tujuh! Atau... kumis jelekmu itu ingin ditarik?!"
Orang yang muncul dan tak lain Gendala Maung
adanya menggeram dingin, "Jahanam keparat! Tak lagi
kupersoalkan masalah Patung Kepala Singa! Yang
kuinginkan, adalah nyawa busukmu!"
"Huh! Bila saja ada yang menjual nyawa... pasti
nyawaku akan kuberikan padamu! Tapi ya... soalnya
tidak ada yang menjual sih? Eh, ngomong-ngomong...
bagaimana kalau nyawamu yang kutukar dengan ubi
rebus? Perutku sudah keroncongan nih!"
Sementara wajah lelaki berkumis baplang itu se-
makin mengkelap, Kepala Besi diam-diam melirik Pen-
dekar Slebor. Dia sungguh tidak mengerti melihat si-
kap pemuda yang di lehernya melilit kain bercorak ca-
tur itu. Menilik sikap lelaki yang baru muncul begitu
garang dan penuh ancaman, jelas kalau memang ada
masalah di antara keduanya. Tetapi sikap Pendekar
Slebor? Bah! Begitu santainya!
Gendala Maung yang memang sedang mencari
Pendekar Slebor untuk membalas kematian sahabat
nya, jelas tak akan mau melepaskan kesempatan. Na-
mun diam-diam disadarinya kalau pemuda ini bukan-
lah tandingannya. Mengingat di saat bersama-sama
dengan Ganda Maung saja, mereka dibuat tak berku-
tik, apalagi kini menghadapi seorang diri.
Namun dendam telah membatu di hatinya. Den-
gan licik lelaki ini berkata, "Pertarungan jelas tak bisa
dihindari lagi! Kita selesaikan dalam dua jurus! Bila
kau tak bisa mengalahkanku dalam dua jurus, berarti
kau harus membunuh diri?!"
"Bagaimana bila aku berhasil mengalahkanmu?"
sahut Andika yang diam-diam menyadari apa maksud
Gendala Maung.
"Aku akan membunuh diri di hadapanmu."
"Wah! Mana bisa begitu? Aku tidak mau susah
payah mengubur mayatmu! Eh! Mengapa tidak dibalik
saja? Bagaimana bila kau yang harus mengalahkanku
dalam dua jurus?"
"Jahanam! Pemuda ini terlalu cerdik! Dia seperti
tahu maksudku! Sudah tentu aku tidak akan sanggup
mengalahkannya dalam waktu yang sesingkat itu! Ka-
laupun tadi aku berani berkata demikian, karena aku
yakin mampu menahannya dalam dua jurus!"
Habis membatin begitu, Gendala Maung mengge-
ram, "Keputusan tak bisa diubah lagi! Aku yang telah
buat peraturan!"
"Wah! Mana bisa begitu? Bagaimana kalau kita ja-
lankan gagasanku? Kau menandak seperti monyet. Bi-
la berhasil, aku akan membunuh diri di hadapanmu?
Tetapi... tidak jadi, ah. Kau inikan keturunan bangsa
monyet! Pasti kau bisa melakukannya! Ya, ya... kita la-
kukan saja apa yang kau usulkan tadi!"
Gendala Maung benar-benar mengkelap menden-
gar kata-kata orang. Tak kuasa menahan amarahnya
lebih lama lagi, dia segera menerjang ke depan.
Namun sebelum serangan itu sampai pada Andi-
ka, mendadak saja Kepala Besi sudah memapakinya.
Desss!!
Masing-masing orang surut dua tindak ke bela-
kang. Sementara Gendala Maung bertambah murka,
Kepala Besi berkata, "Andika... kau tak boleh mem-
buang waktu untuk mendapatkan Patung Kepala Sin-
ga! Lebih baik segera berangkat sekarang!"
"Huh! Kau mengganggu kesenanganku saja! Pa-
dahal kan aku ingin menjitak kepalanya!"
Sebelum Kepala Besi menyahuti kata-kata si pe-
muda, Gendala Maung sudah keluarkan bentakan,
"Pemuda keparat! Kubunuh kau!!"
Menyusul tubuhnya melesat ke depan.
Namun Kepala Besi kembali memapakinya seraya
berkata, "Jangan buang waktu lagi, Andika!"
Di tempatnya, Andika cuma garuk-garuk kepa-
lanya yang tidak gatal.
"Kalau begitu maumu ya... boleh saja. Eh! Aku ti-
tip jitakan di kepalanya, ya?!"
Setelah berkata begitu, pemuda urakan ini pun
segera berlalu. Itu memang lebih baik. Karena Andika
berpikir, dia tak boleh membuang waktu lagi. Segala
latar belakang Patung Kepala Singa telah didengarnya.
Berarti, dia memang harus memecahkan rahasia Pa-
tung Kepala Singa.
Sepeninggal Andika, Gendala Maung segera me-
numpahkan kemarahannya pada Kepala Besi. Seran-
gan demi serangan yang dilancarkannya begitu ganas
dan mengerikan. Setiap kali dia gerakkan tangan atau
kakinya, seketika menderu angin yang keras mengge-
muruh.
Namun Kepala Besi pun bukan orang sembaran-
gan. Dengan gerakan-gerakan aneh di mana dia selalu
menyerang dengan kepalanya, Gendala Maung dibuat
surut berulangkali.
Lima belas jurus pun berlalu begitu cepatnya, se-
mentara tempat yang tadi tenang itu kini telah porak
poranda disertai teriakan-teriakan membahana.
Tiga jurus kemudian, Kepala Besi sengaja mulai
mengendurkan serangannya. Karena sesungguhnya
dia memang tidak ingin melancarkan serangan lebih
lama. Yang dilakukannya, hanyalah menahan Gendala
Maung belaka dan memberikan kesempatan pada An-
dika untuk berlalu.
Padahal bila Kepala Besi tahu, usul yang dilontar-
kan oleh Gendala Maung tadi dengan mudahnya dapat
dilakukan Andika. Hanya saja, pemuda pewaris ilmu
Pendekar Lembah Kutukan itu sadar apa yang akan
terjadi nanti.
Bila dia berhasil mengalahkan Gendala Maung da-
lam dua jurus, tak mustahil Gendala Maung akan
membunuh diri di hadapannya. Hal ini jelas tak dihen-
daki oleh Andika. Makanya, dia sengaja membiarkan
Kepala Besi yang menghadapi Gendala Maung.
Sementara itu, Kepala Besi yang memang sengaja
mengurangi serangannya mencoba mencari kesempa-
tan untuk meloloskan diri. Karena dia memang tidak
mau meneruskan pertarungan itu lebih lama.
Namun apa yang dihendakinya itu telah terbaca
oleh Gendala Maung. Lelaki berkumis baplang yang
murka ini, tak mau membiarkan Kepala Besi lolos dari
setiap serangannya. Dan menilik apa yang telah mas-
ing-masing orang lakukan, jelas kalau keduanya be-
rimbang.
Dengan gusar disertai makian-makian yang me-
merahkan telinga, lelaki berbaju biru gelap ini terus
mencecar dengan ganas. Mendapati lawan terus me-
nyerangnya, membuat Kepala Besi pun tak dapat ber-
tindak ayal.
Kembali dipergencar serangannya pula. Hingga le-
tupan demi letupan yang terdengar, benturan keras
yang menyakitkan, berulang kali terjadi.
Akan tetapi, Kepala Besi tetap berkeinginan tidak
meneruskan pertarungan itu. Dalam satu kesempatan,
dia meluruk dengan kepala tertunduk.
Gendala Maung sejenak terkesiap, sebelum akhirnya
melompat ke muka dengan sikut kanan ditekuk dan
siap dihantamkan pada kepala lawan.
Memang itulah yang diharapkan oleh Kepala Besi.
Serangan kepalanya yang dilakukan kali ini, hanyalah
merupakan sebuah pancingan belaka. Karena begitu
tubuh Gendala Maung melayang naik dan siap han-
tamkan sikut kanannya, mendadak saja dengan kaki
kanan menjejak tanah, tubuh Kepala Besi berbalik ke
belakang.
Saat itulah jotosannya dilepaskan.
Bukkk!
Telak menghantam dada Gendala Maung yang ter-
suruk ke belakang. Bila saja Kepala Besi menghendaki
nyawanya, maka dengan mudahnya dilakukan. Selagi
lawan masih tak mampu kuasai keseimbangannya,
bukanlah hal yang sulit untuk lepaskan pukulan kem-
bali.
Tetapi lelaki berkepala plontos ini justru putar tu-
buh dan kejap itu pula dia berkelebat menjauh.
Sadar kalau telah terjebak oleh serangan lawan,
Gendala Maung berteriak garang. Tangan kanannya
dikibaskan ke depan. Gelombang angin yang menderu
gagal menghantam Kepala Besi karena lelaki itu telah
menjauh.
"Jahanam terkutuk!!" maki Gendala Maung keras
tetapi tidak mengejar, karena dadanya dirasakan cu-
kup nyeri.
Sesaat lelaki berkumis baplang ini keluarkan geraman dingin. Menyusul dia segera alirkan tenaga da-
lamnya guna menghilangkan rasa sakit di dadanya.
Setelah beberapa saat, lelaki ini angkat kepalanya lagi.
"Pendekar Slebor dan Kepala Besi... tunggulah
pembalasanku kelak...."
Habis keluarkan ucapan yang seperti ditujukan
pada angin yang berhembus, salah seorang dari Dua
Iblis Lorong Maut ini segera berlalu meninggalkan
tempat itu.
***
8
Pagi kembali datang. Burung-burung beterbangan
kian kemari dan keluarkan suara bercicitan yang enak
didengar. Beberapa dedaunan berguguran dan terbang
menjauh dari asalnya. Dalam kesejukan udara dan si-
nar matahari yang masih terasa suam-suam kuku,
Dewi Selendang Hitam tiba di tempat itu.
Sejenak perempuan yang dari kepala hingga seba-
gian wajahnya tertutup selendang warna hitam ini,
perhatikan sekelilingnya. Mendadak dikertakkan ra-
hangnya seraya mendesis, "Kurang ajar! Seharusnya
kubunuh saja Bidadari Tangan Bayangan dan gadis
bernama Tri Sari itu! Sungguh tak kusangka kalau ada
yang luput dari pembantaian yang kulakukan di Kuil
Putra Langit! Tetapi... nasibku masih beruntung... ka-
rena bila gadis itu mati kubunuh, niscaya aku tetap
tak akan mengetahui di mana Patung Kepala Singa be-
rada!"
Perlahan-lahan diarahkan pandangannya pada
Patung Kepala Singa yang berada di tangannya. Me-
nyusul dia segera melompat ke balik ranggasan semak
belukar. Pancaran matanya berbinar-binar gembira
tatkala kembali pandangi Patung Kepala Singa.
"Akhirnya... kudapatkan pula Patung Kepala Singa
yang sejak lama membuatku bertanya-tanya, ada apa
di balik semua ini...," desisnya gembira. "Hmmm... Ke-
pala Besi yang dulu memiliki benda ini telah mampus
di tanganku. Memang sayang, karena aku tak bisa ber-
tanya lebih lanjut tentang rahasia yang ada pada Pa-
tung Kepala Singa ini...."
Sejenak perempuan ini terdiam sebelum melan-
jutkan kata-katanya, "Kendati demikian... apa yang
kudengar selama ini tentang Patung Kepala Singa, tak
akan kubiarkan begitu saja. Satu-satunya jalan untuk
memecahkan rahasia apa yang ada pada benda ini,
adalah dengan jalan menghancurkannya. Ya, dengan
cara menghancurkannya...."
Kembali dipandanginya patung yang keluarkan
cahaya perak itu dengan pancaran mata kian berbinar.
Lalu diperhatikan sekelilingnya lagi.
Tatkala disadarinya tak ada orang lain di sana, se-
gera saja perempuan ini angkat tangan kanannya, siap
untuk memukul hancur Patung Kepala Singa.
Namun sebelum dilakukannya, mendadak telin-
ganya menangkap satu kelebatan tubuh dari kejau-
han. Sambil keluarkan dengusan, segera diurungkan
niatnya dan mengintip dari balik ranggasan semak be-
lukar.
"Pendekar Slebor...," desisnya begitu melihat siapa
orang yang berkelebat. "Celaka! Urusanku akan men-
jadi panjang. Pemuda itu sedang mencari pembantai di
Kuil Putra Langit, sekaligus mencari Patung Kepala
Singa. Keparat betul! Bila menuruti kata hatiku, sudah
kuhajar dia sekarang! Tetapi... aku tak boleh mem-
buang waktu! Rahasia Patung Kepala Singa harus ku-
pecahkan...."
Sesaat perempuan kejam ini terdiam, sebelum ak-
hirnya memutuskan untuk segera meninggalkan tem-
pat itu.
Tak lama kemudian, pemuda dari Lembah Kutu-
kan tiba sejarak tujuh langkah dari tempat Dewi Se-
lendang Hitam bersembunyi tadi. Sejenak pemuda ini
garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Patung Kepala Singa... Patung Kepala Singa...
huh! Pusing amat kepalaku ini dibuatnya?!" makinya
pada diri sendiri, karena di sana memang tidak ada
siapa pun. "Menurut cerita Kepala Besi yang ternyata
pemilik sah dari Patung Kepala Singa, patung itu me-
nyimpan sebuah rahasia yang memang sungguh me-
nakjubkan. Ada luruhan dalam cahaya perak yang
pernah dilihat Eyang Kapi Pitu... Luruhan abu... luru-
han yang tentunya berasal dari abu patung itu sendi-
ri...."
Sejenak Pendekar Slebor terdiam. Otaknya diperas
untuk memecahkan rahasia apa yang ada pada Patung
Kepala Singa.
Kemudian desisnya, "Luruhan abu... apakah ra-
hasia itu terdapat pada luruhan abu Patung Kepala
Singa? Tetapi menurut cerita Eyang Kapi Pitu yang
kudengar dari Kepala Besi... tak terdapat apa-apa pada
luruhan abu itu. Lantas... apa maksud cahaya yang
menggambarkan kepala singa kemudian menjadi luru-
han abu. Atau jangan-jangan...."
"Rupanya pemuda konyol lagi yang bertemu den-
ganku! Hei! Apakah kau sedang memikirkan betapa
bahenolnya janda yang baru saja bertemu dengan-
mu?!" terdengar seruan bernada nyaring itu yang me-
mutus jalan pikiran Andika.
Serta merta Andika palingkan kepalanya ke arah
kiri. Dilihatnya satu sosok tubuh berpakaian hitam
gombrang yang di pinggangnya melilit selendang hitam
sedang melangkah. Wajah perempuan itu dipenuhi ke-
riput. Di kepalanya yang berambut putih terdapat se-
buah sanggul kecil.
Andika tertawa. Lalu membalas, "Bagaimana aku
bisa bertemu dengan janda bahenol, bila yang muncul
justru nenek peot jelek yang bau tanah?!"
Perempuan tua yang muncul itu tertawa pula dan
berhenti sejarak tiga tindak dari hadapan Andika.
"Huh! Pemuda seperti kau ini... kambing diberi
bedak pun bisa disikat!"
"Wah! Kalau kambing itu jeleknya seperti kau...
mana aku mau Nek!"
Perempuan tua itu keluarkan dengusan. "Dasar
urakan! Ngomong-ngomong... apakah kau sudah men-
dapatkan Patung Kepala Singa dari tangan Kepala Be-
si?"
Andika menggelengkan kepalanya. "Nek! Kau telah
lakukan kesalahan bila mengatakan Kepala Besi lah
orang yang bertanggung jawab atas pembantaian di
Kuil Putra Langit!"
Perempuan tua yang bukan lain Nyi Dungga Ratih
adanya, mengerutkan kening. Lalu bertanya heran,
"Mengapa kau berpikir seperti itu?"
"Siapa dulu dong? Andika...," sahut Andika sambil
menepuk dadanya. Lalu melanjutkan, "Orang yang te-
lah lakukan pembantaian di Kuil Putra Langit adalah
perempuan tua berjuluk Dewi Selendang Hitam...."
"Dewi Selendang Hitam? Setahuku... bukankah
dia telah mengundurkan diri dari rimba persilatan se-
telah dipecundangi oleh Kepala Besi?"
"Kau benar! Tetapi perempuan itu muncul kembali
dan mengalahkan si Kepala Besi, juga menghendaki
Patung Kepala Singa yang ternyata Kepala Besi lah
pemilik sah benda itu!"
"Jangan bicara ngawur!" bentak Nyi Dungga Ratih.
"Apa-apaan kau bilang Kepala Besi pemilik sah dari
Patung Kepala Singa?!"
"Kenyataannya memang seperti itu!"
"Huh! Mengapa kau tiba-tiba seperti membe-
lanya?!" sentak Nyi Dungga Ratih dengan mata melo-
tot.
"Busyet! Mana bisa aku membelanya? Sejak per-
tama pun aku sudah menduga kalau bukan lelaki ber-
kepala plontos itu yang telah lakukan pembantaian...."
Nyi Dungga Ratih tak segera menjawab. Justru
pandangannya tak berkedip pada Andika.
"Dari mana kau tahu semua itu? Dan bagaimana
kau bisa tahu kalau Kepala Besi tak memiliki sehelai
rambut pun?"
"Pertanyaan pertamamu dengan mudah bisa ku-
jawab. Semuanya kuketahui... dari Kepala Besi sendiri.
Pertanyaanmu yang kedua pun mudah kujawab, kare-
na aku telah bertemu dengannya...."
"Hei!!" tiba-tiba saja Nyi Dungga Ratih keluarkan
seruan tertahan. Bahkan dia sampai surut satu tindak
ke belakang. Wajahnya sejenak menampakkan kehe-
ranan yang sangat. Namun kejap berikutnya, sudah
diubah lagi mimik wajahnya.
Andika yang memperhatikan diam-diam membatin
heran, "Aneh! Mengapa dia begitu terkejut? Apa yang
sebenarnya terjadi? Hmmm... bisa jadi keterkejutannya
itu dikarenakan dia tetap menyangka Kepala Besi lah
orang yang telah lakukan pembantaian di Kuil Putra
Langit."
Lalu terdengar suara Nyi Dungga Ratih, "Kapan
kau berjumpa dengannya?"
"Aneh lagi! Pertanyaannya itu seolah menggam-
barkan kalau dia merasa Kepala Besi sudah mampus!
Huh! Dasar sudah bau tanah, sudah mulai pikun ru-
panya!" kata Andika dalam hati. Kemudian berkata,
"Nek... kau ini kenapa sih? Sepertinya kau begitu he-
ran mendengar apa yang kukatakan."
"Kapan kau berjumpa dengannya?" ulang Nyi
Dungga Ratih, kali ini agak menekan.
"Baru kemarin aku berjumpa dengannya! Nah,
nah... menilik suaramu... nampaknya kau begitu tak
sabar ingin berjumpa dengannya! Jangan-jangan... le-
laki plontos itu kekasihmu ya. Nek? Tapi ya... kalau
kekasihmu, mengapa kau pernah menuduhnya? Ih!
Bagaimana sih ini?"
Nyi Dungga Ratih tak menjawab. Jelas sekali ka-
lau dia seperti sedang memikirkan sesuatu. Tahu-tahu
perempuan tua ini mengangkat kepalanya dan berkata,
"Di mana kau bertemu dengannya?"
"Busyet! Kau benar-benar sudah tidak sabar un-
tuk bertemu dengannya, ya? Wah... bila kau menghen-
daki jawaban, carikan aku makanan dulu deh! Perutku
lapar! Tidak usah yang mahal-mahal... ubi rebus juga
boleh!"
Di luar dugaan Andika, Nyi Dungga Ratih justru
keluarkan bentakan, "Jangan bertele-tele! Jawab per-
tanyaanku itu!!"
"Kutu monyet! Apa-apaan sih nenek ini? Mengapa
dia tahu-tahu jadi beringas begitu? Huh! Ini pasti dis-
ebabkan karena dia tidak percaya mendengar kata-
kataku tadi! Dan jelas pula kalau dia sebenarnya ma-
sih menyangka Kepala Besi lah yang telah membunuh
orang-orang Kuil Putra Langit. Hmm... ini harus dibe-
reskan dulu sebelum akhirnya jadi salah paham, se-
perti yang pernah dilakukan Bidadari Tangan Bayan-
gan pada Kepala Besi."
Berpikir begitu Andika segera menjawab, "Kalau-
pun kukatakan tempat di mana aku bertemu dengan
Kepala Besi, sudah bisa dipastikan kalau lelaki itu su-
dah tidak ada di sana. Berarti, kau akan percuma
mendatanginya...."
Nyi Dungga Ratih hanya mendengus.
Andika membatin lagi, "Aku tidak tahu apakah
Kepala Besi berhasil mengatasi Gendala Maung. Teta-
pi... lelaki tinggi besar itu telah pulih tenaganya setelah
bertarung dengan Dewi Selendang Hitam. Paling tidak,
bila dia memang tidak mampu mengatasi Gendala
Maung, dia bisa meloloskan diri."
Habis membatin begitu Andika berkata lagi,
"Nek... apa yang kukatakan tadi adalah sebuah kebe-
naran. Orang yang telah lakukan pembantaian di Kuil
Putra Langit berjuluk Dewi Selendang Hitam. Bukan
Kepala Besi. Sementara saat berjumpa dengannya, Ke-
pala Besi dalam keadaan terluka parah akibat perta-
rungannya dengan Dewi Selendang Hitam. Lelaki itu
menceritakan, lalu dia berlagak mampus setelah diha-
jar oleh Dewi Selendang Hitam! Bila dia tidak melaku-
kan seperti itu, bisa terjadi...."
Kata-kata Andika terputus tatkala mendengar su-
ara Nyai Dungga Ratih, "Kita berpisah di sini!"
Gondok juga Andika kata-katanya diputus seperti
itu. Makanya dia berkata, "Berpisah di sini atau di sa-
na juga sama saja! Tetapi... kau ini kenapa? Jangan-
jangan... kau lagi sakit gigi, ya?"
Tak menjawab selorohan Pendekar Slebor, perem-
puan berbaju hitam itu justru arahkan pandangannya
lekat-lekat pada Andika. Diam-diam pemuda urakan
dari Lembah Kutukan ini, menangkap sinar tak senang
dari pancaran mata itu, jelas dikarenakan pertanyaan-
nya barusan. Menyusul didengarnya suara Nyi Dungga
Ratih, tajam dan tegas, "Masih ada beberapa hal yang
harus kubuktikan dari penjelasanmu, Pendekar Sle-
bor.... Dan nampaknya, aku tak bisa menjelaskannya
sekarang...."
"Bisa atau tidak bisa toh bukan urusanku! Sudah
lah, kau pergi sana! Bila kau terus menerus berada di
hadapanku, jangan-jangan orang-orang yang meli-
hatku menyangka aku sedang bicara dengan orang-
orangan sawah!"
Nyi Dungga Ratih tak hiraukan selorohan Andika.
Setelah keluarkan dengusan, perempuan tua ini segera
berkelebat meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal Nyi Dungga Ratih, Andika membatin,
"Ada sesuatu yang aneh di sini... sesuatu yang harus
mendapatkan kejelasan dari semua ini...."
Habis membatin demikian, pemuda yang di leher-
nya melilit kain bercorak catur ini segera tinggalkan
tempat Itu, yang saat itu pula direjam sepi menggigit.
***
9
tempat Itu, yang saat itu pula direjam sepi menggigit.
***
9
Di sebuah tempat yang cukup jauh dari perte-
muan Pendekar Slebor dan Nyi Dungga Ratih, Dewi Se-
lendang Hitam menggeram sendirian di balik rangga-
san semak. Patung Kepala Singa masih berada di tan-
gan kanannya.
"Jahanam terkutuk! Rupanya Kepala Besi belum
tewas! Sial! Menilik kata-kata Pendekar Slebor, jelas
kalau sebelumnya Kepala Besi memang belum tewas!
Keparat Plontos! Dia mengelabuiku dengan berlagak
mampus! Jahanam sial!!"
Perempuan yang dari kepala hingga sebagian wa-
jahnya tertutup selendang hitam itu menggeram pan-
jang pendek. Mendadak dia keluarkan dengusan di-
iringi kata-kata, "Peduli setan dengan semua itu! Aku
harus secepatnya memecahkan rahasia Patung Kepala
Singa sebelum ada urusan lain datang."
Setelah memperhatikan tempat di sekitarnya, pe-
rempuan ini segera angkat tangan kirinya dan siap
memukul hancur patung yang memancarkan sinar pe-
rak.
Namun sebelum dilakukannya, mendadak terden-
gar suara, "Apakah kau hanya memandang sebelah
mata kepadaku? Atau... kau tak lagi menganggapku
sebagai sahabat?"
Seketika Dewi Selendang Hitam palingkan kepala
membuka lebih lebar. Di belakangnya, satu sosok tu-
buh berpakaian hijau pekat telah berdiri. Bukan den-
gan kedua kaki, melainkan dengan kedua tangannya
sementara kedua kakinya menjulang ke atas.
"Bocah Liar...," desisnya dalam hati. "Gila! Sejak
kapan lelaki jahanam bertampang bocah ini hadir di
sini? Sejak tadi aku tidak melihat dirinya...."
Orang yang keluarkan suara tadi, tertawa pelan.
Suaranya tidak enak didengar. Lalu dengan gerakan
lincah, dia putar tubuh dan berdiri tegak di atas kedua
kakinya.
Tatkala berdiri itu, sosoknya hanya setinggi bahu
Dewi Selendang Hitam. Rambutnya panjang berombak
hingga bahu. Hidungnya mancung dengan bibir tipis
yang agak memerah. Namun matanya begitu dingin
dan kejam, bahkan berkilat-kilat seperti pancarkan
niat membunuh.
Julukan Bocah Liar bukan julukan kosong belaka.
Lelaki yang sebenarnya berusia tidak jauh berbeda
dengan Dewi Selendang Hitam ini dikenal sebagai
pembunuh keji yang tak pernah memikirkan rasa belas
kasihan. Siapa pun orang yang ingin dibunuhnya, ma-
ka dia harus mati saat itu pula.
Tiga puluh tahun yang lalu, Dewi Selendang Hi-
tam memang telah menjalin persahabatan dengan Bocah Liar. Karena sesungguhnya, Bocah Liar secara ti-
dak langsung adalah gurunya. Setelah dulu dikalah-
kan oleh Kepala Besi, Dewi Selendang Hitam memang
berguru pada lelaki bertampang bocah itu. Namun Bo-
cah Liar tak pernah mau dianggap sebagai guru. Hal
itu bagi Dewi Selendang Hitam sendiri memang lebih
baik, ketimbang dia harus tinggikan segala sopan san-
tun dan tetek bengek peradaban.
Namun kehadiran Bocah Liar yang tak disang-
kanya, jelas tak membuatnya suka. Padahal seta-
hunya, lelaki bertampang bocah itu sudah memu-
tuskan untuk mengundurkan diri dari rimba persila-
tan. Kalaupun sekarang tahu-tahu muncul, sudah ten-
tu ada urusan yang tak bisa dilepaskan. Pandangan-
nya pun berubah dingin dan penuh kebencian.
"Mau apa kau muncul di hadapanku, hah?!" har-
diknya segera.
Lelaki bertampang bocah itu hanya keluarkan ta-
wa pendek. "Bila saja dulu aku tidak pernah berkata,
bahwa kau akan kujadikan sahabatku, bukan murid-
ku, sudah kuhajar kau sekarang, Dewi!!"
"Jahanam terkutuk! Kendati aku yakin dia tak
menurunkan ilmu-ilmunya padaku... tetapi aku tak
peduli! Bila dia bertindak macam-macam, akan kubu-
nuh dia!"
Habis membatin begitu, Dewi Selendang Hitam
berkata, "Lantas apa maumu, hah?!"
"Kulihat... di tanganmu ada sebuah benda yang
begitu indah dan pancarkan cahaya perak. Kalau tidak
salah, bukankah itu Patung Kepala Singa?"
"Bila iya kau mau apa, bila tidak kau mau apa?!"
sahut Dewi Selendang Hitam dan diam-diam dialirkan
tenaga dalam pada tangan kirinya.
Bukannya sahuti ucapan orang, Bocah Liar justru
tertawa keras-keras. Seperti ada hamparan angin yang
menghantam, tanah di mana dia berdiri berhamburan.
Menyusul ranting-ranting pohon yang patah beterban-
gan serta bertabrakan satu sama lain, hingga timbul-
kan suara berderak-derak.
Diam-diam Dewi Selendang Hitam jeri juga meli-
hat sebagian kecil tenaga dalam yang dipamerkan lela-
ki bertampang bocah itu. Tetapi rasa tidak sukanya
karena kehadiran Bocah Liar, membuatnya tak peduli
dengan semua itu!
"Bocah sialan! Menilik kata-katanya, dia juga
mempunyai keinginan untuk mendapatkan Patung Ke-
pala Singa! Hhhh! Biar bagaimanapun juga, akan ku
pertahankan benda yang kudapatkan dengan susah
payah ini!!" makinya dalam hati.
Lalu didengarnya kata-kata Bocah Liar di sela-sela
tawanya, "Kau nampaknya tak menyukai kehadiranku,
Dewi! Peduli setan kau suka atau tidak! Dan menilik
ketidaksukaanmu itu, jelas dikarenakan Patung Kepa-
la Singa, bukan?"
"Kalau kau sudah tahu, lebih baik menyingkir!
Hubungan kita bukanlah murid dengan guru!"
"Kupahami sekali kata-katamu itu! Kita hanya sa-
habat! Karena persahabatan itulah maka aku pu-
tuskan untuk tidak mengganggu apa yang kau hendaki
dari Patung Kepala Singa! Dan sekarang, bukankah le-
bih baik bila aku berada di sini ketimbang kau seorang
diri, Dewi?"
"Sial! Kata-katanya seperti menunjukkan kalau
dia memang tidak tertarik. Tetapi di balik semua itu,
tentunya dia akan merebut bila aku telah berhasil
memecahkan rahasia Patung Kepala Singa. Jahanam
terkutuk!!"
Kendati membatin demikian, perempuan ini ber-
kata juga, "Bila kau pegang ucapanmu itu, maka aku
akan menghargaimu!"
"Sudah tentu aku akan memenuhinya! Karena...
aku mencintaimu, Dewi!!"
Sampai surut satu langkah Dewi Selendang Hitam
mendengar kata-kata orang. Sejenak dia tak keluarkan
suara, hanya sepasang matanya menatap tak berkedip
pada lelaki bertampang bocah yang sedang tersenyum
di hadapannya.
"Gila! Pernyataan gila yang pernah kudengar! Te-
tapi... suara dan pancaran matanya begitu polos! Huh!
Kendati demikian, aku tak boleh terpengaruh!"
Habis membatin begitu, Dewi Selendang Hitam
berkata, "Bila kau memang jujur dengan yang kau ka-
takan, bantu aku memecahkan rahasia patung ini!"
"Sudah tentu aku akan membantumu.... Tetapi...."
Bocah Liar nampak seperti sengaja memutus ka-
ta-katanya sendiri. Sementara Dewi Selendang Hitam
menggeram dalam hati, "Peranan apa lagi yang akan
dimainkannya? Benar-benar manusia celaka yang
hanya membuang waktuku saja! Bila bukan dia yang
hadir, sudah kubunuh sekarang juga! Tetapi... tenaga
dan kesaktiannya dapat kupergunakan bila sesuatu
yang tak kuinginkan terjadi...."
"Apa maumu?" serunya kemudian.
Bocah Liar hanya tertawa sambil berkata, "Dewi...
apakah kedua telingamu kini sudah tuli, hingga kau
tidak menangkap gerakan yang datang ke sini? Menilik
gerakannya, orang yang datang ini memiliki ilmu yang
lumayan. Dan menilik desah nafasnya, dia jelas seo-
rang gadis...."
Seketika kepala Dewi Selendang Hitam menegak.
Diam-diam dikaguminya kesaktian yang diperlihatkan
lelaki bertampang bocah itu.
"Seorang gadis? Apakah bukan putri Pendekar Su-
tera? Tetapi, bukankah saat kutinggalkan dia bersama
dengan Bidadari Tangan Bayangan?" batinnya dan
berkata, "Bila memang dia seorang gadis, apakah kau
masih memikirkan atau bertanya kepadaku tindakan
apa yang akan kau lakukan?"
Bocah Liar tertawa keras.
"Kau memang pandai mengetahui apa yang kuin-
ginkan! Seperti dulu, kau tidak pernah marah atau
cemburu saat kuculik gadis-gadis dan kucumbu, yang
terkadang kulakukan di hadapanmu!"
"Mengapa kau tidak menyambarnya sekarang?"
"Mengapa harus kulakukan, kalau gadis itu justru
sedang menuju ke sini?!"
Habis kata-katanya, lelaki bertampang bocah yang
kenakan pakaian warna hijau gelap itu, melangkah
santai keluar dari balik ranggasan semak belukar.
Sementara itu, Dewi Selendang Hitam menjadi pe-
nasaran untuk mengetahui siapa yang datang. Dipan-
danginya sesaat Patung Kepala Singa.
"Terpaksa harus kutunda lagi keinginanku untuk
memecahkan rahasia patung ini. Biar bagaimanapun
juga, aku tak bisa mempercayai lelaki bertampang po-
los itu. Hmmm.. biarlah dia bersenang-senang dengan
gadis yang datang ini, sementara akan kupergunakan
kesempatan itu untuk memukul hancur patung ini!
Mudah-mudahan apa yang menjadi rahasia itu me-
mang ada di dalamnya...."
Memutuskan demikian, perempuan yang kepa-
lanya tertutup selendang hitam dan nampak ada sedi-
kit tonjolan, segera menyusul Bocah Liar.
Masing-masing orang tak ada yang keluarkan sua-
ra. Tegak bersisian sejarak tiga tindak.
Lima kejapan mata berikutnya, nampak satu so-
sok tubuh berpakaian ringkas biru kehijauan tiba di
tempat itu yang segera hentikan larinya. Bibir gadis
berambut dikuncir dua ini tipis memerah, terkatup ra-
pat saat sepasang mata jernihnya pandangi kedua
orang yang berbeda jenis di hadapannya.
Di hadapannya, Bocah Liar tertawa dan berkata,
"Dewi Selendang Hitam... kau lihat apa yang kukata-
kan tadi, bukan? Bagaimana? Apakah bila kugeluti ga-
dis itu kau tidak cemburu dan tetap menerima cinta-
ku?"
"Cinta taik kucing!!" maki Dewi Selendang Hitam
dalam hati. Lalu berkata dingin sementara pandan-
gannya tak berkedip pada gadis yang baru muncul,
"Apa yang hendak kau lakukan, bukanlah urusanku!
Bila kau memang menghendakinya, mengapa kau ti-
dak segera melakukan sekarang?"
"Sudah tentu akan kulakukan sekarang! Terlalu
bodoh bila kutinggalkan kenikmatan yang satu ini!"
sahut Bocah Liar tertawa. Lalu seraya maju satu lang-
kah, lelaki bertampang bocah ini berkata pada si gadis,
"Anak
manis... hendak ke manakah kau ini? Nampaknya be-
gitu tergesa-gesa sekali?"
Gadis yang tak lain Nawang Wangi adanya terdiam
dengan pandangan tak berkedip pada kedua orang di
hadapannya. Murid Bidadari Tangan Bayangan yang
baru lepas dari perbuatan terkutuk yang hendak dila-
kukan Gendala Maung membatin dalam hati, "Celaka!
Nampaknya kedua orang ini bukan orang baik-baik!
Oh.. Mengapa Dewi Suci justru mengarahkanku ke
mereka? Padahal yang kuharapkan adalah berjumpa
dengan Guru seperti yang dikatakannya."
Karena tak mendapati sahutan, Bocah Liar berka-
ta lagi, "Kendati siang sudah melangkah... tetapi udara
begitu dingin. Aku menghendakimu sebagai penghan-
gat, gadis manis?"
Memerah wajah Nawang Wangi mendengar kata-
kata orang. Saat itu pula hatinya tersinggung. Teruta-
ma tatkala teringat perlakuan Gendala Maung kepadanya.
Sambil maju selangkah dan alirkan tenaga dalam
pada tangan kanan dan kirinya, dia berseru keras,
"Manusia terkutuk! Ucapanmu begitu kotor dan menji-
jikkan! Lebih baik menyingkir dari hadapanku, sebe-
lum kau menyesal!!"
Bukannya segera sahuti ucapan orang, Bocah Liar
justru palingkan kepala pada Dewi Selendang Hitam,
agak mendongak, "Kau dengar kata-katanya, Dewi?"
Dewi Selendang Hitam mendengus. "Hhhhh! Bila
kau menghendakinya, mengapa masih banyak bica-
ra?!"
"Kau benar-benar sudah tak sabar ingin melihat
pertunjukan masyuk, ya? Akan kulakukan untukmu!!"
Habis kata-katanya, tanpa mempedulikan wajah
perempuan di sampingnya mengkelap gusar, menda-
dak saja lelaki yang tingginya hanya sebahu itu, meng-
gerakkan tangan kanannya ke depan.
Nawang Wangi yang sejenak tadi sudah bersiaga,
ternyata harus dibuat terkejut pula tatkala merasakan
hawa dingin seperti menyergap kedua kakinya. Cepat
murid Bidadari Tangan Bayangan ini angkat kedua
kakinya dan berpindah tempat.
Namun sebelum dia kembali jejakkan tanah, men-
dadak saja kedua kakinya kembali disergap hawa din-
gin.
"Heeiii!!" jeritnya tertahan dan segera hempos tu-
buh kembali.
Rupanya Bocah Liar memang tak mau membuang
waktu. Selagi tubuh si gadis semakin melambung,
dengan ringan saja kembali digerakkan tangan kanan-
nya. Kali ini serangkum hawa dingin bukan hanya siap
untuk menyergap kaki kanan dan kiri, melainkan se-
kujur tubuh si gadis.
Sudah tentu Nawang Wangi kalang kabut dibuat
nya. Dan gadis ini benar-benar tak mampu untuk
menghindar kembali. Maka saat itu pula tubuhnya se-
perti digulung oleh hawa dingin. Anehnya, tubuhnya
tidak ambruk, melainkan turun perlahan-lahan yang
kemudian seperti tangan lembut membaringkannya di
atas tanah.
Kejap itu pula terdengar makiannya, "Lepaskan
aku! Lepaskan aku!"
Di tempatnya, Dewi Selendang Hitam diam-diam
membatin, "Luar biasa! Kesaktian lelaki tua bangka
bertampang bocah ini memang hebat! Hhhh! Aku tahu
apa
maksudnya dia perlihatkan ilmu seperti itu! Tentunya
untuk melecehkanku, karena dia tak menurunkannya
kepadaku!"
Sementara Nawang Wangi mencoba berontak
sambil keluarkan makian-makian keras, Bocah Liar
sedang tertawa sendirian. Lalu sambil tengadahkan
kepalanya pada Dewi Selendang Hitam dia berkata,
"Bagaimana?"
"Jahanam! Dari pertanyaannya itu jelas kalau dia
sedang mengejekku!" maki Dewi Selendang Hitam da-
lam hati. Lalu berseru ketus, "Apa maksudmu dengan
bagaimana?"
"Apakah kau sengaja tidak segera menjauh dari
sini memang untuk melihat aku menggeluti gadis itu,
atau kau berharap aku akan melakukannya juga pa-
damu?"
Sebelum Dewi Selendang Hitam yang siap lontar-
kan makiannya, lelaki berbaju hijau pekat itu sudah
melanjutkan kata-katanya, "Jangan kuatir... aku ma-
sih sanggup untuk melayanimu!! Bahkan... berkali-kali
kau minta, akan kulayani... ha ha ha ha!!"
"Bangsat keparat!" maki Dewi Selendang Hitam
dalam hati. Hampir saja dia mengangkat tangan kirinya untuk mengepruk kepala Bocah Liar. Namun
masih disadarinya kalau dia harus mempergunakan
kesempatan itu untuk memecahkan rahasia Patung
Kepala Singa. Makanya dia berkata, "Silakan kau tun-
taskan segala keinginanmu!!"
Di luar dugaannya, Bocah Liar justru berkata,
"Dan tentunya... di dasar hatimu kau senang dengan
yang akan kulakukan ini, bukan? Karena kau dapat
pergunakan kesempatan ini untuk meneruskan niat-
mu pada patung itu! Tetapi... he he he... ingatlah, kau
tak akan lepas dari tanganku kendati kau berada di
seberang lautan sekalipun!"
Dewi Selendang Hitam hanya kertakkan rahang-
nya saja. Kejap kemudian, perempuan yang dari kepa-
la hingga sebagian wajahnya tertutup oleh selendang
warna hitam itu, segera berkelebat cepat. Namun baru
tiga tindak dia bergerak, mendadak saja satu gelom-
bang angin menderu dahsyat, menyusul hamparan si-
nar putih terang menggebubu ke arahnya.
"Heeeiiii!!" memekik tertahan Dewi Selendang Hi-
tam sambil membuang tubuh ke belakang.
Blaaaammm!!
Gemuruh angin yang melesat mendahului sinar
putih terang itu menghantam tanah yang seketika ter-
bongkar dan menerbangkan bongkarannya ke udara.
Sementara sinar putih terang tadi, seperti menambah
kedahsyatan akibat gemuruh angin yang pertama. Se-
ketika itu pula tanah yang telah terbongkar tadi, se-
makin lebar membentuk lubang yang keluarkan asap.
Kejap berikutnya, dua sosok tubuh telah tiba di
tempat itu. Yang berdiri di sebelah kanan, seorang ga-
dis jelita berambut dikuncir ekor kuda dan mengena-
kan pakaian putih-putih. Sementara yang di sebelah
kirinya, yang tadi lepaskan serangan ganasnya pada
Dewi Selendang Hitam, kenakan pakaian berwarna
kuning bersih.
Perempuan setengah baya ini yang di pinggangnya
melilit selendang warna merah, langsung keluarkan
bentakan, "Perempuan sesat! Kembalikan Patung Ke-
pala Singa kepada kami!! Jangan sampai... oh!!"
Seruannya terputus tatkala melihat satu sosok
tubuh yang dikenalnya tergolek tak berdaya di atas ta-
nah menyusul terdengar seruannya terkesiap, "Nawang
Wangi.."
***
10
Dewi Selendang Hitam segera putar tubuh meng-
hadap ke masing-masing orang yang baru datang. Se-
mentara itu, Bocah Liar hanya tersenyum sendirian
dengan pancaran mata yang dingin dan kejam.
Sebelum masing-masing orang ada yang buka mu-
lut, Nawang Wangi telah berseru keras, "Guruuuu!!"
Perempuan berpakaian kuning bersih itu cuma
menarik napas pendek. "Celaka! Mengapa Nawang
Wangi bisa berada di sini? Apakah dia tahu kalau wak-
tu lalu aku memang sengaja menahannya agar dia ti-
dak merengek untuk ikut denganku? Menilik gelagat,
nampaknya sulit bagiku untuk menghadapi apa yang
telah terjadi ini."
Dewi Selendang Hitam berkata, "Bidadari Tangan
Bayangan... kalau waktu lalu aku sengaja membiarkan
nyawamu masih melekat di badan, kali ini jangan ha-
rapkan kalau aku akan turunkan lagi belas kasihan
kepadamu...."
Perempuan yang tadi lepaskan serangan pada De-
wi Selendang Hitam dan memang Bidadari Tangan
Bayangan adanya, merandek dingin.
"Hhh! Kau boleh berbangga karena berhasil melo-
loskan diri dari tanganku! Tetapi sekarang... semua
yang kau inginkan akan pupus saat ini juga!!"
Sebelum Dewi Selendang Hitam sahuti ucapan
orang, terdengar suara Bocah Liar, "Dewi... siapakah
kedua perempuan ini? Sungguh, aku tertarik pada ga-
dis berbaju putih itu? Hmmm... sekarang aku benar-
benar memiliki dua hidangan nikmat yang tak bisa ku-
lepaskan begitu saja...."
"Jahanam terkutuk! Tutup mulutmu!!" sambar Bi-
dadari Tangan Bayangan keras. Diam-diam disada-
rinya kalau orang yang telah memperdayai muridnya
seperti itu adalah lelaki bertampang bocah yang baru-
san bicara. "Semua ini tak ada urusannya denganmu!
Lepaskan muridku!"
"Hmmm... begitu bodoh bila kulepaskan muridmu
yang montok ini, Perempuan? Dan kau... ah, aku tahu
kau sebenarnya iri melihat keberuntungan muridmu
yang akan menerima kenikmatan dariku! Tetapi... kau
tak perlu iri dan gundah, karena... kuputuskan pula
untuk membagi kenikmatan ini kepadamu!!"
"Jahanam sial!!" maki Bidadari Tangan Bayangan
keras. Saat itu pula didorong kedua tangannya ke mu-
ka.
Segera saja menghampar dua gelombang angin
dahsyat ke arah Bocah Liar, yang hanya pandangi saja
sambil keluarkan tawa.
Lalu dengan santainya, diangkat tangan kanan-
nya. Dibuat gerakan seperti mengusap dengan telapak
tangan membuka. Seperti ada sebuah tenaga yang tak
nampak, dua gelombang angin yang menggebrak ke
arahnya, putus di tengah jalan.
Blaaaammmm!!
Terkesiap bukan alang kepalang Bidadari Tangan
Bayangan mendapati serangannya diputuskan dengan
cara yang paling santai. Kejap itu pula dikertakkan ra-
hangnya. Pandangannya menyipit tajam dengan sepa-
sang pelipis yang bergerak-gerak.
"Jahanam! Siapa lelaki bertampang bocah itu? Ke-
saktiannya melebihi Dewi Selendang Hitam! Benar-
benar celaka! Menghadapi Dewi Selendang Hitam saja
aku sudah dibuat pontang-panting, apalagi ditambah
lelaki itu yang sepertinya kambrat dari Dewi Selendang
Hitam?"
Untuk sesaat perempuan berpakaian kuning ber-
sih ini terdiam dengan pandangan mengira-ngira. Di
saat lain, dia membatin kembali, "Peduli setan! Siapa
pun dan berapa pun tingkat kesaktian kedua orang ce-
laka itu, aku tak peduli! Bahkan nyawa pun akan ku-
korbankan untuk kebenaran!!"
Memutuskan demikian, Bidadari Tangan Bayan-
gan berbisik pada Tri Sari, "Tri... lebih baik kau me-
nyingkir dari sini. Biar aku yang menangani semua
ini...."
Tri Sari tahu, kalau sesungguhnya Bidadari Tan-
gan Bayangan tak akan mampu menghadapi kedua
orang itu. Gadis ini pun tak mau melepaskan kesem-
patan untuk bertarung dengan orang yang telah mem-
bunuh ayah dan saudara-saudaranya, kendati disada-
rinya pula kalau dirinyalah yang memiliki ilmu paling
rendah.
Makanya dia berkata, "Tidak, Bibik.... Biar bagai-
manapun juga, kita akan menghadapi bersama-sama.
Patung Kepala Singa harus kuserahkan pada pemilik-
nya yang sah, sesuai dengan amanat ayah sebelum
meninggal"
Diam-diam Bidadari Tangan Bayangan mendesah
masygul. Sebenarnya dia ingin mengulangi perintah-
nya lagi, tetapi tatkala disadarinya pancaran mata TriSari yang begitu bersemangat dan tak akan mengu-
rungkan niat kendati terbentur dinding tebal, dia ak-
hirnya diam saja.
Pandangannya kembali diarahkan pada Dewi Se-
lendang Hitam, "Rasanya... tak ada jalan lain untuk
segera memulai pertarungan ini!!"
Bukannya Dewi Selendang Hitam yang sahuti ka-
ta-kata orang, Bocah Liar yang berkata sambil tertawa,
"Dia benar, Dewi! Perlihatkan kemampuanmu! Kalau
bisa... jangan dibunuh! Ingin kunikmati pula tubuhnya
itu!!"
"Lelaki terkutuk!!" hardik Bidadari Tangan Bayan-
gan dan segera menghempos tubuh ke arah Bocah
Liar. Dua jotosan yang mengandung tenaga dalam
tinggi siap dilepaskan.
Namun sebelum serangannya sampai pada sasa-
ran, satu bayangan hitam telah berkelebat dan mema-
pakinya.
Plak! Plak!!
Kejap berikutnya, masing-masing orang mundur
tiga tindak ke belakang. Pandangan mata Bidadari
Tangan Bayangan kian mengkelap tatkala mendapati
serangannya dipapaki oleh Dewi Selendang Hitam. Se-
belum dia berkata, perempuan tua itu sudah menda-
hului, "Sekarang... kematian ada di tanganmu!!"
Kejap berikutnya, dengan diiringi teriakan meng-
guntur, Dewi Selendang Hitam sudah menerjang ke
muka. Bidadari Tangan Bayangan pun tak mau ber-
tindak ayal. Sesungguhnya, perempuan berpakaian
kuning bersih ini masih dibingungkan oleh berbagai
pikiran yang datang.
Patung Kepala Singa harus dapat direbutnya
kembali. Nyawa Nawang Wangi harus diselamatkan.
Namun, dia juga harus memperhitungkan nyawanya
sendiri.
Gebrakan demi gebrakan yang dilancarkan oleh
masing-masing, saat itu pula membuat suasana di se-
kitar sana dipenuhi dengan suara letupan-letupan ke-
ras. Menyusul rengkahnya tanah, terbongkarnya rang-
gasan semak belukar dan tumbangnya beberapa buah
pohon.
Tri Sari sendiri bergeser agak menjauh, sementara
Bocah Liar telah membopong tubuh Nawang Wangi
yang masih dililit hawa dingin hingga tubuhnya tak bi-
sa digerakkan.
Sesekali tangannya dengan menjijikkan menyen-
tuh bagian-bagian terlarang dari tubuh Nawang Wangi,
yang memaki-maki keras. Justru makiannya itu bera-
kibat fatal bagi Bidadari Tangan Bayangan.
Perempuan berpakaian kuning bersih yang sedang
mencoba mencecar Dewi Selendang Hitam, jadi pecah
konsentrasinya. Dipikirnya, Bocah Liar telah melaku-
kan perbuatan terkutuk pada muridnya. Makanya dia
segera tolehkan kepala.
Saat itulah Dewi Selendang Hitam menderu ma-
suk, dengan jotosan yang telah menghantam dadanya.
Desss!!
"Aaaakhhhh!!" teriakan tertahan terdengar cukup
keras, menyusul tubuh Bidadari Tangan Bayangan
yang terlempar ke belakang. Dia memang berhasil ku-
asai keseimbangannya. Namun terlihat wajahnya me-
merah. Kedua pipinya mendadak mengembung. Kejap
berikutnya, dia telah muntah darah.
Di tempatnya, Dewi Selendang Hitam berseru din-
gin, "Sudah kukatakan tadi, kali ini tak akan kuampu-
ni nyawamu, Perempuan celaka!!"
Habis kata-katanya, perempuan berpakaian hitam
itu telah menderu dahsyat ke arah Bidadari Tangan
Bayangan yang nampaknya mencoba untuk mematah-
kan serangan mengerikan itu.
Sementara itu, Tri Sari yang melihat gelagat tak
menguntungkan yang akan diterima oleh Bidadari
Tangan Bayangan, segera mencelat ke muka. Dia me-
lakukan hal itu dengan kumpulkan segenap kenekatan
dan keberaniannya. Maka....
Dess! Dess!!
Dua jotosan Dewi Selendang Hitam yang dilancar-
kan secara beruntun mempergunakan tangan kiri,
berbenturan dengan dua pukulan Tri Sari. Dewi Selen-
dang Hitam sejenak terkesiap. Kejap kemudian terden-
gar bentakannya, "Gadis celaka! Susullah ayahmu ke
akhirat!!"
Habis bentakannya, serta merta perempuan kejam
ini mengibaskan tangan kirinya. Saat itu pula mencelat
lima larik sinar hitam yang keluarkan hawa panas.
Tri Sari terkesiap kaget. Tanpa sadar dia kelua-
rkan pekikan tertahan. Tak berani untuk memapaki,
puteri Pendekar Sutera ini segera membuang tubuh ke
kanan.
Lima larik sinar hitam itu terus menderu ganas,
yang justru berbenturan dengan sinar putih bening.
Dan begitu berbenturan, kedua sinar yang sama-sama
keluarkan hawa panas itu, menimbulkan letupan ke-
ras dan muncrat ke udara.
Rupanya, Bidadari Tangan Bayangan yang baru
saja diselamatkan Tri Sari telah lakukan serangan.
Mendapati kalau Bidadari Tangan Bayangan telah
buka serangan kembali, Dewi Selendang Hitam kemba-
li mencecar. Bila saja tangan kanannya tidak sedang
mendekap erat-erat Patung Kepala Singa, niscaya
hanya dalam delapan gebrakan saja Bidadari Tangan
Bayangan akan jatuh bangun.
Kendati hanya mempergunakan tangan kiri, Bida-
dari Tangan Bayangan pun dapat didesaknya. Bahkan
satu tendangan memutar telak menghantam dada pe
rempuan berpakaian kuning itu yang langsung tersu-
ruk ke belakang. Menyusul dengan pencalan satu kaki,
Dewi Selendang Hitam sudah menderu, siap mengha-
bisi nyawa Bidadari Tangan Bayangan.
Sementara itu, Tri Sari yang telah terbebas dari
ancaman maut, bermaksud untuk mengulangi lagi
perbuatannya. Namun satu gelombang hawa dingin te-
lah melingkari kakinya. Dan seperti disentak, tubuh-
nya ambruk terlungkup.
Bocah Liar yang lakukan serangan itu tertawa,
"Dua ekor kelinci gemuk telah kudapatkan! Dewi... bu-
nuh perempuan celaka itu!!"
Hati Bidadari Tangan Bayangan semakin tak me-
nentu sekarang. Di samping dia sulit untuk hindari
gebrakan maut Dewi Selendang Hitam, juga dilihatnya
Tri Sari dalam keadaan tak berdaya. Dapat dibayang-
kan bagaimana bila dia tewas dalam pertarungan ini.
Niscaya nasib buruk akan menimpa Tri Sri dan Na-
wang Wangi, muridnya.
Diusahakan untuk mencoba memapaki serangan
Dewi Selendang Hitam. Untuk kali ini dia memang
berhasil. Namun tendangan kaki kiri Dewi Selendang
Hitam mendarat tepat di kaki kanannya, hingga mau
tak mau tubuhnya agak goyah.
Di saat dia sudah kehilangan keseimbangan, Dewi
Selendang Hitam segera memutar tubuh. Dengan pen-
calan kaki kanannya, dia meluruk deras dan siap han-
tamkan pukulannya ke kepala Bidadari Tangan
Bayangan yang terkesiap hingga kedua matanya terbe-
lalak lebar.
Namun sebelum maut menerpanya, mendadak sa-
ja satu bayangan hijau telah berkelebat dari balik
ranggasan semak sebelah kanan. Tangan kiri bayan-
gan hijau itu menyambar tubuhnya, sementara tangan
kanannya dengan enak saja memapaki pukulan Dewi
Selendang Hitam. Menyusul dengan cara yang menak-
jubkan dia menyambar sesuatu dari tangan Dewi Se-
lendang Hitam.
"Jahanam!!" maki perempuan berpakaian hitam
itu seraya mundur tiga tindak ke belakang. Wajahnya
nampak kian mengkelap, tatkala menyadari Patung
Kepala Singa sudah tidak berada di tangannya lagi.
Tatkala dia hendak keluarkan bentakan, mendadak sa-
ja suaranya seperti lenyap. Menyusul sepasang ma-
tanya membuka lebih lebar tatkala melihat siapa orang
yang telah menyelamatkan Bidadari Tangan Bayangan,
yang sekarang telah hinggap di atas tanah sejarak
sembilan langkah dari hadapannya, sementara Bidada-
ri Tangan berdiri di samping orang itu.
Kejap kemudian terdengar suaranya, geram dan
agak gemetar, "Pendekar Slebor...."
Bayangan hijau yang tadi selamatkan Bidadari
Tangan Bayangan dan tak lain memang Pendekar Sle-
bor. adanya, cuma nyengir. Lalu terdengar kata-
katanya yang konyol, "Wah! Kau sudah mengenalku
rupanya? Hmmm... pasti kau melihat lukisanku dipa-
jang di Kotapraja, ya?"
Mengkelap wajah Dewi Selendang Hitam menden-
gar kata-kata orang.
"Selain urakan, pemuda ini kuketahui memiliki
ilmu yang tinggi. Rasanya... hmm, bukankah ada Bo-
cah Liar di sini? Akan kupergunakan tenaganya untuk
menghajar pemuda dari Lembah Kutukan itu!"
Memutuskan demikian, dengan pandangan tak
berkedip, Dewi Selendang Hitam membentak, "Berani
lancang campuri urusanku berarti hendak mampus!
Kembalikan Patung Kepala Singa kepadaku!!"
"Oh! Ini toh yang namanya Patung Kepala Singa?"
sahut Andika sambil memandangi patung yang kelua-
rkan cahaya perak di tangan kanannya. "Bagus sekali!
Tetapi ya... jelas tidak pantas benda sebagus ini berada
di tangan kotor seperti tanganmu! Ih! Sudah kotor, ke-
riput lagi!"
"Jahanam! Kembalikan padaku!!"
"Enak saja main perintah! Patung ini milik Kepala
Besi! Dialah orang yang berhak memilikinya! Ngomong-
ngomong... apakah kau tidak terkejut bila kukatakan
Kepala Besi belum tewas?"
Sebelum Dewi Selendang Hitam menyahut, Andika
sudah menyambung, "Atau... kau sudah mendengar
berita itu sebelumnya? Dan sudah tentu dari mulutku,
bukan?"
"Jangan banyak mulut!"
"Benar-benar dungu nih nenek! Jelas mulutku
cuma satu, kok dibilang banyak? Mungkin kau...
aduh, sampai lupa! Kenapa sih kau menutupi wajah-
mu dengan selendang hitam itu? Atau... kau tak mau
kukenali, ya? Dan di kepalamu itu, memang penjol
atau ada sebuah sanggul?"
Sepasang mata Dewi Selendang Hitam seketika
membulat. Lagi-lagi sebelum dia membuka mulut,
Pendekar Slebor berkata, "Mengapa kau masih menu-
tupi diri, Dewi Selendang Hitam? Atau kau lebih suka
bila kupanggil... Nyi Dungga Ratih?!"
Sampai surut satu tindak perempuan berpakaian
hitam gombrang mendengar kata-kata Andika. Kejap
kemudian terdengar makiannya keras, "Jahanam! Ma-
tamu telah tajam rupanya!"
Habis bentakannya, dengan kasar Dewi Selendang
Hitam merenggut selendang yang menutupi kepala dan
sebagian wajahnya. Saat itu pula nampak seraut wajah
yang dipenuhi keriput, dengan sepasang mata agak tu-
run dan rambut putih yang disanggul ke atas. Wajah
Nyi Dungga Ratih!!
Terdengar suara Andika sambil bertepuk tangan,
"Wah! Dugaanku benar juga!"
Di tempatnya, Dewi Selendang Hitam yang ternya-
ta adalah Nyi Dungga Ratih adanya menggeram dalam
hati. "Pemuda keparat! Patung Kepala Singa harus da-
pat kurebut kembali!"
Berpikir demikian, tanpa membuang waktu lagi,
perempuan kejam ini sudah menderu ke depan seraya
mengibaskan tangan kanan dan kirinya. Sepuluh larik
sinar hitam ganas yang keluarkan hawa panas meng-
gebrak dahsyat.
Di seberang, sejenak Andika terkesiap melihatnya.
Kejap itu pula dia segera membuang tubuh ke samping
kanan seraya lepaskan pukulan yang mengandung te-
naga 'Inti Petir' dengan tangan kanannya sementara
tangan kirinya memegang Patung Kepala Singa.
Dewi Selendang Hitam yang dalam wujud aslinya
sebagai Nyi Dungga Ratih dan sebelumnya pernah
mencoba mempermainkan pemuda urakan itu, tahu
betul akan tenaga yang dilepaskan oleh si pemuda.
Makanya dia mencoba untuk tidak memapaki. (Untuk
mengetahui kapan Dewi Selendang Hitam alias Nyai
Dungga Ratih mempermainkan Andika, silakan baca:
"Patung Kepala Singa").
Sepuluh larik sinar hitam yang dilepaskannya,
menghantam ranggasan semak belukar yang langsung
pecah.
Tak mau membuang tempo, perempuan ini terus
mencecar Pendekar Slebor.
"Busyet! Ngotot amat, sih?" seru Andika sambil
menghindar dan membalas. "Ngomong-ngomong... kau
tidak bertanya bagaimana aku bisa tahu kalau di da-
lam diri Dewi Selendang Hitam terdapat sosok Nyi
Dungga Ratih?!"
"Tutup mulutmu!!"
"Ih! Jadi tidak enak nih melihat kau gusar seperti
itu! Tetapi ya... dasar aku orang baik, biar kukatakan
saja!!"
"Diaaaammm!!" makin mengkelap Nyi Dungga Ra-
tih mendengar ejekan si pemuda. Dipergencar seran-
gan demi serangannya yang saat itu pula membuat
tempat itu seperti didatangi puluhan gajah liar.
Tetapi dasar urakan, sambil terus mencoba men-
cari sela serangannya, Andika berseru, "Aku memang
belum mengenalmu sebagai Dewi Selendang Hitam! Te-
tapi, ingat perjumpaan kita yang kedua? Saat itu kau
menanyakan tentang Patung Kepala Singa?! Dan kuka-
takan kalau Kepala Besi lah pemilik sah dari patung
itu? Nah, nah! Kenapa kau heran tatkala kuceritakan
kalau aku tahu semua itu dari Kepala Besi sendiri?
Bahkan kau begitu ngotot untuk mengatakan di mana
dia berada? Wah! Saat itu pula aku menduga kalau
kau sebelumnya pernah bertemu dengan Kepala Besi!
Eiiittt! Jangan nafsu Nek!!"
Memutus kata-katanya sendiri, Andika membuang
tubuh ke belakang. Begitu kaki kanannya menjejak
tanah, tubuhnya sudah mencelat lagi ke depan. Mele-
wati tubuh Dewi Selendang Hitam yang sedang le-
paskan jotosan.
Berada di atas tubuh Dewi Selendang Hitam, An-
dika gerakkan tangan kanannya tepat ke kepala pe-
rempuan itu, yang memaki-maki sambil bergulingan.
Di luar dugaan Dewi Selendang Hitam, Andika ju-
stru meluruk turun dengan kaki kanan siap menginjak
dada tipis perempuan itu.
"Jahanam!!" makinya keras sambil terus bergulin-
gan.
Pemuda urakan ini justru tak teruskan serangan.
Dia berdiri tegak sambil cengar-cengir dan melihat De-
wi Selendang Hitam yang sedang berdiri. Menyusul dia
berkata, "Nek! Kenapa aku menduga kau pernah ber
temu dengannya? Ya... karena kau merasa heran itu!
Diam-diam kubayangkan seperti apa Dewi Selendang
Hitam! Tetapi... ya gagal! Soalnya yang terbayang cuma
kambing peot saja, sih! Busyet! Jangan melotot begitu,
dong! Lalu aku tiba pada pikiran, mengapa kau men-
jumpaiku dengan wujud Nyi Dungga Ratih? Jelas kau
mencoba mengorek setiap keterangan yang kau perlu-
kan! Tetapi ya... dasar nasib! Makanya kuikuti ke ma-
na kau pergi setelah bertemu denganku! Ya dasar na-
sib juga, baru kutemukan sekarang dan kuyakini ka-
lau di balik sosok Dewi Selendang Hitam, juga terdapat
sosok Nyi Dungga Ratih! Dan kulihat ada tonjolan di
balik selendang di kepalamu! Sama seperti sanggul
yang kulihat pada Nyi Dungga Ratih! Eh, betul lagi! Ar-
tinya apa?" Mendadak Andika tertawa sendirian. Lalu
katanya tandas, masih tertawa, "Kepalamu penjol!!"
"Jahanam terkutuk! Mampuslah kauuu!!" mengge-
ram Nyi Dungga Ratih sambil mencelat kembali. Kali
ini dilipatgandakan tenaga dalamnya. Serangan demi
serangannya lebih ganas sekarang. Dan ini membuat
Andika harus berhati-hati. Dengan mempergunakan
satu tangan untuk menyerang sementara tangan yang
satu memegang Patung Kepala Singa, membuatnya
menjadi agak kerepotan.
Diliriknya Bidadari Tangan Bayangan yang sedang
mengatur napas dengan wajah tegang.
"Hmmm... patung ini harus diselamatkan dulu...."
Memutuskan demikian, dilemparkannya Patung
Kepala Singa pada Bidadari Tangan Bayangan, "Sela-
matkan patung ini!!"
Bidadari Tangan Bayangan dengan sigap segera
menyambarnya. Namun mendadak saja dirasakan satu
gelombang angin menderu ke arahnya. Urung me-
nyambar Patung Kepala Singa, perempuan berpakaian
kuning bersih ini segera gerakkan tangan kanannya.
Blaammm!
Letupan yang cukup keras terjadi. Rupanya, Bo-
cah Liar yang paham akan gelagat, tak mau mem-
buang kesempatan untuk mendapatkan Patung Kepala
Singa. Sesungguhnya, lelaki bertampang bocah ini
memang tak menginginkan Patung Kepala Singa.
Hanya dikarenakan dia mencintai Nyi Dungga Ratih
alias Dewi Selendang Hitam, makanya dia segera men-
celat ke depan.
Namun sebelum lelaki yang tingginya hanya seba-
hu itu menyambar Patung Kepala Singa, mendadak di-
rasakan deru angin ke arahnya.
"Hei!!" Cepat dia putar tubuh bila tak mau dirinya
terkena hamparan angin keras yang datang dari arah
kiri.
Kejap itu pula Patung Kepala Singa disambar oleh
orang yang lancarkan serangan pada Bocah Liar.
Tatkala masing-masing orang hinggap kembali di atas
tanah, mereka melihat siapa orang yang menyambar
Patung Kepala Singa.
"Kepala Besi...," mendesis Bidadari Tangan Bayan-
gan. Disesahnya kini kesalahan yang pernah dibuat-
nya.
Sementara itu, Dewi Selendang Hitam yang meli-
hat siapa yang datang dan tak lain memang Kepala Be-
si adanya, menggeram gusar. Dia mencoba memu-
tuskan serangannya pada Andika dan bersiap membu-
ru Kepala Besi. Tetapi sudah tentu Andika tak akan
membiarkannya, "Lho, Iho? Mau ke mana? Sudah bo-
san bermain-main? Kalau begitu... kujitak kepalamu
sekarang!!"
Habis kata-katanya, pemuda urakan dari Lembah
Kutukan itu segera memburu dengan lepaskan puku-
lan-pukulan yang mengandung tenaga 'Inti Petir'. Be-
berapa kali terdengar suara salakan yang menggetar
kan.
Sementara itu, Bocah Liar menggeram dingin den-
gan pandangan tajam. Tanpa buang tempo lagi, lelaki
bertampang bocah ini sudah mengebrak ke muka, ke
arah Kepala Besi. Tangan kirinya lancarkan serangan,
tangan kanannya mencoba merebut Patung Kepala
Singa.
Kepala Besi yang setelah bertarung dengan Gen-
dala Maung dan segera mencari Andika, segera gerak-
kan pula tangan kirinya. Bersamaan dengan itu, dia
melompat ke belakang guna hindari sergapan tangan
kanan Bocah Liar.
Sementara itu Bidadari Tangan Bayangan yang
merasa lebih beruntung karena kehadiran Kepala Besi,
segera masuk dalam pertarungan sengit itu. Kini mas-
ing-masing orang yang sebelumnya pernah terlibat ke-
salahpahaman segera bersatu untuk menggempur Bo-
cah Liar.
Namun di luar dugaan mereka, kendati dikeroyok
berdua, Bocah Liar tetap bukanlah lawan yang dapat
dipandang sebelah mata. Lima jurus sebelumnya me-
reka memang berhasil mendesak Bocah Liar. Namun
tiga jurus berikutnya, justru mereka yang menjadi ce-
caran serangan-serangan beruntun dari lelaki bertam-
pang bocah itu.
Gebrakan demi gebrakan yang dilakukan Bocah
Liar sungguh di luar dugaan. Karena, tak ada gelom-
bang angin yang keluar, tak ada suara yang terdengar,
namun hasil setiap gebrakannya sungguh mengerikan.
Merasa sangat berbahaya, Bidadari Tangan
Bayangan berseru, "Kepala Besi! Pergi kau menjauh
dari sini! Patung Kepala Singa telah kembali padamu,
sebagai pemilik yang sah! Lebih baik kau pecahkan ra-
hasia patung itu!!"
Kepala Besi yang sedang mencoba menyerang
dengan gerakan-gerakan kepalanya yang aneh itu ber-
seru pula, "Tidak! Apa pun yang terjadi, kita akan
menghadapi bersama-sama!"
"Jangan lakukan tindakan bodoh!!"
"Benar! Kalian memang orang-orang bodoh yang
akan mampus!!" putus Bocah Liar sambil pergencar
serangannya, kali ini ke arah Kepala Besi.
Mendapati serangan semakin ganas, Kepala Besi
harus dibuat morat-marit. Dia bukan hanya berusaha
untuk selamatkan Patung Kepala Singa, tetapi juga
nyawanya sendiri.
Bidadari Tangan Bayangan keluarkan dengusan
melihat kekeraskepalaan lelaki tinggi besar berpakaian
abu-abu terbuka di bahu kanan itu. Dengan lepaskan
sinar-sinar putih bening yang mengandung hawa pa-
nas dan bikin terang tempat itu beberapa saat, perem-
puan berpakaian kuning bersih ini dapat memperjauh
jarak serangan Bocah Liar pada Kepala Besi.
Akan tetapi, Bocah Liar justru perlihatkan kelas-
nya. Mendadak saja dia putar tubuh dan hingga den-
gan kedua tangan di atas tanah sementara kedua kaki
di atas. Menyusul gerakan aneh yang diperlihatkannya
itu, dia mencecar dengan kedua kakinya. Gelombang
angin yang bergulung-gulung menderu-deru dahsyat.
Menyeret tanah dan membongkar ranggasan semak.
Bidadari Tangan Bayangan seketika menjadi pu-
cat. Begitu pula dengan Kepala Besi yang kelihatan tak
berdaya menghadapi serangan aneh Bocah Liar.
Sekali waktu, dia tersuruk jatuh tatkala dengan
gerakan yang benar-benar menakjubkan, tangan ka-
nan Bocah Liar terangkat hingga kini dia bertumpu
dengan tangan kirinya saja sementara kedua kakinya
tetap menjulang ke atas.
Satu tenaga yang tak nampak namun mengan-
dung hawa dingin, melilit kedua kaki Kepala Besi. Lalu
seperti dibetot, tubuh Kepala Besi terseret.
"Heeeiiii!!" tanpa sadar lelaki berkepala plontos ini
memekik tertahan.
Kedua matanya membuka lebih lebar tatkala dili-
hatnya bagaimana kedua kaki Bocah Liar yang menju-
lang ke atas, membuat gerakan memutar. Mendadak
saja dirasakan dua gelombang angin deras menderu ke
arahnya.
Sementara itu, sadar akan bahaya yang mengan-
cam Kepala Besi, Bidadari Tangan Bayangan membuat
gerakan nekat. Tubuhnya meluruk ke depan. Dan....
Tanpa ampun lagi tubuhnya terhantam telak dua
gelombang angin yang dilepaskan Bocah Liar. Tubuh
perempuan ini terseret jauh ke belakang. Begitu am-
bruk ke tanah, dia muntah darah.
"Gurruuuu!!" terdengar jeritan Nawang Wangi
yang tetap tak bisa menggerakkan tubuhnya.
Bukan hanya itu saja yang terjadi. Kendati Kepala
Besi selamat, namun tangan kanan Bocah Liar telah
menepak Patung Kepala Singa.
Patung itu mencelat ke atas. Dalam waktu yang
singkat, Bocah Liar melompat untuk menyambar pa-
tung itu.
Akan tetapi, satu bayangan hijau telah melompat
ke depan. Bersamaan bayangan hijau yang tak lain
Pendekar Slebor adanya memegang patung itu, kedua
tangan Bocah Liar pun memegangnya.
Kejap itu pula terjadi tarik menarik yang kuat dis-
ertai tenaga dalam yang tinggi. Menyusul masing-
masing orang kerahkan hawa panas dalam tubuh me-
reka.
Hawa panas itu berpendar dan membuat suasana
di sekitar berubah menjadi panas pula. Cukup lama
hal itu terjadi, sementara dari tubuh masing-masing
orang keluar keringat.
Lalu mendadak saja masing-masing orang terpen-
tal ke belakang disertai teriakan tertahan. Patung Ke-
pala Singa terlepas dan jatuh ke tanah.
Begitu menyentuh tanah, terdengar letupan yang
sangat keras. Menyusul muncratnya cahaya keperakan
yang menerangi segenap penjuru.
Tak ada yang berpindah dari tempatnya, tak ada
yang keluarkan suara. Patung Kepala Singa tegak di
atas tanah. Sementara itu cahaya keperakan tadi lam-
bat laun mulai menghilang dan hanya melingkari pa-
tung itu belaka.
Sebelum ada yang lakukan tindakan, mendadak
saja Patung Kepala Singa pecah seperti meledak. Ta-
nah di sekitar tempat itu muncrat naik ke udara dan
membentuk sebuah lubang kecil.
Tatkala semuanya sirap, Patung Kepala Singa tak
ada lagi di tempatnya. Yang ada hanya luruhan abu
berwarna perak yang turun naik....
SELESAI
Segera menyusul:
CINTA DALAM KUTUKAN
0 comments:
Posting Komentar