TABIR PULAU HITAM
Serial Pendekar Slebor
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Slebor dalam episode: Tabir Pulau Hitam 112 hal.
1
Terbuka lebih lebar sepasang mata tajam milik Pendekar
Slebor. Untuk sesaat dia terdiam memperhatikan sosok lelaki
tua bersorban kuning, yang berdiri sejarak dua tombak dari
hadapannya.
Otaknya langsung bekerja, "Yang kuketahui, ciri manu-
sia sesat berjuluk Dewa Lautan Timur mengenakan sorban
berwarna kuning. Apakah lelaki ini orang yang berjuluk De-
wa Lautan Timur?"
Tak ada yang keluarkan suara sama sekali. Suasana di-
bukit kapur itu mencekam. Matahari semakin merambat naik.
Orang yang tadi keluarkan bentakan dan mendadak telah ber-
diri di hadapan Pendekar Slebor, memandang tak berkedip.
Tajam dan menyiratkan bahaya kematian.
Seperti telah diceritakan pada episode: "Dewa Lautan
Timur", setelah berhasil mendapatkan kuda milik salah seo-
rang dari Tiga Iblis Penunggang Kuda, Pendekar Slebor terus
bersikeras untuk menemukan Pulau Hitam. Padahal, dia tidak
pernah tahu tentang petunjuk ke Pulau Hitam yang dimiliki
Sangga Rantek. Dia hanya mengandalkan titik-titik gambar
yang ada pada potongan pedang yang dimiliki Gadis Kayan-
gan. Di samping itu sampai saat ini, Pendekar Slebor masih
mencari Gadis Kayangan yang lenyap.
Dan tanpa disadarinya dia telah menemukan sebuah air
terjun dan akhirnya tiba di dua bukit kapur ini, yang sesung-
guhnya adalah petunjuk menuju ke Pulau Hitam, yang ada
pada potongan pedang yang berada di tangan Sangga Rantek.
Selagi anak muda urakan dari Lembah Kutukan ini men-
coba memikirkan tindakan apa yang akan dilakukan, menda-
dak terdengar satu suara keras disusul dengan munculnya le-
laki tua bersorban kuning.
Keheningan itu dipecahkan oleh suara orang bersorban
kuning yang memang Dewa Lautan Timur adanya, "Apakah
kau sudah puas mengenali siapa aku?! Berarti... nyawamu
akan kukirim juga ke neraka!!"
Andika masih terdiam dengan pandangan agak menyipit.
"Dia mengatakan nyawaku akan dikirim juga ke neraka?
Apakah... sudah ada orang yang dibunuhnya dalam waktu de-
kat ini? Apakah Panembahan Agung yang telah dibunuhnya?
Ah! Setahuku, Dewa Lautan Timur memang mendendam pa-
da Panembahan Agung! Dan aku yakin, kalau manusia inilah
yang menyamar sebagai Panembahan Agung! Tetapi menga-
pa dia berada di sini? Bukankah dua orang Panembahan
Agung kuminta untuk mendatangi Pulau Hitam? Atau se-
sungguhnya... orang ini tidak tahu di mana Pulau Hitam bera-
da? Dan satu-satunya petunjuk untuk... oh! Jangan-jangan...
yang dimaksudnya tadi, dia telah membunuh Gadis Kayangan
untuk mendapatkan potongan pedang yang ada padanya? Te-
tapi bisa jadi Sangga Rantek-lah yang dimaksudnya, karena
lelaki berpakaian serba hitam itu memiliki potongan pedang
lainnya? Kutu Landak! Otakku jadi rada ngos-ngosan nih!"
Terdiam kembali anak muda berpakaian hijau pupus ini
sebelum melanjutkan kata dalam hati, "Sulit menduga, Pa-
nembahan Agung yang manakah yang adalah samaran Dewa
Lautan Timur? Apakah yang sebelumnya bercakap-cakap
denganku, atau yang datang belakangan?"
Sesungguhnya, memang masih ada persoalan lain di be-
nak Pendekar Slebor, tentang adanya dua orang yang menga-
ku sebagai Panembahan Agung. Dari wajah keduanya, cara
berbicara, bersikap dan bertindak, sangat sulit menentukan
yang manakah Panembahan Agung yang asli dan palsu. Bah-
kan suara masing-masing orang sama (Untuk mengetahui ke-
bingungan Pendekar Slebor dalam persoalan ini, silakan baca:
"Dewa Lautan Timur").
Di depan, Dewa Lautan Timur berkata, lebih dingin dan
menusuk, "Aku tak ingin mencabut nyawamu sebenarnya!
Keinginanku hanya untuk membalas semua perbuatan Pa-
nembahan Agung! Tetapi... akan menyenangkan bila hari ini
kulihat kau berkalang tanah!!"
Mendengar ancaman orang, anak muda berambut gon-
drong acak-acakan ini cuma mengangkat kedua bahunya saja.
Lalu menyeringai seraya berkata, "Wah! Sabar dulu sedikit!
Orang sabar itu hidupnya subur, lho? Ngomong-ngomong...
aku mau tanya, nih! Siapa sih orang yang sebelumnya kau
bunuh?"
Kontan Dewa Lautan Timur tertawa keras. Saking ke-
rasnya, seolah ada tenaga yang keluar melalui tawa itu.
Menghantam ranggasan semak yang langsung beterbangan
dan membuat kapur-kapur pada dua buah bukit itu bergugu-
ran.
Andika sendiri harus kerahan tenaga dalamnya ke telinga
guna melindungi indera pendengarannya.
Sekonyong-konyong, Dewa Lautan Timur memutus ta-
wanya. Dan berkata dingin, "Pertanyaan yang sangat bagus!
Tetapi banyak orang bilang otakmu seencer air! Dengan ke-
cerdikanmu itu, tentunya kau dapat menduga siapa yang telah
kubunuh!!"
Dewa Lautan Timur tak mau mengatakan apa yang se-
benarnya terjadi. Sesungguhnya dia telah gagal memperma-
lukan sekaligus menghabisi hidup Gadis Kayangan. Karena
sebelum dilakukannya, seorang nenek berpakaian hitam com-
pang-camping telah menyambar tubuh Gadis Kayangan. Dan
nenek itu kemudian diketahui bernama Nyi Genggong (Baca:
"Dewa Lautan Timur").
Dengan berucap begitu, Dewa Lautan Timur berharap
dapat mengacaukan jalan pikiran Pendekar Slebor.
Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini
memang agak bimbang mendengar ucapan si kakek bersorban
kuning. Tetapi ditindihnya segala kebimbangan dengan ter-
bitkan segala ketenangan yang dimilikinya.
Lalu sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, dia
berkata, "Mana bisa aku menebak seperti itu? Memangnya
aku ini Tuhan?! Ayo, dong... katakan saja...." (Eh, busyet!
Dia merengek! Tapi jangan khawatir, itu cuma pura-pura).
Meledak kembali tawa Dewa Lautan Timur. Lelaki tua
yang memiliki dendam setinggi langit pada Panembahan
Agung, merasa telah berhasil mengacaukan perasaan Andika.
Tetapi dia belum puas hanya lakukan tindakan seperti itu.
Lalu katanya, "Sebelum orang itu kubunuh, telah ku-
nikmati dulu kemolekan tubuhnya! Dan sungguh sebuah pen-
galaman yang sangat menyenangkan! Karena selama ini, aku
belum pernah melihat tubuh yang begitu indah!"
Deg! Jantung Andika mendadak seperti berhenti berde-
tak. Sesungguhnya dia memang mulai menebak siapakah
orang yang dimaksud Dewa Lautan Timur. Orang itu adalah
Gadis Kayangan. Andika yang tetap berkeyakinan, kalau
Dewa Lautan Timur adalah Panembahan Agung yang palsu,
tentunya tidak tahu jalan menuju ke Pulau Hitam. Dan untuk
tiba di sana, seperti permainan yang telah diciptakan Andika
beberapa hari lalu, berarti si kakek sesat ini harus memiliki
dua potongan pedang perak yang pada masing-masing poton-
gan pedang terdapat rangkaian titik berbentuk gambar yang
merupakan patokan-patokan menuju ke Pulau Hitam.
Kendati saat ini perasaannya mulai agak kacau, tetapi si
anak muda tetap berusaha tenang.
"Waduh! Beruntung banget kau ini, sudah tua tetapi ma-
sih bisa melihat tubuh indah! Padahal aku sendiri belum per
nah, tuh? Tapi ngomong-ngomong... anak kambing mana sih
yang tubuhnya begitu indah? Masa kau nekat juga menikmati
seekor anak kambing?! Yang benar saja, ah!!"
Senyuman aneh yang bertengger di bibir Dewa Lautan
Timur langsung lenyap mendengar ejekan pemuda di hada-
pannya.
"Keparat!!" menggelegar bentakannya.
"Ealah! Kok jadi malah marah-marah?! Aku justru hen-
dak mengucapkan selamat padamu! Berarti, kau sudah men-
dapatkan apa yang selama ini kau impikan bukan? Ah, kasi-
han sekali anak kambing itu! Kalau dia hamil, anaknya kayak
apa ya?!"
Meradang kakek bersorban kuning ini. Kejap itu pula
tangan kanannya terangkat. Bersamaan tangan yang diangkat
itu, mendadak saja menggebrak gelombang angin berkekua-
tan tinggi. Menyeret tanah saat melabrak ke arah Pendekar
Slebor.
"Eiiittt! Nafsu amat?!" seru Pendekar Slebor sambil
buang tubuh ke kanan. "Sabar dikit, Tong!!"
Blaaammm!
Tanah di mana tadi dia berdiri, langsung membentuk se-
buah lubang cukup besar setelah terhantam gelombang angin
tadi. Sementara kuda milik salah seorang dari Tiga Iblis Pe-
nunggang Kuda yang diambil Pendekar Slebor, telah terbirit-
birit kabur begitu mendengar suara angin menggebah.
E dasar konyol padahal hatinya kebat-kebit, si anak mu-
da yang mencoba untuk menenangkan perasaannya, justru
melongok ke dalam lubang itu.
"Sayang ya hari tidak hujan! Kalau ada hujan, aku bisa
berendam nih di lubang ini!" desisnya lalu angkat kepala dan
digeleng-gelengkan. Setelah pandangi sesaat Dewa Lautan
Timur dengan tatapan mengejek dia berkata lagi, "Kau ini
panasan sekali, ya? Mengapa kau muncul dengan wajah asli-
mu? Mengapa tidak menyamar sebagai-Panembahan Agung
seperti yang kau lakukan?!"
"Keparat terkutuk!! Jangan berbicara mengada-ngada!!"
bentak Dewa Lautan Timur yang sedikit banyaknya murka
sekaligus heran karena selain serangannya dapat dihindari,
pemuda itu juga lontarkan ejekan menyakitkan.
"Mana bisa aku mengada-ngada? Kau tentunya memiliki
salah satu pecahan genting yang bertuliskan huruf 'PS', bu-
kan? Dan kau sesungguhnya tidak tahu jalan menuju ke Pulau
Hitam! Sehingga kau mencoba merebutnya dari tangan Gadis
Kayangan atau juga dari Sangga Rantek! Aku memang tidak
tahu mengapa kau justru menyamar sebagai Panembahan
Agung? Padahal kau mendendam padanya! Bila yang kukata-
kan ini salah, lebih baik kau bunuh diri saja deh!!"
"Pemuda celaka! Kau bukan hanya terlalu mengada-ada,
tetapi ternyata kau tukang fitnah belaka!" maki Dewa Lautan
Timur dengan tangan menuding yang bergetar. "Tak mungkin
aku bertindak menyerupai manusia keparat yang ingin kubu-
nuh itu!!"
Mendengar ucapan orang, Andika terdiam dengan ken-
ing berkerut.
"Monyet pitak! Dari ucapannya itu, dia begitu pasti apa
yang kukatakan ini salah! Apakah bukan dia orangnya yang
menyamar sebagai Panembahan Agung? Tidak mungkin! Je-
las dia orangnya! Karena yang mengetahui urusan masa lalu
dan perempuan bernama Laksmi Harum hanyalah Panemba-
han Agung dan Dewa Lautan Timur! Hmmm... baik! Akan
kuikuti permainannya meskipun saat ini aku masih mence-
maskan keadaan Gadis Kayangan. Apakah dia memang sudah
tewas di tangan kakek celaka ini, atau masih hidup?"
Habis berpikir begitu, Pendekar Slebor berkata, "Ih!
Tua-tua masih tukang bohong juga! Ngomong-ngomong...
dulu kau pernah menjadi pemain ketoprak yang suka mang-
gung di Kotapraja, ya? Wah! Sayang sekali aku tak pernah
menontonnya!!"
"Sinting! Kau bukan hanya slebor, tetapi juga sinting!"
maki Dewa Lautan Timur dengan kedua tangan bergetar tan-
da amarah makin memuncak.
Tetapi ya dasar urakan, ancaman sudah di depan mata
Andika masih berkata, "Biar sinting tapi kan tidak sinting!
Nah, lo! Bingung, kan? Ya pegangan saja!"
Dilihatnya bagaimana si kakek sesat itu terdiam dengan
pandangan Man menusuk. Kemudian dengan santai Andika
melanjutkan kata-katanya, "Kalau kau tidak mau mengaku
juga, ya tidak apa-apa! Biar deh, aku yang menggantikan Pa-
nembahan Agung untuk menghajar mu! Ayo, sini maju!!"
Menggeram Dewa Lautan Timur mendengar orang me–
ngecilkannya.
"Akan kulumat tubuhmu seperti Gadis Kayangan!!"
Menyusul diangkat tangan kanannya ke atas. Kembali
bersamaan tangannya diangkat, satu hamparan angin menge-
rikan melabrak deras, menyeret tanah dan ranggasan semak.
Disusul dengan hamparan angin lainnya.
Andika yang diam-diam telah alirkan tenaga 'Inti Petir'
tingkat kelima, sudah menggebrak maju. Saat di gerakkan
tangan kanan kirinya, terdengar dua salakan petir yang men-
gejutkan. Menyusul....
Blaaammm!! Blaaammm!!
Letupan keras dua kali berturut-turut terdengar saat ben-
trokan terjadi. Tubuh Pendekar Slebor langsung terdorong ke
belakang disertai seruan, "Monyet buduk!!"
Dengan sigap dia berusaha untuk kuasai keseimbangan-
nya kembali, karena dalam keadaan kehilangan keseimban
gan, lawan dengan mudah akan menjatuhkan.
Apa yang diperkirakannya memang benar.
Dewa Lautan Timur yang hanya surut dua tindak ke be-
lakang, telah susulkan serangan kembali. Kali ini tangan ka-
nan kirinya diangkat dan serta-merta menggebrak dua gelom-
bang angin mengerikan.
Tak ada jalan lain bagi Pendekar Slebor kecuali mema-
pakinya kembali. Sadar kalau serangan lawan lebih besar dari
yang pertama, tak tanggung lagi, segera dikerahkan tenaga
'Inti Petir' tingkat pamungkas. Suara salakan petir yang ter-
dengar lebih keras dan mengerikan.
Blaaammmm!! Blaaammmm!!
Kontan tanah di sekitar tempat itu bergetar begitu bentu-
ran yang lebih keras terjadi. Bongkahan batu-batu kapur run-
tuh bergulingan.
Dan... astaga! Tenaga 'Inti Petir' tingkat pamungkas yang
begitu mengerikan, bukan hanya tak mampu menahan seran-
gan Dewa Lautan Timur. Tetapi juga membuat pemiliknya
terlempar ke belakang dan ambruk di atas tanah dengan ke-
dua tangan terentang.
"Kutu monyet! Dadaku sakit sekali!!" desis Andika dan
perlahan-lahan berdiri. Agak sempoyongan dengan tangan
kanan menekan dada.
Sejarak tiga tombak, Dewa Lautan Timur nampak se-
dang rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Jelas kalau
dia juga merasakan kedahsyatan tenaga serangan Andika.
"Keparat busuk! Sungguh hebat tenaganya! Tetapi tak
terlalu banyak berarti! Akan kulumat pemuda celaka ini sebe-
lum akhirnya membuat seluruh rencanaku berantakan!" de-
sisnya, setelah merasakan keadaannya lebih nya man.
Seraya maju satu langkah ke muka, lelaki tua berwajah
mengerikan ini berseru, "Sebelum melihat Panembahan
Agung mampus, nyawamu akan kukirim dulu ke akhirat!!"
"Wah, wah! Bagaimana bisa kau mengirimnya? Apakah
kau memiliki kurir? Ngomong-ngomong, akhirat itu di mana
sih? Apa di sana ada yang menjual kue apem?"
Memang konyol anak muda satu ini! Napasnya sudah
kembang kempis dia masih dapat berlagak saja.
"Bagus! Kutunjukkan kau jalan ke sana!!"
Habis bentakannya, mendadak saja Dewa Lautan Timur
berdiri tegak dengan kedua tangan lurus di samping kanan ki-
rinya. Matanya memandang tak berkedip dan lamat-lamat
nampak pancarkan sinar agak kemerahan. Mulutnya terlihat
mengembung bersamaan kedua tangannya terangkat di depan
dada. Disejajarkan satu sama lain tetapi tidak disatukan.
"Monyet Kudisan! Sudah tentu apa yang diperlihatkan-
nya ini ilmu yang sangat dahsyat! Peduli kambing bunting!
Aku tetap ingin tahu apa maksud lelaki celaka ini menyamar
sebagai Panembahan Agung? Tetapi... dia tetap membantah
saat kukatakan demikian! Huh! Pasti cuma omong kosong be-
laka!!"
Lalu diam-diam anak muda ini pun segera alirkan ajian
'Guntur Selaksa'. Lamat namun pasti, terlihat tubuhnya dikeli-
lingi sinar warna keperakan.
Di depan, Dewa Lautan Timur sejenak melengak dengan
mata agak menyipit. Tapi di kejap lain, mendadak saja kedua
tangannya yang disejajarkan di depan dada, sudah digerakkan
seperti menebas.
Brrrrr!!
Saat itu pula menderu angin laksana topan menghantam
dua dusun di pesisir pantai. Bukan hanya menyeret tanah dan
ranggasan semak belukar saja, tetapi juga menumbangkan
dua buah pohon yang laksana tangan-tangan raksasa menderu
ke arah Pendekar Slebor.
Terkesiap Pendekar Slebor tatkala merasakan gebahan
angin dalam jarak dua tombak. Tak mau menunggu lama, dia
segera mencelat ke depan, menyongsong serangan dahsyat itu
bersama kedua tangannya didorong.
Terdengar suara salakan guntur yang sangat kuat. Dalam
suasana panas yang cukup menyengat, munculnya gelombang
angin dahsyat dan salakan guntur susul menyusul itu benar-
benar akan membuat kening orang berkerut.
Dan yang sangat mengejutkan, karena mendadak saja
Andika justru membuang tubuh ke samping. Anak muda ini
tiba-tiba merasakan tusukan laksana puluhan anak panah
yang melesat sedemikian cepat.
Blaammm! Blaammm!!
Gelombang angin dahsyat yang keluar dari dorongan
kedua tangan Dewa Lautan Timur menghantam hancur tanah,
ranggasan semak dan sebuah pohon yang kontan beterbangan
di udara membentuk rangkaian kepekatan.
Sementara itu angin laksana tusukan anak panah yang
keluar dari mulut Dewa Lautan Timur, mencacah sebuah po-
hon yang saat itu pula mengering dan beterbangan bagai ser-
pihan.
Di tempatnya, Andika yang membuang tubuh ke samp-
ing, harus pula merasakan sambaran angin tadi. Langsung dia
tekap tangan kanannya yang terasa ngilu. Dan kejap itu pula
kedua mata terbeliak karena angin tak ubahnya tusukan anak
panah telah meluncur lagi ke arahnya.
Untuk kedua kalinya Dewa Lautan Timur meniup!
"Celaka! Aku bisa mampus nih!!" desis Andika seraya
melompat ke samping kiri. Dan dicobanya untuk menyerang
dengan ajian 'Guntur Selaksa' yang tadi diurungkan.
Glegar!!
Salakan guntur terdengar sangat menyakitkan telinga.
Namun pukulan itu putus di tengah jalan, tertabrak dorongan
angin raksasa dari kedua tangan Dewa Lautan Timur. Bahkan
tidak hanya sampai di sana saja yang terjadi.
Karena tubuh anak muda urakan ini pun terlempar deras
ke belakang. Belum lagi dia kuasai keseimbangannya, Dewa
Lautan Timur yang terbahak-bahak, telah mendorong kedua
tangannya kembali.
Tanpa ampun lagi, pemuda pewaris ilmu Pendekar Lem-
bah Kutukan ini makin terlempar ke belakang. Seruan terta-
hannya terdengar keras.
Lalu terbanting di atas tanah seperti sebuah nangka bu-
suk. Namun yang mengejutkan, karena tubuhnya terlihat telah
terbungkus kain bercorak catur yang sebelumnya melilit pada
lehernya. Rupanya dalam keadaan yang sangat kritis, Andika
masih dapat bertindak cepat.
Dengan kerahkan sisa-sisa tenaganya, dia telah melin-
dungi tubuhnya dengan kain pusaka warisan Ki Saptacakra.
Bila saja dia tak lakukan tindakan seperti itu, saat itu pula
nyawanya akan segera hijrah ke alam baka.
Kendati berhasil lindungi tubuhnya dengan kain berco-
rak catur, namun apa yang dialaminya sangat menyedihkan.
Napasnya memburu keras dengan dada naik turun. Dari hi-
dung dan mulutnya keluar darah segar.
"Oh! Apakah saat ini aku sudah di akhirat? Tetapi kena-
pa akhirat panas begini? Ada dua bukit kapur pula? Tidak, ini
bukan akhirat!!"
Dikerahkan tenaganya untuk bangkit. Namun karena ra-
sa ngilu yang mendera hingga ke dalam tulang, dia seakan tak
mampu untuk bangkit.
Dewa Lautan Timur sendiri telah berdiri sejarak tiga
langkah di samping kanannya. Bibir kakek sesat itu memben-
tuk senyuman aneh.
"Tak seorang pun akan dapat menahan pukulan 'Prahara
Lautan'! Tak terkecuali kau dan Panembahan Agung! Pende-
kar Slebor... urusan kita kucukupkan sampai di sini! Karena
kau tak akan mungkin dapat pulih seperti sediakala! Kubiar-
kan kau hidup dalam segenap penderitaan!!"
Pendekar Slebor cuma meringis menahan sakit. Bila me-
nuruti kata hatinya, tak sabar rasanya ingin menjitak kepala
kakek celaka itu.
Sementara itu Dewa Lautan Timur sedang tertawa keras.
Masih tertawa kakek bersorban kuning ini segera meninggal-
kan tempat itu.
"Tinggal kau, Panembahan Agung! Tinggal kau!!" desi-
sannya masih terdengar padahal sosoknya telah lenyap dari
pandangan.
Tinggal Pendekar Slebor yang sedang menderita saat ini.
Dibiarkan tubuhnya terbaring. Dipejamkan matanya kuat-
kuat menahan rasa sakit. Lalu perlahan-lahan, dilepaskan lili-
tan kain pusaka bercorak catur dari tubuhnya.
Masih dalam keadaan terbaring, anak muda ini mencoba
untuk bersemadi.
***
2
Dua bayangan hitam dan merah terus berlari laksana di-
kejar setan, menembus senja yang semakin menurun. Masing-
masing orang nampak tak mau hentikan lari mereka. Dan tak
seorang pun yang buka suara.
Setelah cukup lama berlari, lelaki yang berlari di sebelah
kiri dan berpakaian serba hitam dengan rambut di kuncir ku-
da, yang tak lain Sangga Rantek berkata, "Kupikir... kita su
dah menjauh dari Nyi Genggong dan Ki Pasu Suruan! Kita
berhenti dulu di depan?!"
Perempuan berpakaian putih dengan Jubah dan kerudung
warna merah menganggukkan kepalanya. Nampak untaian
rambutnya yang berwarna keemasan. Lalu diikutinya saja
keinginan Sangga Rantek dengan hati yang masih diliputi
berbagai pertanyaan.
Dua kejap kemudian, masing-masing orang sama-sama
telah berhenti berlari. Mereka memperhatikan sekeliling yang
dipenuhi dengan pepohonan dan ranggasan semak belukar.
Sejarak dua puluh tombak, samar-samar terlihat sebuah per-
simpangan. Dan tatkala pandangan diarahkan ke jalan semu-
la, nampak jalan tumpang tindih.
Setelah perhatikan sekelilingnya, Sangga Rantek sejenak
memantek pandangan pada si perempuan yang tak lain Iblis
Rambut Emas.
"Semakin lama aku semakin tak mengerti, mengapa aku
masih terus bersama dengannya?" katanya dalam hati. "Pa-
dahal aku tahu, kalau dia tengah merencanakan sesuatu terha-
dap diriku? Hhh! Biar bagaimanapun juga, tenaganya kuper-
lukan untuk menghabisi Pendekar Slebor! Telah kurasakan
bagaimana kesaktian anak muda dari Lembah Kutukan itu."
Sementara itu Iblis Rambut Emas berlagak tidak tahu ka-
lau sedang diperhatikan. Pandangannya tertuju ke depan. Dan
diam-diam perempuan berkerudung merah ini berkata dalam
hati, "Aku semakin yakin... kalau lelaki celaka ini memang
sedang menuju ke Pulau Hitam. Sebelum berjumpa dengan
Nyi Genggong dan Ki Pasu Suruan, aku sudah yakin akan hal
itu. Dan keyakinan itu semakin menguat saja. Hhhh! Kalau
begini adanya, tak perlu kurebut Pedang Buntung yang bera-
da padanya. Lagi pula, aku mendapatkan keuntungan lain,
bersekutu dengan lelaki celaka ini, Nyi Genggong dan Ki Pa
su Suruan. Nyi Genggong dan Ki Pasu Suruan memiliki pula
keinginan untuk membunuh Pendekar Slebor."
Sampai saat ini, Sangga Rantek memang belum tahu ka-
lau sesungguhnya Iblis Rambut Emas mengetahui dia memi-
liki Pedang Buntung, yang bila disatukan dengan potongan
pedang lainnya, akan lengkaplah patokan-patokan menuju ke
sebuah tempat yang bernama Pulau Hitam. Sesungguhnya
Sangga Rantek memang sedang menuju ke Pulau Hitam,
dengan mengandalkan patokan-patokan tidak utuh yang be-
rupa rangkaian titik gambar pada potongan pedang yang ada
padanya.
Sementara potongan pedang yang satunya lagi, sekarang
berada di tangan Dewa Lautan Timur yang telah menda-
patkannya dari tangan Gadis Kayangan.
Di samping itu mereka baru saja mengadakan perseku-
tuan dengan Nyi Genggong dan Ki Pasu Suruan yang ber-
keinginan untuk membunuh Pendekar Slebor (Baca: "Dewa
Lautan Timur").
Saat ini Sangga Rantek sedang membatin, "Air terjun
yang menjadi patokan menuju ke Pulau Hitam telah kutemu-
kan. Tetapi dua bukit kapur belum kulihat sampai saat ini.
Menilik keadaan, tak mungkin bila Pendekar Slebor telah
menuju ke sana, karena tentunya dia akan kesulitan karena
potongan pedang satunya berada di tangan ku. Perempuan ce-
laka ini tentunya masih menduga kalau kedua potongan pe-
dang perak itu berada di tangan Pendekar Slebor. Bagus! Aku
akan tetap mencari dua bukit kapur!"
Memang, masing-masing orang yang berlaku sebagai
sahabat ini, saling memendam rahasia dan kebencian. Namun
keduanya tidak tahu kalau potongan pedang satunya lagi bu-
kan dimiliki oleh Pendekar Slebor. Kalaupun mereka mendu-
ga seperti itu, ini disebabkan karena Gadis Kayangan menga
takan soal itu (Untuk lebih jelasnya, silakan baca: "Pedang
Buntung").
Iblis Rambut Emas yang tak sabar ingin mengetahui apa
yang akan dilakukan Sangga Rantek selanjutnya, sudah buka
mulut, "Sangga Rantek....Kita telah sepakat untuk bergabung
dengan Nyi Genggong dan Ki Pasu Suruan. Tetapi nampak-
nya, bukan hanya kau saja yang tidak percaya dengan kedua
manusia itu. Aku pun tidak percaya pada mereka. Lantas,
mengapa kau masih berdiam diri di sini? Apakah kau sengaja
menunggu mereka, atau berkeinginan mereka mengetahui apa
yang akan kita lakukan?"
Mala Sangga Rantek menusuk tajam.
"Perempuan celaka ini memang pandai bicara. Dia bisa
mengorek keterangan tanpa disadari oleh orang yang akan di-
korek keterangannya. Kendati terpaksa aku bersedia untuk
bergabung dan secara tak langsung mengajaknya melacak Pu-
lau Hitam, tenaganya memang dapat dipergunakan."
Berpikir demikian, Sangga Rantek berkata, "Tak sudi
kulakukan tindakan bodoh menunggu kedua manusia celaka
itu, karena...."
"Kalau begitu mengapa kau masih berdiam di sini?" pu-
tus Iblis Rambut Emas yang saat itu pula membuat Sangga
Rantek menggeram gusar.
"Jahanam keparat! Tak sabar rasanya untuk merobek-
robek mulutnya!" makinya dalam hati. Lalu sambil menahan
jengkelnya dia berkata, "Tengah kupikirkan satu masalah
yang nampaknya ada di hadapanku."
"Bila memang begitu adanya, katakan hingga aku tidak
banyak tanya lagi!" sahut Iblis Rambut Emas sambil melipat
kedua tangannya di atas dadanya yang membusung. Wajah-
nya dibuat agak acuh tak acuh.
Kembali Sangga Rantek mendengus.
"Benar-benar terkutuk! Dia dapat memanfaatkan situasi
untuk mengorek keterangan! Tetapi karena telah kuputuskan
untuk mengajaknya melacak dan menuju Pulau Hitam, mau
tak mau kukatakan juga apa yang ku pikirkan!"
Memutuskan demikian, lelaki berhidung bengkok ini
berkata dingin, "Aku tengah memikirkan jalan menuju Pulau
Hitam!"
Iblis Rambut Emas melirik seraya membatin, "Tepat du-
gaanku! Dia memang tengah menuju ke Pulau Hitam. Ten-
tunya dia telah mempelajari Pedang Buntung yang dimili-
kinya. Hmmm... aku akan tetap berlagak tidak tahu."
Kemudian dengan kening dibuat berkerut, dia berkata,
"Sangga Rantek! Apakah kau sudah tidak lagi pergunakan
otakmu?! Untuk menuju ke Pulau Hitam, kita harus memiliki
dua buah potongan pedang, maka akan lengkaplah patokan-
patokan menuju Pulau Hitam. Lalu sekarang, kau nekat me-
nuju Pulau Hitam dengan segala bayangan-bayangan ko-
song?"
Mendengar ucapan perempuan berkerudung merah,
Sangga Rantek merasa sebagian kesalnya telah hilang.
"Dasar perempuan bodoh! Dia tetap tidak tahu kalau aku
memiliki Pedang Buntung!" ejeknya dalam hati. Bila saja
Sangga Rantek mengetahui kalau Iblis Rambut Emas berdus-
ta, tentunya dia akan marah besar. Kemudian katanya, "Peduli
setan apakah aku memiliki petunjuk atau tidak! Aku tetap
akan melacak jalan menuju ke Pulau Hitam!"
Iblis Rambut Emas memainkan peranannya, "Bila kau
memang nekat juga, jalan mana yang akan kau tuju?"
"Itulah yang sedang kupikirkan?!"
"Kau sedang berpikir atau tengah menentukan patokan
lain yang kau ketahui setelah menemukan air terjun?" ejek Ib-
lis Rambut Emas dalam hati. Lalu dengan suara dibuat serius
dia berkata, "Sangga Rantek! Kau memang lelaki penuh se-
mangat! Bahkan kau berani mengambil keputusan untuk
mencoba sesuatu yang masih gelap! Bila saja aku tidak terin-
gat pada kekasihku yang dibunuh Pendekar Slebor, sudah ten-
tu dengan mudah aku akan jatuh cinta padamu!"
Sangga Rantek hanya mendengus. Dia sama sekali tak
percaya dengan cerita Iblis Rambut Emas kalau Pendekar
Slebor telah membunuh kekasihnya (Baca: "Pedang Bun-
tung").
Tanpa sahuti ucapan Iblis Rambut Emas, Sangga Rantek
arahkan pandangan ke depan.
"Dua bukit kapur.... Hmm... di mana harus kutemukan
patokan kedua untuk menuju ke Pulau Hitam? Kalaupun aku
telah menemukannya, aku tidak tahu lagi jalan mana yang ha-
rus kutuju? Jahanam sial! Seharusnya aku menyusul Pendekar
Slebor setelah dia menyelamatkan Winarsih! Sial! Sungguh
Sial!!"
Iblis Rambut Emas yang melihat perubahan wajah
Sangga Rantek tersenyum dalam hati.
"Kau tak pandai bersandiwara rupanya! Dari wajah mu
jelas kau kebingungan sendiri! Huh! Benar-benar satu pe-
mandangan yang sangat menyenangkan! Orang dungu berla-
ku pintar!"
Sebelum Iblis Rambut Emas buka mulut, Sangga Rantek
sudah berkata, "Kita teruskan langkah sekarang!"
Kejap itu pula, lelaki berpakaian serba hitam ini sudah
berkelebat ke depan. Iblis Rambut Emas sendiri tak mau ba-
nyak berpikir, kendati perasaannya, sangat senang menikmati
kebodohan yang tanpa disadari diperlihatkan oleh Sangga
Rantek.
***
Malam mulai menggelapi alam. Angin berhembus din-
gin. Bau tanah terasa menusuk hidung, tak sedap. Sangga
Rantek terus berlari sambil memikirkan jalan yang harus ditu-
ju. Sementara Iblis-Rambut Emas masih tertawa dalam hati.
Setelah cukup jauh mereka berlari, di sebuah persimpan-
gan ketiga jurang mereka lalui, Sangga Rantek memutuskan
untuk berbelok ke kiri. Dia terus mengira-ngira arah barat
daya seperti yang tertera pada rangkaian titik-titik yang ter-
dapat pada Pedang Buntung yang dimilikinya.
Sampai kemudian, kembali lelaki bermata bergelambir
ini hentikan larinya. Pandangannya tak berkedip ke depan. Ib-
lis Rambut Emas tak perlu bertanya mengapa Sangga Rantek
menghentikan larinya. Sejarak lima belas tombak, nampak
dua buah bukit berdiri kokoh diselimuti malam.
"Untuk kedua kalinya kulihat wajah lelaki keparat ini
seperti menemukan harta karun! Pertama saat melihat air ter-
jun, kemudian dua bukit itu! Hmm... aku tahu! Sudah tentu
dua bukit itulah yang dijadikan sebagai patokan kedua menu-
ju ke Pulau Hitam! Sebaiknya, aku tetap berlagak tidak tahu!"
kata Iblis Rambut Emas dalam hati.
Lalu dengan suara dibuat agak jengkel, perempuan be-
rambut emas yang ditutupi kerudung warna merah ini mem-
bentak, "Sangga Rantek! Apa yang sebenarnya kau inginkan,
hah?! Tadi kau berhenti, lalu mengatakan akan melacak jejak
ke Pulau Hitam! Dan sekarang, kau berhenti lagi! Apakah
dua bukit kembar itu dulu pernah kau diami hingga kau men-
jadi terkenang sekarang? Dasar kapiran!"
Untuk pertama kalinya Sangga Rantek tidak gusar men-
dengar ucapan orang yang bernada mengejek. Dia justru me-
nyeringai sendiri.
Tanpa tolehkan kepala pada Iblis Rambut Emas, dia ber
kata, "Kupikir... bukit itu dapat kita jadikan sebagai tempat
peristirahatan! Siapa tahu besok kita harus mcugerahkan te-
naga lebih banyak!"
Tertawa Iblis Rambut Emas dalam hati.
"Semakin kuat keyakinanku kalau dua bukit itu merupa-
kan patokan menuju ke Pulau Hitam."
Lalu katanya, "Keputusanmu itu sungguh tepat! Aku ju-
ga membutuhkan istirahat!!"
Sangga Rantek hanya mengangguk-anggukkan kepa-
lanya. Kejap kemudian dia sudah berkelebat menuju dua bu-
kit kapur. Iblis Rambut Emas kembali hanya mengikuti.
Sesampai di sana, Sangga Rantek kembali menghentikan
larinya. Dipandanginya kedua bukit kapur itu dengan mata
berbinar-binar.
"Tak salah! Tak sia-sia kulalui semua ini! Kedua bukit
ini tentunya patokan kedua menuju ke Pulau Hitam! Sayang.
aku tidak tahu lagi harus ke mana! Biarpun demikian, akan
kuselidiki dulu tempat ini! Barangkali saja akan membawaku
pada jalan yang tepat menuju ke Pulau Hitam! Jahanam sial!
Bila saja saat ini kumiliki potongan pedang lainnya, tentunya
tak akan sebingung ini!" katanya dalam hati.
Di lain pihak, Iblis Rambut Emas yang juga memperha-
tikan kedua bukit kapur itu membatin, "Aku ingin tahu apa
yang akan dilakukannya." Untuk beberapa lama tak ada yang
keluarkan suara. Hanya suara burung-burung malam yang
berseliweran dan berkaokan. Malam semakin merambat naik.
Kegelapan kian menyelimuti, apalagi saat ini rembulan tak
kuasa menembus rangkaian awan hitam yang bergandengan
tangan.
Sangga Rantek membatin, "Malam terus merambat. Aku
tak boleh buang waktu untuk menyelidiki tempat ini."
Memutuskan demikian, Sangga Rantek segera berkata
pada Iblis Rambut Emas, "Kau tentunya lapar, bukan? Kali
ini aku ingin bersikap baik padamu! Kau tunggu di sini! Aku
akan mencari kelinci gemuk untuk mengisi perut!"
Iblis Rambut Emas pentangkan senyuman aneh. "Manu-
sia bodoh! Dengan sikap yang kau perlihatkan, kau bukannya
menutupi segala kebohongan yang kau lakukan! Malah kau
justru menampakkannya!! Akan kuikuti ke mana kau pergi!"
Lalu Iblis Rambut Emas menganggukkan kepalanya.
"Ya, aku memang lapar! Sementara kau mencari kelinci
gemuk, aku akan membuat api!"
Sudah tentu Sangga Rantek tak mau membuang waktu.
Dia pun segera berlari untuk menyelidiki sekeliling bukit-
bukit kapur itu. Namun baru lima langkah dia lalui, menda-
dak saja terdengar suara orang seperti muntah.
"Huaaakkk!!"
Suara itu cukup keras terdengar, karena sekeliling tem-
pat itu sunyi. Bukan hanya Sangga Rantek yang hentikan la-
rinya dan putar tubuh. Iblis Rambut Emas yang bermaksud
mengikutinya pun lakukan hal yang sama.
***
3
Kedua manusia sesat itu tak ada yang buka suara. Pan-
dangan masing-masing orang membuka lebih lebar. Mereka
juga membuka indera pendengaran lebih tajam.
Sampai kemudian terdengar geraman Sangga Rantek,
"Jahanam keparat! Rupanya kita tidak hanya berdua di tempat
ini! Berpencar! Dan bunuh siapa pun orang itu!!"
Habis kata-katanya, Sangga Rantek yang geram karena
merasa ada orang yang mendahuluinya tiba di situ, sudah
berkelebat ke depan. Iblis Rambut Emas mempertimbangkan
dulu apa yang dilakukannya sebelum dia lakukan tindakan
yang sama.
Sangga Rantek yang melesat ke bagian kiri dari dua bu-
kit kapur itu, semakin dibuai kemarahan. Dia benar-benar tak
menyangka ada orang lain yang tiba di situ. Dan ini sungguh
tak dapat diterimanya.
"Setan jahanam! Siapa orang yang seperti muntah darah
itu, hah? Dalam keadaan terluka, atau dia memang sengaja
agar kehadirannya diketahui? Setan alas!! Jangan-jangan...
orang itu adalah Pendekar Slebor? Tetapi tak mungkin! Den-
gan hanya memiliki satu potongan pedang yang ada padanya,
sudah tentu dia akan tersesat sampai ke tempat ini! Namun
bisa pula justru karena tak sengaja dia tiba di sini! Jahanam
keparat! Kubunuh saat ini juga bila dia tak mau menyerahkan
potongan pedang yang satunya lagi?!"
Di lain pihak, Iblis Rambut Emas ternyata juga memi-
kirkan hal yang sama.
"Aku, tahu kalau Sangga Rantek memiliki Pedang Bun-
tung, begitu pula dengan Pendekar Slebor yang memiliki po-
tongan pedang. Bisa jadi orang yang nampaknya sedang
menderita kesakitan itu, adalah Pendekar Slebor. Tetapi tak
dapat dipungkiri bila ada orang lain yang secara tak sengaja
tiba di tempat ini?!"
Orang yang tadi keluarkan suara laksana orang muntah,
memang Pendekar Slebor adanya. Cukup lama anak muda da-
ri Lembah Kutukan ini bersemadi guna memulihkan keadaan
dirinya setelah dihajar Dewa Lautan Timur.
Dan di akhir semadinya, dia muntah darah. Darah yang
keluar sangat hitam, pertanda dia terluka dalam. Namun sete-
lah dialirkan tenaga 'Inti Petir', rasa sakit yang dideritanya se-
dikit banyaknya terobati.
Dihelanya napas perlahan-lahan. Lalu bangkit untuk du-
duk berlutut.
Meskipun dadanya sudah tak terlalu nyeri, tetapi kedua
tangannya masih terasa ngilu. Perlahan pula dililitkan kemba-
li kain bercorak catur yang telah melindungi dirinya dari ke-
matian, ke lehernya.
"Monyet buduk! Tak kusangka kalau aku akan berjumpa
dengan Dewa Lautan Timur! Kesaktian kakek sesat itu sangat
tinggi! Huh! Menurutnya dia telah berhasil membunuh Gadis
Kayangan.... Aku tak tahu harus berpikir apa tentang hal itu.
Bisa jadi Gadis Kayangan memang telah. tewas di tangannya.
tetapi bisa jadi pula Dewa Lautan Timur hanya mencoba
mengacaukan perasaanku saja. Sungguh masalah yang cukup
pelik."
Lamat-lamat dialirkan kembali tenaga 'Inti Petir' ke selu-
ruh tubuhnya. Dan hawa panas pun melingkupinya. Sedikit
demi sedikit dia dapat bernapas agak longgar. Untuk bebera-
pa lama, baru dihentikan aliran tenaga 'Inti Petir'.
Anak muda ini tarik napas dalam-dalam. Lalu dihem-
buskan kembali seraya mendesis, "Yang masih membingung-
kanku sampai saat ini tentang dua orang Panembahan Agung.
Yang mana yang asli dan yang mana yang palsu? Menurut
dugaanku, Dewa Lautan Timur-lah orang yang menyamar se-
bagai Panembahan Agung. Kendati dia membantah, tetapi
aku tetap berkesimpulan kalau manusia itulah yang lakukan
tindakan semacam itu. Terbukti karena dia sesungguhnya ti-
dak tahu di mana Pulau Hitam berada. Karena dapat kupasti-
kan, dia akan berusaha untuk tiba di Pulau Hitam seperti yang
kukatakan." (Untuk mengetahui masalah itu, silakan baca:
"Dewa Lautan Timur").
Kembali pemuda yang memiliki alis hitam legam dan
menukik laksana kepakan sayap elang ini menghela napas,
membuang sedikit beban yang menggayuti perasaannya.
Otaknya diperas untuk memikirkan masalah-masalah yang
dihadapinya.
"Urusan ini bermula dari dua potongan pedang. Di mulai
dengan pembunuhan yang dilakukan Sangga Rantek terhadap
Pemimpin Agung dan semuanya berkembang menjadi urusan
yang panjang. Kadal buntung! Perjalanan harus kuteruskan!
Aku harus tetap bisa mencapai Pulau Hitam! Di samping aku
penasaran ingin mengetahui rahasia apa yang ada di Pulau
Hitam... aku tetap berkeyakinan kalau dua orang yang men-
gaku sebagai Panembahan Agung akan tiba di sana...."
Setelah beberapa lamanya terdiam, perlahan-lahan Pen-
dekar Slebor berdiri. Kedua kakinya masih sedikit goyah.
Kali ini dia memaki-maki tak karuan, "Monyet buduk!
Hajaran Dewa Lautan Timur bikin aku mati kutu! Huh! Kalau
berjumpa lagi dengannya, akan kujitak kepalanya itu! Siapa
tahu di balik sorban kuning yang dikenakannya, kepalanya pi-
takan!"
Diedarkan pandangan ke sekelilingnya yang diliputi ma-
lam. Kendati yang nampak hanya kegelapan semata, namun
matanya yang terlatih dalam gelap, dapat melihat keadaan di
sekitarnya. Bau kapur yang berasal dari dua bukit kapur itu,
sungguh tak sedap. Terasa sedikit mengganggu pernapasan.
"Aku harus terus mencari Pulau Hitam...," desisnya ber-
semangat. "Dan aku ingin tahu kebenaran tentang nasib Gadis
Kayangan."
Lalu perlahan-lahan anak muda ini mulai melangkah ke
depan, ke arah perginya Dewa Lautan Timur. Baru dua belas
langkah dia bergeser dari tempatnya, mendadak saja satu so-
sok tubuh berpakaian putih dengan jubah dan kerudung me-
rah telah berdiri di hadapannya!
Melengak anak muda ini melihat kehadiran orang yang
tak disangka-sangka. Tetapi kejap kemudian, dia sudah se-
nyum-senyum sendiri.
"Eh! Kita berjumpa lagi, nih! Apa kabar? Bagaimana
kabar ibu? Bapak? Semua baik? Kalau baik, syukur deh!
Ayo, minggir! Tuanmu mau lewat nih!!"
Mendengar ucapan konyol dan dilakukan secara berun-
tun, sosok berkerudung merah yang tak lain Iblis Rambut
Emas menggeram. Pandangannya agak menyipit dan menyi-
ratkan kilatan berbahaya.
"Pendekar Slebor! Rupanya, manusia yang muntah darah
itu kau adanya!" desis si perempuan yang seketika otaknya
bekerja. Diam-diam dia membatin dalam hati, "Bila aku dapat
membunuh pemuda celaka ini, maka urusanku akan selesai!
Berarti, potongan pedang itu akan jatuh ke tanganku dan
tinggal membunuh Sangga Rantek! Tetapi... tak semudah itu
nampaknya kulakukan! Karena tentunya Sangga Rantek akan
mendengar suara bila aku menggempurnya!"
Pendekar Slebor yang tak menyangka akan bertemu
dengan Iblis Rambut Emas, cuma garuk-garuk kepalanya
yang tidak gatal. Sambil pandangi perempuan di hadapannya,
dia membatin, "Kehadiran perempuan sesat ini sungguh men-
gejutkan. Dan melihat kilatan matanya tadi, aku yakin dia ti-
dak sendiri. Sebaiknya, kupancing dulu siapa orang yang da-
tang bersamanya."
Berpikir demikian, Pendekar Slebor berkata, "Sudah ten-
tu sesuatu yang bagus kalau kita dapat berjumpa lagi! Ngo-
mong-ngomong... kau mendengar aku muntah darah, ya? Iya
nih! Aku lagi sakit! Tolong dong carikan obat?! Kau cantik
deh bila mau melakukannya?!"
"Serahkan potongan pedang itu padaku!!" hardik Iblis
Rambut Emas dengan wajah membesi.
"Lho, masih urusan itu? Kupikir kau menghendaki nya
wa ku? O iya, di mana kawanmu itu, hah?!"
Ucapan yang dilakukan Pendekar Slebor hanya merupa-
kan wujud dari nalurinya saja. Tetapi Iblis Rambut Emas
nampak terkejut mendengarnya.
"Setan keparat! Rupanya dia tahu kalau aku datang ber-
sama Sangga Rantek! Jangan-jangan dia telah mengintip tadi!
Huh! Terpaksa harus kupanggil Sangga Rantek sekarang!!
Dan jalan yang terbaik, menyerang pemuda keparat ini hing-
ga Sangga Rantek mendengarnya dan hadir disini!"
Memutuskan demikian, mendadak saja perempuan ber-
kerudung merah ini menggerakkan tangan kanannya ke de-
pan.
Wusssss!!
Serangkum kabut putih berhawa dingin mencelat ke arah
Andika diiringi suara menggidikkan.
Andika yang sebelumnya pernah bertarung dengan pe-
rempuan berkerudung merah ini, tak mau bertindak ayal.
Kendati kedua tangannya masih terasa ngilu, namun segera
diangkat tangan kanannya yang telah dialirkan tenaga 'Inti
Petir', menyusul disabetkan ke depan.
Blaaammm! Blaammm!!
Kabut putih berhawa dingin itu langsung buyar ke udara.
Namun karena keadaan Andika belum pulih benar, justru so-
soknya yang terhuyung tiga langkah ke belakang.
Melihat hal itu, Iblis Rambut Emas yang tadi hanya me-
rasakan tangannya agak bergetar dan sadar kalau Pendekar
Slebor memang dalam keadaan terluka, sudah lakukan seran-
gan susulan.
Wuuuss! Wusss!!
Dua bongkah kabut putih yang diiringi hawa dingin
menggigit, menghampar dengan kekuatan maha besar. Andi-
ka memekik tertahan begitu merasakan hawa dingin yang
membuat urat-uratnya menjadi kaku.
Cepat dia kembali memapaki serangan itu.
Benturan dua tenaga sakti tingkat tinggi terjadi. Ledakan
dahsyat terdengar disusul dengan goncangan pada tempat itu.
Dua bongkah kabut putih yang dilepaskan Iblis Rambut Emas
terlontar dan membuyar di udara. Tanah di mana tadi berte-
munya benturan itu muncrat setinggi dua tombak yang seke-
tika menghalangi pandangan.
Tatkala semuanya sirap, nampak sosok Pendekar Slebor
terhuyung-huyung dan kelihatan kalau dia berusaha untuk
kuasai keseimbangannya.
Di seberang, Iblis Rambut Emas hanya surut tiga tindak
ke belakang. Keadaan perempuan berambut emas ini nampak
tak kurang suatu apa kecuali merasakan kedua tangannya
agak bergetar. Bila saja Pendekar Slebor tidak terluka dalam,
sudah tentu sosok Iblis Rambut Emas akan terpental ke bela-
kang.
"Celaka! Dalam keadaan seperti ini, jelas aku tak akan
mampu tandingi perempuan celaka itu! Aku yakin, serangan
yang dilakukannya selain memang ingin membunuhku, juga
sebagai isyarat untuk memanggil temannya yang entah siapa.
Kadal buntung! Sambal bau! Aku harus menjauh dari sini!!"
Namun sudah tentu Iblis Rambut Emas tak akan mele-
paskan buruannya. Seraya maju dua tindak ke muka, perem-
puan ini berkata mengejek, "Sayang beribu sayang... kalau
pendekar yang banyak dipuja orang ternyata tak memiliki
kemampuan apa-apa! Tetapi aku masih mengampuni nyawa-
mu, bila kau menyerahkan potongan pedang perak kepada-
ku!!"
"Menyerahkan potongan pedang itu sih gampang! Tetapi
yang sulit, aku mau atau tidak menyerahkannya?!" seru An-
dika yang berusaha untuk alirkan tenaga dalamnya guna me
mulihkan keadaannya seperti semula.
"Jahanam! Kubunuh kau!!"
Habis bentakannya, Iblis Rambut Emas segera angkat
kedua tangannya ke atas.
Sementara Andika memaki-maki dalam hati, "Buaya
mati! Ketimbang aku yang celaka, terpaksa kupergunakan
kain bercorak catur untuk menahan serangannya!!"
Namun belum lagi serangan itu dilakukan Iblis Rambut
Emas, mendadak terdengar suara keras yang memecah ma-
lam, "Tunggu!! Aku juga ingin membunuhnya!"
Menyusul satu sosok tubuh berpakaian serba hitam telah
berdiri di samping kiri Iblis Rambut Emas.
"Sangga Rantek...," desis Andika dan tanpa sadar surut
satu tindak ke belakang.
***
Orang yang muncul itu memang Sangga Rantek. Dia
mendengar suara letupan demi letupan yang terjadi hingga
memutuskan untuk mencarinya. Tak disangkanya kalau Pen-
dekar Slebor yang nampak di depan mata. Dan menilik gela-
gatnya, Sangga Rantek yakin, kalau Iblis Rambut Emas telah
menghajar pemuda itu.
"Kematianmu sudah bertambah dekat, Pendekar Slebor!
Sebuah kematian yang akan kau nikmati dengan segala pen-
deritaan yang sangat pedih! Serahkan potongan pedang itu
kepadaku, maka kau akan dapat melihat matahari besok!!"
Kendati sadar dalam keadaan diri belum pulih benar aki-
bat gempuran Dewa Lautan Timur, anak muda ini tetap bersi-
fat urakan. Sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal
padahal menahan nyeri, dia berseru, "O... jadi kalian sudah
bergabung untuk membunuhku, ya? Ayo katakan, siapa lagi
orang yang telah bergabung dengan kalian?!"
Sangga Rantek terbahak-bahak.
"Karena kau akan mampus malam ini juga, akan kukata-
kan apa yang kau tanyakan! Ki Pasu Suruan dan Nyi Geng-
gong pun akan siap mencabik-cabik tubuhmu!!"
"Ki Pasu Suruan... salah seorang dari Dua Manusia Goa
Setan. Tetapi siapa orang yang bernama Nyi Genggong?" de-
sis Andika dalam hati. Lalu dia tertawa sendirian dan berkata,
"Busyet! Apa tidak salah kau sebutkan nama orang tadi? Nyi
Gonggong? Wah! Sebangsa manusia serigala kali, ya?!"
"Puaskanlah semua ejekanmu itu, Pendekar Slebor! Ka-
rena kau tak akan dapat lagi lakukan sikap urakan mu!" har-
dik Sangga Rantek. "Ah, masa?"
Iblis Rambut Emas yang sudah tidak sabar untuk mem-
bunuh Pendekar Slebor, dengan harapan dia dapat lakukan
niatnya untuk membunuh Sangga Rantek pula, berkata, "Un-
tuk apa banyak bicara lagi! Kita bunuh pemuda celaka itu!!"
Habis kata-katanya, perempuan berkerudung merah ini
sudah mendorong kedua tangannya. Dua bongkah kabut pulih
yang keluarkan hawa dingin menderu mengerikan.
Melihat lawan telah lancarkan serangannya, Andika
yang memutuskan untuk pergunakan kain bercorak catur,
sengaja mundur. Disusul dengan gerakkan tangan kanannya
yang telah memegang kain pusaka bercorak catur.
Wrrrrr!!
Angin raksasa dikawal suara dengungan laksana ribuan
tawon murka menggebah. Dua bongkah kabut pulih milik Ib-
lis Rambut Emas kontan putus di tengah jalan. Sementara ge-
lombang angin itu terus menderu ke arah si perempuan yang
memekik dan membuang tubuh.
Bersamaan Andika mengibaskan kain bercorak catur,
Sangga Rantek sudah lakukan serangan pula. Serangan itu
memang dapat dipatahkan oleh Andika.
Iblis Rambut Emas yang telah berdiri tegak, kembali le-
paskan serangan pula. Begitu pula dengan Sangga Rantek
yang untuk pertama kalinya, loloskan gelang-gelang duri
yang melingkar pada kedua pergelangan tangannya.
Empat buah gelang duri melesat dengan suara membe-
set. Dua mengarah pada kaki dan dua lagi mengarah pada ba-
gian kepala. Belum lagi dilepaskan pukulan jarak jauhnya
sementara Iblis Rambut Emas juga lepaskan kabut-kabut pu-
tihnya.
Makin kacau gerakan yang dilakukan Pendekar Slebor.
Kendati dia berhasil menghalau setiap serangan dengan per-
gunakan kain bercorak catur, namun karena keadaannya ma-
sih dalam keadaan terluka dalam, sudah tentu lambat laun te-
naganya terkuras dengan sendirinya.
Bahkan saat dipadukan dengan ajian 'Guntur Selaksa' se-
rangannya seolah tak mengandung tenaga yang diharapkan.
Hingga kemudian dengan satu tendangan yang dilakukan Ib-
lis Rambut Emas, tangan kanan Andika terhajar telak. Kain
bercorak caturnya terlepas.
Sementara Sangga Rantek sudah mendorong kedua tan-
gannya didahului dengan lesatan tiga buah gelang-gelang du-
rinya.
Apa yang dialami Andika sungguh sesuatu yang menge-
rikan. Nyawanya bisa putus hari itu juga. Dasar keras kepala,
dia masih berusaha untuk melawan kendati tak kuasa dilaku-
kannya lebih lama. Hingga satu jotosan Sangga Rantek bersa-
rang di dadanya. Disusul gempuran yang dilakukan Iblis
Rambut Emas dari atas.
Namun sebelum jotosan Iblis Rambut Emas memecah-
kan kepala si anak muda, dan tendangan memutar yang dila-
kukan Sangga Rantek menghajar dadanya, mendadak saja
terdengar suara yang sangat keras seperti membelah udara....
Cltaaarrr!!
Seketika masing-masing orang mengurungkan serangan-
nya dan mundur tiga langkah ke belakang.
Tiba-tiba saja terdengar suara yang nyaring, "Aku juga
menginginkan nyawanya! Siapa pun orangnya yang menda-
huluiku, maka dia akan mampus!!"
***
4
Kita tinggalkan dulu maut yang nampaknya akan di te-
rima Pendekar Slebor. Kita ikuti perjalanan Ki Pasu Suruan
dan Nyi Genggong.
Setelah bersepakat bergabung dengan Sangga Rantek
dan Iblis Rambut Emas, kedua manusia sesat itu pun mene-
ruskan perjalanannya, meninggalkan Gadis Kayangan yang
kemudian dibawa lari oleh seorang kakek yang berwajah arif.
Ki Pasu Suruan yang mendendam pada Pendekar Slebor
karena pemuda itu telah membunuh adik seperguruannya, Ki
Pancen Dadap, memang sama sekali tak menyangka akan
bertemu dengan Nyi Genggong yang sedang membopong
Gadis Kayangan. Sebelumnya, Gadis Kayangan dihajar oleh
Dewa Lautan Timur. Tatkala Dewa Lautan Timur hendak
mempermalukan gadis itu, muncul Nyi Genggong yang me-
nyambar tubuh Gadis Kayangan.
Saat ini, masing-masing orang sedang hentikan langkah-
nya di sebuah jalan setapak yang dipenuhi ranggasan semak
belukar. Nyi Genggong langsung keluarkan suara pada lelaki
setengah baya berpakaian kuning-kuning, "Pasu Suruan! Aku
benar-benar tidak mengerti mengapa kau mengajak bersekutu
dengan Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek! Padahal, aku
sudah tak sabar untuk membunuh perempuan berkerudung
merah yang menyerangku itu!"
Ki Pasu Suruan hanya menatap si nenek berpakaian hi-
tam compang-camping itu. Sebelumnya di saat keduanya
memutuskan meninggalkan tempat, satu serangan yang dila-
kukan oleh Sangga Rantek menghalangi maksud mereka. Dan
serangan itu terarah pada Nyi Genggong. Tetapi Iblis Rambut
Emas yang merasa harus menunjukkan kesetiakawanannya
pada Sangga Rantek, mengatakan dialah yang telah lakukan
serangan pada Nyi Genggong.
"Dengan cara begitu, kita dapat membunuh Pendekar
Slebor dengan mudah!" sahut Ki Pasu Suruan.
Si nenek menggeram gusar. "Sejak semula kukatakan,
aku tidak punya urusan dengan Pendekar Slebor! Yang kuin-
ginkan adalah menuju ke Pulau Hitam! Hanya karena kau
mengatakan kalau dua potongan pedang perak itu berada di
tangan Pendekar Slebor saja, aku menuruti kata-katamu! Pal-
ing tidak, kau membuatku tidak banyak membuang waktu la-
gi!"
"Tetapi itu pun satu masukan yang sangat berguna, bu-
kan? Kau menyangka dua potongan pedang itu berada di tan-
gan Gadis Kayangan, padahal tidak sama sekali!"
"Dan seharusnya gadis itu kubunuh!"
"Tanpa kau bunuh pun dia tentunya akan mati! Bukan-
kah kau telah menotoknya?"
Nyi Genggong mendengus. Wajahnya masih menyi-
ratkan kemarahan. Dia tetap jengkel pada Iblis Rambut Emas
yang mengaku telah menyerangnya.
Lelaki berkalung tengkorak ini sendiri lama kelamaan
menjadi geram melihat sikap Nyi Genggong. Dengan pan-
dangan dan suara menusuk dia berkata, "Selain Pendekar Sle
bor... urusan Dewa Lautan Timur pun harus kita pikirkan!"
"Aku tak punya urusan dengannya!!"
"Kau telah menggagalkan niatnya untuk membunuh ga-
dis itu! Apakah kau pikir dia tidak mengetahui siapa adanya
kau?!"
"Tak mungkin dia mengenaliku!"
"Lantas bagaimana dengan yang kukatakan, kalau ke-
mungkinan besar Dewa Lautan Timur mengenalimu, hah?!
Apakah kau akan berdiam diri saja?!"
Mulut si nenek berbibir keriput ini, mencang-mencong
tanpa keluarkan suara. Sedikit banyaknya dibenarkan juga ka-
la-kata lelaki berpakaian kuning-kuning di hadapannya.
Kemudian katanya jengkel, "Ke mana lagi kita harus
pergi? Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas jelas-jelas tak
menunggu atau menyenangi kehadiran kita?! Jelas dari sikap
Sangga Rantek yang melarang kita untuk berangkat bersama-
sama?" Lalu lanjutnya dalam hati, "Setan keparat! Mengapa
aku harus bertemu manusia satu ini? Padahal aku bisa bertin-
dak seorang diri! Rasa penasaranku untuk mengetahui ada ra-
hasia apa di Pulau Hitam, harus terjawab!"
Ki Pasu Suruan tidak segera menjawab pertanyaan si ne-
nek. Sambil lipat kedua tangannya di depan dada, pandan-
gannya tertuju ke depan.
"Kedua manusia itu menuju ke barat daya. Tetapi hingga
saat ini belum juga terlihat di mana sesungguhnya mereka be-
rada. Apakah yang mereka lakukan, hanya untuk mengelabui
saja padahal keduanya tak pergi ke arah barat daya?"
Untuk beberapa lamanya Ki Pasu Suruan terdiam sebe-
lum terdengar bentakan Nyi Genggong, "Setan laknat! Apa-
kah kau sudah menjadi tuli, hah?!"
Tanpa palingkan kepala, Ki Pasu Suruan menjawab, "Ki-
ta tetap menuju ke barat daya! Peduli setan apakah dapat ber
temu kembali dengan Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas!
Nyi Genggong... sasaranku adalah Pendekar Slebor!"
"Dan hingga saat ini kau belum juga menemukan pemu-
da yang telah membunuh Pancen Dadap! Dasar kau yang bo-
doh! Tak berguna sama sekali apa yang kau miliki! Kau bu-
kan hanya dapat dikalahkan oleh pemuda celaka itu, tetapi
harus juga ditebus dengan nyawa Pancen Dadap! Apakah itu
bukan tindakan bodoh?!"
Ejekan Nyi Genggong membuat sepasang telinga Ki Pa-
su Suruan memerah. Seketika dia palingkan kepala. Matanya
menusuk dan berkilat-kilat penuh kebencian. Namun tatkala
diingatnya kalau dia dapat pergunakan kesaktian Nyi Geng-
gong, ditindih segala jengkelnya.
Kemudian katanya, "Kuakui aku memang tak sanggup
mengalahkan pemuda itu! Tetapi dengan bantuan mu, bukan-
kah semuanya akan berlangsung seperti yang kuharapkan?"
Berkembang hidung Nyi Genggong mendengar pujian
orang. Bibirnya mengembung senyuman senang. Sementara
Ki Pasu Suruan memaki-maki dalam hati, "Ku bunuh kau bila
urusanku dengan Pendekar Slebor telah selesai!"
Karena merasa Ki Pasu Suruan takluk padanya, Nyi
Genggong berkata pongah, "Bagus kau sadar akan kemampu-
anku! Kini, akan kuceritakan satu masalah lain yang belum
kau ketahui!!"
"Katakan!!"
"Aku tahu... bukan hanya gurumu saja yang dulu meng-
hendaki dua potongan pedang perak yang berada di tangan
Panembahan Agung dan Pemimpin Agung! Guruku pun
menghendakinya! Dan perlu kau ketahui, sebelumnya dia te-
lah berhasil mendapatkan dua potongan pedang perak itu
tatkala berada di tangan Pemimpin Agung! Tetapi sayangnya,
Pemimpin Agung kembali berhasil mendapatkannya, sekali
gus membunuh guruku!"
"Lantas... apa yang hendak kau ceritakan?"
"Jangan memotong setiap ucapanku!! Guruku berhasil
mendapatkannya, tatkala Pemimpin Agung sedang bersema-
di! Tetapi sayangnya, jejaknya ketahuan hingga dia akhirnya
mampus! Yang perlu kau ketahui... guruku telah menghafal
seluruh titik-titik yang merupakan rangkaian gambar bebera-
pa patokan yang ada pada kedua potongan pedang itu!"
"Percuma karena dia telah mampus!!"
Plaaakk!!
Entah bagaimana caranya, tahu-tahu Ki Pasu Suruan me-
rasakan pipinya kena tamparan. Murka sudah lelaki ini. Na-
mun begitu didengarnya kata-kata Nyi Genggong selanjutnya,
dia berusaha tindih kemurkaannya.
"Sebelum mampus dibunuh Pemimpin Agung, guruku
menceritakan tentang patokan-patokan pada kedua potongan
pedang itu padaku!"
Bagai menemukan durian runtuh sepasang mata Ki Pasu
Suruan langsung membuka lebar.
"Apakah kau sekarang masih mengingatnya?" tanyanya
tergesa-gesa.
Nyi Genggong mendengus lebih dulu sebelum menja-
wab, "Sudah tentu aku mengingatnya! Bahkan telah kutemu-
kan patokan menuju ke Pulau Hitam!"
"Apa... apa itu?" suara lelaki berkalung tengkorak ini
begitu bernafsu.
Kembali Nyi Genggong mendengus. Kemudian katanya,
"Telah kutemukan sebuah lembah yang sangat curam berikut
dua buah pohon besar yang menjadi patokan. Menurut cerita
mendiang guruku sebelum mampus, kita harus bergerak ke
arah kiri dan terus melangkah hingga akhirnya tiba di Pulau
Hitam."
Binaran mata Ki Pasu Suruan semakin bertambah. Bi-
birnya tersenyum lebar penuh kepuasan. Namun mendadak
saja keningnya dikerutkan. Pandangannya tak berkedip pada
Nyi Genggong.
Yang dipandang menggeram, "Mengapa kau menatapku
seperti itu, hah?!"
"Bila memang demikian adanya, mengapa kau masih
mencoba memburu dua potongan pedang itu, hah?!"
"Karena setelah kutemukan semua itu, aku masih tidak
percaya!"
"Apa maksudmu?"
"Aku tahu, guruku bukanlah orang baik-baik! Dia manu-
sia sesat yang tak pernah sungkan untuk berbuat apa saja pa-
da siapa pun, termasuk aku, muridnya sendiri! Berulang kali
aku dipermainkannya! Tetapi karena dia guruku, aku tak bisa
berbuat apa-apa kecuali menindih segala kebencian! Dan ku-
pikir, apa yang dikatakannya itu adalah ulahnya untuk mem-
permainkanku lagi! Sehingga dikarenakan rasa penasaran
yang memenuhi dadaku melihat kematian guruku, kupu-
tuskan untuk melacak jejak Pulau Hitam, Walaupun demi-
kian, kendati aku telah menemukan petunjuk terakhir dari Pu-
lau Hitam, keraguanku kembali datang, hingga kupikir aku
kembali dipermainkannya! Itulah sebabnya, kuputuskan un-
tuk mendapatkan dua potongan pedang itu untuk membuatku
lebih yakin!"
"Taruhlah apa yang dikatakannya benar! Lantas... men-
gapa dia tak melacak jejak itu seorang diri?" tanya Ki Pasu
Suruan masih tak percaya.
"Aku sendiri pernah memikirkan soal itu. Setelah dia
menceritakan tentang titik-titik yang tergambar pada dua po-
tongan pedang itu, aku diperintahkannya untuk pergi. Dan ke-
tika besoknya aku kembali, dia telah mampus sementara dua
potongan pedang telah lenyap. Nah! Siapa lagi yang telah
melakukannya kalau bukan Pemimpin Agung? Dari tenggang
waktu yang sedemikian singkat, sudah jelas kalau dia tak
memiliki kesempatan untuk melacak jejak Pulau Hitam!"
Kali ini Ki Pasu Suruan terdiam cukup lama. Keningnya
berulangkali berkerut tanda dia berpikir keras. Setelah itu,
terlihat kepalanya mengangguk-angguk.
Lalu katanya, "Bila memang demikian, tak perlu kita
ikuti ke mana perginya Sangga Rantek dan Iblis Rambut
Emas! Lebih baik kita jajaki apa yang kau katakan tadi! Dan
sangat menyenangkan karena kau telah menemukan petunjuk
terakhir menuju ke Pulau Hitam!"
Mendengar ajakan itu, Nyi Genggong tak langsung
mengiyakan. Dia berkata sinis penuh mengejek, "Dengan
berkata begitu, apakah kau melupakan urusan
Pendekar Slebor? Atau... sesungguhnya kau memang in-
gin mengetahui rahasia apa yang ada di Pulau Hitam dan ber-
lagak tidak tertarik lagi karena kau ingin membalas kematian
Pancen Dadap di tangan Pendekar Slebor?"
Memerah wajah si lelaki berkalung tengkorak menden-
gar ejekan si nenek, hingga untuk beberapa saat dia tak kelua-
rkan suara. Setelah menemukan jawaban yang menurutnya
tepat, dia baru buka mulut, "Dua potongan pedang itu berada
di tangan Pendekar Slebor! Tak mustahil pemuda setan itu te-
lah tiba di sana! Bukankah ini sebuah keputusan yang sangat
bagus? Dengan kata lain, kita tahu di mana Pendekar Slebor
saat ini!"
Nyi Genggong cuma menyeringai. Sambil arahkan pan-
dangannya ke depan, dia berkata, "Karena aku telah bersepa-
kat denganmu, tak ada salahnya kita menuju ke lembah cu-
ram yang menurut guruku adalah tanda menuju ke Pulau Hi-
tam! Kalau begitu, kita langsung menuju ke selatan!"
Habis kata-katanya, si nenek membelokkan arah larinya
lebih ke kanan. Kejap kemudian dia sudah bergerak sedemi-
kian cepatnya menembus kegelapan malam.
Ki Pasu Suruan yang sama sekali tak menyangka akan
mendapatkan keuntungan yang sangat besar, segera saja
menghempos tubuhnya. Dia tak mau ketinggalan dan dia pun
bersiaga penuh bila ternyata si nenek menjebaknya.
***
5
Masing-masing orang yang berada di bukit kapur itu ter-
diam dengan pandangan membuka lebih lebar. Terutama
Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas. Sebelum mereka
mengetahui siapa orang yang tadi menggagalkan keinginan
untuk membunuh Pendekar Slebor, hati mereka sudah diliputi
oleh kemarahan yang tinggi. Dapat dibayangkan bila mereka
sudah melihat orang yang tadi halangi niat.
Lain halnya dengan Pendekar Slebor yang berusaha agar
tidak terjatuh. Suara orang yang tadi barusan membentak itu,
begitu akrab di telinganya. Hingga untuk sesaat hatinya men-
jadi makin tak menentu. Dan semakin kacau tatkala ingatan-
nya tiba pada seseorang. Seraya menghela napas pendek, dia
mendesis, "Setan Cambuk Api... Kutu monyet! Mungkin saat
ini aku ditakdirkan untuk mampus!!"
Selang dua kejapan mata, dari sebelah kanan melangkah
satu sosok tubuh sambil geleng-geleng kepalanya. Dengan se-
ringaian lebar yang bertengger di bibir keriputnya, orang ini
berhenti sejarak dua tombak dari hadapan masing-masing
orang. Sosok seorang perempuan tua yang mengenakan pa-
kaian batik kusam ini, memiliki paras bulat telur dan dihiasi
rangkaian kulit keriput. Rambutnya panjang tak beraturan.
Saat menyeringai, wajahnya tak lebih dari kuntilanak belaka.
Perempuan tua yang di tangan kanannya tergenggam
cambuk berlidah tiga ini mendadak terkikik keras begitu me-
lihat Pendekar Slebor, "Hik hik hik... ke mana pun kau lari,
nampaknya kau tak akan luput dari kematian, Pendekar Sle-
bor! Kalaupun kau lolos dari tangan ku, nampaknya kau tak
akan bisa lolos dan tangan kedua manusia-manusia keparat
itu!! Tetapi kematianmu sudah berada di tanganku! Tak seo-
rang pun yang akan kubiarkan hidup bila halangi keinginan-
ku?"
Lalu tanpa hiraukan pandangan tajam dari Sangga Ran-
tek dan Iblis Rambut Emas, si nenek yang memang Setan
Cambuk Api adanya, melangkah mendekati Pendekar Slebor.
Cambuknya yang berlidah tiga digerak-gerakkan hingga ter-
dengar suara angin tajam berdesir-desir.
Sudah tentu sikapnya membuat Iblis Rambut Emas dan
Sangga Rantek tersinggung, karena sejak kedatangannya pe-
rempuan berpakaian batik kusam tak sekali pun melirik me-
reka. Iblis Rambut Emas rupanya sudah tidak kuasa menahan
diri lebih lama lagi. Segera saja dia melompat ke depan se-
raya membentak, "Datang dengan penuh kesetanan sudah ten-
tu dapat kami terima! Tetapi datang dengan bertindak busuk,
sudah tentu akan mendapat ganjaran pahit!!"
Seketika Setan Cambuk Api menghentikan langkahnya.
Pandangannya menusuk dalam, menyiratkan isyarat kematian
yang sebentar lagi akan diturunkan. Senyuman mengejek
menghiasi wajah buruknya, hingga membuat orang yang me-
lihatnya dapat berpikir dua kali untuk lakukan tindakan.
"Perempuan berkerudung merah! Sayang sekali aku tak
pernah memikirkan soal sopan santun segala!! Jangan meng-
ganggu setiap keinginanku!!"
Menggeram Iblis Rambut Emas. Belum lagi dia buka
mulut, perempuan tua bersenjatakan cambuk berlidah tiga itu
sudah menghardik, "Jangan coba-coba halangi keinginanku!
Lebih baik menyingkir dari sini sebelum akhirnya kau sesali
diri! Ajak kawan mu itu!"
Mendengar hardikan orang, wajah Iblis Rambut Emas
kontan mengkelap. Dadanya yang agak membusung naik tu-
run pertanda gusar. Rasa kecut yang tadi sempat hinggap,
tatkala melihat tatapan kejam perempuan berpakaian batik
kusam itu, sirna seketika.
Seraya maju satu langkah, dia balas membentak, "Uca-
panmu sungguh tak enak didengar! Katakan siapa kau adanya
sebelum mampus berkalang tanah!"
Perempuan tua berpakaian batik kusam ini, menyipitkan
matanya. Ada kilatan api di dalam mata kelabunya. Perem-
puan yang diperintahkan oleh Dewa Lautan Timur untuk
menghalangi langkah Pendekar Slebor, sementara Dewa Lau-
tan Timur sendiri mempecundangi Gadis Kayangan, memang
sedang memburu Pendekar Slebor. Karena dia pernah dika-
lahkan oleh pemuda itu. Dan amarahnya kian menjadi-jadi.
Apalagi sekarang, ada orang yang jelas-jelas halangi mak-
sudnya.
Sambil putar tubuh, Setan Cambuk Api mendesis dingin,
"Kau berhadapan dengan Setan Cambuk Api! Lekas berlutut
sebelum kepalamu pisah dari badan!"
Iblis Rambut Emas sesaat melengak mengetahui siapa
adanya orang. Namun dia tidak peduli karena kemunculan
Setan Cambuk Api justru membuat amarahnya naik.
Seraya menuding dia berkata, "Kau berhadapan dengan
Iblis Rambut Emas! Lekas menyingkir dari sini sebelum se-
muanya kau sesali! Dan satu hal lagi yang perlu kau ingat,
jangan coba-coba mengganggu urusanku!!"
Terdengar suara rahang dikertakkan, menyusul suara ke-
jam Setan Cambuk Api, "Aku hanya memperingatkan sekali!
Lekas menjauh dari sini! Ajak temanmu itu!!"
Tak sanggup lagi menahan gejolak amarah di dadanya,
Iblis Rambut Emas sudah mendorong kedua tangannya ke
depan. Serta-merta menderu dua bongkah kabut putih yang
keluarkan hawa sangat dingin.
Di tempatnya, Setan Cambuk Api mendengus. Tanpa
bergeser dari tempatnya, perempuan tua ini sudah mengge-
rakkan cambuk berlidah tiga.
Cltaaarrr!!
Suara keras itu terdengar menggidikkan disusul dengan
tiga gelombang angin yang menggeledar. Serangan balasan
yang dilakukan Setan Cambuk Api memang tak mampu me-
nahan dua bongkah kabut Iblis Rambut Emas.
Namun yang mengejutkan, karena tiga gelombang angin
yang membeset tadi, nyeplos dan terus menerjang ke arah Ib-
lis Rambut Emas.
Masing-masing orang segera membuang tubuh.
Terdengar letupan beruntun. Dua bongkah kabut putih
itu menghantam tumbang sebuah pohon, sementara tiga ge-
lombang angin yang membeset, menghantam sebuah pohon
pula. Seketika terbentuk tiga buah lubang di tubuh pohon itu.
Menyusul mengeringnya pohon itu secara mendadak.
Dan di tempat masing-masing, keduanya saling pandang
tanpa kedip.
Di lain pihak, Sangga Rantek membatin, "Menilik se-
rangan perempuan berpakaian batik itu, jelas kalau dia dapat
mengalahkan Iblis Rambut Emas. Karena tak mustahil dia
memiliki pukulan jarak jauh untuk memutuskan bongkahan
kabut Iblis Rambut Emas. Sementara cambuk berlidah ti-
ganya sangat berbahaya! Hmmm... biar urusan cepat selesai,
sebaiknya kubantu!!"
Memutuskan demikian. lelaki setengah baya berkuncir
kuda ini sudah mencelat ke depan.
"Kau hanya membuang-buang waktu saja, perempuan
celaka!!" bentaknya seraya mendorong kedua tangannya ke
depan.
Wuusss!! Wuusss!!
Menghampar dua gelombang angin deras ke arah Setan
Cambuk Api.
Si perempuan berpakaian batik kusam ini cuma men-
dengus dingin. Kejap itu pula diangkat tangan kirinya. Meng-
gebrak satu gelombang angin yang tak kalah dahsyatnya.
Menyusul digerakkan tangan kanannya yang memegang
cambuk berlidah tiga.
Cltaarrr!!
Blaaammm!!
Benturan dua tenaga sakti itu bertemu. Sosok Sangga
Rantek terhuyung tiga langkah ke belakang, disusul dia sege-
ra lakukan lompatan, tatkala sambaran cambuk lidah tiga la-
wan siap membeset tubuhnya.
Di lain pihak, Setan Cambuk Api sendiri masih tegak di
tempatnya. Bibirnya menyeringai dingin.
"Sebaiknya kalian memang maju bersama-sama biar
urusan cepat selesai!!"
Habis kata-katanya, perempuan tua ini langsung mener-
jang ke depan. Cambuk berlidah tiganya digerakkan berulang
kali hingga terdengar suara yang sangat menyakitkan telinga.
Sementara tangan kirinya lakukan serangan yang tak kalah
hebatnya.
Sudah tentu Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek tak
mau berdiam diri. Apa yang mereka inginkan sudah ada di
depan mata, namun kehadiran perempuan bersenjatakan cam
buk ini justru memupuskan segala keinginan.
Iblis Rambut Emas menyerang dengan lepaskan bong-
kahan-bongkahan kabut putihnya yang serta-merta di tempat
itu seperti ditindih segenap hawa yang sangat dingin. Semen-
tara Sangga Rantek mencoba menyerang dari belakang den-
gan lepaskan pukulan jarak jauhnya.
Pertarungan yang sengit itu terjadi begitu cepat. Teria-
kan demi teriakan terdengar. Letupan demi letupan terjadi.
Hingga dalam waktu yang singkat saja, tempat itu telah dili-
puti oleh muncratan tanah dan ranggasan semak belukar ke
udara.
Sementara itu, Pendekar Slebor yang makin terluka da-
lam, diam-diam menyingkir dari tempat itu. Dia belum me-
mutuskan apakah akan menjauh atau melihat pertarungan itu.
Sesungguhnya, di dasar hati kecil anak muda pewaris
ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini merasa sedih, melihat
orang-orang kejam dan serakah seperti mereka saling berta-
rung, hanya untuk menunjukkan siapa yang lebih hebat. Dan
dia selalu berharap agar dunia ini tidak lagi dibanjiri oleh da-
rah dan air mata. Namun setiap kali harapan itu muncul, se-
tiap kali pula segera ditindihnya dalam-dalam.
"Memang tak mungkin aku menghadapi ketiganya seka-
ligus dalam keadaan terluka seperti ini. Kemunculan Setan
Cambuk Api nampaknya membawa keberuntungan tersendiri
bagiku. Sebaiknya... untuk sementara aku menyingkir dulu
untuk mencari tempat sunyi guna memulihkan keadaanku...."
Setelah memperhatikan sejenak pertarungan yang sema-
kin mengerikan itu, perlahan-lahan dengan langkah agak ter-
huyung, Pendekar Slebor meninggalkan tempat itu.
Sementara itu, Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek
terus berusaha keras untuk mencecar Setan Cambuk Api.
Kendati dikeroyok berdua oleh orang-orang yang sebenarnya
tak bisa dipandang sebelah mata, Setan Cambuk Api agaknya
masih dapat kuasai pertarungan. Ini disebabkan karena cam-
buk berlidah tiganya yang berhasil membuat jarak para pe-
nyerangnya. Belum lagi, bila dia lakukan tindakan yang san-
gat cepat dengan gerakan-gerakan yang mengejutkan.
Bahkan yang lebih mengejutkan lagi, karena setiap kali
dia gerakkan cambuk berlidah tiganya, melesat bola-bola api
sebesar kepalan tangan orang dewasa yang keluarkan suara
mengerikan.
Terkesiap Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek. Mas-
ing-masing orang berusaha untuk menghindar sekaligus me-
mutuskan bola-bola api itu. Namun yang membuat mereka
harus bertambah hati-hati, karena lidah-lidah cambuk si pe-
rempuan siap mengirim nyawa mereka ke akhirat.
Untuk beberapa lamanya Iblis Rambut Emas dan Sangga
Rantek seperti kehilangan bentuk penyerangan. Iblis Rambut
Emas memang masih agak beruntung, karena dia berhasil
memutuskan bola-bola api lawan dengan bongkahan-
bongkahan kabut putihnya. Kendati demikian, dia pun tak
dapat segera bernapas lega. Cltaarr!! Cltaarr! Cltaarr!! Tiga
kali suara keras itu terdengar dan terlihat tanah kembali
membentuk garis lurus sedalam pergelangan tangan. Sangga
Rantek yang tadi menghindari serangan itu, menjadi pias wa-
jahnya. Namun kegeramannya tak surut sedikit pun juga.
Sementara itu, Setan Cambuk Api yang bertambah be-
ringas, menggerak-gerakkan cambuknya lebih cepat. Kejap
itu pula beruntun menderu bola-bola api sebesar kepalan tan-
gan mengarah pada kedua lawannya.
Sementara di tempat itu, sebagian telah terbakar dan
langsung mengepulkan asap putih yang tebal.
Merasa asap putih itu dapat menghalangi pandangan,
Sangga Rantek yang berpikir lain langsung mendekati Iblis
Rambut Emas seraya berbisik, "Kita tinggalkan tempat ini!"
"Tidak! Perempuan celaka itu harus mampus?!" dengus
Iblis Rambut Emas geram.
"Selagi dia masih memiliki cambuk itu, kita dapat di
buatnya tak berdaya!"
"Kalau begitu, kita rebut cambuknya!"
"Kita akan banyak membuang waktu! Lebih baik kita
tinggalkan tempat ini!"
"Mengapa kau jadi pengecut seperti itu, hah?!"
"Karena aku memikirkan satu kemungkinan lain ketim-
bang melayani perempuan tua itu!"
"Bagaimana dengan Pendekar Slebor?!" tanya Iblis
Rambut Emas yang menyangka Pendekar Slebor masih bera-
da di sana.
"Biarkan dia! Karena perempuan itu berkeinginan untuk
membunuhnya pula! Berarti, kita tak perlu mengotori tangan
kita dengan darah pemuda setan itu!"
Mendengar alasan yang dikemukakan Sangga Rantek,
Iblis Rambut Emas akhirnya setuju. Kendati demikian, kein-
ginan keduanya tak mudah dilakukan begitu saja. Karena Se-
tan Cambuk Api terus berusaha menghajar keduanya.
Puluhan bola-bola api yang keluar dari lidah-lidah cam-
buknya, terus mengejar masing-masing orang yang memaki
panjang pendek seraya mencoba lepaskan serangan balasan.
Iblis Rambut Emas yang merasa dapat menahan bola-bola api
itu dengan serangan kabut-kabut putihnya, mencoba mema-
paki sementara Sangga Rantek menyerbu ke bagian bawah.
"Sekarang!!" mendadak Iblis Rambut Emas melayang ke
atas, seraya menggempur membabi buta.
Bongkahan-bongkahan kabut putihnya menyerbu ganas.
Kian terpancing kemarahan Setan Cambuk Api seraya meng-
gerakkan tangan kiri disusul dengan bola-bola api yang ke
luar dari cambuk berlidah tiganya.
Sementara itu, begitu mendengar seruan Iblis Rambut
Emas, Sangga Rantek sudah mencelat menjauh dan melarikan
diri. Perempuan berkerudung merah sendiri telah pergunakan
kesempatan itu untuk meninggalkan tempat itu pula selagi
Setan Cambuk Api menghalau setiap serangannya.
Sadar kalau kedua lawannya sudah berlalu, menggeram
setinggi langit Setan Cambuk Api. Sambil mencelat ke depan
dia mencoba menggerakkan cambuk berlidah tiganya.
Wiiinggg!
Sembilan buah bola-bola api melesat mencoba menahan
larinya Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas. Namun kedua
orang itu telah menjauh dari tempatnya.
"Terkutuk!! Tak akan kulepaskan nyawa kalian!!" maki
perempuan berpakaian kusam ini.
Kemarahannya makin menggila tatkala tak menemukan
sosok Pendekar Slebor di tempat semula.
"Sial!! Setan keparat sial!! Ini gara-gara kedua manusia
sialan!! Kubunuh mereka! Kubunuh mereka!!"
Dengan penuh kegeraman, perempuan bersenjatakan
cambuk berlidah tiga ini segera berkelebat menyusul perginya
Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas.
***
6
Hamparan sinar matahari pagi mulai mendesak masuk ke
persada bumi, menggeser sisa-sisa sinar rembulan. Burung-
burung beterbangan riuh rendah penuh kegembiraan. Langit
membiru cerah dihiasi gumpalan awan-awan putih. Udara
saat ini sejuk berhembus, menebarkan pesona yang tak dapat
ditepiskan begitu saja.
Di balik sebuah ranggasan semak belukar, nampak satu
sosok tubuh terbaring dengan mata terpejam. Tatkala sinar
matahari menerpa wajahnya, sosok yang tak lain Pendekar
Slebor adanya perlahan-lahan mulai membuka kedua ma-
tanya.
Kejap itu pula kembali dipejamkan. Ada rasa nyeri yang
dirasakan di sekujur tubuhnya.
Cukup lama anak muda urakan ini membiarkan tubuh-
nya terbaring dimandikan cahaya matahari, sebelum akhirnya
kembali menggeliat.
Dibuka kedua matanya dengan hati-hati, dikerjap-
kerjapkan agar tidak terlalu menyilaukan.
"Buju buneng... kenapa aku tidur di sini?" desisnya den-
gan suara mengkerepet. Begitu dirasakan ngilu pada kedua
tangannya, dia perlahan-lahan bangkit. Duduk dengan kedua
kaki berselonjor. Lalu hati-hati direntangkan kedua tangan-
nya. Terdengar suara berkerutuk. "Kutu monyet!" desisnya
lalu mendengus. Dibawa ingatannya pada kejadian semalam.
Setelah meninggalkan pertarungan Setan Cambuk Api meng-
hadapi Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek, dengan men-
gandalkan sisa-sisa tenaganya, anak muda- urakan ini terus
menjauh. Membawa langkah dengan segenap semangat yang
menyala di dada.
Namun melewati tiga perempat malam, Andika tak kua-
sa lagi menahan keletihan yang menderanya. Dia langsung
ambruk dan tertidur.
Saat terbangun sekarang, masih dirasakan lelah yang cu-
kup meletihkan. Lalu perlahan-lahan anak muda urakan ini
bersemadi. Setelah itu, kembali dipikirkan persoalan demi
persoalan yang ada.
"Hmmm... langkahku seperti dikurung oleh enam orang
manusia sesat. Dewa Lautan Timur. Iblis Rambut Emas dan
Sangga Rantek. Setan Cambuk Api. Lalu Ki Pasu Suruan dan
Nyi Genggong. Yang terakhir ini belum kuketahui seperti apa
rupanya. Tapi menilik pasangan yang ada, tentunya dia ber-
sahabat kental dengan Ki Pasu Suruan."
Mendesah pendek pemuda dari Lembah Kutukan ini.
Otaknya terus diperas memikirkan jalan keluar dari masalah
yang mengkungkunginya.
Dan yang masih membuatnya cemas, adalah ketidakjela-
san akan nasib Gadis Kayangan. Baginya, dia harus mene-
mukan gadis itu lebih dulu. Hidup atau mati.
Setelah dirasakan keadaannya agak lebih baik, anak mu-
da ini pun berdiri. Dipandangi sekelilingnya dengan seksama.
"Hmmm... aku akan mencari sungai untuk membersih-
kan tubuh dulu!"
Lalu dicobanya untuk melompat. Happ!
Kembali dia lakukan loncatan berulang kali. Dan setiap
kali meloncat, kedua tangannya direntangkan ke atas, ke ba-
wah dan ke samping.
Tak lagi dirasakan ngilu pada kedua tangan dan kakinya.
Dadanya yang sebelumnya terhantam pukulan Dewa Lautan
Timur pun mulai dirasakan agak normal.
Mulailah Andika mencari sungai.
Begitu menemukannya, dia langsung membersihkan tu-
buh. Caranya begitu cepat (gaya bebek) karena dia merasa
memburu waktu.
Setelah mandi, dia segera mencari buah-buahan sebagai
pengisi perut. Sambil memakani buah-buahan yang dida-
patkannya, dia segera meninggalkan tempat itu menuju ke se-
latan.
***
Sampai matahari tepat berada di atas kepala, anak muda
urakan ini masih terus berlari. Dia bersikeras untuk menemu-
kan sebuah lembah yang merupakan patokan ketiga menuju
ke Pulau Hitam. Secara tidak sengaja Andika memang telah
menemukan patokan pertama dan kedua menuju ke Pulau Hi-
tam.
Tepat ketika malam kembali melingkupi alam, anak mu-
da ini tiba di sebuah lembah yang sangat curam. Saat ini rem-
bulan bersinar terang. Kendati demikian, sulit menemukan
kedalaman lembah itu.
Sambil mengatur napas, anak muda ini berpikir keras.
"Selama aku berlari menuju ke selatan, baru kali ini ku-
temukan sebuah lembah. Apakah lembah ini yang dimaksud-
kan dalam rangkaian titik gambar pada potongan pedang pe-
rak yang dimiliki Gadis Kayangan?"
Dicobanya untuk melongok ke dalam lembah. Namun
hanya kegelapan semata yang nampak, meskipun dinding-
dinding lembah itu cukup kelihatan.
"Untuk membuktikan apakah memang lembah ini yang
menjadi patokan, aku harus menemukan dua buah pohon
yang berdekatan. Setelah itu... kalau tidak salah ingat, aku ha-
rus ke kiri. Hmm, waktuku sangat sempit! Aku yakin, sudah
banyak orang yang menuju ke Pulau Hitam...."
Memikirkan demikian, segera saja anak muda urakan ini
berkelebat ke kiri. Namun baru saja dia melakukan, menda-
dak saja dirasakan satu dorongan keras dari belakang.
"Heeiiii!!"
Terkejut bukan alang kepala si anak muda. Dia berusaha
untuk tidak kehilangan keseimbangan. Karena bila dia kehi-
langan keseimbangan, tanpa ampun lagi tubuhnya akan ter-
lempar masuk ke dalam lembah.
Dengan gerakan yang sangat menakjubkan Pendekar
Slebor langsung menangkap tangan orang yang mendorong-
nya. Dia memang berhasil melakukannya.
Namun yang mengejutkan, karena orang itu telah meli-
ukkan tubuh hingga pegangan tangannya terlepas. Menyusul
dia lakukan tendangan pada kaki kanannya.
Desss!!
Untuk kedua kalinya Andika berseru kaget, "Heeiii!!"
Terhuyung anak muda ini ke belakang. Dia masih beru-
saha untuk kendalikan dirinya. Namun mendadak saja dirasa-
kan deru angin mengarah deras ke arahnya dari samping ka-
nan.
Dalam keadaan seperti itu, tak mungkin Andika dapat
memapakinya. Menghindar pun tak bisa dilakukan karena
orang yang mendorongnya sudah melepaskan jotosan. Ke-
timbang dirinya terhantam gelombang angin deras itu lalu
akhirnya jatuh pula ke dalam lembah, mau tak mau Andika
merelakan dirinya masuk ke dalam lembah!
Terdengar teriakannya yang sangat keras,
"Aaaakhhhh!!"
Teriakan itu menggema ke atas.
Sementara itu, dua orang yang tadi lakukan bokongan
pada Andika menyeringai penuh kepuasan.
"Dendamku telah terbalas! Pancen Dadap pasti tenang di
alam sana!!" terdengar suara lelaki berpakaian kuning-
kuning.
Menyusul satu suara, "Jadi dialah pemuda yang berjuluk
Pendekar Slebor? Sungguh tak patut julukannya begitu disan-
jung banyak orang! Pasu Suruan! Seluruh dendammu pa-
danya telah sirna hari ini, bukan?!"
"Kau betul, Nyi Genggong! Untuk pertama kali dalam
hidupku, aku merasakan kepuasan yang teramat sangat!!"
Kedua orang yang tak lain Ki Pasu Suruan dan Nyi
Genggong itu terbahak-bahak lebar.
Seperti kita ketahui, kedua manusia sesat itu segera me-
nuju ke Pulau Hitam setelah mendengar penjelasan dari Nyi
Genggong. Sepenanakan nasi sebelum Pendekar Slebor tiba
di tempat itu, keduanya telah lebih dulu tiba di sana.
Di saat hari masih cukup terang, keduanya tak bisa meli-
hat kedalaman lembah itu. Apalagi di saat hari sudah malam
begini.
Saat itu Nyi Genggong sedang memikirkan tentang dua
buah pohon yang menjadi patokan ke empat menuju ke Pulau
Hitam. Dia mengajak Ki Pasu Suruan untuk berkeliling men-
carinya. Setelah tak ditemukan, keduanya kembali ke tempat
semula.
Dan tanpa disangka, masing-masing orang melihat satu
sosok tubuh yang berdiri di permukaan lembah. Ki Pasu Su-
ruan yang mengenali siapa adanya orang itu, sudah tak kuasa
menahan diri lagi. Tetapi Nyi Genggong melarangnya untuk
menyerang.
Karena dia telah memikirkan cara yang lebih baik. Ki
Pasu Suruan sendiri dapat menerima rencana Nyi Genggong
kendati kemarahannya sudah tak dapat dibendung lagi.
Dan disaat Andika hendak meninggalkan tempat itu, Nyi
Genggong sudah bergerak cepat mendorongnya! Sementara
gelombang angin yang menggebah tadi dilepaskan oleh Ki
Pasu Suruan.
Sekarang, kedua manusia sesat itu terbahak-bahak penuh
kepuasan melihat rencana yang mereka jalankan berhasil di-
lakukan.
"Biar kau mampus terkubur selama-lamanya di dalam
sana, Pendekar Slebor!!" seru Ki Pasu Suruan sambil mem-
buat corong dengan kedua tangannya. "Bertemanlah kau den-
gan setan-setan neraka!!"
Nyi Genggong menyeringai lebar.
"Kau berhutang padaku, Pasu Suruan!"
Ki Pasu Suruan yang sedang gembira melihat orang
yang dibencinya berhasil didorong masuk ke dalam lembah,
cuma tertawa-tawa saja.
"Kupenuhi setiap janjiku padamu! Apa pun yang ada di
Pulau Hitam, akan kuserahkan padamu!"
"Bagus!"
"Tapi perlu kau ingat, Iblis Rambut Emas dan Sangga
Rantek sudah tentu tak akan tinggal diam! Bisa jadi keduanya
akan tiba pula di Pulau Hitam!"
"Apa maksudmu?" tanya Nyi Genggong tajam.
"Nyi! Apakah kau tidak berpikir, kalau kedua manusia
itu menghendaki hal yang sama denganmu? Sudah tentu me-
reka tak akan membiarkan sesuatu yang akan mereka da-
patkan di Pulau Hitam."
Sejenak Nyi Genggong terdiam sebelum buka mulut,
"Aku paham maksudmu. Tetapi, mengapa kau mau bersekutu
dengannya?"
"Bodoh! Aku bersekutu dengannya, dengan harapan tak
terlalu mengotori tangan kita dengan kematian Pendekar Sle-
bor! Biar mereka yang membunuhnya!"
"Licik juga akal manusia satu ini," dengus Nyi Geng-
gong dalam hati, Kemudian katanya, "Dengan kata lain, la-
wan kita saat ini adalah Iblis Rambut Emas dan Sangga Ran-
tek?"
"Tak salah! Tapi jangan lupa... Dewa Lautan Timur pun
nampaknya menginginkan apa yang ada di Pulau Hitam!"
"Peduli setan dengan orang tua bau tanah itu! Akan ku-
cincang tubuhnya sampai sekecil-kecilnya bila dia berani
mengganggu keinginanku!" dengus Nyi Genggong dengan
pandangan berapi-api. Namun sesuatu yang mendadak dis
adarinya membuatnya buru-buru berkata, "Lagi pula, kita tak
punya urusan dengannya! Karena yang kuketahui, dia hanya
punya urusan dengan Panembahan Agung! Berarti... kita akan
aman-aman saja bila berjumpa dengannya!"
Ki Pasu Suruan yang menangkap nada kecut pada kali-
mat terakhir Nyi Genggong, menyeringai lebar dan berkata
penuh ejekan, "Mengapa kau mendadak menjadi takut seperti
itu, hah? Apakah kau tak sanggup menandingi kesaktian De-
wa Lautan Timur."
Kendati sadar kalau sedang diejek, Nyi Genggong yang
tiba-tiba saja menjadi tidak enak dengan perkataannya sendi-
ri, berkata, "Aku tak takut sama sekali pada kakek keparat
itu! Siapa pun dia, bila menghalangi niat ku, maka akan ku-
bunuh!"
"Bagus! Dan sudah tentu aku tak akan tinggal diam bila
kita terpaksa berhadapan dengan Dewa Lautan Timur!" kata
Ki Pasu Suruan masih mengejek.
Nyi Genggong mendengus dalam hati. "Gila! Apa apaan
aku ngomong tadi? Sampai saat ini aku tak mengetahui ke-
saktian Dewa Lautan Timur! Tetapi menurut cerita guruku,
dia saja tak sanggup menandinginya! Huh! Masih untung
Dewa Lautan Timur tak berada di sini! Tapi kalaupun ada,
terpaksa aku tak tinggal diam. Hanya saja... bila bertemu
dengannya, aku akan menunjukkan sikap baik!"
Sementara itu, lelaki berkalung tengkorak yang secara
tidak langsung berhasil mengejek Nyi Genggong berkata lagi,
"Bila memang demikian adanya, berarti Panembahan Agung-
lah orang yang harus kita singkirkan pula!"
"Aku tak tahu kesaktian yang dimilikinya!"
"Jangan khawatir! Kita buat permainan baru!" bibir Ki
Pasu Suruan mengembang senyum aneh.
"Apalagi yang ada di benak manusia satu ini?" geram
Nyi Genggong dalam hati. Lalu katanya serius, "Apa mak-
sudmu dengan permainan baru itu?"
"Sebelum kita membunuh Iblis Rambut Emas dan Sang-
ga Rantek, kita akan tetap berlaku sebagai sekutu mereka. Bi-
la kita berempat, kupikir bukanlah hal yang sulit untuk mem-
bunuh Panembahan Agung."
"Hmmm... dengan kata lain, kau menduga Panembahan
Agung akan muncul di Pulau Hitam?"
"Tepat! Sudah tentu dia mendengar berita tentang ba-
nyaknya orang-orang yang menuju ke Pulau Hitam. Mustahil
bila dia berdiam diri saja! Terbukti selama bertahun-tahun,
dia tak mengizinkan siapa pun memiliki dua potongan pedang
yang bila disatukan akan menjadi patokan-patokan lengkap
menuju ke Pulau Hitam!"
Mendengar ucapan orang, Nyi Genggong mengangguk-
anggukkan kepala. Sementara itu, diam-diam Ki Pasu Suruan
tersenyum dalam hati.
"Pendekar Slebor tentunya telah mampus di lembah itu!
Berarti semua urusanku telah selesai! Tinggal mendapatkan
apa yang di Pulau Hitam! Setelah berhasil membunuh Pa-
nembahan Agung, Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas, ti-
ba giliran perempuan tua keparat ini untuk mampus!"
Sesaat tak ada yang keluarkan suara, angin terus ber-
hembus dingin.
Sampai kemudian Nyi Genggong berkata, "Kita telah
mengelilingi lembah ini, tetapi tak mendapatkan patokan dua
buah pohon. Lebih baik...."
"Kau sendiri yang sebenarnya bodoh! Katamu, kau telah
menemukan dua pohon itu sebelumnya!"
"Tutup mulutmu!" menggelegar suara Nyi Genggong.
"Sudah kukatakan tadi, waktu itu aku datang ke sini siang ha-
ri, hingga aku masih ingat patokannya! Tetapi sekarang, se
muanya nampak samar dan samar! Apakah kau...."
"Sudah, sudah!" sahut Ki Pasu Suruan yang tak mau bu-
ka urusan dengan Nyi Genggong. Perempuan tua itu memang
cepat sekali panasan. Lalu katanya, "Sekarang kita bergerak
ke kiri. Barangkali kita akan menemukan dua buah pohon
itu...."
Kendati masih mendengus gusar, Nyi Genggong men-
giyakan.
"Kau akan kubunuh bila sudah kuketahui rahasia apa
yang ada di Pulau Hitam, Manusia terkutuk!" makinya geram
dalam hati.
Sementara itu, Ki Pasu Suruan membatin gusar, "Tak
lama lagi, kau akan mampus di tanganku, Perempuan Cela-
ka!!"
Lalu masing-masing orang pun bersiap untuk mening-
galkan tempat itu. Namun belum lagi mereka melakukannya,
mendadak saja satu gelombang angin yang maha dahsyat
menggebah. Terkejut bukan alang kepalang keduanya.
Dengan sigap mereka berusaha untuk menghindari gem-
puran angin itu. Namun dua gelombang angin yang datang
kemudian, tak kuasa mereka elakkan.
Telak masing-masing orang terseret ke belakang. Tidak
terlempar jatuh ke dalam lembah. Namun akibat yang terjadi
sungguh mengenaskan.
Karena begitu masing-masing orang terbanting di atas
tanah, terdengar suara 'krak' yang cukup keras. Disusul kelu-
han tertahan menandakan Sakit yang luar biasa.
"Apa yang terjadi?" desis Nyi Genggong yang merasa-
kan tulang punggungnya patah.
"Aku tak tahu! Ada orang yang telah menyerang kita!"
sahut Ki Pasu Suruan bagai rintihan. Tulang punggungnya
pun patah.
"Siapa?" desis Nyi Genggong menahan sakit.
Dan masing-masing orang tak tahu siapa yang melaku-
kan serangan mengerikan itu. Karena mendadak saja satu ge-
lombang angin lainnya telah menerjang.
Kali ini sudah tentu tak mungkin mereka dapat hindari
lagi ganasnya labrakan angin yang datang. Dan tanpa ampun
lagi, masing-masing orang telak terhantam. Diiringi teriakan
yang sangat keras, tubuh keduanya terlempar sejarak tiga
tombak dari tempat semula.
Lalu terbanting keras di atas tanah dengan nyawa me-
layang. Kepala mereka pecah. Dari mulut dan hidung keluar
darah segar. Dan beberapa tulang di tubuh masing-masing
orang patah.
Kejap kemudian, berkelebat satu sosok tubuh tinggi ber-
sorban kuning. Dengan langkah dan pandangan angker, orang
itu mendekati mayat keduanya.
Lalu meludahinya dengan penuh kebencian. "Manusia-
manusia tak tahu diri! Ilmu baru sejengkal sudah berani me-
nantangku!!" desis orang yang tak lain Dewa Lautan Timur
adanya ini.
Rupanya, selagi Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong me-
rencanakan apa yang akan mereka lakukan, Dewa Lautan
Timur telah tiba di tempat itu.
Sudah tentu mendidih darah kakek sesat yang mempu-
nyai dendam setinggi langit pada Panembahan Agung, begitu
mendengar orang mengecilkan dirinya.
Tanpa mau buang waktu lagi, dia langsung lancarkan se-
rangannya. Kalaupun saat itu Ki Pasu Suruan dan Nyi Geng-
gong menghadapinya, sudah tentu mereka tak akan mampu
menandingi kesaktian sekaligus keganasan Dewa Lautan Ti-
mur.
Dan kedua orang yang mempunyai akal licik itu telah
tewas tanpa mengetahui siapa pembunuh mereka.
Dewa Lautan Timur perhatikan sekelilingnya. Lalu di-
bukanya kain putih pembungkus potongan pedang yang dire-
butnya dari Gadis Kayangan.
"Dua buah pohon! Aku harus melangkah ke kiri! Dan...
akan tiba di Pulau Hitam! Ha ha ha...."
Tawa kakek sesat ini menyentak malam, bertalu-talu
mengalahkan lolongan serigala.
"Di Sana, di Pulau Hitam, akan menjadi kuburanmu, Pa-
nembahan Agung!!"
Masih tertawa keras, Dewa Lautan Timur segera berke-
lebat meninggalkan tempat itu, sambil memasukkan kembali
bungkusan kain putih ke balik pakaiannya.
***
7
bungkusan kain putih ke balik pakaiannya.
***
7
Lalu bagaimana dengan nasib naas yang dialami secara
beruntun oleh Pendekar Slebor? Begitu tubuhnya terlontar ke
dalam lembah, anak muda urakan ini masih dapat pergunakan
otak dan kecepatannya. Tangannya menggapai apa saja yang
dapat digapainya. Namun karena gelapnya lembah itu, diirin-
gi luncuran tubuhnya yang begitu cepat, sulit baginya untuk
mendapatkan apa yang bisa digapainya.
"Kutu monyet! Aku belum mau mampus!!" serunya ge-
ram. Sebisanya dia untuk menggapai apa saja. Namun tak di-
dapatnya apa yang diharapkan.
Dan secara mendadak dilepaskan lilitan kain bercorak
catur pada lehernya. Dengan tubuh yang terus meluncur, An-
dika segera menggerakkan kain bercorak caturnya.
Plaakk! Sleebb!!
Kain bercorak catur itu menghajar sesuatu yang patah
dan terpental, menyusul masuk ke dalam dinding lembah.
Begitu kain bercorak catur itu masuk ke dinding lembah,
dengan menjadikan kain bercorak catur sebagai tuas dan per-
gunakan ilmu peringan tubuhnya, Andika memutar tubuh ke
atas, ke arah dinding lembah. Karena dia yakin, pasti di dind-
ing lembah itu ditumbuhi pepohonan merambat.
Pan nasib naas nampaknya tidak lagi berpihak padanya.
Begitu dia memutar tubuh dengan kaki ke atas hingga
menabrak dinding lembah, dirasakan sesuatu menyentuh ke-
dua kakinya. Tanpa berpikir panjang lagi, dia langsung
menggerakkan kedua kakinya untuk mengepit apa yang dira-
sakannya.
Hanya dalam Waktu satu kejapan mata Andika mem-
biarkan kedua kakinya mengepit apa yang dirasakannya itu,
sebelum menghempos tubuhnya ke atas seraya menarik kain
bercorak catur yang tadi sempat menyelamatkan dirinya.
Kali ini lontaran tubuhnya agak meninggi. Tangan ki-
rinya menggapai asal saja dan didapatkan akar pohon me-
rambat di dinding lembah.
Dengan terus kerahkan ilmu peringan tubuhnya, anak
muda urakan yang hampir mati konyol ini, bergelantungan
sambil memaki-maki.
"Monyet pitak! Bisa-bisa aku nggak pernah mencicipi
nasi uduk lagi nih!"
Dasar urakan! Sudah mau ko'it begitu masih juga bersi-
kap konyol.
Bergelantungan pada pohon merambat nampaknya tak
bisa dilakukan lebih lama lagi. Karena Andika yakin kalau
pohon merambat itu tak akan mampu menahan bobot tubuh-
nya lebih lama, kendati dia telah kerahkan ilmu peringan tu-
buhnya.
Didongakkannya kepala. Dari dalam lembah, terlihat je-
las permukaan lembah yang kira-kira masih sejarak tujuh
tombak.
"Busyet! Bagaimana caranya aku bisa keluar dari
tempat celaka ini? Sial betul nasibku! Baru saja selamat,
sudah dibikin kayak begini! Huh! Biar kujitak kepala orang-
orang celaka yang membuatku jadi kayak tarzan kemalaman
begini!"
Diperkirakannya jarak di mana dia berada sekarang den-
gan permukaan lembah. Dikuatkan hati dan dibulatkan tekad.
Dengan perlahan-lahan Andika meraba-raba dengan per-
gunakan tangan kanannya, sementara kain bercorak catur te-
lah disampirkan di bahu kirinya.
"Hmmm... pohon merambat ini nampaknya tumbuh ke
atas dan ke bawah. Dapatkah aku menitinya?"
Baru saja dia bertanya pada dirinya sendiri, mendadak
saja pohon merambat yang dipegangnya tercabut.
"Heeiii!!"
Kontan tubuhnya meluncur kembali ke bawah. Namun
sebelum meluncur terlalu jauh, Andika cepat menyentakkan
kaki kanannya pada dinding lembah. Dan dengan cepat pula,
di saat hentakan kaki kanannya yang membuat tubuhnya agak
terlontar itu, dia menyentak tubuhnya, hingga terpental ke
atas. Dan....
Tap!
Pohon merambat di bagian atas terpegang lagi.
"Bangun-bangun makan nasi sama ayam panggang!" de-
sisnya dengan tubuh berkeringat. "Bisa garing tubuh ku kalau
terhempas dalam lembah yang tak kuketahui berapa dalam-
nya ini! Aku harus... hei!!"
Memutus kata-katanya sendiri, Andika mendongak
kembali. Meyakinkan diri kalau pohon merambat itu terus
tumbuh hingga ke permukaan lembah.
"Pohon merambat ini jelas tak kuasa menahan bobot tu-
buhku lebih lama. Tadi secara tak sengaja aku berhasil ter-
hindar dari kematian. Kalau begitu... akan kucoba lagi."
Dengan hati-hati dan kerahkan ilmu peringan tubuhnya,
Andika menyentakkan kaki kanannya ke dinding lembah.
Tap!
Begitu menyentak, dia langsung memutar tubuh ke atas
dan menangkap pohon merambat di bagian atas. Berhasil me-
lakukannya, dia segera melakukannya lagi, hingga akhirnya
berhasil keluar dari dalam lembah.
Begitu tiba di atas, dijatuhkan tubuhnya di atas tanah
dengan napas megap-megap. Angin malam membelai dingin
wajahnya. Tapi dirasakan sangat sejuk ketimbang berada da-
lam lembah yang berudara lembab. "Nasibku masih berun-
tung...," desisnya. Dua tarikan napas kemudian, dia telah ber-
diri dengan sigap. Khawatir kalau orang yang tadi mencela-
kakannya masih berada di sekitar sana. Pandangannya dibuka
lebih lebar dan berhati-hati dia memutar tubuh tanpa bergeser
dari tempatnya.
Begitu disadari tak ada siapa pun di sana, anak muda
slebor ini menarik napas lega.
"Kadal buntung! Kenapa sih begitu banyak orang yang
menginginkan nyawaku?!" sungutnya jengkel. Lalu dia me-
nyambung, kali ini agak kege-eran, "Mungkin mereka iri ka-
rena aku ganteng begini kali ya? Monyet buduk! Lebih baik
kuteruskan saja untuk mencari dua pohon yang menjadi pato-
kan terakhir menuju ke Pulau Hitam! Siapa tahu orang-orang
yang mencelakakanku itu telah tiba di Pulau Hitam! Hebat
betul bila ternyata ada juga orang yang berhasil tiba di sana!"
Setelah perhatikan sekelilingnya sekali lagi, Pendekar
Slebor pun segera berlari. Sejarak sepuluh tombak dari tem
pat semula, dihentikan larinya. Pandangannya tak berkedip
melihat dua sosok tubuh yang tergeletak tanpa nyawa. Untuk
sejenak anak muda ini mengerutkan keningnya.
"Ki Pasu Suruan...," desisnya sambil menahan napas.
"Gila! Siapa yang bikin orang ini mampus? Dan... apakah pe-
rempuan berpakaian hitam compang-camping itu yang ber-
nama Nyi Genggong? Bukankah Sangga Rantek mengatakan
kalau Ki Pasu Suruan bersama orang yang bernama Nyi
Genggong? Kura-kura bau! Siapa yang telah membunuh ke-
duanya secara kejam seperti ini?"
Pendekar Slebor terdiam sambil garuk-garuk kepalanya
yang tidak gatal. Pandangannya tak lepas dari kedua mayat di
hadapannya.
"Menilik serangan yang datang padaku sebelumnya, tak
pelak lagi kalau kedua orang ini yang telah melakukannya!
Tapi, bagaimana ceritanya mereka bisa mampus? Dan nam-
paknya, si pembunuh bukan hanya memiliki kesaktian tinggi,
tapi juga kekejaman yang luar biasa! Huh! Bikin kepala jadi
makin runyam saja!"
Kembali dia garuk-garuk kepalanya yang tak gatal se-
raya berkata, "Huh! Buat apa memikirkan kedua manusia ce-
laka ini? Mereka mampus toh tak ada ruginya!!"
Setelah pandangi sekali lagi mayat Ki Pasu Suruan dan
Nyi Genggong, Pendekar Slebor segera berkelebat untuk me-
nemukan dua buah pohon yang menjadi patokan menuju ke
Pulau Hitam. Setelah ditemukannya, kembali dia hentikan
langkah.
Diingat-ingatnya apa yang harus dilakukan setelah me-
nemukan dua pohon besar ini. Memang, di sekitar sana yang
nampak hanya padang pasir. Sungguh aneh kelihatannya ka-
lau ada dua buah pohon yang tumbuh di sana. Dapat di-
bayangkan bagaimana panasnya tempat ini bila siang hari.
"Hmmm... setelah menemukan kedua pohon ini, aku ha-
rus sedikit agak ke barat. Ya, ke barat! Setelah itu... Pulau Hi-
tam akan kutemukan! Huh! Semakin dekat dengan tujuan,
mengapa hatiku semakin tak menentu? Dapat kurasakan ka-
lau sesuatu yang sangat mengerikan akan terjadi di Pulau Hi-
tam...."
Tak mau memikirkan lebih lama, anak muda urakan
yang baru saja selamat dari kematian, sudah berlari ke arah
kiri.
***
Menjelang malam mengakhiri perjalanannya, Iblis Ram-
but Emas dan Sangga Rantek tiba di tempat itu. Mereka san-
gat terkejut melihat mayat Ki Pasu Suruan dan Nyi Geng-
gong.
"Gila! Siapa yang telah membunuh keduanya?" desis Ib-
lis Rambut Emas sambil memeriksa kedua mayat itu.
Pertanyaan itu seperti ditujukan pada dirinya sendiri. Te-
tapi Sangga Rantek menjawab, "Tentunya... orang yang me-
miliki kesaktian tinggi."
"Apakah Pendekar Slebor?" "Tak mungkin!" sahut
Sangga Rantek. Iblis Rambut Emas berdiri kembali. "Menga-
pa tak mungkin?"
"Bukankah saat bertarung dengan kita dia sudah terluka
parah? Dan sudah tentu saat ini dia sudah mampus dibunuh
Setan Cambuk Api?"
"Bagaimana bila ternyata Pendekar Slebor masih mampu
mengalahkan Setan Cambuk Api?"
"Kemungkinan itu tipis! Dia sudah terluka parah! Tak
mungkin dapat berbuat lebih banyak!"
Mendengar jawaban itu, Iblis Rambut Emas terdiam.
Otaknya berpikir keras.
Mendadak dia ajukan tanya, "Bagaimana bila ternyata di
saat kita menghadapi Setan Cambuk Api, Pendekar Slebor
mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri?"
Terkesiap Sangga Rantek mendengar pertanyaan orang.
Sesaat lelaki berpakaian serba hitam ini terdiam. Pandangan-
nya nampak agak menyipit.
Menyusul dia mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ke-
mungkinan itu dapat terjadi! Jahanam sial! Sudah seharusnya
kita bunuh Setan Cambuk Api lalu membunuh Pendekar Sle-
bor!"
Iblis Rambut Emas mendengus. "Jangan mendumal! Bu-
kankah kau sendiri yang mengajak untuk meninggalkan Setan
Cambuk Api?"
Sangga Rantek menggeram dingin. Separo menyesali
tindakannya.
Tetapi nampak lelaki berkuncir kuda ini menggeleng-
gelengkan kepala. Kemudian katanya, "Kemungkinan itu
memang bisa terjadi! Tapi, tak mungkin dia yang membunuh
Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong!"
"Apa lagi yang ada di pikiranmu itu, hah?!" dengus Iblis
Rambut Emas..
"Melihat kematian mengenaskan yang dialami Ki Pasu
Suruan dan Nyi Genggong, nampaknya dia tak banyak mela-
kukan perlawanan! Dalam keadaan masih terluka, taruhlah
Pendekar Slebor memang telah berhasil menyembuhkan luka
dalamnya, tak mungkin dia berhasil membunuh Ki Pasu Su-
ruan dan Nyi Genggong seperti ini! Kuakui... kendati aku
membenci dan ingin membunuh Pendekar Slebor, tetapi pe-
muda itu bukanlah orang yang memiliki hati kejam!"
"Huh! Kau mulai memujinya!"
"Tutup mulutmu! Tak ada sedikit pun keinginanku untuk
memujinya! Tapi..."
"Kalau memang bukan dia yang membunuhnya, siapa
orang yang melakukannya?" putus Iblis Rambut Emas den-
gan pandangan melotot,
Sangga Rantek tak menjawab. Mulutnya nampak ber-
kemak-kemik namun tak keluarkan suara. Dari sinar matanya
yang tajam, nampak dia tak suka mendengar bentakan si pe-
rempuan berkerudung merah di hadapannya ini.
Sesaat tak ada yang keluarkan suara.
Dan kesunyian itu dipecahkan oleh kata-kata Sangga
Rantek, "Orang yang membunuhnya, sudah tentu memiliki
kesaktian yang sangat tinggi. Aku yakin, Ki Pasu Suruan dan
Nyi Genggong tak diberi kesempatan untuk melakukan per-
lawanan. Bila bukan Pendekar Slebor, bisa jadi Setan Cam-
buk Api. Akan tetapi, menghadapi Setan Cambuk Api, kedu-
anya masih dapat melawan. Mungkin mengalahkannya. Be-
rarti...."
"Berarti apa?!" sengat Iblis Rambut Emas. "Kau ingat
cerita Nyi Genggong pada Ki Pasu Suruan waktu itu?" tanya
Sangga Rantek tanpa pedulikan bentakan Iblis Rambut Emas.
"Tentang Dewa Lautan Timur?" "Ya! Kala itu kita men-
guping pembicaraan Nyi Genggong dengan Ki Pasu Suruan!
Kupikir satu-satunya orang yang dapat membunuh keduanya
dengan mudah adalah Dewa Lautan Timur!"
Mendengar jawaban orang, perempuan berambut emas
itu terdiam. Wajahnya menekuk dan terlihat kecemasan
membayangi wajahnya.
Sangga Rantek sendiri terdiam sebelum akhirnya berka-
ta, "Peduli setan siapa pun orang yang telah membunuh kedua
manusia celaka ini! Firasatku mengatakan, kita telah mende-
kati Pulau Hitam! Kita bergerak sekarang!!"
Habis kata-katanya, Sangga Rantek sudah berkelebat
mendahului. Disusul Iblis Rambut Emas. Dan tanpa sepenge-
tahuan satu sama lain, masing-masing orang mencemaskan
kemungkinan munculnya Dewa Lautan Timur.
***
8
Pulau Hitam.
Sebuah tempat yang begitu sangat mengerikan. Pulau itu
cukup luas, dipenuhi dengan ranggasan semak belukar dan
pepohonan. Namun yang cukup aneh, karena tak ada pepoho-
nan yang berwarna hijau seperti lazimnya. Semua berwarna
hitam. Bahkan hamparan langit pun begitu kelam. Tak ada si-
nar matahari yang masuk. Di tempat mengerikan itu, hanya
kegelapan yang agak samar-samar yang nampak. Di kejauhan
terdengar debur ombak, pertanda tak jauh dari Pulau Hitam
terdapat lautan yang cukup luas.
Keanehan itu dirasakan oleh Pendekar Slebor yang tiba
di sana. Untuk beberapa saat anak muda urakan ini terdiam
dengan kening berkerut memperhatikan sekelilingnya yang
serba hitam.
"Gila! Udara di sini sangat menusuk sekali! Apa-apa
yang nampak begitu mengerikan! Aku yakin, saat ini hari te-
lah memasuki siang! Tetapi apa yang nampak di sini, hanya
samar-samar laksana malam!!" desisnya. Dan tanpa disada-
rinya, hatinya terasa sedikit agak bergetar.
Hati-hati pemuda berambut gondrong acak-acakan ini
melangkah. Angin menghembus wajahnya, terasa sangat me-
nusuk. Seraya melangkah dia membatin, "Aku yakin... inilah
Pulau Hitam... pulau yang menyimpan segala misteri. Namun
rahasia apa yang terdapat di pulau ini?"
Dengan penuh kesiagaan Pendekar Slebor terus melang-
kah dengan membuka kedua matanya lebih lebar, dan hati di-
liputi berbagai pertanyaan. Mendadak saja anak muda ini
hentikan langkahnya dan menoleh ke belakang, tatkala pen-
dengarannya menangkap langkah suara orang.
Begitu dia putar tubuh, dilihatnya Sangga Rantek dan Ib-
lis Rambut Emas di belakangnya.
"Hmmm... mereka akhirnya tiba pula di pulau ini," de-
sisnya dalam hati.
Sementara itu Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek
saling pandang dengan kening berkerut, begitu melihat pe-
muda yang dibencinya berada sejarak delapan tombak dari
tempat mereka berdiri.
"Ternyata apa yang kita duga itu benar, kalau pemuda
celaka itu belum mampus!" desis Sangga Rantek geram.
"Dia memiliki kecerdikan yang tinggi! Juga memiliki
nyawa rangkap!" dengus Iblis Rambut Emas.
"Ketimbang akan jadi urusan, sebelum ada lagi orang
yang datang ke sini, lebih baik kita bunuh saja!!"
Usul Sangga Rantek langsung disetujui Iblis Rambut
Emas. Seketika masing-masing orang menerjang ke depan
dengan teriakan mengguntur.
Di depan, Pendekar Slebor sendiri mendengus dan ber-
siap untuk menerima labrakan kedua orang itu.
Namun sebelum dia lakukan satu tindakan, sebelum se-
rangan Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek mengenai sa-
sarannya, mendadak saja kedua orang itu terpelanting ke be-
lakang.
"Aaaakhhhh!!" teriakan keras terdengar secara bersa-
maan.
Sementara Andika mengerutkan keningnya, tubuh kedua
orang itu terbanting keras di atas tanah.
"Aneh! Mengapa tahu-tahu mereka terbanting seperti
itu? Tak kurasakan ada tenaga yang telah menyerangnya! Oh,
apakah ini termasuk salah satu rahasia yang ada di Pulau Hi-
tam?"
Belum lagi pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Ku-
tukan ini memecahkan apa yang baru saja terjadi, mendadak
saja terdengar suara menggema yang begitu agung, "Barang
siapa yang menginjakkan kaki di Pulau Hitam, dia harus ber-
pikir jernih dan berhati suci! Pulau Hitam adalah pulau kera-
mat! Tak boleh dikotori oleh tangan-tangan penuh dosa! Bila
kalian menerima semua ini, rahasia akan terbuka!!"
Bukan hanya Pendekar Slebor yang terheran-heran men-
dengar suara menggema itu. Iblis Rambut Emas dan Sangga
Rantek yang telah berdiri lagi dan merasakan ngilu pada dada
mereka, pun harus mengerutkan kening.
Pandangan mereka segera diputar ke berbagai tempat.
Namun tak satu sosok tubuh pun yang berada di sana, kecuali
mereka dan Pendekar Slebor.
Di lain pihak, Pendekar Slebor sedang mengerutkan ke-
ningnya. Hatinya bertanya-tanya, "Suara itu begitu agung se-
kali. Apakah... Panembahan Agung yang telah bicara? Bisa
jadi orang yang bersuara itu yang menahan serangan Iblis
Rambut Emas dan Sangga Rantek kepadaku."
"Bila kalian dapat memenuhi semua itu, maka berjalan-
lah kalian ke muka! Karena sebentar lagi satu urusan pahit
akan ada di hadapan kalian! Aku tak tahu siapa yang dapat
memecahkan urusan itu, karena dua anak manusia mau tak
mau akan bertarung sengit sampai salah seorang anak tewas!
Bila ada yang berhasil memecahkan rahasia di antara mereka,
maka dialah orang yang berhak mendapatkan apa yang men-
jadi rahasia di Pulau Hitam ini?!"
Kembali tak ada yang keluarkan suara. Sangga Rantek
berbisik setelah melirik geram pada Pendekar Slebor, "Apa-
kah kau punya dugaan siapa orang yang bicara itu?"
Perempuan berambut emas yang ditutupi kerudung me-
rah menggelengkan kepalanya.
"Sulit menebak siapa dia adanya. Bahkan suaranya se-
perti terdengar dari berbagai penjuru."
"Kau paham apa yang dikatakannya?" aju Sangga Ran-
tek kembali.
Iblis Rambut Emas menggelengkan kepalanya. Tanpa
disadarinya, hati perempuan berjubah merah ini merasa tak
menentu.
Sementara itu Pendekar Slebor membatin, "Aku masih
tak mengerti sebenarnya. Ternyata, setiba di Pulau Hitam ini,
masih ada urusan, yang harus diselesaikan sebelum mengeta-
hui rahasia apa yang terpendam. Lalu siapa yang dimaksud-
kan akan melakukan satu pertarungan?"
Untuk beberapa lama pemuda yang memiliki sepasang
alis hitam legam dan menukik laksana kepakan sayap elang
ini terdiam, sebelum kemudian dia mengangguk-anggukkan
kepalanya.
"Menilik kata-kata orang yang sulit kuketahui siapa dan
di mana adanya, jelas hanya dua orang yang akan bertarung.
Dan setahuku, Panembahan Agung serta Dewa Lautan Timur
akan berusaha untuk tiba di tempat ini. Jangan-jangan... ke-
dua orang itulah yang dimaksud orang yang bersuara tadi?
Tetapi, bagaimana mungkin bisa diketahui? Sementara aku
sendiri belum melihat kehadiran Panembahan Agung dan
Dewa Lautan Timur? Hanya saja, jelas kalau Dewa Lautan
Timur tak akan hadir dengan wujud aslinya! Kutu monyet!
Tentunya dia akan menyamar sebagai Panembahan Agung
dan membuat orang yang melihat, termasuk aku, akan kebin-
gungan menentukan yang mana yang asli dan yang mana
yang palsu! Monyet gundul!!"
Suara orang yang terdengar dari berbagai penjuru itu
menggema kembali, "Matahari semakin naik menuju puncak-
nya! Tak lama lagi pertarungan sengit tak dapat dihindarkan!
Bila ada yang berhasil memecahkan persoalan di antara ke-
dua orang itu, maka dia berhak mendapatkan rahasia yang
terpendam di Pulau Hitam ini?!"
Di tempatnya, kembali Andika membatin, "Tak kulihat
matahari dan tak kurasakan sengatannya. Namun orang itu
mengatakan hari sudah menuju siang. Hmmm... dugaanku
semakin kuat kalau Panembahan Agung dan Dewa Lautan
Timur-lah yang dimaksud orang itu! Lalu... oh! Mengapa se-
pertinya semua serba kebetulan? Bukankah aku orang yang
berusaha memecahkan masalah di antara Panembahan Agung
dan Dewa Lautan Timur? Karena, akulah yang pertama sekali
bersama dengan Gadis Kayangan, telah masuk pada persoa-
lan dendam lama antara Dewa Lautan Timur dengan Panem-
bahan Agung? Aneh! Semuanya terasa serba kebetulan, tetapi
aku yakin, semuanya seperti memang telah diatur. Tetapi oleh
siapa? Siapa yang bisa memikirkan masa depan secara pasti?
Atau...."
Pendekar Slebor terdiam. Otaknya diperas kuat-kuat.
Tak lama kemudian, terlihat kepalanya mengangguk-angguk.
"Ya, ya... aku punya dugaan kuat siapa orang yang baru-
san bicara.... Sudah tentu dia.... Tetapi, ini baru dugaan. Ma-
sih banyak yang harus kuyakini lebih dulu. Kendati demikian,
memang hanya seorang yang dapat mengetahui semua ini.
Mungkin dengan ilmu dan kesaktiannya, dia telah meramal-
kan kalau semua ini terjadi. Semenjak puluhan tahun yang la-
lu. Bila memang demikian, berarti...."
Kata batin Pendekar Slebor mendadak terputus. Karena
tiba-tiba saja terdengar angin berkesiur cukup keras. Tak ada
letupan yang terdengar, namun pasir hitam sejarak lima tom-
bak di hadapannya membuyar ke udara.
Mendadak saja telah berdiri satu sosok tubuh berpakaian
putih panjang dengan sulaman angin dan api berwarna biru
dan merah. Pancaran mata kakek yang memiliki rambut, ku-
mis, dan jenggot putih itu, begitu teduh sekali.
Bukan hanya Pendekar Slebor yang keluarkan suara,
"Panembahan Agung!" Iblis Rambut Emas dan Sangga Ran-
tek pun berucap kata yang sama.
Orang tua yang mendadak muncul itu memang sosok
Panembahan Agung. Dan dia kembangkan senyumnya yang
begitu tenang pada ketiga orang yang berada di sana.
Tak seperti yang dialami Iblis Rambut Emas dan Sangga
Rantek yang begitu melihat kemunculan si kakek mendadak
menjadi membenci, Pendekar Slebor justru merasakan ha-
tinya agak bergetar keras.
"Oh! Salah seorang dari Panembahan Agung telah mun-
cul di sini! Apakah kakek ini adalah Panembahan Agung
yang asli? Atau justru Panembahan Agung yang palsu? Dan
menilik kehadirannya, jelas apa yang dimaksud orang yang
bersuara tadi, memang pertarungan antara Panembahan
Agung dan Dewa Lautan Timur. Tapi, apakah...."
Terputus kata-kata Pendekar Slebor, tatkala kembali ter-
dengar angin berkesiur keras. Pasir yang muncrat akibat kesi-
uran angin itu lebih tinggi dari yang pertama.
Seperti kedatangan si kakek, mendadak pula telah berdiri
satu sosok tubuh dengan kedua tangan bersedekap di depan
dada. Sosok berpakaian putih panjang dengan sulaman angin
dan api berwarna biru dan merah. Sosok yang berwajah te-
nang dihiasi rambut, kumis, dan jenggot memutih.
Sosok Panembahan Agung!
Kalau Pendekar Slebor yang telah mengetahui semua ini
hanya mendengus, lain halnya dengan Iblis Rambut Emas dan
Sangga Rantek.
Kedua manusia sesat itu melongo dengan kedua mata
terbuka lebih lebar. Bahkan saking kagetnya, tanpa sadar
masing-masing orang surut satu tindak ke belakang.
Lagi tanpa mereka sadari keduanya berucap kaget, "Pa-
nembahan Agung!"
Disusul suara Sangga Rantek, "Gila! Apa yang telah ter-
jadi? Apakah Panembahan Agung ternyata kembar?!"
***
Dua sosok Panembahan Agung telah berada di sana.
Masing-masing perlihatkan sikap yang tak jauh berbeda. Ke-
duanya tersenyum bijak dan bersikap tenang.
Andika yang merasa dirinyalah yang harus memecahkan
yang manakah Panembahan Agung yang sesungguhnya,
hanya garuk-garuk kepala.
"Kutu monyet! Dua orang Panembahan Agung telah tiba
di sini? Dan nampaknya pertarungan memang tak dapat di-
elakkan! Aku tetap berkeyakinan, kalau salah seorang dari
mereka adalah Dewa Lautan Timur yang menyamar? Tetapi,
yang mana orangnya?"
Untuk beberapa saat Pendekar Slebor memperhatikan
dua sosok Panembahan Agung yang bersikap tenang, bergan-
tian.
Seraya maju satu langkah ke muka, anak muda ini berka-
ta, "Wah! Kuucapkan selamat atas keberhasilan kalian yang
berhasil mendatangi Pulau Hitam! Selamat, deh!"
Kedua Panembahan Agung itu tersenyum. Yang datang
pertama kali berkata, "Anak muda! Bukan hanya diriku yang
telah tiba di sini, tetapi kawan yang serupa denganku pun te
lah tiba! Apa yang akan kau lakukan sekarang? Apakah kau
akan menunjuk siapa Panembahan Agung yang asli dan pal-
su? Atau, kau punya pikiran lain untuk menentukan yang ma-
na di antara kami Panembahan Agung yang asli?!"
Mendengar ucapan itu, Andika menggaruk-garuk lagi
kepalanya. Otaknya cukup runyam menghadapi masalah ini.
Diliriknya Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek yang nam-
pak hanya berdiam diri dengan pandangan tak berkedip. Ken-
ing masing-masing orang masih berkerut, tak percaya dengan
pemandangan yang ada di hadapan mereka.
Lalu Andika berkata, "Mana bisa aku langsung menun-
juk yang mana di antara kalian yang asli dan yang mana
orang celaka yang lakukan tindakan busuk seperti ini? Habis-
nya, kalian satu sama lain tak berbeda! Cuma saja... o ya,
mana tanda yang telah kuberikan pada kalian?!"
Sementara itu, Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek
yang masih keheranan, perlahan-lahan tahu apa yang telah
terjadi. Ada dua orang yang mengaku sebagai Panembahan
Agung. Dan Pendekar Slebor telah mengalami masalah rumit
ini sebelumnya, hingga memberikan tanda pada masing-
masing orang.
Panembahan Agung yang datang belakangan berkata te-
nang, "Anak muda! Apakah kau pikir tanda yang kau berikan
pada kami, dapat kau jadikan sebagai petunjuk siapa yang asli
dan siapa yang palsu?"
Andika menggelengkan kepalanya, agak ragu. Lalu ka-
tanya, "Sudah tentu tidak! Kan waktu itu kukatakan, aku cu-
ma memastikan siapa Panembahan Agung yang sebelumnya
bercakap-cakap denganku dan
Gadis Kayangan, lalu siapa yang tahu-tahu muncul di
ambang pintu!! Seingatku, yang pertama berbicara denganku,
mendapatkan pecahan genting bertuliskan huruf" 'PS' yang
putih. Sementara yang datang belakangan, mendapatkan yang
agak menghitam! Ayo, kalian serahkan kepadaku! Biar kepa-
laku tidak jadi makin pusing!"
Panembahan Agung yang datang belakangan, mendadak
melempar sesuatu ke arah Andika. Gerakan yang dilakukan-
nya ringan saja, namun hasil lemparannya cukup menge-
jutkan.
Bila saja Andika tidak kerahkan tenaga dalamnya, begitu
pecahan genting ditangkapnya, sudah pasti tubuhnya agak
terjerembab ke belakang. "Brengsek!" makinya kesal dalam
hati. Segera dibuka telapak tangannya. Dilihatnya pecahan
genting bertuliskan huruf 'PS' berwarna putih.
"Anak muda... sekarang giliranku!" kata Panembahan
Agung yang datang pertama.
Andika langsung mengangkat kepalanya. Dengan cara
yang sama, Panembahan Agung ini melemparkan potongan
genting itu. Dengan kerahkan tenaga dalamnya, sigap Andika
kembali menangkapnya. Lalu segera dibuka telapak tangan-
nya. Saat itu juga terdengar desisannya terkejut, begitu meli-
hat pecahan genting di telapak tangannya. "Oh!"
Pecahan genting itu, bertuliskan huruf 'PS' yang berwar-
na putih pula!
***
9
"Monyet pitak! Sudah tentu salah seorang dari mereka
telah mengubah warna hitam pada pecahan genting yang di-
milikinya menjadi putih!" desisnya mangkel. "Kutu busuk!
Seingatku, Panembahan Agung yang tahu-tahu muncul di
ambang pintu, mendapatkan pecahan genting yang berwarna
agak kehitaman! Dan sudah tentu dialah orang yang telah
mengubahnya menjadi warna putih! Tetapi sekarang, yang
mana di antara keduanya yang telah lakukan hal semacam
ini? Kadal buntung! Sambel terasi! Badak bau!!"
Panembahan Agung yang datang pertama berkata lagi,
"Anak muda! Kulihat perubahan pada wajahmu? Apakah kau
tak bisa menentukan sekarang juga?!"
"Brengsek!" dengus Andika. Lalu seperti tukang obat,
tangan kanan kirinya mengangkat dua pecahan genting yang
bertuliskan huruf 'PS' itu. "Ayo, siapa yang nakal nih? Siapa
yang telah mengubah warna pada salah satu pecahan genting
hingga menjadi serupa dengan yang lain?!"
Sudah tentu kedua Panembahan Agung itu tak ada yang
berucap. Namun wajah masing-masing orang sama sekali tak
menampakkan kekagetan. Malah tenang-tenang saja.
Melihat hal itu, Andika mendengus, "Kadal pitak! Masa
sih tidak ada yang mau bertanggung jawab?!"
Di lain pihak, Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek,
hanya tetap memperhatikan. Kali ini mereka tak berkeinginan
untuk membunuh Pendekar Slebor. Pertama, karena mereka
telah berhasil tiba di Pulau Hitam. Kedua, mereka tertarik un-
tuk mengetahui apa yang telah terjadi sekarang. Ketiga, bila
urusan dua Panembahan Agung selesai, barulah mereka ber-
tindak.
Tetapi sedikit banyaknya, mereka merasa kecut mengin-
gat kata-kata orang yang tak diketahui berada di mana. "Ba-
rang siapa yang berhasil mengatasi pertarungan yang akan
terjadi, maka dialah yang berhak mendapatkan rahasia Pulau
Hitam."
Kedua manusia ini yakin, kalau yang dimaksud adalah
pertarungan dua Panembahan Agung itu.
Selagi tak ada yang keluarkan suara, mendadak terden
gar ucapan Panembahan Agung yang datang kedua, "Anak
muda! Kesabaran orang ada batasnya! Bila kau tak dapat
membuktikan siapa di antara kami yang asli dan palsu, nam-
paknya, pertarungan jelas tak dapat dihindari!!"
"Tunggu!" desis Andika, lalu membuang dua pecahan
genting yang menurutnya saat ini tak berguna sama sekali.
"Apalagi yang akan kau bicarakan?" tanya Panembahan
Agung yang datang belakangan, suaranya tetap bijak.
Andika yang tak tahu lagi harus berbuat apa, mengga-
ruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, sementara dia terus
berpikir untuk memecahkan masalah di hadapannya.
"Memang sulit menentukan siapa di antara kalian yang
asli dan palsu! Tapi...."
"Tak ada tapi lagi! Aku khawatir, orang yang menyamar
sebagai diriku, telah membuat onar, hingga namaku menjadi
cemar!" putus Panembahan Agung yang bicara tadi.
"Aku paham soal itu! Tentunya, Panembahan Agung
yang datang lebih dulu darimu, pun berpikir demikian! Teta-
pi, sekali lagi kukatakan, memang sulit untuk menentukan
siapa di antara kalian yang asli dan palsu! Hanya saja, aku
minta kesempatan sebentar sebelum kalian kupersilakan un-
tuk bertarung habis-habisan!!"
Selesai kata-katanya, mendadak saja Pendekar Slebor
mencelat ke samping kanan. Tangan kanannya bergerak cepat
ke arah pinggang Sangga Rantek.
Lelaki berpakaian serba hitam yang masih terpaku pada
perhatiannya, terkejut, karena tak menyangka kalau Pendekar
Slebor akan lakukan tindakan seperti itu.
Dia mencoba menahannya dengan jotosan tangan ka-
nannya, namun tangan kiri Pendekar Slebor sudah menepak-
nya dan....
Wuuuttt!!
Anak muda urakan ini telah kembali ke tempat semula.
Tetapi kali ini, di tangannya terdapat bungkusan kain hitam.
Sangga Rantek yang gusar bersiap untuk menerjang, te-
tapi ditahan oleh Iblis Rambut Emas.
"Tahan amarahmu! Biarkan dia! Toh, Pedang Buntung
itu sudah tidak digunakan! Aku ingin melihat apa yang akan
dilakukannya! Siapa tahu kita dapat memetik keuntungan dari
sikap kita menahan amarah."
Kendati masih geram, Sangga Rantek hanya mengang-
guk-anggukkan kepalanya.
Di depan, Pendekar Slebor membuka bungkusan kain hi-
tam itu. Lalu dengan tangan kanannya, diangkatnya Pedang
Buntung bagian hulu ke atas.
"Kita tahu bukan, kalau titik-titik gambar yang merupa-
kan patokan pertama dan kedua menuju ke Pulau Hitam ter-
dapat pada Pedang Buntung ini! Nah! Barang siapa yang ber-
hasil menyatukan Pedang Buntung ini, dengan potongan pe-
dang lainnya, maka dialah Panembahan Agung yang asli!!"
Tetapi di antara kedua Panembahan Agung itu tak ada
yang melakukan seperti yang dimintanya.
"Monyet pitak! Semula kuharap aku berhasil menjebak-
nya dengan cara seperti ini! Aku masih berkeyakinan kalau
Dewa Lautan Timur-lah salah seorang dari Panembahan
Agung ini! Dan dia telah mendapatkan potongan pedang sa-
tunya lagi dart tangan Gadis Kayangan! Bila ada salah seo-
rang yang menunjukkan potongan pedang itu, maka dialah
yang palsu! Huh! Nasib Gadis Kayangan sendiri sampai saat
ini masih membingungkanku!"
Habis mendumal tak karuan dalam hatinya, Pendekar
Slebor membungkus lagi potongan pedang perak itu. Lalu
memasukkannya ke balik bajunya sendiri.
Lalu berkata, "Kalau tak ada yang bisa menyatukan Pedang Buntung ini, dengan potongan pedang lainnya ya sudah!
Kalian bertarung deh!!"
Panembahan Agung yang datang pertama berkata bijak,
"Anak muda! Kecerdikanmu memang sungguh hebat! Tetapi,
kau menghadapi orang yang lebih cerdik!"
Andika cuma mengangguk-angguk. "Betul! Malah juga
licik!"
"Lalu sekarang, kau tak mampu mengatakan siapakah
yang asli dan palsu?"
"Pada kenyataannya seperti itu! Ayo, deh! Kalian berta-
rung!!" kata Andika seperti pasrah. Padahal anak muda ini
tengah memikirkan sesuatu yang dapat diraihnya dari perta-
rungan kedua Panembahan Agung itu.
Panembahan Agung yang kedua berkata bijak, "Anak
muda... bila memang tak ada lagi yang dapat kau lakukan un-
tuk memecahkan masalah di antara kami, mungkin dengan
cara bertarunglah kau akan dapat melihat siapa yang asli dan
palsu!"
Andika yang sedang memikirkan sesuatu, mendadak
mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu?"
Panembahan Agung ini tersenyum, "Aku yakin, kau
akan dapat memetik apa yang kau inginkan! Tetapi perlu kau
ingat, lawanmu sangat cerdik! Melebihi kecerdikanmu!"
Mendengar ucapan Panembahan Agung yang satu ini,
Andika terus mengerutkan keningnya. Pikirannya diperas be-
rulang kali. Sampai kemudian dia tertawa sendiri.
"Kau betul! Lawan yang kuhadapi ini memang sangat
cerdik! Melebihi kecerdikan Ki Pasu Suruan dan Nyi Geng-
gong yang telah tewas! Mungkin juga melebihi kecerdikan
Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek! Ah, ternyata kecerdi-
kan itu memang lebih penting ketimbang kesaktian! Tetapi
kupikir, kedua-duanya mengikat! Tak seperti Setan Cambuk
Api yang hanya memiliki kesaktian tetapi tak memiliki ke-
cerdikan! Makanya, dengan mudah dia dapat kubunuh! Yah...
semuanya terpaksa! Ayo deh, kalian bertarung!!"
Mendengar ucapan Pendekar Slebor, Iblis Rambut Emas
dan Sangga Rantek berpandangan.
"Gila! Rupanya Pendekar Slebor berhasil membunuh Se-
tan Cambuk Api!" desis Iblis Rambut Emas.
"Ya! Padahal dia sudah hampir sekarat! Menilik keadaan
itu, bisa jadi kita salah menduga, kalau ternyata Ki Pasu Su-
ruan dan Nyi Genggong memang dibunuh olehnya?" desis
Sangga Rantek dengan kening berkerut.
Iblis Rambut Emas tak menyahut, hanya nampak bibir-
nya bergetar.
Sementara itu, Panembahan Agung yang kedua terdiam,
Panembahan Agung yang pertama membuka mulut, "Anak
muda... siapakah orang yang berjuluk Setan Cambuk Api?"
Andika mengangkat kedua bahunya. "Aku sendiri tidak
tahu siapa perempuan tua itu sebenarnya! Tetapi dia sangat
ganas! Ya... terpaksa dia kubunuh daripada bikin urusan ber-
tambah banyak!"
"Tak seharusnya kau membunuhnya, Anak muda. Ba-
rangkali saja dia mau bertobat."
"Urusan bertobat itu bukan ditentukan olehku, Kek! Te-
tapi oleh dirinya sendiri! Hanya kupikir... tak mungkin dia
akan bertobat! Dosanya sudah melimpah ruah. Ya terpaksa
harus kubunuh...."
"Tak kusangka jalan pikiranmu begitu sempit, Anak
Muda."
Sebelum Andika menyahut, Panembahan Agung yang
kedua yang tadi terdiam, bicara, "Kau terlalu telengas, Anak
Muda. Tanganmu terlalu ringan."
"Terpaksa! Apa kau tidak mendengar tadi kukatakan,
aku terpaksa melakukannya?!" desis Andika dengan mata me-
lotot. "Huh! Masa sih aku harus mengulanginya lagi?! Kek!
Apakah kau mengenal perempuan itu?"
Panembahan Agung yang kedua ini menggeleng-
gelengkan kepalanya.
"Aku tidak mengenalnya!"
"Kalau kau tidak mengenalnya, ya sudah! Tidak usah di-
bikin pusing!"
Panembahan Agung yang kedua ini tersenyum seraya
berkata, "Memang malang nasib perempuan tua berpakaian
batik kusam dengan senjata cambuk berlidah tiga itu. Tetapi,
mungkin sudah nasibnya yang harus tewas di tanganmu! Se-
karang, apakah kau tetap berusaha untuk memecahkan siapa
Panembahan Agung yang asli di antara kami?"
"Tidak, deh! Kalau kalian mau bertarung, ya silakan!"
sahut Andika sambil menggedikkan bahunya.
Panembahan Agung yang datang kedua memutar tubuh
menghadap Panembahan Agung yang datang pertama.
Lalu sambil rangkapkan kedua tangannya di depan dada,
Panembahan Agung ini berkata sopan, "Maafkan sikapku,
Kawan! Terpaksa ini kulakukan, karena kau telah berlaku bu-
ruk di hadapanku!"
Panembahan Agung yang datang pertama pun rang-
kapkan kedua tangannya pula.
"Kupikir, memang tak ada cara lain lagi. Padahal se-
sungguhnya, aku tak ingin semua ini terjadi. Tetapi, mungkin
ini telah digariskan."
"Kalau begitu... lebih baik kita mulai sekarang." Habis
kata-katanya, Panembahan Agung yang kedua ini melangkah
agak menjauh dari sana. Langkahnya begitu ringan sekali.
Menyusul Panembahan Agung yang datang pertama ber-
jalan menjauh pula.
Lalu masing-masing orang berdiri sejarak lima tombak
satu sama lain. Keduanya masih saling memperhatikan den-
gan pandangan teduh.
"Aku tak menghendaki pertarungan ini sebenarnya," kata
Panembahan Agung yang kedua sambil menghela napas pan-
jang.
"Begitu pula denganku," sahut Panembahan Agung yang
datang pertama. "Tapi nampaknya... semua ini memang sulit
dihindari lagi...."
"Kau benar! Silakan mulai!" kata Panembahan Agung
yang kedua sambil membuka tangan kanannya sejajar dengan
pinggang, sementara tangan kirinya memegang bagian ping-
gir kiri pakaiannya.
"Terima kasih!" sahut Panembahan Agung yang perta-
ma. "Tetapi. aku ingin justru kau yang memulainya."
Lalu nampak Panembahan Agung yang kedua mulai
membuka kedua tangannya. Kaki kirinya ditarik ke belakang.
Dengan kedudukan kuda-kuda seperti itu, jelas dia akan laku-
kan satu terjangan yang tentunya sangat dahsyat.
Namun sebelum pertarungan itu terjadi, mendadak saja
Andika berteriak, "Tunggu!!"
***
10
Panembahan Agung kedua yang siap lancarkan seran-
gan, palingkan kepala, "Ada apa lagi, Anak Muda?"
Andika nyengir seraya berkata, "Yah... memang aku ter-
paksa harus membunuh Setan Cambuk Api. Tetapi, itu belum
kulakukan, kok! Tentunya saat ini dia masih segar bugar ka-
lau memang ajal belum menjemputnya! Justru aku yang di
buatnya hampir mampus!"
Orang-orang yang berada di sana terkejut mendengar
penjelasan pemuda berbaju hijau pupus itu. Iblis Rambut
Emas dan Sangga Rantek berpandangan tak mengerti.
"Apa maksudmu mengatakan kau telah membunuh Setan
Cambuk Api, Anak Muda?" tanya Panembahan Agung yang
pertama.
"Cuma iseng saja, kok! Yah... kalian mengaku tidak
mengenal Setan Cambuk Api. Kan tidak apa-apa bila aku se-
dikit berbohong pada kalian. Cuma yang mengherankanku...."
Andika mengarahkan pandangannya pada Panembahan
Agung yang kedua, lalu melanjutkan, "Mengapa bila kau
mengaku tak mengenalnya kau justru mengatakan ciri-ciri Se-
tan Cambuk Api? Seorang perempuan, mengenakan pakaian
batik kusam dan bersenjatakan cambuk berlidah tiga? Mung-
kin kau lupa kali ya, kalau kau mengenalnya lalu mengatakan
tidak?"
Panembahan Agung yang kedua ini nampak terkejut. Te-
tapi di lain saat dia sudah tertawa.
"Ha ha ha... aku memang mulai pikun, hingga lupa kalau
aku mengenal perempuan tua itu."
"Yah... kumaklumi deh! Tapi, mengapa kau tadi begitu
yakin kalau aku dapat memetik hasil yang memuaskan bila
melihat kalian bertarung? Apakah kau berpikir, aku akan me-
lihat potongan pedang yang sebelumnya berada pada tangan
Gadis Kayangan ada pada dirimu bila kalian bertarung?"
Kalau tadi agak melengak wajah Panembahan Agung
yang kedua, kali ini nampak agak memias. Untuk beberapa
lamanya dia tak keluarkan suara. Andika mengangkat ba-
hunya. "Setahuku, Setan Cambuk Api diperintahkan oleh
Dewa Lautan Timur untuk membunuhku. Dan tentunya, De-
wa Lautan Timur sangat mengenal siapa perempuan itu. Juga
kupikir, salah seorang Panembahan Agung yang palsu adalah
orang yang berjuluk Dewa Lautan Timur, mengingat dialah
satu-satunya orang yang mengetahui tentang perempuan ber-
nama Laksmi Harum yang merupakan istri dari Panembahan
Agung. Juga, Panembahan Agung palsulah yang langsung
mengetahui keuntungan apa yang dapat kupetik dari perta-
rungan kalian berdua. Yah... dengan berat hati, kukatakan,
kalau engkaulah Panembahan Agung yang palsu dan tak lain
Dewa Lautan Timur!!"
Mundur satu tindak Panembahan Agung yang kedua
mendengar kata-kata Pendekar Slebor. Wajahnya yang me-
mias nampak mulai mengkelap.
Sementara itu, Panembahan Agung yang pertama diam-
diam tersenyum. "Cerdik. Dia sangat cerdik. Tak kusangka
kalau dia bermaksud menjebak dengan kata-katanya. Dan se-
perti dugaanku, memang Dewa Lautan Timur-lah yang me-
nyamar sebagai diriku, karena dialah yang tahu mengenai
Laksmi Harum."
Dalam keheningan seperti itu, mendadak saja Panemba-
han Agung yang kedua menyentakkan pakaian yang dikena-
kannya.
Breeettt!
Nampaklah pakaian warna kuning di balik pakaian putih
panjangnya. Dengan kegeraman yang menjadi-jadi dia me-
nuding Pendekar Slebor, "Pemuda keparat! Kecerdikan mu
memang luar biasa! Terus terang, aku terkejut begitu meli-
hatmu berada di sini! Karena kupikir, kau sudah mampus ter-
kena hajaranku!"
"Betul sih aku akan mampus! Tetapi bila tak ada kain
bercorak catur ini! Tetapi ya... orang baik-baik selalu panjang
umur lho!!"
Mendengar ejekan Pendekar Slebor, Panembahan Agung
kedua yang memang Dewa Lautan Timur yang menyamar,
sudah kibaskan tangan kanannya ke arah Pendekar Slebor.
Wuussss!!
Segera menghampar gelombang angin raksasa yang ke-
luarkan suara sangat mengerikan, menyeret pasir-pasir hitam
dan menggebrak ke arah Pendekar Slebor.
Namun sebelum labrakan angin itu mengenai sasaran-
nya, mendadak terdengar letupan yang sangat keras.
Blaaaammmm!!
Punah gelombang angin yang dilepaskan Dewa Lautan
Timur, terhantam gelombang tenaga dari samping kiri.
Seketika kakek sesat ini palingkan kepalanya ke kanan.
Sepasang matanya seakan melompat keluar, disusul suaranya
menggelegar keras, "Panembahan Agung!! Kini tiba saatnya
kau untuk mampus!!"
Orang yang tadi halangi serangan Dewa Lautan Timur
pada Pendekar Slebor cuma tersenyum.
"Dewa Lautan Timur... ternyata dendammu memang se-
luas dan sedalam lautan. Apakah tak pernah terpikirkan di
benakmu, kalau kita sudah sama-sama tua dan tak layak un-
tuk saling simpan dendam dan menumpahkannya?"
"Tutup mulutmu, Panembahan Agung!!" sentak Dewa
Lautan Timur keras. "Dendamku tak akan pernah padam se-
belum melihatmu mampus!!"
"Dewa Lautan Timur... tidakkah kau masih terbayang
akibat ulahmu puluhan tahun lalu, hingga menewaskan
Laksmi Harum, perempuan yang sama-sama kita cintai?"
"Ini semua gara-garamu! Bila kau tak menahan seluruh
keinginanku, perempuan itu masih hidup dan akan menjadi
istriku!!"
"Kau terlalu dibutakan oleh cinta hingga urusan...."
"Tutup mulutmu!! Lebih baik kau mampus sekarang ju
ga!!"
Habis kata-katanya, dengan kemarahan tinggi, Dewa
Lautan Timur mendorong kedua tangannya. Wrrrr!!
Gelombang angin yang perdengarkan suara laksana om-
bak lautan mengamuk, menggebrak dahsyat.
Panembahan Agung sendiri tak mau bertindak lebih la-
ma. Segera dia balas mendorong kedua tangannya. Bongka-
han awan putih yang semakin lama semakin membesar dan
keluarkan suara menggemuruh tak kalah kerasnya, melesat
cepat. Akibatnya....
Blaaaammmm!!
Pulau Hitam seakan bergetar tatkala benturan keras ter-
jadi. Bukan hanya pasir-pasir hitam yang muncrat ke udara,
tetapi juga tanah terbongkar ke atas.
Tatkala semuanya sirap, nampak masing-masing orang
terhuyung lima tindak ke belakang dengan kedua tangan yang
terasa sangat ngilu.
Pendekar Slebor yang telah kerahkan tenaga dalamnya,
pun harus terpental tiga langkah akibat kerasnya benturan itu.
Di lain pihak, Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek
yang terpelanting di atas tanah, megap-megap dengan wajah
pias.
"Celaka! Rasanya lebih baik kita meninggalkan tempat
ini!" desis Iblis Rambut Emas dengan wajah pias. "Apa mak-
sudmu, hah?!" maki Sangga Rantek. "Jangan berlaku bodoh!
Kita bisa mati konyol di sini akibat pertarungan kedua orang
itu! Lagi pula, apakah kau lupa kalau orang yang bicara dan
entah berada di mana tadi, hanya akan mengatakan rahasia
apa yang ada di Pulau Hitam ini pada orang yang berhasil...."
"Aku tahu! Aku tahu!" putus Sangga Rantek. "Berarti,
Pendekar Slebor-lah yang akan mengetahui! Dengan kata
lain, kita tetap akan mempunyai kesempatan untuk mengeta
huinya! Baik, kita tinggalkan tempat celaka ini dan terus
memburu Pendekar Slebor!!"
Habis kata-katanya, tak mau buang waktu lagi, Sangga
Rantek sudah melesat meninggalkan tempat itu. Iblis Rambut
Emas pun lakukan hal yang sama.
Di lain pihak, Dewa Lautan Timur yang merasakan ke-
dua tangannya ngilu, mendesis dingin. "Kau masih tetap
tangguh, Panembahan Agung! Tetapi, aku tak akan mundur
sebelum melihatmu terkapar?!!"
Panembahan Agung hanya menggeleng-gelengkan kepa-
la.
"Aku sama sekali tak ingin menurunkan tangan! Tetapi
bila memang itu yang terjadi, rasanya...."
"Tak perlu banyak cakap lagi!!" bentak Dewa Lautan
Timur sambil lancarkan serangan kembali.
Pertarungan yang terjadi kemudian sungguh luar biasa
mengerikannya. Gelombang angin setiap kali melesat kelua-
rkan suara menggidikkan. Pulau Hitam bergetar berulang
kali. Pendekar Slebor sendiri harus terus kerahkan tenaga da-
lamnya untuk menjaga keseimbangannya.
Hampir lima belas jurus pertarungan mengerikan itu ter-
jadi. Hingga kemudian, nampak masing-masing orang meng-
gebah ke depan dengan tenaga dalam tingkat tinggi.
Benturan keras tak dapat dielakkan kedua orang ini.
Blaammmm!!
Bersamaan bertemunya dua pukulan sakti itu, masing-
masing orang terlempar deras ke belakang dan terpelanting
keras.
Dewa Lautan Timur terjingkat dua kali setelah terban–
ting. Pada bantingan yang kedua terdengar suara 'krak'. Ru-
panya tulang punggung lelaki tua sesat ini patah. Nampak ka-
lau dia berusaha untuk mengatasi kesakitannya. Menyusul dia
muntah darah. Darah kental menghitam membasahi pakaian-
nya. Satu bungkusan kain putih terlempar dari balik pakaian-
nya.
Di seberang, nampak Panembahan Agung yang begitu
terbanting, duduk bersila dengan kedua tangan dirangkapkan
di depan dada. Nampak sekali kalau tubuh lelaki tua bijaksa-
na itu bergetar hebat. "Huaaakkk!!"
Dia pun muntah darah berulang kali dengan tubuh yang
semakin terasa lemah. Dan mendadak saja tubuhnya terjatuh
di atas pasir hitam.
Andika yang melihat keadaan masing-masing orang,
menarik napas pendek. Lalu dengan sigap dia menyambar
bungkusan kain putih yang terlempar dari balik pakaian De-
wa Lautan Timur. Hati-hati dibukanya bungkusan itu.
"Tepat dugaanku. Dewa Lautan Timur bisa tiba di sini,
tentunya dengan pergunakan potongan pedang ini. Sungguh
cerdik dia melakukannya. Hmm... aku harus menolong kedu-
anya...."
"Anak muda... kau tak perlu membantu mereka! Biar
aku yang melakukannya!!" mendadak saja terdengar suara
orang yang entah berada di mana itu.
Belum lagi habis suara itu terdengar, mendadak saja satu
sosok tubuh berpakaian jingga telah berdiri sejarak tiga lang-
kah di hadapan Andika. Keterkejutan Andika semakin men-
jadi-jadi, begitu melihat sosok Gadis Kayangan berdiri di
samping kanan orang tua yang sangat tua itu.
"Gadis Kayangan!"
Gadis berkepang dua itu tersenyum. "Andika!"
"Kau... kau... selamat?"
Gadis Kayangan menganggukkan kepalanya. "Yah...
Eyang Mega Tantra yang menyelamatkanku...."
Andika menatap dulu pada orang tua di hadapannya se
belum haturkan sembah.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Eyang...," desisnya.
Orang tua yang di pergelangan kedua tangannya meling-
kar gelang-gelang baja itu tersenyum.
"Aku hanya kebetulan melihat gadis ini pingsan. Tetapi,
kau begitu cerdik sekali, Anak Muda."
Andika mengangkat kepalanya. Diam-diam dia memba-
tin, "Sudah kuduga, kalau orang tua inilah yang berbicara.
Sebelumnya, Panembahan Agung telah menceritakan tentang
gurunya yang sekian puluh tahun menghilang setelah menye-
rahkan dua potongan pedang perak yang satu kepadanya dan
yang satu lagi pada Pemimpin Agung. Dan setelah tiba di si-
ni, aku berpikir, kalau menghilangnya Eyang Mega Tantra
adalah berdiam di Pulau Hitam. Apakah kehadirannya meru-
pakan rahasia Pulau Hitam? Atau masih ada lainnya?"
Lalu, apa yang sebenarnya dialami oleh Gadis Kayan-
gan? Setelah ditinggalkan oleh Iblis Rambut Emas, Sangga
Rantek, serta Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong, Gadis
Kayangan yang pingsan, ditolong oleh seorang lelaki tua ber-
pakaian jingga.
Dengan ilmunya, lelaki tua yang tak lain Eyang Mega
Tantra ini segera membawa Gadis Kayangan ke Pulau Hitam.
Begitu siuman dari pingsannya Gadis Kayangan terkejut bu-
kan alang kepalang. Dia hampir saja melarikan diri dari Pulau
Hitam bila saja tak mendengar penjelasan dari Eyang Mega
Tantra, kalau dialah guru dari gurunya, si Pemimpin Agung.
Kendati merasa tenang di samping Eyang Mega Tantra,
Gadis Kayangan masih memikirkan pula tentang Pendekar
Slebor. Dan diam-diam, gadis yang telah jatuh cinta pada si
Urakan itu, merasa tak tenang sebelum mengetahui keadaan
pemuda yang dicintainya.
Selama di Pulau Hitam, Gadis Kayangan memang tak
tahu apakah saat ini hari masih pagi, siang, sore ataukah ma-
lam. Karena tak ada kelihatan kalau saat itu pagi, siang, sore
atau malam.
Dan sekarang, begitu melihat pemuda yang dicintainya
berada di situ tanpa kurang suatu apa, hati Winarsih alias Ga-
dis Kayangan bukan main senangnya.
Sementara itu, Panembahan Agung menarik napas pan-
jang.
"Sekian puluh tahun tak berjumpa dengan Guru, hari ini
aku berjumpa kembali. Guru nampak masih segar-bugar."
Dengan berusaha untuk bangkit, Panembahan Agung
berkata hormat, "Guru...."
"Tetaplah kau berbaring. Luka dalammu akan bertambah
bila kau mencoba untuk bangkit."
Dengan langkah perlahan, Eyang Mega Tantra meng-
hampiri Panembahan Agung. Perlahan-lahan tangan kanan-
nya bergerak ke atas, ke bawah dan ke samping kanan kiri.
Satu kejap kemudian, Panembahan Agung merasakan jalan
napasnya agak melonggar. Aliran darahnya yang tadi kacau,
agak lancar sekarang.
Lalu dengan langkah perlahan, Eyang Mega Tantra
mendekati Dewa Lautan Timur. Sambil tersenyum dia berka-
ta, "Kau masih dibutakan oleh dendammu.... Padahal bila kau
sadari dan mau berpikir sedikit, dendam itu sama sekali tak
ada gunanya."
Sepasang mata Dewa Lautan Timur melotot gusar. Dia
hendak memaki, tapi yang keluar justru keluhan tertahan,
"Aaaakhhh...."
"Tulang punggungmu telah patah. Mungkin akan sulit
untuk menyembuhkannya lagi."
"Peduli setan dengan ucapanmu!!" bentak Dewa Lautan
Timur. Di tempatnya, Pendekar Slebor mendengus, "Kadal
buntung! Sikapnya masih sok saja!!"
Eyang Mega Tantra tak pedulikan bentakan orang. Se-
perti yang dilakukannya pada Panembahan Agung, dia pun
menggerakkan tangan kanannya ke arah Dewa Lautan Timur.
Saat itu pula lelaki sadis ini merasakan napasnya me-
longgar dan tubuhnya lebih nyaman dari semula. Namun da-
sar tak tahu berterima kasih, dia malah memaki-maki tak ka-
ruan.
Eyang Mega Tantra tersenyum.
Mendadak saja dia menggedikkan kaki kanannya di pa-
sir hitam. Menyusul lenyapnya tubuh Dewa Lautan Timur da-
ri pandangan.
Pendekar Slebor melengak kaget, "Busyet! Ternyata di
dunia ini, masih ada ilmu-ilmu aneh yang menakjubkan?!"
Dari mulut Eyang Mega Tantra terdengar ucapan, "Mu-
dah-mudahan... setelah nanti dia siuman, dia akan sadar atas
semua tindakannya." Lalu katanya pada Andika, "Anak mu-
da... bolehkah kuminta kedua potongan pedang itu?"
Andika segera menyerahkannya pada Eyang Mega Tan-
tra. Orang tua arif itu mengangguk-anggukkan kepalanya
sambil memperhatikan dua potongan pedang di tangannya.
"Sebenarnya, dua potongan pedang ini adalah ciptaanku.
Semata kuberikan pada muridku, Purwacaraka atau yang ka-
lian kenal sekarang berjuluk Panembahan Agung dan Ronggo
Sewu alias Pemimpin Agung. Sengaja ku lakukan, untuk
menguji kecerdikan mereka. Agar mereka memecahkan raha-
sia titik-titik gambar pada kedua potongan pedang ini. Mak-
sudku, untuk mencariku yang sengaja meninggalkan mereka.
Tapi nyatanya kedua potongan pedang ini justru menimbul-
kan masalah hebat, akulah sebenarnya yang menjadi rahasia
Pulau Hitam. Anak muda, kau sangat cerdik. Tapi...."
Mendadak Eyang Mega Tantra memukul potongan pe
dang perak pada potongan yang berupa hulu.
Traaangg!!
Blaaammm!!
Kejap itu pula terdengar suara letupan yang sangat dah-
syat di kejauhan. Orang-orang yang berada di sana terkejut
bukan alang kepalang. Nampak gumpalan tanah mengepul di
udara.
"Kedua potongan pedang ini, menyimpan satu kekuatan
dahsyat yang dapat menyerang lawan. Sekarang, kalian akan
kuperlihatkan rahasia lain di Pulau Hitam ini."
Habis kata-katanya, Eyang Mega Tantra menancapkan
kedua potongan pedang perak itu ke pasir hitam di atasnya.
Mendadak terdengar suara letupan dari dalam tanah. Be-
rulang-ulang dan suaranya laksana terobosan air yang mun-
crat ke atas. Dan mendadak saja, tanah sejarak delapan tom-
bak dari tempat masing-masing orang, meletup dan membu-
ka.
Muncratan tanah itu untuk sesaat halangi pandangan.
Tatkala semuanya sirap, nampaklah sebuah lubang yang cu-
kup besar. Sebelum masing-masing orang menyadari ada apa
di lubang itu, mendadak terlihat cahaya putih yang bening.
Keterkejutan mereka bertambah, tatkala perlahan-lahan
terangkat naik sebuah rantai sebesar lengan orang dewasa
yang bersinar indah. Hanya tiga kejapan mata rantai yang
bersinar terang indah itu mengambang, lalu jatuh kembali ke
dalam lubang. Anehnya, begitu rantai itu masuk, tanah yang
tadi terbuka, kini menutup kembali.
"Itulah rahasia yang ada di Pulau Hitam. Sebuah rantai
sakti bernama Rantai Naga Siluman."
Andika yang tak tahan untuk tidak bertanya sudah mem-
buka mulut, "Eyang... mengapa kita tak mengambilnya?"
Eyang Mega Tantra tersenyum. "Masih ada teka-teki lain
yang harus kau pecahkan, Anak Muda. Mendekatlah. Kau
akan kuberitahukan teka-teki itu."
Perlahan-lahan Andika mendekati Eyang Mega Tantra.
Sejarak lima langkah dia berhenti. Saat itu pula telinganya
mendengar ucapan-ucapan Eyang Mega Tantra sementara
Panembahan Agung dan Gadis Kayangan tak mendengarnya
sama sekali.
"Ingat," kata Eyang Mega Tantra kemudian. "Waktumu
hanya satu kali bulan purnama. Bila kau gagal memecahkan-
nya, maka dunia persilatan akan kembali dipenuhi dengan da-
rah dan air mata."
Lalu dia berpaling pada Panembahan Agung, "Kembali-
lah kau ke Pesanggrahan Bayu Api. Habisi hidupmu di sana."
Habis kata-katanya, mendadak saja lelaki tua arif itu le-
nyap dari pandangan, laksana ditelan bumi.
Gadis Kayangan langsung mendekati Pendekar Slebor
dan berkata, "Katakan apa yang kau ketahui tentang rahasia
itu?"
Andika hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, Masih
menggeleng anak muda ini melangkah meninggalkan Pulau
Hitam.
Gadis Kayangan merengut. Dia melirik Panembahan
Agung. Setelah dilihatnya Panembahan Agung tersenyum dan
menganggukkan kepala, disusulnya anak muda urakan itu.
Sementara itu, Panembahan Agung pun perlahan-lahan
bangkit.
Angin berhembus dingin. Pulau Hitam tetap mencekam.
Dua potongan pedang tetap menancap di atas pasir hi-
tam, yang di saat angin berhembus, butiran-butiran pasir itu
perlahan-lahan mengubur dua potongan pedang perak....
SELESAI
Segera menyusul:
RAHASIA SEBELAS JARI
0 comments:
Posting Komentar