1
DALAM kerimbunan hutan berpohon liar, di an-
tara tebing-tebing berdinding curam, terdapat genan-
gan air yang mengalir dengan deras. Genangan air
mengalir itu ternyata adalah sungai dangkal berbatu-
batu besar dan tinggi. Di sungai itulah terdapat apa
yang dinamakan 'Gerojogan Sewu'.
Gerojogan adalah curah air yang tentu saja dari
atas turun ke bawah. Bukan dari bawah naik ke atas.
Gerojogan bisa diartikan 'air terjun'. Sedangkan sewu
artinya seribu. Jadi Gerojogan Sewu, adalah air terjun
seribu. Bukan berarti air terjunnya ada seribu buah,
tapi curah air yang turun ke sungai itu banyaknya se-
perti seribu air terjun. Karena itu suara gemuruhnya
seperti gemuruh magma di dalam kerak bumi.
Kedua pemuda berwajah sama alias Pendekar
Kembar datang ke tempat itu untuk menjalankan pe-
rintah guru mereka. Beberapa hari yang lalu, ayah
angkat Raka Pura dan Soka Pura yang dikenal dengan
nama Pawang Badai itu berkata kepada mereka ber-
dua, "Mendiang Eyang Guru menemuiku di dalam
mimpi."
Soka Pura menyela dengan kekonyolannya,
"Apakah semalam Ayah tidur?"
Raka menyahut dengan dongkol, "Tentu saja
Ayah tidur, Tolol. Kalau tidak tidur bagaimana bisa
bermimpi?"
"Bisa saja," sahut Soka dengan bersungut-
sungut. "Buktinya ketika kubilang bahwa aku ingin bi-
sa terbang ke bulan, kau mengatakan padaku: 'Kalau
punya keinginan yang wajar saja. Jangan bermimpi!'.
Padahal waktu itu kau tahu kalau aku tidak sedang ti-
dur, toh kau mengatakan aku bermimpi?!"
Raka Pura makin kesal. Ia cemberut dan tak
mau bicara kepada adik kembarnya itu. Ia bahkan ber-
tanya kepada ayah angkatnya, "Jadi mimpi itu sebe-
narnya apa, Ayah? Sesuatu yang hadir di dalam tidur
atau di dalam tidak tidur?! Sebab...."
"Tunggu sebentar...," sergah Pawang Badai
dengan kalem sambil menahan kejengkelan. "Yang in-
gin kubicarakan bukan soal arti kata mimpi, tapi isi
dan makna dari mimpi ku itu! Mengapa kalian meri-
butkan soal arti kata mimpi? Karena mimpi sendiri se-
benarnya adalah...."
"Lho, sekarang Ayah yang melantur, mau men-
jelaskan arti kata mimpi!" potong Soka Pura sambil
nyengir geli. Sang Ayah tidak jadi bicara, hanya mena-
rik napas, itu pun dilakukan dengan pelan-pelan, se-
bab kalau nafasnya ditarik kuat-kuat takut putus di
tengah jalan.
"Eyang Guru Mangkuranda alias Dewa Kencan
sengaja menemuiku di alam mimpi dan menyampaikan
amanat yang harus kusampaikan kepada kalian," Pa-
wang Badai mulai serius lagi.
"Apa isi amanat itu, Ayah?" tanya Raka Pura
bagai tak sabar menunggu.
Soka Pura menyahut, "Pasti isinya perintah un-
tuk ku agar segera menikah atau mencari kekasih se-
banyak mungkin."
"Dasar mata keranjang!" gertak kakaknya.
"Keranjang matanya segini besar buat ngeran-
jangi kepalamu itu, ya?!" geram Soka Pura. Sang kakak
merasa semakin kesal dan ingin memukul adiknya.
"Kutampar mulutmu bicara begitu lagi padaku!"
"Kututup mulutku pakai batu besar. Kau mau
menampar dari mana, hah?"
"Eh, melawan kau?! Berani kau?!"
Pawang Badai geleng-geleng kepala. "Kalau mau
tampar-tamparan jangan di sini. Nanti ibumu tahu.
Sana, di luar sana!"
"Maaf, Ayah...."
"Ampun, Ayah...." Keduanya duduk bersila
kembali dengan sikap patuh dan hormat. Kini mereka
diliputi suasana hening karena saling membungkam
mulutnya sendiri-sendiri. Beberapa saat kemudian,
Pawang Badai mulai perdengarkan suaranya lagi yang
bernada tegas, namun punya kebijakan tersendiri se-
bagai seorang ayah angkat yang sabar dan penuh ka-
sih sayang kepada mereka.
"Amanat yang harus kusampaikan kepada ka-
lian adalah tugas yang harus segera kalian kerjakan.
Pendekar Kembar harus mencari Gerojogan Sewu dan
bersemadi di sana, di bawah gerojogan itu, untuk da-
patkan sebuah ilmu baru yang dinamakan ilmu'
Waskita Indera', yang dulu dimiliki oleh ayahnya
Eyang Guru Dewa Kencan, yaitu...."
"Eyang Buyut Suralaya...!" sahut mereka ber-
dua. Pawang Badai hanya menggumam pendek dan
manggut-manggut tanda membenarkan jawaban terse-
but.
"Apa kehebatan ilmu 'Waskita indera' itu,
Ayah?" tanya Soka Pura.
"Seseorang yang memiliki ilmu 'Waskita Indera'
dapat mengetahui apa yang akan dialami dalam waktu
beberapa hari nanti. Dengan memiliki ilmu 'Waskita
indera' kalian dapat mengetahui esok akan dihadang
lawan berilmu tinggi, atau akan mendapat suguhan
dari seorang teman atau yang lainnya."
"Asyik! Kalau begitu jika aku mempunyai ilmu
itu, maka aku dapat mengetahui siapa gadis yang akan
ku kenal esok hari dan secantik apakah dia. Begitu-
kah, Ayah?" tanya Soka dengan girang.
"Ya. Begitulah kira-kira kegunaan ilmu 'Waskita
indera' itu."
Raka Pura menggerutu, "Perempuan terus yang
ada dalam otakmu itu!"
"Ya, biarlah! Kita toh lahir dari seorang perem-
puan, mengapa tak boleh memikirkan tentang perem-
puan?!"
"Boleh saja!" bentak Raka Pura. "Tapi tidak se-
tiap saat, setiap kata, selalu dihubungkan dengan pe-
rempuan!"
"Itu tandanya kita selalu ingat kepada ibu kita!"
"Ingat kepada ibu bukan begitu caranya!" ban-
tah Raka. "Yang ada dalam otakmu bukan perempuan
sebagai seorang ibu, tapi perempuan sebagai teman
berkencan! Hmm..., dasar otak ngeres!" Lalu ia berkata
kepada Pawang Badai,
"Apakah perempuan itu hanya layak sebagai
teman kencan saja, Ayah?"
Tidak hanya itu. Perempuan adalah teman hi-
dup kita, bukan urusan kencan-mengencan saja."
"Apakah di sekitar puncak Gunung Merana ini
tak ada perempuan yang bidangnya menjadi teman hi-
dup ku, Ayah?"
Soka Pura menyahut dengan keras, "Naaaah...
akhirnya tanya soal perempuan juga, kan?! Huhhh...!"
"Lho, aku bertanya soal teman hidup. Bukan
semata-mata bertanya perempuan untuk Kencan. Ke-
cuali kalau aku...."
"Ssst...!" potong Pawang Badai, lalu berkata da-
lam bisikan, "Di sini tidak ada perempuan lain kecuali
ibu mu; Rara Padmi itu."
Nyi Padmi, istri Pawang Badai, yang kebetulan
lewat di belakang kedua anak kembar itu segera me-
nyahut dengan berpura-pura ketus.
"Jangan bicara soal perempuan. Aku tersinggung!"
"Kenapa ibu tersinggung?" tanya Soka Pura
sambil setengah nyengir.
"Karena memang hanya akulah perempuan di
puncak gunung ini. Aku tak mau dibicarakan dan di-
bahas oleh kalian bertiga! Sebaiknya, cepatlah pindah
ke dalam rumah, makanan untuk kalian telah terse-
dia."
"Sebentar, Bu," kata Pawang Badai tetap den-
gan sabar. "Kami sedang membicarakan tentang ilmu
'Waskita Indera' yang...." -
"Aaah... ilmu 'Waskita indera' dulu yang harus
kalian kerjakan. Aku sudah capek-capek siapkan hi-
dangan untuk kalian, kalau kalian tak mau segera
menyantapnya, nasi itu akan ku tanam kembali biar
menjadi padi lagi, dan panggang ayam hutan itu akan
kulepas lagi biar terbang ke mana-mana!"
Pendekar Kembar tertawa bersama senyum Pa-
wang Badai yang bijaksana. Akhirnya percakapan itu
mereka teruskan dalam acara santap siang bersama.
Acara santap siang itu adalah acara istimewa, karena
sudah beberapa waktu lamanya tak pernah mereka la-
kukan. Bukan karena mereka tak punya persediaan
beras atau lauk, tapi karena mereka jarang berkumpul
seperti saat itu. Sejak Raka dan Soka menyandang ge-
lar Pendekar Kembar, mereka jarang pulang ke puncak
Gunung Merana, sedangkan Pawang Badai lebih sering
menghabiskan waktunya untuk berpuasa, memperta-
jam kendali batin, agar lebih mendekatkan diri kepada
Sang Pencipta.
Menurut Pawang Badai, memiliki Ilmu 'Waskita
Indera' bukan hal yang mudah, tapi juga bukan hal
yang sulit. Pawang Badai sendiri mengakui kebodo-
hannya dalam hal itu, karena sampai sekarang ia be-
lum memiliki ilmu tersebut. Ia pernah mencobanya be-
rulang kali tapi selalu gagal.
Sebenarnya dalam semadi nanti kalian akan
mengalami godaan atau gangguan yang tidak terlalu
berat, namun justru sulit kalian hindari. Kalau hati,
jiwa, dan sukma tidak menyatu, maka kalian akan
gagal mendapatkan ilmu itu karena godaan ringan
yang sebenarnya justru membuat kalian terbuai, lalu
gagal dalam semadi kalian. Oleh sebab itu, hati-hatilah
sekali terhadap gangguan atau godaan sekecil apa
pun. Karena hai itu dapat menjadikan duri dalam se-
madi kalian nanti."
"Ah, kalau aku tak mungkin gagal," ujar Soka
agak sombong, sengaja membesarkan hati di depan
kakaknya. Sebab dalam hati kecilnya ia mengakui,
bahwa sang kakak memang lebih tekun dibandingkan
dirinya dalam hal menuntut ilmu atau mempelajari
suatu jurus. Tapi ia selalu tak mau kalah dengan sang
kakak. Karenanya ia menyambung ucapannya dengan
mencibir sombong,
"Jangankan bersemadi di bawah air terjun, ber-
semadi di atas air terjun pun aku sanggup lakukan
sampai berbulan-bulan."
"Tentu saja. Sebab itu lebih mudah daripada
bersemadi di bawah curahan air terjun!" sahut Raka.
"Jangankan bersemadi tanpa makan berhari-
hari, sedangkan bersemadi pakai acara makan setiap
hari, pun aku sanggup lakukan berbulan-bulan!"
"Dasar konyol!" geram kakaknya.
Akhirnya mereka pun berangkat menuju Gero-
jogan Sewu. Sesuai dengan petunjuk Pawang Badai,
mereka harus duduk di bawah curahan air terjun be-
sar itu. Mereka harus bisa menahan rasa dingin akibat
guyuran air terjun. Mereka juga harus duduk di atas
batu dan beradu punggung, tak boleh saling berhada-
pan.
"Lagi pula kalau aku harus duduk berhadap
hadapan denganmu sampai berhari-hari bisa pingsan!"
ujar Soka Pura.
"Memangnya kenapa kok pingsan?"
"Lapar! Berhari-hari memandang mu tanpa
makan apa tak lapar?!"
Raka Pura tertawa geli, ia menonjok lengan
adiknya sambil melangkah menuju tempat yang di-
maksud. Sebenarnya sang kakak sangat sayang kepa-
da adiknya, demikian pula sang adik. Tapi kasih
sayang itu saling tak mau ditonjolkan, sehingga secara
sepintas mereka tampak sering bertengkar mulut atau
beradu debat. Pertengkaran dan adu debat adalah hal
yang wajar bagi sepasang kakak-beradik, terlebih ka-
kak-beradik kembar. Oleh karenanya, Pawang Badai
tak terlalu mencemaskan mereka berdua. Ia yakin me-
reka berdua dapat menjaga kerukunan dan kesatuan
sebagai Pendekar Kembar yang ilmunya cukup berba-
haya jika digabungkan menjadi satu.
Mereka menemukan batu yang bisa dipakai
duduk berdua saling beradu punggung. Batu itu tepat
berada di bawah guyuran air terjun yang tinggi dan cu-
rah airnya cukup lebat, Mungkin batu itulah yang di-
maksud oleh Pawang Badai saat menjelaskan kepada
mereka, "Ada batu datar berbentuk seperti ranjang reot
tepat di bawah curahan air terjun itu...."
Melihat batu tersebut, Soka Pura segera berka-
ta, "Tunggu sebentar aku mau mencari daun pisang
dulu." "Untuk apa mencari daun pisang?" "Untuk
payungan, biar badan kita tidak basah diguyur air se-
begitu derasnya itu!"
"Bagaimana kalau kita bangun rumah dan ke-
dai nasi sekalian di atas batu itu," ujar Raka semakin
konyol, lalu kedua sama-sama tertawa.
Dua pemuda kembar itu mulai menyiapkan diri
mengawali semadinya. Mereka tidak melepaskan baju
putihnya yang tanpa lengan itu, mereka juga tidak me-
lepaskan celananya yang putih pula itu, bahkan mere-
ka tidak melepaskan ikat pinggangnya yang terbuat
dari kain merah itu. Namun mereka saling melepaskan
pedang kristal dari pinggang mereka. Pedang Tangan
Malaikat diletakkan di atas pangkuan mereka. Dengan
duduk bersila dan saling beradu pandang, mereka bi-
arkan curah air terjun itu mengguyur tubuh mereka,
membasahi rambut mereka yang panjang sebahu tan-
pa ikat kepala. Dalam guyuran air sederas itu, wajah
mereka tetap tampak tampan, tubuh mereka tetap
tampak tegar, gagah, dan tegap, tanpa menggigil sedi-
kit pun. Sampai dua hari, mereka masih tetap tegak
bagaikan patung bernyawa.
Tetapi pada hari ketiga, mereka tiba-tiba men-
dengar suara jeritan seorang gadis yang melengking
panjang. Raka Pura masih tetap pejamkan mata, tapi
Soka segera membuka mata karena kaget mendengar
suara jeritan seorang gadis yang didengarnya secara
samar-samar karena gemuruh air itu. Semula ia ingin
pejamkan mata kembali. Tapi jeritan itu terdengar se-
makin jelas dan mengiba hati.
"Aaaow...! Tolooong...! Tolooong...! Aaaa...!"
"Seorang gadis dalam bahaya!" pikir Soka. Se-
bagai pemuda berjiwa romantis, ia tak tega mendengar
suara gadis meratap dalam jeritan seperti itu. Maka,
tanpa memberitahukan kakaknya, Soka segera lompat
ke daratan. Wuuut...! Dalam keadaan basah kuyup, ia
pun berlari menuju arah datangnya suara jeritan tadi.
Pedang pusakanya ditenteng dengan tangan kanan
agar sewaktu-waktu datang bahaya bisa segera dicabut
menggunakan tangan kiri, karena ia adalah pemuda
kidal, yang banyak menggunakan tangan kirinya ke-
timbang tangan kanannya. Berbeda dengan Raka yang
selalu bertindak dengan menggunakan tangan kanan
nya.
Dengan menggunakan jurus 'Jalur Badai', Soka
mampu bergerak cepat menyamai kecepatan hembu-
san badai yang paling cepat. Wuuuzzz...! Dalam seke-
jap saja ia sudah tiba di sebuah gugusan tanah cadas
dan melihat sesuatu yang terjadi di bawah gugusan
cadas yang menyerupai bukit itu.
Rupanya di sana sedang terjadi kejar-kejaran
antara seorang gadis dengan seorang pemuda yang di
perkirakan berusia sekitar dua puluh lima tahun. Ga-
dis itu sendiri berusia sekitar dua puluh tahun.
Sang gadis yang berpakaian hijau muda dengan
jubah lengan panjangnya berwarna merah tua itu be-
rusaha menghindari tangkapan tangan seorang pemu-
da berpakaian serba biru. Agaknya si gadis punya ilmu
sedikit, setidaknya mampu bergerak dengan lincah dan
cepat. Namun si pemuda bersenjata pedang di pung-
gungnya itu juga mempunyai gerakan yang tak kalah
lincah dengan si gadis. Sayangnya, si gadis yang ber-
wajah cantik jelita itu terlalu licin untuk ditangkap, ia
bagaikan belut yang selalu lolos dari genggaman la-
wannya. Sedangkan pemuda yang berambut pendek
mengenakan ikat kepala merah itu sempat dibuat
jengkel dengan kegagalannya itu. Akhirnya si pemuda
gunakan ilmu peringan tubuh yang dapat melambung
di udara dalam gerakan bersalto hanya dengan satu
kali sentakkan kaki ke tanah.
Des, wuuuk ..! Jleeg...!
Sang gadis yang ingin melarikan diri itu terha-
dang kembali, sehingga langkahnya terhenti sambil
menjerit ketakutan. Tapi pemuda berbaju biru dengan
wajah lumayan tampan itu memandang tajam kepada
si gadis, seakan memancarkan kemarahannya yang
tak terbendung lagi. Soka Pura masih membiarkan
adegan itu, karena ia ingin mengetahui persoalannya
lebih dulu.
"Rara Wulan! Sekali lagi ku ingatkan padamu,
kau hanya punya dua pilihan: pasrah kepadaku atau
mati di ujung pedangku?!" bentak si pemuda.
Gadis yang rupanya bernama Rara Wulan itu
terengah-engah dengan wajah tegang, namun ia tidak
mencucurkan air mata. Ia hanya tampak dicekam rasa
takut dan kebingungan sekali.
Si pemuda berkata lagi, "Sekarang kau sendi-
rian, Wulan! Pelayanmu telah pergi dan tak berani
menghadapiku lagi. Kau tak punya pelindung siapa-
siapa di sini. Jika kau tak mau menuruti kemauanku,
maka aku akan segera mengirimmu ke neraka!"
"Percuma saja aku menuruti kemauanmu, sete-
lah kau memperoleh apa yang kau inginkan, aku pun
akan kau bunuh! Aku tahu, tugasmu adalah membu-
nuhku, Dirgayana! Kau akan memanfaatkan tubuhku
untuk melampiaskan nafsumu lebih dulu sebelum aku
kau bunuh! Jadi untuk apa aku harus menuruti kein-
ginanmu itu, Keparat!"
"Kalau begitu kau ingin agar aku segera mem-
bunuhmu, Gadis Tolol?! Baiklah kalau itu kemaua-
nmu. Akan aku lakukan sekarang juga!"
Sriling...! Dirgayana mencabut pedangnya.
"Aaaa...!" Rara Wulan menjerit ketakutan dan
semakin tegang. Ia melangkah mundur sampai tak sa-
dar membentur sebatang pohon besar. Kakinya ter-
sandung akar pohon dan ia pun jatuh dengan pekikan
memanjang lagi. Saat itu, Dirgayana segera mene-
baskan pedangnya bagai ingin membelah dada Rara
Wulan.
Weeees...! Traaaang...!
Pedang itu tersentak kuat hingga pemegangnya
ikut terpelanting ke kiri. Rupanya sebelum pedang itu
menyentuh kepala Rara Wulan, sebongkah batu satu
genggaman telah melayang cepat dan menghantam pe-
dang tersebut. Batu itu tidak dilemparkan begitu saja,
namun mempunyai kekuatan tenaga dalam yang
mampu membuat Dirgayana ikut tersentak dan terpe-
lanting ke samping. Ia hampir saja jatuh kalau saja
pedangnya tidak segera dipakai sebagai tongkat pe-
nyangga tubuhnya.
Wuuut...! Jleeeg...!
Soka Pura tiba di depan Dirgayana, memung-
gungi Rara Wulan. Seakan ia tampil sebagai perisai si
gadis bertahi lalat kecil di tepian bibir bawahnya itu.
Sikapnya tenang dan kalem, pandangan matanya tak
terlalu tajam. Berbeda dengan Dirgayana yang me-
mandang tajam dengan sikap bermusuhan.
"Jahanam kau! Apa maksudmu mencampuri
urusanku, hah?" bentak Dirgayana. "Ini urusan suami-
istri, kau tak perlu ikut campur dalam rumah tangga
kami!"
"Bohong! Bohong! Aku bukan istrinya!" sahut
Rara Wulan yang berambut kepang dua dengan tiap
kepang diberi pita merah. Gadis itu cepat-cepat bang-
kit dan mendekati Soka Pura.
Tolonglah aku! Aku mau dibunuhnya kalau tak
mau melayani nafsu setannya itu! Dia bukan suamiku.
Aku masih gadis, belum pernah menikah. Sumpah!
Berani di cucup ubun-ubun ku oleh setan penunggu
hutan ini kalau aku berbohong padamu, Pangeran!"
"Diam kau!" bentak Dirgayana. "Kau memang
seorang istri yang tak patut dipuji. Kerjamu hanya ber-
selingkuh dengan lelaki lain berganti-gantian!"
"Bohong, bohong; bohong...!" Rara Wulan
mengguncang-guncang lengan Soka. "Aku tak pernah
berselingkuh. Sekalipun aku berselingkuh, toh itu
hakku, dia tak punya hak apa-apa karena dia bukan
suamiku, bukan apa-apa ku! Tapi aku memang tak
pernah berselingkuh kok, Pangeran! Sumpah seribu
kali!"
Soka hanya berkata pelan dan pendek, "Aku
bukan pangeran."
"Ah, masa' tampan-tampan begini bukan pan-
geran? Aku tak percaya!"
"Terserah," kata Soka dengan kalem sekali, su-
aranya dibuat lembut agar lebih berkesan di hati gadis
itu. "Sejujurnya kukatakan padamu, Cantik... aku bu-
kan pangeran. Hanya seorang pengembara yang tanpa
atap tanpa wisma."
"Cuih!" Dirgayana meludah dengan benci. "Ku-
habisi nyawamu kalau tak mau menyingkir dari de-
panku Kecoa Busuk!"
"Jangan mau! Jangan mau!" Rara Wulan yang
masih pegangi lengan kanan Soka dengan kedua tan-
gan itu mengguncang-guncang tubuh pemuda itu,
"Jangan mau menyingkir! Lawan saja si tikus
lumbung itu. Dia bukan suamiku kok! Kalau kau me-
nyingkir, aku ikut!"
"Hmmm, hmm, hmm..! Soka tertawa kalem,
berkesan wibawa dan tampak gagah sekali. Pandangan
matanya memancarkan kelembutan yang berbisa. La-
wan maju selangkah, bisa buntung kepalanya ditebas
dengan pedang yang terbuat dari kaca kristal itu.
Dirgayana semakin marah melihat Rara Wulan
bermanja kepada pemuda yang belum dikenalnya itu.
Ia segera berseru dengan wajah merah.
"Wulan, menyingkirlah dari kecoa busuk itu!
Percuma saja kau mengandalkan pemuda itu. Belum-
belum ia sudah ketakutan menghadapiku. Lihat saja,
tubuhnya sampai berkeringat begitu!"
"Ini bukan keringat, ini karena guyuran air ter-
jun, Goblok!" ujar Soka kehilangan wibawanya sesaat,
tampak konyolnya sedikit.
"Iya. Ini bukan keringat,” timpal Rara Wulan.
"Tak mungkin pemuda segagah ini belum-belum sudah
berkeringat. Dia cuma mengeluarkan peluh terlalu ba-
nyak karena...."
"Itu sama saja berkeringat!" bisik Soka tak se-
tuju.
"Maksudku, kau pasti menderita lemah jantung
sehingga sering keluarkan peluh tanpa disebabkan ra-
sa takut atau kerja keras."
"Ini air, bukan keringat!" Soka mulai ngotot
Dirgayana membentak, "Persetan air atau ke-
ringat, yang penting kau harus segera menyingkir dan
jangan dekati istriku lagi!"
Soka Pura selipkan pedangnya di pinggang ka-
nan. Sleeep...! Lalu ia berbisik kepada Rara Wulan,
"Lepaskan genggaman mu, biar aku bebas bergerak!"
"Ya, ya... tapi... tapi lindungi aku, ya?"
"Tentu. Aku akan melindungi gadis cantik se-
pertimu selama kau membutuhkan perlindungan ku.
Jangankan hanya lelaki macam dia, lelaki yang tak
macam-macam pun aku berani menghadapinya!"
"Kalau lelaki tak macam-macam untuk apa di-
hadapi, berarti dia tak bersalah!" gerutu Rara Wulan
dengan wajah masih dibayangi ketegangan.
Setelah genggaman kedua tangan si gadis dile-
paskan, Soka Pura pun maju satu langkah dan me-
nuding Dirgayana yang masih memegangi pedangnya
dan siap ditebaskan ke arah lawan.
"Hei, beruang dikebiri... jangan mengaku-aku
sebagai suami gadis ini! Aku dengar sendiri dari atas
sana, kau minta dilayani gadis ini, jika tidak kau akan
membunuhnya! Apakah itu sikap seorang suami?
Hmm, tidak! itu sikap seorang pemerkosa licik!"
"Itu urusanku. Apa hakmu ikut campur uru-
sanku?!" sentak Dirgayana.
"Sungguh tak seimbang, pemuda gagah bertu-
buh kekar sepertimu hendak melawan gadis cantik
yang imut-imut seperti ini! Jika kau merasa mampu
membunuh dengan pedangmu, lawanlah aku!"
"Ya, betul! Kalau berani lawan pemuda tampan
ini!" timpal Rara Wulan dengan lagak menantang,
membanggakan Soka Pura. Hai itu membuat Dirgaya-
na semakin berang, hatinya bagai dibakar memakai
delapan puluh obor. Panas sekali.
Dirgayana pun menggeram, "Bangsat tengik
kau! Terimalah pedang pencabut nyawaku ini!
Hiaaaah...!"
Dirgayana menebaskan pedangnya ke samping,
tapi pedang itu segera meliuk dan jadi menghujam ke
dada Soka Pura. Suuut...! Soka Pura melompat miring,
pedang itu lolos dari sasaran. Kaki Soka segera me-
nendang siku-lengan yang memegangi pedang itu. Bet!
Plook...!
"Aaaow...!" Dirgayana memekik kesakitan. Ten-
dangan berisi tenaga dalam telah kenai sikunya, tulang
siku bagaikan remuk seketika. Tak heran jika gengga-
man tangan pun menjadi kendor dan pedang itu jatuh
ke tanah setelah mencelat ke udara dan melayang-
layang sesaat.
Menyadari tangannya sudah tidak memegang
pedang lagi, Dirgayana segera memutar tubuhnya dan
melayangkan tendangan kipasnya dengan cepat.
Wees...!
Plak...! Tangan Soka menahan tendangan itu,
kemudian tangan yang satu segera menghantam ke
ulu hati Dirgayana dengan gerakan sangat cepat. Bet!
Dirgayana berusaha mengelak tapi justru terhantam
tulang rusuknya. Praaak!
"Ouhk...!" Tulang rusuk itu terasa remuk juga.
Sakitnya terasa dari kepala sampai ujung kaki. Dirgayana sempat terbungkuk sesaat kala menahan rasa
sakit. Kesempatan itu digunakan oleh Soka untuk so-
dokkan lututnya ke atas sambil menjambak rambut
Dirgayana dan menyentakkan kepala itu ke bawah
dengan kuat. Cproot...!
"Ouuuhff...!" Dirgayana meraung lagi. Kini mu-
lutnya berdarah karena diadu dengan lutut Soka Pura.
Bibirnya pecah membentur gigi. Dirgayana limbung, la-
lu dengan melompat pendek, kaki Soka menendang ke
atas. Bet! Duhk!
"Aakh...!" Dirgayana memekik lagi karena da-
gunya menjadi sasaran kaki Soka cukup keras, aki-
batnya darah makin membanjir dari mulut Dirgayana.
Pemuda itu pun jatuh terbanting tepat di depan pe-
dangnya.
"Bagus. Hajar lagi!" seru Rara Wulan dengan
tangannya ikut memukul-mukul penuh kebencian.
"Awas, dia mau ambil pedangnya! Gencet punggung-
nya. Hajar terus! Hajar sampai sekarat!"
Soka Pura melangkah pelan dekati Dirgayana
saat Dirgayana sudah berhasil menyambar pedangnya.
Tiba-tiba ia berbalik arah sambil berlutut satu kaki, la-
lu pedangnya di sambetkan ke arah kaki Soka. Wees...!
Wuuut! Soka Pura lompat ke atas. Pedang itu tak kenai
sasaran lagi.
"Bagus! Awas turunnya!" seru Rara Wulan
memberikan semangat.
Dirgayana segera bangkit berdiri sambil menu-
sukkan pedangnya ke atas, sasarannya adalah tubuh
Soka Pura yang sedang bergerak turun. Suuuut...! Tapi
ujung pedang itu justru digunakan sebagai tempat pi-
jakan sekejap bagi kaki Soka Pura. Dengan bantuan
ilmu peringan tubuhnya, kaki itu tak terluka saat me-
nyentuh ujung pedang. Dees...! Lalu tubuh Soka Pura
bersalto di udara dan segera mendarat di samping Rara Wulan. Jleeg...!
"Hebat, hebat! Teruskan perjuangan mu!" Rara
Wulan memberi semangat sambil menepuk-nepuk
punggung Soka dan lakukan lonjakan-lonjakan kecil
sebagai ungkapan kegeramannya.
"Habis riwayatmu, Kecoa Busuk! Heeeah...!"
Dirgayana berteriak keras-keras. Tangan kirinya me-
nyentak ke depan dan seberkas sinar kuning panjang
melesat dari telapak tangan itu. Claaap...!
"Awas, petir kuning!" seru Rara Wulan sambil
berlari ke pohon.
Soka Pura tidak bergeser dari tempatnya na-
mun justru sentakkan tangannya dan seberkas sinar
merah bagaikan piring berputar memercikkan bunga
api segera keluar dan menghantam sinar kuning terse-
but. Claap...!
Blaaarrr...!
Jurus 'Mata Bumi' digunakan Soka untuk le-
dakkan sinar kuning itu. Ternyata gelombang leda-
kannya sangat kuat, lebih banyak menyentak ke arah
Dirgayana karena jarak ledakan itu lebih dekat ke Dir-
gayana daripada ke Soka Pura. Akibatnya, Dirgayana
terlempar kuat-kuat bagaikan terbang dihembus ba-
dai. Tubuhnya membentur pohon keras-keras.
Brrukkkk. "Akhh...!"
Dirgayana memekik pendek dalam keadaan
terkapar di bawah pohon. Sekujur tubuhnya terasa
sakit dan panas. Kulit tubuhnya yang coklat tampak
matang, berwarna merah seperti kepiting rebus. Ge-
lombang ledakan itu menebarkan hawa panas yang
menerpa tubuh Dirgayana. Seakan tubuh itu tersiram
air panas yang baru saja mendidih. ia mengerang ke-
sakitan sambil berusaha untuk berdiri dengan mem-
pertahankan pedangnya di tangan kanan.
"Biadab kau, Kecoa Setan!" geram Dirgayana
sambil terhuyung-huyung. Nafasnya ngos-ngosan den-
gan wajah menyeringai menyedihkan.
"Sekarang aku memang bisa kau perlakukan
sekejam ini. Tapi ingat... suatu saat pasti kita akan
bertemu lagi dan mengadu nyawa setuntas mungkin.
Kau atau aku yang mati lebih dulu!"
"Kau saja...!" sahut Rara Wulan. Wajahnya
pancarkan kebencian yang dalam.
"Ingat, kalian berdua akan mati! Sebentar lagi
kalian berdua mati!" setelah berseru demikian, Dir-
gayana segera melarikan diri dalam gerakan limbung,
bahkan sempat tersentak nyaris jatuh tersungkur ka-
rena kakinya terantuk gundukan tanah seperti batu
itu.
"Hei, dia melarikan diri! Lihat, dia melarikan di-
ri! Ayo, kejar...! Kejar dia, jangan takut! Ayooo,..!" cecar
Rara Wulan sambil mendorong punggung Soka, mem-
buat pemuda itu tersentak-sentak.
"Kejar dia! Jangan biarkan dia lari, nanti akan
da tang lagi dan bikin penyakit lagi! Ayo, kejaaar...!"
"Brisik!" bentak Soka melepas kekesalan ha-
tinya Gadis itu diam seketika, bahkan tampak murung
pan takut. Soka Pura cepat-cepat turunkan emosinya,
mulai bersikap lembut kembali.
"Maaf, aku tak bermaksud membentak mu. Aku
sengaja mengeraskan suaraku agar didengar olehnya
dan membuatnya kaget, lalu berlari semakin ngibrit."
"Tapi... tapi mengapa kau tidak mengejar-
nya?!"ujar Rara Wulan bernada manja dengan wajah
sengaja cemberut.
"Dia sudah melarikan diri, itu pertanda dia su-
dah kalah. Kita tak boleh menekan orang yang sudah
mengaku kalah, walau di luarnya masih berkoar men-
gumbar ancaman. Tapi sikapnya yang melarikan diri
sudah merupakan pengakuan tak langsung bahwa dia
tak mampu mengungguli ku."
"Tapi kalau dia datang lagi dan ingin memper-
kosaku, bagaimana?"
"Tidak mungkin," jawab Soka sambil sungging-
kan senyum menawan.
"Mungkin saja. Tujuan dia sebenarnya ingin
membunuhku. Sebelum aku dibunuhnya, lebih dulu
akan dinikmati sebagai pemuas gairahnya. Aku tahu,
Dirgayana itu manusia licik dan memuakkan. Kalau
aku sedang makan, lalu melihat dia, pasti aku muntah
seketika itu juga. Aku benci sama dia. Aku muak seka-
li! Aku merasa lebih baik melihat bangkai kodok dari-
pada melihat tampangnya! Sumpah."
Soka Pura tertawa kalem walau hatinya geli
mendengar gadis itu nyerocos dengan lagak manjanya.
Bibirnya yang mungil dan ranum itu tampak semakin
indah dan menggemaskan jika dipakai untuk nyerocos
seperti tadi. Hati Soka ingin sekali menggigit bibir itu
dengan gemasnya.
"Sebenarnya, mengapa Dirgayana ingin mem-
bunuhmu, Rara Wulan?"
"Lho, kok situ tahu namaku?" Rara Wulan ter-
perangah, tapi hatinya menyimpan debar-debar indah
dan ingin melonjak manakala namanya disebutkan
oleh pemuda tampan bertubuh basah kuyup itu. "Tadi
saat Dirgayana ingin menangkapmu, kudengar ia me-
manggilmu dengan nama Rara Wulan. Bukankah itu
namamu?"
"Memang. Tapi... tapi aku belum tahu nama-
mu? sambil gadis itu sunggingkan senyum malu-malu
kucing, walaupun ia tampak sangat lebih cantik dari-
pada seekor kucing yang tersenyum.
"Namaku... Soka Pura," ujar Pendekar Kembar
bungsu.
"Ih, nama kok Soka-Pura-pura... berarti suka
bohong, ya?"
"Puranya hanya satu. Soka-Pura. Titik."
"Ooo... Soka Pura. Hmmm... bagus sekali na-
mamu itu, ya? Sama dengan orangnya," puji si gadis
berkepang dua sambil tundukkan kepala dan sung-
gingkan senyum malu-malu macan. Bukan malu-malu
kucing lagi.
Pemuda itu kian berdebar-debar melihat se-
nyum bertahi lalat kecil di bibir bawahnya itu. Rasa
kagum terhadap kecantikan Rara Wulan kian men-
gembang, menimbulkan rasa gemas dan ingin mencu-
bit bibir itu. Namun Soka Pura berlagak tetap kalem-
kalem saja, karena ia yakin gadis itu juga merasakan
hal yang sama dengan apa yang ada dalam hatinya.
Berbunga-bunga.
"Rara Wulan, kau belum menjawab perta-
nyaanku yang tadi."
"Hmmm... yang mana, ya?"
"Mengapa kau mau dibunuh oleh Dirgayana?"
"O, itu pasti pekerjaan si Bintari Ayu. Pasti dia
di suruh oleh Bintari Ayu dengan upah besar, sehingga
ia tega membunuhku."
"Siapa Bintari Ayu itu?!"
"Perempuan liar!" jawab Rara Wulan dengan ke-
tus dan memancarkan perasaan bencinya kepada Bin-
tari Ayu. Agaknya gadis itu tak mau jelaskan secara
lengkap siapa Bintari Ayu karena ada rasa benci dan
permusuhan dalam hatinya. Bahkan mengucapkan
nama Bintari Ayu tampaknya muak sekali dan tak in-
gin berulang-ulang. Karena itu, Soka Pura pun segera
menyingkirkan rasa ingin tahunya tentang Bintari Ayu.
"Mengapa kau berada di hutan sendirian begini,
Rara Wulan?" Soka alihkan pembicaraan agar Rara
Wulan tak cemberut terus.
"Aku ingin pergi ke rumah bibiku. Aku mau
menetap di sana."
"Di mana rumah bibimu itu?"
"Di Desa Teganya. Bibi angkatku tinggal di sa-
na."
Soka Pura kerutkan dahi, ia pernah melewati
desa itu dalam perjalanan mencari Pedang Tangan Ma-
laikat itu, dan ia tahu letak desa itu sangat jauh dari
tempatnya sekarang berada, (Baca serial Pendekar
Kembar dalam episode: "Gua Mulut Naga"). Terasa
janggal bagi seorang gadis jelita berpakaian indah den-
gan perhiasan lengkap pergi sendirian ke Desa Te-
ganya yang jauh itu.
"Aku tahu di mana Desa Teganya berada, dan
itu sangat jauh, Wulan. Mengapa kau pergi sendirian
ke sana?"
"Aku dengan pelayanku, tapi dia melarikan diri
setelah dihajar oleh Dirgayana. Entah lari karena takut
atau mencari bantuan, dia tak pamit padaku. Tapi se-
kalipun nantinya tanpa dia, aku tetap akan ke Desa
Teganya."
"Tak baik kau pergi sendirian. Bagaimana jika
ku antarkan?"
Rara Wulan menatap dengan pandangan berbi-
nar-binar. Hatinya kian bertaburan bunga indah saat
mendengar tawaran Soka Pura. Pemuda itu ditatapnya
tanpa berkedip dengan senyum manis menggemaskan
hati setiap lelaki. Namun dalam hati Soka masih ber-
tanya-tanya, siapa gadis itu sebenarnya.
*
* *
2
KECANTIKAN Rara Wulan membuat Soka lupa
akan tugasnya; semadi di Gerojogan Sewu. Ia menjadi
tertarik untuk mengantarkan Rara Wulan ke Desa Te-
ganya yang seluruh penduduknya mempunyai kelebi-
han pada anggota tubuh; jari tangan sebelas, lubang
hidung satu, alis mata empat dan sebagainya.
"Ilmu 'Waskita Indera' bisa kudapatkan di lain
waktu, toh tidak bisa dicuri orang. Tapi tentang gadis
ini, ooh... kesempatan emas ini tak boleh ku sia-
siakan. Salah-salah Rara Wulan bisa disambar pemu-
da lain, tahu-tahu aku dapat jandanya, kan perih ka-
lau begitu?!" pikirnya sambil melangkah mendampingi
gadis berkepang dua itu.
Rara Wulan sendiri tidak pedulikan lagi tentang
pelayannya yang kabur setelah babak belur dihajar
Dirgayana. Pikirnya, "Sekarang aku sudah mendapat
pendamping yang tangguh, pengawal yang gagah per-
kasa, dan mendebarkan hatiku senantiasa. Untuk apa
aku takut lagi pergi ke Desa Teganya? Bersama Soka
Pura hatiku merasa aman dan perjalanan menjadi in-
dah. Hmm...! Pemuda kok gantengnya bukan main?!
Moga-moga jangan diserobot gadis lain!"
Sambil melangkah, Soka sempatkan diri men-
gadakan pendekatan secara pribadi, di antaranya me-
nanyakan tentang asal-usul si gadis berkepang dua
itu.
"Aku berasal dari tempat yang jauh," jawab Ra-
ra Wulan seakan masih belum mau terbuka secara
blak-blakan, karena ia pun ingin mengetahui siapa
Soka sebenarnya.
Lanjut Rara Wulan lagi, "Aku sudah melakukan
perjalanan selama satu bulan lebih beberapa hari."
"Oh, lama sekali?"
"Lihat saja, perhiasan ku sampai menipis kare-
na...."
"Dirampok orang di perjalanan?"
"Karena kujual buat makan saban harinya!"
ceplos Rara Wulan tanpa malu-malu. Ia pun tak me-
nampakkan rasa sesalnya. Justru memperlihatkan ke-
sungguhannya dalam bepergian menuju Desa Teganya
sampai dibela-belain jual perhiasan satu-persatu.
"Mengapa kau meninggalkan keluargamu, Rara
Wulan. Sebab dugaanku kau bukan dari keluarga
miskin. Setidaknya kau anak seorang saudagar kaya."
"Memang. Orang tuaku orang kaya. Tapi aku
tak betah berada di lingkungan keluarga yang kaya."
"Apa alasannya?!"
"Aku bosan jadi anak orang kaya. Aku ingin
merasakan hidup miskin itu seperti apa rasanya. Me-
nahan lapar itu bagaimana sedihnya. Tak punya teman
itu bagaimana rasanya. Tidur di hutan itu bagaimana
menderitanya. Dan semua itu aku yakin akan membu-
atku mengerti apa makna hidup dan kehidupan."
"Hebat sekali cara berpikir mu," ujar Soka Pura
dengan rasa kagum setulus hati. "Jarang sekali anak
orang kaya punya pemikiran seperti itu. Kau satu sa-
tunya gadis kaya yang mau ikut menderita dengan ke-
hidupan para kaum hina papa, para pengemis, dan...
aku yakin itu akan membuatmu semakin cepat dewa-
sa. Dan kalau sudah cepat dewasa tentunya akan ce-
pat menikah. Kalau sudah menikah kau akan cepat
punya anak. Kalau sudah punya anak...."
Langkah gadis itu sengaja dihentikan sambil
tangannya mencekal lengan Soka Pura. Tindakan itu
membuat Soka Pura menatap nanap dengan dahi sedi-
kit berkerut tanda tak mengerti maksud Rara Wulan.
"Jangan bicara soal pernikahan," ujar Rara Wulan lirih sekali.
"Mengapa kau tak mau bicara soal pernika-
han?"
"Menyakitkan," sambil gadis itu lemparkan
pandangan matanya ke arah lain. "Pernikahan atau
perkawinan sesuatu yang membuatku muak dan me-
nyakitkan. Aku tak mau mendengarnya. Aku ingin kita
bicara tentang keindahan saja supaya perjalanan kita
tak terasa melelahkan."
Soka Pura hanya membatin, "O, sekarang aku
tahu! Dia pasti gadis yang patah hati karena rencana
perkawinannya gagal. Lalu ia pergi dari rumahnya un-
tuk melupakan luka di hatinya itu. Hmmm... baiklah,
aku tak akan bicara tentang hal-hal yang membuatnya
sedih."
Rara Wulan sengaja hentikan langkah agak la-
ma, karena pemandangan di sekitarnya cukup indah
dan nyaman. Pepohonan yang tumbuh tak terlalu ra-
pat, namun mempunyai dedaunan yang rindang den-
gan dahan-dahan besar yang meliuk bagai mempunyai
seni keindahan tersendiri. Angin semilir yang berhem-
bus membuat hati Rara Wulan bagai semakin dibuai
oleh kebahagiaan yang sejak tadi menaburkan bunga-
bunga indah, terutama jika sedang memandang se-
nyuman Soka.
Gadis itu sengaja duduk dl atas sebuah batu
setinggi pinggul yang ada di bawah pohon rindang. So-
ka Pura tak berani memaksa gadis itu untuk lanjutkan
langkah. Ia bahkan bersikap memanjakan si gadis
dengan kesabaran yang dipaksakan. Sebab Soka tahu,
gadis itu bukan hanya gadis yang cantik dan bermata
bundar bening menyejukkan hati, namun termasuk
juga seorang gadis yang manja dan selalu menuntut
perhatian lembut.
"Kau tidak marah kalau aku beristirahat di sini
beberapa saat?"
Soka Pura menggeleng. "Hanya orang-orang bo-
doh yang mau marah kepadamu."
"Untung kau orang pintar, ya?" ujar si gadis
sambil tersenyum-senyum. Dalam senyumnya selalu
menghadirkan lesung pipit yang sangat disenangi oleh
Soka Pura. Karenanya, Soka tak bosan-bosannya me-
mandang gadis berjubah merah mengkilap dengan un-
taian kalung emas berbatuan intan di lehernya.
"Kau sering menikmati suasana indah dan
nyaman seperti ini, Soka?"
"Baru sekali ini," jawab Soka. "Biasanya yang
ku nikmati adalah pemandangan berkabut dan udara
dingin, bukan teduh seperti saat ini. Maklum, aku di-
besarkan di puncak gunung."
"O, ya? Gunung apa itu namanya?"
"Gunung Merana."
"Aduh, kasihan. Kau pasti pemuda yang hidup-
nya merana."
"Memang. Ayah dan ibuku sudah meninggal
beberapa waktu yang lalu."
"Oh, kasihan kau, Soka. Duduklah sin!... tak
perlu takut padaku. Kau kuizinkan duduk di dekat ku,
asal jangan pemuda lain."
Soka Pura sunggingkan senyum indah lagi
sambil duduk di samping si gadis berhidung bangir. Si
gadis mengusap lengan Soka dengan lembut sambil
berkata dalam nada suara lirih.
"Hatimu pasti selalu merana sepanjang hari."
"Benar. Kau pandai merasakan hati seseorang
rupanya."
"Tentu, karena hidupku pun selalu merana se-
panjang hari."
"Bukankah kau punya seorang kekasih?" pancing Soka.
"Dulu memang punya, tapi... putus di tengah
jalan. Karena yang ku punyai ternyata bukan seorang
kekasih, melainkan seorang pengkhianat! Aku benci
sekali dengan pemuda itu! Aku muntah kalau mem-
bayangkan wajahnya. Sekarang pun perutku merasa
mual karena membayangkan wajahnya!"
"Kalau begitu bayangkan saja wajahku."
Rara Wulan memandangi lekat-lekat, lalu sung-
gingkan senyum ceria.
"Rasa muntah ku sudah hilang."
"Kenapa secepat itu?"
"Karena aku sudah memandang wajahmu."
"Kalau begitu... wajahku adalah obat anti mun-
tah, ya?" ujar Soka dengan hati dongkol. Rara Wulan
tertawa cekikikan sambil mencubit lengan Soka.
"Jangan marah, aku hanya bercanda kok!"
"Tidak. Aku tidak marah. Bukankah tadi sudah
ku katakan, hanya orang bodoh yang mau marah ke-
pada gadis secantik dirimu, Wulan."
"Benarkah aku cantik?"
"Biar buntung lidah ku kalau aku bohong pa-
damu. Kau memang cantik bagiku!"
"Kau suka dengan kecantikanku?" tanyanya
bernada manja.
"Suka sekali. Sangat suka sekali!" Soka meya-
kinkan pengakuannya.
"Kalau kau suka...," matanya melirik manja."...
tentunya kau tidak keberatan jika memanjat pohon ke-
lapa yang ada di sebelah sana itu, bukan?"
"Lho, apa hubungannya antara kecantikan
dengan memanjat pohon kelapa?"
Rara Wulan merengek sambil bergelendot di
pundak Soka, "Aku haus, Soka...."
"Ooo... kau haus? Butuh minum?"
"He, eh...! Aku mau minum air kelapa muda,"
rengeknya lagi.
"Baik, aku akan memetikkan beberapa buah
kelapa muda untukmu!"
"Aduh senangnya hatiku!" Rara Wulan melon-
jak girang. "Petiklah yang banyak buat bekal di perja-
lanan nanti, ya?"
"Baik, baik...! Akan ku petikkan sebanyak yang
kau butuhkan."
"Iya, ya... cepat gih!" Rara Wulan tak sabar wa-
lau tetap kegirangan.
Tiba-tiba mereka mendengar suara lain menya-
hut, "Tak perlu repot-repot memanjat. Biar aku yang
memetikkan buah kelapa untukmu, Rara Wulan!"
Tentu saja mereka terkejut, tapi tak sampai
pingsan. Mereka segera berpaling dan menemukan se-
raut wajah muda berusia sekitar dua puluh lima ta-
hun. Seraut wajah muda berkumis lebat namun berhi-
dung mancung itu milik seorang pemuda yang menge-
nakan rompi kuning dan celana kuning pula. Pemuda
itu mempunyai rambut panjang yang diikat ke bela-
kang seperti ekor kuda. Badannya gagah, kekar, tegap,
berdada bidang. Di pinggangnya melingkar sabuk hi-
tam. Di sabuk hitam itu terselip sebilah kapak berga-
gang coklat.
Soka dan Rara Wulan memandang Dengan pe-
rasaan heran. Mereka agaknya belum saling kenal.
Masih merasa asing dengan wajah pemuda berkulit hi-
tam namun berwajah ganteng itu.
"Siapa kau? Aku tak mengenai dirimu!" ucap
Rara Wulan dengan ketus.
"Aku bernama Lodayu, dari Perguruan Gagak
Putih!"
"Dasar bodoh! Gagak kok putih?! Gagak itu
berwarna hitam. Kau pasti belum pernah melihat bu-
rung gagak, atau mungkin kau buta warna?!" ketus
Rara Wulan dengan berani, sebab ia merasa ada dang
pembela di sampingnya.
"Hah, hah, hah, hah...! itu nama perguruan,
Rara
Wulan. Jangan dipersoalkan lagi. Yang penting,
kau ingin minum air kelapa muda, bukan? Nah, akan
ku petikkan beberapa buah kelapa muda untukmu.
Lihat caraku memetikkan buah kelapa itu...." Lodayu
menuding pohon kelapa yang berada dalam jarak se-
puluh langkah dari tempat Soka dan Rara Wulan be-
rada. Lodayu segera bergegas dekati pohon kelapa ber-
buah banyak itu. Ia memandang beberapa saat seper-
tinya sedang memilih mana yang muda dari sekian ba-
nyak buah kelapa itu. Beberapa saat kemudian, Lo-
dayu tempelkan telinganya ke batang pohon kelapa.
"Sedang apa dia?!" bisik Soka kepada Rara Wu-
lan.
"Entah. Mungkin sedang mendengarkan suara
tembang yang dinyanyikan oleh pohon kelapa itu," Ra-
ra Wulan balas berbisik.
"Jangan-jangan telinganya gatal dan digaruk-
nya pakai batang kelapa begitu?! Hmm... malah seperti
kambing sedang kudisan. Menggaruknya pakai batang
pohon kelapa atau benda lainnya," Soka Pura tertawa
dalam gumam yang pelan sambil matanya masih
memperhatikan tingkah aneh si Lodayu.
Beberapa saat kemudian, Lodayu mundur satu
langkah. Kedua tangannya bergerak ke samping, lalu
ke atas, setelah di atas kepala, tangan kanannya turun
ke bawah sampai di dada, matanya terpejam sesaat.
Kedua tangan itu mengeras hingga tampak bergetar.
Lalu tiba-tiba tangan kanannya menghantamkan tela-
paknya ke batang pohon kelapa itu. Buuuhk...! Sua-
ranya mantap. Kemudian ia segera mundur, menjauhi
pohon kelapa itu.
Soka Pura dan Rara Wulan masih memandang
heran ke arah pohon kelapa dan Lodayu secara ber-
ganti-gantian. Mereka tak mengerti apa maksud Lo-
dayu bertingkah seperti itu, sehingga Rara Wulan ak-
hirnya bersuara dengan ketus juga.
"Apa maksudmu bertingkah begitu? Mau me-
nunjukkan padaku bahwa kau gila?".
Lodayu memandang dalam senyum yang mem-
buat kesal hati Soka Pura, Namun sebelum Soka Pura
sempat berkata, tiba-tiba sebuah kelapa jatuh dari
atas pohon itu. Bluuuk...! Menyusui kemudian empat
buah kelapa jatuh sendiri dari atas pohon tersebut.
Bluk, bluk, bluk, bluk...!
Soka Pura dan Rara Wulan terbengong. Belum
selesai mereka terbengong, Lodayu sudah memungut
satu buah kelapa, kemudian bagian atas buah kelapa
itu dipangkas memakai kapaknya. Crasss...!
"Silakan meminumnya, Permaisuri ku!" ujarnya
dengan berani sambil sodorkan kelapa yang telah ter-
kupas bagian atasnya. Ternyata kelapa itu memang ke-
lapa yang muda dan airnya tampak menyegarkan.
"Hanya ada lima kelapa yang muda dari sekian
banyak buah kelapa di atas sana, Rara Wulan. Sean-
dainya ada sepuluh yang muda dan bagus, akan ku
ambilkan kesepuluh kelapa itu," tambah Lodayu.
Rupanya Lodayu, murid Perguruan Gagak Pu-
tih itu, unjuk kebolehan di depan Rara Wulan untuk
menyaingi Soka Pura. Rara Wulan menelan ludah begi-
tu melihat air kelapa muda yang menyejukkan itu. Lo-
dayu menawarkan lagi kepada Rara Wulan dengan se-
makin dekat, jaraknya hanya satu jangkauan.
"Silakan minum, biar dahaga mu hilang,
Sayangku!"
Rara Wulan ingin meraih buah kelapa dari tan-
gan Lodayu, tetapi Soka segera menahan tangan Rara
Wulan, mencegah sambil berkata terang-terangan.
"Jangan diminum! Siapa tahu mata kapaknya
yang dipakai memangkas kelapa itu menaburkan ra-
cun di dalam air kelapa tersebut!"
Lodayu mulai tampak tersinggung. Tapi ia sem-
bunyikan rasa dongkolnya itu dengan senyum sinis
dalam kata selanjutnya.
"Rara Wulan, sayang sekali kau bersama orang
bodoh yang tak bisa membedakan mana minuman be-
racun dan mana yang tidak beracun. Bahkan ia tak
mungkin bisa memetikkan buah kelapa muda untuk-
mu tanpa harus memanjatnya?!"
"Siapa bilang aku tak bisa memetik buah kela-
pa tanpa harus memanjat?!" geram Soka Pura mulai
tampakkan kejengkelannya.
"O, jadi kau merasa bisa? Kalau begitu, cobalah
lakukan! Petiklah buah kelapa muda di pohon yang
sebelah sana itu tanpa harus memanjatnya," kata Lo-
dayu seakan menantang adu kesaktian dengan Soka
Pura.
"Siapa bilang dia tak bisa?! Pasti bisa!" ujar Ra-
ra Wulan.
Soka sendiri sebenarnya bingung, tak tahu ca-
ranya memetik buah kelapa tanpa harus memanjat-
nya. Tapi berhubung Rara Wulan sudah telanjur ber-
kata begitu, seakan yakin betul bahwa Soka pun bisa
lakukan seperti Lodayu. mau tak mau Soka segera
mendekati pohon kelapa yang satunya.
Empat langkah sebelum dekat dengan pohon
kelapa itu, tiba-tiba kedua kaki Soka merendah, kedua
tangannya disodokkan ke depan dalam keadaan meng-
genggam. Jurus 'Tangan Batu' dilepaskan oleh Soka
Pura. Jurus itu mengeluarkan tenaga dalam besar, se-
perti sebongkah batu sebesar kerbau melesat dan
menghantam pohon kelapa tersebut. Wuuut, praaak...!
Brrrrukk...!
"Ooh...?!" Rara Wulan terpekik kaget melihat
pohon kelapa itu tumbang. Buah kelapa yang ada di
atas pohon tersebut berhamburan ke mana-mana, ada
pula yang mental ke samping Soka, ada juga yang
menggelinding ke depan Rara Wulan. Sedangkan Lo-
dayu hanya diam sambil geleng-geleng kepala.
Soka tak peduli pemuda berompi kuning itu ge-
leng-geleng kepala. Ia segera memilih buah kelapa yang
muda dengan diangkat satu-persatu dan dikocok-
kocokkan di dekat telinganya. Dalam beberapa waktu
terpilih enam kelapa muda yang layak untuk diminum
airnya. Keenam buah kelapa itu ditaruh dl depan Rara
Wulan yang berjarak tiga langkah di samping kiri Lo-
dayu.
Brrruk...!
"Ada enam yang muda dan airnya segar jika
diminum!" kata Soka kepada Rara Wulan dengan ter-
senyum menyindir Lodayu. "Apakah kau tadi meli-
hatku memanjat pohon kelapa, Rara Wulan."
"Tid... tidak... tidak melihatnya!" jawab Rara
Wulan dengan menggeragap karena menyangka Soka
marah dan ia takut melihat kemarahan Soka yang bisa
menumbangkan pohon secara mengerikan itu.
Soka pun memandang Lodayu sambil terse-
nyum sinis.
"Tanpa memanjat pohon-nya, bukan?" kata So-
ka.
"Iya. Tapi itu namanya merusak alam. Pria se-
macam kau kelak jika beristri akan merusak istri dan
anak-anaknya untuk mencari nama di depan para ke-
rabatnya!" ujar Lodayu mengecam tindakan Soka.
"Lalu apa maksudmu sebenarnya?!" tanya Soka
dengan nada menantang.
"Aku hanya ingin tunjukkan kepada Rara Wu
lan bahwa kau bukan lelaki yang pantas menjadi sua-
minya. Satu-satunya lelaki yang pantas menjadi sua-
minya adalah aku!"
Rara Wulan segera menyahut, "Aku tak sudi!"
"Jangan bilang tak sudi dulu, Wulan. Kau be-
lum tahu siapa aku. Kau merasa bangga di samping
pemuda yang mirip kacang panjang ini, karena kau be-
lum tahu bahwa ada pemuda yang lebih pantas kau
banggakan selain dia. Pemuda itu tak lain adalah aku!
Kare nanya, ikutlah aku pulang ke orang tuamu, Kita
akan menikah dan hidup sebagai suami-istri yang pe-
nuh kebahagiaan dan berlimpah kebanggaan."
Dengan mencibir ketus Rara Wulan menyahut,
"Apa yang dibanggakan dari pemuda berkulit hitam
mirip pantat kendil begitu?"
Soka segera menyahut, "Jangan menghina begi-
tu. Wulan. Pantat kendil tak mungkin sebesar ini. Tapi
kalau pantat gajah, mungkin sebesar ini!"
Lodayu terkesiap, wajahnya mulai semburat
merah menahan malu karena hinaan Soka yang lebih
parah dari hinaan Rara Wulan. Akhirnya Lodayu
hanya berkata dengan nada tetap kalem dan tenang.
"Barangkali kulitku memang hitam, tapi hatiku
putih bersih. Daripada lelaki berkulit putih tapi ha-
tinya busuk seperti kotoran kera? Apa enaknya?"
Soka merasa dikatakan hatinya busuk seperti
kotoran kera. Ia pun menarik napas menahan kema-
rahannya. sementara Lodayu melangkah cuek me-
mainkan sebutir kelapa dengan kakinya. Kelapa itu di-
lemparkan ke atas memakai kakinya.
Wuuutt...! Kelapa muda melayang ke atas, begi-
tu turun disambut dengan Kedua jarinya. Jruub...! Ke-
dua jari itu menembus masuk ke dalam batok kelapa
yang masih bersabut, airnya mengucur ke lengan, lalu
kelapa itu dibuang dengan satu kibasan tangan cepat.
Wees...! Bruuss...! Kelapa itu jatuh di semak-semak.
Setelah itu, Lodayu berkata kepada Rara Wulan.
"Susah payah aku mencarimu, sesuai dengan
ciri-ciri yang diberikan padaku oleh orang tuamu. Ter
nyata kau bersama penggembala kambing yang tak pa-
tut kau andalkan sebagai pelindung dirimu, Wulan.
Kuharap kau cepat sadar, siapa yang patut memba-
wamu pulang saat ini."
"Aku tak mengerti kau bicara apa, Lodayu!"
sentak
Rara Wulan. "Pergilah dan jangan ganggu ke-
damaian kami berdua!"
Soka Pura tertawa seperti orang menggumam
sambil melangkah dekati sebutir kelapa yang tergele-
tak di dekat pohon lain, ia berkata dengan suara lan-
tang agar didengar oleh Lodayu.
"Memang sulit memahami bicaranya seekor ba-
bi hutan. Kau harus belajar tentang bahasa hewan du-
lu, baru mengerti apa yang dikatakan oleh seekor babi
hutan, Wulan!"
"Kau mengatakan aku babi hutan?!" Lodayu
mulai mempertinggi nada bicaranya.
Soka cuek saja. Ia juga memainkan sebutir ke-
lapa muda dengan kakinya. Dalam satu hentakan kaki
ke tanah, kelapa muda itu tiba-tiba melesat naik ke
atas melewati batas kepalanya. Duukh, wuuut...! Begi-
tu kelapa itu bergerak turun, kedua jari tangan Soka
disentakkan ke atas dan berhasil menembus ke dalam
batok kelapa yang masih bersabut. Jrrub, bluuus ..!
Air kelapa mengalir ke lengan seperti yang dilakukan
Lodayu tadi.
Mata Pendekar Kembar bungsu segera menatap
Rara Wulan sambil sunggingkan senyum sinis yang di-
tujukan untuk Lodayu. Tiba-tiba tangan yang menu-
suk kelapa muda itu dikibaskan ke samping. Wuuus...!
Kelapa itu melayang dan membentur sebatang pohon
di balik semak-semak.
Duaaarr...!
Rara Wulan terlonjak kaget dan berlari mundur
begitu mendengar suara ledakan akibat benturan ke-
lapa dengan pohon. Kelapa itu pecah dan pohon itu
somplak separuh bagian. Rupanya tenaga dalam yang
di salurkan Soka ke jarinya ditambah lagi saat melem-
parkan buah kelapa itu, sehingga di dalam tempurung
Kelapa itu tersimpan segumpal tenaga dalam yang siap
meledak jika tersentuh benda apa pun.
Lodayu tertegun walau berlagak tetap kalem.
Soka sunggingkan senyum kemenangan yang mem-
buat dada Lodayu bergemuruh dibakar kemarahan.
Sementara itu, setelah Soka berada di samping Rara
Wulan lagi, gadis itu berkata kepada Lodayu dengan
nyeplos, tak peduli menyinggung perasaan atau tidak.
"Kau kalah hebat, Lodayu! Kelapa mu hanya bi-
sa jatuh di semak-semak dan mematikan ulat-ulat
yang ada di sana. Tapi kelapanya Soka bisa meledak
dan hampir saja menumbangkan pohon sebesar itu!
Hmm...!" Rara Wulan mencibir.
Ia berkata lagi sambil melengos ke arah Soka,
"Apa yang bisa diandalkan dari pemuda yang hanya
bisa menusuk kelapa dengan kedua jarinya? Paling-
paling masa depanmu kelak menjadi penjual sate!"
Soka berlagak menghardik gadis itu, "Husy! Tak
boleh bilang begitu, Wulan! Dia bisa tersinggung kalau
tidak kau jelaskan, sate yang dijualnya adalah sate
keong sawah, bukan sate kambing!"
"O, iya... maaf, maksudku tadi," masa depanmu
hanya akan menjadi penjual sate keong sawah, Lo-
dayu, yang jualannya menunggu kalau ada orang
punya gawe dan nanggap wayang kulit. Hih, hih, hih
hih...!"
Dalam dada Lodayu seperti genderang perang
berbunyi. Dar, dur, dar, dur! Seakan dada ingin mele-
dak karena menahan marah mati-matian. Hinaan itu
membuatnya ingin segera mencabut senjata dan mem-
belah kepala Soka dengan kapaknya itu. Tapi rupanya
ia masih berusaha untuk tidak menunjukkan kekasa-
rannya di depan Rara Wulan. Ia hanya menarik napas
panjang-panjang dan menahannya kuat-kuat di dada.
Rara Wulan berkata kepada Soka, "Kita te-
ruskan perjalanan kita, Soka! Aku jadi tak haus lagi
melihat orang berilmu rendah pamer kesaktian. Apa-
kah kau masih ingin mencari sumbangan untuk pe-
main kuda lumping itu, Soka?!"
"Tidak. Aku sendiri butuh sumbangan. Mak-
sudku, sumbangan cinta dan kemesraan darimu, Rara
Wulan...."
"Ah, kau bikin hatiku girang saja, Soka! Hih,
hih, hih, hih...!" Rara Wulan segera melangkah dengan
tangan merangkul pinggang Soka, kepalanya disan-
darkan di pundak Soka Pura.
Lodayu semakin tak bisa menahan kemarahan.
Ia segera melompat dan melintasi kepala Soka dan Ra-
ra Wulan. Wuuut...! Kejap berikutnya ia sudah meng-
hadang di depan langkah mereka berdua. Jleeg...!
Langkah Soka dan Rara Wulan pun terhenti. Gadis itu
berbisik kepada Soka sambil melepas rangkulannya.
"Dia mulai marah. Hati-hati, Soka... agaknya
ilmunya lebih tinggi dari si Dirgayana!"
"Berdoalah supaya dia lupa jurus-jurusnya!" bi-
sik Soka pula sambil mulai siap menghadapi amukan
Lodayu. Kini Soka Pura yang tampak tenang sekali dan
wajahnya tak segusar Lodayu.
"Kau tak bisa menghinaku begitu saja, Bekicot
pikun!" geram Lodayu. Pandangan matanya mulai
tampak tajam dan bernafsu untuk menumbangkan
Soka.
"Lalu, apa maumu sekarang, Lodayu?!"
"Kita bertarung ilmu! Kalau kau menang, kau
boleh membawa Rara Wulan pulang menghadap orang
tuanya. Tapi kalau aku yang unggul, maka kau harus
rela lepaskan Rara Wulan padaku dan akan kubawa
menghadap kepada orang tuanya!"
Rara Wulan yang geram juga segera memberi
semangat sambil mundur ke salah satu sisi, di bawah
pohon.
"Hajar saja dia, biar tak banyak mulut, Soka!
Masa' kau tak mampu menumbangkan murid pergu-
ruan burung perkutut putih?! Tunjukkan kehebatan-
mu, Soka. Biar gurunya belajar padamu!"
Semangat Soka terpompa mendengar ucapan
itu, sebaliknya, hati Lodayu semakin terasa seperti
disayat-sayat oleh ejekan tersebut. Namun ia belum
mau bergerak, karena Soka Pura masih menatapnya
tak berkedip seakan ingin mengadu kekuatan batin
melalui pandangan mata. Namun ternyata beberapa
saat kemudian suara Soka terdengar menyambut tan-
tangan Lodayu tadi.
"Kau ingin menjajal ku berapa jurus, Kawan?"
"Sekuat mu! Berapa jurus kau mampu berta-
han melawanku, akan kulayani!" jawabnya dengan su-
ara keras, menunjukkan rasa dongkolnya yang sudah
sangat besar dan menyesak di dada itu.
"Baik. Kulayani pula tantanganmu. Tapi jangan
salahkan diriku jika kau sampai cedera! Berhati-
hatilah, Kawan!"
"Jaga nyawamu agar jangan melayang di ujung
kapakku, Banci Keropos!"
Lodayu membuka jurus pertama, kuda-kuda
dengan kaki rendah yang kiri ditarik ke belakang dan
yang kanan semakin rendah. Kedua tangannya men
gembang bagai sayap seekor burung gagak raksasa
yang ingin menerjang lawan Sedangkan Soka Pura
hanya melangkah kalem mengitarinya tanpa posisi
berkuda-kuda atau siap serang seperti lawannya.
Namun baru mendapat tiga langkah ke samp-
ing, Soka Pura sudah diterjang lebih dulu oleh Lodayu
dengan gerakan benar-benar mirip seekor burung ga-
gak menyambar mangsanya. Wees...! Soka Pura hanya
melompat ke atas dan berkelebat memutar tubuh den-
gan kaki mengibas cepat. Wuuut...! Plak, plak...! Satu
pukulan Lodayu berhasil ditangkis Soka. Satu tendan-
gan Soka berhasil ditangkis Lodayu. Tak ada yang ter-
kena serangan lawannya.
“Tampar dengan kakimu lagi, Sora! Hajar terus
dia! Jangan beri kesempatan untuk menyerangmu! Iya,
habisi dia! Habisi tenaganya! Sisakan sedikit buat dia
pulang kampung nanti!" seru Rara Wulan memberi
semangat Soka.
Namun tiba-tiba ia terkejut ketika melihat ten-
dangan kaki Lodayu mengenai dada Soka Pura.
Wuuut, duuhk...!
"Heeekh...!" Soka terhuyung-huyung ke bela-
kang dengan dada terasa mau jebol akibat tendangan
bertenaga dalam. Ia dikejar Lodayu yang sepertinya tak
ingin memberi kesempatan pada Soka untuk balas
menyerang. Tendangan Lodayu datang secara berun-
tun.
Wut, wut, plaaak...! Wut, ptok, plak, wuuut...!
Soka Pura sempat terdesak karena tendangan
beruntun yang datang begitu cepat dan sukar di hin-
dari. Beberapa tangkisan Soka Pura melesat, sehingga
iganya sempat terkena tendangan satu kali. Tendangan
itu membuatnya jatuh berlutut namun segera mena-
han napas kuat-kuat mengendalikan rasa sakitnya.
Ketika Lodayu melompat dengan kapak telah di
tangan, Rara Wulan berteriak kepada Soka keras-
keras.
"Awaaas... kapaaak...! Kapaaaak...! Kapaaak...!"
Teriakannya masih terdengar terus-menerus,
padahal Soka Pura sudah berguling ke samping dan
kapak yang dihantamkan ke kepalanya itu tidak kenai
sasaran sedikit pun. Wuuus...! Kaki Soka segera me-
nyampar dengan kuat. Bet!
Plaaak...! Samparan kaki kenai betis Lodayu.
Karena samparan itu cukup kuat, maka Lodayu sem-
pat terpelanting nyaris jatuh. Soka Pura segera sen-
takkan badan dan dalam sekejap sudah berdiri tegak
menghadang lawan. Jleg!
"Serang terus! Desak dia, Soka! Desak terus!
Jangan biarkan dia melukaimu dengan kapak itu! Ayo,
maju ..! Majuuu...!"
Baru saja Soka Pura ingin maju, tiba-tiba ka-
pak itu bagaikan terbang setelah disabetkan ke arah-
nya. Weeers…! Craaak...! Rupanya mata kapak itu
mempunyai rantai panjang yang berhubungan dengan
gagangnya. Jika gagang disentakkan dengan sentakan
tertentu, maka mata kapak akan melesat sendiri na-
mun tetap terikat dengan rantai ke gagangnya.
Mata kapak itu segera melintas di depan hi-
dung Soka. Wuuut...!
Rara Wulan menjerit ngeri, "Awas, aaaaah ..!
Sejengkal lagi Soka kehilangan hidungnya yang
bangir itu. Untung ia segera menarik diri ke belakang
dengan tubuh agak melengkung. Namun dapat segera
tegak lagi. Hanya saja ia tak dapat menyerang maju
karena kapak itu sekarang diputar-putar oleh Lodayu
dan memagari tubuh pemuda berkulit hitam itu.
Wung, wung, wung, wung, wung...!
Soka Pura terdesak mundur terus, sementara
Lodayu maju dengan cepat. Soka Pura sempat berkata
dalam hatinya, "Kalau kugunakan Pedang Tangan Ma-
laikat sepertinya sia-sia! Masa' melawan orang seperti
Lodayu saja harus memakai pedang pusaka. Tapi per-
mainan jurus kapak terbangnya cukup berbahaya dan
sukar ku tembus. Hmm...! Sebaiknya kugunakan saja
jurus 'Tangan Batu' lagi!"
Wuuut...! Kedua tangan Soka menyentak ke
depan dalam keadaan menggenggam. Tenaga dalam
tanpa sinar pun melesat dalam keadaan sangat kuat
dan besar. Wuuus...! Karena keadaan Soka pada wak-
tu itu berlutut satu kaki, maka tenaga dalam itu tidak
terkena kapak terbang melainkan langsung kenai pe-
rut Lodayu dengan telak sekali. Bhaahk...!
"Aakkhg...!" Lodayu terlempar ke belakang, ja-
tuh berjungkir balik dengan kapak tersangkut-sangkut
akar pohon dan semak belukar. Gusrak, bruuus...!
"Bagus, Soka! Terus...! Hajar terus seperti tadi!
Yaa, terus...!"
"Cerewet amat burung betet yang satu itu!" ge-
ram hati Soka Pura. Namun ia segera tidak pedulikan
seruan gadis itu, karena Lodayu tampak sudah mau
bangkit lagi.
"Sebaiknya ku terjang dengan jurus 'Jalur Ba-
dai' saja!" ujar Soka dalam hatinya. Maka jurus yang
mampu membuatnya berkelebat bagaikan hembusan
badai paling cepat itu dipergunakan tanpa ragu-ragu
lagi. Wuuuzzz...!
Breeess...!
"Aaaoh...!" Lodayu terlempar keras diterjang
Soka. Ia merasa seperti diterjang badai sangat kuat.
Baru saja berusaha bangkit lagi, Soka telah menerjang
dengan jurus 'Jalur Badai'-nya. Wuuuz...! Breesss...!
Proook...! Wajah Lodayu membentur pohon
sangat keras. Mulut Lodayu mulai berdarah. Pelipisnya
juga mengucurkan darah. Namun ia masih berusaha
untuk bangkit dan ingin memutarkan kapaknya lagi.
Namun tiba-tiba ia merasa seperti diterjang badai lagi,
wuuzz...! Brrruuusss...!
"Aaaakh...!"
Wuuuuzzz...! Brrruuk...! Wuuzz...! Brrruuuss..!
Wuuuz...! Brrruk...!
"Aaakh.. !" Soka memekik sendiri, karena ter-
jangan yang terakhir itu membuatnya membentur po-
hon. Sebab pada waktu ia hendak menerjang lagi, Lo-
dayu sudah jatuh terkulai dengan lemas, tapi Soka su-
dah telanjur melesat bagaikan angin badai. Akibatnya,
jatuhnya Lodayu membuat terjangan itu tak mengenai
sasaran lawan, melainkan mengenai sebatang pohon.
"Aaaaouh, bodoh! Lawan sudah jatuh masih di-
terjang saja. Yang kau terjang itu pohon, Soka! Pohon!
Aduuuh, kok jadi bodoh amat kau ini, Soka?!"
Celoteh Rara Wulan dengan cerewetnya.
Celotehan itu tak dihiraukan Soka sebab hi-
dung Soka menjadi berdarah. Mimisan. Soka sibuk
mengusap darah di sekitar hidungnya dengan dedau-
nan. Namun ia masih mampu berdiri dalam keadaan
sedikit sempoyongan. Sedangkan Lodayu terkapar
mengerang-erang dengan wajah penuh darah, kepala
bocor dua tiga tempat.
"Oouh, aaaah... aaah... ouuhk...!" Lodayu tak
bisa bangkit. Soka Pura akhirnya mendekati lawannya,
lalu menarik tangan pemuda itu agar bisa berdiri.
"Cukup, cuuu... kup...! Jangan serang aku la-
gi!" ujar Lodayu sambil terengah-engah dan mulutnya
megap-megap seperti ikan mujair kekurangan air ta-
war. Ia menyangka Soka ingin menghantamnya dengan
kuat. Padahal Soka bermaksud membantunya berdiri
tanpa rasa dendam sedikit pun.
"Ak... aku mengaku kalah. Kau... kau unggul!
Ooh, tinggalkan aku! Bawalah gadis itu menghadap
orang tuanya! Tinggalkan aku, pergilah sana!"
"Kau terluka banyak. Kubantu mengobati lu-
kamu. Kawan!"
"Tid... tidak perlu! Kau sudah menang, aku ka-
lah. Jangan bikin aku semakin kalah dengan pengoba-
tan mu! Pergilah sana sebelum kesabaranku habis!"
Rara Wulan segera menarik tangan Soka.
"Tinggalkan saja dia! Dia sudah mengaku ka-
lah, malah mau mengancam lagi. Untuk apa ditolong!"
"Tapi dia terluka parah, Wulan. Dia perlu...."
"Tidak!" seru Lodayu dengan sisa suaranya
yang ngos-ngosan. "Pergilah kalian! Aku bisa mengoba-
ti lukaku sendiri."
"Kau yakin tak akan cedera terlalu lama?!"
"Ya, aku mampu pulihkan keadaanku! Bawalah
gadis itu, dan... selamat berbahagia! Selamat...!" Lo-
dayu mengangkat tangan, melambaikan sebagai tanda
ucapan selamatnya dan mengaku kekalahannya secara
jantan. Soka Pura yang masih sedikit terhuyung-
huyung sambil dituntun Rara Wulan itu juga men-
gangkat tangan sambil menoleh ke belakang.
"Sampai ketemu lagi, Lodayu,..!"
"Ya, ya...! Beres...!" sambil Lodayu acungkan
jempol tangannya.
Berdirinya limbung ke kiri-kanan, akhirnya ja-
tuh dengan lemas kembali setelah Soka Pura dan Rara
Wulan tak kelihatan.
Bruuuuk...!
"Aduh biyuuung...! Jurus apa yang dipakai
menghajar ku tadi...?!" keluhnya lirih di sela erangan
rasa sakitnya.
*
* *
3
MALAM hadir bersama sang rembulan. Walau-
pun tak bersinar penuh, namun cahayanya cukup
membuat bumi terasa damai, tenang, dan romantis.
Cahaya rembulan itu berkemilau melalui pantulan air
laut nan biru. Laut menjadi biru kehijauan bagai ge-
nangan limau.
Sebuah desa nelayan menjadi tempat persing-
gahan Rara Wulan dan Pendekar Kembar bungsu. Di
desa nelayan itu ada sebuah kedai, di kedai itu ada
kamar sewaan, di kamar sewaan itu ada Rara Wulan
dan Soka, di dalam Rara Wulan dan Soka ada getar-
getar cinta yang semakin lama semakin terasa me-
rayap menyentuh jiwa muda, menyalakan api gairah
dalam kemesraan.
"Tempat tidur hanya ada satu," ujar Soka.
"Ya, aku tahu. Apa maksudmu berkata begitu?"
"Di mana aku harus tidur nanti?"
"O, tentu saja di lantai."
"Di lantai?!" Soka bernada kecewa.
Rara Wulan melangkah dekati sudut ruangan.
Ia mengambil gulungan tikar 'lampit' dari pelepah
daun bakau. Tikar itu segera dijatuhkan di depan kaki
Soka Pura.
"Apa gunanya tikar ini?" ujar Rara Wulan sam-
bil tersenyum.
"Bisa juga untuk bungkus mayat," jawab Soka
menahan rasa dongkol.
"Selain itu juga bisa untuk alas tidur, bukan?"
sera ya Rara Wulan lebarkan senyum dengan tawa ge-
linya. Soka Pura menarik napas, tampak sedang me-
nahan kedongkolan hati.
"Kau keberatan jika harus tidur di tikar?"
"Tidak," jawab Soka datar dan tawar, tanpa se-
nyum seulas pun.
"Kalau kau keberatan, biarkan kau tidur di ran-
jang itu dan aku tidur di tikar ini. Aku ingin merasa-
kan bagaimana gatalnya tidur di tikar."
"O, tidak. Itu lebih parah lagi," ujar Soka dan
segera dekati gadis itu. Ditatapnya wajah cantik jelita
bermata bundar bening dan berbibir mungil ranum
menggemaskan itu. Sesaat setelah rasakan desiran in-
dah melintasi hatinya, Soka Pura segera ucapkan kata
dengan nada lembut.
"Kau tidak boleh tidur di tikar. Kau harus tidur
di ranjang berkasur itu. Biarlah aku yang tidur di ti-
kar."
"Kau benar-benar bersedia? Tidak kecewa tidur
di tikar?"
"Tidak," tegas Soka. "Tikarnya akan ku gelar di
atas ranjang berkasur itu."
"Hah...?! Sama saja kau dan aku tidur seran-
jang itu, Soka? Ah, kau...!" Rara Wulan tertawa geli ke-
tika tahu kalimat itu hanya sebagai canda belaka. Ia
memukul pelan dada Soka Pura, lalu tangannya di-
tangkap oleh Soka dan digenggam dengan lembut. Jika
gadis itu ingin menarik tangannya, bisa saja. Tapi ter-
nyata si gadis tak mau menarik tangannya dan merasa
senang berada dalam genggaman si pemuda tampan
bermata teduh itu.
"Apakah kau keberatan jika kita tidur seran-
jang?" tanya Soka memancing.
"Keberatan," jawab Rara Wulan tegas.
"Mengapa keberatan?"
"Maksudku... maksudku... ranjangnya yang ke-
beratan menerima tubuh kita berdua. Lihat saja, kaki
ranjang kayu itu sudah rapuh sebelah kiri. Apa jadinya
jika kita tidur di atasnya bersama-sama?"
"Tentu saja kita tak akan sempat tidur nye-
nyak, mungkin sampai pagi akan melek dan saling...
saling..."
"Saling apa maksudmu?!" sergah Rara Wulan.
"Saling mendongeng tentang Kancil nyolong ke-
timun," sambil Soka lebarkan senyum candanya. Si
gadis terkikik pelan.
"Sekarang Kancil sudah tidak mau nyolong ke-
timun lagi."
"Lalu nyolong apa?"
"Nyolong hati," jawab Rara Wulan sambil mena-
tap dalam kelembutan.
"Hati siapa yang dicolong?"
"Hatiku...," suara gadis itu makin pelan, ia me-
nunduk.
"Kalau begitu kau menganggapku sebagai see-
kor kancil?"
Rara Wulan menggeleng. "Kau bukan kancil,
tapi calon kambing bandot!"
Tawa mereka pecah berderai. Si gadis tak kebe-
ratan dipeluk Soka pada saat tawa mereka berhambu-
ran. Ia bahkan merebahkan kepala di dada Soka yang
bidang dan berotot itu. Mereka saling meresapi kehan-
gatan yang merayap di sekujur tubuh, walau mulut
mereka seolah-olah hamburkan canda yang tak berpe-
rasaan dalam. Mereka masih saling merasa malu men-
gakui keindahan yang bertaburan di hati masing-
masing.
"Aku ingin ke pantai. Kau mau ikut?" ajak So-
ka.
"Bukankah tadi kau bilang ingin beristirahat
karena lelah berjalan?"
"Aku tak bisa beristirahat jika hatiku bergemu-
ruh."
"Apa yang membuat hatimu bergemuruh, So
ka?!"
"Lebih enak jika ku jelaskan sambil meman-
dang
ombak lautan dan riak pantai. Bukankah ma-
lam ini cahaya rembulan sedang menaburkan keinda-
han di atas permukaan bumi?"
"Ya, memang begitu. Tapi... aku lelah sekali.
Aku ingin segera berbaring setelah merasa badanku
segar sekali sehabis mandi tadi."
"Kalau begitu, berbaringlah sana. Aku akan
menikmati suasana malam separuh purnama di pan-
tai."
"Baiklah. Tapi hati-hati, jangan sampai diculik
perawan desa ini!"
Soka Pura hanya tersenyum lebar, kemudian
melangkah keluar dari kamar sewaan itu. Rara Wulan
menutup pintu kamar setelah Soka menuruni tangga
lantai bawah. Pemuda itu tak tahu kalau hati si gadis
menyimpan kekecewaan yang ditutupnya rapat-rapat
dengan senyum ceria. Pendekar Kembar bungsu hanya
bisa berkecamuk dalam hatinya sambil melangkah
menyusuri pantai dan berhenti di tempat sepi, tak se-
berapa jauh dari deretan perahu-perahu nelayan yang
sedang tidak berlayar itu.
"Aneh. Terhadap gadis yang satu ini hatiku me-
rasa terpikat sekali. Padahal dengan gadis lain yang
ada hanya keindahan semata, tanpa merasa ingin me-
miliki. Tapi terhadap Wulan, hatiku merasa ingin seka-
li memilikinya. Padahal aku belum tahu persis siapa
dia sebenarnya? Mengapa ingin dibunuh oleh Dirgaya-
na? Mengapa ingin dibawa pulang oleh Lodayu? Men-
gapa ingin menikmati hidup sederhana di Desa Te-
ganya? Dan... mengapa ia begitu manja kepadaku?"
Di pantai itu ada sebongkah batu bersusun
dua, besarnya separuh badan sapi. Batu hitam yang
sebagian tenggelam di pasir pantai itu kini dijadikan
tempat duduk Soka Pura dengan santainya. Matanya
memandang pantulan cahaya rembulan di permukaan
laut yang bergelombang sedang. Sedang buih-buih
ombak yang berwarna putih menjadi pusat perhatian
matanya yang menerawang pada seraut wajah cantik
jelita milik Rara Wulan.
"Tak heran kalau pemuda seperti Lodayu ingin
memperistri Rara Wulan, sebab gadis itu memang
mempunyai daya tarik yang mampu menggetarkan hati
setiap lelaki. Sayang ia cerewet, agak bandel, maunya
menang sendiri. Tapi hal itu bisa ku atasi kalau dia
sudah menjadi istriku."
Tiba-tiba Soka sadar dengan ucapan batinnya
tadi. "Hei, apa benar aku ingin memperistrinya? Ah,
kurasa ini hanya luapan perasaanku saja. Aku belum
siap mempunyai seorang istri. Lebih-lebih istri manja
seperti dia, oh... bisa kurus badanku memendam ke-
jengkelan, menghadapi kemanjaannya. Kurasa ia perlu
dididik dulu beberapa waktu agar bisa menjadi seorang
istri yang bijaksana dan tidak menjengkelkan suami.
Jika benar aku ingin memperistrinya, ia harus ku ki-
rim ke puncak Gunung Merana, biar dididik oleh Ibu
supaya menjadi seorang istri yang baik seperti Ibu,"
sambil benak Soka membayangkan wajah ibu angkat-
nya; Nyi Padmi, yang selama ini menjadi sosok seorang
istri dan seorang ibu yang dikagumi oleh suami dan
anak-anaknya. Soka sendiri mengidamkan seorang is-
tri seperti Nyi Padmi, tak banyak cemburu, tak manja,
dan tak banyak mengecam suami.
Renungan di atas batu bersusun dua itu tiba-
tiba terhenti, lalu buyar seketika, karena tiba-tiba ga-
dis dalam lamunannya muncul dari balik perahu bo-
cor. Rara Wulan mendekati Soka dengan mata me-
mandang ke arah permukaan air laut, seakan ikut me
nikmati keindahan panorama malam yang bertabur
kesan damai di hati tiap manusia itu.
"Mengapa kau ikut kemari? Bukankah kau me-
rasa lelah dan ingin berbaring?" pancing Soka, walau
hatinya mulai dapat menduga bahwa si gadis tak
mungkin betah tinggal di kamar tanpa dirinya.
"Aku takut di kamar sendirian," ujarnya sambil
bernada manja. Gadis itu langsung duduk di samping
Soka.
"Apa yang membuatmu takut?"
"Takut ada setan," jawabnya seperti anak kecil
merengek.
"Justru kalau kita berduaan, setan makin men-
gerumuni kita."
"Ah, kau ini bikin aku semakin ketakutan saja,"
seraya Rara Wulan bergeser lebih merapat ke tubuh
Soka. Angin malam hembuskan udara dingin, tapi se-
paruh bagian tubuh Soka merasa hangat karena ber-
sentuhan dengan tubuh gadis berkepang dua itu.
"Mengapa kau duduk di sini sendirian? Ada
yang kau tunggu?" tanya Rara Wulan mulai menam-
pakkan bias-bias kecemburuan. Soka Pura hanya ter-
senyum. Lalu tawanya terdengar seperti gumam.
"Siapa yang kutunggu? Tak ada orang lain ke-
cuali kau."
"Hmm...!" gadis itu mencibir tak percaya, tapi
sebenarnya berbunga indah di dalam hatinya.
"Aku menyukai pemandangan seperti ini, Wu-
lan. Hatiku terasa damai jika berada dalam suasana
seperti saat ini."
"Maksudmu dalam suasana memandang lautan
yang memantulkan cahaya rembulan, begitu?"
"Maksudku dalam suasana remang dan duduk
bersamamu seperti saat ini."
"Hmm...! Di kamar pun bisa bersuasana re
mang kalau lampu minyaknya kita kecilkan."
"Tapi udaranya tak se-segar di sini."
"Jendela kamar bisa kita buka biar dapat udara
segar."
"Kalau ada pencuri masuk bagaimana?"
"Biarlah pencuri masuk, asal jangan kau yang
dicuri," ujar si gadis sambil bersungut-sungut dan
membuat Soka Pura lepaskan tawa lirihnya. Tangan
Soka merangkul pundak gadis itu, sang gadis diam,
tak mengelak.
"Wulan, ada yang ingin kutanyakan padamu
tentang Lodayu."
"Jangan bertanya padaku, karena aku tak tahu
apa-apa tentang Lodayu. Berani sumpah digigit kuda,
aku tak tahu-menahu tentang pemuda itu."
"Tapi mengapa dia tampak bernafsu sekali ingin
membawamu pulang menghadap orang tuamu dan
menikahi mu?!"
"Mana ku tahu? Bisa saja itu ulahnya yang
aneh-aneh dan... mungkin saja dia orang gila karena
kebanyakan ilmu atau tak kuat menerima ilmu dari
gurunya."
"Begitu? Hmm...," Soka Pura menggumam pe-
lan dan manggut-manggut. Tapi dalam hatinya masih
menyimpan kejanggalan, karena ketika ia ingin ting-
galkan Lodayu, pemuda itu seakan yakin betul bahwa
Rara Wulan akan dibawa pulang dan dikawinkan den-
gan Soka.
"Sudahlah, jangan banyak bicara tentang
orang-orang aneh. Aku jadi ikut pusing sendiri. Se-
baiknya kita ke kamar saja, yuk?" bujuknya dengan
manja.
"Aku belum mengantuk, Wulan."
"Aku capek, Soka," rengek gadis itu.
"Istirahatlah sendiri sana," pancing Soka.
"Aaah, kalau tidak denganmu aku tak berani di
kamar itu sendirian. Ayo temani aku dulu, Soka. Aku
capek, ingin dipijat kakiku."
"Pijat...?!"
"Sebentar saja, Soka! Hanya untuk hilangkan
pegal-pegal di telapak kaki. Kau mau, kan? Mau, ya?"
manjanya kian menjadi. Hati Soka kian luluh melihat
kemanjaan itu walau punya kejengkelan di sisi hati
lain nya. Mau tak mau Soka akhirnya menuruti gadis
itu.
"Ingat, aku hanya minta dipijat bagian yang
pegal saja lho!" ujar Rara Wulan ketika ia ingin berbar-
ing di atas ranjang. "Jangan nakal tanganmu. Aku tak
suka punya sahabat yang tangannya nakal!"
Soka Pura tertawa pelan. "Bukankah tangan
yang nakal lebih berkesan daripada tangan yang ke-
jam?!"
"Aku tak mau kalau kau sudah punya niat
nakal!" sentaknya tak jadi berbaring. Ia cemberut, se-
wot. Soka Pura buru-buru menenangkan.
"Iya. iya... aku tak akan nakal!"
"Awas kalau kau nakal, aku akan berteriak se-
keras-kerasnya!" ancam si gadis, lalu ia berbaring den-
gan santai setelah melepaskan jubah merahnya.
"Kok berbaring? Bukannya tengkurap lebih
enak?" kata Soka.
"Kalau berbaring begini aku bisa mengawasi
tanganmu! Sudah, jangan banyak bicara. Pijat saja ba-
gian telapak kakiku sampai betis."
"Hmmm... baru sekarang jadi pendekar dapat
borongan memijat," gerutu Soka Pura pelan sekali, se-
hingga Rara Wulan mendengarnya tak jelas.
"Apa katamu?"
"Aku tak berkata apa-apa kok!" sangkal Soka
sambil mulai memijat telapak kaki gadis itu.
"Aow...!" pekik Rara Wulan seraya menarik ka-
kinya yang terasa sakit karena pijatan Soka terlalu ke-
ras.
"Jangan keras-keras! Sakit!"
"Tidak keras. Aku memijatnya tidak pakai tena-
ga."
"Tapi itu tadi terlalu keras. Kurangi tekanan-
nya!"
"Iya. Iya... cerewet!" ucap Soka pelan, lalu me-
mijat kaki gadis itu lagi dengan tekanan lebih pelan.
"Nan, begitu. Enak kalau segitu," kata Rara
Wulan, Soka tak memberi komentar karena menahan
rasa kesal di hatinya.
Pedang diletakkan di meja dekat ranjang. Soka
Pura naik ke atas ranjang, duduk dengan kaki
melonjor" di samping tubuh Rara Wulan yang berbar-
ing. Jari-jari tangannya memijat dengan lembut, mem-
buat gadis itu setengah terpejam merasakan nikmat-
nya pijatan di kaki.
"Jangan telapak kaki terus, naik sedikit, Soka!"
pinta gadis itu. "Betis ku juga pegal sampai sebatas lu-
tut."
Soka melakukan apa yang diinginkan gadis itu.
Rara Wulan semakin meresapi setiap sentuhan tangan
Soka yang mirip orang mengusap dalam kelembutan.
Pemuda tampan itu pun semakin berdebar-debar. Ber-
tambah tinggi bagian yang dipijat bertambah berdebar
hati Soka Pura. Bahkan hembusan nafasnya mulai te-
rasa tersendat-sendat tak beraturan. Hambatan per-
napasan itu terjadi karena gairah Pendekar Kembar
bungsu mulai dibakar oleh rasa hangat dari sentuhan
tangan di sekitar betis Rara Wulan.
Mata si gadis setengah terpejam. Sesekali meli-
rik Soka sesekali memandang ke langit-langit kamar
meresapi sentuhan nikmat. Rupanya gadis itu pun di
guncang oleh debar-debar gairah yang menggelitik, se-
hingga sesekali ia terpaksa menggigit bibirnya sendiri.
Gigitan bibir yang disertai mata terbeliak itu membuat
gemuruh di dalam dada Soka Pura semakin mengha-
dirkan hawa panas, sehingga keringat pun mulai
membersit di kening pemuda itu.
Sesekali mata Soka melirik ke wajah Rara Wu-
lan, namun cepat-cepat dipindahkan ke arah lain. Ka-
rena wajah gadis itu seakan mengundang ajakan un-
tuk bercumbu. Sekalipun Soka berusaha menghindar
toh pada akhirnya ia merasa semakin terpancing oleh
gigitan bibir Rara Wulan. Apalagi gadis itu mendesah
kecil dan disertai erangan atau desisan samar-samar,
hal itu seolah-olah merupakan api yang kian memba-
kar hasrat Soka Pura. Akibat menahan debaran ha-
srat, akhirnya Soka hanya bisa mengunci mulutnya,
tak punya gagasan untuk mengatakan sesuatu atau
menanyakan apa pun. Sementara si gadis sendiri juga
hanya bisa sibuk dengan desis dan desahnya.
Semakin tangan Soka memijat bagian lutut,
semakin hawa hangat yang mengalir dan dirasakan
membakar seluruh darahnya. Tangan Soka sempat
gemetar ketika memijat bagian lutut dan belakang lu-
tut, karena tak jauh lagi dari tempat itu ia akan me-
nyentuh bagian yang amat mendebarkan. Namun ia
tak berani lakukan, takut kalau-kalau gadis itu berang
dan ia dianggap pemuda kurang ajar.
Tetapi tiba-tiba gadis itu bicara dengan mata
masih terpejam samar-samar. Suaranya pun terdengar
sayup-sayup, membuat Soka sempat sangsi dengan
pendengarannya sendiri.
"Ke atas lagi...."
Soka masih diam dan tak mau melakukannya.
"Siapa tahu aku salah dengar," ujarnya dalam hati.
Namun si gadis mengulanginya dengan lebih jelas.
"Ke atas lagi...," kali ini ucapan itu bernada me-
rengek. Mau tak mau Soka Pura pun merayapkan tan-
gannya ke atas. Padahal tangan itu berada dl balik
kain gaun penutup bagian bawah Rara Wulan. Tentu
saja yang diraba adalah sebentuk kehangatan di atas
kulit paha yang mulus tanpa luka. Tangan Soka pun
akhirnya bukan memijat tapi mengelus dengan lembut.
Dan elusan itu diresapi betul oleh Rara Wulan, sehing-
ga tangan gadis itu melakukan remasan di atas seprai
ranjang.
"Sakit...?" tanya Soka dengan suara bergetar.
"Hmm... tidak," jawab Rara Wulan dalam suara
mirip orang berbisik. Kepalanya tergolek ke kiri, bibir-
nya digigit lagi dalam keadaan mata terpejam. Soka
Pura semakin mempermainkan usapan tangannya,
merayap lebih ke dalam lagi. Si gadis tidak menolak,
bahkan secara tak sadar kakinya mulai sedikit me-
renggang.
"Sial! Aku justru merasa seperti orang tersiksa
sendiri," gerutu Soka. "Kalau ku lanjutkan sampai me-
nyentuh pusatnya, bagaimana ya? Marah atau tidak?
Oh, jangan dulu! Tunggu permintaannya saja," lanjut
gerutuan hati Soka Pura yang semakin mengucurkan
keringat dingin.
Tiba-tiba gadis itu bangkit dan terduduk. Ma-
tanya menjadi sayu, wajahnya merah jambu seperti
menahan malu. Tapi sebenarnya menahan gejolak ke-
mesraan yang dituntut oleh batinnya. Hanya saja ia
tak mau menampakkan sikap kasmarannya karena
masih ingin menjaga nama baiknya.
"Sudah kubilang, jangan nakal. Mengapa kau
tetap nakal, Soka?!" ucapnya dengan suara datar dan
napas memburu.
"Kau yang menyuruh tanganku lebih ke atas
lagi, bukan?"
"Tapi tak kusuruh menyentuh tempat tertentu!"
"Maaf, aku tak sengaja. Kalau begitu, kita cu-
kupkan sampai di sini saja!"
Soka Pura menarik tangannya agar keluar dari
dalam gaun. Tapi tiba-tiba tangan itu tertahan, karena
kedua paha Rara Wulan sengaja menjepitnya. Gadis
itu memandangi Soka dengan sorot pandangan mata
bertambah sayu. Sementara itu, Soka menatap dengan
salah tingkah.
"Kita... kita tidur saja, ya? Aku lelah," bujuk
Soka.
"Sudah telanjur. Kau telanjur menyiksa batin
ku."
"Jadi bagaimana selanjutnya?"
"Ter... terserah...," jawab gadis itu mendesah.
"Tapi... tapi aku tak mau kau permainkan, Soka!"
"Aku tak akan mempermainkan dirimu, Rara
Wulan," ucap Soka seperti berbisik. Wajahnya pun se-
makin mendekati wajah gadis cantik itu. Si gadis tak
berani memandang Soka karena debaran asmara se-
makin menggunjang jiwanya. Mata indah itu terpejam
dengan pelan-pelan Bibir ranum itu merekah sedikit,
seakan siap menerima kehadiran bibir Soka Pura.
Maka kesempatan itu tak mungkin disia-siakan
lagi oleh Soka Pura. Bibir ranum itu segera di kecup-
nya pelan-pelan. Cup...! Gerakan lidah menyapu bibir
atau mulut yang mengulum bibir ranum itu dilakukan
dengan sangat lembut. Seakan setiap sentuhan dan
pagutan meresap sampai ke dasar hati, membuat tu-
buh gadis itu pun merinding dengan hati berdesir-
desir. Soka Pura melumat bibir itu tanpa ada kekasa-
ran sedikit pun, sehingga nyawa si gadis merasa seper-
ti ingin lolos dari raganya.
Dengan sengaja Soka hentikan kecupan bibir-
nya, menarik wajah dan memandang Rara Wulan. Gadis itu membuka matanya yang bertambah sayu itu.
Lalu Soka ajukan tanya lirih sekali.
"Kau suka...?" Gadis itu tak bisa menjawab un-
tuk sesaat. Ia hanya anggukkan kepala, senyumnya ti-
pis sekali, karena agaknya si gadis sudah dikuasai oleh
perasaan indah yang melayang-layang.
"Mau lagi?" Soka berlagak menawarkan diri,
padahal tak perlu menawarkan ia akan melahap kem-
bali bibir itu. Tapi karena mendapat tawaran seperti
itu, si gadis pun anggukkan kepala dan mulai pejam-
kan mata ketika Soka mendekatkan mulutnya ke bibir
si gadis.
"Hhmm...," si gadis mendesah dalam keadaan
bibirnya di lumat Soka. ia pun kini memberi lumatan
balasan. Lidahnya menelusup di antara kedua bibir
Soka Pura. Ujung lidah itu pun segera dipagut lembut
oleh Soka sambil tangan Soka bekerja kembali seperti
semula, bahkan lebih berani lagi. Si gadis tak bisa me-
nolak, namun juga tidak semata-mata menerima begi-
tu saja. Ia masih belum berani melebarkan jarak ka-
kinya. Hanya saja, karena tangan Soka semakin nakal,
mau tak mau ia melebarkan jarak kakinya, sehingga
tangan Soka menemukan apa yang dicari dan si gadis
mendapatkan apa yang diinginkan. Tangan si gadis
pun akhirnya memeluk Soka dengan remasan mena-
han kenikmatan di bagian punggung Soka Pura.
"Soka, Soka...," desahnya lirih sekali ketika So-
ka Pura menjalarkan lidahnya ke bagian leher. Si gadis
justru menengadah memberi kesempatan kepada lidah
Soka yang nakalnya mirip lidah ular itu.
"Uuuh!... Soka, nikmat sekali. Nikmat sekali,
Sayang... oouh...," Ia pun merengek manja. Rengekan
manja menambah daya rangsang Soka dan akhirnya si
gadis tak kuasa menolak hadirnya mulut Soka di per-
mukaan dadanya yang tak terlalu montok namun sek
al dan berbentuk indah. Keranuman ujung bukit men-
jadi santapan hangat mulut Soka, sehingga si gadis
akhirnya memekik ditikam seribu kenikmatan.
"Aoouh... Sokaaa...!"
Tangannya meremas rambut kepala Soka den-
gan gemetar, karena pada saat itu si gadis merasa di-
lambungkan Soka ke langit tingkat tujuh dan me-
layang layang di ketinggian puncak keindahan malam
itu.
*
* *
4
MERASA hati semakin terjerat, Soka Pura pun
akhirnya ajukan tanya kepada gadis berkepang dua
yang semalam menangis karena rasa gembiranya terla-
lu berlebihan. Pertanyaan itu diajukan Soka pada saat
mereka meninggalkan desa nelayan untuk lanjutkan
ke Desa Teganya.
"Sebenarnya kau anak siapa, Rara Wulan? Apa
alasanmu yang pasti, sehingga kau meninggalkan ke-
luargamu sudah sebulan lebih ini?"
"Mengapa kau tanyakan lagi hal itu? Bukankah
kemarin aku sudah katakan bahwa siapa diriku itu tak
penting, Soka. Yang penting adalah kesanggupan mu
membawaku sampai ke Desa Teganya dan mendam-
pingiku selama di sana."
"Aku terpaksa harus mengetahui siapa dirimu
sebenarnya, karena... karena batin ku menuntut un-
tuk lebih dekat lagi denganmu Rara Wulan."
Rara Wulan diam saja, seperti sedang memper-
timbangkan jawabannya. Tapi Soka Pura tak sabar sehingga memancing dengan pertanyaan lagi.
"Tidakkah kau ingin kita berdampingan sela-
manya, Wulan?"
"Aku sangat ingin sekali bisa selalu bersamamu
sampai akhir hidupku. Tapi aku sangsi pada dirimu."
"Apa yang kau sangsikan?"
"Jangan-jangan kau hanya ingin mempermain-
kan diriku saja," ujarnya sambil bernada sewot. Soka
Pura justru tertawa. Gadis itu didekap dalam pelukan-
nya. Mereka tetap melangkah bagai sepasang sejoli
yang menjadi pemilik seluruh permukaan bumi ini.
"Kau tak perlu punya anggapan seperti itu, Wu-
lan. Sekalipun masa perkenalan kita masih terlalu
muda, namun hatiku sudah cepat menjadi tua untuk
meresapi kebahagiaan berada dl sampingmu."
"Betulkah begitu? Jangan-jangan kau hanya
menggombal saja, Soka."
"Jangan samakan diriku dengan bekas keka-
sihmu: Pramudya, yang kau ceritakan semalam itu.
Pramudya boleh saja menjadi seekor kumbang; setelah
menghisap sari madu mu, ia pergi meninggalkan diri-
mu, Tapi aku bukan kumbang, Wulan."
"Lalu, kau apa kalau bukan kumbang?"
"Tawon!" jawab Soka sambil tertawa. Rara Wu-
lan tertawa juga tapi sambil merengek manja. Pelu-
kannya dipererat, jalannya semakin menggelendot.
"Aku hanya takut kau adalah Pramudya ke-
dua," ujar Rara Wulan, setelah semalam ia mencerita-
kan ke mana hilangnya sang mahkota kesuciannya itu,
yang tak lain adalah direnggut oleh pemuda bernama
Pramudya, mantan kekasihnya.
"Jika kau punya anggapan begitu, maka kau
akan tersiksa sendiri oleh anggapan mu. Setiap pemu-
da kau samakan dengan Pramudya, padahal...."
"Aaaakh...!"
Soka Pura tersentak kaget mendengar gadis da-
lam pelukannya terpekik dengan suara pendek. Wajah
pemuda itu pun menjadi tegang manakala mengetahui
gadis di sampingnya membelalakkan mata dengan mu-
lut ternganga, kemudian wajahnya menjadi pucat pasi
dan jatuh terkulai dengan lemasnya. Kalau tak segera
di tangkap Soka, gadis itu akan terkulai di tanah tanpa
daya dan tanpa kesadaran lagi.
"Wulan...?! Wulan...?!" sentak Soka sambil
mengguncang-guncang tubuh gadis itu. Guncangan-
nya di hentikan setelah ia melihat noda merah kecil
sebesar kancing baju membekas di leher kanan Rara
Wulan.
Noda merah itu kian lama kelihatan jelas war-
nanya dan sedikit lebih lebar dari saat dilihat pertama
kalinya. Soka Pura menjadi gusar dan hatinya mengge-
ram berang.
"Jahanam! Ada orang yang telah menyerang-
nya!"
Mata si bungsu Pendekar Kembar itu segera
menatap sekeliling dengan liar. Tepat ia memandang
ke arah belakang, tepat muncul seberkas sinar pan-
jang warna merah sebesar lidi. Claaap...! Sinar itu
mengarah ke kepalanya. Soka Pura cepat-cepat sen-
takkan tangannya dan melepaskan tubuh Rara Wulan.
Claaap...! Blaaarrr..!
Sinar merah panjang itu meledak dan hancur
ketika bertabrakan dengan sinar putih perak berben-
tuk pisau runcing yang keluar dari telapak tangan So-
ka. Itulah jurus 'Cakar Matahari' yang cukup dahsyat
milik Pendekar Kembar.
Soka Pura tak sempat mengobati Rara Wulan,
karena setelah terjadinya ledakan tadi, ia hanya sem-
pat memindahkan tubuh Rara Wulan ke rerumputan
yang teduh. Baru saja ia ingin pergunakan jurus Sambung Nyawa' untuk penyembuhan, tiba-tiba sekelebat
bayangan melintas dari samping dan menyambar di-
rinya.
Weees...! Plaak...! Brruus...!
Tangan Soka sempat menghadang sambaran
tersebut. Namun tenaga penahanannya kalah kuat
dengan tenaga terjangan itu, sehingga ia pun terpental
dan berguling-guling tiga langkah dari tempat Rara
Wulan dibaringkan.
Seraut wajah bertulang dengan dagu runcing
dan kumis melengkung ke bawah tampak jelas di de-
pan mata Soka Pura. Rupanya orang berambut pan-
jang tapi kucai tipis itulah yang melepaskan pukulan
bersinar merah. Sinar merah itu tadi hampir mengenai
Soka Pura, hanya sayangnya Soka bisa menangkis si-
nar yang menyerangnya, namun tak sempat menang-
kis sinar yang mengenai leher kanan Rara Wulan.
"Keparat kau...!" geram Soka sambil bangkit
dengan gagahnya. Orang berdagu runcing itu dipan-
danginya dengan sorot pandangan mata penuh kema-
rahan. Tetapi orang berjubah hitam itu tenang-tenang
saja. Raut wajahnya yang berusia sekitar lima puluh
tahun itu tampak dingin dengan mata kecilnya yang
berwarna kemerah-merahan.
"Tinggalkan gadis itu atau kau kehilangan nya-
wa hari ini juga?!" ujar lelaki bertubuh kurus dengan
nada mengancam.
"Persetan dengan ancamanmu! Aku tak kenal
siapa dirimu, mengapa kau menyerangku, Kepompong
borok?!" hardik Soka menampakkan keberangannya.
"Rupanya kau ingin mengenaiku lebih dulu se-
belum menentukan pilihan mu?! Hmm... baik! Perke-
nalkan, aku yang bernama Raksa Braja, kakak seper-
guruannya Bintari Ayu! Kurasa gadis terkutuk itu
mengenal siapa diriku!"
Soka Pura menggumam dalam hati, "Bintari
Ayu...?! Wulan memang pernah sebutkan nama Bintari
Ayu, tapi ia tak jelaskan siapa sebenarnya Bintari Ayu
itu. Yang ku tahu, Dirgayana adalah orangnya Bintari
Ayu. Jika si Raksa Braja ini mengaku kakak perguruan
Bintari Ayu, berarti tujuannya juga akan membunuh
Rara Wulan, bukan ingin mengawini seperti Lodayu
kemarin!"
"Anak muda, kusarankan tinggalkan gadis itu
agar kau tak terkena kekuatan kutukan yang ada da-
lam dirinya!"
"Kau yang harus meninggalkan kami! Untuk
apa kau mengganggu kedamaian kami berdua, Raksa
Braja?!"
"Rupanya kau belum tahu siapa gadis itu! Kau
hanya terpengaruh oleh kecantikannya, namun tak
mengetahui bahwa ia adalah sumber malapetaka di
negerinya. Dia adalah gadis terkutuk. Siapa pun yang
ada bersamanya akan selalu menemui ajal lebih cepat
dari takdirnya. Karenanya, gadis itu diusir dari nege-
rinya agar tak menimbulkan bencana dan wabah pe-
nyakit bagi rakyat negeri itu. Tak ada orang yang mau
berdekatan dengannya, karena tak ada orang yang
mau mati sebelum ajal kematiannya tiba. Untuk
menghindari terjadinya bencana di mana-mana, maka
gadis itu harus dibunuh secepatnya!"
Soka Pura sempat tertegun mendengar penjela-
san itu. Tengkuk kepalanya sempat merinding men-
dengar kata-kata Raksa Braja. Hatinya terbelah men-
jadi dua antara percaya dan tidak. Sekalipun Soka da-
lam kebimbangan, tetapi pandangan matanya tak le-
pas dari sosok kurus si jubah hitam itu.
"Jika kau tak percaya dengan ucapanku tadi,"
kata Raksa Braja, "Maka kau dapat membuktikannya
sendiri, bahwa sebentar lagi kau akan mati di tangan
ku! Untuk itu, sebaiknya tinggalkan gadis itu dan bi-
arkan aku yang menghabisi nyawanya!"
"Bagaimana jika nyawamu kuhabisi lebih dulu,
Raksa Braja!" sindir Soka Pura dengan sikap siap tem-
pur.
Raksa Braja menggeram mendengar ucapan
Soka Pura. Bola matanya kian mengecil karena me-
mancarkan kebencian cukup dalam. Wajah kaku yang
semakin dingin itu semakin menampakkan kekejian-
nya saat berkata dengan nada geram.
"Lancang sekali mulutmu, Bocah Dungu! Ru-
panya kau tak ingin hidup lebih lama lagi! Jika me-
mang begitu, sambutlah kedatangan ajalmu, Bangsat!"
Kedua tangan Raksa Braja segera mengembang
ke belakang dan depan, kedua kakinya merendah, ma-
tanya memandang semakin tajam lagi. Ia mengawali
jurus pertamanya dengan suara geram seperti seekor
singa sakit gigi. Sementara itu, Soka Pura masih tam-
pak kalem namun penuh kejelian. Ia melangkah me-
nyamping sambil menunggu kelengahan Raksa Braja.
Kedua tangan Soka telah menggenggam, sewak-
tu-waktu siap lepaskan pukulan telaknya ke arah la-
wan. Ia sengaja tak mau menyerang dulu, karena ingin
melihat kemampuan lawan dalam menyerangnya.
Raksa Braja akhirnya memutar tubuh dan me-
layangkan tendangannya ke rahang Soka Pura. Wuuut,
plaak...! Soka Pura menangkisnya dengan tangan ka-
nan, lalu tangan kirinya menghantam ke depan. Bet!
Plaak...! Tangan itu tertangkap telapak tangan Raksa
Braja. Lelaki itu ingin meremas genggaman tangan So-
ka. Tetapi lebih dulu Soka sentakkan telapak tangan-
nya ke dagu panjang itu.
"Hiaaah...!"
Duuukh...!
"Aaakh...!" Raksa Braja terdongak seketika
sambil memekik dengan suara tertahan. Langkahnya
mundur beberapa tindak dengan terhuyung mau ja-
tuh. Soka Pura segera melompat dan mengibaskan
tendangan putarnya satu kali.
Weeees...! Ploook...!
Wajah Raksa Braja seperti ditampar dengan ba-
tako. Tulang pipinya menjadi semburat biru memar
akibat tendangan kaki Soka Pura. Namun orang terse-
but masih mampu menahan rasa sakit dan segera
bangkit dari jatuhnya tadi, jurus berikutnya pun dis-
iapkan untuk membalas serangan Soka Pura.
"Aku tak ingin bermusuhan dengan siapa pun!"
ujar Soka Pura. "Jadi sebaiknya tinggalkan kami dan
jangan mengganggu kami lagi!"
"Bocah dungu! Gadis itu harus dibunuh agar
tak menyebarkan wabah penyakit dan bencana lain-
nya!"
"Aku yang akan mengatasi kutukan itu jika be-
nar dia gadis terkutuk!"
"Tidak bisa! Aku yang harus membunuhnya se-
cepat mungkin! Jika kau tetap ingin melindunginya,
terimalah jurus 'Elang Hantu ini! Haaah. .!".
Raksa Braja segera melepaskan pukulan bertu-
bi-
tubi dengan kecepatan tinggi. Tiap pukulan
mempunyai hawa panas yang menyambar-nyambar ke
tubuh Soka Pura, bahkan wajah Soka pun sering me-
rasa bagai di siram air mendidih, sehingga kepalanya
sering tersentak ke belakang.
Bet, bet, bet, bet...! Wuus, wus...! Plak, plak,
bet, buukh...!
Soka Pura terdesak mundur beberapa kali
sambil berusaha menangkis dan menghindari pukulan
beruntun yang menyebarkan gelombang hawa panas
itu. Sekalipun terdesak, namun tak satu pun pukulan
cepat itu ada yang berhasil kenai tubuhnya. Namun di
luar dugaan, Raksa Braja putar tubuhnya dan sentak-
kan kaki menendang perut Soka dengan telak.
Buuukh...!
Tubuh si bungsu Pendekar Kembar itu sampai
melayang ke belakang dalam keadaan melengkung ke
depan karena tendangan kaki Raksa Braja tadi berte-
naga dalam cukup besar. Soka Pura jatuh terpuruk
membentur pohon. Perutnya terasa panas sekali dan
mual, seolah-olah isi perutnya ingin keluar dari dua
lubang; atas dan bawah.
"Celaka! Tendangannya tadi melukai lambung-
ku. Uukh...! Jangan-jangan lambungku jebol dan,
uuuuh... rasa pahit apa ini?! Hoooek ..!"
Soka Pura tak sempat terkejut melihat mulut-
nya memuntahkan darah kental berwarna merah kehi-
tam-hitaman. Darah itu terasa pahit sekali, pertanda
bagian dalam tubuh Soka ada yang menjadi busuk da-
lam waktu sekejap.
Raksa Braja segera mencabut goloknya,
sraang...! Ia ingin menghabisi nyawa si bungsu Pende-
kar Kembar itu. Tetapi baru saja goloknya diangkat
dan ia ingin lakukan lompatan menerjang, tiba-tiba
Soka Pura kerahkan tenaganya dan lepaskan pukulan
'Tangan Batu'-nya. Wuut, bhaaahk...!
"Aaahk...!" Raksa Braja terlempar bagaikan te-
lah diterjang batu sebesar kerbau yang menghantam
dengan kuat dan cepat sekali. Tubuh itu jatuh terbant-
ing dalam jarak delapan langkah dari tempatnya berdi-
ri semula.
"Edan! Pukulan apa tadi yang menerjang ku!"
pikir Raksa Braja dengan mengerang menahan rasa
sakit. "Bocah itu ternyata alot juga! Agaknya aku tak
bisa mengandaikan senjata tajam ku. Aku harus
menghancurkan anak muda itu dengan jurus-jurus
maut ku!"
Raksa Braja menyeringai kuat-kuat. Sekujur
tubuhnya kini menjadi biru memar akibat pukulan
'Tangan Batu'-nya Pendekar Kembar bungsu itu. Lalu
kedua jari tangannya disentakkan ke depan dengan
tangan kiri menyangga tangan kanannya. Claap...! Dari
ujung kedua jari itu melesat sinar kuning lurus bera-
sap samar-samar. Pendekar Kembar bungsu bersalto
plik-plak beberapa kali dengan menggunakan kaki dan
tangan sebagai pemutar tubuhnya yang mendekati
Raksa Braja.
Plak, plak, plak, plak...! Sinar kuning berhasil
lolos darinya. Soka Pura pun segera menerjangkan ke-
dua kakinya ke wajah Raksa Braja dalam keadaan ber-
jungkir balik terus bagaikan menggelinding dengan ce-
pat. Bruuus...!
"Aoowff...!" Raksa Braja memekik sambil tum-
bang ke belakang. Bruuuk...! Dalam keadaan jatuh
terkapar dan mengerang itu, tiba-tiba telapak tangan-
nya memukul tanah di sampingnya. Bluuk...!
Duuurr...! Tanah pun bergetar bagai dilanda
gempa bumi dengan cepat. Tanah itu kepulkan asap ke
mana-mana. Asap itu adalah asap beracun yang segera
membuat dedaunan menjadi layu, kejap kemudian
mengering.
Melihat keadaan daun seperti itu; Soka Pura
segera menahan nafasnya di dada. Ia pun bergegas
menyingkir sambil menyambar tubuh Rara Wulan
yang masih dalam keadaan pingsan itu. Wees,
wuuut...! Soka Pura membawa pergi Rara Wulan tanpa
mempedulikan Raksa Braja semakin parah, lukanya
bertambah melumpuhkan seluruh urat-urat tubuhnya.
Walau dengan susah payah, Raksa Braja masih beru-
saha untuk kejar pemuda itu, tapi ternyata tiga kali ia
mencoba untuk bangkit, tiga kali pula tubuhnya ter
kapar kembali di atas tanah berumput jarang.
"Jahanam laknat anak itu! Aku dibuatnya tak
berdaya begini?! Uuhf... asap beracun ku tak bisa
mengenai anak muda itu. Untung aku sudah mema-
kan anti dari racun itu. Jika tidak, aku bisa mati ter-
cekik dengan sendirinya karena jurus 'Tepuk Makam'-
ku tadi."
Sementara Soka Pura sibuk larikan Rara Wu-
lan, Raksa Braja mencoba kerahkan hawa murninya
untuk obati luka dalamnya. Padahal di tempat jauh di
balik bukit cadas, Soka Pura sendiri sudah dalam kea-
daan parah. Ia mencoba mengobati lukanya lebih da-
lam, sebab jika tidak ia tak akan dapat gerakkan tan-
gan dan kakinya dalam waktu beberapa hari lamanya.
Setelah lukanya teratasi, tubuhnya menjadi se-
gar karena pengobatan jurus 'Sambung Nyawa'-nya
itu. Kini tiba saatnya Soka Pura mengobati gadis ber-
kepang dua itu dengan jurus dan kekuatan yang sama
dengannya.
Tangan Soka ditempelkan di leher Rara Wulan.
Soka sempat terkejut melihat noda merah di leher Rara
Wulan ternyata telah berubah menjadi lebih besar lagi.
Nyaris separuh lehernya menjadi merah kebiru-biruan
dan mengeluarkan cairan hitam yang baunya tak se-
dap.
"Aku harus segera lakukan pengobatan sebe-
lum seluruh tubuh Rara Wulan menjadi merah kebiru-
biruan semua...."
Namun, tiba-tiba Soka Pura dikejutkan oleh da-
tangnya suara orang tak dikenal di belakangnya.
"Percuma saja, Anak Muda! Hmm, maksudku,
sia-sia saja."
Soka buru-buru berpaling ke belakang dan se-
gera berkerut dahi melihat seraut wajah yang belum
dikenalnya. Seraut wajah itu berkulit gelap dalam usia
sekitar empat puluh tahun lewat sedikit. Ia adalah seo-
rang lelaki bertubuh sedang, tak terlalu gemuk tak ter-
lalu tinggi. Mempunyai kumis hanya di bagian ujung-
ujung kanan-kirinya saja, sedangkan bagian tengah
bawah hidung kosong tanpa selembar rambut kumis
pun. Lelaki itu berkepala botak tengah, namun bagian
lainnya berambut pendek.
Saat dipandang oleh Soka Pura, lelaki itu justru
tersenyum sambil mendekatinya. Senyumannya itu le-
bih tepat dikatakan sebagai seringai kegugupan, kare-
na dilihat dari gerakan matanya ia tampak sedang
mengalami ketegangan.
"Anak muda, hmmm... kau akan sembuhkan
gadis ini? Maksudku, kau akan menjadi tabib? Eh,
hmm... mau mengobatinya, begitu?"
"Siapa kau sebenarnya, Paman?" Soka Pura Ju-
stru bertanya.
"Aku anu... hmmm... maksudnya namaku? Oh,
ya... namaku Bandar Dadu, eh... bukan, bukan.
Hmm... namaku adalah Bandar Getih. Ya, Bandar Ge-
tih."
"Bandar Getih?!" gumam Soka pelan.
"Hmm, iya... benar. Itu memang namaku. Apa-
kah namamu juga Bandar Getih? Eh... maksudku,
namamu sendiri siapa, Anak Muda?" tanya Bandar Ge-
tih dengan gugup dan cengar-cengir lucu, sesekali ge-
rakannya tampak salah tingkah karena merasa takut
dan malu. Rasa takut dan malu itulah yang tampak je-
las di wajahnya hingga ia terkesan gugup sekali.
"Namaku Soka Pura, Paman," jawab Soka den-
gan kalem. Ia tak merasa sedang berhadapan dengan
lawan yang berbahaya. Ia justru merasa berhadapan
dengan orang aneh yang memancing rasa ingin ta-
hunya.
"Hmm... racun 'Kala Tungging' tak bisa disembuhkan dengan apa pun, kecuali dengan Daun Sirih
Buntu,
Anak Muda. Eh... Soka Pura!"
"Kau bicara tentang apa, Paman?"
Bandar Getih semakin nyengir, garuk-garuk
kepala, seperti kebingungan mengatakan sesuatu yang
ingin disampaikan. Soka Pura memandanginya dengan
dahi berkerut.
"Jadi... jadi memang begitulah racun "Kala
Tungging' itu, Tuan. Eh, Soka!"
"Apanya yang begitu? Siapa yang nungging?"
"Si Kala itu. Eh, racun itu yang nungging. Eh.
hmm... maksudku, racun 'Kala Tungging' hanya bisa
disembuhkan dengan Daun Sirih Buntu."
"Mengapa buntu?" tanya Soka semakin mem-
bingungkan Bandar Getih.
"Yang buntu ya... daun sirih itu. Eh, maksud-
ku... daun itu menjadi buntu karena nungging. Eh,
bukan..,!" Lalu ia bicara pelan pada dirinya sendiri.
"Aduh, bagaimana cara menyampaikannya,
ya?"
"Bicaralah dengan tenang, Paman. Jangan ter-
buru-buru," ujar Soka dengan kalem untuk mempen-
garuhi Bandar Getih agar bisa bersikap kalem juga.
"Gadis ini terkena 'nungging', eeh... terkena ra-
cun 'Kala Tungging', yaitu racun yang...."
"Yang nungging, begitu maksudmu?"
"Iya. Eh, bukan.... Racun 'Kala Tungging' itu
merupakan pukulan tenaga dalam, yang berubah men-
jadi racun apabila bercampur darah. Dan racun itu ti-
dak bisa disembuhkan dengan hawa murni sesakti apa
pun, kecuali...."
"Kecuali dengan nungging?"
"Nah, begitu. Eh, bukaaan...!" Bandar Getih
merasa jengkel sendiri, hal itu membuat Soka Pura ingin tertawa geli tapi ditahannya.
"Ya, ya... aku mengerti maksudmu, Paman
Bandar Getih. Rara Wulan terkena pukulan beracun
yang bernama racun 'Kala Tungging". Racun itu hanya
bisa di sembuhkan menggunakan Daun Sirih Buntu."
"Tepat sekali. Tepat sekali, Soka Pura!" Bandar
Getih tampak kegirangan karena maksudnya dimen-
gerti oleh pemuda tampan itu.
"Tapi bagaimana kau bisa yakin kalau hawa
murni ku tak akan bisa menangkal racun tersebut, se-
dang kan kau belum mengetahui jurus Sambung Nya-
wa' yang kumiliki ini, Paman?"
"Soalnya... aku pernah melihat seorang petapa
sembuhkan temanku yang terkena racun 'Kala Tungg-
ing' itu. Tapi petapa itu nungging sendiri, eh... petapa
itu bingung sendiri karena hawa saktinya tak bisa me-
lumpuhkan kekuatan racun tersebut. Lalu, ia meng-
gunakan daun buntu, eh... maksudku Daun Sirih
Buntu. Ternyata daun itu dapat menghentikan kerja
racun tersebut."
"Apakah kau yakin betul kalau Wulan terkena
racun 'Kala Tungging'?"
"Pasti. Sebab hanya orang Perguruan Cakar Pe-
tir yang mempunyai racun seperti itu. Padahal aku tadi
melihatmu bertarung dengan Raksa Braja. Sedangkan
Raksa Braja adalah orang Perguruan Cakar Tungging,
eh... Cakar Petir."
Soka Pura manggut-manggut dengan gumam li-
rih. Ia memandangi leher Rara Wulan. Ternyata racun
itu telah bergerak sampai ke rahang. Rahang si gadis
berwarna merah kebiru-biruan. Bandar Getih pun
tampak semakin cemas dan ia bertambah gugup dalam
ucapannya.
"Cepatlah cari daun itu, Soka Pura. Jika ter-
lambat, gadis ini akan mati dimakan daun. Eh, mak
sudku... akan mati dimakan racun 'Raksa Nungging',
eeh... racun 'Kala Tungging'...!"
"Lalu... lalu di mana bisa kudapatkan Daun Si-
rih Buntu itu, Paman?" tanya Soka yang ikut-ikutan
gelisah karena sangat mencemaskan keselamatan jiwa
Rara Wulan.
"Carilah daun itu di pinggir sungai sebelah sela-
tan sana. Tapi aku lewat sana, menyeberangi daun,
eh... menyeberangi sungai, dan aku melihat daun itu
tumbuh di pinggiran sungai. Daun itu berwarna hijau
seperti daun sirih biasa, tapi serat-serat tulangnya lu-
rus menjadi satu tidak bercabang-cabang seperti daun
sirih biasa."
"Jauhkah letak sungai itu, Paman?"
"Lumayan capeknya, eeh... lumayan jauhnya.
Tapi... dengan berlari cepat mungkin tak seberapa la-
ma tempat itu bisa kau capai. Sebaiknya pergilah se-
karang, aku akan menjaga gadis ini di sini."
Soka Pura semakin cemas setelah Bandar Getih
dekatkan wajah, pandangi luka racun lebih dekat lagi,
lalu berseru dengan nada bertambah gugup.
"Celaka! Sebentar lagi otaknya akan sampai ke
racun, eeh... racunnya akan semakin ke otak. Kalau...
kalau sudah begitu, gadis ini tidak akan bisa menolong
lagi, eeh... maksudku tidak bisa tertolong lagi. Lekas
pergi mencari sungai dan bawa kemari. Eh, maksud
ku... mencari daun sirih di tepi sungai itu dan bawa
kemari. Akan kubantu menyembuhkan gadis ini den-
gan sungai itu. Aduh, salah lagi... maksudku kubantu
sembuhkan dengan daun itu!"
"Terima kasih sebelumnya, Paman. Aku akan
segera ke sungai itu. Tolong jaga dia sebentar!" Lalu
dengan gunakan jurus' Jalur Badai', Soka melesat ke
arah selatan mencari Daun Sirih Buntu.
*
* *
5
RASA takut menggeluti hati Pendekar Kembar
bungsu. Baru sekarang ia merasakan takutnya diting-
gal mati seorang gadis. Padahal biasanya perasaan se-
perti itu tidak pernah mengganggu ketenangan ji-
wanya. Soka Pura sendiri bingung menghadapi kece-
masan yang dianggap berlebihan itu. Ia tak bisa men-
gurangi kecemasannya, sehingga rasa takut ditinggal
mati oleh Rara Wulan membayang-bayanginya terus.
"Tidak, aku tidak ingin ia tewas! Hatiku akan
sedih sekali jika Rara Wulan sampai tiada. Aku harus
bisa menyelamatkan jiwanya dengan cara bagaimana-
pun. Kalau sampai Wulan tewas, ku obrak-abrik Per-
guruan Cakar Petir tak peduli siapa gurunya dan bera-
pa jumlah muridnya!" geram Soka sambil masih berlari
menuju sungai untuk dapatkan Daun Sirih Buntu.
"Sepertinya hatiku benar-benar terpikat oleh-
nya. Gawat kalau sudah begini! Mestinya aku tak bo-
leh terpikat, hanya sekadar mengagumi dan menye-
nangi saja. Jangan sampai jatuh cinta seperti saat ini.
Eh... apa benar aku Jatuh cinta padanya? Wah, makin
kacau kalau sudah bicara soal cinta. Belum pernah ku
rasakan seperti apa rasanya orang jatuh cinta. Apakah
seperti saat ini; takut ditinggal mati, tak rela dia dis-
akiti, menuruti apa keinginannya dan tak mau marah
kepadanya? Beginikah rasanya jatuh cinta? Kenapa
amat berbeda dengan rasanya jatuh dari pohon, ya?"
Soka Pura berdebar-debar bukan karena dibuai
keindahan seperti kemarin malam, melainkan karena
sungai yang dimaksud Bandar Getih itu belum dite
mukan juga walau sudah beberapa saat ia berlari ce-
pat. Rasa ingin buru-buru memperoleh Daun Sirih
Buntu memacu jantung Soka hingga berdetak lebih
cepat dari biasanya. Detak itulah yang membuatnya
resah dan gelisah.
"Kampret! Mana sungai yang dimaksud oleh
Paman Bandar Getih itu? Mengapa dari tadi aku belum
menjumpai sebuah sungai? Apakah aku salah arah?!"
Pendekar Kembar bungsu hentikan langkah se-
jenak, meyakinkan diri apakah arah yang ditempuh
sudah benar atau salah? Ia memandang ke sana-sini
sambil menyimak suara gemercik air. Tapi sampai se-
saat ia tak mendengar suara arus sungai sekalipun di
tempat yang jauh. Rasa penasaran membuatnya segera
lompat ke atas pohon dan memandang sekitar tempat
itu dari atas pohon. Ternyata tak ada sungai di sekitar
tempat itu.
"Konyol! ternyata jauh sekali sungai yang di-
maksud Paman Bandar Getih itu. Kupikir tak seberapa
jauh. Ini pun aku sudah menggunakan gerak cepat ju-
rus 'Jalur Badai', apalagi jika tidak gunakan jurus itu,
belum tentu sekarang aku sudah sampai di sini!
Hmmm... sebaiknya kupercepat lagi langkahku biar
Paman Bandar Getih tak terlalu lama menungguku
dan Rara Wulan dapat segera terhindar dari racun
yang mengerikan itu."
Wuuut, jleeg...! Soka Pura turun dari atas po-
hon. Baru saja kakinya menapak di tanah, tiba-tiba
sekelebat bayangan menerjangnya dari samping ka-
nan. Wees...! Buuuss...!
"Aow...!" Soka Pura terpekik sambil terpelanting
dan akhirnya berguling-guling. Pelipisnya bagaikan di
sambar kaki burung raksasa. Terasa ingin pecah dan
timbulkan rasa sakit sampai di dada. Pandangan mata
Pendekar Kembar bungsu menjadi buram akibat ter
jangan yang kenai kepalanya, ia berusaha mengatasi
pandangan matanya dengan kepala mengibas beberapa
kali. Tapi pandangan mata masih buram juga.
"Celaka! Mataku bisa buta kalau begini ca-
ranya. Kepalaku terasa retak dan ingin meledak!
Uuhf...! Siapa orang yang menyerangku ini?!" ujar So-
ka dalam hati sambil pegangi gagang pedangnya. Tapi
sebelum ia mencabut gagang pedang, tiba-tiba tubuh-
nya terasa diterjang puluhan kuda liar yang membuat-
nya gegalapan lagi. Bruuus...!
"Monyet kurap!" maki Soka sambil terlempar ke
semak-semak. Agaknya ia tak diberi kesempatan oleh
penyerangnya untuk mengatasi rasa sakitnya sejenak.
Karena begitu ia berusaha bangkit, baru berlutut su-
dah ditendang lagi punggungnya dengan tendangan
kuat yang membuatnya jatuh tersungkur tanpa ampun
lagi. Bruuks ..!
"Ouuuuh...!" Soka Pura mengerang dengan tu-
buh bagai tak bertulang.
"Ini pembalasan dari muridku, Keparat!" geram
sebuah suara tua yang tak diketahui rupa pemiliknya.
Tapi dalam keadaan tengkurap menahan sakit, Soka
dapat kenali suara itu sebagai suara orang yang
usianya sudah lebih dari enam puluh tahun, dan ia
adalah seorang lelaki yang berdiri dalam jarak sekitar
lima langkah dari tempat Soka tengkurap.
"Jika kau merasa jantan, bangun dan lawanlah
aku!" sentak suara tua itu membuat Soka Pura sedikit
tenang, karena dengan begitu ia memperoleh kesempa-
tan untuk salurkan hawa murninya. Hawa murni yang
merupakan jurus pengobatan 'Sambung Nyawa' itu di-
lakukan hanya melalui tarikan napas tertentu. Dalam
beberapa kejap kemudian, Soka Pura mulai tidak ra-
sakan sakit lagi. Pandangan matanya pun semakin te-
rang, dan akhirnya jelas seperti biasanya. Sedangkan
luka di bagian dalam tubuhnya nyaris tak terasa sedi-
kit pun, setelah tubuhnya tadi memancarkan cahaya
ungu sekejap sebagai cahaya sakti dari jurus
'Sambung Nyawa'-nya.
Si tokoh tua sedikit terkesiap kala melihat tu-
buh Soka pancarkan cahaya ungu sekejap tadi. Na-
mun si tokoh tua berjubah merah dengan motif corak
garis-garis hitam itu masih tetap tenang dengan wajah
dinginnya yang bermata cekung menyeramkan. Tokoh
berjubah hitam garis-garis merah menggenggam tong-
kat berkepala tengkorak. Entah tengkorak siapa yang
dipajang di ujung tongkatnya, tapi Soka yakin tengko-
rak itu jelas bukan tengkorak si pemilik tongkat terse-
but.
"Mengapa kau menyerangku, Pak Tua?!" tegur
Soka Pura dengan badan tegak dan tegap kembali. Pak
tua yang berambut panjang sepunggung dengan ikat
kepala merah dan beralis lebat warna abu-abu, seperti
warna rambut dan jenggotnya yang panjang itu, tidak
langsung berikan jawaban kepada Soka, melainkan
pandangi Soka, tanpa berkedip, seakan mempelajari
tubuh Soka yang menjadi sehat dan segar kembali.
Kejap berikutnya, Soka Pura ajukan tanya lagi,
karena pertanyaannya tadi merasa tak akan mendapat
jawaban.
"Siapa kau sebenarnya, Pak Tua?!"
"Buka matamu lebar-lebar, pandanglah aku
tanpa berkedip. Akulah ketua Perguruan Cakar Petir
yang ingin menuntut balas atas tindakanmu terhadap
murid ku tadi; si Raksa Braja!"
"O, jadi Raksa Braja adalah muridmu? Dan kau
melihat pertarungan ku dengannya, Pak Tua?"
"Kulihat dari kejauhan, namun aku terlambat
tiba di tempat. Kau telah larikan diri membawa gadis
terkutuk itu!" ujar si tokoh tua berkulit keriput dan sorot pandangan mata penuh nafsu untuk membunuh.
"Kalau begitu kau juga gurunya Bintari Ayu?!"
"Jika kau sudah mengetahuinya, berarti kau
siap untuk menerima pembalasan dariku, Bocah Se-
tan!"
"Kau salah duga, Pak Tua. Muridmu lebih dulu
menyerangku, dan aku hanya mempertahankan diri
agar tidak mati di tangan muridmu!"
"Murid si Jenggot Bajang tak boleh dilukai oleh
siapa pun! Dia hanya boleh melukai orang lain. Jika
sampai orang lain melukainya, maka orang itu harus
berhadapan denganku untuk menerima hukumannya!"
Kata-kata yang cenderung datar itu menam-
pakkan kesan egois sekali dari si jubah hitam yang
ternyata bernama Jenggot Bajang itu. Rupanya ia tak
suka muridnya dilukai orang, tapi membiarkan murid-
nya melukai orang lain. Soka Pura semakin tak mena-
ruh simpati kepada si Jenggot Bajang, karenanya ia
segera menghilangkan rasa hormat dan sopannya ke-
pada tokoh tua tersebut.
"Jenggot Bajang!" serunya. "Jika kau tak ingin-
kan muridmu disakiti orang, suruh muridmu jangan
menyakiti orang juga!"
"Bocah ingusan mau kasih nasihat kepadaku,
Cingur sapi!"
"Jangan salahkan diriku jika kepalamu yang
akan terbelah menjadi tujuh keping, Cingur Bebek!"
ejek Soka Pura membalas hinaan si Jenggot Bajang.
Pak tua yang jenggotnya sepanjang ulu hati itu
menggeram dengan tangan meremat kuat tongkat yang
digenggamnya. Tongkat berkepala tengkorak itu men-
jadi berasap karena remasan tangan bertenaga dalam
tinggi itu. Pandangan matanya lebih dingin lagi, sea-
kan menembus sampai ke tulang belulang Soka.
"Kau memang patut dihajar sampai mati, Bocah
Setan!" geramnya menyeramkan.
Jenggot Bajang menyodokkan tongkatnya ke de
pan. Tengkorak yang ada di ujung tongkat itu terlepas
dengan sendirinya dan melayang menerjang Soka Pu-
ra. Dengan lincah Soka Pura berhasil hindari tengko-
rak yang mirip bola keropos itu. Lompatan ke arah kiri
membuat tengkorak tersebut mudah dihantam dengan
tangan kiri Pendekar Kembar bungsu. Wuuut...!
Duaar...!
Pendekar Kembar bungsu terpental kuat kare-
na pukulan bertenaga dalam yang kenai tengkorak itu
ternyata memantul balik sambil lepaskan suara leda-
kan yang cukup keras. Rupanya apabila tengkorak itu
dipukul, maka pukulan orang tersebut akan berbalik
kenai dirinya sendiri. Demikian pula halnya dengan
Soka Pura, si Pendekar Kembar bungsu itu. Dadanya
menjadi sesak dan terasa sakit jika dipakai untuk ber-
napas akibat pukulan tenaga dalamnya kenai diri sen-
diri.
Rupanya tengkorak itu dikendalikan dengan
kekuatan batin si Jenggot Bajang, sehingga saat Soka
Pura jatuh karena hempasan tadi, tengkorak itu me-
layang sendiri ke arah Soka Pura dengan giginya yang
gemeretak seperti makhluk ganas yang dengan buas-
nya ingin menelan Soka Pura.
Pendekar Kembar bungsu cepat-cepat bangkit.
Wuuut...! Tengkorak itu melayang cepat ke arah dada
Soka Pura, namun sekali lagi berhasil dihindari den-
gan menggunakan jurus 'Jalur Badai'-nya. Wuuuzz...!
Tahu-tahu Pendekar Kembar bungsu sudah berada di
seberang dan sempat membuat Jenggot Bajang keder
sesaat. Begitu mengetahui lawan mudanya ada di
samping kiri, Jenggot Bajang pun menyerang dengan
menghantamkan tongkatnya ke kepala Soka.
"Heeeah...!"
Wuuus...! Soka Pura tak berani menangkis
tongkat itu, karena tongkat tersebut dalam keadaan
berasap tipis, pasti mempunyai kekuatan tenaga dalam
yang cukup berbahaya. Karenanya, Soka hanya me-
rundukkan kepala hindari hantaman tongkat tersebut.
Sementara itu, bunyi ledakan cukup keras terdengar
lagi ketika tengkorak aneh itu menghantam pohon se-
bab tak kenai sasarannya. Duaaar...! Pohon itu hancur
sebagian, namun tak sampai tumbang. Serpihan
kayunya menyebar ke mana-mana dan mengerikan ji-
ka dibayangkan tubuh Soka yang terkena terjangan
tengkorak kepala berwarna kusam itu.
Soka Pura tak mau pedulikan tengkorak itu la-
gi, karena kaki si Jenggot Bajang segera menyentak ke
arah dadanya. Wuuut...! Jejakan kaki itu tidak sampai
kenai dada Pendekar Kembar bungsu. Namun dari te-
lapak kaki itu keluar tenaga dalam cukup besar yang
segera menghantam dada bidang Pendekar Kembar
bungsu.
Baaakh...!
"Heeekh...!" pekik Soka Pura sambil terlempar
ke belakang. Dari arah belakang tampak tengkorak itu
masih melayang-layang dan ingin menerjangnya. Ru-
panya kekuatan batin Jenggot Bajang dapat dibagi
menjadi dua, antara menyerang secara langsung dan
mengendalikan gerakan tengkorak tersebut.
Untung saat tengkorak itu ingin menabrak
Pendekar Kembar bungsu, pemuda itu sudah jatuh
terduduk lebih dulu, sehingga tengkorak tersebut me-
lesat cepat di atas kepala Soka Pura. Kini tengkorak itu
hampir saja menerjang tubuh Jenggot Bajang sendiri.
Namun kendali batin si tokoh tua segera memperlam-
bat gerakan tengkorak itu. Kini kepala orang yang te-
lah mati beberapa tahun yang lalu itu hinggap kembali
ke ujung tongkat hitam si Jenggot Bajang.
Kreeep...!
Jenggot Bajang cepat-cepat melompat untuk
menghantamkan tongkat berujung tengkorak ke arah
Pendekar Kembar bungsu. Namun gerakannya lebih
cepat dari bangkitnya Pendekar Kembar bungsu yang
segera sentakkan kedua genggaman tangannya ke de-
pan. Wuuut...! Jurus 'Tangan Batu' digunakan Soka.
Tenaga dalam yang keluar dari kedua genggaman tan-
gan itu menghantam si Jenggot Bajang.
Buuuukh..! Anehnya si Jenggot Bajang hanya
tersentak mundur dua langkah dan tidak mengalami
luka memar seperti muridnya tadi: Raksa Braja. Meli-
hat keadaan lawannya masih utuh, Soka Pura segera
lepaskan pukulan 'Tangan Batu' beberapa kali sambil
mendesak maju.
Wuuut, wuuut, wuuut, wuuut...!
Jenggot Bajang hanya terdorong dalam senta-
kan berturut-turut, namun ia tak sampai jatuh atau-
pun mengalami luka memar. Soka Pura membatin he-
ran dalam hatinya.
"Gila! Kuat sekali orang tua ini?! Pukulan
'Tangan Batu' tak bisa menumbangkan dirinya?! Oh,
itu berarti aku tak boleh main-main dengannya!"
Berhentinya pukulan Soka membuat Jenggot
Bajang merasa punya kesempatan, sehingga ia segera
putarkan tongkatnya beberapa kali di atas kepala, ke-
mudian tongkat itu memancarkan cahaya biru berkila-
tan bagaikan petir menyambar-nyambar. Kilatan ca-
haya biru itu keluar dari lubang rongga mata tengko-
rak yang bolong dan mulut tengkorak yang bergigi ge-
ripis itu.
Craap, claaap, cralap, belgaaaar...! Blaaarr...!
Cahaya-cahaya biru yang saling berloncatan
seenaknya itu menyambar tubuh Soka Pura beberapa
kali. Walaupun Soka sudah menghindar ke sana-sini,
namun ledakan yang timbul akibat sebatang pohon
yang dihajar oleh cahaya biru itu melepaskan gelom-
bang hawa panas. Gelombang hawa panas itulah yang
menyambar tubuh Soka Pura dan membuat pemuda
itu terjungkal beberapa kali. Sekujur tubuhnya bagai
disiram minyak panas. Soka Pura mengalami luka ba-
kar yang membuat kulit tubuh, terutama bagian len-
gannya, melepuh, dan matang.
"Modar kau, Bangsat Cilik! Heeeaaah...!" Jeng-
got Bajang berteriak liar sambil masih melompat dekati
Soka, memutar tongkat di atas kepala hingga terdengar
suara dengung di sela-sela suara ledakan menggelegar.
Soka Pura terdesak, disergap puluhan cahaya
biru petir. Ia kewalahan, dan akhirnya lengannya ter-
sambar salah satu sinar biru itu. Craas, blegaaar..!
"Aaakh.!" pekiknya sambil tubuh melayang tan-
gan terbakar.
Tepat pada saat tubuh itu melayang, sekelebat
bayangan datang menyambar tanpa permisi dulu ke-
pada Jenggot Bajang. Weeees, wuuuut...! Bayangan
yang menyambar Soka itu segera lenyap dari pandan-
gan si Jenggot Bajang. Blaasss...!
"Monyet buruk, babi panggang, tikus kurap...!
Kembalikan anak itu, aku belum selesai menghajar-
nya!" teriak Jenggot Bajang. Tapi bayangan yang me-
nyambar Pendekar Kembar bungsu tak pedulikan te-
riakan itu. Ia membawa pergi pemuda tersebut ke sua-
tu tempat yang jauh dari Jenggot Bajang. Si tua berju-
bah hitam garis-garis merah itu segera mengejarnya.
Tapi ia sempat kehilangan arah dan tak mengerti ha-
rus memburu ke mana.
"Jahanam busuk! Siapa orang yang ikut cam-
pur urusanku itu?!" geramnya dengan napas ngos-
ngosan karena diburu kemarahan. Jenggot Bajang ma-
sih membatin. Gerakannya sangat cepat! Sepertinya
aku pernah mengenali gerakan secepat itu! Hrnmm...,
tapi siapa dia sebenarnya?!" Jenggot Bajang berkerut
dahi tajam-tajam.
Rupanya si penyambar Soka Pura memang su-
dah mengenal Jenggot Bajang. Tapi entah mengapa ia
tak mau menyerang Jenggot Bajang, selain hanya me-
nyelamatkan Pendekar Kembar bungsu ke suatu tem-
pat yang aman. Di sana ia membaringkan Soka Pura
yang masih dalam keadaan terluka parah. Kakek yang
menyambar Soka itu hanya geleng-geleng kepala meli-
hat luka mengerikan di tubuh Soka Pura.
"Kau terlalu gegabah dan kelewat berani, Nak,"
ujar si kakek bertudung hitam itu. Tudungnya yang
lebar sedikit menutupi wajahnya, sehingga Soka Pura
yang sempatkan membuka mata dengan suara eran-
gan kecil, tak dapat melihat jelas wajah si kakek. Ia
hanya melihat jubah biru sang kakek yang bermotif
kotak-kotak putih itu. Jubah tersebut berlengan pan-
jang, menutup sebagian pakaian dalamnya yang ber-
warna putih krem.
"Jangan banyak bergerak dulu, ku coba menya-
lurkan hawa murni ku ke dalam tubuhmu, Nak!" ujar
si kakek bertudung hitam.
"Tak usah, Kek. Ak... aku akan lakukan sendi-
ri," ujar Soka Pura, kemudian segera menggunakan ju-
rus 'Sambung Nyawa' untuk mengobati lukanya dan
memulihkan tenaganya. Dalam waktu beberapa saat,
ternyata Soka Pura masih mampu lakukan hal itu, se-
hingga sang kakek bertudung hitam itu merasa heran
serta kagum melihat kemampuan Soka Pura mengatasi
lukanya sendiri.
"Terima kasih atas bantuanmu, Kek," ujar Soka
Pura setelah pulih seperti sediakala. Sang kakek mem-
buka tudungnya, tudung itu menggantung di belakang
lehernya karena tali tudung masih belum dilepas. Ternyata kakek berjubah biru kotak-kotak putih itu mem-
punyai rambut panjang yang dikonde sebagian ber-
warna putih rata. Kumis dan jenggotnya yang pendek
juga berwarna putih rata, ia mempunyai sepasang ma-
ta teduh yang kelihatan enak dipandang orang lain.
Keriput kulit pembungkus tubuh kurusnya membuat-
nya tampak seperti berusia sekitar tujuh puluh tahun,
ham pir sebaya dengan si Jenggot Bajang tadi.
"Aku tak tahu apa persoalannya sehingga kau
bentrok dengan si Jenggot Bajang. Yang jelas, itu lang-
kah yang keliru, Nak. Jenggot Bajang bukan tandingan
mu. Aku sendiri pernah nyaris mati di tangannya, apa-
lagi kau yang masih muda belia begini!"
"Dia ingin membalas kekalahan muridnya,
Kek."
"O, itu sudah waktunya si Jenggot Bajang. Ia
selalu ikut campur urusan muridnya, dan tak rela jika
muridnya dilukai orang lain. Tapi dia tak pernah mela-
rang muridnya melukai orang lain. Memang begitulah
watak si tokoh aliran hitam yang satu itu. Memua-
kkan, sekaligus menjengkelkan."
"Ya, dia juga tadi berkata begitu padaku ten-
tang sikapnya terhadap sang murid," ujar Soka Pura
sambil membetulkan letak pedangnya.
"Lain kali jika kau bertemu dengan murid si
Jenggot Bajang, lebih baik menyingkir saja dan jangan
layani tantangannya. Karena sang guru akan ikut
campur jika sang murid kalah."
"Itu tak bisa kulakukan, Kek. Sebab si Raksa
Braja, murid Jenggot Bajang itu, ingin membunuh ga-
dis yang bersamaku! Raksa Braja yang melukai Rara
Wulan lebih dulu, sehingga membuatku murka dan...."
"Siapa nama gadis yang bersamamu, Nak?!" potong sang kakek.
"Rara Wulan, Kek," jawab Soka Pura.
"Hmmm...," sang kakek manggut-manggut den-
gan sikap bijaknya yang tampak keluar dari pancaran
pandangan matanya. "Sudah lama kau mengenal Wu-
lan?"
"Belum, Kek. Tapi kami sudah saling terpikat."
"Kalian sedang dalam perjalanan pulang, ten-
tunya?"
"Tidak. Kami justru sedang dalam perjalanan ke
suatu tempat yang jauh dari sini. Dan...."
"Mengapa kau tak membawa Rara Wulan pu-
lang ke orang tuanya? Apakah kau tak ingin menikah
dengan gadis itu?"
"Menikah...?!" Soka Pura berkerut dahi, heran
sekali mendengar ucapan yang nadanya seirama den-
gan apa yang pernah diucapkan Lodayu.
"Apakah kau belum tahu Siapa Rara Wulan
itu?"
Soka Pura tampak seperti orang linglung yang
bingung menjawab pertanyaan sang kakek berjubah
biru. Bahkan setelah diam beberapa saat, Soka Pura
justru ajukan tanya tentang si kakek itu sendiri.
"Kalau boleh ku tahu, siapakah dirimu sebe-
narnya, Kek?!"
"Aku sering dipanggil dengan nama: Eyang
Guru Wejang!"
"O, baru sekarang aku mendengar nama itu,"
ujar Soka seperti bicara pada diri sendiri.
"Aku sendiri belum tahu siapa dirimu, Nak. Ta-
pi dari sorot matamu aku dapat menduga kau tokoh
muda dari aliran putih."
"Namaku: Soka Pura, Eyang. Aku berasal dari
Puncak Gunung Merana dan...."
"Puncak Gunung Merana?!" Eyang Guru Wejang terkejut. "Apakah kau muridnya sahabatku; si
Pawang Badai?!"
"Aku dan kakakku adalah anak angkat, Pawang
Badai, Eyang."
"Ooo.. pantas, pantas...!" Guru Wejang mang-
gut-manggut sambil tepuk-tepuk pundak Soka Pura.
Wajahnya memancarkan rasa simpati tinggi terhadap
anak muda yang tadi diselamatkan dari amukan si
Jenggot Bajang itu.
"Sekarang aku bisa menebak siapa dirimu se-
benarnya," ujar Guru Wejang. "Pasti tak salah lagi, kau
adalah Pendekar Kembar yang sedang menjadi bahan
pembicaraan para tokoh tua di rimba persilatan akhir-
akhir ini!"
"Benar, Eyang. Tapi kebetulan kali ini aku sen-
dirian, kakakku sedang semadi di Gerojogan Sewu.
Aku mendengar teriakan Rara Wulan yang akan dibu-
nuh oleh Dirgayana, dan dari situlah mula perkenalan
ku dengan Rara Wulan. Sampai akhirnya, aku harus
mencari Daun Sirih Buntu untuk sembuhkan si Rara
Wulan. Ia terkena racun 'Kala Tungging' akibat puku-
lan si Raksa Braja."
"Sekarang di mana gadismu itu, Soka Pura?"
"Ku tinggalkan di utara. Ia dijaga oleh seseo-
rang yang ingin membantuku, dan yang memberitahu
tentang adanya Daun Sirih Buntu."
Wajah sang kakek tampak gelisah. "Jadi kau
belum tahu siapa sebenarnya Rara Wulan itu?!"
"Secara lengkap memang, Eyang. Tapi aku akan
menentang pendapatmu jika kau katakan bahwa Rara
Wulan adalah gadis terkutuk, penyebar bencana dan
wabah penyakit, seperti yang dikatakan Raksa Braja
dan Jenggot Bajang!"
Soka Pura menampakkan pembelaannya terha-
dap Rara Wulan. Guru Wejang hanya sunggingkan se-
nyum tipis namun tidak berkesan sinis. Kakek bijak-
sana itu akhirnya menepuk-nepuk punggung Soka lagi
sambil berkata pelan.
"Rara Wulan adalah gadis terkutuk, penyebar
bencana dan wabah penyakit, tapi khusus untuk pi-
hak Perguruan Cakar Petir! Untuk orang lain, tidak!"
"Mengapa bisa begitu, Eyang?!"
"Karena gadis itu menjadi penghalang niat si
Bintari Ayu yang ingin menjadi pengganti ibunya. Bin-
tari Ayu berusaha memikat hati ayahanda Rara Wulan.
Sang ayah agaknya terpikat dan ingin mengawini Bin-
tari Ayu. Tetapi Rara Wulan tidak setuju. Ia menentang
keras perkawinan itu. Sang ayah sendiri ngotot, tetap
ingin beristri Bintari Ayu tanpa peduli dari perguruan
mana dan dari aliran mana perempuan itu."
"O, jadi karena persoalan itulah maka Rara Wu-
lan pergi dari rumahnya?!"
"Benar. Dia minggat, sudah satu bulan lebih.
Sang ayah merasa cemas dan tak mau lanjutkan per-
cintaannya dengan Bintari Ayu jika putri tunggalnya
belum kembali."
"Anak siapa Rara Wulan itu sebenarnya,
Eyang?"
"Dia putri seorang adipati yang bernama Adipati
Damardikan di kadipaten Wilujaga!"
"Edan!" sentak Soka tak sadar, lalu segera me-
nutup mulutnya sendiri dengan rasa malu. Ia benar-
benar kaget, karena tak pernah menyangka bahwa Ra-
ra Wulan adalah putri seorang adipati. Ia hanya men-
duga, Rara Wulan anak seorang saudagar kaya atau
bangsawan yang derajatnya tak setinggi adipati.
"Adipati Damardikan akhirnya sadar, bahwa
perkawinan yang tidak dikehendaki putrinya kelak
akan membawa bencana tersendiri bagi sang putri, ka-
renanya sang adipati pun membatalkan niatnya secara
diam-diam. Ia hanya ingin agar Rara Wulan kembali
lagi ke istananya dan hidup bersama sang ayah. Untuk
itu, maka sang adipati membuka sayembara, barang
siapa yang bisa membawa pulang Rara Wulan, jika pe-
rempuan itu akan dijadikan anak angkat atau saudara
angkat Rara Wulan sendiri, tapi jika lelaki akan dika-
winkan dengan putrinya, seandainya sang putri berse-
dia. Jika sang putri tidak bersedia, maka orang terse-
but akan diberi hadiah sebidang tanah di Lembah Da-
mai yang sekarang masih menjadi wilayah Kadipaten
Wilujaga itu."
"Ooo... pantas Lodayu ingin membawa pulang
Rara Wulan. Rupanya ia bermaksud ingin memperistri
Rara Wulan sebagai hadiah atas keberhasilannya
membawa pulang gadis itu," gumam Soka seakan bica-
ra pada diri sendiri.
"Banyak pemuda yang mencari Rara Wulan
dengan maksud mendapatkan hadiah tanah Lembah
Damai atau dikawinkan dengan Rara Wulan. Tapi di
satu pihak, Perguruan Cakar Petir ingin membunuh
Rara Wulan, karena gadis itu dianggap biang kegaga-
lan maksud Bintari Ayu untuk. menjadi istri sang Adi-
pati. Pihak perguruan itu sangat setuju jika Bintari
Ayu menjadi istri sang Adipati, karena mereka bisa
memperalat kedudukan Bintari Ayu untuk memperbe-
sar kekuasaan dan pengaruh perguruan tersebut. Se-
tidaknya dapat mendapatkan uang dengan mudah un-
tuk keperluan-keperluan perguruannya!"
"Edan! Gadis itu ternyata menjadi bahan inca-
ran orang banyak, baik yang ingin membunuhnya
maupun yang ingin mengawininya."
"Tentunya lebih banyak yang berminat untuk
mengawini Rara Wulan, sebab gadis itu adalah gadis
penyebar cinta. Artinya, wajahnya selalu mengundang
kaum lelaki ingin mengabdikan cintanya kepada Rara
Wulan. Tak heran jika kau kasmaran dengan gadis itu,
Soka Pura. Dan... menurutku memang cocoknya dia
menjadi pasangan mu."
"Ah, Eyang...!" Soka Pura berdebar indah men-
dengar ucapan sang kakek berjubah biru itu. Tapi ia
tiba-tiba ingat tentang keadaan Rara Wulan. Hatinya
pun segera berkata,
"Rara Wulan bersama Paman Bandar Getih. Oh.
celaka! Mengapa kubiarkan lelaki itu menjaga Wulan,
padahal aku belum tahu siapa Bandar Getih itu sebe-
narnya?! Bisa saja dia di pihak Bintari Ayu, atau bisa
saja seorang lelaki yang berburu gadis untuk diserah-
kan kepada orangtua si gadis biar dikawinkan! Wah,
alangkah tololnya aku sebenarnya! Aku harus segera
kembali temui Bandar Getih. Hatiku menjadi tak enak
setelah tahu siapa Rara Wulan dan tentang
sayembara dari ayah gadis itu...." Blaaas...!
"Hei, Soka... mau ke mana kau?!" seru Eyang
Guru Wejang.
"Rara Wulan dalam bahaya, Eyang!" jawab Soka
sambil larikan diri, dan Guru Wejang akhirnya mengi-
kuti.
Ketika tiba di tempat Rara Wulan dibaringkan
dan dijaga oleh Bandar Getih, ternyata mereka berdua
tak ada. Soka Pura menjadi berang karena segera
mengerti bahwa dirinya telah tertipu oleh siasat Ban-
dar Getih. Pasti gadis itu dibawa lari oleh Bandar Getih
yang mengincar hadiah dari sang Adipati itu.
"Kita cari ke arah timur!" ujar Guru Wejang.
"Sebab arah timur adalah arah Kadipaten Wilujaga be-
rada!" Soka Pura tak bisa banyak protes, karena piki-
rannya menjadi kacau sekali.
*
* *
6
BATU yang berada di bawah curah air terjun
Gerojogan Sewu menjadi kosong. Raka Pura tidak lan-
jutkan semadinya begitu ia mengetahui tak ada gera-
kan sedikit pun di belakangnya. Napas sang adik kem-
bar tidak terdengar sedikit pun. Ia curiga, lalu mem-
buyarkan semadinya dan mengetahui sang adik kem-
bar tidak ada di tempat.
"Bocah bodong!" maki Raka Pura, si Pendekar
Kembar sulung itu. "Disuruh semadi malahan minggat
ke mana anak itu?!"
Sesungguhnya hati Raka Pura tak pernah bisa
berpisah dari adik kembarnya. Perpisahan yang terlalu
lama membuat hati Raka Pura selalu cemas dan tidak
bisa tenang. Walaupun jika bertemu mereka sering
cekcok dan saling mengejek, tapi hati mereka sebenar-
nya saling memeluk dalam damai.
Raka Pura sebagai kakak selalu ingin melin-
dungi adiknya. Ia tak ingin adiknya menemui kesulitan
atau menghadapi bahaya sendirian, walaupun untuk
itu Raka memang selalu ngomel kepada sang adik.
Maka hilangnya Soka Pura dari tempat semadi mem-
buat Raka pun segera meninggalkan tempat itu men-
cari si Pendekar Kembar bungsu. Ia menggeram-geram
dan berjanji ingin menghajar adiknya jika nanti mere-
ka bertemu.
Pencarian Raka Pura diawali dari arah datang-
nya suara jeritan seorang gadis. Pada waktu Rara Wu-
lan menjerit karena terancam bahaya Dirgayana, sebe-
narnya Raka Pura juga mendengarnya, tapi ia tak am-
bil peduli jeritan itu. Setelah ia tahu adiknya tak ada di
tempat, maka ia dapat menyimpulkan bahwa sang adik
pasti lari ke arah suara jeritan seorang gadis itu.
"Kalau kuadukan kepada ayah bisa kena hu-
kuman dia! Perempuan melulu yang dipikirkan! Aku
saja yang sebagai kakak belum mencicipi perempuan,
eeeh... dia yang sebagai adik sudah menjelajahi sekian
banyak perempuan! Dasar pendekar buaya kampun-
gan!" gerutu Raka Pura sambil mencari adiknya.
Tanpa disangka-sangka pencarian Raka Pura
terhenti oleh suara teriakan seorang lelaki yang tam-
paknya menderita siksaan. Pendekar Kembar sulung
segera berlari ke arah tersebut, dan mengendap-endap
di balik semak ilalang. Ternyata di seberang semak ila-
lang itu Raka dapat melihat seorang lelaki berpakaian
abu-abu berkepala botak tengah sedang di hajar habis-
habisan oleh seorang perempuan berjubah jingga.
"Kejam sekali perempuan itu?! Orang sudah tak
berdaya masih dihajarnya terus! Kasihan orang berpa-
kaian abu-abu itu. Mulutnya sampai rusak dan men-
gucurkan darah. Aku harus segera bertindak tapi...
tunggu dulu, aku harus tahu siapa yang berada di pi-
hak yang benar? Apa persoalan mereka sebenarnya?!"
gumam hati Raka Pura.
Perempuan cantik berjubah jingga yang memi-
liki tubuh sexy itu berambut pirang, tapi disanggul ke
atas sebagian, sisanya terjuntai seperti ekor kuda. Pe-
rempuan berjubah jingga itu adalah perempuan cantik
yang mempunyai daya pikat tinggi dengan bola mata
sayu seakan mengundang ajakan bercumbu bagi la-
wan jenisnya. Perempuan itulah yang bernama Bintari
Ayu dalam usia sekitar dua puluh delapan tahun. Ia
membawa senjata kipas merah yang terselip di ping-
gang kanannya.
Tetapi mata perempuan itu kali ini membelalak
lebar menampakkan kemarahannya kepada lelaki ber-
pakaian abu-abu yang tak lain adalah si Bandar Getih.
Lelaki itu dalam keadaan bersimpuh di tanah sambil
mengerang kesakitan dan berusaha meyakinkan Bin-
tari Ayu.
"Aku... aku berkata yang sesungguhnya, Binta-
ri... Wulan sudah dibawa oleh Dirgayana ke... ke mana
aku tak tahu, sebab aku tak boleh ikut."
"Bohong! Dirgayana tak membawa Wulan! Ia
justru dihajar oleh seorang pemuda yang sok jago!"
"Sungguh, Bintari. Wulan telah dibawa lari see-
kor ayam jago yang, ehh... maksudku... maksudku,
Dirgayana benar-benar telah membawa lari jago, eh...
membawa lari Wulan untuk diadu dengan ayam jago,
aeh... maksudku...."
Ploook...!
"Aooow...!" Bandar Getih memekik kesakitan,
tak sempat betulkan ucapannya yang selalu gugup
menghadapi siapa pun itu. Mulutnya mengucurkan
darah lagi sampai-sampai Bandar Getih tak bisa bicara
dengan jelas.
"Sekali lagi kalau kau tak mau tunjukkan di
mana Wulan bersembunyi, ku habisi nyawamu seka-
rang juga, Bandar Getih!" ancam Bintari Ayu.
"Fuuuh, fuah... aafu, fuu, fuuu, fuaah...!"
"Bicara yang betul!"
"Mulufku sakif... mana fisa ficaya...." ("Mulutku
sakit, mana bisa bicara?")
Bintari Ayu tak sabar lagi, ia segera mengang-
kat tangan kanannya. Tangan kanan itu menyala me-
rah dan berasap samar-samar. Raka Pura tahu apa
yang akan terjadi jika tangan itu digunakan memukul
Bandar Getih. Maka dengan cepat Raka Pura muncul
dari persembunyiannya. Ia berkelebat menyambar Bin-
tari Ayu yang ingin melepaskan pukulan ke arah Ban-
dar Getih. Jurus 'Sambung Nyawa' digunakan Raka
untuk menerjang perempuan itu. Wuuzz...! Bruuuus...!
"Aaaah...!" Bintari Ayu memekik sambil tubuh
nya terpental enam langkah dari tempatnya berdiri
semula. Perempuan berjubah jingga itu jatuh terbant-
ing di atas tanah berbatu. Ia mengerang panjang den-
gan wajah cantiknya menyeringai menahan rasa sakit.
Tangannya sudah tidak memancarkan cahaya merah
lagi.
Raka Pura segera dekati Bandar Getih dengan
maksud ingin menolong. Tapi Bandar Getih merangkak
mundur dengan ketakutan. Ia menyembah-nyembah
sambil paksakan diri bicara dalam keadaan mulut
hancur.
"Amfuuun.... Amfun! Jangan... jangan siksa
aku lagi! Mulutku sudah bonyok begini, afa, masih ku-
rang wonyok lagi...?!"
"Hei, aku ingin menolongmu! Mengapa kau ta-
kut padaku, Paman?" Raka memanggilnya 'paman' ka-
rena merasa orang itu lebih tua darinya, lebih dari seo-
rang kakak. Tapi sebutan 'paman' itu bagi Bandar Ge-
tih semakin membuatnya yakin bahwa pemuda berpa-
kaian putih itu adalah Soka Pura yang ditipunya itu.
Tiba-tiba datang serangan dari Bintari Ayu be-
rupa pukulan jarak jauh tanpa sinar. Wuuut...! Hawa
padat itu menyerang Raka Pura dari belakang. Tetapi
naluri Raka Pura menangkap datangnya bahaya dari
belakang sehingga ia segera balikkan badan sambil le-
paskan pukulan bertenaga dalam pula, yaitu jurus
'Tangan Batu'-nya. Wuuus...! Blaaam...! Suara bera-
dunya pukulan tenaga dalam menggema tak keras,
namun cukup membuat Bintari Ayu mempertimbang-
kan kekuatan lawannya.
"Keparat kau, Pemuda liar! Apa maksudmu
mencampuri urusanku, hah?!" seru Bintari Ayu den-
gan mata jalangnya semakin tampak ganas. "Apakah
kau yang menghajar Dirgayana untuk mendapatkan
gadis binal itu?!"
"Maaf, aku memang tak tahu persoalanmu, Bi-
bi. Tapi kau sudah kelewatan, menghajar orang yang
sudah tak punya daya apa-apa! Aku terpaksa hentikan
tindakan kejam mu itu, Bibi!"
"Kepalamu peot, memanggilku seenaknya saja!
Kau sangka aku sudah tua, sehingga kau memanggil
ku Bibi?!" berang Bintari Ayu yang berhidung mancung
itu.
Si Pendekar Kembar sulung justru tersenyum
geli melihat perempuan cantik itu marah di panggil se-
bagai bibi. Sikapnya yang tenang membuat Bintari Ayu
menjadi ragu-ragu untuk menyerang Raka Pura.
Kurasa ia bukan pemuda sembarangan! Ia be-
rani bersikap tenang sekali di depanku. Gerakannya
menerjang ku pun membuatku menjadi menahan sakit
di bagian ulu hati. Gila! Pemuda mana dia sebenarnya?
Hmmm... sebaiknya tak perlu kulayani dia. Agaknya si
Bandar Getih sudah tak dapat mengaku lebih dari itu.
Tentunya ia tak berani berdusta lagi saat ku ancam
tadi. Berarti Rara Wulan ada di tangan Dirgayana! Ke-
parat juga si Dirgayana, mengapa ia tidak segera se-
rahkan Rara Wulan kepadaku? Jangan-jangan ia ber-
cengkerama dulu dengan gadis itu! Kurang ajar!"
"Kau mau teruskan tindakan kejam mu? Kalau
mau teruskan, silakan kau bertindak terhadap diriku,
Nenek!"
"Jahanam!" geram Bintari Ayu, kemudian ia
melepaskan pukulan bersinar kuning memanjang.
Claaap...! Raka Pura segera menghajar sinar kuning
itu dengan jurus 'Mata Bumi' yang memancarkan sinar
merah seperti piringan berputar dan memercikkan
bunga api. Cralaaap...! Jegaaar...!
Ledakan dahsyat terjadi menyemburkan hawa
panas ke arah Bintari Ayu. Namun sayang Bintari Ayu
sudah terpental dan terbanting di tempat jauh oleh
daya sentak ledakan tadi, sehingga ia tak sempat ra-
sakan hawa panas yang berhembus ke arahnya.
"Biadab kau!" teriak Bintari Ayu di kejauhan.
"Tunggu saatnya, kita akan bertemu lagi dengan berta-
ruh nyawa jika sudah kuselesaikan urusanku dengan
gadis laknat itu!"
Raka Pura hanya sunggingkan senyum sambil
pandangi kepergian Bintari Ayu yang tampak terburu-
buru itu. Setelah perempuan itu hilang dari pandan-
gan matanya, Raka Pura segera hampiri Bandar Getih
yang sedang merintih menahan rasa sakit di mulutnya.
Rupanya Bandar Getih bukan hanya terluka di bagian
mulut saja, tapi kedua kakinya telah bengkak dan tak
bisa dipakai berjalan. Mata kaki telah dicederai oleh
Bintari Ayu sebelum Raka muncul di tempat itu. Kare-
nanya, Bandar Getih tak bisa melarikan diri pada saat
Raka yang dianggap Soka itu berhadapan dengan Bin-
tari Ayu.
"Duduklah dengan tenang, akan kuobati luka-
mu!" kata Raka Pura, tapi Bandar Getih sangsi dengan
ucapan itu, karena ia merasa habis menipu Soka den-
gan mengarang cerita tentang racun 'Kala Tungging'
dan Daun Sirih Buntu.
"Terus terang saja, kalau kau memang ingin
membunuhku, bunuhlah dirimu... eh, bunuhlah diri-
ku... jangan pakai berpura-pura mengobati ku," kata
Bandar Getih dengan paksakan diri untuk bisa bicara
benar walau untuk itu ia harus menahan rasa sakit di
mulutnya mati-matian.
"Aku bukan orang kejam seperti perempuan ta-
di," ujar Raka seraya menempelkan telapak tangannya
ke tengkuk Bandar Getih. Telapak tangan itu meman-
carkan cahaya ungu bagai beling kristal. Tiba-tiba tu-
buh Bandar Getih pun mulai memancarkan cahaya
ungu, makin lama makin ke seluruh tubuh, sehingga
Bandar Getih menjadi tegang melihat tubuhnya beru-
bah menjadi ungu seperti beling kristal. Itulah jurus
pengobatan yang dinamakan 'Sambung Nyawa' dan
mempunyai kekuatan sakti sungguh ajaib.
Beberapa saat kemudian, luka di mulut Bandar
Getih telah mengering, bahkan menjadi lenyap sama
sekali. Rasa sakit di kedua mata kakinya juga hilang
tanpa bekas. Tubuh Bandar Getih merasa segar dan
tak mengalami rasa sakit di bagian mana pun. Hal itu
membuat Bandar Getih mulai percaya dan mengagumi
kehebatan ilmu pemuda yang masih dianggapnya Soka
Pura itu.
"Tak kusangka kau punya kesaktian setinggi
ini!" ujarnya sambil memandangi kakinya dan mengge-
rak-gerakkan kaki itu dengan lincah. "Nyaris tak terasa
sakit sedikit pun," gumamnya kepada diri sendiri.
"Siapa perempuan yang menghajarmu tadi?"
tanya Raka Pura.
"Apakah kau belum dikenal perempuan itu?!
Hmmm... maksudku, kau belum kenal dengannya?"
"Kalau sudah kukenal tak mungkin kutanya-
kan lagi padamu!"
"Benar. Dia memang tak menanyakan padaku
siapa dirimu, dan, ehh... maksudku... hhmm.... Ia be-
lum bertanya, eeeh... anu...."
"Sebutkan saja namanya!" hardik Raka dengan
tak sabar.
"Binarti, eeh... Bintari Ayu!" jawab Bandar Ge-
tih masih dengan gugup, karena hatinya selalu diliputi
rasa malu dan mudah takut, termasuk takut bersalah
terhadap ucapannya, namun justru banyak berkata
salah.
"Siapa Bintari Ayu itu?"
"Seorang perempuan, eeh... anu... tapi, iya,
memang betul dia seorang perempuan yang... yang...."
"Yang ku maksud orang daerah mana atau dari
perguruan mana dia?!"
"Dari Perguruan Cakar Langit, eeh... Cakar Pe-
tir! Dia ingin membunuh Rara Wulan. Bukankah kau
tadi juga telah berhadapan dengan kakak perguruan-
nya si Rara Wulan, eeeh... si Bintari Ayu?"
"Aku...?! Oh, mungkin kau salah duga. Aku tak
pernah berhadapan dengan orang perguruan cakar-
cakaran itu. Mendengar namanya saja baru sekarang!"
"Lho, bukannya kau tadi bilang bahwa... eh,
maksudku, aku sendiri melihatmu bertarung dengan
Raksa Braja, murid Perguruan Cakar Petir itu! Kau ta-
di melarikan Rara Petir, eeeh... maksudku Rara Wulan
kau bawa lari setelah terkena pukulan beracun dari si
Raksa Cakar, eeh... Raksa Braja?!"
Raka Pura sunggingkan senyum geli melihat
kegugupan Bandar Getih yang segera diketahui seba-
gai kegugupan bawaan. Raka pun segera paham mak-
sud Bandar Getih. Ia tahu bahwa Bandar Getih tadi
sudah bertemu dengan Soka Pura, dan sekarang ma-
sih menganggap Raka sebagai Soka Pura.
"Kau pernah bertemu dengan adikku yang ber-
nama Soka Pura?"
"Bukankah kau yang bernama Soka Wulan,
eeh... Soka Pura?!" Bandar Getih memandang dengan
penuh keheranan.
"Aku Raka Pura, kakak kembar Soka!"
"Kakak kembar...?!"
"Ooo...," Bandar Getih manggut-manggut. seka-
rang ia percaya kalau pemuda yang dihadapinya itu
bukan Soka Pura yang tadi ditipu tentang Daun Sirih
Buntu yang sebenarnya tak pernah ada itu. Kini rasa
takut Bandar Getih terhadap dosanya tidak ada, tapi
rasa takut salah bicara masih ada, sehingga banyak
kata-kata yang justru diucapkan dengan salah.
Bandar Getih jelaskan persoalan sebenarnya,
Rara Wulan diburu oleh orang-orang Bintari Ayu, atau
orang-orang Perguruan Cakar Ayu, eeeh... Cakar Petir,
karena Rara Wulan ingin dibunuh. Aku adalah abdi
sang Adipati yang mendampingi Rara Wulan dan beru-
saha menyelamatkan gadis itu dari ancaman orang-
orangnya Bintari Petir, eeh... Bintari Ayu!"
Akhirnya lelaki berkepala botak tengah yang
ternyata adalah abdi sang Adipati yang mendampingi
kepergian Rara Wulan dari mulai pertama gadis itu
minggat, kini menceritakan semua perkara yang diha-
dapi gadis itu, termasuk kemelut cinta di kadipaten.
Apa yang diceritakan Bandar Getih dengan gugup itu
adalah sama dengan apa yang diceritakan Guru We-
jang kepada Soka Pura.
"Lalu, di mana gadis itu sekarang?" tanya Raka
Pura.
"Ku sembunyikan di dalam gua, tak jauh dari
sini. Ia dalam keadaan sangat menderita dan belum
sadar dari pingsannya. Ia terkena pukulan beracun
yang bernama racun 'Kala Tungging'. Kali ini aku bica-
ra benar. Tapi soal obat penyembuhnya, aku tidak ta-
hu, sebab aku belum pernah terkena racun itu...."
Bandar Getih menceritakan tipuannya kepada
Soka Pura dengan maksud untuk selamatkan Rara
Wulan dari tangan-tangan orang tak bertanggung ja-
wab. Karena pada waktu itu, Bandar Getih menyangka
Soka Pura pemuda yang bermaksud sama dengan Dir-
gayana. Sejak ia melarikan diri dari ancaman Dirgaya-
na, ia selalu mencurigai setiap orang sebagai utusan
Bintari Ayu untuk membunuh Rara Wulan, atau pihak
lain yang ingin memanfaatkan sayembara dari sang
Adipati untuk mempersunting Rara Wulan.
Raka Pura tertawa geli mendengar adik kem-
barnya tertipu mentah-mentah oleh orang yang selalu
berkata gugup itu. Akhirnya, Raka Pura minta dian-
tarkan ke gua tempat Bandar Getih menyembunyikan
Rara Wulan. "Aku akan mengobatinya seperti aku
mengobati mu. Kau percaya?!"
"Oh, tentu! Tentu aku percaya, kau pasti tidak
akan tertipu oleh ku!"
Racun 'Kala Tungging' memang ada, Tetapi ke-
kuatan racun itu yang nyaris membusukkan seluruh
tubuh Rara Wulan itu berhasil dilawan dan ditangkal
dengan jurus 'Sambung Nyawa' yang dimiliki oleh mas-
ing-masing Pendekar Kembar. Tetapi keadaan Rara
Wulan masih belum bisa sadar, karena racun itu terla-
lu lama menguasai seluruh jaringan dalam tubuh Rara
Wulan.
"Noda merah dan kulit yang membusuk itu su-
dah tak ada, tapi mengapa ia belum busuk juga,
eeeh... maksudku, mengapa dia belum siuman juga?"
"Beberapa saat lagi dia akan siuman. Sebaik-
nya, sekarang bawalah ia pulang ke kadipaten. Kau
tak perlu takut disalahkan oleh sang Adipati, karena
terbukti kau bisa menyelamatkan putri Adipati dari
tangan si Bintari Ayu dan orang-orang Perguruan Ca-
kar Petir."
"Aku... aku tetap tidak berani. Aku... aku takut
dihukum oleh Kanjeng Adipati karena dituduh membe-
la dan membantu pelarian Rara Wulan."
"Kalau begitu, sebaiknya kau kuantarkan pu-
lang bersama Rara Wulan. Aku yang akan bicara sen-
diri kepada sang Adipati!"
"Kalau aku... kalau aku dihukum gantung, kau
mau ikut? Eh... maksudku, kau mau selamatkan nya-
waku?!"
Raka Pura anggukkan kepala. "Sebelum kau di-
gantung, biarlah sang Adipati menggantung ku lebih
dulu!"
"Lho, jangan...! Nanti yang menyelamatkan
nyawaku siapa kalau kau sudah digantung lebih du-
lu?!"
"Itu hanya istilah. Artinya, aku berdiri di de-
panmu dan menjadi perisai bagi kau dan Rara Wulan
yang... yang...."
"Jangan ikut-ikutan gugup, itu jatah ku!" ser-
gah Bandar Getih. Raka Pura hanya tertawa pelan, tapi
dalam hatinya melanjutkan ucapannya yang terpotong
oleh rasa gugupnya itu.
"Rara Wulan yang memang cantik itu... ah, se-
baiknya tak perlu ku pikirkan! Biarlah dia cantik sen-
diri, tak perlu diusik-usik lagi kecantikannya. Tapi...
mengapa hatiku berdebar-debar begitu melihat kecan-
tikannya setelah sembuh dari lukanya itu? Ah, kurasa
hatiku berdebar-debar karena sudah beberapa hari be-
lum makan, maklum habis bertapa. Kurasa bukan
deg-degan karena kecantikan gadis itu yang... yang...
yang, aduh, kenapa aku jadi ikut-ikutan gugup?!"
*
* *
7
BINTARI AYU sempat berang kepada Dirgayana.
Bintari Ayu menuduh Dirgayana sembunyikan Rara
Wulan di suatu tempat untuk kepuasan pribadinya.
Tetapi Dirgayana membantah keras tuduhan itu.
"Biar kau mendapat kabar dari Bandar Getih,
tapi aku tetap tidak merasa berbuat serendah itu, Bin-
tari. Kau boleh bedah dadaku dengan pedangku atau
kipas, saktimu itu! Lihat betul-betul apa yang ada di
dalam hatiku ini, Bintari!"
Sreet...! Dirgayana mencabut pedang dari sa-
rungnya yang ada di punggung. Bahkan sarung pe-
dang pun dilepaskan dari punggungnya. Pedang itu
diserahkan kepada Bintari Ayu.
"Bunuh aku daripada kau menuduhku berbuat
seperti itu!"
Bintari Ayu tak mau menerima pedang terse-
but. Ia hanya memandang tak berkedip dengan wajah
masih cemberut memendam kecemburuan.
"Pegang pedangku ini dan koreklah isi hatiku.
Biarlah aku mati di tanganmu asal kau percaya bahwa
aku tidak sembunyikan Wulan untuk ku gauli sendiri!
Terlalu hina aku kau tuduh begitu, Bintari!"
Akhirnya perempuan itu kendurkan ketegan-
gannya. Kini yang ada rasa sesal karena telah ngotot
menuduh Dirgayana berselingkuh dengan Wulan. Bin-
tari akhirnya memeluk Dirgayana sambil berkata lirih,
"Maafkan aku! Aku benar-benar takut kalau
kau kecanduan kehangatannya."
"Kau yang membuatku kecanduan! Tak ada pe-
rempuan lain yang bisa membuatku lebih kecanduan
dari kehangatan tubuhmu, Bintari!"
"Maafkan aku, Dirgayana...," sambil Bintari Ayu
menciumi pemuda itu dengan kecupan-kecupan pelan
di sekitar pipi Dirgayana. Ia tak tahu bahwa di atas se-
buah pohon ada sepasang mata yang mengintai. Sepa-
sang mata itu ternyata milik Pendekar Kembar bungsu;
Soka Pura.
Dalam usahanya mencari Bandar Getih, untuk
merebut kembali Rara Wulan, ternyata Soka Pura me-
mergoki adegan syur itu di luar dugaan. Kini ia menja-
di tahu, seperti apa wajah perempuan yang ingin men-
jadi istri sang Adipati itu. Dalam hatinya, Soka menga-
ku bahwa Bintari Ayu itu memang ayu. Wajar saja jika
sang Adipati ingin memperistri perempuan berdada
montok itu.
Tetapi rupanya di balik cinta sang calon istri
adipati itu terdapat perselingkuhan yang rapi dan tak
diketahui siapa pun. Tetapi perselingkuhan itu seka-
rang dipergoki oleh Soka Pura sendiri dan seorang le-
laki tua yang mengikuti langkah Soka Pura dalam
mencari Rara Wulan, yaitu Eyang Guru Wejang.
Kehadiran Eyang Guru Wejang yang tidak ter-
dengar gerakannya itu nyaris membuat Soka Pura ja-
tuh dari pohon karena kagetnya. Padahal waktu itu
Guru Wejang hanya perdengarkan suaranya lirih ber-
nada bisik.
"Perempuan lacur rupanya...!" "Eyang...?!"
"Ssst...! Dengarkan dulu percakapan mereka!"
bisik Guru Wejang yang berada dalam satu dahan po-
hon bersama Soka Pura.
Kerimbunan dedaunan pohon membuat Bintari
Ayu tak mengetahui bahwa ada dua pasang mata yang
memperhatikan percumbuannya dengan Dirgayana.
Mereka pikir semak ilalang tinggi yang mengelilingi
tempat itu sudah cukup menjadi dinding penutup per-
cumbuan mereka. Maka Dirgayana pun tak segan-
segan menciumi wajah Bintari Ayu dengan penuh gai-
rah. Sesekali ciumannya terhenti dan mereka sem-
patkan bicara. Suara mereka terdengar samar-samar
dari tempat Soka dan Guru Wejang berada.
"Apakah nanti jika kau menjadi suami sang
Adipati, juga akan melakukan hal seperti ini?"
"Itu tak mungkin, Dirgayana. Aku bisa meng-
hindari ajakan bercumbu sang Adipati dengan berba-
gai alasan. Yang penting, seluruh kekayaan kadipaten
akan mengalir ke perguruan kita dan perguruan kita
akan menjadi besar, bahkan melebihi wilayah kekua-
saan sang Adipati. Kau akan kuangkat sebagai pen-
gawal pribadiku, sehingga kau bisa bercumbu terus setiap kesempatan sambil menyusun rencana-rencana
untuk menguras kekayaan sang adipati."
"Kau harus lekas bercerai, aku tak mungkin
kuat melihatmu duduk bersama sang adipati berta-
hun-tahun!"
"O, itu sudah ku atur bersama guruku...! Sang
adipati akan kubuat menyerahkan surat wasiat ten-
tang pelimpahan kekuasaan dan kekayaannya kepa-
daku. Jika sudah begitu, biar nanti si Raksa Braja
yang menghabisi nyawa adipati."
"Bagus! Jangan sampai meleset rencana ini,
Bintari!"
"Tidak akan meleset selama gadis itu sudah ki-
ta musnahkan! Oleh karena itu, seharusnya kau tak
gagal membunuh Rara Wulan!"
"Sekali ini pasti tak akan gagal lagi, Bintari.
Aku sempat kacau karena merindukan cumbuan mu
yang... ooouh, Bintari kau mulai nakal, ya?!"
"Hik, hik, hik...!'" Bintari Ayu tertawa cekikikan.
Tangannya semakin nakal sementara Dirgayana yang
berdiri bersandar pohon itu hanya menerima ciuman
Bintari Ayu dengan pasrah. Bahkan pemuda itu tak
meronta sedikit pun ketika perempuan tersebut mele-
pasi apa yang melekat di tubuhnya.
Menyadari keadaan Dirgayana sudah seperti
bayi baru lahir, Bintari Ayu semakin menggelora diba-
kar gairah bercinta. Ciumannya mengganas di sekitar
leher Dirgayana. Ciuman yang memagut-magut itu ak-
hirnya turun di sekitar dada, lalu ke perut, lalu ke ma-
na lagi kalau bukan menuju ke alam keindahan bagi
Dirgayana. Perempuan itu tak pedulikan erangan dan
desahan kenikmatan Dirgayana, mulutnya tetap sibuk
menaburkan sentuhan-sentuhan indah di tempat yang
mudah terbakar oleh kehangatan itu.
"Oh, Bintari... indah sekali permainan lidahmu.
Aku... aku, eouuh... tak kuat berdiri terus, Bintari!" ce-
loteh Dirgayana dalam keadaan berdiri bersandar po-
hon. Tangannya meremas habis dada Bintari yang ma-
sih nekat berkeliaran dengan lidahnya di tempat yang
terpeka itu.
Bintari Ayu sendiri akhirnya kedodoran, penu-
tup dadanya terlepas, jubahnya jatuh di rerumputan.
Kain lainnya pun tak sempat melekat lagi di tubuh
yang berkulit kuning langsat itu. Bintari Ayu akhirnya
terkapar dengan dengus napas dan suara rintihan
yang membakar gairah Dirgayana semakin menggila.
Pemuda itu jatuh dalam pelukan Bintari Ayu, namun
akhirnya menyapu habis sekujur tubuh perempuan
tersebut.
"Oouh, Dirga... aku suka di tempat itu, yaaah...
yah, teruskan, teruskan Dirga... oouuuuh... nikmat se-
kali, Sayaaang ..!" pekik Bintari Ayu dengan mata ter-
beliak dan kaki terpisah.
Soka Pura panas dingin. Keringatnya tersumbul
dari pori-pori dahinya. Eyang Guru Wejang segera ber-
bisik kepada pemuda itu.
"Nak, jangan lupa berkedip!"
"Ah, Eyang,..!"
"Sebaiknya jangan teruskan tontonan mu itu,
nanti kau tak sempat bernapas lagi! Ada baiknya jika
kita lanjutkan mencari orang yang membawa lari Rara
Wulan saja!"
"Sebentar, Eyang. Sebentar lagi...!"
"Mereka tak akan sebentar, Nak. Percayalah,
dulu aku pernah muda juga!"
Soka Pura tertawa geli, namun tak berani le-
paskan tawa itu. Akhirnya ia mengikuti saran Guru
Wejang setelah Bintari Ayu memekik panjang-panjang
bersama suara jeritan Dirgayana yang menandakan
mereka sama-sama tiba di puncak kenikmatan yang
sebenarnya.
Namun sebelum Soka dan Guru Wejang ting-
galkan pohon itu, tiba-tiba ia mendengar seseorang
berseru dari kejauhan. Orang itu tak lain adalah Raksa
Braja yang sudah disembuhkan oleh si Jenggot Bajang.
"Bintari...! Bintariii..., di mana kau?!"
Karuan saja sepasang sejoli yang sedang me-
nukar kenikmatan itu segera kelabakan dan bergegas
mengenakan busananya tanpa menyeka keringat lebih
dulu. Mereka segera temui Raksa Braja setelah Bintari
Ayu membalas seruan Raksa Braja tadi.
"Aku di sini, Brajaaa...!"
Raksa Braja terpaksa lakukan lompatan melin-
tasi ketinggian semak ilalang. Wuuus...! Ketika ia sam-
pai di depan Bintari Ayu, keadaan perempuan itu dan
Dirgayana sudah rapi. Namun agaknya Raksa Braja
mengetahui apa yang telah diperbuat oleh kedua orang
tersebut, sehingga ia sempat menggeram jengkel.
"Apakah tak bisa kalian lakukan setelah uru-
san ini selesai?!"
"Ketahanan kami ada batasnya, Braja!" jawab
Bintari Ayu tanpa sungkan-sungkan. "Ada apa kau
berteriak-teriak mencariku?!"
"Guru pergi ke Kadipaten Wilujaga! Ia melihat
Rara Wulan dibawa ke sana. Sekarang Guru sedang
mengejarnya. Biar sampai ke dalam kadipaten juga
akan di buru, karena Guru sudah muak sekali dengan
gadis itu!"
"Kalau begitu kita harus segera menyusul ke
sana, Bintari. Bantulah gurumu!" ujar Dirgayana.
Kata-kata itu didengar oleh Soka dan Eyang
Guru Wejang. Tanpa banyak berunding, mereka ber-
dua segera melesat tinggalkan tempat itu. Soka Pura
tak ingin Rara Wulan dihabisi oleh si Jenggot Bajang,
demikian pula halnya dengan Guru Wejang. Kecepatan
gerak mereka sangat tinggi, sehingga keduanya seperti
dua sosok bayangan yang berkelebat melintasi pepo-
honan hutan.
"Kita harus bisa menghadang Jenggot Bajang
sebelum ia menyentuh Rara Wulan!" ujar Soka Pura
penuh semangat.
"Ku pertaruhkan nyawaku jika Jenggot Bajang
sampai menyentuh cucuku!"
"Oooh...?!" Soka Pura sempat hentikan langkah
sesaat karena terkejut mendengar ucapan Guru We-
jang. "Jadi... jadi kau adalah kakeknya Rara Wulan,
Eyang?!"
"Tak perlu terkejut. Adipati Damardikan adalah
menantuku! Mendiang ibunya Wulan adalah putri ku!
Dan aku masih dipercaya sebagai penasihat sang Adi-
pati sampai sekarang!"
"Ooh...?! Sungguh tak kusangka kalau...!" "Ka-
lau sudah tak disangka ya sudah, tak perlu di bicara-
kan lagi! Kejar si Bajang Jenggot itu!"
"Jenggot Bajang, Eyang!"
"Orang tergesa-gesa kalau salah ucap tak jadi
masalah, Nak!"
Wuuuzz...! Blaasss ..! Mereka pun berkelebat
lagi menuju ke arah timur. Eyang Guru Wejang ternya-
ta mempunyai kecepatan gerak yang hampir menyamai
jurus 'Jalur Badai'-nya Pendekar Kembar, sehingga
mereka dapat selalu beriringan. Dengan tudung hi-
tamnya masih dikenakan di kepala, Guru Wejang me-
mandu Soka mencari jalan pintas agar cepat sampai di
kadipaten.
Mereka tak tahu bahwa Rara Wulan bukan di-
bawa oleh Bandar Getih saja. Ketika Soka menye-
butkan nama Bandar Getih, Guru Wejang jelaskan
siapa si Bandar Getih, sehingga hati Soka sedikit te-
nang. Tetapi kecepatan yang membuat Bandar Getih
dan Rara Wulan lekas tiba di kadipaten adalah kecepa-
tan dari jurus 'Jalur Badai' juga, sehingga Jenggot Ba-
jang merasa ketinggalan jauh oleh orang yang dikejar-
nya. Jenggot Bajang menyangka, orang yang memang-
gul Rara Wulan dan Bandar Getih di kedua pundaknya
itu adalah Soka Pura. Padahal pemuda itu tak lain
adalah kakak kembar Soka, yaitu Raka Pura.
Maka tak heran jika Raka Pura cepat sampai di
Kadipaten Wilujaga. Ia segera diizinkan menghadap
sang Adipati, karena membawa Rara Wulan serta Ban-
dar Getih yang sudah ditotok sebelumnya. Ketika ingin
menghadap sang Adipati, totokan itu dilepaskan oleh
Raka Pura. Maka sang abdi setia yang gugup itulah
yang menjadi jembatan antara sang Adipati dengan
Raka Pura.
Melihat keadaan Rara Wulan selamat, hanya
sedikit lemas karena habis pingsan lama, sang Adipati
merasa sangat bangga dan girang hatinya. Ia segera
memeluk dan menciumi putri tunggalnya. Sang putri
diam saja, masih cemberut dan tak mau bicara apa
pun. Namun hati sang putri merasa lega begitu melihat
pemuda tampan di ruang paseban itu. Ia menyangka
pemuda itu adalah Soka Pura.
Rara Wulan baru sekarang siuman, jadi tak ta-
hu saat Raka Pura mengobatinya dan membawanya la-
ri bersama Bandar Getih. Raka pun tak akan sampai
ke istana kadipaten jika sebelumnya Bandar Getih ti-
dak memberi tahu arah yang harus ditujunya.
"Anakku, Wulan... jangan pergi ke mana-mana
lagi, Sayang. Tetaplah tinggal di kadipaten bersama
Ayah. Percayalah, Ayah tak akan jadi menikah dengan
Bintari Ayu! Ayah lebih baik kehilangan perempuan itu
ketimbang kehilangan kau, Permata hatiku!" "Ayah ti-
dak berbohong?!" "Tidak. Anakku! Tidak!" '
"Oh, Ayah... aku bahagia sekali jika Ayah tak
jadi menikah dengan Bintari Ayu!" Rara Wulan pun
akhirnya memeluk ayahnya. Namun ia segera menam-
bahkan ucapannya dalam bisikan lembut di telinga
ayahnya.
"Tapi ku mohon padamu, Ayah...."
"Katakan apa keinginanmu akan ku turuti,
Anakku."
"Kawinkan aku dengan pemuda itu!"
"Oooh...?! Benarkah kau punya keinginan se-
perti itu?!"
"Ya, Ayah. Karena... karena selama dalam pela-
rian, dialah yang setia menemani dan menghibur hati-
ku, Ayah. Aku jatuh cinta padanya," ujar Rara Wulan
sambil tersipu malu. Sang ayah pun segera tertawa
dengan gembira. Lalu, sang Adipati yang berusia seki-
tar lima puluh tahun itu segera temui Raka.
"Pendekar budiman, selain aku mengucapkan
terima kasih padamu, aku juga Ingin menyampaikan
sesuatu yang kuharap kau sudi menerimanya!"
"Kanjeng Adipati, saya tidak tertarik dengan
hadiah dalam sayembara yang Kanjeng sebar luaskan
itu. Saya cukup senang jika Kanjeng mau menuruti
keinginan Rara Wulan," tutur Raka Pura dengan so-
pan.
"Justru apa yang ingin kusampaikan ini adalah
demi menuruti keinginan putri ku, Rara Wulan itu."
"Apa yang ingin Kanjeng Adipati sampaikan ke-
pada saya?!"
"Putri ku ingin menikah denganmu!"
"Haaahhh...?!" Raka Pura mendelik kaget den-
gan wajah menjadi pucat pasi. "It... itu tak mungkin,
Kanjeng. Sebab... sebab kami belum kenal dan belum
saling menyelami pribadi masing-masing...."
Sang Adipati akhirnya sampaikan alasan kebe-
ratan pemuda tampan itu kepada Rara Wulan. Tapi
gadis itu cemberut sewot dan mendesak sang ayah
agar tetap mengawinkannya dengan pemuda tersebut.
"Kalau dia tak mencintaimu, untuk apa kau
mau menjadi istrinya, Wulan?!"
"Dia pasti mencintai ku, hanya saja dia mung-
kin minder atau merasa rendah diri, sehingga tak mau
mengatakan isi hatinya yang sebenarnya!"
"Apakah tidak sebaiknya pemuda lainnya saja,
Wulan?!"
"Tidak, tidak! Aku tidak mau menikah dengan
pemuda lain!"
Jika sang putri sudah sewot sampai kakinya
menghentak-hentak di lantai. sang ayah pun mulai
kewalahan. Akhirnya sang ayah menjadi- bingung sen-
diri. Ia diam dan berpikir bagaimana baiknya mengata-
si keinginan putrinya itu. Sang putri tiba-tiba berbisik
kepada ayahnya.
"Ayah, katakan kepadanya, bahwa aku sebe-
narnya sudah... hamil, dan...."
Apaaa...?! Kau sudah hamil?!" wajah sang Adi-
pati menjadi merah. "Kalau begitu bagaimanapun juga
dia harus ku paksa agar segera mengawini mu!"
Sang Adipati segera keluar dari kamar, berge-
gas temui Raka yang masih ada di bangsal paseban
bersama Bandar Getih dan beberapa orang lainnya, te-
rutama para pejabat istana yang sangat gembira meli-
hat pulangnya Rara Wulan.
"Nakmas Raka Pura... bagaimanapun kuminta
kau tetap harus menikah dengan Rara Wulan, sebab
putri ku itu ternyata telah hamil oleh bibit mu!"
"Huaaah...?!" Raka Pura sempat terkejut, ma-
tanya mendelik bagaikan melihat petir gancet di depan
hidungnya.
"Mak... maksudnya.. maksudnya... bagaimana,
Kanjeng?!"
"Aku tak mau putri ku hamil tanpa ada yang
bertanggung jawab. Percuma saja kau membawa putri
ku pulang jika hanya ingin mencemarkan nama baik
keluarga kadipaten ini, Nakmas Raka...."
"Tapi,.. tapi, saya tidak menghamilkan, eeh,
menghamili Wulan, Kanjeng. Saya belum pernah hamil
dan, eeeh .. maksud saya... aduh, kenapa aku jadi
ikut-ikutan Bandar Getih?!"
Plok, Raka menampar mulutnya sendiri, mak-
sudnya biar bicaranya tak menjadi gugup. Namun beri-
ta yang sangat mengejutkan itu telah membuat selu-
ruh tubuhnya gemetar, sehingga lidah dan bibir pun
sulit dipakai bicara dengan lancar. Hanya batin yang
bisa berkata lancar tanpa kegugupan.
"Celaka tujuh belas kalau begini! Pasti ini ulah
si Soka, akhirnya aku yang dituntut mengawini gadis
itu! Kurang ajar betul si jelek Soka itu! Dia yang ma-
kan nangkanya, aku yang kena getahnya. Dia yang
mencuri mangga, aku yang ditangkap penjaga!"
Sang Adipati segera berkata lagi, "Kurasa kau
tak perlu malu dan tak perlu takut dengan keadaan
kami, Nakmas. Kami tetap akan menghormatimu seba-
gai keluarga istana tanpa memandang siapa dirimu se-
benarnya."
"Masalahnya bukan soal malu atau tidak malu,
Kanjeng. Begini...."
Belum sempat Raka Pura jelaskan persoalan
sebenarnya, tiba-tiba seorang penjaga pintu gerbang
datang menghadap sang Adipati dengan wajah tegang.
"Eyang Guru Wejang bertarung di depan istana,
Kanjeng!"
"Hah...?!" Kanjeng Adipati Darmadikan terkejut.
"Mengapa mertuaku berkelahi seperti anak kecil saja?!
Siapa lawannya, Prajurit?!"
"Jenggot Bajang, Kanjeng!"
"Celaka! Tak mungkin mertuaku menang mela-
wan gurunya Bintari Ayu?!"
"Boleh saya yang menghadapi, Kanjeng?!" ujar
Raka dengan semangat jika urusan pertarungan.
"Baiklah. Hadapi si Jenggot Bajang itu, Calon
menantuku!"
"Yaaaah...," keluh Raka begitu disebut sebagai
calon menantu.
Sang prajurit berkata lagi, Tapi Eyang Guru
Wejang sudah dibantu oleh...."
"Oleh siapa?!" sergah sang Adipati begitu praju-
rit hentikan ucapannya sambil memandang Raka Pura.
Prajurit itu justru bicara kepada Raka Pura.
"Lho, Kang...? Kok sampean sudah ada di situ,
Kang?! Sepertinya tadi sedang sibuk hadapi amukan si
Jenggot Bajang?!"
"Sejak tadi aku ada di sini, Prajurit!"
"Lalu... lalu siapa pemuda yang berpedang ba-
gus seperti pedangmu itu dan bertarung melawan
Jenggot Bajang?!"
"Nah, itu dia adik kembar ku! Kuhajar dia seka-
rang juga! Bikin malu saja!"
"Nakmas Raka... siapa yang ingin kau hajar?"
"Adik kembar saya, Kanjeng!"
"Lho...?l Kok malah adik kembarnya? Mengapa
bukan si Jenggot Bajang?!"
"O, iya! Maaf, salah nafsu, Kanjeng!"
Raka Pura segera melesat pergi tanpa pamit lagi
kepada sang Adipati. Mendengar pertarungan terjadi di
depan istana, Rara Wulan segera keluar dari kamarnya
dan mencemaskan keselamatan Soka Pura, sebab ia
tahu kekuatan si Jenggot Bajang sangat berbahaya ba-
gi jiwa Soka Pura. Ia segera lari keluar istana, menero-
bos pintu gerbang, menyelinap di antara kerumunan
para prajurit yang membentengi bagian depan gerbang,
Sang adipati berlari-lari mengejar putrinya, takut ka-
lau minggat lagi.
Pertarungan itu sudah terjadi beberapa saat.
Jenggot Bajang mengamuk dengan melepaskan teng-
koraknya yang dapat menyerang Guru Wejang dengan
melayang-layang. Guru Wejang sempat kebingungan
hadapi tengkorak itu, sehingga Soka Pura segera tam-
pil melepaskan pukulan bersinar putih menyerupai pi-
sau runcing. Claaap...!
"Mundur, Eyang...!" teriak Soka Pura. Eyang
Guru Wejang melompat mundur dan akhirnya kepala
tengkorak itu terhantam sinar putih perak dari jurus
'Cakar Matahari'-nya Soka Pura.
Blegaaar...! Pyaaar...!
Tengkorak itu hancur tak berbentuk lagi. Jeng-
got Bajang murka melihat 'temannya' dihancurkan.
Dengan berteriak liar, Jenggot Bajang melayang ber-
sama tongkatnya. Tongkat itu diarahkan ke punggung
Soka Pura. Ujung tongkat segera keluarkan besi runc-
ing berwarna hitam berkarat. Craaak...!
"Soka, awaaas...!" teriak suara wanita yang tak
lain adalah Rara Wulan. Teriakan itu mengejutkan So-
ka, dan ia segera berpaling, tepat saat itu besi runcing
dari ujung tongkat Jenggot Bajang menghujam ke da-
danya. Untung Soka segera menepiskan tongkat itu
dengan gerakan tangannya menyamping. Wees, plak!
"Aaaa...!" Rara Wulan menjerit karena me-
nyangka Soka tertusuk besi runcing itu, Kenyataannya
pemuda itu hanya terkena tendangan kaki si Jenggot
Bajang saat tongkatnya tertepis ke samping. Buukh...!
"Huaaakh...!" Soka Pura terlempar lima langkah
ke belakang. Ia langsung memuntahkan darah kehi-
tam-hitaman.
"Sokaaa...l Bangun, Soka! Lekas bangun! Hajar
dial Awas, dia mendekatimu! Hajar dia, Sokaaa...!" teriak Rara Wulan. Orang-orang yang memandang perta-
rungan beralih pandang sebentar ke arah Rara Wulan
sambil mereka sunggingkan senyum geli. Namun per-
hatian mereka segera tertuju pada pertarungan lagi.
karena waktu itu Jenggot Bajang melakukan lompatan
bersalto dengan tongkat runcingnya menyala seperti
besi membara.
Soka Pura tertunduk karena keluarkan darah
terlalu banyak dari mulutnya. Melihat keadaan seperti
itu, tiba-tiba sekelebat bayangan putih menerjang
Jenggot Bajang dari samping kiri. Wuuuzz...!
Brreess...! Jenggot Bajang tahu-tahu terbanting dalam
jarak sepuluh langkah. Sesosok tubuh kekar berwajah
kembar dengan Soka Pura muncul. Orang-orang terpe-
rangah kaget, termasuk Rara Wulan sendiri. Mereka
baru tahu bahwa Soka ternyata adalah Pendekar Kem-
bar dan yang baru hadir itu adalah kakaknya; Raka
Pura.
"Soka, menyingkirlah kau!" teriak Raka Pura.
Lalu ia segera hadapi lawannya yang menjadi ganas se-
telah terbanting tadi, sebab pada saat itu Bintari Ayu,
Dirgayana, dan Raksa Braja baru saja tiba di tempat
itu.
Melihat lawannya menyerang dengan tongkat
membara merah, tangan pun membara merah dan ma-
ta mulai tampak memancarkan cahaya kemilau merah
muda, maka Raka Pura pun segera mencabut Pedang
Tangan Malaikat. Sreeet...! Pedang itu memancarkan
sinar ungu indah bagaikan lampu kristal yang menyala
ungu.
"Modar kau. Bangsaaat...! Heeeah...!" teriak
Jenggot Bajang sambil menghujamkan tongkatnya ke
arah dada Raka Pura. Namun Pedang Tangan Malaikat
segera berkelebat menghantam tongkat itu. Duaaar..!
Tongkat itu segera hancur berkeping-keping,
sementara tangan Jenggot Bajang yang membara me-
rah pun menjadi terpotong oleh angin tebasan pedang
pusaka tersebut.
"Aaaaah...!" Jenggot Bajang berteriak keras-
keras saat tangan kanannya terpotong sebatas siku, ia
bukan menjadi jera melainkan menjadi bertambah ga-
nas. Seberkas sinar hijau dilepaskan dari tangan ki-
rinya. Claaap!
Raka Pura hindari sinar itu sambil lakukan
lompatan bersalto ke depan. Wuuus...! Sinar hijau itu
menuju ke arah Guru Wejang yang ada di kejauhan.
Maka dengan cepat tangan Guru Wejang pun menyen-
tak, keluarkan sinar kuning seperti telur yang mengha-
jar sinar hijau itu. Claaap...! Blegaaar...!
Raka Pura mendaratkan kakinya tak jauh dari
Jenggot "Bajang. Melihat lawannya mendekat, Jenggot
Bajang segera menerjang dengan gerakan tubuh me-
mutar cepat melebihi baling-baling. Weeerrs...! Raka
Pura tak segan-segan menebaskan pedangnya.
Wuuut...! Craasss...!
"Ooohh...?!" gumam setiap orang dengan mata
mendelik. Tubuh Raka masih menggeliat ke samping
sebagai tanda habis menebaskan pedangnya, tapi tu-
buh Jenggot Bajang roboh di tempat dalam keadaan
terpotong menjadi dua bagian.
"Guruuu...?!" teriak Bintari Ayu begitu melihat
gurunya menjadi dua bagian yang tentunya tak ber-
nyawa lagi itu. Bintari Ayu ingin menerjang Raka Pura,
tapi ia segera disambar oleh Raksa Braja. Wuuut...!
Jleeg...!
"Jangan lakukan pembalasan sekarang! Tunggu
saat yang baik! Kita harus bisa mencari tandingan pu-
saka pedang laknat itu!"
"Bintari, tinggalkan tempat ini sebelum ia men-
gejar kita dan membantai habis agar tak ada balas
dendam di kemudian hari! Lekas pergi, Bintari!" seru
Dirgayana, yang akhirnya membuat mereka bertiga
pun segera larikan diri dari Kadipaten Wilujaga.
Soka Pura akhirnya disembuhkan oleh sang
kakak, walaupun sebenarnya Soka mampu sembuh-
kan lukanya sendiri. Raka sembuhkan Soka sambil
membisikkan omelan kepada sang adik.
"Gadis itu hamil! Aku disuruh mengawininya.
Bagaimana?!"
"Kau berani bertarung melawanku, Raka?!"
Sang kakak justru tertawa sambil menjulekkan
kepala adiknya.
"Lain kali jangan rakus begitu! Hampir saja aku
yang harus menanggung getahnya!"
"Ah, aku cuma.. cuma sekali kok. Tak mungkin
dia hamil!"
"Dia mengaku begitu!"
"Itu hanya siasat untuk menjerat ku!"
"Kau mau dijerat apa tidak?!"
"Hummm... tak mau aku! Tak mau! Aku belum
siap!" "Kalau belum siap ya jangan berbuat begituan!"
"Cuma iseng-iseng kok...."
Mereka akhirnya berdebat tanpa diketahui sia-
pa pun. Soka pun menemui Wulan dan menyatakan
belum siap untuk menikah saat itu. Ia meminta waktu
beberapa saat karena masih harus lakukan beberapa
tugas dari sang guru. Akhirnya Rara Wulan mengaku
kepada sang ayah, bahwa ia sebenarnya tidak hamil.
Semua itu hanya siasat untuk menjerat Soka. Tapi ia
segera sadar bahwa Soka tak mau dijerat, dan jika hal
itu dilakukan justru akan membuat pemuda itu lari
tak kembali lagi. Maka, hubungan mereka pun ber-
langsung tanpa jerat yang mengikat. Namun hati mereka tetap saling terpikat.
SELESAI
Segera terbit!!!
IBLIS PEMBURU WANITA
0 comments:
Posting Komentar