"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 25 Agustus 2025

PENDEKAR KEMBAR EPISODE IBLIS PEMBURU WANITA

Iblis Pemburu Wanita

 


1


BURUNG berkicau bukan saja karena 

fajar menyingsing atau senja tenggelam. 

Bisa juga burung berkicau karena menden-

gar suara orang bersiul. Orang bersiul 

bukan saja karena memanggil burung, bukan 

saja karena hati riang dan bukan saja ka-

rena masuk angin. Ada juga yang bersiul 

karena cari penyakit, seperti yang dila-

kukan oleh pemuda rambut pendek berwajah 

polos.

Pemuda kurus berbaju coklat dan 

bercelana biru itu bersiul dua kali keti-

ka melihat seorang gadis lewat di depan-

nya. Pemuda itu serukan siulannya sambil 

duduk di atas batu bawah pohon teduh, ka-

kinya melonjor satu, punggungnya bersan-

dar pohon, kedua tangannya ditaruh di be-

lakang kepala.

"Suiit, suuuiiit...!"

Gadis cantik berambut lurus sepun-

gung hentikan langkahnya. Wajah cantiknya 

yang mungil itu di palingkan memandang 

pemuda berusia sekitar dua puluh tahun 

itu. Si pemuda sunggingkan senyum menggo-

da. Si gadis menghampirinya.

"Hai...!" sapa si pemuda.

Ploook! Balas si gadis. Pemuda itu 

menggeragap dan langsung turun dari batu 

karena tamparan keras si gadis yang tak 

disangka-sangka itu.


"Kau pikir aku burung kepodang?!" 

gertak gadis berusia sekitar dua puluh 

dua tahun itu. Matanya menatap tajam dan 

berkesan galak. Si pemuda menjadi takut, 

bahkan tak bisa bicara.

"Awas, kalau sekali lagi menggoda 

ku dengan siulan mu! Kurobek mulutmu!" 

ancam si gadis bertubuh langsing itu. Ke-

mudian ia lanjutkan langkahnya. Rambutnya 

yang lurus panjang sepunggung dan lemas 

itu melimbak-limbak indah saat dipakai 

untuk berjalan. Si pemuda berkalung keta-

pel di lehernya hanya bisa memandang den-

gan hati penuh gerutu.

"Sombong! Mentang-mentang cantik, 

ada orang bersiul tidak boleh! Hmmm...! 

Siul pakai mulut sendiri kok dilarang?! 

Gadis macam apa itu?"

Pemuda kurus berkulit sawo matang 

itu nekat bersiul lagi.

"Suiit, suuuiitt...!"

Tapi kali ini ia sambil memandang 

ke atas, sambil menggenggam ketapelnya, 

seakan mencari seekor burung untuk dibi-

diknya. Sang gadis yang belum jauh da-

rinya segera hentikan langkah. Pemuda itu 

melirik sekilas, lalu memandang ke atas 

lagi.

"Suitt, suiiit....!"

Siulan itu terdengar pada saat si 

gadis ingin melangkah lagi. Tentu saja si 

gadis menjadi dongkol dan yakin bahwa ia


sedang digoda dengan siulan. Langkahnya 

terhenti sebentar, pandangi si pemuda.

Sementara si pemuda menarik-narik 

karet ketapelnya seperti mau membidik bu-

rung di atas pohon.

Tapi gadis itu segera mendekati si 

pemuda. Dengan wajah takut si pemuda me-

mandang dan melangkah mundur. Si gadis 

menatap dengan tajam dan wajahnya tampak 

berang.

Plaak...! Si gadis menampar lagi. 

Kali ini kenai lengan si pemuda, karena 

pemuda itu menghalangi wajahnya dengan 

melintangkan lengan.

"Kurang ajar! Kau anggap aku burung 

beo, ya?!"

"Aku bersiul sendiri kok!"

"Bohong! Kau pasti bersiul untuk 

menggoda ku! Kau kira aku gadis murahan 

yang tiap malam jual diri?!"

"Aku tidak menganggapmu begitu. Ta-

pi kalau kau memang mau jual diri, aku 

coba untuk menawarkannya!"

"Keparat! gadis itu makin menggeram 

marah. Maka kakinya segera berkelebat me-

nendang si pemuda. Tendangan itu cukup 

tepat dan tak tertangkis oleh si pemuda.

Beet...! Buuhk...!

"Uuhk...!" Si pemuda menyeringai 

karena perutnya terkena tendangan dengan 

telak. Rasa mual dan mulas pun mulai mem-

buat napasnya menjadi sesak. Pemuda kurus


itu jatuh terduduk membentur pohon saat 

menerima tendangan si gadis berpakaian 

serba kuning itu.

"Rupanya kau mau main-main dengan 

Estigina, ya?!" sambil ia menepuk da-

danya, membanggakan namanya sendiri seba-

gai Estigina.

Pemuda itu menunduk dalam duduk 

sambil pegangi perutnya yang mulas. Sema-

kin didekati Estigina semakin berkerut 

tubuhnya.

"Aku paling benci jika digoda pemu-

da dengan siulan! Ku anggap hal itu me-

rendahkan harga diriku!"

"Aak... aku... aku bersiul untuk 

memanggil burung yang akan kubidik. Tapi 

ternyata yang datang dirimu. Mana kutahu 

kalau siulanku bukan mendatangkan burung 

tapi mendatangkan dirimu. Aku...."

"Cukup!" bentak Estigina. "Coba ma-

na ketapel mu?!"

Estigina langsung merebut ketapel 

dari tangan si pemuda berwajah polos ba-

gai seorang bocah ingusan itu. Estigina 

memeriksa ketapel itu.

"Mana batunya?! Kalau kau mau mem-

bidik burung pasti ada batu di ketapel

ini?!"

"Bat... batunya jatuh," jawab si 

pemuda dengan takut dan gugup.

"Alasan!" sentak Estigina sambil 

membuang ketapel itu. "Sekali lagi kau


bersiul menggoda ku, rontok gigimu!" se-

raya si gadis berpedang di pinggang itu 

mengacungkan kepalan tangannya. Setelah 

itu, ia buru-buru teruskan langkahnya 

tanpa hiraukan pemuda berbaju coklat tua 

itu.

Pemuda itu segera memungut ketapel-

nya yang tadi dibuang di semak-semak. Ia 

bicara sendiri dalam nada menggerutu pe-

lan.

"Dasar tolol aku ini! Mengapa tadi 

ketapel ini tidak ku isi dengan batu biar 

kelihatan benar-benar mau membidik bu-

rung?!"Uuh...! Otak kalau nakal akhirnya 

ketahuan juga, ya?! Sial! Perutku jadi 

mual begini. Tendangannya keras sekali. 

Untung perutku tak sampai jebol, Kalau

perutku sampai jebol, nanti kalau aku ma-

kan bagaimana?!"

Pertanyaan-pertanyaan bodoh itu 

terlontar pelan dari mulut si pemuda, 

seakan ia bicara dengan dirinya sendiri. 

ia mencoba mengambil napas panjang untuk 

melonggarkan sesuatu yang terasa menyesak 

di perutnya. Sambil menghirup napas pan-

jang kepalanya mendongak ke atas. Dili-

hatnya seekor burung gagak terbang seba-

tas dedaunan pohon!

Pemuda itu buru-buru mengambil batu 

dan menempatkan pada ketapelnya. Burung 

itu dibidik sesaat dengan satu mata agak 

terpejam.


Breet...! Plok...!

"Kaaak...!" suara burung memekik 

satu kali, kemudian burung itu meluncur 

dari jatuh di balik semak seberang sana.

"Wah, jauh sekali jatuhnya?! Se-

baiknya kucari burung itu. Lumayan bisa 

untuk isi perut siang ini!"

Pemuda bersabuk kain putih itu se-

gera berlari ke semak-semak seberang. ia 

tak tahu kalau burung yang berhasil dije-

pretnya mengenai bagian kepala itu jatuh 

tepat di depan langkah Estigina. Sang ga-

dis terpekik pendek karena kaget dan me-

lompat mundur dengan jantung berdebar-

debar. Plook...!

"Hahh...?! Setan belang! Pasti ulah 

si pemuda tolol itu! Seenaknya saja ia 

melemparkan bangkai burung di depanku?! 

Rupanya ia benar-benar minta dihajar sam-

pai babak belur baru merasa jera meng-

gangguku!"

Estigina berbalik arah dan hampiri 

si pemuda di tempat tadi. Wajah cantiknya 

benar-benar dibungkus oleh kemarahan yang 

seolah-olah tak bisa dijinakkan lagi itu. 

Tapi ketika sampai di sana, si pemuda tak 

ada dan Estigina menyangka pemuda itu 

bersembunyi. Maka ia pun mencari pemuda 

tersebut di sekitar tempat itu. Ia tak 

tahu bahwa si pemuda sudah menemukan bu-

rung buruannya dengan menerabas semak me-

motong jalan.


"Nah, lumayan dapat seekor!" si pe-

muda nyengir kegirangan. "Sebaiknya sege-

ra kubakar di bawah pohon rindang yang 

tadi. Tempat itu terasa nyaman dan cocok 

untuk bersantap siang begini!"

Tetapi sebelum pemuda itu tiba di 

tempat dia mendengar suara pekikan kecil.

"Aauw...!"

Rupanya Estigina telah ditotok se-

seorang dari belakang. Orang itu menyen-

tilkan batu kerikil sebesar kacang tanah. 

Tees...! Batu itu tepat kenai tengkuk Es-

tigina, sehingga gadis itu terpekik ka-

get.

Namun setelah itu Estigina tak mam-

pu berseru lagi. Ia jatuh terpuruk dengan 

lemas. Ia bagaikan tak mempunyai tulang 

dan urat sedikit pun. Tetapi ia masih 

mempunyai kesadaran, masih bisa melihat, 

juga masih bisa berkecamuk dalam hati.

"Kita bersenang-senang sebentar, 

Sayang ku!" ujar seorang pemuda dan pemu-

da itu segera tertawa dalam gumam.

Estigina sadar tubuhnya dibawa ke 

balik semak-semak ilalang. Estigina juga 

melihat jelas wajah pemuda yang menotok-

nya itu cukup tampan, berkumis dan ber-

cambang tipis, hidungnya mancung, rambut-

nya bergelombang sepundak. Pemuda yang 

berusia sekitar dua puluh lima tahun itu 

mengenakan pakaian serba merah dengan sa-

buk hijau dari kain. Kedua tangannya men


genakan gelang kulit binatang warna hitam 

bertali silang-silang. Tubuhnya tinggi, 

kekar, berotot dan berkulit langsat ber-

sih.

Baju merah lengan panjang yang di-

kenakan itu tak dikancingkan, sehingga 

dadanya yang bidang tampak berbulu halus. 

Di balik baju itu, ia menyelipkan sebuah 

senjata lengkung yang dinamakan bumerang.

"Siapa dia? Aku tak kenal dengan-

nya? Mau apa dia membawaku ke balik se-

mak-semak ini?!" tanya hati Estigina den-

gan berdebar-debar.

Rupanya pemuda itu mempunyai ilmu 

'Wicara Batin', sehingga ia dapat menden-

gar suara batin seseorang dalam jarak 

tertentu. Maka ketika ia mendengar keca-

muk batin Estigina, ia pun lebarkan se-

nyum dan berkata dengan suara pelan.

"Kita memang belum pernah bertemu 

dan belum saling kenal. Tapi sebentar la-

gi kita akan saling merasakan keindahan 

yang luar biasa, Manisku. Heh, heh, heh, 

heh!"

"Hei, apa-apaan ini?! Mengapa dia 

melepasi pakaianku?! Ooh...?! Oh, jan-

gan...?!" seru hati Estigina.

Pemuda itu mendengarnya dan berka-

ta, "Tenang saja. Jangan gugup dan jangan 

takut. Aku hanya akan membagi kebahagiaan 

denganmu, Sayang...."

Kata-kata si pemuda yang seperti


orang menggumam itu didengar oleh pemuda 

yang tadi ditampar oleh Estigina. Pemuda 

berbaju coklat segera mendekati suara itu 

dengan langkah pelan. Namun ia tak berani 

menerobos masuk ke semak-semak, karena 

dari tempatnya berdiri sudah dapat meli-

hat apa yang dilakukan oleh si pemuda 

tampan berbaju merah itu. Tempat tersebut 

lebih tinggi dari tempat yang dipakai 

menggelar tubuh mulus Estigina itu.

"Oh, mau diapakan gadis itu?"tanya 

batin pemuda berkalung ketapel. Perta-

nyaan batin itu tak tertangkap oleh ilmu 

'Wicara Batin' si pemuda berbaju merah, 

karena jaraknya lebih dari tiga langkah. 

Pemuda berkalung ketapel itu menggerak-

gerakkan kepalanya agar bisa memandang 

secara keseluruhan.

"Ooh, pemuda itu manusia serigala?! 

Dia mau memakan bibir Estigina?! Lho, ta-

pi... tapi apa benar bibir gadis itu di-

makan sampai habis?!"

Pemuda berbaju merah ternyata men-

ciumi wajah cantik Estigina. Ciuman itu 

merayap dan sekarang hinggap di bibir 

mungil Estigina. Bibir itu dipagut-pagut 

pelan, dilumat dengan lembut sambil tan-

gannya meraba dada si gadis.

Estigina ingin meronta, namun tak 

kuasa. Bahkan menggelengkan kepala untuk 

hindari kecupan tersebut juga tak punya 

daya sedikit pun. Ia hanya meratap dalam


hatinya.

"Jangan... jangan... ooh, jangan 

nodai aku...."

Suara batin itu didengar oleh si 

pemuda, namun tidak dihiraukan. Si pemuda 

justru merayapkan kecupannya ke leher Es-

tigina. Lidahnya merayapi sekitar leher 

beberapa saat, sambil berusaha melepas 

bajunya sendiri.

"Ooh, tubuhmu mulus sekali, Sayang! 

Hmmm... dadamu sungguh menantang gairah-

ku. Bukan main indahnya!" ujar si pemuda 

dengan suara berbisik. Kemudian mulutnya 

menempel di dada itu. Ujung dada yang ma-

sih tampak ranum itu dilumatnya dengan 

lembut.

"Oooh...!" si gadis mengeluh dalam 

hati. Ia dapat merasakan desiran nikmat, 

namun batin yang bertentangan membuat ke-

nikmatan itu tak bisa diresapi. Hasrat 

yang ada dalam jiwanya adalah meronta, 

memberontak dari cumbuan si orang asing 

itu.

Agaknya Estigina tak punya kesempa-

tan lagi untuk hindari noda. Pemuda itu 

dengan santainya mengatur posisi Estigi-

na, termasuk menjauhkan kedua kaki gadis 

itu. Sementara kedua tangan Estigina di-

rentangkan ke atas hingga ketiaknya ter-

buka bebas. Pemuda itu benar-benar ber-

jaya atas diri Estigina. Diciumnya selu-

ruh tubuh Estigina dengan pagutan-pagutan


kecil dan sapuan lidah yang menghangat.

Pemuda berkalung ketapel tak bisa 

berkutik. Apa yang disaksikan oleh ma-

tanya itu membuatnya panas dingin dan tu-

buhnya gemetaran, giginya gemeretak bagai 

berada di puncak gunung bersalju. Cela-

nanya menjadi basah sendiri, akibat ke-

ringat dinginnya mengalir deras di seku-

jur tubuh.

"Apakah... apakah itu yang dinama-

kan bercumbu?!" pikir pemuda berkalung 

ketapel yang masih polos dan lugu itu.

"Apakah kalau bercumbu harus... ha-

rus ucapkan kata 'sayang' beberapa kali? 

Ooh... tapi kenapa pemuda itu tak menaruh 

belas kasihan kepada Estigina? ia menggi-

giti tubuh Estigina yang ramping dan ber-

kulit semulus itu? Estigina bisa mati 

akibat gigitan berbisa itu! Oh, dasar 

orang tak punya otak!" maki pemuda itu 

dalam sebaris gerutuan batinnya. "Mungkin 

tindakan seperti itulah yang dinamakan 

perkosaan."

Pemandangan yang makin lama semakin 

menggetarkan jiwanya itu telah membuat 

lututnya bagai tak bertulang. Akhirnya 

pemuda berkalung ketapel duduk di bawah 

pohon, terlindung akar-akar pohon yang 

pipih dan besar itu. Ia meringkuk di sana 

dengan menggigil dan gigi gemeretak.

"Kok rasanya aku kepingin buang air 

kecil, ya?" gumam hati pemuda berkalung


ketapel. Namun ia tak mampu berdiri men-

cari tempat untuk buang air kecil. Ia se-

makin lemas, semakin merasa tak mempunyai 

kaki lagi. Matanya masih memandang ke ba-

lik semak ilalang dari celah-celah akar 

pohon tersebut. Ia masih melihat si pemu-

da berbaju merah yang sudah mulai mengen-

durkan celananya.

Namun tiba-tiba terdengar suara si-

ulan yang mengalun tinggi, meliuk-liuk 

bagai nyanyian kematian. Siulan itu mem-

punyai getaran tersendiri yang mampu 

menggugah perasaan duka di hati siapa sa-

ja yang mendengarnya.

"Fuuiiiuuu... uuiiiuu... uuiiuuut! 

Fuuuiii, fuuuii, fuuiiit...!"

Pemuda itu tak jadi kendorkan cela-

na. Gerakannya terhenti seketika, karena 

merasa akan ada segumpal duka yang meng-

ganjal di dadanya. Ia pun segera teringat 

kematian ayah dan ibunya yang meninggal-

kan dirinya dalam usia sepuluh tahun. Su-

ara siulan itu makin lama semakin mengi-

ris hati, sangat menyedihkan dan menim-

bulkan bayangan-bayangan yang memilukan.

"ibuu, Ayaaah... mengapa kalian 

pergi saat aku masih kecil? Ooh, ibuu... 

Ayah... sekarang anakmu hidup sebatang 

kara...," ratap hati pemuda bercambang 

tipis itu.

Estigina sendiri sempat sadari ke-

janggalan tersebut. Ia tahu si pemuda mu


lai bangkit berdiri, tak jadi merenggut 

kesuciannya. Tapi tangis di hati Estigina 

semakin meratap-ratap karena terpengaruh 

suara siulan yang membangkitkan kesedihan 

itu.

Ia dan pemuda yang mau memperko-

sanya itu tidak tahu bahwa siulan itu be-

rasal dari mulut berbibir tebal si pemuda 

lugu itu. Rupanya pemuda berkalung keta-

pel itu mempunyai getaran suara siul yang 

mampu menyentuh perasaan, membangkitkan 

saraf duka, membuat orang yang mendengar-

nya menjadi sedih. Bahkan bisa membuat 

orang menangis meraung-raung di luar ke-

sadaran orang tersebut.

Entah apa lagi yang dapat dilakukan 

oleh suara siulan itu selain membuat 

orang menjadi sedih dan menangis, yang 

jelas siulan itu telah membuat si pemer-

kosa kehilangan gairah. Jika ia tak mela-

wannya dengan napas tenaga dalam, maka 

pemuda pemerkosa itu akan menangis me-

raung-raung seperti menghadapi kematian 

orang tuanya.

Hilangnya gairah untuk menikmati 

kehangatan seorang gadis membuat pemuda 

tersebut akhirnya melangkah pergi dengan 

menahan tangis setelah merapikan pakaian-

nya. Ia melangkah dalam lamunan duka, di 

mana bayangan saat-saat jenazah ibu dan 

ayahnya dimakamkan terpampang jelas dalam

benaknya.


Akhirnya ia berlari cepat dengan 

kerahkan tenaganya untuk melawan rasa du-

ka yang nyaris membuatnya menitikkan air 

mata. Ia pergi tanpa pedulikan si gadis 

yang masih terkapar tanpa busana secuil 

pun itu.

Sedangkan si pemuda berkalung keta-

pel duduk meringkuk di balik pohon per-

sembunyiannya dengan tubuh masih menggi-

gil dan jantung berdetak-detak. Siulannya 

dihentikan setelah ia melihat pemuda ber-

baju merah pergi dan Estigina masih ter-

kapar polos tanpa seekor lalat pun di 

atas tubuhnya. Namun pemuda berkalung ke-

tapel itu tetap menganggap Estigina telah 

diperkosa oleh pemuda berbaju merah itu.

*

**


3


PADA saat itu, Pendekar Kembar dari 

Gunung Merana dalam keadaan terpisah satu 

dengan yang lainnya. Soka Pura sibuk men-

cari putri Adipati yang bernama Rara Wu-

lan. Soka mendapat kabar dari Bandar Ge-

tih bahwa Rara Wulan minggat lagi dari 

istana kadipaten Wilujaga. Kali ini ke-

pergian Rara Wulan bukan karena protes 

kepada sang ayah yang ingin kawin lagi, 

melainkan karena merasa tersiksa menahan


rindu kepada Soka, (Baca serial Pendekar 

Kembar dalam episode: "Gadis Penyebar 

Cinta").

Soka pergi bersama Bandar Getih 

tanpa seizin ayah angkatnya; si Pawang 

Badai, dan tanpa pamit kepada Raka Pura. 

Sang kakak tak ingin adik kembarnya cela-

ka dalam perjalanan mencari Rara Wulan. 

Karenanya, atas seizin ayah angkatnya, 

Raka pergi mencari Soka Pura. Tentu saja 

sebaris gerutu kejengkelan meluncur dari 

mulut Pendekar Kembar sulung itu.

"Bocah edan itu selalu bikin pusing 

kepalaku! Persoalannya selalu tak jauh 

dari urusan perempuan. Bosan aku! Apa ja-

dinya jika seluruh perempuan di dunia 

tenggelam ke dasar bumi, apakah Soka juga 

ikut menenggelamkan diri ke dasar bumi? 

Hmmm! Konyol itu namanya!"

Perjalanan Raka Pura, si Pendekar 

Kembar sulung tiba di tempat Estigina. 

Tetapi sebelumnya pemuda berkalung keta-

pel itu sempat kebingungan menghadapi Es-

tigina yang masih tertotok jalan darahnya 

dan menjadi lumpuh tanpa daya apa-apa 

itu. Rasa iba membuat pemuda kurus agak 

pendek itu ingin menolong gadis itu. Te-

tapi ia tak tahu harus berbuat apa terha-

dap gadis yang terkapar tanpa busana itu.

"Kalau aku mendekat, nanti aku di-

tampar. Kalau tidak mendekat, nanti aku 

dikira mengintipnya. Aduh, serba salah


kalau begini!" keluh pemuda lugu itu.

"Tapi kalau dia dibiarkan terkapar 

tanpa penutup sedikit pun, ooh... kasi-

han! Selain bisa membuatnya masuk angin, 

juga bisa membuat tubuhnya yang putih mu-

lus itu dikerumuni semut. Kalau ada bu-

rung terbang di atasnya dan membuang ko-

toran, tubuh putih mulusnya bisa terkena 

kotoran burung. Hmmm... sebaiknya aku ne-

kat menutupi tubuhnya itu biar tidak ker-

ing terpanggang matahari."

Akhirnya si pemuda nekat dekati Es-

tigina walau dengan langkah ragu-ragu dan 

hati berdebar-debar. Estigina terkejut

ketika melihat wajah polos pemuda yang 

tadi ditamparnya itu muncul sambil menen-

teng bangkai burung. Keadaannya yang tak 

berdaya membuatnya serba jengkel. Ingin 

menyuruh pemuda itu pergi, tak bisa. In-

gin menampar pemuda itu, tak bisa. Ingin 

meminta tolong pun tak bisa. Akhirnya da-

da Estigina terasa sakit sekali menahan 

gejolak batin yang tak terpenuhi sedikit 

pun itu.

"Uuh... halus sekali kulit tubuh-

nya?" pikir pemuda itu setelah ia meraba 

lengan tangan kiri Estigina yang masih 

merentang ke atas kepala. Usapan itu di-

lakukan setelah pemuda tersebut merangkak 

pelan-pelan dekati Estigina, dan ternyata 

Estigina tak bergerak sedikit pun, kecua-

li kedipan matanya yang basah oleh air


mata itu.

"Celaka! Apakah si tolol ini juga 

ingin memperkosanya?! Matilah aku kalau 

dia ikut-ikutan pemuda jalang tadi!" ujar 

batin Estigina. Sekalipun Ia belum jadi 

kehilangan kesuciannya, tapi karena selu-

ruh tubuhnya sudah dijamah dengan ciuman, 

ia merasa sudah diperkosa.

Pemuda itu memang konyol. ia meman-

dangi tubuh itu lebih dulu dengan mata 

berbinar-binar namun tangan tak berani 

memegang ini-itu. Hanya tadi ia mengusap 

lengan Estigina, selebihnya ia tak bera-

ni, karena naluri kelelakiannya membuat 

jantungnya berdetak cepat seperti saat 

mengintip dari gundukan tanah di atasnya 

itu.

Rasa malu Estigina tak tertolong 

lagi. Jiwanya bergolak, darahnya terba-

kar, kemarahannya ingin meledak ketika 

pemuda itu memandanginya dari bagian ke-

pala sampai kaki. Pandangan mata itu di-

lakukan dengan pelan-pelan dan sambil me-

rangkak. Seakan si pemuda sedang meman-

dangi sesuatu yang amat dikagumi dan 

mengherankan, sehingga Estigina menitik-

kan air mata lagi karena tak bisa lam-

piaskan kemarahannya yang menyakitkan da-

da itu.

"Oh, ini dia pakaiannya," ujar hati 

pemuda itu. Ia memungut pakaian Estigina 

yang tadi dilemparkan di tepian semak


oleh si pemuda jalang tadi.

Estigina ingin menjerit meluapkan 

kemarahannya ketika melihat pemuda itu 

membentang-bentangkan pakaiannya dari 

yang luar sampai yang dalam. Rasa malu 

bagaikan sebongkah batu yang menyumbat 

pernafasannya.

Namun apa boleh buat, dalam keadaan 

lumpuh begitu Estigina hanya bisa menatap 

pakaiannya yang dijepit memakai dua jari 

kanan-kiri dan dibentang-bentangkan oleh 

si pemuda. Dahi pemuda itu berkerut bagai 

merasa aneh terhadap pakaian-pakaian ter-

sebut.

Padahal di dalam hati pemuda itu 

bertanya-tanya, "Jika pakaian ini harus 

kukenakan ke tubuhnya, lalu bagaimana ca-

ra mengenakannya? Nanti disangkanya aku 

mau kurang ajar, pegang-pegang tubuhnya 

tanpa izin?! Tapi kalau tidak dipakaikan, 

dia tidak mau mengenakan pakaian sendiri. 

Apakah dia akan berbaring begitu terus 

sampai malam tiba?!"

Pemuda itu tak tahu kalau Estigina 

lumpuh karena terkena totokan. Pemuda itu 

tak berani mengajaknya bicara, karena ta-

kut menyinggung perasaan si gadis dan ke-

na tampar lagi.

"Ah, masa bodo dengan pakaian ini!" 

pemuda itu melemparkannya ke semak-semak 

yang tadi. Lalu ia diam berpikir dalam 

keadaan berdiri dekat kaki Estigina. Ma


tanya sesekali melirik ke tubuh polos itu 

dengan napas kian sesak dan lutut tak bi-

sa tenang.

"Sebaiknya kucarikan penutup lain, 

biar tubuhnya tak dikerumuni lalat!" 

ujarnya dalam hati. Maka, pemuda itu pun 

segera memetikkan daun-daun lebar yang 

tumbuh di sekitar tempat itu. Beberapa 

daun seperti daun pohon jati itu segera 

diletakkan di atas tubuh si gadis itu.

Helai demi helai daun itu ditata 

rapi hingga akhirnya menutup seluruh tu-

buh gadis itu. Bahkan wajah gadis itu pun 

ditutupnya dengan beberapa daun lebar 

tersebut. Kini keadaan Estigina justru 

seperti seonggok sampah berbentuk orang 

berbaring.

"Dasar tolol! Maha bodoh!" maki Es-

tigina dalam hati, karena ia tidak bisa 

menolak saat tubuhnya di tutup dengan 

daun-daun lebar itu. "Mengapa pakaianku 

justru dibuang ke sana? Mengapa ia tidak 

menutup tubuhku dengan pakaian itu? 

Uuuh... raja tolol!"

Sekalipun begitu, Estigina tahu 

maksud hati pemuda itu yang ingin melin-

dunginya dengan ketololan yang ada. Sikap 

si pemuda yang tadi hanya memandangi tu-

buh polos tanpa memegang sana-sini kecua-

li lengan, juga dinilai si gadis sebagai 

sikap yang baik dari otak seorang pemuda 

yang bodoh. Tetapi rasa dongkol dan kesal


kepada pemuda itu masih tetap mengganggu 

batin Estigina.

Si pemuda sendiri merasa telah me-

lakukan sesuatu dengan benar dan baik. Ia 

bahkan sempat tersenyum dan menghembuskan 

napas panjang karena merasa lega atas apa 

yang tadi membuatnya bingung sendiri itu.

"Nah, "sekarang tubuhnya sudah ter-

tutup semua. Tak akan dibakar terik mata-

hari, tak akan dikerumuni lalat...."

Tapi ia tak tahu bahwa beberapa he-

lai daun penutup tubuh itu mempunyai se-

mut-semut kecil yang menggigiti tubuh Es-

tigina dengan panas. Estigina ingin seka-

li menjerit sepuas-puasnya membuang kema-

rahan dan kejengkelan hatinya. Tapi yang 

dapat dilakukan hanya menitikkan air mata 

sambil menahan clekit-clekit panas akibat 

gigitan semut kecil itu.

"Setelah begini, apa lagi yang ha-

rus kulakukan, ya?!" pikir pemuda itu 

sambil garuk-garuk kepala. "Hmmm... aku 

harus cari orang dan minta tolong pada 

orang itu untuk memakaikan pakaian Esti-

gina. Jadi kalau ada apa-apa, biar orang 

itu yang kena marah dan kena tampar oleh 

Estigina!" ujar hati pemuda itu berkepu-

tusan.

Sebelum pemuda itu bergerak ting-

galkan tempat, ia sempat melihat sekele-

bat bayangan putih melintas di hutan se-

berang. Kontan saja tanpa berpikir pan


jang pemuda itu bersuit keras memanggil 

bayangan putih itu.

"Suiiittt...!"

Siulan panjang itu berhasil menarik 

perhatian seseorang yang sedang berkele-

bat itu. Orang tersebut hentikan langkah 

dan memandang ke arah pemuda berbaju cok-

lat. Pemuda itu lambaikan tangannya, maka 

orang berpakaian putih yang tak lain ada-

lah Raka Pura itu segera mendekatinya.

Pemuda itu tertegun sebentar meman-

dang kehadiran sesosok pemuda yang 

usianya sedikit lebih tua darinya itu. Ia 

merasa kagum melihat ketampanan Raka Pu-

ra, merasa ingin memiliki tubuh yang ke-

kar, tegap dan gagah seperti Raka Pura. 

Ia sempat terpesona memandang pedang 

kristal yang terselip di pinggang kiri 

Raka Pura itu.

"Pasti dia seorang panglima perang 

yang kehilangan kudanya," ujar hati si 

pemuda berkalung ketapel itu.

"Hel, ada apa kau memanggilku den-

gan siulan sekeras itu?!" tegur Raka Pura 

dengan nada sedikit tegas.

"Hmmm... eehh... anu, aku mau minta 

tolong padamu."

Raka Pura memandangi wajah pemuda 

sebayanya yang tampak resah itu. Raka me-

rasa baru kali itu bertemu dengan pemuda 

tersebut, sehingga ia perlu tanyakan nama 

lebih dulu.


"Siapa namamu dan dari mana asal-

mu?"

"Hmmm... aku berasal dari desa kaki 

bukit seberang itu. Hmmm... namaku... na-

maku: Bujang Bodo.

Apakah... apakah namamu juga Bujang 

Bodo?" Ia ganti bertanya dengan polos, 

membuat Raka Pura sunggingkan senyum ge-

li.

"Bukan. Namaku bukan Bujang Bodo."

"Jadi, namamu Bujang apa? Bujan-

gan?!"

"Namaku tidak pakai Bujang. Aku 

bernama Raka Pura. Kau bisa memanggilku

Raka saja."

"Ooo... kok beda, ya? Padahal usia-

mu kuperkirakan tak jauh dari usiaku."

"Usia itu tidak mempengaruhi nama, 

Bujang Bodo!" kata Raka dengan menahan 

geli. Ia mulai tahu pemuda yang dihada-

pinya sekarang adalah pemuda yang kurang 

wawasan dan kecerdasannya cekak. Ia harus 

banyak memaklumi jika nanti banyak perta-

nyaan tolol yang dilontarkan padanya.

"Apa yang harus kulakukan untuk me-

nolongmu. Bujang Bodo?!"

"Hmmm... eeh...," Bujang Bodo agak 

sulit mengatakannya. Sebentar-sebentar 

matanya melirik ke tumpukan daun yang me-

mancing perasaan heran di hati Raka Pura. 

Saat itu Raka menganggap tumpukan daun 

adalah sesuatu yang tidak berarti dan bu


kan hai yang meresahkan. Tapi dengan mem-

perhatikan gerakan mata Bujang Bodo, Raka 

Pura menjadi tertarik juga dengan tumpu-

kan daun itu.

"Raka, hmmm... apakah kau pernah 

mengenakan pakaian pada diri seorang ga-

dis?"

"Apa maksudmu?!" Raka Pura berkerut 

dahi, lebih mendekati Bujang Bodo.

"Hmmm... apakah... apakah kau per-

nah mengenakan pakaian pada diri seorang 

gadis yang telanjang polos?"

Raka sempat tertawa pelan. "Perta-

nyaanmu sangat aneh, Bujang! Tentu saja 

aku belum pernah mengenakan pakaian pada 

diri seorang gadis, karena aku tidak mem-

punyai adik perempuan. Adikku seorang le-

laki yang sudah pandai mengenakan pakaian 

sendiri."

"Aku juga bisa mengenakan pakaian 

sendiri. Tapi aku tak bisa, hmm... mak-

sudku, tak berani mengenakan pakaian pada 

seorang gadis."

"Maksudmu gadis kecil? Adikmu?"

"Bukan, bukan...! Dia bukan adikku, 

tapi..,."

"O, kalau mengenakan pakaian untuk 

gadis kecil, kurasa aku bisa membantumu.

"Juga mengenakan celananya?"

"Dalam atau luar?" tanya Raka den-

gan usil sambil tersenyum geli.

"Luar dalam," jawab Bujang Bodo


membuat Raka lepaskan tawa walau tak sam-

pai terbahak-bahak. Bujang Bodo ikut ter-

tawa, tapi sumbang dan masih tetap dengan 

hati resah.

"Baik, aku akan membantumu. Mana 

gadis kecil itu, dan mana pakaiannya?!"

"Hemm... eeh... sebentar!" Bujang 

Bodo kebingungan mencari pakaian Estigi-

na. Pakaian itu terlalu terbenam di semak 

ilalang sehingga tak terlihat dengan mu-

dah.

Raka Pura geleng-geleng kepala sam-

bil tersenyum memperhatikan Bujang Bodo 

kebingungan mencari pakaian di semak-

semak. Sambil menunggu pakaian itu dite-

mukan, Raka Pura sempatkan diri buang air 

kecil, karena memang sejak tadi ia sudah 

ingin buang air kecil.

Cuuur...! Air kecil dibuang di de-

kat tumpukan daun, memunggungi Bujang Bo-

do. Tentu saja hal itu mengejutkan si Bu-

jang Bodo. Pemuda itu membelalakkan ma-

tanya dengan mulut terperangah melihat 

Raka Pura buang air kecil tepat di samp-

ing kepala gadis yang ditutupi dedaunan 

itu.

"Aduh, gawat! Kenapa dia buang air 

di situ? Bisa-bisa wajah Estigina terkena 

percikan air kecil-kecil itu. Nanti aku 

lagi yang disalahkan dan ditampar?!" ujar 

Bujang Bodo dengan hati cemas. Pakaian 

kuning itu sudah didapatkan dari segera


diserahkan kepada Raka Pura.

Sambil merapikan celananya, Raka 

hampiri Bujang Bodo yang pegangi pakaian 

kuning. Ia tampak tenang dan kalem, se-

pertinya tak pernah buang air di dekat 

kepala seorang gadis.

Bujang Bodo hanya berkata, "Lain 

kali jangan buang air di situ."

"O, ya?! Kenapa tak boleh?"

"Hmm... hmm... mengganggu pernapa-

san orang."

Raka Pura tertawa kecil. Peringatan 

itu dianggap sindiran untuk menjaga ke-

bersihan lingkungan.

"Ini pakaiannya...," Bujang Bodo 

serahkan pakaian itu.

Raka Pura terperanjat melihat uku-

ran pakaian cukup besar untuk seorang ga-

dis kecil dalam sanggahannya tadi. Bahkan 

ia bertambah kaget ketika melihat ukuran 

celana baik luar maupun dalam yang sudah 

bukan milik gadis. kecil lagi itu.

"Gila...?!" mata Raka terbelalak 

lebih lebar lagi. "ini... ini.... Ah, kau 

gila!" Raka Pura sentakkan tangan mem-

buang semua pakaian itu.

"Katamu kau mau membantuku? Katamu 

kau bisa mengenakan pakaian seorang ga-

dis?"

"Iya, tapi tidak segede itu! ini 

bukan pakaian seorang gadis kecil tapi 

seorang perawan!" Raka agak ngotot.


"Aku... aku tak bilang kalau gadis 

itu masih kecil. Aku... aku hanya ingin 

meminta bantuanmu untuk mengenakan pa-

kaian kepada seorang gadis yang polos 

tanpa selembar benang pun."

"Edan kau ini!" gumam Raka Pura 

dengan berdebar-debar, karena ia belum 

pernah berbuat seseronok itu. Berbeda 

dengan adiknya; Soka Pura, yang tak akan 

gemetar sedikit pun jika diminta bantuan-

nya untuk mengenakan pakaian pada diri 

seorang gadis sebesar apa pun.

"Bujang, sebaiknya mintalah bantuan 

yang lain saja, aku akan membantumu."

"Bantuan yang kubutuhkan hanya itu 

tadi; mengenakan pakaian."

"Tapi... tapi itu tidak mungkin ku-

lakukan. Sebab... sebab aku belum pernah 

menyentuh tubuh gadis tanpa busana! Dan 

lagi, kurasa gadis itu bisa mengenakannya 

sendiri. Di lihat dari ukuran baju dan 

celana luar dalamnya pasti dia sudah be-

sar dan bisa mengenakan pakaian sendiri."

"Seharusnya memang begitu. Tapi ga-

dis itu tak bisa atau tak mau kenakan pa-

kaiannya sejak ia selesai diperkosa."

"Diperkosa?! Edan lagi ini!" gumam 

Raka dengan wajah kian menegang.

"Siapa yang memperkosanya? Kaukah 

pemerkosanya?!"

"Belum!" Bujang Bodo ngotot sekali. 

"Ehh... maksudku, bukan! Bukan aku pemer


kosanya! Tapi aku melihat rupa orangnya."

Raka pandangi wajah Bujang Bodo, 

ternyata wajah itu memancarkan kejujuran. 

Raka pun percaya dengan pengakuan Bujang 

Bodo.

"Lalu, di mana gadis itu sekarang?"

Bujang Bodo mendekat dan berbisik, 

"Itu... yang kututup dengan daun-daun!"

"Hahh...?!" Raka Pura terkejut me-

mandang tempatnya buang air tadi. Bujang 

Bodo segera dekati tumpukan daun itu dan 

membukanya sebagian. Tanpa disengaja daun 

yang dibuka adalah daun tempat penutup 

'mahkota' si gadis.

"ini dia...!"

"Jabang bayi...?!" Raka Pura terpe-

kik dan segera palingkan wajah tak berani 

memandang terlalu lama. Jantungnya lang-

sung berdetak cepat sekali, napasnya mu-

lai terasa sesak dan kedua tangannya te-

rasa gemetaran.

"Ayolah, Raka...!" seru Bujang Bo-

do. Raka berpaling memandang Bujang Bodo 

dengan mulut ternganga mau bicara. Tapi 

ternyata Bujang Bodo ada di samping gadis 

itu dan daun-daun penutup sudah dising-

kirkan semua dari tubuh si gadis, sehing-

ga tubuh itu tampak keseluruhannya.

"Edan!" Raka makin terpekik. "Sint-

ing! Gila! Goblok! Tutup dia!" seru Raka 

Pura.

"Bantulah aku menutupnya dengan pa


kaian itu, Raka!"

"Aku tak sanggup!" sentak Raka da-

lam keadaan memunggungi. "Kalau gadis ke-

cil aku sanggup, tapi kalau sebesar itu 

aku tak sanggup!"

"Adanya sebesar ini! Mana mungkin 

bisa dikecilkan dulu?!" ujar Bujang Bodo 

semakin ngotot.

Tapi Bujang Bodo segera terkejut 

begitu pandangi tubuh mulus itu.

"Lho... kok jadi bengkak-bengkak 

begini?!" ucapnya tanpa sadar.

Estigina masih tetap sadar dan men-

dengar ucapan itu. Hatinya diliputi rasa 

ingin menampar wajah Bujang Bodo sampai 

bonyok. Andai saja kala itu ia sudah bisa 

bicara, maka ia akan membentak Bujang Bo-

do memberitahukan keadaan tubuhnya yang 

bengkak-bengkak memerah karena gigitan 

semut berbisa rendah itu.

Raka Pura semakin tak berani pan-

dangi gadis yang masih dalam posisi se-

perti saat diperkosa itu. Raka semakin 

deg-degan karena ingat saat buang air ta-

di. Rasa malu dan takut tergiur membuat 

Raka jadi serba salah dan tak tahu apa 

yang harus dilakukan.

*

**


3


SETELAH mendapat penjelasan dari 

Bujang Bodo lebih lengkap dan lebih te-

nang lagi, Raka Pura segera dapat simpul-

kan bahwa Estigina terkena totokan. Toto-

kan itu yang membuatnya tak berdaya, ba-

gaikan orang lumpuh. Tetapi bagaimana mu-

lanya sampai Estigina terkena totokan si 

pemerkosa, Raka tidak tahu, sebab Bujang 

Bodo pun tidak jelaskan awal peristiwa 

pemerkosaan itu.

"Kukira karena dia kekenyangan se-

hingga tak bisa bergerak-gerak lagi," 

ujar Bujang Bodo setelah mendapat penje-

lasan dari Raka tentang jurus totok saraf 

itu. Mereka bicarakan hal itu di balik 

pohon, tempat Bujang Bodo mengintip ade-

gan hot itu.

"Kurasa dia masih bisa mendengar 

suara dan mengingat rupa," ujar Raka Pu-

ra. "Akan kulepaskan pengaruh totokannya 

itu dan...."

"Jangan!" cegah Bujang Bodo.' Nanti 

kita yang kena sasaran kemarahannya. Aku-

lah yang paling banyak dapat tamparan da-

rinya. Dia gadis yang galak, Raka!"

"Aku akan bicara dulu padanya sebe-

lum kulepaskan totokan itu."

Raka Pura pun dekati Estigina den-

gan langkah mundur. Ia tak mau ada kesan 

memanfaatkan kesempatan blak-blak itu


dengan memandanginya. Karena itu ia sen-

gaja bicara memunggungi Estigina.

"Nona, aku sudah dapat penjelasan 

dari Bujang Bodo tentang nasibmu! Kau te-

lah terkena totokan dari si pemerkosa 

itu. Tentunya kau ingat wajah dan ciri-

ciri si pemerkosa itu. Kuharap kau tidak 

marah padaku ataupun pada Bujang Bodo. 

Kami tak bermaksud memanfaatkan keadaanmu 

yang serba polos itu. Tapi aku akan mele-

paskan pengaruh totokan itu asal kau ber-

sumpah dalam hatimu tak akan marah pada 

kami dan tak akan menyalahkan Bujang Bodo 

maupun aku!"

Estigina memang mendengar suara 

itu. Ia mengerti maksud pemuda tampan 

yang satu ini. Ia juga mendengar nama Ra-

ka Pura dan Bujang Bodo disebutkan pada 

saat kedua pemuda itu saling berkenalan.

Hati gadis itu akhirnya tak menya-

lahkan kedua pemuda tersebut, karena ia 

akhirnya paham keadaan Bujang Bodo yang 

kurang cerdas itu dan sikap Raka Pura 

yang malu dan takut kepada wanita, teru-

tama wanita telanjang sepertinya saat 

itu.

"Jelek-jelek, Bujang Bodo sebenar-

nya telah berusaha menolongku dengan ke-

bodohannya. Seharusnya aku tak menyimpan 

kemarahan kepada pemuda itu. Jika tak ada 

Bujang Bodo, mungkin pemerkosa itu bisa 

datang lagi sebelum pengaruh totokanku


buyar. Untung Bujang Bodo segera memang-

gil Raka Pura yang baru kali ini kulihat, 

sehingga mudah-mudahan ia benar-benar bi-

sa membebaskan diriku dari totokan si ke-

parat itu."

Raka sengaja diam, memberi kesempa-

tan pada hati si gadis untuk berkesimpu-

lan setelah mendengar ucapannya tadi. Se-

telah diperkirakan si gadis selesai ber-

kesimpulan, Raka Pura perdengarkan sua-

ranya lagi dengan tetap memunggungi nya.

"Jika aku memandang mu dari kejau-

han, jangan kau anggap aku berniat kurang 

ajar kepadamu. Aku hanya mengincar urat 

nadimu untuk melepaskan totokan itu! Akan 

kulakukan dari jarak jauh dengan lemparan 

batu kecil. Jika kau kulempar berulang-

ulang, ku mohon jangan marah dan dongkol 

padaku, karena itu berarti lemparan ku

belum tepat kenai urat nadi yang dapat 

membuyarkan totokan itu."

Raka Pura menengok sedikit, walau 

tetap tidak memandang ke arah gadis itu, 

tapi jelas meminta perhatian khusus dari 

si gadis.

"Kalau kau tetap menyalahkan aku 

dan Bujang Bodo, maka aku akan menotok mu

lebih parah dari saat ini, dan akan kami 

biarkan selamanya!"

Raka ambil napas panjang, kemudian 

berkata sedikit keras, "Akan kumulai...!"

Bujang Bodo hanya diam di atas gun


dukan tanah tempatnya mengintai tadi. Ia 

mendengar ucapan Raka Pura dan manggut-

manggut membenarkan kata-kata itu. Raka 

Pura segera kembali dekati Bujang Bodo. 

Ia mengambil beberapa batu kerikil yang 

akan dilemparkan. Bujang Bodo membantu 

mencarikan batu, lalu diserahkan kepada 

Raka. "Ini yang agak besar...."

"Untuk apa batu sebesar ini?!" ujar 

Raka sambil membuang batu sebesar kepa-

lanya yang diberikan Bujang Bodo.

"Biar lemparanmu lebih mantap la-

gi!"

"Bisa mati gadis itu kalau dilempar 

pakai batu sebesar ini. Tolol!" sentak 

Raka Pura mulai jengkel, tapi di sela ke-

jengkelan itu ia menyimpan tawa geli dan 

memaklumi keadaan Bujang Bodo.

Raka mulai menyentilkan batu perta-

ma. Tess..! Tapi karena matanya memandang 

tubuh polos dan tangannya gemetaran, maka 

lemparan itu tidak kenai sasaran. Batu 

kecil itu justru kenai pelipis Estigina. 

Tuuk.

"Aduh!" Estigina memekik dalam ha-

ti.

Tees, tees, tees...!

Tiga lemparan batu yang disentilkan 

dengan di saluri tenaga dalam secukupnya 

itu masih meleset dari sasaran. Batu itu 

kenai perut," pinggang dan ujung dada si 

gadis, membuat si gadis memekik beberapa


kali dan ingin menangis karena kesakitan.

Raka Pura gelisah. Keringat dingin-

nya mengalir deras karena terlalu lama 

memandang tubuh polos. Akibatnya sentilan

batunya tidak bisa tepat kenai sasaran. 

Padahal ia ingin sentilan batu itu kenai 

urat nadi bagian leher, sedikit di bawah 

urat besar yang ada di leher tersebut.

"Sialan! Aku terlalu gugup, sehing-

ga sejak tadi sentilanku tak bisa kenai

sasaran!" gumamnya pelan tanpa memandang 

Bujang Bodo. Si Bujang Bodo justru meman-

dangnya dengan hati kecewa.

"Kau harus tenang."

"Memang. Tapi...tapi aku tak bisa 

tenang karena baru kali ini kulihat gadis 

sepolos itu dan semulus itu."

Raka Pura tarik napas dalam-dalam 

menenangkan kegundahan hatinya sesaat, 

lalu menyentilkan batu kerikil lagi ke 

arah leher Estigina. Tess, teess...!

Melihat dua sentilan itu tidak mem-

buat Estigina sadar, maka Bujang Bodo 

mengambil segumpal tanah padat. Ia melem-

parkan tanah padat itu menggunakan keta-

pelnya. Wess...! Plook...!

"Edan kau ini!" bentak Raka Pura.

"Kena! Bidikanku tak pernah mele-

set. Buktinya kena di pipi gadis itu!"

"Jangan ikut-ikutan melempar, apa-

lagi dengan ketapelmu! Kau pikir kita se-

dang berburu burung puyuh?!"


Bujang Bodo menggerutu tak jelas 

sambil bersungut-sungut. Ia tak tahu bah-

wa saat itu Estigina memekik keras dalam 

hati, karena rasakan sakit sekali saat 

pipinya terkena slepetan Bujang Bodo. Ra-

ka pun menduga begitu hingga menaruh rasa 

kasihan sekali kepada si gadis.

"Awas, kalau kau ikut-ikutan melem-

par, lagi, ku lempar sendiri kepalamu

dengan batu yang kau ambil tadi!" ancam 

Raka Pura dengan hati jengkel.

Tees...! Raka Pura sentilkan batu 

lagi. Kali ini tepat kenai sasaran. Esti-

gina tersentak. suara jeritan mengawali 

kesadarannya, menandakan dirinya terlepas 

dari pengaruh totokan si pemerkosa tadi.

"Aaaa..!"

Bujang Bodo kaget dan segera berla-

ri cepat menjauhi tempat itu dengan rasa 

takut. Gerakan Bujang Bodo yang berlari 

cepat bersamaan suara jeritan itu membuat 

Raka Pura sempat kaget dan ikut lari pu-

la. Tapi ia segera sadar bahwa hal itu 

tak perlu dilakukan. Akhirnya ia hentikan 

langkah dan tertawa geli sendiri dalam 

hatinya.

"Kenapa aku ikut-ikutan goblok se-

perti si Bujang?!" gerutu Raka dalam ha-

ti.

Gadis itu menangis meratap-ratap. 

Seluruh perasaannya yang sejak tadi meng-

gumpal di dalam dada, kini tercurah se


mua.

"Nona... hentikan tangismu. Tolong

hentikan tangismu dulu," bujuk Raka den-

gan ragu-ragu untuk mendekatinya. Sang 

gadis tetap menangis hingga terisak-isak. 

Raka Pura terpaksa membujuknya lagi.

"Nona... Estigina, hentikan dulu 

tangismu, Estigina."

"Persetan dengan bujukan mu! Kau 

tidak merasakan sakitnya jiwa raga ku di-

perlakukan begitu keji oleh pemuda jaha-

nam itu!" bentak Estigina.

"Mak... maksudku... menangisnya 

nanti dulu. Sekarang pakailah dulu pa-

kaianmu!"

"Oooh...?!" Estigina terperanjat 

dan segera sadar bahwa ungkapan perasaan-

nya membuat lupa mengenakan pakaian. Ia 

pun buru-buru mengenakannya sambil lan-

jutkan tangis yang menghiba hati Raka Pu-

ra. Sementara itu, Bujang Bodo memandang 

dari kejauhan dengan kepala tertunduk, 

sesekali melirik cemas dan terharu.

Kesedihan itu bukan kesedihan main-

main atau dibuat-buat. Bagi seorang ga-

dis, 'mahkota' adalah bagian yang sangat 

dikeramatkan. Kini 'mahkota' itu telah 

dibeberkan begitu saja dan dijamah se-

enaknya. Rasa malunya begitu besar, mem-

bakar dendam dan kemarahan. Karenanya 

tangis Estigina sulit di redakan. Raka 

Pura sampai bingung mencari cara untuk


membujuk tangis itu.

"Lebih baik aku mati daripada harus 

menanggung malu begini!" ujar Estigina di 

sela isak tangisnya.

Bujang Bodo beranikan diri berkata 

dalam keadaan berdiri di belakang Raka 

Pura.

"Kalau kau mati, kau tak bisa ma-

rah-marah kepada pemuda itu! Jangan mati 

dulu sebelum marah kepada pemuda itu."

Ucapan lugu terasa menyadarkan emo-

si Estigina. Dendamnya mulai membara ba-

gai mendidihkan seluruh darah dalam tu-

buhnya. Bayangan pemuda bercambang tipis 

dianggap telah memperkosanya masih lekat 

dalam ingatan. Mata indah itu pun menyi-

pit pancarkan dendam yang begitu besar.

"Aku harus membunuhnya! Aku harus 

membunuh lelaki itu!"

"Jangan kau bunuh," ujar Raka Pura. 

"Kalau kau membunuhnya maka dia tak mera-

sa punya tanggung jawab yang harus dipi-

kulnya. Dia telah memperkosamu, merusak 

harapan hidupmu, dia harus berani bertan-

gung jawab dengan mengawinimu dan...."

"Tak sudi aku kawin dengannya! Per-

kawinan belum cukup menebus dendamku pa-

danya! Kematianlah yang membuat dendamku 

akan reda dan pasrah kepada sang nasib! 

Sekarang juga aku akan mencarinya!"

"Tunggu...!"

"Aduuh...!" Estigina menyeringai


kesakitan. Tubuhnya terasa sakit semua 

sejak kejadian itu, ia tak mampu berjalan 

cepat atau melangkah terlalu lebar. Belum 

lagi rasa gatal dan panas di sekujur tu-

buhnya akibat gigitan semut dari daun-

daun penutup tubuh tadi. Estigina akhir-

nya jatuh lemas. Jiwa yang terpukul mem-

buat semangat hidupnya menurun, tenaganya 

bagai mengendap tanpa gairah lagi.

Raka Pura segera memapah gadis itu. 

Hatinya benar-benar trenyuh melihat duka 

sang gadis. Tapi ia bingung, harus ke ma-

na membawa sang gadis untuk menenangkan 

jiwa dan beristirahat beberapa saat.

"Jauhkah tempat tinggalmu dari si-

ni, Bujang Bodo?!"

"Tidak seberapa jauh! Perjalanannya 

tak sampai sehari semalam," jawab Bujang 

Bodo.

"Aku butuh tempat untuknya!"

"Aku juga butuh tempat."

"Maksudku, bawa aku ke tempat ting-

galmu, biar Estigina dapat menenangkan 

jiwa dan beristirahat!"

"Bagaimana kalau dia kita bawa ke 

rumahku?!"

"Memang itu maksud kata-kataku ta-

di!" bentak Raka Pura jengkel sendiri 

dengan kebodohan pemuda kurus itu. Maka, 

Bujang Bodo pun segera membawa mereka ke 

rumahnya.

Bujang Bodo tinggal bersama seorang


kakek. Ia adalah satu-satunya cucu yang 

masih tersisa dari amukan bencana alam 

beberapa tahun yang lalu. Bujang Bodo 

ternyata cucu seorang tukang pande besi 

yang bernama Ki Darmala.

Sang kakek yang berbadan kurus na-

mun tampak ulet dalam bekerja membuat pe-

ralatan dapur, senjata dan sebagainya itu 

juga menaruh rasa iba hati kepada nasib 

Estigina. Setelah Ki Darmala mendengar 

ciri-ciri pemuda yang memperkosa Estigina 

dari mulut Bujang Bodo, diperkuat dengan 

pernyataan Estigina yang membenarkan uca-

pan Bujang Bodo, maka pak tua berusia se-

kitar enam puluh tahun itu segera menggu-

mam dan manggut-manggut.

"Beberapa hari yang lalu, seorang 

sahabatku juga singgah kemari," ujar Ki 

Darmala. "Ia juga menceritakan tentang 

nasib malang keponakannya yang diperkosa 

oleh pemuda berciri-ciri seperti itu. Me-

nurut sahabatku itu, pemuda tersebut ber-

nama Bima Sura yang kemudian dikenal den-

gan nama Iblis Pemburu Wanita."

"Iblis Pemburu Wanita?" gumam Raka 

Pura sambil kerutkan dahi, karena merasa 

asing dengan nama dan julukan itu.

"Kabar yang kudengar dari saha-

batku, Iblis Pemburu Wanita itu berasal 

dari Teluk Serong," ujar Ki Darmala keti-

ka malam tiba dan mereka menginap di ru-

mah Bujang Bodo itu.


"Menurut sahabatku, Iblis Pemburu 

Wanita itu berilmu tinggi, karena ia mu-

rid dari tokoh aliran hitam yang cukup 

kondang di kawasan pantai utara, yaitu 

Resi Murang Sarak!"

"Aku pernah dengar nama Resi Murang 

Sarak!" sahut Estigina. "Dia tokoh tua 

yang pernah mati satu kali dan bangkit 

lagi dari kuburnya setelah empat puluh 

hari!"

"Benar. Sahabatku juga jelaskan 

tentang hal itu. Nona Estigina! Dia me-

mang tokoh aliran hitam yang punya segu-

dang ilmu setan! ilmu yang diturunkan ke-

pada sang murid itulah yang membuat sang 

murid menjadi brutal, ganas dan haus pe-

rempuan," sambung Ki Darmala.

Raka Pura menyimak baik-baik kete-

rangan itu dan mencatat dalam otaknya 

tentang siapa sebenarnya Iblis Pemburu 

Wanita itu. Bahkan ia sempat berkerut da-

hi ketika Ki Darmala berkata lagi kepada 

Estigina.

"Menurut kabar burung yang didengar 

oleh sahabatku itu, Bima Sura selalu akan 

memperkosa perempuan, setidaknya bercumbu 

dengan lawan jenisnya untuk menambah ke-

saktiannya. Dalam empat puluh hari ia ti-

dak lakukan hal itu, maka ia akan mati 

termakan kesaktiannya sendiri. Sebab ia 

mempunyai ilmu aneh yang selalu membutuh-

kan tumbal berupa kehangatan seorang wa


nita!"

"Kalau begitu dia harus dimusnahkan 

agar tidak merusak kehidupan kaum wanita 

yang belum menjadi korbannya!" tegas Raka 

Pura sepertinya ia bicara pada diri sen-

diri.

"Dia memang harus dihancurkan!" ge-

ram Estigina.

"Aku ikut menghancurkan!" timpal 

Bujang Bodo.

Sang kakek menyahut, "Apa yang akan 

kau hancurkan, Jang?!"

"Hmm... hmm... apa sajalah, asal 

mudah dihancurkan akan kuhancurkan!" ja-

wab Bujang Bodo dengan wajah polos tak 

ada kesan bercanda. Ekspresi wajah itu 

hanya membuat hati yang lainnya menjadi 

kesal. Sang kakek akhirnya menggerutu 

sambil melengos dari cucunya.

"Kalau tak tahu persoalannya jangan 

ikut-ikutan, nanti kau mati nganggur, 

Jang! Lebih baik di rumah saja membantu 

pekerjaan kakek ini!"

"Aku mau jadi pendekar, Kek!"

"Pendekar apa?! Bicaramu saja ja-

rang betul kok mau jadi pendekar?! Kalau 

kau mau jadi pendekar, bergurulah kepada 

Pendekar Kembar dari Gunung Merana! Ku-

dengar sekarang yang sedang jadi bahan 

pembicaraan para tokoh dunia persilatan 

adalah kedahsyatan ilmu si Pendekar Kem-

bar itu!"


Raka Pura terperanjat dan segera 

tundukkan kepala saat Ki Darmala sebut-

sebut Pendekar Kembar. Ia memang belum 

perkenalkan diri kepada mereka bahwa ia 

adalah Pendekar Kembar.

Estigina tiba-tiba bersemangat da-

lam ucapannya.

"Kalau begitu, bagaimana jika kita 

minta bantuan Pendekar Kembar untuk mela-

wan Iblis Pemburu Wanita itu?!"

"Kurasa itu gagasan yang baik, Nona 

Estigina!" sahut Ki Darmala dengan berse-

mangat pula. Raka Pura hanya sunggingkan 

senyum tipis dan tetap tenang.

"Apakah kau tahu letak Gunung Mera-

na?!" tanya Estigina kepada Raka Pura. 

Pemuda itu tetap tenang walau mengangguk-

kan kepala dan mengulum senyum sendiri.

"Aku tahu tempat itu," akhirnya ia 

berkata pelan tapi pasti.

Estigina tampak mulai berseri penuh 

semangat karena merasa yakin dapat han-

curkan Iblis Pemburu Wanita jika dibantu 

Pendekar Kembar. Ia tak tahu salah satu 

Pendekar Kembar sudah ada di depannya.

*

* *


4


HUTAN cemara tumbuh berjajar rapi 

di sepanjang lereng pegunungan. Cemara-

cemara hutan yang mempunyai dahan besar 

bercabang-cabang itu menjadi tempat pela-

rian bagi seorang gadis cantik jelita 

bertahi lalat kecil di sudut bibir bawah-

nya. Gadis yang gemar mengenakan jubah 

tanpa lengan warna merah dengan rambut 

dikelabang dua dan berpita merah juga itu 

tak lain adalah Rara Wulan, putri tunggal 

dari Adipati Damardikan.

Gadis berusia dua puluh tahun itu 

memang terkenal bengal, bandel, tapi bu-

kan liar, ia sering menentang peraturan-

peraturan istana yang dikeluarkan oleh 

ayahandanya sendiri.

Sudah dua kali ini ia minggat dari 

istana kadipaten. Dulu ia minggat gara-

gara tak setuju dengan rencana sang ayah 

yang akan menikah dengan Bintari Ayu. Se-

karang ia minggat dari Istana karena in-

gin mencari buah hati dan pria kerinduan-

nya; Soka Pura.

Rupanya gadis itu benar-benar jatuh 

cinta kepada Soka Pura, sehingga kerin-

duan yang semakin hari semakin merimbun 

itu tak sanggup dibendungnya dalam istana 

kadipaten. Soka berjanji akan datang men-

gunjungi nya, paling tidak sedikitnya se-

minggu sekali. Pendekar Kembar bungsu itu


akan apel ke istana. Tetapi sudah lebih 

dari sebulan Soka Pura tak pernah datang 

ke istana kadipaten, sehingga Rara Wulan 

nekat mencari Soka tanpa seizin ayahnya.

Ia hanya mengetahui bahwa Pendekar 

Kembar berasal dari Gunung Merana. Maka 

arah yang men-jadi sasaran pelariannya 

itu adalah Gunung Merana. Tapi ia sendiri 

tak tahu di mana Gunung Merana itu? Ia 

tak mempunyai peta atau kompas yang bisa 

menjadi penunjuk langkahnya, tapi ia be-

rani mencari Soka. Jika bukan gadis nekat 

tak mungkin berani lakukan hal itu. Jika 

bukan karena hati menampung gejolak cinta 

tak mungkin ia berani menerabas hutan, 

naik-turun bukit, sampai akhirnya tiba di 

hutan cemara itu.

"Aku ingat, Ayah punya kenalan seo-

rang ahli nujum yang tinggal di hutan ce-

mara ini," pikir Rara Wulan. "Kurasa le-

bih baik mencari rumah Eyang Rangkasewa 

dan meminta bantuannya untuk mencari di 

mana Soka berada."

Di sekitar hutan cemara itu, nama 

Rangkasewa memang cukup dikenal bagi para 

pengembara maupun para tokoh di rimba 

persilatan, ia seorang tokoh yang disega-

ni juga, karena setiap orang yang datang 

padanya selalu diketahui maksud hatinya 

sebelum orang itu mengawali pembicaraan. 

Selain ilmu silatnya tergolong tinggi, 

Eyang Rangkasewa juga seorang tokoh bero


tak cerdas namun sering berlagak bodoh. 

Dalam usianya yang sudah mencapai delapan 

puluh tahun itu, Eyang Rangkasewa belum 

mempunyai seorang murid pun, sehingga ke-

hebatannya dalam ilmu nujum dan kanuragan 

belum diturunkan kepada siapa pun.

"Kelak jika seluruh ilmuku sudah 

kuturunkan kepada seorang murid aku baru 

bisa mati dengan tenang," ujarnya kala 

itu kepada ayah Rara Wulan. Hubungannya 

dengan Adipati Damardikan sangat baik, 

karena ia pernah menjadi penasihat adipa-

ti dalam masa pemerintahan Purwadita, ka-

kek dari Adipati Damardikan yang berarti 

kakek buyutnya Rara Wulan.

Tetapi mencari tempat kediaman 

Eyang Rangkasewa bukanlah hal yang mudah. 

Hutan cemara yang begitu luasnya bagai 

menenggelamkan pondok sang ahli nujum, 

sehingga dapat membuat orang patah seman-

gat dalam upaya menemui Eyang Rangkasewa 

itu.

Rara Wulan sendiri sudah hampir se-

harian tidak berhasil temukan pondok 

Eyang Rangkasewa. Ia lelah berjalan me-

nyusuri hutan cemara yang berpohon reng-

gang itu. Dan pada saat ia duduk di atas 

batu bawah pohon, tiba-tiba sekelebat 

bayangan datang menghampirinya. Rara Wu-

lan terkejut dan sempat menggeragap kare-

na menyangka bayangan yang mendekatinya 

itu adalah Soka Pura.


"Ooh...?!" Rara Wulan segera sadar 

bahwa pemuda tampan yang kini berada di 

depannya itu ternyata bukan Soka Pura. 

Pemuda itu tidak dikenalnya. Tapi raut 

wajahnya yang tampan, senyumnya yang ka-

lem dan kegagahannya yang meyakinkan mem-

buat Rara Wulan menjadi tak perlu merasa 

takut. Hanya wajib curiga, karena rasa 

asingnya terhadap pemuda berpakaian serba 

merah yang bajunya tak dikancingkan itu.

"Sia... siapa kau?" tanya Rara Wu-

lan dengan pandangan curiganya.

"Aku seorang sahabat baru yang se-

jak dari lembah sana sudah mengikutimu. 

Namaku; Bima Suta!"

Pemuda itu memperkenalkan nama as-

linya. Seandainya ia memperkenalkan julu-

kannya yang dikenal orang banyak sebagai 

Iblis Pemburu Wanita, maka Rara Wulan tak 

mau menanggapi senyum ramah pemuda itu.

"Mau apa kau mengikutiku dari sa-

na?"

"Ingin tahu namamu," jawab Bima Su-

ra dengan kalem, senyumnya memancarkan 

pesona kegagahannya. Tapi hati Rara Wulan 

tidak mudah terpikat oleh senyuman itu. 

Ia menjaga hatinya untuk tidak terpikat 

kecuali hanya mengakui bahwa senyum itu 

memang indah dipandang mata.

Setelah diam sambil memandang bebe-

rapa saat, Rara Wulan pun perkenalkan na-

manya. Sikapnya tetap dijaga agar tidak


kelihatan sebagai wanita yang mudah ter-

bujuk rayuan dan senyuman.

"Namaku: Wulan! Untuk apa kau ingin 

mengetahui namaku?" setelah berkata begi-

tu, hati Rara Wulan bicara sendiri, "Ba-

gaimanapun juga aku masih tetap memilih 

Soka Pura ketimbang pemuda ini!"

Rara Wulan tak tahu kalau Bima Sura 

mempunyai ilmu Wicara Batin', sehingga 

ucapan batin Rara Wulan itu dimanfaatkan 

oleh pemuda itu untuk mengelabuinya

"Kalau begitu apa-yang kucari me-

mang benar." ujarnya.

"Apa maksudmu?"

"Seorang sahabat menyuruhku mencari 

gadis yang bernama Wulan. Ternyata seka-

rang aku sudah menemukannya."

"Siapa yang menyuruhmu mencariku?"

"Soka Pura!"

"Ooh. yaa ..?!" Rara Wulan terkejut 

dan wajahnya menjadi tajam, sinar matanya 

berbinar-binar menampakkan keriangannya. 

"Di mana dia sekarang? Katakan. di mana 

Soka Pura berada?!" sambil Rara Wulan de-

kati pemuda itu dan mengguncang-guncang 

lengannya, Nada bicaranya mulai tampak 

manja. seakan merengek ingin segera dite-

mukan dengan Soka Pura.

Bima Sura tersenyum girang. "Dia 

ada di suatu tempat dan aku harus memba-

wamu ke sana!"

"Oh, ya... aku mau! Bawalah aku ke


sana sekarang juga! Bawalah aku, Bima Su-

ra!".

Tiba-tiba sebuah suara terdengar di 

belakang mereka berdua.

"Jangan mau tertipu oleh bujuk 

rayuannya, Gadis dungu!"

Tentu saja mereka terkejut dan se-

gera berpaling memandang ke belakang. 

Ternyata di sana sudah berdiri seorang 

nenek berjubah kuning lusuh. Nenek beru-

sia sekitar tujuh puluh tahun itu beram-

but putih rata disanggul di tengah kepa-

la. Rara Wulan yang merasa asing dengan 

nenek bertongkat putih itu segera undur-

kan diri beberapa langkah, tapi Bima Sura 

justru tersenyum sinis sambil bertolak 

pinggang satu tangan.

"Rupanya kau masih belum jera dan 

tetap menguntitku, Nini?!"

"Sebelum kau minggat ke neraka, aku 

tetap akan memburumu, Iblis Pemburu Wani-

ta! Kau telah merusak kehormatan cucuku 

dengan memperkosanya. Maka hukuman yang 

layak adalah mengirim mu ke neraka!" ujar 

sang nenek yang sebenarnya adalah Nini 

Sawandupa. Ia mempunyai cucu bernama Ra-

tih Selayang yang juga kenalan baik Pen-

dekar Kembar; Raka dan Soka, (Baca serial 

Pendekar Kembar dalam episode: "Kencan Di 

Ujung Maut").

Rupanya pemuda itu telah berhasil 

memperkosa Ratih Selayang, sehingga sang


nenek menjadi murka dan memburunya dengan 

penuh dendam. Sementara itu, Rara Wulan 

semakin undurkan diri menjauh begitu men-

dengar tindakan Bima Sura. Kecemasannya 

menjadi bertambah, keraguannya terhadap 

Bima Sura pun mulai menguasai batinnya.

Apalagi Nini Sawandupa menyambung 

kata-katanya dengan suara lantang, di-

iringi dengan nada murkanya yang tak ter-

bendung lagi itu.

"Sudah lama kutahu kau adalah Iblis 

Pemburu Wanita yang kerjanya merenggut 

mahkota para gadis, bahkan para janda pun 

mau dibujuk untuk melayani gairah setanmu 

itu! Sudah lama kutahu kau berbuat begitu 

untuk memperkokoh ilmu pemberian gurumu; 

Resi Murang Sarak! Tapi aku tak pernah 

peduli dengan tingkahmu selama kau tidak 

mengganggu cucuku! Dan sekarang kau telah 

menjadikan cucuku; Ratih Selayang, seba-

gai korbanmu. Maka jangan harap kau bisa 

hidup lebih lama lagi, Bima Sura!"

"Jaga mulutmu, Nenek peot!" geram 

Bima Sura dengan wajah mulai menampakkan 

keberangannya. Matanya melirik sekejap ke 

arah Rara Wulan, dan ternyata gadis itu 

menyimak ucapan Nini Sawandupa. Hati pe-

muda itu menjadi terbakar dan mulai tim-

bul hasrat untuk membunuh Nini Sawandupa.

"Kalau kemarin-kemarin aku lari da-

rimu karena tak ingin memperkosamu, tapi 

sekarang kau telah memancing murkaku. Ma


ka mau tak mau kau harus memperkosa nya-

wamu agar keluar dari raga yang sudah bau 

tanah itu!"

"Bersumpahlah untuk tidak lari dari 

pertarungan ini sebelum di antara kita 

ada yang mati!" geram Nini Sawandupa sam-

bil melangkah ke Samping, mencari kesem-

patan untuk menyerang lebih dulu.

"Aku hanya bisa bersumpah; tidak 

akan membiarkan kau hidup lebih dari se-

puluh helaan napas!" ujar Bima Sura den-

gan mata mengecil, memancarkan kebencian 

yang dalam.

"Buktikan sumpahmu, Jahanam! 

Hiaaah...!"

Nini Sawandupa melompat bagai singa 

ingin menerkam mangsanya. Tangan kanannya 

mengangkat tongkat putih yang siap dihan-

tamkan ke kepala Bima Sura.

Namun dengan tanpa bergeser dari 

tempatnya berdiri, Bima Sura sentakkan 

tangannya ke depan, dan gelombang tenaga 

dalam cukup besar keluar dari telapak 

tangan itu. Wuuuss...! Nini Sawandupa me-

rasa seperti diterjang sebongkah batu 

yang sangat besar. Brruus...! Tubuh kurus 

itu akhirnya terpental ke belakang tanpa 

bisa menjaga keseimbangan geraknya.

Brruuk..! Nini Sawandupa jatuh ter-

banting dalam jarak delapan langkah dari 

tempatnya berdiri tadi.

"Habis sudah riwayatmu, Nenek keri


put! Heeahh...!"

Rara Wulan terbelalak kagum menyak-

sikan gerakan Bima Sura yang berjungkir 

balik, plik-plak, dengan cepat hingga me-

nyerupai bayangan menggelinding ke arah 

Nini Sawandupa. Dalam sekejap saja pemuda 

itu sudah tiba di depan Nini Sawandupa 

yang baru saja bangkit dari jatuhnya.

"Haahhh...!!" suara pemuda itu me-

nyentak sambil telapak tangannya juga 

menghantam ke depan. Dada sang nenek akan 

jebol jika terkena pukulan telapak tangan 

itu. Tetapi rupanya Nini Sawandupa masih 

mampu bergerak dengan lincah dan cepat.

Dengan menarik satu kaki ke bela-

kang dan sedikit merendak, ia berhasil 

menahan telapak tangan Bima Sura dengan 

telapak tangan kirinya. Plaakk...!

Kedua telapak tangan itu saling me-

nempel dan mereka tampak seperti saling 

dorong. Sang nenek kerahkan tenaga dalam-

nya untuk imbangi kekuatan tenaga dalam 

Bima Sura. Akibatnya pertemuan dua tela-

pak tangan itu mengepulkan asap putih 

yang makin lama semakin tebal. Tubuh Nini 

Sawandupa bergetar. wajahnya menjadi me-

rah. Tubuh pemuda itu berkeringat walau 

tak terlalu kelihatan menguras tenaga.

Rara Wulan memandang dari balik po-

hon dengan tegang. Ia melihat jelas Nini 

Sawandupa mulai keluarkan darah dari mu-

lut dan hidungnya, sedangkan Bima Sura


masih tampak bersih dan tak kelihatan 

ngotot sekali.

"Hiiaaah...!" tiba-tiba Nini Sawan-

dupa memekik keras. Keduanya sama-sama 

tersentak ke belakang, terhuyung-huyung. 

Namun tiba-tiba kaki Nini Sawandupa men-

jejak pohon di belakangnya. Wuutt..! Tu-

buh sang Nenek melambung di udara, ber-

salto maju melewati atas kepala lawannya. 

Lalu kaki sang nenek segera menendang 

punggung Bima Sura dengan keras. 

Desss...!

"Aahk...!" Bima Sura tersentak ke 

depan dan terhuyung-huyung nyaris jatuh 

dalam keadaan punggungnya berasap. Ten-

dangan Nini Sawandupa membuat punggung 

Bima Sura bagaikan terbakar.

Tapi pemuda itu masih mampu berba-

lik dengan cepat dan berdiri tegak dengan 

dada sedikit membusung. Ia segera mengge-

rakkan kedua tangannya dengan urat-urat 

mengencang semua dan napasnya ditarik 

panjang-panjang.

Seeett, seett, seett...!

"Heeeaah...!"

Teriaknya keras-keras dalam keadaan 

memasang kuda-kuda siap serang. Nini Sa-

wandupa cepat-cepat memutar tongkatnya 

untuk hadapi serangan lawan. Tetapi pemu-

da itu segera sodokkan tangan kanannya 

dalam keadaan semua jari mengeras lurus. 

Suuut...!


Beehk...! Nini Sawandupa tersentak 

mundur karena tangan Bima Sura mengelua-

rkan tenaga dalam cukup besar, melesat 

dengan cepat dan kuat. Perempuan tua itu 

akhirnya terjengkang dan berjungkir balik 

di tanah hingga tongkatnya terlepas. Ke-

jap berikutnya, Bima Sura melayangkan tu-

buhnya dan kedua kakinya menginjak tubuh 

kurus Nini Sawandupa yang dalam keadaan 

terkapar dengan telinga, hidung dan mulut 

keluarkan darah segar itu.

Namun pada saat kedua kaki Bima Su-

ra mau menyentuh dada Nini Sawandupa, ti-

ba-tiba sekelebat bayangan melesat dari 

arah samping dan menerjangnya, Wees...! 

Bruusss...!

"Aaahk...!" Bima Sura segera ter-

lempar sejauh delapan langkah. Ia jatuh 

terbanting di sana dan segera bangkit la-

gi dengan wajah semakin murka. Namun baru 

saja bangkit, sekelebat bayangan tadi te-

lah menerjangnya lagi. Wees...! 

Brruuss...!

"Aaah...!" Bima Sura terpental jauh 

lagi. Agaknya bayangan yang bersikap me-

mihak Nini Sawandupa itu tak memberi ke-

sempatan Bima Sura untuk memberikan se-

rangan balasan. Baru saja pemuda itu ber-

diri, ia sudah harus terlempar lagi hing-

ga berjungkir balik di udara. Brruus...!

Hal itu terjadi berkali-kali, sam-

pai akhirnya Bima Sura berada di tempat


yang jauh dari Nini Sawandupa. Kecepatan 

gerak bayangan yang menerjangnya sukar 

ditahan sedikit pun. Merasa tak diberi 

kesempatan oleh si penyerang, Bima Sura 

akhirnya berhasil meloloskan diri dengan 

sentakkan kakinya ke bumi saat mau ter-

banting yang kesekian kalinya. 

Deess..! Wuutt, wuutt...|

Pemuda itu melarikan diri dengan 

cara melesat cepat, kakinya menjejak dari 

pohon ke pohon. Tentu saja ia pergi sam-

bil membawa luka dalam yang cukup berba-

haya. Namun baginya lebih baik pergi da-

ripada mencoba melawan tapi selalu tak 

mendapat kesempatan.

Si bayangan yang menerjang agaknya 

sengaja tak mau mengejar. Ia kembali ke 

tempat Nini Sawandupa terkapar dalam kea-

daan sekarat. Rara Wulan segera mendekati 

Nini Sawandupa pada saat bayangan itu me-

nuju ke tempat tersebut.

Jleeg...! Bayangan itu menampakkan 

wujudnya sebagai seorang kakek berjenggot 

putih, berambut putih dikonde tengah ke-

pala, dan mengenakan pakaian model biksu 

warna abu-abu. Rara Wulan terperanjat gi-

rang melihat tokoh tua yang tubuhnya ba-

gaikan tinggal tulang belulang itu.

"Eyang...?! Eyang Rangkasewa?!"

"Rara Wulan, kau telah membangunkan 

tidurku dengan kegelisahan batinmu dalam 

mencariku!" ujar si tokoh tua yang ter


nyata adalah Eyang Rangkasewa itu.

"Eyang, aku hampir saja tertipu 

oleh pemuda tadi!" ujar Rara Wulan mulai 

bermanja.

"Hampir saja kau terjebak bujuk 

rayunya. Dia hanya inginkan tubuhmu seba-

gai penguat ilmunya! Tapi untung saha-

batku ini datang, sehingga kau luput dari 

mulut buaya darat itu!"

"Aku mencari Soka Pura, Eyang," Ra-

ra Wulan segera utarakan maksudnya tanpa 

basa-basi lebih dulu.

"Kita bicarakan di pondokku saja! 

Bantu aku membawa tubuh Sawandupa ini!"

"Aku takut kena darah, Eyang. Aku 

jijik menyentuh darah!" manja si gadis. 

Eyang Rangkasewa hanya geleng-geleng ke-

pala.

Mereka pun bergegas ke pondok Eyang 

Rangkasewa yang letaknya di kedalaman hu-

tan cemara itu.

*

* *


5


KABAR kepergian Rara Wulan diterima 

Soka Pura dari pertemuannya dengan Bandar 

Getih. Kala itu Soka Pura sedang dalam 

perjalanan pulang dari Bukit Gamping, me-

nyelesaikan urusan pribadi dengan Dewi


Binal. Tanpa disengaja, di perjalanan So-

ka bertemu dengan Bandar Getih. Saat itu 

Bandar Getih sedang dikejar-kejar oleh 

penduduk di sebuah desa, karena Bandar 

Getih dituduh mencuri ayam.

Untung ia segera bertemu dengan So-

ka Pura dan persoalan itu bisa diselesai-

kan oleh Pendekar Kembar bungsu itu. 

Orang-orang desa ternyata salah kejar. 

Bandar Getih mengaku dimintai tolong se-

seorang untuk memegangi ayam. Orang itu 

beralasan ingin mengejar pencuri kerbau. 

Dalam keadaan memegang ayam, Bandar Getih 

diserbu orang-orang desa karena terbukti 

memegang ayam curian. Tapi setelah Soka 

hadir dan beberapa orang dari para penge-

jar itu mengenali Soka sebagai Pendekar 

Kembar yang bungsu, maka persoalan itu 

pun dapat diselesaikan secara damai 

Orang-orang desa menjadi ketakutan karena 

Soka jelaskan bahwa Bandar Getih adalah 

pelayan istana Kadipaten Wilujaga.

Sejak itulah kabar tentang keper-

gian Rara Wulan diterima oleh Soka Pura. 

Maka mereka berdua mencari Rara Wulan ke 

arah Gunung Merana, sebab Bandar Getih 

jelaskan bahwa Rara Wulan ingin nekat 

mencari Soka ke Gunung Merana.

Perjalanan itu tak bisa mulus, ka-

rena mereka temui beberapa peristiwa yang 

membuat Soka Pura terpaksa turun tangan. 

Bandar Getih yang penggugup itu merasa


mendapat banyak pengalaman selama ikuti 

perjalanan Soka Pura.

Bahkan kali ini perjalanan mereka 

terhambat oleh datangnya suara desah dan 

rintihan panjang seorang perempuan dari 

balik semak-semak. Soka Pura yang berotak 

jahil selalu ingin mengintip suara-suara 

kenikmatan seperti itu. Mau tak mau Ban-

dar Getih ikut mengintai dari balik ke-

rimbunan semak.

"Ya, ampun...?! Aku kenal dengan 

perempuan itu?!" ujar Soka Pura berbisik 

tepat di telinga Bandar Getih yang berke-

pala botak tengah, tapi bagian bawah ke-

pala ditumbuhi rambut tipis. Dalam usia 

sekitar empat puluh tahun, sebenarnya pe-

mandangan itu tidak membuat Bandar Getih 

sampai gemetaran. Namun karena Bandar Ge-

tih sudah lama hidup menduda, maka peman-

dangan itu membuatnya berdebar-debar dan 

tak mampu menyangga tubuhnya, akhirnya ia 

berlutut pelan-pelan.

Apa yang mereka lihat adalah per-

cumbuan seorang perempuan dengan seorang 

pemuda yang tak lain adalah Bima Sura. 

Pada saat itu, Soka dan Bandar Getih be-

lum mengetahui siapa Bima Sura sebenar-

nya. Tapi Soka sudah kenal dengan perem-

puan yang melayani gairah Bima Sura itu. 

Perempuan berambut sebahu tanpa ikat ke-

pala yang mempunyai wajah cantik dan bi-

bir sensual itu tak lain adalah Selir Pa


mujan, murid mendiang Nyai Demit Seling-

kuh.

Darah Soka sempat mendidih melihat 

Selir Pamujan membalas ciuman Bima Sura 

dengan ganasnya. Sebab biar bagaimanapun, 

Selir Pamujan pernah menjadi teman kencan 

Soka dan sempat merasa ingin memiliki So-

ka. Kecemburuannya kepada Dewi Binal mem-

buat Selir Pamujan akhirnya pergi ting-

galkan Soka setelah Kipas Kedung Gairah 

milik gurunya yang dicuri Dewi Perang itu 

hancur di ujung pedang Raka, (Baca serial 

Pendekar Kembar dalam episode: "Cumbuan 

Menjelang Ajal")

"Apakah karena ia merasa kecewa 

denganku, maka ia lakukan hal itu bersama 

pemuda sebayaku?! Secepat itukah hatinya 

berpindah ke pelukan lelaki lain?!" pikir 

Soka Pura sambil menahan rasa ingin mela-

brak mereka.

Soka Pura tak tahu kalau hal itu 

dilakukan Selir Pamujan dalam keadaan ti-

dak sadar. Hasratnya untuk berkelana mem-

buang kenangan indah bersama Soka Pura 

itu terhenti oleh kemunculan Bima Sura. 

Pemuda itu tampak sengaja menghadang 

langkah Selir Pamujan dengan gagah dan 

menampakkan, sikap perkasanya. Bima Sura 

yang baru saja semalaman sembuhkan luka 

dalamnya dari serangan Eyang Rangkasewa 

itu sengaja memandang Selir Pamujan den-

gan senyum menggoda.


"Kaukah murid Nyai Demit Selingkuh 

yang bernama Selir Pamujan?!"

"Benar!" jawab Selir Pamujan dengan 

nada ketus. "Siapa kau?! Aku tidak merasa 

mengenalmu!"

"Aku murid Resi Murang Sarak dari 

Teluk Serong. Gurumu kenal dengan guruku, 

dan kita pernah bertemu dalam suatu per-

temuan di Bukit Gadang. Hanya saja waktu 

itu kau tidak memperhatikan diriku karena 

kau dalam keadaan terluka akibat perta-

rungan kalian dengan Penguasa Lembah Han-

tu."

Selir Pamujan segera ingat peristi-

wa itu. Bayangan pemuda tampan yang kala 

itu berada di belakang Resi Murang Sarak, 

kini muncul lagi dalam ingatan Selir Pa-

mujan. Ia mengakui, memang pemuda itu 

yang ada di belakang Resi Murang Sarak.

"Hmmm... ya, aku ingat peristiwa 

itu. Kala itu gurumu telah membantu per-

tarungan kami melawan Penguasa Lembah 

Hantu, sehingga Penguasa Lembah Hantu me-

larikan diri."

"Syukur kalau kau masih ingat pe-

ristiwa tiga tahun yang lalu itu," ujar 

Bima Sura dengan sunggingkan senyum makin 

menggoda. Tapi senyuman itu justru memua-

kkan bagi Selir Pamujan, karena hati ga-

dis itu masih terpaut pada kenangan manis 

bersama Soka Pura.

"Lalu apa maumu menemuiku di perja


lanan ini?!" tanya Selir Pamujan masih 

bernada ketus.

Bima Sura kian melebarkan senyum. 

Pandangan matanya semakin tampak kurang 

ajar, ia melangkah lebih dekat lagi hing-

ga jaraknya dengan Selir Pamujan hanya 

dua langkah.

"Aku Ingin menagih upah pertolongan 

guruku waktu itu."

"Upah apa?! Tak ada upah yang di-

janjikan oleh mendiang guruku kala itu!" 

tegas Selir Pamujan semakin menangkap ge-

lagat tak beres dalam hati pemuda itu.

"Hanya sebuah kecupan, barangkali 

sudah cukup sebagai upah menyelamatkan 

nyawamu kala itu!"

"Lancang sekali mulutmu!" geram Se-

lir Pamujan. Lalu tiba-tiba tangannya 

berkelebat menampar wajah Bima Sura. 

Teeb...! Tangan itu langsung di tangkap 

oleh Bima Sura sambil sunggingkan senyum 

makin menjengkelkan.

Selir Pamujan heran melihat kecepa-

tan tamparan tangannya berhasil ditangkap 

oleh Bima Sura. Padahal semestinya kece-

patan tangan itu tidak bisa dilihat den-

gan mata telanjang, karena ia menggunakan 

jurus 'Tamparan Petir' yang selain cepat 

juga dapat menghanguskan wajah orang yang 

di tampar.

"Kau tak akan berhasil menamparku, 

walau aku tahu kau telah kuasai jurus


'Petir' yang merupakan jurus langganan 

gurumu jika hadapi la wan pertama ka-

linya," ujar Bima Sura.

Selir Pamujan tidak tanggapi ucapan 

itu. Namun tiba-tiba tangan yang satu me-

notok dada kekar Bima Sura dengan kecepa-

tan gerak yang sukar dilihat lawan. 

Wuuutt. baahk...!

"Auuhk...!" Bima Sura terpental 

mundur dan terhuyung-huyung, akhirnya ja-

tuh juga walau dengan satu kaki berlutut.

"Kau kira mudah mendapatkan satu 

kecupan dariku?! Kecuplah telapak kakiku 

ini! Heaaah...!"

Selir Pamujan melompat dan kakinya 

menendang kepala Bima Sura yang masih 

berlutut satu kaki itu. Wuutt...! Kepala 

Bima Sura cepat merunduk nyaris menyambar 

tanah, lalu tiba-tiba dua jari tangannya 

menotok betis Selir Pamujan. Desss...!

"Aauh...!" Selir Pamujan memekik. 

Sebelum menarik diri untuk mundur, toto-

kan Bima Sura kembali melesat, kenai paha 

gadis itu.

Selir Pamujan tersentak mundur dan 

bersandar pada pohon. Ia nyaris jatuh ji-

ka tak berpegangan pada pohon tersebut. 

Tapi ia masih bisa memandang Bima Sura 

dengan mata tajamnya, anggota tubuhnya 

juga masih bisa digerakkan. Hanya saja, 

ia tidak menyerang lagi. Bima Sura sendi-

ri tampak merasa lega karena suatu hal.


Senyumnya melebar, dan tatapan mata sema-

kin nakal. Dengan kalem gadis itu diham-

pirinya.

"Cukup lumayan jurusmu tadi."

Sindiran itu tak dibalas oleh Selir 

Pamujan, ia

hanya merasa aneh terhadap hatinya 

yang menjadi berdebar-debar indah. Ia tak 

tahu keindahan apa yang membuatnya berde-

bar-debar. Hanya saja, saat itu tiba-tiba 

hatinya diliputi rasa senang, gembira dan 

berdesir-desir indah. Hasrat ingin sung-

gingkan senyum tak bisa ditahan, sehingga 

bibir sensual itu pun terpaksa tersenyum 

dengan mata memandang Bima Sura.

"Apakah kau punya jurus lain yang 

menghadirkan sejuta kenikmatan?" tanya 

Bima Sura sambil mulai berani menyentuh 

rambut Selir Pamujan yang jatuh di pun-

dak.

"Aneh. Kenapa aku tak marah?" Selir 

Pamujan bertanya dalam hatinya. Bima Sura 

mendengar pertanyaan batin itu, sehingga 

ia pun menimpali dengan kata-katanya yang 

bernada lembut merayu.

"Mengapa harus marah? Bukankah hal 

yang lebih baik jika kita saling berdamai 

dan menukar keindahan?"

"Kurasa... kurasa memang lebih baik 

menukar keindahan," jawab Selir Pamujan. 

Seakan mulutnya bicara sendiri. Tapi da-

lam hatinya pun ia merasa senang bisa


berkata demikian. Hanya saja, hati kecil-

nya masih diliputi kebingungan, mengapa 

kemarahannya menjadi sirna dan ia mulai 

merasa digelitik oleh sentuhan-sentuhan 

jemari Bima Sura yang merayapi rahangnya.

Sentuhan itu hanya sederhana, namun 

dapat menghadirkan debaran yang bergemu-

ruh di dalam dada. Debaran itu tak lain 

adalah tuntutan gairahnya untuk mempero-

leh kenikmatan dalam pelukan seorang le-

laki. Bahkan mata Selir Pamujan seakan 

tak mau menatap tempat lain kecuali hanya 

wajah Bima Sura dan tubuhnya yang kekar 

itu.

"Jantan sekali dia," ujarnya dalam 

hati. "Ooh... alangkah hangatnya jika aku 

berada dalam pelukannya. Begitu indahnya 

jika bibirnya itu menempel di bibirku dan 

melumatnya dengan tangan merayap ke mana-

mana. Oouh... ingin sekali aku diperlaku-

kan se mesra itu olehnya."

Selir Pamujan tak sadar bahwa urat 

nafsunya, telah ditotok oleh Bima Sura. 

Totokan itu membuka saraf kenikmatan 

hingga bekerja cepat menaburkan perasaan 

senang dari gembira. Gairah yang semula 

terpendam menjadi bergolak seperti air 

mendidih setelah mendapat totokan di ba-

gian paha tadi.

Karenanya, Selir Pamujan mulai 

berkhayal tentang cumbuan dan berandai-

andai tentang kenikmatan seorang pemuda


bertubuh kekar itu. Hati kecilnya ingin 

menolak sentuhan tangan Bima Sura yang 

merayap di dagunya, tapi kenyataannya ia 

tak mampu melakukan penolakan tersebut. 

Justru ia memandang dengan mata semakin 

sayu pertanda gairahnya semakin terbakar 

dan meletup-letup menuntut kemesraan.

"Boleh aku menciummu, Selir Pamu-

jan?"

"Kenapa tidak?" Jawab Selir Pamujan 

yang sudah semakin berdebar-debar itu.

Maka ketika ciuman Bima Sura menda-

rat di pipinya, Selir Pamujan segera pe-

jamkan mata. Tangannya pun tak mau diajak 

diam. Tangan gadis itu mulai merayap di 

pinggang Bima Sura, masuk ke balik baju

yang tidak dikancingkan itu.

Dengan suara mendesah lirih, Selir 

Pamujan meliukkan kepalanya supaya bibir-

nya menyentuh bibir Bima Sura. Ketika bi-

bir itu saling sentuh, Selir Pamujan su-

dah semakin dibakar oleh gairah, sehingga 

ia melumat bibir itu dengan bersemangat 

sekali.

Tangan Bima Sura tak tinggal diam. 

Tangan itu menyusuri lekuk tubuh sekal 

Selir Pamujan. Sesekali meremas di bagian 

pinggul, sesekali pula mengusap tempat 

tertentu yang mendatangkan kenikmatan ba-

gi Selir Pamujan.

"Oouh, Bima... Bima, pagutilah aku 

dengan mesra, Sayang...," pinta Selir Pa


mujan dengan suara mengerang lirih. Ji-

wanya bagai terbang dan tak memiliki ke-

sadaran jati dirinya lagi.

Lebih-lebih setelah Bima Sura mem-

permainkan lidahnya di leher sang gadis, 

hasrat untuk melepaskan diri sama sekali 

tak ada. Gadis itu semakin mengeluh pan-

jang dan membiarkan lehernya dipagut oleh

mulut Bima Sura. Pagutan itu makin lama 

semakin bergerak turun, dan ingatan Selir

Pamujan tentang dirinya itu telah lenyap 

dan yang ada hanya khayalan tentang ber-

cumbu mesra. Ia justru mendesak kepala 

Bima Sura agar lebih ke bawah lagi sambil 

tangan kirinya melepaskan penutup dada.

"Oouh... oooh... jangan permainkan 

aku, Bima. Oouh... pagutilah sekarang ju-

ga. Lekas, Bima...," rengeknya dalam 

buaian keindahan.

Bima Sura pun memagutnya. Pucuk bu-

kit kembar di dadanya menjadi ajang per-

mainan lidah Bima Sura. Seribu keindahan 

hadir serentak melingkupi hati Selir Pa-

mujan, karena tangan Bima Sura pun sudah 

mencapai tempat terpeka di bagian bawah, 

Selir Pamujan memberikan kesempatan bagi 

tangan itu agar leluasa bergerak dengan 

lincah memamerkan kenakalannya. Karena 

pada saat itu, tangan Selir Pamujan sen-

diri juga telah berhasil menemukan seben-

tuk kehangatan yang dimiliki oleh Bima 

Sura.


"Oouh... indah sekali, Bima.... La-

kukan yang lebih indah dari semua ini, 

Bima...."

Tunjukkan dulu jurus-jurus asmara-

mu, Selir Pamujan," pinta Bima Sura. Ma-

ka, Selir Pamujan pun menciumi leher Bima 

Sura. Memagut-magut dan menggigit kecil 

dada berbulu halus itu. Selir Pamujan ak-

hirnya merayapkan lidahnya dari dada te-

rus ke bawah dan terus ke bawah lagi, se-

hingga apa yang diinginkan Bima Sura pun 

terpenuhi.

"Bima, aku tak tahan lagi...," rin-

tih Selir Pamujan, sehingga Bima Sura pun 

segera memberikan apa yang diinginkan ga-

dis itu. Sebuah pelayaran ke samudera 

cinta dilakukan oleh mereka berdua. Selir 

Pamujan memekik-mekik dengan suara menge-

rang terputus-putus. Napasnya pun teren-

gah-engah ketika Bima Sura mengayuh pera-

hu cintanya menuju ke puncak keindahan.

Puncak kayuhan itu dicapai oleh Se-

lir Pamujan yang membuisinya semakin 

brutal dan liar. Bima Sura dibalikkan, 

kini Selir Pamujan menguasai pelayaran 

dan menjadi pendayung yang bersemangat 

tinggi.

Pada saat itulah, Soka Pura dan 

Bandar Getih muncul mengintip mereka. So-

ka Pura sendiri menjadi salah tingkah dan 

tak mengerti harus berbuat apa pada saat 

itu. Keringat dinginnya sempat bercucu


ran, namun jantungnya berdetak-detak den-

gan sentakan cukup keras. Bukan saja sen-

takan jantung yang dibakar kemarahan sa-

ja, namun juga sentakan jantung yang di-

bakar oleh hasrat bercumbu menggebu-gebu.

Soka Pura akhirnya tundukkan kepala 

dengan tetap jongkok di samping Bandar 

Getih. Ia tak berani menyaksikan adegan 

tersebut sampai selesai. Sedangkan Bandar 

Getih diam tanpa kata, masih memandang 

adegan itu tak berkedip, namun napasnya 

ngos-ngosan seperti saat dikejar-kejar 

penduduk desa waktu itu.

"Kita pergi saja, Paman," bisik So-

ka Pura. Tapi telinga Bandar Getih seper-

ti tersumbat almari. Ia diam saja tanpa 

reaksi.

"Paman Bandar Getih, kita pergi sa-

ja dari sini!" kali ini Bantar Getih ber-

paling ke arah Soka karena punggungnya 

dicolek.

"Per... pergi ke mana? Aku... aku 

tidak bisa berdiri lagi. Kakiku pergi, 

eeh... kakiku gemetar. See... sebaiknya 

kita tunggu sampai mereka gemetar... eh, 

maksudku, kita tunggu sampai mereka sele-

sai gemetar, eh... hmmm... apa, ya?" Ban-

dar Getih yang penggugup itu bingung sen-

diri.

"Aku tidak kuat melihat adegan itu. 

Hatiku panas, ingin melabrak mereka! Tapi 

aku sudah tidak ada urusan dengan perem


puan itu. Maka lebih baik kutinggalkan

saja tempat ini, Paman."

"Nanti dulu! Mereka belum melabrak 

kita... eeh... maksudku, mereka belum se-

lesai. Kalau mereka sudah selesai barulah 

kita gemetar, eeh... maksudku, barulah 

kita labrak, aaduh... salah lagi! Pokok-

nya diam saja dulu. Kalau kau tak mau me-

lihat, pejamkan matamu! Ini tontonan gra-

tis yang dilabrak, eeh... yang mendebar-

kan."

Akhirnya Pendekar Kembar bungsu itu 

duduk di rerumputan dalam semak dengan 

wajah tertunduk. Mau tak mau ia menunggu 

Bandar Getih yang masih ingin menyaksikan 

adegan panas itu sampai selesai. Gemuruh 

dalam Soka terpaksa ditahan mati-matian.

"Aku ingin lagi, Bima. Aku ingin 

lagi. Ooh... jangan berhenti dulu, Bima. 

Aku masih ingin kau cumbu, Sayang. Ayo, 

cumbulah aku lagi, Bima...," pinta Selir 

Pamujan ketika Bima Sura menghentikan pe-

layarannya karena sudah mencapai puncak 

keindahan.

Kata-kata itu terdengar sampai di 

telinga Soka Pura, sehingga dahi Soka 

berkerut karena merasa heran.

"Ia masih saja bergairah? Padahal 

ia sudah mencapai puncaknya berkali-kali. 

Ah... aku jadi curiga. Tak mungkin gairah 

Selir Pamujan sebesar itu. Bahkan perem-

puan mana pun tak ada yang bergairah se


besar itu? Gila! la menjadi perempuan 

yang selalu kehausan?! Mengapa bisa begi-

tu?!"

Agaknya Bima Sura tak mau lakukan 

lagi pelayaran mesra itu. Ia sudah menge-

nakan pakaian, berkemas untuk pergi. Tapi 

Selir Pamujan masih merayu-rayu ingin di-

cumbu lagi. Bahkan gadis itu seperti ga-

dis yang tak tahu malu lagi, merengek 

dengan memeluk kaki Bima Sura, memohon 

agar cumbuan tadi diulangi lagi. .

Hal itu semakin membuat hati Soka 

Pura antara panas dan heran. Setahunya, 

Selir Pamujan tak akan merengek sampai 

seperti itu. Ia perempuan yang tegas dan 

mampu menjaga harga dirinya di depan seo-

rang lelaki. Jika Selir Pamujan sampai 

merengek-rengek bahkan menangis karena 

minta dicumbu lagi, berarti ada sesuatu 

yang tak beres dalam diri gadis itu. Ke-

simpulan tersebut semakin kuat setelah 

Soka Pura melihat sendiri Selir Pamujan 

memburu Bima Sura sambil meratap-ratap 

minta dicumbu.

"Aku tidak punya waktu lagi untuk-

mu; Selir Pamujan! Masih banyak perempuan 

lain yang membutuhkan cumbuanku!"

"Bimaaa..., sekali lagi saja, Bima. 

Sekaliii... lagi!" pinta Selir Pamujan 

dengan sikap memalukan sekali.

"Cari lelaki lain yang sanggup me-

muaskan gairahmu. Aku harus mencari pe


rempuan lain. Tak mungkin kulakukan dua 

kali untuk satu perempuan!"

"Tolonglah, Bima. Tolonglah... aku 

tersiksa sekali jika tidak kau layani, 

Bima! Kau sangat perkasa dan luar biasa 

jantannya. Aku butuh yang sepertimu, Bi-

ma. Tolonglah ulangi sekali lagi, 

Sayang...."

Plaaakk...!

Bima Sura menampar Selir Pamujan. 

Gadis itu hanya memekik dan menangis te-

risak-isak tanpa ada perlawanan sedikit 

pun.

"Sekali lagi, Bima... sekali la-

giii...," ucapnya di sela tangis. Jelas 

tangis itu bukan tangis sewajarnya. Jelas 

keinginan itu keinginan yang tidak sepan-

tasnya dimiliki gadis setegar Selir Pamu-

jan.

"Jangan ikuti aku!" bentak Bima Su-

ra. "Kubunuh kau jika masih mengejarku!"

"Bunuhlah aku! Bunuhlah...!" seru 

Selir Pamujan dalam tangisnya. "Lebih 

baik mati daripada tak kau layani sekali 

lagi!"

Soka Pura berbisik kepada Bandar 

Getih.

"Paman, aku harus bertindak! Ada 

sesuatu yang tak beres pada diri Selir 

Pamujan, Mungkin dia terkena ilmu pelet 

atau sejenisnya! Aku harus hentikan pen-

garuh iblis yang membuatnya menjadi gila


cumbuan seperti itu!"

"Jangan ikut campur, itu urusan me-

reka. Sebaiknya kita cumbu saja, eeh... 

sebaiknya kita merengek, aduh... maksud-

ku, sebaiknya kita lihat saja apa yang 

akan terjadi selanjutnya."

Soka Pura diliputi kebimbangan yang 

amat meresahkan. Detak jantungnya bukan 

cepat lagi, tapi bergemuruh menggetarkan 

seluruh tubuhnya. Sementara itu, suara 

Selir Pamujan yang masih meratap-ratap 

memalukan itu semakin terasa merobekkan 

hati dan mendidihkan darah Soka Pura.

*

* *

6


SELIR Pamujan berlari-lari kecil 

mengejar Bima Sura. Suaranya meratap da-

lam tangis bagai perempuan yang tak punya 

harga diri lagi. "Cumbulah aku, Bima...! 

Jangan pergi dulu! Cumbulah aku sekali 

lagi...!"

Bima Sura tetap melangkah cepat, 

seakan tak pedulikan rengekan Selir Pamu-

jan. Sementara itu di balik semak Soka 

Pura dan Bandar Getih mulai berdiri den-

gan tetap pandangi Selir Pamujan dan Bima 

Sura. Melihat keadaan Selir Pamujan begi-

tu menyedihkan, sekaligus memalukan, Soka


Pura bergegas keluar dari semak. Tapi 

langkahnya segera terhenti. Langkah yang 

terhenti itu membuat Bandar Getih yang 

mengikutinya terpaksa berhenti mendadak. 

Akhirnya ia menabrak punggung Soka Pura. 

Bruukk...!

"Aduh! Lain kali kalau mau berhenti 

ngomong dulu, Soka!"

Soka Pura tak hiraukan ucapan Ban-

dar Getih, karena pandangan matanya sege-

ra tertuju pada sekelebat bayangan yang 

tiba-tiba menyerang Bima Sura. Terjangan 

itu sempat membuat Bima Sura tersentak ke 

samping dan terhuyung-huyung karena pun-

daknya terkena tendangan orang berompi 

kuning dan bercelana kuning itu.

Saka Pura sempat terperanjat meli-

hat pemuda berambut panjang yang diikat 

ke belakang seperti ekor kuda itu. Pemuda 

berkulit hitam manis dengan wajah tampan 

dan perawakan gagah itu tak lain adalah 

Lodayu, orang yang pernah bersaing dengan 

Soka memperebutkan Rara Wulan, {Baca 

serial Pendekar Kembar dalam episode: 

"Gadis Penyebar Cinta").

Murid perguruan Gagak Putih itu 

mencecarkan tendangan mautnya ke arah Bi-

ma Sura. Tendangan itu keluarkan tenaga 

dalam, berupa hawa padat yang dapat me-

numbangkan sebatang pohon. Tetapi Bima 

Sura tampaknya masih mampu hadapi tendan-

gan tersebut dengan tangkisan telapak


tangannya yang selalu mengepulkan asap 

jika terkena tendangan.

Plak, plak, plak, plak...!

Bima Sura segera berputar cepat dan 

kakinya melayang bagaikan sapuan angin. 

Wuuuss...! Plook...!

"Uuhg. .!" Lodayu terpelanting ke 

samping, tubuhnya sempat melambung miring 

dan jatuh tanpa bisa menjaga keseimbangan 

tubuhnya. Brrukk...! Mulut pemuda berusia 

dua puluh lima tahun itu keluarkan darah. 

Ujung bibirnya robek. Namun ia cepat 

bangkit dan memandang Bima Sura dengan 

angker.

"Siapa orang itu, Soka? Sepertinya 

aku pernah melihatnya?" tanya Bandar Ge-

tih.

"Dia yang bernama Lodayu, Paman. 

Aku pernah berhadapan dengannya, tapi dia 

seorang lawan yang baik, yang tidak me-

nimbulkan dendam dan permusuhan dalam ha-

tiku! Dia mengakui kelebihanku dan... oh, 

tunggu! Aku akan menyambar Selir Pamujan 

yang masih mengejar-ngejar Bima Sura itu! 

Salah-salah dia terkena pukulan mereka 

berdua!"

Soka Pura segera berkelebat. Dalam 

waktu singkat tubuh Selir Pamujan berha-

sil di sambarnya bagai hembusan badai 

yang melintas di belakang Bima Sura. 

Wuuuss...! Sesaat kemudian, Selir Pamujan 

sudah berada di bawah pohon tempat di ma


na Bandar Getih berdiri dengan mata tak 

berkedip karena kagum melihat kecepatan 

gerak Pendekar Kembar bungsu itu.

"Ooh, kau...?! Ooh, peluklah aku, 

peluklah...!"

Begitu tahu dirinya dibawa lari 

oleh Soka Pura. gadis itu langsung berha-

srat untuk dicumbu oleh Soka. Bahkan gai-

rahnya yang meledak-ledak itu di curahkan 

kepada Soka Pura dalam bentuk ciuman yang 

mengganas.

"Hei, hei...! Selir Pamujan, sadar-

lah kau! Sadar...!" Soka Pura kebingungan 

hindari serangan gairah Selir Pamujan.

Bandar Getih tersenyum-senyum ter-

kekeh sendirian,

"Sikat sajalah, daripada bikin pus-

ing! Aku tak akan bilang pada siapa pun, 

Soka. Kecuali kepada Rara Wulan dan Kan-

jeng Adipati," ujar Bandar Getih sambil 

terkekeh-kekeh.

Soka Pura tak mendengar ucapan itu, 

karena telinganya dibuat berisik oleh su-

ara erangan dan desahan napas Selir Pamu-

jan. Gadis itu menciumi Soka sambil mena-

rik-narik baju Soka dengan kasar. Celoteh 

nya berhamburan sambil berusaha memancing 

gairah Soka. Sementara itu, Soka Pura 

sendiri berusaha hindari rangsangan ter-

sebut, karena ia tahu keadaan Selir Pamu-

jan tidak wajar.

Karena Selir Pamujan menyerang te


rus dengan ciuman dan jamahan tangan yang 

kelewat nakal. Soka Pura sempat terdorong 

dan jatuh tertimpa tubuh Selir Pamujan.

Keadaan itu membuat Selir Pamujan 

merasa lebih beruntung dan semakin ganas 

menggumuli Soka Pura, seakan ingin mem-

perkosa pemuda itu. Namun Soka Pura beru-

saha melepaskan diri tanpa menimbulkan 

kekasaran yang berlebihan.

"Hei, ingat kau ini siapa, Selir 

Pamujan! ingat! Sadarlah...!"

"Oouh, aaah... cumbu aku, Soka. 

Ayo, ayo lekas... cumbu aku! Oouh...!"'

"Hei, jangan dibetot sembarangan! 

Wah, kacau sekali kau ini!" geram Soka.

Jengkel-jengkel gadis itu ditampar-

nya beberapa kali sekadar untuk memulih-

kan ingatannya. Plak, plak, plak, 

plak...! Tapi agaknya tamparan itu tidak 

bisa membuat Selir Pamujan sadar. Ia ma-

sih menyerang Soka dengan ciuman dan ja-

mahan tangan, pinggulnya menggeliat-

geliat seakan memburu sesuatu yang ingin 

dicapainya.

Merasa hampir kewalahan, Soka Pura 

segera menotok leher Selir Pamujan dengan 

jari tengahnya yang mengeras. Dess...! 

Saat itu juga Selir Pamujan memekik ter-

tahan dengan tubuh mengejang, kepala men-

dongak ke atas.

"Aaah...!"

Jurus 'Totok Pikun' yang dapat mem


buat seseorang menjadi lupa ingatan, lupa 

pada lingkungannya dan bahkan lupa pada 

dirinya sendiri, ternyata justru menya-

darkan keadaan Selir Pamujan. Totokan Bi-

ma Sura yang tadi membangkitkan gairah 

bercumbu besar sekali itu menjadi sirna 

setelah Selir Pamujan terkena Totokan Pi-

kun' Soka Pura.

Tetapi ingatan Selir Pamujan masih 

normal, ia tidak menjadi pikun dan lin-

glung seperti orang-orang yang pernah 

terkena 'Totokan Pikun'-nya Soka Pura. 

Justru ia terkejut melihat wajah Soka Pu-

ra ada di bawahnya. Ia semakin terbelalak 

lebar-lebar setelah sadari dirinya sedang 

menindih Soka Pura.

"Ooh...?! Apa yang terjadi?! Apa 

yang kulakukah ini?!" sentak suara Selir 

Pamujan, Ia buru-buru menyingkir dari 

atas tubuh Soka Pura. Ia juga buru-buru 

merapikan pakaiannya dengan rasa malu 

yang tidak ketulungan lagi. Dengan terge-

sa-gesa ia menyelinap di balik pohon dan 

terengah-engah di sana.

"Dia sudah sadar!" ujar Bandar Ge-

tih. "Rupanya totokanmu tadi mengembali-

kan ingatan jati dirinya, sehingga ia se-

karang merasa mual, eeh... malu!"

Di seberang sana. Bima Sura masih 

bertarung melawan Lodayu. Soka memperha-

tikan, namun segera bergegas temui Selir 

Pamujan.


"Pergi! Jangan dekati diriku!" ben-

tak Selir Pamujan dengan terengah-engah. 

"Aku tak sudi bercumbu lagi denganmu! Kau 

tak perlu berusaha memperkosaku, Soka! 

Aku muak pada pemuda buaya kampung seper-

timu! Jangan lagi mencoba memperkosaku 

kalau kau tak ingin aku bertindak lebih 

berbahaya lagi!"

"Hei, kebalik, Non! Bukan aku yang 

memperkosamu, tapi kau yang mau memperko-

saku!"

"Dusta!" bentak Selir Pamujan. "Ma-

na mungkin aku ingin memperkosamu! Aku 

sudah tidak berselera dengan pemuda yang 

punya hati selembek kotoran kerbau seper-

timu itu!"

Soka Pura justru tertawa cekikikan 

walau hatinya menahan rasa kesal dituduh 

sebagai pemerkosa. Tapi ia bisa memaklu-

minya.

"Bukan aku yang memperkosamu, tapi 

pemuda itu!" Soka menuding ke arah perta-

rungan Bima Sura dengan Lodayu.

"Ooh...?!" Selir Pamujan menggumam 

dengan nada heran. Ia diam tanpa suara 

dengan mata tertuju ke arah Bima Sura. 

Bayangan peristiwa sebelum ia terkena to-

tokan itu mulai muncul dalam ingatannya. 

ia pun kini bicara pelan kepada Soka Pu-

ra, seperti orang bicara pada dirinya 

sendiri.


"Ya, aku ingat sedikit tentang 

dia... Bima Sura adalah murid Resi Murang 

Sarak dari Teluk Serong. Aku dihadang 

olehnya, dia ingin menciumku, aku mela-

wan, lalu aku kena totokan di bagian pa-

ha, dan... dan... setelah itu aku tak in-

gat lagi apa yang kulakukan."

"Kau bercumbu gila-gilaan dengan-

nya," sahut Soka Pura.

"Keparat! Kalau begitu dia telah 

menotok urat birahiku sehingga aku ber-

gairah melayaninya! Kubunuh orang itu!"

"Tahan dulu!" sergah Soka Pura sam-

bil mencekal lengan Selir Pamujan.

"Dia telah memperkosaku dengan cara 

halus!"

"Mungkin memang begitu. Tapi biar-

kan dulu Lodayu menyelesaikan urusannya 

dengan pemuda itu! Agaknya Lodayu punya 

masalah sendiri dengan orang yang telah 

membuatmu gila cumbu tadi!"

Selir Pamujan memancarkan pandangan 

mata penuh dendam dan kemarahan. Napasnya 

terengah-engah pertanda sedang menahan 

luapan murkanya dengan susah payah.

Bandar Getih bicara dalam posisi 

memandang pertarungan dari samping Soka 

Pura.

"Kelihatannya dia cukup tangguh. 

Pemuda berompi kuning itu sejak tadi ter-

kena ciuman, eeh... pukulan. Kurasa se-

bentar lagi dia akan bercumbu, eeh...


maksudku sebentar lagi dia akan tumbang."

Hati kecil Soka Pura juga mengata-

kan demikian.

Karena saat itu, Lodayu terlempar 

beberapa kali akibat pukulan tangan ko-

song Bima Sura yang menyentak ke depan 

keduanya dalam posisi tubuh miring. Puku-

lan itu mengeluarkan hawa padat dari te-

naga dalamnya yang cukup besar dan Lodayu 

tak berhasil menahannya.

Bima Sura bermaksud tidak memberi 

kesempatan lagi kepada Lodayu, maka ia 

segera mengejar Lodayu yang jatuh ter-

banting dalam jarak sepuluh langkah itu. 

Dalam keadaan babak belur, ternyata Lo-

dayu masih sanggup berdiri dengan cepat 

dan keluarkan kapaknya. Sett...! Kapak 

bergagang coklat itu dikibaskan dalam 

ayunan kuat. Wess, crakk...! Mata kapak 

melayang sendiri. Ternyata mata kapak itu 

mempunyai rantai yang dihubungkan dengan 

gagangnya.

Bima Sura segera hentikan gerakan 

dan berguling ke tanah begitu mata kapak 

itu menyambarnya dari samping kiri ke 

samping kanan. Wess...! Hampir saja kepa-

la Bima Sura pecah karena sambaran mata 

kapak tersebut.

Lodayu masih memutar-mutarkan kapak 

berantai itu, membuat Bima Sura tak bera-

ni mendekat dulu. Ia mencari kesempatan 

untuk menyerang, tapi putaran kapak san


gat cepat sehingga Lodayu bagaikan diben-

tengi baling-baling tajam yang dapat me-

menggal leher dalam sekali tebas.

"Majulah, Keparat! Ku siapkan ke-

sempatan ini untuk mencabut nyawamu seba-

gai upah kebiadabanmu yang telah memper-

kosa adikku!" teriak Lodayu, membuat So-

ka, Selir Pamujan dan Bandar Getih menge-

tahui persoalan sebenarnya.

Bima Sura tidak keluarkan bantahan. 

Ia justru melepaskan pukulan bersinar hi-

jau yang berbentuk seperti cakram terbang 

itu. Slappp...! Tapi putaran kapak itu 

segera menghantam sinar hijau tersebut.

Bleegarrr...!

Rupanya mata kapak itu juga mengan-

dung kekuatan tenaga dalam, sehingga ke-

tika menghantam sinar hijau, sinar itu 

pecah bersama suara ledakan yang cukup 

dahsyat. Tanah di sekitar tempat itu sem-

pat bergetar sesaat, namun segera menjadi 

tenang kembali. Bima Sura masih belum be-

rani mendekat dan berjalan berkeliling 

mencari peluang.

Kejap berikutnya, Bima Sura sengaja 

melepaskan pukulan bersinar hijau lagi. 

Slapp...! Sinar itu bagaikan dikejar oleh 

mata kapak yang melayang memutari Lodayu. 

Pada saat mata kapak memburu Sinar hijau 

itu, Bima Sura segera mencabut bumerang-

nya. Senjata berbentuk pipih dan lengkung 

itu dilemparkan dalam gerakan cepat.


Wusss...!

Bumerang itu memancarkan sinar me-

rah bagai besi membara. Gerakannya yang 

melingkar sukar dihindari oleh Lodayu.

Blegarrr...!

Tanah kembali bergetar karena ben-

turan sinar hijau dengan kapak. Pada saat 

itulah, bumerang itu menyambar kepala Lo-

dayu dari arah belakang, setelah benda 

itu melayang lewat samping dan kembali ke 

arah semula. Crass...!

"Aaahk...!" pekik Lodayu yang cepat 

rundukkan kepala. Bumerang itu akhirnya 

kenai punggung Lodayu. Luka lebar dan 

panjang diderita Lodayu dari punggung 

sampai pundak. Luka itu mempunyai kekua-

tan membakar, sehingga mengepulkan asap 

dan menghanguskan kulit yang koyak.

Lodayu akhirnya jatuh tersungkur 

sambil menahan sakit luar biasa. Kapaknya 

terlepas dan melayang sendiri nyaris ke-

nai kepala Bima Sura yang sedang menang-

kap kembali gerakan bumerang ke arahnya. 

Tebb...! Wess...!

Begitu bumerang sudah di tangan Bi-

ma Sura, cahaya merah membara padam. Sen-

jata itu, segera diselipkan ke pinggang 

kirinya.

Bima Sura pandangi lawannya seben-

tar dengan tersenyum sinis, ia serukan 

kata yang terdengar sampai di tempat Soka 

berdiri.


"Selamat jalan ke neraka! Racun

'Peluh Jenazah' dari senjataku ini, tak 

akan bisa selamatkan nyawamu, karena tak 

ada penangkalnya! Sampai jumpa lagi di 

neraka! Tunggulah aku di sana jika kau 

belum puas dengan pertarungan ini!"

Bima Sura segera pergi tanpa pedu-

likan keadaan luka lawannya lagi dan tan-

pa menghiraukan keadaan Selir Pamujan. 

Blass...! Ia melesat dengan cepat menera-

bas kerimbunan hutan.

Selir Pamujan berseru, "Jangan lari 

dulu kau, Jahanam...!!"

"Hei, tunggu...!" sergah Soka Pura 

kepada Selir Pamujan. Tapi gadis itu te-

tap berkelebat mengejar Bima Sura, semen-

tara Soka menjadi bingung karena ia tak 

tega melihat Lodayu sekarat di sisi lain. 

Pemuda itu meraung-raung bagai tersiksa 

sekujur tubuhnya. Suara raungan itu san-

gat mengiris hati, sehingga Soka Pura 

menjadi tegang, memandang kepergian Selir

Pamujan dan keadaan Lodayu secara bergan-

tian.

Bandar Getih pun ikut tegang dan 

sangat gugup, sehingga ia terengah-engah 

di tempatnya berdiri.

"Paman, ikuti Selir Pamujan, cegah 

dia jangan melawan pemuda itu. Ilmunya 

cukup tinggi, Selir Pamujan dapat celaka 

jika melawannya!"

"Iya... iya... aku akan celaka,


eeh... aku akan mengikutinya supaya cela-

ka, eeh... anu... hmmm...!"

"Cepat berangkat, aku nanti menyu-

sul. Aku harus menolong Lodayu lebih dulu

sebelum racun itu menghabisi nyawanya!"

"Baa... baik! Aku akan menghabiskan 

nyawa, eeh... akan pergi! Ya, akan per-

gi... tapi... tapi aku harus pergi ke ma-

na, Soka?!" serunya ketika Soka sedang 

bergerak ke arah Lodayu.

"Ikuti Selir Pamujan...!! seru Soka 

Pura dengan jengkel.

Bandar Getih semakin gugup. "Baa... 

baik! Aku akan mengikuti Selir Pamujan. 

Hmmm... eeh, ke mana larinya gadis ta-

di?!"

"Hei, kenapa kau lari ke timur?! 

Dia mengejar pemuda itu ke selatan, Pa-

man!"

"O, iya! Ke selatan... aduh, tolol 

amat aku ini!" gerutunya sambil berlari 

ke arah selatan. Soka lanjutkan dekati 

Lodayu yang merintih-rintih.

"Tahan sebentar, Lodayu!" ujar Soka 

Pura! Tapi Lodayu tidak menyadari siapa 

yang datang padanya dan menempelkan tela-

pak tangan ke lengannya.

Telapak tangan Soka memancarkan ca-

haya ungu berpendar-pendar. Jurus 

'Sambung Nyawa' yang biasa dipakai untuk 

pengobatan itu sedang di lakukan untuk 

menyelamatkan luka parah Lodayu. Luka


koyak itu makin melebar dan memanjang. 

Dagingnya berwarna hitam hangus. Sungguh 

mengerikan dan tentunya juga sangat me-

nyiksa.

Tetapi cahaya ungu dari telapak 

tangan kiri Soka yang menempel di kulit 

lengan Lodayu itu lama-lama bagaikan me-

rasuk ke dalam tubuh Lodayu. Tubuh itu 

mulai memancarkan cahaya ungu pendar-

pendar. Walaupun Soka sudah mengangkat 

telapak tangannya, dan nyala ungu itu te-

lah hilang dari telapak tangan itu, namun 

tubuh Lodayu semakin memancarkan cahaya 

ungu. Kulit tubuh dan dagingnya seakan 

berubah menjadi kaca tembus cahaya, dan 

di dalam lapisan kulit serta daging itu 

sepertinya ada lampu ungu yang menyala 

semakin terang.

Rintihan Lodayu mulai berkurang. 

Gerakannya yang kelojotan pun mulai te-

nang. Cahaya ungu semakin membungkus tu-

buh Lodayu. Kini pemuda itu dalam keadaan 

tengkurap bagaikan tidur. Suaranya... 

nyaris tak terdengar lagi!

Luka koyak melebar mengalami peru-

bahan setelah mengepulkan asap tipis war-

na ungu pula. Luka itu semakin menyempit. 

Dagingnya yang berwarna hitam hangus itu 

mulai memucat sedangkan darah yang mengu-

cur dari luka-luka itu menguap bagai ter-

serap udara.

Makin lama luka itu semakin menyem


pit. Soka Pura menarik napas lega. Ter-

nyata racun 'Peluh Jenazah' masih mampu 

dikalahkan dengan Jurus 'Sambung Nyawa'-

nya yang merupakan perpaduan hawa murni 

dan kekuatan inti gaib yang dimiliki tiap 

manusia. Namun tidak setiap manusia dapat 

mengendalikan hawa murni dan kekuatan in-

ti gaib yang letaknya ada di pusar itu.

Beberapa saat kemudian, Lodayu sem-

buh total.

Tubuhnya menjadi segar, kekuatannya 

pulih seperti sediakala. sedangkan lu-

kanya lenyap tanpa bekas sedikit pun. Lo-

dayu segera menyadari bahwa ia telah dis-

elamatkan oleh bekas saingannya dalam 

perkara memperebutkan Rara Wulan.

"Oh, rupanya kau yang menyelamatkan

nyawaku dari luka jahanam itu!" ujar Lo-

dayu sambil berdiri dan membersihkan ta-

nah yang melumuri tubuhnya.

"Syukurilah jika kau masih mengena-

liku, Lodayu!"

"Tentu saja masih, karena namamu 

dan kehebatan ilmu mu kucatat dalam otak-

ku. Soka Pura!" Lodayu sunggingkan senyum 

tawar, karena masih di pengaruhi oleh 

murkanya terhadap Bima Sura.

"Ke mana larinya bajingan tengik 

itu?!"

"Dia ke selatan!" jawab Soka Pura. 

"Aku tadi tak berani mencampuri pertarun-

ganmu tadi, karena aku tak tahu masalah


nya"

"Adikku diperkosa oleh si Iblis 

Pemburu Wanita itu!" tegas Lodayu. "Kesu-

cian adikku direnggut hanya untuk memper-

kuat ilmunya! Aku kenal dia sebagai murid 

Resi Murang Sarak yang membutuhkan per-

cumbuan dengan perempuan yang berbeda-

beda, semakin dahsyat dan tangguh ilmu 

yang ada padanya!"

Soka Pura manggut-manggut. "Apakah 

itu berarti ilmu yang dimiliki perempuan 

tersebut menjadi berkurang?"

"Tidak! Tapi kekuatan ilmu yang di 

miliki Iblis Pemburu Wanita itu semakin 

besar jika memperoleh kepuasan dari ber-

bagai wanita. Setiap satu wanita hanya 

bisa menguatkan ilmu itu satu kali. Oleh 

karenanya, Iblis Pemburu Wanita tak mau 

lakukan percumbuan dua kali dari satu wa-

nita!"

"Ilmu yang aneh!" gumam Soka Pura.

"Ya, memang ilmu orang Teluk Serong 

itu aneh-aneh serta berbau mesum. Ilmu 

seperti itu harus di musnahkan, jika per-

lu bersama pemiliknya!"

"Aku sependapat denganmu, Lodayu! 

Tapi agaknya pemuda itu lebih tangguh da-

rimu." "itu pasti lantaran ia harus me-

nambah kekuatan ilmunya dari tubuh seo-

rang perempuan yang habis kencan dengan-

nya."

"Hmmm... kurasa memang begitu,"


ujar Soka yang kemudian teringat tentang 

cumbuan Selir Pamujan dengan Bima Sura.

"Aku harus mengejarnya! Ia harus 

mati sebagai tebusan hilangnya kesucian 

adikku yang bernama Linduwati!"

"Kurasa kita sama-sama harus segera 

ke selatan! Selir Pamujan dalam bahaya 

jika melawan pemuda itu tanpa bantuan 

siapa pun! Aku tak bisa mengharapkan ban-

tuan Paman Bandar Getih, selain ilmunya 

terlalu rendah untuk melawan Iblis Pembu-

ru Wanita!"

Lodayu segera mengambil kapaknya. 

Kemudian mereka berdua bergegas ke sela-

tan mengejar Iblis Pemburu Wanita. Lodayu 

sempat bertanya tentang Raka Wulan.

"Bagaimana kabarnya tentang putri 

tunggal sang adipati itu?"

"Dia minggat lagi dari Istana, dan 

aku sedang mencarinya!"

"Akan kubantu mencarinya jika Bima 

Sura sudah tak bernyawa lagi!"

"Terima kasih. Aku pun akan memban-

tumu melumpuhkan iblis ganteng itu!" ujar 

Soka

Pura dengan mantap, membuat Lodayu 

semakin tak punya rasa takut sedikitpun 

kepada Iblis Pemburu Wanita itu.

*

**


7


IBLIS Pemburu Wanita termasuk manu-

sia selicin belut. Sehari semalam Selir 

Pamujan mengejar pemuda itu, tapi tak 

berhasil menemukannya. Ia justru bertemu 

dengan Bandar Getih yang muncul dari arah 

lain. Hampir saja Bandar Getih salah arah 

jika tidak segera bertemu dengan Selir 

Pamujan pada kegelapan malam.

Fajar yang menyingsing menaburkan 

kecerahan udara pagi, merupakan awal 

langkah Estigina mencari Pendekar Kembar 

setelah dua hari ia beristirahat di rumah 

Ki Darmala. Padahal orang yang mendampin-

ginya adalah salah satu dari Pendekar 

Kembar yang dikenal dengan nama Raka Pu-

ra. Konyolnya, Raka Pura tetap belum mau 

mengaku sebagai Pendekar Kembar.

"Belum tentu dia percaya kalau aku 

adalah Pendekar Kembar," pikir Raka.

Namun hati Raka sempat berbunga-

bunga ketika Estigina, anak seorang Ketua 

Perguruan Merak Yudha itu, menyanjung-

nyanjung nama Pendekar Kembar. Rupanya 

gadis itu sering mendengar orang membica-

rakan Pendekar Kembar, tapi belum pernah 

beradu muka dengan Pendekar Kembar. Se-

dangkan Bujang Bodo yang mengikuti mereka 

juga ikut-ikutan menyanjung Pendekar Kem-

bar, karena ia sering mendengarkan perca-

kapan kakeknya dengan para sahabat yang


singgah di rumahnya.

"Pemuda kembar dari Gunung Merana 

itu kabarnya punya jurus penyembuh yang 

luar biasa saktinya," ujar Estigina kepa-

da Raka. Yang diajak bicara hanya senyum-

senyum saja dan berlagak bodoh.

"Jurus penyembuh nya itu dapat di-

pakai untuk mengobati luka beracun sehe-

bat apa pun racun tersebut," tambah Esti-

gina. "Kabarnya jurus-jurus mereka jika 

digabungkan menjadi jurus yang dahsyat 

dan tiada tandingnya. Bayangkan saja, Ra-

tu sesat itu yang bernama Cumbu Laras sa-

ja berhasil dibunuh oleh Pendekar Kembar. 

Padahal, Ratu Cumbu Laras itu dibantu 

dengan kekuatan iblis yang bernama Dewa 

Seribu Laknat!"

Bujang Bodo menimpali, "Memang lak-

nat Pendekar Kembar itu. Eh... maksudku, 

memang sakti Pendekar Kembar itu. Kurasa 

ia juga mampu menghancurkan Iblis Pemburu 

Wanita jika si iblis tidak melawan!"

"Siapa tahu kalau lawannya diam sa-

ja juga akan menang, Tolol!" sentak Esti-

gina.

Lalu, gadis itu ajukan tanya kepada 

Raka Pura, "Apakah selama ini kau belum 

pernah bertemu dengan salah satu dari 

Pendekar Kembar itu?"

"Belum," Jawab Raka Pura sambil 

tersenyum geli. Tapi senyum geli itu ti-

dak menimbulkan kecurigaan pada hati Es



tigina. Bahkan gadis itu berkata dengan 

gayanya yang ketus.

"Banyak orang bilang, kedua Pende-

kar Kembar itu berwajah tampan, gagah, 

perkasa dan menggetarkan hati setiap wa-

nita. Tapi aku belum yakin sepenuhnya."

"Mengapa kau belum yakin sepenuh-

nya?"

"Aku yakin tak semenarik dirimu!" 

jawab Estigina asal ceplos saja.

"Tampan mana dengan wajahku, Esti?" 

tanya Bujang Bodo.

"Tampan wajahmu, jika yang meman-

dang orang buta yang sudah mau mati!" ja-

wab Estigina membuat Bujang Bodo cembe-

rut. Estigina tampak malas bicara dengan 

Bujang Bodo. Ia lebih suka bicara dengan 

pemuda tampan yang mengiringi langkahnya 

di sebelah kanan itu.

"Biarpun nanti kita bertemu dengan 

Pendekar Kembar, tapi aku tak akan mudah 

tertarik oleh ketampanannya. Aku hanya 

ingin bersahabat dengan mereka."

"Mengapa kau tidak tertarik? Kau 

belum lihat sendiri seperti apa ketampa-

nan Pendekar. Bagaimana mungkin kau bisa 

yakin kalau tak akan tertarik oleh ketam-

panan mereka?"

"Hmmm... yah, mungkin jika aku be-

lum bertemu denganmu, aku akan tertarik 

dengan salah satu dari kedua Pendekar 

Kembar itu. Tapi karena aku sudah bertemu


denganmu, tentu saja aku tak tertarik pa-

da mereka!"

Jawaban itu sangat diplomatis dan 

Raka Pura memahami maksud kata-kata ter-

sebut. Namun hatinya tetap tenang karena 

merasa tak perlu terlalu menanggapi uca-

pan Estigina itu. Sekalipun Raka Pura ta-

hu, bahwa Estigina tertarik padanya, te-

tapi hati Raka belum bisa menerima pera-

saan itu. Ia tidak memiliki rasa tertarik 

kepada Estigina secara pribadi, kecuali 

hanya sekadar rasa ingin bersahabat dan 

menjadi pasangan yang akan melumpuhkan 

Iblis Pemburu Wanita. Karenanya, kata-

kata Estigina selalu ditanggapi dengan 

senyum keramahan yang memancarkan daya 

pikat tersendiri di mata Estigina.

Langkah mereka tiba-tiba terhenti 

setelah Bujang Bodo tiba-tiba menjerit 

kaget dan berlari menyilang langkah Raka 

dan Estigina.

"Hiaaahh...!"

"Heei, apa-apaan kau?! Bikin kaget 

jantungku saja!" bentak Estigina dengan 

berang.

"Ada... ada... ada mayat di balik 

pohon itu! Mayat... mayat berdarah...!" 

sambil Bujang Bodo menuding pohon yang 

dimaksud. Mata mereka pun tertuju ke tem-

pat tersebut.

"Ooh...?!" Estigina pun kaget dan 

menjadi tegang. Raka Pura terkesiap, pan


dangi mayat itu dengan mata menyipit dan 

dahi berkerut.

Sesosok mayat terbujur di balik po-

hon. Keadaannya sangat mengerikan. Luka 

lebar yang menghunus terdapat di pinggang 

kanan sampai ke pundak kiri. Luka itu 

terkuak lebar dan darahnya mengering. Ta-

pi ceceran darah di sekitar perutnya ma-

sih tampak membasah, pertanda kematiannya 

terjadi belum lama.

"Aku mengenali orang ini," ujar Ra-

ka Pura bagai bicara sendiri.

"Siapa lelaki ini, Raka?"

"Dia murid dari Perguruan Cakar Pe-

tir yang kala itu ikut muncul di kadipa-

ten."

"Oh, Perguruan Cakar Petir?! 

Hmmm... ya, ya... aku pernah dengar nama 

ketuanya yang kalau tak salah berjuluk si 

Jenggot Bajang?"

"Benar!" Raka anggukkan kepala sam-

bil memandang Estigina, kemudian matanya 

menatap ke arah mayat berjubah hitam, 

berdagu panjang, dan berwajah angker.

"Kalau tak salah ingatanku, orang 

ini yang bernama Raksa Braja, kakak per-

guruannya si Bintari Ayu," tutur Raka Pu-

ra sambil mengenang sebentar masa perta-

rungan di kadipaten Wilujaga itu, (Baca 

serial Pendekar Kembar dalam episode: 

"Gadis Penyebar Cinta")

Estigina manggut-manggut, "Aku per


nah mendengar nama Bintari Ayu. Kalau tak 

salah ia seorang perempuan yang gemar 

mengenakan jubah Jingga, dan punya senja-

ta kipas merah."

"Dugaanmu benar!"

"Kau pernah bertemu dengannya?"

"Melihatnya saja. Kala itu aku se-

dang bertarung dengan adikku melawan 

Jenggot Bajang di depan istana Kadipaten 

Wilujaga."

"Oh, kau punya adik rupanya?"

"Punya," jawab Raka singkat, lalu 

segera ingat bahwa kata-katanya bisa mem-

buat Estigina berkesimpulan tentang di-

rinya sebagai Pendekar Kembar. Tetapi 

agaknya Estigina terlalu yakin bahwa Pen-

dekar Kembar itu ada di puncak Gunung Me-

rana, sehingga ia tidak berkesimpulan 

apa-apa tentang adik Raka Pura itu. Raka 

sendiri tidak melanjutkan percakapan ke 

arah itu, melainkan mengalihkannya ke 

persoalan mayat tersebut

"Lalu, siapa yang membunuh Raksa 

Braja ini sebenarnya?!"

Estigina pandangi mayat tersebut. 

"Kurasa orang yang membunuhnya mempunyai 

jurus pedang cukup hebat. Lukanya itu 

tampak sebagai luka sabetan pedang yang 

beracun ganas!"

Bujang Bodo ajukan usul, "Sebaiknya 

tanyakan saja kepada si korban, siapa 

yang membunuhnya!"


"Usul bodoh!" sentak Estigina. "Ma-

na mungkin bisa bertanya pada si korban 

kalau dia sudah tidak bernyawa?!"

"Bisa ku bangunkan sebentar!" kata 

Bujang Bodo.

Raka Pura tertawa kecil seperti 

orang menggumam. Estigina bersungut-

sungut jengkel sambil lontarkan gerutuan 

kecil.

"Kau kira dia kakekmu yang sedang 

tertidur?!"

"Kalau kalian mengizinkan, ku ban-

gunkan mayat ini!" Bujang Bodo ngotot. 

Estigina juga ikut ngotot.

"Kau sendiri kalau tidur susah 

bangkunya, pakai berlagak mau membangun-

kan mayat segala!"

Raka Pura perpanjang tawanya. Meli-

hat mereka berdua saling ngotot, Raka me-

rasa mendapat hiburan yang segar dan 

menggelikan hati.

Tapi tiba-tiba Bujang Bodo bersiul

panjang dan meliuk-liuk sambil mundur be-

berapa langkah, memandangi mayat dengan 

mata melebar.

"Suiit, suuiiit, suuu, suuu, 

suuuiiit...!"

Kaki mayat Raksa Braja bergerak-

gerak. Disusul kemudian jari tangannya 

bagai ada yang menyentak-nyentak ke atas. 

Pemandangan itu membuat Estigina terbela-

lak lebar dan sangat tegang. Ia melangkah


mundur sampai menyentuh lengan Raka Pura. 

Sementara itu, Raka Pura sendiri menjadi 

tegang dan tak berkedip melihat tangan 

mayat bergerak-gerak.

Siulan dari mulut Bujang Bodo masih 

terdengar mengalun meliuk-liuk bagai ira-

ma seruling. Rupanya siulan itu mempunyai 

getaran aneh yang dapat bangkitkan seso-

sok mayat selama siulan itu masih ber-

bunyi.

"Gila! Dia benar-benar bisa bang-

kitkan mayat?!" gumam Estigina dengan te-

gang kepada Raka.

"Kemarin malam kakeknya pernah bi-

lang padaku, bahwa Bujang Bodo adalah bo-

cah beruntung, karena mendapat ilmu titi-

san dari neneknya yang dulu dikenal seba-

gai Nyai Peri itu. Tapi aku tak tahu se-

perti apa ilmu titisan itu. Mungkin si-

ulan inilah yang dimaksud ilmu titisan 

Nyai Peri."

"Suuiii, uuuiii, uuuiiitt....".

Mayat Raksa Braja pun bangkit dan 

duduk dengan mata terpejam, namun Raka 

dan Estigina mendengar suara menggeram 

dari mayat tersebut. Bujang Bodo memberi 

isyarat dengan tangannya agar Raka ajukan 

pertanyaan kepada mayat tersebut, semen-

tara ia masih perdengarkan suara siulan-

nya.

"Dia menyuruh kita menanyakan siapa 

orang yang membunuh mayat itu!" bisik Ra


ka.

"Kau saja yang menanyakannya. Aku 

ngeri!" balas Estigina dalam berbisik ju-

ga.

Akhirnya Raka Pura maju dua langkah 

dan bertanya kepada mayat yang duduk me-

lonjor itu.

"Siapa yang membunuhmu, Raksa Bra-

ja?!"

Bibir mayat itu mulai bergerak-

gerak pelan. Beberapa saat kemudian suara 

serak terdengar menyebut sebuah nama.

"Bimm... maa... Suuu... rraa...!"

"Oh, maksudmu... Iblis Pemburu Wa-

nita!"

"Beee... daak, eeh... Bee... 

narrr!" jawab mayat itu.

Brruk...! Tiba-tiba mayat itu rubuh 

kembali tanpa gerakan apa-apa. Raka Pura 

dan Estigina memandang ke arah Bujang Bo-

do. Pemuda berkalung ketapel itu teren-

gah-engah.

"Bersiul lagi!" perintah Estigina.

"Napasku... napasku hampir ha-

bis...," jawab Bujang Bodo sambil ngos-

ngosan. Raka Pura sempat sunggingkan se-

nyum geli melihat Bujang Bodo ngos-

ngosan. Rupanya ia bersiul dalam satu ta-

rikan napas dan tak boleh putus. Sekali 

putus, kekuatan pembangkit mayat itu pun 

hilang, dan mayat tersebut tak berkutik 

lagi.


Raka Pura saling pandang dengan Es-

tigina.

"Bima Sura yang membunuhnya!"

"Berarti dia ada di sekitar tempat 

ini. Setidak nya belum jauh dari sini!" 

ujar Estigina sambil membetulkan letak

pedangnya yang terselip di pinggang. Wa-

jah gadis itu memancarkan dendam, seakan 

tak sabar ingin melampiaskan nya kembali.

"Kita cari dia di sekitar sini!"

"Lebih baik kita segera ke Gunung 

Merana saja! Masih jauhkah dari sini?" 

tanya Estigina.

"Masih jauh sekali, Estigina!"

"Kalau begitu kita cari iblis itu 

tanpa Pendekar Kembar dulu!" usul Bujang 

Bodo.

"Mau cari mampus kau?!" sentak Es-

tigina.

"Kurasa usul Bujang Bodo ada baik-

nya!" kata Raka Pura. "Aku akan melawan

Iblis Pemburu Wanita, sekaligus menjajagi 

setinggi apa ilmunya!"

"Jangan! Aku tak setuju! Kau nanti 

mati di tangannya, aku yang rugi!" tegas 

Estigina tanpa nada lembut sedikit pun. 

Raka Pura sunggingkan senyum lagi. Hari 

ini Raka seperti perjaka yang murah se-

nyum, membuat ketampanan yang mempesona

itu bertaburan ke mana-mana.

"Estigina, percayalah aku tak akan 

terluka jika melawannya. Kalau aku merasa


terdesak, aku bisa melarikan diri secepat 

mungkin asai kau tidak menertawakan dan 

melecehkan pelarian ku!"

Gadis itu setengah tertawa sambil 

berkata, "Kau pikir Bima Sura tidak bisa 

berlari cepat? Aku yakin dengan ilmunya

yang tinggi ia mampu mengejarmu ke mana 

pun kau melarikan diri! Jadi sebaiknya 

tak perlu mencari Bima Sura dulu! Cepat 

bawa aku ke Gunung Merana!"

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh 

suara ledakan yang menggelegar dari arah 

timur. Ledakan itu cukup keras, sehingga 

menggema memenuhi hutan tersebut, mengge-

tarkan tanah yang dipijak mereka.

"Jangan-jangan itu suara pertarun-

gan Bima Sura dengan seseorang?!" ujar 

Raka Pura.

"Yang jelas bukan aku lawannya!" 

timpal Bujang Bodo yang tak mendapat sam-

butan dari siapa pun.

"Aku ingin melihatnya!"

"Jangan, Raka!" seru Estigina sam-

bil memburu Raka yang sudah lebih dulu 

bergerak ke arah timur.

"Aku hanya ingin melihatnya dari 

kejauhan!"

"Aku ikut...!" seru Estigina lagi.

"Aku bagaimana? Ikut atau menunggu 

mayat itu?" tanya Bujang Bodo dengan bin-

gung.


"Kau ikut tidur bersama mayat itu 

saja!" seru Estigina membuat Bujang Bodo 

bersungut-sungut dan menganggap perintah 

itu perintah serius.

"Tak sudi aku tidur dengan mayat! 

Lebih baik tidur dengan perawan cantik, 

daripada tidur dengan mayat!" gerutunya 

sambi ikut berlari ke arah timur.

*

**


8


RAKA Pura sempat terperanjat meman-

dang ke arah pertarungan. Ternyata seo-

rang perempuan berambut pirang disanggul 

sisanya seperti seekor kuda, sedang me-

nyerang Bima Surya dengan kipas merahnya. 

Perempuan berusia sekitar dua puluh dela-

pan tahun itu bertubuh sexy dan montok. 

Ia mengenakan jubah jingga yang berkele-

bat seperti sayap seekor burung betina 

pada saat lakukan lompatan ke arah Bima 

Sura.

"Bintari Ayu...?!" gumam Raka Pura 

ketika Estigina tiba di samping kirinya.

"Keparat busuk itu ada di sana! Aku 

harus segera menghabisi nyawanya!"

"Tahan dulu!" cegah Raka sambil 

mencekal lengan Estigina yang sudah tak


sabar ingin melampiaskan dendamnya kepada 

pemuda yang telah merenggut kesuciannya 

itu.

"Nah, itu dia orang yang memperko-

samu!" ujar Bujang Bodo yang berdiri di 

balik semak di samping Estigina.

Raka Pura berkata, "Perhatikan dulu 

jurus-jurusnya, supaya kita bisa melum-

puhkannya jika jurus itu dipakai menye-

rang kita nanti!"

Estigina menahan hasrat membunuhnya 

yang telah menyesakkan pernapasan, meng-

gumpal di dalam dadanya. Dada terasa in-

gin meledak menahan kobaran api dendam 

itu.

Wuuut, baahk...!

"Uuhk...!" Bintari Ayu terlempar ke 

belakang dan jatuh berguling-guling sete-

lah dihantam dengan telapak tangan dari 

jarak lima langkah. Telapak tangan yang 

keluarkan hawa padat itu bagai batu besar 

yang menerjang tubuh Bintari Ayu.

Setelah menyeringai sesaat, Bintari 

Ayu bangkit lagi dan mulai membuka kipas 

merahnya. Braakk...!

"Jangan melawanku, Cantik! Sebaik-

nya kita berburu cinta dalam pelukan da-

ripada cari penyakit seperti ini!"

"Persetan dengan bujuk rayumu! Aku 

tahu kau hanya ingin memperkokoh ilmumu, 

menambah kekuatanmu dengan menggunakan 

kehangatanku! Aku tak sudi menjadi budak


gairahmu, Iblis Pemburu Wanita!" lontar 

Bintari Ayu dengan keras dan kasar. Ia 

tampak masih berani hadapi pemuda itu, 

dan segera lakukan serangan dengan sebuah 

lompatan berkecepatan tinggi.

Wesss...!

Bima Sura berguling maju di atas 

rerumputan. Wuuuttt...! Tendangan kaki 

Bintari Ayu melayang di atas kepala Bima 

Sura. Wess...! Dengan cepat Bima Sura 

sentakkan tangannya ke atas, dua jarinya 

yang mengeras berhasil kenai paha Bintari 

Ayu.

Tess...! Totokan yang membuat gai-

rah terbuka dan berkobar-kobar itu telah 

berhasil kenai sasarannya.

Jlegg...! Bintari Ayu mendaratkan

kakinya ketanah dengan tegak. Ia hanya 

merasakan sentakan sakit sekejap pada 

saat terkena totokan itu, tapi selanjut-

nya ia tidak merasakan apa-apa lagi. Ki-

pasnya dibentangkan di depan mulut. Ma-

tanya memandang jalang ke arah pemuda 

yang telah berdiri tegap di depannya.

"Percayalah, kau akan merasa ku

terbangkan sampai ke surga dan tak ingin 

lepas dari pelukanku jika kita mulai men-

gawalnya, Bintari Ayu!"

Perempuan itu tak punya jawaban apa 

pun. Seakan lidahnya kelu dan jantungnya 

mulai berdetak-detak. Debar-debar keinda-

han mulai mengguyur api amarah yang mem


bakar jiwa.

"Aneh sekali! Mengapa tiba-tiba aku 

berhasrat untuk meremas dadanya yang bi-

dang itu?!" pikir Bintari Ayu dalam ke-

bingungannya.

Bima Sura mulai tersenyum lebar, 

karena ia mendengar kata hati Bintari 

Ayu. Kipas yang menutup sebatas hidung 

Bintari Ayu itu mulai bergerak turun me-

nyambut kehadiran Bima Sura. Pandangan 

mata Bintari Ayu mulai sayu, seakan ha-

tinya kian menggebu-gebu mengharapkan ke-

mesraan si pemuda bercambang tipis itu. 

Bahkan ketika kedua tangan Bima Sura mu-

lai meraba pipi Bintari Ayu, perempuan 

itu pun dikatupkan sambil matanya meman-

dang tak berkedip ke wajah Bima Sura.

"Rupanya dia menggunakan ilmu sihir 

untuk membuat Bintari Ayu bergairah!" 

ujar Estigina yang tak mengetahui adanya 

jurus totokan di bagian paha tadi.

"Jahanam itu harus mati sekarang 

Juga!" Blass...!

"Hei, tunggu...!" sentak Raka Pura, 

tetapi Estigina sudah lebih dulu melesat 

sambil mencabut pedangnya.

"Wah, rupanya Estigina minta dicium 

lagi oleh pemuda itu, Raka!"

"Dia ingin membunuh pemuda itu, To-

lol!" ujar Raka agak jengkel mendengar 

kata-kata Bujang Bodo yang diucapkan dengan polos dan lugu itu.


Saat itu, Bima Sura segera melihat 

kehadiran Estigina yang sudah menghunus 

pedang dan melayang ke arahnya.

"Hei, rupanya kau ketagihan cumbua-

nku, kau past! kecewa karena kesucian mu

belum kurenggut, Nona cantik? Tapi seka-

rang terimalah cumbuanku yang kedua, 

heeahh...!"

Bima Sura sentakkan kedua tangannya 

ke samping dalam keadaan kedua kaki me-

renggang rendah. Suuut...! Tenaga dalam 

yang keluar dari kedua telapak tangan itu 

menghantam tubuh Estigina. Brruss...!

"Aaow...!" Estigina memekik dalam 

keadaan tubuhnya bagai diterjang badai 

besar, melayang-layang dan jatuh setelah 

membentur pohon. Brrukk...!

"Ooh...! Matilah dia, Raka! Pasti 

dia mati!" ujar Bujang Bodo sambil menu-

tup matanya, merasa tak tega melihat Es-

tigina terbanting sekeras itu.

"Bima Sura, dekaplah aku...! Jangan 

hiraukan gadis itu! Dekaplah aku, Bima 

Sura..." pinta Bintari Ayu yang gairahnya 

sudah telanjur berkobar-kobar dan menun-

tut cumbuan sedalam mungkin. Tubuh Binta-

ri Ayu didorong Bima Sura dengan sentakan 

keras. Perempuan itu jatuh terduduk den-

gan menyedihkan. Bima Sura lakukan hal 

itu karena Estigina lemparkan pedangnya 

dari tempatnya jatuh. Pedang itu menye-

barkan sinar merah bagai ingin menyergap


Bima Sura. Srraaabz...!

Bima Sura terpaksa menghadapinya 

dengan melepaskan sinar biru dari kedua 

telapak tangannya yang kedua jempolnya 

dilipat. Kedua telapak tangan itu diputar 

balik dan menyentak maju. Suut...! 

Clappp...! Sinar biru lebar pun keluar 

dari kedua tangan tersebut. Sinar biru 

itu ditabrak dengan sinar merah lebar da-

ri ujung pedang Estigina.

Blarrr...!

Ledakan kuat menggema ke mana-mana. 

Tanah di sekitar tempat itu bergetar ba-

gai dilanda gempa kecil. Tetapi pedang 

itu tetap meluncur ke arah Bima Sura. 

Dengan cepat Bima Sura berpindah tempat 

bagaikan menghilang. Slabb...! Tahu-tahu 

ia sudah berada di samping Estigina, se-

mentara pedang itu meluncur terus dan me-

nancap di bawah pundak Bintari Ayu. 

Jrrub...!

"Aaah...!" Bintari Ayu memekik dan 

jatuh terkapar. Ia berusaha mencabut pe-

dang itu, namun kekuatannya bagai meni-

pis, sehingga pedang itu hanya dibiarkan 

menancap di bawah pundaknya, di dada ka-

nan. Ia merintih kesakitan tanpa ada yang 

menghiraukan.

Karena pada saat itu, Raka Pura se-

gera perhatikan serangan Iblis Pemburu 

Wanita ke arah Estigina. Serangan itu be-

rupa tendangan yang datang secara berun


tun dan sukar dihindari Estigina karena 

kecepatannya yang luar biasa itu.

"Aaow...!" Estigina memekik satu 

kali, setelah itu tak memekik lagi karena 

jatuh pingsan pada tendangan ketujuh.

Seketika itu pula, Bima Sura men-

gangkat tangannya. Tangan yang menyala 

merah bara itu ingin dihantamkan ke dada 

Estigina yang sudah terkapar di tanah. 

Tetapi tiba-tiba tubuh Bima Sura diter-

jang sesuatu yang membuatnya terlempar ke 

belakang membentur pohon dengan kerasnya. 

Brruus...! Krrraak...!

Brrruuuk..! Pohon tersebut tumbang 

seketika karena benturan dengan tubuh Bi-

ma Sura.

"Setan alas! Siapa orang itu?! Ter-

jangannya membuat tulang-tulangku terasa 

remuk! Untung ku lapisi dengan tenaga in-

ti! Edan! Pohon itu sampai tumbang karena 

benturan dengan tubuhku. Ooh... berarti 

benturanku tadi keras sekali, ya?!" pikir 

Bima Sura, lalu segera bangkit memandang 

pemuda tampan berbaju tanpa lengan warna 

putih dan berambut lepas sepundak. Mata 

Bima Sura menatap ke arah. pedang kristal 

yang ada di pinggang pemuda dari Gunung 

Merana, yang tak lain adalah Pendekar 

Kembar sulung; Raka Pura.

"Tindakanmu sudah mencapai tingkat 

kecemasan penghuni dunia ini, Iblis Pem-

buru Wanita! Aku merasa berhak menghenti


kannya!"

"Siapa kau sebenarnya?! Kuakui ter-

jangan mu tadi cukup hebat, tapi jangan 

bangga dulu, karena sebentar lagi aku 

akan mengirimmu ke tengah neraka! Untuk 

itu, perkenalkan lebih dulu dirimu agar 

namamu bisa ku ukir dalam batu nisan mu

nanti!"

Raka Pura sunggingkan senyum tipis. 

Kini kedua pemuda sama-sama tampan dan 

sama-sama bertubuh kekar itu saling pan-

dang beberapa saat.

"Aku yang bernama Raka Pura; si su-

lung dari Pendekar Kembar!" jawab Raka 

Pura sampai ditelinga Bujang Bodo. Cucu 

Ki Darmala itu mencibir dan menahan tawa 

geli sambil hatinya berkata,

"Boleh juga tipuan mu, Raka! Pasti 

lawanmu ciut nyali lebih dulu mendengar 

pengakuan palsumu itu!"

Tetapi pendapat Bima Sura berbeda 

dengan anggapan Bujang Bodo. Melihat so-

sok penampilan yang meyakinkan dengan pe-

dang kristal yang megah itu, Bima Sura 

percaya dengan pengakuan tersebut. Tapi 

ia hanya sunggingkan senyum sinis berke-

san meremehkan nama Pendekar Kembar.

"Kudengar namamu menjadi bahan pem-

bicaraan para tokoh di rimba persilatan! 

Tapi jangan harap nama itu akan dibicara-

kan lagi kecuali kau bersujud dl kakiku 

dan meminta ampun atas kelancanganmu


menggagalkan niatku membunuh gadis itu!"

"Aku tak keberatan bersujud di ka-

kimu, setelah kau menjilat telapak kakiku 

lebih dulu!"

Wajah Bima Sura menjadi merah men-

dengar ucapan Raka yang membalas hinaan-

nya. Gemetar tangan Bima Sura karena me-

rasa sangat direndahkan oleh Pendekar 

Kembar. Maka ia pun perdengarkan suara 

geramnya dengan gigi menggeletak kuat-

kuat.

"Kurasa kau tak pantas berhadapan 

denganku terlalu lama! Pergilah ke neraka 

sekarang juga! Heeehh...!"

Bima Sura putarkan tubuh dengan ce-

pat, kakinya melesat ke wajah Raka. 

Wees...! Raka segera ayunkan badan ke ba-

wah, sehingga tendangan itu lolos dari 

sasaran.

Pada saat Raka terduduk, kaki Bima 

Sura sudah melayang lagi ke wajah dengan 

cepat. Beett...!

Dess...! Tangan kanan Raka segera 

menangkis tendangan kaki itu. Tangan kiri 

menekan di tanah dan kedua kaki Raka me-

nendang cepat secara beruntun bergantian. 

Bet, bet, bet, bet, bet...! Tendangan itu 

kenai tulang kering Bima Sura, lalu ke 

lutut, terus naik sampai ke perut, se-

hingga tubuh Raka bergeser maju bagai 

terseret oleh kekuatan tenaga dalamnya 

sendiri yang disalurkan ke telapak ka


kinya.

Baaahk...!

Raka Pura meloncat sambil menjejak-

kan kedua kaki secara bersamaan. Jejakan 

itu kenai dada Bima Sura. Lalu tubuh Raka 

jatuh ke tanah dengan kedua tangan siap 

menapak di tanah. Begitu kedua tangan 

sampai di tanah, ia mengayun dalam satu 

sentakan, maka tubuh itu pun melayang da-

lam gerakan jungkir balik satu kali di 

udara. Wuukkk...!

Jlegg...! Ia berhasil berdiri den-

gan tegak dan gagah.

"Puih...!" Bima Sura meludah. Yang 

diludahkan ternyata darah kental akibat 

tendangan beruntun dari Raka tadi. Wajah 

pemuda bercambang tipis itu semakin ga-

nas.

"Tak ada waktu lagi untuk bermain-

main denganmu, Jahanam! Terima saja ajal-

mu sekarang juga!"

Wutt,..., werrrss...!

Bumerang dicabut dan dilemparkan ke 

arah Raka. Bumerang itu terbang mengeli-

lingi Raka dengan memancarkan cahaya me-

rah bara. Raka Pura segera mencabut pe-

dangnya. Begitu pedang ditarik lepas dari 

sarungnya, bumerang itu menerjang ke arah 

dahi. Maka pedang itulah yang menjadi pe-

nangkisnya.

Wuuttt, duarrr...!

Ledakan cukup keras terjadi karena


benturan pedang yang menyala ungu dengan 

bumerang yang memancarkan cahaya merah 

bara.

Bumerang itu terpental dan terbang 

mengelilingi Raka lagi seakan ingin me-

nerjang dari sisi lain,

Raka Pura kebingungan menghadapi 

gerakan bumerang tersebut. Pedang Tangan 

Malaikat menebas ke berbagai arah. 

Wuuttt, wuuttt, wuuttt...!

Angin kibasannya menebarkan gelom-

bang ketajaman pedang yang membuat tim-

bulnya ledakan, jika angin ketajaman itu 

menyentuh bumerang.

Duarr, duarrr, duarrr...!

Sementara itu, Bima Sura segera me-

lepaskah sinar hijaunya. Dalam keadaan 

bingung menghadapi bumerang itu, Raka 

pasti tak siap hadapi sinar hijau terse-

but. Slappp...!

Tapi tiba-tiba sinar hijau itu di-

hantam oleh seberkas sinar putih perak 

yang menyerupai pisau runcing itu. 

Clapp...! Blegarrr...!

Bima Sura terkejut melihat ada si-

nar putih yang menghancurkan sinar hi-

jaunya. Ia segera berpaling ke samping, 

ternyata rombongan Soka Pura sudah muncul 

di sana. Soka hadir bersama Selir Pamujan 

yang berhasil berjumpa dengannya di per-

jalanan. Selain Soka dan Selir Pamujan, 

juga Bandar Getih dan Lodayu ada bersama


mereka.

Lodayu masih hidup dan dalam kea-

daan segar, Bima Sura menjadi terkejut 

dan mulai tampak benar-benar tegang. Ma-

tanya berpindah-pindah antara Lodayu dan 

Soka yang serupa betul dengan Raka Pura.

Melihat si Iblis Pemburu Wanita da-

lam keadaan bingung, Raka Pura segera me-

nerjangnya dari samping meninggalkan se-

rangan bumerang yang melayang-layang itu. 

Wuttt..! Brresss...!

Pedang Tangan Malaikat berkelebat 

cepat ke dada Bima Sura, Crass...! Bima 

Sura tersentak mundur beberapa langkah. 

Ia masih bisa bertahan agar tak jatuh. 

Sementara itu, bumerang yang berputar-

putar itu dihajar oleh Soka menggunakan 

sinar putih mirip pisau runcing yang di-

namakan jurus 'Cakar Matahari' itu.

Blegarrr...!

Bumerang itu pecah berhamburan. Pa-

da saat bumerang itu pecah, dari arah 

lain muncul Eyang Rangkasewa dengan Nini 

Sawandupa. Nenek tua itu segera melesat 

menerjang Bima Sura dengan kobaran api 

dendamnya.

"Modar kau sekarang, Iblis busuk! 

Hiaaah...!"

Wuuut...! Tahu-tahu tubuh Nini Sa-

wandupa telah disambar Eyang Rangkasewa 

lagi. Ia tak jadi menerjang Bima Sura.

"Lepaskan aku! Iblis busuk itu ha


rus kuhancurkan sebelum ia menghancurkan 

kalian yang ada di sini!" teriak Nini Sa-

wandupa.

"Tenang! Lihat saja iblismu itu?!" 

ujar Eyang Rangkasewa sambil menuding ke 

arah Bima Sura yang hanya berdiri diam 

dengan senyum tipis di bibirnya.

Saat itu pula, Estigina siuman. Ia 

segera ditolong oleh Bujang Bodo.

"Raka sedang berhadapan dengan Ib-

lis Pemburu Wanita! Jangan ke mana-mana 

dulu, lihat siapa yang unggul. Iblis itu 

atau aku!"

"Kau...?!"

"Raka mewakili diriku," ujar Bujang 

Bodo.

Melihat Bima Sura berdiri tegak ba-

gaikan sedang beradu pandangan mata den-

gan Raka, Estigina segera menerjangnya.

Tubuh gadis itu segera disambar 

oleh Raka Pura. Si gadis berontak dengan 

kasar.

"Lepaskan aku! Lepaskan! Dia telah 

menjamah seluruh tubuhku! Dia harus kubu-

nuh sekarang juga!"

"Dia sudah tak bernyawa!" ujar Raka 

dengan tegas, matanya memandang tajam ke-

pada Estigina. Gadis itu hentikan gerakan 

merontanya. Ia pun segera menatap Bima 

Sura.

Belum ada satu helaan napas, tubuh 

Bima Sura tumbang ke belakang dalam kea


daan tetap tersenyum dan membuka mata. 

Mereka yang memandangnya sejak tadi sama-

sama terperangah kaget melihat kenyataan 

itu. Dada si Iblis Pemburu Wanita tampak 

terluka lebar setelah ia tumbang. Luka 

itu tidak timbulkan darah kecuali hanya 

warna ungu samar-samar.

Nini Sawandupa pun tak jadi meronta 

dari genggaman tangan Eyang Rangkasewa. 

Ia memandang dengan tertegun, napasnya 

yang memburu mulai mereda.

"Ooh... dia benar-benar sudah tak 

bernyawa?!" ujar Bandar Getih yang meme-

riksa dari jarak dekat.

Semua tertegun memandang Raka yang 

masih menggenggam pedang di tangan kanan 

dan menggenggam lengan Estigina di tangan 

kiri.

Soka Pura segera mendekatinya sam-

bil tersenyum-senyum jenaka kepada sang 

kakak. Kala itu Estigina terkejut melihat 

Raka Pura ada dua.

"Kaa... kalian kembar?!"

Eyang Rangkasewa segera berkata, 

"Pendekar Kembar, terima kasih atas ban-

tuanmu! Kalian telah melenyapkan durjana 

ini yang berarti pula membebaskan kaum 

wanita dari ancaman keiblisannya!"

"Siapa kau, Pak Tua?!" tanya Raka.

Nini Sawandupa menjelaskan, "Dia 

yang menolongku dan menolong Rara Wulan 

dari ancaman laknat Iblis Pemburu Wani


ta!"

"Rara Wulan...?!" Soka terperanjat. 

"Di mana dia sekarang, Nini?"

"Ada di pondokku! Jemputlah ia, 

Nak. Karena ia hanya mau pulang ke kadi-

paten jika diantar oleh Soka Pura; si 

bungsu dari Pendekar Kembar!"

"Oh, gila betul gadis itu!" gumam 

Soka sambil tersenyum dan geleng-

gelengkan kepala.

Selir Pamujan merasa sakit hati 

mendengar ucapan itu, ia segera pergi 

tanpa pamit dan tak hiraukan seruan Soka 

lagi. Sementara itu Estigina masih tak 

sadar pandangi Soka Pura dengan terkagum-

kagum, karena ternyata sejak kemarin ia 

bersama Pendekar Kembar yang dibangga-

banggakan itu. Namun dalam hati Estigina 

pun mempunyai kebanggaan lain untuk Raka, 

yaitu kesuciannya yang belum sempat di-

renggut oleh siapa-siapa.

Soka melirik kakaknya dan berbisik, 

"Tumben kau menggandeng seorang gadis! 

Sudah berubah pendirian?!"

Raka Pura buru-buru lepaskan geng-

gaman tangannya pada lengan Estigina. Ia 

malu kepada ejekan adiknya itu. Ia pun 

bersungut-sungut sambil menggerutu lirih.

"Hanya menggandeng apa tak bo-

leh...?!"

Soka Pura tertawa. kemudian mengi-

kuti langkah Eyang Rangkasewa untuk menjemput Rara Wulan.


                  SELESAI


Segera terbit!!!

PERAWAN BUKIT JAGAL





Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive