1
BURUNG berkicau bukan saja karena
fajar menyingsing atau senja tenggelam.
Bisa juga burung berkicau karena menden-
gar suara orang bersiul. Orang bersiul
bukan saja karena memanggil burung, bukan
saja karena hati riang dan bukan saja ka-
rena masuk angin. Ada juga yang bersiul
karena cari penyakit, seperti yang dila-
kukan oleh pemuda rambut pendek berwajah
polos.
Pemuda kurus berbaju coklat dan
bercelana biru itu bersiul dua kali keti-
ka melihat seorang gadis lewat di depan-
nya. Pemuda itu serukan siulannya sambil
duduk di atas batu bawah pohon teduh, ka-
kinya melonjor satu, punggungnya bersan-
dar pohon, kedua tangannya ditaruh di be-
lakang kepala.
"Suiit, suuuiiit...!"
Gadis cantik berambut lurus sepun-
gung hentikan langkahnya. Wajah cantiknya
yang mungil itu di palingkan memandang
pemuda berusia sekitar dua puluh tahun
itu. Si pemuda sunggingkan senyum menggo-
da. Si gadis menghampirinya.
"Hai...!" sapa si pemuda.
Ploook! Balas si gadis. Pemuda itu
menggeragap dan langsung turun dari batu
karena tamparan keras si gadis yang tak
disangka-sangka itu.
"Kau pikir aku burung kepodang?!"
gertak gadis berusia sekitar dua puluh
dua tahun itu. Matanya menatap tajam dan
berkesan galak. Si pemuda menjadi takut,
bahkan tak bisa bicara.
"Awas, kalau sekali lagi menggoda
ku dengan siulan mu! Kurobek mulutmu!"
ancam si gadis bertubuh langsing itu. Ke-
mudian ia lanjutkan langkahnya. Rambutnya
yang lurus panjang sepunggung dan lemas
itu melimbak-limbak indah saat dipakai
untuk berjalan. Si pemuda berkalung keta-
pel di lehernya hanya bisa memandang den-
gan hati penuh gerutu.
"Sombong! Mentang-mentang cantik,
ada orang bersiul tidak boleh! Hmmm...!
Siul pakai mulut sendiri kok dilarang?!
Gadis macam apa itu?"
Pemuda kurus berkulit sawo matang
itu nekat bersiul lagi.
"Suiit, suuuiitt...!"
Tapi kali ini ia sambil memandang
ke atas, sambil menggenggam ketapelnya,
seakan mencari seekor burung untuk dibi-
diknya. Sang gadis yang belum jauh da-
rinya segera hentikan langkah. Pemuda itu
melirik sekilas, lalu memandang ke atas
lagi.
"Suitt, suiiit....!"
Siulan itu terdengar pada saat si
gadis ingin melangkah lagi. Tentu saja si
gadis menjadi dongkol dan yakin bahwa ia
sedang digoda dengan siulan. Langkahnya
terhenti sebentar, pandangi si pemuda.
Sementara si pemuda menarik-narik
karet ketapelnya seperti mau membidik bu-
rung di atas pohon.
Tapi gadis itu segera mendekati si
pemuda. Dengan wajah takut si pemuda me-
mandang dan melangkah mundur. Si gadis
menatap dengan tajam dan wajahnya tampak
berang.
Plaak...! Si gadis menampar lagi.
Kali ini kenai lengan si pemuda, karena
pemuda itu menghalangi wajahnya dengan
melintangkan lengan.
"Kurang ajar! Kau anggap aku burung
beo, ya?!"
"Aku bersiul sendiri kok!"
"Bohong! Kau pasti bersiul untuk
menggoda ku! Kau kira aku gadis murahan
yang tiap malam jual diri?!"
"Aku tidak menganggapmu begitu. Ta-
pi kalau kau memang mau jual diri, aku
coba untuk menawarkannya!"
"Keparat! gadis itu makin menggeram
marah. Maka kakinya segera berkelebat me-
nendang si pemuda. Tendangan itu cukup
tepat dan tak tertangkis oleh si pemuda.
Beet...! Buuhk...!
"Uuhk...!" Si pemuda menyeringai
karena perutnya terkena tendangan dengan
telak. Rasa mual dan mulas pun mulai mem-
buat napasnya menjadi sesak. Pemuda kurus
itu jatuh terduduk membentur pohon saat
menerima tendangan si gadis berpakaian
serba kuning itu.
"Rupanya kau mau main-main dengan
Estigina, ya?!" sambil ia menepuk da-
danya, membanggakan namanya sendiri seba-
gai Estigina.
Pemuda itu menunduk dalam duduk
sambil pegangi perutnya yang mulas. Sema-
kin didekati Estigina semakin berkerut
tubuhnya.
"Aku paling benci jika digoda pemu-
da dengan siulan! Ku anggap hal itu me-
rendahkan harga diriku!"
"Aak... aku... aku bersiul untuk
memanggil burung yang akan kubidik. Tapi
ternyata yang datang dirimu. Mana kutahu
kalau siulanku bukan mendatangkan burung
tapi mendatangkan dirimu. Aku...."
"Cukup!" bentak Estigina. "Coba ma-
na ketapel mu?!"
Estigina langsung merebut ketapel
dari tangan si pemuda berwajah polos ba-
gai seorang bocah ingusan itu. Estigina
memeriksa ketapel itu.
"Mana batunya?! Kalau kau mau mem-
bidik burung pasti ada batu di ketapel
ini?!"
"Bat... batunya jatuh," jawab si
pemuda dengan takut dan gugup.
"Alasan!" sentak Estigina sambil
membuang ketapel itu. "Sekali lagi kau
bersiul menggoda ku, rontok gigimu!" se-
raya si gadis berpedang di pinggang itu
mengacungkan kepalan tangannya. Setelah
itu, ia buru-buru teruskan langkahnya
tanpa hiraukan pemuda berbaju coklat tua
itu.
Pemuda itu segera memungut ketapel-
nya yang tadi dibuang di semak-semak. Ia
bicara sendiri dalam nada menggerutu pe-
lan.
"Dasar tolol aku ini! Mengapa tadi
ketapel ini tidak ku isi dengan batu biar
kelihatan benar-benar mau membidik bu-
rung?!"Uuh...! Otak kalau nakal akhirnya
ketahuan juga, ya?! Sial! Perutku jadi
mual begini. Tendangannya keras sekali.
Untung perutku tak sampai jebol, Kalau
perutku sampai jebol, nanti kalau aku ma-
kan bagaimana?!"
Pertanyaan-pertanyaan bodoh itu
terlontar pelan dari mulut si pemuda,
seakan ia bicara dengan dirinya sendiri.
ia mencoba mengambil napas panjang untuk
melonggarkan sesuatu yang terasa menyesak
di perutnya. Sambil menghirup napas pan-
jang kepalanya mendongak ke atas. Dili-
hatnya seekor burung gagak terbang seba-
tas dedaunan pohon!
Pemuda itu buru-buru mengambil batu
dan menempatkan pada ketapelnya. Burung
itu dibidik sesaat dengan satu mata agak
terpejam.
Breet...! Plok...!
"Kaaak...!" suara burung memekik
satu kali, kemudian burung itu meluncur
dari jatuh di balik semak seberang sana.
"Wah, jauh sekali jatuhnya?! Se-
baiknya kucari burung itu. Lumayan bisa
untuk isi perut siang ini!"
Pemuda bersabuk kain putih itu se-
gera berlari ke semak-semak seberang. ia
tak tahu kalau burung yang berhasil dije-
pretnya mengenai bagian kepala itu jatuh
tepat di depan langkah Estigina. Sang ga-
dis terpekik pendek karena kaget dan me-
lompat mundur dengan jantung berdebar-
debar. Plook...!
"Hahh...?! Setan belang! Pasti ulah
si pemuda tolol itu! Seenaknya saja ia
melemparkan bangkai burung di depanku?!
Rupanya ia benar-benar minta dihajar sam-
pai babak belur baru merasa jera meng-
gangguku!"
Estigina berbalik arah dan hampiri
si pemuda di tempat tadi. Wajah cantiknya
benar-benar dibungkus oleh kemarahan yang
seolah-olah tak bisa dijinakkan lagi itu.
Tapi ketika sampai di sana, si pemuda tak
ada dan Estigina menyangka pemuda itu
bersembunyi. Maka ia pun mencari pemuda
tersebut di sekitar tempat itu. Ia tak
tahu bahwa si pemuda sudah menemukan bu-
rung buruannya dengan menerabas semak me-
motong jalan.
"Nah, lumayan dapat seekor!" si pe-
muda nyengir kegirangan. "Sebaiknya sege-
ra kubakar di bawah pohon rindang yang
tadi. Tempat itu terasa nyaman dan cocok
untuk bersantap siang begini!"
Tetapi sebelum pemuda itu tiba di
tempat dia mendengar suara pekikan kecil.
"Aauw...!"
Rupanya Estigina telah ditotok se-
seorang dari belakang. Orang itu menyen-
tilkan batu kerikil sebesar kacang tanah.
Tees...! Batu itu tepat kenai tengkuk Es-
tigina, sehingga gadis itu terpekik ka-
get.
Namun setelah itu Estigina tak mam-
pu berseru lagi. Ia jatuh terpuruk dengan
lemas. Ia bagaikan tak mempunyai tulang
dan urat sedikit pun. Tetapi ia masih
mempunyai kesadaran, masih bisa melihat,
juga masih bisa berkecamuk dalam hati.
"Kita bersenang-senang sebentar,
Sayang ku!" ujar seorang pemuda dan pemu-
da itu segera tertawa dalam gumam.
Estigina sadar tubuhnya dibawa ke
balik semak-semak ilalang. Estigina juga
melihat jelas wajah pemuda yang menotok-
nya itu cukup tampan, berkumis dan ber-
cambang tipis, hidungnya mancung, rambut-
nya bergelombang sepundak. Pemuda yang
berusia sekitar dua puluh lima tahun itu
mengenakan pakaian serba merah dengan sa-
buk hijau dari kain. Kedua tangannya men
genakan gelang kulit binatang warna hitam
bertali silang-silang. Tubuhnya tinggi,
kekar, berotot dan berkulit langsat ber-
sih.
Baju merah lengan panjang yang di-
kenakan itu tak dikancingkan, sehingga
dadanya yang bidang tampak berbulu halus.
Di balik baju itu, ia menyelipkan sebuah
senjata lengkung yang dinamakan bumerang.
"Siapa dia? Aku tak kenal dengan-
nya? Mau apa dia membawaku ke balik se-
mak-semak ini?!" tanya hati Estigina den-
gan berdebar-debar.
Rupanya pemuda itu mempunyai ilmu
'Wicara Batin', sehingga ia dapat menden-
gar suara batin seseorang dalam jarak
tertentu. Maka ketika ia mendengar keca-
muk batin Estigina, ia pun lebarkan se-
nyum dan berkata dengan suara pelan.
"Kita memang belum pernah bertemu
dan belum saling kenal. Tapi sebentar la-
gi kita akan saling merasakan keindahan
yang luar biasa, Manisku. Heh, heh, heh,
heh!"
"Hei, apa-apaan ini?! Mengapa dia
melepasi pakaianku?! Ooh...?! Oh, jan-
gan...?!" seru hati Estigina.
Pemuda itu mendengarnya dan berka-
ta, "Tenang saja. Jangan gugup dan jangan
takut. Aku hanya akan membagi kebahagiaan
denganmu, Sayang...."
Kata-kata si pemuda yang seperti
orang menggumam itu didengar oleh pemuda
yang tadi ditampar oleh Estigina. Pemuda
berbaju coklat segera mendekati suara itu
dengan langkah pelan. Namun ia tak berani
menerobos masuk ke semak-semak, karena
dari tempatnya berdiri sudah dapat meli-
hat apa yang dilakukan oleh si pemuda
tampan berbaju merah itu. Tempat tersebut
lebih tinggi dari tempat yang dipakai
menggelar tubuh mulus Estigina itu.
"Oh, mau diapakan gadis itu?"tanya
batin pemuda berkalung ketapel. Perta-
nyaan batin itu tak tertangkap oleh ilmu
'Wicara Batin' si pemuda berbaju merah,
karena jaraknya lebih dari tiga langkah.
Pemuda berkalung ketapel itu menggerak-
gerakkan kepalanya agar bisa memandang
secara keseluruhan.
"Ooh, pemuda itu manusia serigala?!
Dia mau memakan bibir Estigina?! Lho, ta-
pi... tapi apa benar bibir gadis itu di-
makan sampai habis?!"
Pemuda berbaju merah ternyata men-
ciumi wajah cantik Estigina. Ciuman itu
merayap dan sekarang hinggap di bibir
mungil Estigina. Bibir itu dipagut-pagut
pelan, dilumat dengan lembut sambil tan-
gannya meraba dada si gadis.
Estigina ingin meronta, namun tak
kuasa. Bahkan menggelengkan kepala untuk
hindari kecupan tersebut juga tak punya
daya sedikit pun. Ia hanya meratap dalam
hatinya.
"Jangan... jangan... ooh, jangan
nodai aku...."
Suara batin itu didengar oleh si
pemuda, namun tidak dihiraukan. Si pemuda
justru merayapkan kecupannya ke leher Es-
tigina. Lidahnya merayapi sekitar leher
beberapa saat, sambil berusaha melepas
bajunya sendiri.
"Ooh, tubuhmu mulus sekali, Sayang!
Hmmm... dadamu sungguh menantang gairah-
ku. Bukan main indahnya!" ujar si pemuda
dengan suara berbisik. Kemudian mulutnya
menempel di dada itu. Ujung dada yang ma-
sih tampak ranum itu dilumatnya dengan
lembut.
"Oooh...!" si gadis mengeluh dalam
hati. Ia dapat merasakan desiran nikmat,
namun batin yang bertentangan membuat ke-
nikmatan itu tak bisa diresapi. Hasrat
yang ada dalam jiwanya adalah meronta,
memberontak dari cumbuan si orang asing
itu.
Agaknya Estigina tak punya kesempa-
tan lagi untuk hindari noda. Pemuda itu
dengan santainya mengatur posisi Estigi-
na, termasuk menjauhkan kedua kaki gadis
itu. Sementara kedua tangan Estigina di-
rentangkan ke atas hingga ketiaknya ter-
buka bebas. Pemuda itu benar-benar ber-
jaya atas diri Estigina. Diciumnya selu-
ruh tubuh Estigina dengan pagutan-pagutan
kecil dan sapuan lidah yang menghangat.
Pemuda berkalung ketapel tak bisa
berkutik. Apa yang disaksikan oleh ma-
tanya itu membuatnya panas dingin dan tu-
buhnya gemetaran, giginya gemeretak bagai
berada di puncak gunung bersalju. Cela-
nanya menjadi basah sendiri, akibat ke-
ringat dinginnya mengalir deras di seku-
jur tubuh.
"Apakah... apakah itu yang dinama-
kan bercumbu?!" pikir pemuda berkalung
ketapel yang masih polos dan lugu itu.
"Apakah kalau bercumbu harus... ha-
rus ucapkan kata 'sayang' beberapa kali?
Ooh... tapi kenapa pemuda itu tak menaruh
belas kasihan kepada Estigina? ia menggi-
giti tubuh Estigina yang ramping dan ber-
kulit semulus itu? Estigina bisa mati
akibat gigitan berbisa itu! Oh, dasar
orang tak punya otak!" maki pemuda itu
dalam sebaris gerutuan batinnya. "Mungkin
tindakan seperti itulah yang dinamakan
perkosaan."
Pemandangan yang makin lama semakin
menggetarkan jiwanya itu telah membuat
lututnya bagai tak bertulang. Akhirnya
pemuda berkalung ketapel duduk di bawah
pohon, terlindung akar-akar pohon yang
pipih dan besar itu. Ia meringkuk di sana
dengan menggigil dan gigi gemeretak.
"Kok rasanya aku kepingin buang air
kecil, ya?" gumam hati pemuda berkalung
ketapel. Namun ia tak mampu berdiri men-
cari tempat untuk buang air kecil. Ia se-
makin lemas, semakin merasa tak mempunyai
kaki lagi. Matanya masih memandang ke ba-
lik semak ilalang dari celah-celah akar
pohon tersebut. Ia masih melihat si pemu-
da berbaju merah yang sudah mulai mengen-
durkan celananya.
Namun tiba-tiba terdengar suara si-
ulan yang mengalun tinggi, meliuk-liuk
bagai nyanyian kematian. Siulan itu mem-
punyai getaran tersendiri yang mampu
menggugah perasaan duka di hati siapa sa-
ja yang mendengarnya.
"Fuuiiiuuu... uuiiiuu... uuiiuuut!
Fuuuiii, fuuuii, fuuiiit...!"
Pemuda itu tak jadi kendorkan cela-
na. Gerakannya terhenti seketika, karena
merasa akan ada segumpal duka yang meng-
ganjal di dadanya. Ia pun segera teringat
kematian ayah dan ibunya yang meninggal-
kan dirinya dalam usia sepuluh tahun. Su-
ara siulan itu makin lama semakin mengi-
ris hati, sangat menyedihkan dan menim-
bulkan bayangan-bayangan yang memilukan.
"ibuu, Ayaaah... mengapa kalian
pergi saat aku masih kecil? Ooh, ibuu...
Ayah... sekarang anakmu hidup sebatang
kara...," ratap hati pemuda bercambang
tipis itu.
Estigina sendiri sempat sadari ke-
janggalan tersebut. Ia tahu si pemuda mu
lai bangkit berdiri, tak jadi merenggut
kesuciannya. Tapi tangis di hati Estigina
semakin meratap-ratap karena terpengaruh
suara siulan yang membangkitkan kesedihan
itu.
Ia dan pemuda yang mau memperko-
sanya itu tidak tahu bahwa siulan itu be-
rasal dari mulut berbibir tebal si pemuda
lugu itu. Rupanya pemuda berkalung keta-
pel itu mempunyai getaran suara siul yang
mampu menyentuh perasaan, membangkitkan
saraf duka, membuat orang yang mendengar-
nya menjadi sedih. Bahkan bisa membuat
orang menangis meraung-raung di luar ke-
sadaran orang tersebut.
Entah apa lagi yang dapat dilakukan
oleh suara siulan itu selain membuat
orang menjadi sedih dan menangis, yang
jelas siulan itu telah membuat si pemer-
kosa kehilangan gairah. Jika ia tak mela-
wannya dengan napas tenaga dalam, maka
pemuda pemerkosa itu akan menangis me-
raung-raung seperti menghadapi kematian
orang tuanya.
Hilangnya gairah untuk menikmati
kehangatan seorang gadis membuat pemuda
tersebut akhirnya melangkah pergi dengan
menahan tangis setelah merapikan pakaian-
nya. Ia melangkah dalam lamunan duka, di
mana bayangan saat-saat jenazah ibu dan
ayahnya dimakamkan terpampang jelas dalam
benaknya.
Akhirnya ia berlari cepat dengan
kerahkan tenaganya untuk melawan rasa du-
ka yang nyaris membuatnya menitikkan air
mata. Ia pergi tanpa pedulikan si gadis
yang masih terkapar tanpa busana secuil
pun itu.
Sedangkan si pemuda berkalung keta-
pel duduk meringkuk di balik pohon per-
sembunyiannya dengan tubuh masih menggi-
gil dan jantung berdetak-detak. Siulannya
dihentikan setelah ia melihat pemuda ber-
baju merah pergi dan Estigina masih ter-
kapar polos tanpa seekor lalat pun di
atas tubuhnya. Namun pemuda berkalung ke-
tapel itu tetap menganggap Estigina telah
diperkosa oleh pemuda berbaju merah itu.
*
**
3
PADA saat itu, Pendekar Kembar dari
Gunung Merana dalam keadaan terpisah satu
dengan yang lainnya. Soka Pura sibuk men-
cari putri Adipati yang bernama Rara Wu-
lan. Soka mendapat kabar dari Bandar Ge-
tih bahwa Rara Wulan minggat lagi dari
istana kadipaten Wilujaga. Kali ini ke-
pergian Rara Wulan bukan karena protes
kepada sang ayah yang ingin kawin lagi,
melainkan karena merasa tersiksa menahan
rindu kepada Soka, (Baca serial Pendekar
Kembar dalam episode: "Gadis Penyebar
Cinta").
Soka pergi bersama Bandar Getih
tanpa seizin ayah angkatnya; si Pawang
Badai, dan tanpa pamit kepada Raka Pura.
Sang kakak tak ingin adik kembarnya cela-
ka dalam perjalanan mencari Rara Wulan.
Karenanya, atas seizin ayah angkatnya,
Raka pergi mencari Soka Pura. Tentu saja
sebaris gerutu kejengkelan meluncur dari
mulut Pendekar Kembar sulung itu.
"Bocah edan itu selalu bikin pusing
kepalaku! Persoalannya selalu tak jauh
dari urusan perempuan. Bosan aku! Apa ja-
dinya jika seluruh perempuan di dunia
tenggelam ke dasar bumi, apakah Soka juga
ikut menenggelamkan diri ke dasar bumi?
Hmmm! Konyol itu namanya!"
Perjalanan Raka Pura, si Pendekar
Kembar sulung tiba di tempat Estigina.
Tetapi sebelumnya pemuda berkalung keta-
pel itu sempat kebingungan menghadapi Es-
tigina yang masih tertotok jalan darahnya
dan menjadi lumpuh tanpa daya apa-apa
itu. Rasa iba membuat pemuda kurus agak
pendek itu ingin menolong gadis itu. Te-
tapi ia tak tahu harus berbuat apa terha-
dap gadis yang terkapar tanpa busana itu.
"Kalau aku mendekat, nanti aku di-
tampar. Kalau tidak mendekat, nanti aku
dikira mengintipnya. Aduh, serba salah
kalau begini!" keluh pemuda lugu itu.
"Tapi kalau dia dibiarkan terkapar
tanpa penutup sedikit pun, ooh... kasi-
han! Selain bisa membuatnya masuk angin,
juga bisa membuat tubuhnya yang putih mu-
lus itu dikerumuni semut. Kalau ada bu-
rung terbang di atasnya dan membuang ko-
toran, tubuh putih mulusnya bisa terkena
kotoran burung. Hmmm... sebaiknya aku ne-
kat menutupi tubuhnya itu biar tidak ker-
ing terpanggang matahari."
Akhirnya si pemuda nekat dekati Es-
tigina walau dengan langkah ragu-ragu dan
hati berdebar-debar. Estigina terkejut
ketika melihat wajah polos pemuda yang
tadi ditamparnya itu muncul sambil menen-
teng bangkai burung. Keadaannya yang tak
berdaya membuatnya serba jengkel. Ingin
menyuruh pemuda itu pergi, tak bisa. In-
gin menampar pemuda itu, tak bisa. Ingin
meminta tolong pun tak bisa. Akhirnya da-
da Estigina terasa sakit sekali menahan
gejolak batin yang tak terpenuhi sedikit
pun itu.
"Uuh... halus sekali kulit tubuh-
nya?" pikir pemuda itu setelah ia meraba
lengan tangan kiri Estigina yang masih
merentang ke atas kepala. Usapan itu di-
lakukan setelah pemuda tersebut merangkak
pelan-pelan dekati Estigina, dan ternyata
Estigina tak bergerak sedikit pun, kecua-
li kedipan matanya yang basah oleh air
mata itu.
"Celaka! Apakah si tolol ini juga
ingin memperkosanya?! Matilah aku kalau
dia ikut-ikutan pemuda jalang tadi!" ujar
batin Estigina. Sekalipun Ia belum jadi
kehilangan kesuciannya, tapi karena selu-
ruh tubuhnya sudah dijamah dengan ciuman,
ia merasa sudah diperkosa.
Pemuda itu memang konyol. ia meman-
dangi tubuh itu lebih dulu dengan mata
berbinar-binar namun tangan tak berani
memegang ini-itu. Hanya tadi ia mengusap
lengan Estigina, selebihnya ia tak bera-
ni, karena naluri kelelakiannya membuat
jantungnya berdetak cepat seperti saat
mengintip dari gundukan tanah di atasnya
itu.
Rasa malu Estigina tak tertolong
lagi. Jiwanya bergolak, darahnya terba-
kar, kemarahannya ingin meledak ketika
pemuda itu memandanginya dari bagian ke-
pala sampai kaki. Pandangan mata itu di-
lakukan dengan pelan-pelan dan sambil me-
rangkak. Seakan si pemuda sedang meman-
dangi sesuatu yang amat dikagumi dan
mengherankan, sehingga Estigina menitik-
kan air mata lagi karena tak bisa lam-
piaskan kemarahannya yang menyakitkan da-
da itu.
"Oh, ini dia pakaiannya," ujar hati
pemuda itu. Ia memungut pakaian Estigina
yang tadi dilemparkan di tepian semak
oleh si pemuda jalang tadi.
Estigina ingin menjerit meluapkan
kemarahannya ketika melihat pemuda itu
membentang-bentangkan pakaiannya dari
yang luar sampai yang dalam. Rasa malu
bagaikan sebongkah batu yang menyumbat
pernafasannya.
Namun apa boleh buat, dalam keadaan
lumpuh begitu Estigina hanya bisa menatap
pakaiannya yang dijepit memakai dua jari
kanan-kiri dan dibentang-bentangkan oleh
si pemuda. Dahi pemuda itu berkerut bagai
merasa aneh terhadap pakaian-pakaian ter-
sebut.
Padahal di dalam hati pemuda itu
bertanya-tanya, "Jika pakaian ini harus
kukenakan ke tubuhnya, lalu bagaimana ca-
ra mengenakannya? Nanti disangkanya aku
mau kurang ajar, pegang-pegang tubuhnya
tanpa izin?! Tapi kalau tidak dipakaikan,
dia tidak mau mengenakan pakaian sendiri.
Apakah dia akan berbaring begitu terus
sampai malam tiba?!"
Pemuda itu tak tahu kalau Estigina
lumpuh karena terkena totokan. Pemuda itu
tak berani mengajaknya bicara, karena ta-
kut menyinggung perasaan si gadis dan ke-
na tampar lagi.
"Ah, masa bodo dengan pakaian ini!"
pemuda itu melemparkannya ke semak-semak
yang tadi. Lalu ia diam berpikir dalam
keadaan berdiri dekat kaki Estigina. Ma
tanya sesekali melirik ke tubuh polos itu
dengan napas kian sesak dan lutut tak bi-
sa tenang.
"Sebaiknya kucarikan penutup lain,
biar tubuhnya tak dikerumuni lalat!"
ujarnya dalam hati. Maka, pemuda itu pun
segera memetikkan daun-daun lebar yang
tumbuh di sekitar tempat itu. Beberapa
daun seperti daun pohon jati itu segera
diletakkan di atas tubuh si gadis itu.
Helai demi helai daun itu ditata
rapi hingga akhirnya menutup seluruh tu-
buh gadis itu. Bahkan wajah gadis itu pun
ditutupnya dengan beberapa daun lebar
tersebut. Kini keadaan Estigina justru
seperti seonggok sampah berbentuk orang
berbaring.
"Dasar tolol! Maha bodoh!" maki Es-
tigina dalam hati, karena ia tidak bisa
menolak saat tubuhnya di tutup dengan
daun-daun lebar itu. "Mengapa pakaianku
justru dibuang ke sana? Mengapa ia tidak
menutup tubuhku dengan pakaian itu?
Uuuh... raja tolol!"
Sekalipun begitu, Estigina tahu
maksud hati pemuda itu yang ingin melin-
dunginya dengan ketololan yang ada. Sikap
si pemuda yang tadi hanya memandangi tu-
buh polos tanpa memegang sana-sini kecua-
li lengan, juga dinilai si gadis sebagai
sikap yang baik dari otak seorang pemuda
yang bodoh. Tetapi rasa dongkol dan kesal
kepada pemuda itu masih tetap mengganggu
batin Estigina.
Si pemuda sendiri merasa telah me-
lakukan sesuatu dengan benar dan baik. Ia
bahkan sempat tersenyum dan menghembuskan
napas panjang karena merasa lega atas apa
yang tadi membuatnya bingung sendiri itu.
"Nah, "sekarang tubuhnya sudah ter-
tutup semua. Tak akan dibakar terik mata-
hari, tak akan dikerumuni lalat...."
Tapi ia tak tahu bahwa beberapa he-
lai daun penutup tubuh itu mempunyai se-
mut-semut kecil yang menggigiti tubuh Es-
tigina dengan panas. Estigina ingin seka-
li menjerit sepuas-puasnya membuang kema-
rahan dan kejengkelan hatinya. Tapi yang
dapat dilakukan hanya menitikkan air mata
sambil menahan clekit-clekit panas akibat
gigitan semut kecil itu.
"Setelah begini, apa lagi yang ha-
rus kulakukan, ya?!" pikir pemuda itu
sambil garuk-garuk kepala. "Hmmm... aku
harus cari orang dan minta tolong pada
orang itu untuk memakaikan pakaian Esti-
gina. Jadi kalau ada apa-apa, biar orang
itu yang kena marah dan kena tampar oleh
Estigina!" ujar hati pemuda itu berkepu-
tusan.
Sebelum pemuda itu bergerak ting-
galkan tempat, ia sempat melihat sekele-
bat bayangan putih melintas di hutan se-
berang. Kontan saja tanpa berpikir pan
jang pemuda itu bersuit keras memanggil
bayangan putih itu.
"Suiiittt...!"
Siulan panjang itu berhasil menarik
perhatian seseorang yang sedang berkele-
bat itu. Orang tersebut hentikan langkah
dan memandang ke arah pemuda berbaju cok-
lat. Pemuda itu lambaikan tangannya, maka
orang berpakaian putih yang tak lain ada-
lah Raka Pura itu segera mendekatinya.
Pemuda itu tertegun sebentar meman-
dang kehadiran sesosok pemuda yang
usianya sedikit lebih tua darinya itu. Ia
merasa kagum melihat ketampanan Raka Pu-
ra, merasa ingin memiliki tubuh yang ke-
kar, tegap dan gagah seperti Raka Pura.
Ia sempat terpesona memandang pedang
kristal yang terselip di pinggang kiri
Raka Pura itu.
"Pasti dia seorang panglima perang
yang kehilangan kudanya," ujar hati si
pemuda berkalung ketapel itu.
"Hel, ada apa kau memanggilku den-
gan siulan sekeras itu?!" tegur Raka Pura
dengan nada sedikit tegas.
"Hmmm... eehh... anu, aku mau minta
tolong padamu."
Raka Pura memandangi wajah pemuda
sebayanya yang tampak resah itu. Raka me-
rasa baru kali itu bertemu dengan pemuda
tersebut, sehingga ia perlu tanyakan nama
lebih dulu.
"Siapa namamu dan dari mana asal-
mu?"
"Hmmm... aku berasal dari desa kaki
bukit seberang itu. Hmmm... namaku... na-
maku: Bujang Bodo.
Apakah... apakah namamu juga Bujang
Bodo?" Ia ganti bertanya dengan polos,
membuat Raka Pura sunggingkan senyum ge-
li.
"Bukan. Namaku bukan Bujang Bodo."
"Jadi, namamu Bujang apa? Bujan-
gan?!"
"Namaku tidak pakai Bujang. Aku
bernama Raka Pura. Kau bisa memanggilku
Raka saja."
"Ooo... kok beda, ya? Padahal usia-
mu kuperkirakan tak jauh dari usiaku."
"Usia itu tidak mempengaruhi nama,
Bujang Bodo!" kata Raka dengan menahan
geli. Ia mulai tahu pemuda yang dihada-
pinya sekarang adalah pemuda yang kurang
wawasan dan kecerdasannya cekak. Ia harus
banyak memaklumi jika nanti banyak perta-
nyaan tolol yang dilontarkan padanya.
"Apa yang harus kulakukan untuk me-
nolongmu. Bujang Bodo?!"
"Hmmm... eeh...," Bujang Bodo agak
sulit mengatakannya. Sebentar-sebentar
matanya melirik ke tumpukan daun yang me-
mancing perasaan heran di hati Raka Pura.
Saat itu Raka menganggap tumpukan daun
adalah sesuatu yang tidak berarti dan bu
kan hai yang meresahkan. Tapi dengan mem-
perhatikan gerakan mata Bujang Bodo, Raka
Pura menjadi tertarik juga dengan tumpu-
kan daun itu.
"Raka, hmmm... apakah kau pernah
mengenakan pakaian pada diri seorang ga-
dis?"
"Apa maksudmu?!" Raka Pura berkerut
dahi, lebih mendekati Bujang Bodo.
"Hmmm... apakah... apakah kau per-
nah mengenakan pakaian pada diri seorang
gadis yang telanjang polos?"
Raka sempat tertawa pelan. "Perta-
nyaanmu sangat aneh, Bujang! Tentu saja
aku belum pernah mengenakan pakaian pada
diri seorang gadis, karena aku tidak mem-
punyai adik perempuan. Adikku seorang le-
laki yang sudah pandai mengenakan pakaian
sendiri."
"Aku juga bisa mengenakan pakaian
sendiri. Tapi aku tak bisa, hmm... mak-
sudku, tak berani mengenakan pakaian pada
seorang gadis."
"Maksudmu gadis kecil? Adikmu?"
"Bukan, bukan...! Dia bukan adikku,
tapi..,."
"O, kalau mengenakan pakaian untuk
gadis kecil, kurasa aku bisa membantumu.
"Juga mengenakan celananya?"
"Dalam atau luar?" tanya Raka den-
gan usil sambil tersenyum geli.
"Luar dalam," jawab Bujang Bodo
membuat Raka lepaskan tawa walau tak sam-
pai terbahak-bahak. Bujang Bodo ikut ter-
tawa, tapi sumbang dan masih tetap dengan
hati resah.
"Baik, aku akan membantumu. Mana
gadis kecil itu, dan mana pakaiannya?!"
"Hemm... eeh... sebentar!" Bujang
Bodo kebingungan mencari pakaian Estigi-
na. Pakaian itu terlalu terbenam di semak
ilalang sehingga tak terlihat dengan mu-
dah.
Raka Pura geleng-geleng kepala sam-
bil tersenyum memperhatikan Bujang Bodo
kebingungan mencari pakaian di semak-
semak. Sambil menunggu pakaian itu dite-
mukan, Raka Pura sempatkan diri buang air
kecil, karena memang sejak tadi ia sudah
ingin buang air kecil.
Cuuur...! Air kecil dibuang di de-
kat tumpukan daun, memunggungi Bujang Bo-
do. Tentu saja hal itu mengejutkan si Bu-
jang Bodo. Pemuda itu membelalakkan ma-
tanya dengan mulut terperangah melihat
Raka Pura buang air kecil tepat di samp-
ing kepala gadis yang ditutupi dedaunan
itu.
"Aduh, gawat! Kenapa dia buang air
di situ? Bisa-bisa wajah Estigina terkena
percikan air kecil-kecil itu. Nanti aku
lagi yang disalahkan dan ditampar?!" ujar
Bujang Bodo dengan hati cemas. Pakaian
kuning itu sudah didapatkan dari segera
diserahkan kepada Raka Pura.
Sambil merapikan celananya, Raka
hampiri Bujang Bodo yang pegangi pakaian
kuning. Ia tampak tenang dan kalem, se-
pertinya tak pernah buang air di dekat
kepala seorang gadis.
Bujang Bodo hanya berkata, "Lain
kali jangan buang air di situ."
"O, ya?! Kenapa tak boleh?"
"Hmm... hmm... mengganggu pernapa-
san orang."
Raka Pura tertawa kecil. Peringatan
itu dianggap sindiran untuk menjaga ke-
bersihan lingkungan.
"Ini pakaiannya...," Bujang Bodo
serahkan pakaian itu.
Raka Pura terperanjat melihat uku-
ran pakaian cukup besar untuk seorang ga-
dis kecil dalam sanggahannya tadi. Bahkan
ia bertambah kaget ketika melihat ukuran
celana baik luar maupun dalam yang sudah
bukan milik gadis. kecil lagi itu.
"Gila...?!" mata Raka terbelalak
lebih lebar lagi. "ini... ini.... Ah, kau
gila!" Raka Pura sentakkan tangan mem-
buang semua pakaian itu.
"Katamu kau mau membantuku? Katamu
kau bisa mengenakan pakaian seorang ga-
dis?"
"Iya, tapi tidak segede itu! ini
bukan pakaian seorang gadis kecil tapi
seorang perawan!" Raka agak ngotot.
"Aku... aku tak bilang kalau gadis
itu masih kecil. Aku... aku hanya ingin
meminta bantuanmu untuk mengenakan pa-
kaian kepada seorang gadis yang polos
tanpa selembar benang pun."
"Edan kau ini!" gumam Raka Pura
dengan berdebar-debar, karena ia belum
pernah berbuat seseronok itu. Berbeda
dengan adiknya; Soka Pura, yang tak akan
gemetar sedikit pun jika diminta bantuan-
nya untuk mengenakan pakaian pada diri
seorang gadis sebesar apa pun.
"Bujang, sebaiknya mintalah bantuan
yang lain saja, aku akan membantumu."
"Bantuan yang kubutuhkan hanya itu
tadi; mengenakan pakaian."
"Tapi... tapi itu tidak mungkin ku-
lakukan. Sebab... sebab aku belum pernah
menyentuh tubuh gadis tanpa busana! Dan
lagi, kurasa gadis itu bisa mengenakannya
sendiri. Di lihat dari ukuran baju dan
celana luar dalamnya pasti dia sudah be-
sar dan bisa mengenakan pakaian sendiri."
"Seharusnya memang begitu. Tapi ga-
dis itu tak bisa atau tak mau kenakan pa-
kaiannya sejak ia selesai diperkosa."
"Diperkosa?! Edan lagi ini!" gumam
Raka dengan wajah kian menegang.
"Siapa yang memperkosanya? Kaukah
pemerkosanya?!"
"Belum!" Bujang Bodo ngotot sekali.
"Ehh... maksudku, bukan! Bukan aku pemer
kosanya! Tapi aku melihat rupa orangnya."
Raka pandangi wajah Bujang Bodo,
ternyata wajah itu memancarkan kejujuran.
Raka pun percaya dengan pengakuan Bujang
Bodo.
"Lalu, di mana gadis itu sekarang?"
Bujang Bodo mendekat dan berbisik,
"Itu... yang kututup dengan daun-daun!"
"Hahh...?!" Raka Pura terkejut me-
mandang tempatnya buang air tadi. Bujang
Bodo segera dekati tumpukan daun itu dan
membukanya sebagian. Tanpa disengaja daun
yang dibuka adalah daun tempat penutup
'mahkota' si gadis.
"ini dia...!"
"Jabang bayi...?!" Raka Pura terpe-
kik dan segera palingkan wajah tak berani
memandang terlalu lama. Jantungnya lang-
sung berdetak cepat sekali, napasnya mu-
lai terasa sesak dan kedua tangannya te-
rasa gemetaran.
"Ayolah, Raka...!" seru Bujang Bo-
do. Raka berpaling memandang Bujang Bodo
dengan mulut ternganga mau bicara. Tapi
ternyata Bujang Bodo ada di samping gadis
itu dan daun-daun penutup sudah dising-
kirkan semua dari tubuh si gadis, sehing-
ga tubuh itu tampak keseluruhannya.
"Edan!" Raka makin terpekik. "Sint-
ing! Gila! Goblok! Tutup dia!" seru Raka
Pura.
"Bantulah aku menutupnya dengan pa
kaian itu, Raka!"
"Aku tak sanggup!" sentak Raka da-
lam keadaan memunggungi. "Kalau gadis ke-
cil aku sanggup, tapi kalau sebesar itu
aku tak sanggup!"
"Adanya sebesar ini! Mana mungkin
bisa dikecilkan dulu?!" ujar Bujang Bodo
semakin ngotot.
Tapi Bujang Bodo segera terkejut
begitu pandangi tubuh mulus itu.
"Lho... kok jadi bengkak-bengkak
begini?!" ucapnya tanpa sadar.
Estigina masih tetap sadar dan men-
dengar ucapan itu. Hatinya diliputi rasa
ingin menampar wajah Bujang Bodo sampai
bonyok. Andai saja kala itu ia sudah bisa
bicara, maka ia akan membentak Bujang Bo-
do memberitahukan keadaan tubuhnya yang
bengkak-bengkak memerah karena gigitan
semut berbisa rendah itu.
Raka Pura semakin tak berani pan-
dangi gadis yang masih dalam posisi se-
perti saat diperkosa itu. Raka semakin
deg-degan karena ingat saat buang air ta-
di. Rasa malu dan takut tergiur membuat
Raka jadi serba salah dan tak tahu apa
yang harus dilakukan.
*
**
3
SETELAH mendapat penjelasan dari
Bujang Bodo lebih lengkap dan lebih te-
nang lagi, Raka Pura segera dapat simpul-
kan bahwa Estigina terkena totokan. Toto-
kan itu yang membuatnya tak berdaya, ba-
gaikan orang lumpuh. Tetapi bagaimana mu-
lanya sampai Estigina terkena totokan si
pemerkosa, Raka tidak tahu, sebab Bujang
Bodo pun tidak jelaskan awal peristiwa
pemerkosaan itu.
"Kukira karena dia kekenyangan se-
hingga tak bisa bergerak-gerak lagi,"
ujar Bujang Bodo setelah mendapat penje-
lasan dari Raka tentang jurus totok saraf
itu. Mereka bicarakan hal itu di balik
pohon, tempat Bujang Bodo mengintip ade-
gan hot itu.
"Kurasa dia masih bisa mendengar
suara dan mengingat rupa," ujar Raka Pu-
ra. "Akan kulepaskan pengaruh totokannya
itu dan...."
"Jangan!" cegah Bujang Bodo.' Nanti
kita yang kena sasaran kemarahannya. Aku-
lah yang paling banyak dapat tamparan da-
rinya. Dia gadis yang galak, Raka!"
"Aku akan bicara dulu padanya sebe-
lum kulepaskan totokan itu."
Raka Pura pun dekati Estigina den-
gan langkah mundur. Ia tak mau ada kesan
memanfaatkan kesempatan blak-blak itu
dengan memandanginya. Karena itu ia sen-
gaja bicara memunggungi Estigina.
"Nona, aku sudah dapat penjelasan
dari Bujang Bodo tentang nasibmu! Kau te-
lah terkena totokan dari si pemerkosa
itu. Tentunya kau ingat wajah dan ciri-
ciri si pemerkosa itu. Kuharap kau tidak
marah padaku ataupun pada Bujang Bodo.
Kami tak bermaksud memanfaatkan keadaanmu
yang serba polos itu. Tapi aku akan mele-
paskan pengaruh totokan itu asal kau ber-
sumpah dalam hatimu tak akan marah pada
kami dan tak akan menyalahkan Bujang Bodo
maupun aku!"
Estigina memang mendengar suara
itu. Ia mengerti maksud pemuda tampan
yang satu ini. Ia juga mendengar nama Ra-
ka Pura dan Bujang Bodo disebutkan pada
saat kedua pemuda itu saling berkenalan.
Hati gadis itu akhirnya tak menya-
lahkan kedua pemuda tersebut, karena ia
akhirnya paham keadaan Bujang Bodo yang
kurang cerdas itu dan sikap Raka Pura
yang malu dan takut kepada wanita, teru-
tama wanita telanjang sepertinya saat
itu.
"Jelek-jelek, Bujang Bodo sebenar-
nya telah berusaha menolongku dengan ke-
bodohannya. Seharusnya aku tak menyimpan
kemarahan kepada pemuda itu. Jika tak ada
Bujang Bodo, mungkin pemerkosa itu bisa
datang lagi sebelum pengaruh totokanku
buyar. Untung Bujang Bodo segera memang-
gil Raka Pura yang baru kali ini kulihat,
sehingga mudah-mudahan ia benar-benar bi-
sa membebaskan diriku dari totokan si ke-
parat itu."
Raka sengaja diam, memberi kesempa-
tan pada hati si gadis untuk berkesimpu-
lan setelah mendengar ucapannya tadi. Se-
telah diperkirakan si gadis selesai ber-
kesimpulan, Raka Pura perdengarkan sua-
ranya lagi dengan tetap memunggungi nya.
"Jika aku memandang mu dari kejau-
han, jangan kau anggap aku berniat kurang
ajar kepadamu. Aku hanya mengincar urat
nadimu untuk melepaskan totokan itu! Akan
kulakukan dari jarak jauh dengan lemparan
batu kecil. Jika kau kulempar berulang-
ulang, ku mohon jangan marah dan dongkol
padaku, karena itu berarti lemparan ku
belum tepat kenai urat nadi yang dapat
membuyarkan totokan itu."
Raka Pura menengok sedikit, walau
tetap tidak memandang ke arah gadis itu,
tapi jelas meminta perhatian khusus dari
si gadis.
"Kalau kau tetap menyalahkan aku
dan Bujang Bodo, maka aku akan menotok mu
lebih parah dari saat ini, dan akan kami
biarkan selamanya!"
Raka ambil napas panjang, kemudian
berkata sedikit keras, "Akan kumulai...!"
Bujang Bodo hanya diam di atas gun
dukan tanah tempatnya mengintai tadi. Ia
mendengar ucapan Raka Pura dan manggut-
manggut membenarkan kata-kata itu. Raka
Pura segera kembali dekati Bujang Bodo.
Ia mengambil beberapa batu kerikil yang
akan dilemparkan. Bujang Bodo membantu
mencarikan batu, lalu diserahkan kepada
Raka. "Ini yang agak besar...."
"Untuk apa batu sebesar ini?!" ujar
Raka sambil membuang batu sebesar kepa-
lanya yang diberikan Bujang Bodo.
"Biar lemparanmu lebih mantap la-
gi!"
"Bisa mati gadis itu kalau dilempar
pakai batu sebesar ini. Tolol!" sentak
Raka Pura mulai jengkel, tapi di sela ke-
jengkelan itu ia menyimpan tawa geli dan
memaklumi keadaan Bujang Bodo.
Raka mulai menyentilkan batu perta-
ma. Tess..! Tapi karena matanya memandang
tubuh polos dan tangannya gemetaran, maka
lemparan itu tidak kenai sasaran. Batu
kecil itu justru kenai pelipis Estigina.
Tuuk.
"Aduh!" Estigina memekik dalam ha-
ti.
Tees, tees, tees...!
Tiga lemparan batu yang disentilkan
dengan di saluri tenaga dalam secukupnya
itu masih meleset dari sasaran. Batu itu
kenai perut," pinggang dan ujung dada si
gadis, membuat si gadis memekik beberapa
kali dan ingin menangis karena kesakitan.
Raka Pura gelisah. Keringat dingin-
nya mengalir deras karena terlalu lama
memandang tubuh polos. Akibatnya sentilan
batunya tidak bisa tepat kenai sasaran.
Padahal ia ingin sentilan batu itu kenai
urat nadi bagian leher, sedikit di bawah
urat besar yang ada di leher tersebut.
"Sialan! Aku terlalu gugup, sehing-
ga sejak tadi sentilanku tak bisa kenai
sasaran!" gumamnya pelan tanpa memandang
Bujang Bodo. Si Bujang Bodo justru meman-
dangnya dengan hati kecewa.
"Kau harus tenang."
"Memang. Tapi...tapi aku tak bisa
tenang karena baru kali ini kulihat gadis
sepolos itu dan semulus itu."
Raka Pura tarik napas dalam-dalam
menenangkan kegundahan hatinya sesaat,
lalu menyentilkan batu kerikil lagi ke
arah leher Estigina. Tess, teess...!
Melihat dua sentilan itu tidak mem-
buat Estigina sadar, maka Bujang Bodo
mengambil segumpal tanah padat. Ia melem-
parkan tanah padat itu menggunakan keta-
pelnya. Wess...! Plook...!
"Edan kau ini!" bentak Raka Pura.
"Kena! Bidikanku tak pernah mele-
set. Buktinya kena di pipi gadis itu!"
"Jangan ikut-ikutan melempar, apa-
lagi dengan ketapelmu! Kau pikir kita se-
dang berburu burung puyuh?!"
Bujang Bodo menggerutu tak jelas
sambil bersungut-sungut. Ia tak tahu bah-
wa saat itu Estigina memekik keras dalam
hati, karena rasakan sakit sekali saat
pipinya terkena slepetan Bujang Bodo. Ra-
ka pun menduga begitu hingga menaruh rasa
kasihan sekali kepada si gadis.
"Awas, kalau kau ikut-ikutan melem-
par, lagi, ku lempar sendiri kepalamu
dengan batu yang kau ambil tadi!" ancam
Raka Pura dengan hati jengkel.
Tees...! Raka Pura sentilkan batu
lagi. Kali ini tepat kenai sasaran. Esti-
gina tersentak. suara jeritan mengawali
kesadarannya, menandakan dirinya terlepas
dari pengaruh totokan si pemerkosa tadi.
"Aaaa..!"
Bujang Bodo kaget dan segera berla-
ri cepat menjauhi tempat itu dengan rasa
takut. Gerakan Bujang Bodo yang berlari
cepat bersamaan suara jeritan itu membuat
Raka Pura sempat kaget dan ikut lari pu-
la. Tapi ia segera sadar bahwa hal itu
tak perlu dilakukan. Akhirnya ia hentikan
langkah dan tertawa geli sendiri dalam
hatinya.
"Kenapa aku ikut-ikutan goblok se-
perti si Bujang?!" gerutu Raka dalam ha-
ti.
Gadis itu menangis meratap-ratap.
Seluruh perasaannya yang sejak tadi meng-
gumpal di dalam dada, kini tercurah se
mua.
"Nona... hentikan tangismu. Tolong
hentikan tangismu dulu," bujuk Raka den-
gan ragu-ragu untuk mendekatinya. Sang
gadis tetap menangis hingga terisak-isak.
Raka Pura terpaksa membujuknya lagi.
"Nona... Estigina, hentikan dulu
tangismu, Estigina."
"Persetan dengan bujukan mu! Kau
tidak merasakan sakitnya jiwa raga ku di-
perlakukan begitu keji oleh pemuda jaha-
nam itu!" bentak Estigina.
"Mak... maksudku... menangisnya
nanti dulu. Sekarang pakailah dulu pa-
kaianmu!"
"Oooh...?!" Estigina terperanjat
dan segera sadar bahwa ungkapan perasaan-
nya membuat lupa mengenakan pakaian. Ia
pun buru-buru mengenakannya sambil lan-
jutkan tangis yang menghiba hati Raka Pu-
ra. Sementara itu, Bujang Bodo memandang
dari kejauhan dengan kepala tertunduk,
sesekali melirik cemas dan terharu.
Kesedihan itu bukan kesedihan main-
main atau dibuat-buat. Bagi seorang ga-
dis, 'mahkota' adalah bagian yang sangat
dikeramatkan. Kini 'mahkota' itu telah
dibeberkan begitu saja dan dijamah se-
enaknya. Rasa malunya begitu besar, mem-
bakar dendam dan kemarahan. Karenanya
tangis Estigina sulit di redakan. Raka
Pura sampai bingung mencari cara untuk
membujuk tangis itu.
"Lebih baik aku mati daripada harus
menanggung malu begini!" ujar Estigina di
sela isak tangisnya.
Bujang Bodo beranikan diri berkata
dalam keadaan berdiri di belakang Raka
Pura.
"Kalau kau mati, kau tak bisa ma-
rah-marah kepada pemuda itu! Jangan mati
dulu sebelum marah kepada pemuda itu."
Ucapan lugu terasa menyadarkan emo-
si Estigina. Dendamnya mulai membara ba-
gai mendidihkan seluruh darah dalam tu-
buhnya. Bayangan pemuda bercambang tipis
dianggap telah memperkosanya masih lekat
dalam ingatan. Mata indah itu pun menyi-
pit pancarkan dendam yang begitu besar.
"Aku harus membunuhnya! Aku harus
membunuh lelaki itu!"
"Jangan kau bunuh," ujar Raka Pura.
"Kalau kau membunuhnya maka dia tak mera-
sa punya tanggung jawab yang harus dipi-
kulnya. Dia telah memperkosamu, merusak
harapan hidupmu, dia harus berani bertan-
gung jawab dengan mengawinimu dan...."
"Tak sudi aku kawin dengannya! Per-
kawinan belum cukup menebus dendamku pa-
danya! Kematianlah yang membuat dendamku
akan reda dan pasrah kepada sang nasib!
Sekarang juga aku akan mencarinya!"
"Tunggu...!"
"Aduuh...!" Estigina menyeringai
kesakitan. Tubuhnya terasa sakit semua
sejak kejadian itu, ia tak mampu berjalan
cepat atau melangkah terlalu lebar. Belum
lagi rasa gatal dan panas di sekujur tu-
buhnya akibat gigitan semut dari daun-
daun penutup tubuh tadi. Estigina akhir-
nya jatuh lemas. Jiwa yang terpukul mem-
buat semangat hidupnya menurun, tenaganya
bagai mengendap tanpa gairah lagi.
Raka Pura segera memapah gadis itu.
Hatinya benar-benar trenyuh melihat duka
sang gadis. Tapi ia bingung, harus ke ma-
na membawa sang gadis untuk menenangkan
jiwa dan beristirahat beberapa saat.
"Jauhkah tempat tinggalmu dari si-
ni, Bujang Bodo?!"
"Tidak seberapa jauh! Perjalanannya
tak sampai sehari semalam," jawab Bujang
Bodo.
"Aku butuh tempat untuknya!"
"Aku juga butuh tempat."
"Maksudku, bawa aku ke tempat ting-
galmu, biar Estigina dapat menenangkan
jiwa dan beristirahat!"
"Bagaimana kalau dia kita bawa ke
rumahku?!"
"Memang itu maksud kata-kataku ta-
di!" bentak Raka Pura jengkel sendiri
dengan kebodohan pemuda kurus itu. Maka,
Bujang Bodo pun segera membawa mereka ke
rumahnya.
Bujang Bodo tinggal bersama seorang
kakek. Ia adalah satu-satunya cucu yang
masih tersisa dari amukan bencana alam
beberapa tahun yang lalu. Bujang Bodo
ternyata cucu seorang tukang pande besi
yang bernama Ki Darmala.
Sang kakek yang berbadan kurus na-
mun tampak ulet dalam bekerja membuat pe-
ralatan dapur, senjata dan sebagainya itu
juga menaruh rasa iba hati kepada nasib
Estigina. Setelah Ki Darmala mendengar
ciri-ciri pemuda yang memperkosa Estigina
dari mulut Bujang Bodo, diperkuat dengan
pernyataan Estigina yang membenarkan uca-
pan Bujang Bodo, maka pak tua berusia se-
kitar enam puluh tahun itu segera menggu-
mam dan manggut-manggut.
"Beberapa hari yang lalu, seorang
sahabatku juga singgah kemari," ujar Ki
Darmala. "Ia juga menceritakan tentang
nasib malang keponakannya yang diperkosa
oleh pemuda berciri-ciri seperti itu. Me-
nurut sahabatku itu, pemuda tersebut ber-
nama Bima Sura yang kemudian dikenal den-
gan nama Iblis Pemburu Wanita."
"Iblis Pemburu Wanita?" gumam Raka
Pura sambil kerutkan dahi, karena merasa
asing dengan nama dan julukan itu.
"Kabar yang kudengar dari saha-
batku, Iblis Pemburu Wanita itu berasal
dari Teluk Serong," ujar Ki Darmala keti-
ka malam tiba dan mereka menginap di ru-
mah Bujang Bodo itu.
"Menurut sahabatku, Iblis Pemburu
Wanita itu berilmu tinggi, karena ia mu-
rid dari tokoh aliran hitam yang cukup
kondang di kawasan pantai utara, yaitu
Resi Murang Sarak!"
"Aku pernah dengar nama Resi Murang
Sarak!" sahut Estigina. "Dia tokoh tua
yang pernah mati satu kali dan bangkit
lagi dari kuburnya setelah empat puluh
hari!"
"Benar. Sahabatku juga jelaskan
tentang hal itu. Nona Estigina! Dia me-
mang tokoh aliran hitam yang punya segu-
dang ilmu setan! ilmu yang diturunkan ke-
pada sang murid itulah yang membuat sang
murid menjadi brutal, ganas dan haus pe-
rempuan," sambung Ki Darmala.
Raka Pura menyimak baik-baik kete-
rangan itu dan mencatat dalam otaknya
tentang siapa sebenarnya Iblis Pemburu
Wanita itu. Bahkan ia sempat berkerut da-
hi ketika Ki Darmala berkata lagi kepada
Estigina.
"Menurut kabar burung yang didengar
oleh sahabatku itu, Bima Sura selalu akan
memperkosa perempuan, setidaknya bercumbu
dengan lawan jenisnya untuk menambah ke-
saktiannya. Dalam empat puluh hari ia ti-
dak lakukan hal itu, maka ia akan mati
termakan kesaktiannya sendiri. Sebab ia
mempunyai ilmu aneh yang selalu membutuh-
kan tumbal berupa kehangatan seorang wa
nita!"
"Kalau begitu dia harus dimusnahkan
agar tidak merusak kehidupan kaum wanita
yang belum menjadi korbannya!" tegas Raka
Pura sepertinya ia bicara pada diri sen-
diri.
"Dia memang harus dihancurkan!" ge-
ram Estigina.
"Aku ikut menghancurkan!" timpal
Bujang Bodo.
Sang kakek menyahut, "Apa yang akan
kau hancurkan, Jang?!"
"Hmm... hmm... apa sajalah, asal
mudah dihancurkan akan kuhancurkan!" ja-
wab Bujang Bodo dengan wajah polos tak
ada kesan bercanda. Ekspresi wajah itu
hanya membuat hati yang lainnya menjadi
kesal. Sang kakek akhirnya menggerutu
sambil melengos dari cucunya.
"Kalau tak tahu persoalannya jangan
ikut-ikutan, nanti kau mati nganggur,
Jang! Lebih baik di rumah saja membantu
pekerjaan kakek ini!"
"Aku mau jadi pendekar, Kek!"
"Pendekar apa?! Bicaramu saja ja-
rang betul kok mau jadi pendekar?! Kalau
kau mau jadi pendekar, bergurulah kepada
Pendekar Kembar dari Gunung Merana! Ku-
dengar sekarang yang sedang jadi bahan
pembicaraan para tokoh dunia persilatan
adalah kedahsyatan ilmu si Pendekar Kem-
bar itu!"
Raka Pura terperanjat dan segera
tundukkan kepala saat Ki Darmala sebut-
sebut Pendekar Kembar. Ia memang belum
perkenalkan diri kepada mereka bahwa ia
adalah Pendekar Kembar.
Estigina tiba-tiba bersemangat da-
lam ucapannya.
"Kalau begitu, bagaimana jika kita
minta bantuan Pendekar Kembar untuk mela-
wan Iblis Pemburu Wanita itu?!"
"Kurasa itu gagasan yang baik, Nona
Estigina!" sahut Ki Darmala dengan berse-
mangat pula. Raka Pura hanya sunggingkan
senyum tipis dan tetap tenang.
"Apakah kau tahu letak Gunung Mera-
na?!" tanya Estigina kepada Raka Pura.
Pemuda itu tetap tenang walau mengangguk-
kan kepala dan mengulum senyum sendiri.
"Aku tahu tempat itu," akhirnya ia
berkata pelan tapi pasti.
Estigina tampak mulai berseri penuh
semangat karena merasa yakin dapat han-
curkan Iblis Pemburu Wanita jika dibantu
Pendekar Kembar. Ia tak tahu salah satu
Pendekar Kembar sudah ada di depannya.
*
* *
4
HUTAN cemara tumbuh berjajar rapi
di sepanjang lereng pegunungan. Cemara-
cemara hutan yang mempunyai dahan besar
bercabang-cabang itu menjadi tempat pela-
rian bagi seorang gadis cantik jelita
bertahi lalat kecil di sudut bibir bawah-
nya. Gadis yang gemar mengenakan jubah
tanpa lengan warna merah dengan rambut
dikelabang dua dan berpita merah juga itu
tak lain adalah Rara Wulan, putri tunggal
dari Adipati Damardikan.
Gadis berusia dua puluh tahun itu
memang terkenal bengal, bandel, tapi bu-
kan liar, ia sering menentang peraturan-
peraturan istana yang dikeluarkan oleh
ayahandanya sendiri.
Sudah dua kali ini ia minggat dari
istana kadipaten. Dulu ia minggat gara-
gara tak setuju dengan rencana sang ayah
yang akan menikah dengan Bintari Ayu. Se-
karang ia minggat dari Istana karena in-
gin mencari buah hati dan pria kerinduan-
nya; Soka Pura.
Rupanya gadis itu benar-benar jatuh
cinta kepada Soka Pura, sehingga kerin-
duan yang semakin hari semakin merimbun
itu tak sanggup dibendungnya dalam istana
kadipaten. Soka berjanji akan datang men-
gunjungi nya, paling tidak sedikitnya se-
minggu sekali. Pendekar Kembar bungsu itu
akan apel ke istana. Tetapi sudah lebih
dari sebulan Soka Pura tak pernah datang
ke istana kadipaten, sehingga Rara Wulan
nekat mencari Soka tanpa seizin ayahnya.
Ia hanya mengetahui bahwa Pendekar
Kembar berasal dari Gunung Merana. Maka
arah yang men-jadi sasaran pelariannya
itu adalah Gunung Merana. Tapi ia sendiri
tak tahu di mana Gunung Merana itu? Ia
tak mempunyai peta atau kompas yang bisa
menjadi penunjuk langkahnya, tapi ia be-
rani mencari Soka. Jika bukan gadis nekat
tak mungkin berani lakukan hal itu. Jika
bukan karena hati menampung gejolak cinta
tak mungkin ia berani menerabas hutan,
naik-turun bukit, sampai akhirnya tiba di
hutan cemara itu.
"Aku ingat, Ayah punya kenalan seo-
rang ahli nujum yang tinggal di hutan ce-
mara ini," pikir Rara Wulan. "Kurasa le-
bih baik mencari rumah Eyang Rangkasewa
dan meminta bantuannya untuk mencari di
mana Soka berada."
Di sekitar hutan cemara itu, nama
Rangkasewa memang cukup dikenal bagi para
pengembara maupun para tokoh di rimba
persilatan, ia seorang tokoh yang disega-
ni juga, karena setiap orang yang datang
padanya selalu diketahui maksud hatinya
sebelum orang itu mengawali pembicaraan.
Selain ilmu silatnya tergolong tinggi,
Eyang Rangkasewa juga seorang tokoh bero
tak cerdas namun sering berlagak bodoh.
Dalam usianya yang sudah mencapai delapan
puluh tahun itu, Eyang Rangkasewa belum
mempunyai seorang murid pun, sehingga ke-
hebatannya dalam ilmu nujum dan kanuragan
belum diturunkan kepada siapa pun.
"Kelak jika seluruh ilmuku sudah
kuturunkan kepada seorang murid aku baru
bisa mati dengan tenang," ujarnya kala
itu kepada ayah Rara Wulan. Hubungannya
dengan Adipati Damardikan sangat baik,
karena ia pernah menjadi penasihat adipa-
ti dalam masa pemerintahan Purwadita, ka-
kek dari Adipati Damardikan yang berarti
kakek buyutnya Rara Wulan.
Tetapi mencari tempat kediaman
Eyang Rangkasewa bukanlah hal yang mudah.
Hutan cemara yang begitu luasnya bagai
menenggelamkan pondok sang ahli nujum,
sehingga dapat membuat orang patah seman-
gat dalam upaya menemui Eyang Rangkasewa
itu.
Rara Wulan sendiri sudah hampir se-
harian tidak berhasil temukan pondok
Eyang Rangkasewa. Ia lelah berjalan me-
nyusuri hutan cemara yang berpohon reng-
gang itu. Dan pada saat ia duduk di atas
batu bawah pohon, tiba-tiba sekelebat
bayangan datang menghampirinya. Rara Wu-
lan terkejut dan sempat menggeragap kare-
na menyangka bayangan yang mendekatinya
itu adalah Soka Pura.
"Ooh...?!" Rara Wulan segera sadar
bahwa pemuda tampan yang kini berada di
depannya itu ternyata bukan Soka Pura.
Pemuda itu tidak dikenalnya. Tapi raut
wajahnya yang tampan, senyumnya yang ka-
lem dan kegagahannya yang meyakinkan mem-
buat Rara Wulan menjadi tak perlu merasa
takut. Hanya wajib curiga, karena rasa
asingnya terhadap pemuda berpakaian serba
merah yang bajunya tak dikancingkan itu.
"Sia... siapa kau?" tanya Rara Wu-
lan dengan pandangan curiganya.
"Aku seorang sahabat baru yang se-
jak dari lembah sana sudah mengikutimu.
Namaku; Bima Suta!"
Pemuda itu memperkenalkan nama as-
linya. Seandainya ia memperkenalkan julu-
kannya yang dikenal orang banyak sebagai
Iblis Pemburu Wanita, maka Rara Wulan tak
mau menanggapi senyum ramah pemuda itu.
"Mau apa kau mengikutiku dari sa-
na?"
"Ingin tahu namamu," jawab Bima Su-
ra dengan kalem, senyumnya memancarkan
pesona kegagahannya. Tapi hati Rara Wulan
tidak mudah terpikat oleh senyuman itu.
Ia menjaga hatinya untuk tidak terpikat
kecuali hanya mengakui bahwa senyum itu
memang indah dipandang mata.
Setelah diam sambil memandang bebe-
rapa saat, Rara Wulan pun perkenalkan na-
manya. Sikapnya tetap dijaga agar tidak
kelihatan sebagai wanita yang mudah ter-
bujuk rayuan dan senyuman.
"Namaku: Wulan! Untuk apa kau ingin
mengetahui namaku?" setelah berkata begi-
tu, hati Rara Wulan bicara sendiri, "Ba-
gaimanapun juga aku masih tetap memilih
Soka Pura ketimbang pemuda ini!"
Rara Wulan tak tahu kalau Bima Sura
mempunyai ilmu Wicara Batin', sehingga
ucapan batin Rara Wulan itu dimanfaatkan
oleh pemuda itu untuk mengelabuinya
"Kalau begitu apa-yang kucari me-
mang benar." ujarnya.
"Apa maksudmu?"
"Seorang sahabat menyuruhku mencari
gadis yang bernama Wulan. Ternyata seka-
rang aku sudah menemukannya."
"Siapa yang menyuruhmu mencariku?"
"Soka Pura!"
"Ooh. yaa ..?!" Rara Wulan terkejut
dan wajahnya menjadi tajam, sinar matanya
berbinar-binar menampakkan keriangannya.
"Di mana dia sekarang? Katakan. di mana
Soka Pura berada?!" sambil Rara Wulan de-
kati pemuda itu dan mengguncang-guncang
lengannya, Nada bicaranya mulai tampak
manja. seakan merengek ingin segera dite-
mukan dengan Soka Pura.
Bima Sura tersenyum girang. "Dia
ada di suatu tempat dan aku harus memba-
wamu ke sana!"
"Oh, ya... aku mau! Bawalah aku ke
sana sekarang juga! Bawalah aku, Bima Su-
ra!".
Tiba-tiba sebuah suara terdengar di
belakang mereka berdua.
"Jangan mau tertipu oleh bujuk
rayuannya, Gadis dungu!"
Tentu saja mereka terkejut dan se-
gera berpaling memandang ke belakang.
Ternyata di sana sudah berdiri seorang
nenek berjubah kuning lusuh. Nenek beru-
sia sekitar tujuh puluh tahun itu beram-
but putih rata disanggul di tengah kepa-
la. Rara Wulan yang merasa asing dengan
nenek bertongkat putih itu segera undur-
kan diri beberapa langkah, tapi Bima Sura
justru tersenyum sinis sambil bertolak
pinggang satu tangan.
"Rupanya kau masih belum jera dan
tetap menguntitku, Nini?!"
"Sebelum kau minggat ke neraka, aku
tetap akan memburumu, Iblis Pemburu Wani-
ta! Kau telah merusak kehormatan cucuku
dengan memperkosanya. Maka hukuman yang
layak adalah mengirim mu ke neraka!" ujar
sang nenek yang sebenarnya adalah Nini
Sawandupa. Ia mempunyai cucu bernama Ra-
tih Selayang yang juga kenalan baik Pen-
dekar Kembar; Raka dan Soka, (Baca serial
Pendekar Kembar dalam episode: "Kencan Di
Ujung Maut").
Rupanya pemuda itu telah berhasil
memperkosa Ratih Selayang, sehingga sang
nenek menjadi murka dan memburunya dengan
penuh dendam. Sementara itu, Rara Wulan
semakin undurkan diri menjauh begitu men-
dengar tindakan Bima Sura. Kecemasannya
menjadi bertambah, keraguannya terhadap
Bima Sura pun mulai menguasai batinnya.
Apalagi Nini Sawandupa menyambung
kata-katanya dengan suara lantang, di-
iringi dengan nada murkanya yang tak ter-
bendung lagi itu.
"Sudah lama kutahu kau adalah Iblis
Pemburu Wanita yang kerjanya merenggut
mahkota para gadis, bahkan para janda pun
mau dibujuk untuk melayani gairah setanmu
itu! Sudah lama kutahu kau berbuat begitu
untuk memperkokoh ilmu pemberian gurumu;
Resi Murang Sarak! Tapi aku tak pernah
peduli dengan tingkahmu selama kau tidak
mengganggu cucuku! Dan sekarang kau telah
menjadikan cucuku; Ratih Selayang, seba-
gai korbanmu. Maka jangan harap kau bisa
hidup lebih lama lagi, Bima Sura!"
"Jaga mulutmu, Nenek peot!" geram
Bima Sura dengan wajah mulai menampakkan
keberangannya. Matanya melirik sekejap ke
arah Rara Wulan, dan ternyata gadis itu
menyimak ucapan Nini Sawandupa. Hati pe-
muda itu menjadi terbakar dan mulai tim-
bul hasrat untuk membunuh Nini Sawandupa.
"Kalau kemarin-kemarin aku lari da-
rimu karena tak ingin memperkosamu, tapi
sekarang kau telah memancing murkaku. Ma
ka mau tak mau kau harus memperkosa nya-
wamu agar keluar dari raga yang sudah bau
tanah itu!"
"Bersumpahlah untuk tidak lari dari
pertarungan ini sebelum di antara kita
ada yang mati!" geram Nini Sawandupa sam-
bil melangkah ke Samping, mencari kesem-
patan untuk menyerang lebih dulu.
"Aku hanya bisa bersumpah; tidak
akan membiarkan kau hidup lebih dari se-
puluh helaan napas!" ujar Bima Sura den-
gan mata mengecil, memancarkan kebencian
yang dalam.
"Buktikan sumpahmu, Jahanam!
Hiaaah...!"
Nini Sawandupa melompat bagai singa
ingin menerkam mangsanya. Tangan kanannya
mengangkat tongkat putih yang siap dihan-
tamkan ke kepala Bima Sura.
Namun dengan tanpa bergeser dari
tempatnya berdiri, Bima Sura sentakkan
tangannya ke depan, dan gelombang tenaga
dalam cukup besar keluar dari telapak
tangan itu. Wuuuss...! Nini Sawandupa me-
rasa seperti diterjang sebongkah batu
yang sangat besar. Brruus...! Tubuh kurus
itu akhirnya terpental ke belakang tanpa
bisa menjaga keseimbangan geraknya.
Brruuk..! Nini Sawandupa jatuh ter-
banting dalam jarak delapan langkah dari
tempatnya berdiri tadi.
"Habis sudah riwayatmu, Nenek keri
put! Heeahh...!"
Rara Wulan terbelalak kagum menyak-
sikan gerakan Bima Sura yang berjungkir
balik, plik-plak, dengan cepat hingga me-
nyerupai bayangan menggelinding ke arah
Nini Sawandupa. Dalam sekejap saja pemuda
itu sudah tiba di depan Nini Sawandupa
yang baru saja bangkit dari jatuhnya.
"Haahhh...!!" suara pemuda itu me-
nyentak sambil telapak tangannya juga
menghantam ke depan. Dada sang nenek akan
jebol jika terkena pukulan telapak tangan
itu. Tetapi rupanya Nini Sawandupa masih
mampu bergerak dengan lincah dan cepat.
Dengan menarik satu kaki ke bela-
kang dan sedikit merendak, ia berhasil
menahan telapak tangan Bima Sura dengan
telapak tangan kirinya. Plaakk...!
Kedua telapak tangan itu saling me-
nempel dan mereka tampak seperti saling
dorong. Sang nenek kerahkan tenaga dalam-
nya untuk imbangi kekuatan tenaga dalam
Bima Sura. Akibatnya pertemuan dua tela-
pak tangan itu mengepulkan asap putih
yang makin lama semakin tebal. Tubuh Nini
Sawandupa bergetar. wajahnya menjadi me-
rah. Tubuh pemuda itu berkeringat walau
tak terlalu kelihatan menguras tenaga.
Rara Wulan memandang dari balik po-
hon dengan tegang. Ia melihat jelas Nini
Sawandupa mulai keluarkan darah dari mu-
lut dan hidungnya, sedangkan Bima Sura
masih tampak bersih dan tak kelihatan
ngotot sekali.
"Hiiaaah...!" tiba-tiba Nini Sawan-
dupa memekik keras. Keduanya sama-sama
tersentak ke belakang, terhuyung-huyung.
Namun tiba-tiba kaki Nini Sawandupa men-
jejak pohon di belakangnya. Wuutt..! Tu-
buh sang Nenek melambung di udara, ber-
salto maju melewati atas kepala lawannya.
Lalu kaki sang nenek segera menendang
punggung Bima Sura dengan keras.
Desss...!
"Aahk...!" Bima Sura tersentak ke
depan dan terhuyung-huyung nyaris jatuh
dalam keadaan punggungnya berasap. Ten-
dangan Nini Sawandupa membuat punggung
Bima Sura bagaikan terbakar.
Tapi pemuda itu masih mampu berba-
lik dengan cepat dan berdiri tegak dengan
dada sedikit membusung. Ia segera mengge-
rakkan kedua tangannya dengan urat-urat
mengencang semua dan napasnya ditarik
panjang-panjang.
Seeett, seett, seett...!
"Heeeaah...!"
Teriaknya keras-keras dalam keadaan
memasang kuda-kuda siap serang. Nini Sa-
wandupa cepat-cepat memutar tongkatnya
untuk hadapi serangan lawan. Tetapi pemu-
da itu segera sodokkan tangan kanannya
dalam keadaan semua jari mengeras lurus.
Suuut...!
Beehk...! Nini Sawandupa tersentak
mundur karena tangan Bima Sura mengelua-
rkan tenaga dalam cukup besar, melesat
dengan cepat dan kuat. Perempuan tua itu
akhirnya terjengkang dan berjungkir balik
di tanah hingga tongkatnya terlepas. Ke-
jap berikutnya, Bima Sura melayangkan tu-
buhnya dan kedua kakinya menginjak tubuh
kurus Nini Sawandupa yang dalam keadaan
terkapar dengan telinga, hidung dan mulut
keluarkan darah segar itu.
Namun pada saat kedua kaki Bima Su-
ra mau menyentuh dada Nini Sawandupa, ti-
ba-tiba sekelebat bayangan melesat dari
arah samping dan menerjangnya, Wees...!
Bruusss...!
"Aaahk...!" Bima Sura segera ter-
lempar sejauh delapan langkah. Ia jatuh
terbanting di sana dan segera bangkit la-
gi dengan wajah semakin murka. Namun baru
saja bangkit, sekelebat bayangan tadi te-
lah menerjangnya lagi. Wees...!
Brruuss...!
"Aaah...!" Bima Sura terpental jauh
lagi. Agaknya bayangan yang bersikap me-
mihak Nini Sawandupa itu tak memberi ke-
sempatan Bima Sura untuk memberikan se-
rangan balasan. Baru saja pemuda itu ber-
diri, ia sudah harus terlempar lagi hing-
ga berjungkir balik di udara. Brruus...!
Hal itu terjadi berkali-kali, sam-
pai akhirnya Bima Sura berada di tempat
yang jauh dari Nini Sawandupa. Kecepatan
gerak bayangan yang menerjangnya sukar
ditahan sedikit pun. Merasa tak diberi
kesempatan oleh si penyerang, Bima Sura
akhirnya berhasil meloloskan diri dengan
sentakkan kakinya ke bumi saat mau ter-
banting yang kesekian kalinya.
Deess..! Wuutt, wuutt...|
Pemuda itu melarikan diri dengan
cara melesat cepat, kakinya menjejak dari
pohon ke pohon. Tentu saja ia pergi sam-
bil membawa luka dalam yang cukup berba-
haya. Namun baginya lebih baik pergi da-
ripada mencoba melawan tapi selalu tak
mendapat kesempatan.
Si bayangan yang menerjang agaknya
sengaja tak mau mengejar. Ia kembali ke
tempat Nini Sawandupa terkapar dalam kea-
daan sekarat. Rara Wulan segera mendekati
Nini Sawandupa pada saat bayangan itu me-
nuju ke tempat tersebut.
Jleeg...! Bayangan itu menampakkan
wujudnya sebagai seorang kakek berjenggot
putih, berambut putih dikonde tengah ke-
pala, dan mengenakan pakaian model biksu
warna abu-abu. Rara Wulan terperanjat gi-
rang melihat tokoh tua yang tubuhnya ba-
gaikan tinggal tulang belulang itu.
"Eyang...?! Eyang Rangkasewa?!"
"Rara Wulan, kau telah membangunkan
tidurku dengan kegelisahan batinmu dalam
mencariku!" ujar si tokoh tua yang ter
nyata adalah Eyang Rangkasewa itu.
"Eyang, aku hampir saja tertipu
oleh pemuda tadi!" ujar Rara Wulan mulai
bermanja.
"Hampir saja kau terjebak bujuk
rayunya. Dia hanya inginkan tubuhmu seba-
gai penguat ilmunya! Tapi untung saha-
batku ini datang, sehingga kau luput dari
mulut buaya darat itu!"
"Aku mencari Soka Pura, Eyang," Ra-
ra Wulan segera utarakan maksudnya tanpa
basa-basi lebih dulu.
"Kita bicarakan di pondokku saja!
Bantu aku membawa tubuh Sawandupa ini!"
"Aku takut kena darah, Eyang. Aku
jijik menyentuh darah!" manja si gadis.
Eyang Rangkasewa hanya geleng-geleng ke-
pala.
Mereka pun bergegas ke pondok Eyang
Rangkasewa yang letaknya di kedalaman hu-
tan cemara itu.
*
* *
5
KABAR kepergian Rara Wulan diterima
Soka Pura dari pertemuannya dengan Bandar
Getih. Kala itu Soka Pura sedang dalam
perjalanan pulang dari Bukit Gamping, me-
nyelesaikan urusan pribadi dengan Dewi
Binal. Tanpa disengaja, di perjalanan So-
ka bertemu dengan Bandar Getih. Saat itu
Bandar Getih sedang dikejar-kejar oleh
penduduk di sebuah desa, karena Bandar
Getih dituduh mencuri ayam.
Untung ia segera bertemu dengan So-
ka Pura dan persoalan itu bisa diselesai-
kan oleh Pendekar Kembar bungsu itu.
Orang-orang desa ternyata salah kejar.
Bandar Getih mengaku dimintai tolong se-
seorang untuk memegangi ayam. Orang itu
beralasan ingin mengejar pencuri kerbau.
Dalam keadaan memegang ayam, Bandar Getih
diserbu orang-orang desa karena terbukti
memegang ayam curian. Tapi setelah Soka
hadir dan beberapa orang dari para penge-
jar itu mengenali Soka sebagai Pendekar
Kembar yang bungsu, maka persoalan itu
pun dapat diselesaikan secara damai
Orang-orang desa menjadi ketakutan karena
Soka jelaskan bahwa Bandar Getih adalah
pelayan istana Kadipaten Wilujaga.
Sejak itulah kabar tentang keper-
gian Rara Wulan diterima oleh Soka Pura.
Maka mereka berdua mencari Rara Wulan ke
arah Gunung Merana, sebab Bandar Getih
jelaskan bahwa Rara Wulan ingin nekat
mencari Soka ke Gunung Merana.
Perjalanan itu tak bisa mulus, ka-
rena mereka temui beberapa peristiwa yang
membuat Soka Pura terpaksa turun tangan.
Bandar Getih yang penggugup itu merasa
mendapat banyak pengalaman selama ikuti
perjalanan Soka Pura.
Bahkan kali ini perjalanan mereka
terhambat oleh datangnya suara desah dan
rintihan panjang seorang perempuan dari
balik semak-semak. Soka Pura yang berotak
jahil selalu ingin mengintip suara-suara
kenikmatan seperti itu. Mau tak mau Ban-
dar Getih ikut mengintai dari balik ke-
rimbunan semak.
"Ya, ampun...?! Aku kenal dengan
perempuan itu?!" ujar Soka Pura berbisik
tepat di telinga Bandar Getih yang berke-
pala botak tengah, tapi bagian bawah ke-
pala ditumbuhi rambut tipis. Dalam usia
sekitar empat puluh tahun, sebenarnya pe-
mandangan itu tidak membuat Bandar Getih
sampai gemetaran. Namun karena Bandar Ge-
tih sudah lama hidup menduda, maka peman-
dangan itu membuatnya berdebar-debar dan
tak mampu menyangga tubuhnya, akhirnya ia
berlutut pelan-pelan.
Apa yang mereka lihat adalah per-
cumbuan seorang perempuan dengan seorang
pemuda yang tak lain adalah Bima Sura.
Pada saat itu, Soka dan Bandar Getih be-
lum mengetahui siapa Bima Sura sebenar-
nya. Tapi Soka sudah kenal dengan perem-
puan yang melayani gairah Bima Sura itu.
Perempuan berambut sebahu tanpa ikat ke-
pala yang mempunyai wajah cantik dan bi-
bir sensual itu tak lain adalah Selir Pa
mujan, murid mendiang Nyai Demit Seling-
kuh.
Darah Soka sempat mendidih melihat
Selir Pamujan membalas ciuman Bima Sura
dengan ganasnya. Sebab biar bagaimanapun,
Selir Pamujan pernah menjadi teman kencan
Soka dan sempat merasa ingin memiliki So-
ka. Kecemburuannya kepada Dewi Binal mem-
buat Selir Pamujan akhirnya pergi ting-
galkan Soka setelah Kipas Kedung Gairah
milik gurunya yang dicuri Dewi Perang itu
hancur di ujung pedang Raka, (Baca serial
Pendekar Kembar dalam episode: "Cumbuan
Menjelang Ajal")
"Apakah karena ia merasa kecewa
denganku, maka ia lakukan hal itu bersama
pemuda sebayaku?! Secepat itukah hatinya
berpindah ke pelukan lelaki lain?!" pikir
Soka Pura sambil menahan rasa ingin mela-
brak mereka.
Soka Pura tak tahu kalau hal itu
dilakukan Selir Pamujan dalam keadaan ti-
dak sadar. Hasratnya untuk berkelana mem-
buang kenangan indah bersama Soka Pura
itu terhenti oleh kemunculan Bima Sura.
Pemuda itu tampak sengaja menghadang
langkah Selir Pamujan dengan gagah dan
menampakkan, sikap perkasanya. Bima Sura
yang baru saja semalaman sembuhkan luka
dalamnya dari serangan Eyang Rangkasewa
itu sengaja memandang Selir Pamujan den-
gan senyum menggoda.
"Kaukah murid Nyai Demit Selingkuh
yang bernama Selir Pamujan?!"
"Benar!" jawab Selir Pamujan dengan
nada ketus. "Siapa kau?! Aku tidak merasa
mengenalmu!"
"Aku murid Resi Murang Sarak dari
Teluk Serong. Gurumu kenal dengan guruku,
dan kita pernah bertemu dalam suatu per-
temuan di Bukit Gadang. Hanya saja waktu
itu kau tidak memperhatikan diriku karena
kau dalam keadaan terluka akibat perta-
rungan kalian dengan Penguasa Lembah Han-
tu."
Selir Pamujan segera ingat peristi-
wa itu. Bayangan pemuda tampan yang kala
itu berada di belakang Resi Murang Sarak,
kini muncul lagi dalam ingatan Selir Pa-
mujan. Ia mengakui, memang pemuda itu
yang ada di belakang Resi Murang Sarak.
"Hmmm... ya, aku ingat peristiwa
itu. Kala itu gurumu telah membantu per-
tarungan kami melawan Penguasa Lembah
Hantu, sehingga Penguasa Lembah Hantu me-
larikan diri."
"Syukur kalau kau masih ingat pe-
ristiwa tiga tahun yang lalu itu," ujar
Bima Sura dengan sunggingkan senyum makin
menggoda. Tapi senyuman itu justru memua-
kkan bagi Selir Pamujan, karena hati ga-
dis itu masih terpaut pada kenangan manis
bersama Soka Pura.
"Lalu apa maumu menemuiku di perja
lanan ini?!" tanya Selir Pamujan masih
bernada ketus.
Bima Sura kian melebarkan senyum.
Pandangan matanya semakin tampak kurang
ajar, ia melangkah lebih dekat lagi hing-
ga jaraknya dengan Selir Pamujan hanya
dua langkah.
"Aku Ingin menagih upah pertolongan
guruku waktu itu."
"Upah apa?! Tak ada upah yang di-
janjikan oleh mendiang guruku kala itu!"
tegas Selir Pamujan semakin menangkap ge-
lagat tak beres dalam hati pemuda itu.
"Hanya sebuah kecupan, barangkali
sudah cukup sebagai upah menyelamatkan
nyawamu kala itu!"
"Lancang sekali mulutmu!" geram Se-
lir Pamujan. Lalu tiba-tiba tangannya
berkelebat menampar wajah Bima Sura.
Teeb...! Tangan itu langsung di tangkap
oleh Bima Sura sambil sunggingkan senyum
makin menjengkelkan.
Selir Pamujan heran melihat kecepa-
tan tamparan tangannya berhasil ditangkap
oleh Bima Sura. Padahal semestinya kece-
patan tangan itu tidak bisa dilihat den-
gan mata telanjang, karena ia menggunakan
jurus 'Tamparan Petir' yang selain cepat
juga dapat menghanguskan wajah orang yang
di tampar.
"Kau tak akan berhasil menamparku,
walau aku tahu kau telah kuasai jurus
'Petir' yang merupakan jurus langganan
gurumu jika hadapi la wan pertama ka-
linya," ujar Bima Sura.
Selir Pamujan tidak tanggapi ucapan
itu. Namun tiba-tiba tangan yang satu me-
notok dada kekar Bima Sura dengan kecepa-
tan gerak yang sukar dilihat lawan.
Wuuutt. baahk...!
"Auuhk...!" Bima Sura terpental
mundur dan terhuyung-huyung, akhirnya ja-
tuh juga walau dengan satu kaki berlutut.
"Kau kira mudah mendapatkan satu
kecupan dariku?! Kecuplah telapak kakiku
ini! Heaaah...!"
Selir Pamujan melompat dan kakinya
menendang kepala Bima Sura yang masih
berlutut satu kaki itu. Wuutt...! Kepala
Bima Sura cepat merunduk nyaris menyambar
tanah, lalu tiba-tiba dua jari tangannya
menotok betis Selir Pamujan. Desss...!
"Aauh...!" Selir Pamujan memekik.
Sebelum menarik diri untuk mundur, toto-
kan Bima Sura kembali melesat, kenai paha
gadis itu.
Selir Pamujan tersentak mundur dan
bersandar pada pohon. Ia nyaris jatuh ji-
ka tak berpegangan pada pohon tersebut.
Tapi ia masih bisa memandang Bima Sura
dengan mata tajamnya, anggota tubuhnya
juga masih bisa digerakkan. Hanya saja,
ia tidak menyerang lagi. Bima Sura sendi-
ri tampak merasa lega karena suatu hal.
Senyumnya melebar, dan tatapan mata sema-
kin nakal. Dengan kalem gadis itu diham-
pirinya.
"Cukup lumayan jurusmu tadi."
Sindiran itu tak dibalas oleh Selir
Pamujan, ia
hanya merasa aneh terhadap hatinya
yang menjadi berdebar-debar indah. Ia tak
tahu keindahan apa yang membuatnya berde-
bar-debar. Hanya saja, saat itu tiba-tiba
hatinya diliputi rasa senang, gembira dan
berdesir-desir indah. Hasrat ingin sung-
gingkan senyum tak bisa ditahan, sehingga
bibir sensual itu pun terpaksa tersenyum
dengan mata memandang Bima Sura.
"Apakah kau punya jurus lain yang
menghadirkan sejuta kenikmatan?" tanya
Bima Sura sambil mulai berani menyentuh
rambut Selir Pamujan yang jatuh di pun-
dak.
"Aneh. Kenapa aku tak marah?" Selir
Pamujan bertanya dalam hatinya. Bima Sura
mendengar pertanyaan batin itu, sehingga
ia pun menimpali dengan kata-katanya yang
bernada lembut merayu.
"Mengapa harus marah? Bukankah hal
yang lebih baik jika kita saling berdamai
dan menukar keindahan?"
"Kurasa... kurasa memang lebih baik
menukar keindahan," jawab Selir Pamujan.
Seakan mulutnya bicara sendiri. Tapi da-
lam hatinya pun ia merasa senang bisa
berkata demikian. Hanya saja, hati kecil-
nya masih diliputi kebingungan, mengapa
kemarahannya menjadi sirna dan ia mulai
merasa digelitik oleh sentuhan-sentuhan
jemari Bima Sura yang merayapi rahangnya.
Sentuhan itu hanya sederhana, namun
dapat menghadirkan debaran yang bergemu-
ruh di dalam dada. Debaran itu tak lain
adalah tuntutan gairahnya untuk mempero-
leh kenikmatan dalam pelukan seorang le-
laki. Bahkan mata Selir Pamujan seakan
tak mau menatap tempat lain kecuali hanya
wajah Bima Sura dan tubuhnya yang kekar
itu.
"Jantan sekali dia," ujarnya dalam
hati. "Ooh... alangkah hangatnya jika aku
berada dalam pelukannya. Begitu indahnya
jika bibirnya itu menempel di bibirku dan
melumatnya dengan tangan merayap ke mana-
mana. Oouh... ingin sekali aku diperlaku-
kan se mesra itu olehnya."
Selir Pamujan tak sadar bahwa urat
nafsunya, telah ditotok oleh Bima Sura.
Totokan itu membuka saraf kenikmatan
hingga bekerja cepat menaburkan perasaan
senang dari gembira. Gairah yang semula
terpendam menjadi bergolak seperti air
mendidih setelah mendapat totokan di ba-
gian paha tadi.
Karenanya, Selir Pamujan mulai
berkhayal tentang cumbuan dan berandai-
andai tentang kenikmatan seorang pemuda
bertubuh kekar itu. Hati kecilnya ingin
menolak sentuhan tangan Bima Sura yang
merayap di dagunya, tapi kenyataannya ia
tak mampu melakukan penolakan tersebut.
Justru ia memandang dengan mata semakin
sayu pertanda gairahnya semakin terbakar
dan meletup-letup menuntut kemesraan.
"Boleh aku menciummu, Selir Pamu-
jan?"
"Kenapa tidak?" Jawab Selir Pamujan
yang sudah semakin berdebar-debar itu.
Maka ketika ciuman Bima Sura menda-
rat di pipinya, Selir Pamujan segera pe-
jamkan mata. Tangannya pun tak mau diajak
diam. Tangan gadis itu mulai merayap di
pinggang Bima Sura, masuk ke balik baju
yang tidak dikancingkan itu.
Dengan suara mendesah lirih, Selir
Pamujan meliukkan kepalanya supaya bibir-
nya menyentuh bibir Bima Sura. Ketika bi-
bir itu saling sentuh, Selir Pamujan su-
dah semakin dibakar oleh gairah, sehingga
ia melumat bibir itu dengan bersemangat
sekali.
Tangan Bima Sura tak tinggal diam.
Tangan itu menyusuri lekuk tubuh sekal
Selir Pamujan. Sesekali meremas di bagian
pinggul, sesekali pula mengusap tempat
tertentu yang mendatangkan kenikmatan ba-
gi Selir Pamujan.
"Oouh, Bima... Bima, pagutilah aku
dengan mesra, Sayang...," pinta Selir Pa
mujan dengan suara mengerang lirih. Ji-
wanya bagai terbang dan tak memiliki ke-
sadaran jati dirinya lagi.
Lebih-lebih setelah Bima Sura mem-
permainkan lidahnya di leher sang gadis,
hasrat untuk melepaskan diri sama sekali
tak ada. Gadis itu semakin mengeluh pan-
jang dan membiarkan lehernya dipagut oleh
mulut Bima Sura. Pagutan itu makin lama
semakin bergerak turun, dan ingatan Selir
Pamujan tentang dirinya itu telah lenyap
dan yang ada hanya khayalan tentang ber-
cumbu mesra. Ia justru mendesak kepala
Bima Sura agar lebih ke bawah lagi sambil
tangan kirinya melepaskan penutup dada.
"Oouh... oooh... jangan permainkan
aku, Bima. Oouh... pagutilah sekarang ju-
ga. Lekas, Bima...," rengeknya dalam
buaian keindahan.
Bima Sura pun memagutnya. Pucuk bu-
kit kembar di dadanya menjadi ajang per-
mainan lidah Bima Sura. Seribu keindahan
hadir serentak melingkupi hati Selir Pa-
mujan, karena tangan Bima Sura pun sudah
mencapai tempat terpeka di bagian bawah,
Selir Pamujan memberikan kesempatan bagi
tangan itu agar leluasa bergerak dengan
lincah memamerkan kenakalannya. Karena
pada saat itu, tangan Selir Pamujan sen-
diri juga telah berhasil menemukan seben-
tuk kehangatan yang dimiliki oleh Bima
Sura.
"Oouh... indah sekali, Bima.... La-
kukan yang lebih indah dari semua ini,
Bima...."
Tunjukkan dulu jurus-jurus asmara-
mu, Selir Pamujan," pinta Bima Sura. Ma-
ka, Selir Pamujan pun menciumi leher Bima
Sura. Memagut-magut dan menggigit kecil
dada berbulu halus itu. Selir Pamujan ak-
hirnya merayapkan lidahnya dari dada te-
rus ke bawah dan terus ke bawah lagi, se-
hingga apa yang diinginkan Bima Sura pun
terpenuhi.
"Bima, aku tak tahan lagi...," rin-
tih Selir Pamujan, sehingga Bima Sura pun
segera memberikan apa yang diinginkan ga-
dis itu. Sebuah pelayaran ke samudera
cinta dilakukan oleh mereka berdua. Selir
Pamujan memekik-mekik dengan suara menge-
rang terputus-putus. Napasnya pun teren-
gah-engah ketika Bima Sura mengayuh pera-
hu cintanya menuju ke puncak keindahan.
Puncak kayuhan itu dicapai oleh Se-
lir Pamujan yang membuisinya semakin
brutal dan liar. Bima Sura dibalikkan,
kini Selir Pamujan menguasai pelayaran
dan menjadi pendayung yang bersemangat
tinggi.
Pada saat itulah, Soka Pura dan
Bandar Getih muncul mengintip mereka. So-
ka Pura sendiri menjadi salah tingkah dan
tak mengerti harus berbuat apa pada saat
itu. Keringat dinginnya sempat bercucu
ran, namun jantungnya berdetak-detak den-
gan sentakan cukup keras. Bukan saja sen-
takan jantung yang dibakar kemarahan sa-
ja, namun juga sentakan jantung yang di-
bakar oleh hasrat bercumbu menggebu-gebu.
Soka Pura akhirnya tundukkan kepala
dengan tetap jongkok di samping Bandar
Getih. Ia tak berani menyaksikan adegan
tersebut sampai selesai. Sedangkan Bandar
Getih diam tanpa kata, masih memandang
adegan itu tak berkedip, namun napasnya
ngos-ngosan seperti saat dikejar-kejar
penduduk desa waktu itu.
"Kita pergi saja, Paman," bisik So-
ka Pura. Tapi telinga Bandar Getih seper-
ti tersumbat almari. Ia diam saja tanpa
reaksi.
"Paman Bandar Getih, kita pergi sa-
ja dari sini!" kali ini Bantar Getih ber-
paling ke arah Soka karena punggungnya
dicolek.
"Per... pergi ke mana? Aku... aku
tidak bisa berdiri lagi. Kakiku pergi,
eeh... kakiku gemetar. See... sebaiknya
kita tunggu sampai mereka gemetar... eh,
maksudku, kita tunggu sampai mereka sele-
sai gemetar, eh... hmmm... apa, ya?" Ban-
dar Getih yang penggugup itu bingung sen-
diri.
"Aku tidak kuat melihat adegan itu.
Hatiku panas, ingin melabrak mereka! Tapi
aku sudah tidak ada urusan dengan perem
puan itu. Maka lebih baik kutinggalkan
saja tempat ini, Paman."
"Nanti dulu! Mereka belum melabrak
kita... eeh... maksudku, mereka belum se-
lesai. Kalau mereka sudah selesai barulah
kita gemetar, eeh... maksudku, barulah
kita labrak, aaduh... salah lagi! Pokok-
nya diam saja dulu. Kalau kau tak mau me-
lihat, pejamkan matamu! Ini tontonan gra-
tis yang dilabrak, eeh... yang mendebar-
kan."
Akhirnya Pendekar Kembar bungsu itu
duduk di rerumputan dalam semak dengan
wajah tertunduk. Mau tak mau ia menunggu
Bandar Getih yang masih ingin menyaksikan
adegan panas itu sampai selesai. Gemuruh
dalam Soka terpaksa ditahan mati-matian.
"Aku ingin lagi, Bima. Aku ingin
lagi. Ooh... jangan berhenti dulu, Bima.
Aku masih ingin kau cumbu, Sayang. Ayo,
cumbulah aku lagi, Bima...," pinta Selir
Pamujan ketika Bima Sura menghentikan pe-
layarannya karena sudah mencapai puncak
keindahan.
Kata-kata itu terdengar sampai di
telinga Soka Pura, sehingga dahi Soka
berkerut karena merasa heran.
"Ia masih saja bergairah? Padahal
ia sudah mencapai puncaknya berkali-kali.
Ah... aku jadi curiga. Tak mungkin gairah
Selir Pamujan sebesar itu. Bahkan perem-
puan mana pun tak ada yang bergairah se
besar itu? Gila! la menjadi perempuan
yang selalu kehausan?! Mengapa bisa begi-
tu?!"
Agaknya Bima Sura tak mau lakukan
lagi pelayaran mesra itu. Ia sudah menge-
nakan pakaian, berkemas untuk pergi. Tapi
Selir Pamujan masih merayu-rayu ingin di-
cumbu lagi. Bahkan gadis itu seperti ga-
dis yang tak tahu malu lagi, merengek
dengan memeluk kaki Bima Sura, memohon
agar cumbuan tadi diulangi lagi. .
Hal itu semakin membuat hati Soka
Pura antara panas dan heran. Setahunya,
Selir Pamujan tak akan merengek sampai
seperti itu. Ia perempuan yang tegas dan
mampu menjaga harga dirinya di depan seo-
rang lelaki. Jika Selir Pamujan sampai
merengek-rengek bahkan menangis karena
minta dicumbu lagi, berarti ada sesuatu
yang tak beres dalam diri gadis itu. Ke-
simpulan tersebut semakin kuat setelah
Soka Pura melihat sendiri Selir Pamujan
memburu Bima Sura sambil meratap-ratap
minta dicumbu.
"Aku tidak punya waktu lagi untuk-
mu; Selir Pamujan! Masih banyak perempuan
lain yang membutuhkan cumbuanku!"
"Bimaaa..., sekali lagi saja, Bima.
Sekaliii... lagi!" pinta Selir Pamujan
dengan sikap memalukan sekali.
"Cari lelaki lain yang sanggup me-
muaskan gairahmu. Aku harus mencari pe
rempuan lain. Tak mungkin kulakukan dua
kali untuk satu perempuan!"
"Tolonglah, Bima. Tolonglah... aku
tersiksa sekali jika tidak kau layani,
Bima! Kau sangat perkasa dan luar biasa
jantannya. Aku butuh yang sepertimu, Bi-
ma. Tolonglah ulangi sekali lagi,
Sayang...."
Plaaakk...!
Bima Sura menampar Selir Pamujan.
Gadis itu hanya memekik dan menangis te-
risak-isak tanpa ada perlawanan sedikit
pun.
"Sekali lagi, Bima... sekali la-
giii...," ucapnya di sela tangis. Jelas
tangis itu bukan tangis sewajarnya. Jelas
keinginan itu keinginan yang tidak sepan-
tasnya dimiliki gadis setegar Selir Pamu-
jan.
"Jangan ikuti aku!" bentak Bima Su-
ra. "Kubunuh kau jika masih mengejarku!"
"Bunuhlah aku! Bunuhlah...!" seru
Selir Pamujan dalam tangisnya. "Lebih
baik mati daripada tak kau layani sekali
lagi!"
Soka Pura berbisik kepada Bandar
Getih.
"Paman, aku harus bertindak! Ada
sesuatu yang tak beres pada diri Selir
Pamujan, Mungkin dia terkena ilmu pelet
atau sejenisnya! Aku harus hentikan pen-
garuh iblis yang membuatnya menjadi gila
cumbuan seperti itu!"
"Jangan ikut campur, itu urusan me-
reka. Sebaiknya kita cumbu saja, eeh...
sebaiknya kita merengek, aduh... maksud-
ku, sebaiknya kita lihat saja apa yang
akan terjadi selanjutnya."
Soka Pura diliputi kebimbangan yang
amat meresahkan. Detak jantungnya bukan
cepat lagi, tapi bergemuruh menggetarkan
seluruh tubuhnya. Sementara itu, suara
Selir Pamujan yang masih meratap-ratap
memalukan itu semakin terasa merobekkan
hati dan mendidihkan darah Soka Pura.
*
* *
6
SELIR Pamujan berlari-lari kecil
mengejar Bima Sura. Suaranya meratap da-
lam tangis bagai perempuan yang tak punya
harga diri lagi. "Cumbulah aku, Bima...!
Jangan pergi dulu! Cumbulah aku sekali
lagi...!"
Bima Sura tetap melangkah cepat,
seakan tak pedulikan rengekan Selir Pamu-
jan. Sementara itu di balik semak Soka
Pura dan Bandar Getih mulai berdiri den-
gan tetap pandangi Selir Pamujan dan Bima
Sura. Melihat keadaan Selir Pamujan begi-
tu menyedihkan, sekaligus memalukan, Soka
Pura bergegas keluar dari semak. Tapi
langkahnya segera terhenti. Langkah yang
terhenti itu membuat Bandar Getih yang
mengikutinya terpaksa berhenti mendadak.
Akhirnya ia menabrak punggung Soka Pura.
Bruukk...!
"Aduh! Lain kali kalau mau berhenti
ngomong dulu, Soka!"
Soka Pura tak hiraukan ucapan Ban-
dar Getih, karena pandangan matanya sege-
ra tertuju pada sekelebat bayangan yang
tiba-tiba menyerang Bima Sura. Terjangan
itu sempat membuat Bima Sura tersentak ke
samping dan terhuyung-huyung karena pun-
daknya terkena tendangan orang berompi
kuning dan bercelana kuning itu.
Saka Pura sempat terperanjat meli-
hat pemuda berambut panjang yang diikat
ke belakang seperti ekor kuda itu. Pemuda
berkulit hitam manis dengan wajah tampan
dan perawakan gagah itu tak lain adalah
Lodayu, orang yang pernah bersaing dengan
Soka memperebutkan Rara Wulan, {Baca
serial Pendekar Kembar dalam episode:
"Gadis Penyebar Cinta").
Murid perguruan Gagak Putih itu
mencecarkan tendangan mautnya ke arah Bi-
ma Sura. Tendangan itu keluarkan tenaga
dalam, berupa hawa padat yang dapat me-
numbangkan sebatang pohon. Tetapi Bima
Sura tampaknya masih mampu hadapi tendan-
gan tersebut dengan tangkisan telapak
tangannya yang selalu mengepulkan asap
jika terkena tendangan.
Plak, plak, plak, plak...!
Bima Sura segera berputar cepat dan
kakinya melayang bagaikan sapuan angin.
Wuuuss...! Plook...!
"Uuhg. .!" Lodayu terpelanting ke
samping, tubuhnya sempat melambung miring
dan jatuh tanpa bisa menjaga keseimbangan
tubuhnya. Brrukk...! Mulut pemuda berusia
dua puluh lima tahun itu keluarkan darah.
Ujung bibirnya robek. Namun ia cepat
bangkit dan memandang Bima Sura dengan
angker.
"Siapa orang itu, Soka? Sepertinya
aku pernah melihatnya?" tanya Bandar Ge-
tih.
"Dia yang bernama Lodayu, Paman.
Aku pernah berhadapan dengannya, tapi dia
seorang lawan yang baik, yang tidak me-
nimbulkan dendam dan permusuhan dalam ha-
tiku! Dia mengakui kelebihanku dan... oh,
tunggu! Aku akan menyambar Selir Pamujan
yang masih mengejar-ngejar Bima Sura itu!
Salah-salah dia terkena pukulan mereka
berdua!"
Soka Pura segera berkelebat. Dalam
waktu singkat tubuh Selir Pamujan berha-
sil di sambarnya bagai hembusan badai
yang melintas di belakang Bima Sura.
Wuuuss...! Sesaat kemudian, Selir Pamujan
sudah berada di bawah pohon tempat di ma
na Bandar Getih berdiri dengan mata tak
berkedip karena kagum melihat kecepatan
gerak Pendekar Kembar bungsu itu.
"Ooh, kau...?! Ooh, peluklah aku,
peluklah...!"
Begitu tahu dirinya dibawa lari
oleh Soka Pura. gadis itu langsung berha-
srat untuk dicumbu oleh Soka. Bahkan gai-
rahnya yang meledak-ledak itu di curahkan
kepada Soka Pura dalam bentuk ciuman yang
mengganas.
"Hei, hei...! Selir Pamujan, sadar-
lah kau! Sadar...!" Soka Pura kebingungan
hindari serangan gairah Selir Pamujan.
Bandar Getih tersenyum-senyum ter-
kekeh sendirian,
"Sikat sajalah, daripada bikin pus-
ing! Aku tak akan bilang pada siapa pun,
Soka. Kecuali kepada Rara Wulan dan Kan-
jeng Adipati," ujar Bandar Getih sambil
terkekeh-kekeh.
Soka Pura tak mendengar ucapan itu,
karena telinganya dibuat berisik oleh su-
ara erangan dan desahan napas Selir Pamu-
jan. Gadis itu menciumi Soka sambil mena-
rik-narik baju Soka dengan kasar. Celoteh
nya berhamburan sambil berusaha memancing
gairah Soka. Sementara itu, Soka Pura
sendiri berusaha hindari rangsangan ter-
sebut, karena ia tahu keadaan Selir Pamu-
jan tidak wajar.
Karena Selir Pamujan menyerang te
rus dengan ciuman dan jamahan tangan yang
kelewat nakal. Soka Pura sempat terdorong
dan jatuh tertimpa tubuh Selir Pamujan.
Keadaan itu membuat Selir Pamujan
merasa lebih beruntung dan semakin ganas
menggumuli Soka Pura, seakan ingin mem-
perkosa pemuda itu. Namun Soka Pura beru-
saha melepaskan diri tanpa menimbulkan
kekasaran yang berlebihan.
"Hei, ingat kau ini siapa, Selir
Pamujan! ingat! Sadarlah...!"
"Oouh, aaah... cumbu aku, Soka.
Ayo, ayo lekas... cumbu aku! Oouh...!"'
"Hei, jangan dibetot sembarangan!
Wah, kacau sekali kau ini!" geram Soka.
Jengkel-jengkel gadis itu ditampar-
nya beberapa kali sekadar untuk memulih-
kan ingatannya. Plak, plak, plak,
plak...! Tapi agaknya tamparan itu tidak
bisa membuat Selir Pamujan sadar. Ia ma-
sih menyerang Soka dengan ciuman dan ja-
mahan tangan, pinggulnya menggeliat-
geliat seakan memburu sesuatu yang ingin
dicapainya.
Merasa hampir kewalahan, Soka Pura
segera menotok leher Selir Pamujan dengan
jari tengahnya yang mengeras. Dess...!
Saat itu juga Selir Pamujan memekik ter-
tahan dengan tubuh mengejang, kepala men-
dongak ke atas.
"Aaah...!"
Jurus 'Totok Pikun' yang dapat mem
buat seseorang menjadi lupa ingatan, lupa
pada lingkungannya dan bahkan lupa pada
dirinya sendiri, ternyata justru menya-
darkan keadaan Selir Pamujan. Totokan Bi-
ma Sura yang tadi membangkitkan gairah
bercumbu besar sekali itu menjadi sirna
setelah Selir Pamujan terkena Totokan Pi-
kun' Soka Pura.
Tetapi ingatan Selir Pamujan masih
normal, ia tidak menjadi pikun dan lin-
glung seperti orang-orang yang pernah
terkena 'Totokan Pikun'-nya Soka Pura.
Justru ia terkejut melihat wajah Soka Pu-
ra ada di bawahnya. Ia semakin terbelalak
lebar-lebar setelah sadari dirinya sedang
menindih Soka Pura.
"Ooh...?! Apa yang terjadi?! Apa
yang kulakukah ini?!" sentak suara Selir
Pamujan, Ia buru-buru menyingkir dari
atas tubuh Soka Pura. Ia juga buru-buru
merapikan pakaiannya dengan rasa malu
yang tidak ketulungan lagi. Dengan terge-
sa-gesa ia menyelinap di balik pohon dan
terengah-engah di sana.
"Dia sudah sadar!" ujar Bandar Ge-
tih. "Rupanya totokanmu tadi mengembali-
kan ingatan jati dirinya, sehingga ia se-
karang merasa mual, eeh... malu!"
Di seberang sana. Bima Sura masih
bertarung melawan Lodayu. Soka memperha-
tikan, namun segera bergegas temui Selir
Pamujan.
"Pergi! Jangan dekati diriku!" ben-
tak Selir Pamujan dengan terengah-engah.
"Aku tak sudi bercumbu lagi denganmu! Kau
tak perlu berusaha memperkosaku, Soka!
Aku muak pada pemuda buaya kampung seper-
timu! Jangan lagi mencoba memperkosaku
kalau kau tak ingin aku bertindak lebih
berbahaya lagi!"
"Hei, kebalik, Non! Bukan aku yang
memperkosamu, tapi kau yang mau memperko-
saku!"
"Dusta!" bentak Selir Pamujan. "Ma-
na mungkin aku ingin memperkosamu! Aku
sudah tidak berselera dengan pemuda yang
punya hati selembek kotoran kerbau seper-
timu itu!"
Soka Pura justru tertawa cekikikan
walau hatinya menahan rasa kesal dituduh
sebagai pemerkosa. Tapi ia bisa memaklu-
minya.
"Bukan aku yang memperkosamu, tapi
pemuda itu!" Soka menuding ke arah perta-
rungan Bima Sura dengan Lodayu.
"Ooh...?!" Selir Pamujan menggumam
dengan nada heran. Ia diam tanpa suara
dengan mata tertuju ke arah Bima Sura.
Bayangan peristiwa sebelum ia terkena to-
tokan itu mulai muncul dalam ingatannya.
ia pun kini bicara pelan kepada Soka Pu-
ra, seperti orang bicara pada dirinya
sendiri.
"Ya, aku ingat sedikit tentang
dia... Bima Sura adalah murid Resi Murang
Sarak dari Teluk Serong. Aku dihadang
olehnya, dia ingin menciumku, aku mela-
wan, lalu aku kena totokan di bagian pa-
ha, dan... dan... setelah itu aku tak in-
gat lagi apa yang kulakukan."
"Kau bercumbu gila-gilaan dengan-
nya," sahut Soka Pura.
"Keparat! Kalau begitu dia telah
menotok urat birahiku sehingga aku ber-
gairah melayaninya! Kubunuh orang itu!"
"Tahan dulu!" sergah Soka Pura sam-
bil mencekal lengan Selir Pamujan.
"Dia telah memperkosaku dengan cara
halus!"
"Mungkin memang begitu. Tapi biar-
kan dulu Lodayu menyelesaikan urusannya
dengan pemuda itu! Agaknya Lodayu punya
masalah sendiri dengan orang yang telah
membuatmu gila cumbu tadi!"
Selir Pamujan memancarkan pandangan
mata penuh dendam dan kemarahan. Napasnya
terengah-engah pertanda sedang menahan
luapan murkanya dengan susah payah.
Bandar Getih bicara dalam posisi
memandang pertarungan dari samping Soka
Pura.
"Kelihatannya dia cukup tangguh.
Pemuda berompi kuning itu sejak tadi ter-
kena ciuman, eeh... pukulan. Kurasa se-
bentar lagi dia akan bercumbu, eeh...
maksudku sebentar lagi dia akan tumbang."
Hati kecil Soka Pura juga mengata-
kan demikian.
Karena saat itu, Lodayu terlempar
beberapa kali akibat pukulan tangan ko-
song Bima Sura yang menyentak ke depan
keduanya dalam posisi tubuh miring. Puku-
lan itu mengeluarkan hawa padat dari te-
naga dalamnya yang cukup besar dan Lodayu
tak berhasil menahannya.
Bima Sura bermaksud tidak memberi
kesempatan lagi kepada Lodayu, maka ia
segera mengejar Lodayu yang jatuh ter-
banting dalam jarak sepuluh langkah itu.
Dalam keadaan babak belur, ternyata Lo-
dayu masih sanggup berdiri dengan cepat
dan keluarkan kapaknya. Sett...! Kapak
bergagang coklat itu dikibaskan dalam
ayunan kuat. Wess, crakk...! Mata kapak
melayang sendiri. Ternyata mata kapak itu
mempunyai rantai yang dihubungkan dengan
gagangnya.
Bima Sura segera hentikan gerakan
dan berguling ke tanah begitu mata kapak
itu menyambarnya dari samping kiri ke
samping kanan. Wess...! Hampir saja kepa-
la Bima Sura pecah karena sambaran mata
kapak tersebut.
Lodayu masih memutar-mutarkan kapak
berantai itu, membuat Bima Sura tak bera-
ni mendekat dulu. Ia mencari kesempatan
untuk menyerang, tapi putaran kapak san
gat cepat sehingga Lodayu bagaikan diben-
tengi baling-baling tajam yang dapat me-
menggal leher dalam sekali tebas.
"Majulah, Keparat! Ku siapkan ke-
sempatan ini untuk mencabut nyawamu seba-
gai upah kebiadabanmu yang telah memper-
kosa adikku!" teriak Lodayu, membuat So-
ka, Selir Pamujan dan Bandar Getih menge-
tahui persoalan sebenarnya.
Bima Sura tidak keluarkan bantahan.
Ia justru melepaskan pukulan bersinar hi-
jau yang berbentuk seperti cakram terbang
itu. Slappp...! Tapi putaran kapak itu
segera menghantam sinar hijau tersebut.
Bleegarrr...!
Rupanya mata kapak itu juga mengan-
dung kekuatan tenaga dalam, sehingga ke-
tika menghantam sinar hijau, sinar itu
pecah bersama suara ledakan yang cukup
dahsyat. Tanah di sekitar tempat itu sem-
pat bergetar sesaat, namun segera menjadi
tenang kembali. Bima Sura masih belum be-
rani mendekat dan berjalan berkeliling
mencari peluang.
Kejap berikutnya, Bima Sura sengaja
melepaskan pukulan bersinar hijau lagi.
Slapp...! Sinar itu bagaikan dikejar oleh
mata kapak yang melayang memutari Lodayu.
Pada saat mata kapak memburu Sinar hijau
itu, Bima Sura segera mencabut bumerang-
nya. Senjata berbentuk pipih dan lengkung
itu dilemparkan dalam gerakan cepat.
Wusss...!
Bumerang itu memancarkan sinar me-
rah bagai besi membara. Gerakannya yang
melingkar sukar dihindari oleh Lodayu.
Blegarrr...!
Tanah kembali bergetar karena ben-
turan sinar hijau dengan kapak. Pada saat
itulah, bumerang itu menyambar kepala Lo-
dayu dari arah belakang, setelah benda
itu melayang lewat samping dan kembali ke
arah semula. Crass...!
"Aaahk...!" pekik Lodayu yang cepat
rundukkan kepala. Bumerang itu akhirnya
kenai punggung Lodayu. Luka lebar dan
panjang diderita Lodayu dari punggung
sampai pundak. Luka itu mempunyai kekua-
tan membakar, sehingga mengepulkan asap
dan menghanguskan kulit yang koyak.
Lodayu akhirnya jatuh tersungkur
sambil menahan sakit luar biasa. Kapaknya
terlepas dan melayang sendiri nyaris ke-
nai kepala Bima Sura yang sedang menang-
kap kembali gerakan bumerang ke arahnya.
Tebb...! Wess...!
Begitu bumerang sudah di tangan Bi-
ma Sura, cahaya merah membara padam. Sen-
jata itu, segera diselipkan ke pinggang
kirinya.
Bima Sura pandangi lawannya seben-
tar dengan tersenyum sinis, ia serukan
kata yang terdengar sampai di tempat Soka
berdiri.
"Selamat jalan ke neraka! Racun
'Peluh Jenazah' dari senjataku ini, tak
akan bisa selamatkan nyawamu, karena tak
ada penangkalnya! Sampai jumpa lagi di
neraka! Tunggulah aku di sana jika kau
belum puas dengan pertarungan ini!"
Bima Sura segera pergi tanpa pedu-
likan keadaan luka lawannya lagi dan tan-
pa menghiraukan keadaan Selir Pamujan.
Blass...! Ia melesat dengan cepat menera-
bas kerimbunan hutan.
Selir Pamujan berseru, "Jangan lari
dulu kau, Jahanam...!!"
"Hei, tunggu...!" sergah Soka Pura
kepada Selir Pamujan. Tapi gadis itu te-
tap berkelebat mengejar Bima Sura, semen-
tara Soka menjadi bingung karena ia tak
tega melihat Lodayu sekarat di sisi lain.
Pemuda itu meraung-raung bagai tersiksa
sekujur tubuhnya. Suara raungan itu san-
gat mengiris hati, sehingga Soka Pura
menjadi tegang, memandang kepergian Selir
Pamujan dan keadaan Lodayu secara bergan-
tian.
Bandar Getih pun ikut tegang dan
sangat gugup, sehingga ia terengah-engah
di tempatnya berdiri.
"Paman, ikuti Selir Pamujan, cegah
dia jangan melawan pemuda itu. Ilmunya
cukup tinggi, Selir Pamujan dapat celaka
jika melawannya!"
"Iya... iya... aku akan celaka,
eeh... aku akan mengikutinya supaya cela-
ka, eeh... anu... hmmm...!"
"Cepat berangkat, aku nanti menyu-
sul. Aku harus menolong Lodayu lebih dulu
sebelum racun itu menghabisi nyawanya!"
"Baa... baik! Aku akan menghabiskan
nyawa, eeh... akan pergi! Ya, akan per-
gi... tapi... tapi aku harus pergi ke ma-
na, Soka?!" serunya ketika Soka sedang
bergerak ke arah Lodayu.
"Ikuti Selir Pamujan...!! seru Soka
Pura dengan jengkel.
Bandar Getih semakin gugup. "Baa...
baik! Aku akan mengikuti Selir Pamujan.
Hmmm... eeh, ke mana larinya gadis ta-
di?!"
"Hei, kenapa kau lari ke timur?!
Dia mengejar pemuda itu ke selatan, Pa-
man!"
"O, iya! Ke selatan... aduh, tolol
amat aku ini!" gerutunya sambil berlari
ke arah selatan. Soka lanjutkan dekati
Lodayu yang merintih-rintih.
"Tahan sebentar, Lodayu!" ujar Soka
Pura! Tapi Lodayu tidak menyadari siapa
yang datang padanya dan menempelkan tela-
pak tangan ke lengannya.
Telapak tangan Soka memancarkan ca-
haya ungu berpendar-pendar. Jurus
'Sambung Nyawa' yang biasa dipakai untuk
pengobatan itu sedang di lakukan untuk
menyelamatkan luka parah Lodayu. Luka
koyak itu makin melebar dan memanjang.
Dagingnya berwarna hitam hangus. Sungguh
mengerikan dan tentunya juga sangat me-
nyiksa.
Tetapi cahaya ungu dari telapak
tangan kiri Soka yang menempel di kulit
lengan Lodayu itu lama-lama bagaikan me-
rasuk ke dalam tubuh Lodayu. Tubuh itu
mulai memancarkan cahaya ungu pendar-
pendar. Walaupun Soka sudah mengangkat
telapak tangannya, dan nyala ungu itu te-
lah hilang dari telapak tangan itu, namun
tubuh Lodayu semakin memancarkan cahaya
ungu. Kulit tubuh dan dagingnya seakan
berubah menjadi kaca tembus cahaya, dan
di dalam lapisan kulit serta daging itu
sepertinya ada lampu ungu yang menyala
semakin terang.
Rintihan Lodayu mulai berkurang.
Gerakannya yang kelojotan pun mulai te-
nang. Cahaya ungu semakin membungkus tu-
buh Lodayu. Kini pemuda itu dalam keadaan
tengkurap bagaikan tidur. Suaranya...
nyaris tak terdengar lagi!
Luka koyak melebar mengalami peru-
bahan setelah mengepulkan asap tipis war-
na ungu pula. Luka itu semakin menyempit.
Dagingnya yang berwarna hitam hangus itu
mulai memucat sedangkan darah yang mengu-
cur dari luka-luka itu menguap bagai ter-
serap udara.
Makin lama luka itu semakin menyem
pit. Soka Pura menarik napas lega. Ter-
nyata racun 'Peluh Jenazah' masih mampu
dikalahkan dengan Jurus 'Sambung Nyawa'-
nya yang merupakan perpaduan hawa murni
dan kekuatan inti gaib yang dimiliki tiap
manusia. Namun tidak setiap manusia dapat
mengendalikan hawa murni dan kekuatan in-
ti gaib yang letaknya ada di pusar itu.
Beberapa saat kemudian, Lodayu sem-
buh total.
Tubuhnya menjadi segar, kekuatannya
pulih seperti sediakala. sedangkan lu-
kanya lenyap tanpa bekas sedikit pun. Lo-
dayu segera menyadari bahwa ia telah dis-
elamatkan oleh bekas saingannya dalam
perkara memperebutkan Rara Wulan.
"Oh, rupanya kau yang menyelamatkan
nyawaku dari luka jahanam itu!" ujar Lo-
dayu sambil berdiri dan membersihkan ta-
nah yang melumuri tubuhnya.
"Syukurilah jika kau masih mengena-
liku, Lodayu!"
"Tentu saja masih, karena namamu
dan kehebatan ilmu mu kucatat dalam otak-
ku. Soka Pura!" Lodayu sunggingkan senyum
tawar, karena masih di pengaruhi oleh
murkanya terhadap Bima Sura.
"Ke mana larinya bajingan tengik
itu?!"
"Dia ke selatan!" jawab Soka Pura.
"Aku tadi tak berani mencampuri pertarun-
ganmu tadi, karena aku tak tahu masalah
nya"
"Adikku diperkosa oleh si Iblis
Pemburu Wanita itu!" tegas Lodayu. "Kesu-
cian adikku direnggut hanya untuk memper-
kuat ilmunya! Aku kenal dia sebagai murid
Resi Murang Sarak yang membutuhkan per-
cumbuan dengan perempuan yang berbeda-
beda, semakin dahsyat dan tangguh ilmu
yang ada padanya!"
Soka Pura manggut-manggut. "Apakah
itu berarti ilmu yang dimiliki perempuan
tersebut menjadi berkurang?"
"Tidak! Tapi kekuatan ilmu yang di
miliki Iblis Pemburu Wanita itu semakin
besar jika memperoleh kepuasan dari ber-
bagai wanita. Setiap satu wanita hanya
bisa menguatkan ilmu itu satu kali. Oleh
karenanya, Iblis Pemburu Wanita tak mau
lakukan percumbuan dua kali dari satu wa-
nita!"
"Ilmu yang aneh!" gumam Soka Pura.
"Ya, memang ilmu orang Teluk Serong
itu aneh-aneh serta berbau mesum. Ilmu
seperti itu harus di musnahkan, jika per-
lu bersama pemiliknya!"
"Aku sependapat denganmu, Lodayu!
Tapi agaknya pemuda itu lebih tangguh da-
rimu." "itu pasti lantaran ia harus me-
nambah kekuatan ilmunya dari tubuh seo-
rang perempuan yang habis kencan dengan-
nya."
"Hmmm... kurasa memang begitu,"
ujar Soka yang kemudian teringat tentang
cumbuan Selir Pamujan dengan Bima Sura.
"Aku harus mengejarnya! Ia harus
mati sebagai tebusan hilangnya kesucian
adikku yang bernama Linduwati!"
"Kurasa kita sama-sama harus segera
ke selatan! Selir Pamujan dalam bahaya
jika melawan pemuda itu tanpa bantuan
siapa pun! Aku tak bisa mengharapkan ban-
tuan Paman Bandar Getih, selain ilmunya
terlalu rendah untuk melawan Iblis Pembu-
ru Wanita!"
Lodayu segera mengambil kapaknya.
Kemudian mereka berdua bergegas ke sela-
tan mengejar Iblis Pemburu Wanita. Lodayu
sempat bertanya tentang Raka Wulan.
"Bagaimana kabarnya tentang putri
tunggal sang adipati itu?"
"Dia minggat lagi dari Istana, dan
aku sedang mencarinya!"
"Akan kubantu mencarinya jika Bima
Sura sudah tak bernyawa lagi!"
"Terima kasih. Aku pun akan memban-
tumu melumpuhkan iblis ganteng itu!" ujar
Soka
Pura dengan mantap, membuat Lodayu
semakin tak punya rasa takut sedikitpun
kepada Iblis Pemburu Wanita itu.
*
**
7
IBLIS Pemburu Wanita termasuk manu-
sia selicin belut. Sehari semalam Selir
Pamujan mengejar pemuda itu, tapi tak
berhasil menemukannya. Ia justru bertemu
dengan Bandar Getih yang muncul dari arah
lain. Hampir saja Bandar Getih salah arah
jika tidak segera bertemu dengan Selir
Pamujan pada kegelapan malam.
Fajar yang menyingsing menaburkan
kecerahan udara pagi, merupakan awal
langkah Estigina mencari Pendekar Kembar
setelah dua hari ia beristirahat di rumah
Ki Darmala. Padahal orang yang mendampin-
ginya adalah salah satu dari Pendekar
Kembar yang dikenal dengan nama Raka Pu-
ra. Konyolnya, Raka Pura tetap belum mau
mengaku sebagai Pendekar Kembar.
"Belum tentu dia percaya kalau aku
adalah Pendekar Kembar," pikir Raka.
Namun hati Raka sempat berbunga-
bunga ketika Estigina, anak seorang Ketua
Perguruan Merak Yudha itu, menyanjung-
nyanjung nama Pendekar Kembar. Rupanya
gadis itu sering mendengar orang membica-
rakan Pendekar Kembar, tapi belum pernah
beradu muka dengan Pendekar Kembar. Se-
dangkan Bujang Bodo yang mengikuti mereka
juga ikut-ikutan menyanjung Pendekar Kem-
bar, karena ia sering mendengarkan perca-
kapan kakeknya dengan para sahabat yang
singgah di rumahnya.
"Pemuda kembar dari Gunung Merana
itu kabarnya punya jurus penyembuh yang
luar biasa saktinya," ujar Estigina kepa-
da Raka. Yang diajak bicara hanya senyum-
senyum saja dan berlagak bodoh.
"Jurus penyembuh nya itu dapat di-
pakai untuk mengobati luka beracun sehe-
bat apa pun racun tersebut," tambah Esti-
gina. "Kabarnya jurus-jurus mereka jika
digabungkan menjadi jurus yang dahsyat
dan tiada tandingnya. Bayangkan saja, Ra-
tu sesat itu yang bernama Cumbu Laras sa-
ja berhasil dibunuh oleh Pendekar Kembar.
Padahal, Ratu Cumbu Laras itu dibantu
dengan kekuatan iblis yang bernama Dewa
Seribu Laknat!"
Bujang Bodo menimpali, "Memang lak-
nat Pendekar Kembar itu. Eh... maksudku,
memang sakti Pendekar Kembar itu. Kurasa
ia juga mampu menghancurkan Iblis Pemburu
Wanita jika si iblis tidak melawan!"
"Siapa tahu kalau lawannya diam sa-
ja juga akan menang, Tolol!" sentak Esti-
gina.
Lalu, gadis itu ajukan tanya kepada
Raka Pura, "Apakah selama ini kau belum
pernah bertemu dengan salah satu dari
Pendekar Kembar itu?"
"Belum," Jawab Raka Pura sambil
tersenyum geli. Tapi senyum geli itu ti-
dak menimbulkan kecurigaan pada hati Es
tigina. Bahkan gadis itu berkata dengan
gayanya yang ketus.
"Banyak orang bilang, kedua Pende-
kar Kembar itu berwajah tampan, gagah,
perkasa dan menggetarkan hati setiap wa-
nita. Tapi aku belum yakin sepenuhnya."
"Mengapa kau belum yakin sepenuh-
nya?"
"Aku yakin tak semenarik dirimu!"
jawab Estigina asal ceplos saja.
"Tampan mana dengan wajahku, Esti?"
tanya Bujang Bodo.
"Tampan wajahmu, jika yang meman-
dang orang buta yang sudah mau mati!" ja-
wab Estigina membuat Bujang Bodo cembe-
rut. Estigina tampak malas bicara dengan
Bujang Bodo. Ia lebih suka bicara dengan
pemuda tampan yang mengiringi langkahnya
di sebelah kanan itu.
"Biarpun nanti kita bertemu dengan
Pendekar Kembar, tapi aku tak akan mudah
tertarik oleh ketampanannya. Aku hanya
ingin bersahabat dengan mereka."
"Mengapa kau tidak tertarik? Kau
belum lihat sendiri seperti apa ketampa-
nan Pendekar. Bagaimana mungkin kau bisa
yakin kalau tak akan tertarik oleh ketam-
panan mereka?"
"Hmmm... yah, mungkin jika aku be-
lum bertemu denganmu, aku akan tertarik
dengan salah satu dari kedua Pendekar
Kembar itu. Tapi karena aku sudah bertemu
denganmu, tentu saja aku tak tertarik pa-
da mereka!"
Jawaban itu sangat diplomatis dan
Raka Pura memahami maksud kata-kata ter-
sebut. Namun hatinya tetap tenang karena
merasa tak perlu terlalu menanggapi uca-
pan Estigina itu. Sekalipun Raka Pura ta-
hu, bahwa Estigina tertarik padanya, te-
tapi hati Raka belum bisa menerima pera-
saan itu. Ia tidak memiliki rasa tertarik
kepada Estigina secara pribadi, kecuali
hanya sekadar rasa ingin bersahabat dan
menjadi pasangan yang akan melumpuhkan
Iblis Pemburu Wanita. Karenanya, kata-
kata Estigina selalu ditanggapi dengan
senyum keramahan yang memancarkan daya
pikat tersendiri di mata Estigina.
Langkah mereka tiba-tiba terhenti
setelah Bujang Bodo tiba-tiba menjerit
kaget dan berlari menyilang langkah Raka
dan Estigina.
"Hiaaahh...!"
"Heei, apa-apaan kau?! Bikin kaget
jantungku saja!" bentak Estigina dengan
berang.
"Ada... ada... ada mayat di balik
pohon itu! Mayat... mayat berdarah...!"
sambil Bujang Bodo menuding pohon yang
dimaksud. Mata mereka pun tertuju ke tem-
pat tersebut.
"Ooh...?!" Estigina pun kaget dan
menjadi tegang. Raka Pura terkesiap, pan
dangi mayat itu dengan mata menyipit dan
dahi berkerut.
Sesosok mayat terbujur di balik po-
hon. Keadaannya sangat mengerikan. Luka
lebar yang menghunus terdapat di pinggang
kanan sampai ke pundak kiri. Luka itu
terkuak lebar dan darahnya mengering. Ta-
pi ceceran darah di sekitar perutnya ma-
sih tampak membasah, pertanda kematiannya
terjadi belum lama.
"Aku mengenali orang ini," ujar Ra-
ka Pura bagai bicara sendiri.
"Siapa lelaki ini, Raka?"
"Dia murid dari Perguruan Cakar Pe-
tir yang kala itu ikut muncul di kadipa-
ten."
"Oh, Perguruan Cakar Petir?!
Hmmm... ya, ya... aku pernah dengar nama
ketuanya yang kalau tak salah berjuluk si
Jenggot Bajang?"
"Benar!" Raka anggukkan kepala sam-
bil memandang Estigina, kemudian matanya
menatap ke arah mayat berjubah hitam,
berdagu panjang, dan berwajah angker.
"Kalau tak salah ingatanku, orang
ini yang bernama Raksa Braja, kakak per-
guruannya si Bintari Ayu," tutur Raka Pu-
ra sambil mengenang sebentar masa perta-
rungan di kadipaten Wilujaga itu, (Baca
serial Pendekar Kembar dalam episode:
"Gadis Penyebar Cinta")
Estigina manggut-manggut, "Aku per
nah mendengar nama Bintari Ayu. Kalau tak
salah ia seorang perempuan yang gemar
mengenakan jubah Jingga, dan punya senja-
ta kipas merah."
"Dugaanmu benar!"
"Kau pernah bertemu dengannya?"
"Melihatnya saja. Kala itu aku se-
dang bertarung dengan adikku melawan
Jenggot Bajang di depan istana Kadipaten
Wilujaga."
"Oh, kau punya adik rupanya?"
"Punya," jawab Raka singkat, lalu
segera ingat bahwa kata-katanya bisa mem-
buat Estigina berkesimpulan tentang di-
rinya sebagai Pendekar Kembar. Tetapi
agaknya Estigina terlalu yakin bahwa Pen-
dekar Kembar itu ada di puncak Gunung Me-
rana, sehingga ia tidak berkesimpulan
apa-apa tentang adik Raka Pura itu. Raka
sendiri tidak melanjutkan percakapan ke
arah itu, melainkan mengalihkannya ke
persoalan mayat tersebut
"Lalu, siapa yang membunuh Raksa
Braja ini sebenarnya?!"
Estigina pandangi mayat tersebut.
"Kurasa orang yang membunuhnya mempunyai
jurus pedang cukup hebat. Lukanya itu
tampak sebagai luka sabetan pedang yang
beracun ganas!"
Bujang Bodo ajukan usul, "Sebaiknya
tanyakan saja kepada si korban, siapa
yang membunuhnya!"
"Usul bodoh!" sentak Estigina. "Ma-
na mungkin bisa bertanya pada si korban
kalau dia sudah tidak bernyawa?!"
"Bisa ku bangunkan sebentar!" kata
Bujang Bodo.
Raka Pura tertawa kecil seperti
orang menggumam. Estigina bersungut-
sungut jengkel sambil lontarkan gerutuan
kecil.
"Kau kira dia kakekmu yang sedang
tertidur?!"
"Kalau kalian mengizinkan, ku ban-
gunkan mayat ini!" Bujang Bodo ngotot.
Estigina juga ikut ngotot.
"Kau sendiri kalau tidur susah
bangkunya, pakai berlagak mau membangun-
kan mayat segala!"
Raka Pura perpanjang tawanya. Meli-
hat mereka berdua saling ngotot, Raka me-
rasa mendapat hiburan yang segar dan
menggelikan hati.
Tapi tiba-tiba Bujang Bodo bersiul
panjang dan meliuk-liuk sambil mundur be-
berapa langkah, memandangi mayat dengan
mata melebar.
"Suiit, suuiiit, suuu, suuu,
suuuiiit...!"
Kaki mayat Raksa Braja bergerak-
gerak. Disusul kemudian jari tangannya
bagai ada yang menyentak-nyentak ke atas.
Pemandangan itu membuat Estigina terbela-
lak lebar dan sangat tegang. Ia melangkah
mundur sampai menyentuh lengan Raka Pura.
Sementara itu, Raka Pura sendiri menjadi
tegang dan tak berkedip melihat tangan
mayat bergerak-gerak.
Siulan dari mulut Bujang Bodo masih
terdengar mengalun meliuk-liuk bagai ira-
ma seruling. Rupanya siulan itu mempunyai
getaran aneh yang dapat bangkitkan seso-
sok mayat selama siulan itu masih ber-
bunyi.
"Gila! Dia benar-benar bisa bang-
kitkan mayat?!" gumam Estigina dengan te-
gang kepada Raka.
"Kemarin malam kakeknya pernah bi-
lang padaku, bahwa Bujang Bodo adalah bo-
cah beruntung, karena mendapat ilmu titi-
san dari neneknya yang dulu dikenal seba-
gai Nyai Peri itu. Tapi aku tak tahu se-
perti apa ilmu titisan itu. Mungkin si-
ulan inilah yang dimaksud ilmu titisan
Nyai Peri."
"Suuiii, uuuiii, uuuiiitt....".
Mayat Raksa Braja pun bangkit dan
duduk dengan mata terpejam, namun Raka
dan Estigina mendengar suara menggeram
dari mayat tersebut. Bujang Bodo memberi
isyarat dengan tangannya agar Raka ajukan
pertanyaan kepada mayat tersebut, semen-
tara ia masih perdengarkan suara siulan-
nya.
"Dia menyuruh kita menanyakan siapa
orang yang membunuh mayat itu!" bisik Ra
ka.
"Kau saja yang menanyakannya. Aku
ngeri!" balas Estigina dalam berbisik ju-
ga.
Akhirnya Raka Pura maju dua langkah
dan bertanya kepada mayat yang duduk me-
lonjor itu.
"Siapa yang membunuhmu, Raksa Bra-
ja?!"
Bibir mayat itu mulai bergerak-
gerak pelan. Beberapa saat kemudian suara
serak terdengar menyebut sebuah nama.
"Bimm... maa... Suuu... rraa...!"
"Oh, maksudmu... Iblis Pemburu Wa-
nita!"
"Beee... daak, eeh... Bee...
narrr!" jawab mayat itu.
Brruk...! Tiba-tiba mayat itu rubuh
kembali tanpa gerakan apa-apa. Raka Pura
dan Estigina memandang ke arah Bujang Bo-
do. Pemuda berkalung ketapel itu teren-
gah-engah.
"Bersiul lagi!" perintah Estigina.
"Napasku... napasku hampir ha-
bis...," jawab Bujang Bodo sambil ngos-
ngosan. Raka Pura sempat sunggingkan se-
nyum geli melihat Bujang Bodo ngos-
ngosan. Rupanya ia bersiul dalam satu ta-
rikan napas dan tak boleh putus. Sekali
putus, kekuatan pembangkit mayat itu pun
hilang, dan mayat tersebut tak berkutik
lagi.
Raka Pura saling pandang dengan Es-
tigina.
"Bima Sura yang membunuhnya!"
"Berarti dia ada di sekitar tempat
ini. Setidak nya belum jauh dari sini!"
ujar Estigina sambil membetulkan letak
pedangnya yang terselip di pinggang. Wa-
jah gadis itu memancarkan dendam, seakan
tak sabar ingin melampiaskan nya kembali.
"Kita cari dia di sekitar sini!"
"Lebih baik kita segera ke Gunung
Merana saja! Masih jauhkah dari sini?"
tanya Estigina.
"Masih jauh sekali, Estigina!"
"Kalau begitu kita cari iblis itu
tanpa Pendekar Kembar dulu!" usul Bujang
Bodo.
"Mau cari mampus kau?!" sentak Es-
tigina.
"Kurasa usul Bujang Bodo ada baik-
nya!" kata Raka Pura. "Aku akan melawan
Iblis Pemburu Wanita, sekaligus menjajagi
setinggi apa ilmunya!"
"Jangan! Aku tak setuju! Kau nanti
mati di tangannya, aku yang rugi!" tegas
Estigina tanpa nada lembut sedikit pun.
Raka Pura sunggingkan senyum lagi. Hari
ini Raka seperti perjaka yang murah se-
nyum, membuat ketampanan yang mempesona
itu bertaburan ke mana-mana.
"Estigina, percayalah aku tak akan
terluka jika melawannya. Kalau aku merasa
terdesak, aku bisa melarikan diri secepat
mungkin asai kau tidak menertawakan dan
melecehkan pelarian ku!"
Gadis itu setengah tertawa sambil
berkata, "Kau pikir Bima Sura tidak bisa
berlari cepat? Aku yakin dengan ilmunya
yang tinggi ia mampu mengejarmu ke mana
pun kau melarikan diri! Jadi sebaiknya
tak perlu mencari Bima Sura dulu! Cepat
bawa aku ke Gunung Merana!"
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh
suara ledakan yang menggelegar dari arah
timur. Ledakan itu cukup keras, sehingga
menggema memenuhi hutan tersebut, mengge-
tarkan tanah yang dipijak mereka.
"Jangan-jangan itu suara pertarun-
gan Bima Sura dengan seseorang?!" ujar
Raka Pura.
"Yang jelas bukan aku lawannya!"
timpal Bujang Bodo yang tak mendapat sam-
butan dari siapa pun.
"Aku ingin melihatnya!"
"Jangan, Raka!" seru Estigina sam-
bil memburu Raka yang sudah lebih dulu
bergerak ke arah timur.
"Aku hanya ingin melihatnya dari
kejauhan!"
"Aku ikut...!" seru Estigina lagi.
"Aku bagaimana? Ikut atau menunggu
mayat itu?" tanya Bujang Bodo dengan bin-
gung.
"Kau ikut tidur bersama mayat itu
saja!" seru Estigina membuat Bujang Bodo
bersungut-sungut dan menganggap perintah
itu perintah serius.
"Tak sudi aku tidur dengan mayat!
Lebih baik tidur dengan perawan cantik,
daripada tidur dengan mayat!" gerutunya
sambi ikut berlari ke arah timur.
*
**
8
RAKA Pura sempat terperanjat meman-
dang ke arah pertarungan. Ternyata seo-
rang perempuan berambut pirang disanggul
sisanya seperti seekor kuda, sedang me-
nyerang Bima Surya dengan kipas merahnya.
Perempuan berusia sekitar dua puluh dela-
pan tahun itu bertubuh sexy dan montok.
Ia mengenakan jubah jingga yang berkele-
bat seperti sayap seekor burung betina
pada saat lakukan lompatan ke arah Bima
Sura.
"Bintari Ayu...?!" gumam Raka Pura
ketika Estigina tiba di samping kirinya.
"Keparat busuk itu ada di sana! Aku
harus segera menghabisi nyawanya!"
"Tahan dulu!" cegah Raka sambil
mencekal lengan Estigina yang sudah tak
sabar ingin melampiaskan dendamnya kepada
pemuda yang telah merenggut kesuciannya
itu.
"Nah, itu dia orang yang memperko-
samu!" ujar Bujang Bodo yang berdiri di
balik semak di samping Estigina.
Raka Pura berkata, "Perhatikan dulu
jurus-jurusnya, supaya kita bisa melum-
puhkannya jika jurus itu dipakai menye-
rang kita nanti!"
Estigina menahan hasrat membunuhnya
yang telah menyesakkan pernapasan, meng-
gumpal di dalam dadanya. Dada terasa in-
gin meledak menahan kobaran api dendam
itu.
Wuuut, baahk...!
"Uuhk...!" Bintari Ayu terlempar ke
belakang dan jatuh berguling-guling sete-
lah dihantam dengan telapak tangan dari
jarak lima langkah. Telapak tangan yang
keluarkan hawa padat itu bagai batu besar
yang menerjang tubuh Bintari Ayu.
Setelah menyeringai sesaat, Bintari
Ayu bangkit lagi dan mulai membuka kipas
merahnya. Braakk...!
"Jangan melawanku, Cantik! Sebaik-
nya kita berburu cinta dalam pelukan da-
ripada cari penyakit seperti ini!"
"Persetan dengan bujuk rayumu! Aku
tahu kau hanya ingin memperkokoh ilmumu,
menambah kekuatanmu dengan menggunakan
kehangatanku! Aku tak sudi menjadi budak
gairahmu, Iblis Pemburu Wanita!" lontar
Bintari Ayu dengan keras dan kasar. Ia
tampak masih berani hadapi pemuda itu,
dan segera lakukan serangan dengan sebuah
lompatan berkecepatan tinggi.
Wesss...!
Bima Sura berguling maju di atas
rerumputan. Wuuuttt...! Tendangan kaki
Bintari Ayu melayang di atas kepala Bima
Sura. Wess...! Dengan cepat Bima Sura
sentakkan tangannya ke atas, dua jarinya
yang mengeras berhasil kenai paha Bintari
Ayu.
Tess...! Totokan yang membuat gai-
rah terbuka dan berkobar-kobar itu telah
berhasil kenai sasarannya.
Jlegg...! Bintari Ayu mendaratkan
kakinya ketanah dengan tegak. Ia hanya
merasakan sentakan sakit sekejap pada
saat terkena totokan itu, tapi selanjut-
nya ia tidak merasakan apa-apa lagi. Ki-
pasnya dibentangkan di depan mulut. Ma-
tanya memandang jalang ke arah pemuda
yang telah berdiri tegap di depannya.
"Percayalah, kau akan merasa ku
terbangkan sampai ke surga dan tak ingin
lepas dari pelukanku jika kita mulai men-
gawalnya, Bintari Ayu!"
Perempuan itu tak punya jawaban apa
pun. Seakan lidahnya kelu dan jantungnya
mulai berdetak-detak. Debar-debar keinda-
han mulai mengguyur api amarah yang mem
bakar jiwa.
"Aneh sekali! Mengapa tiba-tiba aku
berhasrat untuk meremas dadanya yang bi-
dang itu?!" pikir Bintari Ayu dalam ke-
bingungannya.
Bima Sura mulai tersenyum lebar,
karena ia mendengar kata hati Bintari
Ayu. Kipas yang menutup sebatas hidung
Bintari Ayu itu mulai bergerak turun me-
nyambut kehadiran Bima Sura. Pandangan
mata Bintari Ayu mulai sayu, seakan ha-
tinya kian menggebu-gebu mengharapkan ke-
mesraan si pemuda bercambang tipis itu.
Bahkan ketika kedua tangan Bima Sura mu-
lai meraba pipi Bintari Ayu, perempuan
itu pun dikatupkan sambil matanya meman-
dang tak berkedip ke wajah Bima Sura.
"Rupanya dia menggunakan ilmu sihir
untuk membuat Bintari Ayu bergairah!"
ujar Estigina yang tak mengetahui adanya
jurus totokan di bagian paha tadi.
"Jahanam itu harus mati sekarang
Juga!" Blass...!
"Hei, tunggu...!" sentak Raka Pura,
tetapi Estigina sudah lebih dulu melesat
sambil mencabut pedangnya.
"Wah, rupanya Estigina minta dicium
lagi oleh pemuda itu, Raka!"
"Dia ingin membunuh pemuda itu, To-
lol!" ujar Raka agak jengkel mendengar
kata-kata Bujang Bodo yang diucapkan dengan polos dan lugu itu.
Saat itu, Bima Sura segera melihat
kehadiran Estigina yang sudah menghunus
pedang dan melayang ke arahnya.
"Hei, rupanya kau ketagihan cumbua-
nku, kau past! kecewa karena kesucian mu
belum kurenggut, Nona cantik? Tapi seka-
rang terimalah cumbuanku yang kedua,
heeahh...!"
Bima Sura sentakkan kedua tangannya
ke samping dalam keadaan kedua kaki me-
renggang rendah. Suuut...! Tenaga dalam
yang keluar dari kedua telapak tangan itu
menghantam tubuh Estigina. Brruss...!
"Aaow...!" Estigina memekik dalam
keadaan tubuhnya bagai diterjang badai
besar, melayang-layang dan jatuh setelah
membentur pohon. Brrukk...!
"Ooh...! Matilah dia, Raka! Pasti
dia mati!" ujar Bujang Bodo sambil menu-
tup matanya, merasa tak tega melihat Es-
tigina terbanting sekeras itu.
"Bima Sura, dekaplah aku...! Jangan
hiraukan gadis itu! Dekaplah aku, Bima
Sura..." pinta Bintari Ayu yang gairahnya
sudah telanjur berkobar-kobar dan menun-
tut cumbuan sedalam mungkin. Tubuh Binta-
ri Ayu didorong Bima Sura dengan sentakan
keras. Perempuan itu jatuh terduduk den-
gan menyedihkan. Bima Sura lakukan hal
itu karena Estigina lemparkan pedangnya
dari tempatnya jatuh. Pedang itu menye-
barkan sinar merah bagai ingin menyergap
Bima Sura. Srraaabz...!
Bima Sura terpaksa menghadapinya
dengan melepaskan sinar biru dari kedua
telapak tangannya yang kedua jempolnya
dilipat. Kedua telapak tangan itu diputar
balik dan menyentak maju. Suut...!
Clappp...! Sinar biru lebar pun keluar
dari kedua tangan tersebut. Sinar biru
itu ditabrak dengan sinar merah lebar da-
ri ujung pedang Estigina.
Blarrr...!
Ledakan kuat menggema ke mana-mana.
Tanah di sekitar tempat itu bergetar ba-
gai dilanda gempa kecil. Tetapi pedang
itu tetap meluncur ke arah Bima Sura.
Dengan cepat Bima Sura berpindah tempat
bagaikan menghilang. Slabb...! Tahu-tahu
ia sudah berada di samping Estigina, se-
mentara pedang itu meluncur terus dan me-
nancap di bawah pundak Bintari Ayu.
Jrrub...!
"Aaah...!" Bintari Ayu memekik dan
jatuh terkapar. Ia berusaha mencabut pe-
dang itu, namun kekuatannya bagai meni-
pis, sehingga pedang itu hanya dibiarkan
menancap di bawah pundaknya, di dada ka-
nan. Ia merintih kesakitan tanpa ada yang
menghiraukan.
Karena pada saat itu, Raka Pura se-
gera perhatikan serangan Iblis Pemburu
Wanita ke arah Estigina. Serangan itu be-
rupa tendangan yang datang secara berun
tun dan sukar dihindari Estigina karena
kecepatannya yang luar biasa itu.
"Aaow...!" Estigina memekik satu
kali, setelah itu tak memekik lagi karena
jatuh pingsan pada tendangan ketujuh.
Seketika itu pula, Bima Sura men-
gangkat tangannya. Tangan yang menyala
merah bara itu ingin dihantamkan ke dada
Estigina yang sudah terkapar di tanah.
Tetapi tiba-tiba tubuh Bima Sura diter-
jang sesuatu yang membuatnya terlempar ke
belakang membentur pohon dengan kerasnya.
Brruus...! Krrraak...!
Brrruuuk..! Pohon tersebut tumbang
seketika karena benturan dengan tubuh Bi-
ma Sura.
"Setan alas! Siapa orang itu?! Ter-
jangannya membuat tulang-tulangku terasa
remuk! Untung ku lapisi dengan tenaga in-
ti! Edan! Pohon itu sampai tumbang karena
benturan dengan tubuhku. Ooh... berarti
benturanku tadi keras sekali, ya?!" pikir
Bima Sura, lalu segera bangkit memandang
pemuda tampan berbaju tanpa lengan warna
putih dan berambut lepas sepundak. Mata
Bima Sura menatap ke arah. pedang kristal
yang ada di pinggang pemuda dari Gunung
Merana, yang tak lain adalah Pendekar
Kembar sulung; Raka Pura.
"Tindakanmu sudah mencapai tingkat
kecemasan penghuni dunia ini, Iblis Pem-
buru Wanita! Aku merasa berhak menghenti
kannya!"
"Siapa kau sebenarnya?! Kuakui ter-
jangan mu tadi cukup hebat, tapi jangan
bangga dulu, karena sebentar lagi aku
akan mengirimmu ke tengah neraka! Untuk
itu, perkenalkan lebih dulu dirimu agar
namamu bisa ku ukir dalam batu nisan mu
nanti!"
Raka Pura sunggingkan senyum tipis.
Kini kedua pemuda sama-sama tampan dan
sama-sama bertubuh kekar itu saling pan-
dang beberapa saat.
"Aku yang bernama Raka Pura; si su-
lung dari Pendekar Kembar!" jawab Raka
Pura sampai ditelinga Bujang Bodo. Cucu
Ki Darmala itu mencibir dan menahan tawa
geli sambil hatinya berkata,
"Boleh juga tipuan mu, Raka! Pasti
lawanmu ciut nyali lebih dulu mendengar
pengakuan palsumu itu!"
Tetapi pendapat Bima Sura berbeda
dengan anggapan Bujang Bodo. Melihat so-
sok penampilan yang meyakinkan dengan pe-
dang kristal yang megah itu, Bima Sura
percaya dengan pengakuan tersebut. Tapi
ia hanya sunggingkan senyum sinis berke-
san meremehkan nama Pendekar Kembar.
"Kudengar namamu menjadi bahan pem-
bicaraan para tokoh di rimba persilatan!
Tapi jangan harap nama itu akan dibicara-
kan lagi kecuali kau bersujud dl kakiku
dan meminta ampun atas kelancanganmu
menggagalkan niatku membunuh gadis itu!"
"Aku tak keberatan bersujud di ka-
kimu, setelah kau menjilat telapak kakiku
lebih dulu!"
Wajah Bima Sura menjadi merah men-
dengar ucapan Raka yang membalas hinaan-
nya. Gemetar tangan Bima Sura karena me-
rasa sangat direndahkan oleh Pendekar
Kembar. Maka ia pun perdengarkan suara
geramnya dengan gigi menggeletak kuat-
kuat.
"Kurasa kau tak pantas berhadapan
denganku terlalu lama! Pergilah ke neraka
sekarang juga! Heeehh...!"
Bima Sura putarkan tubuh dengan ce-
pat, kakinya melesat ke wajah Raka.
Wees...! Raka segera ayunkan badan ke ba-
wah, sehingga tendangan itu lolos dari
sasaran.
Pada saat Raka terduduk, kaki Bima
Sura sudah melayang lagi ke wajah dengan
cepat. Beett...!
Dess...! Tangan kanan Raka segera
menangkis tendangan kaki itu. Tangan kiri
menekan di tanah dan kedua kaki Raka me-
nendang cepat secara beruntun bergantian.
Bet, bet, bet, bet, bet...! Tendangan itu
kenai tulang kering Bima Sura, lalu ke
lutut, terus naik sampai ke perut, se-
hingga tubuh Raka bergeser maju bagai
terseret oleh kekuatan tenaga dalamnya
sendiri yang disalurkan ke telapak ka
kinya.
Baaahk...!
Raka Pura meloncat sambil menjejak-
kan kedua kaki secara bersamaan. Jejakan
itu kenai dada Bima Sura. Lalu tubuh Raka
jatuh ke tanah dengan kedua tangan siap
menapak di tanah. Begitu kedua tangan
sampai di tanah, ia mengayun dalam satu
sentakan, maka tubuh itu pun melayang da-
lam gerakan jungkir balik satu kali di
udara. Wuukkk...!
Jlegg...! Ia berhasil berdiri den-
gan tegak dan gagah.
"Puih...!" Bima Sura meludah. Yang
diludahkan ternyata darah kental akibat
tendangan beruntun dari Raka tadi. Wajah
pemuda bercambang tipis itu semakin ga-
nas.
"Tak ada waktu lagi untuk bermain-
main denganmu, Jahanam! Terima saja ajal-
mu sekarang juga!"
Wutt,..., werrrss...!
Bumerang dicabut dan dilemparkan ke
arah Raka. Bumerang itu terbang mengeli-
lingi Raka dengan memancarkan cahaya me-
rah bara. Raka Pura segera mencabut pe-
dangnya. Begitu pedang ditarik lepas dari
sarungnya, bumerang itu menerjang ke arah
dahi. Maka pedang itulah yang menjadi pe-
nangkisnya.
Wuuttt, duarrr...!
Ledakan cukup keras terjadi karena
benturan pedang yang menyala ungu dengan
bumerang yang memancarkan cahaya merah
bara.
Bumerang itu terpental dan terbang
mengelilingi Raka lagi seakan ingin me-
nerjang dari sisi lain,
Raka Pura kebingungan menghadapi
gerakan bumerang tersebut. Pedang Tangan
Malaikat menebas ke berbagai arah.
Wuuttt, wuuttt, wuuttt...!
Angin kibasannya menebarkan gelom-
bang ketajaman pedang yang membuat tim-
bulnya ledakan, jika angin ketajaman itu
menyentuh bumerang.
Duarr, duarrr, duarrr...!
Sementara itu, Bima Sura segera me-
lepaskah sinar hijaunya. Dalam keadaan
bingung menghadapi bumerang itu, Raka
pasti tak siap hadapi sinar hijau terse-
but. Slappp...!
Tapi tiba-tiba sinar hijau itu di-
hantam oleh seberkas sinar putih perak
yang menyerupai pisau runcing itu.
Clapp...! Blegarrr...!
Bima Sura terkejut melihat ada si-
nar putih yang menghancurkan sinar hi-
jaunya. Ia segera berpaling ke samping,
ternyata rombongan Soka Pura sudah muncul
di sana. Soka hadir bersama Selir Pamujan
yang berhasil berjumpa dengannya di per-
jalanan. Selain Soka dan Selir Pamujan,
juga Bandar Getih dan Lodayu ada bersama
mereka.
Lodayu masih hidup dan dalam kea-
daan segar, Bima Sura menjadi terkejut
dan mulai tampak benar-benar tegang. Ma-
tanya berpindah-pindah antara Lodayu dan
Soka yang serupa betul dengan Raka Pura.
Melihat si Iblis Pemburu Wanita da-
lam keadaan bingung, Raka Pura segera me-
nerjangnya dari samping meninggalkan se-
rangan bumerang yang melayang-layang itu.
Wuttt..! Brresss...!
Pedang Tangan Malaikat berkelebat
cepat ke dada Bima Sura, Crass...! Bima
Sura tersentak mundur beberapa langkah.
Ia masih bisa bertahan agar tak jatuh.
Sementara itu, bumerang yang berputar-
putar itu dihajar oleh Soka menggunakan
sinar putih mirip pisau runcing yang di-
namakan jurus 'Cakar Matahari' itu.
Blegarrr...!
Bumerang itu pecah berhamburan. Pa-
da saat bumerang itu pecah, dari arah
lain muncul Eyang Rangkasewa dengan Nini
Sawandupa. Nenek tua itu segera melesat
menerjang Bima Sura dengan kobaran api
dendamnya.
"Modar kau sekarang, Iblis busuk!
Hiaaah...!"
Wuuut...! Tahu-tahu tubuh Nini Sa-
wandupa telah disambar Eyang Rangkasewa
lagi. Ia tak jadi menerjang Bima Sura.
"Lepaskan aku! Iblis busuk itu ha
rus kuhancurkan sebelum ia menghancurkan
kalian yang ada di sini!" teriak Nini Sa-
wandupa.
"Tenang! Lihat saja iblismu itu?!"
ujar Eyang Rangkasewa sambil menuding ke
arah Bima Sura yang hanya berdiri diam
dengan senyum tipis di bibirnya.
Saat itu pula, Estigina siuman. Ia
segera ditolong oleh Bujang Bodo.
"Raka sedang berhadapan dengan Ib-
lis Pemburu Wanita! Jangan ke mana-mana
dulu, lihat siapa yang unggul. Iblis itu
atau aku!"
"Kau...?!"
"Raka mewakili diriku," ujar Bujang
Bodo.
Melihat Bima Sura berdiri tegak ba-
gaikan sedang beradu pandangan mata den-
gan Raka, Estigina segera menerjangnya.
Tubuh gadis itu segera disambar
oleh Raka Pura. Si gadis berontak dengan
kasar.
"Lepaskan aku! Lepaskan! Dia telah
menjamah seluruh tubuhku! Dia harus kubu-
nuh sekarang juga!"
"Dia sudah tak bernyawa!" ujar Raka
dengan tegas, matanya memandang tajam ke-
pada Estigina. Gadis itu hentikan gerakan
merontanya. Ia pun segera menatap Bima
Sura.
Belum ada satu helaan napas, tubuh
Bima Sura tumbang ke belakang dalam kea
daan tetap tersenyum dan membuka mata.
Mereka yang memandangnya sejak tadi sama-
sama terperangah kaget melihat kenyataan
itu. Dada si Iblis Pemburu Wanita tampak
terluka lebar setelah ia tumbang. Luka
itu tidak timbulkan darah kecuali hanya
warna ungu samar-samar.
Nini Sawandupa pun tak jadi meronta
dari genggaman tangan Eyang Rangkasewa.
Ia memandang dengan tertegun, napasnya
yang memburu mulai mereda.
"Ooh... dia benar-benar sudah tak
bernyawa?!" ujar Bandar Getih yang meme-
riksa dari jarak dekat.
Semua tertegun memandang Raka yang
masih menggenggam pedang di tangan kanan
dan menggenggam lengan Estigina di tangan
kiri.
Soka Pura segera mendekatinya sam-
bil tersenyum-senyum jenaka kepada sang
kakak. Kala itu Estigina terkejut melihat
Raka Pura ada dua.
"Kaa... kalian kembar?!"
Eyang Rangkasewa segera berkata,
"Pendekar Kembar, terima kasih atas ban-
tuanmu! Kalian telah melenyapkan durjana
ini yang berarti pula membebaskan kaum
wanita dari ancaman keiblisannya!"
"Siapa kau, Pak Tua?!" tanya Raka.
Nini Sawandupa menjelaskan, "Dia
yang menolongku dan menolong Rara Wulan
dari ancaman laknat Iblis Pemburu Wani
ta!"
"Rara Wulan...?!" Soka terperanjat.
"Di mana dia sekarang, Nini?"
"Ada di pondokku! Jemputlah ia,
Nak. Karena ia hanya mau pulang ke kadi-
paten jika diantar oleh Soka Pura; si
bungsu dari Pendekar Kembar!"
"Oh, gila betul gadis itu!" gumam
Soka sambil tersenyum dan geleng-
gelengkan kepala.
Selir Pamujan merasa sakit hati
mendengar ucapan itu, ia segera pergi
tanpa pamit dan tak hiraukan seruan Soka
lagi. Sementara itu Estigina masih tak
sadar pandangi Soka Pura dengan terkagum-
kagum, karena ternyata sejak kemarin ia
bersama Pendekar Kembar yang dibangga-
banggakan itu. Namun dalam hati Estigina
pun mempunyai kebanggaan lain untuk Raka,
yaitu kesuciannya yang belum sempat di-
renggut oleh siapa-siapa.
Soka melirik kakaknya dan berbisik,
"Tumben kau menggandeng seorang gadis!
Sudah berubah pendirian?!"
Raka Pura buru-buru lepaskan geng-
gaman tangannya pada lengan Estigina. Ia
malu kepada ejekan adiknya itu. Ia pun
bersungut-sungut sambil menggerutu lirih.
"Hanya menggandeng apa tak bo-
leh...?!"
Soka Pura tertawa. kemudian mengi-
kuti langkah Eyang Rangkasewa untuk menjemput Rara Wulan.
SELESAI
Segera terbit!!!
PERAWAN BUKIT JAGAL
0 comments:
Posting Komentar