"Allahumma ajirni minannar" adalah doa dalam bahasa Arab yang berarti "Ya Allah, lindungilah aku dari api neraka."👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 09 Agustus 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE TABIR PULAU HITAM

Tabir Pulau Hitam

 


TABIR PULAU HITAM

Serial Pendekar Slebor

Cetakan pertama

Penerbit Cintamedia, Jakarta

Hak cipta pada Penerbit

Dilarang mengcopy atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

Serial Pendekar Slebor dalam episode: Tabir Pulau Hitam 112 hal.


1


Terbuka lebih lebar sepasang mata tajam milik Pendekar 

Slebor. Untuk sesaat dia terdiam memperhatikan sosok lelaki 

tua bersorban kuning, yang berdiri sejarak dua tombak dari 

hadapannya.

Otaknya langsung bekerja, "Yang kuketahui, ciri manu-

sia sesat berjuluk Dewa Lautan Timur mengenakan sorban 

berwarna kuning. Apakah lelaki ini orang yang berjuluk De-

wa Lautan Timur?"

Tak ada yang keluarkan suara sama sekali. Suasana di-

bukit kapur itu mencekam. Matahari semakin merambat naik. 

Orang yang tadi keluarkan bentakan dan mendadak telah ber-

diri di hadapan Pendekar Slebor, memandang tak berkedip. 

Tajam dan menyiratkan bahaya kematian.

Seperti telah diceritakan pada episode: "Dewa Lautan 

Timur", setelah berhasil mendapatkan kuda milik salah seo-

rang dari Tiga Iblis Penunggang Kuda, Pendekar Slebor terus 

bersikeras untuk menemukan Pulau Hitam. Padahal, dia tidak 

pernah tahu tentang petunjuk ke Pulau Hitam yang dimiliki 

Sangga Rantek. Dia hanya mengandalkan titik-titik gambar 

yang ada pada potongan pedang yang dimiliki Gadis Kayan-

gan. Di samping itu sampai saat ini, Pendekar Slebor masih 

mencari Gadis Kayangan yang lenyap.

Dan tanpa disadarinya dia telah menemukan sebuah air 

terjun dan akhirnya tiba di dua bukit kapur ini, yang sesung-

guhnya adalah petunjuk menuju ke Pulau Hitam, yang ada 

pada potongan pedang yang berada di tangan Sangga Rantek.

Selagi anak muda urakan dari Lembah Kutukan ini men-

coba memikirkan tindakan apa yang akan dilakukan, menda-

dak terdengar satu suara keras disusul dengan munculnya le-

laki tua bersorban kuning.

Keheningan itu dipecahkan oleh suara orang bersorban 

kuning yang memang Dewa Lautan Timur adanya, "Apakah 

kau sudah puas mengenali siapa aku?! Berarti... nyawamu 

akan kukirim juga ke neraka!!"

Andika masih terdiam dengan pandangan agak menyipit. 

"Dia mengatakan nyawaku akan dikirim juga ke neraka? 

Apakah... sudah ada orang yang dibunuhnya dalam waktu de-

kat ini? Apakah Panembahan Agung yang telah dibunuhnya? 

Ah! Setahuku, Dewa Lautan Timur memang mendendam pa-

da Panembahan Agung! Dan aku yakin, kalau manusia inilah 

yang menyamar sebagai Panembahan Agung! Tetapi menga-

pa dia berada di sini? Bukankah dua orang Panembahan 

Agung kuminta untuk mendatangi Pulau Hitam? Atau se-

sungguhnya... orang ini tidak tahu di mana Pulau Hitam bera-

da? Dan satu-satunya petunjuk untuk... oh! Jangan-jangan... 

yang dimaksudnya tadi, dia telah membunuh Gadis Kayangan 

untuk mendapatkan potongan pedang yang ada padanya? Te-

tapi bisa jadi Sangga Rantek-lah yang dimaksudnya, karena 

lelaki berpakaian serba hitam itu memiliki potongan pedang 

lainnya? Kutu Landak! Otakku jadi rada ngos-ngosan nih!"

Terdiam kembali anak muda berpakaian hijau pupus ini 

sebelum melanjutkan kata dalam hati, "Sulit menduga, Pa-

nembahan Agung yang manakah yang adalah samaran Dewa 

Lautan Timur? Apakah yang sebelumnya bercakap-cakap 

denganku, atau yang datang belakangan?"

Sesungguhnya, memang masih ada persoalan lain di be-

nak Pendekar Slebor, tentang adanya dua orang yang menga-

ku sebagai Panembahan Agung. Dari wajah keduanya, cara 

berbicara, bersikap dan bertindak, sangat sulit menentukan 

yang manakah Panembahan Agung yang asli dan palsu. Bah-

kan suara masing-masing orang sama (Untuk mengetahui ke-

bingungan Pendekar Slebor dalam persoalan ini, silakan baca:

"Dewa Lautan Timur").

Di depan, Dewa Lautan Timur berkata, lebih dingin dan 

menusuk, "Aku tak ingin mencabut nyawamu sebenarnya! 

Keinginanku hanya untuk membalas semua perbuatan Pa-

nembahan Agung! Tetapi... akan menyenangkan bila hari ini 

kulihat kau berkalang tanah!!"

Mendengar ancaman orang, anak muda berambut gon-

drong acak-acakan ini cuma mengangkat kedua bahunya saja. 

Lalu menyeringai seraya berkata, "Wah! Sabar dulu sedikit! 

Orang sabar itu hidupnya subur, lho? Ngomong-ngomong... 

aku mau tanya, nih! Siapa sih orang yang sebelumnya kau 

bunuh?"

Kontan Dewa Lautan Timur tertawa keras. Saking ke-

rasnya, seolah ada tenaga yang keluar melalui tawa itu. 

Menghantam ranggasan semak yang langsung beterbangan 

dan membuat kapur-kapur pada dua buah bukit itu bergugu-

ran.

Andika sendiri harus kerahan tenaga dalamnya ke telinga

guna melindungi indera pendengarannya.

Sekonyong-konyong, Dewa Lautan Timur memutus ta-

wanya. Dan berkata dingin, "Pertanyaan yang sangat bagus! 

Tetapi banyak orang bilang otakmu seencer air! Dengan ke-

cerdikanmu itu, tentunya kau dapat menduga siapa yang telah 

kubunuh!!"

Dewa Lautan Timur tak mau mengatakan apa yang se-

benarnya terjadi. Sesungguhnya dia telah gagal memperma-

lukan sekaligus menghabisi hidup Gadis Kayangan. Karena 

sebelum dilakukannya, seorang nenek berpakaian hitam com-

pang-camping telah menyambar tubuh Gadis Kayangan. Dan 

nenek itu kemudian diketahui bernama Nyi Genggong (Baca: 

"Dewa Lautan Timur").

Dengan berucap begitu, Dewa Lautan Timur berharap

dapat mengacaukan jalan pikiran Pendekar Slebor.

Pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini 

memang agak bimbang mendengar ucapan si kakek bersorban 

kuning. Tetapi ditindihnya segala kebimbangan dengan ter-

bitkan segala ketenangan yang dimilikinya.

Lalu sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, dia 

berkata, "Mana bisa aku menebak seperti itu? Memangnya 

aku ini Tuhan?! Ayo, dong... katakan saja...." (Eh, busyet! 

Dia merengek! Tapi jangan khawatir, itu cuma pura-pura).

Meledak kembali tawa Dewa Lautan Timur. Lelaki tua 

yang memiliki dendam setinggi langit pada Panembahan 

Agung, merasa telah berhasil mengacaukan perasaan Andika. 

Tetapi dia belum puas hanya lakukan tindakan seperti itu.

Lalu katanya, "Sebelum orang itu kubunuh, telah ku-

nikmati dulu kemolekan tubuhnya! Dan sungguh sebuah pen-

galaman yang sangat menyenangkan! Karena selama ini, aku 

belum pernah melihat tubuh yang begitu indah!"

Deg! Jantung Andika mendadak seperti berhenti berde-

tak. Sesungguhnya dia memang mulai menebak siapakah 

orang yang dimaksud Dewa Lautan Timur. Orang itu adalah 

Gadis Kayangan. Andika yang tetap berkeyakinan, kalau 

Dewa Lautan Timur adalah Panembahan Agung yang palsu, 

tentunya tidak tahu jalan menuju ke Pulau Hitam. Dan untuk 

tiba di sana, seperti permainan yang telah diciptakan Andika 

beberapa hari lalu, berarti si kakek sesat ini harus memiliki 

dua potongan pedang perak yang pada masing-masing poton-

gan pedang terdapat rangkaian titik berbentuk gambar yang 

merupakan patokan-patokan menuju ke Pulau Hitam.

Kendati saat ini perasaannya mulai agak kacau, tetapi si 

anak muda tetap berusaha tenang.

"Waduh! Beruntung banget kau ini, sudah tua tetapi ma-

sih bisa melihat tubuh indah! Padahal aku sendiri belum per

nah, tuh? Tapi ngomong-ngomong... anak kambing mana sih 

yang tubuhnya begitu indah? Masa kau nekat juga menikmati 

seekor anak kambing?! Yang benar saja, ah!!"

Senyuman aneh yang bertengger di bibir Dewa Lautan 

Timur langsung lenyap mendengar ejekan pemuda di hada-

pannya.

"Keparat!!" menggelegar bentakannya.

"Ealah! Kok jadi malah marah-marah?! Aku justru hen-

dak mengucapkan selamat padamu! Berarti, kau sudah men-

dapatkan apa yang selama ini kau impikan bukan? Ah, kasi-

han sekali anak kambing itu! Kalau dia hamil, anaknya kayak 

apa ya?!"

Meradang kakek bersorban kuning ini. Kejap itu pula 

tangan kanannya terangkat. Bersamaan tangan yang diangkat 

itu, mendadak saja menggebrak gelombang angin berkekua-

tan tinggi. Menyeret tanah saat melabrak ke arah Pendekar 

Slebor.

"Eiiittt! Nafsu amat?!" seru Pendekar Slebor sambil 

buang tubuh ke kanan. "Sabar dikit, Tong!!"

Blaaammm!

Tanah di mana tadi dia berdiri, langsung membentuk se-

buah lubang cukup besar setelah terhantam gelombang angin 

tadi. Sementara kuda milik salah seorang dari Tiga Iblis Pe-

nunggang Kuda yang diambil Pendekar Slebor, telah terbirit-

birit kabur begitu mendengar suara angin menggebah.

E dasar konyol padahal hatinya kebat-kebit, si anak mu-

da yang mencoba untuk menenangkan perasaannya, justru 

melongok ke dalam lubang itu.

"Sayang ya hari tidak hujan! Kalau ada hujan, aku bisa 

berendam nih di lubang ini!" desisnya lalu angkat kepala dan 

digeleng-gelengkan. Setelah pandangi sesaat Dewa Lautan 

Timur dengan tatapan mengejek dia berkata lagi, "Kau ini

panasan sekali, ya? Mengapa kau muncul dengan wajah asli-

mu? Mengapa tidak menyamar sebagai-Panembahan Agung 

seperti yang kau lakukan?!"

"Keparat terkutuk!! Jangan berbicara mengada-ngada!!" 

bentak Dewa Lautan Timur yang sedikit banyaknya murka 

sekaligus heran karena selain serangannya dapat dihindari, 

pemuda itu juga lontarkan ejekan menyakitkan.

"Mana bisa aku mengada-ngada? Kau tentunya memiliki 

salah satu pecahan genting yang bertuliskan huruf 'PS', bu-

kan? Dan kau sesungguhnya tidak tahu jalan menuju ke Pulau 

Hitam! Sehingga kau mencoba merebutnya dari tangan Gadis 

Kayangan atau juga dari Sangga Rantek! Aku memang tidak 

tahu mengapa kau justru menyamar sebagai Panembahan 

Agung? Padahal kau mendendam padanya! Bila yang kukata-

kan ini salah, lebih baik kau bunuh diri saja deh!!"

"Pemuda celaka! Kau bukan hanya terlalu mengada-ada, 

tetapi ternyata kau tukang fitnah belaka!" maki Dewa Lautan 

Timur dengan tangan menuding yang bergetar. "Tak mungkin 

aku bertindak menyerupai manusia keparat yang ingin kubu-

nuh itu!!"

Mendengar ucapan orang, Andika terdiam dengan ken-

ing berkerut.

"Monyet pitak! Dari ucapannya itu, dia begitu pasti apa 

yang kukatakan ini salah! Apakah bukan dia orangnya yang 

menyamar sebagai Panembahan Agung? Tidak mungkin! Je-

las dia orangnya! Karena yang mengetahui urusan masa lalu 

dan perempuan bernama Laksmi Harum hanyalah Panemba-

han Agung dan Dewa Lautan Timur! Hmmm... baik! Akan 

kuikuti permainannya meskipun saat ini aku masih mence-

maskan keadaan Gadis Kayangan. Apakah dia memang sudah 

tewas di tangan kakek celaka ini, atau masih hidup?"

Habis berpikir begitu, Pendekar Slebor berkata, "Ih!

Tua-tua masih tukang bohong juga! Ngomong-ngomong... 

dulu kau pernah menjadi pemain ketoprak yang suka mang-

gung di Kotapraja, ya? Wah! Sayang sekali aku tak pernah 

menontonnya!!"

"Sinting! Kau bukan hanya slebor, tetapi juga sinting!" 

maki Dewa Lautan Timur dengan kedua tangan bergetar tan-

da amarah makin memuncak.

Tetapi ya dasar urakan, ancaman sudah di depan mata 

Andika masih berkata, "Biar sinting tapi kan tidak sinting! 

Nah, lo! Bingung, kan? Ya pegangan saja!"

Dilihatnya bagaimana si kakek sesat itu terdiam dengan 

pandangan Man menusuk. Kemudian dengan santai Andika 

melanjutkan kata-katanya, "Kalau kau tidak mau mengaku 

juga, ya tidak apa-apa! Biar deh, aku yang menggantikan Pa-

nembahan Agung untuk menghajar mu! Ayo, sini maju!!"

Menggeram Dewa Lautan Timur mendengar orang me–

ngecilkannya.

"Akan kulumat tubuhmu seperti Gadis Kayangan!!"

Menyusul diangkat tangan kanannya ke atas. Kembali 

bersamaan tangannya diangkat, satu hamparan angin menge-

rikan melabrak deras, menyeret tanah dan ranggasan semak. 

Disusul dengan hamparan angin lainnya.

Andika yang diam-diam telah alirkan tenaga 'Inti Petir' 

tingkat kelima, sudah menggebrak maju. Saat di gerakkan 

tangan kanan kirinya, terdengar dua salakan petir yang men-

gejutkan. Menyusul....

Blaaammm!! Blaaammm!!

Letupan keras dua kali berturut-turut terdengar saat ben-

trokan terjadi. Tubuh Pendekar Slebor langsung terdorong ke 

belakang disertai seruan, "Monyet buduk!!"

Dengan sigap dia berusaha untuk kuasai keseimbangan-

nya kembali, karena dalam keadaan kehilangan keseimban

gan, lawan dengan mudah akan menjatuhkan.

Apa yang diperkirakannya memang benar.

Dewa Lautan Timur yang hanya surut dua tindak ke be-

lakang, telah susulkan serangan kembali. Kali ini tangan ka-

nan kirinya diangkat dan serta-merta menggebrak dua gelom-

bang angin mengerikan.

Tak ada jalan lain bagi Pendekar Slebor kecuali mema-

pakinya kembali. Sadar kalau serangan lawan lebih besar dari 

yang pertama, tak tanggung lagi, segera dikerahkan tenaga 

'Inti Petir' tingkat pamungkas. Suara salakan petir yang ter-

dengar lebih keras dan mengerikan.

Blaaammmm!! Blaaammmm!!

Kontan tanah di sekitar tempat itu bergetar begitu bentu-

ran yang lebih keras terjadi. Bongkahan batu-batu kapur run-

tuh bergulingan.

Dan... astaga! Tenaga 'Inti Petir' tingkat pamungkas yang 

begitu mengerikan, bukan hanya tak mampu menahan seran-

gan Dewa Lautan Timur. Tetapi juga membuat pemiliknya 

terlempar ke belakang dan ambruk di atas tanah dengan ke-

dua tangan terentang.

"Kutu monyet! Dadaku sakit sekali!!" desis Andika dan 

perlahan-lahan berdiri. Agak sempoyongan dengan tangan 

kanan menekan dada.

Sejarak tiga tombak, Dewa Lautan Timur nampak se-

dang rangkapkan kedua tangannya di depan dada. Jelas kalau 

dia juga merasakan kedahsyatan tenaga serangan Andika.

"Keparat busuk! Sungguh hebat tenaganya! Tetapi tak 

terlalu banyak berarti! Akan kulumat pemuda celaka ini sebe-

lum akhirnya membuat seluruh rencanaku berantakan!" de-

sisnya, setelah merasakan keadaannya lebih nya man.

Seraya maju satu langkah ke muka, lelaki tua berwajah 

mengerikan ini berseru, "Sebelum melihat Panembahan

Agung mampus, nyawamu akan kukirim dulu ke akhirat!!"

"Wah, wah! Bagaimana bisa kau mengirimnya? Apakah 

kau memiliki kurir? Ngomong-ngomong, akhirat itu di mana 

sih? Apa di sana ada yang menjual kue apem?"

Memang konyol anak muda satu ini! Napasnya sudah 

kembang kempis dia masih dapat berlagak saja.

"Bagus! Kutunjukkan kau jalan ke sana!!"

Habis bentakannya, mendadak saja Dewa Lautan Timur 

berdiri tegak dengan kedua tangan lurus di samping kanan ki-

rinya. Matanya memandang tak berkedip dan lamat-lamat 

nampak pancarkan sinar agak kemerahan. Mulutnya terlihat

mengembung bersamaan kedua tangannya terangkat di depan 

dada. Disejajarkan satu sama lain tetapi tidak disatukan.

"Monyet Kudisan! Sudah tentu apa yang diperlihatkan-

nya ini ilmu yang sangat dahsyat! Peduli kambing bunting! 

Aku tetap ingin tahu apa maksud lelaki celaka ini menyamar 

sebagai Panembahan Agung? Tetapi... dia tetap membantah 

saat kukatakan demikian! Huh! Pasti cuma omong kosong be-

laka!!"

Lalu diam-diam anak muda ini pun segera alirkan ajian 

'Guntur Selaksa'. Lamat namun pasti, terlihat tubuhnya dikeli-

lingi sinar warna keperakan.

Di depan, Dewa Lautan Timur sejenak melengak dengan 

mata agak menyipit. Tapi di kejap lain, mendadak saja kedua 

tangannya yang disejajarkan di depan dada, sudah digerakkan 

seperti menebas.

Brrrrr!!

Saat itu pula menderu angin laksana topan menghantam 

dua dusun di pesisir pantai. Bukan hanya menyeret tanah dan 

ranggasan semak belukar saja, tetapi juga menumbangkan 

dua buah pohon yang laksana tangan-tangan raksasa menderu 

ke arah Pendekar Slebor.

Terkesiap Pendekar Slebor tatkala merasakan gebahan 

angin dalam jarak dua tombak. Tak mau menunggu lama, dia 

segera mencelat ke depan, menyongsong serangan dahsyat itu 

bersama kedua tangannya didorong.

Terdengar suara salakan guntur yang sangat kuat. Dalam 

suasana panas yang cukup menyengat, munculnya gelombang 

angin dahsyat dan salakan guntur susul menyusul itu benar-

benar akan membuat kening orang berkerut.

Dan yang sangat mengejutkan, karena mendadak saja 

Andika justru membuang tubuh ke samping. Anak muda ini 

tiba-tiba merasakan tusukan laksana puluhan anak panah 

yang melesat sedemikian cepat.

Blaammm! Blaammm!!

Gelombang angin dahsyat yang keluar dari dorongan 

kedua tangan Dewa Lautan Timur menghantam hancur tanah, 

ranggasan semak dan sebuah pohon yang kontan beterbangan 

di udara membentuk rangkaian kepekatan.

Sementara itu angin laksana tusukan anak panah yang 

keluar dari mulut Dewa Lautan Timur, mencacah sebuah po-

hon yang saat itu pula mengering dan beterbangan bagai ser-

pihan.

Di tempatnya, Andika yang membuang tubuh ke samp-

ing, harus pula merasakan sambaran angin tadi. Langsung dia 

tekap tangan kanannya yang terasa ngilu. Dan kejap itu pula 

kedua mata terbeliak karena angin tak ubahnya tusukan anak 

panah telah meluncur lagi ke arahnya.

Untuk kedua kalinya Dewa Lautan Timur meniup!

"Celaka! Aku bisa mampus nih!!" desis Andika seraya 

melompat ke samping kiri. Dan dicobanya untuk menyerang 

dengan ajian 'Guntur Selaksa' yang tadi diurungkan.

Glegar!!

Salakan guntur terdengar sangat menyakitkan telinga.

Namun pukulan itu putus di tengah jalan, tertabrak dorongan 

angin raksasa dari kedua tangan Dewa Lautan Timur. Bahkan 

tidak hanya sampai di sana saja yang terjadi.

Karena tubuh anak muda urakan ini pun terlempar deras 

ke belakang. Belum lagi dia kuasai keseimbangannya, Dewa 

Lautan Timur yang terbahak-bahak, telah mendorong kedua 

tangannya kembali.

Tanpa ampun lagi, pemuda pewaris ilmu Pendekar Lem-

bah Kutukan ini makin terlempar ke belakang. Seruan terta-

hannya terdengar keras.

Lalu terbanting di atas tanah seperti sebuah nangka bu-

suk. Namun yang mengejutkan, karena tubuhnya terlihat telah 

terbungkus kain bercorak catur yang sebelumnya melilit pada 

lehernya. Rupanya dalam keadaan yang sangat kritis, Andika 

masih dapat bertindak cepat.

Dengan kerahkan sisa-sisa tenaganya, dia telah melin-

dungi tubuhnya dengan kain pusaka warisan Ki Saptacakra. 

Bila saja dia tak lakukan tindakan seperti itu, saat itu pula 

nyawanya akan segera hijrah ke alam baka.

Kendati berhasil lindungi tubuhnya dengan kain berco-

rak catur, namun apa yang dialaminya sangat menyedihkan. 

Napasnya memburu keras dengan dada naik turun. Dari hi-

dung dan mulutnya keluar darah segar.

"Oh! Apakah saat ini aku sudah di akhirat? Tetapi kena-

pa akhirat panas begini? Ada dua bukit kapur pula? Tidak, ini 

bukan akhirat!!"

Dikerahkan tenaganya untuk bangkit. Namun karena ra-

sa ngilu yang mendera hingga ke dalam tulang, dia seakan tak 

mampu untuk bangkit.

Dewa Lautan Timur sendiri telah berdiri sejarak tiga 

langkah di samping kanannya. Bibir kakek sesat itu memben-

tuk senyuman aneh.

"Tak seorang pun akan dapat menahan pukulan 'Prahara 

Lautan'! Tak terkecuali kau dan Panembahan Agung! Pende-

kar Slebor... urusan kita kucukupkan sampai di sini! Karena 

kau tak akan mungkin dapat pulih seperti sediakala! Kubiar-

kan kau hidup dalam segenap penderitaan!!"

Pendekar Slebor cuma meringis menahan sakit. Bila me-

nuruti kata hatinya, tak sabar rasanya ingin menjitak kepala 

kakek celaka itu.

Sementara itu Dewa Lautan Timur sedang tertawa keras. 

Masih tertawa kakek bersorban kuning ini segera meninggal-

kan tempat itu.

"Tinggal kau, Panembahan Agung! Tinggal kau!!" desi-

sannya masih terdengar padahal sosoknya telah lenyap dari 

pandangan.

Tinggal Pendekar Slebor yang sedang menderita saat ini. 

Dibiarkan tubuhnya terbaring. Dipejamkan matanya kuat-

kuat menahan rasa sakit. Lalu perlahan-lahan, dilepaskan lili-

tan kain pusaka bercorak catur dari tubuhnya.

Masih dalam keadaan terbaring, anak muda ini mencoba 

untuk bersemadi.

***

2


Dua bayangan hitam dan merah terus berlari laksana di-

kejar setan, menembus senja yang semakin menurun. Masing-

masing orang nampak tak mau hentikan lari mereka. Dan tak 

seorang pun yang buka suara.

Setelah cukup lama berlari, lelaki yang berlari di sebelah 

kiri dan berpakaian serba hitam dengan rambut di kuncir ku-

da, yang tak lain Sangga Rantek berkata, "Kupikir... kita su

dah menjauh dari Nyi Genggong dan Ki Pasu Suruan! Kita 

berhenti dulu di depan?!"

Perempuan berpakaian putih dengan Jubah dan kerudung 

warna merah menganggukkan kepalanya. Nampak untaian 

rambutnya yang berwarna keemasan. Lalu diikutinya saja 

keinginan Sangga Rantek dengan hati yang masih diliputi 

berbagai pertanyaan.

Dua kejap kemudian, masing-masing orang sama-sama 

telah berhenti berlari. Mereka memperhatikan sekeliling yang 

dipenuhi dengan pepohonan dan ranggasan semak belukar. 

Sejarak dua puluh tombak, samar-samar terlihat sebuah per-

simpangan. Dan tatkala pandangan diarahkan ke jalan semu-

la, nampak jalan tumpang tindih.

Setelah perhatikan sekelilingnya, Sangga Rantek sejenak 

memantek pandangan pada si perempuan yang tak lain Iblis 

Rambut Emas.

"Semakin lama aku semakin tak mengerti, mengapa aku 

masih terus bersama dengannya?" katanya dalam hati. "Pa-

dahal aku tahu, kalau dia tengah merencanakan sesuatu terha-

dap diriku? Hhh! Biar bagaimanapun juga, tenaganya kuper-

lukan untuk menghabisi Pendekar Slebor! Telah kurasakan 

bagaimana kesaktian anak muda dari Lembah Kutukan itu."

Sementara itu Iblis Rambut Emas berlagak tidak tahu ka-

lau sedang diperhatikan. Pandangannya tertuju ke depan. Dan 

diam-diam perempuan berkerudung merah ini berkata dalam 

hati, "Aku semakin yakin... kalau lelaki celaka ini memang 

sedang menuju ke Pulau Hitam. Sebelum berjumpa dengan 

Nyi Genggong dan Ki Pasu Suruan, aku sudah yakin akan hal 

itu. Dan keyakinan itu semakin menguat saja. Hhhh! Kalau 

begini adanya, tak perlu kurebut Pedang Buntung yang bera-

da padanya. Lagi pula, aku mendapatkan keuntungan lain, 

bersekutu dengan lelaki celaka ini, Nyi Genggong dan Ki Pa

su Suruan. Nyi Genggong dan Ki Pasu Suruan memiliki pula 

keinginan untuk membunuh Pendekar Slebor."

Sampai saat ini, Sangga Rantek memang belum tahu ka-

lau sesungguhnya Iblis Rambut Emas mengetahui dia memi-

liki Pedang Buntung, yang bila disatukan dengan potongan 

pedang lainnya, akan lengkaplah patokan-patokan menuju ke 

sebuah tempat yang bernama Pulau Hitam. Sesungguhnya 

Sangga Rantek memang sedang menuju ke Pulau Hitam, 

dengan mengandalkan patokan-patokan tidak utuh yang be-

rupa rangkaian titik gambar pada potongan pedang yang ada 

padanya.

Sementara potongan pedang yang satunya lagi, sekarang 

berada di tangan Dewa Lautan Timur yang telah menda-

patkannya dari tangan Gadis Kayangan.

Di samping itu mereka baru saja mengadakan perseku-

tuan dengan Nyi Genggong dan Ki Pasu Suruan yang ber-

keinginan untuk membunuh Pendekar Slebor (Baca: "Dewa 

Lautan Timur").

Saat ini Sangga Rantek sedang membatin, "Air terjun 

yang menjadi patokan menuju ke Pulau Hitam telah kutemu-

kan. Tetapi dua bukit kapur belum kulihat sampai saat ini. 

Menilik keadaan, tak mungkin bila Pendekar Slebor telah 

menuju ke sana, karena tentunya dia akan kesulitan karena 

potongan pedang satunya berada di tangan ku. Perempuan ce-

laka ini tentunya masih menduga kalau kedua potongan pe-

dang perak itu berada di tangan Pendekar Slebor. Bagus! Aku 

akan tetap mencari dua bukit kapur!"

Memang, masing-masing orang yang berlaku sebagai 

sahabat ini, saling memendam rahasia dan kebencian. Namun 

keduanya tidak tahu kalau potongan pedang satunya lagi bu-

kan dimiliki oleh Pendekar Slebor. Kalaupun mereka mendu-

ga seperti itu, ini disebabkan karena Gadis Kayangan menga

takan soal itu (Untuk lebih jelasnya, silakan baca: "Pedang 

Buntung").

Iblis Rambut Emas yang tak sabar ingin mengetahui apa 

yang akan dilakukan Sangga Rantek selanjutnya, sudah buka 

mulut, "Sangga Rantek....Kita telah sepakat untuk bergabung 

dengan Nyi Genggong dan Ki Pasu Suruan. Tetapi nampak-

nya, bukan hanya kau saja yang tidak percaya dengan kedua 

manusia itu. Aku pun tidak percaya pada mereka. Lantas, 

mengapa kau masih berdiam diri di sini? Apakah kau sengaja 

menunggu mereka, atau berkeinginan mereka mengetahui apa 

yang akan kita lakukan?"

Mala Sangga Rantek menusuk tajam.

"Perempuan celaka ini memang pandai bicara. Dia bisa 

mengorek keterangan tanpa disadari oleh orang yang akan di-

korek keterangannya. Kendati terpaksa aku bersedia untuk 

bergabung dan secara tak langsung mengajaknya melacak Pu-

lau Hitam, tenaganya memang dapat dipergunakan."

Berpikir demikian, Sangga Rantek berkata, "Tak sudi 

kulakukan tindakan bodoh menunggu kedua manusia celaka 

itu, karena...."

"Kalau begitu mengapa kau masih berdiam di sini?" pu-

tus Iblis Rambut Emas yang saat itu pula membuat Sangga 

Rantek menggeram gusar.

"Jahanam keparat! Tak sabar rasanya untuk merobek-

robek mulutnya!" makinya dalam hati. Lalu sambil menahan 

jengkelnya dia berkata, "Tengah kupikirkan satu masalah 

yang nampaknya ada di hadapanku."

"Bila memang begitu adanya, katakan hingga aku tidak 

banyak tanya lagi!" sahut Iblis Rambut Emas sambil melipat 

kedua tangannya di atas dadanya yang membusung. Wajah-

nya dibuat agak acuh tak acuh.

Kembali Sangga Rantek mendengus.

"Benar-benar terkutuk! Dia dapat memanfaatkan situasi 

untuk mengorek keterangan! Tetapi karena telah kuputuskan 

untuk mengajaknya melacak dan menuju Pulau Hitam, mau 

tak mau kukatakan juga apa yang ku pikirkan!"

Memutuskan demikian, lelaki berhidung bengkok ini 

berkata dingin, "Aku tengah memikirkan jalan menuju Pulau 

Hitam!"

Iblis Rambut Emas melirik seraya membatin, "Tepat du-

gaanku! Dia memang tengah menuju ke Pulau Hitam. Ten-

tunya dia telah mempelajari Pedang Buntung yang dimili-

kinya. Hmmm... aku akan tetap berlagak tidak tahu."

Kemudian dengan kening dibuat berkerut, dia berkata, 

"Sangga Rantek! Apakah kau sudah tidak lagi pergunakan 

otakmu?! Untuk menuju ke Pulau Hitam, kita harus memiliki 

dua buah potongan pedang, maka akan lengkaplah patokan-

patokan menuju Pulau Hitam. Lalu sekarang, kau nekat me-

nuju Pulau Hitam dengan segala bayangan-bayangan ko-

song?"

Mendengar ucapan perempuan berkerudung merah, 

Sangga Rantek merasa sebagian kesalnya telah hilang.

"Dasar perempuan bodoh! Dia tetap tidak tahu kalau aku 

memiliki Pedang Buntung!" ejeknya dalam hati. Bila saja 

Sangga Rantek mengetahui kalau Iblis Rambut Emas berdus-

ta, tentunya dia akan marah besar. Kemudian katanya, "Peduli 

setan apakah aku memiliki petunjuk atau tidak! Aku tetap 

akan melacak jalan menuju ke Pulau Hitam!"

Iblis Rambut Emas memainkan peranannya, "Bila kau 

memang nekat juga, jalan mana yang akan kau tuju?"

"Itulah yang sedang kupikirkan?!"

"Kau sedang berpikir atau tengah menentukan patokan 

lain yang kau ketahui setelah menemukan air terjun?" ejek Ib-

lis Rambut Emas dalam hati. Lalu dengan suara dibuat serius

dia berkata, "Sangga Rantek! Kau memang lelaki penuh se-

mangat! Bahkan kau berani mengambil keputusan untuk 

mencoba sesuatu yang masih gelap! Bila saja aku tidak terin-

gat pada kekasihku yang dibunuh Pendekar Slebor, sudah ten-

tu dengan mudah aku akan jatuh cinta padamu!"

Sangga Rantek hanya mendengus. Dia sama sekali tak 

percaya dengan cerita Iblis Rambut Emas kalau Pendekar 

Slebor telah membunuh kekasihnya (Baca: "Pedang Bun-

tung").

Tanpa sahuti ucapan Iblis Rambut Emas, Sangga Rantek 

arahkan pandangan ke depan.

"Dua bukit kapur.... Hmm... di mana harus kutemukan 

patokan kedua untuk menuju ke Pulau Hitam? Kalaupun aku 

telah menemukannya, aku tidak tahu lagi jalan mana yang ha-

rus kutuju? Jahanam sial! Seharusnya aku menyusul Pendekar 

Slebor setelah dia menyelamatkan Winarsih! Sial! Sungguh 

Sial!!"

Iblis Rambut Emas yang melihat perubahan wajah 

Sangga Rantek tersenyum dalam hati.

"Kau tak pandai bersandiwara rupanya! Dari wajah mu 

jelas kau kebingungan sendiri! Huh! Benar-benar satu pe-

mandangan yang sangat menyenangkan! Orang dungu berla-

ku pintar!"

Sebelum Iblis Rambut Emas buka mulut, Sangga Rantek 

sudah berkata, "Kita teruskan langkah sekarang!"

Kejap itu pula, lelaki berpakaian serba hitam ini sudah 

berkelebat ke depan. Iblis Rambut Emas sendiri tak mau ba-

nyak berpikir, kendati perasaannya, sangat senang menikmati 

kebodohan yang tanpa disadari diperlihatkan oleh Sangga 

Rantek.

***

Malam mulai menggelapi alam. Angin berhembus din-

gin. Bau tanah terasa menusuk hidung, tak sedap. Sangga 

Rantek terus berlari sambil memikirkan jalan yang harus ditu-

ju. Sementara Iblis-Rambut Emas masih tertawa dalam hati.

Setelah cukup jauh mereka berlari, di sebuah persimpan-

gan ketiga jurang mereka lalui, Sangga Rantek memutuskan 

untuk berbelok ke kiri. Dia terus mengira-ngira arah barat 

daya seperti yang tertera pada rangkaian titik-titik yang ter-

dapat pada Pedang Buntung yang dimilikinya.

Sampai kemudian, kembali lelaki bermata bergelambir 

ini hentikan larinya. Pandangannya tak berkedip ke depan. Ib-

lis Rambut Emas tak perlu bertanya mengapa Sangga Rantek 

menghentikan larinya. Sejarak lima belas tombak, nampak 

dua buah bukit berdiri kokoh diselimuti malam.

"Untuk kedua kalinya kulihat wajah lelaki keparat ini 

seperti menemukan harta karun! Pertama saat melihat air ter-

jun, kemudian dua bukit itu! Hmm... aku tahu! Sudah tentu 

dua bukit itulah yang dijadikan sebagai patokan kedua menu-

ju ke Pulau Hitam! Sebaiknya, aku tetap berlagak tidak tahu!" 

kata Iblis Rambut Emas dalam hati.

Lalu dengan suara dibuat agak jengkel, perempuan be-

rambut emas yang ditutupi kerudung warna merah ini mem-

bentak, "Sangga Rantek! Apa yang sebenarnya kau inginkan, 

hah?! Tadi kau berhenti, lalu mengatakan akan melacak jejak 

ke Pulau Hitam! Dan sekarang, kau berhenti lagi! Apakah 

dua bukit kembar itu dulu pernah kau diami hingga kau men-

jadi terkenang sekarang? Dasar kapiran!"

Untuk pertama kalinya Sangga Rantek tidak gusar men-

dengar ucapan orang yang bernada mengejek. Dia justru me-

nyeringai sendiri.

Tanpa tolehkan kepala pada Iblis Rambut Emas, dia ber

kata, "Kupikir... bukit itu dapat kita jadikan sebagai tempat 

peristirahatan! Siapa tahu besok kita harus mcugerahkan te-

naga lebih banyak!"

Tertawa Iblis Rambut Emas dalam hati.

"Semakin kuat keyakinanku kalau dua bukit itu merupa-

kan patokan menuju ke Pulau Hitam."

Lalu katanya, "Keputusanmu itu sungguh tepat! Aku ju-

ga membutuhkan istirahat!!"

Sangga Rantek hanya mengangguk-anggukkan kepa-

lanya. Kejap kemudian dia sudah berkelebat menuju dua bu-

kit kapur. Iblis Rambut Emas kembali hanya mengikuti.

Sesampai di sana, Sangga Rantek kembali menghentikan 

larinya. Dipandanginya kedua bukit kapur itu dengan mata 

berbinar-binar.

"Tak salah! Tak sia-sia kulalui semua ini! Kedua bukit 

ini tentunya patokan kedua menuju ke Pulau Hitam! Sayang. 

aku tidak tahu lagi harus ke mana! Biarpun demikian, akan 

kuselidiki dulu tempat ini! Barangkali saja akan membawaku 

pada jalan yang tepat menuju ke Pulau Hitam! Jahanam sial! 

Bila saja saat ini kumiliki potongan pedang lainnya, tentunya 

tak akan sebingung ini!" katanya dalam hati.

Di lain pihak, Iblis Rambut Emas yang juga memperha-

tikan kedua bukit kapur itu membatin, "Aku ingin tahu apa 

yang akan dilakukannya." Untuk beberapa lama tak ada yang 

keluarkan suara. Hanya suara burung-burung malam yang 

berseliweran dan berkaokan. Malam semakin merambat naik. 

Kegelapan kian menyelimuti, apalagi saat ini rembulan tak 

kuasa menembus rangkaian awan hitam yang bergandengan 

tangan.

Sangga Rantek membatin, "Malam terus merambat. Aku 

tak boleh buang waktu untuk menyelidiki tempat ini."

Memutuskan demikian, Sangga Rantek segera berkata

pada Iblis Rambut Emas, "Kau tentunya lapar, bukan? Kali 

ini aku ingin bersikap baik padamu! Kau tunggu di sini! Aku 

akan mencari kelinci gemuk untuk mengisi perut!"

Iblis Rambut Emas pentangkan senyuman aneh. "Manu-

sia bodoh! Dengan sikap yang kau perlihatkan, kau bukannya 

menutupi segala kebohongan yang kau lakukan! Malah kau 

justru menampakkannya!! Akan kuikuti ke mana kau pergi!"

Lalu Iblis Rambut Emas menganggukkan kepalanya.

"Ya, aku memang lapar! Sementara kau mencari kelinci 

gemuk, aku akan membuat api!"

Sudah tentu Sangga Rantek tak mau membuang waktu. 

Dia pun segera berlari untuk menyelidiki sekeliling bukit-

bukit kapur itu. Namun baru lima langkah dia lalui, menda-

dak saja terdengar suara orang seperti muntah.

"Huaaakkk!!"

Suara itu cukup keras terdengar, karena sekeliling tem-

pat itu sunyi. Bukan hanya Sangga Rantek yang hentikan la-

rinya dan putar tubuh. Iblis Rambut Emas yang bermaksud 

mengikutinya pun lakukan hal yang sama.

***

3


Kedua manusia sesat itu tak ada yang buka suara. Pan-

dangan masing-masing orang membuka lebih lebar. Mereka 

juga membuka indera pendengaran lebih tajam.

Sampai kemudian terdengar geraman Sangga Rantek, 

"Jahanam keparat! Rupanya kita tidak hanya berdua di tempat 

ini! Berpencar! Dan bunuh siapa pun orang itu!!"

Habis kata-katanya, Sangga Rantek yang geram karena 

merasa ada orang yang mendahuluinya tiba di situ, sudah

berkelebat ke depan. Iblis Rambut Emas mempertimbangkan 

dulu apa yang dilakukannya sebelum dia lakukan tindakan 

yang sama.

Sangga Rantek yang melesat ke bagian kiri dari dua bu-

kit kapur itu, semakin dibuai kemarahan. Dia benar-benar tak 

menyangka ada orang lain yang tiba di situ. Dan ini sungguh 

tak dapat diterimanya.

"Setan jahanam! Siapa orang yang seperti muntah darah 

itu, hah? Dalam keadaan terluka, atau dia memang sengaja 

agar kehadirannya diketahui? Setan alas!! Jangan-jangan... 

orang itu adalah Pendekar Slebor? Tetapi tak mungkin! Den-

gan hanya memiliki satu potongan pedang yang ada padanya, 

sudah tentu dia akan tersesat sampai ke tempat ini! Namun 

bisa pula justru karena tak sengaja dia tiba di sini! Jahanam 

keparat! Kubunuh saat ini juga bila dia tak mau menyerahkan 

potongan pedang yang satunya lagi?!"

Di lain pihak, Iblis Rambut Emas ternyata juga memi-

kirkan hal yang sama.

"Aku, tahu kalau Sangga Rantek memiliki Pedang Bun-

tung, begitu pula dengan Pendekar Slebor yang memiliki po-

tongan pedang. Bisa jadi orang yang nampaknya sedang 

menderita kesakitan itu, adalah Pendekar Slebor. Tetapi tak 

dapat dipungkiri bila ada orang lain yang secara tak sengaja 

tiba di tempat ini?!"

Orang yang tadi keluarkan suara laksana orang muntah, 

memang Pendekar Slebor adanya. Cukup lama anak muda da-

ri Lembah Kutukan ini bersemadi guna memulihkan keadaan 

dirinya setelah dihajar Dewa Lautan Timur.

Dan di akhir semadinya, dia muntah darah. Darah yang 

keluar sangat hitam, pertanda dia terluka dalam. Namun sete-

lah dialirkan tenaga 'Inti Petir', rasa sakit yang dideritanya se-

dikit banyaknya terobati.

Dihelanya napas perlahan-lahan. Lalu bangkit untuk du-

duk berlutut.

Meskipun dadanya sudah tak terlalu nyeri, tetapi kedua 

tangannya masih terasa ngilu. Perlahan pula dililitkan kemba-

li kain bercorak catur yang telah melindungi dirinya dari ke-

matian, ke lehernya.

"Monyet buduk! Tak kusangka kalau aku akan berjumpa 

dengan Dewa Lautan Timur! Kesaktian kakek sesat itu sangat 

tinggi! Huh! Menurutnya dia telah berhasil membunuh Gadis 

Kayangan.... Aku tak tahu harus berpikir apa tentang hal itu. 

Bisa jadi Gadis Kayangan memang telah. tewas di tangannya. 

tetapi bisa jadi pula Dewa Lautan Timur hanya mencoba 

mengacaukan perasaanku saja. Sungguh masalah yang cukup 

pelik."

Lamat-lamat dialirkan kembali tenaga 'Inti Petir' ke selu-

ruh tubuhnya. Dan hawa panas pun melingkupinya. Sedikit 

demi sedikit dia dapat bernapas agak longgar. Untuk bebera-

pa lama, baru dihentikan aliran tenaga 'Inti Petir'.

Anak muda ini tarik napas dalam-dalam. Lalu dihem-

buskan kembali seraya mendesis, "Yang masih membingung-

kanku sampai saat ini tentang dua orang Panembahan Agung. 

Yang mana yang asli dan yang mana yang palsu? Menurut 

dugaanku, Dewa Lautan Timur-lah orang yang menyamar se-

bagai Panembahan Agung. Kendati dia membantah, tetapi 

aku tetap berkesimpulan kalau manusia itulah yang lakukan 

tindakan semacam itu. Terbukti karena dia sesungguhnya ti-

dak tahu di mana Pulau Hitam berada. Karena dapat kupasti-

kan, dia akan berusaha untuk tiba di Pulau Hitam seperti yang 

kukatakan." (Untuk mengetahui masalah itu, silakan baca: 

"Dewa Lautan Timur").

Kembali pemuda yang memiliki alis hitam legam dan 

menukik laksana kepakan sayap elang ini menghela napas,

membuang sedikit beban yang menggayuti perasaannya. 

Otaknya diperas untuk memikirkan masalah-masalah yang 

dihadapinya.

"Urusan ini bermula dari dua potongan pedang. Di mulai 

dengan pembunuhan yang dilakukan Sangga Rantek terhadap 

Pemimpin Agung dan semuanya berkembang menjadi urusan 

yang panjang. Kadal buntung! Perjalanan harus kuteruskan! 

Aku harus tetap bisa mencapai Pulau Hitam! Di samping aku

penasaran ingin mengetahui rahasia apa yang ada di Pulau 

Hitam... aku tetap berkeyakinan kalau dua orang yang men-

gaku sebagai Panembahan Agung akan tiba di sana...."

Setelah beberapa lamanya terdiam, perlahan-lahan Pen-

dekar Slebor berdiri. Kedua kakinya masih sedikit goyah.

Kali ini dia memaki-maki tak karuan, "Monyet buduk! 

Hajaran Dewa Lautan Timur bikin aku mati kutu! Huh! Kalau 

berjumpa lagi dengannya, akan kujitak kepalanya itu! Siapa 

tahu di balik sorban kuning yang dikenakannya, kepalanya pi-

takan!"

Diedarkan pandangan ke sekelilingnya yang diliputi ma-

lam. Kendati yang nampak hanya kegelapan semata, namun 

matanya yang terlatih dalam gelap, dapat melihat keadaan di 

sekitarnya. Bau kapur yang berasal dari dua bukit kapur itu, 

sungguh tak sedap. Terasa sedikit mengganggu pernapasan.

"Aku harus terus mencari Pulau Hitam...," desisnya ber-

semangat. "Dan aku ingin tahu kebenaran tentang nasib Gadis 

Kayangan."

Lalu perlahan-lahan anak muda ini mulai melangkah ke 

depan, ke arah perginya Dewa Lautan Timur. Baru dua belas 

langkah dia bergeser dari tempatnya, mendadak saja satu so-

sok tubuh berpakaian putih dengan jubah dan kerudung me-

rah telah berdiri di hadapannya!

Melengak anak muda ini melihat kehadiran orang yang

tak disangka-sangka. Tetapi kejap kemudian, dia sudah se-

nyum-senyum sendiri.

"Eh! Kita berjumpa lagi, nih! Apa kabar? Bagaimana 

kabar ibu? Bapak? Semua baik? Kalau baik, syukur deh! 

Ayo, minggir! Tuanmu mau lewat nih!!"

Mendengar ucapan konyol dan dilakukan secara berun-

tun, sosok berkerudung merah yang tak lain Iblis Rambut 

Emas menggeram. Pandangannya agak menyipit dan menyi-

ratkan kilatan berbahaya.

"Pendekar Slebor! Rupanya, manusia yang muntah darah 

itu kau adanya!" desis si perempuan yang seketika otaknya 

bekerja. Diam-diam dia membatin dalam hati, "Bila aku dapat 

membunuh pemuda celaka ini, maka urusanku akan selesai! 

Berarti, potongan pedang itu akan jatuh ke tanganku dan 

tinggal membunuh Sangga Rantek! Tetapi... tak semudah itu 

nampaknya kulakukan! Karena tentunya Sangga Rantek akan 

mendengar suara bila aku menggempurnya!"

Pendekar Slebor yang tak menyangka akan bertemu 

dengan Iblis Rambut Emas, cuma garuk-garuk kepalanya 

yang tidak gatal. Sambil pandangi perempuan di hadapannya, 

dia membatin, "Kehadiran perempuan sesat ini sungguh men-

gejutkan. Dan melihat kilatan matanya tadi, aku yakin dia ti-

dak sendiri. Sebaiknya, kupancing dulu siapa orang yang da-

tang bersamanya."

Berpikir demikian, Pendekar Slebor berkata, "Sudah ten-

tu sesuatu yang bagus kalau kita dapat berjumpa lagi! Ngo-

mong-ngomong... kau mendengar aku muntah darah, ya? Iya 

nih! Aku lagi sakit! Tolong dong carikan obat?! Kau cantik 

deh bila mau melakukannya?!"

"Serahkan potongan pedang itu padaku!!" hardik Iblis 

Rambut Emas dengan wajah membesi.

"Lho, masih urusan itu? Kupikir kau menghendaki nya

wa ku? O iya, di mana kawanmu itu, hah?!"

Ucapan yang dilakukan Pendekar Slebor hanya merupa-

kan wujud dari nalurinya saja. Tetapi Iblis Rambut Emas 

nampak terkejut mendengarnya.

"Setan keparat! Rupanya dia tahu kalau aku datang ber-

sama Sangga Rantek! Jangan-jangan dia telah mengintip tadi! 

Huh! Terpaksa harus kupanggil Sangga Rantek sekarang!! 

Dan jalan yang terbaik, menyerang pemuda keparat ini hing-

ga Sangga Rantek mendengarnya dan hadir disini!"

Memutuskan demikian, mendadak saja perempuan ber-

kerudung merah ini menggerakkan tangan kanannya ke de-

pan.

Wusssss!!

Serangkum kabut putih berhawa dingin mencelat ke arah 

Andika diiringi suara menggidikkan.

Andika yang sebelumnya pernah bertarung dengan pe-

rempuan berkerudung merah ini, tak mau bertindak ayal. 

Kendati kedua tangannya masih terasa ngilu, namun segera 

diangkat tangan kanannya yang telah dialirkan tenaga 'Inti 

Petir', menyusul disabetkan ke depan.

Blaaammm! Blaammm!!

Kabut putih berhawa dingin itu langsung buyar ke udara. 

Namun karena keadaan Andika belum pulih benar, justru so-

soknya yang terhuyung tiga langkah ke belakang.

Melihat hal itu, Iblis Rambut Emas yang tadi hanya me-

rasakan tangannya agak bergetar dan sadar kalau Pendekar 

Slebor memang dalam keadaan terluka, sudah lakukan seran-

gan susulan.

Wuuuss! Wusss!!

Dua bongkah kabut putih yang diiringi hawa dingin

menggigit, menghampar dengan kekuatan maha besar. Andi-

ka memekik tertahan begitu merasakan hawa dingin yang

membuat urat-uratnya menjadi kaku.

Cepat dia kembali memapaki serangan itu.

Benturan dua tenaga sakti tingkat tinggi terjadi. Ledakan 

dahsyat terdengar disusul dengan goncangan pada tempat itu. 

Dua bongkah kabut putih yang dilepaskan Iblis Rambut Emas 

terlontar dan membuyar di udara. Tanah di mana tadi berte-

munya benturan itu muncrat setinggi dua tombak yang seke-

tika menghalangi pandangan.

Tatkala semuanya sirap, nampak sosok Pendekar Slebor 

terhuyung-huyung dan kelihatan kalau dia berusaha untuk 

kuasai keseimbangannya.

Di seberang, Iblis Rambut Emas hanya surut tiga tindak 

ke belakang. Keadaan perempuan berambut emas ini nampak 

tak kurang suatu apa kecuali merasakan kedua tangannya 

agak bergetar. Bila saja Pendekar Slebor tidak terluka dalam, 

sudah tentu sosok Iblis Rambut Emas akan terpental ke bela-

kang.

"Celaka! Dalam keadaan seperti ini, jelas aku tak akan 

mampu tandingi perempuan celaka itu! Aku yakin, serangan 

yang dilakukannya selain memang ingin membunuhku, juga 

sebagai isyarat untuk memanggil temannya yang entah siapa. 

Kadal buntung! Sambal bau! Aku harus menjauh dari sini!!"

Namun sudah tentu Iblis Rambut Emas tak akan mele-

paskan buruannya. Seraya maju dua tindak ke muka, perem-

puan ini berkata mengejek, "Sayang beribu sayang... kalau 

pendekar yang banyak dipuja orang ternyata tak memiliki 

kemampuan apa-apa! Tetapi aku masih mengampuni nyawa-

mu, bila kau menyerahkan potongan pedang perak kepada-

ku!!"

"Menyerahkan potongan pedang itu sih gampang! Tetapi 

yang sulit, aku mau atau tidak menyerahkannya?!" seru An-

dika yang berusaha untuk alirkan tenaga dalamnya guna me

mulihkan keadaannya seperti semula.

"Jahanam! Kubunuh kau!!"

Habis bentakannya, Iblis Rambut Emas segera angkat 

kedua tangannya ke atas.

Sementara Andika memaki-maki dalam hati, "Buaya 

mati! Ketimbang aku yang celaka, terpaksa kupergunakan 

kain bercorak catur untuk menahan serangannya!!"

Namun belum lagi serangan itu dilakukan Iblis Rambut 

Emas, mendadak terdengar suara keras yang memecah ma-

lam, "Tunggu!! Aku juga ingin membunuhnya!"

Menyusul satu sosok tubuh berpakaian serba hitam telah 

berdiri di samping kiri Iblis Rambut Emas.

"Sangga Rantek...," desis Andika dan tanpa sadar surut 

satu tindak ke belakang.

***

Orang yang muncul itu memang Sangga Rantek. Dia 

mendengar suara letupan demi letupan yang terjadi hingga 

memutuskan untuk mencarinya. Tak disangkanya kalau Pen-

dekar Slebor yang nampak di depan mata. Dan menilik gela-

gatnya, Sangga Rantek yakin, kalau Iblis Rambut Emas telah 

menghajar pemuda itu.

"Kematianmu sudah bertambah dekat, Pendekar Slebor! 

Sebuah kematian yang akan kau nikmati dengan segala pen-

deritaan yang sangat pedih! Serahkan potongan pedang itu 

kepadaku, maka kau akan dapat melihat matahari besok!!"

Kendati sadar dalam keadaan diri belum pulih benar aki-

bat gempuran Dewa Lautan Timur, anak muda ini tetap bersi-

fat urakan. Sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal 

padahal menahan nyeri, dia berseru, "O... jadi kalian sudah 

bergabung untuk membunuhku, ya? Ayo katakan, siapa lagi

orang yang telah bergabung dengan kalian?!"

Sangga Rantek terbahak-bahak.

"Karena kau akan mampus malam ini juga, akan kukata-

kan apa yang kau tanyakan! Ki Pasu Suruan dan Nyi Geng-

gong pun akan siap mencabik-cabik tubuhmu!!"

"Ki Pasu Suruan... salah seorang dari Dua Manusia Goa 

Setan. Tetapi siapa orang yang bernama Nyi Genggong?" de-

sis Andika dalam hati. Lalu dia tertawa sendirian dan berkata, 

"Busyet! Apa tidak salah kau sebutkan nama orang tadi? Nyi 

Gonggong? Wah! Sebangsa manusia serigala kali, ya?!"

"Puaskanlah semua ejekanmu itu, Pendekar Slebor! Ka-

rena kau tak akan dapat lagi lakukan sikap urakan mu!" har-

dik Sangga Rantek. "Ah, masa?"

Iblis Rambut Emas yang sudah tidak sabar untuk mem-

bunuh Pendekar Slebor, dengan harapan dia dapat lakukan 

niatnya untuk membunuh Sangga Rantek pula, berkata, "Un-

tuk apa banyak bicara lagi! Kita bunuh pemuda celaka itu!!"

Habis kata-katanya, perempuan berkerudung merah ini 

sudah mendorong kedua tangannya. Dua bongkah kabut pulih 

yang keluarkan hawa dingin menderu mengerikan.

Melihat lawan telah lancarkan serangannya, Andika 

yang memutuskan untuk pergunakan kain bercorak catur, 

sengaja mundur. Disusul dengan gerakkan tangan kanannya 

yang telah memegang kain pusaka bercorak catur.

Wrrrrr!!

Angin raksasa dikawal suara dengungan laksana ribuan 

tawon murka menggebah. Dua bongkah kabut pulih milik Ib-

lis Rambut Emas kontan putus di tengah jalan. Sementara ge-

lombang angin itu terus menderu ke arah si perempuan yang 

memekik dan membuang tubuh.

Bersamaan Andika mengibaskan kain bercorak catur, 

Sangga Rantek sudah lakukan serangan pula. Serangan itu

memang dapat dipatahkan oleh Andika.

Iblis Rambut Emas yang telah berdiri tegak, kembali le-

paskan serangan pula. Begitu pula dengan Sangga Rantek 

yang untuk pertama kalinya, loloskan gelang-gelang duri 

yang melingkar pada kedua pergelangan tangannya.

Empat buah gelang duri melesat dengan suara membe-

set. Dua mengarah pada kaki dan dua lagi mengarah pada ba-

gian kepala. Belum lagi dilepaskan pukulan jarak jauhnya 

sementara Iblis Rambut Emas juga lepaskan kabut-kabut pu-

tihnya.

Makin kacau gerakan yang dilakukan Pendekar Slebor. 

Kendati dia berhasil menghalau setiap serangan dengan per-

gunakan kain bercorak catur, namun karena keadaannya ma-

sih dalam keadaan terluka dalam, sudah tentu lambat laun te-

naganya terkuras dengan sendirinya.

Bahkan saat dipadukan dengan ajian 'Guntur Selaksa' se-

rangannya seolah tak mengandung tenaga yang diharapkan. 

Hingga kemudian dengan satu tendangan yang dilakukan Ib-

lis Rambut Emas, tangan kanan Andika terhajar telak. Kain 

bercorak caturnya terlepas.

Sementara Sangga Rantek sudah mendorong kedua tan-

gannya didahului dengan lesatan tiga buah gelang-gelang du-

rinya.

Apa yang dialami Andika sungguh sesuatu yang menge-

rikan. Nyawanya bisa putus hari itu juga. Dasar keras kepala, 

dia masih berusaha untuk melawan kendati tak kuasa dilaku-

kannya lebih lama. Hingga satu jotosan Sangga Rantek bersa-

rang di dadanya. Disusul gempuran yang dilakukan Iblis 

Rambut Emas dari atas.

Namun sebelum jotosan Iblis Rambut Emas memecah-

kan kepala si anak muda, dan tendangan memutar yang dila-

kukan Sangga Rantek menghajar dadanya, mendadak saja

terdengar suara yang sangat keras seperti membelah udara....

Cltaaarrr!!

Seketika masing-masing orang mengurungkan serangan-

nya dan mundur tiga langkah ke belakang.

Tiba-tiba saja terdengar suara yang nyaring, "Aku juga 

menginginkan nyawanya! Siapa pun orangnya yang menda-

huluiku, maka dia akan mampus!!"

***

4


Kita tinggalkan dulu maut yang nampaknya akan di te-

rima Pendekar Slebor. Kita ikuti perjalanan Ki Pasu Suruan 

dan Nyi Genggong.

Setelah bersepakat bergabung dengan Sangga Rantek 

dan Iblis Rambut Emas, kedua manusia sesat itu pun mene-

ruskan perjalanannya, meninggalkan Gadis Kayangan yang 

kemudian dibawa lari oleh seorang kakek yang berwajah arif.

Ki Pasu Suruan yang mendendam pada Pendekar Slebor 

karena pemuda itu telah membunuh adik seperguruannya, Ki 

Pancen Dadap, memang sama sekali tak menyangka akan 

bertemu dengan Nyi Genggong yang sedang membopong 

Gadis Kayangan. Sebelumnya, Gadis Kayangan dihajar oleh 

Dewa Lautan Timur. Tatkala Dewa Lautan Timur hendak 

mempermalukan gadis itu, muncul Nyi Genggong yang me-

nyambar tubuh Gadis Kayangan.

Saat ini, masing-masing orang sedang hentikan langkah-

nya di sebuah jalan setapak yang dipenuhi ranggasan semak 

belukar. Nyi Genggong langsung keluarkan suara pada lelaki 

setengah baya berpakaian kuning-kuning, "Pasu Suruan! Aku 

benar-benar tidak mengerti mengapa kau mengajak bersekutu

dengan Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek! Padahal, aku 

sudah tak sabar untuk membunuh perempuan berkerudung 

merah yang menyerangku itu!"

Ki Pasu Suruan hanya menatap si nenek berpakaian hi-

tam compang-camping itu. Sebelumnya di saat keduanya 

memutuskan meninggalkan tempat, satu serangan yang dila-

kukan oleh Sangga Rantek menghalangi maksud mereka. Dan 

serangan itu terarah pada Nyi Genggong. Tetapi Iblis Rambut 

Emas yang merasa harus menunjukkan kesetiakawanannya 

pada Sangga Rantek, mengatakan dialah yang telah lakukan 

serangan pada Nyi Genggong.

"Dengan cara begitu, kita dapat membunuh Pendekar 

Slebor dengan mudah!" sahut Ki Pasu Suruan.

Si nenek menggeram gusar. "Sejak semula kukatakan, 

aku tidak punya urusan dengan Pendekar Slebor! Yang kuin-

ginkan adalah menuju ke Pulau Hitam! Hanya karena kau 

mengatakan kalau dua potongan pedang perak itu berada di 

tangan Pendekar Slebor saja, aku menuruti kata-katamu! Pal-

ing tidak, kau membuatku tidak banyak membuang waktu la-

gi!"

"Tetapi itu pun satu masukan yang sangat berguna, bu-

kan? Kau menyangka dua potongan pedang itu berada di tan-

gan Gadis Kayangan, padahal tidak sama sekali!"

"Dan seharusnya gadis itu kubunuh!"

"Tanpa kau bunuh pun dia tentunya akan mati! Bukan-

kah kau telah menotoknya?"

Nyi Genggong mendengus. Wajahnya masih menyi-

ratkan kemarahan. Dia tetap jengkel pada Iblis Rambut Emas 

yang mengaku telah menyerangnya.

Lelaki berkalung tengkorak ini sendiri lama kelamaan 

menjadi geram melihat sikap Nyi Genggong. Dengan pan-

dangan dan suara menusuk dia berkata, "Selain Pendekar Sle

bor... urusan Dewa Lautan Timur pun harus kita pikirkan!"

"Aku tak punya urusan dengannya!!"

"Kau telah menggagalkan niatnya untuk membunuh ga-

dis itu! Apakah kau pikir dia tidak mengetahui siapa adanya 

kau?!"

"Tak mungkin dia mengenaliku!"

"Lantas bagaimana dengan yang kukatakan, kalau ke-

mungkinan besar Dewa Lautan Timur mengenalimu, hah?! 

Apakah kau akan berdiam diri saja?!"

Mulut si nenek berbibir keriput ini, mencang-mencong 

tanpa keluarkan suara. Sedikit banyaknya dibenarkan juga ka-

la-kata lelaki berpakaian kuning-kuning di hadapannya.

Kemudian katanya jengkel, "Ke mana lagi kita harus 

pergi? Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas jelas-jelas tak 

menunggu atau menyenangi kehadiran kita?! Jelas dari sikap 

Sangga Rantek yang melarang kita untuk berangkat bersama-

sama?" Lalu lanjutnya dalam hati, "Setan keparat! Mengapa 

aku harus bertemu manusia satu ini? Padahal aku bisa bertin-

dak seorang diri! Rasa penasaranku untuk mengetahui ada ra-

hasia apa di Pulau Hitam, harus terjawab!"

Ki Pasu Suruan tidak segera menjawab pertanyaan si ne-

nek. Sambil lipat kedua tangannya di depan dada, pandan-

gannya tertuju ke depan.

"Kedua manusia itu menuju ke barat daya. Tetapi hingga 

saat ini belum juga terlihat di mana sesungguhnya mereka be-

rada. Apakah yang mereka lakukan, hanya untuk mengelabui 

saja padahal keduanya tak pergi ke arah barat daya?"

Untuk beberapa lamanya Ki Pasu Suruan terdiam sebe-

lum terdengar bentakan Nyi Genggong, "Setan laknat! Apa-

kah kau sudah menjadi tuli, hah?!"

Tanpa palingkan kepala, Ki Pasu Suruan menjawab, "Ki-

ta tetap menuju ke barat daya! Peduli setan apakah dapat ber

temu kembali dengan Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas! 

Nyi Genggong... sasaranku adalah Pendekar Slebor!"

"Dan hingga saat ini kau belum juga menemukan pemu-

da yang telah membunuh Pancen Dadap! Dasar kau yang bo-

doh! Tak berguna sama sekali apa yang kau miliki! Kau bu-

kan hanya dapat dikalahkan oleh pemuda celaka itu, tetapi 

harus juga ditebus dengan nyawa Pancen Dadap! Apakah itu 

bukan tindakan bodoh?!"

Ejekan Nyi Genggong membuat sepasang telinga Ki Pa-

su Suruan memerah. Seketika dia palingkan kepala. Matanya 

menusuk dan berkilat-kilat penuh kebencian. Namun tatkala 

diingatnya kalau dia dapat pergunakan kesaktian Nyi Geng-

gong, ditindih segala jengkelnya.

Kemudian katanya, "Kuakui aku memang tak sanggup 

mengalahkan pemuda itu! Tetapi dengan bantuan mu, bukan-

kah semuanya akan berlangsung seperti yang kuharapkan?"

Berkembang hidung Nyi Genggong mendengar pujian 

orang. Bibirnya mengembung senyuman senang. Sementara 

Ki Pasu Suruan memaki-maki dalam hati, "Ku bunuh kau bila 

urusanku dengan Pendekar Slebor telah selesai!"

Karena merasa Ki Pasu Suruan takluk padanya, Nyi 

Genggong berkata pongah, "Bagus kau sadar akan kemampu-

anku! Kini, akan kuceritakan satu masalah lain yang belum 

kau ketahui!!" 

"Katakan!!"

"Aku tahu... bukan hanya gurumu saja yang dulu meng-

hendaki dua potongan pedang perak yang berada di tangan 

Panembahan Agung dan Pemimpin Agung! Guruku pun 

menghendakinya! Dan perlu kau ketahui, sebelumnya dia te-

lah berhasil mendapatkan dua potongan pedang perak itu 

tatkala berada di tangan Pemimpin Agung! Tetapi sayangnya, 

Pemimpin Agung kembali berhasil mendapatkannya, sekali

gus membunuh guruku!"

"Lantas... apa yang hendak kau ceritakan?"

"Jangan memotong setiap ucapanku!! Guruku berhasil 

mendapatkannya, tatkala Pemimpin Agung sedang bersema-

di! Tetapi sayangnya, jejaknya ketahuan hingga dia akhirnya 

mampus! Yang perlu kau ketahui... guruku telah menghafal 

seluruh titik-titik yang merupakan rangkaian gambar bebera-

pa patokan yang ada pada kedua potongan pedang itu!"

"Percuma karena dia telah mampus!!"

Plaaakk!!

Entah bagaimana caranya, tahu-tahu Ki Pasu Suruan me-

rasakan pipinya kena tamparan. Murka sudah lelaki ini. Na-

mun begitu didengarnya kata-kata Nyi Genggong selanjutnya, 

dia berusaha tindih kemurkaannya.

"Sebelum mampus dibunuh Pemimpin Agung, guruku 

menceritakan tentang patokan-patokan pada kedua potongan 

pedang itu padaku!"

Bagai menemukan durian runtuh sepasang mata Ki Pasu 

Suruan langsung membuka lebar.

"Apakah kau sekarang masih mengingatnya?" tanyanya 

tergesa-gesa.

Nyi Genggong mendengus lebih dulu sebelum menja-

wab, "Sudah tentu aku mengingatnya! Bahkan telah kutemu-

kan patokan menuju ke Pulau Hitam!"

"Apa... apa itu?" suara lelaki berkalung tengkorak ini 

begitu bernafsu.

Kembali Nyi Genggong mendengus. Kemudian katanya, 

"Telah kutemukan sebuah lembah yang sangat curam berikut 

dua buah pohon besar yang menjadi patokan. Menurut cerita 

mendiang guruku sebelum mampus, kita harus bergerak ke 

arah kiri dan terus melangkah hingga akhirnya tiba di Pulau 

Hitam."

Binaran mata Ki Pasu Suruan semakin bertambah. Bi-

birnya tersenyum lebar penuh kepuasan. Namun mendadak 

saja keningnya dikerutkan. Pandangannya tak berkedip pada 

Nyi Genggong.

Yang dipandang menggeram, "Mengapa kau menatapku 

seperti itu, hah?!"

"Bila memang demikian adanya, mengapa kau masih 

mencoba memburu dua potongan pedang itu, hah?!"

"Karena setelah kutemukan semua itu, aku masih tidak 

percaya!"

"Apa maksudmu?"

"Aku tahu, guruku bukanlah orang baik-baik! Dia manu-

sia sesat yang tak pernah sungkan untuk berbuat apa saja pa-

da siapa pun, termasuk aku, muridnya sendiri! Berulang kali 

aku dipermainkannya! Tetapi karena dia guruku, aku tak bisa 

berbuat apa-apa kecuali menindih segala kebencian! Dan ku-

pikir, apa yang dikatakannya itu adalah ulahnya untuk mem-

permainkanku lagi! Sehingga dikarenakan rasa penasaran 

yang memenuhi dadaku melihat kematian guruku, kupu-

tuskan untuk melacak jejak Pulau Hitam, Walaupun demi-

kian, kendati aku telah menemukan petunjuk terakhir dari Pu-

lau Hitam, keraguanku kembali datang, hingga kupikir aku 

kembali dipermainkannya! Itulah sebabnya, kuputuskan un-

tuk mendapatkan dua potongan pedang itu untuk membuatku 

lebih yakin!"

"Taruhlah apa yang dikatakannya benar! Lantas... men-

gapa dia tak melacak jejak itu seorang diri?" tanya Ki Pasu 

Suruan masih tak percaya.

"Aku sendiri pernah memikirkan soal itu. Setelah dia 

menceritakan tentang titik-titik yang tergambar pada dua po-

tongan pedang itu, aku diperintahkannya untuk pergi. Dan ke-

tika besoknya aku kembali, dia telah mampus sementara dua

potongan pedang telah lenyap. Nah! Siapa lagi yang telah 

melakukannya kalau bukan Pemimpin Agung? Dari tenggang 

waktu yang sedemikian singkat, sudah jelas kalau dia tak 

memiliki kesempatan untuk melacak jejak Pulau Hitam!"

Kali ini Ki Pasu Suruan terdiam cukup lama. Keningnya 

berulangkali berkerut tanda dia berpikir keras. Setelah itu, 

terlihat kepalanya mengangguk-angguk.

Lalu katanya, "Bila memang demikian, tak perlu kita 

ikuti ke mana perginya Sangga Rantek dan Iblis Rambut 

Emas! Lebih baik kita jajaki apa yang kau katakan tadi! Dan 

sangat menyenangkan karena kau telah menemukan petunjuk 

terakhir menuju ke Pulau Hitam!"

Mendengar ajakan itu, Nyi Genggong tak langsung 

mengiyakan. Dia berkata sinis penuh mengejek, "Dengan 

berkata begitu, apakah kau melupakan urusan

Pendekar Slebor? Atau... sesungguhnya kau memang in-

gin mengetahui rahasia apa yang ada di Pulau Hitam dan ber-

lagak tidak tertarik lagi karena kau ingin membalas kematian 

Pancen Dadap di tangan Pendekar Slebor?"

Memerah wajah si lelaki berkalung tengkorak menden-

gar ejekan si nenek, hingga untuk beberapa saat dia tak kelua-

rkan suara. Setelah menemukan jawaban yang menurutnya 

tepat, dia baru buka mulut, "Dua potongan pedang itu berada 

di tangan Pendekar Slebor! Tak mustahil pemuda setan itu te-

lah tiba di sana! Bukankah ini sebuah keputusan yang sangat 

bagus? Dengan kata lain, kita tahu di mana Pendekar Slebor 

saat ini!"

Nyi Genggong cuma menyeringai. Sambil arahkan pan-

dangannya ke depan, dia berkata, "Karena aku telah bersepa-

kat denganmu, tak ada salahnya kita menuju ke lembah cu-

ram yang menurut guruku adalah tanda menuju ke Pulau Hi-

tam! Kalau begitu, kita langsung menuju ke selatan!"

Habis kata-katanya, si nenek membelokkan arah larinya 

lebih ke kanan. Kejap kemudian dia sudah bergerak sedemi-

kian cepatnya menembus kegelapan malam.

Ki Pasu Suruan yang sama sekali tak menyangka akan 

mendapatkan keuntungan yang sangat besar, segera saja 

menghempos tubuhnya. Dia tak mau ketinggalan dan dia pun 

bersiaga penuh bila ternyata si nenek menjebaknya.

***

5


Masing-masing orang yang berada di bukit kapur itu ter-

diam dengan pandangan membuka lebih lebar. Terutama 

Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas. Sebelum mereka 

mengetahui siapa orang yang tadi menggagalkan keinginan 

untuk membunuh Pendekar Slebor, hati mereka sudah diliputi 

oleh kemarahan yang tinggi. Dapat dibayangkan bila mereka 

sudah melihat orang yang tadi halangi niat.

Lain halnya dengan Pendekar Slebor yang berusaha agar 

tidak terjatuh. Suara orang yang tadi barusan membentak itu, 

begitu akrab di telinganya. Hingga untuk sesaat hatinya men-

jadi makin tak menentu. Dan semakin kacau tatkala ingatan-

nya tiba pada seseorang. Seraya menghela napas pendek, dia 

mendesis, "Setan Cambuk Api... Kutu monyet! Mungkin saat 

ini aku ditakdirkan untuk mampus!!"

Selang dua kejapan mata, dari sebelah kanan melangkah 

satu sosok tubuh sambil geleng-geleng kepalanya. Dengan se-

ringaian lebar yang bertengger di bibir keriputnya, orang ini 

berhenti sejarak dua tombak dari hadapan masing-masing 

orang. Sosok seorang perempuan tua yang mengenakan pa-

kaian batik kusam ini, memiliki paras bulat telur dan dihiasi

rangkaian kulit keriput. Rambutnya panjang tak beraturan. 

Saat menyeringai, wajahnya tak lebih dari kuntilanak belaka.

Perempuan tua yang di tangan kanannya tergenggam 

cambuk berlidah tiga ini mendadak terkikik keras begitu me-

lihat Pendekar Slebor, "Hik hik hik... ke mana pun kau lari, 

nampaknya kau tak akan luput dari kematian, Pendekar Sle-

bor! Kalaupun kau lolos dari tangan ku, nampaknya kau tak 

akan bisa lolos dan tangan kedua manusia-manusia keparat 

itu!! Tetapi kematianmu sudah berada di tanganku! Tak seo-

rang pun yang akan kubiarkan hidup bila halangi keinginan-

ku?"

Lalu tanpa hiraukan pandangan tajam dari Sangga Ran-

tek dan Iblis Rambut Emas, si nenek yang memang Setan 

Cambuk Api adanya, melangkah mendekati Pendekar Slebor. 

Cambuknya yang berlidah tiga digerak-gerakkan hingga ter-

dengar suara angin tajam berdesir-desir.

Sudah tentu sikapnya membuat Iblis Rambut Emas dan 

Sangga Rantek tersinggung, karena sejak kedatangannya pe-

rempuan berpakaian batik kusam tak sekali pun melirik me-

reka. Iblis Rambut Emas rupanya sudah tidak kuasa menahan 

diri lebih lama lagi. Segera saja dia melompat ke depan se-

raya membentak, "Datang dengan penuh kesetanan sudah ten-

tu dapat kami terima! Tetapi datang dengan bertindak busuk, 

sudah tentu akan mendapat ganjaran pahit!!"

Seketika Setan Cambuk Api menghentikan langkahnya. 

Pandangannya menusuk dalam, menyiratkan isyarat kematian 

yang sebentar lagi akan diturunkan. Senyuman mengejek 

menghiasi wajah buruknya, hingga membuat orang yang me-

lihatnya dapat berpikir dua kali untuk lakukan tindakan.

"Perempuan berkerudung merah! Sayang sekali aku tak 

pernah memikirkan soal sopan santun segala!! Jangan meng-

ganggu setiap keinginanku!!"

Menggeram Iblis Rambut Emas. Belum lagi dia buka 

mulut, perempuan tua bersenjatakan cambuk berlidah tiga itu 

sudah menghardik, "Jangan coba-coba halangi keinginanku! 

Lebih baik menyingkir dari sini sebelum akhirnya kau sesali 

diri! Ajak kawan mu itu!"

Mendengar hardikan orang, wajah Iblis Rambut Emas 

kontan mengkelap. Dadanya yang agak membusung naik tu-

run pertanda gusar. Rasa kecut yang tadi sempat hinggap, 

tatkala melihat tatapan kejam perempuan berpakaian batik 

kusam itu, sirna seketika.

Seraya maju satu langkah, dia balas membentak, "Uca-

panmu sungguh tak enak didengar! Katakan siapa kau adanya 

sebelum mampus berkalang tanah!"

Perempuan tua berpakaian batik kusam ini, menyipitkan 

matanya. Ada kilatan api di dalam mata kelabunya. Perem-

puan yang diperintahkan oleh Dewa Lautan Timur untuk 

menghalangi langkah Pendekar Slebor, sementara Dewa Lau-

tan Timur sendiri mempecundangi Gadis Kayangan, memang 

sedang memburu Pendekar Slebor. Karena dia pernah dika-

lahkan oleh pemuda itu. Dan amarahnya kian menjadi-jadi. 

Apalagi sekarang, ada orang yang jelas-jelas halangi mak-

sudnya.

Sambil putar tubuh, Setan Cambuk Api mendesis dingin, 

"Kau berhadapan dengan Setan Cambuk Api! Lekas berlutut 

sebelum kepalamu pisah dari badan!"

Iblis Rambut Emas sesaat melengak mengetahui siapa 

adanya orang. Namun dia tidak peduli karena kemunculan 

Setan Cambuk Api justru membuat amarahnya naik.

Seraya menuding dia berkata, "Kau berhadapan dengan 

Iblis Rambut Emas! Lekas menyingkir dari sini sebelum se-

muanya kau sesali! Dan satu hal lagi yang perlu kau ingat, 

jangan coba-coba mengganggu urusanku!!"

Terdengar suara rahang dikertakkan, menyusul suara ke-

jam Setan Cambuk Api, "Aku hanya memperingatkan sekali! 

Lekas menjauh dari sini! Ajak temanmu itu!!"

Tak sanggup lagi menahan gejolak amarah di dadanya, 

Iblis Rambut Emas sudah mendorong kedua tangannya ke 

depan. Serta-merta menderu dua bongkah kabut putih yang 

keluarkan hawa sangat dingin.

Di tempatnya, Setan Cambuk Api mendengus. Tanpa 

bergeser dari tempatnya, perempuan tua ini sudah mengge-

rakkan cambuk berlidah tiga.

Cltaaarrr!!

Suara keras itu terdengar menggidikkan disusul dengan 

tiga gelombang angin yang menggeledar. Serangan balasan 

yang dilakukan Setan Cambuk Api memang tak mampu me-

nahan dua bongkah kabut Iblis Rambut Emas.

Namun yang mengejutkan, karena tiga gelombang angin 

yang membeset tadi, nyeplos dan terus menerjang ke arah Ib-

lis Rambut Emas.

Masing-masing orang segera membuang tubuh.

Terdengar letupan beruntun. Dua bongkah kabut putih 

itu menghantam tumbang sebuah pohon, sementara tiga ge-

lombang angin yang membeset, menghantam sebuah pohon 

pula. Seketika terbentuk tiga buah lubang di tubuh pohon itu. 

Menyusul mengeringnya pohon itu secara mendadak.

Dan di tempat masing-masing, keduanya saling pandang 

tanpa kedip.

Di lain pihak, Sangga Rantek membatin, "Menilik se-

rangan perempuan berpakaian batik itu, jelas kalau dia dapat 

mengalahkan Iblis Rambut Emas. Karena tak mustahil dia 

memiliki pukulan jarak jauh untuk memutuskan bongkahan 

kabut Iblis Rambut Emas. Sementara cambuk berlidah ti-

ganya sangat berbahaya! Hmmm... biar urusan cepat selesai,

sebaiknya kubantu!!"

Memutuskan demikian. lelaki setengah baya berkuncir 

kuda ini sudah mencelat ke depan.

"Kau hanya membuang-buang waktu saja, perempuan 

celaka!!" bentaknya seraya mendorong kedua tangannya ke 

depan.

Wuusss!! Wuusss!!

Menghampar dua gelombang angin deras ke arah Setan 

Cambuk Api.

Si perempuan berpakaian batik kusam ini cuma men-

dengus dingin. Kejap itu pula diangkat tangan kirinya. Meng-

gebrak satu gelombang angin yang tak kalah dahsyatnya. 

Menyusul digerakkan tangan kanannya yang memegang 

cambuk berlidah tiga.

Cltaarrr!!

Blaaammm!!

Benturan dua tenaga sakti itu bertemu. Sosok Sangga 

Rantek terhuyung tiga langkah ke belakang, disusul dia sege-

ra lakukan lompatan, tatkala sambaran cambuk lidah tiga la-

wan siap membeset tubuhnya.

Di lain pihak, Setan Cambuk Api sendiri masih tegak di 

tempatnya. Bibirnya menyeringai dingin.

"Sebaiknya kalian memang maju bersama-sama biar 

urusan cepat selesai!!"

Habis kata-katanya, perempuan tua ini langsung mener-

jang ke depan. Cambuk berlidah tiganya digerakkan berulang 

kali hingga terdengar suara yang sangat menyakitkan telinga. 

Sementara tangan kirinya lakukan serangan yang tak kalah 

hebatnya.

Sudah tentu Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek tak 

mau berdiam diri. Apa yang mereka inginkan sudah ada di 

depan mata, namun kehadiran perempuan bersenjatakan cam

buk ini justru memupuskan segala keinginan.

Iblis Rambut Emas menyerang dengan lepaskan bong-

kahan-bongkahan kabut putihnya yang serta-merta di tempat 

itu seperti ditindih segenap hawa yang sangat dingin. Semen-

tara Sangga Rantek mencoba menyerang dari belakang den-

gan lepaskan pukulan jarak jauhnya.

Pertarungan yang sengit itu terjadi begitu cepat. Teria-

kan demi teriakan terdengar. Letupan demi letupan terjadi. 

Hingga dalam waktu yang singkat saja, tempat itu telah dili-

puti oleh muncratan tanah dan ranggasan semak belukar ke 

udara.

Sementara itu, Pendekar Slebor yang makin terluka da-

lam, diam-diam menyingkir dari tempat itu. Dia belum me-

mutuskan apakah akan menjauh atau melihat pertarungan itu.

Sesungguhnya, di dasar hati kecil anak muda pewaris 

ilmu Pendekar Lembah Kutukan ini merasa sedih, melihat 

orang-orang kejam dan serakah seperti mereka saling berta-

rung, hanya untuk menunjukkan siapa yang lebih hebat. Dan 

dia selalu berharap agar dunia ini tidak lagi dibanjiri oleh da-

rah dan air mata. Namun setiap kali harapan itu muncul, se-

tiap kali pula segera ditindihnya dalam-dalam.

"Memang tak mungkin aku menghadapi ketiganya seka-

ligus dalam keadaan terluka seperti ini. Kemunculan Setan 

Cambuk Api nampaknya membawa keberuntungan tersendiri 

bagiku. Sebaiknya... untuk sementara aku menyingkir dulu 

untuk mencari tempat sunyi guna memulihkan keadaanku...."

Setelah memperhatikan sejenak pertarungan yang sema-

kin mengerikan itu, perlahan-lahan dengan langkah agak ter-

huyung, Pendekar Slebor meninggalkan tempat itu.

Sementara itu, Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek 

terus berusaha keras untuk mencecar Setan Cambuk Api. 

Kendati dikeroyok berdua oleh orang-orang yang sebenarnya

tak bisa dipandang sebelah mata, Setan Cambuk Api agaknya 

masih dapat kuasai pertarungan. Ini disebabkan karena cam-

buk berlidah tiganya yang berhasil membuat jarak para pe-

nyerangnya. Belum lagi, bila dia lakukan tindakan yang san-

gat cepat dengan gerakan-gerakan yang mengejutkan.

Bahkan yang lebih mengejutkan lagi, karena setiap kali 

dia gerakkan cambuk berlidah tiganya, melesat bola-bola api 

sebesar kepalan tangan orang dewasa yang keluarkan suara 

mengerikan.

Terkesiap Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek. Mas-

ing-masing orang berusaha untuk menghindar sekaligus me-

mutuskan bola-bola api itu. Namun yang membuat mereka 

harus bertambah hati-hati, karena lidah-lidah cambuk si pe-

rempuan siap mengirim nyawa mereka ke akhirat.

Untuk beberapa lamanya Iblis Rambut Emas dan Sangga 

Rantek seperti kehilangan bentuk penyerangan. Iblis Rambut 

Emas memang masih agak beruntung, karena dia berhasil 

memutuskan bola-bola api lawan dengan bongkahan-

bongkahan kabut putihnya. Kendati demikian, dia pun tak 

dapat segera bernapas lega. Cltaarr!! Cltaarr! Cltaarr!! Tiga 

kali suara keras itu terdengar dan terlihat tanah kembali 

membentuk garis lurus sedalam pergelangan tangan. Sangga 

Rantek yang tadi menghindari serangan itu, menjadi pias wa-

jahnya. Namun kegeramannya tak surut sedikit pun juga.

Sementara itu, Setan Cambuk Api yang bertambah be-

ringas, menggerak-gerakkan cambuknya lebih cepat. Kejap 

itu pula beruntun menderu bola-bola api sebesar kepalan tan-

gan mengarah pada kedua lawannya.

Sementara di tempat itu, sebagian telah terbakar dan 

langsung mengepulkan asap putih yang tebal.

Merasa asap putih itu dapat menghalangi pandangan, 

Sangga Rantek yang berpikir lain langsung mendekati Iblis

Rambut Emas seraya berbisik, "Kita tinggalkan tempat ini!"

"Tidak! Perempuan celaka itu harus mampus?!" dengus 

Iblis Rambut Emas geram.

"Selagi dia masih memiliki cambuk itu, kita dapat di 

buatnya tak berdaya!"

"Kalau begitu, kita rebut cambuknya!"

"Kita akan banyak membuang waktu! Lebih baik kita 

tinggalkan tempat ini!"

"Mengapa kau jadi pengecut seperti itu, hah?!"

"Karena aku memikirkan satu kemungkinan lain ketim-

bang melayani perempuan tua itu!"

"Bagaimana dengan Pendekar Slebor?!" tanya Iblis 

Rambut Emas yang menyangka Pendekar Slebor masih bera-

da di sana.

"Biarkan dia! Karena perempuan itu berkeinginan untuk 

membunuhnya pula! Berarti, kita tak perlu mengotori tangan 

kita dengan darah pemuda setan itu!"

Mendengar alasan yang dikemukakan Sangga Rantek, 

Iblis Rambut Emas akhirnya setuju. Kendati demikian, kein-

ginan keduanya tak mudah dilakukan begitu saja. Karena Se-

tan Cambuk Api terus berusaha menghajar keduanya.

Puluhan bola-bola api yang keluar dari lidah-lidah cam-

buknya, terus mengejar masing-masing orang yang memaki 

panjang pendek seraya mencoba lepaskan serangan balasan. 

Iblis Rambut Emas yang merasa dapat menahan bola-bola api 

itu dengan serangan kabut-kabut putihnya, mencoba mema-

paki sementara Sangga Rantek menyerbu ke bagian bawah.

"Sekarang!!" mendadak Iblis Rambut Emas melayang ke 

atas, seraya menggempur membabi buta.

Bongkahan-bongkahan kabut putihnya menyerbu ganas. 

Kian terpancing kemarahan Setan Cambuk Api seraya meng-

gerakkan tangan kiri disusul dengan bola-bola api yang ke

luar dari cambuk berlidah tiganya.

Sementara itu, begitu mendengar seruan Iblis Rambut 

Emas, Sangga Rantek sudah mencelat menjauh dan melarikan 

diri. Perempuan berkerudung merah sendiri telah pergunakan 

kesempatan itu untuk meninggalkan tempat itu pula selagi 

Setan Cambuk Api menghalau setiap serangannya.

Sadar kalau kedua lawannya sudah berlalu, menggeram 

setinggi langit Setan Cambuk Api. Sambil mencelat ke depan 

dia mencoba menggerakkan cambuk berlidah tiganya.

Wiiinggg!

Sembilan buah bola-bola api melesat mencoba menahan 

larinya Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas. Namun kedua 

orang itu telah menjauh dari tempatnya.

"Terkutuk!! Tak akan kulepaskan nyawa kalian!!" maki 

perempuan berpakaian kusam ini.

Kemarahannya makin menggila tatkala tak menemukan 

sosok Pendekar Slebor di tempat semula.

"Sial!! Setan keparat sial!! Ini gara-gara kedua manusia 

sialan!! Kubunuh mereka! Kubunuh mereka!!"

Dengan penuh kegeraman, perempuan bersenjatakan 

cambuk berlidah tiga ini segera berkelebat menyusul perginya 

Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas.

***

6


Hamparan sinar matahari pagi mulai mendesak masuk ke 

persada bumi, menggeser sisa-sisa sinar rembulan. Burung-

burung beterbangan riuh rendah penuh kegembiraan. Langit

membiru cerah dihiasi gumpalan awan-awan putih. Udara 

saat ini sejuk berhembus, menebarkan pesona yang tak dapat

ditepiskan begitu saja.

Di balik sebuah ranggasan semak belukar, nampak satu 

sosok tubuh terbaring dengan mata terpejam. Tatkala sinar 

matahari menerpa wajahnya, sosok yang tak lain Pendekar 

Slebor adanya perlahan-lahan mulai membuka kedua ma-

tanya.

Kejap itu pula kembali dipejamkan. Ada rasa nyeri yang 

dirasakan di sekujur tubuhnya.

Cukup lama anak muda urakan ini membiarkan tubuh-

nya terbaring dimandikan cahaya matahari, sebelum akhirnya 

kembali menggeliat.

Dibuka kedua matanya dengan hati-hati, dikerjap-

kerjapkan agar tidak terlalu menyilaukan.

"Buju buneng... kenapa aku tidur di sini?" desisnya den-

gan suara mengkerepet. Begitu dirasakan ngilu pada kedua 

tangannya, dia perlahan-lahan bangkit. Duduk dengan kedua 

kaki berselonjor. Lalu hati-hati direntangkan kedua tangan-

nya. Terdengar suara berkerutuk. "Kutu monyet!" desisnya 

lalu mendengus. Dibawa ingatannya pada kejadian semalam. 

Setelah meninggalkan pertarungan Setan Cambuk Api meng-

hadapi Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek, dengan men-

gandalkan sisa-sisa tenaganya, anak muda- urakan ini terus 

menjauh. Membawa langkah dengan segenap semangat yang 

menyala di dada.

Namun melewati tiga perempat malam, Andika tak kua-

sa lagi menahan keletihan yang menderanya. Dia langsung 

ambruk dan tertidur.

Saat terbangun sekarang, masih dirasakan lelah yang cu-

kup meletihkan. Lalu perlahan-lahan anak muda urakan ini 

bersemadi. Setelah itu, kembali dipikirkan persoalan demi 

persoalan yang ada.

"Hmmm... langkahku seperti dikurung oleh enam orang

manusia sesat. Dewa Lautan Timur. Iblis Rambut Emas dan 

Sangga Rantek. Setan Cambuk Api. Lalu Ki Pasu Suruan dan 

Nyi Genggong. Yang terakhir ini belum kuketahui seperti apa 

rupanya. Tapi menilik pasangan yang ada, tentunya dia ber-

sahabat kental dengan Ki Pasu Suruan."

Mendesah pendek pemuda dari Lembah Kutukan ini. 

Otaknya terus diperas memikirkan jalan keluar dari masalah 

yang mengkungkunginya.

Dan yang masih membuatnya cemas, adalah ketidakjela-

san akan nasib Gadis Kayangan. Baginya, dia harus mene-

mukan gadis itu lebih dulu. Hidup atau mati.

Setelah dirasakan keadaannya agak lebih baik, anak mu-

da ini pun berdiri. Dipandangi sekelilingnya dengan seksama.

"Hmmm... aku akan mencari sungai untuk membersih-

kan tubuh dulu!"

Lalu dicobanya untuk melompat. Happ!

Kembali dia lakukan loncatan berulang kali. Dan setiap 

kali meloncat, kedua tangannya direntangkan ke atas, ke ba-

wah dan ke samping.

Tak lagi dirasakan ngilu pada kedua tangan dan kakinya. 

Dadanya yang sebelumnya terhantam pukulan Dewa Lautan 

Timur pun mulai dirasakan agak normal.

Mulailah Andika mencari sungai.

Begitu menemukannya, dia langsung membersihkan tu-

buh. Caranya begitu cepat (gaya bebek) karena dia merasa 

memburu waktu.

Setelah mandi, dia segera mencari buah-buahan sebagai 

pengisi perut. Sambil memakani buah-buahan yang dida-

patkannya, dia segera meninggalkan tempat itu menuju ke se-

latan.

***

Sampai matahari tepat berada di atas kepala, anak muda 

urakan ini masih terus berlari. Dia bersikeras untuk menemu-

kan sebuah lembah yang merupakan patokan ketiga menuju 

ke Pulau Hitam. Secara tidak sengaja Andika memang telah 

menemukan patokan pertama dan kedua menuju ke Pulau Hi-

tam.

Tepat ketika malam kembali melingkupi alam, anak mu-

da ini tiba di sebuah lembah yang sangat curam. Saat ini rem-

bulan bersinar terang. Kendati demikian, sulit menemukan 

kedalaman lembah itu.

Sambil mengatur napas, anak muda ini berpikir keras.

"Selama aku berlari menuju ke selatan, baru kali ini ku-

temukan sebuah lembah. Apakah lembah ini yang dimaksud-

kan dalam rangkaian titik gambar pada potongan pedang pe-

rak yang dimiliki Gadis Kayangan?"

Dicobanya untuk melongok ke dalam lembah. Namun 

hanya kegelapan semata yang nampak, meskipun dinding-

dinding lembah itu cukup kelihatan.

"Untuk membuktikan apakah memang lembah ini yang 

menjadi patokan, aku harus menemukan dua buah pohon 

yang berdekatan. Setelah itu... kalau tidak salah ingat, aku ha-

rus ke kiri. Hmm, waktuku sangat sempit! Aku yakin, sudah 

banyak orang yang menuju ke Pulau Hitam...."

Memikirkan demikian, segera saja anak muda urakan ini 

berkelebat ke kiri. Namun baru saja dia melakukan, menda-

dak saja dirasakan satu dorongan keras dari belakang.

"Heeiiii!!"

Terkejut bukan alang kepala si anak muda. Dia berusaha 

untuk tidak kehilangan keseimbangan. Karena bila dia kehi-

langan keseimbangan, tanpa ampun lagi tubuhnya akan ter-

lempar masuk ke dalam lembah.

Dengan gerakan yang sangat menakjubkan Pendekar

Slebor langsung menangkap tangan orang yang mendorong-

nya. Dia memang berhasil melakukannya.

Namun yang mengejutkan, karena orang itu telah meli-

ukkan tubuh hingga pegangan tangannya terlepas. Menyusul 

dia lakukan tendangan pada kaki kanannya.

Desss!!

Untuk kedua kalinya Andika berseru kaget, "Heeiii!!"

Terhuyung anak muda ini ke belakang. Dia masih beru-

saha untuk kendalikan dirinya. Namun mendadak saja dirasa-

kan deru angin mengarah deras ke arahnya dari samping ka-

nan.

Dalam keadaan seperti itu, tak mungkin Andika dapat 

memapakinya. Menghindar pun tak bisa dilakukan karena 

orang yang mendorongnya sudah melepaskan jotosan. Ke-

timbang dirinya terhantam gelombang angin deras itu lalu 

akhirnya jatuh pula ke dalam lembah, mau tak mau Andika 

merelakan dirinya masuk ke dalam lembah!

Terdengar teriakannya yang sangat keras, 

"Aaaakhhhh!!"

Teriakan itu menggema ke atas.

Sementara itu, dua orang yang tadi lakukan bokongan 

pada Andika menyeringai penuh kepuasan.

"Dendamku telah terbalas! Pancen Dadap pasti tenang di 

alam sana!!" terdengar suara lelaki berpakaian kuning-

kuning.

Menyusul satu suara, "Jadi dialah pemuda yang berjuluk 

Pendekar Slebor? Sungguh tak patut julukannya begitu disan-

jung banyak orang! Pasu Suruan! Seluruh dendammu pa-

danya telah sirna hari ini, bukan?!"

"Kau betul, Nyi Genggong! Untuk pertama kali dalam 

hidupku, aku merasakan kepuasan yang teramat sangat!!"

Kedua orang yang tak lain Ki Pasu Suruan dan Nyi

Genggong itu terbahak-bahak lebar.

Seperti kita ketahui, kedua manusia sesat itu segera me-

nuju ke Pulau Hitam setelah mendengar penjelasan dari Nyi 

Genggong. Sepenanakan nasi sebelum Pendekar Slebor tiba 

di tempat itu, keduanya telah lebih dulu tiba di sana.

Di saat hari masih cukup terang, keduanya tak bisa meli-

hat kedalaman lembah itu. Apalagi di saat hari sudah malam 

begini.

Saat itu Nyi Genggong sedang memikirkan tentang dua 

buah pohon yang menjadi patokan ke empat menuju ke Pulau 

Hitam. Dia mengajak Ki Pasu Suruan untuk berkeliling men-

carinya. Setelah tak ditemukan, keduanya kembali ke tempat 

semula.

Dan tanpa disangka, masing-masing orang melihat satu 

sosok tubuh yang berdiri di permukaan lembah. Ki Pasu Su-

ruan yang mengenali siapa adanya orang itu, sudah tak kuasa 

menahan diri lagi. Tetapi Nyi Genggong melarangnya untuk 

menyerang.

Karena dia telah memikirkan cara yang lebih baik. Ki 

Pasu Suruan sendiri dapat menerima rencana Nyi Genggong 

kendati kemarahannya sudah tak dapat dibendung lagi.

Dan disaat Andika hendak meninggalkan tempat itu, Nyi 

Genggong sudah bergerak cepat mendorongnya! Sementara 

gelombang angin yang menggebah tadi dilepaskan oleh Ki 

Pasu Suruan.

Sekarang, kedua manusia sesat itu terbahak-bahak penuh 

kepuasan melihat rencana yang mereka jalankan berhasil di-

lakukan.

"Biar kau mampus terkubur selama-lamanya di dalam 

sana, Pendekar Slebor!!" seru Ki Pasu Suruan sambil mem-

buat corong dengan kedua tangannya. "Bertemanlah kau den-

gan setan-setan neraka!!"


Nyi Genggong menyeringai lebar.

"Kau berhutang padaku, Pasu Suruan!"

Ki Pasu Suruan yang sedang gembira melihat orang 

yang dibencinya berhasil didorong masuk ke dalam lembah, 

cuma tertawa-tawa saja.

"Kupenuhi setiap janjiku padamu! Apa pun yang ada di 

Pulau Hitam, akan kuserahkan padamu!"

"Bagus!"

"Tapi perlu kau ingat, Iblis Rambut Emas dan Sangga 

Rantek sudah tentu tak akan tinggal diam! Bisa jadi keduanya 

akan tiba pula di Pulau Hitam!"

"Apa maksudmu?" tanya Nyi Genggong tajam.

"Nyi! Apakah kau tidak berpikir, kalau kedua manusia 

itu menghendaki hal yang sama denganmu? Sudah tentu me-

reka tak akan membiarkan sesuatu yang akan mereka da-

patkan di Pulau Hitam."

Sejenak Nyi Genggong terdiam sebelum buka mulut, 

"Aku paham maksudmu. Tetapi, mengapa kau mau bersekutu 

dengannya?"

"Bodoh! Aku bersekutu dengannya, dengan harapan tak 

terlalu mengotori tangan kita dengan kematian Pendekar Sle-

bor! Biar mereka yang membunuhnya!"

"Licik juga akal manusia satu ini," dengus Nyi Geng-

gong dalam hati, Kemudian katanya, "Dengan kata lain, la-

wan kita saat ini adalah Iblis Rambut Emas dan Sangga Ran-

tek?"

"Tak salah! Tapi jangan lupa... Dewa Lautan Timur pun 

nampaknya menginginkan apa yang ada di Pulau Hitam!"

"Peduli setan dengan orang tua bau tanah itu! Akan ku-

cincang tubuhnya sampai sekecil-kecilnya bila dia berani 

mengganggu keinginanku!" dengus Nyi Genggong dengan 

pandangan berapi-api. Namun sesuatu yang mendadak dis

adarinya membuatnya buru-buru berkata, "Lagi pula, kita tak 

punya urusan dengannya! Karena yang kuketahui, dia hanya 

punya urusan dengan Panembahan Agung! Berarti... kita akan 

aman-aman saja bila berjumpa dengannya!"

Ki Pasu Suruan yang menangkap nada kecut pada kali-

mat terakhir Nyi Genggong, menyeringai lebar dan berkata 

penuh ejekan, "Mengapa kau mendadak menjadi takut seperti 

itu, hah? Apakah kau tak sanggup menandingi kesaktian De-

wa Lautan Timur."

Kendati sadar kalau sedang diejek, Nyi Genggong yang 

tiba-tiba saja menjadi tidak enak dengan perkataannya sendi-

ri, berkata, "Aku tak takut sama sekali pada kakek keparat 

itu! Siapa pun dia, bila menghalangi niat ku, maka akan ku-

bunuh!"

"Bagus! Dan sudah tentu aku tak akan tinggal diam bila 

kita terpaksa berhadapan dengan Dewa Lautan Timur!" kata 

Ki Pasu Suruan masih mengejek.

Nyi Genggong mendengus dalam hati. "Gila! Apa apaan

aku ngomong tadi? Sampai saat ini aku tak mengetahui ke-

saktian Dewa Lautan Timur! Tetapi menurut cerita guruku, 

dia saja tak sanggup menandinginya! Huh! Masih untung 

Dewa Lautan Timur tak berada di sini! Tapi kalaupun ada, 

terpaksa aku tak tinggal diam. Hanya saja... bila bertemu 

dengannya, aku akan menunjukkan sikap baik!"

Sementara itu, lelaki berkalung tengkorak yang secara 

tidak langsung berhasil mengejek Nyi Genggong berkata lagi, 

"Bila memang demikian adanya, berarti Panembahan Agung-

lah orang yang harus kita singkirkan pula!"

"Aku tak tahu kesaktian yang dimilikinya!"

"Jangan khawatir! Kita buat permainan baru!" bibir Ki 

Pasu Suruan mengembang senyum aneh.

"Apalagi yang ada di benak manusia satu ini?" geram

Nyi Genggong dalam hati. Lalu katanya serius, "Apa mak-

sudmu dengan permainan baru itu?"

"Sebelum kita membunuh Iblis Rambut Emas dan Sang-

ga Rantek, kita akan tetap berlaku sebagai sekutu mereka. Bi-

la kita berempat, kupikir bukanlah hal yang sulit untuk mem-

bunuh Panembahan Agung."

"Hmmm... dengan kata lain, kau menduga Panembahan 

Agung akan muncul di Pulau Hitam?"

"Tepat! Sudah tentu dia mendengar berita tentang ba-

nyaknya orang-orang yang menuju ke Pulau Hitam. Mustahil 

bila dia berdiam diri saja! Terbukti selama bertahun-tahun, 

dia tak mengizinkan siapa pun memiliki dua potongan pedang 

yang bila disatukan akan menjadi patokan-patokan lengkap 

menuju ke Pulau Hitam!"

Mendengar ucapan orang, Nyi Genggong mengangguk-

anggukkan kepala. Sementara itu, diam-diam Ki Pasu Suruan 

tersenyum dalam hati.

"Pendekar Slebor tentunya telah mampus di lembah itu! 

Berarti semua urusanku telah selesai! Tinggal mendapatkan 

apa yang di Pulau Hitam! Setelah berhasil membunuh Pa-

nembahan Agung, Sangga Rantek dan Iblis Rambut Emas, ti-

ba giliran perempuan tua keparat ini untuk mampus!"

Sesaat tak ada yang keluarkan suara, angin terus ber-

hembus dingin.

Sampai kemudian Nyi Genggong berkata, "Kita telah 

mengelilingi lembah ini, tetapi tak mendapatkan patokan dua 

buah pohon. Lebih baik...."

"Kau sendiri yang sebenarnya bodoh! Katamu, kau telah 

menemukan dua pohon itu sebelumnya!"

"Tutup mulutmu!" menggelegar suara Nyi Genggong. 

"Sudah kukatakan tadi, waktu itu aku datang ke sini siang ha-

ri, hingga aku masih ingat patokannya! Tetapi sekarang, se

muanya nampak samar dan samar! Apakah kau...."

"Sudah, sudah!" sahut Ki Pasu Suruan yang tak mau bu-

ka urusan dengan Nyi Genggong. Perempuan tua itu memang 

cepat sekali panasan. Lalu katanya, "Sekarang kita bergerak 

ke kiri. Barangkali kita akan menemukan dua buah pohon 

itu...."

Kendati masih mendengus gusar, Nyi Genggong men-

giyakan.

"Kau akan kubunuh bila sudah kuketahui rahasia apa 

yang ada di Pulau Hitam, Manusia terkutuk!" makinya geram 

dalam hati.

Sementara itu, Ki Pasu Suruan membatin gusar, "Tak 

lama lagi, kau akan mampus di tanganku, Perempuan Cela-

ka!!"

Lalu masing-masing orang pun bersiap untuk mening-

galkan tempat itu. Namun belum lagi mereka melakukannya, 

mendadak saja satu gelombang angin yang maha dahsyat 

menggebah. Terkejut bukan alang kepalang keduanya.

Dengan sigap mereka berusaha untuk menghindari gem-

puran angin itu. Namun dua gelombang angin yang datang 

kemudian, tak kuasa mereka elakkan.

Telak masing-masing orang terseret ke belakang. Tidak 

terlempar jatuh ke dalam lembah. Namun akibat yang terjadi 

sungguh mengenaskan.

Karena begitu masing-masing orang terbanting di atas 

tanah, terdengar suara 'krak' yang cukup keras. Disusul kelu-

han tertahan menandakan Sakit yang luar biasa.

"Apa yang terjadi?" desis Nyi Genggong yang merasa-

kan tulang punggungnya patah.

"Aku tak tahu! Ada orang yang telah menyerang kita!" 

sahut Ki Pasu Suruan bagai rintihan. Tulang punggungnya 

pun patah.

"Siapa?" desis Nyi Genggong menahan sakit.

Dan masing-masing orang tak tahu siapa yang melaku-

kan serangan mengerikan itu. Karena mendadak saja satu ge-

lombang angin lainnya telah menerjang.

Kali ini sudah tentu tak mungkin mereka dapat hindari 

lagi ganasnya labrakan angin yang datang. Dan tanpa ampun 

lagi, masing-masing orang telak terhantam. Diiringi teriakan

yang sangat keras, tubuh keduanya terlempar sejarak tiga 

tombak dari tempat semula.

Lalu terbanting keras di atas tanah dengan nyawa me-

layang. Kepala mereka pecah. Dari mulut dan hidung keluar 

darah segar. Dan beberapa tulang di tubuh masing-masing 

orang patah.

Kejap kemudian, berkelebat satu sosok tubuh tinggi ber-

sorban kuning. Dengan langkah dan pandangan angker, orang 

itu mendekati mayat keduanya.

Lalu meludahinya dengan penuh kebencian. "Manusia-

manusia tak tahu diri! Ilmu baru sejengkal sudah berani me-

nantangku!!" desis orang yang tak lain Dewa Lautan Timur 

adanya ini.

Rupanya, selagi Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong me-

rencanakan apa yang akan mereka lakukan, Dewa Lautan 

Timur telah tiba di tempat itu.

Sudah tentu mendidih darah kakek sesat yang mempu-

nyai dendam setinggi langit pada Panembahan Agung, begitu 

mendengar orang mengecilkan dirinya.

Tanpa mau buang waktu lagi, dia langsung lancarkan se-

rangannya. Kalaupun saat itu Ki Pasu Suruan dan Nyi Geng-

gong menghadapinya, sudah tentu mereka tak akan mampu 

menandingi kesaktian sekaligus keganasan Dewa Lautan Ti-

mur.

Dan kedua orang yang mempunyai akal licik itu telah

tewas tanpa mengetahui siapa pembunuh mereka.

Dewa Lautan Timur perhatikan sekelilingnya. Lalu di-

bukanya kain putih pembungkus potongan pedang yang dire-

butnya dari Gadis Kayangan.

"Dua buah pohon! Aku harus melangkah ke kiri! Dan... 

akan tiba di Pulau Hitam! Ha ha ha...."

Tawa kakek sesat ini menyentak malam, bertalu-talu 

mengalahkan lolongan serigala.

"Di Sana, di Pulau Hitam, akan menjadi kuburanmu, Pa-

nembahan Agung!!"

Masih tertawa keras, Dewa Lautan Timur segera berke-

lebat meninggalkan tempat itu, sambil memasukkan kembali 

bungkusan kain putih ke balik pakaiannya.

***

7


bungkusan kain putih ke balik pakaiannya.

***

7

Lalu bagaimana dengan nasib naas yang dialami secara 

beruntun oleh Pendekar Slebor? Begitu tubuhnya terlontar ke 

dalam lembah, anak muda urakan ini masih dapat pergunakan 

otak dan kecepatannya. Tangannya menggapai apa saja yang 

dapat digapainya. Namun karena gelapnya lembah itu, diirin-

gi luncuran tubuhnya yang begitu cepat, sulit baginya untuk 

mendapatkan apa yang bisa digapainya.

"Kutu monyet! Aku belum mau mampus!!" serunya ge-

ram. Sebisanya dia untuk menggapai apa saja. Namun tak di-

dapatnya apa yang diharapkan.

Dan secara mendadak dilepaskan lilitan kain bercorak 

catur pada lehernya. Dengan tubuh yang terus meluncur, An-

dika segera menggerakkan kain bercorak caturnya.

Plaakk! Sleebb!!

Kain bercorak catur itu menghajar sesuatu yang patah 

dan terpental, menyusul masuk ke dalam dinding lembah. 

Begitu kain bercorak catur itu masuk ke dinding lembah, 

dengan menjadikan kain bercorak catur sebagai tuas dan per-

gunakan ilmu peringan tubuhnya, Andika memutar tubuh ke 

atas, ke arah dinding lembah. Karena dia yakin, pasti di dind-

ing lembah itu ditumbuhi pepohonan merambat.

Pan nasib naas nampaknya tidak lagi berpihak padanya.

Begitu dia memutar tubuh dengan kaki ke atas hingga 

menabrak dinding lembah, dirasakan sesuatu menyentuh ke-

dua kakinya. Tanpa berpikir panjang lagi, dia langsung 

menggerakkan kedua kakinya untuk mengepit apa yang dira-

sakannya.

Hanya dalam Waktu satu kejapan mata Andika mem-

biarkan kedua kakinya mengepit apa yang dirasakannya itu, 

sebelum menghempos tubuhnya ke atas seraya menarik kain 

bercorak catur yang tadi sempat menyelamatkan dirinya.

Kali ini lontaran tubuhnya agak meninggi. Tangan ki-

rinya menggapai asal saja dan didapatkan akar pohon me-

rambat di dinding lembah.

Dengan terus kerahkan ilmu peringan tubuhnya, anak 

muda urakan yang hampir mati konyol ini, bergelantungan 

sambil memaki-maki.

"Monyet pitak! Bisa-bisa aku nggak pernah mencicipi 

nasi uduk lagi nih!"

Dasar urakan! Sudah mau ko'it begitu masih juga bersi-

kap konyol.

Bergelantungan pada pohon merambat nampaknya tak 

bisa dilakukan lebih lama lagi. Karena Andika yakin kalau 

pohon merambat itu tak akan mampu menahan bobot tubuh-

nya lebih lama, kendati dia telah kerahkan ilmu peringan tu-

buhnya.

Didongakkannya kepala. Dari dalam lembah, terlihat je-

las permukaan lembah yang kira-kira masih sejarak tujuh 

tombak.

"Busyet! Bagaimana caranya aku bisa keluar dari

tempat celaka ini? Sial betul nasibku! Baru saja selamat, 

sudah dibikin kayak begini! Huh! Biar kujitak kepala orang-

orang celaka yang membuatku jadi kayak tarzan kemalaman 

begini!"

Diperkirakannya jarak di mana dia berada sekarang den-

gan permukaan lembah. Dikuatkan hati dan dibulatkan tekad.

Dengan perlahan-lahan Andika meraba-raba dengan per-

gunakan tangan kanannya, sementara kain bercorak catur te-

lah disampirkan di bahu kirinya.

"Hmmm... pohon merambat ini nampaknya tumbuh ke 

atas dan ke bawah. Dapatkah aku menitinya?"

Baru saja dia bertanya pada dirinya sendiri, mendadak 

saja pohon merambat yang dipegangnya tercabut.

"Heeiii!!"

Kontan tubuhnya meluncur kembali ke bawah. Namun 

sebelum meluncur terlalu jauh, Andika cepat menyentakkan 

kaki kanannya pada dinding lembah. Dan dengan cepat pula, 

di saat hentakan kaki kanannya yang membuat tubuhnya agak 

terlontar itu, dia menyentak tubuhnya, hingga terpental ke 

atas. Dan....

Tap!

Pohon merambat di bagian atas terpegang lagi.

"Bangun-bangun makan nasi sama ayam panggang!" de-

sisnya dengan tubuh berkeringat. "Bisa garing tubuh ku kalau 

terhempas dalam lembah yang tak kuketahui berapa dalam-

nya ini! Aku harus... hei!!"

Memutus kata-katanya sendiri, Andika mendongak 

kembali. Meyakinkan diri kalau pohon merambat itu terus

tumbuh hingga ke permukaan lembah.

"Pohon merambat ini jelas tak kuasa menahan bobot tu-

buhku lebih lama. Tadi secara tak sengaja aku berhasil ter-

hindar dari kematian. Kalau begitu... akan kucoba lagi."

Dengan hati-hati dan kerahkan ilmu peringan tubuhnya, 

Andika menyentakkan kaki kanannya ke dinding lembah.

Tap!

Begitu menyentak, dia langsung memutar tubuh ke atas 

dan menangkap pohon merambat di bagian atas. Berhasil me-

lakukannya, dia segera melakukannya lagi, hingga akhirnya 

berhasil keluar dari dalam lembah.

Begitu tiba di atas, dijatuhkan tubuhnya di atas tanah 

dengan napas megap-megap. Angin malam membelai dingin 

wajahnya. Tapi dirasakan sangat sejuk ketimbang berada da-

lam lembah yang berudara lembab. "Nasibku masih berun-

tung...," desisnya. Dua tarikan napas kemudian, dia telah ber-

diri dengan sigap. Khawatir kalau orang yang tadi mencela-

kakannya masih berada di sekitar sana. Pandangannya dibuka 

lebih lebar dan berhati-hati dia memutar tubuh tanpa bergeser 

dari tempatnya.

Begitu disadari tak ada siapa pun di sana, anak muda 

slebor ini menarik napas lega.

"Kadal buntung! Kenapa sih begitu banyak orang yang 

menginginkan nyawaku?!" sungutnya jengkel. Lalu dia me-

nyambung, kali ini agak kege-eran, "Mungkin mereka iri ka-

rena aku ganteng begini kali ya? Monyet buduk! Lebih baik 

kuteruskan saja untuk mencari dua pohon yang menjadi pato-

kan terakhir menuju ke Pulau Hitam! Siapa tahu orang-orang 

yang mencelakakanku itu telah tiba di Pulau Hitam! Hebat 

betul bila ternyata ada juga orang yang berhasil tiba di sana!"

Setelah perhatikan sekelilingnya sekali lagi, Pendekar 

Slebor pun segera berlari. Sejarak sepuluh tombak dari tem

pat semula, dihentikan larinya. Pandangannya tak berkedip 

melihat dua sosok tubuh yang tergeletak tanpa nyawa. Untuk 

sejenak anak muda ini mengerutkan keningnya.

"Ki Pasu Suruan...," desisnya sambil menahan napas. 

"Gila! Siapa yang bikin orang ini mampus? Dan... apakah pe-

rempuan berpakaian hitam compang-camping itu yang ber-

nama Nyi Genggong? Bukankah Sangga Rantek mengatakan 

kalau Ki Pasu Suruan bersama orang yang bernama Nyi 

Genggong? Kura-kura bau! Siapa yang telah membunuh ke-

duanya secara kejam seperti ini?"

Pendekar Slebor terdiam sambil garuk-garuk kepalanya 

yang tidak gatal. Pandangannya tak lepas dari kedua mayat di 

hadapannya.

"Menilik serangan yang datang padaku sebelumnya, tak 

pelak lagi kalau kedua orang ini yang telah melakukannya! 

Tapi, bagaimana ceritanya mereka bisa mampus? Dan nam-

paknya, si pembunuh bukan hanya memiliki kesaktian tinggi, 

tapi juga kekejaman yang luar biasa! Huh! Bikin kepala jadi 

makin runyam saja!"

Kembali dia garuk-garuk kepalanya yang tak gatal se-

raya berkata, "Huh! Buat apa memikirkan kedua manusia ce-

laka ini? Mereka mampus toh tak ada ruginya!!"

Setelah pandangi sekali lagi mayat Ki Pasu Suruan dan 

Nyi Genggong, Pendekar Slebor segera berkelebat untuk me-

nemukan dua buah pohon yang menjadi patokan menuju ke 

Pulau Hitam. Setelah ditemukannya, kembali dia hentikan 

langkah.

Diingat-ingatnya apa yang harus dilakukan setelah me-

nemukan dua pohon besar ini. Memang, di sekitar sana yang 

nampak hanya padang pasir. Sungguh aneh kelihatannya ka-

lau ada dua buah pohon yang tumbuh di sana. Dapat di-

bayangkan bagaimana panasnya tempat ini bila siang hari.

"Hmmm... setelah menemukan kedua pohon ini, aku ha-

rus sedikit agak ke barat. Ya, ke barat! Setelah itu... Pulau Hi-

tam akan kutemukan! Huh! Semakin dekat dengan tujuan, 

mengapa hatiku semakin tak menentu? Dapat kurasakan ka-

lau sesuatu yang sangat mengerikan akan terjadi di Pulau Hi-

tam...."

Tak mau memikirkan lebih lama, anak muda urakan 

yang baru saja selamat dari kematian, sudah berlari ke arah 

kiri.

***

Menjelang malam mengakhiri perjalanannya, Iblis Ram-

but Emas dan Sangga Rantek tiba di tempat itu. Mereka san-

gat terkejut melihat mayat Ki Pasu Suruan dan Nyi Geng-

gong.

"Gila! Siapa yang telah membunuh keduanya?" desis Ib-

lis Rambut Emas sambil memeriksa kedua mayat itu.

Pertanyaan itu seperti ditujukan pada dirinya sendiri. Te-

tapi Sangga Rantek menjawab, "Tentunya... orang yang me-

miliki kesaktian tinggi."

"Apakah Pendekar Slebor?" "Tak mungkin!" sahut 

Sangga Rantek. Iblis Rambut Emas berdiri kembali. "Menga-

pa tak mungkin?"

"Bukankah saat bertarung dengan kita dia sudah terluka 

parah? Dan sudah tentu saat ini dia sudah mampus dibunuh 

Setan Cambuk Api?"

"Bagaimana bila ternyata Pendekar Slebor masih mampu 

mengalahkan Setan Cambuk Api?"

"Kemungkinan itu tipis! Dia sudah terluka parah! Tak 

mungkin dapat berbuat lebih banyak!"

Mendengar jawaban itu, Iblis Rambut Emas terdiam.

Otaknya berpikir keras.

Mendadak dia ajukan tanya, "Bagaimana bila ternyata di 

saat kita menghadapi Setan Cambuk Api, Pendekar Slebor 

mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri?"

Terkesiap Sangga Rantek mendengar pertanyaan orang. 

Sesaat lelaki berpakaian serba hitam ini terdiam. Pandangan-

nya nampak agak menyipit.

Menyusul dia mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ke-

mungkinan itu dapat terjadi! Jahanam sial! Sudah seharusnya 

kita bunuh Setan Cambuk Api lalu membunuh Pendekar Sle-

bor!"

Iblis Rambut Emas mendengus. "Jangan mendumal! Bu-

kankah kau sendiri yang mengajak untuk meninggalkan Setan 

Cambuk Api?"

Sangga Rantek menggeram dingin. Separo menyesali 

tindakannya.

Tetapi nampak lelaki berkuncir kuda ini menggeleng-

gelengkan kepala. Kemudian katanya, "Kemungkinan itu 

memang bisa terjadi! Tapi, tak mungkin dia yang membunuh 

Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong!"

"Apa lagi yang ada di pikiranmu itu, hah?!" dengus Iblis 

Rambut Emas..

"Melihat kematian mengenaskan yang dialami Ki Pasu 

Suruan dan Nyi Genggong, nampaknya dia tak banyak mela-

kukan perlawanan! Dalam keadaan masih terluka, taruhlah 

Pendekar Slebor memang telah berhasil menyembuhkan luka 

dalamnya, tak mungkin dia berhasil membunuh Ki Pasu Su-

ruan dan Nyi Genggong seperti ini! Kuakui... kendati aku 

membenci dan ingin membunuh Pendekar Slebor, tetapi pe-

muda itu bukanlah orang yang memiliki hati kejam!"

"Huh! Kau mulai memujinya!"

"Tutup mulutmu! Tak ada sedikit pun keinginanku untuk

memujinya! Tapi..."

"Kalau memang bukan dia yang membunuhnya, siapa 

orang yang melakukannya?" putus Iblis Rambut Emas den-

gan pandangan melotot,

Sangga Rantek tak menjawab. Mulutnya nampak ber-

kemak-kemik namun tak keluarkan suara. Dari sinar matanya 

yang tajam, nampak dia tak suka mendengar bentakan si pe-

rempuan berkerudung merah di hadapannya ini.

Sesaat tak ada yang keluarkan suara.

Dan kesunyian itu dipecahkan oleh kata-kata Sangga 

Rantek, "Orang yang membunuhnya, sudah tentu memiliki 

kesaktian yang sangat tinggi. Aku yakin, Ki Pasu Suruan dan 

Nyi Genggong tak diberi kesempatan untuk melakukan per-

lawanan. Bila bukan Pendekar Slebor, bisa jadi Setan Cam-

buk Api. Akan tetapi, menghadapi Setan Cambuk Api, kedu-

anya masih dapat melawan. Mungkin mengalahkannya. Be-

rarti...."

"Berarti apa?!" sengat Iblis Rambut Emas. "Kau ingat 

cerita Nyi Genggong pada Ki Pasu Suruan waktu itu?" tanya 

Sangga Rantek tanpa pedulikan bentakan Iblis Rambut Emas.

"Tentang Dewa Lautan Timur?" "Ya! Kala itu kita men-

guping pembicaraan Nyi Genggong dengan Ki Pasu Suruan! 

Kupikir satu-satunya orang yang dapat membunuh keduanya 

dengan mudah adalah Dewa Lautan Timur!"

Mendengar jawaban orang, perempuan berambut emas 

itu terdiam. Wajahnya menekuk dan terlihat kecemasan 

membayangi wajahnya.

Sangga Rantek sendiri terdiam sebelum akhirnya berka-

ta, "Peduli setan siapa pun orang yang telah membunuh kedua 

manusia celaka ini! Firasatku mengatakan, kita telah mende-

kati Pulau Hitam! Kita bergerak sekarang!!"

Habis kata-katanya, Sangga Rantek sudah berkelebat

mendahului. Disusul Iblis Rambut Emas. Dan tanpa sepenge-

tahuan satu sama lain, masing-masing orang mencemaskan 

kemungkinan munculnya Dewa Lautan Timur.

***

8


Pulau Hitam.

Sebuah tempat yang begitu sangat mengerikan. Pulau itu 

cukup luas, dipenuhi dengan ranggasan semak belukar dan 

pepohonan. Namun yang cukup aneh, karena tak ada pepoho-

nan yang berwarna hijau seperti lazimnya. Semua berwarna 

hitam. Bahkan hamparan langit pun begitu kelam. Tak ada si-

nar matahari yang masuk. Di tempat mengerikan itu, hanya 

kegelapan yang agak samar-samar yang nampak. Di kejauhan 

terdengar debur ombak, pertanda tak jauh dari Pulau Hitam 

terdapat lautan yang cukup luas.

Keanehan itu dirasakan oleh Pendekar Slebor yang tiba 

di sana. Untuk beberapa saat anak muda urakan ini terdiam 

dengan kening berkerut memperhatikan sekelilingnya yang 

serba hitam.

"Gila! Udara di sini sangat menusuk sekali! Apa-apa 

yang nampak begitu mengerikan! Aku yakin, saat ini hari te-

lah memasuki siang! Tetapi apa yang nampak di sini, hanya 

samar-samar laksana malam!!" desisnya. Dan tanpa disada-

rinya, hatinya terasa sedikit agak bergetar.

Hati-hati pemuda berambut gondrong acak-acakan ini 

melangkah. Angin menghembus wajahnya, terasa sangat me-

nusuk. Seraya melangkah dia membatin, "Aku yakin... inilah 

Pulau Hitam... pulau yang menyimpan segala misteri. Namun 

rahasia apa yang terdapat di pulau ini?"

Dengan penuh kesiagaan Pendekar Slebor terus melang-

kah dengan membuka kedua matanya lebih lebar, dan hati di-

liputi berbagai pertanyaan. Mendadak saja anak muda ini 

hentikan langkahnya dan menoleh ke belakang, tatkala pen-

dengarannya menangkap langkah suara orang.

Begitu dia putar tubuh, dilihatnya Sangga Rantek dan Ib-

lis Rambut Emas di belakangnya.

"Hmmm... mereka akhirnya tiba pula di pulau ini," de-

sisnya dalam hati.

Sementara itu Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek 

saling pandang dengan kening berkerut, begitu melihat pe-

muda yang dibencinya berada sejarak delapan tombak dari 

tempat mereka berdiri.

"Ternyata apa yang kita duga itu benar, kalau pemuda 

celaka itu belum mampus!" desis Sangga Rantek geram.

"Dia memiliki kecerdikan yang tinggi! Juga memiliki 

nyawa rangkap!" dengus Iblis Rambut Emas.

"Ketimbang akan jadi urusan, sebelum ada lagi orang 

yang datang ke sini, lebih baik kita bunuh saja!!"

Usul Sangga Rantek langsung disetujui Iblis Rambut 

Emas. Seketika masing-masing orang menerjang ke depan 

dengan teriakan mengguntur.

Di depan, Pendekar Slebor sendiri mendengus dan ber-

siap untuk menerima labrakan kedua orang itu.

Namun sebelum dia lakukan satu tindakan, sebelum se-

rangan Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek mengenai sa-

sarannya, mendadak saja kedua orang itu terpelanting ke be-

lakang.

"Aaaakhhhh!!" teriakan keras terdengar secara bersa-

maan.

Sementara Andika mengerutkan keningnya, tubuh kedua 

orang itu terbanting keras di atas tanah.

"Aneh! Mengapa tahu-tahu mereka terbanting seperti 

itu? Tak kurasakan ada tenaga yang telah menyerangnya! Oh, 

apakah ini termasuk salah satu rahasia yang ada di Pulau Hi-

tam?"

Belum lagi pemuda pewaris ilmu Pendekar Lembah Ku-

tukan ini memecahkan apa yang baru saja terjadi, mendadak 

saja terdengar suara menggema yang begitu agung, "Barang 

siapa yang menginjakkan kaki di Pulau Hitam, dia harus ber-

pikir jernih dan berhati suci! Pulau Hitam adalah pulau kera-

mat! Tak boleh dikotori oleh tangan-tangan penuh dosa! Bila 

kalian menerima semua ini, rahasia akan terbuka!!"

Bukan hanya Pendekar Slebor yang terheran-heran men-

dengar suara menggema itu. Iblis Rambut Emas dan Sangga 

Rantek yang telah berdiri lagi dan merasakan ngilu pada dada 

mereka, pun harus mengerutkan kening.

Pandangan mereka segera diputar ke berbagai tempat. 

Namun tak satu sosok tubuh pun yang berada di sana, kecuali 

mereka dan Pendekar Slebor.

Di lain pihak, Pendekar Slebor sedang mengerutkan ke-

ningnya. Hatinya bertanya-tanya, "Suara itu begitu agung se-

kali. Apakah... Panembahan Agung yang telah bicara? Bisa 

jadi orang yang bersuara itu yang menahan serangan Iblis 

Rambut Emas dan Sangga Rantek kepadaku."

"Bila kalian dapat memenuhi semua itu, maka berjalan-

lah kalian ke muka! Karena sebentar lagi satu urusan pahit 

akan ada di hadapan kalian! Aku tak tahu siapa yang dapat 

memecahkan urusan itu, karena dua anak manusia mau tak 

mau akan bertarung sengit sampai salah seorang anak tewas! 

Bila ada yang berhasil memecahkan rahasia di antara mereka, 

maka dialah orang yang berhak mendapatkan apa yang men-

jadi rahasia di Pulau Hitam ini?!"

Kembali tak ada yang keluarkan suara. Sangga Rantek

berbisik setelah melirik geram pada Pendekar Slebor, "Apa-

kah kau punya dugaan siapa orang yang bicara itu?"

Perempuan berambut emas yang ditutupi kerudung me-

rah menggelengkan kepalanya.

"Sulit menebak siapa dia adanya. Bahkan suaranya se-

perti terdengar dari berbagai penjuru."

"Kau paham apa yang dikatakannya?" aju Sangga Ran-

tek kembali.

Iblis Rambut Emas menggelengkan kepalanya. Tanpa 

disadarinya, hati perempuan berjubah merah ini merasa tak 

menentu.

Sementara itu Pendekar Slebor membatin, "Aku masih 

tak mengerti sebenarnya. Ternyata, setiba di Pulau Hitam ini, 

masih ada urusan, yang harus diselesaikan sebelum mengeta-

hui rahasia apa yang terpendam. Lalu siapa yang dimaksud-

kan akan melakukan satu pertarungan?"

Untuk beberapa lama pemuda yang memiliki sepasang 

alis hitam legam dan menukik laksana kepakan sayap elang 

ini terdiam, sebelum kemudian dia mengangguk-anggukkan 

kepalanya.

"Menilik kata-kata orang yang sulit kuketahui siapa dan 

di mana adanya, jelas hanya dua orang yang akan bertarung. 

Dan setahuku, Panembahan Agung serta Dewa Lautan Timur 

akan berusaha untuk tiba di tempat ini. Jangan-jangan... ke-

dua orang itulah yang dimaksud orang yang bersuara tadi? 

Tetapi, bagaimana mungkin bisa diketahui? Sementara aku 

sendiri belum melihat kehadiran Panembahan Agung dan 

Dewa Lautan Timur? Hanya saja, jelas kalau Dewa Lautan 

Timur tak akan hadir dengan wujud aslinya! Kutu monyet! 

Tentunya dia akan menyamar sebagai Panembahan Agung 

dan membuat orang yang melihat, termasuk aku, akan kebin-

gungan menentukan yang mana yang asli dan yang mana

yang palsu! Monyet gundul!!"

Suara orang yang terdengar dari berbagai penjuru itu 

menggema kembali, "Matahari semakin naik menuju puncak-

nya! Tak lama lagi pertarungan sengit tak dapat dihindarkan! 

Bila ada yang berhasil memecahkan persoalan di antara ke-

dua orang itu, maka dia berhak mendapatkan rahasia yang 

terpendam di Pulau Hitam ini?!"

Di tempatnya, kembali Andika membatin, "Tak kulihat 

matahari dan tak kurasakan sengatannya. Namun orang itu 

mengatakan hari sudah menuju siang. Hmmm... dugaanku 

semakin kuat kalau Panembahan Agung dan Dewa Lautan 

Timur-lah yang dimaksud orang itu! Lalu... oh! Mengapa se-

pertinya semua serba kebetulan? Bukankah aku orang yang 

berusaha memecahkan masalah di antara Panembahan Agung 

dan Dewa Lautan Timur? Karena, akulah yang pertama sekali 

bersama dengan Gadis Kayangan, telah masuk pada persoa-

lan dendam lama antara Dewa Lautan Timur dengan Panem-

bahan Agung? Aneh! Semuanya terasa serba kebetulan, tetapi 

aku yakin, semuanya seperti memang telah diatur. Tetapi oleh 

siapa? Siapa yang bisa memikirkan masa depan secara pasti? 

Atau...."

Pendekar Slebor terdiam. Otaknya diperas kuat-kuat. 

Tak lama kemudian, terlihat kepalanya mengangguk-angguk.

"Ya, ya... aku punya dugaan kuat siapa orang yang baru-

san bicara.... Sudah tentu dia.... Tetapi, ini baru dugaan. Ma-

sih banyak yang harus kuyakini lebih dulu. Kendati demikian, 

memang hanya seorang yang dapat mengetahui semua ini. 

Mungkin dengan ilmu dan kesaktiannya, dia telah meramal-

kan kalau semua ini terjadi. Semenjak puluhan tahun yang la-

lu. Bila memang demikian, berarti...."

Kata batin Pendekar Slebor mendadak terputus. Karena 

tiba-tiba saja terdengar angin berkesiur cukup keras. Tak ada

letupan yang terdengar, namun pasir hitam sejarak lima tom-

bak di hadapannya membuyar ke udara.

Mendadak saja telah berdiri satu sosok tubuh berpakaian 

putih panjang dengan sulaman angin dan api berwarna biru 

dan merah. Pancaran mata kakek yang memiliki rambut, ku-

mis, dan jenggot putih itu, begitu teduh sekali.

Bukan hanya Pendekar Slebor yang keluarkan suara, 

"Panembahan Agung!" Iblis Rambut Emas dan Sangga Ran-

tek pun berucap kata yang sama.

Orang tua yang mendadak muncul itu memang sosok 

Panembahan Agung. Dan dia kembangkan senyumnya yang 

begitu tenang pada ketiga orang yang berada di sana.

Tak seperti yang dialami Iblis Rambut Emas dan Sangga 

Rantek yang begitu melihat kemunculan si kakek mendadak 

menjadi membenci, Pendekar Slebor justru merasakan ha-

tinya agak bergetar keras.

"Oh! Salah seorang dari Panembahan Agung telah mun-

cul di sini! Apakah kakek ini adalah Panembahan Agung 

yang asli? Atau justru Panembahan Agung yang palsu? Dan 

menilik kehadirannya, jelas apa yang dimaksud orang yang 

bersuara tadi, memang pertarungan antara Panembahan 

Agung dan Dewa Lautan Timur. Tapi, apakah...."

Terputus kata-kata Pendekar Slebor, tatkala kembali ter-

dengar angin berkesiur keras. Pasir yang muncrat akibat kesi-

uran angin itu lebih tinggi dari yang pertama.

Seperti kedatangan si kakek, mendadak pula telah berdiri 

satu sosok tubuh dengan kedua tangan bersedekap di depan 

dada. Sosok berpakaian putih panjang dengan sulaman angin 

dan api berwarna biru dan merah. Sosok yang berwajah te-

nang dihiasi rambut, kumis, dan jenggot memutih.

Sosok Panembahan Agung!

Kalau Pendekar Slebor yang telah mengetahui semua ini

hanya mendengus, lain halnya dengan Iblis Rambut Emas dan 

Sangga Rantek.

Kedua manusia sesat itu melongo dengan kedua mata 

terbuka lebih lebar. Bahkan saking kagetnya, tanpa sadar 

masing-masing orang surut satu tindak ke belakang.

Lagi tanpa mereka sadari keduanya berucap kaget, "Pa-

nembahan Agung!"

Disusul suara Sangga Rantek, "Gila! Apa yang telah ter-

jadi? Apakah Panembahan Agung ternyata kembar?!"

***

Dua sosok Panembahan Agung telah berada di sana. 

Masing-masing perlihatkan sikap yang tak jauh berbeda. Ke-

duanya tersenyum bijak dan bersikap tenang.

Andika yang merasa dirinyalah yang harus memecahkan 

yang manakah Panembahan Agung yang sesungguhnya, 

hanya garuk-garuk kepala.

"Kutu monyet! Dua orang Panembahan Agung telah tiba 

di sini? Dan nampaknya pertarungan memang tak dapat di-

elakkan! Aku tetap berkeyakinan, kalau salah seorang dari 

mereka adalah Dewa Lautan Timur yang menyamar? Tetapi, 

yang mana orangnya?"

Untuk beberapa saat Pendekar Slebor memperhatikan 

dua sosok Panembahan Agung yang bersikap tenang, bergan-

tian.

Seraya maju satu langkah ke muka, anak muda ini berka-

ta, "Wah! Kuucapkan selamat atas keberhasilan kalian yang 

berhasil mendatangi Pulau Hitam! Selamat, deh!"

Kedua Panembahan Agung itu tersenyum. Yang datang 

pertama kali berkata, "Anak muda! Bukan hanya diriku yang 

telah tiba di sini, tetapi kawan yang serupa denganku pun te

lah tiba! Apa yang akan kau lakukan sekarang? Apakah kau 

akan menunjuk siapa Panembahan Agung yang asli dan pal-

su? Atau, kau punya pikiran lain untuk menentukan yang ma-

na di antara kami Panembahan Agung yang asli?!"

Mendengar ucapan itu, Andika menggaruk-garuk lagi 

kepalanya. Otaknya cukup runyam menghadapi masalah ini. 

Diliriknya Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek yang nam-

pak hanya berdiam diri dengan pandangan tak berkedip. Ken-

ing masing-masing orang masih berkerut, tak percaya dengan 

pemandangan yang ada di hadapan mereka.

Lalu Andika berkata, "Mana bisa aku langsung menun-

juk yang mana di antara kalian yang asli dan yang mana 

orang celaka yang lakukan tindakan busuk seperti ini? Habis-

nya, kalian satu sama lain tak berbeda! Cuma saja... o ya, 

mana tanda yang telah kuberikan pada kalian?!"

Sementara itu, Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek 

yang masih keheranan, perlahan-lahan tahu apa yang telah 

terjadi. Ada dua orang yang mengaku sebagai Panembahan 

Agung. Dan Pendekar Slebor telah mengalami masalah rumit 

ini sebelumnya, hingga memberikan tanda pada masing-

masing orang.

Panembahan Agung yang datang belakangan berkata te-

nang, "Anak muda! Apakah kau pikir tanda yang kau berikan 

pada kami, dapat kau jadikan sebagai petunjuk siapa yang asli 

dan siapa yang palsu?"

Andika menggelengkan kepalanya, agak ragu. Lalu ka-

tanya, "Sudah tentu tidak! Kan waktu itu kukatakan, aku cu-

ma memastikan siapa Panembahan Agung yang sebelumnya 

bercakap-cakap denganku dan

Gadis Kayangan, lalu siapa yang tahu-tahu muncul di 

ambang pintu!! Seingatku, yang pertama berbicara denganku, 

mendapatkan pecahan genting bertuliskan huruf" 'PS' yang

putih. Sementara yang datang belakangan, mendapatkan yang 

agak menghitam! Ayo, kalian serahkan kepadaku! Biar kepa-

laku tidak jadi makin pusing!"

Panembahan Agung yang datang belakangan, mendadak 

melempar sesuatu ke arah Andika. Gerakan yang dilakukan-

nya ringan saja, namun hasil lemparannya cukup menge-

jutkan.

Bila saja Andika tidak kerahkan tenaga dalamnya, begitu 

pecahan genting ditangkapnya, sudah pasti tubuhnya agak 

terjerembab ke belakang. "Brengsek!" makinya kesal dalam 

hati. Segera dibuka telapak tangannya. Dilihatnya pecahan 

genting bertuliskan huruf 'PS' berwarna putih.

"Anak muda... sekarang giliranku!" kata Panembahan 

Agung yang datang pertama.

Andika langsung mengangkat kepalanya. Dengan cara 

yang sama, Panembahan Agung ini melemparkan potongan 

genting itu. Dengan kerahkan tenaga dalamnya, sigap Andika 

kembali menangkapnya. Lalu segera dibuka telapak tangan-

nya. Saat itu juga terdengar desisannya terkejut, begitu meli-

hat pecahan genting di telapak tangannya. "Oh!"

Pecahan genting itu, bertuliskan huruf 'PS' yang berwar-

na putih pula!

***

9


"Monyet pitak! Sudah tentu salah seorang dari mereka 

telah mengubah warna hitam pada pecahan genting yang di-

milikinya menjadi putih!" desisnya mangkel. "Kutu busuk! 

Seingatku, Panembahan Agung yang tahu-tahu muncul di 

ambang pintu, mendapatkan pecahan genting yang berwarna

agak kehitaman! Dan sudah tentu dialah orang yang telah 

mengubahnya menjadi warna putih! Tetapi sekarang, yang 

mana di antara keduanya yang telah lakukan hal semacam 

ini? Kadal buntung! Sambel terasi! Badak bau!!"

Panembahan Agung yang datang pertama berkata lagi, 

"Anak muda! Kulihat perubahan pada wajahmu? Apakah kau 

tak bisa menentukan sekarang juga?!"

"Brengsek!" dengus Andika. Lalu seperti tukang obat, 

tangan kanan kirinya mengangkat dua pecahan genting yang 

bertuliskan huruf 'PS' itu. "Ayo, siapa yang nakal nih? Siapa 

yang telah mengubah warna pada salah satu pecahan genting 

hingga menjadi serupa dengan yang lain?!"

Sudah tentu kedua Panembahan Agung itu tak ada yang 

berucap. Namun wajah masing-masing orang sama sekali tak 

menampakkan kekagetan. Malah tenang-tenang saja.

Melihat hal itu, Andika mendengus, "Kadal pitak! Masa 

sih tidak ada yang mau bertanggung jawab?!"

Di lain pihak, Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek, 

hanya tetap memperhatikan. Kali ini mereka tak berkeinginan 

untuk membunuh Pendekar Slebor. Pertama, karena mereka 

telah berhasil tiba di Pulau Hitam. Kedua, mereka tertarik un-

tuk mengetahui apa yang telah terjadi sekarang. Ketiga, bila 

urusan dua Panembahan Agung selesai, barulah mereka ber-

tindak.

Tetapi sedikit banyaknya, mereka merasa kecut mengin-

gat kata-kata orang yang tak diketahui berada di mana. "Ba-

rang siapa yang berhasil mengatasi pertarungan yang akan 

terjadi, maka dialah yang berhak mendapatkan rahasia Pulau 

Hitam."

Kedua manusia ini yakin, kalau yang dimaksud adalah 

pertarungan dua Panembahan Agung itu.

Selagi tak ada yang keluarkan suara, mendadak terden

gar ucapan Panembahan Agung yang datang kedua, "Anak 

muda! Kesabaran orang ada batasnya! Bila kau tak dapat 

membuktikan siapa di antara kami yang asli dan palsu, nam-

paknya, pertarungan jelas tak dapat dihindari!!"

"Tunggu!" desis Andika, lalu membuang dua pecahan 

genting yang menurutnya saat ini tak berguna sama sekali.

"Apalagi yang akan kau bicarakan?" tanya Panembahan 

Agung yang datang belakangan, suaranya tetap bijak.

Andika yang tak tahu lagi harus berbuat apa, mengga-

ruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, sementara dia terus 

berpikir untuk memecahkan masalah di hadapannya.

"Memang sulit menentukan siapa di antara kalian yang 

asli dan palsu! Tapi...."

"Tak ada tapi lagi! Aku khawatir, orang yang menyamar 

sebagai diriku, telah membuat onar, hingga namaku menjadi 

cemar!" putus Panembahan Agung yang bicara tadi.

"Aku paham soal itu! Tentunya, Panembahan Agung 

yang datang lebih dulu darimu, pun berpikir demikian! Teta-

pi, sekali lagi kukatakan, memang sulit untuk menentukan 

siapa di antara kalian yang asli dan palsu! Hanya saja, aku 

minta kesempatan sebentar sebelum kalian kupersilakan un-

tuk bertarung habis-habisan!!"

Selesai kata-katanya, mendadak saja Pendekar Slebor 

mencelat ke samping kanan. Tangan kanannya bergerak cepat 

ke arah pinggang Sangga Rantek.

Lelaki berpakaian serba hitam yang masih terpaku pada 

perhatiannya, terkejut, karena tak menyangka kalau Pendekar 

Slebor akan lakukan tindakan seperti itu.

Dia mencoba menahannya dengan jotosan tangan ka-

nannya, namun tangan kiri Pendekar Slebor sudah menepak-

nya dan....

Wuuuttt!!

Anak muda urakan ini telah kembali ke tempat semula. 

Tetapi kali ini, di tangannya terdapat bungkusan kain hitam.

Sangga Rantek yang gusar bersiap untuk menerjang, te-

tapi ditahan oleh Iblis Rambut Emas.

"Tahan amarahmu! Biarkan dia! Toh, Pedang Buntung 

itu sudah tidak digunakan! Aku ingin melihat apa yang akan 

dilakukannya! Siapa tahu kita dapat memetik keuntungan dari 

sikap kita menahan amarah."

Kendati masih geram, Sangga Rantek hanya mengang-

guk-anggukkan kepalanya.

Di depan, Pendekar Slebor membuka bungkusan kain hi-

tam itu. Lalu dengan tangan kanannya, diangkatnya Pedang 

Buntung bagian hulu ke atas.

"Kita tahu bukan, kalau titik-titik gambar yang merupa-

kan patokan pertama dan kedua menuju ke Pulau Hitam ter-

dapat pada Pedang Buntung ini! Nah! Barang siapa yang ber-

hasil menyatukan Pedang Buntung ini, dengan potongan pe-

dang lainnya, maka dialah Panembahan Agung yang asli!!"

Tetapi di antara kedua Panembahan Agung itu tak ada 

yang melakukan seperti yang dimintanya.

"Monyet pitak! Semula kuharap aku berhasil menjebak-

nya dengan cara seperti ini! Aku masih berkeyakinan kalau 

Dewa Lautan Timur-lah salah seorang dari Panembahan 

Agung ini! Dan dia telah mendapatkan potongan pedang sa-

tunya lagi dart tangan Gadis Kayangan! Bila ada salah seo-

rang yang menunjukkan potongan pedang itu, maka dialah 

yang palsu! Huh! Nasib Gadis Kayangan sendiri sampai saat 

ini masih membingungkanku!"

Habis mendumal tak karuan dalam hatinya, Pendekar 

Slebor membungkus lagi potongan pedang perak itu. Lalu 

memasukkannya ke balik bajunya sendiri.

Lalu berkata, "Kalau tak ada yang bisa menyatukan Pedang Buntung ini, dengan potongan pedang lainnya ya sudah! 

Kalian bertarung deh!!"

Panembahan Agung yang datang pertama berkata bijak, 

"Anak muda! Kecerdikanmu memang sungguh hebat! Tetapi, 

kau menghadapi orang yang lebih cerdik!"

Andika cuma mengangguk-angguk. "Betul! Malah juga 

licik!"

"Lalu sekarang, kau tak mampu mengatakan siapakah 

yang asli dan palsu?"

"Pada kenyataannya seperti itu! Ayo, deh! Kalian berta-

rung!!" kata Andika seperti pasrah. Padahal anak muda ini 

tengah memikirkan sesuatu yang dapat diraihnya dari perta-

rungan kedua Panembahan Agung itu.

Panembahan Agung yang kedua berkata bijak, "Anak 

muda... bila memang tak ada lagi yang dapat kau lakukan un-

tuk memecahkan masalah di antara kami, mungkin dengan 

cara bertarunglah kau akan dapat melihat siapa yang asli dan 

palsu!"

Andika yang sedang memikirkan sesuatu, mendadak 

mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu?"

Panembahan Agung ini tersenyum, "Aku yakin, kau 

akan dapat memetik apa yang kau inginkan! Tetapi perlu kau 

ingat, lawanmu sangat cerdik! Melebihi kecerdikanmu!"

Mendengar ucapan Panembahan Agung yang satu ini, 

Andika terus mengerutkan keningnya. Pikirannya diperas be-

rulang kali. Sampai kemudian dia tertawa sendiri.

"Kau betul! Lawan yang kuhadapi ini memang sangat 

cerdik! Melebihi kecerdikan Ki Pasu Suruan dan Nyi Geng-

gong yang telah tewas! Mungkin juga melebihi kecerdikan 

Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek! Ah, ternyata kecerdi-

kan itu memang lebih penting ketimbang kesaktian! Tetapi 

kupikir, kedua-duanya mengikat! Tak seperti Setan Cambuk

Api yang hanya memiliki kesaktian tetapi tak memiliki ke-

cerdikan! Makanya, dengan mudah dia dapat kubunuh! Yah... 

semuanya terpaksa! Ayo deh, kalian bertarung!!"

Mendengar ucapan Pendekar Slebor, Iblis Rambut Emas 

dan Sangga Rantek berpandangan.

"Gila! Rupanya Pendekar Slebor berhasil membunuh Se-

tan Cambuk Api!" desis Iblis Rambut Emas.

"Ya! Padahal dia sudah hampir sekarat! Menilik keadaan 

itu, bisa jadi kita salah menduga, kalau ternyata Ki Pasu Su-

ruan dan Nyi Genggong memang dibunuh olehnya?" desis 

Sangga Rantek dengan kening berkerut.

Iblis Rambut Emas tak menyahut, hanya nampak bibir-

nya bergetar.

Sementara itu, Panembahan Agung yang kedua terdiam, 

Panembahan Agung yang pertama membuka mulut, "Anak 

muda... siapakah orang yang berjuluk Setan Cambuk Api?"

Andika mengangkat kedua bahunya. "Aku sendiri tidak 

tahu siapa perempuan tua itu sebenarnya! Tetapi dia sangat 

ganas! Ya... terpaksa dia kubunuh daripada bikin urusan ber-

tambah banyak!"

"Tak seharusnya kau membunuhnya, Anak muda. Ba-

rangkali saja dia mau bertobat."

"Urusan bertobat itu bukan ditentukan olehku, Kek! Te-

tapi oleh dirinya sendiri! Hanya kupikir... tak mungkin dia 

akan bertobat! Dosanya sudah melimpah ruah. Ya terpaksa 

harus kubunuh...."

"Tak kusangka jalan pikiranmu begitu sempit, Anak

Muda."

Sebelum Andika menyahut, Panembahan Agung yang 

kedua yang tadi terdiam, bicara, "Kau terlalu telengas, Anak 

Muda. Tanganmu terlalu ringan."

"Terpaksa! Apa kau tidak mendengar tadi kukatakan,

aku terpaksa melakukannya?!" desis Andika dengan mata me-

lotot. "Huh! Masa sih aku harus mengulanginya lagi?! Kek! 

Apakah kau mengenal perempuan itu?"

Panembahan Agung yang kedua ini menggeleng-

gelengkan kepalanya.

"Aku tidak mengenalnya!"

"Kalau kau tidak mengenalnya, ya sudah! Tidak usah di-

bikin pusing!"

Panembahan Agung yang kedua ini tersenyum seraya 

berkata, "Memang malang nasib perempuan tua berpakaian 

batik kusam dengan senjata cambuk berlidah tiga itu. Tetapi, 

mungkin sudah nasibnya yang harus tewas di tanganmu! Se-

karang, apakah kau tetap berusaha untuk memecahkan siapa 

Panembahan Agung yang asli di antara kami?"

"Tidak, deh! Kalau kalian mau bertarung, ya silakan!" 

sahut Andika sambil menggedikkan bahunya.

Panembahan Agung yang datang kedua memutar tubuh 

menghadap Panembahan Agung yang datang pertama.

Lalu sambil rangkapkan kedua tangannya di depan dada, 

Panembahan Agung ini berkata sopan, "Maafkan sikapku, 

Kawan! Terpaksa ini kulakukan, karena kau telah berlaku bu-

ruk di hadapanku!"

Panembahan Agung yang datang pertama pun rang-

kapkan kedua tangannya pula.

"Kupikir, memang tak ada cara lain lagi. Padahal se-

sungguhnya, aku tak ingin semua ini terjadi. Tetapi, mungkin 

ini telah digariskan."

"Kalau begitu... lebih baik kita mulai sekarang." Habis 

kata-katanya, Panembahan Agung yang kedua ini melangkah 

agak menjauh dari sana. Langkahnya begitu ringan sekali.

Menyusul Panembahan Agung yang datang pertama ber-

jalan menjauh pula.

Lalu masing-masing orang berdiri sejarak lima tombak 

satu sama lain. Keduanya masih saling memperhatikan den-

gan pandangan teduh.

"Aku tak menghendaki pertarungan ini sebenarnya," kata 

Panembahan Agung yang kedua sambil menghela napas pan-

jang.

"Begitu pula denganku," sahut Panembahan Agung yang 

datang pertama. "Tapi nampaknya... semua ini memang sulit 

dihindari lagi...."

"Kau benar! Silakan mulai!" kata Panembahan Agung 

yang kedua sambil membuka tangan kanannya sejajar dengan 

pinggang, sementara tangan kirinya memegang bagian ping-

gir kiri pakaiannya.

"Terima kasih!" sahut Panembahan Agung yang perta-

ma. "Tetapi. aku ingin justru kau yang memulainya."

Lalu nampak Panembahan Agung yang kedua mulai 

membuka kedua tangannya. Kaki kirinya ditarik ke belakang. 

Dengan kedudukan kuda-kuda seperti itu, jelas dia akan laku-

kan satu terjangan yang tentunya sangat dahsyat.

Namun sebelum pertarungan itu terjadi, mendadak saja 

Andika berteriak, "Tunggu!!"

***

10


Panembahan Agung kedua yang siap lancarkan seran-

gan, palingkan kepala, "Ada apa lagi, Anak Muda?"

Andika nyengir seraya berkata, "Yah... memang aku ter-

paksa harus membunuh Setan Cambuk Api. Tetapi, itu belum 

kulakukan, kok! Tentunya saat ini dia masih segar bugar ka-

lau memang ajal belum menjemputnya! Justru aku yang di

buatnya hampir mampus!"

Orang-orang yang berada di sana terkejut mendengar 

penjelasan pemuda berbaju hijau pupus itu. Iblis Rambut 

Emas dan Sangga Rantek berpandangan tak mengerti.

"Apa maksudmu mengatakan kau telah membunuh Setan 

Cambuk Api, Anak Muda?" tanya Panembahan Agung yang 

pertama.

"Cuma iseng saja, kok! Yah... kalian mengaku tidak 

mengenal Setan Cambuk Api. Kan tidak apa-apa bila aku se-

dikit berbohong pada kalian. Cuma yang mengherankanku...." 

Andika mengarahkan pandangannya pada Panembahan 

Agung yang kedua, lalu melanjutkan, "Mengapa bila kau 

mengaku tak mengenalnya kau justru mengatakan ciri-ciri Se-

tan Cambuk Api? Seorang perempuan, mengenakan pakaian 

batik kusam dan bersenjatakan cambuk berlidah tiga? Mung-

kin kau lupa kali ya, kalau kau mengenalnya lalu mengatakan 

tidak?"

Panembahan Agung yang kedua ini nampak terkejut. Te-

tapi di lain saat dia sudah tertawa.

"Ha ha ha... aku memang mulai pikun, hingga lupa kalau 

aku mengenal perempuan tua itu."

"Yah... kumaklumi deh! Tapi, mengapa kau tadi begitu 

yakin kalau aku dapat memetik hasil yang memuaskan bila 

melihat kalian bertarung? Apakah kau berpikir, aku akan me-

lihat potongan pedang yang sebelumnya berada pada tangan 

Gadis Kayangan ada pada dirimu bila kalian bertarung?"

Kalau tadi agak melengak wajah Panembahan Agung 

yang kedua, kali ini nampak agak memias. Untuk beberapa 

lamanya dia tak keluarkan suara. Andika mengangkat ba-

hunya. "Setahuku, Setan Cambuk Api diperintahkan oleh 

Dewa Lautan Timur untuk membunuhku. Dan tentunya, De-

wa Lautan Timur sangat mengenal siapa perempuan itu. Juga

kupikir, salah seorang Panembahan Agung yang palsu adalah 

orang yang berjuluk Dewa Lautan Timur, mengingat dialah 

satu-satunya orang yang mengetahui tentang perempuan ber-

nama Laksmi Harum yang merupakan istri dari Panembahan 

Agung. Juga, Panembahan Agung palsulah yang langsung 

mengetahui keuntungan apa yang dapat kupetik dari perta-

rungan kalian berdua. Yah... dengan berat hati, kukatakan, 

kalau engkaulah Panembahan Agung yang palsu dan tak lain 

Dewa Lautan Timur!!"

Mundur satu tindak Panembahan Agung yang kedua 

mendengar kata-kata Pendekar Slebor. Wajahnya yang me-

mias nampak mulai mengkelap.

Sementara itu, Panembahan Agung yang pertama diam-

diam tersenyum. "Cerdik. Dia sangat cerdik. Tak kusangka 

kalau dia bermaksud menjebak dengan kata-katanya. Dan se-

perti dugaanku, memang Dewa Lautan Timur-lah yang me-

nyamar sebagai diriku, karena dialah yang tahu mengenai 

Laksmi Harum."

Dalam keheningan seperti itu, mendadak saja Panemba-

han Agung yang kedua menyentakkan pakaian yang dikena-

kannya.

Breeettt!

Nampaklah pakaian warna kuning di balik pakaian putih 

panjangnya. Dengan kegeraman yang menjadi-jadi dia me-

nuding Pendekar Slebor, "Pemuda keparat! Kecerdikan mu 

memang luar biasa! Terus terang, aku terkejut begitu meli-

hatmu berada di sini! Karena kupikir, kau sudah mampus ter-

kena hajaranku!"

"Betul sih aku akan mampus! Tetapi bila tak ada kain 

bercorak catur ini! Tetapi ya... orang baik-baik selalu panjang 

umur lho!!"

Mendengar ejekan Pendekar Slebor, Panembahan Agung

kedua yang memang Dewa Lautan Timur yang menyamar, 

sudah kibaskan tangan kanannya ke arah Pendekar Slebor.

Wuussss!!

Segera menghampar gelombang angin raksasa yang ke-

luarkan suara sangat mengerikan, menyeret pasir-pasir hitam 

dan menggebrak ke arah Pendekar Slebor.

Namun sebelum labrakan angin itu mengenai sasaran-

nya, mendadak terdengar letupan yang sangat keras.

Blaaaammmm!!

Punah gelombang angin yang dilepaskan Dewa Lautan 

Timur, terhantam gelombang tenaga dari samping kiri.

Seketika kakek sesat ini palingkan kepalanya ke kanan. 

Sepasang matanya seakan melompat keluar, disusul suaranya 

menggelegar keras, "Panembahan Agung!! Kini tiba saatnya 

kau untuk mampus!!"

Orang yang tadi halangi serangan Dewa Lautan Timur 

pada Pendekar Slebor cuma tersenyum.

"Dewa Lautan Timur... ternyata dendammu memang se-

luas dan sedalam lautan. Apakah tak pernah terpikirkan di 

benakmu, kalau kita sudah sama-sama tua dan tak layak un-

tuk saling simpan dendam dan menumpahkannya?"

"Tutup mulutmu, Panembahan Agung!!" sentak Dewa 

Lautan Timur keras. "Dendamku tak akan pernah padam se-

belum melihatmu mampus!!"

"Dewa Lautan Timur... tidakkah kau masih terbayang 

akibat ulahmu puluhan tahun lalu, hingga menewaskan 

Laksmi Harum, perempuan yang sama-sama kita cintai?"

"Ini semua gara-garamu! Bila kau tak menahan seluruh 

keinginanku, perempuan itu masih hidup dan akan menjadi 

istriku!!"

"Kau terlalu dibutakan oleh cinta hingga urusan...." 

"Tutup mulutmu!! Lebih baik kau mampus sekarang ju

ga!!"

Habis kata-katanya, dengan kemarahan tinggi, Dewa 

Lautan Timur mendorong kedua tangannya. Wrrrr!!

Gelombang angin yang perdengarkan suara laksana om-

bak lautan mengamuk, menggebrak dahsyat.

Panembahan Agung sendiri tak mau bertindak lebih la-

ma. Segera dia balas mendorong kedua tangannya. Bongka-

han awan putih yang semakin lama semakin membesar dan 

keluarkan suara menggemuruh tak kalah kerasnya, melesat 

cepat. Akibatnya....

Blaaaammmm!!

Pulau Hitam seakan bergetar tatkala benturan keras ter-

jadi. Bukan hanya pasir-pasir hitam yang muncrat ke udara, 

tetapi juga tanah terbongkar ke atas.

Tatkala semuanya sirap, nampak masing-masing orang 

terhuyung lima tindak ke belakang dengan kedua tangan yang 

terasa sangat ngilu.

Pendekar Slebor yang telah kerahkan tenaga dalamnya, 

pun harus terpental tiga langkah akibat kerasnya benturan itu.

Di lain pihak, Iblis Rambut Emas dan Sangga Rantek 

yang terpelanting di atas tanah, megap-megap dengan wajah 

pias.

"Celaka! Rasanya lebih baik kita meninggalkan tempat 

ini!" desis Iblis Rambut Emas dengan wajah pias. "Apa mak-

sudmu, hah?!" maki Sangga Rantek. "Jangan berlaku bodoh! 

Kita bisa mati konyol di sini akibat pertarungan kedua orang 

itu! Lagi pula, apakah kau lupa kalau orang yang bicara dan 

entah berada di mana tadi, hanya akan mengatakan rahasia 

apa yang ada di Pulau Hitam ini pada orang yang berhasil...."

"Aku tahu! Aku tahu!" putus Sangga Rantek. "Berarti, 

Pendekar Slebor-lah yang akan mengetahui! Dengan kata 

lain, kita tetap akan mempunyai kesempatan untuk mengeta

huinya! Baik, kita tinggalkan tempat celaka ini dan terus 

memburu Pendekar Slebor!!"

Habis kata-katanya, tak mau buang waktu lagi, Sangga 

Rantek sudah melesat meninggalkan tempat itu. Iblis Rambut 

Emas pun lakukan hal yang sama.

Di lain pihak, Dewa Lautan Timur yang merasakan ke-

dua tangannya ngilu, mendesis dingin. "Kau masih tetap 

tangguh, Panembahan Agung! Tetapi, aku tak akan mundur 

sebelum melihatmu terkapar?!!"

Panembahan Agung hanya menggeleng-gelengkan kepa-

la.

"Aku sama sekali tak ingin menurunkan tangan! Tetapi 

bila memang itu yang terjadi, rasanya...."

"Tak perlu banyak cakap lagi!!" bentak Dewa Lautan 

Timur sambil lancarkan serangan kembali.

Pertarungan yang terjadi kemudian sungguh luar biasa 

mengerikannya. Gelombang angin setiap kali melesat kelua-

rkan suara menggidikkan. Pulau Hitam bergetar berulang 

kali. Pendekar Slebor sendiri harus terus kerahkan tenaga da-

lamnya untuk menjaga keseimbangannya.

Hampir lima belas jurus pertarungan mengerikan itu ter-

jadi. Hingga kemudian, nampak masing-masing orang meng-

gebah ke depan dengan tenaga dalam tingkat tinggi.

Benturan keras tak dapat dielakkan kedua orang ini.

Blaammmm!!

Bersamaan bertemunya dua pukulan sakti itu, masing-

masing orang terlempar deras ke belakang dan terpelanting 

keras.

Dewa Lautan Timur terjingkat dua kali setelah terban–

ting. Pada bantingan yang kedua terdengar suara 'krak'. Ru-

panya tulang punggung lelaki tua sesat ini patah. Nampak ka-

lau dia berusaha untuk mengatasi kesakitannya. Menyusul dia

muntah darah. Darah kental menghitam membasahi pakaian-

nya. Satu bungkusan kain putih terlempar dari balik pakaian-

nya.

Di seberang, nampak Panembahan Agung yang begitu 

terbanting, duduk bersila dengan kedua tangan dirangkapkan 

di depan dada. Nampak sekali kalau tubuh lelaki tua bijaksa-

na itu bergetar hebat. "Huaaakkk!!"

Dia pun muntah darah berulang kali dengan tubuh yang 

semakin terasa lemah. Dan mendadak saja tubuhnya terjatuh 

di atas pasir hitam.

Andika yang melihat keadaan masing-masing orang, 

menarik napas pendek. Lalu dengan sigap dia menyambar 

bungkusan kain putih yang terlempar dari balik pakaian De-

wa Lautan Timur. Hati-hati dibukanya bungkusan itu.

"Tepat dugaanku. Dewa Lautan Timur bisa tiba di sini, 

tentunya dengan pergunakan potongan pedang ini. Sungguh 

cerdik dia melakukannya. Hmm... aku harus menolong kedu-

anya...."

"Anak muda... kau tak perlu membantu mereka! Biar 

aku yang melakukannya!!" mendadak saja terdengar suara 

orang yang entah berada di mana itu.

Belum lagi habis suara itu terdengar, mendadak saja satu 

sosok tubuh berpakaian jingga telah berdiri sejarak tiga lang-

kah di hadapan Andika. Keterkejutan Andika semakin men-

jadi-jadi, begitu melihat sosok Gadis Kayangan berdiri di 

samping kanan orang tua yang sangat tua itu.

"Gadis Kayangan!"

Gadis berkepang dua itu tersenyum. "Andika!"

"Kau... kau... selamat?"

Gadis Kayangan menganggukkan kepalanya. "Yah... 

Eyang Mega Tantra yang menyelamatkanku...."

Andika menatap dulu pada orang tua di hadapannya se

belum haturkan sembah.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Eyang...," desisnya.

Orang tua yang di pergelangan kedua tangannya meling-

kar gelang-gelang baja itu tersenyum.

"Aku hanya kebetulan melihat gadis ini pingsan. Tetapi, 

kau begitu cerdik sekali, Anak Muda."

Andika mengangkat kepalanya. Diam-diam dia memba-

tin, "Sudah kuduga, kalau orang tua inilah yang berbicara. 

Sebelumnya, Panembahan Agung telah menceritakan tentang 

gurunya yang sekian puluh tahun menghilang setelah menye-

rahkan dua potongan pedang perak yang satu kepadanya dan 

yang satu lagi pada Pemimpin Agung. Dan setelah tiba di si-

ni, aku berpikir, kalau menghilangnya Eyang Mega Tantra 

adalah berdiam di Pulau Hitam. Apakah kehadirannya meru-

pakan rahasia Pulau Hitam? Atau masih ada lainnya?"

Lalu, apa yang sebenarnya dialami oleh Gadis Kayan-

gan? Setelah ditinggalkan oleh Iblis Rambut Emas, Sangga 

Rantek, serta Ki Pasu Suruan dan Nyi Genggong, Gadis 

Kayangan yang pingsan, ditolong oleh seorang lelaki tua ber-

pakaian jingga.

Dengan ilmunya, lelaki tua yang tak lain Eyang Mega 

Tantra ini segera membawa Gadis Kayangan ke Pulau Hitam. 

Begitu siuman dari pingsannya Gadis Kayangan terkejut bu-

kan alang kepalang. Dia hampir saja melarikan diri dari Pulau 

Hitam bila saja tak mendengar penjelasan dari Eyang Mega 

Tantra, kalau dialah guru dari gurunya, si Pemimpin Agung.

Kendati merasa tenang di samping Eyang Mega Tantra, 

Gadis Kayangan masih memikirkan pula tentang Pendekar 

Slebor. Dan diam-diam, gadis yang telah jatuh cinta pada si 

Urakan itu, merasa tak tenang sebelum mengetahui keadaan 

pemuda yang dicintainya.

Selama di Pulau Hitam, Gadis Kayangan memang tak

tahu apakah saat ini hari masih pagi, siang, sore ataukah ma-

lam. Karena tak ada kelihatan kalau saat itu pagi, siang, sore 

atau malam.

Dan sekarang, begitu melihat pemuda yang dicintainya 

berada di situ tanpa kurang suatu apa, hati Winarsih alias Ga-

dis Kayangan bukan main senangnya.

Sementara itu, Panembahan Agung menarik napas pan-

jang.

"Sekian puluh tahun tak berjumpa dengan Guru, hari ini 

aku berjumpa kembali. Guru nampak masih segar-bugar."

Dengan berusaha untuk bangkit, Panembahan Agung 

berkata hormat, "Guru...."

"Tetaplah kau berbaring. Luka dalammu akan bertambah 

bila kau mencoba untuk bangkit."

Dengan langkah perlahan, Eyang Mega Tantra meng-

hampiri Panembahan Agung. Perlahan-lahan tangan kanan-

nya bergerak ke atas, ke bawah dan ke samping kanan kiri. 

Satu kejap kemudian, Panembahan Agung merasakan jalan 

napasnya agak melonggar. Aliran darahnya yang tadi kacau, 

agak lancar sekarang.

Lalu dengan langkah perlahan, Eyang Mega Tantra 

mendekati Dewa Lautan Timur. Sambil tersenyum dia berka-

ta, "Kau masih dibutakan oleh dendammu.... Padahal bila kau 

sadari dan mau berpikir sedikit, dendam itu sama sekali tak 

ada gunanya."

Sepasang mata Dewa Lautan Timur melotot gusar. Dia 

hendak memaki, tapi yang keluar justru keluhan tertahan, 

"Aaaakhhh...."

"Tulang punggungmu telah patah. Mungkin akan sulit 

untuk menyembuhkannya lagi."

"Peduli setan dengan ucapanmu!!" bentak Dewa Lautan 

Timur. Di tempatnya, Pendekar Slebor mendengus, "Kadal

buntung! Sikapnya masih sok saja!!"

Eyang Mega Tantra tak pedulikan bentakan orang. Se-

perti yang dilakukannya pada Panembahan Agung, dia pun 

menggerakkan tangan kanannya ke arah Dewa Lautan Timur.

Saat itu pula lelaki sadis ini merasakan napasnya me-

longgar dan tubuhnya lebih nyaman dari semula. Namun da-

sar tak tahu berterima kasih, dia malah memaki-maki tak ka-

ruan.

Eyang Mega Tantra tersenyum.

Mendadak saja dia menggedikkan kaki kanannya di pa-

sir hitam. Menyusul lenyapnya tubuh Dewa Lautan Timur da-

ri pandangan.

Pendekar Slebor melengak kaget, "Busyet! Ternyata di 

dunia ini, masih ada ilmu-ilmu aneh yang menakjubkan?!"

Dari mulut Eyang Mega Tantra terdengar ucapan, "Mu-

dah-mudahan... setelah nanti dia siuman, dia akan sadar atas 

semua tindakannya." Lalu katanya pada Andika, "Anak mu-

da... bolehkah kuminta kedua potongan pedang itu?"

Andika segera menyerahkannya pada Eyang Mega Tan-

tra. Orang tua arif itu mengangguk-anggukkan kepalanya 

sambil memperhatikan dua potongan pedang di tangannya.

"Sebenarnya, dua potongan pedang ini adalah ciptaanku. 

Semata kuberikan pada muridku, Purwacaraka atau yang ka-

lian kenal sekarang berjuluk Panembahan Agung dan Ronggo 

Sewu alias Pemimpin Agung. Sengaja ku lakukan, untuk 

menguji kecerdikan mereka. Agar mereka memecahkan raha-

sia titik-titik gambar pada kedua potongan pedang ini. Mak-

sudku, untuk mencariku yang sengaja meninggalkan mereka. 

Tapi nyatanya kedua potongan pedang ini justru menimbul-

kan masalah hebat, akulah sebenarnya yang menjadi rahasia 

Pulau Hitam. Anak muda, kau sangat cerdik. Tapi...."

Mendadak Eyang Mega Tantra memukul potongan pe

dang perak pada potongan yang berupa hulu.

Traaangg!!

Blaaammm!!

Kejap itu pula terdengar suara letupan yang sangat dah-

syat di kejauhan. Orang-orang yang berada di sana terkejut 

bukan alang kepalang. Nampak gumpalan tanah mengepul di 

udara.

"Kedua potongan pedang ini, menyimpan satu kekuatan 

dahsyat yang dapat menyerang lawan. Sekarang, kalian akan 

kuperlihatkan rahasia lain di Pulau Hitam ini."

Habis kata-katanya, Eyang Mega Tantra menancapkan 

kedua potongan pedang perak itu ke pasir hitam di atasnya.

Mendadak terdengar suara letupan dari dalam tanah. Be-

rulang-ulang dan suaranya laksana terobosan air yang mun-

crat ke atas. Dan mendadak saja, tanah sejarak delapan tom-

bak dari tempat masing-masing orang, meletup dan membu-

ka.

Muncratan tanah itu untuk sesaat halangi pandangan. 

Tatkala semuanya sirap, nampaklah sebuah lubang yang cu-

kup besar. Sebelum masing-masing orang menyadari ada apa 

di lubang itu, mendadak terlihat cahaya putih yang bening.

Keterkejutan mereka bertambah, tatkala perlahan-lahan 

terangkat naik sebuah rantai sebesar lengan orang dewasa 

yang bersinar indah. Hanya tiga kejapan mata rantai yang 

bersinar terang indah itu mengambang, lalu jatuh kembali ke 

dalam lubang. Anehnya, begitu rantai itu masuk, tanah yang 

tadi terbuka, kini menutup kembali.

"Itulah rahasia yang ada di Pulau Hitam. Sebuah rantai 

sakti bernama Rantai Naga Siluman."

Andika yang tak tahan untuk tidak bertanya sudah mem-

buka mulut, "Eyang... mengapa kita tak mengambilnya?"

Eyang Mega Tantra tersenyum. "Masih ada teka-teki lain

yang harus kau pecahkan, Anak Muda. Mendekatlah. Kau 

akan kuberitahukan teka-teki itu."

Perlahan-lahan Andika mendekati Eyang Mega Tantra. 

Sejarak lima langkah dia berhenti. Saat itu pula telinganya 

mendengar ucapan-ucapan Eyang Mega Tantra sementara 

Panembahan Agung dan Gadis Kayangan tak mendengarnya 

sama sekali.

"Ingat," kata Eyang Mega Tantra kemudian. "Waktumu 

hanya satu kali bulan purnama. Bila kau gagal memecahkan-

nya, maka dunia persilatan akan kembali dipenuhi dengan da-

rah dan air mata."

Lalu dia berpaling pada Panembahan Agung, "Kembali-

lah kau ke Pesanggrahan Bayu Api. Habisi hidupmu di sana."

Habis kata-katanya, mendadak saja lelaki tua arif itu le-

nyap dari pandangan, laksana ditelan bumi.

Gadis Kayangan langsung mendekati Pendekar Slebor 

dan berkata, "Katakan apa yang kau ketahui tentang rahasia 

itu?"

Andika hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, Masih 

menggeleng anak muda ini melangkah meninggalkan Pulau 

Hitam.

Gadis Kayangan merengut. Dia melirik Panembahan 

Agung. Setelah dilihatnya Panembahan Agung tersenyum dan 

menganggukkan kepala, disusulnya anak muda urakan itu.

Sementara itu, Panembahan Agung pun perlahan-lahan 

bangkit.

Angin berhembus dingin. Pulau Hitam tetap mencekam.

Dua potongan pedang tetap menancap di atas pasir hi-

tam, yang di saat angin berhembus, butiran-butiran pasir itu 

perlahan-lahan mengubur dua potongan pedang perak....


                    SELESAI


Segera menyusul: 

RAHASIA SEBELAS JARI



Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive