"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 02 Agustus 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE RAHASIA DI BALIK ABU

Rahasia Di Balik Abu

 

RAHASIA DIBALIK ABU

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau 

seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit


1


Suara lembut yang berwibawa itu seperti menga-

lun, membelai terbawa angin. Gendala Maung yang 

hendak merobek pakaian dalam Nawang Wangi yang 

tergeletak di atas tanah dalam keadaan tertotok, urung 

melakukan niatnya. Lamat-lamat dia segera berdiri te-

gak di sisi Nawang Wangi.

Sesaat lelaki berkumis baplang ini edarkan pan-

dangannya. Hatinya terasa tak enak mendengar suara 

tadi. Untuk sesaat dia tak membuka suara. Pandan-

gannya belum menangkap bayangan apa pun di sekeli-

lingnya.

"Hmmm... siapa gerangan orang yang berkata-kata 

seperti berpuisi itu?" desisnya kemudian dengan kedua 

tangan mengepal. Pakaiannya yang telah terbuka, ti-

dak segera dirapikan kembali. "Jahanam terkutuk! Ke-

hadirannya justru mengacaukan semua niatku! Kepa-

rat betul! Rupanya dia memang ditakdirkan mati di 

tanganku, karena lancang berani campuri urusanku!"

Sementara itu, Nawang Wangi yang bukan hanya 

tak mampu menggerakkan tubuhnya tetapi juga tak 

kuasa untuk membuka suara karena dalam keadaan 

tertotok, hanya bisa menggerakkan bola matanya saja.

Diam-diam murid Bidadari Tangan Bayangan ini 

bersyukur karena keinginan busuk Gendala Maung ja-

di terhalang. Dan dia berharap, orang yang bersuara 

tadi akan membantunya lepas dari tangan lelaki sesat 

ini.

Seperti dituturkan pada episode "Patung Kepala 

Singa", setelah berjumpa dengan Pendekar Slebor, Na-

wang Wangi meneruskan langkahnya untuk mencari 

gurunya. Dari Pendekar Sleborlah dia tahu kalau gu-

runya dalam keadaan tak kurang suatu apa, kendati

Kuil Putra Langit yang didatangi gurunya telah porak

poranda dan seluruh penghuninya tewas.

Sambil terus berkelebat mencari gurunya, Nawang 

Wangi berusaha keras memikirkan siapa yang telah la-

kukan pembantaian di Kuil Putra Langit. Dan tatkala 

teringat bagaimana dia diselamatkan oleh Pendekar 

Slebor di saat hendak terhantam pohon tumbang aki-

bat sambaran petir, wajahnya sesaat memerah. Selain

berterima kasih pada Pendekar Slebor karena bukan 

hanya sekali, melainkan dua kali diselamatkan, gadis 

ini sebenarnya ingin Pendekar Slebor mengajaknya. 

Namun dia juga sadar kalau hal itu tak mungkin bisa 

dilakukan.

Sampai kemudian dihentikan kelebatannya tatka-

la dilihatnya satu sosok tubuh berpakaian biru gelap 

dengan selendang warna putih yang bersilangan di da-

da sedang duduk terpekur di depan sebuah makam.

Karena rasa tertarik itulah yang membuat Nawang 

Wangi urung meneruskan maksud, yang justru mem-

bawa petaka bagi dirinya. Gendala Maung salah seo-

rang dari Dua Iblis Lorong Maut yang masih hidup se-

telah bentrok dengan Pendekar Slebor mendadak ber-

diri dan lancarkan setiap pukulannya guna melam-

piaskan rasa sedih dan kesalnya akibat kematian sa-

habatnya Ganda Maung di tangan Pendekar Slebor.

Dan salah satu pukulan jarak jauh yang dilepa-

kannya mengarah pada Nawang Wangi yang mau tak 

mau melompat dari persembunyiannya.

Sudah tentu kehadiran Nawang Wangi membuat 

Gendala Maung merasa mendapatkan tempat pelam-

piasan dendam dan amarahnya pada Pendekar Slebor. 

Terlebih lagi setelah mengetahui kalau gadis berpa-

kaian ringkas warna biru kehijauan itu adalah murid 

Bidadari Tangan Bayangan, musuh bebuyutannya.

Kendati Nawang Wangi berusaha bertahan sekuat

tenaga, namun dia bukanlah tandingan Gendala 

Maung. Dengan seringaian lebar, Gendala Maung 

mendekatinya. Dan di saat petaka yang ditakuti oleh 

setiap wanita akan menerpa dirinya, mendadak saja 

terdengar satu suara laksana orang berpuisi.

Saat ini Gendala Maung sedang membatin, "Gila!

Siapa orang itu? Nada suaranya begitu lembut... na-

mun di balik kelembutannya itu aku menangkap sesu-

atu yang begitu dahsyat.... Keparat betul!!"

Diam-diam lelaki berkumis baplang ini melirik

Nawang Wangi yang masih tergeletak di bawahnya. Be-

gitu mendapati lirikan mata Gendala Maung, gadis itu 

langsung melotot gusar. Matanya pancarkan sinar ke-

marahan yang dalam. Bila saja pita suaranya tidak da-

lam keadaan tertotok, sudah bisa dipastikan akan ke-

luar sumpah serapahnya.

Sesaat Gendala Maung seperti diingatkan pada 

niatnya semula. Namun dia tak mau gegabah untuk 

melakukannya sekarang tatkala disadarinya ada orang 

yang melihat dan tentunya akan menghalangi perbua-

tannya.

Mengingat hal itu, Gendala Maung mendengus gu-

sar. Kejap berikutnya dia sudah membentak, "Orang 

iseng yang suka campuri urusan orang! Cepat tam-

pakkan batang hidungmu sebelum kuhancurkan selu-

ruh tempat ini!!"

Sesaat sunyi meraja, sebelum terdengar suara 

lembut namun penuh wibawa, "Dalam setiap langkah, 

kehidupan adalah perjuangan. Baik dalam garis lurus 

maupun persimpangan. Namun tak semua langkah 

akan membawa kebahagiaan. Menindas yang lemah 

untuk menunjukkan betapa perkasanya diri, hanya 

akan menambah dosa belaka."

"Diaaaammm!!" mengguntur suara Gendala 

Maung dengan wajah mengkelap. Rasa jeri yang tadi

muncul di hatinya, perlahan-lahan mulai terkikis. Se-

bagai gantinya, dia menjadi murka mengingat keingi-

nannya terhalang. Setelah kertakkan rahangnya kuat-

kuat, dia menghardik keras, "Segera tampakkan ba-

tang hidungmu, Pengecut!!"

Kejap kemudian, kedua tangannya sudah dido-

rong ke depan, ke kanan, ke kiri dan ke belakang. Ser-

ta merta terdengar suara letupan keras yang susul 

menyusul dan rengkahnya beberapa semak belukar.

"Pelajaran rasanya memang harus diberikan, 

hingga kesadaran timbul. Ini hanya sekadar pelajaran 

belaka."

Mendengar kata-kata orang yang entah berada di 

mana itu, lelaki berpakaian biru gelap ini menjadi ber-

siaga. Kepalanya sesekali diedarkan ke sekelilingnya. 

Tenaga dalam telah dialirkan pada kedua tangannya. 

Tetapi setelah menunggu beberapa saat tak ada tanda-

tanda serangan yang muncul, kembali dia berseru, 

"Rupanya kau cuma pandai berucap namun tak berani 

berbuat! Huh! Apakah kau memang sebangsa...."

Seruan Gendala Maung terputus. Bukan dikare-

nakan dia memang sengaja memutus kata-katanya 

sendiri, melainkan dirasakan kedua kakinya menda-

dak menjadi dingin.

"Hei!!" desisnya terkesiap dan tanpa sadar surut 

satu langkah ke belakang. Segera dialirkan tenaga da-

lamnya guna menghilangkan hawa dingin itu. Namun 

semakin dialirkan tenaga dalamnya, hawa dingin itu 

semakin kuat menyergap. Bahkan perlahan-lahan di-

rasakan mulai naik ke atas.

Cukup panik Gendala Maung dibuatnya. Segera 

dialirkan hawa panasnya. Sejenak hawa dingin itu 

memang berhasil ditahan, namun bukan berarti hawa 

dingin itu akan punah. Malah semakin lama dirasakan 

semakin naik.

Mulailah dia benar-benar didera kepanikan. Terle-

bih lagi tatkala tubuhnya mulai menggigil karena rasa 

dingin itu sulit untuk ditahan.

"Keparat! Kau hanya berani membokong! Cepat 

kau keluar! Kita bertarung sampai mampus!"

"Tadi kukatakan... pelajaran akan kuberikan. Bila 

kau memutuskan untuk berlalu dari sini, pelajaran 

akan kusudahi. Tetapi bila suatu saat kau tetap berla-

ku seperti ini... jangan salahkan aku bila pelajaran 

akan kutambah...." terdengar lagi suara bernada lem-

but itu. Kali ini suara itu seperti melingkar-lingkar di 

telinga Gendala Maung.

Sementara itu, Nawang Wangi yang melihat betapa 

pucatnya wajah lelaki berkumis baplang itu tersenyum 

dalam hati. Sepasang matanya pancarkan sinar kepu-

asan yang dalam.

Sedangkan Gendala Maung sendiri mulai dirun-

dung ketakutan. Karena disadarinya kalau orang yang 

bersuara itu bukanlah orang sembarangan. Sambil 

menindih amarahnya dia berseru, "Kupenuhi permin-

taanmu!!"

Belum habis kata-katanya terdengar, lelaki berba-

ju biru gelap ini merasakan hawa dingin yang menyer-

gapnya langsung sirna. Dan keadaan ini semakin 

membuatnya bertambah ciut.

Dia tak keluarkan suara, hanya matanya yang 

memandang mencari-cari dengan geram. Setelah ker-

takkan rahangnya, kejap itu pula dia sudah berlalu 

meninggalkan tempat itu.

Sepeninggal Gendala Maung, Nawang Wangi 

menghela napas lega. Tubuhnya masih kaku. Mulut-

nya masih membuka dan sukar digerakkan. Dan men-

dadak saja dirasakan angin kecil seperti menyentuh 

tubuhnya, yang melengak sesaat.

Kejap itu pula dirasakan tubuhnya dapat digerak

kan. Menyusul dirasakan angin kecil mengenai leher-

nya, yang membuat mulutnya langsung mengatup. 

Dan dapat digerakkan kembali.

Terburu-buru murid Bidadari Tangan Bayangan 

ini duduk di atas tanah. Terburu-buru pula dirapikan 

pakaiannya yang telah dirobek oleh Gendala Maung 

dan kini memperlihatkan bayangan payudaranya pada 

pakaian dalam tipis warna hijau. Kejap berikutnya, ga-

dis berambut dikuncir dua ini segera rangkapkan ke-

dua tangan didepan dada.

"Siapa pun kau adanya... aku ucapkan terima ka-

sih yang sebesar-besarnya karena telah menolongku 

dari petaka yang mengerikan ini!!"

"Anakku... aku hanya kebetulan melalui tempat 

ini. Dan aku senang, karena aku telah mencoba untuk 

putar yang hitam menjadi putih, kendati semuanya itu 

kembali kepada orang yang bersangkutan...."

"Orang di balik angin... bolehkah aku tahu siapa 

kau adanya?"

Terdengar tawa lembut yang berwibawa. "Bukan 

maksudku untuk tidak ingin menampakkan wajah di 

hadapanmu, Anakku. Tetapi... kau cukup mengenalku 

sebagai... Dewa Suci...."

Nawang Wangi makin rangkapkan tangannya di 

depan dada. Selain memang dia tulus melakukan 

penghormatan, juga untuk menutupi payudaranya 

yang membayang di balik pakaian dalam tipis yang di-

kenakannya.

Saat berkata tubuhnya agak dibungkukkan, 

"Maafkan sikapku yang lancang itu...."

"Kesopanan yang kau miliki, akan menjadikan 

langkahmu terus berada di jalur kebenaran. Ini mem-

buktikan, betapa kau memiliki hati yang tulus.... 

Anakku... kebetulan aku membawa pakaian pula. 

Warnanyapun sama dengan pakaian yang kau kena

kan. Mungkin sudah agak kusam karena lama tak ter-

pakai. Tetapi, itu lebih baik ketimbang kau mengena-

kan pakaian yang robek itu."

Habis kata-kata itu terdengar, mendadak saja se-

helai pakaian melayang dari samping kanan Nawang 

Wangi. Gadis ini segera menangkapnya. Sejenak dia 

merasa terkejut. Karena, suara orang yang berbicara 

dengannya berasal dari hadapannya. Namun pakaian 

yang melayang itu datang dari samping kanannya. 

"Kenakanlah pakaian itu dulu...." Nawang Wangi 

cepat melompat ke balik ranggasan semak. Hanya dua 

kejapan mata saja, dia sudah muncul kembali, menge-

nakan pakaian yang diberikan Dewa Suci. Memang 

agak gombrang.

"Nah, kau sudah lebih baik sekarang. Anakku... 

pergilah ke arah timur. Di sana... kau akan bertemu 

dengan gurumu...."

Mendengar kata-kata orang yang mengaku berju-

luk Dewa Suci, Nawang Wangi seketika mengangkat 

kepalanya. Bukan dikarenakan dia akan bertemu den-

gan gurunya seperti yang dikatakan orang yang entah 

berada di mana, melainkan karena orang itu tahu ka-

lau dia sedang mencari gurunya.

Gadis cerdik ini semakin sadar akan kesaktian 

yang dimiliki orang yang entah berada di mana. Kem-

bali dia bungkukkan tubuhnya sambil berkata, "Teri-

ma kasih atas petunjukmu, Orangtua...."

"Mulailah berjalan sekarang. Karena... senja se-

bentar lagi akan datang.... Anakku, dalam setiap lang-

kah kehidupan, adalah perjuangan. Maka, kau harus 

berhati-hati...."

Nawang Wangi menganggukkan kepalanya. La-

mat-lamat gadis berkucir dua ini berdiri.

"Sekali lagi kuucapkan terima kasih atas ban-

tuanmu, Dewa Suci. Bila suatu saat aku bertemu dengan guruku, akan kuceritakan semua ini...."

"Berhati-hatilah...."

Setelah pandangi tempat di hadapannya, seolah 

dia melihat orang yang mengaku berjuluk Dewa Suci, 

Nawang Wangi segera berkelebat meninggalkan tempat 

itu.

Tiga kejapan mata sepeninggal murid Bidadari 

Tangan Bayangan, entah dari mana datangnya, men-

dadak saja di mana Nawang Wangi tadi berdiri sebe-

lumnya, telah berdiri satu sosok tubuh agak mem-

bungkuk berpakaian dan berjubah putih panjang. Wa-

jah lelaki yang berambut putih sebahu ini begitu teduh 

sekali. Kumis dan jenggotnya pun berwarna putih. Ke-

dua tangannya berada di belakang pinggul dan di per-

gelangan tangannya terdapat gelang terbuat dari giok 

berwarna hijau muda.

Orang tua yang wajahnya dilapisi kulit yang tipis 

ini menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Patung Kepala Singa... pangkal dari semua masa-

lah ini...," desisnya dengan nada lembut namun berwi-

bawa. "Tetapi, benda itu harus diselamatkan...."

Kejap kemudian, seperti datangnya yang begitu ti-

ba-tiba, di saat lenyap pun begitu tiba-tiba. Hingga ke-

jap berikutnya, tempat itu kembali didera sepi. Dua 

lembar daun gugur dan hinggap di atas makam Ganda 

Maung yang tak jauh berada dari tempatnya berdiri 

tadi.

Sunyi menggigit dalam.

***

2


Dua hari kemudian.

Satu bayangan hijau nampak berkelebat lincah, 

melompati ranggasan semak belukar, akar pohon yang 

menyembul keluar seperti tumpang tindih dan batu-

batu yang terkadang menghalangi langkah. Dari ca-

ranya berkelebat, sosok tubuh yang ternyata seorang 

pemuda berambut gondrong acak-acakan itu, nam-

paknya tak mau hentikan gerakannya. Pertanda dia 

memang sedang memburu waktu.

Namun tatkala tiba di sebuah tempat yang agak 

terbuka, si bayangan hijau yang ternyata seorang pe-

muda yang di lehernya melilit kain bercorak catur, 

hentikan kelebatannya. Tak ada napas yang terengah, 

tak ada keringat yang mengalir, pertanda kalau pemu-

da ini memiliki ilmu peringan tubuh yang cukup tinggi.

Sejenak diperhatikan sekelilingnya. Di lain kejap, 

dia sudah garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. 

Menyusul seruan-seruan gemas namun terdengar ko-

nyol.

"Ampunn! Ampunnn! Pusing betul kepalaku seka-

rang ini! Huh! Kenapa sih aku harus terlibat dalam 

urusan Patung Kepala Singa? Apa tidak ada urusan 

lain yang lebih enak? Misalnya menggoda janda mon-

tok?!"

Pemuda yang tak lain Andika alias Pendekar Sle-

bor adanya ini, geleng-gelengkan kepalanya seperti 

hendak membuang segala pikiran yang ada di benak-

nya.

"Betul-betul ampun nih! Masa sejauh ini aku be-

lum mendapatkan sesuatu yang bisa mengarah pada 

terkuaknya segala rahasia yang ada? Huh! Sampai 

saat ini saja aku belum melihat Patung Kepala Singa?!Belum lagi menemukan ke mana perginya Bidadari 

Tangan Bayangan yang sedang memburu Kepala Besi? 

Siapa sebenarnya orang yang berada di balik pemban-

taian Kuil Putra Langit? Lalu bagaimana dengan Na-

wang Wangi, murid Bidadari Tangan Bayangan? Kutu 

loncat! Benar-benar bikin kepalaku jadi mau pecah!"

Dari mengomel-ngomel tak karuan seperti itu, 

mendadak saja pemuda urakan dari Lembah Kutukan 

ini tertawa sendiri, seperti melihat satu adegan lucu di 

hadapannya.

"He he he... masa kepalaku akan pecah? Jangan 

pecah dulu, ah! Aku kan belum kawin! Belum merasa-

kan nikmatnya sorga dunia! Geboi betuuull?!!"

Memikirkan apa yang dikatakannya tadi, pemuda 

berbaju hijau pupus ini tersenyum sendirian. Lalu 

cengar-cengir tak karuan.

"Benar-benar asyik! Lebih baik cari janda montok 

saja, ah!" katanya kemudian. Sementara senyuman di 

bibirnya makin berkembang lebar, seperti menikmati 

apa yang dikhayalkannya.

Setelah bertemu dengan Nawang Wangi yang ter-

nyata adalah murid Bidadari Tangan Bayangan, Andi-

ka pun meninggalkan gadis itu setelah menceritakan 

apa yang terjadi. Sebenarnya dia tahu, kalau Nawang 

Wangi berkeinginan untuk ikut dengannya. Namun 

bagi Andika, dia merasa lebih baik berjalan seorang di-

ri dalam menuntaskan segala urusan yang masih 

membentang di matanya (Untuk lebih jelasnya silakan 

baca : "Patung Kepala Singa").

Hingga saat ini, Andika memang belum menda-

patkan titik terang dari persoalan yang dihadapinya. 

Kendati demikian, dia nampaknya mulai membaca se-

tiap urusan.

Sementara itu, mendadak saja apa yang tengah 

dikhayalkan pemuda urakan ini terputus, tatkala alat

pendengarannya yang terlatih menangkap satu gera-

kan di belakangnya. 

"Eiiittt! Ada yang datang?!" desisnya kemudian 

tanpa palingkan kepala. Tatkala alat pendengarannya

menangkap gerakan orang semakin mendekat ke 

arahnya, dengan sekali lompat saja Pendekar Slebor 

sudah hinggap di sebuah dahan pohon di hadapannya. 

Dalam keadaan rimba persilatan yang bertambah ka-

cau seperti ini, memang sukar menentukan lawan 

ataukah kawan. Terutama pada orang yang belum di-

kenalnya.

Dari atas pohon itu, pemuda pewaris ilmu Pende-

kar Lembah Kutukan ini memperhatikan ke bawah. 

Hanya dua tarikan napas dia menunggu sebelum dili-

hatnya satu sosok tubuh tinggi besar mengenakan pa-

kaian warna abu-abu yang terbuka di bahu kanannya 

bergerak agak terhuyung ke arahnya.

Hanya sekali lihat saja, Andika tahu kalau lelaki 

berkepala plontos itu sedang terluka dalam. Dan men-

dadak saja lelaki tinggi besar itu, ambruk sambil kelu-

arkan erangan. Keringat membanjiri sekujur tubuh-

nya.

"Busyet! Apa lagi ini?" desis Andika sambil garuk-

garuk kepalanya.

Hanya sekali lompat saja dia sudah berdiri di sisi 

kanan lelaki berkepala plontos itu yang nampak terke-

jut melihat kehadirannya. Jelas dari sepasang matanya 

yang agak membuka lebar. Tetapi kejap kemudian 

nampak kalau dia seperti tenang sejenak, seolah me-

nyadari kalau orang yang baru datang itu bukan orang 

yang ditakutinya.

Andika sendiri melihat perubahan sejenak tadi. 

Lalu dengan enaknya dia berjongkok diiringi tanya, 

"Kau kenapa? Siapa yang bikin seperti ini? Atau jan-

gan-jangan... kau iseng ya memukuli dirimu sendiri

karena berlagak kebal? Betul-betul busyet kalau me-

mang itu penyebabnya!"

Lelaki berkepala plontos yang tak lain si Kepala 

Besi adanya, sesaat pandangi si pemuda dengan ken-

ing dikernyitkan. Selorohan yang dilakukan si pemuda 

tadi membuatnya menarik napas dulu sebelum men-

jawab, "Tolong aku...."

Tanpa diminta pun Andika akan menolongnya. 

Bahkan akan dilakukannya tanpa peduli yang membu-

tuhkan pertolongannya adalah kawan maupun lawan. 

Tetapi dasar urakan, dia justru berkata, "Ah... kenapa 

harus repot-repot? Kau mampus pun bukan urusan-

ku...."

Kendati mulutnya berucap demikian, segera dipe-

riksanya tubuh lelaki berpakaian abu-abu terbuka di 

bahu kanan ini.

"Kura-kura bau! Di dadanya ada tanda bekas pu-

kulan. Nampaknya... bila dia tidak memiliki tenaga da-

lam kuat, pukulan itu akan menjebol dadanya. Huh! 

Bisa sekali pukul langsung mampus orang ini! Siapa 

yang telah lakukan... heiii!!" sejenak Andika memutus 

kata-kala batinnya sendiri tatkala sesuatu melintas da-

lam pikirannya.

Sementara Kepala Besi nampak terdiam dengan 

napas agak memburu, Andika terus memikirkan apa 

yang barusan singgah di benaknya sambil alirkan te-

naga 'Inti Petir' melalui kedua ibu jari kaki si lelaki.

"Dada lelaki ini akan jebol bila dia tak memiliki 

tenaga dalam dan daya tahan tubuh yang kuat. Dada 

yang jebol... dada yang jebol... bukankah para peng-

huni Kuil Putra Langit tewas dengan dada bolong? 

Jangan-jangan... orang yang telah menghajar lelaki ini 

adalah orang yang telah lakukan pembantaian di Kuil 

Putra Langit?"

(Untuk mengetahui tentang pembantaian di Kuil

Putra Langit, silakan baca : "Patung Kepala Singa").

Untuk sesaat Andika sengaja memutus jalan piki-

rannya sendiri. Terus dikerahkan tenaga 'Inti Petir' un-

tuk membantu Kepala Besi dari penderitaan yang di-

alaminya.

Lamat-lamat nampak keringat yang tadi memban-

jir, kini kian membanjir. Itu terjadi karena hawa panas 

yang keluar dari tenaga 'Inti Petir' yang dialirkan Andi-

ka, bentrok dengan hawa panas yang diderita oleh Ke-

pala Besi.

Setelah meninggalkan Bidadari Tangan Bayangan 

yang menuduhnya telah melakukan pembantaian di 

Kuil Putra Langit, Kepala Besi bertemu dengan Dewi 

Selendang Hitam, seorang tokoh dari golongan sesat 

yang sejak lama bermusuhan dengannya, terutama 

menyangkut soal Patung Kepala Singa.

Dengan cara berpura-pura tewas dalam pertarun-

gan itu, Kepala Besi berhasil selamat. Akan tetapi, dia 

tak mampu menahan luka dalamnya. Kendati sebe-

lumnya Kepala Besi telah bersemadi guna memulihkan 

keadaannya (Baca: "Patung Kepala Singa").

Sementara itu setelah cukup lama melakukannya, 

Andika melihat Kepala Besi mulai tenang. Nafasnya

pun agak teratur. Perlahan-lahan dilepaskan pegan-

gannya pada kedua ibu jari kaki Kepala Besi.

Sementara Kepala Besi masih terbaring, Andika kini 

berlutut sambil memperhatikannya. Otaknya yang

encer terus diperas untuk memikirkan tentang du-

gaannya.

"Bila memang benar dugaanku itu, berarti aku 

sudah menemukan jejak siapa pembantai di Kuil Putra 

Langit. Hmmm... sebaiknya, kubiarkan saja lelaki ini 

lebih tenang dulu."

Memang hanya itu yang harus dilakukannya guna 

membuktikan apa yang dipikirkannya. Setelah bebera

pa saat menunggu dan terus terang, agak tidak sabar, 

akhirnya terlihat si Kepala Besi membuka kedua ma-

tanya. Melirik pada Andika yang membalas sambil 

cengar-cengir.

"Beruntung aku bertemu dengan pemuda yang 

nampaknya mau menolongku. Ah... mudah-mudahan 

dia bukan salah seorang yang terpancing untuk men-

dapatkan Patung Kepala Singa. Tetapi untuk berjaga-

jaga... lebih baik ku usahakan agar tidak sampai 

membicarakan soal Patung Kepala Singa...," kata Kepa-

la Besi dalam hati.

Lalu perlahan-lahan dia mencoba bangkit. Andika 

membantunya dan menyandarkannya di sebuah ba-

tang pohon besar.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda...."

"Wah! Pertolongan yang tidak seberapa! Tetapi ba-

guslah kau masih mau mengucapkan terima kasih. Itu 

namanya tahu sopan santun. Ngomong-ngomong... 

siapa yang telah melakukan semua ini?" tanya Andika 

sambil nyengir.

"Wajahnya begitu polos. Matanya tajam namun je-

naka. Dari caranya berucap, nampak dia begitu ura-

kan. Tetapi aku tak peduli semua itu. Dan sekarang... 

apakah harus kujawab apa yang ditanyakannya baru-

san? Bagaimana kalau dia sebenarnya salah seorang 

yang mencari Patung Kepala Singa juga?"

Kepala Besi terdiam dulu seperti mempertimbang-

kan baik buruknya bila dia menjawab pertanyaan itu. 

Andika sendiri nampak tidak mau terlalu mendesak 

kendati dia penasaran untuk membuktikan apa yang 

dipikirkannya.

Kepala Besi berkata lagi dalam hati, "Bila dia bu-

kan dari golongan baik-baik, tentunya dia akan me-

maksa. Tetapi dia nampak biasa-biasa saja. Bahkan... 

ah, lebih baik kukatakan saja apa yang terjadi. Asal

jangan menyinggung soal Patung Kepala Singa...."

Berpikiran demikian, lelaki berpakaian abu-abu 

terbuka di bahu kanan ini menatap Andika sejenak. 

Lalu diceritakannya apa yang telah terjadi, tanpa men-

gatakan kalau pertarungan itu disebabkan karena De-

wi Selendang Hitam menghendaki Patung Kepala Singa 

(Silakan baca : "Patung Kepala Singa").

"Dewi Selendang Hitam...," desis Andika setelah 

Kepala Besi menceritakan semuanya. Setelah itu dia 

berkata, "Aku bukan berlaku lancang dalam hal ini... 

tetapi ya... kalau kau menganggap lancang boleh saja, 

tapi sedikit saja, ya? Apakah kau bisa menjawab bila 

kutanyakan, Dewi Selendang Hitam ada hubungannya 

dengan pembantaian di Kuil Putra Langit." 

Tersentak Kepala Besi mendengar pertanyaan itu. 

Tanpa sadar dia berucap, "Bagaimana kau tahu?"

Ganti Andika yang kaget sekarang. "Tahu? Wah! 

Cuma nebak saja kok! Tetapi betul, ya?"

Kali ini Kepala Besi mengangguk-angguk dan di-

am-diam membatin dalam hati, "Menilik pertanyaan-

nya... nampaknya pemuda ini tahu banyak. Ah, bila 

kukatakan tentang Kuil Putra Langit, pasti berhubun-

gan dengan Patung Kepala Singa. Tetapi biar ku usa-

hakan agar tidak sampai membicarakan soal Patung 

Kepala Singa. Karena... di sanalah rahasia yang telah 

kupendam selama ini bisa terbongkar."

Kembali setelah memutuskan demikian, Kepala 

Besi berucap, "Kau benar. Dewi Selendang Hitam telah 

membantai seluruh penghuni Kuil Putra Langit."

"Berarti... Bidadari Tangan Bayangan telah laku-

kan kesalahan. Sewaktu bertemu denganku, dia men-

gatakan yang telah lakukan pembantaian keji itu ada-

lah orang yang berjuluk Kepala Besi. Tetapi dari kata-

kata lelaki ini, jelas kalau yang lakukan pembantaian 

itu adalah perempuan yang berjuluk Dewi Selendang

Hitam. Dugaan Nyi Dungga Ratih berarti salah pula," 

kata Andika dalam hati. Lalu kembali diajukan tanya, 

"Tentunya ini berhubungan dengan Patung Kepala 

Singa, bukan?"

Untuk kedua kalinya Kepala Besi tak bisa menin-

dih seluruh rencananya untuk tidak sampai membica-

rakan soal itu. Kepalanya mengangguk-angguk.

Andika mendesah pendek. "Ternyata benar du-

gaanku. Tetapi... mengapa dia sampai bertarung den-

gan perempuan berjuluk Dewi Selendang Hitam? Apa-

kah dia mengetahui sesuatu tentang Patung Kepala 

Singa? Dan siapa sesungguhnya perempuan itu? 

Atau... jangan-jangan...."

Memutus kata batinnya sendiri, Andika ajukan 

tanya, "Kenalkah kau dengan Bidadari Tangan Bayan-

gan?"

Kembali Kepala Besi tak langsung menjawab. Ju-

stru dia membatin, "Pemuda ini nampaknya mengeta-

hui banyak setiap persoalan yang ada. Dan rasanya... 

aku tak bisa menutupi lagi apa yang terjadi."

Setelah membatin begitu, Kepala Besi menjawab, 

"Ya... aku mengenalnya."

"Wah! Apakah salah kalau kubilang kau telah ber-

temu dengannya dan dia menuduhmu yang lakukan 

pembantaian di Kuil Putra Langit?"

Lagi-lagi Kepala Besi menjawab, "Ya." 

Andika mengangguk-anggukkan kepalanya seraya 

berkata, "Berarti... kau adalah si Kepala Besi..."

***

3


Sesaat tak ada yang membuka suara kecuali tata

pan Kepala Besi yang kian melebar sementara Andika 

cuma cengar-cengir saja, seolah habis memenangkan 

lotre.

Masih memandangi pemuda di hadapannya, Kepala 

Besi membatin, "Dia benar-benar tahu banyak. Kuil 

Putra Langit. Patung Kepala Singa. Bidadari Tangan 

Bayangan. Bahkan tahu pula siapa aku. Hmmm... sia-

pa dia sebenarnya?"

Lalu perlahan-lahan Kepala Besi bertanya, 

"Anak muda... setiap yang kau tanyakan mengandung 

kebenaran. Dalam setiap ucapanmu, mengandung ke-

jujuran, hingga aku sulit untuk mengalihkan perta-

nyaanmu. Siapakah kau sebenarnya?"

Kali ini Pendekar Slebor hanya mengangkat se-

pasang alisnya yang seperti kepakan sayap elang sam-

bil garuk-garuk kepalanya. Andika memang paling ti-

dak enak menyebutkan julukannya sendiri. Karena 

Andika yakin, kalau dia tidak 'slebor' (bah!).

Masih garuk-garuk kepalanya, pemuda urakan ini 

berkata, "Namaku Andika. Aku datang dari Lembah

Kutukan...."

Andika sengaja menghentikan kata-katanya den-

gan harapan lelaki berkepala plontos itu akan menge-

nalinya dan menyebutkan julukannya. Tetapi hara-

pannya gagal (sok ngetop sih).

"Bolehkah kutahu julukanmu?"

"Wah! Kacau juga! Julukanku... Pendekar Slebor. 

Tetapi perlu diingat dan dicamkan baik-baik, aku tidak 

'slebor', lho. Cuma ya... rada-rada saja...," sahut Andi-

ka disusul dia tertawa gede-gede.

Mendengar julukan itu disebutkan, nampak wajah

Kepala Besi kian tenang. Kemudian katanya, "Aku per-

nah mendengar julukanmu itu."

"Busyet! Kenapa cuma julukanku saja, sih? Kena-

pa tidak tahu nama asliku dan dari mana aku datang?" sahut Andika seperti menyalahi.

Kepala Besi tersenyum. Masih tersenyum dia ber-

kata, "Kau memang tidak 'slebor'...."

Andika langsung mesem-mesem senang.

"Tetapi keblinger!"

Andika langsung melengak hingga kepalanya se-

perti terlempar ke belakang. Tetapi kemudian ketawa 

gede-gede, yang benar-benar tidak enak didengar.

Kepala Besi membatin, "Yang kayak begini tidak 

slebor? Benar-benar edan kalau begitu...."

Lamat-lamat tawa Andika mulai mereda. Lalu 

sambil garuk-garuk kepala dia berkata, "Daripada keb-

linger, lebih baik slebor sajalah!"

Kepala Besi cuma tersenyum. Sekarang dirasakan 

kondisi tubuhnya semakin membaik. Aliran darahnya 

mulai terasa normal sementara nafasnya pun mulai te-

ratur.

Sambil pandangi Andika yang masih garuk-garuk 

kepalanya, lelaki berpakaian abu-abu terbuka di bahu 

kanan ini membatin, "Tak kusangka kalau aku ber-

jumpa dengan Pendekar Slebor, tokoh muda yang be-

rada di jalan lurus. Ah, cukup banyak sebenarnya para 

pendekar yang kutahu namanya tetapi tak kutahu se-

perti apa rupanya. Mungkin, karena bertahun-tahun 

belakangan ini aku hanya memusatkan pikiran pada 

Patung Kepala Singa dan Dewi Selendang Hitam...."

Kepala Besi sesaat menghentikan kata batinnya, 

lalu melanjutkan, "Nampaknya... pemuda ini tahu ba-

nyak tentang urusan yang ada. Rasanya pula, seluruh 

rahasia yang kupendam selama ini memang akan ter-

kuak. Ketimbang Dewi Selendang Hitam yang sejak du-

lu memburuku untuk mendapatkan Patung Kepala 

Singa yang buka mulut, lebih baik kukatakan saja pa-

da pemuda ini mumpung kuyakini dia adalah orang

baik-baik."

Sementara itu, Andika yang dipandangi menjadi 

jengah. Segera saja keluar selorohannya yang konyol, 

"Busyet! Hei, Botak! Apa kau pikir aku ini seorang ga-

dis hingga matamu jadi sebesar jengkol, hah?!"

Dikatai seperti itu justru terbahak-bahak. Seka-

rang Andika yang kerutkan keningnya.

"Kutu monyet! Jangan-jangan... orang ini sudah 

kemasukan setan lagi?!" desisnya dalam hati.

Kepala Besi yang selama hidupnya memang jarang 

sekali bergurau, tak marah dipanggil seperti itu. Dan 

kalaupun tadi dia telah memutuskan untuk mengata-

kan segala rahasia yang dipendamnya pada Andika, 

kali ini keputusan itu bertambah kuat. Karena dia ya-

kin, sudah saatnya membuka rahasia yang telah lama 

dipendamnya. Apalagi, urusan ini bisa berkembang 

panjang dan menjadi salah paham. Terutama, pada 

Bidadari Tangan Bayangan yang diyakininya masih 

memburunya karena menyangka dialah yang telah la-

kukan pembantaian di Kuil Putra Langit.

Tetapi sebelum diutarakan maksudnya, Andika 

justru telah berkata, "Ada yang hendak kutanyakan 

kepadamu, Kepala Besi... eh! Apa benar kepalamu se-

keras besi, ya?"

Habis memutus kata-katanya sendiri, pemuda 

urakan ini dengan enaknya menjitak kepala lelaki di 

hadapannya.

Tak!

"Waadaaaaauuuuu!!"serunya konyol padahal dia 

tidak merasa kesakitan. Lebih konyol lagi, buku-buku 

jari-jarinya ditiup-tiup dengan wajah dibuat meringis. 

"Betul-betul terbuat dari besi, nih!"

Lagi-lagi Kepala Besi bukannya marah malah kian 

keras tawanya. Andika kembali geleng-gelengkan kepa-

la.

"Benar-benar sudah kesambet nih! Hmmm... kini

persoalan mulai jelas. Kepala Besi bukanlah orang 

yang bertanggung jawab atas pembantaian di Kuil Pu-

tra Langit. Orang itu berjuluk Dewi Selendang Hitam. 

Tetapi menurut jawabannya tadi, Dewi Selendang Hi-

tam justru memburunya untuk mendapatkan Patung 

Kepala Singa. Berarti, setelah mendengar berita kalau 

Patung Kepala Singa didapatkan secara tak sengaja 

oleh Pendekar Sutera, Dewi Selendang Hitam langsung 

memburunya. Namun gagal mendapatkan benda yang 

dicarinya...."

Sementara Kepala Besi masih terbahak-bahak, 

Andika melanjutkan kata-kata dalam hatinya, "Lalu 

dia bertemu dengan Kepala Besi dan menyangka Kepa-

la Besi telah mengambil Patung Kepala Singa. Tetapi 

menilik kata-katanya, jelas kalau dia tidak mengambil 

benda itu bahkan baru tahu kalau terjadi pembantaian 

di Kuil Putra Langit. Lalu... ke manakah Patung Kepala 

Singa? Bila memang ada yang membawanya, siapa 

orangnya?"

Andika terdiam sambil mencubit-cubit dagunya. 

Alisnya yang hitam legam dan menukik laksana kepa-

kan sayap elang, berkerut bersama keningnya.

Dan mendadak saja diarahkan pandangannya pa-

da si Kepala Besi yang masih terbahak-bahak.

"Kalau memang seperti ini, apakah tidak mungkin 

kalau Kepala Besi lebih tahu banyak tentang Patung 

Kepala Singa? Tak mungkin Dewi Selendang Hitam 

memburunya tanpa sebab yang pasti. Atau jangan-

jangan... dia justru ada hubungannya dengan Patung 

Kepala Singa? Dalam arti... riwayat patung itu sendi-

ri...."

Sementara itu, Kepala Besi yang mulai reda ta-

wanya, berkata sambil melotot, "Kenapa lihat-lihat? 

Apakah kau pikir aku ini janda kembang yang punya 

tubuh montok, hah?!"

Andika tertawa mendengar selorohan yang secara 

tak langsung mengulangi selorohannya tadi.

Setelah beberapa saat, pemuda urakan ini segera 

ajukan pertanyaan sehubungan dengan apa yang dipi-

kirkannya, "Kepala Besi... aku tidak tahu banyak ten-

tang asal-usul Patung Kepala Singa. Hanya yang ku-

dengar dari Bidadari Tangan Bayangan, kalau Pende-

kar Sutera mendapatkannya secara tidak sengaja di 

saat sedang bersemadi. Lantas Dewi Selendang Hitam 

memburumu karena menyangka kau telah menda-

patkan Patung Kepala Singa. Tetapi... ih! Aneh, ya? 

Kok aku berpikiran, kalau kau sebenarnya mempunyai 

hubungan erat dengan Patung Kepala Singa? Eh, betul 

tidak dugaanku?

Kepala Besi yang tadi memutuskan untuk menga-

takan apa yang selama ini dipendamnya, menghela 

napas sejenak sebelum menganggukkan kepala.

"Kau benar, Andika.... Bahkan, akulah pemilik sah 

Patung Kepala Singa...."

Andika mendesah napas pendek. "Ternyata du-

gaanku betul lagi. Ih! Betul-betul cerdik nih otak!" (Bu-

syet, kok muji sendiri! Dasar kurang kerjaan!).

Kemudian katanya, "Bersediakah kau untuk mene-

rangkan, mengapa kau menganggap dirimu sebagai 

pemilik sah dari Patung Kepala Singa?"

"Aku bukan menganggapnya, karena aku memang 

pemiliknya," sahut Kepala Besi.

Sementara Andika menganggukkan kepalanya, 

perlahan-lahan Kepala Besi bercerita.

***

4


Empat puluh tahun yang lalu, disaat Kepala Besi 

berusia sekitar tujuh belas tahun, dia adalah murid 

dari Eyang Kapi Pitu. Sejak berusia lima tahun si Ke-

pala Besi yang bernama asli Wajayatika, telah menun-

tut ilmu dari Eyang Kapi Pitu.

Genap dia berusia tujuh belas tahun, Wajayatika 

yang sejak lahir memang di kepalanya tak tumbuh 

rambut sehelai pun, dipanggil menghadap kepada 

Eyang Kapi Pitu.

Banyak wejangan demi wejangan yang disampai-

kan Eyang Kapi Pitu pada Wajayatika. Bahkan perte-

muan yang tak biasanya itu berlangsung hingga dua 

hari dua malam. Menjelang senja menuju malam keti-

ga, Eyang Kapi Pitu berkata, "Sebenarnya... ada satu 

amanat yang akan kusampaikan kepadamu, Wijaya."

Wajayatika segera rangkapkan kedua tangannya 

di depan dada. Sesungguhnya, dia amat tersiksa sekali 

dengan rasa kantuk yang terus menyerang. Namun di-

tahannya agar dia tidak sampai tertidur. Selama dua 

hari dua malam duduk bersila bukanlah satu peker-

jaan enak. Darahnya seperti berhenti dan terhimpun 

pada kedua lututnya yang tertekuk. Sementara ping-

gangnya mulai terasa linu dengan kepala sedikit pus-

ing.

Lelaki berusia sekitar enam puluh tahun pada 

waktu itu, mengusap jenggotnya yang putih meman-

jang. Dia tak memiliki kumis. Wajahnya begitu arif 

dengan sorot mata teduh. Eyang Kapi Pitu mengena-

kan pakaian panjang warna abu-abu. Kalau Wajayati-

ka duduk bersila di atas tanah, Eyang Kapi Pitu duduk 

bersila di sebuah batu sebesar kambing dewasa.

Dan dia sama sekali tak mengantuk, bahkan justru makin kelihatan bertambah segar.

Eyang Kapi Pitu terdiam dulu sebelum berkata, 

"Wajaya... tatkala aku berusia sekitar tiga puluh lima 

tahun, aku melihat sebuah pohon besar yang tumbuh 

di sebuah hutan. Aku sama sekali tak mengetahui hu-

tan apakah itu. Sebenarnya, tak ada keanehan pada 

pohon besar itu, karena pepohonan yang tumbuh di 

sana, sama besarnya. Hanya saja, pohon itu seperti 

memancarkan sinar keperakan yang sangat indah. Te-

rus terang, aku sangat tertarik pada pohon itu. Yang 

menarik lagi, bila malam tiba, pancaran sinar perak

yang keluar dari pohon itu, seperti menggambarkan 

wajah seekor singa. Begitu anggun dan bersahaja. Ka-

rena rasa tertarik itulah, aku segera membangun se-

buah gubuk kecil untuk tempat tinggal. Dan selama 

lima tahun aku tinggal di dekat pohon aneh itu...."

Eyang Kapi Pitu menghentikan kata-katanya. Se-

mentara itu, Wajayatika merasa kantuknya seakan 

menghilang. Dia sangat tertarik, sekaligus takjub men-

dengar cerita gurunya.

"Lalu apa yang terjadi, Eyang?" 

"Tak ada yang terjadi selama lima tahun itu, 

Anakku... kecuali bila malam tiba sinar perak itu tetap 

menggambarkan wajah seekor singa jantan. Namun 

pada suatu malam, tatkala aku sedang memandangi 

pohon itu dari dalam gubuk yang kubangun, aku dike-

jutkan oleh sesuatu yang memang sungguh sangat 

mengejutkan...." 

"Apakah itu, Eyang?"

"Kalau biasanya sinar perak itu selalu menggam-

barkan wajah singa, kali ini lambat laun wajah singa 

itu menghilang. Justru yang tergambar, luruhan abu 

berwarna perak, yang turun naik. Semula kupikir aku 

salah melihat, namun kejadian itu tetap berlangsung 

hingga satu bulan lamanya. Sungguh, aku tidak bisa

mencernakan apa yang telah terjadi atau makna apa 

yang tersirat. Bahkan secara jujur kukatakan, bahkan 

sampai saat ini aku masih belum tahu apa arti semua 

itu...."

Kali ini tak ada yang bersuara. Beberapa dedau-

nan trembesi berguguran dihembus angin senja. Di 

hamparan mata langit sebelah barat, terlihat burung-

burung beterbangan bermandikan semburat cahaya 

matahari,

"Eyang... apakah pohon itu masih ada hingga saat 

ini?" tanya Wajayatika kemudian.

Eyang Kapi Pitu mengusap jenggotnya sambil 

menggelengkan kepala.

"Tidak. Pohon itu sudah tidak ada lagi."

"Apakah pohon itu...."

"Tidak, Anakku. Pohon itu tidak tumbang ataupun 

lenyap. Tetapi... pohon itu telah kutebang." 

"Oh! Mengapa, Eyang?"

"Aku sendiri tidak tahu mengapa aku sampai me-

nebangnya. Mungkin semua itu kulakukan, dikarena-

kan aku merasa harus memecahkan rahasia apa yang 

terdapat pada pohon itu. Ada rasa penyesalanku saat 

pohon itu telah tumbang. Lalu dikarenakan pohon 

tumbang itu dapat menghalangi jalan, maka segera 

kucacah seperti kayu bakar. Namun yang menge-

jutkan, tatkala bagian tengah pohon itu kubelah, se-

suatu terjatuh dari sana."

"Apakah sesuatu itu, Eyang?"

"Sebuah patung berkepala singa."

"Patung Kepala Singa?" terbelalak Wajayatika 

mendengar jawaban gurunya. Sesungguhnya, dia mu-

lai merasa pusing sendiri mendengar setiap kelanjutan 

cerita gurunya yang bila dipikir jernih seperti tak ma-

suk akal.

"Kau benar. Patung Kepala Singa."

"Apakah patung itu masih ada?"

"Sampai sekarang masih ada. Selalu kusimpan 

karena hanya itulah kenang-kenangan yang kuda-

patkan dari pohon besar aneh yang mengeluarkan ca-

haya perak dan menggambarkan wajah singa serta lu-

ruhan abu."

Habis kata-katanya, Eyang Kapi Pitu menepuk 

tangannya tiga kali. Dan entah dari mana datangnya, 

mendadak saja di telapak tangan kanannya telah ter-

dapat sebuah benda yang memancarkan cahaya kepe-

rakan. Sebuah patung berkepala singa.

Wajayatika memandang takjub tanpa kedip.

"Luar biasa... sungguh kejadian yang luar bi-

asa...," desisnya dalam hati. Lalu berkata, "Eyang... bo-

lehkah aku melihat lebih dekat patung itu?"

"Kau bukan hanya boleh melihatnya lebih dekat, 

bahkan mulai saat ini, Patung Kepala Singa menjadi 

milikmu."

"Maksud Eyang... Eyang menghadiahkan patung 

itu kepadaku?" ulang Kepala Besi dengan dada berde-

bar.

"Aku bukan sekadar menghadiahkan kepadamu. 

Tetapi aku ingin kau menjaga, merawat, dan meme-

cahkan rahasia apa yang tersimpan pada patung ini. 

Wijaya, usiaku semakin lama akan bertambah. Semen-

tara hingga usia yang memasuki senja ini, aku belum 

juga dapat memecahkan rahasia apa yang tersimpan 

pada pohon itu, yang kini kuyakini telah berada pada 

patung ini. Kuharap... kau dapat melanjutkan keingi-

nanku untuk memecahkan rahasia Patung Kepala Sin-

ga...."

Lalu perlahan-lahan Eyang Kapi Pitu menjulurkan 

tangan kanannya. Dan dengan berhati-hati Wajayatika 

mengambil patung itu. Diamat-amatinya dengan sek-

sama dan lambat laun matanya kian memancarkan si

nar kekaguman.

Kemudian sambil angkat kepalanya dia berkata, 

"Eyang.. aku berjanji, akan kupecahkan rahasia apa 

yang tersimpan di balik patung ini...."

Eyang Kapi Pitu tersenyum.

"Aku senang mendengar janjimu itu. Wijaya... ma-

lam ini juga, kau harus segera meninggalkan tempat 

ini."

Kalau tadi dia terkagum-kagum, kali ini melengak 

mendengar kata-kata gurunya.

"Apa maksud, Eyang?"

Eyang Kapi Pitu tersenyum. "Tadi kukatakan, 

usiaku semakin lama kian bertambah tua. Sementara 

kau, masih sedemikian muda. Inilah saatnya bagimu 

untuk melihat dunia luar. Aku bukanlah seorang pen-

dekar tangguh, hingga rasanya, kau belum cukup ba-

nyak mendapatkan ilmu kendati kau telah menda-

patkan seluruh ilmu yang kumiliki. Pesanku hanya 

dua. Pertama, kau harus selalu bertindak pada jalan 

kebenaran. Kedua, jaga Patung Kepala Singa agar jan-

gan sampai jatuh ke tangan orang lain. Bahkan, kau 

tidak boleh meninggalkannya dalam waktu yang cukup 

lama. Aku tak mengerti mengapa kukatakan ini pada-

mu. Hanya karena aku sangat menyayangi benda itu 

dan tak ingin jatuh ke tangan orang lain sebelum kau 

memecahkan rahasianya."

Wajayatika cuma menganggukkan kepalanya 

sambil menarik napas.

"Baiklah, Eyang... akan kuingat setiap pesanmu itu."

"Berangkatlah sekarang juga. Ingat, sampai lang-

kah kesepuluh kau jangan menoleh lagi ke arahku. 

Pada langkah kesebelas, kau boleh menoleh."

Sekali lagi Wajayatika menganggukkan kepalanya. 

Perlahan-lahan dia segera bangkit. Setelah membung-

kukkan tubuh, sambil membawa Patung Kepala Singa,

pemuda berkepala plontos itu pun segera melangkah.

Diusahakan untuk tidak tolehkan kepala sebelum 

tiba pada langkah kesebelas. Setelah memasuki lang-

kah kesebelas, dia baru tolehkan kepala.

Dilihatnya gurunya sudah tidak ada di tempat 

semula. Pemuda ini menarik napas pendek seraya ber-

kata, "Akan kujalankan apa yang kau pesankan, 

Eyang."

Mulailah Wajayatika bertualang. Dalam setip 

langkahnya dia selalu teringat akan pesan-pesan gu-

runya untuk selalu bertindak di jalan lurus. Pada usia 

kedua puluh lima, karena sepak terjangnya yang selalu 

memberantas golongan sesat, orang-orang dari bagian 

timur menjulukinya si Kepala Besi. Karena Wajayatika 

selalu mempergunakan jurus anehnya dengan kepala 

bila dia sudah dalam keadaan terdesak.

Pada usia kedua puluh delapan, Kepala Besi ber-

temu dengan Dewi Selendang Hitam. Semula perte-

muan itu tidak disengaja. Karena pada suatu senja di 

sebuah dusun, Dewi Selendang Hitam sedang menga-

muk. Perempuan yang dari kepala hingga sebagian wa-

jahnya tertutup oleh selendang warna hitam itu, ingin 

menguasai dusun tersebut.

Kepala Besi pun merasa terpanggil untuk menga-

tasinya. Dalam pertarungan pertamanya, dia memang 

berhasil mempecundangi Dewi Selendang Hitam. Na-

mun setelah lima tahun kemudian mereka bertemu 

kembali, justru keadaan berbalik.

Dewi Selendang Hitam yang rupanya terus melatih 

diri dan mendendam pada Kepala Besi, berhasil men-

galahkannya. Kepala Besi memang berhasil melarikan 

diri. Tetapi dua tahun kemudian, mereka tak sengaja 

bertemu kembali.

Pertarungan terjadi lagi. Saat itulah Dewi Selen-

dang Hitam menyadari, kalau setiap perjumpaannya

dengan si Kepala Besi, lelaki berkepala plontos itu se-

lalu membawa Patung Kepala Singa. Karena berpikir 

kalau benda itu bukan benda sembarangan, Dewi Se-

lendang Hitam berusaha untuk merebutnya.

Tetapi gagal karena Kepala Besi berhasil melarikan di-

ri. Namun itu bukanlah pertemuan mereka yang te-

rakhir. Karena dua bulan kemudian, Dewi Selendang 

Hitam yang makin menginginkan Patung Kepala Singa 

dan terus memburunya, berhasil menahan langkah 

Kepala Besi.

Pada pertarungan yang kesekian ini, kembali Ke-

pala Besi berhasil dikalahkan. Bahkan bila dia tidak 

segera meraup pasir dan melemparkannya ke wajah 

Dewi Selendang Hitam, bukan hanya Patung Kepala 

Singa yang akan pindah tangan. Tetapi nyawanya akan 

putus saat itu pula!

Di sebuah tempat yang sepi, Kepala Besi berusaha 

untuk menyembuhkan luka dalamnya. Diam-diam dia 

pun yakin, kalau Dewi Selendang Hitam tak akan per-

nah melepaskannya. Karena tak ingin Patung Kepala 

Singa dapat direbut oleh Dewi Selendang Hitam se-

mentara keadaannya masih belum sembuh betul, Ke-

pala Besi memutuskan untuk menguburkannya.

Namun setelah beberapa tahun lewat, Kepala Besi ti-

dak pernah bertemu lagi dengan Dewi Selendang Hi-

tam. Sampai kemudian dia teringat untuk mengambil 

kembali Patung Kepala Singa. Namun alangkah terke-

jutnya lelaki berkepala plontos itu tatkala tidak mene-

mukan Patung Kepala Singa pada tanah di mana dia 

menguburkannya.

Diusahakan untuk mencoba berpikir lebih jernih 

sambil menahan kesabarannya. Namun setelah tempat 

itu terbongkar semua, dia tetap tak menemukan Pa-

tung Kepala Singa!

"Gila!" serunya gusar dengan hati cukup kalang

kabut. "Siapa yang telah membongkar tanah itu? Siapa 

yang telah mengambil Patung Kepala Singa?!"

Diingat-ingatnya siapa saja orang yang tertarik 

pada Patung Kepala Singa. Dan satu-satunya orang 

yang singgah pada pikirannya adalah, Dewi Selendang 

Hitam.

Seketika rasa penasarannya menjadi kemarahan. 

"Jahanam! Pantas saja aku tidak pernah bertemu lagi 

dengannya! Rupanya dia telah mendapatkan Patung 

Kepala Singa!!"

Namun tatkala teringat akan pesan dari Eyang 

Kapi Pitu sebelum dia menerima Patung Kepala Singa, 

Kepala Besi untuk sesaat terdiam. Kemarahannya la-

mat-lamat mulai mereda.

"Bila bukan Dewi Selendang Hitam yang mengam-

bilnya, siapa lagi orangnya? Atau jangan-jangan... ini 

salah satu keanehan dari Patung Kepala Singa?"

Sesaat lelaki berkepala plontos ini terdiam. Ha-

tinya mulai diliputi keresahan kembali. Lalu perlahan-

lahan dia berkata, "Hingga saat ini... aku belum dapat 

memecahkan rahasia Patung Kepala Singa seperti yang 

diutarakan Eyang Guru. Apakah hilangnya Patung Ke-

pala Singa dikarenakan aku tidak menjaganya seperti 

yang dimaksud Eyang?"

Sungguh pusing kepala lelaki ini memikirkan ke-

mungkinan itu. Setelah beberapa saat tak lakukan tin-

dakan apa-apa, dia menghela napas panjang.

"Jalan satu-satunya... aku harus mencarinya...." 

Mulailah Kepala Besi menyusuri jejak tentang lenyap-

nya Patung Kepala Singa. Sampai kemudian dia men-

dengar kabar kalau Pendekar Sutera, pimpinan dari 

Kuil Putra Langit memiliki sebuah benda yang berna-

ma Patung Kepala Singa. Namun sebelum dia menge-

tahui siapakah sesungguhnya Pendekar Sutera, Bida-

dari Tangan Bayangan telah menghadangnya dan lan

carkan tuduhan kalau dialah orang yang telah lakukan 

pembantaian di Kuil Putra Langit. Menyusul perjum-

paannya dengan Dewi Selendang Hitam.

***

"Begitulah yang terjadi, Andika...," katanya kemu-

dian pada Pendekar Slebor yang mendengarkan den-

gan seksama.

Andika manggut-manggut.

"Sungguh rumit masalah ini. Kepala Besi, menu-

rut Bidadari Tangan Bayangan, Pendekar Sutera men-

dapatkan Patung Kepala Singa di saat dia sedang ber-

semadi. Kemungkinan yang kau ceritakan kalau le-

nyapnya Patung Kepala Singa, ini disebabkan oleh ke-

kuatan benda itu sendiri, bisa jadi betul."

"Ya... setelah perjumpaanku dengan Dewi Selen-

dang Hitam, aku semakin kuat menduga seperti itu."

"Luar biasa... aku jadi penasaran ingin melihat 

seperti apa Patung Kepala Singa," kata Andika dengan 

mimik serius. Namun keseriusannya segera lenyap di 

saat dia arahkan pandangan pada si Kepala Besi sam-

bil berkata, "Ngomong-ngomong... Patung Kepala Singa 

itu tidak tandus kayak kepalamu, kan?"

Kepala Besi cuma tersenyum kecut. Lalu katanya, 

"Andika... pada kesempatan ini, aku meminta ban-

tuanmu untuk menemukan Patung Kepala Singa. 

Bahkan bila kau bersedia, aku juga menginginkan agar 

kau memecahkan rahasia apa yang ada pada benda 

itu."

"Wah! Mana bisa begitu? Nanti rambutku cepat 

ubanan lagi kalau banyak berpikir!" sahut Andika nyo-

nyor, akan tetapi di dasar hatinya dia sungguh pena-

saran sekali. Atau dengan kata lain, tanpa diminta 

pemuda urakan ini juga akan berusaha untuk meme

cahkan rahasia Patung Kepala Singa.

"Ubanan atau tidak ubanan toh tidak ada gadis 

yang mau denganmu?" sambar Kepala Besi.

"Yeeee... mendingan kepalaku ada rambutnya! Da-

ripada kepalamu yang tandus begitu? Huh! Sudah 

tandus, penjol lagi!!" seloroh Andika sambil memo-

nyongkan mulutnya. Lalu sambungnya, "Ngomong-

ngomong lagi... apakah Eyang Kapi Pitu menceritakan 

perubahan lainnya dari cahaya putih yang menggam-

barkan kepala singa dan luruhan abu?"

Kepala Besi menggelengkan kepala. "Tidak."

Andika menggaruk-garuk kepalanya yang tidak 

gatal. "Cahaya putih. Gambar kepala singa. Luruhan 

abu. Apakah... ah, tidak, tidak...."

"Apa yang kau pikirkan, Andika?" tanya Kepala 

Besi yang melihat Andika sengaja memutuskan kata-

katanya.

"Tidak, tidak... mungkin aku salah. Kepala Besi, 

nampaknya kau sudah lebih sehat sekarang ini. Se-

baiknya... kita berpisah saja sampai di sini. Masing-

masing orang...."

Kata-kata Pendekar Slebor terputus tatkala ter-

dengar satu suara keras penuh kegeraman, "Pemuda 

keparat! Kau telah mencabut nyawa sahabatku! Kali 

ini, aku akan bertarung mati-matian denganmu!!"

***

5


Kita tinggalkan dulu apa yang akan dialami oleh

Pendekar Slebor dan Kepala Besi. Sekarang kita ikuti 

perjalanan Bidadari Tangan Bayangan dan Tri Sari 

yang sedang mencari Dewa Suci. Setelah Kepala Besi

berhasil melarikan diri dari serangan perempuan ber-

pakaian kuning bersih itu, Bidadari Tangan Bayangan 

menahan langkah Tri Sari yang sebenarnya hendak 

mencari Kepala Besi, yang saat itu dipikirnya adalah 

orang yang telah lakukan pembunuhan terhadap ayah 

dan para saudaranya.

Dari percakapan yang terjadi, tahulah perempuan 

setengah baya yang di pinggangnya melilit selendang 

warna merah kalau gadis berpakaian putih-putih itu 

adalah putra sahabatnya, si Pendekar Sutera.

Tri Sari yang sebelumnya berhasil meloloskan diri 

dari pembantaian di Kuil Putra Langit, memang men-

dapat amanat dari ayahnya sebelum tewas. Kalau dia 

harus mencari Bidadari Tangan Bayangan. Dan tak 

disangkanya, kalau orang yang dicari justru berada di 

hadapannya.

Bidadari Tangan Bayangan pun mengusulkan un-

tuk mencari Dewa Suci guna memecahkan rahasia apa 

yang ada di balik Patung Kepala Singa, yang saat ini 

didekap erat oleh Tri Sari dan dibungkus kain warna 

hitam (Untuk lebih jelasnya, silakan baca : "Patung 

Kepala Singa").

Namun mencari Dewa Suci kendati sudah diketa-

hui di mana dia tinggal tak semudah yang dibayang-

kan. Tatkala siang telah tiba, kedua orang itu mulai je-

jakkan kakinya pada jalan setapak menuju ke Bukit 

Kubur.

Bidadari Tangan Bayangan sejenak hentikan lang-

kahnya. Sementara itu, Tri Sari mulai merasa dadanya 

seperti mau pecah. Karena hanya dua kali Bidadari 

Tangan Bayangan hentikan larinya. Itu pun dalam 

waktu yang sangat singkat.

Di sekeliling masing-masing orang dipenuhi den-

gan rerumputan setinggi dada yang berbaur dengan 

ranggasan semak belukar. Pepohonan tinggi dan besar

berjajar laksana prajurit perang yang siap menyerbu.

Tri Sari pun yakin kalau perempuan di sebelahnya 

ini akan segera meneruskan langkah, karena terlihat 

bagaimana Bidadari Tangan Bayangan mengangguk-

anggukkan kepalanya seolah memberi aba-aba untuk 

meneruskan langkah.

Tri Sari yang memang sudah kelelahan segera 

berkata, "Bibik...tidakkah sebaiknya kita beristirahat 

dulu?"

Bidadari Tangan Bayangan palingkan kepala. Tak 

keluarkan suara kecuali memandangi si gadis.

"Hmmm... dia nampak sudah kepayahan. Bila saja 

aku tidak tahu kalau dia putri dari Pendekar Sutera, 

sudah kutinggalkan dia di sini sementara Patung Ke-

pala Singa akan kubawa kepada Dewa Suci. Tetapi... 

aku tak boleh buang waktu."

Habis membatin demikian, guru Nawang Wangi ini 

berkata, "Bila kau sudah tak sanggup lagi untuk me-

langkah, lebih baik kau beristirahat di sini saja. Biar 

aku yang mencari Dewa Suci di Bukit Kubur."

Tri Sari cuma menganggukkan kepalanya. Kemu-

dian sambil menjulurkan bungkusan yang dipegang-

nya, gadis ini berkata, "Bibik... bawalah Patung Kepala 

Singa ini padamu, hingga kau tidak perlu balik lagi bi-

la bertemu dengan Dewa Suci."

"Tidak. Biarlah patung itu tetap berada padamu, 

Tri Sari. Aku berangkat sekarang dan akan kembali se-

cepatnya. Jangan ke mana-mana."

Setelah mendapati anggukkan kepala si gadis, Bi-

dadari Tangan Bayangan segera hempos tubuh. Gera-

kannya begitu ringan sekali, tanda dia memiliki ilmu 

peringan tubuh yang cukup tinggi.

Sepeninggal Bidadari Tangan Bayangan, Tri Sari 

berjalan ke balik ranggasan semak. Di sebuah pohon 

besar yang rindang, gadis ini duduk bersandar.Rasa lelah karena sebelumnya di saat dia hendak 

tidur muncul Kepala Besi, dan kini dia belum beristi-

rahat sudah diajak pergi oleh Bidadari Tangan Bayan-

gan, membuat dirinya kian didera kantuk yang tinggi.

"Tidak... aku tidak boleh tertidur. Aku harus tetap 

terjaga...," desisnya dengan suara lemah.

Namun kantuk itu tetap menyerangnya. Apalagi, 

kendati panas meranggas, namun di tempat yang di-

penuhi pepohonan ini terasa hembusan angin begitu 

semilir, membuat Tri Sari perlahan-lahan mulai meme-

jamkan matanya. Patung Kepala Singa yang terbung-

kus kain hitam itu tetap didekapnya erat.

Cukup lama Tri Sari tertidur sebelum akhirnya 

terjaga tatkala mendengar suara ranting berderak tan-

da diinjak orang. Seketika dia bangkit untuk melihat 

siapa yang datang. Namun saat itu pula putri Pendekar 

Sutera ini merunduk kembali.

"Aneh! Bukan Bibik Bidadari Tangan Bayangan 

yang muncul!" desisnya dalam hati dan berusaha un-

tuk tidak keluarkan suara.

Orang yang datang itu, berpakaian hitam. Dari 

kepala hingga sebagian wajahnya, tertutup selendang 

warna hitam. Menilik cirinya, jelas dia adalah Dewi Se-

lendang Hitam. Orang yang telah lakukan pemban-

taian di Kuil Putra Langit dan orang yang mengingin-

kan Patung Kepala Singa.

Perempuan tua kejam ini hentikan gerakannya. 

Pandangannya yang agak menyipit memperhatikan se-

kelilingnya. Mendadak terdengar makiannya, "Jaha-

nam terkutuk! Ke mana lagi aku harus mencari Patung 

Kepala Singa? Sia-sia apa yang telah kulakukan di Kuil 

Putra Langit! Sia-sia kubuang tenaga untuk memban-

tai seluruh penghuni tempat itu, kalau ternyata Patung 

Kepala Singa tak kutemukan!"

Di balik ranggasan semak, Tri Sari yang tak berani

bergerak melengak sejenak.

"Aneh! Menilik kata-katanya, jelas perempuan 

berpakaian hitam itu yang telah menurunkan tangan 

di Kuil Putra Langit. Orang yang lelah membunuh ayah 

dan saudara-saudaraku," desisnya heran dalam hati. 

Lalu melanjutkan, "Tetapi... bukankah menurut Bibik 

Bidadari Tangan Bayangan, kalau Kepala Besilah 

orang yang telah menurunkan tangan? Ah, siapa yang 

benar kalau begini?"

Kendati rasa penasarannya ingin melihat lebih je-

las wajah perempuan itu, namun Tri Sari tak berani 

melakukannya. Bahkan kalau tadi dia mendekam di 

balik ranggasan semak itu, kali ini dia menelungkup 

sambil mendekap Patung Kepala Singa erat-erat.

Sejarak delapan langkah dari tempat Tri Sari, De-

wi Selendang Hitam nampak terdiam, tanda kalau dia 

tengah berpikir.

Kemudian terdengar suaranya, "Kepala Besi telah 

tewas. Dendam lamaku telah tuntas, kendati aku tak 

mendapatkan benda yang kuinginkan sejak lama. Ja-

hanam terkutuk! Siapa orang yang telah mengambil 

Patung Kepala Singa?!"

Sejenak perempuan kejam ini terdiam. Lamat-

lamat terdengar suaranya penuh kegeraman, "Jangan-

jangan... ada yang luput dari pembantaianku di Kuil 

Putra Langit, orang yang kemudian lari menyela-

matkan Patung Kepala Singa? Benar-benar sial bila 

memang itu jadi kenyataan!!"

Mendadak saja Dewi Selendang Hitam gerakkan 

tangan kanannya ke depan.

Wrrrrr!!

Serta merta menghampar satu gelombang angin 

yang keluarkan suara bergemuruh. Langsung meng-

hantam sebatang pohon yang berderak dan tumbang.

"Jahanam sial! Harus kucari orang itu! Harus ku

bunuh dial!" geramnya gusar.

Di tempatnya, Tri Sari kian terlungkup. Bila me-

nuruti kata hatinya, dia akan muncul untuk lakukan 

pembalasan. Namun disadarinya kalau perempuan itu 

jelas bukan lawannya. Mengingat dia bukan hanya 

mampu membunuh seluruh penghuni Kuil Putra Lan-

git, namun ayahnya juga tewas dibunuh.

Makanya, yang bisa dilakukannya hanyalah tetap 

berada di tempatnya. Diam-diam gadis ini membatin, 

"Beruntung karena aku cepat terjaga dari tidurku. Bila 

tidak... ah, tak bisa kubayangkan apa yang akan terja-

di...."

Sementara itu, di tempatnya Dewi Selendang Hi-

tam masih menggeram panjang pendek. Setelah ker-

takkan rahangnya, perempuan ini berkelebat mening-

galkan tempat itu.

Sepeninggal Dewi Selendang Hitam, Tri Sari belum 

berani untuk bangkit berdiri. Ditunggunya saat yang 

paling tepat. Setelah diyakini kalau perempuan itu ti-

dak kembali lagi, hati-hati dia mulai berdiri. Hati-hati 

pula disibakkan ranggasan semak di hadapannya. Tak 

dilihatnya perempuan itu di sana.

Dia pun menarik napas lega.

"Celaka kalau begini... Bibik Bidadari Tangan 

Bayangan telah lakukan kesalahan, kalau ternyata

bukan Kepala Besi lah yang telah membunuh ayah dan 

yang lainnya. Tetapi perempuan kejam itu. Bahkan... 

perempuan itu telah membunuh si Kepala Besi. Ah, 

semakin rumit keadaan ini."

Lalu hati-hati gadis berambut dikuncir kuda ini 

keluar dari balik ranggasan semak. Sejenak diedarkan 

pandangannya sebelum kemudian diarahkan ke Bukit 

Kubur.

"Tak ada tanda-tanda Bibik Bidadari Tangan 

Bayangan akan datang.... Ah, apa yang terjadi dengan

nya? Apakah dia berhasil bertemu dengan Dewa Suci? 

Atau justru malah sebaliknya?" Gadis berkucir ekor 

kuda ini terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Ada 

keinginanku untuk menyusulnya. Berita tentang siapa 

orang yang telah membunuh ayahku dan yang lainnya, 

harus segera kusampaikan. Tetapi bagaimana kalau 

aku selisih jalan dengannya, sementara aku sendiri be-

lum tahu jalan menuju ke Bukit Kubur? Hmmm... se-

baiknya, biarlah kutunggu saja di sini."

Sementara itu, lambat laun matahari pun mulai 

bergeser dari atas kepala. Perasaan putri Pendekar Su-

tera ini mulai diliputi kegelisahan. Dia pun agak bim-

bang untuk memutuskan apa yang akan dilakukan-

nya.

Dan selagi si gadis masih terdiam tak tahu apa 

yang akan diperbuatnya, mendadak saja terdengar su-

ara, "Hmmm... ternyata ada seorang gadis yang me-

nungguku di sini. Rasanya, ketika aku telah tiba di si-

ni tadi pun aku yakin kau telah menungguku, Manis. 

Tetapi kau hebat bisa luput dari penglihatan serta 

pendengaranku...."

Belum lagi suara itu habis terdengar, mendadak 

saja di hadapan Tri Sari telah berdiri tegak satu sosok 

tubuh berpakaian hitam. Dari kepala hingga sebagian 

wajahnya, tertutup selendang warna hitam! Di bagian 

atas kepalanya, nampak selendang itu mencuat, seper-

ti ada sebuah sanggul.

***

Terkesiap Tri Sari melihat siapa yang muncul. 

Tanpa sadar wajahnya langsung memucat dengan 

langkah yang surut dua tindak ke belakang. Tanpa sa-

dar pula tangan kanannya mendekap erat-erat bung-

kusan kain hitam pada dadanya.

Perempuan yang tak lain Dewi Selendang Hitam 

adanya ini, melirik sekilas pada bungkusan kain hitam 

itu.

"Bila gadis ini tadi berhasil menutupi kehadiran-

nya dariku, jelas dia memang berisi. Siapa dia adanya? 

Apakah dia termasuk salah seorang yang mengetahui 

tentang Patung Kepala Singa? Dan bungkusan hitam 

itu... nampaknya dia begitu berhati-hati menja-

ganya...."

Sementara Dewi Selendang Hitam membatin begi-

tu, Tri Sari pun membatin, "Tak bisa kuhindari kehadi-

rannya. Ah, mengapa aku tadi tidak segera menyusul 

Bibik Bidadari Tangan Bayangan? Tetapi... apa pun 

yang terjadi, aku harus melawannya. Bahkan kalau 

mampu, aku harus membalas segala perbuatannya. 

Hanya saja... bagaimana bila aku dikalahkan? Berar-

ti... Patung Kepala Singa yang diburunya akan berpin-

dah tangan padanya.... Ah, aku harus mengulur wak-

tu... barangkali saja Bibik Bidadari Tangan Bayangan 

akan muncul...."

Di seberang, Dewi Selendang Hitam berkata din-

gin, "Gadis Ayu... katakan padaku, sedang apa kau di 

tempat ini?"

Tri Sari berusaha untuk menindih segala pera-

saannya. Lalu dengan suara agak ketus dia menjawab, 

"Apakah kau belum pernah melihat seorang gadis yang 

sedang menunggu kekasihnya, hah?!"

Dewi Selendang Hitam tersenyum, jelas terbayang 

dari selendang hitamnya yang agak bergerak. "Di mana 

kekasihmu sekarang?" 

"Aku tidak tahu! Sejak tadi aku berada di sini, dia 

belum muncul juga!"

"Apa yang hendak kau lakukan dengannya di 

tempat ini, hah?!" suara Dewi Selendang Hitam kian 

mengandung kesinisan."Huh! Betul-betul suka campuri urusan orang! 

Apa yang akan kulakukan bersama kekasihku, bukan 

urusanmu! Lebih baik tinggalkan tempat ini sebelum 

kekasihku datang!!"

"Huh! Benda apa yang ada di bungkusan itu?!" 

"Lancang! Bungkusan ini berisi pakaian!" sahut 

Tri Sari garang. Lalu dengan mengubah mimiknya 

menjadi sedih dia melanjutkan "Hubunganku dengan 

Kang Gunarto tidak direstui oleh orangtuaku.... Huh! 

Aku mencintai Kang Gunarto sepenuh jiwa dan raga-

ku. Apa yang kuhendaki Kang Gunarto akan kulaku-

kan dengan setulus hati. Aku akan kabur dengannya."

Tiba-tiba saja Tri Sari menatap tajam pada Dewi 

Selendang Hitam. "Nenek! Kau harus berjanji padaku, 

jangan memberitahukan semua ini pada ayahku! Bila 

tidak, aku bisa dibunuhnya!!"

Dewi Selendang Hitam hanya terdiam. Sorot ma-

tanya tajam tak berkedip, menyelidik kebenaran kata-

kata si gadis.

Tri Sari yang merasa kalau perempuan di hada-

pannya ini mulai terkena ucapannya berkata lagi den-

gan suara dibuat pilu, "Nek... kau harus berjanji, jan-

gan mengatakan semua ini kepada ayahku.... Kau ha-

rus, Nek...."

"Jangan panggil aku 'nenek'!!" bentak Dewi Selen-

dang Hitam keras dengan pandangan gusar. Kemudian 

sambungnya dingin, "Dan jangan coba-coba kelabui 

aku dengan kata-katamu...."

Sejenak hati Tri Sari berdebar keras. Wajahnya 

agak berubah. Namun segera diubahnya kembali. Lalu 

dengan suara dibuat penuh kekesalan dia berseru, 

"Jangan ngomong ngaco! Kau rupanya termasuk orang 

yang tidak percaya dengan omongan orang lain! Tetapi 

terserah kaulah, Nek! Toh bukan urusanku! Sudah, 

sana kau pergi!!"

Kendati Dewi Selendang Hitam kelihatan percaya 

dengan kata-kata si gadis, namun dia sempat melihat 

perubahan wajah Tri Sari tadi.

Kemudian katanya, "Aku mempercayaimu! Seka-

rang, kau tinggalkan tempat ini!"

"Aku menunggu kekasihku!!"

"Tunggu di tempat lain!!"

Tri Sari memasang wajah cemberut sementara di-

am-diam dia membatin, "Mengapa Bibik Bidadari Tan-

gan Bayangan belum muncul juga? Aku kuatir lama 

kelamaan perempuan ini tahu apa yang ku rahasia-

kan. Ini kesempatanku untuk menjauh darinya, selagi 

dia masih terbawa cerita dustaku."

Lalu dengan bibir dibuat masih cemberut, gadis 

ini berkata, "Huh! Kau mengganggu kesenangan orang 

saja!!"

Setelah hentakkan kaki kanannya di tanah, seper-

ti orang kesal, gadis ini mulai melangkah. Namun baru 

empat tindak melangkah, mendadak saja terdengar

suara Dewi Selendang Hitam keras, "Kau boleh ting-

galkan tempat ini. Tetapi, berikan bungkusan kain hi-

tam itu padaku!!"

***

6


Seketika Tri Sari berhenti melangkah dan berba-

lik. Wajahnya nampak pucat sekarang, apalagi begitu 

melihat sorot mata Dewi Selendang Hitam yang penuh 

ancaman kematian.

Tetapi gadis ini berusaha untuk menindih rasa je-

rinya. Tetap memasang wajah masam dia berseru, 

"Nek! Kau ini kenapa sih? Apakah kau suka dengan

pakaian buruk milikku ini?!"

"Serahkan bungkusan itu kepadaku!"

"Enak saja minta-minta begitu!"

"Jangan main-main!"

Sadarlah Tri Sari kalau perempuan di hadapannya 

sudah tidak bisa lagi dikelabui. Lalu dengan hati-hati 

dia surut dua tindak ke belakang. Diam-diam dialirkan 

tenaga dalam pada kedua tangannya.

"Apa pun yang terjadi... aku harus menyela-

matkan Patung Kepala Singa. Patung ini harus kuse-

rahkan pada pemiliknya yang sah, seperti yang diama-

natkan ayah padaku...."

Di seberang, Dewi Selendang Hitam berseru din-

gin, "Jangan buang waktu lagi! Serahkan bungkusan 

itu kepadaku!"

"Tidak!"

"Gadis celaka!!"

Habis bentakannya, mendadak saja Dewi Selen-

dang Hitam melayang ke arah Tri Sari. Putri Pendekar 

Sutera yang sejak tadi memang telah bersiaga, segera 

surutkan kaki kanan ke belakang. Bersamaan dengan 

itu mendadak tubuhnya berputar agak menjauh, me-

nyusul tangan kanannya didorong ke depan.

Wuuusss!!

Satu gelombang angin segera menggebrak ke arah 

Dewi Selendang Hitam, yang hanya gerakkan tangan 

kirinya sementara tubuhnya terus melesat ke arah Tri 

Sari.

Hamparan angin yang dilepaskan si gadis lang-

sung putus di tengah jalan. Sementara itu, dengan tu-

buh agak mengendap, Tri Sari melompat ke samping 

kiri guna hindari sergapan Dewi Selendang Hitam.

Namun di luar dugaannya, justru sergapan itu 

hanya pancingan belaka. Karena begitu tubuhnya be-

rada di samping, kaki kanan Dewi Selendang Hitam

bergerak cepat, seperti memotong.

Si gadis keluarkan pekikan tertahan, "Heeiii!"

Dia memang berhasil hindari sergapan kaki kanan 

lawan, namun tangan kanan lawan telah menepak 

tangan kirinya.

Untuk kedua kalinya Tri Sari keluarkan pekikan 

tertahan. Bungkusan yang didekapnya terlepas. Hanya 

dengan gerakkan tubuhnya seperti menjulur, bungku-

san itu telah pindah tangan.

"Hhhh! Ingin kulihat seperti apa pakaian busuk 

milikmu ini?!" geram Dewi Selendang Hitam sambil 

berdiri tegak kembali di atas tanah.

Sementara itu, mendapati kalau perempuan di 

hadapannya akan membuka bungkusan yang telah 

disambarnya, dengan kalap Tri Sari menerjang ke de-

pan seraya membentak, "Kembalikan benda itu kepa-

daku!!"

Dewi Selendang Hitam hanya angkat kepalanya 

sejenak. Sambil keluarkan dengusan, tangan kirinya 

menepak.

Plak!

Setelah menahan jotosan Tri Sari, tangan itu den-

gan cepatnya menepak punggung si gadis, hingga mau 

tak mau tersuruk ke depan. Masih untung Tri Sari 

sempat membuang tubuh ke samping kanan. Bila ti-

dak, maka dadanya akan langsung disambut oleh 

dengkul kaki kanan Dewi Selendang Hitam.

"Kau akan mampus, Gadis ayu... Tetapi, aku ingin

tahu apa isi bungkusan ini...."

"Perempuan tua celaka! Kembalikan kepadaku!!" 

seru Tri Sari kalap sambil berdiri tegak.

Dewi Selendang Hitam hanya pandangi sejenak. Lalu 

tangan kirinya mulai membuka bungkusan di tangan 

kanannya. Tri Sari yang tak mau kalau perempuan tua 

itu mengetahui apa isi bungkusannya, segera menerjang kembali diiringi teriakan membahana. Kali ini 

sambil lipat gandakan tenaga dalamnya. Angin keras 

mendahului lesatan tubuhnya.

"Betul-betul cari mampus!" geram Dewi Selendang 

Hitam.

Serta merta dia mendorong tangan kirinya. Saat 

itu pula menggebrak lima larik sinar hitam yang kelua-

rkan suara gemuruh dan hawa panas. Untuk sesaat 

nampak Tri Sari yang sedang lancarkan serangan, me-

lengak kaget. Tak mau dirinya celaka, dengan cepat 

putri Pendekar Sutera ini membuang tubuh ke kanan. 

Bersamaan dengan itu, dikibaskan kedua tangannya 

ke depan. 

Wussss! Wuusss!!

Dua gelombang angin menderu hebat. 

Blaam!

Letupan yang keras terjadi. Tanah di mana berte-

munya dua pukulan itu langsung terbongkar dan me-

nerbangkan bongkarannya ke udara.

Tatkala semuanya luruh, terlihat Dewi Selendang 

Hitam berdiri tegak tak kurang suatu apa. Bahkan ka-

kinya tak bergeser dari tempat semula.

Di seberang, Tri Sari terpental delapan tindak ke 

belakang. Tak mampu kuasai keseimbangannya, gadis 

itu pun ambruk telentang. Nafasnya memburu. Da-

danya terasa sesak bukan main. Sementara aliran da-

rahnya bertambah kacau, kedua tangannya dirasakan 

ngilu bukan alang kepalang. Tatkala dilihatnya, tangan 

kanan dan kirinya itu membiru dan agak membeng-

kak.

"Celaka... aku benar-benar tak mampu untuk me-

rebut kembali Patung Kepala Singa...," desis Tri Sari 

pilu. Karena rasa nyeri pada dadanya, dia tak kuasa 

untuk bangkit kembali. Dipejamkan kedua matanya 

menahan rasa pedih di hatinya. "Ayah... maafkan aku,

karena aku gagal memberikan patung itu kepada yang 

berhak...." 

Sementara itu, Dewi Selendang Hitam hanya kelu-

arkan dengusan dingin. Lalu dengan kasar dibukanya 

selubung kain hitam pada benda yang terbungkus itu.

"Heiii!!" seketika terdengar seruannya tatkala me-

lihat sebuah benda yang pancarkan warna keperakan!

Tak percaya dengan apa yang dilihatnya, perem-

puan tua ini mengucak-ngucak matanya dengan tan-

gan kiri. Sejurus kemudian, terdengar tawanya yang 

keras.

"Tak kusangka! Tak kusangka! Patung Kepala Sin-

ga! Gila! Patung Kepala Singa!!"

Di tempatnya, Tri Sari makin mengeluh dalam. 

"Maafkan aku, Ayah...," desisnya.

Dan wajahnya kian bertambah pucat tatkala si 

nenek kejam itu tolehkan kepalanya disertai dengusan.

"Anak gadis! Kau berani mengelabuiku, hah?! Ba-

gus! Tetapi sebelum kau mampus kubunuh, jawab du-

lu pertanyaanku! Ada hubungan apa kau dengan Pen-

dekar Sutera, hah?!"

Kendati Tri Sari sadar bahaya sangat tidak men-

guntungkan, namun dia menjawab lantang, "Pendekar 

Sutera adalah ayahku, Perempuan Jahanam!!"

"Jahanam sial! Susah payah kucari Patung Kepala 

Singa yang ternyata berada di tangan gadis sialan itu! 

Huh! Tentunya, dialah satu-satunya orang yang luput 

dari kematian yang kuturunkan!" maki Dewi Selendang 

Hitam dalam hati. Seraya maju satu langkah, dia ber-

seru, "Bagus! Tak seorang pun penghuni Kuil Putra 

Langit yang akan selamat dari tanganku!!"

Habis bentakannya, mendadak saja dikibaskan 

tangan kanannya.

Wusss!

Serta merta meluncur tiga larik sinar hitam yang

keluarkan suara menggidikkan. Di tempatnya Tri Sari 

hanya memejamkan mata. Dia sudah tak mampu un-

tuk menghindar ataupun memapaki serangan itu.

Namun sebelum tiga larik sinar hitam mencabik-

cabik tubuhnya, mendadak saja satu gelombang angin 

deras telah menderu dari belakangnya. Dan....

Blaaammm!

Seketika menghantam tiga larik sinar hitam ganas 

tadi yang pecah berantakan. Untuk sesaat tempat itu 

diselubungi rengkahan tanah yang membubung ke 

udara.

Tatkala semuanya sirap, terlihat satu sosok tubuh 

berpakaian kuning bersih telah tegak di sisi kiri Tri Sa-

ri yang masih tergeletak.

"Bibik Bidadari Tangan Bayangan...," desis si gadis 

dengan hati lega.

Orang yang menahan serangan maut Dewi Selen-

dang Hitam memang Bidadari Tangan Bayangan. Pe-

rempuan jelita ini memandang tak berkedip ke arah 

Dewi Selendang Hitam yang sedang mendelik gusar. 

Dalam sekali lihat saja, Bidadari Tangan Bayangan ta-

hu apa yang telah terjadi.

Diam-diam diliriknya Tri Sari yang kelihatan begi-

tu menderita sekali. Sadar kalau gadis itu baru saja 

dihajar oleh perempuan di hadapannya, seketika dia 

keluarkan kata-kata dingin dan tajam, "Menilik wujud 

yang ada padamu... jelas kalau kau adalah Dewi Se-

lendang Hitam. Hmmm... kurasa, kita tak pernah 

punya urusan. Tetapi, nampaknya kau telah bertindak 

keji pada gadis ini dan merebut bungkusan yang dimi-

likinya. Serahkan bungkusan itu kembali, maka segala 

urusan selesai sampai di sini!"

Dewi Selendang Hitam cuma keluarkan dengusan 

dingin.

"Bidadari Tangan Bayangan... kelancanganmu

yang memutuskan keinginanku tak bisa ku maafkan! 

Lebih baik kau berlutut di hadapanku ketimbang nya-

wamu akan putus!!"

"Setan keparat! Sepak terjang perempuan ini telah 

lama kudengar! Dan nampaknya dia telah buka uru-

san! Menilik begitu nyatanya dia menginginkan Patung 

Kepala Singa, agaknya jelas kalau dia tak akan mele-

paskan kesempatan untuk mendapatkan benda itu. 

Bisa jadi kalau dia pun tahu tentang rahasia yang ter-

simpan pada Patung Kepala Singa."

Sementara Bidadari Tangan Bayangan membatin 

seperti itu, Tri Sari berusaha kerahkan sisa-sisa tena-

ganya untuk menyingkir dari tempat semula. Disada-

rinya kalau pertarungan hebat akan segera terjadi.

Sementara itu Bidadari Tangan Bayangan sedang 

buka mulut, "Sekali lagi kukatakan, jangan membuang 

waktu! Kembalikan Patung Kepala Singa kepada kami!"

"Huh! Aku ingin melihat, tindakan apa yang kau 

lakukan bila aku menolak menyerahkan benda ini! Te-

tapi perlu kau ketahui, tak akan pernah kulepaskan 

Patung Kepala Singa dari tanganku!!"

"Baik! Kata telah bersambut, berarti segala sesua-

tunya tak bisa dihindari lagi!"

Habis seruannya, mendadak saja Bidadari Tangan 

Bayangan gerakkan kedua tangannya ke muka. Serta 

merta menggebrak dua hamparan angin yang kelua-

rkan suara menggemuruh ke arah Dewi Selendang Hi-

tam.

Sambil kertakkan rahangnya, perempuan yang 

dari kepala hingga sebagian wajahnya tertutup selen-

dang hitam itu, segera buang tubuh ke kanan. Menyu-

sul tangan kirinya dikibaskan ke depan.

Serta merta melesat lima larik sinar hitam yang 

mengerikan. Udara yang dingin, kali ini seperti tertin-

dih gelombang hawa panas yang cukup terasa. Rupanya, Dewi Selendang Hitam langsung lipat gandakan 

tenaga dalamnya, tanda dia tak mau bertindak ayal. 

Blaaaammm!!

Benturan keras terjadi dengan muncratnya sinar-

sinar hitam ke udara. Sosok Bidadari Tangan Bayan-

gan surut tiga tindak ke belakang, sementara Dewi Se-

lendang Hitam masih tegak di tempatnya.

"Huh! Dengan kemampuan hanya seujung kuku 

seperti itu kau telah berani jual lagak di hadapanku! 

Sungguh tindakan tak tahu malu!!"

Di seberang, Bidadari Tangan Bayangan merasa-

kan dadanya cukup sesak. Segera saja dialirkan hawa 

murninya guna menghilangkan rasa sakit.

Kejap kemudian, sambil gerakkan kedua tangan 

diatas lalu membentuk rangkapan di depan dada, dia 

berseru dingin, "Berarti... kau harus mencoba meng-

hadapi ilmuku yang seujung kuku ini!!"

Sebelum dia lakukan serangan, terdengar suara 

Tri Sari, "Bibik... perempuan kejam itulah yang telah 

lakukan pembantaian di Kuil Putra Langit, orang yang 

telah membunuh ayah dan saudara-saudaraku lain-

nya...."

Mendengar ucapan si gadis, sesaat Bidadari Tan-

gan Bayangan melengak kaget. Sejenak dipandanginya 

si gadis yang menganggukkan kepalanya. Di lain kejap 

dia arahkan pandangannya kembali pada Dewi Selen-

dang Hitam yang sedang berkata,

"Hmmm... rupanya kau sedang mencari pemban-

tai di Kuil Putra Langit! Hhh! Tak perlu bersusah 

payah lagi! Karena, akulah orang yang telah membu-

nuh seluruh isi penghuni Kuil Putra Langit! Dan masih 

beruntung gadis berambut kuncir kuda itu dapat lolos 

dari kematian! Tetapi sekarang, bukan hanya gadis itu 

yang akan mampus! Karena dirimu pun akan mampus 

di tanganku!!"

Di seberang Bidadari Tangan Bayangan masih te-

gak di tempatnya. Lamat-lamat terlihat tubuhnya agak 

bergetar tanda kemarahan semakin naik. Dia sama se-

kali tak menyangka tentang kenyataan ini.

"Celaka! Kalau begitu... aku telah lakukan kesala-

han yang sulit dimaafkan. Kepala Besi yang kutuduh 

dan kuburu, ternyata bersih dari tuduhan itu. 

Hmmm... ternyata apa yang dikhawatirkan Pendekar 

Slebor saat aku bertemu dengannya waktu lalu, men-

jadi kenyataan. Jahanam terkutuk! Perempuan celaka 

ini adalah biang keladi dari segala urusan!!"

Habis membatin begitu, dengan kertakkan ra-

hangnya segera saja perempuan berbaju kuning bersih 

ini mengangkat kedua tangannya ke atas. Menyusul 

kedua tangan itu diputar-putar yang semakin lama 

bertambah cepat. Menyusul terdengarnya angin yang 

menderu-deru memekakkan telinga.

Bukan hanya menyambar dedaunan yang seketika 

berguguran, tetapi juga mematahkan ranting dan da-

han pohon yang beterbangan dan bertabrakan satu 

sama lain.

Perubahan angin yang terjadi, membuat Dewi Se-

lendang Hitam membatin, "Nampaknya dia telah kelu-

arkan jurus yang tentunya sangat dahsyat. Keparat! 

Padahal aku harus secepatnya memecahkan rahasia 

Patung Kepala Singa, mumpung belum ada lagi orang 

yang menghendakinya dan akan membuang waktuku! 

Huhh!! Akan kuhancurkan dia sekarang juga!"

Di seberang, diiringi teriakan mengguntur, men-

dadak saja Bidadari Tangan Bayangan mendorong tan-

gan kanan kirinya ke depan. Seketika menggebah ge-

lombang angin raksasa yang menyeret tanah dan rang-

gasan semak belukar.

Kejap berikutnya dia sudah hempos tubuhnya ke 

depan. Kedua tangannya bergerak cepat, mencecar bagian tubuh mematikan dari Dewi Selendang Hitam.

Gebrakan maut yang dilancarkan Bidadari Tangan 

Bayangan untuk sesaat berhasil membuat Dewi Selen-

dang Hitam tunggang langgang. Namun perempuan ke-

jam yang memiliki ilmu dua tingkat di atas Bidadari 

Tangan Bayangan, segera lakukan gerakan yang me-

nakjubkan.

Tetap dengan tangan kanan yang masih mende-

kap erat Patung Kepala Singa, dia mencelat ke depan. 

Begitu kaki kirinya menjejak tanah, tubuhnya sudah 

mencelat lagi ke samping. Sambaran gelombang angin 

yang dilancarkan Bidadari Tangan Bayangan berhasil 

dihindari. Menyusul kaki kanannya dilepaskan dengan 

cara berputar, siap menyambar leher Bidadari Tangan 

Bayangan.

Bila saja perempuan yang di pinggangnya melilit 

kain warna merah itu tidak bertindak sigap, tak mus-

tahil lehernya akan patah seketika.

Cepat pula Bidadari Tangan Bayangan mundur 

lima tindak ke belakang. Nafasnya agak memburu. Wa-

jahnya nampak mulai kelihatan pias. Belum lagi dia 

lakukan tindakan apa-apa, Dewi Selendang Hitam te-

lah menderu kembali, didahului lima larik sinar hitam 

yang menggebah.

"Celaka! Perempuan ini terlalu tangguh untukku!" 

seru Bidadari Tangan Bayangan dalam hati. Seketika 

dia bergulingan ke samping kiri.

Tatkala dirasakan Dewi Selendang Hitam terus 

memburunya, Bidadari Tangan Bayangan segera 

menggerakkan kedua tangannya kembali. Entah kare-

na dia telah kehilangan banyak tenaga atau tidak, ge-

rakannya nampak mulai melambat. Begitulah yang ada 

di pikiran Dewi Selendang Hitam.

Namun perempuan tua berpakaian hitam ini di-

am-diam menyadari kalau itu adalah gerakan pancingan belaka. Karena di balik gerakan lambat yang diper-

lihatkan lawan, tersimpan satu kekuatan dahsyat.

Menyusul sinar putih bening menghampar dengan 

kekuatan besar dan hawa panas yang tinggi. Rupanya 

Bidadari Tangan Bayangan telah lepaskan jurus 

'Bayangan Matahari' nya yang dahsyat.

Dewi Selendang Hitam urungkan niat menyerang 

dan surut satu tindak ke belakang. Kejap itu pula dia 

sudah mengibaskan tangan kirinya.

Blaaammm!

Entah yang keberapa kali benturan keras itu ter-

jadi. Menyusul muncratnya sinar putih dan hitam ke 

udara disertai terbongkarnya tanah dan ranggasan 

semak belukar. Suasana di sekitar sana semakin ber-

tambah panas.

Belum lagi semuanya luruh, mendadak saja ter-

dengar gemuruh angin dahsyat ke arah Bidadari Tan-

gan Bayangan yang masih belum kuasai keseimban-

gannya. Memekik tertahan perempuan berpakaian 

kuning bersih ini tatkala merasakan hawa panas men-

deru ke arahnya.

Serta merta dia membuang tubuh ke samping ka-

nan. Dan...

Blaaarrr!

Gelombang angin panas yang dilepaskan Dewi Se-

lendang Hitam menghantam sebuah batang pohon 

yang langsung pecah rengkah dan tumbang berdebam.

Merasa serangan lawan luput dan bersamaan se-

muanya nampak kembali di pandangan, Bidadari Tan-

gan Bayangan segera berdiri dengan penuh kesiagaan. 

Agak sempoyongan dengan dada yang terasa sesak.

Namun di depan, sosok Dewi Selendang Hitam 

sudah tak nampak lagi di pandangannya.

"Jahanam sial!!" serunya geram dan bermaksud 

memburu. Namun tatkala terdengar suara Tri Sari lemah, perempuan berbaju kuning bersih ini mengu-

rungkan niatnya.

Segera dia mendekati Tri Sari yang nampak sema-

kin kepayahan. Apalagi tatkala benturan demi bentu-

ran terjadi yang menggoncangkan tanah hingga tu-

buhnya terkadang terlontar ke atas, membuatnya se-

makin kesakitan.

Bidadari Tangan Bayangan mendesah pendek. La-

lu segera diobatinya putri Pendekar Sutera ini.

Setelah Tri Sari nampak pulih dari keadaannya, 

Bidadari Tangan Bayangan berkata, "Tri Sari... kita ha-

rus segera mengejar Dewi Selendang Hitam...."

Tri Sari menganggukkan kepalanya. "Bibik... apa-

kah kau sudah bertemu dengan Dewa Suci?"

Bidadari Tangan Bayangan menggelengkan kepa-

lanya.

"Tidak. Orangtua itu tidak ada di tempatnya," sa-

hutnya pendek. Lalu mendesah, "Aku telah lakukan 

kesalahan pada Kepala Besi...."

"Bibik... menurut perempuan kejam itu, dia telah 

membunuh Kepala Besi...."

"Oh! Berarti... aku belum meminta maaf atas ke-

salahanku ini...."

"Sudahlah, Bibik... kita harus segera mengambil 

kembali Patung Kepala Singa...," kata Tri Sari.

Bidadari Tangan Bayangan menganggukkan kepa-

lanya. Lalu katanya, "Bila kau sudah merasa lebih 

baik, kita berangkat sekarang...."

Tri Sari mengangguk dan berdiri.

Kejap kemudian, mereka segera meninggalkan 

tempat itu.

***

7


Orang yang keluarkan bentakan yang membuat 

Pendekar Slebor dan Kepala Besi segera palingkan ke-

pala ke arah kanan, telah berdiri tegak sejarak lima 

langkah. Pandangan orang ini begitu dingin sekali.

Sesaat sunyi merebak sebelum terdengar benta-

kannya yang penuh ancaman, "Pendekar Slebor! Kau 

harus membayar nyawa sahabatku si Ganda Maung!!"

Pendekar Slebor yang mengenali siapa orang ber-

pakaian biru gelap yang di dadanya terdapat selendang 

putih bersilangan cuma keluarkan dengusan.

"Busyet! Rupanya kau belum puas juga kugebuk, 

ya? Ayo, sini, sini! Biar kujitak kepalamu hingga jadi 

benjol tujuh! Atau... kumis jelekmu itu ingin ditarik?!"

Orang yang muncul dan tak lain Gendala Maung 

adanya menggeram dingin, "Jahanam keparat! Tak lagi 

kupersoalkan masalah Patung Kepala Singa! Yang 

kuinginkan, adalah nyawa busukmu!"

"Huh! Bila saja ada yang menjual nyawa... pasti 

nyawaku akan kuberikan padamu! Tapi ya... soalnya 

tidak ada yang menjual sih? Eh, ngomong-ngomong... 

bagaimana kalau nyawamu yang kutukar dengan ubi 

rebus? Perutku sudah keroncongan nih!"

Sementara wajah lelaki berkumis baplang itu se-

makin mengkelap, Kepala Besi diam-diam melirik Pen-

dekar Slebor. Dia sungguh tidak mengerti melihat si-

kap pemuda yang di lehernya melilit kain bercorak ca-

tur itu. Menilik sikap lelaki yang baru muncul begitu 

garang dan penuh ancaman, jelas kalau memang ada 

masalah di antara keduanya. Tetapi sikap Pendekar 

Slebor? Bah! Begitu santainya!

Gendala Maung yang memang sedang mencari 

Pendekar Slebor untuk membalas kematian sahabat

nya, jelas tak akan mau melepaskan kesempatan. Na-

mun diam-diam disadarinya kalau pemuda ini bukan-

lah tandingannya. Mengingat di saat bersama-sama 

dengan Ganda Maung saja, mereka dibuat tak berku-

tik, apalagi kini menghadapi seorang diri.

Namun dendam telah membatu di hatinya. Den-

gan licik lelaki ini berkata, "Pertarungan jelas tak bisa 

dihindari lagi! Kita selesaikan dalam dua jurus! Bila 

kau tak bisa mengalahkanku dalam dua jurus, berarti 

kau harus membunuh diri?!"

"Bagaimana bila aku berhasil mengalahkanmu?" 

sahut Andika yang diam-diam menyadari apa maksud 

Gendala Maung.

"Aku akan membunuh diri di hadapanmu." 

"Wah! Mana bisa begitu? Aku tidak mau susah 

payah mengubur mayatmu! Eh! Mengapa tidak dibalik 

saja? Bagaimana bila kau yang harus mengalahkanku 

dalam dua jurus?"

"Jahanam! Pemuda ini terlalu cerdik! Dia seperti 

tahu maksudku! Sudah tentu aku tidak akan sanggup 

mengalahkannya dalam waktu yang sesingkat itu! Ka-

laupun tadi aku berani berkata demikian, karena aku 

yakin mampu menahannya dalam dua jurus!"

Habis membatin begitu, Gendala Maung mengge-

ram, "Keputusan tak bisa diubah lagi! Aku yang telah 

buat peraturan!"

"Wah! Mana bisa begitu? Bagaimana kalau kita ja-

lankan gagasanku? Kau menandak seperti monyet. Bi-

la berhasil, aku akan membunuh diri di hadapanmu? 

Tetapi... tidak jadi, ah. Kau inikan keturunan bangsa 

monyet! Pasti kau bisa melakukannya! Ya, ya... kita la-

kukan saja apa yang kau usulkan tadi!"

Gendala Maung benar-benar mengkelap menden-

gar kata-kata orang. Tak kuasa menahan amarahnya 

lebih lama lagi, dia segera menerjang ke depan.

Namun sebelum serangan itu sampai pada Andi-

ka, mendadak saja Kepala Besi sudah memapakinya.

Desss!!

Masing-masing orang surut dua tindak ke bela-

kang. Sementara Gendala Maung bertambah murka, 

Kepala Besi berkata, "Andika... kau tak boleh mem-

buang waktu untuk mendapatkan Patung Kepala Sin-

ga! Lebih baik segera berangkat sekarang!"

"Huh! Kau mengganggu kesenanganku saja! Pa-

dahal kan aku ingin menjitak kepalanya!"

Sebelum Kepala Besi menyahuti kata-kata si pe-

muda, Gendala Maung sudah keluarkan bentakan, 

"Pemuda keparat! Kubunuh kau!!"

Menyusul tubuhnya melesat ke depan. 

Namun Kepala Besi kembali memapakinya seraya 

berkata, "Jangan buang waktu lagi, Andika!"

Di tempatnya, Andika cuma garuk-garuk kepa-

lanya yang tidak gatal.

"Kalau begitu maumu ya... boleh saja. Eh! Aku ti-

tip jitakan di kepalanya, ya?!"

Setelah berkata begitu, pemuda urakan ini pun 

segera berlalu. Itu memang lebih baik. Karena Andika 

berpikir, dia tak boleh membuang waktu lagi. Segala 

latar belakang Patung Kepala Singa telah didengarnya. 

Berarti, dia memang harus memecahkan rahasia Pa-

tung Kepala Singa.

Sepeninggal Andika, Gendala Maung segera me-

numpahkan kemarahannya pada Kepala Besi. Seran-

gan demi serangan yang dilancarkannya begitu ganas 

dan mengerikan. Setiap kali dia gerakkan tangan atau 

kakinya, seketika menderu angin yang keras mengge-

muruh.

Namun Kepala Besi pun bukan orang sembaran-

gan. Dengan gerakan-gerakan aneh di mana dia selalu 

menyerang dengan kepalanya, Gendala Maung dibuat

surut berulangkali.

Lima belas jurus pun berlalu begitu cepatnya, se-

mentara tempat yang tadi tenang itu kini telah porak 

poranda disertai teriakan-teriakan membahana.

Tiga jurus kemudian, Kepala Besi sengaja mulai 

mengendurkan serangannya. Karena sesungguhnya 

dia memang tidak ingin melancarkan serangan lebih 

lama. Yang dilakukannya, hanyalah menahan Gendala 

Maung belaka dan memberikan kesempatan pada An-

dika untuk berlalu.

Padahal bila Kepala Besi tahu, usul yang dilontar-

kan oleh Gendala Maung tadi dengan mudahnya dapat 

dilakukan Andika. Hanya saja, pemuda pewaris ilmu

Pendekar Lembah Kutukan itu sadar apa yang akan 

terjadi nanti.

Bila dia berhasil mengalahkan Gendala Maung da-

lam dua jurus, tak mustahil Gendala Maung akan 

membunuh diri di hadapannya. Hal ini jelas tak dihen-

daki oleh Andika. Makanya, dia sengaja membiarkan 

Kepala Besi yang menghadapi Gendala Maung.

Sementara itu, Kepala Besi yang memang sengaja 

mengurangi serangannya mencoba mencari kesempa-

tan untuk meloloskan diri. Karena dia memang tidak 

mau meneruskan pertarungan itu lebih lama.

Namun apa yang dihendakinya itu telah terbaca 

oleh Gendala Maung. Lelaki berkumis baplang yang 

murka ini, tak mau membiarkan Kepala Besi lolos dari 

setiap serangannya. Dan menilik apa yang telah mas-

ing-masing orang lakukan, jelas kalau keduanya be-

rimbang.

Dengan gusar disertai makian-makian yang me-

merahkan telinga, lelaki berbaju biru gelap ini terus 

mencecar dengan ganas. Mendapati lawan terus me-

nyerangnya, membuat Kepala Besi pun tak dapat ber-

tindak ayal.

Kembali dipergencar serangannya pula. Hingga le-

tupan demi letupan yang terdengar, benturan keras 

yang menyakitkan, berulang kali terjadi.

Akan tetapi, Kepala Besi tetap berkeinginan tidak 

meneruskan pertarungan itu. Dalam satu kesempatan, 

dia meluruk dengan kepala tertunduk.

Gendala Maung sejenak terkesiap, sebelum akhirnya 

melompat ke muka dengan sikut kanan ditekuk dan 

siap dihantamkan pada kepala lawan.

Memang itulah yang diharapkan oleh Kepala Besi. 

Serangan kepalanya yang dilakukan kali ini, hanyalah 

merupakan sebuah pancingan belaka. Karena begitu 

tubuh Gendala Maung melayang naik dan siap han-

tamkan sikut kanannya, mendadak saja dengan kaki 

kanan menjejak tanah, tubuh Kepala Besi berbalik ke 

belakang.

Saat itulah jotosannya dilepaskan.

Bukkk!

Telak menghantam dada Gendala Maung yang ter-

suruk ke belakang. Bila saja Kepala Besi menghendaki 

nyawanya, maka dengan mudahnya dilakukan. Selagi 

lawan masih tak mampu kuasai keseimbangannya, 

bukanlah hal yang sulit untuk lepaskan pukulan kem-

bali.

Tetapi lelaki berkepala plontos ini justru putar tu-

buh dan kejap itu pula dia berkelebat menjauh.

Sadar kalau telah terjebak oleh serangan lawan, 

Gendala Maung berteriak garang. Tangan kanannya 

dikibaskan ke depan. Gelombang angin yang menderu 

gagal menghantam Kepala Besi karena lelaki itu telah 

menjauh.

"Jahanam terkutuk!!" maki Gendala Maung keras 

tetapi tidak mengejar, karena dadanya dirasakan cu-

kup nyeri.

Sesaat lelaki berkumis baplang ini keluarkan geraman dingin. Menyusul dia segera alirkan tenaga da-

lamnya guna menghilangkan rasa sakit di dadanya. 

Setelah beberapa saat, lelaki ini angkat kepalanya lagi.

"Pendekar Slebor dan Kepala Besi... tunggulah 

pembalasanku kelak...."

Habis keluarkan ucapan yang seperti ditujukan 

pada angin yang berhembus, salah seorang dari Dua 

Iblis Lorong Maut ini segera berlalu meninggalkan 

tempat itu.

***

8


Pagi kembali datang. Burung-burung beterbangan 

kian kemari dan keluarkan suara bercicitan yang enak 

didengar. Beberapa dedaunan berguguran dan terbang 

menjauh dari asalnya. Dalam kesejukan udara dan si-

nar matahari yang masih terasa suam-suam kuku, 

Dewi Selendang Hitam tiba di tempat itu.

Sejenak perempuan yang dari kepala hingga seba-

gian wajahnya tertutup selendang warna hitam ini, 

perhatikan sekelilingnya. Mendadak dikertakkan ra-

hangnya seraya mendesis, "Kurang ajar! Seharusnya 

kubunuh saja Bidadari Tangan Bayangan dan gadis 

bernama Tri Sari itu! Sungguh tak kusangka kalau ada 

yang luput dari pembantaian yang kulakukan di Kuil 

Putra Langit! Tetapi... nasibku masih beruntung... ka-

rena bila gadis itu mati kubunuh, niscaya aku tetap 

tak akan mengetahui di mana Patung Kepala Singa be-

rada!"

Perlahan-lahan diarahkan pandangannya pada 

Patung Kepala Singa yang berada di tangannya. Me-

nyusul dia segera melompat ke balik ranggasan semak

belukar. Pancaran matanya berbinar-binar gembira 

tatkala kembali pandangi Patung Kepala Singa.

"Akhirnya... kudapatkan pula Patung Kepala Singa 

yang sejak lama membuatku bertanya-tanya, ada apa 

di balik semua ini...," desisnya gembira. "Hmmm... Ke-

pala Besi yang dulu memiliki benda ini telah mampus 

di tanganku. Memang sayang, karena aku tak bisa ber-

tanya lebih lanjut tentang rahasia yang ada pada Pa-

tung Kepala Singa ini...."

Sejenak perempuan ini terdiam sebelum melan-

jutkan kata-katanya, "Kendati demikian... apa yang 

kudengar selama ini tentang Patung Kepala Singa, tak 

akan kubiarkan begitu saja. Satu-satunya jalan untuk 

memecahkan rahasia apa yang ada pada benda ini, 

adalah dengan jalan menghancurkannya. Ya, dengan 

cara menghancurkannya...."

Kembali dipandanginya patung yang keluarkan 

cahaya perak itu dengan pancaran mata kian berbinar.

Lalu diperhatikan sekelilingnya lagi.

Tatkala disadarinya tak ada orang lain di sana, se-

gera saja perempuan ini angkat tangan kanannya, siap 

untuk memukul hancur Patung Kepala Singa.

Namun sebelum dilakukannya, mendadak telin-

ganya menangkap satu kelebatan tubuh dari kejau-

han. Sambil keluarkan dengusan, segera diurungkan 

niatnya dan mengintip dari balik ranggasan semak be-

lukar.

"Pendekar Slebor...," desisnya begitu melihat siapa 

orang yang berkelebat. "Celaka! Urusanku akan men-

jadi panjang. Pemuda itu sedang mencari pembantai di 

Kuil Putra Langit, sekaligus mencari Patung Kepala 

Singa. Keparat betul! Bila menuruti kata hatiku, sudah 

kuhajar dia sekarang! Tetapi... aku tak boleh mem-

buang waktu! Rahasia Patung Kepala Singa harus ku-

pecahkan...."

Sesaat perempuan kejam ini terdiam, sebelum ak-

hirnya memutuskan untuk segera meninggalkan tem-

pat itu.

Tak lama kemudian, pemuda dari Lembah Kutu-

kan tiba sejarak tujuh langkah dari tempat Dewi Se-

lendang Hitam bersembunyi tadi. Sejenak pemuda ini 

garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Patung Kepala Singa... Patung Kepala Singa... 

huh! Pusing amat kepalaku ini dibuatnya?!" makinya 

pada diri sendiri, karena di sana memang tidak ada 

siapa pun. "Menurut cerita Kepala Besi yang ternyata 

pemilik sah dari Patung Kepala Singa, patung itu me-

nyimpan sebuah rahasia yang memang sungguh me-

nakjubkan. Ada luruhan dalam cahaya perak yang 

pernah dilihat Eyang Kapi Pitu... Luruhan abu... luru-

han yang tentunya berasal dari abu patung itu sendi-

ri...."

Sejenak Pendekar Slebor terdiam. Otaknya diperas 

untuk memecahkan rahasia apa yang ada pada Patung 

Kepala Singa.

Kemudian desisnya, "Luruhan abu... apakah ra-

hasia itu terdapat pada luruhan abu Patung Kepala 

Singa? Tetapi menurut cerita Eyang Kapi Pitu yang 

kudengar dari Kepala Besi... tak terdapat apa-apa pada 

luruhan abu itu. Lantas... apa maksud cahaya yang 

menggambarkan kepala singa kemudian menjadi luru-

han abu. Atau jangan-jangan...."

"Rupanya pemuda konyol lagi yang bertemu den-

ganku! Hei! Apakah kau sedang memikirkan betapa 

bahenolnya janda yang baru saja bertemu dengan-

mu?!" terdengar seruan bernada nyaring itu yang me-

mutus jalan pikiran Andika.

Serta merta Andika palingkan kepalanya ke arah 

kiri. Dilihatnya satu sosok tubuh berpakaian hitam 

gombrang yang di pinggangnya melilit selendang hitam

sedang melangkah. Wajah perempuan itu dipenuhi ke-

riput. Di kepalanya yang berambut putih terdapat se-

buah sanggul kecil.

Andika tertawa. Lalu membalas, "Bagaimana aku 

bisa bertemu dengan janda bahenol, bila yang muncul 

justru nenek peot jelek yang bau tanah?!"

Perempuan tua yang muncul itu tertawa pula dan 

berhenti sejarak tiga tindak dari hadapan Andika.

"Huh! Pemuda seperti kau ini... kambing diberi 

bedak pun bisa disikat!"

"Wah! Kalau kambing itu jeleknya seperti kau... 

mana aku mau Nek!"

Perempuan tua itu keluarkan dengusan. "Dasar 

urakan! Ngomong-ngomong... apakah kau sudah men-

dapatkan Patung Kepala Singa dari tangan Kepala Be-

si?"

Andika menggelengkan kepalanya. "Nek! Kau telah 

lakukan kesalahan bila mengatakan Kepala Besi lah 

orang yang bertanggung jawab atas pembantaian di 

Kuil Putra Langit!"

Perempuan tua yang bukan lain Nyi Dungga Ratih 

adanya, mengerutkan kening. Lalu bertanya heran, 

"Mengapa kau berpikir seperti itu?"

"Siapa dulu dong? Andika...," sahut Andika sambil 

menepuk dadanya. Lalu melanjutkan, "Orang yang te-

lah lakukan pembantaian di Kuil Putra Langit adalah 

perempuan tua berjuluk Dewi Selendang Hitam...."

"Dewi Selendang Hitam? Setahuku... bukankah 

dia telah mengundurkan diri dari rimba persilatan se-

telah dipecundangi oleh Kepala Besi?"

"Kau benar! Tetapi perempuan itu muncul kembali 

dan mengalahkan si Kepala Besi, juga menghendaki 

Patung Kepala Singa yang ternyata Kepala Besi lah 

pemilik sah benda itu!"

"Jangan bicara ngawur!" bentak Nyi Dungga Ratih.

"Apa-apaan kau bilang Kepala Besi pemilik sah dari 

Patung Kepala Singa?!"

"Kenyataannya memang seperti itu!" 

"Huh! Mengapa kau tiba-tiba seperti membe-

lanya?!" sentak Nyi Dungga Ratih dengan mata melo-

tot. 

"Busyet! Mana bisa aku membelanya? Sejak per-

tama pun aku sudah menduga kalau bukan lelaki ber-

kepala plontos itu yang telah lakukan pembantaian...."

Nyi Dungga Ratih tak segera menjawab. Justru 

pandangannya tak berkedip pada Andika.

"Dari mana kau tahu semua itu? Dan bagaimana 

kau bisa tahu kalau Kepala Besi tak memiliki sehelai 

rambut pun?"

"Pertanyaan pertamamu dengan mudah bisa ku-

jawab. Semuanya kuketahui... dari Kepala Besi sendiri. 

Pertanyaanmu yang kedua pun mudah kujawab, kare-

na aku telah bertemu dengannya...."

"Hei!!" tiba-tiba saja Nyi Dungga Ratih keluarkan 

seruan tertahan. Bahkan dia sampai surut satu tindak 

ke belakang. Wajahnya sejenak menampakkan kehe-

ranan yang sangat. Namun kejap berikutnya, sudah 

diubah lagi mimik wajahnya.

Andika yang memperhatikan diam-diam membatin 

heran, "Aneh! Mengapa dia begitu terkejut? Apa yang 

sebenarnya terjadi? Hmmm... bisa jadi keterkejutannya 

itu dikarenakan dia tetap menyangka Kepala Besi lah 

orang yang telah lakukan pembantaian di Kuil Putra 

Langit."

Lalu terdengar suara Nyi Dungga Ratih, "Kapan 

kau berjumpa dengannya?"

"Aneh lagi! Pertanyaannya itu seolah menggam-

barkan kalau dia merasa Kepala Besi sudah mampus! 

Huh! Dasar sudah bau tanah, sudah mulai pikun ru-

panya!" kata Andika dalam hati. Kemudian berkata,

"Nek... kau ini kenapa sih? Sepertinya kau begitu he-

ran mendengar apa yang kukatakan."

"Kapan kau berjumpa dengannya?" ulang Nyi 

Dungga Ratih, kali ini agak menekan.

"Baru kemarin aku berjumpa dengannya! Nah, 

nah... menilik suaramu... nampaknya kau begitu tak 

sabar ingin berjumpa dengannya! Jangan-jangan... le-

laki plontos itu kekasihmu ya. Nek? Tapi ya... kalau 

kekasihmu, mengapa kau pernah menuduhnya? Ih! 

Bagaimana sih ini?"

Nyi Dungga Ratih tak menjawab. Jelas sekali ka-

lau dia seperti sedang memikirkan sesuatu. Tahu-tahu 

perempuan tua ini mengangkat kepalanya dan berkata, 

"Di mana kau bertemu dengannya?"

"Busyet! Kau benar-benar sudah tidak sabar un-

tuk bertemu dengannya, ya? Wah... bila kau menghen-

daki jawaban, carikan aku makanan dulu deh! Perutku 

lapar! Tidak usah yang mahal-mahal... ubi rebus juga 

boleh!"

Di luar dugaan Andika, Nyi Dungga Ratih justru 

keluarkan bentakan, "Jangan bertele-tele! Jawab per-

tanyaanku itu!!"

"Kutu monyet! Apa-apaan sih nenek ini? Mengapa 

dia tahu-tahu jadi beringas begitu? Huh! Ini pasti dis-

ebabkan karena dia tidak percaya mendengar kata-

kataku tadi! Dan jelas pula kalau dia sebenarnya ma-

sih menyangka Kepala Besi lah yang telah membunuh 

orang-orang Kuil Putra Langit. Hmm... ini harus dibe-

reskan dulu sebelum akhirnya jadi salah paham, se-

perti yang pernah dilakukan Bidadari Tangan Bayan-

gan pada Kepala Besi."

Berpikir begitu Andika segera menjawab, "Kalau-

pun kukatakan tempat di mana aku bertemu dengan 

Kepala Besi, sudah bisa dipastikan kalau lelaki itu su-

dah tidak ada di sana. Berarti, kau akan percuma

mendatanginya...."

Nyi Dungga Ratih hanya mendengus.

Andika membatin lagi, "Aku tidak tahu apakah 

Kepala Besi berhasil mengatasi Gendala Maung. Teta-

pi... lelaki tinggi besar itu telah pulih tenaganya setelah 

bertarung dengan Dewi Selendang Hitam. Paling tidak, 

bila dia memang tidak mampu mengatasi Gendala 

Maung, dia bisa meloloskan diri."

Habis membatin begitu Andika berkata lagi, 

"Nek... apa yang kukatakan tadi adalah sebuah kebe-

naran. Orang yang telah lakukan pembantaian di Kuil 

Putra Langit berjuluk Dewi Selendang Hitam. Bukan 

Kepala Besi. Sementara saat berjumpa dengannya, Ke-

pala Besi dalam keadaan terluka parah akibat perta-

rungannya dengan Dewi Selendang Hitam. Lelaki itu 

menceritakan, lalu dia berlagak mampus setelah diha-

jar oleh Dewi Selendang Hitam! Bila dia tidak melaku-

kan seperti itu, bisa terjadi...."

Kata-kata Andika terputus tatkala mendengar su-

ara Nyai Dungga Ratih, "Kita berpisah di sini!"

Gondok juga Andika kata-katanya diputus seperti 

itu. Makanya dia berkata, "Berpisah di sini atau di sa-

na juga sama saja! Tetapi... kau ini kenapa? Jangan-

jangan... kau lagi sakit gigi, ya?"

Tak menjawab selorohan Pendekar Slebor, perem-

puan berbaju hitam itu justru arahkan pandangannya 

lekat-lekat pada Andika. Diam-diam pemuda urakan 

dari Lembah Kutukan ini, menangkap sinar tak senang 

dari pancaran mata itu, jelas dikarenakan pertanyaan-

nya barusan. Menyusul didengarnya suara Nyi Dungga 

Ratih, tajam dan tegas, "Masih ada beberapa hal yang 

harus kubuktikan dari penjelasanmu, Pendekar Sle-

bor.... Dan nampaknya, aku tak bisa menjelaskannya 

sekarang...."

"Bisa atau tidak bisa toh bukan urusanku! Sudah

lah, kau pergi sana! Bila kau terus menerus berada di 

hadapanku, jangan-jangan orang-orang yang meli-

hatku menyangka aku sedang bicara dengan orang-

orangan sawah!"

Nyi Dungga Ratih tak hiraukan selorohan Andika. 

Setelah keluarkan dengusan, perempuan tua ini segera 

berkelebat meninggalkan tempat itu.

Sepeninggal Nyi Dungga Ratih, Andika membatin, 

"Ada sesuatu yang aneh di sini... sesuatu yang harus 

mendapatkan kejelasan dari semua ini...."

Habis membatin demikian, pemuda yang di leher-

nya melilit kain bercorak catur ini segera tinggalkan 

tempat Itu, yang saat itu pula direjam sepi menggigit.

***

9


tempat Itu, yang saat itu pula direjam sepi menggigit.

***

9

Di sebuah tempat yang cukup jauh dari perte-

muan Pendekar Slebor dan Nyi Dungga Ratih, Dewi Se-

lendang Hitam menggeram sendirian di balik rangga-

san semak. Patung Kepala Singa masih berada di tan-

gan kanannya.

"Jahanam terkutuk! Rupanya Kepala Besi belum 

tewas! Sial! Menilik kata-kata Pendekar Slebor, jelas 

kalau sebelumnya Kepala Besi memang belum tewas! 

Keparat Plontos! Dia mengelabuiku dengan berlagak 

mampus! Jahanam sial!!"

Perempuan yang dari kepala hingga sebagian wa-

jahnya tertutup selendang hitam itu menggeram pan-

jang pendek. Mendadak dia keluarkan dengusan di-

iringi kata-kata, "Peduli setan dengan semua itu! Aku 

harus secepatnya memecahkan rahasia Patung Kepala

Singa sebelum ada urusan lain datang."

Setelah memperhatikan tempat di sekitarnya, pe-

rempuan ini segera angkat tangan kirinya dan siap 

memukul hancur patung yang memancarkan sinar pe-

rak.

Namun sebelum dilakukannya, mendadak terden-

gar suara, "Apakah kau hanya memandang sebelah 

mata kepadaku? Atau... kau tak lagi menganggapku

sebagai sahabat?"

Seketika Dewi Selendang Hitam palingkan kepala

membuka lebih lebar. Di belakangnya, satu sosok tu-

buh berpakaian hijau pekat telah berdiri. Bukan den-

gan kedua kaki, melainkan dengan kedua tangannya 

sementara kedua kakinya menjulang ke atas.

"Bocah Liar...," desisnya dalam hati. "Gila! Sejak 

kapan lelaki jahanam bertampang bocah ini hadir di 

sini? Sejak tadi aku tidak melihat dirinya...."

Orang yang keluarkan suara tadi, tertawa pelan. 

Suaranya tidak enak didengar. Lalu dengan gerakan 

lincah, dia putar tubuh dan berdiri tegak di atas kedua 

kakinya.

Tatkala berdiri itu, sosoknya hanya setinggi bahu 

Dewi Selendang Hitam. Rambutnya panjang berombak 

hingga bahu. Hidungnya mancung dengan bibir tipis 

yang agak memerah. Namun matanya begitu dingin 

dan kejam, bahkan berkilat-kilat seperti pancarkan 

niat membunuh.

Julukan Bocah Liar bukan julukan kosong belaka. 

Lelaki yang sebenarnya berusia tidak jauh berbeda 

dengan Dewi Selendang Hitam ini dikenal sebagai 

pembunuh keji yang tak pernah memikirkan rasa belas 

kasihan. Siapa pun orang yang ingin dibunuhnya, ma-

ka dia harus mati saat itu pula.

Tiga puluh tahun yang lalu, Dewi Selendang Hi-

tam memang telah menjalin persahabatan dengan Bocah Liar. Karena sesungguhnya, Bocah Liar secara ti-

dak langsung adalah gurunya. Setelah dulu dikalah-

kan oleh Kepala Besi, Dewi Selendang Hitam memang 

berguru pada lelaki bertampang bocah itu. Namun Bo-

cah Liar tak pernah mau dianggap sebagai guru. Hal 

itu bagi Dewi Selendang Hitam sendiri memang lebih 

baik, ketimbang dia harus tinggikan segala sopan san-

tun dan tetek bengek peradaban.

Namun kehadiran Bocah Liar yang tak disang-

kanya, jelas tak membuatnya suka. Padahal seta-

hunya, lelaki bertampang bocah itu sudah memu-

tuskan untuk mengundurkan diri dari rimba persila-

tan. Kalaupun sekarang tahu-tahu muncul, sudah ten-

tu ada urusan yang tak bisa dilepaskan. Pandangan-

nya pun berubah dingin dan penuh kebencian.

"Mau apa kau muncul di hadapanku, hah?!" har-

diknya segera.

Lelaki bertampang bocah itu hanya keluarkan ta-

wa pendek. "Bila saja dulu aku tidak pernah berkata, 

bahwa kau akan kujadikan sahabatku, bukan murid-

ku, sudah kuhajar kau sekarang, Dewi!!"

"Jahanam terkutuk! Kendati aku yakin dia tak 

menurunkan ilmu-ilmunya padaku... tetapi aku tak 

peduli! Bila dia bertindak macam-macam, akan kubu-

nuh dia!"

Habis membatin begitu, Dewi Selendang Hitam 

berkata, "Lantas apa maumu, hah?!"

"Kulihat... di tanganmu ada sebuah benda yang 

begitu indah dan pancarkan cahaya perak. Kalau tidak 

salah, bukankah itu Patung Kepala Singa?"

"Bila iya kau mau apa, bila tidak kau mau apa?!" 

sahut Dewi Selendang Hitam dan diam-diam dialirkan 

tenaga dalam pada tangan kirinya.

Bukannya sahuti ucapan orang, Bocah Liar justru 

tertawa keras-keras. Seperti ada hamparan angin yang

menghantam, tanah di mana dia berdiri berhamburan. 

Menyusul ranting-ranting pohon yang patah beterban-

gan serta bertabrakan satu sama lain, hingga timbul-

kan suara berderak-derak.

Diam-diam Dewi Selendang Hitam jeri juga meli-

hat sebagian kecil tenaga dalam yang dipamerkan lela-

ki bertampang bocah itu. Tetapi rasa tidak sukanya 

karena kehadiran Bocah Liar, membuatnya tak peduli 

dengan semua itu!

"Bocah sialan! Menilik kata-katanya, dia juga 

mempunyai keinginan untuk mendapatkan Patung Ke-

pala Singa! Hhhh! Biar bagaimanapun juga, akan ku

pertahankan benda yang kudapatkan dengan susah 

payah ini!!" makinya dalam hati.

Lalu didengarnya kata-kata Bocah Liar di sela-sela 

tawanya, "Kau nampaknya tak menyukai kehadiranku, 

Dewi! Peduli setan kau suka atau tidak! Dan menilik 

ketidaksukaanmu itu, jelas dikarenakan Patung Kepa-

la Singa, bukan?"

"Kalau kau sudah tahu, lebih baik menyingkir! 

Hubungan kita bukanlah murid dengan guru!"

"Kupahami sekali kata-katamu itu! Kita hanya sa-

habat! Karena persahabatan itulah maka aku pu-

tuskan untuk tidak mengganggu apa yang kau hendaki 

dari Patung Kepala Singa! Dan sekarang, bukankah le-

bih baik bila aku berada di sini ketimbang kau seorang 

diri, Dewi?"

"Sial! Kata-katanya seperti menunjukkan kalau 

dia memang tidak tertarik. Tetapi di balik semua itu, 

tentunya dia akan merebut bila aku telah berhasil 

memecahkan rahasia Patung Kepala Singa. Jahanam 

terkutuk!!"

Kendati membatin demikian, perempuan ini ber-

kata juga, "Bila kau pegang ucapanmu itu, maka aku 

akan menghargaimu!"

"Sudah tentu aku akan memenuhinya! Karena... 

aku mencintaimu, Dewi!!"

Sampai surut satu langkah Dewi Selendang Hitam 

mendengar kata-kata orang. Sejenak dia tak keluarkan 

suara, hanya sepasang matanya menatap tak berkedip 

pada lelaki bertampang bocah yang sedang tersenyum 

di hadapannya.

"Gila! Pernyataan gila yang pernah kudengar! Te-

tapi... suara dan pancaran matanya begitu polos! Huh! 

Kendati demikian, aku tak boleh terpengaruh!"

Habis membatin begitu, Dewi Selendang Hitam 

berkata, "Bila kau memang jujur dengan yang kau ka-

takan, bantu aku memecahkan rahasia patung ini!"

"Sudah tentu aku akan membantumu.... Tetapi...."

Bocah Liar nampak seperti sengaja memutus ka-

ta-katanya sendiri. Sementara Dewi Selendang Hitam 

menggeram dalam hati, "Peranan apa lagi yang akan 

dimainkannya? Benar-benar manusia celaka yang 

hanya membuang waktuku saja! Bila bukan dia yang 

hadir, sudah kubunuh sekarang juga! Tetapi... tenaga 

dan kesaktiannya dapat kupergunakan bila sesuatu 

yang tak kuinginkan terjadi...."

"Apa maumu?" serunya kemudian.

Bocah Liar hanya tertawa sambil berkata, "Dewi... 

apakah kedua telingamu kini sudah tuli, hingga kau 

tidak menangkap gerakan yang datang ke sini? Menilik

gerakannya, orang yang datang ini memiliki ilmu yang 

lumayan. Dan menilik desah nafasnya, dia jelas seo-

rang gadis...."

Seketika kepala Dewi Selendang Hitam menegak. 

Diam-diam dikaguminya kesaktian yang diperlihatkan 

lelaki bertampang bocah itu.

"Seorang gadis? Apakah bukan putri Pendekar Su-

tera? Tetapi, bukankah saat kutinggalkan dia bersama 

dengan Bidadari Tangan Bayangan?" batinnya dan

berkata, "Bila memang dia seorang gadis, apakah kau 

masih memikirkan atau bertanya kepadaku tindakan 

apa yang akan kau lakukan?"

Bocah Liar tertawa keras.

"Kau memang pandai mengetahui apa yang kuin-

ginkan! Seperti dulu, kau tidak pernah marah atau 

cemburu saat kuculik gadis-gadis dan kucumbu, yang 

terkadang kulakukan di hadapanmu!"

"Mengapa kau tidak menyambarnya sekarang?"

"Mengapa harus kulakukan, kalau gadis itu justru 

sedang menuju ke sini?!"

Habis kata-katanya, lelaki bertampang bocah yang 

kenakan pakaian warna hijau gelap itu, melangkah 

santai keluar dari balik ranggasan semak belukar.

Sementara itu, Dewi Selendang Hitam menjadi pe-

nasaran untuk mengetahui siapa yang datang. Dipan-

danginya sesaat Patung Kepala Singa.

"Terpaksa harus kutunda lagi keinginanku untuk 

memecahkan rahasia patung ini. Biar bagaimanapun 

juga, aku tak bisa mempercayai lelaki bertampang po-

los itu. Hmmm.. biarlah dia bersenang-senang dengan 

gadis yang datang ini, sementara akan kupergunakan 

kesempatan itu untuk memukul hancur patung ini! 

Mudah-mudahan apa yang menjadi rahasia itu me-

mang ada di dalamnya...."

Memutuskan demikian, perempuan yang kepa-

lanya tertutup selendang hitam dan nampak ada sedi-

kit tonjolan, segera menyusul Bocah Liar.

Masing-masing orang tak ada yang keluarkan sua-

ra. Tegak bersisian sejarak tiga tindak.

Lima kejapan mata berikutnya, nampak satu so-

sok tubuh berpakaian ringkas biru kehijauan tiba di 

tempat itu yang segera hentikan larinya. Bibir gadis 

berambut dikuncir dua ini tipis memerah, terkatup ra-

pat saat sepasang mata jernihnya pandangi kedua

orang yang berbeda jenis di hadapannya.

Di hadapannya, Bocah Liar tertawa dan berkata, 

"Dewi Selendang Hitam... kau lihat apa yang kukata-

kan tadi, bukan? Bagaimana? Apakah bila kugeluti ga-

dis itu kau tidak cemburu dan tetap menerima cinta-

ku?"

"Cinta taik kucing!!" maki Dewi Selendang Hitam 

dalam hati. Lalu berkata dingin sementara pandan-

gannya tak berkedip pada gadis yang baru muncul, 

"Apa yang hendak kau lakukan, bukanlah urusanku! 

Bila kau memang menghendakinya, mengapa kau ti-

dak segera melakukan sekarang?"

"Sudah tentu akan kulakukan sekarang! Terlalu 

bodoh bila kutinggalkan kenikmatan yang satu ini!" 

sahut Bocah Liar tertawa. Lalu seraya maju satu lang-

kah, lelaki bertampang bocah ini berkata pada si gadis, 

"Anak

manis... hendak ke manakah kau ini? Nampaknya be-

gitu tergesa-gesa sekali?"

Gadis yang tak lain Nawang Wangi adanya terdiam 

dengan pandangan tak berkedip pada kedua orang di 

hadapannya. Murid Bidadari Tangan Bayangan yang 

baru lepas dari perbuatan terkutuk yang hendak dila-

kukan Gendala Maung membatin dalam hati, "Celaka! 

Nampaknya kedua orang ini bukan orang baik-baik! 

Oh.. Mengapa Dewi Suci justru mengarahkanku ke 

mereka? Padahal yang kuharapkan adalah berjumpa 

dengan Guru seperti yang dikatakannya."

Karena tak mendapati sahutan, Bocah Liar berka-

ta lagi, "Kendati siang sudah melangkah... tetapi udara 

begitu dingin. Aku menghendakimu sebagai penghan-

gat, gadis manis?"

Memerah wajah Nawang Wangi mendengar kata-

kata orang. Saat itu pula hatinya tersinggung. Teruta-

ma tatkala teringat perlakuan Gendala Maung kepadanya.

Sambil maju selangkah dan alirkan tenaga dalam 

pada tangan kanan dan kirinya, dia berseru keras, 

"Manusia terkutuk! Ucapanmu begitu kotor dan menji-

jikkan! Lebih baik menyingkir dari hadapanku, sebe-

lum kau menyesal!!"

Bukannya segera sahuti ucapan orang, Bocah Liar 

justru palingkan kepala pada Dewi Selendang Hitam, 

agak mendongak, "Kau dengar kata-katanya, Dewi?"

Dewi Selendang Hitam mendengus. "Hhhhh! Bila 

kau menghendakinya, mengapa masih banyak bica-

ra?!"

"Kau benar-benar sudah tak sabar ingin melihat 

pertunjukan masyuk, ya? Akan kulakukan untukmu!!"

Habis kata-katanya, tanpa mempedulikan wajah 

perempuan di sampingnya mengkelap gusar, menda-

dak saja lelaki yang tingginya hanya sebahu itu, meng-

gerakkan tangan kanannya ke depan.

Nawang Wangi yang sejenak tadi sudah bersiaga, 

ternyata harus dibuat terkejut pula tatkala merasakan 

hawa dingin seperti menyergap kedua kakinya. Cepat 

murid Bidadari Tangan Bayangan ini angkat kedua 

kakinya dan berpindah tempat.

Namun sebelum dia kembali jejakkan tanah, men-

dadak saja kedua kakinya kembali disergap hawa din-

gin.

"Heeiii!!" jeritnya tertahan dan segera hempos tu-

buh kembali.

Rupanya Bocah Liar memang tak mau membuang 

waktu. Selagi tubuh si gadis semakin melambung, 

dengan ringan saja kembali digerakkan tangan kanan-

nya. Kali ini serangkum hawa dingin bukan hanya siap 

untuk menyergap kaki kanan dan kiri, melainkan se-

kujur tubuh si gadis.

Sudah tentu Nawang Wangi kalang kabut dibuat

nya. Dan gadis ini benar-benar tak mampu untuk 

menghindar kembali. Maka saat itu pula tubuhnya se-

perti digulung oleh hawa dingin. Anehnya, tubuhnya 

tidak ambruk, melainkan turun perlahan-lahan yang 

kemudian seperti tangan lembut membaringkannya di 

atas tanah.

Kejap itu pula terdengar makiannya, "Lepaskan 

aku! Lepaskan aku!"

Di tempatnya, Dewi Selendang Hitam diam-diam 

membatin, "Luar biasa! Kesaktian lelaki tua bangka 

bertampang bocah ini memang hebat! Hhhh! Aku tahu 

apa

maksudnya dia perlihatkan ilmu seperti itu! Tentunya 

untuk melecehkanku, karena dia tak menurunkannya 

kepadaku!"

Sementara Nawang Wangi mencoba berontak 

sambil keluarkan makian-makian keras, Bocah Liar 

sedang tertawa sendirian. Lalu sambil tengadahkan 

kepalanya pada Dewi Selendang Hitam dia berkata, 

"Bagaimana?"

"Jahanam! Dari pertanyaannya itu jelas kalau dia 

sedang mengejekku!" maki Dewi Selendang Hitam da-

lam hati. Lalu berseru ketus, "Apa maksudmu dengan 

bagaimana?"

"Apakah kau sengaja tidak segera menjauh dari 

sini memang untuk melihat aku menggeluti gadis itu, 

atau kau berharap aku akan melakukannya juga pa-

damu?"

Sebelum Dewi Selendang Hitam yang siap lontar-

kan makiannya, lelaki berbaju hijau pekat itu sudah 

melanjutkan kata-katanya, "Jangan kuatir... aku ma-

sih sanggup untuk melayanimu!! Bahkan... berkali-kali 

kau minta, akan kulayani... ha ha ha ha!!"

"Bangsat keparat!" maki Dewi Selendang Hitam 

dalam hati. Hampir saja dia mengangkat tangan kirinya untuk mengepruk kepala Bocah Liar. Namun 

masih disadarinya kalau dia harus mempergunakan 

kesempatan itu untuk memecahkan rahasia Patung 

Kepala Singa. Makanya dia berkata, "Silakan kau tun-

taskan segala keinginanmu!!"

Di luar dugaannya, Bocah Liar justru berkata, 

"Dan tentunya... di dasar hatimu kau senang dengan 

yang akan kulakukan ini, bukan? Karena kau dapat 

pergunakan kesempatan ini untuk meneruskan niat-

mu pada patung itu! Tetapi... he he he... ingatlah, kau 

tak akan lepas dari tanganku kendati kau berada di 

seberang lautan sekalipun!"

Dewi Selendang Hitam hanya kertakkan rahang-

nya saja. Kejap kemudian, perempuan yang dari kepa-

la hingga sebagian wajahnya tertutup oleh selendang 

warna hitam itu, segera berkelebat cepat. Namun baru 

tiga tindak dia bergerak, mendadak saja satu gelom-

bang angin menderu dahsyat, menyusul hamparan si-

nar putih terang menggebubu ke arahnya.

"Heeeiiii!!" memekik tertahan Dewi Selendang Hi-

tam sambil membuang tubuh ke belakang.

Blaaaammm!!

Gemuruh angin yang melesat mendahului sinar 

putih terang itu menghantam tanah yang seketika ter-

bongkar dan menerbangkan bongkarannya ke udara. 

Sementara sinar putih terang tadi, seperti menambah 

kedahsyatan akibat gemuruh angin yang pertama. Se-

ketika itu pula tanah yang telah terbongkar tadi, se-

makin lebar membentuk lubang yang keluarkan asap.

Kejap berikutnya, dua sosok tubuh telah tiba di 

tempat itu. Yang berdiri di sebelah kanan, seorang ga-

dis jelita berambut dikuncir ekor kuda dan mengena-

kan pakaian putih-putih. Sementara yang di sebelah 

kirinya, yang tadi lepaskan serangan ganasnya pada 

Dewi Selendang Hitam, kenakan pakaian berwarna

kuning bersih.

Perempuan setengah baya ini yang di pinggangnya 

melilit selendang warna merah, langsung keluarkan 

bentakan, "Perempuan sesat! Kembalikan Patung Ke-

pala Singa kepada kami!! Jangan sampai... oh!!"

Seruannya terputus tatkala melihat satu sosok 

tubuh yang dikenalnya tergolek tak berdaya di atas ta-

nah menyusul terdengar seruannya terkesiap, "Nawang 

Wangi.."

***

10


Dewi Selendang Hitam segera putar tubuh meng-

hadap ke masing-masing orang yang baru datang. Se-

mentara itu, Bocah Liar hanya tersenyum sendirian 

dengan pancaran mata yang dingin dan kejam.

Sebelum masing-masing orang ada yang buka mu-

lut, Nawang Wangi telah berseru keras, "Guruuuu!!"

Perempuan berpakaian kuning bersih itu cuma 

menarik napas pendek. "Celaka! Mengapa Nawang 

Wangi bisa berada di sini? Apakah dia tahu kalau wak-

tu lalu aku memang sengaja menahannya agar dia ti-

dak merengek untuk ikut denganku? Menilik gelagat, 

nampaknya sulit bagiku untuk menghadapi apa yang 

telah terjadi ini."

Dewi Selendang Hitam berkata, "Bidadari Tangan 

Bayangan... kalau waktu lalu aku sengaja membiarkan 

nyawamu masih melekat di badan, kali ini jangan ha-

rapkan kalau aku akan turunkan lagi belas kasihan 

kepadamu...."

Perempuan yang tadi lepaskan serangan pada De-

wi Selendang Hitam dan memang Bidadari Tangan

Bayangan adanya, merandek dingin.

"Hhh! Kau boleh berbangga karena berhasil melo-

loskan diri dari tanganku! Tetapi sekarang... semua 

yang kau inginkan akan pupus saat ini juga!!"

Sebelum Dewi Selendang Hitam sahuti ucapan 

orang, terdengar suara Bocah Liar, "Dewi... siapakah 

kedua perempuan ini? Sungguh, aku tertarik pada ga-

dis berbaju putih itu? Hmmm... sekarang aku benar-

benar memiliki dua hidangan nikmat yang tak bisa ku-

lepaskan begitu saja...."

"Jahanam terkutuk! Tutup mulutmu!!" sambar Bi-

dadari Tangan Bayangan keras. Diam-diam disada-

rinya kalau orang yang telah memperdayai muridnya 

seperti itu adalah lelaki bertampang bocah yang baru-

san bicara. "Semua ini tak ada urusannya denganmu! 

Lepaskan muridku!"

"Hmmm... begitu bodoh bila kulepaskan muridmu 

yang montok ini, Perempuan? Dan kau... ah, aku tahu 

kau sebenarnya iri melihat keberuntungan muridmu 

yang akan menerima kenikmatan dariku! Tetapi... kau 

tak perlu iri dan gundah, karena... kuputuskan pula 

untuk membagi kenikmatan ini kepadamu!!"

"Jahanam sial!!" maki Bidadari Tangan Bayangan 

keras. Saat itu pula didorong kedua tangannya ke mu-

ka.

Segera saja menghampar dua gelombang angin 

dahsyat ke arah Bocah Liar, yang hanya pandangi saja 

sambil keluarkan tawa.

Lalu dengan santainya, diangkat tangan kanan-

nya. Dibuat gerakan seperti mengusap dengan telapak 

tangan membuka. Seperti ada sebuah tenaga yang tak 

nampak, dua gelombang angin yang menggebrak ke 

arahnya, putus di tengah jalan.

Blaaaammmm!!

Terkesiap bukan alang kepalang Bidadari Tangan

Bayangan mendapati serangannya diputuskan dengan 

cara yang paling santai. Kejap itu pula dikertakkan ra-

hangnya. Pandangannya menyipit tajam dengan sepa-

sang pelipis yang bergerak-gerak.

"Jahanam! Siapa lelaki bertampang bocah itu? Ke-

saktiannya melebihi Dewi Selendang Hitam! Benar-

benar celaka! Menghadapi Dewi Selendang Hitam saja 

aku sudah dibuat pontang-panting, apalagi ditambah 

lelaki itu yang sepertinya kambrat dari Dewi Selendang 

Hitam?"

Untuk sesaat perempuan berpakaian kuning ber-

sih ini terdiam dengan pandangan mengira-ngira. Di 

saat lain, dia membatin kembali, "Peduli setan! Siapa 

pun dan berapa pun tingkat kesaktian kedua orang ce-

laka itu, aku tak peduli! Bahkan nyawa pun akan ku-

korbankan untuk kebenaran!!"

Memutuskan demikian, Bidadari Tangan Bayan-

gan berbisik pada Tri Sari, "Tri... lebih baik kau me-

nyingkir dari sini. Biar aku yang menangani semua 

ini...."

Tri Sari tahu, kalau sesungguhnya Bidadari Tan-

gan Bayangan tak akan mampu menghadapi kedua 

orang itu. Gadis ini pun tak mau melepaskan kesem-

patan untuk bertarung dengan orang yang telah mem-

bunuh ayah dan saudara-saudaranya, kendati disada-

rinya pula kalau dirinyalah yang memiliki ilmu paling 

rendah.

Makanya dia berkata, "Tidak, Bibik.... Biar bagai-

manapun juga, kita akan menghadapi bersama-sama. 

Patung Kepala Singa harus kuserahkan pada pemilik-

nya yang sah, sesuai dengan amanat ayah sebelum 

meninggal"

Diam-diam Bidadari Tangan Bayangan mendesah 

masygul. Sebenarnya dia ingin mengulangi perintah-

nya lagi, tetapi tatkala disadarinya pancaran mata TriSari yang begitu bersemangat dan tak akan mengu-

rungkan niat kendati terbentur dinding tebal, dia ak-

hirnya diam saja.

Pandangannya kembali diarahkan pada Dewi Se-

lendang Hitam, "Rasanya... tak ada jalan lain untuk 

segera memulai pertarungan ini!!"

Bukannya Dewi Selendang Hitam yang sahuti ka-

ta-kata orang, Bocah Liar yang berkata sambil tertawa, 

"Dia benar, Dewi! Perlihatkan kemampuanmu! Kalau 

bisa... jangan dibunuh! Ingin kunikmati pula tubuhnya 

itu!!"

"Lelaki terkutuk!!" hardik Bidadari Tangan Bayan-

gan dan segera menghempos tubuh ke arah Bocah 

Liar. Dua jotosan yang mengandung tenaga dalam 

tinggi siap dilepaskan.

Namun sebelum serangannya sampai pada sasa-

ran, satu bayangan hitam telah berkelebat dan mema-

pakinya.

Plak! Plak!!

Kejap berikutnya, masing-masing orang mundur 

tiga tindak ke belakang. Pandangan mata Bidadari 

Tangan Bayangan kian mengkelap tatkala mendapati 

serangannya dipapaki oleh Dewi Selendang Hitam. Se-

belum dia berkata, perempuan tua itu sudah menda-

hului, "Sekarang... kematian ada di tanganmu!!"

Kejap berikutnya, dengan diiringi teriakan meng-

guntur, Dewi Selendang Hitam sudah menerjang ke 

muka. Bidadari Tangan Bayangan pun tak mau ber-

tindak ayal. Sesungguhnya, perempuan berpakaian 

kuning bersih ini masih dibingungkan oleh berbagai 

pikiran yang datang.

Patung Kepala Singa harus dapat direbutnya 

kembali. Nyawa Nawang Wangi harus diselamatkan. 

Namun, dia juga harus memperhitungkan nyawanya 

sendiri.

Gebrakan demi gebrakan yang dilancarkan oleh 

masing-masing, saat itu pula membuat suasana di se-

kitar sana dipenuhi dengan suara letupan-letupan ke-

ras. Menyusul rengkahnya tanah, terbongkarnya rang-

gasan semak belukar dan tumbangnya beberapa buah 

pohon.

Tri Sari sendiri bergeser agak menjauh, sementara 

Bocah Liar telah membopong tubuh Nawang Wangi 

yang masih dililit hawa dingin hingga tubuhnya tak bi-

sa digerakkan.

Sesekali tangannya dengan menjijikkan menyen-

tuh bagian-bagian terlarang dari tubuh Nawang Wangi, 

yang memaki-maki keras. Justru makiannya itu bera-

kibat fatal bagi Bidadari Tangan Bayangan.

Perempuan berpakaian kuning bersih yang sedang

mencoba mencecar Dewi Selendang Hitam, jadi pecah 

konsentrasinya. Dipikirnya, Bocah Liar telah melaku-

kan perbuatan terkutuk pada muridnya. Makanya dia 

segera tolehkan kepala.

Saat itulah Dewi Selendang Hitam menderu ma-

suk, dengan jotosan yang telah menghantam dadanya.

Desss!!

"Aaaakhhhh!!" teriakan tertahan terdengar cukup

keras, menyusul tubuh Bidadari Tangan Bayangan 

yang terlempar ke belakang. Dia memang berhasil ku-

asai keseimbangannya. Namun terlihat wajahnya me-

merah. Kedua pipinya mendadak mengembung. Kejap 

berikutnya, dia telah muntah darah.

Di tempatnya, Dewi Selendang Hitam berseru din-

gin, "Sudah kukatakan tadi, kali ini tak akan kuampu-

ni nyawamu, Perempuan celaka!!"

Habis kata-katanya, perempuan berpakaian hitam 

itu telah menderu dahsyat ke arah Bidadari Tangan 

Bayangan yang nampaknya mencoba untuk mematah-

kan serangan mengerikan itu.

Sementara itu, Tri Sari yang melihat gelagat tak 

menguntungkan yang akan diterima oleh Bidadari 

Tangan Bayangan, segera mencelat ke muka. Dia me-

lakukan hal itu dengan kumpulkan segenap kenekatan 

dan keberaniannya. Maka.... 

Dess! Dess!!

Dua jotosan Dewi Selendang Hitam yang dilancar-

kan secara beruntun mempergunakan tangan kiri, 

berbenturan dengan dua pukulan Tri Sari. Dewi Selen-

dang Hitam sejenak terkesiap. Kejap kemudian terden-

gar bentakannya, "Gadis celaka! Susullah ayahmu ke 

akhirat!!"

Habis bentakannya, serta merta perempuan kejam 

ini mengibaskan tangan kirinya. Saat itu pula mencelat 

lima larik sinar hitam yang keluarkan hawa panas.

Tri Sari terkesiap kaget. Tanpa sadar dia kelua-

rkan pekikan tertahan. Tak berani untuk memapaki, 

puteri Pendekar Sutera ini segera membuang tubuh ke 

kanan.

Lima larik sinar hitam itu terus menderu ganas, 

yang justru berbenturan dengan sinar putih bening. 

Dan begitu berbenturan, kedua sinar yang sama-sama 

keluarkan hawa panas itu, menimbulkan letupan ke-

ras dan muncrat ke udara.

Rupanya, Bidadari Tangan Bayangan yang baru 

saja diselamatkan Tri Sari telah lakukan serangan.

Mendapati kalau Bidadari Tangan Bayangan telah 

buka serangan kembali, Dewi Selendang Hitam kemba-

li mencecar. Bila saja tangan kanannya tidak sedang 

mendekap erat-erat Patung Kepala Singa, niscaya 

hanya dalam delapan gebrakan saja Bidadari Tangan 

Bayangan akan jatuh bangun.

Kendati hanya mempergunakan tangan kiri, Bida-

dari Tangan Bayangan pun dapat didesaknya. Bahkan 

satu tendangan memutar telak menghantam dada pe

rempuan berpakaian kuning itu yang langsung tersu-

ruk ke belakang. Menyusul dengan pencalan satu kaki, 

Dewi Selendang Hitam sudah menderu, siap mengha-

bisi nyawa Bidadari Tangan Bayangan.

Sementara itu, Tri Sari yang telah terbebas dari 

ancaman maut, bermaksud untuk mengulangi lagi 

perbuatannya. Namun satu gelombang hawa dingin te-

lah melingkari kakinya. Dan seperti disentak, tubuh-

nya ambruk terlungkup.

Bocah Liar yang lakukan serangan itu tertawa, 

"Dua ekor kelinci gemuk telah kudapatkan! Dewi... bu-

nuh perempuan celaka itu!!"

Hati Bidadari Tangan Bayangan semakin tak me-

nentu sekarang. Di samping dia sulit untuk hindari 

gebrakan maut Dewi Selendang Hitam, juga dilihatnya 

Tri Sari dalam keadaan tak berdaya. Dapat dibayang-

kan bagaimana bila dia tewas dalam pertarungan ini. 

Niscaya nasib buruk akan menimpa Tri Sri dan Na-

wang Wangi, muridnya.

Diusahakan untuk mencoba memapaki serangan 

Dewi Selendang Hitam. Untuk kali ini dia memang 

berhasil. Namun tendangan kaki kiri Dewi Selendang 

Hitam mendarat tepat di kaki kanannya, hingga mau 

tak mau tubuhnya agak goyah.

Di saat dia sudah kehilangan keseimbangan, Dewi 

Selendang Hitam segera memutar tubuh. Dengan pen-

calan kaki kanannya, dia meluruk deras dan siap han-

tamkan pukulannya ke kepala Bidadari Tangan 

Bayangan yang terkesiap hingga kedua matanya terbe-

lalak lebar.

Namun sebelum maut menerpanya, mendadak sa-

ja satu bayangan hijau telah berkelebat dari balik 

ranggasan semak sebelah kanan. Tangan kiri bayan-

gan hijau itu menyambar tubuhnya, sementara tangan 

kanannya dengan enak saja memapaki pukulan Dewi

Selendang Hitam. Menyusul dengan cara yang menak-

jubkan dia menyambar sesuatu dari tangan Dewi Se-

lendang Hitam.

"Jahanam!!" maki perempuan berpakaian hitam 

itu seraya mundur tiga tindak ke belakang. Wajahnya 

nampak kian mengkelap, tatkala menyadari Patung 

Kepala Singa sudah tidak berada di tangannya lagi. 

Tatkala dia hendak keluarkan bentakan, mendadak sa-

ja suaranya seperti lenyap. Menyusul sepasang ma-

tanya membuka lebih lebar tatkala melihat siapa orang 

yang telah menyelamatkan Bidadari Tangan Bayangan, 

yang sekarang telah hinggap di atas tanah sejarak

sembilan langkah dari hadapannya, sementara Bidada-

ri Tangan berdiri di samping orang itu.

Kejap kemudian terdengar suaranya, geram dan 

agak gemetar, "Pendekar Slebor...."

Bayangan hijau yang tadi selamatkan Bidadari 

Tangan Bayangan dan tak lain memang Pendekar Sle-

bor. adanya, cuma nyengir. Lalu terdengar kata-

katanya yang konyol, "Wah! Kau sudah mengenalku 

rupanya? Hmmm... pasti kau melihat lukisanku dipa-

jang di Kotapraja, ya?"

Mengkelap wajah Dewi Selendang Hitam menden-

gar kata-kata orang.

"Selain urakan, pemuda ini kuketahui memiliki 

ilmu yang tinggi. Rasanya... hmm, bukankah ada Bo-

cah Liar di sini? Akan kupergunakan tenaganya untuk 

menghajar pemuda dari Lembah Kutukan itu!"

Memutuskan demikian, dengan pandangan tak 

berkedip, Dewi Selendang Hitam membentak, "Berani 

lancang campuri urusanku berarti hendak mampus! 

Kembalikan Patung Kepala Singa kepadaku!!"

"Oh! Ini toh yang namanya Patung Kepala Singa?" 

sahut Andika sambil memandangi patung yang kelua-

rkan cahaya perak di tangan kanannya. "Bagus sekali!

Tetapi ya... jelas tidak pantas benda sebagus ini berada 

di tangan kotor seperti tanganmu! Ih! Sudah kotor, ke-

riput lagi!"

"Jahanam! Kembalikan padaku!!" 

"Enak saja main perintah! Patung ini milik Kepala 

Besi! Dialah orang yang berhak memilikinya! Ngomong-

ngomong... apakah kau tidak terkejut bila kukatakan 

Kepala Besi belum tewas?"

Sebelum Dewi Selendang Hitam menyahut, Andika 

sudah menyambung, "Atau... kau sudah mendengar 

berita itu sebelumnya? Dan sudah tentu dari mulutku, 

bukan?"

"Jangan banyak mulut!"

"Benar-benar dungu nih nenek! Jelas mulutku 

cuma satu, kok dibilang banyak? Mungkin kau... 

aduh, sampai lupa! Kenapa sih kau menutupi wajah-

mu dengan selendang hitam itu? Atau... kau tak mau 

kukenali, ya? Dan di kepalamu itu, memang penjol 

atau ada sebuah sanggul?"

Sepasang mata Dewi Selendang Hitam seketika 

membulat. Lagi-lagi sebelum dia membuka mulut,

Pendekar Slebor berkata, "Mengapa kau masih menu-

tupi diri, Dewi Selendang Hitam? Atau kau lebih suka 

bila kupanggil... Nyi Dungga Ratih?!"

Sampai surut satu tindak perempuan berpakaian 

hitam gombrang mendengar kata-kata Andika. Kejap 

kemudian terdengar makiannya keras, "Jahanam! Ma-

tamu telah tajam rupanya!"

Habis bentakannya, dengan kasar Dewi Selendang 

Hitam merenggut selendang yang menutupi kepala dan 

sebagian wajahnya. Saat itu pula nampak seraut wajah 

yang dipenuhi keriput, dengan sepasang mata agak tu-

run dan rambut putih yang disanggul ke atas. Wajah 

Nyi Dungga Ratih!!

Terdengar suara Andika sambil bertepuk tangan,

"Wah! Dugaanku benar juga!"

Di tempatnya, Dewi Selendang Hitam yang ternya-

ta adalah Nyi Dungga Ratih adanya menggeram dalam 

hati. "Pemuda keparat! Patung Kepala Singa harus da-

pat kurebut kembali!"

Berpikir demikian, tanpa membuang waktu lagi, 

perempuan kejam ini sudah menderu ke depan seraya 

mengibaskan tangan kanan dan kirinya. Sepuluh larik 

sinar hitam ganas yang keluarkan hawa panas meng-

gebrak dahsyat.

Di seberang, sejenak Andika terkesiap melihatnya. 

Kejap itu pula dia segera membuang tubuh ke samping 

kanan seraya lepaskan pukulan yang mengandung te-

naga 'Inti Petir' dengan tangan kanannya sementara 

tangan kirinya memegang Patung Kepala Singa.

Dewi Selendang Hitam yang dalam wujud aslinya 

sebagai Nyi Dungga Ratih dan sebelumnya pernah 

mencoba mempermainkan pemuda urakan itu, tahu 

betul akan tenaga yang dilepaskan oleh si pemuda. 

Makanya dia mencoba untuk tidak memapaki. (Untuk 

mengetahui kapan Dewi Selendang Hitam alias Nyai 

Dungga Ratih mempermainkan Andika, silakan baca: 

"Patung Kepala Singa").

Sepuluh larik sinar hitam yang dilepaskannya, 

menghantam ranggasan semak belukar yang langsung 

pecah.

Tak mau membuang tempo, perempuan ini terus 

mencecar Pendekar Slebor.

"Busyet! Ngotot amat, sih?" seru Andika sambil 

menghindar dan membalas. "Ngomong-ngomong... kau 

tidak bertanya bagaimana aku bisa tahu kalau di da-

lam diri Dewi Selendang Hitam terdapat sosok Nyi 

Dungga Ratih?!"

"Tutup mulutmu!!"

"Ih! Jadi tidak enak nih melihat kau gusar seperti

itu! Tetapi ya... dasar aku orang baik, biar kukatakan 

saja!!"

"Diaaaammm!!" makin mengkelap Nyi Dungga Ra-

tih mendengar ejekan si pemuda. Dipergencar seran-

gan demi serangannya yang saat itu pula membuat

tempat itu seperti didatangi puluhan gajah liar.

Tetapi dasar urakan, sambil terus mencoba men-

cari sela serangannya, Andika berseru, "Aku memang 

belum mengenalmu sebagai Dewi Selendang Hitam! Te-

tapi, ingat perjumpaan kita yang kedua? Saat itu kau 

menanyakan tentang Patung Kepala Singa?! Dan kuka-

takan kalau Kepala Besi lah pemilik sah dari patung 

itu? Nah, nah! Kenapa kau heran tatkala kuceritakan 

kalau aku tahu semua itu dari Kepala Besi sendiri? 

Bahkan kau begitu ngotot untuk mengatakan di mana 

dia berada? Wah! Saat itu pula aku menduga kalau 

kau sebelumnya pernah bertemu dengan Kepala Besi! 

Eiiittt! Jangan nafsu Nek!!"

Memutus kata-katanya sendiri, Andika membuang 

tubuh ke belakang. Begitu kaki kanannya menjejak 

tanah, tubuhnya sudah mencelat lagi ke depan. Mele-

wati tubuh Dewi Selendang Hitam yang sedang le-

paskan jotosan.

Berada di atas tubuh Dewi Selendang Hitam, An-

dika gerakkan tangan kanannya tepat ke kepala pe-

rempuan itu, yang memaki-maki sambil bergulingan.

Di luar dugaan Dewi Selendang Hitam, Andika ju-

stru meluruk turun dengan kaki kanan siap menginjak 

dada tipis perempuan itu.

"Jahanam!!" makinya keras sambil terus bergulin-

gan.

Pemuda urakan ini justru tak teruskan serangan. 

Dia berdiri tegak sambil cengar-cengir dan melihat De-

wi Selendang Hitam yang sedang berdiri. Menyusul dia 

berkata, "Nek! Kenapa aku menduga kau pernah ber

temu dengannya? Ya... karena kau merasa heran itu! 

Diam-diam kubayangkan seperti apa Dewi Selendang 

Hitam! Tetapi... ya gagal! Soalnya yang terbayang cuma 

kambing peot saja, sih! Busyet! Jangan melotot begitu, 

dong! Lalu aku tiba pada pikiran, mengapa kau men-

jumpaiku dengan wujud Nyi Dungga Ratih? Jelas kau 

mencoba mengorek setiap keterangan yang kau perlu-

kan! Tetapi ya... dasar nasib! Makanya kuikuti ke ma-

na kau pergi setelah bertemu denganku! Ya dasar na-

sib juga, baru kutemukan sekarang dan kuyakini ka-

lau di balik sosok Dewi Selendang Hitam, juga terdapat 

sosok Nyi Dungga Ratih! Dan kulihat ada tonjolan di 

balik selendang di kepalamu! Sama seperti sanggul 

yang kulihat pada Nyi Dungga Ratih! Eh, betul lagi! Ar-

tinya apa?" Mendadak Andika tertawa sendirian. Lalu 

katanya tandas, masih tertawa, "Kepalamu penjol!!"

"Jahanam terkutuk! Mampuslah kauuu!!" mengge-

ram Nyi Dungga Ratih sambil mencelat kembali. Kali 

ini dilipatgandakan tenaga dalamnya. Serangan demi 

serangannya lebih ganas sekarang. Dan ini membuat 

Andika harus berhati-hati. Dengan mempergunakan 

satu tangan untuk menyerang sementara tangan yang 

satu memegang Patung Kepala Singa, membuatnya 

menjadi agak kerepotan.

Diliriknya Bidadari Tangan Bayangan yang sedang 

mengatur napas dengan wajah tegang.

"Hmmm... patung ini harus diselamatkan dulu...."

Memutuskan demikian, dilemparkannya Patung 

Kepala Singa pada Bidadari Tangan Bayangan, "Sela-

matkan patung ini!!"

Bidadari Tangan Bayangan dengan sigap segera 

menyambarnya. Namun mendadak saja dirasakan satu 

gelombang angin menderu ke arahnya. Urung me-

nyambar Patung Kepala Singa, perempuan berpakaian 

kuning bersih ini segera gerakkan tangan kanannya.

Blaammm!

Letupan yang cukup keras terjadi. Rupanya, Bo-

cah Liar yang paham akan gelagat, tak mau mem-

buang kesempatan untuk mendapatkan Patung Kepala 

Singa. Sesungguhnya, lelaki bertampang bocah ini 

memang tak menginginkan Patung Kepala Singa. 

Hanya dikarenakan dia mencintai Nyi Dungga Ratih 

alias Dewi Selendang Hitam, makanya dia segera men-

celat ke depan.

Namun sebelum lelaki yang tingginya hanya seba-

hu itu menyambar Patung Kepala Singa, mendadak di-

rasakan deru angin ke arahnya.

"Hei!!" Cepat dia putar tubuh bila tak mau dirinya 

terkena hamparan angin keras yang datang dari arah 

kiri.

Kejap itu pula Patung Kepala Singa disambar oleh 

orang yang lancarkan serangan pada Bocah Liar. 

Tatkala masing-masing orang hinggap kembali di atas 

tanah, mereka melihat siapa orang yang menyambar 

Patung Kepala Singa.

"Kepala Besi...," mendesis Bidadari Tangan Bayan-

gan. Disesahnya kini kesalahan yang pernah dibuat-

nya.

Sementara itu, Dewi Selendang Hitam yang meli-

hat siapa yang datang dan tak lain memang Kepala Be-

si adanya, menggeram gusar. Dia mencoba memu-

tuskan serangannya pada Andika dan bersiap membu-

ru Kepala Besi. Tetapi sudah tentu Andika tak akan 

membiarkannya, "Lho, Iho? Mau ke mana? Sudah bo-

san bermain-main? Kalau begitu... kujitak kepalamu 

sekarang!!"

Habis kata-katanya, pemuda urakan dari Lembah 

Kutukan itu segera memburu dengan lepaskan puku-

lan-pukulan yang mengandung tenaga 'Inti Petir'. Be-

berapa kali terdengar suara salakan yang menggetar

kan.

Sementara itu, Bocah Liar menggeram dingin den-

gan pandangan tajam. Tanpa buang tempo lagi, lelaki 

bertampang bocah ini sudah mengebrak ke muka, ke 

arah Kepala Besi. Tangan kirinya lancarkan serangan, 

tangan kanannya mencoba merebut Patung Kepala 

Singa.

Kepala Besi yang setelah bertarung dengan Gen-

dala Maung dan segera mencari Andika, segera gerak-

kan pula tangan kirinya. Bersamaan dengan itu, dia 

melompat ke belakang guna hindari sergapan tangan 

kanan Bocah Liar.

Sementara itu Bidadari Tangan Bayangan yang 

merasa lebih beruntung karena kehadiran Kepala Besi, 

segera masuk dalam pertarungan sengit itu. Kini mas-

ing-masing orang yang sebelumnya pernah terlibat ke-

salahpahaman segera bersatu untuk menggempur Bo-

cah Liar.

Namun di luar dugaan mereka, kendati dikeroyok 

berdua, Bocah Liar tetap bukanlah lawan yang dapat 

dipandang sebelah mata. Lima jurus sebelumnya me-

reka memang berhasil mendesak Bocah Liar. Namun 

tiga jurus berikutnya, justru mereka yang menjadi ce-

caran serangan-serangan beruntun dari lelaki bertam-

pang bocah itu.

Gebrakan demi gebrakan yang dilakukan Bocah 

Liar sungguh di luar dugaan. Karena, tak ada gelom-

bang angin yang keluar, tak ada suara yang terdengar, 

namun hasil setiap gebrakannya sungguh mengerikan.

Merasa sangat berbahaya, Bidadari Tangan 

Bayangan berseru, "Kepala Besi! Pergi kau menjauh 

dari sini! Patung Kepala Singa telah kembali padamu, 

sebagai pemilik yang sah! Lebih baik kau pecahkan ra-

hasia patung itu!!"

Kepala Besi yang sedang mencoba menyerang

dengan gerakan-gerakan kepalanya yang aneh itu ber-

seru pula, "Tidak! Apa pun yang terjadi, kita akan 

menghadapi bersama-sama!"

"Jangan lakukan tindakan bodoh!!"

"Benar! Kalian memang orang-orang bodoh yang 

akan mampus!!" putus Bocah Liar sambil pergencar 

serangannya, kali ini ke arah Kepala Besi.

Mendapati serangan semakin ganas, Kepala Besi 

harus dibuat morat-marit. Dia bukan hanya berusaha 

untuk selamatkan Patung Kepala Singa, tetapi juga 

nyawanya sendiri.

Bidadari Tangan Bayangan keluarkan dengusan 

melihat kekeraskepalaan lelaki tinggi besar berpakaian 

abu-abu terbuka di bahu kanan itu. Dengan lepaskan 

sinar-sinar putih bening yang mengandung hawa pa-

nas dan bikin terang tempat itu beberapa saat, perem-

puan berpakaian kuning bersih ini dapat memperjauh 

jarak serangan Bocah Liar pada Kepala Besi.

Akan tetapi, Bocah Liar justru perlihatkan kelas-

nya. Mendadak saja dia putar tubuh dan hingga den-

gan kedua tangan di atas tanah sementara kedua kaki 

di atas. Menyusul gerakan aneh yang diperlihatkannya 

itu, dia mencecar dengan kedua kakinya. Gelombang 

angin yang bergulung-gulung menderu-deru dahsyat. 

Menyeret tanah dan membongkar ranggasan semak.

Bidadari Tangan Bayangan seketika menjadi pu-

cat. Begitu pula dengan Kepala Besi yang kelihatan tak 

berdaya menghadapi serangan aneh Bocah Liar.

Sekali waktu, dia tersuruk jatuh tatkala dengan 

gerakan yang benar-benar menakjubkan, tangan ka-

nan Bocah Liar terangkat hingga kini dia bertumpu 

dengan tangan kirinya saja sementara kedua kakinya 

tetap menjulang ke atas.

Satu tenaga yang tak nampak namun mengan-

dung hawa dingin, melilit kedua kaki Kepala Besi. Lalu

seperti dibetot, tubuh Kepala Besi terseret.

"Heeeiiii!!" tanpa sadar lelaki berkepala plontos ini 

memekik tertahan.

Kedua matanya membuka lebih lebar tatkala dili-

hatnya bagaimana kedua kaki Bocah Liar yang menju-

lang ke atas, membuat gerakan memutar. Mendadak 

saja dirasakan dua gelombang angin deras menderu ke 

arahnya.

Sementara itu, sadar akan bahaya yang mengan-

cam Kepala Besi, Bidadari Tangan Bayangan membuat 

gerakan nekat. Tubuhnya meluruk ke depan. Dan....

Tanpa ampun lagi tubuhnya terhantam telak dua 

gelombang angin yang dilepaskan Bocah Liar. Tubuh 

perempuan ini terseret jauh ke belakang. Begitu am-

bruk ke tanah, dia muntah darah.

"Gurruuuu!!" terdengar jeritan Nawang Wangi 

yang tetap tak bisa menggerakkan tubuhnya.

Bukan hanya itu saja yang terjadi. Kendati Kepala 

Besi selamat, namun tangan kanan Bocah Liar telah 

menepak Patung Kepala Singa.

Patung itu mencelat ke atas. Dalam waktu yang 

singkat, Bocah Liar melompat untuk menyambar pa-

tung itu.

Akan tetapi, satu bayangan hijau telah melompat 

ke depan. Bersamaan bayangan hijau yang tak lain 

Pendekar Slebor adanya memegang patung itu, kedua 

tangan Bocah Liar pun memegangnya.

Kejap itu pula terjadi tarik menarik yang kuat dis-

ertai tenaga dalam yang tinggi. Menyusul masing-

masing orang kerahkan hawa panas dalam tubuh me-

reka.

Hawa panas itu berpendar dan membuat suasana 

di sekitar berubah menjadi panas pula. Cukup lama 

hal itu terjadi, sementara dari tubuh masing-masing 

orang keluar keringat.

Lalu mendadak saja masing-masing orang terpen-

tal ke belakang disertai teriakan tertahan. Patung Ke-

pala Singa terlepas dan jatuh ke tanah.

Begitu menyentuh tanah, terdengar letupan yang 

sangat keras. Menyusul muncratnya cahaya keperakan

yang menerangi segenap penjuru.

Tak ada yang berpindah dari tempatnya, tak ada 

yang keluarkan suara. Patung Kepala Singa tegak di 

atas tanah. Sementara itu cahaya keperakan tadi lam-

bat laun mulai menghilang dan hanya melingkari pa-

tung itu belaka.

Sebelum ada yang lakukan tindakan, mendadak 

saja Patung Kepala Singa pecah seperti meledak. Ta-

nah di sekitar tempat itu muncrat naik ke udara dan 

membentuk sebuah lubang kecil.

Tatkala semuanya sirap, Patung Kepala Singa tak 

ada lagi di tempatnya. Yang ada hanya luruhan abu 

berwarna perak yang turun naik....


                      SELESAI


Segera menyusul:

CINTA DALAM KUTUKAN
























Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive